Untitled - Pangkalan Data Dosen Universitas Pancasila

advertisement
POLITIK HUKUM
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
INDONESIA
Deni Bram, S.H.,M.H.
Pusat Kajian Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Pancasila
(PKIH FHUP)
i
Judul:
Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia
Penulis:
Deni Bram, S.H.,M.H.
Editor:
Endra Wijaya
Kolase pada kover:
een
Hak cipta pada penulis.
Hak penerbit pada Pusat Kajian Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Pancasila
(PKIH FHUP).
Alamat PKIH FHUP:
Gedung Fakultas Hukum Universitas Pancasila, lantai 3,
Jln. Srengseng Sawah, Jagakarsa. Jakarta Selatan, 12640.
Cetakan ke-1: Oktober 2011.
ISBN: 978 – 602 – 99279 – 7 – 9
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Sebagian atau
seluruh isi buku ini dilarang untuk diperbanyak dalam
bentuk atau dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit,
kecuali untuk keperluan pengutipan untuk membuat karya tulis ilmiah
dengan menyebutkan buku ini sebagai sumbernya.
ii
KATA SAMBUTAN
MARDJONO REKSODIPUTRO
Buku ini terbit pada waktu yang tepat, di mana kita semua
dirisaukan dengan berbagai peristiwa iklim dan cuaca yang sepertinya
sudah berubah dibanding keadaan yang lalu. Belajar dari kekeliruankekeliruan di masa lalu, dunia sudah menyadari perlunya kita sebagai
manusia lebih menghormati alam di sekitar kita dan berusaha untuk
menjaga kelestariannya untuk anak-cucu kita.
Kenyataan tentang peristiwa bencana alam yang terjadi di
Indonesia, tidak saja disebabkan oleh kejadian yang alamiah (seperti
gempa bumi dan meletusnya gunung berapi), tetapi juga diawali oleh
kekeliruan kita dalam mengelola lingkungan hidup di sekitar kita
(seperti saluran air kotor di kota yang dibuat tidak sempurna dan
kemudian dipenuhi sampah, penebangan pohon di bukit-bukit yang
menimbulkan longsor tanah, pemotongan pohon dalam pembukaan
tanah untuk perumahan). Kekeliruan ini sudah disadari sekarang ini,
namun politik hukum yang mencoba mengubah perilaku manusia agar
lebih ramah lingkungan masih merupakan “nato” (no action-talk
only).
Buku ini ditulis oleh seorang ilmuwan muda yang menyadari
benar pentingnya slogan “let’s do it” – mari kita mulai sekarang juga:
“lebih cepat, lebih baik!”. Tentu saja buku ini dan keinginan
penulisnya tidak begitu saja akan terlaksana, pertarungan antara
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan secara
optimal hasil alam lawan menjaga kelestarian alam dan lingkungan
hidup kita akan terus berlanjut. Tetapi di sinilah tempatnya suatu
iii
pemerintahan yang benar-benar sadar akan pertarungan ini dan
berusaha sekeras mungkin menghasilkan kebijakan/politik hukum
lingkungan hidup yang akan merupakan suatu “win-win solution”
untuk berbagai pihak yang mempunyai kepentingan-bertentangan.
Perlu politik hukum lingkungan yang cerdas yang mementingkan
nasib “rakyat kecil” dibanding kepentingan perusahaan besar, serta
mementingkan tujuan jangka panjang ketimbang keuntungan politik
ekonomi dan keuangan jangka pendek.
Bagi saya, buku ini merupakan sumbangan berharga ke arah
penyadaran kita akan rumitnya permasalahan ini. Cara penyajian dan
kerangka berpikir dalam buku ini juga memudahkan pemahaman bagi
mereka yang belum begitu akrab dengan permasalahan perlindungan
lingkungan hidup kita. Mudah-mudahan buku ini dibaca dan
dipikirkan oleh kita semua yang sadar akan pentingnya menjaga
lingkungan hidup kita, agar dapat merupakan warisan yang
bermanfaat bagi generasi-generasi yang akan datang.
Jakarta, Maret 2012
Ketua Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Pancasila,
Mardjono Reksodiputro
iv
KATA SAMBUTAN
SOETANDYO WIGNJOSOEBROTO
Seperti yang telah disuratkan sebagai judul buku, Politik
Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia, buku yang tengah
anda pegang dan baca kali ini adalah buku tentang politik hukum.
Mengartikan “politik” di sini sebagai “kebijakan”, yang di dalam
bahasa Inggris diistilahi “policy”, tak salah lagi buku ini akan berisi
bahasan yang kritis tentang langkah-langkah normatif apa yang
seharusnya diambil untuk memperbaiki keadaan yang selama ini,
berdasarkan hukum perundang-undangan yang ada, belum
sepenuhnya memuaskan.
Sejauh ini belum cukup banyak buku yang ditulis tentang
politik hukum semacam ini. Mungkin hal ini disebabkan oleh
kenyataan bahwa pendidikan hukum lebih tercurah kepada ajaranajaran tentang hukum positif yang tengah berlaku sehubungan dengan
fungsinya sebagai rujukan guna memutusi suatu perkara. Pendidikan
dan kajian seperti itu jelas lebih bergayung sambut dengan penyiapan
pekerja-pekerja hukum yang akan berkhidmat di ruang-ruang
pengadilan semata. Tradisi pendidikan hukum pada era kolonial –
yang masih memperlihatkan pengaruhnya sampai saat ini – memang
demikian itulah adanya.
Akan tetapi, di tengah kehidupan negara nasional yang
merdeka, tatkala pembentukan dan pembuatan hukum nasional sudah
menjadi bagian dari politik dan/atau kebijakan nasional, oleh sebab
itu, kajian dan pendidikan hukum pada masa pasca-kemerdekaan
mesti juga tak hanya berkonsentrasi pada perbincangan hukum yang
v
relevan dengan persoalan pengadilan, akan tetapi juga dengan
persoalan politik hukum yang relevan dengan persoalan legislasi.
Sesungguhnya politik hukum itu adalah bagian saja dari politik
dalam maknanya yang luas sebagai “kebijakan publik”. Dean
Kilpatrick dari Medical University of South Carolina pernah
mengatakan bahwa kalaupun public policy ini berbicara ihwal alokasi
sumber daya untuk berbagai kegiatan publik yang terpilih lewat suatu
proses politik, namun, bagaimanapun juga aspek yang paling utama
dalam persoalan ini adalah suatu proses legislasi yang cerdas, berikut
produknya yang disebut undang-undang.
Kini, dalam kehidupan sebuah negara merdeka yang telah
lepas dari kekuasaan kolonial, kebijakan publik dan kebijakan
legislasi sudah sepatutnya merupakan urusan khalayak ramai bangsa
sendiri, baik pada tahap awalnya tatkala publik mengungkapkan
keinginan dan tuntutannya maupun pada tahap lanjutannya tatkala
para pemuka membantu mengartikulasikan segenap keinginan dan
tuntutan itu. Di sini, baik secara individual maupun secara
berkelompok dan terorganisasi, setiap warga bangsa – tak pelak lagi
juga mereka yang berkeahlian hukum – sudah selayaknya ikut
berupaya mempengaruhi dan mengawal arah kebijakan publik itu.
Ketidakmampuan khalayak ramai ikut berbicara mengenai persoalan
publik – yang akan dibentuk sebagai kebijakan resmi lewat suatu
proses politik dan proses legislasi – ini hanya akan menyebabkan
kebijakan publik ini gagal mengedepankan kepentingan publik,
melainkan akan lebih berarah ke kepentingan para elit.
Sempurna tak sempurna, buku yang tengah berada di tangan
para pembaca ini adalah bagian dari upaya seseorang individu penulis
yang amat berperhatian pada segenap upaya di negeri ini tentang
vi
pembentukan kebijakan publik – berikut realisasinya sebagai
kebijakan hukum – yang berpihak pada soal penyelamatan dan
pengelolaan lingkungan hidup dan eko-sistem bumi. Sesungguhnya
buku ini tidak hanya hendak mengetengahkan paparan-paparan yang
harus dikesan sebagai buku teks. Menyuratkan hal-ihwal reformasi
hukum seruan-seruan untuk memperjuangan lestarinya lingkungan
berdasarkan hukum dan kebijakan hukum yang memihak kepentingan
mayoritas khalayak ramai.
Maka, buku ini tak hanya hendak memaparkan seperangkat
preskripsi yang telah termuat sebagai hukum positif dalam undangundang yang telah ada, ialah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, melainkan
juga merupakan ajakan kepada kita untuk ikut berpikir kritis dan
reformatif tentang kebijakan apa yang harus diambil demi masa depan
pengelolaan lingkungan hidup. Semoga ajakan ini bergayung sambut
dengan apa yang selama ini dirisaukan khalayak ramai mengenai
merosotnya kualitas lingkungan hidup di negeri ini akhir-akhir ini, tak
hanya lingkungan bio-fisikal melainkan juga yang berimbas secara
semena-mena ke kehidupan sosial-budaya anak negeri di negeri ini.
Surabaya, 1 Maret 2012
Guru Besar Emeritus pada
Universitas Airlangga,
Soetandyo Wignjosoebroto
vii
KATA PENGANTAR
PENULIS
Kelsen dalam premisnya mengatakan bahwa hukum dimaknai
sebagai suatu entitas yang murni dan dihasilkan dalam sebuah ruang
yang bebas intervensi dari variabel lain. Namun, pemikiran Critical
Legal Studies justru berpijak pada sisi yang berseberangan, yaitu
bahwa sering kepentingan politik mempunyai misi tersendiri dalam
penciptaan hukum. Memang hukum merupakan sesuatu yang
multifaset dan bisa mempunyai berbagai persepsi makna.
Buku yang sampai pada sidang pembaca kali ini berawal dari
tugas makalah akhir pada mata kuliah yang diasuh oleh Prof. Dr.
Satya Arinanto, S.H.,M.H. pada Program Magister Ilmu Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta. Kata bijak dari sang
dosen pada saat itu ialah bahwa kita harus mencoba membuat suatu
masterpiece dalam hidup kita. Kata bijak itulah yang menjadi
penyemangat penulis dalam menyusun dan menyempurnakan naskah
ini.
Tema lingkungan hidup yang penulis ketengahkan dalam
tulisan ini selain tidak terlepas dari keinginan penulis untuk lebih
meningkatkan pengetahuan dalam bidang Hukum Lingkungan, yang
merupakan bagian dari profesi penulis sebagai asisten dosen pada
Mata Kuliah Hukum Lingkungan di Fakultas Hukum Universitas
Pancasila (FHUP), juga ingin penulis maksudkan sebagai sumbangan
pemikiran. Penulis percaya bahwa manusia ialah khalifah di muka
bumi dan ia harus bisa memberikan yang terbaik untuk alam semesta
ini.
viii
Pada kesempatan ini penulis ingin berterima kasih kepada
Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H.,M.H. yang telah memberikan banyak
pengetahuan dan motivasi yang menjadi trigger bagi penulis untuk
menghasilkan karya yang jauh dari sempurna ini. Juga ucapan terima
kasih penulis tujukan kepada Prof. Mardjono Reksodiputro, dan Prof.
Soetandyo Wignjosoebroto yang telah berkenan memberikan tulisan
kata sambutannya, serta kepada Endra Wijaya dan Pusat Kajian Ilmu
Hukum FHUP (PKIH FHUP) yang berbaik hati untuk
menyempurnakan naskah ini dalam semangat keilmuan di tengahtengah penelitian yang penulis lakukan di Maastricht University,
Belanda.
Tulisan ini penulis dedikasikan secara khusus kepada
Almarhum Prof. Dr. H. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H.,M.L. yang
telah memberikan kesempatan penulis untuk ikut serta dalam Tim
Pengajar Mata Kuliah Hukum Lingkungan di FHUP, dan khususnya
telah memperkenalkan penulis terhadap masalah keberlanjutan kondisi
lingkungan hidup yang harus selalu dijaga.
Akhirul kalam, tak ada gading yang tak retak, oleh karena itu,
penulis mengharapkan saran dan kritik untuk kemajuan penulis.
Maastricht, Oktober 2011
Deni Bram
ix
“Hanya bila pohon terakhir telah tumbang ditebang;
Hanya bila tetes air sungai terakhir telah teracuni;
Hanya bila ikan terakhir telah mati ditangkap;
Barulah kita sadar;
bahwa uang di tangan tidak bisa dimakan…”
(Indian Creed)
x
DAFTAR ISI
KATA SAMBUTAN MARDJONO REKSODIPUTRO ~ iii
KATA SAMBUTAN SOETANDYO WIGNJOSOEBROTO ~ v
KATA PENGANTAR PENULIS ~ viii
DAFTAR ISI ~ xi
BAB I
DASAR PEMIKIRAN POLITIK HUKUM ~ 1
A. Pengertian dan Cakupan Politik Hukum ~ 3
B. Politik Hukum Nasional ~ 10
BAB II
ARAH KEBIJAKAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
INDONESIA ~ 15
A. Peran Manusia dalam Ekosistem Bumi ~ 18
B. Periode Green History:
Keunggulan Daerah Tropis ~ 21
C. Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam
Semangat Kemerdekaan ~ 28
D. Pergeseran Persepsi Dunia Internasional terhadap
Lingkungan Hidup ~ 30
E. Konferensi Tingkat Tinggi Stockholm dan
Undang-Undang tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup Tahun 1982 ~ 32
F. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup ~ 46
xi
BAB III
REFORMASI PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP ~ 55
A. Rencana Strategis Pengelolaan Lingkungan Hidup ~ 55
B. Potret Kebijakan Lingkungan Hidup Indonesia ~ 68
1. Sifat Perangkat Peraturan
Perundang-Undangan Lingkungan Hidup ~ 69
2. Corak Kebijakan Peraturan
Perundang-Undangan Lingkungan Hidup ~ 75
C. Reformasi Undang-Undang mengenai
Lingkungan Hidup ~ 86
D. Arah Politik Hukum Lingkungan Hidup Indonesia:
Menuju Sustainability Policy ~ 98
DAFTAR PUSTAKA ~ 101
BIODATA PENULIS ~ 103
***
xii
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
BAB I
DASAR PEMIKIRAN POLITIK HUKUM
Indonesia adalah negara hukum, dan sebagaimana yang
diterangkan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945), maka segala sesuatu yang berhubungan dengan
penyelenggaraan negara dan pemerintahan harus berlandaskan dan
berdasarkan atas hukum. Hal itu juga sekaligus merupakan
“barometer” untuk mengukur apakah suatu perbuatan atau tindakan
telah sesuai atau tidak dengan ketentuan yang telah disepakati.
Negara hukum adalah suatu negara yang di dalamnya terdapat
alat-alat perlengkapan negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari
pemerintah yang dalam tindakan-tindakannya, baik terhadap para
warga negara maupun dalam hubungannya dengan institusi negara
lain, tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan
peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Begitu pun dengan para
anggota masyarakat, dalam hubungan kemasyarakatan juga harus
tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku. 1
Sehubungan dengan pernyataan tersebut, maka hukum dapat
dipahami sebagai himpunan peraturan yang mengatur tatanan
1
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara Hukum dan Politik (Jakarta:
Eresco, 1991), hlm. 37.
-1-
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
kehidupan, baik berbangsa maupun bernegara, yang dihasilkan
melalui kesepakatan dari wakil-wakil rakyat yang ada di lembaga
legislatif. Produk hukum itu dikeluarkan secara demokratis melalui
lembaga yang terhormat, namun demikian muatannya jelas tidak dapat
dilepaskan dari kekuatan politik yang ada di dalamnya.
Suatu negara yang menganut sistem demokrasi, maka segala
sesuatunya harus dirumuskan secara demokratis, yaitu dengan melihat
kehendak dan aspirasi dari masyarakat luas sehingga produk yang
dihasilkan itu sesuai dengan keinginan hati nurani rakyat. Tetapi
apabila sebaliknya, maka akan terlihat bahwa produk hukum yang
dikeluarkan tersebut dapat membuat masyarakat menjadi resah dan
cenderung tidak mematuhi ketentuan hukum itu.
Pelaksanaan roda organisasi kenegaraan tidak dapat
dilepaskan dari bingkai kekuasaan, karena di dalam negara terdapat
pusat-pusat kekuasaan yang senantiasa memainkan peranannya sesuai
dengan tugas dan wewenang yang telah ditentukan. Namun dalam
pelaksanaannya sering berbenturan satu dengan yang lain, karena
kekuasaan yang dijalankan itu berhubungan erat dengan unsur-unsur
politik yang sedang berkuasa. Jadi, adanya negara, kekuasaan, hukum,
dan politik merupakan satu-kesatuan yang sulit untuk dipisahkan,
karena semua unsur tersebut senantiasa bermain dalam pelaksanaan
roda kenegaraan dan pemerintahan.
Sebagai salah satu bagian dari bidang ilmu sosial, dalam
disiplin ilmu hukum tidak ada sesuatu yang berlaku mutlak dan pasti.
Hukum ialah sebuah entitas yang sangat kompleks, meliputi
kenyataan kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak
-2-
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
persepsi aspek, dimensi, dan fase. 2 Apabila diibaratkan benda, maka
hukum bagaikan sebuah permata yang tiap irisan dan sudutnya akan
memberikan kesan berbeda bagi setiap orang yang memandangnya.
Sebagai akibat dari kompleksitas cara pandang dan persepsi
yang timbul dari entitas hukum, hal itu kemudian mendorong lahirnya
disiplin ilmu yang menggambarkan hubungan antara ilmu hukum dan
bidang ilmu sosial lainnya, seperti filsafat hukum, teori hukum,
sejarah hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum, logika hukum,
serta yang terakhir timbul, politik hukum. Kendali masing-masing
disiplin ilmu yang disebutkan tadi berdiri sendiri-sendiri, namun
demikian darinya dapat diperoleh pemahaman hukum yang maksimal
apabila dilakukan secara mendalam dan utuh (whole).
A. Pengertian dan Cakupan Politik Hukum
Perbincangan politik hukum mulai timbul pada saat hukum
sebagai suatu unsur dalam subsistem masyarakat tidak dapat berjalan
murni dan netral, baik dalam proses pembentukan maupun
pelaksanaannya. Dengan perkataan lain, politik hukum muncul
sebagai suatu disiplin hukum alternatif di tengah kebuntuan
metodologis dalam memahami kompleksitas hubungan antara hukum
dan entitas bukan hukum, yang dalam hal ini ialah politik.
Secara etimologis, istilah “politik hukum” merupakan
terjemahan dalam bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda
“rechtspolitiek,” yang merupakan gabungan dari 2 (dua) kata, yaitu
2
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah
Penelitian tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai
Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia (Bandung: Mandar
Maju, 1999), hlm. 116.
-3-
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
“recht” dan “politiek.” Dalam bahasa Indonesia, recht diartikan
sebagai hukum, yang berasal dari bahasa Arab “hukm” yang berarti
putusan, ketetapan, perintah, pemerintahan, kekuasaan, hukuman, dan
lain-lain. 3
Dalam perkembangannya, definisi hukum berkembang dan
memiliki banyak pemaknaan, bahkan Achmad Ali dalam bukunya
Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, telah
berhasil mengumpulkan lebih dari 50 (lima puluh) definisi dan
pengertian tentang hukum yang diberikan dari berbagai aliran
pemikiran ilmu hukum dalam rentan waktu yang sangat panjang,
mulai dari Aristoteles, Ibnu Khaldun, hingga Dworkin. 4
Kata politiek dalam Kamus Bahasa Belanda yang ditulis van
der Tas mengandung arti beleid. 5 Dalam Kamus Umum BelandaIndonesia, beleid diartikan sebagai suatu kebijakan (policy), yang
mengandung makna rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis
besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan dan cara bertindak. 6 Dengan perkataan lain, dapat
disimpulkan secara etimologis, bahwa politik hukum adalah rangkaian
konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak dalam
bidang hukum. 7
3
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: Mac-Donald
and Evans Ltd., 1980), hlm. 196.
4
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis
(Jakarta: Gunung Agung, 2002), hlm. 17-36.
5
S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda-Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 1997), hlm. 66.
6
Ibid.
7
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 25.
-4-
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Dalam perspektif terminologis, banyak ahli hukum yang
menyajikan definisi politik hukum yang selama ini concern
mengamati perkembangan disiplin ilmu ini. Padmo Wahyono dalam
bukunya Indonesia Negara Berdasar atas Hukum mendefinisikan
politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk
maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. 8 Karena dirasakan masih
belum menyentuh tahap konkret, definisi ini kembali dipertegas dalam
sebuah artikelnya yang mengatakan bahwa politik hukum adalah
kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria
untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat
berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan
penegakan hukum itu sendiri. 9
Dari kedua definisi tersebut, dapat dilihat bahwa definisi dari
Wahyono lebih berkaitan dengan hukum yang dicita-citakan di masa
yang akan datang (ius constituendum).
Berbeda dengan perumusan Wahyono, Teuku Mohammad
Radhie dalam tulisannya yang berjudul “Pembaharuan dan Politik
Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional” mendefinisikan
politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara
mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah
perkembangan hukum yang dibangun. 10 Definisi politik hukum dari
Radhie itu tidak hanya menyentuh perumusan arah perkembangan
hukum yang akan dibangun (ius constituendum), namun juga
mengenai hukum yang berlaku saat ini (ius constitutum) yang
8
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 160.
9
Padmo Wahjono, “Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan,”
Forum Keadilan (No. 29, April 1991): 65.
10
Jurnal Prisma (No. 6, Tahun II, Desember 1973): 4.
-5-
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
tercermin dari pernyataan tentang “hukum yang berlaku di
wilayahnya.”
Politik hukum menurut Satjipto Rahardjo, setelah mengutip
perumusan politik hukum menurut Parson, adalah aktivitas memilih
dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan
hukum tertentu di masyarakat. Sebagai seseorang yang mendalami
sosiologi hukum, tidak heran bahwa Rahardjo lebih menekankan
pendekatan sosiologis dalam definisi politik hukumnya tersebut.
Sunaryati Hartono dalam bukunya Politik Hukum Menuju
Suatu Sistem Hukum Nasional, walaupun tidak memberikan
penjelasan secara eksplisit, memberikan gambaran politik hukum
sebagai suatu alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh
pemerintah untuk dapat menciptakan sistem hukum nasional yang
dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan
cita-cita bangsa Indonesia. 11
Definisi politik hukum berikutnya dikemukakan oleh Abdul
Hakim Garuda Nusantara, dalam sebuah makalahnya yang
disampaikan saat Kerja Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu), dia
mengungkapkan bahwa politik hukum nasional secara harfiah dapat
diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak
diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan
negara tertentu. 12
11
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional (Bandung: Alumni, 1991), hlm. 1.
12
Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Politik Hukum Nasional,” (Yayasan
LBH Indonesia dan LBH Surabaya, September 1985).
-6-
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Berdasarkan ragam definisi yang dikemukakan tersebut,
secara umum dapat disimpulkan bahwa politik hukum adalah
kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang
akan, sedang, dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicitacitakan. 13
Rumusan politik hukum di atas pada perkembangan
selanjutnya mulai disoroti secara mendalam oleh berbagai ahli hukum.
Dengan mempertimbangkan bahwa arah politik hukum suatu negara
terkadang berubah-ubah dari waktu ke waktu, Mahfud M.D. dan juga
Benny K. Harman mencoba untuk melihat korelasi antara konfigurasi
politik tertentu dengan karakter produk hukum dan karakter kekuasaan
kehakiman.
Dari karya ilmiah keduanya, terlihat bahwa baik Mahfud14
maupun Harman 15 mencoba untuk menghadirkan sebuah pendekatan
yang berbeda terhadap masalah politik dan hukum. Kedua ahli hukum
tersebut lebih menempatkan sistem politik sebagai suatu variabel yang
mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum.
Mahfud berkesimpulan bahwa suatu proses dan konfigurasi
politik rezim tertentu akan sangat berpengaruh terhadap produk
hukum yang kemudian dilahirkannya. Dalam negara yang memiliki
13
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, op.cit., hlm. 32.
Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1998).
15
Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia (Jakarta: ELSAM, 1997).
14
-7-
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
konfigurasi politik demokratis, cenderung menghasilkan produk
hukum yang responsif atau populistik. Sedangkan di negara dengan
konfigurasi politik otoriter, produk hukum yang dihasilkan cenderung
ortodoks atau konservatis atau elitis. 16
Relasi politik dan karakter produk hukum menurut Mahfud M.D.
KONFIGURASI
POLITIK
KARAKTER
PRODUK HUKUM
Demokratis
Responsif/
populistik
Otoriter
Konservatif/
ortodoks/elitis
Tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dirumuskan oleh
Mahfud, Harman juga melihat adanya korelasi yang berarti antara
konfigurasi politik dengan karakter kekuasaan kehakiman suatu
negara. Dalam penelitiannya, Harman mengungkapkan bahwa
penerapan konfigurasi politik yang demokratis di suatu negara akan
16
Moh. Mahfud M.D., op.cit.
-8-
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
menghasilkan kekuasaan kehakiman yang independen atau otonom.
Sebaliknya, konfigurasi politik yang otoriter atau totaliter akan
menghasilkan bentuk kekuasaan kehakiman yang tidak otonom dan
tidak bebas.
Relasi politik dan kekuasaan kehakiman menurut Benny K. Harman.
KONFIGURASI
POLITIK
KARAKTER
KEKUASAAN
KEHAKIMAN
Demokratis
Independen/otonom
Otoriter
Dependen/tidak
otonom
Dari berbagai definisi politik hukum tersebut di atas, dapat
dilihat bahwa politik hukum sangat berhubungan erat dengan tujuan
negara yang dicita-citakan. Oleh karenanya itu, wilayah kajian disiplin
ilmu politik hukum meliputi aspek lembaga kenegaraan perumus
politik hukum, letak politik hukum, serta faktor-faktor (eksternal dan
internal) yang mempengaruhi politik hukum suatu negara.
Dengan demikian, politik hukum mempunyai peran ganda,
yaitu selain sebagai kerangka pikir dalam rangka merumuskan
kebijakan dalam bidang hukum oleh lembaga yang berwenang, politik
-9-
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
hukum juga dapat digunakan untuk mengkritisi produk-produk hukum
yang telah diundangkan berdasarkan legal policy sebelumnya.
Berdasarkan uraian tersebut, secara lebih rinci, maka wilayah
kajian politik hukum meliputi hal-hal berikut ini: 17
1. Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang
dalam masyarakat oleh penyelenggara negara yang
berwenang merumuskan politik hukum.
2. Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi
tersebut ke dalam bentuk sebuah rancangan peraturan
perundang-undangan oleh penyelenggara negara yang
berwenang merumuskan politik hukum.
3. Perumusan dan penetapan politik hukum oleh
penyelenggara negara yang berwenang.
4. Peraturan perundang-undangan yang memuat politik
hukum.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu
politik hukum, baik yang akan, sedang, dan telah
ditetapkan.
6. Pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang
merupakan implementasi dari politik hukum suatu negara.
B. Politik Hukum Nasional
Dalam konteks Indonesia, definisi politik hukum yang
merupakan suatu kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang
hukum yang akan, sedang, dan telah berlalu, yang bersumber dari
nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara
17
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, op.cit., hlm. 51.
- 10 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
yang dicita-citakan, dapat pula ditambahkan kata “nasional”
dibelakangnya. Kata nasional tersebut mencerminkan bahwa wilayah
yang tercakup dalam politik hukum yang dimaksud ialah dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, perumusan politik
hukum suatu negara sangat berkaitan dengan tujuan dan cita-cita
negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam konteks politik
hukum jelas bahwa hukum berfungsi sebagai “alat” yang bekerja
dalam sistem hukum tertentu untuk mencapai tujuan negara atau citacita masyarakat. Adapun jika membicarakan tujuan politik hukum
nasional, maka hal ini tidak terlepas dari nilai-nilai Pancasila sebagai
dasar filosofis Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan hal tersebut
telah dipertegas pula secara konstitusional dalam Pembukaan UUD
1945 yang menekankan pada:
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia.
2. Memajukan kesejahteraan umum.
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa.
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut, selain
berpihak pada 5 (lima) dasar yang tertuang dalam Pancasila, juga
harus berfungsi dan selalu berpijak pada 4 (empat) prinsip cita hukum
(rechtsidee), yaitu: 18
1. Melindungi semua unsur bangsa demi keutuhan.
18
Moh. Mahfud M.D., “Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum
Nasional,” (Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, Mei 2006).
- 11 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
2.
Mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan
kemasyarakatan.
3. Mewujudkan kedaulatan rakyat dan negara hukum.
4. Menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan
keadaban dalam hidup beragam.
Pembicaraan seputar hukum nasional tentu tidak terlepas dari
pengaruh sistem hukum nasional serta tatanan hukum nasional yang
dimiliki Indonesia. Dalam hal ini, Arief Sidharta mengusulkan bahwa
tatanan hukum nasional yang ideal haruslah mengandung ciri-ciri: 19
1. Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara.
2. Mampu mengakomodasi kesadaran kelompok etnis
kedaerahan dan keyakinan keagamaan.
3. Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi.
4. Bersifat rasional yang mencakup rasionalitas efisiensi,
rasionalitas kewajaran, rasionalitas kaedah, dan rasionalitas
nilai.
5. Aturan prosedural yang menjamin transparansi, yang
memungkinkan
kajian
rasional
terhadap
proses
pengambilan putusan oleh pemerintah.
6. Responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi
masyarakat.
Sejalan dengan usulan tersebut di atas, terdapat hasil Seminar
tentang Hukum Nasional di Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia yang telah dibukukan, berjudul Identitas Hukum Nasional,
yang merekomendasikan bahwa hukum nasional yang sedang
dibangun harus memenuhi beberapa prasyarat, yaitu:
19
Bernard Arief Sidharta, op.cit., hlm. 213.
- 12 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
1.
Berlandaskan Pancasila (filosofis) dan UUD 1945
(konstitusional).
2. Berfungsi mengayomi, menciptakan ketertiban sosial,
mendukung pelaksanaan dan mengamankan hasil-hasil dari
pembangunan.
Dari
serangkaian
kegiatan
yang
melatarbelakangi
dirumuskannya politik hukum nasional, bisa dipastikan bahwa politik
hukum nasional harus dirumuskan pada suatu bentuk peraturan
perundang-undangan yang mendasar dan bukan hanya sekedar aturan
yang bersifat teknis. Hal tersebut juga harus mengacu kepada tata
urutan peraturan perundang-undangan yang ada sebagai dasar hierarki
dan keberlakuan suatu peraturan. Kini hal itu diatur dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, yang di dalamnya mengatur tata urutan yang
meliputi: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, UndangUndang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Tata urutan peraturan perundang-undangan menurut
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
- 13 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Seperti telah dikemukakan di atas, keseluruhan sistem hukum
nasional harus bekerja berdasarkan cita-cita bangsa, tujuan negara,
dan penuntun yang terkandung di dalam UUD 1945. Dengan kata lain,
seluruh produk hukum harus sesuai dan didasari oleh pasal-pasal yang
terdapat dalam UUD 1945.
Salah satu unsur sistem hukum yang sangat berpengaruh
dalam politik hukum ialah materi (substance) dari peraturan
perundang-undangan itu sendiri. Politik hukum yang menyangkut
rencana pembangunan materi hukum di Indonesia saat ini telah dimuat
di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas itu
memuat gambaran rencana tentang hukum-hukum apa yang akan
dibuat dalam periode tertentu, dan juga sebagai wadah pembentukan
peraturan perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun pada
tingkat daerah.
Sebagai bagian dari permasalahan nasional, bidang lingkungan
hidup dan sumber daya alam juga sudah menjadi bagian yang penting
serta tidak terpisahkan dari perumusan Prolegnas tersebut dalam
rangka menciptakan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya
alam secara lestari.
***
- 14 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
BAB II
ARAH KEBIJAKAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
INDONESIA
Persoalan lingkungan merupakan salah satu persoalan dunia
yang mengemuka pada seperempat abad terakhir, termasuk di
Indonesia, sehingga isu lingkungan ini menjadi sangat menarik untuk
didiskusikan. Ada berbagai variabel yang mempengaruhi lingkungan,
mulai dari politik, ekonomi, sosial, hukum, budaya bahkan agama,
sehingga pengelolaannya harus dipandang pula sebagai masalah yang
interdisipliner.
Upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan hendaknya
dilakukan secara sistematis dan terpadu bagi pelestarian fungsi
lingkungan hidup dan bagi pencegahan terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Upaya pengelolaan dan
perlindungan lingkungan itu meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum
(Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Amanat pasal itu
memiliki makna bahwa terdapat korelasi antara negara, wujud
perbuatan hukumnya berupa kebijakan (policy making), serta sistem
tata kelola lingkungan yang bertanggung jawab.
- 15 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Dalam banyak kasus di bidang lingkungan yang telah mencuat
mengindikasikan bagaimana sesungguhnya terjadi perbedaan “hitamputih” (yang kontras) antara apa yang sudah dituangkan dalam
regulasi sebagai perwujudan kepedulian negara, aspirasi rakyat yang
dimanifestasikan dalam kelembagaan perwakilan (Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), serta upaya lembaga
yudisial sebagai garda terakhir dalam penegakan hukum (law
enforcement).
Muara dari kegagalan pemerintah dan lembaga peradilan
dalam menangani persoalan lingkungan membawa akibat pada
resistensi rakyat korban masalah lingkungan, misalnya dengan
melakukan aksi demo disertai blokade jalan, merusak fasilitas industri,
baik milik investor domestik maupun asing, atau bentuk
pembangkangan rakyat, yang kesemuanya menggambarkan upaya
penggunaan “senjata terakhir dari kaum yang kalah” (weapons of the
weak).
Sebagai salah satu contoh, dapat dilihat pada kasus lumpur
panas di Porong, Kabupaten Sidoarjo, yang mulai terjadi pada tanggal
29 Mei 2006. Kasus ini semula merupakan kasus berskala regional,
namun pada akhirnya mengemuka pula sebagai kasus berskala
nasional dan sekaligus menunjukkan kegagalan pemerintah dalam
mengatasinya.
Kasus lumpur panas di Sidoarjo tersebut mencapai luas 65.000
hektar (ha), belum termasuk 42.800 ha di Pejarakan, Besuki, serta
Kedung Cangkring, juga telah merusak 10.426 unit bangunan, 65
masjid serta mushala, 33 sekolah, 31 pabrik, dan 4 kantor. 1 Persoalan
1
Kompas (12 Mei 2007).
- 16 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
ganti rugi akibat luapan lumpur panas yang sesungguhnya menjadi
kewajiban pihak perusahaan (PT. Minarak Lapindo Jaya) ternyata
tidak sanggup dibayar oleh perusahaan secara keseluruhan.
Untuk menangani kasus tersebut, pemerintah telah mencoba
melakukan upaya dengan membentuk Tim Nasional yang kemudian
diganti menjadi Badan Penanggulangan Lumpur. Juga telah dilakukan
upaya-upaya seperti dengan membuat saluran pengelak, bola beton,
serta rencana counter weight, namun semuanya belum menunjukkan
hasil yang signifikan.
Berdasarkan fakta kasus tersebut, maka terdapat persoalan
mendasar yang mencakup persoalan orientasi dasar lingkungan
berbasis negara (pemerintah) atau state based environmental
management.
Kuatnya pengaruh variabel politik serta ekonomi dan juga
tradisi hukum tertulis (positive law tradition) terhadap kebijakan
pengelolaan lingkungan membawa dampak negatif terhadap politik
hukum dan substansi regulasi pengelolaan lingkungan (state based
environmental management). Konsep ini pada gilirannya akan
menciptakan bentuk kebijakan, pengaturan maupun penegakan hukum
yang mengenyampingkan etika serta moral, kearifan lokal (indigenous
knowledge), dan kritik maupun keluhan korban masalah lingkungan.
Isu lingkungan telah menjadi isu global. Baik “Caring for the
Earth: a Strategy for Sustainable Living” yang disusun oleh IUCN,
UNEP dan WWF pada tahun 1980, yang kemudian diterjemahkan
menjadi “Pembangunan Berkelanjutan,” maupun konsep United
Nation Development Program 2006-2010 pada tahun 2005 yang
dinamakan “Millennium Development Goals” (MDG’s) yang
- 17 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
dilatarbelakangi oleh krisis multidimensi dan adanya transformasi
politik, ternyata belum menyentuh seluruh pemangku kepentingan
(stake holders) yang terkait dengan masalah lingkungan, khususnya di
tingkat akar rumput (grassroots atau rakyat). Artinya, wacana global
itu masih sebatas pada elit pemerintah, teknokrat maupun kalangan
intelektual (akademis). Juga forum seminar, lokakarya, atau diskusi
publik masih sebatas mengagungkan isu tersebut sebagai wacana
belaka. Akhirnya, kesenjangan konsep dan cara pandang antara
pemerintah dan warga negara mengenai isu lingkungan berujung pula
pada dicederainya rasa keadilan rakyat.
A. Peran Manusia dalam Ekosistem Bumi
Segala sesuatu di dunia ini berhubungan satu dengan yang
lain. Antara manusia dan manusia, antara manusia dan hewan, antara
manusia dan tumbuhan, bahkan antara manusia dan benda mati
sekalipun. Begitu pula antara hewan dan hewan, antara hewan dan
tumbuhan, antara hewan dan manusia, bahkan antara hewan dan benda
mati di sekelilingnya. Begitupun juga dengan tumbuh-tumbuhan.
Pengaruh antara satu komponen dan komponen lainnya ini bermacammacam bentuk, bermacam-macam sifat, dan dapat menimbulkan
reaksi yang beragam pula. 2
Kitab suci agama Islam, Kristen dan Yahudi telah mencatat
banyak masalah lingkungan yang dihadapi oleh manusia. Air bah yang
dihadapi oleh Nabi Nuh, atau berbagai kesulitan yang dihadapi Nabi
2
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan (Yogyakarta: UGM
Press, 2006), hlm. 1.
- 18 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Musa di gunung pasir pada waktu pengembaraannya dari Mesir ke
Kanaan, merupakan contoh-contoh permasalahan lingkungan. 3
Suatu peristiwa yang menimpa diri seseorang dapat
disimpulkan sebagai resultante dari berbagai pengaruh di sekitarnya.
Begitu banyak pengaruh yang mendorong manusia ke dalam suatu
keadaan tertentu, sehingga adalah wajar jika manusia itu kemudian
juga berusaha untuk mengerti apakah sebenarnya yang mempengaruhi
dirinya dan sampai berapa besarkah pengaruh-pengaruh tersebut. 4
Lingkungan hidup merupakan bagian yang mutlak dari
kehidupan setiap manusia. Manusia bernafas, mendapatkan terang
(cahaya) karena ada udara dan matahari, demikian juga kebutuhan
manusia untuk mencari makan, minum, membuat rumah, dan berteduh
adalah juga diperolehnya dari lingkungan. Jadi, kehadiran lingkungan
itu sebenarnya sangat penting dan sangat menentukan bagi kehadiran
dan kelangsungan hidup manusia, juga bagi kebudayaan dan
peradabannya. Atau dengan kata lain, faktor lingkungan merupakan
bagian yang tidak bisa dipisahkan secara mutlak bagi manusia. 5
Noughton dan Larry L. Wolf mengartikan lingkungan dengan
semua faktor eksternal yang bersifat biologis dan fisika yang langsung
mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan, perkembangan dan
reproduksi organisme. 6 Selain itu, pakar ekologi, Otto Soemarwoto,
mengartikan lingkungan sebagai semua benda dan kondisi yang ada
3
Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Jakarta:
Djambatan, 1983), hlm. 4.
