cl;. 05. HAM PEREMPUAN Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP 3Ltc:; SAY h No. Klass ......................... . No lnduk .1���?? Tgl . . Hcd:uh{ B eli Dari ...... ��:?�:. �!! ......... ......... ........ . . ��!'?: .�\:��.�....... . . �o\] HAM �PEREMPUAN Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP 34;­ �AV h.. 14�Y 01 05". "� reIlka AD ITAMA - . ?-f rH .;\0\1 The concep property ol ceive of the redefine hu women. Th approache: RF.HKM. 81.01.2008 Dr. Nlken Savitrl, SH., MCL. transform HAM Perempuan it takes bet � Kritlk Teori Hukum Femlnls Terhadap KUHP Editor : Aep Gunarsa, SH. Desain Sampul Setting & layout lsi t Charlotte Hendra Kurniawan Aep Gunarsa, SH. Diterbitkan & dicetak oleh PT Reflka Aditama Pengetahu, JI. Mengger Girang No. 98, Bandung 40254 Telp. (022) 5205985, Fax. (022) 5205984 e-mail: [email protected] Anggota !kapi kita, akan I tertentu. Bi tersebut, m don kekera Cetakan Pertama: Juli 2008 Catherine ISBN 979:1073-55-4 (yang disac © 2008. Hak Cipta Dilindungi Undang.-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isl buku ini TANPA IZIN TERTULIS dari pen:___ rbi t._________ "_ _ _ -L_ The concept of human rights, like all vibrant visions, is not static or the property of any one group; rather, its meaning expands as people recon­ ceive of their needs and hopes in relation to it. In this spirit, feminists redefine human rights abuses to include the degradation and violation of women. The specific experiences of women must be added to traditional approaches to human rights in order to make women more visible and to transform the concept and practice of human rights in our culture so that it takes better account of women's lives. Charlotte Bunch, "Women's Rights as Human Rights" Pengetahuan bukan datang dari apa yang kita pelajari dari kehidupan kita, akan tetapi, dari sesuatu yang telah ada menurut otoritas-otoritas tertentu. Bila apa yang kita pikirkan tidak masuk dalam otoritas-otoritas tersebut, maka bahasa kita tidak dapat diterjemahkan dan dimengerti, dan kekerasan yang kita alami tidak dapat ditanggapi. Catherine Mac Kinnon (yang disadur Gadis Arivia dalam Feminisme Sebuah Kata Hat!) Kata Pengantar Pro£ Dr. B. Arief Sidharta, SH. Setiap kali orang memikirkan sesuatu maka ia akan menempatkan objek yang dipikirkannya itu dalam kerangka persepsinya tentang realitas kenyataan kemasyarakatan dan alam semesta. Karena itu,hasil pemikirannya akan sangat dipengaruhi atau diwarnai oleh bagaimana orang dengan akalbudi dan nuraninya mempersepsi realitas tersebut. Demikian juga ketika orang atau sekelompokorang memikirkan tentang hukum dan berupaya untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dengan bersaranakan hukum (positif ). Prociuk pemikiran dan penghayatannya tentang hukum dan juga produk upayanya dalam pembentukan hukum akan sangat dipengaruhi oleh persepsinya tentang realitas, tentang masyarakat manusia dan kedudukan tiap manusia di dalamnya. Untukjangka waktu yang sangat lama, setidak-tidaknya hingga akhir abad sembilan belas, berkenaan dengan kenyataan bahwa berdasarkan kelaminnya manusia itu terdiri atas manusia laki-laki dan manusia perempuan, orang (baik laki-laki maupun perempuan) mempersepsi bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Segala sesuatu dipandang dan dipahami dari sudut atau perspektif laki-laki, yang dengan sendirinya menyebabkan perempuan tersubordinasi, terpojokan, dan termarjinalkan. Cara berpikir yang demikian itu disebut cara berpikir dan memahami yang berperspektif patriarki atau maskulin. Cara pandang dan perspektif pemahaman yang patriarkis ini mempengaruhi pemikiran tentang hukum dan semua produk derivatif pemikirannya, baik pada tataran teoritikal maupun pada tataran praktikal penyelenggaraan hukum yang mencakup pembentukan dan implementasi hukum dalam kenyataan. Pemahaman tentang hukum yang patriarkis ini di dalam praktik penyelengaraan hukum, khususnya pada tataran implementasi hukum di lapangan, telah mewujudkan ketidakadilan, terutama bagi perempuan. vii Tidak mE pada usul ag< kejahatan ata1 dan terpisah 1 pula agar set penegakan � terhadap pe dengan mete merujuk pad< hukum prog1 ketidakadilan dengan pena penyelenggar yakni mewujL Buku ini I secara jelas d persoalan gen faset modern juga ikut te dekonstruktif kemapanan y. hukum progn penting untul positif yang t sistematikal sa upaya untuk 1 dan belum m selain dapat n dan pejuang diskriminasi d upaya pembe Pada abad tujuh belas, mungkin di bawah pengaruh meluasnya pema­ haman tentang konsep hak asasi manusia yang dipelopori oleh pemikiran John Locke, mulai bangkit perlawanan terhadap dominasi patriarki dalam mempersepsi kenyataan. Muncul gerakan dan pemikiran yang memper­ juangkan keadilan yang berperspektif gender, yang menolak segala bentuk diskriminasi yang memarjinalkan perempuan. Dalam bidang hukum, melalui gerakan Critical Legal Studies, muncul aliran Feminist Jurisprudence. Aliran ini dalam pemikirannya tentang hukum yang berperspektif gender itu telah ikut berdampak dekonstruktif terhadap pemikiran positivisme hukum yang hingga derajat tertentu telah memapankan dan melanggengkan pemikiran tentang hukum yang didominasi oleh pemikiran patriarkis. Buku berjudul HAM Perempuan, Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP karya Dr. Niken Savitri ini, semula ditulis dan diajukan sebagai disertasi di Uni­ versitas Katolik Parahyangan pada permulaan tahun 2008 dengan judul K AJ I A N T EOR I HU KU M F EM I N I S T ERHA D AP PENGATURAN T I N D A K P I D A N A K EK ER A S A N T ERHA D AP PEREMPUAN D A L A M KUHP.Judul buku ini sudah jelas menyatakan diri sebagai sebuah karya pemikiran tentang hukum yang termasuk ke dalam a Iiran Feminist Jurisprudence (penulis menggunakan istilah Feminist LegalTheory).Yang menjadi fokus pemikirannya dalam buku ini adalah tindak pidana kekerasan terhadap perempuan sebagaimana ditemukan pengaturannya dalam KUHPyang berlaku,yang sudah jelas berasal dari jaman Hindia Belanda, dan karena itu pula jelas produk pemikiran hukum yang didominasi perspektif patriarki. Dalam buku ini diperlihatkan bahwa tindak pidana kekerasan terhadap perempuan itu dirumuskan dalam pasal-pasal yang ditempatkan dalam bab yang mengatur kejahatan terhadap kesusilaan, yakni dalam Bab XIV dengan judul Tentang Kejahatan Kesusilaan. Pasal-pasal dari bab itu yang berkaitan dengan tindakan kekerasan terhadap perempuan adalah Pasal-pasal 285 (perkosaan), 286 (persesetubuhan dengan perempuan yang tidak berdaya atau pingsan), 287 dan 288 (persetubuhan dengan perempuan di bawah umur), dan 297 (perdagangan perempuan dan anak laki-laki). Dalam kerangka pemahaman yang berperspektif patriarki itu, maka tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan karena keperem­ puanannya sebagaimana yang dirumuskan dalam Bab X IV KUHP dipahami dan ditegakkan tanpa pemahaman yang benar tentang apa dan bagaimana tindakan-tindakan itu dimaknai dan dihayati oleh perempuan yang menjadi korban tindakan kekerasan itu. Karena pemahaman yang patriarkis itu, maka praktik.penegakan pasal-pasal dalam Bab X IV KUHP di dalam kenyataan sungguh-sungguh justru lebih sering menyebabkan tambahan penderitaan pada perempuan yang menjadi korban pelanggaran pasal-pasal tersebut. Bandung, 14 J B. Arief Sidhi viii L Jasnya pema­ leh pemikiran itriarki dalam mg memper­ ;egala bentuk Jkum, melalui 'nee. Aliran ini r itu telah ikut hukum yang <an pemikiran erhada p KUHP isertasi di Uni­ dengan judul J D A K PI D AN A ini sudah jelas hukum yang 1unakan istilah iuku ini adalah 1a ditemukan isal dari jaman hukum yang bahwa tindak m pasal-pasal lap kesusilaan, an. Pasal-pasal ip perempuan in perempuan uhan dengan ,uan dan anak riarki itu, maka ·ena keperem­ UHP dipahami ian bagaimana yang menjadi iarkis itu, maka am kenyataan in penderitaan 1sal tersebut. Tidak mengherankan jika dalam buku ini penulis pada akhirnya sampai pada usu I agar dalam KUHP yang baru dimuat bab tersendiri yang mengatur" kejahatan atau tindak pidana kekerasan terhadap perempuan yang dibedakan dan terpisah dari kejahatan terhadap kesusilaan. Namun, selain itu diusulkan pula agar sebelum terbentuknya KUHP yang baru itu, agar penerapan dan penegakan pasal-pasal yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dipahami dan diinterpretasi secara hermeneutik , dengan metode penemuan hukum progresif, dan dalam kaitan ini penulis merujuk pada pemikiran-pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo tentang gagasan hukum progresif. Tujuannya adalah untuk mengurangi ata'u meniadak,i)n ketidakadilan terhadap perempuan sesegera mungkin melalui yurisprudensi dengan penalaran hukum yang tepat, dan dengan itu lebih mendekatkan penyelenggaraan hukum positif pada hakikat dan