Templat tesis dan disertasi

advertisement
5
TINJAUAN PUSTAKA
Program Pengembangan Desa Pesisir Tangguh
Program merupakan rencana kegiatan yang tersusun secara sistematis dan
dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu untuk mencapai tujuan. Program
didefinisikan sebagai unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau
implementasi dari kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan
dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang.
KKP (2013) mengemukakan bahwa program Pengembangan Desa Pesisir
Tangguh merupakan upaya pemerintah dalam penguatan ekonomi masyarakat
pesisir dan ketahanan desa terhadap bencana alam dan dampak perubahan iklim
yang diharapkan mampu memberikan daya dorong bagi kemajuan desa-desa
pesisir di Indonesia. Kegiatan PDPT merupakan salah satu bagian dari Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan yang
terintegrasi dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri di
bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Pengembangan Desa Pesisir Tangguh merupakan implementasi kebijakan
Presiden terkait peningkatan dan perluasan program pro-rakyat dan merupakan
wujud dari intervensi Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam menata desa
pesisir dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Menghasilkan
keluaran yang dapat memberikan manfaat riil bagi masyarakat pesisir, sesuai skala
prioritas kebutuhan masyarakat, pembelajaran bagi masyarakat pesisir untuk
menemukan cara pemecahan masalah secara mandiri, dan mendorong masyarakat
pesisir sebagai agen pembangunan. Program PDPT bertujuan untuk meningkatkan
kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana dan perubahan iklim, meningkatkan
kualitas lingkunagn hidup, meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat,
memfasilitasi kegiatan pembangunan dan/atau pengembangan sarana dan/atau
prasarana sosial ekonomi di desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil.
Fokus pengembangan kegiatan yakni: (1) Bina Manusia, yaitu kegiatan
yang mencakup peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam rangka
mendorong peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan meningkatkan
kapasitas kelembagaan masyarakat baik formal maupun informal, memperluas
dan meningkatkan kerjasama, memperbaiki budaya kerja, gotongroyong,
tanggung jawab, disiplin dan hemat serta menghilangkan sifat negatif boros dan
konsumtif, (2) Bina Usaha, yaitu kegiatan yang mencakup peningkatan
keterampilan usaha, perluasan mata pencaharian alternatif, pengelolaan bisnis
skala kecil dan penguasaan teknologi, (3) Bina Sumberdaya, yakni kegiatan yang
menitikberatkan pada upaya memperkuat kerifan lokal dalam pengelolaan
sumberdaya, revitalisasi hal ulayat dan hak masyarakat lokal, penerapan
monitoring, controlling dan surveillance dengan prinsip partisipasi masyarakat
lokal, penerapan teknologi ramah lingkungan, mendorong pengembangan
teknologi asli, merehabilitasi habitat, konservasi dan memperkaya sumberdaya,
(4) Bina lingkungan dan infrastruktur, yaitu kegiatan yang mencakup
pembangunan infrastruktur, rehabilitasi vegetasi pantai dan pengendalian
pencemaran melalui pendekatan perencanaan dan pembangunan secara spasial
dalam rangka mendorong peningkatan peran masyarakat pesisir dalam penataan
6
dan pengelolaan lingkungan sekitarnya, (5) Bina Siaga Bencana dan Perubahan
iklim, yaitu kegiatan yang mencakup usaha-usaha pengurangan risiko bencana
dan dampak perubahan iklim, rencana aksi desa dalam pengurangan risiko
bencana, penyadaran masyarakat, pembangunan sarana dan prasarana
penanggulan bencana (antara lain jalur evakuasi, shelter, struktur pelindung
terhadap bencana, fasilitas kesehatan, dan cadangan strategis) yang menekankan
pada partisipasi dan keswadayaan dari kelompok-kelompok sosial yang terdapat
pada masyarakat atau komunitas pesisir.
Karakteristik Masyarakat Pesisir
Wilayah pesisir merupakan sumberdaya potensial bagi bangsa Indonesia
yang terbentang sepanjang 81.000 km. Sumberdaya ini menyimpan kekayaan
alam yang besar dan beragam, seperti perikanan, hutan mangrove, rumput laut
dan terumbu karang memainkan peran penting bagi kehidupan penduduk sekitar,
dan ekonomi bangsa (Dahuri et al., 2008). Secara ilmiah Dahuri et al., (2008)
mendefinisikan pesisir sebagai daerah pertemuan antara darat dan laut. Ke arah
darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih
dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air
asin, sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh
proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar,
maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan
hutan dan pencemaran.
Wilayah pesisir memiliki karakteristik spesifik yang berbeda dengan
wilayah daratan. Pengelolaan ekosistem pesisir lebih menantang dibandingkan
dengan pengelolaan ekosistem di darat maupun di laut lepas. Hal ini dikarenakan
adanya sistem lingkungan alam yang kompleks, pemanfaatan yang sangat
beragam, dan kepemilikan. Di wilayah pesisir dan laut terdapat berbagai kegiatan
seperti konservasi, jasa wisata, pelayaran, dan transportasi, perikanan, industri
pertambangan, dan pencemaran lingkungan, sehingga dilihat dari berbagai macam
peruntukannya, wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat produktif
(Supriharyono 2000).
Masyarakat pesisir merupakan sekumpulan masyarakat yang hidup dan
mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas dan
bergantung pada pemanfaatan sumberdaya pesisir (Satria, 2002). Dalam kerangka
sosiologi, masyarakat pesisir memiliki karakterisik yang berbeda dengan
masyarakat agraris atau petani, perbedaan ini sebagian besar disebabkan karena
karakteristik sumberdaya yang menjadi input utama bagi kehidupan sosial
ekonomi mereka. Pola panen yang terkontrol memberikan petani pendapatan yang
dapat dikontrol. Sehingga hasil pangan atau ternak yang mereka miliki dapat
ditentukan untuk mencapai hasil pendapatan yang mereka inginkan, sehingga
relatif lebih mudah untuk diprediksi terkait dengan ekspetasi sosial ekonomi
masyarakat. Berbeda halnya dengan masyarakat pesisir yang mata pencahariannya
didominasi oleh nelayan, pendapatan yang mereka inginkan tidak bisa dikontrol.
