perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user BAB II

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1.
Definisi tentang Narkotika
Narkotika, menurut keterangan atau penjelasan dari Merriam-Webster
adalah (AR. Sujono dan Bony Daniel, 2011: 1):
a.
A drug (as opium or morphine) that in moderate doses dulls senses,
relieves pain, and induces profound sleep but in excessive doses causes
stupor, coma, or cunvulsions;
Sebuah obat (seperti opium atau morfin) yang dalam dosis tertentu dapat
menumpulkan indra, mengurangi rasa sakit, dan mendorong tidur, tetapi
dalam dosis yang berlebihan menyebabkan pingsan, koma, atau kejang;
b.
A drug (as marijuana or LSD) subject restriction similar to that of
addictive narcotics whether physiologically addictive and narcotic or
not;
Sebuah obat (seperti mariyuana atau LSD) pembatasan yang dikenakan
mirip dengan narkotika adiktif baik fisiologis adiktif dan narkotika atau
tidak;
c.
Something that soothes, relieves, or lulis.
Sesuatu
yang
menenangkan,
mengurangi,
atau
lulis
(untuk
menenangkan).
Sedangkan
menurut
Smith
Kline
dan
Frech
Clinical
Staff
mengemukakan definisi tentang narkotika adalah:
“Narcotic are drung which product insensibilliy or stuporduce
to their depresant offer on central nervous system, included in
this definition are opium-opium derivativis (morphine, codein,
methadone)” (Djoko Prakoso, 1987: 481).
Narkotika adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran
atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan
syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk candu, zat-zat
yang dibuat dari candu (morphine, codein, methadone).
commit to user
15
perpustakaan.uns.ac.id
2.
16
digilib.uns.ac.id
Pengaturan tentang Narkotika dalam Hukum Nasional dan Hukum
Internasional
a.
Pengaturan tentang Narkotika dalam Hukum Nasional
Jorgen Jepsen berpendapat bahwa keseluruhan kebijakan yang
dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi pada
hakikatnya bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral di
masyarakat atau menurut Marc Ancel sebagai the rational organization
of the control of crime by society (M. Raryid Ariman, 2006: 49).
Kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan kebijakan
pidana (penal policy) dalam upaya pemberantasan Narkoba di Indonesia
dapat ditelusuri dari jaman masa kolonialisme Belanda. Pemerintah
Hindia Belanda yang merupakan pemerintah berkuasa pada waktu itu,
mengeluarkan peraturan atau regulasi tentang narkotika yaitu Ordonansi
Obat Bius atau Verdoovende Middelen Ordonnantie (VMO) Staatsblad
1927 Nomor 278 junto Nomor 536 tentang obat bius dan candu.
Kebijakan tentang narkotika mengalami beberapa kali perubahan hingga
ketentuan tentang tindak pidana narkotika yang berlaku di Indonesia saat
ini adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
yang memberikan definisi narkotika sebagai zat atau obat yang berasal
dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis,
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika (Aziz Syamsuddin, 2011: 90).
Pembentukan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut
merupakan konsistensi sikap proaktif Indonesia mendukung gerakan
dunia Internasional dalam memerangi segala bentuk tindak pidana
narkotika. Proaksi tersebut disimbolisir oleh penerbitan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan (ratifikasi) United Nations
commit
to user
Convention Against Illicit
Traffic
in Narcotic Drugs and Psychotropic
17
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) serta
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Konvensi
Tunggal
Narkotika
1961
beserta
Protokol
Tahun
1972
yang
Mengubahnya (Aziz Syamsuddin, 2011: 89-90). Kedua konvensi tersebut
merupakan resultante dari konvensi terdahulu mengenai narkotika dan
psikotropika serta merupakan konvensi terpenting dalam sejarah
pengaturan internasional di bidang narkotika dan psikotropika, setelah
berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (Romli Atmasasmita,
1997: 53).
Substansi yang terdapat dalam kedua konvensi narkotika tersebut
adalah dasar melakukan kriminalisasi atas perbuatan tertentu yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai
suatu tindak pidana. Ruang lingkup hukum pidana mencakup tiga
ketentuan yaitu tindak pidana, pertanggungjawaban, dan pemidanaan.
Ketentuan pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika dirumuskan dalam Bab XV Ketentuan Pidana
Pasal 111 sampai dengan Pasal 148. Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika, terdapat empat kategorisasi tindakan melawan
hukum yang dilarang oleh undang-undang dan dapat diancam dengan
sanksi pidana, yakni (Siswanto Sunarso, 2012: 256):
1) Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki,
menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika dan prekursor
narkotika (Pasal 111 dan 112 untuk narkotika golongan I, Pasal 117
untuk narkotika golongan II dan Pasal 122 untuk narkotika golongan
III serta Pasal 129 huruf (a));
2) Kategori kedua, yakni perbuatan-perbuatan berupa memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan prekursor
narkotika (Pasal 113 untuk narkotika golongan I, Pasal 118 untuk
narkotika golongan II, dan Pasal 123 untuk narkotika golongan III
serta Pasal 129 hurufcommit
(b)); to user
perpustakaan.uns.ac.id
18
digilib.uns.ac.id
3) Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan
untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam
jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika dan prekursor
narkotika (Pasal 114 dan Pasal 116 untuk narkotika golongan I, Pasal
119 dan Pasal 121 untuk narkotika golongan II, Pasal 124 dan Pasal
126 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129 huruf (c));
4) Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa,
mengirim, mengangkut atau mentransit narkotika dan prekursor
narkotika (Pasal 115 untuk narkotika golongan I, Pasal 120 untuk
narkotika golongan II dan Pasal 125 untuk narkotika golongan III
serta Pasal 129 huruf (d)).
b. Pengaturan tentang Narkotika dalam Hukum Internasional
Larangan dan pengawasan terhadap penyalahgunaan narkotika
secara yuridis telah diupayakan oleh masyarakat internasional dan PBB
dengan mengeluarkan beberapa instrumen internasional (Oentoeng
Wahjoe, 2011: 43). Instrumen internasional tersebut diuraikan oleh
M.Cherif Bassiouni dan Edward M. Wise dalam bukunya Aut Dedere Aut
Judicare: The Duty to Extradite or Prosecute in International Law yaitu:
This category of international crime includes fifteen
pertinent instruments dating from 1912 to 1972 – sixteen if
one includes the Vienna Convention on Narcotic Drugs
and Psychotropic Substances of 1988. Thirty-two other
instruments dating from 1920 to 1982 also are relevant to
this category, but have been classified under other
headings. International regulation of drug offenses
involves the imposition of progressivevy more stringent
obligations to proscribe and punish the offenses covered
by these conventions (M.Cherif Bassiouni dan Edward M.
Wise, 1995: 216).
Kejahatan narkotika termasuk dalam kategori kejahatan internasional
meliputi lima belas kategori yang berhubungan dengan instrumen yang
tercatat dari tahun 1912 sampai 1972, dan menjadi enam belas jika salah
satu termasuk dalam Konvensi Wina tentang Narkotika dan Psikotropika
tahun 1988. Sejumlah tiga
puluhtodua
instrumen tercatat pada tahun 1920
commit
user
19
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sampai 1982 yang juga relevan untuk kategori ini, tetapi intrumeninstrumen tersebut telah dikasifikasikan dalam kategori yang lain.
Peraturan internasional terhadap Narkoba melibatkan kewajiban yang
lebih ketat untuk melarang dan menghukum tindak pidana yang tercakup
oleh konvensi- konvensi tersebut.
Konvensi internasional yang mengatur tentang narkotika adalah,
The Hague Opium Convention 1912, dan selanjutnya berturut-turut
adalah The Geneva International Opium Convention 1925, The Geneva
Convention for Limiting the Manufacture and Regulating the
Distribution of Narcotic Drugs 1931, The Convention for the
Suppression of the Illicit Traffic in Dangerous Drungs 1936, Sigle
Convention on Narcotic Drugs 1961, sebagaimana diubah dan ditambah
dengan Protokol 1972, dan Convention on Psychotropic Substances
1971. Konvensi Narkotika (dan Psikotropika) terbaru ialah, Konvensi
Wina 1988 (Romli Atmasasmita, 1997: 53) atau Convention Against
Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988.
Uraian perkembangan Konvensi Internasional Narkotika dibatasi pada
Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Konvensi Wina 1988, karena
kedua konvensi ini, merupakan resultante dari konvensi terdahulu
mengenai narkotika dan psikotropika serta merupakan konvensi
terpenting dalam sejarah pengaturan internasional di bidang narkotika
dan psikotropika, setelah berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (Romli
Atmasasmita, 1997: 53).
1) Pengaturan tentang Narkotika dalam Single Convention on
Narcotic Drugs 1961 As Amended by the 1972 Protocol Amending
the Single Convention on Narcotic Drugs 1961 (Konvensi Tunggal
Narkotika 1961)
Konvensi Tunggal Narkotika 1961 menitikberatkan kepada
aspek pengaturan dan pengawasan, serta bertujuan melakukan
konsolidasi
terhadap perjanjian-perjanjian terdahulu tentang
commit to user
narkotika dan memudahkan
mekanisme pengawasan terhadap
20
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
narkotika. Protokol perubahan tahun 1972 terhadap Konvensi
Tunggal Narkotika tersebut diatas, bertujuan menyempurnakan
ketentuan-ketentuan konvensi tersebut sehingga meliputi ketentuan
tentang perlakuan dan rehabilitasi pecandu-pecandu narkotika
(Romli Atmasasmita, 1997: 55).
Tujuan tersebut dijabarkan dalam enam sub tujuan (Romli
Atmasasmita, 1997 : 55):
a)
Kodifikasi perjanjian multilateral tentang narkotika yang telah
ada;
b) Menyederhanakan mekanisme pengawasan internasional;
c)
Memperluas sistem pengawasan atas penanaman obat-obatan
alamiah narkotika lain sebagai pelengkap candu dan “poppystraw” yang menghasilkan akibat ketergantungan seperti ganja
atau daun koka;
d) Membatasi perdagangan dan impor narkotika;
e)
Mengawasi perdagangan narkotika illegal; dan
f)
Mengambil tindakan-tindakan yang layak untuk perlakuan dan
rehabilitasi bagi pecandu-pecandu narkotika.
2) Pengaturan tentang Narkotika dalam United Nations Convention
Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic
Substances 1988 (Konvensi Wina 1988)
Konvensi
Wina
1988
menitikberatkan
kepada
aspek
penegakan hukum. Konvensi Wina 1988 merupakan pembaharuan
secara mendasar terhadap konvensi internasional narkotika pada
umumnya dan terhadap Konvensi Tunggal 1961 pada khususnya,
karena strategi Konvensi Wina 1988 ditunjukan untuk meningkatkan
penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika transnasional.
Konvensi tersebut secara keseluruhan berisi pokok-pokok pikiran
antara lain, sebagai berikut (Eugenia Liliawati Muljono, 2006: 307):
commit to user
21
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a)
Masyarakat internasional di dunia perlu memberikan perhatian
dan prioritas utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap
narkotika dan psikotropika;
b) Pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika
merupakan masalah semua negara yang perlu ditangani secara
bersama pula;
c)
Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi Tunggal
Narkotika 1961, Protokol 1972 tentang Perubahan Konvensi
Tunggal Narkotika 1961 perlu dipertegas dan disempurnakan
sebagai sarana hukum untuk mencegah dan memberantas
perdaran gelap narkotika dan psikotropika; dan
d) Perlunya memperkuat dan meningkatkan saran hukum yang
lebih efektif dalam rangka kerjasama internasional di bidang
pidana untuk memberantas organisasi kejahatan transnasional
dalam kegiatan peredaran gelap narkotika.
