POLITIK INDONESIA Haniah Hanafie - Suryani 9 786029 877250 Politik Indonesia Haniah Hanafie Suryani Penerbit Press KATA PENGANTAR Politik Indonesia Oleh: Haniah Hanafie Suryani Diterbitkan oleh: Penerbit Penerbit Press. .................................................. .................................................. .................................................. Cetakan Pertama: Oktober 2011 ISBN 978-602- Bahan penulisan buku ini sebagian besar diambil dari bahan perkuliahan yang diberikan pada mahasiswa setiap semester di FISIPUIN Jakarta. Judul Buku Politik Indonesia adalah buku pertama kedua penulis yang dibiayai oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan (LEMLIT) UIN Jakarta. Penulis mencoba menyajikan buku ini ke hadapan pembaca, dengan harapan dapat rnernberikan wawasan tentang politik di Indonesia. Di samping itu, khususnya bagi para mahasiswa yang mengambil matakuliah Politik Indonesia, semoga buku ini dapat dipergunakan sebagai salah satu bahan acuan dalam memahami mata kuliah Politik Indonesia yang diajarkan di FISIP-UMJ. Harapan penulis. semoga buku ini dapat memotivasi penulis dan teman-teman di kampus agar dapat meningkatkan minat pada penulisan karya ilmiah dalam baik dalam bentuk buku, diktat maupun penelitian. Sebagai sebuah karya, sudah pasti buku ini jauh dari sempurna. Untuk itu, saran dan kritik sangat diharapkan untuk penyempurnaan lebih lanjut. Keberhasilan pembuatan buku daras ini tidak semata hasil kerja penulis berdua, tanpa bantuan Dekan FISIP-UIN Jakarta yang memberikan rekomendasi dan Lemlit-UIN Jakarta, mustahil dapat terwujud. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pimpinan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Jakarta Prof Dr. Bachtiar Efendi yang telah memberikan rekomendasi guna melengkapi proposal yang kami ဓ¦¦ ¤¤¡¨ ajukan dan Para Pembantu Dekan yang telah mcmberikan kesempatan kepada penulis berdua untuk membuat buku daras ini serta kepada LEMLIT-UIN Jakarta, terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada penulis berdua dengan diterimanya proposal kami, sehingga dapat mendanai penulisan buku daras ini. Selain itu, kepada mereka yang secara langsung dan tidak telah membantu kelancaran penulisan buku ini, penulis ucapkan terima kasih, semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua, amin. i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................ DAFTAR ISI ............................................................................... DAFTAR TABEL ....................................................................... v vii ix Jakarta, Juli 2011 Penulis, BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1 Haniah dan Suryani BAB II AWAL MENUJU KEMERDEKAAN ........................................ A. Proses Menuju Indonesia Merdeka ....................................... B. Pembentukkan Panitia Kecil ................................................. C. Perjuangan Umat Islam ......................................................... Rangkuman ................................................................................... 7 7 8 10 12 BAB III DEMOKRASI PARLEMENTER ................................................. A. Munculnya Sistem Pemerintahan Demokrasi Parlementer .. B. Kabinet–Kabinet Masa Demokrasi Parlementer ................... C. Berakhirnya Demokrasi Parlementer ................... Rangkuman ................................................................................... 13 14 19 44 46 BAB IV DEMOKRASI TERPIMPIN ......................................................... A. Munculnya Gagasan Demokrasi Terpimpin .......................... B. Pembubaran Dewan Konstituante ........................................ C. Beberapa Kabinet diMasa Demokrasi Terpimpin .................. D. Ketidakikutsertaan Masyumi dalam Pemerintahan Soekarno ........................................................ E. Keterlibatan NU, PSII, dan Perti dalam Pemerintahan Soekarno ............................................. Rangkuman ................................................................................... ¨¤£ 47 48 51 55 60 64 70 ဓ¦¦ Ť¡£¨ BAB V DEMOKRASI PANCASILA ..................................................... A. Penumpasan G 30 S/PKI ....................................................... B. Jalur ABG dalam Pemerintahan Soeharto ............................ C. Kebijakan Orde Baru Terhadap Partai-Partai Politik ............ D. Hubungan Agama dengan Negara ....................................... E. Sistem Pemilihan Umum dan Kepartaian Masa Orde Baru .. Rangkuman ................................................................................... 71 50 76 85 87 103 114 BAB VI ERA REFORMASI ..................................................................... A. Jatuhnya Orde Baru, Munculnya Reformasi ......................... B. Munculnya Partai – Partai Politik ......................................... C. Pemilihan Umum 1999 dan Sistem Kepartaian .................... D. Poros Tengah ......................................................................... E. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 .............................. F. Bikameralisme ....................................................................... G. Militer di Era Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid .. Rangkuman ................................................................................... 117 117 120 122 128 137 141 145 151 BAB VII ERA REFORMASI ..................................................................... A. Pemilihan Umum 2004 dan Sistem Kepartaian .................... B. Pemilihan Umum 2009 dan Sistem Kepartaian .................... C. Oposisi dan Koalisi ................................................................ D. Sekilas Tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah ............... E. Sekilas Pemerintahan SBY – JK ............................................ Rangkuman ................................................................................... 153 153 161 170 178 181 185 BAB VIII PENUTUP ................................................................................... 187 15. DAFTAR PUSTAKA ................................................................. RIWAYAT HIDUP PENULIS ................................................... 191 195 16. DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 17. ¨¤£ Tabel 2.1 : Susunan Panitia Kecil ....................................... Tabel 3.1 : Nama-nama Kabinet Setelah Kabinet Amir Syarifuddin II ............... Tabel 4.1 : Empat Besar Partai Besar Hasil Pemilu Dewan Konstituante ................... Tabel 4.2 : Susunan Pengurus Dewan Konstituante ......... Tabel 5.1 : Hasil Pemilihan Umum Tahun 1971 ................ Tabel 5.2 : Hasil Pemilihan Umum Tahun 1977 ................ Tabel 5.3 : Hasil Pemilihan Umum Tahun 1982 ................ Tabel 5.4 : Hasil Pemilihan Umum Tahun 1987 ................ Tabel 5.5 : Hasil Pemilihan Umum Tahun 1992 ................ Tabel 5.6 : Hasil Pemilihan Umum Tahun 1997 ................ Tabel 6.1 : Hasil Pemilihan Umum Tahun 1999 ................ Tabel 7.1 : Hasil Perolehan Suara dan Perolehan Kursi Pemilihan Umum Legislatif Anggota DPR Tahun 2004 ....................................................... Tabel 7.2 : Hasil Perolehan Suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004 Putaran Pertama ........................... Tabel 7.3 : Hasil Perolehan Suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004 Putaran Kedua .............................. Tabel 7.4 : Hasil Perolehan Suara dan Perolehan Kursi Pemilihan Umum Legislatif Anggota DPR Tahun 2009 ....................................................... Tabel 7.5 : Hasil Perolehan Suara Secara Quick Count Pemilihan Presiden Tahun 2009 ....................... Tabel 7.6 : Hasil Perolehan Suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 ...................... 9 28 52 52 106 108 109 110 111 113 126 156 159 160 164 168 169 ဓ¦¦ Ť¡¬ BAB I PENDAHULUAN Politik Indonesia termasuk salah satu matakuliah wajib dalam kurikulum Program Studi Ilmu Politik FISIP-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sampai saat ini masih diberlakukan kepada mahasiswa Program Studi Ilmu Politik. Sebagai dosen yang mengampu matakuliah Politik Indonesia dengan bobot 3 sks, secara moral berkewajiban memberikan materimateri dalam perkuliahan matakuliah ini secara baik dan lengkap. Namun tidak mudah mendapatkan literature sebagai referensi yang lengkap dalam satu buku. Untuk itu, dosen dituntut harus mampu mencari beberapa literature yang berisi materi-materi yang sesuai dengan Satuan Acara Perkuliahan (Sillabus) untuk dicombine sedemikian rupa dan dijadikan acuan dalam pengajaran, sehingga dapat dipahami mahasiswa dengan mudah. Memiliki materi pegangan yang lengkap dalam sebuah buku, selain akan memudahkan mahasiswa untuk memahami materimateri tersebut, juga memudahkan bagi dosen dalam pengajaran, karena mahasiswa akan terlibat lebih aktif mendiskusikannya, ketika menerima penjelasan dari dosen di kelas. Dengan demikian, efektifitas belajar akan dicapai. Perpustakaan sebagai sumber rujukan untuk mencari literature yang sesuai dengan syllabus sangat dibutuhkan, namun tidak semua referensi yang terdapat dalam syllabus dapat ditemukan di ¬¤£ ဓ¦¦ၹ perpustakaan, karena keterbatasan jumlah atau ketiadaan buku-buku yang diperlukan. Dengan demikian, proses pembelajaran akan sedikit terganggu, ketika dosen memberikan tugas-tugas yang harus segera dikerjakan mahasiswa. Buku-buku tentang Politik Indonesia dapat ditemui di tokotoko buku, namun tidak semua buku memuat materi-materi yang dibutuhkan dalam Matakuliah Politik Indonesia. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis berdua mencoba menyusun buku ajar yang sesuai dengan syllabus yang telah digariskan oleh Program Studi Ilmu Politik FISIP-UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Buku ini mencoba melihat perjalanan politik Indonesia, baik pada masa sebelum kemerdekaan sampai Era Reformasi, yang terdiri dari delapan bab. Bab I Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang kenapa buku daras ini diperlukan dan ringkasan materi-materi per bab. Bab II Awal Kemerdekaan yang menjelaskan tentang bagaimana perjuangan untuk menuju kemerdekaan. Di sini memperlihatkan perbedaan dalam mewujudkan kemerdekaan antara Islam Nasionalis dan Islam Sekuler. Selain itu, menjelaskan tentang bagaimana perjuangan umat Islam yang menonjol yang dilakukan tokoh-tokon Islam dalam merumuskan Dasar Negara serta pengorbanan mereka dengan merelakan perubahan beberapa kalimat dalam rancangan preambule yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Bab III Demokrasi Parlementer. Demokrasi Parlementer adalah model Demokrasi Barat yang pernah diterapkan di Indonesia sekitar tahun 1950-1959 dan banyak yang mengakui sebagai model yang demokratis, meskipun umur kabinet tidak terlalu lama, karena sering dijatuhkan dengan berbagai mosi yang disampaikan anggota Parlemen. Pada masa ini cabinet berganti-ganti, sehingga program kerja tidak maksimal dilaksanakan. Partai Islam seperti Masyumi juga ikut memainkan perannya dan berhasil menduduki pos-pos penting sebagai Perdana Menteri dan memimpin beberapa Kabinet, seperti Kabinet Natsir, Sukiman dan Burhanuddin Harahab. Di ၺ¤£ antara Kabinet tersebut, Kabinet Burhanuddin Harahab dari Partai Mayumi merupakan Kabinet yang dianggap sukses, karena berhasil mengadakan pemilu pertama kali di Indonesia pada tahun 1955 dan pemilihan Dewan Konstituante. Berakhirnya Demokrasi Parlementer ini dengan turunnya Dekrit Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959, karena Demokrasi ini dianggap Soekarno tidak sesuai lagi dengan bangsa Indonesia. Bab IV Demokrasi Terpimpin. Pada masa ini Soekarno sangat berkuasa dengan menggadeng PKI dan Militer. Masyumi sebagai Partai Islam terbesar pada waktu itu, tersingkir dari panggung politik, karena perbedaan pemikiran dengan Soekarno dan dianggap terlibat dalam PRRI, sehingga akhirnya Masyumi dibubarkan Tahun 1960. Meskipun Masyumi tidak tampil lagi, Soekarno tetap menggandeng umat Islam dengan mengajak NU, PSII dan Perti ikut dalam gerbongnya-Demokrasi Terpimpin. Meskipun ketiga partai masuk dalam pemerintahan Soekarno, tetapi tidak dominan sebagaimana Partai Islam masa Demokrasi Parlementer. Bab V Demokrasi Pancasila, pembahasan pada bab ini akan di mulai dengan peristiwa Gerakan 30 September 195 yang dikenal dengan G 30 S PKI, sebuah kejadian fenomenal intrik dan propaganda yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bermain secara politis disekeliling kekuasaan Soekarno, beragam isu muncul melatarbelakangi kejadian berdarah yang merenggut 6 orang jenderal Angkatan Darat yang difitnah akan melakukan coup Dewan Jenderal, upaya peumpasan PKI dilakukan secara terstruktur pasca kejadian ini dan selanjutnya PKI dianggap sebagai bahaya laten yang harus ditumpas habis. Secara langsung, peristiwa G 30 S PKI telah membukakan pintu bagi Soeharto menuju kursi tertinggi kekuasaan. Selanjutnya akan dibahas bagaimana Soeharto pada masa Orde Bru menggunakan jalur ABRI, Birokrasi, dan Golkar sebagai pilot sekaligus fasilitator bagi implementasi setiap kebijakan yang dibuatnya. Bab ini juga akan membahas relasi agama dan negara masa Orde Baru yang sangat fluktuatif, Islam pada awal-awal Orde Baru lidak dilibatkan dalam percaturan politik- ဓ¦¦ၻ selalu dipinggirkan. Hubungan Islam dengan pemerintah dikatakan oleh Abdul Aziz Thaba ada tiga. Pertama hubungan yang bersifat Antagonistik. Resiprokal Kritis dan Akomodatif. Pada hubungan yang bersifat Antagonistik, hubungan Islam dengan pemerintah ditandai dengan saling bermusuhan, sehingga Islam dipinggirkan. Sedangkan yang kedua, hubungan tersebul ditandai dengan saling penjajakan dengan munculnya penerimaan Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4), Asas Tunggal oleh ormas-ormas yang ada. Dan terakhir ditandai dengan munculnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Nasional, Peradilan agama, Kasus Monitor, Pendirian Amal Bakti Muslim Pancasila (ABMP), Pengiriman dai-dai ke daerahdaerah, Pendirian Bank Muamalat, sampai dengan pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim seIndonesia (ICMI). Pada akhir bab akan dibahas bagaimana Orde Baru menyelenggarakan pemilihan umum dan bagaimana pengebirian partisipasi politik masyarakat dilakukan dengan kebijakan fusi partai-partai politik. Bab VI Era Reformasi. Setelah pemerintahan Orde Baru runtuh dengan lengsernya Soeharto, maka peta kekuatan politik berubah dengan drastis. Semula kekuatan politik berada di tangan Militer, Golkar dan Birokrasi. Namun kini telah berubah kepada kekuatan mahasiswa dan sipil. Perwujudan tampilnya sipil, yaitu dengan lahirnya partai-partai politik yang berjumlah kurang lebih 181 buah, termasuk partai-partai politik Islam. Kesemuanya ini, karena kran demokrasi telah dibuka. Berdirinya banyak partai politik membangkitkan gairah politik banyak pihak yang selama lebih dari lima dasa warsa merasa terkoptasi dan terpiintervensi, sistim multy partai yang mulai diterapkan membuat pemilihan umum 1999 menjadi lebih semarak dan dinamis, ditambah dengan kemunculan kelompok-kelompok elit di DPR MPR pada pemilihan presiden, poros tengah yang muncul sebagai kekuatan kelompok Islam mencoba melakukan loby elite politik demi terpilihnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden. Fenomena reformasi juga di tandai dengan dilakukannya beberapa kali amandemen UUD 1945 yang berhasil merubah beberapa pasal penting ၼ¤£ dalam batang tubuh UUD 1945, perubahan yang cukup signifikan dan menjadi landasan konstitusi diberlakukannya beberapa undangundang yang mendukung proses transisi demokratisasi di Indonesia, seperti perubahan struktur lembaga tinggi negara, dimana legislative berubah system menjadi bicameral dari system unicameral, dimana anggota legislatif berisikan dua kelompok (DPR dan DPD) yang diharapkan bisa berposisi secara berimbang dan saling melengkapi. Akan dibahas pula bagaimana mas pemerintahan Abdurrahman Wahid sebagai presiden pertama masa reformasi, terutama beberapa kebijakan Gus Dur yang dianggap controversial yang berhubungan dengan eksistensi militer di Indonesia dan bagaimana upaya Gus Dur melakukan supremasi sipil atas militer seperti yang m,enjadi salah satu agenda dan tuntutan reformasi. Bab VII, kelanjutan dari Masa Reformasi, pembahasan akan dimulai dengan bagaimana pemilihan Umum 2004 diselenggarakan dengan system kepartaian dan system pemilihan yang berbeda dengan pemilu sebelumnya, pada tahun 2004, pemilihan legislative dan pemilihan presiden serta wakil presiden dilakukan secara langsung, ini adalah pengalaman pertama Indonesia melaksanakan pemilu langsung. Begitu pula dengan pemilihan umum tahun 2009, yang dilakukan juga secara langsung, namun dengan sistem penentuan anggota legislatif yang berbeda. Akan di bahas pula tentang fenomena oposisi dan koalisi yang muncul sebagai efek positif dari diberlakukannya system parlementary threshold yang mengakomodir aturan tentang pencalonan presiden dan wakil presiden oleh partai politik, oposisi dan koalisi selanjutnya diharapkan bisa berkembang menjadi mekanisme check and balances dalam kelanjutan iklim politik di Indonesia. Pemilihan umum kepala daerah yang merupakan representasi dan akomodasi kepentingan masyarakat daerah terhadap hak-hak politik juga akan menjadi pembahasn yang cukup penting, walaupun disajikan sekilas namun bisa dijadikan salah satu bahan untuk mengevaluasi kebijakan pemilukada dan mekanisme pelaksanaannya. Terakhir akan dibahas tentang masa pemerintahan SBY-JK yang cukup unik, karena banyak ဓ¦¦ၽ pihak yang menilai, pasangan ini bukanlah pasangan yang cukup serasi dalam memimpin, walaupun sudah dilakukan pembagian tanggungjawab, ketidakserasian diantara mereka kerap dimunculkan dalam bentuk candaan dan guyonan yang pertontonkan ke publik. Bab VIII adalah Penutup yang berisi kesimpulan sebagai rangkaian dari seluruh bab yang telah ditulis. BAB II AWAL MENUJU KEMERDEKAAN Pada bab ini akan dibahas tentang bagaimana Bangsa Indonesia menjelang kemerdekaan melalui BPUUPK (Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan) dan Panitia Kecil dalam perumusan Piagam Jakarta. Selain itu, akan dijelaskan perjuangan yang dilakukan umat Islam (Islam Nasionalis) dan Nasionalis dalam merumuskan piagam tersebut dan consensus dengan umat Islam dalam penghapusan tujuh kata demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. A. Proses Menuju Indonesia Merdeka Saat memasuki kemerdekaan RI, masyarakat Indonesia terbagi menjadi tiga kelompok yang mempunyai strategi yang berbeda dalam mencapai kemerdekaan1. Pertama, kelompok Nasionalis Oportunis yang menghendaki kemerdekaan melalui Tokyo. Kedua, kelompok Pemuda Indonesia yang memilih cara berdiri untuk mencapai kemerdekaan dan bila perlu merebutnya dengan kekerasan dari pihak Jepang. Ketiga, kelompok Nasionalis Muslim dalam Masyumi yang terbagi dua sub kelompok yaitu:1). Golongan Islam yang mempunyai sikap moderat terhadap Jepang dan menganggap Tokyo sebagai tuan ၾ¤£ ͳǤϐǡIslam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin 19591965, ȋǣǡͳͻͺͺȌǡʹͶǤ ဓª¦¦¡ၿ yang memberi kemerdekaan-golongan politisi yang berpendidikan Barat, sedangkan 2). Golongan pemuda Islam non akademis yang menginginkan kemerdekaan atas usaha sendiri. Dari berbagai kelompok yang ada, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada dua kelompok dalam masyarakat Indonesia yaitu kelompok Nasionalis, tanpa mengikutsertakan Islam sebagai doktrin perjuangan dan kelompok Islam Nasionalis yang mengikutsertakan Islam sebagai doktrin perjuangan. Endang Saifuddin Anshari2 menyebut kedua kelompok tersebut sebagai Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Islami. Kedua kelompok inilah yang berperan memunculkan Piagam Jakarta. B. Pembentukan PaniƟa Kecil Dalam rangka persiapan kemerdekaan, Jepang membentuk suatu badan persiapan kemerdekaan dengan nama BPUUPK (badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) yang beranggotakan 60 orang3. Dalam sidangnya yang pertama, badan ini bertugas untuk merumuskan Dasar Negara dan Bentuk Pemerintahan (negara). Setelah sidang pertama, dari keenam puluh orang tersebut, 38 orang anggota melanjutkan pertemuan dengan membentuk “panitia kecil”4 yang terdiri dari sembilan orang antara lain sebagai berikut: Tabel: 2.1. Susunan PaniƟa Kecil NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 NAMA Soekarno Muhammad HaƩa Achmad Soebardjo Muhammad Yamin Abdul Kahar Muzakkir Haji Agus Salim Abikoesno Tjokrosoejoso Abdul Wahid Hasjim A.A Maramis JABATAN Ketua Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Sumber: Endang Saifuddin Anshari Kesembilan nama-nama tersebut di atas berasal dari kelompok Islam Nasionalis 4 orang, Islam Sekuler 4 orang dan 1 orang Kresten. Dengan demikian ada keseimbangan antara kelompok Islam dan Nasionalis, karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Selain itu, sejak awal perjuangan bangsa Indonesia umat Islam telah ikut berjuang bersama-sama dan partai pertama yang terbentuk adalah partai Islam, yaitu Syarikat Islam (SI). Akhirnya dari panitia kecil tersebut diperoleh kesepakatan (modus vivendi) tentang “rancangan preambule”5 yang dikenal sebagai Piagam Jakarta (The Jakarta Center)6. Semula perumusan tersebut mengalami kesulitan, karena antara Kelompok Islam dan Kebangsaan (Nasionalis lslami) bersikukuh memasukkan pandangannya masing-masing, Namun akhirnya Panitia Kecil yang diketuai Soekarno dapat menyetujui sebulat-bulatnya Rancangan Preambule tersebut. Adapun bunyi asli Rancangan Preambule yang disepakati adalah sebagai berikut7: “Pembukaan: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri- ʹǡPiagam Jakarta 22 Juni 1945, (ǣǡͳͻͺ͵ȌǡǤ ʹǤ ͵Ibid., ǤʹͷǤ ͶIbid., ǤʹǤ ႀ¤£ ͷIbid., h. 26. Ibid., ǤʹǤ Ibid., ǤʹǤ ဓª¦¦¡ႁ keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa mengantarkn rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum dasar Negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan Rakyat, dengan berdasarkan kepada: KeTuhanan, dengan kewajiban mcnjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan penwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluiuh Rakyat Indonesia”. C. Perjuangan Umat Islam Ternyata hasil kesepakatan yang telah dicapai dengan bersusah payah tersebut berubah dalam sekejab saja pada tanggal 7 agustus 1945, saat rapat. Perubahan tersebut antara lain menyangkut sebagai berikut8: Pertama, kata “mukaddimah” diganti “pembukaan”. Kedua, anak kalimat dalam Piagam Jakarta yang berbunyi: “Berdasarkan kepada ke-Tuhanan; dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. diubah menjadi “Berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. ͺIbid., ǤͶʹǤ ၹၸ¤£ Ketiga, pasal 6, ayat I, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam”, dicoret. Keempat, konsekuensi dari perubahan no.2, maka pada pasal 29 ayat 1 berbunyi “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Perubahan-perubahan tersebut di atas sangat mengecewakan umat Islam, tetapi untuk menjaga persatuan, akhirnya umat Islam menyetujuinya. Di sini terlihat perjuangan umat Islam yang telah bersusah payah memeras otak dan tenaga untuk merumuskan Piagam Jakarta, ternyata dalam jangka waktu “dua jam” dapat dirubah. Hal ini menjadi “pertanyaan sejarah”9 dan menurut Isa Anshary, hal itu karena “jiwa toleransi umat Islam” 10. Mantan Menteri Agama RI H. Alamsjah ratu Perwiranegara11 mengatakan bahwa penghapusan tujuh kata tersebut merupakan hadiah umat Islam dan pengorbanan terbesar bagi kemerdekaan RI dan hidupnya Pancasila. Dengan jiwa besarnya, umat Islam bersedia menerima perubahan tersebut. Hal ini menandakan bahwa dalam perjuangan negara Republik Indonesia, peran umat Islam tidak dapat diabaikan begitu saja, karena tokoh-tokoh Islam pada waktu itu benar-benar terlibat menyumbangkan pemikirannya agar dapat membentuk suatu negara yang merdeka, berdaulat dan bersatu. Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, menurut Deliar Noer12, rakyat Indonesia tidak lagi pasif dan diam seperti “tempo doeloe”. Mereka tampak aktif, pasti dan tegas dalam bersikap dan siap memegang nasib di masa depan di tangan sendiri. ͻ ǡIbid.,ǤͶͶǤ ͳͲIbid. ǤͶͶǤ ͳͳIbid. ǤͶͻǤ ͳʹǡPartai Islam di Pentas Nasional,ȋǣ ϐǡͳͻͺȌǡ ǤͳǤ ဓª¦¦¡ၹၹ RANGKUMAN Meskipun terjadi perbedaan cara dalam menuju kemerdekaan antara kelompok Nasionalis dan Islami, tetapi alhamdulillah dapat diselesaikan dengan baik dan kemerdekaan Republik Indonesia dapat diraih. Pada saat perumusan Piagam Jakarta, umat Islam yang diwakili K.H. Hasyim Asy’ari, Agus Salim, Kahar Muzakkir dan Abikusno dilibatkan dalam Panitia Kecil (Panitia Sembilan) dan tokoh Islam ini mencoba memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam pembuatan Preambule Undang-Undang Dasar. Namun pada akhir menjelang proklamasi kemerdekaan, isi Preambule tersebut diubah sesuai dengan permintaan “wakil Indonesia Timur”. Akhirnya ada beberapa kalimat dalam Preambule tersebut dirubah dan umat Islam pada waktu itu menyetujui, tanpa rasa benci dan dendam. Pengorbanan umat Islam tersebut demi untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia di masa depan, meskipun sebelumnya, perumusan tersebut telah disepakati oleh wakil non Muslim. Sikap toleransi semacam ini seyogyanya melekat pada diri bangsa Indonesia, sehingga Nasionalisme tetap tejaga untuk membangun bangsa Indonesia ke depan. Kenyataan saat ini, jauh panggang dari api, sikap tersebut mulai luntur. Egoisme individu dan kelompok mulai tampak manakala terjadi perebutan kekuasaan yang telah didesentralisasikan dalam wujud otonomi daerah. Suri tauladan dari the founding fathers kini bagaikan angin lalu. ၹၺ¤£ BAB III DEMOKRASI PARLEMENTER Sejak dikeluarkannya Maklumat No. X, Tanggal 16 Oktober 19451 tentang pendirian partai-partai politik, maka demokrasi Indonesia diramaikan dengan munculnya partai-partai politik seperti PNI, PSI, Masyumi, Pesindo, PBI dan lain-lain. Dengan demikian, menurut Bibit Suprapto2, sistem pemerintahan akan mengarah ke Sistem Parlementarisme. Untuk itu, pada bab ini akan dijelaskan apa yang dimaksud dengan Sistem Parlementer dan Kemunculan Kabinet-kabinet yang dimulai dengan kemunculan Kabinet Syahrir I pada tahun 1945 sampai dengan Kabinet Ali-Rum-Idham (Ali II) pada tahun 1957. Dalam bab ini akan terlihat bagaimana politik umat Islam yang diwakili Partai Masyumi (bukan Partai Masyumi bentukan pemerintah penjajah Jepang) dapat memimpin beberapa kabinet, antara lain Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman dan Kabinet Burhanuddin Harahab dan yang terakhir menjadi pendukung utama pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II sebagai hasil dari Pemilihan Umum (Pemilu) pada tahun 1955. Pembentukan kabinet pada masa Demokrasi Parlementer mengalami pergantian terus menerus, yang diakibatkan mosi tidak percaya dari para anggota parlemen. Pergantian atau perubahan kabinet yang ͳ ǡ Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia,ȋǣ ǡͳͻͺͷȌǡǤʹǤ ʹIbid., ǤʹǤ ဓ¡£¡¤¡ၹၻ berkali-kali, menandakan bahwa demokratisasi berjalan dengan baik, meskipun dampaknya kepada kemandegan program kerja yang pada akhirnya prioritas utama untuk meningkatkan kesejahteraan tertunda. A. Munculnya Sistem Pemerintahan Demokrasi Parlementer A.1. PengerƟan Sistem Pemerintahan Parlementer Sebelum membahas kemunculan system Pemerintahan Parlementer di Indonesia, ada baiknya diuraikan sedikit tentang pengertian Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial. Sebagaimana kita ketahui bahwa terdapat dua sistem pemerintahan yaitu Sistem Pemerintahan Parlementer dan Sistem Pemerintahan Presidensial. Sistem Parlementer3 adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Perdana Menteri memilih menteri-menterinya dalam pemerintahan, membentuk suatu cabinet4, sehingga kabinetnya disebut “Kabinet Parlementer”5 dengan cirri-ciri sebagai berikut: 1. Anggota parlemen dipilih langsung. 2. Anggota dan pemimpin cabinet (Perdana Menteri) dipilih oleh parlemen. 3. Kabinet bisa bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas parlemen. 4. Apabila kebijakannya tidak mendapat dukungan parlemen, Perdana Menteri dapat membubarkan parlemen dan ͵DzdzǤʹ͵ʹͲͳͳǣȀȀǤǤȀ ȀǦǤ Ͷ ǡ Ǥǡ Pengantar Ilmu Politik, ȋǣ Ǥ ǡ ͳͻͺͺȌǡ Ǥ ͺǤ ͷǤǡMemahami Ilmu Politik, ȋǣ ǡͳͻͻʹȌǡ ǤͳͲǤ ၹၼ¤£ menetapkan waktu untuk menyelenggarakan pemilu dalam rangka membentuk parlemen baru. 5. Fungsi kepala pemerintahan dan kepala Negara dijabat oleh orang yang berbeda. Namun beberapa sistem parlemen juga memiliki seorang presiden terpilih dengan banyak kuasa sebagai kepala negara, memberikan keseimbangan dalam sistem ini. Apa yang dikatakan oleh A. Ramlan Surbakti pada nomor 4, agak berbeda dengan yang disampaikan Carlton Clymer Rodee,6 bahwa apabila pemerintah menjalankan suatu program yang tidak mendapat dukungan dari mayoritas anggota dewan perwakilan (parlemen), pemerintah dapat dicopot dari jabatannya dan digantikan dengan pemerintahan baru yang mempunyai komitmen pada program yang berbeda. Hal terlihat di Negara Perancis selama pemerintahan Republik Keempat (1946 sampai 1958), peristiwa ini terjadi rata-rata setiap enam bulan. Di Italia sejak Perang Dunia Kedua rata-rata terjadi setiap tahun. Peristiwa di Perancis dan Italia juga terjadi di Negara Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer, yaitu dengan jatuh bangun kabinet-kabinet yang ada, sehingga tidak berumur panjang dan program kerja (pembangunan) tidak terlaksana secara efektif. Meskipun demikian, Sistem Parlemen dipuji, dibanding dengan Sistem Presidensial, karena kefleksibilitasannya dan tanggapannya kepada publik. Kekurangannya adalah sering mengarah ke pemerintahan yang kurang stabil, seperti dalam Republik Weimar Jerman dan Republik Keempat Perancis. Ciri-ciri pemerintahan parlemen yaitu: • Dikepalai oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sedangkan kepala negara dikepalai oleh presiden/raja. ǡPengantar, ǤͺǤ ဓ¡£¡¤¡ၹၽ • • • • • Kekuasaan eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan raja diseleksi berdasarkan undang-undang. Perdana menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan non-departemen. Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif. Kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif. Kekuasaan eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif. Sistem Presidensial atau disebut juga dengan Sistem Kongresional, merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif7. Menurut Rod Hague8, pemerintahan presidensial terdiri dari 3 unsur yaitu: • Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait. • Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan. • Tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif. Dengan demikian, Sistem Presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan, tetapi masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden, jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya. Model ini dianut oleh Amerika DzdzǤʹ͵ʹͲͳͳǣȀȀǤǤȀ ȀǦ ͺIbid. ၹၾ¤£ Serikat, Filipina, Indonesia dan sebagian besar negara-negara Amerika Latin dan Amerika Tengah. Ciri-ciri pemerintahan presidensial yaitu: • Dikepalai oleh seorang presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. • Kekuasaan eksekutif presiden diangkat berdasarkan demokrasi rakyat dan dipilih langsung oleh mereka atau melalui badan perwakilan rakyat. • Presiden memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan non-departemen. • Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan eksekutif bukan kepada kekuasaan legislatif. • Kekuasaan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif. • Kekuasaan eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif. A.2. Munculnya system Pemerintahan Parlementer Munculnya Sistem Pemerintahan Parlementer, karena Kabinet Pertama Presidensial (Presidensil) yang berkuasa pada Tanggal 2 September 1945 dan berakhir pada Tanggal 14 Nopember 1945. Kejatuhan kabinet ini disebabkan awal mulanya dengan adanya Maklumat Wakil Presiden No. X/1945 Tanggal 16 Oktober 1945 dan diikuti Maklumat Pemerintah Tanggal 3 Nopember 1945 yang berisi tentang seruan untuk mendirikan partai-partai politik di Indonesia9. Seruan diikuti dengan pendirian partai-partai politik sebanyak 10 partai, antara lain10: ͻǡPerkembangan Kabinet, ǤʹͶǤ ͳͲIbid., ǤʹͶǤ ဓ¡£¡¤¡ၹၿ 1. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) pada Tanggal 17 Nopember 1945, yang diketuai oleh Sukiman Wiryosanjoyo. 2. PKI (Partai Komunis Indonesia) pada Tanggal 7 Nopember 1945, yang diketuai oleh Mr. Muh. Yusuf. 3. PBI (Partai Buruh Indonesia) pada Tanggal 8 Nopember 1945, yang diketuai oleh Nyono. 4. PRJ (Partai Rakyat Jelata) pada Tanggal 8 Nopember 1945, yang diketuai oleh Sutan Dewanis. 5. PARKINDO (Partai Kristen Indonesia) pada Tanggal 10 Nopember 1945, yang diketuai oleh Ds. Probowinoto. 6. PSI (Partai Sosialis Indonesia) pada Tanggal 10 Nopember 1945, yang diketuai oleh M. Amir Syarifudin. 7. PRS (Partai Rakyat Sosialis) pada Tanggal 20 Nopember 1945, yang diketuai oleh Sutan Syahrir. Partai ini kelak bergabung dengan PSI dan diketuai oleh Sutan Syahrir pada Desember 1945. 8. PKRI (Partai Katholik Republik Indonesia) pada Tanggal 8 Desember 1945, yang diketuai oleh I.J. Kasimo. 9. PERMEI (Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia) pada Tanggal 17 Desember 1945, yang diketuai oleh J.B. Assa. 10. PNI (Partai Nasional Indonesia) pada Tanggal 29 Januari 1946, yang diketuai oleh Joyosukarto sebagai gabungan dengan PRI (Partai Rakyat Indonesia), GRI (Gerakan Republik Indonesia) dan SRI (Serikat Rakyat Indonesia) yang masing-masing berdiri pada Nopember dan Desember 1945. Keberlanjutan dari Maklumat untuk pendirian partai dan pendirian partai-partai politik, muncul pengumuman dari Badan Pekerja KNIP (BPKNIP) tentang perubahan pertanggungjawaban Menteri kepada Parlemen, dalam hal ini KNIP. Usulan BPKNIP ini disetujui Presiden. Dengan demikian, maka otomatis Kabinet Indonesia pada waktu itu berubah menjadi Kabinet Parlementer, ၹႀ¤£ sehingga pada tanggal 14 Nopember 1945 berakhirlah Kabinet Presidensial Pertama dan awal bagi Kabinet Parlementer atau dengan kata lain Sistem Pemerintahan Indonesia telah menjadi Sistem Pemerintahan Parlementer pada tanggal 14 Nopember 1945 sampai dengan 12 Maret 1946 yang dipimpin oleh Sutan Syahrir, sehingga Kabinet Pertama dalam Sistem Pemerintahan Parlementer adalah Kabinet Syahrir I. Menurut Bibit Suprapto11, pengumuman BPKNIP yang diketuai Sutan Syahrir adalah suatu kelihaian Sutan Syahrir naik ke panggung politik dan menyingkirkan lawan-lawan politik nya. B. Kabinet-Kabinet Masa Demokrasi Parlementer 1. Kabinet Syahrir I (14 Nopember 1945 – 12 Maret 1946). Kabinet Syahrir I dimulai pada Tanggal 14 Nopember 1945 dan berakhir pada Tanggal 12 Maret 1946. Kemunculan Kabinet Syahrir I, ketika Kabinet Pertama Presidensial berakhir yang ditandai dengan munculnya partai-partai politik yang dikarenakan Maklumat X pada Tanggal 16 Oktober 1945 dan disusul Maklumat Pemerintah Tanggal 3 Nopember 1945 serta pengumuman BPKNIP pada Tanggal 11 Nopember 1945, agar kebinet bertanggungjawab kepada parlemen. Sesuai dengan namanya, kabinet ini dipimpin oleh Sutan Syahrir yang pada waktu sebelumnya menjabat sebagai ketua BPKNIP. Sistem Pemerintahan Parlementer ini yang mengamanahkan menterimenteri (cabinet) bertanggungjawab kepada parlemen, menurut Muhammad Yamin12 tidak sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945. Berbeda dengan Muhammad Yamin, Supomo dan Ismail Suny13, menganggap itu sebagai “konvensi dalam ketatanegaraan”. Pringgodigdo14 sendiri mengatakan bahwa kedua pendapat itu “tidak benar”. Dan tokoh terakhir, yaitu Tolchah Mansyur15 mengatakan ͳͳIbid., ǤʹͷǤ ͳʹIbid., ǤʹǤ ͳ͵Ibid., ǤʹʹͺǤ ͳͶIbid., ǤʹǤ ͳͷIbid., ǤʹͺǤ ဓ¡£¡¤¡ၹႁ bahwa perubahan itu adalah suatu perubahan Undang-Undang dasar, tetapi tidak melalui Undang-Undang Dasar dan menurut Tolchah, perubahan berdasarkan convension juga tidak benar. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa Kabinet dengan Parlementer adalah suatu kebiasaan (Convension) yang tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bisa saja hal ini dianggap menyalahi ketentuan Undang-Undang Dasar. Menurut hemat penulis, hal ini terjadi, karena Negara Indonesia pada waktu itu, masih dalam keadaan transisi, sehingga pemahaman terhadap konstitusi belum sempurna. Sampai saat inipun tokoh–tokoh (elitelit) politik belum menyelaraskan dan mengimplementasikan secara utuh Sistem Presidensial, Sistem Kepartaian dengan Sistem Pemilu, secara konstitusional Indonesia adalah System Presidensial, tetapi prakteknya, terlihat Sistem Parlementer, meskipun kini Sistem Presidensialnya telah didukung oleh Sistem Pemilu Presiden secara Langsung. Kabinet Syahrir II memiliki 13 Kementrian yang diketuai Sutan Syahrir sebagai Perdana Menterinya. Selain itu, tampak bahwa Kementerian didominasi Sutan Syahrir dan Amir Syarifuddin, karena Syahrir merangkap juga sebagai Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri yang keduanya adalah posisi-posisi penting. Sedangkan Amir Syarifuddin selain menteri Penerangan juga sebagai Menteri Keamanan Rakyat (Pertahanan Keamanan). Keduanya berasal dari partai politik yang sama, yaitu Partai Sosialis (PS). Menurut Bibit Suprapto16, Kabinet ini bukan cabinet koalisi, karena menterimenterinya tidak mewakili partai politik, hanya didominasi oleh kelompok Sutan Syahrir. Adapun program cabinet antara lain ialah17: a) Menyempurnakan susunan Pemerintah Daerah berdasarkan kedaulatan rakyat. ͳIbid., Ǥ͵ͳǤ ͳIbid., Ǥ͵ͲǤ ၺၸ¤£ b) Mencapai segala koordinasi segala tenaga rakyat di dalam usaha menegakkan Negara Indonesia serta membangun masyarakat yang berkeadilan dan perikemanusiaan. c) Berusaha untuk memperbaiki kemakmuran rakyat diantaranya dengan jalan pembagian makanan. d) Berusaha mempercepat keberesan tentang hal uang Republik Indonesia. Selain program kerja di atas, keberhasilan yang dapat dilihat pada Kabinet ini adalah pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada Tanggal 5 Oktober 1945 sebagai kelanjutan dari BKR dan pembentukan Akademi Militer di Tangerang dan Yogyakarta. Selain itu terdapat perundingan dengan sekutu (Inggris) pada Tanggal 17 Nopember 1945. Tantangan yang dihadapi Pemerintahan Syahrir dapat dibagi menjadi dua, yaitu yaitu tantangan eksternal dan internal. Tantangan eksternal dengan kedatangan tentara sekutu yang diboncengi oleh NICA yang berniat menjajah kembali dan beberapa pertempuran di daerah seperti Semarang, Surabaya, Ambarawa dan Medan. Tantangan internal adalah oposisi yang dilancarkan Tan Malaka dengan membentuk Organisasi Persatuan Perjuangan (OPP) di Purwokerto untuk menjatuhkan Kabinet Syahrir. Dan akhirnya Kabinet Syahrir I dapat dijatuhkan pada Tanggal 12 Maret 1946 oleh kelompok OPP dalam KNIP melalui mosi tidak percaya KNIP kepada Kabinet Syahrir. 