BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Dalam kajian teori ini

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
Dalam kajian teori ini memuat penjabaran lebih lanjut mengenai teori-teori
pendukung pelaksanaan penelitian yang sebelumnya telah disinggung di latar
belakang. Berikut merupakan penjabaran dari teori-teori yang mendukung
penelitian :
2.1.1 Hakikat Pembelajaran IPA SD
Lingkungan alam merupakan objek yang menarik untuk siswa, karena pada
dasarnya manusia hidup berdampingan dengan lingkungan alam. Oleh karena itu
lingkungan seharusnya menjadi sumber belajar untuk siswa agar bisa menggali
informasi yang sebanyak-banyaknya dan sebagi objek untuk mengajarkan siswa
agar senantiasa menghargai, serta menjaga ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Salah
satu usaha manusia agar kehidupannya terus berkembang dan tidak tertinggal
adalah dengan belajar. Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya
(Slameto, 2010: 2). Jadi belajar tidak hanya dilakukan di lingkungan formal
seperti sekolah saja, tetapi dapat juga dilakukan di lingkungan non formal seperti
di keluarga, masyarakat, bahkan juga dari setiap peristiwa yang dialami seharihari.
Pembelajaran menurut Undang-undang nomor 20 tahun 2000 pasal 1
tentang pendidikan nasional menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar. Sedangkan menurut Oemar Hamalik (2010: 57) Pembelajaran adalah
suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material,
fasilitator, perlengkapan dan proses yang saling mempengaruhi untuk mencapai
tujuan pembelajaran.
9
Jadi berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran adalah suatu proses interaksi peserta didik dengan pendidik yang
dikombinasikan
dengan
unsur-unsur
manusiawi,
material,
fasilitator,
perlengkapan pada suatu lingkungan belajar untuk untuk mencapai tujuan
pembelajaran tertentu.
Hakikat IPA menurut Surjani Wonorahardjo (2010: 11) sains mempunyai
makna merujuk ke pengetahuan yang berada dalam sistem berpikir dan konsep
teoritis dalam sistem tersebut, yang mencakup segala macam pengetahuan,
mengenai apa saja. Menurut Usman Samatowa (2010: 2) mengatakan bahwa IPA
adalah suatu kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik, dan dalam
penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. Perkembangannya
tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan fakta, tetapi oleh adanya metode
ilmiah dan sikap ilmiah. Jadi, hakikat IPA merupakan suatu ilmu pengetahuan
tentang alam atau ilmu yang mempelajari tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi
di alam ini dimana di dalamnya terdapat teori sistematis yang berhubungan
dengan proses gejala-gejala alam.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Pembelajaran IPA
adalah interaksi antar komponen-komponen pembelajaran (guru dan siswa) dalam
bentuk proses pembelajaran untuk mencapai tujuan yang berbentuk kompetensi
IPA yang telah ditetapkan.
Latar belakang dari pembelajaran IPA menurut KTSP Standar Isi 2006
adalah Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk
mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih
lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga dari latar
belakang ini pembelajaran IPA mempunyai pengaruh penting dalam kehidupan
manusia pada umumnya. Karena dengan adanya pembelajaran IPA ini, manusia
akan termotivasi untuk melakukan penemuan dan inovasi untuk menunjang
kehidupannya.
10
Tujuan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) menurut KTSP
(2006) adalah mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari serta mengembangkan keterampilan proses untuk
menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.
Mata Pelajaran IPA di SD menurut KTSP Standar Isi 2006 bertujuan agar
peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut :
1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan
keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya.
2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya
hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan
masyarakat.
4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,
memecahkan masalah dan membuat keputusan.
5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan
melestarikan lingkungan alam.
6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya
sebagai salah satu ciptaan Tuhan
7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar
untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.
Ruang lingkup pembelajaran IPA untuk SD meliputi berbagai aspek yang
berkaitan dengan kehidupannya sehari-hari. Ruang lingkup tersebut yaitu
makhluk hidup dan proses kehidupan, meliputi manusia, hewan, tumbuhan dan
interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan. Benda/materi, sifat-sifat dan
kegunaannya meliputi cair, padat dan gas. Energi dan perubahannya meliputi
gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana. Bumi dan alam
semesta meliputi tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya.
11
Pembelajaran IPA di SD harus mampu mendorong siswa untuk dapat
memiliki ketrampilan IPA yang berkaitan dengan Sains, Lingkungan, Teknologi
dan Masyarakat (Salingtemas) yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam
pembelajaran IPA. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran IPA dibutuhkan
strategi dan model pembelajaran yang mampu membantu siswa untuk memiliki
ketrampilan salingtemas tersebut. Terdapat berbagai model pembelajaran yang
potensial terhadap perkembangan pembelajaran IPA di SD. Model-model tersebut
diantaranya Discovery Learning, Problem Based Learning (PBL), Project Based
Learning (Pjbl), Group Investigation, Inquiry, Make a Match, Snowball
Throwing, Picture and Picture, dan Jigsaw.
2.1.2
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran IPA
Standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan
untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator
pencapaian kompetensi untuk penilaian. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan standar kompetensi dan kompetensi dasar kelas IV, semester 2.
Tabel 2.1
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA Kelas IV
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
10.Memahami perubahan
10.1
Mendeskripsikan
berbagai
perubahan
lingkungan fisik dan
lingkungan daratan erosi, abrasi, longsor,
pengaruhnya terhadap
dan banjir.
daratan
10.2. Menyebutkan faktor-faktor penyebab dan
kerugian terjadinya erosi, abrasi, longsor dan
banjir.
