PERANAN MEDIA MASSA DAN OPINI PUBLIK DALAM MEMBANGUN ISU-ISU KONTROVERSIAL Oleh I Gede Titah Pratyaksa Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Atmajaya – Yogyakarta Email: [email protected] ABSTRAK Opini artinya dalam bahasa Indonesia adalah pendapat. Pendapat adalah pandangan seseorang mengenai sesuatu. Jadi, pendapat adalah subjektif. Oleh karena itu, pendapat adalah evaluasi, penilaian, dan bukan fakta. Publik adalah sejumlah orang yang berminat dan merasa tertarik terhadap sesuatu masalah dan berhasrat mencari sesuatu jalan keluar dan mewujudkan tindakan yang konkret. Media massa merupakan media yang diperuntukkan untuk massa. Dalam ilmu jurnalistik, media massa yang menyiarkan berita atau informasi disebut juga dengan istilah pers. Peranan media massa dan opini publik mempunyai hubungan yang erat di dalam melahirkan isu-isu yang kontroversial. Dalam tulisan ini diangkat pidato Prisiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, tanggal 1 September 2010 di Markas TNI, Cilangkap, Jakarta Timur mengenai hubungan Indonesia dan Malaysia. Media massa mem-blow up secara terus-menerus disertai dengan kritikan yang pedas terhadap presiden SBY. Kata Kunci: Opini public, media massa, teori komunikasi, isu controversial ABSTRACT Opinion in Indonesian means is opinion. The opinion is a person's view on something. So, opinions are subjective. Therefore, the opinion of the evaluation, assessment, and not fact. Public is the number of people who are interested and feel attracted to something of a problem and the desire to find something way out and realize concrete actions. The mass media is a media that cater to the masses. In science journalism, mass media broadcast news or information is also called the press. The role of the mass media and public opinion have a close relationship in the birth of the controversial issues. In this paper raised Prisiden speech Susilo Bambang Yudhoyono, on 1 September 2010 at the Headquarters of the TNI, Cilangkap, East Jakarta on relations between Indonesia and Malaysia. The media blow up constantly accompanied by a scathing criticism against President SBY. Keywords: public opinion, mass media, communication theory, controversial issues I. PENDAHULUAN Sejarah opini publik muncul bersamaan dengan traktat yang dikeluarkan oleh Roussseau yang memperkenalkan konsep general will, yang kadang dipertukarkan dengan istilah l’opinion publique atau opini publik. Opini artinya dalam bahasa Indonesia adalah pendapat. Pendapat adalah pandangan seseorang mengenai sesuatu. Jadi, pendapat adalah subjektif. Oleh karena itu, pendapat adalah evaluasi, penilaian, dan bukan fakta. Publik adalah sejumlah orang yang berminat dan merasa tertarik terhadap sesuatu masalah dan berhasrat mencari sesuatu jalan keluar dan mewujudkan tindakan yang konkret. Perkataan publik melukiskan kelompok manusia yang berkumpul secara spontan dengan syarat-syarat (1) dihadapi oleh suatu persoalan (isu); (2) berbeda pendapat mengenai persoalan (isu); (3) sebagai akibat keinginan mengadakan diskusi dengan mencari jalan keluar. Menurut Olii (2007:20), publik lebih merupakan kelompok yang tidak merupakan kesatuan. Interaksi terjadi secara tidak langsung melalui alat-alat komunikasi, seperti pembicaraan-pembicaraan pribadi yang berantai, melalui desas-desus, melalui surat kabar, radio, televise dan film. Ala-alat penghubung ini memungkinkan “publik” mempunyai pengikut yang lebih luas dan lebih besar jumlahnya. Publik dapat didefinisikan sebagai sejumlah orang yang mempunyai minat, kepentingan, atau kegemaran yang sama. Oleh karena itu, opini publik sendiri menurut William Albiq (dalam Olii 2007:20) adalah suatu jumlah dari pendapat individuindividu yang diperoleh melalui perdebatan dan opini publik merupakan