PEMASYARAKATAN SEBAGAI KONSEP INTEGRAL DALAM POLA PEMBINAAN NARAPIDANA Edi Yuhermansyah Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ar-Raniry Abstract The concept of prisoning based on the humanistic views that prisoner is a human which is not different from other people who may at any time make a mistake that can be a criminal. They doesn’t have to be eradicated, but only to the factors that caused them to do things that are contrary to law, morals, religion, and other social obligations. Thus, the existence of prison is to educate a prisoner. Good coaching is start by classifying and identifies the problem of each prisoner, so it will be easily to be solved and nurtured. This study uses a juridical-normative approach that focuses on literature or secondary data. Normative juridical approach is used in order to discuss the provisions of national legislation relating to the Penitentiary (LAPAS). This study is also a descriptive Analytical study, which is describing the main point of prisoning in relation with educating prisoner as an integral concept. The study shows that the concept of educating prisoner is based on the ideas of individualization and resosialisation. Individualization means that the coaching/educating system based on the characteristics of each prisoner. Resosialisation means that coaching must restored social and humanities value to the prisoner, to prepare them back to their community Kata Kunci: Pemasyarakatan, Pembinaan, Narapidana A. Latar Belakang Pembinaan narapidana mempunyai arti memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang lebih baik. Di antara sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong untuk membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan pada orang lain, serta mengembangkan rasa tanggungjawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat, dan selanjutnya berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi. Pembinaan terhadap pribadi dan budi pekerti yang dimaksudkan tidaklah tanpa batas, akan tetapi selama waktu tertentu memberi warna dasar agar narapidana kelak dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi dan taat terhadap hukum yang berlaku di masyarakat.1 Narapidana yang menjalani masa pemidanaan di Lapas harusnya mendapatkan perlakuan dan pembinaan yang mendorong re-orientasi pemahamannya terhadap nilai-nilai kehidupan. Apabila pembinaan bersifat rutinitas dan prosedural dapat dinilai pola pembinaan 1 Bambang Poernomo, 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, Hlm. 186-187. belum mencapai sasaran dari paradigma pemasyarakatan. Bukan berarti pola pembinaan baku-prosedur akan berakibat kegagalan dalam mengimplementasikan paradigma pemasyarakatan, namun perlu dipahami keberadaan Lapas memang mempunyai orientasi berbeda dibandingkan, lembaga Kepolisian, Kejaksaan atau Pengadilan. Lapas dalam fungsi dan perannya lebih menitikberatkan rehabilitasi dan re-sosialisasi bagi setiap narapidana yang didasarkan ketentuan formal sebagai bahan acuan dan parameter dalam pola pembinaan narapidana. Lapas berorientasi pada “pembinaan” maka perlu dinamisasi perlakuan yang mengacu pada kebutuhan dan kondisi riil dari setiap narapidana. Lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan dalam fungsi dan perannya lebih menitikberatkan upaya law enforcement yang berorientasi asas pada kepastian hukum. Tersangka dan terdakwa dalam efek phsykologis sebagai pesakitan, yang membutuhkan proses hukum selanjutnya untuk membuktikan ada atau tidaknya kesalahan. Paradigma Pemasyarakatan yang menjadi jiwa dan orientasi pembinaan bagi narapidana dikembangkan berdasarkan beberapa landasan konstitusional, yaitu Pancasila, khususnya Sila Kedua “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab”. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau UUD NRI 1945 khususnya Pembukaan Alinea Kedua dan Keempat serta BAB X Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (SMR) dan pola pembinaan yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Realita dan pengamatan bahwa pola pembinaan di Lapas mengacu sekedar mengisi waktu selama narapidana menjalani masa hukumannya dan sebagai institusi tertutup sehingga membatasi kebebasan individu dan sosial bagi narapidana, namun tertutupnya dari akses publik justru menjadi kartel kejahatan yang sepak-terjangnya tak jauh beda dengan perilaku jahat para penghuninya sebelum mendapat vonis hukuman. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam hal ini penulis memberikan rumusan masalah yaitu bagaimana sistem pemasyarakatan sebagai konsep integral dalam melaksanakan pola pembinaan terhadap narapidana dan bagaimana upaya-upaya progresif sebagai bagian dari konsep integral sistem pemasyarakatan dalam mempersiapkan narapidana supaya mampu menjadi warga masyarakat yang bertanggungjawab. Dalam membahas persoalan tersebut, maka penulis menggunakan metode penelitian normatif, yaitu penelitian yang didasarkan pada penelitian kepustakaan guna memperoleh data sekunder di bidang hukum yang terkait dengan pembahasan. B. Pidana dan Pemidanaan. Menurut Sudarto pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.2 Roeslan Saleh, menyatakan bahwa Pidana, adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.3 Dalam Black’s Law Dictionary, dinyatakan bahwa “Punishment” adalah any fine, penalty or confinement inflicted upon a person by authority of the law and the judgement and 2 Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, Hlm. 2. Roeslan Saleh, 1983, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, Hlm. 9. 3 sentence of a court, for some crime or offence committed by him, or for his omission of a duty enjoined by law.4 Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut: 1. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; 2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang); 3. Pidana itu dikenakan seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undangundang.5 Alf Ross, sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, menambahkan secara eksplisit untuk membedakan secara jelas antara Pidana dengan Tindakan Perlakuan (Treatment). Menurut Alf Ross, “Concept of Punishment” bertolak pada dua tujuan, yaitu: 1. Pidana ditujukan pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan; 2. Pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Menurut Alf Ross perbedaan antara “Punishment” dan “Treatment” tersebut tidak didasarkan pada ada tidaknya unsur pertama (unsur penderitaan), tetapi harus didasarkan pada ada tidaknya unsur kedua (unsur pencelaan).6 Adapun menurut H.L.Parker bahwa tujuan utama dari Treatment adalah untuk memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang bersangkutan. Fokusnya bukan pada perbuatannya yang telah lalu atau yang akan datang, tetapi pada tujuan untuk memberikan pertolongan kepadanya. Jadi dasar pembenaran Treatment ialah pada pandangan bahwa orang yang bersangkutan akan atau mungkin menjadi lebih baik. Sedangkan Punishment menurut H.L.Parker, pembenarannya didasarkan pada tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah 2. Untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar7 Hukum pidana atau pidana sebagai suatu tindakan atau perlakuan berorientasi pada punishment, sehingga dalam pelaksanaannya membutuhkan suatu mekanisme atau sistem yang melembaga untuk dapat melaksanakan kaidah-kaidah hukum pidana dengan bertanggungjawab. Apabila diperbandingkan antara Punishment dengan treatment, maka terlihat punishment berorientasi perlakuan terhadap subyek hukum yang melakukan perbuatan pidana dengan tujuan mencegah terulangnya perbuatan pidana tersebut dan mengenakan penderitaan terhadap si pelaku. Sedangkan, Treatment berorientasi pada upaya memperlakukan subyek 4 Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Hlm. 3-4. Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Ibid., Hlm. 4 6 Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Ibid., Hlm. 4-5 7 Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Ibid., Hlm. 5-6. 5 hukum karena adanya keyakinan bahwa upaya-upaya tersebut akan membuat menjadi lebih baik. C. Sistem Pemidanaan. Sistem pemidanaan merupakan sistem penjatuhan pidana, terdiri dari : a. Aspek Fungsional yaitu sistem pemidanaan yang berorientasi pada fungsi dan proses, terdiri dari: 1) Sistem peraturan perundang-undangan hukum pidana yang berperan dalam law enforcement atau ius operatum guna melaksanakan kaedah-kaedah hukum pidana sehingga dapat diterapkan secara konkret pada subyek hukum atau peristiwa hukumnya; 2) Sistem manajemen pengelolaan aparatur penegak hukum yang memiliki capability dan komitmen dalam upaya-upaya law enforcement. b. Aspek Normatif yaitu sistem pemidanaan dari tata nilai substantif atau isi normatif peraturan perundang-undangan hukum pidana, terdiri dari: 1) Sistem peraturan perundang-undangan hukum pidana yang bertujuan meletakkan asas-asas dan teori-teori hukum pidana; 2) Hukum pidana materiil untuk pemidanaan. Tujuan pemidanaan diformulasikan sebagai bagian integral dari sistem pemidanaan sebagai pedoman (quidance of sentencing), landasan filosofi dan justifikasi pemidanaan, agar tidak hilang dan tidak dilupakan dalam praktek. Sistem pemidanaan yang dituangkan dalam konsep dilatarbelakanggi oleh berbagai ide dasar atau prinsip-prinsip, sebagai berikut: a. Ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyarakat (umum dan kepentingan individu); b. Ide keseimbangan antara social welfare dengan social defence; c. Ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku atau offender (individualisasi pidana) dan victim (korban); d. Ide penggunaan double track system (antara pidana atau punishment dengan tindakan atau treatment atau measures); e. Ide mengefektifkan non custodial measures (alternatif to imprisonment); f. Ide elastisitas atau fleksibilitas pemidanaan (elasticity atau flexcibility of sentencing); g. Ide modifikasi atau perubahan atau penyesuaian pidana (modification of sanction the alteration or annulment or revocation of sanction; redetermening of punishment); h. Ide subsidiritas di dalam memilih jenis pidana; i. Ide permaafan hakim (rechterlijk pardon atau judicial pardon); j. Ide mendahulukan atau mengutamakan keadilan dan kepastian hukum.8 8 Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, Hlm. 20-21. Berkaitan dengan sistem pemidanaan, dalam RUU KUHP terdapat beberapa pasal yang langsung terkait dengan aspek pemidanaan. RUU KUHP Tahun 2005, dalam Pasal 54 dinyatakan sebagai berikut: a. Pemidanaan bertujuan : 1) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; 2) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; 3) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;dan 4) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. b. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. D. Lembaga Pemasyarakatan Atau Lapas. 1. Pidana Penjara. Ada beberapa sistem dalam pidana penjara yang dipakai di dunia, yaitu: 1) Pensylvanian System, yaitu terpidana dimasukkan dalam sel-sel tersendiri, ia tidak boleh menerima tamu baik dari luar maupun sesama narapidana, ia tidak boleh bekerja diluar sel satu-satunya pekerjaan ialah membaca buku suci yang diberikan kepadanya. Karena pelaksanaannya dilakukan di sel-sel maka disebut juga Cullulaire System. 2) Auburn System atau Silent System, yaitu pada waktu malam ia dimasukkan dalam sel secara sendiri-sendiri, pada waktu siangnya diwajibkan bekerja dengan narapidana lainnya tetapi tidak boleh saling berbicara diantara mereka. 3) English atau Ire atau Progessive System, cara pelaksanaan pidana menurut sistem ini adalah bertahap. Pada tahap pertama selama kurang lebih 3 bulan, terpidana menjalani seperti Cullulaire System. Tetapi setelah 3 bulan terbukti ia ada kemajuan kesadaran terpidana maka diikuti dengan pelaksanaan yang lebih ringan, yaitu ia boleh menerima tamu, berbincang-bincang dengan narapidana lainnya, sedang tahap berikutnya adalah lebih ringan yaitu terpidana boleh menjalani di luar tembok penjara.9 Didalam KUHP Pasal 10 dibutkan 2 (dua) jenis pidana hilang kemerdekaan bergerak, yaitu pidana penjara dan pidana kurungan. Sifatnya menghilangkan dan/membatasi kemerdekaan bergerak, menempatkan terpidana dalam suatu tempat (Lapas). Perbedaan antara pidana penjara dengan pidana kurungan adalah dalam segala hal pidana kurungan lebih ringan daripada pidana penjara. Lebih ringannya itu terbukti sebagai berikut: 1) Dari sudut macam atau jenis tindak pidana yang diancam dengan pidana kurungan, tampak bahwa pidana kurungan itu hanya diancamkan pada tindak pidana yang lebih ringan daripada tindak pidana yang diancamkan dengan pidana penjara. Pidana kurungan 9 Teguh Prasetyo, 2005, Hukum Pidana Materiil, Kurnia Kalam, Yogyakarta, Hlm. 132. 2) 3) 4) 5) 6) 7) banyak diancamkan pada jenis pelanggaran. Sementara itu, pidana penjara banyak diancamkan pada jenis kejahatan. Tindak pidana kejahatan lebih berat daripada tindak pidana pelanggaran; Ancaman maksimum umum dari pidana penjara (yakni 15 tahun) lebih tinggi daripada ancaman maksimum umum pidana kurungan (yakni 1 tahun). Bila dilakukan dalam keadaan yang memberatkan, pidana kurungan boleh diperberat tetapi tidak boleh lebih dari 1 tahun 4 bulan (KUHP, Pasal 18 Ayat (2), sedangkan untuk pidana penjara bagi tindak pidana yang dilakukan dalam keadaan yang memberatkan, misalnya pembarengan (KUHP, Pasal 65 Ayat (1) dan Ayat (2) dan pengulangan dapat dijatuhi pidana penjara dengan ditambah sepertiganya, yang karena itu bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara maksimum 15 tahun dapat menjadi maksimum 20 tahun; Pidana penjara lebih berat daripada pidana kurungan (KUHP, Pasal 69 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) dan Ayat (4); Pelaksanaan pidana denda tidak dapat diganti dengan pelaksanaan pidana penjara. Akan tetapi, pelaksanaan pidana denda dapat diganti dengan pelaksanaan kurungan disebut kurungan pengganti denda (KUHP, Pasal 30 Ayat (2); Pelaksanaan pidana penjara dapat saja dilakukan di lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia (dapat dipindah-pindahkan). Akan tetapi, pidana kurungan dilaksanakan di tempat (lembaga pemasyarakatan) di mana ia berdiam ketika putusan hakim dijalankan (tidak dapat dipindah) apabila ia tidak mempunyai tempat kediaman di daerah ia berada, kecuali bila Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, atas permintaan terpidana, meminta menjalani pidana di tempat lain (KUHP, Pasal 21); Pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan pada narapidana penjara lebih