10.3.Mendeskripsikan cara pencegahan kerusakan
lingkungan (erosi, abrasi,banjir, dan longsor)
(Silabus Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, 2006)
12
2.1.3 Model Pembelajaran Kooperatif
Sebagai pendidik, guru mempunyai peran yang penting dalam memilih
model pembelajaran yang tepat, karena sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan
suatu proses pembelajaran, agar tujuan dari pembelajaran tersebut dapat tercapai
dengan baik. Salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik
siswa sekolah dasar yang suka berkelompok adalah model pembelajaran
kooperatif. Sesuai dengan namanya kooperatif yang artinya kerja sama, model ini
dapat membantu meringankan siswa dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Slavin (2005: 5) berpendapat bahwa model pembelajaran kooperatif
adalah suatu model pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja dalam
kelompok-kelompok kecil untuk membantu satu sama lainnya dalam mempelajari
materi pelajaran. Sedangkan Nurulhayati (dalam Rusman, 2013: 11) mengatakan
bahwa
Cooperative
Learning
(pembelajaran
kooperatif)
adalah
strategi
pembelajaran yang melibatkan siswa dalam satu kelompok kecil untuk saling
berinteraksi. Senada dengan pendapat-pendapat tersebut, pembelajaran kooperatif
menurut Rusman (2011: 202) adalah berntuk pembelajaran dengan cara siswa
belajar dalam kelompok – kelompok kecil secara kolaboratif yang anggoytanya
terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat
heterogen.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah
suatu model pembelajaran yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang
anggotanya heterogen sehingga terjadi suatu kerja sama dan saling mempelajari
dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Terdapat berbagai tipe model pembelajaran kooperatif yang dapat
digunakan dalam proses pembelajaran IPA. Model-model pembelajaran
kooperatif tersebut yaitu Jigsaw, Think Pair Share, Snowball Throwing,
Numbered Head Together, Group Investigation, Two Stay Two Stray, Make a
Match, dan Inside-Outside Circle.
Dari beberapa model kooperatif tersebut, menurut peneliti model Make a
Match dan Snowball Throwing dianggap memiliki potensi dalam meningkatkan
kualitas pembelajaran IPA di SD, karena di dalam model model Make a Match
13
juga memilik karakteristik yang sama dengan model Snowball Throwing yaitu
mengandung unsur kerja sama. Dalam kaitannya dengan materi IPA yang diambil
yaitu tentang pengaruh perubahan lingkungan daratan. Dengan menerapkan model
pembelajaran Make a Macth dan Snowball Throwing diharapkan dapat
memberikan kemudahan siswa dalam belajar IPA bersama kelompok.
Selain itu model pembelajaran Make a Match merupakan model
pembelajaran kooperatif, pada penerapannya dapat dilakukan dengan cara siswa
mencari dan menemukan pasangan kartu yang cocok sesuai dengan soal dan
jawaban, sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang
menyenangkan.
Sedangkan
model
Snowball
Throwing
terkandung
unsur
untuk
menguatkan pengetahuan siswa yang diperoleh peserta didik dari mendengarkan
dan membaca materi yang diajarkan oleh guru, kemudian siswa mempunyai jiwa
kooperatif atau kerja sama yaitu membuat pertanyaan secara berkelompok yang
sesuai dengan karakteristik siswa SD yang suka berkelompok.
Penelitian lebih lanjut mengenai keefektifan model Make a Match dan
Snowball Throwing perlu dilakukan dengan terlebih dahulu memahami hakikat
model Snowball Throwing dan Make a Match, karakteristik, komponen dan
kelebihan dari kedua model tersebut.
2.1.4
Model Pembelajaran Make a Match
2.1.4.1 Pengertian Model Pembelajaran Make a Match
Model ini dikembangkan oleh Lorna Curran (1994). Salah satu cara
keunggulan teknik ini adalah peserta didik mencari pasangan sambil belajar
mengenai suatu konsep atau topik,dalam suasana yang menyenangkan. Menurut
Rusman (2011: 223-233) Model Make A Match (membuat pasangan) merupakan
salah satu jenis dari metode dalam pembelajaran kooperatif.
Anita Lie (2008: 56) menyatakan bahwa model pembelajaran tipe Make A
Match atau bertukar pasangan merupakan teknik belajar yang memberi
kesempatan siswa untuk bekerja sama dengan orang lain. Teknik ini bisa
digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia peserta
14
didik. Sedangkan menurut M.Huda (2011: 135), model Make a Match dalam
penerapannya siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau
topik dalam suasana yang menyenangkan.
Jadi, berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
model pembelajaran Make A Match adalah suatu model pembelajaran yang
mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam semua
mata pelajaran dan tingkatan kelas.
Model ini juga bisa diterapkan untuk semua mata pelajaran dan tingkatan
kelas. Model pembelajaran Make a Match dilakukan di dalam kelas dengan
suasana yang menyenangkan karena dalam pembelajarannya siswa dituntut untuk
berkompetisi mencari pasangan dari kartu yang sedang dibawanya dengan waktu
yang cepat. Guru menyiapkan kartu yang berisi persoalan atau permasalahan dan
kartu yang berisi jawabannya, setiap siswa mencari dan mendapatkan sebuah
kartu soal dan berusaha menjawabnya, setiap siswa mencari kartu jawaban yang
cocok dengan persoalannya siswa yang benar mendapat nilai-reward, kartu
dikumpul lagi dan dikocok, untuk babak berikutnya pembelajaran seperti babak
pertama, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.
Pada penerapan model Make a Match, penulis memperoleh beberapa
temuan bahwa model Make a Match dapat memupuk kerja sama siswa dalam
menjawab pertanyaan dengan mencocokkan kartu yang yang ada di tangan
mereka, proses pembelajaran lebih menarik dan nampak sebagian besar siswa
lebih antusias mengikuti proses pembelajaran, dan keaktifan siswa tampak sekali
pada saat siswa mencari pasangan kartunya masing-masing.
