BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era pasar bebas memberikan dampak pada persaingan bisnis yang semakin ketat sebagaimana dirasakan oleh para pelaku bisnis. Hal itu seringkali memaksa para pelaku bisnis untuk bersinggungan dengan masalah etika dan mengabaikan profesionalisme suatu profesi demi mencapai tujuannya. Profesionalisme suatu profesi mensyaratkan tiga hal utama yang harus dipunyai oleh setiap anggota profesi tersebut, yaitu berkeahlian, berpengetahuan dan berkarakter (Agoes dan Ardana, 2009:159). Ketiga hal tersebut mutlak dimiliki oleh setiap anggota profesi, sehingga profesionalisme profesi dapat diakui oleh masyarakat. Berkeahlian dan berpengetahuan dalam profesi akuntansi berkenaan dengan bagaimana seorang auditor memiliki keahlian dalam menjalankan profesinya. Auditor harus telah menjalani pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup dalam praktik akuntansi dan teknik auditing. Karakter menunjukkan keperibadian seorang profesional, yang diantaranya diwujudkan dalam sikap dan tindakan etisnya. Sikap dan tindakan etis auditor sangat menentukan posisinya di dalam masyarakat pemakai jasa profesionalnya. Profesi akuntansi memang telah mengalami perkembangan dan mendapat banyak pengakuan dari berbagai kalangan seperti dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat luas. Hal ini disebabkan karena makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya jasa auditor. Meskipun demikian, masyarakat belum sepenuhnya menaruh kepercayaan terhadap profesi akuntansi. Banyak masalah yang terjadi pada berbagai kasus bisnis yang 1 2 melibatkan profesi akuntansi. Sorotan yang diberikan kepada profesi ini disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya praktik-praktik profesi yang mengabaikan standar akuntansi bahkan etika profesi (Agoes dan Ardana, 2009:158). Etika suatu profesi menjadi topik pembicaraan yang sangat penting dalam masyarakat sekarang ini. Terjadinya pelanggaran etika profesi di Indonesia menyadarkan masyarakat untuk mengutamakan perilaku etis, dimana selama ini perilaku etis sering diabaikan. Etika menjadi kebutuhan penting bagi semua profesi yang ada agar tidak melakukan tindakan yang menyimpang hukum. Semua profesi dituntut untuk berperilaku etis yaitu bertindak sesuai dengan moral dan nilai-nilai yang berlaku. Setiap kelompok profesional tentunya memiliki kode etik perilaku yang disebut etika profesional. Hal ini menunjukkan bahwa kaum profesional adalah orang-orang yang memiliki tolak ukur perilaku yang berada diatas rata-rata. Di satu pihak ada tuntutan dan tantangan yang sangat berat, tetapi di lain pihak ada suatu kejelasan mengenai pola perilaku yang baik dalam rangka kepentingan masyarakat (Isnanto, 2009:7). Untuk mendukung profesionalisme auditor, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) mengeluarkan suatu standar profesi yang memuat seperangkat prinsip-prinsip moral tentang perilaku profesional yaitu kode etik Akuntan Indonesia yang mengatur hubungan antara akuntan dengan para klien, antara akuntan dengan sejawatnya dan antara profesi dengan masyarakat (Arisetyawan, 2010:2). Dalam Kode Etik Akuntan Indonesia disebutkan bahwa tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi dengan orientasi kepada kepentingan publik. Ikatan Akuntansi Indonesia telah berupaya untuk melakukan penegakan etika profesi bagi auditor. Namun, perilaku tidak etis dari para auditor masih tetap ada. 3 Krisis moral dalam dunia bisnis yang sangat fenomenal membuat profesi akuntansi menjadi sorotan masyarakat. Mulai kasus Enron di Amerika yang didalamnya melibatkan salah satu the big five accounting firm “Arthur Anderson” (Agoes dan Ardana, 2009:158). Skandal Enron memunculkan banyak pertanyaan seputar peranan Arthur Anderson, sebab kantor akuntan publik (KAP) bertaraf internasional ini telah memainkan dua posisi strategis di perusahaan tersebut, sebagai auditor dan konsultan bisnis Enron. Suatu kasus yang sedemikian kompleks, yang kemudian diikuti oleh mencuatnya kasus-kasus besar lainnya. Di Indonesia kasus-kasus serupa juga terjadi, misalnya kasus audit PT. Telkom oleh KAP Eddy Pianto & Rekan (Pamungkas, http://ridwanpp.blogspot.com). Pada kasus ini telah terjadi pelanggaran kode etik dan praktik persaingan tidak sehat antar KAP. KAP Drs. Hadi Sutanto & Rekan (yang mengaudit Laporan Keuangan PT. Telkomsel Tahun Buku 2002) tidak bersedia terasosiasi dengan pekerjaan audit KAP Eddy Pianto untuk menghindari risiko yang dapat merugikan jika terasosiasi dengan pekerjaan audit KAP Eddy Pianto dan menolak hasil auditnya untuk diacu dalam pekerjaan audit KAP Eddy Pianto dalam Form 20-F (laporan tahunan mengenai transisi emiten swasta asing yang diserahkan kepada United States Securities and Exchange Commission (US SEC) bagi perusahaan go public) PT. Telkom karena keraguan kelayakan hak berpraktek KAP Eddy Pianto dihadapan US SEC. Kejadian ini dianggap melanggar kode etik karena KAP Drs. Hadi Sutanto dan Rekan tidak memiliki kewenangan untuk menilai kualifikasi KAP lainnya (Eddy Pianto) untuk berpraktek dihadapan US SEC. Hal ini jelas menggambarkan persaingan yang tidak sehat antar KAP. Kejadian tersebut tidak hanya merugikan KAP Eddy Pianto tapi juga merugikan PT. Telkom, sebagai pengguna jasa audit terpaksa 4 harus mengeluarkan tambahan waktu, tenaga, dan biaya yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan bila proses pelaksanaan audit berjalan normal. Seharusnya pelanggaran tersebut tidak akan terjadi jika setiap auditor mempunyai pengetahuan, pemahaman dan dapat menerapkan etika secara memadai dalam melaksanakan tugasnya sebagai seseorang yang profesional. Sikap auditor yang profesional maka akan mampu menghadapi tekanan yang muncul dari dirinya sendiri ataupun dari pihak eksternal. Penelitian mengenai etika profesi akuntansi ini dilakukan karena profesi akuntansi aktivitasnya tidak terlepas dari aktivitas bisnis yang menuntut mereka untuk bekerja secara profesional sehingga harus memahami dan menerapkan etika profesinya dalam bisnis. Bertolak dari kasus-kasus di atas dan kemudian dihubungkan dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, auditor seolah menjadi profesi yang paling bertanggung jawab. Dalam hal ini, karena peran pentingnya dalam masyarakat bisnis, auditor independen bahkan dituduh sebagai pihak yang paling besar tanggung jawabnya atas kemerosotan perekonomian Indonesia. Bagaimanapun situasi kontekstual ini memerlukan perhatian dalam berbagai aspek pengembangan profesionalisme auditor mengingat besarnya tanggung jawab yang diemban dalam masyarakat bisnis, termasuk di dalamnya melalui suatu penelitian. Auditor yang bekerja di dalam suatu instansi ataupun entitas lainnya dapat dibagi kedalam beberapa jenjang atau hirarki, dimana tanggung jawab dan wewenang pada masing-masing level tersebut berbeda satu dengan yang lainnya. Level hirarki auditor dalam penugasan audit pada suatu KAP menurut Mulyadi dan Kanaka (1998:31-32) terdiri atas empat macam, yaitu: partner, manager audit, auditor senior, auditor junior. Semakin tinggi jabatan seorang auditor, maka tugas dan tanggung 5 jawabnya akan semakin besar