berat daripada pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan pada narapidana kurungan (KUHP, Pasal 19 Ayat (1) dan Ayat (2); Narapidana kurungan dengan biaya sendiri dapat sekedar meringankan nasibnya dalam menjalankan pidananya menurut aturan yang ditetapkan (Hak Pistole10, KUHP, Pasal 23).11 Pidana penjara merupakan salah satu sanksi pidana yang paling sering digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan, penggunaan pidana penjara sebagai sarana untuk menghukum para pelaku tindak pidana baru dimulai pada akhir abad ke-18 yang bersumber pada paham individualisme dan gerakan perikemanusiaan, maka pidana penjara ini semakin memegang peranan penting dan menggeser kedudukan pidana mati dan pidana badan yang dipandang kejam.12 10 Hak Pistole, adalah: hak yang dimiliki oleh narapidana untuk mengadakan kebutuhan pribadinya dengan menggunakan biaya dan kemampuan sendiri, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak diperkenankan melewati batas kewajaran. Hak Pistole, menurut KUHP, Pasal 23, hanya diberikan kepada narapidana yang dijatuhi oleh Hakim dengan sanksi pidana kurungan, sesuai KUHP, Pasal 18 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3). 11 Adami Chazawi, 2001, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan Dan Batas Berlakunya Hukum Pidana), Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hlm. 32-34. 12 Barda Nawawi Arief, 1996, Kebijakan Legislatif Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Undip, Semarang Hlm. 42. P.A.F. Lamintang, mengemukakan bahwa pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan dari seseorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang tersebut untuk mentaati semua peraturan tata-tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata-tertib bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut.13 Barda Nawawi Arief, mengemukakan bahwa pidana penjara tidak hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan, tetapi juga menimbulkan akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri.14 Andi Hamzah, menyampaikan bahwa pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan, kehilangan kemerdekaan tersebut bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga pidana pengasingan.15 Menurut Barda Nawawi Arief, efektifitas pidana penjara dapat ditinjau dari dua aspek pokok tujuan pemidanaan yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek perbaikan si pelaku, yang dimaksud dengan aspek perlindungan masyarakat meliputi tujuan mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan keseimbangan masyarakat (antara lain menyelesaikan konflik, mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerusakan atau kerugian, menghilang noda, memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat sedangkan yang dimaksud dengan aspek perbaikan si pelaku meliputi berbagai tujuan antara lain melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari perlakuan sewenang-wenang di luar hukum.16 Efektifitas pidana penjara jika dilihat dari aspek perlindungan masyarakat, maka suatu pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat mencegah atau mengurangi kejahatan. Jadi kriteria efektifitas dilihat dari seberapa jauh frekwensi kejahatan dapat ditekan. Jadi kriteria terletak pada seberapa jauh efek pencegahan umum (general prevention) dari pidana penjara dalam mencegah warga masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan kejahatan.17 2. Sistem Pemasyarakatan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Pasal 1 Ayat (6) menyebutkan seorang yang dipidana berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkarcht van gewijsdezaak), disebut terpidana, dan dalam Pasal 1 Ayat (7) menyatakan narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas. Dalam perspektif sejarah bahwa sistem pemasyarakatan yang sekarang diterapkan tidak terlepas dari adanya revitalisasi konsep sistem pemidanaan. Sejarah sistem pemidanaan dimulai dengan adanya sistem kepenjaraan pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, yang dikenal dengan adanya jenis tempat pemidanaan atau rumah tahanan, seperti: rephuis, bui, ketting kwartier, vrouwenttuchuis.18 13 P.A.F. Lamintang, 1984, Hukum Penitersier Indonesia, Armico, Bandung, Hlm. 69. Barda Nawawi Arief, Op.Cit., Hlm. 44. 15 Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 14 Hlm. 37 16 Dwidja Priyatno, Op.Cit., Hlm. 82. Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm. 224-225. 18 Andi Hamzah Dan Siti Rahayu, 1993, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia, 17 Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Pasal 1 Ayat (1) disebutkan: “Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.” Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 disebutkan: “Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilakukan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.” Konsep sistem pemasyarakatan bertujuan untuk memberikan bimbingan dan pembinaan para narapidana, menurut Sahardjo terdapat prinsip-prinsip pokok dari konsep sistem pemasyarakatan, yaitu: a. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat; b. Menjatuhkan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari negara; c. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa, melainkan dengan bimbingan; d. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga; e. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat; f. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara; g. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas Pancasila; h. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat; i. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan; j. Sarana phisik bangunan lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.19 3. Konsep Pembinaan. Pemasyarakatan merupakan suatu proses pembinaan narapidana yang sering disebut therapeutics process, maka jelas bahwa membina narapidana itu sama artinya dengan menyembuhkan seseorang dari penyakitnya, yaitu kesesatan hidupnya karena adanya kelemahan-kelemahan yang dimilikinya. Untuk melaksanakan therapeutics process tentunya Akademika Presindo, Hlm. 77. 19 Bambang Poernomo, 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, Hlm. 142. pembinaan dilakukan dengan sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satusatunya penderitaan, dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.20 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Pasal 1 Ayat (1), menyebutkan “Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani dari narapidana.” Dalam konsep pembinaan di Lapas, narapidana bukan saja obyek melainkan juga subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas, yang diberantas adalah faktor-faktor yang menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana. Oleh karena itu, proses pembinaan narapidana oleh Lapas dibutuhkan sarana dan prasarana pendukung guna mencapai keberhasilan yang ingin dicapai, meliputi: 1. Sarana Pemasyarakatan, dan 2. Petugas Pembinaan Di Lapas. E. Sistem Pemasyarakatan Sebagai Konsep Integral Dalam Melaksanakan Pembinaan Terhadap Narapidana. Lapas “dingin publikasi”, artinya tempat menghukum orang-orang bermasalah sehingga ada pembiaran atas kondisi mereka dengan pendapat tidaklah mudah merubah karakter dan paradigma pemikiran mereka (narapidana) dikarenakan dalam hidupnya orangorang tersebut tidak mempunyai banyak pilihan. Secara politik tidak banyak kondisi yang layak diangkat ke media publik dengan asumsi tidak mempunyai nilai jual yang tinggi. Seorang terpidana sejak dijatuhkannya amar putusan hakim berupa putusan hilang kemerdekaan atau pidana penjara dan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka terpidana akan ditempatkan dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) untuk menjalani hukuman dan sekaligus mendapatkan pembinaan sampai waktu tertentu. Narapidana akan menjalani proses pembinaan yang terbagi dalam tahap-tahap pembinaan dan pembimbingan yang dilaksanakan dari satu tahap ke tahap berikutnya sesuai waktu yang dijalani dan hasil pembinaan yang ditunjukkan. Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999, khususnya Pasal 6 s/d Pasal 10 dinyatakan: 1. Kepala LAPAS wajib melaksanakan pembinaan Narapidana. 20 Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1999, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemasyarakatan, Jakarta, Hlm. 50. 2. 3. Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kepala LAPAS wajib mengadakan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian atas kegiatan program pembinaan. Kegiatan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diarahkan pada kemampuan Narapidana untuk berintegrasi secara sehat dengan masyarakat. Melihat ketentuan Ayat (2) maka Kalapas mempunyai kewenangan untuk “perencanaan”, ditafsirkan perencanaan dilaksanakan berdasarkan kondisi riil yang melingkupi setiap Lapas. Salah satu faktor penentu yang menciptakan karakter suatu Lapas adalah “dominasi kasus”, artinya narapidana yang dihukum karena suatu kasus tertentu yang kasus tersebut mempunyai populasi yang paling banyak dibanding dengan kasus lainnya. Sehingga Kalapas dapat melakukan inovasi pembinaan sesuai kebutuhan dan dikoordinasikan dengan Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Depkumham. Adapun tahap-tahap pembinaan dan pembimbingan tersebut adalah : 1. Pembinaan Tahap Awal. Narapidana yang masuk ke Lapas, terlepas apakah narapidana baru atau pindahan dari Rutan atau Lapas tertentu maka yang bersangkutan akan melewati serangkaian pemeriksaan administratif-individual dengan teliti, terkait dengan: 1) Aspek Administratif, bahwa proses penerimaan dan pendataan awal dilaksanakan oleh Bagian Register Pemasyarakatan. Diperiksa kelengkapan data kependudukan dan penggeledahan terhadap barang-barang bawaan maupun badan terpidana untuk memastikan tidak ditemukan barang-barang terlarang dan tidak diijinkan dibawa ke dalam penjara (sel). Barang-barang bawaan yang tidak diperbolehkan dibawa masuk kedalam sel maka disimpan secara baik oleh petugas register yang pada akhir masa hukuman akan diberikan kepada narapidana yang bersangkutan atau diarahkan dibawa pulang oleh keluarga narapidana tersebut atau sementara waktu disimpan petugas yang nantinya akan diserahkan kepada keluarga narapidana. 2) Aspek Yuridis-Formal, kelengkapan berkas-berkas salinan putusan pengadilan, seperti ; peraturan perundang-undangan yang dilanggar si terpidana, lama hukuman, alasan penghukuman, residivis atau bukan residivis, berita acara serah terima terpidana. Kode registrasi berdasarkan vonis hukuman : a. B. 1: dipidana lebih dari 1 (satu) tahun; b. B. 2.A: dipidana lebih dari 3 (tiga) bulan sampai 1 (satu) tahun; c. B. 3.B: dipidana 1 (satu) hari sampai 3 (tiga) bulan; d. B. 3.S: hukuman kurungan, hukuman penganti denda atau subsider. 3) Aspek Identitas Personal, mengambil sidik jari dan dicocokkan dengan sidik jari dalam lampiran vonis hakim pengadilan, pas foto, ciri-ciri fisik baik alami atau bawaan, apakah orang tersebut benar-benar yang terdaftar dalam vonis, wawancara untuk mengetahui kondisi kejiwaan. 4) Aspek Kesehatan, diperiksa kesehatan phsykis, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan organ vital dan kulit-kelamin. Sifatnya untuk menemukan gejala-gejala awal penyakit atau bahkan menemukan penyakit tertentu. Proses selanjutnya disebut Masa Pengenalan Lingkungan atau Mapenaling. Narapidana ditempatkan pada sel tersendiri (narapidana yang bersangkutan sementara waktu dijadikan satu blok sel dengan narapidana yang menjalani mapenaling) terpisah dengan narapidana lain yang telah lebih dahulu menghuni Lapas. Mapenaling wajib diikuti semua narapidana baru, waktunya antara 1 (satu) bulan sampai dengan 2 (dua) bulan. Mapenaling dijadikan dasar pertimbangan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) untuk nantinya apakah akan memberikan hak-hak narapidana atau ditunda. 1) Masa pengenalan lingkungan atau Mapenaling, meliputi : a) Kepribadian: membangkitkan nilai-nilai kemanusiaan supaya menemukan jati-diri sebenarnya terlepas dari sifat jahat yang pernah melingkupinya dan mampu menilai hal benar dan salah. b) Agama (sesuai agama masing-masing): reorientasi kembali kepada nilai-nilai hakiki dari ajaran agama yang dianut oleh narapidana. c) Hak dan Kewajiban: Lapas merupakan masyarakat mini atau laboratoium hidup mini yang tugas utamanya menghilangkan residu yang menempel pada komponenkomponen yang ada di kelompok masyarakat tersebut. d) Kesamaptaan: memupuk sikap disiplin dan pemahaman bahwa untuk mendapatkan sesuatu kebutuhan ada tata cara yang baik dan lazim digunakan oleh masyarakat sehingga perlu proses yang bertanggungjawab. e) Etika: kebanyakan narapidana mempunyai nilai etika yang kurang namun jenis kasus tertentu perwujudan etiket mereka sangat baik, misal penipuan-penggelapan, kasus korupsi, kasus terorisme, dll. 2) Latihan Kriminon atau Tidak Jahat atau Crime Non. Crime Non: memberikan pemahaman dan tekanan phsykologis pada pribadi si narapidana supaya merasa bersalah dan akhirnya menyadari kesalahannya, sehingga dalam menjalani masa hukuman akan dijalani dengan ikhlas, penuh tanggungjawab dan bermoral. Instruktur adalah eks.narapidana, dipilih berdasar kriteria tertentu sejak eks.narapidana masih jadi narapidana. 3) Pengenalan Ketrampilan Kerja atau PKK. Memperkenalkan kegiatan-kegiatan ketrampilan yang terdapat di Lapas, walaupun belum terlibat penuh tapi narapidana tersebut mulai membantu dari keberadaan kegiatan ketrampilan yang ada. Tujuannya setelah selesai menjalani tahap mapenaling, akan memiliki rencana kegiatan apa yang akan diikuti sesuai ketersediaan sarana ketrampilan kerja. Pembinaan Tahap Awal. Pembinaan Tahap Awal dijalani sampai 1/3 (sepertiga) masa pidananya. Pengamatan terhadap narapidana meliputi kepribadian, motifasi kejahatan, lingkungan kejahatan dan lingkungan kehidupan. Sedangkan untuk narapidana, mengenal lebih jauh situasi dan kondisi Lapas, proses pembinaan dan hak-hak narapidana serta pembinaan pribadi dan pembinaan kemandirian. TPP akan memberikan rekomendasi, apabila hasil temuan dari TPP “negatif” maka narapidana yang bersangkutan akan dibina kembali dalam masa Mapenaling sampai 1 (satu) atau 2 (dua) bulan kedepan, apabila tahap kedua ini narapidana tetap sulit dibina atau tidak bisa melewati crime non maka akan dipindah ke Lapas lain. Apabila hasilnya “positif” narapidana akan ditentukan penempatannya baik nama blok maupun nomor selnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Pasal 12 dan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan, maka penempatan dilakukan dengan memperhatikan penggolongan narapidana, yaitu: Jenis kelamin, Umur, Lama pidana yang dijatuhkan, Jenis kejahatan, Residivis dan bukan residivis, dan Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. Tujuan pendataan dan pemisahan berdasarkan kategori, adalah : 1) Perlindungan harkat, martabat dan hak asasi manusia; 2) Melindungi dari dampak buruk kehidupan sosial di lembaga pemasyarakatan; 3) Melindungi dan menjaga nilai-nilai kehidupan pribadi ; 4) Optimalisasi pembinaan; 5) Meminimalkan permasalahan; 6) Memudahkan pengawasan. Pembinaan Tahap Lanjutan. 1) Tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan ½ (setengah) dari masa pidana, bahwa secara normal dijalani narapidana selama 1 (satu) sampai 2 (dua) bulan saja selanjutnya menjalani masa pembinaan dan resosialisasi, yaitu pada Tahap Pembinaan Lanjutan. 2) Tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana, bahwa rentang waktu masa hukuman sesuai sanksi pidana yang telah dijatuhkan kepadanya. Setelah dijalani sampai ½ (setengah) dari masa pidananya, pembinaan mulai diarahkan pada proses asimilasi dan tahap integrasi awal dengan masyarakat luar dengan pengawasan minimum. Berupa cuti mengunjungi keluarga dan kegiatan yang melibatkan masyarakat (community treatment). Pembinaan Tahap Akhir. Sejak berakhirnya tahap lanjutan kedua (telah menjalani 2/3 (dua per tiga) masa hukumannya termasuk penggurangan masa hukuman yang diperoleh karena mendapatkan remisi umum atau remisi khusus) sampai berakhirnya masa pidana dan/atau narapidana telah memenuhi syarat-syarat pembebasan (pengembalian ke masyarakat). Pembinaan dilakukan diluar Lapas yaitu oleh Balai Pemasyarakatan atau Bapas yang dilakukan dengan pemberian Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Pembebasan Bersyarat (PB). Dalam hal-hal tertentu pembinaan tahap akhir dilakukan di Lapas. F. Metode Pembinaan Narapidana Dengan Sistem Pemasyarakatan. Konsep pemasyarakatan yang berkembang pada arah pembinaan dengan mengedepankan nilai-nilai community service atau Lapas terbuka.Masyarakat umum bebas untukberinteraksi dengan narapidana dan petugas namun hanya di dalam area tersebut dan mendapatkan pengawasan dari Polsuspas. Adapun ruang lingkup Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan mencakup pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian, seperti Pembinaan Kesadaran Beragama, Pembinaan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara, Pembinaan Kemampuan Inteletual, Pembinaan Kesadaran Hukum dan Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat atau pembinaan sosial kemasyarakatan. Pembinaan dan pembimbingan kemandirian, meliputi: Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri, Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha indutri kecil, Ketrampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakat masing-masing dan Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atau kegiatan pertanian (perkebunan) dengan menggunakan teknologi. Orientasi pembimbingan dan pembinaan kemandirian diarahkan : 1) Praktis : setelah dipelajari langsung dapat dipraktekkan ; 2) Minim modal : dengan peralatan seadanya mampu mendukung dan menciptakan lapangan kerja ; 3) Tidak melihat lokasi : bersifat fleksibel tanpa mempermasalahkan lokasi apalagi butuh lokasi strategis ; 4) Prospek : prospek keberlanjutan usaha dan prospek membuka networking, sehingga diharapkan media usaha tersebut mampu membuka hubungan sosial. Dalam sistem pemidanaan dikenal ide individualisasi, artinya membina narapidana sesuai dengan karakteristik narapidana secara pribadi. Terkait dengan ide individualisasi pemidanaan maka titik-tolak pemahaman dimulai bahwa tujuan sistem pemasyarakatan adalah pembinaan dan resosialisasi narapidana. Guna menjabarkan dan mengaktualisasikan konsep pembinaan dan resosialisasi narapidana tersebut maka diperlukan Lapas dengan karakter pembinaan dan berbagai jenis kegiatan pendukung yang mampu menterjemahkan nilai-nilai yang terkandung dalamkonsep pembinaan dan konsep resosialisasi tersebut. Bahwa ide individualisasi atau kategori penempatan narapidana sebenarnya merupakan ide yang sudah lama dipikirkan dan juga sudah tertuang dalam Undang-Undang Tentang Pemasyarakatan, namun dalam perkembangan ide individualisasi ini belum secara konsisten dan terkonsep untuk diwujudkan dikarenakan berbagai kendala yang masih melingkupinya. Misalnya kendala pendanaan, infrastruktur, sumber daya manusia, formulasi kebijakan, penelitian yang berkelanjutan tentang ilmu penologi dan stigma buruk terhadap narapidana. Ide individualisasi merupakan konsep sistem pemasyarakatan yang dipandang baik setidaknya dalam sudut pandang aspek keamanan, fokus pembinaan dan meminimalkan pengaruh negatif yang mungkin terjadi antara sesama narapidana. Jenis kejahatan juga merupakan salah satu karakteristik ide individualisasi pemidanaan dalam pembinaan narapidana. Untuk itu di dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana haruslah dipisahpisahkan berdasarkan jenis kejahatannya. Konsep individualisasi tersebut dapat diwujudkan dalam ketegorisasi: 1) Rumah Tahanan Negara atau Rutan, bahwa fungsi penjara untuk menempatkan tahanan. Tahanan, adalah subyek hukum yang masih menjalani proses hukum atas perkara yang didakwakan terhadapnya, atas kesalahannya belum mendapatkan kekuatan hukum tetap. Berdasarkan presumption not innocence yang bersangkutan tetap dianggap belum bersalah sampai mendapatkan putusan pengadilan atas kesalahan yang didakwakan terhadapnya. Sekaligus memenuhi alasan-alasan penahanan dalam KUHAP, Pasal 21 Ayat (1). Di dalam Rutan dapat ditempatkan narapidana dengan pidana jangka pendek, yaitu narapidana yang dipidana paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan. 2) Lembaga Pemasyarakatan Terbuka. Fungsi LapasTerbuka (open prison)21 tidak bisa dilepaskan dari tahap-tahap pemasyarakatan. Pembinaan bagi narapidana menurut sistem pemasyarakatan menitik beratkan kepada upaya pemulihan kesatuan hubungan hidup dan kehidupan antara narapidana dengan masyarakat (reintegrasi). Ada 3 (tiga) Lapas terbuka di Indonesia, yakni; Lapas Terbuka di Jakarta, di Cinere, Lapas Terbuka Plantungan di Kendal Jawa Tengah, dan Lapas Terbuka Nusakambangan di Cilacap Jawa Tengah. Lapas terbuka dapat berpengaruh terhadap narapidana dalam proses pemasyarakatan, yakni narapidana menjadi tidak terasing dari masyarakat, karena salah satu fungsi lembaga pemasyarakatan terbuka adalah sebagai lembaga pembangunan yang mengikut sertakan manusia narapidana menjadi manusia pembangunan yang produktif. Selain itu, guna mengatasi kelebihan kapasitas maka bagi narapidana yang dijatuhi pidana jangka pendek tidak harus masuk Lapas karena dapat menambah padatnya jumlah narapidana yang berada di dalam Lapas, sehingga dapat membawa dampak negatif terhadap narapidana.Adapun tujuannya mencegah agar jangan terjadi pemaksaan pengaruh dari narapidana yang satu terhadap narapidana lainnya, maupun bentuk pemerasan terlebih-lebih prisonisasi (Prisonitation).22 G. Kesimpulan 1. Lapas mempunyai tugas dan kewenangan yang berbeda dengan lembaga lainnya dilingkup criminal justice system, bahwa Lapas merupakan muara terakhir sebagai tempat untuk membina dan melakukan reorientasi dari narapidana. Sehingga dalam pelaksanaan tugasnya Lapas menggabungkan antara kaidah-kaidah hukum normatif dengan aspek sosio-phsykologis dari narapidana; 2. Pembinaan narapidana yang dilakukan dengan konsep monoton dan bersifat umum dipandang tidak mampu secara optimal membentuk narapidana menjadi manusia-manusia dengan memiliki bekal keterampilan dan kesadaran yang mendalam atas kesalahannya dan keinginan menjadi manusia yang lebih baik, sehingga pada waktu nantinya kembali menjadi anggota masyarakat betul-betul mampu mandiri dalam mencukupi kebutuhan 21 Pengertian lembaga pemasyarakatan terbuka dapat diambil padanannya dari: Prison Camp, Minimum security camp for the detention of trustworthy prisoners who are often employed, on government projects. Black’s Law Dictionary, Bryan A. Garner, editor inchhief, West Group, St. Paul, Min, 1999, Hlm. 121. 22 Prisonitation (prisonisasi), istilah yang digunakan oleh TP. Morris dalam bukunya yang berjudul “Pentoville” (1963) untuk menggambarkan tingkah laku nyata narapidana yang bertujuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan penjara namun sebenarnya mereka menolak untuk mentaati aturan. Soerjono Soekanto dan Pudji Santoso, 1985,Kamus Kriminologi, Ghalia, Jakarta, Hlm. 77. hidupnya dan mampu memiliki kejiwaan dan emosional yang stabil sehingga tidak mudah terhasut atau terbawa arus kesesatan. DAFTAR PUSTAKA Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan Dan Batas Berlakunya Hukum Pidana), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. Andi Hamzah, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993. Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Jakarta: Akademika Presindo, 1993. Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Yogyakarta: Liberty, 1986. Pemasyarakatan, Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dengan Pidana Penjara, Semarang: Badan Penerbit Undip, 1996. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1999, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemasyarakatan, Jakarta, 1999. Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2006. Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni. P.A.F. Lamintang, Hukum Penitersier Indonesia, Bandung: Armico, 1984. Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, 1983. Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Materiil, Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005