1 POLA KOMUNIKASI IBU BEKERJA DENGAN HARGA DIRI REMAJA Rahmi Logita Waldi1, Dr. Novy Helena Catharina Daulima., S.Kp., M.Sc2 1 Jurusan Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Kampus FIK UI Depok, 16424, Indonesia 2 Departemen Keperawatan Jiwa, FIK UI, Kampus FIK UI Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected] [email protected] 2 Abstrak Remaja merupakan individu yang idealis dan argumentatif sehingga memerlukan pola komunikasi yang tepat dalam berkomunikasi dengan mereka. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa ibu tidak bekerja dapat menerapkan komunikasi fungsional. Pengakuan dari keluarga dapat mempengaruhi harga diri remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan pola komunikasi ibu bekerja dengan harga diri remaja. Desain penelitian yang digunakan yaitu deskriptif korelasi dan menggunakan teknik total sampling sebanyak 116 responden yang merupakan siswa kelas dua SMA Negeri 1 Depok. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki. Harga diri rendah banyak dialami oleh remaja perempuan. Jenis pekerjaan yang mayoritas menggunakan pola komunikasi fungsional yaitu ibu responden yang bekerja sebagai pegawai swasta. Dari hasil uji statistik didapatkan p value = 0,133 yang artinya, tidak ada hubungan yang bermakna antara pola komunikasi ibu bekerja dengan harga diri remaja Kata kunci: Kata kunci: harga diri, ibu bekerja, pola komunikasi, remaja Abstract Teenager is an idealistic and argumentative individual who needs a particular pattern of communication to communicate with them. The previous research proved that nonworking mothers had applied the functional communication. Acknowledge from their family can effect teenagers’pride. This research’s aim is to identify the correlation between the communication pattern of working mothers and the teenager’s pride. The design of research is correlation descriptive and it used Total Sampling technique, using 116 respondents which consist of second year students of SMA Negeri 1 Depok. The research result shows that the majority of respondents are male and the ones who suffer from low pride are the female teenagers. In addition, the occupation of mothers who mostly used the functional communication pattern is a private sector employee. According to the statistical test data, p value = 0,133 which means that there is no meaningful and potential correlation between the communication pattern of working mothers and the teenager’s pride. Keywords: Communication Pattern, Pride, Teenagers ,Working Mothers Pendahuluan Remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Wong (2002), menjelaskan bahwa anak yang memasuki usia 11 tahun sudah dapat dikategorikan sebagai remaja. Remaja mempunyai ciri khas dimana meraka suka mengekplorasi diri dan selalu penasaran dengan hal-hal baru sehingga mereka tertarik untuk mencoba-coba (Wong, 2002). Dalam hal ini diperlukan kontrol dari orang tua agar tidak terjerumus ke dalam perilaku negatif. Namun fenomena yang terjadi banyak remaja yang terjerumus pada hal-hal negatif seperti perkelahian, tawuran, ketergantungan obat, terlibat dalam tindakan kriminalitas karena ketidaktahuan orang tua terhadap konsep diri dan tugas perkembangan remaja yang harus mereka dapatkan dan penuhi. Siregar (2004) telah melakukan penelitian dan membuktikan bahwa masih banyak orang tua yang mempunyai sifat suka suara keras (28%) dan emosional (22%) sehingga remaja cenderung Pola komunikasi ibu..., Rahmi Logita Waldi, F. Ilmu Keperawatan UI, 2014 2 akan melawan dan mencari kesenangan dan kenyamanan di luar