Nelayan juga menghadapi sumberdaya yang bersifat open acces dan beresiko
tinggi. Hal tersebut menyebabkan masyarakat pesisir sepeti nelayan memiliki
karakter yang tegas, keras, dan terbuka.
7
Dahuri, (2003) mengemukakan bahwa pada umumnya masyarakat pesisir
merupakan kelompok masyarakat yang relatif tertinggal secara ekonomi, sosial
dan budaya dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Amanah (2010)
juga menyatakan bahwa masyarakat pesisir terutama nelayan kecil, masih terbelit
oleh persoalan kemiskinan dan keterbelakangan. Sejalan dengan pernyataan
tersebut, Astono (2010) mengemukakan bahwa masyarakat nelayan di wilayah
Pekalongan, secara sosial ekonomi masih kesulitan dalam memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari, di mana satu-satunya sumberdaya sosial ekonomi yang dapat
diandalkan adalah ketidakpastian mendapatkan penghasilan dari kegiatan melaut.
Ekosistem wilayah pesisir dan lautan dipandang dari dimensi ekologis
memiliki empat fungsi bagi kehidupan umat manusia yaitu (1) sebagai penyedia
sumberdaya alam, (2) penerima limbah, 3) penyedia jasa-jasa pendukung
kehidupan manusia (life support services), (4) penyedia jasa-jasa kenyamanan
(amenity services) (Bengen, 2001). Mengingat peran penting wilayah pesisir bagi
kehidupan, program PDPT hadir untuk memperhatikan dan memanfaatkan potensi
sumberdaya alam dan lingkungan pesisir melalui beberapa kegiatan program.
Diperkirakan wilayah yang dihuni oleh masyarakat dengan karakteristik keluarga
yang khas ini, merupakan tumpuan bagi masa depan masyarakat pesisir.
Sumberdaya pesisir merupakan lokasi bagi beberapa kegiatan
pembangunan antara lain: (1) budidaya maupun tangkapan; (2) pariwisata (3)
industri; (4) pertambangan; (5) perhubungan dan (6) kegiatan konservasi seperti
mangrove, terumbu karang, dan biota laut lainnya. Pemanfaatan sumber daya
pesisir secara optimal dan terkendali dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
lokal dan memberikan kesejahteraan masyarakat pesisir. Beberapa penelitian
mengungkapkan bahwa dalam mengelola sumberdaya pesisir masyarakat
cenderung tidak memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutannya,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Masydzulhak (2005), bahwa masih terjadi
eksploirasi dan eksploitasi terhadap pemanfatan sumberdaya pesisir yang
mengancam kapasitas keberlanjutan sumberdaya perikanan, selain itu berbagai
kasus pencemaran menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya pesisir belum
dilakukan secara optimal dan berkelanjutan.
Pengembangan Masyarakat
Pengembangan masyarakat saat ini menjadi cara popular bagi pemerintah,
pihak-pihak swasta maupun lembaga kemasyarakatan dalam mendorong
terjadinya perubahan sosial. Tujuan program pengembangan masyarakat yakni
untuk mengentaskan kemiskinan, mencari solusi persoalan social, serta mengatasi
konflik dalam masyarakat.
Rothman et., al (2001), mengembangkan tiga model pengembangan
masyarakat yakni:
a. Model pengembangan masyarakat lokal (Locality development approach)
Locality development approach (pengembangan masyarakat lokal)
beranggapan bahwa perubahan komunitas bisa terjadi optimal melalui partisipasi
luas dari berbagai spektrum masyarakat di tingkat lokal dalam menetapkan tujuan
dan aksi. Pengembangan Masyarakat Lokal pada dasarnya merupakan proses
interaksi antara anggota masyarakat setempat yang difasilitasi oleh pekerja sosial.
Model ini yang diharapkan mampu menciptakan kondisi sosial ekonomi yang
8
lebih baik dan kemajuan sosial bagi seluruh masyarakat melalui partisipasi aktif
serta inisiatif anggota masyarakat itu sendiri. Perubahan dalam masyarakat
melalui Pengembangan Masyarakat Lokal dapat dilakukan secara optimal apabila
melibatkan partisipasi aktif dari semua masyarakat di mana setiap anggota
masyarakat bertanggung jawab untuk menentukan tujuan dan memilih strategi
yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut melalui penggunaan prosedur
demokrasi dan kerjasama atas dasar kesukarelaan, keswadayaan, pengembangan
kepemimpinan lokal, peningkatan strategi kemandirian, peningkatan informasi,
komunikasi, relasi dan keterlibatan anggota masyarakat.
b. Model perencanaan sosial (Social Planning)
Model perencanaan sosial merupakan proses pemecahan masalah secara
teknis untuk menentukan keputusan dan menetapkan tindakan terhadap masalah
sosial tertentu, seperti: kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja, kebodohan
dll. Selain itu, model Perencanaan Sosial ini mengungkap pentingnya
menggunakan cara perencanaan yang matang dan perubahan yang terkendali
yakni untuk mencapai tujuan akhir secara sadar dan rasional dan dalam
pelaksanaannya dilakukan pengawasan-pengawasan yang ketat untuk melihat
perubahan-perubahan yang terjadi.
