BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diskursus tentang pemikiran hukum Islam dewasa ini nampaknya semakin komplek, hal ini disebabkan karena perkembangan masyarakat di era globalisasi yang diwarnai oleh berbagai inovasi dan kreatifitasnya yang pada giliranya mengakibatkan pergeseran nilai dalam semua aspek kehidupan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat ini melahirkan modernesasi yang berdampak pada perubahan sosial, budaya, politik, ekonomi, tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Hal ini harus direspon oleh kaum muslimin agar perubahan-perubahan tersebut tidak menjadi bumerang terutama apabila dikaitkan dengn tuntutan hukum Islam yang merupakan way of life bagi umat Islam itu sendiri.1 Hukum Islam (fikih) adalah landasan normatif dalam berperilaku, baik individual maupun kolektif. Fiqih yang sejatinya pengejawantahan dan manifestasi dari Al-Qur’an dan Hadist harus up to date dengan kebutuhan perkembangan zaman.Ia diharapkan dapat menanggulangi atau meminimalisir dampak yang diakibatkan oleh arus modernesasi pada semua aspek kehidupan, tak terkecuali umat Islam. Pada tataran ini, diperlukan terobosan-terobosan pemikiran 1 Nur Kholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuh Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), hal. 210 1 2 yang kritis-progresif-partisipatoris-emansipatoris agar fiqih sebagai disiplin ilmu mampu memberikan kontribusi besar ditengah peradaban dunia.2 Namun kenyataan yang ada sekarang, sebagian masyarakat masih ada pemahaman yang keliru, fikih sering di identikkan dengan syari’ah. Implikasinya, fiqih hanya dipahami secara tekstual-final-legal-normatif-formalistik-dogmatis, lebih parahnya lagi sering kita jumpai postulat-postulan yang mengatakan “merubah fiqih berarti merubah syari’at.3 Hal ini dikibatkan adanya “mono pemahaman” terhadap satu madzhab yang pada gilirannya kurang atau tidak responsif terhadap pemikiran mazhab lain. Sehingga perlu adanya kreatifitas pemikiran yang dapat ditempuh dengan menghidupkan kembali tradisi berfikir manhaji (metodologis), dengan mengakomodasi berbagai manhaj yang telah dirumuskan oleh ulama’ sunni, seperti qiyas, istiḥsan, maṣlahah mursalah, dan lain-lain.4 2 Jamal Ma’mur Asmani, Fiqih Sosial Kiai Sahal Antara Konsep dan Implementasi, (Surabaya : Khalista, 2007), hal. 245-246 3 Ada beberapa perbedaan prinsipil antara syari’ah dan fiqih.Pertama, syari’ah adalah wahyu yanag diturunkan Allah, kebenarannya bersifat absolut (mutlak), sementar fiqih adalah formulsi dari kajian (penalaran) faqih (fuqaha’), kebenrannya bersifat nisbi (relatif). Kedua, syari’ah itu satu (unity) dan fiqih beragam (diversity), sunny dengan empat madzhab terkenalnya, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali. Sementara Syi’ah ada Imamiyah, Sab’iyah dan lain-lain. Ketiga, syari’ah bersifat otoritatif, fiqih berwatak liberal. Keempat, syari’ah stabil, statis atau tidak berubah, fiqih mengalami perubahan seiring dengan tuntutan ruang dan waktu atau dinamis (qaul qadim dan qaul jadid). Kelima, syari’ah berwatak ideal (das-Sollen) dan fiqih bercorak realistis (das-Sein). Lihat Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 1998,Cet. 3), hal.6. Tentang penggunaan istilah-istilah tersebut secara detail lihat T.M Hasbie Ash-Shidiqiey, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 12- 20, Ahmad Hasan, PintuIjtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Pustaka, 1984), hal. 1-7. 4 Ahmad Rafiq, Fiqih Kontekstual,: Dari Pemakanaan Normatif Ke Pemaknaan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal.7. lihat pula Sahal Mahfudh, Nuansa Fikih Sosial, (Yogyakarta; LKIS,1994). hal. 29-31 3 Sepanjang sejarahnya, hukum Islam (fiqih) merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif,5 hal ini dapat dilihat dari instruksi Nabi SAW kepada para sahabat dalam menghadapi realitas sosiologis umat pada waktu itu. Sewaktu para sahabat melakukan ijtihad, mereka tidak mengalami kesulitan apalagi problem metodologis, apabila mereka menjumpai kesulitan dalam menetapkan hukum mereka dapat langsung bertanya kepada Nabi. Namun setelah Nabi SAW wafat, masalah-masalah baru mulai banyak bermunculan. Ragam kasus yang muncul pada periode kepemimpinan khalifah mulai berkembang seperti hukum keluarga, hukum transaksi dan juga hukum yang berkaitan dengan kepentingan umum seperti hak-hak dasar manusia, hak untuk mendapatkan kemerdekaan dan hukum yang berkaitan dengan kehidupan bernegara.6 Kemudian, ijtihad pada masa sahabat mulai progresif, sehingga muncul berbagai ragam penafsiran dan fatwa hukum yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw, bukan saja dianggap sebagai suatu putusan hukum seorang hakim di peradilan, tetapi juga sebagai petunjuk dalam memecahkan persoalanpersoalan. Dengan contoh-contoh yang pernah diberikan Rasulullah dibidang fatwa, mereka telah siap dan mampu menghadapi persoalan-persoalan baru yang mereka pecahkan dengan cara menggalakkan ijtihad. 7 Untuk itu, dalam rangka menginterpretasi ragam persoalan yang ada, sebelumnya perlu dipahami bahwa hukum Islam sebagai suatu pranata sosial memiliki dua fungsi. Pertama, sebagai kontrol sosial (sosial enginering). Kedua, 5 Ali Yafie, Wacana Baru Fiqih Sosial , (Jakarta: Mizan, 1997, Cet.I), hal. 148 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari‟ahMenurut Al-Syatibi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1996) hal.6 7 Satria Effendi,M.Zen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 248-250 6 4 sebagai nilai baru dan proses perubahan sosial (social change). Jika yang pertama hukum Islam ditempatkan sebagai titah atau cetak biru Tuhan sekaligus sebagai social enginering terhadap keberadaan suatu komunitas masyarakat. Oleh karena itu, dalam konteks ini, hukum Islam dituntut akomodatif terhadap persoalan umat tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Sebab kalau tidak, hukum Islam akan kemandulan fungsi, atau meminjam istilah Gus Dur “fasiliasi”, bagi kepentingan umat. Karena itu, apabila para ahli hukum tidak memiliki kesanggupan atau keberanian untuk mengantisipasi setiap persoalan yang muncul dalam msyarakat dan mencari pemecahan hukumnya, maka hukum Islam akan kehilangan aktualisasinya.8 Jumhur ulama tradisionalis maupun kontemporer sepakat bahwa hukum Islam memiliki tujuan mutlak, yakni mewujudkan sa‟adatuddaraian (kesejahteraan) duniawi dan ukhrawi yang itu dapat dicapai apabila umat Islam dapat mengatur pola hubungan manusia dengan Allah yang tersirat dalam fiqih, baik sosial maupun individual, muqayyadah (terikat oleh syarat dan rukun), muṭlaqah (teknik operasionalnya tidak terikat dengan syarat dan rukun), mu‟āsyarah (pergaulan) mu‟āmalah (hubungan transaksi), munākaḥaḥ (pernikahan). Beberapa komponen tersebut merupakan teknis operasional dari lima tujuan prinsip dalaam syari’at Islam, meminjam istilah dari Al-Syatibi (maqāṣid asy-syāri‟ah) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari substansi 8 Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 22-23 5 tujuan fiqih diformulasikan,yaitu memlihara agama, akal, jiwa, nasab dan harta benda dalam artian yang lebih luas.9 Kelima prinsip tujuan syari’at tadi diharapkan dapat mencapai kesejahteraan lahir dan batin. Artinya posisi manusia menjadi subyek sekaligus obyek yang sangat menentukan prinsip syari’at itu. Hal itu merupakan kerangka paradigmatik fiqih sosial yang harus dikembangkan. Fikih sosial dalam konteks ini diharapkan menjadi solusi beragam problem sosial untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan umum (al-maṣāliḥ al-„āmmah). Di Indonesia, dinamika pemikiran hukum Islam yang terjadi dewasa ini menunjukkan fenomena yang sangat menarik untuk di cermati. Hal ini seiring terjadinya gerakan tajdid10 dan aktualisasi dalam dunia Islam, pasca terjadinya era kejumudan. Munculnya gerakan aktualisasi dan kontekstualisasi hukum Islam merupakan mata rantai gerakan tajdid di dunia Islam secara keseluruhan.11 Ditengah banyaknya ide-ide pemikiran progresif dari dalam dan luar negeri yang rata-rata mengidolakan liberalisme, sebagaimana digaungkan Nasr Hamid Abu Zaid, Abdullah al-Naim, Mohammad Shahrur, Fazlur Rahman, Asghar Ali Engineer, Aminah Wadud, Munawar Syadzali, Nurcholis Madjid, A. 9 Sahal Mahfud, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LKIS, 2012), hal 4-5. Tajdid berasal dari literature bahasaarab yang mengandung arti pembaruan. Kata tajdid merupakan bentuk maṣdar dari kata jaddada-yujaddidu-tajdidan. Jaddada-yujaddidu artinya “memperbarui”. Kata jaddada-yujaddidu merupakan fi’il tsulatsi mazid (kata kerja yang huruf asalnya tiga kemudian mendapatkan imbuhan).Tajdid dikatakan oleh para ahli merupakan suatu upaya gerakan melalalui proses tertentu untuk menghasilkan gagasan dalam ranah hukum Islam dengan berdasarkan kaidah istinbath dan ijtihad yang dibenarkan. Gerakan ini mutlak dilakukan agar hukum Islam tampak lebih segar dan modern (tidak ketinggalan zaman) atau menjadikan hukum Islam senantiasa Şālih fi kulli zaman wa makan. Lihat Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2006), hal 18-22. 10 6 Syafi’i Ma’arif, Jalauddin Rakhmat, Kuntowijoyo, Abdurrahman Wahid, Masdar Fards Mas’udi, Amien Rais, Komaruddin Hidayat, Ulil Absor Abdala, Luthfi AsSyaukani, Guntur Ramli, Husain Muhammad dan lain-lain, eksistensi dan kontribusi khazanah klasik yang terkenal kitab kuning dipertanyakan banyak pihak. Ia seperti terkena krisis identitasm, krisis orientasi, dan krisis eksistensi. Ia identik dengan konservatisme, tradisionalisme, dan fanatisme. Bahkan ia dituduh sebagai sumber munculnya radikalisme dan fundamentalisme pemikiran gerakan keagamaan. Lebih tragis dan ironis lagi, kalangan barat menganggapnya biang terorisme.12 Munculnya mindset fikih sosial yang digagas oleh sahal mahfudh, eksponen pesantren ibarat cahaya ditengah kegelapan yang memancarkan aura san sprit optimisme, konfidensi, dan revitalisasi khazanah klasik. Fikih sosial selain megupas makna teks-teks keagamaan juga menerobos realitas kekinia, bahkan memandu, merubah serta mendorongnya secara sistematis dan kontinu agar sesuai dengan sprit agama yang dipancarkan fikih yang berintikan kemaslahatan, kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran. KH. MA. Sahal Mahfudh menjadikan konsep fikih bukan hanya sebagai landasan normatif semata, melainkan konsep aktif-progresif, artinya fiqih harus ditranformasikan ke dalam nilai-nilai ajaran Islam secara kāffah dalam dimensi kehidupan baik individual maupun kolektif.13 Upaya ini melahirkan suatu gagasan 12 Jamal Ma’mur Asmani, Fikih Sosal Kiai Sahal sebagai Fikih Peradaban, (Jurnal alAhkam: Volume 24, Nomor 1 Tahun 2014), hal. 3232 13 Jamal Ma’mur Asmani, Op.Cit..hal.33 7 fikih baru yang dikemas dalam balutan nuansa sosial dalam rangka kontekstualisasi dan aktualisasi hukum Islam. Lebih lanjut, beliau menandaskan Islam bukan sesuatu yang statis, dan hukum Islam juga tidak muncul begitu saja tanpa adanya sesuatu yang melatar belakanginya. Ia merupakan hukum yang senantiasa membutuhkan reformulasi dan juga reaplikasi. Dengan kata lain, watak hukum Islam ialah perlu diterjemahkan secara kontekstual. Oleh karena itu, ketika kontekstual atau historis berubah maka aplikasi prinsip-prinsip eternal dari hukum itu pun harus diubah dalam rangka memahami syari’ah secara kontekstual (muqtaḍa al-ḥāl).14 Gagasan-gagasan yang dilahirkan Kiai Sahal diatas muncul dari sebuah keprihatinan terhadap mandulnya peran fiqih dalam ikut serta memecahkan problem sosial. Pandangan fiqih formalistis selama ini dalam konteks sosial telah menjadikan fiqih sering terlihat tidak searah dengan bentuk kehidupan praksis sehari-hari. Pada konteks ini, Kiai Sahal memunculkan konsep fiqih didasari sebuah kepentingan untuk ikut memberi tawaran pemecahan bagi persoalan belum terintegrasinya nilai-nilai fiqih dengan realita sosial.15 Profil ulama yang solutif dan berfikir secara kontekstual seperti ini, sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi majunya ilmu pengetahuan dan terbentuknya spesialisasi pada bidang-bidang kehidupan yang begitu luas. Seorang tokoh seperti Kiai Sahal sudah sepatutnya tidak memahami bidang fiqih 14 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, (Yogyakarta : LkiS,1999), hal. 1999 15 Zubaedi, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren : Kontribusi Fiqih Sosial Kiai Sahal dalam Perubahan Nilai-nilai Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 108 8 saja. Sebab, jika ia hanya menguasai ilmu fiqih saja maka bimbingannya akan terasa hambar karena ia tidak memecahkan masalah masyarakat. Fenomena ini dapat disimak pada kasus keluarnya fatwa ulama tentang keharaman transasksi riba yang dilakukan para rentenir, tapi ia tidak berusaha mencari solusi agar masyarakat lepas dari jeratan rentenir. Fatwa tersebut akan kurang membumi karena masyarakat bisa bekerja sama dengan rentenir bukan tidak tahu hukumnya haram, namun mereka melakukannya karena terpaksa.16 Disamping seorang akademisi, KH. Sahal Mahfudh juga sosok publik figur yang lahir dari rahim pesantren, hal ini tentu memiliki entri point tersendiri. Pesantren dinilai oleh banyak orang identik dengan kekolotan, keterbelakangan, tradisionlisme, kejumudan, dan seterusnya, ternyata dari sana lahir kader-kader bangsa dengan integritas moral yang tinggi, memiliki basis tradisi yang baik serta mampu beradaptasi dengan modernitas. Pesanteren dengan segala kelebihan dan kekuranganya ternyata memiliki kontribusi yang tidak sedikit dalam mewariskan nilai-nilai dan kearifan lokal. Bahkan, kekayaan tradisi keilmuan pesantren yang ditransformasikan secara benar, dipandang sementara kalangan sebagai modal untuk menghadapi dinamika hidupdan modernitas.17 Sebagaai tokoh Kiai yang menjadi sorotan organisasi terbesar di Indonesia bahkan dunia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) tentu akan menambah kekhasan tersendiri. Dalam konteks inilah, terobosan yang ditawarkan oleh KH. Sahal Mahfudh sangat penting dan menarik untuk dikaji. 16 Ibid.,hal. 110 http//.NU.or.id,BiografiKiaisahalMahfudh.com. diakses pada hari Minggu tanggal 21 17 Juni 2015. 9 B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah diatas, penulis menyimpulkan beberapa pokok permasalahan, sebagai berikut : 1. Bagaimana pandangan KH.Sahal Mahfudh tentang konsep maṣlahah ? 2. Bagaimana implementasi maṣlahah dalam fikih sosial? C. Tujuan dan Kegunaan Tujuan Penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk menjelaskan pandangan KH.Sahal Mahfudh tentang konsep maṣlahah. 2. Untuk menjelaskan implementasi maṣlahah dalam fiqih sosial KH.Sahal Mahfudh . Sedangkan kegunaannya adalah : 1. Memberikan pemahaman tentang model pemikiran fiqih sosial KH.Sahal Mahfudh dan latar belakang kemunculannya. 2. Memperkaya khazanah keilmuan dan pemikiran Islam khususnya dalam bidang pemikiran fiqih. D. Telaah Pustaka Untuk mengetahui seberapa besar kontribusi keilmuan dalam skripsi yang ditulis, makaperlu dilihat sudah berapa banyak orang lain yang sudah membahas permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini. Penulis harus bisa mengungkapkan temuan yang baru untuk membedakan skripsi ini dengan skripsi 10 yang pernah ditulis oleh orang lain. Tujuannya tak lain adalah untuk kontribusi pengembangan ilmu pengetahuan dan menghindarkan dari duplikasi skripsi. Skripsi karya Atip Purnama dengan Judul “Studi Komparatif Pemikiran KH.Sahal Mahfudh dan KH. Ali Yafie tentang Fiqih Sosial”. Skripsi ini membandingkan antara pemikiran Sahal Mahfudh dan Ali Yafie mengenai fikih sosial secara umum. Fokus masalah dalam penelitian ini adalah membahas perbedaan term fikih sosial yang ditawarkan kedua tokoh tersebut, sehingga kesimpulan yang dihasilkan masih sebatas mengidentifikasi perbedaan corak pemikiran kedua tokoh di atas.18 Kemudian skripsi yang dibuat oleh Agus Syakroni tentang “Pendidikan sosial Keagamaan, Studi Analisis Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh Tentang Pesantren dan Pengembangan Masyarakat”. Salah satu tujuan dari penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pemikiran KH. M.A. Sahal Mahfudh tentang konsep pendidikan sosial keagamaan dan urgensi serta aktualisasi pendidikan sosial keagamaan dalam 13 dinamika sosial dan kebangsaan. Pendidikan sosial keagamaan yang diwujudkan dalam program pengembangan masyarakat oleh Pesantren Maslakul Huda ternyata mempunyai andil yang cukup besar sebagai solusi alternatif pemberdayaan umat.19 Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi bagi pemikiran pendidikan Islam khususnya pesantren serta tanggung jawabnya terhadap masyarakat, bangsa dan negara. Selanjutnya sebagai gambaran dan acuan model pengembangan 18 Atip Purnama, Studi Komparatif Pemikiran KH. Sahal Mahfudh dan KH. Ali Yafie tentang Fiqih Sosial,Skripsi S1 Fakultas Syari’ah. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009. 19 Agus Syakroni, Pendidikan Sosial Keagamaan, Studi Analisis Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh Tentang Pesantren dan Pengembangan Masyarakat, Skripsi S1 Fakultas Tarbiyah, Semarang:IAIN Walisongo,2004. 11 masyarakat oleh pesantren yang terwujud dalam konsep pendidikan sosial keagamaan baik bagi pesantren atau lembaga-lembaga yang lain di luar pesantren. Skripsi karya Munif Ibnu Fatchu yang berjudul “Studi Pendapat KH. Sahal Mahfudh tentang Zakat Uang“. Penelitian yang dilakukan Munif berakhir pada kesimpulan bahwa menurut KH. Sahal Mahfudh uang termasuk obyek zakat. Walaupun masa sekarang uang terdapat beberapa perbedaan fungsi dan sistem, tapi ia mempunyai peran dan fungsi yang sama dengan dinar (mata uang emas) pada masa Rasulullah SAW yaitu sebagai pengganti harga atau nilai, alat tukar dan alat untuk menyimpan nilai. Salah satu argumen yang dipakai oleh Kiai Sahal adalah karena uang telah menggantikan fungsi emas dan perak sebagai alat tukar dalam transaksi dan untuk mengukur jasa. Bahkan jika dibandingkan dengan emas dan perak, uang memiliki banyak keistimewaan dan lebih praktis. Dismping itu, uang pun dapat sewaktu-waktu ditukar dengan emas dan perak tanpa banyak mengalami kesulitan.20 Skripsi karya Karyadi tentang “ Konsep Fikih Sosial dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam (Telaah Pemikiran KH. Sahal Mahfudh)”. Dalam skripsi karaya Karyadi ini, dijelaskan bahwa pendidikan Islam perlu pembaharuan kembali karena selama ini pendidikan Islam yang ada masih berwawasan sempit. Tidak mampu memenuhi standar pendidikan sebagaimana yang dicita-citakan bersama. yaitu pendidikan manusia seutuhnya, baik fisik maupun psikis, mental maupun spiritual. Pembaharuan yang diharapkan adalah meliputi, orientasi, tujuan, kurikulum, metode pengajaran, sarana dan prasarana. Sebagai salah satu 20 Munif Ibnu Fatchu Syarif, Studi Pendapat KH. Sahal Mahfudh tentang Zakat Uang, Skripsi S1 Fakultas Ilmu Syari’ah, Semarang:IAIN Walisongo, 2011. 12 alternatif format Pendidikan mendatang adalah pendidikan pesantren sekiranya diupayakan memenuhi persyaratan di atas. Karena pendidikan pesantren merupakan pendidikan tertua dan merupakan cagar budaya dari masyarakat indonesia.21 Selanjutnya Thesis karya Alif Aulia Rachman tentang “ Metodologi Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh (Studi Keberanjakan dari Pemahaman Fiqih Tekstual ke Pemahaman Fikih Kontekstual dan Relevansinya dengan Hukum Keluarga Islam). Thesis ini menguraikan metodologi fiqih sosial yang digagas oleh KH. Sahal Mahfudh yang kemudian dikaitkan dengan hukum keluarga Islam. Di akhir kesimpulan, Arif menyatakan bahwa relevansi fiqih sosial Sahal Mahfudh dengan hukum keluarga Islam beranjak dari paradigma fiqih kontekstual dimana mempunyai keterkaitan kuat dengan problematika perundang-undangan Islam dalam konteks keindonesiaan. dalam penelitian ini terdapat pola interkonektif dalam kedua hukum tersebut.22 Dari deskripsi di atas, sekilas substansi penelitan fokus pada pemikiran KH. Sahal Mahfudh termasuk penelitian ini yang membahas membahas fiqih sosial yang tentunya sudah banyak yang mengkaji.Namun demikia, sosok KH.Sahal Mahfudh dalam pandangan penyusun merupakan publik figur yang unik dan berkompeten hampir disemua lini. Walaupun obyek penelitian yang saya lakukan hampir sama dengan penelitian di atas, namun fokus kajian yang 21 Karyadi, Konsep Fiqih Sosial dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam ( Telaah Pemikiran KH. Sahal Mahfudh),Skripsi S1 Fakultas Tarbiyah, Semarang:IAIN Walisongo, 2004. 22 Arief Aulia Rachman, Metodologi Fikih Sosial (Studi Keberanjakan Dari Pemahaman Fiqih Tekstual Ke Pemahaman Fiqih Kontekstual Dan Relevansinya Dengan Hukum Keluarga Islam), Thesis Pasca Sarjana Studi Islam, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010. 13 penyusun lakukan berkisar pada pandangan maslahah, dimana asumsi penyusun menjadi jargon lahirnya gagasan yang fenomenal tersebut. E. Kerangka Teori Pada prinsipnya, hukum dibuat untuk menggapai kemaslahatan manusia, tak terkecuali hukum Islam yang bersumber dari al- Qur’an dan hadist, ataupun imam-imam maẓhab (fiqih). Apabila hukum tidak lagi mengkaver kepentingan maslahah manusia, saat itu pula hukum perlu ditinjau kembali, selanjutnya dibuatkan hukum yang baru yang lebih akomodatif, dengan tidak menafikan ajaran-ajaran prinsipil agama, yang dalam khazanah fiqih disebut al-kulliyyat alkhams ( perlindungan agama, nyawa, keturunan, harta, dan akal. Secara tersirat, hal diatas dinyatakan oleh Imam Abu Ishaq al- Syatibi, tokoh yang dikukuhkan sebagai pendiri ilmu maqāṣid asy-syāri‟ah. Al-Syatibi menyatakan bahwa beban-beban syari’at kembali pada penjagaan tujuantujuannya pada makhluk. Maqaṣid ini terbagi menjadi tiga : ḍarūriyyat ( kebutuhan pokok atau primer), ḥajjiyat (kebutuhan sekunder), dan taḥsiniyyat (kebutuhan tersier). Lebih lanjut al-Syatibi menandaskan bahwa Allah sebagai Syari’ memiliki tujuan dalam setiap penentuan hukum-Nya, yaitu untuk kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.23 Penyusun berasumsi bahwa konsep ini telah menjadi semacam landasan pokok bagi lahirnya tema-tema pemikiran hukum Islam di Indonesia, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Asusmsi ini dapat dipahami melalui pandangan sederhana bahwa modernisasi atau pembangunan merupakan bagian 23 Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas, (Yogyakarta : LKIS, 2010), hal.181-182 14 dari proses perubahan sosial, sedangkan maslahah dalam hukum Islam merupakan konsep yang tepat untuk menyesuaikan hukum Islam secara menyeluruh. Tanpa basis kemashlahatan yang memadai, beragam tema pemikiran hukum Islam di Indonesia tidak akan pernah muncul, sebab yang ada adalah keseragaman pemikiran, yang memegang prinsip bahwa “hukum Islam adalah hukum Tuhan yang tidak boleh berubah dan diubah oleh siapapun dan karena sebab apapun. Maṣlahah sebagai garda terdepan harus menjadi tumpuan utama dalam rangka aktualisasi hukum Islam. Prinsip ini, bagi kebanyakan para pendukung teori adaptabilitas hukum islam, seperti Linant de Bellofonds dan Subhi Mahmassani, dianggap sebagai nilai fundamental yang memungkinkan bagi keberlangsungan hukum Islam dalam konteks perubahan sosial. Baik de Bellofonds maupun Mahmassani, keduannya mempertahankan pendirian bahwa hukum Islam bertujuan mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, sehingga secara logis harus merespon setiap perubahan sosial yang memungkinkan terwujudnya tujuan ini.24 Di belantara modernitas, Kia Sahal nampaknya membawa angin segar dikancah pemikir hukum Islam Indonesia yang memegang prinsip di atas, dengan menjabarkan kembali fikih klasik dengan mengembangkan jargon maṣlahah yang menjadi cikal bakal lahirnya konsep fiqih sosial. Menurut beliau, peran Kiai tidak sebatas mengamalkan warisan klasik tanpa mengembangkannya. Lebih dari itu, Kiai Sahal mempertegas bahwa peranan Kiai sarat dengan kemaslahatan umat. Peran kiai yang seyogianya mengaktualisasikan diri sebagai fāqih fi maṣālih al24 Mahsun Fuad, Op.Cit, , hal.201 15 khalaq fi ad-dunya (orang yang memahami kemaṣlahatan umat dalam kehidupan di dunia) masih sering apriori terhadap apa yang disebut maslahah. Akibatnya, kadang-kadang peranan dan potensi itu ketika diperankan menjadi kurang tepat pada sasaran, bahkan menimbulkan kesalahpahaman masyarakat yang pada gilirannya berpengaruh pada timbulnya degradasi kewibawaannya.25 Dialektika yang terjadi antara hukum Islam dan realitas menuntun para fāqih fi maṣālih al-khalaq fi ad-dunya berupaya melakukan gerakan tajdid. Upaya ini menurut Prof. Azyumardi Azra adalah pembaruan yang bertitik tolak pada/dari asumsi atau pandangan—yang jelas dipengaruhi situasi dan lingkungan sosial— bahwa Islam sebagai realitas dan lingkungan sosial tertentu tersebut tidak sesuai atau bahkan menyimpang dari apa yang dipandang sebagai Islam yang sebenarnya. Islam yang lebih sesuai dengan Islam ideal, sesuai dengan cara pandang pendekatan, sosio-kultural dan keagamaan individu, dan kelompok pembaruan yang bersangkutan.26 Lebih lanjut Kiai Sahal mengemukakan keberatannya terhadap cara istinbath hukum Imam Syafi’i terhadap persoalan fiqih yang tidak dijumpai nashnya dengan lebih menekankan metodologi qiyas dan kurang menekankan maslahah. Bagi kiai Sahal, kepentingan umum (maṣlahah al-„āmmah) harus menjadi pertimbangan terdepan dalam proses pengambilan keputusan (hukum).27 25 Zubaedi, Op.Cit, hal. 253 Abdul Gani Isa, Menelusuri Paradigma Fiqih Kontemporer (Studi Beberapa Masalah Hukum Islam), (Banda Aceh, Ar-Raniry Press Cet. I, 2009), hal.123 27 Sahal Mahfudh, Nuansa Fikih Sosial, hal. 3 26 16 Selain itu, dapat dikatakan bahwa Kiai Sahal berupaya melakukan pergeseran dalam memandang fiqih, yakni dari fiqih sebagai paradigma “kebenaran ortodoksi/klasik” menjadi paradigma “pemaknaan sosial, sehingga nantinya fiqih tidak lagi dipandang sebagai kebenaran final atau bercorak hitamputih, melainkan fiqih yang berwatak kontekstual dan memperlihatkan wataknya yang bernuansa responsif dalam memecahkan problem sosial. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan kategori penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian dengan cara mencari, mengkaji, menelaah sumbersumber tertulis, seperti, buku-buku atau kitab-kitab, majalah, dan karya ilmiah lain yang bersinggungan dengan pemikiran KH.Sahal Mahfudh tentang konsep maṣlahah dalam fiqih sosial. 2. Sumber Data Penyusun berupaya mengumpulkan data dalam skripsi ini dengan mengadakan penelitian dengan sejumlah literatur yang searah dengan obyek penelitian. Sumber data yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini terdiri dari dua kategori, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yang penyusun ambil sebagai bahan penelitian dalam penyusunan skripsi ini adalah buku-buku karya KH.Sahal Mahfudh di antaranya : 17 a. Nuansa Fiqih Sosial (Yogyakarta, LkiS :2012) b. Dialog dengan Kyai Problematika Umat (Surabaya, Khalista:2012) c. Dialog dengan Kyai Sahal Mahfudh: Solusi Problematika Umat, (Surabaya,Ampel Suci:2003). Sedangkan sumber sekunder merupakan penjelas dari sumber primer yang mengarah pada tema pokok pembahasan. Di antaranya : a. Zubaedi, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren: Kontribusi Fiqih Sosial Kiai Sahal dalam Perubahan Nilai-nilai Pesantren, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007). b. Ahmad Rofik, Fiqih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2012). 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan filosofis dan historis. Pendekatan historis ini digunakan dalam rangka menelaah dan menemukan latar kesejarahan kehidupan KH. Sahal Mahfudh dengan menyelediki latar belakang internal maupun eksternalnya, menyangkut kondisi (zaman) semasa hidupnya, maupun pengalaman yang mempengaruhi pemikirannya.28 Sedangkan pemikirannya tentang konsep maslahah dalam fiqih sosial dianalisis dengan menggunakan pendekatan filosofis. 28 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013), hal. 189 18 4. Metode Pengumpulan Data Metode pengolahan data yang digunakan adalah menggunakan metode dokumentasi, yaitu dengan melakukan penelusuran dan pemahaman mengenai variabel-variabel berupa buku, kitab, majalah, artikel dan lain sebagainya yang diperoleh dari sumber data primer dan sekunder.29 5. Analisis Data Dalam penelitian ini, penyusun menggunakan beberapa metode analisis data, di antaranya : 1. Deksriptik analitik yaitu mengurai dan menjelaskan secara obyektif data yang dikaji sekaligus menginterpretasikan dan menganalisis data. Dalam hal ini, penyusun berusaha menggambarkan obyek penelitian mengenai pandangan maṣlahah Sahal Mahfudh yang di implementasikan dalam fikih sosial 2. Induktif, yaitu cara berfikir yang berangkat dari fakta-fakta yang khusus kemudian ditarik generalisasi yang bersifat umum.30 Disini penyususn berangkat dari persoalan-persoalan khusus yang dialami dan yang mempengaruhi KH. Sahal Mahfudh kemudian diangkat dalam pemikiran KH. Sahal Mahfudh secara umum yang berkaitan dengan fiqih sosialnya, dan cara pandanganya terhadap satu permasalahan. 3. Analisis Isi ( Containt Analysis), yaitu suatu analisis tentang pesan yang tersirat dari suatu komunikasi dimana penelitian ini dilakukan 29 Cholid Nurbukadan Abu Ahmadi, MetodolgiPenelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hal.42. 30 Sutrisno Hadi, Metedologi Research, (Yogyakarta: Anadi Offset, 1997), hal. 42 19 analisis pada isi yang terkandung dalam suatu data, kemudian diolah dan disusun secara logis.31 F. Sistematika Pembahasan Sistematika penulisan ini berjumlah lima bab, masing-masing bab mempunyai hubungan yang erat yang tidak bisa dipisahkan, Adapun sistematikanya sebagai berikut: BAB I Pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian serta sistematika pembahasan. BAB II Berisi tinjauan umum tentang konsep maslahah dalam hukum Islam meliputi definisi maṣlahah, macam-macam maṣlahah, kehujjahan maṣlahah, pendapat ulama mengenai maṣlahah. BAB III Menjelaskan pandangan maslahah KH.Sahal Mahfudh. Disini penyusun membagi pembahasan kedalam dua sub-bab. Pertama, biografi KH. Sahal mahfudh meliputi potret kehidupan Kiai Sahal, aktifitas dan karir, karya dan kiprah Kiai Sahal serta corak pemikiran Kiai Sahal. Kedua, pandangan maṣlahah KH. Sahal Mahfudh yang meliputi pengertian maṣlahah, signifikansi maṣlahah, prinsip-prinsip maṣlahah dalam fiqih sosial, sinergitas maṣlahah dalam fiqih sosial. BAB IV Membahas analisis terhadap pandangan Kiai Sahal tentang implementasi maṣlahah dalam fiqih sosial meliputi Hifẓ al-dīn, Hifẓ 31 Noing Muhadjir, Metode Penelitian, (Yogyakarta : Raka Sarasin, 1989), hal. 68 20 al-nafs, Hifẓ al-nasl, Hifz al-aql, Hifẓ al-māl, dan yang terakhir Hifẓ al-bī’ah. BAB V Berisi Kesimpulan, Saran dan Penutup.