Lingkup sasaran dan tujuan Konvensi Wina 1988 adalah
meningkatkan kerjasama penegakan hukum di antara negara peserta
terhadap lalu lintas perdagangan narkotika dan psikotropika illegal,
baik dari aspek legislatif, administratif, maupun aspek teknis
operasional (Romli Atmasasmita, 1997: 56). Perwujudan lingkup
sasaran dan tujuan tersebut, tampak dari beberapa ketentuan yang
dimuat di dalam Konvensi Wina 1988, antara lain (Romli
Atmasasmita, 1997: 56):
a)
Pasal 3, Kejahatan-kejahatan dan sanksi;
b) Pasal 4, Yurisdiksi;
c)
Pasal 5, Penyitaan dan confiscation;
d) Pasal 6, Ekstradisi;
e)
Pasal 7, Perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana;
f)
Pasal 8, Alih Prosedur atau transfer of proceedings;
g) Pasal 9, Bentuk-bentuk lain dan pelatihan;
commit to user
22
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
h) Pasal 10, Kerjasama internasional dan bantuan untuk negara
transit; dan
i)
Pasal 11, Penyerahan yang diawasi atau controlled delivery.
Sembilan ketentuan tersebut diatas, merupakan ciri utama
yang membedakan Konvensi Wina 1988 dari konvensi-konvensi
internasional narkotika sebelumnya, sehingga konvensi tersebut
merupakan
konvensi
narkotika
yang
bersifat
represif
atau
suppressive convention. Selain itu terdapat konvensi narkotika lain
yang memiliki tujuan yang sama, sekalipun belum semaju dan
selengkap Konvensi Wina 1988 yaitu The Convention for the
Suppression of the Illicit in Dangerous Drugs 1936 (Romli
Atmasasmita, 1997: 56). Substansi penting lainnya yang diatur
dalam Konvensi Wina 1988, adalah sebagai berikut (Romli
Atmasasmita, 1997: 60-61):
a)
Fasilitas ekstradisi dan penuntutan tertuduh dalam kasus lalu
lintas perdagangan narkotika ilegal serta mendorong adanya
bantuan kerjasama antara pemerintah negara-negara peserta
dalam kasus-kasus narkotika;
b) Fasilitas pengiriman yang diawasi, penjejakan, dan pengintaian
terhadap pengapalan narkotika secara illegal;
c)
Meningkatkan kerjasama dengan negara transit atau transit state
dan mencegah penyerahan secara ilegal melalui pos;
d) Penegasan tanggung jawab perusahaan pesawat penumpang dan
perusahaan kapal angkutan laut;
e)
Mewajibkan pemerintah negara peserta untuk menghapuskan
produksi tanaman ilegal narkotika; dan
f)
Menetapkan suatu sistem monitoring perdagangan internasional
obat-obatan yang sering dipergunakan dalam proses lalu lintas
narkotika ilegal.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3.
23
digilib.uns.ac.id
Definisi dan Pengaturan tentang Tindak Pidana Transnasional yang
Terorganisasi
a.
Definisi tentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi
Menurut I Wayan Parthiana dalam bukunya Pengantar Hukum
Internasional, secara teoritis ada beberapa istilah yang dikenal untuk
menggambarkan perbuatan yang merupakan tindak pidana menurut
hukum internasional, yaitu:
1) Tindak Pidana yang Berdimensi Internasional
Ini untuk menggambarkan tindak pidana yang terjadi dalam wilayah
suatu negara dan akibat yang ditimbulkan juga masih terbatas di
wilayah negara yang bersangkutan, tetapi dalam hal tertentu
melibatkan negara lain;
2) Tindak Pidana Transnasional
Adalah tindak pidana yang terjadi di dalam wilayah suatu negara
atau negara-negara lain, tetapi akibat yang ditimbulkannya terjadi di
negara atau negara-negara lain, atau tindak pidana yang pelakupelakunya berada terpencar di wilayah dua negara atau lebih, dan
melakukan satu atau lebih tindak pidana serta baik pelaku maupun
tindak pidananya itu sendiri saling berhubungan, yang menimbulkan
akibat pada satu negara atau lebih;
3) Tindak Pidana Internasional.
Yaitu tindak pidana yang menimbulkan akibat yang sangat luas
tanpa mengenal batas-batas wilayah negara. Akibat dari tindak
pidana tersebut membahayakan seluruh umat manusia di bumi ini.
Tindak Pidana Internasional bisa saja dilakukan di dalam wilayah
satu negara dan juga akibatnya hanya pada wilayah negara yang
bersangkutan. Namun, karena perbuatannya berkaitan dengan nilainilai kemanusiaan universal, tindak pidana tersebut bukan hanya
menjadi masalah dari negara yang bersangkutan, melainkan juga
menjadi masalah internasional.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
24
digilib.uns.ac.id
Ketiga pembagian tersebut sesungguhnya masih dapat disederhanakan
menjadi tindak pidana internasional dan tindak pidana transnasional,
dimana butir 1 (satu) dikelompokkan ke dalam tindak pidana
transnasional. Ada persamaan dan ada perbedaan keduanya, persamaan
tampak pada sisi praktis. Dalam praktek penegakan hukum pidana
internasional perbedaan antara tindak pidana transnasional dan tindak
pidana internasional tidak memiliki arti yang signifikan. Oleh karena itu,
kedua bentuk tindak pidana ini membutuhkan kerjasama internasional,
baik bilateral maupun multilateral dalam penanggulangannya (Shinta
Agustia, 2006: 56).
Pengertian istilah “transnational” atau “transnasional”, untuk
pertama kali diperkenalkan oleh Phillip C. Yessup, seorang ahli hukum
internasional. Yessup menegaskan bahwa, selain istilah hukum
internasional atau international law, digunakan istilah nasional atau
transnasional yang dirumuskan, semua hukum yang mengatur semua
tindakan atau kejadian yang melampaui batas teritorial (Romli
Atmasasmita, 2007: iii). Secara konseptual, transnational crime atau
kejahatan transnasional adalah tindak pidana atau kejahatan yang
melintasi batas negara. Konsep ini diperkenalkan pertama kali secara
internasional di tahun 1990-an dalam The Eigth United Nations Congress
on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders (John R.
Wagley, 2006: 2). Sebelumnya istilah yang telah lebih dulu berkembang
adalah organized crime. PBB dalam Working paper prepared by the
Secretariat for the Fifth United Nations Congress on the Prevention of
Crime and the Treatment of Offenders (Toronto, Canada, 1-12 September
1975), Changes in Forms and Dimensions of Criminality - Transnational
and National menyebut organized crime sebagai:
The large-scale and complex criminal activity carried on
by groups of persons, however loosely or tightly
organized, for the enrichment of those participating and at
the expense of the community and its members.
commit to user
25
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tindak pidana skala besar dan kompleks yang dijalankan oleh kelompok
orang, namun longgar atau ketat terorganisir, untuk pengayaan mereka
yang berpartisipasi
dan dengan mengorbankan masyarakat dan
anggotanya.
Pada perkembangannya PBB melalui Eigth United Nations
Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders,
Havana, Cuba 27 August to 7 September 1990, A/Conf.144/7, 26 July
1990 menambahkan bahwa istilah ini seringkali diartikan sebagai:
The large-scale and complex criminal activities carried
out by tightly or loosely organized associations and aimed
at the establishment, supply and exploitation of illegal
markets at the expense of society.
Kegiatan kriminal skala besar dan kompleks yang dilakukan oleh
perkumpulan ketat atau secara longgar terorganisir dan ditujukan pada
pendirian, penawaran dan eksploitasi terhadap pasar ilegal dengan
mengorbankan masyarakat.
Menurut Mueller dalam Transnational Crime: Definitions and
Concepts,
pada
pertengahan
tahun
1990-an,
banyak
peneliti
mendefinisikan “kejahatan transnasional” untuk menyebut offences
whose inception, prevention, and/or direct or indirect effects involve
more than one country. Mueller sendiri menggunakan istilah kejahatan
transnasional untuk mengidentifikasi certain criminal phenomena
transcending international borders, trans-gressing the laws of several
states or having an impact on another country (Gerhard O. W. Mueller,
1998: 18). Kejahatan transnasional merupakan fenomena sosial yang
melibatkan orang, tempat dan kelompok, yang juga dipengaruhi oleh
berbagai sosial, budaya, faktor ekonomi. Akibatnya, berbagai negara
cenderung memiliki definisi kejahatan transnasional yang sangat berbeda
tergantung pada filosofi tertentu (Mark Findlay, 2003: vii). Seperti
halnya definisi kejahatan transnasional yang dikemukakan oleh para ahli
diantaranya I Wayan Parthiana, John M. Martin
commit to user
dan Bassioni.
Anne T. Romano,
perpustakaan.uns.ac.id
26
digilib.uns.ac.id
I Wayan Parthiana menegaskan lebih lanjut tentang definisi
kejahatan transnasional dalam bukunya Hukum Pidana Internasional dari
pembagian beberapa istilah yang dikenal untuk menggambarkan
perbuatan yang merupakan tindak pidana menurut hukum internasional
yang telah diuraikan diatas bahwa, istilah kejahatan transnasional juga
dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kejahatan-kejahatan yang
sebenarnya nasional yang mengandung aspek transnasional atau lintas
batas negara. Jadi, terjadinya kejahatan itu sendiri sebenarnya di dalam
batas-batas wilayah negara (nasional) tetapi dalam beberapa hal terkait
kepentingan ngara-negara lain, sehingga tampak adanya dua atau lebih
negara yang berkepentingan atau yang terkait dengan kejahatan itu.
Dalam prakteknya, terdapat banyak faktor yang menyebabkan terkaitnya
kepentingan lebih dari satu negara dalam suatu kejahatan. Jadi
sebenarnya, kejahatannya sendiri adalah nasional, tetapi kemudian terkait
kepentingan negara atau negara lain, maka tampaklah sifatnya yang
transnasional (I Wayan Parthiana, 2006 : 32).
John M. Martin dan Anne T. Romano memberikan definisi
kejahatan transnasional yaitu:
Transnational crime may be defined as the behavior of
ongoing organizations that involves two or more nations,
with such behavior being defined as criminal by at least
one of these nations (John M. Martin
Anne T.
Romano, 1992: 15).
Kejahatan transnasional dapat didefinisikan sebagai perilaku organisasi
yang sedang berlangsung yang melibatkan dua atau lebih negara, dengan
perilaku seperti yang didefinisikan sebagai kriminal oleh setidaknya satu
dari negara-negara.
Sementara Bassiouni mengatakan bahwa kejahatan transnasional
adalah kejahatan yang mempunyai dampak lebih dari satu negara,
kejahatan yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga
negara lebih dari satu negara, dan sarana dan prasarana serta metodametoda yang dipergunakan
melampaui
commit
to userbatas-batas teritorial suatu negara.
perpustakaan.uns.ac.id
27
digilib.uns.ac.id
Jadi istilah kejahatan transnasional dimaksudkan untuk menunjukkan
adanya kejahatan-kejahatan yang sebenarnya nasional (di dalam batas
wilayah negara), tetapi dalam beberapa hal terkait kepentingan negaranegara lain, sehingga tampak adanya dua atau lebih negara yang
berkepentingan atau yang terkait dengan kejahatan itu. Kejahatan
transnasional jelas menunjukkan perbedaannya dengan kejahatan atau
tindak pidana dalam pengertian nasional semata-mata. Demikian pula
sifat internasionalnya mulai semakin kabur oleh karena aspek-aspeknya
sudah meliputi individu, negara, benda, publik dan privat. Sifatnya yang
transnasional yang meliputi hampir semua aspek nasional maupun
internasional, baik privat maupun publik, politik maupun bukan politik
(M. Cheriff bassiouni, 1986, 2-3).
United Nation Convention Against Transnasional Organized
Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Menentang Tindak Pidana
Transnasional Yang Terorganisasi) (UNTOC) mengkategorikan dalam
Pasal 3 ayat 2 tenntang Ruang Lingkup Pemberlakuan, tindak pidana
adalah bersifat transnasional, jika:
1) Dilakukan di lebih dari satu negara;
2) Dilakukan di satu negara namun bagian penting dari kegiatan
persiapan, perencanaan, pengarahan atau kontrol terjadi di negara
lain;
3) Dilakukan di satu negara tetapi melibatkan suatu kelompok penjahat
terorganisasi yang terlibat dalam kegiatan kriminal di lebih dari satu
negara; atau
4) Dilakukan di satu negara namun memiliki akibat utama di negara
lain.
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan Hak
Asasi Manusia dalam laporan akhir kompendium hukum tentang
kerjasama internasional di bidang penegakan hukum menyatakan suatu
serangkaian kesimpulan terkait tindak pidana transnasional yaitu
(Mahmud Syaltout, 2012:commit
63-64):to user
28
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Perbedaan antara tindak pidana internasional dengan tindak pidana
transnasional terletak pada unsur internasional yang tidak dimiliki
tindak pidana transnasional. Unsur internasional yaitu sifat
mengancam (langsung maupun tak langsung) perdamaian dan
keamanan dunia atau menggoyahkan rasa kemanusiaan;
2) Suatu tindak pidana internasional belum tentu atau tidak serta merta
disebut sebagai tindak pidana transnasional. Demikian juga
sebaliknya tindak pidana transnasional tidak serta merta dapat
disebut sebagai tindak pidana internasional;
3) Dalam keadaan tertentu tindak pidana internasional berkarakter
tindak pidana transnasional jika locus delicti-nya terjadi di dua
negara atau lebih. Demikian pun tindak pidana transnasional
merupakan tindak pidana internasional karena dikualifikasi sebagai
kejahatan internasional baik oleh konvensi maupun oleh hukum
kebiasaan internasional; dan
4) Tindak pidana transnasional adalah tindak pidana yang terjadi lintas
negara yang tidak mengandung unsur internasional (mengancam
perdamaian dan keamanan dunia atau
menggoyahkan rasa
kemanusiaan).
Selai dari pada itu, kejahatan transnasional adalah kejahatan yang
terorganisasi, melibatkan para pelaku dan perencana di dalam dan luar
negeri. Seperti yang dikatakan Phil Williams bahwa kejahatan
transnasional.
Is a crime undertaken by an organization based in one
state but committed in several host countries, whose
market conditions are favourable, and risk of
apprehension is low (Phil Williams, 1994: 96).
Merupakan kejahatan yang dilakukan oleh sebuah organisasi yang
berbasis di satu negara tetapi dilakukan di beberapa negara tuan rumah,
yang kondisi pasar yang menguntungkan, dan risiko kekhawatiran
rendah.
commit to user
29
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan beberapa uraian diatas, kejahatan transnasional pada
hakikatnya merupakan kejahatan yang terjadi antar lintas negara yang
dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang terorganisasi dengan baik
dan penuh dengan perencanaan matang. Dalam setiap peristiwa kejahatan
transnasional aktornya tidak selalu berkaitan dengan “nation-state
actor”, melainkan individu, dan kelompok. Dalam setiap aksinya para
mereka tidak hanya berperan sebagai pelaku tetapi juga sebagai
penyumbang dana maupun pikiran untuk melancarkan aksinya.
Latarbelakang kejahatan ini juga cukup luas, menyangkut bidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, agama, dan lain-lain. Banyak juga kejahatan
transnasional yang tidak terkait dengan latar belakang tersebut.
Dalam kontek UNTOC seperti yang ditegaskan dalam Pasal 3
ayat 1 huruf (a) dan (b) tindak pidana transnasional yang terorganisasi
dikualifikasi ke dalam 5 (jenis) jenis tindak pidana, 4 (empat) diantaranya
berasal dari ketentuan Pasal 3 ayat 1 huruf (a) dan 1 (satu) berasal dari
ketentuan Pasal 3 ayat 1 huruf (b). Jenis tindak pidana transnasional
terorganisasi yang dikualifikasikan dalam Pasal 3 ayat 1 huruf (a) yaitu:
1) Tindak pidana atas partisipasi (kesertaan) dalam kelompok pelaku
tindak pidana terorganisasi (Pasal 5);
2) Tindak pidana atas pencucian hasil tindak pidana (Pasal 6);
3) Tindak pidana korupsi (Pasal 8); dan
4) Tindak pidana yang berkaitan dengan gangguan proses peradilan
(Pasal 23).
Sedangkan Pasal 3 ayat 1 huruf (b) menambah ruang lingkup
pemberlakuan ruang lingkup pemberlakuan tindak pidana transnasional
terorganisasi
mencakup
tindak
pidana
serius
(serious
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 huruf (b) yaitu:
(b) “Serious crime” shall mean conduct constituting an
offence punishable by a maximum deprivation of
liberty of at least four years or a more serious
penalty;
commit to user
crime),
perpustakaan.uns.ac.id
30
digilib.uns.ac.id
(b) “Tindak pidana serius” berarti tindakan yang merupakan suatu
tindak pidana yang dapat dihukum dengan maksimum penghilangan
kemerdekaan paling kurang empat tahun atau sanksi yang lebih
berat;
Penetapan tindak pidana serius (serious crime) sebagai tindakan
yang merupakan suatu tindak pidana yang dapat dihukum dengan
maksimum penghilangan kemerdekaan paling kurang empat tahun atau
sanksi yang lebih berat, maka setiap tindak pidana yang ancaman
hukumannya sama dengan atau lebih berat dari batas tersebut, sepanjang
tergolong sebagai tindak pidana transnasional terorganisasi maka akan
terliput di dalamnya, termasuk tindak pidana yang secara tegas diatur di
dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, dan Pasal 23 UNTOC. Dalam hukum
pidana nasional Indonesia, tidak pernah ada sebutan khusus tindak pidana
serius. Selama ini hanya secara implisit saja tindak pidana yang diancam
pidana penjara 5 (lima) tahun ke atas dikategorikan sebagai tindak pidana
serius. Namun karena merupakan poros dari tindak pidana yang lain yang
tentu saja sudah ada pengaturannya di dalam hukum pidana nasional
Indonesia, maka keberadaan dari tindak pidana serius ini merupakan
kaidah hukum pidana baru yang membungkus banyak macam tindak
pidana yang sudah ada sebelumnya (I Wayan Parthiana, Remelan, dan
Surastini Fitriasih, 2000: 6-7).
Respon negara-negara terhadap kejahatan transnasional sejauh ini
belum memperlihatkan kesamaan pada tingkat internasional meskipun
telah ada Konvensi PBB tentang kejahatan transnasional. Kondisi ini
terjadi karena tantangan yang dihadapi suatu negara tidak ada yang sama
atau identik di semua negara. Untuk mengatasinya, mungkin kerja sama
internasional merupakan cara yang sangat ideal karena ciri dari kejahatan
ini sifatnya lintas negara. Akan tetapi bila memperhatikan kepentingan
nasional suatu negara, termasuk kepentingan ekonomi dan politik yang
sifatnya sensitif, maka kerjasama internasional akan sulit terwujud
commit2009:
to user
(Wang Peng dan Wang Jingyi,
29).
31
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Pengaturan
tentang
Tindak
Pidana
Transnasional
yang
Terorganisasi
Tindak
pidana
transnasional
yang
terorganisasi
atau
Transnational Organized Crimes (TOC) diatur dalam United Nations
Convention
against
Transnational
Organized
Crime
(UNTOC)
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana
Transnasional yang Terorganisasi) atau yang juga dikenal dengan
Konvensi Palermo dan ketiga protokolnya yakni:
1) Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons,
Especially Women and Children, supplementing the United Nations
Convention against Transnational Organized Crime (Protokol untuk
Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Orang, terutama
Perempuan dan Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsabangsa
Menentang
Tindak
Pidana
Transnasional
yang
Terorganisasi);
2) Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air,
supplementing the United Nations Convention against Transnational
Organized Crime (Protokol Menentang Penyelundupan Migran
melalui Darat , Laut dan Udara, Melengkapi Konvensi Perserikatan
Bangsa-bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang
Terorganisasi); dan
3) Protocol against the Illicit Manufacturing and Trafficking in
Firearms,
Their
Parts
and
Components
and
Ammunition,
supplementing the United Nations Convention against Transnational
Organized Crime (Protokol terhadap terlarang Manufaktur dan
Perdagangan Senjata Api, Suku Cadang dan Komponen dan
Amunisi,
Melengkapi
Konvensi
Perserikatan
Bangsa-bangsa
Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi).
UNTOC dan ketiga protokolnya tersebut diadopsi oleh Resolusi Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 55/25 sebagai instrumen
commit to user
32
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum dalam menanggulangi tindak pidana transnasional yang
terorganisasi.
Indonesia sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa,
turut menandatangani UNTOC pada tanggal 15 Desember 2000 di
Palermo, Italia, sebagai perwujudan komitmen memberantas tindak
pidana transnasional yang terorganisasi melalui kerangka kerja sama
bilateral, regional, ataupun internasional.
Indonesia meratifikasi dan mengintegrasikan melalui UndangUndang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations
Convention
Against
Transnational
Organized
Crime
(Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional
Yang Terorganisasi). Walaupun Indonesia ikut serta menandatangani
Konvensi tersebut, Indonesia menyatakan Pensyaratan (Reservation)
terhadap Pasal 35 ayat 2 yang mengatur mengenai pilihan Negara Pihak
dalam penyelesaian perselisihan apabila terjadi perbedaan penafsiran atau
penerapan Konvensi.
Pokok-pokok isi Konvensi Palermo tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Tujuan Konvensi
Pasal 1 Konvensi menyatakan bahwa tujuan Konvensi ini adalah
untuk meningkatkan kerja sama internasional yang lebih efektif
dalam mencegah dan memberantas tindak pidana transnasional yang
terorganisasi.
2) Prinsip
Pasal 4 Konvensi menyatakan bahwa Negara Pihak, dalam
menjalankan kewajibannya, wajib mematuhi prinsip kedaulatan,
keutuhan wilayah, dan tidak mencampuri urusan dalam negeri
negara lain.
3) Ruang Lingkup Konvensi
Pasal 3 Konvensi menyatakan bahwa Konvensi ini mengatur
commit topenyidikan,
user
mengenai upaya pencegahan,
dan penuntutan atas tindak
33
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pidana yang tercantum dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 23
Konvensi, yakni tindak pidana pencucian hasil kejahatan, korupsi,
dan tindak pidana terhadap proses peradilan, serta tindak pidana
yang serius sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 huruf (b)
Konvensi, yang bersifat transnasional dan melibatkan suatu
kelompok pelaku tindak pidana yang terorganisasi. Konvensi
menyatakan bahwa suatu tindak pidana dikategorikan sebagai tindak
pidana transnasional yang terorganisasi jika tindak pidana tersebut
dilakukan:
a) di lebih dari satu wilayah negara;
b) di suatu negara, tetapi persiapan, perencanaan, pengarahan, atau
pengendalian atas kejahatan tersebut dilakukan di wilayah
negara lain;
c) di suatu wilayah negara, tetapi melibatkan suatu kelompok
pelaku tindak pidana yang terorganisasi yang melakukan tindak
pidana di lebih dari satu wilayah negara; atau
d) di suatu wilayah negara, tetapi akibat yang ditimbulkan atas
tindak pidana tersebut dirasakan di negara lain.
4) Kewajiban Negara Pihak
Konvensi menyatakan bahwa Negara Pihak wajib melakukan segala
upaya termasuk membentuk peraturan perundang-undangan nasional
yang mengkriminalkan perbuatan yang ditetapkan dalam Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 8, dan Pasal 23 Konvensi serta membentuk kerangka
kerja sama hukum antarnegara, seperti ekstradisi, bantuan hukum
timbal balik dalam masalah pidana, kerja sama antaraparat penegak
hukum dan kerja sama bantuan teknis serta pelatihan.
5) Konvensi membuka kemungkinan bagi Negara Pihak untuk
melakukan upaya pembentukan peraturan perundang-undangan
nasional untuk mengkriminalkan perbuatan yang ditetapkan dalam
Pasal 2 huruf (b) dan Pasal 15 ayat 2.
commit to user
34
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4.
Definisi tentang Ratio Decidendi
Ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh
hakim untuk sampai pada putusannya. Di dalam teori hukum ada dua
pandangan utama ratio decidendi dari kasus. Salah satunya adalah teori klasik
yang menyatakan bahwa rasio adalah aturan atau prinsip bahwa pengadilan
memutuskan kasus dianggap perlu untuk mencapai hasil dalam kasus
tersebut. Pandangan lain adalah teori Goodhart, yaitu bahwa rasio terdiri dari
fakta-fakta hakim dalam kasus preseden yang diyakini adalah material dan
keputusan hakim berdasarkan fakta-fakta (Robert G Scofield, 2005: 312) jadi
menurut
Goodheard,
ratio
decidendi
dapat
diketemukan
dengan
memperhatikan fakta material. Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat,
waktu dan segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya.
Perlunya fakta material tersebut diperhatikan karena baik hakim maupun para
pihak akan mencari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada
fakta tersebut (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 158). Berikut adalah
bagaimana Cross dan Harris mengartikulasikan teori klasik:
The ratio decidendi of a case is any rule of law expressly or
impliedly treated by the judge as a necessary step in reaching
his conclusion, having regard to the line of reasoning adopted
by him, or a necessary part of his direction to the jury (Robert
G Scofield, 2005: 312).
Ratio decidendi dari kasus adalah setiap aturan hukum secara tegas atau
tersirat diperlakukan oleh hakim sebagai langkah penting dalam mencapai
kesimpulannya, dengan memperhatikan garis penalaran yang diadopsi oleh
dia atau bagian penting dari arahannya kepada juri.
Di dalam hukum Indonesia yang menganut civil law system, ratio
decidendi tersebut dapat dilihat pada konsideran “Menimbang” pada “Pokok
Perkara”. Tidak disangkal bahwa tindakan hakim untuk memberikan alasanalasan yang mengarah kepada putusan merupakan tindakan kreatif. Ratio
tersebut bukan tidak mungkin merupakan pilihan dari berbagai kemungkinan
yang ada. Ratio dapat ditemukan dengan memperhatikan fakta material dan
putusan yang didasarkan atas commit
fakta ituto(Peter
user Mahmud Marzuki, 2013: 161).
perpustakaan.uns.ac.id
35
digilib.uns.ac.id
Fakta materiallah yang menjadi bahan rujukan hakim dan para pihak,
karena para pihak berpangkal dari fakta material itulah dalam membangun
argumentasi guna meneguhkan posisi masing-masing. Di dalam sistem civil
law, dalam mengajukan argumentasi sekaligus disertai ketentuan-ketentuan
yang melandasi argumentasi masing-masing pihak. Dengan kata lain, para
pihak akan mencari ketentuan-ketentuan hukum yang menguatkan posisi
masing-masing untuk fakta material itu. Dalam hal ini hakim akan menilai
masing-masing argumentasi dan ketentuan hukum yang menompang
argumentasi tersebut (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 161).
Menurut Mackenzie dalam buku Penemuan Hukum oleh Hakim
Dalam Prespektif Hukum Progresif oleh Ahmad Rifai, ada beberapa teori atau
pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan
penjatuhan putusan dalam suatu perkara (Ahmad Rifai, 2010: 105), salah satu
diantaranya adalah teori ratio decidendi. Teori ini didasarkan pada landasan
filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan
dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan
perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan
sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim
harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan
memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara (Ahmad Rifai, 2010:
110).
5.
Kedudukan Perjanjian Internasional dalam Sistem Hukum Nasional
Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan
kenegaraaan suatu negara oleh karenanya pembuatan perjanjian internasional
yang merupakan salah satu dari aktivitas penyelenggaraan negara sudah
seharusnya didasarkan atas ketentuan yang terdapat dalam konstitusi
(Harjono, 2012: 8). Konstitusi negara Indonesia adalah Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 11 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sama sekali tidak memberikan
commitkedudukan
to user hukum internasional di dalam
pernyataan apapun terkait dengan
36
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sistem hukum nasional dan konflik di antara kedua sistem hukum tersebut.
Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
hanya mengatur tentang hubungan antara Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dalam hal membuat perjanjian internasional dengan negara
lain, di mana Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR ketika membuat
perjanjian internasional dengan negara-negara lain. Penjelasan lebih lanjut
mengenai perjanjian internasional seperti apa yang harus mendapat
persetujuan dari DPR diatur di dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan dilanjutkan dengan Pasal 11
terkait dengan perjanjian-perjanjian tertentu yang boleh melalui peraturan
presiden seperti yang diatur di dalam Pasal 9 ayat (2) undang-undang ini
(Winu Aryo Dewanto, 2012: 23).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan
juga
tidak
mencantumkan
hukum
internasional di dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia
(Winu Aryo Dewanto, 2012: 23), yang mana Pasal 7 ayat (1) terkait jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan dari undang-undang ini hanya
menetapkan:
a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.
Peraturan Pemerintah;
e.
Peraturan Presiden; dan
f.
Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.
Ketidakhadiran hukum internasional secara eksplisit di dalam hirarki
peraturan perundang-undangan menurut Swan Sik dengan menitik beratkan
dari sudut tata hukum, bahwa hukum internasional dianggap sebagai tata
hukum yang mutlak terpisah dari dan tiada hubungan sistematis dengan
hukum nasional, dengan perkataan lain secara mutlak berada dan berlaku di
luar dan disamping lingkungan hukum nasional yang pada hakekatnya
commit to(Direktorat
user
Indonesia menganut aliran dualisme
Perjanjian Ekonomi Sosial
37
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan Budaya Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Luar Negeri
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 2008: 36-37), karena itulah
keutamaan hukum yang digunakan sebagai sumber hukum formal bagi hakim
adalah hukum nasional, bukan hukum internasional. Jika banyak komentar
dari berbagai pihak bahwa hukum internasional tidak berlaku di Indonesia
karena tidak pernah atau jarang digunakan oleh hakim sebagai dasar hukum
dalam memutus perkara adalah tidak benar. Kondisi ketatanegaraan di
Indonesia, menurut Winu Aryo Dewanto adalah sangat unik karena Indonesia
tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan secara murni tetapi juga tidak
menganut sistem pemisahan kekuasaan secara checks and balances. Indonesia
punya model sistem pemisahan kekuasaan tersendiri yang jika ditelaah secara
mendalam, model tersebut agak “melenceng” dari model yang ada dan dianut
di berbagai negara (Winu Aryo Dewanto, 2012: 23).
Aliran dualisme yang dianut oleh Indonesia menegaskan bahwa
perjanjian internasional tidak dapat digunakan secara langsung di pengadilan
tetapi melalui implementing legislation atau peraturan pelaksananya yaitu
peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga legislatif atau
parlemen yang merupakan hasil dari proses trasformasi perjanjian
internasional ke dalam peraturan perundang-undangan nasional, yang
digunakan oleh para hakim untuk memutus perkara. Meskipun demikian,
kaidah-kaidah hukum internasional tetap boleh digunakan oleh hakim-hakim
sebagai alat bantu untuk melakukan interpretasi hukum terhadap pasal-pasal
dalam undang-undang yang dianggap tidak sesuai dengan maksud dan tujuan
dari perjanjian internasional (Winu Aryo Dewanto, 2012: 22-28).
commit to user
38
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
Proses pelaksanaan penelitian dan penulisan hukum ini merupakan suatu
rangkaian pemikiran yang diarahkan secara sistematis sesuai dengan tujuan yang
hendak dicapai. Kerangka pemikiran dalam penulisan hukum ini dapat dilihat
pada bagan berikut ini:
TransnationalOrganized Crime
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2009
tentang Pengesahan
United Nations
Convention Against
Transnational
Organized Crime
(Konvensi
Perserikatan BangsaBangsa Menentang
Tindak Pidana
Transnasional Yang
Terorganisasi)
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1976
tentang Pengesahan
Konvensi Tunggal
Narkotika 1961 beserta
Protokol Tahun 1972
yang Mengubahnya
Narkotika
Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1997 tentang
Pengesahan United
Nations Convention
Against Illicit Trafficin
Narcotic Drugs and
Psychotropic Substances,
1988 (Konvensi
Perserikatan BangsaBangsa tentang
Pemberantasan Peredaran
Gelap Narkotika dan
Psikotropika, 1988)
Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika
Kasus Terpidana Narkotika Internasional Fredi Budiman
Ratio Decidendi Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Barat
Pelandasan Prinsip-Prinsip Yang
Diatur Dalam Konvensi Tunggal
Narkotika 1961 Dan Konvensi Wina
1988 Oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Barat
Keterangan Bagan:
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, menerangkan bahwa terdapat
konsep transnational organized crime (tindak pidana transnasional yang
terorganisasi) dan instrumen hukum yang menanggulanginya telah diratifikasi
oleh Indonesia dan diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional dengan
commit
user
Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2009to tentang
Pengesahan United Nations
39
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi)
atau UNTOC, merupakan perwujudan komitmen memberantas tindak pidana
transnasional yang terorganisasi melalui kerangka kerja sama bilateral, regional,
ataupun internasional. Salah satu tindak pidana transnasional yang terorganisasi
adalah tindak pidana narkotika, meskipun tidak dirujuk dalam konvensi, tindak
pidana tersebut masuk kategori tindak pidana lintas negara terorganisasi dan
sudah diatur jauh lebih lengkap dalam tiga konvensi terkait Narkoba sebelum
disepakatinya UNTOC. Dari ketiga konvensi tersebut, 2 (dua) konvensi mengatur
tentang narkotika sedangkan 1 (satu) konvensi lainnya mengatur tentang
psikotropika. Kedua konvensi yang mengatur tentang narkotika telah diratifikasi
oleh Indonesia dan diintegrasikan dalam sistem hukum nasional yaitu, UndangUndang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika
1961 beserta Protokol Tahun 1972 yang Mengubahnya dan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against
Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika
dan Psikotropika, 1988). Disisi lain Indonesia telah telah memiliki pengaturan
tentang narkotika yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika
yang merupakan implementing legislation dari kedua konvensi narkotika tersebut.
Saat ini di Indonesia terdapat kasus tindak pidana transnasional yang terorganisasi
di bidang narkotika yang dilakuan oleh terpidana Fredi Budiman yang telah
diputus oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Berdasarkan kasus tindak
pidana tesebut, penulis ingin meneliti mengenai ratio decidendi hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Barat dalam mengadili terpidana narkotika Fredi Budiman dan
pelandasan prinsip-prinsip yang diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961
dan Konvensi Wina 1988 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam kasus Fredi
Budiman (Putusan Nomor 2267/Pid.Sus/2012/PN.JKT.BAR).
commit to user
Download