Peningkatan Komunikasi Lisan Siswa Kelas III SD Negeri

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Pengertian Komunikasi Lisan
Komunikasi lisan secara langsung adalah komunikasi yang dilakukan oleh
dua orang atau lebih yang saling bertatap muka secara langsung dan tidak ada
jarak atau peralatan yang membatasi mereka. Komunikasi lisan ini terjadi saat dua
orang atau lebih saling berbicara atau berdialog, pada saat wawancara, berdialog,
berpidato (Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedi Bebas).
Dalam penelitian ini, penulis menekankan komunikasi lisan pada anak.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat ditambahkan komunikasi bisa terjadi dalam
bentuk bercerita, karena bercerita cara yang mudah untuk dipahami dan dipelajari
oleh anak – anak.
2.2. Pengertian Kemampuan Berkomunikasi Lisan
2.2.1. Pengertian Kemampuan Komunikasi
Kemampuan komunikasi adalah kecakapan atau kesanggupan penyampaian pesan, gagasan, atau pikiran kepada orang lain dengan tujuan orang lain
tersebut memahami apa yang dimaksudkan dengan baik, secara langsung atau
tidak langsung (Asdati, 2009).
2.2.2. Berbahasa Lisan
a. Pengertian Bahasa
Bahasa adalah simbolisasi dari suatu ide atau suatu pemikiran yang ingin
dikomunikasikan oleh pengirim pesan dan diterima oleh penerima pesan melalui
kode-kode tertentu baik secara verbal maupun non verbal (yayang08’s blog,
2011).
b. Pengertian Bahasa Lisan
Menurut Kamus Besar, bahasa lisan adalah bahasa yang dipakai dalam
berkomunikasi secara lisan.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan berkomunikasi lisan adalah kecakapan atau kesanggupan dalam menyampaikan pesan,
ide, gagasan atau pikiran pada orang lain dengan menggunakan bahasa secara
lisan melalui kegiatan berbicara, berdialog atau percakapan pada saat wawancara,
berpidato maupun bercerita.
2.3. Pengertian Perkembangan Berbahasa
Perkembangan bahasa adalah kemampuan individu dalam menguasai
kosakata, ucapan, gramatikal dan etika pengucapannya dalam kurun waktu
tertentu sesuai dengan perkembangan umur kronologisnya (Moenas’s blog, 2010)
Ahmadi & Sholeh (2005) menyatakan: Awal perkembangan bahasa pada
dasarnya dapat diartikan sejak mulai adanya tangis pertama bayi, sebab tangis
bayi juga dianggap sebagai bahasa bayi atau anak. Adapun penguasaan bahasa
berikutnya secara berangsur anak akan mengikuti bakat serta ritme perkembangan
yang dialami.
Berikut fase perkembangan bahasa menurut Piaget (dalam Zuchdi dan
Budiasih, 2001):
1) Fase Fenologis (sejak lahir – 2 tahun)
Anak bermain dengan bunyi- bunyi bahasa, mulai
mengoceh sampai menyebutkan kata- kata sederhana.
2) Fase Sintaktik (2 – 7 tahun)
Anak menunjukkan kesadaran gramatis, berbicara
menggunakan kalimat. Pada masa anak, terdapat perkembangan pragmatik dimana fase ini merupakan fase penting
dalam perkembangan bahasa anak pada usia sekolah.
Pragmatik tidak lain adalah merupakan penggunaan bahasa.
Pada masa usia sekolah, sangat memungkinkan bagi anak
untuk menjadi komunikator yang lebih efektif karena
kemampuan kognitifnya mengalami peningkatan. Anak- anak
pada usia lima sampai enam tahun memiliki kemampuan
dalam menghasilkan cerita. Kemampuan bercerita anak, perlu
diasah agar anak dapat dengan leluasa mengungkapkan
pikiran dan perasaannya yang tertuang dalam bentuk cerita
(Widia, 2006).
3) Periode Operasional (7 – 11)
Anak dapat membedakan kata sebagai simbol dan
konsep yang terkandung dalam kata. Pada saat anak- anak
memasuki kelas dua sekolah dasar diharapkan anak- anak
dapat bercerita dengan menggunakan kalimat yang lebih
panjang dengan menggunakan konjungsi dan, lalu, dan kata
depan di, ke,dari. Pada umumnya plot yang terdapat dalam
cerita anak belum jelas, namun anak telah dapat dilatih untuk
menceritakan kejadian secara kronologis. Kemampuan
bercerita anak berkembang secara kontinyu, pada saat anak
memasuki usia tujuh tahun, anak dapat membuat cerita yang
lebih teratur. Anak dapat merunutkan susunan cerita dengan
cara mengemukakan masalah, rencana pemecahan masalah,
dan menyelesaikan masalah. Pada usia delapan tahun, anak
dapat menggunakan kalimat pembuka dan penutup cerita
(Widia, 2006).
Berikut beberapa pendapat tentang fungsi bahasa (Ahmadi & Sholeh,
2005):
1) William Stern dan Clara Stern
Berpendapat ada 3 fungsi bahasa bagi seseorang:
a. Aspek ekspresi: menyatakan kehendak dan pengalaman
jiwa.
b. Aspek sosial: untuk mengadakan komunikasi dengan
orang lain.
c. Aspek intensional: berfungsi untuk menunjukkan atau
membanggakan sesuatu.
2) Karl Buhler
Psikolog ini pun berpendapat ada tiga fungsi bahasa:
a. Kundgabe: (pemberitahuan) dorongan untuk memberitahukan orang lain.
b. Auslosung: (pelepasan) dorongan kuat dari anak untuk
melepaskan kata- kata sebagai hasil peniruannya dengan
orang lain.
c. Darstellung: (mengungkapkan) anak ingin mengungkapkan segala sesuatu yang menarik perhatiannya.
3) Jean Piaget
a. Bahasa egosentris: melahirkan keinginan yang tertuju
kepada dirinya sendiri.
b. Bahasa sosial: untuk berhubungan dengan orang lain.
Di dalam praktik penggunaan atau fungsi bahasa tersebut tidak selamanya
terpisah sendiri- sendiri, malah terkadang ketiga fungsi tersebut berfungsi secara
serempak. Maka perlu diketahui bahwa perkembangan bahasa pada anak
merupakan hal penting yang tak luput dari perhatian para pendidik pada umumnya
dan orang tua pada khususnya.
2.4. Terapi Bermain
Terapi bermain adalah pemanfaatan permainan sebagai media yang efektif
oleh terapis, untuk membantu anak mencegah atau menyelesaikan kesulitankesulitan psikososial dan mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang
optimal, melalui kebebasan eksplorasi dan ekspresi diri (Childcare - center).
Maka dari itu sebelum membahas lebih lanjut peneliti akan menjelaskan secara
singkat mengenai bermain.
Bermain merupakan bagian yang sudah diterima dalam kehidupan anak
sekarang, sehingga hanya sedikit orang yang ragu - ragu mempertimbangkan arti
pentingnya dalam perkembangan anak (Djiwandono, 2005).
Djiwandono (2005) menyatakan sepanjang masa kanak- kanak, bermain
sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial anak. Dengan bermain
bersama anak lain, mereka belajar membentuk hubungan sosial, bagaimana
menghadapi dan memecahkan masalah yang timbul dalam hubungan tersebut.
Agar dapat bermain dengan baik bersama anak lain, anak harus belajar
berkomunikasi, dalam arti anak dapat mengerti dan sebaliknya mereka harus
belajar mengerti apa yang dikomunikasikan anak lain.
Kegiatan bermain tersebut di terapkan dalam terapi bermain dengan proses
sebagai berikut yang terangkum dalam 5 terapi R: Relating (berhubungan) dengan
terapis; Releasing (melegakan) perasaan; Re-creating (menciptakan) kembali
kejadian- kejadian, pengalaman - pengalaman, atau hubungan - hubungan;
Reexperiencing (mengalami kembali) perasaan dan pikiran yang kacau dengan
suatu cara yang memudahkan pengertian baru; dan Resolving (menyelesaikan)
masalah dan konflik dengan mempraktikan tingkah laku baru dalam bermain.
Dalam proses memberikan bantuan, ada beberapa teknik terapi bermain
yang dapat membantu anak dalam meningkatkan kualitas komunikasinya, antara
lain:
1. Bercerita membantu anak- anak mengembangkan kemampuan berkomunikasi.
2. Perjalanan imajinatif membuat anak- anak dapat berhubungan dengan ingatan
dan kemudian menghubungkan persepsi anak atas kejadian - kejadian dengan
lebih mudah.
3. Permainan drama mendorong mendorong komunikasi melalui percakapan
dramatis.
4. Miniatur hewan memberikan gambaran permasalahan yang biasanya
mendorong anak- anak untuk membicarakan persepsinya terhadap hubungan.
5. Boneka dan mainan membantu anak - anak menggunakan kata - kata untuk
mengekspresikan perasaan dan persepsi karakter dan anak- anak dapat
memproyeksikan persepsinya pada karakter tersebut.
6. Menggunakan simbol dalam bak pasir dapat membantu anak- anak
mengembangkan gambaran permasalahan kejadian yang anak alami dan
menempatkan hal tersebut secara berurutan
Semua cara di atas adalah merupakan terapi bermain, karena dunia anak
sangat berkaitan erat dengan dunia bermain. Betapa pentingnya pengaruh bermain
terhadap anak telah dijelaskan sebagai berikut: ” Bermain bagi anak terdiri atas
empat mode dasar yang membuat seseorang mengetahui tentang dunia - meniru,
eksplorasi, menguji, dan membangun” (Smith dalam Djiwandono, 2005). Selain
bersifat rekreatif, mainan juga merupakan sarana belajar. Banyak aspek yang bisa
terasah ketika anak bermain, diantaranya motorik kasar, motorik halus, bahasa,
sosial dan kognisi.” (Djiwandono, 2005)
Bermain
dengan
imajinasi
dan
fantasi,
memungkinkan
anak
mengeksplorasi dunianya, pertama melalui perasaan anak dan kemudian menggunakan pikiran dan logika anak. Oaklander dalam Geldard & Geldard (2011)
melakukan terapi terhadap anak dengan mendorongnya untuk berfantasi, dan
meyakini bahwa biasanya proses fantasi akan sama dengan proses kehidupan
anak.
Alat permainan yang digunakan harus cukup kuat dan kokoh supaya bisa
digunakan berulang - ulang, harus dioperasikan dengan imajinasi daripada menggunakan baterai, dan harus disesuaikan dengan umur dan tingkat perkembangan
anak - anak, sehingga anak dapat memilih permainannya. Landerth dalam
Djiwandono (2005) menyarankan, dalam memilih mainan dan alat - alat permainan, harus dapat memudahkan hubungan terapeutik, menunjukkan sesuatu
yang kreatif dan luas sehingga dapat untuk mengekspresikan emosi, menstimulai
eksplorasi ekspresi, nonverbal, mendorong minat - minat anak melalui aktivitas
permainan yang tidak terstruktur.
Download