Kegiatan yang dilakukan guru ini merupakan upaya guru untuk menarik
perhatian sehingga pada akhirnya dapat menciptakan keaktifan dan motivasi siswa
dalam mengikuti proses pembelajaran di kelas. Selanjutnya, penerapan model
Make a Match dapat membangkitkan keingintahuan dan kerja sama di antara
siswa serta mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Hal ini
sesuai dengan tuntutan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) bahwa
pelaksanaan proses pembelajaran mengikuti standar kompetensi, yaitu: berpusat
pada siswa, mengembangkan keingintahunan dan imajinasi, memiliki semangat
15
mandiri,bekerja sama, dan kompetensi, menciptakan kondisi yang menyenangkan,
mengembangkan beragam kemampuan dan pengalaman belajar, karakteristik
mata pelajaran.
2.1.4.2 Karakteristik Model Pembelajaran Make a Match
Model pembelajaran Make a Match merupakan salah satu model
pembelajaran yang berorientasi pada permainan. Menurut Suyatno (2009 : 102)
adapun beberapa prinsip-prinsip model
Make a Match antara lain: 1) Anak
belajar melalui panca indera, 2) Anak belajar melalui berbuat, 3) Anak belajar
melalui bahasa, 4) Anak belajar melalui bergerak.
Tujuan dari pembelajaran dengan model Make a Match adalah untuk
melatih peserta didik agar lebih cermat dan kuat pemahamannya terhadap suatu
materi pokok (Fachrudin, 2009: 168). Siswa dilatih berpikir cepat, menghafal
cepat sambil menganalisis dan berinteraksi sosial.
Model pembelajaran Make a Match merupakan model yang menciptakan
hubungan baik antara guru dan siswa. Guru mengajak siswa bersenang-senang
dalam permainan. Kesenangan tersebut juga dapat mengenai materi dan siswa
dapat belajar secara langsung maupun tidak langsung.
2.1.4.3 Sintak/Langkah-Langkah Model Pembelajaran Make a Match
Model pembelajaran Make a Match atau mencari pasangan dikembangkan
oleh Lorna Curran (1994). Salah satu keunggulan model ini adalah siswa mencari
pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang
menyenangkan.
Adapun langkah-langkah penerapan model pembelajaran Make a Match menurut
M. Huda (2011: 135) sebagai berikut:
1. Tahap petama, guru menyiapkan beberapa kartu sejumlah siswa
Pada tahap ini guru menyiapkan beberapa kartu sejumlah siswa. Kemudian
separuh dari jumlah kartu dibuat sebagai pertanyaan dan separuh lagi
untuk jawaban dari pertanyaan. Soal disesuaikan dengan konsep yang
diajarkan .
16
2. Tahapan kedua, setiap siswa mendapatkan sebuah kartu yang berisikan
soal/jawaban Tugas guru adalah membagikan kartu-kartu tersebut. Baik
kartu soal maupun kartu jawaban. Kartu tersebut dibuka bersama-sama.
3. Tahap ketiga, setiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang
dipegang. Guru memberikan batas waktu untuk siswa memikirkan
jawaban atau hal lain yang berkaitan dengan kartu yang sedang dibawa
siswa.
4. Tahap keempat, setiap siswa mencari pasangan kartu yang cocok dengan
kartunya. Siswa diberi kesempatan untuk bertanya-tanya dengan temannya
kartu apa yang sedang mereka bawa.
5. Tahap kelima, setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum
batas waktu diberi poin atau reward. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi
agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya, demikian
seterusnya
6. Tahap keenam, guru bersama dengan siswa membuat kesimpulan terhadap
materi pelajaran.
2.1.4.4 Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Make a Match
Kelebihan model Make A Match menurut Sri Rejeki (2010: 145) adalah :
1. Dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa, baik secara kognitif maupun
fisik
2. Karena ada unsur permainan, metode ini menyenangkan.
3. Meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari dan
dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.
4. Efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi.
5. Efektif melatih kedisiplinan siswa menghargai waktu untuk belajar.
Kelemahan dalam penerapan yaitu:
1. Waktu yang tersedia perlu dibatasi jagan sampai murid terlalu banyak
bermain-main dalam proses pembelajaran..
2. Memakan waktu yang banyak karena sebelum masuk kelas, terlebih
dahulu kita mempersiapkan kartu-kartu.
17
2.1.4.5 Komponen Model Pembelajaran Make a Match
Joyce, Weil dan Calhoun (2009: 104-106) menyebutkan bahwa sebuah
model pembelajaran terdiri dari komponen sintaks, komponen prinsip reaksi atau
peran guru, komponen sistem sosial, komponen daya dukung berupa sarana
prasarana pelaksanaan model, serta dampak instruksional yaitu hasil belajar siswa
sesuai tujuan yang hendak dicapai dan dampak pengiring sebagai akibat dari
terciptanya suasana belajar dalam model tertentu. Komponen-komponen dari
model pembelajaran Make a Match yaitu sebagai berikut ;
1. Sintagmatik
Sintagmatik atau struktur model pembelajaran menurut Miftahul Huda,
2011: 135) yaitu, Tahap pertama, guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi
beberapa konsep atau topic yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian
lainnya bentuk jawaban.
Tahap kedua, pada tahap ini guru berperan untuk membagi komunitas
menjadi 2 kelompok yaitu kelompok A dan B. Kelompok A merupakan kelompok
pembawa karu-kartu berisi pertanyaan-pertanyaan. Sedangkan kelompok B adalah
kelompok pembawa kartu-kartu berisi jawaban-jawaban. Upayakan kelompok
pertama dan kedua berjajar saling berhadapan. setiap murid mendapat satu buah
kartu yang berisi soal dan jawaban.
