TINJAUAN PUSTAKA A. KITOSAN, KITOOLIGOMER DAN KITOSANASE 1. Kitosan dan Aplikasinya. Kitosan adalah biopolimer yang tersusun atas D-glukosamin dengan ikatan glikosidik â 1 4 yang dapat dihasilkan dari kitin, yaitu polimer linier â (1 4)-2asetamido-2-deoxy-D-glukosa (N-asetilglukosamin). Kitin adalah komponen utama pada kulit kepiting dan udang atau kelompok kerang-kerangan (crustacea) (Goosen et al. 1997). Sebagian besar kitosan untuk penggunaan komersial dan penelitian diproduksi dari deasetilasi kitin yang berasal dari kulit udang dan kepiting, limbah utama pada industri pengolahan shellfish. Secara alami kitosan dapat dihasilkan dari fungi golongan zygomycetes (Miyoshi et al. 1992). Kitosan adalah polimer alami, sehingga tidak bersifat toksik, tidak larut dalam air yang bersifat basa tetapi larut baik dalam pelarut asam di bawah pH 6. Aplikasi polimer kitosan tidak sebanyak bentuk kitooligomernya, hal ini disebabkan karena kitosan memiliki berat molekul yang besar dan viskositas yang tinggi. Untuk memperoleh kitosan dari kitin dapat dilakukan secara kimia dan enzimatis. Kedua reaksi tersebut bertujuan untuk menghilangkan gugus asetil yang terdapat pada kitin. Reaksi enzimatis menggunakan enzim kitin deasetilase, sedangkan untuk memperoleh kitosan secara kimia dari kitin dapat melalui kombinasi perlakuan panas (60 oC – 140 o C) dan larutan alkali (larutan NaOH 30% – 50%). Derajat deasetilasi kitosan biasanya berada antara 70% - 90% tergantung metoda yang digunakan (Goosen et al. 1997). Derajat deasetilasi dipengaruhi oleh konsentrasi basa, temperatur dan rasio kitin terlarut, derajat deasetilasi akan meningkat dengan meningkatnya temperatur atau konsentrasi NaOH (Chang et al. 1997). Proses deasetilasi secara termokimia tersebut dalam banyak hal tidak menguntungkan karena tidak ramah lingkungan, prosesnya tidak mudah dikendalikan, dan kitosan yang dihasilkan memiliki berat molekul dan derajat deasetilasi yang tidak seragam (Chang et al. 1997; Tsigos et al. 2000). Proses deasetilasi yang menggunakan kombinasi perlakuan secara kimiawi dan enzimatis seperti yang telah dilakukan oleh Rochima (2005) merupakan alternatif proses yang lebih baik. Jalur degradatif kitin menjadi kitosan dapat dilihat pada Gambar 1, sedangkan struktur molekul kitin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar 2. 5 Kitin deasetilase (EC 3.5.1.4) Kitin Kitosan Kitinase (E.C 3.2.1.14) Lysozyme (E.C 3.2.1.17) 3.2.1.132) Kitosanase (EC Kitin oligosakarida N-acetil-β-Dglukosamidase glukosamidase (EC 3.2.1.30) N-Asetil – D- Glukosamin Kitosan oligosakarida D- D-Glukosamin Gambar 1 Jalur degradasi kitin (Goosen 1997) Gambar 2 Struktur molekul kitin dan kitosan (Li et al. 1997) Proses pengubahan kitin menjadi turunan oligosakarida secara kimiawi oleh asam cenderung dihindari karena proses ini menghasilkan lebih banyak monomer tidak dapat dikontrol, D-glukosamin dan lebih sedikit kitooligomer, padahal, yang memiliki aktivitas biologi penting adalah senyawasenyawa kitooligomernya (Kolodziesjka et al. 2000, Curroto & Aros 1993). Hidrolisis kitosan secara enzimatis adalah cara yang lebih baik untuk mendapatkan senyawa-senyawa kitooligomer dengan derajat polimerisasi yang 6 lebih rendah, karena sifat fungsional bergantung pada berat molekulnya (Suzuki 1996, Kolodziejska et al. 2000). Banyak studi yang telah dilakukan mengenai penggunaan enzim untuk mendegradasi kitosan. Aiba (1993,1994) menghidrolisis kitosan menggunakan enzim kitinase dan lisozim. Pantaleone et al. (1992) dan Brine et al. (1992) melaporkan penggunaan enzim glikanase, protease, lipase, dan tannase yang berasal dari bakteri, fungi, mamalia, dan tanaman untuk menghidrolisis kitosan. Muzarelli et al. (1995a, 1995b) telah menggunakan enzim papain dan lipase untuk depolimerisasi kitosan. Guo dan Hung (2002) melaporkan penggunaan enzim selulase untuk memperoleh senyawa -senyawa kitooligosakarida dari kitosan. Berbagai proses tersebut dikembangkan untuk menghasilkan proses hidrolisis yang efisien terhadap kitosan, akan tetapi penggunaan enzim-enzim tersebut membutuhkan konsentrasi yang relatif tinggi, sedangkan kitosanase menunjukkan aktivitas yang cukup baik pada konsentrasi yang kecil (Jeon dan Kim 2000). Telah banyak dilaporkan adanya sifat fisiologis penting senyawa-senyawa kitooligo mer hasil degradasi kitin dan kitosan, yang memiliki daya antibakteri, antijamur, antitumor, penurun kolesterol, penurun tekanan darah tinggi, dan kemampuannya dalam meningkatkan daya imunologis (Dalwoo 2004, Muzarelli 1996, Shahidi et al.1999, Suzuki et al. 1986, Suzuki 1996). Dalam bidang farmasi, kitooligomer mampu menurunkan kolesterol. Aktivitas hipokolesterolemik kitooligomer kemungkinan disebabkan karena penghambatan pembentukan micelle yang mengandung kolesterol, asam lemak dan monogliserida, sehingga berperan aktif sebagai anti kolesterol (Goosen 1997, Dodane dan Vilivalam 1998). Cui dan Mumper (2001) meneliti tentang penggunaan kitosan dan oligomernya untuk berkompleks dengan CMC (Carboxyl Methyl Cellulose) guna membentuk kationik nano patrikel yang stabil untuk keperluan imunisasi genetik. Kemampuan kitosan dan senyawa-senyawa kitooligomer sebagai antimikroba telah diujikan pada organisme penghasil spora pada media laboratorium dan makanan, ternyata Kitooligomer yang lebih pendek lebih efektif berperan sebagai antimikroba daripada yang berantai panjang (Shahidi et al. 1999 ; Rhoades dan Roller 2000 ; Meidina 2005 ). Pada Tabel 1 disajikan informasi penelitian yang telah dilakukan untuk memperoleh senyawa-senyawa kitooligo mer yang berasal dari kitin dan kitosan 7 Tabel 1 Beberapa penelitian produksi senyawa-senyawa kitooligo mer N o 1. Enzim Sumber Aktivitas Metode Kitosanase 5,10,15 dan 25 U/g Chit UFmembran reaktor 2. Kitosanase Bacillus pumilus BN-262 (45 oC) Bacillus sp BN-262 (50 oC) 1g/100ml (13% prot) Imobilisasi pada suport gel agar 3. Kitinase Streptomyc es cursanovii (37 oC) 0,38U/ml 4. Lisozim & lateks pepaya Imobilisasi pada macroporous cross linked chitin Degradasi re dox H2O2 & Fe(III) 5. Kitosanase Bacillus sp Strain CK4 (60 oC) 0,1mg/ ml 6. Kitosanase Bacillus sp Strain KCTC 0377BP (40 oC) 2-8 U/g Purifikasi dengan DEAE Toyopear l650-M Inkubasi enzim dan substrat selama 24 jam. (Direct enzymatic reaction) Substrat & konsentrasi Kitosan terlarut 1% (DD 89%) Kitosan terlarut 0,5% (DD 100%) Kitin koloidal 1% (DD 85%) Kitosan hidrokhlorid a 1% (DD 15,6%) Kitosan koloidal l% (DD 100%) Kitosan terlarut 20 40 mg/ml (DD 39, 50 dan 72 %) Hasil Referensi Trimer Heksamer Jeon & Kim 2000 Pentamer & Heksamer Ichikawa et al. 2002 Dimer Nanomer Ilyina et al. 2000 Rhoades & Roller 2000 Monomer - Heksamer Yoon et al. 2001 Trimer Heptamer Yeon et al. 2004 Senyawa-senyawa kitooligomer dilaporkan memiliki aktivitas anti kanker, laporan ini antara lain dikemukakan oleh Ye on (2004) bahwa heksa N-asetil kitoheksaose dan kitoheksaose memiliki pengaruh penghambat pertumbuhan dari sel tumor Meth A-solid. Semenuk et al. (2001) melaporkan aktivitas kitooligomer sebagai anti tumor melalui kemampuan senyawa kitooligomer bertindak sebagai ligan bagi reseptor sel natural killer yang mengakibatkan aktivasi selular sistim imun sehingga kitooligomer tersebut dapat berfungsi sebagai anti tumor. Pae et al. (2001) melaporkan terjadinya penghambatan pada sel promyelocytic leukemia (HL-60) oleh water-soluble chitosan oligomer (WSCO). Shen (2002) juga melaporkan kitosan larut air (WSC) secara signifikan menghambat proliferasi sel kanker ASG. Guo & Hung (2002) melaporkan senyawa kitooligosakarida yang dihasilkan dari enzim selulase memiliki pengaruh pada fungsi sistim imun seperti mempengaruhi proliferasi sel makrofag dan hibridoma HB4C5 secara in vitro. Sedangkan secara in vivo terbukti meningkatkan kandungan IgG dan IgM dalam serum darah mencit yang diinjeksi dengan N- asetil kitoheksaose. 8 2. Kitosanase dan Mikroba Penghasil Kitosanase Kitosanase (EC 3.2.1.132) merupakan enzim yang menghidrolisis ikatan glikosidik kitosan untuk menghasilkan kitooligomer (kitooligosakarida). Kitosan ( â-(1 4)-N-glukosamin) merupakan turunan dari kitin yang diperoleh melalui deasetilasi sempurna atau sebagian. Menurut Fukamizo dan Brzezinski (1997), kitosanase adalah enzim yang menghidrolisis kitosan, memotong pada ikatan â1,4-glikosidik kecuali ikatan GlcNAc-GlcNAc. Kitosanase dibagi menjadi tiga klas berdasarkan spesifik pemotongannya yaitu klas 1, enzim memotong pada ikatan GlcN-GlcN dan GlcNAc-GlcN; klas 2, enzim yang memotong hanya pada ikatan GlcN-GlcN; klas 3, enzim yang memotong pada ikatan GlcN-GlcN dan GlcNGlcNAc (Saito et al. 1999; Fukamizo dan Brzezinski 1997). Pada Tabel 2 disajikan beberapa karakteristik enzim kitosanase dari berbagai sumber. Berdasarkan mengkategorikan homologi kitosanase sekuen ke asam amino, dalam empat Yoon et al. kelompok, (2000) kelompok I berhubungan erat dengan kitosanase dari B. circulans, B.ehemensis, dan Burkholderia gladioli (similaritas sekitar 81-84%). Kelompok II termasuk Amycolaptosis sp., Nocardioides sp. N 106, Streptomyce s sp. N 174 (similaritas sekitar 73-76%). Bacillus sp. CK4 dan Bacillus subtilis termasuk dalam golongan kelompok III dengan similaritas sekitar 76.6%. Sedangkan Sphingobacterium dan Matsuebacter digolongkan ke dalam kelompok IV dengan similaritas sekitar 75%. Carbohydrate Active Enzyme (CAZY) mengklasifikasi kitosanase pada 3 (tiga) kelompok, yaitu family 46, 75 dan 80. Sebagian besar hasil studi kitosanase yang terdapat pada bakteri termasuk dalam anggota glikosida hidrolase family 46, dimana kitosanase dari fungi patogen tanaman seperti Fusarium solani diklasifikasi sebagai glikosida hidrolase family 75. Chitosanotabidus dan Sphingobacterium multivorum termasuk golongan glikosida hidrolase family 80 (Park et al. 1999). Diantara kitosanase yang telah diteliti tersebut hanya glikosida hidrolase family 46 yang telah ditentukan struktur tiga dimensinya dan hanya dua struktur kristal kitosanase, yaitu dari Streptomyces sp. N174 dan Bacillus circulans yang telah dipublikasi (Saito et al. 1999). Glu-22 dan Asp-40 merupakan residu asam amino yang penting pada sisi katalitiknya (Fukamizo dan Brzezinski 1997) dimana residu triptofan berperan penting untuk kestabilan protein enzim kitosanase (Honda et al. 1999). Hasil studi lain terhadap identifikasi residu asam amino untuk aktivitas katalitik kitosanase termostabil dari Bacillus 9 sp. CK4 menunjukkan bahwa Glu-50 tidak mutlak esensial untuk aktivitas katalitik, tetapi mungkin memiliki peranan penting untuk menjaga struktur sisi katalitik kitosanase (Yoon et al. 2001). Berbagai pertimbangan penggunaan mikroba sebagai sumber enzim kitosanase antara lain adalah mikrob a dapat tumbuh relatif cepat, bahan baku relatif murah, mudah diisolasi, dan terbuka peluang untuk meningkatkan mutu enzim melalui rekayasa genetika (Madigan et al. 2000). Informasi tentang mikroba penghasil enzim kitosanase telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, antara lain kitosanase dari Bacillus sp P1-7S dilaporkan oleh Seino et al. (1991), Matsuebacter chitosanotabidus 3001 oleh Park et al. (1999), Bacillus sp strain CK4 oleh Yoon et al. (2001), Burkholderia gladioli strain CHB101 oleh Shimosaka et al. (2000), Streptomyces N174 oleh Somashekar dan Joseph (1996). Kitosanase yang berasal dari fungi dilaporkan oleh Shimosaka et al. (1993) yang mengisolasi kitosanase dari Fusarium solani f.sp. dan phaseoli, Cheng dan Li (2000) mengisolasi kitosanase dari Aspergillus Y2K. Kitosanase yang berasal dari tanaman Cucumis sativus, Citrus sinensis, dan Barley telah dilaporkan oleh Somashekar dan Joseph (1996). Karakteristik enzim kitosanase yang berasal dari Bacillus licheniformis MB2 disajikan dalam Tabel 2. Beberapa karakteristik enzim kitosanase yang berasal dari berbagai sumber disajikan pada Tabel 3. Tabel 2 Karateristik enzim kitosanase dari Bacillus licheniformis MB2 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Parameter Suhu optimum pH optimum Buffer optimum Berat Molekul Aktivator Spesifitas substrat Tahan terhadap denaturan a) Chasanah 2004 Karakteristik 70oC 6.0 -7.0 Buffer phosphat 0.05 M pH 6 75 kDa Mn Kitosan terlarut jenis Guanidin dan urea a) 10 Tabel 3 Beberapa karakteristik biokimia kitosanase Mikroorganisme Berat Molekul (kDa) pH Optimum Suhu Optimum o ( C) Inhibitor 34 4.0 30 – 40 Ag2+ 86.51 - - B. circulans MH-K1 27 6.5 Bacillus sp CK-4 29 Aspergillus Y2K Acinetobacter sp CHB101 Matsuebacter chitosanotabidus 3001 Paenibacillusfukuinensis D2 Fusarium solani f.sp phaseoli. substrat Produk Referensi Kitosan DD 100%, CMC (GlcN)2-6 Park et al. 1999 - Kitosan dengan DD tinggi (GlcN)2-7 Kimoto et al. 2002 50 Hg2+, Zn +, pCMB, Cu2+ Kitosan dengan DD tinggi (GlcN)4 Yabuki et al. 1988 6.5 60 Cu2+ Hg2+,Cd 2= Kitosan dengan DD tinggi (GlcN)4 Yoon et al. 2000 25 6.6 65 – 70 - Kitosan dengan DD tinggi (GlcN)3-5 Cheng dan Li (2000) 37 & 30 5 –9 40 - Kitosan dengan DD tinggi (GlcN)3-5 Shimosaka et al. 1995 36 5.6 40 - Kitosan dengan DD tinggi (GlcN)3-5 Shimosaka et al. 1993 B. BAHAN PANGAN SEBAGAI IMMUNOENHANCER DAN ANTIKANKER Penelitian untuk menunjukkan potensi bahan pangan tertentu yang memiliki aktivitas terhadap proliferasi sel limfosit dan antiproliferasi terhadap sel kanker telah banyak dilakukan. Buah-buahan, sayuran dan biji-bijian merupakan sumber dari produk samping metabolisme senyawa mevalonat yang bersifat antikarsinogenik (Elson dan Yu 1994). Beberapa jenis bahan pangan lain yang juga mengandung senyawa antikarsinogenik adalah: bawang, kol, kedelai, wortel, seledri, bawang bombay, teh hijau, citrus (orange, lemon, grapefruit), beras pecah kulit dan gandum utuh (Caragay 1992). Menurut Waladkhani dan Clemens (1998) sayuran, buah-buahan dan biji -bijian mengandung beragam senyawa fitokimia yang berpotensi sebagai senyawa antikarsinogenik yaitu: karotenoid, klorofil, flavonoid, indol, komponen polifenol, inhibitor protease, sulfida, dan terpen. Laporan tersebut didukung oleh hasil penelitian Zakaria et al. (2000) yang melaporkan bahwa konsumsi sayur dan buah yang mengandung vitamin C dan vitamin E dapat meningkatkan kemampuan proliferasi sel limfosit 11 dan meningkatkan aktivitas sitotoksik dari sel NK. Selanjutnya Ogata et al. (2000), melaporkan senyawa turunan asam nikotinat dan nikotinamida yaitu niasin (jenis vitamin larut air) ditemukan tidak membunuh sel limfosit, tetapi dapat menginduksi apoptosis pada sel K562. Kelompok solanase (tomat, kentang, terung dan cabai) dan rempah-rempah (jahe, cengkeh, kunyit) juga merupakan kelompok bahan pangan yang mempunyai sifat anti karsinogenik. Menurut Yuana (1998), rempah-rempah seperti jahe, lempuyang, kencur dan pasak bumi mempunyai komponenkomponen yang dapat memberikan efek penghambatan terhadap sel kanker K562. Agustinisari (1998) melaporkan bahwa ekstrak air dan etanol jahe segar dapat menekan proliferasi sel leukimia (K562) secara in vitro. Ekstrak air dan etanol dari bawang putih dari hasil penelitian Lastari (1997) dapat menekan proliferasi sel-sel K562 secara in vitro dan menaikkan aktivitas sel NK manusia. Rusmarilin (2003) juga melaporkan aktivitas anti kanker dari ekstrak lengkuas lokal (Alpinia galanga (L) Sw) pada galur sel kanker manusia dan mencit. Senyawa turunan flavonoid yang terkandung dalam bahan pangan antara lain quersetin memperlihatkan kemampuan menghambat proliferasi sel leukimia dan sel ovari manusia secara in vitro (Zakaria et al. 1997). Iwashita et al. (2000) juga melaporkan aktivitas senyawa isoliquiritigenin dan butein turunan dari flavonoid mampu menghambat pertumbuhan sel dan menginduksi terjadinya apoptosis pada sel-sel B16 Melanoma 4A5. Damayanti (2002) melaporkan senyawa antioksidan dari bekatul padi (Oryza sativa ) mampu menekan proliferasi sel kanker KR4 sebesar 30 %, K562 sebesar 12%, dan melanoma sebesar 23%. Beberapa ekstrak tanaman juga dilaporkan memiliki kemampuan memperbaiki sistem imun dan bersifat anti kanker, antara lain hasil penelitian dari Konishi et al. (1985) dan Noda et al. (1996) yang melaporkan aktivitas anti tumor dari chlorella vulgari. Senyawa fenol glikosida, neohankosida C, yang diisolasi dari tanaman Cynanhum hancockianum diketahui bersifat anti tumor dan mempunyai aktivitas imunomodulator (Konda et al. 1997). Eksktrak tanaman Uncaria tomentosa dilaporkan tidak bersifat toksik (Maria et al; 1997), menginduksi proliferasi limfosit (Wurm et al. 1998) dan mampu menghambat proliferasi serta menginduksi apoptosis sel-sel leukimia K562 dan HL-60 (Sheng et al. 1998). Meiyanto et al (2003) juga melaporkan ekstrak etanol daun dan kulit batang tanaman cangkring (Erythrina Fusca Lour) dapat menghambat proliferasi 12 sel HeLa. Ananta (2000) melaporkan ekstrak cincau hijau (Cyclea barbata L. Miers) mampu menghambat proliferasi sel K562 sebesar 70% dan sel HeLa sebesar 30%. Puspaningrum (2003) melaporkan ekstrak air kayu secang (Caesalpinia sappan Linn) mampu memproliferasi sel limfosit limfa tikus dan menekan proliferasi sel K562 secara in vitro sebesar 20.8%. Senyawa-senyawa anti kanker ternyata tidak hanya berasal dari daratan, Aoki et al. (2004) melaporkan aktivitas anti kanker dari smenospongine yaitu senyawa aminokuinon seskuiterpen yang diisolasi dari spong laut terhadap sel kanker K562 (chronic myelogenous leukemia) pada konsentrasi 3 – 15 µM. Senyawa kitin dan turunannya yang berasal dari hewan laut udang dan kepiting ternyata juga dilaporkan memiliki aktivitas anti kanker, laporan ini antara lain dikemukakan oleh Yeon (2004) bahwa heksa N-asetil kitoheksaose dan kitoheksaose memiliki pengaruh penghambat pertumbuhan dari sel tumor Meth A-solid. Semenuk et al. (2001) melaporkan aktivitas kitooligomer sebagai anti tumor. Pae et al. (2001) melaporkan terjadinya induksi granulositik pada sel promyelocytic leukemia (HL-60) oleh water-soluble chitosan oligomer (WSCO). Shen (2002) juga melaporkan kitosan larut air (WSC) secara signifikan menghambat proliferasi sel kanker ASG. B. LIMFOSIT DALAM SISTEM IMUN Limfosit adalah sel darah putih (leukosit) yang mampu menghasilkan respon imun spesifik terhadap berbagai jenis antigen yang berbeda. Limfosit (leukosit) berukuran kecil, berbentuk bulat (diameter 7-15 µm), dan banyak terdapat pada organ limfoid seperti seperti limpa, kelenjar limfe dan timus. Terdapat dua kelas leukosit yaitu, yang mengandung granula dalam sitoplasmanya (granulosit) dan agranulosit yang tidak mengandung granula (Ganong 1990). Limfosit merupakan sel kunci dalam proses respons imun spesifik, mengenali antigen melalui reseptor antigen dan mampu membedakannya dari komponen tubuhnya sendiri (Kuby 1992). Darah adalah suspensi yang terdiri dari elemen-elemen atau sel-sel, dan plasma yaitu larutan yang mengandung berbagai molekul organik dan an organik. Ada tiga grup sel darah, yaitu sel darah merah (RBC) atau eritrosit, sel darah putih (WBC) atau leukosit yang terdapat kurang dari 1% volume total darah, dan butir pembeku (platelets) atau trombosit. Komposisi dan nilai normal masing-masing elemen seluler pada darah manusia disajikan pada Tabel 4. 13 Tabel 4 Nilai normal elemen-elemen selular pada darah manusiaa) Elemen-elemen seluler A.Leukosit -Granulosit : Neutrofil Eusinofil Basofil -Agranulosit Limfosit Monosit B.Eritrosit Laki-laki Wanita C.Platelets a) Ganong (1990) Rata-rata sel/ml 9000 Kisaran normal 4000 - 11000 Persen dari leukosit total - 5400 275 35 3000-6000 150-300 0-100 50-70 1-4 0,4 2750 540 1500-4000 300-600 20-40 2-8 5,4 x 10 6 4,8 x 10 6 300000 2-5 x 105 Sistem imun merupakan sistem interaktif kompleks dari beragam jenis sel imunokompeten yang bekerjasama dalam proses identifikasi dan eliminasi mikroorganisme patogen dan zat-zat berbahaya lainnya yang masuk ke dalam tubuh. Sistem imun dibedakan dalam dua kelas yaitu sistem imun non spesifik dan spesifik. Respon imun non spesifik timbul sebagai reaksi terhadap mikroorganisme patogen dan zat asing lainnya melalui fagositosis dan monosit (makrofag), barier kimia melalui sekresi internal dan eksternal, lisozim dalam mukus jaringan, air mata, laktoperoksidase dalam saliva, protein darah, interferon, sistem kinin dan komplemen, dan sel Natural Killer (NK) (Parslow 1997). Sistem imun spesifik meliputi sistem imun seluler dan humoral. Sistem imun seluler memberikan pertahanan terhadap serangan mikroorganisme intra dan ekstraseluler melalui sekresi limfokin seperti interferon dan interleukin. Sedangkan sistem imun humoral memberi pertahanan melalui produksi antibodi terhadap antigen spesifik (Roitt dan Delves 2001). 1. Sel Limfosit Sel limfosit terdiri dari 2 tipe sel yang mampu membuat kekebalan yaitu sel limfosit T, yang berfungsi dalam imunitas seluler, dan sel limfosit B yang berfungsi dalam imunitas humoral (Bellanti 1993). Sel limfosit B berasal dari sumsum tulang belakang dan berdiferensiasi dalam jaringan ekivalen bursa. Jumlah sel limfosit B dalam keadaan normal berkisar antara 10 - 15%. Setiap sel 14 B memiliki 105 B Cell Receptor (BCR), dan setiap BCR memiliki dua situs pengikatan antigen yang identik. Antigen yang umum bagi sel B adalah protein dengan struktur tiga dimensi. BCR dan antibodi mengikat antigen dalam bentuk aslinya. Hal ini membedakan sel B dengan sel T, yang mengikat antigen yang sudah terproses dalam sel (Kresno 1996). Sel limfosit dapat mengenali suatu antigen secara spesifik dan menerima sinyal untuk berproliferasi. Setelah berikatan dengan antigen, limfosit B akan mengalami proses perkembangan melalui 2 jalur, yaitu (a) berdiferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan imunoglobulin, dan (b) membelah lalu kembali dalam keadaan istirahat sebagai sel limfosit B memori. Sel limfosit mampu berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sebuah klon yang terdiri dari sel-sel efektor dengan spesifisitas antigen yang sama (Decker 2001). Sel T merupakan bagian dari sel limfosit yang sebagian besar terdapat dalam sirkulasi darah, yaitu sebanyak 65-85% (Kresno 1996). Sel T terdiri dari tiga subset yaitu sel Tc atau sel T sitotoksik, sel Th atau sel T helper, dan sel Ts atau sel T supressor (Roitt dan Delves 2001). Sel Tc berfungsi untuk membunuh sel-sel yang terinfeksi patogen intraselular, dan sel Th berperan dalam stimulasi sintesis antibodi dan aktivasi makrofag dengan cara mensekresikan molekul sinyal yang disebut sitokin. Sel Ts mampu menekan aktivitas sel imun. Sel T memiliki molekul T Cell Antigen Receptor (TCR) yang dapat mengenali epitop suatu antigen melalui kerjasama dengan molekul protein permukaan pada Antigen Presenting Cells (APC). Sel T teraktivasi oleh antigen spesifik sehingga terstimulasi untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T memori dan berbagai sel T efektor yang mensekresi berbagai limfokin. Limfokin tersebut berpengaruh pada aktivasi sel B, Tc, dan sel-sel fagositik,sel NK dan sel lain yang terlibat dalam sistim imun (Roitt dan Delves 2001). Sel natural killer (sel NK) adalah sel limfosit granular yang berukuran besar. Pada manusia normal, sel NK terdapat dalam jumlah 5-15% dari jumlah limfosit darah (Kresno 1996). Sel ini merupakan garis depan pertahanan tubuh terhadap sel yang terinfeksi virus dan sel tumor. Sel NK memiliki reseptor yang menyerupai lektin, yaitu reseptor yang dapat berikatan dengan senyawa karbohidrat pada sel sasaran sehingga menghasilkan pengiriman sinyal pada sel NK untuk membunuh sel tersebut. Populasi sel (sel NK) dapat membunuh sel sasaran secara spontan tanpa sensitisasi terlebih dahulu. Menurut Roitts dan 15 Delves (2001), ketika sel terinfeksi virus atau berubah bentuk menjadi sel yang termutasi, molekul permukaannya berubah. Perubahan ini dikenali oleh sel NK, lalu sel NK membunuh sel tersebut. Sel NK secara fenotip berbeda dengan sel limfosit T maupun sel limfosit B, yaitu tidak memiliki CD3/TCR maupun sIg (surface immunoglobulin). Sel ini memiliki petanda CD56 dan CD16. Sel yang terinfeksi virus menghasilkan interferon yang dapat memberi isyarat ke sel pada jaringan yang berdekatan. Sel NK diduga dapat mengenali sel tumor atau sel yang terinfeksi virus karena sel sasaran tersebut mengekspresikan molekul glikoprotein pada permukaan sel yang membedakannya dari sel normal. Glikoprotein tersebut kemudian bertindak sebagai lektin yang dapat mengikat sel NK melalui reseptor yang terdapat pada permukaan sel NK sehingga terjadi ransangan (Kresno 1996). Sitolisis terhadap sel tumor dapat terjadi karena dilepaskannya faktor sitotoksik (perforin) yang berasal dari granula dalam sel NK. Disamping itu di dalam granula juga terdapat zat yang tahan terhadap faktor sitotoksik, yaitu kondroitin sulfat A, yang melindungi sel NK terhadap autolisis oleh substansinya sendiri (Kresno 1996). 