Strategi dasar yang digunakan untuk memecahkan permasalahan adalah
dengan mengumpulkan atau menungkapkan fakta dan data mengenai suatu
permasalahan. Kemudian, mengambil tindakan yang rasional dan mempunyai
kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilaksanakan. Berbeda dengan
Pengembangan Masyarakat Lokal, Perencanaan Sosial lebih berorientasi pada
“tujuan tugas”. Sistem klien Pengembangan Masyarakat Lokal umumnya
kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged groups) atau
kelompok rawan sosial ekonomi, seperti para lanjut usia, orang cacat, janda, yatim
piatu, wanita atau pria tunasosial, dst.
c. Model aksi sosial (Social Action)
Model aksi sosial ini menekankan betapa gentingnya penanganan secara
terorganisasi, terarah, dan sistematis terhadap kelompok yang tidak beruntung,
juga meningkatkan kebutuhan yang memadai bagi masyarakat yang lebih luas
dalam rangka meningkatkan sumber atau perlakuan yang lebih sesuai dengan
keadilan sosial dan nilai-nilai demokratisasi. Suharto (1997) mengemukakan
bahwa aksi sosial merupakan model pengembangan masyarakat yang bertujuan
untuk melakukan perubahan-perubahan yang mendasar dalam kelembagaan dan
struktur masyarakat melalui proses pendistribusian kekuasaan (distrition of
power), sumber (distribution of resources) dan pengambilan keputusan
(distribution of decision making). Model aksi sosial didasari oleh suatu pandangan
bahwa masyarakat merupakan korban dari adanya ketidak adilan struktur. Dengan
kata lain bahwa masyarakat menjadi tidak berdaya karena disengaja oleh struktur
yang berlaku. Mereka miskin karena dimiskinkan, mereka lemah karena
dilemahkan, dan tidak berdaya karena tidak diperdayakan oleh kelompok elit
masyarakat yang menguasai sumber-sumber ekonomi, politik, dan
kemasyarakatan. Aksi sosial berorientasi pada tujuan proses dan tujuan hasil.
Masyarakat diorganisir melalui proses penyadaran pemberdayaan dan tindakantindakan aktual untuk mengubah struktur kekuasaan agar lebih memenuhi prinsip
demokratis, kemerataan (equality) dan keadilan (equity).
9
Konsep Sikap
Sikap (attitude) mempengaruhi manusia dalam berperilaku serta erat
kaitannya dengan efek dan perannya dalam pembentukan karakter dan sistem
hubungan antar kelompok. Sikap belum merupakan suatu tindakan, tetapi sikap
merupakan suatu faktor pendorong individu untuk melakukan tindakan.Fenomena
sikap yang timbul tidak saja ditentukan oleh keadaan obyek yang sedang dihadapi
tetapi juga dengan kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, oleh
situasi di saat sekarang, dan oleh harapan-harapan untuk masa yang akan datang
(Suharyat, 2009).
Spencer dan Spencer (1993) mengartikan sikap (attitude) sebagai “status
mental seseorang” atau "kesiapan untuk merespon suatu situasi tertentu. Sikap
berisikan komponen berupa cognitive (pengalaman, pengetahuan, pandangan, dan
lain-lain), affective (emosi, senang, benci, cinta, dendam, marah, masa bodoh, dan
lain-lain) dan behavioral/overt actions (perilaku, kecenderungan bertindak).
Suharyat (2009) mengemukakan bahwa setiap orang mempunyai sikap yang
berbeda-beda terhadap sesuatu obyek yang disebabkan oleh adanya perbedaan
dalam bakat, minat, pengalaman, pengetahuan, intensitas perasaan dan situasi
lingkungan.
Azwar (2009) menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka
pemikiran. Pertama, kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi
seperti Thurstone, Likert dan Osgood. Menurut mereka sikap adalah suatu bentuk
evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah
perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak
mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada obyek tersebut. Kedua,
kerangka pemikiran ini diwakili oleh ahli seperti Chave, Bogardus, LaPierre,
Mead dan Gordon Allport. Menurut kelompok pemikiran ini sikap merupakan
semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek dengan caracara tertentu.
Kesiapan yang dimaksud merupakan kecenderungan yang potensial untuk
bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus
yang menghendaki adanya respon. Ketiga, kelompok pemikiran ini adalah
kelompok yang berorientasi pada skema triadik (triadic schema). Menurut
pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif dan
konatif yang saling berinteraksi didalam memahami, merasakan dan berperilaku
terhadap suatu obyek.
Berdasarkan beberapa literatur di atas dapat disimpulkan bahwa sikap pada
dasarnya adalah kecenderungan individu menanggapi secara positif atau negatif
atas suatu program. Program pengembangan desa pesisir yang ditinjau dari
dimensi kognisi, afeksi dan konasi yang merupakan hasil dari proses sosialisasi
dan interaksi seseorang dengan lingkungannya, yang merupakan perwujudan dari
pikiran, perasaan seseorang serta penilaian terhadap obyek, yang didasarkan pada
pengetahuan, pemahaman, pendapat dan keyakinan dan gagasan-gagasan terhadap
suatu obyek sehingga menghasilkan suatu kecenderungan untuk bertindak pada
suatu obyek.
Walgito (2003) mengemukakan ciri sikap diantaranya (1) sikap tidak
dibawa sejak lahir, sehingga sikap individu dibentuk dan terbentuk, serta dapat
dipelajari. (2) sikap selalu berhubungan dengan obyek sikap, di mana terbentuk
atau dipelajari dalam hubungannya dengan obyek tertentu, yakni melalui proses
10
persepsi terhadap obyek tersebut. (3) sikap dapat tertuju pada satu atau
sekumpulan obyek, yakni apabila seseorang mempunyai sikap negatif pada orang
lain maka kecenderungan untuk menunjukkan sikap yang sama pada di mana
orang tersebut bergabung. (4) sikap dapat berlangsung lama atau sebentar. Artinya
apabila sikap telah terbentuk dan merupakan nilai dalam kehidupan maka sikap
tersebut akan bertahan lama, sebaliknya, sikap yang belum mendalam dalam diri
seseorang relatif akan mudah untuk di ubah. (5) sikap mengandung faktor
perasaan dan motivasi, motivasi juga memiliki peran dalam mendorong individu
untuk berperilaku terhadap obyek yang dihadapinya.
