5 TINJAUAN PUSTAKA Program Pengembangan Desa Pesisir Tangguh Program merupakan rencana kegiatan yang tersusun secara sistematis dan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu untuk mencapai tujuan. Program didefinisikan sebagai unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang. KKP (2013) mengemukakan bahwa program Pengembangan Desa Pesisir Tangguh merupakan upaya pemerintah dalam penguatan ekonomi masyarakat pesisir dan ketahanan desa terhadap bencana alam dan dampak perubahan iklim yang diharapkan mampu memberikan daya dorong bagi kemajuan desa-desa pesisir di Indonesia. Kegiatan PDPT merupakan salah satu bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan yang terintegrasi dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Pengembangan Desa Pesisir Tangguh merupakan implementasi kebijakan Presiden terkait peningkatan dan perluasan program pro-rakyat dan merupakan wujud dari intervensi Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam menata desa pesisir dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Menghasilkan keluaran yang dapat memberikan manfaat riil bagi masyarakat pesisir, sesuai skala prioritas kebutuhan masyarakat, pembelajaran bagi masyarakat pesisir untuk menemukan cara pemecahan masalah secara mandiri, dan mendorong masyarakat pesisir sebagai agen pembangunan. Program PDPT bertujuan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana dan perubahan iklim, meningkatkan kualitas lingkunagn hidup, meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat, memfasilitasi kegiatan pembangunan dan/atau pengembangan sarana dan/atau prasarana sosial ekonomi di desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil. Fokus pengembangan kegiatan yakni: (1) Bina Manusia, yaitu kegiatan yang mencakup peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam rangka mendorong peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat baik formal maupun informal, memperluas dan meningkatkan kerjasama, memperbaiki budaya kerja, gotongroyong, tanggung jawab, disiplin dan hemat serta menghilangkan sifat negatif boros dan konsumtif, (2) Bina Usaha, yaitu kegiatan yang mencakup peningkatan keterampilan usaha, perluasan mata pencaharian alternatif, pengelolaan bisnis skala kecil dan penguasaan teknologi, (3) Bina Sumberdaya, yakni kegiatan yang menitikberatkan pada upaya memperkuat kerifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya, revitalisasi hal ulayat dan hak masyarakat lokal, penerapan monitoring, controlling dan surveillance dengan prinsip partisipasi masyarakat lokal, penerapan teknologi ramah lingkungan, mendorong pengembangan teknologi asli, merehabilitasi habitat, konservasi dan memperkaya sumberdaya, (4) Bina lingkungan dan infrastruktur, yaitu kegiatan yang mencakup pembangunan infrastruktur, rehabilitasi vegetasi pantai dan pengendalian pencemaran melalui pendekatan perencanaan dan pembangunan secara spasial dalam rangka mendorong peningkatan peran masyarakat pesisir dalam penataan 6 dan pengelolaan lingkungan sekitarnya, (5) Bina Siaga Bencana dan Perubahan iklim, yaitu kegiatan yang mencakup usaha-usaha pengurangan risiko bencana dan dampak perubahan iklim, rencana aksi desa dalam pengurangan risiko bencana, penyadaran masyarakat, pembangunan sarana dan prasarana penanggulan bencana (antara lain jalur evakuasi, shelter, struktur pelindung terhadap bencana, fasilitas kesehatan, dan cadangan strategis) yang menekankan pada partisipasi dan keswadayaan dari kelompok-kelompok sosial yang terdapat pada masyarakat atau komunitas pesisir. Karakteristik Masyarakat Pesisir Wilayah pesisir merupakan sumberdaya potensial bagi bangsa Indonesia yang terbentang sepanjang 81.000 km. Sumberdaya ini menyimpan kekayaan alam yang besar dan beragam, seperti perikanan, hutan mangrove, rumput laut dan terumbu karang memainkan peran penting bagi kehidupan penduduk sekitar, dan ekonomi bangsa (Dahuri et al., 2008). Secara ilmiah Dahuri et al., (2008) mendefinisikan pesisir sebagai daerah pertemuan antara darat dan laut. Ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Wilayah pesisir memiliki karakteristik spesifik yang berbeda dengan wilayah daratan. Pengelolaan ekosistem pesisir lebih menantang dibandingkan dengan pengelolaan ekosistem di darat maupun di laut lepas. Hal ini dikarenakan adanya sistem lingkungan alam yang kompleks, pemanfaatan yang sangat beragam, dan kepemilikan. Di wilayah pesisir dan laut terdapat berbagai kegiatan seperti konservasi, jasa wisata, pelayaran, dan transportasi, perikanan, industri pertambangan, dan pencemaran lingkungan, sehingga dilihat dari berbagai macam peruntukannya, wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat produktif (Supriharyono 2000). Masyarakat pesisir merupakan sekumpulan masyarakat yang hidup dan mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas dan bergantung pada pemanfaatan sumberdaya pesisir (Satria, 2002). Dalam kerangka sosiologi, masyarakat pesisir memiliki karakterisik yang berbeda dengan masyarakat agraris atau petani, perbedaan ini sebagian besar disebabkan karena karakteristik sumberdaya yang menjadi input utama bagi kehidupan sosial ekonomi mereka. Pola panen yang terkontrol memberikan petani pendapatan yang dapat dikontrol. Sehingga hasil pangan atau ternak yang mereka miliki dapat ditentukan untuk mencapai hasil pendapatan yang mereka inginkan, sehingga relatif lebih mudah untuk diprediksi terkait dengan ekspetasi sosial ekonomi masyarakat. Berbeda halnya dengan masyarakat pesisir yang mata pencahariannya didominasi oleh nelayan, pendapatan yang mereka inginkan tidak bisa dikontrol. Nelayan juga menghadapi sumberdaya yang bersifat open acces dan beresiko tinggi. Hal tersebut menyebabkan masyarakat pesisir sepeti nelayan memiliki karakter yang tegas, keras, dan terbuka. 