hasil interaksi antar individu dalam suatu publik. Jika dilihat dari segi ilmu komunikasi, opini publik merupakan tindakan komunikasi yang mana membawa persoalan kepada orang-orang dengan harapan akan memperoleh tanggapan atau umpan balik. Sedangkan media massa sendiri muncul pada tahun 1900-an diikuti oleh satu pola perkembangan industri yang diduplikasi, mengikuti setiap “revolusi” berikutnya dalam teknologi media. Setiap kemunculan teknologi media baru mengganggu stabilitas media yang sudah ada, memaksa dilakukannya restrukturisasi dalam skala luas dan terjadinya perubahan yang cepat (Davis & Baran: 61). II. PEMBAHASAN 2.1 Media Massa Pengertian media massa menurut Sudarman (2008:5-6), media massa merupakan media yang diperuntukkan untuk massa. Dalam ilmu jurnalistik, media massa yang menyiarkan berita atau informasi disebut juga dengan istilah pers. Menurut Undang-Undang (UU) Pokok Pers pasal 1 ayat (1), pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengelola dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis data yang tersedia. Misi yang diemban dan dilaksanakan oleh pers atau media massa adalah ikut mengamankan, menunjang, dan menyukseskan pembangunan nasional. Fungsi media massa menurut Sudarman (2008:7-8) antara lain menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertait), mempengaruhi (to influence), memberikan respon sosial (to social responbility), dan penghubung (to linkage). Menginformasikan di sini adalah media massa merupakan tempat untuk menginformasikan peristiwa-peristiwa atau hal-hal penting yang perlu diketahui oleh khalayak. Selanjutnya adalah mendidik yang mana berarti tulisan di media massa dapat mendorong perkembangan intelektual, membentuk watak dan dapat meningkatkan keterampilan serta kemampuan yang dibutuhkan para pembacanya. Media massa juga bisa berfungsi untuk menghibur di mana media massa dapat memberikan hiburan atau rasa senang kepada pembacanya atau khalayak. Selain menghibur, media massa juga dapat mempengaruhi di mana pengaruhnya dapat bersifat pengetahuan, perasaan, maupun tingkah laku. Selai itu, media massa juga dapat memberikan respon sosial di mana media massa dapat menanggapi fenomena dan situasi sosial atau keadaan sosial yang terjadi. Dan yang terakhir adalah media massa dapat menghubungkan unsur-unsur yang ada dalam masyarakat yang tidak bisa dilakukan secara langsung ataupun tak langsung. Adapun bentuk dari media massa itu sendiri bermacam-macam, antara lain bisa dalam bentuk cetak (Surat Kabar, Majalah, Tabloid, Buku, dll) ataupun dalam bentuk media elektronik (TV, Radio, Internet, dll). 2.2. Media Massa dan Opini Publik Terkait dengan media massa dan opini publik, salah satu kasus yang penulis angkat adalah pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 1 September 2010 di Markas TNI, Cilangkap, Jakarta Timur mengenai hubungan Indonesia dan Malaysia yang kini semakin memanas. Media massa mempunyai kekuatan yang sangat besar di dalam membentuk opini publik masyarakat mengenai Malaysia. Isu-isu kontroversial pun terjadi di tengah masyarakat mengenai pidato SBY tersebut. Ada beberapa di antara mereka yang menentang atas ketidaksetujuan mereka terhadap pidato Presiden SBY tersebut, seperti halnya demo yang dilakukan oleh Laskar Merah Putih di depan Gedung DPRD Kabupaten Bogor pada tanggal 2 September 2010. Mereka tidak setuju dengan pidato SBY tersebut karena mereka menganggap pidato SBY tersebut tidak tegas di dalam menanggapi konflik yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia. “NKRI itu adalah harga mati karena itu kami mendesak pemerintah RI untuk secepatnya melakukan pemutusan hubungan diplomatik dengan Malaysia” ujar Max Nicolas, ketua Laskar Merah Putih Kabupaten Bogor. Selain itu, LSM Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) pada tanggal 1 September 2010 malam juga menggelar demonstrasi yang mana mereka tidak setuju dengan pidato SBY tersebut. “SBY hanya mementingkan kepentingan Malaysia, kepentingan negara sendiri dilupakan” teriak Bonaventura, orator LSM Bendera. Beberapa pakar diantaranya adalah pengamat politik luar negeri UI, Zainuddin Djafar mengatakan bahwa pemerintah Indonesia terlihat tidak pernah mengambil tindakan serius untuk menegakkan politik luar negeri ini. “Postur politik luar negeri ini kesannya sebagai konteks pelengkap penderita. Pejabat banyak bicara politik luar negeri ke sana kemari, tapi ternyata kita tetap kebobolan,” ujar guru besar FISIP UI tersebut. Selain itu Ketua Dewan Direktur Sabang-Merauke Circle (SMC) Syahganda Nainggolan juga mengaku heran mengapa dalam mengupayakan penyelesaian diplomatik dengan Malaysia, SBY seperti kurang percaya diri serta hanya berkeinginan melaksanakan diplomasi prosedural. "Bukan diplomasi bermartabat yang dikerahkan secara luar biasa, sehingga bangsa kita tidak lagi direndahkan Malaysia," katanya. Selain itu, ada pula yang mendukung pidato SBY tersebut. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa memuji pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dia menilai pidato tersebut sebagai ketegasan diplomasi Indonesia. “Pidato itu menggambarkan kita sebagai bangsa yang besar,” ujar Menteri Hatta kepada wartawan di Gedung Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta (2/9). Selain itu, menurut Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso menilai pidato SBY tersebut sudah tepat. “Sudah jelas menerangkan sikap kita tetap menjaga kedaulatan tapi dengan cara diplomasi,” ujarnya. Menilik isu-isu kontroversial yang tertuang di atas, peranan media massa di dalam membentuk opini publik sangatlah besar. Tanpa adanya media massa, opini publik tidak akan dapat terbentuk dan dipublikasikan ke khalayak umum. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menelaah lebih dalam peranan media massa dan opini publik di dalam membangun isu-isu yang kontroversial di dalam masyarakat. 2.3. Kerangka Teori Menilik isu-isu kontroversial mengenai pidato SBY tersebut, penulis menggunakan teoriteori yang berkaitan dengan isu-isu tersebut, di antaranya adalah teori Lasswell, teori analisis kultivasi, dan teori agenda setting. Teori Lasswell yakni “Who, Says What, In Which Channel, To Whom, With What Effect”. Teori ini mengisyaratkan bahwa lebih dari satu saluran dapat membawa pesan. Unsur sumber (who) merangsang pertanyaan mengenai pengendalian pesan (misalnya oleh ”penjaga gerbang), sedangkan unsur pesan (says what) merupakan bahan untuk analisis isi. Saluran komunikasi (in which channel) dikaji di dalam analisis media. Unsur penerima (to whom) dikaitkan dengan analisis khalayak, sementara unsur pengaruh (with what effect) jelas berhubungan dengan studi mengenai akibat yang ditimbulkan peran komunikasi massa pada khalayak pembaca, pendengar atau pemirsa (Mulyana, 2007:147-148). Sedangkan Teori yang kedua adalah teori Analisis Kultivasi dikemukakan oleh Gerbner (1969). Teori ini adalah teori yang memprediksikan dan menjelaskan formasi dan pembentukan jangka panjang dari persepsi, pemahaman, dan keyakinan mengenai dunia sebagai akibat dari konsumsi akan pesan-pesan media. Analisis Kultivasi berkembang dengan dua perspektif, yakni perspektif transmisional dan perspektif ritual. Perspektif transmisional adalah posisi yang menggambarkan media sebagai pengirim pesan-pesan ke seluruh penjuru ruang. Sedangkan perspektif ritual adalah posisi yang menggambarkan media sebagai pembawa representrasi mengenai keyakinan yang dimiliki bersama (West dan Turner, 2008:82-83). Dan yang terakhir adalah teori Agenda Setting. Teori agenda setting model menurut Ardianto, Komala, dan Karlinah, 2009:77) menekankan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media pada suatu persoalan tersebut, Dengan kata lain, apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting juga oleh masyarakat. Apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat. Adapun efek dari agenda setting model terdiri atas efek langsung dan efek tidak langsung. Efek langsung berkaitan dengan isu: apakah isu itu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak; dari semua isu, mana yang dianggap paling penting menurt khalayak; sedangkan efek lanjutan berupa persepsi (pengetahuan tentang peristiwa tertentu) atau tindakan. 2.4. Pembahasan Masalah Menilik tiga teori di atas, penulis akan membahas satu persatu terkait dengan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 1 September 2010 di Markas TNI, Cilangkap, Jakarta Timur mengenai hubungan Indonesia dan Malaysia yang kini semakin memanas. Jika di telaah menggunakan teori Lasswell, yakni ada unsur sumber (who) merangsang pertanyaan mengenai pengendalian pesan (dalam hal ini adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), sedangkan unsur pesan (says what) merupakan bahan untuk analisis isi, dalam hal ini adalah pidato yang disampaikan oleh SBY berisikan tentang penyelesaian masalah Indonesia Malaysia melalui jalur diplomasi. Di dalam pidato presiden sendiri terdapat beberapa hal yang dirundingkan di dalam penyelesaian masalah yang mana pemerintah Indonesia mengambil jalur diplomasi tersebut, diantaranya pertama, Indonesia dan Malaysia mempunyai hubungan sejarah, budaya dan kekerabatan yang sangat erat - dan mungkin yang paling erat dibanding negaranegara lain, dan sudah terjalin selama ratusan tahun. Kedua, hubungan Indonesia dan Malaysia adalah pilar penting dalam keluarga besar ASEAN. ASEAN bisa tumbuh pesat selama empat dekade terakhir ini, antara lain karena kokohnya pondasi hubungan bilateral Indonesia-Malaysia. Ketiga, ada sekitar (2) juta saudara-saudara kita yang bekerja di Malaysia-di perusahaan, di pertanian, dan di berbagai lapangan pekerjaan. Ini adalah jumlah tenaga kerja Indonesia yang terbesar di luar negeri. Tentu saja keberadaan tenaga kerja Indonesia di Malaysia membawa keuntungan bersama, baik bagi Indonesia maupun Malaysia. Sementara itu, sekitar 13,000 pelajar dan mahasiswa Indonesia belajar di Malaysia, dan 6,000 mahasiswa Malaysia belajar di Indonesia. Ini merupakan asset bangsa yang harus terus kita bina bersama, dan juga modal kemitraan di masa depan. Wisatawan Malaysia yang berkunjung ke Indonesia adalah ketiga terbesar dengan jumlah 1,18 juta orang, dari total 6,3 juta wisatawan mancanegara. Investasi Malaysia di Indonesia 5 tahun terakhir (2005-2009) adalah 285 proyek investasi, berjumlah US$ 1.2 miliar, dan investasi Indonesia di Malaysia berjumlah US$ 534 juta. Jumlah perdagangan kedua negara telah mencapai US$ 11,4 Miliar pada tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan ekonomi Indonesia – Malaysia sungguh kuat. Saluran komunikasi (in which channel) dikaji di dalam analisis media, dalam hal ini, banyak media massa yang meliput pidato SBY tersebut, baik melalui TV, Radio, Internet, Surat Kabar, dan Majalah. Unsur penerima (to whom) dikaitkan dengan analisis khalayak, antara lain masyarakat Indonesia khususnya, dan masyarakat luar negeri umumnya. Sementara unsur pengaruh (with what effect) jelas berhubungan dengan studi mengenai akibat yang ditimbulkan peran komunikasi massa pada khalayak pembaca, pendengar atau pemirsa, seperti halnya demo yang dilakukan oleh Laskar Merah Putih di depan Gedung DPRD Kabupaten Bogor dan Demonstrasi LSM Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) di maskar LSM Bendera, Jalan Diponegoro 58, Jakarta (1/9/2010) yang mana menentang isi pidato SBY tersebut, pengamat politik luar negeri UI, Zainuddin Djafar mengatakan bahwa pemerintah Indonesia terlihat tidak pernah mengambil tindakan serius untuk menegakkan politik luar negeri ini, Ketua Dewan Direktur Sabang-Merauke Circle (SMC) Syahganda Nainggolan mengatakan bahwa SBY seperti kurang percaya diri di dalam menyelesaikan permasalahan Indonesia dan Malaysia. Sedangkan jika dilihat dari teori analisis kultivasi (West dan Turner, 2008:82-83) yang mana dikemukakan oleh Gerbner (1969), adalah teori yang memprediksikan dan menjelaskan formasi dan pembentukan jangka panjang dari persepsi, pemahaman, dan keyakinan mengenai dunia sebagai akibat dari konsumsi akan pesan-pesan media. Analisis Kultivasi berkembang dengan dua perspektif, yakni perspektif transmisional dan perspektif ritual. Perspektif transmisional adalah posisi yang menggambarkan media sebagai pengirim pesan-pesan ke seluruh penjuru ruang, misalnya Internet (blog-blog) memberitakan pidato Presiden SBY yang tidak tegas di dalam menangani kasus Indonesia Malaysia. Internet bisa diakses oleh seluruh masyarakat dunia, sehingga dapat dikatakan dalam hal ini media sebagai pengirim pesan-pesan ke seluruh penjuru dunia. Sedangkan perspektif ritual adalah posisi yang menggambarkan media sebagai pembawa representasi mengenai keyakinan yang dimiliki bersama, misalnya Metro TV memberitakan secara terus menerus bahwa pidato SBY mengecewakan di mana dalam hal ini Metro TV mengutip pernyataan dari Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Hanura Akbar Faisal. Dari pemberitaan secara terus-menerus tersebut oleh Metro TV, masyarakat secara tidak langsung akan meyakini bahwa berita tentang pidato SBY tersebut merupakan keyakinan yang dimiliki bersama, apalagi bagi masyarakat yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, maka dengan adanya pemberitaan tersebut, mereka akan dengan mudah terpancing amarah dan setuju dengan pemberitaan yang dinyatakan oleh Metro TV tersebut. Terdapat 3 asumsi Analisis Kultivasi di mana teori ini didasarkan pada televisi, ketiga asumsi ini menyatakan hubungan antara media dan budaya. Adapun asumsi yang pertama adalah Televisi, secara esensi dan fundamental, berbeda dengan bentuk-bentuk media massa lainnya. Di sini televisi telah berhasil memadukan antara gambar dan suara di dalam memberikan informasi kepada masyarakat. Televisi merupakan pencerita budaya yang utama dan memiliki kemampuan untuk mengumpulkan kelompok-kelompok yang berbeda. Seperti halnya, dengan SBY menyampaikan pernyataannya melalui pidato untuk menyelesaikan masalah antara Indonesia dan Malaysia, banyak terjadi isu-isu yang kontroversial. Dari isu-isu yang kontroversial tersebut, terbentuk kelompok-kelompok yang menentang ataupun mendukung pidato SBY tersebut, sepertihalnya yang menentang adalah demo yang dilakukan oleh Laskar Merah Putih di depan Gedung DPRD Kabupaten Bogor dan Demonstrasi LSM Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) di maskar LSM Bendera, pernyataan tidak setuju dari Zainuddin Djafar (pengamat politik luar negeri UI) dan Syahganda Nainggolan (Ketua Dewan Direktur Sabang-Merauke Circle / SMC). Sedangkan yang mendukung beberapa diantaranya adalah Hatta Rajasa (Menteri Koordinator Perekonomian) dan Jenderal Djoko Santoso (Panglima TNI). Oleh karena itu, dengan adanya pengunggulan ini akan terjadi pembentukan kelompok-kelompok yang berbeda (kelompok penentang ataupun pendukung) di dalam masyarakat. Asumsi yang kedua adalah televisi membentuk cara berpikir dan membuat kaitannya dari masyarakat kita, dengan pemberitaan mengenai pidato SBY tersebut yang tidak tegas, maka secara tidak langsung pemikiran masyarakat akan dengan mudahnya terbentuk, seperti halnya masyakarat Indonesia masih memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, oleh karena itu, dengan adanya pidato presiden yang adem-ayem tersebut, sudah barang tentu masyarakat Indonesia tidak hanya tinggal diam, mereka menganggap presiden tidak memperhatikan rasa nasionalisme masyarakat Indonesia, sehingga mereka melakukan demonstrasi di berbagai tempat yang menentang pidato presiden tersebut. Asumsi yang ketiga adalah pengaruh dari televisi terbatas, seperti halnya dengan adanya pemberitaan bahwa pidato SBY itu tidak tegas ataupun adem ayem, belum tentu semua orang akan menyetujui apa yang diberitakan oleh televisi tersebut. Buktinya beberapa orang malah mendukung pidato SBY tersebut, seperti halnya Hatta Rajasa dan Jenderal Djoko Santoso. Selain itu, proses kultivasi terjadi di dalam dua cara, yakni yang pertama adalah Pengarusutamaan. Pengarusutamaan adalah kecendrungan bagi para penonton kelas berat untuk menerima realitas budaya dominan yang mirip dengan yang ditampilkan di televisi walaupun hal ini sebenarnya berbeda dengan keadaan yang sesungguhnya, misalnya penonton kelas berat berpendapat bahwa pidato SBY adalah tidak tegas dan buruk. Padahal belum tentu pidato SBY tersebut tidak tegas. Mereka sangat percaya bahwa pidato SBY tersebut tidak jelas akibat dari pemberitaan yang secara terus-menerus oleh televisi terhadap pidato SBY. Proses yang kedua adalah Resonansi. Resonansi dapat terjadi ketika hal-hal di dalam televisi, dalam kenyataannya, kongruen dengan realitas keseharian para penonton, misalnya pidato SBY dikatakan tidak tegas, dan pada kenyataannya memang tidak tegas, hal itu dilihat dari tidak adanya tindakan tegas SBY di dalam menyelesaikan masalah dengan negara Malaysia, padahal sebelumnya sudah banyak budaya Indonesia yang diklaim oleh Malaysia, namun Presiden tetap adem ayem, bahkan sampai penangkapan tiga petugas kementerian kelautan dan perikanan akibat sengketa wilayah antara Indonesia Malaysia, Presiden belum juga mengambil langkah tegas di dalam menyelesaikan secara tuntas permasalahan tersebut. Dan jika dilihat dari teori agenda setting (Ardianto, Komala, dan Karlinah, 2009:77) di mana teori ini menekankan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media pada suatu persoalan tersebut, Dengan kata lain, apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting juga oleh masyarakat. Apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat Sama seperti halnya pidato SBY, ketika media massa mem-blow up pidato tersebut, banyak masyarakat yang secara ”pedas” mengomentari, adapula yng setuju dengan pidato SBY tersebut. Yang mengomentari secara pedas seperti yang telah dipaparkan di bagian awal, yakni ada Zainuddin Djafar (pengamat politik luar negeri UI), Max Nicolas (Ketua Laskar Merah Putih Kabupaten Bogor), Bonaventura (Orator LSM Benteng Demokrasi Rakyat / Bendera), Syahganda Nainggolan (Ketua Dewan Direktur Sabang-Merauke Circle / SMC). Selain itu, ada pula yang mendukung pidato SBY tersebut, beberapa diantaranya adalah Hatta Rajasa (Menteri Koordinator Perekonomian) dan Jenderal Djoko Santoso (Panglima TNI). Teori agenda setting model terdiri atas efek langsung dan efek tidak langsung. Efek langsung berkaitan dengan isu: apakah isu itu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak; dari semua isu, mana yang dianggap paling penting menurut khalayak. Dalam hal ini, banyak isu-isu yang beredar di media massa selain isu pidato SBY tersebut, seperti isu bibit-chandra, kasus Anggodo, Reposisi Kapolri dan Jaksa Agung, Kasus Susno Duadji dan AH Ritonga, ataupun kasus pengucuran dana talangan yang dilakukan oleh Boediono, Sri Mulyani, Raden Pardede, Firdaus Jaelani. Dari beberapa isu-isu tersebut, pidato SBY yang paling banyak direspon oleh masyarakat, karena itu terkait dengan rasa nasionalisme yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia di mana ”harga diri” Indonesia sendiri telah diinjak-injak oleh Malaysia, bukan hanya karena penangkapan tiga petugas kementerian kelautan dan perikanan, namun juga karena kasus-kasus sebelumnya, seperti Malaysia juga pernah mengklaim batik, tari pendet, ataupun reog ponorogo sebagai hak milik Malaysia. Tentu dengan SBY ”mengumandangkan” pidatonya tersebut pada tanggal 1 September 2010, banyak masyarakat yang geram dan menentang pidato SBY tersebut. Mereka benar-benar tidak bisa menerima apa yang dinyatakan oleh Presiden SBY tersebut. Dari sini, isuisu selain pidato SBY tersebut tidak akan terlalu diperhatikan oleh masyarakat, karena kasus- kasus tersebut tidak terlalu di blow up oleh media massa, dan kasus-kasus tersebut juga tidak mengandung unsur nasionalisme sehingga masyarakat tidak terlalu memperhatikan isu-isu tersebut. Sedangkan efek lanjutan berupa persepsi (pengetahuan tentang peristiwa tertentu) atau tindakan. Dalam hal ini banyak masyarakat mengetahui bahwa SBY adalah presiden yang tidak tegas di dalam menyelesaikan masalah Indonesia-Malaysia, malah cenderung SBY mencari aman, padahal harga diri bangsa Indonesia telah diinjak-injak oleh Malaysia, tapi SBY tetap saja adem ayem. Sedangkan jika dilihat dari segi tindakan, pidato SBY tersebut ditentang oleh masyarakat, sepertihalnya demonstrasi yang dilakukan oleh Max Nicolas (Ketua Laskar Merah Putih Kabupaten Bogor) yang mana meminta agar hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia diputuskan. Selain itu, Bonaventura (Orator LSM Benteng Demokrasi Rakyat / Bendera) menyatakan bahwa SBY lebih mementingkan Malaysia dibandingkan negara Indonesia sendiri, padahal sudah jelas-jelas harga diri bangsa Indonesia telah diinjak-injak oleh Malaysia. Selain tiga teori di atas, terkait dengan opini publik, menurut James Lull (dalam Olii 2007:108-113), citra seseorang atau lembaga dapat diukur melalui opini publik. Adapun yang pertama adalah opini publik dapat membentuk citra baru. James Luul, menganjurkan untuk membentuk citra baru lebih baik menggunakan media televisi. Mengutip George Gerbner dan Larry Gross, televisi merupakan alat yang mapan dan berfungsi menyampaikan dan mempertahankan, bukan mengubah, mengancam atau melemahkan keyakinan. Seperti halnya pada pidato SBY yang diberitakan oleh media televisi, di dalam hal ini SBY berusaha untuk membentuk citranya sebagai Presiden yang cinta damai, dalam hal ini berarti Presiden ingin diketahui oleh masyarakat bahwa dia presiden yang bijaksana ataupun berwibawa, sedangkan dilihat dari segi luar, SBY ingin menunjukkan bahwa Indonesia di dalam menyelesaikan masalah dengan Malaysia tidak melalui jalan perang, sehingga ”langkah” yang diambil SBY menjadi sorotan negara-negara lain di seluruh belahan dunia, sehingga dari sini, citra SBY sebagai Presiden Indonesia akan semakin ”berkibar”. Yang kedua adalah mempertahankan citra yang sudah terbangun. SBY sebagai presiden RI telah banyak membuat suatu perubahan, diantaranya SBY berhasil memberantas korupsi yang terjadi di Indonesia, harga BBM sudah stabil, dan selain itu para teroris juga telah banyak tertangkap sejak kepemimpinannya. Untuk mempertahankan prestasinya tersebut, SBY di dalam menyelesaikan masalahnya dengan Malaysia juga dengan cara diplomasi, atau dengan kata lain dengan jalan damai. Dengan cara menyelesaikan masalah seperti itu, secara ”halus” SBY mempertahankan citranya sebagai Presiden yang bijaksana dan berwibawa dihadapan publik, sehingga banyak masyarakat yang masih kagun akan kepemimpinannya. Yang ketiga adalah memperbaiki citranya yang terpuruk. Kasus meledaknya tabung gas Elpiji 3 kg secara tidak langsung telah menghujam nama SBY sebagai presiden di mana tidak becus di dalam