Tahap ketiga, jika masing-masing kelompok sudah berada di posisi yang
telah ditentukan, maka guru membunyikan peluit sebagai tanda agar kelompok
pertama maupun kelompok kedua saling bergerak mereka bertemu, mencari
pasangan pertanyaan-jawaban yang cocok. Berikan kesempatan kepada mereka
untuk berdiskusi. Ketika mereka diskusi alangkah baiknya jika ada musik
instrumentali yang lembut mengiringi aktivitas belajar mereka. Hasil diskusi
ditandai oleh pasangan-pasangan antara anggota kelompok pembawa kartu
pertanyaan dan anggota kelompok pembawa kartu jawaban.
Tahap keempat, yaitu siswa mencari kartu yang cocok dengan kartunya.
Artinya murid yang kebetulan mendapat kartu “soal” maka harus mencari
pasangan yang memegang kartu “jawaban soal” secepat mungkin. Demikian juga
18
sebaliknya.Tahap kelima, setiap murid dapat mencocokkan kartunya sebelum
batas waktu akan diberi poin.
Tahap keenam, guru membuat kesimpulan/penutup terhadap materi yang
telah diajarkan.
2. Prinsip reaksi
Peran guru dalam model Make a Match
ini adalah sebagai sebagai
fasilitator atau pemberi kemudahan. Dalam keseluruhan proses pembelajaran
pengajar bertugas dan bertanggungjawab atas terpeliharannya suasana belajar
dengan cara menunjukkan sikap yang mendukung dan tidak bersikap menilai.
Siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta
ketrampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada permainan yang bersifat
kompetitif ini.
3. Sistem sosial
Sistem sosial dalam model pembelajaran ini adalah suasana kooperatif
kerja sama antar teman kelas yang penuh dengan tanggung jawab dengan
pembelajaran yang dikemas dalam suasana belajar yang menyenangkan karena
siswa termotivasi mencari pasangan kartu yang cocok.
4. Daya dukung
Sistem pendukung dalam model Make a Match ini harus ekstensif dan
responsif terhadap semua kebutuhan siswa. Pengajar yang memiliki kepribadian
hangat dan trampil dalam mengelola hubungan interpersonal dengan siswa,
sehingga akan mampu menciptakan iklim kelas yang terbuka dan aktif. Media
berupa kartu soal dan jawaban yang berisi bahan-bahan dan data terpilih serta
terorganisasi untuk memberikan contoh-contoh yang sesuai permasalahan dalam
suatu materi pembelajaran.
5. Dampak instruksional dan dampak pengiring
Dampak instruksional adalah dampak atau hasil belajar yang dicapai
langsung dengan cara mengarahkan para siswa pada tujuan yang diharapkan.
Secara khusus dampak instruksional yang terdapat dalam pembelajaran IPA
materi pengaruh perubahan lingkungan melalui model Make a Match adalah
19
kemampuan mendiskripsikan dan menyebutkan cara pencegahan terhadap
perubahan lingkungan fisik terhadap daratan (erosi, abrasi, banjir, dan longsor).
Dampak pengiring adalah hasil belajar lainnya yang dihasilkan oleh suatu
proses pembelajaran, sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami
langsung oleh para siswa tanpa pengarahan langsung dari pengajar. Secara khusus
dampak pengiring yang didapatkan siswa dalam pembelajaran IPA dengan materi
materi perubahan lingkungan melalui model Make a Match adalah ketrampilan
membuat keputusan, ketelitian, kecermatan, ketepatan serta kecepatan.
Dampak instuksional dan dampak pengiring dalam model Make a Match
digambarkan dalam bagan berikut.
Mendeskripsikan
Ketelitian
perubahan lingkungan
erosi, abrasi, longsor,
Membuat
Keputusan
Ketepatan
dan banjir.
Model Make
a Match
Kecermatan
Kecepatan
Menyebutkan faktorfaktor penyebab dan
kerugian terjadinya erosi,
abrasi, longsor dan
banjir.
Menyebutkan cara
pencegahan erosi, abrasi,
longsor dan banjir
Gambar 2.1
Dampak Pengiring dan Instruksional Model Pembelajaran Make a Match
Keterangan
Dampak Instruksional
Dampak Pengiring
20
2.1.5
Model Pembelajaran Snowball Throwing
2.1..5.1 Pengertian Snowball Throwing
Snowball Throwing diartikan sebagai kegiatan melempar bola. Dalam
pembelajaran Snowball Throwing, bola tersebut terbuat dari kertas yang berisi
pertanyaan yang dibuat oleh siswa kemudian dilempar kepada siswa yang lain
untuk dijawab. Model Snowball Throwing bertujuan untuk melatih siswa agar
lebih tanggap terhadap pesan yang diterimanya dari siswa lain dan menyampaikan
pesan tersebut kepada temannya dalam satu kelompok. Peran guru di sini hanya
sebagai pemberi arahan awal mengenai topik pembelajaran dan selanjutnya
penertiban terhadap jalannya pembelajaran.
Menurut M. Huda (2014: 226) model Snowball Throwing yang
penerapannya dengan cara melempar segumpalan kertas untuk menunjuk siswa
yang diharuskan siswa menjawab soal. Model ini melatih siswa untuk lebih
tanggap menerima pesan dari siswa lain dalam bentuk bola saju yang terbuat dari
kertas dan menyampaikan pesan tersebut kepada temannya.
Menurut Suprijono (2013: 106) model Snowball Throwing disebut juga
model pembelajaran melempar bola yag terbuat dari kertas”. Model pembelajaran
ini melatih siswa untuk lebih tanggap menerima pesan dari siswa lain dalam
bentuk bola salju yang terbuat dari kertas, dan menyampaikan pesan tersebut
kepada temannya dalam satu kelompok.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa model Snowball Throwing adalah model
pembelajaran yang penerapannya dengan cara melempar bola/segumpalan kertas
yang berisi pertanyaan yang dibuat oleh siswa dan dilemparkan kesiswa lain
untuk dijawab.
2.1.5.2 Karakteristik Model Pembelajaran Snowball Throwing
Menurut M. Huda (2014: 227) model Snowball Throwing memiliki
beberapa karakteristik, diantaranya :
1. Peserta didik bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi
akademis.