tujuan hukum itu sendiri, yakni mewujudkan keadilan. Buku ini layak dinilai "gesa / agd " (lulus) untuk menampilkan ke permukaan secara jelas dan jernih apa yang menjadi masalah-inti (core-problem) dalam persoalan gender secara umum,dan secara khusus di bidang hukum. Beberapa faset modern dari keberadaan dan berfungsinya hukum di dalam masyarakat juga ikut tertampilkan ke permukaan, seperti pemikiran-pemikiran dekonstruktif dalam bidang pemikiran kefilsafatan pada umumnya terhadap kemapanan yang membekukan dinamika kehidupan kemanusiaan, gagasan hukum progresif dan,secara khusus, teknik penemuan hukum progresif yang penting untuk melawan cara-cara penafsiran terhadap aturan-aturan hukum positif yang terlalu harafiah (yang terjebak pada metode gramatikal dan sistematikal saja). Selain itu,penerbitan buku ini adalah tepatwaktu,mengingat upaya untuk mengganti KUHP lama dengan KUHP baru masih "in progress" dan belum mencapai titik akhirnya. Karena itu, semoga penerbitan buku ini selain dapat menambah marak wacana tentang persoalan-persoalan gender dan pejuangan untuk mewujudkan keadilan bagi semua orang tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, juga dapat memberikan kontribusi pada upaya pembentukan KUHP yang baru. Bandung, 14 Juni 2008. B. Arief Sidharta ix ·.� Pengantar Penulis Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan perkenan dan kuasa-Nya, penulis dapat menyelesaikan disertasi yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku ini. Tulisan iniingin menggugah pemikiran dan wacana baru di dalam hukum pidana umumnya, KUHP khususnya, akan pentingnya pengaturan kembali rumusan tindak pidana kekerasan terhadap perempuan. Melalui penelitian kepustakaan dan lapangan,penulis mencoba mengangkat permasalahan yang ada pada hukum, hukum pidana dan KUHP khususnya dalam hubungannya dengan perempuan, dari sudut pandang yang berbeda. Dengan demikian tulisan ini lebih berupa kritik dari sudut pandang feminis atas hukum pada umumnya dan KUHP khususnya dalam kaitannya dengan perempuan sebagai korban tindak pidana kekerasan. Dengan asumsi bahwa hukum dan KUHP dimuati oleh ideologi yang dominan, yaitu ideologi patriarkis, kritik kemudian lebih diarahkan untuk menganalisa rumusan di dalam KUHP dan putusan pengadilan atas kekerasan terhadap perempuan dengan menggunakan teori hukum feminis. Metode hermeneutika yang dekonstruktif diterapkan dalam penelitian ini dengan tujuan membongkar asumsi-asumsi yang ada sebelumnya. Keputusan pengadilan atas kasus-kasus tindak pidana kekerasan terhadap perempuan diangkat sebagai salah satu bahan kajian,dalam rangka penerapan hermeneutic cycle dalam suatu kesatuan berpikir yuridis. Kritik tersebut pada akhirnya memunculkan adanya rekomendasi yang utuh berkaitan dengan peranan hukum dan penegak hukum dalam memberikan perlindungan kepada sekelompok masyarakat yang tidak terwakili oleh hukum pada waktu hukum tersebut dirumuskan. Karena terbatasnya referensi yang membahas tentang bagaimana penaf­ siran dapat dilakukan khususnya yang menyangkut penerapan hukum pidana xi kepercayaan d pilihan yang b Penulis jL dan penerbil menyebarluasl penulis tidak penulisan dan membalas bu1 ganda. Amien. Akhirul k< sempurnaan d apabila sidanf konstruktif baf dan KUHP, maka penulis memberanikan diri untuk menerbitkan disertasi ini. Dengan harapan penelitian ini dapat membuka wacana dan diskusi baru tentang arti dan pemahaman atas asas legalitas di dalam KUHP,yang selama ini dimengerti sebagai sesuatu yang sangat tertutup untuk adanya penafsiran secara luas. Meski tulisan ini masih penuh dengan kelemahan dan kekurangan, penulis berharap karya sederhana ini dapat memberikan sedikit kontribusinya pada pembangunan hukum secara umum, khususnya pembangunan hukum pidana di Indonesia. Penulis mengakui bahwa penelitian ini hanya dapat diselesaikan dengan bantuan dan kontribusi dari begitu banyak pihak. Maka dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada para pihak yang berperan besar dalam penelitian ini. Terutama kepada Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH. selaku promotor penulis yang mendorong untuk mener­ bitkan penelitian ini dalam bentuk buku agar dapat disampaikan kepada masyarakat luas.Untuk itu secara khusus penulis haturkan terima kasih kepada beliau dan buku ini penulis persembahkan untuk hadiah ulang tahun beliau ke-70yang jatuh pada bu Ian Oktober tahun ini. Sertajuga terima kasih kepada Prof. Dr. lgn. Bambang Sugiharto selaku Ko-Promoter selama penyelesaian studi Strata-3 penulis di Program Doktor llmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung yangjuga mendorong penulis untuk mempublikasikan penelitian ini dalam bentuk buku.Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bandung, Juni Wassalam, Niken Savitri Prof. Dr. Otje Salman, SH., Prof. Dr. Bernadete M. Waluyo, SH., CN., MH., Prof. Dr.Johannes Gunawan, SH., LL.M., Prof. Dr. Soedjono Dirdjosisworo, SH., MBA. dan Prof. Dr. lndriyanto Seno Adji., SH., MH. yang telah sangat membantu dan banyak memberikan masukan dalam proses penyelesaian disertasi penulis. Kepada Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH. yang karya-karyanya banyak mewarnai disertasi ini dan pemikirannya memberikan banyak inspirasi bagi penulis. Serta kepada Dr. Anthon Freddy Susanto, SH., MH. yang telah memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang sangat penulis butuhkan dalam penelitian ini. Kepada Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung,.beser.ta segenap kolega dosen dan staf karyawannya serta staf Laboratorium Hukum FH Unpar dan perpustakaan Unpar, juga kepada para mahasiswa yang sangat penulis cintai. Penulis ucapkan terima kasih atas p ' elbagai bantuan, dukungan dan kerjasamanya selama penulis menyelesaikan penelitian ini. Ucapan terima kasihjuga penulis sampaikan kepada orangtua yang selalu mendoakan keberhasilan penulis. Juga kepada H. Sugiyono dan Hafizh Adhitama, tempat darimana penulis selalu mendapatkan energi dan ' xii L disertasi ini. diskusi baru , yang selama ya penafsiran 1 kekurangan, kontribusinya iunan hukum i aikan dengan 1 kesempatan 1 kepada para :la Prof. Dr. B. untuk mener­ aikan kepada 1 kasih kepada 1 tahun beliau 1 kasih kepada penyelesaian �rsitas Katolik npublikasikan )aikan kepada kepercayaan diri. Terima kasih telah memberikan cinta yang begitu b esar dan pilihan yang begitu luas kepada penulis, selain menjadi seorang istri dan ib u. Penulis juga sampaikan terima kasih kepada Bapak Aep Gunarsa, SH dan penerbit Refika Aditama yang memberikan kesempatan untuk menyebarluaskan hasil penelitian ini. Dan akhirnya kepada banyak pihak yang ' penulis tidak dapat sebutkan satu persatu, yang sangat berper an dalam penulisan dan penelitian ini. Jazakumullah Khairan Katsira. Semoga Allah SWf• membalas budi baik lbu dan Bapak sekalian dengan pahala yang berlipat ganda. Amien. . Akhirul kalam, penulis menyadari ada banyak kekurangan dan ketidak­ sempurnaan dalam buku ini. Untuk itu penulis akan sangat berterima kasih apabila sidang pembaca sekalian dapat memberikan masukan dan saran konstruktif bagi penyempurnaan dan pendalaman topik ini selanjutnya. .. Bandung, Juni 2008. Wassalam, Niken Savitri >H., CN., MH., 'irdjosisworo, J telah sangat penyelesaian arya-karyanya myak inspirasi IH. yang telah ulis butuhkan Parahyangan nya serta staf a kepada para ma kasih atas nenyelesaikan tua yang selalu o dan Hafizh n energi dan xiii �\ «/. ):.0. J °'I' ' . Daftar Isi Kata Pengantar Prof. Dr. B. Arlef Sldharta, SH. Pengantar Penulis ' • .: " I . •·\\" ' "'( ._. . \'>. . ·,''hr, •)... \'. ' ,._.. .. . .. -vii -xi Bab I HAM Perempuan, Tindak Pidana Kekerasan, dan KUHP {Suatu Permasalahan) -1 Pengantar -1 � Pengkajian Permasalahan Atas Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan dan KUHP -12 � � Beberapa Teori Dasar -15 Bab II Teori Hukum Feminis dan Kekerasan Terhadap Perempuan -23 � � Teori Hukum dan Teori Hukum Feminis -23 Hermeneutika -31 Dekonstruksi dalam Hukum dan Kaitannya dengan Metode Feminis -37 � Hukum Pidana, Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Kekerasan Berbasis Gender -43 � Bab 111 Pengaruh Positivisme Hukum pada KUHP dan Pengaturan tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan dalam KUHP -53 � Sejarah Hukum Pidana Indonesia -53 Pengaruh Positivisme Hukum pada KUHP dan Pengaturan dalam KUHP -59 � Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan dalam KUHP -65 � � Asas Legalitas dan Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan -70 xv ' . ) • . ... ' . . . .. , " ' �t.. ;;: ·;•., _ . , Bab IV Kritik Teori Hukum Feminis Atas Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan dalam KUHP <!