kerugian keuangan negara pada pengelolaan persero

advertisement
KERUGIAN KEUANGAN NEGARA PADA
PENGELOLAAN PERSERO
Oleh:
Wuri Adriyani∗
ABSTRACT:
It has been a problem for many years that Government is involved in the management
activities of the Persero. The recent problem is that the involvement of the Government bases
on crime. Through very extensive powers the Government had interrupted the law principles
concerning financial affairs of the Perseros under which asserted as State’s loss. It rises as
consequences of unsynchronized meaning of “State’s Property” according to State Finances
Act and “Separated State’s Property” according to Indonesian State Own Entreprise Act
(Indonesian SOEs Act). Failures in managing the Persero’s property may be well presumed
as State’s loss. This presumption is misconstrue and hazardous due to the ambiguity of the
law. As one of the shareholders of the Perseros, the limitation of State’s loss is not more than
the value of the shares held by the Government. Additionally, the enforcement of criminal
liability such as corruption to the Directors of the Persero as managing Directors was
erroneous. Therefore, the boundaries of the public law, administration law, criminal law,
civil law, and corporation law turns out to be vague.
Key words: Persero, Limited Liability, Criminal Liability and State’s Loss.
1. Pendahuluan
Persero atau Perusahaan Perseroan adalah salah satu bentuk Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), disamping bentuk Perum.1 Bentuk Persero dirancang seperti
layaknya sebuah Perseroan Terbatas (PT). Pengaturan lama yang menunjukkan hal
itu adalah Pasal 2 UU No. 9 Tahun 1969 yang menentukan bahwa Persero adalah
perusahaan dengan bentuk Perseroan Terbatas yang diatur Kitab Undang-undang
Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel).2 Pengertian saat ini menurut Pasal 1
∗
Dr. Wuri Adriyani, S.H., M.Hum, Departemen Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya.
1
Berdasar Pasal 9 UU BUMN diatur bahwa BUMN terdiri dari Persero dan Perum. Bentuk
Persero dikenal pertama kali ketika diterbitkan Inpres No. 17 Tahun 1967 tentang Pengarahan Dan
Penyederhanaan Perusahaan Negara Ke Dalam Tiga Bentuk Usaha Negara. Sebelum diterbitkannya
Inpres No. 17 Tahun 1967 dan UU No. 9 tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara, hanya
dikenal satu bentuk usaha negara yaitu Perusahaan Negara.1 Untuk efisiensi melalui Inpres 17 Tahun
1967 semua PN diubah bentuknya ke dalam tiga bentuk usaha negara yaitu Perjan, Perum dan Persero.
2
Untuk Pertamina pada tahun 1971 diterbitkan UU No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina
yang menghilangkan kata PN di depan Pertamina tanpa merubah struktur hukumnya. Anehnya
Pertamina bukan berbentuk Persero dan diproteksi dari kemungkinan partisipasi modal dari luar, tetapi
2
angka 2 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN (UU BUMN), Persero didefinisikan
sebagai Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk perseroan terbatas dengan
modal minimal 51% (lima puluh satu persen) dimiliki Negara dengan tujuan
mengejar keuntungan.3 Modal ini adalah minimal modal, dengan demikian semua
perusahaan berbentuk PT adalah Persero apabila sahamnya antara 51% sampai
dengan 100% dimiliki Negara.
Dipakainya bentuk Persero sebagai usaha negara dengan konstruksi hukum
sama dengan PT, tentu mempunyai alasan-alasan tertentu. Karakter yang menarik
pada PT adalah statusnya sebagai badan hukum yang mempunyai kekayaan terpisah
atau separate legal entity dan modal yang terbagi atas saham-saham (shares).
Konsekuensi hukum dari separate legal entity adalah agar Persero dapat
memiliki kekayaan dan bertindak sebagai subyek hukum atau rechtpersoon,
membuat perjanjian, menuntut dan dituntut, melaksanakan hak-hak dan kewajiban
yang diberikan oleh negara atau dalam istilah Chidir Ali agar mempunyai
rechtsbevoegdheid.4 Status kebadanhukuman pada Persero ini adalah penting, untuk
memisahkan diri dari pengaruh Negara. Meskipun Rudhi Prasetya menyatakan
bahwa, “… that an enterprise needs not only a separate personality, but also the
authority to divise its own budgetary and accounting procedures in accordance with
well established (or sometime newly established) commercial principles and to frame
and apply its own personal relations.”5 Terlepasnya Persero dari kekuasaan negara,
mempunyai arti bahwa segala akibat dan hutang yang timbul dari kegiatan Persero
sebagai subyek hukum harus ditanggung oleh Persero sendiri. Tagihan pada Persero
tidak dapat dituntut kepada harta kekayaan pribadi pengurus maupun pemegang
sahamnya, meskipun seandainya saham-saham dikuasai oleh satu orang saja. 6 Hal ini
penting untuk memisahkan harta Negara dari harta Persero, yang mempunyai
budgeting dan accountant procedures sendiri, sehingga pihak ketiga hanya dapat
menuntut sampai batas harta Persero, dan tidak dapat menggugat atau menagih pada
Negara.
Dalam perkembangannya banyak problem-problem hukum yang timbul pada
kegiatan Persero. Asumsi untuk ini adalah akibat adanya pengaturan-pengaturan
yang tidak berlaku secara konsisten atau tidak sinkron. Akibat penerapan yang
tidak konsisten dan ketidaksinkronan ini menimbulkan pertentangan-pertentangan
kaidah hukum (rechtsnorm) antara hukum privat dan hukum publik. Pertentanganpertentangan yang terus menerus tentu berakibat mengaburkan batas-batas antara
hukum publik dan hukum privat, yang pada akhirnya berpengaruh pada jaminan
diperbolehkan melakukan production sharing contract.
berbentuk Persero.
3
4
Tetapi pada saat ini Pertamina telah
Pasal 1 angka 2 UU BUMN.
Ibid., hal.168.
Dikutip dari Rudhi Prasetya, Op.Cit., Kedudukan Mandiri PT, hal 114, yang mengutip dari
Report Of The United Nations Seminar On Organisastion And Administration Of Public Enterprise
yang juga disebut dalam Rudhi Prasetya dan Neil Hamilton, dalam The Regulation of Indonesian State
Entreprises, Law and Public Enterprise in Asia, Chapter V, International Legal Center, Praeger
Publishers, New York, 1976, hal 158.
6
Bandingkan dengan Rudhi Prasetya, Ibid., Kedudukan Mandiri PT, hal. 50 – 51.
5
3
kepastian hukum (legal certainty, rechtszekerheid). Problem hukum ini sangat
penting untuk dikaji, terutama pada pertentangan kaidah terkait Persero dalam
kedudukannya sebagai PT (privaatrechtelijk rehtspersoon) yang berada dalam
lingkup hukum privat, dengan penerapan hukum atau penegakan hukum terkait
kepentingan-kepentingan pemerintah yang berada dalam lingkup hukum publik.
Untuk memperjelas deskripsi pertentangan-pertentangan kaidah di atas,
dikemukakan dua contoh kasus berikut. Pertama, kasus PT. Bank Mandiri Tbk.
(Persero), dimana mantan Direktur Utama (Dirut) bank tersebut dituntut korupsi
karena kredit yang disalurkan macet. Kedua, Mantan Dirut PT Jamsostek (Persero)
dituntut korupsi, karena negara merugi Rp 311 miliar, terkait pembelian surat utang
jangka menengah (medium term notes/MTN) pada empat perusahaan yaitu PT
Dahana (Rp 97,8 miliar), PT Sapta Pranajaya (Rp 100 miliar), PT Surya Indo
Pradana (Rp 80 miliar), dan PT Volgren (33,2 miliar).7 Pada kedua kasus ini hakim
berpendapat Dirut terbukti merugikan keuangan negara sehingga memenuhi unsur
tindak pidana korupsi.
Penerapan hukum publik pada Persero, adalah akibat adanya pandangan atau
persepsi bahwa Persero adalah aset negara. Pandangan demikian bertentangan
dengan hukum perseroan, dimana Persero dianggap sebagai badan hukum privat
(privaat rechtelijk rechtpersoon) yang mempunyai hak dan kewajiban tersendiri
lepas dari pengaruh Negara atau pemegang saham. Tanpa mengabaikan putusanputusan hakim pada kasus-kasus contoh, seharusnya diakui bahwa tidak ada
perbedaan yuridis antara Persero dengan PT, dan bahwa keterlibatan Negara
mengakibatkan ketidak konsistenan penerapan hukum. Hal ini terbukti dari putusanputusan pada kasus contoh. Untuk itu titik tolak permasalahan pada tulisan ini
adalah:
a.
Apakah Direksi Persero dapat dikenai tindak pidana korupsi?
b.
Bagaimanakah konsep kerugian dalam hukum publik/administrasi dan
hukum privat/hukum perseroan?
2. Cakupan Pengertian Pelaku Pada Tindak Pidana Korupsi
Pelaku Tindak Pidana Korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) adalah naturlijke persoon atau
orang maupun badan hukum atau korporasi (rechtspersoon).8 UU PTPK memperluas
pengertian orang maupun korporasi yang dapat dipidana, dengan cara mempeluas
cakupan pengertian keduanya. Untuk hal itu nampak dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2)
UU PTPK sebagai berikut:
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2. Pegawai Negeri adalah meliputi:
a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang
Kepegawaian;
7
Suara Karya Online, www.suarakarya.com, Djunaedi Diancam Hukuman Seumur Hidup, 9
Desember 2005.
8
Pasal 1 ayat (3) Jo. Pasal 2 ayat (1) UU PTPK.
4
b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana;
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah;
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.9
Berdasarkan pengaturan ini dapat dikatakan bahwa, pelaku orang ditujukan
adalah untuk pegawai negeri dan untuk orang yang diperlakukan sebagai pegawai
negeri. Dengan demikian pengertian subyek dalam Pasal 2 dan 3 UU PTPK, yang
memakai perumusan “setiap orang” menunjuk pada subyek pegawai negeri dan yang
diperlakukan sebagai pegawai negeri yang diatur Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU PTPK
di atas.
Berdasar pengaturan di atas, orang yang menerima gaji atau upah dari
perusahaan yang mendapat bantuan dengan uang atau fasilitas Negara, dapat dikenai
tindak pidana korupsi. Rumusan ini bukan hanya terlalu luas tetapi juga sangat
membahayakan, terutama terkait dengan konsep-konsep hukum yang lain, dalam
kaitan ini konsep hukum perusahaan. Bahkan dalam Pasal 1 ayat (1) UU PTPK,
ditegaskan bahwa arti korporasi baik yang berbadan hukum maupun tidak badan
hukum.
Cakupan pengaturan ini sangat luas. Hal ini benar-benar menunjukkan
keseriusan UU PTPK terkait pemberantasan korupsi. Bahkan diatur pula bahwa,
pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara tidak
menghapuskan pidana.10 Dengan rumusan pengaturan-pengaturan seperti diuraikan
di atas, maka tidak seorangpun yang terkait dengan uang Negara akan lepas dari jerat
UU PTPK. Ahli hukum pidana Muladi, mengakui bahwa rumusan dalam UU PTPK
memang bagaikan sarang laba-laba yang bermaksud menjerat semua pelaku.11 Hal
itu merupakan semangat reformasi yang menganggap korupsi sebagai extra
ordinary crime, sehingga harus diantisipasi secara extra ordinary juga.12
Pengertian pegawai negeri diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Perubahan
Pokok Kepegawaian bahwa: “Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik
Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang
berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara
lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
9
Berdasarkan penjelasan umum, yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan istimewa
yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar, harga yang tidak
wajar, pemberian izin yang eksekutif, termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
10
Pasal 4 UU PTPK. Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara
hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.
11
Loc. Cit.: www.hukumonline.com, Tanggal 24 Februari 2003.
12
Ibid.
5
3. Pengertian Keuangan Negara
a. Berdasar UU Keuangan Negara
Pasal 1 angka (1) UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara (UU
Keuangan Negara) diatur bahwa, pengertian keuangan Negara adalah “semua hak
dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik
berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
Pengertian keuangan Negara dalam pengaturan ini didasarkan pada empat
sisi yaitu obyek, subyek, proses, dan tujuan, seperti dikutip sebagai berikut:13
Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak
dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan
kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara
yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan
Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki
Negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan
keuangan Negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh
rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana
tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan
sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara
meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan
dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Pengertian keuangan Negara dalam pengaturan ini terlalu luas, yang hampir
meliputi seluruh kegiatan terkait dengan pengelolaan kekayaan Negara. Keluasan
pengertian ini justru dapat mengakibatkan kekeliruan dalam penerapan hukumnya.
Tujuan pembuat undang-undang dalam hal ini adalah agar Negara dengan mudah
dapat mencegah terjadinya kerugian atau penyimpangan uang Negara. Rumusan
pengertian semacam ini merupakan rumusan yang menjaring apa saja yang dapat
dijadikan uang Negara dan sekaligus menjaring siapa saja yang akan atau berniat
merugikan Negara.
Pasal 2 UU Keuangan Negara bahkan menentukan lebih luas dan rinci
tentang apa saja yang tercakup dalam keuangan Negara seperti dikutip sebagai
berikut:
13
Penjelasan Umum angka 3 UU Keuangan Negara.
6
g. kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak
lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan
pada perusahaan Negara/ perusahaan daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.
Pengaturan Pasal 2 huruf (g) adalah pengaturan yang mudah menimbulkan
kerancuan dalam penerapan hukumnya karena terlalu luas, yaitu kata-kata
“kekayaan Negara baik dikelola Negara sendiri atau pihak lain; berupa uang, surat
berharga, piutang, barang; dan hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang”.14
Lebih lagi Pasal 2 huruf (h) dan (i) yang menentukan bahwa, kekayaan
pihak lain (swasta atau perorangan) yang dikuasasi pemerintah terkait tugas
pemerintahan dan atau kepentingan umum; atau kekayaan pihak lain (swasta atau
perorangan) yang diperoleh dari fasilitas pemerintah, tercakup dalam pengertian
keuangan Negara. Dalam penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud kekayaan
pihak lain pada Pasal 2 huruf (i), adalah meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang
atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di
lingkungan kementerian Negara/lembaga, atau perusahaan Negara/daerah.
Pengertian “kekayaan yang dipisahkan” dalam UU Keuangan Negara
dikaitkan dengan konsep keuangan Negara yang luas. Fokus penting pengaturan
adalah sisi keamanan bagi kekayaan Negara, sehingga cakupan pengertian harus
mengena pada semua dan untuk itu aturan didesain seperti jaring laba-laba.15
Konsekuensi dari pengaturan ini, semua saham (surat berharga) pemerintah dalam
badan hukum privat; semua fasilitas yang dikuasai pemerintah terkait kepentingan
umum dan tugas pemerintahan, dan kekayaan yang diperoleh dari fasilitas
pemerintah meskipun berada dalam penguasaan badan hukum privat atau
perorangan, pertanggungjawaban pengelolaannya harus mengikuti aturan-aturan atau
asas-asas pengelolaan keuangan Negara yang diatur dengan ketentuan hukum
publik/hukum keuangan Negara.
b. Berdasar UU PTPK
Pasal 2 ayat (1) UU PTPK mengatur bahwa:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
14
Yang dimaksud “pihak lain” pada pengaturan ini tidak dijelaskan. Pihak lain adalah pihak
selain Negara (sebagai badan hukum publik), yaitu perorangan atau swasta (badan hukum privat).
15
www.hukumonline.com: Definisi Keuangan Negara Masih Tidak Jelas, merupakan
pendapat Muladi yang dimuat tanggal 24 februari 2003.
7
lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK ini ada tiga unsur yang harus
dipenuhi seseorang untuk dipidana dengan dakwaan tindak pidana korupsi:
1. perbuatannya bersifat melawan hukum;
2. memperkaya diri, orang lain atau korporasi;
3. dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Cakupan unsur ketiga pada pengaturan ini terlalu luas, yaitu pada kata
“dapat” yang diteruskan dengan kalimat “merugikan perekonomian negara”. Kata
dapat menunjuk pada delik formal, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup
dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan
timbulnya akibat. Namun kalimat “merugikan perekonomian negara” mempunyai
arti dan cakupan yang sangat luas dan kabur.