4
Ibid.
5
N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan (Jakarta: Pancuran Alam, 2006), hlm.
3.
6
Ibid.
- 19 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
dalam ruang yang manusia tempati yang mempengaruhi kehidupan
manusia. 7 Sedangkan Munadjat Danusaputro mengartikan lingkungan
hidup sebagai semua benda dan perbuatannya yang terdapat dalam
ruang tempat manusia berada dan mempengaruhi hidup serta
kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya. 8
Secara umum, lingkungan dapat dibagi dalam 3 (tiga) bentuk
yang dominan, yaitu:
1. Lingkungan alam, yaitu lingkungan yang bersifat alami dan
merupakan kandungan dari alam raya ini, seperti oksigen,
air, dan karbon dioksida.
2. Lingkungan buatan, yaitu lingkungan yang merupakan hasil
rekayasa manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan
fisiknya, seperti jalan raya, jembatan, dan gedung.
3. Lingkungan sosial budaya, yaitu lingkungan yang timbul
sebagai akibat dari kebutuhan bersosialisasi di masyarakat.
Ketiga jenis lingkungan tersebut berada dalam suatu ekosistem
besar yang disebut bumi yang merupakan pendukung kehidupan
manusia (life-support system) di planet bumi yang merupakan bagian
dari sistem planet jagat raya yang berpusat pada matahari sebagai
sumber energi dan daya gerak sistem. 9
7
Otto Soemarwoto, op.cit.
Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan: Buku I Umum (Bandung: Bina
Cipta, 1980), hlm. 28.
9
Daud Silahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum
Lingkungan Indonesia (Bandung: Alumni, 2001), hlm. 4.
8
- 20 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
EKOSISTEM BUMI
Lingkungan
Buatan
Lingkungan
Alam
M
Lingkungan Sosial
Budaya
M= Manusia
Keberadaan manusia di dalam ketiga jenis lingkungan yang
disebutkan di atas sangat penting. Manusia tidak dapat hanya berkutat
pada satu jenis lingkungan saja, melainkan manusia harus berada di
antara titik singgung ketiga lingkungan tersebut. Hal ini tentunya juga
sejalan dengan apa yang tertulis di dalam Kitab Suci Al-Qur’an yang
menempatkan manusia sebagai khalifah di bumi ini. 10
B. Periode Green History: Keunggulan Daerah Tropis
Seperti telah dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya,
dapat dilihat bahwa manusia mempunyai peran yang sangat penting
dan merupakan titik sentral dalam pengelolaan ekosistem jagat raya
10
Ibid.
- 21 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
ini. Dalam proses penciptaan jagat raya, setiap sudut di dunia
mempunyai kekhasan masing-masing yang merupakan suatu
kelebihan dan sekaligus juga dapat dipandang sebagai kelemahan
daerah tertentu.
Secara geografis, dunia terbagi dengan dipisahkan oleh garis
katulistiwa atau ekuator yang membelah tepat di titik 0 (nol) bujur dan
lintang. Sebagai konsekuensi dari faktor geografis tersebut, maka
terjadi perbedaan iklim dan musim di tiap negara.
Salah satu bagian bumi yang mendapatkan perhatian dari
hampir seluruh penghuni jagat raya adalah daerah (belahan) tropis.
Daerah tropis adalah daerah di permukaan bumi, yang secara
geografis berada di sekitar ekuator, yang dibatasi oleh 2 (dua) lintang,
yaitu: 23.5 LS dan 23.5 LU, tropis: Tropik Cancer di Utara dan Tropik
Capricorn di Selatan. Area ini terletak di antara 23.50 LS dan 23.50
LU, serta termasuk seluruh bagian dari bumi di mana matahari
mencapai sebuah titik di atas kepala paling tidak sekali selama
sepanjang tahun (di atas Tropik Cancer dan di bawah Tropik
Capricorn matahari tidak pernah mencapai ketinggian 900 atau tepat di
atas kepala.
Kata “tropik” berasal dari bahasa Yunani “troops” yang berarti
berputar, karena posisi matahari yang berubah antara 2 (dua) tropik
dalam periode yang disebut tahun. 11
Pada saat sebagian penghuni bumi menyadari bahwa belahan
timur bumi ini, khususnya dengan iklim tropisnya memiliki
keunggulan geografis yang mengakibatkan tanah di daerah tropis lebih
subur dan produktif dalam hal sumber daya alam, maka mulai lahirlah
11
<http://id.wikipedia.org/wiki/tropis>.
- 22 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
motif-motif ekonomi yang menjadi trigger dalam usaha kolonialisasi.
Latar belakang geografis tersebut juga memberikan dampak bagi
pengembangan pribadi sumber daya manusia di sekitar. Penghuni
daerah tropis dengan segala kemudahannya cenderung untuk tidak
berusaha dengan keras dalam menjalani hidup, sebaliknya negara
dengan iklim nontropis lebih unggul dalam teknologi dan sikap
sekulernya untuk mengejar kemakmuran duniawi. 12
Efek geografis yang juga terdapat di tanah nusantara ini,
menjadi salah satu alasan masuknya penjajah ke tanah nusantara pada
saat itu. Bahkan kabar kemakmuran tanah nusantara dan hasil rempahrempahnya sudah dikenal oleh para penjajah bangsa Eropa pada saat
itu. Tidak heran hal ini menjadi motivasi utama terjadinya penjajahan
di bumi pertiwi. Hal ini paling tidak dapat diidentifikasikan dengan
datangnya penjajah mulai dari Portugis dengan mencari rempahrempah hingga kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie
(Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur
Belanda) yang hendak melakukan ekspansi ekonomi. 13
12
Penulis mendapatkan informasi tersebut dari hasil wawancara pribadi
penulis dengan Soetandyo Wignjosoebroto, yang menurut penulis mempunyai
pengetahuan lebih mengenai perkembangan pada era kolonialisme.
13
Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia
Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) atau biasa disingkat VOC didirikan
pada tanggal 20 Maret 1602. VOC adalah perusahaan Belanda yang memiliki
monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Disebut Hindia Timur karena ada
pula VWC yang merupakan Perserikatan Dagang Hindia Barat. Perusahaan ini
dianggap sebagai perusahaan pertama yang mengeluarkan pembagian saham.
Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah badan dagang saja, tetapi badan
dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas-fasilitas sendiri
yang istimewa. Misalkan, VOC boleh memiliki tentara dan boleh bernegosiasi
dengan negara-negara lain. Bisa dikatakan VOC adalah negara dalam negara. VOC
terdiri 6 Bagian (Kamers) di Amsterdam, Middelburg (untuk Zeeland), Enkhuizen,
- 23 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Portugis konon menjadi pioneer dalam melakukan
penjelajahan di bumi nusantara ini. Pada sekitar tahun 1509, orangorang Portugis menginjakkan kaki pertama kali di Melaka yang
kemudian melebarkan daerah jajahannya ke hampir seluruh penjuru
Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan hingga Nusa Tenggara. Proses
pelebaran daerah jajahan itu dilakukan sampai akhir tahun 1500-an.
Namun, Portugis mengalami banyak perlawanan, baik dari masyarakat
lokal yang dipayungi oleh kerajaan-kerajaan maupun dari utusan
Negeri Belanda yang juga mulai menancapkan kekuasaannya di
Indonesia.
Pada saat penjajahan Portugis, berdasarkan penelusuran yang
dilakukan oleh penulis terhadap berbagai sumber, tidak ditemukan
satu aturanpun yang dibuat oleh Portugis saat itu untuk mengatur
sumber daya alam di bumi nusantara, baik dengan maksud untuk
melindungi maupun dengan tujuan untuk melakukan eksploitasi.
Pada sekitar akhir tahun 1601, beberapa kapal milik Belanda
mulai mengalahkan armada Portugis dalam pertempuran di Pelabuhan
Banten, dan hal ini menjadi tonggak awal dimulainya penjelajahan
Belanda di nusantara. Faktor ekonomi menjadi alasan utama dari
praktik kolonialisme Belanda dengan Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC)-nya di wilayah Hindia Belanda. Selama masa
Delft, Hoorn, dan Rotterdam. Delegasi dari ruang ini berkumpul sebagai Heeren
XVII (XVII Tuan-Tuan). Kamers menyumbangkan delegasi ke dalam XVII sesuai
dengan proporsi modal yang mereka bayarkan. Delegasi Amsterdam berjumlah
delapan. Di Indonesia VOC, memiliki sebutan populer ”kompeni” atau ”kumpeni.”
Istilah ini diambil dari kata “compagnie” pada nama lengkap perusahaan tersebut
dalam bahasa Belanda. Tetapi rakyat nusantara lebih mengenal kompeni sebagai
tentara Belanda karena penindasannya dan pemerasan kepada rakyat nusantara yang
sama seperti tentara Belanda.
- 24 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
penjajahan, Pemerintah Hindia Belanda cukup memperhatikan
masalah pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam pada saat itu.
Apabila diperhatikan peraturan perundang-undangan pada
masa Hindia Belanda, maka dapat diketahui bahwa yang pertama kali
diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda saat itu ialah mengenai
perikanan mutiara dan perikanan bunga karang, yaitu melalui
Parelvisscherij, Spoonsenvisscherijordonantie (Stbl. 1916 No. 157)
yang dikeluarkan di Bogor oleh Gubernur Jenderal Idenburg pada
tanggal 29 Januari 1916. 14
Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda
dalam rangka pengelolaan sumber daya alam berikutnya ialah
Penetapan Gubernur Jenderal Nomor 86 dengan Visscherijordonantie
(Stbl. 1920 No. 396), yang mengatur perlindungan terhadap ikan yang
meliputi telur ikan, benih ikan dan segala kerang-kerangan.
Ordonantie ini kemudian juga menghasilkan peraturan di bidang
perikanan lainnya, yaitu Kustvisscherijordonantie (Stbl. 1927 No. 144)
yang berlaku sejak tanggal 1 September 1927. 15
Salah satu ordonantie yang cukup penting pada masa
Pemerintah Hindia Belanda ialah Hinder-Ordonantie (Stbl. 1926 No.
226), yang mengatur mengenai izin gangguan yang harus dimiliki oleh
setiap pelaku usaha tertentu dalam menjalankan usahanya. Kurang
lebih terdapat 20 (dua puluh) jenis usaha yang wajib tunduk pada
ordonantie ini. 16
Dalam hal perlindungan satwa, Pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan peraturan dalam Dierenbeschermingordonantie (Stbl.
14
Koesnadi Hardjosoemantri, op.cit., hlm. 65.
Ibid., hlm. 66.
16
Ibid.
15
- 25 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
1931 No. 134) yang berlaku pada tanggal 1 Juli 1931. Sedangkan
dalam bidang perusahaan, ordonantie yang dikeluarkan dalam
kaitannya dengan pengelolaan lingkungan ialah Bedrijfsreglementeringsordonantie 1934 (Stbl. 1938 No. 86). 17
Berdekatan dengan ordonantie tersebut ialah peraturan yang
dikeluarkan mengenai perburuan, yaitu Jachtordonantie 1931 (Stbl.
1931 No. 133), dan Natuurbeschermingordonantie (Stbl. 1941 No.
167) yang mencabut ordonantie tentang cagar-cagar alam dan suakasuaka margasatwa, yaitu Natuurmonomenten en Wildreservatenordonantie (Stbl. 1931 No. 17).
Dalam hal penataan kota, Pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan peraturan yang termuat dalam Stadsvormingsordonantie (Stbl. 1948 No. 168). Namun demikian, ordonantie ini
menjadi polemik apabila dilihat dari tahun pembuatannya yang
ternyata 3 (tiga) tahun setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya. 18
Dari rangkaian paparan mengenai peraturan di atas, dapat
dilihat bahwa Pemerintah Hindia Belanda telah mempunyai perhatian
yang besar terhadap masalah pengelolaan lingkungan serta sumber
daya alam di wilayah Hindia Belanda (Indonesia), walaupun hal
tersebut dilakukan dengan motif ekonomi.
Pada awal tahun 1940, perang dunia ke-2 berlangsung di
berbagai belahan bumi. Di wilayah Indonesia, penjajah Belanda mulai
mendapatkan perlawanan dari tentara Jepang, yang berpuncak pada
pengambilalihan wilayah Indonesia oleh Jepang pada tahun 1942.
17
18
Ibid., hlm. 67.
Ibid., hlm. 77.
- 26 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Sepanjang pendudukan Jepang di Indonesia, hampir tidak ada
peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, kalaupun
ada, itu hanya berupa Osamu S Kanrei No. 6 yang mengatur mengenai
larangan penebangan pohon aghata, alba dan balsem tanpa izin
Gunseikan. 19
Peraturan pengelolaan lingkungan hidup prakemerdekaan.
No.
Peraturan
Bidang Pengaturan
1.
Parelvisscherij,
Spoonsenvisscherijordonantie
(Stbl. 1916 No. 157)
Perikanan mutiara dan
perikanan bunga karang.
2.
Visscherijordonantie
(Stbl. 1920 No. 396)
Perlindungan terhadap ikan
yang meliputi telur ikan, benih
ikan dan segala kerangkerangan.
3.
Kustvisscherijordonantie
(Stbl. 1927 No. 144)
Perlindungan perikanan.
4.
Hinder-ordonantie
(Stbl. 1926 No. 226)
Izin gangguan.
5.
Dierenbeschermingordonantie
(Stbl. 1932 No. 17)
Perlindungan satwa.
6.
Natuurmonumenten en
Wildreservatenordonantie
(Stbl. 1932 No. 17)
Cagar alam dan suaka
margasatwa.
7.
Jachtordonantie 1931
(Stbl. 1931 No. 133)
Perburuan.
19
Ibid., hlm. 78.
- 27 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
8.
Bedrijfsreglementeringsordonantie
1934
(Stbl. 1938 No. 86)
Pengelolaan lingkungan.
9.
Stadsvormingsordonantie
(Stbl. 1948 No. 168)
Tata kota.
10.
Osamu S Kanrei No. 6
Larangan penebangan pohon
aghata, alba dan balsem tanpa
izin Gunseikan.
Walaupun pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup pada masa penjajahan lebih didominasi oleh motivasi ekonomi
dan kekuasaan, namun hal ini jelas menunjukkan telah adanya
kesadaran penjajah untuk menempatkan lingkungan hidup tidak lagi
sekedar sebagai objek eksploitasi.
C. Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
dalam
Semangat
Kemerdekaan
Pendudukan Jepang tidak berlangsung lama di Indonesia, dan
Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal
17 Agustus 1945. Pada masa awal kemerdekaan, masalah lingkungan
hidup dan pengelolaan sumber daya alam kurang mendapatkan
perhatian.
Masa awal kemerdekaan itu sering disebut juga sebagai
tahapan persiapan menuju pembangunan dan demokrasi di Indonesia.
Dalam masa ini, para aparatur serta pimpinan negara lebih
berkonsentrasi pada upaya untuk menciptakan kepastian hukum,
demokrasi, serta kemandirian ekonomi. Namun demikian, telah
- 28 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
dirumuskan pula kaedah dasar yang berkaitan dengan pengelolaan
lingkungan hidup.
Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan
lingkungan hidup di Indonesia tersebut terdapat dalam Pembukaan
UUD 1945 alinea ke-4 yang berbunyi: “Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.”
Ketentuan tersebut menegaskan kewajiban negara dan tugas
pemerintah untuk melindungi segenap sumber-sumber insani
Indonesia dalam lingkungan hidup Indonesia guna kebahagiaan
seluruh rakyat Indonesia dan segenap umat manusia. 20 Walaupun hal
ini telah dipertegas dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengatur
mengenai pola pemanfaatan sumber daya alam yang ada, namun hal
tersebut terlihat terlalu ambisius dan terlalu klise serta tidak
20
Ibid., hlm. 74.
- 29 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
aplikatif. 21 Sama halnya dengan yang termuat dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Agraria yang memberikan
kewenangan terhadap negara dalam proses pengelolaan sumber daya
alam yang tersedia. Namun, ternyata kewenangan tersebut tidak
diiringi oleh suatu aturan pelaksanaan pemanfaatan secara lestari. 22
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa pada negara-negara
berkembang dan yang baru merasakan kemerdekaan isu mengenai
lingkungan hidup dan sumber daya alam masih kurang mendapatkan
perhatian.
D. Pergeseran
Persepsi
Dunia
Internasional
terhadap
Lingkungan Hidup
Momentum kemerdekaan di Indonesia hampir berbarengan
dengan momentum kemerdekaan negara lain di seluruh penjuru dunia.
Pada tahun 1948, dengan adanya Universal Declaration of Human
Rights, yang salah satu point-nya menekankan bahwa segala bentuk
penjajahan harus dihapuskan di bumi ini, maka berakhir juga periode
green history yang menempatkan alam dan lingkungan ini sebagai
objek eksploitasi.
Sadar akan kesalahan dalam pengelolaan lingkungan hidup
pada masa lalu, perlahan-lahan perhatian dunia terhadap lingkungan
hidup yang lestari mulai muncul di berbagai belahan di dunia. Diawali
dengan adanya berbagai kerusakan lingkungan dan sumber daya alam
yang semakin meningkat yang justru bersumber dari perbuatan
manusia, terlebih lagi dengan diperkenalkannya sistem industri pada
21
Naoyuki Sakumoto, Development of Environmental Law and Legal Reform
in Indonesia (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2007), hlm. 221.
22
Ibid.
- 30 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
awal abad ke-19. Pada tahun 1962, juga terbit buku karangan Rachel
Carson yang berjudul The Silent Spring yang menarik perhatian
banyak orang pada saat itu. Buku tersebut menggambarkan masalah
lingkungan yang terjadi di mana-mana, seperti menyebarnya penyakit
yang menyerang ternak dan manusia. 23
Sebelum buku Carson terbit, telah terjadi pula malapetaka
berupa pencemaran lingkungan oleh zat merkuri di Teluk Minamata,
Jepang. Pencemaran itu terjadi disebabkan oleh pabrik-pabrik yang
berada di pinggir Sungai Minamata, sehingga berakibat rusaknya
sistem kesehatan penduduk, khususnya yang berada di wilayah
Minamata. Di wilayah lain di Negara Jepang juga terjadi pencemaran
oleh limbah cadnium yang dibuang oleh pabrik-pabrik ke Sungai
Jintsu yang menimbulkan penyakit intai-intai. 24
Berdasarkan realitas yang terjadi pada berbagai belahan dunia
sebagaimana diuraikan di atas, perhatian kemudian datang dari Dewan
Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada waktu
melakukan peninjauan terhadap hasil-hasil gerakan Dasawarsa
Pembangunan Dunia ke-1 (1960-1970) guna merumuskan strategi
Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-2 (1970-1980). 25 Pembicaraan
masalah lingkungan hidup ini diajukan oleh wakil dari Swedia pada
tanggal 1968, yang salah satu rekomendasinya mengatakan bahwa
23
N.H.T. Siahaan, op.cit., hlm. 21.
Ibid.
25
Koesnadi Hardjasoemantri, op.cit., hlm. 6.
24
- 31 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
hukum yang semula hanya mengatur kehidupan manusia (homo ethic),
mulai harus bergeser pada pemikiran untuk dapat mengatur kehidupan
lingkungan atau ekologi (eco ethic). 26
Dalam laporan Sekretaris Jenderal PBB, dinyatakan betapa
mutlak perlunya dikembangkan sikap dan tanggapan baru terhadap
masalah lingkungan hidup. Maksud dari upaya penanganan masalah
lingkungan hidup itu ialah demi terciptanya pertumbuhan ekonomi
dan sosial, khususnya mengenai perencanaan, pengelolaan dan
pengawasannya. Walaupun isu-isu ekonomi tetap mendominasi pada
tahap (masa) ini, namun pandangan hidup terhadap masalah
lingkungan hidup mulai berubah. Lingkungan hidup dan sumber daya
alam yang tersedia tidak lagi dianggap sebagai objek, melainkan
sudah dianggap menjadi salah satu bagian dari capital yang harus
dikelola dengan cermat.
E. Konferensi Tingkat Tinggi Stockholm dan Undang-Undang
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 1982
Laporan Sekretaris Jenderal PBB yang menyoroti masalah
lingkungan, sebagaimana telah disinggung di atas, akhirnya diajukan
kepada Sidang Umum PBB pada tahun 1969, dan kemudian disahkan
dengan Resolusi Sidang Umum PBB Nomor 2581 (XXVI) pada
tanggal 15 Desember 1969.
Resolusi tersebut direalisasikan dengan menyelenggarakan
Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia
26
Penjelasan dari Bambang Prabowo Soedarso yang disampaikan pada kuliah
Hukum Lingkungan, pada Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Pancasila, Jakarta, 2007.
- 32 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
pada tanggal 5 Juni-16 Juni 1972 di Stockholm, Swedia. 27 Konferensi
itu dihadiri oleh 113 (seratus tiga belas) negara, 21 (dua puluh satu)
badan atau organisasi PBB, 16 (enam belas) organisasi antarpemerintah (IGOs), dan 258 (dua ratus lima puluh delapan) organisasi
nonpemerintah (NGOs) yang mewakili berbagai kelompok, termasuk
di dalamnya organisasi atau lembaga swadaya masyarakat seperti
Sierra Club, The International Association of Art Critics sebagai
peninjau. 28
Sebagai tindak lanjutnya, berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 16 Tahun 1972 tentang Panitia Perumus dan Rencana Kerja di
Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup, Pemerintah Indonesia
membentuk panitia yang bersifat antardepartemen yang disebut
dengan Panitia Perumus dan Rencana Kerja bagi Pemerintah di
Bidang Lingkungan Hidup untuk merumuskan dan mengembangkan
rencana kerja di bidang lingkungan hidup.
Panitia yang diketuai oleh Emil Salim selaku Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN)/Wakil Ketua Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional tersebut berhasil merumuskan
program kebijaksanaan lingkungan hidup sebagaimana tertuang dalam
butir 10 Bab II Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1973-1978,
dan Bab 4 Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) II.
Keberadaan lembaga yang khusus mengelola lingkungan hidup itu
memang dirasakan mendesak agar pelaksanaan pengelolaan
lingkungan hidup, baik di tingkat pusat maupun di daerah, lebih
terjamin.
27
28
Koesnadi Hardjasoemantri, op.cit., hlm. 8.
Daud Silalahi, op.cit., hlm. 21.
- 33 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
3 (tiga) tahun kemudian, Presiden mengeluarkan Keputusan
Presiden Nomor 27 Tahun 1975 tentang Pembentukan Panitia
Inventarisasi dan Evaluasi Kekayaan Alam, dengan tugas pokoknya
ialah untuk menelaah secara nasional pola-pola permintaan dan
persediaan serta perkembangan teknologi, baik di masa kini maupun
di masa mendatang, serta implikasi sosial, ekonomi, ekologi dan
politis dari pola-pola tersebut. Dalam periode ini, telah dilakukan
persiapan penyusunan perangkat perundang-undangan dan
kelembagaan yang menangani pengelolaan lingkungan hidup.
Konferensi Stockholm secara khusus membahas mengenai
keprihatinan terhadap permasalahan lingkungan yang dirasakan
semakin problematis di berbagai belahan dunia. Di satu pihak,
terdapat sejumlah manusia di berbagai negara yang menderita
kemiskinan dan keterbelakangan sehingga mempengaruhi lingkungan
hidupnya. Masalah ini menimbulkan keadaan dilematis antara
penyelesaian kemiskinan dan perusakan lingkungan, dan hal itu
tercermin dari ungkapan negara-negara berkembang yang
menyatakan, “berilah kami pencemaran asal negara kami maju.”
Sementara di pihak lain, negara-negara maju berpacu mengejar
pembangunan dan kemajuan, juga memaksa lingkungan hidupnya
menjadi rusak dengan berbagai dimensinya. 29
Dalam rangka melakukan pembahasan terhadap permasalahan
lingkungan tersebut, Konferensi Stockholm membagi pembahasan ke
dalam 3 (tiga) komisi yang selanjutnya membahas 6 (enam) mata
acara pokok, yaitu: 30
29
30
N.H.T. Siahaan, op.cit., hlm. 22.
Daud Silalahi, op.cit.
- 34 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
1.
Komisi I: membahas mata acara mengenai masalah
pemukiman dan aspek-aspek pendidikan dan informasi.
2. Komisi II: membahas mata acara pokok pengelolaan
sumber daya alam dan mengenai lingkungan serta
pembangunan.
3. Komisi III: membahas mata acara mengenai implikasi
keorganisasian dan identifikasi serta pengendalian zat
pencemar.
Setelah mengadakan sidang selama kurang lebih 10 (sepuluh)
hari, pada tanggal 16 Juni 1972, konferensi mengakhiri sidangnya
dengan mengeluarkan beberapa rekomendasi, yaitu: 31
1. Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia, yang terdiri
atas: 26 (dua puluh enam) preamble, dan 26 (dua puluh
enam) asas yang lazim disebut Stockholm Declaration.
2. Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang
menunjang pelaksanaan rencana aksi tersebut, yang terdiri
atas:
a. Dewan Pengurus Program Lingkungan Hidup (United
Nation Environment Program);
b. Sekretariat, yang dikepalai oleh direktur eksekutif;
c. Dana lingkungan hidup, dan;
d. Badan Koordinasi Lingkungan Hidup.
3. Penetapan hari lingkungan hidup sedunia pada tanggal 5
Juni.
Hasil dari Konferensi Stockholm sedikit banyak mempengaruhi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Hal
31
Koesnadi Hardjasoemantri, op.cit., hlm. 8-9.
- 35 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
itu tercermin dalam Bab III Pola Umum Pembangunan Jangka
Panjang butir 10 dari Pendahuluan GBHN 1973-1978 yang memuat
penjelasan: “Dalam pelaksanaan pembangunan, sumber-sumber alam
Indonesia harus digunakan secara rasional. Penggalian sumber
kekayaan alam tersebut harus diusahakan agar tidak merusak tata
lingkungan hidup manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang
menyeluruh dan dengan memperhitungkan kebutuhan generasi yang
akan datang.” 32
Periode ini menandai daya tanggap dan cikal bakal bangkitnya
kesadaran lingkungan Indonesia ketika pembangunan nasional
memasuki Pelita I (1969-1974). Perhatian terhadap masalah
lingkungan mulai terlihat pada peraturan perundang-undangan yang
disusun beserta kebijaksanaan dan program sektoral yang dihasilkan
selama periode tersebut. Peraturan perundang-undangan itu sudah
memuat ketentuan yang mengatur pemanfaatan sumber daya alam
secara lestari dengan mempertimbangkan aspek konservasinya. Selain
itu, konsepsi serta kebijaksanaan pengembangan wilayah yang dianut
sektor juga sudah memasukkan pertimbangan lingkungan. Akan
tetapi, pendekatan yang dilakukan masih bersifat sektoral dan dengan
perhatian terhadap aspek pengelolaan lingkungan yang masih belum
memadai.
Sementara itu, perhatian terhadap lingkungan hidup di
kalangan perguruan tinggi dirintis oleh Universitas Padjadjaran,
Bandung, melalui pendirian Lembaga Ekologi pada tanggal 23
September 1972. Sebagai persiapan menghadapi Konferensi
Stockholm, pada tanggal 15 Mei-18 Mei 1972 diselenggarakan
32
Ibid., hlm. 58.
- 36 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
seminar tentang “Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan
Nasional” oleh Universitas Padjadjaran di Bandung. Seminar itu
membahas mengenai “Peraturan Hukum Masalah Lingkungan
Manusia: Beberapa Pikiran dan Saran.” Hasilnya kemudian dijabarkan
ke dalam Country Report Republik Indonesia dan disampaikan pada
Konferensi Stockholm itu.
Dalam bentuk kebijakan kelembagaan, untuk melaksanakan
amanat GHBN 1978, maka berdasarkan Keputusan Presiden Nomor
28 Tahun 1978 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, dan Tata
Kerja Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara, Menteri Negara
Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Menteri Negara
Riset dan Teknologi serta Susunan Organisasi Stafnya jo. Keputusan
Presiden Nomor 35 Tahun 1978 tentang Perubahan, Keputusan
Presiden Nomor 28 Tahun 1978 tentang Kedudukan, Tugas Pokok,
Fungsi, dan Tata Kerja Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara,
Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup,
Menteri Negara Riset dan Teknologi serta Susunan Organisasi
Stafnya, dalam Kabinet Pembangunan III diangkat Menteri Negara
Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (MENPPLH)
dengan tugas pokok mengoordinasikan pengelolaan lingkungan hidup
di berbagai instansi pusat maupun daerah, khususnya untuk
mengembangkan segi-segi lingkungan hidup dalam aspek
pembangunan. Sedangkan tugas pertamanya ialah mempersiapkan
perumusan kebijakan pemerintah mengenai pelaksanaan pengawasan
pembangunan dan pengelolaan serta pengembangan lingkungan
hidup. Jabatan MENPPLH dipegang oleh Emil Salim.
- 37 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Kemudian dalam upaya memantapkan koordinasi pengelolaan
lingkungan di daerah, Menteri Dalam Negeri menerbitkan Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 240 Tahun 1980 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Sekretariat Wilayah/Daerah Tingkat I dan Sekretariat
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I, yang di dalamnya
terdapat Biro Kependudukan dan Lingkungan Hidup.
Salah satu produk hukum terpenting yang dihasilkan selama
periode Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup
(MENPPLH) ialah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. UndangUndang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup merupakan landasan bagi berbagai ketentuan dan peraturan
mengenai masalah pengelolaan lingkungan hidup, seperti
perlindungan, pelestarian serta pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan hidup, analisis mengenai dampak lingkungan, baku mutu
lingkungan, dan lain-lain.
Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Lingkungan Hidup sebenarnya telah dimulai pada tahun 1976 dengan
persiapan pembentukan kelompok kerja hukum dan aparatur dalam
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Pada periode
ini, beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
lingkungan dihasilkan oleh berbagai instansi sektoral.
Di sejumlah perguruan tinggi, perhatian terhadap lingkungan
hidup juga mulai berkembang, antara lain dengan dibentuknya
lembaga yang bergerak di bidang penelitian masalah lingkungan,
seperti Pusat Studi dan Pengelolaan Lingkungan Institut Pertanian
Bogor, dan Pusat Studi Lingkungan Institut Teknologi Bandung.
- 38 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Pengelolaan lingkungan hidup pada periode ini masih berupa langkah
awal pemantapan kemauan politik (political will) sebagai persiapan
untuk mewujudkan gagasan-gagasan dari Konferensi Stockholm. Pada
periode ini, belum ada lembaga khusus serta perangkat peraturan
perundang-undangan yang menangani masalah lingkungan secara
komprehensif, dan ini merupakan kendala yang perlu penanganan
segera pada waktu itu.
Pengelolaan dan pembangunan lingkungan hidup di Indonesia
dapat dikatakan relatif belum lama dan baru dirintis menjelang Pelita
III. Namun demikian, dalam waktu yang relatif pendek itu Indonesia
telah banyak berbuat untuk mulai mengelola lingkungan hidupnya.
Hasil utama dari upaya pengembangan pengelolaan lingkungan hidup
itu nampak pada munculnya kesadaran dan kepedulian di kalangan
masyarakat, antara lain dapat dilihat pada adanya peningkatan upaya
nyata swadaya masyarakat dalam memecahkan masalah pencemaran
di daerah. Padahal, 20 (dua puluh) tahun sebelumnya, istilah
lingkungan hidup itu sendiri masih belum begitu dikenal.
Konsep dan kebijakan lingkungan hidup selama Pembangunan
Jangka Panjang (PJP) I mengalami perkembangan yang sangat berarti.
Selama Pelita III, bidang lingkungan hidup ditangani oleh MENPPLH
dengan prioritas pada peletakan dasar-dasar kebijaksanaan
“membangun tanpa merusak,” dengan tujuan agar lingkungan dan
pembangunan tidak saling dipertentangkan.
Penanganan masalah lingkungan hidup tentu juga menuntut
pengkajian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
pendukungnya. Untuk itu, pada tahun 1979, dibentuklah Pusat Studi
Lingkungan (PSL) yang tersebar di berbagai perguruan tinggi.
- 39 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Meskipun secara struktural tetap berada di bawah dan bertanggung
jawab pada universitasnya masing-masing, PSL memiliki peran yang
sangat besar dalam pendidikan lingkungan hidup. Hampir semua
pendidikan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL)
dilakukan oleh PSL di bawah koordinasi MENPPLH. PSL juga
banyak membantu di bidang penelitian masalah lingkungan.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982, antara lain, telah
menggariskan bahwa manusia dan perilakunya merupakan komponen
lingkungan hidup. Karena itu, perlu adanya perpaduan antara aspek
kependudukan ke dalam pengelolaan lingkungan hidup. Untuk hal
tersebut, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1983
tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri
Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, dibentuklah Kantor
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (MENKLH)
dengan menterinya ialah Emil Salim. Pada periode MENKLH ini,
telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang merupakan pedoman
pelaksanaan suatu proyek pembangunan. Setiap proyek yang
diperkirakan memiliki dampak penting diharuskan melakukan studi
AMDAL.
Sementara itu, karena alasan kegiatan pembangunan yang
semakin pesat dengan disertai dampaknya terhadap lingkungan, maka
diperlukan pula adanya sebuah badan yang lebih bersifat operasional.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1990 kemudian
dibentuk Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) yang
bertugas melaksanakan pemantauan dan pengendalian kegiatan-
- 40 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
kegiatan pembangunan yang berdampak penting terhadap lingkungan
hidup.
Dinamika selanjutnya juga ditandai dengan semakin
berkembangnya Pusat Studi Kependudukan (PSK) dan PSL bukan
hanya di perguruan tinggi negeri, tetapi juga di perguruan tinggi
swasta. Saat itu tercatat ada 35 (tiga puluh lima) PSK, dan 67 (enam
puluh tujuh) PSL yang tersebar di berbagai perguruan tinggi di seluruh
Indonesia. Keberadaan PSK dan PSL di setiap provinsi diharapkan
akan dapat membantu pemerintah daerah dalam menangani persoalan
lingkungan di daerahnya sesuai dengan karakteristik sosial, ekonomi,
budaya, dan biogeofisik setempat. Keragaman seperti itu juga
diharapkan dapat memperkaya upaya pengelolaan lingkungan di
tingkat pusat yang pada gilirannya akan berguna dalam
pengembangan kebijakan nasional pengelolaan lingkungan hidup.
Pengembangan kelembagaan juga disertai dengan upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dilakukan melalui
jalur pendidikan, khususnya pendidikan kependudukan dan
lingkungan hidup, kursus-kursus, dan pelatihan serta pengembangan
sistem dan penyebaran informasi kependudukan dan lingkungan
hidup. Peningkatan kualitas sumber daya manusia ini dilakukan seluas
mungkin dengan melibatkan partisipasi seluruh lapisan masyarakat.
Pada periode MENPPLH pula, yaitu pada tahun 1981,
penghargaan Kalpataru mulai diperkenalkan. Penghargaan dengan
lambang “pohon kehidupan” ini diberikan kepada masyarakat yang
telah memelihara lingkungan hidup dengan kesadaran sendiri tanpa
mengharapkan imbalan dan prestasinya itu dinilai luar biasa.
Pemberian Kalpataru biasanya dilakukan pada saat puncak peringatan
- 41 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Hari Lingkungan Hidup pada tanggal 5 Juni setiap tahunnya
mengikuti ketentuan dari United Nations Environment Programme
(UNEP).
Pada Pelita IV, bidang lingkungan hidup berada di bawah
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (MENKLH),
dengan prioritas pada keserasian antara kependudukan dan lingkungan
hidup.
Pada Pelita V, kebijakan lingkungan hidup sebelumnya
disempurnakan dengan mempertimbangkan keterkaitan 3 (tiga) unsur,
yaitu antara unsur kependudukan, lingkungan hidup, dan pembangunan, guna mewujudkan konsep pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan hanya terlanjutkan dari generasi ke generasi apabila
kebijakan dalam menangani ketiga bidang (unsur) tersebut selalu
dilakukan secara serasi menuju satu tujuan. Apabila lingkungan dan
sumber daya alam tidak mendukung dan menunjang sumber daya
manusia atau sebaliknya, maka pembangunan mungkin saja dapat
berjalan, namun dengan risiko timbulnya ancaman pada kualitas dan
daya dukung lingkungan.
Kebijaksanaan dasar yang bertumpu pada pembangunan
berkelanjutan ini akan tetap menjadi pegangan dalam pengelolaan
lingkungan hidup pada Pelita VI dan beberapa Pelita selanjutnya. Pada
Pelita VI ini pula, bidang lingkungan hidup secara kelembagaan
terpisah dari bidang kependudukan dan berada di bawah Menteri
Negara Lingkungan Hidup (MENLH). Lingkungan hidup dirasakan
perlu ditangani secara lebih fokus sehubungan dengan semakin luas,
semakin dalam, dan kompleksnya tantangan pada era industrialisasi
serta era informasi dalam PJP II (yang dimulai pada Pelita VI).
- 42 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Dalam periode setelah pergantian dari Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup menjadi di bawah Menteri
Negara Lingkungan Hidup, pada tahun 1988-1993, yang nampak
gencar dilakukan ialah pemasyarakatan pembangunan berkelanjutan,
dan seluruh bidang kegiatan lingkungan hidup pada periode itu
ditujukan untuk menopang pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut
juga berkaitan dengan penyelenggaraan Konferensi PBB tentang
Lingkungan Hidup dan Pengembangan, atau yang lebih populer
dikenal dengan sebutan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di
Rio de Janeiro pada bulan Juni 1992.
Hasil-hasil dari KTT Bumi tersebut sangat menekankan
perlunya konsep pembangunan berkelanjutan untuk menjamin
pemanfaatan sumber daya alam tidak hanya untuk pembangunan di
masa sekarang, melainkan juga untuk generasi yang akan datang. Di
bawah Menteri Negara Lingkungan Hidup (MENLH) ini pula, muncul
gagasan bahwa kependudukan dan lingkungan hidup merupakan 2
(dua) aspek yang tidak dapat saling dipisahkan.
Perubahan di bidang kependudukan sangat berpengaruh dalam
bidang lingkungan hidup. Demikian pula sebaliknya, lingkungan
dituntut untuk selalu memiliki daya dukung bagi kehidupan. Karena
itu, kebijakan yang dikembangkan dalam bidang kependudukan
berbeda dengan periode sebelumnya. Masalah kependudukan tidak
hanya dilihat dari segi demografi semata-mata (seperti masalah
fertilitas, mortalitas dan migrasi), melainkan lebih menekankan pada
unsur kualitas. Penduduk yang banyak tidak selamanya dapat
dianggap sebagai beban. Kalau berkualitas, mereka justru dapat
dijadikan modal pembangunan. Dalam kebijakan tersebut, dijelaskan
- 43 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
pula bahwa masalah kependudukan dipengaruhi juga oleh faktor
lingkungan hidup. Karena itu, pengelolaan lingkungan hidup
dilakukan sedemikian rupa sehingga daya dukungnya dapat
dipertahankan baik melalui pengaturan tata ruang, penerapan
AMDAL, rehabilitasi lingkungan, seperti Program Kali Bersih
(PROKASIH), maupun pemanfaatan keanekaragaman hayati.
