Haniah Hanafie - UIN Repository

advertisement
POLITIK INDONESIA
Haniah Hanafie - Suryani
9 786029 877250
Politik Indonesia
Haniah Hanafie
Suryani
Penerbit Press
KATA PENGANTAR
Politik Indonesia
Oleh: Haniah Hanafie
Suryani
Diterbitkan oleh:
Penerbit Penerbit Press.
..................................................
..................................................
..................................................
Cetakan Pertama: Oktober 2011
ISBN 978-602-
Bahan penulisan buku ini sebagian besar diambil dari bahan
perkuliahan yang diberikan pada mahasiswa setiap semester di FISIPUIN Jakarta.
Judul Buku Politik Indonesia adalah buku pertama kedua penulis
yang dibiayai oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan (LEMLIT)
UIN Jakarta. Penulis mencoba menyajikan buku ini ke hadapan
pembaca, dengan harapan dapat rnernberikan wawasan tentang
politik di Indonesia. Di samping itu, khususnya bagi para mahasiswa
yang mengambil matakuliah Politik Indonesia, semoga buku ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu bahan acuan dalam memahami mata
kuliah Politik Indonesia yang diajarkan di FISIP-UMJ.
Harapan penulis. semoga buku ini dapat memotivasi penulis
dan teman-teman di kampus agar dapat meningkatkan minat pada
penulisan karya ilmiah dalam baik dalam bentuk buku, diktat maupun
penelitian.
Sebagai sebuah karya, sudah pasti buku ini jauh dari sempurna.
Untuk itu, saran dan kritik sangat diharapkan untuk penyempurnaan
lebih lanjut.
Keberhasilan pembuatan buku daras ini tidak semata hasil
kerja penulis berdua, tanpa bantuan Dekan FISIP-UIN Jakarta yang
memberikan rekomendasi dan Lemlit-UIN Jakarta, mustahil dapat
terwujud. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada Pimpinan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Islam Negeri Jakarta Prof Dr. Bachtiar Efendi yang
telah memberikan rekomendasi guna melengkapi proposal yang kami
Š‹ဓŽšŠ’¦—¦Šš
Š¤ŠŽš‘Šš¤Š¡™¨
ajukan dan Para Pembantu Dekan yang telah mcmberikan kesempatan
kepada penulis berdua untuk membuat buku daras ini serta kepada
LEMLIT-UIN Jakarta, terima kasih atas kesempatan yang diberikan
kepada penulis berdua dengan diterimanya proposal kami, sehingga
dapat mendanai penulisan buku daras ini. Selain itu, kepada mereka
yang secara langsung dan tidak telah membantu kelancaran penulisan
buku ini, penulis ucapkan terima kasih, semoga buku ini bermanfaat
bagi kita semua, amin.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................
DAFTAR ISI ...............................................................................
DAFTAR TABEL .......................................................................
v
vii
ix
Jakarta, Juli 2011
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN ......................................................................
1
Haniah dan Suryani
BAB II
AWAL MENUJU KEMERDEKAAN ........................................
A. Proses Menuju Indonesia Merdeka .......................................
B. Pembentukkan Panitia Kecil .................................................
C. Perjuangan Umat Islam .........................................................
Rangkuman ...................................................................................
7
7
8
10
12
BAB III
DEMOKRASI PARLEMENTER .................................................
A. Munculnya Sistem Pemerintahan Demokrasi Parlementer ..
B. Kabinet–Kabinet Masa Demokrasi Parlementer ...................
C. Berakhirnya Demokrasi Parlementer
...................
Rangkuman ...................................................................................
13
14
19
44
46
BAB IV
DEMOKRASI TERPIMPIN .........................................................
A. Munculnya Gagasan Demokrasi Terpimpin ..........................
B. Pembubaran Dewan Konstituante ........................................
C. Beberapa Kabinet diMasa Demokrasi Terpimpin ..................
D. Ketidakikutsertaan Masyumi dalam
Pemerintahan Soekarno ........................................................
E. Keterlibatan NU, PSII, dan Perti
dalam Pemerintahan Soekarno .............................................
Rangkuman ...................................................................................
¨“™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
47
48
51
55
60
64
70
Š‹ဓŽšŠ’¦—¦Šš
ŠŤŠ¡£“™¨““
BAB V
DEMOKRASI PANCASILA .....................................................
A. Penumpasan G 30 S/PKI .......................................................
B. Jalur ABG dalam Pemerintahan Soeharto ............................
C. Kebijakan Orde Baru Terhadap Partai-Partai Politik ............
D. Hubungan Agama dengan Negara .......................................
E. Sistem Pemilihan Umum dan Kepartaian Masa Orde Baru ..
Rangkuman ...................................................................................
71
50
76
85
87
103
114
BAB VI
ERA REFORMASI .....................................................................
A. Jatuhnya Orde Baru, Munculnya Reformasi .........................
B. Munculnya Partai – Partai Politik .........................................
C. Pemilihan Umum 1999 dan Sistem Kepartaian ....................
D. Poros Tengah .........................................................................
E. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 ..............................
F. Bikameralisme .......................................................................
G. Militer di Era Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid ..
Rangkuman ...................................................................................
117
117
120
122
128
137
141
145
151
BAB VII
ERA REFORMASI .....................................................................
A. Pemilihan Umum 2004 dan Sistem Kepartaian ....................
B. Pemilihan Umum 2009 dan Sistem Kepartaian ....................
C. Oposisi dan Koalisi ................................................................
D. Sekilas Tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah ...............
E. Sekilas Pemerintahan SBY – JK ............................................
Rangkuman ...................................................................................
153
153
161
170
178
181
185
BAB VIII
PENUTUP ...................................................................................
187
15.
DAFTAR PUSTAKA .................................................................
RIWAYAT HIDUP PENULIS ...................................................
191
195
16.
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
17.
¨“““™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Tabel 2.1 : Susunan Panitia Kecil .......................................
Tabel 3.1 : Nama-nama Kabinet
Setelah Kabinet Amir Syarifuddin II ...............
Tabel 4.1 : Empat Besar Partai Besar
Hasil Pemilu Dewan Konstituante ...................
Tabel 4.2 : Susunan Pengurus Dewan Konstituante .........
Tabel 5.1 : Hasil Pemilihan Umum Tahun 1971 ................
Tabel 5.2 : Hasil Pemilihan Umum Tahun 1977 ................
Tabel 5.3 : Hasil Pemilihan Umum Tahun 1982 ................
Tabel 5.4 : Hasil Pemilihan Umum Tahun 1987 ................
Tabel 5.5 : Hasil Pemilihan Umum Tahun 1992 ................
Tabel 5.6 : Hasil Pemilihan Umum Tahun 1997 ................
Tabel 6.1 : Hasil Pemilihan Umum Tahun 1999 ................
Tabel 7.1 : Hasil Perolehan Suara dan Perolehan Kursi
Pemilihan Umum Legislatif Anggota DPR
Tahun 2004 .......................................................
Tabel 7.2 : Hasil Perolehan Suara
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Tahun 2004 Putaran Pertama ...........................
Tabel 7.3 : Hasil Perolehan Suara
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Tahun 2004 Putaran Kedua ..............................
Tabel 7.4 : Hasil Perolehan Suara dan Perolehan Kursi
Pemilihan Umum Legislatif Anggota DPR
Tahun 2009 .......................................................
Tabel 7.5 : Hasil Perolehan Suara Secara Quick Count
Pemilihan Presiden Tahun 2009 .......................
Tabel 7.6 : Hasil Perolehan Suara Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden Tahun 2009 ......................
9
28
52
52
106
108
109
110
111
113
126
156
159
160
164
168
169
Š‹ဓŽšŠ’¦—¦Šš
ŠŤŠ¡Š‹Ž—™“¬
BAB I
PENDAHULUAN
Politik Indonesia termasuk salah satu matakuliah wajib dalam kurikulum Program Studi Ilmu Politik FISIP-UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan sampai saat ini masih diberlakukan kepada mahasiswa
Program Studi Ilmu Politik.
Sebagai dosen yang mengampu matakuliah Politik Indonesia
dengan bobot 3 sks, secara moral berkewajiban memberikan materimateri dalam perkuliahan matakuliah ini secara baik dan lengkap.
Namun tidak mudah mendapatkan literature sebagai referensi
yang lengkap dalam satu buku. Untuk itu, dosen dituntut harus
mampu mencari beberapa literature yang berisi materi-materi yang
sesuai dengan Satuan Acara Perkuliahan (Sillabus) untuk dicombine
sedemikian rupa dan dijadikan acuan dalam pengajaran, sehingga
dapat dipahami mahasiswa dengan mudah.
Memiliki materi pegangan yang lengkap dalam sebuah buku,
selain akan memudahkan mahasiswa untuk memahami materimateri tersebut, juga memudahkan bagi dosen dalam pengajaran,
karena mahasiswa akan terlibat lebih aktif mendiskusikannya, ketika
menerima penjelasan dari dosen di kelas. Dengan demikian, efektifitas
belajar akan dicapai.
Perpustakaan sebagai sumber rujukan untuk mencari literature
yang sesuai dengan syllabus sangat dibutuhkan, namun tidak
semua referensi yang terdapat dalam syllabus dapat ditemukan di
¬™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Š‹ဓŽšŠ’¦—¦Šš™ၹ
perpustakaan, karena keterbatasan jumlah atau ketiadaan buku-buku
yang diperlukan. Dengan demikian, proses pembelajaran akan sedikit
terganggu, ketika dosen memberikan tugas-tugas yang harus segera
dikerjakan mahasiswa.
Buku-buku tentang Politik Indonesia dapat ditemui di tokotoko buku, namun tidak semua buku memuat materi-materi yang
dibutuhkan dalam Matakuliah Politik Indonesia. Untuk itu, pada
kesempatan ini penulis berdua mencoba menyusun buku ajar yang
sesuai dengan syllabus yang telah digariskan oleh Program Studi Ilmu
Politik FISIP-UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Buku ini mencoba melihat perjalanan politik Indonesia, baik
pada masa sebelum kemerdekaan sampai Era Reformasi, yang terdiri
dari delapan bab.
Bab I Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang kenapa buku
daras ini diperlukan dan ringkasan materi-materi per bab.
Bab II Awal Kemerdekaan yang menjelaskan tentang bagaimana
perjuangan untuk menuju kemerdekaan. Di sini memperlihatkan
perbedaan dalam mewujudkan kemerdekaan antara Islam Nasionalis
dan Islam Sekuler. Selain itu, menjelaskan tentang bagaimana
perjuangan umat Islam yang menonjol yang dilakukan tokoh-tokon
Islam dalam merumuskan Dasar Negara serta pengorbanan mereka
dengan merelakan perubahan beberapa kalimat dalam rancangan
preambule yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta.
Bab III Demokrasi Parlementer. Demokrasi Parlementer adalah
model Demokrasi Barat yang pernah diterapkan di Indonesia sekitar
tahun 1950-1959 dan banyak yang mengakui sebagai model yang
demokratis, meskipun umur kabinet tidak terlalu lama, karena
sering dijatuhkan dengan berbagai mosi yang disampaikan anggota
Parlemen. Pada masa ini cabinet berganti-ganti, sehingga program
kerja tidak maksimal dilaksanakan. Partai Islam seperti Masyumi
juga ikut memainkan perannya dan berhasil menduduki pos-pos
penting sebagai Perdana Menteri dan memimpin beberapa Kabinet,
seperti Kabinet Natsir, Sukiman dan Burhanuddin Harahab. Di
ၺ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
antara Kabinet tersebut, Kabinet Burhanuddin Harahab dari Partai
Mayumi merupakan Kabinet yang dianggap sukses, karena berhasil
mengadakan pemilu pertama kali di Indonesia pada tahun 1955 dan
pemilihan Dewan Konstituante. Berakhirnya Demokrasi Parlementer
ini dengan turunnya Dekrit Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli
1959, karena Demokrasi ini dianggap Soekarno tidak sesuai lagi
dengan bangsa Indonesia.
Bab IV Demokrasi Terpimpin. Pada masa ini Soekarno sangat
berkuasa dengan menggadeng PKI dan Militer. Masyumi sebagai
Partai Islam terbesar pada waktu itu, tersingkir dari panggung politik,
karena perbedaan pemikiran dengan Soekarno dan dianggap terlibat
dalam PRRI, sehingga akhirnya Masyumi dibubarkan Tahun 1960.
Meskipun Masyumi tidak tampil lagi, Soekarno tetap menggandeng
umat Islam dengan mengajak NU, PSII dan Perti ikut dalam
gerbongnya-Demokrasi Terpimpin. Meskipun ketiga partai masuk
dalam pemerintahan Soekarno, tetapi tidak dominan sebagaimana
Partai Islam masa Demokrasi Parlementer.
Bab V Demokrasi Pancasila, pembahasan pada bab ini akan di mulai
dengan peristiwa Gerakan 30 September 195 yang dikenal dengan G
30 S PKI, sebuah kejadian fenomenal intrik dan propaganda yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang bermain secara politis disekeliling
kekuasaan Soekarno, beragam isu muncul melatarbelakangi kejadian
berdarah yang merenggut 6 orang jenderal Angkatan Darat yang
difitnah akan melakukan coup Dewan Jenderal, upaya peumpasan
PKI dilakukan secara terstruktur pasca kejadian ini dan selanjutnya
PKI dianggap sebagai bahaya laten yang harus ditumpas habis. Secara
langsung, peristiwa G 30 S PKI telah membukakan pintu bagi Soeharto
menuju kursi tertinggi kekuasaan. Selanjutnya akan dibahas bagaimana
Soeharto pada masa Orde Bru menggunakan jalur ABRI, Birokrasi,
dan Golkar sebagai pilot sekaligus fasilitator bagi implementasi
setiap kebijakan yang dibuatnya. Bab ini juga akan membahas relasi
agama dan negara masa Orde Baru yang sangat fluktuatif, Islam
pada awal-awal Orde Baru lidak dilibatkan dalam percaturan politik-
Š‹ဓŽšŠ’¦—¦Šš™ၻ
selalu dipinggirkan. Hubungan Islam dengan pemerintah dikatakan
oleh Abdul Aziz Thaba ada tiga. Pertama hubungan yang bersifat
Antagonistik. Resiprokal Kritis dan Akomodatif. Pada hubungan yang
bersifat Antagonistik, hubungan Islam dengan pemerintah ditandai
dengan saling bermusuhan, sehingga Islam dipinggirkan. Sedangkan
yang kedua, hubungan tersebul ditandai dengan saling penjajakan
dengan munculnya penerimaan Pedoman Penghayatan Pengamalan
Pancasila (P4), Asas Tunggal oleh ormas-ormas yang ada. Dan terakhir
ditandai dengan munculnya Rancangan Undang-Undang (RUU)
Pendidikan Nasional, Peradilan agama, Kasus Monitor, Pendirian
Amal Bakti Muslim Pancasila (ABMP), Pengiriman dai-dai ke daerahdaerah, Pendirian Bank Muamalat, sampai dengan pendirian Ikatan
Cendekiawan Muslim seIndonesia (ICMI). Pada akhir bab akan
dibahas bagaimana Orde Baru menyelenggarakan pemilihan umum
dan bagaimana pengebirian partisipasi politik masyarakat dilakukan
dengan kebijakan fusi partai-partai politik.
Bab VI Era Reformasi. Setelah pemerintahan Orde Baru runtuh
dengan lengsernya Soeharto, maka peta kekuatan politik berubah
dengan drastis. Semula kekuatan politik berada di tangan Militer,
Golkar dan Birokrasi. Namun kini telah berubah kepada kekuatan
mahasiswa dan sipil. Perwujudan tampilnya sipil, yaitu dengan lahirnya
partai-partai politik yang berjumlah kurang lebih 181 buah, termasuk
partai-partai politik Islam. Kesemuanya ini, karena kran demokrasi
telah dibuka. Berdirinya banyak partai politik membangkitkan
gairah politik banyak pihak yang selama lebih dari lima dasa warsa
merasa terkoptasi dan terpiintervensi, sistim multy partai yang mulai
diterapkan membuat pemilihan umum 1999 menjadi lebih semarak
dan dinamis, ditambah dengan kemunculan kelompok-kelompok elit di
DPR MPR pada pemilihan presiden, poros tengah yang muncul sebagai
kekuatan kelompok Islam mencoba melakukan loby elite politik demi
terpilihnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden.
Fenomena reformasi juga di tandai dengan dilakukannya beberapa kali
amandemen UUD 1945 yang berhasil merubah beberapa pasal penting
ၼ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
dalam batang tubuh UUD 1945, perubahan yang cukup signifikan
dan menjadi landasan konstitusi diberlakukannya beberapa undangundang yang mendukung proses transisi demokratisasi di Indonesia,
seperti perubahan struktur lembaga tinggi negara, dimana legislative
berubah system menjadi bicameral dari system unicameral, dimana
anggota legislatif berisikan dua kelompok (DPR dan DPD) yang
diharapkan bisa berposisi secara berimbang dan saling melengkapi.
Akan dibahas pula bagaimana mas pemerintahan Abdurrahman
Wahid sebagai presiden pertama masa reformasi, terutama beberapa
kebijakan Gus Dur yang dianggap controversial yang berhubungan
dengan eksistensi militer di Indonesia dan bagaimana upaya Gus Dur
melakukan supremasi sipil atas militer seperti yang m,enjadi salah satu
agenda dan tuntutan reformasi.
Bab VII, kelanjutan dari Masa Reformasi, pembahasan akan
dimulai dengan bagaimana pemilihan Umum 2004 diselenggarakan
dengan system kepartaian dan system pemilihan yang berbeda dengan
pemilu sebelumnya, pada tahun 2004, pemilihan legislative dan
pemilihan presiden serta wakil presiden dilakukan secara langsung, ini
adalah pengalaman pertama Indonesia melaksanakan pemilu langsung.
Begitu pula dengan pemilihan umum tahun 2009, yang dilakukan juga
secara langsung, namun dengan sistem penentuan anggota legislatif
yang berbeda. Akan di bahas pula tentang fenomena oposisi dan
koalisi yang muncul sebagai efek positif dari diberlakukannya system
parlementary threshold yang mengakomodir aturan tentang pencalonan
presiden dan wakil presiden oleh partai politik, oposisi dan koalisi
selanjutnya diharapkan bisa berkembang menjadi mekanisme check
and balances dalam kelanjutan iklim politik di Indonesia. Pemilihan
umum kepala daerah yang merupakan representasi dan akomodasi
kepentingan masyarakat daerah terhadap hak-hak politik juga akan
menjadi pembahasn yang cukup penting, walaupun disajikan sekilas
namun bisa dijadikan salah satu bahan untuk mengevaluasi kebijakan
pemilukada dan mekanisme pelaksanaannya. Terakhir akan dibahas
tentang masa pemerintahan SBY-JK yang cukup unik, karena banyak
Š‹ဓŽšŠ’¦—¦Šš™ၽ
pihak yang menilai, pasangan ini bukanlah pasangan yang cukup
serasi dalam memimpin, walaupun sudah dilakukan pembagian
tanggungjawab, ketidakserasian diantara mereka kerap dimunculkan
dalam bentuk candaan dan guyonan yang pertontonkan ke publik.
Bab VIII adalah Penutup yang berisi kesimpulan sebagai rangkaian
dari seluruh bab yang telah ditulis.
BAB II
AWAL MENUJU KEMERDEKAAN
Pada bab ini akan dibahas tentang bagaimana Bangsa Indonesia
menjelang kemerdekaan melalui BPUUPK (Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan) dan Panitia Kecil dalam perumusan
Piagam Jakarta. Selain itu, akan dijelaskan perjuangan yang dilakukan
umat Islam (Islam Nasionalis) dan Nasionalis dalam merumuskan
piagam tersebut dan consensus dengan umat Islam dalam penghapusan
tujuh kata demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
A. Proses Menuju Indonesia Merdeka
Saat memasuki kemerdekaan RI, masyarakat Indonesia terbagi
menjadi tiga kelompok yang mempunyai strategi yang berbeda dalam
mencapai kemerdekaan1.
Pertama, kelompok Nasionalis Oportunis yang menghendaki
kemerdekaan melalui Tokyo.
Kedua, kelompok Pemuda Indonesia yang memilih cara berdiri
untuk mencapai kemerdekaan dan bila perlu merebutnya dengan
kekerasan dari pihak Jepang.
Ketiga, kelompok Nasionalis Muslim dalam Masyumi yang
terbagi dua sub kelompok yaitu:1). Golongan Islam yang mempunyai
sikap moderat terhadap Jepang dan menganggap Tokyo sebagai tuan
ၾ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
ͳǤ›ƒϐ‹‹ƒƒ”‹ˆǡIslam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin 19591965, ȋ‘‰›ƒƒ”–ƒǣƒŽ‹Œƒ‰ƒǡͳͻͺͺȌǡŠʹͶǤ
Š‹ဓªŠ—Žš¦”¦Ž˜Ž¡Ž–ŠŠš™ၿ
yang memberi kemerdekaan-golongan politisi yang berpendidikan
Barat, sedangkan 2). Golongan pemuda Islam non akademis yang
menginginkan kemerdekaan atas usaha sendiri.
Dari berbagai kelompok yang ada, dapat ditarik kesimpulan
bahwa ada dua kelompok dalam masyarakat Indonesia yaitu kelompok
Nasionalis, tanpa mengikutsertakan Islam sebagai doktrin perjuangan
dan kelompok Islam Nasionalis yang mengikutsertakan Islam sebagai
doktrin perjuangan. Endang Saifuddin Anshari2 menyebut kedua
kelompok tersebut sebagai Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Islami.
Kedua kelompok inilah yang berperan memunculkan Piagam
Jakarta.
B.
Pembentukan PaniƟa Kecil
Dalam rangka persiapan kemerdekaan, Jepang membentuk suatu
badan persiapan kemerdekaan dengan nama BPUUPK (badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) yang beranggotakan
60 orang3. Dalam sidangnya yang pertama, badan ini bertugas untuk
merumuskan Dasar Negara dan Bentuk Pemerintahan (negara).
Setelah sidang pertama, dari keenam puluh orang tersebut, 38
orang anggota melanjutkan pertemuan dengan membentuk “panitia
kecil”4 yang terdiri dari sembilan orang antara lain sebagai berikut:
Tabel: 2.1.
Susunan PaniƟa Kecil
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
NAMA
Soekarno
Muhammad HaƩa
Achmad Soebardjo
Muhammad Yamin
Abdul Kahar Muzakkir
Haji Agus Salim
Abikoesno Tjokrosoejoso
Abdul Wahid Hasjim
A.A Maramis
JABATAN
Ketua
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Sumber: Endang Saifuddin Anshari
Kesembilan nama-nama tersebut di atas berasal dari kelompok
Islam Nasionalis 4 orang, Islam Sekuler 4 orang dan 1 orang Kresten.
Dengan demikian ada keseimbangan antara kelompok Islam dan
Nasionalis, karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Selain itu, sejak awal perjuangan bangsa Indonesia umat Islam telah
ikut berjuang bersama-sama dan partai pertama yang terbentuk
adalah partai Islam, yaitu Syarikat Islam (SI). Akhirnya dari panitia
kecil tersebut diperoleh kesepakatan (modus vivendi) tentang
“rancangan preambule”5 yang dikenal sebagai Piagam Jakarta (The
Jakarta Center)6. Semula perumusan tersebut mengalami kesulitan,
karena antara Kelompok Islam dan Kebangsaan (Nasionalis lslami)
bersikukuh memasukkan pandangannya masing-masing, Namun
akhirnya Panitia Kecil yang diketuai Soekarno dapat menyetujui
sebulat-bulatnya Rancangan Preambule tersebut.
Adapun bunyi asli Rancangan Preambule yang disepakati adalah
sebagai berikut7:
“Pembukaan: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala
bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-
ʹ†ƒ‰ƒ‹ˆ—†‹•Šƒ”‹ǡPiagam Jakarta 22 Juni 1945, (ƒ†—‰ǣ—•–ƒƒǡͳͻͺ͵ȌǡŠǤ
ʹ͸Ǥ
͵Ibid., ŠǤʹͷǤ
ͶIbid., ŠǤʹ͸Ǥ
ႀ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
ͷIbid., h. 26.
͸Ibid., ŠǤʹ͹Ǥ
͹Ibid., ŠǤʹ͹Ǥ
Š‹ဓªŠ—Žš¦”¦Ž˜Ž¡Ž–ŠŠš™ႁ
keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa
mengantarkn rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia,
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat
Allah yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu
untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum
dasar Negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia, yang berkedaulatan Rakyat, dengan berdasarkan
kepada: KeTuhanan, dengan kewajiban mcnjalankan Syari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan penwakilan serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluiuh Rakyat Indonesia”.
C. Perjuangan Umat Islam
Ternyata hasil kesepakatan yang telah dicapai dengan bersusah payah
tersebut berubah dalam sekejab saja pada tanggal 7 agustus 1945, saat
rapat. Perubahan tersebut antara lain menyangkut sebagai berikut8:
Pertama, kata “mukaddimah” diganti “pembukaan”.
Kedua, anak kalimat dalam Piagam Jakarta yang berbunyi: “Berdasarkan
kepada ke-Tuhanan; dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. diubah menjadi “Berdasarkan atas ke-Tuhanan
Yang Maha Esa”.
ͺIbid., ŠǤͶʹǤ
ၹၸ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Ketiga, pasal 6, ayat I, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama
Islam”, kata-kata “dan beragama Islam”, dicoret.
Keempat, konsekuensi dari perubahan no.2, maka pada pasal 29 ayat 1
berbunyi “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.
Perubahan-perubahan tersebut di atas sangat mengecewakan
umat Islam, tetapi untuk menjaga persatuan, akhirnya umat Islam
menyetujuinya. Di sini terlihat perjuangan umat Islam yang telah
bersusah payah memeras otak dan tenaga untuk merumuskan Piagam
Jakarta, ternyata dalam jangka waktu “dua jam” dapat dirubah. Hal
ini menjadi “pertanyaan sejarah”9 dan menurut Isa Anshary, hal itu
karena “jiwa toleransi umat Islam” 10. Mantan Menteri Agama RI H.
Alamsjah ratu Perwiranegara11 mengatakan bahwa penghapusan tujuh
kata tersebut merupakan hadiah umat Islam dan pengorbanan terbesar
bagi kemerdekaan RI dan hidupnya Pancasila.
Dengan jiwa besarnya, umat Islam bersedia menerima perubahan
tersebut. Hal ini menandakan bahwa dalam perjuangan negara
Republik Indonesia, peran umat Islam tidak dapat diabaikan begitu
saja, karena tokoh-tokoh Islam pada waktu itu benar-benar terlibat
menyumbangkan pemikirannya agar dapat membentuk suatu negara
yang merdeka, berdaulat dan bersatu.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, menurut
Deliar Noer12, rakyat Indonesia tidak lagi pasif dan diam seperti “tempo
doeloe”. Mereka tampak aktif, pasti dan tegas dalam bersikap dan siap
memegang nasib di masa depan di tangan sendiri.
ͻ…ƒ’ƒ”ƒ™‘–‘ƒ‰—•ƒ•‹–‘†ƒŽƒ†ƒ‰ƒ‹ˆ—††‹•Šƒ”‹ǡIbid.,ŠǤͶͶǤ
ͳͲIbid. ŠǤͶͶǤ
ͳͳIbid. ŠǤͶͻǤ
ͳʹ‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡPartai Islam di Pentas Nasional,ȋƒƒ”–ƒǣ—•–ƒƒ–ƒƒ
”ƒϐ‹–‹ǡͳͻͺ͹Ȍǡ
ŠǤͳǤ
Š‹ဓªŠ—Žš¦”¦Ž˜Ž¡Ž–ŠŠš™ၹၹ
RANGKUMAN
Meskipun terjadi perbedaan cara dalam menuju kemerdekaan
antara kelompok Nasionalis dan Islami, tetapi alhamdulillah dapat
diselesaikan dengan baik dan kemerdekaan Republik Indonesia dapat
diraih.
Pada saat perumusan Piagam Jakarta, umat Islam yang diwakili
K.H. Hasyim Asy’ari, Agus Salim, Kahar Muzakkir dan Abikusno
dilibatkan dalam Panitia Kecil (Panitia Sembilan) dan tokoh Islam
ini mencoba memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam pembuatan
Preambule Undang-Undang Dasar.
Namun pada akhir menjelang proklamasi kemerdekaan, isi
Preambule tersebut diubah sesuai dengan permintaan “wakil Indonesia
Timur”. Akhirnya ada beberapa kalimat dalam Preambule tersebut
dirubah dan umat Islam pada waktu itu menyetujui, tanpa rasa benci
dan dendam. Pengorbanan umat Islam tersebut demi untuk menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia di masa depan, meskipun
sebelumnya, perumusan tersebut telah disepakati oleh wakil non
Muslim.
Sikap toleransi semacam ini seyogyanya melekat pada diri bangsa
Indonesia, sehingga Nasionalisme tetap tejaga untuk membangun
bangsa Indonesia ke depan. Kenyataan saat ini, jauh panggang dari
api, sikap tersebut mulai luntur. Egoisme individu dan kelompok
mulai tampak manakala terjadi perebutan kekuasaan yang telah
didesentralisasikan dalam wujud otonomi daerah. Suri tauladan dari
the founding fathers kini bagaikan angin lalu.
ၹၺ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
BAB III
DEMOKRASI PARLEMENTER
Sejak dikeluarkannya Maklumat No. X, Tanggal 16 Oktober 19451
tentang pendirian partai-partai politik, maka demokrasi Indonesia
diramaikan dengan munculnya partai-partai politik seperti PNI, PSI,
Masyumi, Pesindo, PBI dan lain-lain. Dengan demikian, menurut
Bibit Suprapto2, sistem pemerintahan akan mengarah ke Sistem
Parlementarisme.
Untuk itu, pada bab ini akan dijelaskan apa yang dimaksud
dengan Sistem Parlementer dan Kemunculan Kabinet-kabinet yang
dimulai dengan kemunculan Kabinet Syahrir I pada tahun 1945
sampai dengan Kabinet Ali-Rum-Idham (Ali II) pada tahun 1957.
Dalam bab ini akan terlihat bagaimana politik umat Islam yang
diwakili Partai Masyumi (bukan Partai Masyumi bentukan pemerintah
penjajah Jepang) dapat memimpin beberapa kabinet, antara lain
Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman dan Kabinet Burhanuddin Harahab
dan yang terakhir menjadi pendukung utama pada Kabinet Ali
Sastroamidjojo II sebagai hasil dari Pemilihan Umum (Pemilu) pada
tahun 1955.
Pembentukan kabinet pada masa Demokrasi Parlementer mengalami pergantian terus menerus, yang diakibatkan mosi tidak percaya
dari para anggota parlemen. Pergantian atau perubahan kabinet yang
ͳ ‹„‹– —”ƒ’–‘ǡ Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia,ȋƒƒ”–ƒǣ
ŠƒŽ‹ƒ
†‘‡•‹ƒǡͳͻͺͷȌǡŠǤʹ͸Ǥ
ʹIbid., ŠǤʹ͸Ǥ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡™ၹၻ
berkali-kali, menandakan bahwa demokratisasi berjalan dengan
baik, meskipun dampaknya kepada kemandegan program kerja yang
pada akhirnya prioritas utama untuk meningkatkan kesejahteraan
tertunda.
A. Munculnya Sistem Pemerintahan Demokrasi Parlementer
A.1. PengerƟan Sistem Pemerintahan Parlementer
Sebelum membahas kemunculan system Pemerintahan Parlementer
di Indonesia, ada baiknya diuraikan sedikit tentang pengertian Sistem
Pemerintahan Parlementer dan Presidensial. Sebagaimana kita ketahui
bahwa terdapat dua sistem pemerintahan yaitu Sistem Pemerintahan
Parlementer dan Sistem Pemerintahan Presidensial.
Sistem Parlementer3 adalah sebuah sistem pemerintahan di mana
parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal
ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri
dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan
cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya.
Perdana Menteri memilih menteri-menterinya dalam pemerintahan, membentuk suatu cabinet4, sehingga kabinetnya disebut
“Kabinet Parlementer”5 dengan cirri-ciri sebagai berikut:
1. Anggota parlemen dipilih langsung.
2. Anggota dan pemimpin cabinet (Perdana Menteri) dipilih
oleh parlemen.
3. Kabinet bisa bertahan sepanjang mendapat dukungan
mayoritas parlemen.
4. Apabila kebijakannya tidak mendapat dukungan parlemen,
Perdana Menteri dapat membubarkan parlemen dan
͵Dz‹•–‡ƒ”Ž‡‡–‡”dzǤ”–‹‡Ž†‹ƒ•‡•’ƒ†ƒʹ͵—‹ʹͲͳͳ†ƒ”‹Š––’ǣȀȀ‹†Ǥ™‹‹’‡†‹ƒǤ‘”‰Ȁ
™‹‹Ȁ‹•–‡Ǧƒ”Ž‡‡–‡”Ǥ
Ͷ ƒ”Ž–‘ Ž›‡” ‘†‡‡ǡ †Ǥǡ Pengantar Ilmu Politik, ȋƒƒ”–ƒǣ Ǥ ƒŒƒ™ƒŽ‹ǡ ͳͻͺͺȌǡ ŠǤ
͹ͺǤ
ͷǤƒŽƒ—”„ƒ–‹ǡMemahami Ilmu Politik, ȋƒƒ”–ƒǣ
”ƒ‡†‹ƒ‹†‹ƒƒ”ƒƒǡͳͻͻʹȌǡ
ŠǤͳ͹ͲǤ
ၹၼ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
menetapkan waktu untuk menyelenggarakan pemilu dalam
rangka membentuk parlemen baru.
5. Fungsi kepala pemerintahan dan kepala Negara dijabat oleh
orang yang berbeda. Namun beberapa sistem parlemen juga
memiliki seorang presiden terpilih dengan banyak kuasa
sebagai kepala negara, memberikan keseimbangan dalam
sistem ini.
Apa yang dikatakan oleh A. Ramlan Surbakti pada nomor 4,
agak berbeda dengan yang disampaikan Carlton Clymer Rodee,6
bahwa apabila pemerintah menjalankan suatu program yang tidak
mendapat dukungan dari mayoritas anggota dewan perwakilan
(parlemen), pemerintah dapat dicopot dari jabatannya dan digantikan
dengan pemerintahan baru yang mempunyai komitmen pada program
yang berbeda. Hal terlihat di Negara Perancis selama pemerintahan
Republik Keempat (1946 sampai 1958), peristiwa ini terjadi rata-rata
setiap enam bulan. Di Italia sejak Perang Dunia Kedua rata-rata terjadi
setiap tahun. Peristiwa di Perancis dan Italia juga terjadi di Negara
Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer, yaitu dengan jatuh
bangun kabinet-kabinet yang ada, sehingga tidak berumur panjang
dan program kerja (pembangunan) tidak terlaksana secara efektif.
Meskipun demikian, Sistem Parlemen dipuji, dibanding dengan
Sistem Presidensial, karena kefleksibilitasannya dan tanggapannya
kepada publik. Kekurangannya adalah sering mengarah ke
pemerintahan yang kurang stabil, seperti dalam Republik Weimar
Jerman dan Republik Keempat Perancis.
Ciri-ciri pemerintahan parlemen yaitu:
• Dikepalai oleh seorang perdana menteri sebagai kepala
pemerintahan sedangkan kepala negara dikepalai oleh
presiden/raja.
͸‘†‡‡ǡPengantar, ŠǤ͹ͺǤ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡™ၹၽ
•
•
•
•
•
Kekuasaan eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif
sedangkan raja diseleksi berdasarkan undang-undang.
Perdana menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa)
untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri
yang memimpin departemen dan non-departemen.
Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan
legislatif.
Kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada kekuasaan
legislatif.
Kekuasaan eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif.
Sistem Presidensial atau disebut juga dengan Sistem Kongresional, merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana
kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan
kekuasan legislatif7.
Menurut Rod Hague8, pemerintahan presidensial terdiri dari 3
unsur yaitu:
• Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan
mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.
• Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan
yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan.
• Tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif
dan badan legislatif.
Dengan demikian, Sistem Presidensial, presiden memiliki
posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan, tetapi masih ada
mekanisme untuk mengontrol presiden, jika presiden melakukan
pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat
masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan
karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil
presiden akan menggantikan posisinya. Model ini dianut oleh Amerika
͹Dz‹•–‡”‡•‹†‡•‹ƒŽdzǤ”–‹‡Ž†‹ƒ•‡•’ƒ†ƒʹ͵—‹ʹͲͳͳ†ƒ”‹Š––’ǣȀȀ‹†Ǥ™‹‹’‡†‹ƒǤ‘”‰Ȁ
™‹‹Ȁ‹•–‡Ǧ”‡•‹†‡•‹ƒŽ
ͺIbid.
ၹၾ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Serikat, Filipina, Indonesia dan sebagian besar negara-negara Amerika
Latin dan Amerika Tengah.
Ciri-ciri pemerintahan presidensial yaitu:
• Dikepalai oleh seorang presiden sebagai kepala pemerintahan
sekaligus kepala negara.
• Kekuasaan eksekutif presiden diangkat berdasarkan
demokrasi rakyat dan dipilih langsung oleh mereka atau
melalui badan perwakilan rakyat.
• Presiden memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk
mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang
memimpin departemen dan non-departemen.
• Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan
eksekutif bukan kepada kekuasaan legislatif.
• Kekuasaan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada
kekuasaan legislatif.
• Kekuasaan eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif.
A.2. Munculnya system Pemerintahan Parlementer
Munculnya Sistem Pemerintahan Parlementer, karena Kabinet
Pertama Presidensial (Presidensil) yang berkuasa pada Tanggal 2
September 1945 dan berakhir pada Tanggal 14 Nopember 1945.
Kejatuhan kabinet ini disebabkan awal mulanya dengan adanya
Maklumat Wakil Presiden No. X/1945 Tanggal 16 Oktober 1945 dan
diikuti Maklumat Pemerintah Tanggal 3 Nopember 1945 yang berisi
tentang seruan untuk mendirikan partai-partai politik di Indonesia9.
Seruan diikuti dengan pendirian partai-partai politik sebanyak 10
partai, antara lain10:
ͻ—’”ƒ’–‘ǡPerkembangan Kabinet, ŠǤʹͶǤ
ͳͲIbid., ŠǤʹͶǤ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡™ၹၿ
1.
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) pada
Tanggal 17 Nopember 1945, yang diketuai oleh Sukiman
Wiryosanjoyo.
2. PKI (Partai Komunis Indonesia) pada Tanggal 7 Nopember
1945, yang diketuai oleh Mr. Muh. Yusuf.
3. PBI (Partai Buruh Indonesia) pada Tanggal 8 Nopember
1945, yang diketuai oleh Nyono.
4. PRJ (Partai Rakyat Jelata) pada Tanggal 8 Nopember 1945,
yang diketuai oleh Sutan Dewanis.
5. PARKINDO (Partai Kristen Indonesia) pada Tanggal 10
Nopember 1945, yang diketuai oleh Ds. Probowinoto.
6. PSI (Partai Sosialis Indonesia) pada Tanggal 10 Nopember
1945, yang diketuai oleh M. Amir Syarifudin.
7. PRS (Partai Rakyat Sosialis) pada Tanggal 20 Nopember
1945, yang diketuai oleh Sutan Syahrir. Partai ini kelak
bergabung dengan PSI dan diketuai oleh Sutan Syahrir pada
Desember 1945.
8. PKRI (Partai Katholik Republik Indonesia) pada Tanggal 8
Desember 1945, yang diketuai oleh I.J. Kasimo.
9. PERMEI (Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia) pada
Tanggal 17 Desember 1945, yang diketuai oleh J.B. Assa.
10. PNI (Partai Nasional Indonesia) pada Tanggal 29 Januari
1946, yang diketuai oleh Joyosukarto sebagai gabungan
dengan PRI (Partai Rakyat Indonesia), GRI (Gerakan
Republik Indonesia) dan SRI (Serikat Rakyat Indonesia)
yang masing-masing berdiri pada Nopember dan Desember
1945.
Keberlanjutan dari Maklumat untuk pendirian partai dan
pendirian partai-partai politik, muncul pengumuman dari Badan
Pekerja KNIP (BPKNIP) tentang perubahan pertanggungjawaban
Menteri kepada Parlemen, dalam hal ini KNIP. Usulan BPKNIP
ini disetujui Presiden. Dengan demikian, maka otomatis Kabinet
Indonesia pada waktu itu berubah menjadi Kabinet Parlementer,
ၹႀ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
sehingga pada tanggal 14 Nopember 1945 berakhirlah Kabinet
Presidensial Pertama dan awal bagi Kabinet Parlementer atau dengan
kata lain Sistem Pemerintahan Indonesia telah menjadi Sistem
Pemerintahan Parlementer pada tanggal 14 Nopember 1945 sampai
dengan 12 Maret 1946 yang dipimpin oleh Sutan Syahrir, sehingga
Kabinet Pertama dalam Sistem Pemerintahan Parlementer adalah
Kabinet Syahrir I. Menurut Bibit Suprapto11, pengumuman BPKNIP
yang diketuai Sutan Syahrir adalah suatu kelihaian Sutan Syahrir naik
ke panggung politik dan menyingkirkan lawan-lawan politik nya.
B. Kabinet-Kabinet Masa Demokrasi Parlementer
1.
Kabinet Syahrir I (14 Nopember 1945 – 12 Maret 1946).
Kabinet Syahrir I dimulai pada Tanggal 14 Nopember 1945 dan
berakhir pada Tanggal 12 Maret 1946. Kemunculan Kabinet Syahrir
I, ketika Kabinet Pertama Presidensial berakhir yang ditandai dengan
munculnya partai-partai politik yang dikarenakan Maklumat X pada
Tanggal 16 Oktober 1945 dan disusul Maklumat Pemerintah Tanggal
3 Nopember 1945 serta pengumuman BPKNIP pada Tanggal 11
Nopember 1945, agar kebinet bertanggungjawab kepada parlemen.
Sesuai dengan namanya, kabinet ini dipimpin oleh Sutan Syahrir
yang pada waktu sebelumnya menjabat sebagai ketua BPKNIP. Sistem
Pemerintahan Parlementer ini yang mengamanahkan menterimenteri (cabinet) bertanggungjawab kepada parlemen, menurut
Muhammad Yamin12 tidak sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang
Dasar 1945. Berbeda dengan Muhammad Yamin, Supomo dan Ismail
Suny13, menganggap itu sebagai “konvensi dalam ketatanegaraan”.
Pringgodigdo14 sendiri mengatakan bahwa kedua pendapat itu “tidak
benar”. Dan tokoh terakhir, yaitu Tolchah Mansyur15 mengatakan
ͳͳIbid., ŠǤʹͷǤ
ͳʹIbid., ŠǤʹ͹Ǥ
ͳ͵Ibid., ŠǤʹ͹†ƒʹͺǤ
ͳͶIbid., ŠǤʹ͹Ǥ
ͳͷIbid., ŠǤʹͺǤ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡™ၹႁ
bahwa perubahan itu adalah suatu perubahan Undang-Undang dasar,
tetapi tidak melalui Undang-Undang Dasar dan menurut Tolchah,
perubahan berdasarkan convension juga tidak benar.
Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa Kabinet
dengan Parlementer adalah suatu kebiasaan (Convension) yang
tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bisa saja hal ini
dianggap menyalahi ketentuan Undang-Undang Dasar. Menurut
hemat penulis, hal ini terjadi, karena Negara Indonesia pada waktu
itu, masih dalam keadaan transisi, sehingga pemahaman terhadap
konstitusi belum sempurna. Sampai saat inipun tokoh–tokoh (elitelit) politik belum menyelaraskan dan mengimplementasikan secara
utuh Sistem Presidensial, Sistem Kepartaian dengan Sistem Pemilu,
secara konstitusional Indonesia adalah System Presidensial, tetapi
prakteknya, terlihat Sistem Parlementer, meskipun kini Sistem
Presidensialnya telah didukung oleh Sistem Pemilu Presiden secara
Langsung.
Kabinet Syahrir II memiliki 13 Kementrian yang diketuai Sutan
Syahrir sebagai Perdana Menterinya. Selain itu, tampak bahwa
Kementerian didominasi Sutan Syahrir dan Amir Syarifuddin, karena
Syahrir merangkap juga sebagai Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Luar Negeri yang keduanya adalah posisi-posisi penting. Sedangkan
Amir Syarifuddin selain menteri Penerangan juga sebagai Menteri
Keamanan Rakyat (Pertahanan Keamanan). Keduanya berasal dari
partai politik yang sama, yaitu Partai Sosialis (PS). Menurut Bibit
Suprapto16, Kabinet ini bukan cabinet koalisi, karena menterimenterinya tidak mewakili partai politik, hanya didominasi oleh
kelompok Sutan Syahrir.
Adapun program cabinet antara lain ialah17:
a) Menyempurnakan susunan Pemerintah Daerah berdasarkan
kedaulatan rakyat.
ͳ͸Ibid., ŠǤ͵ͳǤ
ͳ͹Ibid., ŠǤ͵ͲǤ
ၺၸ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
b) Mencapai segala koordinasi segala tenaga rakyat di dalam
usaha menegakkan Negara Indonesia serta membangun
masyarakat yang berkeadilan dan perikemanusiaan.
c) Berusaha untuk memperbaiki kemakmuran rakyat diantaranya dengan jalan pembagian makanan.
d) Berusaha mempercepat keberesan tentang hal uang Republik
Indonesia.
Selain program kerja di atas, keberhasilan yang dapat dilihat
pada Kabinet ini adalah pembentukan Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) pada Tanggal 5 Oktober 1945 sebagai kelanjutan dari BKR dan
pembentukan Akademi Militer di Tangerang dan Yogyakarta. Selain
itu terdapat perundingan dengan sekutu (Inggris) pada Tanggal 17
Nopember 1945.
Tantangan yang dihadapi Pemerintahan Syahrir dapat dibagi
menjadi dua, yaitu yaitu tantangan eksternal dan internal. Tantangan
eksternal dengan kedatangan tentara sekutu yang diboncengi oleh
NICA yang berniat menjajah kembali dan beberapa pertempuran
di daerah seperti Semarang, Surabaya, Ambarawa dan Medan.
Tantangan internal adalah oposisi yang dilancarkan Tan Malaka
dengan membentuk Organisasi Persatuan Perjuangan (OPP) di
Purwokerto untuk menjatuhkan Kabinet Syahrir. Dan akhirnya
Kabinet Syahrir I dapat dijatuhkan pada Tanggal 12 Maret 1946 oleh
kelompok OPP dalam KNIP melalui mosi tidak percaya KNIP kepada
Kabinet Syahrir.
2.
Kabinet Syahrir II (12 Maret 1946 - 2 Oktober 1946)
Sebagaimana Kabinet Syahrir I, Kabinet Syahrir II ini tidak bertahan
lama. Umurnya hanya tujuh bulan berlangsung dari Tanggal 12 Maret
1946 dan berakhir Tanggal 2 Oktober 1946. Kemunculan Kabinet
Syahrir II akibat jatuhnya Kabinet Syahrir I yang disebabkan oposisi
yang dilakukan OPP pada siding KNIP Tanggal 28 Pebruari 1946 yang
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡™ၺၹ
dipimpin Assaat. Dan Tanggal 1 Maret 1946 KNIP mengadakan sidang
kembali menentukan politik luar negeri Indonesia. Dari sidang ini,
menunjukkan setuju terhadap kebijakan pemerintah, sehingga pada
Tanggal 2 Maret 1946 Sutan Syahrir ditunjuk kembali sebagai formatur
cabinet dan Tanggal 3 Maret 1946 Presiden masih mempercayakan
cabinet dipimpin Syahrir18. Agar tidak tidak terjadi peristiwa pada
Kabinet Syahrir I, maka pada cabinet ini Syahrir melibatkan beberapa
partai politik dalam kabinetnya (Koalisi).
Partai-partai politik yang terlibat dalam cabinet ini adalah sebagai
berikut:
1. Partai Sosial
(5 orang)
2. PSII
(1 orang)
3. Partai Masyumi
(3 orang)
4. Partai Parkindo
(2 orang)
5. Partai PNI
(1 orang)
6. Perwari
(1 orang)
7. BKM
(1 orang)
8. Non Partai
(13 orang)
Total
= 27 orang
Terlihat dari 7 partai politik yang terlibat, Partai Sosialis jumlahnya
paling banyak dengan menduduki posisi Perdana Menteri, Menteri
Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan dan Menteri
Muda Pertanian. Empat posisi menteri yang diduduki Partai Sosialis
tersebut adalah posisi strategis yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Meskipun demikian, cabinet ini telah mencoba melakukan koalisi,
jika dibandingkan dengan Kabinet Syahrir I.