2. Pengujian Proliferasi Limfosit Proliferasi merupakan fungsi biologis mendasar pada sel limfosit, yaitu meliputi proses diferensiasi dan pembelahan sel. Aktivitas proliferasi limfosit merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengukur status imunitas karena proses proliferasi menunjukkan kemampuan dasar dari sistem imun (Roit dan Delves 2001). Limfosit merupakan sel tunggal yang bertahan baik saat dikultur dalam media sintetik lengkap. Respon proliferatif kultur limfosit dalam media sintetik dapat digunakan untuk menggambarkan fungsi limfosit dan status imun individu (Tejasari 2000). Zakaria et al. (1992) menyatakan bahwa kemampuan limfosit untuk berproliferasi atau membentuk klon menunjukkan secara tidak langsung kemampuan respon imunologik atau tingkat kekebalan. Pengujian terhadap kemampuan fungsional limfosit dapat dilihat dari kemampuan memberikan respon terhadap mitogen (proliferasi sel), kemampuan membentuk imunoglobulin atau limfokin, dan kemampuan sitotoksisitas sel NK ( Tejasari 2000). Uji proliferasi limfosit dapat dilakukan melalui pengukuran kemampuan sel limfosit yang ditumbuhkan dalam kultur sel jangka pendek yang mengalami proliferasi klonal ketika dirangsang secara in vitro oleh antigen atau mitogen (Valentine dan Lederman 2000). Bila sel dikultur dengan senyawa 16 mitogen, maka limfosit akan berproliferasi secara tidak spesifik. Begitupula, bila limfosit dikultur dengan antigen spesifik maka limfosit akan berproliferasi secara spesifik. Metode yang lebih sederhana untuk penghitungan jumlah sel yang berproliferasi adalah metode pewarnaan MTT (3-(4,5-Dimethyl-2-thiazolyl)-2,5diphenyl-2H-tetrazolium bromide). Prinsip metode MTT adalah konversi MTT menjadi senyawa formazan yang berwarna ungu oleh aktivitas enzim suksinat dehidrogenase dari mitokondria sel hidup (Kubota et al. 2003). Reaksi yang terjadi digambarkan dalam Gambar 3. Jumlah senyawa formazan yang terbentuk adalah proporsional dengan jumlah sel limfosit yang hidup. Selain dengan metode MTT, perhitungan sel dapat dilakukan dengan metode pewarna trifan biru, yang hanya dapat mewarnai jika membran sel telah rusak, sehingga dapat digunakan untuk membedakan sel hidup dan mati atau rusak. Sel yang hidup tidak akan berwarna dan berbentuk bulat, sedangkan sel mati akan berwarna biru dan mengkerut (Bird dan Forrester 1981). Gambar 3 Mekanisme reaksi MTT menjadi MTT formazan (Kubota et al. 2003) Beberapa senyawa yang telah diketahui mampu meningkatkan proliferasi sel limfosit adalah : vitamin C dan E (Budiharto, 1997), ekstrak bawang putih (Lastari, 1998), ekstrak jahe (Zakaria et al., 1999), ekstrak tanaman cincau hijau (Pandoyo, 2000) ekstrak air kayu secang (Caesalpinia sappan Linn) (Puspaningrum 2003), teh daun dan serbuk gel cincau (Cyclea) (Setiawati 2003), bunga kumis kucing (Orthosimphon stamineus benth) dan bunga knop (Gomphrena globosa L.) (Aquarini 2005), dan kitooligomer kitin (Hertriyani 2005). Senyawa-senyawa tersebut bekerja melalui mekanisme menginduksi proliferasi sel limfosit. 17 3. Mitogen sebagai Senyawa Pemacu Proliferasi Se l Limfosit Mitogen adalah sumber ligan polipeptida yang dapat berikatan dengan reseptor yang terdapat pada permukaan sel. Beberapa mitogen merupakan faktor pertumbuhan yang mengaktivasi tirosin kinase. Aktivasi tersebut diawali oleh mitogen yang mengakibatkan adanya urut-urutan sinyal yang berpengaruh terhadap berbagai faktor transkripsi dan berpengaruh terhadap aktivitas gen di dalam sel (Decker 2001). Beberapa molekul pada patogen mampu berikatan dengan molekul permukaan limfosit yang bukan merupakan reseptor antigen. Jika pengikatan ini mampu menginduksi limfosit untuk membelah (mitosis), maka molekul tersebut disebut mitogen. Mitogen menginduksi proliferasi limfosit pada frekuensi tinggi tanpa memerlukan adanya spesifisitas antigen, disebut dengan aktivasi poliklonal. Beberapa mitogen hanya mampu menginduksi proliferasi sel B, beberapa hanya berpengaruh pada sel T, dan ada juga yang mampu menginduksi keduanya. Beberapa mitogen disebut antigen T-independen, karena mampu menginduksi sel B untuk mensekresi antibodi tanpa ada bantuan dari sel Th (Decker 2001). Lektin pada umumnya adalah mitogen yang merupakan protein yang berikatan dengan senyawa karbohidrat. Concanavalin A (Con A) dan fitohemaglutinin (PHA) mempunyai struktur tetramer dengan setiap monomernya memiliki satu situs pengikat karbohidrat, sehingga dapat mengikat glikoprotein pada permukaan sel. Pokeweed (PWM) berasal dari tumbuhan pokeweed (Phytolacca americana). PWM mampu berikatan dengan di-N-asetyl kitobiose dan mampu menginduksi baik sel B dan sel T (Ku by 1992). Lektin Con A adalah mitogen asal legum yang bersifat sebagai imunomodulator karena dapat meransang proliferasi limfosit. Menurut Kresno (1996) sebanyak 50-60% sel limfosit T mampu memberikan respon terhadap stimulasi dengan mitogen PHA dan Con A. Lipopolisakarida (LPS) juga mampu berfungsi sebagai mitogen, tetapi pengaruhnya hanya pada sel B (Kuby 1992). Respon terhadap mitogen tersebut dianggap menyerupai respon limfosit terhadap antigen, sehingga uji transformasi dengan ransangan mitogen tersebut banyak dipakai untuk menguji fungsi limfosit. Stimulasi limfosit dengan antigen maupun mitogen mengakibatkan berbagai reaksi biokimia di dalam sel, diantaranya fosforilasi nukleoprotein, 18 pembentukan DNA dan RNA, peningkatan metabolisme lemak dan lain-lain (Letwin dan Quimby 1987). Lektin fitohemaglutinin (PHA) adalah protein non enzimatik, berikatan dengan karbohidrat secara reversibel. Fungsi biologis dari lektin adalah kemampuan mengenal dan berikatan dengan struktur karbohidrat spesifik, khususnya berikatan dengan oligosakarida. Lektin dapat berikatan dengan berbagai sel yang memiliki molekul permukaan berupa glikoprotein atau glikolipid. Beberapa gugus spesifik lektin telah diidentifikasi seperti mannose, galaktosa, N-asetilglukosamin, N-asetil galaktosamin, L-fruktosa, dan asam Nasetilneraminik. Sub unit lektin saling berhubungan satu dengan yang lain melalui ikatan non kovalen atau ikatan-ikatan disulfida. Beberapa lektin membutuhkan kation divalen seperti kalsium, magnesium dan mangan untuk berikatan dengan karbohidrat. Lektin terdiri dari enam famili yang telah dikenal yaitu : lektin legum, lektin sereal, lektin jenis P, C, S dan pentraxis (Letwin dan Quimby 1987). D. KULTUR SEL Kultur sel secara in vitro merupakan suatu cara untuk mengembangbiakkan atau menumbuhkan sel di luar tubuh hewan atau manusia. Lingkungan atau bahan makanan untuk pertumbuhan sel secara in vitro diusahakan menyerupai keadaan sel secara in vivo. Oleh karena itu, diperlukan suatu media pertumbuhan yang berisi asam-asam amino, vitamin, mineral, garam-garam anorganik, glukosa dan serum. Peranan serum dalam medium biakan sangat penting yaitu sebagai nutrien untuk pertumbuhan sel serta fungsinya dalam pelekatan sel. Serum memberikan hormon-hormon penting, faktor penempel sel ke matriks tempat