pula. Adanya perbedaan dalam tugas dan tanggung jawab ini menyebabkan konflik dan dilema etis yang dihadapi juga berbeda-beda. Auditor yang memiliki jabatan yang tinggi akan menghadapi konflik dan dilema etis yang lebih besar dari pada auditor yang memiliki jabatan yang rendah (Tarigan dan Mawarni, 2009:245). Hal ini pula akan mempengaruhi persepsi auditor terhadap etika profesi. Selain itu model birokrasi dari Weber (Thoha 2010:12-13) merupakan salah satu model yang ideal dan sesuai untuk meracang teori-teori mengenai organisasi. Makna birokrasi disini menyerupai konsep perfect competition dalam teori ekonomi, struktur pasar yang ada dalam teori ekonomi mengilhami Weber dalam merancang birokrasinya. Struktur adalah suatu model yang sederhana dan merupakan patokan untuk mengukur suatu kenyataan. Secara teori, suatu birokrasi mempunyai berbagai sifat yang dapat dibedakan dari ketentuan-ketentuan lain dari organisasi. Sifat yang dimaksudkan yaitu adanya spesialisasi, adanya hirarki, adanya suatu sistem, adanya hubungan yang bersifat impersonal, adanya promosi dan jabatan yang didasari oleh kecakapan dimana sifat-sifat tersebut dapat mempengaruhi pesepsi dari individu. Aspek perilaku yang dicerminkan oleh birokrasi dapat dilihat dari penekanan Weber pada struktur yang timbul dari rasa tidak percaya kepada kesanggupan dan kemampuan manusia untuk menciptakan rasionalitas tertentu, mendapatkan informasi yang baik, dan membuat keputusan yang objektif. Dalam membandingkan penelitian persepsi ini, peneliti diantara melakukan masing-masing observasi level hirarki dengan auditor. Perbedaan level hirarki auditor penting untuk diteliti karena tanggung jawab dan wewenang masing-masing level berbeda. Maka guna meningkatkan kepercayaan pemakai jasa profesi auditor, perlu adanya persepsi yang positif terhadap kode etik akuntan diantara masing-masing level hirarki. 6 Persepsi perlu diteliti karena sebagai gambaran pemahaman terhadap etika profesi (Kode Etik Akuntan). Dengan pengetahuan, pemahaman, kemauan yang lebih untuk menerapkan nilai-nilai moral dan etika secara memadai dapat mengurangi berbagai pelanggaran etika (Ludigdo, 1999, dalam Arisetyawan, 2010:5). Peneliti memfokuskan penelitian pada Prinsip-Prinsip Etika dalam Kode Etik Akuntan yaitu Tanggung Jawab Profesi, Kepentingan Publik, Integritas, Objektivitas, Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional, Kerahasiaan, Perilaku Profesional, serta Standar Teknis. Sebagai acuan dari studi ini dapat disebutkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Widiastuti (2003) yang membagi level hirarki auditor (akuntan publik) menjadi dua yaitu termasuk kategori senior apabila telah bekerja lebih dari dua tahun dan junior dibawah dua tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi secara signifikan terhadap kode etik akuntan Indonesia diantara auditor senior dan auditor junior. Nugrahaningsih (2005) yang meneliti tentang analisis perbedaan perilaku etis auditor di KAP dalam etika profesi (studi terhadap peran faktor-faktor individual: locus of control, lama pengalaman kerja, gender, dan equity sensitivity). Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor senior dan auditor junior pada KAP di Surakarta dan Yogyakarta. Bikhana, (2006) melakukan penelitian terhadap auditor senior dan junior mengenai penerapan kode etik akuntan Indonesia dalam meningkatkan obyektivitas akuntan publik. Hasil penelitiannya menyebutkan tidak terdapat perbedaan persepsi auditor senior dan auditor junior terhadap penerapan kode etik akuntan Indonesia dalam meningkatkan obyektivitas akuntan publik. 7 Selanjutnya, Tarigan dan Mawari (2009) melakukan penelitian mengenai hirarki jabatan di KAP terhadap persepsi auditor dalam pelaksanaan etika profesi. Penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran bahwa terdapat perbedaan persepsi yang signifikan antara auditor junior dengan level di atas auditor junior terhadap pelaksanaan etika profesi, sehingga auditor yang memiliki posisi junior dengan level di atas auditor junior akan memiliki persepsi etika profesi yang berbeda pula. Hirarki jabatan di KAP terdiri dari auditor junior, auditor senior, supervisior, manajer dan partner. Untuk selanjutnya responden yang memiliki jabatan sebagai senior auditor, supervisior, manajer dan partner akan dimasukkan di dalam kelompok level di atas junior auditor. Ini terjadi karena hasil penelitian yang tidak seimbang antara antara masing-masing kelompok apabila dipergunakan berdasarkan hirarki jabatan di KAP sehingga pengelompokan ini sangat diperlukan. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsi auditor junior dengan level di atas auditor junior terhadap pelaksanaan etika profesi. Penelitian ini berupaya mengetahui persepsi auditor terhadap kode etik Ikatan Akuntan Indonesia ditinjau dari hirarki fungsi di Kota Makassar. Adanya perbedaan pada hasil penelitian sebelumnya dan belum adanya penelitian yang meneliti permasalahan persepsi auditor terhadap kode etik Ikatan Akuntan Indonesia ditinjau dari level hirarki fungsi di Makassar sehingga penulis ingin mengangkat penelitian dengan judul “Persepsi Auditor Terhadap Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia Ditinjau Dari Hirarki Fungsi”. 8 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka dalam penelitian ini masalah yang diangkat adalah: 1. Bagaimana persepsi auditor senior dan junior terhadap prinsip-prinsip Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia? 2. Apakah terdapat perbedaan persepsi antara auditor senior dan auditor junior terhadap Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Untuk mengetahui persepsi auditor terhadap Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia. 2. Untuk mengetahui perbedaan persepsi antara auditor senior dengan auditor junior terhadap Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia. 1.4 Batasan Masalah Agar tidak menyimpang dari permasalahan dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, maka peneliti membatasi permasalahan pada: 1. Penelitian ini hanya meneliti persepsi auditor terhadap Kode Etik IAI pada bagian prinsip etika, hal ini dilakukan mengingat masing-masing kelompok auditor memiliki aturan etika yang berbeda-beda. 2. Penelitian ini hanya membagi hirarki fungsi auditor ke dalam dua jenjang yaitu auditor junior dan auditor senior, hal ini dilakukan untuk menghindari ketidakcukupan responden jika dibagi ke dalam empat jenjang hirarki. 9 1.5 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan para kelompok akuntan. Untuk mengetahui seberapa jauh prinsip-prinsip etika yang diterapkan telah melembaga dalam diri masing-masing auditor pada masing-masing hirarki tersebut, sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa perilakunya dapat memberikan citra profesi yang mapan dan kemahiran profesionalnya dalam memberikan jasa kepada masyarakat yang semakin berarti, serta untuk memberikan masukan dalam mendiskusikan masalah kode etik akuntan guna penyempurnaan serta pelaksanaannya bagi seluruh akuntan di Indonesia. 2. Bagi peneliti selanjutnya. Sebagai wahana pembelajaran terutama bagi para mahasiswa sebagai dasar pembanding dalam rangka melakukan penelitian lebih lanjut pada bidang kajian ini, serta bagi pihak yang memerlukan referensi yang terkait dengan isi skripsi ini, baik itu sebagai bahan bacaan atau sebagai literatur. 3. Bagi peneliti. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan peneliti, terutama yang terkait dengan masalah dalam penelitian ini, serta sebagai wadah dalam rangka menerapkan teori yang telah dipelajari. 10 1.6 Sistematika Penulisan Penulisan karya akhir ini tersusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I Pendahuluan Bab ini menguraikan secara singkat mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Pustaka Bab ini menguraikan tinjauan teori-teori yang menjadi dasar analisis penelitian yang meliputi: definisi persepsi, auditor, etika, kode etik IAI, hirarki fungsi auditor, hasil penelitian terdahulu, kerangka pemikiran dan hipotesis. BAB III Metode Penelitian Berisikan penjelasan tentang lokasi penelitian, jenis dan sumber data, populasi dan sampel, metode pengumpulan data, pengukuran variabel, serta metode analisis. BAB IV Hasil Analisis dan Pembahasan Bab ini berisikan analisis dan pembahasan dari hasil pengujian hipotesis. BAB V Penutup Bab ini menjelaskan mengenai kesimpulan atas pembahasan masalah, keterbatasan penelitian serta saran-saran yang diberikan untuk penelitian selanjutnya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2.1.1. Definisi Persepsi Persepsi merupakan sebuah interpretasi atas rangsangan-rangsangan yang berasal dari proses indrawi. Sebuah persepsi ada karena setiap orang telah memiliki pengalaman-pengalaman tertentu seiring perjalanan hidupnya. Pengalaman tersebut dapat berupa segala hal yang berwujud rekaman akan rangkaian pengalaman indrawi maupun pengetahuan yang telah dipahami ataupun dipelajari, maka persepsi tidak bisa tidak akan selalu berhubungan dengan rangkaian pengalaman setiap individu. Berikut ini beberapa definisi tentang persepsi yaitu 1. Kreitner dan Kinichi (2005:208) mendefenisikan “persepsi sebagai proses kognitif yang memungkinkan kita dapat menafsirkan dan memahami lingkungan sekitar kita”. 2. Schiffman dan Kanuk (2008:137) mendefenisikan “persepsi sebagai proses yang dilakukan individu untuk memilih, mengatur, dan menafsirkan stimuli ke dalam gambar yang berarti dan masuk akal mengenai dunia”. 3. Robbins (2009:169) mendeskripsikan “persepsi dalam kaitannya dengan lingkungan, yaitu sebagai proses yang digunakan individu mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberi makna kepada lingkungan mereka”. 4. Menurut Lubis (2010:93) “Persepsi adalah bagaimana orang-orang melihat atau menginterpretasikan peristiwa, objek, serta manusia”. 11 12 Manusia bertindak atas dasar persepsi mereka dengan mengabaikan apakah persepsi itu mencerminkan kenyataan sebenarnya. Pada kenyataannya, setiap manusia memiliki persepsinya sendiri atas suatu kejadian. Uraian kenyataan seseorang mungkin jauh berbeda dengan uraian orang lain. Individu dalam hubungannya dengan dunia luar selalu melakukan pengamatan untuk dapat mengartikan rangsangan yang diterima dan alat indera dipergunakan sebagai penghubung antara individu dengan dunia luar. Agar proses pengamatan itu terjadi, maka diperlukan objek yang diamati alat indera yang cukup baik dan perhatian merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan pengamatan. 2.1.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Persepsi adalah hal yang bersifat subyektif dimana setiap individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indra mereka agar memberi makna pada lingkungan mereka, sehingga perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi individu baik dari dalam individu atau faktor psikologis maupun dari luar individu. Robbins (2009:170) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi individu meliputi 1. Pelaku persepsi Bila seorang individu memandang suatu objek dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik pribadi dari pelaku persepsi tersebut. Kebutuhan yang tidak dipuaskan merangsang individu-individu dan dapat merupakan suatu pengaruh yang kuat pada persepsi mereka. Karena kepentingan individu berbeda-beda, apa yang dipersepsikan satu orang dalalm suatu situasi dapat berbeda dengan apa yang dipersepsikan orang lain. Faktor 13 ini berkaitan dengan sikap, motif, kepentingan, pengalaman dan pengharapan (Robbins, 2009:170). Cara berpikir seseorang dalam memecahkan masalah biasanya berbeda, ada yang menggunakan pengertian, dan ada yang tidak. Berpikir berkaitan dengan persepsi yaitu dalam memahami objek tertentu. Individu biasanya melibatkan kegiatan menghubungkan pengertian dimana pengertian tersebut diperolehnya baik secara sengaja maupun tidak. 2. Faktor pada target Karakteristik-karakteristik dalam target yang akan diamati dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan objek atau peristiwa yang belum pernah dialami di masa lalu. Di samping itu, objek-objek yang berdekatan satu sama lain akan cenderung dipersepsikan bersama-sama sebagai akibat kedekatan fisik atau waktu, sering individu-individu menggabungkan objek-objek yang sebenarnya tidak berkaitan. Faktorfaktor ini meliputi hal baru, gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang dan kedekatan (Robbins, 2009:170) akan lebih menarik perhatian orang sehingga kemudian akan lebih mudah dipersepsikan orang. 3. Faktor situasi Merupakan kondisi lingkungan dimana individu mempersepsikan objek tertentu, misalnya hawa panas atau dingin, terang atau gelap dan lain-lain serta banyaknya waktu yang dipergunakan individu untuk mempersepsikan objek tertentu. Selain itu keadaan sosial juga dapat mempengaruhi keefektifan persepsi (Robbins 2009:170). Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa persepsi pada umumnya terjadi karena dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri individu, misalnya sikap, kebiasaan, dan 14 kemauan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu yang meliputi stimulus itu sendiri, baik sosial maupun fisik (Ikhsan, 2010:94). 2.2 Auditor Auditor merupakan salah satu profesi dalam bidang akuntansi. Menurut Boynton et al. (2003:8), ditinjau dari sudut profesi akuntan publik “auditor adalah para profesional yang ditugaskan untuk melakukan audit atas kegiatan dan peristiwa ekonomi bagi perorangan dan entitas resmi”. Auditor dapat juga disebut sebagai akuntan yang memberikan jasa audit. Auditor digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu (Boynton et.al, 2003:8) 1. Auditor Pemerintah, adalah auditor yang bekerja di instansi pemerintah yang tugas utamanya adalah melakukan audit atas pertanggung jawaban keuangan dari berbagai unit organisasi dalam pemerintahan. 2. Auditor Internal, adalah karyawan perusahaan tempat mereka melakukan audit. Tujuannya, untuk membantu manajemen dalam melakukan tanggung jawabnya secara efektif. 3. Auditor Independen, adalah para praktisi individual atau anggota kantor akuntan publik yang memberikan jasa auditing profesional kepada klien. Auditor ini menjalankan pekerjaannya dibawah naungan kantor akuntan publik. 15 2.3 Etika 2.3.1. Pengertian Etika Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional diperlukan suatu sistem yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terlindungi tanpa merugikan kepentingannya, serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya (Isnanto, 2009:2). Hal tersebut yang mendasari tumbuh-kembangnya etika di masyarakat kita. Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik, seperti yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut 1. Menurut Arens et al. (2008:98), “etika secara garis besar dapat didefinisikan sebagai serangkaian prinsip atau nilai- nilai moral”. 2. Isnanto (2009:3), memandang etika sebagai “cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya”. 3. Bertens (1997: 3-4) mendeskripsikan etika sebagai perilaku yang baik dari seseorang atau sekelompok orang, dimana perilaku ini sebenarnya merupakan tuntutan dari hati nurani orang yang bersangkutan dan masyarakat setempat agar tercipta keadilan dalam kehidupan antar individu dan masyarakat. 16 Jadi dapat disimpulkan bahwa etika adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan pada perbuatan yang benar. Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi orientasi bagaimana manusia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari (Prajitno, 2006:32). Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini, dengan demikian etika dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya. Ada dua macam etika yang perlu dipahami dalam menentukan baik dan buruknya prilaku manusia 1. Etika deskriptif yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil (Isnanto, 2009:3). 2. Etika normatif, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan. Menurut (Keraf 1998: 32-33), etika secara umum dapat dibagi menjadi 1. Etika umum berbicara mengenai bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak, serta tolok ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. 17 2. Etika khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud bagaimana manusia mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang ia lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar. Etika khusus dibagi lagi menjadi dua bagian (Keraf 1998:33-34) yaitu a. Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri. b. Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia. Salah satu bagian dari etika sosial adalah etika profesi, termasuk etika profesi akuntan. Untuk kalangan profesional, dimana pengaturan etika dibuat untuk menghasilkan kinerja etis yang memadai maka kemudian asosiasi profesi merumuskan suatu kode etik. Kode etik profesi merupakan kaidah-kaidah yang menjadi landasan bagi eksistensi profesi dan sebagai dasar terbentuknya kepercayaan masyarakat karena dengan mematuhi kode etik, akuntan diharapkan dapat menghasilkan kualitas kinerja yang terbaik bagi masyarakat. 2.3.2. Etika Profesi Etika profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan dan memberikan petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat (Yuwono, 2011:25). Aturan ini merupakan aturan main dalam menjalankan profesi tersebut yang disebut kode etik yang harus 18 ditaati oleh setiap profesi. Etika profesi juga berkaitan dengan perilaku moral yang lebih terbatas pada kekhasan pola etika yang diharapkan untuk profesi tertentu. Selaras dengan hal tersebut Boynton et al. (2003:96) mendeskripsikan etika profesi sebagai standar perilaku bagi seorang profesional yang dirancang untuk tujuan praktis dan idealistik. Etika profesi melambangkan suatu bagian penting dari sistem disiplin berguna untuk melindungi kesejahteraan kelompok dari tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab. Etika ini menyebutkan bahwa akuntan harus mempertahankan sikap independen dan tidak boleh dipengaruhi oleh kepentingan apapun (kecuali etika profesi) menjaga integritas dan objektivitas, menerapkan semua prinsip dan standar akuntansi yang ada, serta memiliki tanggung jawab moral kepada profesi, kolega, klien, dan masyarakat. Prinsip-prinsip etika profesi (Isnanto, 2009: 7-8) meliputi 1. Tanggung jawab meliputi a. Tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya. b. Tanggung jawab terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat pada umumnya. 2. Keadilan. Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. 3. Otonomi. Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan diberi kebebasan dalam menjalankan profesinya. Kepercayaan masyarakat terhadap kualitas jasa profesional akan meningkat jika profesi mewujudkan standar yang tinggi dan memenuhi semua kebutuhan. Bagi akuntan publik meyakinkan klien dan pemakai laporan keuangan atas kualitas audit dan jasa lainnya merupakan hal yang penting. 19 Etika profesional bagi praktik akuntan di Indonesia disebut dengan istilah kode etik dan dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. IAI adalah satusatunya organisasi profesi akuntan di Indonesia. IAI beranggotakan auditor dari berbagai tipe (auditor independen, auditor pemerintah dan auditor intern), akuntan manajemen, akuntan yang bekerja sebagai pendidik. Sehingga kode etik yang dikeluarkan oleh IAI tidak hanya mengatur anggotanya yang berpraktik sebagai akuntan publik, namun mengatur perilaku semua anggotanya yang berpraktik dalam berbagai tipe profesi auditor dan profesi akuntan lainnya. Kode etik profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan dirumuskan dalam etika profesi. Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas dan merinci norma-norma ke bentuk yang lebih sempurna walaupun sebenarnya norma-norma tersebut sudah tersirat dalam etika profesi. Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang salah dan perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang professional. 2.4 Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia Setiap profesional dalam bidang akuntansi harus bekerja dan membuat keputusan berdasarkan kode etik yang ada. Akan tetapi pada prakteknya masih banyak profesional akuntansi yang bekerja tanpa berdasarkan kode etik professional. Kode etik resmi bagi para profesional akuntansi adalah Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia. Keberadaan kode etik ini dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang 20 berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung-jawab profesionalnya. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggungjawab profesionalnya (http://www.iaiglobal.or.id). Dalam Kongres IAI tahun 1973 berhasil dirumuskan dan disahkan Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia untuk pertama kalinya. Dalam perkembangannya kode etik tersebut mengalami beberapa kali perubahan, yaitu pada Kongres IAI tahun 1981, Kongres IAI tahun 1986, Kongres IAI tahun 1990, Kongres IAI tahun 1994, dan yang terakhir adalah Kongres IAI tahun 1998. Kode Etik IAI yang berlaku saat ini adalah Kode Etik IAI yang disahkan dalam Kongres IAI VIII tahun 1998. Struktur Kode Etik IAI tersebut terdiri atas empat bagian yang disusun berdasarkan struktur berikut 1. Prinsip Etika Prinsip etika memberikan kerangka dasar bagi aturan etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip etika disahkan oleh kongres bagi seluruh anggota yang terdiri dari delapan prinsip berikut ini: a. Prinsip tanggung jawab profesi. Dalam profesional, melaksanakan setiap anggota tanggung harus jawabnya senantiasa sebagai menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peran tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa 21 profesional mereka. Anggota juga harus selalu bertanggung jawab untuk bekerja sama dengan anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat dan menjalankan tanggung jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri. b. Prinsip kepentingan publik. Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka kepercayaan pelayanan publik, dan kepada publik, menunjukkan menghormati komitmen atas profesionalisme. Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung jawab kepada publik. Profesi akuntansi memegang peranan yang penting di masyarakat, dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya yang bergantung kepada objektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara jalannya fungsi bisnis secara tertib. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara. c. Prinsip integritas. Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin. Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik 22 dan merupakan patokan bagi anggota dalam menguji semua keputusan yang diambilnya. Integritas mengharuskan seorang anggota untuk bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat, tetapi tidak dapat menerima kecurangan atau peniadaan prinsip. Integritas diukur dalam bentuk apa yang benar dan adil. d. Prinsip objektivitas. Objektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip objektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau berada di bawah pengaruh pihak lain. Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan objektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota dalam praktik publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen. Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan jasa audit internal dan bekerja dalam kapasitas keuangan dan manajemennya di industri, pendidikan dan pemerintahan. Mereka juga mendidik dan melatih orang-orang yang ingin masuk kedalam profesi. Apapun jasa atau kapasitasnya, anggota harus melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara objektivitas. 23 e. Prinsip kompetensi dan kehati-hatian profesional. Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan kehati-hatian, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi dan teknik yang paling mutakhir. Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan kompetensi dan ketekunan. Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaikbaiknya sesuai dengan kemampuannya demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung-jawab profesi kepada publik. Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota hendaknya tidak menggambarkan dirinya memiliki keahlian atau pengalaman yang tidak mereka punya. Dalam semua penugasan dan tanggung jawabnya, setiap anggota harus melakukan upaya untuk mencapai tingkatan kompetensi yang akan meyakinkan bahwa kualitas jasa yang diberikan memenuhi tingkatan profesionalisme tinggi seperti disyaratkan oleh prinsip Etika. f. Prinsip kerahasiaan. Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh 24 memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya. Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antara anggota dan klien atau pemberi kerja berakhir. Kerahasiaan harus dijaga oleh anggota kecuali jika persetujuan khusus telah diberikan atau terdapat kewajiban legal atau profesional untuk mengungkapkan informasi. Kerahasiaan tidaklah semata-mata masalah pengungkapan informasi. Kerahasiaan juga mengharuskan anggota yang memperoleh informasi selama melakukan jasa profesional tidak menggunakan atau terlihat menggunakan informasi tersebut untuk keuntungan pribadi atau keuntungan pihak ketiga. Anggota yang mempunyai akses terhadap informasi rahasia tentang penerima jasa tidak boleh mengungkapkannya ke publik. Karena itu, anggota tidak boleh membuat pengungkapan yang tidak disetujui (unauthorized disclosure) kepada orang lain. Hal ini tidak berlaku untuk pengungkapan informasi dengan tujuan memenuhi tanggung jawab anggota berdasarkan standar profesional. g. Prinsip perilaku profesional Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. 25 Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja, dan masyarakat umum. h. Prinsip standar teknis. Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan mempunyai keahliannya kewajiban untuk dengan berhati-hati, melaksanakan anggota penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan objektivitas. 2. Aturan Etika Sebelum tahun 1998, IAI hanya memiliki kode etik yang hanya mengikat seluruh anggotanya. Aturan-aturan yang berlaku dalam kode etik dirumuskan dan disahkan dalam kongres IAI yang melibatkan seluruh anggota IAI tanpa melihat keanggotaan kompartemen anggota yang bersangkutan. Akan tetapi, setelah tahun 1998, seluruh kompartemen IAI telah memiliki aturan etika masing-masing. Dengan demikian kode etik IAI memiliki empat aturan etika kompartemen, yaitu aturan etika Kompartemen Akuntan Publik (KAP), Kompartemen Akuntan Pendidik (KAPd), Kompartemen Akuntan Manjemen (KAM), Kompartemen Akuntan Sektor Publik (KASP). Aturan etika disahkan oleh rapat anggota kompartemen dan hanya mengikat anggota kompartemen yang bersangkutan. Seiring dengan berjalannya waktu, pada tanggal 24 Mei 2007 dalam 26 Rapat Umum Anggota Luar Biasa diputuskan pembentukan Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) sebagai organisasi akuntan publik yang independen dan mandiri dengan berbadan hukum sebagai pengganti Kompartemen Akuntan Publik (KAP). Selanjutnya pada tanggal 4 Juni 2007, secara resmi IAPI diterima sebagai anggota asosiasi yang pertama oleh IAI. Pada tanggal 5 Februari 2008, Pemerintah Republik Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008 mengakui IAPI sebagai organisasi profesi akuntan publik yang berwenang melaksanakan penerbitan ujian standar sertifikasi profesional akuntan dan publik, etika penyusunan akuntan publik, dan serta menyelenggarakan program pendidikan berkelanjutan bagi seluruh akuntan publik di Indonesia. Hal serupa dialami oleh Kompartemen Akuntan Manajemen (KAM) yang kemudian berubah menjadi Institut Akuntan Manajemen Indonesia (IAMI). Sesuai dengan Keputusan Rapat Anggota Luar Biasa Nomor: 05/RALB-KAM/IX/2006 yang berbunyi: “Melimpahkan kewenangan melaksanakan pendirian kepada Organisasi Pengurus Profesi IAI-KAM Akuntan untuk Manajemen Indonesia sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan kongres ke-X IAI”. Berdasarkan hasil keputusan RALB IX, didirikanlah sebuah organisasi profesi bernama Institut Akuntan Manajemen Indonesia (IAMI) menggantikan Kompartemen Akuntan Manajemen. IAMI merupakan Asosiasi Profesi Akuntan dibawah Ikatan Akuntan Indonesia yang didirikan pada tanggal 1 April 2008 dengan Akta Notaris Ani Adriani Sukmayantini SH. Sampai saat ini Anggota IAMI sekitar 200 orang para akuntan yang pekerjaannya sebagai eksekutif baik di perusahaan Negara, 27 Pemerintah maupun Swasta. Sedangkan untuk dua kompartemen lainnya yaitu Kompartemen Akuntan Pendidik (KASP) dan Kompartemen Akuntan Sektor Publik (KASP) belum mengalami perubahan. 3. Interpretasi Aturan Etika Interpretasi aturan etika merupakan penafsiran, penjelasan, atau elaborasi lebih lanjut atas hal-hal, isu-isu, dan pasal-pasal yang diatur dalam aturan etika, yang dianggap memerlukan penjelasan agar tidak terjadi perbedaan pemahaman atas auran etika yang dimaksud. Interpretasi aturan etika ini dikeluarkan oleh suatu badan yang dibentuk oleh pengurus kompartemen atau institut profesi sejenis yang bersangkutan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota serta pihak-pihak yang berkepentingan lainnya sebagai panduan dalam penerapan aturan etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya. 4. Tanya Dan Jawab Pada tingkatan terakhir, dimungkinkan adanya tanya-jawab yang berkaitan dengan isu-isu etika. Tanya-jawab ini dapat dilakukan dengan Dewan Standar Profesi yang dibentuk oleh pengurus kompartemen atau institut yang bersangkutan guna memberikan penjelasan atas setiap pertanyaan dari anggota kompartemen tentang aturan etika beserta interpretasinya. 2.5 Hirarki Jabatan Auditor Kantor akuntan publik di Indonesia memiliki bentuk hukum berupa usaha sendiri (Sole Practitioners) atau bentuk kerjasama antara dua atau lebih rekan 28 akuntan (Partnership). Hirarki jabatan dalam KAP menurut Ikhsan (2007:203) mengacu pada kondisi di luar negeri yaitu: partner, manager, senior, dan staff. Beberapa staf yang diketahui oleh seorang supervisor melakukan pekerjaan secara tim, hasil kerja tim ditinjau oleh manager dan manager bertanggung jawab terhadap seorang partner. Staf akuntan biasanya terdiri dari akuntan pemula yang juga disebut sebagai akuntan junior. Tingkatan hirarki jabatan yang banyak dijumpai dalam kantor akuntan publik di Indonesia, mengacu pada Mulyadi dan Kanaka (1998:31-32) yaitu partner, manager, senior auditor, dan junior auditor. Adapun penjelasan hirarki jabatan di atas dapat diuraikan sebagai berikut a. Partner (Rekan) Partner menduduki jabatan tertinggi dalam penugasan audit; bertanggung jawab atas hubungan dengan klien; bertanggung jawab secara menyeluruh mengenai auditing. Partner menandatangani laporan audit dan management letter, dan bertanggung jawab terhadap penagihan fee audit dari klien. b. Manager audit Manager audit bertindak sebagai pengawas audit; bertugas untuk membantu auditor senior dalam merencanakan program audit dan waktu audit; me-review kertas kerja, laporan audit dan management letter. Biasanya manager melakukan pengawasan terhadap pekerjaan beberapa auditor senior. Pekerjaan manager tidak berada di kantor klien, melainkan di kantor auditor, dalam bentuk pengawasan terhadap pekerjaan yang dilaksanakan pada auditor senior. 29 c. Auditor senior Auditor senior bertugas untuk melaksanakan audit, bertanggung jawab untuk mengusahakan biaya audit dan waktu audit sesuai dengan rencana; bertugas untuk mengarahkan dan me-review pekerjaan auditor junior. Auditor senior biasanya hanya menetap di kantor klien sepanjang prosedur audit dilaksanakan. Umumnya auditor senior melakukan audit terhadap suatu objek pada saat tertentu. d. Auditor junior Auditor melaksanakan prosedur audit rinci, membuat kertas kerja untuk mendokumentasikan pekerjaan audit yang telah dilaksanakan. Pekerjaan ini biasanya dipegang oleh auditor yang baru saja menyelesaikan pendidikan formalnya di sekolah. Oleh Widiastuti (2003) dalam jurnal riset akuntansi Indonesia mengenai pengaruh perbedaan level hirarki auditor dalam kantor akuntan publik terhadap persepsi tentang kode etik akuntan indonesia, membagi level hirarki auditor berdasarkan lama pengalaman mengaudit menjadi dua yaitu a. Auditor senior apabila telah bekerja sebagai auditor selama lebih dari dua tahun. b. Auditor junior apabila baru bekerja sebagai auditor selama kurang dari dua tahun. Semakin tinggi jabatan seorang auditor, maka tugas dan tanggung jawabnya akan semakin besar pula. Adanya perbedaan dalam tugas dan tanggung jawab ini menyebabkan konflik dan dilema etis yang dihadapi juga berbeda-beda. Auditor yang memiliki fungsi yang tinggi akan menghadapi konflik dan dilema etis yang lebih besar dari pada auditor yang memilki fungsi yang 30 rendah. Hal ini akan mempengaruhi persepsinya terhadap pelaksanaan etika profesi (Tarigan dan Mawarni, 2009:245). 2.6 Tinjauan Atas Penelitian Terdahulu Widiastuti (2003) yang membagi level hirarki auditor menjadi dua yaitu termasuk kategori senior apabila telah bekerja lebih dari dua tahun dan junior dibawah dua tahun. Widiastuti (2003) dengan subjek yang spesifik, yaitu level hirarki auditor dalam Kantor Akuntan Publik (KAP) dan dengan memperluas objek penelitian mengenai kode etik akuntan Indonesia yaitu pada prisip etika dan aturan etika. Perbedaan level hirarki auditor dalam KAP penting untuk diteliti karena tanggung jawab dan wewenang yang terangkum dalam job description masing level berbeda, maka guna meningkatkan kepercayaan pemakai jasa profesi akuntan, perlu adanya persepsi yang positif terhadap kode etik akuntan diantara masing-masing level hirarki. Selain itu juga tingkat pendidikan atau pengetahuan dan pengalaman auditor pada tiap-tiap level hirarki dalam KAP tersebut dapat berbeda-beda sehingga tentu saja hal ini dapat mempengaruhi persepsi mereka terhadap kode etik profesi akuntan Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi secara signifikan terhadap kode etik akuntan Indonesia diantara auditor senior dan auditor junior. Nugrahaningsih (2005) yang meneliti tentang analisis perbedaan perilaku etis auditor di KAP dalam etika profesi (studi terhadap peran faktor-faktor individual: locus of control, lama pengalaman kerja, gender, dan equity sensitivity). Penelitian ini menggunakan responden auditor di Surakarta dan Yogyakarta. Pengujian validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas konstrak (construct validity) dan teknik yang digunakan adalah dengan 31 Pearson Product Moment. Teknik uji reliabilitas yang digunakan adalah reliabilitas konsistensi internal. Untuk mengukur konsistensi internal digunakan pengujian dengan teknik Cronbach’s Alpha. Teknik uji normalitas yang digunakan adalah One Sample Kolmogorov Smirnov Test, yaitu pengujian dua sisi yang dilakukan dengan membandingkan signifikansi hasil uji (p-value) dengan taraf signifikansi. Untuk menguji hipotesis digunakan alat uji statistik, yaitu Independent Sample T-Test. Pada Independent Sample T-Test terdapat dua tahapan analisis yaitu Levene's Test dan T-Test. Semua teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS version 11.0 for windows. Untuk mengetahui bagaimana persepsi auditor tentang kode etik maka dalam analisis tambahan digunakan uji proporsi. Uji proporsi ini dilakukan dengan menghitung persentase jawaban dari pernyataan mengenai persepsi terhadap kode etik. Jawaban dikelompokkan dalam format setuju dan tidak setuju untuk masing-masing responden. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor senior dan auditor junior pada KAP di Surakarta dan Yogyakarta. Sedangkan Bikhana (2006) melakukan penelitian terhadap auditor senior dan junior. Hasil penelitiannya menyebutkan persepsi auditor terhadap penerapan kode etik akuntan Indonesia dalam meningkatkan objektivitas akuntan publik, hasilnya tidak terdapat perbedaan persepsi penerapan kode etik pada kedua kelompok auditor yaitu auditor senior dan auditor junior. Kedua kelompok auditor tersebut mempunyai persepsi yang mungkin berbeda dari penerapan kode etik, karena pada dasarnya kode etik akuntan publik bukan saja memberikan acuan mengenai kualitas teknis yang harus dipenuhi para anggotanya, tetapi juga standar etika yang harus diperhatikan sesuai dengan norma-norma masyarakat. 32 Selanjutnya, Tarigan dan Mawari (2009) melakukan penelitian mengenai hirarki jabatan di KAP terhadap persepsi auditor dalam pelaksanaan etika profesi. Penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran bahwa terdapat perbedaan persepsi yang signifikan antara auditor junior dengan level di atas auditor junior terhadap pelaksanaan etika profesi, sehingga auditor yang memiliki posisi junior dengan level di atas auditor junior akan memiliki persepsi etika profesi yang berbeda pula. Hirarki jabatan di KAP terdiri dari auditor junior, auditor senior, supervisior, manajer dan partner. Untuk selanjutnya responden yang memiliki jabatan sebagai auditor senior, supervisior, manajer dan partner akan dimasukkan di dalam kelompok level di atas auditor junior. Ini terjadi karena hasil penelitian yang tidak seimbang antara antara masing-masing kelompok apabila dipergunakan berdasarkan hirarki jabatan di KAP sehingga pengelompokan ini sangat diperlukan. Untuk pengujian hipotesis dalam penelitiannya, Tarigan dan Mawari (2009) menggunakan uji statistic perametric dan uji statistic non parametric. Uji statistic parametric menggunakan T-test untuk bagian pernyataan pelaksanaan etika profesi. Hal ini di sebabkan bagian pernyataan pelaksanaan etika profesi menghasilkan distribusi data normal. Sedangkan uji statistic non parametric menggunakan uji statistic non parametric spearman dan uji statistic non parametric chi square atas semua pernyataan etika profesi. Dari kedua pengujian statistik yang dilakukan keduanya memberikan kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsi junior auditor dengan level di atas junior auditor terhadap pelaksanaan etika profesi 33 2.7 Kerangka Pikir dan Pengembangan Hipotesis 2.7.1. Kerangka Pikir Kerangka pikir dalam penelitian ini dikembangkan berdasarkan landasan teori yang dipaparkan sebelumnya dan berlandaskan dengan penelitianpenelitian terdahulu yang berkaitan. Dalam hal ini peneliti mencoba untuk mengetahui bagaimana persepsi auditor senior dan auditor junior terhadap Kode Etik IAI, apakah terdapat perbedaan persepsi pada setiap jenjang hirarki fungsi yang ada. Konsep yang dipaparkan membedakan dua jenjang hirarki auditor, yang pertama yaitu auditor senior yaitu auditor yang telah bekerja sebagai auditor selama lebih dari dua tahun dan memiliki sertifikat, sementara jenjang hirarki kedua yaitu auditor junior yaitu akuntan yang bekerja sebagai auditor kurang dari dua tahun baik itu yang berstatus mahasiswa ataupun yang tidak berstatus mahasiswa lagi dan dianggap cakap untuk melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan. Konsep hirarki ini kemudian dikaitkan dengan kode etik IAI yaitu pada prinsip etika yang meliputi: tanggung jawab profesi, kepentingan umum (publik), integritas, objektivitas, kompetensi dan kehati-hatian professional, kerahasiaan, perilaku professional, standar teknis. Dengan demikian akan lahir persepsi dari setiap jenjang hirarki fungsi tentang kode etik IAI yang mencakup kedelapan prinsip etika dalam kode etik IAI. Penelitian ini kemudian akan melihat bagaimana persepsi akuntan senior dan akuntan junior mengenai kode etik IAI pada pada prinsip etika. Selanjutnya penelitian ini juga akan melihat apakah terdapat perbedaan persepsi terhadap kode etik IAI yaitu pada prinsip etika dari masing-masing jenjang hirarki fungsi yang diteliti. 34 Oleh karena itu, dalam peneliltian ini akan ditinjau persepsi auditor terhadap kode etik Ikatan Akuntan Indonesia ditinjau dari level hirarki fungsi. Kerangka pikir dalam penelitian ini digambarkan dalam bagan berikut Prinsip-prinsip etika dalam Kode Etik Akuntan : 1. Tanggung jawab profesi 2. Kepentingan Publik 3. Integritas 4. Objektivitas 5. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional 6. Kerahasiaan 7. Perilaku Profesional 8. Standar Teknis Auditor Junior Auditor Senior Persepsi Hipotesi s Beda Sama Gambar 2.1 Kerangka Pikir 2.7.2. Pengembangan Hipotesis Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, maka penelitian ini bermaksud untuk menguji lebih lanjut apakah memang ada atau tidak ada perbedaan persepsi tersebut dengan menguji hipotesis berikut ini: Ha : Terdapat perbedaan persepsi antara akuntan senior dan akuntan junior terhadap Kode Etik Akuntan. BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Objek Penelitian 3.1.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan studi empiris. Artinya penelitian ini diadakan untuk mendapatkan bukti atau fakta-fakta secara objektif dan logis, termasuk kegiatan pengumpulannya baik yang diperoleh secara langsung ataupun tidak langsung (Ruslan 2008:3). 3.1.2 Objek Penelitian Objek penelitian yang diambil dalam penelitian ini adalah auditor yang berada di Kota Makassar. Dimana auditor tersebut (baik yang bekerja sebagai auditor independen ataupun auditor pemerintah) kemudian dibagi ke dalam dua jenjang hierarki fungsi yaitu auditor senior dan auditor junior. 3.2. Jenis dan Sumber Data 3.2.1 Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Data kualitatif, yaitu data non angka yang sifatnya deskriptif dalam bentuk informasi tulisan (kuesioner) yang diperoleh dari akuntan yang berkompeten memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. 2. Data kuantitatif, yaitu data yang telah diolah dari jawaban kuesioner yang dibagikan kepada responden. 98 44 3.2.2 Sumber Data Untuk melengkapi data yang digunakan, maka penulis memperoleh data yang bersumber dari: 1. Data primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama baik dari individu atau perseorangan, dimana data tersebut diperoleh melalui proses survei dan observasi (Ruslan, 2008:138). 2. Data sekunder, yaitu data yang secara tidak langsung berhubungan dengan responden yang diselidiki dan merupakan pendukung bagi penelitian yang dilakukan. Data sekunder penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode tinjauan kepustakaan (library research) dan mengakses website maupun situs-situs. 3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2008:215). Populasi penelitian ini adalah auditor senior (baik yang bekerja sebagai akuntan publik dan sebagai akuntan pemerintah) yang berada di kota Makassar dan auditor junior (baik yang bekerja sebagai akuntan publik dan sebagai akuntan pemerintah). Dalam penelitian ini yang digolongkan sebagai auditor senior adalah auditor yang telah berprofesi sebagai auditor selama lebih dari dua tahun, sedangkan auditor junior adalah auditor yang berprofesi sebagai auditor kurang dari dua tahun. Selain itu peneliti juga menggunakan beberapa kriteria dalam 45 penggolongan hirarki fungsi auditor sebagaimana yang dijelaskan dalam deskripsi sampel. Tabel 3.1 Jumlah Populasi Akuntan Publik No. Nama KAP Jumlah 1 Drs. Thomas, Blasius, Widartoyo & Rekan 12 2 Drs. Rusman Thoeng, M.Com, BAP 10 3 Drs. Daniel Hassa & Rekan 6 4 Drs. Usman & Rekan 6 5 Drs. Harly Weku 7 6 Mansyur Sain & Rekan 5 7 Yakub Ratan, CPA 7 Jumlah Populasi 53 Sumber: Data Primer, diolah 2012. Tabel 3.2 Jumlah Populasi Auditor No. 1 Nama Kantor Jumlah Kantor BPK Kota Makassar 79 Jumlah Populasi 79 Sumber: Data Primer, diolah 2012. Tabel 3.3 Jumlah Populasi Objek Penelitian No. Objek Penelitian Jumlah Populasi 1 Auditor di KAP 54 2 Auditor di Kantor BPK 79 Total Populasi Sumber: Data Primer, diolah 2012. 132 46 3.3.2 Sampel Sampel adalah sebagian dari jumlah populasi yang ingin diteliti (Ruslan 2008:119). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini akan menggunakan metode purposive sampling yaitu pengambilan sampel yang bersifat tidak acak (Prasetyo dan Jannah 2011:135), dimana sampel dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. 1. Kriteria responden untuk auditor senior dalam penelitian ini adalah sebagai berikut a. Seluruh auditor senior, baik yang bekerja sebagai auditor independen dan auditor pemerintah. b. Telah berprofesi sebagai auditor dalam kurun waktu lebih dari dua tahun. (Widiastuti 2003) c. Telah terdaftar pada Departemen Keuangan dan mempunyai nomor register sebagai akuntan yang resmi. 2. Kriteria responden untuk auditor junior dalam penelitian adalah sebagai berikut a. Seluruh auditor junior, baik yang bekerja sebagai auditor independen dan auditor pemerintah. b. Telah berprofesi sebagai auditor dalam kurun waktu kurang dari dua tahun. (Widiastuti 2003) c. Jika terdapat responden yang telah memiliki nomor register tetapi berprofesi sebagai auditor kurang dari dua tahun, maka peneliti akan menggolongkannya sebagai auditor junior. Hal ini di karenakan dalam penelitian ini peneliti memfokuskan penentuan hirarki pada lama bekerja sebagai auditor. 47 3.4. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian perpustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). 1. Penelitian pustaka (library research), yaitu suatu metode pengumpulan data dengan cara melakukan peninjauan pustaka dari berbagai literatur karya ilmiah, majalah, dan buku-buku yang menyangkut teori-teori yang relevan dengan masalah yang dibahas. 2. Penelitian lapangan (field research), yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara peninjauan langsung pada objek penelitian untuk mendapatkan informasi dengan membagikan kuesioner. Menurut Prasetyo dan Jannah (2011:49), kuesioner merupakan lembaran yang berisi beberapa pertanyaan dengan struktur yang baku. Kuisioner yang diajukan kepada responden berupa daftar pertanyaan tertutup (closed question), yaitu pertanyaan yang dibuat sedemikian rupa sehingga responden dibatasi untuk membuat pilihan diantara serangkaian alternatif saja. Kuisioner dalam penelitian ini merupakan hasil adaptasi dari penelitian Nurlan (2011). Skala yang digunakan dalam penyusunan kuesioner penelitian ini adalah skala likert, yaitu skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Skala likert dalam kuisioner disusun dengan format seperti (Ruslan, 2008:198) a. Jawaban A sangat setuju diberi score 5. b. Jawaban B setuju diberi score 4. c. Jawaban C ragu-ragu diberi score 3. d. Jawaban D tidak setuju diberi score 2. e. Jawaban E sangat tidak setuju diberi score 1. 48 3. Mengakses website dan situs-situs untuk memperoleh informasi sehubungan dengan masalah dalam penelitian. 3.5. Metode Analisis Data 3.5.1 Pengujian Validitas dan Reliabilitas Data Mengingat pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner, maka kualitas kuesioner dan kesanggupan responden dalam menjawab pertanyaan merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian ini. Apabila alat yang digunakan dalam proses pengumpulan data tidak valid, maka hasil penelitian yang diperoleh tidak mampu menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu dalam penelitian akan dimulai dengan pengujian validitas dan reliabilitas terhadap daftar pertanyaan yang digunakan dalam kuesioner. Penelitian ini tidak akan berguna jika instrumen yang dipakai untuk mengumpulkan data penelitian tidak memiliki reliability (tingkat keandalan) dan validity (tingkat keabsahan) yang tinggi. Pengujian dan pengukuran tersebut masing-masing akan menunjukkan konsistensi dan akurasi data yang dikumpulkan. Uji validitas dan reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan software aplikasi statistik Statistical Package for Social Science (SPSS) versi 19. 1. Pengujian Validitas Uji Validitas berguna untuk mengetahui apakah ada pertanyaanpertanyaan pada kuesioner yang harus dibuang atau diganti karena dianggap tidak relevan (Umar, 2008:54). Model pengujian menggunakan pendekatan Pearson Correlation untuk menguji validitas pernyataan kuesioner yang disusun dalam bentuk skala. Perhitungan ini akan dilakukan dengan bantuan komputer program SPSS 19 (Statistical 49 Package for Social Scince). Hasil pengujian validitas menunjukkan korelasi positif pada level 0,01 dan 0,05. 2. Pengujian Reliabilitas Reliabilitas atau keterandalan suatu instrumen dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana kebenaran alat ukur tersebut cocok digunakan sebagai alat ukur untuk mengukur sesuatu. Uji reliabilitas berguna untuk menetapkan apakah instrument yang dalam hal ini kuesioner dapat digunakan lebih dari satu kali, paling tidak oleh responden yang sama (Umar, 2008:57). Reliabilitas instrumen diperlukan untuk mendapatkan data sesuai dengan tujuan pengukuran. Untuk mencapai hal tersebut, dilakukan uji reliabilitas dengan menggunakan metode cronbach alpha (α). Pengujian ini dilakukan dengan bantuan komputer program SPSS 19 (Statistical Package for Social Scince). Koefisien cronbach alpha yang lebih besar dari 0,6 menunjukkan keandalan (reliabilitas) instrumen. 3.5.2 Pengujian Hipotesis Analisis utama adalah pengujian hipotesis. Untuk pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan alat analisis Statistic Independent Sample t-test dengan menggunakan bantuan program Statistical Packages for Social Science 19 (SPSS) karena sampel yang diuji terdiri dari dua kelompok yang saling independen dan bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan persepsi diantara kelompok sampel. Independent Sample t-test, prinsipnya ingin mengetahui apakah ada perbedaan mean antara dua populasi, dengan membandingkan dua mean sample-nya. Pengujian hipotesis Uji beda t-test dengan sampel Independen (Independent Sample t-test) digunakan untuk menentukan apakah dua sampel 50 yang tidak berhubungan memiliki nilai rata-rata yang berbeda. Ada dua tahapan analisis yang dilakukan dalam uji beda 1. Pertama, menguji apakah asumsi variance populasi kedua sampel tersebut sama ataukah berbeda dengan melihat nilai levene test. 2. Kedua, dengan melihat nilai t-test untuk menentukan apakah terdapat perbedaan nilai rata-rata secara signifikan. Pengambilan keputusan berdasarkan: a. Jika p-value > 0,05 maka H0 diterima dan Ha ditolak. b. Jika p-value < 0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima.