POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Deni Bram, S.H.,M.H. Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila (PKIH FHUP) i Judul: Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia Penulis: Deni Bram, S.H.,M.H. Editor: Endra Wijaya Kolase pada kover: een Hak cipta pada penulis. Hak penerbit pada Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila (PKIH FHUP). Alamat PKIH FHUP: Gedung Fakultas Hukum Universitas Pancasila, lantai 3, Jln. Srengseng Sawah, Jagakarsa. Jakarta Selatan, 12640. Cetakan ke-1: Oktober 2011. ISBN: 978 – 602 – 99279 – 7 – 9 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang untuk diperbanyak dalam bentuk atau dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali untuk keperluan pengutipan untuk membuat karya tulis ilmiah dengan menyebutkan buku ini sebagai sumbernya. ii KATA SAMBUTAN MARDJONO REKSODIPUTRO Buku ini terbit pada waktu yang tepat, di mana kita semua dirisaukan dengan berbagai peristiwa iklim dan cuaca yang sepertinya sudah berubah dibanding keadaan yang lalu. Belajar dari kekeliruankekeliruan di masa lalu, dunia sudah menyadari perlunya kita sebagai manusia lebih menghormati alam di sekitar kita dan berusaha untuk menjaga kelestariannya untuk anak-cucu kita. Kenyataan tentang peristiwa bencana alam yang terjadi di Indonesia, tidak saja disebabkan oleh kejadian yang alamiah (seperti gempa bumi dan meletusnya gunung berapi), tetapi juga diawali oleh kekeliruan kita dalam mengelola lingkungan hidup di sekitar kita (seperti saluran air kotor di kota yang dibuat tidak sempurna dan kemudian dipenuhi sampah, penebangan pohon di bukit-bukit yang menimbulkan longsor tanah, pemotongan pohon dalam pembukaan tanah untuk perumahan). Kekeliruan ini sudah disadari sekarang ini, namun politik hukum yang mencoba mengubah perilaku manusia agar lebih ramah lingkungan masih merupakan “nato” (no action-talk only). Buku ini ditulis oleh seorang ilmuwan muda yang menyadari benar pentingnya slogan “let’s do it” – mari kita mulai sekarang juga: “lebih cepat, lebih baik!”. Tentu saja buku ini dan keinginan penulisnya tidak begitu saja akan terlaksana, pertarungan antara meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan secara optimal hasil alam lawan menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup kita akan terus berlanjut. Tetapi di sinilah tempatnya suatu iii pemerintahan yang benar-benar sadar akan pertarungan ini dan berusaha sekeras mungkin menghasilkan kebijakan/politik hukum lingkungan hidup yang akan merupakan suatu “win-win solution” untuk berbagai pihak yang mempunyai kepentingan-bertentangan. Perlu politik hukum lingkungan yang cerdas yang mementingkan nasib “rakyat kecil” dibanding kepentingan perusahaan besar, serta mementingkan tujuan jangka panjang ketimbang keuntungan politik ekonomi dan keuangan jangka pendek. Bagi saya, buku ini merupakan sumbangan berharga ke arah penyadaran kita akan rumitnya permasalahan ini. Cara penyajian dan kerangka berpikir dalam buku ini juga memudahkan pemahaman bagi mereka yang belum begitu akrab dengan permasalahan perlindungan lingkungan hidup kita. Mudah-mudahan buku ini dibaca dan dipikirkan oleh kita semua yang sadar akan pentingnya menjaga lingkungan hidup kita, agar dapat merupakan warisan yang bermanfaat bagi generasi-generasi yang akan datang. Jakarta, Maret 2012 Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila, Mardjono Reksodiputro iv KATA SAMBUTAN SOETANDYO WIGNJOSOEBROTO Seperti yang telah disuratkan sebagai judul buku, Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia, buku yang tengah anda pegang dan baca kali ini adalah buku tentang politik hukum. Mengartikan “politik” di sini sebagai “kebijakan”, yang di dalam bahasa Inggris diistilahi “policy”, tak salah lagi buku ini akan berisi bahasan yang kritis tentang langkah-langkah normatif apa yang seharusnya diambil untuk memperbaiki keadaan yang selama ini, berdasarkan hukum perundang-undangan yang ada, belum sepenuhnya memuaskan. Sejauh ini belum cukup banyak buku yang ditulis tentang politik hukum semacam ini. Mungkin hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa pendidikan hukum lebih tercurah kepada ajaranajaran tentang hukum positif yang tengah berlaku sehubungan dengan fungsinya sebagai rujukan guna memutusi suatu perkara. Pendidikan dan kajian seperti itu jelas lebih bergayung sambut dengan penyiapan pekerja-pekerja hukum yang akan berkhidmat di ruang-ruang pengadilan semata. Tradisi pendidikan hukum pada era kolonial – yang masih memperlihatkan pengaruhnya sampai saat ini – memang demikian itulah adanya. Akan tetapi, di tengah kehidupan negara nasional yang merdeka, tatkala pembentukan dan pembuatan hukum nasional sudah menjadi bagian dari politik dan/atau kebijakan nasional, oleh sebab itu, kajian dan pendidikan hukum pada masa pasca-kemerdekaan mesti juga tak hanya berkonsentrasi pada perbincangan hukum yang v relevan dengan persoalan pengadilan, akan tetapi juga dengan persoalan politik hukum yang relevan dengan persoalan legislasi. Sesungguhnya politik hukum itu adalah bagian saja dari politik dalam maknanya yang luas sebagai “kebijakan publik”. Dean Kilpatrick dari Medical University of South Carolina pernah mengatakan bahwa kalaupun public policy ini berbicara ihwal alokasi sumber daya untuk berbagai kegiatan publik yang terpilih lewat suatu proses politik, namun, bagaimanapun juga aspek yang paling utama dalam persoalan ini adalah suatu proses legislasi yang cerdas, berikut produknya yang disebut undang-undang. Kini, dalam kehidupan sebuah negara merdeka yang telah lepas dari kekuasaan kolonial, kebijakan publik dan kebijakan legislasi sudah sepatutnya merupakan urusan khalayak ramai bangsa sendiri, baik pada tahap awalnya tatkala publik mengungkapkan keinginan dan tuntutannya maupun pada tahap lanjutannya tatkala para pemuka membantu mengartikulasikan segenap keinginan dan tuntutan itu. Di sini, baik secara individual maupun secara berkelompok dan terorganisasi, setiap warga bangsa – tak pelak lagi juga mereka yang berkeahlian hukum – sudah selayaknya ikut berupaya mempengaruhi dan mengawal arah kebijakan publik itu. Ketidakmampuan khalayak ramai ikut berbicara mengenai persoalan publik – yang akan dibentuk sebagai kebijakan resmi lewat suatu proses politik dan proses legislasi – ini hanya akan menyebabkan kebijakan publik ini gagal mengedepankan kepentingan publik, melainkan akan lebih berarah ke kepentingan para elit. Sempurna tak sempurna, buku yang tengah berada di tangan para pembaca ini adalah bagian dari upaya seseorang individu penulis yang amat berperhatian pada segenap upaya di negeri ini tentang vi pembentukan kebijakan publik – berikut realisasinya sebagai kebijakan hukum – yang berpihak pada soal penyelamatan dan pengelolaan lingkungan hidup dan eko-sistem bumi. Sesungguhnya buku ini tidak hanya hendak mengetengahkan paparan-paparan yang harus dikesan sebagai buku teks. Menyuratkan hal-ihwal reformasi hukum seruan-seruan untuk memperjuangan lestarinya lingkungan berdasarkan hukum dan kebijakan hukum yang memihak kepentingan mayoritas khalayak ramai. Maka, buku ini tak hanya hendak memaparkan seperangkat preskripsi yang telah termuat sebagai hukum positif dalam undangundang yang telah ada, ialah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, melainkan juga merupakan ajakan kepada kita untuk ikut berpikir kritis dan reformatif tentang kebijakan apa yang harus diambil demi masa depan pengelolaan lingkungan hidup. Semoga ajakan ini bergayung sambut dengan apa yang selama ini dirisaukan khalayak ramai mengenai merosotnya kualitas lingkungan hidup di negeri ini akhir-akhir ini, tak hanya lingkungan bio-fisikal melainkan juga yang berimbas secara semena-mena ke kehidupan sosial-budaya anak negeri di negeri ini. Surabaya, 1 Maret 2012 Guru Besar Emeritus pada Universitas Airlangga, Soetandyo Wignjosoebroto vii KATA PENGANTAR PENULIS Kelsen dalam premisnya mengatakan bahwa hukum dimaknai sebagai suatu entitas yang murni dan dihasilkan dalam sebuah ruang yang bebas intervensi dari variabel lain. Namun, pemikiran Critical Legal Studies justru berpijak pada sisi yang berseberangan, yaitu bahwa sering kepentingan politik mempunyai misi tersendiri dalam penciptaan hukum. Memang hukum merupakan sesuatu yang multifaset dan bisa mempunyai berbagai persepsi makna. Buku yang sampai pada sidang pembaca kali ini berawal dari tugas makalah akhir pada mata kuliah yang diasuh oleh Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H.,M.H. pada Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta. Kata bijak dari sang dosen pada saat itu ialah bahwa kita harus mencoba membuat suatu masterpiece dalam hidup kita. Kata bijak itulah yang menjadi penyemangat penulis dalam menyusun dan menyempurnakan naskah ini. Tema lingkungan hidup yang penulis ketengahkan dalam tulisan ini selain tidak terlepas dari keinginan penulis untuk lebih meningkatkan pengetahuan dalam bidang Hukum Lingkungan, yang merupakan bagian dari profesi penulis sebagai asisten dosen pada Mata Kuliah Hukum Lingkungan di Fakultas Hukum Universitas Pancasila (FHUP), juga ingin penulis maksudkan sebagai sumbangan pemikiran. Penulis percaya bahwa manusia ialah khalifah di muka bumi dan ia harus bisa memberikan yang terbaik untuk alam semesta ini. viii Pada kesempatan ini penulis ingin berterima kasih kepada Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H.,M.H. yang telah memberikan banyak pengetahuan dan motivasi yang menjadi trigger bagi penulis untuk menghasilkan karya yang jauh dari sempurna ini. Juga ucapan terima kasih penulis tujukan kepada Prof. Mardjono Reksodiputro, dan Prof. Soetandyo Wignjosoebroto yang telah berkenan memberikan tulisan kata sambutannya, serta kepada Endra Wijaya dan Pusat Kajian Ilmu Hukum FHUP (PKIH FHUP) yang berbaik hati untuk menyempurnakan naskah ini dalam semangat keilmuan di tengahtengah penelitian yang penulis lakukan di Maastricht University, Belanda. Tulisan ini penulis dedikasikan secara khusus kepada Almarhum Prof. Dr. H. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H.,M.L. yang telah memberikan kesempatan penulis untuk ikut serta dalam Tim Pengajar Mata Kuliah Hukum Lingkungan di FHUP, dan khususnya telah memperkenalkan penulis terhadap masalah keberlanjutan kondisi lingkungan hidup yang harus selalu dijaga. Akhirul kalam, tak ada gading yang tak retak, oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik untuk kemajuan penulis. Maastricht, Oktober 2011 Deni Bram ix “Hanya bila pohon terakhir telah tumbang ditebang; Hanya bila tetes air sungai terakhir telah teracuni; Hanya bila ikan terakhir telah mati ditangkap; Barulah kita sadar; bahwa uang di tangan tidak bisa dimakan…” (Indian Creed) x DAFTAR ISI KATA SAMBUTAN MARDJONO REKSODIPUTRO ~ iii KATA SAMBUTAN SOETANDYO WIGNJOSOEBROTO ~ v KATA PENGANTAR PENULIS ~ viii DAFTAR ISI ~ xi BAB I DASAR PEMIKIRAN POLITIK HUKUM ~ 1 A. Pengertian dan Cakupan Politik Hukum ~ 3 B. Politik Hukum Nasional ~ 10 BAB II ARAH KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA ~ 15 A. Peran Manusia dalam Ekosistem Bumi ~ 18 B. Periode Green History: Keunggulan Daerah Tropis ~ 21 C. Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Semangat Kemerdekaan ~ 28 D. Pergeseran Persepsi Dunia Internasional terhadap Lingkungan Hidup ~ 30 E. Konferensi Tingkat Tinggi Stockholm dan Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 1982 ~ 32 F. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ~ 46 xi BAB III REFORMASI PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP ~ 55 A. Rencana Strategis Pengelolaan Lingkungan Hidup ~ 55 B. Potret Kebijakan Lingkungan Hidup Indonesia ~ 68 1. Sifat Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan Hidup ~ 69 2. Corak Kebijakan Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan Hidup ~ 75 C. Reformasi Undang-Undang mengenai Lingkungan Hidup ~ 86 D. Arah Politik Hukum Lingkungan Hidup Indonesia: Menuju Sustainability Policy ~ 98 DAFTAR PUSTAKA ~ 101 BIODATA PENULIS ~ 103 *** xii POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA BAB I DASAR PEMIKIRAN POLITIK HUKUM Indonesia adalah negara hukum, dan sebagaimana yang diterangkan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), maka segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan harus berlandaskan dan berdasarkan atas hukum. Hal itu juga sekaligus merupakan “barometer” untuk mengukur apakah suatu perbuatan atau tindakan telah sesuai atau tidak dengan ketentuan yang telah disepakati. Negara hukum adalah suatu negara yang di dalamnya terdapat alat-alat perlengkapan negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah yang dalam tindakan-tindakannya, baik terhadap para warga negara maupun dalam hubungannya dengan institusi negara lain, tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Begitu pun dengan para anggota masyarakat, dalam hubungan kemasyarakatan juga harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku. 1 Sehubungan dengan pernyataan tersebut, maka hukum dapat dipahami sebagai himpunan peraturan yang mengatur tatanan 1 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara Hukum dan Politik (Jakarta: Eresco, 1991), hlm. 37. -1- POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA kehidupan, baik berbangsa maupun bernegara, yang dihasilkan melalui kesepakatan dari wakil-wakil rakyat yang ada di lembaga legislatif. Produk hukum itu dikeluarkan secara demokratis melalui lembaga yang terhormat, namun demikian muatannya jelas tidak dapat dilepaskan dari kekuatan politik yang ada di dalamnya. Suatu negara yang menganut sistem demokrasi, maka segala sesuatunya harus dirumuskan secara demokratis, yaitu dengan melihat kehendak dan aspirasi dari masyarakat luas sehingga produk yang dihasilkan itu sesuai dengan keinginan hati nurani rakyat. Tetapi apabila sebaliknya, maka akan terlihat bahwa produk hukum yang dikeluarkan tersebut dapat membuat masyarakat menjadi resah dan cenderung tidak mematuhi ketentuan hukum itu. Pelaksanaan roda organisasi kenegaraan tidak dapat dilepaskan dari bingkai kekuasaan, karena di dalam negara terdapat pusat-pusat kekuasaan yang senantiasa memainkan peranannya sesuai dengan tugas dan wewenang yang telah ditentukan. Namun dalam pelaksanaannya sering berbenturan satu dengan yang lain, karena kekuasaan yang dijalankan itu berhubungan erat dengan unsur-unsur politik yang sedang berkuasa. Jadi, adanya negara, kekuasaan, hukum, dan politik merupakan satu-kesatuan yang sulit untuk dipisahkan, karena semua unsur tersebut senantiasa bermain dalam pelaksanaan roda kenegaraan dan pemerintahan. Sebagai salah satu bagian dari bidang ilmu sosial, dalam disiplin ilmu hukum tidak ada sesuatu yang berlaku mutlak dan pasti. Hukum ialah sebuah entitas yang sangat kompleks, meliputi kenyataan kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak -2- POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA persepsi aspek, dimensi, dan fase. 2 Apabila diibaratkan benda, maka hukum bagaikan sebuah permata yang tiap irisan dan sudutnya akan memberikan kesan berbeda bagi setiap orang yang memandangnya. Sebagai akibat dari kompleksitas cara pandang dan persepsi yang timbul dari entitas hukum, hal itu kemudian mendorong lahirnya disiplin ilmu yang menggambarkan hubungan antara ilmu hukum dan bidang ilmu sosial lainnya, seperti filsafat hukum, teori hukum, sejarah hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum, logika hukum, serta yang terakhir timbul, politik hukum. Kendali masing-masing disiplin ilmu yang disebutkan tadi berdiri sendiri-sendiri, namun demikian darinya dapat diperoleh pemahaman hukum yang maksimal apabila dilakukan secara mendalam dan utuh (whole). A. Pengertian dan Cakupan Politik Hukum Perbincangan politik hukum mulai timbul pada saat hukum sebagai suatu unsur dalam subsistem masyarakat tidak dapat berjalan murni dan netral, baik dalam proses pembentukan maupun pelaksanaannya. Dengan perkataan lain, politik hukum muncul sebagai suatu disiplin hukum alternatif di tengah kebuntuan metodologis dalam memahami kompleksitas hubungan antara hukum dan entitas bukan hukum, yang dalam hal ini ialah politik. Secara etimologis, istilah “politik hukum” merupakan terjemahan dalam bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda “rechtspolitiek,” yang merupakan gabungan dari 2 (dua) kata, yaitu 2 Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia (Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm. 116. -3- POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA “recht” dan “politiek.” Dalam bahasa Indonesia, recht diartikan sebagai hukum, yang berasal dari bahasa Arab “hukm” yang berarti putusan, ketetapan, perintah, pemerintahan, kekuasaan, hukuman, dan lain-lain. 3 Dalam perkembangannya, definisi hukum berkembang dan memiliki banyak pemaknaan, bahkan Achmad Ali dalam bukunya Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, telah berhasil mengumpulkan lebih dari 50 (lima puluh) definisi dan pengertian tentang hukum yang diberikan dari berbagai aliran pemikiran ilmu hukum dalam rentan waktu yang sangat panjang, mulai dari Aristoteles, Ibnu Khaldun, hingga Dworkin. 4 Kata politiek dalam Kamus Bahasa Belanda yang ditulis van der Tas mengandung arti beleid. 5 Dalam Kamus Umum BelandaIndonesia, beleid diartikan sebagai suatu kebijakan (policy), yang mengandung makna rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak. 6 Dengan perkataan lain, dapat disimpulkan secara etimologis, bahwa politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak dalam bidang hukum. 7 3 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: Mac-Donald and Evans Ltd., 1980), hlm. 196. 4 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis (Jakarta: Gunung Agung, 2002), hlm. 17-36. 5 S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda-Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), hlm. 66. 6 Ibid. 7 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 25. -4- POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Dalam perspektif terminologis, banyak ahli hukum yang menyajikan definisi politik hukum yang selama ini concern mengamati perkembangan disiplin ilmu ini. Padmo Wahyono dalam bukunya Indonesia Negara Berdasar atas Hukum mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. 8 Karena dirasakan masih belum menyentuh tahap konkret, definisi ini kembali dipertegas dalam sebuah artikelnya yang mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakan hukum itu sendiri. 9 Dari kedua definisi tersebut, dapat dilihat bahwa definisi dari Wahyono lebih berkaitan dengan hukum yang dicita-citakan di masa yang akan datang (ius constituendum). Berbeda dengan perumusan Wahyono, Teuku Mohammad Radhie dalam tulisannya yang berjudul “Pembaharuan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional” mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. 10 Definisi politik hukum dari Radhie itu tidak hanya menyentuh perumusan arah perkembangan hukum yang akan dibangun (ius constituendum), namun juga mengenai hukum yang berlaku saat ini (ius constitutum) yang 8 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 160. 9 Padmo Wahjono, “Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan,” Forum Keadilan (No. 29, April 1991): 65. 10 Jurnal Prisma (No. 6, Tahun II, Desember 1973): 4. -5- POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA tercermin dari pernyataan tentang “hukum yang berlaku di wilayahnya.” Politik hukum menurut Satjipto Rahardjo, setelah mengutip perumusan politik hukum menurut Parson, adalah aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu di masyarakat. Sebagai seseorang yang mendalami sosiologi hukum, tidak heran bahwa Rahardjo lebih menekankan pendekatan sosiologis dalam definisi politik hukumnya tersebut. Sunaryati Hartono dalam bukunya Politik Hukum Menuju Suatu Sistem Hukum Nasional, walaupun tidak memberikan penjelasan secara eksplisit, memberikan gambaran politik hukum sebagai suatu alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk dapat menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia. 11 Definisi politik hukum berikutnya dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara, dalam sebuah makalahnya yang disampaikan saat Kerja Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu), dia mengungkapkan bahwa politik hukum nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. 12 11 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional (Bandung: Alumni, 1991), hlm. 1. 12 Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Politik Hukum Nasional,” (Yayasan LBH Indonesia dan LBH Surabaya, September 1985). -6- POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Berdasarkan ragam definisi yang dikemukakan tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicitacitakan. 13 Rumusan politik hukum di atas pada perkembangan selanjutnya mulai disoroti secara mendalam oleh berbagai ahli hukum. Dengan mempertimbangkan bahwa arah politik hukum suatu negara terkadang berubah-ubah dari waktu ke waktu, Mahfud M.D. dan juga Benny K. Harman mencoba untuk melihat korelasi antara konfigurasi politik tertentu dengan karakter produk hukum dan karakter kekuasaan kehakiman. Dari karya ilmiah keduanya, terlihat bahwa baik Mahfud14 maupun Harman 15 mencoba untuk menghadirkan sebuah pendekatan yang berbeda terhadap masalah politik dan hukum. Kedua ahli hukum tersebut lebih menempatkan sistem politik sebagai suatu variabel yang mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum. Mahfud berkesimpulan bahwa suatu proses dan konfigurasi politik rezim tertentu akan sangat berpengaruh terhadap produk hukum yang kemudian dilahirkannya. Dalam negara yang memiliki 13 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, op.cit., hlm. 32. Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1998). 15 Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia (Jakarta: ELSAM, 1997). 14 -7- POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA konfigurasi politik demokratis, cenderung menghasilkan produk hukum yang responsif atau populistik. Sedangkan di negara dengan konfigurasi politik otoriter, produk hukum yang dihasilkan cenderung ortodoks atau konservatis atau elitis. 16 Relasi politik dan karakter produk hukum menurut Mahfud M.D. KONFIGURASI POLITIK KARAKTER PRODUK HUKUM Demokratis Responsif/ populistik Otoriter Konservatif/ ortodoks/elitis Tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dirumuskan oleh Mahfud, Harman juga melihat adanya korelasi yang berarti antara konfigurasi politik dengan karakter kekuasaan kehakiman suatu negara. Dalam penelitiannya, Harman mengungkapkan bahwa penerapan konfigurasi politik yang demokratis di suatu negara akan 16 Moh. Mahfud M.D., op.cit. -8- POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA menghasilkan kekuasaan kehakiman yang independen atau otonom. Sebaliknya, konfigurasi politik yang otoriter atau totaliter akan menghasilkan bentuk kekuasaan kehakiman yang tidak otonom dan tidak bebas. Relasi politik dan kekuasaan kehakiman menurut Benny K. Harman. KONFIGURASI POLITIK KARAKTER KEKUASAAN KEHAKIMAN Demokratis Independen/otonom Otoriter Dependen/tidak otonom Dari berbagai definisi politik hukum tersebut di atas, dapat dilihat bahwa politik hukum sangat berhubungan erat dengan tujuan negara yang dicita-citakan. Oleh karenanya itu, wilayah kajian disiplin ilmu politik hukum meliputi aspek lembaga kenegaraan perumus politik hukum, letak politik hukum, serta faktor-faktor (eksternal dan internal) yang mempengaruhi politik hukum suatu negara. Dengan demikian, politik hukum mempunyai peran ganda, yaitu selain sebagai kerangka pikir dalam rangka merumuskan kebijakan dalam bidang hukum oleh lembaga yang berwenang, politik -9- POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA hukum juga dapat digunakan untuk mengkritisi produk-produk hukum yang telah diundangkan berdasarkan legal policy sebelumnya. Berdasarkan uraian tersebut, secara lebih rinci, maka wilayah kajian politik hukum meliputi hal-hal berikut ini: 17 1. Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum. 2. Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi tersebut ke dalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang-undangan oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum. 3. Perumusan dan penetapan politik hukum oleh penyelenggara negara yang berwenang. 4. Peraturan perundang-undangan yang memuat politik hukum. 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum, baik yang akan, sedang, dan telah ditetapkan. 6. Pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang merupakan implementasi dari politik hukum suatu negara. B. Politik Hukum Nasional Dalam konteks Indonesia, definisi politik hukum yang merupakan suatu kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlalu, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara 17 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, op.cit., hlm. 51. - 10 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA yang dicita-citakan, dapat pula ditambahkan kata “nasional” dibelakangnya. Kata nasional tersebut mencerminkan bahwa wilayah yang tercakup dalam politik hukum yang dimaksud ialah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, perumusan politik hukum suatu negara sangat berkaitan dengan tujuan dan cita-cita negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam konteks politik hukum jelas bahwa hukum berfungsi sebagai “alat” yang bekerja dalam sistem hukum tertentu untuk mencapai tujuan negara atau citacita masyarakat. Adapun jika membicarakan tujuan politik hukum nasional, maka hal ini tidak terlepas dari nilai-nilai Pancasila sebagai dasar filosofis Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan hal tersebut telah dipertegas pula secara konstitusional dalam Pembukaan UUD 1945 yang menekankan pada: 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. 2. Memajukan kesejahteraan umum. 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa. 4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut, selain berpihak pada 5 (lima) dasar yang tertuang dalam Pancasila, juga harus berfungsi dan selalu berpijak pada 4 (empat) prinsip cita hukum (rechtsidee), yaitu: 18 1. Melindungi semua unsur bangsa demi keutuhan. 18 Moh. Mahfud M.D., “Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional,” (Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, Mei 2006). - 11 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2. Mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan kemasyarakatan. 3. Mewujudkan kedaulatan rakyat dan negara hukum. 4. Menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan keadaban dalam hidup beragam. Pembicaraan seputar hukum nasional tentu tidak terlepas dari pengaruh sistem hukum nasional serta tatanan hukum nasional yang dimiliki Indonesia. Dalam hal ini, Arief Sidharta mengusulkan bahwa tatanan hukum nasional yang ideal haruslah mengandung ciri-ciri: 19 1. Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara. 2. Mampu mengakomodasi kesadaran kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan. 3. Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi. 4. Bersifat rasional yang mencakup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran, rasionalitas kaedah, dan rasionalitas nilai. 5. Aturan prosedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah. 6. Responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat. Sejalan dengan usulan tersebut di atas, terdapat hasil Seminar tentang Hukum Nasional di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang telah dibukukan, berjudul Identitas Hukum Nasional, yang merekomendasikan bahwa hukum nasional yang sedang dibangun harus memenuhi beberapa prasyarat, yaitu: 19 Bernard Arief Sidharta, op.cit., hlm. 213. - 12 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 1. Berlandaskan Pancasila (filosofis) dan UUD 1945 (konstitusional). 2. Berfungsi mengayomi, menciptakan ketertiban sosial, mendukung pelaksanaan dan mengamankan hasil-hasil dari pembangunan. Dari serangkaian kegiatan yang melatarbelakangi dirumuskannya politik hukum nasional, bisa dipastikan bahwa politik hukum nasional harus dirumuskan pada suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang mendasar dan bukan hanya sekedar aturan yang bersifat teknis. Hal tersebut juga harus mengacu kepada tata urutan peraturan perundang-undangan yang ada sebagai dasar hierarki dan keberlakuan suatu peraturan. Kini hal itu diatur dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang di dalamnya mengatur tata urutan yang meliputi: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, UndangUndang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Tata urutan peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. - 13 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Seperti telah dikemukakan di atas, keseluruhan sistem hukum nasional harus bekerja berdasarkan cita-cita bangsa, tujuan negara, dan penuntun yang terkandung di dalam UUD 1945. Dengan kata lain, seluruh produk hukum harus sesuai dan didasari oleh pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Salah satu unsur sistem hukum yang sangat berpengaruh dalam politik hukum ialah materi (substance) dari peraturan perundang-undangan itu sendiri. Politik hukum yang menyangkut rencana pembangunan materi hukum di Indonesia saat ini telah dimuat di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas itu memuat gambaran rencana tentang hukum-hukum apa yang akan dibuat dalam periode tertentu, dan juga sebagai wadah pembentukan peraturan perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun pada tingkat daerah. Sebagai bagian dari permasalahan nasional, bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam juga sudah menjadi bagian yang penting serta tidak terpisahkan dari perumusan Prolegnas tersebut dalam rangka menciptakan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam secara lestari. *** - 14 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA BAB II ARAH KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Persoalan lingkungan merupakan salah satu persoalan dunia yang mengemuka pada seperempat abad terakhir, termasuk di Indonesia, sehingga isu lingkungan ini menjadi sangat menarik untuk didiskusikan. Ada berbagai variabel yang mempengaruhi lingkungan, mulai dari politik, ekonomi, sosial, hukum, budaya bahkan agama, sehingga pengelolaannya harus dipandang pula sebagai masalah yang interdisipliner. Upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan hendaknya dilakukan secara sistematis dan terpadu bagi pelestarian fungsi lingkungan hidup dan bagi pencegahan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan itu meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Amanat pasal itu memiliki makna bahwa terdapat korelasi antara negara, wujud perbuatan hukumnya berupa kebijakan (policy making), serta sistem tata kelola lingkungan yang bertanggung jawab. - 15 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Dalam banyak kasus di bidang lingkungan yang telah mencuat mengindikasikan bagaimana sesungguhnya terjadi perbedaan “hitamputih” (yang kontras) antara apa yang sudah dituangkan dalam regulasi sebagai perwujudan kepedulian negara, aspirasi rakyat yang dimanifestasikan dalam kelembagaan perwakilan (Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), serta upaya lembaga yudisial sebagai garda terakhir dalam penegakan hukum (law enforcement). Muara dari kegagalan pemerintah dan lembaga peradilan dalam menangani persoalan lingkungan membawa akibat pada resistensi rakyat korban masalah lingkungan, misalnya dengan melakukan aksi demo disertai blokade jalan, merusak fasilitas industri, baik milik investor domestik maupun asing, atau bentuk pembangkangan rakyat, yang kesemuanya menggambarkan upaya penggunaan “senjata terakhir dari kaum yang kalah” (weapons of the weak). Sebagai salah satu contoh, dapat dilihat pada kasus lumpur panas di Porong, Kabupaten Sidoarjo, yang mulai terjadi pada tanggal 29 Mei 2006. Kasus ini semula merupakan kasus berskala regional, namun pada akhirnya mengemuka pula sebagai kasus berskala nasional dan sekaligus menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengatasinya. Kasus lumpur panas di Sidoarjo tersebut mencapai luas 65.000 hektar (ha), belum termasuk 42.800 ha di Pejarakan, Besuki, serta Kedung Cangkring, juga telah merusak 10.426 unit bangunan, 65 masjid serta mushala, 33 sekolah, 31 pabrik, dan 4 kantor. 1 Persoalan 1 Kompas (12 Mei 2007). - 16 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA ganti rugi akibat luapan lumpur panas yang sesungguhnya menjadi kewajiban pihak perusahaan (PT. Minarak Lapindo Jaya) ternyata tidak sanggup dibayar oleh perusahaan secara keseluruhan. Untuk menangani kasus tersebut, pemerintah telah mencoba melakukan upaya dengan membentuk Tim Nasional yang kemudian diganti menjadi Badan Penanggulangan Lumpur. Juga telah dilakukan upaya-upaya seperti dengan membuat saluran pengelak, bola beton, serta rencana counter weight, namun semuanya belum menunjukkan hasil yang signifikan. Berdasarkan fakta kasus tersebut, maka terdapat persoalan mendasar yang mencakup persoalan orientasi dasar lingkungan berbasis negara (pemerintah) atau state based environmental management. Kuatnya pengaruh variabel politik serta ekonomi dan juga tradisi hukum tertulis (positive law tradition) terhadap kebijakan pengelolaan lingkungan membawa dampak negatif terhadap politik hukum dan substansi regulasi pengelolaan lingkungan (state based environmental management). Konsep ini pada gilirannya akan menciptakan bentuk kebijakan, pengaturan maupun penegakan hukum yang mengenyampingkan etika serta moral, kearifan lokal (indigenous knowledge), dan kritik maupun keluhan korban masalah lingkungan. Isu lingkungan telah menjadi isu global. Baik “Caring for the Earth: a Strategy for Sustainable Living” yang disusun oleh IUCN, UNEP dan WWF pada tahun 1980, yang kemudian diterjemahkan menjadi “Pembangunan Berkelanjutan,” maupun konsep United Nation Development Program 2006-2010 pada tahun 2005 yang dinamakan “Millennium Development Goals” (MDG’s) yang - 17 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA dilatarbelakangi oleh krisis multidimensi dan adanya transformasi politik, ternyata belum menyentuh seluruh pemangku kepentingan (stake holders) yang terkait dengan masalah lingkungan, khususnya di tingkat akar rumput (grassroots atau rakyat). Artinya, wacana global itu masih sebatas pada elit pemerintah, teknokrat maupun kalangan intelektual (akademis). Juga forum seminar, lokakarya, atau diskusi publik masih sebatas mengagungkan isu tersebut sebagai wacana belaka. Akhirnya, kesenjangan konsep dan cara pandang antara pemerintah dan warga negara mengenai isu lingkungan berujung pula pada dicederainya rasa keadilan rakyat. A. Peran Manusia dalam Ekosistem Bumi Segala sesuatu di dunia ini berhubungan satu dengan yang lain. Antara manusia dan manusia, antara manusia dan hewan, antara manusia dan tumbuhan, bahkan antara manusia dan benda mati sekalipun. Begitu pula antara hewan dan hewan, antara hewan dan tumbuhan, antara hewan dan manusia, bahkan antara hewan dan benda mati di sekelilingnya. Begitupun juga dengan tumbuh-tumbuhan. Pengaruh antara satu komponen dan komponen lainnya ini bermacammacam bentuk, bermacam-macam sifat, dan dapat menimbulkan reaksi yang beragam pula. 2 Kitab suci agama Islam, Kristen dan Yahudi telah mencatat banyak masalah lingkungan yang dihadapi oleh manusia. Air bah yang dihadapi oleh Nabi Nuh, atau berbagai kesulitan yang dihadapi Nabi 2 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan (Yogyakarta: UGM Press, 2006), hlm. 1. - 18 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Musa di gunung pasir pada waktu pengembaraannya dari Mesir ke Kanaan, merupakan contoh-contoh permasalahan lingkungan. 3 Suatu peristiwa yang menimpa diri seseorang dapat disimpulkan sebagai resultante dari berbagai pengaruh di sekitarnya. Begitu banyak pengaruh yang mendorong manusia ke dalam suatu keadaan tertentu, sehingga adalah wajar jika manusia itu kemudian juga berusaha untuk mengerti apakah sebenarnya yang mempengaruhi dirinya dan sampai berapa besarkah pengaruh-pengaruh tersebut. 4 Lingkungan hidup merupakan bagian yang mutlak dari kehidupan setiap manusia. Manusia bernafas, mendapatkan terang (cahaya) karena ada udara dan matahari, demikian juga kebutuhan manusia untuk mencari makan, minum, membuat rumah, dan berteduh adalah juga diperolehnya dari lingkungan. Jadi, kehadiran lingkungan itu sebenarnya sangat penting dan sangat menentukan bagi kehadiran dan kelangsungan hidup manusia, juga bagi kebudayaan dan peradabannya. Atau dengan kata lain, faktor lingkungan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan secara mutlak bagi manusia. 5 Noughton dan Larry L. Wolf mengartikan lingkungan dengan semua faktor eksternal yang bersifat biologis dan fisika yang langsung mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi organisme. 6 Selain itu, pakar ekologi, Otto Soemarwoto, mengartikan lingkungan sebagai semua benda dan kondisi yang ada 3 Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Jakarta: Djambatan, 1983), hlm. 4. 4 Ibid. 5 N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan (Jakarta: Pancuran Alam, 2006), hlm. 3. 6 Ibid. - 19 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA dalam ruang yang manusia tempati yang mempengaruhi kehidupan manusia. 7 Sedangkan Munadjat Danusaputro mengartikan lingkungan hidup sebagai semua benda dan perbuatannya yang terdapat dalam ruang tempat manusia berada dan mempengaruhi hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya. 8 Secara umum, lingkungan dapat dibagi dalam 3 (tiga) bentuk yang dominan, yaitu: 1. Lingkungan alam, yaitu lingkungan yang bersifat alami dan merupakan kandungan dari alam raya ini, seperti oksigen, air, dan karbon dioksida. 2. Lingkungan buatan, yaitu lingkungan yang merupakan hasil rekayasa manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan fisiknya, seperti jalan raya, jembatan, dan gedung. 3. Lingkungan sosial budaya, yaitu lingkungan yang timbul sebagai akibat dari kebutuhan bersosialisasi di masyarakat. Ketiga jenis lingkungan tersebut berada dalam suatu ekosistem besar yang disebut bumi yang merupakan pendukung kehidupan manusia (life-support system) di planet bumi yang merupakan bagian dari sistem planet jagat raya yang berpusat pada matahari sebagai sumber energi dan daya gerak sistem. 9 7 Otto Soemarwoto, op.cit. Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan: Buku I Umum (Bandung: Bina Cipta, 1980), hlm. 28. 9 Daud Silahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia (Bandung: Alumni, 2001), hlm. 4. 8 - 20 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA EKOSISTEM BUMI Lingkungan Buatan Lingkungan Alam M Lingkungan Sosial Budaya M= Manusia Keberadaan manusia di dalam ketiga jenis lingkungan yang disebutkan di atas sangat penting. Manusia tidak dapat hanya berkutat pada satu jenis lingkungan saja, melainkan manusia harus berada di antara titik singgung ketiga lingkungan tersebut. Hal ini tentunya juga sejalan dengan apa yang tertulis di dalam Kitab Suci Al-Qur’an yang menempatkan manusia sebagai khalifah di bumi ini. 10 B. Periode Green History: Keunggulan Daerah Tropis Seperti telah dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya, dapat dilihat bahwa manusia mempunyai peran yang sangat penting dan merupakan titik sentral dalam pengelolaan ekosistem jagat raya 10 Ibid. - 21 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA ini. Dalam proses penciptaan jagat raya, setiap sudut di dunia mempunyai kekhasan masing-masing yang merupakan suatu kelebihan dan sekaligus juga dapat dipandang sebagai kelemahan daerah tertentu. Secara geografis, dunia terbagi dengan dipisahkan oleh garis katulistiwa atau ekuator yang membelah tepat di titik 0 (nol) bujur dan lintang. Sebagai konsekuensi dari faktor geografis tersebut, maka terjadi perbedaan iklim dan musim di tiap negara. Salah satu bagian bumi yang mendapatkan perhatian dari hampir seluruh penghuni jagat raya adalah daerah (belahan) tropis. Daerah tropis adalah daerah di permukaan bumi, yang secara geografis berada di sekitar ekuator, yang dibatasi oleh 2 (dua) lintang, yaitu: 23.5 LS dan 23.5 LU, tropis: Tropik Cancer di Utara dan Tropik Capricorn di Selatan. Area ini terletak di antara 23.50 LS dan 23.50 LU, serta termasuk seluruh bagian dari bumi di mana matahari mencapai sebuah titik di atas kepala paling tidak sekali selama sepanjang tahun (di atas Tropik Cancer dan di bawah Tropik Capricorn matahari tidak pernah mencapai ketinggian 900 atau tepat di atas kepala. Kata “tropik” berasal dari bahasa Yunani “troops” yang berarti berputar, karena posisi matahari yang berubah antara 2 (dua) tropik dalam periode yang disebut tahun. 11 Pada saat sebagian penghuni bumi menyadari bahwa belahan timur bumi ini, khususnya dengan iklim tropisnya memiliki keunggulan geografis yang mengakibatkan tanah di daerah tropis lebih subur dan produktif dalam hal sumber daya alam, maka mulai lahirlah 11 <http://id.wikipedia.org/wiki/tropis>. - 22 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA motif-motif ekonomi yang menjadi trigger dalam usaha kolonialisasi. Latar belakang geografis tersebut juga memberikan dampak bagi pengembangan pribadi sumber daya manusia di sekitar. Penghuni daerah tropis dengan segala kemudahannya cenderung untuk tidak berusaha dengan keras dalam menjalani hidup, sebaliknya negara dengan iklim nontropis lebih unggul dalam teknologi dan sikap sekulernya untuk mengejar kemakmuran duniawi. 12 Efek geografis yang juga terdapat di tanah nusantara ini, menjadi salah satu alasan masuknya penjajah ke tanah nusantara pada saat itu. Bahkan kabar kemakmuran tanah nusantara dan hasil rempahrempahnya sudah dikenal oleh para penjajah bangsa Eropa pada saat itu. Tidak heran hal ini menjadi motivasi utama terjadinya penjajahan di bumi pertiwi. Hal ini paling tidak dapat diidentifikasikan dengan datangnya penjajah mulai dari Portugis dengan mencari rempahrempah hingga kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) yang hendak melakukan ekspansi ekonomi. 13 12 Penulis mendapatkan informasi tersebut dari hasil wawancara pribadi penulis dengan Soetandyo Wignjosoebroto, yang menurut penulis mempunyai pengetahuan lebih mengenai perkembangan pada era kolonialisme. 13 Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) atau biasa disingkat VOC didirikan pada tanggal 20 Maret 1602. VOC adalah perusahaan Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Disebut Hindia Timur karena ada pula VWC yang merupakan Perserikatan Dagang Hindia Barat. Perusahaan ini dianggap sebagai perusahaan pertama yang mengeluarkan pembagian saham. Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah badan dagang saja, tetapi badan dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa. Misalkan, VOC boleh memiliki tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain. Bisa dikatakan VOC adalah negara dalam negara. VOC terdiri 6 Bagian (Kamers) di Amsterdam, Middelburg (untuk Zeeland), Enkhuizen, - 23 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Portugis konon menjadi pioneer dalam melakukan penjelajahan di bumi nusantara ini. Pada sekitar tahun 1509, orangorang Portugis menginjakkan kaki pertama kali di Melaka yang kemudian melebarkan daerah jajahannya ke hampir seluruh penjuru Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan hingga Nusa Tenggara. Proses pelebaran daerah jajahan itu dilakukan sampai akhir tahun 1500-an. Namun, Portugis mengalami banyak perlawanan, baik dari masyarakat lokal yang dipayungi oleh kerajaan-kerajaan maupun dari utusan Negeri Belanda yang juga mulai menancapkan kekuasaannya di Indonesia. Pada saat penjajahan Portugis, berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis terhadap berbagai sumber, tidak ditemukan satu aturanpun yang dibuat oleh Portugis saat itu untuk mengatur sumber daya alam di bumi nusantara, baik dengan maksud untuk melindungi maupun dengan tujuan untuk melakukan eksploitasi. Pada sekitar akhir tahun 1601, beberapa kapal milik Belanda mulai mengalahkan armada Portugis dalam pertempuran di Pelabuhan Banten, dan hal ini menjadi tonggak awal dimulainya penjelajahan Belanda di nusantara. Faktor ekonomi menjadi alasan utama dari praktik kolonialisme Belanda dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)-nya di wilayah Hindia Belanda. Selama masa Delft, Hoorn, dan Rotterdam. Delegasi dari ruang ini berkumpul sebagai Heeren XVII (XVII Tuan-Tuan). Kamers menyumbangkan delegasi ke dalam XVII sesuai dengan proporsi modal yang mereka bayarkan. Delegasi Amsterdam berjumlah delapan. Di Indonesia VOC, memiliki sebutan populer ”kompeni” atau ”kumpeni.” Istilah ini diambil dari kata “compagnie” pada nama lengkap perusahaan tersebut dalam bahasa Belanda. Tetapi rakyat nusantara lebih mengenal kompeni sebagai tentara Belanda karena penindasannya dan pemerasan kepada rakyat nusantara yang sama seperti tentara Belanda. - 24 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA penjajahan, Pemerintah Hindia Belanda cukup memperhatikan masalah pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam pada saat itu. Apabila diperhatikan peraturan perundang-undangan pada masa Hindia Belanda, maka dapat diketahui bahwa yang pertama kali diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda saat itu ialah mengenai perikanan mutiara dan perikanan bunga karang, yaitu melalui Parelvisscherij, Spoonsenvisscherijordonantie (Stbl. 1916 No. 157) yang dikeluarkan di Bogor oleh Gubernur Jenderal Idenburg pada tanggal 29 Januari 1916. 14 Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dalam rangka pengelolaan sumber daya alam berikutnya ialah Penetapan Gubernur Jenderal Nomor 86 dengan Visscherijordonantie (Stbl. 1920 No. 396), yang mengatur perlindungan terhadap ikan yang meliputi telur ikan, benih ikan dan segala kerang-kerangan. Ordonantie ini kemudian juga menghasilkan peraturan di bidang perikanan lainnya, yaitu Kustvisscherijordonantie (Stbl. 1927 No. 144) yang berlaku sejak tanggal 1 September 1927. 15 Salah satu ordonantie yang cukup penting pada masa Pemerintah Hindia Belanda ialah Hinder-Ordonantie (Stbl. 1926 No. 226), yang mengatur mengenai izin gangguan yang harus dimiliki oleh setiap pelaku usaha tertentu dalam menjalankan usahanya. Kurang lebih terdapat 20 (dua puluh) jenis usaha yang wajib tunduk pada ordonantie ini. 16 Dalam hal perlindungan satwa, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan dalam Dierenbeschermingordonantie (Stbl. 14 Koesnadi Hardjosoemantri, op.cit., hlm. 65. Ibid., hlm. 66. 16 Ibid. 15 - 25 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 1931 No. 134) yang berlaku pada tanggal 1 Juli 1931. Sedangkan dalam bidang perusahaan, ordonantie yang dikeluarkan dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan ialah Bedrijfsreglementeringsordonantie 1934 (Stbl. 1938 No. 86). 17 Berdekatan dengan ordonantie tersebut ialah peraturan yang dikeluarkan mengenai perburuan, yaitu Jachtordonantie 1931 (Stbl. 1931 No. 133), dan Natuurbeschermingordonantie (Stbl. 1941 No. 167) yang mencabut ordonantie tentang cagar-cagar alam dan suakasuaka margasatwa, yaitu Natuurmonomenten en Wildreservatenordonantie (Stbl. 1931 No. 17). Dalam hal penataan kota, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang termuat dalam Stadsvormingsordonantie (Stbl. 1948 No. 168). Namun demikian, ordonantie ini menjadi polemik apabila dilihat dari tahun pembuatannya yang ternyata 3 (tiga) tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. 18 Dari rangkaian paparan mengenai peraturan di atas, dapat dilihat bahwa Pemerintah Hindia Belanda telah mempunyai perhatian yang besar terhadap masalah pengelolaan lingkungan serta sumber daya alam di wilayah Hindia Belanda (Indonesia), walaupun hal tersebut dilakukan dengan motif ekonomi. Pada awal tahun 1940, perang dunia ke-2 berlangsung di berbagai belahan bumi. Di wilayah Indonesia, penjajah Belanda mulai mendapatkan perlawanan dari tentara Jepang, yang berpuncak pada pengambilalihan wilayah Indonesia oleh Jepang pada tahun 1942. 17 18 Ibid., hlm. 67. Ibid., hlm. 77. - 26 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Sepanjang pendudukan Jepang di Indonesia, hampir tidak ada peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, kalaupun ada, itu hanya berupa Osamu S Kanrei No. 6 yang mengatur mengenai larangan penebangan pohon aghata, alba dan balsem tanpa izin Gunseikan. 19 Peraturan pengelolaan lingkungan hidup prakemerdekaan. No. Peraturan Bidang Pengaturan 1. Parelvisscherij, Spoonsenvisscherijordonantie (Stbl. 1916 No. 157) Perikanan mutiara dan perikanan bunga karang. 2. Visscherijordonantie (Stbl. 1920 No. 396) Perlindungan terhadap ikan yang meliputi telur ikan, benih ikan dan segala kerangkerangan. 3. Kustvisscherijordonantie (Stbl. 1927 No. 144) Perlindungan perikanan. 4. Hinder-ordonantie (Stbl. 1926 No. 226) Izin gangguan. 5. Dierenbeschermingordonantie (Stbl. 1932 No. 17) Perlindungan satwa. 6. Natuurmonumenten en Wildreservatenordonantie (Stbl. 1932 No. 17) Cagar alam dan suaka margasatwa. 7. Jachtordonantie 1931 (Stbl. 1931 No. 133) Perburuan. 19 Ibid., hlm. 78. - 27 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 8. Bedrijfsreglementeringsordonantie 1934 (Stbl. 1938 No. 86) Pengelolaan lingkungan. 9. Stadsvormingsordonantie (Stbl. 1948 No. 168) Tata kota. 10. Osamu S Kanrei No. 6 Larangan penebangan pohon aghata, alba dan balsem tanpa izin Gunseikan. Walaupun pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup pada masa penjajahan lebih didominasi oleh motivasi ekonomi dan kekuasaan, namun hal ini jelas menunjukkan telah adanya kesadaran penjajah untuk menempatkan lingkungan hidup tidak lagi sekedar sebagai objek eksploitasi. C. Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Semangat Kemerdekaan Pendudukan Jepang tidak berlangsung lama di Indonesia, dan Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada masa awal kemerdekaan, masalah lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam kurang mendapatkan perhatian. Masa awal kemerdekaan itu sering disebut juga sebagai tahapan persiapan menuju pembangunan dan demokrasi di Indonesia. Dalam masa ini, para aparatur serta pimpinan negara lebih berkonsentrasi pada upaya untuk menciptakan kepastian hukum, demokrasi, serta kemandirian ekonomi. Namun demikian, telah - 28 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA dirumuskan pula kaedah dasar yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup di Indonesia tersebut terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang berbunyi: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Ketentuan tersebut menegaskan kewajiban negara dan tugas pemerintah untuk melindungi segenap sumber-sumber insani Indonesia dalam lingkungan hidup Indonesia guna kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan segenap umat manusia. 20 Walaupun hal ini telah dipertegas dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengatur mengenai pola pemanfaatan sumber daya alam yang ada, namun hal tersebut terlihat terlalu ambisius dan terlalu klise serta tidak 20 Ibid., hlm. 74. - 29 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA aplikatif. 21 Sama halnya dengan yang termuat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Agraria yang memberikan kewenangan terhadap negara dalam proses pengelolaan sumber daya alam yang tersedia. Namun, ternyata kewenangan tersebut tidak diiringi oleh suatu aturan pelaksanaan pemanfaatan secara lestari. 22 Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa pada negara-negara berkembang dan yang baru merasakan kemerdekaan isu mengenai lingkungan hidup dan sumber daya alam masih kurang mendapatkan perhatian. D. Pergeseran Persepsi Dunia Internasional terhadap Lingkungan Hidup Momentum kemerdekaan di Indonesia hampir berbarengan dengan momentum kemerdekaan negara lain di seluruh penjuru dunia. Pada tahun 1948, dengan adanya Universal Declaration of Human Rights, yang salah satu point-nya menekankan bahwa segala bentuk penjajahan harus dihapuskan di bumi ini, maka berakhir juga periode green history yang menempatkan alam dan lingkungan ini sebagai objek eksploitasi. Sadar akan kesalahan dalam pengelolaan lingkungan hidup pada masa lalu, perlahan-lahan perhatian dunia terhadap lingkungan hidup yang lestari mulai muncul di berbagai belahan di dunia. Diawali dengan adanya berbagai kerusakan lingkungan dan sumber daya alam yang semakin meningkat yang justru bersumber dari perbuatan manusia, terlebih lagi dengan diperkenalkannya sistem industri pada 21 Naoyuki Sakumoto, Development of Environmental Law and Legal Reform in Indonesia (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2007), hlm. 221. 22 Ibid. - 30 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA awal abad ke-19. Pada tahun 1962, juga terbit buku karangan Rachel Carson yang berjudul The Silent Spring yang menarik perhatian banyak orang pada saat itu. Buku tersebut menggambarkan masalah lingkungan yang terjadi di mana-mana, seperti menyebarnya penyakit yang menyerang ternak dan manusia. 23 Sebelum buku Carson terbit, telah terjadi pula malapetaka berupa pencemaran lingkungan oleh zat merkuri di Teluk Minamata, Jepang. Pencemaran itu terjadi disebabkan oleh pabrik-pabrik yang berada di pinggir Sungai Minamata, sehingga berakibat rusaknya sistem kesehatan penduduk, khususnya yang berada di wilayah Minamata. Di wilayah lain di Negara Jepang juga terjadi pencemaran oleh limbah cadnium yang dibuang oleh pabrik-pabrik ke Sungai Jintsu yang menimbulkan penyakit intai-intai. 24 Berdasarkan realitas yang terjadi pada berbagai belahan dunia sebagaimana diuraikan di atas, perhatian kemudian datang dari Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada waktu melakukan peninjauan terhadap hasil-hasil gerakan Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-1 (1960-1970) guna merumuskan strategi Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-2 (1970-1980). 25 Pembicaraan masalah lingkungan hidup ini diajukan oleh wakil dari Swedia pada tanggal 1968, yang salah satu rekomendasinya mengatakan bahwa 23 N.H.T. Siahaan, op.cit., hlm. 21. Ibid. 25 Koesnadi Hardjasoemantri, op.cit., hlm. 6. 24 - 31 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA hukum yang semula hanya mengatur kehidupan manusia (homo ethic), mulai harus bergeser pada pemikiran untuk dapat mengatur kehidupan lingkungan atau ekologi (eco ethic). 26 Dalam laporan Sekretaris Jenderal PBB, dinyatakan betapa mutlak perlunya dikembangkan sikap dan tanggapan baru terhadap masalah lingkungan hidup. Maksud dari upaya penanganan masalah lingkungan hidup itu ialah demi terciptanya pertumbuhan ekonomi dan sosial, khususnya mengenai perencanaan, pengelolaan dan pengawasannya. Walaupun isu-isu ekonomi tetap mendominasi pada tahap (masa) ini, namun pandangan hidup terhadap masalah lingkungan hidup mulai berubah. Lingkungan hidup dan sumber daya alam yang tersedia tidak lagi dianggap sebagai objek, melainkan sudah dianggap menjadi salah satu bagian dari capital yang harus dikelola dengan cermat. E. Konferensi Tingkat Tinggi Stockholm dan Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 1982 Laporan Sekretaris Jenderal PBB yang menyoroti masalah lingkungan, sebagaimana telah disinggung di atas, akhirnya diajukan kepada Sidang Umum PBB pada tahun 1969, dan kemudian disahkan dengan Resolusi Sidang Umum PBB Nomor 2581 (XXVI) pada tanggal 15 Desember 1969. Resolusi tersebut direalisasikan dengan menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia 26 Penjelasan dari Bambang Prabowo Soedarso yang disampaikan pada kuliah Hukum Lingkungan, pada Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta, 2007. - 32 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA pada tanggal 5 Juni-16 Juni 1972 di Stockholm, Swedia. 27 Konferensi itu dihadiri oleh 113 (seratus tiga belas) negara, 21 (dua puluh satu) badan atau organisasi PBB, 16 (enam belas) organisasi antarpemerintah (IGOs), dan 258 (dua ratus lima puluh delapan) organisasi nonpemerintah (NGOs) yang mewakili berbagai kelompok, termasuk di dalamnya organisasi atau lembaga swadaya masyarakat seperti Sierra Club, The International Association of Art Critics sebagai peninjau. 28 Sebagai tindak lanjutnya, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1972 tentang Panitia Perumus dan Rencana Kerja di Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup, Pemerintah Indonesia membentuk panitia yang bersifat antardepartemen yang disebut dengan Panitia Perumus dan Rencana Kerja bagi Pemerintah di Bidang Lingkungan Hidup untuk merumuskan dan mengembangkan rencana kerja di bidang lingkungan hidup. Panitia yang diketuai oleh Emil Salim selaku Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN)/Wakil Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tersebut berhasil merumuskan program kebijaksanaan lingkungan hidup sebagaimana tertuang dalam butir 10 Bab II Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1973-1978, dan Bab 4 Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) II. Keberadaan lembaga yang khusus mengelola lingkungan hidup itu memang dirasakan mendesak agar pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, baik di tingkat pusat maupun di daerah, lebih terjamin. 27 28 Koesnadi Hardjasoemantri, op.cit., hlm. 8. Daud Silalahi, op.cit., hlm. 21. - 33 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 3 (tiga) tahun kemudian, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1975 tentang Pembentukan Panitia Inventarisasi dan Evaluasi Kekayaan Alam, dengan tugas pokoknya ialah untuk menelaah secara nasional pola-pola permintaan dan persediaan serta perkembangan teknologi, baik di masa kini maupun di masa mendatang, serta implikasi sosial, ekonomi, ekologi dan politis dari pola-pola tersebut. Dalam periode ini, telah dilakukan persiapan penyusunan perangkat perundang-undangan dan kelembagaan yang menangani pengelolaan lingkungan hidup. Konferensi Stockholm secara khusus membahas mengenai keprihatinan terhadap permasalahan lingkungan yang dirasakan semakin problematis di berbagai belahan dunia. Di satu pihak, terdapat sejumlah manusia di berbagai negara yang menderita kemiskinan dan keterbelakangan sehingga mempengaruhi lingkungan hidupnya. Masalah ini menimbulkan keadaan dilematis antara penyelesaian kemiskinan dan perusakan lingkungan, dan hal itu tercermin dari ungkapan negara-negara berkembang yang menyatakan, “berilah kami pencemaran asal negara kami maju.” Sementara di pihak lain, negara-negara maju berpacu mengejar pembangunan dan kemajuan, juga memaksa lingkungan hidupnya menjadi rusak dengan berbagai dimensinya. 29 Dalam rangka melakukan pembahasan terhadap permasalahan lingkungan tersebut, Konferensi Stockholm membagi pembahasan ke dalam 3 (tiga) komisi yang selanjutnya membahas 6 (enam) mata acara pokok, yaitu: 30 29 30 N.H.T. Siahaan, op.cit., hlm. 22. Daud Silalahi, op.cit. - 34 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 1. Komisi I: membahas mata acara mengenai masalah pemukiman dan aspek-aspek pendidikan dan informasi. 2. Komisi II: membahas mata acara pokok pengelolaan sumber daya alam dan mengenai lingkungan serta pembangunan. 3. Komisi III: membahas mata acara mengenai implikasi keorganisasian dan identifikasi serta pengendalian zat pencemar. Setelah mengadakan sidang selama kurang lebih 10 (sepuluh) hari, pada tanggal 16 Juni 1972, konferensi mengakhiri sidangnya dengan mengeluarkan beberapa rekomendasi, yaitu: 31 1. Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia, yang terdiri atas: 26 (dua puluh enam) preamble, dan 26 (dua puluh enam) asas yang lazim disebut Stockholm Declaration. 2. Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang menunjang pelaksanaan rencana aksi tersebut, yang terdiri atas: a. Dewan Pengurus Program Lingkungan Hidup (United Nation Environment Program); b. Sekretariat, yang dikepalai oleh direktur eksekutif; c. Dana lingkungan hidup, dan; d. Badan Koordinasi Lingkungan Hidup. 3. Penetapan hari lingkungan hidup sedunia pada tanggal 5 Juni. Hasil dari Konferensi Stockholm sedikit banyak mempengaruhi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Hal 31 Koesnadi Hardjasoemantri, op.cit., hlm. 8-9. - 35 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA itu tercermin dalam Bab III Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang butir 10 dari Pendahuluan GBHN 1973-1978 yang memuat penjelasan: “Dalam pelaksanaan pembangunan, sumber-sumber alam Indonesia harus digunakan secara rasional. Penggalian sumber kekayaan alam tersebut harus diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh dan dengan memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang.” 32 Periode ini menandai daya tanggap dan cikal bakal bangkitnya kesadaran lingkungan Indonesia ketika pembangunan nasional memasuki Pelita I (1969-1974). Perhatian terhadap masalah lingkungan mulai terlihat pada peraturan perundang-undangan yang disusun beserta kebijaksanaan dan program sektoral yang dihasilkan selama periode tersebut. Peraturan perundang-undangan itu sudah memuat ketentuan yang mengatur pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dengan mempertimbangkan aspek konservasinya. Selain itu, konsepsi serta kebijaksanaan pengembangan wilayah yang dianut sektor juga sudah memasukkan pertimbangan lingkungan. Akan tetapi, pendekatan yang dilakukan masih bersifat sektoral dan dengan perhatian terhadap aspek pengelolaan lingkungan yang masih belum memadai. Sementara itu, perhatian terhadap lingkungan hidup di kalangan perguruan tinggi dirintis oleh Universitas Padjadjaran, Bandung, melalui pendirian Lembaga Ekologi pada tanggal 23 September 1972. Sebagai persiapan menghadapi Konferensi Stockholm, pada tanggal 15 Mei-18 Mei 1972 diselenggarakan 32 Ibid., hlm. 58. - 36 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA seminar tentang “Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional” oleh Universitas Padjadjaran di Bandung. Seminar itu membahas mengenai “Peraturan Hukum Masalah Lingkungan Manusia: Beberapa Pikiran dan Saran.” Hasilnya kemudian dijabarkan ke dalam Country Report Republik Indonesia dan disampaikan pada Konferensi Stockholm itu. Dalam bentuk kebijakan kelembagaan, untuk melaksanakan amanat GHBN 1978, maka berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1978 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, dan Tata Kerja Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Menteri Negara Riset dan Teknologi serta Susunan Organisasi Stafnya jo. Keputusan Presiden Nomor 35 Tahun 1978 tentang Perubahan, Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1978 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, dan Tata Kerja Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Menteri Negara Riset dan Teknologi serta Susunan Organisasi Stafnya, dalam Kabinet Pembangunan III diangkat Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (MENPPLH) dengan tugas pokok mengoordinasikan pengelolaan lingkungan hidup di berbagai instansi pusat maupun daerah, khususnya untuk mengembangkan segi-segi lingkungan hidup dalam aspek pembangunan. Sedangkan tugas pertamanya ialah mempersiapkan perumusan kebijakan pemerintah mengenai pelaksanaan pengawasan pembangunan dan pengelolaan serta pengembangan lingkungan hidup. Jabatan MENPPLH dipegang oleh Emil Salim. - 37 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Kemudian dalam upaya memantapkan koordinasi pengelolaan lingkungan di daerah, Menteri Dalam Negeri menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 240 Tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Wilayah/Daerah Tingkat I dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I, yang di dalamnya terdapat Biro Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Salah satu produk hukum terpenting yang dihasilkan selama periode Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (MENPPLH) ialah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. UndangUndang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan landasan bagi berbagai ketentuan dan peraturan mengenai masalah pengelolaan lingkungan hidup, seperti perlindungan, pelestarian serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup, analisis mengenai dampak lingkungan, baku mutu lingkungan, dan lain-lain. Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Lingkungan Hidup sebenarnya telah dimulai pada tahun 1976 dengan persiapan pembentukan kelompok kerja hukum dan aparatur dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Pada periode ini, beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan lingkungan dihasilkan oleh berbagai instansi sektoral. Di sejumlah perguruan tinggi, perhatian terhadap lingkungan hidup juga mulai berkembang, antara lain dengan dibentuknya lembaga yang bergerak di bidang penelitian masalah lingkungan, seperti Pusat Studi dan Pengelolaan Lingkungan Institut Pertanian Bogor, dan Pusat Studi Lingkungan Institut Teknologi Bandung. - 38 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Pengelolaan lingkungan hidup pada periode ini masih berupa langkah awal pemantapan kemauan politik (political will) sebagai persiapan untuk mewujudkan gagasan-gagasan dari Konferensi Stockholm. Pada periode ini, belum ada lembaga khusus serta perangkat peraturan perundang-undangan yang menangani masalah lingkungan secara komprehensif, dan ini merupakan kendala yang perlu penanganan segera pada waktu itu. Pengelolaan dan pembangunan lingkungan hidup di Indonesia dapat dikatakan relatif belum lama dan baru dirintis menjelang Pelita III. Namun demikian, dalam waktu yang relatif pendek itu Indonesia telah banyak berbuat untuk mulai mengelola lingkungan hidupnya. Hasil utama dari upaya pengembangan pengelolaan lingkungan hidup itu nampak pada munculnya kesadaran dan kepedulian di kalangan masyarakat, antara lain dapat dilihat pada adanya peningkatan upaya nyata swadaya masyarakat dalam memecahkan masalah pencemaran di daerah. Padahal, 20 (dua puluh) tahun sebelumnya, istilah lingkungan hidup itu sendiri masih belum begitu dikenal. Konsep dan kebijakan lingkungan hidup selama Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I mengalami perkembangan yang sangat berarti. Selama Pelita III, bidang lingkungan hidup ditangani oleh MENPPLH dengan prioritas pada peletakan dasar-dasar kebijaksanaan “membangun tanpa merusak,” dengan tujuan agar lingkungan dan pembangunan tidak saling dipertentangkan. Penanganan masalah lingkungan hidup tentu juga menuntut pengkajian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pendukungnya. Untuk itu, pada tahun 1979, dibentuklah Pusat Studi Lingkungan (PSL) yang tersebar di berbagai perguruan tinggi. - 39 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Meskipun secara struktural tetap berada di bawah dan bertanggung jawab pada universitasnya masing-masing, PSL memiliki peran yang sangat besar dalam pendidikan lingkungan hidup. Hampir semua pendidikan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dilakukan oleh PSL di bawah koordinasi MENPPLH. PSL juga banyak membantu di bidang penelitian masalah lingkungan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982, antara lain, telah menggariskan bahwa manusia dan perilakunya merupakan komponen lingkungan hidup. Karena itu, perlu adanya perpaduan antara aspek kependudukan ke dalam pengelolaan lingkungan hidup. Untuk hal tersebut, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1983 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, dibentuklah Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (MENKLH) dengan menterinya ialah Emil Salim. Pada periode MENKLH ini, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang merupakan pedoman pelaksanaan suatu proyek pembangunan. Setiap proyek yang diperkirakan memiliki dampak penting diharuskan melakukan studi AMDAL. Sementara itu, karena alasan kegiatan pembangunan yang semakin pesat dengan disertai dampaknya terhadap lingkungan, maka diperlukan pula adanya sebuah badan yang lebih bersifat operasional. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1990 kemudian dibentuk Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) yang bertugas melaksanakan pemantauan dan pengendalian kegiatan- - 40 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA kegiatan pembangunan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup. Dinamika selanjutnya juga ditandai dengan semakin berkembangnya Pusat Studi Kependudukan (PSK) dan PSL bukan hanya di perguruan tinggi negeri, tetapi juga di perguruan tinggi swasta. Saat itu tercatat ada 35 (tiga puluh lima) PSK, dan 67 (enam puluh tujuh) PSL yang tersebar di berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Keberadaan PSK dan PSL di setiap provinsi diharapkan akan dapat membantu pemerintah daerah dalam menangani persoalan lingkungan di daerahnya sesuai dengan karakteristik sosial, ekonomi, budaya, dan biogeofisik setempat. Keragaman seperti itu juga diharapkan dapat memperkaya upaya pengelolaan lingkungan di tingkat pusat yang pada gilirannya akan berguna dalam pengembangan kebijakan nasional pengelolaan lingkungan hidup. Pengembangan kelembagaan juga disertai dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dilakukan melalui jalur pendidikan, khususnya pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup, kursus-kursus, dan pelatihan serta pengembangan sistem dan penyebaran informasi kependudukan dan lingkungan hidup. Peningkatan kualitas sumber daya manusia ini dilakukan seluas mungkin dengan melibatkan partisipasi seluruh lapisan masyarakat. Pada periode MENPPLH pula, yaitu pada tahun 1981, penghargaan Kalpataru mulai diperkenalkan. Penghargaan dengan lambang “pohon kehidupan” ini diberikan kepada masyarakat yang telah memelihara lingkungan hidup dengan kesadaran sendiri tanpa mengharapkan imbalan dan prestasinya itu dinilai luar biasa. Pemberian Kalpataru biasanya dilakukan pada saat puncak peringatan - 41 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Hari Lingkungan Hidup pada tanggal 5 Juni setiap tahunnya mengikuti ketentuan dari United Nations Environment Programme (UNEP). Pada Pelita IV, bidang lingkungan hidup berada di bawah Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (MENKLH), dengan prioritas pada keserasian antara kependudukan dan lingkungan hidup. Pada Pelita V, kebijakan lingkungan hidup sebelumnya disempurnakan dengan mempertimbangkan keterkaitan 3 (tiga) unsur, yaitu antara unsur kependudukan, lingkungan hidup, dan pembangunan, guna mewujudkan konsep pembangunan berkelanjutan. Pembangunan hanya terlanjutkan dari generasi ke generasi apabila kebijakan dalam menangani ketiga bidang (unsur) tersebut selalu dilakukan secara serasi menuju satu tujuan. Apabila lingkungan dan sumber daya alam tidak mendukung dan menunjang sumber daya manusia atau sebaliknya, maka pembangunan mungkin saja dapat berjalan, namun dengan risiko timbulnya ancaman pada kualitas dan daya dukung lingkungan. Kebijaksanaan dasar yang bertumpu pada pembangunan berkelanjutan ini akan tetap menjadi pegangan dalam pengelolaan lingkungan hidup pada Pelita VI dan beberapa Pelita selanjutnya. Pada Pelita VI ini pula, bidang lingkungan hidup secara kelembagaan terpisah dari bidang kependudukan dan berada di bawah Menteri Negara Lingkungan Hidup (MENLH). Lingkungan hidup dirasakan perlu ditangani secara lebih fokus sehubungan dengan semakin luas, semakin dalam, dan kompleksnya tantangan pada era industrialisasi serta era informasi dalam PJP II (yang dimulai pada Pelita VI). - 42 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Dalam periode setelah pergantian dari Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup menjadi di bawah Menteri Negara Lingkungan Hidup, pada tahun 1988-1993, yang nampak gencar dilakukan ialah pemasyarakatan pembangunan berkelanjutan, dan seluruh bidang kegiatan lingkungan hidup pada periode itu ditujukan untuk menopang pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut juga berkaitan dengan penyelenggaraan Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup dan Pengembangan, atau yang lebih populer dikenal dengan sebutan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro pada bulan Juni 1992. Hasil-hasil dari KTT Bumi tersebut sangat menekankan perlunya konsep pembangunan berkelanjutan untuk menjamin pemanfaatan sumber daya alam tidak hanya untuk pembangunan di masa sekarang, melainkan juga untuk generasi yang akan datang. Di bawah Menteri Negara Lingkungan Hidup (MENLH) ini pula, muncul gagasan bahwa kependudukan dan lingkungan hidup merupakan 2 (dua) aspek yang tidak dapat saling dipisahkan. Perubahan di bidang kependudukan sangat berpengaruh dalam bidang lingkungan hidup. Demikian pula sebaliknya, lingkungan dituntut untuk selalu memiliki daya dukung bagi kehidupan. Karena itu, kebijakan yang dikembangkan dalam bidang kependudukan berbeda dengan periode sebelumnya. Masalah kependudukan tidak hanya dilihat dari segi demografi semata-mata (seperti masalah fertilitas, mortalitas dan migrasi), melainkan lebih menekankan pada unsur kualitas. Penduduk yang banyak tidak selamanya dapat dianggap sebagai beban. Kalau berkualitas, mereka justru dapat dijadikan modal pembangunan. Dalam kebijakan tersebut, dijelaskan - 43 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA pula bahwa masalah kependudukan dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan hidup. Karena itu, pengelolaan lingkungan hidup dilakukan sedemikian rupa sehingga daya dukungnya dapat dipertahankan baik melalui pengaturan tata ruang, penerapan AMDAL, rehabilitasi lingkungan, seperti Program Kali Bersih (PROKASIH), maupun pemanfaatan keanekaragaman hayati. Penegakan hukum juga mulai dikembangkan dalam periode ini, terutama sejak Pelita V, dengan mulai dirintisnya kerja sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Kasus-kasus penindakan terhadap industri yang mencemari lingkungan sudah banyak dilakukan terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan PROKASIH. Produk hukum yang penting yang dihasilkan selama periode MENLH 1988-1993 ini, antara lain, ialah di bidang kependudukan. RUU tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera telah disahkan DPR pada tanggal 21 Maret 1992, yang kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera pada tanggal 6 April 1992. Sedangkan untuk di bidang lingkungan hidup, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Baku Mutu Lingkungan, dan juga disetujuinya RUU tentang Penataan Ruang di DPR. MENLH juga telah mengeluarkan Keputusan Menteri Nomor 03 Tahun 1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair. Seperti periode sebelumnya, berbagai kelemahan masih dihadapi, baik dalam hal kebijakan, kelembagaan dan peraturan perundang-undangan, sumber daya manusia maupun pendanaan. Hal ini bukan dikarenakan kegagalan pembangunan di sektor lingkungan hidup, melainkan - 44 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA cenderung disebabkan karena semakin luas, intensif dan kompleksnya permasalahan lingkungan yang dihadapi bersamaan dengan semakin pesatnya kegiatan pembangunan selama periode dasawarsa MENLH tersebut. Masalah lingkungan hidup cenderung menjadi semakin luas dan kompleks, khususnya pada pembangunan jangka panjang ke dua (PJP II). Karena itu, maka dipandang perlu upaya pengelolaan lingkungan hidup yang lebih fokus. Pada awal periode Kantor MENLH dipimpin oleh Sarwono Kusumaatmadja sebagai menterinya telah diselenggarakan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) I Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan 1994. Rakornas I membahas dan merumuskan kebijakan serta strategi nasional pengelolaan lingkungan hidup dalam PJP II (periode 1994/1995-2019/2020). Perumusan kebijakan dan strategi nasional ini ditujukan untuk mengantisipasi kemungkinan penurunan kualitas lingkungan hidup di masa mendatang sehubungan titik berat PJP II pada bidang industri. Hasil penting dari Rakornas I tersebut ialah munculnya strategi dan kebijakan satu pintu dan Sasaran Repelita Tahunan (SARLITA). SARLITA merupakan penjabaran dari program Repelita yang diharapkan dapat menjadi acuan pokok dalam penyusunan dan penilaian rencana kegiatan pembangunan tahunan, khususnya yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Untuk penyusunan SARLITA Daerah sektor lingkungan hidup dilakukan oleh masing-masing provinsi sehingga diharapkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat. - 45 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Selama kurun waktu 1994-1995 Kantor MENLH turut menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang dikoordinasikan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Beberapa usulan yang disampaikan oleh Kantor MENLH tentang Program Legislasi Nasional ialah: 1. RUU tentang Penyempurnaan Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1982; 2. RUU tentang Penataan Ruang Kelautan; 3. RPP tentang Tata Cara Penetapan dan Pembayaran Biaya Pemulihan Lingkungan, Tata Cara Pengaduan, Penelitian dan Penuntutan Ganti Rugi, Pengendalian Perusakan Lingkungan, Pengendalian Pencemaran Udara, Laut, Kebisingan dan Tanah. Periode (kurun waktu) tersebut merupakan pancawarsa menuju pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dengan perhatian utama yang diarahkan kepada upaya pembinaan kemitraan kelembagaan. 33 F. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Reformasi membawa telah perubahan secara dramatis dalam sistem politik dan ketatanegaraan di Indonesia. Dan sejalan dengan itu, terjadi pula perubahan dalam sistem kepemerintahan. Namun demikian, masalah lingkungan yang dihadapi hingga masa reformasi 33 Informasi mengenai perkembangan kelembagaan dan kinerja dari Kementerian Lingkungan Hidup dapat dilihat pada situs <http://www.menlh.go.id/archive.php?action=branch&cat=345>. - 46 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA ini masih berkisar pada masalah sumber daya alam, populasi, dan kerja sama regional/internasional. Jumlah penduduk yang meningkat memberikan tekanan yang lebih besar kepada sumber daya alam. Salah satu dampaknya ialah kondisi kritis sumber daya air, khususnya untuk di Pulau Jawa. Hutan juga semakin menurun kualitas dan kuantitasnya akibat over exploitation dan pembakaran. Menyusutnya sumber daya hutan diikuti pula dengan menurunnya jumlah keanekaragaman hayati, hal yang sama juga terjadi di lingkungan pesisir dan laut. Kondisi ini diperburuk lagi dengan menurunnya kualitas udara akibat merebaknya industrialisasi dan perlakuan yang tidak ramah kepada atmosfer, seperti semakin banyaknya polusi yang berasal dari kendaraan bermotor. Sementara itu, aktivitas manusia telah juga menghasilkan limbah domestik, dan masalah ini mulai merambah ke perdesaan. Kepadatan perkotaan turut pula meningkatkan beban pencemaran pada lingkungan. Dampak lain dari kepadatan kota ialah alih fungsi lahan dari pertanian menjadi permukiman dan industri. Ledakan jumlah penduduk memunculkan kelas masyarakat miskin, yang diikuti dengan merebaknya pemukiman kumuh, masalah kesehatan, gelandangan, kriminalitas, dan berbagai masalah sosial lainnya. Sementara itu, seiring dengan modernisasi, terjadi pergeseran nilai yang bersifat tradisional agraris menuju masyarakat era industri, yang antara lain ditandai dengan perubahan pranata sosial, perubahan nilai-nilai sosial. Perpindahan penduduk dari desa ke kota mengakibatkan turunnya ketahanan ekologis perdesaan dan menaikkan tingkat - 47 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA kerentanan kota. Berbagai masalah sosial tersebut berdampak pada melemahnya kontrol sosial, dan cenderung diikuti timbulnya masalah sosial psikologi dalam masyarakat. Sementara itu, keanekaragaman kelompok dalam masyarakat dan ketimpangan ekonomi semakin mempertinggi persaingan dan konflik kepentingan. Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, maka kemudian sasaran pembangunan lingkungan diarahkan pada: 1. Peningkatan pengenalan jumlah dan mutu sumber daya alam serta jasa lingkungan yang tersedia; 2. Pemeliharaan kawasan konservasi; 3. Peningkatan sistem pengelolaan lingkungan; 4. Pengendalian pencemaran, terutama pada daerah padat penduduk dan pembangunan; 5. Pengendalian kerusakan pantai, dan; 6. Peningkatan usaha rehabilitasi lahan kritis. Memperhatikan sasaran tersebut, maka kebijakan lingkungan diarahkan pada 6 (enam) program pokok, yaitu: 1. Inventarisasi dan evaluasi sumber daya alam dan lingkungan hidup; 2. Penyelamatan hutan, tanah dan air; 3. Pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup; 4. Pengendalian pencemaran lingkungan hidup; 5. Rehabilitasi lahan kritis, dan; 6. Pembinaan daerah pantai. Seperti yang telah diungkapkan pada pembahasan sebelumnya, salah satu hal yang termuat dalam Prolegnas 1994-1995 ialah perlunya melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 4 - 48 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Tahun 1982. Undang-undang tersebut, yang hanya terdiri dari 9 (sembilan) bab dan 24 (dua puluh empat) pasal, memang dirasakan terlalu sedikit dan sederhana sehingga dinilai kurang dapat memayungi berbagai hal yang berkaitan dengan permasalahan lingkungan hidup. Beberapa hal yang kurang mendapatkan perhatian dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 ialah: hak untuk mendapatkan kehidupan lingkungan yang sehat, penerapan asas polluter pay principle, perizinan, pencegahan pencemaran, hak untuk berperan serta dalam pengaturan lingkungan, serta ganti rugi terhadap korban pencemaran. 34 Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 dilakukan pula sebagai bentuk sinkronisasi terhadap dinamika yang terjadi pada bidang hukum administrasi negara, terutama dengan adanya kebijakan desentralisasi. Seperti diketahui, pengelolaan lingkungan hidup pada masa-masa itu (masa dibentuknya UndangUndang Nomor 4 Tahun 1982) masih bersifat sentralistis, sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat cenderung kurang memperhatikan permasalahan di daerah. Hasil revisi terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 ialah berwujud Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 terdiri dari 11 (sebelas) bab dan 52 (lima puluh dua) pasal. Undang-undang ini memiliki beberapa perbedaan yang cukup mendasar apabila dibandingkan dengan undang-undang yang terdahulu, antara lain, yaitu dalam hal administrasi lingkungan, dan juga dalam hal telah diadopsinya beberapa asas hukum lingkungan di 34 Naoyuki Sakumoto, op.cit., hlm. 225. - 49 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA tingkat internasional ke dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, seperti penerapan polluter pay principle. Perbandingan antara Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997. Bidang Pengaturan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Kebijakan lingkungan nasional Kebijakan didasari oleh UUD 1945, Pancasila, dan seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan lingkungan hidup. Kebijakan didasari oleh integrasi dari tanggung jawab negara, prinsip berkelanjutan, dan prinsip eksploitasi secara terpadu. Administrasi lingkungan Didasari atas pengaturan lingkungan oleh pemerintah pusat dengan koordinasi dengan pemerintah daerah. Mengurangi peran pemerintah pusat dengan mendelegasikan beberapa kewenangan pada pemerintah daerah. Hak terhadap lingkungan Hak atas lingkungan yang sehat, hak dan kewajiban dalam pengaturan di bidang lingkungan. Hak atas lingkungan yang sehat, hak atas informasi di bidang lingkungan, dan hak untuk berperan dalam pengaturan di bidang lingkungan hidup. Dasar pemberian izin Baku mutu lingkungan. Baku mutu lingkungan, pengelolaan B3, AMDAL. Aparat penegak hukum Pencemaran dan ganti rugi Polisi dan penyidik pegawai negeri sipil. Polluter pay principle, biaya pemulihan lingkungan, strict liability. - 50 - Polluter pay pinciple, biaya pemulihan lingkungan, strict liability. POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Penyelesaian sengketa Strict liability → Pengadilan. Pengadilan (litigasi), di luar pengadilan (nonlitigasi), class action. Audit lingkungan Studi evaluasi mengenai dampak lingkungan. Audit lingkungan. Sanksi Sanksi pidana, denda paling tinggi 100 juta rupiah, dan penjara 10 tahun. Sanksi administratif oleh gubernur atau kepala wilayah, sanksi pidana, denda paling tinggi 750 juta rupiah, dan penjara 15 tahun. Titik lemah dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 ialah undang-undang ini tidak cukup mampu menempatkan dirinya sebagai undang-undang yang menjadi landasan (“payung”) bagi undangundang sektoral. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 juga tidak mampu memberikan “ruang penyesuaian” bagi undang-undang sektoral. Bahkan, undang-undang sektoral ini dalam praktiknya justru lebih dominan, dan malah terkesan mengenyampingkan keberlakuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997. Isu lain yang perlu mendapatkan perhatian ialah bahwa berkaitan dengan perkembangan pemikiran dan konsep pengelolaan lingkungan yang terjadi di dunia internasional, maka Indonesia perlu pula memiliki komitmen untuk sungguh-sungguh mengisi substansi peraturan perundang-undangan lingkungan hidupnya dengan prinsipprinsip pengelolaan lingkungan yang bersifat global. Misalnya, dalam peraturan perundang-undangan lingkungan hidup di Indonesia perlu memuat prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan yang baik (good environmental governance) dan pengelolaan pembangunan - 51 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA berkelanjutan yang baik (good sustainable development governance) secara utuh dan rinci. Adapun prinsip-prinsip tersebut terdiri dari: 1. Intergenerational equity; 2. Intragenerational equity; 3. The precautionary principle; 4. The internalization of externality; 5. Pollution prevention; 6. Polluter pays principle; 7. Strict liability and absolute liability; 8. Shifting of burden of proof; 9. Transboundary principle; 10. Extraterritoriality principle. Selain itu, Indonesia perlu juga memperhatikan asas-asas kebijakan lingkungan (principles of environmental policy), yaitu antara lain: 1. Abatement at the source; 2. Best practicable means/best technical means; 3. Stand still principle; 4. Principle of regional differentiation. Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut di atas merupakan suatu “paket” dari pengelolaan lingkungan yang baik, yang harus termuat dalam kebijakan lingkungan yang diwujudkan dalam perangkat peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. Harmonisasi dari prinsip sustainable development dan good environment governance ialah good sustainable development governance yang berimplikasi pula pada: - 52 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 1. Dorongan ke arah corporate social responsibility dan accountability lebih menguat (termasuk tuntutan masyarakat internasional); 2. Masyarakat akan lebih terbuka dan demokratis (democratic society and government); 3. Kekuatan-kekuatan civil society sebagai kelompok penekan (pressure group) semakin kuat dan efektif; 4. Gerakan “konsumen hijau” semakin meluas seiring dengan berkembangnya pendidikan lingkungan, dan meningkatnya kesadaran lingkungan hidup terhadap kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup yang semakin memburuk; 5. Rule of law semakin terbangun. Hukum seharusnya berperan dalam pemecahan masalah lingkungan dan sekaligus berfungsi sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kebijakan negara (pemerintah) dalam mengelola lingkungan hidup. Jika kebijakan lingkungan kemudian dirumuskan dalam rangkaian norma yang tertuang dalam peraturan perundangundangan tentang lingkungan, maka dalam arti sempit, hal itu dapat disebut sebagai kebijakan hukum lingkungan, atau sering disebut pula sebagai politik perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Politik perundang-undangan di bidang lingkungan hidup harus dipersiapkan sebaik mungkin. Hal itu ialah dikarenakan salah satu faktor yang mempengaruhi buruknya pengaturan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia adalah karena kebijakan peraturan perundang-undangan yang sengaja didesain (atau mungkin juga karena “kelalaian”) untuk tidak dapat efektif mencegah atau menyelesaikan masalah lingkungan. Kelemahan ini dapat dilihat dari - 53 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA beberapa peraturan perundang-undangan lingkungan hidup yang cenderung bersifat pragmatis, reaktif, sektoral, parsial, dan berjangka pendek. Konkretnya, peraturan perundang-undangan seperti tersebut di atas mengandung ketidaklengkapan dalam perumusan pengaturan fungsi manajemen lingkungan, belum diadopsinya secara utuh prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan, pengaturan kelembagaan yang sangat parsial, pasal perizinan yang sumir, norma pengawasan yang tidak jelas, belum lengkapnya pengaturan tentang hak-hak prosedural masyarakat, belum didayagunakannya pengaturan berkenaan dengan persyaratan penaatan, instrumen ekonomi, rumusan sanksi administrasi serta sanksi pidana yang tidak aplikatif. Tidak jarang pula yang terjadi ialah justru disharmoni antara peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup dengan peraturan perundang-undangan sektoral, yaitu terjadinya konflik, kontradiksi, tumpang tindih, dan inkonsistensi antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya. Memang disadari, sangat banyak masalah yang dihadapi dalam pengaturan kebijakan hukum di bidang lingkungan hidup. Hal ini tidak saja menjadi tantangan bagi mereka yang langsung berkecimpung di bidang hukum lingkungan, tetapi juga merupakan panggilan tugas dan tanggung jawab bersama para ahli hukum untuk berperan serta dalam upaya membangun hukum lingkungan nasional Indonesia. *** - 54 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA BAB III REFORMASI PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP Selama masa reformasi bergulir, yang diawali dengan jatuhnya kepemimpinan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, hingga saat ini, ketentuan pengelolaan lingkungan hidup merupakan salah satu peraturan yang tidak mengalami perubahan. Padahal pada bidang lain banyak perubahan yang signifikan dalam hal regulasi. Kenyataan ini mendorong berbagai kalangan untuk menyoroti kebijakankebijakan yang dibuat oleh pemerintah di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam. Salah satu fokus permasalahan yang disoroti oleh berbagai kalangan itu ialah apakah regulasi di bidang lingkungan hidup telah sesuai dengan semangat reformasi dan kesadaran terhadap pelaksanaan pembangunan secara berkelanjutan atau tidak. A. Rencana Strategis Pengelolaan Lingkungan Hidup Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup pada era reformasi telah diperkuat dengan ditetapkannya amandemen UUD 1945 Pasal 33 ayat (4) yang berbunyi: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi.” - 55 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Amandemen Pasal 33 UUD 1945 tersebut secara tegas menghubungkan antara pembangunan ekonomi nasional dengan lingkungan hidup. Jadi prinsip dasar pembangunan yang dianut sekarang ini haruslah dapat menyelaraskan secara baik dan harmoni dengan faktor lingkungan hidup. Untuk memberikan arah yang lebih jelas dalam melaksanakan kebijakan pembangunan 5 (lima) tahun, pemerintah telah menetapkan Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004. Bab X Propenas menguraikan arah dan sasaran pembangunan lingkungan hidup Indonesia tahun 2000-2004 untuk dilaksanakan melalui: 1. Program pembangunan dalam peningkatan akses informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, dengan tujuan memperoleh data dan informasi yang lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi, evaluasi dan penguatan sistem informasi. 2. Program peningkatan efektivitas pengelolaan, konversasi dan rehabilitasi sumber daya alam dengan tujuan menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup. 3. Program pencegahan dan pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup dengan tujuan meningkatkan kualitas lingkungan hidup melalui upaya mencegah perusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan melaksanakan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan. - 56 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 4. Program penataan kelembagaan dan penegakan hukum pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup dengan tujuan mengembangkan kelembagaan hukum dan penegakan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan. 5. Program peningkatan peran masyarakat dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan tujuan meningkatkan peran dan kepedulian lapisan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Pada tahun 2003, rencana strategi dari Kementerian Lingkungan Hidup masih mengacu kepada Program Prioritas Kementerian Lingkungan Hidup 2001-2004 yang menitikberatkan kepada: 1. Peningkatan kemampuan daerah menyelenggarakan Tata Praja Lingkungan yang Baik (Good Environment Governance). 2. Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan (warga madani) serta mendorong kinerja badan legislatif daerah. 3. Pengembangan sistem penataan hukum dan penegakan hukum sumber pencemar institusi dan non institusi. 4. Pelestarian lingkungan hidup dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. 5. Pengembangan kapasitas kelembagaan. 6. Pengembangan sistem komunikasi dan informasi. - 57 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Dalam rangka mewujudkan tujuan di atas, salah satu program yang dilakukan ialah membuat kebijakan penegakan hukum lingkungan terpadu (one roof enforcement system) dengan dasar Nota Kesepakatan Bersama Menteri Lingkungan Hidup, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), dan Jaksa Agung (Kep. No. 04/MENLH/04/2004, No. Pol.: Kep-19/IV/2004, dan Kep. No. 208/A.J/04/2004 tentang Penegakan Hukum Lingkungan Terpadu (Satu Atap)). Sedangkan dalam rangka pengembangan sumber daya manusia (SDM) di bidang pengelolaan lingkungan hidup, saat ini telah dihasilkan Dokumen Kebijakan Pendidikan Lingkungan Hidup sebagai dasar pengembangan SDM lingkungan hidup melalui jalur pendidikan dan pelatihan. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup juga telah mengembangkan wadah pengembangan karier pegawai negeri sipil melalui jabatan fungsional Pengendali Dampak Lingkungan. Dalam bidang regulasi, pemerintah juga telah melakukan perubahan dan penekanan terhadap beberapa peraturan perundangundangan. Peraturan perundang-undangan yang efektif merupakan salah satu kebutuhan utama dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan, karena hal itu merupakan perangkat untuk penegakan hukum lingkungan. Menurut laporan pada tahun 1991 dari International Union for Conservation of Nature (IUCN), United Nations Environment Programme (UNEP), dan World Wildlife Fund (WWF), peran hukum lingkungan dalam mengatasi persoalan lingkungan hidup sangat menentukan karena mampu: - 58 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 1. Memberi efek pada kebijakan yang dirumuskan dalam mendukung konsep pembangunan berkelanjutan. 2. Sebagai sarana penaatan melalui penerapan berbagai macam sanksi (sanksi administrasi, pidana, dan perdata). 3. Memberi panduan kepada masyarakat mengenai tindakan yang dapat ditempuh untuk melindungi hak dan kewajibannya. 4. Memberi definisi tentang hak, kewajiban, dan perilaku yang merugikan publik. 5. Memberi dan memperkuat mandat serta otoritas kepada aparat pemerintah terkait untuk melaksanakan tugas fungsinya. Pada tahun 2003, telah dirumuskan dan diterbitkan beberapa peraturan perundang-undangan, baik yang bersifat pengaturan maupun penetapan, dan rancangan undang-undang (RUU) yang terkait dengan lingkungan hidup. Rencana peraturan perundang-undangan sektoral yang terkait dengan lingkungan hidup, yang disusun pada tahun 2003. No. Peraturan Perundang-Undangan 1. RUU Perkebunan 2. RPH Hutan Adat 3. RUU Keolahragaan 4. RPH Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta Reklamasi Hutan 5. Revisi UU Pemerintah - 59 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 6. Revisi UU Penataan Ruang 7. RPH Keselamatan Operasi pada Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi 8. RPH Perizinan Peneliti Asing 9. RUU Penerbangan 10. RUU Jalan 11. RUU Lalu Lintas 12. RUU Perkeretaapian 13. RUU Pelayanan 14. RUU Perikanan 15. RUU Kepariwisataan 16. RPP Persyaratan Bangunan Gedung 17. RPP Penyelenggaraan Bangunan Gedung 18. RPP Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung 19. RPP Pembinaan Penyelenggaraan Bangunan Gedung 20. RPP Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional 21. RKeppres Rencana Tata Ruang Wilayah Kawasan Perbatasan Kalimantan, Serawak, Sabah 22. RKeppres Rencana Rata Ruang Wilayah Sulawesi 23. RKeppres Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa Bali 24. RKeppres Rencana Tata Ruang Wilayah Kalimantan 25. RKeppres Rencana Tata Ruang Wilayah Sumatera - 60 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Rancangan peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup dalam Rencana Strategis Kementerian Lingkungan Hidup. No. Peraturan Perundang-Undangan Tujuan Status 1. RUU tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Efektivitas pengelolaan sumber daya alam (PSDA) sesuai dengan TAP MPR. Pembahasan oleh berbagai stakeholder di tingkat pusat dan daerah. 2. Revisi UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Optimalisasi pengelolaan lingkungan hidup di daerah berkaitan dengan dikeluarkannya UU Nomor 22 Tahun 1999. Penyelenggara an seminar mengenai pemikiran perubahan revisi. 3. RUU tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam hayati. Pembahasan oleh berbagai stakeholder di tingkat pusat. 4. RUU tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik Memberikan peluang untuk menunjang ketahanan pangan dan peningkatan kualitas hidup. Pembahasan antardepartemen. - 61 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 5. RPP tentang Pendanaan Lingkungan Mendorong penataan terhadap peraturan perundang-undangan. Pembahasan antardepartemen. 6. RKeppres tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut Penguatan koordinasi penanggulangan tumpahan minyak secara cepat dan tepat. Pembahasan oleh berbagai stakeholder di tingkat pusat dan daerah. 7. RKeppres tentang Pengelolaan Karst Memberikan aturan main terhadap pengelolaan lengkungan karst bagi pemerintahan daerah. Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, “Status Lingkungan Hidup Indonesia 2005.” Selain mengubah peraturan perundang-undangan yang telah ada, Kementerian Lingkungan Hidup dalam rencana strategisnya juga telah mengajukan proses ratifikasi terhadap berbagai ketentuan penting dalam tingkat internasional di bidang lingkungan hidup untuk dapat diterapkan di Indonesia. - 62 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Rancangan peraturan perundang-undangan terkait ratifikasi terhadap ketentuan internasional mengenai lingkungan hidup dalam Rencana Strategis Kementerian Lingkungan Hidup. No. Perjanjian Internasional Status Pemrakarsa 1. Cartagena Protocol tentang Keanekaragaman Hayati Dalam proses ratifikasi. Kementerian Lingkungan Hidup. 2. Kyoto Protocol tentang Perubahan Iklim UndangUndang Nomor 17 Tahun 2004. Kementerian Lingkungan Hidup. 3. Asean Agreement on Transboundary Haze Pollution tentang Asap Kebakaran Hutan Dalam proses ratifikasi. Kementerian Lingkungan Hidup. 4. Convention on the Prior Informed Consent Procedure for Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade tentang Penggunaan Pestisida Sudah terdapat dalam program legislasi nasional. Kementerian Lingkungan Hidup. 5. Convention on Persistent Organic Pollutants tentang Pengawasan Limbah Organik Sudah terdapat dalam program legislasi nasional. Kementerian Lingkungan Hidup. - 63 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 6. Amandemen Protokol Montreal tentang Substances that Deplete the Ozone Layer, dan Amandemen Beijing tentang Perubahan Senyawa Perlindungan Lapisan Ozon Dalam proses ratifikasi. Kementerian Lingkungan Hidup. 7. London Convention 1872 on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter tentang Pencemaran Laut Dalam proses ratifikasi. Kementerian Lingkungan Hidup, dan Perhubungan Laut. 8. Convention on Oil Pollution Preparedness Response and Cooperation tentang Pencemaran Minyak Dalam proses ratifikasi. Kementerian Lingkungan Hidup, dan Perhubungan Laut. Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, “Status Lingkungan Hidup Indonesia 2005.” Dalam jangka pendek, kebijakan hukum pengelolaan lingkungan hidup termuat dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Negara Lingkungan Hidup Tahun 2005-2009 yang disusun sebagai bahan acuan dalam menyusun rencana kerja tahunan, rencana kinerja, dan laporan akuntabilitas kinerja Kementerian Negara Lingkungan Hidup. - 64 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Renstra Kementerian Negara Lingkungan Hidup disusun dengan memperhatikan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, Kesepakatan Nasional dan Rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan, dan perjanjianperjanjian internasional di bidang lingkungan hidup. Renstra Kementerian Negara Lingkungan Hidup selanjutnya ditetapkan melalui Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2005 tentang Rencana Strategis Kementerian Lingkungan Hidup Tahun 2005-2009. Tujuan dan sasaran Renstra Kementerian Negara Lingkungan Hidup Tahun 2005-2009 ialah: 1. Mewujudkan perbaikan kualitas fungsi lingkungan hidup dengan sasaran: a. Penurunan beban pencemaran lingkungan meliputi air, udara, atmosfir, laut dan tanah; b. Penurunan laju kerusakan lingkungan hidup yang meliputi sumber daya air, hutan dan lahan, keanekaragaman hayati, energi, atmosfir serta ekosistem pesisir laut; c. Terintegrasinya dan diterapkannya pertimbangan pelestarian dan fungsi lingkungan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pengawasan pemanfaatan ruang dan lingkungan; d. Peningkatan kepatuhan pelaku pembangunan untuk menjaga kualitas fungsi lingkungan hidup. - 65 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2. Mewujudkan tata kepemerintahan yang baik di bidang pengelolaan lingkungan hidup, dengan sasaran terwujudnya pengarusutamaan prinsip-prinsip tata kepemerintahan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di pusat dan di daerah. 3. Meningkatkan kapasitas Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang handal dan proaktif dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, dengan sasaran terwujudnya peningkatan kapasitas Kementerian Negara Lingkungan Hidup dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi. Strategi dan kebijakan di dalam Renstra Kementerian Negara Lingkungan Hidup Tahun 2005-2009 ialah: 1. Strategi pencapaian tujuan mewujudkan perbaikan kualitas fungsi lingkungan hidup, dengan sasaran: a. Penurunan beban pencemaran lingkungan meliputi air, udara, atmosfer, laut, tanah melalui kebijakan peningkatan pengendalian pencemaran lingkungan untuk mendorong sumber pencemar memenuhi baku mutu, menggunakan bahan baku yang ramah lingkungan dan meningkatkan kapasitas daerah di bidang pengendalian pencemaran; b. Penurunan laju kerusakan lingkungan (sumber daya air, hutan dan lahan, keanekaragaman hayati, energi, atmosfer serta ekosistem, pesisir laut), melalui kebijakan peningkatan konservasi sumber daya alam dan pengendalian kerusakan lingkungan, kebijakan - 66 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2. 3. insentif dan disinsentif serta membangun income generating masyarakat dalam menunjang keberhasilan konservasi dan pemulihan kerusakan lingkungan; c. Terintegrasinya dan diterapkannya pertimbangan pelestarian fungsi lingkungan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pengawasan pemanfaatan ruang dan lingkungan melalui kebijakan pengaturan wujud struktural dan pola pemanfaatan lingkungan dengan pendekatan penataan ruang, pengkajian dampak lingkungan dan peningkatan kapasitas kelembagaan; d. Peningkatan kepatuhan pelaku pembangunan untuk menjaga kualitas fungsi lingkungan, melalui kebijakan penegakan hukum lingkungan terhadap sumber pencemar dan perusak lingkungan. Strategi pencapaian tujuan mewujudkan tata kepemerintahan yang baik di bidang pengelolaan lingkungan hidup, dengan sasaran terwujudnya pengarusutamaan prinsip-prinsip tata kepemerintahan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di pusat dan daerah, melalui kebijakan penguatan kapasitas kelembagaan lingkungan hidup, penguatan akses masyarakat tentang informasi lingkungan hidup, penguatan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Strategi pencapaian tujuan meningkatkan kapasitas Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang handal dan proaktif dalam pengelolaan sumber daya alam dan - 67 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA lingkungan hidup dengan sasaran terwujudnya peningkatan kapasitas Kementerian Negara Lingkungan Hidup dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi. 1 Dari serangkaian rencana jangka panjang, menengah, dan pendek dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup tersebut di atas, pengaruh otonomi daerah juga dirasakan sangat kental dalam pola pengelolaan lingkungan hidup saat ini. Pada akhirnya dapat disimpulkan, walaupun perlahan, arah pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia mulai menerapkan suatu pola yang berkelanjutan yang ditunjang dengan kebijakan di bidang regulasi. Harapannya ialah bahwa akan terjadi perubahan dalam pola pengelolaan lingkungan hidup saat ini di Indonesia menuju ke arah yang lebih baik, terintegrasi, dan berkelanjutan. B. Potret Kebijakan Lingkungan Hidup Indonesia Dalam upaya memahami kebijakan hukum lingkungan di Indonesia secara lebih utuh, maka perlu digambarkan bagaimana potret kebijakan yang pernah dan sedang berlaku, serta bagaimana sebaiknya sifat dan corak kebijakan hukum itu dibangun ke depan. Asep Warlan Yusuf dalam tulisannya mengklasifikasikan jenis kebijakan sebagaimana akan dijelaskan berikut ini. 2 1 Kementerian Negara Lingkungan Hidup, “Status Lingkungan Hidup Indonesia 2005.” 2 Asep Warlan Yusuf, “Potret Sifat dan Corak Kebijakan Hukum (Legal Policy) di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia,” Jurnal Legality Universitas Muhamadiyah Malang. - 68 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 1. Sifat Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan Hidup a. Bersifat insidental. Penyebab kelahiran suatu peraturan perundangan-undangan mengenai lingkungan tidak jarang ditandai oleh sifat reaktif terhadap suatu kejadian (kasus) yang bersifat insidental. Sifat reaktif dari aturan yang sekedar berupaya merespon peristiwa lingkungan inilah yang sering mengakibatkan peraturan tersebut hanya “berumur pendek” dengan penyelesaian yang juga bersifat ad hoc. Oleh karena terbitnya perundang-undangan tadi didasarkan pada situasi dan kondisi konkret, maka ciri kebijakan hukum lingkungannya pun bersifat insidental. Produk peraturan yang tadinya belum direncanakan untuk jangka panjang, akhirnya perangkat hukum itu dikeluarkan karena terdesak oleh keadaan yang segera mungkin harus diatasi dengan perangkat peraturan. Misalnya, lahirnya peraturan yang dilatarbelakangi oleh adanya suatu wabah penyakit, masalah kesehatan lingkungan, ataupun karena timbulnya pencemaran di mana-mana oleh industri tertentu. Sifat peraturan perundang-undangan seperti itu sudah tentu tidak akan luwes dalam jangka waktu lama (tidak mampu mencakup kebutuhan-kebutuhan perkembangan zaman), karena cakupan yang ditata hanya mampu menjangkau kepentingan-kepentingan saat itu (saat adanya kebutuhan yang mendesak). - 69 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA b. Bersifat komersial. Kebijakan dalam membentuk peraturan perundangundangan tidak selalu ditujukan untuk mengatur perlindungan terhadap kualitas fungsi daya dukung dan daya tampung lingkungan agar tetap tinggi atau setidaknyatidak menurun secara signifikan. Ada pula peraturan yang dibentuk hanya bersifat formalitas, sehingga hanya akan merupakan pengaturan lingkungan yang memberikan petunjuk umum secara garis besar dan bahkan terkadang parsial. Adapun pengaturan tentang pengelolaan lingkungan yang sebenarnya diserahkan kepada masing-masing peraturan perundang-undangan sektor-sektor kegiatan, seperti kehutanan, pertambangan, industri, pekerjaan umum, atau perumahan. Cara ini tentunya hanya melihat pengelolaan lingkungan dari kaca mata kepentingan sektor yang bersangkutan, pada umumnya terutama dalam rangka pembangunan ekonomi yang menjadi panglimanya. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan lingkungan hanya merupakan minority regulation yang mendukung perundang-undangan sektoral, misalnya pada tahun-tahun awal Orde Baru, hal yang demikian amat kentara dalam rumusan Undang-Undang tentang Kehutanan, UndangUndang tentang Pertambangan, atau Undang-Undang tentang Penanaman Modal Asing. Jadi, kebijakan perundang-undangan itu hanya bersifat komersial. - 70 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA c. Bersifat parsial. Ciri-ciri dari suatu kebijakan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup yang bersifat parsial ialah berarti: 1. Masalah lingkungan dilihat hanya sebatas pengaturan isu yang berdiri sendiri-sendiri, seolah tidak ada kaitan dengan isu lainnya. Misalnya, pada isu kerusakan hutan yang dipersepsi hanya sebagai masalah kerusakan pohon (kayu). Padahal hal tersebut juga terkait dengan masalah tata air, banjir, longsor, dan bahkan kerusakan situs budaya. 2. Cara pengaturannya pun tidak sistematis dan terpadu, lebih terkesan menonjolkan sektornya masing-masing, sehingga terjadi “ego sektor.” 3. Tidak terjadi interaksi, interdependensi, interkoneksi, dan interrelasi antara satu isu lingkungan dengan isu yang lain. Misalnya, Peraturan Menteri X melarang suatu aktivitas, tetapi Peraturan Menteri Y justru membolehkannya. 4. Sulit untuk melihat masalah lingkungan sebagai suatu yang komprehensif, terintegrasi, dan holistik. Misalnya, lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2005 yang membolehkan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung, yang sebenarnya oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah dilarang. - 71 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA d. e. Bersifat sektoral atau departmental. Pada dasarnya, kebijakan perundang-undangan lingkungan yang bersifat sektoral atau departmental ini hampir serupa dengan yang bersifat parsial sebagaimana telah dijelaskan di atas. Ciri inilah yang paling banyak menandai peraturan perundang-undangan lingkungan di Indonesia. Selain dapat dimaklumi bahwa pelaksanaan praktis dari suatu kegiatan bermuara pada masing-masing sektor atau departemen, hal itu juga disebabkan karena setiap departemen diberi wewenang teknis untuk menetapkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tugasnya masing-masing. Dengan kata lain, kebijakan sektoral atau departmental ini ialah bercirikan: 1. Masalah lingkungan hanya dilihat dari sudut pandang sektoral. 2. Pengaturan pengelolaan lingkungan diatur oleh masingmasing sektor. 3. Apabila tidak ada koordinasi, maka sering timbul konflik kewenangan, overlapping, dan tarik-menarik kepentingan di antara sektor. 4. Berpotensi untuk terjadi disharmoni dan inkonsistensi dalam pengambilan kebijakan di bidang lingkungan. Perangkat jalan pintas. Terdapat suatu kecenderungan dalam praktik, di mana beberapa bentuk regulasi yang seharusnya secara substansial membutuhkan tingkatan regulasi yang lebih tinggi, katakanlah dengan bentuk undang-undang, tetapi - 72 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA dalam beberapa hal, kebutuhan tersebut justru hanya dibuat dalam bentuk peraturan di bawah undang-undang, misalnya hanya berupa peraturan pemerintah, keputusan presiden, dan peraturan menteri, yang tidak perlu melibatkan parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)). Kebijakan jalan pintas ini secara ringkas bercirikan: 1. Pengaturan lingkungan sering diterabas oleh produk yang mudah diterbitkan. 2. Penyelesaian masalah lingkungan selalu didasarkan pada kesepakatan (joint policy) para pengambil kebijakan, misalnya melalui surat keputusan bersama. 3. Pengaturan lingkungan lebih bersifat teknis operasional. 4. Pengaturan lingkungan lebih mengutamakan faktor efektivitas dan efisiensi. 5. Produk hukum tidak didasarkan pada pengkajian yang komprehensif dan mendalam. Cara negatif yang berwujud jalan pintas ini ditempuh karena adanya faktor-faktor berikut: 1. Adanya kebutuhan akan perangkat hukum yang mendesak. 2. Menghindari waktu yang berlarut-larut untuk menunggu terbitnya peraturan yang lebih tinggi, sehingga ditempuh jalan pintas dengan menggodok peraturan menteri atau keputusan presiden. Cara ini dianggap lebih praktis dibandingkan dengan menerbitkan sebuah undang-undang yang dibuat oleh - 73 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA f. Presiden dengan persetujuan DPR, yang sudah tentu prosesnya memakan waktu yang lama dan membutuhkan banyak biaya. 3. Motivasi sosial politis. 4. Anggaran biaya yang tidak mencukupi untuk memproduksi undang-undang. 5. Faktor kekurangtangkasan para aparat yang berkompeten. Bersifat komprehensif, kohesif, dan konsisten. Berdasarkan penjelasan pada butir a sampai dengan e tersebut di atas, maka pertanyaan yang muncul kemudian ialah: bagaimanakah suatu peraturan perundang-undangan lingkungan hidup itu seharusnya dibangun? Secara teoretis, substansi dan rancang bangun peraturan perundangundangan di bidang lingkungan hidup memiliki ciri: 1. Komprehensif, artinya substansi perundang-undangan ini memuat setiap aspek dari pengelolaan lingkungan, yaitu meliputi antara lain: inventarisasi, perencanaan, perlindungan, pencegahan, pemanfaatan, penanggulangan, pemulihan, pelestarian, konservasi, kelembagaan, partisipasi masyarakat, desentralisasi, pengawasan, pengendalian, perizinan, sumber daya manusia, standar, baku mutu, instrumen ekonomi, dan menginternalisasi komitmen global. 2. Kohesif, artinya senantiasa dikembangkan keterpaduan, keterkaitan, keterlekatan, keterhubungan, dan ketergantungan antara perundang-undangan lingkungan - 74 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 3. dengan sektor-sektor lainnya yang berada di bawah naungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Sebagai contoh, di Belanda terdapat apa yang disebut sebagai National Environmental Policy Plan (NEPP). Konsisten, artinya bahwa setiap produk perundangundangan di bidang lingkungan hidup senantiasa harus mengedepankan selain good process yang artinya dibentuk dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) seluas mungkin secara genuine, juga good norms yang artinya tepat jenis perundangundangannya, dibuat oleh lembaga yang tepat pula, serta mampu menjabarkan dengan jelas (clearly) prinsip-prinsip good environmental governance dan good sustainable development governance ke dalam norma yang enforceable, sehingga Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ini dapat dijadikan atau berfungsi sebagai “payung hukum” bagi kegiatan yang dilakukan oleh sektor lainnya yang terkait dengan isu lingkungan hidup, seperti sektor pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan perikanan. 2. Corak Kebijakan Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan Hidup Lazimnya pada saat perumusan suatu kebijakan lingkungan hidup terdapat 2 (dua) pertanyaan utama yang timbul dalam melihat keberlakuan dari kebijakan tersebut. Pertama ialah mempertanyakan pada tingkatan apakah perlindungan lingkungan hidup ingin - 75 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA dilakukan? Dan ke dua ialah kebijakan apakah yang tepat dalam rangka mencapai tingkatan tersebut? 3 Hal ini menjadi penting untuk dipahami sejak dari awal untuk menghindari adanya ketidaktepatan pemilihan instrumen hukum dalam rangka mengatasi suatu permasalahan tertentu. 4 a. Regulasi bersifat environmental policy. Menurut Lawrence E. Susskind, paling tidak ada 6 (enam) aspek karakteristik keberhasilan dalam merumuskan kebijakan lingkungan, yaitu 5: 1. Defined a policy problem in a way that was particularly helpful to policy makers; 2. Described the full range of possible policy respons; 3. Overcome resistance to change on the part of the relevant regulatory agency; 4. Provided important opportunities for all stakeholders to participate; 5. Worked to enhance the legitimacy of the particular actions or changes suggested, and; 6. Helped ensure that adequate resources would be avalaible for policy implementation. 3 Nathaniel O. Keohane et al, “The Choice of Regulatory Instruments in Environmental Policy,” Harv. Envtl. L. Rev. (1998). 4 Keberadaan beragam instrumen hukum yang terdapat dalam pembahasan sebelumnya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh Pemerintah Indonesia untuk memilih instrumen hukum yang tepat. Proses ini sering disebut juga dengan istilah scanning, yang menggambarkan proses untuk mengidentifikasi terlebih dahulu tujuan utama serta tingkatan yang hendak dicapai dari sebuah kebijakan. 5 Lawrence E. Susskind, Better Environmental Policy Studies (London: Island Press, 2001), hlm. xii. - 76 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA b. Sifat dari regulasi-regulasi yang semata-mata hanya untuk satuan-satuan lingkungan (ekosistem), termasuk sistemsistem kebijakan yang berhubungan dengan itu, yang disebut dengan environmental policy. Faktor yang ditekankan di sini ialah kebutuhan diregulasikannya berbagai produk perundang-undangan yang khusus ditujukan untuk menata sistem lingkungan. Regulasi bersifat integral policy. Pengaturan pengelolaan lingkungan hidup tidak sematamata ditujukan untuk kepentingan lingkungan saja, melainkan perlu dikaitkan dengan kepentingan sektor lainnya, seperti pariwisata, perindustrian, transmigrasi, perdagangan, pekerjaan umum, perumahan, dan transportasi. Dalam kebijakan penataan regulasi ini, sektor non lingkungan hidup dapat menjadi porsi utama dari tujuan pembuatan peraturan perundang-undangan, tetapi tetap perlu pula diperhatikan dan dirumuskan beberapa pasal (ketentuan) mengenai konservasi lingkungan yang memadai. Meskipun demikian, pengintegrasian kepentingan lingkungan (prinsip pembangunan berkelanjutan dan perlindungan) kepada kebijakan lingkungan harus tetap mensyaratkan adanya koherensi antara keduanya, sebagaimana dinyatakan oleh Dietr Helm, yang mengingatkan bahwa “taking the environment seriously is a necessary but not sufficient step towards an environment policy,” oleh karena itu lanjutnya “… to provide coherence, - 77 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA c. the policy requires clear objectives and targets that derive from it. It also requires an appropriate set of instruments and a set of institutions capable of implementing it.” Regulasi bersifat supporting policy/beyond policy. Persoalan kebijakan lingkungan nampaknya tidak hanya cukup diselesaikan dari aspek hukum semata, melainkan juga melingkupi nilai etik, serta bahkan hubungan antara manusia dan alamnya. Dalam konteks ini Daniel H. Henning menggambarkan bahwa “Given the general environmental value placed harmony between man and nature, it is appropriate to recognize the complexities, intensities, and varieties of individual interpretations given as they relate to environmental policy.” Regulasi hukum di semua sektor, sepanjang masih mampu dilibatkan untuk mendorong ditingkatkannya partisipasi pembinaan lingkungan, itulah yang disebut dengan supporting policy atau beyond policy. Sifat ke tiga ini lebih diharapkan mampu untuk mendorong faktor pembinaan lingkungan. Misalnya, mencintai lingkungan dan alam dapat diajarkan baik melalui intrakurikuler atau ekstrakurikuler di berbagai sekolah, juga diaktifkannya lembaga swadaya masyarakat (LSM), digiatkannya swadaya masyarakat berupa partisipasi sosial, spontanitas masyarakat, kelompok agama, dan kelompok pemuda, serta lain-lain motivasi yang digerakkan oleh keputusankeputusan departmental. Dengan kata lain, yang perlu untuk diupayakan ialah tindakan-tindakan berupa: - 78 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 1. Pengaturan lingkungan dilakukan mulai dari membangun budaya hukum masyarakat. 2. Pengaturan lingkungan lebih diarahkan pada penaatan sukarela. 3. Pengaturan lingkungan lebih menyertakan penguatan civil society dan pelaku ekonomi. 4. Pemerintah hanya berfungsi sebagai regulator, fasilitator, dan aparat penegakan hukum. Dilihat dari ketiga corak kebijakan seperti dijelaskan di atas, nampaklah bahwa pada prinsipnya semua departemen atau sektor terlibat dan mempunyai sangkut-paut dalam hal penataan legislasi hukum lingkungan. Dengan kata lain, semua produk kebijakan atas bidang-bidang pemerintahan atau nonpemerintah dapat dikelompokkan melalui ketiga corak legislasi di atas, dan satu dengan yang lainnya hendaknya harus saling menunjang. Khusus mengenai aturan di bidang lingkungan hidup yang hadir di Indonesia, sebagian besar memang didominasi pada aturan yang bertumpu pada mekanisme command and control. 6 Memang tidak ada yang salah dengan mekanisme command and control, namun alih-alih mencapai efektivitas hukum sering tidak tercapai sesuai kehendak dan diperburuk lagi dengan biaya yang sangat mahal dalam implementasi regulasi tersebut. 6 Mekanisme command and control merupakan suatu bentuk kebijakan atau pengaturan di bidang lingkungan hidup yang bersandar pada kekuatan regulasi dan institusi semata. Command mengacu pada adanya batas atau penentuan tolok ukur terhadap kondisi tertentu, seperti pencemaran dan perusakan. Sedangkan control menggambarkan proses pengawasan serta penegakan aturan terhadap parameter tadi. Michael Faure and Goran Skogh, The Economic Analysis of Environmental Policy and Law (United Kingdom: Edward and Elgar Publishing, 2003), hlm. 55. - 79 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Selain pembahasan tersebut, untuk menambah pengetahuan, maka penulis akan menjelaskan pula kerangka teori lainnya selain yang bersifat normatif seperti yang telah dijelaskan di atas. Dalam ranah teori ilmu hukum, proses analisis dapat dilakukan dengan berbagai perspektif. Dalam buku yang ditulis oleh Llyod dan Freeman yang berjudul Llyod’s Introduction to Jurisprudence, dipaparkan paling tidak ada 8 (delapan) pendekatan yang dikenal dalam ilmu hukum, yaitu mulai dari pendekatan hukum alam (natural law) sampai dengan pendekatan marxis (marxist theories of law and state). Dari 8 (delapan) pendekatan yang ada tersebut, salah satu kajian yang menarik ialah pendekatan untuk mengkaji hukum atas dasar analisis ekonomi (economic analysis of law). 7 Pendekatan ekonomi terhadap hukum timbul di Amerika Serikat pada awal tahun 1960-an melalui karya-karya dari Ronald Coase, Guido Calabresi, dan Richard Posner. Pendekatan ekonomi tumbuh dari gerakan realisme Amerika Serikat yang mana gerakan ini mencoba melihat hukum atau menjelaskan hukum dari pendekatan nonhukum, seperti ekonomi. 8 Selanjutnya, pendekatan ini dianggap sebagai sebuah teori. Menurut Victor Purba, teori ini secara garis besar berhubungan dengan keabsahan suatu peraturan yang dipengaruhi oleh gerak dan tindakan-tindakan para pihak, termasuk kebijakan birokrasi terutama yang berhubungan dengan kepentingan yang menyangkut net social 7 Secara umum dapat dilihat pada Lord Llyod of Hampstead dan M.D.A. Freeman, Lloyd’s Introduction to Jurisprudence, 5th. Ed. (London: Stevens and Sons, 1985). 8 Hilaire McCoubrey and Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence (Blackstone Press Limited, 1993), hlm. 275. - 80 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA benefit. 9 Robert Cooter dan Thomas Ulen dalam bukunya Law and Economics menyatakan: “Economics provided a scientific theory to predict the effects of legal sanctions on behavior. To economist, sanctions look like prices, and presumably, people respond to these sanctions much as they respond to prices. People respond to higher prices by consuming less of the more expensive good, so presumably people respond to heavier legal sanctions by doing less of the sanctioned activity. Economics has mathematically precise theories (prices theory and game theory) and empirically sound methods (statistics and econometrics) of analyzing the effects of prices on behavior.” 10 Pendapat Robert Cooter dan Thomas Ulen tersebut memberikan pemahaman bahwa antara dampak harga, baik tinggi atau mahal, terhadap perilaku memberikan pengaruh yang sangat signifikan. Hal ini kemudian diadopsi juga dalam kaitannya dengan penerapan sanksi, di mana sanksi yang berat atau ringan akan berdampak juga kepada perilaku dari orang yang akan menerima saksi tersebut. Sejalan dengan pendapatnya ini, dia juga memberikan suatu pendapat atas hukum dengan menggunakan pendekatan ekonominya. Menurut Robert Cooter dan Thomas Ulen, ilmu ekonomi menetapkan standar normatif untuk mengevaluasi hukum dan kebijakan. Hukum hendaknya tidak hanya dipandang sebagai suatu teknik berargumen, hukum ialah instrumen untuk mendorong tujuan kepentingan sosial. Agar dapat diketahui bahwa hukum mempunyai 9 Victor Purba, Kontrak Jual Beli Barang Internasional (Konvensi Vienna 1980) (Jakarta: UI Press, 2002), hlm. 14. 10 Robert Cooter and Thomas Ulen, Law and Economics (New York: Addison Wesley Longman Inc., 1999), hlm. 3. - 81 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA tujuan ini, hakim dan para pembentuk hukum lainnya harus mempunyai metode mengevaluasi hukum yang berdampak pada nilai kepentingan sosial. Ilmu ekonomi memprediksi dampak kebijakan pada efisiensi. Efisiensi selalu relevan untuk membuat kebijakan, karena itu selalu lebih baik mendorong setiap kebijakan yang mempunyai biaya rendah daripada biaya tinggi. 11 Analisis ekonomi ialah menentukan pilihan dalam kondisi kelangkaan (scarcity). Dalam kelangkaan ekonomi, mengasumsikan bahwa individu atau masyarakat akan atau berusaha untuk memaksimalkan apa yang mereka ingin capai dengan melakukan sesuatu sebaik mungkin dalam keterbatasan sumber. Dalam hubungannya dengan positive analysis dari hukum, analisis akan bertanya bila kebijaksanaan (hukum) tersebut dilaksanakan, prediksi apa yang dapat dibuat yang mempunyai akibat ekonomi. Orang akan memberikan reaksi terhadap inisiatif atau disinsentif dari kebijaksanaan (hukum) tersebut. Normative analysis yang secara konvensional diartikan sebagai welfare economics cenderung akan bertanya apakah kebijaksanaan (hukum) yang diusulkan atau perubahan hukum yang dilakukan akan berpengaruh terhadap cara orang untuk mencapai apa yang diinginkan? Sehubungan dengan penjelasan tersebut, 2 (dua) konsep efisiensi menjadi penting, yaitu: Pareto efficiency (nama seorang ahli ekonomi Italia abad lalu), dan Kaldor-Hicks efficiency (nama 2 (dua) orang ahli ekonomi Inggris). 11 Ibid. - 82 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Pareto efficiency akan bertanya apakah kebijaksanaan atau perubahan hukum tersebut membuat seseorang lebih baik dengan tidak mengakibatkan seseorang lainnya bertambah buruk? Sebaliknya, Kaldor-Hicks efficiency akan mengajukan pertanyaan apakah kebijaksanaan atau perubahan hukum tersebut akan menghasilkan keuntungan yang cukup bagi mereka yang mengalami perubahan itu, sehingga secara hipotesis, dapat memberikan kompensasi kepada mereka yang dirugikan akibat kebijaksanaan atau perubahan hukum tersebut? Pendekatan yang terakhir ini ialah cost benefit analysis. 12 Dalam praktiknya, analisis ekonomi terhadap hukum ini mendapat penentangan dari mereka yang menganut paham positivisme. Alasan penentangan ini didasarkan pada argumentasi bahwa hukum dianggap sebagai peraturan perundang-undangan yang tertulis yang berisikan norma-norma, di antaranya norma keadilan. Pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum terlalu menekankan kepada cost benefit ratio yang kadang-kadang tidak mendatangkan keadilan. Konsentrasi ahli ekonomi yang tertuju kepada efisiensi, tidak terlalu merasakan perlunya unsur keadilan (justice). 13 Penentangan tersebut dengan mendalihkan pada tidak adanya perhatian pada aspek keadilan dari para pemikir analisis ekonomi terhadap hukum rupanya dibantah oleh para pemikir analisis ekonomi terhadap hukum. Bantahan ini dilakukan dengan mengemukakan alasan-alasan, yaitu: 12 Michael J. Trebilcock, “Law and Economics,” The Dalhousie Law Journal (Vol. 16, No. 2, fall 1993): 361-363. 13 Ibid. - 83 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Pertama, bahwa tidak benar ekonom tidak memikirkan keadilan. Dalam usaha menentukan klaim normatif mengenai pembagian pendapatan dan kesejahteraan, seseorang mesti memiliki filosofi politik melebihi pertimbangan ekonomi semata-mata. Ke dua, ekonomi menyediakan kerangka di dalam mana pembahasan mengenai keadilan dapat dilakukan. Para ekonom telah memperlihatkan bahwa jika kondisi-kondisi untuk adanya pasar yang kompetitif memuaskan, hasil yang diperoleh ialah efisiensi pareto. Sama saja, setiap hasil dari efisiensi pareto dapat dikembangkan dari distribusi aset lebih dulu yang menimbulkan kondisi yang kompetitif. 14 Salah satu contoh penggunaan analisis ekonomi terhadap hukum, khususnya dalam hukum internasional, misalnya ialah dalam kajian terhadap keberadaan perjanjian lingkungan internasional (multilateral environmental agreements). Dalam perspektif pendekatan ekonomi terhadap hukum, terdapat beberapa premis rasionalitas utama dalam pendekatan teoretis yang menjadi landasan berfikir suatu negara untuk taat atau tidak taat terhadap suatu tindakan dalam hukum internasional, yaitu: 1. Negara ialah aktor utama dalam sistem hukum internasional; 2. Negara dalam melaksanakan hubungan internasional tidak perlu dikonstruksikan dalam hubungan subordinat dalam rangka melakukan kerja sama; 14 Ibid. - 84 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 3. Setiap negara selalu bersifat egois dan akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai kepentingan negaranya masing-masing, dan; 4. Setiap negara selalu bertindak rasional dengan latar belakang pemikiran untung rugi yang telah diproyeksi dalam segala bentuk tindakan dalam ranah internasional. 15 Secara ekstrim, analisis ekonomi terhadap hukum mencoba mengkritik eksistensi dari mekanis command and control yang berbasis pada regulasi semata. Paling tidak, terdapat 4 (empat) kritik yang disampaikan dalam konteks ini. Pertama, para pemikir analisis ekonomi menganggap biaya yang akan dikeluarkan dalam mekanisme command and control dianggap akan lebih besar daripada keuntungan yang akan diraih dalam proses penaatan peraturan tersebut. 16 Ke dua, sering peraturan yang berbasis command and control memberikan standar yang ketat untuk jenis-jenis sumber pencemaran baru sehingga sumber-sumber pencemaran lama tidak mampu untuk ditekan laju 15 Sedangkan menurut Hikmahanto Juwana, terdapat paling tidak 3 (tiga) peran hukum internasional terhadap dunia usaha, yaitu: 1. Hukum internasional sebagai alat intervensi; 2. Hukum internasional sebagai sarana untuk melindungi kepentingan dunia usaha pada tingkat nasional negara tertentu, dan; 3. Hukum internasional sebagai sarana untuk memfasilitasi dunia usaha go internasional. Hikmahanto Juwana, “Relevansi Hukum Internasional bagi Dunia Usaha Indonesia” (makalah pada Diskusi Ilmiah Refleksi 5 Tahun I.J.I.L., Peranan Hukum Internasional bagi Kepentingan Nasional, Jakarta, 23 Oktober 2008). Lihat juga Robert O. Keohane, “After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy,” (1984), dan juga Kenneth W. Abbott, “Modern International Relations Theory: A Prospectus for International Lawyers,” Yale J. International (1989): 346-350. 16 W. David Montgomery, “Markets in Licenses and Efficient Pollution Control Programs,” J. Econ. Theory: 395. - 85 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA pencemarannya. 17 Ke tiga, dalam beberapa kasus tertentu kehadiran instrumen ekonomi yang berbasis insentif dan disinsentif memiliki efektivitas lebih tinggi. 18 Terakhir, ke empat, dalam kondisi tertentu peraturan yang berbasis pada mekanisme command and control sering tidak stabil karena sangat terpengaruh dengan kondisi politik tertentu pada zamannya. 19 Gambaran di atas dapat menunjukkan bahwa salah satu sumbangan penting dari pemikiran analisis ekonomi terhadap hukum ialah dengan memberikan perspektif dan pola analisis yang berbeda dengan pendekatan yang lain, sehingga berujung tidak hanya pada premis efektivitas hukum semata tetapi juga pada efisiensi. C. Reformasi Undang-Undang mengenai Lingkungan Hidup Sejak tanggal 3 Oktober 2009, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah dicabut, dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-undang itu kemudian diganti dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Undang-Undang tentang PPLH). Undang-Undang tentang PPLH ini terdiri dari 17 (tujuh belas) bab dan 127 (seratus dua puluh tujuh) pasal yang mengatur secara lebih menyeluruh tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 17 Matthew D. McCubbins et al, “Structure and Process, Politics, and Policy: Administrative Arrangements and the Political Control of Agencies,” Va. L. Rev.: 431. 18 Martin L. Weitzman, “Prices v. Quantities,” Rev. Econ. Stud.: 485-490. 19 Robert W. Hahn, “Economic Prescriptions for Environmental Problems: How the Patient Followed the Doctor's Orders,” J. Econ. Persp. (Spring 1989): 101. - 86 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ialah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik, karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. Beberapa point penting dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, antara lain: 1. Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup; 2. Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah; 3. Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup; 4. Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi instrumen kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; 5. Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian; - 87 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 6. 7. Pendayagunaan pendekatan ekosistem; Kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global; 8. Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hakhak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; 9. Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas; 10. Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif, dan; 11. Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ini juga pemerintah pusat memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing, yang tidak diatur dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 1997. Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ini tidak cukup hanya suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi dengan - 88 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA portofolio menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, lembaga tersebut diharapkan juga mempunyai ruang lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk kepentingan konservasi. Untuk menjamin terlaksananya tugas pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan dukungan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang memadai untuk pemerintah pusat, dan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang memadai untuk pemerintah daerah. Yang dimaksud dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 meliputi: 1. Aspek perencanaan yang dilakukan melalui inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion dan penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). 2. Aspek pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan berdasarkan RPPLH. Tetapi dalam undang-undang ini telah diatur bahwa jika suatu daerah belum menyusun RPPLH, maka pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. 3. Aspek pengendalian terhadap pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup yang meliputi pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 juga memasukkan pengaturan beberapa instrumen pengendalian baru, antara lain: Kajian - 89 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), tata ruang, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, AMDAL, Upaya Pengelolaan Lingkungan–Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL), perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, dan instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan. Pemeliharaan lingkungan hidup yang dilakukan ialah melalui upaya konservasi sumber daya alam, pencadangan sumber daya alam, dan/atau pelestarian fungsi atmosfer. Aspek pengawasan dan penegakan hukum meliputi: pengaturan sanksi yang tegas (pidana dan perdata) bagi pelanggaran terhadap baku mutu, pelanggar AMDAL (termasuk pejabat yang menerbitkan izin tanpa AMDAL atau UKLUPL), pelanggaran dan penyebaran produk rekayasa genetika tanpa hak, pengelola limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3) tanpa izin, melakukan dumping tanpa izin, memasukkan limbah ke Indonesia tanpa izin, melakukan pembakaran hutan, pengaturan tentang pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil, serta menjadikannya sebagai jabatan fungsional. Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 terdapat pasal-pasal yang mengatur sanksi pidana dan perdata yang mengancam setiap pelanggaran peraturan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik kepada perseorangan, korporasi, maupun pejabat. Sebagai contoh, pelanggaran terhadap baku mutu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun, serta denda paling sedikit Rp. - 90 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah). Perbedaan lainnya yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang tidak dimuat dalam undang-undang yang lama ialah ketentuan mengenai analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, AMDAL mendapat porsi yang cukup banyak dibandingkan instrumen lingkungan lainnya, dari 127 (seratus dua puluh tujuh) pasal yang ada, 23 (dua puluh tiga) pasal di antaranya mengatur tentang AMDAL. Pengertian AMDAL pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 juga berbeda dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, yaitu hilangnya kata-kata “dampak besar.” Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 menyebutkan bahwa “AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup …” sedangkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa “AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan …” Dari kedua puluh tiga pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tersebut, ada pasal-pasal penting yang sebelumnya tidak termuat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan memberikan implikasi yang besar bagi para pelaku AMDAL, termasuk pejabat pemberi izin. Hal-hal penting baru lainnya yang terkait dengan AMDAL yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, antara lain: - 91 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 1. AMDAL dan UKL-UPL merupakan salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; 2. Penyusun dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun dokumen AMDAL; 3. Komisi penilai AMDAL pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota wajib memiliki lisensi AMDAL; 4. Amdal dan UKL-UPL merupakan persyaratan untuk penerbitan izin lingkungan; 5. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya. Selain kelima hal tersebut di atas, ada pengaturan yang tegas yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, yaitu dikenakannya sanksi pidana dan perdata bagi (terkait) pelanggaran bidang AMDAL. Sanksi-sanksi yang diatur tersebut, ialah: 1. Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan; 2. Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki sertifikat kompetensi; 3. Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan yang tanpa dilengkapi dengan dokumen AMDAl atau UKLUPL. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL. Mengenai dampak penting tersebut ditentukan berdasarkan kriteria: - 92 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 1. Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; 2. Luas wilayah penyebaran dampak; 3. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung; 4. Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak; 5. Sifat kumulatif dampak; 6. Berbalik atau tidak berbaliknya dampak, dan/atau; 7. Kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan AMDAL terdiri atas: 1. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; 2. Eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan; 3. Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya; 4. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya; 5. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya; 6. Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik; 7. Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati; - 93 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 8. Kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara, dan/atau; 9. Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup. Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan AMDAL diatur dengan peraturan menteri. Ketentuan lain yang terdapat pula dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ialah mengenai audit lingkungan hidup. Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kinerja lingkungan hidup: 1. Menteri mewajibkan audit lingkungan hidup kepada: a. Usaha dan/atau kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup, dan/atau; b. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan. 2. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melaksanakan audit lingkungan hidup. 3. Pelaksanaan audit lingkungan hidup terhadap kegiatan tertentu yang berisiko tinggi dilakukan secara berkala. Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat - 94 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA (1), Menteri dapat melaksanakan atau menugasi pihak ke tiga yang independen untuk melaksanakan audit lingkungan hidup atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. Kemudian, Menteri mengumumkan hasil audit lingkungan hidup tersebut. Audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dilaksanakan oleh auditor lingkungan hidup. Auditor lingkungan hidup wajib memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup. Kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud meliputi kemampuan: 1. Memahami prinsip, metodologi, dan tata laksana audit lingkungan hidup; 2. Melakukan audit lingkungan hidup yang meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengambilan simpulan, dan pelaporan; 3. Merumuskan rekomendasi langkah perbaikan sebagai tindak lanjut audit lingkungan hidup. Sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup diterbitkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi auditor lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai audit lingkungan hidup diatur dengan peraturan menteri. Terdapat hal baru pula mengenai model penyelesaian sengketa lingkungan hidup dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Pilihan penyelesaian sengketa - 95 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa. Sengketa lingkungan hidup dapat diselesaikan dengan cara: 1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai: a. Bentuk dan besarnya ganti rugi; b. Tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan; c. Tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan, dan/ atau; d. Tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ini. Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup. Masyarakat dapat pula membentuk lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak. Pemerintah pusat dan pemerintah - 96 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2. daerah dapat memfasilitasi pembentukan lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak. Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur dengan peraturan pemerintah. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan merupakan salah satu upaya yang dapat digunakan dalam instrumen penegakan hukum perdata menurut UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam mekanisme ini, antara lain: a. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. b. Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut. c. Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan. d. Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan. - 97 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA D. Arah Politik Hukum Lingkungan Hidup Indonesia: Menuju Sustainability Policy Pola pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia saat ini dirasakan oleh berbagai pihak belum mencerminkan adanya suatu kesinambungan antara pengelolaan lingkungan secara lestari dengan pencapaian kemakmuran. Memang sejak awal pembicaraan telah terjadi perdebatan mengenai tarik-menarik antara kepentingan lingkungan dan kepentingan ekonomi. Kejadian bencana alam yang belakangan ini sering terjadi di Indonesia dan juga berbagai pencemaran serta perusakan lingkungan yang timbul di Indonesia, menurut beberapa ahli, disebabkan karena tidak diterapkannya konsep sustainable development secara holistik. Konsep sustainable development ini telah diperkenalkan oleh World Commissions for Environmental and Development (WCED) sebagai suatu solusi untuk menyatukan kepentingan ekologi dan pembangunan. WCED memahami pentingnya perubahan hukum dan kelembagaan yang diperlukan untuk beralih ke konsep pembangunan berkelanjutan, dan untuk itu, telah menggariskan tindakan-tindakan yang dipersyaratkan pada tingkat nasional untuk mencapai tujuan tersebut. Tindakan-tindakan itu ialah sebagai berikut: 20 1. Membentuk atau memperkuat badan-badan untuk melindungi lingkungan dan mengelola sumber daya alam. 20 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan (Yogyakarta: UGM Press, 2006), hlm. 15. - 98 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2. Melibatkan masyarakat umum dan masyarakat ilmiah dalam pemilihan kebijaksanaan yang pada dasarnya kompleks dan sulit dari sudut politis. 3. Meningkatkan kerja sama antara pemerintah dan dunia industri untuk nasehat, asistensi, dan dukungan timbal balik dalam membantu pembentukan dan pelaksanaan kebijaksanaan, hukum dan peraturan guna mewujudkan pembangunan industri yang lebih berkelanjutan. 4. Memperkuat dan meluaskan konvensi serta perjanjian internasional yang ada untuk menunjang perlindungan lingkungan, pembangunan berkelanjutan, dan perlindungan sumber daya alam. 5. Memperbaiki pengelolaan analisis mengenai dampak lingkungan dan kemampuan untuk merencanakan pemanfaatan sumber daya. Konsep sustainability use mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan seputar pengorbanan faktor ekonomi dan pembangunan untuk kepentingan lingkungan. Konsep ini menitikberatkan pada pola pembangunan dalam rangka memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya. Konsep tersebut hendaknya menjadi suatu konsep atau asas yang disisipkan ke seluruh bentuk regulasi pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunan di Indonesia. Hal ini menjadi penting terlebih pada saat hukum dapat berfungsi sebagai suatu tool yang turut serta dalam mewujudkan pengelolaan lingkungan hidup secara lestari dan berkelanjutan. - 99 - POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA Dalam diskursus kebijakan hukum lingkungan, terkadang nuansa demokratis maupun otoriter tidak terlihat lagi sebagai variabel yang dominan, namun justru pemahaman lingkungan sebagai suatu entitas yang holistik (dengan kehidupan manusia di dalam ekosistem bumi) yang menjadi penentu utama dalam perumusan kebijakan. *** - 100 - DAFTAR PUSTAKA Danusaputro, St. Muadjat. Hukum Lingkungan: Buku 1 Umum. Bandung: Binacipta, 1980. Hardjasoemantri, Koesnadi. Hukum Tata Lingkungan. Cet. 19. Yogyakarta: UGM Press, 2006. Harman, Benny K. Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Cet. I. Jakarta: ELSAM, 1997. Hartono, C.F.G. Sunaryati. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung: Alumni, 1991. Mahfud M.D., Moh. Politik Hukum di Indonesia. Cet. 1. Jakarta: LP3ES, 1998. Rhiti, Hyronimus. Kompleksitas Permasalahan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2005. Sakumoto, Naoyuki. Development of Environmental Law and Legal Reform in Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2007. Siahaan, N.H.T. Hukum Lingkungan. Cet. I. Jakarta: Pancuran Alam, 2006. Sidharta, Bernard Arief. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1999. Silalahi, Daud. Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung: Alumni, 2001. Soedarso, Bambang Prabowo. Kumpulan Bahan Kuliah Hukum Lingkungan. Jakarta: Yayasan Indonesia Lestari, 2007. - 101 - Soemarwoto, Otto. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan, 1983. Syaukani, Imam dan A. Ahsin Thohari. Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004. Wahjono, Padmo. Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia. *** - 102 - BIODATA PENULIS Deni Bram, S.H.,M.H. saat ini tercatat sebagai tenaga pengajar tetap di Fakultas Hukum Universitas Pancasila semenjak tahun 2009. Selain itu, Kandidat Doktor Hukum Lingkungan Internasional Universitas Indonesia ini juga aktif dalam kegiatan penelitian di Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila dan pernah membantu sebagai peneliti tamu di Maastricht University, Belanda. Beberapa publikasinya telah diterbitkan baik di dalam jurnal ilmiah, media massa cetak, maupun buku, antara lain, ialah buku Hukum Lingkungan Internasional: Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara, dan Pengantar Hukum Lingkungan. Sehari-hari penulis dapat dihubungi melalui [email protected] *** - 103 -