Kemampuan afektif berkaitan dengan minat dan sikap seseorang. Jika
kemampuan afektif tidak muncul atau tumbuh maka efek yang dimunculkan
adalah individu tidak dapat menyenangi atau mereson dengan baik obyek yang
disekitarnya. Bloom Krathwohl, et., al (Wicaksono 2011) membagi kemampuan
afektif ke dalam lima jenjang Taksonomi yaitu: (1) penerimaan (receiving), yakni
kepekaan seseorang dalam menerima stimulus dari luar yang datang kepada
dirinya. Atau dengan kata lain kemauan seseorang menerima keberadaan
fenomena di sekitarnya. (2) menanggapi (responding), mengandung arti “adanya
partisipasi aktif” dengan kata lain respon merupakan kemampuan yang dimiliki
seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu
dalam membuat reaksi terhadapnya. (3) Menilai atau Menghargai (valuing),
merupakan tingkatan sikap yang lebih tinggi dari receiving dan responding.
Valuing artinya memberikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu
obyek atau kegiata, tidak hanya mampu menerima atau merespon fenomena tetapi
mampu untuk menilai baik atau buruk fenomena tersebut. (4) mengorganisasikan
(organization), yakni mempertemukan perbedaan nilai baru yang membawa pada
perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan
dari nilai kedalam satu sistem organisasi, termasuk didalamnya hubungan satu
nilai dengan nilai yang lain. Sehingga organisasi dapat juga didefenisikan sebagai
pembentukan nilai. Tingkatan yang terakhir yakni (5) Karakterisasi berdasarkan
nilai (Characterization by Value) yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah
dimiliki oleh seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah
lakunya. Proses internalisasi nilai atau karakterisasi merupakan hirarki tertinggi
dalam ranah afektif Bloom, di mana nilai tersebut telah tertanam dalam diri
individu, mempengaruhi emosi, dan menjad sebuah kebiasaan dalam diri
seseorang.
Faktor yang Mempengaruhi Sikap
Sikap dapat diubah dengan berbagai cara, informasi yang diterima
seseorang akan mampu mengubah komponen pengetahuan dari sikap seseorang.
Sikap individu dipengaruhi oleh dua hal, yakni oleh lingkungan, dan unsur yang
datang dari dalam diri sendiri, sebagaimana yang dikemukakan oleh Suranto
(1999), yang menyatakan bahwa sikap dipengaruhi oleh (a) faktor fisiologis,
mencakup umur (b) faktor pengalaman, di mana pengalaman buruk pada suatu
obyek akan memberikan sikap negatif pada obyek tersebut. (c) faktor komunikasi
sosial yang berbentuk informasi atau pengetahuan terhadap obyek.
Azwar (2009) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
sikap terhadap obyek antara lain; (a) Pengalaman pribadi, di mana pengalaman
akan meninggalkan kesan pada seseorang. Terjadinya hal yang kurang
11
menyenangkan mengakibatkan persepsi yang kurang positif, sehingga keterlibatan
yang ada sering merupakan partisipasi semu. Keadaan yang demikian apabila
sering terjadi akan berakibat pada sulitnya pencapaian tujuan program secara utuh
dan mantap. (b) Pengaruh orang lain yang dianggap penting. (c) Kebudayaan, di
mana kita hidup mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan sikap.
sikap cenderung diwarnai kebudayaan yang ada di daerahnya. Saifuddin (2000)
menyatakan bahwa kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita
terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota
masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individuindividu masyarakat asuhannya. (d) Media Massa, media masa elektronik maupun
media cetak sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan opini dan
kepercayaan seseorang. Pemberian informasi melalui media masa mengenai
sesuatu hal akan memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap.
Media massa memberikan pesan-pesan yang sugestif yang mengarahkan opini
seseorang, serta memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap
terhadap hal tersebut. Penelitian Rini (2011) juga menemukan bahwa peran
media sebagai pemberi informasi berkaitan dengan adanya perubahan sikap
masyarakat. Media dapat menciptakan perubahan sikap yang diinginkan dari
penyebarluasan informasi. Media menghasilkan opini masyarakat yang terimbas
melalui sikap masyarakat itu sendiri. Perubahan sikap yang lebih baik atau lebih
tidak baik ditentukan oleh media sendiri. Mednick, Higgins dan Kirschenbaum
(Dayakisni dan Hudaniah 2003) menyebutkan bahwa pembentukan sikap
dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu (a) Pengaruh sosial, seperti norma dan
kebudayaan, (b) Karakter kepribadian individu, (c) Informasi yang selama ini
diterima individu.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa sikap individu
dipengaruhi oleh faktor internal yang berasal dari dalam individu sendiri dan
faktor eksternal yang berasal dari luar individu. Sikap merupakan reaksi atau
respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek.
Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap
stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang
bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu
tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu
perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi
terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan bereaksi
terhadap obyek di lingkungan.
Karakteristik Personal
Setiap individu dalam masyarakat pesisir memiliki karakteristik tersendiri
yang dapat dilihat dari sikap dan perilaku yang nampak dalam menjalankan
kegiatannya. Karakteristik individu atau personal merupakan bagian dari pribadi
yang melekat pada diri seseorang. karakteristik tersebut mendasari tingkah laku
seseorang dalam situasi kerja maupun situasi lainnya (Rogers dan Shoemaker,
1981). Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa karakteristik individu adalah
sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang dan berhubungan dengan aspek
kehidupan, seperti umur, jenis kelamin, posisi, jabatan, status sosial dan agama.