rumah. Pola asuh yang digunakan oleh orang tua berperan penting dalam menghadapi tingkah laku remaja. Orang tua harus dapat menerapkan pola asuh yang sesuai dalam pembentukan konsep diri remaja. Menurut hasil penelitian yang berjudul hubungan pola asuh orang tua terhadap pembentukkan konsep diri: harga diri pada remaja di Depok yang dilakukan oleh Ginting (2009), didapatkan bahwa pola asuh orang tua yang otoriter (30,5%) berpotensi membentuk harga diri remaja yang rendah (58,6%). Selain itu penelitian tersebut juga membuktikan bahwa pola asuh orang tua yang permisif (28,4%) dapat membentuk 3 kali lebih besar harga diri rendah pada remaja (74,1%). Pada pola asuh orang tua yang menggunakan pola asuh demokratis (41,1%) dapat membentuk harga diri tinggi (66,7%). Dengan demikian penelitian ini membuktikan bahwa terdapat hubungan pola asuh orang tua dengan pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja. Harga diri merupakan penilaian seseorang terhadap hasil yang didapatkan dalam mencapai ideal diri (Willoughby, King, Polatajka, 1996 dalam Wong, 2002). Remaja mempunyai pemikiran sendiri terhadap harga diri dan ideal diri mereka. Pencapaian harga diri remaja dapat dipengaruhi oleh pengakuan keluarga atas kemampuan dirinya, Komunikasi keluarga yang selalu terjaga dalam setiap kali berinteraksi dapat membantu remaja dalam membentuk pola pikir mereka dalam menilai konsep diri dan tahap perkembangan yang sedang mereka alami. Perhatian keluarga dibutuhkan remaja untuk meningkatkan harga diri remaja yang mempunyai sifat idealis. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ginting (2009), remaja perempuan cenderung memiliki harga diri rendah dari pada remaja laki-laki (52,9%). Di sinilah sosok seorang ibu yang pada dasarnya mempunyai sifat lemah lembut, perhatian dan lebih sensitif dari pada seorang bapak dibutuhkan oleh seorang remaja. Seorang ibu yang dapat berperan sebagai teman bagi remaja akan membuat remaja merasa nyaman menceritakan apa yang mereka alami dan menanyakan apa yang ingin mereka ketahui. Namun faktanya, sekarang ini karena tuntutan kebutuhan ekonomi dan peningkatan lapangan kerja bagi perempuan, para ibu lebih banyak menghabiskan waktunya bekerja di luar rumah sehingga anak mencari teman berbagi dan bercerita di luar rumah seperti membuat kelompok teman sebaya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2012, jumlah angka pekerja perempuan di Indonesia adalah 46.509.689 jiwa. Dilihat dari kisaran usia perempuan bekerja, didapatkan data bahwa perempuan yang bekerja pada usia 30-34 tahun berjumlah 5.972.068 jiwa , 35-39 tahun berjumlah 5.926.024, 40-44 tahun berjumlah 5624.547, dan 45-49 tahun berjumlah 4751.272 jiwa. (http://www.bps.go.id/publications/publikasi.p hp). Para perempuan yang sudah berkeluarga dan bekerja menuntut mereka untuk dapat berperan ganda yaitu sebagai wanita karir dan sebagai ibu rumah tangga. Perempuan yang berperan sebagai ibu dengan anak remaja mempunyai tanggung jawab dalam setiap pemenuhan tugas perkembangan remaja. Fenomena yang terjadi para perempuan yang mempunyai ambisi tinggi untuk berkarir membuat mereka mengabaikan perannya sebagai orang tua sehingga anak dibesarkan dan diasuh oleh orang lain seperti neneknya atau pembantu rumah tangga. Menurut Kusumawardana (2013), ibu yang berprofesi sebagai pekerja pabrik garment memiliki jam kerja mulai dai jam 7 pagi hingga jam 5 sore atau jam 11 malam. Pulang dari bekerja ibu harus menyelesaikan pekerjaan rumah atau langsung beristirahat sehingga intensitas pertemuan dan komunikasi dengan anak sangat kurang. Hal