bab i pendahuluan - UNHAS Repository System

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Era pasar bebas memberikan dampak pada persaingan bisnis yang
semakin ketat sebagaimana dirasakan oleh para pelaku bisnis. Hal itu seringkali
memaksa para pelaku bisnis untuk bersinggungan dengan masalah etika dan
mengabaikan
profesionalisme
suatu
profesi
demi
mencapai
tujuannya.
Profesionalisme suatu profesi mensyaratkan tiga hal utama yang harus dipunyai
oleh setiap anggota profesi tersebut, yaitu berkeahlian, berpengetahuan dan
berkarakter (Agoes dan Ardana, 2009:159). Ketiga hal tersebut mutlak dimiliki
oleh setiap anggota profesi, sehingga profesionalisme profesi dapat diakui oleh
masyarakat.
Berkeahlian
dan
berpengetahuan
dalam
profesi
akuntansi
berkenaan dengan bagaimana seorang auditor memiliki keahlian dalam
menjalankan profesinya. Auditor harus telah menjalani pendidikan dan pelatihan
teknis yang cukup dalam praktik akuntansi dan teknik auditing. Karakter
menunjukkan keperibadian seorang profesional, yang diantaranya diwujudkan
dalam sikap dan tindakan etisnya. Sikap dan tindakan etis auditor sangat
menentukan posisinya di dalam masyarakat pemakai jasa profesionalnya.
Profesi
akuntansi
memang
telah
mengalami
perkembangan
dan
mendapat banyak pengakuan dari berbagai kalangan seperti dunia usaha,
pemerintah,
dan
masyarakat
luas.
Hal
ini
disebabkan
karena
makin
meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya jasa auditor. Meskipun
demikian, masyarakat belum sepenuhnya menaruh kepercayaan terhadap
profesi akuntansi. Banyak masalah yang terjadi pada berbagai kasus bisnis yang
1
2
melibatkan profesi akuntansi. Sorotan yang diberikan kepada profesi ini
disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya praktik-praktik profesi yang
mengabaikan standar akuntansi bahkan etika profesi (Agoes dan Ardana,
2009:158).
Etika suatu profesi menjadi topik pembicaraan yang sangat penting dalam
masyarakat sekarang ini. Terjadinya pelanggaran etika profesi di Indonesia
menyadarkan masyarakat untuk mengutamakan perilaku etis, dimana selama ini
perilaku etis sering diabaikan. Etika menjadi kebutuhan penting bagi semua
profesi yang ada agar tidak melakukan tindakan yang menyimpang hukum.
Semua profesi dituntut untuk berperilaku etis yaitu bertindak sesuai dengan
moral dan nilai-nilai yang berlaku. Setiap kelompok profesional tentunya memiliki
kode etik perilaku yang disebut etika profesional. Hal ini menunjukkan bahwa
kaum profesional adalah orang-orang yang memiliki tolak ukur perilaku yang
berada diatas rata-rata. Di satu pihak ada tuntutan dan tantangan yang sangat
berat, tetapi di lain pihak ada suatu kejelasan mengenai pola perilaku yang baik
dalam rangka kepentingan masyarakat (Isnanto, 2009:7).
Untuk mendukung profesionalisme auditor, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
mengeluarkan suatu standar profesi yang memuat seperangkat prinsip-prinsip
moral tentang perilaku profesional yaitu kode etik Akuntan Indonesia yang
mengatur hubungan antara akuntan dengan para klien, antara akuntan dengan
sejawatnya dan antara profesi dengan masyarakat (Arisetyawan, 2010:2). Dalam
Kode Etik Akuntan Indonesia disebutkan bahwa tujuan profesi akuntansi adalah
memenuhi tanggung jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi,
mencapai tingkat kinerja tertinggi dengan orientasi kepada kepentingan publik.
Ikatan Akuntansi Indonesia telah berupaya untuk melakukan penegakan etika
profesi bagi auditor. Namun, perilaku tidak etis dari para auditor masih tetap ada.
3
Krisis moral dalam dunia bisnis yang sangat fenomenal membuat
profesi akuntansi menjadi sorotan masyarakat. Mulai kasus Enron di Amerika
yang didalamnya melibatkan salah satu the big five accounting firm “Arthur
Anderson” (Agoes dan Ardana, 2009:158). Skandal Enron memunculkan banyak
pertanyaan seputar peranan Arthur Anderson, sebab kantor akuntan publik
(KAP) bertaraf internasional ini telah memainkan dua posisi strategis di
perusahaan tersebut, sebagai auditor dan konsultan bisnis Enron. Suatu kasus
yang sedemikian kompleks, yang kemudian diikuti oleh mencuatnya kasus-kasus
besar lainnya.
Di Indonesia kasus-kasus serupa juga terjadi, misalnya kasus audit PT.
Telkom
oleh
KAP
Eddy
Pianto
&
Rekan
(Pamungkas,
http://ridwanpp.blogspot.com). Pada kasus ini telah terjadi pelanggaran kode etik
dan praktik persaingan tidak sehat antar KAP. KAP Drs. Hadi Sutanto & Rekan
(yang mengaudit Laporan Keuangan PT. Telkomsel Tahun Buku 2002) tidak
bersedia terasosiasi dengan pekerjaan audit KAP Eddy Pianto untuk menghindari
risiko yang dapat merugikan jika terasosiasi dengan pekerjaan audit KAP Eddy
Pianto dan menolak hasil auditnya untuk diacu dalam pekerjaan audit KAP Eddy
Pianto dalam Form 20-F (laporan tahunan mengenai transisi emiten swasta asing
yang diserahkan kepada United States Securities and Exchange Commission
(US SEC) bagi perusahaan go public) PT. Telkom karena keraguan kelayakan
hak berpraktek KAP Eddy Pianto dihadapan US SEC. Kejadian ini dianggap
melanggar kode etik karena KAP Drs. Hadi Sutanto dan Rekan tidak memiliki
kewenangan untuk menilai kualifikasi KAP lainnya (Eddy Pianto) untuk
berpraktek dihadapan US SEC. Hal ini jelas menggambarkan persaingan yang
tidak sehat antar KAP. Kejadian tersebut tidak hanya merugikan KAP Eddy
Pianto tapi juga merugikan PT. Telkom, sebagai pengguna jasa audit terpaksa
4
harus mengeluarkan tambahan waktu, tenaga, dan biaya yang seharusnya tidak
perlu dikeluarkan bila proses pelaksanaan audit berjalan normal.
Seharusnya pelanggaran tersebut tidak akan terjadi jika setiap auditor
mempunyai pengetahuan, pemahaman dan dapat menerapkan etika secara
memadai dalam melaksanakan tugasnya sebagai seseorang yang profesional.
Sikap auditor yang profesional maka akan mampu menghadapi tekanan yang
muncul dari dirinya sendiri ataupun dari pihak eksternal.
Penelitian mengenai etika profesi akuntansi ini dilakukan karena profesi
akuntansi aktivitasnya tidak terlepas dari aktivitas bisnis yang menuntut mereka
untuk bekerja secara profesional sehingga harus memahami dan menerapkan
etika profesinya dalam bisnis. Bertolak dari kasus-kasus di atas dan kemudian
dihubungkan dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, auditor seolah
menjadi profesi yang paling bertanggung jawab. Dalam hal ini, karena peran
pentingnya dalam masyarakat bisnis, auditor independen bahkan dituduh
sebagai pihak yang paling besar tanggung jawabnya atas kemerosotan
perekonomian Indonesia. Bagaimanapun situasi kontekstual ini memerlukan
perhatian dalam berbagai aspek pengembangan profesionalisme auditor
mengingat besarnya tanggung jawab yang diemban dalam masyarakat bisnis,
termasuk di dalamnya melalui suatu penelitian.
Auditor yang bekerja di dalam suatu instansi ataupun entitas lainnya
dapat dibagi kedalam beberapa jenjang atau hirarki, dimana tanggung jawab dan
wewenang pada masing-masing level tersebut berbeda satu dengan yang
lainnya. Level hirarki auditor dalam penugasan audit pada suatu KAP menurut
Mulyadi dan Kanaka (1998:31-32) terdiri atas empat macam, yaitu: partner,
manager audit, auditor senior, auditor junior.
Semakin tinggi jabatan seorang auditor, maka tugas dan tanggung
5
jawabnya akan semakin besar pula. Adanya perbedaan dalam tugas dan
tanggung jawab ini menyebabkan konflik dan dilema etis yang dihadapi juga
berbeda-beda. Auditor yang memiliki jabatan yang tinggi akan menghadapi
konflik dan dilema etis yang lebih besar dari pada auditor yang memiliki jabatan
yang rendah (Tarigan dan Mawarni, 2009:245). Hal ini pula akan mempengaruhi
persepsi auditor terhadap etika profesi. Selain itu model birokrasi dari Weber
(Thoha 2010:12-13) merupakan salah satu model yang ideal dan sesuai untuk
meracang teori-teori mengenai organisasi. Makna birokrasi disini menyerupai
konsep perfect competition dalam teori ekonomi, struktur pasar yang ada dalam
teori ekonomi mengilhami Weber dalam merancang birokrasinya. Struktur adalah
suatu model yang sederhana dan merupakan patokan untuk mengukur suatu
kenyataan. Secara teori, suatu birokrasi mempunyai berbagai sifat yang dapat
dibedakan dari ketentuan-ketentuan lain dari organisasi. Sifat yang dimaksudkan
yaitu adanya spesialisasi, adanya hirarki, adanya suatu sistem, adanya
hubungan yang bersifat impersonal, adanya promosi dan jabatan yang didasari
oleh kecakapan dimana sifat-sifat tersebut dapat mempengaruhi pesepsi dari
individu. Aspek perilaku yang dicerminkan oleh birokrasi dapat dilihat dari
penekanan Weber pada struktur yang timbul dari rasa tidak percaya kepada
kesanggupan dan kemampuan manusia untuk menciptakan rasionalitas tertentu,
mendapatkan informasi yang baik, dan membuat keputusan yang objektif.
Dalam
membandingkan
penelitian
persepsi
ini,
peneliti
diantara
melakukan
masing-masing
observasi
level
hirarki
dengan
auditor.
Perbedaan level hirarki auditor penting untuk diteliti karena tanggung jawab dan
wewenang
masing-masing
level
berbeda.
Maka
guna
meningkatkan
kepercayaan pemakai jasa profesi auditor, perlu adanya persepsi yang positif
terhadap kode etik akuntan diantara masing-masing level hirarki.
6
Persepsi perlu diteliti karena sebagai gambaran pemahaman terhadap
etika profesi (Kode Etik Akuntan). Dengan pengetahuan, pemahaman, kemauan
yang lebih untuk menerapkan nilai-nilai moral dan etika secara memadai dapat
mengurangi berbagai pelanggaran etika (Ludigdo, 1999, dalam Arisetyawan,
2010:5). Peneliti memfokuskan penelitian pada Prinsip-Prinsip Etika dalam Kode
Etik Akuntan yaitu Tanggung Jawab Profesi, Kepentingan Publik, Integritas,
Objektivitas, Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional, Kerahasiaan, Perilaku
Profesional, serta Standar Teknis.
Sebagai acuan dari studi ini dapat disebutkan beberapa hasil penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya. Widiastuti (2003) yang membagi level hirarki
auditor (akuntan publik) menjadi dua yaitu termasuk kategori senior apabila telah
bekerja lebih dari dua tahun dan junior dibawah dua tahun. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi secara signifikan terhadap
kode etik akuntan Indonesia diantara auditor senior dan auditor junior.
Nugrahaningsih (2005) yang meneliti tentang analisis perbedaan perilaku
etis auditor di KAP dalam etika profesi (studi terhadap peran faktor-faktor
individual: locus of control, lama pengalaman kerja, gender, dan equity
sensitivity). Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan perilaku etis yang signifikan antara auditor senior dan auditor junior
pada KAP di Surakarta dan Yogyakarta.
Bikhana, (2006) melakukan penelitian terhadap auditor senior dan junior
mengenai penerapan kode etik akuntan Indonesia dalam meningkatkan
obyektivitas akuntan publik. Hasil penelitiannya menyebutkan tidak terdapat
perbedaan persepsi auditor senior dan auditor junior terhadap penerapan kode
etik akuntan Indonesia dalam meningkatkan obyektivitas akuntan publik.
7
Selanjutnya, Tarigan dan Mawari (2009) melakukan penelitian mengenai
hirarki jabatan di KAP terhadap persepsi auditor dalam pelaksanaan etika
profesi. Penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran bahwa terdapat
perbedaan persepsi yang signifikan antara auditor junior dengan level di atas
auditor junior terhadap pelaksanaan etika profesi, sehingga auditor yang memiliki
posisi junior dengan level di atas auditor junior akan memiliki persepsi etika
profesi yang berbeda pula. Hirarki jabatan di KAP terdiri dari auditor junior,
auditor senior, supervisior, manajer dan partner. Untuk selanjutnya responden
yang memiliki jabatan sebagai senior auditor, supervisior, manajer dan partner
akan dimasukkan di dalam kelompok level di atas junior auditor. Ini terjadi karena
hasil penelitian yang tidak seimbang antara antara masing-masing kelompok
apabila
dipergunakan
berdasarkan
hirarki
jabatan
di
KAP
sehingga
pengelompokan ini sangat diperlukan. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsi auditor junior
dengan level di atas auditor junior terhadap pelaksanaan etika profesi.
Penelitian ini berupaya mengetahui persepsi auditor terhadap kode etik
Ikatan Akuntan Indonesia ditinjau dari hirarki fungsi di Kota Makassar. Adanya
perbedaan pada hasil penelitian sebelumnya dan belum adanya penelitian yang
meneliti permasalahan persepsi auditor terhadap kode etik Ikatan Akuntan
Indonesia ditinjau dari level hirarki fungsi di Makassar sehingga penulis ingin
mengangkat penelitian dengan judul “Persepsi Auditor Terhadap Kode Etik
Ikatan Akuntan Indonesia Ditinjau Dari Hirarki Fungsi”.
8
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dalam penelitian ini masalah
yang diangkat adalah:
1.
Bagaimana persepsi auditor senior dan junior terhadap prinsip-prinsip
Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia?
2.
Apakah terdapat perbedaan persepsi antara auditor senior dan auditor
junior terhadap Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia?
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan
latar
belakang
dan
rumusan
masalah
yang
telah
dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Untuk mengetahui persepsi auditor terhadap Kode Etik Ikatan Akuntan
Indonesia.
2.
Untuk mengetahui perbedaan persepsi antara auditor senior dengan
auditor junior terhadap Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia.
1.4
Batasan Masalah
Agar tidak menyimpang dari permasalahan dan dapat mencapai sasaran
yang diharapkan, maka peneliti membatasi permasalahan pada:
1.
Penelitian ini hanya meneliti persepsi auditor terhadap Kode Etik IAI pada
bagian prinsip etika, hal ini dilakukan mengingat masing-masing kelompok
auditor memiliki aturan etika yang berbeda-beda.
2.
Penelitian ini hanya membagi hirarki fungsi auditor ke dalam dua jenjang
yaitu auditor junior dan auditor senior, hal ini dilakukan untuk menghindari
ketidakcukupan responden jika dibagi ke dalam empat jenjang hirarki.
9
1.5
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.
Bagi Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan para kelompok akuntan.
Untuk mengetahui seberapa jauh prinsip-prinsip etika yang
diterapkan telah melembaga dalam diri masing-masing auditor pada
masing-masing hirarki tersebut, sehingga secara umum dapat dikatakan
bahwa perilakunya dapat memberikan citra profesi yang mapan dan
kemahiran profesionalnya dalam memberikan jasa kepada masyarakat
yang semakin berarti, serta untuk memberikan masukan dalam
mendiskusikan masalah kode etik akuntan guna penyempurnaan serta
pelaksanaannya bagi seluruh akuntan di Indonesia.
2.
Bagi peneliti selanjutnya.
Sebagai wahana pembelajaran terutama bagi para mahasiswa
sebagai dasar pembanding dalam rangka melakukan penelitian lebih
lanjut pada bidang kajian ini, serta bagi pihak yang memerlukan referensi
yang terkait dengan isi skripsi ini, baik itu sebagai bahan bacaan atau
sebagai literatur.
3.
Bagi peneliti.
Untuk menambah pengetahuan dan wawasan peneliti, terutama
yang terkait dengan masalah dalam penelitian ini, serta sebagai wadah
dalam rangka menerapkan teori yang telah dipelajari.
10
1.6
Sistematika Penulisan
Penulisan karya akhir ini tersusun dengan sistematika penulisan sebagai
berikut:
BAB I
Pendahuluan
Bab ini menguraikan secara singkat mengenai latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, manfaat penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II
Tinjauan Pustaka
Bab ini menguraikan tinjauan teori-teori yang menjadi dasar analisis
penelitian yang meliputi: definisi persepsi, auditor, etika, kode etik IAI,
hirarki fungsi auditor, hasil penelitian terdahulu, kerangka pemikiran
dan hipotesis.
BAB III
Metode Penelitian
Berisikan penjelasan tentang lokasi penelitian, jenis dan sumber data,
populasi dan sampel, metode pengumpulan data, pengukuran variabel,
serta metode analisis.
BAB IV
Hasil Analisis dan Pembahasan
Bab ini berisikan analisis dan pembahasan dari hasil pengujian
hipotesis.
BAB V
Penutup
Bab ini menjelaskan mengenai kesimpulan atas pembahasan masalah,
keterbatasan penelitian serta saran-saran yang diberikan untuk
penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Persepsi
2.1.1. Definisi Persepsi
Persepsi merupakan sebuah interpretasi atas rangsangan-rangsangan
yang berasal dari proses indrawi. Sebuah persepsi ada karena setiap orang telah
memiliki
pengalaman-pengalaman
tertentu
seiring
perjalanan
hidupnya.
Pengalaman tersebut dapat berupa segala hal yang berwujud rekaman akan
rangkaian pengalaman indrawi maupun pengetahuan yang telah dipahami
ataupun dipelajari, maka persepsi tidak bisa tidak akan selalu berhubungan
dengan rangkaian pengalaman setiap individu.
Berikut ini beberapa definisi tentang persepsi yaitu
1.
Kreitner dan Kinichi (2005:208) mendefenisikan “persepsi sebagai proses
kognitif yang memungkinkan kita dapat menafsirkan dan memahami
lingkungan sekitar kita”.
2.
Schiffman dan Kanuk (2008:137) mendefenisikan “persepsi sebagai
proses yang dilakukan individu untuk memilih, mengatur, dan menafsirkan
stimuli ke dalam gambar yang berarti dan masuk akal mengenai dunia”.
3.
Robbins (2009:169) mendeskripsikan “persepsi dalam kaitannya dengan
lingkungan, yaitu sebagai proses yang digunakan individu mengelola dan
menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberi makna kepada
lingkungan mereka”.
4.
Menurut Lubis (2010:93) “Persepsi adalah bagaimana orang-orang
melihat atau menginterpretasikan peristiwa, objek, serta manusia”.
11
12
Manusia bertindak atas dasar persepsi mereka dengan mengabaikan
apakah persepsi itu mencerminkan kenyataan sebenarnya. Pada kenyataannya,
setiap manusia memiliki persepsinya sendiri atas suatu kejadian. Uraian
kenyataan seseorang mungkin jauh berbeda dengan uraian orang lain.
Individu dalam hubungannya dengan dunia luar selalu melakukan
pengamatan untuk dapat mengartikan rangsangan yang diterima dan alat indera
dipergunakan sebagai penghubung antara individu dengan dunia luar. Agar
proses pengamatan itu terjadi, maka diperlukan objek yang diamati alat indera
yang cukup baik dan perhatian merupakan langkah pertama sebagai suatu
persiapan dalam mengadakan pengamatan.
2.1.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Persepsi adalah hal yang bersifat subyektif dimana setiap individu
mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indra mereka agar memberi makna
pada
lingkungan
mereka,
sehingga
perlu
diketahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi persepsi individu baik dari dalam individu atau faktor psikologis
maupun dari luar individu. Robbins (2009:170) menyebutkan faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi individu meliputi
1.
Pelaku persepsi
Bila seorang individu memandang suatu objek dan mencoba
menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu dipengaruhi oleh
karakteristik-karakteristik pribadi dari pelaku persepsi tersebut. Kebutuhan
yang tidak dipuaskan merangsang individu-individu dan dapat merupakan
suatu pengaruh yang kuat pada persepsi mereka. Karena kepentingan
individu berbeda-beda, apa yang dipersepsikan satu orang dalalm suatu
situasi dapat berbeda dengan apa yang dipersepsikan orang lain. Faktor
13
ini berkaitan dengan sikap, motif, kepentingan, pengalaman dan
pengharapan (Robbins, 2009:170). Cara berpikir seseorang dalam
memecahkan masalah biasanya berbeda, ada yang menggunakan
pengertian, dan ada yang tidak. Berpikir berkaitan dengan persepsi yaitu
dalam memahami objek tertentu. Individu biasanya melibatkan kegiatan
menghubungkan pengertian dimana pengertian tersebut diperolehnya
baik secara sengaja maupun tidak.
2.
Faktor pada target
Karakteristik-karakteristik dalam target yang akan diamati dapat
mempengaruhi apa yang dipersepsikan objek atau peristiwa yang belum
pernah dialami di masa lalu. Di samping itu, objek-objek yang berdekatan
satu sama lain akan cenderung dipersepsikan bersama-sama sebagai
akibat
kedekatan
fisik
atau
waktu,
sering
individu-individu
menggabungkan objek-objek yang sebenarnya tidak berkaitan. Faktorfaktor ini meliputi hal baru, gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang dan
kedekatan (Robbins, 2009:170) akan lebih menarik perhatian orang
sehingga kemudian akan lebih mudah dipersepsikan orang.
3.
Faktor situasi
Merupakan kondisi lingkungan dimana individu mempersepsikan
objek tertentu, misalnya hawa panas atau dingin, terang atau gelap dan
lain-lain serta banyaknya waktu yang dipergunakan individu untuk
mempersepsikan objek tertentu. Selain itu keadaan sosial juga dapat
mempengaruhi keefektifan persepsi (Robbins 2009:170).
Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa persepsi pada
umumnya terjadi karena dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal berasal dari dalam diri individu, misalnya sikap, kebiasaan, dan
14
kemauan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar
individu yang meliputi stimulus itu sendiri, baik sosial maupun fisik (Ikhsan,
2010:94).
2.2
Auditor
Auditor merupakan salah satu profesi dalam bidang akuntansi. Menurut
Boynton et al. (2003:8), ditinjau dari sudut profesi akuntan publik “auditor adalah
para profesional yang ditugaskan untuk melakukan audit atas kegiatan dan
peristiwa ekonomi bagi perorangan dan entitas resmi”.
Auditor dapat juga disebut sebagai akuntan yang memberikan jasa audit.
Auditor digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu (Boynton et.al, 2003:8)
1.
Auditor Pemerintah, adalah auditor yang bekerja di instansi pemerintah
yang tugas utamanya adalah melakukan audit atas pertanggung jawaban
keuangan dari berbagai unit organisasi dalam pemerintahan.
2.
Auditor Internal, adalah karyawan perusahaan tempat mereka melakukan
audit. Tujuannya, untuk membantu manajemen dalam melakukan
tanggung jawabnya secara efektif.
3.
Auditor Independen, adalah para praktisi individual atau anggota kantor
akuntan publik yang memberikan jasa auditing profesional kepada klien.
Auditor ini menjalankan pekerjaannya dibawah naungan kantor akuntan
publik.
15
2.3
Etika
2.3.1. Pengertian Etika
Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan
hidup tingkat internasional diperlukan suatu sistem yang mengatur bagaimana
seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi
saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama,
protokoler dan lain-lain.
Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan
masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terlindungi
tanpa merugikan kepentingannya, serta terjamin agar perbuatannya yang tengah
dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan
dengan hak-hak asasi umumnya (Isnanto, 2009:2). Hal tersebut yang mendasari
tumbuh-kembangnya etika di masyarakat kita.
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti norma-norma,
nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik,
seperti yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut
1.
Menurut Arens et al. (2008:98), “etika secara garis besar dapat
didefinisikan sebagai serangkaian prinsip atau nilai- nilai moral”.
2.
Isnanto (2009:3), memandang etika sebagai “cabang filsafat yang
berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku
manusia dalam hidupnya”.
3.
Bertens (1997: 3-4) mendeskripsikan etika sebagai perilaku yang baik dari
seseorang atau sekelompok orang, dimana perilaku ini sebenarnya
merupakan tuntutan dari hati nurani orang yang bersangkutan dan
masyarakat setempat agar tercipta keadilan dalam kehidupan antar
individu dan masyarakat.
16
Jadi dapat disimpulkan bahwa etika adalah aturan prilaku, adat kebiasaan
manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan pada perbuatan
yang benar. Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan
manusia. Etika memberi orientasi bagaimana manusia menjalani hidupnya
melalui rangkaian tindakan sehari-hari (Prajitno, 2006:32). Itu berarti etika
membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam
menjalani hidup ini, dengan demikian etika dapat dibagi menjadi beberapa
bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya.
Ada dua macam etika yang perlu dipahami dalam menentukan baik dan
buruknya prilaku manusia
1.
Etika deskriptif yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan
rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia
dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif
memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang
prilaku atau sikap yang mau diambil (Isnanto, 2009:3).
2.
Etika normatif, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan
pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini
sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus
memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan
diputuskan.
Menurut (Keraf 1998: 32-33), etika secara umum dapat dibagi menjadi
1.
Etika umum berbicara mengenai bagaimana manusia mengambil
keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang
menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak, serta tolok ukur dalam
menilai baik atau buruknya suatu tindakan.
17
2.
Etika khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam
bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud bagaimana
manusia mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan
dan kegiatan khusus yang ia lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan
prinsip-prinsip moral dasar.
Etika khusus dibagi lagi menjadi dua bagian (Keraf 1998:33-34) yaitu
a.
Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia
terhadap dirinya sendiri.
b.
Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola
perilaku manusia sebagai anggota umat manusia. Salah satu
bagian dari etika sosial adalah etika profesi, termasuk etika profesi
akuntan.
Untuk kalangan profesional, dimana pengaturan etika dibuat untuk
menghasilkan kinerja etis yang memadai maka kemudian asosiasi profesi
merumuskan suatu kode etik. Kode etik profesi merupakan kaidah-kaidah
yang menjadi landasan bagi eksistensi profesi dan sebagai dasar terbentuknya
kepercayaan masyarakat karena dengan mematuhi kode etik, akuntan
diharapkan
dapat
menghasilkan
kualitas
kinerja
yang
terbaik
bagi
masyarakat.
2.3.2. Etika Profesi
Etika profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh
kelompok profesi, yang mengarahkan dan memberikan petunjuk kepada
anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral
profesi itu di mata masyarakat (Yuwono, 2011:25). Aturan ini merupakan aturan
main dalam menjalankan profesi tersebut yang disebut kode etik yang harus
18
ditaati oleh setiap profesi. Etika profesi juga berkaitan dengan perilaku moral
yang lebih terbatas pada kekhasan pola etika yang diharapkan untuk profesi
tertentu. Selaras dengan hal tersebut Boynton et al. (2003:96) mendeskripsikan
etika profesi sebagai standar perilaku bagi seorang profesional yang dirancang
untuk tujuan praktis dan idealistik. Etika profesi melambangkan suatu bagian
penting dari sistem disiplin berguna untuk melindungi kesejahteraan kelompok
dari tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab.
Etika ini menyebutkan bahwa akuntan harus mempertahankan sikap
independen dan tidak boleh dipengaruhi oleh kepentingan apapun (kecuali etika
profesi) menjaga integritas dan objektivitas, menerapkan semua prinsip dan
standar akuntansi yang ada, serta memiliki tanggung jawab moral kepada
profesi, kolega, klien, dan masyarakat.
Prinsip-prinsip etika profesi (Isnanto, 2009: 7-8) meliputi
1.
Tanggung jawab meliputi
a.
Tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap
hasilnya.
b.
Tanggung jawab terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan
orang lain atau masyarakat pada umumnya.
2.
Keadilan. Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja
apa yang menjadi haknya.
3.
Otonomi. Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan
diberi kebebasan dalam menjalankan profesinya.
Kepercayaan masyarakat terhadap kualitas jasa profesional akan
meningkat jika profesi mewujudkan standar yang tinggi dan memenuhi semua
kebutuhan. Bagi akuntan publik meyakinkan klien dan pemakai laporan
keuangan atas kualitas audit dan jasa lainnya merupakan hal yang penting.
19
Etika profesional bagi praktik akuntan di Indonesia disebut dengan istilah
kode etik dan dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. IAI adalah satusatunya organisasi profesi akuntan di Indonesia. IAI beranggotakan auditor dari
berbagai tipe (auditor independen, auditor pemerintah dan auditor intern),
akuntan manajemen, akuntan yang bekerja sebagai pendidik. Sehingga kode etik
yang dikeluarkan oleh IAI tidak hanya mengatur anggotanya yang berpraktik
sebagai akuntan publik, namun mengatur perilaku semua anggotanya yang
berpraktik dalam berbagai tipe profesi auditor dan profesi akuntan lainnya.
Kode etik profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi
merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan
dirumuskan dalam etika profesi. Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas
dan merinci norma-norma ke bentuk yang lebih sempurna walaupun sebenarnya
norma-norma tersebut sudah tersirat dalam etika profesi. Dengan demikian kode
etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas
serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa
yang salah dan perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh
seorang professional.
2.4
Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia
Setiap
profesional
dalam
bidang
akuntansi
harus
bekerja
dan
membuat keputusan berdasarkan kode etik yang ada. Akan tetapi pada
prakteknya masih banyak profesional akuntansi yang bekerja tanpa berdasarkan
kode etik professional. Kode
etik
resmi
bagi
para
profesional akuntansi
adalah Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia. Keberadaan kode etik ini
dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang
20
berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada
instansi pemerintah, maupun
di
lingkungan
dunia
pendidikan
dalam
pemenuhan tanggung-jawab profesionalnya.
Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan
bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di
lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia
pendidikan
dalam
pemenuhan
tanggungjawab
profesionalnya
(http://www.iaiglobal.or.id).
Dalam Kongres IAI tahun 1973 berhasil dirumuskan dan disahkan Kode
Etik Ikatan Akuntan Indonesia untuk pertama kalinya. Dalam perkembangannya
kode etik tersebut mengalami beberapa kali perubahan, yaitu pada Kongres IAI
tahun 1981, Kongres IAI tahun 1986, Kongres IAI tahun 1990, Kongres IAI tahun
1994, dan yang terakhir adalah Kongres IAI tahun 1998. Kode Etik IAI yang
berlaku saat ini adalah Kode Etik IAI yang disahkan dalam Kongres IAI VIII tahun
1998. Struktur Kode Etik IAI tersebut terdiri atas empat bagian yang disusun
berdasarkan struktur berikut
1.
Prinsip Etika
Prinsip etika memberikan kerangka dasar bagi aturan etika, yang
mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip
etika disahkan oleh kongres bagi seluruh anggota yang terdiri dari
delapan prinsip berikut ini:
a.
Prinsip tanggung jawab profesi.
Dalam
profesional,
melaksanakan
setiap
anggota
tanggung
harus
jawabnya
senantiasa
sebagai
menggunakan
pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang
dilakukannya. Sebagai profesional, anggota mempunyai peran
penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peran tersebut, anggota
mempunyai
tanggung
jawab
kepada
semua
pemakai
jasa
21
profesional mereka. Anggota juga harus selalu bertanggung jawab
untuk bekerja sama dengan anggota untuk mengembangkan profesi
akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat dan menjalankan
tanggung jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri.
b.
Prinsip kepentingan publik.
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak
dalam
kerangka
kepercayaan
pelayanan
publik,
dan
kepada
publik,
menunjukkan
menghormati
komitmen
atas
profesionalisme. Satu ciri utama dari suatu profesi adalah
penerimaan tanggung jawab kepada publik.
Profesi akuntansi memegang peranan yang penting di
masyarakat, dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari
klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor,
dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya yang bergantung
kepada objektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara
jalannya fungsi bisnis secara tertib. Kepentingan publik didefinisikan
sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani anggota
secara keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan
tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi
kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara.
c.
Prinsip integritas.
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik,
setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya
dengan integritas setinggi mungkin. Integritas adalah suatu elemen
karakter
yang
mendasari
timbulnya
pengakuan
profesional.
Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik
22
dan merupakan patokan
bagi anggota dalam menguji semua
keputusan yang diambilnya.
Integritas mengharuskan seorang anggota untuk bersikap
jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia
penerima jasa. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak
disengaja dan perbedaan pendapat, tetapi tidak dapat menerima
kecurangan atau peniadaan prinsip. Integritas diukur dalam bentuk
apa yang benar dan adil.
d.
Prinsip objektivitas.
Objektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas
jasa yang diberikan anggota. Prinsip objektivitas mengharuskan
anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak
berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan
atau berada di bawah pengaruh pihak lain.
Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan
harus menunjukkan objektivitas mereka dalam berbagai situasi.
Anggota dalam praktik publik memberikan jasa atestasi, perpajakan,
serta konsultasi manajemen. Anggota yang lain menyiapkan
laporan keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan jasa audit
internal dan bekerja dalam kapasitas keuangan dan manajemennya
di industri, pendidikan dan pemerintahan. Mereka juga mendidik
dan melatih orang-orang yang ingin masuk kedalam profesi.
Apapun jasa atau kapasitasnya, anggota harus melindungi
integritas pekerjaannya dan memelihara objektivitas.
23
e.
Prinsip kompetensi dan kehati-hatian profesional.
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya
dengan
kehati-hatian,
kompetensi
dan
ketekunan,
serta
mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan
keterampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk
memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat
dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan
praktik, legislasi dan teknik yang paling mutakhir.
Kehati-hatian
profesional
mengharuskan
anggota
untuk
memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan kompetensi dan
ketekunan. Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai
kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaikbaiknya
sesuai
dengan
kemampuannya
demi
kepentingan
pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung-jawab profesi
kepada publik.
Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman.
Anggota hendaknya tidak menggambarkan dirinya memiliki keahlian
atau pengalaman yang tidak mereka punya. Dalam semua
penugasan
dan
tanggung
jawabnya,
setiap
anggota
harus
melakukan upaya untuk mencapai tingkatan kompetensi yang akan
meyakinkan bahwa kualitas jasa yang diberikan memenuhi
tingkatan profesionalisme tinggi seperti disyaratkan oleh prinsip
Etika.
f.
Prinsip kerahasiaan.
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi
yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh
24
memakai
atau
mengungkapkan
informasi
tersebut
tanpa
persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau
hukum untuk mengungkapkannya.
Anggota
mempunyai
kewajiban
untuk
menghormati
kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang
diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban
kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antara anggota
dan klien atau pemberi kerja berakhir. Kerahasiaan harus dijaga
oleh anggota kecuali jika persetujuan khusus telah diberikan atau
terdapat kewajiban legal atau profesional untuk mengungkapkan
informasi.
Kerahasiaan tidaklah semata-mata masalah pengungkapan
informasi.
Kerahasiaan
juga
mengharuskan
anggota
yang
memperoleh informasi selama melakukan jasa profesional tidak
menggunakan atau terlihat menggunakan informasi tersebut untuk
keuntungan pribadi atau keuntungan pihak ketiga.
Anggota yang mempunyai akses terhadap informasi rahasia
tentang penerima jasa tidak boleh mengungkapkannya ke publik.
Karena itu, anggota tidak boleh membuat pengungkapan yang tidak
disetujui (unauthorized disclosure) kepada orang lain. Hal ini tidak
berlaku untuk pengungkapan informasi dengan tujuan memenuhi
tanggung jawab anggota berdasarkan standar profesional.
g.
Prinsip perilaku profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan
reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat
mendiskreditkan profesi.
25
Kewajiban
untuk
menjauhi
tingkah
laku
yang
dapat
mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai
perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak
ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja, dan masyarakat
umum.
h.
Prinsip standar teknis.
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya
sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan.
Sesuai
dengan
mempunyai
keahliannya
kewajiban
untuk
dengan
berhati-hati,
melaksanakan
anggota
penugasan
dari
penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip
integritas dan objektivitas.
2.
Aturan Etika
Sebelum tahun 1998, IAI hanya memiliki kode etik yang hanya
mengikat seluruh anggotanya. Aturan-aturan yang berlaku dalam kode
etik dirumuskan dan disahkan dalam kongres IAI yang melibatkan seluruh
anggota IAI tanpa melihat keanggotaan kompartemen anggota yang
bersangkutan. Akan tetapi, setelah tahun 1998, seluruh kompartemen IAI
telah memiliki aturan etika masing-masing. Dengan demikian kode etik IAI
memiliki empat
aturan etika kompartemen, yaitu
aturan etika
Kompartemen Akuntan Publik (KAP), Kompartemen Akuntan Pendidik
(KAPd), Kompartemen Akuntan Manjemen (KAM), Kompartemen Akuntan
Sektor Publik (KASP). Aturan etika disahkan oleh rapat anggota
kompartemen dan hanya mengikat anggota kompartemen
yang
bersangkutan.
Seiring dengan berjalannya waktu, pada tanggal 24 Mei 2007 dalam
26
Rapat Umum Anggota Luar Biasa diputuskan pembentukan Institut
Akuntan Publik Indonesia (IAPI) sebagai organisasi akuntan publik yang
independen dan mandiri dengan berbadan hukum sebagai pengganti
Kompartemen Akuntan Publik (KAP). Selanjutnya pada tanggal 4 Juni
2007, secara resmi IAPI diterima sebagai anggota asosiasi yang pertama
oleh IAI. Pada tanggal 5 Februari 2008, Pemerintah Republik Indonesia
melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008 mengakui
IAPI sebagai organisasi profesi akuntan publik yang berwenang
melaksanakan
penerbitan
ujian
standar
sertifikasi
profesional
akuntan
dan
publik,
etika
penyusunan
akuntan
publik,
dan
serta
menyelenggarakan program pendidikan berkelanjutan bagi seluruh
akuntan publik di Indonesia. Hal serupa dialami oleh Kompartemen
Akuntan Manajemen (KAM) yang kemudian berubah menjadi Institut
Akuntan Manajemen Indonesia (IAMI). Sesuai dengan Keputusan Rapat
Anggota Luar Biasa Nomor: 05/RALB-KAM/IX/2006 yang berbunyi:
“Melimpahkan
kewenangan
melaksanakan
pendirian
kepada
Organisasi
Pengurus
Profesi
IAI-KAM
Akuntan
untuk
Manajemen
Indonesia sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan kongres ke-X
IAI”.
Berdasarkan hasil keputusan RALB IX, didirikanlah sebuah
organisasi profesi bernama Institut Akuntan Manajemen Indonesia (IAMI)
menggantikan Kompartemen Akuntan Manajemen. IAMI merupakan
Asosiasi Profesi Akuntan dibawah Ikatan Akuntan Indonesia yang
didirikan pada tanggal 1 April 2008 dengan Akta Notaris Ani Adriani
Sukmayantini SH. Sampai saat ini Anggota IAMI sekitar 200 orang para
akuntan yang pekerjaannya sebagai eksekutif baik di perusahaan Negara,
27
Pemerintah maupun Swasta. Sedangkan untuk dua kompartemen lainnya
yaitu Kompartemen Akuntan Pendidik (KASP) dan Kompartemen Akuntan
Sektor Publik (KASP) belum mengalami perubahan.
3.
Interpretasi Aturan Etika
Interpretasi aturan etika merupakan penafsiran, penjelasan, atau
elaborasi lebih lanjut atas hal-hal, isu-isu, dan pasal-pasal yang diatur
dalam aturan etika, yang dianggap memerlukan penjelasan agar tidak
terjadi perbedaan pemahaman atas auran etika yang dimaksud.
Interpretasi aturan etika ini dikeluarkan oleh suatu badan yang dibentuk
oleh
pengurus
kompartemen
atau
institut
profesi
sejenis
yang
bersangkutan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota serta
pihak-pihak yang berkepentingan lainnya sebagai panduan dalam
penerapan aturan etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan
penerapannya.
4.
Tanya Dan Jawab
Pada tingkatan terakhir, dimungkinkan adanya tanya-jawab yang
berkaitan dengan isu-isu etika. Tanya-jawab ini dapat dilakukan dengan
Dewan Standar Profesi yang dibentuk oleh pengurus kompartemen atau
institut yang bersangkutan guna memberikan penjelasan atas setiap
pertanyaan dari anggota kompartemen tentang aturan etika beserta
interpretasinya.
2.5
Hirarki Jabatan Auditor
Kantor akuntan publik di Indonesia memiliki bentuk hukum berupa usaha
sendiri (Sole Practitioners) atau bentuk kerjasama antara dua atau lebih rekan
28
akuntan (Partnership). Hirarki jabatan dalam KAP menurut Ikhsan (2007:203)
mengacu pada kondisi di luar negeri yaitu: partner, manager, senior, dan staff.
Beberapa staf yang diketahui oleh seorang supervisor melakukan pekerjaan
secara tim, hasil kerja tim ditinjau oleh manager dan manager bertanggung jawab
terhadap seorang partner. Staf akuntan biasanya terdiri dari akuntan pemula
yang juga disebut sebagai akuntan junior.
Tingkatan hirarki jabatan yang banyak dijumpai dalam kantor akuntan
publik di Indonesia, mengacu pada Mulyadi dan Kanaka (1998:31-32) yaitu
partner, manager, senior auditor, dan junior auditor. Adapun penjelasan hirarki
jabatan di atas dapat diuraikan sebagai berikut
a.
Partner (Rekan)
Partner menduduki jabatan tertinggi dalam penugasan audit; bertanggung
jawab atas hubungan dengan klien;
bertanggung jawab secara
menyeluruh mengenai auditing. Partner menandatangani laporan audit
dan management letter, dan bertanggung jawab terhadap penagihan fee
audit dari klien.
b.
Manager audit
Manager audit bertindak sebagai pengawas audit; bertugas untuk
membantu auditor senior dalam merencanakan program audit dan waktu
audit; me-review kertas kerja, laporan audit dan management letter.
Biasanya manager melakukan pengawasan terhadap pekerjaan beberapa
auditor senior. Pekerjaan manager tidak berada di kantor klien, melainkan
di kantor auditor, dalam bentuk pengawasan terhadap pekerjaan yang
dilaksanakan pada auditor senior.
29
c.
Auditor senior
Auditor senior bertugas untuk melaksanakan audit, bertanggung jawab
untuk mengusahakan biaya audit dan waktu audit sesuai dengan
rencana; bertugas untuk mengarahkan dan me-review pekerjaan auditor
junior. Auditor senior biasanya hanya menetap di kantor klien sepanjang
prosedur audit dilaksanakan. Umumnya auditor senior melakukan audit
terhadap suatu objek pada saat tertentu.
d.
Auditor junior
Auditor melaksanakan prosedur audit rinci, membuat kertas kerja untuk
mendokumentasikan pekerjaan audit yang telah dilaksanakan. Pekerjaan
ini biasanya dipegang oleh auditor yang baru saja menyelesaikan
pendidikan formalnya di sekolah.
Oleh Widiastuti (2003) dalam jurnal riset akuntansi Indonesia mengenai
pengaruh perbedaan level hirarki auditor dalam kantor akuntan publik terhadap
persepsi tentang kode etik akuntan indonesia, membagi level hirarki auditor
berdasarkan lama pengalaman mengaudit menjadi dua yaitu
a.
Auditor senior apabila telah bekerja sebagai auditor selama lebih dari dua
tahun.
b.
Auditor junior apabila baru bekerja sebagai auditor selama kurang dari
dua tahun.
Semakin tinggi jabatan seorang auditor, maka tugas dan tanggung
jawabnya akan semakin besar pula. Adanya perbedaan dalam tugas dan
tanggung jawab ini menyebabkan konflik dan dilema etis yang dihadapi juga
berbeda-beda. Auditor yang memiliki fungsi yang tinggi akan menghadapi konflik
dan dilema etis yang lebih besar dari pada auditor yang memilki fungsi yang
30
rendah. Hal ini akan mempengaruhi persepsinya terhadap pelaksanaan etika
profesi (Tarigan dan Mawarni, 2009:245).
2.6
Tinjauan Atas Penelitian Terdahulu
Widiastuti (2003) yang membagi level hirarki auditor menjadi dua yaitu
termasuk kategori senior apabila telah bekerja lebih dari dua tahun dan junior
dibawah dua tahun. Widiastuti (2003) dengan subjek yang spesifik, yaitu level
hirarki auditor dalam Kantor Akuntan Publik (KAP) dan dengan memperluas
objek penelitian mengenai kode etik akuntan Indonesia yaitu pada prisip etika
dan aturan etika. Perbedaan level hirarki auditor dalam KAP penting untuk diteliti
karena tanggung jawab dan wewenang yang terangkum dalam job description
masing level berbeda, maka guna meningkatkan kepercayaan pemakai jasa
profesi akuntan, perlu adanya persepsi yang positif terhadap kode etik akuntan
diantara masing-masing level hirarki. Selain itu juga tingkat pendidikan atau
pengetahuan dan pengalaman auditor pada tiap-tiap level hirarki dalam KAP
tersebut dapat berbeda-beda sehingga tentu saja hal ini dapat mempengaruhi
persepsi mereka terhadap kode etik profesi akuntan Indonesia. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi secara signifikan terhadap
kode etik akuntan Indonesia diantara auditor senior dan auditor junior.
Nugrahaningsih (2005) yang meneliti tentang analisis perbedaan perilaku
etis auditor di KAP dalam etika profesi (studi terhadap peran faktor-faktor
individual: locus of control, lama pengalaman kerja, gender, dan equity
sensitivity). Penelitian ini menggunakan responden auditor di Surakarta dan
Yogyakarta. Pengujian validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah
validitas konstrak (construct validity) dan teknik yang digunakan adalah dengan
31
Pearson Product Moment. Teknik uji reliabilitas yang digunakan adalah
reliabilitas konsistensi internal. Untuk mengukur konsistensi internal digunakan
pengujian dengan teknik Cronbach’s Alpha. Teknik uji normalitas yang digunakan
adalah One Sample Kolmogorov Smirnov Test, yaitu pengujian dua sisi yang
dilakukan dengan membandingkan signifikansi hasil uji (p-value) dengan taraf
signifikansi. Untuk menguji hipotesis digunakan alat uji statistik, yaitu
Independent Sample T-Test. Pada Independent Sample T-Test terdapat dua
tahapan analisis yaitu Levene's Test dan T-Test. Semua teknik analisis data
dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS version
11.0 for windows. Untuk mengetahui bagaimana persepsi auditor tentang kode
etik maka dalam analisis tambahan digunakan uji proporsi. Uji proporsi ini
dilakukan dengan menghitung persentase jawaban dari pernyataan mengenai
persepsi terhadap kode etik. Jawaban dikelompokkan dalam format setuju dan
tidak setuju untuk masing-masing responden. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut disimpulkan bahwa terdapat perbedaan perilaku etis yang signifikan
antara auditor senior dan auditor junior pada KAP di Surakarta dan Yogyakarta.
Sedangkan Bikhana (2006) melakukan penelitian terhadap auditor senior
dan junior. Hasil penelitiannya menyebutkan persepsi auditor terhadap
penerapan kode etik akuntan Indonesia dalam meningkatkan objektivitas akuntan
publik, hasilnya tidak terdapat perbedaan persepsi penerapan kode etik pada
kedua kelompok auditor yaitu auditor senior dan auditor junior. Kedua kelompok
auditor tersebut mempunyai persepsi yang mungkin berbeda dari penerapan
kode etik, karena pada dasarnya kode etik akuntan publik bukan saja
memberikan acuan mengenai kualitas teknis yang harus dipenuhi para
anggotanya, tetapi juga standar etika yang harus diperhatikan sesuai dengan
norma-norma masyarakat.
32
Selanjutnya, Tarigan dan Mawari (2009) melakukan penelitian mengenai
hirarki jabatan di KAP terhadap persepsi auditor dalam pelaksanaan etika
profesi. Penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran bahwa terdapat
perbedaan persepsi yang signifikan antara auditor junior dengan level di atas
auditor junior terhadap pelaksanaan etika profesi, sehingga auditor yang memiliki
posisi junior dengan level di atas auditor junior akan memiliki persepsi etika
profesi yang berbeda pula. Hirarki jabatan di KAP terdiri dari auditor junior,
auditor senior, supervisior, manajer dan partner. Untuk selanjutnya responden
yang memiliki jabatan sebagai auditor senior, supervisior, manajer dan partner
akan dimasukkan di dalam kelompok level di atas auditor junior. Ini terjadi karena
hasil penelitian yang tidak seimbang antara antara masing-masing kelompok
apabila
dipergunakan
berdasarkan
hirarki
jabatan
di
KAP
sehingga
pengelompokan ini sangat diperlukan.
Untuk pengujian hipotesis dalam penelitiannya, Tarigan dan Mawari
(2009) menggunakan uji statistic perametric dan uji statistic non parametric. Uji
statistic parametric menggunakan T-test untuk bagian pernyataan pelaksanaan
etika profesi. Hal ini di sebabkan bagian pernyataan pelaksanaan etika profesi
menghasilkan distribusi data normal. Sedangkan uji statistic non parametric
menggunakan uji statistic non parametric spearman dan uji statistic non
parametric chi square atas semua pernyataan etika profesi. Dari kedua pengujian
statistik yang dilakukan keduanya memberikan kesimpulan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara persepsi junior auditor dengan level di atas
junior auditor terhadap pelaksanaan etika profesi
33
2.7
Kerangka Pikir dan Pengembangan Hipotesis
2.7.1. Kerangka Pikir
Kerangka pikir dalam penelitian ini dikembangkan berdasarkan landasan
teori yang dipaparkan sebelumnya dan berlandaskan dengan penelitianpenelitian terdahulu yang berkaitan. Dalam hal ini peneliti mencoba untuk
mengetahui bagaimana persepsi auditor senior dan auditor junior terhadap Kode
Etik IAI, apakah terdapat perbedaan persepsi pada setiap jenjang hirarki fungsi
yang ada.
Konsep yang dipaparkan membedakan dua jenjang hirarki auditor, yang
pertama yaitu auditor senior yaitu auditor yang telah bekerja sebagai auditor
selama lebih dari dua tahun dan memiliki sertifikat, sementara jenjang hirarki
kedua yaitu auditor junior yaitu akuntan yang bekerja sebagai auditor kurang dari
dua tahun baik itu yang berstatus mahasiswa ataupun yang tidak berstatus
mahasiswa lagi dan dianggap cakap untuk melakukan pemeriksaan atas laporan
keuangan.
Konsep hirarki ini kemudian dikaitkan dengan kode etik IAI yaitu pada
prinsip etika yang meliputi: tanggung jawab profesi, kepentingan umum (publik),
integritas, objektivitas, kompetensi dan kehati-hatian professional, kerahasiaan,
perilaku professional, standar teknis. Dengan demikian akan lahir persepsi dari
setiap jenjang hirarki fungsi tentang kode etik IAI yang mencakup kedelapan
prinsip etika dalam kode etik IAI.
Penelitian ini kemudian akan melihat bagaimana persepsi akuntan senior
dan akuntan junior mengenai kode etik IAI pada pada prinsip etika. Selanjutnya
penelitian ini juga akan melihat apakah terdapat perbedaan persepsi terhadap
kode etik IAI yaitu pada prinsip etika dari masing-masing jenjang hirarki fungsi
yang diteliti.
34
Oleh karena itu, dalam peneliltian ini akan ditinjau persepsi auditor
terhadap kode etik Ikatan Akuntan Indonesia ditinjau dari level hirarki fungsi.
Kerangka pikir dalam penelitian ini digambarkan dalam bagan berikut
Prinsip-prinsip etika dalam Kode Etik Akuntan :
1. Tanggung jawab profesi
2. Kepentingan Publik
3. Integritas
4. Objektivitas
5. Kompetensi dan Kehati-hatian
Profesional
6. Kerahasiaan
7. Perilaku Profesional
8. Standar Teknis
Auditor Junior
Auditor Senior
Persepsi
Hipotesi
s
Beda
Sama
Gambar 2.1 Kerangka Pikir
2.7.2. Pengembangan Hipotesis
Berdasarkan
penelitian-penelitian
terdahulu,
maka
penelitian
ini
bermaksud untuk menguji lebih lanjut apakah memang ada atau tidak ada
perbedaan persepsi tersebut dengan menguji hipotesis berikut ini:
Ha : Terdapat perbedaan persepsi antara akuntan senior dan akuntan junior
terhadap Kode Etik Akuntan.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Objek Penelitian
3.1.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan studi empiris. Artinya penelitian ini
diadakan untuk mendapatkan bukti atau fakta-fakta secara objektif dan logis,
termasuk kegiatan pengumpulannya baik yang diperoleh secara langsung
ataupun tidak langsung (Ruslan 2008:3).
3.1.2 Objek Penelitian
Objek penelitian yang diambil dalam penelitian ini adalah auditor yang
berada di Kota Makassar. Dimana auditor tersebut (baik yang bekerja sebagai
auditor independen ataupun auditor pemerintah) kemudian dibagi ke dalam dua
jenjang hierarki fungsi yaitu auditor senior dan auditor junior.
3.2.
Jenis dan Sumber Data
3.2.1 Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.
Data kualitatif, yaitu data non angka yang sifatnya deskriptif dalam bentuk
informasi tulisan
(kuesioner)
yang
diperoleh
dari
akuntan
yang
berkompeten memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini.
2.
Data kuantitatif, yaitu data yang telah diolah dari jawaban kuesioner yang
dibagikan kepada responden.
98
44
3.2.2 Sumber Data
Untuk melengkapi data yang digunakan, maka penulis memperoleh data
yang bersumber dari:
1.
Data primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama baik dari
individu atau perseorangan, dimana data tersebut diperoleh melalui
proses survei dan observasi (Ruslan, 2008:138).
2.
Data sekunder, yaitu data yang secara tidak langsung berhubungan
dengan responden yang diselidiki dan merupakan pendukung bagi
penelitian yang dilakukan. Data sekunder penelitian ini diperoleh dengan
menggunakan metode tinjauan kepustakaan (library research) dan
mengakses website maupun situs-situs.
3.3.
Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek/subjek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2008:215). Populasi
penelitian ini adalah auditor senior (baik yang bekerja sebagai akuntan publik
dan sebagai akuntan pemerintah) yang berada di kota Makassar dan auditor
junior
(baik yang bekerja sebagai akuntan publik dan sebagai akuntan
pemerintah). Dalam penelitian ini yang digolongkan sebagai auditor senior
adalah auditor yang telah berprofesi sebagai auditor selama lebih dari dua tahun,
sedangkan auditor junior adalah auditor yang berprofesi sebagai auditor kurang
dari dua tahun. Selain itu peneliti juga menggunakan beberapa kriteria dalam
45
penggolongan hirarki fungsi auditor sebagaimana yang dijelaskan dalam
deskripsi sampel.
Tabel 3.1 Jumlah Populasi Akuntan Publik
No.
Nama KAP
Jumlah
1
Drs. Thomas, Blasius, Widartoyo & Rekan
12
2
Drs. Rusman Thoeng, M.Com, BAP
10
3
Drs. Daniel Hassa & Rekan
6
4
Drs. Usman & Rekan
6
5
Drs. Harly Weku
7
6
Mansyur Sain & Rekan
5
7
Yakub Ratan, CPA
7
Jumlah Populasi
53
Sumber: Data Primer, diolah 2012.
Tabel 3.2 Jumlah Populasi Auditor
No.
1
Nama Kantor
Jumlah
Kantor BPK Kota Makassar
79
Jumlah Populasi
79
Sumber: Data Primer, diolah 2012.
Tabel 3.3 Jumlah Populasi Objek Penelitian
No.
Objek Penelitian
Jumlah Populasi
1
Auditor di KAP
54
2
Auditor di Kantor BPK
79
Total Populasi
Sumber: Data Primer, diolah 2012.
132
46
3.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah populasi yang ingin diteliti (Ruslan
2008:119). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini akan menggunakan
metode purposive sampling yaitu pengambilan sampel yang bersifat tidak acak
(Prasetyo
dan
Jannah
2011:135),
dimana
sampel
dipilih
berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tertentu.
1.
Kriteria responden untuk auditor senior dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut
a.
Seluruh auditor senior, baik yang bekerja sebagai auditor
independen dan auditor pemerintah.
b.
Telah berprofesi sebagai auditor dalam kurun waktu lebih dari dua
tahun. (Widiastuti 2003)
c.
Telah terdaftar pada Departemen Keuangan dan mempunyai nomor
register sebagai akuntan yang resmi.
2.
Kriteria responden untuk auditor junior dalam penelitian adalah sebagai
berikut
a.
Seluruh
auditor
junior,
baik
yang
bekerja sebagai
auditor
independen dan auditor pemerintah.
b.
Telah berprofesi sebagai auditor dalam kurun waktu kurang dari
dua tahun. (Widiastuti 2003)
c.
Jika terdapat responden yang telah memiliki nomor register tetapi
berprofesi sebagai auditor kurang dari dua tahun, maka peneliti
akan menggolongkannya sebagai auditor junior. Hal ini di
karenakan dalam penelitian ini peneliti memfokuskan penentuan
hirarki pada lama bekerja sebagai auditor.
47
3.4.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian perpustakaan (library
research) dan penelitian lapangan (field research).
1.
Penelitian pustaka (library research), yaitu suatu metode pengumpulan
data dengan cara melakukan peninjauan pustaka dari berbagai literatur
karya ilmiah, majalah, dan buku-buku yang menyangkut teori-teori yang
relevan dengan masalah yang dibahas.
2.
Penelitian lapangan (field research), yaitu metode pengumpulan data
yang dilakukan dengan cara peninjauan langsung pada objek penelitian
untuk mendapatkan informasi dengan membagikan kuesioner. Menurut
Prasetyo dan Jannah (2011:49), kuesioner merupakan lembaran yang
berisi beberapa pertanyaan dengan struktur yang baku. Kuisioner yang
diajukan kepada responden berupa daftar pertanyaan tertutup (closed
question), yaitu pertanyaan yang dibuat sedemikian rupa sehingga
responden dibatasi untuk membuat pilihan diantara serangkaian alternatif
saja. Kuisioner dalam penelitian ini merupakan hasil adaptasi dari
penelitian Nurlan (2011). Skala yang digunakan dalam penyusunan
kuesioner penelitian ini adalah skala likert, yaitu skala yang digunakan
untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau
sekelompok orang tentang fenomena sosial. Skala likert dalam kuisioner
disusun dengan format seperti (Ruslan, 2008:198)
a.
Jawaban A sangat setuju diberi score 5.
b.
Jawaban B setuju diberi score 4.
c.
Jawaban C ragu-ragu diberi score 3.
d.
Jawaban D tidak setuju diberi score 2.
e.
Jawaban E sangat tidak setuju diberi score 1.
48
3.
Mengakses website
dan
situs-situs
untuk memperoleh
informasi
sehubungan dengan masalah dalam penelitian.
3.5.
Metode Analisis Data
3.5.1 Pengujian Validitas dan Reliabilitas Data
Mengingat pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner, maka kualitas
kuesioner
dan
kesanggupan
responden
dalam
menjawab
pertanyaan
merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian ini. Apabila alat yang
digunakan dalam proses pengumpulan data tidak valid, maka hasil penelitian
yang diperoleh tidak mampu menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Oleh
karena itu dalam penelitian akan dimulai dengan pengujian validitas dan
reliabilitas terhadap daftar pertanyaan yang digunakan dalam kuesioner.
Penelitian ini tidak akan berguna jika instrumen yang dipakai untuk
mengumpulkan data penelitian tidak memiliki reliability (tingkat keandalan) dan
validity (tingkat keabsahan) yang tinggi. Pengujian dan pengukuran tersebut
masing-masing
akan
menunjukkan konsistensi
dan
akurasi
data yang
dikumpulkan. Uji validitas dan reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan
software aplikasi statistik Statistical Package for Social Science (SPSS) versi 19.
1.
Pengujian Validitas
Uji Validitas berguna untuk mengetahui apakah ada pertanyaanpertanyaan pada kuesioner yang harus dibuang atau diganti karena
dianggap tidak relevan (Umar, 2008:54). Model pengujian menggunakan
pendekatan Pearson Correlation untuk menguji validitas pernyataan
kuesioner yang disusun dalam bentuk skala. Perhitungan ini akan
dilakukan dengan bantuan komputer program SPSS 19 (Statistical
49
Package for Social Scince). Hasil pengujian validitas menunjukkan
korelasi positif pada level 0,01 dan 0,05.
2.
Pengujian Reliabilitas
Reliabilitas atau keterandalan suatu instrumen dimaksudkan untuk
mengetahui sejauh mana kebenaran alat ukur tersebut cocok digunakan
sebagai alat ukur untuk mengukur sesuatu. Uji reliabilitas berguna untuk
menetapkan apakah instrument yang dalam hal ini kuesioner dapat
digunakan lebih dari satu kali, paling tidak oleh responden yang sama
(Umar, 2008:57). Reliabilitas instrumen diperlukan untuk mendapatkan
data sesuai dengan tujuan pengukuran. Untuk mencapai hal tersebut,
dilakukan uji reliabilitas dengan menggunakan metode cronbach alpha
(α). Pengujian ini dilakukan dengan bantuan komputer program SPSS 19
(Statistical Package for Social Scince). Koefisien cronbach alpha yang
lebih besar dari 0,6 menunjukkan keandalan (reliabilitas) instrumen.
3.5.2 Pengujian Hipotesis
Analisis utama adalah pengujian hipotesis. Untuk pengujian hipotesis
dilakukan dengan menggunakan alat analisis Statistic Independent Sample t-test
dengan menggunakan bantuan program Statistical Packages for Social Science
19 (SPSS) karena sampel yang diuji terdiri dari dua kelompok yang saling
independen dan bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan
persepsi diantara kelompok sampel.
Independent Sample t-test, prinsipnya ingin mengetahui apakah ada
perbedaan mean antara dua populasi, dengan membandingkan dua mean
sample-nya. Pengujian hipotesis Uji beda t-test dengan sampel Independen
(Independent Sample t-test) digunakan untuk menentukan apakah dua sampel
50
yang tidak berhubungan memiliki nilai rata-rata yang berbeda. Ada dua tahapan
analisis yang dilakukan dalam uji beda
1.
Pertama, menguji apakah asumsi variance populasi kedua sampel
tersebut sama ataukah berbeda dengan melihat nilai levene test.
2.
Kedua, dengan melihat nilai t-test untuk menentukan apakah terdapat
perbedaan nilai rata-rata secara signifikan. Pengambilan keputusan
berdasarkan:
a.
Jika p-value > 0,05 maka H0 diterima dan Ha ditolak.
b.
Jika p-value < 0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima.
Download