Selain itu Madrie 1986 juga mengemukakan bahwa beberapa indikator yang
12
menentukan karakteristik pribadi seseorang di antaranya tingkat pendidikan
formal, pengelaman, kekosmopolitan, serta nilai-nilai budaya.
Secara konseptual karakteristik personal adalah segala hal yang menjadi
ciri yang melekat pada seseorang yang dapat membedakan dengan individu
lainnya. Dalam penelitian ini karakteristik personal meliputi; umur, tingkat
pendidikan formal, pendidikan non formal, jumlah tanggungan, kekosmopolitan,
serta pengetahuan tentang program.
Umur
Umur seseorang berkaitan dengan tingkat kematangan fisik, sikap dan
mental. Hawkins 1986, mengemukakan bahwa umur, jenis kelamin, dan
pendidikan mempengaruhi perilaku seseorang. Umur menggambarkan
pengalaman dalam diri seseorang, umur merupakan suatu indikator umum tentang
kapan suatu perubahan akan terjadi sehingga terdapat keragaman tindakan
berdasarkan usia yang dimiliki. Berdasarkan taraf perkembangan individu
dikelompokkan pada usia balita, anak-anak, remaja, usia desawa, dan dewasa
lanjut. Havighurst 1972, mengemukakan pengelompokkan umur yakni, dewasa
awal pada usia 18-29 tahun, usia pertengahan pada usia 30-50 tahun, dan masa tua
yakni pada usia di atas 50 tahun.
Sehubungan dengan proses adopsi inovasi berdasarkan pada beberapa
penelitian, Soekartawi 1998, mengemukakan bahwa proses difusi inovasi paling
tinggi adalah pada petani yang berumur paruh baya. Petani yang berumur lanjut
memiliki kebiasaan kurang respon terhadap berbagai kegiatan perubahan atau
inovasi, petani yang lebih muda memiliki semangat lebih dalam menjalankan
kegiatan usahatani dan mencari pengalaman. Abdullah dan Jahi (2006) dalam
penelitiannya menemukan bahwa umur petani sayuran di Kota Kendari
berhubungan dengan tingkat pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan
usahatani sayuran. Sejalan dengan hal tersebut Batoa et.,al (2008) juga
menemukan bahwa umur memiliki hubungan dengan kompetensi petani rumput
laut di kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Tingkat Pendidikan Formal
Pendidikan menunjukkan tingkat inteligensi yang berhubungan dengan
daya pikir seseorang. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa:
“pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperoleh dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.”
Pendidikan menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan
daya pikir seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin luas
pengetahuannya. Pendidikan merupakan suatu faktor yang menentukan dalam
mendapatkan pengetahuan. Nasution (1987) yang dikutip oleh Garnadi (2004)
mengemukakan bahwa pendidikan adalah proses pengembangan diri kepribadian
seseorang yang dilaksanakan secara sadar dan penuh tanggung jawab untuk
meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap, serta nilai-nilai sehingga
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sejalan dengan hal tersebut,
13
Amanah dkk (2005) juga mengemukakan bahwa semakin tinggi pendidikan,
semakin baik pula sikap seseorang dalam menanggapi sesuatu.
Pendidikan merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan
pengetahuan. Slamet (2003) menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu usaha
untuk menghasilkan perubahan-perubahan pada perilaku manusia. Perubahan
perilaku yang ditimbulkan oleh proses pendidikan dapat dilihat melalui (1)
perubahan dalam hal pengetahuan, (2) perubahan dalam keterampilan atau
kebiasaan dalam melakukan seseuatu, dan (3) perubahan dalam sikap mental
terhadap segala sesuatu yang dirasakan. Pendidikan formal menurut Winkel
(Yunita 2011), adalah pendidikan sekolah yang dalam penyelenggaraannya
menempuh serangkaian kegiatan terencana dan terorganisir. Sedangkan,
pendidikan non formal lebih dikenal sebagai bentuk pendidikan luar sekolah.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan akan meningkatkan
kemampuan kapasitas rasional dari masyarakat. Masyarakat yang rasional
sebelum memutuskan untuk berpartisipasi dalam pembangunan, didahului oleh
masa belajar dan menilai manakala partisipasi itu mendatangkan manfaat bagi
dirinya. Jika bermanfaat, akan berpartisipasi, dan jika tidak, masyarakat tidak
tergerak untuk berpartisipasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suciati (2008)
menemukan bahwa partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.
Keikutsertaan dalam Pelatihan (Pendidikan Non Formal)
Pendidikan non formal menjadi salah satu faktor yang membentuk sikap
masyarakat. Nasution (Pahlupi dkk 2012) mengemukakan bahwa penyuluhan
sebagai kegiatan mendidik masyarakat memberi pengetahuan, informasi dan
kemampuan-kemampuan baru agar mereka dapat membentuk sikap dan perilaku
hidup menurut apa yang seharusnya. Hasil penelitian Pahlupi 2012 menemukan
bahwa penyuluh atau komunikator dalam program keluarga Berencana di
Kecamatan Bayongbong memiliki hubungan yang nyata dengan perubahan sikap
peserta program.
Pendidikan non formal bertujuan merubah perilaku masyarakat yang
dapat dilakukan melalui penyuluhan, pelatihan dan lain sebagainya dengan
tujuan untuk meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan peserta didik. Sasarannya
mencakup semua kelompok umur dan semua sektor kehidupan masyarakat.
Tarigan (2009) mengemukakan konsep pendidikan non formal yakni (1)
pendidikan luar sekolah yang di dalamnya terdapat life skill merupakan usaha
sadar untuk menyiapkan, meningkatkan, dan mengembangkan sumberdaya
manusia agar memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, dan daya saiang; (2)
bertugas untuk menyiapkan sumberdaya manusia yang siap menghadapi
perubahan sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berkembang pesat; (3) memiliki ciri yang berkaitan dengan misi yang dibutuhkan
segera dan praktis, tempatnya di luar kelas, merupakan aktivitas sampingan, lebih
murah, serta persyaratan penerimaan lebih mudah; (4) bertujuan menjadikkan
peserta didik memiliki berbagai kemampuan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Sasaran pendidikan non formal mencakup semua kelompok umur dan semua
sektor masyarakat.
14
Jumlah Tanggungan Keluarga
Tanggungan keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang biaya
hidupnya ditanggung oleh kepala keluarga yang terdapat istri, anak, dan
tanggungan lainnya yang tinggal seatap dan sedapur. Soekartawi (1998)
mengemukakan bahwa jumlah keluarga sering menjadi pertimbangan dalam
pengambilan keputusan untuk menerima inovasi. Hal ini karena konsekuensi
penerimaan inovasi akan berpengaruh pada sistem keluarga baik pada anak, istri
maupun pada anggota keluarga lainnya. Sejalan dengan hal tersebut Soekartawi
(1999) juga mengemukakan bahwa semakin banyak anggota keluarga akan
semakin besar pula beban hidup yang akan ditanggung atau harus dipenuhi.
Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi keputusan petani dalam
berusahatani.
Menurut Hasyim (2006), jumlah tanggungan keluarga adalah salah satu
faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan pendapatan dalam memenuhi
kebutuhannya. Banyaknya jumlah tanggungan keluarga akan mendorong petani
untuk melakukan banyak aktivitas terutama dalam mencari dan menambah
pendapatan keluarganya.
Tingkat Kekosmopolitan
Kekosmopolitan merupakan keterbukaan seseorang terhadap berbagai
sumber informasi sehingga memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas.
Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa kekosmopolitan adalah tingkat
hubungan seseorang dengan dunia luar di luar sistem sosialnya sendiri.
Kekosmopolitan seseorang dapat dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan
yang dilakukan, serta pemanfaatan media massa. Hanafi 1986, mengemukakan
bahwa kekosmopolitan individu dicirikan oleh sejumlah atribut yang
membedakan mereka dengan orang lain di dalam komunitasnya, yakni; (1)
individu tersebut memiliki status sosial, (2) partisipasi sosial lebih tinggi, (3) lebih
banyak berhubungan dengan dunia luar, (4) lebih banyak menggunakan media
massa, dan (5) memiliki hubungan yang lebih banyak dengan orang lain maupun
lembaga yang berada diluar komunitasnya.
Informasi dan pengalaman yag diperoleh masyarakat melalui proses
kekosmopolitan seperti melakukan kunjungan ke desa yang telah sukses
melaksanakan program pemberdayaan akan membentuk sikap positif terhadap
program yang dilaksanakan. Ruben (Prihandoko et., al 2011) mengemukakan
bahwa dalam persfektif theory planned behaviorteori dan communication and
human behavior perilaku merupakan suatu tindakan manusia yang diawali oleh
adanya proses input berupa informasi yang masuk dari tiap individu yang
bergantung pada penting atau tidaknya nilai informasi yang masuk dan
diinterpretasi oleh individu tersebut. Bila dirasakan penting, informasi akan
disimpan oleh individu dalam longterm memory. Sebaliknya bila dirasakan tidak
penting maka informasi akan disimpan dalam shortterm memory dengan
kemungkinan besar individu akan melupakan informasi tersebut. Adanya
informasi atau pengalaman yang diperoleh memungkinkan individu membentuk
sikap sebelum akhirnya bertindk atau berperilaku.
15
Tingkat Pengetahuan tentang Program
Soekanto (2003) menyatakan pengetahuan adalah kesan yang didapatkan
dari hasil pengolahan pancainderanya. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui
kenyataan (fakta), penglihatan, pendengaran, serta keterlibatan langsung dalam
suatu aktivitas. Pengetahuan juga didapatkan dari hasil komunikasi dengan orang
lain seperti teman dekat dan relasi kerja. Pengetahuan yang tersimpan dalam
ingatan ini digali saat dibutuhkan melalui bentuk ingatan mengingat (recall) atau
mengenal kembali (recognition). Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa
pengetahuan adalah hasil “tahu” yang terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui
pancaindera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba yang sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga. Menurut Nasution (1999) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) faktorfaktor yang berpengaruh dalam tingkatan pengetahuan seseorang antara lain (1)
tingkat pendidikan, (2) informasi, (3) budaya, (4) pengalaman (5) sosial ekonomi,
(6) pengukuran tingkat pengetahuan.
Walgito (2003) mendefinisikan pengetahuan adalah mengenal suatu obyek
baru yang selanjutnya menjadi sikap terhadap obyek tersebut apabila pengetahuan
itu disertai oleh kesiapan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan tentang
obyek itu. Bila seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu obyek, itu
berarti orang tersebut telah mengetahui tentang obyek tersebut.
Karakteristik Lingkungan Sosial
Lingkungan merupakan segala hal yang ada di sekitar manusia yang dapat
dibedakan menjadi benda-benda mati atau benda-benda hidup, dengan kata lain
terdapat lingkungan yang bersifat kealaman atau fisik, dan terdapat pula
lingkungan yang mengandung kehidupan atau sosial (Walgito, 2003). Kedua jenis
lingkungan tersebut akan mempengaruhi perilaku individu.
Rakhmat, (2001) mengemukakan bahwa terdapat faktor situasional yang
dapat mempengaruhi perilaku individu, di antaranya adalah lingkungan sosial
masyarakat yang di dalamnya terdapat interaksi antar individu. Dapat disimpulkan
bahwa lingkungan sosial adalah hubungan interaksi antara masyarakat dengan
lingkungan.Sikap masyarakat terhadap lingkungan sosial dipengaruhi oleh nilai
sosial, itulah hubungannya. Jika nilai sosial tentang lingkungan lantas
berubah/terjadi pergeseran, maka sikap masyarakat terhadap lingkungan juga
berubah/bergeser. Itulah sebabnya masyarakat dan nilai sosial selalu terlihat
dinamis, terlepas dari baik dan buruknya lingkungan sosial. Lingkungan yang baik
biasanya menggambarkan masyarakat yang baik, begitupun sebaliknya.
Faktor kunci untuk keberhasilan dan keberlanjutan suatu program adalah
membangun rasa memiliki di antara masyarakat dan para pemangku kepentingan,
serta membangun sikap positif dan partisipatif. UU No. 17 tahun 2010 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) tahun 2005-2025
memiliki tujuan salah satunya adalah menjamin tercapainya penggunaan sumber
daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan, serta mengoptimalkan
masyarakat. Oleh karena itu pengembangan program diharapkan mampu untuk
mengembangan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
16
Pembangunan masyarakat diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat, di mana mereka mampu mengindentifikasikan kebutuhan dan
masalah secara bersama (Raharjo 2006). Ada pula yang mengartikan bahwa
pembangunan masyarakat adala kegiatan yang terencana untuk menciptakan
kondisi-kondisi bagi kemajuan sosial ekonomi masyarakat dengan meningkatkan
partisipasi masyarakat. Zamhariri (2008) mengemukakan bahwa dalam
Community Development (pembangunan masyarakat) mengandung upaya untuk
meningkatkan partisipasi dan rasa memiliki (participating and belonging
together) terhadap program yang dilaksanakan, dan harus mengandung unsur
pemberdayaan masyarakat. Sikap dan partisipasi masyarakat tidak akan terlepas
oleh dukungan dari lingkungan sosialnya. Oleh karena itu karakteristik sosial
dalam penelitian ini dibatasi pada bagaimana peran tokoh masyarakat, peran
kelompok dan intensitas kegiatan program.
Tingkat Dukungan Tokoh Masyarakat
Studi kepemimpinan dikenal adanya pemimpin formal dan
informal. Tokoh masyarakat adalah orang-orang yang memiliki pengaruh pada
masyarakat, tokoh masyarakat ada yang bersifat formal dan informal. Tokoh
masyarakat yang bersifat formal adalah orang-orang yang diangkat dan dipilih
oleh lembaga Negara dan bersifat struktural, Sedangkan tokoh masyarakat yang
bersifat informal adalah orang-orang yang diakui oleh masyarakat karenah
dipandang pantas menjadi pemimpin yang disegani dan berperan besar dalam
memimpin dan mengayomi masyarakat.
Pembangunan desa akan berhasil baik apabila didukung oleh partisipasi
seluruh warga masarakat. Dan optimalisasi pembangunan sangat dipengaruhi oleh
bagaimana fungsi yang dijalankan oleh pihak pemerintah sebagai pihak
koordinator pelaksanaan pembangunan. Dalam hal ini pemerintahan harus mampu
mengkoordinasikan berbagai unit dalam pemerintahan agar dapat
mendayagunakan fungsi mereka dengan baik dan memberikan kontribusi yang
nyata bagi proses pembangunan. Rogers dan Shoemaker 1971, menguraikan
ciri-ciri yang harus dimiliki seorang pemimpin informal (opinion leaders)
yang dapat mempengaruhi warga desa dalam adopsi inovasi yaitu yang
memiliki ciri-ciri antara lain : (1) banyak berhubungan dengan media massa, (2)
kosmopolit, (3) sering berhubungan dengan agen pembaharu, (4) partisipasi
sosialnya besar, (5) status sosial ekonominya tinggi, dan (6) lebih inovatif
dibanding dengan pengikutnya.
Azwar (2009) mengemukakan bahwa salah satu hal yang mempengaruhi
sikap masyarakat adalah adanya pengaruh orang lain yang dianggap penting,
masyarakat cenderung akan mengikuti apa yang diberikan oleh tokoh masyarakat.
Peran tokoh masyarakat baik formal maupun non-formal sangat penting terutama
dalam mempengaruhi, memberi contoh, dan menggerakkan keterlibatan seluruh
warga masyarakat di lingkungannya guna mendukung keberhasilan program. Pada
masyarakat pedesaan, peran tersebut menjadi faktor determinan karena kedudukan
para tokoh masyarakat masih berpengaruh. Sejalan dengan hal tersebut Febriana
(2012) juga mengemukakan bahwa pemimpin formal dan tokoh masyarakat
mampu membantu masyarakat dalam pengambilan keputusan.
17
Peran Kelompok
Peran adalah tugas atau kewajiban yang harus dijalankan oleh seseorang
oleh seseorang tersebut harus dilaksanakan dengan baik dan penuh dengan rasa
tanggungjawab. Dalam pengembangan kegiatan program pendekatan kelompok
juga merupakan suatu keharusan, karena secara sendiri-sendiri warga masyarakat
sulit untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya, selain itu
organisasi/kelompok adalah suatu power yang penting. Selain itu dengan
pendekatan kelompok juga paling efektif, dan di lihat dari penggunaan
sumberdaya juga lebih efisien (Karsidi, 2001). Jamasy (2004) mengemukakan
bahwa, salah satu pola pendekatan pemberdayaan yang dianggap mampu
mengangkat derajat ketidak-berdayaan masyarakat pesisir adalah dengan
pendekatan kelompok. Melalui media kelompok, kreativitas masing-masing
anggota kelompok akan mewarnai kehidupan kelompoknya masing-masing
sekaligus menjadi media tukar menukar informasi, pengetahuan dan sikap. Hal
ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tampubolon et al., (2006)
bahwa tingkat keberhasilan pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan
kelompok dipengaruhi oleh keefektifan dan kekeompakan kelompok.
Setiawan (2009) menemukan bahwa pemberdayaan masyarakat pesisir
tidak dapat dilakukan secara sendiri, akan tetapi perlu adanya kerjasama yang
simultan dan lintas sektoral, dengan cara pendekatan partisipatif yakni melibatkan
masyarakat dan pemerintah setempat daam bentuk pengelolaan bersama, di mana
masyarakat berpartisipasi aktif baik dalam perencanaan sampai pada pelaksanaan.
Pada hakekatnya, kegiatan pengembangan masyarakat adalah sebuah
pembangunan yang menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi kemajuan
kehidupan di berbagai bidang, baik ekonomi, sosial budaya maupun aspek
kehidupan lain sehingga tercapai kesejahteraan, Dalam pengembangan
masyarakat kita telah mengetahui prinsip-prinsip pengembangan masyarakat,
namun dari sekian puluh prinsip yang ada, pokok intinya adalah partisipasi,
kemandirian dan keswadayaan. Partisipasi diartikan bahwa setiap program
melibatkan masyarakat, baik fisik, ide, dan materi. Keterlibatan disini memiliki
makna keikutsertaan masyarakat secara fisikal dan mentalitas. Program selalu
berasal dan untuk pemenuhan masyarakat, sehingga yang merencanakan adalah
agen bersama masyarakat
Intensitas Kegiatan Program
Pengertian intensitas dalam kehidupan sehari-hari dapat dipahami sebagai
ukuran atau tingkat. Intensitas juga dipahami sebagai suatu kekuatan yang
mendukung suatu pendapat atau suatu sikap (Chaplin, 2006). Azwar mengartikan
intensitas sebagai kekuatan atau kedalaman sikap terhadap sesuatu. Intensitas
dapat diukur berdasarkan sejauhmana kedalaman informasi yang dapat dipahami
oleh responden.
Salah satu unsur keberhasilan program terkait erat dengan intensitas
pendampingan masyarakat yang efektif dalam melaksanakan perannya sebagai
ujung tombak pemberdayaan masyarakat. Cahyani (2008) mengemukakan bahwa
perkembangan masyarakat untuk mencapai tingkat kematangan perlu dipercepat
dengan kehadiran pendamping. Pendamping sebagai agen pembaharuan berperan
sebagai juru penerang (pemberi informasi), guru, penasihat, pembimbing,
konsultan dan pengarah. (Asngari, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Daud
18
(2011) menemukan bahwa peran pendamping berhubungan nyata dengan sikap
kelompok pemanfaat program untuk berpartisipasi. Hal tersebut sejalan dengan
Zamzami (2012) mengemukakan bahwa pendamping dalam program Mitra Mina
membantu masyarakat agar lebih mudah untuk mengakses program dan
membantu dalam mengelola modal yang diperoeh secara efisien.
Karsidi (2001) juga mengungkapkan bahwa dalam pemberdayaan, seorang
pendamping harus mampu belajar dari masyarakat. Pendamping adalah fasilitator,
bukan guru dan tidak menggurui, saling belajar, saling berbagi pengalaman.
Leilani dan Jahi (2006), mengemukakan bahwa kinerja seorang pendamping dapat
dilihat dari kinerja yang merupakan fungsi dari karakteristik individu, dan
merupakan peubah penting yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. sejalan
hal tersebut, Budiyanto (2011) mengemukakan bahwa peran pendamping sebagai
Tenaga Ahli Perencanaan Partisipatif (TAPP) dalam tahap perencanaan bukan
untuk mengambil alih pengambilan keputusan melainkan untuk menunjukkan
konsekuensi dari tiap keputusan yang diambil masyarakat, dengan kata lain
menjadi fasilitator dalam proses pengambilan keputusan sehingga keputusan yang
diambil akan rasional.
Pengelolaan Program
Keberhasilan suatu program tidak lepas dari bentuk pengelolaan yang
dilakukan, di mana pengelolaan merupakan suatu bentuk aktivitas kerja yang
melibatkan koordinasi dan pengawasan terhadap pekerjaan orang lain, sehingga
pekerjaan tersebut dapat diselesaikan secara efisien dan efektif. Model CIPP
(Conteks, Input, Proses, dan Produk) merupakan model yang dikembangkan oleh
Daniel L. Stufflebeam dkk yang terkait pada perangkat pengambilan keputusan
yang menyangkut perencanaan dan operasi sebuah program.
Stufflebeam (Zhang et.,al 2011) membagi evaluasi menjadi empat
komponen yaitu: Pertama Konteks (kejelasan program), yakni mencakup analisis
masalah yang berkaitan dengan lingkungan program atau kondisi obyektif yang
akan dilaksanakan. Berisi tentang analisis kekuatan dan kelemahan obyek tertentu
(Widoyoko 2010). Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Stufflebeam yang
menyatakan bahwa tahap konteks sebagai fokus institusi dengan mengidentifikasi
peluang dan menilai kebutuhan. Tahap konteks memberikan informasi bagi
pengambil keputusan dalam perencanaan suatu program yang akan berjalan.
Kedua Input (pengelolaan sumberdaya), pelaksanaan kegiatan
pengembangan masyarakat sendiri memerlukan keterlibatan berbagai pihak
sebagai lingkungan soaial program, yakni masyarakat pelaksana program dan
pemerintah daerah beserta perangkat kerjanya. Sebagimana yang dikemukakan
oleh Widoyoko (2010) bahwa analisis pengelolaan sumberdaya (masukan)
membantu mengatur keputusan menentukan sumber-sumber yang ada, alternative
apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, dan bagaimana
prosedur kerja untuk mencapainya meliputi analisis personal yang berhubungan
dengan bagaimana penggunaan sumber-sumber yang tersedia, alternativealternatif strategi yang harus mencapai suatu program. Komponen masukan
meliputi: 1) sumberdaya manusia, 2) sarana dan peralatan pendukung, 3) dana
atau anggaran, dan 4) berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan.
Download