ini mengakibatkan anak lebih dekat dengan lingkungan di luar rumah seperti teman. Pola komunikasi ibu..., Rahmi Logita Waldi, F. Ilmu Keperawatan UI, 2014 3 Seorang ibu hendaknya menggunakan pola komunikasi terbuka dalam berinteraksi dengan remaja. Para ibu yang sibuk dengan pekerjaannya di luar rumah sering mengacuhkan anak. Walaupun masa remaja merupakan masa dimana anak mulai belajar mandiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya, namun mereka masih membutuhkan bimbingan dan perhatian dari seorang ibu. Penyampain informasi kepada remaja memerlukan teknik khusus karena remaja telah memiliki pemikiran sendiri. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Anggraini (2009), menyatakan bahwa orang tua bekerja sebagai ibu rumah tangga dan PNS memiliki pola komunikasi yang fungsional karena mempunyai waktu yang lebih lama dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Metode Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasi yang bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara dua variabel. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa tingkat dua di SMAN 1 Depok yang ibunya bekerja dengan menggunakan teknik total sampling dimana seluruh populasi siswa yang duduk di tingkat dua sekolah menengah atas SMAN 1 Depok dengan ibu mereka yang bekerja yaitu sejumlah 116 siswa. Pengukuran variabel menggunkan dua jenis kuesion. Kuesioner pertama merupakan keusioner pola komunikasi ibu yang menggunakan scakal likert yang terdiri dari empat pilihan jawaban yaitu selalu=4, sering=3, jarang=2 dan tidak pernah=1. Kuesioner kedua merupakan kuesioner harga diri yang menggunakan scala likert yang terdiri dari sangat setuju=4, setuju=3, tidak setuju=2, dan sangat tidak setuju=1. Pengukuran validitas kuesioner dapat dilakukan dengan cara melakukan korelasi antar skor masing-masing variabel dengan skor totalnya. Pertanyaan dikatakan valid jika skor variabel mempunyai hubungan yang bermakna dengan skor totalnya. Peneliti telah melakukan uji validitas instrumen penelitian di tempat lain yang mempunyai karakteristik yang sama dengan sasaran penelitian yaitu SMAN 2 Depok. Validasi instrumen dilakukan pada bulan Februari hingga Maret 2014. Validasi dilakukan dengan mengambil data sample di SMAN 2 Depok sebanyak 30 responden. Setelah data terkumpul dilakukan pengolahan data dengan menggunakan program pengolahan data. Pernyataan dikatakan valid jika nilai r tabel di atas 0,361 (df-2). Ada 18 pernyataan pada instrumen pola komunikasi ibu bekerja yang valid (r>0,361) dan ada 1 pernyataan di bawah 0,361 yaitu r= 0,302 namun pernyataan tersebut tetap dipertahankan peneliti karena nilai tersebut mendekati nilai r tabel yang telah ditentukan dan merupakan komponen penting dalam intrumen penelitian. Jadi jumlah pernyataan pada instrumen pola komunikasi adalah 19 buah pernyataan. Untuk pernyataan mengenai harga diri yang terdiri dari 11 pernyataan, ada 10 pernyataan valid (r>0,361) dan 1 pernyataan yang mempunyai nilai r tabel 0,320. Jadi jumlah pernyataan untuk intrumen harga diri adalah 11 buah pernyataan. Peneliti juga telah melakukan uji reabilitas kuesioner. Dari hasil uji reabilitas yang dilakukan peneliti, nilai cronbach’s alpha dari 19 pernyataan instrumen pola komunikasi yaitu 0,897 dan 11 pernyataan dari instrumen harga diri yaitu 0,838. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dari nilai standar cronbach’s alpha yaitu 0,6, sehingga dapat diartikan bahwa kedua instrumen tersebut reliabel. Penelitian ini menggunaka analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis univariat bertujuan untuk mengindentifikasi dan mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian, sedangkan analisis bivariat bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan atau korelasi dari dua variabel. (Notoatmodjo, 2010). Variable independen pada penelitian ini Pola komunikasi ibu..., Rahmi Logita Waldi, F. Ilmu Keperawatan UI, 2014 4 Laki-laki Tinggi n 30 Harga Diri Rendah % N 50,8 29 % 49,2 Perempuan 24 42,1 33 57,9 54 46,6 62 53,4 adalah pola komunikasi ibu bekerja dan variabel dependen adalah harga diri Hasil Jenis Kelami n Tabel 1. Distribusi jenis kelamin, jenis pekerjaan ibu, pola komunikasi dan harga diri remaja di SMAN 1 Depok Tahun 2014 Total Variabel Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jenis Pekerjaan Ibu PNS Pegawai Swasta Pegawai BUMN Wiraswasta/Pedagang Lainnya Pola Komunikasi Fungsional Disfungsional Harga Diri Tinggi Rendah Jumlah (n) Persentase (%) 59 57 50,9 49,1 44 43 9 13 7 37,9 37,1 7,8 11,2 6 59 57 50,9 49,1 54 62 46,6 53,4 Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 116 responden, sebanyak 59 orang (50,9%) berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 57 orang (49,1%) berjenis kelamin perempuan. ibu responden bekerja sebagai PNS sebanyak 44 orang (37,9%), Pegawai Swasta sebanyak 43 orang ( 37,1%), Pegawai BUMN sebanyak 9 orang (7,8%), wiraswasta/pedagang sebanyak 13 orang (11,2%) dan lainnya sebanyak 7 orang (6%). Sebanyak 59 (59,9%) ibu responden menggunakan pola komunikasi fungsional dan 57 (49,1%) ibu responden menggunakan pola komunikasi disfungsional. Responden yang memiliki harga diri tinggi sebanyak 54 orang (46,6%) dan responden yang memiliki harga diri rendah sebanyak 62 orang (53,4%) Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dan harga diri di SMAN 1 Depok Tahun 2014 tinggi sebanyak 30 orang (50,8%) dan yang memiliki harga diri rendah sebanyak 29 orang (49,2%), sedangkan responden perempuan yang memiliki harga diri tinggi sebanyak 24 orang (42,1%) dan yang memiliki harga diri rendah sebanyak 33 orang (57,9%). Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan Ibu dengan Pola Komunikasi di SMAN 1 Depok Tahun 2014 Jenis Pekerjaa n Total PNS Pegawai Swasta Pegawai BUMN Wiraswasta/ Pedagang Lainnya Pola Komunikasi Fungsional Disfungsional n % N % 22 50 22 50 24 55,8 19 44,2 3 33,3 6 66,7 6 46,2 7 53,8 4 57,2 3 42,9 59 50,9 57 49,1 Tabel 3 menunjukan pola komunikasi fungsional ibu yang bekerja sebagai PNS sebanyak 22 orang (50%), Pegawai swasta sebanyak 24 orang (55,8%), Pegawai BUMN sebanyak 3 orang (33,3%), Wiraswasta/Pedagang sebanyak 6 orang (46,2%) dan lainnya 4orang (57,2%), sedangkan pola komunikasi disfungsional ibu yang bekerja sebagai PNS sebanyak 22 orang (50%), Pegawai Swasta sebanyak 19 orang (44,2%), Pegawai BUMN sebanyak 6 orang (66,7%), Wiraswasta/pedagang sebanyak 7 orang (53,8%) dan lainnya sebanyak 3 orang (42,9%). Dari hasil penelitian di dapatkan bahwa responden laki-laki yang memiliki harga diri Pola komunikasi ibu..., Rahmi Logita Waldi, F. Ilmu Keperawatan UI, 2014 5 Tabel 4. Hubungan antara Pola Komunikasi Ibu Bekerja dengan Harga Diri Remaja di SMAN 1 Depok Tahun 2014 Pola Komuni kasi Fungsio nal Disfungs ional Total Tinggi n Harga Diri Rendah % n % 32 54,8 27 45,8 22 38,6 35 61,4 54 46,6 62 54,3 Total n 59 % 100 57 100 116 100 P value 0,133 Tabel 4 menunjukkan pola komunikasi fungsional membentuk harga diri tinggi sebanyak 32 orang (54,8%) dan harga diri rendah sebanyak 27 orang (45,8%). Sedangkan pola komunikasi disfungsional membentuk harga diri tinggi sebanyak 22 orang (38,6%) dan harga diri rendah sebanyak 35 orang (61,4%). Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,133 maka dapat disimpulan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pola komunikasi ibu bekerja dengan harga diri. Pembahasan Identitas jenis kelamin merujuk pada kesadaran diri individu sebagai laki-laki atau perempuan (Behrman, dkk, 2000). Laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki pekerjaan. Perempuan bebas menyandang profesi yang mereka inginkan untuk hidup mandiri dan berpenghasilan. Perempuan yang sudah menikah dan mempunyai anak juga memiliki kemampuan untuk menyandang peran sebagai wanita pekerja. Menurut Djabu (2013), ada beberapa faktor yang menyebabkan ibu rumah tangga bekerja diantaranya adalah ingin menyalurkan bakat dan minat yang mereka miliki dan untuk meningkatkan status sosial keluarga. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Djabu (2013), yang mendapatkan bahwa sebanyak 93% responden menyatakan ada peningkatan status sosial. Dari hasil analisis jenis pekerjaan ibu responden di SMAN 1 Depok didapatkan bahwa jenis pekerjaan ibu didomisasi oleh ibu yang bekerja sebagai PNS yaitu sebanyak 44 orang (37,9%). Seorang ibu yang mempunyai kegiatan diluar rumah tentunya mengurangi waktu ibu untuk berinteraksi secara langsung dengan keluarga. Interaksi yang kurang akan mengakibatkan proses komunikasi juga berkurang. Menurut Kozier dan Erb, (1995 dalam Nugroho. W, 2006) menyatakan bahwa komunikasi merupakan pertukaran informasi antara dua orang atau lebih, atau pertukaran ide, perasaan dan pikiran. Setiap anggota keluarga selalu melakukan proses komunikasi ketika berinteraksi satu sama lain. Namun ada banyak hal yang membuat ibu dan anak remajanya mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, salah satunya yaitu kurangnya waktu ibu berada di rumah karena pekerjaan atau karir yang dimilikinya. Selain itu anak yang telah menginjak masa remaja juga memiliki kesibukan di luar rumah untuk mengeksplorasi diri mereka dengan kegiatan yang mereka minati (Wong, 2002). Komunikasi dengan remaja adalah seni mendengarkan (Wong, 2002). Ketika remaja menceritakan ide-ide yang ada dipikirannya serta pengalaman yang telah dilaluinya kepada orang tua maka yang dibutuhkan oleh remaja adalah didengarkan dan pengakuan. Pengakuan dari keluarga dapat meningkatkan konsep diri dan harga diri remaja. Dari hasil analisis yang dilakukan oleh peneliti terhadap siswa tingkat dua di SMAN 1 Depok lebih banyak responden yang memiliki harga diri rendah yaitu 62 orang (53,4%), dengan kata lain siswa yang memiliki harga diri tinggi masih minoritas. Hal ini didukung oleh penelitian ynag telah dilakukan oleh Meichati (2007) di SMAN 1 depok yang mengkategorikan tingkat harga diri menjadi tinggi, sedang, dan rendah membuktikan bahwa siswa SMAN 1 Depok memiliki harga diri rendah 24%, harga diri sedang 54,1% dan harga diri tinggi hanya 21,9 %. Hal ini juga menjelaskan bahwa siswa SMAN 1 Depok Pola komunikasi ibu..., Rahmi Logita Waldi, F. Ilmu Keperawatan UI, 2014 6 yang memiliki minoritas. harga diri tinggi masih Harga diri merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya untuk mencapai ideal diri yang diperoleh dari penghargaan diri sendiri dan orang lain (Stuart & Laraia, 2005). Jenis kelamin merupakan salah satu faktor dalam mempengaruhi harga diri (Edison, 2008). Hal ini terbukti pada hasil penelitian yang telah dilakukan di SMAN 1 Depok, didapatkan bahwa harga diri tinggi banyak terdapat pada responden laki-laki yaitu 50,8%. Hal ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Edison (2008) yang