Penegakan hukum juga mulai dikembangkan dalam periode
ini, terutama sejak Pelita V, dengan mulai dirintisnya kerja sama
dengan Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Kasus-kasus penindakan
terhadap industri yang mencemari lingkungan sudah banyak dilakukan
terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan PROKASIH.
Produk hukum yang penting yang dihasilkan selama periode
MENLH 1988-1993 ini, antara lain, ialah di bidang kependudukan.
RUU tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga Sejahtera telah disahkan DPR pada tanggal 21 Maret 1992,
yang kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga Sejahtera pada tanggal 6 April 1992.
Sedangkan untuk di bidang lingkungan hidup, telah
dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang
Baku Mutu Lingkungan, dan juga disetujuinya RUU tentang Penataan
Ruang di DPR. MENLH juga telah mengeluarkan Keputusan Menteri
Nomor 03 Tahun 1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair. Seperti
periode sebelumnya, berbagai kelemahan masih dihadapi, baik dalam
hal kebijakan, kelembagaan dan peraturan perundang-undangan,
sumber daya manusia maupun pendanaan. Hal ini bukan dikarenakan
kegagalan pembangunan di sektor lingkungan hidup, melainkan
- 44 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
cenderung disebabkan karena semakin luas, intensif dan kompleksnya
permasalahan lingkungan yang dihadapi bersamaan dengan semakin
pesatnya kegiatan pembangunan selama periode dasawarsa MENLH
tersebut.
Masalah lingkungan hidup cenderung menjadi semakin luas
dan kompleks, khususnya pada pembangunan jangka panjang ke dua
(PJP II). Karena itu, maka dipandang perlu upaya pengelolaan
lingkungan hidup yang lebih fokus. Pada awal periode Kantor
MENLH dipimpin oleh Sarwono Kusumaatmadja sebagai menterinya
telah diselenggarakan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) I
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan
1994.
Rakornas I membahas dan merumuskan kebijakan serta
strategi nasional pengelolaan lingkungan hidup dalam PJP II (periode
1994/1995-2019/2020). Perumusan kebijakan dan strategi nasional ini
ditujukan untuk mengantisipasi kemungkinan penurunan kualitas
lingkungan hidup di masa mendatang sehubungan titik berat PJP II
pada bidang industri.
Hasil penting dari Rakornas I tersebut ialah munculnya
strategi dan kebijakan satu pintu dan Sasaran Repelita Tahunan
(SARLITA). SARLITA merupakan penjabaran dari program Repelita
yang diharapkan dapat menjadi acuan pokok dalam penyusunan dan
penilaian rencana kegiatan pembangunan tahunan, khususnya yang
dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Untuk penyusunan SARLITA Daerah sektor lingkungan hidup
dilakukan oleh masing-masing provinsi sehingga diharapkan sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi setempat.
- 45 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Selama kurun waktu 1994-1995 Kantor MENLH turut
menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang dikoordinasikan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).
Beberapa usulan yang disampaikan oleh Kantor MENLH tentang
Program Legislasi Nasional ialah:
1. RUU tentang Penyempurnaan Undang–Undang Nomor 4
Tahun 1982;
2. RUU tentang Penataan Ruang Kelautan;
3. RPP tentang Tata Cara Penetapan dan Pembayaran Biaya
Pemulihan Lingkungan, Tata Cara Pengaduan, Penelitian
dan Penuntutan Ganti Rugi, Pengendalian Perusakan
Lingkungan, Pengendalian Pencemaran Udara, Laut,
Kebisingan dan Tanah.
Periode (kurun waktu) tersebut merupakan pancawarsa
menuju pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
dengan perhatian utama yang diarahkan kepada upaya pembinaan
kemitraan kelembagaan. 33
F. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Reformasi membawa telah perubahan secara dramatis dalam
sistem politik dan ketatanegaraan di Indonesia. Dan sejalan dengan
itu, terjadi pula perubahan dalam sistem kepemerintahan. Namun
demikian, masalah lingkungan yang dihadapi hingga masa reformasi
33
Informasi mengenai perkembangan kelembagaan dan kinerja dari
Kementerian
Lingkungan
Hidup
dapat
dilihat
pada
situs
<http://www.menlh.go.id/archive.php?action=branch&cat=345>.
- 46 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
ini masih berkisar pada masalah sumber daya alam, populasi, dan
kerja sama regional/internasional.
Jumlah penduduk yang meningkat memberikan tekanan yang
lebih besar kepada sumber daya alam. Salah satu dampaknya ialah
kondisi kritis sumber daya air, khususnya untuk di Pulau Jawa. Hutan
juga semakin menurun kualitas dan kuantitasnya akibat over
exploitation dan pembakaran. Menyusutnya sumber daya hutan diikuti
pula dengan menurunnya jumlah keanekaragaman hayati, hal yang
sama juga terjadi di lingkungan pesisir dan laut. Kondisi ini
diperburuk lagi dengan menurunnya kualitas udara akibat merebaknya
industrialisasi dan perlakuan yang tidak ramah kepada atmosfer,
seperti semakin banyaknya polusi yang berasal dari kendaraan
bermotor.
Sementara itu, aktivitas manusia telah juga menghasilkan
limbah domestik, dan masalah ini mulai merambah ke perdesaan.
Kepadatan perkotaan turut pula meningkatkan beban pencemaran pada
lingkungan. Dampak lain dari kepadatan kota ialah alih fungsi lahan
dari pertanian menjadi permukiman dan industri.
Ledakan jumlah penduduk memunculkan kelas masyarakat
miskin, yang diikuti dengan merebaknya pemukiman kumuh, masalah
kesehatan, gelandangan, kriminalitas, dan berbagai masalah sosial
lainnya. Sementara itu, seiring dengan modernisasi, terjadi pergeseran
nilai yang bersifat tradisional agraris menuju masyarakat era industri,
yang antara lain ditandai dengan perubahan pranata sosial, perubahan
nilai-nilai sosial.
Perpindahan penduduk dari desa ke kota mengakibatkan
turunnya ketahanan ekologis perdesaan dan menaikkan tingkat
- 47 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
kerentanan kota. Berbagai masalah sosial tersebut berdampak pada
melemahnya kontrol sosial, dan cenderung diikuti timbulnya masalah
sosial psikologi dalam masyarakat. Sementara itu, keanekaragaman
kelompok dalam masyarakat dan ketimpangan ekonomi semakin
mempertinggi persaingan dan konflik kepentingan.
Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, maka kemudian
sasaran pembangunan lingkungan diarahkan pada:
1. Peningkatan pengenalan jumlah dan mutu sumber daya
alam serta jasa lingkungan yang tersedia;
2. Pemeliharaan kawasan konservasi;
3. Peningkatan sistem pengelolaan lingkungan;
4. Pengendalian pencemaran, terutama pada daerah padat
penduduk dan pembangunan;
5. Pengendalian kerusakan pantai, dan;
6. Peningkatan usaha rehabilitasi lahan kritis.
Memperhatikan sasaran tersebut, maka kebijakan lingkungan
diarahkan pada 6 (enam) program pokok, yaitu:
1. Inventarisasi dan evaluasi sumber daya alam dan
lingkungan hidup;
2. Penyelamatan hutan, tanah dan air;
3. Pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup;
4. Pengendalian pencemaran lingkungan hidup;
5. Rehabilitasi lahan kritis, dan;
6. Pembinaan daerah pantai.
Seperti yang telah diungkapkan pada pembahasan
sebelumnya, salah satu hal yang termuat dalam Prolegnas 1994-1995
ialah perlunya melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 4
- 48 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Tahun 1982. Undang-undang tersebut, yang hanya terdiri dari 9
(sembilan) bab dan 24 (dua puluh empat) pasal, memang dirasakan
terlalu sedikit dan sederhana sehingga dinilai kurang dapat
memayungi berbagai hal yang berkaitan dengan permasalahan
lingkungan hidup. Beberapa hal yang kurang mendapatkan perhatian
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 ialah: hak untuk
mendapatkan kehidupan lingkungan yang sehat, penerapan asas
polluter pay principle, perizinan, pencegahan pencemaran, hak untuk
berperan serta dalam pengaturan lingkungan, serta ganti rugi terhadap
korban pencemaran. 34
Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982
dilakukan pula sebagai bentuk sinkronisasi terhadap dinamika yang
terjadi pada bidang hukum administrasi negara, terutama dengan
adanya kebijakan desentralisasi. Seperti diketahui, pengelolaan
lingkungan hidup pada masa-masa itu (masa dibentuknya UndangUndang Nomor 4 Tahun 1982) masih bersifat sentralistis, sehingga
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat cenderung
kurang memperhatikan permasalahan di daerah.
Hasil revisi terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982
ialah berwujud Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 terdiri dari 11 (sebelas) bab dan 52 (lima puluh dua) pasal.
Undang-undang ini memiliki beberapa perbedaan yang cukup
mendasar apabila dibandingkan dengan undang-undang yang
terdahulu, antara lain, yaitu dalam hal administrasi lingkungan, dan
juga dalam hal telah diadopsinya beberapa asas hukum lingkungan di
34
Naoyuki Sakumoto, op.cit., hlm. 225.
- 49 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
tingkat internasional ke dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997, seperti penerapan polluter pay principle.
Perbandingan antara Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.
Bidang
Pengaturan
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1982
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997
Kebijakan
lingkungan
nasional
Kebijakan didasari oleh
UUD 1945, Pancasila, dan
seluruh peraturan
perundang-undangan yang
terkait dengan lingkungan
hidup.
Kebijakan didasari oleh
integrasi dari tanggung jawab
negara, prinsip berkelanjutan,
dan prinsip eksploitasi secara
terpadu.
Administrasi
lingkungan
Didasari atas pengaturan
lingkungan oleh pemerintah
pusat dengan koordinasi
dengan pemerintah daerah.
Mengurangi peran pemerintah
pusat dengan mendelegasikan
beberapa kewenangan pada
pemerintah daerah.
Hak
terhadap
lingkungan
Hak atas lingkungan yang
sehat, hak dan kewajiban
dalam pengaturan di bidang
lingkungan.
Hak atas lingkungan yang
sehat, hak atas informasi di
bidang lingkungan, dan
hak untuk berperan dalam
pengaturan di bidang
lingkungan hidup.
Dasar
pemberian
izin
Baku mutu lingkungan.
Baku mutu lingkungan,
pengelolaan B3, AMDAL.
Aparat
penegak
hukum
Pencemaran
dan ganti
rugi
Polisi dan penyidik pegawai
negeri sipil.
Polluter pay principle,
biaya pemulihan
lingkungan, strict liability.
- 50 -
Polluter pay pinciple, biaya
pemulihan lingkungan,
strict liability.
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Penyelesaian
sengketa
Strict liability →
Pengadilan.
Pengadilan (litigasi), di luar
pengadilan (nonlitigasi), class
action.
Audit
lingkungan
Studi evaluasi mengenai
dampak lingkungan.
Audit lingkungan.
Sanksi
Sanksi pidana, denda paling
tinggi 100 juta rupiah, dan
penjara 10 tahun.
Sanksi administratif oleh
gubernur atau kepala wilayah,
sanksi pidana, denda paling
tinggi 750 juta rupiah, dan
penjara 15 tahun.
Titik lemah dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 ialah
undang-undang ini tidak cukup mampu menempatkan dirinya sebagai
undang-undang yang menjadi landasan (“payung”) bagi undangundang sektoral. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 juga tidak
mampu memberikan “ruang penyesuaian” bagi undang-undang
sektoral. Bahkan, undang-undang sektoral ini dalam praktiknya justru
lebih dominan, dan malah terkesan mengenyampingkan keberlakuan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.
Isu lain yang perlu mendapatkan perhatian ialah bahwa
berkaitan dengan perkembangan pemikiran dan konsep pengelolaan
lingkungan yang terjadi di dunia internasional, maka Indonesia perlu
pula memiliki komitmen untuk sungguh-sungguh mengisi substansi
peraturan perundang-undangan lingkungan hidupnya dengan prinsipprinsip pengelolaan lingkungan yang bersifat global. Misalnya, dalam
peraturan perundang-undangan lingkungan hidup di Indonesia perlu
memuat prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan yang baik (good
environmental governance) dan pengelolaan pembangunan
- 51 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
berkelanjutan yang baik (good sustainable development governance)
secara utuh dan rinci. Adapun prinsip-prinsip tersebut terdiri dari:
1. Intergenerational equity;
2. Intragenerational equity;
3. The precautionary principle;
4. The internalization of externality;
5. Pollution prevention;
6. Polluter pays principle;
7. Strict liability and absolute liability;
8. Shifting of burden of proof;
9. Transboundary principle;
10. Extraterritoriality principle.
Selain itu, Indonesia perlu juga memperhatikan asas-asas
kebijakan lingkungan (principles of environmental policy), yaitu
antara lain:
1. Abatement at the source;
2. Best practicable means/best technical means;
3. Stand still principle;
4. Principle of regional differentiation.
Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut di atas
merupakan suatu “paket” dari pengelolaan lingkungan yang baik,
yang harus termuat dalam kebijakan lingkungan yang diwujudkan
dalam perangkat peraturan perundang-undangan lingkungan hidup.
Harmonisasi dari prinsip sustainable development dan good
environment governance ialah good sustainable development
governance yang berimplikasi pula pada:
- 52 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
1.
Dorongan ke arah corporate social responsibility dan
accountability lebih menguat (termasuk tuntutan masyarakat internasional);
2. Masyarakat akan lebih terbuka dan demokratis (democratic
society and government);
3. Kekuatan-kekuatan civil society sebagai kelompok penekan
(pressure group) semakin kuat dan efektif;
4. Gerakan “konsumen hijau” semakin meluas seiring dengan
berkembangnya pendidikan lingkungan, dan meningkatnya
kesadaran lingkungan hidup terhadap kondisi sumber daya
alam dan lingkungan hidup yang semakin memburuk;
5. Rule of law semakin terbangun.
Hukum seharusnya berperan dalam pemecahan masalah
lingkungan dan sekaligus berfungsi sebagai landasan yuridis bagi
pelaksanaan kebijakan negara (pemerintah) dalam mengelola
lingkungan hidup. Jika kebijakan lingkungan kemudian dirumuskan
dalam rangkaian norma yang tertuang dalam peraturan perundangundangan tentang lingkungan, maka dalam arti sempit, hal itu dapat
disebut sebagai kebijakan hukum lingkungan, atau sering disebut pula
sebagai politik perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
Politik perundang-undangan di bidang lingkungan hidup harus
dipersiapkan sebaik mungkin. Hal itu ialah dikarenakan salah satu
faktor yang mempengaruhi buruknya pengaturan pengelolaan
lingkungan hidup di Indonesia adalah karena kebijakan peraturan
perundang-undangan yang sengaja didesain (atau mungkin juga
karena “kelalaian”) untuk tidak dapat efektif mencegah atau
menyelesaikan masalah lingkungan. Kelemahan ini dapat dilihat dari
- 53 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
beberapa peraturan perundang-undangan lingkungan hidup yang
cenderung bersifat pragmatis, reaktif, sektoral, parsial, dan berjangka
pendek.
Konkretnya, peraturan perundang-undangan seperti tersebut di
atas mengandung ketidaklengkapan dalam perumusan pengaturan
fungsi manajemen lingkungan, belum diadopsinya secara utuh prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan, pengaturan kelembagaan yang
sangat parsial, pasal perizinan yang sumir, norma pengawasan yang
tidak jelas, belum lengkapnya pengaturan tentang hak-hak prosedural
masyarakat, belum didayagunakannya pengaturan berkenaan dengan
persyaratan penaatan, instrumen ekonomi, rumusan sanksi
administrasi serta sanksi pidana yang tidak aplikatif.
Tidak jarang pula yang terjadi ialah justru disharmoni antara
peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup dengan
peraturan perundang-undangan sektoral, yaitu terjadinya konflik,
kontradiksi, tumpang tindih, dan inkonsistensi antara peraturan
perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya.
Memang disadari, sangat banyak masalah yang dihadapi dalam
pengaturan kebijakan hukum di bidang lingkungan hidup. Hal ini
tidak saja menjadi tantangan bagi mereka yang langsung
berkecimpung di bidang hukum lingkungan, tetapi juga merupakan
panggilan tugas dan tanggung jawab bersama para ahli hukum untuk
berperan serta dalam upaya membangun hukum lingkungan nasional
Indonesia.
***
- 54 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
BAB III
REFORMASI PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP
Selama masa reformasi bergulir, yang diawali dengan jatuhnya
kepemimpinan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, hingga
saat ini, ketentuan pengelolaan lingkungan hidup merupakan salah
satu peraturan yang tidak mengalami perubahan. Padahal pada bidang
lain banyak perubahan yang signifikan dalam hal regulasi. Kenyataan
ini mendorong berbagai kalangan untuk menyoroti kebijakankebijakan yang dibuat oleh pemerintah di bidang lingkungan hidup
dan sumber daya alam. Salah satu fokus permasalahan yang disoroti
oleh berbagai kalangan itu ialah apakah regulasi di bidang lingkungan
hidup telah sesuai dengan semangat reformasi dan kesadaran terhadap
pelaksanaan pembangunan secara berkelanjutan atau tidak.
A. Rencana Strategis Pengelolaan Lingkungan Hidup
Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup pada era reformasi
telah diperkuat dengan ditetapkannya amandemen UUD 1945 Pasal 33
ayat (4) yang berbunyi: “Perekonomian nasional diselenggarakan
berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi.”
- 55 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Amandemen Pasal 33 UUD 1945 tersebut secara tegas
menghubungkan antara pembangunan ekonomi nasional dengan
lingkungan hidup. Jadi prinsip dasar pembangunan yang dianut
sekarang ini haruslah dapat menyelaraskan secara baik dan harmoni
dengan faktor lingkungan hidup.
Untuk memberikan arah yang lebih jelas dalam melaksanakan
kebijakan pembangunan 5 (lima) tahun, pemerintah telah menetapkan
Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004. Bab X
Propenas menguraikan arah dan sasaran pembangunan lingkungan
hidup Indonesia tahun 2000-2004 untuk dilaksanakan melalui:
1. Program pembangunan dalam peningkatan akses informasi
sumber daya alam dan lingkungan hidup, dengan tujuan
memperoleh data dan informasi yang lengkap mengenai
potensi dan produktivitas sumber daya alam dan lingkungan
hidup melalui inventarisasi, evaluasi dan penguatan sistem
informasi.
2. Program peningkatan efektivitas pengelolaan, konversasi
dan rehabilitasi
sumber daya alam dengan tujuan
menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumber
daya alam dan lingkungan hidup.
3. Program pencegahan dan pengendalian kerusakan dan
pencemaran lingkungan hidup dengan tujuan meningkatkan
kualitas lingkungan hidup melalui upaya mencegah
perusakan
dan/atau
pencemaran
lingkungan
dan
melaksanakan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak
akibat pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan.
- 56 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
4.
Program penataan kelembagaan dan penegakan hukum
pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan
hidup dengan tujuan mengembangkan kelembagaan hukum
dan penegakan hukum untuk mewujudkan pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup yang efektif dan
berkeadilan.
5. Program peningkatan peran masyarakat dalam mengelola
sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan tujuan
meningkatkan peran dan kepedulian lapisan masyarakat
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup.
Pada tahun 2003, rencana strategi dari Kementerian
Lingkungan Hidup masih mengacu kepada Program Prioritas
Kementerian Lingkungan Hidup 2001-2004 yang menitikberatkan
kepada:
1. Peningkatan kemampuan daerah menyelenggarakan Tata
Praja Lingkungan yang Baik (Good Environment
Governance).
2. Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan (warga madani) serta mendorong kinerja badan
legislatif daerah.
3. Pengembangan sistem penataan hukum dan penegakan
hukum sumber pencemar institusi dan non institusi.
4. Pelestarian lingkungan hidup dalam kerangka pembangunan
berkelanjutan.
5. Pengembangan kapasitas kelembagaan.
6. Pengembangan sistem komunikasi dan informasi.
- 57 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Dalam rangka mewujudkan tujuan di atas, salah satu program
yang dilakukan ialah membuat kebijakan penegakan hukum
lingkungan terpadu (one roof enforcement system) dengan dasar Nota
Kesepakatan Bersama Menteri Lingkungan Hidup, Kepala Kepolisian
Republik Indonesia (Kapolri), dan Jaksa Agung (Kep. No.
04/MENLH/04/2004, No. Pol.: Kep-19/IV/2004, dan Kep. No.
208/A.J/04/2004 tentang Penegakan Hukum Lingkungan Terpadu
(Satu Atap)).
Sedangkan dalam rangka pengembangan sumber daya
manusia (SDM) di bidang pengelolaan lingkungan hidup, saat ini telah
dihasilkan Dokumen Kebijakan Pendidikan Lingkungan Hidup
sebagai dasar pengembangan SDM lingkungan hidup melalui jalur
pendidikan dan pelatihan. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup
juga telah mengembangkan wadah pengembangan karier pegawai
negeri sipil melalui jabatan fungsional Pengendali Dampak
Lingkungan.
Dalam bidang regulasi, pemerintah juga telah melakukan
perubahan dan penekanan terhadap beberapa peraturan perundangundangan. Peraturan perundang-undangan yang efektif merupakan
salah satu kebutuhan utama dalam melaksanakan pembangunan
berkelanjutan, karena hal itu merupakan perangkat untuk penegakan
hukum lingkungan. Menurut laporan pada tahun 1991 dari
International Union for Conservation of Nature (IUCN), United
Nations Environment Programme (UNEP), dan World Wildlife Fund
(WWF), peran hukum lingkungan dalam mengatasi persoalan
lingkungan hidup sangat menentukan karena mampu:
- 58 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
1.
Memberi efek pada kebijakan yang dirumuskan dalam
mendukung konsep pembangunan berkelanjutan.
2. Sebagai sarana penaatan melalui penerapan berbagai macam
sanksi (sanksi administrasi, pidana, dan perdata).
3. Memberi panduan kepada masyarakat mengenai tindakan
yang dapat ditempuh untuk melindungi hak dan
kewajibannya.
4. Memberi definisi tentang hak, kewajiban, dan perilaku yang
merugikan publik.
5. Memberi dan memperkuat mandat serta otoritas kepada
aparat pemerintah terkait untuk melaksanakan tugas
fungsinya.
Pada tahun 2003, telah dirumuskan dan diterbitkan beberapa
peraturan perundang-undangan, baik yang bersifat pengaturan maupun
penetapan, dan rancangan undang-undang (RUU) yang terkait dengan
lingkungan hidup.
Rencana peraturan perundang-undangan sektoral
yang terkait dengan lingkungan hidup, yang disusun pada tahun 2003.
No. Peraturan Perundang-Undangan
1.
RUU Perkebunan
2.
RPH Hutan Adat
3.
RUU Keolahragaan
4.
RPH Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta Reklamasi Hutan
5.
Revisi UU Pemerintah
- 59 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
6.
Revisi UU Penataan Ruang
7.
RPH Keselamatan Operasi pada Kegiatan Usaha Minyak dan
Gas Bumi
8.
RPH Perizinan Peneliti Asing
9.
RUU Penerbangan
10.
RUU Jalan
11.
RUU Lalu Lintas
12.
RUU Perkeretaapian
13.
RUU Pelayanan
14.
RUU Perikanan
15.
RUU Kepariwisataan
16.
RPP Persyaratan Bangunan Gedung
17.
RPP Penyelenggaraan Bangunan Gedung
18.
RPP Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan Bangunan
Gedung
19.
RPP Pembinaan Penyelenggaraan Bangunan Gedung
20.
RPP Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
21.
RKeppres Rencana Tata Ruang Wilayah Kawasan Perbatasan
Kalimantan, Serawak, Sabah
22.
RKeppres Rencana Rata Ruang Wilayah Sulawesi
23.
RKeppres Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa Bali
24.
RKeppres Rencana Tata Ruang Wilayah Kalimantan
25.
RKeppres Rencana Tata Ruang Wilayah Sumatera
- 60 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Rancangan peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup dalam
Rencana Strategis Kementerian Lingkungan Hidup.
No.
Peraturan
Perundang-Undangan
Tujuan
Status
1.
RUU tentang Pengelolaan
Sumber Daya Alam
Efektivitas
pengelolaan sumber
daya alam (PSDA)
sesuai dengan TAP
MPR.
Pembahasan
oleh berbagai
stakeholder di
tingkat pusat
dan daerah.
2.
Revisi UU Nomor 23
Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Optimalisasi
pengelolaan
lingkungan hidup di
daerah berkaitan
dengan
dikeluarkannya UU
Nomor 22 Tahun
1999.
Penyelenggara
an seminar
mengenai
pemikiran
perubahan
revisi.
3.
RUU tentang Pelestarian
dan Pemanfaatan Sumber
Daya Genetik
Optimalisasi
pemanfaatan sumber
daya alam hayati.
Pembahasan
oleh berbagai
stakeholder di
tingkat pusat.
4.
RUU tentang Keamanan
Hayati Produk Rekayasa
Genetik
Memberikan peluang
untuk menunjang
ketahanan pangan
dan peningkatan
kualitas hidup.
Pembahasan
antardepartemen.
- 61 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
5.
RPP tentang
Pendanaan Lingkungan
Mendorong penataan
terhadap peraturan
perundang-undangan.
Pembahasan
antardepartemen.
6.
RKeppres tentang
Penanggulangan Keadaan
Darurat Tumpahan
Minyak di Laut
Penguatan koordinasi
penanggulangan
tumpahan minyak
secara cepat dan
tepat.
Pembahasan
oleh berbagai
stakeholder di
tingkat pusat
dan daerah.
7.
RKeppres tentang
Pengelolaan Karst
Memberikan aturan
main terhadap
pengelolaan
lengkungan karst bagi
pemerintahan daerah.
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, “Status Lingkungan Hidup Indonesia
2005.”
Selain mengubah peraturan perundang-undangan yang telah
ada, Kementerian Lingkungan Hidup dalam rencana strategisnya juga
telah mengajukan proses ratifikasi terhadap berbagai ketentuan
penting dalam tingkat internasional di bidang lingkungan hidup untuk
dapat diterapkan di Indonesia.
- 62 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Rancangan peraturan perundang-undangan terkait ratifikasi terhadap
ketentuan internasional mengenai lingkungan hidup dalam
Rencana Strategis Kementerian Lingkungan Hidup.
No.
Perjanjian Internasional
Status
Pemrakarsa
1.
Cartagena Protocol tentang
Keanekaragaman Hayati
Dalam proses
ratifikasi.
Kementerian
Lingkungan
Hidup.
2.
Kyoto Protocol tentang
Perubahan Iklim
UndangUndang Nomor
17 Tahun 2004.
Kementerian
Lingkungan
Hidup.
3.
Asean Agreement on
Transboundary Haze
Pollution tentang
Asap Kebakaran Hutan
Dalam proses
ratifikasi.
Kementerian
Lingkungan
Hidup.
4.
Convention on the Prior
Informed Consent Procedure
for Certain Hazardous
Chemicals and Pesticides in
International Trade tentang
Penggunaan Pestisida
Sudah terdapat
dalam program
legislasi
nasional.
Kementerian
Lingkungan
Hidup.
5.
Convention on Persistent
Organic Pollutants tentang
Pengawasan Limbah Organik
Sudah terdapat
dalam program
legislasi
nasional.
Kementerian
Lingkungan
Hidup.
- 63 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
6.
Amandemen Protokol
Montreal tentang Substances
that Deplete the Ozone Layer,
dan Amandemen Beijing
tentang Perubahan Senyawa
Perlindungan Lapisan Ozon
Dalam proses
ratifikasi.
Kementerian
Lingkungan
Hidup.
7.
London Convention 1872 on
the Prevention of Marine
Pollution by Dumping of
Wastes and Other Matter
tentang Pencemaran Laut
Dalam proses
ratifikasi.
Kementerian
Lingkungan
Hidup, dan
Perhubungan
Laut.
8.
Convention on Oil Pollution
Preparedness Response and
Cooperation tentang
Pencemaran Minyak
Dalam proses
ratifikasi.
Kementerian
Lingkungan
Hidup, dan
Perhubungan
Laut.
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, “Status Lingkungan Hidup Indonesia
2005.”
Dalam jangka pendek, kebijakan hukum pengelolaan
lingkungan hidup termuat dalam Rencana Strategis (Renstra)
Kementerian Negara Lingkungan Hidup Tahun 2005-2009 yang
disusun sebagai bahan acuan dalam menyusun rencana kerja tahunan,
rencana kinerja, dan laporan akuntabilitas kinerja Kementerian Negara
Lingkungan Hidup.
- 64 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Renstra Kementerian Negara Lingkungan Hidup disusun
dengan memperhatikan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Peraturan
Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2004-2009, Kesepakatan Nasional dan
Rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan, dan perjanjianperjanjian internasional di bidang lingkungan hidup. Renstra
Kementerian Negara Lingkungan Hidup selanjutnya ditetapkan
melalui Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 04
Tahun 2005 tentang Rencana Strategis Kementerian Lingkungan
Hidup Tahun 2005-2009.
Tujuan dan sasaran Renstra Kementerian Negara Lingkungan
Hidup Tahun 2005-2009 ialah:
1. Mewujudkan perbaikan kualitas fungsi lingkungan hidup
dengan sasaran:
a. Penurunan beban pencemaran lingkungan meliputi
air, udara, atmosfir, laut dan tanah;
b. Penurunan laju kerusakan lingkungan hidup yang
meliputi sumber daya air, hutan dan lahan, keanekaragaman hayati, energi, atmosfir serta ekosistem
pesisir laut;
c. Terintegrasinya dan diterapkannya pertimbangan
pelestarian dan fungsi lingkungan dalam perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan serta pengawasan
pemanfaatan ruang dan lingkungan;
d. Peningkatan kepatuhan pelaku pembangunan untuk
menjaga kualitas fungsi lingkungan hidup.
- 65 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
2.
Mewujudkan tata kepemerintahan yang baik di bidang
pengelolaan lingkungan hidup, dengan sasaran terwujudnya
pengarusutamaan prinsip-prinsip tata kepemerintahan dalam
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di
pusat dan di daerah.
3. Meningkatkan kapasitas Kementerian Negara Lingkungan
Hidup yang handal dan proaktif dalam pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan hidup, dengan sasaran
terwujudnya peningkatan kapasitas Kementerian Negara
Lingkungan Hidup dalam melaksanakan tugas pokok dan
fungsi.
Strategi dan kebijakan di dalam Renstra Kementerian Negara
Lingkungan Hidup Tahun 2005-2009 ialah:
1. Strategi pencapaian tujuan mewujudkan perbaikan kualitas
fungsi lingkungan hidup, dengan sasaran:
a. Penurunan beban pencemaran lingkungan meliputi
air, udara, atmosfer, laut, tanah melalui kebijakan
peningkatan pengendalian pencemaran lingkungan
untuk mendorong sumber pencemar memenuhi baku
mutu, menggunakan bahan baku yang ramah
lingkungan dan meningkatkan kapasitas daerah di
bidang pengendalian pencemaran;
b. Penurunan laju kerusakan lingkungan (sumber daya
air, hutan dan lahan, keanekaragaman hayati, energi,
atmosfer serta ekosistem, pesisir laut), melalui
kebijakan peningkatan konservasi sumber daya alam
dan pengendalian kerusakan lingkungan, kebijakan
- 66 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
2.
3.
insentif dan disinsentif serta membangun income
generating masyarakat dalam menunjang keberhasilan
konservasi dan pemulihan kerusakan lingkungan;
c. Terintegrasinya dan diterapkannya pertimbangan
pelestarian fungsi lingkungan dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan serta pengawasan pemanfaatan ruang dan lingkungan melalui kebijakan
pengaturan wujud struktural dan pola pemanfaatan
lingkungan dengan pendekatan penataan ruang,
pengkajian dampak lingkungan dan peningkatan
kapasitas kelembagaan;
d. Peningkatan kepatuhan pelaku pembangunan untuk
menjaga kualitas fungsi lingkungan, melalui
kebijakan penegakan hukum lingkungan terhadap
sumber pencemar dan perusak lingkungan.
Strategi pencapaian tujuan mewujudkan tata kepemerintahan yang baik di bidang pengelolaan lingkungan
hidup, dengan sasaran terwujudnya pengarusutamaan
prinsip-prinsip tata kepemerintahan dalam pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup di pusat dan
daerah, melalui kebijakan penguatan kapasitas kelembagaan
lingkungan hidup, penguatan akses masyarakat tentang
informasi lingkungan hidup, penguatan pemberdayaan
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan.
Strategi pencapaian tujuan meningkatkan kapasitas
Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang handal dan
proaktif dalam pengelolaan sumber daya alam dan
- 67 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
lingkungan hidup dengan sasaran terwujudnya peningkatan
kapasitas Kementerian Negara Lingkungan Hidup dalam
melaksanakan tugas pokok dan fungsi. 1
Dari serangkaian rencana jangka panjang, menengah, dan
pendek dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup tersebut di atas,
pengaruh otonomi daerah juga dirasakan sangat kental dalam pola
pengelolaan lingkungan hidup saat ini. Pada akhirnya dapat
disimpulkan, walaupun perlahan, arah pengelolaan lingkungan hidup
di Indonesia mulai menerapkan suatu pola yang berkelanjutan yang
ditunjang dengan kebijakan di bidang regulasi. Harapannya ialah
bahwa akan terjadi perubahan dalam pola pengelolaan lingkungan
hidup saat ini di Indonesia menuju ke arah yang lebih baik,
terintegrasi, dan berkelanjutan.
B. Potret Kebijakan Lingkungan Hidup Indonesia
Dalam upaya memahami kebijakan hukum lingkungan di
Indonesia secara lebih utuh, maka perlu digambarkan bagaimana
potret kebijakan yang pernah dan sedang berlaku, serta bagaimana
sebaiknya sifat dan corak kebijakan hukum itu dibangun ke depan.
Asep Warlan Yusuf dalam tulisannya mengklasifikasikan jenis
kebijakan sebagaimana akan dijelaskan berikut ini. 2
1
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, “Status Lingkungan Hidup
Indonesia 2005.”
2
Asep Warlan Yusuf, “Potret Sifat dan Corak Kebijakan Hukum (Legal
Policy) di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia,” Jurnal Legality
Universitas Muhamadiyah Malang.
- 68 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
1. Sifat Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan
Hidup
a. Bersifat insidental.
Penyebab kelahiran suatu peraturan perundangan-undangan
mengenai lingkungan tidak jarang ditandai oleh sifat reaktif
terhadap suatu kejadian (kasus) yang bersifat insidental.
Sifat reaktif dari aturan yang sekedar berupaya merespon
peristiwa lingkungan inilah yang sering mengakibatkan
peraturan tersebut hanya “berumur pendek” dengan
penyelesaian yang juga bersifat ad hoc. Oleh karena
terbitnya perundang-undangan tadi didasarkan pada situasi
dan kondisi konkret, maka ciri kebijakan hukum
lingkungannya pun bersifat insidental. Produk peraturan
yang tadinya belum direncanakan untuk jangka panjang,
akhirnya perangkat hukum itu dikeluarkan karena terdesak
oleh keadaan yang segera mungkin harus diatasi dengan
perangkat peraturan. Misalnya, lahirnya peraturan yang
dilatarbelakangi oleh adanya suatu wabah penyakit, masalah
kesehatan lingkungan, ataupun karena timbulnya
pencemaran di mana-mana oleh industri tertentu. Sifat
peraturan perundang-undangan seperti itu sudah tentu tidak
akan luwes dalam jangka waktu lama (tidak mampu
mencakup kebutuhan-kebutuhan perkembangan zaman),
karena cakupan yang ditata hanya mampu menjangkau
kepentingan-kepentingan saat itu (saat adanya kebutuhan
yang mendesak).
- 69 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
b.
Bersifat komersial.
Kebijakan dalam membentuk peraturan perundangundangan tidak selalu ditujukan untuk mengatur
perlindungan terhadap kualitas fungsi daya dukung dan
daya tampung lingkungan agar tetap tinggi atau setidaknyatidak menurun secara signifikan. Ada pula peraturan yang
dibentuk hanya bersifat formalitas, sehingga hanya akan
merupakan pengaturan lingkungan yang memberikan
petunjuk umum secara garis besar dan bahkan terkadang
parsial. Adapun pengaturan tentang pengelolaan lingkungan
yang sebenarnya diserahkan kepada masing-masing
peraturan perundang-undangan sektor-sektor kegiatan,
seperti kehutanan, pertambangan, industri, pekerjaan umum,
atau perumahan. Cara ini tentunya hanya melihat
pengelolaan lingkungan dari kaca mata kepentingan sektor
yang bersangkutan, pada umumnya terutama dalam rangka
pembangunan ekonomi yang menjadi panglimanya. Dengan
demikian, peraturan perundang-undangan lingkungan hanya
merupakan minority regulation yang mendukung
perundang-undangan sektoral, misalnya pada tahun-tahun
awal Orde Baru, hal yang demikian amat kentara dalam
rumusan Undang-Undang tentang Kehutanan, UndangUndang tentang Pertambangan, atau Undang-Undang
tentang Penanaman Modal Asing. Jadi, kebijakan
perundang-undangan itu hanya bersifat komersial.
- 70 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
c.
Bersifat parsial.
Ciri-ciri dari suatu kebijakan perundang-undangan di
bidang lingkungan hidup yang bersifat parsial ialah berarti:
1. Masalah lingkungan dilihat hanya sebatas pengaturan
isu yang berdiri sendiri-sendiri, seolah tidak ada kaitan
dengan isu lainnya. Misalnya, pada isu kerusakan hutan
yang dipersepsi hanya sebagai masalah kerusakan
pohon (kayu). Padahal hal tersebut juga terkait dengan
masalah tata air, banjir, longsor, dan bahkan kerusakan
situs budaya.
2. Cara pengaturannya pun tidak sistematis dan terpadu,
lebih terkesan menonjolkan sektornya masing-masing,
sehingga terjadi “ego sektor.”
3. Tidak terjadi interaksi, interdependensi, interkoneksi,
dan interrelasi antara satu isu lingkungan dengan isu
yang lain. Misalnya, Peraturan Menteri X melarang
suatu aktivitas, tetapi Peraturan Menteri Y justru
membolehkannya.
4. Sulit untuk melihat masalah lingkungan sebagai suatu
yang komprehensif, terintegrasi, dan holistik. Misalnya,
lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 jo. Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2005 yang membolehkan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung, yang
sebenarnya oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan telah dilarang.
- 71 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
d.
e.
Bersifat sektoral atau departmental.
Pada dasarnya, kebijakan perundang-undangan lingkungan
yang bersifat sektoral atau departmental ini hampir serupa
dengan yang bersifat parsial sebagaimana telah dijelaskan di
atas. Ciri inilah yang paling banyak menandai peraturan
perundang-undangan lingkungan di Indonesia. Selain dapat
dimaklumi bahwa pelaksanaan praktis dari suatu kegiatan
bermuara pada masing-masing sektor atau departemen, hal
itu juga disebabkan karena setiap departemen diberi
wewenang teknis untuk menetapkan peraturan-peraturan
yang berkaitan dengan tugasnya masing-masing. Dengan
kata lain, kebijakan sektoral atau departmental ini ialah
bercirikan:
1. Masalah lingkungan hanya dilihat dari sudut pandang
sektoral.
2. Pengaturan pengelolaan lingkungan diatur oleh masingmasing sektor.
3. Apabila tidak ada koordinasi, maka sering timbul
konflik kewenangan, overlapping, dan tarik-menarik
kepentingan di antara sektor.
4. Berpotensi untuk terjadi disharmoni dan inkonsistensi
dalam pengambilan kebijakan di bidang lingkungan.
Perangkat jalan pintas.
Terdapat suatu kecenderungan dalam praktik, di mana
beberapa bentuk regulasi yang seharusnya secara
substansial membutuhkan tingkatan regulasi yang lebih
tinggi, katakanlah dengan bentuk undang-undang, tetapi
- 72 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
dalam beberapa hal, kebutuhan tersebut justru hanya dibuat
dalam bentuk peraturan di bawah undang-undang, misalnya
hanya berupa peraturan pemerintah, keputusan presiden,
dan peraturan menteri, yang tidak perlu melibatkan
parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)). Kebijakan
jalan pintas ini secara ringkas bercirikan:
1. Pengaturan lingkungan sering diterabas oleh produk
yang mudah diterbitkan.
2. Penyelesaian masalah lingkungan selalu didasarkan
pada kesepakatan (joint policy) para pengambil
kebijakan, misalnya melalui surat keputusan bersama.
3. Pengaturan lingkungan lebih bersifat teknis operasional.
4. Pengaturan lingkungan lebih mengutamakan faktor
efektivitas dan efisiensi.
5. Produk hukum tidak didasarkan pada pengkajian yang
komprehensif dan mendalam.
Cara negatif yang berwujud jalan pintas ini ditempuh
karena adanya faktor-faktor berikut:
1. Adanya kebutuhan akan perangkat hukum yang
mendesak.
2. Menghindari waktu yang berlarut-larut untuk
menunggu terbitnya peraturan yang lebih tinggi,
sehingga ditempuh jalan pintas dengan menggodok
peraturan menteri atau keputusan presiden. Cara ini
dianggap lebih praktis dibandingkan dengan menerbitkan sebuah undang-undang yang dibuat oleh
- 73 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
f.
Presiden dengan persetujuan DPR, yang sudah tentu
prosesnya memakan waktu yang lama dan membutuhkan banyak biaya.
3. Motivasi sosial politis.
4. Anggaran biaya yang tidak mencukupi untuk
memproduksi undang-undang.
5. Faktor kekurangtangkasan para aparat yang berkompeten.
Bersifat komprehensif, kohesif, dan konsisten.
Berdasarkan penjelasan pada butir a sampai dengan e
tersebut di atas, maka pertanyaan yang muncul kemudian
ialah: bagaimanakah suatu peraturan perundang-undangan
lingkungan hidup itu seharusnya dibangun? Secara teoretis,
substansi dan rancang bangun peraturan perundangundangan di bidang lingkungan hidup memiliki ciri:
1. Komprehensif, artinya substansi perundang-undangan
ini memuat setiap aspek dari pengelolaan lingkungan,
yaitu meliputi antara lain: inventarisasi, perencanaan,
perlindungan, pencegahan, pemanfaatan, penanggulangan, pemulihan, pelestarian, konservasi, kelembagaan, partisipasi masyarakat, desentralisasi,
pengawasan, pengendalian, perizinan, sumber daya
manusia, standar, baku mutu, instrumen ekonomi, dan
menginternalisasi komitmen global.
2. Kohesif, artinya senantiasa dikembangkan keterpaduan,
keterkaitan, keterlekatan, keterhubungan, dan ketergantungan antara perundang-undangan lingkungan
- 74 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
3.
dengan sektor-sektor lainnya yang berada di bawah
naungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Sebagai contoh, di Belanda terdapat apa yang disebut
sebagai National Environmental Policy Plan (NEPP).
Konsisten, artinya bahwa setiap produk perundangundangan di bidang lingkungan hidup senantiasa harus
mengedepankan selain good process yang artinya
dibentuk dengan melibatkan pemangku kepentingan
(stakeholders) seluas mungkin secara genuine, juga
good norms yang artinya tepat jenis perundangundangannya, dibuat oleh lembaga yang tepat pula,
serta mampu menjabarkan dengan jelas (clearly)
prinsip-prinsip good environmental governance dan
good sustainable development governance ke dalam
norma yang enforceable, sehingga Undang-Undang
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ini dapat
dijadikan atau berfungsi sebagai “payung hukum” bagi
kegiatan yang dilakukan oleh sektor lainnya yang
terkait dengan isu lingkungan hidup, seperti sektor
pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan perikanan.
2. Corak
Kebijakan
Peraturan
Perundang-Undangan
Lingkungan Hidup
Lazimnya pada saat perumusan suatu kebijakan lingkungan
hidup terdapat 2 (dua) pertanyaan utama yang timbul dalam melihat
keberlakuan dari kebijakan tersebut. Pertama ialah mempertanyakan
pada tingkatan apakah perlindungan lingkungan hidup ingin
- 75 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
dilakukan? Dan ke dua ialah kebijakan apakah yang tepat dalam
rangka mencapai tingkatan tersebut? 3 Hal ini menjadi penting untuk
dipahami sejak dari awal untuk menghindari adanya ketidaktepatan
pemilihan instrumen hukum dalam rangka mengatasi suatu
permasalahan tertentu. 4
a. Regulasi bersifat environmental policy.
Menurut Lawrence E. Susskind, paling tidak ada 6 (enam)
aspek karakteristik keberhasilan dalam merumuskan
kebijakan lingkungan, yaitu 5:
1. Defined a policy problem in a way that was
particularly helpful to policy makers;
2. Described the full range of possible policy respons;
3. Overcome resistance to change on the part of the
relevant regulatory agency;
4. Provided important opportunities for all stakeholders
to participate;
5. Worked to enhance the legitimacy of the particular
actions or changes suggested, and;
6. Helped ensure that adequate resources would be
avalaible for policy implementation.
3
Nathaniel O. Keohane et al, “The Choice of Regulatory Instruments in
Environmental Policy,” Harv. Envtl. L. Rev. (1998).
4
Keberadaan beragam instrumen hukum yang terdapat dalam pembahasan
sebelumnya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh Pemerintah Indonesia untuk
memilih instrumen hukum yang tepat. Proses ini sering disebut juga dengan istilah
scanning, yang menggambarkan proses untuk mengidentifikasi terlebih dahulu
tujuan utama serta tingkatan yang hendak dicapai dari sebuah kebijakan.
5
Lawrence E. Susskind, Better Environmental Policy Studies (London:
Island Press, 2001), hlm. xii.
- 76 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
b.
Sifat dari regulasi-regulasi yang semata-mata hanya untuk
satuan-satuan lingkungan (ekosistem), termasuk sistemsistem kebijakan yang berhubungan dengan itu, yang
disebut dengan environmental policy. Faktor yang
ditekankan di sini ialah kebutuhan diregulasikannya
berbagai produk perundang-undangan yang khusus ditujukan untuk menata sistem lingkungan.
Regulasi bersifat integral policy.
Pengaturan pengelolaan lingkungan hidup tidak sematamata ditujukan untuk kepentingan lingkungan saja,
melainkan perlu dikaitkan dengan kepentingan sektor
lainnya, seperti pariwisata, perindustrian, transmigrasi,
perdagangan,
pekerjaan
umum,
perumahan,
dan
transportasi. Dalam kebijakan penataan regulasi ini, sektor
non lingkungan hidup dapat menjadi porsi utama dari tujuan
pembuatan peraturan perundang-undangan, tetapi tetap
perlu pula diperhatikan dan dirumuskan beberapa pasal
(ketentuan) mengenai konservasi lingkungan yang
memadai.
Meskipun demikian, pengintegrasian kepentingan lingkungan (prinsip pembangunan berkelanjutan dan
perlindungan) kepada kebijakan lingkungan harus tetap
mensyaratkan adanya koherensi antara keduanya,
sebagaimana dinyatakan oleh Dietr Helm, yang mengingatkan bahwa “taking the environment seriously is a
necessary but not sufficient step towards an environment
policy,” oleh karena itu lanjutnya “… to provide coherence,
- 77 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
c.
the policy requires clear objectives and targets that derive
from it. It also requires an appropriate set of instruments
and a set of institutions capable of implementing it.”
Regulasi bersifat supporting policy/beyond policy.
Persoalan kebijakan lingkungan nampaknya tidak hanya
cukup diselesaikan dari aspek hukum semata, melainkan
juga melingkupi nilai etik, serta bahkan hubungan antara
manusia dan alamnya. Dalam konteks ini Daniel H.
Henning menggambarkan bahwa “Given the general
environmental value placed harmony between man and
nature, it is appropriate to recognize the complexities,
intensities, and varieties of individual interpretations given
as they relate to environmental policy.”
Regulasi hukum di semua sektor, sepanjang masih mampu
dilibatkan untuk mendorong ditingkatkannya partisipasi
pembinaan lingkungan, itulah yang disebut dengan
supporting policy atau beyond policy. Sifat ke tiga ini lebih
diharapkan mampu untuk mendorong faktor pembinaan
lingkungan. Misalnya, mencintai lingkungan dan alam
dapat diajarkan baik melalui intrakurikuler atau
ekstrakurikuler di berbagai sekolah, juga diaktifkannya
lembaga swadaya masyarakat (LSM), digiatkannya
swadaya masyarakat berupa partisipasi sosial, spontanitas
masyarakat, kelompok agama, dan kelompok pemuda, serta
lain-lain motivasi yang digerakkan oleh keputusankeputusan departmental. Dengan kata lain, yang perlu untuk
diupayakan ialah tindakan-tindakan berupa:
- 78 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
1.
Pengaturan lingkungan dilakukan mulai dari
membangun budaya hukum masyarakat.
2. Pengaturan lingkungan lebih diarahkan pada penaatan
sukarela.
3. Pengaturan lingkungan lebih menyertakan penguatan
civil society dan pelaku ekonomi.
4. Pemerintah hanya berfungsi sebagai regulator,
fasilitator, dan aparat penegakan hukum.
Dilihat dari ketiga corak kebijakan seperti dijelaskan di atas,
nampaklah bahwa pada prinsipnya semua departemen atau sektor
terlibat dan mempunyai sangkut-paut dalam hal penataan legislasi
hukum lingkungan. Dengan kata lain, semua produk kebijakan atas
bidang-bidang pemerintahan atau nonpemerintah dapat dikelompokkan melalui ketiga corak legislasi di atas, dan satu dengan yang
lainnya hendaknya harus saling menunjang.
Khusus mengenai aturan di bidang lingkungan hidup yang
hadir di Indonesia, sebagian besar memang didominasi pada aturan
yang bertumpu pada mekanisme command and control. 6 Memang
tidak ada yang salah dengan mekanisme command and control, namun
alih-alih mencapai efektivitas hukum sering tidak tercapai sesuai
kehendak dan diperburuk lagi dengan biaya yang sangat mahal dalam
implementasi regulasi tersebut.
6
Mekanisme command and control merupakan suatu bentuk kebijakan atau
pengaturan di bidang lingkungan hidup yang bersandar pada kekuatan regulasi dan
institusi semata. Command mengacu pada adanya batas atau penentuan tolok ukur
terhadap kondisi tertentu, seperti pencemaran dan perusakan. Sedangkan control
menggambarkan proses pengawasan serta penegakan aturan terhadap parameter tadi.
Michael Faure and Goran Skogh, The Economic Analysis of Environmental Policy
and Law (United Kingdom: Edward and Elgar Publishing, 2003), hlm. 55.
- 79 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Selain pembahasan tersebut, untuk menambah pengetahuan,
maka penulis akan menjelaskan pula kerangka teori lainnya selain
yang bersifat normatif seperti yang telah dijelaskan di atas.
Dalam ranah teori ilmu hukum, proses analisis dapat dilakukan
dengan berbagai perspektif. Dalam buku yang ditulis oleh Llyod dan
Freeman yang berjudul Llyod’s Introduction to Jurisprudence,
dipaparkan paling tidak ada 8 (delapan) pendekatan yang dikenal
dalam ilmu hukum, yaitu mulai dari pendekatan hukum alam (natural
law) sampai dengan pendekatan marxis (marxist theories of law and
state). Dari 8 (delapan) pendekatan yang ada tersebut, salah satu
kajian yang menarik ialah pendekatan untuk mengkaji hukum atas
dasar analisis ekonomi (economic analysis of law). 7
Pendekatan ekonomi terhadap hukum timbul di Amerika
Serikat pada awal tahun 1960-an melalui karya-karya dari Ronald
Coase, Guido Calabresi, dan Richard Posner. Pendekatan ekonomi
tumbuh dari gerakan realisme Amerika Serikat yang mana gerakan ini
mencoba melihat hukum atau menjelaskan hukum dari pendekatan
nonhukum, seperti ekonomi. 8 Selanjutnya, pendekatan ini dianggap
sebagai sebuah teori.
Menurut Victor Purba, teori ini secara garis besar berhubungan
dengan keabsahan suatu peraturan yang dipengaruhi oleh gerak dan
tindakan-tindakan para pihak, termasuk kebijakan birokrasi terutama
yang berhubungan dengan kepentingan yang menyangkut net social
7
Secara umum dapat dilihat pada Lord Llyod of Hampstead dan M.D.A.
Freeman, Lloyd’s Introduction to Jurisprudence, 5th. Ed. (London: Stevens and
Sons, 1985).
8
Hilaire McCoubrey and Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence
(Blackstone Press Limited, 1993), hlm. 275.
- 80 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
benefit. 9 Robert Cooter dan Thomas Ulen dalam bukunya Law and
Economics menyatakan: “Economics provided a scientific theory to
predict the effects of legal sanctions on behavior. To economist,
sanctions look like prices, and presumably, people respond to these
sanctions much as they respond to prices. People respond to higher
prices by consuming less of the more expensive good, so presumably
people respond to heavier legal sanctions by doing less of the
sanctioned activity. Economics has mathematically precise theories
(prices theory and game theory) and empirically sound methods
(statistics and econometrics) of analyzing the effects of prices on
behavior.” 10
Pendapat Robert Cooter dan Thomas Ulen tersebut
memberikan pemahaman bahwa antara dampak harga, baik tinggi atau
mahal, terhadap perilaku memberikan pengaruh yang sangat
signifikan. Hal ini kemudian diadopsi juga dalam kaitannya dengan
penerapan sanksi, di mana sanksi yang berat atau ringan akan
berdampak juga kepada perilaku dari orang yang akan menerima saksi
tersebut. Sejalan dengan pendapatnya ini, dia juga memberikan suatu
pendapat atas hukum dengan menggunakan pendekatan ekonominya.
Menurut Robert Cooter dan Thomas Ulen, ilmu ekonomi
menetapkan standar normatif untuk mengevaluasi hukum dan
kebijakan. Hukum hendaknya tidak hanya dipandang sebagai suatu
teknik berargumen, hukum ialah instrumen untuk mendorong tujuan
kepentingan sosial. Agar dapat diketahui bahwa hukum mempunyai
9
Victor Purba, Kontrak Jual Beli Barang Internasional (Konvensi Vienna
1980) (Jakarta: UI Press, 2002), hlm. 14.
10
Robert Cooter and Thomas Ulen, Law and Economics (New York:
Addison Wesley Longman Inc., 1999), hlm. 3.
- 81 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
tujuan ini, hakim dan para pembentuk hukum lainnya harus
mempunyai metode mengevaluasi hukum yang berdampak pada nilai
kepentingan sosial. Ilmu ekonomi memprediksi dampak kebijakan
pada efisiensi. Efisiensi selalu relevan untuk membuat kebijakan,
karena itu selalu lebih baik mendorong setiap kebijakan yang
mempunyai biaya rendah daripada biaya tinggi. 11
Analisis ekonomi ialah menentukan pilihan dalam kondisi
kelangkaan (scarcity). Dalam kelangkaan ekonomi, mengasumsikan
bahwa individu atau masyarakat akan atau berusaha untuk
memaksimalkan apa yang mereka ingin capai dengan melakukan
sesuatu sebaik mungkin dalam keterbatasan sumber. Dalam
hubungannya dengan positive analysis dari hukum, analisis akan
bertanya bila kebijaksanaan (hukum) tersebut dilaksanakan, prediksi
apa yang dapat dibuat yang mempunyai akibat ekonomi. Orang akan
memberikan reaksi terhadap inisiatif atau disinsentif dari
kebijaksanaan (hukum) tersebut. Normative analysis yang secara
konvensional diartikan sebagai welfare economics cenderung akan
bertanya apakah kebijaksanaan (hukum) yang diusulkan atau
perubahan hukum yang dilakukan akan berpengaruh terhadap cara
orang untuk mencapai apa yang diinginkan?
Sehubungan dengan penjelasan tersebut, 2 (dua) konsep
efisiensi menjadi penting, yaitu: Pareto efficiency (nama seorang ahli
ekonomi Italia abad lalu), dan Kaldor-Hicks efficiency (nama 2 (dua)
orang ahli ekonomi Inggris).
11
Ibid.
- 82 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Pareto efficiency akan bertanya apakah kebijaksanaan atau
perubahan hukum tersebut membuat seseorang lebih baik dengan
tidak mengakibatkan seseorang lainnya bertambah buruk?
Sebaliknya, Kaldor-Hicks efficiency akan mengajukan
pertanyaan apakah kebijaksanaan atau perubahan hukum tersebut akan
menghasilkan keuntungan yang cukup bagi mereka yang mengalami
perubahan itu, sehingga secara hipotesis, dapat memberikan
kompensasi kepada mereka yang dirugikan akibat kebijaksanaan atau
perubahan hukum tersebut? Pendekatan yang terakhir ini ialah cost
benefit analysis. 12
Dalam praktiknya, analisis ekonomi terhadap hukum ini
mendapat penentangan dari mereka yang menganut paham
positivisme. Alasan penentangan ini didasarkan pada argumentasi
bahwa hukum dianggap sebagai peraturan perundang-undangan yang
tertulis yang berisikan norma-norma, di antaranya norma keadilan.
Pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum terlalu menekankan
kepada cost benefit ratio yang kadang-kadang tidak mendatangkan
keadilan. Konsentrasi ahli ekonomi yang tertuju kepada efisiensi,
tidak terlalu merasakan perlunya unsur keadilan (justice). 13
Penentangan tersebut dengan mendalihkan pada tidak adanya
perhatian pada aspek keadilan dari para pemikir analisis ekonomi
terhadap hukum rupanya dibantah oleh para pemikir analisis ekonomi
terhadap hukum. Bantahan ini dilakukan dengan mengemukakan
alasan-alasan, yaitu:
12
Michael J. Trebilcock, “Law and Economics,” The Dalhousie Law
Journal (Vol. 16, No. 2, fall 1993): 361-363.
13
Ibid.
- 83 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Pertama, bahwa tidak benar ekonom tidak memikirkan
keadilan. Dalam usaha menentukan klaim normatif mengenai
pembagian pendapatan dan kesejahteraan, seseorang mesti memiliki
filosofi politik melebihi pertimbangan ekonomi semata-mata.