mengurus hal-hal kecil tersebut, selain itu juga kasus pengklaiman budaya Indonesia oleh Malaysia yang tidak selesaikan secara tuntas. Oleh karenanya, dengan pidato SBY yang ”halus” tersebut, SBY berusaha memperbaiki secara perlahan citranya yng sempat terpuruk, sehingga rakyat dibimbing secara perlahan untuk melihat karakter SBY yang terpuruk tersebut menjadi tidak terpuruk lagi. Yang keempat adalah menguatkan citra karena pesaing, dalam hal ini banyak pesaing yang iri akan keberhasilan presiden SBY di dalam memimpin Negara RI., seperti halnya mantan Presiden Megawati, ataupun tokoh-tokoh lainnya yang iri akan keberhasilan SBY tersebut. Oleh karenanya SBY secara ”halus” mengumandangkan pidato tersebut kehadapan publik, di mana secara perlahan SBY ingin menunjukkkan kepada rakyat bahwa SBY adalah presiden yang bijaksana dan berwibawa di dalam menyelesaikan masalah. Dan yang terakhir adalah menguatkan atau mempertahankan citra ketika berada di puncak. Dalam hal ini SBY yang telah terpilih untuk kedua kalinya sebagai Presiden RI bersama Boediono sebagai wakil Presiden, sebelumnya bersama Jusuf Kalla sebagai wakil presidennya, sudah tentu ini merupakan puncak dari popularitas SBY sebagai Presiden RI, apalagi SBY juga dipilih secara langsung oleh rakyat. Tentu puncak kepopularitasan SBY ini tidak disia-siakan oleh SBY, dan untuk mempertahankan puncak popularitasnya tersebut, SBY menyampaikan pidato secara halus di dalam menyelesaikan masalah Indonesia Malaysia, sehingga dari sana puncak popularitas SBY tidak menurun atau tetap ”berkibar”. III. SIMPULAN Menilik paparan serta pembahasan masalah di atas dapat ditarik benang merah di mana peranan media massa dan opini publik mempunyai hubungan yang erat di dalam melahirkan isuisu yang kontroversial. Terkait dengan isu pidato SBY tersebut, media massa mem-blow up secara terus-menerus disertai dengan kritikan yang pedas terhadap presiden SBY. Dari pemberitaan secara terus menerus tersebut, didukung pula dengan pernyataan dari para ahli di media massa yang tidak setuju ataupun setuju dengan pidato SBY tersebut, membuat opini publik terbentuk, dalam hal ini terbentuk opini publik yang kuat yakni opini yang mengatakan bahwa pidato SBY tersebut tidak tegas dan SBY sebagai presiden tidak mampu menyelesaikan masalah secara tuntas, walaupun dalam hal ini ada yang setuju dengan pidato SBY tersebut, tapi oleh media massa tidak terlalu diperhatikan karena adanya beberapa faktor yang terkait seperti faktor politik, membangun dan menjaga citra, faktor ekonomi, ataupun faktor sosial lainnya. Dari sini lahirlah isu-isu yang kontroversial disertai tindakan-tindakan anarkis seperti halnya demonstrasi sehingga membangkitkan rasa nasionalisme masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dan mempunyai kedudukan di mata dunia. DAFTAR PUSTAKA Ardianto, Komala dan Karlina. 2009. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Baran, Stanley J. dan Dennis K. Davis. 2010. Teori Dasar, Komunikasi Pergolakan, Dan Masa Depan Massa. Jakarta. Salemba Humanika. Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung. Remaja Rosdakarya Offset. Olii, Helena. 2007. Opini Publik. Jakarta: Indeks Sudarman, Paryati. 2008. Menulis di Media Massa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Jakarta: Salemba Humanika BAHAN TAMBAHAN KASUS DARI INTERNET http://jajangy.blogspot.com/2010/09/pidato-sby-terkait-indonesia-dan.html http://www.detiknews.com/read/2010/09/01/215323/1433134/10/isi-lengkap-pidato-sby-soal-malaysia http://www.detiknews.com/read/2010/09/01/231852/1433149/10/demo-lsm-bendera-tanggapi-pidato-sbyricuh http://www.tempointeraktif.com/hg/layanan_publik/2010/09/02/brk,20100902-275866,id.html http://erabaru.net/top-news/37-news2/17086-pidato-sby-dibungkus-sopan-santun