sel tumbuh, protein, lipid serta mineral-mineral yang diperlukan sebagian besar jenis sel untuk tumbuh dan berkembang (Freshney 1994). Sel yang dikultur dapat berupa suatu galur sel, yaitu populasi sel yang berasal dari suatu sumber jaringan tertentu yang mengalami pengkulturan lebih lanjut, hingga mencapai sub kultur. Ada dua jenis kultur galur sel kanker yaitu kultur yang melekat membentuk selapis (monolayer) di atas substrat padat, atau sebagai suspensi di media kultur. Kedua jenis sel ini mempunyai sifat yang berbeda, dimana sel suspensi tidak memerlukan support atau bahan pembantu untuk menempel, sebaliknya sel selapis memerlukan support. Sel suspensi biasanya dari hemopoetik, sel darah 19 atau sel dari tumor malignant, sedangkan sel monolayer biasanya untuk sel-sel yang berasal dari jaringan (Freshney 1994). Kultur galur sel kanker yang berasal dari manusia, seperti kultur galur KR-4 (lymphablastoid B) dan sel K562 (chronic myelogenous leukemia) merupakan jenis sel suspensi, sel HeLa (epithel carcinoma cervix) dan sel A549 (Lung carcinoma) merupakan jenis sel selapis (jaringan), dapat digunakan untuk menguji kemampuan bioaktivitas suatu senyawa sebagai anti kanker terhadap galur-galur sel kanker tersebut. Galur sel dapat dibentuk dari kultur sel langsung (primer) yang kemudian dikultur kembali (sub kultur). Sel yang dikultur ini dipelihara terus menerus sampai immortal (tidak bisa mati). Pembentukan sub kultur dapat menghasilkan sel-sel yang homogen dan tidak memiliki sifat-sifat diferensiasi. Menurut Freshney (1994) galur sel yang dihasilkan dari kultur sel primer akan mengalami perubahan antara lain : morfologi (sel lebih kecil, lebih bulat, kurang erat mel ekat, perbandingan inti dan sitoplasma lebih besar), cepat tumbuh karena waktu yang diperlukan untuk tumbuh menjadi lebih pendek, ketergantungan terhadap serum berkurang, dan mampu berproliferasi. Berikut ini beberapa deskripsi dari galur sel lestari yang digunakan dalam berbagai penelitian : a). Sel K562 (ATCC CCL 243) Berasal dari dari sel leukimia myelogenous. Memiliki morfologi seperti limfoblast, sel ini diisolasi oleh Lozzio dan Lozzio dari efusi pleural wanita berumur 53 tahun yang menderita leukimi a myelogenous kronik, sel ini memiliki sifat sangat sensitif terharap pengujian sel natural killer, mengepresikan enzim metabolik xenobiotik, dan tidak berdiferensiasi. b). KR 4 (ATCC CRL 8658) Sel KR 4 berasal dari sel lymphoblastoid B manusia (GM 1500 6TG A11; menghasilkan IgG). Sel ini diperoleh dengan membuat sel tersebut mutagen dengan perlakuan iradiasi ã tingkat rendah dan diseleksi dengan resistensi terhadap tioguanin (Kozbor et al.1982). c). A549 (ATCC CCL 185) Sel ini berasal dari sel karsinoma paru pria kaukasian berumur 58 tahun dengan morfologi menyerupai epitelial, sel ini diisolasi dari jaringan tumor karsinoma manusia. Sel ini memiliki sifat dapat memproduksi lesitin dan mengepresikan enzim metabolik xenobiotik. 20 d). HeLa (ATCC CCL 2.2) Berasal dari kata Henrietta Lacks, yang berasal dari tumor serviks rahim Helen Lane atau Helen Larson wanita berumur 30 tahun, dengan morfologi menyerupai epitelial. E. SIKLUS SEL Siklus sel adalah perkembangan perubahan selular yang teratur sampai memasuki tahap pembelahan sel. Bagian yang penting dari siklus sel adalah enzim cyclin-dependent kinases (Cdk). Ketika Cdk ini diaktifkan maka sel berpindah fase dari satu fase ke berikutnya dalam siklus sel (G1 ke S atau G2 ke M) (Schwartz 2005). Siklus sel normal dikendalikan oleh protein siklin, protein siklin ini adalah kinase yang bekerja mengkatalisis transfer gugus fosfat dari ATP kepada protein target. Aktivasi kebalikannnya atau defosforilasi protein dilakukan oleh enzim fosfatase. Proses fosforilasi dan defosforilasi merupakan mekanisme umum untuk mengatur aktivitas protein. Mekanisme inilah yang digunakan berulang kali untuk mengatur siklus sel (Becker et al. 2000). Cdk dalam siklus sel berperan penting dalam mengontrol siklus sel. Perubahan dalam pengontrolan terhadap proses siklus sel ditemukan pada mayoritas kanker ganas, oleh karena itu Cdk menjadi target yang menjanjikan untuk terapi anti kanker (Pennati 2005). Tahapan siklus sel ditampilkan pada Gambar 4 berikut : Sel membelah (mitosis) Permulaan Siklus Pembesaran sel & pembentukan protein baru Sel menyiapkan diri untuk membelah Replikasi sel Gambar 4 Siklus sel ( Becker 2000) Titik pemotongan : Sel menentukan kapan saat menyelesaikan siklusnya. 21 Ketika sel distimulasi untuk tumbuh, mereka meninggalkan keadaan diamnya (resting state) dan memasuki satu fase siklus sel yang disebut fase G1 (fase sintesis komponen seluler). Sel berada dalam fase ini kurang lebih 8 jam. Setelah itu, sel memasuki fase S (fase sintesis DNA), di dalam fase ini replikasi DNA dimulai dan terus berlan gsung sampai terbentuk dua DNA baru. Sintesis DNA berlangsung lebih kurang 6 jam. Fase selanjutnya adalah fase G2 yang berlangsung selama 4-5 jam. Fase ini merupakan fase persiapan sebelum sel membelah. Periode pembelahan disebut fase M atau mitosis, yang berlangsung selama 1-5 jam dan menghasilkan dua sel baru. Sel-sel kanker pada umumnya tumbuh secara eksponensial lebih cepat dari sel normal (Slingerland dan Tannock 1998). F. KANKER DAN MEKANISMENYA Kanker merupakan penyakit yang berawal dari kerusakan materi genetika atau DNA sel. Satu sel yang mengalami kerusakan genetika sudah cukup untuk menghasilkan jaringan kanker atau neoplasma, sehingga kanker disebut juga penyakit seluler. Perubahan pada materi genetika atau disebut juga mutasi gen dapat terjadi melalui berbagai mekanisme. Pertama disebabkan oleh kesalahan replikasi yang terjadi pada saat sel-sel yang aus digantikan oleh sel-sel baru. Pada saat pergantian satu sel, terjadi kopi DNA baru yang melibatkan 6 x 109 pasangan basa, yang memberikan peluang kesalahan replikasi. Penyebab kedua adalah mutasi pada galur sel yang mengalami kesalahan genetika yang diturunkan dari gen orang tua, sehingga menghasilkan gen yang termutasi. Mekanisme kerusakan materi genetika sel yang ketiga disebabkan oleh adanya faktor dari luar, atau faktor eksternal yang dapat mengubah struktur DNA, yaitu virus, infeksi berkelanjutan, polusi udara, radiasi dan bahan-bahan kimia asing yang tidak diperlukan oleh tubuh (Zakaria 2001). Beberapa karsinogen kimia, radiasi, virus dan hormon menginduksi terjadinya kanker, karena faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan perubahan struktur DNA atau mutasi gen yang dapat menghasilkan sel kanker (Dalimartha 1999). Kanker dapat terjadi karena mutasi pada gen spesifik molekul DNA yang disebut sebagai onkogen. Onkogen terdiri atas dua grup yaitu gen yang mengontrol pertumbuhan dan gen yang menekan pertumbuhan tumor. Grup yang pertama bekerja untuk mengontrol pembelahan sel (perkembangan sel), yang kedua mempunyai kemampuan untuk menghentikan sel-sel kanker. Kanker 22 terjadi ketika kedua jenis gen di atas mengalami mutasi dan tidak berfungsi dengan benar (Michael dan Doherty 2005). Mekanisme yang mengatur pertumbuhan , differensiasi dan kematian sel adalah fosforilasi protein. Proses fosforilasi protein diatur oleh golongan enzim kinase. Mutasi pada kinase yang disandikan dalam onkogen antara lain dapat menyebabkan terjadinya pembelahan sel lebih cepat. Kinase dan fosfatase merupakan menjadi senyawa yang penting pada jalur metabolisme. Perubahan aktivitas enzim kinase yang tidak terkontrol berperan penting pada terbentuknya tumor (Michael dan Doherty 2005). Setiap sel tumor dilengkapi dengan molekul permukaan yang aktif, berfungsi antara lain sebagai reseptor berbagai ligan, misalnya reseptor faktor pertumbuhan, reseptor sitokin, dan molekul adhesi sel (Zeromski 2002). Hasil interaksi ligan dan reseptor tersebut menghasilkan perubahan pada pertumbuhan sel tumor dan penyebarannya. Reseptor ini bertindak sebagai komponen kimia yang diketahui sebagai faktor pertumbuhan dan keberadaannya menyebabkan pembelahan sel. Gen yang termutasi akan menghasilkan banyak reseptorreseptor pada membran sel yang menyebabkan faktor pertumbuhan semakin banyak, kondisi tersebut dapat menyebabkan terjadinya pembelahan sel lebih cepat (Zeromski 2002). Menurut Miller (2005), tahap-tahap penting pembentukan sel kanker adalah : a) inisiasi, yaitu terjadinya perubahan pada DNA atau mutasi gen yang sebabkan oleh berbagai faktor, b) promosi yang meliputi perkembangan sel dan perubahan menjadi sel tumor premalignant, c) progresi dan invasi (penyusupan ke jaringan sekitar), d) metastasis yaitu penyebaran melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening. Tahap penyebaran sel kanker dimulai ketika sel -sel individu dari lokasi asal memi sah dan memasuki aliran darah untuk menemukan tempat baru untuk berkembang di dalam tubuh. Zeromski (2002) mengemukakan bahwa pertumbuhan yang malignant ditentukan oleh enam perubahan dalam fisiologi sel yang perkembangannya menghasilkan perubahan genotip sel, antara lain: a) sel kekurangan sinyal-sinyal untuk mengontrol pertumbuhan, b) sel tidak sensitif terhadap sinyal-sinyal penghambatan pertumbuhan, c) sel menghindari program kematian sel (apoptosis), d) potensi replikasi yang tidak terbatas, e) angiogenesis yang berkesinambungan, dan f) invasi jaringan dan metastasis. 23 Pada sel normal, sel hanya akan membelah diri bila tubuh membutuhkannya, seperti mengganti sel-sel yang rusak atau mati. Sebaliknya sel kanker akan membelah diri meskipun tidak dibutuhkan sehingga terjadi kelebihan sel-sel baru. Kanker dapat tumbuh di semua jaringan tubuh, seperti kulit, sel hati, sel darah, sel otak, sel lambung, sel usus, sel paru, sel saluran kencing, dan berbagai macam sel tubuh lainnya. Jenis kanker yang berbeda memiliki perbedaan bagian tubuh yang ditempati, tergantung tempat yang memiliki afinitas baik untuk ditempati. Oleh karena itu, dikenal bermacam-macam jenis sel kanker menurut sel atau jaringan asalnya. Secara umum kanker menyebabkan lemahnya tubuh karena nutrisi yang tersedia digunakan sel kanker untuk bermetastase. Secara spesifik, kanker dapat menyebabkan antara lain : a) malnutrisi, karena monopoli neoplasma terhadap zat gizi tertentu, b) kehilangan darah akibat erosi epitel atau permukaan-pemukaan lain sehingga terjadi pendarahan, c) nekrosis jaringan akibat defisiensi gizi, rusaknya organ dan inflamasi d) penyerangan tumor pada organ vital sehingga menurunkan fungsinya, e) gangguan saluran organ vital disertai menurunnya fungsi organ atau terjadinya infeksi, f) efek toksik, terutama pada sistem syaraf pusat atau periferal, g) efek sekresi, baik hormon yang sesuai maupun tidak (Braustein 1987). G. MEKANISME ANTI KANKER 1. Beberapa Mekanisme Anti Kanker Senyawa Alami dan Sintesis Beberapa mekanisme anti kanker dari bahan-bahan alami telah di laporkan oleh banyak peneliti. Berbagai mekanisme yang berbeda dari beberapa jenis sel kanker yang diteliti diuraikan berikut ini. Shunji et al. (2004) melaporkan mekanisme anti kanker dari senyawa smenospongin yang berasal dari spong laut terhadap sel K562. Hasil analisis terhadap siklus sel menunjukkan pemberian smenospongin selama 24 jam mampu menghambat fase G1 pada siklus sel, smenospongin juga ditemukan dapat menghambat fosforilasi substrat tirosin kinase. Park et al. (2004) melaporkan mekanisme anti kanker dari komponen kitosan larut air (WSCO) selama 6 dan 8 hari terhadap sel HL-60 yang menunjukkan terjadinya apoptosis pada sel HL -60 yang diuji dengan metode elektroforesis gel agarosa. Hasil pengukuran dengan flow cytometry terhadap sel 24 dalam beberapa tahap siklus sel menunjukkan adanya peningkatan proporsi tahap G(0)/G(1). Hasil flow cytometry juga menunjukkan telah terjadi differensiasi sel HL-60 menjadi sel serupa granulosit. Shen (2002) juga melakukan analisis flow cytometry untuk mengetahui persentasi fase S pada siklus sel yang sangat direduksi ketika sel sel kanker ASG diberikan kitosan larut air (WSC). Hasil penelitian ini juga menemukan protein pengatur metastasis (MMP-2 dan MMP-9) dapat dihambat pada sel-sel kanker ASG yang diberikan WSC. Makkar (2002) melaporkan mekanisme anti kanker dari pektin sitrus termodifikasi (MCP), yang merupakan jenis serat berkarbohidrat larut air yang berasal dari buah sitrus. MCP ini spesifik menghambat protein galektin-3 yang berikatan dengan karbohidrat pada pertumbuhan tumor dan proses metastasis secara in vivo. Pengujian dilakukan pada uji penghambatan pembentukan pembuluh kapiler oleh human umbilical vein endothelial cells (HUVECs) di dalam Matrigel. Mekanisme anti kanker ditunjukkan dengan penghambatan terhadap karbohidrat yang memediasi pertumbuhan tumor, menghambat angiogenesis dan metastasis secara in vivo. Quersetin merupakan jenis senyawa flavonoid yang banyak ditemukan pada buah-buahan dan sayuran. Hasil penelitian Yoshida et al. (2005) menemukan bahwa quersetin memiliki aktivitas anti tumor terhadap sel HeLa. Fenomena anti tumor dilaporkan terjadi secara apoptosis pada sel hela yang dikultur bersama senyawa quersetin. Pathya et al. (2004) melaporkan aktivitas anti tumor dari senyawa allisin yang terdapat pada bawang putih. Allisin ditemukan menginduksi aktivasi sinyal ekstraselular terhadap enzim kinase pada sel-sel mononuklir sehingga dapat mengaktivasi dan memperkuat sistim imun. Arditti et al. (2005) juga melaporkan aktivitas allisin sebagai anti kanker terhadap sel B chronic lymphocytic leukemia dengan mekanisme apoptosis. Obat-obatan anti inflamasi non steroidal yang berkerja sebagai inhibitor siklooksigenase-2 (COX-2) cukup menjanjikan untuk digunakan sebagai obat anti kanker di masa depan, karena berdasarkan studi epidemiologi dan klinis terbukti dapat menstimulasi terjadinya apoptosis pada berbagai galur sel kanker dan menghambat terjadinya proses angiogenesis. Mekanisme kerja yang ditunjukkan tersebut membantu menekan pertumbuhan tumor dan proses transformasi tumor malignan (Thun et al. 2002). 25 2. Apoptosis Apoptosis adalah kematian sel terprogram, yaitu terjadinya kematian sel secara terorganisir. Beberapa ciri morfologi sel yang mengalami apoptosis antara lain mengalami lisut, kondensasi kromatin, dan fragmentasi DNA (Tyler et al. 1995). Proses apoptosis sel menunjukkan peristiwa degradasi kromatin menjadi fragmen-fragmen kecil yang terdiri atas beberapa pasang DNA. Fragmentasi DNA terjadi sebelum lisis dan diduga akibat endonuklease dalam nukleus sel sendiri, sehingga serupa dengan proses bunuh diri (Tyler et al. 1995). Apoptosis sangat berbeda dengan nekrosis jaringan yang disebabkan oleh adanya luka yang akut. Tahap yang dibutuhkan untuk apoptosis adalah : a) kondensasi inti sel dan pecah menjadi potongan-potongan, b) kondensasi dan fragmentasi sitoplasma menjadi membran yang mengikat badan apoptotik, dan c) pemecahan kromosom menjadi fragmen yang mengandung sejumlah nukleosom (Tyler et al.1995). Secara alamiah sel mengalami apoptosis dengan tujuan untuk : a) memperbaiki organisme selama perkembangan embrio, b) metamorfosis dan atrophy jaringan, c) mengatur jumlah total sel, d) pertahanan dan mengeliminir sel yang tidak diinginkan atau berbahaya, misalnya sel-sel tumor, sel yang terinfeksi virus, atau sel-sel karena penyakit autoimun (Jakubowski 2000, Reed 1999). Apoptosis memerlukan sinyal-sinyal untuk menginduksi proses apoptosis. Sinyal-sinyal tersebut dapat berupa sinyal ekstraseluler seperti: hormon, sinyal faktor pertumbuhan, dan kontak antara sel. Sinyal juga dapat berupa sinyal intraseluler, yaitu : infeksi virus dan kerusakan oksidatif dari radikal bebas (Bannerji et al. 2003). Sel kanker dapat mengalami apoptosis melalui interaksi pada permukaan selnya dengan sel-sel imun. Salah satu tugas sel imun adalah menghancurkan sel yang berubah misalnya karena terinfeksi virus atau menjadi sel tumor. Aktivasi limfosit seperti Sel T sitotoksik atau Natural killer (NK) mengakibatkan sel-sel tersebut dapat mengenali sel targetnya dan membunuh sel-sel tersebut dengan beberapa cara, termasuk apoptosis. Sel NK dapat berikatan dengan sel target (misalnya sel yang terinfeksi virus) dan mensekresi perforin ke dalam membran sel target. Protein-protein yang dilepaskan oleh sel NK dapat memasuki sel target melalui pori-pori dan memulai apoptosis. (Jakubowski 2000). Tahap akhir apoptosis adalah penangkapan sel yang telah terfragmentasi 26 oleh sel-sel fagositik seperti makrofag (Bannerji 2003, Jakubowski 2000, Reed 1999). 3. Anti Protease Protease memiliki banyak fungsi menguntungkan yang menunjukkan peran sangat esensial untuk kehidupan, tetapi protease yang tak terkontrol dapat berbahaya. Inhibitor protease di alam memiliki banyak bentuk, mereka tersebar luas di benih tanaman, umumnya pada legum. Inhibitor protease di benih bertindak sebagai penghambat sistim percernaan serangga. Beberapa bakteri memproduksi anti protease untuk membantu mereka agar mampu bertahan pada saluran pencernaan seperti ecotin pada Escherichia coli yang efektif bertahan terhadap berbagai protease pankreas. Inhibitor protease juga memiliki nilai nutrisi seperti Bowman-Birk inhibitor (BBI) dari kedelai yang juga memiliki peranan dalam pencegahan tumourigenesis (Dowall 2003). Menurut Wan et al. (1999) penghambatan protease dari BBI dapat terjadi melalui mekanisme pencegahan ekspresi protein neu dari sel yang premalignan dan malignan. Pencegahan ekspresi ini disebabkan terjadinya proses pemecahan protein neu yang ekspresikan oleh sel malignan pada permukaan selnya Serin protease adalah enzim pendegradasi protein yang dihasilkan oleh sel-sel tumor untuk menembusi matriks ekstraselular, sehingga berperan membantu membebaskan sel-sel tumor dari lokasi asalnya. Adanya beberapa studi tentang senyawa anti serin protease yang bertindak sebagai anti kanker telah dilakukan oleh Buamah dan Sidlen (1985) yang meneliti tentang konsentrasi protease yang meningkat pada pasien penderita kanker pankreas. Menurut Curacyte (2003) telah ditemukan inhibitor bagi matriptase yang merupakan mediator penting untuk men degradasi matriks ekstraseluler dan proses ini berperan penting selama terjadinya proses metastasis. Menghambat matriptase yang diproduksi oleh sel-sel tumor dapat mencegah metastasis tumor dan perluasan pertumbuhan sel-sel tumor di tempat lainnya. Oberst et al. (2002) melaporkan matriptase yaitu jenis enzim golongan serin protease transmembran yang terdapat pada permukaan sel-sel tumor ovarian epitelial, matriptase ini menghidrolisis dan mengaktivasi protein yang berhubungan dengan perkembangan kanker ovarian oleh karena itu matriptase memiliki potensi untuk digunakan sebagai target terapi kanker ovarian. 27 Adanya pelepasan tripsin ditemukan dalam berbagai tumor seperti ovarian dan colorectal carcinomas. Oleh karena itu tripsin diduga memiliki peranan pada pembentukan tumor atau proses metastasis, karena tripsin nampaknya penting bagi sel kanker untuk menginvasi jaringan normal, memasuki pembuluh darah dan saluran limfatik (De Fea 2001). Proses tersebut merupakan tahap kritis pada tahap metastasis sel kanker.