21
2. Siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan untuk melatih pemahaman siswa
seputar materi.
3. Penilaian yang diberikan dalam pembelajaran kooperatif didasarkan
kepada hasil kerja kelompok. Namun demikian, guru perlu menyadari,
bahwa sebenarnya prestasi yang diharapkan adalah prestasi setiap individu
siswa.
4. Siswa berlatih belajar bekerja sama, juga harus belajar bagaimana
membangun kepercayaan diri.
2.1.5.3 Langkah-langkah (Sintaks) Model Pembelajaran Snowball Throwing
Menurut M. Fsthurrohman (2015: 61) langkah-langkah pembelajaran
metode Snowball Throwing adalah:
1. Tahap pertama, guru menyampaikan materi yang akan disajikan, dan
KD yang ingin dicapai. Pada tahap ini guru menyajikan sebuah masalah
yang memancing perhatian dan kehebohan siswa. Penyajian masalah
tersebut dapat dilakukan secara verbal dalam bentuk cerita pengalaman
atau dapat juga melalui penayangan video/gambar
2. Tahap kedua,guru membentuk siswa berkelompok, Pada tahap ini guru
membuat kelompok belajar yang masing-masing kelompok terdiri dari
4-5 siswa. kemudian guru memanggil masing-masing ketua atau
perwakilan kelompok untuk memberikan penjelasan tentang materi.
3. Tahap ketiga,masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya
masing-masing, kemudian menjelaskan materi yang disampaikan oleh
guru kepada temannya.
4. Tahap Keempat, masing-masing siswa diberikan satu lembar kertas
kerja,pada tahap ini siswa ditugaskan untuk menuliskan satu pertanyaan
apa saja yang menyangkut materi yang sudah dijelaskan oleh ketua
kelompok.
5. Tahap Kelima, kemudian kertas yang berisi pertanyaan tersebut dibuat
seperti bola dan dilempar dari satu siswa ke siswa yang lain.
22
6. Tahap Keenam, setelah siswa dapat satu bola/satu pertanyaan diberikan
kesempatan kepada siswa untuk menjawab pertanyaan yang tertulis
dalam kertas berbentuk bola tersebut secara bergantian sesuai waktu
yang telah ditentukan oleh guru.
7. Tahap Ketujuh, guru bersama dengan siswa membuat kesimpulan
terhadap materi pelajaran.
2.1.5.4 Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan model pembelajaran Snowball Throwing menurut M. Huda
(2014: 227) yaitu untuk menguatkan pengetahuan siswa yang diperoleh peserta
didik mendengarkan dan membaca materi yang diajarkan oleh guru, kemudian
siswa mempunyai jiwa kooperatif, dan meningkatkan kemampuan siswa dalam
berdiskusi antar teman.
Kelemahan model pembelajaran Snowball Throwing yaitu sangat
bergantung pada kemampuan siswa dalam memahami materi sehingga apa yang
dikuasai siswa hanya sedikit. Hal ini dapat dilihat dari contoh soal yang dibuat
oleh masing-masing biasanya hanya seputar materi yang sudah dijelaskan atau
seperti contoh soal yang telah diberikan. Kemudian dalam model ini dalam
pelaksanaannya memerlukan waktu yang panjang.
2.1.5.5 Analisis Komponen Model Snowball Throwing
Joyce, Weil dan Calhoun (2009: 104-106) menyebutkan bahwa sebuah
model pembelajaran terdiri dari komponen sintaks atau struktur suatu model,
komponen prinsip reaksi atau peran guru, komponen sistem sosial atau situasi
kelas pada saat model berlangsung, daya dukung yang terdiri dari bahan dan alat
yang diperlukan untuk melaksanakan model, serta dampak instruksional yaitu
hasil belajar siswa sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dan dampak
pengiring sebagai akibat dari terciptanya suasana belajar dalam model tertentu.
Komponen-komponen dari model pembelajaran Snowball Throwing yaitu sebagai
berikut.
23
1. Sintagmatik
Sintagmatik atau struktur model pembelajaran Snowball Throwing
menurut
Joyce,
Weil
dan Calhoun
(2009:318). Tahap
pertama
yaitu
menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa, Guru menyampaikan tujuan
pembelajaran yang akan dicapai pada kegiatan pelajaran dan menekankan
pentingnya topik yang akan dipelajari.
Tahap ke dua, guru menyajikan informasi dan menyajikan sebuah masalah
yang memancing perhatian dan kehebohan siswa. Penyajian masalah tersebut
dapat dilakukan secara verbal dalam bentuk cerita pengalaman atau dapat juga
melalui penayangan video/gambar. Dalam kaitan dengan materi pembelajaran
yaitu pengaruh perubahan lingkungan yang disajikan dalam bentuk video atau
gambar.
Tahap ke tiga, mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok
belajar. Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk
kelompok belajar dan membimbing setiap kelompok agar melakukan transisi
secara efektif dan efisien. Model pembelajaran Snowball Throwing ini siswa
dibagi menjadi beberapa kelompok yang masing-masing kelompok diwakili
seorang ketua kelompok untuk mendapatkan tugas dari guru.
Tahap ke empat, membimbing kelompok bekerja dan belajar. Memanggil
ketua kelompok dan menjelaskan materi serta pembagian tugas. Meminta ketua
kelompok untuk mendiskusikan tugas yang diberikan guru dengan anggotanya.
Memberikan selembar kertas kepada setiap kelompok dan meminta kelompok
tersebut menulis pertanyaan sesuai dengan materi yang dijelaskan guru. Meminta
setiap kelompok untuk menggulung dan melemparkan kepada kelompok yang
lain. Meminta setiap kelompok untuk menuliskan jawaban atas pertanyaan yang d
dapat dari kelompok lainnya.
Tahap ke lima, evaluasi. Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi
yang telah dipelajari.
2. Prinsip reaksi
Peran guru dalam model Snowball Throwing ini adalah sebagai seorang
fasilitator yang langsung terlibat dalam proses kelompok (membantu pembelajar
24
dalam merumuskan rencana, bertindak, dan mengatur kelompok. Selain itu guru
juga berfungsi sebagai seorang konselor akademik.
3. Sistem sosial
Sistem sosial dalam model pembelajaran ini adalah suasana kooperatif
kerja sama antar teman kelas yang penuh dengan tanggung jawab dengan
pembelajaran yang dikemas dalam suasana belajar yang menyenangkan karena
siswa termotivasi untuk menjawab pertanyaan yang dikemas dalam bentuk bola
yang dalam atuaran main drngan cara dilempar ke siswa lain dan jika bola tersebut
mengenai siswa maka siswa tersebutlah yang harus menjawab pertanyaan.
Sehingga melalui kegiatan kelompok tersebut, diharapkan akan muncul sikap
demokratis, kooperatif dan bertanggung jawab.
4. Daya dukung
Sistem pendukung dalam model Snowball Throwing ini harus ekstensif
dan responsif terhadap semua kebutuhan siswa. Lingkungan harus mampu
merespon berbagai tuntutan pembelajar yang bermacam-macam. Guru dan siswa
harus bisa menghimpun apa saja yang dibutuhkan saat mereka membutuhkannya.
Misalnya dalam pembelajaran IPA tentang pengaruh perubahan lingkungan
dibutuhkan berbagai macam media yang akan mendukung terjadinya proses
pembelajaran seperti contoh video atau gambar sesuai materi.
5. Dampak instruksional dan dampak pendukung
Dampak instruksional adalah dampak atau hasil belajar yang dicapai
langsung dengan cara mengarahkan para siswa pada tujuan yang diharapkan.
Dampak instruksional dalam model Snowball Throwing secara umum adalah:
a. Proses dan pengelolaan kelompok efektif
Model Snowball Throwing diharapkan dapat menciptakan proses
berkelompok dan pengelolaannya secara efektif, artinya proses dalam
membentuk kelompok tidak dilakukan secara sembarangan tetapi berdasarkan
minat anggota kelompok. Sehingga proses pembelajaran yang dilakukan
secara berkelompok dapat berjalan sebagaimana mestinya dan mencapai
tujuan yang diharapkan.
25
b. Pandangan konstruktivis tentang pengetahuan
Para konstruktivis mempunyai pandangan bahwa pengetahuan tidak
sekedar ditransmisikan oleh guru atau pengajar, tetapi mau tidak mau harus
dibangun dan dimunculkan sendiri oleh siswa agar mereka dapat merespon
informasi dalam lingkungan pendidikan. Oleh karena itu dengan penerapan
model Snowball Throwing ini diharapkan dapat membiasakan siswa untuk
membangun pengetahuannya sendiri melalui diskusi dalam kelompoknya
bukan berdasarkan penyampaian informasi oleh guru secara konvensional.
c.
Disiplin terhadapa tugas masing-masing.
Melalui proses kerjasama dalam kelompok diharapkan adanya kedisiplinan
dan tanggung jawab dari masing-masing anggota kelompok. Sehingga semua
anggota kelompok ikut berpartisipasi aktif dalam diskusi yang dilakukan.
Secara khusus dampak instruksional yang terdapat dalam pembelajaran
IPA dengan materi perubahan lingkungan melalui model pembelajaran Snowball
Throwing adalah kemampuan menjelaskan dan menyebutkan cara pencegahan
terhadap pengaruh perubahan lingkungan.
Dampak pengiring adalah hasil belajar lainnya yang dihasilkan oleh suatu
proses pembelajaran, sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami
langsung oleh para siswa tanpa pengarahan langsung dari pengajar. Dari segi
dampak pengiring melalui model Snowball Throwing diharapkan dapat terbentuk
kemampuan kemandirian sebagai pembelajar seperti mempunyai rasa tanggung
jawab tinggi sehingga berusaha untuk mencari tahu sendiri pengetahuannya.
Selain itu juga diharapkan timbulnya penghargaan terhadap martabat orang lain
melalui kerja sama dalam kelompok sehingga timbul anggapan bahwa orang lain
juga memiliki kemampuan yang tidak bisa diremehkan.
26
Dampak instruksional dan dampak pengiring dalam model Snowball Throwing
digambarkan dalam bagan berikut ;
Mendeskripsikan
komunikatif
perubahan lingkungan
erosi, abrasi, longsor,
dan banjir.
Kerja Sama
Disiplin
Model
Snowball
Throwing
Mandiri
Menyebutkan faktorfaktor penyebab dan
kerugian terjadinya
erosi, abrasi, longsor
dan banjir.
Tanggung Jawab
Menyebutkan cara
pencegahan erosi,
abrasi, longsor dan
banjir
Demokrasi
Gambar 2.2
Dampak Pengiring dan Instruksional Model Pembelajaran SnowbalThrowing
Keterangan
Dampak Instruksional
Dampak Pengiring
2.1.6 Pembelajaran IPA dengan Menggunakan Perlakuan Model Make a
Match dan Snowball Throwing
Pembelajaran dengan menggunakan model Make a Match dan Snowball
Throwing adalah serangkaian aktivitas belajar dengan model Make a Match dan
Snowball Throwing
yang sudah direncanakan sebelumnya ke dalam bentuk
langkah-langkah pembelajaran di kelas. Prosedur yang harus ditempuh dalam
pelaksanaan pembelajaran IPA dengan model Make a Match dan Snowball
Throwing sebagai berikut.
27
Tabel 2.2 Prosedur Pelaksanaan Pembelajaran IPA dengan Model Make a
Match
Kegiatan Guru
1. Guru menyampaikan
tujuan pembelajaran
Tahapan Pelaksanaan
Kegiatan Siswa
Menyampaikan tujuan
1.Guru menyampaikan
pembelajaran
tujuan pelajaran yang
yang ingin dicapai.
ingin dicapai pada
pembelajaran
2. Guru menyajikan
suatu permasalahan
2. Siswa menggali
Ekspolrasi Reaksi
pengetahuannya
melalui penayangan
sehingga membuat
video, gambar atau
untuk bertanya tentang
percobaan untuk
masalah yang disajikan
memancing siswa
guru.
bertanya mengenai
masalah yang disajikan.
3. Guru membagi
3. Siswa membentuk
menjadi 2 kelompok,
Membagi kartu dan
misalnya kelompok A
kelompok belajar
kelompok A membawa
kartu pertanyaan dan
dan kelompok B.
kelompok B membawa
Mintalah mereka
kartu jawaban.
berhadap-hadapan.
4. Siswa membentuk
4. Bagikan kartu
barisan yang saling
pertanyaan kepada
berhadapan agar
kelompok A dan kartu
memudahkan proses
jawaban kepada
mencari pasangan kartu.
kelompok B.
5.Guru menyuruh setiap
5. Siswa mencari
murid mencari pasangan
pasangan yang
yang mempunyai kartu
mempunyai kartu yang
28
yang cocok dengan
kartunya. Artinya murid
Belajar mencari
pasangan
cocok dengan kartunya
dan mencocokan
yang kebetulan mendapat
kartunya sebelum batas
kartu “soal” maka harus
waktu akan diberi poin.
mencari pasangan yang
6. Setelah babak I
memegang kartu
selesai, siswa dibagi
“jawaban soal” secepat
kartu untuk mencari
mungkin. Demikian juga
pasangan kartu yang
sebaliknya.
cocok sesuai waktu yang
6.setiap murid dapat
telah di tentukan.
mencocokkan kartunya
sebelum batas waktu
akan diberi poin.
7.Guru membimbing
siswa untuk membuat
7. Siswa dengan
Kesimpulan
bimbingan guru
kesimpulan
menyimpulkan inti dari
pembelajaran
kegiatan pembelajaran
mereka
Tabel 2.3 Prosedur Pelaksanaan Pembelajaran IPA dengan Snowball
Throwing
Kegiatan Guru
1. Guru menyampaikan
tujuan pembelajaran yang
Tahapan Pelaksanaan
Kegiatan Siswa
Penyampaian tujuan
1.Guru menyampaikan
pembelajaran
tujuan pelajaran yang
ingin dicapai.
ingin dicapai pada
pembelajaran
29
2. Guru memancing siswa
melalui penayangan video,
2. Siswa
Eksplorasi reaksi
memperhatikan apa
gambar untuk bertanya
yang dilakukan oleh
mengenai masalah yang
guru yang menimbulkan
disajikan.
rasa ingin tahu sehingga
membuat untuk
bertanya tentang
masalah yang disajikan
guru.
3.Gurumemberi kebebasan
3.Siswa membentuk
kelompokdan
menentukan ketua ketua
kelompok.
siswa untuk membentuk
kelompok yang terdiri dari
4-5 orang.
Perumusan tugas
4.Ketua/perwakilan
kelompok menjelaskan
materi yang telah
disampaiakn oleh guru
kepada kelompok.
4. guru memanggil
masing-masing perwakilan
kelompok untuk
menjelaskan materi kerja
siswa
5. Guru membimbing
kelompok untuk membuat
pertanyaan sesuai materi
dan menggulungnya
5. Siswa membuat
Proses melemparkan
pertanyaan sesuai
pertanyan ke siswa
dengan materinya yang
lain
nanti akan dilemparkan
menjadi sebuah bola yang
pada kelompok yang
nantinya akan dilemparkan
lain.
pada siswa yang lain.
6. Siswa menjawab
pertanyaan yang telah
dilempar oleh siswa
lainnya.
30
6. . Guru memberikan
7. Siswa bertanya
refleksi terhadap materi
kepada guru terhadap
yang belum dipahami
Kesimpulan
materi yang belum
7. Guru membimbing
dipahami.
siswa untuk membuat
8. Siswa dan guru
kesimpulan pembelajaran
bersama-sama membuat
kesimpulan
pembelajaran.
2.1.7
Hasil Belajar
2.1.7.1 Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah melalui
proses pembelajaran, baik kemampuan secara kognitif, kemampuan secara afektif
maupun kemampuan secara psikomotor. Hasil belajar dalam penelitian ini
merupakan hasil belajar kognitif yang dapat diketahui hasilnya melalui tes tertulis
setelah proses pembelajaran selesai sedangkan kemampuan afektif dan
psikomotor dapat diketahui hasilnya melalui penskoran pengamatan keaktifan
siswa pada saat pembelajaran.
Hasil belajar menurut Nana Sudjana (2005: 22) adalah kemampuankemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.
Horward Kingsley (dalam Sudjana, 2005: 22) mengklasifikasikan hasil belajar
menjadi 3 macam, yaitu ketrampilan dan kebiasaan, pengetahuan dan pengertian,
sikap dan cita-cita. Hal tersebut senada dengan Benyamin Bloom yang membagi
kriteria hasil belajar menjadi 3 ranah yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan
psikomotoris Diantara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak
dinilai oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa
dalam menguasai isi bahan pengajaran.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil/bukti
keberhasilan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran berupa kemampuankemampuan yang dimiliki dari segi kognitif, afektif, dan psikomotorik.
31
Keefektifan model pembelajaran Make a Match dan Snowball Throwing dalam
penelitian ini dapat dilihat dari ketuntasan perolehan hasil belajar IPA pada materi
menjelaskan pengaruh perubahan lingkungan fisik terhadap daratan. dengan
menggunakan model Make a Match dan Snowball Throwing. Pengukuran hasil
belajar tersebut diperoleh dengan menggunakan teknik tes berupa tes sumatif
dalam bentuk pilihan ganda.
