1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan bukan saja terjadi di kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tanaman tumbuhan dan hewan. Oleh karena manusia adalah makhluk yang berakal, maka perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat. Perkawinan juga merupakan peristiwa hukum yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita menimbukan suatu akibat-akibat tertentu dalam kehidupan, baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Dewasa ini, hukum yang berlaku di bidang perkawinan bagi warga negara Indonesia adalah hukum perkawinan nasioanal di bawah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (LNRI Tahun 1974 No. 1; TLNRI No. 3019). Undang-undang ini (selanjutnya disebut Undang-undang Perkawinan) dikeluarkan tanggal 2 Januari 1974 tetapi pelaksanaannya secara efektif baru mulai berlaku tanggal 1 Oktober 1975 (Pasal 49 ayat (1) PP Nomor 5 Tahun 1975). Sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan yang merupakan peraturan perundangundangan yang bersifat nasional, Pemerintah Indonesia mengadopsi peraturan dari jaman pemerintahan Hindia Belanda yang membagi masyarakat ke dalam 1 2 beberapa golongan penduduk, dengan adanya golongan penduduk ini, maka perkawinan di Indonesia diatur dalam:1 1. 2. 3. 4. 5. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum Agama Islam. Bagi orang Indonesia asli lainnya, berlaku Hukum Adat daerah masing-masing. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huweljks Ordonantie Chistien Indonesier (S. 1993 No.74) selanjutnya disebut HOCI. Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan Cina berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan. (selanjutnya disebut KUHPerdata). Bagi orang Timur Asing lain-lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya, berlaku hukum adat mereka. Setelah Undang-Undang Perkawinan diberlakukan, maka terjadilah unifikasi hukum dalam perkawinan di Indonesia, tetapi unifikasi ini unik karena masih memberi peluang berlakunya berbagai system hukum, terutama system hukum agama dan hukum adat. . Dalam Pasal 1 Undang-undang Perkawinan ditentukan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorangwanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa”. Dengan demikian, perkawinan itu adalah suatu perikatan (verbindtenis), yaitu ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita. Tetapi penting juga dipahami bahwa perkawinan tidaklah hanya semata-mata merupakan suatu perbuatan perdata saja, melainkan juga sebagai suatu perbuatan keagamaan sebab sebagaimana ditentukan dalam 1 Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama,CV. Mundur Maju, Bandung, hal . 97. (selanjutnya disebut Hilman Hadikusuma I) 3 Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, suatu ikatan perkawinan itu adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya. Kemajemukan masyarakat dengan keberagaman agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat Indonesia, tentu juga menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam tata cara pelaksanaan perkawinan. Mengenai hal ini, Mary Welstead menyebutkan bahwa: “Religious Ceremonies : ‘Where the parties wish to marry in a religious ceremony, different rules apply to different religious denominations. Each religious denomination has the right to refuse permission to a couple to marry in a particular place of workship’.2, yangartinya: Upacara keagamaan: ”Dimana setiap keinginan untuk melakukan pesta perkawinan atau upacara perkawinan (keagamaan), setiap aturan yang digunakan berbeda-beda dalam setiap golongan, karena masing-masing pasangan tidak sama dalam memeluk agama dan kepercayaannya, hal ini menyatakan bahwa setiap golongan agama memiliki peraturan masing-masing dalam hal untuk memberikan izin melaksanakan upacara keagamaannya (perkawinan)”. Perbedaan-perbedaan dalam tatacara melangsungkan perkawinan dalam masyarakat Indonesia memang dimungkinkan sebab Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dengan tegas mengakui adanya prinsip kebebasan beragama.3 Walaupun Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa sahnya perkawinan dilakukan menurut hukum agama, tetapi pada umumnya tata cara perkawinan juga dipengaruhi oleh adat istiadat setempat. Misalnya, dalam masyarakat patrilineal tata cara dimulai dari masa perkenalan bujang gadis yang 2 Mary Welstead, , 2006, Family Law, Oxford University Press, , New York, hal 15. Subekti, 2002, Hukum Keluargadan Hukum Waris, PT Intermasa, Jakarta, hal. 1. 3 4 kebanyakan berlaku di tempat kediaman pihak gadis. Setelah berkenalan dan mengadakan hubungan kasih cinta antara bujang dan gadis, maka pihak bujang yang menaruh minat untuk melamar si gadis melakukan pelamaran langsung kepada orang tua pihak gadis atau dengan menggunakan perantara atau dengan mengirim utusan.4 Pada masyarakat dengan sistem kekerabatan matrlineal, di mana tata cara perkawinannya dimulai sejak sebelum perkawinan sampai sesudah perkawinan. Sebelum perkawinan mula-mula dilakukan penjajakan, kemudian peminangan resmi (pelamaran) dan bertukar tanda perkawinan.5 Dalam acara ini yang berperanan adalah perantara. Sedangkan dalam masyarakat dengan sistem kekerabatan parental, tata cara perkawinannya dilangsungkan dengan sederhana tidak seperti sistem kekerabatan patrilineal dan matrilineal. Tidak hanya dalam tata cara perkawinan terdapat perbedaan-perbedaan, tujuan perkawinan pada masing-masing agama mungkin juga terdapat perbedaan penekanan. Mengenai tujuan perkawinan, Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan hanya menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk “...membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Konsep “keluarga bahagia” ini mungkin saja tidak sama bagi setiap agama, sehingga tidak tertutup kemungkinan bahwa tujuan perkawinan pada masing-masing agama juga berbeda. Jika ditinjau dari hukum Islam tujuan perkawinannya adalah untuk mendapatkan keturunan, untuk mencegah maksiat dan untuk membina keluarga rumah tangga yang damai dan teratur. Sedangkan menurut hukum agama Kristen tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu 4 5 Hilman Hadikusuma I, op. cit., hal . 97. Hilman Hadikusuma I, op. cit., hal. 99. 5 persekutuan hidup yang kekal antara pria dan wanita berdasarkan cinta kasih. Menurut hukum agama Kristen Katolik tujuan perkawinan adalah untuk melahirkan anak dan mendidik anak serta saling tolong menolong antara suami isteri dan obat nafsu (Kan. 1013 KHK 17) sifat hakiki perkawinan ialah monogami, tidak terceraikan dan sakramen6. Menurut hukum agama Hindu tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan dan untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan menurunkan seorang putra (yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka).7 Sedangkan menurut hukum agama Budha tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga) bahagia yang diberkahi oleh Sanghyang Adi Budha atau Tuhan Yang Maha Esa, para Budha dan para Bodhisatwa-Mahatsatwa. Dilihat dari pluralisme sistem kekerabatan di Indonesia, tujuan perkawinan pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal tentu berbeda dengan masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan matrilineal atau parental. Pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, perkawinan bertujuan mempertahankan garis keturunan bapak, sehingga anak laki-laki (tertua) harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil isteri (dengan pembayaran uang jujur), di mana setelah terjadinya perkawinan isteri ikut (masuk) dalam kekerabatan suami dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan bapaknya. Sebaliknya pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal, perkawinan bertujuan mempertahankan garis keturunan 6 J. Konigsmann, 1989,Pedoman Perkawinan Geredja Katolik, Nusa Indah, Ende Flores. hal. 26-27. 7 G. Pudja M.A, 1974, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu (didasarkan Manusmriti), Dirjen Bimas Hindu & Budha Depag, Jakarta, hal. 9. 6 ibu, sehingga anak wanita (tertua) harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil suami ikut (masuk) dalam “kekerabatan isteri dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan orang tuanya”. Tujuan perkawinan untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan di dalam klan masing-masing masih berlaku hingga sekarang, kecuali pada masyarakat yang bersifat parental, di mana ikatan kekerabatannya sudah lemah seperti berlaku di kalangan orang Jawa, dan juga bagi keluarga-keluarga yang melakukan perkawinan campuran antara suku bangsa atau antara agama yang berbeda. Di Bali, masyarakat adatnya menganut sistem kekerabatan patrilineal, yang lebih dikenal dalam masyarakat di daerah ini dengan sebutkan sistem kekeluargaan purusa atau kapurusa8. Dalam sistem kekeluargaan ini berlaku asas-asas: 1. 2. 3. keturunan dilacak dari garis laki-laki; dalam perkawinan seorang istri dilepaskan hubungan hukumnya dengan keluarga asalnya, selanjutnya masuk dalam keluarga suami; dan anak yang lahir dari perkawinan tersebut mengikuti keluarga pihak bapak9 Berdasarkan asas-asas di atas, maka kehadiran keturunan (anak), terutama keturunan laki-laki dalam suatu keluarga sangat penting. Pentingnya anak lakilaki dalam suatu keluarga, paling tidak dapat dilihat dalam tiga aspek, yaitu: 1. 2. 8 Anak laki-laki sebagai penerus generasi, yaitu meneruskan garis kekeluargaan dalam satu keluarga(klan) purusa; Anak laki-laki yang menjaga dan meneruskan tanggungjawab (hakhak dan kewajiban) dalam keluarga, baik lahir maupun bhatin (sekalaniskala), seperti: memelihara dan memberi nafkah kepada keluarga terutama orang tuanya sudah tua, melaksanakan upacara agama Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi FH Unud, Denpasar, hal. 78 9 Ibid., hal. 79-80. 7 3. termasuk mengabenkan keluarga yang sudah meninggal, astiti-bhakti (menyembah) roh leluhur di sanggah/merajan, dan lain-lain; Anak laki-laki menggantikan orang tuanya untuk melaksanakan tanggung jawabnya (swadharma) dalam masyarakat (banjar/desa pakraman) baik di bidang pawongan, palemahan, maupun parhyangan10. Dalam ajaran Agama Hindu yang dianut oleh masyarakat adat Bali, pentingnya suatu dikemukakan pada keluarga mempunyai keturunan (anak), antara lain, Pasal 161 Buku IX Manawa Dharmasastra.11 Anak diumpamakan sebagai sebuah perahu yang nantinya diharapkan dapat membebaskan roh seseorang yang sedang mengalami penderitaan akibat siksaan di neraka. Untuk dapat menyelamatkan penderitaan roh tersebut dari penyiksaan, maka seorang anak yang merupakan keturunan dari roh tersebut harus memiliki anak atau putra yang dapat membebaskan roh leluhur tersebut dari neraka. Dari uraian di atas, maka ukuran ideal “keluarga bahagia” dalam perspektif masyarakat adat di Bali yang patrilineal adalah suatu keluarga yang utuh, terdiri dari suami, istri dan anak (dalam hal ini laki-laki). Itulah yang menjadi tujuan perkawinan bagi suatu masyarakat Hindu di Bali. Apabila dalam sebuah perkawinan tidak dapat mempunyai anak laki-laki sebagai penerus keturunan, maka keluarga tersebut disebut ceput atau putung, yaitusuatu kondisi di mana suatu keluarga tidak mempunyai pelanjut keturunan12. Untuk menghindari keputungan, ternyata hukum adat Bali sudah menyediakan jalan keluar, yaitu: 10 I Ketut Sudantra, I Gusti Ngurah Sudiana, dan Komang Gede Narendra, 2011, Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali, Udayana University Press, Denpasar, hal. 4. 11 Gde Pudja dan Tjokorda Rai Sudharta, 1978, Manawa Dharmasastra, Dit.Jen Bimas Hindu dan Departemen Agama RI, Jakarta, hal 572. 12 Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, op.cit., hal. 94. 8 1. 2. melalui lembaga pengangkatan anak (ngidih pianak/meras sentana), yaitu mengangkat anak orang lain menjadi sentana (pelanjut keturunan); atau menetapkan anak perempuan sebagai sentana rajeg, yaitu anak perempuan yang berkedudukan (dikukuhkan statusnya) sebagai penerus keturunan sekaligus sebagai ahli waris dalam keluarga13 Walaupun hukum adat Bali sudah menyediakan pilihan-pilihan sebagai jalan keluar agar suatu keluarga tidak keputungan, tetapi tidak semua keluarga dapat memilih jalan keluar yang disediakan itu. Dewasa ini, tidak lagi mudah untuk mendapatkan seorang anak yang dapat dijadikan anak angkat. Seiring dengan keberhasilan program pemerintah dalam program Keluarga Berencana (KB) khususnya di Bali, banyaknya pasangan suami istri di Bali yang hanya memiliki satu atau dua sehingga sangat sulit bagi keluarga tersebut untuk mengijinkan anaknya untuk diangkat anak oleh orang lain. Demikian juga, tidak jarang satu keluarga mengalami kesulitan untuk mengikuti pilihan menetapkan anak perenmpuan menjadi sentana rajeg. Agar sentana rajeg itu dapat sempurna melaksanakan tanggung jawabnya untuk meneruskan keturunan dalam keluarganya, maka yang bersangkutan harus melakukan perkawinan keceburin, di manasuaminyalah yang dilepaskan hubungan hukumnya (hak dan kewajibannya) dengan keluarga asalnya selanjutnya masuk dalam garis kekeluargaan si istri yang berstatus sentana rajeg itu (suami mengikuti istri)14. Mengambil pendapat I Gusti Ayu Agung Ariani menyatakan bahwa perbedaan perlakuan terhadap perempuan yang berbasis 13 14 8-9. Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, op.cit., hal. 95-97. I Ketut Sudantra, I Gusti Ngurah Sudiana, dan Komang Gede Narendra, op.cit., hal. 9 gender mengakibatkan kerugian pada peremupuan.15 Dengan demikian diperlukan adanya kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan jika dalam suatu keluarga hanya memiliki anak tunggal laki-laki atau perempuan. Mengingat suksesnya program Keluarga Berencana seperti disebutkan di atas, dewasa ini tidak mudah lagi mendapatkan laki-laki yang bersedia kawin nyeburin. Kesulitan-kesulitan di atas menimbulkan suatu dilema bagi suatu pasangan calon mempelai yang sama-sama anak tunggal dalam keluarga untuk memilih bentuk-bentuk perkawinan konvensional yang sudah lazim dilakukan. Seperti diketahui, bentuk-bentuk perkawinan yang lazim selama ini di Bali adalah bentuk perkawinan biasa (istri ikut suami) dan bentuk perkawinan nyeburin (suami ikut istri). Apabila yang dipilih adalah bentuk perkawinan biasa, risikonya adalah keluarga calon mempelai perempuan mengalami keputungan. Sebaliknya, apabila dipilih bentuk perkawinan nyeburin, risikonya keluarga calon mempelai laki-laki yang mengalami keputungan. Belakangan ini, pihak-pihak yang mengalami masalah dalam memilih bentuk perkawinan seperti di atas, berusaha mencari jalan keluarnya sendiri walau belum ada payung hukum yang memadai untuk itu, yaitu dengan memilih bentuk perkawinan pada gelahang atau perkawinan mepanak bareng atau perkawinan pada negen ayah. Perkawinan pada gelahang, atau apapun istilah yang digunakan, ini adalah bentuk perkawinan yang tidak termasuk perkawinan biasa dan perkawinan nyeburin, melainkan suami isteri tetap berstatus purusa di rumahnya masing- 15 I Gusti Ayu Agung Ariani, 2005, “Hukum, Budaya dan Pariwisata : Akses dan Kontrol Perempuan Terhadap Harta Kekayaan Keluarga dalam Sistem Kekeluargaan Patrilineal di Bali (Kasus di Kawasan Wisata Desa Adat Legian, Kuta Bali)”, Disertasi, PDIH, Undip, Semarang. Hal. 34 10 masing, sehingga harus mengemban dua tanggung jawab dan kewajiban (swadarma) yaitu meneruskan tanggung jawab keluarga isteri maupun keluarga suami baik itu sekala maupun niskala secara terus menerus atau dalam jangka waktu tertentu, sesuai kesepakatan antara suami dan isteri juga keluarga masingmasing, yang dituangkan dalam perjanjian perkawinan. Dengan demikian, bentuk perkawinan pada gelahang merupakan bentuk perkawinan alternatif dengan tujuan untuk menghindari keceputan atau keputungan dalam suatu keluarga. Bentuk perkawinan pada gelahang ini sesungguhnya telah ada dari jaman dahulu dan dilakukan di beberapa tempat/desa pakraman di Bali, namun belum banyak dikenal oleh masyarakat adat Bali pada umumnya, sehingga masih menjadi perbincangan yang menarik di kalangan masyarakat adat di Bali. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Wayan P. Windia didalam bukunya yang berjudul “Perkawinan Pada Gelahang di Bali” persebaran perkawinan pada gelahang pada masing-masing Kabupaten/Kota di Prov. Bali sampai tahun 2012 tampak pada tabel dibawah ini Tabel 1 Sebaran Perkawinan pada Gelahang Pada Masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, 2012:16 No. Kabupaten Jumlah 1. Jembrana 7 2. Tabanan 17 3. Badung 1 4. Denpasar 6 16 Wayan P. Windia dkk., 2012, Perkawinan Pada Gelahang di Bali, Udayana University Press,Denpasar, hal. 47. 11 5. Gianyar 7 6. Klungkung 4 7. Bangli 1 8. Karangsem 2 9. Buleleng 4 Jumlah 49 Dewasa ini bentuk perkawinan pada gelahang ini sudah memiliki kedudukan yang jelas baik dilihat dari sudut agama, adat maupun hukum. Berdasarkan Paruman (musyawarah) Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali tanggal 29 Desember 2008 disimpulkan bahwa perkawinan negen dadua (perkawinan pada gelahang) dapat dibenarkan dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Hindu. Menurut PHDI Bali perkawinan pada gelahang merupakan pergeseran budaya yang positif di mana melalui perkawinan pada gelahang memunculkan hak anak perempuan untuk mewaris dari orang tuanya. Sehingga merupakan penghargaan terhadap hak asasi manusia khususnya hak anak perempuan17. Lembaga adat di Bali juga mengakui eksistensi perkawinan pada gelahang. Dalam Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali tanggal 15 Desember 2010 diputuskan bahwa dimungkinkan dipilihnya perkawinan pada gelahang bagi calon pengantin yang karena keadaannya tidak memungkinkan melangsungkan perkawinan biasa atau nyeburin (nyentana).18 Dari aspek legal, eksistensi perkawinan pada gelahang juga sudah diakui oleh 17 Putu Dyatmikawati, 2013, Kedudukan Perkawinan Pada Gelahang, Udayana University Press, Denpasar, hal. 210. 18 Lihat Lampiran Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor 01/KEP/PSM3/MDP Bali/X/2010. 12 yurisprudensi Mahkamah Agung. Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1331 K/Pdt1/2010 dapat diketahui sikap Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa perkawinan pada gelahang adalah sah menurut hukum”19. Walaupun eksistensi perkawinan pada gelahang sudah diakui baik oleh lembaga agama, lembaga adat dan lembaga hukum, tetapi masih ada beberapa masalah dalam perkawinan pada gelahang yang penting dan relevan untuk dikaji secara kritis, antara lain mengenai kedudukan anak yang lahir dari perkawinan pada gelahang. Sampai saat ini masih menjadi pertanyaan sangat mendasar mengenai kedudukan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut, apakah semuanya berkedudukan sebagai penerus keturunan dari semua keluarga (keluarga suami dan keluarga istri) atau ditentukan bahwa anak yang lahir dari perkawinan tersebut “dibagi”, misalnya satu atau dua orang berkedudukan sebagai pelanjut keturunan keluarga pihak suami sedangkan yang lainnya berkedudukan sebagai pelanjut keturunan keluarga pihak istri. Penentuan mengenai kedudukan anak tentu saja akan menjadi persoalan yang rumit karena tidak hanya menyangkut suami-istri dan anak-anaknya saja, melainkan juga dapat menyangkut pihak lain (pihak ketiga), misalnya keluarga atau kerabat terdekat dari pihak suami dan istri. Tidak tertutup kemungkinan masalah ini akan menjadi “bom waktu” yang merugikan kedudukan anak-anak tersebut dikemudian hari apabila masalah ini tidak mendapatkan penyelesaian yang memadai dari segi hukum. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Wayan P. Windia dapat diketahui bahwa untuk menghindari 19 terjadinya permasalahan Putu Dyatmikawati, op.cit., hal. 241. mengenai kedudukan anak 13 dikemudian hari, pada umumnya calon mempelai mengantisipasinya dengan membuat suatu perjanjian mengenai kedudukan anak yang lahir dari perkawinan tersebut, perjanjian mana dibuat sebelum atau pada waktu perkawinan berlangsung. Perjanjian kawin yang dibuat oleh pasangan calon mempelai sebelum atau pada waktu berlangsungnya perkawinan mungkin merupakan sesuatu yang tidak lazim dalam hukum adat Bali. Penulis belum menemukan literatur hukum adat yang membahas mengenai perjanjian kawin, tetapi dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Wayan P. Windia tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian kawin sudah mulai tumbuh dan dipraktekkan dalam masyarakat adat di Bali. Apa yang terjadi ini dapat saja dipandang sebagai perkembangan hukum adat Bali, sebab hukum adat itu memang mempunyai sifat yang dinamis, tumbuh dan berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dilihat dari sudut legal-formal, perjanjian kawin dapat saja dilakukan dalam perkawinan pada gelahang dengan mengacu pada ketentuan Pasal 29 Undang-undang Perkawinan. Seperti diketahui, Undang-undang ini berlaku secara nasional, sehingga berlaku juga bagi pelaksanaan perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat adat Bali. Pasal 29 Undang-undang Perkawinan selengkapnya menentukan sebagai berikut: 1. 2. 3. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan, bilamana melanggar batasbatas hukum, agama dan kesusilaan. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. 14 4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Pasal ini tidak secara ekplisit menunjuk mengenai lingkup isi suatu perjanjian perkawinan, sehingga menjadi pertanyaan apakah suatu perjanjian kawin dapat memperjanjikan kedudukan anak yang lahir dalam suatu perkawinan. Apabila rumusan Pasal 29 ini dibaca secara cermat, maka secara substansial dapat diketahui undang-undang menyerahkan isi perjanjian kawin kepada para pihak, dalam hal ini para calon mempelai, tentu saja sepanjang tidak melanggar batasbatas hukum, agama dan kesusilaanseperti yangditentukan dalam Pasal 29 ayat(2). Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam hukum perjanjian. Permasalahannya kini terletak pada tolok ukur “batas-batas hukum, agama dan kesusilaan” yang disebutkan dalam Pasal 29 ayat (2) yang tidak jelas. Apa yang dapat dijadikan kreteria untuk menentukan suatu perjanjian kawin bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan. Batas-batas “hukum” yang dimaksud oleh Pasal 29 ayat (2) ini mungkin masih bisa dilacak pada hukumhukum perkawinan yang pernah berlaku yang masih bisa diberlakukan berdasarkan Pasal KitabUndang-undang 66 Undang-undang Perkawinan, Hukum Perdata (Burgerlijk yaitu hukum Wetboek), adat, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op degemengde Huwelijken S.1898 No. 158), dan peraturan- peraturan lainyang mengatur tentang perkawinan. Demikian juga batas-batas agama, mungkin masih bisa dilacak pada 15 ajaran agama yang dianut masing-masing calon mempelai, tetapi batas-batas “kesusilaan” sangatlah multitafsir mengingat rasa susila tiap-tiap orang ataupun kelompok masyarakat sangatlah hiterogen. Seperti diketahui, norma kesusilaan adalah norma yang mengatur hidup manusia yang berlaku secara umum dan bersumber dari hati nurani manusia. Berdasarkan uraian di atas, menjadi penting dan relevan dilakukan penelitian yang mendalam mengenai perjanjian kawin yang memperjanjikan kedudukan anak dalam perkawinan pada gelahang. Pertanyaannya adalah: apakah perjanjian perkawinan pada gelahang yang meperjanjikan kedudukan anak dapat disahkan dan bagaimana pula akibat hukum perjanjian perkawinan pada gelahang tersebut terhadap kedudukan anak yang lahir dari perkawinan pada gelahang. Penelitian ini penting tidak saja karena suatu perjanjian berlaku sebagai undangundang bagi pihak yang membuat perjanjian (Asas Pacta Sun Servanda) dan mengikat pihak ketiga, tetapi yang lebih penting dari itu adalah karena perjanjian ini juga menyangkut nasib anak yang belum dilahirkan, yang tentu saja tidak dapat dimintakan persetujuannya. Peneletian ini juga relevan dilihat dari aspek perkembangan masyarakat Bali. Dalam perkembangan masyarakat Bali dewasa ini, perkawinan pada gelahang sudah menjadi alternatif yang mulai banyak dipilih oleh calon mempelai yang karena suatu keadaan tidak mau memilih bentuk-bentuk perkawinan yang konvensional (perkawinan biasa dan nyeburin). Oleh karena itu aspek legal dari setiap aspek perkawinan pada gelahang mendalam, dan jelas. penting untuk dikaji secara cermat, 16 Orisinalitas penelitianadalah bagian penting dalam penelitian hukum dan tentunya penelitian-penelitian dalam ilmu lainnya. Penelitian hukum untuk kepentingan akademis (terutama untuk kepentingan skripsi, tesis dan disertasi) disyaratkan harus bersifat original. Orisinalitas penelitiandiwujudkan melalui pernyataan penulis yang menyatakan bahwa tesis benar-benar dibuat sendiri dan tidak melakukan plagiat serta kesediaan menerima sanksi apabila dikemudian hari terbukti melakukan plagiat. Masalah orisinalitas menjadi sangat penting seperti dikatakan Ruus VerSteeg “In order to be copyrightable, a work must be ‘original’”.20 Di Amerika Serikat, The Copyright Act of 1976, secara tegas menyatakan bahwa orisinalitas adalah syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan hak cipta. The Copyright Act States menyatakan “copyright protection subsites… in original work of authorship…102 (a). Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Feist Publication,Inc.v. Rular Tel. Serv. Co menyatakan “The sine qua non of copyright is originaly”.21 Menurut Terry Hutchinson, orisinalitas mengandung berbagai pengertian sebagai berikut : a. Saying something nobody has said before ( mengatakan sesuatu yang belum pernah dikatakan oleh orang lain sebelumnya); b. Carrying out empirical work that hasn’t dome before (melaksanakan pekerjaan empiris yang belum pernah dikerjakan sebelumnya); c. Making synthesis that hasn’t been made before (membuat sintesa yang belum pernah dibuat sebelumnya); d. Using already know materials but with new interprestation (menggunakan bahan-bahan yang telah diketahui tetapi dengan interprestasi baru) Ruus VerSteeg, 1993, “Rethingking Originaly, William and mary Law Review, Volume 34, Issue 3”, Article 8, Vol.34:801, hlm. 802. 21 Ibid. 20 17 e. Trying out something in this country that has previously only been done in other countries (mencoba sesuatu yang baru dalam negeri yang sebelumnya hanya pernah dilakukan di luar negeri); f. Taking in particular technique and applaying it in new area (mengambil sesuatu teknik tertentu dan menerapkannya pada wilayah yang baru); g. Bringing new evidence to bear on an old issue (mengajukan bukti baru untuk menunjang isu yang lama); h. Being cross-disciplinary and using different methodologies (menjadikan lintas disipliner dan menggunakan metode yang berbeda); i. Taking someone else’s ideas and reinterpreting them in away no one else has (mengambil ide/gagasan orang lain dan menafsirkan kembali dengan cara yang belum pernah dilakukan orang lain); j. Looking at areas that people in your discipline haven’t looked before (melihat pada wilayah orang yang berada dalam satu disiplin dengan kamu yang belum pernah dilihat sebelumnya); k. Adding to knowledge in away that hasn’t previously been done before (menambah pengetahuan dan yang belum pernah dilakukan sebelumnya); l. Looking at exsiting knowledge and teting it out (melihat pengetahuan yang telah ada dan kemudian mencobanya); m. Playing with word. Putting things together in ways that other havent’t bothered to do (menempatkan sesuatu secara bersama-sama dengan cara yang belum pernah dilakukan secara bersama-sama).22 Orisinalitas bertujuan untuk mencegah tindakan plagiat. Orang yang melakukan tindakan plagiat disebut plagiator. Dalam pendidikan terjadinya tindakan plagiat dapat berimplikasi “trust in academic integrity breaks down”.23Robert D. Bill menyatakan “educator despite plagiarism”.24Plagiat di dunia pendidikan harus dicegah dan bila terjadi harus segera ditanggulangi. Relevansi penelitian ini juga bisa dipertanggung jawabkan dari segi orisinalitas penelitian. Sepanjang pengetahuan penulis, sampai saat ini belum ada penelitian yang secara spesifik meneliti aspek legal dari perjanjian perkawinan 22 Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook Co, Hal.128. Deborah R. Gerhardt, “Plagiarism in Cyberspace:Learning the Rules of Recycling Content With A View Toward Nuturing Academic Trust in An electronic World”, Richmond Journal of Law & Tecnology, Volume XII, Issue 3, Hal. 2. 24 Robert D. Bills, 1990, “Plagiarism in Law School: Close Resemblance of The Worst Kind, Santa Clara Law Review, Volume 31, Number 1”, Article 4, Hal. 103. 23 18 dalam perkawinan pada gelahang. Dalam penelusuran terhadap penelitianpenelitian terdahulu di kepustakaan diakui ditemukan ada beberapa penelitian yang mempunyai keterkaitan dengan perjanjian perkawinan tetapi mempunyai substansi yang berbeda dengan penelitian ini. Berikut ini dapat diuraikan beberapa penelitian yang terkait. Pertama, penelitian tesis yang dilakukan oleh Kadek Dwi Tusidhi pada Program Studi Kenotariatan Universitas Udayana Denpasar. Penelitian Tusidhi berjudul AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN YANG TIDAK DISAHKAN DI KANTOR CATATAN SIPIL BAGI WARGA NEGARA INDONESIA TERHADAP KEPEMILIKAN HAK MILIK ATAS TANAH DALAM PERKAWINAN CAMPURAN dengan rumusan permasalahan sebagai berikut: 1. 2. Bagaimana keabsahan perjanjian perkawinan yang tidak disahkan di kantor catatan sipil? Akibat hukum tidak disahkannya perjanjian perkawinan di kantor catatan sipil terhadap kepemilikan hak milik atas tanah bagi warga negara Indonesia dalam perkawinan campuran.25 Yang kedua, penelitian tesis yang dilakukan oleh Ria Desviastanti dari Universitas Diponegoro Semarang, yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HARTA DALAM PERKAWINAN DENGAN PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN KAWIN. Adapun rumusan masalah dari penelitian tesis tersebut di atas adalah : 1. 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap harta dalam perjanjian perkawinan? Bagaimana kendala-kendala yang dihadapi terhadap pelaksanaan perjanjian kawin tersebut? 25 Kadek Dwi Tusidhi, 2014, “Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan yang Tidak Disahkan di Kantor Catatan Sipil Bagi Warga Negara Indonesia Terhadap Kepemilikan Hak Milik Atas Tanah Dalam Perkawinan Campuran”,Tesis Program Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal. 18. 19 3. Bagaimana wewenang dan tanggung jawab Notaris atas akta perjanjian kawin yang dibuatnya? 26 Yang ketiga, adalah penelitian tesis yang dilakukan Rahmadhan Wira Kusuma dari Universitas Diponogoro Semarang,. Tesis yang berjudul PEMBUATAN PERJANJIAN KAWIN SETELAH PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA KEPADA PIHAK KETIGA (Study kasus Penetapan Pengadilan Jakarta Timur), itu mengangkat rumusan masalah sebagai berikut: 1. 2. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur mengabulkan permohonan penetapan terhadap pembuatan perjanjian kawin yang dilakukan setelah perkawinan? Bagaimana akibat hukumnya pembuatan perjanjian kawin setelah perkawinan yang didasarkan pada penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur?27 Dari uraian di atas dengan tegas dapat dikatakan bahwa penelitian- penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan. Walaupun semua penelitian yang disebutkan di atas meneliti masalah perjanjian kawin, tetapi tidak satupun dari penelitian-penelitian tersebut yang mengkaji perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang. 1.2. Rumusan Masalah Ria Desviastanti, 2010, “Perlindungan Hukum Terhadap Harta Dalam Perkawinan dengan Pembuatan Akta Perjanjian Kawin”,Tesis Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Univ Dipenogoro, Semarang, hal. 20. 27 Rahmadhan Wira Kusuma, 2009, “Pembuatan perjanjian Kawin Setelah Perkawinan dan Akibat Hukumnya Kepada Pihak Ketiga (Study Kasus Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur)”, Tesis Program Study Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Univ Diponogoro, Semarang, hal. 16. 26 20 Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah keabsahan perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang yang memperjanjikan kedudukan hukum anak dalam keluarga? 2. Apakah akibat hukum perjanjian perkawinan pada gelahang dibidangkeluarga dan harta perkawinan? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum dalam bidang ilmu kenotariatan dan bidang hukum perkawinan dan keluarga,serta mendalami perjanjian khususnya, terkait pentingnya perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang terhadap konsekuensi hukum bagi para pihak, dan juga konsekuensi hukum terhadap anak yang dilahirkan kelak . Ilmu sebagai proses, maka ilmu tidak pernah final dalam penggaliannya, termasuk dalam kaitannya dengan persoalan perkawinan dan perjanjian perkawinan. 1.3.2 Tujuan Khusus Selain tujuan umum yang telah dipaparkan tersebut di atas, penelitian ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang bersifat khusus, yaitu: 1. Untuk mengkaji, dan menganalisa secara mendalam tentang keabsahan perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada memperjanjikan kedudukan anak dalam keluarga.; gelahang yang 21 2. Untuk mengetahui dan menganalisa secara mendalam akibat hukum yang ditimbulkan dari perjanjian perkawinan padagelahangterhadap keluarga dan harta perkawinan. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya di bidang pengembangan ilmu kenotariatan dan hukum perjanjian serta hukum keluarga dan perkawinan adat, yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang. 1.4.2. Manfaat praktis Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan kontribusi terhadap masyarakat adat Bali, mengenai perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang. Masyarakat yang memilih bentuk perkawinan pada gelahang dan mengetahui keabsahan perjanjian perkawinan yang isinya tentang pengaturan pembagian kedudukan anak atau pembagian keturunan, sehingga masyarakat dapat mengetahui anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan pada gelahang tersebut bisa mendapatkan perlindungan hukum terkait dengan status hukum dan hubungan hukum kekeluargaannya. 1.5.Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran 1.5.1. Landasan Teoritis Ilmu hukum dalam perkembangannya selalu ketergantungan dan mempunyai keterkaitan dengan teori-teori hukum. Secara sederhana dapat dikatakan, dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya dikenal sebagai 22 teori.28 Teori adalah merupakan sebuah proses yang menghasilkan keseluruhan pernyataan yang memiliki keterkaitan dengan sebuah objek. Ahli teori yaitu Jan Gijssels dan Mark Van Hoccke berpendapat bahwa : Teori adalah segala yang mencakup pernyataan-pernyataan, pandanganpandangan dan pengertian-pengertian yang memiliki keterkaitan secara logikal dengan suatu bidang kenyataan yang kemudian dirumuskan sedemikian rupa sehingga menjadi suatu hal yang mungkin untuk digunakan dalam menjabarkan hipotesis-hipotesis sebuah sistem pernyataan-pernyataan (klaim-klaim), pandangan-pandangan dan pengertian-pengertian yang saling berkaitan secara logikal berkenaan dengan suatu bidang kenyataan, yang dapat diuji.29 Selain yang disebutkan di atas sebagai bahan perbandingan, Duane R. Munette mengemukakan pendapatnya mengenai teori yang merupakan seperangkat keterangan yang dan sistem dedukasi yang saling berhubungan, yang dapat mengemukakan penjelasan atas suatu masalah.30 Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa teori merupakan variabel-variabel yang kebenaranya telah teruji sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan permasalahan-permasalahan yang sifatnya umum. Sebagaimana yang telah dijelaskan secara garis besar dapat dikatakan bahwa, teori adalah suatu dasar untuk menyederhanakan pemahaman akan suatu hal yang merupakan rangkaian dari berbagai penjelasan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang bersifat umum.31 28 Soerjono Soekanto. 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 30. (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I) 29 Salim H.S., 2009, Perkembangan Teori dan ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta,hal. 9. (selanjutnya disebut Salim H.S. I) 30 Ibid. 31 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 134. 23 Dalam penelitian ini, teori-teori hukum, asas-asas hukum dan konsep hukum yang akan penulis gunakan dalam memecahkan pokok permasalahan yang akan dikaji dalam tesis ini adalah teori kepastian hukum, teori perjanjian, asas kebebasan berkontrak, teori perlindungan hukum, asas kekuatan mengikat dan konsep akibat hukum perkawinan. Teori-teori, asas-asas, dan konsep hukum tersebut akan diuraikan di bawah ini. 1.5.1.1. Teori Kepastian Hukum Teori kepastian hukum ini untuk memecahkan masalah pertama, yang membahas tentang keabsahan perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang yang memperjanjikan kedudukan anak dalam keluarga. Apakah secara hukum perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang tersebut di atas dikatakan sah atau tidak. Teori kepastian hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch menyatakan bahwa :”sesuatu yang dibuat pasti memiliki cita atau tujuan”.32 Jadi, hukum dibuat pun ada tujuannya, tujuannya ini merupakan suatu nilai yang ingin diwujudkan manusia.Tujuan hukum yang utama ada tiga, yaitu: keadilan untuk keseimbangan, kepastian untuk ketetapan, kemanfaatan untuk kebahagian. Perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang tersebut juga dibuat berdasarkan cita dan tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan juga kemanfaatan. Pemikiran para pakar hukum, bahwa wujud dari kepastian hukum pada umumnya berupa peraturan tertulis yang dibuat oleh suatu badan atau lembaga 32 Muhamad Erwin, 2011, Filsafat Hukum: Refleksi krisis terhadap hukum,PT. Raja Garfindo Persada, Jakarta, hal. 123. 24 yang mempunyai otoritas akan hal itu. Kepastian hukum itu sendiri merupakan salah satu asas dalam tata pemerintahan yang baik, karena kepastian akan membuat warga masyarakat mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan hukum dalam hal ini terkait dengan isi dari perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang tersebut. Suatu kepastian hukum mengharuskan terciptanya suatu peraturan umum atau kaidah umum yang berlaku secara umum, serta mengakibatkan bahwa tugas hukum umum untuk mencapai kepastian hukum (demi adanya ketertiban dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia). Hal ini dilakukan agar terciptanya suasana yang aman dan tentram dalam masyarakat luas dan ditegakkannya serta dilaksanakan dengan tegas.33 Maka dari itu perlu kiranya dibuatkan pengaturan tentang perjanjian perkawinan yang mengatur tentang pembagian anak atau kedudukan hukum anak dalam sistem kekeluargaan. Dalam kaitannya dengan teori kepastian hukum ini O. Notohamidjojo mengemukakan berkenaan dengan tujuan hukum yakni : Melindungi hak dan kewajiban manusia dalam masyarakat, melindungi lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat (dalam arti luas, yang mencakup lembaga-lembaga sosial di bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan), atas dasar keadilan untuk mencapai keseimbangan serta damai dan kesejahteraan umum (bonum commune)34. Selanjutnya dikemukakan : Hukum yang berwibawa itu ditaati, baik oleh pejabatpejabat hukum maupun oleh justitiabelen yaitu orang-orang yang harus menaati hukum itu. Hukum akan bertambah kewibawaannya, jika : 33 Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung, hal. 15. (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II) 34 O. Notohamidjojo,1970, Makna Negara Hukum , BPK, Jakarta, hal. 80. 25 1. 2. 3. 4. Memperoleh dukungan dari value sistem yang berlaku dalam masyarakat. Hukum salah satu jenis norma dalam value sistem yang berlaku akan lebih mudah ditopang oleh norma sosial lain yang berlaku. Hukum dalam pembentukannya ordeningssubject atau pejabat-pejabat hukum, tidak diisolasikan dari norma-norma sosial lain, bahkan disambungkan dengan norma-norma yang berlaku. Kesadaran hukum dari para justitiabelen. Wibawa hukum akan bertambah kuat apabila kesadaran hukum yang baru. Kesadaran hukum pejabat dari pejabat hukum yang dipanggil untuk memelihara hukum dan untuk menjadi penggembala hukum, pejabat hukum harus insaf dan mengerti bahwa wibawa hukum itu bertambah apabila tindakannya itu tertib menurut wewenanganya dan apabila ia menghormati dan melindungi tata ikatannya (verbandsorde).35 Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja berkaitan dengan kepastian, beliau menyatakan sebagai berikut: Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diusahakan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat teratur, tetapi merupakan syarat mutlak bagi suatu organisasi hidup yang melampaui batas-batas saat sekarang. Karena itulah terdapat lembaga-lembaga hukum, seperti perkawinan, hak milik dan kontrak. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang dijelmakan olehnya manusia tak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal dalam masyarakat tempat ia hidup.36 Teori Kepastian Hukum di dalam penelitian tesis ini digunakan untuk memecahkan permasalahan pertama mengenai keabsahan perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang. Dengan kata lain, perjanjian perkawinan ini harus menimbulkan kepastian hukum bagi para pihak yang menempuh bentuk perkawinan pada gelahang. 1.5.1.2. Teori Perjanjian Perjanjian adalah suatu “perbuatan” yaitu perbuatan yang mempunyai akibat hukum. 35 Perjanjian juga bisa dibilang sebagai suatu perbuatan untuk Ibid.,hal. 83 Mochtar Kusumaatmadja, 1970, “Fungsi dan perkembangan Hukum dalam pembangunan Nasional”, Majalah Pajajaran, No 1 Jilid III, Bandung, hal. 6. 36 26 memperoleh seperangkat hak dan kewajiban, yaitu akibat-akibat hukum yang merupakan bagian dari konsekuensinya. Perbuatan hukum dalam perjanjian merupakan perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan sesuatu, yaitu memperoleh seperangkat hak dan kewajiban. Ketentuan pasal 1313 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Teori Perjanjian yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perjanjian menurut Mariam Darus Badrulzaman. Pada intinya teori ini berpendapat bahwa perjanjian adalah mengandung asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada sebuah perjanjian itu tidak hanya semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, melainkan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan secara moral, sehingga asas moral, kepatutan, dan kebiasaan yang mengikat para pihak.37 Sementara itu menurut R. Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.38 Dengan demikian inti dari suatu perjanjian adalah “saling mengikatkan diri”. Dari pendapat para sarjana di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam perjanjian terdapat beberapa unsur yaitu :39 1. Ada pihak-pihak. Pihak disini adalah subyek perjanjian sedikitnya dua orang dan harus mempunyai wewenang melakukan perbuatan hukum sesuai yang ditetapkan oleh undang-undang. 37 Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 87. (selanjutnya disebut Mariam Badrus Badrulzaman I) 38 R. Setiawan, 2002, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, hal. 49. 39 Patrik Purwahid, 1991, Hukum Perdata II, Undip, Semarang, hal. 23. 27 2. 3. 4. 5. Ada persetujuan antara pihak-pihak, yang besifat tetap dan bukan merupakan suatu perundingan. Akan ada tujuan yang akan dicapai. Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan para pihak hendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang. Ada prestasi yang akan dilaksanakan. Hal ini dimaksudkan bahwa prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan. Hal ini berarti bahwa perjanjian bisa dituangkan secara lisan atau tertulis. Hal ini sesuai dengan ketentuan undang-undang yang menyebutkan bahwa dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat. Dari pandangan diatas, rumusan yang terkandung dari perjanjian tersebut mengartikan bahwa sesungguhnya dari suatu perjanjian hanya melahirkan kewajiban atau prestasi dari satu orang atau lebih (pihak) kepada satu atau lebih (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi yang ditimbulkan dari perjanjian tersebut. Teori perjanjian dalam penulisan tesis ini digunakan untuk memecahkan permasalahan pertama mengenai keabsahan perjanjian perkawinan yang dibuat oleh calon pasangan suami istri dalam perkawinan pada gelahang terkait orang atau status anak yang dijadikan objek perjanjian dalam perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang. 1.5.1.3. Asas Kebebasan Berkontrak Pengaturan hukum kontrak menganut sistem terbuka (open system). Artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan 28 berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: 1. membuat atau tidak membuat perjanjian, 2. mengadakan perjanjian dengan siapapun, 3. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya dan 4. menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau lisan. Latar belakang lahirnya kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan Rosseau.40Menurut paham individualisme setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam asas kebebasan berkontrak. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas, karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan (sosial ekonomi) masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat (ekonomi) untuk menguasai golongan lemah (ekonomi). Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat, diungkapkan dalam exploitation de homme par I’homme. Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. 40 Mariam Darus Badrulzaman, 1993, KUH Perdata, Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung, hal. 19-20. (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman II) 29 Paham ini tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Oleh karena itu, menurut Salim HS kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum.41 Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu diawasi. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Melalui campur tangan pemerintah ini terjadi pemasyarakatan (vermastchappelijking) hukum kontrak. Asas kebebasan berkontrak ini sebagai pisau analisis untuk memecahkan rumusan masalah pertama. 1.5.1.4. Teori Perlindungan Hukum. Perlindungan hukum adalah merupakan suatu upaya untuk memberikan suatu hak kepada masyarakat dan dilindungi sesuai dengan kewajiban yang dilaksanakan. Jika dikaitkan dengan penelitian ini khususnya dalam permasalahan hukum waris adat, wujud perlindungan hukum bagi pihak mempelai perempuan di lingkungan keluarga asalnya dan perlindungan hukum bagi anaknya di lingkungan keluarga masing-masing seperti apa yang tertuang dalam perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang. Philipus M. Hadjon menyebutkan perlindungan hukum dalam kepustakaan hukum berbahasa Belanda dikenal dengan sebutan “Rectbescherming van de 41 Salim HS, 2003, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9. (selanjutnya disebut Salim H.S II) 30 burgers”.42 Pendapat tersebut di atas menyebutkan kata perlindungan hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Rectbescherming” yang dapat diartikan dalam kata perlindungan terdapat suatu usaha untuk memberikan hak kepada para pihak yang patut dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilaksanakan. Perlindungan hukum merupakan suatu konsep yang universal dalam sebuah negara hukum. Sifat dari perlindungan hukum ada dua yaitu preventif dan represif. Preventif adalah perlindungan hukum yang diberikan sebelum terjadinya sengketa dengan tujuan mencegah sengketa terjadi, dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah menjadi bentuk yang difinitif, sedangkan perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa apabila terjadi suatu pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan atau norma-norma hukum yang berlaku. Kedua bentuk perlindungan hukum di atas bertumpu dan bersumber pada pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia serta berlandaskan pada prinsip-prinsip negara hukum. Secara teoritik perlindungan hukum selalu dikaitkan dengan konsep rechtstaat dan rule of law karena lahirnya konsep-konsep tersebut tidak terlepas dari keinginan memberikan pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia. Perlindungan hukum adalah merupakan suatu upaya untuk memberikan suatu hak kepada yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang dilaksanakan, yang dalam hal ini terkait perlindungan hukum terhadap anak-anak 42 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, hal. 1. (selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon I). 31 yang dilahirkan dari perkawinan pada gelahang, terkait dengan kedudukan hukum kekeluargaannya. Teori perlindungan hukum ini digunakan untuk menjawab permasalahan kedua mengenai status dan akibat hukum yang ditimbulkan dari perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahangterhadap keluarga dan harta perkawinan. Hal ini berarti anak yang dijadikan sebagai objek perjanjian dalam perkawinan pada gelahang harus dilindungi hak dan kewajibannya dalam masingmasing keluarga. 1.5.1.5. Asas Kekuatan Mengikat Asas kekuatan mengikat ini dikenal pula dengan istilah pacta sunt servanda, bahwa perjanjian akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Asas kekuatan mengikat ini adalah merupakan implementasi dari Pasal 1338 KUHPerdata, yang mana disebutkan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Masing-masing pihak yang terikat dan mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian harus menghormati dan melaksanakan apa yang telah mereka perjanjikan serta tidak diperkenankan untuk melakukan perbuatan yang menyimpang atau bertentangan dengan isi dari perjanjian yang telah dibuatnya.43 Perjanjian perkawinan sama halnya dengan perjanjian pada umumnya, yang menjadikan perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang dan mengikat para pihak yaitu pihak suami dan pihak istri serta anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan pada gelahang. Asas ini digunakan untuk menjawab 43 Harlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Hukum Kenotariatan, Citra Aditya, Bandung, hal. 174. 32 permasalahan kedua karena terkait dengan akibat hukum yang ditimbulkan dari perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang terhadap keluarga dan harta perkawinan. Asas kekuatan mengikat dalam menganalisa permasalahan ini, diharapkan nantinya menemukan jawaban apakah kedudukan anak yang dalam hal ini dijadikan sebagai obyek perjanjian dapat mewaris dan memiliki kedudukan hukum serta dapat mewaris pada salah satu keluarga sesuai dengan apa yang telah disepakati dalam perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang. Asas kekuatan mengikat ini sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan kedua mengenai akibat hukum yang ditimbulkan dari perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang terhadap keluarga dan harta perkawinan. Asas ini diperlukan untuk mengetahui bagaimana kekuatan mengikat suatu perjanjian perkawinan pada gelahang terhadap kedudukan hukum anak yang dijadikan objek dari perjanjian tersebut. 1.5.1.6. Konsep Akibat Hukum Perkawinan Dengan adanya perkawinan, maka akan timbul suatu akibat hukum baik terhadap suami, istri, harta kekayaan dan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Dalam akibat hukum di atas menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yaitu pihak suami dan istri serta anak yang dilahirkan. Dilihat dari perkawinan pada gelahang yang merupakan bentuk perkawinan yang mempunyai sifat alternatif yang dipaksa oleh suatu keadaan tertentu, hak dan kewajiban dari masing masing pihak yaitu suami dan istri serta anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut diatur dalam perjanjian perkawinan. Jelas dapat dilihat dimana masing-masing pihak yaitu suami dan isteri serta anak- 33 anaknya memiliki hak dan kewajiban dalam keluarga masing-masing. Konsep akibat hukum perkawinan ini sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan kedua. 1.5.2. Kerangka Berpikir Perjanjian perkawinan yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan mensyaratkan agar perjanjian dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan dibuat agar para pihak mendapatkan rasa aman dan mendapatkan perlindungan hukum selama perkawinan tersebut berlangsung dan juga apabila perkawinan tersebut putus akibat perceraian ataupun kematian. Dalam perjanjian perkawinan para pihak diberikan kebebasan menuangkan isi dari perjanjian perkawinannya sepanjang tidak melanggar batas-batas norma yang berlaku di dalam msyarakat yaitu norma hukum, norma agama dan norma kesusilaan. Adapun tujuan dari perjanjian perkawinan adalah untuk mengatur tentang hubungan suami istri, mengatur harta benda perkawinan, dan mengatur hubungan antara orang tua dan anak. Dalam perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang ini substansi atau isi dari perjanjian perkawinannya adalah salah satunya menetapkan hubungan hukum kekeluargan anak yang nantinya akan lahir dari perkawinan pada gelahang dengan salah satu pihak keluarga, baik itu terhadap keluarga ayahnya ataupun keluarga ibunya. Terhadap perjanjian perkawinan yang terdapat dalam perkawinan pada gelahang ini perlu dianalisis apakah perjanjian perkawinan ini mempunyai kepastian hukum. Dengan adanya pengaturan pengesahan perjanjian perkawinan menimbulkan paradigma tentang keabsahan 34 dari suatu perjanjian perkawinan. Melihat dari Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, bagaimanakah keabsahan perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang yang memperjanjikan kedudukan hukum anak dalam keluarga ? Untuk menjawab rumusan masalah pertama dalam penelitian ini akan digunakan teori kepastian hukum dan teori perjanjian yang dikaitkan dengan asas-asas perjanjian yang meliputi asas kebebasan berkontrak, asas kepastian hukum (asas pacta sunt servanda) dan asas konsensualisme. Perjanjian perkawinan tentunya akan mempunyai pengaruh pada keberlakuan dan juga akibat hukum kepada para pihak yang terkait di dalamnya. Demikian juga halnya dengan perjanjian perkawinan yang dibuat dalam perkawinan pada gelahang. Substansi atau isi dari perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang adalah pembagian kedudukan hukum anak yang dalam hal ini membagi kedudukan hukum anak sebagai pelanjut keturunan dari masingmasing pihak, baik itu pihak keluarga ibu maupun pihak keluarga bapaknya. Dengan adanya perjanjian perkawinan yang dibuat dalam perkawinan pada gelahang tersebut di atas maka masing-masing anak memiliki hak dan kewajiban di tempat kedudukan hukumnya tersebut . Oleh karena itu, untuk menjawab permasalahan yang kedua mengenai akibat hukum perjanjian perkawinan pada gelahang dibidangkeluarga dan harta perkawinan dianalisis dengan menggunakan teori perlindungan hukum, asas kekuatan mengikat, serta konsep akibat hukum perkawinan. 35 Hasil penelitian di dalam tesis ini didapat 2 (dua) hasil yang merujuk pada permasalahan yang dimuat di dalam tesis ini, yaitu : (1). Mengenai keabsahan perjanjian perkawinan pada gelahang yang dipandang sah menurut hukum adat Bali dan juga perjanjian perkawinan pada gelahang tidak melanggar ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan mengenai tolok ukur sahnya perjanjian kawin; (2). Akibat hukum yang ditimbulkan dari perjanjian perkawinan pada gelahang mengenai keluarga hanya mengatur kewajiban (swadharma) terhadap keluarga masing-masing karena suami dan isteri berstatus sebagai purusa dalam keluarganya masing-masing sedangkanakibat terhadap harta benda perkawinan hanya berdampak pada harta bawaan (tatadan) karena masing-masing suami dan isteri hanya mempunyai hak mewaris terhadap keluarganya masingmasing. 36 Kerangka berpikir tersebut di atas dapat diilustrasikan dalam model sebagai berikut : Latar Belakang Rumusan Masalah Perjanjian perkawinan didalam perkawinan Pada Gelahang perlu dianalisis mengenai tolok ukur sahnya perjanjian tersebut bila dikaitkan dengan Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan sehingga perjanjian tersebut memiliki kepastian, kemanfaatan dan keadilan bagi para pihak yang membuatnya. 1. Bagaimanakahkeab sahan perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahangyang memperjanjikan kedudukan hukum anak dalam keluarga? 2. Apakah akibat hukum perjanjian perkawinan pada gelahang dibidangkeluarga dan harta perkawinan Landasan Teoritis 1. Teori kepastian hukum 2. Teori perjanjian 3. Asas Kebebasan Berkontrak 1.Teori perlindungan hukum 2. Asas kekuatan mengikat 3. Konsep Akibat Hukum Perkawinan HASIL PENELITIAN 1. Perjanjian perkawinan pada gelahang sah menurut hukum adat Bali dan juga tidak melanggar ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. 2. Akibat hukum yang ditimbulkan dari perjanjian perkawinan pada gelahang mengenai keluarga hanya mengatur kewajiban (swadharma) terhadap keluarga masing-masing karena suami dan isteri berstatus sebagai purusa dalam keluarganya masing-masing sedangkanakibat terhadap harta benda perkawinan hanya berdampak pada harta bawaan (tatadan) karena masing-masing suami dan isteri hanya mempunyai hak mewaris terhadap keluarganya masing-masing. 37 1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum dengan mengkaji bahan-bahan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan dan berbagai literatur hukum. Dalam penelitian ini, peneliti mengkaji permasalahan berdasarkan peraturan perundang-undangan (low in book) dan literatur hukum yang terkait dengan permasalahan hukum yang akan dibahas. Dalam penelitian ini permasalahan yang akan dianalisa adalah keabsahan perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang dan akibat hukum yang ditimbulkan dari perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang terhadap keluarga dan harta perkawinan. Pengaturan perjanjian perkawinan terdapat dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan yang di dalamnya tidak terdapat pengaturan pembagian anak yang dalam hal ini adalah kedudukan hukum anak. Dengan kata lain masih ada kekaburan norma didalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan mengenai tolok ukur atau indikator dari batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. 1.6.2. Jenis Pendekatan Dalam penelitian ini digunakan beberapa jenis pendekatan yang berguna untuk menganalisa permasalahan yang terdapat dalam rumusan masalah.Adapun pendekatan hukum yang digunakan adalah : 1. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach). 38 Untuk menemukan jawaban dari penelitian ini dilakukan pengkajian dan analisa terhadap peraturan perundang-undangan yang mempunyai keterkaitan dengan perjanjian perkawinan dan juga peraturan perundang-undangan lainnya. 2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach ) Dalam penelitian ini dikaji konsep-konsep yang berkaitan atau berkenaan dengan masalah yang akan diteliti, di mana konsep-konsep tersebut bermula dari pandangan-pandangan serta doktrin-doktrin yang berkembang di bidang hukum perkawinan dan hukum perjanjian. Konsep yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah konsep sahnya suatu perjanjian dan konsep akibat hukum. 1.6.3. Sumber Bahan Hukum 1. Bahan Hukum Primer. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas yang terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.44 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa perundang-undangan yang mengatur tentang perjanjian perkawinan serta dokumen yang terkait dengan perjanjian perkawinan dan contoh perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang. Bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan yang dipakai dalam penelitian ini antara lain : 44 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 141. 39 1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata); 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019; 4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886. 5. Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP). 2. Bahan Hukum Sekunder Dalam penelitian ini selain menggunakan bahan hukum primer juga menggunakan bahan hukum sekunder sebagai penunjang dalam proses pengelolaan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder adalah berupa buku ilmu hukum, jurnal hukum, makalah hukum, dan artikel hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku dalam bidang hukum perdata, hukum perkawinan, hukum perjajian, hak asasi manusia serta buku-buku lain yang mempunyai keterkaitan dengan penelitian ini, dan juga penelitianpenelitian sebelumnya yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini. 3. Bahan Hukum Tertier Selain penggunaan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder tersebut di atas, dalam penelitian ini juga digunakan bahan hukum tertier. Bahan 40 hukum tertier digunakan sebagai pelengkap untuk melakukan analisa terhadap suatu permasalahan. Bahan hukum tertier yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari kamus besar bahasa Indonesia,serta artikel lainnya yang mempunyai kaitan dengan penelitian ini yang digunakan sebagai bahan penunjang dari bahan hukum primer serta bahan hukum sekunder. 1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik studi kepustakaan dalam pengumpulan bahan hukumnya menggunakan metode bola salju (snowball method). Metode bola salju adalah metode dimana bahan hukum dikumpulkan melalui beberapa literatur kemudian dari beberapa literatur tersebut diambil sejumlah sumber yang mendukung literatur tersebut. 1.6.5.Teknik Analisis Bahan Hukum Setelah semua bahan hukum terkumpul kemudian dilakukan analisis untuk mendapatkan argumentasi akhir yang berupa jawaban terhadap permasalahan penelitian. Dalam penelitian tesis ini digunakan teknik evaluasi, yaitu peneliti menggunakan penafsiran hukum untuk menganalisis kekaburan norma yang terdapat di dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Dari berbagai macam jenis penafsiran, maka penulis menggunakan penafsiran teleologis, yaitu cara penafsiran suatu ketentuan undang-undang untuk mengetahui makna atau yang didasarkan pada tujuan kemasyarakatan. Metode interpretasi (penafsiran) undang-undang diterapkan pada suatu undang-undang yang masih berlaku tetapi kurang berfungsi karena tidak sesuai lagi dengan keadaan jaman. Terhadap 41 undang-undang yang ada diupayakan (melalui penafsiran) untuk dapat digunakan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan lingkungan masa kini dengan tidak memperhatikan apakah itu pada saat diundangkannya sudah dikenal atau tidak. Dengan lebih sederhana pengertian metode interpretasi teleologis dapat dikemukakan yaitu merupakan upaya menyesuaikan peraturan perundangundangan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Keadaan undang-undang yang sebenamya sudah tidak sesuai lagi dengan zaman dijadikan alat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi pada saat sekarang. Teknik Argumentasi digunakan untuk menunjang penafsiran yang digunakan dalam penelitian ini sehingga hasil penelitian tesis ini berbentuk argumentasi hukum yang diikuti dengan penalaran hukum terkait dengan permasalahan yang dibahas yakni terkait dengan keabsahan perjanjian perkawinan dalam perkawinan pada gelahang. Mengenai status dan akibat hukum anak yang lahir dari perkawinan pada gelahang yang dijadikan objek dalam perjanjian perkawinan dikaji dan dianalisis dengan menggunakan teori-teori dan juga bahanbahan hukum yang diperoleh dan yang tersebut telah dijelaskan di sebelumnya.