7 Dahuri, (2003) mengemukakan bahwa pada umumnya masyarakat pesisir merupakan kelompok masyarakat yang relatif tertinggal secara ekonomi, sosial dan budaya dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Amanah (2010) juga menyatakan bahwa masyarakat pesisir terutama nelayan kecil, masih terbelit oleh persoalan kemiskinan dan keterbelakangan. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Astono (2010) mengemukakan bahwa masyarakat nelayan di wilayah Pekalongan, secara sosial ekonomi masih kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, di mana satu-satunya sumberdaya sosial ekonomi yang dapat diandalkan adalah ketidakpastian mendapatkan penghasilan dari kegiatan melaut. Ekosistem wilayah pesisir dan lautan dipandang dari dimensi ekologis memiliki empat fungsi bagi kehidupan umat manusia yaitu (1) sebagai penyedia sumberdaya alam, (2) penerima limbah, 3) penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan manusia (life support services), (4) penyedia jasa-jasa kenyamanan (amenity services) (Bengen, 2001). Mengingat peran penting wilayah pesisir bagi kehidupan, program PDPT hadir untuk memperhatikan dan memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan lingkungan pesisir melalui beberapa kegiatan program. Diperkirakan wilayah yang dihuni oleh masyarakat dengan karakteristik keluarga yang khas ini, merupakan tumpuan bagi masa depan masyarakat pesisir. Sumberdaya pesisir merupakan lokasi bagi beberapa kegiatan pembangunan antara lain: (1) budidaya maupun tangkapan; (2) pariwisata (3) industri; (4) pertambangan; (5) perhubungan dan (6) kegiatan konservasi seperti mangrove, terumbu karang, dan biota laut lainnya. Pemanfaatan sumber daya pesisir secara optimal dan terkendali dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan memberikan kesejahteraan masyarakat pesisir. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa dalam mengelola sumberdaya pesisir masyarakat cenderung tidak memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutannya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Masydzulhak (2005), bahwa masih terjadi eksploirasi dan eksploitasi terhadap pemanfatan sumberdaya pesisir yang mengancam kapasitas keberlanjutan sumberdaya perikanan, selain itu berbagai kasus pencemaran menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya pesisir belum dilakukan secara optimal dan berkelanjutan. Pengembangan Masyarakat Pengembangan masyarakat saat ini menjadi cara popular bagi pemerintah, pihak-pihak swasta maupun lembaga kemasyarakatan dalam mendorong terjadinya perubahan sosial. Tujuan program pengembangan masyarakat yakni untuk mengentaskan kemiskinan, mencari solusi persoalan social, serta mengatasi konflik dalam masyarakat. Rothman et., al (2001), mengembangkan tiga model pengembangan masyarakat yakni: a. Model pengembangan masyarakat lokal (Locality development approach) Locality development approach (pengembangan masyarakat lokal) beranggapan bahwa perubahan komunitas bisa terjadi optimal melalui partisipasi luas dari berbagai spektrum masyarakat di tingkat lokal dalam menetapkan tujuan dan aksi. Pengembangan Masyarakat Lokal pada dasarnya merupakan proses interaksi antara anggota masyarakat setempat yang difasilitasi oleh pekerja sosial. Model ini yang diharapkan mampu menciptakan kondisi sosial ekonomi yang 8 lebih baik dan kemajuan sosial bagi seluruh masyarakat melalui partisipasi aktif serta inisiatif anggota masyarakat itu sendiri. Perubahan dalam masyarakat melalui Pengembangan Masyarakat Lokal dapat dilakukan secara optimal apabila melibatkan partisipasi aktif dari semua masyarakat di mana setiap anggota masyarakat bertanggung jawab untuk menentukan tujuan dan memilih strategi yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut melalui penggunaan prosedur demokrasi dan kerjasama atas dasar kesukarelaan, keswadayaan, pengembangan kepemimpinan lokal, peningkatan strategi kemandirian, peningkatan informasi, komunikasi, relasi dan keterlibatan anggota masyarakat. b. Model perencanaan sosial (Social Planning) Model perencanaan sosial merupakan proses pemecahan masalah secara teknis untuk menentukan keputusan dan menetapkan tindakan terhadap masalah sosial tertentu, seperti: kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja, kebodohan dll. Selain itu, model Perencanaan Sosial ini mengungkap pentingnya menggunakan cara perencanaan yang matang dan perubahan yang terkendali yakni untuk mencapai tujuan akhir secara sadar dan rasional dan dalam pelaksanaannya dilakukan pengawasan-pengawasan yang ketat untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi. Strategi dasar yang digunakan untuk memecahkan permasalahan adalah dengan mengumpulkan atau menungkapkan fakta dan data mengenai suatu permasalahan. Kemudian, mengambil tindakan yang rasional dan mempunyai kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilaksanakan. Berbeda dengan Pengembangan Masyarakat Lokal, Perencanaan Sosial lebih berorientasi pada “tujuan tugas”. Sistem klien Pengembangan Masyarakat Lokal umumnya kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged groups) atau kelompok rawan sosial ekonomi, seperti para lanjut usia, orang cacat, janda, yatim piatu, wanita atau pria tunasosial, dst. c. Model aksi sosial (Social Action) Model aksi sosial ini menekankan betapa gentingnya penanganan secara terorganisasi, terarah, dan sistematis terhadap kelompok yang tidak beruntung, juga meningkatkan kebutuhan yang memadai bagi masyarakat yang lebih luas dalam rangka meningkatkan sumber atau perlakuan yang lebih sesuai dengan keadilan sosial dan nilai-nilai demokratisasi. Suharto (1997) mengemukakan bahwa aksi sosial merupakan model pengembangan masyarakat yang bertujuan untuk melakukan perubahan-perubahan yang mendasar dalam kelembagaan dan struktur masyarakat melalui proses pendistribusian kekuasaan (distrition of power), sumber (distribution of resources) dan pengambilan keputusan (distribution of decision making). Model aksi sosial didasari oleh suatu pandangan bahwa masyarakat merupakan korban dari adanya ketidak adilan struktur. Dengan kata lain bahwa masyarakat menjadi tidak berdaya karena disengaja oleh struktur yang berlaku. Mereka miskin karena dimiskinkan, mereka lemah karena dilemahkan, dan tidak berdaya karena tidak diperdayakan oleh kelompok elit masyarakat yang menguasai sumber-sumber ekonomi, politik, dan kemasyarakatan. Aksi sosial berorientasi pada tujuan proses dan tujuan hasil. Masyarakat diorganisir melalui proses penyadaran pemberdayaan dan tindakantindakan aktual untuk mengubah struktur kekuasaan agar lebih memenuhi prinsip demokratis, kemerataan (equality) dan keadilan (equity). 9 Konsep Sikap Sikap (attitude) mempengaruhi manusia dalam berperilaku serta erat kaitannya dengan efek dan perannya dalam pembentukan karakter dan sistem hubungan antar kelompok. Sikap belum merupakan suatu tindakan, tetapi sikap merupakan suatu faktor pendorong individu untuk melakukan tindakan.Fenomena sikap yang timbul tidak saja ditentukan oleh keadaan obyek yang sedang dihadapi tetapi juga dengan kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, oleh situasi di saat sekarang, dan oleh harapan-harapan untuk masa yang akan datang (Suharyat, 2009). Spencer dan Spencer (1993) mengartikan sikap (attitude) sebagai “status mental seseorang” atau "kesiapan untuk merespon suatu situasi tertentu. Sikap berisikan komponen berupa cognitive (pengalaman, pengetahuan, pandangan, dan lain-lain), affective (emosi, senang, benci, cinta, dendam, marah, masa bodoh, dan lain-lain) dan behavioral/overt actions (perilaku, kecenderungan bertindak). Suharyat (2009) mengemukakan bahwa setiap orang mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadap sesuatu obyek yang disebabkan oleh adanya perbedaan dalam bakat, minat, pengalaman, pengetahuan, intensitas perasaan dan situasi lingkungan. Azwar (2009) menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran. Pertama, kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Thurstone, Likert dan Osgood. Menurut mereka sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada obyek tersebut. Kedua, kerangka pemikiran ini diwakili oleh ahli seperti Chave, Bogardus, LaPierre, Mead dan Gordon Allport. Menurut kelompok pemikiran ini sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek dengan caracara tertentu. Kesiapan yang dimaksud merupakan kecenderungan yang potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. Ketiga, kelompok pemikiran ini adalah kelompok yang berorientasi pada skema triadik (triadic schema). Menurut pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi didalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu obyek. Berdasarkan beberapa literatur di atas dapat disimpulkan bahwa sikap pada dasarnya adalah kecenderungan individu menanggapi secara positif atau negatif atas suatu program. Program pengembangan desa pesisir yang ditinjau dari dimensi kognisi, afeksi dan konasi yang merupakan hasil dari proses sosialisasi dan interaksi seseorang dengan lingkungannya, yang merupakan perwujudan dari pikiran, perasaan seseorang serta penilaian terhadap obyek, yang didasarkan pada pengetahuan, pemahaman, pendapat dan keyakinan dan gagasan-gagasan terhadap suatu obyek sehingga menghasilkan suatu kecenderungan untuk bertindak pada suatu obyek. Walgito (2003) mengemukakan ciri sikap diantaranya (1) sikap tidak dibawa sejak lahir, sehingga sikap individu dibentuk dan terbentuk, serta dapat dipelajari. (2) sikap selalu berhubungan dengan obyek sikap, di mana terbentuk atau dipelajari dalam hubungannya dengan obyek tertentu, yakni melalui proses 10 persepsi terhadap obyek tersebut. (3) sikap dapat tertuju pada satu atau sekumpulan obyek, yakni apabila seseorang mempunyai sikap negatif pada orang lain maka kecenderungan untuk menunjukkan sikap yang sama pada di mana orang tersebut bergabung. (4) sikap dapat berlangsung lama atau sebentar. Artinya apabila sikap telah terbentuk dan merupakan nilai dalam kehidupan maka sikap tersebut akan bertahan lama, sebaliknya, sikap yang belum mendalam dalam diri seseorang relatif akan mudah untuk di ubah. (5) sikap mengandung faktor perasaan dan motivasi, motivasi juga memiliki peran dalam mendorong individu untuk berperilaku terhadap obyek yang dihadapinya. Kemampuan afektif berkaitan dengan minat dan sikap seseorang. Jika kemampuan afektif