Aktivitas Kitooligomer Hasil Reaksi Enzimatik

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
A. KITOSAN, KITOOLIGOMER DAN KITOSANASE
1. Kitosan dan Aplikasinya.
Kitosan adalah biopolimer yang tersusun atas D-glukosamin dengan ikatan
glikosidik â 1 4 yang dapat dihasilkan dari kitin, yaitu polimer linier â (1 4)-2asetamido-2-deoxy-D-glukosa (N-asetilglukosamin). Kitin adalah komponen
utama pada kulit kepiting dan udang atau kelompok kerang-kerangan (crustacea)
(Goosen et al. 1997). Sebagian besar kitosan untuk penggunaan komersial dan
penelitian diproduksi dari deasetilasi kitin yang berasal dari kulit udang dan
kepiting, limbah utama pada industri pengolahan shellfish. Secara alami kitosan
dapat dihasilkan dari fungi golongan zygomycetes (Miyoshi et al. 1992). Kitosan
adalah polimer alami, sehingga tidak bersifat toksik, tidak larut dalam air yang
bersifat basa tetapi larut baik dalam pelarut asam di bawah pH 6. Aplikasi polimer
kitosan tidak sebanyak bentuk kitooligomernya, hal ini disebabkan karena kitosan
memiliki berat molekul yang besar dan viskositas yang tinggi.
Untuk memperoleh kitosan dari kitin dapat dilakukan secara kimia dan
enzimatis. Kedua reaksi tersebut bertujuan untuk menghilangkan gugus asetil
yang terdapat pada kitin. Reaksi enzimatis menggunakan enzim kitin deasetilase,
sedangkan untuk memperoleh kitosan secara kimia dari kitin dapat melalui
kombinasi perlakuan panas (60 oC – 140 o C) dan larutan alkali (larutan NaOH
30% – 50%). Derajat deasetilasi kitosan biasanya berada antara 70% - 90%
tergantung metoda yang digunakan (Goosen et al. 1997). Derajat deasetilasi
dipengaruhi oleh konsentrasi basa, temperatur dan rasio kitin terlarut, derajat
deasetilasi akan meningkat dengan meningkatnya temperatur atau konsentrasi
NaOH (Chang et al. 1997). Proses deasetilasi secara termokimia tersebut dalam
banyak hal tidak menguntungkan karena tidak ramah lingkungan, prosesnya
tidak mudah dikendalikan, dan kitosan yang dihasilkan memiliki berat molekul
dan derajat deasetilasi yang tidak seragam (Chang et al. 1997; Tsigos et al.
2000). Proses deasetilasi yang menggunakan kombinasi perlakuan secara
kimiawi dan enzimatis seperti yang telah dilakukan oleh Rochima (2005)
merupakan alternatif proses yang lebih baik. Jalur degradatif kitin menjadi kitosan
dapat dilihat pada Gambar 1, sedangkan struktur molekul kitin dan kitosan dapat
dilihat pada Gambar 2.
5
Kitin deasetilase
(EC 3.5.1.4)
Kitin
Kitosan
Kitinase
(E.C 3.2.1.14)
Lysozyme
(E.C 3.2.1.17)
3.2.1.132)
Kitosanase
(EC
Kitin oligosakarida
N-acetil-β-Dglukosamidase
glukosamidase
(EC 3.2.1.30)
N-Asetil – D- Glukosamin
Kitosan oligosakarida
D-
D-Glukosamin
Gambar 1 Jalur degradasi kitin (Goosen 1997)
Gambar 2 Struktur molekul kitin dan kitosan (Li et al. 1997)
Proses pengubahan kitin menjadi turunan oligosakarida secara kimiawi
oleh asam cenderung dihindari karena proses ini
menghasilkan
lebih
banyak
monomer
tidak dapat dikontrol,
D-glukosamin
dan
lebih
sedikit
kitooligomer, padahal, yang memiliki aktivitas biologi penting adalah senyawasenyawa kitooligomernya (Kolodziesjka et al. 2000, Curroto & Aros 1993).
Hidrolisis kitosan secara enzimatis adalah cara yang lebih baik untuk
mendapatkan senyawa-senyawa kitooligomer dengan derajat polimerisasi yang
6
lebih rendah, karena sifat fungsional bergantung pada berat molekulnya (Suzuki
1996, Kolodziejska et al. 2000).
Banyak studi yang telah dilakukan mengenai penggunaan enzim untuk
mendegradasi kitosan. Aiba (1993,1994) menghidrolisis kitosan menggunakan
enzim kitinase dan lisozim. Pantaleone et al. (1992) dan Brine et al. (1992)
melaporkan penggunaan enzim glikanase, protease, lipase, dan tannase yang
berasal dari bakteri, fungi, mamalia, dan tanaman untuk menghidrolisis kitosan.
Muzarelli et al. (1995a, 1995b) telah menggunakan enzim papain dan lipase
untuk depolimerisasi kitosan. Guo dan Hung (2002) melaporkan penggunaan
enzim selulase untuk memperoleh senyawa -senyawa kitooligosakarida dari
kitosan. Berbagai proses tersebut dikembangkan untuk menghasilkan proses
hidrolisis yang efisien terhadap kitosan, akan tetapi penggunaan enzim-enzim
tersebut membutuhkan konsentrasi yang relatif tinggi, sedangkan kitosanase
menunjukkan aktivitas yang cukup baik pada konsentrasi yang kecil (Jeon dan
Kim 2000).
Telah banyak dilaporkan adanya sifat fisiologis penting senyawa-senyawa
kitooligo mer hasil degradasi kitin dan kitosan, yang memiliki daya antibakteri,
antijamur, antitumor, penurun kolesterol, penurun tekanan darah tinggi, dan
kemampuannya dalam meningkatkan daya imunologis (Dalwoo 2004, Muzarelli
1996,
Shahidi et al.1999, Suzuki et al. 1986, Suzuki 1996). Dalam bidang
farmasi, kitooligomer mampu menurunkan kolesterol. Aktivitas hipokolesterolemik
kitooligomer kemungkinan disebabkan karena penghambatan pembentukan
micelle yang mengandung kolesterol, asam lemak dan monogliserida, sehingga
berperan aktif sebagai anti kolesterol (Goosen 1997, Dodane dan Vilivalam
1998).
Cui dan Mumper (2001) meneliti tentang penggunaan kitosan dan
oligomernya untuk berkompleks dengan CMC (Carboxyl Methyl Cellulose) guna
membentuk kationik nano patrikel yang stabil untuk keperluan imunisasi genetik.
Kemampuan kitosan dan senyawa-senyawa kitooligomer sebagai antimikroba
telah diujikan pada organisme penghasil spora pada media laboratorium dan
makanan, ternyata
Kitooligomer yang lebih pendek lebih efektif berperan
sebagai antimikroba daripada yang berantai panjang (Shahidi et al. 1999 ;
Rhoades dan Roller 2000 ; Meidina 2005 ).
Pada Tabel 1 disajikan informasi penelitian yang telah dilakukan untuk
memperoleh senyawa-senyawa kitooligo mer yang berasal dari kitin dan kitosan
7
Tabel 1 Beberapa penelitian produksi senyawa-senyawa kitooligo mer
N
o
1.
Enzim
Sumber
Aktivitas
Metode
Kitosanase
5,10,15 dan
25 U/g Chit
UFmembran
reaktor
2.
Kitosanase
Bacillus
pumilus
BN-262
(45 oC)
Bacillus sp
BN-262
(50 oC)
1g/100ml
(13% prot)
Imobilisasi
pada
suport
gel agar
3.
Kitinase
Streptomyc
es
cursanovii
(37 oC)
0,38U/ml
4.
Lisozim &
lateks
pepaya
Imobilisasi
pada
macroporous
cross
linked
chitin
Degradasi re dox H2O2 &
Fe(III)
5.
Kitosanase
Bacillus sp
Strain CK4
(60 oC)
0,1mg/ ml
6.
Kitosanase
Bacillus sp
Strain
KCTC
0377BP
(40 oC)
2-8 U/g
Purifikasi
dengan DEAE
Toyopear
l650-M
Inkubasi
enzim
dan
substrat
selama
24
jam.
(Direct
enzymatic
reaction)
Substrat &
konsentrasi
Kitosan
terlarut 1%
(DD 89%)
Kitosan
terlarut
0,5% (DD
100%)
Kitin
koloidal 1%
(DD 85%)
Kitosan
hidrokhlorid
a 1%
(DD 15,6%)
Kitosan
koloidal l%
(DD 100%)
Kitosan
terlarut 20 40 mg/ml
(DD 39, 50
dan 72 %)
Hasil
Referensi
Trimer
Heksamer
Jeon & Kim
2000
Pentamer &
Heksamer
Ichikawa et
al.
2002
Dimer Nanomer
Ilyina et al.
2000
Rhoades &
Roller 2000
Monomer
- Heksamer
Yoon et al.
2001
Trimer
Heptamer
Yeon et al.
2004
Senyawa-senyawa kitooligomer dilaporkan memiliki aktivitas anti kanker,
laporan ini antara lain dikemukakan oleh Ye on (2004) bahwa heksa N-asetil
kitoheksaose dan kitoheksaose memiliki pengaruh penghambat pertumbuhan
dari sel tumor Meth A-solid. Semenuk et al. (2001) melaporkan aktivitas
kitooligomer sebagai anti tumor melalui kemampuan senyawa kitooligomer
bertindak sebagai ligan bagi reseptor sel natural killer yang mengakibatkan
aktivasi selular sistim imun sehingga kitooligomer tersebut dapat berfungsi
sebagai anti tumor. Pae et al. (2001) melaporkan terjadinya penghambatan pada
sel
promyelocytic leukemia (HL-60) oleh water-soluble chitosan oligomer
(WSCO). Shen (2002) juga melaporkan kitosan larut air (WSC) secara signifikan
menghambat proliferasi sel kanker ASG. Guo & Hung (2002) melaporkan
senyawa kitooligosakarida yang dihasilkan dari enzim selulase memiliki pengaruh
pada fungsi sistim imun seperti mempengaruhi proliferasi sel makrofag dan
hibridoma HB4C5 secara in vitro. Sedangkan secara in vivo
terbukti
meningkatkan kandungan IgG dan IgM dalam serum darah mencit yang diinjeksi
dengan N- asetil kitoheksaose.
8
2. Kitosanase dan Mikroba Penghasil Kitosanase
Kitosanase (EC 3.2.1.132) merupakan enzim yang menghidrolisis ikatan
glikosidik kitosan untuk menghasilkan kitooligomer (kitooligosakarida). Kitosan (
â-(1 4)-N-glukosamin) merupakan turunan dari kitin yang diperoleh melalui
deasetilasi sempurna atau sebagian. Menurut Fukamizo dan Brzezinski (1997),
kitosanase adalah enzim yang menghidrolisis kitosan, memotong pada ikatan â1,4-glikosidik kecuali ikatan GlcNAc-GlcNAc. Kitosanase dibagi menjadi tiga klas
berdasarkan spesifik pemotongannya yaitu klas 1, enzim memotong pada ikatan
GlcN-GlcN dan GlcNAc-GlcN; klas 2, enzim yang memotong hanya pada ikatan
GlcN-GlcN; klas 3, enzim yang memotong pada ikatan GlcN-GlcN dan GlcNGlcNAc (Saito et al. 1999; Fukamizo dan Brzezinski
1997). Pada Tabel 2
disajikan beberapa karakteristik enzim kitosanase dari berbagai sumber.
Berdasarkan
mengkategorikan
homologi
kitosanase
sekuen
ke
asam
amino,
dalam empat
Yoon et al.
kelompok,
(2000)
kelompok
I
berhubungan erat dengan kitosanase dari B. circulans, B.ehemensis, dan
Burkholderia gladioli (similaritas sekitar 81-84%). Kelompok II termasuk
Amycolaptosis sp., Nocardioides sp. N 106, Streptomyce s sp. N 174 (similaritas
sekitar 73-76%). Bacillus sp. CK4 dan Bacillus subtilis termasuk dalam golongan
kelompok III dengan similaritas sekitar 76.6%. Sedangkan Sphingobacterium dan
Matsuebacter digolongkan ke dalam kelompok IV dengan similaritas sekitar 75%.
Carbohydrate Active Enzyme (CAZY) mengklasifikasi kitosanase pada 3 (tiga)
kelompok, yaitu family 46, 75 dan 80. Sebagian besar hasil studi kitosanase yang
terdapat pada bakteri termasuk dalam anggota glikosida hidrolase family 46,
dimana kitosanase dari fungi patogen tanaman seperti Fusarium solani
diklasifikasi sebagai glikosida hidrolase family 75. Chitosanotabidus dan
Sphingobacterium multivorum termasuk golongan glikosida hidrolase family 80
(Park et al. 1999).
Diantara kitosanase yang telah diteliti tersebut hanya
glikosida hidrolase family 46 yang telah ditentukan struktur tiga dimensinya dan
hanya dua struktur kristal kitosanase, yaitu dari Streptomyces sp. N174 dan
Bacillus circulans yang telah dipublikasi (Saito et al. 1999). Glu-22 dan Asp-40
merupakan residu asam amino yang penting pada sisi katalitiknya (Fukamizo dan
Brzezinski 1997) dimana residu triptofan berperan penting untuk kestabilan
protein enzim kitosanase (Honda et al. 1999). Hasil studi lain terhadap identifikasi
residu asam amino untuk aktivitas katalitik kitosanase termostabil dari Bacillus
9
sp. CK4 menunjukkan bahwa Glu-50 tidak mutlak esensial untuk aktivitas
katalitik, tetapi mungkin memiliki peranan penting untuk menjaga struktur sisi
katalitik kitosanase (Yoon et al. 2001).
Berbagai pertimbangan penggunaan mikroba sebagai sumber enzim
kitosanase antara lain adalah mikrob a dapat tumbuh relatif cepat, bahan baku
relatif murah, mudah diisolasi, dan terbuka peluang untuk meningkatkan mutu
enzim melalui rekayasa genetika (Madigan et al. 2000). Informasi tentang
mikroba penghasil enzim kitosanase telah dilaporkan oleh beberapa peneliti,
antara lain kitosanase dari Bacillus sp P1-7S dilaporkan oleh Seino et al. (1991),
Matsuebacter chitosanotabidus 3001 oleh Park et al. (1999), Bacillus sp strain
CK4 oleh Yoon et al. (2001), Burkholderia gladioli strain CHB101 oleh Shimosaka
et al. (2000), Streptomyces N174 oleh Somashekar dan Joseph (1996).
Kitosanase yang berasal dari fungi dilaporkan oleh Shimosaka et al. (1993) yang
mengisolasi kitosanase dari Fusarium solani f.sp. dan phaseoli, Cheng dan Li
(2000) mengisolasi kitosanase dari Aspergillus Y2K. Kitosanase yang berasal
dari tanaman Cucumis sativus, Citrus sinensis, dan Barley telah dilaporkan oleh
Somashekar dan Joseph (1996).
Karakteristik enzim kitosanase yang berasal dari Bacillus licheniformis MB2
disajikan dalam Tabel 2. Beberapa karakteristik enzim kitosanase yang berasal
dari berbagai sumber disajikan pada Tabel 3.
Tabel 2 Karateristik enzim kitosanase dari Bacillus licheniformis MB2
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Parameter
Suhu optimum
pH optimum
Buffer optimum
Berat Molekul
Aktivator
Spesifitas substrat
Tahan
terhadap
denaturan
a) Chasanah 2004
Karakteristik
70oC
6.0 -7.0
Buffer phosphat 0.05 M pH 6
75 kDa
Mn
Kitosan terlarut
jenis
Guanidin dan urea
a)
10
Tabel 3 Beberapa karakteristik biokimia kitosanase
Mikroorganisme
Berat
Molekul
(kDa)
pH
Optimum
Suhu
Optimum
o
( C)
Inhibitor
34
4.0
30 – 40
Ag2+
86.51
-
-
B. circulans MH-K1
27
6.5
Bacillus sp CK-4
29
Aspergillus Y2K
Acinetobacter sp
CHB101
Matsuebacter
chitosanotabidus 3001
Paenibacillusfukuinensis
D2
Fusarium solani f.sp
phaseoli.
substrat
Produk
Referensi
Kitosan
DD
100%,
CMC
(GlcN)2-6
Park et al.
1999
-
Kitosan
dengan
DD tinggi
(GlcN)2-7
Kimoto et
al. 2002
50
Hg2+, Zn +,
pCMB,
Cu2+
Kitosan
dengan
DD tinggi
(GlcN)4
Yabuki et
al. 1988
6.5
60
Cu2+
Hg2+,Cd 2=
Kitosan
dengan
DD tinggi
(GlcN)4
Yoon et al.
2000
25
6.6
65 – 70
-
Kitosan
dengan
DD tinggi
(GlcN)3-5
Cheng dan
Li (2000)
37 & 30
5 –9
40
-
Kitosan
dengan
DD tinggi
(GlcN)3-5
Shimosaka
et al. 1995
36
5.6
40
-
Kitosan
dengan
DD tinggi
(GlcN)3-5
Shimosaka
et al. 1993
B. BAHAN PANGAN SEBAGAI IMMUNOENHANCER DAN ANTIKANKER
Penelitian untuk menunjukkan potensi bahan pangan tertentu yang memiliki
aktivitas terhadap proliferasi sel limfosit dan antiproliferasi terhadap sel kanker
telah banyak dilakukan. Buah-buahan, sayuran dan biji-bijian merupakan sumber
dari
produk
samping
metabolisme
senyawa
mevalonat
yang
bersifat
antikarsinogenik (Elson dan Yu 1994). Beberapa jenis bahan pangan lain yang
juga mengandung senyawa antikarsinogenik adalah: bawang, kol, kedelai,
wortel, seledri, bawang bombay, teh hijau, citrus (orange, lemon, grapefruit),
beras pecah kulit dan gandum utuh (Caragay 1992). Menurut Waladkhani dan
Clemens (1998) sayuran, buah-buahan dan biji -bijian mengandung beragam
senyawa fitokimia yang berpotensi sebagai senyawa antikarsinogenik yaitu:
karotenoid, klorofil, flavonoid, indol, komponen polifenol, inhibitor protease,
sulfida, dan terpen. Laporan tersebut didukung oleh hasil penelitian Zakaria et al.
(2000) yang melaporkan bahwa konsumsi sayur dan buah yang mengandung
vitamin C dan vitamin E dapat meningkatkan kemampuan proliferasi sel limfosit
11
dan meningkatkan aktivitas sitotoksik dari sel NK. Selanjutnya Ogata et al.
(2000), melaporkan senyawa turunan asam nikotinat dan nikotinamida yaitu
niasin (jenis vitamin larut air) ditemukan tidak membunuh sel limfosit, tetapi dapat
menginduksi apoptosis pada sel K562.
Kelompok solanase (tomat, kentang, terung dan cabai) dan rempah-rempah
(jahe, cengkeh, kunyit) juga merupakan kelompok bahan pangan yang
mempunyai sifat anti karsinogenik. Menurut Yuana (1998), rempah-rempah
seperti jahe, lempuyang, kencur dan pasak bumi mempunyai komponenkomponen yang dapat memberikan efek penghambatan terhadap sel kanker
K562. Agustinisari (1998) melaporkan bahwa ekstrak air dan etanol jahe segar
dapat menekan proliferasi sel leukimia (K562) secara in vitro. Ekstrak air dan
etanol dari bawang putih dari hasil penelitian Lastari (1997) dapat menekan
proliferasi sel-sel K562 secara in vitro dan menaikkan aktivitas sel NK manusia.
Rusmarilin (2003) juga melaporkan aktivitas anti kanker dari ekstrak lengkuas
lokal (Alpinia galanga (L) Sw) pada galur sel kanker manusia dan mencit.
Senyawa turunan flavonoid yang terkandung dalam bahan pangan antara
lain quersetin memperlihatkan kemampuan menghambat proliferasi sel leukimia
dan sel ovari manusia secara in vitro (Zakaria et al. 1997). Iwashita et al. (2000)
juga melaporkan aktivitas senyawa isoliquiritigenin dan butein turunan dari
flavonoid mampu menghambat pertumbuhan sel dan menginduksi terjadinya
apoptosis pada sel-sel B16 Melanoma 4A5. Damayanti (2002) melaporkan
senyawa antioksidan dari bekatul padi (Oryza sativa ) mampu menekan proliferasi
sel kanker KR4 sebesar 30 %, K562 sebesar 12%, dan melanoma sebesar 23%.
Beberapa ekstrak tanaman juga dilaporkan memiliki kemampuan
memperbaiki sistem imun dan bersifat anti kanker, antara lain hasil penelitian dari
Konishi et al. (1985) dan Noda et al. (1996) yang melaporkan aktivitas anti tumor
dari chlorella vulgari. Senyawa fenol glikosida, neohankosida C, yang diisolasi
dari tanaman Cynanhum hancockianum diketahui bersifat anti tumor dan
mempunyai aktivitas imunomodulator (Konda et al. 1997). Eksktrak tanaman
Uncaria tomentosa dilaporkan tidak bersifat toksik (Maria et al; 1997),
menginduksi proliferasi limfosit (Wurm et al. 1998) dan mampu menghambat
proliferasi serta menginduksi apoptosis sel-sel leukimia K562 dan HL-60 (Sheng
et al. 1998). Meiyanto et al (2003) juga melaporkan ekstrak etanol daun dan kulit
batang tanaman cangkring (Erythrina Fusca Lour) dapat menghambat proliferasi
12
sel HeLa. Ananta (2000) melaporkan ekstrak cincau hijau (Cyclea barbata L.
Miers) mampu menghambat proliferasi sel K562 sebesar 70% dan sel HeLa
sebesar 30%. Puspaningrum (2003) melaporkan ekstrak air kayu secang
(Caesalpinia sappan Linn) mampu memproliferasi sel limfosit limfa tikus dan
menekan proliferasi sel K562 secara in vitro sebesar 20.8%.
Senyawa-senyawa anti kanker ternyata tidak hanya berasal dari daratan,
Aoki et al. (2004) melaporkan aktivitas anti kanker dari smenospongine yaitu
senyawa aminokuinon seskuiterpen yang diisolasi dari spong laut terhadap sel
kanker K562 (chronic myelogenous leukemia) pada konsentrasi 3 – 15 µM.
Senyawa kitin dan turunannya yang berasal dari hewan laut udang dan kepiting
ternyata juga dilaporkan memiliki aktivitas anti kanker, laporan ini antara lain
dikemukakan oleh Yeon (2004) bahwa heksa N-asetil kitoheksaose dan
kitoheksaose memiliki pengaruh penghambat pertumbuhan dari sel tumor Meth
A-solid. Semenuk et al. (2001) melaporkan aktivitas kitooligomer sebagai anti
tumor. Pae et al. (2001) melaporkan terjadinya induksi granulositik pada sel
promyelocytic leukemia (HL-60) oleh water-soluble chitosan oligomer (WSCO).
Shen (2002) juga melaporkan kitosan larut air (WSC) secara signifikan
menghambat proliferasi sel kanker ASG.
B. LIMFOSIT DALAM SISTEM IMUN
Limfosit adalah sel darah putih (leukosit) yang mampu menghasilkan
respon imun spesifik terhadap berbagai jenis antigen yang berbeda. Limfosit
(leukosit) berukuran kecil, berbentuk bulat (diameter 7-15 µm), dan banyak
terdapat pada organ limfoid seperti seperti limpa, kelenjar limfe dan timus.
Terdapat
dua
kelas
leukosit
yaitu,
yang
mengandung
granula
dalam
sitoplasmanya (granulosit) dan agranulosit yang tidak mengandung granula
(Ganong 1990). Limfosit merupakan sel kunci dalam proses respons imun
spesifik,
mengenali
antigen
melalui
reseptor
antigen
dan
mampu
membedakannya dari komponen tubuhnya sendiri (Kuby 1992).
Darah adalah suspensi yang terdiri dari elemen-elemen atau sel-sel, dan
plasma yaitu larutan yang mengandung berbagai molekul organik dan an
organik. Ada tiga grup sel darah, yaitu sel darah merah (RBC) atau eritrosit, sel
darah putih (WBC) atau leukosit yang terdapat kurang dari 1% volume total
darah, dan butir pembeku (platelets) atau trombosit. Komposisi dan nilai normal
masing-masing elemen seluler pada darah manusia disajikan pada Tabel 4.
13
Tabel 4 Nilai normal elemen-elemen selular pada darah manusiaa)
Elemen-elemen
seluler
A.Leukosit
-Granulosit :
Neutrofil
Eusinofil
Basofil
-Agranulosit
Limfosit
Monosit
B.Eritrosit
Laki-laki
Wanita
C.Platelets
a) Ganong (1990)
Rata-rata
sel/ml
9000
Kisaran normal
4000 - 11000
Persen dari
leukosit total
-
5400
275
35
3000-6000
150-300
0-100
50-70
1-4
0,4
2750
540
1500-4000
300-600
20-40
2-8
5,4 x 10 6
4,8 x 10 6
300000
2-5 x 105
Sistem imun merupakan sistem interaktif kompleks dari beragam jenis sel
imunokompeten yang bekerjasama dalam proses identifikasi dan eliminasi
mikroorganisme patogen dan zat-zat berbahaya lainnya yang masuk ke dalam
tubuh. Sistem imun dibedakan dalam dua kelas yaitu sistem imun non spesifik
dan spesifik. Respon imun non spesifik timbul sebagai reaksi terhadap
mikroorganisme patogen dan zat asing lainnya melalui fagositosis dan monosit
(makrofag), barier kimia melalui sekresi internal dan eksternal, lisozim dalam
mukus jaringan, air mata, laktoperoksidase dalam saliva, protein darah,
interferon, sistem kinin dan komplemen, dan sel Natural Killer (NK) (Parslow
1997). Sistem imun spesifik meliputi sistem imun seluler dan humoral. Sistem
imun seluler memberikan pertahanan terhadap serangan mikroorganisme intra
dan ekstraseluler melalui sekresi limfokin seperti interferon dan interleukin.
Sedangkan sistem imun humoral memberi pertahanan melalui produksi antibodi
terhadap antigen spesifik (Roitt dan Delves 2001).
1. Sel Limfosit
Sel limfosit terdiri dari 2 tipe sel yang mampu membuat kekebalan yaitu sel
limfosit T, yang berfungsi dalam imunitas seluler, dan sel limfosit B yang
berfungsi dalam imunitas humoral (Bellanti 1993). Sel limfosit B berasal dari
sumsum tulang belakang dan berdiferensiasi dalam jaringan ekivalen bursa.
Jumlah sel limfosit B dalam keadaan normal berkisar antara 10 - 15%. Setiap sel
14
B memiliki 105 B Cell Receptor (BCR), dan setiap BCR memiliki dua situs
pengikatan antigen yang identik. Antigen yang umum bagi sel B adalah protein
dengan struktur tiga dimensi. BCR dan antibodi mengikat antigen dalam bentuk
aslinya. Hal ini membedakan sel B dengan sel T, yang mengikat antigen yang
sudah terproses dalam sel (Kresno 1996).
Sel limfosit dapat mengenali suatu antigen secara spesifik dan menerima
sinyal untuk berproliferasi. Setelah berikatan dengan antigen, limfosit B akan
mengalami proses perkembangan melalui 2 jalur, yaitu (a) berdiferensiasi
menjadi sel plasma yang menghasilkan imunoglobulin, dan (b) membelah lalu
kembali dalam keadaan istirahat sebagai sel limfosit B memori. Sel limfosit
mampu berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sebuah klon yang terdiri dari
sel-sel efektor dengan spesifisitas antigen yang sama (Decker 2001).
Sel T merupakan bagian dari sel limfosit yang sebagian besar terdapat
dalam sirkulasi darah, yaitu sebanyak 65-85% (Kresno 1996). Sel T terdiri dari
tiga subset yaitu sel Tc atau sel T sitotoksik, sel Th atau sel T helper, dan sel Ts
atau sel T supressor (Roitt dan Delves 2001). Sel Tc berfungsi untuk membunuh
sel-sel yang terinfeksi patogen intraselular, dan sel Th berperan dalam stimulasi
sintesis antibodi dan aktivasi makrofag dengan cara mensekresikan molekul
sinyal yang disebut sitokin. Sel Ts mampu menekan aktivitas sel imun. Sel T
memiliki molekul T Cell Antigen Receptor (TCR) yang dapat mengenali epitop
suatu antigen melalui kerjasama dengan molekul protein permukaan pada
Antigen Presenting Cells (APC). Sel T teraktivasi oleh antigen spesifik sehingga
terstimulasi untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T memori dan
berbagai sel T efektor yang mensekresi berbagai limfokin. Limfokin tersebut
berpengaruh pada aktivasi sel B, Tc, dan sel-sel fagositik,sel NK dan sel lain
yang terlibat dalam sistim imun (Roitt dan Delves 2001).
Sel natural killer (sel NK) adalah sel limfosit granular yang berukuran besar.
Pada manusia normal, sel NK terdapat dalam jumlah 5-15% dari jumlah limfosit
darah (Kresno 1996). Sel ini merupakan garis depan pertahanan tubuh terhadap
sel yang terinfeksi virus dan sel tumor. Sel NK memiliki reseptor yang
menyerupai lektin, yaitu reseptor yang dapat berikatan dengan senyawa
karbohidrat pada sel sasaran sehingga menghasilkan pengiriman sinyal pada sel
NK untuk membunuh sel tersebut. Populasi sel (sel NK) dapat membunuh sel
sasaran secara spontan tanpa sensitisasi terlebih dahulu. Menurut Roitts dan
15
Delves (2001), ketika sel terinfeksi virus atau berubah bentuk menjadi sel yang
termutasi, molekul permukaannya berubah. Perubahan ini dikenali oleh sel NK,
lalu sel NK membunuh sel tersebut. Sel NK secara fenotip berbeda dengan sel
limfosit T maupun sel limfosit B, yaitu tidak memiliki CD3/TCR maupun sIg
(surface immunoglobulin). Sel ini memiliki petanda CD56 dan CD16. Sel yang
terinfeksi virus menghasilkan interferon yang dapat memberi isyarat ke sel pada
jaringan yang berdekatan. Sel NK diduga dapat mengenali sel tumor atau sel
yang terinfeksi virus karena sel sasaran tersebut mengekspresikan molekul
glikoprotein pada permukaan sel yang membedakannya dari sel normal.
Glikoprotein tersebut kemudian bertindak sebagai lektin yang dapat mengikat sel
NK melalui reseptor yang terdapat pada permukaan sel NK sehingga terjadi
ransangan (Kresno 1996). Sitolisis terhadap sel tumor dapat terjadi karena
dilepaskannya faktor sitotoksik (perforin) yang berasal dari granula dalam sel NK.
Disamping itu di dalam granula juga terdapat zat yang tahan terhadap faktor
sitotoksik, yaitu kondroitin sulfat A, yang melindungi sel NK terhadap autolisis
oleh substansinya sendiri (Kresno 1996).
2. Pengujian Proliferasi Limfosit
Proliferasi merupakan fungsi biologis mendasar pada sel limfosit, yaitu
meliputi
proses diferensiasi dan pembelahan sel. Aktivitas proliferasi limfosit
merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengukur status
imunitas karena proses proliferasi menunjukkan kemampuan dasar dari sistem
imun (Roit dan Delves 2001). Limfosit merupakan sel tunggal yang bertahan baik
saat dikultur dalam media sintetik lengkap. Respon proliferatif kultur limfosit
dalam media sintetik dapat digunakan untuk menggambarkan fungsi limfosit dan
status imun individu (Tejasari 2000). Zakaria et al. (1992) menyatakan bahwa
kemampuan limfosit untuk berproliferasi atau membentuk klon menunjukkan
secara tidak langsung kemampuan respon imunologik atau tingkat kekebalan.
Pengujian terhadap kemampuan fungsional limfosit dapat dilihat dari
kemampuan memberikan respon terhadap mitogen (proliferasi sel), kemampuan
membentuk imunoglobulin atau limfokin, dan kemampuan sitotoksisitas sel NK (
Tejasari 2000). Uji proliferasi limfosit dapat dilakukan melalui pengukuran
kemampuan sel limfosit yang ditumbuhkan dalam kultur sel jangka pendek yang
mengalami proliferasi klonal ketika dirangsang secara in vitro oleh antigen atau
mitogen (Valentine dan Lederman 2000). Bila sel dikultur dengan senyawa
16
mitogen, maka limfosit akan berproliferasi secara tidak spesifik. Begitupula, bila
limfosit dikultur dengan antigen spesifik maka limfosit akan berproliferasi secara
spesifik.
Metode yang lebih sederhana untuk penghitungan jumlah sel yang
berproliferasi adalah metode pewarnaan MTT (3-(4,5-Dimethyl-2-thiazolyl)-2,5diphenyl-2H-tetrazolium bromide). Prinsip metode MTT adalah konversi MTT
menjadi senyawa formazan yang berwarna ungu oleh aktivitas enzim suksinat
dehidrogenase dari mitokondria sel hidup (Kubota et al. 2003). Reaksi yang
terjadi digambarkan dalam Gambar 3. Jumlah senyawa formazan yang terbentuk
adalah proporsional dengan jumlah sel limfosit yang hidup. Selain dengan
metode MTT, perhitungan sel dapat dilakukan dengan metode pewarna trifan
biru, yang hanya dapat mewarnai jika membran sel telah rusak, sehingga dapat
digunakan untuk membedakan sel hidup dan mati atau rusak. Sel yang hidup
tidak akan berwarna dan berbentuk bulat, sedangkan sel mati akan berwarna
biru dan mengkerut (Bird dan Forrester 1981).
Gambar 3 Mekanisme reaksi MTT menjadi MTT formazan
(Kubota et al. 2003)
Beberapa senyawa yang telah diketahui mampu meningkatkan proliferasi
sel limfosit adalah : vitamin C dan E (Budiharto, 1997), ekstrak bawang putih
(Lastari, 1998), ekstrak jahe (Zakaria et al., 1999), ekstrak tanaman cincau hijau
(Pandoyo, 2000) ekstrak
air
kayu
secang
(Caesalpinia sappan Linn)
(Puspaningrum 2003), teh daun dan serbuk gel cincau (Cyclea) (Setiawati 2003),
bunga kumis kucing (Orthosimphon stamineus benth) dan bunga knop
(Gomphrena globosa L.) (Aquarini 2005), dan kitooligomer kitin (Hertriyani 2005).
Senyawa-senyawa tersebut bekerja melalui mekanisme menginduksi proliferasi
sel limfosit.
17
3. Mitogen sebagai Senyawa Pemacu Proliferasi Se l Limfosit
Mitogen adalah sumber ligan polipeptida yang dapat berikatan dengan
reseptor yang terdapat pada permukaan sel. Beberapa mitogen merupakan
faktor pertumbuhan yang mengaktivasi tirosin kinase. Aktivasi tersebut diawali
oleh
mitogen yang mengakibatkan adanya urut-urutan sinyal yang berpengaruh
terhadap berbagai faktor transkripsi dan berpengaruh terhadap aktivitas gen di
dalam sel (Decker 2001).
Beberapa molekul pada patogen mampu berikatan dengan molekul
permukaan limfosit yang bukan merupakan reseptor antigen. Jika pengikatan ini
mampu menginduksi limfosit untuk membelah (mitosis), maka molekul tersebut
disebut mitogen. Mitogen menginduksi proliferasi limfosit pada frekuensi tinggi
tanpa memerlukan adanya spesifisitas antigen, disebut dengan aktivasi
poliklonal.
Beberapa mitogen hanya mampu menginduksi proliferasi sel B,
beberapa hanya berpengaruh pada sel T, dan ada juga yang mampu
menginduksi keduanya. Beberapa mitogen disebut antigen T-independen, karena
mampu menginduksi sel B untuk mensekresi antibodi tanpa ada bantuan dari sel
Th (Decker 2001).
Lektin pada umumnya adalah mitogen yang merupakan protein yang
berikatan dengan senyawa karbohidrat. Concanavalin A (Con A)
dan
fitohemaglutinin (PHA) mempunyai struktur tetramer dengan setiap monomernya
memiliki satu situs pengikat karbohidrat, sehingga dapat mengikat glikoprotein
pada permukaan sel. Pokeweed (PWM) berasal dari tumbuhan pokeweed
(Phytolacca americana). PWM mampu berikatan dengan di-N-asetyl kitobiose
dan mampu menginduksi baik sel B dan sel T (Ku by 1992). Lektin Con A adalah
mitogen asal legum yang bersifat sebagai imunomodulator karena dapat
meransang proliferasi limfosit. Menurut Kresno (1996) sebanyak 50-60% sel
limfosit T mampu memberikan respon terhadap stimulasi dengan mitogen PHA
dan Con A. Lipopolisakarida (LPS) juga mampu berfungsi sebagai mitogen,
tetapi pengaruhnya hanya pada sel B (Kuby 1992). Respon terhadap mitogen
tersebut dianggap menyerupai respon limfosit terhadap antigen, sehingga uji
transformasi dengan ransangan mitogen tersebut banyak dipakai untuk menguji
fungsi limfosit. Stimulasi limfosit dengan antigen maupun mitogen mengakibatkan
berbagai reaksi biokimia di dalam sel, diantaranya fosforilasi nukleoprotein,
18
pembentukan DNA dan RNA, peningkatan metabolisme lemak dan lain-lain
(Letwin dan Quimby 1987).
Lektin fitohemaglutinin (PHA) adalah protein non enzimatik, berikatan
dengan karbohidrat secara reversibel. Fungsi biologis dari lektin adalah
kemampuan mengenal dan berikatan dengan struktur karbohidrat spesifik,
khususnya berikatan dengan oligosakarida. Lektin dapat berikatan dengan
berbagai sel yang memiliki molekul permukaan berupa glikoprotein atau
glikolipid. Beberapa gugus spesifik lektin telah diidentifikasi seperti mannose,
galaktosa, N-asetilglukosamin, N-asetil galaktosamin, L-fruktosa, dan asam Nasetilneraminik. Sub unit lektin saling berhubungan satu dengan yang lain melalui
ikatan non kovalen atau ikatan-ikatan disulfida. Beberapa lektin membutuhkan
kation divalen seperti kalsium, magnesium dan mangan untuk berikatan dengan
karbohidrat. Lektin terdiri dari enam famili yang telah dikenal yaitu : lektin legum,
lektin sereal, lektin jenis P, C, S dan pentraxis (Letwin dan Quimby 1987).
D. KULTUR SEL
Kultur sel secara in vitro merupakan suatu cara untuk mengembangbiakkan
atau menumbuhkan sel di luar tubuh hewan atau manusia. Lingkungan atau
bahan makanan untuk pertumbuhan sel secara in vitro diusahakan menyerupai
keadaan sel secara in vivo. Oleh karena itu, diperlukan suatu media
pertumbuhan yang berisi asam-asam amino, vitamin, mineral, garam-garam
anorganik, glukosa dan serum. Peranan serum dalam medium biakan sangat
penting yaitu sebagai nutrien untuk pertumbuhan sel serta fungsinya dalam
pelekatan sel. Serum memberikan hormon-hormon penting, faktor penempel sel
ke matriks tempat sel tumbuh, protein, lipid serta mineral-mineral yang diperlukan
sebagian besar jenis sel untuk tumbuh dan berkembang (Freshney 1994). Sel
yang dikultur dapat berupa suatu galur sel, yaitu populasi sel yang berasal dari
suatu sumber jaringan tertentu yang mengalami pengkulturan lebih lanjut, hingga
mencapai sub kultur.
Ada dua jenis kultur galur sel kanker yaitu kultur yang melekat membentuk
selapis (monolayer) di atas substrat padat, atau sebagai suspensi di media
kultur. Kedua jenis sel ini mempunyai sifat yang berbeda, dimana sel suspensi
tidak memerlukan support atau bahan pembantu untuk menempel, sebaliknya sel
selapis memerlukan support. Sel suspensi biasanya dari hemopoetik, sel darah
19
atau sel dari tumor malignant, sedangkan sel monolayer biasanya untuk sel-sel
yang berasal dari jaringan (Freshney 1994).
Kultur galur sel kanker yang berasal dari manusia, seperti kultur galur KR-4
(lymphablastoid B) dan sel K562 (chronic myelogenous leukemia) merupakan
jenis sel suspensi,
sel HeLa (epithel carcinoma cervix) dan sel A549 (Lung
carcinoma) merupakan jenis sel selapis (jaringan), dapat digunakan untuk
menguji kemampuan bioaktivitas suatu senyawa sebagai anti kanker terhadap
galur-galur sel kanker tersebut. Galur sel dapat dibentuk dari kultur sel langsung
(primer) yang kemudian dikultur kembali (sub kultur). Sel yang dikultur ini
dipelihara terus menerus sampai immortal (tidak bisa mati). Pembentukan sub
kultur dapat menghasilkan sel-sel yang homogen dan tidak memiliki sifat-sifat
diferensiasi. Menurut Freshney (1994) galur sel yang dihasilkan dari kultur sel
primer akan mengalami perubahan antara lain : morfologi (sel lebih kecil, lebih
bulat, kurang erat mel ekat, perbandingan inti dan sitoplasma lebih besar), cepat
tumbuh karena waktu yang diperlukan untuk tumbuh menjadi lebih pendek,
ketergantungan terhadap serum berkurang, dan mampu berproliferasi. Berikut ini
beberapa deskripsi dari galur sel lestari yang digunakan dalam berbagai
penelitian :
a). Sel K562 (ATCC CCL 243)
Berasal dari dari sel leukimia myelogenous. Memiliki morfologi seperti
limfoblast,
sel ini diisolasi oleh Lozzio dan Lozzio dari efusi pleural wanita
berumur 53 tahun yang menderita leukimi a myelogenous kronik, sel ini memiliki
sifat sangat sensitif terharap pengujian sel natural killer, mengepresikan enzim
metabolik xenobiotik, dan tidak berdiferensiasi.
b). KR 4 (ATCC CRL 8658)
Sel KR 4 berasal dari sel lymphoblastoid B manusia (GM 1500 6TG A11;
menghasilkan IgG). Sel ini diperoleh dengan membuat sel tersebut mutagen
dengan perlakuan iradiasi ã tingkat rendah dan diseleksi dengan resistensi
terhadap tioguanin (Kozbor et al.1982).
c). A549 (ATCC CCL 185)
Sel ini berasal dari sel karsinoma paru pria kaukasian berumur 58 tahun
dengan morfologi menyerupai epitelial, sel ini diisolasi dari jaringan tumor
karsinoma manusia. Sel ini memiliki sifat dapat memproduksi lesitin dan
mengepresikan enzim metabolik xenobiotik.
20
d). HeLa (ATCC CCL 2.2)
Berasal dari kata Henrietta Lacks, yang berasal dari tumor serviks rahim
Helen Lane atau Helen Larson wanita berumur 30 tahun, dengan morfologi
menyerupai epitelial.
E. SIKLUS SEL
Siklus sel adalah perkembangan perubahan selular yang teratur sampai
memasuki tahap pembelahan sel. Bagian yang penting dari siklus sel adalah
enzim cyclin-dependent kinases (Cdk). Ketika Cdk ini diaktifkan maka sel
berpindah fase dari satu fase ke berikutnya dalam siklus sel (G1 ke S atau G2 ke
M) (Schwartz 2005). Siklus sel normal dikendalikan oleh protein siklin, protein
siklin ini adalah
kinase yang bekerja mengkatalisis transfer gugus fosfat dari
ATP kepada protein target. Aktivasi kebalikannnya atau defosforilasi protein
dilakukan oleh enzim fosfatase. Proses fosforilasi dan defosforilasi merupakan
mekanisme umum untuk mengatur aktivitas protein. Mekanisme inilah yang
digunakan berulang kali untuk mengatur siklus sel (Becker et al. 2000). Cdk
dalam siklus sel berperan penting dalam mengontrol siklus sel. Perubahan dalam
pengontrolan terhadap proses siklus sel ditemukan pada mayoritas kanker
ganas, oleh karena itu Cdk menjadi target yang menjanjikan untuk terapi anti
kanker (Pennati 2005). Tahapan siklus sel ditampilkan pada Gambar 4 berikut :
Sel membelah
(mitosis)
Permulaan
Siklus
Pembesaran sel
& pembentukan
protein baru
Sel menyiapkan
diri untuk membelah
Replikasi sel
Gambar 4 Siklus sel ( Becker 2000)
Titik pemotongan : Sel
menentukan kapan
saat menyelesaikan
siklusnya.
21
Ketika sel distimulasi untuk tumbuh, mereka meninggalkan keadaan
diamnya (resting state) dan memasuki satu fase siklus sel yang disebut fase G1
(fase sintesis komponen seluler). Sel berada dalam fase ini kurang lebih 8 jam.
Setelah itu, sel memasuki fase S (fase sintesis DNA), di dalam fase ini replikasi
DNA dimulai dan terus berlan gsung sampai terbentuk dua DNA baru. Sintesis
DNA berlangsung lebih kurang 6 jam. Fase selanjutnya adalah fase G2 yang
berlangsung selama 4-5 jam. Fase ini merupakan fase persiapan sebelum sel
membelah. Periode pembelahan disebut fase M atau mitosis, yang berlangsung
selama 1-5 jam dan menghasilkan dua sel baru. Sel-sel kanker pada umumnya
tumbuh secara eksponensial lebih cepat dari sel normal (Slingerland dan
Tannock 1998).
F. KANKER DAN MEKANISMENYA
Kanker merupakan penyakit yang berawal dari kerusakan materi genetika
atau DNA sel. Satu sel yang mengalami kerusakan genetika sudah cukup untuk
menghasilkan jaringan kanker atau neoplasma, sehingga kanker disebut juga
penyakit seluler. Perubahan pada materi genetika atau disebut juga mutasi gen
dapat terjadi melalui berbagai mekanisme. Pertama disebabkan oleh kesalahan
replikasi yang terjadi pada saat sel-sel yang aus digantikan oleh sel-sel baru.
Pada saat pergantian satu sel, terjadi kopi DNA baru yang melibatkan 6 x 109
pasangan basa, yang memberikan peluang kesalahan replikasi. Penyebab kedua
adalah mutasi pada galur sel yang mengalami kesalahan genetika yang
diturunkan dari gen orang tua, sehingga menghasilkan gen yang termutasi.
Mekanisme kerusakan materi genetika sel yang ketiga disebabkan oleh adanya
faktor dari luar, atau faktor eksternal yang dapat mengubah struktur DNA, yaitu
virus, infeksi berkelanjutan, polusi udara, radiasi dan bahan-bahan kimia asing
yang tidak diperlukan oleh tubuh (Zakaria 2001). Beberapa karsinogen kimia,
radiasi, virus dan hormon menginduksi terjadinya kanker, karena faktor-faktor
tersebut dapat menyebabkan perubahan struktur DNA atau mutasi gen yang
dapat menghasilkan sel kanker (Dalimartha 1999).
Kanker dapat terjadi karena mutasi pada gen spesifik molekul DNA yang
disebut sebagai onkogen. Onkogen terdiri atas dua grup yaitu gen yang
mengontrol pertumbuhan dan gen yang menekan pertumbuhan tumor. Grup
yang pertama bekerja untuk mengontrol pembelahan sel (perkembangan sel),
yang kedua mempunyai kemampuan untuk menghentikan sel-sel kanker. Kanker
22
terjadi ketika kedua jenis gen di atas mengalami mutasi dan tidak berfungsi
dengan benar (Michael dan Doherty 2005). Mekanisme yang mengatur
pertumbuhan , differensiasi dan kematian sel adalah fosforilasi protein. Proses
fosforilasi protein diatur oleh golongan enzim kinase. Mutasi pada kinase yang
disandikan
dalam
onkogen
antara
lain dapat
menyebabkan terjadinya
pembelahan sel lebih cepat. Kinase dan fosfatase merupakan menjadi senyawa
yang penting pada jalur metabolisme. Perubahan aktivitas enzim kinase yang
tidak terkontrol berperan penting pada terbentuknya tumor (Michael dan Doherty
2005).
Setiap sel tumor dilengkapi dengan molekul permukaan yang aktif,
berfungsi antara lain sebagai reseptor berbagai ligan, misalnya reseptor faktor
pertumbuhan, reseptor sitokin, dan molekul adhesi sel (Zeromski 2002). Hasil
interaksi ligan dan reseptor tersebut menghasilkan perubahan pada pertumbuhan
sel tumor dan penyebarannya. Reseptor ini bertindak sebagai komponen kimia
yang diketahui sebagai faktor pertumbuhan dan keberadaannya menyebabkan
pembelahan sel. Gen yang termutasi akan menghasilkan banyak reseptorreseptor pada membran sel yang menyebabkan faktor pertumbuhan semakin
banyak, kondisi tersebut dapat menyebabkan terjadinya pembelahan sel lebih
cepat (Zeromski 2002).
Menurut Miller (2005), tahap-tahap penting pembentukan sel kanker adalah
: a) inisiasi, yaitu terjadinya perubahan pada DNA atau mutasi gen yang
sebabkan oleh berbagai faktor, b) promosi yang meliputi perkembangan sel dan
perubahan menjadi sel tumor premalignant, c) progresi dan invasi (penyusupan
ke jaringan sekitar), d) metastasis yaitu penyebaran melalui pembuluh darah dan
pembuluh getah bening. Tahap penyebaran sel kanker dimulai ketika sel -sel
individu dari lokasi asal memi sah dan memasuki aliran darah untuk menemukan
tempat baru untuk berkembang di dalam tubuh.
Zeromski (2002) mengemukakan bahwa pertumbuhan yang malignant
ditentukan oleh enam perubahan dalam fisiologi sel yang perkembangannya
menghasilkan perubahan genotip sel, antara lain: a) sel kekurangan sinyal-sinyal
untuk mengontrol pertumbuhan, b) sel tidak sensitif terhadap sinyal-sinyal
penghambatan pertumbuhan, c) sel menghindari program kematian sel
(apoptosis), d) potensi replikasi yang tidak terbatas, e) angiogenesis yang
berkesinambungan, dan f) invasi jaringan dan metastasis.
23
Pada
sel
normal,
sel
hanya
akan
membelah
diri
bila
tubuh
membutuhkannya, seperti mengganti sel-sel yang rusak atau mati. Sebaliknya
sel kanker akan membelah diri meskipun tidak dibutuhkan sehingga terjadi
kelebihan sel-sel baru. Kanker dapat tumbuh di semua jaringan tubuh, seperti
kulit, sel hati, sel darah, sel otak, sel lambung, sel usus, sel paru, sel saluran
kencing, dan berbagai macam sel tubuh lainnya. Jenis kanker yang berbeda
memiliki perbedaan bagian tubuh yang ditempati, tergantung tempat yang
memiliki afinitas baik untuk ditempati. Oleh karena itu, dikenal bermacam-macam
jenis sel kanker menurut sel atau jaringan asalnya.
Secara umum kanker
menyebabkan lemahnya tubuh karena nutrisi yang tersedia digunakan sel kanker
untuk bermetastase. Secara spesifik, kanker dapat menyebabkan antara lain : a)
malnutrisi, karena monopoli neoplasma terhadap zat gizi tertentu, b) kehilangan
darah akibat erosi epitel atau permukaan-pemukaan lain sehingga terjadi
pendarahan, c) nekrosis jaringan akibat defisiensi gizi, rusaknya organ dan
inflamasi d) penyerangan tumor pada organ vital sehingga menurunkan
fungsinya, e) gangguan saluran organ vital disertai menurunnya fungsi organ
atau terjadinya infeksi, f) efek toksik, terutama pada sistem syaraf pusat atau
periferal, g) efek sekresi, baik hormon yang sesuai maupun tidak (Braustein
1987).
G. MEKANISME ANTI KANKER
1. Beberapa Mekanisme Anti Kanker Senyawa Alami dan Sintesis
Beberapa mekanisme anti kanker dari bahan-bahan alami telah di laporkan
oleh banyak peneliti. Berbagai mekanisme yang berbeda dari beberapa jenis sel
kanker yang diteliti diuraikan berikut ini. Shunji et al. (2004) melaporkan
mekanisme anti kanker dari senyawa smenospongin yang berasal dari spong laut
terhadap sel K562. Hasil analisis terhadap siklus sel menunjukkan pemberian
smenospongin selama 24 jam mampu menghambat fase G1 pada siklus sel,
smenospongin juga ditemukan dapat menghambat fosforilasi substrat tirosin
kinase.
Park et al. (2004) melaporkan mekanisme anti kanker dari komponen
kitosan larut air (WSCO) selama 6 dan 8 hari terhadap sel HL-60
yang
menunjukkan terjadinya apoptosis pada sel HL -60 yang diuji dengan metode
elektroforesis gel agarosa. Hasil pengukuran dengan flow cytometry terhadap sel
24
dalam beberapa tahap siklus sel menunjukkan adanya peningkatan proporsi
tahap G(0)/G(1). Hasil flow cytometry juga menunjukkan telah terjadi differensiasi
sel HL-60 menjadi sel serupa granulosit. Shen (2002) juga melakukan analisis
flow cytometry untuk mengetahui persentasi fase S pada siklus sel yang sangat
direduksi ketika sel sel kanker ASG diberikan kitosan larut air (WSC). Hasil
penelitian ini juga menemukan protein pengatur metastasis (MMP-2 dan MMP-9)
dapat dihambat pada sel-sel kanker ASG yang diberikan WSC.
Makkar (2002) melaporkan mekanisme anti kanker dari pektin sitrus
termodifikasi (MCP), yang merupakan jenis serat berkarbohidrat larut air yang
berasal dari buah sitrus. MCP ini spesifik menghambat protein galektin-3 yang
berikatan dengan karbohidrat pada pertumbuhan tumor dan proses metastasis
secara in vivo. Pengujian dilakukan pada uji penghambatan pembentukan
pembuluh kapiler oleh human umbilical vein endothelial cells (HUVECs) di dalam
Matrigel. Mekanisme anti kanker ditunjukkan dengan penghambatan terhadap
karbohidrat yang memediasi pertumbuhan tumor, menghambat angiogenesis dan
metastasis secara in vivo.
Quersetin merupakan jenis senyawa flavonoid yang banyak ditemukan
pada buah-buahan dan sayuran. Hasil penelitian Yoshida et al. (2005)
menemukan bahwa quersetin memiliki aktivitas anti tumor terhadap sel HeLa.
Fenomena anti tumor dilaporkan terjadi secara apoptosis pada sel hela yang
dikultur bersama senyawa quersetin.
Pathya et al. (2004) melaporkan aktivitas anti tumor dari senyawa allisin
yang terdapat pada bawang putih. Allisin ditemukan menginduksi aktivasi sinyal
ekstraselular terhadap enzim kinase pada sel-sel mononuklir sehingga dapat
mengaktivasi dan memperkuat sistim imun. Arditti et al. (2005) juga melaporkan
aktivitas allisin sebagai anti kanker terhadap sel B chronic lymphocytic leukemia
dengan mekanisme apoptosis.
Obat-obatan anti inflamasi non steroidal yang berkerja sebagai inhibitor
siklooksigenase-2 (COX-2) cukup menjanjikan untuk digunakan sebagai obat anti
kanker di masa depan, karena berdasarkan studi epidemiologi dan klinis terbukti
dapat menstimulasi terjadinya apoptosis pada berbagai galur sel kanker dan
menghambat terjadinya proses angiogenesis. Mekanisme kerja yang ditunjukkan
tersebut membantu menekan pertumbuhan tumor dan proses transformasi tumor
malignan (Thun et al. 2002).
25
2. Apoptosis
Apoptosis adalah kematian sel terprogram, yaitu terjadinya kematian sel
secara terorganisir. Beberapa ciri morfologi sel yang mengalami apoptosis antara
lain mengalami lisut, kondensasi kromatin, dan fragmentasi DNA (Tyler et al.
1995). Proses apoptosis sel menunjukkan peristiwa degradasi kromatin menjadi
fragmen-fragmen kecil yang terdiri atas beberapa pasang DNA. Fragmentasi
DNA terjadi sebelum lisis dan diduga akibat endonuklease dalam nukleus sel
sendiri, sehingga serupa dengan proses bunuh diri (Tyler et al. 1995). Apoptosis
sangat berbeda dengan nekrosis jaringan yang disebabkan oleh adanya luka
yang akut. Tahap yang dibutuhkan untuk apoptosis adalah : a) kondensasi inti sel
dan pecah menjadi potongan-potongan, b) kondensasi dan fragmentasi
sitoplasma menjadi membran yang mengikat badan apoptotik, dan c) pemecahan
kromosom menjadi fragmen yang mengandung sejumlah nukleosom (Tyler et
al.1995).
Secara alamiah sel mengalami apoptosis dengan tujuan untuk : a)
memperbaiki organisme selama perkembangan embrio, b) metamorfosis dan
atrophy jaringan, c) mengatur jumlah total sel, d) pertahanan dan mengeliminir
sel yang tidak diinginkan atau berbahaya, misalnya sel-sel tumor, sel yang
terinfeksi virus, atau sel-sel karena penyakit autoimun (Jakubowski 2000, Reed
1999). Apoptosis memerlukan sinyal-sinyal untuk menginduksi proses apoptosis.
Sinyal-sinyal tersebut dapat berupa sinyal ekstraseluler seperti: hormon, sinyal
faktor pertumbuhan, dan kontak antara sel. Sinyal juga dapat berupa sinyal
intraseluler, yaitu : infeksi virus dan kerusakan oksidatif dari radikal bebas
(Bannerji et al. 2003).
Sel kanker dapat mengalami apoptosis melalui interaksi pada permukaan
selnya dengan sel-sel imun. Salah satu tugas sel imun adalah menghancurkan
sel yang berubah misalnya karena terinfeksi virus atau menjadi sel tumor.
Aktivasi limfosit seperti Sel T sitotoksik atau Natural killer (NK) mengakibatkan
sel-sel tersebut dapat mengenali sel targetnya dan membunuh sel-sel tersebut
dengan beberapa cara, termasuk apoptosis. Sel NK dapat berikatan dengan sel
target (misalnya sel yang terinfeksi virus) dan mensekresi perforin ke dalam
membran sel target. Protein-protein yang dilepaskan oleh sel NK dapat
memasuki sel target melalui pori-pori dan memulai apoptosis. (Jakubowski
2000). Tahap akhir apoptosis adalah penangkapan sel yang telah terfragmentasi
26
oleh sel-sel fagositik seperti makrofag (Bannerji 2003, Jakubowski 2000, Reed
1999).
3. Anti Protease
Protease memiliki banyak fungsi menguntungkan yang menunjukkan peran
sangat esensial untuk kehidupan, tetapi protease yang tak terkontrol dapat
berbahaya. Inhibitor protease di alam memiliki banyak bentuk, mereka tersebar
luas di benih tanaman, umumnya pada legum. Inhibitor protease di benih
bertindak sebagai penghambat sistim percernaan serangga. Beberapa bakteri
memproduksi anti protease untuk membantu mereka agar mampu bertahan pada
saluran pencernaan seperti ecotin pada Escherichia coli yang efektif bertahan
terhadap berbagai protease pankreas. Inhibitor protease juga memiliki nilai nutrisi
seperti Bowman-Birk inhibitor (BBI) dari kedelai yang juga memiliki peranan
dalam pencegahan tumourigenesis (Dowall 2003). Menurut Wan et al. (1999)
penghambatan protease dari BBI dapat terjadi melalui mekanisme pencegahan
ekspresi protein neu dari sel yang premalignan dan malignan. Pencegahan
ekspresi ini disebabkan terjadinya proses pemecahan protein neu yang
ekspresikan oleh sel malignan pada permukaan selnya
Serin protease adalah enzim pendegradasi protein yang dihasilkan oleh
sel-sel tumor untuk menembusi matriks ekstraselular, sehingga berperan
membantu membebaskan sel-sel tumor dari lokasi asalnya. Adanya beberapa
studi tentang senyawa anti serin protease yang bertindak sebagai anti kanker
telah dilakukan oleh Buamah dan Sidlen (1985) yang meneliti tentang
konsentrasi protease yang meningkat pada pasien penderita kanker pankreas.
Menurut Curacyte (2003) telah ditemukan inhibitor bagi matriptase yang
merupakan mediator penting untuk men degradasi matriks ekstraseluler dan
proses ini berperan penting selama terjadinya proses metastasis. Menghambat
matriptase yang diproduksi oleh sel-sel tumor dapat mencegah metastasis tumor
dan perluasan pertumbuhan sel-sel tumor di tempat lainnya. Oberst et al. (2002)
melaporkan matriptase yaitu jenis enzim golongan serin protease transmembran
yang terdapat pada permukaan sel-sel tumor ovarian epitelial, matriptase ini
menghidrolisis
dan
mengaktivasi
protein
yang
berhubungan
dengan
perkembangan kanker ovarian oleh karena itu matriptase memiliki potensi untuk
digunakan sebagai target terapi kanker ovarian.
27
Adanya pelepasan tripsin ditemukan dalam berbagai tumor seperti ovarian
dan colorectal carcinomas. Oleh karena itu tripsin diduga memiliki peranan pada
pembentukan tumor atau proses metastasis, karena tripsin nampaknya penting
bagi sel kanker untuk menginvasi jaringan normal, memasuki pembuluh darah
dan saluran limfatik (De Fea 2001). Proses tersebut merupakan tahap kritis pada
tahap metastasis sel kanker.
Download