membuktikan bahwa perempuan lebih cenderung mengalami harga diri rendah yaitu sebanyak 58%. Simmons dan Blyth (1987, dalam Edison 2008) menjelaskan bahwa perempuan cenderung mengalami harga diri rendah karena sangat memperhatikan dan memperdulikan penampilan fisik serta kemampuan berolah raga. Menurut Peters, (1974 dalam Freidman, 2010) pola komunikasi keluarga merupakan karakteristik, pola interaksi sirkular yang berkesinambungan yang menghasilkan arti dari hasil transaksi setiap anggota keluarga. Dari hasil analisis hubungan antara pola komunikasi dengan harga diri yang telah dilakukan di SMAN 1 Depok diperoleh bahwa pola komunikasi fungsional lebih banyak membentuk harga diri tinggi sebanyak 54,8% sedangkan pola komunikasi disfungsional dapat membentuk harga diri rendah sebanyak 61,4%. Dari hasil tersebut dapat dilihat pola komunikasi disfungsional dapat membentuk harga diri rendah lebih banyak daripada pola komunikasi fungsional. Komunikasi yang fungsional menghasilkan keluarga yang sehat (Freidmen, 2010). Dari hasil uji statistik dapat disimpulan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pola komunikasi dengan harga diri. Hal ini mungkin terjadi karena ada faktor lain yang lebih mempengaruhi harga diri remaja di SMAN 1 Depok. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi harga diri remaja diantaranya adalah penyakit mental dan fisik, sistem keluarga yang disfungsional, pengalaman negatif yang berulang, ketidakhadiran orang yang dipercaya saat dibutuhkan dan ideal diri yag tidak realistis (Sianturi 2004 dalam Azkiyati 2012). Selain itu pola komunikasi yang digunakan oleh ibu responden mungkin dipengaruhi berbagai faktor seperti situasi atau konteks, latar belakang etnik keluarga dan siklus kehidupan keluarga (Freidmen, 2010). Komunikasi ditanamkan dalam suatu keyakinan dan pola perilaku yang pada umumnya berakar dari kebudayaan (Freidmen, 2010). Menurut Lipson (1996 dalam Freidmen, 2010), komunikasi dalam keluarga berbeda pada setiap budaya dalam gaya dan penekanan ketika melakukan percakapan, kontak mata, sentuhan, ruang personal dan orientasi waktu. Sillars (1995 dalam Freidmen, 2010) menyatakan bahwa ekpresi emosi merupakan perbedaan komunikasi yang paling nyata di setiap lintas budaya. Ada tiga etnisitas yang dapat mempengaruhi komunikasi keluarga yaitu berbicara dengan keterbukaan dan keluasan informasi, ekspresi emosi, dan toleransi terhadap ekspresi konflik (Sillars, 1995 dalam Freidmen, 2010). Selain itu komunikasi keluarga beragam di sepanjang riwayat tahap perkembangan keluarga. Hal ini sejalan dengan perubahan usia dan isu perkembangan individu sebagai anggota keluarga. Salah satu perubahan nyata yaitu keterbuakaan dan keluasaan informasi yang diterima atau disampaikan oleh setiap anggota keluarga (Freidmen, 2010). Namun, hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Sianturi, dkk (2004) kepada 67 remaja yang juga mendapatkan bahwa tidak ada pengaruh pola komunikasi dalam keluarga terhadap pembentukan harga diri remaja. Beberapa keluarga mengalami stresor ketika menghadapi remaja sehingga memperngaruhi komunikasi keluarga (Freidmen, 2010). East (1999 dalam Freidmen 2010), meneliti pengaruh kehamilan remaja terhadap keluarga secara menyeluruh dan mendapatkan bahwa Pola komunikasi ibu..., Rahmi Logita Waldi, F. Ilmu Keperawatan UI, 2014 7 ibu yang memiliki remaja melaporkan menurunnya komununikasi dengan anak lainnya yang lebih muda setelah kehamilan pertama remaja dalam keluarga dan lebih sulit berkomunikasi dengan ibu remaja itu sendiri. Penelitian ini berdampak untuk pengembangan ilmu keperawatan jiwa dan keperawatan anak terkait pembentukan harga diri remaja dan pola komunikasi dalam keluarga. Dalam pelayanan keperawatan, perawat dapat menjalankan perannya sebagai konselor untuk memberikan penjelasan kepada para remaja dan orang tua mengenai keunikan remaja dan masalah-masalah yang dihadapi kelurga dengan remaja serta mendiskusikan solusinya. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pola komunikasi ibu bekerja dengan harga diri remaja. Namun hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai acuan untuk melakukan penelitian yang sama di tempat yang berbeda dengan karakteristik yang sama sehingga dapat dibandingkan hasilnya. Kesimpulan Mayoritas responden pada penelitian ini adalah berjenis kelamin laki-laki, memiliki ibu yang berprofesi sebagai PNS, dan memiliki harga diri rendah. Harga diri rendah lebih banyak dialami oleh siswa perempuan. Ibu yang bekerja sebagai pegawai swasta lebih banyak menggunakan pola komunikasi fungsional daripada pola komunikasi disfungsional. Penelitian yang dilakukan di SMAN 1 Depok bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara pola komunikasi ibu bekerja dengan harga diri remaja. Dari hasil analisis didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pola komunikasi ibu bekerja dengan harga diri remaja. Dari hasil penelitian didapatkan mayoritas remaja perempuan mengalami harga diri rendah. Hal ini juga dibuktikan oleh beberapa penelitian yang menyatakan bahwa perempuan cenderung beresiko mengalami harga diri rendah. Oleh karena itu, peneliti menyarankan kepada institusi pendidikan keperawatan agar menambah pengetahuan mahasiswa mengenai faktor apa saja yang dapat mempengaruhi harga diri remaja dan menambahkan kurikulum khusus terkait pembahasan remaja sebagai individu yang unik dan seni mendengarkan pada remaja Asuhan keperawatan bertujuan memberikan pelayanan kesehatan terbaik kepada setiap individu yang sakit maupun sehat. Remaja tentunya tidak terlepas dari masalah kesehatan dalam menghadapi masa perkembangannya. Oleh karena itu diharapkan perawat mampu mengkaji masalah kesehatan fisik ataupun psikologis remaja dengan menggunakan teknik jujur dan terbuka tanpa terkesan menggurui agar remaja dapat menceritakan setiap masalah yang mereka hadapi dan mencari solusi terbaik. Peneliti menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu peneliti menyarankan untuk melakukan penelitian serupa di beberapa tempat sehingga hasil penelitian dapat digeneralisasi. Selain itu perlu di teliti faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi harga diri remaja. Referensi Anggraini. R.P.N (2009). Hubungan Pola Komunikasi dalam Keluarga dengan Persepsi Terhadap Prilaku Seksual Pra Nikah Pada Remaja di SMA Negeri 2 Nganjuk. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia: Tidak dipublikasikan Azkiyat. A. M (2012). Hubungan Perilaku Merokok dengan Harga Diri Remaja LakiLaki yang Merokok di SMK Putra Bangsa: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia: Tidak Dipublikasikan Behrman, Kliegman & Alvin. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Terj. Samik Wahab. Vol 1. Edisi ke-15. Jakarta: EGC Pola komunikasi ibu..., Rahmi Logita Waldi, F. Ilmu Keperawatan UI, 2014 8 Djabu, O. (2013). Peranan Ibu Rumah Tangga yang Bekerja dalam Meningkatkan Status Sosial Keluarga di Kelurahan Teling Atas Kecamatan Wanea Kota Manado: Jurnal ACTA Diurna Edison, C. (2008). Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Harga Diri Rendah Pada Remaja di SMA 65 Jakarta. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia: Tidak Dipublikasikan Freidmen. M, at al. (2010). Family Nursing: Reserch, Theory, And Practice. 5th Edition. (terj. Achir Yani S. Hamit, dkk). Jakarta: EGC Ginting. L. (2009). Hubungan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Pembentukan Konsep Diri: Harga Diri pada Remaja di Depok Tahun 2009. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia: Tidak Dipublikasikan Heatherton, T. F. & Polivy, J. (1991). Development and validation of a scale for measuring state selfesteem. Journal of Personality and Social Psychology, 60, 895-910. Diunduh pada tanggal 2 September Kusumasari. A. P. (2008). Hubungan Pola Komunikasi Keluarga dengan Prestasi Akademik di SLTP Negeri 2 Cisauk. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia: Tidak Dipublikasikan Kusumawardani, U (2012). Hubungan Komunikasi Ibu dan Anak dengan Perilaku Delinkuen Remaja. Journal Developmental and Clinical Psychology. UNES. 31. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/dcp Mclntire. W. R (2005). Teenagers and Parents: 10 Steps For a Better relationship. (Terj. Rosalia Hening. W). Yogyakarta: Kasinus Meichati, F. (2007). Hubungan Antara Perilaku Seksual Selama Berpacaran dengan Harga Diri Remaja Setelah Putus Pacaran. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia: Tidak Dipublikasikan Nasir, dkk (2009). Komunikasi Dalam Keperawatan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika Notoatmodjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Nugroho, W. (2006). Komunikasi dalam Keluarga Gerontik. Jakarta: EGC Potter, P. A.,dan Perry, A. G. (2009) Fundamentals of Nursing.Vol.1 (Terj. Dr. Adrina Ferderika). Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Riyanto A. (2011). Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika Rosita, dkk. (2011). Hubungan Pekerjaan Ibu dan Perilaku Komunikasi Pada Anak Remaja di RW 04 Pisangan Timur Jakarta. Fakultas Ilmu Keperawatan UI: Tidak Dipublikasikan Santrock (2003). Adolescence. 6th Edition. ( Terj. Dra. Shinto, dkk). Jakarta: Elrlangga Sianturi, E, dkk. (2004). Pengaruh Pola Komunikasi dalam Keluarga Terhadap Pembentukan Harga Diri Remaja. Fakultas Ilmu Keperawaan Universitas Indonesia: Tidak Dipublikasikan Sirait. M. L (2008). Hubungan Antara Perubahan Tubuh Pada Masa Puberitas dengan Harga Diri Remaja Putri SLTP Depok. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia: Tidak Dipublikasikan Siregar. M (2004). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyalahgunaan Narkotika Pada Remaja. Jurnal Imu Kesejahteraan Sosial Pemberdayaan Komunitas. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU. 100-105. ISSN 1412-6133 Stuart, G. W & Laraia, M. T (2005). Principle & Practice of Psychiatric Nursing. Ed. 8th. St. Louis: Mosby Sunaryo. (2002). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC Suryadi. D & Damayanti. C (2003). Jurnal Perbedaan Tingkat Kemandirian Remaja Putri yang Ibunya Bekerja dan yang Tidak Bekerja. Vol.1. No.1 F.Psikologi. Universitas Tarumanegara: Jakarta. Hal.13-14 Wong,DL, et al. (2002). Wong’s essential of pediatric nursing, 6thed/vol 1.(Terj. Agus Sutarna). Jakarta : EGC Yusuf. L & Bagus. C (2002). Harga diri pada Remaja Menengah Putri di SMA Negeri 15 Kota Semarang. Jurnal Keperawatan Diponegoro. 225-230. Diunduh dari http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jnursing http://www.bps.go.id/publications/publikasi.php pada tanggal 2 September Pola komunikasi ibu..., Rahmi Logita Waldi, F. Ilmu Keperawatan UI, 2014 9 Pola komunikasi ibu..., Rahmi Logita Waldi, F. Ilmu Keperawatan UI, 2014