tidak muncul atau tumbuh maka efek yang dimunculkan adalah individu tidak dapat menyenangi atau mereson dengan baik obyek yang disekitarnya. Bloom Krathwohl, et., al (Wicaksono 2011) membagi kemampuan afektif ke dalam lima jenjang Taksonomi yaitu: (1) penerimaan (receiving), yakni kepekaan seseorang dalam menerima stimulus dari luar yang datang kepada dirinya. Atau dengan kata lain kemauan seseorang menerima keberadaan fenomena di sekitarnya. (2) menanggapi (responding), mengandung arti “adanya partisipasi aktif” dengan kata lain respon merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dalam membuat reaksi terhadapnya. (3) Menilai atau Menghargai (valuing), merupakan tingkatan sikap yang lebih tinggi dari receiving dan responding. Valuing artinya memberikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu obyek atau kegiata, tidak hanya mampu menerima atau merespon fenomena tetapi mampu untuk menilai baik atau buruk fenomena tersebut. (4) mengorganisasikan (organization), yakni mempertemukan perbedaan nilai baru yang membawa pada perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai kedalam satu sistem organisasi, termasuk didalamnya hubungan satu nilai dengan nilai yang lain. Sehingga organisasi dapat juga didefenisikan sebagai pembentukan nilai. Tingkatan yang terakhir yakni (5) Karakterisasi berdasarkan nilai (Characterization by Value) yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki oleh seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Proses internalisasi nilai atau karakterisasi merupakan hirarki tertinggi dalam ranah afektif Bloom, di mana nilai tersebut telah tertanam dalam diri individu, mempengaruhi emosi, dan menjad sebuah kebiasaan dalam diri seseorang. Faktor yang Mempengaruhi Sikap Sikap dapat diubah dengan berbagai cara, informasi yang diterima seseorang akan mampu mengubah komponen pengetahuan dari sikap seseorang. Sikap individu dipengaruhi oleh dua hal, yakni oleh lingkungan, dan unsur yang datang dari dalam diri sendiri, sebagaimana yang dikemukakan oleh Suranto (1999), yang menyatakan bahwa sikap dipengaruhi oleh (a) faktor fisiologis, mencakup umur (b) faktor pengalaman, di mana pengalaman buruk pada suatu obyek akan memberikan sikap negatif pada obyek tersebut. (c) faktor komunikasi sosial yang berbentuk informasi atau pengetahuan terhadap obyek. Azwar (2009) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi sikap terhadap obyek antara lain; (a) Pengalaman pribadi, di mana pengalaman akan meninggalkan kesan pada seseorang. Terjadinya hal yang kurang 11 menyenangkan mengakibatkan persepsi yang kurang positif, sehingga keterlibatan yang ada sering merupakan partisipasi semu. Keadaan yang demikian apabila sering terjadi akan berakibat pada sulitnya pencapaian tujuan program secara utuh dan mantap. (b) Pengaruh orang lain yang dianggap penting. (c) Kebudayaan, di mana kita hidup mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan sikap. sikap cenderung diwarnai kebudayaan yang ada di daerahnya. Saifuddin (2000) menyatakan bahwa kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individuindividu masyarakat asuhannya. (d) Media Massa, media masa elektronik maupun media cetak sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan opini dan kepercayaan seseorang. Pemberian informasi melalui media masa mengenai sesuatu hal akan memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap. Media massa memberikan pesan-pesan yang sugestif yang mengarahkan opini seseorang, serta memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Penelitian Rini (2011) juga menemukan bahwa peran media sebagai pemberi informasi berkaitan dengan adanya perubahan sikap masyarakat. Media dapat menciptakan perubahan sikap yang diinginkan dari penyebarluasan informasi. Media menghasilkan opini masyarakat yang terimbas melalui sikap masyarakat itu sendiri. Perubahan sikap yang lebih baik atau lebih tidak baik ditentukan oleh media sendiri. Mednick, Higgins dan Kirschenbaum (Dayakisni dan Hudaniah 2003) menyebutkan bahwa pembentukan sikap dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu (a) Pengaruh sosial, seperti norma dan kebudayaan, (b) Karakter kepribadian individu, (c) Informasi yang selama ini diterima individu. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa sikap individu dipengaruhi oleh faktor internal yang berasal dari dalam individu sendiri dan faktor eksternal yang berasal dari luar individu. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan bereaksi terhadap obyek di lingkungan. Karakteristik Personal Setiap individu dalam masyarakat pesisir memiliki karakteristik tersendiri yang dapat dilihat dari sikap dan perilaku yang nampak dalam menjalankan kegiatannya. Karakteristik individu atau personal merupakan bagian dari pribadi yang melekat pada diri seseorang. karakteristik tersebut mendasari tingkah laku seseorang dalam situasi kerja maupun situasi lainnya (Rogers dan Shoemaker, 1981). Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa karakteristik individu adalah sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang dan berhubungan dengan aspek kehidupan, seperti umur, jenis kelamin, posisi, jabatan, status sosial dan agama. Selain itu Madrie 1986 juga mengemukakan bahwa beberapa indikator yang 12 menentukan karakteristik pribadi seseorang di antaranya tingkat pendidikan formal, pengelaman, kekosmopolitan, serta nilai-nilai budaya. Secara konseptual karakteristik personal adalah segala hal yang menjadi ciri yang melekat pada seseorang yang dapat membedakan dengan individu lainnya. Dalam penelitian ini karakteristik personal meliputi; umur, tingkat pendidikan formal, pendidikan non formal, jumlah tanggungan, kekosmopolitan, serta pengetahuan tentang program. Umur Umur seseorang berkaitan dengan tingkat kematangan fisik, sikap dan mental. Hawkins 1986, mengemukakan bahwa umur, jenis kelamin, dan pendidikan mempengaruhi perilaku seseorang. Umur menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang, umur merupakan suatu indikator umum tentang kapan suatu perubahan akan terjadi sehingga terdapat keragaman tindakan berdasarkan usia yang dimiliki. Berdasarkan taraf perkembangan individu dikelompokkan pada usia balita, anak-anak, remaja, usia desawa, dan dewasa lanjut. Havighurst 1972, mengemukakan pengelompokkan umur yakni, dewasa awal pada usia 18-29 tahun, usia pertengahan pada usia 30-50 tahun, dan masa tua yakni pada usia di atas 50 tahun. Sehubungan dengan proses adopsi inovasi berdasarkan pada beberapa penelitian, Soekartawi 1998, mengemukakan bahwa proses difusi inovasi paling tinggi adalah pada petani yang berumur paruh baya. Petani yang berumur lanjut memiliki kebiasaan kurang respon terhadap berbagai kegiatan perubahan atau inovasi, petani yang lebih muda memiliki semangat lebih dalam menjalankan kegiatan usahatani dan mencari pengalaman. Abdullah dan Jahi (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa umur petani sayuran di Kota Kendari berhubungan dengan tingkat pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan usahatani sayuran. Sejalan dengan hal tersebut Batoa et.,al (2008) juga menemukan bahwa umur memiliki hubungan dengan kompetensi petani rumput laut di kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Tingkat Pendidikan Formal Pendidikan menunjukkan tingkat inteligensi yang berhubungan dengan daya pikir seseorang. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa: “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperoleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Pendidikan menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan daya pikir seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin luas pengetahuannya. Pendidikan merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan. Nasution (1987) yang dikutip oleh Garnadi (2004) mengemukakan bahwa pendidikan adalah proses pengembangan diri kepribadian seseorang yang dilaksanakan secara sadar dan penuh tanggung jawab untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap, serta nilai-nilai sehingga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sejalan dengan hal tersebut, 13 Amanah dkk (2005) juga mengemukakan bahwa semakin tinggi pendidikan, semakin baik pula sikap seseorang dalam menanggapi sesuatu. Pendidikan merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan. Slamet (2003) menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu usaha untuk menghasilkan perubahan-perubahan pada perilaku manusia. Perubahan perilaku yang ditimbulkan oleh proses pendidikan dapat dilihat melalui (1) perubahan dalam hal pengetahuan, (2) perubahan dalam keterampilan atau kebiasaan dalam melakukan seseuatu, dan (3) perubahan dalam sikap mental terhadap segala sesuatu yang dirasakan. Pendidikan formal menurut Winkel (Yunita 2011), adalah pendidikan sekolah yang dalam penyelenggaraannya menempuh serangkaian kegiatan terencana dan terorganisir. Sedangkan, pendidikan non formal lebih dikenal sebagai bentuk pendidikan luar sekolah. Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan akan meningkatkan kemampuan kapasitas rasional dari masyarakat. Masyarakat yang rasional sebelum memutuskan untuk berpartisipasi dalam pembangunan, didahului oleh masa belajar dan menilai manakala partisipasi itu mendatangkan manfaat bagi dirinya. Jika bermanfaat, akan berpartisipasi, dan jika tidak, masyarakat tidak tergerak untuk berpartisipasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suciati (2008) menemukan bahwa partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Keikutsertaan dalam Pelatihan (Pendidikan Non Formal) Pendidikan non formal menjadi salah satu faktor yang membentuk sikap masyarakat. Nasution (Pahlupi dkk 2012) mengemukakan bahwa penyuluhan sebagai kegiatan mendidik masyarakat memberi pengetahuan, informasi dan kemampuan-kemampuan baru agar mereka dapat membentuk sikap dan perilaku hidup menurut apa yang seharusnya. Hasil penelitian Pahlupi 2012 menemukan bahwa penyuluh atau komunikator dalam program keluarga Berencana di Kecamatan Bayongbong memiliki hubungan yang nyata dengan perubahan sikap peserta program. Pendidikan non formal bertujuan merubah perilaku masyarakat yang dapat dilakukan melalui penyuluhan, pelatihan dan lain sebagainya dengan tujuan untuk meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan peserta didik. Sasarannya mencakup semua kelompok umur dan semua sektor kehidupan masyarakat. Tarigan (2009) mengemukakan konsep pendidikan non formal yakni (1) pendidikan luar sekolah yang di dalamnya terdapat life skill merupakan usaha sadar untuk menyiapkan, meningkatkan, dan mengembangkan sumberdaya manusia agar memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, dan daya saiang; (2) bertugas untuk menyiapkan sumberdaya manusia yang siap menghadapi perubahan sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat; (3) memiliki ciri yang berkaitan dengan misi yang dibutuhkan segera dan praktis, tempatnya di luar kelas, merupakan aktivitas sampingan, lebih murah, serta persyaratan penerimaan lebih mudah; (4) bertujuan menjadikkan peserta didik memiliki berbagai kemampuan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sasaran pendidikan non formal mencakup semua kelompok umur dan semua sektor masyarakat. 