UU PTPK dirancang sangat luas sama halnya dengan UU Keuangan Negara.
Hal ini sesuai dengan judul undang-undang ini yaitu “pemberantasan”. Maksud
pemberantasan ini juga tampak pada pengaturan Pasal 1 ayat (3) UU PTPK tentang
makna “setiap orang”, ditujukan untuk “orang perseorangan maupun korporasi”
dapat dikenai pidana. Bahkan Penjelasan umum paragraf IV UU PTPK juga
mempertegas makna pemberantasan dengan keluasan cakupannya, dengan
menentukan bahwa termasuk keuangan Negara adalah seluruh kekayaan Negara
dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, dan dalam
penguasaan siapapun, sebagai berikut:
Keuangan Negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan Negara dalam
bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk
didalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang
timbul karena:
a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat
Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah;
b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum,
dan perusahaan yang menyertakan modal Negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah
kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri
yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun
di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan
kesejahteraan kepada Seluruh kehidupan masyarakat.
Cakupan pengertian keuangan Negara dalam UU PTPK ini menambah
keluasan cakupan pengertian keuangan Negara berdasar UU Keuangan Negara.
Luasnya cakupan-cakupan keuangan Negara ini menambah kekaburan batasanbatasan penerapan hukum apabila terjadi penyimpangan keuangan Negara, yaitu
antara hukum keuangan Negara/hukum administrasi dengan hukum tindak pidana
korupsi/hukum pidana.
8
Terkait dengan hal ini sebenarnya perlu dibedakan antara bureaucratic
corruption dan private corruption, sebab swasta juga dapat melakukan hal-hal seperti
suap maupun penggelapan. Dalam bahasan ini hanya diperlukan persamaan dari
kedua korupsi ini yaitu bahwa korupsi menunjuk pada pelaku yang merupakan para
pemegang “kuasa” dalam masyarakat, baik kuasa pemerintahan (public power)
maupun kuasa ekonomis (economic power). 16
Kata korupsi itu sendiri berasal dari bahasa latin “corruptio” atau
“corruptus”, bahasa Inggris “corruption atau corrupt“, bahasa Belanda “corruptie”,
yang kemudian diadopsi bahasa Indonesia menjadi “korupsi”.17 Pengertian korupsi
tidak hanya identik dengan penggelapan uang Negara, tetapi juga termasuk
penyuapan (bribery) dan penerimaan komisi secara tidak sah (kickbacks). 18 Dalam
Black’s Law Dictionary arti corruption lebih ditekankan pada immorality atau
perbuatan-perbuatan yang tercela adalah:
1. Depravity, perversion, or taint: an impairment of integrity, virtue, or a moral
principle; esp., the impairment of a public official’s duties by bribery.
2. The act of doing something with an intend to give some advantage
inconsistent with official duty and the rights of others; a fiduciary’s or
official’s use of a station or office to procure some benefit either personally
or for someone else, contrary to the rights of others.
4. Insinkronisasi Pengertian
a. Kekayaan Negara Yang Dipisahkan
Istilah “kekayaan Negara yang dipisahkan” pertama kali digunakan oleh
Pasal 6 ayat (1) UU No. 19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, yang mengatur
bahwa: “Modal perusahaan Negara terdiri dari kekayaan Negara yang
dipisahkan”.
Pengaturan ini bersifat umum. Tekanan pengaturan adalah “modal
perusahaan Negara” dan “kekayaan Negara yang dipisahkan”. Penekanan “kekayaan
Negara yang dipisahkan” adalah menunjuk pada asal modal perusahaan Negara.
Tetapi kemudian hal ini berubah. Perubahan dapat dilihat pada Pasal 2 UU No. 9
Tahun 1969, penggunaan “kekayaan Negara yang dipisahkan” nampak mulai
difokuskan pada satu bentuk usaha Negara saja yaitu Persero. Kutipan pasal ini
secara lengkap dapat dilihat pada Bab Pendahuluan disertasi ini. Pada kata “modal”
16
Indriyanto Seno Adji, Paper, Antara Kebijakan Publik (Publiek Beleid), Asas Perbuatan
Melawan Hukum Materiil Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, dalam Seminar
Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik dari Tindak Pidana Korupsi, Falultas Hukum
Iniversitas Diponegoro, Semarang, 6-7 Mei 2004, hal. 14, yang mengutip dari Mardjono
Reksodiputro, dalam Kemajuan Perkembangan Ekonomi dan Kejahatan, Buku Kesatu, Cet. Kesatu,
Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas
Indonesia, 1994, hal. 42-43.
17
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya, Gramedia-Jakarta,
Tahun 1991, hal. 7.
18
Ibid.
9
diganti dengan kata “penyertaan”, sehingga penekanan “kekayaan Negara yang
dipisahkan” ada pada “penyertaan Negara”.
Dalam Pasal 3 ayat (1) No. 9 Tahun 1969 diatur bahwa: “Penyertaan Negara
dalam suatu Persero berupa dan berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan”.
Dalam hal ini dapat diambil asumsi bahwa tekanan “penyertaan Negara”, khusus
diarahkan pada bentuk Persero. Bahkan dapat dikatakan pada pengaturan Pasal 2 UU
No. 9 Tahun 1969, pada definisi Persero ditegaskan sebagai bentuk penyertaan
Negara dalam PT. Kata Perusahaan Negara dalam definisi ini dihilangkan. Dengan
demikian pada saat itu dapat dikatakan bahwa Persero tidak lagi dikategorikan
sebagai perusahaan Negara.
Pemisahaan kekayaan Negara terkait penyertaan modal Negara pada Persero
diatur pada Pasal 3 ayat (2) dan (3) UU No. 9 Tahun 1969 bahwa:
2. Pemisahan kekayaan Negara untuk dijadikan modal penyertaan Negara
dalam Persero dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
3. Cara-cara penyertaan dan penatausahaan pemilikan Negara atas Persero
akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Konsep “penyertaan” terkait dengan “kekayaan Negara yang dipisahkan”
juga tampak pada beberapa peraturan pelaksanaan UU No. 9 Tahun 1969 yaitu PP
No. 12 Tahun 1969 tentang Persero sebagai berikut:
1. Pasal 2 ayat (2) PP No. 12 Tahun 1969 menyebut: “ ... besarnya kekayaan
Negara yang dipisahkan untuk penyertaan modal ...”.
2. Pasal 2 ayat (1) PP No.12 Tahun 1998 menyebut: “… besarnya kekayaan
Negara yang dipisahkan untuk penyertaan modal ...”.
Setelah UU No. 9 Tahun 1969, istilah “kekayaan Negara yang dipisahkan”
dipakai terus dalam setiap pengaturan yang memberikan pengertian tentang Persero,
baik oleh peraturan-peraturan pelaksanaannya maupun peraturan-peraturan lain
terkait badan usaha Negara. Sampai dengan tahun 2003, pengaturan semua usaha
Negara disatukan dalam UU BUMN. Istilah “kekayaan Negara yang dipisahkan”
digunakan untuk pengaturan-pengaturan yang tegas terkait dengan “penyertaan
secara langsung” pada BUMN, baik untuk Perum maupun Persero.19 Untuk itu
definisi kekayaan Negara yang dipisahkan diatur dalam UU BUMN. Beberapa pasal
yang mengatur tentang “kekayaan Negara yang dipisahkan” dikutip dibawah ini.
Pasal 1 angka (1) UU BUMN, mengatur bahwa: “BUMN adalah badan usaha
yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan
secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan”. Selain itu
Pasal 4 ayat (1) UU BUMN menentukan bahwa: “Modal BUMN merupakan dan
berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan”.
Definisi kekayaan Negara yang dipisahkan diatur dalam Pasal 1 angka 10
UU BUMN bahwa: “Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan Negara
yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan
penyertaan modal Negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas
19
Persero.
Hal ini berbeda dengan konsep “penyertaan” pada UU No. 9 Tahun 1969 yang hanya untuk
10
lanilla”. Sedangkan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU BUMN menegaskan apa yang
dimasud dengan “dipisahkan” bahwa:
Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan Negara dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal
Negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak
lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun
pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan
yang sehat.
b. Perusahaan Negara dan BUMN
Pengertian kekayaan Negara yang dipisahkan yang tercantum dalam
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU BUMN tidak sinkron dengan cakupan pengaturan
kekayaan yang dipisahkan dalam UU Keuangan Negara yang tercantum dalam Pasal
2 huruf (g). “Kekayaan yang dipisahkan” pada pengaturan ini dikaitkan dengan
Perusahaan Negara. Padahal istilah Perusahaan Negara setelah UU BUMN, tidak
dipergunakan lagi.
Keluasan konsep juga terbukti pada rumusan Perusahaan Negara dalam UU
Keuangan Negara. Pasal 1 angka (5) UU Keuangan Negara menentukan bahwa:
“Perusahaan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya
dimiliki oleh Pemerintah Pusat”. Seperti diketahui rumusan ini adalah definisi lama
yang mengacu pada UU No. 19 tahun 1960. Keuntungan pemakaian definisi ini
adalah dapat dipakai untuk semua bentuk usaha Negara, BUMN, termasuk PT-PT,
yayasan-yayasan atau badan-badan usaha lain yang menggunakan uang Negara.
Pengertian “kekayaan yang dipisahkan” pada konsep keuangan Negara, yang
dikaitkan pada Perusahaan Negara, menekankan pada “kekayaan Negara yang
dipisahkan” sebagai bentuk investasi pemerintah. Hal ini sebenarnya sejalan dengan
konsep“kekayaan Negara yang dipisahkan” pada UU BUMN, namun penggunaan
kata yang masih menggunakan “Perusahaan Negara” tidak sinkron dengan usaha
penyatuan istilah usaha Negara menjadi BUMN. Kata “Perusahaan Negara” adalah
kata yang telah diusahakan dihapus dalam konsep hukum BUMN, dengan tujuan
bahwa bentuk BUMN hanyalah Perum dan Persero. Penggunaannya kembali,
mengakibatkan dua pengertian usaha Negara yang berbeda. Berdasarkan pada Pasal
1 angka (5) UU Keuangan Negara dapat dikatakan bahwa dalam pengertian
Perusahaan Negara tercakup pengertian BUMN yaitu Persero dan Perum.
Berdasarkan fakta-fakta hukum pada pengaturan di atas nampak bahwa
konsep pembedaan bentuk-bentuk usaha Negara yang sudah dimulai sejak tahun
1969 tidak diteruskan oleh UU Keuangan Negara. Oleh karena itu konsep
kekhususan BUMN terkait “penyertaan” menjadi kabur. Pengertian Perusahaan
Negara yang dipakai UU Keuangan Negara adalah pengertian UU No. 19 Tahun
1960. Perusahaan Negara berdasar UU No. 19 Tahun 1960 bertujuan untuk satu
bentuk usaha Negara. Hal ini merupakan upaya sinkronisasi dan efisiensi berbagai
bentuk usaha Negara saat itu. Pengertian lama yang dipakai oleh UU No. 19 Tahun
1960 bernuansa politik “ekonomi terpimpin”. Hal ini bisa saja terjadi karena UU
Keuangan Negara adalah pengganti dari Indische Comptabiliteitswet (ICW) jo. UU
No. 9 Tahun 1968; Indische Bedrijvenwet (IBW); dan Reglement voor het
11
Administratief Beheer (RAB), yang pada saat itu dipakai sebagai dasar pengelolaan
Perusahaan Negara (PN) yang didirikan berdasar UU No. 19 Tahun 1960.
5. Kerugian dan Kerugian Negara
Pengertian kerugian Negara diatur Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara. Terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu:
− adanya kekurangan baik uang, surat berharga, maupun barang;
− jumlah yang pasti dan nyata;
− akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Berdasarkan aturan ini, semua bentuk kekurangan atau pengurangan
jumlah pasti dan terbukti dilakukan akibat perbuatan melawan hukum ataupun
karena kelalaian, dapat dinyatakan sebagai kerugian Negara. Pada sisi lain Pasal 2
ayat (1) UU PTPK, menentukan tentang tindakan-tindakan yang mengakibatkan
kerugian pada keuangan Negara dan atau perekonomian Negara. Merugikan
perekonomian Negara yaitu merugikan perekonomian yang disusun sebagai usaha
bersama, yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan
masyarakat.
Berdasarkan kajian ini nampaklah perbedaan rumusan UU Perbendaharaan
Negara dan UU PTPK. Pada UU Perbendaharaan Negara menggunakan rumusan
kerugian negara dengan tekanan kekurangan atau pengurangan jumlah,
sedangkan UU PTPK berusaha mencakup apa saja tidak hanya pengurangan jumlah,
tetapi cukup pada tekanan kata dapat merugikan. Selain itu pada UU
Perbendaharaan Negara digunakan rumusan perbuatan melawan hukum,
sedangkan UU PTPK menggunakan rumusan secara melawan hukum. Perbedaan
rumusan ini menunjukkan bahwa terdapat pemakaian konsep hukum yang berbeda
antara kedua undang-undang tersebut. UU Perbendaharaan Negara berlatar belakang
konsep hukum administrasi, sedang UU PTPK berlatar belakang konsep hukum
pidana.
Dalam konsep hukum pidana perbuatan pidana (Strafbaarfeit) intinya adalah
feit yang wederrechttelijk atau perbuatan yang melawan hukum.20 Ukuran normatif
untuk menentukan dapat dipidananya perbuatan adalah nulla poena sine praevia legi
poenali yang diatur Pasal 1 ayat (1) KUHP. Jadi untuk adanya pidana (straf) harus
didahului oleh kriminalisasi perbuatan dalam peraturan perundang-undangan.21 Pada
sisi lain rumusan perbuatan melawan hukum dalam hukum administrasi mengadopsi
20
Dikatakan oleh Mariam Darus, Op. Cit., hal. 5, bahwa:
dalam perjalanan waktu di luar Pasal 1365 KUHPer perbuatan melawan hukum diatur di dalam
sejumlah undang-undang yang merupakan lex specialist dari genus perbuatan melawan hukum di
dalam Pasal 1365 KUHPer, hal ini berarti bahwa ada kristalisasi dari pengertian genus sebagai open
norm kepada bentuk yang konkrit (species). Lahirnya perundang-undangan itu, tidak berarti bahwa isi
perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPer), menjadi sempit. Eksistensi lembaga ini tetap perlu,
karena hukum tidak tertulis mempunyai isi yang sangat luas sesuai dengan nilai-nilai yang
berkembang di dalam masyarakat.
21
Ibid.
12
onrechtmatige daad dari konsep hukum privat. Harus diakui bahwa Pasal 1365 BW
memang telah berkembang dan tersebar pada berbagai macam undang-undang.22
Dalam onrechtmatige daad diatur bahwa: ”Elke onrechtmatige daad,
waardoor aan een ander schade wordt toegebragt, stelt dengene door wiens schuld
die schade veroorzaakt is in de verpligting om dezelve te vergoeden”.23 Yang
diterjemahkan: ”tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena
kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”.24
Pasal 1366 BW mengatur tentang kerugian karena kelalaian sebagai berikut:
”Een ieder is verantwoordelijk, niet alleen voor de schade welke hij door zijne daad,
maar ook voor die welke hij door zijne nalatigheid of onvoorzigtigheid veroorzaakt
heeft”.25 Yang diterjemahkan: ”setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas
kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang
disebabkan kelalaian atau kesembronoannya”.26 Tujuan kedua pengaturan ini adalah
untuk mempertegas, bahwa tidak hanya perbuatan karena kesalahan (schuld) atau
yang disengaja (nalatigheid) saja, tetapi juga perbuatan culpoos dapat digugat untuk
membayar ganti rugi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dua konsep pengaturan kerugian
Negara dan atau kerugian keuangan Negara pada UU Perbendaharaan Negara
dengan UU PTPK berbeda, meskipun kerugian Negara tentu saja dapat dimasukkan
dalam kategori kerugian keuangan Negara. Pada dasarnya suatu kerugian (schade)
dalam hukum privat menunjuk pada arti ekonomis yang dapat dinilai dengan uang
saja sudah cukup. Oleh karena itu onrechtmatigedaad meliputi: a) perbuatan yang
melanggar hak orang lain; dan b) bertentangan dengan kewajiban hukum dader.27
Perhitungan ekonomis pada suatu kerugian berarti sangat luas. Sedangkan
“merugikan keuangan Negara” dalam perumusan UU PTPK hanya menunjuk pada
satu hal yaitu uang Negara yang mempunyai cakupan sangat luas. Apabila
perumusan UU PTPK mengadopsi arti sempit onrechtmatigedaad bahwa perbuatan
“merugikan keuangan Negara” adalah merupakan bentuk “pengurangan jumlah”,
dan untuk itu masuk kategori “perbuatan yang melanggar hak orang lain”, maka tepat
yang dikatakan Mariam Darus bahwa Pasal 1365 BW telah menjadi pengertian
genus yang open norm.28
22
Ibid., hal. 2.
23
De Wetboeken, dan Wetten En Verordeningen, Benevens De Grondwet Van De Republiek
Indonesie, Jakarta, Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1989, hal.329.
24
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Disusun Menurut Sistem
Engelbrecht, Jakarta, Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1989, hal. 521.
25
Loc. Cit.
26
Loc. Cit.
Prawirohamidjojo, Soetojo dan Marthelena Pohan, Onrechtmatige Daad, Foto Copy Perc.
& Stensil “Djumali”, Surabaya, Desember 1979, hal. 3.
27
28
Op.Cit.
13
Bentuk “kekurangan” atau “pengurangan jumlah” dalam konsep UU
Perbendaharaaan Negara, harus menunjuk pada jumlah yang “pasti dan nyata”. Hal
ini sangat beralasan. Dalam konsep hukum privat, meskipun kerugian yang ada
adalah akibat “pelanggaran suatu hak”, tetapi jumlah kerugiannya harus dapat
diperhitungkan secara ekonomis dengan jumlah yang “pasti dan nyata”. Pada
rumusan UU PTPK dipakai kata “dapat merugikan”, yang tentu menunjuk pada
jumlah yang belum pasti karena terkait pada kata “dapat”. Untuk ini tidak dapat
dijelaskan dalam konsep hukum pidana.
Tata cara penyelesaian ganti kerugian Negara yang ditetapkan dalam UU
Perbendaharaan Negara telah diatur secara lengkap lepas dari kriminalisasi, tetapi
lebih ke arah upaya pemulihan. Hal ini sesuai dengan konsep hukum privat yang
diadopsi, bahwa tekanan konsep onrechtmatigedaad adalah pembayaran ganti rugi.
Upaya preventif, represif dan pengendalian intern yang ada adalah penyelesaian ganti
rugi, sanksi administratif dan sanksi pidana, baik yang ditentukan oleh UU
Perbendaharaan Negara sendiri, maupun UU Keuangan Negara,
dan UU
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
6. Kerugian Pemegang Saham dan Kerugian Negara
Kedudukan Negara dalam Persero adalah sebagai pemegang saham sejajar
dengan pemegang saham lainnya bila ada. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 14 ayat (1)
UU BUMN. Dalam hukum perseroan, pemegang saham akan menderita kerugian
apabila tidak menerima dividen atau harga saham turun. Tidak diterimanya deviden
atau penurunan harga saham yang terjadi karena krisis ekonomi dapat dikatakan
merugikan Negara. Hal ini adalah konsekuensi wajar yang harus ditanggung negara
sebagai pelaku bisnis.
Bentuk PT merupakan badan usaha yang banyak menjadi pilihan karena
mudahnya diketahui risiko yang akan ditanggung oleh pemegang saham. Risiko yang
akan ditanggung pemegang saham apabila Persero merugi hanya sebatas saham yang
ditanamkan.29 Tidak diterimanya dividen dan kemungkinan penurunan harga saham
seharusnya juga merupakan risiko yang telah diperhitungkan pemegang saham pada
saat membeli saham. Konstruksi kepemilikan yang demikian sebenarnya adalah
konstruksi yang adil atau fair.
Melalui lembaga saham, pemegang saham diuntungkan dalam beberapa hal
berikut: 30
a. pemegang saham tidak perlu melakukan monitor tentang kemungkinan
kerugian perseroan (financial loss) karena tanggung jawabnya telah dibatasi
sampai sejumlah saham yang ditanam;
b. pemegang saham dapat mengurangi risiko individual, karena kerugian akan
ditanggung bersama dengan pemegang saham lain.
29
Periksa Pasal 3 ayat (1) UU PT.
30
Bandingkan dengan Ian M Ramsay dan David B. Noakes, Loc. Cit.
14
Dengan demikian risiko kerugian pemegang saham yaitu tidak menerima
dividen, hilangnya capital gain (margin), dan hilangnya kekayaan Persero baik
sebagian maupun seluruhnya pada saat pembubaran PT, harus telah diketahui atau
paling tidak diperhitungkan oleh pemegang saham, dalam hal ini Negara. Untuk itu
kajian pentingnya pendirian sebuah Persero oleh Menteri Keuangan, Menteri Teknis
dan Menneg BUMN, pada tahapan pendirian sangat menentukan.31
Dalam konsep hukum privat, risiko kerugian pemegang saham disebut
keuntungan yang seharusnya diperoleh. Jumlah keuntungan yang seharusnya
diperoleh tidak dapat dipastikan, dan bentuknya tidak nyata. Untuk kerugian yang
belum pasti, perhitungan ekonomis hanya bisa dipakai untuk kerugian karena
pelanggaran hak (onrechtmatigedaad dalam arti sempit). Demikian pula dengan
kerugian Negara akibat terjadinya penurunan harga saham. Upaya hukum yang dapat
dilakukan apabila penurunan harga saham terjadi karena perbuatan melawan hukum
atau kelalaian Direksi dan atau Komisaris, adalah berdasar Pasal 1365 BW
(onrechtmatigedaad).
Perlindungan hukum pemegang saham atas kemungkinan kerugian pada
usahanya, dalam hukum perseroan diatur Pasal 97 ayat (6) dan Pasal 114 ayat (6) UU
PT bahwa: “Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit
1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat
mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi dan atau
Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada
Perseroan”.
7. Direksi Persero sebagai Pejabat Publik Pengelola Keuangan Negara
a. Akibat Insinkronisasi Pengaturan
Penerapan tindak pidana korupsi pada Direksi Persero yang terbukti
merugikan keuangan Negara dalam kasus contoh pada prinsipnya didasarkan pada
pengaturan-pengaturan yang tidak sinkron yang telah diuraikan di atas. Secara garis
besar problem ketidaksinkronan ini ada diantara pengaturan yang menentukan
bahwa kekayaan Persero adalah aset Negara yang harus tunduk pada UU PTPK.
Kekayaan Persero diperlakukan sebagai aset Negara adalah didasarkan pada
pengaturan-pengaturan berikut:
i. Pasal 2 huruf (g) UU Keuangan Negara yang menentukan bahwa, termasuk
dalam pengertian keuangan negara adalah kekayaan negara yang dikelola
sendiri atau oleh pihak lain ... , termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara.
ii. Pasal 1 angka 5 UU Keuangan Negara yang menentukan bahwa, Perusahaan
Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki
oleh Pemerintah Pusat.
iii. Penjelasan UU Keuangan Negara angka 3 tentang Pengertian dan Ruang
Lingkup Keuangan Negara, meliputi pengertian dari sisi obyek, subjek,
proses, dan tujuan.
31
Periksa Pasal 10 PP No. 44 Tahun 2005.
15
iv. Penjelasan umum paragraf IV UU PTPK yang menegaskan bahwa termasuk
keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang
dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, dan dalam penguasaan siapapun.
Semua pengaturan-pengaturan di atas bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1)
UU BUMN. Setelah proses pemisahan selesai, dan kemudian Negara melakukan
penyertaan, maka demi hukum penyertaan tersebut menjadi kekayaan Persero.
Penyertaan ini merupakan tuntutan hukum dari suatu badan hukum untuk dijadikan
modal. Setelah itu modal penuh menjadi kekayaan Persero, bukan lagi kekayaan
Negara, sehingga seluruh persoalan keuangan dalam Persero harus diselesaikan
sesuai ketentuan UU PT. Dalam hal ini dikemukakan Arifin P. Soeria Atmadja
bahwa telah terjadi transformasi hukum dari keuangan publik menjadi keuangan
privat.32
Berdasarkan rumusan-rumusan yang disebut di atas otomatis seluruh
pengaturan mengenai keuangan Negara berlaku bagi Persero, sebab Persero masuk
dalam kategori Perusahaan Negara. Keluasan pengertian ini merupakan dasar
kekeliruan pandangan bahwa pada Persero berlaku aturan-aturan tentang
pengelolaan keuangan Negara; sehingga kerugian Persero akibat kesalahan Direksi
adalah juga kerugian Negara. Pemahaman yang salah akibat pengaturan kekayaan
negara yang dipisahkan seperti diuraikan di atas, dan dengan demikian kekayaan
Persero adalah kekayaan Negara, mengakibatkan penggunaan anggaran Persero juga
merupakan obyek pemeriksaan dalam hukum publik/pidana.
Ketidaksinkronan rumusan-rumusan pengaturan ini mengakibatkan
pemahaman yang salah pada konsep hukum antara hukum perseroan; hukum
keuangan Negara dan hukum pidana khusus mengenai tindak pidana korupsi. Akibat
selanjutnya adalah tidak adanya kepastian hukum. Dakwaan tindak pidana korupsi
karena merugikan keuangan Negara pada direksi Persero seperti telah diuraikan pada
kasus contoh dapat dikatakan bahwa telah terjadi krisis pada hukum perseroan/PT.
Erman Rajagukguk berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada yang salah
dengan perumusan keuangan Negara baik dalam UU PTPK maupun UU Keuangan
Negara. Hanya saja telah terjadi salah pengertian dan penerapan dengan apa yang
dimaksud dengan keuangan Negara ketika dikaitkan dengan kekayaan negara yang
dipisahkan.33 Pendapat ini tidak seluruhnya benar. Permasalahan sebenarnya adalah
adanya ketidakpahaman terhadap karakter Persero sebagai badan hukum yang
mempunyai sumber-sumber dana berbeda dari PT swasta umumnya.
Pada sisi lain Persero mempunyai beban Public Service Obligations (PSO)
dengan sistem anggaran terpisah. PSO merupakan tugas khusus terkait layanan
publik yang diatur Pasal 66 UU BUMN. Dalam konsep hukum administrasi
penugasan khusus ini merupakan mandat. Dalam konstruksi mandat, seluruh
tanggung jawab atas pelaksanaannya ada pada pemberi mandat. Oleh karena itu
dalam penugasan khusus ini seluruh biaya ditanggung oleh pemerintah. Karena PSO
32
Loc. Cit: www.hukumonline: Tanggal 24 Februari 2003.
Ridwan Khairandy, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26, N0. 1 Tahun 2007, Konsepsi
Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Dalam Perusahaan Perseroan, hal. 36-37, yang mengutip dari
Erman Rajagukguk, Nyanyi Sunyi Kemerdekaan Menuju Indonesia Negara Hukum Demokratis,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, Depok, 2006, hal. 386.
33
16
adalah kewajiban pemerintah. Untuk itu kedudukan Persero dalam hal ini adalah
penerima mandat atau mandataris. Mandataris bertindak untuk dan atas nama
pemberi mandat atau mandans.
Berdasarkan tugas-tugas khusus inilah banyak dana-dana pemerintah masuk
dalam anggaran Persero. Pertanggungjawaban dana-dana terkait dengan PSO
tergantung pada niat pemerintah. Apabila dana PSO kemudian dijadikan penyertaan
modal/kekayaan Persero, maka harus diikuti mekanisme penyertaan yaitu dengan
menerbitkan Peraturan Pemerintah. Tetapi kalau tidak dijadikan penyertaan modal,
maka harus dipertanggungjawabkan berdasar aturan-aturan pengelolaan keuangan
Negara yaitu UU Keuangan Negara, UU Perbedaharaan Negara dan UU
Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Demikian pula apabila terjadi
penyimpangan, seharusnya ketiga peraturan inilah yang digunakan, bukan dialihkan
pada hukum pidana/tindak pidana korupsi. Alasan penting yang dapat dikemukakan
disini adalah bahwa pemberian mandat adalah dalam lingkup hukum administrasi,
oleh karena itu sistem akutabilitas dari pelaksanaan mandat tersebut juga harus dalam
lingkup hukum administrasi.
Meskipun melaksanakan PSO, direksi Persero tetap bukan pejabat publik
dan juga bukan pegawai negeri. Kedudukan ini tidak bisa diubah. Demikian pula
bentuk badan hukum privatnya tidak berubah menjadi badan hukum publik
(publiekrechtelijke rechtspersoon). Dengan demikian sudah seharusnya bila Direksi
Persero bukan merupakan pelaku “orang” dalam rumusan Pasal 2 dan 3 UU PTPK.
Direksi Persero diangkat dan diberhentikan oleh RUPS. Untuk itu Direksi Persero
bertanggung jawab hanya kepada RUPS. Rumusan Pasal 1 ayat (2) huruf d dan e UU
PTPK tidak begitu saja dapat mengakibatkan Direksi Persero diperlakukan sebagai
pelaku “orang”. Berdasar rumusan ini, kemungkinan Direksi, Komisaris dan
karyawan Persero masuk kategori pelaku “orang” yang “pegawai negeri” dalam
rumusan ini tidak ada, apabila Persero diakui tidak menerima bantuan dan
mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara. Justru Pasal 1 ayat (1) UU PTPK
yang menunjuk bahwa “baik yang berbadan hukum maupun yang bukan badan
hukum”, menjadikan mudahnya hukum publik/pidana korupsi memasuki hukum
privat/perseroan.
Selain itu fungsi jaring laba-laba UU PTPK, juga dapat dilakukan melalui
Pasal 3 UU PTPK tentang penyalahgunaan wewenang. Hal ini patut disayangkan,
telah terjadi pada pembelian Medium Term Notes (MTN) dan pembelian surat utang
pada mantan Dirut dan Direktur Investasi PT Jamsostek. Investasi beresiko tinggi
yang tidak dijamin keamanannya, dianggap telah terjadi penyalahgunaan
kewenangan. Dalam Pasal 3 UU PTPK diatur bahwa:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
17
Penekanan pengaturan ini adalah bahwa tujuan penyalahgunaan adalah untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Dengan demikian
bila terbukti seseorang mendapat keuntungan dari suatu perbuatan penyalahgunaan,
maka masuk kategori rumusan ini. Pada sisi lain harus dipenuhi syarat bahwa dari
keuntungan yang diperoleh tersebut Negara dirugikan. Dengan demikian apabila
seseorang memperoleh keuntungan tetapi Negara tidak dirugikan, maka tidak ada
unsur penyalahgunaan wewenang. Pada kasus contoh Jamsostek, investasi beresiko
tinggi yang tidak dijamin keamanannya telah dianggap berpotensi merugikan
keuangan Negara.34
Parameter seseorang menyalahgunakan wewenang adalah bila kewenangan
digunakan tetapi tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut. Apabila
kemudian berdasar kewenangan-kewenangan yang diberikan tersebut Persero
menderita kerugian, maka Direksi dapat dituntut pertanggungjawabannya. Dalam
konsep hukum privat/hukum perseroan kerugian-kerugian Persero dapat diuji,
apakah kerugian tersebut merupakan kesalahan Direksi atau bukan. Apabila
kemudian hal ini dimasukkan dalam konsep hukum administrasi, kerugian Persero
tidak dapat begitu saja dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang “publik”,
sebab penyalahgunaan wewenang pada tataran ini tetap dalam wewenang “privat”.
Kerugian Persero adalah kerugian PT yang berada dalam konsep hukum perseroan,
meskipun dalam Persero terkait saham negara sebesar minimal 51%.
b. Kemungkinan Cacat Prosedur
Cacat prosedur dalam Persero, dapat terjadi pada tataran pelaksanaan PSO.
Hal ini bisa terjadi karena anggaran PSO terpisah dengan kekayaan Persero. Tujuan
PSO adalah terkait dengan penyediaan barang dan jasa untuk memenuhi hajat hidup
orang banyak. Pasal 99 PP No. 45 Tahun 2005 menentukan bahwa, tata cara
pengadaan barang dan jasa Persero yang menggunakan dana APBN harus dilakukan
berdasarkan Pedoman Umum dari menteri. Untuk Persero Tertutup, Pedoman
Umum tersebut harus dianggap sebagai keputusan RUPS,35 sedangkan untuk Persero
yang tidak semua sahamnya dimiliki Negara, pedoman umum tersebut harus
dikukuhkan lebih dulu oleh RUPS.
Akibat dari sistem anggaran yang terpisah dari kekayaan Persero untuk
pelaksanaan PSO, maka pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa harus dirujuk
Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
jo Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2006. Dalam hukum administrasi bila proses
pengadaan barang dan jasa tidak dilaksanakan sesuai Keppres 80 Tahun 2003, maka
dianggap telah terjadi cacat prosedur, yang harus diulang prosesnya. Pada tataran
ini Direksi Persero dapat dianggap telah menyalahi prosedur, dan atau bahkan dapat
diindikasikan pada korupsi apabila ternyata tindakannya di kemudian hari, terkait
pengadaan barang dan jasa dianggap telah merugikan keuangan negara.
34
Potensi kerugian dapat dianggap sebagai tindak pidana korupsi berdasar Pasal 2 Uu PTPK,
bukan Pasal 3 UU PTPK. Hal ini yang mengakibatkan kerancuan.
35
Periksa Penjelasan Pasal 99 ayat (2) PP No. 45 Tahun 2005.
18
Berdasarkan Keppres No. 80 Tahun 2003 jo. Peraturan Presiden Nomor 8
Tahun 2006, semua Pengadaan Barang dan Jasa yang pembiayaannya sebagian atau
seluruhnya dibebankan pada APBN, prosesnya harus tunduk pada Keppres ini. Pasal
7 Keppres No. 80 Tahun 2003 mengatur bahwa:
Ruang lingkup berlakunya Keputusan Presiden ini adalah untuk :
a.
pengadaan barang/jasa yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya
dibebankan pada APBN/APBD;
b.
pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari
pinjaman/hibah luar negeri (PHLN) yang sesuai atau tidak bertentangan
dengan pedoman dan ketentuan pengadaan barang/jasa dari pemberi
pinjaman/hibah bersangkutan;
c.
pengadaan barang/jasa untuk investasi di lingkungan BI, BHMN,
BUMN, BUMD, yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya
dibebankan pada APBN/APBD.
Keppres No. 80 Tahun 2003 jo Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2006.
menentukan bahwa untuk pengadaan barang atau jasa dengan anggaran di atas 50
(lima puluh) juta rupiah harus dilakukan dengan cara tender. Sebagai contoh kasus
untuk hal ini adalah kasus proyek pengadaan dua mesin pembangkit (turbin gas truck
mounted) untuk PLTGU Borang, Palembang, Sumatera Selatan yang dilaksanakan
oleh PT PLN. Pada kasus ini diindikasikan terjadi penggelembungan (mark up)
dalam pembelian dua alat tersebut. 36 Di samping itu dalam proses pengadaan turbin
tersebut tidak dilakukan dengan tender karena kondisi yang sangat mendesak yaitu
rencana pemadaman listrik di Sumatera, pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional, dan
pelaksanaan Pemilu 2004.37 Modus korupsi, adalah bahwa tim pelaksana projek
membeli mesin bekas pakai, padahal anggarannya untuk pembelian mesin
pembangkit yang baru.
Pada tanggal 2 Nopember 2007 Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan
mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SK-SP3)
No. Tap 03/0.1.14/ET.1/11/2007 untuk Ali Herman Ibrahim dan Agus Darmadi, No.
Tap 04/0.1.14/ET.1/11/2007 untuk Yohanes Kenedy Aritonang, dan No. Tap
05/0.1.14/ET.1/11/2007 untuk Edy Widiono.38 Surat Penghentian Penyidikan pada
dugaan korupsi pembelian mesin PLTGU Borang ini menetapkan bahwa proses
pembelian telah sesuai Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan
36
www.AntiKorupsi.org: Jumat, 21-April-2006: Pembelian Dua Buah Turbin Gas Truck
Mounted Pada 2004.
37
www.tempointeraktif, Dirut PLN Mengaku Tak Tahu Penggelembungan Dana Proyek
Borang, Kamis, 26 Januari 2006 | 11:29 WIB.
38
www.INNChannels, Minggu, 04 November 2007: Penghentian Kasus Borang Dinilai
Positif.
19
Jasa;39 dan bahwa dalam proses penyidikan tidak ditemukan cukup bukti, baik unsur
perbuatan melawan hukum maupun unsur kerugian Negara.40
Adanya cacat prosedur tidak secara otomatis terdapat unsur penyalahgunaan
wewenang. Cacat prosedur mempunyai implikasi pada penyalahgunaan wewenang
jika penggunaan wewenang tersebut menyimpang atau bertentangan dengan tujuan
pemberian kewenangan yang telah ditetapkan undang-undang.41 Sebagai contoh,
dilakukannya penunjukkan langsung, ditujukan untuk menguntungkan salah satu
rekanan. Pada tataran ini terdapat penyalahgunaan wewenang dan cacat prosedur.
Apabila kemudian penyalahgunaan wewenang dan cacat prosedur ini menimbulkan
kerugian Negara, maka dapat dikenakan tindak pidana korupsi.
8. Penutup
Berdasarkan uraian-uraian pada pembahasan di atas maka dapat ditarik garis
bahwa pada dasarnya apapun alasannya Direksi Persero tidak dapat dikenai tindak
pidana korupsi. Kesalahan dalam pengelolaan kekayaan Persero tidak serta merta
merugikan Negara. Anggapan ini salah kaprah dan membahayakan kepastian
hukum (rechtszekerheid). Kerugian Persero bukan kerugian Negara, karena kerugian
Persero belum tentu merugikan pemegang saham. Kerugian Negara sebagai
pemegang saham akan diketahui dengan pasti baru pada saat pembagian sisa harta
kekayaan dalam hal Persero bubar. Batas kerugian Negara sebagai pemegang saham
hanya sebatas sahamnya saja.
Dalam praktik penegakkan hukum, tampak tidak ada pemahaman tentang
konsep-konsep hukum baik hukum perseroan maupun hukum adminstrasi/keuangan
negara. UU PTPK dan UU Keuangan Negara yang pada hakekatnya dibuat untuk
menyelamatkan uang negara tidak jelas batasan-batasannya bagi praktik penegakkan
hukum. Dalam hal-hal tertentu yaitu apabila UU Keuangan Negara, UU
Perbendaharaan Negara dan UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara tidak mencukupi, indikasi korupsi hanya dapat dipakai pada
Direksi Persero terkait kedudukannya sebagai pengguna anggaran PSO.
DAFTAR PUSTAKA
Brouwer J.G dan Schilder, A Survey of Ducth Adsministrative Law, Ars Aequi Libri,
Nijmegen, 1998.
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, West Group, ST. PAUL MINN, Seventh
Edition, 1999.
39
www.sinarharapan.co.id/berita/0711/03/nas03.html: Proses Hukum Dugaan Korupsi
PLTGU Borang Dihentikan.
40
www.hariansib.com/2007/.../tak-cukup-bukti-kasus-korupsi-dirut-pln-di-skp3
41
Bandingkan dengan Nur Basuki, Op. Cit., hal. 132.
20
Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa oleh Arief Sidharta, B., Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999.
Craig P.P., Administrative Law, Fifth Edition, Sweet and Maxwell Limited of 100
Avenue Road, Thomson, London, 2003.
Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Cet. III., Bandung, 2005.
Davies, L. Paul, Gower and Davies’ Principles of Modern Company Law, Thomson,
Sweet and Maxwell, London, 7th Edition, 2003.
De Wetboeken, dan Wetten En Verordeningen, Benevens De Grondwet Van De
Republiek Indonesie, Jakarta, Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1989.
Emerson, Robert W., Business Law, Barron’s, 4th edition, New York, United States,
2004.
Robert Fabrikant, Pertamina : A National Company A Developing Country, dalam
Law and Public Enterprise in Asia, International Legal Center, Praeger
Publishers, New York, 1976.
Friedmann, W., Law in a Changing Society, Second Edition Stevenn & Sons and
Penguin Books , Middlesex, England,1972.
-------------, The State and The Rule of Law in a Mixed Economy, Steven and Sons,
London, 1971.
Friedmann, W., dan Garner, J.F., Government Enterprise, A Comparative Study,
Columbia University Press, New York, 1970.
Fuady, Munir., Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Eksistensinya Dalam
Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
-----------, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Hadjon, Philipus, M., dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction
To The Indonesian Administrative Law), Gadjah Mada University Press,
Cetakan kedelapan, Maret 2002.
-----------, Perlindungan hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Sebuah Studi Tentang
Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan
Peradilan Umum Dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Cetakan
Pertama, Edisi Khusus, Peradaban, Surabaya, 2007.
------------, Pemerintahan Menurut Hukum, Yuridika, Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, 1992.
21
------------,
Pengertian-pengertian
Dasar
tentang
Tindak
(Bestuurshandeling), Diktat, Tanpa penerbit, 1985.
Pemerintahan
------------, Paper, Sinkronisasi Kebutuhan Perangkat Peraturan Antara Pemerintah
Dan Pemerintah Daerah Dengan Visi, Misi, Dan Strategi Usaha BUMN
Kepelabuhan Dalam Mengantisipasi Dan Menyesuaikan Dengan UU
Otonomi Daerah, Analisis hukum positif, tanpa penerbit, 1999.
Hadjon, Philipus, M., dan Tatiek Sri Djatmiati, Kumpulan Paper, Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, Surabaya, 2005.
------------, Argumentasi Hukum (Legal Argumentation/Legal Reasoning), Gadjah
Mada University Press, Cet. II, November 2005.
Hamilton, Neil., & Peter. R., Governance Of Public Enterprise, Lexington Books,
D.C. Health and Company Lewington , Massachusets, Toronto, 1981.
Hamzah, Andi., Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya, GramediaJakarta, 1991.
Ichtiar Baru van Hoeve, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia, Disusun Menurut Sistem Engelbrecht, Intermasa, Jakarta, Cet. I,
1989.
----------, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Disusun
Menurut Sistem Engelbrecht, Intermasa, Jakarta, Cet. I, 2006.
International Legal Center, Law And Public Enterprise in Asia, Praeger Publishers,
New York, U.S.A., 1976.
Jones, Ian Ellis, Essential Administrative Law, Cavendish Publishing, Third Edition,
Sydney, 2003.
Kaligis, OC., Kumpulan Kasus Menarik, Jilid I, Kaligis and Associates, Jakarta,
2007.
Koperasi Pegawai Prabunara, Kementrian Negara Badan Usaha Milik Negara,
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Badan Usaha Milik Negara,
Jakarta, 2006.
Kraakman, Reiner R., Davis, Paul., Hansmann, Henry., Hertig, Gerard., Hopt,
Klaus.J., dan Rock, Edward.B., The Anatomy 0f Corporate Law, A
Comparative And Functional Approach, Oxford University Press Inc, New
York, United States, 2004.
Latimer, Paul., Australian Business Law, CCH Editorial Staff, Edisi XVII, Sydney,
New South Wales, 1998.
22
Leslie Rutherford and Sheila Bone, Osborn’s Concise Law Dictionary,
Edition, Sweet & Maxwell, London, !993.
Eight
Nieuwenhuis, J.H., Hoofdstukken Verbindtenissenrecht yang diterjemahkan menjadi
Pokok-pokok Hukum Perikatan, oleh Djasadin Saragih, Surabaya, Januari,
1985.
Nur Basuki Minarno, Disertasi, Penyalahgunaan Wewenang Dalam Pengelolaan
Keuangan Daerah yang Berimplikasikan Tindak Pidana Korupsi,
Pascasarjana, Universitas Airlangga, 2006.
Pozen, Robert. C, Public Corporation in Ghana, A Case Study in Legal Importation,
Wisconsin Law Review, Number 3, University of Wisconsin, 1972.
Prasetya, Rudhi, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, disertai dengan Ulasan
Menurut UU No. 1 Tahun 1995, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.
Prawirohamidjojo, Soetojo dan Marthelena Pohan, Onrechtmatige Daad, Foto Copy
Perc. & Stensil “Djumali”, Surabaya, Desember 1979.
Prodjodikoro, Wiryono., Perbuatan Melanggar Hukum, Bandung, Mandar Maju,
2000.
Purbopranoto, Kuntjoro., Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi Negara, Ichtiar, Jakarta, 1962.
Ridwan, HR., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
Stroink, F.A.M. dan J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats –en Adsministratief recht,
Alpena an den Rijn: Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1985.
Sudarto, Hukum dan Hakim Pidana, Alumni, Bandung, 1977.
Sugiharto dkk, BUMN Indonesia, Isu, Kebijakan Dan Strategi, Kantor Kementrian
BUMN, Elex Media Komputindo, Gramedia, Cetakan I, Jakarta, 2005.
Putusan Pengadilan:
Putusan Mahkamah Agung No. 1144 K/Pid/2006, Tanggal 13 September 2007.
Makalah:
Prasetya, Rudhi., Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Kontrak Dalam Menyongsong
Era Globalisasi, Makalah, Pertemuan Ilmiah BPHN, Jakarta, 1996.
----------, Aspek Hukum Good Corporate Governance, Lokakarya GCG, Jakarta, 11
September 2000.
23
----------, Upaya Mencegah Penyalahgunaan Badan Hukum, Serangkaian
Pembahasan Pembaharuan Hukum di Indonesia pada Temu Karya Hukum
Perusahaan, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, 1991.
Kumpulan Makalah hasil Seminar Nasional Aspek Pertanggung-jawaban Pidana
Dalam Kebijakan Publik dari Tindak Pidana Korupsi, Kerjasama antara
Kejaksaan Agung Republik Indonesia dengan Fakultas Hukum Univesitas
Diponegoro Semarang, Semarang 6-7 Mei 2004, yaitu:
1. Badrulzamman, Mariam Darus, judul makalah: Batas-Batas Perbuatan
Melanggar Hukum (Hukum Perdata) Dan Perbuatan Melawan Hukum
(Hukum Pidana).
2. Effendi, Rusli, judul: Ajaran Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana
Korupsi Dan Mengoptimalkan Tugas, Wewenang Dan Kewajiban Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK).
3. Hadjon, Philipus M., judul: Discretionary Power dan Asas-asas Umum
Pemerintahan Yang Baik.
4. Seno Adji, Indriyanto, judul: Antara Kebijakan Publik (Publiek Beleid),
Asas Perbuatan Melawan Hukum Materiil Dalam Perspektif Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia.
Kumpulan Makalah hasil Seminar tentang Perubahan UU Perseroan Terbatas (UU
No. 40 tahun 2007), Rotary Club, 8 Agustus 2007, Di Garden Palace Hotel
Surabaya:
1. Fred B.G. Tumbuhan, judul: Tugas Dan Wewenang Organ Perseroan
Terbatas Menurut Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas UU No.
40/2007.
2. Prasodjo, W. Ratnawati., judul: Perbedaan Prinsip UU Perseroan Terbatas
Tahun 1995 dan 2007.
3. Prasetya, Rudhi, judul: Perubahan UU Perseroan Terbatas (UU No. 40
Tahun 2007).
Download