Program Kabinet Syahrir II adalah sebagai berikut 19:
1. Berunding atas dasar pengakuan RI Merdeka 100 %.
ͳͺIbid., ŠǤ͵ͻ
ͳͻIbid., ŠǤͶͳǤ
ၺၺ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
2.
3.
4.
5.
Mempersiapkan rakyat Negara di segala lapangan politik,
ketentaraan, ekonomi dan social dan untuk mempertahankan
kedaulatan RI.
Menyusun Pemerintahan Pusat dan Daerah yang
demokratis.
Berusaha sekuat-kuatnya untuk menyempurnakan pembagian
makanan dan pakaian.
Pemerintah diminta mengambil tindakan yang sesuai dengan
UUD, pasal 33 tentang perusahaan dan perkebunan.
Selain tantangan yang dihadapi oleh Pemerintahan Kabinet
Syahrir II, tapi juga terdapat keberhasilan antara lain 20:
1. Di bidang Militer terdapat konsolidasi (lahirnya TNI AU,
POLRI dan ALRI).
2. Memperingati Hari Kemerdekaan Pertama (17 Agustus
1946).
3. Melakukan perundingan dengan Belanda dan Sekutu
Tanggal 20 September 1967.
Adapun tantangan yang masih harus dihadapi adalah21:
a. Kliek OPP masih terus berusaha menjatuhkan cabinet ini.
b. Percobaan Kudeta dari Jenderal Mayor Sudarsono, termasuk
Tan Malaka, M Yamin, dkk. Pada Tanggal 3 Juli 1946.
c. Masih banyak Kliek-kliek, sehingga cabinet rapuh
(lemah).
d. Perang melawan Belanda masih berlanjut di Bandung, Bali,
Medan, Lombok, Sulawesi, dll.
e. Belanda masih terus ingin berkuasa dengan cara mendirikan
boneka-boneka Belanda di daerah-daerah (Devide et
Impera).
ʹͲIbid., ŠǤͶͳǦͶ͵Ǥ
ʹͳIbid., ŠǤͶ͵ǡͶͷǤ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡™ၺၻ
Berakhirnya Kabinet Syahrir II karena Tanggal 27 Juni 1946
Syahrir sebagai Perdana menteri diculik oleh OPP di bawah pimpinan
Tan Malaka, kemudian diikuti kudeta oleh Mayor Jenderal Sudarsono
Tanggal 3 Juli 1946. Sejak Tanggal 28 Juni 1946 sebenarnya kekuasaan
Syahrir telah demisioner, karena telah diambil alih oleh Presiden
Soekarno dan Tanggal 2 Oktober baru diserahkan kembali kepada
Syahrir.
3.
Kabinet Syahrir III (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947)
Meskipun Syahrir dari Kabinet Syahrir I dan II mendapat perlawanan
dari musuh-musuhnya, tetapi Soekarno sebagai presiden masih tetap
memberi kepercayaan kepada Syahrir untuk membentuk Kabinet
Syahrir III pada Tanggal 2 Oktober 1946. Setali tiga uang, kabinet ini
sama dengan kabinet Syahrir II hanya berumur pendek, yaitu delapan
bulan dan berakhir pada Tanggal 27 Juni 1947.
Sebagaimana Kabinet Syahrir II, cabinet ini juga melibatkan
beberapa partai politik antara lain:
a) Partai Sosialis
(4 orang, 5 posisi Menteri).
b) PSII
(2 orang)
c) Partai Masyumi
(6 orang)
d) Partai BTI
(1 orang)
e) PNI
(3 orang)
f) PBI
(1 orang)
g) Parkindo
(2 orang)
h) BK Pemuda
(1 orang)
i) Non Partai
(11 orang)
Total
= 31 Orang
Tampaknya dalam kabinet ini, Masyumi sebagai partai islam diberi
posisi cukup banyak, meskipun selisih satu posisi dibandingkan dengan
Partai Sosialis. Posisi strategis, tidak lagi dikuasai Partai Sosialis, karena
posisi Menteri Dalam Negeri telah dipercayakan kepada M. Rum ari
ၺၼ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Masyumi dan Menteri Luar Negeri kepada Agus Salim dari PSII.
Sedangkan Menteri Pertahanan diserahkan kepada Amir Syarifuddin
dari Partai Sosialis dan Harsono Cokroaminoto dari PSII. Sedangkan
kelompok OPP yang melakukan oposisi tidak diberi kursi seperti Tan
Malaka, M Yamin, Iwa Kusuma Sumantri, A. Subarjo, Sukarni, dll.
Program kerja kabinet ini sama dengan program Kabinet Syahrir
II , belum ada perubahan. Meskipun demikian, ada yang menonjol,
yaitu22:
1. Berhasil membuat ejaan baru yaitu ejaan Suwandi dan
mengubah ejaan Belanda.
2. Berhasil mendapat pengakuan de facto dari luar negeri
(Timur Tengah), yang diawali oleh Mesir pada Tanggal 10
Juni 1947.
3. Melakukan perundingan dengan Belanda pada tanggal 7
Oktober 1946
4. Persetujuan genjatan senjata dengan Inggris 9 Oktober
1946
5. Perundingan Linggar Jati 15 Nopember 1946 dan di
tandatangani 25 Maret 1947.
Meskipun keberhasilan telah ditunjukkan oleh Kabinet Syahrir
III, tetapi bukan berarti tidak ada tantangan, karena tantangan yang
dihadapinya masih ada yaitu terdapat kelompok yang kontra terhadap
perjanjian Linggar Jati.
Kejatuhan Kabinet Syahrir III bukan dikarena oleh kelompok
oposisi, tetapi oleh para pendukung (teman) Syahrir sendiri yaitu
Amir Syarifuddin (disebut sayap kiri) dan kawan-kawan yang tidak
menyetujui adanya nota ultimatum dari pihak Pemerintah Belanda
yang menginginkan pembentukan Pemerintahan Peralihan. Jatuhnya
Kabinet Syahrir III persis setahun setelah penculikan Sutan Syahrir
yaitu Tanggal 27 Juni 1946.
ʹʹIbid., ŠǤͷ͵Ǥ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡™ၺၽ
4.
Kabinet Amir Syarifuddin I (3 Juli 1947 – 11 Nopember 1947)
Berakhirnya Kabinet Syahrir III dan Pembentukan Kabinet Amir
Syarifuddin I persis setahun setelah kejadian penculikan Perdana
Menteri Syahrir dan Kudeta Mayor Jenderal Sudarsono, yaitu pada
Tanggal 27 Juni 1946 dan 3 Juli 1947. Apakah tanggal-tanggal tersebut
merupakan scenario, hal ini belum diungkap. Dengan berakhirnya
Kabinet Syahrir III, maka seminggu setelah itu, presiden menyerahkan
mandatnya kepada Amir Syarifuddin, sehingga kabinetnya disebut
Kabinet Amir Syarifuddin I. Kabinet ini juga sama halnya dengan
kabinet-kabinet sebelumnya, umurnya tidak panjang, hanya berumur
empat bulan, yaitu mulai Tanggal 3 Juli 1947 – 11 Nopember 1947.
Dalam kabinet ini, Masyumi sebagai Partai Islam tidak dilibatkan.
PSII yang mewakili umat Islam dan mendapat enam buah posisi antara
lain Mendagri, Menag, Menlu, Menmud Penerangan, Menmud Sosial
dan Menmud Pendidikan. Menurut Bibit Suprapto23, hal ini pertama
kali terjadi keretakan dalam Partai Islam.
Kabinet ini menggandeng 9 buah partai dan dalam cabinet ini,
PKI baru mulai dilibatkan. Beriku ini partai-partai yang terlibat,
yaitu:
1. Partai Sosialis
(6 orang).
2. Partai PNI
(7 orang).
(4 orang).
3. PBI
4. PSII
(6 orang).
5. PKRI
(1 orang).
6. BK Muda
(1 orang).
7. BTI
(1 orang).
8. Parkindo
(1 orang)
9. PKI
(1 orang).
Total
= 28 orang
ʹ͵Ibid., ŠǤ͸ʹǤ
ၺၾ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Umurnya cabinet ini hanya empat bulan, sehingga belum mampu
mencanangkan program kerja dengan baik. Meskipun demikian,
bukan berarti tidak ada tantangan, karena tantangan tetap ada dari
pihak Belanda yang tidak mau mengakui Perjanjian Linggarjati yang
telah ditandatanganinya pada masa Kabinet Syahrir. Selain itu, perang
masih berkecamuk antara daerah-daerah melawan agresi Belanda,
sehingga akhirnya diplomasi yang dilakukan Indonesia melalui Sutan
Syahrir dan Agus Salim ke PBB berhasil membuahkan keputusan
genjatan senjata antara Indonesia dengan Belanda dan membentuk
KTN (Komisi Tiga Negara) sebagai arbitrage (pewasitan), yaitu Belgia,
Australia dan Amerika.
Kabinet Amir Syarifuddin I ini disebut Kabinet Nasional, Karena
melibatkan seluruh partai, kecuali Masyumi. Agar lebih representatif
sesuai dengan namanya, maka cabinet ini akhirnya direshufle (reformasi)
dan melibatkan Masyumi di dalamnya. Kemudian diteruskan oleh
Amir Syarifuddin sebagai Kabinet Amir Syarifuddin II.
5.
Kabinet Amir Syarifuddin II
(11 Nopember 1947 - 29 Januari 1948)
Kabinet ini tetap dipimpin Amir Syarifuddin sebagai Perdana Menterinya dan Wakil Perdana Menterinya tiga orang Mr. Syamsudin,
Wondoamiseno dan Setiyajid. Kabinet Amir Syarifuddin II lahir, karena
terjadi reshufle Kabinet Amir Syarifuddin I. Reshufle ini dalam rangka
mewujudkan Kabinet Nasional yang harus melibatkan semua partai.
Dan dalam cabinet inilah Masyumi masuk bergabung, meskipun pada
awalnya tidak mau bergabung. Dengan demikian, kabinet ini telah
merangkul beberapa partai antara lain:
1) PSI
(8 orang).
2) Masyumi
(4 orang).
3) PSII
(6 orang).
4) PBI
(4 orang).
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡™ၺၿ
5)
6)
7)
8)
9)
10)
11)
PNI
(7 orang).
Parkindo
(1 orang).
PKRI
(1 orang).
BK Pemuda
(1 orang).
BTI
(1 orang).
PKI
(1 orang).
Non partai
(4 orang).
Total
= 34 orang
MASA PEMERINTAHAN
29 Januari 1948 –
4
Agustus 1949
2
Kabinet Darurat
Perang
19 Desember 1948- 13
Juli 1949
ၺႀ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
4
Kabinet RIS (Kabinet
HaƩa III)
Kabinet Susanto
(Kabinet Peralihan)
Kabinet Halim
(Kabinet RI Yogya)
6.
4 Agustus 1949 –
20 Desember 1949
20 Desember 1949- 6
September 1950
20 Desember 1949-21
Januari 1950
21 Januari 19506 September 1950
Terbentuknya Negara RIS
Perubahan poliƟk dari Negara
RIS ke negara Kesatuan
Terbentuknya Kabinet Halim
Bubarnya RIS dan
terbentuknya NKRI, meskipun
begitu, Kabinet ini masih
bekerja sampai terbentuknya
Kabinet Natsir
Sumber: diolah dan diringkas dari buku Bibit Suprapto, 1985.
Tabel: 3.1.
Nama-nama Kabinet setelah Kabinet Amir Syarifuddin II
NAMA KABINET
Kabinet HaƩa I
Kabinet HaƩa II
5
Program cabinet tidak pernah diumumkan, mengikuti program
Kabinet Syahrir yang terdahulu. Sedangkan KTN yng telah
dibentuk tetap bekerja dalam menghasilkan Perundingan Renvile.
Namun dalam Perundingan Renvile, Pemerintahan Indonesia kalah
berdiplomasi, karena pihak Belanda diwakili oleh orang Indonesia
sendiri yaitu Abdul Kadir Wijoyoatmojo. Akibat kekalahan dalam
Perundingan Renvile inilah, Kabinet Amir Syarifuddin II jatuh, karena
PNI bersikap masa bodoh dan Masyumi mengundurkan diri dari
cabinet dan meminta cabinet dibubarkan. Akhirnya Kabinet Amir
Syarifuddin II demisioner Tanggal 23 Januari 1948.
Setelah Kabinet Amir Syarifuddin II berakhir, muncul Sistem
Pemerintahan Presidensial dan dalam system pemerintahan ini telah
terbentuk beberapa cabinet , antara lain lihat tabel di bawah ini:
NO
1
3
SEBAB KEJATUHAN
Reshue Kabinet , karena
selama 7 bulan dilanda
perang.
Pengembalian mandate
kepada Presiden Soekarno,
karena Soekarno dan HaƩa
telah kembali ke Yogyakarta
pada 6 Juli 1949.
Pada Tanggal 29 Januari 1948 terbentuk Kabinet Hatta I, tapi
sistem pemerintahannya telah berubah menjadi Sistem Presidensial,
meskipun tidak murni, karena ada Perdana Menteri yang dipegang
oleh Wakil Presiden. Pada cabinet ini banyak perang yang terjadi dan
pihak oposisi bergerak. Di sini Muso mulai tampil setelah kembali
dari Rusia. Dalam cabinet ini pula Belanda akan melakukan agresi
kembali dan meninggalkan Perundingan Renvile. Pada masa ini
para pimpinan Negara di tangkap dan diasingkan, sehingga terpaksa
Soekarno memberikan mandate kepada Syafruddin Prawiranegara,
maka munculllah Kabinet Darurat Perang.
Kabinet Darurat Perang adalah pada saat para pimpinan Negara
ditangkap Belanda, sehingga terjadi kekosongan pemerintahan dan
Soekarno memberi mandat kepada Syafruddin Prawiranegara pada
waktu itu sebagai Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk
Pemerintahan RI Darurat di Sumatera pada Tanggal 19 Desember
1948. Kabinet ini berakhir setelah para pimpinan kembali dari dari
Yogyakarta.
Setelah para pimpinan kembali, mandate dikembalikan dan
Kabinet Hatta I di reshuffle, maka terbentuklah Kabinet Hatta II.
Dalam cabinet ini terjadi KMB (Konferensi Meja Bundar) 23 Agustus
1949 dan terbentuklah Negara RIS (Republik Indonesia Serikat)
Tanggal 29 Oktober 1949 serta terjadi pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden. Terpilih Soekarno sebagai Presiden dan Muhammad Hatta
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡™ၺႁ
sebagai Wakil Presiden dan dilantik pada Tanggal 17 Desember 1949
di Yogyakarta.
Berhubung Negara telah berubah bentuk menjadi Negara RIS,
maka kabinetpun berubah(reformasi) menjadi Kabinet RIS (Kabinet
Hatta III). Persoalan yang dihadapi cabinet ini adalah persoalan Irian
Barat yang belum masuk ke wilayah Indonesia, masih ada perlawanan
Belanda di Bandung, Istilah Uni RIS-Belanda, pemberontakan di
daerah-daerah: Kapten Andi Azis di Makassar, RMS di Maluku dan
DI/TII di Jawa Barat.
Kabinet Susanto (Kabinet Peralihan) adalah cabinet yang berada
di RI Yogya, tatkala Presiden dan Wakil Presiden RIS telah terbentuk
dan harus pindah ke Jakarta, sehingga RI sebagai salah satu ibukota
Negara bagian harus ada yang memimpin. Di sinilah terbentuk Kabinet
Susanto yang masa kerjanya hampir bersamaan dengan Kabinet RIS
(Kabinet Hatta III). Namun Kabinet Susanto hanya sebagai cabinet
peralihan saja, karena pada Tanggal 21 Januari 1950, RI Yogyakarta
telah membentuk Kabinet aslinya yaitu Kabinet Halim.
Alhamdulillah, usaha Kabinet RIS untuk mengembalikan
Indonesia dari Negara RIS ke NKRI berhasil, sehingga Kabinet
Hatta III (Kabinet RIS) berakhir dan muncullah Kabinet Natsir
dengan UUD yang baru, tetapi masih tetap menggunakan Sistem
Pemerintahan Parlementer.
6.
Kabinet Natsir (6 September 1950 – 27 April 1951)
Kabinet ini lahir setelah Kabinet RIS berusaha mengembalikan RIS
ke NKRI atau dikenal dengan adanya Mosi Integral yang dilancarkan
Natsir dari Farksi Masyumi24, yaitu mengembalikan Indonesia dari
negara Serikat ke Negara Kesatuan. Dalam kabinet ini telah digunakan
UUD baru yaitu UUDS 1950, karena RIS telah bubar dan kembali ke
NKRI. Kabinet yang pertama kali menggunakan UUDS 1950 ini di
ʹͶ —— ‡”‹ ‡’‘ǡ Natsir Politik Santun di antara Dua Rezim,ȋƒƒ”–ƒǣ ‡’‘ǡ
ʹͲͳͳȌǡŠǤͶ͵Ǥ
ၻၸ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
bawah pimpinan M. Natsir dari Partai Masyumi dan Wakil Perdana
Menteri Sultan Hamengku Buwono IX. Kabinet ini dinamaka Kabinet
Natsir atau zakenkabinet25,karena orang-orang yang duduk dalam
kabinet adalah orang-orang yang ahli di bidangnya, bukan dikarenakan
pertimbangan partai.
Masa kekuasaan kabinet ini mulai dari Tanggal 6 September 1950
sampai dengan 27 April 195126. Kabinet Natsir merangkul 18 orang,
13 orang dari delapan partai politik dan 5orang dari non partai di
antaranya adalah:
1) Masyumi
(4 orang)
2) PIR
(2 orang)
3) Demokrat
(1 orang)
4) PSI
(2 orang)
5) Parkindo
(1 orang)
6) Katholik
(1 orang)
7) Parindra
(1 orang)
8) PSII
(1 orang)
9) Non Partai
(5 orang)
Total
=18 Orang
Pada masa Kabinet Natsir, beberapa partai lama mulai redup
seperti PSI dan PSII yang pada kabinet sebelumnya cukup berkontribusi. Dan justru partai-partai baru mulai tampak seperti Partai
Katholik, Demokrat dan Parindra. Selain itu, PNI dan PKI tidak
mendukung kabinet ini.
Program kerja Kabinet yaitu27:
a) Mempersiapkan dan menyelenggarakan Pemilu untuk
konstituante.
ʹͷIbid, ŠǤͶ͵Ǥ
ʹ͸‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡPartai Islam di Pentas Nasionalǡȋƒƒ”–ƒǣ
”ƒϐ‹–‹‡”•ǡͳͻͺ͹ȌǡŠǤʹͲʹǤ‹Šƒ–
Œ—‰ƒ‹„‹–—’”ƒ’–‘ǡPerkembangan Kabinet, ŠǤͳʹͶǤ
ʹ͹‹„‹–—’”ƒ’–‘ǡPerkembangan Kabinet, ŠǤͳʹͺǤ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡™ၻၹ
b) Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan
pemerintah serta membentuk peralatan Negara yang
bulat.
c) Mencapai keamanan dan ketentraman.
d) Mengembangkan dan memperkokoh kekuatan ekonomi
rakyat sebagai dasar ekonomi nasional yang sehat dan
Melaksanakan keragaman antara burh dan majikan.
e) Membantu pembangunan perumahan rakyat serta memperluas usaha-usahanya yang meningkatkan derajat kesehatan dan kecerdasan rakyat.
f) Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang dan pemulihan
bekas anggota tentara dan gerilya ke dalam masyarakat.
g) Menyelesaikan persoalan Irian Barat.
Meskipun umur cabinet ini tidak begitu panjang, hanya tujuh
bulan, tetapi cabinet telah berhasil melaksanakan tugasnya antara
lain:
1. Pada Tanggal 27 September 1950, PBB menerima Indonesia
sebagai anggota ke 60. Dan Tanggal 28 September 1950
diadakan upacara pengibaran bendera Merah Putih di markas
PBB.
2. Dalam UUDS 1950 barulah diatur masalah Wakil Presiden
dan pada Tanggal 14 Oktober 1950 Muhammad Hatta
terpilih sebagai Wakil Presiden dengan meraih suara 113
dengan mengalahkan 7 orang pesaingnya.
Selain keberhasilan juga terdapat kegagalan antara lain ialah:
a) Pemberontakan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan pada
Tanggal 10 Oktober 1950. Pemberontakan ini sebagai
lanjutan dari DI/TII Kartosuwiryo.
b) Kurang mendapat dukungan dari rakyat. Koalisinya terbatas
pada partai-partai tertentu. Jadi bukan sebagai Koalisi
Nasional.
ၻၺ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
c) Perpecahan dalam tubuh Masyumi antara Sukiman (Pro
Nasionalis: PNI) dan Natsir (Pro pada PSI) serta unsur NU
yang dikesampingkan Natsir cs.
Kejatuhan kabinet ini, dikarenakan beberapa hal antara lain
mosi tidak percaya yang dilancarkan oleh Hadikusumo. Mosi tersebut
menuntut agar “Peraturan Pemerintah no. 39 tahun 1950 tentang
pembekuan anggota-anggota lembaga perwakilan daerah dicabut”28.
Kemudian dilanjutkan dengan pengunduran diri para Menteri
dari PIR. Selain itu, Natsir dianggap gagal menyelesaikan Irian
Barat dengan pihak Belanda. Natsir dianggap terlalu berdiplomasi,
sedangkan Soekarno menginginkan ketegasan kepada pihak Belanda29
. Akhirnya pada Tanggal 21 Maret 1951 Kabinat M. Natsir demisioner
dan mandate dikembalikan kepada Presiden Soekarno.
7.
Kabinet Sukiman-Suwiryo (27 April 1951 – 3 April 1952)
Setelah Kabinet Natsir berakhir, maka Presiden menyerahkan
mandatnya kepada Sukiman dari Partai Masyumi. Kabinet Sukiman
berumur satu tahun dari Tanggal 27 April 1951 sampai dengan 3
April 1952. Meskipun Kabinet Natsir yang berasal dari Masyumi
telah berakhir, bukan berarti Masyumi jatuh, karena pada cabinet
Sukiman ini terlihat Masyumi masih memainkan peranannya sebagai
orang nomor satu. Meskipun nasib Sukiman serupa dengan M. Natsir,
karena kabinetnya tidak bertahan lama.
Dalam Kabinet Sukiman, dr. Sukiman sebagai Perdana Menterinya (Masyumi) dan dr Suwiryo (PNI). Keduanya berprofesi sebagai
dokter yang berkecimpung di dunia politik. Kabinetnya tetap kabinet
koalisi yang melibatkan beberapa partai seperti30: Masyumi (5 orang),
PNI (5 orang), PIR (3 orang), PKRI (1 orang), Partai Buruh (1 orang),
Parkindo (1 orang), Demokrat 91 orang), Parindra (1 orang) dan Non
ʹͺ‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡPartai Islam , ŠǤʹͳͲǤ
ʹͻ‹„‹–—’”ƒ’–‘ǡPerkembangan Kabinet, ŠǤͳ͵ʹǤ
͵ͲIbid., ŠǤͳ͵ͷ†ƒŽ‹Šƒ–‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡPartai Islam,ŠǤʹͳͻǤ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡™ၻၻ
partai (2 orang). Tampaknya Sukiman lebih berkerjasama dengan
PNI, sehingga posisi-posisi penting dikuasai Masyumi dan PNI. Dalam
cabinet terlihat PSII mulai tidak terpakai.
Terdapat tujuh program kabinet , yaitu:
1) Menjalan secara tegas sebagai Negara hukum dan menyempurnakan alat-alat Negara.
2) Melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam jangka pendek untuk meningkatkan kehidupan social ekonomi
rakyat. Memperbaharui hokum agrarian untuk kepentingan
petani.
3) Mempercepat usaha penempatan bekas pejuang dalam
lapangan pembangunan.
4) Menyelesaikan persiapan pemilu untuk konstituante,
Menyelenggarakan Pemilu dalam waktu singkat dan mempercepat Otonomi daerah.
5) Menyipkan UU tentang pengakuan Serikat Buruh, perjanjian
kerjasama, penetapan upah minimum dan penyelesaian
pertikaian perburuhan.
6) Menjalankan politik luar negeri bebas aktif, Menyelenggarakan hubungan Indonesia Belanda atas dasar hubungan
berdasarkan perjanjian Internasional biasa. Meninjau
kembali hasil KMB dan meniadakan perjanjian-perjanjian
yang merugikan rakyat.
7) Memasukkan Irian Barat ke wilayah Indonesia secapatcepatnya.
Yang menarik dari program-program di atas adalah perhatian
terhadap masalah perburuhan. Namun demikian, belum banyak yang
dapat dikerjakan kabinet ini, akhirnya harus berakhir dengan tragis,
karena Kabinet Sukiman dijatuhkan oleh teman sendiri yaitu Natsir
yang satu kliek dengan Syahrir. Menurut Bibit 31, dua masalah yang
͵ͳIbid., ŠǤͳͶͲǤ
ၻၼ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
menjadi perhatian oposisi teman separtai sendiri adalah masalah
perjalanan haji tahun 1951 yang dianggap belum melakukan koordinasi
secara intensif dan penandatangan kerjasama dengan Amerika
Serikat (MSA), Namun yang menjatuhkan Kabinet Sukiman, karena
perjanjian “San Francisco”32 yang dianggap cenderung berpihak ke luar
negeri (Amerika). Hal ini berarti “meninggalkan politik luar negeri
bebas aktif” yang telah menjadi komitmen sejak tahun 1945.
8.
Kabinet Wilopo-Prawoto (3 April 1952 – 30 Juli 1953)
Munculnya Kabinet Wilopo-Prawoto (PNI-Masyumi) pada tanggal 3
April 1952 dan berakhir Tanggal 30 Juli 195333, menggantikan posisi
Sukiman dari Masyumi. Dengan demikian, peran Masyumi telah
bergeser pada posisi Partai Nasional Indonesia (PNI). Meskipun
demikian, Kabinet Wilopo tetap merangkul seluruh komponen partai
yang ada seperti: PNI (4 orang), Masyumi (4 orang), PSI (2 orang),
Partai Buruh (1 orang), PSII (1 orang), PKRI (1 orang), Parkindo (1
orang), Parindra (1 orang) dan 3 orang non partai.
Program cabinet meliputi enam bidang yaitu:
1) Bidang Organisasi Negara
2) Bidang Kemakmuran
3) Bidang Keamanan
4) Bidang Perburuhan
5) Bidang Pendidikan dan pengajaran
6) Bidang Luar negeri
Tantangan kabinet ini adalah keretakan dalam tubuh Masyumi
sebagai tulang punggung cabinet dan keretakan dalam cabinet itu
sendiri. Keluarnya NU dari Masyumi dengan mendirikan partai sendiri
(1952) adalah merupakan keretakan dalam tubuh Masyumi yang
kedua setelah keluarnya PSII dari Masyumi (1947). Selain itu konflik
͵ʹ‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡPartai Islam ŠǤʹͳͻǤ
͵͵Ibid., ŠǤʹʹͲ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡™ၻၽ
antara kelompok Natsir dan kelompok Sukiman. Ada beberapa alasan
NU keluar, salah satu di antaranya persoalan perolehan jatah kursi34.
NU merasa bahwa jumlah pendukung cukup banyak, tetapi kursi yang
diperolehnya tidak proporsional. Selain itu, perbedaan pandangan
antara orang-orang NU yang berpendidikan Pesantren dengan orangorang Masyumi yang berpendidikan Barat (umum).
Nasib Kabinet Wilopo serupa pula dengan Kabinet-kabinet yang
lain, tidak bertahan lama dan akhirnya dapat dijatuhkan dengan
adanya Peristiwa Demonstrasi Pembubaran Parlemen di Jakarta
pada Tanggal 17 Oktober 1952. Hal ini dikarenakan Rasionalisasi
dengan pengurangan jumlah pegawai sipil dan militer dengan alasan
penghematan.
9.
Kabinet Ali–Wongso–Arin (Kabinet Ali I)
(30 Juli 1953–12 Agustus 1955)
Setelah Kabinet Wilopo dari Partai Nasionai Indonesia (PNI) jatuh,
Presiden sampai tiga kali menunjuk formatur untuk membentuk
kabinet, tetapi gagal dan keempat kalinya baru bisa terwujud menjadi
Kabinet Ali I (Ali-Wongso-Arifin). Yang menarik dari cabinet ini,
meskipun Mr. Wongsonegoro ditunjuk sebagai formatur, tetapi tidak
egois menjadikan dirinya sebagai Perdana Menteri.
Partai-partai yang tergabung dengan cabinet ini sebanyak 11
partai politik yang meliputi: PNI (4 kursi), PIR (3 orang), NU (3
orang), Progresif (1 orang), PRN (1 orang), SKI (2 orang), PSII (2
orang), Partai Buruh (2 orang), BTI (1 orang), Parindra (1 orang),
Non Partai (1 orang)35.
Yang menarik di sini adalah NU sebagai partai politik telah diakui
eksistensinya. Sedangkan Masyumi yang telah memiliki reputasi
seblumnya tidak diikutsertakan dalam cabinet ini. Dengan demikian,
partai Islam diwakili oleh PSII dan NU.
͵Ͷ‹„‹–—’”ƒ’–‘ǡPerkembangan Kabinet, ŠǤͳͶ͸Ǥ
͵ͷ Ibid., ŠǤͳͷʹ
ၻၾ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Adapun program kerjanya sebagai berikut:
1) Di Bidang Dalam Negeri meliputi keamanan, pemilu,
keuangan & keuangan, organisasi Negara, perburuhan dan
perundang-undangan.
2) Masalah Irian Barat: mengusahakan Irian Barat kembali ke
pangkuan wilayah NKRI.
3) Di Bidang Politik Luar Negeri: menjalankan politik luar
negeri bebas aktif, merubah hubungan Indonesia – Belanda
atas dasar stuut uni menjadi hubungan Internasional biasa
dan meninjau kembali perjanjian KMB dan perjanjianperjanjian lain yang merugikan rakyat.
4) Di Bidang Kebijaksanaan Pemerintah.
Keberhasil cabinet ini adalah mengadakan perundingan dengan Belanda untuk menghapus Uni Indonesia-Belanda, berhasil
menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) yang didahului
Konferensi Colombo (18 April 1954) dan Konferensi Bogor (28030
Desember 1954)36 serta membentuk panitia pemilu.
Tantangan cabinet ini adalah oposisi yang dilancarkan oleh
oarng-orang PIR pada tanggal 17 Oktober 1954. Dengan demikian,
Kabinet Ali-Wongso-Arifin akhirnya di reshufle dan Wongso tidak
ikut ke dalam cabinet, sehingga menjadi Kabinet Ali-Arifin.
Dibandingkan dengan kabinet-kabinet sebelumnya, Kabinet
Ali I lebih lama masa pemerintahannya (selama 2 tahun). Meskipun
demikian, Kabinet inipun dapat dijatuhkan, karena peristiwa
pemboikotan pelantikan KSAD oleh Militer pada Tanggal 27 Juni
1955 yang dipimpin oleh Zulkifli Lubis, karena iri hati.
͵͸Ibid., ŠǤͳͷ͸Ǥ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡™ၻၿ
10. Kabinet Burhanuddin Harahab37
(12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956)
Kali ini Masyumi sebagai Partai Islam diberi kepercayaan kembali
oleh Presiden Soekarno untuk memimpin cabinet dan Burhanuddin
Harahab terpilih sebagai Perdana Menteri pada Tanggal 12 Agustus
1955-24 Maret38. Kini Masyumi tampil kembali menggantikan posisi
Partai Nasionai Indonesia (PNI) yang berturut-turut memegang
posisi.
Burhanuddin Harahab juga menggandeng 12 partai dan non
partai yang menduduki 23 kursi menteri. Adapun partai-partai
tersebut antara lain:
1) Masyumi
(4 orang)
2) PIR Hazairin
(2 Orang)
3) PSII
(2 orang)
4) Demokrat
(1 orang)
5) NU
(2 orang)
6) PSI
(2 orang)
7) PKRI
(1 orang)
8) Partai Buruh
(2 orang)
9) PRN
(2 orang)
10) Parindra
(2 orang)
11) Parkindo
(1 orang)
12) PRI
(1 orang)
13) Non partai
(1 orang)
Total
= 23 orang
Dari jumlah kursi menteri, Masyumi yang paling dominan (4
orang). Dalam kabinet ini PNI dan PKI tidak dilibatkan Masyumi.
͵͹‡—Ž‹•ƒ—Šƒ—††‹ƒ”ƒŠƒ„–‡”†ƒ’ƒ–†ƒŽƒ——‹„‹–—’”ƒ–‘Ǥ‡†ƒ‰ƒ†ƒŽƒ
——‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡ’‡—Ž‹•ƒ›ƒ‘‡”Šƒ‘‡†‹ƒ”ƒŠƒ’Ǥ
͵ͺ‹„‹–—’”ƒ’–‘ǡPerkembangan Kabinet, ŠǤͳ͸Ͷ†ƒ‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡPartai Islam, ŠǤʹͶ͵
ၻႀ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Pada masa inilah Masyumi mampu menunjukkan prestasi yang
dapat dibanggakan, karena pada masa ini, kabinet Burhanuddin
Harahab dapat menyelesaikan hal-hal sebagai berikut:
a) Menyelenggarakan pemilu pertama tahun 1955 dalam
sejarah Indonesia
b) Dibubarkannya Uni Indonesia-Belanda secara Unilateral
c) Mengembalikan wibawa pemerintah terhadap Angkatan
Darat
d) Berhasil mengadakan perbaikan di bidang ekonomi, hargaharga menjadi stabil.
Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan pertama kali dalam
sejarah RI setelah kemerdekaan. Partai-partai yang menjadi kontestan
pemilu juga terlibat dalam kepanitian pemilu, agar dapat menghindari
kecurangan dari setiap partai politik. Hal ini juga pernah dilakukan
pada saat pemilu 1999 di Era Reformasi. Dari hasil pemilu tersebut
yang diselenggarakan pada Tanggal 29 September 1955 terdapat 28
partai yang mendulang 257 kursi di parlemen, tetapi dari 28 partai
itu, terdapat sepuluh besar dan empat partai terbesar, yaitu:39
1) PNI
=
57 kursi.
2) Masyumi
=
57 kursi
3) Partai NU
=
45 kursi
39 kursi
4) PKI
=
5) PSII
=
8 kursi
6) Parkindo
=
8 kursi
7) Partai Katholik =
6 kursi
8) PSI
=
6 kursi
9) Perti
=
5 kursi
10) IPKI
=
4 kursi
Total
=
235 kursi
͵ͻIbid., ŠǤͳ͸ͻ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡™ၻႁ
Apabila empat partai besar disandingkan, maka akan terlihat
kursi yang diraih partai Islam lebih banyak (57 + 45=102 kursi).
Sedangkan diantara 235 kursi dari sepuluh parai besar, maka Partai
Islam mencapai 115 kursi (Masyumi, NU, PSII dan Perti). Meskipun
sebagai pendatang baru, Perti sebagai Partai Islam dapat menunjukkan
eksistensinya. Hal ini sampai dengan Demokrasi Terpimpin, Perti, NU
dan PSII masih melibatkan diri dalam pemerintahan Soekarno.
Dapat disimpulkan bahwa sebenarnya umat Islam memiliki
peluang besar untuk meraih kekuasaan, apabila tidak terpecah-pecah
alias bersatu. Namun ketika akan dilantik, perolehan kursi mengalami
perubahan, Masyumi menempati posisi paling atas. Hal ini karena
didasarkan jumlah penduduk40:
1) Masyumi
= 60 anggota
2) PNI
= 58 anggota
3) Partai NU
= 47 anggota
4) PKI
= 32 anggota
Selain pemilu legislative, Kabinet Burhanuddin Harahab berhasil
menyelenggarakan pemilu anggota konstituante pada Tanggal 15
Desember 1955, yaitu lembaga yang bertugas membuat Undangundang . Posisi empat besar dari 543 kursi pada pemilu anggota
dewan konstituante ini, hasil yang diperoleh sama dengan pemilu
legislative, yaitu41:
1) PNI
= 118 kursi
2) Masyumi
= 113 kursi
3) Partai NU
= 91 kursi
4) PKI
= 59 kursi
Berakhirnya Kabinet Burhanuddin Harahab bukan dijatuhkan
oleh lawan-lawan politiknya sebagaimana kabinet-kabinet terdahulu, tetapi dikarenakan tugasnya telah usai yang menghasilkan
ͶͲIbid., ŠǤͳ͹ͳǤ
ͶͳIbid., ŠǤͳ͹ʹǤ
ၼၸ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
pemerintahan hasil pemilu 1955 dengan terbentuknya Kabinet AliRum-Idham (Ali II).
11. Kabinet Ali – Rum – Idham (24 Maret 1956 – 9 April 1957)
Setelah pemilu pada Tanggal 29 September 1955 dan pemilu anggota Dewan Konstituante pada Tangga 15 Desember 1955, maka
terbentuklah kabinet koalisi yang sesuai dengan hasil pemilu tahun
1955. Kabinet tersebut dinamakan Kabinet Ali II dengan komposisi
Ali-Roem Idham. (PNI-Masyumi-NU) yang berkuasa pada Tanggal 24
Maret 1955- 9 April 195742.
Dalam kabinet ini umat Islam diwakili oleh Masyumi dan
NahdlatuI Ulama (NU), karena semula NahdIatuI Ulama (NU)
yang bergabung dengan Masyumi, mulai melepaskan diri menjadi
partai sendiri dan kini berhasil meraih suara pada pemilu tahun 1955
dan menduduki posisi ketiga setelah Masyumi. Hal ini menunjukkan
bahwa NU memiliki eksistensi di tengah masyarakat dengan para
konstituennya. Jadi keluarnya NU dari Masyumi tidak sia-sia.
Masyumi sebagai wakil umat Islam, terakhir memainkan peran politik
dalam kabinet ini.
Adapun susunan kabinet terdiri dari 25 posisi yang melibatkan
delapan partai dan satu non partai. Dan partai islam yang paling
banyak terlibat dalam kabinet ini, yaitu Masyumi, NU, PSII dan Perti
(13 orang). Partai-partai yang terlibat antara lain43:
1) PNI
(6 orang)
2) Masyumi
(5 orang)
3) NU
(5 orang)
4) Parkindo
(2 orang)
5) Katholik
(2 orang)
6) PSII
(2 orang)
7) Perti
(1 orang)
Ͷʹ‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡPartai Islam, ŠǤʹͷͳǤ
Ͷ͵‹„‹–—’”ƒ’–‘ǡPerkembangan Kabinet, ŠǤͳ͹͹Ǧͳ͹ͺǤ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡™ၼၹ
8) IPKI
9) Non Partai
Total
(1 orang)
(1 orang)
=
25 orang
Program kerja meliputi44:
1) Pembatalan KMB
2) Masalah Irian Barat
3) Masalah Dalam Negeri:
• Pemulihan keamanan dan menyempurnakan koordinasi
antara alat-alat kekuasaan Negara.
• Perekonomian dan keuangan
• Pertahanan
• Perburuhan
• Pendidikan, pengajaran dan kebudayaan
4). Luar negeri: menjalankan politik luar negeri bebas aktif dan
kerjasama dengan Negara-negara Asia-Afrika.
Tantangan yang dihadapi kabinet Ali II adalah pengunduran diri
Muhammad Hatta sebagai Wakil Presiden RI pada Tanggal 1 Desember
1956 yang disebabkan perbedaan pandangan dengan Presiden
Soekarno dalam bidang ekonomi & politik dan pengambilalihan
kekuasaan di beberapa daerah oleh sekelompok militer di Sumatera
dan Sulawesi Utara (muncul gerakan separatis yang ingin pemisahan
diri dari pemerintah pusat). Gerakan-Gerakan ini merasa Pemerintah
Pusat “mengabaikan mereka, padahal daerah-daerah tersebut (luar
Jawa) penghasil devisa bagi Negara”45. Dan gerakan–gerakan separatis
ini akhirnya sebagai cikal bakal munculnya PRRI di Sumatera dan
Permesta si Sulawesi46.
Persoalan yang dihadapi Kabinet Ali II cukup pelik, sehingga
Masyumi juga ikut prihatin, karena gerakan-gerakan di daerah
ͶͶIbid, ŠǤͳͺͲǦͳͺͳǤ
Ͷͷ‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡPartai Islam, ŠǤʹͷʹǤ
Ͷ͸‹„‹–—’”ƒ’–‘ǡPerkembangan Kabinet, ŠǤͳͺ͹Ǥ
ၼၺ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
tersebut, sebagian merupakan kantong suara Masyumi, sehingga pada
Tanggal 9 Januari 1957, Masyumi menarik menteri-menterinya dan
Perti pada Tanggal 15 Januari 1957.
Keberhasilan yang tampak pada masa kabinet koalisi Ali II ini
adalah:
1) Pembatalan perjanjian KMB.
2) Perjuangan kemerdekaan Irian Barat
3) Pengiriman misi Garuda I ke Mesir. Dengan adanya Dekrit
Presiden 5 Juli 195947, maka berakhir pula Kabinet Koalisi
ini. Meskipun demikian, Majelis Konstituante masih tetap
bekerja merampungkan tugasnya menyelesaikan masalah
dasar negara yang telah selesai 90 %48.
Menurut Deliar Noer49, PSII dan NU menginginkan perombakan
kabinet, tapi PNI ingin bertahan. Sedangkan Parkindo dan Katholik
menganjurkan bubar. Sebelum Mandat dikembalikan kepada Presiden
pada Tanggal 14 Maret 1957, Kabinet Ali II menandatangani UndangUndang tentang Keadaan Bahaya yang ditentang Natsir dari Masyumi.
Undang-undang ini memberikan legitimasi Militer menguasai keadaan
atau dengan kata lain “mulai lebih menentukan keadaan”50.
Menurut Bibit Suprapto51 tiga penyebab berakhirnya Kabinet
Ali II, yaitu:
1) Timbulnya pemberontakan di daerah-daerah.
2) Adanya keretakan dalam tubuh kabinet, yaitu mundurnya
beberapa menteri dari Masyumi, PSII dan Perti.
3) Adanya konsepsi Presiden Soekarno Tanggal 21 Pebruari
1957. Konsepsi tersebut berisi tentang:
a) Sistem Demokrasi Parlementer sudah tidak cocok, harus
diganti dengan Demokrasi Terpimpin.
Ͷ͹Ǥ›ƒϐ‹‹ƒƒ”‹ˆǡIslam dan Politik, ŠǤͶʹǤ
ͶͺIbid., ŠǤͶʹǤ
Ͷͻ‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡPartai Islam, ŠǤʹͷ͸Ǥ
ͷͲIbid., ŠǤʹͷ͸Ǥ
ͷͳ‹„‹–—’”ƒ’–‘ǡPerkembangan Kabinet, ŠǤͳͺͺǤ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡™ၼၻ
b) Untuk melaksanakan Demokrasi Terpimpin, harus
dibentuk Kabinet Gotong Royong yang diawali dengan
adanya Kabinet “Empat Kaki (PNI, Masyumi, NU dan
PKI).
c) Pembentukan Dewan Nasional yang beranggotakan
golongan fungsional sebagai penasehat kabinet.
C. Berakhirnya Demokrasi Parlementer
Pada masa Demokrasi Parlementer Soekarno sebagai Presiden tidak
dilibatkan dalam pemerintahan-hanya sebagai Kepala Negara,
demikian pula dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan
Partai Komunis Indonesia (PKI), sehingga Soekarno merasa bahwa
Demokrasi yang ada tidak cocok dan perlu membuat suatu konsep
demokrasi yang memungkinkan Soekarno terlibat.
Gagasan Soekarno untuk membuat suatu konsep demokrasi yang
berbeda dengan dengan Demokrasi Parlementer, dikenal dengan nama
“Konsepsi Presiden”52 yang dikemukakan pada Tanggal 21 Pebruari
1957. Inti dari konsepsi tersebut adalah ingin mengganti Demokrasi
Parlementer yang dianggap sebagai Demokrasi Barat. Konsepsi ini
ditentang oleh partai Islam Masyumi, NU dan PSII, karena dianggap
perubahan yang radikal di bidang ketatanegaraan, sedangkan persoalan
ketatanegaraan merupakan kewenangan Dewan Konstituate.
Dewan Konstituante hasil Pemilu 1955 sedang bekerja merampungkan tugasnya membahas tentang dasar Negara, tetapi
dianggap Soekarno tidak mampu menyelesaikan tugas dengan baik,
maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden menurunkan Dekrit Presiden
yang isinya antara lain agar kembali ke Undang-Undang Dasar 1945
dan membubarkan Dewan Konstituante. Menurut A. Syafii Maarif53,
sebenarnya Dewan Konstituante telah merampungkan tugasnya 90 %,
yaitu telah ditemukan kata sepakat tentang dasar Negara: Pancasila,
ͷʹIbid., ŠǤͳͺ͹Ǥ
ͷ͵Ǥ›ƒϐ‹‹ƒƒ”‹ˆǡIslam dan Politik, ŠǤͶͺǤ
ၼၼ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
tetapi Presiden Soekamo tidak memperdulikan lagi. Selain itu, A.
Syafii Maarif54 mengatakan bahwa Presiden tidak mau menjadi tukang
stempel lagi.
Diturunkannya Dekrit Presiden, tidak menutup kemungkinan
bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) pun ingin terlibat dalam
kekuasaan, karena selama ini Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak
dilibatkan dalam pemerintahan, meskipun mendapat suara terbanyak
keempat setelah Nahdlatul Ulama (NU) dalam Pemilu 1955. Selain
itu adanya UU tentang Keadaan Bahaya pada Tanggal 14 Maret 1957
dan memasukkan Militer ke dalam Dewan Nasional, berarti memberi
angin Militer untuk terlibat dalam politik.
Dengan diturunkannya Dekrit Presiden, maka berakhirlah Demokrasi Parlementer dan mulailah dengan Demokrasi Terpimpin.
ͷͶIbid., ŠǤͶͺǤ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡™ၼၽ
RANGKUMAN
Demokrasi Parlementer adalah sistem pemerintahan yang demokratis
di antara sistem politik yang pernah berlaku di Indonesia. Hal ini
ditandai dengan munculnya kekuatan sipil yang direpresentasikan
dengan dominasi partai-partai politik dalam memimpin kabinetkabinet yang ada.
Selain itu, kebebasan, kejujuran dan integritas pribadi yang
baik yang dimiliki anggota-anggota partai politik pada waktu, memungkinkan mekanisme Demokrasi berjalan dengan baik, meskipun
ada sedikit kerikil-kerikil tajam yang menghadang. Namun yang perlu
diacungi jempol adalah kelegowoan (keikhlasan:lapang dada) setiap
penguasa pada waktu itu manakala harus lengser (mundur), karena
kabinetnya jatuh. Demokrasi yang begitu bebas menjadikan sistem
politik pada waktu itu tidak stabil, sehingga memudahkan jatuhnya
kabinet-kabinet dan akhirnya tidak berumur panjang.
Pada masa Demokrasi Parlementer, koalisi telah terbangun dengan
baik meskipun koalisi tersebut masih rapuh. Hal ini telah menunjukkan
kebhinnekaan tunggal ika, majemukan atau “multicultural”55 dalam
masyarakat Indonesia telah berjalan baik dari sisi ras, agama, budaya
dan daerah.
Yang cukup menonjol pada masa ini munculnya dominasi partai
politik Islam yang ikut mewarnai system politik tersebut dengan
beberapa kali memegang Kabinet. Di antaranya Kabinet Natsir, Kabinet
Sukiman dan Kabinet Burhanuddin Harahab serta menduduki posisi
pertama dalam perolehan kursi di DPR pada pemilu pertama 1955.
Selain itu, di penghujung akhir Demokrasi Parlementer dalam Kabinet
Ali II, partai Islam seperti Masyumi, NU, PSII dan Perti mendominasi
pentas politik nasional.
Pada masa ini, Presiden, Militer dan PKI tidak dilibatkan dan
Soekarno hanya sebagai tukang stempel, sehingga Soekarno merasa
bahwa Demokrasi Barat ini tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
Untuk itulah pada akhirnya Soekarno mengeluarkan konsepsi agar
menuju ke Demokrasi Terpimpin.
ͷͷ‡”‹——‡’‘ǡNatsir Politik SantunǡŠǤͻ͵Ǥ
ၼၾ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
BAB IV
DEMOKRASI TERPIMPIN
Setelah Pemerintahan Kabinet Ali II (Demokrasi Parlementer)
Demisioner dan sebelum memasuki Demokrasi Terpimpin, terbentuklah sebuah kabinet transisi, yaitu Kabinet Juanda yang disebut
Kabinet Ekstra Parlementer 1(Kabinet di luar parlemen, tanpa melihat
jumlah kursi di parlemen). Kabinet ini dipimpin Ir. Juanda sebagai
Perdana Menteri yang memerintah sejak Tanggal 9 April 1957 – 10
Juli 1959.
Tidak seperti kabinet-kabinet sebelumnya, kabinet ini hanya
menggandeng tujuh partai politik, antara lain PNI, NU, Parkindo,
PSII, BTI, IPKI, SKI dan Non Partai. Anggota kabinet lebih banyak
berasal dari non partai. Sedangkan Masyumi, Perti dan PKI dalam
kabinet ini tidak dilibatkan.
Programnya antara lain membentuk dewan nasional, normalisasi
keadaan RI, melanjutkan pembatalan KMB, perjuangan Irian Barat
dan mempergiat pembangunan. Tantangan yang dihadapi kabinet
ini adalah:
a) Peristiwa Cikini.
b) Pemberontakan PRRI-PERMESTA (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia-Perjuangan Semesta).
c) Pertentangan tajam di tubuh Dewan Konstituante.
ͳ‹„‹–—’”ƒ’–‘ǡPerkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia, ȋƒƒ”–ƒǣ
ŠƒŽ‹ƒ
†‘‡•‹ƒǡͳͻͺͷȌǡŠǤͳͺͻǤ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Ž¡ž“˜“š™ၼၿ
Jatuhnya Kabinet Juanda merupakan awal munculnya Demokrasi
Terpimpin yang didahului dengan adanya Dekrit Presiden Soekarno
tanggal 5 Juli 1959 yang isinya agar kembali ke Undang-Undang
Dasar 1945 dan meninggalkan UUDS’50. Dewan Konstituante yang
sedang bekerja merampungkan tugasnya dibubarkan, karena Soekarno
menganggap Dewan Konstituante tak mampu bekerja padahal Dewan
Konstituante telah merampungkan tugasnya 90 % dan anggota
Dewan telah mendapat kesepakatan untuk kembali ke UUD 45 serta
mengakui Pancasila sebagai Dasar Negara.
Dengan dibubarkannya Dewan Konstituante, maka berakhirlah
Demokrasi Parlementer dan munculah Pemerintahan dengan
Sistem Demokrasi Terpimpin yang telah diimpikan Soekarno dalam
konsepsinya, karena Demokrasi Parlementer dianggap Soekarno
Demokrasi Barat yang tidak cocok dengan Negara Indonesia.
Memasuki Pemerintahan Demokrasi Terpimpin, Partai Masyumi
sengaja tidak dilibatkan Soekarno, sehingga partai yang mewakili
umat Islam adalah Nahdlatul Ulama (NU), Perti dan Partai Syarikat
Islam Indonesia (PSII), meskipun hasil pemilu pada Tahun 1955, peta
kekuatan politik di Indonesia menunjukkan Partai Masyumi adalah salah
satu partai terbesar dan telah memiliki reputasi yang signifikan.
Pada bab ini akan dijelaskan tentang munculnya gagasan
Demokrasi Terpimpin, pembubaran Dewan Konstituante, Ketidakikutsertaan Masyumi dalam Pemerintahan Soekarno dan
keterlibatan NU dalam Pemerintahan Soekarno.
A. Munculnya Gagasan Demokrasi Terpimpin
Ketidaksenangan Soekarno tehadap Demokrasi Barat yang ditandai
dengan muculnya partai-partai politik sebagai pertanda demokratisasi
mulai tampak, ketika bulan Oktober 1956 melalui peringatan Sumpah
Pemuda, Soekarno mengecam keputusan pemerintah yang membuka
peluang bagi pembentukan partai-partai politik2.
ʹ‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡPartai Islam di Pentas Nasional, (ƒƒ”–ƒǣ
”ƒϐ‹–‹‡”•ǡͳͻͺ͹ȌǡŠǤ͵ͷͳǤ
ၼႀ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Soekarno melihat bahwa penerapan Demokrasi Barat kurang tepat
untuk negara Indonesia. Untuk itu, Soekarno mempunyai pemikiran
lain untuk menerapkan Demokrasi yang cocok untuk Indonesia,
karena selama ini Soekarno sebagai Presiden tidak dilibatkan dalam
pemerintahan, sehingga perannya tidak terlihat dalam masyarakat.
Pada tanggal 27 Januari 1957 di Bandung3, Soekarno mengungkapkan keinginannya untuk mencampuri urusan pemerintahan
sebelum hasil kerja Dewan Konstituante dapat direalisir, sehingga pada
Tanggal 16 Februari 1957 Soekarno mengundang para pemimpin partai
politik ke Istana Negara dan mengatakan bahwa perlunya dibentuk
Dewan Nasional yang akan membantu kabinet4.
Seiring dengan itu pada Tanggal 21 Februari 1957 Soekarno
mengutarakan konsepsinya yang dikenal dengan nama “Konsepsi
Presiden”5 di hadapan para anggota Kabinet, pemimpin partai dan
ABRI. Adapun isi konsepsi tersebut adalah:
1) Sistem Demokrasi Parlementer tidak cocok, harus diganti dengan
Demokrasi Terpimpin.
Demokrasi Parlementer dianggap sebagai demokrasi barat dan
tidak memberi peluang kepada Presiden untuk aktif menetukan
penyelenggaraan Negara. Selain itu, stabilitas system politik sering
terganggu dengan jatuhnya kabinet-kabinet pada masa itu.
2) Untuk melaksanakan Demokrasi Terpimpin harus dibentuk Kabinet
Gotong Royong yang diawali dengan adanya “Kabinet Kaki Empat”
(PNI, Masyumi, NU dan PKI).
Kabinet empat kaki ini adalah partai- partai yang memenangkan
pemilu pertama kali pada tahun 1955 dan memperoleh suara
terbanyak. Di sini kesannya Presiden Soekarno tidak ingin
meninggalkan Partai Komunis Indonesia (PKI), karena pada
saat Kabinet Ali II dibentuk setelah pemilu 1955, PKI sengaja
͵Ibid., ŠǤ͵ͷʹǤ
ͶIbid., ŠǤ͵ͷʹǤ
ͷ‹„‹–—’”ƒ’–‘ǡPerkembangan Kabinet ǡŠǤͳͺ͹Ǥ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Ž¡ž“˜“š™ၼႁ
tidak dilibatkan dalam kabinet. Jadi yang memerintah pada
waktu itu PNI, Masyumi dan NU, sehingga kabinetnya juga
disebut sebagai Kabinet Ali-Roem-Idham (PNI-Masyumi-NU).
Hal ini menunjukkan bahwa PKI mulai mempengaruhi Presiden
Soekarno. Namun setelah Demokrasi Terpimpin di tangan
Presiden, ternyata Masyumi tidak dilibatkan lagi sesuai dengan
janjinya.
3) Pembentukan Dewan Nasional yang beranggotakan golongan
fungsional sebagai penasehat Presiden.
Dalam Dewan Nasional , terdiri dari beberapa unsur, termasuk
Militer di dalamnya. Di sini, Soekarno mulai merangkul dan
melibatkan Militer.
Konsepsi tersebut ditentang oleh Natsir dari Masyumi dan Kyai
Dahlan, Imron Rosjadi dari NU6, terutama masalah penguburan
partai-partai. Menurut Kyai Dahlan dan Imron Rasjadi, penguburan
partai-partai akan menimbulkan kediktaturan dan tidak sesuai dengan
Islam. Natsir sendiri mengatakan bahwa selama kebebasan partai
masih ada, selama itu demokrasi masih ditegakkan. Apabila partaipartai politik dikubur, maka di atas kuburan itu hanyalah diktatur
yang akan memerintah. Selanjutnya Natsir7 mengatakan bahwa
“demokrasi tidak terhidangkan di atas talam emas” dan partai politik
adalah alat untuk mencapai demokrasi & dengan jujur menegakkan
nilai-nilai yang berharga dalam kehidupan, bukan sebaliknya, alat-alat
itu dijadikan tujuan dengan menginjak-nilai-nilai hidup.
Khususnya PKI (Komunisme), tampaknya Soekarno mulai
memberi angin, Sehingga dikritik oleh Natsir8 (Masyumi) dalam
artikel dan disebarkan melalui Departemen Penerangan Masyumi.
Isinya, Natsir membandingkan antara agama dengan komunisme,
bagaikan air dengan minyak yang tidak mungkin dapat disatukan,
͸‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡPartai IslamǡŠǤ͵ͷ͵Ǧ͵ͷͶǤ
͹Ibid., ŠǤ͵ͷͶǤ
ͺIbid., ŠǤ͵ͷͻǤ
ၽၸ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
meskipun digodok dan diaduk-aduk. Selain itu Natsir (Masyumi)
mengingatkan masyarakat agar waspada terhadap tawaran kerjasama
dari pihak komunis atau diistilahkan “ menyodorkan tangan”9 yang
palsu dari Komunis
Akhirnya pada Tanggal 2 Maret 195710, lima partai, yaitu
Masyumi, NU, PSII, Katholik dan PRI mengeluarkan suatu pernyataan
bersama yang menolak konsepsi Soekarno dan sebelum itu pada
Tanggal 28 Pebruari 1957 para Ulama di Makassar mengeluarkan
fatwa yang melarang PKI berpartisipasi dalam kabinet.
Meskipun Masyumi dan partai-partai lainnya tidak menyetujui
konsepsi Presiden Soekarno, tetapi Soekarno terus berjalan menentang arus dan pada Tanggal 14 Maret 1957, dikeluarkan UU tentang
Keadaan Bahaya serta membentuk Kabinet Juanda yang memerintah
dari Tanggal 9 April 1957 – 10 Juli 1959, tanpa mengikutsertakan
Masyumi di dalamnya (kabinet ini telah dijelaskan di atas).
Ternyata hasrat ingin berkuasa Presiden tetap diteruskan, karena
setelah Presiden mencetuskan konsepsinya dan membentuk Kabinet
Juanda, maka Tanggal 5 Juli 195911 turunlah Dekrit Presiden dan
system pemerintahan beralih ke tangan Soekarno dengan Demokrasi
Terpimpinnya.
B. Pembubaran Dewan KonsƟtuante
Anggota-anggota Dewan Konstituante hasil pemilu pertama Tanggal
15 Desember 1955. Lembaga tersebut beranggotakan sebanyak 543
terdiri dari 40 fraksi12. Berikut ini perolehan suara terbanyak dari 4
partai yang terbanyak.
ͻ —— ‡”‹ ‡’‘ǡ Natsir Politik Santun di antara Dua Rezim,ȋƒƒ”–ƒǣ ‡’‘ǡ
ʹͲͳͳȌǡŠǤ͸ʹǤ
ͳͲIbid., ŠǤ͵͸ͲǤ
ͳͳ‹„‹–•—’”ƒ’–‘ǡPerkembangan Kabinet, ŠǤʹͲͳǤ
ͳʹIbid.,ǡŠǤͳ͹͵Ǥ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Ž¡ž“˜“š™ၽၹ
Tabel 4.1.
Empat Besar Partai Hasil Pemilu Dewan Konstituante
NO
1
2
3
4
NAMA PARTAI
PNI
Masyumi
Partai NU
PKI
JUMLAH KURSI
118 kursi
113 kursi
91 kursi
59 kursi
Sumber: Bibit Suprapto, Perkembangan Kebinet dan Pemerintahan di Indonesia
Anggota dan pengurus dilantik pada Tanggal 10 Nopember 1956
oleh Soekarno. Adapun susunan kepengurusannya adalah sebagai
berikut13:
Tabel 4.2.
Susunan Pengurus Dewan Konstituante
NO
1
2
3
4
5
6
JABATAN
Ketua
Wakil Ketua I
Wakil Ketua II
Wakil Ketua III
Wakil Ketua IV
Wakil Ketua V
NAMA
Mr. Wilopo
Prawoto Mangunsarkoro
KH. R. Fatchur Rohman Kafrawi
Dr. J. Leimena
Ir. Sukiman
Hj. Ratu Aminah Hidayah
ASAL PARTAI
PNI
Masyumi
NU
Parkindo
PKI
IPKI
Sumber: Bibit Suprapto, Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia.
Tugas Dewan Konstituante adalah membuat Undang-Undang
Dasar (Konstitusi). Menurut Bibit14. Turunnya Dekrit Presiden,
selain keinginan Soekarno dengan konsepsinya, juga mengulang
tema lama yaitu “revolusi belum selesai”15 serta menganggap Dewan
Konstituante gagal. Sedangkan A. Syafii Maarif 16 mengatakan
sesungguhnya Soekarno tidak mau jadi “tukang stempel”, karena
ͳ͵Ibid., ŠǤͳ͹͵Ǥ
ͳͶIbid., ŠǤʹͲͲǤ
ͳͷ——‡”‹‡’‘ǡNatsir Politik Santun, ŠǤ͸͵Ǥ
ͳ͸Ǥ›ƒϐ‹‹ƒƒ”‹ˆǡIslam dan Politik di Indonesia, ŠǤͻͲǤ
ၽၺ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Dewan Konstituante sebenarnya telah merampungkan tugasnya 90 %
dan kesepakatan untuk kembali ke UUD 1945 telah disepakati.
Kegagalan yang dimaksud Soekarno ini diawali dengan perdebatan di dalam Dewan Konstituante yang di dalamnya terdapat
tiga kelompok, yaitu:
1) Golongan Islam yang menghendaki Dasar Negara Islam.
2) Golongan Nasionalis yang mengehandaki Dasar Negara
Pancasila.
3) Golongan Komunis yang menghendaki dasar Negara
Komunis.
Kelompok pertama diwakili oleh paryai Islam termasuk Masyumi,
Kelompok kedua diwakili oleh pihak Nasionalis seperti PNI dan Kelompok ketiga diwakili oleh PKI serta beberapa partai lainnya. Menurut
Adnan Buyung Nasution 17, ketika terjadi perbedaan pendapat,
sebenarnya, Masyumi sudah tahu akan kalah, karena mereka tidak
bisa mendapat dukungan dua pertiga suara di Konstituante, sehingga
tidak ada gunanya memaksakan dasar Negara Islam, demikian pula
kelompok yang menghendaki Pancasila, tetapi karena IPKI yang
didukung PKI dan PNI membaoikot sidang, sehingga sidang tidak
memenuhi kuorum. Hal inilah yang menyebabkan Konstituante
dianggap gagal.
Alasan partai Islam mengusulkan dasar Negara Islam, sebagaimana yang dituturkan Natsir (Masyumi) di bawah ini18:
“Dewan Konstituante adalah tempat yang dijanjikan oleh Proklamasi.
Jika keadaan Negara sudah aman, akan dibentuk Konstituante sebagai
tempat perjuangan menentukan dasar negara. Bagi mereka Konstituante
sekedar tempat perjuangan, bukan tempat mendirikan Negara Islam
seperti yang tuduhan militer atau para lawan politik. Natsir mengatakan,
Kami memperjuangkan dasar Negara Islam secara demokratis di lembaga
ͳ͹‡„ƒ‰ƒ‹ƒƒ†‹ƒ–ƒƒ†ƒ—›—‰ƒ•—–‹‘†ƒŽƒ™ƒ™ƒ…ƒ”ƒ›ƒ‰—–‹’†ƒ”‹
——‡”‹‡’‘ǡNatsir Politik Santun, ŠǤͺʹǤ
ͳͺIbid., ŠǤ͹ͻǤ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Ž¡ž“˜“š™ၽၻ
demokrasi, tetapi kalau mayoritas rakyat tidak menghendaki, ya kami
akan mengalah”.
Akhirnya nasib Dewan Konstituante berakhir dengan turunnya
Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959. Adapun isi sebagian Dekrit
Presiden adalah sebagai berikut 19:
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PANGLIMA
TERTINGGI ANGKATAN PERANG
Menetapkan pembubaran konstotuante.
Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai
hari tanggal penetapan dekrit ini dan tidak berlakunya lagi UndangUndang Dasar Sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang
terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan
utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta membentuk
Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan diselenggarakan dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan di Jakarta
Pada Tanggal 5 Juli 1959
Atas nama Rakyat Indonesia
Presiden Republik Indonesia/
Panglima Tertinggi Angkatan Perang
ttd
SOEKARNO
ͳͻ‹„‹–—’”ƒ’–‘ǡPerkembangan Kabinet, ŠǤʹͲ͵Ǥ
ၽၼ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Dengan demikian, kesimpulan isi Dekrit Presiden adalah sebagai
berikut:
1) Pembubaran Konstituante,
2) Tidak berlakunya UUDS’50.
3) Berlakunya kembali UUD 1945.
4) Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang
singkat.
C. Beberapa Kabinet di masa Demokrasi Terpimpin
Pada masa Demokrasi Terpimpin, terdapat beberapa kabinet yang
bekerja antara lain:
a) Kabinet Kerja I
(10 Juli 1959-18 Pebruari 1960)
Pimpinan Kabinet adalah Presiden Sekarno sekaligus sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Para Menteri yang ditunjuk berasal dari Non
Partai dan jumlahnya banyak sekali. Program kabinet ini meliputi:
• Pemenuhan sandang-pangan rakyat dalam waktu yang
singkat.
• Menyelenggarakan keamanan rakyat dan Negara.
• Menentang perjuangan imperialism ekonomi dan politik.
Dalam kabinet ini muncul pidato Presiden yang berjudul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada Tanggal 17 Agustus 1959
dikenal dengan nama MANIPOL (Manifesto Politik Republik
Indonesia)20 atau MANIPOL USDEK. Akhirnya pidato tersebut pada
Tanggal 19 Nopember 1960 ditetapkan oleh MPRS No. 1/MPRS/1960
sebagai Garis-Garis Haluan Negara (GBHN) atas usulan Dewan
Pertimbangan Agung Sementara (DPAS)21. Inti dari Manipol tersebut
ada lima22:
ʹͲIbid., ŠǤʹͳͲǤ
ʹͳIbid., ŠǤʹͳͲǤ‹Šƒ–’—Žƒ†ƒŽƒ‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡPartai Islam, ŠǤ͵͸ͺǤ
ʹʹIbid., ŠǤʹͳͲǦʹͳͳǤ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Ž¡ž“˜“š™ၽၽ
1.
2.
3.
4.
5.
U
S
D
E
K
= UUD 1945
= Sosialisme Indonesia
= Demokrasi Terpimpin
= Ekonomi Terpimpin
= Kepribadian Indonesia
Menurut Bibit, dengan ditetapkannya Manifesto sebagai GBHN
dan pada akhirnya semua pidato Kenegaraan Presiden dikukuhkan
oleh Tap MPRS maka hal ini menunjukkan Demokrasi Terpimpin
telah dipraktekkan. Selanjutnya Bibit mengatakan bahwa seharusnya
dalam UUD 1945 MPR adalah sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan
berkedaulatan rakyat, sedangkan Presiden adalah Mandataris, tapi
tampaknya justru sebaliknya, justru MPR mengekor pada Presiden.
Dengan demikian, hal ini telah menyalahi UUD 1945. Berakhirnya
kabinet ini disebabkan adanya reshuffle kabinet.
b) Kabinet Kerja II (18 Pebruari 1960- 6 Maret 1962)
Kabinet Kerja II adalah hasil Reshuffle Kabinet I yang memerintah
sejak Tanggal 18 Pebruari 1960 - 6 Maret1962. Serupa dengan
Kabinet I, Pimpinan Kabinet ini adalah Presiden sendiri dan Menterimenterinya berasal dan Non Partai.
Pada masa ini, DPR hasil Pemilu 1955 dibubarkan pada Tanggal
5 Maret 1960 dengan alasan parlemen (DPR) menolak Rancangan
Anggaran Belanja Negara (RABN)23, kemudian dibentuk DPRGR
(Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) pada Tanggal 24 Juni
196024. Hal ini menunjukkan ketidakdemokrasian Soekarno dan
Demokrasi Terpimpin benar-benar dipraktekkan, karena DPR sebagai
lembaga kedaulatan rakyat, seharusnya pengangkatannya melalui
pemilu-bukan dipilih. Dengan demikian, pengangkatan ini menyalahi
UUD 1945.
ʹ͵‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡPartai Islam, ŠǤ͵͸͸Ǥ
ʹͶIbid., ŠǤʹͳ͹Ǥ
ၽၾ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
DPRGR berjumlah 261 anggota25 terbagi atas 130 untuk partai,
35 untuk ABRI, 95 untuk Golongan Karya dan 1 Wakil Daerah
(Irian Barat). Adapun partai- partai yang dilibatkan adalah sebagai
berikut:
a) PNI
= 44 orang
b) NU
= 36 orang
c) PKI
= 30 orang
d) PSII
= 5 orang
e) Katholik = 6 orang
f) Kristen
= 6 orang
g) Perti
= 2 orang
h) Murba
= 10 orang
i) Parkindo = 1 orang
Dalam keanggotaan DPRGR, partai Islam yang diajak hanya
NU, PSII dan Perti. Sedangkan Masyumi sengaja tidak dilibatkan,
menurut Deliar Noer26, Masyumi benar-benar diabaikan dan harus
membuktikan bahwa Masyumi tidak terlibat dalam pemberontakan
PRRI-Permesta. Namun akhirnya Masyumi dibubarkan pada Tanggal
17 Agustus 1960.
Setelah bekerja selama kurang lebih dua tahun dan berhasil
melaksanakan tugasnya seperti pengiriman Pasukan Garuda II
untuk perdamaian dunia, terbentuknya Negara-negara Non Blok
dan pembebasan Irian Barat dari cengkraman Belanda, maka pada
Tanggal 6 Maret 1962, Soekarno mengadakan Reshuffle dengan istilah
Regrouping cabinet. Dengan demikian, berakhirlah Kabinet Kerja II.
ʹͷ—ŽƒŠʹ͸ͳƒ‰‰‘–ƒ
‹‹†‹ƒ„‹Ž†ƒ”‹‹„‹–ǡPerkembangan Kabinet, ŠǤʹͳ͹ǡ–‡–ƒ’‹
†ƒŽƒ‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡPartai Islam, ŠǤ͵͸͹ǡŒ—ŽƒŠƒ‰‰‘–ƒ
ʹͺ͵‘”ƒ‰Ǥ‡†ƒ‰ƒ
—–—’ƒ”–ƒ‹’‘Ž‹–‹ͳʹͻ‘”ƒ‰•‡Ž‹•‹Šͳ‘”ƒ‰†‡‰ƒ›ƒ‰†‹‡—ƒƒ‹„‹–ǡ›ƒ‹–—ͳ͵Ͳ
‘”ƒ‰Ǥ‡—”—–‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡ—ŽƒŠƒ‰‰‘–ƒ‘ƒ”–ƒ‹Ž‡„‹Š„ƒ›ƒ†ƒ”‹’ƒ†ƒƒ‰‰‘–ƒ
’ƒ”–ƒ‹ǡƒ”‡ƒ‘‡ƒ”‘–‹†ƒ•‡ƒ‰†‡‰ƒ’ƒ”–ƒ‹’‘Ž‹–‹Ǥ
ʹ͸‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡPartai IslamǡŠǤ͵͸͹
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Ž¡ž“˜“š™ၽၿ
c) Kabinet Kerja III ( 6 Maret 1962-13 Nopember 1963)
Adanya Regrouping Cabinet Kerja II (Reshuffle) akhirnya
melahirkan Kabinet III yang memerintah mulai tanggal 6 Maret 1962
– 13 Nopember 1963. Di dalam Kabinet III, Soekarno masih tetap
sebagai pimpinan kabinet. Namun yang fenomenal yaitu pengangkatan
Wakil-wakil Ketua MPRS dan DPRGR sebagai Menteri dan di
dalamnya terdapat DN Aidit dan MH Lukman dari Partai Komunis
Indonesia (PKI).
Pengangkatan Wakil-wakil Ketua MPRS dan DPRGR telah menyalahi UUD 1945. Hal ini menunjukkan bahwa MPRS dan DPRGR
sebagai Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara dalam UUD
1945 telah terkooptasi oleh Eksekutif (Presiden) atau dengan kata
lain menurut Deliar Noer,27 DPRGR dan MPRS merupakan “stempel”
bagi semua pemikiran, gagasan dan keinginan Soekarno. Presiden
yang mestinya di bawah MPR, tetapi justru sebaliknya. Demikian pula
dengan DPRGR yang seharusnya melakukan pengawasan terhadap
Eksekutif (Presiden), tetapi justru menjadi bawahan Eksekutif,
sehingga pengawasan dan pengontrolan akan sulit dilakukan oleh
Lembaga Legislatif (DPRGR) terhadap Eksekutif.
Selain itu, berkaitan dengan PKI, menurut Bibit28, masuknya
PKI ke dalam kabinet ini pada akhirnya membahayakan Negara dan
mengakibatkan Soekarno melahirkan ide NASAKOM (NasionalAgama-Komunis). Di sini menunjukkan bahwa ideology Komunis
mulai mempengaruhi system politik yang ada.
Kesalahan fatal yang dibuat secara kolektif di bawah kepemimpinan Soekarno dalam cabinet ini adalah MPRS mengeluarkan
Ketetapan (Tap) MPRS Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan
Presiden Seumur Hidup
Keberhasilan kabinet ini dapat memulihkan keamanan dengan
menyelesaikan kasus Irian Barat dan pemberontakan yang dilakukan
Kartosuwiryo di Jawa Barat, Ibnu Hajar di Kalimantan, Daud Beureuh
4) Kabinet Kerja IV (13 Nopember 1963-27 Agustus 1964)
Kabinet IV ini hasil Reshuffle dari Kabinet III. Posisi dalam
kabinet ini sebanyak 66 jabatan, tetapi dijabat oleh 59 orang, karena
ada yang merangkap jabatan sampai empat jabatan.
Kabinet ini berlangsung dari Tanggal 13 Nopember 1963 sampai
dengan Tanggal 27 Agustus 1964. Jadi umurnya hanya setahun dan
kabinet ini tetap dipimpin Soekarno. Meskipun telah beralih ke UUD
1945 yang mengatakan system pemerintahan Indonesia Presidensial,
tapi pimpinan kabinet sejak Demokrasi Terpimpin disebut Perdana
Menteri.
Sama halnya dengan kabinet sebelumnya, dalam kabinet ini, Ketua
MPRS disamakan dengan Wakil Perdana Menteri dan Wakil Ketua
MPRS disamakan dengan Menteri Koordinator. Jadi kesimpulannya,
Lembaga MPRS sebagai Lembaga Tertinggi Negara tidak berada di
atas Presiden, tetapi di bawah Presiden, karena Presiden ingin menjadi
penguasa tunggal dengan menerapkan Demokrasi Terpimpinnya.
Demikian pula memperlakukan Lembaga Tinggi seperti DPAS dan
DPRGR.
Program kerja yang dicanangkan dalam kabinet ini adalah
masalah sandang pangan, pengganyangan Malaysia dan melanjutkan
pembangunan. Menurut Bibit,29 kabinet ini juga mengakomodir PKI
dengan masuknya DN. Aidit, MH Lukman dan Umar Dhani. Dengan
ʹ͹Ibid., ŠǤ͵͸ͺǤ
ʹͺ‹„‹–—’”ƒ’–‘ǡPerkembangan Kabinet, ŠǤʹʹͺǤ
ʹͻIbid., ŠǤʹͶͺǤ
ၽႀ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
di Aceh dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Selain itu dapat
menyelenggarakan ASEAN GAMES IV dan GANEFO (Games of
the New Emerging Forces).
Tampaknya Soekarno senang melakukan perubahan-perubahan
cabinet atau Regrouping Cabinet (reshuffle). Terbukti di Kabinet Kerja
II dan III juga dilakukan reshuffle, sehingga Kabinet Kerja III harus
demisioner. Kemungkinan hal ini untuk mendapatkan penyegaran
kembali kabinet yang lama.
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Ž¡ž“˜“š™ၽႁ
demikian, menunjukkan PKI sedang berusaha menjadikan negeri ini
sebagai Negara Komunis dengan mengadakan pendekatan dengan
Bung Karno. Selain itu, masih menurut Bibit, bahwa konfrontasi
Indonesia - Malaysia dan aksi-aksi sepihak PKI di daerah pada masa
Kabinet ini adalah prolog kegiatan kudeta PKI terhadap Negara
Pancasila. Di sini telah terlihat perjuangan yang bersifat ideologis
dari PKI.
Kabinet Kerja IV hanya berumur Sembilan bulan dan berakhir
pada Tanggal 27 Agustus 1964, karena adanya Regrouping Cabinet
(reshuffle).
D. KeƟdakikutsertaan Masyumi dalam
Pemerintahan Soekarno
Pada masa Demokrasi Terpimpin partai Islam yang terbesar dan
memiliki reputasi yang baik adalah Partai Masyumi sampai pada
pemilu tahun 1955, Masyumi masih menduduki posisi ranking kedua
setelah PNI, tetapi perolehan kursi, justru Masyumi menduduki posisi
pertama.
Masyumi pernah beberapa kali memegang posisi Perdana
Menteri dalam Demokrasi Parlementer, yaitu pada Kabinet Natsir
(Masyumi), Kabinet Sukiman (Masyumi), Kabinet Burhanuddin
Harahab (Masyumi) dan Kabinet Ali I (PNI-Masyumi_NU). Selain
itu, Masyumi ikut memikirkan situasi dan kondisi Negara dengan
memberikan sumbangan-sumbangan, pemikiran-pemikiran, masukan-masukan dan kritik-kritik meskipun ketika dalam memberikan
masukan-masukan dan kritikan-kritikan seringkali berbeda dengan
penguasa pada waktu.
Dalam Demokrasi Terpimpin, Masyumi tidak ambil bagian karena
sejak awal Masyumi telah menolak “Konsepsi Soekarno tentang
Kabinet Gotong Royong dan pembentukan Dewan Nasional yang
dikemukakan pada tanggal 21 Februari 1957”30.
͵Ͳ‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡPartai Islam, ŠǤ͵ͷʹǦ͵ͷ͵Ǥ
ၾၸ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Selain itu ada kesengajaan Soekarno untuk menempatkan Islam
(Masyumi) di luar pemerintahan karena pada saat akan membentuk
kabinet Juanda (1957), Suwirjo sebagai ketua formatur mengatakan
bahwa tidak mungkin mengajak Masyumi turun ke dalam kabinet
dalam rangka tugas yang diberikan oleh Presiden kepadanya dan PKI
juga menuntut agar tidak melibatkan Masyumi ke dalam kabinet31.
Meskipun Suwirjo telah mendapatkan kepercayaan dari Presiden
tetapi Suwirjo gagal membentuk kabinet, karena partai-partai lain
menolak pihak Komunis dilibatkan. Kegagalan ini memberikan
kesempatan kepada Soekarno untuk merealisasikan ide pembentukan
zaken cabinet yang dinilai Masyumi sebagai penyimpangan terhadap
Undang Undang Dasar 1945.
Konflik Soekarno dengan Natsir (Masyumi) sebenarnya telah
dimulai sejak Soekarno menerapkan Sistem Pemerintahan menuju
Demokrasi Terpimpin dan hal ini telah disinggung di atas. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa konflik Soekarno dengan
Masyumi berkisar pada:
a.
b.
Munculnya konsepsi Presiden Soekarno tentang Demokrasi
Terpimpin, Pembentukan Kabinet Gotong Royong dan
Pembentukan Dewan Nasional.
Konsepsi ini muncul, karena Soekarno menganggap Demokrasi Parlementer adalah Demokrasi Barat dan tidak sesuai
dengan Timur (Indonesia). Sedangkan Natsir (Masyumi)
mengatakan bahwa “demokrasi sejati, di manapun asal
tumbuhnya, telah menjadi satu pengertian universal yang
tidak mengenal Timur maupun Barat…”32.
Keinginan Soekarno untuk memberangus partai-partai politik.
Menurut Natsir33, Selama demokrasi itu ada, selama itu
pula partai-partai terus ada. Salah satu syarat demokrasi
͵ͳIbid., ŠǤ͵͸ͳǤ
͵ʹIbid., ŠǤ͵ͷͺǤ
͵͵Ibid., ŠǤ͵ͷͶ†ƒ͵ͷͻǤ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Ž¡ž“˜“š™ၾၹ
c.
d.
e.
adalah partai sebagai alat untuk dengan jujur menegakkan
nilai-nilai yang berharga dalam hidup. Jangan alat-alat
itu dijadikan tujuan dengan menginjak nilai-nilai hidup.
Sekali lagi Natsir mengatakan bahwa tidak ada demokrasi
dalam suatu gleichschaltung-keadaan yang tidak mengizinkan
orang berbeda pendapat atau mengeluarkan pendapat yang
berbeda dengan penguasa. Natsir melihat toleransi terhadap
pendapat orang lain sebagai sifat esensial dari demokrasi
yang sesungguhnya.
Keikutsertaan dan Pengaruh PKI terhadap Soekarno.
Dalam suatu artikel, Natsir membandingkan antara Agama
dengan Komunisme dan mengingatkan masyarakat akan
tawaran kerjasama dari pihak Komunisme34. Menurut
Natsir yang pada waktu itu sebagai Ketua Masyumi, bahwa
“Inti kekuasaan yang dilancarkan Komunisme bersifat
kediktaturan, mana yang menghalangi, harus disingkirkan,
kalau perlu dengan jalan membunuh dan Komunisme
bertentangan dengan Demokrasi”35. Di sini menunjukan
telah terjadi pergulatan ideology antara Islam yang diwakili
Natsir (Masyumi) dengan Komunisme yang nota bene dibela
Soekarno.
Pembubaran Dewan Konstituante.
Sebagai lembaga yang dipilih secara demokratis, pembubaran
ini dianggap tidak menyalahi UUD 1945, mestinya Soekarno
dapat memberikan kesempatan Dewan Konstituante bekerja,
menyelesaikan tugasnya.
Masyumi dianggap terlibat dalam kasus PRRI-Permesta.
Secara organisatoris sebenarnya Masyumi tidak terlibat
dalam PRRI36. Awalnya daerah-daerah bergolak karena
tidak sepaham dengan kebijakan Soekarno seperti Sumatera
͵ͶIbid., ŠǤ͵ͷͻǤ
͵ͷIbid., ŠǤ͵͸ͲǤ
͵͸Ibid., ŠǤ͵ͺͷǤ
ၾၺ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara
dan Sulawesi Selatan yang merupakan kantong-kantong
suara Masyumi, Namun pada akhirnya beberapa pemimpin
Masyumi berpihak pada PRRI seperti Natsir, Burhanuddin
Harahab dan Syafruddin Prawiranegara. Masyumi sendiri
setelah ditinggal Natsir, di bawah kepemimpinan Prawoto,
menganggap bahwa sebenarnya Pemerintah Pusat (Soekarno)
dan PRRI menyalahi/melanggar UUD 1945. Oleh sebab itu
keduanya harus kembali mematuhi UUD 1945.37 Sikap
semacam ini dari Masyumi, di mata Pemerintah Pusat,
dianggap sikap yang tidak jelas.
Konflik Soekarno dengan Masyumi berakhir dengan
turunnya Penpres No. 7/1959 tentang Sistem Kepartaian
dan Penyederhanaan Sistem. Menurut Deliar Noer, Penpres
ini tampaknya ditujukan untuk Masyumi dan PSI, karena
terdapat pasal yang menyatakan bahwa dapat melarang dan
membubarkan partai yang sedang melakukan pemberontakan
karena pemimpin-pemimpinnya turut dalam pemberontakan
atau jelas memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak
dengan resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya.
Hal ini memang benar-benar ditujukan terutama kepada
Mayumi, karena pimpinan Masyumi pada waktu itu tidak
bersedia terang-terangan menyalahkan Natsir, Burhanuddin
dan Syafrudin Prawiranegara yang dianggap membantu
pemberontak oleh PRRI.
Kemudian Tanggal 17 Agustus 1960, Masyumi dibubarkan
oleh Soekarno. Ketidakikutsertaan Masyumi bukan berarti
umat Islam tidak terlibat dalam Demokrasi Terpimpin,
karena Presiden Soekarno masih merangkul Partai Islam
seperti NU, PSII, dan Perti ikut ke dalam barisannya. Meski-
͵͹Ibid., ŠǤ͵͹ͻǤ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Ž¡ž“˜“š™ၾၻ
pun begitu peranan umat Islam pada masa ini tidak menonjol
sebagaimana Masyumi pada masa Demokrasi Parlementer.
E. Keterlibatan NU, PSII dan PerƟ dalam
Pemerintahan Soekarno
E.1. Nahdlatul Ulama (NU)
Memasuki Sistem Pemerintahan Demokrasi Terpimpin, Masyumi tidak
lagi diajak Soekarno, karena berseberangan pemahaman, demikian
pula Masyumi juga praktis aspirasi umat Islam diwakili oleh NU
sebagai partai terbesar kedua setelah Masyumi. Selain itu ada PSII
dan Perti.
Sebelum Dewan Konstituante di bubarkan, sebenarnya Masyumi,
NU, PSII dan Perti sebagai partai yang berideology sama yaitu Islam,
memiliki kesepahaman yang kompak untuk mempertahan dasar
Ideologi Islam (NU ingin agar katan syariat Islam dikembalikan lagi
dalam Sila 1 Pancasila), tetapi tampaknya menurut Deliar Noer38,
paham NU, PSII dan Perti tentang “ideology dan praktek politik”
berbeda, karena ketika dalam Dewan Konstituante, ketiga partai
tersebut sepaham dengan Masyumi untuk mempertahankan Islam
sebagai dasar Negara, tetapi ketika diajak Soekarno dalam Kabinet
Juanda (1957), ketiga partai tersebut bersedia masuk bergabung
dengan Soekarno, sehingga lupa akan ikrar mereka dengan Masyumi,
Katholik, Parkindo dan PRI yang akan menolak konsepsi Soekarno.
Tampaknya NU, PSII dan Perti masih bisa diajak oleh Soekarno
dalam Demokrasi Terpimpin dan dianggap sepaham, karena NU,
PSII dan Perti dapat menerima pemikiran dan gagasan Soekarno
atau dengan kata lain, NU, PSII dan Perti mampu melakukan “politik
akomodatif ”39, meskipun awalnya ragu-ragu dan canggung, tapi lama
kelamaan terbiasa juga.
͵ͺIbid., ŠǤ͵ͻͳ
͵ͻIbid,. ŠǤ͵ͺͺǤ
ၾၼ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Keterlibatan NU ke dalam pemerintahan Soekarno bukan
tidak berdasar karena menurut Saifuddin Zuhri, keikutsertaan NU
didasarkan pada “logika pesantren”40 (Apa yang tidak dapat tercapai
100% janganlah ditinggalkan hasil yang hanya sebagian). Dasar
pertimbangan dengan Logika Pesantren ini tidak bisa dilepaskan dari
peran KH. Wahab.
Tergesernya Partai Masjumi, justru memberi peluang kepada
NU, PSII dan Perti untuk digandeng oleh Soekarno dalam pemerintahannya, meskipun di antara pengurus partai mengatakan bahwa
bukan partai sebagai institusi yang masuk, tetapi individu--individu
dari partai. Walaupun demikian, dapat dikatakan ketiga partai inilah
yang menjadi wakil umat Islam pada masa itu.
Meskipun Pemerintahan Sistem Demokrasi Terpimpin di bawah
Soekarno dianggap Masyumi sebagai pemerintahan yang bertentangan
dengan UUD 1945 dan ada yang menganggap bahwa Demokrasi
Terpimpin adalah “berwajah demokrasi minus demokrasi “41, tetapi
tidak mengurungkan niat partai-partai Islam untuk bergabung.
Demikian pula NU, tekadnya sudah bulat dan keterlibatannya
bukan tidak berdasar, logika pesantrenlah yang dijadikan pijakan.
Selain itu, Achmad Sjaichu, salah satu pengurus partai, mengatakan
bahwa umat Islam melakukan dua macam ijtihat yang hasilnya ikut
dalam sistem pemerintahan Soekarno atau menolak. Ternyata pilihan
hasil ijtihat yang pertama yang menuntun NU untuk bergabung dengan
Pemerintahan Soekarno. Hal ini diperkuat lagi dengan pernyataan
Idham Chalid bahwa keputusan untuk ikut dalam pemerintahan
Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno adalah keputusan yang
dilandasi agama. Dengan pernyataan-pernyataan tersebut, NU ingin
menyatakan bahwa keterlibatan mereka untuk kemaslahatan umat
dan memiliki dasar pemikiran.
Meskipun peran NU dalam Demokrasi Terpimpin bisa dikatakan
menggatikan posisi Masjumi, tetapi realitanya berbeda, karena posisi
ͶͲǤ›ƒϐ‹‹ƒƒ”‹ˆǡIslam dan PolitikǡŠǤͻͳ
ͶͳIbid.,ŠǤͻͳǤ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Ž¡ž“˜“š™ၾၽ
politik yang disandang NU pada masa ini, terbatas hanya sebagai Wakil
Perdana Menteri II pada Kabinet Juanda dan beberapa posisi lainnya
sebagai Menteri--belum pernah menduduki posisi sebagai Perdana
Menteri atau “orang pertama” dalam pemerintahan seperti Masjumi
di masa Demokrasi Parlementer.
Berikut perbandingan, dapat dilihat NU dalam posisi di beberapa
kabinet yang dibentuk Soekarno. Dalam Kabinet Djuanda (19571959), NU mendapat 4 posisi, yaitu Wakil Perdana Menteri II yang
dipegang oleh K.H. Idham Chalid, Menteri Perdagangan oleh Prof.
Sunardjo, Menteri Agama oleh K.H. M. Iljas dan Menteri Agraria
oleh Sunarjo.
Pada Kabinet Djuanda Reshuffle tahun 1958, NU ditambah
satu posisi lagi yaitu Menteri Penghubung Sipil—Militer diserahkan
kepada K.H. Wahib Wahab. Masuknya Wahib Wahab menambah
ikatan yang kuat antara Soekarno dengan partai, karena Wahib Wahab
adalah putra K.H. A. Wahab Hasbullah, ketua Rais am NU. Selain
memperoleh tambahan satu posisi, posisi yang dipegang oleh Prof.
Sunardjo tegeser dan digantikan oleh Rachmat Muljomiseno.
Kabinet Presidensiil tahun 1959—1965, NU hanya mendapat
3 kursi, yaitu kursi Menteri Muda Agama dipegang oleh K.H. Wahib
Wahab dan kursi Menteri Muda Penghubung Ulama dipegang oleh
K.H. Fatah Jasin. Pada kabinet ini, tak satupun partai Islam yang
diserahi posisi inti.
Pada Kabinet Reshuffle, tahun 1960, posisi Menteri Agama
diserahkan kepada K.H. Wahib wahab dan pada tahun 1962,
digantikan oleh K.H. Saifuddin Zuhri. Pada tahun ini juga, Zainul
Arifin dari NU sebagai DPRGR dan Idham Chalid sebagai Wakil
Ketua II MPRS. Meskipun pada waktu itu, kedua lembaga itu hanya
sebagai lembaga stempel.
Kabinet tahun 1963, masih memasukkan K.H Saifuddin
Zuhri sebagai Menteri Agama, K.H. Fatah Jasin sebagai Menteri
Penghubung Alim Ulama, Idham Chalis ex officio dan Achmad Sjaichu
sebagai Wajil Ketua DPRGR.
ၾၾ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Terakhir dari kabinet Demokrasi Terpimpin, NU masih diberi
kursi, yaitu kepada Saifuddin Zuhri, K.H. Fatah Jasin, Idham Chalid
dan Ahmad Sjaichu dengan posisi yang sama pada tahun 1963.
Tampaknya tidak banyak yang dapat diharapkan dari posisi NU
di kabinet, karena menurut Deliar Noer, posisi partai-partai Islam–
pada masa ini melemah. Berbeda dengan partai-partai non Muslim
justru menonjol.. Demikian pula peranan Partai Islam di Parlemen
(MPRS) juga tidak cerah, sebagaimana tampak pada masa Demokrasi
Parlementer. Hal ini wajar karena selain didominasi oleh partaipartai non Muslim dan Militer, juga Soekarno masih mendominasi
dan posisi yang diberikan kepada partai—partai Islam bukan posisi
strategis (inti).
Keikutsertaan NU, PSII dan Perti ke dalam pemerintahan
Soekarno merupakan pukulan berat bagi Masjumi, karena Masjumi
kini sendirian dalam memperjuangkan demokrasi. Apalagi ketiga
partai tersebut ikut hanyut dalam permainan politik Soekarno, maka
masa ini menurut Deliar Noer42 merupakan permulaan dari lembaran
gelap bagi umat Islam.
E.2. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
Selain NU, pemain kedua lainnya dalam Demokrasi Terpimpin dari
Partai Islam adalah PSII. Berikut ini terlihat keikutsertaannya PSII
dalam beberapa kabinet bentukan Soekarno, meskipun tidak terlalu
banyak dan dapat diharapkan tampil sebagaimana partai-partai Islam
di Demokrasi Parlementer. Meskipun diketahui bahwa PSII adalah
partai Islam pertama di Indonesia, tetapi sebagaimana dikatakan
Deliar Noer, pada masa ini- politik partai Islam mulai redup.
Pada Kabinet Djuanda (1957-1959), PSII hanya mendapat
1 kursi, yaitu Menteri Penerangan yang dipegang oleh Sudibjo.
Sedangkan pada kabinet Reshuffle tahun 1958, kursi Partai ini masih
tetap di posisi yang sama, juga orangnya. Dalam Kabinet Presidensiil
Ͷʹ‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡPartai Islam, ŠǤ͵͸ͷ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Ž¡ž“˜“š™ၾၿ
(1959—1965), PSII masih tetap satu kursi yang diserahkan kepada
Sudibyo dengan posisi Menteri Muda untuk Memobilisasi Kekuatan
Rakyat. Pada Reshuffle tahun 1960, posisi yang diterima partai ini
masih tetap, baik orang, maupun posisinya, hanya berganti nama
menjadi Menteri Pengerahan Tenaga Massa dan tahun 1962, berganti
nama menjadi Kementerian Penghubung dengan organisasi-organisasi
rakyat yang masih juga dipercayakan kepada Sudibyo. Selain itu,
Arudji Kartawinata juga mendapat posisi Wakil Ketua II DPRGR.
Reshuffle tahun 1963, Sudibyo diangkat sebagai Menteri /
Sekretais Jenderal Front Nasional dan Arudji Kartawinata sebagai ex
officio. Terakhir dalam kabinet Demokrasi Terpimpin, posisi dari
partai ini tetap, yaitu Sudibyo dan Arudji Kartawinata dalam posisi
yang sama. Di Parlemen (MPRS), PSII mendapat 5 kursi.
seimbang, jika dibandingkan dengan yang lain yang berjumlah 240
kursi. sehingga peran mereka dapat dikatakan tidak maksimal.
Setelah melihat bagaiman peran atau keikutsertaan NU, PSII dan
Perti, tampaknya Partai Islam belum mampu ikut mewarnai sistem
pemerintahan Demokrasi Terpimpin, mengingat posisi-posisi yang
diberikan tidak strategis dan kekuatan kelompok-kelompok nom
Muslim lebih dominan.
Meskipun pada masa ini partai-partai Islam kurang mendapat
peran yang berarti, tetapi masih ada wakil partai Islam. Dalam
kehidupan politik, kepentingan partai dan ambisi pribadi seringkali
mengalahkan segalanya, sehingga dasar ideologi yang disandangnya
tidak lagi menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan
lebih mengutamakan kepentingan partai atau pribadi daripada umat
secara keseluruhan.
E.3. Partai Tarbiyah Indonesia (PerƟ)
Partai Tarbiyah Indonesia (Perti), mulai aktif berperan pada masa
Demokrasi Terpimpin dengan menduduki satu posisi: Menteri Negara
pada kabinet Ali Sastroamidjojo II. Setelah Dekrit turun, nasibnya
sama dengan Partai Nahdatul Ulama (NU) dan Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII) bergabung dengan Pemerintahan Soekarno. Partai ini
setia kepada Soekarno dan setuju dengan Manipol yang dilontarkan
oleh Soekarno.
Meskipun masih diakui oleh Soekarno tetapi belum tampak
peran dan keikutsertaan dalam beberapa kabinet. Hanya tampak
pada akhir masa Demokrasi Terpimpin di dalam Parlemen gabungan
dengan mendapatkan posisi 2 kursi, NU sendiri 36 dan PSII hanya
mendapat 5. Total semuanya hanya 43 (15,19%) kursi dari 283 kursi
yang disediakan.
Jumlah ini sangat kecil, jika dibandingkan dengan jumlah
suara umat Islam pada hasil pemilu tahun 1955 sebanyak 115 kursi.
Dengan komposisi ini menandakan bahwa kekuatan umat Islam tidak
ၾႀ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Ž¡ž“˜“š™ၾႁ
RANGKUMAN
Tampaknya pada masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno benarbenar menerapkan gagasannya tentang demokrasi dan menggandeng
PKI dan Militer sebagai patnernya. Meskipun gagasan Soekarno
mendapat tantangan dari umat Islam, khususnya Masyumi, tetapi
Soekarno tetap pada pendiriannya.
Pada masa ini, kekuatan Islam mulai redup, meskipun telah
diwakili oleh NU, PSII dan Perti. Penampilan NU dalam Demokrasi
Terpimpin bisa dikatakan menggantikan posisi Masyumi tetapi
kenyataannya berbeda, karena posisi politik yang dipegang NU
terbatas sebagai Menteri Agama dan belum pernah menduduki posisi
sebagai Perdana Menteri atau “orang pertama dalam pemerintahan”43
seperti Masyumi. Meskipun demikian, kontribusi NU juga dapat
dirasakan sampai sekarang, yaitu berjasa dalam pendirian IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta di bawah Departemen Agama yang dipimpin
kalangan NU.
Ͷ͵Ibid., ŠǤͳͲͲǤ
ၿၸ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
BAB V
DEMOKRASI PANCASILA
A. Penumpasan G 30 S/PKI
Gerakan 30 September atau yang sering disingkat, G-30S/PKI, atau
Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), atau Gestok (Gerakan
Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi malam tanggal 30
September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam pejabat tinggi
militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu
usaha percobaan kudeta yang awalnya dituduhkan kepada Dewan
Jenderal namun selanjutnya dianggap sebagai upaya pemberontakkan
oleh Partai Komunis Indonesia.
Gerakan politik yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia
(PKI) sejak pembentukkannya merupakan fenomena tersendiri bagi
sejarah politik Indonesia, bukan hanya karena PKI memiliki anggota
yang banyak, organisasi yang terstruktur rapi, organisasi-organisasi
pendukung yang sangat solid, PKI juga merupakan organisasi partai
politik dengan hubungan komunikasi yang sangat luas dengan
beberapa negara, hingga partai politik yang beberapa kali menjadi
partai politik yang cukup diperhitungkan pada pemilihan umum pada
masa Orde Lama ini menjadi lebih menarik ketimbang partai politik
lain pada waktu itu.
Beberapa kali melakukan percobaan pemberontakan, PKI masih
terbentur dengan semangat kemerdekaan dan nasionalisme yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia, namun demikian, upaya penguatan
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ၿၹ
organisasi terus dilakukan baik dengan mobilisasi kebawah yang
dilakukan secara lebih intens, maupun loby-loby politik tingkat elit
yang lebih kuat, hingga Soekarno memberikan perhatian yang lebih
kepada PKI di banding kepada partai-partai politik lain.
Upaya mobilisasi dan propaganda lebih dikuatkan dengan
membentuk Serikat Buruh dan Pelayaran (SBPP) pada tahun 1950.
Selanjutnya pada tahun 1951, PKI semakin gencar melakukan
propaganda, terutama di kalangan wanita, petani, buruh, dan nelayan
(kelolompok grass root). PKI di tangan D.N. Aidit menjadi lebih
progresif disbanding ketika berada di bawah pimpinan Alimin.1 Upaya
propaganda yang dilakukan Aidit dan PKI mendapat perlawanan
yang cukup seimbang dari tentara, pada Oktober 1952, Jenderal
A.H. Nasutiaon dan Jenderal S. Parman berusaha melakukan gerakan
politik untuk mempengaruhi politik sipil dengan meminta Soekarno
membentuk pemerintahan baru, namun ide ini di tolak secara tegas
oleh Soekarno dan membuat A.H. Nasution dirumahkan dan tentara
dipinggirkan dari kekuasaan politik dengan mengembalikan mereka
pada tempat seharusnya, yaitu di barrak.
Sikap pasif politik yang ditunjukkan tentara pada sat itu justru
membuat Aidit mencoba mendekati tentara dengan membuat Biro
Chusus yang di komandani Sjam Kamaruzzaman yang bertugas
menangani tentara dengan melakukan propaganda dan mobilisasi
secara terselubung, hingga pada pemilihan umum 1955 PKI menjadi
salah satu dari empat besar partai politik pemenang pemilu, dan
disinyalir 30% perolehan suara berasal dari tentara.2 Hal ini membuat
A.H. Nasution khawatir dan mengeluarkan surat perintah KASAD No.
PRIN-537/10/1956 yang melarang setiap anggota tentara untuk ikut
dalam partai politik, karena bagi nasution, bila tentara sudah terlibat
dalam partai politik hal tersebut dapat memecah belah bangsa.3
Dalam kurun waktu 1957 – 1958, PKI adalah kekuatan politik
terbesar di Indonesia yang membuat resah beberapa negara lain yang
masuk dalam kategori negara anti komunis seperti Amerika Serikat,
karena itu kekuatan Internasional Amerika ikut bermain dengan
melakukan propaganda dikalangan Angkatan darat yang diharapkan
dapat menjadi kekuatan counter terhadap PKI. Pada era 195 – 1960,
PKI sebagai partai massa terus membesar dan mengumandangkan
propaganda Revolusi Agraria4 yang mendapatkan sambutan hangat
dari massa grass root yang dimiliki.
Pada era demokrasi terpimpin, dimana seluruh tampuk pimpinan organisasi-organisai pendukung pemerintahan diambil alih
Soekarno yang tidak hanya menjadi penguasa politik, tetapi juga
menjadi penguasa keamanan, beberapa kepentingan politik baik
dari sipil maupun adari militer bermain disekeliling Soekarno yang
sedang gencar mengumandangkan ideology Nasionalis Agama
Komunis (Nasakom) sampai pada puncaknya di tahun 1963 Soekarno
dikukuhkan sebagai presiden seumur hidup.
Hiruk pikuk dan ketegangan dimulai ketika pada 23 Mei 1965,
setelah isu Dewan Jenderal mulai merebak, muncul pula isu tentang
adanya Dokumen Gilchrist, isu keterlibatan Amerika, Partai Komunis
Indonesia (PKI) merayakan ulang tahun secara besar besaran dengan
pengerahan massa lebih dari ratusan ribu anggotanya di Istora
Senayan, hal ini menunjukkan bagaimana PKI ingin menunjukkan
bagaimana besar massa yang dimilikinya, menurut Aidit, PKI memiliki
20 juta anggota di seluruh Indonesia.5
Isu Dewan Jenderal yang cukup meresahkan Soekarno ditentang
dengan tegas oleh Jenderal Ahmad Yani, setelah Soekarno melakukan
pemanggilan kepada para panglima ke Istana, ahmad yani menegaskan
didepan para Panglima Komando daerah Militer (Pangkodam) bahwa
ͳ ‰—‰ ™‹ ƒ”–ƒ–‘ǡ The Missing Link G 30 S: Misteri Sjam Kamaruzzaman & Biro
Chusus PKIǡȋ‘‰›ƒƒ”–ƒǣƒ”ƒ•‹ǡʹͲͳͳȌǡŠǤͳͻ
ʹ„‹†ǤǡŠǤʹͳ
͵„‹†Ǥ
Ͷ–‘‹—•—ƒ”™ƒǡMenyebrangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol’65 dan Upaya
Rekonsiliasiǡȋ‘‰›ƒƒ”–ƒǣ„ƒǡʹͲͲ͹ȌǡŠǤͶ͸
ͷ„‹†ǤǡŠǤ͵͹
ၿၺ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ၿၻ
Dewan Jenderal hanya sebuah isu dan propaganda politik kelompok
tertentu.
Ketika Soekarno dinyatakan sakit gejala stroke oleh tim dokter
dari RRC pada agustus 1965, kondisi politik semakin memanas, Aidit
melakukan koordinasi secara cepat dengan beberapa orang anggotanya
untuk membicarakan kemungkinan melakukan gerakan militer sebagai
antisipasi kemungkinan dilakukannya coup oleh Dewan Jenderal bila
kondisi Soekarno memburuk.6 Mobilisasi dan koordinasi kekuatan
militer yang berpihak pada PKI secara gencar dilakukan, hingga Aidit
sudah menyiapkan pasukan untuk menjalankan rencana penculikan
dan mengusahakan pengakuan dari beberapa jenderal yang dianggap
terlibat dalam Dewan Jenderal tentang isu rencana kudeta yang
mereka rencanakan untuk selanjutnya akan dilakukan pengadilan
rakyat kepada mereka dengan tuduhan upaya penghianatan.7 Para
jenderal yang menjadi target adalah; Jenderal A.H. nasution, Letjen
Ahmad Yani, Mayjen S. Parman, Mayjen Suprapto, Mayjen MT.
Harjono, Bigjen D.I. Panjaitan, Brigjen Sutojo Siswomiharjo, dan
Brigjen Achmad Sukendro.
Rencana Aidit mulai dilaksanakan pada tanggal 30 September
malam dengan mengerahkan operasi Pasopati untuk menculik para
jenderal yang menjadi target.
Gerakan 30 September 1965/PKI merupakan puncak kejatuhan
pemerintahan Orde Lama di bawah Presiden Soekarno. Kondisi sangat
mencekam dan tumpuan terakhir pada waktu itu hanya ada pada
militer, karena selain militer dianggap mampu menyelesaikannya, juga
Soekarno telah dianggap terlibat dan melindungi perbuatan Partai
Komunis Indonesia (PKI).
Akhirnya dengan persenjataan dan perlengkapan yang dimiliki
militer dan di bawah komando Letnan Jenderal Soeharto, militer
berhasil mengamankan kota Jakarta dan menyelesaikan masalah
Gerakan 30 September 1965 dengan bantuan seluruh lapisan
͸‰—‰™‹ƒ”–ƒ–‘ǡThe Missing Link.., Ibid., h. 39
͹„‹†ǤǡŠǤͶͻ
ၿၼ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
masyarakat. Partisipasi masyarakat didorong oleh karena sebagian
besar rakyat sejak dulu tidak menyukai keberadaan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Khusus dengan umat Islam, Partai Komunis Indonesia
(PKI) bertentangan secara ideologis, dianggap sebagai musuh bangsa
Indonesia, pada tanggal 3 Oktober 1965, mayat para korban G 30
SPKi berhasil ditemukan di daerah Lubang Buaya.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI
Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusi yang dimaksudkan
sebagai badan politik yang meliputi dan mewakili golongan masyarakat
luas yang bertugas membentuk pemerintahan koalisi nasional berporos
Nasakom di bawah pimpinan presiden Soekarno.8
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk
menciptakan “persatuan nasional”, yaitu persatuan antara angkatan
bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro
Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota
dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung “pemimpin revolusi
Indonesia” dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini
dicetak ulang di koran CPA bernama “Tribune”.
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto
menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut
kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto
disumpah.9
Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan
Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat
ini satu Angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata
daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca
Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri diatas Trisakti, yang sama
sekali berdiri diatas Nasakom, yang sama sekali berdiri diatas prinsip
Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.
ͺ„‹†ǤǡŠǤͷ͹
ͻ—†‹‡–›‘‘ǡRevolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 september
1965, ȋƒƒ”–ƒǣƒ™ƒ•ƒ”ƒǡʹͲͲ͵Ȍ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ၿၽ
Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi
sebagai haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh karena ManipolUSDEK ini adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka
dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita.
Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan
Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca
Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.
Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam
kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan
kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta
kita dan beserta engkau!
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno
memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah
Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil “langkahlangkah yang sesuai” untuk mengembalikan ketenangan dan untuk
melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas
ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai
penghargaan atas jasa-jasanya, Dengan berbekal Surat Perintah 11
Maret 1966, maka secara informal, kekuasaan kini telah beralih ke
tangan Soeharto.
B. Jalur ABG dalam Pemerintahan Soeharto
Pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto,
selalu memakai jalur ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar) dalam
pengambilan keputusan politik, seperti penempatan seorang pejabat
(bupati, Gubernur), maupun pemilihan pimpinan tertinggi (presiden).
Ketiga jalur tersebut boleh dikatakan sangat dominan dalam
pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun, sehingga Karl D. Jackson
mengatakan bahwa Sistem Politik Indonesia adalah Bureaucratic
Polity (Masyarakat Politik Birokratik), yaitu segala keputusan politik
ditentukan oleh para perwira militer dan pejabat birokrasi.
ၿၾ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Hal tersebut menunjukan bahwa pemerintahan Indonesia di
bawah Orde Baru sangat didominasi oleh militer dan Birokrasi. Hal
ini tidak dapat dipungkiri, mengingat munculnya pemerintahan
Orde Baru tidak terlepas dari campur tangan militer dan Birokrasi.
Sedangkan Golkar merupakan penjaga gawang kelanjutan kekuasaan
melalui mekanisme pemilihan umum. Dan keikutsertaan ketiga
komponen ini memang disengaja untuk melancarkan pembangunan
ekonomi yang dicanangkan pemerintahan Orde Baru, ketika awalawal pemerintahan Orde Baru berkuasa.
Berikut ini akan dijelaskan sejauh mana keikutsertaan ketiga
komponen tersebut dalam menjalankan, menjaga kelangsungan
pembangunan ekonomi yang diprioritaskan Orde Baru.
1.
Militer sebagai Stabilisator Pembangunan
Sebenarnya keterlibatan militer dalam politik telah dimulai ketika
“Presiden Soekarno membentuk Dewan Nasional pada tanggal 6
Mei 1957,10 tetapi secara tegas keterlibatan tersebut baru terlihat
ketika Presiden Soekarno berpidato dan menyampaikan definisi
tentang “golongan-golongan fungsionil”11 dari keanggotaan Dewan
Nasional pada tanggal 9 Juni 1957 di Serang Jawa Barat. Meskipun
demikian, “posisi militer dalam Dewan Nasional tidaklah menonjol
karena Soekarno dan golongan sipil lebih menguasai lembaga politik
tersebut.12
Keterlibatan militer dalam politik pada saat ini diperkuat oleh
doktrin Dwi fungsi ABRI yang kini melekat dalam tubuhnya. Dokrin
ini diperkenalkan pertama kali oleh Jenderal AH Nasution dalam
“konsep jalan tengah” pada tahun 1958.13
ͳͲ‡‘—”›ƒ†‹ƒ–ƒǡ Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik, ȋƒƒ”–ƒǣ͵ǡ
ͳͻͻʹȌǡŠƒŽǤͳͲ
ͳͳ„‹†Ǥ
ͳʹ„‹†ǤǡŠƒŽǤͳͳ
ͳ͵„‹†ǤǡŠƒŽǤͶͳ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ၿၿ
Konsep jalan tengah adalah upaya pembatasan keterlibatan
militer dalam poiitik yang berarti bahwa militer tidak boleh mengambil
alih pemerintahan, telapi juga “tidak diam sama sekali”, “artinya ABRI
turut pula di dalam proses pengambilan keputusan politik bersama
kekuatan sosial politik lainnya sambil menghindari supremasi militer
terhadap sipil. Kemudian konsep jalan tengah tidak terdengar lagi
pada Seminar Angkatan Darat Pertama pada bulan April 1965.14 Yang
ada, hanya konsep dwi fungsi ABRI yang menunjukkan tidak ada
pembatasan yang ditetapkan menyangkut peranan tentara.15 Dengan
demikian, berarti ada keinginan militer dalam hal ini Angkatan Darat
untuk ikut terlibat ke dalam masalah-masalah non militer.
Ketegasan dwi fungsi ini dikembangkan lebih jauh dalam Seminar
Angkatan Darat Kedua pada bulan Agustus 196616 yang secara tegas
memperlihatkan keinginan militer untuk terlibat, baik dalam masalah
militer, maupun non militer. Hal ini dipertegas pula oleh Ali Murtopo
sebagai juru bicara Orde Baru pada waktu ituyang mengatakan bahwa
“Pernyataan-pernyataan para pemimpin ABRI telah menegaskan
bahwa dwi fungsi akan dipertahankan. Dan ini diakui oleh UndangUndang Konsep ABRI dalam kaitannya dengan Ideologi Negara
telah dilembagakan, dan ABRI tidak ingin menjadi alat negara yang
mempunyai ideology berbeda. Oleh karena itu, hak konstitusional
ABRI untuk melibatkan diri di dalam perjuangan politik tidak akan
ditinggalkan oleh ABRI “17
Selain itu, pernyataan dukungan terhadap dwi fungsi ABRI
datang juga dari kepala negara Presiden Soeharto dalam pidatonya
pada tahun 1971 sebelum menjelang pemilu: “Jangan ada lagi
kelompok di dalam masyarakat yang ingin memaksakan kehendaknya
untuk mengubah sistem dwi fungsi ini. Desakan untuk menghapus dwi
fungsi ABRI secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi akan
sangat berakibat negatif dan bahkan akan menumbuhkan sentimen
ABRI untuk bertindak tidak demokratis”.18
Tampaknya dwi fungsi ABRI memang merupakan suatu
kebutuhan19 bagi negara seperti Indonesia yang sedang melakukan
pembangunan dalam rangka menjaga stabilitas politik. Selain itu,
apabila dihubungkan dengan masalah pembangunan, militer lebih
mampu untuk menjadi modernisator20 dan lebih terikat secara
konsekuen kepada pembangunan daripada sipil, karena ada beberapa
faktor yang menurut Arbi Sanit memungkinkan berkembangnya
sikap tersebut di kalangan militer, yaitu Pertama, militer terbiasa
membandingkan masyarakat sendiri dengan keadaan masyarakat
di negara-negara lain. Kedua, militer lebih rasional, efisien, dan
pragmatis. Dan ketiga, militer mempunyai jarak dengan masyarakat
sipil.21
Warisan pemerintahan Orde Lama kepada Soeharto dalam bentuk
inflasi yang tinggi (650%) dan perekonomian yang buruk (kemiskinan)
merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah Orde Baru di bawah
Soeharto, sehingga ketika Orde Baru memulai pekerjaaiinya, maka
prioritas utama dalam kebijakan yang diambil adalah pembangunan
ekonomi, dimana kelompok yang paling bias diandalkan untuk
mendukung upaya ini adalah ABRI yang diyakini sebagai stabilisator
sekaligus mobilisator yang diyakini paling mampu mendukung
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Tugas Menjaga kestabilan politik diserahkan kepada Militer untuk
menanganinya. Militer dianggap mampu menjadi stabilisator dengan
sumber power yang dimilikinya, yaitu senjata, sistem komando dan
disiplin yang tinggi
Karena kestabilan politik adalah faktor pendukung bagi pembangunan ekonomi, maka untuk mendapatkan kestabilan politik
ͳͶ„‹†Ǥ
ͳͷ„‹†Ǥ
ͳ͸„‹†Ǥ
ͳ͹„‹†Ǥ
ͳͺ„‹†ǤǡŠƒŽǤͶ͵
ͳͻ„†—Žƒœ‹•Šƒ„ƒǡIslam dan Negara Dalam Politik Orde Baru,ȋƒƒ”–ƒǣ
‡ƒ•ƒ‹
”‡••ǡͳͻͻ͸ȌǡŠƒŽǤͳͻʹ
ʹͲ”„‹ƒ‹–ǡSistem Politik Indonesiaǡȋƒƒ”–ƒǣƒŒƒ™ƒŽ‹”‡••ǡͳͻͺʹȌǡŠƒŽǤ͹ͷ
ʹͳ„‹†ǤǡŠƒŽǤ͹͸Ǧ͹͹
ၿႀ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ၿႁ
tersebut, harus meredam partisipasi politik masyarakat, karena
partisipasi politik masyarakat yang terlalu tinggi akan mengganggu
pembangunan ekonomi yang sedang berlangsung. Pada masa ini,
para pemimpin Angkatan Darat berpendapat bahwa pemerintahan
yang bersifat militeristik akan menjamin terjaganya stabilitas politik
yang dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi.22 Selain sebagai
kebutuhan, stabilitas keamanan dan politik juga menjadi syarat mutlak
bagi upaya penarikan minat investasi asing yang akan mendukung
proses pembangunan ekonomi yang menjadi rancang bangun strategi
pemerintahan Soeharto.
Salah satu upaya yang dilakukan militer untuk menjaga stabilitas
politik adalah dengan menjaga seketat mungkin setiap gejala destruktif
dan anarkis yang muncul dalam gejolak politik di tengah masyarakat.
Segala bentuk partisipasi politik dibatasi dan di control dengan
ketat, peredaman partisipasi politik dilakukan berbagai cara melalui
pencegahan aktititas individu atau kelompok, seperti pemeriksaan
naskah ceramah Mubaliq, pelarangan demonstrasi-demonstrasi
yang dilakukan mahasiswa atau kaum buruh oleh Polisi., digulirkan
NKK/BKK untuk membatasi gerak politik mahasiswa, dan rekayasarekayasa politik dilakukan untuk golongan fundamentalis Islam, agar
ruang geraknya terbatas.
Upaya untuk mencapai kestabilan politik tidak hanya ditujukan
kepada masyarakat umum, tetapi juga ditujukan ke lembaga Legislatif
yang merupakan lembaga perwakilan rakyat yang terhormat Yang
berbicara kritis dan vokal akan segera direcall, sungguh sangat ironis
sekali bagi sebuah lembaga Legislatif yang semestinya berfungsi sebagai
pengontrol pemerintah atau eksekutif, justru dikontrol oleh pihak
eksekutif, sehingga seringkali ada Istilah D5 (Datang Duduk, Dengar,
Dapat Duit) untuk Dewan perwakilan Rakyat (DPR)
Angkatan Bersenjata adalah alat yang paling vital yang digunakan oleh soeharto untuk menjaga stabilitas kekuasaannya. ABRI
ʹʹ ƒ”‘Ž† ”‘—…Šǡ Militer dan Politik di Indonesiaǡ ȋƒƒ”–ƒǣ —•–ƒƒ ‹ƒ” ƒ”ƒ’ƒǡ
ͳͻͻͻȌǡŠƒŽǤ͵Ͳͺ
ႀၸ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
menjadi fasilitator otoritarianisme negara atas seluruh kepentingan
masyarakat dengan doktrin DWI FUNGSI yang diimplementasikan
selama pemerintahan ini. Doktrin dwifungsi ABRI menegaskan model
intervensi Negara yang ditafsirkan sebagai dua peran ganda militer
yang saling berkaitan, yaitu sebagai pembela satu-satunya lembaga
yang bertanggungjawab dalam membela negara yang tidak hanya
berfungsi membela Negara dari ancaman militer konvensional dari
luar negeri, tetapi juga dari bahaya dalam negeri baik yang bersifat
militeristik maupun ancaman dalam bentuk lain seperti politik,
ekonomi, social, budaya dan ideology.23
Angkatan bersenjata mengimplementasikan doktrin dwifungsi
nya kedalam seluruh organ pemerintahan mulai dari tingkat tertinggi
sampai yang terendah, ABRI menempatkan tenaga militer, yang aktif
maupun para purnawirawan ke dalam DPR/MPR, kementrian, kepala
daerah provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, bahkan sampai tingkat
kelurahan. ABRI juga mengawasi masyarakat melalui komando
territorial yang meliputi seluruh Negara dari Jakarta sampai pulau
terpencil,termasuk setiap desa.24 Perwira ABRI yang aktif maupun
purnawirawan, diangkat memegang jabatan di pemerintahan sipil
dengan alas an perlindungan dan pengawasan. Pada kurun waktu
antara 1980-an – 1990-an proporsi pengangkatan militer agak
menurun, namun di lembaga eksekutif, khususnya kementrian dalam
negeri yang mengurus pemerintahan daerah dan memiliki direktorat
jendral yang memantau lembaga-lembaga politik dan social di seluruh
Indonesia tidak pernah di pegang oleh menteri yang berasal dari
sipil.25
Begitulah pemerintah Orde Baru melalui Militer dan Badan
Inteiejennya memainkan peran yang sangat dominan, membatasi
ruang gerak masyarakat terutama yang dianggap membahayakan
ʹ͵Ǥ‹ŽŽ‹ƒ‹††Ž‡ǡ Rezim: Orde baru †ƒŽƒ‘ƒŽ†Ǥ‡”•‘ǡ Indonesia Beyond
Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisiǡȋƒƒ”–ƒǣ
”ƒ‡†‹ƒ—•–ƒƒ–ƒƒǡ
ʹͲͲͳȌǡŠƒŽǤ͹Ͷ
ʹͶ„‹†Ǥ
ʹͷ„‹†ǤǡŠƒŽǤ͹ͷ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ႀၹ
status quo pemerintahan dengan dalih untuk melindungi kelangsungan pembangunan ekonomi yang diperuntukkan rakyat semua.
Meskipun pembangunan ekonomi itu sendiri ternyata hasilnya hanya
untuk sekelompok orang tertentu.
Tindakan Militer dan Badan Intelejennya seringkali melampaui
batas-batas kemanusiaan. Contoh yang dapat dilihat adalah
pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) di Aceh dan Timor Timur
oleh Militer, dan masih banyak lagi contoh pelanggaran HAM dan
kekerasan yang dilakukan oleh militer atas nama menjaga stabilitas
keamanan dan pertahanan dari ancaman anarkisme dan disintegrasi
di Indonesia.
2.
Birokrasi sebagai penggerak pembangunan
Peran Birokrasi pada masa pemerintahan Orde Baru seiring dengan
peran yang dimainkan Militer di Indonesia. Ketika pembangunan
ekonomi menjadi prioritas utama pemerintah Orde Baru, maka tugas
untuk menjalankan roda pembangunan ekonomi ini diserahkan
kepada para Teknokrat dan Birokrasi.
Mohtar Mas’oed mengatakan bahwa semakin besar perhatian
pemerintah terhadap kesejahteraan warga negaranya maka semakin
meningkat pula campur tangan pemerintah, terutama di bidang
ekonomi (masyarakat) Dengan demikian, fungsi pemerintah akan
bertambah luas.26 Fungsi-fungsi yang begitu luas, mengharuskan
pemerintah menciptakan suatu jaringan struktur-struktur yang bisa
menjamin terlaksananya fungsi-fungsi tersebut secara efektif dan
efisien.27
Menurut Weber, pelaksanaan secara efektif dan efisien ini
hanya mampu dilakukan oleh Birokrasi, karena Birokrasi memiliki
beberapa karakteristik ideal seperti pembagian kerja, jenjang hierarki,
pengaturan perilaku pemegang jabatan Birokrasi (ada aturan formal),
ʹ͸ ‘Š–ƒ” ƒ•ǯ‘‡†ǡ Pengantar Perbandingan Politikǡ ȋ‘‰›ƒƒ”–ƒǣ ”‡••ǡ ͳͻͺͻȌǡ
ŠƒŽǤ͵ͷ
ʹ͹„‹†ǤǡŠƒŽǤͻͺ
ႀၺ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
hubungan yang bersifat impersonalitas, memiliki kemampuan teknis,
dan jenjang karir.28
Dengan struktur yang dimiliki Birokrasi tersebut, Birokrasi dapat
dikatakan sebagai mobile pembangunan dalam suatu negara dan
membuat Birokrasi sangat dibutuhkan dalam masyarakat, sehingga
seringkali peran Birokrasi tampak berlebihan, jika dibandingkan
dengan pejabat eksekutif itu sendiri. Idealnya Birokrasi hanya sebagai
pelaksana kebijakan pemerintah, tetapi dalam prakteknya, terlibat
dalam proses pembuatan kebijakan tersebut. Hal ini dikarenakan
informasi dan penguasaan teknis yang dimiliki Birokrasi, sehingga
hampir seluruh kehidupan masyarakat dimasuki Birokrasi, tidak
terkecuali Birokrasi di Indonesia.
Dalam pembangunan ekonomi yang membutuhkan investor
asing, Birokrasi dibutuhkan untuk melancarkan masuknya investor
asing tersebut dengan memberikan perizinan-perizinan. Kekuasaan
yang dimiliki Birokrasi ini tidak hanya terbatas pada investor, tetapi
pendirian organisasi-organisasi baru juga harus mendapat izin
Birokrasi. Perizinan ini diberikan, sejauh tidak bertentangan dengan
stabilitas politik yang diinginkan pemerintah, karena hal ini juga
bergandeng tangan dengan masalah partisipasi politik masyarakat.
Dengan sistem semacam itu, pada pemerintahan Orde Baru, tak
memberikan kesempatan kepada organisasi sosial politik mandiri,
bahkan sebaliknya tergantung pada Birokrasi, tanpa kecuali. Ini
pertanda bahwa peran Birokrasi sangat kuat bagaikan gurita.
Dengan lengsernya Soeharto, kemudian tampilnya kepemimpinan
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan melikuidasi Departemen
Penerangan dan Sosial, ini pertanda ada keinginan mengurangi peran
Birokrasi, meskipun hal ini belum ada jaminan, apakah peran Birokrasi
akan berkurang.
ʹͺ„‹†Ǥ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ႀၻ
3.
Golkar sebagai Penjaga Gawang Status Quo Orde Baru
Pembentukan Golkar sebagai sebuah partai politik yang ikut sebagai kontestan dalam pemilihan umum dimulai dengan adanya
pembentukan Sekber Golkar pada bulan Oktober I964 yang
di dalamnya melibatkan anggota dari para pekerja (buruh), pegawai negeri, guru dan golongan profesional lainnya, serta tidak
ketinggalan dari Militer sendiri, meskipun pada dasarnya militer tidak
diperkenankan berpolitik praktis.
Ide pembentukan Golkar itu sendiri sebenarnya ingin membawa
aspirasi dari pihak militer, sehingga Golkar dapat dianggap sebagai
penopang bagi keterlibatan Militer dalam panggung politik di
Indonesia.
Kalau Militer dipergunakan sebagai strabilisator politik untuk
mendukung pembangunan ekonomi dan Birokrasi sebagai mobile bagi
pembangunan ekonomi itu sendiri, maka Golkar dirangkul-bahkan
sengaja diciptakan untuk mengantarkan pihak penguasa dalam hal
ini Militer untuk melenggang ke dalam panggung politik pada masa
pemerintahan Orde Baru.
Pertama kalinya Golkar ikut dalam pemilihan umum pada tahun
1971 di bawah kepemimpinan Soeharto (militer) di bawah Orde Baru
dan 6 kali berturut-turut memenangkan pemilihan umum. Dengan
kemenangan Golkar berarti kemenangan pula bagi golongan Militer
dan Orde Baru.
Kemenangan Golongan Karya (Golkar) ini tidak luput dari bantuan atau dukungan pegawai negeri yang tergabung dalam Korpri
(Korp Pegawai Negeri) yang sengaja dibentuk oleh pemerintah Orde
Baru dan diharapkan memberikan monoloyalitas kepada pemerintah
dan hal ini diiplementasikan pada saat pemilihan umum dengan
mewajibkan memilih Golkar. Terakumulasinya suara kelmpok birokrat
untuk kemenangan Golkar dalam setiap pemilu dilakukan dengan
berbagai cara, baik yang formal melalui peraturan pemerintah seperti
Peraturan Presiden No. tahun 1970 yang melarang seluruh pegawai
ႀၼ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
negeri untuk melakukan kegiatan politik dan terlibat dalam partai
politik dan mengharuskan untuk menyatakan loyalitas tunggal kepada
pemerintah, juga Keppres No. 82 tahun 1971 tentang pembentukkan
KOPRI, semakin menyempurnakan jalinan patronase vertical antara
Golkar dan pemerintah melalui aparat birokrasi yang berada di
bawah naungan Departemen Dalam Negeri sebagai Departemen
yang mengendalikan politik dalam negeri dan penanggungjawab
pengelolaan aparatur Negara berusaha menghimpun segenap kekuatan
pegawai neageri dan mencegah pengaruh partai politik kedalam tubuh
birokrasi.29
Selain hubungan vertical, Golkar juga membangun hubungan
horizontal dengan upaya memberikat reward sebagai umpan balik
kepada masyarakat melalui kemudahan-kemudahan perizinan usaha,
kesempatan menjadi rekanan proyek pemerintah, kemudahan tender,
dan lain-lain, hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan swasta
karena menguntungkan secara financial.
C. Kebijakan Orde Bara Terhadap Partai-Partai PoliƟk
Pada periode ini, pemerintah Orde Baru mengambil satu kebijakan
politik yang sangat menguntungkan, yaitu fusi partai-partai politik
pada tanggai 5 januari I973.30 Strategi ini dilakukan karena mengingat
sejarah system multi partai pada masa Orde Lama yang memiliki sisi
negative yaitu ketidakstabilan politik, meskipun sisi positifnya ada
yaitu aspirasi masyarakat dapat tertampung dan bersifat demokratis.
Sikap traumatis semcam inilah yang menjadikan pemerintah Orde
Baru merubah haluan politiknya dengan mengutamakan stabiliias
politik dan salah satu cara yang ditempuh adalah melakukan fusi
partai-partai yang ada, yaitu menyatukan aspirasi masyarakal yang
sama dalain satu wadah. Walaupun kenyataannya masih menggunakan
ʹͻ‘ƒŽ†Ǥ‡”•‘ǡThe Bereaucracy in Pilitical Context:Weakness in Strenghtǡ†ƒŽƒ
ƒ”ŽǤƒ…•‘ƒ†—…‹ƒǤ›‡ȋ‡†ǤȌǡPolitical Power and Communications in Indonesia,
ȋ‡”‡Ž‡›Ǧ‘•‰‡Ž‡•Ǣ‘†‘ǣ‹˜‡”•‹–›‘ˆƒŽ‹ˆ‘”‹ƒ”‡••ǡͳͻ͹ͺȌǡŠƒŽǤͳͲͷ
͵Ͳ›ƒ•—††‹ƒ””‹•ǡPPP dan Politik Orde Baruǡȋƒƒ”–ƒǣ
”ƒ‡†‹ƒǡͳͻͻͳȌǡŠƒŽͳͲ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ႀၽ
sistem multi partai tetapi tidak sebanyak seperti pada masa Orde
Lama.
Setelah dilakukan fusi atas beberapa partai politik pada tahun
1973, maka dalam pemilu 1977 hanya diikuti oleh tiga kontestan,
yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menampung NU,
Parmusi, Perti dan PSII. Kontestan kedua yaitu Partai Demokrasi
Indonesia(PDI) yang merupakan fusi dari PNI, IPKI, Murba, Partai
Katholik, dan Parkindo. Dan kontestan ketiga yaitu Golongan karya
(Golkar). Dengan UU No.3 tahun 1975, mengenai ruang gerak ketiga
kontestan pemilihan umum, Golkar memiliki keistemewaan yang
memungkinkannya lebih berkembang dan menyerap setiap kekuatan
yang berusaha menjalin patronase dengan pemerintah yang dalam hal
ini dimaknai sebagai aparat birokrasi.31
Dengan memenangkan enam kali pemilihan umum secara
berturut-turut, semakin menguatkan posisi Golkar sebagai single
majority yang secara otomatis membuatnya tidak hanya menjadi the
rulling party tetapi sekaligus menjadi the government’s party.
Secara teknis, seharusnya dengan adanya fusi ini berarti suatu
momentum bagi partai-partai politik Islam untuk menyatukan
langkah, tetapi kenyataannya justru sebaliknya, konflik internal
muncul. Semula perjalanan Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
di bawah kepemimpinan Mintaredja, masih terlihat kompak karena
tunduk kepada Majlis Syuro32 yang diketuai Kyai Bisri, sehingga sepak
terjang yang dilakukan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masih
bersumber pada referensi agama.
Konflik dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mulai
muncul ke permukaan, ketika di bawah kepemimpinan H.J. Naro yang
memandang kewenangan struktur keagamaan menjadi kendala bagi
partai yang modern. Dan konflik yang terjadi sering adalah antara
unsur Nahdlatul Ulama (NU) dan Muslimin Indonesia (MI), sehingga
͵ͳǤ—•†‹ƒ”‹ǡPerjalanan Partai Politik di Indonesia, ȋƒƒ”–ƒǣƒŒƒ™ƒŽ‹”‡••ǡͳͻͺ͵Ȍǡ
ŠƒŽǤͳ͹͸
͵ʹ›ƒ•—†‹Šƒ”‹•ǡ„‹†ǤǡŠƒŽǤͳͶ
ႀၾ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
akhirnya. menjelang pemilu lahun I982, orang-orang Nahdlatul
Ulama (NU) dikeluarkan dari daftar calon sementara anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
D. Hubungan Agama dan Negara
Para pendukung Orde Baru sepakat untuk memprioritaskan pembangunan ekonomi,33 Pilihan ini, karena mengingat pada masa
pemerintahan Orde lama yang bersifat ideologis-politis, menimbulkan
ketidakstabilan politik dan inflasi yang mencapai 732 % pada tahun
1964-1905, dan 697 % pada tahun 1965-1966.34
Untuk menopang pembangunan ekonomi, pemerintah Orde
Baru membutuhkan investasi (penanaman modal), baik dalam negeri,
maupun luar negeri. Salah satu pernyaratan jaminan bagi penanaman
modal luar negeri adalah stabilitas.
Upaya penegakan stabilitas di dalam masyarakat, dilakukan
dengan cara meredam partisipasi politik masyarakat. Peredaman
ini untuk membatasi ruang gerak masyarakat, sehingga tercipta
kondisi yang stabil guna melancarkan pembangunan ekonomi. Hal
ini dilakukan dengan asumsi bahwa keberhasilan pembangunan
(ekonomi), dengan sendirinya akan meningkatkan partisipasi politik
masyaiakat. Model pembangunan semacam ini memakai model
teknokratis.35
Selain itu, Indonesia memang rentan konflik yang disebabkan
oleh masalah-masalah yang bersifat primordial (suku, ras, agama,
bahasa, daerah). “Untuk itu, pemerintah Orde Baru menetapkan
garis kebijakan politik dengan “prioritas utama adalah menghapus
͵͵„†—Žœ‹•Šƒ„ƒǡ„‹†ǤǡŠƒŽʹͲͲ
͵Ͷ„‹†Ǥ
͵ͷ ƒ—‡Ž Ǥ —–‹‰–‘ǡ DzTujuan dan Pilihan: Partisipasi Politik dalam Konteks
Pembangunan”, †ƒŽƒ „—— Partisipasi dan Partai Politik, ȋ‡†Ȍ ‹”‹ƒ —†‹ƒ”†Œ‘ǡ
ȋƒƒ”–ƒǣ
”ƒ‡†‹ƒǡͳͻͺͷȌǡŠƒŽǤ͵ͺ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ႀၿ
pertentangan ideologi sosial dan politik”.36 Kebijakan ini sering
merugikan bagi masyarakat umum dan ummat Islam khususnya.
Apalagi ada kekhawatiran bahwa agama (Islam) bisa menjadi
ancaman dan sumber konflik yang dapat mengganggu stabilitas
kehidupan politik,37 sehingga hal ini menjadi salah salu pertimbangan
lahirnya kebijaksanaan politik pemerintah terhadap kehidupan umat
Islam di Indonesia.38
Beberapa kebijakan politik pemerintah Orde Baru terhadap
kehidupan ummat Islam di Indonesia ikut pula mempengaruhi
hubungan keduanya, sehingga Abdul Azis Thaba membagi menjadi
tiga hubungan, yaitu pertama hubungan yang bersifat antagonistic, di
mana antara pemerintah dan umat Islam terjadi ketidakharmonisan.
Dengan kata lain, hubungan sebagai pengantin baru, setelah berbulan
madu, lalu dicampakkan. Janji-janji, tinggal janji. kedua, hubungan
yang bersifat resiprokal kritis yang ditandai dengan masa penetapan
asas tunggal yang menjadi tonggak saling memahami antara keduanya.
Ketiga adalah hubungan yang bersifat akomodif, yaitu hubungan yang
saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.39
1.
Hubungan Yang Bersifat AntagonisƟk (1966-1981)
Hubungan ini ditandai oleh gagalnya rehabilitasi Masyumi dan
berdirinya Parmusi munculnya aliran kepercayaan dalam siding
umum MPR tahun 1973 pengajuan Rancangan Undang-Undang
Perkawinan dan masalah fusi partai, Juga penumpasan Gerakan 30
S/PKI di Indonesia tidak hanya melibatkan militer tetapi juga rakyat
secara keseluruhan, terutama umat Islam, mahasiswa, dan pemuda.
Meskipun demikian, PKI dan pengaruh Soekarno masih kuat di
͵͸„†—Ž—‹”—ŽƒǡPerubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 19651987 dalam Perspektif Sosiologis, ȋƒƒ”–ƒǣƒŒƒ™ƒŽ‹”‡••ǡͳͻͺͻȌǡŠƒŽͳʹ͵
͵͹„‹†ǤǡŠƒŽǤͻͷ
͵ͺ„‹†Ǥ
͵ͻ„†—Žœ‹•Šƒ„ƒǤǡŠƒŽǤʹͶͲ
ႀႀ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Jawa Tengah dan Jawa Timur,40 sehingga rakyat Indonesia masih
mengadakan perlawanan terhadap PKI.
Hal ini ditandai dengan berlangsungnya rapat umum pertama
pada tanggal 4 Oktober 1966 41yang dihadiri oleh partai-partai dan
organisai-organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU), Partai Sarekat
Islam Indonesia (PSII), Muhammadiyah, Partai Katholik, IPKI,
Sekber Golkar, Gasbiindo, Generasi Muda Islam dan KBKI untuk
mengusulkan pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan
antek-anteknya.
Selain itu, KAP Gestapu mengadakan demonstrasi besarbesaran, menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI)
pada tanggal 9 Nopember 1965. 42 Banser Pemuda Ansor juga
melakukan pembunuhan terhadap para pendukung Partai Komunis
Indonesia (PKI) di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga menurut
B.J Boland,43 jumlah korban berkisar 80.000-500.000 jiwa bahkan ada
yang mengatakan satu setengah juta jiwa. Sedangkan dari mahasiswa
dan pemuda berdemonstrasi melancarkan tiga tuntutan rakyat yang
dikenal dengan nama “Tri Tura”.44
Situasi semacam ini, menimbulkan trauma bagi rakyat Indonesia,
sehingga akhirnya muncul semacam romantisme kebangkitan polilik
Islam45 di kalangan umat Islam, karena pada waktu itu, umat Islam
turut berjasa dalam penumpasan PKI. Apalagi Orde Baru muncul
dengan idealisme demokrasi, sehingga umat Islam memiliki harapan
besar untuk kembali berperan, mengingat mayoritas penduduk
Indonesia beragama Islam.46
Selain itu, opini publik juga ikut mendukung harapan tersebut
dengan menyelenggarakan berbagai seminar di UI, KASI, dan LIPI
ͶͲ„‹†Ǥ
Ͷͳ„‹†ǤǡŠƒŽǤʹͶͳ
Ͷʹ„‹†Ǥ
Ͷ͵„‹†Ǥ
ͶͶ„‹†ǤǡŠƒŽǤʹͶʹ
Ͷͷ„‹†Ǥ
Ͷ͸‹„‹†
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ႀႁ
untuk membicarakan upaya rehabilitasi partai-partai politik, termasuk
partai Islam Demikian pula dalam Seminar Angkaian Daral II47 di
Bandung membicarakan hal yang sama Dengan demikian, umat Islam
masih memiliki harapan untuk merencanakan rehabilitasi Masyumi,
menerapkan Islam sebagai dasar negara dan pemberlakuan Piagam
Jakarta, mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII) dan
terakhir mengaktifkan Pelajar Islam Indonesia (PII), tetapi kemudian
dibatalkan”.48
a.
Gagalnya Pembentukan Partai Demokrasi Islam Indonesia
(PDII)
Dari beberapa agenda tentang kebangkitan politik Islam, salah
satunya adalah pembentukan PDII (Partai Demokrasi Islam
Indonesia) yang dikemukakan oleh Mohammad Hatta, mantan
Wakil Presiden Republik Indonesia. Sebenarnya keinginan
membentuk partai tersebut sudah ada sejak tahun 1958,49 dan
didorong pula ketidakpuasan pemuda Islam (HMI dan PII)
terhadap sistem yang ada, karena sering diintimidasi PKI, sehingga
sering minta nasehat kepada Mohammad Halta. Pada akhir
tahun 1965, keinginan itu baru dimunculkan dengan maksud
membentuk PDII.
Kemudian pada tanggal 11 Januari 1967,50 Mohammad Hatta
mengirim surat kepada Soeharto, tentang niatnya tersebut,
tetapi ternyata pemerintah tidak mengabulkan dengan alasan
PDII belum mampu menjadi partai Islam yang diharapkan
pemerintah.
Ͷ͹„‹†Ǥ
Ͷͺ„‹†ǤǡŠƒŽǤʹͶʹǦʹͶ͵
Ͷͻ„‹†ǤǡʹͶͷ
ͷͲ„‹†Ǥ
ႁၸ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
b.
Gagalnya Rehabilitasi Masyumi dan Berdirinya Parmusi
Pada tanggal 16 Desember 1965 dibentuk Badan Koordinasi
Amal Muslimin yang terdiri atas enam belas organisasi Islam yang
bermaksud mengupayakan rehabilitasi Masyumi.51 Dari badan ini
dibentuk Panitia Tujuh52 yang diketuai oleh KH. Fakih Usman.
Pendekatan-pendekatan informal dengan kalangan penguasa
telah menghasilkan suasana saling pengertian yang membesarkan
hati. Sampai kepada pembicaraan mengenai pengisian lembagalembaga perwakilan rakyat, baik di pusat, maupun di daerahdaerah secara informalpun sudah dilakukan dengan kalangan
penguasa.
Seiring dengan perjuangan pihak Panitia Tujuh untuk mendapatkan hak berserikat dan berkumpul,53 di pihak lain kelompok
yang tidak setuju dengan upaya rehabilitasi Masyumi pun bergerak
juga.54
Akhirnya Ketua Presidium Kabinet Ampera Jendral Soeharto menyurati pak Prawoto Mangkusasmito pada langgal 6 januari 1967
yang menyatakan bahwa Alasan-alasan yuridis, ketatanegaraan
dan psikologis telah membawa pada suatu pendirian, bahwa
ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai politik
Masyumi.55
Setelah “vonis mati” tersebut, sidang BKAM pada tanggal 7
Mei 1967 mengambil keputusan membentuk wadah politik
baru bagi umat Islam yang dinamakan Parmusi (Partai Muslimin
Indonesia),56 tetapi di akhir perjalanan-menjelang keputusan
terakhir,57 ternyata ada pengaruh-pengaruh dari luar yang tak
ͷͳ„‹†ǤǡŠƒŽǤʹͶ͸
ͷʹ™ƒ”ƒ”Œ‘‘ǡ†‘‡•‹ƒ‹–ƒǣ‡‹‹”ƒ‡”™ƒ™ƒ•ƒƒȂ•Žƒǡȋƒƒ”–ƒǣ
‡ƒ
•ƒ‹”‡••ǡͳͻͻͷȌǡŠƒŽǤͳͺͲ
ͷ͵„‹†Ǥ
ͷͶ„‹†ǤŠƒŽǤͳͺͳ
ͷͷ„‹†ǤŽ‹Šƒ–’—Žƒ„†—Žƒœ‹•Šƒ„ƒǡŠƒŽǤʹͶ͹
ͷ͸ „‹†Ǥǡ ŠƒŽǤ ͳͺʹǡ Ž‹Šƒ– ’—Žƒ „†—Ž œ‹• Šƒ„ƒǡ ŠƒŽǤʹͶ͹ǡ †ƒ „†—Ž —‹” —Žƒǡ
ŠƒŽǤͳ͵ʹ
ͷ͹„‹†ǤǡŠƒŽͳͺ͵
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ႁၹ
kentara (invisible), yang tidak memperbolehkan para mantan
tokoh Masyumi yang menonjol memimpin Parmusi.
Keputusan pemerintah tersebut berlaku sampai pada saat
pemilihan Mohammad Roem sebagai ketua Parmusi pada Kongres
di Malang tanggal 4-7 Nopember l968. Padahal para peserta telah
menganggap bahwa Mohammad Roem adalah orang bersih dan
tidak terlibat dosa Masyumi pada saat PRRI, orang yang dianggap
berbeda dengan Mohammad Natsir, namun perkiraan peserta
ternyata meleset, karena keputusan pemerintah tidak berubah.
Akhirnya pada tanggal 5 Pebrauri 1968 keluar keputusan
pemerintah yang menyatakan berdirinya Parmusi dan SK Presiden
no. 70 tahun 196858 yang menetapkan Djarnawi Kusumo dan
Lukman Harun sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal.
Duet Djarnawi dan Lukman tidak bertahan lama, karena muncul
H. J. Naro dan Imron Kadir yang menginginkan kepeminipinan
di Parmusi yang mengakibatkan konflik. Konflik intern tersebut
sengaja direkayasa pemerintah, sebagaimana dikatakan Abdul
Munir Mulkan bahwa: “Didorong oleh kekhawatiran Parmusi
dapat berkembang menjadi kekuatan alternatif yang ditandai
dengan munculnya cabang-cabang Parmusi di seluruh indonesia
secara serempak, pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam
Negeri mendukung manuver politik H.J. Naro, SH bersama Imron
Kadir untuk melakukan pembajakan partai.59
Dengan memanfaatkan konflik yang disengaja, akhirnya pemerintah menerbitkan Surat Keputusan No. 77 tahun 1970 dengan
menempatkan Mintaredja, SH sebagai Ketua partai sekaligus
membatalkan SK No. 70 tahun l968 tentang kepemimpinan
Djarnawi Kusumo dan Lukman harun.60 Mintaredja adalah pegawai
tinggi pemerintah dan juga anggota PP Muhammadiyah.
ͷͺ„†—Žœ‹•Šƒ„ƒǡŠƒŽǤʹͶͺǡ†ƒŽ‹Šƒ–’—Žƒ„†—Ž—‹”—ŽƒǡŠƒŽǤͳ͵͵
ͷͻ„†—Ž—‹”—ŽƒǡŠƒŽǤͳ͵͵
͸Ͳ„‹†Ǥ
ႁၺ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Meskipun Mintaredja anggota Muhammadiyah, dalam
menghadapi situasi yang runyam tersebut, Muhammadiyah
menyatakan keluar dari Parmusi dan tidak memiliki hubungan
organisatoris dengan partai manapun pada tahun 1969.
c.
Aliran Kepercayaan Dalam SU MPR Taliun 1973.
Masuknya aliran kepercayaan yang semula aliran kebatinan
ke dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun
1973 sebagai agama resmi yang dibicarakan dalam SU MPR
tahun 197361 mendapat reaksi keras, baik dari Fraksi Persatuan
Pembangunan (FPP), maupun masyarakat (umat Islam) secara
langsung.
Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) keberatan, karena
masuknya aliran kebatinan ke dalam Garis-garis Besar haluan
negara (GBHN) berarti pemerintah memberikan pengakuan
resmi terhadap terhadap aliran tersebut, padahal menurut Fraksi
Persatuan Pembangunan (FPP), pasal 29 ayat 2 UUD 1945 sama
sekali tidak dimaksudkan untuk mengatur aliran kebatinan.
Reaksi masyarakat justru muncul sebelum konsep aliran kebatinan
diproses di dalam lembaga legislatif. Muhammadiyah sebagai
organisasi masyarakat Islam yang besar di Indonesia mengadakan
Seminar di Bandung pada tanggal 24-27 Desember 1970,62 yang
intinya menolak aliran kebatinan. Selain itu, HM. Rasyidi tokoh
Islam dalam bukunya Islam dan Kebatinan, menyimpulkan bahwa
ilmu kebatinan menodai agama. Dari Fakultas Ushuluddin
Sunan Kalijaga bersidang pada tanggal 15 Pebruari 1971,63
menyimpulkan bahwa aliran kepercayaan tidak dapat disamakan
dengan agama.
Akhirnya setelah melalui pembicaraan yang alot, aliran
kepercayaan dimasukkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara
͸ͳ„†—Žœ‹•Šƒ„ƒǡŠƒŽǤʹͷ͵
͸ʹ„‹†ǤŠƒŽǤʹͷͶ
͸͵„‹†Ǥ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ႁၻ
(GBHN) dengan beberapa modifikasi. Kata “kebatinan” diganti
dengan “aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”
dan dimasukkan di bidang Pendidikan dan Kebudayaan, bukan
bidang agama.
Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) akhirnya menerima aliran
kepercayaan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
dengan catatan bahwa rumusan tersebut belum memadai dan
tidak mendukung penyebaran dan pengembangannya serta
menghimbau kepada seluruh penghayatnya agar kembali kepada
ajaran agamanya masing-masing.
d.
Rancangan Undang-Undang Perkawinan.
Setelah masalah aliran kepercayaan, umat Islam dihadapkan
kepada masalah Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan
yang diajukan pemerintah pada tanggal 16 Agustus 1973.64
Sama halnya dengan aliran kepercayaan, Rancangan UndangUndang (RUU) Perkawinan mendapat reaksi keras dari masyarakat
muslim. Melalui khutbah di mesjid-mesjid, ceramah-ceramah,
pengajian, tulisan-tulisan di koran, demonstrasi dan berbagai
pernyataan ormas Islam, sampai kepada para Ulama yang
tradisional dan modern di Aceh hingga Jawa Timur, pada intinya
menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan yang
dianggap bertentangan dengan Islam.65
Isi Rancangan Undang-Undang (RUU) menyimpang dari ajaran
Islam, sehingga Buya Hamka pada waktu itu mengatakan bahwa:
“Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan memaksa
kaum muslimin meninggalkan syariat agama dengan maksud
menghancurkan azas Islam Dengan demikian, apabila Rancangan
Undang-Undang (RUU) Perkawinan diakui maka kafirlah
hukumnya”.66
͸Ͷ„‹†ǤǡŠƒŽǤʹͷ͸
͸ͷ„‹†Ǥ
͸͸„‹†ǤŠƒŽǤʹͷͻ
ႁၼ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Akhirnya dari 73 pasal yang diusulkan, berubah menjadi 67 pasal
dengan menghilangkan pasal-pasal yang bertentangan dengan
ajaran agama Islam. Dengan demikian. Rancangan UndangUndang (RUU) Perkawinan tidak merugikan umat Islam.
2.
Hubungan Yang Bersifat Resiprokal KriƟs (1982-1985).
Hubungan antara umat Islam dan pemerintah ditandai oleh proses
saling mempelajari dan memahami posisi masing-masing. Periode
ini diawali oleh political test67 yang dilakukan pemerintah dengan
menyodorkan konsep asas tunggal bagi semua organisasi social dan
politik (Orsospol) dan selanjutnya unluk semua Organisasi Masyarakat
(Ormas) di Indonesia.
Mengingat Indonesia rentan konflik ideologi, maka sebagai akhir
penyelesaian konflik ideologi, pemerintah menyusun dan menetapkan
Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi sosial dan politik melalui
Tap MPR no. II tahun 1983 dan secara operasional dituangkan dalam
Undang-Undang No. 3 dan 8 tahun 1985.68
Selain itu menurut penulis penetapan asas tunggal dilakukan
sebagai suatu upaya untuk memisahkan jarak antara pemilih (umat
Islam) dengan partai (PPP) yang memang akarnya berbasiskan agama.
Apalagi Islam adalah agama mayoritas dan telah menyatu dalam
kehidupan masyarakat Indonesia.
Akhirnya berturut-turut partai Islam dan ormas-ormas menyesuaikan dengan kehendak Undang-Undang tersebut. pada awalnya,
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) setuju, tanpa reserve. 69 Dengan
demikian, hal ini merupakan babak akhir sejarah partai politik Islam
di Indonesia yang telah dimulai tahun 1912, ketika Sarekat Dagang
Islam (SDI) berubah menjadi Sarekat Islam (SI).70
͸͹„†—Žƒœ‹•Šƒ„ƒǤǡŠƒŽǤʹ͸͵
͸ͺ„†—Ž—‹”—ŽƒǡŠƒŽǤͳʹ͹
͸ͻ„†—Žœ‹•Šƒ„ƒǡŠƒŽǤʹ͸͸
͹Ͳ„‹†Ǥ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ႁၽ
Disusul Nahdlatul Ulama (NU) pada Muktamar di Situbondo
tahun 1984, Muhammadiyah pada Muktamar di Yogyakarta bulan
Desember 1985, mengingat aktifitas amal usaha Muhammadiyah
telah lama didirikan dan tersebar di sebagian besar wilayah Indonesia,
sehingga untuk menjaga kelangsungan hidupnya, Muhammadiyah
harus mengakui asas tunggal tersebut. Hal ini memperlihatkan
bahwa masyarakat sangat tergantung kepada pemerintah. Salah satu
ormas Islam yang tidak mengakui Pancasila adalah Pelajar Islam
Indonesia (PII), sehingga harus menerima nasib tidak tercatat di
dalarn Departemen Dalam Negeri. Meskipun demikian. Pelajar Islam
Indonesia (PI1) masih melakukan aktifitasnya secara illegal.
3.
Hubungan Yang Bersifat AkomodaƟf
Menurut Abdul Azis Thaba. setelah melalui political test dengan
mengakui asas tunggal Pancasila, umat Islam dinilai oleh negara
berhasil melewati ujian tersebut dan umat Islampun semakin
memahami bahwa kebijakan Negara tidak menjauhkan umat dari
ajaran Islam, maka dimulailah hubungan yang bersifat akomodatif.
Hubungan ini ditandai dengan disahkannya Rancangan UndangUndang (RUU) Pendidikan Nasional, Rancangan Undang-Undang
(RUU) Peradilan Agama dan dikeluarkannya beberapa kebijakan
seperti penyelesaian kasus monitor, pendirian Yayasan Amal Bakti
Muslim Pancasila, pengiriman 1000 Dai ke daerah-daerah, pendirian
Bank Muamalat dan yang terakhir adalah pembentukan Ikatan
Cendekiawan Muslim seIndonesia (ICMl) pada tahun 1990 di
Malang.
a.
antara fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) yang mewajibkan
agama di sekolah sekolah dan fraksi Karya Pembangunan (PKP)
yang menutut penghapusan. Sedangkan pada SU MPR tahun
1978, usulan Fraksi Persatuan pembangunan (FPP) untuk
memasukkan pendidikan agama sebagai pelajaran wajib di
sekolah-sekolah dan pesantren dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) ditolak.Akhirnya Rancangan Undang-Undang
(RUU) Pendidikan Nasional yang semula bernama KPSPN
(Ketentuan-ketentuan Pokok Sistem Pendidikan Nasional)
diusulkan kembali oleh Mendikbud Fuad Hasan pada tanggal
23 Mei 1988 dengan nama Rancangan Undang-Undang (RUU)
Pendidikan Nasional.72
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Nasional
yang diajukan pemerintah berisi pasal-pasal yang merugikan
kepentingan pendidikan Islam, karena berisi antara lain:
1.
2.
3.
4.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Nasional.
Semula masalah pendidikan nasional pernah diajukan sebagai
bahan pembicaraan dalam SU MPR tahun 1973 dan I978,71
kemudian usulan tersebut diambangkan, karena ada pertentangan
͹ͳ„‹†ǤǡŠƒŽǤʹ͹ͻ
ႁၾ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
͹ʹ„‹†Ǥ
Tidak sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) I983/I988 dan 1988/1993 tentang kewajiban
penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah
Tidak mengakui kebebasan untuk mendirikan dan menyelenggarakan lembaga-lembaga pendidikan swasta seperti
pesantren, dan lain-lain.
Adanya sanksi/denda yang terlalu meniberatkan bagi
sekolah-sekolah yang belum mampu apabila tidak mendirikan perpustakaan.
Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) ada kalimat
“Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan dalam
Garis-garis Besar haluan Negara (GBHN) tertera kalimat
“Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa Tidak
ada kata “beriman”.
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ႁၿ
5.
Terlalu leluasa memberikan kewenangan kepada pemerintah
dalam mengatur pendidikan.
Dengan demikian, umat Islam, baik sccara langsung maupun
melalui partai politik, memberikan reaksi cukup keras, sehingga
pada akhirnya dalam rapat pleno DPR, 4 Fraksi menyetujui
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Nasional dan
keluarlah Undang-undang no. 2 tahun 1989. Undang-Undang
tentang Sistem Pendidikan Nasional mempunyai arti penting bagi
umat Islam, karena mencantumkan.
1.
2.
3.
4.
Dikukuhkan bahwa pendidikan agama merupakan mata
pelajaran wajib di sekoloh-sekolah umum: Sekolah Dasar
(SD) sampai Perguruan Tinggi.
Diakui bahwa pendidikan agama merupakan subsistem dari
sistem pendidikan nasional.
Jaminan bahwa untuk mata pelajaran agama, tenaga pengajarnya haruslah yang seagama dengan peserta didiknya.
Dijamin eksistensi lembaga-lembaga pendidikan keagamaan
seperti Madrasah, dan Institut-insiitut Agama Islam.
b.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama dikeluarkan pemerintahan mengingat Undang-Undang (UU) yang
ada mengenai peradilan agama adalah warisan pemerintah
Kolonial Belanda yang dianggap tidak sesuai lagi dengan
kondisi sekarang, sehingga perlu diluruskan kembali.Semula
Rancangan Undang-Undang (RUU) ini biasa saja tidak ada reaksi
dari berbagai pibak, tetapi dalam perkembangan berikutnya,
pihak non muslim yang berada di luar fraksi menyampaikan
kekhawatirannya terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU)
tersebut yang akan mengganggu “konsensus nasional” ‘” (asas
pancasila) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.73
Sehubungan dengan itu, baik pihak pemerintah, maupun
masyarakat, terutama kalangan muslim memberikan penjelasan
dengan jaminan bahwa kekhawatiran itu tidak akan terjadi.
Akhirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama
disahkan menjadi Undang-Undang No. 7 tahun 1989 yang
memberikan beberapa kemajuan untuk kepentingan umat Islam
yaitu antara lain:74
1.
Dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU)
Pendidikan Nasional berarti memberi kesempatan bagi perkembangan Islam di Indonesia melalui jalur pendidikan formal
dan lembaga yang masih bersifat tradisional seperti Pesantren
dan Madrasah. Saat ini, Pesantren dan Madrasah sudah mulai
memasukan kurikulum umum dipadukan dengan pelajaran
agama ke dalam program pendidikannya Hal ini juga untuk
mengantisipasi anak didik melanjutkan ke tingkat yang lebih
tinggi di sekolah-sekolah (perguruan tinggi) umum.
ႁႀ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
2.
3.
4.
Peradilan agama di Jawa, Madura dan Kalimantan diberikan
kewenangan untuk menangani pembagian warisan bagi umat
Islam
Keputusan Peradilan Agama beisifat final.
Hakim-hakim Peradilan Agama diangkat oleh Presiden.
Jabatan Hakim, Panitera, dan Juru Sita dalam Peradilan
Agama hanya dapat diisi oleh orang-orang yang beragama
Islam
Dapat disimpulkan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU)
Peradilan Agama memberikan keleluasaan dan jaminan kepada
͹͵„‹†ǡŠƒŽǤʹͺͶ
͹Ͷ„‹†Ǥ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ႁႁ
umat Islam untuk mendapatkan aturan sesuai dengan hukum
Islam mengingat pada masa Kolonial, ada diskriminasi terhadap
orang-orang Islam,dengan tujuan untuk menghancurkan
Islam.
c.
d.
Kasus Monitor.
Satu hal lagi yang menimbulkan reaksi keras umat Islam adalah
kasus artikel di Tabloid Monitor edisi 15 Oktober 1990.75 Di
dalam artikel berjudul “Ini Dia 50 Tokoh Yang Dikagumi Pembaca
Kita”, menempatkan Nabi Muhammad SAW pada urutan ke
10. Hal ini menyinggung perasaan umat Islam, karena ada
keterkaitan dengan masalah kepercayaan umat Islam, sehingga
umat menganggap tidak pantas menyamakan Nabi Muhammad
dengan tokoh-tokoh yang lain dengan menempatkannya pada
peringkat ke 10.
Dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan, serta stabilitas
politik yang selama ini telah terbina, maka pemerintah melalui Menpen. mengeluarkan “SK No. 162 tahun 1990”.76 dan
memenjarakan Arswendo dan memecatnya dari jabatan-jabatan
yang di embannya.
Dengan kemampuan responsif tersebut, pemerintah telah
melegakan perasaan umat Islam yang mayoritas. Selain itu,
yang lebih utama adalah untuk menjaga stabilitas, mengingat
demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan masyarakat pada waktu
itu, dikhawatirkan dapat berkembang ke arah disintegrasi.
Pendirian Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila.
Yayasan ini didirikan Presiden pada bulan Februari 1982 dengan
nama Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YABMP), bertujuan
membangun mesjid-mesjid. Dana yang terkumpul berasal
dari pegawai negeri yang beragama Islam, swasta, amal jariah,
͹ͷ„‹†ǤŠƒŽǤʹͺͷ
͹͸„‹†Ǥ
ၹၸၸ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
dan hibah. 439 buah mesjid telah dibangun pada lahun 1992
dan menjadi 634 buah pada tahun 1994 yang tersebar di 206
Kabupaten dan 52 Kotamadya.”77
Keuntungan bagi umat Islam adalah bertambahnya sarana ibadah
yang memadai, dan diharapkan agar umat Islam lebih termotivasi
untuk beribadah.
e.
Pengiriman 1000 Dai ke Daerah-Daerah
Bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Yayasan
Amal Bakti Muslim Pancasila (YABMP), dan Yayasan Dharmais,
pemerintah mensukseskan “Program 1000 Dai” pada tahun 19891990 ke berbagai daerah terpencil dan lahan transmigran.‘’78 Rakyat
Indonesia, khususnya umat Islam menyambut hangat program
tersebut, karena mengingat bukan menjadi rahasia umum bahwa
daerah-daerah yang terpencil dan wilayah transmigrasi menjadi
sasaran kristenisasi. Untuk itulah, umat Islam patut bersyukur
bahwa pemerintah telah ikut berupaya untuk mensiarkan Islam
guna mempertebal iman para penduduk yang jauh dari kota/
kampung halaman dengan mengirimkan 1000 dai kesana.
f.
Pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah melangkah maju dengan
mencetuskan inisiatif membentuk bank yang menggunakan
hukum Islam.79 Sebelum itu, lokakarya telah dilaksanakan pada
tanggal 19-22 Agustus 1990 Cisarua Bogor.80 Kemudian dibentuk
Tim Perbankan Kecil yang diketuai oleh lr. M. Amin Azis. Habibie
adalah salah seorang yang antusias mendukung pendirian ini,
yang kebetulan pada waktu itu, Habibie telah terpilih sebagai
ketua umum Ikatan Cendekian Muslim selndonesia (ICMI).
͹͹„‹†ǤŠƒŽǤʹͺ͹
͹ͺ„‹†Ǥ
͹ͻ„‹†ǡŠƒŽǤʹͺͻ
ͺͲ„‹†Ǥ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ၹၸၹ
Dua bulan setelah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH.
Hasan Basri menghadap Presiden pada tanggal 21 Agustus 1991,
maka dana telah terkumpul sebesar Rp 64.1 miliar. Modal awal
dimodali oleh Presiden Soeharto dari dana Yayasan Amal Bakti
Muslim Pancasila (YABMP) sebesar Rp. 3 milliar. Kini masyarakat,
khususnya umat Islam tidak lagi ragu-ragu menggunakan jasa
perbankan, karena telah muncul Bank Muamalat Indonesia
(BMI) yang bersandar pada syariah Islam.
g.
Pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim seIndonesia
(ICMI).
Pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim seindonesia (ICMI)
merupakan tonggak terpentig dalam hubungan akomodatif antara
umat Islam dan negara, karena dalam organisasi ini bertemu
tokoh-tokoh Islam yang berada di luar birokrasi dan yang ada di
dalam birokrasi.
Lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim seindonesia (ICMI)
menimbulkan pro dan kontra. Bagi yang pro (setuju) menganggap
bahwa ini momentum yang baik untuk menempatkan Islam
kembali berperan seperti pada masa sebelumnya, sehingga
diharapkan Ikatan Cendekiawan Muslim seindonesia (ICMI)
akan mampu menyalurkan aspirasi umat Islam dengan mudah,
karena ketika awal Orde Baru, antara umat Islam dan pemerintah
terjadi hubungan yang berifat antagonistic.81 Bagi yang kontra,
menganggap bahwa hal ini merupakan rekayasa pemerintah
untuk mendapat dukungan umat Islam bagi kelangsungan sistem
yang ada, kekhawatiran bahwa ini hanyalah manuver-manuver
politik Habibie, dan Ikatan Cendekiawan Muslim seIndonesia
(ICMI) tidak akan mandiri.82 Untuk lebih jelasnya akan dibahassejarah munculnya Ikatan Cendekiawan Muslim selndonesia
(ICMI)
ͺͳ„‹†ǤŠƒŽǤʹͶͲ
ͺʹ„‹†ǤŠƒŽǤʹͻͶ
ၹၸၺ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
E. Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum Masa Orde Baru
1.
Sistem Kepartaian Masa Orde Baru
Dalam ilmu politik, sistem kepartaian dimaknai sebagai suatu
kumpulan partai yang saling berhubungan dalam satu pola tertentu.
Suatu Negara bisa dikatakan memiliki sistem kepartaian bila
memenuhi prasyarat tertentu. Prasyarat tersebut antara lain adalah
bahwa di negara tersebut terdapat labih dari satu partai politik. Partaipartai politik tersebut harus saling berinteraksi dan bersaing secara
sehat untuk menarik dukungan dari masyarakat, antara lain melalui
Pemilihan Umum.83
Sedangkan menurut teori politik konvensional, bahwa sistem
kepartaian dibedakan berdasarkan pengelompokan jumlah partai dan
polarisasi yang mendasarinya. Mengacu pada teori ini, di beberapa
negara otoriter terdapat istilah “single party” atau “partai tunggal”
atau sistem “satu partai” yang hanya mengenal satu partai saja.
Kalaupun terdapat partai politik lainnya, mereka tidak memiliki
kekuatan yang signifikan, ada juga system dwi party atau dua partai
dimana kontenstan pemilu terdiri dari dua partai yang bertarung dan
meniscayakan pemenang pemilu menjadi the rulling party dan yang
kalah pemilu menjadi partai oposisi. Ada juga system multy party,
dimana kontenstan pemilu lebih dari dua partai yang berkompetisi
dalam pemilihan umum dan meniscayakan terjadinya koalisi antara
beberapa partai untuk mencapai suara yang signifikan.
Tampak jelas perbedaan wacana dalam mendefenisikan sistem
kepartaian yang berlaku di negara-negara. Pandangan pertama melihat
bahwa sistem kepartaian itu hanya bisa diklasifikasikan berdasarkan
interaksi antar partai yang notabene harus memiliki lebih dari satu
partai, pandangan ini melihat negara yang memiliki satu partai
dipandang bukan sebagai single party, akan tetapi “sistem partai
Negara” (party-state party).84 Sedangkan teori yang konvensional
ͺ͵ƒŠƒ†ƒŠƒ”‹ǡPartai dan Kitaǡȋƒƒ”–ƒǣ†ƒǡʹͲͲͳȌǡŠƒŽǤͷ
ͺͶ„‹†Ǥ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ၹၸၻ
memandang sistem kepartaian itu diklasifikasikan berdasarkan jumlah
partai nya.
Dengan mengacu pada teori politik konvensional, bias dilihat
bahwa sistem kepartaian di masa Orde Baru adalah sistem “dua partai”
atau “dwi partai”. Ini didasari bahwa jumlah partai pada masa Orde
Baru hanya terdapat dua partai politik hasil penyederhanaan 9 partai
politik. Sedangkan Golkar bukan merupakan partai politik, akan tetapi
merupakan Organisasi Kekuatan Sosial Politik yang diikutsertakan
dalam Pemilu.85
1.
Pemilihan Umum Masa Orde Baru
a.
Pemilihan Umum Tahun 1971
Pada Saat diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden
menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967,
Soeharto tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk
mencari legitimasi kekuasaan transisi. Walaupun Ketetapan
MPRS XI Tahun 1966 mengamanatkan agar Pemilu bisa
diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada
SI MPR 1967, oleh Soeharto diubah lagi dengan menetapkan
bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971.
Walaupun sudah diangkat sebagai pejabat presiden, Soeharto
tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Bung Karno,
hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi
negara dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama.
Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal
5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun Soeharto berada di kursi
kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian
(tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden
Soekarno. UU yang digunakan adalah UU tentang pemilu dan
susunan serta kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang
pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU
ͺͷ„‹†ǤǡŠƒŽǤ͹
ၹၸၼ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian
UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.
Hal signifikan dari pemilu 1971 yang berbeda dengan Pemilu
1955 adalah bahwa para pejebat negara pada Pemilu 1971
diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat
negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa
ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya
dilapangan, pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak
kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Sangat kentara
bagaimana pemerintah merekayasa ketentuan-ketentuan yang
menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai
negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu
peserta pemilu.
Dalam hal pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam
Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971,
yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua
kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata
mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi
jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem
kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demikian lebih banyak
menyebabkan suara partai terbuang percuma.
Pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap,
ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi
di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan
stembus acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua
tahap.
Tahapan pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai
berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan pembagi pemilih atau
kiesquotient di daerah pemilihan. kedua, apabila ada partai yang
melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai
yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient.
Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ၹၸၽ
masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih
sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang
melakukan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap
kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord,
maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung
kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.86
Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971
menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara
nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai.
Contoh paling gamblang adalah bias perolehan kursi antara PNI
dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari
Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan
Parmusi. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini.87
Tabel 5.1
Hasil Pemilihan Umum 1971
No
Partai
Jumlah Suara
Persentase (%)
Jumlah Kursi
1
Golkar
2
NU
10.213.650
18,68
58
3
Parmusi
2.930.746
5,36
24
4
PNI
3.793.266
4,93
20
5
PSII
1.308.237
2,93
10
6
Parkindo
733.359
1,34
7
7
Katolik
603.740
1,10
3
8
PerƟ
381.309
0,69
2
9
IPKI
338.403
0,61
-
10
Murba
48.126
0,08
-
54.669.509
100,00
360
Jumlah
34.348.673
Sumber: Komisi Pemilihan Umum
ͺ͸‹Šƒ–™™™Ǥ’—Ǥ‰‘Ǥ‹†
ͺ͹„‹†Ǥ
ၹၸၾ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
62,82
236
b.
Pemilihan Umum Tahun 1977
Setelah pemilu 1971, Indonesia dibawah kepemimpinan Soeharto
secara periodik dan teratur mulai melaksanakan perhelatan
pemilihan umum yang juga disebut sebagai pesta demokrasi.
Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971,
yakni tahun 1977, setelah itu selalu rutin dilakukan setiap 5 tahun
sekali.
Ada perubahan yang signifikan dari keikutsertaan kontestan
pemilu di tahun 1977, yaitu dengan dilakukannya fusi beberapa
partai politik yang hanya menjadi 2 partai politik yaitu Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia
(PDI) dan Golongan Karya (Golkar). Hal ini terjadi setelah
sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha
menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3
Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai
itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai
Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau
Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987,
1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi.
Setelah dilakukannya fusi partai politik, pada setiap pemilihan umum
pada masa Orde baru ini Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan
PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar
bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini
secara lang-sung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif
dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama
Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Berikut ini dipaparkan
hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara berturut-turut.
Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih
dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem
proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih,
suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen.
Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau
62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ၹၸၿ
232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.88
Suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan
Daerah Istimewa Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional
PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17
persen, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai
Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak
basis-basis eks Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh
utama Masyumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di
basis-basis Masyumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi
di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak
begitu besar.89 PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera,
Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi
di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
Secara nasional hanya mendapatkan 5 tambahan kursi.
Pada Pemilu ini, PDI mengalami penurunan perolehan kursi dibanding gabungan masing –masing kursi partai-partai yang berfusi
sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi
di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik.
Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut bisa dilihat pada
tabel di bawah ini.90
Tabel 5.2
Hasil Pemilihan Umum Tahun 1977
Partai
Jumlah Suara
Persentase (%)
Jumlah Kursi
Golkar
39.750.096
62,11
232
2
PPP
18.743.491
29,29
99
3
PDI
5.504.757
8,60
29
63.998.344
100,00
360
ͺͺ„‹†Ǥ
ͺͻ„‹†Ǥ
ͻͲ„‹†Ǥ
ၹၸႀ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Tabel 5.3
Hasil Pemilihan Umum tahun 1982
No
Partai
Jumlah Suara
Persentase (%)
Jumlah Kursi
1
Golkar
48.334.724
64,34
242
2
PPP
20.871.880
27,78
94
3
PDI
5.919.702
7,88
24
75.126.306
100,00
360
Sumber: Komisi Pemilihan Umum
1
Sumber: Komisi Pemilihan Umum
Pemilihan Umum Tahun 1982
Pemilihan umum 1982 dilangsungkan secara serentak pada
tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi
Golkar meningkat secara nasional, walau demikian Golkar
gagal merebut kemenangan di Daerah Istimewa Aceh. Hanya
Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar
dari PPP. Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu
berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI.
Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara
pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan
Pemilu 1971.
Berikut ini adalah hasil Pemilihan Umum tahun 1982 yaitu
sebagai berikut:91
Jumlah
No
Jumlah
c.
d.
Pemilihan Umum tahun 1987
Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987 secara
serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang
sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian
kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu
sebelumnya.92 Pada Pemilu kali ini, PPP mengalami penurunan
ͻͳ„‹†Ǥ
ͻʹ„‹†Ǥ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ၹၸႁ
perolehan suara yang sangat signifikan, yakni hilangnya 33 kursi
dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi.
Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi
memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari ka’bah menjadi
bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh-tokoh unsur
NU, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299
kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan
kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP
PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo
Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari
30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini.
Berikut adalah hasil Pemilihan Umum tahun 1987 yaitu sebagai
berikut: 93
73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen, atau
merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata bisa dilihat
pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau
kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya.
Begitu juga dengan PPP yang mengalami hal sama, meski masih
bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi 62
kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi
partai berlambang ka’bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai
ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada penambahan
kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai itu tidak
memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di
Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi
di Jawa, tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya
partai itu hanya mampu menaikkan 1 kursi secara nasional.
PDI berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai
daerah. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan
perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga
menjadi 56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan
1992, PDI berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI.
Berikut ini adalah hasil pemilihan umum pada tahun 1992 sebagai
berikut94
Tabel 5.4
Hasil Pemilihan Umum Tahun 1987
No
Partai
Jumlah Suara
Persentase (%)
Jumlah Kursi
1
Golkar
62.783.680
73,16
299
2
PPP
13.701.428
15,97
61
3
PDI
Jumlah
9.384.708
10,87
40
85.869.816
100,00
400
Tabel 5.5
Hasil Pemilihan Umum Tahun 1992
Sumber: Komisi Pemilihan Umum
e.
Pemilihan Umum Tahun 1992
Mekanisme pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama
dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya
dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini agak mengagetkan banyak
orang. Sebab, perolehan suara Golkar yang merosot dibandingkan
Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai
ͻ͵„‹†Ǥ
ၹၹၸ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
No
Partai
Jumlah Suara
Persentase (%)
Jumlah Kursi
1
Golkar
66.599.331
68,10
282
2
PPP
16.624.647
17,01
62
3
PDI
Jumlah
14.565.556
14,89
56
97.789.534
100,00
400
Sumber: Komisi Pemilihan Umum
ͻͶ„‹†Ǥ
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ၹၹၹ
f.
Pemilihan Umum Tahun 1997
Pada Pemilu 1997, cara pembagian kursi yang digunakan tidak
berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971,
1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan
tanggal 29 Mei 1997.
Hasil penghitungan suara menunjukkan bahwa setelah pada
Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar mampu
kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya
mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan
kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi
dari hasil pemilu sebelumnya.95
PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen.
Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP
meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu
1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar.
Pada pemilu kali ini, PDI mengalami konflik internal dan terpecah
antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun
menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen,
dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi
di DPR dibandingkan Pemilu 1992.
Berikut adalah hasil Pemilihan Umum pada tahun 1997 sebagai
berikut:96
ͻͷ„‹†Ǥ
ͻ͸„‹†Ǥ
ၹၹၺ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Tabel 5.6
Hasil Pemilihan Umum Tahun 1997
No
Partai
Jumlah Suara
Persentase(%)
Jumlah Kursi
1
Golkar
84.187.907
74,51
325
2
PPP
25.340.028
22,43
89
3
PDI
3.463.225
3,06
11
112.991.150
100,00
425
Jumlah
Sumber: Komisi Pemilihan Umum.
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ၹၹၻ
RANGKUMAN
Jatuhnya era Demokrasi Terpimpin yang dikomandani oleh Presiden
Soekarno menandai munculnya era baru yang di sebut dengan masa
Demokrasi Pancasila di bawah komando Soeharto yang dianggap
berjasa dalam menumpas gerakan 30 September Partai Komunis
Indonesia (G 30 SPKI). Dengan berbekal Surat Perintah Sebelas
Maret, Soeharto menjadi penanggung jawab pemulihan keamanan
setelah sempat mencekam karena upaya kudeta yang dituduhkan
kepada Dewan Jenderal.
Pada kelanjutan kekuasaannya, Soeharto menerapkan kebijakan
yang sangat spektakuler, dengan mengedepankan pembangunan
ekonomi yang diiringi dengan pengebirian pembangunan politik.
Secara terstruktur, pemerintah orde baru melakukan reduksi
terhadap kebebasan berpendapat dan berserikat serta berpolitik
dengan melakukan fusi partai-partai politik menjadi tiga kelompok,
yaitu Golongan Karya sebagai the rulling party, Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan beberapa partai politik
yang berideologi naionalis, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang
merupakan hasil gabungan beberapa partai politik yang berideologi
Islam. Dari enam kali pemilihan umum yang di gelar oleh Orde Baru,
keseluruhannya dimenangkan oleh Golkar, sebagai satu-satunya mitra
politik Orde baru dan selanjutnya menjadi symbol kuat otoritas Orde
baru berkuasa selama lebih dari 32 tahun di Indonesia.
Dalam menjalankankan pemerintahannya, Soeharto menggandeng tiga kekuatan besar yang bersinergi secara efektif melestarikan
kekuasaan Soeharto dan Orde Baru, yaitu ABRI, Golkar, dan Birokrasi
yang dikenal dengan Jalur ABG. Sinergi 3 kekuatan patron Orde Baru
ini bekerja dengan sangat baik dan konsisten dalam mendukung segala
kebijakan yang dikeluarkan oleh Soeharto. Dengan menjalankan
fungsi-fungsinya masing-masing, jalur ABG menjadi mitra setia yang
kekuatannya tidak tertandingi oleh kekuatan politik apapun, selain
karena ketiganya menjadi sangat amat besar, intervensi politik dan
ၹၹၼ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
sikap represif yang ditunjukkan oleh soeharto membuat partisipasi
politik masyarakat menjadi sangat minim, seluruh focus pembangunan
diarahkan pada pembangunan ekonomi.
Hubungan agama dan Negara pada masa ini mengalami
pasang surut yang cukup berarti, Soeharto secara cerdas berhasil
mempermainkan emosi keagamaan khususnya ummat Islam dengan
segala bentuk kebijakan-kebijakannya. Kekuatan politik agama
menjadi sangat dipinggirkan dan hanya diberi tempat pada posisi-posisi
yang secara terpaksa harus mendukung kebijakan pemerintah. Masa
ini adalah masa pasang surut perkembangan Islam Poltik di Indonesia,
bukan hanya karena intervensi politik yang dilakukan oleh Orde
Baru, tetapi juga karena minimnya pendidikan politik bagi masyarakat
Indonesia. Agama dipersilahkan untuk sibuk pada persoalan-persoalan
kultural dan di jauhkan dari aktivitas politik praktis. Namun demikian,
semangat perubahan mampu membawa angin segar bagi cita-cita
perubahan yang selalu didengungkan oleh kelompok-kelompok pro
demokrasi yang akhirnya mampu menumbangkan kekuasaan Orde
Baru yang sangat kokoh, sinergi antara kekuatan rakyat, intelektual,
cendekiawan, kaum buruh, petani, dan terutama mahasiswa berhasil
mengibarkan bendera reformasi yang dikokohkan dengan runtuhnya
Orde baru dan turunnya Soeharto dari kursi kekuasaan tertinggi di
Indonesia.
Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“ŠšŒŠ£“—Š™ၹၹၽ
BAB VI
ERA REFORMASI
A. Jatuhnya Orde Baru, Munculnya Era Reformasi
Sebagai sebuah rezim, Orde Baru berdiri laksana raksasa kuat yang
oleh Thomas Hobbes disebut sebagai laviathan, yang siap memangsa
siapa saja yang menentang dan mencoba menggoyang kekuasaannya.
Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto tak bergeming dari kursi tertinggi
di negeri ini, pernah beliau mengungkapkan keinginannya untuk
lengser keprabon mandeg pandito atau kesiapannya untuk mundur dari
tampuk kekuasaan tertinggi di Indonesia yang disampaikannya ketika
berpidato pada HUT ke 33 Golkar di Jakarta Hilton Convention
Centre, namun pada kenyataannya Soeharto tidak juga turun sampai
tuntutan reformasi 1998 memaksanya untuk mengundurkan diri.
Beberapa orang politisi seperti Amin Rais, Nurcholish Madjid,
Abdurrahman Wahid, dan lain-lain secara terang-terang mengkampanyekan
wacana tentang suksesi atau pergantian kepemimpinan nasional dan
seluruh unsur-unsurnya termasuk presiden, wakil presiden, para mentri
kabinet, serta anggota DPR/MPR,1 wacana ini sering didiskusikan pada
kajian-kajian ilmiah, diskusi, seminar, talk show, bahkan orasi-orasi bebas
yang seriang diadakan kelompok-kelompok pro demokrasi dan penggerak
reformasi, walaupun sebenarnya isu suksesi sudah diperdengarkan sejak
1
Muhammad Najib, dkk (tim Penyusun), Suara Amin
Rais Suara Rakyat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h. 22.
ၹၹၾ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၹၿ
tahun 19892, persis setahun setelah Soeharto dilantik menjadi presiden
yang kelima kali, namun dengan segala macam bentuk intervensi yang
dilakukan oleh Orde Baru, isu suksesi selalu dimentahkan bahkan
menjadi sesuatu yang dilarang dan haram diperbincangkan secara lebih
serius. Bahkan setelah pemilihan umum tahun 1997, Soeharto kembali
diangkat menjadi presiden untuk yang ketujuh kali.
Beberapa tahun menjelang keruntuhannya, kebijakan-kebijakan
yang ditempuh Orde Baru dianggap tak mampu memberikan
fundamen yang kokoh bagi pembangunan ekonomi rakyat. Pada
proses dan hasil akhirnya, pembangunan hanya diperuntukkan
dan dapat dinikmati secara maksimal oleh kelompok tertentu dan
segelintir orang saja sehingga ketika badai krisis menerpa, rakyat
Indonesia tidak mampu menghadapinya dengan kokoh, tetapi pada
kenyataannya, ternyata rakyat kebanyakan yang harus menanggung
akibatnya. Ada beberapa persoalan besar yang muncul akibat terlalu
lamanya Orde Baru dan Soeharto berkuasa, diantaranya adalah:
pertama, walaupun pertumbuhan ekonomi relative baik, namun
persoalan kemiskinan dan pengangguran masih sangat besar, dimana
angka kemiskinan maih sangat tinggi di komunitas urban dan rulal di
seluruh pelosok Indonesia, begitu juga dengan jumlah pengangguran
yang semakin meningkat. Kedua, korupsi yang merajalela di seluruh
sector public maupun private, Prof Dr. Soemitro Djojohadikusumo di
Kongres ISEI 1993 mengatakan bahwa pemborosan atau pembocoran
anggaran pembangunan mencapai angka 30%, hal ini akibat dari
budaya nepotisme dan kolusi yang sangat lekat dan sudah mendarah
daging. Ketiga, demokratisasi yang semakin jauh dari apa yang
diharapkan, budaya kritis dan kebebasan berekspresi yang semakin
ditekan menjadikan rakyat Indonesia semakin bodoh dan buta akan
hak-hak politiknya.3
Lepas dari semua rancangan pembangunan ekonomi yang
diprioritaskan oleh Orde Baru, pembangunan politik seharusnya
ʹ„‹†Ǥ
͵„‹†ǤŠǤʹ͹Ǧʹͺ
ၹၹႀ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
juga menjadi hal yang harus diperhatikan, bukan hanya untuk
menunjang pembangunan ekonomi, tetapi juga untuk menguatkan
karakter masyarakat Indonesia secara keseluruhan agar kestabilan
pembangunan bisa lebih terjaga. Akhirnya pada bulan Mei 1998.
Rakyat yang dimotori mahasiswa dan tokoh-tokoh masyarakat
mengambil langkah untuk menjatuhkan Soeharto dengan mengadakan
demonstrasi besar-besaran serta menduduki gedung DPR/MPR, dan
diakhiri dengan pengunduran diri Soeharto.
Setelah turunnya Soeharto, secara otomatis berarti naiknya B.J.
Habibie sebagai penggantinya Tetapi kenaikan B.J. Habibie dianggap
sebagai inkonstitusional, karena masa itu dianggap sebagai keadaan
darurat, sehingga hukum formal tidak berlaku. Untuk itu sebagian
orang meminta dibentuk suatu formatur, tetapi tidak terlaksana.
Meskipun demikian, naiknya B.J. Habibie, telah memberikan
nuansa baru bagi kehidupan Demokrasi di Indonesia. Dengan
dimulainya masa transisi menuju demokrasi di Indonesia maka
bereforialah para praktisi politik untuk berpartisipasi dengan
membentuk partai-partai politik baru engan beragam idealisme serta
ideology baik yang berdasrkan Ras, kelompok kepentingan maupun
agama tertenu.
Munculnya partai-partai politik menjadi salah satu hal yang
menandai arah perubahan peta kekuatan olitik di Indonesia, yang
selama ini didominasi Militer, Golkar dan Birokrasi. Selain kemunculan
partai-partai politik, peta kekuatan politik Indonesia bergeser lebih
signifikan dengan dikeluarkannya beberapa kebijakan pemerintah yang
cukup mengejutkan seperti referendum Timor Timur, pembebasan
beberapa orang tahanan politik, pembebasan pers, dan lain-lain.
Kebijakan mengenai dwi fungsi ABRI pun di hapuskan, ABRI sebagai
kekuatan bersenjata dikembalikan pada fungsi utamanya yaitu sebagai
alat pertahanan dan keamanan bangsa dari ancaman luar. Golkar
yang dianggap sebagai motor penggerak Orde Baru melakukan colling
down karena berhadapan langsung dengan masyarakat yang sedang
emosional dengan segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru,
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၹႁ
apalagi saat itu tuntutan agar dibubarkannya Golkar sedang ramai,
bahkan menjadi salah satu agenda reformasi.
B. Munculnya partai-partai PoliƟk
Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya dan mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, jabatan presiden digantikan
oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik,
Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga
hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Pada saat itu untuk sebagian
alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan
atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena
pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk
Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian
dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk
memilih presiden dan wakil presiden yang baru. Ini berarti bahwa
dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya akan digantinya
keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi
Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya
berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden
yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang
Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan
DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang
disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor
IIP Depdagri, Jakarta). Beberapa keputusan populer dilakukan,
diantaranya pembebasan tahanan politik, perizinan pendirian partaipartai politik baru, dan referendum bagi rakyat Timor Timur (berujung
pada pilihan merdeka Timor Timur atas Republik Indonesia).
Secara beriringan, muncullah partai-partai politik baru dengan
beragam paradigm ideology dan kepentingan, hal ini hamper mirip
dengan euphoria demoklrasi yang terjadi menjelang pemilu 1955,
ၹၺၸ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
para tokoh politik berlomba mendirikan partai politik dan berusaha
untuk lolos menjadi peserta pemilu.4 Setelah di sahkannya UU No.2
tahun 1999 tentang pendirian partai politik, muncul 141 partai
politik yang mendaftarkan diri di Departemen Kehakiman dan HAM,
menjamurnya pendirian partai politik ini disebabkan prasyarat yang
harus dipenuhi guna diakuinya sebuah partai politik relatif tidak sulit.
Dalam pasal 2 UU No. 2 tahun 1999 disebutkan:
1.
2.
Sekurang-kurangnya 50 orang warga Negara Republik
Indonesia yang telah berusia 21 tahun dapat membentuk
partai politik.
Partai politik yang dibentuk sebagaimana yang dimaksud
ayat 1 harus memenuhi syarat diantaranya:
a. Mencamtumkan Pancasila sebagai dasar Negara dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam anggaran
dasar partai.
b. Asas atau cirri, aspirasi, dan program parta politik tidak
bertentangan dengan Pancasila.
c. Keanggotaan partai politik bersifat terbuka untuk
setiap warga Negara Republik Indonesia yang telah
mempunyai hak pilih.
d. Partai politik tidak boleh menggunakan nama atau lambang Negara asing, bendera Negara Kesatuan Republik
Indonesia sang merah putih, bendera kebangsaan asing,
gambar perorangan atau nama, serta lambing partai lain
yang sudah ada.5
Dari kemudahan prasyarat pendirian partai politik diatas, ada
syarat tambahan yang agak memberatkan, yaitu sekurang-kurangnya
mempunyai kepengurusan pada lima propinsi dan tiga propinsi dalam
Ͷ‘‹”—†‹ǡPartai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi: Menakar Kinerja Partai Politik
Era Transisi di Indonesiaǡȋ‘‰›ƒƒ”–ƒǣ—•–ƒƒ‡ŽƒŒƒ”ǡʹͲͲͶȌǡŠǤͷͲ
ͷ„‹†ǤǡŠǤͷʹ
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၺၹ
masing-masing propinsi yang dimaksud.6 Setelah melalui proses
verifikasi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum, dari 141 partai
politik yang mendaftar sebagai peserta pemilu, hanya 48 partai politik
yang dinyatakan lolos dan berhak menjadi peserta pemilu 1999.
C. Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 1999
Hal terbesar yang membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu
sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak
sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk
mendirikan partai politik. Peserta Pemilu 1999 ini berjumlah 48 partai
politik, ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah
partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM,
yakni 141 partai.
Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan
Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi
juga tercatat sebagai pemerintahan yang mampu menyelenggarakan
pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap
berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi
Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapanpersiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelumnya.
Habibie menyelenggarakan pemilihan umum 1999 setelah 13 bulan
sejak ia dilantik menjadi presiden, pemilihan umum memang merupakan
agenda utama presiden Habibie sebagai upaya stabilisasi sosial politik di
Indonesia, meski persoalan yang harus dihadapi Indonesia bukan hanya
krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, moneter
dan penegakan hukum serta tekanan internasional.
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan
pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal,
yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan
dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa
͸ ƒ†‹ŽƒŠ —–”ƒǡ partai Politik dan Kebijakan Publikǡ ȋ‘‰›ƒƒ”–ƒǣ —•–ƒƒ ‡ŽƒŒƒ” †ƒ
˜˜‡”‘‡•”‡••ǡʹͲͲ͵ȌǡŠǤͳͻ
ၹၺၺ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya
di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan
pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu
pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan
pemungutan suara. Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara
yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi
pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap
penghitungan suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita
acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil (jujur dan
adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno
KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut: Partai Keadilan,
PNU, PBI, PDI, Masyumi, PNI Supeni, Krisna, Partai KAMI, PKD,
PAY, Partai MKGR, PIB, Partai SUNI, PNBI, PUDI, PBN, PKM, PND,
PADI, PRD, PPI, PID, Murba, SPSI, PUMI, PSP, PARI.
Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan
pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU
tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas
Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan
yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi.
Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomen-dasi bahwa pemilu sudah
sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis
menyangkut keberatan-keberatannya.
Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil
final pemilu baru diketahui masyararakat tanggal 26 Juli 1999.
Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia)
langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul
masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian
kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian
kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus
accoord. Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang
melakukan stembus accoord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara
Kelompok stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka
berhak atas 53 dari 120 kursi sisa.
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၺၻ
Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada
KPU. Di KPU perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui
voting dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung
dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua
pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung
opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih
dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan
tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord. Berbekal keputusan
KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil
pemilu pada tanggal 1 September 1999. Hasil pembagian kursi itu
menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau
90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan. Sebagai pemenangnya
adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan
perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau
22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205
kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau
12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara
atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi
dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen,
mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut,
yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian
kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi disbanding Pemilu 1997.
Konfigurasi peroleh suara partai-partai politik pemilu 1999
menunjukkan suatu Pluralisme Moderat. Partai-partai 10 besar seperti
PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB, PAN, PBB, PK, PKP, PNU, dan
PDKB memiliki jarak ideologi yang cukup berdekatan. Misalnya,
antara Golkar, PDI Perjuangan, PKP, dan PDKB sesungguhnya
memiliki kohesi yang saling berbekatan. Kemudian, antara PPP,
PKB, PAN, PBB, PK, PNU, yang sesungguhnya partai-partai politik
berbasiskan Islam, kurang lebih dapat dikerucutkan menjadi 2 aliran
di dalam “santri” versi Geertz yaitu modernis dan tradisional. Koalisi
di dalam parlemen antara ke-10 partai tersebut masih dapat dilakukan
dan tidak sesulit seperti yang ditampakkan oleh hasil Pemilu1955 di
ၹၺၼ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
mana 4 partai besar memiliki jarak ideologi yang cukup jauh sehingga
menyulitkan konsensus di dalam parlemen.
Andreas Ufen dari German Institute of Global Area Studies
menulis bahwa pemilu 1999 menunjukkan ”kemenangan” kalangan
Islam moderat dan kalangan nasionalis. Ufen juga mengindikasikan
bahwa meskipun politik aliran ala pemilu 1955 tetapmemegang
peranan, tetapi mulai terjadi ’dealiranisasi’. Artinya, format sistem
kepartaian meskipun Plural tetapi menunjukkan kecenderungan
moderat. Perbedaan ideologi antar partai tidak setajam pemilu
1955.
Di tingkat parlemen, pembangunan konsensus antarpartai
harus menjadi perhatian. Ini terlihat dari persentase suara masingmasing partai di parlemen hasil pemilu 1999. PDI Perjuangan, selaku
pemenang pemilu 1999, Cuma menguasai 33,33% suara di tingkat
parlemen. Golkar yang peringkat 2 hanya menguasai 25,97% suara.
PPP, partai berbasis Islam hanya menguasai 12,77%. PKB, partai
berbasis kelompok tradisional Islam menguasai 11,03%. PAN, partai
yang berbasiskan modernis Islam menguasai 7,58% suara. PBB, partai
yang berbasiskas Islam modernis dan formalisme menguasai 2,81%
suara. Partai Keadilan, partai Islam modernis baru dan memiliki tipikal
kelompok Ikhwanul Muslimin memperoleh suara 1,30%. PKP, partai
para fungsionaris militer nasionalis memperoleh 1,30%. PNU (partai
”pecahan” dari PKB) serta PDKB (partai berbasis agama Kristen
Protestan) memperoleh suara 0,65%, suatu jumlah yang kurang
signifikan.
Kemenangan PDIP pimpinan Megawati Soekarnoputri
membuktikan bahwa masih kuatnya eksistensi ideologi nasionalis,
dan bahwa profil Soekarno masih sangat kuat dan digemari, apalagi
PDIP berhasil memenangkan 152 kursi di DPR RI dari 452 kursi yang
diperebutkan.7 Siapun yang memenangkan Pemilu 1999 ini pastilah
partai yang paling diminati dan menjadi tempat bagi rakyat untuk
͹‹”†ƒ—•›ƒǡYusril Ihza Mahendra: Perjalanan Hidup, Pemikiran dan Tindakan Politikǡ
ȋƒƒ”–ƒǣ‹ŽŽ‡‹——„Ž‹•Š‡”ǡʹͲͲͶȌǡŠǤʹͻͶ
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၺၽ
menggantungkan harapan tentang perubahan dan perbaikan kondisi
social politik di Indonesia, karena sebagai langkah awal memasuki
system politik yang demokratis, pemilu 1999 ini memberikan
harapan akan terbentuknya pemerintahan yang lebih berpihak pada
kepentingan rakyat, dan bukan pada kepentingan para penguasa.8
Partai-partai yang cukup diperhitungkan kekuatannya adalah PDI
Perjuangan, Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB. Partai- partai Islam
seperti PPP, PKB, PAN dan PBB, jika mampu mencapai kesepakatan
sesungguhnya dapat menjalin koalisi di parlemen karena mereka
memiliki basis massa dan latar belakang ideologi yang nyaris serupa.
Begitu pula dengan PDI Perjuangan dan Golkar, sesungguhnya
memiliki platform ideologi yang tidak terlalu berbeda, kendala koalisi
keduanya hanyalah permusuhan historis. PDI Perjuangan, selama era
Orde Baru akhir banyak mendapat intimidasi pemerintah.
Berikut hasil lengkap pemilihan umum 1999:9
Partai Demokrasi Indonesia
35.689.073 33,74%
Perjuangan
0,20%
12. Partai Abul Yatama
213.979
11.
13. Partai Kebangsaan Merdeka
104.385
33,12%
0
0,00%
0,10%
0
0,00%
14. Partai Demokrasi Kasih Bangsa
550.846
0,52%
5
1,08%
15. Partai Amanat Nasional
7.528.956
7,12%
34
7,36%
0,07%
0
0,00%
0,14%
0
0,00%
0,20%
0
0,00%
16. Partai Rakyat Demokratik
78.730
Partai Syarikat Islam Indonesia
17.
152.820
1905
18. Partai Katolik Demokrat
216.675
19. Partai Pilihan Rakyat
40.517
20. Partai Rakyat Indonesia
54.790
Partai Politik Islam Indonesia
21.
456.718
Masyumi
22. Partai Bulan Bintang
2.049.708
Partai Solidaritas Pekerja Seluruh
23.
61.105
Indonesia
24. Partai Keadilan
1.436.565
25. Partai Nahdlatul Ummat
679.179
Partai Nasional Indonesia - Front
26.
365.176
Marhaenis
Partai Ikatan Pendukung
27.
328.654
Kemerdekaan Indonesia
28. Partai Republik
328.564
Tabel 6.1
Hasil Pemilihnan Umum 1999
153
0,04%
0
0,00%
0,05%
0
0,00%
0,43%
1
0,22%
1,94%
13
2,81%
0,06%
0
0,00%
1,36%
7
1,51%
0,64%
5
1,08%
0,35%
1
0,22%
0,31%
1
0,22%
0,31%
0
0,00%
29. Partai Islam Demokrat
62.901
Partai Nasional Indonesia - Massa
30.
345.629
Marhaen
31. Partai Musyawarah Rakyat Banyak 62.006
0,06%
0
0,00%
0,33%
1
0,22%
0,06%
0
0,00%
32. Partai Demokrasi Indonesia
0,33%
2
0,43%
No. Partai
Jml Suara
Persentase Jml Kursi Persentase
1.
Partai Indonesia Baru
192.712
0,18%
0
0,00%
2.
Partai Kristen Nasional Indonesia
369.719
0,35%
0
0,00%
3.
Partai Nasional Indonesia
377.137
0,36%
0
0,00%
4.
0,08%
0
0,00%
33. Partai Golongan Karya
23.741.749 22,44%
0,27%
0
0,00%
34. Partai Persatuan
655.052
6.
Partai Aliansi Demokrat Indonesia 85.838
Partai Kebangkitan Muslim
289.489
Indonesia
Partai Ummat Islam
269.309
0,25%
0
0,00%
35. Partai Kebangkitan Bangsa
13.336.982 12,61%
7.
Partai Kebangkitan Ummat
300.064
0,28%
1
0,22%
36. Partai Uni Demokrasi Indonesia
140.980
0,13%
0
0,00%
8.
Partai Masyumi Baru
152.589
0,14%
0
0,00%
0,13%
0
0,00%
9.
Partai Persatuan Pembangunan
11.329.905 10,71%
58
12,55%
0,19%
0
0,00%
375.920
1
0,22%
37. Partai Buruh Nasional
140.980
Partai Musyawarah Kekeluargaan
38.
204.204
Gotong Royong
39. Partai Daulat Rakyat
427.854
0,40%
2
0,43%
40. Partai Cinta Damai
168.087
0,16%
0
0,00%
41. Partai Keadilan dan Persatuan
1.065.686
1,01%
4
0,87%
5.
10. Partai Syarikat Islam Indonesia
0,36%
ͺ„‹†ǤǡŠǤʹͺͺ
ͻDzƒ•‹Ž‡‹Ž—ͳͻͻͻdzǡƒ”–‹‡Ž†‹ƒ•‡•’ƒ†ƒͳ͹—‹ʹͲͳͳ†ƒ”‹Š––’ǣȀȀ™™™Ǥ’—Ǥ‰‘Ǥ‹†Ǥ
ၹၺၾ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
345.720
0,62%
120
25,97%
1
0,22%
51
11,03%
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၺၿ
42. Partai Solidaritas Pekerja
49.807
0,05%
0
0,00%
43. Partai Nasional Bangsa Indonesia 149.136
P a r t a i B h i n n e k a Tu n g g a l I k a
44.
364.291
Indonesia
Partai Solidaritas Uni Nasional
45.
180.167
Indonesia
46. Partai Nasional Demokrat
96.984
0,14%
0
0,00%
0,34%
1
0,22%
0,17%
0
0,00%
0,09%
0
0,00%
49.839
0,05%
0
0,00%
48. Partai Pekerja Indonesia
63.934
0,06%
Jumlah
105.786.661 100,00%
47. Partai Umat Muslimin Indonesia
0
0,00%
462
100,00%
(Sumber: Komisi Pemilihan Umum)
D. Poros Tengah
Semenjak organisasi-organisasi sosial dan politik bermunculan pada
masa penjajahan Kolonial Belanda, telah tampak dikotomi antara
organisasi sosial politik yang Nasionalis dan Nasionalis Islami.
Dikotomi tersebut tampak pula ketika bangsa Indonesia akan
mencapai kemerdekaan.
Dalam perumusan Piagam Jakarta bulan Juni 1945, terdapat
dua kelompok yang dinamakan oleh Endang Saifudin Ansari
sebagai kelompok Nasionalis Sekuler yang diwakili oleh Soekarno,
Muhammad Yamin dan Muhammad Hatta dan kelompok Nasionalis
Islami yang diwakili oleh H. Agus Salim, K.H. Hasyim Ashari dan
kawan-kawannya.
Memasuki Demokrasi Parlementer, dikotomi ini tampak pada
partai-partai politik yang ada, baik yang beisifat Nasionalis, Islami,
maupun yang bernuansa ideologi lain, selain Nasionalis dan Islami,
misalnya Sosialis dan Komunis. Partai politik yang bersifat Nasionalis
diwakili oleh Partai Nasional Indonesia (PN1), partai politik yang
berasaskan Islam diwakili Partai Masyumi, Perti, Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII) dan Nahdlatul Ulama (NU). Sedangkan partai politik
yang berideologi selain Nasionalis dan Islam, diwakili oleh Partai Sosial
Indonesia (PSI), Partai Murba dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
ၹၺႀ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Meskipun pada masa Demokrasi Terpimpin partai politik dari
kelompok Nasionalis yang memegang kekuasaan, namun partai
Islam masih diberi kelonggaran untuk ikut bermain di dalamnya,
tetapi hanya khusus bagi Partai Nahdlatul Ulama (NU), Perti dan
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSU). Sedangkan Partai Masyumi
tidak dizinkan ikut dalam kabinet.
Nuansa semacam itu, akhirnya dipangkas habis oleh pemerintah
Orde Baru, di bawah kepemimpinan Soeharto dengan membuat
kebijakan fusi partai-partai politik, sehingga hanya tinggal tiga partai
politik dan pemerintah Orde Baru mengharuskan ketiga partai
tersebut berasaskan tunggal yaitu Pancasila.
Kebijakan pemerintah Orde Baru tentang asas tunggal, tidak
hanya dikenakan kepada partai politik, tetapi juga kepada organisasiorganisasi kemasyarakatan lainnya. Namun di antara organisasi
kemasyarakatan, ada juga yang tidak menyetujuinya, sehingga dengan
terpaksa harus dibubarkan. Organisasi tersebut, misalnya Pelajar Islam
Indonesia (PII). Padahal Organisasi ini telah terbentuk sejak tahun
1947. dan pada masa-masa perjuangan melawan PKI. ikut pula ambil
bagian bersama-sama dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).10
Dengan demikian, masalah partai politik yang berlebel Islam dan
Nasionalis tidak tampak secara tersurat, tetapi secara tersirat masih
ada. Dengan adanya asas tunggal yang diberlakukan pemerintah
Orde Baru, berarti memberikan kesempatan kepada umat Islam
yang mayoritas dapat menyuarakan aspirasi ke partai politik lain dan
tidak harus ke partai Islam (PPP).
Kelebihan kebijakan fusi ini untuk meredam konflik yang
diakibatkan oleh sentimen agama. Dan peredaman konflik semacam
ini, sejalan dengan kebijakan pemerintah Orde baru, yaitu untuk
mendapatkan kestabilan politik sebagai pendukung pembangunan
ekonomi.
ͳͲ ‹ ‹†‡•‹†‘, Membuka Lipatan Sejarahǣ Menguak Fakta Gerakan PKI, ȋƒƒ”–ƒǣ
—•–ƒƒ‹†‡•‹†‘ǡͳͻͻͺȌǡŠǤš‹‹Ǥ
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၺႁ
Lengsernya Soeharto dan runtuhnya pemerintahan Orde Baru,
menandakan dimulainya babak baru bagi pemerintahan Era Reformasi
dan kebebasan mendirikan partai-partai politik mulai hidup kembali.
Dengan adanya kebebasan tersebut maka membuka peluang bagi
munculnya partai-partai politik baru dari berbagai ideologi dan tidak
ketinggalan pula, dari Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Islami.
Hal ini tampak pada pembentukan partai-partai politik Islam yang
berjumlah 18 partai dari 48 partai yang disahkan pemerintah sebagai
kontesian pemililian umum tahun 1999 Tidaklah heran, kemunculan
Poros Tengah sebagai tonggak partai-partai politik Islam, merupakan
implementasi dari kebijakan tersebut di atas.
1.
Latar Belakang Pembentukkan Poros Tengah
Poros Tengah merupakan suatu kelompok yang terdiri dari partaipartai politik Islam, kontestan pemilihan umum tahun 1999 seperti
Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai
Persatuan Penibangunan (PPP) dan Partai Keadilan (PK), meskipun
pada mulanya, belum tampak solid.
Ide Poros Tengah muncul dari seorang Doktor pakar Manajemen
Bisnis dari Universitas Gajah Mada, Bambang Sudibyo, sahabat
karib Amin Rais. Bambang melihat bahwa kekuatan dalam merebut
kekuasaan, ada di tangan Partai Golkar dan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP), antara B.J. Habibie dengan Megawati
Soekarno Putri. Kedua partai selain pemenang dalam pemilihan
umum, juga dikenal sebagai partai yang meniiliki pendukung massa
yang “fanatik”’. Massa pendukung Partai Golkar, kerap menggelar
demonstrasi. Sedangkan massa pendukung Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) menunjukkan cap jempol berdarah-artinya
siap berjuang, agar Megawati menjadi Presiden, meskipun harus
menitikkan darah.11 Darah yang menjadi symbol antara kehidupan
dan kematian digunakan sebagai harga mati yang dipertaruhkan oleh
ͳͳ—Šƒ”•‘‘ǡCemerlangnya Poros Tengah, ȋƒƒ”–ƒǣ‡”‡‹ƒŽ”‡••ǡͳͻͻͻȌǡŠǤ͸ͻ
ၹၻၸ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
para pendukung Megawati agar menjadi presiden. Golkar yang masih
memiliki pendukung cukup banyak terpecah menjadi dua kubu, yaitu
yang mendukung Habibie, yang diberi julukan “Golkar Hitam”12 dan
yang mendukung Marzuki Darusman yang dikenal dengan kelompok
“Golkar Putih” yang memiliki banyak komentar miring tentang
pencalonan Habibie sebagai presiden oleh organisasi Golkar.13
Untuk menengahi kedua partai tersebut, menurut Bambang harus
ada kelompok yang berada di posisi tengah artinya tidak memihak ke
Partai Golkar ataupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
dan paling tepat adalah dengan menggunakan kekuatan kelompok
Islam, apabila organisasi terbesar seperti Nahdlatul Ulama (NU)
dengan Muhammadiyah bisa bersatu dengan menggunakan sentimen
agama sebagai perekatnya. Akhirnya konsep pemikiran Bambang
Sudibyo digulirkan dan lahirlah istilah Poros Tengah.
Menurut Zarkasih Noor, istilah Poros Tengah muncul berasal
dari diskusi-diskusi yang intensif antara dirinya dengan Faesal Baasir
dan Husni Thamrin.14 Ada juga yang mengatakan bahwa ide ini
dilontarkan Amin Rais dalam dialog antar partai politik yang diadakan
oleh LIPI dan UNICEF, dan beberapa forum lain yang diadakan oleh
BKUI, Seminar Partai politik Era Reformasi yang diadakan oleh Dewan
Dakwah Islam pada Juni 1997.15
Istilah Poros Tengah digulirkan Amin Rais dan teman-temannya
dari partai politik Islam. Sebagaimana yang dikatakan Bambang
Sudibyo kehadiran Poros Tengah diharapkan mampu untuk melawan
atau menghadapi kekuatan Partai Golkar dan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP).
Partai-partai politik Islam, seperti Partai Amanat Nasional (PAN)
:Amin Rais, Partai Keadilan (PK): Nur Mahmudi dan Partai Persatuan
ͳʹ—Ž—ƒ‹‹„ƒ›ƒ‡—ƒ‹’”‘–‡•–‡”—–ƒƒ†ƒ”‹’ƒ”ƒ’‡–‹‰‰‹
‘Žƒ”›ƒ‰‡†——‰
ƒ„‹„‹‡ǡ†ƒ”‘ˆǤ”—Žƒ†‹‡‡‰ƒ•ƒ„ƒŠ™ƒ
‘Žƒ”–‹†ƒ’‡…ƒŠ†ƒ„ƒŠ™ƒ
‘Žƒ”
ƒ†ƒŽƒŠ
‘Žƒ”
ͳ͵—Šƒ”•‘‘ǡCemerlangnya.., „‹†ǤǡŠǤ͹ʹ
ͳͶ„‹†ǤǡŠǤͺ͸
ͳͷ„‹†Ǥ
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၻၹ
Pembangunan (PPP): Zarkasih Nur tidak menghendaki B. J. Habibie
dan Megawati Soekarno Putri naik ke kursi RI 1.keppresidenan.
B. J. Habibie dianggap sebagai perpanjangan tangan pemerintahan
Orde Baru Sedangkan Megawati Soekarno Putri tidak disenangi karena
Partai Demokasi Indonesia Perjuangan (PDIP) telah mengecewakan
umat Islam, dengan menempatkan anggota-anggota non Muslim secara
tidak proporsional dalam Dewan Perwakilan Rakyat, baik di Pusat
maupun di Daerah. Selain itu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) tidak pernah berbicara masalah reformasi sedikitpun,
sehingga dikhawatirkan agenda reformasi tidak berjalan, kalau
kursi Presiden Rl-1 direbut Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP), dan pendukung kedua partai tersebut sangat fanatik, sehingga
dikhawatirkan, kalau salah satu yang menang, akan terjadi kerusuhan
yang fatal. Para pendukung Megawati Soekarno Putri telah memberikan
cap jempol berdarah dan Tim sukses B.J. Habibie siap dengan money
politics. Jadi keduanya memiliki kekuatan untuk memenangkan kursi
Presiden dan keduanya bersikeras untuk menjadi Presiden terutama
pendukung Megawati Soekarno Putri yang bersikeras agar Megawati
harus menjadi Presiden. Apabila tidak kesampain, maka pendukungnya
tidak mau tahu dan mereka mengancam akan revolusi dan mengancam
akan memenuhi gedung DPR dengan massa dan laskar merah PDIP
dari segala penjuru tanah air.16
Kemungkinan konflik semacam itu tidak dikehendaki oleh partai
Islam, dikhawatirkan membawa kepada kerusuhan massal yang akan
mungkin saja bisa menjadi kerusuhan Nasional. Ditambah lagi dengan
kemungkinan akan terjadinya deadlock pada pemilihan presiden di
SU MPR, karena setelah penghitungan suara hamper selesai, tidak
satupun antara Habibie dan Megawati yang memperoleh suara 50%
+ 1 yang menjadi prasyarat mutlak terpilihnya presiden.17 Untuk
itulah Poros Tengah dilahirkan dan diharapkan mampu meyakinkan
masyarakat bahwa mereka mampu memberikan yang terbaik bagi
ͳ͸„‹†ǤǡŠǤ͹͵
ͳ͹„‹†Ǥ
ၹၻၺ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
bangsa Indonesia dalam pemilihan umum nanti dengan mencalonkan
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden Republik
Indonesia ke 4.
Kehadiran K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) diharapkan
dapat menjadi jembatan antara semua pihak yang bertikai dan
dapat diterima semua pihak, karena K.H Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) dianggap dekat dengan kelompok-kelompok non Muslim dan
pendukung demokratisasi, serta bersifat humanis.
2.
Pro dan Kontra Terhadap Kemunculan Poros Tengah
Kemunculan Poros Tengah tidak begitu mulus, karena menimbulkan
pro dan kontra. Kelompok yang pro mengatakan bahwa hal ini
merupakan suatu kekuatan bagi umat Islam dan memang ini
diharapkan agar partai-partai politik Islam bisa bersatu dan meraih
kekuasaan, serta berperan seperti pada masa Demokrasi Parlementer.
Bagi yang kontra mengatakan bahwa kemunculan Poros Tengah
justru akan menimbulkan konflik merupakan bentuk primordialisme
dan dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia
Meskipun suara-suara manis dan sinis terdengar di mana-mana, tetapi
Poros Tengah di bawah komando Amin Rais melenggang terus tidak
peduli dengan omongan orang.
Tokoh-tokoh pendukung berat Poros Tengah terlihat aktif
memainkan kartu politiknya seperti Amin Rais dari Partai Amanat
Nasionai (PAN) dan Zarkasih Nur dari Partai Persatuan Pembangunan
(PPP).
Meskipun Poros Tengah mempakan kumpulan dari partai-partai
politik Islam yang terbatas pada Partai Amanat Nasional (PAN),
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB)
dan Partai Keadilan (PK), tetapi mampu mempengaruhi Partai Golkar
untuk bergabung.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) semula tidak bergeming
untuk bergabung, terutama masalah pencalonan K.H. Abdurrahman
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၻၻ
Wahid (Gus Dur), karena Poros Tengah dianggap masih main-main
dan belum serius. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) melihat antara
anggota kaukus Poros Tengah kelihatanya belum mempunyai satu
persepsi, seperti Yusril Ihza Mahendra dari Partai Bulan Bintang
(PBB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam hal ini
Ketua Umumnya: Hamzah Haz Kedua tokoh tersebut kelihatannya
cenderung mendukung pencalonan B.J, Habibie sebagai Presiden
Republik Indonesia ke- 4
3.
Target Utama Poros Tengah
Tujuan utama Poros Tengah adalah menciptakan kekuatan alternatif
sebagai penengah antara kelompok B J. Habibie (Partai Golkar)
dengan Megawati Soekarno Putri (PDIP) dengan merapatkan barisan
di antara partai-partai politik Islam, baik dalam bentuk koalisi atau
stembus accord dan lobby-lobby. Sedangkan target utama yang ingin
dicapai Poros Tengah tampaknya adalah kemenangan pada pemilihan
calon Presiden RI ke-4 di Sidang Umum 1990.
Untuk itulah, salah satu kegiatan yang aktif dilakukan Poros
Tengah adalah mempromosikan pencalonan K. H. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden Republik Indonesia ke -4 dari Poros
Tengah untuk mengimbangi pencalonan B.J Habibie dan Megawati
Soekarno Putri.
Dari pihak partai-partai politik Islam ( Poros Tengah ) sendiri,
ada kekhawatiran, kalau Megawati Soekarno Putri (PDIP) menang
dalam pemilihan Presiden RI ke 4, maka peran politik umat Islam akan
termarginalisasi, mengingat di dalam tubuh partai yang berlambang
kepala Banteng tersebut terdapat unsur partai yang nota bene non
Muslim dan tidak menginginkan Islam tampil ke panggung politik.
Selain itu, fatwa Ulama dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak
mengizinkan perempuan menjadi Presiden. Padahal kans Megawati
Soekarno Putri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
untuk menduduki kursi Presiden RI ke 4 sangat besar, mengingat Partai
ၹၻၼ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) telah memenangkan suara
terbanyak pada waktu pemilihan umum langgal 7 Juni 1999 dengan
perolehan suara sekitar 35 %.
Untuk mengatasi hal itu, maka Poros Tengah memunculkan figur
Presiden yang dapat diterima sejumh lapisan masyarakat dan mampu
merangkul seluruh kelompok yang ada dalam masyaiakat figur yang
tampak memenuhi criteria tersebut adalah K.H. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur). Untuk itulah. Poros Tengah bersemangat dan bersikukuh
mencalonkan K. H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai calon
Presiden Rl ke 4.
Pada awalnya, pencalonan Gus Dur yang dikemukakan oleh
amin Rais mendapatkan sambutan yang kurang baik dari internal
Poros Tengah itu sendiri, seperti Yusril Ihza Mahendra (PBB) yang
mengatakan bahwa pencalonan ini hanya bersifat pribadi dari Amien
Rais dan tidak diputuskan oleh Poros Tengah.18 Begitu pula komentar
yang keluar dari para petinggi PKB seperti Matori Abdul Djalil dan
AS.Hikam. Partai Kebangkilan Bangsa (PKB) tidak bergeming untuk
mendukung pencalonan tersebut. PKB tetap bersikukuh untuk
mendukung Megawati Soekarno Putri dari Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP). Kegigihan Matori Abdul Djalil mendukung
pencalonan Megawati Soekarno Putri dianggap sebagai pelaksanaan
hasil Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), yaitu mendukung kepada partai pemenang pemilihan
umum.
Meskipun belum mendapat dukungan dari Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) atas pencalonan K.H Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) oleh Poros Tengah, tetapi Amien Rais tetap maju terus,
pantang menyerah. Berbagai langkah ditempuh Amien Rais untuk
mengumandangkan gaung Poros Tengah dengan calon Presidennya.
Selain itu. pertemuan dengan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
pun dilakukan beberapa kali untuk meyakinkan bahwa Poros Tengah
ͳͺ„‹†ǤǡŠǤ͹͹
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၻၽ
serius dalam mencalonkannya. Dan akhirnya K.H. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) menerimanya dengan alasan keagamaan.
Akhirnya calon yang berhak maju ke pemilihan Presiden adalah
Megawati Soekarno Putri dan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Namun sebelum ke tingkat pemilihan, Partai Bulan Bintang sempat
mengajukan Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra untuk maju sebagai
Presiden. Hal ini dilakukan Partai Bulan Bintang yang juga anggota
Poros Tengah. karena khawatir di tengah perjalanan pemilihan K.H.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ingin mengundurkan diri.
Apabila dugaan Partai Bulan Bintang benar, maka kesempaian
Megawati Soekamo Putri menjadi Presiden akan terbuka lebar
Dan hal ini tidak diinginkan oleh Partai Bulan Bintang dan Poros
Tengah Selain itu pencalonan Yusril Ihza Mahendra dapat dikatakan
membudayakan tradisi pencalonan Presiden lebih dari satu Karena
selama ini pencalonan presiden hanya satu.
Memasuki proses pemilihan Presiden, tiba-tiba Yusril Ihza
Mahendra mengundurkan diri dengan alas an demi kemaslahatan
bersama dan hormatnya terhadap K.H. Abdurrahman Wahid Gus
Dur Dengan demikian, tinggal dua nama calon Presiden yaitu K.H
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarno Putri.
Penghitungan suara dilakukan secara rahasia (tertutup) dan
memberlakukan one man. one vote. Sampai pada detik-detik terakhir
ternyata dukungan suara mengalir ke K.H. Abdurrahman Wahid ((Gus
Dur) yang dijagokan partai-partai politik Islam dari Poros Tengah
sejumlah 373 suara Sedangkan Megawati Soekarno Putri memperoleh
suara sebanyak 313 suara. Dengan demikian jago Poros Tengah: K.H.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang memenangkan pertarungan
calon Presiden RI ke 4. Ternyata suara untuk K.H. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) tidak hanya berasal dari Poros Tengah plus PKB tetapi
dari Partai Golkar juga ikut andil memberikan suaranya Kemenangan
K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah kemenangan umat Islam
melalui partai-partai politik Islam yang tergabung dalam kaukus Poros
Tengah. Dapat dikatakan bahwa keberhasilan tersebut merupakan
ၹၻၾ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
konspirasi Elite politik Islam, termasuk Elite Partai Golkar karena
Partai Golkar yang dipmipin Akbar Tanjung adalah seorang mantan
ketua Himpunan Maliasiswa Islam (HMI) yang nota bene adalah
organisasi Islam Dengan demikian, kejayaan politik umal Islam yang
pernah diraih pada masa Demokrasi Parlementer karena telah dapat
direbut kembali peta kekuatan politik yaug selama ini dikuasai oleh
Militer, Golkar dan Birokrasi kini beralih ke partai-partai politik
terutama partai-partai politik Islam.
E. Perubahan UUD 1945
Seperti harusnya sebuah negara modern, Indonesia memiliki konstitusi
Negara sebagai basic law atau dasar hukum yang menjadi pilar dan
sumber segala hukum dan aturan yang diberlakukan di Indonesia,
konstitusi Republik Indonesia dikenal dengan Undang-Undang dasar
1945, yang isi awalnya dirancang oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berjumlah 62 orang
dan diketuai oleh Mr. Radjiman Wedyodiningrat pada tanggal 29 Mei
1945 sampai 16 Juli 1945.19
Proses penyusunan dan pengesahan konstitusi ini tidak mudah
dilakukan dan membutuhkan waktu yang cukup panjang dengan
agenda kerja yang dilakukan secara bertahap. Di dalam sidang pertama
BPUPKI (28 Mei hingga 1 Juni 1945) dibentuk panitia kecil yang
disebut dengan Panitia Sembilan yang bertugas membuat piagam
Jakarta yang akan digunakan sebagai salah satu bagian Mukaddimah
UUD, dan panitia Sembilan ini berhasil merampungkan naskah
Mukaddimah UUD pada tanggal 22 Juni 1945, dimana naskah
Mukadimah tersebut disetujui oleh sidang II BPUPKI pada tanggal 1
Juli 1945. Setelah masalah Mukaddimah selesai, Soekarno membentuk
lagi panitia kecil yang dipimpin oleh Soepomo untuk menyusun
rancangan isi Undang – Undang Dasar sekaligus sebagai pembentukan
ͳͻ Ǥ „ƒ‡†‹ŽŽƒŠǡ ƒ„†—Ž ‘œƒ ȋ’‡›—–‹‰Ȍǡ Pendidikan Kewargaan: demokrasi, Hak
Asasi Manusia, dan Masyarakat madaniǡȋƒƒ”–ƒǣ›ƒ”‹ˆ‹†ƒ›ƒ–—ŽŽƒŠǡʹͲͳͲȌǡ
ŠǤ͸͵
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၻၿ
Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang berjumlah
21 orang dengan Ir Soekarno sebagai ketuanya.20 Pengesahan UUD
1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang
bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945.
Undang-Undang Dasar sebagai Konstitusi Negara Republik
Indonesia di sahkan dan ditetapkan pada hari sabtu, 18 Agustus 1945,
sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan
nama Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, baru pada awal
tahun 1959 muncul istilah 1945 dibelakang UUD. Dengan konteks
dan materi yang sama, UUD 1945 mengalami beberapa kali perubahan
nama dan istilah21, yaitu:
1.
2.
3.
4.
Undang Undang Dasar 1945 (UUD) dengan masa berlaku
sejak 18 agustus 1945 – 27 Desember 1949.
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) yang
berlaku pada 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950.
Undang Undang Dasar Sementara (UUDS) Republik
Indonesia yang berlaku pada 17 Agustus 1950 – 5 Juli
1959.
Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dengan masa
berlaku sejak 5 Juli 1959 – sekarang.
Walaupun perubahan nama dan Istilah untuk Undang Undang
dasar 1945 tidak seringkali berubah mengikuti irama perubahan
kondisi politik di Indonesia, mukaddimah dan isi UUD 1945 tersebut
tidak mengalami perubahan secara signifikan sampai bergulirnya
tuntutan reformasi. Dimana salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah
dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar
belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada
masa Orde Baru terjadi banyak sekali pelanggaran terhadap isi dan
kandungan UUD 1945, diantaranya tentang kekuasaan tertinggi yang
ʹͲ„‹†Ǥ
ʹͳ„‹†ǤǡŠǤ͸Ͷ
ၹၻႀ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
seharusnya ada ditangan rakyat, tetapi pada kenyataannya justru ada di
tangan MPR, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat
menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang
semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan
konstitusi. Banyak pihak yang menginginkan perubahan konstitusi
Negara ini dilakukan secara keseluruhan dengan melakukan renewal,22
tetapi dengan banyak pertimbangan, hanya dilakukan perubahan secara
Amandemen di beberapa pasal saja yang dianggap tidak lagi relevan
dengan perkembangan sosial politik dan kebutuhan bangsa Indonesia.
Yang paling utama adalah tetap dipertahankannya Mukaddimah UUD
1945, karena dianggap sebagai kesepakatan para pendiri bangsa23, dan
didalamnya mengandung banyak dasar-dasar dan tujuan bernegara
sebagai panduan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk tetap
bertahan dan kokoh sebagai sebuah bangsa yang merdeka.
Tujuan dari dilakukannya amandemen UUD 1945 adalah untuk
menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan
rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan
negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan
aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan
kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945,
tetap mempertahankan susunan kenegaraan atau staat structuur,
kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan
presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali
perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan
Sidang Tahunan MPR:24
ʹʹ Renewal ƒ†ƒŽƒŠ •ƒŽƒŠ •ƒ–— ‡–‘†‡ ’‡”—„ƒŠƒ ‘•–‹–—•‹ †‡‰ƒ …ƒ”ƒ ‡Žƒ—ƒ
’‡„ƒŠƒ”—ƒ •‡…ƒ”ƒ –‘–ƒŽ †ƒ ‡•‡Ž—”—Šƒ †ƒ ‡„—ƒ– ‘•–‹–—•‹ „ƒ”— •‡„ƒ‰ƒ‹
’‡‰‰ƒ–‹Ǥ‡–‘†‡Žƒ‹ƒ†ƒŽƒŠ†‡‰ƒ amandemen†‹ƒƒ’‡”—„ƒŠƒ–‹†ƒ†‹Žƒ—ƒ
•‡…ƒ”ƒ–‘–ƒŽǡ–‡–ƒ’‹Šƒ›ƒ„‡„‡”ƒ’ƒ’‘‹–•ƒŒƒ†ƒ‘•–‹–—•‹›ƒ‰ƒ•Ž‹–‡–ƒ’„‡”Žƒ—†ƒ
’‡”—„ƒŠƒ›ƒ‰†‹Žƒ—ƒ‡Œƒ†‹Žƒ’‹”ƒ†ƒ”‹‘•–‹–—•‹›ƒ‰ƒ•Ž‹Ǥ
ʹ͵Ǥ„ƒ‹†‹ŽŽƒŠǡ‡†‹†‹ƒ‡™ƒ”‰ƒƒǤǤǡ‹„‹†ǤǡŠǤ͸͸
ʹͶŠ––’ǣȀȀƒ•‹…Ǥ—–‡šƒ•Ǥ‡†—Ȁƒ•‹…Ȁ…‘—–”‹‡•Ȁ‹†‘‡•‹ƒȀ…‘•–‹†‘‡•‹ƒǤŠ–ŽǤConstitution
of Indonesiaǡ†‹ƒ•‡•’ƒ†ƒͳͶ—‹ʹͲͳͳǤ
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၻႁ
1.
2.
3.
4.
Amandemen pertama pada Sidang Umum MPR tahun
1999 (14-21 Oktober 1999). Fokus amandemen UUD 1945
pertama ini membatasi kekuasaan presiden dan memperkuat
kedudukan Dewan Perwakilan rakyat sebagai lembaga
legislatif.
Amandemen kedua pada Sidang Tahunan MPR tahun
2000 ( 7-18 Agustus 2000). Pada amandemen kedua ini,
dihasilkan rumusan perubahan pasal-pasal yang meliputi
masalah wilayah Negara dan pembagian pemerintahan
daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam hal
memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan
terperinci tentang Hak Asasi Manusia atau HAM.
Amandemen ketiga pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001,
(1-9 November 2001). Amandemen ketiga ini mengubah
dan menambah ketentuan-ketentuan pasal tentang asas-asas
landasan bernegara, kelembagaan negara dan hubungan
antar lembaga negara, serta ketentuan-ketentuan tentang
Pemilihan Umum.
Amandemen keempat pada Sidang Tahunan MPR 2002,
(1-11 Agustus 2002). Amandemen keempat ini membahas
ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antar
lembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung
(DPA), pasal pasal tentang pendidikan dan kebudayaan,
perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan
serta aturan tambahan.
Empat tahap perubahan UUD 1945 tersebut meliputi hampir
keseluruhan materi UUD 1945. Naskah asli UUD 1945 berisi 71
butir ketentuan, sedangkan perubahan yang dilakukan menghasilkan
199 butir ketentuan. Saat ini, dari 199 butir ketentuan yang ada
dalam UUD 1945, hanya 25 sekitar12% butir ketentuan yang tidak
mengalami perubahan. Selebihnya, sebanyak 174 atau sekitar 88%
ၹၼၸ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
butir ketentuan merupakan materi yang baru atau telah mengalami
perubahan.25
Dari sisi kualitatif, perubahan UUD 1945 bersifat sangat mendasar
karena mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan
sepenuhnya oleh MPR menjadi dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar. Hal itu menyebabkan semua lembaga negara dalam
UUD 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan
rakyat.
Selanjutnya yang menjadi tanggung jawab bersama seluruh rakyat
Indonesia, adalah melaksanakan apa yang sudah menjadi amanat
amandemen UUD 1945 demi terciptanya masyarakat berdasarkan
hukum yang berkeadilan dan menuju tatanan kenegaraan yang lebih
baik.
F.
Bikameralisme
Hal terpenting dari terjadinya transisi demokratisasi di Indonesia
adalah dengan dilaksanakannya reformasi yang cukup signifikan
dibidang ketatanegaraan dengan diamandemennya UUD 1945
sebagai konstitusi Negara kesatuan Republik Indonesia.
Struktur ketatanegaraan Indonesia berubah sejak diamandemennya UUD 1945 pasal VIIA (pasal 22C dan pasal 22D) tentang
pembentukan, pemilihan, tugas dan wewenang, serta pemberhentian
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga baru representasi
kepentingan seluruh daerah yang termasuk wilayah Republik Indonesia,
dan sebagai lembaga yang diberikan wewenang untuk membahas
rancangan undang-undang yang berhubungan dengan otonomi
daerah(UUD 1945 Bab VIIA pasal 22D ayat 2), dan kewenangan
untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan implementasi
undang-undang yang berhubungan dengan undang –undang otonomi
daerah (UUD 1945 Bab VIIA pasal 22D ayat 3).26
ʹͷUUD’45 dan Amandemenyaȋƒƒ”–ƒǣ—–‹ƒ”ƒ†ƒŠ—„Ž‹•Š‹‰ǡʹͲͳͲȌǡŠǤʹ
ʹ͸„‹†ǤǡŠǤͳ͹
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၼၹ
Dengan dimasukkannya bab serta pasal-pasal mengenai DPD
tersebut, menandai bagaimana sistem unicameral yang dianut
Indonesia lebih dari 32 tahun berubah menjadi sistem bicameral.
Perubahan tersebut tidak terjadi seketika, tetapi melalui tahap
pembahasan yang cukup panjang baik di masyarakat maupun di MPR,
khususnya di Panitia Ad Hoc I. Proses perubahan di MPR selain
memperhatikan tuntutan politik dan pandangan pandangan yang
berkembang bersama reformasi, juga melibatkan pembahasan yang
bersifat akademis, dengan mempelajari sistem pemerintahan yang
berlaku di negaranegara lain khususnya di negara yang menganut
paham demokrasi. Sistem dua kamar adalah praktik pemerintahan
yang menggunakan dua kamar legislatif atau parlemen. Jadi, parlemen
dua kamar (bikameral) adalah parlemen atau lembaga legistlatif yang
terdiri atas dua kamar. Di Inggris sistem dua kamar ini dipraktikkan
dengan menggunakan istilah Majelis Tinggi (House of Lords) dan
Majelis Rendah (House of Commons).27 Di Amerika Serikat sistem ini
diterapkan melalui kehadiran Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dan di Indonesia diimplementasikan dengan Dewan Perwakilan rakyat
(DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), keduanya sebagai organ
yang saling melengkapi didalam lembaga legislatif.
Sebelum di sahkannya keberadaan DPD sebagai reperesentasi
kepentingan daerah di tingkat pusat, berkembang kuat pandangan
tentang perlu tidaknya keberadaan lembaga yang dapat mewakili
kepentingan-kepentingan daerah, serta menjaga keseimbangan antardaerah dan antara pusat dengan daerah secara adil dan merata. Hal
ini dimaksudkan untuk menghindari adanya sentralisasi kekuasaan
seperti yang terjadi pada masa Orde Baru
Gagasan dasar pembentukan DPD adalah keinginan untuk
lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi
peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan
keputusan politik untuk permasalahan yang berkaitan langsung
ʹ͹ Šƒ† —Š‡Ž‹ǡ Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran
Negara, masyarakat dan Kekuasaan,ȋƒƒ”–ƒǣƒ”—ŽƒŽƒŠǡͳͻͻͻȌǡŠǤͳ͵ͺ
ၹၼၺ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
dengan kepentingan daerah. Keinginan tersebut berangkat dari
pemikiran dan pelajaran periode terdahulu bahwa pengambilan
keputusan yang bersifat sentralistik pada masa Orde Baru ternyata
telah mengakibatkan ketimpangan pembangunan masyarakat dan
rasa ketidakadilan, sehingga dapat membahayakan keutuhan wilayah
negara dan persatuan nasional. Keberadaan unsur Utusan Daerah
dalam keanggotaan MPR selama ini (sebelum dilakukannya perubahan
terhadap UUD 1945) dianggap tidak memadai untuk menjawab
tantangan-tantangan tersebut.28
Ide tentang model dua kamar dalam satu lembaga legislatif ini
bukanlah hal yang mudah dipahami banyak orang termasuk para elit
politik yang berada di kekuasaan, apalagi dengan terlalu panjangnya
kekuasaan Orde Baru yang bersifat sentralistis dengan lembaga
legislative (DPR MPR) sebagai lembaga super kuasa yang memiliki
wewenang tanpa control dalam urusan perundang-undangan di
Indonesia, , Indonesia selalu menganut sistem unicameral, kecuali
dalam periode yang pendek pada masa RIS di tahun 1950. Banyak
pihak yang mempertanyakan apakah system seperti ini cocok untuk
Indonesia yang merupakan Negara kesatuan, sedangkan biasanya
system bicameral diimplementasikan di Negara dengan system federal.
Dengan pertimbangan penerapan undang-undang otonomi daerah
dan sangat luasnya wilayah Indonesia dengan kondisi geografis yang
beragam serta pluralitas suku, ras, bahasa dan budaya yang ada, system
bicameral ini dianggap cocok untuk diterapkan. System bicameral
pertama diterapkan di Inggris pada abad ke-14. Selain lahir dari tradisi
dan sejarah yang panjang, diterapkannya bikameralisme dalam sistem
perwakilan diberbagai negara pada umumnya didasarkan atas dua
pertimbangan29, yaitu:
ʹͺ ‹ƒ†Œƒ” ƒ”–ƒ•ƒ•‹–ƒǡ Bikameralisme di Indonesiaǡ †‹ƒ•‡• †ƒ”‹ ™™™Ǥ‰‹ƒ†Œƒ”Ǥ
…‘ǡ†‹ƒ•‡•’ƒ†ƒͳͲŒ—‹ʹͲͳͲǤ
ʹͻƒ—‡ŽǤƒ––‡”•‘Ƭ–Š‘›—‰ŠƒǡSenates: Bicameralism in the Contemporary
World.(Š‹‘ǣŠ‹‘–ƒ–‡‹˜‡”•‹–›”‡••ǡ‘Ž—„—•ǡͳͻͻͻȌŠǤ͹͵
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၼၻ
1.
2.
Representasi, dimana dibutuhkannya system perwakilan yang
lebih luas dari system proporsional yang dilakukan berdasrkan
jumlah penduduk. Hingga seringkali dikatakan bahwa majlis
rendah atau house oh commons adalah representasi dimensi
jumlah penduduk, dan majlis tinggi atau house of lord adalah
representasi dari dimensi territorial.
Redundancy, perlu adanya sistem yang menjamin bahwa
keputusan-keputusan politik yang penting, dibahas secara berlapis
(redundancy) sehingga berbagai kepentingan dipertimbangkan
secara masak dan mendalam. Menurut pendapat para ahli, sistem
bikameral mencerminkan prinsip checks and balances bukan hanya
antar cabang-cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif,
yudikatif) tapi juga di dalam cabang legislatif itu sendiri. Dengan
demikian maka system bikameral dapat lebih mencegah terjadinya
tirani mayoritas maupun tirani minoritas
Di Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dipilih
berbarengan dengan pemilihan anggota DPR dan DPRD dalam
pemilihan umum legislative, dengan status sebagai majlis tinggi dalam
Majlis Perwakilan rakyat (MPR), DPD dipilih secara langsung oleh
rakyat sebagai perwakilan dari setiap provinsi tanpa melalui partai
politik seperti halnya anggota DPR dan DPRD. Secara historis, DPD
pertama dalam sejarah politik Indonesia dilantik pada 1 Oktober
2004 dengan 128 anggota dengan segala keterbatasan konsep dan
pemahaman tentang system dua kamar dalam sejarah legislatif di
Indonesia. Namun demikian, pada perkembangannya, keberadaan
DPD masih dipertanyakan banyak pihak, baik dari kewenangan
yang diberikan kepada DPD yang sangat terbatas, lingkup kerja dan
tanggung jawab yang maih sangat minim dan masih terlalu besarnya
kewenangan DPR disbanding kewenangan DPD, hingga menimbulkan
kesan tidak berimbangnya keberadaan dua kelompok elit dalam MPR
ini. Hal tersebut membuat keberadaan Dewan Perwakilan Daerah
tampak sebagai aksesoris hiasan politik atas nama demokrasi yang
ၹၼၼ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
dipakai oleh system perwakilan yang ada di Indonesia, hal ini sangat
disayangkan, karena bila dapat dimaksimalkan, keberadaan DPD bisa
dijadikan sebagai pelengkap tugas dan kewenangan DPR sekaligus
bisa dijadikan sebagai penguat mekanisme check and balances dalam
system politik Indonesia
G. Militer di Era Pemerintahan Abdurrahman Wahid
Terpilihnya K.H. Abdurrahman wahid sebagai presiden adalah hasil
kerja keras kelompok poros tengah yang dimotori oleh Amien Rais,
sebagai salah satu drama politik Indonesia pasca Orde Baru yang
cukup fenomenal dan dramatis, bahkan beberapa orang pengamat
menyebutnya sebagai rekayasa politik terhebat sepanjang pemilihan
kepala Negara di Indonesia.
Pada bursa pencalonan presiden untuk priode 1999 -2004, Caloncalon Presiden yang diunggulkan oleh partai-paitai politik hanya ada
tiga calon yaitu: B.J. Habibie, Megawati Soekarno Putri dan K.H.
Abdurahman Wahid, namun setelah B.J. Habibie memberikan laporan
penanggung jawabanya teryata laporan penanggung Jawaban teisebut
ditolak dan diikuti pula dengan permintaan pengunduran diri B.J.
Habibie dari pencalonan
Selain kemenangan K.H Abdurahman Wahid (Gus Dur)
dianggap sebagai kemenangan politik umat Islam juga perolehan
posisi di lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) oleh Amin
Rais dan lembaga legislative oleh akbar Tanjung dianggap sebagai
kemenangan mutlak umat Islam. Dengan demikian analisa bahwa
mayoritas bangsa Indonesia adalah “Islam Abangan” yang ditandai
dengan kemenangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
dalam pemilihan umum 7 Juni 1999 kemarin tidak berlaku, jika
diterapkan di Lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Meskipun demikian, Kabinet yang dibentuk presiden Abdurrahman
Wahid tidak dimonopoli oleh kekuatan Islam semata, tetapi mencoba
merangkul seluruh komponen bangsa, sehingga disebut Kabinet
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၼၽ
Persatuan Nasional, secara teoritis, hal ini bisa dijelaskan dengan
menggunakan pendekatan fusionist (pembauran) yang dikemukakan
oleh Amos Perlmutter yang mengatakan bahwa pada faktanya, rezimrezim dinegara-negara berkembang sebetulnya merupakan peleburan
dari elite sipil, teknokrat, dan elite militer.30
Selama kepemimpinannya yang hanya berumur 20 bulan
(November 1999-juli 2001), banyak kebijakan politik yang dikeluarkan
oleh Gus Dur, diantaranya adalah yang berhubungan dengan upaya
maksimalisasi supremasi sipil atas militer yang selama lebih dari lima
dasawarsa di kebiri sejak mas pemerintahan Soekarno dan Soeharto.
Seperti sudah dikemukakan, pada masa Orde Baru, militer menjadi
tangan kanan Orde Baru bagi upaya mengimplementasikan hamper
seluruh kebijakan Orde Baru, bahkan militer sudah menjadi organisasi
terpenting yang mendukung tegaknya berjayanya Orde baru selama
lebih dari 32 tahun, hal ini dilakukan dengan kebijakan dwi Fungsi
ABRi yang memberikan keleluasaan kepada militer untuk terlibat
pada setiap kegiatan sosial, poltik, ekonomi, dan sektor lain yang
dianggap strategis.
Pada setiap periode kepemimpinan politik di Indonesia, militer
selalu menjadi salah satu aktor utama yang ikut bermain secara
intensif, bahkan pada kabinet syahrir, yang terkenal anti militer,
bahkan menyebut kekuatan militer sebagai fasis,31 militer pada masa
syahrir mengklaim merekalah yang telah berjasa memperjuangkan
kemerdekaan, hal tersebut untuk mengconter opini yang berkembang
bahwa kemerdekaan berhasil diproklamasikan karena perjuangan
diplomasi yang dilakukan oleh para elite politik saat itu.32 Pimpinan
Angkatan Perang Panglima Besar Jenderal Soedirman secara tegas
menyatakan bahwa Angkatan Bersenjata tidak harus tunduk pada
penguasa sipil, hal ini karena pemahaman umum yang diyakini bahwa
͵Ͳ‘•‡”Ž—––‡”ǡPolitical roles and Military Rolesȋ‘†Ǣƒ••ǡͳͻͺͲȌǡŠǤʹ͵͸Ǥ
͵ͳǤƒŽ‹ƒ”ƒƒ‹ǡGus Dur Militer dan Politikǡȋƒƒ”–ƒǣ‹ǡʹͲͲͶȌǡŠǤ͵Ͷ
͵ʹ„‹†ǤǡŠǤ͵ͷ
ၹၼၾ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
kekuasaan militer sama dengan kekuasaan politik.33 Hal tersebut
dapat dimaklumi karena suasana politik masih kental dengat semangat
kemerdekaan dan nasionalisme yang sangat tinggi, ditambah dengan
masih tidak jelasnya pemahaman fungsi militer dan fungsi sipil di
antara masyarakat akibat dari semangat perjuangan kemerdekaan
melawan Belanda yang memiliki sifat politik sekaligus semangat
militer yang kuat. Sifat perjuangan yang memiliki watak militer terus
membawa kecendrungan militer untuk masuk kedalam persoalanpersoalan politik. 34
Pasang surut konsistensi keterlibatan militer dalam peta politik
Indonesia terus berlanjut dengan frekwensi yang berbeda, dan
mengalami puncaknya pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan
Soeharto yang sekaligus menjabat Panglima Tertinggi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, militer makin menancapkan sayapnya
pada setiap sector pembangunan, tidak hanya semangat militeristik
yang dibawa tetapi organisasi dan individu anggota militer pun terlibat
secara aktif pada jajaran kepemimpinan masyarakat dari yang tertinggi
sampai tingkat terendah dalam masyarakat.
K.H Abdurrahman Wahid melakukan banyak perubahan
yang signifikan berkaitan dengan fungsi militer dalam kehidupan
sipil. Gus Dur secara perlahan namun pasti mereduksi eksistensi
militer dalam kehidupan sosial politik masyarakat. Berikut beberapa
kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid terhadap eksistensi militer
di Indonesia: 35
1. Pemisahan TNI-Polri dengan dikeluarkannya Kepres No89 tahun
2000, yang ditegaskan dengan Ketetapan MPR/VI/2000 tentang
pemisahan TNI Polri.
͵͵—‰”‘Š‘‘–‘•—•ƒ–‘ȋ‡†ǤȌ, Pejuang dan Prajuritǡȋƒƒ”–ƒǣ‹ƒ”ƒ”ƒ’ƒǡͳͻͻͳȌǡŠǤ
ͷͳ
͵Ͷƒ”‘Ž†”‘—…Šǡmiliter dan Politik di Indonesiaǡȋƒƒ”–ƒǣ‹ƒ”ƒ”ƒ’ƒǡͳͻͻͻȌǡŠǤʹʹ
͵ͷǤƒŽ‹ƒ”ƒƒ‹ǡGus Dur Militer…, ŠǤ͵ʹ͸
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၼၿ
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Penghapusan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan stabilitas
Nasional (Bakortanas) dan Penelitian Khusus (Litsus), melalui
dikeluarkannya Kepres No. 38 tahun 2000.
Penggantian Kementrian Pertahanan dan Keamana (Menhankam)
menjadi Kementrian Pertahanan (Menhan) yang dilanjutkan
dengan menempatkan sipil sebagai meneri pertahanan.
Melakukan rotasi kepemimpinan tertinggi TNI dari biasanya
dipegang oleh Angkatan Darat, lalu dipegang oleh Angkatan Laut
dan selanjutnya akan bergiliran dengan Angkatan yang lain.
Dicopotnya Jenderal TNI Wiranto dari jabatannya sebagai
Menkopolkam, karena dianggap terlibat dalam pelanggaran HAM
di Timor Timur pasca referendum.
Dihapuskannya posisi wakil Pangab.
Rotasi jabatan perwira tinggi seperti dilakukannya penggantian posisi
Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad)
Perlawanan banyak muncul dari kelompok militer, menurut
mereka, presiden Gus Dur sudah terlalu berlebihan menghadapi
militer, puncaknya terjadi perlawanan dari kalangan militer dengan
adanya aksi menolak atas Maklumat Presiden dan dukungan
atas Sidang istimewa MPR tahun 2001.36 Penolakan para perwira
TNI terhadap mutasi perwira terutama dengan diangkatnya Agus
Wirahadikusuma sebagai pangkostrad menggantikan Djaja Suparman,
dan diberhentikannya KSAD Jenderal TNI Endriartono Sutarto
ditunjukkan dengan sangat jelas dengan dilakukannya gerakan anti
kebijakan Gus Dur yang melibatkan Pangdam se Nusantara dan
sejumlah purnawirawan dan mantan KSAD yang masih memiliki
pengaruh kuat di TNI.37 Pada saat itu, Gus Dur dianggap telah
melanggar mekanisme Dewan Kenaikan pangkat dan Jabatan Tinggi
(Wanjati) yang sudah menjadi prosedur tetap pada setiap mutasi
͵͸„‹†ǤǡŠǤ˜‹
͵͹„‹†ǤǡŠǤ͵͵͸Ǧ͵͵͹
ၹၼႀ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
dan pergeseran posisi di tubuh TNI.38 Namun demikian, sejumlah
pengamat mengatakan aksi penolakan tersebut dilakukan sebagai
taktik dan strategi TNI untuk kembali mencampuri ranah politik,
hal ini terjadi seperti membenarkan thesis Amos Perlmutter yang
mengatakan bahwa semakin tinggi kedudukan seorang perwira militer,
semakin ia akan bersifat politis, terutama pada situasi-situasi tertentu
yang melibatkan organisasi militer dalam aksi-aksi politik.39
Kebijakan Gus Dur terhadap militer yang mengusung supremasi
sipil merupakan sebuah keharusan bagi pertumbuhan dan
perkembangan dinamisasi demokrasi di Indonesia, karena hal
terpenting yang harus dilakukan untuk menata kehidupan yang
demokratis adalah dengan dengan menata ulang hubungan sipilmiliter, penataan peran dan fungsi sipil-militer ini akan sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan transisi demokratisasi yang sedang
diusahakan.40 Bahkan di negara- negara maju, format hubungan sipilmiliter diimplementasikan pada konsep supremasi sipil atas militer atau
yang dikenal dengan istilah civilian supremacy upon the military.41
Wacana tentang reposisi peran TNI dan supremasi sipil menjadi
sangat hangat dibicarakan pada masa pemerintahan Gus Dur, sebagai
seorang presiden yang mengemban amanat reformasi, Gus Dur
menyambut baik dan secara aktif mendorong wacana reposisi TNI
yang sudah diputuskan oleh Rapat Pimpinan TNI.
Gus Dur juga menerbitkan Keputusan Presiden No.89 Tahun
2000 tentang kedudukan Kepolisian Republik Indonesia. Hal ini
adalah realisasi dari upaya menempatkan TNI-Polri berada langsung
dibawah lembaga kepresidenan. Keputusan ini dipertegas dengan
adanya Ketetapan MPR/VI/2000 tentang pemisahan TNI Polri.42
Pemisahan TNI dan Polri dinilai Gus Dur sangat penting dilakukan
͵ͺ„‹†ǤŠǤ͵͵͹
͵ͻ‘•‡”Ž—––‡”ǡMiliter dan Politikȋƒƒ”–ƒǣƒŒƒ
”ƒϐ‹†‘‡”•ƒ†ƒǡʹͲͲͲȌǡŠǤͳͺ
ͶͲǤƒŽ‹ƒ”ƒƒ‹ǡ
—•—”‹Ž‹–‡”ǥǡ„‹†ǤǡŠǤ͵ʹʹ
ͶͳƒŽ‹ƒ‹†ǡMiliter Indonesia dan Politik, Dulu, Kini, dan Kelakǡȋƒƒ”–ƒǣ‹ƒ”Šƒ”ƒ’ƒǡ
ʹͲͲͳȌǡŠǤ͵Ͳʹ
ͶʹǤƒŽ‹ƒ”ƒƒ‹ǡ
—•—”‹Ž‹–‡”ǥǡ„‹†ǤǡŠǤ͵ʹ͹
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၼႁ
karena berhubungan dengan seringnya terjadi tumpang tindih tugas
dan wewenang dua institusi militer tersebut, karena itu setelah
dilakukan pemisahan, menjadi jelas pembedaan tugas antara TNI dan
Polri, dimana ditegaskan bahwa keduanya adalah alat Negara, tugas
TNI dalam bidang pertahanan dan Polri dalam bidang keamanan dan
ketertiban hukum, panglima TNI diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dengan persetujuan DPR, Polri berada dibawh presiden,
dan Kapolri di angkat dan di berhentikan oleh presiden dengan
persetujuan DPR.43
Upaya pengurangan hak-hak istimewa militer terhadap sipil
yang dilakukan Gus Dur diharapkan mampu meningkatkan kontrol
sipil atas militer dan upaya untuk lebih mengendalikan pengendalian
yang dilakukan oleh militer atas prilaku represif yang seringkali
ditunjukkan oleh kalangan militer. Sepertinya secara teoritis, Gus
Dur sudah berhasil mempertegas dikotomi antara kepentingan sipil
dan kepentingan militer di Indonesia, kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkannya cukup memberikan harapan akan terwujudnya
supremasi sipil sebagai salah satu indicator demokrasi, namun pada
prakteknya, masih banyak hal yang harus dievaluai dari implementasi
kebijakan kebijakan tersebut, bukan hanya karena yang terjadi
justru hubungan sipil-militer yang makin runcing, ternyata militer
Indonesia masih belum siap meninggalkan ranah non-militeristik
dan menyerahkan sepenuhnya urusan politik kepada sipil, hal ini
ditandai masih banyaknya personel militer, baik yang aktif lalu pensiun
dini untuk bisa terlibat langsung pada ranah politik, maupun para
purnawirawan yang masih membawa aura militeristiknya kedalam
urusan politik ketika mereka duduk pada jabatan-jabatan politik baik
di lembaga legislatif, maupun eksekutif.
Ͷ͵ Ǥ ƒŒ”—Ž ƒŽƒŠ †Ǥ Implikasi Reposisi TNI-Polri di Bidang Hukumǡ ȋ‘‰›ƒƒ”–ƒǣ
ƒ—Ž–ƒ•——‹˜‡”•‹–ƒ•
ƒŒƒŠƒ†ƒ‘‰›ƒƒ”–ƒǡʹͲͲͳȌǡ„ƒ„ͳ‡†ƒŠ—Ž—ƒǤ
ၹၽၸ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
RANGKUMAN
Pada masa reformasi yang dimulai dengan mengundurkandirinya
Soeharto dari kursi kepresidenan memberikan angin segar bagi
harapan terjadinya perubahan kondisi sosial ekonomi dan politik di
Indonesia. Perubahan peta politik secara simultan terjadi, dimulai
dengan runtuhnya cengkraman Orde Baru yang dimotori oleh Golkar,
pergantian iklim politik dan kepartaian dengan dibukanya keran
demokrasi yang diawali dengan diberikannya keleluasaan untuk
mendirikan partai politik asalkan memenuhi prasyarat dan ketentuan
yang sudah ditetapkan, dilanjutkan dengan diadakannya pemilihan
Umum yang dinilai lebih demokratis dari pemilu-pemilu sebelumnya
dimana jumlah partai peserta pemilu yang sangat banyak (48 partai
politik).
Iklim perubahan sangat kentara didalam keanggotaan DPR MPR,
dimana para aktor-aktor intelektual yang berada di belakang gerakan
reformasi terlibat langsung dalam upaya pemilihan presiden Republik
Indonesia yang ke empat. Pemilihan presiden kali ini kental dengan
pertarungan ideologi baik yang berbasis agama, budaya maupun
keyakinan lain yang selama era Orde Baru diintervensi dengan sangat
kuat.
Hal besar lain yang terjadi adalah dengan dilakukannya
amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dengan merubah beberapa
pasal (bahkan bisa dikatakan sebagian besar) yang ada dalam batang
tubuh UUD 1945. Amandemen konstitusi ini memberikan lampu
hijau bagi perubahan perjalanan politik Indonesia kedepan. Banyak
sekali pasl-pasal penting yang diamandemen dan memberikan
keleluasaan bagi pendidikan politik untuk masyarakat secara lebih
komprehensif, seperti pasal-pasal mengenai pemilihan presiden
langsung, pemilihan umum legislative langsung, keberadaan Dewan
Perwakilan daerah, dilakukannya desentralisasi kekuasaan dengan
adanya otonomi daerah, pembatasan kekuasaan presiden dan wakil
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၽၹ
presiden, dan pasal-pasal lain yang menjadi dasar berubahnya iklim
politik di Indonesia.
Gerakan reformasi telah mengantarkan Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) menjadi presiden yang tidak hanya dipilih secara
kontroversial tetapi juga menjalankan pemerintahannya secara
controversial dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang cukup
mengejutkan dan mengundang tanda tanya banyak pihak. Namun
demikian, dengan segala kontroversi yang dimiliki Gus Dur, beliau
sudah melakukan perubahan yang sangat signifikan terutama dalam
urusan reposisi militer di Indonesia, Gus Dur secara legal formal telah
berhasil mereduksi cengkraman militer atas kepentingan sipil dalam
bidang sosial, politik, dan ekonomi.
Reformasi tetap belum selesai, walau iklim politik sudah banyak
berubah, apa yang dilakukan oleh para poecinta negeri ini dengan
mengusung reformasi dan melakukan beberapa perubahan kebijakan
politik hanyalah awal yang masih harus dilanjutkan dengan kerja keras
dan konsistensi terhadap idealism tentang perubahan itu sendiri.
Wacana demokrasi yang diusung sebagai pilar perubahan menuju
kondisi yang lebih baik masih harus dipelajari lebih dalam, dan dicari
penyesuaiannya dengan budaya politik yang dimiliki oleh Indonesia,
agar tidak memunculkan situasi dan kondisi yang ironi dengan citacita demokrasi itu sendiri.
ၹၽၺ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
BAB VII
ERA REFORMASI (LANJUTAN)
A. Pemilihan Umum 2004 dan Sistem Kepartaian
Tahun 2004 adalah tahun yang sangat bersejarah bagi perjalanan
demokrasi di Indonesia pasca gerakan reformasi 1998, pada tahun ini
di gelar perhelatan akbar pemilihan umum pertama yang meniscayakan
rakyat memilih wakilnya secara langsung, baik untuk sebagai anggota
DPR, DPD, dan DPRD yang selanjutnya akan diteruskan dengan
Pemilihan Presiden dan wakil Presiden secara langsung pula.
Dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
tahun 2002, ditambahkan 14 amandemen pada Undang-Undang
Dasar 1945. Di antara amandemen tersebut, terdapat perubahan
dalam badan legislatif. Dimulai dari tahun 2004, MPR akan terdiri
dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD). Karena semua kursi di MPR akan dipilih secara langsung,
militer diminta untuk dihilangkan dari dewan perwakilan. Seperti yang
dicita-citakan oleh gerakan Reformasi 1998, perubahan dan pemilihan
langsung Presiden dan Wakil Presiden merupakan langkah besar bagi
Indonesia untuk mencapai demokrasi.1 Dilanjutkan pada tanggal 13
Juli 2003, Presiden Megawati Sukarnoputri menandatangani undangundang yang menguraikan isi dari MPR. DPD baru akan terdiri dari
ͳ‘Š‰Ž‹‘„›ǡIndonesia takes a giant step down the road to democracyǡThe Guardianǡ
ͳͳ‰—•–—•ʹͲͲʹǤ‹ƒ•‡•’ƒ†ƒͳͲ—‹ʹͲͳͳǤ
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၽၻ
empat perwakilan dari setiap provinsi di Indonesia. UU tersebut juga
mengubah keanggotaan DPR menjadi 550 orang.
1.
Pemilihan Umum LegislaƟf.
Pemilihan umum legislatif 2004 ini diikuti oleh 24 kontestan partai
politik, yang sudah dinyatakan lulus pada tahapan verifikasi partai
politik calon peserta pemilu yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU), sebelumnya telah mendaftar 150 partai politik yang
berminat menjadi kontestan pemilu, lalu setelah melakukan seleksi
tersisa 50 partai politik yang dianggap layak untuk mengikuti tahapan
verifikasi akhir yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Hingga akhirnya tersisa 24 partai politik peserta pemilu yang dianggap
layak untuk mengikuti pemilihan umum 2004.2
Pemilu kedua pasca reformasi ini dilaksanakan serentak pada
tanggal 5 April 2004, dilaksanakan dengan menggunakan mekanisme
pemilihan secara langsung untuk memilih 550 anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD
Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 20042009. System yang digunakan pada pemilu 2004 ini adalah system
proporsional daftar calon terbuka dengan nomor urut sebagaimana
telah di atur dalam UU No.12 tahun 2003.
Pemilu ini bertujuan untuk memilih partai politik (sebagai
persyaratan pemilu presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan
menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Partai-partai politik yang
memperoleh suara lebih besar atau sama dengan tiga persen dapat
mencalonkan pasangan calonnya untuk maju ke tahap berikutnya,
yaitu pada Pemilu presiden putaran pertama. Pemilu ini diamati
oleh organisasi-organisasi seperti Australian Parliamentary Observer
Delegation dan European Union Election Observer Mission.3
ʹ™™™Ǥ’—Ǥ‰‘Ǥ‹†
͵ ‘‡ ‹••‡‡”ǡ The Republic of Indonesia: General and Presidential Elections, April
– September 2004ǡ ‘”™‡‰‹ƒ ‡–”‡ ˆ‘” —ƒ ‹‰Š–•ǡ ͺʹǦͻͲͺͷͳǦͺͲǦͶǡ ŠƒŽǤͳǡ
ၹၽၼ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Pesta Demokrasi tahun 2004 ini, berjalan dengan baik dan
hamper tidak ada hambatan yang berarti, namun demikian ada
beberapa hal yang harus dibenahi, seperti daftar Pemilih Tetap yang
masih berantakan, jadual kampanye yang kurang efektif, sosialisasi
pemilu yang kurang dan membuat banyak calon pemilih tidak terlalu
mengerti mekanisme pemilihan umum yang benar, dan masih banyak
lagi kekurangan baik yang bersifat teknis maupun non teknis. Dengan
semua kekuranagn yang ada, pemilu 2004 berhasil memilih para
calon anggota legislatif yang memiliki kekuatan hukum dan cukup
memenuhi azas demokrasi, karena dipilih secara langsung oleh rakyat
yang menjadi konstituen mereka.
Dalam hal pembagian alokasi kursi, untuk mencapai jumlah
perwakilan yang sepadan, pembagian kursi dilakukan dengan
menggunakan largest remainder method, sementara kuota Hare
digunakan untuk menentukan kursi yang secara otomatis diduduki
oleh partai perorangan. Kursi tersisa yang ditetapkan kepada daerah
pemilihan dibagikan kepada partai politik tersisa berdasarkan urutan
peringkat suara.4
Berikut hasil pemilihan umum legislatif dan pembagian alokasi
kursi anggota DPR RI tahun 2004:
†‹ƒ•‡•’ƒ†ƒʹͶ—‹ʹͲͳͳǤ
Ͷ ™™™Ǥ ‹‹’‡†‹ƒǡ Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2004,
†‹ƒ•‡•’ƒ†ƒʹ—‹ʹͲͳͳǤ
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၽၽ
Tabel 7.1
Hasil Perolehan Suara dan Prosentase Perolehan Kursi Pemilu
Legislatif anggota DPR RI tahun 2004
No
Partai
Jmlh Suara
Persentase Jml Kursi Persentase Keterangan
1.
Partai Golongan Karya
24.480.757
21,58%
128
23,27%
Lolos
2.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 21.026.629
18,53%
109
19,82%
Lolos
3.
Partai Kebangkitan Bangsa
11.989.564
10,57%
52
9,45%
Lolos
4.
Partai Persatuan Pembangunan
9.248.764
8,15%
58
10,55%
Lolos
5.
Partai Demokrat
8.455.225
7,45%
(55)
10,00%
Lolos
6.
Partai Keadilan Sejahtera
8.325.020
7,34%
45
8,18%
Lolos
7.
Partai Amanat Nasional
7.303.324
6,44%
(53)
9,64%
Lolos
8.
Partai Bulan Bintang
2.970.487
2,62%
11
2,00%
Lolos
9.
Partai Bintang Reformasi
2.764.998
2,44%
(14)
2,55%
Lolos
10. Partai Damai Sejahtera
2.414.254
2,13%
(13)
2,36%
Lolos
11. Partai Karya Peduli Bangsa
2.399.290
2,11%
2
0,36%
Lolos
12. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 1.424.240
1,26%
1
0,18%
Lolos
13. Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan 1.313.654
1,16%
(4)
0,73%
Lolos
Tidak lolos
14. Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
1.230.455
1,08%
(0)
0,00%
15. Partai Patriot Pancasila
1.073.139
0,95%
0
0,00%
Tidak Lolos
16. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme 923.159
0,81%
1
0,18%
Lolos
17. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia 895.610
0,79%
0
0,00%
Tidak Lolos
18. Partai Pelopor
878.932
0,77%
(3)
0,55%
Lolos
19. Partai Penegak Demokrasi Indonesia
855.811
0,75%
1
0,18%
Lolos
20. Partai Merdeka
842.541
0,74%
0
0,00%
Tidak Lolos
21. Partai Sarikat Indonesia
679.296
0,60%
0
0,00%
Tidak Lolos
22. Partai Perhimpunan Indonesia Baru
672.952
0,59%
0
0,00%
Tidak Lolos
23. Partai Persatuan Daerah
657.916
0,58%
0
0,00%
Tidak Lolos
24. Partai Buruh Sosial Demokrat
636.397
0,56%
0
0,00%
Tidak Lolos
Jumlah
113.462.414 100,00%
550
100,00%
Hasil akhir pemilu menunjukan bahwa Golkar mendapat suara
terbanyak. Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
dua partai terbaru dalam pemilu ini, mendapat 7,45% dan 7,34%
suara. Hasil pemilu menunjukan bahwa Golkar memenangkan jumlah
kursi terbanyak. Golkar menerika lebih banyak suara daripada partai
lainnya di dua puluh enam provinsi. Hal tersebut terjadi karena
berkurangnya popularitas PDI-P. Dukungan terhadap Golkar di
Sulawesi berkurang karena munculnya partai menengah dan kecil di
wilayah tersebut. Meskipun memenangkan jumlah suara terbesar di
Bali, performa PDI-P di wilayah tersebut merupakan yang terburuk
karena terjadinya bom Bali 2002. Performa PKB di Jawa Timur
tetap berlangsung baik meskipun kehilangan suara. Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat mencapai peringkat pertama
dan kedua di Jakarta (yang dianggap sebagai “barometer politik
Indonesia”). Jika digabung, jumlah suara kedua partai di ibukota
mencapai 42.5%.5
Di wilayah provinsi – provinsi bagian Timur, pola pemilihan
dengan mengedepankan isu agama jelas sangat kental mempengaruhi
perolehan suara, Partai Damai Sejahtera (PDS) yang berbasis Kristen
mendapat 14.8 suara di Sulawesi Utara dan 13 kursi di seluruh DPR.
Muslim di wilayah bekas konflik religius cenderung memilih PKS
yang berbasis Islam.
Hasil pemilu ini menentukan partai politik mana yang dapat
menyalonkan kandidatnya untuk pemilu presiden 2004 pada 5 Juli.
Hanya partai yang memperoleh lima persen popular vote atau tiga
persen kursi di DPR yang dapat menyalonkan kandidatnya. Partai
yang tidak memenuhi kriteria tersebut harus bergabung dengan partai
lain untuk memenuhi salah satu kriteria.6
Sumber: Komisi Pemilihan Umum
Catatan: Jumlah kursi di dalam kurung berarti jumlah tersebut dirubah setelah Mahkamah
Konstitusi menyelesaikan sengketa mengenai hasil pemilu.
ၹၽၾ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
ͷ„‹†Ǥ
͸„‹†Ǥ
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၽၿ
2.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Dari 24 partai politik peserta pemilu 2004, hanya tujuh partai politik
yang mampu memenuhi kriteria untuk mengajukan calon kandidatnya
dalam pemilu presiden 2004, ketujuh partai politik tersebut adalah:
Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
Partai Demokrat (PD), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai
Amanat Nasional (PAN). PKS tidak mencalonkan kandidatnya, tetapi
mendukung capres dari PAN.7
Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum Anggota
DPR 2004. Untuk dapat mengusulkan, partai politik atau gabungan
partai politik harus memperoleh sekurang-kurangnya 5% suara suara
secara nasional atau 3% kursi DPR. Pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah
suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% suara di setiap
provinsi yang tersebar di lebih dari 50% jumlah provinsi di Indonesia,
dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Apabila tidak ada
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan
calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan
yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden
dan Wakil Presiden.
Pada saat pendaftaran di KPU, ada 6 pasang bakal calon presiden
dan wakil presiden yang mendaftar, baik yang diusung oleh satu partai
politik, maupun oleh gabungan atau koalisi beberapa partai politik,
yaitu8:
1.
K. H. Abdurrahman Wahid dan Marwah Daud Ibrahim
(dicalonkan oleh Partai Kebangkitan Bangsa)
͹™™™Ǥ’—Ǥ‰‘Ǥ‹†
ͺ„‹†Ǥ
ၹၽႀ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
2.
3.
4.
5.
6.
Prof. Dr. H. M. Amien Rais dan Dr. Ir. H. Siswono Yudo
Husodo (dicalonkan oleh Partai Amanat Nasional)
Dr. H. Hamzah Haz dan H. Agum Gumelar, M.Sc.
(dicalonkan oleh Partai Persatuan Pembangunan)
Hj. Megawati Soekarnoputri dan K. H. Ahmad Hasyim
Muzadi (dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan)
H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad
Jusuf Kalla (dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Bulan
Bintang, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia)
H. Wiranto, SH. dan Ir. H. Salahuddin Wahid (dicalonkan
oleh Partai Golongan Karya)
Pada proses selanjutnya, pasangan K.H. Abdurrahman Wahid
dan Marwah Daud Ibrahim dianggap tidak memenuhi syarat karena
faktor kesehatan, tersisa lima pasang bakal calon yang bertarung
pada pilpres 2004 putaran pertama. Pemilu 2004 putaran pertama
diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004, dan diikuti oleh 5 pasangan
calon. Berdasarkan hasil Pemilihan Umum yang diumumkan pada
tanggal 26 Juli 2004, dari 153.320.544 orang pemilih terdaftar,
122.293.844 orang (79,76%) menggunakan hak pilihnya. Dari total
jumlah suara, 119.656.868 suara (97,84%) dinyatakan sah, dengan
rincian sebagai berikut:
Tabel 7. 2
Hasil Perolehan Suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Putaran Pertama
No.
Pasangan Calon
Jumlah Suara
Prosentase
1.
H. Wiranto, SH.
Ir. H. Salahuddin Wahid
26.286.788
22,15%
2.
Hj. MegawaƟ Soekarnoputri
H. Hasyim Muzadi
31.569.104
26,61%
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၽႁ
3.
Prof. Dr. HM. Amien Rais
Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo
17.392.931
14,66%
4.
H. Susilo Bambang Yudhoyono
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
39.838.184
33,57%
5.
Dr. H. Hamzah Haz
H. Agum Gumelar, M.Sc.
3.569.861
3,01%
Sumber: Komisi Pemilihan Umum
Karena tidak ada satu pasangan yang memperoleh suara lebih
dari 50%, berdasarkan Amandemen UUD 1945 pasal 6A, maka
diselenggarakan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh 2 pasangan
calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua, yakni
SBY-JK dan Mega Hasyim.
Pemilu putaran kedua diselenggarakan pada tanggal 20 September
2004, dan diikuti oleh 2 pasangan calon. Berdasarkan hasil Pemilihan
Umum yang diumumkan pada tanggal 4 Oktober 2004, dari
150.644.184 orang pemilih terdaftar, 116.662.705 orang (77,44%)
menggunakan hak pilihnya. Dari total jumlah suara, 114.257.054
suara (97,94%) dinyatakan sah, dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 7. 3
Hasil Perolehan Suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
2004 Putaran ke-2
No. Pasangan Calon
Jumlah Suara
Prosentase
1.
Hj. MegawaƟ Soekarnoputri
H. Hasyim Muzadi
44.990.704
39,38%
2.
H. Susilo Bambang Yudhoyono
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
69.266.350
60,62%
Sumber: Komisi Pemilihan Umum
Dengan menangnya pasangan no.4, yaitu H. Susilo Bambang
Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Yusuf Kalla, maka secara
otomatis, pasangan ini dianggap sebagai pemenang pilpres 2004
ၹၾၸ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
dan berhak menduduki jabatan sebagai presiden dan wakil presiden
Republik Indonesia untuk priode 2004 – 2009.
B. Pemilu 2009 dan Sistem Kepartaian
1.
Pemilihan Umum Anggota LegislaƟf tahun 2009.
Berdasarkan Undang-Undang No. 10 tahun 2008 pasal 5 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, Pemilihan
Umum 2009 dilakukan dengan system Proporsional terbuka, dimana
penentuan calon anggota legislatif dapat dilakukan dengan memenuhi
ketentuan:
a.
b.
Calon terpilih ditetapkan dengan prosentase terhadap
bilangan pembagi pemilih (BPP) sebesar 30%.
Bila terdapat lebih dari satu calon yang mencapai 30 % atau
sama sekali tidak ada satupun calon yang mencapai 30 %
maka penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut.9
Pemilihan umum ke-tiga pada masa reformasi ini dilaksanakan
pada tanggal 9 April 2009, dengan agenda memilih anggota legislative
pada tingkat DPR, DPD dan DPRD, dilanjutkan dengan pemilihan
presiden wakil presiden secara langsung. Pada awalnya, Komisi
Pemilihan Umum menjadwalkan Pemilihan Umum Legislatif diadakan
pada tanggal 5 April 2009, tetapi karena beberapa pertimbangan dari
Presiden, Menteri dalam Negeri, dan Mahkamah Konstitusi.10
Pada awalnya, Pemilu 2009 diikuti oleh 34 partai politik yang
telah lolos verifikasi KPU pada bulan tanggal 7 Juli 2008, terdiri dari
16 partai politik lama yang sudah mendapatkan kursi di DPR pada
Pemilu 2004, dan 18 partai politik baru, baik yang baru pertama
kali ikut menjadi peserta pemilu atau partai politik lama yang baru
mengganti namanya, namun selanjutnya, Mahkamah Konstitusi
ͻ™™™Ǥ’—Ǥ‰‘Ǥ‹†
ͳͲ„‹†Ǥ
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၾၹ
menetapkan bahwa seluruh partai politik peserta Pemilu 2004 berhak
menjadi perserta Pemilu 2009, berdasarkan keputusan Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta no. 104/VI/2008/PTUNJKT, akhirnya KPU menetapkan peserta Pemilu 2009 bertambah 4
partai politik lagi, hingga jumlah keseluruhannya menjadi 38 partai
politik peserta pemilu 2009.11 Pesta demokrasi lima tahunan ini digelar
untuk memilih 560 orang anggota DPR, 132 orang anggota Dewan
Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
baik untuk tingkat Provinsi maupun untuk tingkat Kabubaten/Kota,
dilakukan serentak diseluruh Indonesia.
Yang membedakan system pemilihan umum 2009 dengan
pemilihan umum 2004 adalah pada mekanisme penetapan anggota
legislatif terpilih adalah yang ditentukan karena perolehan suara
terbanyak bukan berdasarkan nomor urut di partai politik. Aturan
penentuan calon terpilih pada pemilu 2009 ini berbeda antara
pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dalam pemilihan calon
anggota DPR, daerah pemilihan yang ditentukan adalah provinsi
atau gabungan kabupaten/kota dalam satu provinsi, total keseluruhan
daerah pemilihan adalah 77 daerah pemilihan dengan jumlah
kursi setiap daerah pemilihan antara 3-10 kursi yang ditentukan
berdasarkan jumlah penduduk, dan karena adanya aturan mengenai
parliamentary threshold12, partai politik yang memperoleh suara kurang
dari 2,50% tidak berhak memperoleh kursi di DPR.13 Pada tanggal
13 Mei 2009, KPU mengumumkan hasil final perolehan suara secara
nasional pemilihan umum legislatif 2009.14 Dan partai politik yang
ͳͳ‡–‹…‘ǡͳͷ‰—•”—•ʹͲͲͺǡAkhirnya KPU Putuskan 4 Partai Politik Gurem Ikut Pemilu
2009ǡ†‹ƒ•‡•’ƒ†ƒͳͲ—Ž‹ʹͲͳͳǤ
ͳʹƒ”Ž‹ƒ‡–ƒ”›–Š”‡•Š‘Ž†‡”—’ƒƒƒ„ƒ‰„ƒ–ƒ•›ƒ‰†‹–‡”ƒ’ƒ’ƒ†ƒ’‡‹Ž‹Šƒ
——ʹͲͲͻǡ‡ƒ‹•‡›ƒ†‹ƒ–—”†ƒŽƒ‘ǤͳͲ–ƒŠ—ʹͲͲͺ–‡–ƒ‰’‡‹Ž—ƒ‰‰‘–ƒ
ǡǡ†ƒ’ƒ•ƒŽʹͲʹƒ›ƒ–ͳǤ–—”ƒ‹‹‡—‰‹ƒ•‡‘”ƒ‰…ƒŽ‘ƒ‰‰‘–ƒ
Ž‡‰‹•Žƒ–‹˜‡›ƒ‰‡†ƒ’ƒ–ƒ•—ƒ”ƒ–‡”„ƒ›ƒ†‹•ƒ–—†ƒ‡”ƒŠ’‡‹Ž‹Šƒ–‡”–‡–—ǡ–‡–ƒ’‹
›ƒ‰„‡”•ƒ‰—–ƒ–‹†ƒ†ƒ’ƒ–†‹–‡–ƒ’ƒ•‡„ƒ‰ƒ‹•‡„ƒ‰ƒ‹ƒ‰‰‘–ƒƒ”‡ƒ’ƒ”–ƒ‹Ǧ
›ƒ–‹†ƒ‡‡—Š‹‡–‡–—ƒparliamentary threshold‹‹Ǥ
ͳ͵™™™Ǥ’—Ǥ‰‘Ǥ‹†
ͳͶKPU Ubah 19Perolehan Kursi Partai Politik di DPR,ǡͳͶ‡‹ʹͲͲͺǡ†‹ƒ•‡•’ƒ†ƒ
ͳͲ—Ž‹ʹͲͳͳǤ
ၹၾၺ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
dapat memenuhi parliamentary treshhold ini adalah Partai democrat,
Partai Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP, Partai Gerindra, PartainHanura,
dan PKB
Untuk mekanisme pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), dilakukan dengan system distrik berwakil banyak,
dengan peserta pemilu atau calon terpilih adalah perorangan, tidak
melalui partai politik atau kelompok kepentingan apapun, setiap
provinsi akan diwakili oleh 4 orang anggota terpilih.15
Sedangkan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dilakukan dengan menggunakan aturan, system, dan mekanisme
yang sama dengan pemilihan anggota DPR, pengecualian diberikan
untuk provinsi Nangro aceh Darussalam yang diberikan kesempatan
untuk menambahkan partai politik peserta pemilu dengan 6 partai
local. Hal ini dilakukan berdasarkan Nota Kesepahaman Helsinki
2005.16 Partai politik local Aceh yang menjadi peserta pemilu 2009
adalah: Partai Aceh Aman Seujahtra, Partai Daulat Aceh, Partai
Suara Independen Rakyat Aceh, Partai Rakyat Aceh, Partai Aceh,
dan Partai Bersatu Aceh.
Pemilihan Umum 2009 secara keseluruhan dimenangkan oleh
Partai Demokrat (20,85%), disusul oleh Partai Golkar (14,45%) dan
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (14,03%). Secara keseluruhan
hasil perolehan suara pemilu legislatif 2009 sebagai berikut:
ͳͷ™™™Ǥ’—Ǥ‰‘Ǥ‹ʹͲ†
ͳ͸‡”ƒ„‹‘Ž‹‡ǡʹͳIni Dia Enam Partai lokal Aceh, †‹ƒ•‡•’ƒ†ƒͳͲ—Ž‹ʹͲͳͳǤ
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၾၻ
ၹၾၼ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၾၽ
Partai Keadilan Sejahtera
Partai Amanat Nasional
Partai Perjuangan Indonesia Baru
Partai Kedaulatan
Partai Persatuan Daerah
8
9
10
11
12
265.203
104.099.785
Partai Penegak Demokrasi Indonesia
Partai Demokrasi Kebangsaan
Partai Republika Nusantara
Partai Pelopor
Partai Golongan Karya
Partai Persatuan Pembangunan
Partai Damai Sejahtera
Partai Nasional Benteng Kerakyatan
Indonesia
Partai Bulan Bintang
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Partai Bintang Reformasi
Partai Patriot
Partai Demokrat
Partai Kasih Demokrasi Indonesia
Partai Indonesia Sejahtera
Partai Kebangkitan Nasional Ulama
Partai Merdeka
Partai Persatuan Nahdlatul Ummah
Indonesia
Partai Sarikat Indonesia
Partai Buruh
Jumlah
19
20
21
22
23
24
25
28
29
30
31
32
33
34
35
38
Sumber: Komisi Pemilihan Umum
37
36
27
26
Partai Matahari Bangsa
18
140.551
146.779
111.623
1.527.593
320.665
324.553
21.703.137
547.351
1.264.333
14.600.091
1.864.752
468.696
1.541.592
5.533.214
15.037.757
342.914
630.780
671.244
137.727
414.750
351.440
Partai Demokrasi Pembaruan
Partai Karya Perjuangan
16
17
414.043
5.146.122
550.581
437.121
197.371
6.254.580
8.206.955
934.892
896.660
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
7
761.086
316.752
Partai Barisan Nasional
6
4.646.406
1.260.794
Partai Nasional Indonesia Marhaenisme
Partai Gerakan Indonesia Raya
5
15
Partai Peduli Rakyat Nasional
4
745.625
Partai Kebangkitan Bangsa
Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia
3
3.922.870
1.461.182
Partai Pemuda Indonesia
Partai Karya Peduli Bangsa
2
14
Partai HaƟ Nurani Rakyat
1
Jumlah Suara
13
Partai
No
100,00%
0,25%
0,14%
0,14%
0,11%
1,47%
0,31%
0,31%
20,85%
0,53%
1,21%
14,03%
1,79%
0,45%
1,48%
5,32%
14,45%
0,33%
0,61%
0,64%
0,13%
0,40%
0,34%
0,86%
0,30%
0,40%
4,94%
0,53%
0,42%
0,19%
6,01%
7,88%
0,90%
0,73%
4,46%
1,21%
0,72%
1,40%
3,77%
Persentase suara
560
0
0
0
0
0
0
0
150
0
0
95
0
0
0
37
107
0
0
0
0
0
0
0
0
0
27
0
0
0
43
57
0
0
26
0
0
0
18
Jumlah kursi
100,00%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
26,79%
0,00%
0,00%
16,96%
0,00%
0,00%
0,00%
6,61%
19,11%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
4.82%
0,00%
0,00%
0,00%
7,68%
10,18%
0,00%
0,00%
4,64%
0,00%
0,00%
0,00%
3,21%
Persentase kursi
Tabel 7. 4
Hasil perolehan suara dan kursi legislatif pemilihan umum 2009
Tidak lolos
Tidak lolos
Tidak lolos
Tidak lolos
Tidak lolos
Tidak lolos
Tidak lolos
Lolos
Tidak lolos
Tidak lolos
Lolos
Tidak lolos
Tidak lolos
Tidak lolos
Lolos
Lolos
Tidak lolos
Tidak lolos
Tidak lolos
Tidak lolos
Tidak lolos
Tidak lolos
Tidak lolos
Tidak lolos
Tidak lolos
Lolos
Tidak lolos
Tidak lolos
Tidak lolos
Lolos
Lolos
Tidak lolos
Tidak lolos
Lolos
Tidak lolos
Tidak lolos
Tidak lolos
Lolos
Status PT*
Walaupun berjalan cukup lancar, pemilihan umum 2009 memiliki beberapa kekurangan yang cukup penting untuk diperhatikan,
diantaranya adalah jumlah pemilih yang Golput mencapai prosentase
lebih dari 30 % dari jumlah keseluruhan warga yang berhak untuk
memilih, persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang sampai hari-H
nya Pemilu masih ditemukan nama pemilih yang tumpang tindih
dan kekacauan dari data yang ada, belum lagi pada persoalan hasil
pemungutan suara yang mengandung banyak konflik kepentingan
dan membuat berkas perkara hasil pemungutan suara bertumpuk di
Mahkamah Konstitusi menunggu penyelesaian, baik perkara yang
bersifat antar individu calon ataupun antar partai politik.
2.
Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden
Kelanjutan dari Pemilihan Presiden pada tahun 2004, pada tahun
2009. Pemilihan Presiden dan wakil Presiden Juga dilakukan secara
langsung. Sistem yang dipakai adalah sistem pemilu dua-putaran
(two round system). Komisi Pemilihan Umum menetapkan bahwa
Pemilihan Presiden 2009 akan dilakukan pada tanggal 8 juli 2009
untuk putaran pertama, dan bila ada putaran kedua akan dilaksanakan
pada tanggal 8 September 2009.
Calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik
yang memenuhi Parliementary threshold .Hal ini berdasarkan UndangUndang No.42 tahun 2008 mengenai pemilihan presiden dan wakil
presiden. Tidak semua partai politik berhak mengajukan nama untuk
menjadi calon presiden dan wakil presiden. Untuk menyederhanakan
mekanisme pencalonan, dijelaskan dalam Undang-Undang no.42
tahun 2008:
Pasal 1 ayat 4 yang berbunyi “Pasangan Calon Presiden dan
wakil presiden, selanjutnya disebut pasangan calon, adalah pasangan
calon peserta pemilu presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh
Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang telah memenuhi
persyaratan.”
ၹၾၾ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Pasal 8 :”calon presiden dan calon wakil presiden diusulkan dalam
satu pasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”
Pasal 9: “pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan
perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau
memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR,
sebelum pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden”
Pasal 13: “ (1) bakal pasangan calon didaftarkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik. (2) pendaftaran bakal pasangan
calon oleh partai politik di tandatangani oleh ketua umum atau
sebutan lain dan sekertaris jenderal atau sebutan lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.”17
Berdasarkan hasil pemilihan umum legislatif 2009 dan
penerapan aturan diatas, akhirnya muncul 3 pasang calon presiden
dan wakil presiden yang diusung oleh perpaduan atau koalisi beberapa
partai politik pendukung calon presiden dan wakil presiden, 3 pasang
calon tersebut adalah:
a.
b.
c.
Muhammad Yusuf Kalla – Wiranto yang diusung oleh 2 partai
politik, yaitu Partai Golkar dan Partai Hanura.
Megawati Soekarno Putri – Prabowo Subianto yang
diusung oleh koalisi 9 partai politik: PDIP, Partai Gerindra,
PKNU, Partai Kedaulatan, Partai Karya Perjuangan, PNI
Marhaenisme, Partai Buruh, PSI, dan Partai Merdeka.
Susilo Bambang Yudhoyono – Boediono yang diusung oleh
23 partai politik: Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, PKB,
PBB, PDS, PKPB, PBR, PPRN, PKPI, PDP, PPPI, Partai
RepublikaN, Partai Patriot, PNBKI, PMB, PPI, Partai Pelopor,
PKDI, PIS, Partai PIB, dan Partai PDI.
ͳ͹™™™Ǥ’—Ǥ‰‘Ǥ‹†
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၾၿ
Mekanisme pencalonan menuju hari-H dalam pilpres 2009
secara keseluruhan sama dengan yang diterapka dalam pilpres 2004
berkenaan dengan pengunduran diri calon presiden dan calon wakil
presiden, penarikan nama calon oleh partai pengusung, penundaan
pelaksanaan pilpres karena hal tersebut, dan beberapa hal lain yang
sifatnya teknis tentang pencalonan.
Menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden 2009, KPU
bekerjasama dengan media elektronik melakukan debat terbuka calon
presiden dan wakil presiden yang dilakukan sebanyak 5 kali (3 kali
untuk debat calon presiden dan 2 kali debat calon wakil presiden),
hai ini dilakukan untuk memberikan pendidikan politik sekaligus
informasi secara lebih luas tentang visi dan misi calon presiden dan
wakil presiden yang akan dipilih.
Berikut hasil pemilihan presiden 2009 menurut beberapa lembaga
survei yang melakukan penghitungan cepat atau quick count selama
berlangsung pilpres 2009:18
Tabel 7.5
Hasil Perolehan Suara Secara Quick Count Pilpres 2009
Mega- Prabowo
Pasangan Calon
Presiden dan Wakil Presiden
SBY-Boediono
JK- Wiranto
LSI (1)
26,56%
60,85%
12,59%
LSI (2)
27,34%
60,12%
12,54%
LP3ES
27,62%
59,82%
12,56%
PuskapƟs
28,10%
57,40%
14,50%
CIRUS
27,50%
60,18%
12,32%
LRI
27,02%
61,11%
11,87%
Nama lembaga
Sumber: Adipramana.com
ͳͺ†‹’”ƒƒƒǤ…‘ǤHasil Pemilihan Presiden 2009,†‹ƒ•‡•’ƒ†ƒ–ƒ‰‰ƒŽͳͲ—Ž‹ʹͲͳͳ
ၹၾႀ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Keterangan:
x
LSI (1): Lembaga Survei Indonesia
x
LSI (2): Lingkaran Survei Indonesia
x
LP3ES: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan
Sosial
x
Puskaptis: Puskaptis
x
CIRUS: CIRUS
x
LRI: Lembaga Riset Informasi
Komisi Pemilihan Umum menetapkan hasil penghitungan suara
Pilpres 2009 sebagai berikut:
Tabel 7. 6
Hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2009
No
Nama Calon
Hasil Perolehan Suara (%)
1
MegawaƟ – Prabowo
26.79%
2
SBY – Boediono
60.80%
3
JK – Wiranto
12.41%
Sumber: Komisi Pemilihan Umum
Melihat hasil perolehan suara baik yang dilakukan dengan metode
quick count ataupun secara manual yang dilakukan oleh beberapa
lembaga survey dan KPU, juga merujuk pada Amandemen UUD 1945
Pasal 6A, maka bisa dipastikan bahwa Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia tahun 2009 dilakukan hanya satu kali
putaran. Maka secara otomatis, dengan perolehan suara lebih dari 50%
maka pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono dipastikan
memenangkan pilpres 2009 untuk masa kerja periode 2009 – 2014.
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၾႁ
C. Oposisi dan Koalisi
Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, istilah oposisi masih merupakan satu hal yang asing dan tidak terlalu mendapatkan posisi yang
layak, sekalipun hal ini adalah sesuatu yang mutlak harus ada dalam
budaya demokrasi, dan menjadi salah satu indicator yang menjadi
ukuran baik tidaknya sebuah demokrasi di aplikasikan dalam praktek
politik sebuah baangsa yang mengaku menggunakan demokrasi sebagai
system politiknya.
Merujuk pada Kamus Filsafat yang disusun oleh Lorens
Bagus, secara etimologis: “Oposisi berasal dari bahasa Inggris,
Opposition, dan dalam Bahasa Latin Oppositus, Opponere yang berarti
memperhadapkan, membantah, menyanggah. Sebuah oposisi terdapat
di antara dua kenyataan, bilamana posisi kenyataan yang satu agaknya
meniadakan posisi kenyataan lainnya.”19
Secara terminologis, oposisi diartikan sebagai dinamisator yang
ada dalam usaha dan kegiatan yang berjalan ke arah yang berlawanan,
entah dalam eksistensi yang berlainanan atau dalam eksistensi yang
sama. Dalam keadaan seimbang, oposisi dapat tersembunyi. Dalam
hal ini polaritas atau oposisi-oposisi terjadi di antara prinsip-prinsip
eksistensi yang interistik, yang melahirkan eksistensi yang partikular.
Kalau polaritas atau sikap berlawanan ini tidak terjadi lengkap
dikarenakan transendensi dari salah satu prinsip parsial, akibatnya
adalah terjadinya konflik dinamis.20
Kultur oposisi itu bermula dari Barat, yakni Eropa dan Amerika,
contoh paling jelas ialah Perancis Abad 17. Kelompok oposisi
menuntut perubahan dengan semboyan egalite, fratemite, dan liberte.
Budaya oposisi di sini mempuyai cara: satu pemerintah satu oposisi.
Demokrasi saat itu sudah diterapkan dengan bagus sekali, sehingga
pihak pemerintah yang memegang status quo tidak bisa berkutik
menghadapi tuntutan kelompok oposisi, lalu mereka memanggil
Napoleon untuk menjadi presiden kembali sebelum dibuang ke Pulau
Elba.21
Secara mendasar, ada dua pemikiran politik yang seringkali
muncul pada diskusi-diskusi politik, yaitu: Pertama, yang disebut
pemikiran politik paternalis, atau demokrasi musyawarah mufakat;
kedua, pemikiran politik demokrasi parlementer, yang di daiamnya
dikenai oposisi, baik sebagai konsep ataupun direalisasikan dalam
bentuk partai. Dalam konteks Indonesia, pemikiran pertama ternyata
lebih menonjol, dan pada kelanjutannya melahirkan sistem demokrasi
terpimpin, dengan mengedepankan figur pemimpin sebagai simbol
kekuasaan. Hal tersebut dipicu oleh adanya krisis politik domestik
yang menggejala dalam silih bergantinya pemerintahan serta konflikkonflik daerah sampai ke konflik senjata. Keadaan tersebut menjadikan
harus tampilnya kepemimpinan yang kuat, dan pada kelanjutannya
semakin menuntut figur tersebut untuk semakin kuat, dan menjadi
satu-satunya kekuatan sebagai penolong krisis negara hingga membuat
negara tidak mandiri.
Prinsip dasar demokrasi paternalis adalah musyawarah untuk
mufakat yang lebih diarahkan pada pelembagaan prinsip, bukan
penerapannya. Musyawarah untuk mufakat menjadi hambar karena
diselimuti ketidakadilan yang dirasakan oieh para pelaku politik yang
berada di luar kekuasaan, dalam hal ini adalah organisasi sosial politik
yang kalah dalam pemilihan umum. Perlakuan tidak adil itu bukan
hanya pada pembagian alokasi kursi kabinet, tetapi juga pada praksis
perlakuan dan pembuatan keputusan politik. Pada kelanjutannya,
oposisi dalam arti sebenamya mulai dicari oleh kebanyakan orang,
sebagai kekuatan penyelamat bangsa dari kehancuran yang akan
ditimbulkan oleh penyalahgunaan kekuasaan. Dalam pola pemikiran
demokrasi parlementer, koreksi dan kontrol dianggap efektif, karena
lebih mengarah pada nilai keadilan.
ͳͻ‘”‡•ƒ‰—•ǡKamus FilsafatǡŠƒŽǤ͹ͷͶ
ʹͲ„‹†Ǥ
ʹͳ—†Œ‹—–”‹•‘ǡFeodalisme Hambat Budaya Oposisiǡ‹ƒ‰ƒ‡†‹•‹ͷǡ–ƒŠ—ǡŠƒŽǤͻ
1.
Oposisi
ၹၿၸ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၿၹ
Sebagai sebuah sistem kontrol, oposisi memiliki pola-pola tertentu
yang berbeda pada setiap kebutuhannya, mulai dari pola cohesion
atau kepaduan dan concentration atau konsentrasi, di mana orangorang yang beroposisi dipandang dari besar kecilnya organisasi. Pada
prakteknya, organisasi yang paling efektif dalam beroposisi adalah
sebuah partai. Hal tersebut karena partai politik adalah manifestasi
yang paling nyata dan bentuk oposisi yang paling efektif dalam sebuah
negara demokratis. Akan tetapi sampai di mana kekuatan oposisi ini
terkonsentrasi, tergantung pada sistem kepartaian yang berlaku pada
sebuah negara. Kadar konsentrasi oposisi yang paling tinggi biasanya
ada dalam negara dengan sistem dwi partai, di mana partai yang yang
tidak berkuasa secara nyata memonopoli kalangan oposisi, sedang
dalam sistem multi partai, oposisi lebih terpencar di antara beberapa
partai politik.22
Pola selanjutnya yaitu daya saing, dalam hal ini bukan berarti daya
saing dalam orientasi psikologis para pelaku politik secara pribadi,
tetapi daya saing dalam melihat prilaku lawan-lawan politik dalam
pemilihan umum dan dihubungkan dengan kondisi parlemen. Daya
saing ini ditentukan oleh besar kecilnya daya konsentrasi kekuatan
partai oposisi tersebut. Dalam sistem parlementer, antar partai selalu
ada persaingan yang kuat, walaupun bisa saja partai-partai tersebut
bekerja sama baik di dalam parlemen atau dalam pemilihan umum,
seperti di Inggris, di mana partai-partai besar sepakat untuk merubah
persaingan menjadi kerja sama, maka dibentuklah kabinet-kabinet
koalisi. Di Austria, Partai Rakyat dan Partai Sosialis membentuk
pemerintahan koalisi dan masing-masing menjadi partai oposisi bagi
partai satunya. Dalam pemilihan umum kedua partai tersebut dengan
penuh semangat saling bertentangan dan bersaing untuk perebutan
mayoritas suara.23
ʹʹ‘„‡”–ǤƒŠŽǡBerbagai Pola Oposisi, †ƒŽƒ„——Partisipasi dan Partai Politik,‹”‹ƒ
—†‹ƒ”†Œ‘ȋ’‡›—–‹‰Ȍǡȋƒƒ”–ƒǣǡͳͻͻͺǡŠƒŽǤͳʹʹ
ʹ͵„‹†ǤǡŠƒŽǤͳʹͻ
ၹၿၺ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Pola terakhir yaitu lokasi dan lingkungan pertarungan antara
kalangan oposisi dan orang-orang yang mengendalikan pemerintahan.
Karena oposisi mencoba mengadakan perubahan dalam tingkah laku
pemerintah, maka ia akan menggunakan sumber daya politiknya
untuk mengajak, mendorong, bahkan memaksa pemerintah agar
mengubah tindakannya. Situasi atau keadaan di mana oposisi
menggunakan sumber dayanya itu dinamakan lokasi site pertarungan
encounter antara oposisi dan pemerintah. 24 Kesempatan untuk
mengadakan perubahan tersebut diusahakan semaksimal mungkin,
mengingat oposisi adaiah media penyeimbang atau balance dan
kontrol bagi pemerintah.25
Pada prosesnya, oposisi dalam kekuatan yang besar seperti partai,
haruslah memiliki ciri khas, tentunya untuk memperjelas identitas
sebagai partai oposisi. Terutama untuk negara yang menganut
sistem multi partai. Selan itu, partai oposisi juga harus mempunyai
tujuan, target, dan strategi. Secara umum telah diketahui tujuan dan
target oposisi adalah untuk mengoreksi kekuasaan, bahkan kalau
memungkinkan bisa untuk mengubah sebuah pemerintahaan, baik
dalam susunan personalianya secara struktural, maupun struktur
sistem politik yang dipakai.
Syamsudin Haris, Mengutip Robert A. Dahl menjelaskan, tujuan
oposisi dimana dikatakan ada empat tujuan melakukan gerakan oposisi
adalah dalam rangka mengubah atau menentang terjadinya perubahan
atas: (1). Kebijakan-kebijakan tertentu pemerintah, (2). Personalia
pemerintah, (3). Struktur sistem politik, (4). Struktur sistem sosial
ekonomi.26
ʹͶ„‹†ǤǡŠƒŽǤͳ͵Ͳ
ʹͷ ƒŽƒ ‡‰ƒ”ƒ †‡‰ƒ •›•–‡ †‡‘”ƒ•‹ǡ Ž‘ƒ•‹ ’‡”–ƒ”—‰ƒ ›ƒ‰ ’ƒŽ‹‰
‡‰—–—‰ƒ ƒ†ƒŽƒŠ ’‡†ƒ’ƒ– †ƒ †——‰ƒ ——ǡ ƒ”‡ƒ ŠƒŽ ‹–— ƒ†ƒŽƒŠ ‘†ƒŽ
—–ƒƒ—–—‡‰…‘—–‡”’‡‡”‹–ƒŠǡ–‡–—›ƒ—”‹‡‰ƒ–ƒ•ƒƒƒ”ƒ›ƒ–†ƒ
‡„‡ƒ”ƒǤ
ʹ͸ Syamsuddin Haris, Partai Oposisi dan Perubahan Politik, artikel KOMPAS, Jakarta, 29
Januari 1993, h.4
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၿၻ
Dalam sistem kepartaian (kecuali sistem partai tunggal di negaranegara komunis), partai oposisi diakui eksitensinya dalam dunia politik.
Dalam sistem kepartaian pluralis, baik dengan pola dwipartai maupun
multipartai, tindakan beroposisi terhadap pemerintah merupakan
bagian integral dari keberadaan partai-partai itu sendiri.27
Di antara strategi yang dipakai biasanya adalah dengan upaya
perolehan suara sebanyak-banyaknya, untuk memperoleh kursi di
parlemen, kemudian mengadakan pemerintahan yang terdiri dari
kalangan mereka sendiri. Biasanya strategi ini dipakai di negara dengan
sistem dwipartai, di mana partai memiliki kekuatan yang sama. Strategi
lain yaitu dengan tetap berada di luar kekuasaan dan menjalankan
fungsinya dari luar. Dalam strategi ini, partai oposisi lebih menjadi
kelompok penekan bagi pemerintah dan pengeras suara rakyat untuk
usaha perbaikan dan penyeimbang kekuasaan.28
Pasca Reformasi, seperti telah disebutkan Dahl bahwa dalam
system polititik yang memiliki system multy party, kekuatan oposisi
berpencar di beberapa partai politik, tidak seperti pada system
dua partai diamana oposisi secara otomatis disandang oleh partai
yang kalah dalam pemilihan umum (kalau partai tersebut tidak
berkompromi untuk menjalin koalisi pemerintahan dengan partai
pemenang pemilu), dan partai-partai yang aktif mendengungkan
jargon oposisi sebagai konsekwensi dari kekalahan dalam pemilihan
umum partai adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),
Partai Gerindra, terutama setelah kekalahan dalam Pemilu 2004
dan kekalahan pasangan Megawati- Hasyim Muzadi dari pasangan
Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla, di Pilpres 2004, secara
otomatis, Megawati dengan PDIP memposisikan diri sebagai kelompok
oposisi yang memiliki agenda utama mengawasi dan mengkritisi
ʹ͹—›ƒƒ•›ƒ”ƒƒ–’‡”…ƒ›ƒ„ƒŠ™ƒ•›•–‡†‡‘”ƒ•‹†ƒ’ƒ–†‹’‡”–ƒŠƒƒŒ—•–”—
ƒ”‡ƒ ƒ†ƒ›ƒ ’ƒ”–ƒ‹ ›ƒ‰ „‡”‘’‘•‹•‹ǡ ‘Ž‡Š •‡„ƒ„ ‹–—ǡ „ƒ‰‹ ’ƒ”–ƒ‹ ›ƒ‰ ƒŽƒŠ †ƒŽƒ
’‡‹Ž‹Šƒ——†ƒ„‡”ƒ†ƒ†‹Ž—ƒ”’‡‡”‹–ƒŠƒǡ‘’‘•‹•‹’‘Ž‹–‹†ƒŽƒ–‹‰ƒ–ƒ’ƒ’—
„‹ƒ•‡Œƒ†‹‡‡”‰›„ƒ‰‹‡”‡ƒ†ƒŽƒ”ƒ‰ƒ‘„‹Ž‹•ƒ•‹†——‰ƒ›ƒ‰Ž‡„‹Š„‡•ƒ”
—–—’‡‹Ž‹Šƒ——•‡ŽƒŒ—–›ƒǤ
ʹͺ‘„‡”–ǤƒŠŽǡBerbagai Pola Oposisi, ŠƒŽǤͳͶͲ
ၹၿၼ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
berjalannya pemerintahan yang dipimpin oleh SBY dan JK untuk
periode 2004 – 2009. Sikap oposisi Megawati dan PDIP ditunjukkan
dengan mengkritisi beberapa kebijakan pemerintah seperti kebijakan
tentang kenaikan BBM, kebijakan Import Beras, Kenaikan Tarif Dasar
listrik, Kasus Century, dan lain-lain. Keberadaaan partai-partai yang
menamakan diri sebagai oposisi adalah titik harapan baru dari masa
depan demokrasi dan system pembuatan kebijakan di Indonesia,
walaupun secara internal, partai-partai tersebut masih memiliki
beberapa persoalan yang berhubungan dengan posisi mereka dalam
oposisi dan koalisi, tetapi paling tidak hal tersebut sangat positif sebagai
pendidikan politik bagi masyarakat secara umum dan bagi para praktisi
politik secara lebih khusus.
2.
Koalisi
Seperti halnya oposisi, koalisi juga merupakan konsekwensi dari
pilihan sistem multy party yang dianut Indonesia. Perolehan suara
secara mayoritas oleh salah satu partai politik dalam pemilihan umum
yang tidak sampai pada angka lebih dari 50% lebih bagi salah satu
partai menegaskan perlu adanya sebuah koalisi untuk menjalankan
pemerintahan. Selain sebagai salah satu uapaya untuk membangun
kebersamaan dalam menjalankan pemerintahan, koalisi juga
merupakan hal teknis yang lumrah terjadi untuk menjalin kekuatan
untuk menghadapi kekuatan oposisi yang berada bersebrangan dengan
pemerintah.
Koalisi dalam budaya politik Indonesia memiliki landasan
hukum yang cukup kuat, hal ini dijelaskan sebagai salah satu syarat
mutlak yang harus dipenuhi untuk mengajukan calon presiden dan
calon wakil presiden, dimana partai yang boleh mengajukan calon
presiden dan wakil presiden adalah yang memenuhi Parliementary
threshold. Hal ini berdasarkan Undang Undang dasar 1945 pasal 6A
ayat 2 yang menjelaskan bahwa “calon presiden dan wakil presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၿၽ
pemilihan umum sebelum pemilihan umum”.29Undang-Undang
No.42 tahun 2008 mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden.
Tidak semua partai politik berhak mengajukan nama untuk menjadi
calon presiden dan wakil presiden. Untuk menyederhanakan
mekanisme pencalonan, dijelaskan dalam Undang-Undang No.42
tahun 2008 pasal 1 ayat 4 yang berbunyi bahwa: ”Pasangan Calon
Presiden dan wakil presiden, selanjutnya disebut pasangan calon,
adalah pasangan calon peserta pemilu presiden dan wakil presiden
yang diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang
telah memenuhi persyaratan”30
Setelah pemilihan umum 2009 yang dimenangkan oleh Partai
Demokrat, isu koalisi mulai merebak sebagai salah satu strategi
untuk berperan aktif dalam pemerintahan dan sebagai salah satu
upaya untuk menguatkan posisi partai – partai politik dalam struktur
perpolitikan Indonesia. Beberapa partai politik yang mengusung
pasangan SBY Susilo Bambang Yudhoyono – Boediono berjumlah
(PKS, PAN, PPP, PKB, PBB, PDS, PKPB, PBR, PPRN, PKPI, PDP,
PPPI, Partai RepublikaN, Partai Patriot, PNBKI, PMB, PPI, Partai
Pelopor, PKDI, PIS, Partai PIB, dan Partai PDI), berkoalisi bukan
hanya untuk mengajukan nama SBY – Boediono sebagai calon
presiden dan calon wakil presiden, tetapi juga berkomitmen untuk
mendukung pemerintahan mereka bila terpilih secara konsisten. Hal
ini berlangsung cukup baik sampai muncul kasus century yang cukup
menyita perhatian publik, pada kasus ini muncullah isu pecahnya
koalisi, karena beberapa partai (PKS, PPP, dan individu dalam partai
tertentu ((beberapa anggota fraksi PKB) yang mengajukan opsi yang
berlawanan dengan opsi yang dimiliki oleh Fraksi Partai demokrat
dalam memandang kasus century. Begitu pula muncul ancaman
pecahnya koalisi PDIP dan Gerindra dalam menghadapi kasus mafia
pajak, dimana Gerindra berupaya untuk menyebrang jalur dimana
selama ini memposisikan diri sebagai oposisi, namun belakangan
justru gencar berupaya untuk bergabung dengan koalisi tambun yang
dimotori oleh Partai Demokrat, terutama pada saat pemungutan suara
angket mafia pajak.31 Begitu pula beberapa personil kader PDIP yang
mulai tertarik untuk masuk dalam koalisi pemerintah setelah sekian
lama berposisi sebagai oposisi.
Selain koalisi formal yang menjadi pendukung utama struktur
pemerintahan SBY-Boediono, muncul beberapa isu tentang adanya
koalisi informal yang dibangun dibelakang layar pemerintahan dalam
bentuk dibuatnya kesepakan-kesepakatan tidak resmi antara beberapa
pihak didalam partai politik ataupun antar partai politik untuk
memainkan maneuver politik mereka dalam kancah politik.
Fenomena oposisi dan koalisi dalam peta politik Indonesia
semakin tidak menemukan kredibilitasnya, karena tidak dibangun
dengan kuat dan tidak dijalankan secara konsisten, hal ini bukan
hanya terjadi pada pemerintahan SBY-Boediono, tetapi sudah terjadi
sejak reformasi baru bergulir pada saat munculnya poros tengah yang
dimotori oleh Amin Rais yang mengusung Abdurrahman Wahid untuk
menjadi Presiden dan kemudian memaksa nya untuk mundur dan
menggantinya dengan Megawati, dilanjutkan dengan dimunculkannya
kegiatan forum curah pendapat yang dimotori oleh Kwik Kian Gie
yang dengan surat pribadinya pada tanggal 27 Oktober 2000 mencoba
memobilisir beberapa anggota DPR/MPR secara informal untuk
mengkritisi kondisi politik pada saat itu yang menurutnya tidak bisa
diselesaikan secara formal pada forum-forum formal pada sidangsidang di DPR/MPR.32
Oposisi maupun koalisi selalu dibentuk dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa, walau dalam prakteknya, dua hal
tersebut sekedar menjadi jembatan sekaligus alat yang digunakan oleh
para actor politik untuk memastikan dan menguatkan posisi politik
ʹͻ UUD’45 dan Amandemennya: Kabinet Indonesia Bersatu II Periode 2009 – 2014ǡ
ȋƒƒ”–ƒǣ—–‹ƒ”ƒ†ƒŠ—„Ž‹•Š‹‰ȌǡŠƒŽǤ͸
͵Ͳ™™™Ǥ’—Ǥ‰‘Ǥ‹†
͵ͳ—›ƒ—™‹†Œƒ›ƒǡKoalisi dan Oposisi Semu, ƒ”–‹‡Ž†‹ƒ•‡•’ƒ†ƒͳͺ—Ž›ʹͲͳͳǤ
͵ʹ ™ƒ”‹ ǡ †ǡ Koalisi Mengganti Gus Dur atau Mencari Solusi?: Dari Curah
Pendapat Anggota MPR/DPRǡȋƒƒ”–ƒǣ͵ǡʹͲͲͲȌǡŠƒŽǤʹ
ၹၿၾ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၿၿ
mereka dalam struktur pemerintahan dan upaya pencitraan diri untuk
menarik perhatian dan simpati masyarakat semata. Akhirnya, baik
oposisi maupun koalisi hanya menjadi transaksi dan tawar-menawar
politik beberapa kelompok yang dipastikan memiliki kepentingan
politik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
D. Sekilas Tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah
Secara konstitusional, Pemilihan Umum Kepala Daerah atau
Pemilukada (dulu Pilkada) memiliki payung hukum yang sangat
kuat, tertera secara jelas dalam UUD 1945 pasal 18 ayat 4 yang
menyebutkan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, dimana
istilah demokratis disini dimaknai sebagai pemilihan secara langsung
oleh rakyat.
Pemilihan Umum Kepala Daerah di Indonesia adalah kelanjutan dari dikeluarkannya Ketetapan MPR No.XV/MPR/1998
tentang penyelenggaraan otonomi daerah, dilanjutkan dengan
undang-Undang Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999 dan UU No.
25 tahun 1999 tentang pengelolaan daerah, dan setelah tiga tahun
diimplementasikan dilakukan revisi dengan dikeluarkannya UU
No.32 tahun 2004 yang mengatur tentang pemerintahan daerah
yang pada ketentuannya menyebutkan bahwa kepala daerah dan
wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat didaerah
yang bersangkutan.33 Pilkada pertama kali diadakan di Kabupaten
Kutai Kartanegara pada tanggal 1 Juni tahun 2005 yang dimenangkan
oleh Syaukani Hasan Rais yang berpasangan dengan Samsuri Aspar,
kemudian dilantik pada tanggal 13 July 2005 untuk masa bakti
2005-2010, namun pada tanggal 18 Desember 2006 bupati terpilih
Kabupaten Kutai Kartanegara ini ditetapkan sebagai tersangka oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus korupsi pembebasan
lahan bandara Loa Kolu. Selanjutnya UU No.32 tahun 2004 ini di
͵͵ Ǥ „ƒ‡†‹ŽŽƒŠ †ƒ „†—Ž ‘œƒǡ Pendidikan Kewargaan : Demokrasi, Hak Azasi
Manusia, Dan Masyarakat Madaniǡȋƒƒ”–ƒǣ›ƒ”‹ˆ‹†ƒ›ƒ–—ŽŽƒŠǡʹͲͳͲȌǡ‡†‹•‹
‡–‹‰ƒǡŠƒŽǤͳͶ͵Ǥ
ၹၿႀ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
revisi selanjutnya disahkan dan diberlakukan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada
dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama
“pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah”. Pilkada
pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah
Pilkada DKI Jakarta 2007 yang berhail memilih pasangan Fauzi Bowo
dan Prijanto sebagai Gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta untuk
periode 2007-2012.
Sebagai salah satu wujud dari diterapkannya desentralisasi politik,
Pemilihan Umum Kepala Daerah secara langsung adalah salah satu
penjabaran secara praktis bagaimana hak-hak politik masyarakat
sangat diutamakan dalam pemilihan kepala daerah setempat dan
sebagai upaya pengembalian hak-hak demokrasi masyarakat yang
selama 32 tahun terkoptasi oleh intervensi politik dan politik
sentralisasi yang diberlakukan Orde Baru. Secara politis, Pemilukada
adalah legitimasi utama berjalannya pemerintahan daerah secara
formal dan konstitusional, hal ini disebabkan kepala daerah yang
terpilih baik pada tingkat provinsi ataupun tingkat Kabupaten/Kota
adalah orang-orang yang telah dipilih langsung oleh masyarakat
dengan prosedur dan tata cara yang sudah sesuia denga perundangundangan yang berlaku dimulai dari masa pencalonan, kampanye,
pemungutan suara, penghitungan suara, dan penentuan kepala daerah
terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak.34
Seperti halnya pemilihan umum legislatif, dan pemilihan
presiden, pemilihan umum kepala daerah harus memenuhi beberapa
criteria yaitu harus dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil. Hal ini menjadi mutlak dibutuhkan, karena kepala
daerah terpilih adalah orang yang akan memimpin sebuah daerah
dan mengelola seluruh asset daerah secara baik dan maksimal guna
terciptanya kesejahteraan masyarakat secara social, ekonomi, dan
sebagai pendidikan politik secara langsung bagi masyarakat.
͵Ͷ„‹†ǤǡŠƒŽǤͳͷʹǦͳͷ͵
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၿႁ
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta
pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta
pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang
didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti
keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal
menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, peserta Pilkada juga
dapat diusulkan oleh partai politik lokal. Pilkada diselenggarakan oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu)
Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota.Khusus di Nanggroe Aceh
Darussalam, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen
Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan
Aceh (Panwasluh Aceh).35
Secara demokratis maupun secara yuridis, pemilukada adalah
sebuah keharusan bagi upaya implementasi demokrasi di Indonesia,
namun demikian secara teknis, banyak mekanisme pemilukada yang
masih harus diperhatian dan membutuhkan perbaikan-perbaikan baik
dalam petunjuk pelaksanaannya maupun petunjuk teknisnya, karena
dari system pemilihan pencalonan sampai penetapan pemimpin daerah
yang tidak memenuhi perundang-undangan akan menghasilkan
kepala daerah yang tidak akuntabel dan justru memberikan dampak
buruk bagi perkembangan pembangunan di daerah, hal ini dibuktikan
dengan banyaknya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjerat
beberapa orang kepala daerah terpilih akibat penyalahgunaan
wewenang yang kerap terjadi akibat mekanisme pemilukada yang tidak
professional diterapkan dan minimnya pengawasan dari masyarakat
yang terlanjur mempercayai secara penuh kepala daerah yang langsung
mereka pilih.
E. Sekilas Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
dan Jusuf Kalla
͵ͷ™™™Ǥ’—Ǥ‰‘Ǥ‹†
͵͸‹•——‰”‘Š‘ǡPak Kalla dan Presidennyaǡȋƒƒ”–ƒǣ‘’ƒ•ǡʹͲͳͳȌǡŠǤͶͺ
ၹႀၸ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Pasangan Susilo bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang diusung
oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan dan
Persatuan Indonesia memenangkan pemilihan presiden dan wakil
presiden tahun 2004 untuk masa kerja 2004-2009 setelah secara
mutlak memperoleh suara lebih besar pada putaran kedua pilpres 2004
mengalahkan pasangan Megawati dan hasyim Muzadi.
Pemerintahan SBY-JK adalah pemerintahan pertama di Indonesia yang dipilih langsung sebagai salah satu mekanisme pemilihan
kepala negara secara demokratis, dilantik pada tanggal 20 Oktober
2004. Pada masa pemerintahan SBY-JK, terjadi dinamisasi kekuasaan
yang sangat mencolok, perbedaan karakter dan watak kepemimpinan
keduanya yang cenderung berbeda membuat iklim politik Indonesia
fluktuatif, dinamia kepemimpinan yang muncul diantara keduanya
dimana SBY cenderung tampil sebagai pemimpin yang dingin,
sabar, pelan, penuh perhitungan dan seringkali dianggap lambat dan
watak JK yang humoris, agresif, cepat tanggap, dan berani ambil
resiko, seringkali memunculkan pertanyaan di tengah public “siapa
sebenarnya presidennya?”.
Saat kampanye pemilihan presiden 2004, ada pembagian tugas
yang tidak tertulis antara SBY dan Jk, yaitu SBY bertanggungjawab
pada persoalan-persoalan politik dan keamanan, sedangkan JK
bertanggungjawab pada masalah-maslah ekonomi dan kesejahteraan.36
Namun pada perjalanan pemerintahan setelah mereka terpilih,
kesepakatan pembagian kerja ini mengalami banyak ganjalan.
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹႀၹ
Berikut visi dan misi pemerintahan SBY-JK:37
Visi :
1. Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang
aman, bersatu, rukun dan damai.
2. Terwujudnya masyarakat, bangsa dan negara yang
menjunjung tinggi hukum, kesetaraan dan hak-hak asasi
manusia.
3. Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan
kesem patan kerja dan penghidupan yang layak serta
memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang
berkelanjutan.
Misi:
1. Mewujudkan Indonesia yang aman damai
2. Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis
3. Mewujudkan Indonesia yang sejahtera
Visi dan Misi tersebut dijabarkan secara detai pada program
kerja yang dibuat ideal sebagai pemandu langkah setiap kebijakan
yang dikeluarkan oleh pasangan pemimpin ke-5 Indonesia ini, dari
pembagian focus tanggung jawab yang dilakukan diantara mereka,
pembangunan ekonomi dan politik mengalami saat-saat yang cukup
menggembirakan. Dimana tingkat pertumbuhan perekonomian
masa SBY-JK relatif lebih baik dibandingkan pemerintahan selama
era reformasi, diperkirakan pertumbuhan perekonomian Indonesia
tumbuh sekitar 5%. Walaupun begitu tingkat per tumbuhan
perekonomian masa SBY-JK masih perlu peningkatan. Pada tahun
2005, 2006 dan 2007, pertumbuhan ekonomi berturut-turut mencapai
angka 5,6%, 5,5% dan 6,3%. Angka ini dibandingkan dengan target
RPJMN untuk tahun 2005 (5,5%), 2006 (6,1%) dan 2007 (6,7%)
͵͹—†‹ƒ…‡•Ž‘‰ǡ‹‡”Œƒ‡‡”‹–ƒŠƒƒ•ƒǦǡƒ”–‹‡Ž†‹ƒ•‡•’ƒ†ƒʹ͵—Ž‹ʹͲͳͳǤ
ၹႀၺ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
memang terlihat tidak begitu menggembirakan. Bila target rata-rata
lima tahun seperti tercantum pada RPJMN dari pemerintahan SBY-JK
terhadap pertumbuhan ekonomi 6,6% per tahun, maka pertumbuhan
ekonomi tahun 2008 dan 2009 haruslah diupayakan minimal ratarata 7,8%. Bila dapat dicapai perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun
2008 sebesar 6,8% (asumsi APBN 2008) dan tahun 2009 sebesar 7,6%
(target RPJMN), maka rata-rata pertumbuhan ekonomi pemerintahan
SBY-JK selama lima tahun menjadi 6,4%, angka yang mendekati target
6,6%. Para ekonom tampaknya sepakat bahwa pertumbuhan ekonomi
minimal di atas 6% saja yang dapat dijadikan barometer Indonesia
sudah mampu melihat the light at the end of dark tunnel, keluar dari
krisis ekonomi yang berkepanjangan.38
Namun demikian, walaupun pertumbuhan ekonomi menunjukkan angka yg cukup baik, masih banyak persoalan yang belum secara
maksimal tersentuh oleh kebijakan-kebijakan SBY-JK, pertumbuhan
makroekonomi tersebut tidak mencerminkan perbaikan ekonomi
rakyat secara signifikan. Kondisi ekonomi rakyat justru cenderung
memburuk. Angka kemiskinan terus meningkat, dan angka
pengangguran hingga saat ini masih terhitung tinggi. Tingginya tingkat
kemiskinan dan pengangguran menyebabkan timbulnya masalah
kesejahteraan rakyat, Sekitar 25 persen bayi usia balita menderita
gizi buruk, dan tingkat kematian ibu melahirkan mencapai 307 dari
100 ribu kelahiran.39
Sumbangan sektor pertanian terhadap produk domestik bruto
terus mengalami penurunan. Pada tahun 2006 hanya tinggal 13,51
persen dari sebelumnya tahun 2005 sekitar 14 persen. Sementara pada
2004 sumbangan sektor pertanian masih pada angka 16 persen.40
Dinamika komunikasi yang dibangun oleh SBY-JK sedikit banyak
mempengaruhi kinerja pasangan ini dalam pemerintahan. SBY yang
͵ͺ„‹†Ǥ
͵ͻ ‡’‘ –‡”ƒ–‹ˆǤ‘ǡ Kinerja SBY-JK Belum Memenuhi Harapan Rakyatǡ ”–‹‡Ž
–ƒ‰‰ƒŽʹͺ‡•‡„‡”ʹͲͲ͸ǡ†‹ƒ•‡•’ƒ†ƒͳʹ—‹ʹͲͳͳǤ
ͶͲ„‹†Ǥ
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹႀၻ
terkenal kalem membuat JK menjadi lebih kelihatan proaktif dan
tanggap dalam menghadapi persoalan yang muncul, hingga muncul
ungkapan yang cukup mengejutkan keluar dari Syafi’I Maarif yang
menyebutkan JK sebagai the real president yang ditanggapi santai oleh
JK dengan menjawabnya bahwa ia adalah the real vice president,41
ungkapan ini menegaskan prinsip JK bahwa, wakil presiden bukanlah
ban serep seperti kodisi hubungan presiden dan wakil presiden
sebelumnya, bagi JK, wakil presiden adalah ban sisi kiri sebuah mobil
dan ban sisi kanannya adalah presiden itu sendiri.
Banyak yang perlu dievaluasi dari hasil kerja SBY-JK selama
kepemimpinan mereka pada kurun waktu 2004-2009, selain hiburan
untuk publik karena perseteruan mereka yang kentara sekali
selama memerintah, prestasi kerja yang tidak seberapa besar dari
kepemimpinan mereka menjadi pekerjaan rumah yang cukup banyak
bagi penguasa selanjutnya (SBY-Boediono).
Ͷͳ‹•——‰”‘Š‘ǡPak Kalla dan Presidennya..,ŠǤ͸ʹ
ၹႀၼ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
RANGKUMAN
Pemilihan Umum tahun 2004 merupakan pemilihan umum yang
sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, kaarena ini kali pertama
rakyat dapat memilih langsung orang-orang yang akan menjadi wakil
mereka di legislative, baik DPR, DPD, dan DPRD, yang dilanjutkan
dengan pemilihan presiden secara langsung. Perlahan namun pasti
Indonesia mulai mendekati pilar-pilar demokrasi yang diamanatkan
oleh gerakan reformasi yang di implementasikan dalam UUD 1945
yang sudah di amandemen sebanyak 4 kali dan menghasilkan pasalpasal baru yang lebih bisa dimaknai secara lebih baik dan berpihak
pada kepentingan rakyat.
Walaupun masih memiliki beberapa kekurangan, pemilihan
umum legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden secara
langsung menjadi prestasi tersendiri bagi keberlanjutan proses transisi
demokratisasi yang masih terus berlangsung sampai saat ini. Selain
sebagai pesta demokrasi, hal ini juga menjadi media yang efektif bagi
pendidikan politik untuk bangsa Indonesia kedepan. Dilanjutkan
dengan dilaksanakannya pemilihan umum kepala daerah yang juga
dilakukan secara langsung, diharapkan dapat menjadi reperesentasi dan
akomodasi politik masyarakat. Sebagai kelanjutan dari implementasi
undang-undang otonomi daerah, pemilukada diharapkan bisa menjadi
fasilitas bagi masyarakat untuk mengekspresikan segala kebutuhannya
akan figure pimpinan daerah yang diharapkan mampu mendatang
perubahan dan perbaikan kehidupan masyarakat di daerah.
Pemilihan umum dengan system multy partai yang dianut
Indonesia memunculkan fenomena oposisi dan koalisi sebagai
konsekwensi ketika pemilihan umum tidak berhasil memunculkan
pemenang dengan perolehan suara 50% +1 seperti yang diamanatkan
oleh undang-undang. Walaupun belum mampu berjalan pada koridor
yang ideal, keberadaan kelompok oposisi dan dilakukannya koalisi
menjadi pelajaran yang cukup berharga bagi pendewasaan system
politik di Indonesia, hal ini akan menghasilkan hal-hal positif dan
Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹႀၽ
menghadirkan pola check and balances bila dapat secara maksimal
diimplementasikan pada pergulatan dan pertarungan politik yang
ada, tentunya tanpa menimbulkan perseteruan yang sengit antara
kelompok-kelompok yang beroposisi maupun yang berkoalisi.
BAB VIII
PENUTUP
Awal-awal kemerdekaan, semua komponen bangsa ikut terlibat
dalam memperjuangkannya, baik Islam, Kristen maupun Nasioanalis.
Meskipun ada sedikit perbedaan dalam merumuskan Piagam Jakarta,
tetapi dengan jiwa besarnya, umat Islam pada waktu itu berhasil
menjadi pahlawan penjaga persatuan bangsa.
Demikian pula sampai pada Sistem Pemerintahan Parlementer,
partai-partai politik sebagai representasi masyarakat pada waktu itu
mencoba berpartisipasi, sehingga stabilitas politik dipertaruhkan,
meskipun demokratisasi terrealisir dengan baik, karena kebebasan
aspirasi yang disalurkan partai politik mendapat akses yang cukup
luas dengan munculnya mosi-mosi tidak percaya yang pada akhirnya
menjatuhkan kabinet-kabinet pada waktu itu. Kejatuhan kabinetkabinet tak terelakkan, meskipun koalisi juga berjalan dengan baik.
Berbeda dengan Demokrasi Terpimpin, yang lebih otoriter, single
fighter kekuasaan berada di tangan Soekarno. Meskipun beberapa
partai dilibatkan termasuk partai Islam , tetapi partai yang memiliki
integritas, prinsip seperti Masyumi justru diredam dan dibubarkan
pada tahun 1960. Kekuasaan yang begitu besar dimiliki Soekarno,
sehingga terjadi apa yang disebut abuse of power, seperti pengangkatan
presiden seumur hidup, pengangkatan DPRGR, pembubaran Dewan
Konstituante hasil pemilu dll. Momentum ini dilakukan Soekarno
setelah turunnya Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959.
ၹႀၾ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Š‹ဓŽš¦¤§™ၹႀၿ
Perjalanan pemerintahan Demokrasi Terpimpin Soekarno,
meskipun mendapat tantangan dari berbagai pihak, tetapi Soekarno
tidak peduli terus berjalan dengan menggandeng PKI dan Militer serta
partai-partai yang “loyal” terhadap Soekarno. Akhir pemerintahan
Soekarno dengan munculnya Gerakan 30 S/PKI dan babak baru bagi
pemerintahan Orba.
Memasuki era Orde Baru, Indonesia mengalami iklim politik
yang cukup ekstrim, presiden Soeharto yang otoriter mengerahkan
seluruh egisl dan potensi kekuasaannya untuk menjadi satu-satunya
orang yang ditakuti. Dengan jargon pembangunan ekonomi menuju
era lepas landas, Soeharto mengabaikan pembangunan politik dan
membatasi partisipasi politik seluruh komponen bangsa. Strategif
Fusi partai politik yang dilakukannya berhasil megantarkan Soeharto
menjadi satu-satunya orang yang dianggap cocok dan pantas menjadi
presiden, sampai akhirnya gaung reformasi mulai diperdengarkan.
Eforia reformasi membuat geliat partisipasi politik Indonesia muncul
dan berkobar lagi, dimulai dengan didirikannya banyak partai politik
dan digelarnya pemilihan umum yang lebih demokratis di tahun 1999
dengan system proporsional, dilanjutkan dengan pemilihan umum
2004 dan pemilihan umum 2009 yang menggunakan system pemilihan
umum langsung, dimana rakyat secara langsung dapat memilih calon
wakilnya di egislative, baik untuk anggota DPR, DPD, maupun DPRD,
dilanjutkan dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang
juga dipilih secara langsung.
Walau masih membutuhkan evaluasi dan banyak perbaikan,
transisi demokratisasi di Indonesia mulai menunjukkan hasil yang
positf, selain tingkat partisipasi politik yang meningkat, system politik
yang lebih baik, inflasi ekonomi yang meningkat, pendidikan politik
masyarakat yang sudah jauh lebih baik, ditandai dengan sikap kritis
yang kerap kali ditunjukkan oleh seluruh komponen bangsa dalam
menyikapi setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Perubahan iklim politik yang terjadi secara signifikan mulai
dari masa pra kemerdekaan, masa parlementer, masa presidensial,
ၹႀႀ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
masa orde baru, sampai masa reformasi, seharusnya dapat menjadi
pelajaran dan pendidikan politik yang efektif bagi bangsa Indonesia,
bukan justru hanya dijadikan bacaan sejarah saja tanpa dapat diambil
makna dan intisarinya.
Š‹ဓŽš¦¤§™ၹႀႁ
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Anshari, Endang Saifudin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Bandung: Pustaka,
1983.
Anwari WMK, dkk, Koalisi Mengganti Gus Dur atau Mencari Solusi?: Dari
Curah Pendapat Anggota MPR/DPR, Jakarta: LP3ES, 2000
Bagus, Lorens,Kamus Filsafat,
Budiardjo, Miriam, (penyunting), Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta: YOI,
1998
Buku Seri Tempo. Natsir Politik Santun di antara Dua Rezim. Jakarta: KPG
Tempo, 2011.
Crouch, Harold, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1999
Emmerson, Donald K., Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi,
Masyarakat, Transisi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001
Haramain, A.Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik, Jakarta: LKiS,
2004
Harjono, Anwar, Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman – Islam,
Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Hartono, Agung Dwi, The Missing Link G 30 S: Misteri Sjam Kamaruzzaman
& Biro Chusus PKI, Yogyakarta: Narasi, 2011
Jackson, Karl D and Lucian W.Pye (ed.), Political Power and Communications
in Indonesia, Berkeley-Los Angeles;London: University of California
Press, 1978
Karim, M. Rusdi, Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali
Press, 1983
ၹႁၸ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
ŠŤŠ¡¦£¤Š–Š™ၹႁၹ
Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi: Menakar Kinerja Partai
Politik Era Transisi di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
M. Fajrul Falakh dkk. Implikasi Reposisi TNI-Polri di Bidang Hukum, Yogyakarta:
Fakultas Hukum Universitas Gajah mada Yogyakarta, 2001
Maarif, A. Syafii. Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin
1959-1965. Ypgyakarta: IAIN Kalijaga, 1988.
Mas’oed, Mohtar, Pengantar Perbandingan Politik, Yogyakarta: UGM Press,
1989
Mulkan, Abdul Munir, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam
1965-1987 dalam Perspektif Sosiologis, Jakarta: Rajawali Press, 1989
Najib, Muhammad, dkk (tim Penyusun), Suara Amin Rais Suara Rakyat,
Jakarta: Gema Insani Press, 1998
Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Grafiti Pers, 1987.
Notosusanto, Nugroho (ed.), Pejuang dan Prajurit, Jakarta: Sinar Harapan,
1991
Patterson, Samuel C. & Anthony Mughan, Senates: Bicameralism in the
Contemporary World. Ohio: Ohio State University Press, Columbus,
1999
Perlmuter, Amos, Political Roles and Military Roles , Lond; Cass, 1980
------, Militer dan Politik ,Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
Putra, Fadilah, Partai Politik dan Kebijakan Publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
dan Avveroes Press, 2003
Rahmad Bahari, Partai dan Kita, Jakarta: IPCOS dan FES, 2001
Rodee, Carlton Clymer dkk., Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: CV. Rajawali,
1988.
Said, Salim, Militer Indonesia dan Politik, Dulu, Kini, dan Kelak, Jakarta: Sinar
Harapan, 2001
Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan
Pemikiran Negara, masyarakat dan Kekuasaan, Jakarta: Darul Falah,
1999
Sumarwan Antonius, Menyebrangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol’65
dan Upaya Rekonsiliasi, Yogyakarta: Ombak, 2007
Surbakti, A. Ramlan. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widia
Sarana, 1992.
Suprapto, Bibit. Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1985.
Suryadinata, Leo, Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik, Jakarta:
LP3ES, 1992.
Syam, Firdaus, Yusril Ihza Mahendra: Perjalanan Hidup, Pemikiran dan Tindakan
Politik, Jakarta: Millenium Publisher, 2004
Syamsuddin Harris, PPP dan Politik Orde Baru, Jakarta: PT Gramedia,
1991
Thaba, Abdul Azis, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema
Insani Press, 1996
Tim Cidesindo, Membuka Lipatan Sejarah: Menguak Fakta Gerakan PKI,
Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1998
Tone Sissener, The Republic of Indonesia: General and Presidential Elections,
April – September 2004, Norwegian Centre for Human Rights, ISBN
82-90851-80-4,
Ubaedillah, Ahmad dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan : Demokrasi,
Hak Azasi Manusia, Dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2010
UUD’45 dan Amandemennya: Kabinet Indonesia Bersatu II Periode 2009 – 2014,
Jakarta: Mutiara Indah Publishing
Wisnu Nugroho, Pak Kalla dan Presidennya, Jakarta: Kompasiana, 2011
Sanit, Arbi , Sistem Politik Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1982
Setyono, Budi, Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30
september 1965, Jakarta: Nawaksara, 2003
Suharsono, Cemerlangnya Poros Tengah, Jakarta: Perenial Press, 1999
ၹႁၺ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
ŠŤŠ¡¦£¤Š–Š™ၹႁၻ
Artikel dan Website:
Adipramana.com.
Harian KOMPAS, Jakarta, 29 Januari 1993
http://asnic.utexas.edu/asnic/countries/indonesia/constindonesia.html.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
http://Detik com.
http://www. Wikipedia Indonesia
http://www.kpu.go.id.
Tabloid Siaga edisi 5, tahun I,
Tempo Interaktif.Com
www.ginandjar.com
I.
Identitas Pribadi:
Nama : Dra. Haniah Hanafie, M.Si.
Alamat : Pamulang Permai II, Jl. Benda Barat 13 B/22 Ciputat – 15416, Telp: 74636664, Hp: 08158934952
Tempat/
Tgl. Lahir: Surabaya, 24 Mei 1961
II. Pendidikan:
1. Tahun 1986, S1 Jurusan Ilmu Politik, Univ. Airlangga.
2. Tahun 1996, S2 Jurusan Ilmu Politik, Univ. Indonesia.
3. Sedang Menempuh S3 Bidang Administrasi Publik,
Univ. Brawijaya.
III. Pengalaman Kerja:
1. Dosen Tetap FISIP-UIN Jakarta
2. Dosen Tidak Tetap FISIP-UMJ (1987-sekarang)
3. Dosen Tidak Tetap Universitas Paramadina (2000-2005)
IV. Hasil Karya:
1. Partai-partai Islam (Penelitian DIKTAT, FUF- 2003)
2. Kekuatan-Kekuatan Politik (Penelitian DIKTAT,FUF-2005)
3. Dinamika Politik Islam di Indonesia (FISIP-UMJ, 2000).
ၹႁၼ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
“ªŠ­Š¤“¦Žš¦—“£™ၹႁၽ
I.
Identitas Pribadi:
Nama : Suryani Suaeb, M.Si.
Alamat : Puri Serpong II Blok D-3/ No. 1
Tangerang Selatan Hp: 085920645470
Tempat/
Tgl. Lahir: Jakarta, 24 April 1977
II. Pendidikan:
a) Tahun 1999, SI Jurusan Aqidah Filsafat, FUF-UIN Jakarta.
b) Tahun 2005, S2 Jurusan Ilmu Politik, Univ. Indonesia.
III. Pengalaman Kerja:
a) Dosen Tetap FISIP_UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b) Dosen Tidak Tetap di STAINI, Parung (2009-sekarang)
ၹႁၾ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š
Download