2. Kabinet Syahrir II (12 Maret 1946 - 2 Oktober 1946) Sebagaimana Kabinet Syahrir I, Kabinet Syahrir II ini tidak bertahan lama. Umurnya hanya tujuh bulan berlangsung dari Tanggal 12 Maret 1946 dan berakhir Tanggal 2 Oktober 1946. Kemunculan Kabinet Syahrir II akibat jatuhnya Kabinet Syahrir I yang disebabkan oposisi yang dilakukan OPP pada siding KNIP Tanggal 28 Pebruari 1946 yang ဓ¡£¡¤¡ၺၹ dipimpin Assaat. Dan Tanggal 1 Maret 1946 KNIP mengadakan sidang kembali menentukan politik luar negeri Indonesia. Dari sidang ini, menunjukkan setuju terhadap kebijakan pemerintah, sehingga pada Tanggal 2 Maret 1946 Sutan Syahrir ditunjuk kembali sebagai formatur cabinet dan Tanggal 3 Maret 1946 Presiden masih mempercayakan cabinet dipimpin Syahrir18. Agar tidak tidak terjadi peristiwa pada Kabinet Syahrir I, maka pada cabinet ini Syahrir melibatkan beberapa partai politik dalam kabinetnya (Koalisi). Partai-partai politik yang terlibat dalam cabinet ini adalah sebagai berikut: 1. Partai Sosial (5 orang) 2. PSII (1 orang) 3. Partai Masyumi (3 orang) 4. Partai Parkindo (2 orang) 5. Partai PNI (1 orang) 6. Perwari (1 orang) 7. BKM (1 orang) 8. Non Partai (13 orang) Total = 27 orang Terlihat dari 7 partai politik yang terlibat, Partai Sosialis jumlahnya paling banyak dengan menduduki posisi Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan dan Menteri Muda Pertanian. Empat posisi menteri yang diduduki Partai Sosialis tersebut adalah posisi strategis yang diamanatkan dalam UUD 1945. Meskipun demikian, cabinet ini telah mencoba melakukan koalisi, jika dibandingkan dengan Kabinet Syahrir I. Program Kabinet Syahrir II adalah sebagai berikut 19: 1. Berunding atas dasar pengakuan RI Merdeka 100 %. ͳͺIbid., Ǥ͵ͻ ͳͻIbid., ǤͶͳǤ ၺၺ¤£ 2. 3. 4. 5. Mempersiapkan rakyat Negara di segala lapangan politik, ketentaraan, ekonomi dan social dan untuk mempertahankan kedaulatan RI. Menyusun Pemerintahan Pusat dan Daerah yang demokratis. Berusaha sekuat-kuatnya untuk menyempurnakan pembagian makanan dan pakaian. Pemerintah diminta mengambil tindakan yang sesuai dengan UUD, pasal 33 tentang perusahaan dan perkebunan. Selain tantangan yang dihadapi oleh Pemerintahan Kabinet Syahrir II, tapi juga terdapat keberhasilan antara lain 20: 1. Di bidang Militer terdapat konsolidasi (lahirnya TNI AU, POLRI dan ALRI). 2. Memperingati Hari Kemerdekaan Pertama (17 Agustus 1946). 3. Melakukan perundingan dengan Belanda dan Sekutu Tanggal 20 September 1967. Adapun tantangan yang masih harus dihadapi adalah21: a. Kliek OPP masih terus berusaha menjatuhkan cabinet ini. b. Percobaan Kudeta dari Jenderal Mayor Sudarsono, termasuk Tan Malaka, M Yamin, dkk. Pada Tanggal 3 Juli 1946. c. Masih banyak Kliek-kliek, sehingga cabinet rapuh (lemah). d. Perang melawan Belanda masih berlanjut di Bandung, Bali, Medan, Lombok, Sulawesi, dll. e. Belanda masih terus ingin berkuasa dengan cara mendirikan boneka-boneka Belanda di daerah-daerah (Devide et Impera). ʹͲIbid., ǤͶͳǦͶ͵Ǥ ʹͳIbid., ǤͶ͵ǡͶͷǤ ဓ¡£¡¤¡ၺၻ Berakhirnya Kabinet Syahrir II karena Tanggal 27 Juni 1946 Syahrir sebagai Perdana menteri diculik oleh OPP di bawah pimpinan Tan Malaka, kemudian diikuti kudeta oleh Mayor Jenderal Sudarsono Tanggal 3 Juli 1946. Sejak Tanggal 28 Juni 1946 sebenarnya kekuasaan Syahrir telah demisioner, karena telah diambil alih oleh Presiden Soekarno dan Tanggal 2 Oktober baru diserahkan kembali kepada Syahrir. 3. Kabinet Syahrir III (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947) Meskipun Syahrir dari Kabinet Syahrir I dan II mendapat perlawanan dari musuh-musuhnya, tetapi Soekarno sebagai presiden masih tetap memberi kepercayaan kepada Syahrir untuk membentuk Kabinet Syahrir III pada Tanggal 2 Oktober 1946. Setali tiga uang, kabinet ini sama dengan kabinet Syahrir II hanya berumur pendek, yaitu delapan bulan dan berakhir pada Tanggal 27 Juni 1947. Sebagaimana Kabinet Syahrir II, cabinet ini juga melibatkan beberapa partai politik antara lain: a) Partai Sosialis (4 orang, 5 posisi Menteri). b) PSII (2 orang) c) Partai Masyumi (6 orang) d) Partai BTI (1 orang) e) PNI (3 orang) f) PBI (1 orang) g) Parkindo (2 orang) h) BK Pemuda (1 orang) i) Non Partai (11 orang) Total = 31 Orang Tampaknya dalam kabinet ini, Masyumi sebagai partai islam diberi posisi cukup banyak, meskipun selisih satu posisi dibandingkan dengan Partai Sosialis. Posisi strategis, tidak lagi dikuasai Partai Sosialis, karena posisi Menteri Dalam Negeri telah dipercayakan kepada M. Rum ari ၺၼ¤£ Masyumi dan Menteri Luar Negeri kepada Agus Salim dari PSII. Sedangkan Menteri Pertahanan diserahkan kepada Amir Syarifuddin dari Partai Sosialis dan Harsono Cokroaminoto dari PSII. Sedangkan kelompok OPP yang melakukan oposisi tidak diberi kursi seperti Tan Malaka, M Yamin, Iwa Kusuma Sumantri, A. Subarjo, Sukarni, dll. Program kerja kabinet ini sama dengan program Kabinet Syahrir II , belum ada perubahan. Meskipun demikian, ada yang menonjol, yaitu22: 1. Berhasil membuat ejaan baru yaitu ejaan Suwandi dan mengubah ejaan Belanda. 2. Berhasil mendapat pengakuan de facto dari luar negeri (Timur Tengah), yang diawali oleh Mesir pada Tanggal 10 Juni 1947. 3. Melakukan perundingan dengan Belanda pada tanggal 7 Oktober 1946 4. Persetujuan genjatan senjata dengan Inggris 9 Oktober 1946 5. Perundingan Linggar Jati 15 Nopember 1946 dan di tandatangani 25 Maret 1947. Meskipun keberhasilan telah ditunjukkan oleh Kabinet Syahrir III, tetapi bukan berarti tidak ada tantangan, karena tantangan yang dihadapinya masih ada yaitu terdapat kelompok yang kontra terhadap perjanjian Linggar Jati. Kejatuhan Kabinet Syahrir III bukan dikarena oleh kelompok oposisi, tetapi oleh para pendukung (teman) Syahrir sendiri yaitu Amir Syarifuddin (disebut sayap kiri) dan kawan-kawan yang tidak menyetujui adanya nota ultimatum dari pihak Pemerintah Belanda yang menginginkan pembentukan Pemerintahan Peralihan. Jatuhnya Kabinet Syahrir III persis setahun setelah penculikan Sutan Syahrir yaitu Tanggal 27 Juni 1946. ʹʹIbid., Ǥͷ͵Ǥ ဓ¡£¡¤¡ၺၽ 4. Kabinet Amir Syarifuddin I (3 Juli 1947 – 11 Nopember 1947) Berakhirnya Kabinet Syahrir III dan Pembentukan Kabinet Amir Syarifuddin I persis setahun setelah kejadian penculikan Perdana Menteri Syahrir dan Kudeta Mayor Jenderal Sudarsono, yaitu pada Tanggal 27 Juni 1946 dan 3 Juli 1947. Apakah tanggal-tanggal tersebut merupakan scenario, hal ini belum diungkap. Dengan berakhirnya Kabinet Syahrir III, maka seminggu setelah itu, presiden menyerahkan mandatnya kepada Amir Syarifuddin, sehingga kabinetnya disebut Kabinet Amir Syarifuddin I. Kabinet ini juga sama halnya dengan kabinet-kabinet sebelumnya, umurnya tidak panjang, hanya berumur empat bulan, yaitu mulai Tanggal 3 Juli 1947 – 11 Nopember 1947. Dalam kabinet ini, Masyumi sebagai Partai Islam tidak dilibatkan. PSII yang mewakili umat Islam dan mendapat enam buah posisi antara lain Mendagri, Menag, Menlu, Menmud Penerangan, Menmud Sosial dan Menmud Pendidikan. Menurut Bibit Suprapto23, hal ini pertama kali terjadi keretakan dalam Partai Islam. Kabinet ini menggandeng 9 buah partai dan dalam cabinet ini, PKI baru mulai dilibatkan. Beriku ini partai-partai yang terlibat, yaitu: 1. Partai Sosialis (6 orang). 2. Partai PNI (7 orang). (4 orang). 3. PBI 4. PSII (6 orang). 5. PKRI (1 orang). 6. BK Muda (1 orang). 7. BTI (1 orang). 8. Parkindo (1 orang) 9. PKI (1 orang). Total = 28 orang ʹ͵Ibid., ǤʹǤ ၺၾ¤£ Umurnya cabinet ini hanya empat bulan, sehingga belum mampu mencanangkan program kerja dengan baik. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada tantangan, karena tantangan tetap ada dari pihak Belanda yang tidak mau mengakui Perjanjian Linggarjati yang telah ditandatanganinya pada masa Kabinet Syahrir. Selain itu, perang masih berkecamuk antara daerah-daerah melawan agresi Belanda, sehingga akhirnya diplomasi yang dilakukan Indonesia melalui Sutan Syahrir dan Agus Salim ke PBB berhasil membuahkan keputusan genjatan senjata antara Indonesia dengan Belanda dan membentuk KTN (Komisi Tiga Negara) sebagai arbitrage (pewasitan), yaitu Belgia, Australia dan Amerika. Kabinet Amir Syarifuddin I ini disebut Kabinet Nasional, Karena melibatkan seluruh partai, kecuali Masyumi. Agar lebih representatif sesuai dengan namanya, maka cabinet ini akhirnya direshufle (reformasi) dan melibatkan Masyumi di dalamnya. Kemudian diteruskan oleh Amir Syarifuddin sebagai Kabinet Amir Syarifuddin II. 5. Kabinet Amir Syarifuddin II (11 Nopember 1947 - 29 Januari 1948) Kabinet ini tetap dipimpin Amir Syarifuddin sebagai Perdana Menterinya dan Wakil Perdana Menterinya tiga orang Mr. Syamsudin, Wondoamiseno dan Setiyajid. Kabinet Amir Syarifuddin II lahir, karena terjadi reshufle Kabinet Amir Syarifuddin I. Reshufle ini dalam rangka mewujudkan Kabinet Nasional yang harus melibatkan semua partai. Dan dalam cabinet inilah Masyumi masuk bergabung, meskipun pada awalnya tidak mau bergabung. Dengan demikian, kabinet ini telah merangkul beberapa partai antara lain: 1) PSI (8 orang). 2) Masyumi (4 orang). 3) PSII (6 orang). 4) PBI (4 orang). ဓ¡£¡¤¡ၺၿ 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) PNI (7 orang). Parkindo (1 orang). PKRI (1 orang). BK Pemuda (1 orang). BTI (1 orang). PKI (1 orang). Non partai (4 orang). Total = 34 orang MASA PEMERINTAHAN 29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949 2 Kabinet Darurat Perang 19 Desember 1948- 13 Juli 1949 ၺႀ¤£ 4 Kabinet RIS (Kabinet HaƩa III) Kabinet Susanto (Kabinet Peralihan) Kabinet Halim (Kabinet RI Yogya) 6. 4 Agustus 1949 – 20 Desember 1949 20 Desember 1949- 6 September 1950 20 Desember 1949-21 Januari 1950 21 Januari 19506 September 1950 Terbentuknya Negara RIS Perubahan poliƟk dari Negara RIS ke negara Kesatuan Terbentuknya Kabinet Halim Bubarnya RIS dan terbentuknya NKRI, meskipun begitu, Kabinet ini masih bekerja sampai terbentuknya Kabinet Natsir Sumber: diolah dan diringkas dari buku Bibit Suprapto, 1985. Tabel: 3.1. Nama-nama Kabinet setelah Kabinet Amir Syarifuddin II NAMA KABINET Kabinet HaƩa I Kabinet HaƩa II 5 Program cabinet tidak pernah diumumkan, mengikuti program Kabinet Syahrir yang terdahulu. Sedangkan KTN yng telah dibentuk tetap bekerja dalam menghasilkan Perundingan Renvile. Namun dalam Perundingan Renvile, Pemerintahan Indonesia kalah berdiplomasi, karena pihak Belanda diwakili oleh orang Indonesia sendiri yaitu Abdul Kadir Wijoyoatmojo. Akibat kekalahan dalam Perundingan Renvile inilah, Kabinet Amir Syarifuddin II jatuh, karena PNI bersikap masa bodoh dan Masyumi mengundurkan diri dari cabinet dan meminta cabinet dibubarkan. Akhirnya Kabinet Amir Syarifuddin II demisioner Tanggal 23 Januari 1948. Setelah Kabinet Amir Syarifuddin II berakhir, muncul Sistem Pemerintahan Presidensial dan dalam system pemerintahan ini telah terbentuk beberapa cabinet , antara lain lihat tabel di bawah ini: NO 1 3 SEBAB KEJATUHAN Reshue Kabinet , karena selama 7 bulan dilanda perang. Pengembalian mandate kepada Presiden Soekarno, karena Soekarno dan HaƩa telah kembali ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Pada Tanggal 29 Januari 1948 terbentuk Kabinet Hatta I, tapi sistem pemerintahannya telah berubah menjadi Sistem Presidensial, meskipun tidak murni, karena ada Perdana Menteri yang dipegang oleh Wakil Presiden. Pada cabinet ini banyak perang yang terjadi dan pihak oposisi bergerak. Di sini Muso mulai tampil setelah kembali dari Rusia. Dalam cabinet ini pula Belanda akan melakukan agresi kembali dan meninggalkan Perundingan Renvile. Pada masa ini para pimpinan Negara di tangkap dan diasingkan, sehingga terpaksa Soekarno memberikan mandate kepada Syafruddin Prawiranegara, maka munculllah Kabinet Darurat Perang. Kabinet Darurat Perang adalah pada saat para pimpinan Negara ditangkap Belanda, sehingga terjadi kekosongan pemerintahan dan Soekarno memberi mandat kepada Syafruddin Prawiranegara pada waktu itu sebagai Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan RI Darurat di Sumatera pada Tanggal 19 Desember 1948. Kabinet ini berakhir setelah para pimpinan kembali dari dari Yogyakarta. Setelah para pimpinan kembali, mandate dikembalikan dan Kabinet Hatta I di reshuffle, maka terbentuklah Kabinet Hatta II. Dalam cabinet ini terjadi KMB (Konferensi Meja Bundar) 23 Agustus 1949 dan terbentuklah Negara RIS (Republik Indonesia Serikat) Tanggal 29 Oktober 1949 serta terjadi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Terpilih Soekarno sebagai Presiden dan Muhammad Hatta ဓ¡£¡¤¡ၺႁ sebagai Wakil Presiden dan dilantik pada Tanggal 17 Desember 1949 di Yogyakarta. Berhubung Negara telah berubah bentuk menjadi Negara RIS, maka kabinetpun berubah(reformasi) menjadi Kabinet RIS (Kabinet Hatta III). Persoalan yang dihadapi cabinet ini adalah persoalan Irian Barat yang belum masuk ke wilayah Indonesia, masih ada perlawanan Belanda di Bandung, Istilah Uni RIS-Belanda, pemberontakan di daerah-daerah: Kapten Andi Azis di Makassar, RMS di Maluku dan DI/TII di Jawa Barat. Kabinet Susanto (Kabinet Peralihan) adalah cabinet yang berada di RI Yogya, tatkala Presiden dan Wakil Presiden RIS telah terbentuk dan harus pindah ke Jakarta, sehingga RI sebagai salah satu ibukota Negara bagian harus ada yang memimpin. Di sinilah terbentuk Kabinet Susanto yang masa kerjanya hampir bersamaan dengan Kabinet RIS (Kabinet Hatta III). Namun Kabinet Susanto hanya sebagai cabinet peralihan saja, karena pada Tanggal 21 Januari 1950, RI Yogyakarta telah membentuk Kabinet aslinya yaitu Kabinet Halim. Alhamdulillah, usaha Kabinet RIS untuk mengembalikan Indonesia dari Negara RIS ke NKRI berhasil, sehingga Kabinet Hatta III (Kabinet RIS) berakhir dan muncullah Kabinet Natsir dengan UUD yang baru, tetapi masih tetap menggunakan Sistem Pemerintahan Parlementer. 6. Kabinet Natsir (6 September 1950 – 27 April 1951) Kabinet ini lahir setelah Kabinet RIS berusaha mengembalikan RIS ke NKRI atau dikenal dengan adanya Mosi Integral yang dilancarkan Natsir dari Farksi Masyumi24, yaitu mengembalikan Indonesia dari negara Serikat ke Negara Kesatuan. Dalam kabinet ini telah digunakan UUD baru yaitu UUDS 1950, karena RIS telah bubar dan kembali ke NKRI. Kabinet yang pertama kali menggunakan UUDS 1950 ini di ʹͶ ǡ Natsir Politik Santun di antara Dua Rezim,ȋǣ ǡ ʹͲͳͳȌǡǤͶ͵Ǥ ၻၸ¤£ bawah pimpinan M. Natsir dari Partai Masyumi dan Wakil Perdana Menteri Sultan Hamengku Buwono IX. Kabinet ini dinamaka Kabinet Natsir atau zakenkabinet25,karena orang-orang yang duduk dalam kabinet adalah orang-orang yang ahli di bidangnya, bukan dikarenakan pertimbangan partai. Masa kekuasaan kabinet ini mulai dari Tanggal 6 September 1950 sampai dengan 27 April 195126. Kabinet Natsir merangkul 18 orang, 13 orang dari delapan partai politik dan 5orang dari non partai di antaranya adalah: 1) Masyumi (4 orang) 2) PIR (2 orang) 3) Demokrat (1 orang) 4) PSI (2 orang) 5) Parkindo (1 orang) 6) Katholik (1 orang) 7) Parindra (1 orang) 8) PSII (1 orang) 9) Non Partai (5 orang) Total =18 Orang Pada masa Kabinet Natsir, beberapa partai lama mulai redup seperti PSI dan PSII yang pada kabinet sebelumnya cukup berkontribusi. Dan justru partai-partai baru mulai tampak seperti Partai Katholik, Demokrat dan Parindra. Selain itu, PNI dan PKI tidak mendukung kabinet ini. Program kerja Kabinet yaitu27: a) Mempersiapkan dan menyelenggarakan Pemilu untuk konstituante. ʹͷIbid, ǤͶ͵Ǥ ʹǡPartai Islam di Pentas Nasionalǡȋǣ ϐǡͳͻͺȌǡǤʹͲʹǤ ǡPerkembangan Kabinet, ǤͳʹͶǤ ʹǡPerkembangan Kabinet, ǤͳʹͺǤ ဓ¡£¡¤¡ၻၹ b) Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintah serta membentuk peralatan Negara yang bulat. c) Mencapai keamanan dan ketentraman. d) Mengembangkan dan memperkokoh kekuatan ekonomi rakyat sebagai dasar ekonomi nasional yang sehat dan Melaksanakan keragaman antara burh dan majikan. e) Membantu pembangunan perumahan rakyat serta memperluas usaha-usahanya yang meningkatkan derajat kesehatan dan kecerdasan rakyat. f) Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang dan pemulihan bekas anggota tentara dan gerilya ke dalam masyarakat. g) Menyelesaikan persoalan Irian Barat. Meskipun umur cabinet ini tidak begitu panjang, hanya tujuh bulan, tetapi cabinet telah berhasil melaksanakan tugasnya antara lain: 1. Pada Tanggal 27 September 1950, PBB menerima Indonesia sebagai anggota ke 60. Dan Tanggal 28 September 1950 diadakan upacara pengibaran bendera Merah Putih di markas PBB. 2. Dalam UUDS 1950 barulah diatur masalah Wakil Presiden dan pada Tanggal 14 Oktober 1950 Muhammad Hatta terpilih sebagai Wakil Presiden dengan meraih suara 113 dengan mengalahkan 7 orang pesaingnya. Selain keberhasilan juga terdapat kegagalan antara lain ialah: a) Pemberontakan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan pada Tanggal 10 Oktober 1950. Pemberontakan ini sebagai lanjutan dari DI/TII Kartosuwiryo. b) Kurang mendapat dukungan dari rakyat. Koalisinya terbatas pada partai-partai tertentu. Jadi bukan sebagai Koalisi Nasional. ၻၺ¤£ c) Perpecahan dalam tubuh Masyumi antara Sukiman (Pro Nasionalis: PNI) dan Natsir (Pro pada PSI) serta unsur NU yang dikesampingkan Natsir cs. Kejatuhan kabinet ini, dikarenakan beberapa hal antara lain mosi tidak percaya yang dilancarkan oleh Hadikusumo. Mosi tersebut menuntut agar “Peraturan Pemerintah no. 39 tahun 1950 tentang pembekuan anggota-anggota lembaga perwakilan daerah dicabut”28. Kemudian dilanjutkan dengan pengunduran diri para Menteri dari PIR. Selain itu, Natsir dianggap gagal menyelesaikan Irian Barat dengan pihak Belanda. Natsir dianggap terlalu berdiplomasi, sedangkan Soekarno menginginkan ketegasan kepada pihak Belanda29 . Akhirnya pada Tanggal 21 Maret 1951 Kabinat M. Natsir demisioner dan mandate dikembalikan kepada Presiden Soekarno. 7. Kabinet Sukiman-Suwiryo (27 April 1951 – 3 April 1952) Setelah Kabinet Natsir berakhir, maka Presiden menyerahkan mandatnya kepada Sukiman dari Partai Masyumi. Kabinet Sukiman berumur satu tahun dari Tanggal 27 April 1951 sampai dengan 3 April 1952. Meskipun Kabinet Natsir yang berasal dari Masyumi telah berakhir, bukan berarti Masyumi jatuh, karena pada cabinet Sukiman ini terlihat Masyumi masih memainkan peranannya sebagai orang nomor satu. Meskipun nasib Sukiman serupa dengan M. Natsir, karena kabinetnya tidak bertahan lama. Dalam Kabinet Sukiman, dr. Sukiman sebagai Perdana Menterinya (Masyumi) dan dr Suwiryo (PNI). Keduanya berprofesi sebagai dokter yang berkecimpung di dunia politik. Kabinetnya tetap kabinet koalisi yang melibatkan beberapa partai seperti30: Masyumi (5 orang), PNI (5 orang), PIR (3 orang), PKRI (1 orang), Partai Buruh (1 orang), Parkindo (1 orang), Demokrat 91 orang), Parindra (1 orang) dan Non ʹͺǡPartai Islam , ǤʹͳͲǤ ʹͻǡPerkembangan Kabinet, Ǥͳ͵ʹǤ ͵ͲIbid., Ǥͳ͵ͷǡPartai Islam,ǤʹͳͻǤ ဓ¡£¡¤¡ၻၻ partai (2 orang). Tampaknya Sukiman lebih berkerjasama dengan PNI, sehingga posisi-posisi penting dikuasai Masyumi dan PNI. Dalam cabinet terlihat PSII mulai tidak terpakai. Terdapat tujuh program kabinet , yaitu: 1) Menjalan secara tegas sebagai Negara hukum dan menyempurnakan alat-alat Negara. 2) Melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam jangka pendek untuk meningkatkan kehidupan social ekonomi rakyat. Memperbaharui hokum agrarian untuk kepentingan petani. 3) Mempercepat usaha penempatan bekas pejuang dalam lapangan pembangunan. 4) Menyelesaikan persiapan pemilu untuk konstituante, Menyelenggarakan Pemilu dalam waktu singkat dan mempercepat Otonomi daerah. 5) Menyipkan UU tentang pengakuan Serikat Buruh, perjanjian kerjasama, penetapan upah minimum dan penyelesaian pertikaian perburuhan. 6) Menjalankan politik luar negeri bebas aktif, Menyelenggarakan hubungan Indonesia Belanda atas dasar hubungan berdasarkan perjanjian Internasional biasa. Meninjau kembali hasil KMB dan meniadakan perjanjian-perjanjian yang merugikan rakyat. 7) Memasukkan Irian Barat ke wilayah Indonesia secapatcepatnya. Yang menarik dari program-program di atas adalah perhatian terhadap masalah perburuhan. Namun demikian, belum banyak yang dapat dikerjakan kabinet ini, akhirnya harus berakhir dengan tragis, karena Kabinet Sukiman dijatuhkan oleh teman sendiri yaitu Natsir yang satu kliek dengan Syahrir. Menurut Bibit 31, dua masalah yang ͵ͳIbid., ǤͳͶͲǤ ၻၼ¤£ menjadi perhatian oposisi teman separtai sendiri adalah masalah perjalanan haji tahun 1951 yang dianggap belum melakukan koordinasi secara intensif dan penandatangan kerjasama dengan Amerika Serikat (MSA), Namun yang menjatuhkan Kabinet Sukiman, karena perjanjian “San Francisco”32 yang dianggap cenderung berpihak ke luar negeri (Amerika). Hal ini berarti “meninggalkan politik luar negeri bebas aktif” yang telah menjadi komitmen sejak tahun 1945. 8. Kabinet Wilopo-Prawoto (3 April 1952 – 30 Juli 1953) Munculnya Kabinet Wilopo-Prawoto (PNI-Masyumi) pada tanggal 3 April 1952 dan berakhir Tanggal 30 Juli 195333, menggantikan posisi Sukiman dari Masyumi. Dengan demikian, peran Masyumi telah bergeser pada posisi Partai Nasional Indonesia (PNI). Meskipun demikian, Kabinet Wilopo tetap merangkul seluruh komponen partai yang ada seperti: PNI (4 orang), Masyumi (4 orang), PSI (2 orang), Partai Buruh (1 orang), PSII (1 orang), PKRI (1 orang), Parkindo (1 orang), Parindra (1 orang) dan 3 orang non partai. Program cabinet meliputi enam bidang yaitu: 1) Bidang Organisasi Negara 2) Bidang Kemakmuran 3) Bidang Keamanan 4) Bidang Perburuhan 5) Bidang Pendidikan dan pengajaran 6) Bidang Luar negeri Tantangan kabinet ini adalah keretakan dalam tubuh Masyumi sebagai tulang punggung cabinet dan keretakan dalam cabinet itu sendiri. Keluarnya NU dari Masyumi dengan mendirikan partai sendiri (1952) adalah merupakan keretakan dalam tubuh Masyumi yang kedua setelah keluarnya PSII dari Masyumi (1947). Selain itu konflik ͵ʹǡPartai Islam ǤʹͳͻǤ ͵͵Ibid., ǤʹʹͲ ဓ¡£¡¤¡ၻၽ antara kelompok Natsir dan kelompok Sukiman. Ada beberapa alasan NU keluar, salah satu di antaranya persoalan perolehan jatah kursi34. NU merasa bahwa jumlah pendukung cukup banyak, tetapi kursi yang diperolehnya tidak proporsional. Selain itu, perbedaan pandangan antara orang-orang NU yang berpendidikan Pesantren dengan orangorang Masyumi yang berpendidikan Barat (umum). Nasib Kabinet Wilopo serupa pula dengan Kabinet-kabinet yang lain, tidak bertahan lama dan akhirnya dapat dijatuhkan dengan adanya Peristiwa Demonstrasi Pembubaran Parlemen di Jakarta pada Tanggal 17 Oktober 1952. Hal ini dikarenakan Rasionalisasi dengan pengurangan jumlah pegawai sipil dan militer dengan alasan penghematan. 9. Kabinet Ali–Wongso–Arin (Kabinet Ali I) (30 Juli 1953–12 Agustus 1955) Setelah Kabinet Wilopo dari Partai Nasionai Indonesia (PNI) jatuh, Presiden sampai tiga kali menunjuk formatur untuk membentuk kabinet, tetapi gagal dan keempat kalinya baru bisa terwujud menjadi Kabinet Ali I (Ali-Wongso-Arifin). Yang menarik dari cabinet ini, meskipun Mr. Wongsonegoro ditunjuk sebagai formatur, tetapi tidak egois menjadikan dirinya sebagai Perdana Menteri. Partai-partai yang tergabung dengan cabinet ini sebanyak 11 partai politik yang meliputi: PNI (4 kursi), PIR (3 orang), NU (3 orang), Progresif (1 orang), PRN (1 orang), SKI (2 orang), PSII (2 orang), Partai Buruh (2 orang), BTI (1 orang), Parindra (1 orang), Non Partai (1 orang)35. Yang menarik di sini adalah NU sebagai partai politik telah diakui eksistensinya. Sedangkan Masyumi yang telah memiliki reputasi seblumnya tidak diikutsertakan dalam cabinet ini. Dengan demikian, partai Islam diwakili oleh PSII dan NU. ͵ͶǡPerkembangan Kabinet, ǤͳͶǤ ͵ͷ Ibid., Ǥͳͷʹ ၻၾ¤£ Adapun program kerjanya sebagai berikut: 1) Di Bidang Dalam Negeri meliputi keamanan, pemilu, keuangan & keuangan, organisasi Negara, perburuhan dan perundang-undangan. 2) Masalah Irian Barat: mengusahakan Irian Barat kembali ke pangkuan wilayah NKRI. 3) Di Bidang Politik Luar Negeri: menjalankan politik luar negeri bebas aktif, merubah hubungan Indonesia – Belanda atas dasar stuut uni menjadi hubungan Internasional biasa dan meninjau kembali perjanjian KMB dan perjanjianperjanjian lain yang merugikan rakyat. 4) Di Bidang Kebijaksanaan Pemerintah. Keberhasil cabinet ini adalah mengadakan perundingan dengan Belanda untuk menghapus Uni Indonesia-Belanda, berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) yang didahului Konferensi Colombo (18 April 1954) dan Konferensi Bogor (28030 Desember 1954)36 serta membentuk panitia pemilu. Tantangan cabinet ini adalah oposisi yang dilancarkan oleh oarng-orang PIR pada tanggal 17 Oktober 1954. Dengan demikian, Kabinet Ali-Wongso-Arifin akhirnya di reshufle dan Wongso tidak ikut ke dalam cabinet, sehingga menjadi Kabinet Ali-Arifin. Dibandingkan dengan kabinet-kabinet sebelumnya, Kabinet Ali I lebih lama masa pemerintahannya (selama 2 tahun). Meskipun demikian, Kabinet inipun dapat dijatuhkan, karena peristiwa pemboikotan pelantikan KSAD oleh Militer pada Tanggal 27 Juni 1955 yang dipimpin oleh Zulkifli Lubis, karena iri hati. ͵Ibid., ǤͳͷǤ ဓ¡£¡¤¡ၻၿ 10. Kabinet Burhanuddin Harahab37 (12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956) Kali ini Masyumi sebagai Partai Islam diberi kepercayaan kembali oleh Presiden Soekarno untuk memimpin cabinet dan Burhanuddin Harahab terpilih sebagai Perdana Menteri pada Tanggal 12 Agustus 1955-24 Maret38. Kini Masyumi tampil kembali menggantikan posisi Partai Nasionai Indonesia (PNI) yang berturut-turut memegang posisi. Burhanuddin Harahab juga menggandeng 12 partai dan non partai yang menduduki 23 kursi menteri. Adapun partai-partai tersebut antara lain: 1) Masyumi (4 orang) 2) PIR Hazairin (2 Orang) 3) PSII (2 orang) 4) Demokrat (1 orang) 5) NU (2 orang) 6) PSI (2 orang) 7) PKRI (1 orang) 8) Partai Buruh (2 orang) 9) PRN (2 orang) 10) Parindra (2 orang) 11) Parkindo (1 orang) 12) PRI (1 orang) 13) Non partai (1 orang) Total = 23 orang Dari jumlah kursi menteri, Masyumi yang paling dominan (4 orang). Dalam kabinet ini PNI dan PKI tidak dilibatkan Masyumi. ͵Ǥ ǡǤ ͵ͺǡPerkembangan Kabinet, ǤͳͶǡPartai Islam, ǤʹͶ͵ ၻႀ¤£ Pada masa inilah Masyumi mampu menunjukkan prestasi yang dapat dibanggakan, karena pada masa ini, kabinet Burhanuddin Harahab dapat menyelesaikan hal-hal sebagai berikut: a) Menyelenggarakan pemilu pertama tahun 1955 dalam sejarah Indonesia b) Dibubarkannya Uni Indonesia-Belanda secara Unilateral c) Mengembalikan wibawa pemerintah terhadap Angkatan Darat d) Berhasil mengadakan perbaikan di bidang ekonomi, hargaharga menjadi stabil. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan pertama kali dalam sejarah RI setelah kemerdekaan. Partai-partai yang menjadi kontestan pemilu juga terlibat dalam kepanitian pemilu, agar dapat menghindari kecurangan dari setiap partai politik. Hal ini juga pernah dilakukan pada saat pemilu 1999 di Era Reformasi. Dari hasil pemilu tersebut yang diselenggarakan pada Tanggal 29 September 1955 terdapat 28 partai yang mendulang 257 kursi di parlemen, tetapi dari 28 partai itu, terdapat sepuluh besar dan empat partai terbesar, yaitu:39 1) PNI = 57 kursi. 2) Masyumi = 57 kursi 3) Partai NU = 45 kursi 39 kursi 4) PKI = 5) PSII = 8 kursi 6) Parkindo = 8 kursi 7) Partai Katholik = 6 kursi 8) PSI = 6 kursi 9) Perti = 5 kursi 10) IPKI = 4 kursi Total = 235 kursi ͵ͻIbid., Ǥͳͻ ဓ¡£¡¤¡ၻႁ Apabila empat partai besar disandingkan, maka akan terlihat kursi yang diraih partai Islam lebih banyak (57 + 45=102 kursi). Sedangkan diantara 235 kursi dari sepuluh parai besar, maka Partai Islam mencapai 115 kursi (Masyumi, NU, PSII dan Perti). Meskipun sebagai pendatang baru, Perti sebagai Partai Islam dapat menunjukkan eksistensinya. Hal ini sampai dengan Demokrasi Terpimpin, Perti, NU dan PSII masih melibatkan diri dalam pemerintahan Soekarno. Dapat disimpulkan bahwa sebenarnya umat Islam memiliki peluang besar untuk meraih kekuasaan, apabila tidak terpecah-pecah alias bersatu. Namun ketika akan dilantik, perolehan kursi mengalami perubahan, Masyumi menempati posisi paling atas. Hal ini karena didasarkan jumlah penduduk40: 1) Masyumi = 60 anggota 2) PNI = 58 anggota 3) Partai NU = 47 anggota 4) PKI = 32 anggota Selain pemilu legislative, Kabinet Burhanuddin Harahab berhasil menyelenggarakan pemilu anggota konstituante pada Tanggal 15 Desember 1955, yaitu lembaga yang bertugas membuat Undangundang . Posisi empat besar dari 543 kursi pada pemilu anggota dewan konstituante ini, hasil yang diperoleh sama dengan pemilu legislative, yaitu41: 1) PNI = 118 kursi 2) Masyumi = 113 kursi 3) Partai NU = 91 kursi 4) PKI = 59 kursi Berakhirnya Kabinet Burhanuddin Harahab bukan dijatuhkan oleh lawan-lawan politiknya sebagaimana kabinet-kabinet terdahulu, tetapi dikarenakan tugasnya telah usai yang menghasilkan ͶͲIbid., ǤͳͳǤ ͶͳIbid., ǤͳʹǤ ၼၸ¤£ pemerintahan hasil pemilu 1955 dengan terbentuknya Kabinet AliRum-Idham (Ali II). 11. Kabinet Ali – Rum – Idham (24 Maret 1956 – 9 April 1957) Setelah pemilu pada Tanggal 29 September 1955 dan pemilu anggota Dewan Konstituante pada Tangga 15 Desember 1955, maka terbentuklah kabinet koalisi yang sesuai dengan hasil pemilu tahun 1955. Kabinet tersebut dinamakan Kabinet Ali II dengan komposisi Ali-Roem Idham. (PNI-Masyumi-NU) yang berkuasa pada Tanggal 24 Maret 1955- 9 April 195742. Dalam kabinet ini umat Islam diwakili oleh Masyumi dan NahdlatuI Ulama (NU), karena semula NahdIatuI Ulama (NU) yang bergabung dengan Masyumi, mulai melepaskan diri menjadi partai sendiri dan kini berhasil meraih suara pada pemilu tahun 1955 dan menduduki posisi ketiga setelah Masyumi. Hal ini menunjukkan bahwa NU memiliki eksistensi di tengah masyarakat dengan para konstituennya. Jadi keluarnya NU dari Masyumi tidak sia-sia. Masyumi sebagai wakil umat Islam, terakhir memainkan peran politik dalam kabinet ini. Adapun susunan kabinet terdiri dari 25 posisi yang melibatkan delapan partai dan satu non partai. Dan partai islam yang paling banyak terlibat dalam kabinet ini, yaitu Masyumi, NU, PSII dan Perti (13 orang). Partai-partai yang terlibat antara lain43: 1) PNI (6 orang) 2) Masyumi (5 orang) 3) NU (5 orang) 4) Parkindo (2 orang) 5) Katholik (2 orang) 6) PSII (2 orang) 7) Perti (1 orang) ͶʹǡPartai Islam, ǤʹͷͳǤ Ͷ͵ǡPerkembangan Kabinet, ǤͳǦͳͺǤ ဓ¡£¡¤¡ၼၹ 8) IPKI 9) Non Partai Total (1 orang) (1 orang) = 25 orang Program kerja meliputi44: 1) Pembatalan KMB 2) Masalah Irian Barat 3) Masalah Dalam Negeri: • Pemulihan keamanan dan menyempurnakan koordinasi antara alat-alat kekuasaan Negara. • Perekonomian dan keuangan • Pertahanan • Perburuhan • Pendidikan, pengajaran dan kebudayaan 4). Luar negeri: menjalankan politik luar negeri bebas aktif dan kerjasama dengan Negara-negara Asia-Afrika. Tantangan yang dihadapi kabinet Ali II adalah pengunduran diri Muhammad Hatta sebagai Wakil Presiden RI pada Tanggal 1 Desember 1956 yang disebabkan perbedaan pandangan dengan Presiden Soekarno dalam bidang ekonomi & politik dan pengambilalihan kekuasaan di beberapa daerah oleh sekelompok militer di Sumatera dan Sulawesi Utara (muncul gerakan separatis yang ingin pemisahan diri dari pemerintah pusat). Gerakan-Gerakan ini merasa Pemerintah Pusat “mengabaikan mereka, padahal daerah-daerah tersebut (luar Jawa) penghasil devisa bagi Negara”45. Dan gerakan–gerakan separatis ini akhirnya sebagai cikal bakal munculnya PRRI di Sumatera dan Permesta si Sulawesi46. Persoalan yang dihadapi Kabinet Ali II cukup pelik, sehingga Masyumi juga ikut prihatin, karena gerakan-gerakan di daerah ͶͶIbid, ǤͳͺͲǦͳͺͳǤ ͶͷǡPartai Islam, ǤʹͷʹǤ ͶǡPerkembangan Kabinet, ǤͳͺǤ ၼၺ¤£ tersebut, sebagian merupakan kantong suara Masyumi, sehingga pada Tanggal 9 Januari 1957, Masyumi menarik menteri-menterinya dan Perti pada Tanggal 15 Januari 1957. Keberhasilan yang tampak pada masa kabinet koalisi Ali II ini adalah: 1) Pembatalan perjanjian KMB. 2) Perjuangan kemerdekaan Irian Barat 3) Pengiriman misi Garuda I ke Mesir. Dengan adanya Dekrit Presiden 5 Juli 195947, maka berakhir pula Kabinet Koalisi ini. Meskipun demikian, Majelis Konstituante masih tetap bekerja merampungkan tugasnya menyelesaikan masalah dasar negara yang telah selesai 90 %48. Menurut Deliar Noer49, PSII dan NU menginginkan perombakan kabinet, tapi PNI ingin bertahan. Sedangkan Parkindo dan Katholik menganjurkan bubar. Sebelum Mandat dikembalikan kepada Presiden pada Tanggal 14 Maret 1957, Kabinet Ali II menandatangani UndangUndang tentang Keadaan Bahaya yang ditentang Natsir dari Masyumi. Undang-undang ini memberikan legitimasi Militer menguasai keadaan atau dengan kata lain “mulai lebih menentukan keadaan”50. Menurut Bibit Suprapto51 tiga penyebab berakhirnya Kabinet Ali II, yaitu: 1) Timbulnya pemberontakan di daerah-daerah. 2) Adanya keretakan dalam tubuh kabinet, yaitu mundurnya beberapa menteri dari Masyumi, PSII dan Perti. 3) Adanya konsepsi Presiden Soekarno Tanggal 21 Pebruari 1957. Konsepsi tersebut berisi tentang: a) Sistem Demokrasi Parlementer sudah tidak cocok, harus diganti dengan Demokrasi Terpimpin. ͶǤϐǡIslam dan Politik, ǤͶʹǤ ͶͺIbid., ǤͶʹǤ ͶͻǡPartai Islam, ǤʹͷǤ ͷͲIbid., ǤʹͷǤ ͷͳǡPerkembangan Kabinet, ǤͳͺͺǤ ဓ¡£¡¤¡ၼၻ b) Untuk melaksanakan Demokrasi Terpimpin, harus dibentuk Kabinet Gotong Royong yang diawali dengan adanya Kabinet “Empat Kaki (PNI, Masyumi, NU dan PKI). c) Pembentukan Dewan Nasional yang beranggotakan golongan fungsional sebagai penasehat kabinet. C. Berakhirnya Demokrasi Parlementer Pada masa Demokrasi Parlementer Soekarno sebagai Presiden tidak dilibatkan dalam pemerintahan-hanya sebagai Kepala Negara, demikian pula dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI), sehingga Soekarno merasa bahwa Demokrasi yang ada tidak cocok dan perlu membuat suatu konsep demokrasi yang memungkinkan Soekarno terlibat. Gagasan Soekarno untuk membuat suatu konsep demokrasi yang berbeda dengan dengan Demokrasi Parlementer, dikenal dengan nama “Konsepsi Presiden”52 yang dikemukakan pada Tanggal 21 Pebruari 1957. Inti dari konsepsi tersebut adalah ingin mengganti Demokrasi Parlementer yang dianggap sebagai Demokrasi Barat. Konsepsi ini ditentang oleh partai Islam Masyumi, NU dan PSII, karena dianggap perubahan yang radikal di bidang ketatanegaraan, sedangkan persoalan ketatanegaraan merupakan kewenangan Dewan Konstituate. Dewan Konstituante hasil Pemilu 1955 sedang bekerja merampungkan tugasnya membahas tentang dasar Negara, tetapi dianggap Soekarno tidak mampu menyelesaikan tugas dengan baik, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden menurunkan Dekrit Presiden yang isinya antara lain agar kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dan membubarkan Dewan Konstituante. Menurut A. Syafii Maarif53, sebenarnya Dewan Konstituante telah merampungkan tugasnya 90 %, yaitu telah ditemukan kata sepakat tentang dasar Negara: Pancasila, ͷʹIbid., ǤͳͺǤ ͷ͵ǤϐǡIslam dan Politik, ǤͶͺǤ ၼၼ¤£ tetapi Presiden Soekamo tidak memperdulikan lagi. Selain itu, A. Syafii Maarif54 mengatakan bahwa Presiden tidak mau menjadi tukang stempel lagi. Diturunkannya Dekrit Presiden, tidak menutup kemungkinan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) pun ingin terlibat dalam kekuasaan, karena selama ini Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak dilibatkan dalam pemerintahan, meskipun mendapat suara terbanyak keempat setelah Nahdlatul Ulama (NU) dalam Pemilu 1955. Selain itu adanya UU tentang Keadaan Bahaya pada Tanggal 14 Maret 1957 dan memasukkan Militer ke dalam Dewan Nasional, berarti memberi angin Militer untuk terlibat dalam politik. Dengan diturunkannya Dekrit Presiden, maka berakhirlah Demokrasi Parlementer dan mulailah dengan Demokrasi Terpimpin. ͷͶIbid., ǤͶͺǤ ဓ¡£¡¤¡ၼၽ RANGKUMAN Demokrasi Parlementer adalah sistem pemerintahan yang demokratis di antara sistem politik yang pernah berlaku di Indonesia. Hal ini ditandai dengan munculnya kekuatan sipil yang direpresentasikan dengan dominasi partai-partai politik dalam memimpin kabinetkabinet yang ada. Selain itu, kebebasan, kejujuran dan integritas pribadi yang baik yang dimiliki anggota-anggota partai politik pada waktu, memungkinkan mekanisme Demokrasi berjalan dengan baik, meskipun ada sedikit kerikil-kerikil tajam yang menghadang. Namun yang perlu diacungi jempol adalah kelegowoan (keikhlasan:lapang dada) setiap penguasa pada waktu itu manakala harus lengser (mundur), karena kabinetnya jatuh. Demokrasi yang begitu bebas menjadikan sistem politik pada waktu itu tidak stabil, sehingga memudahkan jatuhnya kabinet-kabinet dan akhirnya tidak berumur panjang. Pada masa Demokrasi Parlementer, koalisi telah terbangun dengan baik meskipun koalisi tersebut masih rapuh. Hal ini telah menunjukkan kebhinnekaan tunggal ika, majemukan atau “multicultural”55 dalam masyarakat Indonesia telah berjalan baik dari sisi ras, agama, budaya dan daerah. Yang cukup menonjol pada masa ini munculnya dominasi partai politik Islam yang ikut mewarnai system politik tersebut dengan beberapa kali memegang Kabinet. Di antaranya Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman dan Kabinet Burhanuddin Harahab serta menduduki posisi pertama dalam perolehan kursi di DPR pada pemilu pertama 1955. Selain itu, di penghujung akhir Demokrasi Parlementer dalam Kabinet Ali II, partai Islam seperti Masyumi, NU, PSII dan Perti mendominasi pentas politik nasional. Pada masa ini, Presiden, Militer dan PKI tidak dilibatkan dan Soekarno hanya sebagai tukang stempel, sehingga Soekarno merasa bahwa Demokrasi Barat ini tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Untuk itulah pada akhirnya Soekarno mengeluarkan konsepsi agar menuju ke Demokrasi Terpimpin. ͷͷǡNatsir Politik SantunǡǤͻ͵Ǥ ၼၾ¤£ BAB IV DEMOKRASI TERPIMPIN Setelah Pemerintahan Kabinet Ali II (Demokrasi Parlementer) Demisioner dan sebelum memasuki Demokrasi Terpimpin, terbentuklah sebuah kabinet transisi, yaitu Kabinet Juanda yang disebut Kabinet Ekstra Parlementer 1(Kabinet di luar parlemen, tanpa melihat jumlah kursi di parlemen). Kabinet ini dipimpin Ir. Juanda sebagai Perdana Menteri yang memerintah sejak Tanggal 9 April 1957 – 10 Juli 1959. Tidak seperti kabinet-kabinet sebelumnya, kabinet ini hanya menggandeng tujuh partai politik, antara lain PNI, NU, Parkindo, PSII, BTI, IPKI, SKI dan Non Partai. Anggota kabinet lebih banyak berasal dari non partai. Sedangkan Masyumi, Perti dan PKI dalam kabinet ini tidak dilibatkan. Programnya antara lain membentuk dewan nasional, normalisasi keadaan RI, melanjutkan pembatalan KMB, perjuangan Irian Barat dan mempergiat pembangunan. Tantangan yang dihadapi kabinet ini adalah: a) Peristiwa Cikini. b) Pemberontakan PRRI-PERMESTA (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia-Perjuangan Semesta). c) Pertentangan tajam di tubuh Dewan Konstituante. ͳǡPerkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia, ȋǣ ǡͳͻͺͷȌǡǤͳͺͻǤ ဓ¡£¡ၼၿ Jatuhnya Kabinet Juanda merupakan awal munculnya Demokrasi Terpimpin yang didahului dengan adanya Dekrit Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959 yang isinya agar kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dan meninggalkan UUDS’50. Dewan Konstituante yang sedang bekerja merampungkan tugasnya dibubarkan, karena Soekarno menganggap Dewan Konstituante tak mampu bekerja padahal Dewan Konstituante telah merampungkan tugasnya 90 % dan anggota Dewan telah mendapat kesepakatan untuk kembali ke UUD 45 serta mengakui Pancasila sebagai Dasar Negara. Dengan dibubarkannya Dewan Konstituante, maka berakhirlah Demokrasi Parlementer dan munculah Pemerintahan dengan Sistem Demokrasi Terpimpin yang telah diimpikan Soekarno dalam konsepsinya, karena Demokrasi Parlementer dianggap Soekarno Demokrasi Barat yang tidak cocok dengan Negara Indonesia. Memasuki Pemerintahan Demokrasi Terpimpin, Partai Masyumi sengaja tidak dilibatkan Soekarno, sehingga partai yang mewakili umat Islam adalah Nahdlatul Ulama (NU), Perti dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), meskipun hasil pemilu pada Tahun 1955, peta kekuatan politik di Indonesia menunjukkan Partai Masyumi adalah salah satu partai terbesar dan telah memiliki reputasi yang signifikan. Pada bab ini akan dijelaskan tentang munculnya gagasan Demokrasi Terpimpin, pembubaran Dewan Konstituante, Ketidakikutsertaan Masyumi dalam Pemerintahan Soekarno dan keterlibatan NU dalam Pemerintahan Soekarno. A. Munculnya Gagasan Demokrasi Terpimpin Ketidaksenangan Soekarno tehadap Demokrasi Barat yang ditandai dengan muculnya partai-partai politik sebagai pertanda demokratisasi mulai tampak, ketika bulan Oktober 1956 melalui peringatan Sumpah Pemuda, Soekarno mengecam keputusan pemerintah yang membuka peluang bagi pembentukan partai-partai politik2. ʹǡPartai Islam di Pentas Nasional, (ǣ ϐǡͳͻͺȌǡǤ͵ͷͳǤ ၼႀ¤£ Soekarno melihat bahwa penerapan Demokrasi Barat kurang tepat untuk negara Indonesia. Untuk itu, Soekarno mempunyai pemikiran lain untuk menerapkan Demokrasi yang cocok untuk Indonesia, karena selama ini Soekarno sebagai Presiden tidak dilibatkan dalam pemerintahan, sehingga perannya tidak terlihat dalam masyarakat. Pada tanggal 27 Januari 1957 di Bandung3, Soekarno mengungkapkan keinginannya untuk mencampuri urusan pemerintahan sebelum hasil kerja Dewan Konstituante dapat direalisir, sehingga pada Tanggal 16 Februari 1957 Soekarno mengundang para pemimpin partai politik ke Istana Negara dan mengatakan bahwa perlunya dibentuk Dewan Nasional yang akan membantu kabinet4. Seiring dengan itu pada Tanggal 21 Februari 1957 Soekarno mengutarakan konsepsinya yang dikenal dengan nama “Konsepsi Presiden”5 di hadapan para anggota Kabinet, pemimpin partai dan ABRI. Adapun isi konsepsi tersebut adalah: 1) Sistem Demokrasi Parlementer tidak cocok, harus diganti dengan Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Parlementer dianggap sebagai demokrasi barat dan tidak memberi peluang kepada Presiden untuk aktif menetukan penyelenggaraan Negara. Selain itu, stabilitas system politik sering terganggu dengan jatuhnya kabinet-kabinet pada masa itu. 2) Untuk melaksanakan Demokrasi Terpimpin harus dibentuk Kabinet Gotong Royong yang diawali dengan adanya “Kabinet Kaki Empat” (PNI, Masyumi, NU dan PKI). Kabinet empat kaki ini adalah partai- partai yang memenangkan pemilu pertama kali pada tahun 1955 dan memperoleh suara terbanyak. Di sini kesannya Presiden Soekarno tidak ingin meninggalkan Partai Komunis Indonesia (PKI), karena pada saat Kabinet Ali II dibentuk setelah pemilu 1955, PKI sengaja ͵Ibid., Ǥ͵ͷʹǤ ͶIbid., Ǥ͵ͷʹǤ ͷǡPerkembangan Kabinet ǡǤͳͺǤ ဓ¡£¡ၼႁ tidak dilibatkan dalam kabinet. Jadi yang memerintah pada waktu itu PNI, Masyumi dan NU, sehingga kabinetnya juga disebut sebagai Kabinet Ali-Roem-Idham (PNI-Masyumi-NU). Hal ini menunjukkan bahwa PKI mulai mempengaruhi Presiden Soekarno. Namun setelah Demokrasi Terpimpin di tangan Presiden, ternyata Masyumi tidak dilibatkan lagi sesuai dengan janjinya. 3) Pembentukan Dewan Nasional yang beranggotakan golongan fungsional sebagai penasehat Presiden. Dalam Dewan Nasional , terdiri dari beberapa unsur, termasuk Militer di dalamnya. Di sini, Soekarno mulai merangkul dan melibatkan Militer. Konsepsi tersebut ditentang oleh Natsir dari Masyumi dan Kyai Dahlan, Imron Rosjadi dari NU6, terutama masalah penguburan partai-partai. Menurut Kyai Dahlan dan Imron Rasjadi, penguburan partai-partai akan menimbulkan kediktaturan dan tidak sesuai dengan Islam. Natsir sendiri mengatakan bahwa selama kebebasan partai masih ada, selama itu demokrasi masih ditegakkan. Apabila partaipartai politik dikubur, maka di atas kuburan itu hanyalah diktatur yang akan memerintah. Selanjutnya Natsir7 mengatakan bahwa “demokrasi tidak terhidangkan di atas talam emas” dan partai politik adalah alat untuk mencapai demokrasi & dengan jujur menegakkan nilai-nilai yang berharga dalam kehidupan, bukan sebaliknya, alat-alat itu dijadikan tujuan dengan menginjak-nilai-nilai hidup. Khususnya PKI (Komunisme), tampaknya Soekarno mulai memberi angin, Sehingga dikritik oleh Natsir8 (Masyumi) dalam artikel dan disebarkan melalui Departemen Penerangan Masyumi. Isinya, Natsir membandingkan antara agama dengan komunisme, bagaikan air dengan minyak yang tidak mungkin dapat disatukan, ǡPartai IslamǡǤ͵ͷ͵Ǧ͵ͷͶǤ Ibid., Ǥ͵ͷͶǤ ͺIbid., Ǥ͵ͷͻǤ ၽၸ¤£ meskipun digodok dan diaduk-aduk. Selain itu Natsir (Masyumi) mengingatkan masyarakat agar waspada terhadap tawaran kerjasama dari pihak komunis atau diistilahkan “ menyodorkan tangan”9 yang palsu dari Komunis Akhirnya pada Tanggal 2 Maret 195710, lima partai, yaitu Masyumi, NU, PSII, Katholik dan PRI mengeluarkan suatu pernyataan bersama yang menolak konsepsi Soekarno dan sebelum itu pada Tanggal 28 Pebruari 1957 para Ulama di Makassar mengeluarkan fatwa yang melarang PKI berpartisipasi dalam kabinet. Meskipun Masyumi dan partai-partai lainnya tidak menyetujui konsepsi Presiden Soekarno, tetapi Soekarno terus berjalan menentang arus dan pada Tanggal 14 Maret 1957, dikeluarkan UU tentang Keadaan Bahaya serta membentuk Kabinet Juanda yang memerintah dari Tanggal 9 April 1957 – 10 Juli 1959, tanpa mengikutsertakan Masyumi di dalamnya (kabinet ini telah dijelaskan di atas). Ternyata hasrat ingin berkuasa Presiden tetap diteruskan, karena setelah Presiden mencetuskan konsepsinya dan membentuk Kabinet Juanda, maka Tanggal 5 Juli 195911 turunlah Dekrit Presiden dan system pemerintahan beralih ke tangan Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya. B. Pembubaran Dewan KonsƟtuante Anggota-anggota Dewan Konstituante hasil pemilu pertama Tanggal 15 Desember 1955. Lembaga tersebut beranggotakan sebanyak 543 terdiri dari 40 fraksi12. Berikut ini perolehan suara terbanyak dari 4 partai yang terbanyak. ͻ ǡ Natsir Politik Santun di antara Dua Rezim,ȋǣ ǡ ʹͲͳͳȌǡǤʹǤ ͳͲIbid., Ǥ͵ͲǤ ͳͳǡPerkembangan Kabinet, ǤʹͲͳǤ ͳʹIbid.,ǡǤͳ͵Ǥ ဓ¡£¡ၽၹ Tabel 4.1. Empat Besar Partai Hasil Pemilu Dewan Konstituante NO 1 2 3 4 NAMA PARTAI PNI Masyumi Partai NU PKI JUMLAH KURSI 118 kursi 113 kursi 91 kursi 59 kursi Sumber: Bibit Suprapto, Perkembangan Kebinet dan Pemerintahan di Indonesia Anggota dan pengurus dilantik pada Tanggal 10 Nopember 1956 oleh Soekarno. Adapun susunan kepengurusannya adalah sebagai berikut13: Tabel 4.2. Susunan Pengurus Dewan Konstituante NO 1 2 3 4 5 6 JABATAN Ketua Wakil Ketua I Wakil Ketua II Wakil Ketua III Wakil Ketua IV Wakil Ketua V NAMA Mr. Wilopo Prawoto Mangunsarkoro KH. R. Fatchur Rohman Kafrawi Dr. J. Leimena Ir. Sukiman Hj. Ratu Aminah Hidayah ASAL PARTAI PNI Masyumi NU Parkindo PKI IPKI Sumber: Bibit Suprapto, Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia. Tugas Dewan Konstituante adalah membuat Undang-Undang Dasar (Konstitusi). Menurut Bibit14. Turunnya Dekrit Presiden, selain keinginan Soekarno dengan konsepsinya, juga mengulang tema lama yaitu “revolusi belum selesai”15 serta menganggap Dewan Konstituante gagal. Sedangkan A. Syafii Maarif 16 mengatakan sesungguhnya Soekarno tidak mau jadi “tukang stempel”, karena ͳ͵Ibid., Ǥͳ͵Ǥ ͳͶIbid., ǤʹͲͲǤ ͳͷǡNatsir Politik Santun, Ǥ͵Ǥ ͳǤϐǡIslam dan Politik di Indonesia, ǤͻͲǤ ၽၺ¤£ Dewan Konstituante sebenarnya telah merampungkan tugasnya 90 % dan kesepakatan untuk kembali ke UUD 1945 telah disepakati. Kegagalan yang dimaksud Soekarno ini diawali dengan perdebatan di dalam Dewan Konstituante yang di dalamnya terdapat tiga kelompok, yaitu: 1) Golongan Islam yang menghendaki Dasar Negara Islam. 2) Golongan Nasionalis yang mengehandaki Dasar Negara Pancasila. 3) Golongan Komunis yang menghendaki dasar Negara Komunis. Kelompok pertama diwakili oleh paryai Islam termasuk Masyumi, Kelompok kedua diwakili oleh pihak Nasionalis seperti PNI dan Kelompok ketiga diwakili oleh PKI serta beberapa partai lainnya. Menurut Adnan Buyung Nasution 17, ketika terjadi perbedaan pendapat, sebenarnya, Masyumi sudah tahu akan kalah, karena mereka tidak bisa mendapat dukungan dua pertiga suara di Konstituante, sehingga tidak ada gunanya memaksakan dasar Negara Islam, demikian pula kelompok yang menghendaki Pancasila, tetapi karena IPKI yang didukung PKI dan PNI membaoikot sidang, sehingga sidang tidak memenuhi kuorum. Hal inilah yang menyebabkan Konstituante dianggap gagal. Alasan partai Islam mengusulkan dasar Negara Islam, sebagaimana yang dituturkan Natsir (Masyumi) di bawah ini18: “Dewan Konstituante adalah tempat yang dijanjikan oleh Proklamasi. Jika keadaan Negara sudah aman, akan dibentuk Konstituante sebagai tempat perjuangan menentukan dasar negara. Bagi mereka Konstituante sekedar tempat perjuangan, bukan tempat mendirikan Negara Islam seperti yang tuduhan militer atau para lawan politik. Natsir mengatakan, Kami memperjuangkan dasar Negara Islam secara demokratis di lembaga ͳ ǡNatsir Politik Santun, ǤͺʹǤ ͳͺIbid., ǤͻǤ ဓ¡£¡ၽၻ demokrasi, tetapi kalau mayoritas rakyat tidak menghendaki, ya kami akan mengalah”. Akhirnya nasib Dewan Konstituante berakhir dengan turunnya Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959. Adapun isi sebagian Dekrit Presiden adalah sebagai berikut 19: KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG Menetapkan pembubaran konstotuante. Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini dan tidak berlakunya lagi UndangUndang Dasar Sementara. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta membentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Ditetapkan di Jakarta Pada Tanggal 5 Juli 1959 Atas nama Rakyat Indonesia Presiden Republik Indonesia/ Panglima Tertinggi Angkatan Perang ttd SOEKARNO ͳͻǡPerkembangan Kabinet, ǤʹͲ͵Ǥ ၽၼ¤£ Dengan demikian, kesimpulan isi Dekrit Presiden adalah sebagai berikut: 1) Pembubaran Konstituante, 2) Tidak berlakunya UUDS’50. 3) Berlakunya kembali UUD 1945. 4) Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang singkat. C. Beberapa Kabinet di masa Demokrasi Terpimpin Pada masa Demokrasi Terpimpin, terdapat beberapa kabinet yang bekerja antara lain: a) Kabinet Kerja I (10 Juli 1959-18 Pebruari 1960) Pimpinan Kabinet adalah Presiden Sekarno sekaligus sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Para Menteri yang ditunjuk berasal dari Non Partai dan jumlahnya banyak sekali. Program kabinet ini meliputi: • Pemenuhan sandang-pangan rakyat dalam waktu yang singkat. • Menyelenggarakan keamanan rakyat dan Negara. • Menentang perjuangan imperialism ekonomi dan politik. Dalam kabinet ini muncul pidato Presiden yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada Tanggal 17 Agustus 1959 dikenal dengan nama MANIPOL (Manifesto Politik Republik Indonesia)20 atau MANIPOL USDEK. Akhirnya pidato tersebut pada Tanggal 19 Nopember 1960 ditetapkan oleh MPRS No. 1/MPRS/1960 sebagai Garis-Garis Haluan Negara (GBHN) atas usulan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS)21. Inti dari Manipol tersebut ada lima22: ʹͲIbid., ǤʹͳͲǤ ʹͳIbid., ǤʹͳͲǤǡPartai Islam, Ǥ͵ͺǤ ʹʹIbid., ǤʹͳͲǦʹͳͳǤ ဓ¡£¡ၽၽ 1. 2. 3. 4. 5. U S D E K = UUD 1945 = Sosialisme Indonesia = Demokrasi Terpimpin = Ekonomi Terpimpin = Kepribadian Indonesia Menurut Bibit, dengan ditetapkannya Manifesto sebagai GBHN dan pada akhirnya semua pidato Kenegaraan Presiden dikukuhkan oleh Tap MPRS maka hal ini menunjukkan Demokrasi Terpimpin telah dipraktekkan. Selanjutnya Bibit mengatakan bahwa seharusnya dalam UUD 1945 MPR adalah sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan berkedaulatan rakyat, sedangkan Presiden adalah Mandataris, tapi tampaknya justru sebaliknya, justru MPR mengekor pada Presiden. Dengan demikian, hal ini telah menyalahi UUD 1945. Berakhirnya kabinet ini disebabkan adanya reshuffle kabinet. b) Kabinet Kerja II (18 Pebruari 1960- 6 Maret 1962) Kabinet Kerja II adalah hasil Reshuffle Kabinet I yang memerintah sejak Tanggal 18 Pebruari 1960 - 6 Maret1962. Serupa dengan Kabinet I, Pimpinan Kabinet ini adalah Presiden sendiri dan Menterimenterinya berasal dan Non Partai. Pada masa ini, DPR hasil Pemilu 1955 dibubarkan pada Tanggal 5 Maret 1960 dengan alasan parlemen (DPR) menolak Rancangan Anggaran Belanja Negara (RABN)23, kemudian dibentuk DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) pada Tanggal 24 Juni 196024. Hal ini menunjukkan ketidakdemokrasian Soekarno dan Demokrasi Terpimpin benar-benar dipraktekkan, karena DPR sebagai lembaga kedaulatan rakyat, seharusnya pengangkatannya melalui pemilu-bukan dipilih. Dengan demikian, pengangkatan ini menyalahi UUD 1945. ʹ͵ǡPartai Islam, Ǥ͵Ǥ ʹͶIbid., ǤʹͳǤ ၽၾ¤£ DPRGR berjumlah 261 anggota25 terbagi atas 130 untuk partai, 35 untuk ABRI, 95 untuk Golongan Karya dan 1 Wakil Daerah (Irian Barat). Adapun partai- partai yang dilibatkan adalah sebagai berikut: a) PNI = 44 orang b) NU = 36 orang c) PKI = 30 orang d) PSII = 5 orang e) Katholik = 6 orang f) Kristen = 6 orang g) Perti = 2 orang h) Murba = 10 orang i) Parkindo = 1 orang Dalam keanggotaan DPRGR, partai Islam yang diajak hanya NU, PSII dan Perti. Sedangkan Masyumi sengaja tidak dilibatkan, menurut Deliar Noer26, Masyumi benar-benar diabaikan dan harus membuktikan bahwa Masyumi tidak terlibat dalam pemberontakan PRRI-Permesta. Namun akhirnya Masyumi dibubarkan pada Tanggal 17 Agustus 1960. Setelah bekerja selama kurang lebih dua tahun dan berhasil melaksanakan tugasnya seperti pengiriman Pasukan Garuda II untuk perdamaian dunia, terbentuknya Negara-negara Non Blok dan pembebasan Irian Barat dari cengkraman Belanda, maka pada Tanggal 6 Maret 1962, Soekarno mengadakan Reshuffle dengan istilah Regrouping cabinet. Dengan demikian, berakhirlah Kabinet Kerja II. ʹͷʹͳ ǡPerkembangan Kabinet, Ǥʹͳǡ ǡPartai Islam, Ǥ͵ǡ ʹͺ͵Ǥ ͳʹͻͳǡͳ͵Ͳ Ǥǡ ǡǤ ʹǡPartai IslamǡǤ͵ ဓ¡£¡ၽၿ c) Kabinet Kerja III ( 6 Maret 1962-13 Nopember 1963) Adanya Regrouping Cabinet Kerja II (Reshuffle) akhirnya melahirkan Kabinet III yang memerintah mulai tanggal 6 Maret 1962 – 13 Nopember 1963. Di dalam Kabinet III, Soekarno masih tetap sebagai pimpinan kabinet. Namun yang fenomenal yaitu pengangkatan Wakil-wakil Ketua MPRS dan DPRGR sebagai Menteri dan di dalamnya terdapat DN Aidit dan MH Lukman dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Pengangkatan Wakil-wakil Ketua MPRS dan DPRGR telah menyalahi UUD 1945. Hal ini menunjukkan bahwa MPRS dan DPRGR sebagai Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara dalam UUD 1945 telah terkooptasi oleh Eksekutif (Presiden) atau dengan kata lain menurut Deliar Noer,27 DPRGR dan MPRS merupakan “stempel” bagi semua pemikiran, gagasan dan keinginan Soekarno. Presiden yang mestinya di bawah MPR, tetapi justru sebaliknya. Demikian pula dengan DPRGR yang seharusnya melakukan pengawasan terhadap Eksekutif (Presiden), tetapi justru menjadi bawahan Eksekutif, sehingga pengawasan dan pengontrolan akan sulit dilakukan oleh Lembaga Legislatif (DPRGR) terhadap Eksekutif. Selain itu, berkaitan dengan PKI, menurut Bibit28, masuknya PKI ke dalam kabinet ini pada akhirnya membahayakan Negara dan mengakibatkan Soekarno melahirkan ide NASAKOM (NasionalAgama-Komunis). Di sini menunjukkan bahwa ideology Komunis mulai mempengaruhi system politik yang ada. Kesalahan fatal yang dibuat secara kolektif di bawah kepemimpinan Soekarno dalam cabinet ini adalah MPRS mengeluarkan Ketetapan (Tap) MPRS Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Presiden Seumur Hidup Keberhasilan kabinet ini dapat memulihkan keamanan dengan menyelesaikan kasus Irian Barat dan pemberontakan yang dilakukan Kartosuwiryo di Jawa Barat, Ibnu Hajar di Kalimantan, Daud Beureuh 4) Kabinet Kerja IV (13 Nopember 1963-27 Agustus 1964) Kabinet IV ini hasil Reshuffle dari Kabinet III. Posisi dalam kabinet ini sebanyak 66 jabatan, tetapi dijabat oleh 59 orang, karena ada yang merangkap jabatan sampai empat jabatan. Kabinet ini berlangsung dari Tanggal 13 Nopember 1963 sampai dengan Tanggal 27 Agustus 1964. Jadi umurnya hanya setahun dan kabinet ini tetap dipimpin Soekarno. Meskipun telah beralih ke UUD 1945 yang mengatakan system pemerintahan Indonesia Presidensial, tapi pimpinan kabinet sejak Demokrasi Terpimpin disebut Perdana Menteri. Sama halnya dengan kabinet sebelumnya, dalam kabinet ini, Ketua MPRS disamakan dengan Wakil Perdana Menteri dan Wakil Ketua MPRS disamakan dengan Menteri Koordinator. Jadi kesimpulannya, Lembaga MPRS sebagai Lembaga Tertinggi Negara tidak berada di atas Presiden, tetapi di bawah Presiden, karena Presiden ingin menjadi penguasa tunggal dengan menerapkan Demokrasi Terpimpinnya. Demikian pula memperlakukan Lembaga Tinggi seperti DPAS dan DPRGR. Program kerja yang dicanangkan dalam kabinet ini adalah masalah sandang pangan, pengganyangan Malaysia dan melanjutkan pembangunan. Menurut Bibit,29 kabinet ini juga mengakomodir PKI dengan masuknya DN. Aidit, MH Lukman dan Umar Dhani. Dengan ʹIbid., Ǥ͵ͺǤ ʹͺǡPerkembangan Kabinet, ǤʹʹͺǤ ʹͻIbid., ǤʹͶͺǤ ၽႀ¤£ di Aceh dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Selain itu dapat menyelenggarakan ASEAN GAMES IV dan GANEFO (Games of the New Emerging Forces). Tampaknya Soekarno senang melakukan perubahan-perubahan cabinet atau Regrouping Cabinet (reshuffle). Terbukti di Kabinet Kerja II dan III juga dilakukan reshuffle, sehingga Kabinet Kerja III harus demisioner. Kemungkinan hal ini untuk mendapatkan penyegaran kembali kabinet yang lama. ဓ¡£¡ၽႁ demikian, menunjukkan PKI sedang berusaha menjadikan negeri ini sebagai Negara Komunis dengan mengadakan pendekatan dengan Bung Karno. Selain itu, masih menurut Bibit, bahwa konfrontasi Indonesia - Malaysia dan aksi-aksi sepihak PKI di daerah pada masa Kabinet ini adalah prolog kegiatan kudeta PKI terhadap Negara Pancasila. Di sini telah terlihat perjuangan yang bersifat ideologis dari PKI. Kabinet Kerja IV hanya berumur Sembilan bulan dan berakhir pada Tanggal 27 Agustus 1964, karena adanya Regrouping Cabinet (reshuffle). D. KeƟdakikutsertaan Masyumi dalam Pemerintahan Soekarno Pada masa Demokrasi Terpimpin partai Islam yang terbesar dan memiliki reputasi yang baik adalah Partai Masyumi sampai pada pemilu tahun 1955, Masyumi masih menduduki posisi ranking kedua setelah PNI, tetapi perolehan kursi, justru Masyumi menduduki posisi pertama. Masyumi pernah beberapa kali memegang posisi Perdana Menteri dalam Demokrasi Parlementer, yaitu pada Kabinet Natsir (Masyumi), Kabinet Sukiman (Masyumi), Kabinet Burhanuddin Harahab (Masyumi) dan Kabinet Ali I (PNI-Masyumi_NU). Selain itu, Masyumi ikut memikirkan situasi dan kondisi Negara dengan memberikan sumbangan-sumbangan, pemikiran-pemikiran, masukan-masukan dan kritik-kritik meskipun ketika dalam memberikan masukan-masukan dan kritikan-kritikan seringkali berbeda dengan penguasa pada waktu. Dalam Demokrasi Terpimpin, Masyumi tidak ambil bagian karena sejak awal Masyumi telah menolak “Konsepsi Soekarno tentang Kabinet Gotong Royong dan pembentukan Dewan Nasional yang dikemukakan pada tanggal 21 Februari 1957”30. ͵ͲǡPartai Islam, Ǥ͵ͷʹǦ͵ͷ͵Ǥ ၾၸ¤£ Selain itu ada kesengajaan Soekarno untuk menempatkan Islam (Masyumi) di luar pemerintahan karena pada saat akan membentuk kabinet Juanda (1957), Suwirjo sebagai ketua formatur mengatakan bahwa tidak mungkin mengajak Masyumi turun ke dalam kabinet dalam rangka tugas yang diberikan oleh Presiden kepadanya dan PKI juga menuntut agar tidak melibatkan Masyumi ke dalam kabinet31. Meskipun Suwirjo telah mendapatkan kepercayaan dari Presiden tetapi Suwirjo gagal membentuk kabinet, karena partai-partai lain menolak pihak Komunis dilibatkan. Kegagalan ini memberikan kesempatan kepada Soekarno untuk merealisasikan ide pembentukan zaken cabinet yang dinilai Masyumi sebagai penyimpangan terhadap Undang Undang Dasar 1945. Konflik Soekarno dengan Natsir (Masyumi) sebenarnya telah dimulai sejak Soekarno menerapkan Sistem Pemerintahan menuju Demokrasi Terpimpin dan hal ini telah disinggung di atas. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa konflik Soekarno dengan Masyumi berkisar pada: a. b. Munculnya konsepsi Presiden Soekarno tentang Demokrasi Terpimpin, Pembentukan Kabinet Gotong Royong dan Pembentukan Dewan Nasional. Konsepsi ini muncul, karena Soekarno menganggap Demokrasi Parlementer adalah Demokrasi Barat dan tidak sesuai dengan Timur (Indonesia). Sedangkan Natsir (Masyumi) mengatakan bahwa “demokrasi sejati, di manapun asal tumbuhnya, telah menjadi satu pengertian universal yang tidak mengenal Timur maupun Barat…”32. Keinginan Soekarno untuk memberangus partai-partai politik. Menurut Natsir33, Selama demokrasi itu ada, selama itu pula partai-partai terus ada. Salah satu syarat demokrasi ͵ͳIbid., Ǥ͵ͳǤ ͵ʹIbid., Ǥ͵ͷͺǤ ͵͵Ibid., Ǥ͵ͷͶ͵ͷͻǤ ဓ¡£¡ၾၹ c. d. e. adalah partai sebagai alat untuk dengan jujur menegakkan nilai-nilai yang berharga dalam hidup. Jangan alat-alat itu dijadikan tujuan dengan menginjak nilai-nilai hidup. Sekali lagi Natsir mengatakan bahwa tidak ada demokrasi dalam suatu gleichschaltung-keadaan yang tidak mengizinkan orang berbeda pendapat atau mengeluarkan pendapat yang berbeda dengan penguasa. Natsir melihat toleransi terhadap pendapat orang lain sebagai sifat esensial dari demokrasi yang sesungguhnya. Keikutsertaan dan Pengaruh PKI terhadap Soekarno. Dalam suatu artikel, Natsir membandingkan antara Agama dengan Komunisme dan mengingatkan masyarakat akan tawaran kerjasama dari pihak Komunisme34. Menurut Natsir yang pada waktu itu sebagai Ketua Masyumi, bahwa “Inti kekuasaan yang dilancarkan Komunisme bersifat kediktaturan, mana yang menghalangi, harus disingkirkan, kalau perlu dengan jalan membunuh dan Komunisme bertentangan dengan Demokrasi”35. Di sini menunjukan telah terjadi pergulatan ideology antara Islam yang diwakili Natsir (Masyumi) dengan Komunisme yang nota bene dibela Soekarno. Pembubaran Dewan Konstituante. Sebagai lembaga yang dipilih secara demokratis, pembubaran ini dianggap tidak menyalahi UUD 1945, mestinya Soekarno dapat memberikan kesempatan Dewan Konstituante bekerja, menyelesaikan tugasnya. Masyumi dianggap terlibat dalam kasus PRRI-Permesta. Secara organisatoris sebenarnya Masyumi tidak terlibat dalam PRRI36. Awalnya daerah-daerah bergolak karena tidak sepaham dengan kebijakan Soekarno seperti Sumatera ͵ͶIbid., Ǥ͵ͷͻǤ ͵ͷIbid., Ǥ͵ͲǤ ͵Ibid., Ǥ͵ͺͷǤ ၾၺ¤£ Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan yang merupakan kantong-kantong suara Masyumi, Namun pada akhirnya beberapa pemimpin Masyumi berpihak pada PRRI seperti Natsir, Burhanuddin Harahab dan Syafruddin Prawiranegara. Masyumi sendiri setelah ditinggal Natsir, di bawah kepemimpinan Prawoto, menganggap bahwa sebenarnya Pemerintah Pusat (Soekarno) dan PRRI menyalahi/melanggar UUD 1945. Oleh sebab itu keduanya harus kembali mematuhi UUD 1945.37 Sikap semacam ini dari Masyumi, di mata Pemerintah Pusat, dianggap sikap yang tidak jelas. Konflik Soekarno dengan Masyumi berakhir dengan turunnya Penpres No. 7/1959 tentang Sistem Kepartaian dan Penyederhanaan Sistem. Menurut Deliar Noer, Penpres ini tampaknya ditujukan untuk Masyumi dan PSI, karena terdapat pasal yang menyatakan bahwa dapat melarang dan membubarkan partai yang sedang melakukan pemberontakan karena pemimpin-pemimpinnya turut dalam pemberontakan atau jelas memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya. Hal ini memang benar-benar ditujukan terutama kepada Mayumi, karena pimpinan Masyumi pada waktu itu tidak bersedia terang-terangan menyalahkan Natsir, Burhanuddin dan Syafrudin Prawiranegara yang dianggap membantu pemberontak oleh PRRI. Kemudian Tanggal 17 Agustus 1960, Masyumi dibubarkan oleh Soekarno. Ketidakikutsertaan Masyumi bukan berarti umat Islam tidak terlibat dalam Demokrasi Terpimpin, karena Presiden Soekarno masih merangkul Partai Islam seperti NU, PSII, dan Perti ikut ke dalam barisannya. Meski- ͵Ibid., Ǥ͵ͻǤ ဓ¡£¡ၾၻ pun begitu peranan umat Islam pada masa ini tidak menonjol sebagaimana Masyumi pada masa Demokrasi Parlementer. E. Keterlibatan NU, PSII dan PerƟ dalam Pemerintahan Soekarno E.1. Nahdlatul Ulama (NU) Memasuki Sistem Pemerintahan Demokrasi Terpimpin, Masyumi tidak lagi diajak Soekarno, karena berseberangan pemahaman, demikian pula Masyumi juga praktis aspirasi umat Islam diwakili oleh NU sebagai partai terbesar kedua setelah Masyumi. Selain itu ada PSII dan Perti. Sebelum Dewan Konstituante di bubarkan, sebenarnya Masyumi, NU, PSII dan Perti sebagai partai yang berideology sama yaitu Islam, memiliki kesepahaman yang kompak untuk mempertahan dasar Ideologi Islam (NU ingin agar katan syariat Islam dikembalikan lagi dalam Sila 1 Pancasila), tetapi tampaknya menurut Deliar Noer38, paham NU, PSII dan Perti tentang “ideology dan praktek politik” berbeda, karena ketika dalam Dewan Konstituante, ketiga partai tersebut sepaham dengan Masyumi untuk mempertahankan Islam sebagai dasar Negara, tetapi ketika diajak Soekarno dalam Kabinet Juanda (1957), ketiga partai tersebut bersedia masuk bergabung dengan Soekarno, sehingga lupa akan ikrar mereka dengan Masyumi, Katholik, Parkindo dan PRI yang akan menolak konsepsi Soekarno. Tampaknya NU, PSII dan Perti masih bisa diajak oleh Soekarno dalam Demokrasi Terpimpin dan dianggap sepaham, karena NU, PSII dan Perti dapat menerima pemikiran dan gagasan Soekarno atau dengan kata lain, NU, PSII dan Perti mampu melakukan “politik akomodatif ”39, meskipun awalnya ragu-ragu dan canggung, tapi lama kelamaan terbiasa juga. ͵ͺIbid., Ǥ͵ͻͳ ͵ͻIbid,. Ǥ͵ͺͺǤ ၾၼ¤£ Keterlibatan NU ke dalam pemerintahan Soekarno bukan tidak berdasar karena menurut Saifuddin Zuhri, keikutsertaan NU didasarkan pada “logika pesantren”40 (Apa yang tidak dapat tercapai 100% janganlah ditinggalkan hasil yang hanya sebagian). Dasar pertimbangan dengan Logika Pesantren ini tidak bisa dilepaskan dari peran KH. Wahab. Tergesernya Partai Masjumi, justru memberi peluang kepada NU, PSII dan Perti untuk digandeng oleh Soekarno dalam pemerintahannya, meskipun di antara pengurus partai mengatakan bahwa bukan partai sebagai institusi yang masuk, tetapi individu--individu dari partai. Walaupun demikian, dapat dikatakan ketiga partai inilah yang menjadi wakil umat Islam pada masa itu. Meskipun Pemerintahan Sistem Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno dianggap Masyumi sebagai pemerintahan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan ada yang menganggap bahwa Demokrasi Terpimpin adalah “berwajah demokrasi minus demokrasi “41, tetapi tidak mengurungkan niat partai-partai Islam untuk bergabung. Demikian pula NU, tekadnya sudah bulat dan keterlibatannya bukan tidak berdasar, logika pesantrenlah yang dijadikan pijakan. Selain itu, Achmad Sjaichu, salah satu pengurus partai, mengatakan bahwa umat Islam melakukan dua macam ijtihat yang hasilnya ikut dalam sistem pemerintahan Soekarno atau menolak. Ternyata pilihan hasil ijtihat yang pertama yang menuntun NU untuk bergabung dengan Pemerintahan Soekarno. Hal ini diperkuat lagi dengan pernyataan Idham Chalid bahwa keputusan untuk ikut dalam pemerintahan Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno adalah keputusan yang dilandasi agama. Dengan pernyataan-pernyataan tersebut, NU ingin menyatakan bahwa keterlibatan mereka untuk kemaslahatan umat dan memiliki dasar pemikiran. Meskipun peran NU dalam Demokrasi Terpimpin bisa dikatakan menggatikan posisi Masjumi, tetapi realitanya berbeda, karena posisi ͶͲǤϐǡIslam dan PolitikǡǤͻͳ ͶͳIbid.,ǤͻͳǤ ဓ¡£¡ၾၽ politik yang disandang NU pada masa ini, terbatas hanya sebagai Wakil Perdana Menteri II pada Kabinet Juanda dan beberapa posisi lainnya sebagai Menteri--belum pernah menduduki posisi sebagai Perdana Menteri atau “orang pertama” dalam pemerintahan seperti Masjumi di masa Demokrasi Parlementer. Berikut perbandingan, dapat dilihat NU dalam posisi di beberapa kabinet yang dibentuk Soekarno. Dalam Kabinet Djuanda (19571959), NU mendapat 4 posisi, yaitu Wakil Perdana Menteri II yang dipegang oleh K.H. Idham Chalid, Menteri Perdagangan oleh Prof. Sunardjo, Menteri Agama oleh K.H. M. Iljas dan Menteri Agraria oleh Sunarjo. Pada Kabinet Djuanda Reshuffle tahun 1958, NU ditambah satu posisi lagi yaitu Menteri Penghubung Sipil—Militer diserahkan kepada K.H. Wahib Wahab. Masuknya Wahib Wahab menambah ikatan yang kuat antara Soekarno dengan partai, karena Wahib Wahab adalah putra K.H. A. Wahab Hasbullah, ketua Rais am NU. Selain memperoleh tambahan satu posisi, posisi yang dipegang oleh Prof. Sunardjo tegeser dan digantikan oleh Rachmat Muljomiseno. Kabinet Presidensiil tahun 1959—1965, NU hanya mendapat 3 kursi, yaitu kursi Menteri Muda Agama dipegang oleh K.H. Wahib Wahab dan kursi Menteri Muda Penghubung Ulama dipegang oleh K.H. Fatah Jasin. Pada kabinet ini, tak satupun partai Islam yang diserahi posisi inti. Pada Kabinet Reshuffle, tahun 1960, posisi Menteri Agama diserahkan kepada K.H. Wahib wahab dan pada tahun 1962, digantikan oleh K.H. Saifuddin Zuhri. Pada tahun ini juga, Zainul Arifin dari NU sebagai DPRGR dan Idham Chalid sebagai Wakil Ketua II MPRS. Meskipun pada waktu itu, kedua lembaga itu hanya sebagai lembaga stempel. Kabinet tahun 1963, masih memasukkan K.H Saifuddin Zuhri sebagai Menteri Agama, K.H. Fatah Jasin sebagai Menteri Penghubung Alim Ulama, Idham Chalis ex officio dan Achmad Sjaichu sebagai Wajil Ketua DPRGR. ၾၾ¤£ Terakhir dari kabinet Demokrasi Terpimpin, NU masih diberi kursi, yaitu kepada Saifuddin Zuhri, K.H. Fatah Jasin, Idham Chalid dan Ahmad Sjaichu dengan posisi yang sama pada tahun 1963. Tampaknya tidak banyak yang dapat diharapkan dari posisi NU di kabinet, karena menurut Deliar Noer, posisi partai-partai Islam– pada masa ini melemah. Berbeda dengan partai-partai non Muslim justru menonjol.. Demikian pula peranan Partai Islam di Parlemen (MPRS) juga tidak cerah, sebagaimana tampak pada masa Demokrasi Parlementer. Hal ini wajar karena selain didominasi oleh partaipartai non Muslim dan Militer, juga Soekarno masih mendominasi dan posisi yang diberikan kepada partai—partai Islam bukan posisi strategis (inti). Keikutsertaan NU, PSII dan Perti ke dalam pemerintahan Soekarno merupakan pukulan berat bagi Masjumi, karena Masjumi kini sendirian dalam memperjuangkan demokrasi. Apalagi ketiga partai tersebut ikut hanyut dalam permainan politik Soekarno, maka masa ini menurut Deliar Noer42 merupakan permulaan dari lembaran gelap bagi umat Islam. E.2. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) Selain NU, pemain kedua lainnya dalam Demokrasi Terpimpin dari Partai Islam adalah PSII. Berikut ini terlihat keikutsertaannya PSII dalam beberapa kabinet bentukan Soekarno, meskipun tidak terlalu banyak dan dapat diharapkan tampil sebagaimana partai-partai Islam di Demokrasi Parlementer. Meskipun diketahui bahwa PSII adalah partai Islam pertama di Indonesia, tetapi sebagaimana dikatakan Deliar Noer, pada masa ini- politik partai Islam mulai redup. Pada Kabinet Djuanda (1957-1959), PSII hanya mendapat 1 kursi, yaitu Menteri Penerangan yang dipegang oleh Sudibjo. Sedangkan pada kabinet Reshuffle tahun 1958, kursi Partai ini masih tetap di posisi yang sama, juga orangnya. Dalam Kabinet Presidensiil ͶʹǡPartai Islam, Ǥ͵ͷ ဓ¡£¡ၾၿ (1959—1965), PSII masih tetap satu kursi yang diserahkan kepada Sudibyo dengan posisi Menteri Muda untuk Memobilisasi Kekuatan Rakyat. Pada Reshuffle tahun 1960, posisi yang diterima partai ini masih tetap, baik orang, maupun posisinya, hanya berganti nama menjadi Menteri Pengerahan Tenaga Massa dan tahun 1962, berganti nama menjadi Kementerian Penghubung dengan organisasi-organisasi rakyat yang masih juga dipercayakan kepada Sudibyo. Selain itu, Arudji Kartawinata juga mendapat posisi Wakil Ketua II DPRGR. Reshuffle tahun 1963, Sudibyo diangkat sebagai Menteri / Sekretais Jenderal Front Nasional dan Arudji Kartawinata sebagai ex officio. Terakhir dalam kabinet Demokrasi Terpimpin, posisi dari partai ini tetap, yaitu Sudibyo dan Arudji Kartawinata dalam posisi yang sama. Di Parlemen (MPRS), PSII mendapat 5 kursi. seimbang, jika dibandingkan dengan yang lain yang berjumlah 240 kursi. sehingga peran mereka dapat dikatakan tidak maksimal. Setelah melihat bagaiman peran atau keikutsertaan NU, PSII dan Perti, tampaknya Partai Islam belum mampu ikut mewarnai sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin, mengingat posisi-posisi yang diberikan tidak strategis dan kekuatan kelompok-kelompok nom Muslim lebih dominan. Meskipun pada masa ini partai-partai Islam kurang mendapat peran yang berarti, tetapi masih ada wakil partai Islam. Dalam kehidupan politik, kepentingan partai dan ambisi pribadi seringkali mengalahkan segalanya, sehingga dasar ideologi yang disandangnya tidak lagi menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan lebih mengutamakan kepentingan partai atau pribadi daripada umat secara keseluruhan. E.3. Partai Tarbiyah Indonesia (PerƟ) Partai Tarbiyah Indonesia (Perti), mulai aktif berperan pada masa Demokrasi Terpimpin dengan menduduki satu posisi: Menteri Negara pada kabinet Ali Sastroamidjojo II. Setelah Dekrit turun, nasibnya sama dengan Partai Nahdatul Ulama (NU) dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) bergabung dengan Pemerintahan Soekarno. Partai ini setia kepada Soekarno dan setuju dengan Manipol yang dilontarkan oleh Soekarno. Meskipun masih diakui oleh Soekarno tetapi belum tampak peran dan keikutsertaan dalam beberapa kabinet. Hanya tampak pada akhir masa Demokrasi Terpimpin di dalam Parlemen gabungan dengan mendapatkan posisi 2 kursi, NU sendiri 36 dan PSII hanya mendapat 5. Total semuanya hanya 43 (15,19%) kursi dari 283 kursi yang disediakan. Jumlah ini sangat kecil, jika dibandingkan dengan jumlah suara umat Islam pada hasil pemilu tahun 1955 sebanyak 115 kursi. Dengan komposisi ini menandakan bahwa kekuatan umat Islam tidak ၾႀ¤£ ဓ¡£¡ၾႁ RANGKUMAN Tampaknya pada masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno benarbenar menerapkan gagasannya tentang demokrasi dan menggandeng PKI dan Militer sebagai patnernya. Meskipun gagasan Soekarno mendapat tantangan dari umat Islam, khususnya Masyumi, tetapi Soekarno tetap pada pendiriannya. Pada masa ini, kekuatan Islam mulai redup, meskipun telah diwakili oleh NU, PSII dan Perti. Penampilan NU dalam Demokrasi Terpimpin bisa dikatakan menggantikan posisi Masyumi tetapi kenyataannya berbeda, karena posisi politik yang dipegang NU terbatas sebagai Menteri Agama dan belum pernah menduduki posisi sebagai Perdana Menteri atau “orang pertama dalam pemerintahan”43 seperti Masyumi. Meskipun demikian, kontribusi NU juga dapat dirasakan sampai sekarang, yaitu berjasa dalam pendirian IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta di bawah Departemen Agama yang dipimpin kalangan NU. Ͷ͵Ibid., ǤͳͲͲǤ ၿၸ¤£ BAB V DEMOKRASI PANCASILA A. Penumpasan G 30 S/PKI Gerakan 30 September atau yang sering disingkat, G-30S/PKI, atau Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), atau Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang awalnya dituduhkan kepada Dewan Jenderal namun selanjutnya dianggap sebagai upaya pemberontakkan oleh Partai Komunis Indonesia. Gerakan politik yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) sejak pembentukkannya merupakan fenomena tersendiri bagi sejarah politik Indonesia, bukan hanya karena PKI memiliki anggota yang banyak, organisasi yang terstruktur rapi, organisasi-organisasi pendukung yang sangat solid, PKI juga merupakan organisasi partai politik dengan hubungan komunikasi yang sangat luas dengan beberapa negara, hingga partai politik yang beberapa kali menjadi partai politik yang cukup diperhitungkan pada pemilihan umum pada masa Orde Lama ini menjadi lebih menarik ketimbang partai politik lain pada waktu itu. Beberapa kali melakukan percobaan pemberontakan, PKI masih terbentur dengan semangat kemerdekaan dan nasionalisme yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, namun demikian, upaya penguatan ဓ¡££ၿၹ organisasi terus dilakukan baik dengan mobilisasi kebawah yang dilakukan secara lebih intens, maupun loby-loby politik tingkat elit yang lebih kuat, hingga Soekarno memberikan perhatian yang lebih kepada PKI di banding kepada partai-partai politik lain. Upaya mobilisasi dan propaganda lebih dikuatkan dengan membentuk Serikat Buruh dan Pelayaran (SBPP) pada tahun 1950. Selanjutnya pada tahun 1951, PKI semakin gencar melakukan propaganda, terutama di kalangan wanita, petani, buruh, dan nelayan (kelolompok grass root). PKI di tangan D.N. Aidit menjadi lebih progresif disbanding ketika berada di bawah pimpinan Alimin.1 Upaya propaganda yang dilakukan Aidit dan PKI mendapat perlawanan yang cukup seimbang dari tentara, pada Oktober 1952, Jenderal A.H. Nasutiaon dan Jenderal S. Parman berusaha melakukan gerakan politik untuk mempengaruhi politik sipil dengan meminta Soekarno membentuk pemerintahan baru, namun ide ini di tolak secara tegas oleh Soekarno dan membuat A.H. Nasution dirumahkan dan tentara dipinggirkan dari kekuasaan politik dengan mengembalikan mereka pada tempat seharusnya, yaitu di barrak. Sikap pasif politik yang ditunjukkan tentara pada sat itu justru membuat Aidit mencoba mendekati tentara dengan membuat Biro Chusus yang di komandani Sjam Kamaruzzaman yang bertugas menangani tentara dengan melakukan propaganda dan mobilisasi secara terselubung, hingga pada pemilihan umum 1955 PKI menjadi salah satu dari empat besar partai politik pemenang pemilu, dan disinyalir 30% perolehan suara berasal dari tentara.2 Hal ini membuat A.H. Nasution khawatir dan mengeluarkan surat perintah KASAD No. PRIN-537/10/1956 yang melarang setiap anggota tentara untuk ikut dalam partai politik, karena bagi nasution, bila tentara sudah terlibat dalam partai politik hal tersebut dapat memecah belah bangsa.3 Dalam kurun waktu 1957 – 1958, PKI adalah kekuatan politik terbesar di Indonesia yang membuat resah beberapa negara lain yang masuk dalam kategori negara anti komunis seperti Amerika Serikat, karena itu kekuatan Internasional Amerika ikut bermain dengan melakukan propaganda dikalangan Angkatan darat yang diharapkan dapat menjadi kekuatan counter terhadap PKI. Pada era 195 – 1960, PKI sebagai partai massa terus membesar dan mengumandangkan propaganda Revolusi Agraria4 yang mendapatkan sambutan hangat dari massa grass root yang dimiliki. Pada era demokrasi terpimpin, dimana seluruh tampuk pimpinan organisasi-organisai pendukung pemerintahan diambil alih Soekarno yang tidak hanya menjadi penguasa politik, tetapi juga menjadi penguasa keamanan, beberapa kepentingan politik baik dari sipil maupun adari militer bermain disekeliling Soekarno yang sedang gencar mengumandangkan ideology Nasionalis Agama Komunis (Nasakom) sampai pada puncaknya di tahun 1963 Soekarno dikukuhkan sebagai presiden seumur hidup. Hiruk pikuk dan ketegangan dimulai ketika pada 23 Mei 1965, setelah isu Dewan Jenderal mulai merebak, muncul pula isu tentang adanya Dokumen Gilchrist, isu keterlibatan Amerika, Partai Komunis Indonesia (PKI) merayakan ulang tahun secara besar besaran dengan pengerahan massa lebih dari ratusan ribu anggotanya di Istora Senayan, hal ini menunjukkan bagaimana PKI ingin menunjukkan bagaimana besar massa yang dimilikinya, menurut Aidit, PKI memiliki 20 juta anggota di seluruh Indonesia.5 Isu Dewan Jenderal yang cukup meresahkan Soekarno ditentang dengan tegas oleh Jenderal Ahmad Yani, setelah Soekarno melakukan pemanggilan kepada para panglima ke Istana, ahmad yani menegaskan didepan para Panglima Komando daerah Militer (Pangkodam) bahwa ͳ ǡ The Missing Link G 30 S: Misteri Sjam Kamaruzzaman & Biro Chusus PKIǡȋǣǡʹͲͳͳȌǡǤͳͻ ʹǤǡǤʹͳ ͵Ǥ ͶǡMenyebrangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol’65 dan Upaya RekonsiliasiǡȋǣǡʹͲͲȌǡǤͶ ͷǤǡǤ͵ ၿၺ¤£ ဓ¡££ၿၻ Dewan Jenderal hanya sebuah isu dan propaganda politik kelompok tertentu. Ketika Soekarno dinyatakan sakit gejala stroke oleh tim dokter dari RRC pada agustus 1965, kondisi politik semakin memanas, Aidit melakukan koordinasi secara cepat dengan beberapa orang anggotanya untuk membicarakan kemungkinan melakukan gerakan militer sebagai antisipasi kemungkinan dilakukannya coup oleh Dewan Jenderal bila kondisi Soekarno memburuk.6 Mobilisasi dan koordinasi kekuatan militer yang berpihak pada PKI secara gencar dilakukan, hingga Aidit sudah menyiapkan pasukan untuk menjalankan rencana penculikan dan mengusahakan pengakuan dari beberapa jenderal yang dianggap terlibat dalam Dewan Jenderal tentang isu rencana kudeta yang mereka rencanakan untuk selanjutnya akan dilakukan pengadilan rakyat kepada mereka dengan tuduhan upaya penghianatan.7 Para jenderal yang menjadi target adalah; Jenderal A.H. nasution, Letjen Ahmad Yani, Mayjen S. Parman, Mayjen Suprapto, Mayjen MT. Harjono, Bigjen D.I. Panjaitan, Brigjen Sutojo Siswomiharjo, dan Brigjen Achmad Sukendro. Rencana Aidit mulai dilaksanakan pada tanggal 30 September malam dengan mengerahkan operasi Pasopati untuk menculik para jenderal yang menjadi target. Gerakan 30 September 1965/PKI merupakan puncak kejatuhan pemerintahan Orde Lama di bawah Presiden Soekarno. Kondisi sangat mencekam dan tumpuan terakhir pada waktu itu hanya ada pada militer, karena selain militer dianggap mampu menyelesaikannya, juga Soekarno telah dianggap terlibat dan melindungi perbuatan Partai Komunis Indonesia (PKI). Akhirnya dengan persenjataan dan perlengkapan yang dimiliki militer dan di bawah komando Letnan Jenderal Soeharto, militer berhasil mengamankan kota Jakarta dan menyelesaikan masalah Gerakan 30 September 1965 dengan bantuan seluruh lapisan ǡThe Missing Link.., Ibid., h. 39 ǤǡǤͶͻ ၿၼ¤£ masyarakat. Partisipasi masyarakat didorong oleh karena sebagian besar rakyat sejak dulu tidak menyukai keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI). Khusus dengan umat Islam, Partai Komunis Indonesia (PKI) bertentangan secara ideologis, dianggap sebagai musuh bangsa Indonesia, pada tanggal 3 Oktober 1965, mayat para korban G 30 SPKi berhasil ditemukan di daerah Lubang Buaya. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusi yang dimaksudkan sebagai badan politik yang meliputi dan mewakili golongan masyarakat luas yang bertugas membentuk pemerintahan koalisi nasional berporos Nasakom di bawah pimpinan presiden Soekarno.8 Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan “persatuan nasional”, yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung “pemimpin revolusi Indonesia” dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama “Tribune”. Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah.9 Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri diatas Trisakti, yang sama sekali berdiri diatas Nasakom, yang sama sekali berdiri diatas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK. ͺǤǡǤͷ ͻǡRevolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 september 1965, ȋǣǡʹͲͲ͵Ȍ ဓ¡££ၿၽ Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh karena ManipolUSDEK ini adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya. Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau! Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil “langkahlangkah yang sesuai” untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Dengan berbekal Surat Perintah 11 Maret 1966, maka secara informal, kekuasaan kini telah beralih ke tangan Soeharto. B. Jalur ABG dalam Pemerintahan Soeharto Pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto, selalu memakai jalur ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar) dalam pengambilan keputusan politik, seperti penempatan seorang pejabat (bupati, Gubernur), maupun pemilihan pimpinan tertinggi (presiden). Ketiga jalur tersebut boleh dikatakan sangat dominan dalam pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun, sehingga Karl D. Jackson mengatakan bahwa Sistem Politik Indonesia adalah Bureaucratic Polity (Masyarakat Politik Birokratik), yaitu segala keputusan politik ditentukan oleh para perwira militer dan pejabat birokrasi. ၿၾ¤£ Hal tersebut menunjukan bahwa pemerintahan Indonesia di bawah Orde Baru sangat didominasi oleh militer dan Birokrasi. Hal ini tidak dapat dipungkiri, mengingat munculnya pemerintahan Orde Baru tidak terlepas dari campur tangan militer dan Birokrasi. Sedangkan Golkar merupakan penjaga gawang kelanjutan kekuasaan melalui mekanisme pemilihan umum. Dan keikutsertaan ketiga komponen ini memang disengaja untuk melancarkan pembangunan ekonomi yang dicanangkan pemerintahan Orde Baru, ketika awalawal pemerintahan Orde Baru berkuasa. Berikut ini akan dijelaskan sejauh mana keikutsertaan ketiga komponen tersebut dalam menjalankan, menjaga kelangsungan pembangunan ekonomi yang diprioritaskan Orde Baru. 1. Militer sebagai Stabilisator Pembangunan Sebenarnya keterlibatan militer dalam politik telah dimulai ketika “Presiden Soekarno membentuk Dewan Nasional pada tanggal 6 Mei 1957,10 tetapi secara tegas keterlibatan tersebut baru terlihat ketika Presiden Soekarno berpidato dan menyampaikan definisi tentang “golongan-golongan fungsionil”11 dari keanggotaan Dewan Nasional pada tanggal 9 Juni 1957 di Serang Jawa Barat. Meskipun demikian, “posisi militer dalam Dewan Nasional tidaklah menonjol karena Soekarno dan golongan sipil lebih menguasai lembaga politik tersebut.12 Keterlibatan militer dalam politik pada saat ini diperkuat oleh doktrin Dwi fungsi ABRI yang kini melekat dalam tubuhnya. Dokrin ini diperkenalkan pertama kali oleh Jenderal AH Nasution dalam “konsep jalan tengah” pada tahun 1958.13 ͳͲǡ Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik, ȋǣ͵ǡ ͳͻͻʹȌǡǤͳͲ ͳͳǤ ͳʹǤǡǤͳͳ ͳ͵ǤǡǤͶͳ ဓ¡££ၿၿ Konsep jalan tengah adalah upaya pembatasan keterlibatan militer dalam poiitik yang berarti bahwa militer tidak boleh mengambil alih pemerintahan, telapi juga “tidak diam sama sekali”, “artinya ABRI turut pula di dalam proses pengambilan keputusan politik bersama kekuatan sosial politik lainnya sambil menghindari supremasi militer terhadap sipil. Kemudian konsep jalan tengah tidak terdengar lagi pada Seminar Angkatan Darat Pertama pada bulan April 1965.14 Yang ada, hanya konsep dwi fungsi ABRI yang menunjukkan tidak ada pembatasan yang ditetapkan menyangkut peranan tentara.15 Dengan demikian, berarti ada keinginan militer dalam hal ini Angkatan Darat untuk ikut terlibat ke dalam masalah-masalah non militer. Ketegasan dwi fungsi ini dikembangkan lebih jauh dalam Seminar Angkatan Darat Kedua pada bulan Agustus 196616 yang secara tegas memperlihatkan keinginan militer untuk terlibat, baik dalam masalah militer, maupun non militer. Hal ini dipertegas pula oleh Ali Murtopo sebagai juru bicara Orde Baru pada waktu ituyang mengatakan bahwa “Pernyataan-pernyataan para pemimpin ABRI telah menegaskan bahwa dwi fungsi akan dipertahankan. Dan ini diakui oleh UndangUndang Konsep ABRI dalam kaitannya dengan Ideologi Negara telah dilembagakan, dan ABRI tidak ingin menjadi alat negara yang mempunyai ideology berbeda. Oleh karena itu, hak konstitusional ABRI untuk melibatkan diri di dalam perjuangan politik tidak akan ditinggalkan oleh ABRI “17 Selain itu, pernyataan dukungan terhadap dwi fungsi ABRI datang juga dari kepala negara Presiden Soeharto dalam pidatonya pada tahun 1971 sebelum menjelang pemilu: “Jangan ada lagi kelompok di dalam masyarakat yang ingin memaksakan kehendaknya untuk mengubah sistem dwi fungsi ini. Desakan untuk menghapus dwi fungsi ABRI secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi akan sangat berakibat negatif dan bahkan akan menumbuhkan sentimen ABRI untuk bertindak tidak demokratis”.18 Tampaknya dwi fungsi ABRI memang merupakan suatu kebutuhan19 bagi negara seperti Indonesia yang sedang melakukan pembangunan dalam rangka menjaga stabilitas politik. Selain itu, apabila dihubungkan dengan masalah pembangunan, militer lebih mampu untuk menjadi modernisator20 dan lebih terikat secara konsekuen kepada pembangunan daripada sipil, karena ada beberapa faktor yang menurut Arbi Sanit memungkinkan berkembangnya sikap tersebut di kalangan militer, yaitu Pertama, militer terbiasa membandingkan masyarakat sendiri dengan keadaan masyarakat di negara-negara lain. Kedua, militer lebih rasional, efisien, dan pragmatis. Dan ketiga, militer mempunyai jarak dengan masyarakat sipil.21 Warisan pemerintahan Orde Lama kepada Soeharto dalam bentuk inflasi yang tinggi (650%) dan perekonomian yang buruk (kemiskinan) merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto, sehingga ketika Orde Baru memulai pekerjaaiinya, maka prioritas utama dalam kebijakan yang diambil adalah pembangunan ekonomi, dimana kelompok yang paling bias diandalkan untuk mendukung upaya ini adalah ABRI yang diyakini sebagai stabilisator sekaligus mobilisator yang diyakini paling mampu mendukung kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Tugas Menjaga kestabilan politik diserahkan kepada Militer untuk menanganinya. Militer dianggap mampu menjadi stabilisator dengan sumber power yang dimilikinya, yaitu senjata, sistem komando dan disiplin yang tinggi Karena kestabilan politik adalah faktor pendukung bagi pembangunan ekonomi, maka untuk mendapatkan kestabilan politik ͳͶǤ ͳͷǤ ͳǤ ͳǤ ͳͺǤǡǤͶ͵ ͳͻǡIslam dan Negara Dalam Politik Orde Baru,ȋǣ ǡͳͻͻȌǡǤͳͻʹ ʹͲǡSistem Politik IndonesiaǡȋǣǡͳͻͺʹȌǡǤͷ ʹͳǤǡǤǦ ၿႀ¤£ ဓ¡££ၿႁ tersebut, harus meredam partisipasi politik masyarakat, karena partisipasi politik masyarakat yang terlalu tinggi akan mengganggu pembangunan ekonomi yang sedang berlangsung. Pada masa ini, para pemimpin Angkatan Darat berpendapat bahwa pemerintahan yang bersifat militeristik akan menjamin terjaganya stabilitas politik yang dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi.22 Selain sebagai kebutuhan, stabilitas keamanan dan politik juga menjadi syarat mutlak bagi upaya penarikan minat investasi asing yang akan mendukung proses pembangunan ekonomi yang menjadi rancang bangun strategi pemerintahan Soeharto. Salah satu upaya yang dilakukan militer untuk menjaga stabilitas politik adalah dengan menjaga seketat mungkin setiap gejala destruktif dan anarkis yang muncul dalam gejolak politik di tengah masyarakat. Segala bentuk partisipasi politik dibatasi dan di control dengan ketat, peredaman partisipasi politik dilakukan berbagai cara melalui pencegahan aktititas individu atau kelompok, seperti pemeriksaan naskah ceramah Mubaliq, pelarangan demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan mahasiswa atau kaum buruh oleh Polisi., digulirkan NKK/BKK untuk membatasi gerak politik mahasiswa, dan rekayasarekayasa politik dilakukan untuk golongan fundamentalis Islam, agar ruang geraknya terbatas. Upaya untuk mencapai kestabilan politik tidak hanya ditujukan kepada masyarakat umum, tetapi juga ditujukan ke lembaga Legislatif yang merupakan lembaga perwakilan rakyat yang terhormat Yang berbicara kritis dan vokal akan segera direcall, sungguh sangat ironis sekali bagi sebuah lembaga Legislatif yang semestinya berfungsi sebagai pengontrol pemerintah atau eksekutif, justru dikontrol oleh pihak eksekutif, sehingga seringkali ada Istilah D5 (Datang Duduk, Dengar, Dapat Duit) untuk Dewan perwakilan Rakyat (DPR) Angkatan Bersenjata adalah alat yang paling vital yang digunakan oleh soeharto untuk menjaga stabilitas kekuasaannya. ABRI ʹʹ ǡ Militer dan Politik di Indonesiaǡ ȋǣ ǡ ͳͻͻͻȌǡǤ͵Ͳͺ ႀၸ¤£ menjadi fasilitator otoritarianisme negara atas seluruh kepentingan masyarakat dengan doktrin DWI FUNGSI yang diimplementasikan selama pemerintahan ini. Doktrin dwifungsi ABRI menegaskan model intervensi Negara yang ditafsirkan sebagai dua peran ganda militer yang saling berkaitan, yaitu sebagai pembela satu-satunya lembaga yang bertanggungjawab dalam membela negara yang tidak hanya berfungsi membela Negara dari ancaman militer konvensional dari luar negeri, tetapi juga dari bahaya dalam negeri baik yang bersifat militeristik maupun ancaman dalam bentuk lain seperti politik, ekonomi, social, budaya dan ideology.23 Angkatan bersenjata mengimplementasikan doktrin dwifungsi nya kedalam seluruh organ pemerintahan mulai dari tingkat tertinggi sampai yang terendah, ABRI menempatkan tenaga militer, yang aktif maupun para purnawirawan ke dalam DPR/MPR, kementrian, kepala daerah provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, bahkan sampai tingkat kelurahan. ABRI juga mengawasi masyarakat melalui komando territorial yang meliputi seluruh Negara dari Jakarta sampai pulau terpencil,termasuk setiap desa.24 Perwira ABRI yang aktif maupun purnawirawan, diangkat memegang jabatan di pemerintahan sipil dengan alas an perlindungan dan pengawasan. Pada kurun waktu antara 1980-an – 1990-an proporsi pengangkatan militer agak menurun, namun di lembaga eksekutif, khususnya kementrian dalam negeri yang mengurus pemerintahan daerah dan memiliki direktorat jendral yang memantau lembaga-lembaga politik dan social di seluruh Indonesia tidak pernah di pegang oleh menteri yang berasal dari sipil.25 Begitulah pemerintah Orde Baru melalui Militer dan Badan Inteiejennya memainkan peran yang sangat dominan, membatasi ruang gerak masyarakat terutama yang dianggap membahayakan ʹ͵Ǥǡ Rezim: Orde baru Ǥǡ Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisiǡȋǣ ǡ ʹͲͲͳȌǡǤͶ ʹͶǤ ʹͷǤǡǤͷ ဓ¡££ႀၹ status quo pemerintahan dengan dalih untuk melindungi kelangsungan pembangunan ekonomi yang diperuntukkan rakyat semua. Meskipun pembangunan ekonomi itu sendiri ternyata hasilnya hanya untuk sekelompok orang tertentu. Tindakan Militer dan Badan Intelejennya seringkali melampaui batas-batas kemanusiaan. Contoh yang dapat dilihat adalah pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) di Aceh dan Timor Timur oleh Militer, dan masih banyak lagi contoh pelanggaran HAM dan kekerasan yang dilakukan oleh militer atas nama menjaga stabilitas keamanan dan pertahanan dari ancaman anarkisme dan disintegrasi di Indonesia. 2. Birokrasi sebagai penggerak pembangunan Peran Birokrasi pada masa pemerintahan Orde Baru seiring dengan peran yang dimainkan Militer di Indonesia. Ketika pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama pemerintah Orde Baru, maka tugas untuk menjalankan roda pembangunan ekonomi ini diserahkan kepada para Teknokrat dan Birokrasi. Mohtar Mas’oed mengatakan bahwa semakin besar perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan warga negaranya maka semakin meningkat pula campur tangan pemerintah, terutama di bidang ekonomi (masyarakat) Dengan demikian, fungsi pemerintah akan bertambah luas.26 Fungsi-fungsi yang begitu luas, mengharuskan pemerintah menciptakan suatu jaringan struktur-struktur yang bisa menjamin terlaksananya fungsi-fungsi tersebut secara efektif dan efisien.27 Menurut Weber, pelaksanaan secara efektif dan efisien ini hanya mampu dilakukan oleh Birokrasi, karena Birokrasi memiliki beberapa karakteristik ideal seperti pembagian kerja, jenjang hierarki, pengaturan perilaku pemegang jabatan Birokrasi (ada aturan formal), ʹ ǯǡ Pengantar Perbandingan Politikǡ ȋǣ ǡ ͳͻͺͻȌǡ Ǥ͵ͷ ʹǤǡǤͻͺ ႀၺ¤£ hubungan yang bersifat impersonalitas, memiliki kemampuan teknis, dan jenjang karir.28 Dengan struktur yang dimiliki Birokrasi tersebut, Birokrasi dapat dikatakan sebagai mobile pembangunan dalam suatu negara dan membuat Birokrasi sangat dibutuhkan dalam masyarakat, sehingga seringkali peran Birokrasi tampak berlebihan, jika dibandingkan dengan pejabat eksekutif itu sendiri. Idealnya Birokrasi hanya sebagai pelaksana kebijakan pemerintah, tetapi dalam prakteknya, terlibat dalam proses pembuatan kebijakan tersebut. Hal ini dikarenakan informasi dan penguasaan teknis yang dimiliki Birokrasi, sehingga hampir seluruh kehidupan masyarakat dimasuki Birokrasi, tidak terkecuali Birokrasi di Indonesia. Dalam pembangunan ekonomi yang membutuhkan investor asing, Birokrasi dibutuhkan untuk melancarkan masuknya investor asing tersebut dengan memberikan perizinan-perizinan. Kekuasaan yang dimiliki Birokrasi ini tidak hanya terbatas pada investor, tetapi pendirian organisasi-organisasi baru juga harus mendapat izin Birokrasi. Perizinan ini diberikan, sejauh tidak bertentangan dengan stabilitas politik yang diinginkan pemerintah, karena hal ini juga bergandeng tangan dengan masalah partisipasi politik masyarakat. Dengan sistem semacam itu, pada pemerintahan Orde Baru, tak memberikan kesempatan kepada organisasi sosial politik mandiri, bahkan sebaliknya tergantung pada Birokrasi, tanpa kecuali. Ini pertanda bahwa peran Birokrasi sangat kuat bagaikan gurita. Dengan lengsernya Soeharto, kemudian tampilnya kepemimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan melikuidasi Departemen Penerangan dan Sosial, ini pertanda ada keinginan mengurangi peran Birokrasi, meskipun hal ini belum ada jaminan, apakah peran Birokrasi akan berkurang. ʹͺǤ ဓ¡££ႀၻ 3. Golkar sebagai Penjaga Gawang Status Quo Orde Baru Pembentukan Golkar sebagai sebuah partai politik yang ikut sebagai kontestan dalam pemilihan umum dimulai dengan adanya pembentukan Sekber Golkar pada bulan Oktober I964 yang di dalamnya melibatkan anggota dari para pekerja (buruh), pegawai negeri, guru dan golongan profesional lainnya, serta tidak ketinggalan dari Militer sendiri, meskipun pada dasarnya militer tidak diperkenankan berpolitik praktis. Ide pembentukan Golkar itu sendiri sebenarnya ingin membawa aspirasi dari pihak militer, sehingga Golkar dapat dianggap sebagai penopang bagi keterlibatan Militer dalam panggung politik di Indonesia. Kalau Militer dipergunakan sebagai strabilisator politik untuk mendukung pembangunan ekonomi dan Birokrasi sebagai mobile bagi pembangunan ekonomi itu sendiri, maka Golkar dirangkul-bahkan sengaja diciptakan untuk mengantarkan pihak penguasa dalam hal ini Militer untuk melenggang ke dalam panggung politik pada masa pemerintahan Orde Baru. Pertama kalinya Golkar ikut dalam pemilihan umum pada tahun 1971 di bawah kepemimpinan Soeharto (militer) di bawah Orde Baru dan 6 kali berturut-turut memenangkan pemilihan umum. Dengan kemenangan Golkar berarti kemenangan pula bagi golongan Militer dan Orde Baru. Kemenangan Golongan Karya (Golkar) ini tidak luput dari bantuan atau dukungan pegawai negeri yang tergabung dalam Korpri (Korp Pegawai Negeri) yang sengaja dibentuk oleh pemerintah Orde Baru dan diharapkan memberikan monoloyalitas kepada pemerintah dan hal ini diiplementasikan pada saat pemilihan umum dengan mewajibkan memilih Golkar. Terakumulasinya suara kelmpok birokrat untuk kemenangan Golkar dalam setiap pemilu dilakukan dengan berbagai cara, baik yang formal melalui peraturan pemerintah seperti Peraturan Presiden No. tahun 1970 yang melarang seluruh pegawai ႀၼ¤£ negeri untuk melakukan kegiatan politik dan terlibat dalam partai politik dan mengharuskan untuk menyatakan loyalitas tunggal kepada pemerintah, juga Keppres No. 82 tahun 1971 tentang pembentukkan KOPRI, semakin menyempurnakan jalinan patronase vertical antara Golkar dan pemerintah melalui aparat birokrasi yang berada di bawah naungan Departemen Dalam Negeri sebagai Departemen yang mengendalikan politik dalam negeri dan penanggungjawab pengelolaan aparatur Negara berusaha menghimpun segenap kekuatan pegawai neageri dan mencegah pengaruh partai politik kedalam tubuh birokrasi.29 Selain hubungan vertical, Golkar juga membangun hubungan horizontal dengan upaya memberikat reward sebagai umpan balik kepada masyarakat melalui kemudahan-kemudahan perizinan usaha, kesempatan menjadi rekanan proyek pemerintah, kemudahan tender, dan lain-lain, hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan swasta karena menguntungkan secara financial. C. Kebijakan Orde Bara Terhadap Partai-Partai PoliƟk Pada periode ini, pemerintah Orde Baru mengambil satu kebijakan politik yang sangat menguntungkan, yaitu fusi partai-partai politik pada tanggai 5 januari I973.30 Strategi ini dilakukan karena mengingat sejarah system multi partai pada masa Orde Lama yang memiliki sisi negative yaitu ketidakstabilan politik, meskipun sisi positifnya ada yaitu aspirasi masyarakat dapat tertampung dan bersifat demokratis. Sikap traumatis semcam inilah yang menjadikan pemerintah Orde Baru merubah haluan politiknya dengan mengutamakan stabiliias politik dan salah satu cara yang ditempuh adalah melakukan fusi partai-partai yang ada, yaitu menyatukan aspirasi masyarakal yang sama dalain satu wadah. Walaupun kenyataannya masih menggunakan ʹͻǤǡThe Bereaucracy in Pilitical Context:Weakness in Strenghtǡ Ǥ ǤȋǤȌǡPolitical Power and Communications in Indonesia, ȋǦǢǣǡͳͻͺȌǡǤͳͲͷ ͵ͲǡPPP dan Politik Orde Baruǡȋǣ ǡͳͻͻͳȌǡͳͲ ဓ¡££ႀၽ sistem multi partai tetapi tidak sebanyak seperti pada masa Orde Lama. Setelah dilakukan fusi atas beberapa partai politik pada tahun 1973, maka dalam pemilu 1977 hanya diikuti oleh tiga kontestan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menampung NU, Parmusi, Perti dan PSII. Kontestan kedua yaitu Partai Demokrasi Indonesia(PDI) yang merupakan fusi dari PNI, IPKI, Murba, Partai Katholik, dan Parkindo. Dan kontestan ketiga yaitu Golongan karya (Golkar). Dengan UU No.3 tahun 1975, mengenai ruang gerak ketiga kontestan pemilihan umum, Golkar memiliki keistemewaan yang memungkinkannya lebih berkembang dan menyerap setiap kekuatan yang berusaha menjalin patronase dengan pemerintah yang dalam hal ini dimaknai sebagai aparat birokrasi.31 Dengan memenangkan enam kali pemilihan umum secara berturut-turut, semakin menguatkan posisi Golkar sebagai single majority yang secara otomatis membuatnya tidak hanya menjadi the rulling party tetapi sekaligus menjadi the government’s party. Secara teknis, seharusnya dengan adanya fusi ini berarti suatu momentum bagi partai-partai politik Islam untuk menyatukan langkah, tetapi kenyataannya justru sebaliknya, konflik internal muncul. Semula perjalanan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di bawah kepemimpinan Mintaredja, masih terlihat kompak karena tunduk kepada Majlis Syuro32 yang diketuai Kyai Bisri, sehingga sepak terjang yang dilakukan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masih bersumber pada referensi agama. Konflik dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mulai muncul ke permukaan, ketika di bawah kepemimpinan H.J. Naro yang memandang kewenangan struktur keagamaan menjadi kendala bagi partai yang modern. Dan konflik yang terjadi sering adalah antara unsur Nahdlatul Ulama (NU) dan Muslimin Indonesia (MI), sehingga ͵ͳǤǡPerjalanan Partai Politik di Indonesia, ȋǣǡͳͻͺ͵Ȍǡ Ǥͳ ͵ʹǡǤǡǤͳͶ ႀၾ¤£ akhirnya. menjelang pemilu lahun I982, orang-orang Nahdlatul Ulama (NU) dikeluarkan dari daftar calon sementara anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). D. Hubungan Agama dan Negara Para pendukung Orde Baru sepakat untuk memprioritaskan pembangunan ekonomi,33 Pilihan ini, karena mengingat pada masa pemerintahan Orde lama yang bersifat ideologis-politis, menimbulkan ketidakstabilan politik dan inflasi yang mencapai 732 % pada tahun 1964-1905, dan 697 % pada tahun 1965-1966.34 Untuk menopang pembangunan ekonomi, pemerintah Orde Baru membutuhkan investasi (penanaman modal), baik dalam negeri, maupun luar negeri. Salah satu pernyaratan jaminan bagi penanaman modal luar negeri adalah stabilitas. Upaya penegakan stabilitas di dalam masyarakat, dilakukan dengan cara meredam partisipasi politik masyarakat. Peredaman ini untuk membatasi ruang gerak masyarakat, sehingga tercipta kondisi yang stabil guna melancarkan pembangunan ekonomi. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa keberhasilan pembangunan (ekonomi), dengan sendirinya akan meningkatkan partisipasi politik masyaiakat. Model pembangunan semacam ini memakai model teknokratis.35 Selain itu, Indonesia memang rentan konflik yang disebabkan oleh masalah-masalah yang bersifat primordial (suku, ras, agama, bahasa, daerah). “Untuk itu, pemerintah Orde Baru menetapkan garis kebijakan politik dengan “prioritas utama adalah menghapus ͵͵ǡǤǡʹͲͲ ͵ͶǤ ͵ͷ Ǥ ǡ DzTujuan dan Pilihan: Partisipasi Politik dalam Konteks Pembangunan”, Partisipasi dan Partai Politik, ȋȌ ǡ ȋǣ ǡͳͻͺͷȌǡǤ͵ͺ ဓ¡££ႀၿ pertentangan ideologi sosial dan politik”.36 Kebijakan ini sering merugikan bagi masyarakat umum dan ummat Islam khususnya. Apalagi ada kekhawatiran bahwa agama (Islam) bisa menjadi ancaman dan sumber konflik yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan politik,37 sehingga hal ini menjadi salah salu pertimbangan lahirnya kebijaksanaan politik pemerintah terhadap kehidupan umat Islam di Indonesia.38 Beberapa kebijakan politik pemerintah Orde Baru terhadap kehidupan ummat Islam di Indonesia ikut pula mempengaruhi hubungan keduanya, sehingga Abdul Azis Thaba membagi menjadi tiga hubungan, yaitu pertama hubungan yang bersifat antagonistic, di mana antara pemerintah dan umat Islam terjadi ketidakharmonisan. Dengan kata lain, hubungan sebagai pengantin baru, setelah berbulan madu, lalu dicampakkan. Janji-janji, tinggal janji. kedua, hubungan yang bersifat resiprokal kritis yang ditandai dengan masa penetapan asas tunggal yang menjadi tonggak saling memahami antara keduanya. Ketiga adalah hubungan yang bersifat akomodif, yaitu hubungan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.39 1. Hubungan Yang Bersifat AntagonisƟk (1966-1981) Hubungan ini ditandai oleh gagalnya rehabilitasi Masyumi dan berdirinya Parmusi munculnya aliran kepercayaan dalam siding umum MPR tahun 1973 pengajuan Rancangan Undang-Undang Perkawinan dan masalah fusi partai, Juga penumpasan Gerakan 30 S/PKI di Indonesia tidak hanya melibatkan militer tetapi juga rakyat secara keseluruhan, terutama umat Islam, mahasiswa, dan pemuda. Meskipun demikian, PKI dan pengaruh Soekarno masih kuat di ͵ǡPerubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 19651987 dalam Perspektif Sosiologis, ȋǣǡͳͻͺͻȌǡͳʹ͵ ͵ǤǡǤͻͷ ͵ͺǤ ͵ͻǤǡǤʹͶͲ ႀႀ¤£ Jawa Tengah dan Jawa Timur,40 sehingga rakyat Indonesia masih mengadakan perlawanan terhadap PKI. Hal ini ditandai dengan berlangsungnya rapat umum pertama pada tanggal 4 Oktober 1966 41yang dihadiri oleh partai-partai dan organisai-organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Muhammadiyah, Partai Katholik, IPKI, Sekber Golkar, Gasbiindo, Generasi Muda Islam dan KBKI untuk mengusulkan pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan antek-anteknya. Selain itu, KAP Gestapu mengadakan demonstrasi besarbesaran, menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 9 Nopember 1965. 42 Banser Pemuda Ansor juga melakukan pembunuhan terhadap para pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga menurut B.J Boland,43 jumlah korban berkisar 80.000-500.000 jiwa bahkan ada yang mengatakan satu setengah juta jiwa. Sedangkan dari mahasiswa dan pemuda berdemonstrasi melancarkan tiga tuntutan rakyat yang dikenal dengan nama “Tri Tura”.44 Situasi semacam ini, menimbulkan trauma bagi rakyat Indonesia, sehingga akhirnya muncul semacam romantisme kebangkitan polilik Islam45 di kalangan umat Islam, karena pada waktu itu, umat Islam turut berjasa dalam penumpasan PKI. Apalagi Orde Baru muncul dengan idealisme demokrasi, sehingga umat Islam memiliki harapan besar untuk kembali berperan, mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.46 Selain itu, opini publik juga ikut mendukung harapan tersebut dengan menyelenggarakan berbagai seminar di UI, KASI, dan LIPI ͶͲǤ ͶͳǤǡǤʹͶͳ ͶʹǤ Ͷ͵Ǥ ͶͶǤǡǤʹͶʹ ͶͷǤ Ͷ ဓ¡££ႀႁ untuk membicarakan upaya rehabilitasi partai-partai politik, termasuk partai Islam Demikian pula dalam Seminar Angkaian Daral II47 di Bandung membicarakan hal yang sama Dengan demikian, umat Islam masih memiliki harapan untuk merencanakan rehabilitasi Masyumi, menerapkan Islam sebagai dasar negara dan pemberlakuan Piagam Jakarta, mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII) dan terakhir mengaktifkan Pelajar Islam Indonesia (PII), tetapi kemudian dibatalkan”.48 a. Gagalnya Pembentukan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII) Dari beberapa agenda tentang kebangkitan politik Islam, salah satunya adalah pembentukan PDII (Partai Demokrasi Islam Indonesia) yang dikemukakan oleh Mohammad Hatta, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia. Sebenarnya keinginan membentuk partai tersebut sudah ada sejak tahun 1958,49 dan didorong pula ketidakpuasan pemuda Islam (HMI dan PII) terhadap sistem yang ada, karena sering diintimidasi PKI, sehingga sering minta nasehat kepada Mohammad Halta. Pada akhir tahun 1965, keinginan itu baru dimunculkan dengan maksud membentuk PDII. Kemudian pada tanggal 11 Januari 1967,50 Mohammad Hatta mengirim surat kepada Soeharto, tentang niatnya tersebut, tetapi ternyata pemerintah tidak mengabulkan dengan alasan PDII belum mampu menjadi partai Islam yang diharapkan pemerintah. ͶǤ ͶͺǤǡǤʹͶʹǦʹͶ͵ ͶͻǤǡʹͶͷ ͷͲǤ ႁၸ¤£ b. Gagalnya Rehabilitasi Masyumi dan Berdirinya Parmusi Pada tanggal 16 Desember 1965 dibentuk Badan Koordinasi Amal Muslimin yang terdiri atas enam belas organisasi Islam yang bermaksud mengupayakan rehabilitasi Masyumi.51 Dari badan ini dibentuk Panitia Tujuh52 yang diketuai oleh KH. Fakih Usman. Pendekatan-pendekatan informal dengan kalangan penguasa telah menghasilkan suasana saling pengertian yang membesarkan hati. Sampai kepada pembicaraan mengenai pengisian lembagalembaga perwakilan rakyat, baik di pusat, maupun di daerahdaerah secara informalpun sudah dilakukan dengan kalangan penguasa. Seiring dengan perjuangan pihak Panitia Tujuh untuk mendapatkan hak berserikat dan berkumpul,53 di pihak lain kelompok yang tidak setuju dengan upaya rehabilitasi Masyumi pun bergerak juga.54 Akhirnya Ketua Presidium Kabinet Ampera Jendral Soeharto menyurati pak Prawoto Mangkusasmito pada langgal 6 januari 1967 yang menyatakan bahwa Alasan-alasan yuridis, ketatanegaraan dan psikologis telah membawa pada suatu pendirian, bahwa ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai politik Masyumi.55 Setelah “vonis mati” tersebut, sidang BKAM pada tanggal 7 Mei 1967 mengambil keputusan membentuk wadah politik baru bagi umat Islam yang dinamakan Parmusi (Partai Muslimin Indonesia),56 tetapi di akhir perjalanan-menjelang keputusan terakhir,57 ternyata ada pengaruh-pengaruh dari luar yang tak ͷͳǤǡǤʹͶ ͷʹǡǣȂǡȋǣ ǡͳͻͻͷȌǡǤͳͺͲ ͷ͵Ǥ ͷͶǤǤͳͺͳ ͷͷǤǡǤʹͶ ͷ Ǥǡ Ǥ ͳͺʹǡ ǡ ǤʹͶǡ ǡ Ǥͳ͵ʹ ͷǤǡͳͺ͵ ဓ¡££ႁၹ kentara (invisible), yang tidak memperbolehkan para mantan tokoh Masyumi yang menonjol memimpin Parmusi. Keputusan pemerintah tersebut berlaku sampai pada saat pemilihan Mohammad Roem sebagai ketua Parmusi pada Kongres di Malang tanggal 4-7 Nopember l968. Padahal para peserta telah menganggap bahwa Mohammad Roem adalah orang bersih dan tidak terlibat dosa Masyumi pada saat PRRI, orang yang dianggap berbeda dengan Mohammad Natsir, namun perkiraan peserta ternyata meleset, karena keputusan pemerintah tidak berubah. Akhirnya pada tanggal 5 Pebrauri 1968 keluar keputusan pemerintah yang menyatakan berdirinya Parmusi dan SK Presiden no. 70 tahun 196858 yang menetapkan Djarnawi Kusumo dan Lukman Harun sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal. Duet Djarnawi dan Lukman tidak bertahan lama, karena muncul H. J. Naro dan Imron Kadir yang menginginkan kepeminipinan di Parmusi yang mengakibatkan konflik. Konflik intern tersebut sengaja direkayasa pemerintah, sebagaimana dikatakan Abdul Munir Mulkan bahwa: “Didorong oleh kekhawatiran Parmusi dapat berkembang menjadi kekuatan alternatif yang ditandai dengan munculnya cabang-cabang Parmusi di seluruh indonesia secara serempak, pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri mendukung manuver politik H.J. Naro, SH bersama Imron Kadir untuk melakukan pembajakan partai.59 Dengan memanfaatkan konflik yang disengaja, akhirnya pemerintah menerbitkan Surat Keputusan No. 77 tahun 1970 dengan menempatkan Mintaredja, SH sebagai Ketua partai sekaligus membatalkan SK No. 70 tahun l968 tentang kepemimpinan Djarnawi Kusumo dan Lukman harun.60 Mintaredja adalah pegawai tinggi pemerintah dan juga anggota PP Muhammadiyah. ͷͺǡǤʹͶͺǡǡǤͳ͵͵ ͷͻǡǤͳ͵͵ ͲǤ ႁၺ¤£ Meskipun Mintaredja anggota Muhammadiyah, dalam menghadapi situasi yang runyam tersebut, Muhammadiyah menyatakan keluar dari Parmusi dan tidak memiliki hubungan organisatoris dengan partai manapun pada tahun 1969. c. Aliran Kepercayaan Dalam SU MPR Taliun 1973. Masuknya aliran kepercayaan yang semula aliran kebatinan ke dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1973 sebagai agama resmi yang dibicarakan dalam SU MPR tahun 197361 mendapat reaksi keras, baik dari Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP), maupun masyarakat (umat Islam) secara langsung. Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) keberatan, karena masuknya aliran kebatinan ke dalam Garis-garis Besar haluan negara (GBHN) berarti pemerintah memberikan pengakuan resmi terhadap terhadap aliran tersebut, padahal menurut Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP), pasal 29 ayat 2 UUD 1945 sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengatur aliran kebatinan. Reaksi masyarakat justru muncul sebelum konsep aliran kebatinan diproses di dalam lembaga legislatif. Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat Islam yang besar di Indonesia mengadakan Seminar di Bandung pada tanggal 24-27 Desember 1970,62 yang intinya menolak aliran kebatinan. Selain itu, HM. Rasyidi tokoh Islam dalam bukunya Islam dan Kebatinan, menyimpulkan bahwa ilmu kebatinan menodai agama. Dari Fakultas Ushuluddin Sunan Kalijaga bersidang pada tanggal 15 Pebruari 1971,63 menyimpulkan bahwa aliran kepercayaan tidak dapat disamakan dengan agama. Akhirnya setelah melalui pembicaraan yang alot, aliran kepercayaan dimasukkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara ͳǡǤʹͷ͵ ʹǤǤʹͷͶ ͵Ǥ ဓ¡££ႁၻ (GBHN) dengan beberapa modifikasi. Kata “kebatinan” diganti dengan “aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” dan dimasukkan di bidang Pendidikan dan Kebudayaan, bukan bidang agama. Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) akhirnya menerima aliran kepercayaan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan catatan bahwa rumusan tersebut belum memadai dan tidak mendukung penyebaran dan pengembangannya serta menghimbau kepada seluruh penghayatnya agar kembali kepada ajaran agamanya masing-masing. d. Rancangan Undang-Undang Perkawinan. Setelah masalah aliran kepercayaan, umat Islam dihadapkan kepada masalah Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan yang diajukan pemerintah pada tanggal 16 Agustus 1973.64 Sama halnya dengan aliran kepercayaan, Rancangan UndangUndang (RUU) Perkawinan mendapat reaksi keras dari masyarakat muslim. Melalui khutbah di mesjid-mesjid, ceramah-ceramah, pengajian, tulisan-tulisan di koran, demonstrasi dan berbagai pernyataan ormas Islam, sampai kepada para Ulama yang tradisional dan modern di Aceh hingga Jawa Timur, pada intinya menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan yang dianggap bertentangan dengan Islam.65 Isi Rancangan Undang-Undang (RUU) menyimpang dari ajaran Islam, sehingga Buya Hamka pada waktu itu mengatakan bahwa: “Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan memaksa kaum muslimin meninggalkan syariat agama dengan maksud menghancurkan azas Islam Dengan demikian, apabila Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan diakui maka kafirlah hukumnya”.66 ͶǤǡǤʹͷ ͷǤ ǤǤʹͷͻ ႁၼ¤£ Akhirnya dari 73 pasal yang diusulkan, berubah menjadi 67 pasal dengan menghilangkan pasal-pasal yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dengan demikian. Rancangan UndangUndang (RUU) Perkawinan tidak merugikan umat Islam. 2. Hubungan Yang Bersifat Resiprokal KriƟs (1982-1985). Hubungan antara umat Islam dan pemerintah ditandai oleh proses saling mempelajari dan memahami posisi masing-masing. Periode ini diawali oleh political test67 yang dilakukan pemerintah dengan menyodorkan konsep asas tunggal bagi semua organisasi social dan politik (Orsospol) dan selanjutnya unluk semua Organisasi Masyarakat (Ormas) di Indonesia. Mengingat Indonesia rentan konflik ideologi, maka sebagai akhir penyelesaian konflik ideologi, pemerintah menyusun dan menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi sosial dan politik melalui Tap MPR no. II tahun 1983 dan secara operasional dituangkan dalam Undang-Undang No. 3 dan 8 tahun 1985.68 Selain itu menurut penulis penetapan asas tunggal dilakukan sebagai suatu upaya untuk memisahkan jarak antara pemilih (umat Islam) dengan partai (PPP) yang memang akarnya berbasiskan agama. Apalagi Islam adalah agama mayoritas dan telah menyatu dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Akhirnya berturut-turut partai Islam dan ormas-ormas menyesuaikan dengan kehendak Undang-Undang tersebut. pada awalnya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) setuju, tanpa reserve. 69 Dengan demikian, hal ini merupakan babak akhir sejarah partai politik Islam di Indonesia yang telah dimulai tahun 1912, ketika Sarekat Dagang Islam (SDI) berubah menjadi Sarekat Islam (SI).70 ǤǡǤʹ͵ ͺǡǤͳʹ ͻǡǤʹ ͲǤ ဓ¡££ႁၽ Disusul Nahdlatul Ulama (NU) pada Muktamar di Situbondo tahun 1984, Muhammadiyah pada Muktamar di Yogyakarta bulan Desember 1985, mengingat aktifitas amal usaha Muhammadiyah telah lama didirikan dan tersebar di sebagian besar wilayah Indonesia, sehingga untuk menjaga kelangsungan hidupnya, Muhammadiyah harus mengakui asas tunggal tersebut. Hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat sangat tergantung kepada pemerintah. Salah satu ormas Islam yang tidak mengakui Pancasila adalah Pelajar Islam Indonesia (PII), sehingga harus menerima nasib tidak tercatat di dalarn Departemen Dalam Negeri. Meskipun demikian. Pelajar Islam Indonesia (PI1) masih melakukan aktifitasnya secara illegal. 3. Hubungan Yang Bersifat AkomodaƟf Menurut Abdul Azis Thaba. setelah melalui political test dengan mengakui asas tunggal Pancasila, umat Islam dinilai oleh negara berhasil melewati ujian tersebut dan umat Islampun semakin memahami bahwa kebijakan Negara tidak menjauhkan umat dari ajaran Islam, maka dimulailah hubungan yang bersifat akomodatif. Hubungan ini ditandai dengan disahkannya Rancangan UndangUndang (RUU) Pendidikan Nasional, Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama dan dikeluarkannya beberapa kebijakan seperti penyelesaian kasus monitor, pendirian Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pengiriman 1000 Dai ke daerah-daerah, pendirian Bank Muamalat dan yang terakhir adalah pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim seIndonesia (ICMl) pada tahun 1990 di Malang. a. antara fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) yang mewajibkan agama di sekolah sekolah dan fraksi Karya Pembangunan (PKP) yang menutut penghapusan. Sedangkan pada SU MPR tahun 1978, usulan Fraksi Persatuan pembangunan (FPP) untuk memasukkan pendidikan agama sebagai pelajaran wajib di sekolah-sekolah dan pesantren dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) ditolak.Akhirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Nasional yang semula bernama KPSPN (Ketentuan-ketentuan Pokok Sistem Pendidikan Nasional) diusulkan kembali oleh Mendikbud Fuad Hasan pada tanggal 23 Mei 1988 dengan nama Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Nasional.72 Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Nasional yang diajukan pemerintah berisi pasal-pasal yang merugikan kepentingan pendidikan Islam, karena berisi antara lain: 1. 2. 3. 4. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Nasional. Semula masalah pendidikan nasional pernah diajukan sebagai bahan pembicaraan dalam SU MPR tahun 1973 dan I978,71 kemudian usulan tersebut diambangkan, karena ada pertentangan ͳǤǡǤʹͻ ႁၾ¤£ ʹǤ Tidak sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) I983/I988 dan 1988/1993 tentang kewajiban penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah Tidak mengakui kebebasan untuk mendirikan dan menyelenggarakan lembaga-lembaga pendidikan swasta seperti pesantren, dan lain-lain. Adanya sanksi/denda yang terlalu meniberatkan bagi sekolah-sekolah yang belum mampu apabila tidak mendirikan perpustakaan. Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) ada kalimat “Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan dalam Garis-garis Besar haluan Negara (GBHN) tertera kalimat “Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa Tidak ada kata “beriman”. ဓ¡££ႁၿ 5. Terlalu leluasa memberikan kewenangan kepada pemerintah dalam mengatur pendidikan. Dengan demikian, umat Islam, baik sccara langsung maupun melalui partai politik, memberikan reaksi cukup keras, sehingga pada akhirnya dalam rapat pleno DPR, 4 Fraksi menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Nasional dan keluarlah Undang-undang no. 2 tahun 1989. Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional mempunyai arti penting bagi umat Islam, karena mencantumkan. 1. 2. 3. 4. Dikukuhkan bahwa pendidikan agama merupakan mata pelajaran wajib di sekoloh-sekolah umum: Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi. Diakui bahwa pendidikan agama merupakan subsistem dari sistem pendidikan nasional. Jaminan bahwa untuk mata pelajaran agama, tenaga pengajarnya haruslah yang seagama dengan peserta didiknya. Dijamin eksistensi lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti Madrasah, dan Institut-insiitut Agama Islam. b. Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama. Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama dikeluarkan pemerintahan mengingat Undang-Undang (UU) yang ada mengenai peradilan agama adalah warisan pemerintah Kolonial Belanda yang dianggap tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang, sehingga perlu diluruskan kembali.Semula Rancangan Undang-Undang (RUU) ini biasa saja tidak ada reaksi dari berbagai pibak, tetapi dalam perkembangan berikutnya, pihak non muslim yang berada di luar fraksi menyampaikan kekhawatirannya terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut yang akan mengganggu “konsensus nasional” ‘” (asas pancasila) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.73 Sehubungan dengan itu, baik pihak pemerintah, maupun masyarakat, terutama kalangan muslim memberikan penjelasan dengan jaminan bahwa kekhawatiran itu tidak akan terjadi. Akhirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama disahkan menjadi Undang-Undang No. 7 tahun 1989 yang memberikan beberapa kemajuan untuk kepentingan umat Islam yaitu antara lain:74 1. Dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Nasional berarti memberi kesempatan bagi perkembangan Islam di Indonesia melalui jalur pendidikan formal dan lembaga yang masih bersifat tradisional seperti Pesantren dan Madrasah. Saat ini, Pesantren dan Madrasah sudah mulai memasukan kurikulum umum dipadukan dengan pelajaran agama ke dalam program pendidikannya Hal ini juga untuk mengantisipasi anak didik melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi di sekolah-sekolah (perguruan tinggi) umum. ႁႀ¤£ 2. 3. 4. Peradilan agama di Jawa, Madura dan Kalimantan diberikan kewenangan untuk menangani pembagian warisan bagi umat Islam Keputusan Peradilan Agama beisifat final. Hakim-hakim Peradilan Agama diangkat oleh Presiden. Jabatan Hakim, Panitera, dan Juru Sita dalam Peradilan Agama hanya dapat diisi oleh orang-orang yang beragama Islam Dapat disimpulkan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama memberikan keleluasaan dan jaminan kepada ͵ǡǤʹͺͶ ͶǤ ဓ¡££ႁႁ umat Islam untuk mendapatkan aturan sesuai dengan hukum Islam mengingat pada masa Kolonial, ada diskriminasi terhadap orang-orang Islam,dengan tujuan untuk menghancurkan Islam. c. d. Kasus Monitor. Satu hal lagi yang menimbulkan reaksi keras umat Islam adalah kasus artikel di Tabloid Monitor edisi 15 Oktober 1990.75 Di dalam artikel berjudul “Ini Dia 50 Tokoh Yang Dikagumi Pembaca Kita”, menempatkan Nabi Muhammad SAW pada urutan ke 10. Hal ini menyinggung perasaan umat Islam, karena ada keterkaitan dengan masalah kepercayaan umat Islam, sehingga umat menganggap tidak pantas menyamakan Nabi Muhammad dengan tokoh-tokoh yang lain dengan menempatkannya pada peringkat ke 10. Dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan, serta stabilitas politik yang selama ini telah terbina, maka pemerintah melalui Menpen. mengeluarkan “SK No. 162 tahun 1990”.76 dan memenjarakan Arswendo dan memecatnya dari jabatan-jabatan yang di embannya. Dengan kemampuan responsif tersebut, pemerintah telah melegakan perasaan umat Islam yang mayoritas. Selain itu, yang lebih utama adalah untuk menjaga stabilitas, mengingat demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan masyarakat pada waktu itu, dikhawatirkan dapat berkembang ke arah disintegrasi. Pendirian Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. Yayasan ini didirikan Presiden pada bulan Februari 1982 dengan nama Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YABMP), bertujuan membangun mesjid-mesjid. Dana yang terkumpul berasal dari pegawai negeri yang beragama Islam, swasta, amal jariah, ͷǤǤʹͺͷ Ǥ ၹၸၸ¤£ dan hibah. 439 buah mesjid telah dibangun pada lahun 1992 dan menjadi 634 buah pada tahun 1994 yang tersebar di 206 Kabupaten dan 52 Kotamadya.”77 Keuntungan bagi umat Islam adalah bertambahnya sarana ibadah yang memadai, dan diharapkan agar umat Islam lebih termotivasi untuk beribadah. e. Pengiriman 1000 Dai ke Daerah-Daerah Bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YABMP), dan Yayasan Dharmais, pemerintah mensukseskan “Program 1000 Dai” pada tahun 19891990 ke berbagai daerah terpencil dan lahan transmigran.‘’78 Rakyat Indonesia, khususnya umat Islam menyambut hangat program tersebut, karena mengingat bukan menjadi rahasia umum bahwa daerah-daerah yang terpencil dan wilayah transmigrasi menjadi sasaran kristenisasi. Untuk itulah, umat Islam patut bersyukur bahwa pemerintah telah ikut berupaya untuk mensiarkan Islam guna mempertebal iman para penduduk yang jauh dari kota/ kampung halaman dengan mengirimkan 1000 dai kesana. f. Pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah melangkah maju dengan mencetuskan inisiatif membentuk bank yang menggunakan hukum Islam.79 Sebelum itu, lokakarya telah dilaksanakan pada tanggal 19-22 Agustus 1990 Cisarua Bogor.80 Kemudian dibentuk Tim Perbankan Kecil yang diketuai oleh lr. M. Amin Azis. Habibie adalah salah seorang yang antusias mendukung pendirian ini, yang kebetulan pada waktu itu, Habibie telah terpilih sebagai ketua umum Ikatan Cendekian Muslim selndonesia (ICMI). ǤǤʹͺ ͺǤ ͻǡǤʹͺͻ ͺͲǤ ဓ¡££ၹၸၹ Dua bulan setelah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Hasan Basri menghadap Presiden pada tanggal 21 Agustus 1991, maka dana telah terkumpul sebesar Rp 64.1 miliar. Modal awal dimodali oleh Presiden Soeharto dari dana Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YABMP) sebesar Rp. 3 milliar. Kini masyarakat, khususnya umat Islam tidak lagi ragu-ragu menggunakan jasa perbankan, karena telah muncul Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang bersandar pada syariah Islam. g. Pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim seIndonesia (ICMI). Pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim seindonesia (ICMI) merupakan tonggak terpentig dalam hubungan akomodatif antara umat Islam dan negara, karena dalam organisasi ini bertemu tokoh-tokoh Islam yang berada di luar birokrasi dan yang ada di dalam birokrasi. Lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim seindonesia (ICMI) menimbulkan pro dan kontra. Bagi yang pro (setuju) menganggap bahwa ini momentum yang baik untuk menempatkan Islam kembali berperan seperti pada masa sebelumnya, sehingga diharapkan Ikatan Cendekiawan Muslim seindonesia (ICMI) akan mampu menyalurkan aspirasi umat Islam dengan mudah, karena ketika awal Orde Baru, antara umat Islam dan pemerintah terjadi hubungan yang berifat antagonistic.81 Bagi yang kontra, menganggap bahwa hal ini merupakan rekayasa pemerintah untuk mendapat dukungan umat Islam bagi kelangsungan sistem yang ada, kekhawatiran bahwa ini hanyalah manuver-manuver politik Habibie, dan Ikatan Cendekiawan Muslim seIndonesia (ICMI) tidak akan mandiri.82 Untuk lebih jelasnya akan dibahassejarah munculnya Ikatan Cendekiawan Muslim selndonesia (ICMI) ͺͳǤǤʹͶͲ ͺʹǤǤʹͻͶ ၹၸၺ¤£ E. Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum Masa Orde Baru 1. Sistem Kepartaian Masa Orde Baru Dalam ilmu politik, sistem kepartaian dimaknai sebagai suatu kumpulan partai yang saling berhubungan dalam satu pola tertentu. Suatu Negara bisa dikatakan memiliki sistem kepartaian bila memenuhi prasyarat tertentu. Prasyarat tersebut antara lain adalah bahwa di negara tersebut terdapat labih dari satu partai politik. Partaipartai politik tersebut harus saling berinteraksi dan bersaing secara sehat untuk menarik dukungan dari masyarakat, antara lain melalui Pemilihan Umum.83 Sedangkan menurut teori politik konvensional, bahwa sistem kepartaian dibedakan berdasarkan pengelompokan jumlah partai dan polarisasi yang mendasarinya. Mengacu pada teori ini, di beberapa negara otoriter terdapat istilah “single party” atau “partai tunggal” atau sistem “satu partai” yang hanya mengenal satu partai saja. Kalaupun terdapat partai politik lainnya, mereka tidak memiliki kekuatan yang signifikan, ada juga system dwi party atau dua partai dimana kontenstan pemilu terdiri dari dua partai yang bertarung dan meniscayakan pemenang pemilu menjadi the rulling party dan yang kalah pemilu menjadi partai oposisi. Ada juga system multy party, dimana kontenstan pemilu lebih dari dua partai yang berkompetisi dalam pemilihan umum dan meniscayakan terjadinya koalisi antara beberapa partai untuk mencapai suara yang signifikan. Tampak jelas perbedaan wacana dalam mendefenisikan sistem kepartaian yang berlaku di negara-negara. Pandangan pertama melihat bahwa sistem kepartaian itu hanya bisa diklasifikasikan berdasarkan interaksi antar partai yang notabene harus memiliki lebih dari satu partai, pandangan ini melihat negara yang memiliki satu partai dipandang bukan sebagai single party, akan tetapi “sistem partai Negara” (party-state party).84 Sedangkan teori yang konvensional ͺ͵ǡPartai dan KitaǡȋǣǡʹͲͲͳȌǡǤͷ ͺͶǤ ဓ¡££ၹၸၻ memandang sistem kepartaian itu diklasifikasikan berdasarkan jumlah partai nya. Dengan mengacu pada teori politik konvensional, bias dilihat bahwa sistem kepartaian di masa Orde Baru adalah sistem “dua partai” atau “dwi partai”. Ini didasari bahwa jumlah partai pada masa Orde Baru hanya terdapat dua partai politik hasil penyederhanaan 9 partai politik. Sedangkan Golkar bukan merupakan partai politik, akan tetapi merupakan Organisasi Kekuatan Sosial Politik yang diikutsertakan dalam Pemilu.85 1. Pemilihan Umum Masa Orde Baru a. Pemilihan Umum Tahun 1971 Pada Saat diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, Soeharto tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Walaupun Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971. Walaupun sudah diangkat sebagai pejabat presiden, Soeharto tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama. Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun Soeharto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno. UU yang digunakan adalah UU tentang pemilu dan susunan serta kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU ͺͷǤǡǤ ၹၸၼ¤£ No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun. Hal signifikan dari pemilu 1971 yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejebat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya dilapangan, pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Sangat kentara bagaimana pemerintah merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta pemilu. Dalam hal pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demikian lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma. Pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap. Tahapan pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan pembagi pemilih atau kiesquotient di daerah pemilihan. kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa ဓ¡££ၹၸၽ masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.86 Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971 menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling gamblang adalah bias perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini.87 Tabel 5.1 Hasil Pemilihan Umum 1971 No Partai Jumlah Suara Persentase (%) Jumlah Kursi 1 Golkar 2 NU 10.213.650 18,68 58 3 Parmusi 2.930.746 5,36 24 4 PNI 3.793.266 4,93 20 5 PSII 1.308.237 2,93 10 6 Parkindo 733.359 1,34 7 7 Katolik 603.740 1,10 3 8 PerƟ 381.309 0,69 2 9 IPKI 338.403 0,61 - 10 Murba 48.126 0,08 - 54.669.509 100,00 360 Jumlah 34.348.673 Sumber: Komisi Pemilihan Umum ͺǤǤǤ ͺǤ ၹၸၾ¤£ 62,82 236 b. Pemilihan Umum Tahun 1977 Setelah pemilu 1971, Indonesia dibawah kepemimpinan Soeharto secara periodik dan teratur mulai melaksanakan perhelatan pemilihan umum yang juga disebut sebagai pesta demokrasi. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu rutin dilakukan setiap 5 tahun sekali. Ada perubahan yang signifikan dari keikutsertaan kontestan pemilu di tahun 1977, yaitu dengan dilakukannya fusi beberapa partai politik yang hanya menjadi 2 partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golongan Karya (Golkar). Hal ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi. Setelah dilakukannya fusi partai politik, pada setiap pemilihan umum pada masa Orde baru ini Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara lang-sung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara berturut-turut. Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi ဓ¡££ၹၸၿ 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.88 Suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masyumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masyumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar.89 PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional hanya mendapatkan 5 tambahan kursi. Pada Pemilu ini, PDI mengalami penurunan perolehan kursi dibanding gabungan masing –masing kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik. Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah ini.90 Tabel 5.2 Hasil Pemilihan Umum Tahun 1977 Partai Jumlah Suara Persentase (%) Jumlah Kursi Golkar 39.750.096 62,11 232 2 PPP 18.743.491 29,29 99 3 PDI 5.504.757 8,60 29 63.998.344 100,00 360 ͺͺǤ ͺͻǤ ͻͲǤ ၹၸႀ¤£ Tabel 5.3 Hasil Pemilihan Umum tahun 1982 No Partai Jumlah Suara Persentase (%) Jumlah Kursi 1 Golkar 48.334.724 64,34 242 2 PPP 20.871.880 27,78 94 3 PDI 5.919.702 7,88 24 75.126.306 100,00 360 Sumber: Komisi Pemilihan Umum 1 Sumber: Komisi Pemilihan Umum Pemilihan Umum Tahun 1982 Pemilihan umum 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi Golkar meningkat secara nasional, walau demikian Golkar gagal merebut kemenangan di Daerah Istimewa Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI. Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971. Berikut ini adalah hasil Pemilihan Umum tahun 1982 yaitu sebagai berikut:91 Jumlah No Jumlah c. d. Pemilihan Umum tahun 1987 Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya.92 Pada Pemilu kali ini, PPP mengalami penurunan ͻͳǤ ͻʹǤ ဓ¡££ၹၸႁ perolehan suara yang sangat signifikan, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari ka’bah menjadi bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh-tokoh unsur NU, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini. Berikut adalah hasil Pemilihan Umum tahun 1987 yaitu sebagai berikut: 93 73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya. Begitu juga dengan PPP yang mengalami hal sama, meski masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi partai berlambang ka’bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai itu tidak memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya mampu menaikkan 1 kursi secara nasional. PDI berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai daerah. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI. Berikut ini adalah hasil pemilihan umum pada tahun 1992 sebagai berikut94 Tabel 5.4 Hasil Pemilihan Umum Tahun 1987 No Partai Jumlah Suara Persentase (%) Jumlah Kursi 1 Golkar 62.783.680 73,16 299 2 PPP 13.701.428 15,97 61 3 PDI Jumlah 9.384.708 10,87 40 85.869.816 100,00 400 Tabel 5.5 Hasil Pemilihan Umum Tahun 1992 Sumber: Komisi Pemilihan Umum e. Pemilihan Umum Tahun 1992 Mekanisme pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini agak mengagetkan banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar yang merosot dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai ͻ͵Ǥ ၹၹၸ¤£ No Partai Jumlah Suara Persentase (%) Jumlah Kursi 1 Golkar 66.599.331 68,10 282 2 PPP 16.624.647 17,01 62 3 PDI Jumlah 14.565.556 14,89 56 97.789.534 100,00 400 Sumber: Komisi Pemilihan Umum ͻͶǤ ဓ¡££ၹၹၹ f. Pemilihan Umum Tahun 1997 Pada Pemilu 1997, cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasil penghitungan suara menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar mampu kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.95 PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar. Pada pemilu kali ini, PDI mengalami konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992. Berikut adalah hasil Pemilihan Umum pada tahun 1997 sebagai berikut:96 ͻͷǤ ͻǤ ၹၹၺ¤£ Tabel 5.6 Hasil Pemilihan Umum Tahun 1997 No Partai Jumlah Suara Persentase(%) Jumlah Kursi 1 Golkar 84.187.907 74,51 325 2 PPP 25.340.028 22,43 89 3 PDI 3.463.225 3,06 11 112.991.150 100,00 425 Jumlah Sumber: Komisi Pemilihan Umum. ဓ¡££ၹၹၻ RANGKUMAN Jatuhnya era Demokrasi Terpimpin yang dikomandani oleh Presiden Soekarno menandai munculnya era baru yang di sebut dengan masa Demokrasi Pancasila di bawah komando Soeharto yang dianggap berjasa dalam menumpas gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G 30 SPKI). Dengan berbekal Surat Perintah Sebelas Maret, Soeharto menjadi penanggung jawab pemulihan keamanan setelah sempat mencekam karena upaya kudeta yang dituduhkan kepada Dewan Jenderal. Pada kelanjutan kekuasaannya, Soeharto menerapkan kebijakan yang sangat spektakuler, dengan mengedepankan pembangunan ekonomi yang diiringi dengan pengebirian pembangunan politik. Secara terstruktur, pemerintah orde baru melakukan reduksi terhadap kebebasan berpendapat dan berserikat serta berpolitik dengan melakukan fusi partai-partai politik menjadi tiga kelompok, yaitu Golongan Karya sebagai the rulling party, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan beberapa partai politik yang berideologi naionalis, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan hasil gabungan beberapa partai politik yang berideologi Islam. Dari enam kali pemilihan umum yang di gelar oleh Orde Baru, keseluruhannya dimenangkan oleh Golkar, sebagai satu-satunya mitra politik Orde baru dan selanjutnya menjadi symbol kuat otoritas Orde baru berkuasa selama lebih dari 32 tahun di Indonesia. Dalam menjalankankan pemerintahannya, Soeharto menggandeng tiga kekuatan besar yang bersinergi secara efektif melestarikan kekuasaan Soeharto dan Orde Baru, yaitu ABRI, Golkar, dan Birokrasi yang dikenal dengan Jalur ABG. Sinergi 3 kekuatan patron Orde Baru ini bekerja dengan sangat baik dan konsisten dalam mendukung segala kebijakan yang dikeluarkan oleh Soeharto. Dengan menjalankan fungsi-fungsinya masing-masing, jalur ABG menjadi mitra setia yang kekuatannya tidak tertandingi oleh kekuatan politik apapun, selain karena ketiganya menjadi sangat amat besar, intervensi politik dan ၹၹၼ¤£ sikap represif yang ditunjukkan oleh soeharto membuat partisipasi politik masyarakat menjadi sangat minim, seluruh focus pembangunan diarahkan pada pembangunan ekonomi. Hubungan agama dan Negara pada masa ini mengalami pasang surut yang cukup berarti, Soeharto secara cerdas berhasil mempermainkan emosi keagamaan khususnya ummat Islam dengan segala bentuk kebijakan-kebijakannya. Kekuatan politik agama menjadi sangat dipinggirkan dan hanya diberi tempat pada posisi-posisi yang secara terpaksa harus mendukung kebijakan pemerintah. Masa ini adalah masa pasang surut perkembangan Islam Poltik di Indonesia, bukan hanya karena intervensi politik yang dilakukan oleh Orde Baru, tetapi juga karena minimnya pendidikan politik bagi masyarakat Indonesia. Agama dipersilahkan untuk sibuk pada persoalan-persoalan kultural dan di jauhkan dari aktivitas politik praktis. Namun demikian, semangat perubahan mampu membawa angin segar bagi cita-cita perubahan yang selalu didengungkan oleh kelompok-kelompok pro demokrasi yang akhirnya mampu menumbangkan kekuasaan Orde Baru yang sangat kokoh, sinergi antara kekuatan rakyat, intelektual, cendekiawan, kaum buruh, petani, dan terutama mahasiswa berhasil mengibarkan bendera reformasi yang dikokohkan dengan runtuhnya Orde baru dan turunnya Soeharto dari kursi kekuasaan tertinggi di Indonesia. ဓ¡££ၹၹၽ BAB VI ERA REFORMASI A. Jatuhnya Orde Baru, Munculnya Era Reformasi Sebagai sebuah rezim, Orde Baru berdiri laksana raksasa kuat yang oleh Thomas Hobbes disebut sebagai laviathan, yang siap memangsa siapa saja yang menentang dan mencoba menggoyang kekuasaannya. Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto tak bergeming dari kursi tertinggi di negeri ini, pernah beliau mengungkapkan keinginannya untuk lengser keprabon mandeg pandito atau kesiapannya untuk mundur dari tampuk kekuasaan tertinggi di Indonesia yang disampaikannya ketika berpidato pada HUT ke 33 Golkar di Jakarta Hilton Convention Centre, namun pada kenyataannya Soeharto tidak juga turun sampai tuntutan reformasi 1998 memaksanya untuk mengundurkan diri. Beberapa orang politisi seperti Amin Rais, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan lain-lain secara terang-terang mengkampanyekan wacana tentang suksesi atau pergantian kepemimpinan nasional dan seluruh unsur-unsurnya termasuk presiden, wakil presiden, para mentri kabinet, serta anggota DPR/MPR,1 wacana ini sering didiskusikan pada kajian-kajian ilmiah, diskusi, seminar, talk show, bahkan orasi-orasi bebas yang seriang diadakan kelompok-kelompok pro demokrasi dan penggerak reformasi, walaupun sebenarnya isu suksesi sudah diperdengarkan sejak 1 Muhammad Najib, dkk (tim Penyusun), Suara Amin Rais Suara Rakyat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h. 22. ၹၹၾ¤£ ဓ¡¡£ၹၹၿ tahun 19892, persis setahun setelah Soeharto dilantik menjadi presiden yang kelima kali, namun dengan segala macam bentuk intervensi yang dilakukan oleh Orde Baru, isu suksesi selalu dimentahkan bahkan menjadi sesuatu yang dilarang dan haram diperbincangkan secara lebih serius. Bahkan setelah pemilihan umum tahun 1997, Soeharto kembali diangkat menjadi presiden untuk yang ketujuh kali. Beberapa tahun menjelang keruntuhannya, kebijakan-kebijakan yang ditempuh Orde Baru dianggap tak mampu memberikan fundamen yang kokoh bagi pembangunan ekonomi rakyat. Pada proses dan hasil akhirnya, pembangunan hanya diperuntukkan dan dapat dinikmati secara maksimal oleh kelompok tertentu dan segelintir orang saja sehingga ketika badai krisis menerpa, rakyat Indonesia tidak mampu menghadapinya dengan kokoh, tetapi pada kenyataannya, ternyata rakyat kebanyakan yang harus menanggung akibatnya. Ada beberapa persoalan besar yang muncul akibat terlalu lamanya Orde Baru dan Soeharto berkuasa, diantaranya adalah: pertama, walaupun pertumbuhan ekonomi relative baik, namun persoalan kemiskinan dan pengangguran masih sangat besar, dimana angka kemiskinan maih sangat tinggi di komunitas urban dan rulal di seluruh pelosok Indonesia, begitu juga dengan jumlah pengangguran yang semakin meningkat. Kedua, korupsi yang merajalela di seluruh sector public maupun private, Prof Dr. Soemitro Djojohadikusumo di Kongres ISEI 1993 mengatakan bahwa pemborosan atau pembocoran anggaran pembangunan mencapai angka 30%, hal ini akibat dari budaya nepotisme dan kolusi yang sangat lekat dan sudah mendarah daging. Ketiga, demokratisasi yang semakin jauh dari apa yang diharapkan, budaya kritis dan kebebasan berekspresi yang semakin ditekan menjadikan rakyat Indonesia semakin bodoh dan buta akan hak-hak politiknya.3 Lepas dari semua rancangan pembangunan ekonomi yang diprioritaskan oleh Orde Baru, pembangunan politik seharusnya ʹǤ ͵ǤǤʹǦʹͺ ၹၹႀ¤£ juga menjadi hal yang harus diperhatikan, bukan hanya untuk menunjang pembangunan ekonomi, tetapi juga untuk menguatkan karakter masyarakat Indonesia secara keseluruhan agar kestabilan pembangunan bisa lebih terjaga. Akhirnya pada bulan Mei 1998. Rakyat yang dimotori mahasiswa dan tokoh-tokoh masyarakat mengambil langkah untuk menjatuhkan Soeharto dengan mengadakan demonstrasi besar-besaran serta menduduki gedung DPR/MPR, dan diakhiri dengan pengunduran diri Soeharto. Setelah turunnya Soeharto, secara otomatis berarti naiknya B.J. Habibie sebagai penggantinya Tetapi kenaikan B.J. Habibie dianggap sebagai inkonstitusional, karena masa itu dianggap sebagai keadaan darurat, sehingga hukum formal tidak berlaku. Untuk itu sebagian orang meminta dibentuk suatu formatur, tetapi tidak terlaksana. Meskipun demikian, naiknya B.J. Habibie, telah memberikan nuansa baru bagi kehidupan Demokrasi di Indonesia. Dengan dimulainya masa transisi menuju demokrasi di Indonesia maka bereforialah para praktisi politik untuk berpartisipasi dengan membentuk partai-partai politik baru engan beragam idealisme serta ideology baik yang berdasrkan Ras, kelompok kepentingan maupun agama tertenu. Munculnya partai-partai politik menjadi salah satu hal yang menandai arah perubahan peta kekuatan olitik di Indonesia, yang selama ini didominasi Militer, Golkar dan Birokrasi. Selain kemunculan partai-partai politik, peta kekuatan politik Indonesia bergeser lebih signifikan dengan dikeluarkannya beberapa kebijakan pemerintah yang cukup mengejutkan seperti referendum Timor Timur, pembebasan beberapa orang tahanan politik, pembebasan pers, dan lain-lain. Kebijakan mengenai dwi fungsi ABRI pun di hapuskan, ABRI sebagai kekuatan bersenjata dikembalikan pada fungsi utamanya yaitu sebagai alat pertahanan dan keamanan bangsa dari ancaman luar. Golkar yang dianggap sebagai motor penggerak Orde Baru melakukan colling down karena berhadapan langsung dengan masyarakat yang sedang emosional dengan segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, ဓ¡¡£ၹၹႁ apalagi saat itu tuntutan agar dibubarkannya Golkar sedang ramai, bahkan menjadi salah satu agenda reformasi. B. Munculnya partai-partai PoliƟk Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya dan mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru. Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya akan digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta). Beberapa keputusan populer dilakukan, diantaranya pembebasan tahanan politik, perizinan pendirian partaipartai politik baru, dan referendum bagi rakyat Timor Timur (berujung pada pilihan merdeka Timor Timur atas Republik Indonesia). Secara beriringan, muncullah partai-partai politik baru dengan beragam paradigm ideology dan kepentingan, hal ini hamper mirip dengan euphoria demoklrasi yang terjadi menjelang pemilu 1955, ၹၺၸ¤£ para tokoh politik berlomba mendirikan partai politik dan berusaha untuk lolos menjadi peserta pemilu.4 Setelah di sahkannya UU No.2 tahun 1999 tentang pendirian partai politik, muncul 141 partai politik yang mendaftarkan diri di Departemen Kehakiman dan HAM, menjamurnya pendirian partai politik ini disebabkan prasyarat yang harus dipenuhi guna diakuinya sebuah partai politik relatif tidak sulit. Dalam pasal 2 UU No. 2 tahun 1999 disebutkan: 1. 2. Sekurang-kurangnya 50 orang warga Negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 tahun dapat membentuk partai politik. Partai politik yang dibentuk sebagaimana yang dimaksud ayat 1 harus memenuhi syarat diantaranya: a. Mencamtumkan Pancasila sebagai dasar Negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam anggaran dasar partai. b. Asas atau cirri, aspirasi, dan program parta politik tidak bertentangan dengan Pancasila. c. Keanggotaan partai politik bersifat terbuka untuk setiap warga Negara Republik Indonesia yang telah mempunyai hak pilih. d. Partai politik tidak boleh menggunakan nama atau lambang Negara asing, bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia sang merah putih, bendera kebangsaan asing, gambar perorangan atau nama, serta lambing partai lain yang sudah ada.5 Dari kemudahan prasyarat pendirian partai politik diatas, ada syarat tambahan yang agak memberatkan, yaitu sekurang-kurangnya mempunyai kepengurusan pada lima propinsi dan tiga propinsi dalam ͶǡPartai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi: Menakar Kinerja Partai Politik Era Transisi di IndonesiaǡȋǣǡʹͲͲͶȌǡǤͷͲ ͷǤǡǤͷʹ ဓ¡¡£ၹၺၹ masing-masing propinsi yang dimaksud.6 Setelah melalui proses verifikasi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum, dari 141 partai politik yang mendaftar sebagai peserta pemilu, hanya 48 partai politik yang dinyatakan lolos dan berhak menjadi peserta pemilu 1999. C. Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 1999 Hal terbesar yang membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu 1999 ini berjumlah 48 partai politik, ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai. Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi juga tercatat sebagai pemerintahan yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapanpersiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelumnya. Habibie menyelenggarakan pemilihan umum 1999 setelah 13 bulan sejak ia dilantik menjadi presiden, pemilihan umum memang merupakan agenda utama presiden Habibie sebagai upaya stabilisasi sosial politik di Indonesia, meski persoalan yang harus dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, moneter dan penegakan hukum serta tekanan internasional. Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa ǡ partai Politik dan Kebijakan Publikǡ ȋǣ ǡʹͲͲ͵ȌǡǤͳͻ ၹၺၺ¤£ terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara. Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut: Partai Keadilan, PNU, PBI, PDI, Masyumi, PNI Supeni, Krisna, Partai KAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, Partai SUNI, PNBI, PUDI, PBN, PKM, PND, PADI, PRD, PPI, PID, Murba, SPSI, PUMI, PSP, PARI. Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomen-dasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyararakat tanggal 26 Juli 1999. Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord. Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa. ဓ¡¡£ၹၺၻ Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada KPU. Di KPU perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord. Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil pemilu pada tanggal 1 September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan. Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi disbanding Pemilu 1997. Konfigurasi peroleh suara partai-partai politik pemilu 1999 menunjukkan suatu Pluralisme Moderat. Partai-partai 10 besar seperti PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB, PAN, PBB, PK, PKP, PNU, dan PDKB memiliki jarak ideologi yang cukup berdekatan. Misalnya, antara Golkar, PDI Perjuangan, PKP, dan PDKB sesungguhnya memiliki kohesi yang saling berbekatan. Kemudian, antara PPP, PKB, PAN, PBB, PK, PNU, yang sesungguhnya partai-partai politik berbasiskan Islam, kurang lebih dapat dikerucutkan menjadi 2 aliran di dalam “santri” versi Geertz yaitu modernis dan tradisional. Koalisi di dalam parlemen antara ke-10 partai tersebut masih dapat dilakukan dan tidak sesulit seperti yang ditampakkan oleh hasil Pemilu1955 di ၹၺၼ¤£ mana 4 partai besar memiliki jarak ideologi yang cukup jauh sehingga menyulitkan konsensus di dalam parlemen. Andreas Ufen dari German Institute of Global Area Studies menulis bahwa pemilu 1999 menunjukkan ”kemenangan” kalangan Islam moderat dan kalangan nasionalis. Ufen juga mengindikasikan bahwa meskipun politik aliran ala pemilu 1955 tetapmemegang peranan, tetapi mulai terjadi ’dealiranisasi’. Artinya, format sistem kepartaian meskipun Plural tetapi menunjukkan kecenderungan moderat. Perbedaan ideologi antar partai tidak setajam pemilu 1955. Di tingkat parlemen, pembangunan konsensus antarpartai harus menjadi perhatian. Ini terlihat dari persentase suara masingmasing partai di parlemen hasil pemilu 1999. PDI Perjuangan, selaku pemenang pemilu 1999, Cuma menguasai 33,33% suara di tingkat parlemen. Golkar yang peringkat 2 hanya menguasai 25,97% suara. PPP, partai berbasis Islam hanya menguasai 12,77%. PKB, partai berbasis kelompok tradisional Islam menguasai 11,03%. PAN, partai yang berbasiskan modernis Islam menguasai 7,58% suara. PBB, partai yang berbasiskas Islam modernis dan formalisme menguasai 2,81% suara. Partai Keadilan, partai Islam modernis baru dan memiliki tipikal kelompok Ikhwanul Muslimin memperoleh suara 1,30%. PKP, partai para fungsionaris militer nasionalis memperoleh 1,30%. PNU (partai ”pecahan” dari PKB) serta PDKB (partai berbasis agama Kristen Protestan) memperoleh suara 0,65%, suatu jumlah yang kurang signifikan. Kemenangan PDIP pimpinan Megawati Soekarnoputri membuktikan bahwa masih kuatnya eksistensi ideologi nasionalis, dan bahwa profil Soekarno masih sangat kuat dan digemari, apalagi PDIP berhasil memenangkan 152 kursi di DPR RI dari 452 kursi yang diperebutkan.7 Siapun yang memenangkan Pemilu 1999 ini pastilah partai yang paling diminati dan menjadi tempat bagi rakyat untuk ǡYusril Ihza Mahendra: Perjalanan Hidup, Pemikiran dan Tindakan Politikǡ ȋǣǡʹͲͲͶȌǡǤʹͻͶ ဓ¡¡£ၹၺၽ menggantungkan harapan tentang perubahan dan perbaikan kondisi social politik di Indonesia, karena sebagai langkah awal memasuki system politik yang demokratis, pemilu 1999 ini memberikan harapan akan terbentuknya pemerintahan yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat, dan bukan pada kepentingan para penguasa.8 Partai-partai yang cukup diperhitungkan kekuatannya adalah PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB. Partai- partai Islam seperti PPP, PKB, PAN dan PBB, jika mampu mencapai kesepakatan sesungguhnya dapat menjalin koalisi di parlemen karena mereka memiliki basis massa dan latar belakang ideologi yang nyaris serupa. Begitu pula dengan PDI Perjuangan dan Golkar, sesungguhnya memiliki platform ideologi yang tidak terlalu berbeda, kendala koalisi keduanya hanyalah permusuhan historis. PDI Perjuangan, selama era Orde Baru akhir banyak mendapat intimidasi pemerintah. Berikut hasil lengkap pemilihan umum 1999:9 Partai Demokrasi Indonesia 35.689.073 33,74% Perjuangan 0,20% 12. Partai Abul Yatama 213.979 11. 13. Partai Kebangsaan Merdeka 104.385 33,12% 0 0,00% 0,10% 0 0,00% 14. Partai Demokrasi Kasih Bangsa 550.846 0,52% 5 1,08% 15. Partai Amanat Nasional 7.528.956 7,12% 34 7,36% 0,07% 0 0,00% 0,14% 0 0,00% 0,20% 0 0,00% 16. Partai Rakyat Demokratik 78.730 Partai Syarikat Islam Indonesia 17. 152.820 1905 18. Partai Katolik Demokrat 216.675 19. Partai Pilihan Rakyat 40.517 20. Partai Rakyat Indonesia 54.790 Partai Politik Islam Indonesia 21. 456.718 Masyumi 22. Partai Bulan Bintang 2.049.708 Partai Solidaritas Pekerja Seluruh 23. 61.105 Indonesia 24. Partai Keadilan 1.436.565 25. Partai Nahdlatul Ummat 679.179 Partai Nasional Indonesia - Front 26. 365.176 Marhaenis Partai Ikatan Pendukung 27. 328.654 Kemerdekaan Indonesia 28. Partai Republik 328.564 Tabel 6.1 Hasil Pemilihnan Umum 1999 153 0,04% 0 0,00% 0,05% 0 0,00% 0,43% 1 0,22% 1,94% 13 2,81% 0,06% 0 0,00% 1,36% 7 1,51% 0,64% 5 1,08% 0,35% 1 0,22% 0,31% 1 0,22% 0,31% 0 0,00% 29. Partai Islam Demokrat 62.901 Partai Nasional Indonesia - Massa 30. 345.629 Marhaen 31. Partai Musyawarah Rakyat Banyak 62.006 0,06% 0 0,00% 0,33% 1 0,22% 0,06% 0 0,00% 32. Partai Demokrasi Indonesia 0,33% 2 0,43% No. Partai Jml Suara Persentase Jml Kursi Persentase 1. Partai Indonesia Baru 192.712 0,18% 0 0,00% 2. Partai Kristen Nasional Indonesia 369.719 0,35% 0 0,00% 3. Partai Nasional Indonesia 377.137 0,36% 0 0,00% 4. 0,08% 0 0,00% 33. Partai Golongan Karya 23.741.749 22,44% 0,27% 0 0,00% 34. Partai Persatuan 655.052 6. Partai Aliansi Demokrat Indonesia 85.838 Partai Kebangkitan Muslim 289.489 Indonesia Partai Ummat Islam 269.309 0,25% 0 0,00% 35. Partai Kebangkitan Bangsa 13.336.982 12,61% 7. Partai Kebangkitan Ummat 300.064 0,28% 1 0,22% 36. Partai Uni Demokrasi Indonesia 140.980 0,13% 0 0,00% 8. Partai Masyumi Baru 152.589 0,14% 0 0,00% 0,13% 0 0,00% 9. Partai Persatuan Pembangunan 11.329.905 10,71% 58 12,55% 0,19% 0 0,00% 375.920 1 0,22% 37. Partai Buruh Nasional 140.980 Partai Musyawarah Kekeluargaan 38. 204.204 Gotong Royong 39. Partai Daulat Rakyat 427.854 0,40% 2 0,43% 40. Partai Cinta Damai 168.087 0,16% 0 0,00% 41. Partai Keadilan dan Persatuan 1.065.686 1,01% 4 0,87% 5. 10. Partai Syarikat Islam Indonesia 0,36% ͺǤǡǤʹͺͺ ͻDzͳͻͻͻdzǡͳʹͲͳͳǣȀȀǤǤǤǤ ၹၺၾ¤£ 345.720 0,62% 120 25,97% 1 0,22% 51 11,03% ဓ¡¡£ၹၺၿ 42. Partai Solidaritas Pekerja 49.807 0,05% 0 0,00% 43. Partai Nasional Bangsa Indonesia 149.136 P a r t a i B h i n n e k a Tu n g g a l I k a 44. 364.291 Indonesia Partai Solidaritas Uni Nasional 45. 180.167 Indonesia 46. Partai Nasional Demokrat 96.984 0,14% 0 0,00% 0,34% 1 0,22% 0,17% 0 0,00% 0,09% 0 0,00% 49.839 0,05% 0 0,00% 48. Partai Pekerja Indonesia 63.934 0,06% Jumlah 105.786.661 100,00% 47. Partai Umat Muslimin Indonesia 0 0,00% 462 100,00% (Sumber: Komisi Pemilihan Umum) D. Poros Tengah Semenjak organisasi-organisasi sosial dan politik bermunculan pada masa penjajahan Kolonial Belanda, telah tampak dikotomi antara organisasi sosial politik yang Nasionalis dan Nasionalis Islami. Dikotomi tersebut tampak pula ketika bangsa Indonesia akan mencapai kemerdekaan. Dalam perumusan Piagam Jakarta bulan Juni 1945, terdapat dua kelompok yang dinamakan oleh Endang Saifudin Ansari sebagai kelompok Nasionalis Sekuler yang diwakili oleh Soekarno, Muhammad Yamin dan Muhammad Hatta dan kelompok Nasionalis Islami yang diwakili oleh H. Agus Salim, K.H. Hasyim Ashari dan kawan-kawannya. Memasuki Demokrasi Parlementer, dikotomi ini tampak pada partai-partai politik yang ada, baik yang beisifat Nasionalis, Islami, maupun yang bernuansa ideologi lain, selain Nasionalis dan Islami, misalnya Sosialis dan Komunis. Partai politik yang bersifat Nasionalis diwakili oleh Partai Nasional Indonesia (PN1), partai politik yang berasaskan Islam diwakili Partai Masyumi, Perti, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Nahdlatul Ulama (NU). Sedangkan partai politik yang berideologi selain Nasionalis dan Islam, diwakili oleh Partai Sosial Indonesia (PSI), Partai Murba dan Partai Komunis Indonesia (PKI). ၹၺႀ¤£ Meskipun pada masa Demokrasi Terpimpin partai politik dari kelompok Nasionalis yang memegang kekuasaan, namun partai Islam masih diberi kelonggaran untuk ikut bermain di dalamnya, tetapi hanya khusus bagi Partai Nahdlatul Ulama (NU), Perti dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSU). Sedangkan Partai Masyumi tidak dizinkan ikut dalam kabinet. Nuansa semacam itu, akhirnya dipangkas habis oleh pemerintah Orde Baru, di bawah kepemimpinan Soeharto dengan membuat kebijakan fusi partai-partai politik, sehingga hanya tinggal tiga partai politik dan pemerintah Orde Baru mengharuskan ketiga partai tersebut berasaskan tunggal yaitu Pancasila. Kebijakan pemerintah Orde Baru tentang asas tunggal, tidak hanya dikenakan kepada partai politik, tetapi juga kepada organisasiorganisasi kemasyarakatan lainnya. Namun di antara organisasi kemasyarakatan, ada juga yang tidak menyetujuinya, sehingga dengan terpaksa harus dibubarkan. Organisasi tersebut, misalnya Pelajar Islam Indonesia (PII). Padahal Organisasi ini telah terbentuk sejak tahun 1947. dan pada masa-masa perjuangan melawan PKI. ikut pula ambil bagian bersama-sama dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).10 Dengan demikian, masalah partai politik yang berlebel Islam dan Nasionalis tidak tampak secara tersurat, tetapi secara tersirat masih ada. Dengan adanya asas tunggal yang diberlakukan pemerintah Orde Baru, berarti memberikan kesempatan kepada umat Islam yang mayoritas dapat menyuarakan aspirasi ke partai politik lain dan tidak harus ke partai Islam (PPP). Kelebihan kebijakan fusi ini untuk meredam konflik yang diakibatkan oleh sentimen agama. Dan peredaman konflik semacam ini, sejalan dengan kebijakan pemerintah Orde baru, yaitu untuk mendapatkan kestabilan politik sebagai pendukung pembangunan ekonomi. ͳͲ , Membuka Lipatan Sejarahǣ Menguak Fakta Gerakan PKI, ȋǣ ǡͳͻͻͺȌǡǤǤ ဓ¡¡£ၹၺႁ Lengsernya Soeharto dan runtuhnya pemerintahan Orde Baru, menandakan dimulainya babak baru bagi pemerintahan Era Reformasi dan kebebasan mendirikan partai-partai politik mulai hidup kembali. Dengan adanya kebebasan tersebut maka membuka peluang bagi munculnya partai-partai politik baru dari berbagai ideologi dan tidak ketinggalan pula, dari Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Islami. Hal ini tampak pada pembentukan partai-partai politik Islam yang berjumlah 18 partai dari 48 partai yang disahkan pemerintah sebagai kontesian pemililian umum tahun 1999 Tidaklah heran, kemunculan Poros Tengah sebagai tonggak partai-partai politik Islam, merupakan implementasi dari kebijakan tersebut di atas. 1. Latar Belakang Pembentukkan Poros Tengah Poros Tengah merupakan suatu kelompok yang terdiri dari partaipartai politik Islam, kontestan pemilihan umum tahun 1999 seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Persatuan Penibangunan (PPP) dan Partai Keadilan (PK), meskipun pada mulanya, belum tampak solid. Ide Poros Tengah muncul dari seorang Doktor pakar Manajemen Bisnis dari Universitas Gajah Mada, Bambang Sudibyo, sahabat karib Amin Rais. Bambang melihat bahwa kekuatan dalam merebut kekuasaan, ada di tangan Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), antara B.J. Habibie dengan Megawati Soekarno Putri. Kedua partai selain pemenang dalam pemilihan umum, juga dikenal sebagai partai yang meniiliki pendukung massa yang “fanatik”’. Massa pendukung Partai Golkar, kerap menggelar demonstrasi. Sedangkan massa pendukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menunjukkan cap jempol berdarah-artinya siap berjuang, agar Megawati menjadi Presiden, meskipun harus menitikkan darah.11 Darah yang menjadi symbol antara kehidupan dan kematian digunakan sebagai harga mati yang dipertaruhkan oleh ͳͳǡCemerlangnya Poros Tengah, ȋǣǡͳͻͻͻȌǡǤͻ ၹၻၸ¤£ para pendukung Megawati agar menjadi presiden. Golkar yang masih memiliki pendukung cukup banyak terpecah menjadi dua kubu, yaitu yang mendukung Habibie, yang diberi julukan “Golkar Hitam”12 dan yang mendukung Marzuki Darusman yang dikenal dengan kelompok “Golkar Putih” yang memiliki banyak komentar miring tentang pencalonan Habibie sebagai presiden oleh organisasi Golkar.13 Untuk menengahi kedua partai tersebut, menurut Bambang harus ada kelompok yang berada di posisi tengah artinya tidak memihak ke Partai Golkar ataupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan paling tepat adalah dengan menggunakan kekuatan kelompok Islam, apabila organisasi terbesar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dengan Muhammadiyah bisa bersatu dengan menggunakan sentimen agama sebagai perekatnya. Akhirnya konsep pemikiran Bambang Sudibyo digulirkan dan lahirlah istilah Poros Tengah. Menurut Zarkasih Noor, istilah Poros Tengah muncul berasal dari diskusi-diskusi yang intensif antara dirinya dengan Faesal Baasir dan Husni Thamrin.14 Ada juga yang mengatakan bahwa ide ini dilontarkan Amin Rais dalam dialog antar partai politik yang diadakan oleh LIPI dan UNICEF, dan beberapa forum lain yang diadakan oleh BKUI, Seminar Partai politik Era Reformasi yang diadakan oleh Dewan Dakwah Islam pada Juni 1997.15 Istilah Poros Tengah digulirkan Amin Rais dan teman-temannya dari partai politik Islam. Sebagaimana yang dikatakan Bambang Sudibyo kehadiran Poros Tengah diharapkan mampu untuk melawan atau menghadapi kekuatan Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Partai-partai politik Islam, seperti Partai Amanat Nasional (PAN) :Amin Rais, Partai Keadilan (PK): Nur Mahmudi dan Partai Persatuan ͳʹ ǡǤ ͳ͵ǡCemerlangnya.., ǤǡǤʹ ͳͶǤǡǤͺ ͳͷǤ ဓ¡¡£ၹၻၹ Pembangunan (PPP): Zarkasih Nur tidak menghendaki B. J. Habibie dan Megawati Soekarno Putri naik ke kursi RI 1.keppresidenan. B. J. Habibie dianggap sebagai perpanjangan tangan pemerintahan Orde Baru Sedangkan Megawati Soekarno Putri tidak disenangi karena Partai Demokasi Indonesia Perjuangan (PDIP) telah mengecewakan umat Islam, dengan menempatkan anggota-anggota non Muslim secara tidak proporsional dalam Dewan Perwakilan Rakyat, baik di Pusat maupun di Daerah. Selain itu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tidak pernah berbicara masalah reformasi sedikitpun, sehingga dikhawatirkan agenda reformasi tidak berjalan, kalau kursi Presiden Rl-1 direbut Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan pendukung kedua partai tersebut sangat fanatik, sehingga dikhawatirkan, kalau salah satu yang menang, akan terjadi kerusuhan yang fatal. Para pendukung Megawati Soekarno Putri telah memberikan cap jempol berdarah dan Tim sukses B.J. Habibie siap dengan money politics. Jadi keduanya memiliki kekuatan untuk memenangkan kursi Presiden dan keduanya bersikeras untuk menjadi Presiden terutama pendukung Megawati Soekarno Putri yang bersikeras agar Megawati harus menjadi Presiden. Apabila tidak kesampain, maka pendukungnya tidak mau tahu dan mereka mengancam akan revolusi dan mengancam akan memenuhi gedung DPR dengan massa dan laskar merah PDIP dari segala penjuru tanah air.16 Kemungkinan konflik semacam itu tidak dikehendaki oleh partai Islam, dikhawatirkan membawa kepada kerusuhan massal yang akan mungkin saja bisa menjadi kerusuhan Nasional. Ditambah lagi dengan kemungkinan akan terjadinya deadlock pada pemilihan presiden di SU MPR, karena setelah penghitungan suara hamper selesai, tidak satupun antara Habibie dan Megawati yang memperoleh suara 50% + 1 yang menjadi prasyarat mutlak terpilihnya presiden.17 Untuk itulah Poros Tengah dilahirkan dan diharapkan mampu meyakinkan masyarakat bahwa mereka mampu memberikan yang terbaik bagi ͳǤǡǤ͵ ͳǤ ၹၻၺ¤£ bangsa Indonesia dalam pemilihan umum nanti dengan mencalonkan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden Republik Indonesia ke 4. Kehadiran K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) diharapkan dapat menjadi jembatan antara semua pihak yang bertikai dan dapat diterima semua pihak, karena K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dianggap dekat dengan kelompok-kelompok non Muslim dan pendukung demokratisasi, serta bersifat humanis. 2. Pro dan Kontra Terhadap Kemunculan Poros Tengah Kemunculan Poros Tengah tidak begitu mulus, karena menimbulkan pro dan kontra. Kelompok yang pro mengatakan bahwa hal ini merupakan suatu kekuatan bagi umat Islam dan memang ini diharapkan agar partai-partai politik Islam bisa bersatu dan meraih kekuasaan, serta berperan seperti pada masa Demokrasi Parlementer. Bagi yang kontra mengatakan bahwa kemunculan Poros Tengah justru akan menimbulkan konflik merupakan bentuk primordialisme dan dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia Meskipun suara-suara manis dan sinis terdengar di mana-mana, tetapi Poros Tengah di bawah komando Amin Rais melenggang terus tidak peduli dengan omongan orang. Tokoh-tokoh pendukung berat Poros Tengah terlihat aktif memainkan kartu politiknya seperti Amin Rais dari Partai Amanat Nasionai (PAN) dan Zarkasih Nur dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Meskipun Poros Tengah mempakan kumpulan dari partai-partai politik Islam yang terbatas pada Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan (PK), tetapi mampu mempengaruhi Partai Golkar untuk bergabung. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) semula tidak bergeming untuk bergabung, terutama masalah pencalonan K.H. Abdurrahman ဓ¡¡£ၹၻၻ Wahid (Gus Dur), karena Poros Tengah dianggap masih main-main dan belum serius. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) melihat antara anggota kaukus Poros Tengah kelihatanya belum mempunyai satu persepsi, seperti Yusril Ihza Mahendra dari Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam hal ini Ketua Umumnya: Hamzah Haz Kedua tokoh tersebut kelihatannya cenderung mendukung pencalonan B.J, Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia ke- 4 3. Target Utama Poros Tengah Tujuan utama Poros Tengah adalah menciptakan kekuatan alternatif sebagai penengah antara kelompok B J. Habibie (Partai Golkar) dengan Megawati Soekarno Putri (PDIP) dengan merapatkan barisan di antara partai-partai politik Islam, baik dalam bentuk koalisi atau stembus accord dan lobby-lobby. Sedangkan target utama yang ingin dicapai Poros Tengah tampaknya adalah kemenangan pada pemilihan calon Presiden RI ke-4 di Sidang Umum 1990. Untuk itulah, salah satu kegiatan yang aktif dilakukan Poros Tengah adalah mempromosikan pencalonan K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden Republik Indonesia ke -4 dari Poros Tengah untuk mengimbangi pencalonan B.J Habibie dan Megawati Soekarno Putri. Dari pihak partai-partai politik Islam ( Poros Tengah ) sendiri, ada kekhawatiran, kalau Megawati Soekarno Putri (PDIP) menang dalam pemilihan Presiden RI ke 4, maka peran politik umat Islam akan termarginalisasi, mengingat di dalam tubuh partai yang berlambang kepala Banteng tersebut terdapat unsur partai yang nota bene non Muslim dan tidak menginginkan Islam tampil ke panggung politik. Selain itu, fatwa Ulama dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak mengizinkan perempuan menjadi Presiden. Padahal kans Megawati Soekarno Putri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk menduduki kursi Presiden RI ke 4 sangat besar, mengingat Partai ၹၻၼ¤£ Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) telah memenangkan suara terbanyak pada waktu pemilihan umum langgal 7 Juni 1999 dengan perolehan suara sekitar 35 %. Untuk mengatasi hal itu, maka Poros Tengah memunculkan figur Presiden yang dapat diterima sejumh lapisan masyarakat dan mampu merangkul seluruh kelompok yang ada dalam masyaiakat figur yang tampak memenuhi criteria tersebut adalah K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Untuk itulah. Poros Tengah bersemangat dan bersikukuh mencalonkan K. H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai calon Presiden Rl ke 4. Pada awalnya, pencalonan Gus Dur yang dikemukakan oleh amin Rais mendapatkan sambutan yang kurang baik dari internal Poros Tengah itu sendiri, seperti Yusril Ihza Mahendra (PBB) yang mengatakan bahwa pencalonan ini hanya bersifat pribadi dari Amien Rais dan tidak diputuskan oleh Poros Tengah.18 Begitu pula komentar yang keluar dari para petinggi PKB seperti Matori Abdul Djalil dan AS.Hikam. Partai Kebangkilan Bangsa (PKB) tidak bergeming untuk mendukung pencalonan tersebut. PKB tetap bersikukuh untuk mendukung Megawati Soekarno Putri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Kegigihan Matori Abdul Djalil mendukung pencalonan Megawati Soekarno Putri dianggap sebagai pelaksanaan hasil Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yaitu mendukung kepada partai pemenang pemilihan umum. Meskipun belum mendapat dukungan dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) atas pencalonan K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) oleh Poros Tengah, tetapi Amien Rais tetap maju terus, pantang menyerah. Berbagai langkah ditempuh Amien Rais untuk mengumandangkan gaung Poros Tengah dengan calon Presidennya. Selain itu. pertemuan dengan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pun dilakukan beberapa kali untuk meyakinkan bahwa Poros Tengah ͳͺǤǡǤ ဓ¡¡£ၹၻၽ serius dalam mencalonkannya. Dan akhirnya K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menerimanya dengan alasan keagamaan. Akhirnya calon yang berhak maju ke pemilihan Presiden adalah Megawati Soekarno Putri dan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Namun sebelum ke tingkat pemilihan, Partai Bulan Bintang sempat mengajukan Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra untuk maju sebagai Presiden. Hal ini dilakukan Partai Bulan Bintang yang juga anggota Poros Tengah. karena khawatir di tengah perjalanan pemilihan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ingin mengundurkan diri. Apabila dugaan Partai Bulan Bintang benar, maka kesempaian Megawati Soekamo Putri menjadi Presiden akan terbuka lebar Dan hal ini tidak diinginkan oleh Partai Bulan Bintang dan Poros Tengah Selain itu pencalonan Yusril Ihza Mahendra dapat dikatakan membudayakan tradisi pencalonan Presiden lebih dari satu Karena selama ini pencalonan presiden hanya satu. Memasuki proses pemilihan Presiden, tiba-tiba Yusril Ihza Mahendra mengundurkan diri dengan alas an demi kemaslahatan bersama dan hormatnya terhadap K.H. Abdurrahman Wahid Gus Dur Dengan demikian, tinggal dua nama calon Presiden yaitu K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarno Putri. Penghitungan suara dilakukan secara rahasia (tertutup) dan memberlakukan one man. one vote. Sampai pada detik-detik terakhir ternyata dukungan suara mengalir ke K.H. Abdurrahman Wahid ((Gus Dur) yang dijagokan partai-partai politik Islam dari Poros Tengah sejumlah 373 suara Sedangkan Megawati Soekarno Putri memperoleh suara sebanyak 313 suara. Dengan demikian jago Poros Tengah: K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang memenangkan pertarungan calon Presiden RI ke 4. Ternyata suara untuk K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak hanya berasal dari Poros Tengah plus PKB tetapi dari Partai Golkar juga ikut andil memberikan suaranya Kemenangan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah kemenangan umat Islam melalui partai-partai politik Islam yang tergabung dalam kaukus Poros Tengah. Dapat dikatakan bahwa keberhasilan tersebut merupakan ၹၻၾ¤£ konspirasi Elite politik Islam, termasuk Elite Partai Golkar karena Partai Golkar yang dipmipin Akbar Tanjung adalah seorang mantan ketua Himpunan Maliasiswa Islam (HMI) yang nota bene adalah organisasi Islam Dengan demikian, kejayaan politik umal Islam yang pernah diraih pada masa Demokrasi Parlementer karena telah dapat direbut kembali peta kekuatan politik yaug selama ini dikuasai oleh Militer, Golkar dan Birokrasi kini beralih ke partai-partai politik terutama partai-partai politik Islam. E. Perubahan UUD 1945 Seperti harusnya sebuah negara modern, Indonesia memiliki konstitusi Negara sebagai basic law atau dasar hukum yang menjadi pilar dan sumber segala hukum dan aturan yang diberlakukan di Indonesia, konstitusi Republik Indonesia dikenal dengan Undang-Undang dasar 1945, yang isi awalnya dirancang oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berjumlah 62 orang dan diketuai oleh Mr. Radjiman Wedyodiningrat pada tanggal 29 Mei 1945 sampai 16 Juli 1945.19 Proses penyusunan dan pengesahan konstitusi ini tidak mudah dilakukan dan membutuhkan waktu yang cukup panjang dengan agenda kerja yang dilakukan secara bertahap. Di dalam sidang pertama BPUPKI (28 Mei hingga 1 Juni 1945) dibentuk panitia kecil yang disebut dengan Panitia Sembilan yang bertugas membuat piagam Jakarta yang akan digunakan sebagai salah satu bagian Mukaddimah UUD, dan panitia Sembilan ini berhasil merampungkan naskah Mukaddimah UUD pada tanggal 22 Juni 1945, dimana naskah Mukadimah tersebut disetujui oleh sidang II BPUPKI pada tanggal 1 Juli 1945. Setelah masalah Mukaddimah selesai, Soekarno membentuk lagi panitia kecil yang dipimpin oleh Soepomo untuk menyusun rancangan isi Undang – Undang Dasar sekaligus sebagai pembentukan ͳͻ Ǥ ǡ ȋȌǡ Pendidikan Kewargaan: demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat madaniǡȋǣǡʹͲͳͲȌǡ Ǥ͵ ဓ¡¡£ၹၻၿ Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang berjumlah 21 orang dengan Ir Soekarno sebagai ketuanya.20 Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Undang-Undang Dasar sebagai Konstitusi Negara Republik Indonesia di sahkan dan ditetapkan pada hari sabtu, 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan nama Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, baru pada awal tahun 1959 muncul istilah 1945 dibelakang UUD. Dengan konteks dan materi yang sama, UUD 1945 mengalami beberapa kali perubahan nama dan istilah21, yaitu: 1. 2. 3. 4. Undang Undang Dasar 1945 (UUD) dengan masa berlaku sejak 18 agustus 1945 – 27 Desember 1949. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) yang berlaku pada 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950. Undang Undang Dasar Sementara (UUDS) Republik Indonesia yang berlaku pada 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959. Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dengan masa berlaku sejak 5 Juli 1959 – sekarang. Walaupun perubahan nama dan Istilah untuk Undang Undang dasar 1945 tidak seringkali berubah mengikuti irama perubahan kondisi politik di Indonesia, mukaddimah dan isi UUD 1945 tersebut tidak mengalami perubahan secara signifikan sampai bergulirnya tuntutan reformasi. Dimana salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru terjadi banyak sekali pelanggaran terhadap isi dan kandungan UUD 1945, diantaranya tentang kekuasaan tertinggi yang ʹͲǤ ʹͳǤǡǤͶ ၹၻႀ¤£ seharusnya ada ditangan rakyat, tetapi pada kenyataannya justru ada di tangan MPR, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi. Banyak pihak yang menginginkan perubahan konstitusi Negara ini dilakukan secara keseluruhan dengan melakukan renewal,22 tetapi dengan banyak pertimbangan, hanya dilakukan perubahan secara Amandemen di beberapa pasal saja yang dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan sosial politik dan kebutuhan bangsa Indonesia. Yang paling utama adalah tetap dipertahankannya Mukaddimah UUD 1945, karena dianggap sebagai kesepakatan para pendiri bangsa23, dan didalamnya mengandung banyak dasar-dasar dan tujuan bernegara sebagai panduan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk tetap bertahan dan kokoh sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Tujuan dari dilakukannya amandemen UUD 1945 adalah untuk menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan atau staat structuur, kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil. Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:24 ʹʹ Renewal Ǥ amandemen ǡ Ǥ ʹ͵ǤǡǤǤǡǤǡǤ ʹͶǣȀȀ ǤǤȀ Ȁ ȀȀ ǤǤConstitution of IndonesiaǡͳͶʹͲͳͳǤ ဓ¡¡£ၹၻႁ 1. 2. 3. 4. Amandemen pertama pada Sidang Umum MPR tahun 1999 (14-21 Oktober 1999). Fokus amandemen UUD 1945 pertama ini membatasi kekuasaan presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan rakyat sebagai lembaga legislatif. Amandemen kedua pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000 ( 7-18 Agustus 2000). Pada amandemen kedua ini, dihasilkan rumusan perubahan pasal-pasal yang meliputi masalah wilayah Negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan terperinci tentang Hak Asasi Manusia atau HAM. Amandemen ketiga pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001, (1-9 November 2001). Amandemen ketiga ini mengubah dan menambah ketentuan-ketentuan pasal tentang asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, serta ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum. Amandemen keempat pada Sidang Tahunan MPR 2002, (1-11 Agustus 2002). Amandemen keempat ini membahas ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), pasal pasal tentang pendidikan dan kebudayaan, perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan. Empat tahap perubahan UUD 1945 tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, sedangkan perubahan yang dilakukan menghasilkan 199 butir ketentuan. Saat ini, dari 199 butir ketentuan yang ada dalam UUD 1945, hanya 25 sekitar12% butir ketentuan yang tidak mengalami perubahan. Selebihnya, sebanyak 174 atau sekitar 88% ၹၼၸ¤£ butir ketentuan merupakan materi yang baru atau telah mengalami perubahan.25 Dari sisi kualitatif, perubahan UUD 1945 bersifat sangat mendasar karena mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR menjadi dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar. Hal itu menyebabkan semua lembaga negara dalam UUD 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat. Selanjutnya yang menjadi tanggung jawab bersama seluruh rakyat Indonesia, adalah melaksanakan apa yang sudah menjadi amanat amandemen UUD 1945 demi terciptanya masyarakat berdasarkan hukum yang berkeadilan dan menuju tatanan kenegaraan yang lebih baik. F. Bikameralisme Hal terpenting dari terjadinya transisi demokratisasi di Indonesia adalah dengan dilaksanakannya reformasi yang cukup signifikan dibidang ketatanegaraan dengan diamandemennya UUD 1945 sebagai konstitusi Negara kesatuan Republik Indonesia. Struktur ketatanegaraan Indonesia berubah sejak diamandemennya UUD 1945 pasal VIIA (pasal 22C dan pasal 22D) tentang pembentukan, pemilihan, tugas dan wewenang, serta pemberhentian Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga baru representasi kepentingan seluruh daerah yang termasuk wilayah Republik Indonesia, dan sebagai lembaga yang diberikan wewenang untuk membahas rancangan undang-undang yang berhubungan dengan otonomi daerah(UUD 1945 Bab VIIA pasal 22D ayat 2), dan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan implementasi undang-undang yang berhubungan dengan undang –undang otonomi daerah (UUD 1945 Bab VIIA pasal 22D ayat 3).26 ʹͷUUD’45 dan AmandemenyaȋǣǡʹͲͳͲȌǡǤʹ ʹǤǡǤͳ ဓ¡¡£ၹၼၹ Dengan dimasukkannya bab serta pasal-pasal mengenai DPD tersebut, menandai bagaimana sistem unicameral yang dianut Indonesia lebih dari 32 tahun berubah menjadi sistem bicameral. Perubahan tersebut tidak terjadi seketika, tetapi melalui tahap pembahasan yang cukup panjang baik di masyarakat maupun di MPR, khususnya di Panitia Ad Hoc I. Proses perubahan di MPR selain memperhatikan tuntutan politik dan pandangan pandangan yang berkembang bersama reformasi, juga melibatkan pembahasan yang bersifat akademis, dengan mempelajari sistem pemerintahan yang berlaku di negaranegara lain khususnya di negara yang menganut paham demokrasi. Sistem dua kamar adalah praktik pemerintahan yang menggunakan dua kamar legislatif atau parlemen. Jadi, parlemen dua kamar (bikameral) adalah parlemen atau lembaga legistlatif yang terdiri atas dua kamar. Di Inggris sistem dua kamar ini dipraktikkan dengan menggunakan istilah Majelis Tinggi (House of Lords) dan Majelis Rendah (House of Commons).27 Di Amerika Serikat sistem ini diterapkan melalui kehadiran Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dan di Indonesia diimplementasikan dengan Dewan Perwakilan rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), keduanya sebagai organ yang saling melengkapi didalam lembaga legislatif. Sebelum di sahkannya keberadaan DPD sebagai reperesentasi kepentingan daerah di tingkat pusat, berkembang kuat pandangan tentang perlu tidaknya keberadaan lembaga yang dapat mewakili kepentingan-kepentingan daerah, serta menjaga keseimbangan antardaerah dan antara pusat dengan daerah secara adil dan merata. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya sentralisasi kekuasaan seperti yang terjadi pada masa Orde Baru Gagasan dasar pembentukan DPD adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk permasalahan yang berkaitan langsung ʹ ǡ Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, masyarakat dan Kekuasaan,ȋǣǡͳͻͻͻȌǡǤͳ͵ͺ ၹၼၺ¤£ dengan kepentingan daerah. Keinginan tersebut berangkat dari pemikiran dan pelajaran periode terdahulu bahwa pengambilan keputusan yang bersifat sentralistik pada masa Orde Baru ternyata telah mengakibatkan ketimpangan pembangunan masyarakat dan rasa ketidakadilan, sehingga dapat membahayakan keutuhan wilayah negara dan persatuan nasional. Keberadaan unsur Utusan Daerah dalam keanggotaan MPR selama ini (sebelum dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945) dianggap tidak memadai untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut.28 Ide tentang model dua kamar dalam satu lembaga legislatif ini bukanlah hal yang mudah dipahami banyak orang termasuk para elit politik yang berada di kekuasaan, apalagi dengan terlalu panjangnya kekuasaan Orde Baru yang bersifat sentralistis dengan lembaga legislative (DPR MPR) sebagai lembaga super kuasa yang memiliki wewenang tanpa control dalam urusan perundang-undangan di Indonesia, , Indonesia selalu menganut sistem unicameral, kecuali dalam periode yang pendek pada masa RIS di tahun 1950. Banyak pihak yang mempertanyakan apakah system seperti ini cocok untuk Indonesia yang merupakan Negara kesatuan, sedangkan biasanya system bicameral diimplementasikan di Negara dengan system federal. Dengan pertimbangan penerapan undang-undang otonomi daerah dan sangat luasnya wilayah Indonesia dengan kondisi geografis yang beragam serta pluralitas suku, ras, bahasa dan budaya yang ada, system bicameral ini dianggap cocok untuk diterapkan. System bicameral pertama diterapkan di Inggris pada abad ke-14. Selain lahir dari tradisi dan sejarah yang panjang, diterapkannya bikameralisme dalam sistem perwakilan diberbagai negara pada umumnya didasarkan atas dua pertimbangan29, yaitu: ʹͺ ǡ Bikameralisme di Indonesiaǡ ǤǤ ǡͳͲʹͲͳͲǤ ʹͻǤƬǡSenates: Bicameralism in the Contemporary World.(ǣǡǡͳͻͻͻȌǤ͵ ဓ¡¡£ၹၼၻ 1. 2. Representasi, dimana dibutuhkannya system perwakilan yang lebih luas dari system proporsional yang dilakukan berdasrkan jumlah penduduk. Hingga seringkali dikatakan bahwa majlis rendah atau house oh commons adalah representasi dimensi jumlah penduduk, dan majlis tinggi atau house of lord adalah representasi dari dimensi territorial. Redundancy, perlu adanya sistem yang menjamin bahwa keputusan-keputusan politik yang penting, dibahas secara berlapis (redundancy) sehingga berbagai kepentingan dipertimbangkan secara masak dan mendalam. Menurut pendapat para ahli, sistem bikameral mencerminkan prinsip checks and balances bukan hanya antar cabang-cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) tapi juga di dalam cabang legislatif itu sendiri. Dengan demikian maka system bikameral dapat lebih mencegah terjadinya tirani mayoritas maupun tirani minoritas Di Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dipilih berbarengan dengan pemilihan anggota DPR dan DPRD dalam pemilihan umum legislative, dengan status sebagai majlis tinggi dalam Majlis Perwakilan rakyat (MPR), DPD dipilih secara langsung oleh rakyat sebagai perwakilan dari setiap provinsi tanpa melalui partai politik seperti halnya anggota DPR dan DPRD. Secara historis, DPD pertama dalam sejarah politik Indonesia dilantik pada 1 Oktober 2004 dengan 128 anggota dengan segala keterbatasan konsep dan pemahaman tentang system dua kamar dalam sejarah legislatif di Indonesia. Namun demikian, pada perkembangannya, keberadaan DPD masih dipertanyakan banyak pihak, baik dari kewenangan yang diberikan kepada DPD yang sangat terbatas, lingkup kerja dan tanggung jawab yang maih sangat minim dan masih terlalu besarnya kewenangan DPR disbanding kewenangan DPD, hingga menimbulkan kesan tidak berimbangnya keberadaan dua kelompok elit dalam MPR ini. Hal tersebut membuat keberadaan Dewan Perwakilan Daerah tampak sebagai aksesoris hiasan politik atas nama demokrasi yang ၹၼၼ¤£ dipakai oleh system perwakilan yang ada di Indonesia, hal ini sangat disayangkan, karena bila dapat dimaksimalkan, keberadaan DPD bisa dijadikan sebagai pelengkap tugas dan kewenangan DPR sekaligus bisa dijadikan sebagai penguat mekanisme check and balances dalam system politik Indonesia G. Militer di Era Pemerintahan Abdurrahman Wahid Terpilihnya K.H. Abdurrahman wahid sebagai presiden adalah hasil kerja keras kelompok poros tengah yang dimotori oleh Amien Rais, sebagai salah satu drama politik Indonesia pasca Orde Baru yang cukup fenomenal dan dramatis, bahkan beberapa orang pengamat menyebutnya sebagai rekayasa politik terhebat sepanjang pemilihan kepala Negara di Indonesia. Pada bursa pencalonan presiden untuk priode 1999 -2004, Caloncalon Presiden yang diunggulkan oleh partai-paitai politik hanya ada tiga calon yaitu: B.J. Habibie, Megawati Soekarno Putri dan K.H. Abdurahman Wahid, namun setelah B.J. Habibie memberikan laporan penanggung jawabanya teryata laporan penanggung Jawaban teisebut ditolak dan diikuti pula dengan permintaan pengunduran diri B.J. Habibie dari pencalonan Selain kemenangan K.H Abdurahman Wahid (Gus Dur) dianggap sebagai kemenangan politik umat Islam juga perolehan posisi di lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) oleh Amin Rais dan lembaga legislative oleh akbar Tanjung dianggap sebagai kemenangan mutlak umat Islam. Dengan demikian analisa bahwa mayoritas bangsa Indonesia adalah “Islam Abangan” yang ditandai dengan kemenangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam pemilihan umum 7 Juni 1999 kemarin tidak berlaku, jika diterapkan di Lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Meskipun demikian, Kabinet yang dibentuk presiden Abdurrahman Wahid tidak dimonopoli oleh kekuatan Islam semata, tetapi mencoba merangkul seluruh komponen bangsa, sehingga disebut Kabinet ဓ¡¡£ၹၼၽ Persatuan Nasional, secara teoritis, hal ini bisa dijelaskan dengan menggunakan pendekatan fusionist (pembauran) yang dikemukakan oleh Amos Perlmutter yang mengatakan bahwa pada faktanya, rezimrezim dinegara-negara berkembang sebetulnya merupakan peleburan dari elite sipil, teknokrat, dan elite militer.30 Selama kepemimpinannya yang hanya berumur 20 bulan (November 1999-juli 2001), banyak kebijakan politik yang dikeluarkan oleh Gus Dur, diantaranya adalah yang berhubungan dengan upaya maksimalisasi supremasi sipil atas militer yang selama lebih dari lima dasawarsa di kebiri sejak mas pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Seperti sudah dikemukakan, pada masa Orde Baru, militer menjadi tangan kanan Orde Baru bagi upaya mengimplementasikan hamper seluruh kebijakan Orde Baru, bahkan militer sudah menjadi organisasi terpenting yang mendukung tegaknya berjayanya Orde baru selama lebih dari 32 tahun, hal ini dilakukan dengan kebijakan dwi Fungsi ABRi yang memberikan keleluasaan kepada militer untuk terlibat pada setiap kegiatan sosial, poltik, ekonomi, dan sektor lain yang dianggap strategis. Pada setiap periode kepemimpinan politik di Indonesia, militer selalu menjadi salah satu aktor utama yang ikut bermain secara intensif, bahkan pada kabinet syahrir, yang terkenal anti militer, bahkan menyebut kekuatan militer sebagai fasis,31 militer pada masa syahrir mengklaim merekalah yang telah berjasa memperjuangkan kemerdekaan, hal tersebut untuk mengconter opini yang berkembang bahwa kemerdekaan berhasil diproklamasikan karena perjuangan diplomasi yang dilakukan oleh para elite politik saat itu.32 Pimpinan Angkatan Perang Panglima Besar Jenderal Soedirman secara tegas menyatakan bahwa Angkatan Bersenjata tidak harus tunduk pada penguasa sipil, hal ini karena pemahaman umum yang diyakini bahwa ͵ͲǡPolitical roles and Military RolesȋǢǡͳͻͺͲȌǡǤʹ͵Ǥ ͵ͳǤǡGus Dur Militer dan PolitikǡȋǣǡʹͲͲͶȌǡǤ͵Ͷ ͵ʹǤǡǤ͵ͷ ၹၼၾ¤£ kekuasaan militer sama dengan kekuasaan politik.33 Hal tersebut dapat dimaklumi karena suasana politik masih kental dengat semangat kemerdekaan dan nasionalisme yang sangat tinggi, ditambah dengan masih tidak jelasnya pemahaman fungsi militer dan fungsi sipil di antara masyarakat akibat dari semangat perjuangan kemerdekaan melawan Belanda yang memiliki sifat politik sekaligus semangat militer yang kuat. Sifat perjuangan yang memiliki watak militer terus membawa kecendrungan militer untuk masuk kedalam persoalanpersoalan politik. 34 Pasang surut konsistensi keterlibatan militer dalam peta politik Indonesia terus berlanjut dengan frekwensi yang berbeda, dan mengalami puncaknya pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto yang sekaligus menjabat Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, militer makin menancapkan sayapnya pada setiap sector pembangunan, tidak hanya semangat militeristik yang dibawa tetapi organisasi dan individu anggota militer pun terlibat secara aktif pada jajaran kepemimpinan masyarakat dari yang tertinggi sampai tingkat terendah dalam masyarakat. K.H Abdurrahman Wahid melakukan banyak perubahan yang signifikan berkaitan dengan fungsi militer dalam kehidupan sipil. Gus Dur secara perlahan namun pasti mereduksi eksistensi militer dalam kehidupan sosial politik masyarakat. Berikut beberapa kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid terhadap eksistensi militer di Indonesia: 35 1. Pemisahan TNI-Polri dengan dikeluarkannya Kepres No89 tahun 2000, yang ditegaskan dengan Ketetapan MPR/VI/2000 tentang pemisahan TNI Polri. ͵͵ȋǤȌ, Pejuang dan PrajuritǡȋǣǡͳͻͻͳȌǡǤ ͷͳ ͵Ͷ ǡmiliter dan Politik di IndonesiaǡȋǣǡͳͻͻͻȌǡǤʹʹ ͵ͷǤǡGus Dur Militer…, Ǥ͵ʹ ဓ¡¡£ၹၼၿ 2. 3. 4. 5. 6. 7. Penghapusan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan stabilitas Nasional (Bakortanas) dan Penelitian Khusus (Litsus), melalui dikeluarkannya Kepres No. 38 tahun 2000. Penggantian Kementrian Pertahanan dan Keamana (Menhankam) menjadi Kementrian Pertahanan (Menhan) yang dilanjutkan dengan menempatkan sipil sebagai meneri pertahanan. Melakukan rotasi kepemimpinan tertinggi TNI dari biasanya dipegang oleh Angkatan Darat, lalu dipegang oleh Angkatan Laut dan selanjutnya akan bergiliran dengan Angkatan yang lain. Dicopotnya Jenderal TNI Wiranto dari jabatannya sebagai Menkopolkam, karena dianggap terlibat dalam pelanggaran HAM di Timor Timur pasca referendum. Dihapuskannya posisi wakil Pangab. Rotasi jabatan perwira tinggi seperti dilakukannya penggantian posisi Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Perlawanan banyak muncul dari kelompok militer, menurut mereka, presiden Gus Dur sudah terlalu berlebihan menghadapi militer, puncaknya terjadi perlawanan dari kalangan militer dengan adanya aksi menolak atas Maklumat Presiden dan dukungan atas Sidang istimewa MPR tahun 2001.36 Penolakan para perwira TNI terhadap mutasi perwira terutama dengan diangkatnya Agus Wirahadikusuma sebagai pangkostrad menggantikan Djaja Suparman, dan diberhentikannya KSAD Jenderal TNI Endriartono Sutarto ditunjukkan dengan sangat jelas dengan dilakukannya gerakan anti kebijakan Gus Dur yang melibatkan Pangdam se Nusantara dan sejumlah purnawirawan dan mantan KSAD yang masih memiliki pengaruh kuat di TNI.37 Pada saat itu, Gus Dur dianggap telah melanggar mekanisme Dewan Kenaikan pangkat dan Jabatan Tinggi (Wanjati) yang sudah menjadi prosedur tetap pada setiap mutasi ͵ǤǡǤ ͵ǤǡǤ͵͵Ǧ͵͵ ၹၼႀ¤£ dan pergeseran posisi di tubuh TNI.38 Namun demikian, sejumlah pengamat mengatakan aksi penolakan tersebut dilakukan sebagai taktik dan strategi TNI untuk kembali mencampuri ranah politik, hal ini terjadi seperti membenarkan thesis Amos Perlmutter yang mengatakan bahwa semakin tinggi kedudukan seorang perwira militer, semakin ia akan bersifat politis, terutama pada situasi-situasi tertentu yang melibatkan organisasi militer dalam aksi-aksi politik.39 Kebijakan Gus Dur terhadap militer yang mengusung supremasi sipil merupakan sebuah keharusan bagi pertumbuhan dan perkembangan dinamisasi demokrasi di Indonesia, karena hal terpenting yang harus dilakukan untuk menata kehidupan yang demokratis adalah dengan dengan menata ulang hubungan sipilmiliter, penataan peran dan fungsi sipil-militer ini akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan transisi demokratisasi yang sedang diusahakan.40 Bahkan di negara- negara maju, format hubungan sipilmiliter diimplementasikan pada konsep supremasi sipil atas militer atau yang dikenal dengan istilah civilian supremacy upon the military.41 Wacana tentang reposisi peran TNI dan supremasi sipil menjadi sangat hangat dibicarakan pada masa pemerintahan Gus Dur, sebagai seorang presiden yang mengemban amanat reformasi, Gus Dur menyambut baik dan secara aktif mendorong wacana reposisi TNI yang sudah diputuskan oleh Rapat Pimpinan TNI. Gus Dur juga menerbitkan Keputusan Presiden No.89 Tahun 2000 tentang kedudukan Kepolisian Republik Indonesia. Hal ini adalah realisasi dari upaya menempatkan TNI-Polri berada langsung dibawah lembaga kepresidenan. Keputusan ini dipertegas dengan adanya Ketetapan MPR/VI/2000 tentang pemisahan TNI Polri.42 Pemisahan TNI dan Polri dinilai Gus Dur sangat penting dilakukan ͵ͺǤǤ͵͵ ͵ͻǡMiliter dan Politikȋǣ ϐǡʹͲͲͲȌǡǤͳͺ ͶͲǤǡ ǥǡǤǡǤ͵ʹʹ ͶͳǡMiliter Indonesia dan Politik, Dulu, Kini, dan Kelakǡȋǣǡ ʹͲͲͳȌǡǤ͵Ͳʹ ͶʹǤǡ ǥǡǤǡǤ͵ʹ ဓ¡¡£ၹၼႁ karena berhubungan dengan seringnya terjadi tumpang tindih tugas dan wewenang dua institusi militer tersebut, karena itu setelah dilakukan pemisahan, menjadi jelas pembedaan tugas antara TNI dan Polri, dimana ditegaskan bahwa keduanya adalah alat Negara, tugas TNI dalam bidang pertahanan dan Polri dalam bidang keamanan dan ketertiban hukum, panglima TNI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, Polri berada dibawh presiden, dan Kapolri di angkat dan di berhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR.43 Upaya pengurangan hak-hak istimewa militer terhadap sipil yang dilakukan Gus Dur diharapkan mampu meningkatkan kontrol sipil atas militer dan upaya untuk lebih mengendalikan pengendalian yang dilakukan oleh militer atas prilaku represif yang seringkali ditunjukkan oleh kalangan militer. Sepertinya secara teoritis, Gus Dur sudah berhasil mempertegas dikotomi antara kepentingan sipil dan kepentingan militer di Indonesia, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya cukup memberikan harapan akan terwujudnya supremasi sipil sebagai salah satu indicator demokrasi, namun pada prakteknya, masih banyak hal yang harus dievaluai dari implementasi kebijakan kebijakan tersebut, bukan hanya karena yang terjadi justru hubungan sipil-militer yang makin runcing, ternyata militer Indonesia masih belum siap meninggalkan ranah non-militeristik dan menyerahkan sepenuhnya urusan politik kepada sipil, hal ini ditandai masih banyaknya personel militer, baik yang aktif lalu pensiun dini untuk bisa terlibat langsung pada ranah politik, maupun para purnawirawan yang masih membawa aura militeristiknya kedalam urusan politik ketika mereka duduk pada jabatan-jabatan politik baik di lembaga legislatif, maupun eksekutif. Ͷ͵ Ǥ Ǥ Implikasi Reposisi TNI-Polri di Bidang Hukumǡ ȋǣ ǡʹͲͲͳȌǡͳǤ ၹၽၸ¤£ RANGKUMAN Pada masa reformasi yang dimulai dengan mengundurkandirinya Soeharto dari kursi kepresidenan memberikan angin segar bagi harapan terjadinya perubahan kondisi sosial ekonomi dan politik di Indonesia. Perubahan peta politik secara simultan terjadi, dimulai dengan runtuhnya cengkraman Orde Baru yang dimotori oleh Golkar, pergantian iklim politik dan kepartaian dengan dibukanya keran demokrasi yang diawali dengan diberikannya keleluasaan untuk mendirikan partai politik asalkan memenuhi prasyarat dan ketentuan yang sudah ditetapkan, dilanjutkan dengan diadakannya pemilihan Umum yang dinilai lebih demokratis dari pemilu-pemilu sebelumnya dimana jumlah partai peserta pemilu yang sangat banyak (48 partai politik). Iklim perubahan sangat kentara didalam keanggotaan DPR MPR, dimana para aktor-aktor intelektual yang berada di belakang gerakan reformasi terlibat langsung dalam upaya pemilihan presiden Republik Indonesia yang ke empat. Pemilihan presiden kali ini kental dengan pertarungan ideologi baik yang berbasis agama, budaya maupun keyakinan lain yang selama era Orde Baru diintervensi dengan sangat kuat. Hal besar lain yang terjadi adalah dengan dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dengan merubah beberapa pasal (bahkan bisa dikatakan sebagian besar) yang ada dalam batang tubuh UUD 1945. Amandemen konstitusi ini memberikan lampu hijau bagi perubahan perjalanan politik Indonesia kedepan. Banyak sekali pasl-pasal penting yang diamandemen dan memberikan keleluasaan bagi pendidikan politik untuk masyarakat secara lebih komprehensif, seperti pasal-pasal mengenai pemilihan presiden langsung, pemilihan umum legislative langsung, keberadaan Dewan Perwakilan daerah, dilakukannya desentralisasi kekuasaan dengan adanya otonomi daerah, pembatasan kekuasaan presiden dan wakil ဓ¡¡£ၹၽၹ presiden, dan pasal-pasal lain yang menjadi dasar berubahnya iklim politik di Indonesia. Gerakan reformasi telah mengantarkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden yang tidak hanya dipilih secara kontroversial tetapi juga menjalankan pemerintahannya secara controversial dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang cukup mengejutkan dan mengundang tanda tanya banyak pihak. Namun demikian, dengan segala kontroversi yang dimiliki Gus Dur, beliau sudah melakukan perubahan yang sangat signifikan terutama dalam urusan reposisi militer di Indonesia, Gus Dur secara legal formal telah berhasil mereduksi cengkraman militer atas kepentingan sipil dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Reformasi tetap belum selesai, walau iklim politik sudah banyak berubah, apa yang dilakukan oleh para poecinta negeri ini dengan mengusung reformasi dan melakukan beberapa perubahan kebijakan politik hanyalah awal yang masih harus dilanjutkan dengan kerja keras dan konsistensi terhadap idealism tentang perubahan itu sendiri. Wacana demokrasi yang diusung sebagai pilar perubahan menuju kondisi yang lebih baik masih harus dipelajari lebih dalam, dan dicari penyesuaiannya dengan budaya politik yang dimiliki oleh Indonesia, agar tidak memunculkan situasi dan kondisi yang ironi dengan citacita demokrasi itu sendiri. ၹၽၺ¤£ BAB VII ERA REFORMASI (LANJUTAN) A. Pemilihan Umum 2004 dan Sistem Kepartaian Tahun 2004 adalah tahun yang sangat bersejarah bagi perjalanan demokrasi di Indonesia pasca gerakan reformasi 1998, pada tahun ini di gelar perhelatan akbar pemilihan umum pertama yang meniscayakan rakyat memilih wakilnya secara langsung, baik untuk sebagai anggota DPR, DPD, dan DPRD yang selanjutnya akan diteruskan dengan Pemilihan Presiden dan wakil Presiden secara langsung pula. Dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 2002, ditambahkan 14 amandemen pada Undang-Undang Dasar 1945. Di antara amandemen tersebut, terdapat perubahan dalam badan legislatif. Dimulai dari tahun 2004, MPR akan terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Karena semua kursi di MPR akan dipilih secara langsung, militer diminta untuk dihilangkan dari dewan perwakilan. Seperti yang dicita-citakan oleh gerakan Reformasi 1998, perubahan dan pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden merupakan langkah besar bagi Indonesia untuk mencapai demokrasi.1 Dilanjutkan pada tanggal 13 Juli 2003, Presiden Megawati Sukarnoputri menandatangani undangundang yang menguraikan isi dari MPR. DPD baru akan terdiri dari ͳǡIndonesia takes a giant step down the road to democracyǡThe Guardianǡ ͳͳʹͲͲʹǤͳͲʹͲͳͳǤ ဓ¡¡£ၹၽၻ empat perwakilan dari setiap provinsi di Indonesia. UU tersebut juga mengubah keanggotaan DPR menjadi 550 orang. 1. Pemilihan Umum LegislaƟf. Pemilihan umum legislatif 2004 ini diikuti oleh 24 kontestan partai politik, yang sudah dinyatakan lulus pada tahapan verifikasi partai politik calon peserta pemilu yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebelumnya telah mendaftar 150 partai politik yang berminat menjadi kontestan pemilu, lalu setelah melakukan seleksi tersisa 50 partai politik yang dianggap layak untuk mengikuti tahapan verifikasi akhir yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hingga akhirnya tersisa 24 partai politik peserta pemilu yang dianggap layak untuk mengikuti pemilihan umum 2004.2 Pemilu kedua pasca reformasi ini dilaksanakan serentak pada tanggal 5 April 2004, dilaksanakan dengan menggunakan mekanisme pemilihan secara langsung untuk memilih 550 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 20042009. System yang digunakan pada pemilu 2004 ini adalah system proporsional daftar calon terbuka dengan nomor urut sebagaimana telah di atur dalam UU No.12 tahun 2003. Pemilu ini bertujuan untuk memilih partai politik (sebagai persyaratan pemilu presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Partai-partai politik yang memperoleh suara lebih besar atau sama dengan tiga persen dapat mencalonkan pasangan calonnya untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu pada Pemilu presiden putaran pertama. Pemilu ini diamati oleh organisasi-organisasi seperti Australian Parliamentary Observer Delegation dan European Union Election Observer Mission.3 ʹǤǤǤ ͵ ǡ The Republic of Indonesia: General and Presidential Elections, April – September 2004ǡ ǡ ͺʹǦͻͲͺͷͳǦͺͲǦͶǡ Ǥͳǡ ၹၽၼ¤£ Pesta Demokrasi tahun 2004 ini, berjalan dengan baik dan hamper tidak ada hambatan yang berarti, namun demikian ada beberapa hal yang harus dibenahi, seperti daftar Pemilih Tetap yang masih berantakan, jadual kampanye yang kurang efektif, sosialisasi pemilu yang kurang dan membuat banyak calon pemilih tidak terlalu mengerti mekanisme pemilihan umum yang benar, dan masih banyak lagi kekurangan baik yang bersifat teknis maupun non teknis. Dengan semua kekuranagn yang ada, pemilu 2004 berhasil memilih para calon anggota legislatif yang memiliki kekuatan hukum dan cukup memenuhi azas demokrasi, karena dipilih secara langsung oleh rakyat yang menjadi konstituen mereka. Dalam hal pembagian alokasi kursi, untuk mencapai jumlah perwakilan yang sepadan, pembagian kursi dilakukan dengan menggunakan largest remainder method, sementara kuota Hare digunakan untuk menentukan kursi yang secara otomatis diduduki oleh partai perorangan. Kursi tersisa yang ditetapkan kepada daerah pemilihan dibagikan kepada partai politik tersisa berdasarkan urutan peringkat suara.4 Berikut hasil pemilihan umum legislatif dan pembagian alokasi kursi anggota DPR RI tahun 2004: ʹͶʹͲͳͳǤ Ͷ Ǥ ǡ Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2004, ʹʹͲͳͳǤ ဓ¡¡£ၹၽၽ Tabel 7.1 Hasil Perolehan Suara dan Prosentase Perolehan Kursi Pemilu Legislatif anggota DPR RI tahun 2004 No Partai Jmlh Suara Persentase Jml Kursi Persentase Keterangan 1. Partai Golongan Karya 24.480.757 21,58% 128 23,27% Lolos 2. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 21.026.629 18,53% 109 19,82% Lolos 3. Partai Kebangkitan Bangsa 11.989.564 10,57% 52 9,45% Lolos 4. Partai Persatuan Pembangunan 9.248.764 8,15% 58 10,55% Lolos 5. Partai Demokrat 8.455.225 7,45% (55) 10,00% Lolos 6. Partai Keadilan Sejahtera 8.325.020 7,34% 45 8,18% Lolos 7. Partai Amanat Nasional 7.303.324 6,44% (53) 9,64% Lolos 8. Partai Bulan Bintang 2.970.487 2,62% 11 2,00% Lolos 9. Partai Bintang Reformasi 2.764.998 2,44% (14) 2,55% Lolos 10. Partai Damai Sejahtera 2.414.254 2,13% (13) 2,36% Lolos 11. Partai Karya Peduli Bangsa 2.399.290 2,11% 2 0,36% Lolos 12. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 1.424.240 1,26% 1 0,18% Lolos 13. Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan 1.313.654 1,16% (4) 0,73% Lolos Tidak lolos 14. Partai Nasional Banteng Kemerdekaan 1.230.455 1,08% (0) 0,00% 15. Partai Patriot Pancasila 1.073.139 0,95% 0 0,00% Tidak Lolos 16. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme 923.159 0,81% 1 0,18% Lolos 17. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia 895.610 0,79% 0 0,00% Tidak Lolos 18. Partai Pelopor 878.932 0,77% (3) 0,55% Lolos 19. Partai Penegak Demokrasi Indonesia 855.811 0,75% 1 0,18% Lolos 20. Partai Merdeka 842.541 0,74% 0 0,00% Tidak Lolos 21. Partai Sarikat Indonesia 679.296 0,60% 0 0,00% Tidak Lolos 22. Partai Perhimpunan Indonesia Baru 672.952 0,59% 0 0,00% Tidak Lolos 23. Partai Persatuan Daerah 657.916 0,58% 0 0,00% Tidak Lolos 24. Partai Buruh Sosial Demokrat 636.397 0,56% 0 0,00% Tidak Lolos Jumlah 113.462.414 100,00% 550 100,00% Hasil akhir pemilu menunjukan bahwa Golkar mendapat suara terbanyak. Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dua partai terbaru dalam pemilu ini, mendapat 7,45% dan 7,34% suara. Hasil pemilu menunjukan bahwa Golkar memenangkan jumlah kursi terbanyak. Golkar menerika lebih banyak suara daripada partai lainnya di dua puluh enam provinsi. Hal tersebut terjadi karena berkurangnya popularitas PDI-P. Dukungan terhadap Golkar di Sulawesi berkurang karena munculnya partai menengah dan kecil di wilayah tersebut. Meskipun memenangkan jumlah suara terbesar di Bali, performa PDI-P di wilayah tersebut merupakan yang terburuk karena terjadinya bom Bali 2002. Performa PKB di Jawa Timur tetap berlangsung baik meskipun kehilangan suara. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat mencapai peringkat pertama dan kedua di Jakarta (yang dianggap sebagai “barometer politik Indonesia”). Jika digabung, jumlah suara kedua partai di ibukota mencapai 42.5%.5 Di wilayah provinsi – provinsi bagian Timur, pola pemilihan dengan mengedepankan isu agama jelas sangat kental mempengaruhi perolehan suara, Partai Damai Sejahtera (PDS) yang berbasis Kristen mendapat 14.8 suara di Sulawesi Utara dan 13 kursi di seluruh DPR. Muslim di wilayah bekas konflik religius cenderung memilih PKS yang berbasis Islam. Hasil pemilu ini menentukan partai politik mana yang dapat menyalonkan kandidatnya untuk pemilu presiden 2004 pada 5 Juli. Hanya partai yang memperoleh lima persen popular vote atau tiga persen kursi di DPR yang dapat menyalonkan kandidatnya. Partai yang tidak memenuhi kriteria tersebut harus bergabung dengan partai lain untuk memenuhi salah satu kriteria.6 Sumber: Komisi Pemilihan Umum Catatan: Jumlah kursi di dalam kurung berarti jumlah tersebut dirubah setelah Mahkamah Konstitusi menyelesaikan sengketa mengenai hasil pemilu. ၹၽၾ¤£ ͷǤ Ǥ ဓ¡¡£ၹၽၿ 2. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Dari 24 partai politik peserta pemilu 2004, hanya tujuh partai politik yang mampu memenuhi kriteria untuk mengajukan calon kandidatnya dalam pemilu presiden 2004, ketujuh partai politik tersebut adalah: Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrat (PD), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN). PKS tidak mencalonkan kandidatnya, tetapi mendukung capres dari PAN.7 Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum Anggota DPR 2004. Untuk dapat mengusulkan, partai politik atau gabungan partai politik harus memperoleh sekurang-kurangnya 5% suara suara secara nasional atau 3% kursi DPR. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 50% jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Apabila tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pada saat pendaftaran di KPU, ada 6 pasang bakal calon presiden dan wakil presiden yang mendaftar, baik yang diusung oleh satu partai politik, maupun oleh gabungan atau koalisi beberapa partai politik, yaitu8: 1. K. H. Abdurrahman Wahid dan Marwah Daud Ibrahim (dicalonkan oleh Partai Kebangkitan Bangsa) ǤǤǤ ͺǤ ၹၽႀ¤£ 2. 3. 4. 5. 6. Prof. Dr. H. M. Amien Rais dan Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo (dicalonkan oleh Partai Amanat Nasional) Dr. H. Hamzah Haz dan H. Agum Gumelar, M.Sc. (dicalonkan oleh Partai Persatuan Pembangunan) Hj. Megawati Soekarnoputri dan K. H. Ahmad Hasyim Muzadi (dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla (dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia) H. Wiranto, SH. dan Ir. H. Salahuddin Wahid (dicalonkan oleh Partai Golongan Karya) Pada proses selanjutnya, pasangan K.H. Abdurrahman Wahid dan Marwah Daud Ibrahim dianggap tidak memenuhi syarat karena faktor kesehatan, tersisa lima pasang bakal calon yang bertarung pada pilpres 2004 putaran pertama. Pemilu 2004 putaran pertama diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004, dan diikuti oleh 5 pasangan calon. Berdasarkan hasil Pemilihan Umum yang diumumkan pada tanggal 26 Juli 2004, dari 153.320.544 orang pemilih terdaftar, 122.293.844 orang (79,76%) menggunakan hak pilihnya. Dari total jumlah suara, 119.656.868 suara (97,84%) dinyatakan sah, dengan rincian sebagai berikut: Tabel 7. 2 Hasil Perolehan Suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama No. Pasangan Calon Jumlah Suara Prosentase 1. H. Wiranto, SH. Ir. H. Salahuddin Wahid 26.286.788 22,15% 2. Hj. MegawaƟ Soekarnoputri H. Hasyim Muzadi 31.569.104 26,61% ဓ¡¡£ၹၽႁ 3. Prof. Dr. HM. Amien Rais Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo 17.392.931 14,66% 4. H. Susilo Bambang Yudhoyono Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla 39.838.184 33,57% 5. Dr. H. Hamzah Haz H. Agum Gumelar, M.Sc. 3.569.861 3,01% Sumber: Komisi Pemilihan Umum Karena tidak ada satu pasangan yang memperoleh suara lebih dari 50%, berdasarkan Amandemen UUD 1945 pasal 6A, maka diselenggarakan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh 2 pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua, yakni SBY-JK dan Mega Hasyim. Pemilu putaran kedua diselenggarakan pada tanggal 20 September 2004, dan diikuti oleh 2 pasangan calon. Berdasarkan hasil Pemilihan Umum yang diumumkan pada tanggal 4 Oktober 2004, dari 150.644.184 orang pemilih terdaftar, 116.662.705 orang (77,44%) menggunakan hak pilihnya. Dari total jumlah suara, 114.257.054 suara (97,94%) dinyatakan sah, dengan rincian sebagai berikut: Tabel 7. 3 Hasil Perolehan Suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2004 Putaran ke-2 No. Pasangan Calon Jumlah Suara Prosentase 1. Hj. MegawaƟ Soekarnoputri H. Hasyim Muzadi 44.990.704 39,38% 2. H. Susilo Bambang Yudhoyono Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla 69.266.350 60,62% Sumber: Komisi Pemilihan Umum Dengan menangnya pasangan no.4, yaitu H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Yusuf Kalla, maka secara otomatis, pasangan ini dianggap sebagai pemenang pilpres 2004 ၹၾၸ¤£ dan berhak menduduki jabatan sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia untuk priode 2004 – 2009. B. Pemilu 2009 dan Sistem Kepartaian 1. Pemilihan Umum Anggota LegislaƟf tahun 2009. Berdasarkan Undang-Undang No. 10 tahun 2008 pasal 5 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, Pemilihan Umum 2009 dilakukan dengan system Proporsional terbuka, dimana penentuan calon anggota legislatif dapat dilakukan dengan memenuhi ketentuan: a. b. Calon terpilih ditetapkan dengan prosentase terhadap bilangan pembagi pemilih (BPP) sebesar 30%. Bila terdapat lebih dari satu calon yang mencapai 30 % atau sama sekali tidak ada satupun calon yang mencapai 30 % maka penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut.9 Pemilihan umum ke-tiga pada masa reformasi ini dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009, dengan agenda memilih anggota legislative pada tingkat DPR, DPD dan DPRD, dilanjutkan dengan pemilihan presiden wakil presiden secara langsung. Pada awalnya, Komisi Pemilihan Umum menjadwalkan Pemilihan Umum Legislatif diadakan pada tanggal 5 April 2009, tetapi karena beberapa pertimbangan dari Presiden, Menteri dalam Negeri, dan Mahkamah Konstitusi.10 Pada awalnya, Pemilu 2009 diikuti oleh 34 partai politik yang telah lolos verifikasi KPU pada bulan tanggal 7 Juli 2008, terdiri dari 16 partai politik lama yang sudah mendapatkan kursi di DPR pada Pemilu 2004, dan 18 partai politik baru, baik yang baru pertama kali ikut menjadi peserta pemilu atau partai politik lama yang baru mengganti namanya, namun selanjutnya, Mahkamah Konstitusi ͻǤǤǤ ͳͲǤ ဓ¡¡£ၹၾၹ menetapkan bahwa seluruh partai politik peserta Pemilu 2004 berhak menjadi perserta Pemilu 2009, berdasarkan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta no. 104/VI/2008/PTUNJKT, akhirnya KPU menetapkan peserta Pemilu 2009 bertambah 4 partai politik lagi, hingga jumlah keseluruhannya menjadi 38 partai politik peserta pemilu 2009.11 Pesta demokrasi lima tahunan ini digelar untuk memilih 560 orang anggota DPR, 132 orang anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik untuk tingkat Provinsi maupun untuk tingkat Kabubaten/Kota, dilakukan serentak diseluruh Indonesia. Yang membedakan system pemilihan umum 2009 dengan pemilihan umum 2004 adalah pada mekanisme penetapan anggota legislatif terpilih adalah yang ditentukan karena perolehan suara terbanyak bukan berdasarkan nomor urut di partai politik. Aturan penentuan calon terpilih pada pemilu 2009 ini berbeda antara pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dalam pemilihan calon anggota DPR, daerah pemilihan yang ditentukan adalah provinsi atau gabungan kabupaten/kota dalam satu provinsi, total keseluruhan daerah pemilihan adalah 77 daerah pemilihan dengan jumlah kursi setiap daerah pemilihan antara 3-10 kursi yang ditentukan berdasarkan jumlah penduduk, dan karena adanya aturan mengenai parliamentary threshold12, partai politik yang memperoleh suara kurang dari 2,50% tidak berhak memperoleh kursi di DPR.13 Pada tanggal 13 Mei 2009, KPU mengumumkan hasil final perolehan suara secara nasional pemilihan umum legislatif 2009.14 Dan partai politik yang ͳͳ ǡͳͷʹͲͲͺǡAkhirnya KPU Putuskan 4 Partai Politik Gurem Ikut Pemilu 2009ǡͳͲʹͲͳͳǤ ͳʹ ʹͲͲͻǡǤͳͲʹͲͲͺ ǡǡʹͲʹͳǤ ǡ Ǧ parliamentary thresholdǤ ͳ͵ǤǤǤ ͳͶKPU Ubah 19Perolehan Kursi Partai Politik di DPR,ǡͳͶʹͲͲͺǡ ͳͲʹͲͳͳǤ ၹၾၺ¤£ dapat memenuhi parliamentary treshhold ini adalah Partai democrat, Partai Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP, Partai Gerindra, PartainHanura, dan PKB Untuk mekanisme pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dilakukan dengan system distrik berwakil banyak, dengan peserta pemilu atau calon terpilih adalah perorangan, tidak melalui partai politik atau kelompok kepentingan apapun, setiap provinsi akan diwakili oleh 4 orang anggota terpilih.15 Sedangkan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilakukan dengan menggunakan aturan, system, dan mekanisme yang sama dengan pemilihan anggota DPR, pengecualian diberikan untuk provinsi Nangro aceh Darussalam yang diberikan kesempatan untuk menambahkan partai politik peserta pemilu dengan 6 partai local. Hal ini dilakukan berdasarkan Nota Kesepahaman Helsinki 2005.16 Partai politik local Aceh yang menjadi peserta pemilu 2009 adalah: Partai Aceh Aman Seujahtra, Partai Daulat Aceh, Partai Suara Independen Rakyat Aceh, Partai Rakyat Aceh, Partai Aceh, dan Partai Bersatu Aceh. Pemilihan Umum 2009 secara keseluruhan dimenangkan oleh Partai Demokrat (20,85%), disusul oleh Partai Golkar (14,45%) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (14,03%). Secara keseluruhan hasil perolehan suara pemilu legislatif 2009 sebagai berikut: ͳͷǤǤǤʹͲ ͳǡʹͳIni Dia Enam Partai lokal Aceh, ͳͲʹͲͳͳǤ ဓ¡¡£ၹၾၻ ၹၾၼ¤£ ဓ¡¡£ၹၾၽ Partai Keadilan Sejahtera Partai Amanat Nasional Partai Perjuangan Indonesia Baru Partai Kedaulatan Partai Persatuan Daerah 8 9 10 11 12 265.203 104.099.785 Partai Penegak Demokrasi Indonesia Partai Demokrasi Kebangsaan Partai Republika Nusantara Partai Pelopor Partai Golongan Karya Partai Persatuan Pembangunan Partai Damai Sejahtera Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia Partai Bulan Bintang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Partai Bintang Reformasi Partai Patriot Partai Demokrat Partai Kasih Demokrasi Indonesia Partai Indonesia Sejahtera Partai Kebangkitan Nasional Ulama Partai Merdeka Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia Partai Sarikat Indonesia Partai Buruh Jumlah 19 20 21 22 23 24 25 28 29 30 31 32 33 34 35 38 Sumber: Komisi Pemilihan Umum 37 36 27 26 Partai Matahari Bangsa 18 140.551 146.779 111.623 1.527.593 320.665 324.553 21.703.137 547.351 1.264.333 14.600.091 1.864.752 468.696 1.541.592 5.533.214 15.037.757 342.914 630.780 671.244 137.727 414.750 351.440 Partai Demokrasi Pembaruan Partai Karya Perjuangan 16 17 414.043 5.146.122 550.581 437.121 197.371 6.254.580 8.206.955 934.892 896.660 Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 7 761.086 316.752 Partai Barisan Nasional 6 4.646.406 1.260.794 Partai Nasional Indonesia Marhaenisme Partai Gerakan Indonesia Raya 5 15 Partai Peduli Rakyat Nasional 4 745.625 Partai Kebangkitan Bangsa Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia 3 3.922.870 1.461.182 Partai Pemuda Indonesia Partai Karya Peduli Bangsa 2 14 Partai HaƟ Nurani Rakyat 1 Jumlah Suara 13 Partai No 100,00% 0,25% 0,14% 0,14% 0,11% 1,47% 0,31% 0,31% 20,85% 0,53% 1,21% 14,03% 1,79% 0,45% 1,48% 5,32% 14,45% 0,33% 0,61% 0,64% 0,13% 0,40% 0,34% 0,86% 0,30% 0,40% 4,94% 0,53% 0,42% 0,19% 6,01% 7,88% 0,90% 0,73% 4,46% 1,21% 0,72% 1,40% 3,77% Persentase suara 560 0 0 0 0 0 0 0 150 0 0 95 0 0 0 37 107 0 0 0 0 0 0 0 0 0 27 0 0 0 43 57 0 0 26 0 0 0 18 Jumlah kursi 100,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 26,79% 0,00% 0,00% 16,96% 0,00% 0,00% 0,00% 6,61% 19,11% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 4.82% 0,00% 0,00% 0,00% 7,68% 10,18% 0,00% 0,00% 4,64% 0,00% 0,00% 0,00% 3,21% Persentase kursi Tabel 7. 4 Hasil perolehan suara dan kursi legislatif pemilihan umum 2009 Tidak lolos Tidak lolos Tidak lolos Tidak lolos Tidak lolos Tidak lolos Tidak lolos Lolos Tidak lolos Tidak lolos Lolos Tidak lolos Tidak lolos Tidak lolos Lolos Lolos Tidak lolos Tidak lolos Tidak lolos Tidak lolos Tidak lolos Tidak lolos Tidak lolos Tidak lolos Tidak lolos Lolos Tidak lolos Tidak lolos Tidak lolos Lolos Lolos Tidak lolos Tidak lolos Lolos Tidak lolos Tidak lolos Tidak lolos Lolos Status PT* Walaupun berjalan cukup lancar, pemilihan umum 2009 memiliki beberapa kekurangan yang cukup penting untuk diperhatikan, diantaranya adalah jumlah pemilih yang Golput mencapai prosentase lebih dari 30 % dari jumlah keseluruhan warga yang berhak untuk memilih, persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang sampai hari-H nya Pemilu masih ditemukan nama pemilih yang tumpang tindih dan kekacauan dari data yang ada, belum lagi pada persoalan hasil pemungutan suara yang mengandung banyak konflik kepentingan dan membuat berkas perkara hasil pemungutan suara bertumpuk di Mahkamah Konstitusi menunggu penyelesaian, baik perkara yang bersifat antar individu calon ataupun antar partai politik. 2. Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden Kelanjutan dari Pemilihan Presiden pada tahun 2004, pada tahun 2009. Pemilihan Presiden dan wakil Presiden Juga dilakukan secara langsung. Sistem yang dipakai adalah sistem pemilu dua-putaran (two round system). Komisi Pemilihan Umum menetapkan bahwa Pemilihan Presiden 2009 akan dilakukan pada tanggal 8 juli 2009 untuk putaran pertama, dan bila ada putaran kedua akan dilaksanakan pada tanggal 8 September 2009. Calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik yang memenuhi Parliementary threshold .Hal ini berdasarkan UndangUndang No.42 tahun 2008 mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden. Tidak semua partai politik berhak mengajukan nama untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden. Untuk menyederhanakan mekanisme pencalonan, dijelaskan dalam Undang-Undang no.42 tahun 2008: Pasal 1 ayat 4 yang berbunyi “Pasangan Calon Presiden dan wakil presiden, selanjutnya disebut pasangan calon, adalah pasangan calon peserta pemilu presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang telah memenuhi persyaratan.” ၹၾၾ¤£ Pasal 8 :”calon presiden dan calon wakil presiden diusulkan dalam satu pasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik” Pasal 9: “pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden” Pasal 13: “ (1) bakal pasangan calon didaftarkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. (2) pendaftaran bakal pasangan calon oleh partai politik di tandatangani oleh ketua umum atau sebutan lain dan sekertaris jenderal atau sebutan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”17 Berdasarkan hasil pemilihan umum legislatif 2009 dan penerapan aturan diatas, akhirnya muncul 3 pasang calon presiden dan wakil presiden yang diusung oleh perpaduan atau koalisi beberapa partai politik pendukung calon presiden dan wakil presiden, 3 pasang calon tersebut adalah: a. b. c. Muhammad Yusuf Kalla – Wiranto yang diusung oleh 2 partai politik, yaitu Partai Golkar dan Partai Hanura. Megawati Soekarno Putri – Prabowo Subianto yang diusung oleh koalisi 9 partai politik: PDIP, Partai Gerindra, PKNU, Partai Kedaulatan, Partai Karya Perjuangan, PNI Marhaenisme, Partai Buruh, PSI, dan Partai Merdeka. Susilo Bambang Yudhoyono – Boediono yang diusung oleh 23 partai politik: Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, PKB, PBB, PDS, PKPB, PBR, PPRN, PKPI, PDP, PPPI, Partai RepublikaN, Partai Patriot, PNBKI, PMB, PPI, Partai Pelopor, PKDI, PIS, Partai PIB, dan Partai PDI. ͳǤǤǤ ဓ¡¡£ၹၾၿ Mekanisme pencalonan menuju hari-H dalam pilpres 2009 secara keseluruhan sama dengan yang diterapka dalam pilpres 2004 berkenaan dengan pengunduran diri calon presiden dan calon wakil presiden, penarikan nama calon oleh partai pengusung, penundaan pelaksanaan pilpres karena hal tersebut, dan beberapa hal lain yang sifatnya teknis tentang pencalonan. Menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden 2009, KPU bekerjasama dengan media elektronik melakukan debat terbuka calon presiden dan wakil presiden yang dilakukan sebanyak 5 kali (3 kali untuk debat calon presiden dan 2 kali debat calon wakil presiden), hai ini dilakukan untuk memberikan pendidikan politik sekaligus informasi secara lebih luas tentang visi dan misi calon presiden dan wakil presiden yang akan dipilih. Berikut hasil pemilihan presiden 2009 menurut beberapa lembaga survei yang melakukan penghitungan cepat atau quick count selama berlangsung pilpres 2009:18 Tabel 7.5 Hasil Perolehan Suara Secara Quick Count Pilpres 2009 Mega- Prabowo Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden SBY-Boediono JK- Wiranto LSI (1) 26,56% 60,85% 12,59% LSI (2) 27,34% 60,12% 12,54% LP3ES 27,62% 59,82% 12,56% PuskapƟs 28,10% 57,40% 14,50% CIRUS 27,50% 60,18% 12,32% LRI 27,02% 61,11% 11,87% Nama lembaga Sumber: Adipramana.com ͳͺǤ ǤHasil Pemilihan Presiden 2009,ͳͲʹͲͳͳ ၹၾႀ¤£ Keterangan: x LSI (1): Lembaga Survei Indonesia x LSI (2): Lingkaran Survei Indonesia x LP3ES: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial x Puskaptis: Puskaptis x CIRUS: CIRUS x LRI: Lembaga Riset Informasi Komisi Pemilihan Umum menetapkan hasil penghitungan suara Pilpres 2009 sebagai berikut: Tabel 7. 6 Hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2009 No Nama Calon Hasil Perolehan Suara (%) 1 MegawaƟ – Prabowo 26.79% 2 SBY – Boediono 60.80% 3 JK – Wiranto 12.41% Sumber: Komisi Pemilihan Umum Melihat hasil perolehan suara baik yang dilakukan dengan metode quick count ataupun secara manual yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey dan KPU, juga merujuk pada Amandemen UUD 1945 Pasal 6A, maka bisa dipastikan bahwa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia tahun 2009 dilakukan hanya satu kali putaran. Maka secara otomatis, dengan perolehan suara lebih dari 50% maka pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono dipastikan memenangkan pilpres 2009 untuk masa kerja periode 2009 – 2014. ဓ¡¡£ၹၾႁ C. Oposisi dan Koalisi Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, istilah oposisi masih merupakan satu hal yang asing dan tidak terlalu mendapatkan posisi yang layak, sekalipun hal ini adalah sesuatu yang mutlak harus ada dalam budaya demokrasi, dan menjadi salah satu indicator yang menjadi ukuran baik tidaknya sebuah demokrasi di aplikasikan dalam praktek politik sebuah baangsa yang mengaku menggunakan demokrasi sebagai system politiknya. Merujuk pada Kamus Filsafat yang disusun oleh Lorens Bagus, secara etimologis: “Oposisi berasal dari bahasa Inggris, Opposition, dan dalam Bahasa Latin Oppositus, Opponere yang berarti memperhadapkan, membantah, menyanggah. Sebuah oposisi terdapat di antara dua kenyataan, bilamana posisi kenyataan yang satu agaknya meniadakan posisi kenyataan lainnya.”19 Secara terminologis, oposisi diartikan sebagai dinamisator yang ada dalam usaha dan kegiatan yang berjalan ke arah yang berlawanan, entah dalam eksistensi yang berlainanan atau dalam eksistensi yang sama. Dalam keadaan seimbang, oposisi dapat tersembunyi. Dalam hal ini polaritas atau oposisi-oposisi terjadi di antara prinsip-prinsip eksistensi yang interistik, yang melahirkan eksistensi yang partikular. Kalau polaritas atau sikap berlawanan ini tidak terjadi lengkap dikarenakan transendensi dari salah satu prinsip parsial, akibatnya adalah terjadinya konflik dinamis.20 Kultur oposisi itu bermula dari Barat, yakni Eropa dan Amerika, contoh paling jelas ialah Perancis Abad 17. Kelompok oposisi menuntut perubahan dengan semboyan egalite, fratemite, dan liberte. Budaya oposisi di sini mempuyai cara: satu pemerintah satu oposisi. Demokrasi saat itu sudah diterapkan dengan bagus sekali, sehingga pihak pemerintah yang memegang status quo tidak bisa berkutik menghadapi tuntutan kelompok oposisi, lalu mereka memanggil Napoleon untuk menjadi presiden kembali sebelum dibuang ke Pulau Elba.21 Secara mendasar, ada dua pemikiran politik yang seringkali muncul pada diskusi-diskusi politik, yaitu: Pertama, yang disebut pemikiran politik paternalis, atau demokrasi musyawarah mufakat; kedua, pemikiran politik demokrasi parlementer, yang di daiamnya dikenai oposisi, baik sebagai konsep ataupun direalisasikan dalam bentuk partai. Dalam konteks Indonesia, pemikiran pertama ternyata lebih menonjol, dan pada kelanjutannya melahirkan sistem demokrasi terpimpin, dengan mengedepankan figur pemimpin sebagai simbol kekuasaan. Hal tersebut dipicu oleh adanya krisis politik domestik yang menggejala dalam silih bergantinya pemerintahan serta konflikkonflik daerah sampai ke konflik senjata. Keadaan tersebut menjadikan harus tampilnya kepemimpinan yang kuat, dan pada kelanjutannya semakin menuntut figur tersebut untuk semakin kuat, dan menjadi satu-satunya kekuatan sebagai penolong krisis negara hingga membuat negara tidak mandiri. Prinsip dasar demokrasi paternalis adalah musyawarah untuk mufakat yang lebih diarahkan pada pelembagaan prinsip, bukan penerapannya. Musyawarah untuk mufakat menjadi hambar karena diselimuti ketidakadilan yang dirasakan oieh para pelaku politik yang berada di luar kekuasaan, dalam hal ini adalah organisasi sosial politik yang kalah dalam pemilihan umum. Perlakuan tidak adil itu bukan hanya pada pembagian alokasi kursi kabinet, tetapi juga pada praksis perlakuan dan pembuatan keputusan politik. Pada kelanjutannya, oposisi dalam arti sebenamya mulai dicari oleh kebanyakan orang, sebagai kekuatan penyelamat bangsa dari kehancuran yang akan ditimbulkan oleh penyalahgunaan kekuasaan. Dalam pola pemikiran demokrasi parlementer, koreksi dan kontrol dianggap efektif, karena lebih mengarah pada nilai keadilan. ͳͻǡKamus FilsafatǡǤͷͶ ʹͲǤ ʹͳǡFeodalisme Hambat Budaya OposisiǡͷǡǡǤͻ 1. Oposisi ၹၿၸ¤£ ဓ¡¡£ၹၿၹ Sebagai sebuah sistem kontrol, oposisi memiliki pola-pola tertentu yang berbeda pada setiap kebutuhannya, mulai dari pola cohesion atau kepaduan dan concentration atau konsentrasi, di mana orangorang yang beroposisi dipandang dari besar kecilnya organisasi. Pada prakteknya, organisasi yang paling efektif dalam beroposisi adalah sebuah partai. Hal tersebut karena partai politik adalah manifestasi yang paling nyata dan bentuk oposisi yang paling efektif dalam sebuah negara demokratis. Akan tetapi sampai di mana kekuatan oposisi ini terkonsentrasi, tergantung pada sistem kepartaian yang berlaku pada sebuah negara. Kadar konsentrasi oposisi yang paling tinggi biasanya ada dalam negara dengan sistem dwi partai, di mana partai yang yang tidak berkuasa secara nyata memonopoli kalangan oposisi, sedang dalam sistem multi partai, oposisi lebih terpencar di antara beberapa partai politik.22 Pola selanjutnya yaitu daya saing, dalam hal ini bukan berarti daya saing dalam orientasi psikologis para pelaku politik secara pribadi, tetapi daya saing dalam melihat prilaku lawan-lawan politik dalam pemilihan umum dan dihubungkan dengan kondisi parlemen. Daya saing ini ditentukan oleh besar kecilnya daya konsentrasi kekuatan partai oposisi tersebut. Dalam sistem parlementer, antar partai selalu ada persaingan yang kuat, walaupun bisa saja partai-partai tersebut bekerja sama baik di dalam parlemen atau dalam pemilihan umum, seperti di Inggris, di mana partai-partai besar sepakat untuk merubah persaingan menjadi kerja sama, maka dibentuklah kabinet-kabinet koalisi. Di Austria, Partai Rakyat dan Partai Sosialis membentuk pemerintahan koalisi dan masing-masing menjadi partai oposisi bagi partai satunya. Dalam pemilihan umum kedua partai tersebut dengan penuh semangat saling bertentangan dan bersaing untuk perebutan mayoritas suara.23 ʹʹǤǡBerbagai Pola Oposisi, Partisipasi dan Partai Politik, ȋȌǡȋǣǡͳͻͻͺǡǤͳʹʹ ʹ͵ǤǡǤͳʹͻ ၹၿၺ¤£ Pola terakhir yaitu lokasi dan lingkungan pertarungan antara kalangan oposisi dan orang-orang yang mengendalikan pemerintahan. Karena oposisi mencoba mengadakan perubahan dalam tingkah laku pemerintah, maka ia akan menggunakan sumber daya politiknya untuk mengajak, mendorong, bahkan memaksa pemerintah agar mengubah tindakannya. Situasi atau keadaan di mana oposisi menggunakan sumber dayanya itu dinamakan lokasi site pertarungan encounter antara oposisi dan pemerintah. 24 Kesempatan untuk mengadakan perubahan tersebut diusahakan semaksimal mungkin, mengingat oposisi adaiah media penyeimbang atau balance dan kontrol bagi pemerintah.25 Pada prosesnya, oposisi dalam kekuatan yang besar seperti partai, haruslah memiliki ciri khas, tentunya untuk memperjelas identitas sebagai partai oposisi. Terutama untuk negara yang menganut sistem multi partai. Selan itu, partai oposisi juga harus mempunyai tujuan, target, dan strategi. Secara umum telah diketahui tujuan dan target oposisi adalah untuk mengoreksi kekuasaan, bahkan kalau memungkinkan bisa untuk mengubah sebuah pemerintahaan, baik dalam susunan personalianya secara struktural, maupun struktur sistem politik yang dipakai. Syamsudin Haris, Mengutip Robert A. Dahl menjelaskan, tujuan oposisi dimana dikatakan ada empat tujuan melakukan gerakan oposisi adalah dalam rangka mengubah atau menentang terjadinya perubahan atas: (1). Kebijakan-kebijakan tertentu pemerintah, (2). Personalia pemerintah, (3). Struktur sistem politik, (4). Struktur sistem sosial ekonomi.26 ʹͶǤǡǤͳ͵Ͳ ʹͷ ǡ ǡ ǡ Ǥ ʹ Syamsuddin Haris, Partai Oposisi dan Perubahan Politik, artikel KOMPAS, Jakarta, 29 Januari 1993, h.4 ဓ¡¡£ၹၿၻ Dalam sistem kepartaian (kecuali sistem partai tunggal di negaranegara komunis), partai oposisi diakui eksitensinya dalam dunia politik. Dalam sistem kepartaian pluralis, baik dengan pola dwipartai maupun multipartai, tindakan beroposisi terhadap pemerintah merupakan bagian integral dari keberadaan partai-partai itu sendiri.27 Di antara strategi yang dipakai biasanya adalah dengan upaya perolehan suara sebanyak-banyaknya, untuk memperoleh kursi di parlemen, kemudian mengadakan pemerintahan yang terdiri dari kalangan mereka sendiri. Biasanya strategi ini dipakai di negara dengan sistem dwipartai, di mana partai memiliki kekuatan yang sama. Strategi lain yaitu dengan tetap berada di luar kekuasaan dan menjalankan fungsinya dari luar. Dalam strategi ini, partai oposisi lebih menjadi kelompok penekan bagi pemerintah dan pengeras suara rakyat untuk usaha perbaikan dan penyeimbang kekuasaan.28 Pasca Reformasi, seperti telah disebutkan Dahl bahwa dalam system polititik yang memiliki system multy party, kekuatan oposisi berpencar di beberapa partai politik, tidak seperti pada system dua partai diamana oposisi secara otomatis disandang oleh partai yang kalah dalam pemilihan umum (kalau partai tersebut tidak berkompromi untuk menjalin koalisi pemerintahan dengan partai pemenang pemilu), dan partai-partai yang aktif mendengungkan jargon oposisi sebagai konsekwensi dari kekalahan dalam pemilihan umum partai adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Gerindra, terutama setelah kekalahan dalam Pemilu 2004 dan kekalahan pasangan Megawati- Hasyim Muzadi dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla, di Pilpres 2004, secara otomatis, Megawati dengan PDIP memposisikan diri sebagai kelompok oposisi yang memiliki agenda utama mengawasi dan mengkritisi ʹ ǡ ǡ ǡ Ǥ ʹͺǤǡBerbagai Pola Oposisi, ǤͳͶͲ ၹၿၼ¤£ berjalannya pemerintahan yang dipimpin oleh SBY dan JK untuk periode 2004 – 2009. Sikap oposisi Megawati dan PDIP ditunjukkan dengan mengkritisi beberapa kebijakan pemerintah seperti kebijakan tentang kenaikan BBM, kebijakan Import Beras, Kenaikan Tarif Dasar listrik, Kasus Century, dan lain-lain. Keberadaaan partai-partai yang menamakan diri sebagai oposisi adalah titik harapan baru dari masa depan demokrasi dan system pembuatan kebijakan di Indonesia, walaupun secara internal, partai-partai tersebut masih memiliki beberapa persoalan yang berhubungan dengan posisi mereka dalam oposisi dan koalisi, tetapi paling tidak hal tersebut sangat positif sebagai pendidikan politik bagi masyarakat secara umum dan bagi para praktisi politik secara lebih khusus. 2. Koalisi Seperti halnya oposisi, koalisi juga merupakan konsekwensi dari pilihan sistem multy party yang dianut Indonesia. Perolehan suara secara mayoritas oleh salah satu partai politik dalam pemilihan umum yang tidak sampai pada angka lebih dari 50% lebih bagi salah satu partai menegaskan perlu adanya sebuah koalisi untuk menjalankan pemerintahan. Selain sebagai salah satu uapaya untuk membangun kebersamaan dalam menjalankan pemerintahan, koalisi juga merupakan hal teknis yang lumrah terjadi untuk menjalin kekuatan untuk menghadapi kekuatan oposisi yang berada bersebrangan dengan pemerintah. Koalisi dalam budaya politik Indonesia memiliki landasan hukum yang cukup kuat, hal ini dijelaskan sebagai salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden, dimana partai yang boleh mengajukan calon presiden dan wakil presiden adalah yang memenuhi Parliementary threshold. Hal ini berdasarkan Undang Undang dasar 1945 pasal 6A ayat 2 yang menjelaskan bahwa “calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta ဓ¡¡£ၹၿၽ pemilihan umum sebelum pemilihan umum”.29Undang-Undang No.42 tahun 2008 mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden. Tidak semua partai politik berhak mengajukan nama untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden. Untuk menyederhanakan mekanisme pencalonan, dijelaskan dalam Undang-Undang No.42 tahun 2008 pasal 1 ayat 4 yang berbunyi bahwa: ”Pasangan Calon Presiden dan wakil presiden, selanjutnya disebut pasangan calon, adalah pasangan calon peserta pemilu presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang telah memenuhi persyaratan”30 Setelah pemilihan umum 2009 yang dimenangkan oleh Partai Demokrat, isu koalisi mulai merebak sebagai salah satu strategi untuk berperan aktif dalam pemerintahan dan sebagai salah satu upaya untuk menguatkan posisi partai – partai politik dalam struktur perpolitikan Indonesia. Beberapa partai politik yang mengusung pasangan SBY Susilo Bambang Yudhoyono – Boediono berjumlah (PKS, PAN, PPP, PKB, PBB, PDS, PKPB, PBR, PPRN, PKPI, PDP, PPPI, Partai RepublikaN, Partai Patriot, PNBKI, PMB, PPI, Partai Pelopor, PKDI, PIS, Partai PIB, dan Partai PDI), berkoalisi bukan hanya untuk mengajukan nama SBY – Boediono sebagai calon presiden dan calon wakil presiden, tetapi juga berkomitmen untuk mendukung pemerintahan mereka bila terpilih secara konsisten. Hal ini berlangsung cukup baik sampai muncul kasus century yang cukup menyita perhatian publik, pada kasus ini muncullah isu pecahnya koalisi, karena beberapa partai (PKS, PPP, dan individu dalam partai tertentu ((beberapa anggota fraksi PKB) yang mengajukan opsi yang berlawanan dengan opsi yang dimiliki oleh Fraksi Partai demokrat dalam memandang kasus century. Begitu pula muncul ancaman pecahnya koalisi PDIP dan Gerindra dalam menghadapi kasus mafia pajak, dimana Gerindra berupaya untuk menyebrang jalur dimana selama ini memposisikan diri sebagai oposisi, namun belakangan justru gencar berupaya untuk bergabung dengan koalisi tambun yang dimotori oleh Partai Demokrat, terutama pada saat pemungutan suara angket mafia pajak.31 Begitu pula beberapa personil kader PDIP yang mulai tertarik untuk masuk dalam koalisi pemerintah setelah sekian lama berposisi sebagai oposisi. Selain koalisi formal yang menjadi pendukung utama struktur pemerintahan SBY-Boediono, muncul beberapa isu tentang adanya koalisi informal yang dibangun dibelakang layar pemerintahan dalam bentuk dibuatnya kesepakan-kesepakatan tidak resmi antara beberapa pihak didalam partai politik ataupun antar partai politik untuk memainkan maneuver politik mereka dalam kancah politik. Fenomena oposisi dan koalisi dalam peta politik Indonesia semakin tidak menemukan kredibilitasnya, karena tidak dibangun dengan kuat dan tidak dijalankan secara konsisten, hal ini bukan hanya terjadi pada pemerintahan SBY-Boediono, tetapi sudah terjadi sejak reformasi baru bergulir pada saat munculnya poros tengah yang dimotori oleh Amin Rais yang mengusung Abdurrahman Wahid untuk menjadi Presiden dan kemudian memaksa nya untuk mundur dan menggantinya dengan Megawati, dilanjutkan dengan dimunculkannya kegiatan forum curah pendapat yang dimotori oleh Kwik Kian Gie yang dengan surat pribadinya pada tanggal 27 Oktober 2000 mencoba memobilisir beberapa anggota DPR/MPR secara informal untuk mengkritisi kondisi politik pada saat itu yang menurutnya tidak bisa diselesaikan secara formal pada forum-forum formal pada sidangsidang di DPR/MPR.32 Oposisi maupun koalisi selalu dibentuk dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa, walau dalam prakteknya, dua hal tersebut sekedar menjadi jembatan sekaligus alat yang digunakan oleh para actor politik untuk memastikan dan menguatkan posisi politik ʹͻ UUD’45 dan Amandemennya: Kabinet Indonesia Bersatu II Periode 2009 – 2014ǡ ȋǣȌǡǤ ͵ͲǤǤǤ ͵ͳǡKoalisi dan Oposisi Semu, ͳͺʹͲͳͳǤ ͵ʹ ǡ ǡ Koalisi Mengganti Gus Dur atau Mencari Solusi?: Dari Curah Pendapat Anggota MPR/DPRǡȋǣ͵ǡʹͲͲͲȌǡǤʹ ၹၿၾ¤£ ဓ¡¡£ၹၿၿ mereka dalam struktur pemerintahan dan upaya pencitraan diri untuk menarik perhatian dan simpati masyarakat semata. Akhirnya, baik oposisi maupun koalisi hanya menjadi transaksi dan tawar-menawar politik beberapa kelompok yang dipastikan memiliki kepentingan politik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. D. Sekilas Tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah Secara konstitusional, Pemilihan Umum Kepala Daerah atau Pemilukada (dulu Pilkada) memiliki payung hukum yang sangat kuat, tertera secara jelas dalam UUD 1945 pasal 18 ayat 4 yang menyebutkan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, dimana istilah demokratis disini dimaknai sebagai pemilihan secara langsung oleh rakyat. Pemilihan Umum Kepala Daerah di Indonesia adalah kelanjutan dari dikeluarkannya Ketetapan MPR No.XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah, dilanjutkan dengan undang-Undang Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 tentang pengelolaan daerah, dan setelah tiga tahun diimplementasikan dilakukan revisi dengan dikeluarkannya UU No.32 tahun 2004 yang mengatur tentang pemerintahan daerah yang pada ketentuannya menyebutkan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat didaerah yang bersangkutan.33 Pilkada pertama kali diadakan di Kabupaten Kutai Kartanegara pada tanggal 1 Juni tahun 2005 yang dimenangkan oleh Syaukani Hasan Rais yang berpasangan dengan Samsuri Aspar, kemudian dilantik pada tanggal 13 July 2005 untuk masa bakti 2005-2010, namun pada tanggal 18 Desember 2006 bupati terpilih Kabupaten Kutai Kartanegara ini ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus korupsi pembebasan lahan bandara Loa Kolu. Selanjutnya UU No.32 tahun 2004 ini di ͵͵ Ǥ ǡ Pendidikan Kewargaan : Demokrasi, Hak Azasi Manusia, Dan Masyarakat MadaniǡȋǣǡʹͲͳͲȌǡ ǡǤͳͶ͵Ǥ ၹၿႀ¤£ revisi selanjutnya disahkan dan diberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama “pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah”. Pilkada pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007 yang berhail memilih pasangan Fauzi Bowo dan Prijanto sebagai Gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta untuk periode 2007-2012. Sebagai salah satu wujud dari diterapkannya desentralisasi politik, Pemilihan Umum Kepala Daerah secara langsung adalah salah satu penjabaran secara praktis bagaimana hak-hak politik masyarakat sangat diutamakan dalam pemilihan kepala daerah setempat dan sebagai upaya pengembalian hak-hak demokrasi masyarakat yang selama 32 tahun terkoptasi oleh intervensi politik dan politik sentralisasi yang diberlakukan Orde Baru. Secara politis, Pemilukada adalah legitimasi utama berjalannya pemerintahan daerah secara formal dan konstitusional, hal ini disebabkan kepala daerah yang terpilih baik pada tingkat provinsi ataupun tingkat Kabupaten/Kota adalah orang-orang yang telah dipilih langsung oleh masyarakat dengan prosedur dan tata cara yang sudah sesuia denga perundangundangan yang berlaku dimulai dari masa pencalonan, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara, dan penentuan kepala daerah terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak.34 Seperti halnya pemilihan umum legislatif, dan pemilihan presiden, pemilihan umum kepala daerah harus memenuhi beberapa criteria yaitu harus dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Hal ini menjadi mutlak dibutuhkan, karena kepala daerah terpilih adalah orang yang akan memimpin sebuah daerah dan mengelola seluruh asset daerah secara baik dan maksimal guna terciptanya kesejahteraan masyarakat secara social, ekonomi, dan sebagai pendidikan politik secara langsung bagi masyarakat. ͵ͶǤǡǤͳͷʹǦͳͷ͵ ဓ¡¡£ၹၿႁ Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh partai politik lokal. Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota.Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwasluh Aceh).35 Secara demokratis maupun secara yuridis, pemilukada adalah sebuah keharusan bagi upaya implementasi demokrasi di Indonesia, namun demikian secara teknis, banyak mekanisme pemilukada yang masih harus diperhatian dan membutuhkan perbaikan-perbaikan baik dalam petunjuk pelaksanaannya maupun petunjuk teknisnya, karena dari system pemilihan pencalonan sampai penetapan pemimpin daerah yang tidak memenuhi perundang-undangan akan menghasilkan kepala daerah yang tidak akuntabel dan justru memberikan dampak buruk bagi perkembangan pembangunan di daerah, hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjerat beberapa orang kepala daerah terpilih akibat penyalahgunaan wewenang yang kerap terjadi akibat mekanisme pemilukada yang tidak professional diterapkan dan minimnya pengawasan dari masyarakat yang terlanjur mempercayai secara penuh kepala daerah yang langsung mereka pilih. E. Sekilas Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla ͵ͷǤǤǤ ͵ǡPak Kalla dan PresidennyaǡȋǣǡʹͲͳͳȌǡǤͶͺ ၹႀၸ¤£ Pasangan Susilo bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang diusung oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia memenangkan pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2004 untuk masa kerja 2004-2009 setelah secara mutlak memperoleh suara lebih besar pada putaran kedua pilpres 2004 mengalahkan pasangan Megawati dan hasyim Muzadi. Pemerintahan SBY-JK adalah pemerintahan pertama di Indonesia yang dipilih langsung sebagai salah satu mekanisme pemilihan kepala negara secara demokratis, dilantik pada tanggal 20 Oktober 2004. Pada masa pemerintahan SBY-JK, terjadi dinamisasi kekuasaan yang sangat mencolok, perbedaan karakter dan watak kepemimpinan keduanya yang cenderung berbeda membuat iklim politik Indonesia fluktuatif, dinamia kepemimpinan yang muncul diantara keduanya dimana SBY cenderung tampil sebagai pemimpin yang dingin, sabar, pelan, penuh perhitungan dan seringkali dianggap lambat dan watak JK yang humoris, agresif, cepat tanggap, dan berani ambil resiko, seringkali memunculkan pertanyaan di tengah public “siapa sebenarnya presidennya?”. Saat kampanye pemilihan presiden 2004, ada pembagian tugas yang tidak tertulis antara SBY dan Jk, yaitu SBY bertanggungjawab pada persoalan-persoalan politik dan keamanan, sedangkan JK bertanggungjawab pada masalah-maslah ekonomi dan kesejahteraan.36 Namun pada perjalanan pemerintahan setelah mereka terpilih, kesepakatan pembagian kerja ini mengalami banyak ganjalan. ဓ¡¡£ၹႀၹ Berikut visi dan misi pemerintahan SBY-JK:37 Visi : 1. Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai. 2. Terwujudnya masyarakat, bangsa dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan dan hak-hak asasi manusia. 3. Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesem patan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan. Misi: 1. Mewujudkan Indonesia yang aman damai 2. Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis 3. Mewujudkan Indonesia yang sejahtera Visi dan Misi tersebut dijabarkan secara detai pada program kerja yang dibuat ideal sebagai pemandu langkah setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pasangan pemimpin ke-5 Indonesia ini, dari pembagian focus tanggung jawab yang dilakukan diantara mereka, pembangunan ekonomi dan politik mengalami saat-saat yang cukup menggembirakan. Dimana tingkat pertumbuhan perekonomian masa SBY-JK relatif lebih baik dibandingkan pemerintahan selama era reformasi, diperkirakan pertumbuhan perekonomian Indonesia tumbuh sekitar 5%. Walaupun begitu tingkat per tumbuhan perekonomian masa SBY-JK masih perlu peningkatan. Pada tahun 2005, 2006 dan 2007, pertumbuhan ekonomi berturut-turut mencapai angka 5,6%, 5,5% dan 6,3%. Angka ini dibandingkan dengan target RPJMN untuk tahun 2005 (5,5%), 2006 (6,1%) dan 2007 (6,7%) ͵ ǡǦǡʹ͵ʹͲͳͳǤ ၹႀၺ¤£ memang terlihat tidak begitu menggembirakan. Bila target rata-rata lima tahun seperti tercantum pada RPJMN dari pemerintahan SBY-JK terhadap pertumbuhan ekonomi 6,6% per tahun, maka pertumbuhan ekonomi tahun 2008 dan 2009 haruslah diupayakan minimal ratarata 7,8%. Bila dapat dicapai perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun 2008 sebesar 6,8% (asumsi APBN 2008) dan tahun 2009 sebesar 7,6% (target RPJMN), maka rata-rata pertumbuhan ekonomi pemerintahan SBY-JK selama lima tahun menjadi 6,4%, angka yang mendekati target 6,6%. Para ekonom tampaknya sepakat bahwa pertumbuhan ekonomi minimal di atas 6% saja yang dapat dijadikan barometer Indonesia sudah mampu melihat the light at the end of dark tunnel, keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan.38 Namun demikian, walaupun pertumbuhan ekonomi menunjukkan angka yg cukup baik, masih banyak persoalan yang belum secara maksimal tersentuh oleh kebijakan-kebijakan SBY-JK, pertumbuhan makroekonomi tersebut tidak mencerminkan perbaikan ekonomi rakyat secara signifikan. Kondisi ekonomi rakyat justru cenderung memburuk. Angka kemiskinan terus meningkat, dan angka pengangguran hingga saat ini masih terhitung tinggi. Tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran menyebabkan timbulnya masalah kesejahteraan rakyat, Sekitar 25 persen bayi usia balita menderita gizi buruk, dan tingkat kematian ibu melahirkan mencapai 307 dari 100 ribu kelahiran.39 Sumbangan sektor pertanian terhadap produk domestik bruto terus mengalami penurunan. Pada tahun 2006 hanya tinggal 13,51 persen dari sebelumnya tahun 2005 sekitar 14 persen. Sementara pada 2004 sumbangan sektor pertanian masih pada angka 16 persen.40 Dinamika komunikasi yang dibangun oleh SBY-JK sedikit banyak mempengaruhi kinerja pasangan ini dalam pemerintahan. SBY yang ͵ͺǤ ͵ͻ Ǥǡ Kinerja SBY-JK Belum Memenuhi Harapan Rakyatǡ ʹͺʹͲͲǡͳʹʹͲͳͳǤ ͶͲǤ ဓ¡¡£ၹႀၻ terkenal kalem membuat JK menjadi lebih kelihatan proaktif dan tanggap dalam menghadapi persoalan yang muncul, hingga muncul ungkapan yang cukup mengejutkan keluar dari Syafi’I Maarif yang menyebutkan JK sebagai the real president yang ditanggapi santai oleh JK dengan menjawabnya bahwa ia adalah the real vice president,41 ungkapan ini menegaskan prinsip JK bahwa, wakil presiden bukanlah ban serep seperti kodisi hubungan presiden dan wakil presiden sebelumnya, bagi JK, wakil presiden adalah ban sisi kiri sebuah mobil dan ban sisi kanannya adalah presiden itu sendiri. Banyak yang perlu dievaluasi dari hasil kerja SBY-JK selama kepemimpinan mereka pada kurun waktu 2004-2009, selain hiburan untuk publik karena perseteruan mereka yang kentara sekali selama memerintah, prestasi kerja yang tidak seberapa besar dari kepemimpinan mereka menjadi pekerjaan rumah yang cukup banyak bagi penguasa selanjutnya (SBY-Boediono). ͶͳǡPak Kalla dan Presidennya..,Ǥʹ ၹႀၼ¤£ RANGKUMAN Pemilihan Umum tahun 2004 merupakan pemilihan umum yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, kaarena ini kali pertama rakyat dapat memilih langsung orang-orang yang akan menjadi wakil mereka di legislative, baik DPR, DPD, dan DPRD, yang dilanjutkan dengan pemilihan presiden secara langsung. Perlahan namun pasti Indonesia mulai mendekati pilar-pilar demokrasi yang diamanatkan oleh gerakan reformasi yang di implementasikan dalam UUD 1945 yang sudah di amandemen sebanyak 4 kali dan menghasilkan pasalpasal baru yang lebih bisa dimaknai secara lebih baik dan berpihak pada kepentingan rakyat. Walaupun masih memiliki beberapa kekurangan, pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung menjadi prestasi tersendiri bagi keberlanjutan proses transisi demokratisasi yang masih terus berlangsung sampai saat ini. Selain sebagai pesta demokrasi, hal ini juga menjadi media yang efektif bagi pendidikan politik untuk bangsa Indonesia kedepan. Dilanjutkan dengan dilaksanakannya pemilihan umum kepala daerah yang juga dilakukan secara langsung, diharapkan dapat menjadi reperesentasi dan akomodasi politik masyarakat. Sebagai kelanjutan dari implementasi undang-undang otonomi daerah, pemilukada diharapkan bisa menjadi fasilitas bagi masyarakat untuk mengekspresikan segala kebutuhannya akan figure pimpinan daerah yang diharapkan mampu mendatang perubahan dan perbaikan kehidupan masyarakat di daerah. Pemilihan umum dengan system multy partai yang dianut Indonesia memunculkan fenomena oposisi dan koalisi sebagai konsekwensi ketika pemilihan umum tidak berhasil memunculkan pemenang dengan perolehan suara 50% +1 seperti yang diamanatkan oleh undang-undang. Walaupun belum mampu berjalan pada koridor yang ideal, keberadaan kelompok oposisi dan dilakukannya koalisi menjadi pelajaran yang cukup berharga bagi pendewasaan system politik di Indonesia, hal ini akan menghasilkan hal-hal positif dan ဓ¡¡£ၹႀၽ menghadirkan pola check and balances bila dapat secara maksimal diimplementasikan pada pergulatan dan pertarungan politik yang ada, tentunya tanpa menimbulkan perseteruan yang sengit antara kelompok-kelompok yang beroposisi maupun yang berkoalisi. BAB VIII PENUTUP Awal-awal kemerdekaan, semua komponen bangsa ikut terlibat dalam memperjuangkannya, baik Islam, Kristen maupun Nasioanalis. Meskipun ada sedikit perbedaan dalam merumuskan Piagam Jakarta, tetapi dengan jiwa besarnya, umat Islam pada waktu itu berhasil menjadi pahlawan penjaga persatuan bangsa. Demikian pula sampai pada Sistem Pemerintahan Parlementer, partai-partai politik sebagai representasi masyarakat pada waktu itu mencoba berpartisipasi, sehingga stabilitas politik dipertaruhkan, meskipun demokratisasi terrealisir dengan baik, karena kebebasan aspirasi yang disalurkan partai politik mendapat akses yang cukup luas dengan munculnya mosi-mosi tidak percaya yang pada akhirnya menjatuhkan kabinet-kabinet pada waktu itu. Kejatuhan kabinetkabinet tak terelakkan, meskipun koalisi juga berjalan dengan baik. Berbeda dengan Demokrasi Terpimpin, yang lebih otoriter, single fighter kekuasaan berada di tangan Soekarno. Meskipun beberapa partai dilibatkan termasuk partai Islam , tetapi partai yang memiliki integritas, prinsip seperti Masyumi justru diredam dan dibubarkan pada tahun 1960. Kekuasaan yang begitu besar dimiliki Soekarno, sehingga terjadi apa yang disebut abuse of power, seperti pengangkatan presiden seumur hidup, pengangkatan DPRGR, pembubaran Dewan Konstituante hasil pemilu dll. Momentum ini dilakukan Soekarno setelah turunnya Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959. ၹႀၾ¤£ ဓ¦¤§ၹႀၿ Perjalanan pemerintahan Demokrasi Terpimpin Soekarno, meskipun mendapat tantangan dari berbagai pihak, tetapi Soekarno tidak peduli terus berjalan dengan menggandeng PKI dan Militer serta partai-partai yang “loyal” terhadap Soekarno. Akhir pemerintahan Soekarno dengan munculnya Gerakan 30 S/PKI dan babak baru bagi pemerintahan Orba. Memasuki era Orde Baru, Indonesia mengalami iklim politik yang cukup ekstrim, presiden Soeharto yang otoriter mengerahkan seluruh egisl dan potensi kekuasaannya untuk menjadi satu-satunya orang yang ditakuti. Dengan jargon pembangunan ekonomi menuju era lepas landas, Soeharto mengabaikan pembangunan politik dan membatasi partisipasi politik seluruh komponen bangsa. Strategif Fusi partai politik yang dilakukannya berhasil megantarkan Soeharto menjadi satu-satunya orang yang dianggap cocok dan pantas menjadi presiden, sampai akhirnya gaung reformasi mulai diperdengarkan. Eforia reformasi membuat geliat partisipasi politik Indonesia muncul dan berkobar lagi, dimulai dengan didirikannya banyak partai politik dan digelarnya pemilihan umum yang lebih demokratis di tahun 1999 dengan system proporsional, dilanjutkan dengan pemilihan umum 2004 dan pemilihan umum 2009 yang menggunakan system pemilihan umum langsung, dimana rakyat secara langsung dapat memilih calon wakilnya di egislative, baik untuk anggota DPR, DPD, maupun DPRD, dilanjutkan dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang juga dipilih secara langsung. Walau masih membutuhkan evaluasi dan banyak perbaikan, transisi demokratisasi di Indonesia mulai menunjukkan hasil yang positf, selain tingkat partisipasi politik yang meningkat, system politik yang lebih baik, inflasi ekonomi yang meningkat, pendidikan politik masyarakat yang sudah jauh lebih baik, ditandai dengan sikap kritis yang kerap kali ditunjukkan oleh seluruh komponen bangsa dalam menyikapi setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perubahan iklim politik yang terjadi secara signifikan mulai dari masa pra kemerdekaan, masa parlementer, masa presidensial, ၹႀႀ¤£ masa orde baru, sampai masa reformasi, seharusnya dapat menjadi pelajaran dan pendidikan politik yang efektif bagi bangsa Indonesia, bukan justru hanya dijadikan bacaan sejarah saja tanpa dapat diambil makna dan intisarinya. ဓ¦¤§ၹႀႁ DAFTAR PUSTAKA Buku: Anshari, Endang Saifudin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Bandung: Pustaka, 1983. Anwari WMK, dkk, Koalisi Mengganti Gus Dur atau Mencari Solusi?: Dari Curah Pendapat Anggota MPR/DPR, Jakarta: LP3ES, 2000 Bagus, Lorens,Kamus Filsafat, Budiardjo, Miriam, (penyunting), Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta: YOI, 1998 Buku Seri Tempo. Natsir Politik Santun di antara Dua Rezim. Jakarta: KPG Tempo, 2011. Crouch, Harold, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999 Emmerson, Donald K., Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001 Haramain, A.Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik, Jakarta: LKiS, 2004 Harjono, Anwar, Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman – Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995 Hartono, Agung Dwi, The Missing Link G 30 S: Misteri Sjam Kamaruzzaman & Biro Chusus PKI, Yogyakarta: Narasi, 2011 Jackson, Karl D and Lucian W.Pye (ed.), Political Power and Communications in Indonesia, Berkeley-Los Angeles;London: University of California Press, 1978 Karim, M. Rusdi, Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1983 ၹႁၸ¤£ Ť¡¦£¤ၹႁၹ Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi: Menakar Kinerja Partai Politik Era Transisi di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. M. Fajrul Falakh dkk. Implikasi Reposisi TNI-Polri di Bidang Hukum, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah mada Yogyakarta, 2001 Maarif, A. Syafii. Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965. Ypgyakarta: IAIN Kalijaga, 1988. Mas’oed, Mohtar, Pengantar Perbandingan Politik, Yogyakarta: UGM Press, 1989 Mulkan, Abdul Munir, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 1965-1987 dalam Perspektif Sosiologis, Jakarta: Rajawali Press, 1989 Najib, Muhammad, dkk (tim Penyusun), Suara Amin Rais Suara Rakyat, Jakarta: Gema Insani Press, 1998 Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Grafiti Pers, 1987. Notosusanto, Nugroho (ed.), Pejuang dan Prajurit, Jakarta: Sinar Harapan, 1991 Patterson, Samuel C. & Anthony Mughan, Senates: Bicameralism in the Contemporary World. Ohio: Ohio State University Press, Columbus, 1999 Perlmuter, Amos, Political Roles and Military Roles , Lond; Cass, 1980 ------, Militer dan Politik ,Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000 Putra, Fadilah, Partai Politik dan Kebijakan Publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Avveroes Press, 2003 Rahmad Bahari, Partai dan Kita, Jakarta: IPCOS dan FES, 2001 Rodee, Carlton Clymer dkk., Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: CV. Rajawali, 1988. Said, Salim, Militer Indonesia dan Politik, Dulu, Kini, dan Kelak, Jakarta: Sinar Harapan, 2001 Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, masyarakat dan Kekuasaan, Jakarta: Darul Falah, 1999 Sumarwan Antonius, Menyebrangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol’65 dan Upaya Rekonsiliasi, Yogyakarta: Ombak, 2007 Surbakti, A. Ramlan. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widia Sarana, 1992. Suprapto, Bibit. Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985. Suryadinata, Leo, Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik, Jakarta: LP3ES, 1992. Syam, Firdaus, Yusril Ihza Mahendra: Perjalanan Hidup, Pemikiran dan Tindakan Politik, Jakarta: Millenium Publisher, 2004 Syamsuddin Harris, PPP dan Politik Orde Baru, Jakarta: PT Gramedia, 1991 Thaba, Abdul Azis, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996 Tim Cidesindo, Membuka Lipatan Sejarah: Menguak Fakta Gerakan PKI, Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1998 Tone Sissener, The Republic of Indonesia: General and Presidential Elections, April – September 2004, Norwegian Centre for Human Rights, ISBN 82-90851-80-4, Ubaedillah, Ahmad dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan : Demokrasi, Hak Azasi Manusia, Dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2010 UUD’45 dan Amandemennya: Kabinet Indonesia Bersatu II Periode 2009 – 2014, Jakarta: Mutiara Indah Publishing Wisnu Nugroho, Pak Kalla dan Presidennya, Jakarta: Kompasiana, 2011 Sanit, Arbi , Sistem Politik Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1982 Setyono, Budi, Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 september 1965, Jakarta: Nawaksara, 2003 Suharsono, Cemerlangnya Poros Tengah, Jakarta: Perenial Press, 1999 ၹႁၺ¤£ Ť¡¦£¤ၹႁၻ Artikel dan Website: Adipramana.com. Harian KOMPAS, Jakarta, 29 Januari 1993 http://asnic.utexas.edu/asnic/countries/indonesia/constindonesia.html. RIWAYAT HIDUP PENULIS http://Detik com. http://www. Wikipedia Indonesia http://www.kpu.go.id. Tabloid Siaga edisi 5, tahun I, Tempo Interaktif.Com www.ginandjar.com I. Identitas Pribadi: Nama : Dra. Haniah Hanafie, M.Si. Alamat : Pamulang Permai II, Jl. Benda Barat 13 B/22 Ciputat – 15416, Telp: 74636664, Hp: 08158934952 Tempat/ Tgl. Lahir: Surabaya, 24 Mei 1961 II. Pendidikan: 1. Tahun 1986, S1 Jurusan Ilmu Politik, Univ. Airlangga. 2. Tahun 1996, S2 Jurusan Ilmu Politik, Univ. Indonesia. 3. Sedang Menempuh S3 Bidang Administrasi Publik, Univ. Brawijaya. III. Pengalaman Kerja: 1. Dosen Tetap FISIP-UIN Jakarta 2. Dosen Tidak Tetap FISIP-UMJ (1987-sekarang) 3. Dosen Tidak Tetap Universitas Paramadina (2000-2005) IV. Hasil Karya: 1. Partai-partai Islam (Penelitian DIKTAT, FUF- 2003) 2. Kekuatan-Kekuatan Politik (Penelitian DIKTAT,FUF-2005) 3. Dinamika Politik Islam di Indonesia (FISIP-UMJ, 2000). ၹႁၼ¤£ ª­¤¦¦£ၹႁၽ I. Identitas Pribadi: Nama : Suryani Suaeb, M.Si. Alamat : Puri Serpong II Blok D-3/ No. 1 Tangerang Selatan Hp: 085920645470 Tempat/ Tgl. Lahir: Jakarta, 24 April 1977 II. Pendidikan: a) Tahun 1999, SI Jurusan Aqidah Filsafat, FUF-UIN Jakarta. b) Tahun 2005, S2 Jurusan Ilmu Politik, Univ. Indonesia. III. Pengalaman Kerja: a) Dosen Tetap FISIP_UIN Syarif Hidayatullah Jakarta b) Dosen Tidak Tetap di STAINI, Parung (2009-sekarang) ၹႁၾ¤£