14 Jumlah Tanggungan Keluarga Tanggungan keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang biaya hidupnya ditanggung oleh kepala keluarga yang terdapat istri, anak, dan tanggungan lainnya yang tinggal seatap dan sedapur. Soekartawi (1998) mengemukakan bahwa jumlah keluarga sering menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menerima inovasi. Hal ini karena konsekuensi penerimaan inovasi akan berpengaruh pada sistem keluarga baik pada anak, istri maupun pada anggota keluarga lainnya. Sejalan dengan hal tersebut Soekartawi (1999) juga mengemukakan bahwa semakin banyak anggota keluarga akan semakin besar pula beban hidup yang akan ditanggung atau harus dipenuhi. Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi keputusan petani dalam berusahatani. Menurut Hasyim (2006), jumlah tanggungan keluarga adalah salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan pendapatan dalam memenuhi kebutuhannya. Banyaknya jumlah tanggungan keluarga akan mendorong petani untuk melakukan banyak aktivitas terutama dalam mencari dan menambah pendapatan keluarganya. Tingkat Kekosmopolitan Kekosmopolitan merupakan keterbukaan seseorang terhadap berbagai sumber informasi sehingga memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas. Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa kekosmopolitan adalah tingkat hubungan seseorang dengan dunia luar di luar sistem sosialnya sendiri. Kekosmopolitan seseorang dapat dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan media massa. Hanafi 1986, mengemukakan bahwa kekosmopolitan individu dicirikan oleh sejumlah atribut yang membedakan mereka dengan orang lain di dalam komunitasnya, yakni; (1) individu tersebut memiliki status sosial, (2) partisipasi sosial lebih tinggi, (3) lebih banyak berhubungan dengan dunia luar, (4) lebih banyak menggunakan media massa, dan (5) memiliki hubungan yang lebih banyak dengan orang lain maupun lembaga yang berada diluar komunitasnya. Informasi dan pengalaman yag diperoleh masyarakat melalui proses kekosmopolitan seperti melakukan kunjungan ke desa yang telah sukses melaksanakan program pemberdayaan akan membentuk sikap positif terhadap program yang dilaksanakan. Ruben (Prihandoko et., al 2011) mengemukakan bahwa dalam persfektif theory planned behaviorteori dan communication and human behavior perilaku merupakan suatu tindakan manusia yang diawali oleh adanya proses input berupa informasi yang masuk dari tiap individu yang bergantung pada penting atau tidaknya nilai informasi yang masuk dan diinterpretasi oleh individu tersebut. Bila dirasakan penting, informasi akan disimpan oleh individu dalam longterm memory. Sebaliknya bila dirasakan tidak penting maka informasi akan disimpan dalam shortterm memory dengan kemungkinan besar individu akan melupakan informasi tersebut. Adanya informasi atau pengalaman yang diperoleh memungkinkan individu membentuk sikap sebelum akhirnya bertindk atau berperilaku. 15 Tingkat Pengetahuan tentang Program Soekanto (2003) menyatakan pengetahuan adalah kesan yang didapatkan dari hasil pengolahan pancainderanya. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui kenyataan (fakta), penglihatan, pendengaran, serta keterlibatan langsung dalam suatu aktivitas. Pengetahuan juga didapatkan dari hasil komunikasi dengan orang lain seperti teman dekat dan relasi kerja. Pengetahuan yang tersimpan dalam ingatan ini digali saat dibutuhkan melalui bentuk ingatan mengingat (recall) atau mengenal kembali (recognition). Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa pengetahuan adalah hasil “tahu” yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui pancaindera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba yang sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Menurut Nasution (1999) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) faktorfaktor yang berpengaruh dalam tingkatan pengetahuan seseorang antara lain (1) tingkat pendidikan, (2) informasi, (3) budaya, (4) pengalaman (5) sosial ekonomi, (6) pengukuran tingkat pengetahuan. Walgito (2003) mendefinisikan pengetahuan adalah mengenal suatu obyek baru yang selanjutnya menjadi sikap terhadap obyek tersebut apabila pengetahuan itu disertai oleh kesiapan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan tentang obyek itu. Bila seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu obyek, itu berarti orang tersebut telah mengetahui tentang obyek tersebut. Karakteristik Lingkungan Sosial Lingkungan merupakan segala hal yang ada di sekitar manusia yang dapat dibedakan menjadi benda-benda mati atau benda-benda hidup, dengan kata lain terdapat lingkungan yang bersifat kealaman atau fisik, dan terdapat pula lingkungan yang mengandung kehidupan atau sosial (Walgito, 2003). Kedua jenis lingkungan tersebut akan mempengaruhi perilaku individu. Rakhmat, (2001) mengemukakan bahwa terdapat faktor situasional yang dapat mempengaruhi perilaku individu, di antaranya adalah lingkungan sosial masyarakat yang di dalamnya terdapat interaksi antar individu. Dapat disimpulkan bahwa lingkungan sosial adalah hubungan interaksi antara masyarakat dengan lingkungan.Sikap masyarakat terhadap lingkungan sosial dipengaruhi oleh nilai sosial, itulah hubungannya. Jika nilai sosial tentang lingkungan lantas berubah/terjadi pergeseran, maka sikap masyarakat terhadap lingkungan juga berubah/bergeser. Itulah sebabnya masyarakat dan nilai sosial selalu terlihat dinamis, terlepas dari baik dan buruknya lingkungan sosial. Lingkungan yang baik biasanya menggambarkan masyarakat yang baik, begitupun sebaliknya. Faktor kunci untuk keberhasilan dan keberlanjutan suatu program adalah membangun rasa memiliki di antara masyarakat dan para pemangku kepentingan, serta membangun sikap positif dan partisipatif. UU No. 17 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) tahun 2005-2025 memiliki tujuan salah satunya adalah menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan, serta mengoptimalkan masyarakat. Oleh karena itu pengembangan program diharapkan mampu untuk mengembangan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. 16 Pembangunan masyarakat diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat, di mana mereka mampu mengindentifikasikan kebutuhan dan masalah secara bersama (Raharjo 2006). Ada pula yang mengartikan bahwa pembangunan masyarakat adala kegiatan yang terencana untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi kemajuan sosial ekonomi masyarakat dengan meningkatkan partisipasi masyarakat. Zamhariri (2008) mengemukakan bahwa dalam Community Development (pembangunan masyarakat) mengandung upaya untuk meningkatkan partisipasi dan rasa memiliki (participating and belonging together) terhadap program yang dilaksanakan, dan harus mengandung unsur pemberdayaan masyarakat. Sikap dan partisipasi masyarakat tidak akan terlepas oleh dukungan dari lingkungan sosialnya. Oleh karena itu karakteristik sosial dalam penelitian ini dibatasi pada bagaimana peran tokoh masyarakat, peran kelompok dan intensitas kegiatan program. Tingkat Dukungan Tokoh Masyarakat Studi kepemimpinan dikenal adanya pemimpin formal dan informal. Tokoh masyarakat adalah orang-orang yang memiliki pengaruh pada masyarakat, tokoh masyarakat ada yang bersifat formal dan informal. Tokoh masyarakat yang bersifat formal adalah orang-orang yang diangkat dan dipilih oleh lembaga Negara dan bersifat struktural, Sedangkan tokoh masyarakat yang bersifat informal adalah orang-orang yang diakui oleh masyarakat karenah dipandang pantas menjadi pemimpin yang disegani dan berperan besar dalam memimpin dan mengayomi masyarakat. Pembangunan desa akan berhasil baik apabila didukung oleh partisipasi seluruh warga masarakat. Dan optimalisasi pembangunan sangat dipengaruhi oleh bagaimana fungsi yang dijalankan oleh pihak pemerintah sebagai pihak koordinator pelaksanaan pembangunan. Dalam hal ini pemerintahan harus mampu mengkoordinasikan berbagai unit dalam pemerintahan agar dapat mendayagunakan fungsi mereka dengan baik dan memberikan kontribusi yang nyata bagi proses pembangunan. Rogers dan Shoemaker 1971, menguraikan ciri-ciri yang harus dimiliki seorang pemimpin informal (opinion leaders) yang dapat mempengaruhi warga desa dalam adopsi inovasi yaitu yang memiliki ciri-ciri antara lain : (1) banyak berhubungan dengan media massa, (2) kosmopolit, (3) sering berhubungan dengan agen pembaharu, (4) partisipasi sosialnya besar, (5) status sosial ekonominya tinggi, dan (6) lebih inovatif dibanding dengan pengikutnya. Azwar (2009) mengemukakan bahwa salah satu hal yang mempengaruhi sikap masyarakat adalah adanya pengaruh orang lain yang dianggap penting, masyarakat cenderung akan mengikuti apa yang diberikan oleh tokoh masyarakat. Peran tokoh masyarakat baik formal maupun non-formal sangat penting terutama dalam mempengaruhi, memberi contoh, dan menggerakkan keterlibatan seluruh warga masyarakat di lingkungannya guna mendukung keberhasilan program. Pada masyarakat pedesaan, peran tersebut menjadi faktor determinan karena kedudukan para tokoh masyarakat masih berpengaruh. Sejalan dengan hal tersebut Febriana (2012) juga mengemukakan bahwa pemimpin formal dan tokoh masyarakat mampu membantu masyarakat dalam pengambilan keputusan. 17 Peran Kelompok Peran adalah tugas atau kewajiban yang harus dijalankan oleh seseorang oleh seseorang tersebut harus dilaksanakan dengan baik dan penuh dengan rasa tanggungjawab. Dalam pengembangan kegiatan program pendekatan kelompok juga merupakan suatu keharusan, karena secara sendiri-sendiri warga masyarakat sulit untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya, selain itu organisasi/kelompok adalah suatu power yang penting. Selain itu dengan pendekatan kelompok juga paling efektif, dan di lihat dari penggunaan sumberdaya juga lebih efisien (Karsidi, 2001). Jamasy (2004) mengemukakan bahwa, salah satu pola pendekatan pemberdayaan yang dianggap mampu mengangkat derajat ketidak-berdayaan masyarakat pesisir adalah dengan pendekatan kelompok. Melalui media kelompok, kreativitas masing-masing anggota kelompok akan mewarnai kehidupan kelompoknya masing-masing sekaligus menjadi media tukar menukar informasi, pengetahuan dan sikap. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tampubolon et al., (2006) bahwa tingkat keberhasilan pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan kelompok dipengaruhi oleh keefektifan dan kekeompakan kelompok. Setiawan (2009) menemukan bahwa pemberdayaan masyarakat pesisir tidak dapat dilakukan secara sendiri, akan tetapi perlu adanya kerjasama yang simultan dan lintas sektoral, dengan cara pendekatan partisipatif yakni melibatkan masyarakat dan pemerintah setempat daam bentuk pengelolaan bersama, di mana masyarakat berpartisipasi aktif baik dalam perencanaan sampai pada pelaksanaan. Pada hakekatnya, kegiatan pengembangan masyarakat adalah sebuah pembangunan yang menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi kemajuan kehidupan di berbagai bidang, baik ekonomi, sosial budaya maupun aspek kehidupan lain sehingga tercapai kesejahteraan, Dalam pengembangan masyarakat kita telah mengetahui prinsip-prinsip pengembangan masyarakat, namun dari sekian puluh prinsip yang ada, pokok intinya adalah partisipasi, kemandirian dan keswadayaan. Partisipasi diartikan bahwa setiap program melibatkan masyarakat, baik fisik, ide, dan materi. Keterlibatan disini memiliki makna keikutsertaan masyarakat secara fisikal dan mentalitas. Program selalu berasal dan untuk pemenuhan masyarakat, sehingga yang merencanakan adalah agen bersama masyarakat Intensitas Kegiatan Program Pengertian intensitas dalam kehidupan sehari-hari dapat dipahami sebagai ukuran atau tingkat. Intensitas juga dipahami sebagai suatu kekuatan yang mendukung suatu pendapat atau suatu sikap (Chaplin, 2006). Azwar mengartikan intensitas sebagai kekuatan atau kedalaman sikap terhadap sesuatu. Intensitas dapat diukur berdasarkan sejauhmana kedalaman informasi yang dapat dipahami oleh responden. Salah satu unsur keberhasilan program terkait erat dengan intensitas pendampingan masyarakat yang efektif dalam melaksanakan perannya sebagai ujung tombak pemberdayaan masyarakat. Cahyani (2008) mengemukakan bahwa perkembangan masyarakat untuk mencapai tingkat kematangan perlu dipercepat dengan kehadiran pendamping. Pendamping sebagai agen pembaharuan berperan sebagai juru penerang (pemberi informasi), guru, penasihat, pembimbing, konsultan dan pengarah. (Asngari, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Daud 18 (2011) menemukan bahwa peran pendamping berhubungan nyata dengan sikap kelompok pemanfaat program untuk berpartisipasi. Hal tersebut sejalan dengan Zamzami (2012) mengemukakan bahwa pendamping dalam program Mitra Mina membantu masyarakat agar lebih mudah untuk mengakses program dan membantu dalam mengelola modal yang diperoeh secara efisien. Karsidi (2001) juga mengungkapkan bahwa dalam pemberdayaan, seorang pendamping harus mampu belajar dari masyarakat. Pendamping adalah fasilitator, bukan guru dan tidak menggurui, saling belajar, saling berbagi pengalaman. Leilani dan Jahi (2006), mengemukakan bahwa kinerja seorang pendamping dapat dilihat dari kinerja yang merupakan fungsi dari karakteristik individu, dan merupakan peubah penting yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. sejalan hal tersebut, Budiyanto (2011) mengemukakan bahwa peran pendamping sebagai Tenaga Ahli Perencanaan Partisipatif (TAPP) dalam tahap perencanaan bukan untuk mengambil alih pengambilan keputusan melainkan untuk menunjukkan konsekuensi dari tiap keputusan yang diambil masyarakat, dengan kata lain menjadi fasilitator dalam proses pengambilan keputusan sehingga keputusan yang diambil akan rasional. Pengelolaan Program Keberhasilan suatu program tidak lepas dari bentuk pengelolaan yang dilakukan, di mana pengelolaan merupakan suatu bentuk aktivitas kerja yang melibatkan koordinasi dan pengawasan terhadap pekerjaan orang lain, sehingga pekerjaan tersebut dapat diselesaikan secara efisien dan efektif. Model CIPP (Conteks, Input, Proses, dan Produk) merupakan model yang dikembangkan oleh Daniel L. Stufflebeam dkk yang terkait pada perangkat pengambilan keputusan yang menyangkut perencanaan dan operasi sebuah program. Stufflebeam (Zhang et.,al 2011) membagi evaluasi menjadi empat komponen yaitu: Pertama Konteks (kejelasan program), yakni mencakup analisis masalah yang berkaitan dengan lingkungan program atau kondisi obyektif yang akan dilaksanakan. Berisi tentang analisis kekuatan dan kelemahan obyek tertentu (Widoyoko 2010). Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Stufflebeam yang menyatakan bahwa tahap konteks sebagai fokus institusi dengan mengidentifikasi peluang dan menilai kebutuhan. Tahap konteks memberikan informasi bagi pengambil keputusan dalam perencanaan suatu program yang akan berjalan. Kedua Input (pengelolaan sumberdaya), pelaksanaan kegiatan pengembangan masyarakat sendiri memerlukan keterlibatan berbagai pihak sebagai lingkungan soaial program, yakni masyarakat pelaksana program dan pemerintah daerah beserta perangkat kerjanya. Sebagimana yang dikemukakan oleh Widoyoko (2010) bahwa analisis pengelolaan sumberdaya (masukan) membantu mengatur keputusan menentukan sumber-sumber yang ada, alternative apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, dan bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya meliputi analisis personal yang berhubungan dengan bagaimana penggunaan sumber-sumber yang tersedia, alternativealternatif strategi yang harus mencapai suatu program. Komponen masukan meliputi: 1) sumberdaya manusia, 2) sarana dan peralatan pendukung, 3) dana atau anggaran, dan 4) berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan.