227 Pengaruh shelter yang berbeda terhadap pertumbuhan ... (Suharyanto) PENGARUH SHELTER YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN L AJU SINTA SAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TAMBAK Suharyanto dan Markus Mangampa Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail: su haryan to_9 [email protected] ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan selter yang tepat untuk pertumbuhan dan laju sintasan rajungan (Portunus pelagicus) yang dibesarkan di tambak. Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Tambak Percobaan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maranak, Maros selama 105 Hari. Tambak yang digunakan berukuran 250 m2 sebanyak sembilan petak. Perlakuan yang diaplikasikan adalah selter yang berbeda yaitu waring hitam berbentuk kupu-kupu yang diletakkan di dasar tambak (A), Rumput laut (Gracilaria sp) (B), dan C: Kombinasi waring dan rumput laut, masing-masing tiga kali ulangan. Hewan uji yang digunakan adalah krablet 17 dengan lebar dan bobot masing-masing adalah 7,2+0,2 mm dan 0,05+0,02 g. Variabel yang diamati adalah pertumbuhan lebar karapas, bobot dan laju sintasan serta parameter kualitas air. Untuk menganalisis data pertumbuhan dan laju sintasan digunakan rancangan acak lengkap. Selama penelitian rajungan diberi makan ikan rucah 2 kali sehari dengan dosis 5 % dari total biomass. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan selter rumput laut berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertumbuhan lebar karapas dan bobot serta sintasan rajungan yang dibesarkan di tambak sedangkan selter waring dan kombinasi waring dan rumput laut tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Laju sintasan terbaik diperoleh pada penggunaan selter rumput laut sebesar 23,1 %, kemudian kombinasi waring dan rumput laut sebesar 19,7 % dan selter waring (18,3 %). KATA KUNCI: shelter, rajungan, tambak, pertumbuhan, laju sintasan PENDAHULUAN Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan jenis krustase yang bersifat “eurihaline” (Nontji, 1986), dapat hidup pada salinitas 9–39 ppt (Chande & Mgaya, 2003) dan habitat hidup yang disenangi rajungan adalah dasar lumpur berpasir (Coleman, 1991), sehingga mampu beradaptasi pada perairan tambak. Rajungan ini selain rasa dagingnya yang enak juga bergizi cukup tinggi yakni protein 65,72%, mineral 7,5% dan lemak 0,88% (Anonim, 2002), mudah berkembang biak, responsif terhadap makanan, cepat tumbuh dan mudah dibudidayakan (Susanto et al., 2005a). Di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol Bali, pembenihan rajungan telah berhasil memproduksi benih ukuran krablet, tetapi informasi pembesarannya di tambak, masih belum tersedia (Susanto et al., 2005b). Oleh karena itu, upaya pengkajian yang sangat mendesak adalah peningkatan tingkat sintasan benih, dan pembesarannya untuk meningkatkan produksi rajungan ukuran konsumsi di tambak. Produksi daging rajungan di Indonesia sekitar 9.000 ton per tahun, 70% berasal dari hasil tangkapan di alam dan baru 30% yang dihasilkan dari kegiatan budidaya (Anonim, 2004). Budidaya rajungan dalam kurung-kurung tancap di laut pertama kali dikembangkan oleh Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI sejak 1994, kendala utama adalah sintasan masih rendah (Juwana, 1993). Di tambak, budidaya rajungan telah dikembangkan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara tahun 2002. Kajian utama terfokus pada produksi juvenil ukuran 25-30 g/ekor dan produksi ukuran konsumsi (100 g/ekor). Produksi yang dicapai diestimasi 1 ton per musim tanam dalam 102 hari (Anonim 2003). Riset pengembangan budidaya rajungan di tambak, baru dalam tahap pengkajian komponen teknologi, dan masih banyak permasalahan teknis di lapangan yang belum diketahui. Ketersediaan teknologi budidaya rajungan di tambak sangat diharapkan oleh petani tambak, terutama karena Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011 228 banyak tambak-tambak udang yang tidak berproduksi lagi dan banyak ditinggalkan oleh pemiliknya, akibat wabah penyakit yang belum bisa teratasi secara tuntas. Masalah utama dalam pemeliharaan rajungan di tambak adalah tingkat kanibalisme dan tingkat mortalitas yang masih sangat tinggi. Informasi pendederan dalam KJA di laut dengan sintasan mencapai 38,5 - 86,4% (Suharyanto & Tahe, 2006) dan pembesaran di tambak menghasilkan sintasan yang masih sangat rendah yakni 10,6% dengan padat tebar 1 ind/m2 (Suharyanto & Tahe, 2007). Oleh karena itu, upaya pengkajian yang sangat mendesak adalah peningkatan tingkat sintasan benih rajungan di tambak dengan penambahan selter yang berbeda, sehingga data yang diperoleh dapat dijadikan acuan guna pengembangan budidaya rajungan di tambak pada masa yang akan datang. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendapatkan informasi penggunaan selter yang tepat untuk meningkatkan sintasan rajungan yang dipelihara di tambak bagi pengembangan budidayanya dimasa datang. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Instalasi Tambak Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Marana, Kabupaten Maros. Persiapan tambak untuk penebaran sesuai prosedur yang umum dilakukan di tambak meliputi pencangkulan dan pengolahan tanah dasar tambak hingga dilakukan pemberantasan hama dengan menaburkan saponin dosis 10 mg/L. Tahap berikutnya adalah pengeringan selama satu minggu dan dilakukan pengukuran redoks potensial pada tanah pelataran tambak dengan alat “elektroda pengukur redox”, langkah selanjutnya dilakukan pengapuran dengan dosis 1000 kg/ha. Kemudian tambak diairi, dan dipupuk dengan pupuk dasar yaitu 150 kg/ha urea dan 75 kg SP-36/ha dengan dosis perbandingan N : P = 2 : 1 yang dilakukan setelah empat hari. Hewan uji yang digunakan adalah benih rajungan (krablet 17) yang diperoleh dari hatchery Balai Budidaya Air Payau Takalar Sulawesi Selatan. Rerata lebar karapas dan bobot krablet masing-masing adalah 7,2 + 0,2 mm dan 0,05 + 0,02 g sedangkan padat tebar yang diaplikasikan sebanyak 2 ind/ m2. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan sembilan petak tambak ukuran 250 m2, dengan kedalaman masing-masing 90 cm. Kemudian perlakuan yang diaplikasikan adalah jenis selter yang berbeda, yaitu waring hitam (A), rumput laut (B), dan kombinasi waring dan rumput laut (C) masing-masing perlakuan dengan 3 ulangan. Perlakuan A adalah selter dari waring hitam berukuran 1 x 1,2 m berbentuk kupu-kupu yang diikatkan ke tali polietilen panjang 10 m, jarak masing-masing selter 1 m, sehingga tiap untai tali berisi 10 selter, tiap petak tambak berisi 15 untai. Perlakuan B adalah rumput laut dari jenis (Gracilaria verrucosa) yang berasal dari Takalar dan ditebar pada setiap tambak perlakuan dengan padat tebar 1000 kg/ha (25kg/250 m2). Perlakuan C adalah kombinasi waring dan rumput laut yakni dalam satu tambak terdapat 7 untai tali yang dilengkapi waring dan rumput laut sebanyak 500 kg/ha (12,5kg/ 250 m2). Pakan yang diberikan berupa daging ikan rucah dari jenis ikan sinrilik (Caesio sp) dan ikan sibula (Sardinella sp.). Pemberian pakan dilaksanakan 2 x sehari yakni pagi dan sore hari masing-masing sebanyak 2% dan 3% dari total biomass, sehingga dalam satu hari jumlah pakan yang diberikan adalah 5% dari total biomass. Sampling dilaksanakan dengan mengambil 10 individu rajungan pada masing-masing perlakuan secara manual yaitu mengambil langsung rajungan menggunakan tangan pada masing-masing petak tambak dan dilakukan setiap satu bulan sekali, sedangkan lama pemeliharaan selama 105 hari. Parameter yang diukur meliputi, pertumbuhan lebar karapas, pengukuran menggunakan mistar dengan ketelitian 0,1 mm, sedangkan pertumbuhan bobot ditimbang dengan timbangan digital (AND GF 1200) dengan ketelitian 0,1 g. Untuk menghitung laju pertumbuhan berdasarkan rumus dari Zonneveld et al. (1991) sebagai berikut: Gr = {(Wt-Wo)/(t)} 229 Pengaruh shelter yang berbeda terhadap pertumbuhan ... (Suharyanto) dimana: Gr = Laju bertumbuhan (g/hari) Wt = Bobot pada akhir percobaan (g) Wo = Bobot pada awal percobaan (g) T = Lama percobaan (hari) Kemudian laju sintasan dihitung pada akhir penelitian, dengan cara menghitung jumlah benih yang hidup pada masing-masing perlakuan. Untuk persentase laju sintasan benih rajungan dihitung berdasarkan rumus dari Effendie (2000) sebagai berikut: S = Nt/Nox100 dimana: S = laju sintasan (%), Nt = Jumlah pada akhir percobaan (ekor) No = Jumlah pada awal percobaan (ekor) Parameter kualitas air meliputi: salinitas, suhu air, O2 terlarut, NH4-N, NO2-N, PO4-P, pH, dan BOT, diukur setiap dua minggu sekali. Kemudian data yang diperoleh dibahas secara deskriptif. HASIL DAN BAHASAN Selama pemeliharaan 105 hari, pertumbuhan lebar karapas dan bobot rajungan masing-masing perlakuan terus meningkat dari awal penebaran sampai akhir penelitian. Bahkan pada bulan pertama pertumbuhan krablet meningkat sangat tajam. Untuk perlakuan menggunakan waring (A), shelter dengan rumput laut (B), dan kombinasi waring dan rumput laut (C) pertambahan rata-rata lebar karapas masing-masing adalah 56,9+10,3 mm, 58,8+13,9 mm, dan 57,6+8,3 mm dari lebar awal 7,2+0,2 mm. Kemudian untuk pertambahan bobot masing-masing perlakuan adalah 23,0+8,2 g, 26,8+11,2 g dan 17,4+7,1 g dari bobot awal 0,05+0,02 g. Meningkatnya laju pertumbuhan baik lebar karapas maupun bobot rajungan pada bulan pertama yang cukup tajam tersebut, mengindikasikan bahwa krablet rajungan dalam kondisi pemeliharaan yang layak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh proses transportasi dari hatcheri ke lokasi penelitian dan proses aklimatisasi yang berjalan sempurna sebelum ditebar ke tambak, sehingga rajungan tidak mengalami stres akibat perubahan lingkungan tambak terutama salinitas. Hal ini dibuktikan dengan tidak ada kematian krablet pada saat penebaran di tambak. Pertumbuhan rajungan pada bulan ke dua sampai bulan keempat baik lebar karapas maupun bobot benih rajungan terus meningkat, walaupun tidak sebesar pertumbuhan pada bulan pertama. Hasil pengamatan data pertumbuhan karapas pada benih rajungan selama penelitian tersaji pada Gambar 1 dan 2. Gambar 1. Pertumbuhan lebar karapak kepiting rajungan (Portunus pelagicus) selama penelitian Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011 230 Gambar 2. Pertumbuhan bobot rajungan (Portunus pelagicus) selama penelitian Dari ketiga perlakuan penggunaan selter yang berbeda menunjukkan bahwa pertumbuhan benih rajungan yang lebih dominan adalah perlakuan penggunaan shelter rumput laut jika dibandingkan dengan perlakuan selter waring dan perlakuan selter kombinasi waring dan rumput laut. Berdasarkan analisis statistik perlakuan selter rumput laut berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan lebar karapas dan bobot rajungan (P<0,05), sedangkan perlakuan selter waring dan perlakuan selter kombinasi waring dan rumput laut, tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa selter rumput laut adalah selter yang terbaik jika dibandingkan dengan selter waring dan kombinasi waring dan rumput laut. Adanya perbedaan laju pertumbuhan pada perlakuan tersebut sebagai akibat dari kondisi tambak yang berbeda dan dimungkinkan sangat terkait dengan ketersediaan pakan alami. Hal ini berarti bahwa kondisi tambak juga sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan benih rajungan. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, maka laju pertumbuhan dari hasil riset ini masih jauh lebih baik. Suharyanto & Tahe (2007) mendapatkan rata-rata laju pertumbuhan 18+1,6 mm dari lebar awal 39+0,6 mm dan pertambahan bobot rata-rata 17,3+2,3 g dengan bobot 8,3+1,3 g. Sedangkan (Weno et al., 2005), mendapatkan laju pertumbuhan kurang dari 50% dari bobot awal 9 g. Kedua penelitian tersebut, menggunakan benih alam dan pakan berupa ikan rucah yang diberikan secara rutin. Tingginya laju pertumbuhan bulan pertama pada penelitian ini diduga karena lingkungan tambak yang cukup memenuhi syarat untuk kehidupan benih rajungan karena tambak dipersiapkan sesuai prosedur. Hal ini dapat terlihat dari pertumbuhan pakan alami yang baik dan salinitas masing-masing tambak berkisar antara 30–31 ppt, sehingga cukup ideal umtuk pertumbuhan rajungan. Meskipun toleransi rajungan cukup lebar yakni dapat hidup pada salinitas 9–39 ppt (Chande dan Mgaya, 2003), tetapi kisaran ideal untuk pertumbuhannya adalah 27–32 ppt (Juwana, 1993), sedangkan menurut Susanto et al. (2004) salinitas ideal untuk pertumbuhan kepiting rajungan adalah 30 -31 ppt. Laju sintasan rajungan selama penelitian tersaji pada Tabel 1, laju sintasan tertinggi 23,1+ 0,7% diperoleh pada perlakuan shelter rumput laut, kemudian diikuti shelter dari pada kombinasi waring dan rumput laut yakni sebesar 19,7+1,4% dan selter waring (18,3+1,2%). Berdasarkan analisis statistik perlakuan selter rumput laut berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap laju sintasan rajungan jika dibandingkan dengan selter kombinasi waring dan rumput laut serta selter waring saja. Hasil ini menunjukkan hasil yang lebih baik, bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, yaitu dengan laju sintasan tertinggi yang dicapai hanya 10,7+1.5% (Suharyanto & Tahe, 2007). Kemudian hasil budidaya kepiting rajungan di Ambon hanya mencapai kurang dari 5% (Weno et al., 2005). Selanjutnya 231 Pengaruh shelter yang berbeda terhadap pertumbuhan ... (Suharyanto) Tabel 1. Pertumbuhan lebar karapas, bobot, laju sintasan dan produksi rajungan dengan perbedaan penggunaan shelter Rerata lebar karapas akhir (mm ) Rerata Pertamb. lebar mutlak (cm) A (Waring) 91,5 + 7,6 a 86,5 + 10,6 a Perlakuan B C (R. Laut) (R. Laut + Waring) 99,7 + 5,0 b 94,4 + 1,6 a 9,2 + 6,9 b 91,1 + 1,7 a Rerata bobot akhir (g) Pertambahan bobot mutlak (g) 86,5 + 10,6 a 86,5 + 10,5 a 99,2 + 6,9 b 99,1 + 7,0 b 91,1 + 1,7 91,0 + 1,7 b Laju sintasan (%) 18,3 + 1,2 a 23,1 + 0,7 b 19,7 + 1,4 a Produksi (kg/250 m2) 7,9 + 0,9 11,4 + 0,4 b 8,9 + 0,7 a Variabel a a Angka dalam kolom sama yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05) Susanto (2005) menyatakan, bahwa sintasan pemeliharaan rajungan di tambak dengan menggunakan benih dari hatchery mencapai tingkat mortalitas sangat tinggi bahkan mencapai 100%. Rendahnya laju sintasan (18,3+1,2% - 23.1+0,7%) yang diperoleh pada masing-masing perlakuan diduga disebabkan oleh sifat kanibalisme rajungan yang cukup tinggi. Sifat kanibalisme juga dimungkinkan karena adanya variasi ukuran yang besar pada rajungan saat pemeliharaan. Menurut Supito et al (1998) perbedaan ukuran merupakan salah satu penyebab kanibalisme dimana individu ukuran besar pada kondisi lapar memakan individu ukuran yang lebih kecil. Dari hasil yang diperoleh maka dapat dikatakan bahwa, selter rumput laut masih lebih baik sebagai perlindungan rajungan yang dipelihara di tambak jika dibandingkan dengan waring dan selter kombinasi waring dan rumput laut. Hal ini disebabkan rumput laut tumbuh di dasar tambak dan tersebar di seluruh dasar tambak sehingga cukup aman pada saat rajungan ganti kulit, sedangkan selter waring tidak tersebar merata.Disamping itu, juga ada nilai tambah dari rumput laut itu sendiri sebagai hasil sampingan. Hasil penimbangan akhir rumput laut diperoleh 35 kg basah dari penebaran awal 25 kg per petak tambak (250 m 2). Produksi rumput laut tersebut dirasakan cukup rendah, disebabkan tumbuhnya lumut sutera pada masing-masing petak tambak perlakuan, sehingga rumput laut kurang sinar matahari yang mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis. Produksi tertinggi dicapai pada perlakuan selter rumput laut yakni 11,4 kg kemudian selter kombinasi keduanya 8,9 kg dan selter waring, masing-masing adalah 8,9 kg dan 7,9 kg. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa selter rumput laut berpengaruh nyata terhadap produksi kepiting rajungan (P<0,05). Hasil pegukuran kualitas air tersaji pada Tabel 2, unsur nitrogen dalam suatu perairan merupakan unsur penting dalam prores pembentukan protoplasma. Hasil pengukuran unsur-unsur tersebut menunjukan bahwa kandungan nitrogen masih dalam batas-batas kewajaran. Menurut Schmittou (1991), konsentrasi nitrit sebesar 0,1 mg/L dapat menyebabkan stres pada organisme akuatik. Bila konsentrasinya mencapai 1,00 mg/L dapat menyebabkan kematian. Hasil pengukuran PO4-P, masih dalam kisaran yang layak bagi kehidupan akuatik. Menurut Chu (1943), batas terendah yang dibutuhkan adalah 0,018-0,090 mg/L, sedangkan untuk pertumbuhan yang optimum adalah 0,09-1,80 mg/L.. Pengamatan oksigen terlarut selama penelitian pada masingmasing perlakuan menunjukkan bahwa penggunaan selter waring dalam pemeliharaan rajungan memberikan nilai rata-rata 5,4 + 1,1 mg/L, penggunaan selter rumput laut dan selter kombinasi waring dan rumput laut masing-masing adalah 5,3 + 1,0 mg/L dan 5,2 + 0,8 mg/L. Menurut Schmittou (1991) oksigen terlarut masih menunjukkan kriteria yang aman untuk kehidupan rajungan. Hasil pengukuran bahan organik total (BOT) menunjukkan kisaran antara 7,97 + 2,79 –9,24 + 5,02 mg/L dan selama pengamatan terlihat bahwa pada masing-masing tambak cukup banyak larvalarva ikan. Bahan organik total di perairan dapat berupa bahan organik hidup (Seston) dan bahan Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011 232 Tabel 2. Hasil rata-rata pengukuran kualitas air pada pemeliharaan rajungan dengan penggunaan shelter yang berbeda Variabel Salinitas (ppt) pH Oksigen(mg/L) Amoniak (mg/L) Nitrit (mg/L) Fosfat (mg/L) BOT/ (mg/L) A (Waring) 31,1 + 3,7 8,3 + 0,3 5,4 + 1,1 0,1747 + 0,1336 0,0068 + 0,0067 0.1206 + 0,0341 9,24 + 5,02 Perlakuan B (R. Laut) 30,1 + 4,4 8,2 + 0,2 5,3 + 1,0 0,1494 + 0,1053 0,0106 + 0,0106 0.1149 + 0.0685 7,97 + 2,79 C (R. Laut + Waring) 30,6 + 3,9 8,2 + 0,2 5,2 + 0,8 0,1367 + 0,1049 0,0096 + 0,0073 0.0949 + 0.0479 9,17 + 3,61 organik mati (tripton dan detritus). Menurut Koesbiono (1981), bahan organik terlarut bukan hanya sebagai sumber energi, tetapi juga sebagai sumber bahan organik essensial bagi organisme perairan. Kemudian dikatakan selanjutnya bahwa kadar bahan organik total dalam tambak biasanya lebih tinggi dari pada di air laut yang rata-rata rendah dan tidak melebihi 3 ppm. Sedangkan menurut Reid (1961), perairan dengan kandungan bahan organik total di atas 26 mg/L adalah tergolong perairan yang subur. Hal ini terlihat bahwa pada pagi hari banyak kepiting rajungan yang bersembunyi dibalik selter baik selter waring maupun selter rumput laut sambil memakan organisme penempel yang terdapat pada selter tersebut. Dari hasil pengamatan kualitas air pada masing-masing tambak, maka dapat dikategorikan cukup memenuhi syarat untuk pembesaran rajungan. KESIMPULAN Penggunaan selter rumput laut dalam pemeliharaan rajungan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan lebar karapas, bobot, sintasan dan produksi rajungan yang dibesarkan di tambak (P<0,05) sedangkan selter waring dan kombinasi waring dan rumput laut tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Laju sintasan terbaik diperoleh pada pemeliharaan dengan menggunakan selter rumput laut yaitu sebesar 23,1%, sedangkan penggunaan shelter kombinasi waring dan rumput laut sebesar 19,7% dan selter waring sebesar 18,3%. Produksi rajungan tertinggi dicapai pada perlakuan selter rumput laut yakni sebesar 11,4 kg. Penelitian perlu dilanjutkan tentang rasio penggunaan shelter rumput laut yang ideal guna peningkatan laju sintasan dan produksi. UCAPAN TERIMA KASIH Diucapkan terima kasih kepada Program Pengembangan Sumberdaya Riset Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2006 yang telah membiayai penelitian ini sehingga dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Sdr. Danial, Mansyur, Nail, Kurniah dan Haryani sebagai teknisi dan analis BRPBAP yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan analisis kualitas air. DAFTAR ACUAN Anonim. 2002. Laporan uji coba pemeliharaan larva kepiting bakau, Scylla serrata Forskal. Direktorat Jenderal Perikanan, Balai Budidaya Air Payau, Jepara. 3 Hal. Anonim. 2003. Statistik ekspor hasil perikanan 2002. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta. 410 hal. Anonim. 2004. Statistik Perikanan Budidaya Indonesia 2003. Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Jakarta. 127 hal 233 Pengaruh shelter yang berbeda terhadap pertumbuhan ... (Suharyanto) Chande, A. I., and Y.D. Mgaya. 2003. The fishery of Portunus pelagicus and species diversity of portunid crabs along the coastal of Dar es Salaam, Tanzania. Western Indian Ocean. J. Mar. Sci. 2(1): 75 – 84. Chu, S.P. 1943. The influence of mineral composition of the medium on the growth of phytoplankton algae. Paert II. The influence of concentration of inorganic nitrogen and phospate phosphorus. The Ecol. 31(2): 1-19. Coleman, N. 1991. Encyclopedia of marine animals. Angus & Robertson, An Inprint of Harper Collins Publishers. Australia. 364 pp. Effendie, M.I. 2000. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hal. Juwana, S. 1993. Pengaruh pencahayaan, salinitas dan suhu terhadap kelulushidupan dan laju pertumbuhan benih rajungan (Portunus pelagicus) Pusat Penelitian dan Pengembangan OseanologiLIPI. Majalah Ilmu Kelautan. 16: 194-204. Koesbiono. 1981. Biologi Laut. Fakultas Perikanan. Institut Pertanaian Bogor. 150 hal. Nontji, A. 1986. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. 367 hal. Reid, G.K. 1961. Ecology of Inland water estuaries. Rein hald Published Co. New York. 375 pp. Schmittou, H.R. 1991. Budidaya keramba: Suatu metode produksi ikan di Indonesia. FRDP. Puslitbang Perikanan. Jakarta. Indonesia. 126 hal. Suharyanto dan S. Tahe. 2006. Pendederan benih kepiting rajungan (Portunus pelagicus) dalam keramba jaring apung di laut dengan padat tebar berbeda. Torani. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan. 3(16): 216 – 222. Suharyanto dan S. Tahe. 2007. Pengaruh padat tebar berbeda terhadap pertumbuhan dan sintasan kepiting rajungan (Portunus pelagicus) di tambak. Jurnal Riset Akuakultur. 2(1): 19-25. Supito, Kuntiyo dan I. S. Djunaidah. 1998. Kaji pendahuluan pembesaran kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) di tambak. dalam Perkembangan terakhir teknologi budidaya pantai untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional. Prosiding Seminar Teknologi Perikanan Pantai. Puslitbangkan, Loka Penelitian Perikanan Pantai Gondol-Bali bekerjasama dengan Japan International Cooperation Agency. Bali, 6-7 Agustus 1998. hal. 149-154. Susanto, B., M. Marzuki, I. Setyadi, D. Syahidah, G.N. Permana, dan Haryanti. 2004. Pengamatan aspek biologi rajungan (Portunus pelagicus), dalam menunjang teknik perbenihannya. Warta Penelitian Perikanan Indonesia. 10(1): 6-11. Susanto, B. 2005. Pengembangan Teknologi Perbenihan Rajungan (Portunus pelagicus). Makalah disampaikan pada seminar Akuakultur Indonesia. Hotel Sahid Jaya, Makassar. 23-25 Nopember 2005. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut. 6 hal. Susanto, B., I. Setyadi, dan G. S. Sumiarsa. 2005a. Pertumbuhan krablet rajungan (Portunus pelagicus) turunan I (F-1) dengan jenis pakan berbeda. Dalam Sudradjat et al (Eds) Buku perikanan budidaya berkelanjutan. Pusat Riset Perikanan Budidaya Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Hal 187 – 186. Susanto, B., I. Setyadi, Haryanti, dan A. Hanafi. 2005b. Pedoman Teknis Teknologi Perbenihan Rajungan (Porunus pelagicus). Pusat Riset Perikanan Budidaya. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 22 hal. Weno, P.A., A.W. Aoumokil., dan O. Pattirane. 2005. Potensi dan Prospek Pembudidayaan Rajungan di Perairan Maluku. Makalah disampaikan pada seminar Akuakultur Indonesia. Hotel Sahid Jaya, Makassar. 23-25 Nopember 2005. Zonneveld, N., E.A. Huisman, dan J.H. Boon. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. Pustaka Utama. Gramedia. Jakarta. 71 hal. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011 234