2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan

advertisement
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tuna (Thunnus sp)
Ikan tuna merupakan ikan perenang cepat yang berada di epipelagis ( > 500
m) yang dapat berenang sejauh 55 km setiap hari. Persebaran ikan tuna di laut
tergantung kepada habitatnya. Daging ikan tuna berwarna merah muda sampai
merah tua, karena otot ikan tuna lebih banyak mengandung myoglobin dari pada
ikan lainnya. Beberapa spesies tuna yang lebih besar, seperti tuna sirip biru
(Bluefin Tuna), dapat menaikkan suhu darahnya di atas suhu air dengan aktivitas
ototnya. Hal ini menyebabkan mereka dapat hidup di air yang lebih dingin dan
dapat bertahan dalam kondisi yang beragam (FAO 1983).
Deskripsi ikan tuna secara umum adalah kepala simetris, bergaris rusuk
lengkap, bersisik lingkaran (cycloid), rangka terdiri dari tulang sejati dan bertutup
insang, badan berbentuk cerutu, jari-jari lemah sirip ekor bercabang pada
pangkalnya, sirip-sirip kecil di belakang sirip punggung dan memiliki sirip dubur.
Tulang rahang atas depan dan tulang-tulang hidung tidak membentuk cula, sirip
punggung dua, yang pertama berjari-jari mengeras, dan yang kedua mempunyai
bagian yang berjari-jari keras serta bagian yang berjari-jari lemah kadang-kadang
berlembaran seperti sirip-sirip kecil di belakang sirip dubur (Saanin 1984).
Ikan tuna merupakan ikan pelagis yang hidup tidak jauh dari permukaan air.
Ikan pelagis dapat ditemukan mulai dari permukaan air hingga kedalaman 200
meter. Hasil tangkapan ikan menunjukkan bahwa ikan pelagis lebih banyak yang
tertangkap oleh nelayan dibandingkan ikan demersal dengan perbandingan 3
untuk ikan pelagis dan 1 untuk ikan demersal. Ikan tuna merupakan ikan pelagis
yang memiliki tubuh streamlime berfungsi membantu dalam pergerakan,
berbentuk cerutu, dan dilengkapi dengan finlet diantara ekor sampai sirip dorsal.
Finlet berfungsi mengurangi turbulensi dan mengurangi aliran air sehingga
menghasilkan gerakan yang cepat. Sirip dapat ditekuk untuk mengurangi gesekan
terhadap air sehingga memudahkan dalam pergerakan. Kecepatan ikan pelagis ini
dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu cruising speed, maximum sustainable
speed, dan top speed. Cruising speed digunakan untuk melakukan perjalanan
pendek, maximum sustainable speed digunakan dalam beberapa waktu, sedangkan
4 top speed digunakan dalam jangka waktu yang pendek. Ikan tuna dapat berenang
dengan kecepatan 64-80 km/jam. Ikan tuna ditangkap dengan menggunakan purse
seine, lampara nets, troll line, handlines, dan harpoons (Flick dan Martin 1990).
Ikan pelagis merupakan ikan perenang cepat dimana ada perbedaan ikan
perenang cepat dengan perenang lambat yaitu pada otot. Otot ikan dibagi menjadi
dua jenis yaitu, otot merah dan otot putih dimana otot merah banyak mengandung
lemak dan mengandung mioglobin yang berfungsi membawa oksigen ke dalam
darah. Otot merah memungkinkan ikan pelagis berenang dengan kecepatan
konstan untuk mencari makan maupun untuk memijah atau bermigrasi
(Flick dan Martin 1990).
Klasifikasi ikan tuna menurut FAO (1983) adalah sebagai berikut:
Phylum
: Chordata
Class
: Teleostei
Ordo
: Perciformes
Family
: Scombridae
Genus
: Thunnus
Species
: Thunnus obesus
T. alalunga
T. maccoyii
T. albacares
(a)
(b)
5 Yellow fin
Albacore (c)
Gambar 1. Ikan tuna
Sumber: PT Samudra Besar
Ket :
a) Blue fin
b) Big eye
c) Albacore dan Yellow fin (kiri ke kanan)
2.2 DNA
Struktur DNA berupa utas ganda tersusun oleh dua rantai polinukleotida yang
berpilin. Kedua rantai mempunyai orientasi yang berlawanan (antiparalel). Kedua
rantai tersebut berikatan dengan adanya ikatan hidrogen antara adenin (A) dengan
timin (T), dan antara guanin (G) dengan sitosin (C). Ikatan antara adenin (A)
dengan timin (T) berupa dua ikatan hidrogen sedangkan antara guanin (G) dengan
sitosin (C) berupa tiga ikatan hidrogen. Spesifitas pasangan basa semacam ini
disebut sebagai komplementaritas.
DNA merupakan suatu molekul yang berperan penting dalam kehidupan,
membawa semua informasi tentang kehidupan didalam kromosom. DNA
umumnya terdiri atas rantai yang saling berpilin sehingga menjadi double helix
(Watson et al. 1987). Kedua rantai berikatan dengan adanya ikatan hidrogen
antara basa adenin dengan timin, dan antara guanin dengan sitosin. Pada struktur
DNA gula deoksiribosa dan fosfat berada dibagian luar molekul sedangkan basa
purin dan pirimidin terletak dibagian dalam untaian.
6 Gambar 2. Stuktur DNA
Sumber: National library of medicine (2009)
DNA merupakan senyawa yang sangat penting karena DNA membawa
informasi biologis yang menentukan struktur protein, sehingga dapat dikatakan
bahwa DNA merupakan molekul utama untuk kehidupan (Hardjosubroto 2001).
DNA memiliki dua lekukan yaitu lekukan besar (major groove) dan lekukan kecil
(minor groove). Kedua lekukan ini berperan sebagai tempat molekul protein
tertentu (Yuwono 2005a). DNA merupakan unsur kimia yang stabil, menyandikan
agar sel tumbuh dan membelah sehingga akan menyebabkan diferensiasi sel telur
yang telah dibuahi menjadi sejumlah besar sel khusus yang diperlukan dalam
berbagai fungsi kehidupan.
2.2.1 Ekstraksi DNA
Proses ekstraksi DNA dilakukan untuk memperoleh DNA yang murni tanpa
bahan pengotor berupa protein maupun RNA. Ekstraksi dilakukan dengan
menambahkan beberapa pelarut ataupun nitrogen cair untuk melisis jaringan.
Proses
ekstraksi
merupakan
tahap
krusial
untuk
memperoleh
DNA
(Dwiyitno 2008). Hasil ekstraksi akan digunakan sebagai DNA cetakan yang akan
diperbanyak dengan metode enzimatis yaitu melalui proses PCR. Pada ekstraksi
DNA ditambahkan larutan buffer dalam jumlah sedikit berfungsi sebagai detergen
7 untuk melepaskan atau mengikat DNA. Deterjen juga menghambat aktivitas
nuklease pada saat preparasi. Purifikasi bertujuan untuk memisahkan DNA dari
komponen lain seperti RNA dan protein. Protein didegradasi menggunakan enzim
proteolitik yang dicampur lalu dikocok dengan fenol atau kloroform (Karp 1984).
Proses ekstraksi dapat dilakukan dengan menggunakan metode CTAB maupun
dengan kit komersial yaitu Vivantis. Proses ekstraksi DNA untuk melisis sel, dan
kemudian mendegradasi protein dan melarutkan komponen selular lain sehingga
akan diperoleh DNA. Perusahaan yang memproduksi kit menyediakan larutan
yang dapat langsung digunakan dan ditambahkan dalam proses ekstraksi DNA
(Baker 2000).
DNA genom dapat diekstraksi dengan berbagai cara. Pada prinsipnya, sel
harus dipecah terlebih dahulu menggunakan beberapa cara, baik fisik maupun
kimiawi, termasuk penggunaan enzim tertentu. Pemecahan sel secara fisik dapat
dilakukan misalnya dengan alat sonikator yaitu dengan menggunakan frekuensi
ultratinggi (Yuwono 2006c). Pemecahan sel juga dapat dilakukan dengan
menggunakan enzim lisozim yang dapat memecah dinding sel. Senyawa lain yang
sering digunakan untuk memecah sel untuk ekstraksi DNA genom adalah CTAB
(Cetyl Trimethyl Ammonium Bromida) selain itu juga dapat menggunakan kit
komersial (Muladno 2002). Pada ekstraksi DNA ikan tuna digunakan kit
komersial yaitu Vivantis.
Metode
yang
umum
digunakan
untuk
ekstraksi
jaringan
hewan
menggunakan proteinase K dan sodium dodesil sulfat untuk mendegradasi protein
serta fenol atau kloroform untuk melarutkan komponen seluler dan penambahan
alkohol untuk presipitasi DNA. Metode CTAB juga umum digunakan baik dalam
proses ekstraksi DNA tanaman maupun ekstraksi DNA hewan. Metode ekstraksi
DNA tanaman memerlukan penggerusan sebab tanaman memiliki dinding sel
sedangkan pada ekstraksi DNA hewan tidak perlu dilakukan penggerusan namun
umumnya baik ekstraksi DNA tanaman maupun hewan dilakukan penggerusan
terlebih dahulu untuk memastikan jaringan mengalami lisis. Proses ekstraksi DNA
dapat dilakukan lebih cepat dengan menggunakan kit komersial dan hanya
memerlukan beberapa langkah untuk melakukan ekstraksi DNA (Less 2003).
8 2.3 Autentikasi Produk Makanan
Autentikasi produk makanan sangat penting dalam pelabelan dan jaminan
produk. Autentikasi dibutuhkan untuk menghindari kompetisi perdagangan yang
tidak adil dan menjamin bahwa konsumen membeli produk yang sesuai dengan
yang tertera pada label (Ram et al. 1996).
Proses pengujian keaslian suatu produk makanan dapat mendeteksi hingga
tingkat spesies. Pencegahan terhadap mislabeling atau pemalsuan dilakukan
karena alasan ekonomi, kesehatan dan kepercayaan agama. Proses autentikasi
dapat dilakukan dengan berbasis DNA menggunakan PCR dengan gen target
DNA mitokondria. Hal ini disebabkan karena DNA mitokondria relatif sensitif
terhadap terjadinya mutasi. Proses autentikasi dengan metode PCR membutuhkan
primer yang spesifik agar primer dapat menempel secara tepat pada DNA cetakan
(Less 2003).
Autentikasi perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya substitusi spesies,
mendeteksi adanya kecurangan dalam perdagangan, serta sebagai syarat dalam
pelabelan makanan (Gill 2007). Jepang dan Eropa telah menerapkan suatu proses
autentikasi terhadap produk yang akan beredar di pasar sehingga konsumen tidak
dirugikan dengan adanya kecurangan dalam pelabelan. Metode konvensional
untuk mengidentifikasi spesies menggunakan immunoassay sedangkan metode
yang ada sekarang dapat menggunakan metode DNA sequencing untuk
mengidentifikasi atau mendeteksi suatu spesies (Less 2003). Metode DNA
memiliki kelebihan antara lain :
1. Pengujian DNA dapat diprediksi dan pengukuran tidak tergantung pada
jenis spesies, serta pengujian DNA berlaku secara umum.
2. DNA stabil dan dapat digunakan untuk menguji sampel yang telah
dipanaskan pada suhu 120 0C.
3. Keragaman DNA mengikuti perbedaan antar spesies sehingga setiap
spesies memiliki DNA yang spesifik.
Autentikasi berbasis protein tidak dapat dilakukan jika bahan baku telah
mengalami proses pemanasan oleh karena itu metode berbasis DNA lebih baik
serta lebih disukai dibandingkan metode berbasis protein karena tahan terhadap
panas serta terdapat pada semua jenis jaringan. Beberapa metode berbasis protein
9 yang digunakan antara lain isoelektrik SDS-PAGE, teknik kromatografi,
immunodifusi, dan ELISA. Metode berbasis DNA yang digunakan dalam proses
autentikasi antara lain adalah PCR-Sequencing, multiplex PCR, RAPD,
PCR-RFLP, PCR-SSCP, DNA hibridisasi, real time PCR dan PCR lab-on-chip.
Metode DNA dapat dilakukan pada bahan baku segar maupun olahan baik berupa
pengolahan panas maupun pembekuan dimana DNA dalam bahan baku masih
dapat diekstraksi dan dideteksi (Gill 2007). Autentikasi berbasis DNA merupakan
suatu proses dimana fragmen DNA yang diisolasi lalu di PCR dan dipisahkan
menggunakan gel elektroforesis (Bossier 1999).
Metode berbasis DNA menggunakan PCR memiliki kelebihan yaitu sangat
sensitif dan dapat digunakan untuk berbagai jenis sampel mulai dari DNA
tumbuhan sampai hewan tingkat tinggi. Metode berbasis DNA ini diawali dengan
menghancurkan atau melisis jaringan untuk mendapatkan DNA. Selain itu metode
PCR membutuhkan bahan dalam jumlah yang sedikit (Less 2003).
2.4 Sitokrom b pada Mitokondria
Mitokondria merupakan suatu organel yang terdapat dalam sel, bagian dari
genom yang terletak pada sitoplasma. Mitokondria juga memiliki DNA seperti
yang terdapat pada inti sel yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan pada inti
sel (Gil 2007). Gen cyt b digunakan untuk identifikasi spesies vertebrata yang
mengandung informasi spesies yang spesifik dan dapat digunakan untuk
identifikasi filogenetik (Parson et al. 2000). Mitokondria merupakan suatu organel
khas yang memiliki sejumlah ciri yang tidak dimiliki organel lain yaitu memiliki
materi genetiknya sendiri (Gray 1999 dalam Wulandari 2005)
Penggunaan cyt b sebagai gen target dengan alasan yaitu hanya memiliki
satu alel sehingga tidak mengakibatkan ambiguitas sequence, jumlah DNA yang
terdapat pada mitokondria lebih banyak dibandingkan pada inti sehingga lebih
efektif dalam proses amplifikasi, serta tingkat mutasi yang terjadi pada
mitokondria lebih tinggi dibandingkan pada inti (Unseld et al. 1995). Jenis marker
molekuler yang digunakan dengan tingkat identifikasi dapat dilihat pada Tabel 1.
10 Gambar 3. Gen pada Mitokondria
Sumber: Baker (2005)
2.5 PCR (Polymerase Chain Reaction)
Reaksi berantai polimerase (PCR) merupakan suatu proses amplifikasi secara
enzimatik yang spesifik untuk menggandakan DNA (Chen dan Janes 2000).
Reaksi berantai polimerase (PCR) juga dapat diartikan sebagai suatu metode
enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida
tertentu dengan cara in vitro. Metode ini juga sering digunakan untuk memisahkan
gen-gen beruntai tunggal dari sekelompok komponen sekuen genom yang banyak
digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis genetik. Pada awal
perkembangannya metode ini hanya digunakan untuk melipatgandakan molekul
DNA,
tetapi
kemudian
dikembangkan
lebih
lanjut
sehingga
dapat
melipatgandakan dan melakukan kuantitas molekul mRNA (Yuwono 2006b).
Metode PCR sangat sensitif. Sensitifitas tersebut membuatnya dapat
digunakan untuk melipatgandakan satu molekul DNA sehingga dapat diperoleh
pelipatgandaan suatu fragmen DNA. Hal ini menunjukkan bahwa pelipatgandaan
suatu fragmen DNA dapat dilakukan secara cepat. Kelebihan metode PCR adalah
bahwa reaksi ini dapat dilakukan dengan menggunakan komponen dalam jumlah
sedikit (Yuwono 2006b).
11 Gambar 4. Siklus PCR
Sumber : Vierstraete (1999)
Proses PCR membutuhkan tiga syarat dasar dalam siklus PCR yaitu: DNA
cetakan, penempelan sepasang primer oligonukeotida pada DNA cetakan utas
tunggal, dan pemanjangan secara enzimatik untuk menghasilkan salinan (copy)
DNA untuk proses siklus berikutnya. Pemilihan DNA polimerase tergantung pada
kebutuhan. Ada beberapa macam enzim yang secara komersial dijual dapat dipilih
dari kemampuan terhadap panas, prosesivitas, dan ketepatan penempelan. DNA
polimerase yang umum digunakan adalah Taq DNA polimerase. DNA polimerase
membutuhkan ion magnesium sebagai kofaktor dan katalis untuk reaksi
pemanjangan pada suhu 72 0C. Komponen dNTPs terdiri dari dATP, dCTP,
dGTP, dan dTTP yang berperan
sebagai pasangan basa untuk pemanjangan
primer dan menyalin urutan target (Chen dan Janes 2000).
Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan
denaturasi DNA template (cetakan) sehingga rantai DNA yang berantai ganda
(double stranded) akan terpisah menjadi rantai tunggal (single stranded).
Denaturasi DNA dilakukan dengan menggunakan panas pada suhu 95 0C selama
1-2 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi 55 0C sehingga primer akan
‘menempel’ (annealing) pada cetakan yang terpisah menjadi rantai tunggal.
Proses denaturasi terjadi secara cepat pada suhu (94-96) 0C. Penempelan primer
tergantung pada suhu melting (T m ). Secara umum, program software komputer
dapat digunakan untuk memprediksi T m berdasarkan urutan primer. Penempelan
yang paling baik ditentukan oleh optimasi. Proses pemanjangan secara umum
terjadi pada suhu 72 0C (Chen dan Janes 2000)
12 Primer yang digunakan sebaiknya berukuran paling pendek 16 basa dan
biasanya berkisar antara 18-24 basa, walaupun PCR masih dapat memberikan
hasil yang baik dengan menggunakan primer berukuran 32 basa. Primer yang
diberikan pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan penempelan pada sekuens
DNA yang salah sehingga hasil PCR yang didapatkan tidak seperti yang
diharapkan. Jika primer dengan konsentrasi yang rendah, proses PCR tidak dapat
berjalan secara efisien, karena hasil amplifikasi yang diperoleh akan sangat
sedikit. Primer akan membentuk jembatan hidrogen dengan cetakan pada daerah
sekuen yang komplementer dengan sekuen primer. Suhu 55 0C yang digunakan
untuk penempelan primer pada dasarnya merupakan kompromi. Amplifikasi akan
lebih efisien jika dilakukan pada suhu yang lebih rendah (37 0C), tetapi biasanya
akan terjadi mispriming yaitu penempelan primer pada tempat yang salah
(Yuwono 2006b). Suhu annealing merupakan langkah yang kritis pada proses
amplifikasi. Jika suhu annealing terlalu rendah akan menghasilkan amplifikasi
yang tidak spesifik sedangkan jika temperatur terlalu tinggi maka tidak terjadi
amplifikasi (Karusanagar et al. 1999)
Pada tahap ekstensi (pemanjangan) enzim Taq polimerase memulai
aktivitas memperpanjang DNA primer dari ujung 3’. Kecepatan penyusunan
nukleotida oleh enzim tersebut pada suhu 72 0C diperkirakan antara 35 sampai 45
nukleotida per detik. Pada akhir siklus PCR, waktu yang digunakan diperpanjang
sampai lima menit sehingga seluruh produk PCR diharapkan berbentuk DNA utas
ganda (Muladno 2002).
Proses denaturasi, penempelan, ekstensi merupakan satu siklus. Suhu
denaturasi dan ekstensi bersifat permanen, masing-masing pada 95 0C dan 72 0C,
sedangkan suhu penempelan primer bergantung pada panjang-pendeknya primer
(Muladno 2002).
Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan dalam PCR antara lain
deoksiribonukleotida triphosphat (dNTP), oligonukleotida primer, DNA cetakan,
komposisi larutan buffer, jumlah siklus reaksi, enzim yang digunakan, dan faktor
teknis dan non teknis. Keunggulan metode PCR adalah kemampuannya dalam
melipatgandakan suatu fragmen DNA sehingga dapat mencapai 109 kali lipat.
Kontaminasi fragmen DNA dalam jumlah sangat sedikit sekalipun dapat
13 menyebabkan terjadinya kesalahan yaitu produk amplifikasi yang tidak diinginkan
(Yuwono 2006b).
Tabel 1 Marker molekuler dengan tingkat identifikasi
Kingdo
m
Filum
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
A. DNA inti
SSU
LSU
5.8S
IGS
ITS
Rhodopsin
B. DNA
mitokondri
a
1. RNA
ribosom
12SrRNA
16SrRNA
2. Protein
3. Coding gen
ND 1
ND 2
CO I
CO II
Sitokrom b
Control Region
Sumber : Dwiyitno (2008)
2.6 Elektroforesis
Elektroforesis merupakan suatu teknik pemisahan molekuler berdasarkan
ukurannya, dengan menggunakan medan listrik yang dialirkan pada suatu medium
yang mengandung sampel yang akan dipisahkan. Teknik ini dapat digunakan
dengan memanfaatkan muatan listrik yang ada pada makromolekul, misalnya
DNA yang bermuatan negatif. Jika molekul yang bermuatan negatif dilewatkan
melalui suatu medium, misalnya gel agarosa, kemudian dialiri arus listrik dari satu
kutub ke kutub yang berlawanan muatannya, maka molekul tersebut akan
14 bergerak dari kutub negatif
ke kutub positif. Teknik elektroforesis dapat
digunakan untuk analisis DNA, RNA, maupun protein. Elektroforesis dilakukan
dengan melihat ukuran melalui gel agarosa, yaitu suatu bahan semi-padat berupa
polisakarida yang dilarutkan dalam suatu buffer (Yuwono 2005a). Pada Tabel 2
dapat dilihat konsentrasi agarosa yang digunakan dengan DNA yang akan diukur
(Muladno 2002) Tabel 2 Konsentrasi agarosa dengan ukuran DNA yang akan di ukur
Konsentrasi agarosa dalam gel (%)
0,3
0,6
0,7
0,9
1,2
1,5
2,0
Sumber : Muladno (2002)
Ukuran DNA yang dapat dianalisis (kb)
5-60
1-20
0,8-10
0,5-7
0,4-6
0,2-3
0,1-2
DNA yang telah dimasukkan ke dalam gel akan bermigrasi. Suatu gel
merupakan suatu jaring-jaring kompleks. Molekul-molekul DNA bergerak
melalui gel dengan kecepatan yang berbeda tergantung ukurannya. Molekul DNA
yang kecil dapat dengan mudah melewati gel karena bergerak lebih cepat
dibandingkan molekul yang lebih besar. Gel agarosa digunakan untuk
memisahkan fragmen-fragmen DNA yang ukurannya mulai dari ratusan sampai
sekitar 20.000 pasangan basa sedangkan poliakrilamida untuk fragmen-fragmen
DNA yang lebih kecil (Old dan Primose 1989).
2.7 PCR sequencing
PCR merupakan suatu proses melipatgandakan suatu DNA sehingga menjadi
ribuan salinan. PCR sequencing merupakan suatu metode berbasis PCR yang
bertujuan menentukan urutan nukleotida. Pada dasarnya, ada dua metode yang
telah dikembangkan untuk sekuensing DNA, yaitu metode Maxam-Gilbert dan
metode Sanger. Metode Maxam-Gilbert melibatkan proses degradasi kimiawi
terhadap fragmen DNA yang akan disekuens sedangkan metode Sanger tidak
menggunakan pendekatan degradasi fragmen DNA secara kimiawi tetapi
15 menggunakan pendekatan sintesis molekul DNA baru dan pemberhentian sintesis
tersebut pada basa tertentu (Muladno 2002). Metode Sanger diawali dengan
proses PCR yang dibagi tiga bagian yaitu denaturasi, annealing, dan elongasi.
Komponen
lain
yang
ditambahkan
adalah
ddNTP
(dideoxynucleoside
triphosphate). Komponen ddNTP terdiri dari komponen dideoxyadenosine,
dideoxycytidine, dideoxyguanidine, dan dideoxythymidine triphosphate. Jika salah
satu dari komponen ddNTP bereaksi dengan salah satu komponen dNTP maka
sintesis DNA tidak dapat terjadi (Barnum 2005).
PCR sekuensing merupakan metode untuk mengetahui urutan basa
nukleotida. Beberapa metode lain yang berbasis PCR yaitu multiplex PCR,
RAPD, PCR-RFLP, PCR-SSCP, real time PCR dan PCR lab-on-chip (Gill 2007).
Download