Ke dua, ekonomi menyediakan kerangka di dalam mana
pembahasan mengenai keadilan dapat dilakukan. Para ekonom telah
memperlihatkan bahwa jika kondisi-kondisi untuk adanya pasar yang
kompetitif memuaskan, hasil yang diperoleh ialah efisiensi pareto.
Sama saja, setiap hasil dari efisiensi pareto dapat dikembangkan dari
distribusi aset lebih dulu yang menimbulkan kondisi yang
kompetitif. 14
Salah satu contoh penggunaan analisis ekonomi terhadap
hukum, khususnya dalam hukum internasional, misalnya ialah dalam
kajian terhadap keberadaan perjanjian lingkungan internasional
(multilateral environmental agreements). Dalam perspektif pendekatan ekonomi terhadap hukum, terdapat beberapa premis
rasionalitas utama dalam pendekatan teoretis yang menjadi landasan
berfikir suatu negara untuk taat atau tidak taat terhadap suatu tindakan
dalam hukum internasional, yaitu:
1. Negara ialah aktor utama dalam sistem hukum internasional;
2. Negara dalam melaksanakan hubungan internasional tidak
perlu dikonstruksikan dalam hubungan subordinat dalam
rangka melakukan kerja sama;
14
Ibid.
- 84 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
3.
Setiap negara selalu bersifat egois dan akan berusaha
semaksimal mungkin untuk mencapai kepentingan negaranya masing-masing, dan;
4. Setiap negara selalu bertindak rasional dengan latar
belakang pemikiran untung rugi yang telah diproyeksi
dalam segala bentuk tindakan dalam ranah internasional. 15
Secara ekstrim, analisis ekonomi terhadap hukum mencoba
mengkritik eksistensi dari mekanis command and control yang
berbasis pada regulasi semata. Paling tidak, terdapat 4 (empat) kritik
yang disampaikan dalam konteks ini. Pertama, para pemikir analisis
ekonomi menganggap biaya yang akan dikeluarkan dalam mekanisme
command and control dianggap akan lebih besar daripada keuntungan
yang akan diraih dalam proses penaatan peraturan tersebut. 16 Ke dua,
sering peraturan yang berbasis command and control memberikan
standar yang ketat untuk jenis-jenis sumber pencemaran baru sehingga
sumber-sumber pencemaran lama tidak mampu untuk ditekan laju
15
Sedangkan menurut Hikmahanto Juwana, terdapat paling tidak 3 (tiga)
peran hukum internasional terhadap dunia usaha, yaitu: 1. Hukum internasional
sebagai alat intervensi; 2. Hukum internasional sebagai sarana untuk melindungi
kepentingan dunia usaha pada tingkat nasional negara tertentu, dan; 3. Hukum
internasional sebagai sarana untuk memfasilitasi dunia usaha go internasional.
Hikmahanto Juwana, “Relevansi Hukum Internasional bagi Dunia Usaha Indonesia”
(makalah pada Diskusi Ilmiah Refleksi 5 Tahun I.J.I.L., Peranan Hukum
Internasional bagi Kepentingan Nasional, Jakarta, 23 Oktober 2008). Lihat juga
Robert O. Keohane, “After Hegemony: Cooperation and Discord in the World
Political Economy,” (1984), dan juga Kenneth W. Abbott, “Modern International
Relations Theory: A Prospectus for International Lawyers,” Yale J. International
(1989): 346-350.
16
W. David Montgomery, “Markets in Licenses and Efficient Pollution
Control Programs,” J. Econ. Theory: 395.
- 85 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
pencemarannya. 17 Ke tiga, dalam beberapa kasus tertentu kehadiran
instrumen ekonomi yang berbasis insentif dan disinsentif memiliki
efektivitas lebih tinggi. 18 Terakhir, ke empat, dalam kondisi tertentu
peraturan yang berbasis pada mekanisme command and control sering
tidak stabil karena sangat terpengaruh dengan kondisi politik tertentu
pada zamannya. 19
Gambaran di atas dapat menunjukkan bahwa salah satu
sumbangan penting dari pemikiran analisis ekonomi terhadap hukum
ialah dengan memberikan perspektif dan pola analisis yang berbeda
dengan pendekatan yang lain, sehingga berujung tidak hanya pada
premis efektivitas hukum semata tetapi juga pada efisiensi.
C. Reformasi Undang-Undang mengenai Lingkungan Hidup
Sejak tanggal 3 Oktober 2009, Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah dicabut, dan
dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-undang itu kemudian diganti
dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Undang-Undang
tentang PPLH). Undang-Undang tentang PPLH ini terdiri dari 17
(tujuh belas) bab dan 127 (seratus dua puluh tujuh) pasal yang
mengatur secara lebih menyeluruh tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
17
Matthew D. McCubbins et al, “Structure and Process, Politics, and
Policy: Administrative Arrangements and the Political Control of Agencies,” Va. L.
Rev.: 431.
18
Martin L. Weitzman, “Prices v. Quantities,” Rev. Econ. Stud.: 485-490.
19
Robert W. Hahn, “Economic Prescriptions for Environmental Problems:
How the Patient Followed the Doctor's Orders,” J. Econ. Persp. (Spring 1989): 101.
- 86 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ialah adanya
penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang
baik, karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen
pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta
penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian
aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan.
Beberapa point penting dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009, antara lain:
1. Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
2. Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
3. Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
4. Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi instrumen
kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu
lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL),
upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan
lingkungan hidup, perizinan, instrumen ekonomi
lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis
lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup,
analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain yang
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi;
5. Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;
- 87 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
6.
7.
Pendayagunaan pendekatan ekosistem;
Kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global;
8. Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi,
akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hakhak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
9. Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara
lebih jelas;
10. Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif, dan;
11. Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup
dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 memberikan
kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan seluruh
kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi lain.
Melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ini juga pemerintah
pusat memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah
daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup di daerah masing-masing, yang tidak diatur dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 1997.
Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ini tidak cukup
hanya suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi
pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi dengan
- 88 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
portofolio menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Selain itu, lembaga tersebut diharapkan juga mempunyai ruang
lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk
kepentingan konservasi. Untuk menjamin terlaksananya tugas pokok
dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan dukungan pendanaan dari
anggaran pendapatan dan belanja negara yang memadai untuk
pemerintah pusat, dan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang
memadai untuk pemerintah daerah.
Yang dimaksud dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
meliputi:
1. Aspek perencanaan yang dilakukan melalui inventarisasi
lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion dan
penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (RPPLH).
2. Aspek pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan
berdasarkan RPPLH. Tetapi dalam undang-undang ini telah
diatur bahwa jika suatu daerah belum menyusun RPPLH,
maka pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan
berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup.
3. Aspek pengendalian terhadap pencemaran dan kerusakan
fungsi lingkungan hidup yang meliputi pencegahan,
penanggulangan, dan pemulihan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 juga memasukkan
pengaturan beberapa instrumen pengendalian baru, antara lain: Kajian
- 89 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), tata ruang, kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup, AMDAL, Upaya Pengelolaan
Lingkungan–Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL), perizinan,
instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan
berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup,
analisis risiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, dan
instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu
pengetahuan.
Pemeliharaan lingkungan hidup yang dilakukan ialah melalui
upaya konservasi sumber daya alam, pencadangan sumber daya alam,
dan/atau pelestarian fungsi atmosfer. Aspek pengawasan dan
penegakan hukum meliputi: pengaturan sanksi yang tegas (pidana dan
perdata) bagi pelanggaran terhadap baku mutu, pelanggar AMDAL
(termasuk pejabat yang menerbitkan izin tanpa AMDAL atau UKLUPL), pelanggaran dan penyebaran produk rekayasa genetika tanpa
hak, pengelola limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3) tanpa izin,
melakukan dumping tanpa izin, memasukkan limbah ke Indonesia
tanpa izin, melakukan pembakaran hutan, pengaturan tentang pejabat
pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil, serta
menjadikannya sebagai jabatan fungsional.
Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 terdapat
pasal-pasal yang mengatur sanksi pidana dan perdata yang
mengancam setiap pelanggaran peraturan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, baik kepada perseorangan, korporasi,
maupun pejabat. Sebagai contoh, pelanggaran terhadap baku mutu
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun, serta denda paling sedikit Rp.
- 90 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah) dan paling banyak Rp.
10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).
Perbedaan lainnya yang terdapat di dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 yang tidak dimuat dalam undang-undang yang
lama ialah ketentuan mengenai analisis mengenai dampak lingkungan
(AMDAL). Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, AMDAL
mendapat porsi yang cukup banyak dibandingkan instrumen
lingkungan lainnya, dari 127 (seratus dua puluh tujuh) pasal yang ada,
23 (dua puluh tiga) pasal di antaranya mengatur tentang AMDAL.
Pengertian AMDAL pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 juga berbeda dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997,
yaitu hilangnya kata-kata “dampak besar.” Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 menyebutkan bahwa “AMDAL adalah kajian
mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan
yang direncanakan pada lingkungan hidup …” sedangkan pada
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa
“AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan …”
Dari kedua puluh tiga pasal dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tersebut, ada pasal-pasal penting yang sebelumnya tidak
termuat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 maupun dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan dan memberikan implikasi yang besar
bagi para pelaku AMDAL, termasuk pejabat pemberi izin.
Hal-hal penting baru lainnya yang terkait dengan AMDAL
yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, antara
lain:
- 91 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
1.
AMDAL dan UKL-UPL merupakan salah satu instrumen
pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup;
2. Penyusun dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat
kompetensi penyusun dokumen AMDAL;
3. Komisi penilai AMDAL pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota wajib memiliki lisensi AMDAL;
4. Amdal dan UKL-UPL merupakan persyaratan untuk
penerbitan izin lingkungan;
5. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, Gubernur,
Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.
Selain kelima hal tersebut di atas, ada pengaturan yang tegas
yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009,
yaitu dikenakannya sanksi pidana dan perdata bagi (terkait)
pelanggaran bidang AMDAL. Sanksi-sanksi yang diatur tersebut,
ialah:
1. Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan
tanpa memiliki izin lingkungan;
2. Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL
tanpa memiliki sertifikat kompetensi;
3. Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan
yang tanpa dilengkapi dengan dokumen AMDAl atau UKLUPL.
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting
terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL. Mengenai
dampak penting tersebut ditentukan berdasarkan kriteria:
- 92 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
1.
Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak
rencana usaha dan/atau kegiatan;
2. Luas wilayah penyebaran dampak;
3. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
4. Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan
terkena dampak;
5. Sifat kumulatif dampak;
6. Berbalik atau tidak berbaliknya dampak, dan/atau;
7. Kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang
wajib dilengkapi dengan AMDAL terdiri atas:
1. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
2. Eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan
maupun yang tidak terbarukan;
3. Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat
menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam
dalam pemanfaatannya;
4. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi
lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan
sosial dan budaya;
5. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi
pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau
perlindungan cagar budaya;
6. Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;
7. Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;
- 93 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
8.
Kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau
mempengaruhi pertahanan negara, dan/atau;
9. Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi
besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha dan/atau kegiatan
yang wajib dilengkapi dengan AMDAL diatur dengan peraturan
menteri.
Ketentuan lain yang terdapat pula dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 ialah mengenai audit lingkungan hidup. Audit
lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap
persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pemerintah mendorong penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup dalam rangka
meningkatkan kinerja lingkungan hidup:
1. Menteri mewajibkan audit lingkungan hidup kepada:
a. Usaha dan/atau kegiatan tertentu yang berisiko tinggi
terhadap lingkungan hidup, dan/atau;
b. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan
perundang-undangan.
2. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melaksanakan audit lingkungan hidup.
3. Pelaksanaan audit lingkungan hidup terhadap kegiatan
tertentu yang berisiko tinggi dilakukan secara berkala.
Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat
- 94 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
(1), Menteri dapat melaksanakan atau menugasi pihak ke tiga yang
independen untuk melaksanakan audit lingkungan hidup atas beban
biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Kemudian, Menteri mengumumkan hasil audit lingkungan hidup
tersebut.
Audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48 dan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dilaksanakan
oleh auditor lingkungan hidup. Auditor lingkungan hidup wajib
memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup. Kriteria
untuk memperoleh sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud meliputi kemampuan:
1. Memahami prinsip, metodologi, dan tata laksana audit
lingkungan hidup;
2. Melakukan audit lingkungan hidup yang meliputi tahapan
perencanaan, pelaksanaan, pengambilan simpulan, dan
pelaporan;
3. Merumuskan rekomendasi langkah perbaikan sebagai
tindak lanjut audit lingkungan hidup.
Sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup diterbitkan
oleh lembaga sertifikasi kompetensi auditor lingkungan hidup sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih
lanjut mengenai audit lingkungan hidup diatur dengan peraturan
menteri.
Terdapat hal baru pula mengenai model penyelesaian sengketa
lingkungan hidup dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan. Pilihan penyelesaian sengketa
- 95 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang
bersengketa. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang
bersengketa.
Sengketa lingkungan hidup dapat diselesaikan dengan cara:
1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai:
a. Bentuk dan besarnya ganti rugi;
b. Tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau
perusakan;
c. Tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan
terulangnya pencemaran dan/atau perusakan, dan/
atau;
d. Tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif
terhadap lingkungan hidup.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku
terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ini.
Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar
pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/atau arbiter
untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan
hidup.
Masyarakat dapat pula membentuk lembaga penyedia jasa
penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas
dan tidak berpihak. Pemerintah pusat dan pemerintah
- 96 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
2.
daerah dapat memfasilitasi pembentukan lembaga penyedia
jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat
bebas dan tidak berpihak. Ketentuan lebih lanjut mengenai
lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan
hidup diatur dengan peraturan pemerintah.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan
merupakan salah satu upaya yang dapat digunakan dalam
instrumen penegakan hukum perdata menurut UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Beberapa hal penting yang
harus diperhatikan dalam mekanisme ini, antara lain:
a. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau
lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau
melakukan tindakan tertentu.
b. Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan,
pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan
dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak
melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
c. Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa
terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan
putusan pengadilan.
d. Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
- 97 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
D. Arah Politik Hukum Lingkungan Hidup Indonesia: Menuju
Sustainability Policy
Pola pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia saat ini
dirasakan oleh berbagai pihak belum mencerminkan adanya suatu
kesinambungan antara pengelolaan lingkungan secara lestari dengan
pencapaian kemakmuran. Memang sejak awal pembicaraan telah
terjadi perdebatan mengenai tarik-menarik antara kepentingan
lingkungan dan kepentingan ekonomi.
Kejadian bencana alam yang belakangan ini sering terjadi di
Indonesia dan juga berbagai pencemaran serta perusakan lingkungan
yang timbul di Indonesia, menurut beberapa ahli, disebabkan karena
tidak diterapkannya konsep sustainable development secara holistik.
Konsep sustainable development ini telah diperkenalkan oleh
World Commissions for Environmental and Development (WCED)
sebagai suatu solusi untuk menyatukan kepentingan ekologi dan
pembangunan.
WCED memahami pentingnya perubahan hukum dan
kelembagaan yang diperlukan untuk beralih ke konsep pembangunan
berkelanjutan, dan untuk itu, telah menggariskan tindakan-tindakan
yang dipersyaratkan pada tingkat nasional untuk mencapai tujuan
tersebut. Tindakan-tindakan itu ialah sebagai berikut: 20
1. Membentuk atau memperkuat badan-badan untuk melindungi lingkungan dan mengelola sumber daya alam.
20
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan (Yogyakarta: UGM
Press, 2006), hlm. 15.
- 98 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
2.
Melibatkan masyarakat umum dan masyarakat ilmiah dalam
pemilihan kebijaksanaan yang pada dasarnya kompleks dan
sulit dari sudut politis.
3. Meningkatkan kerja sama antara pemerintah dan dunia
industri untuk nasehat, asistensi, dan dukungan timbal balik
dalam membantu pembentukan dan pelaksanaan kebijaksanaan, hukum dan peraturan guna mewujudkan
pembangunan industri yang lebih berkelanjutan.
4. Memperkuat dan meluaskan konvensi serta perjanjian
internasional yang ada untuk menunjang perlindungan
lingkungan, pembangunan berkelanjutan, dan perlindungan
sumber daya alam.
5. Memperbaiki pengelolaan analisis mengenai dampak
lingkungan dan kemampuan untuk merencanakan pemanfaatan sumber daya.
Konsep sustainability use mencoba untuk menjawab berbagai
pertanyaan seputar pengorbanan faktor ekonomi dan pembangunan
untuk kepentingan lingkungan. Konsep ini menitikberatkan pada pola
pembangunan dalam rangka memenuhi kebutuhan saat ini tanpa
mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi
kebutuhannya.
Konsep tersebut hendaknya menjadi suatu konsep atau asas
yang disisipkan ke seluruh bentuk regulasi pengelolaan lingkungan
hidup dan pembangunan di Indonesia. Hal ini menjadi penting terlebih
pada saat hukum dapat berfungsi sebagai suatu tool yang turut serta
dalam mewujudkan pengelolaan lingkungan hidup secara lestari dan
berkelanjutan.
- 99 -
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA
Dalam diskursus kebijakan hukum lingkungan, terkadang
nuansa demokratis maupun otoriter tidak terlihat lagi sebagai variabel
yang dominan, namun justru pemahaman lingkungan sebagai suatu
entitas yang holistik (dengan kehidupan manusia di dalam ekosistem
bumi) yang menjadi penentu utama dalam perumusan kebijakan.
***
- 100 -
DAFTAR PUSTAKA
Danusaputro, St. Muadjat. Hukum Lingkungan: Buku 1 Umum.
Bandung: Binacipta, 1980.
Hardjasoemantri, Koesnadi. Hukum Tata Lingkungan. Cet. 19.
Yogyakarta: UGM Press, 2006.
Harman, Benny K. Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia. Cet. I. Jakarta: ELSAM, 1997.
Hartono, C.F.G. Sunaryati. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional. Bandung: Alumni, 1991.
Mahfud M.D., Moh. Politik Hukum di Indonesia. Cet. 1. Jakarta:
LP3ES, 1998.
Rhiti, Hyronimus. Kompleksitas Permasalahan Lingkungan Hidup.
Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2005.
Sakumoto, Naoyuki. Development of Environmental Law and Legal
Reform in Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2007.
Siahaan, N.H.T. Hukum Lingkungan. Cet. I. Jakarta: Pancuran Alam,
2006.
Sidharta, Bernard Arief. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum:
Sebuah Penelitian tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat
Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu
Hukum Nasional Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1999.
Silalahi, Daud. Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum
Lingkungan Indonesia. Bandung: Alumni, 2001.
Soedarso, Bambang Prabowo. Kumpulan Bahan Kuliah Hukum
Lingkungan. Jakarta: Yayasan Indonesia Lestari, 2007.
- 101 -
Soemarwoto, Otto. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Jakarta: Djambatan, 1983.
Syaukani, Imam dan A. Ahsin Thohari. Dasar-Dasar Politik Hukum.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.
Wahjono, Padmo. Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
***
- 102 -
BIODATA PENULIS
Deni Bram, S.H.,M.H. saat ini tercatat sebagai tenaga pengajar tetap
di Fakultas Hukum Universitas Pancasila semenjak tahun 2009. Selain
itu, Kandidat Doktor Hukum Lingkungan Internasional Universitas
Indonesia ini juga aktif dalam kegiatan penelitian di Pusat Kajian Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila dan pernah membantu
sebagai peneliti tamu di Maastricht University, Belanda. Beberapa
publikasinya telah diterbitkan baik di dalam jurnal ilmiah, media
massa cetak, maupun buku, antara lain, ialah buku Hukum Lingkungan
Internasional: Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara, dan
Pengantar Hukum Lingkungan. Sehari-hari penulis dapat dihubungi
melalui [email protected]
***
- 103 -
Download