> -79 Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap Teori Hukum dan Hukum di Indonesia -80 0 0 0 0 HA1' Kritik Teori Hukum Feminis Atas Peraturan Perundangan di Indonesia -87 Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia -92 Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP -97 Kritik Teori Hukum Feminis Atas Rumusan Kekerasan Terhadap Perempuan dalam KUHP -106 BabV Pengantar Hak Asasi Manu: pengecualian da sosial manusia t kehidupan, kear bentuk penindas dari suatu negara namun harus pu yang diberikan ol hak-hak tersebut tentang HAM ata warga negarany; menjamin hak-h dan memperliha1 hak yang paling bersamaan den� merdeka. lstilah f dalam hakikat k manusia memilik oleh dirinya senc Perempuan, negara, merupa� hak-hak yang dir Kritik Teori Hukum Feminis · Terhadap Penerapan Pasal-pasal Pengaturan Tindak Pldana Kekerasan Terhadap Perempuan dalam KUHP <!> <!> -119 Penafsiran Hukum dan Tugas Hakim dalam Melakukan Penafsiran -121 Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap Putusan Hakim Atas Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan -130 0 Analisa Putusan Secara Umum -130 0 Analisa Putusan Secara Khusus -135 <!> Catatan Penutup -143 0 Menggagas Pemahaman -144 Daftar Pustaka -147 1} Anton Baker, dalam , do/am Hukum Pidana xvi a.__ c: I dana HAM Perempuan, Tindak Pidana. Kekerasan, dan KUHP ( Suatu Permasa/,ahan) '·' KUHP -106 Pengantar >idana tas Kasus Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki manusia secara kodrati tanpa pengecualian dan keistimewaan bagi golongan, kelompok maupun tingkat sosial manusia tertentu. Hak-hak tersebut mencakup antara lain hak atas kehidupan, keamanan, kebebasan berpendapat dan merdeka dari segala bentuk penindasan yang wajib dijunjung tinggi,tidak saja oleh setiap individu dari suatu negara yang mengakui keberadaan dan menghargai HAM itu sendiri, namun harus pula dijamin oleh negara tanpa ada perkecualiannya. Jaminan yang diberikan oleh negara atas hak-hak tersebut tidak dapat diartikan bahwa hak-hak tersebut lahir setelah negara meratifikasi suatu konvensi internasional tentang HAM atau mengeluarkan peraturan apa pun yang menjamin hak asasi warga negaranya, namun lebih merupakan tanggung jawab negara dalam menjamin hak-hak yang telah dimiliki oleh setiap warganya secara kodrati dan memperlihatkan penghargaan negara atas hak-hak tersebut Karena hak­ hak yang paling asasi tersebut secara kodrati dimiliki oleh tiap manusia bersamaan dengan kelahirannya di dunia sebagai seorang individu yang merdeka. lstilah Hak Asasi Manusia itu sendiri berarti hak tersebut ditemukan dalam hakikat kemanusiaan dan demi kemanusiaan.1 Karena itu setiap manusia memilikinya dan hak itu tidak dapat dicabut oleh siapa pun, bahkan oleh dirinya sendiri. Perempuan, sebagai suatu kelompok dalam masyarakat di dalam suatu negara, merupakan kelompok yang juga wajib mendapatkan jaminan atas hak-hak yang dimilikinya secara asasi. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1) Anton Baker, dalam St. Harum Pudjiarto, RS, Hak Asasi Manusia Kajian Filosofis dan /mplementasinya dalam Hukum Pidana di Indonesia, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1999, him. 2 -1-- lIAM Pcrc1npuan - Kritik 'rcori Huku1n Fc1ninis 'rcl'hadap KUI-IP ( DUHAM 1948) memang tidak menyatakan secara eksplisit tentang adanya jaminan hak asasi terhadap kelompok perempuan secara khusus, namun dalam Pasal 2 DUHAM dimuat bahwa hak dan kebebasan perlu dimiliki oleh setiap orang tanpa diskriminasi, termasuk tidak melakukan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.2 Dengan demikian,bila dikaitkan dengan kewajiban negara untuk memberikan jaminan atas warga negaranya, negara juga memiliki tanggung jawab untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia kelompok perempuan sama seperti jaminan kepada kelompok lainnya. Karena perempuan sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang juga harus dilindungi hak asasinya, maka pelanggaran terhadap hak asasi perem­ puan harus juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap H A M secara umum. Selama ini, isu hak asasi perempuan sebagai bagian dari H A M masih meru­ pakan isu yang belum memasyarakat. Bahkan sering merupakan isu yang terpinggirkan di antara isu hak asasi manusia lainnya seperti hak sipil dan politik atau hak ekonomi, sosial dan budaya. Mengapa demikian? Charlote Bunch -seorang aktivis H A M perempuan, menyatakan bahwa sebetulnya selama ini hak-hak perempuan telah dilanggar dengan berbagai cara. Dalam kondisi politik tertentu sebenarnya baik perempuan maupun laki-laki mengalami atau menjadi korban kekerasan, namun karena aktor-aktor politik selama ini didominasi oleh laki-laki, masalah perempuan sebagai korban kekerasan yang terlanggar HAM-nya berkaitan dengan keperempuanannya menjadi tidak kelihatan (invisible).' Lebih lanjut Bunch menyatakan bahwa saat ini, isu perempuan secara konkrit harus menjadi fokus perhatian negara di tingkat nasional,regional maupun internasional.Hanya dengan cara tersebut, isu perempuan dapat dianggap sebagai masalah negara dan bangsa, dan bukan masalah golongan perempuan saja.4 Di Indonesia, jaminan atas hak asasi manusia secara umum bisa ditemui di dalam Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua Pasal 28 A-J dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang H A M. Lebih khusus lagi,jaminan atas hak asasi perempuan dapat ditemui dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan atau ) Pengesahan Kcnvensi Perempuan.Di dalam Undang-Undang No.7Tahun 1984 tersebut dinyatakan bahwa negara akan melakukan upaya semaksimal mungkin untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perem2) Saparinah Sadli, Hok Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia, dalam Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, KK Convention Watch, Pusat Kajian Wanitq dan Jender, Universitas Indonesia, Jakarta 2000, him. 1. }) Ibid., him. 2. 4) Ibid., him. 5. -2- l-l/JNI Peren puan, termasuk < kekerasan di wila Mengapa p dijamin hak asas konvensi intern< bersama-sama di pengungsi serta I sukkan ke dalam dalam keadaan y. salah satu di anta lain. Kerentanan i lami fear of crime dialami perempl pada kenyataann Dalam hal " tersebut dapat di stereotype oleh rr karenanya diang Meskipun kemu< saja yang berpotE negara7 dan mas) kekerasan terhad dukan laki-laki da laki-laki dan per dituangkan secar. di Indonesia. Sep perkosaan, yang 5) Harkristuti Harkris Bentuk-bentuk Tindak ! Jakarta,2000. 6) Ibid. 7) Negara dapat diang£ yang di!akukan oleh ai:: dimana kemudian neg< korban. Negara juga ak dalam ha! negara mem! adanya kekerasan terh undang-undang lain yar kekerasan. 8) Masyarakat dapat di mengakomodasikan n perempuiln seperti me terhadap alat vital per€ UI-IP :entang adanya khusus, namun rlu dimiliki oleh an diskriminasi ngan kewajiban 'a, negara juga k asasi manusia )Ok lainnya. 1rakat yang juga 1ak asasi perem­ VI secara umum. 1M masih meru­ ipakan isu yang rti hak sipil dan likian? Charlote hwa sebetulnya agai cara. Dalam aupun laki-laki ktor-aktor politik sebagai korban erempuanannya 1yatakan bahwa lerhatian negara Jan caratersebut, Jan bangsa, dan 1um bisa ditemui Pasal 28 A-J dan 1sus lagi,jaminan Jang No. 7 Tahun =rempuan atau No.7Tahun 1984 aya semaksimal terhadap peremahaman Bentuk-bentuk ion Watch, Pusat Kajian 1-TAA-I Pernnpuan, Tindak Pidana Kekerasan, & KUl!P (Suatu Pmn1asalahan) puan, termasuk adanya kekerasan terhadap perempuan, baik yang meliputi kekerasan di wilayah publik maupun di wilayah domestik. Mengapa perempuan harus dinyatakan secara eksplisit dan khusus dijamin hak asasinya? Perempuan, dalam kajian dan pengaturan beberapa konvensi internasional dimasukkan ke dalam kelompok yang vulnerable, bersama-sama dengan kelompok anak, kelompok minoritas, dan kelompok pengungsi serta kelompok yang rentan lainnya. Kelompok perempuan dima­ sukkan ke dalam kelompok yang lemah,tak terlindungi,dan karenanya selalu dalam keadaan yang penuh risiko serta sangat rentan terhadap bahaya, yang salah satu di antaranya adalah adanya kekerasan yang datang dari kelompok lain. Kerentanan ini membuat perempuan sebagai korban kekerasan menga­ lami fear of crime yang lebih tinggi daripada laki-laki.' Selain itu, derita yang dialami perempuan baik pada saat maupun setelah terjadinya kekerasan, pada kenyataannya, jauh lebih traumatis daripada yang dialami laki-laki.6 Dalam hal kelompok perempuan sebagai korban kekerasan, kekerasan tersebut dapat datang dari kelompok laki-laki, yang dalam berbagai hal secara stereotype oleh masyarakat dianggap sebagai kelompok yang lebih kuat dan karenanya di01nggap memiliki kekuasaan lebih atas kelompok perempuan. Meskipun kemudian diidentifikasi bahwa bukan hanya kelompok laki-laki saja yang berpotensi melakukan kekerasan terhadap perempuan,namun juga negara' dan masyarakat8 yang tidak dapat dikategorijenis kelaminnya,namun kekerasan terhadap perempuan tidak dapat dilepaskan dari pandangan kedu­ dukan laki-laki dan perempuan dalam suatu masyarakat. Pembakuan peranan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat tersebut menjadi nilai yang dituangkan secara konvensional dalam sebuah aturan hukum yang digunakan di Indonesia. Seperti misalnya yang tampak dalam Pasal 285 KUHP tentang perkosaan, yang mengatur perbuatan perkosaan hanya meliputi perbuatan 5) Harkristuti Harkrisnowo, Hukutn Pidana dan Kekerasan Terhadap Perempuan, dalam Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak kekerasan Terhadap Perempuan don Alternatif Pemecahannya, KKCW-PKWJ, UI, Jakarta,2000. 61 Ibid. 7) Negara dapat dianggap 1ne!akukan kekerasan terhadap perempuan, salah satunya melalui kekerasan yang dllakukan oleh aparat negara {militer) terhadap warga negara yang berjenis kelamin pere1npuan, dimana kemudian negara dianggap tidak dapat menye!esaikan kasus tersebut secara berkeadilan bagi korban. Negara juga akan dianggap melakukan kekerasan terhadap perempuan secara tidak langsung, dalam hal negara memberlakukan atau belum mencabut peraturan perundangan yang berdampak pada adanya kekerasan terhadap perempuan seperti Undang-Undang Perkawinan No. l Tahun 1974 atau undang-undang lain yang memarjinalisaslkan posisi perempuan sehingga semakin rentan terhadaptindak kekerasan. 8) Masyarakat dapat dianggap melakukan kekerasan terhadap perempuan tidak langsung, da!am hal mengakomodasikan nilai-nllai dan pandangan yang berdampak pada adanya kekerasan terhadap perempuan seperti mewajibkan adanya sunat terhadap perempuan atau bahkan melakukan muti!asi terhadap alat vital perempuan pada masyarakat tertentu. -3- I1A!Y! Perenij HAivl Pcretnpuan - Kritik rrcori I-luku1n Feininis rrcrhadap KUI-IP laki-laki terhadap perempuan yang tidak terikat dalam perkawinan.9 Hal ini diterima dengan lebih banyak didasarkan pada pandangan bahwa perkosaan terhadap perempuan di dalam ikatan perkawinan tidak mungkin dilakukan, disebabkan peranan dan posisi istri yang memiliki kewajiban mutlak untuk melayani suami di dalam perkawinan. Theo Huiybers mengatakan bahwa makna hak-hak asasi menjadi jelas bila pengakuan akan hak-hak tersebut dipandang sebagai bagian humanisasi hidup yang telah mulai digalang sejak manusia menjadi sadar tentang tempat dan tugasnya di dunia. Sejarah kebudayaan adalah juga sejarah humanisasi hidup di bidang moral, sosial, dan politik melalui hukum.10 Melalui hukum pula prinsip-prinsip yang terkandung dalam pengakuan manusia sebagai subjek hukum dirumuskan sebagai suatu bagian integral dari tata hukum.11 Melalui hukum, hak-hak asasi manusia baik laki-laki maupun perempuan diakui dan dilindungi, karenanya hukum akan selalu dibutuhkan untuk menga­ komodasi adanya komitmen negara untuk melindungi hak asasi manusia warganya, termasuk perempuan. Melalui hukum positifnya Indonesia memberikan perlindungan kepada tiap orang dari setiap bentuk kekerasan, termasuk perlindungan kepada perempuan yang menjadi korban kekerasan. Hukum positif Indonesia melalui KUHP ( Kitab Undang-undang Hukum Pidana) mengatur tindak pidana kekerasan melalui rumusan pasal-pasal, antara lain yang terdapat dalam bab­ bab tentang kejahatan terhadap kesusilaan,kejahatan terhadap nyawa,tentang penganiayaan dan tentang menyebabkan mati atau Iuka-Iuka karena kealpaan. Namun demikian, KUHP -dalam bab-bab tersebut- hanya mengatur tentang tindak pidana kekerasan yang berakibat perlukaan secara fisik saja, baik yang berakibat mati atau Iuka, baik yang ditujukan kepada perempuan atau laki-laki sebagai korbannya. Dengan demikian tidak diberikan pengaturan khusus berupa pemberatan sanksi misalnya,apabila korbannya adalah seorang perempuan yang secara sosiologis tersubordinasi oleh pelakunya. Begitu pula tidak diberikan pengaturan kepada tindak pidana kekerasan yang tidak berakibat ke pada Iuka secara fisik, misalnya pelecehan, celaan ataupun , kekerasan verbal yang lebih mengakibatkan perlukaan psikis.12 Padahal Deklarasi Pengha tahun 1995 telar mencakup penge psikis dan kekeras; baik di dalam Ki Rancangannya ( RI pengertian diberil KUHP dan RUU Kl kejahatan terhada yang dilakukan di< sehingga apabila dapat tersentuh r beratkan kepada 1 memberikan penE sebagai korbanny dalam KUHP, khus luas,yaitu sebagai ! korban bergender tujuan perumusan penekanan kepad; memberikan perh kesopanan dalam korban atau pers dungan atas korba kondisi tersubord kekerasan itu kare ini, penerapan dar sudut pandang p1 kedudukan subon yuridis normatif SE KUHP yang di dari masa kolonia berlaku dualisme,) orang Eropa yang 55) yang berlaku rr 9) Pasal 285 KUHP: "Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan,dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun." 10) Theo Huijbers, FilsafatHukum, Kanisius, 1995, him. 101. 11) Jbjd. "'12) Kekerasan yang berakibat pada psikis perempuan korban baru diatur mela!ui Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 13) Konsep 'gender' berb laki-laki maupun peremp1 dikenal lemah lembut, ca perkasa (Mansour Fakih, -4-· L :\UHP <awinan.• Hal ini 1ahwa perkosaan ngkin dilakukan, m mutlak untuk asi menjadi jelas 1gian humanisasi r tentang tempat jarah humanisasi ' Melalui hukum nanusia sebagai ari tata hukum.11 pun perempuan an untuk menga­ ik asasi manusia ndungan kepada 1dungan kepada ndonesia melalui 1r tindak pidana Japat dalam bab1p nyawa,tentang uka-luka karena hanya mengatur 1 secara fisik saja, pada perempuan •rikan pengaturan ya adalah seorang :unya. Begitu pula rasan yang tidak . celaan ataupun psikis.12 Padahal emaksa seorang wanita ,,dengan pidana penjara Undang-Undang No. 23 llAM Pe1·enipua11, Tindak Pida11a Kekel"asan, & KU/1P (Suatu Pernuualahan) Deklarasi Penghapusan Kekerasan dari Perserikatan Bangsa- Bangsa (P B B) tahun 1995 telah memperluas pengertian jenis kekerasan, tidak hanya mencakup pengertian kekerasan fisik belaka namun juga pada kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Lebih jauh lagi, di dalam hukum pidana material baik di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP) maupun Rancangannya (RUU KUHP) yang sedang dipersiapkan, tidak ada satu pun pengertian diberikan kepada "kejahatan seksual''. Yang digunakan di dalam KUHP dan RUU KUHP adalah istilah "kejahatan terhadap kesusilaan''. Padahal kejahatan terhadap kesusilaan lebih menitikberatkan pada kejafiatan tersebut yang dilakukan di area publik (seperti yang pengaturannya ada di dalam KUHP) sehingga apabila terjadi kekerasan seksual di area domestik, pelaku tidak dapat tersentuh hukum melalui KUHP. Kejahatan kesusilaan juga menitik­ beratkan kepada pengaturan tentang susila dan kesopanan, sehingga tidak memberikan penekanan kepada adanya perlindungan kepada perempuan sebagai korbannya. Padahal sepatutnya kejahatan seksual yang terdapat di dalam KUHP, khususnya tindak pidana perkosaan, harus dipersepsikan lebih luas,yaitu sebagai gender based violence atau kejahatan yang didasarkan karena korban bergender tertentu. Perspektif yang berbeda terletak pada penekanan tujuan perumusan peraturan tersebut. Bila kejahatan kesusilaan memberikan penekanan kepada tempat terjadinya kejahatan, dan dengan demikian lebih memberikan perhatian atau ditujukan kepada adanya suatu ketertiban atau kesopanan dalam masyarakat. Maka kejahatan seksual dengan perspektif korban atau perspektif gender" memberikan penekanan kepada perlin­ dungan atas korbannya atau lebih khusus lagi korbannya yang berada di dalam kondisi tersubordinasi, sehingga tidak mampu untuk mencari solusi atas kekerasan itu karena kondisinya tersebut. Untuk pemahaman yang terakhir ini, penerapan dan perlindungannya harus dapat mencakup pendekatan dari sudut pandang perempuan dengan segala pengalaman khasnya dan dari kedudukan subordinasi yang ada, dengan tidak cukup dari sudut pandang yuridis normatif semata. KUHP yang diberlakukan di Indonesia saat ini adalah peninggalan KUHP dari masa kolonialisme Belanda. Semula untuk hukum pidana di Indonesia berlaku dualisme,yaitu dengan diberlakukannya KUHP tersendiri untuk orang­ orang Eropa yang termuat dalam Firman Raja Belanda (Staatsb/ad 1866 No. 55) yang berlaku mulai 1 Januari 1867. Sedangkan untuk orang-orang Indone13} Konsep 'gender' berbeda dengan seks Uenis kelamin), Gender adalah sifat yang melekat pada kaum lakHaki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosia! maupun kultural. Misalnya bahwa perempuan dikenaf lemah tembut, cantik, emosional, dan keibuan, sedangkan laki-!aki dianggap kuat, raslonal, jantan, perkasa (Mansour Faklh,Anafisis Gender dan Transformasi Sosia/, Pustaka Pe!ajar,Jogjakarta, 1999, h!m. 8). -5- '