2.1.7.2 Pengukuran Hasil Belajar IPA
Menurut Endang Purwanti (2008: 4) pengukuran dapat diartikan sebagai
kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk memberikan angka-angka pada suatu
gejala atau peristiwa, atau benda, sehingga hasil pengukuran akan selalu berupa
angka. Sedangkan menurut Sutrisno Hadi (Sugihartono, 2007: 129) pengukuran
dapat diartikan sebagai suatu tindakan untuk mengidentifikasikan besar kecilnya
gejala. Hasil pengukuran dapat berupa angka atau uraian tentang kenyataan yang
menggambarkan derajat kualitas, kuantitas dan eksistensi keadaan yang diukur.
Dengan kata lain pengukuran dalam kegiatan belajar mengajar dimaksudkan
untuk menilai hasil belajar siswa setelah melakukan proses belajar mengajar.
Penilaian hasil belajar (Sudjana, 2016: 3) adalah proses pemberian nilai
terhadap hasil-hasil belajar yang dicapai siswa dengan kriteria tertentu. Hal ini
mengisyaratkan bahwa objek yang dinilainya adalah hasil belajar siswa. Hasil
belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku. Tingkah laku
sebagai hasil belajar dalam pengertian yang luas mencakup ranah kognitif, afektif
dan psikomotoris.
1. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari
enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi,
analisis, sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif
tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat
tinggi.
2. Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yakni
penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.
32
3. Ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan
kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotoris yaitu gerakan
refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan
atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks dan gerakan ekspresif dan
interpretatif.
Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar. Di antara
ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru di
sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi
bahan pengajaran. Dalam penelitian ini, penulis akan melakukan penelitian pada
ranah kognitif mata pelajaran IPA. Ranah kognitif yang diambil sebagai bahan
penelitian yaitu hasil belajar pengetahuan.
Cara untuk mengetahui atau mengukur kognitif (pengetahuan) belajar
siswa, terdapat beberapa jenis penilaian yang dapat digunakan guru untuk
mengukur tingkat pengetahuan siswa berkenaan dengan KD tertentu. Jenis-jenis
penilaian yang dimaksud berupa tes lisan, tes tertulis, dan penugasan (Kosasih,
2014:139). Ada jenis tes, ada pula bentuk tes. Menurut Widoyoko (2014:51) “tes
merupakan salah satu alat untuk melakukan pengukuran, yaitu alat untuk
mengumpulkan informasi karakteristik suatu objek. Di antara objek tes adalah
kemampuan siswa”. Dilihat dari waktu pelaksanaanya tes dapat dibedakan
menjadi: 1) pre-test dan post-test: 2) tes formatif dan tes sumatif
diuraikan
sebagai berikut;
1. Pre-test dan post-test, Pre-test merupakan salah satu bentuk tes yang
dilaksanakan pada awal proses pembelajaran, dan post-test merupakan
salah satu bentuk tes yang dilaksanakan setelah kegiatan inti.
2. Tes formatif dan tes sumatif, Tes formatif merupakan satu bentuk tes yang
dilaksanakan setelah siswa menyelesaikan satu unit pembelajaran.
Sedangkan tes sumatif merupakan tes yeng dilakukan pada setiap akhir
pembelajaran atau akhir satu satuan waktu yang didalamnya tercakup satu
pokok bahasan. (Widoyoko, 2014:51)
Berdasarkan pemaparan di atas dan halaman sebelumnya semakin jelas
bahwa hasil belajar mempunyai peranan penting dalam proses pebelajaran.
33
Hasil belajar merupakan tingkat perkembangan kognitif, afektif, dan
psikomotorik yang lebih baik dengan melakukan usaha secara maksimal yang
dilakukan oleh seseorang setelah melakukan usaha-usaha belajar. Untuk
mengetahui seberapa ketercapaian hasil belajar siswa dilakukan pengukuran atau
penilaian dalam kegiatan belajar melalui tes dan nontes. Berdasarkan waktu
pelaksanaannya tes dapat dibedakan menjadi dua yaitu pretest-postest dan tes
formatif dan sumatif. Untuk selanjutnya yang dimaksud hasil belajar dalam
penelitian ini adalah hasil tes formatif yang diambil dari mata pelajaran IPA siswa
kelas IV SDN Lemahireng 01 Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang.
2.1.7.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Hasil belajar sebagai salah satu indikator pencapaian tujuan pembelajaran
yang telah dilakukan tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
belajar itu sendiri. Hamdani (2011:60) menyebutkan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi hasil belajar sebagai berikut;
1. Model
pembelajaran,
untuk
mencapai
ketuntasan
hasil
belajar,
diantarannya pembelajaran individu, pembelajaran kelompok, dan tutorial.
2. Peran guru, guru harus inisiatif dalam hal menjabarkan KD, mengajarkan
materi, memonitor pekerjaan siswa, serta menilai perkembangan sosial
dalam mecapai kompetensi yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik,
menggunakan
teknik
diagnosis,
menyediakan
alternatif
strategi
pembelajaran siswa yang kesulitan belajar.
3. Peran siswa, Siswa diberi kebebasan dalam menetapkan kecepatan
pencapaian kompetensi.
Berdasarkan faktor yang mempengaruhi kegiatan belajar di atas dapat
nyatakan bahwa belajar itu merupakan proses yang cukup kompleks,artinya
bahwa hasil belajar siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mendukung,
yaitu:
1. faktor internal meliputi : faktor fisiologis dan faktor psikologis.
2. faktor eksternal meliputi : faktor lingkungan sosial dan non lingkungan
sosial, serta peran siswa, peran guru, serta model yang digunakan
34
dalam pembelajaran. Maka untuk memaksimalkan situasi, kondisi, dan
kemampuan yang telah dimiliki oleh siswa, penelitian ini mencoba
menggunakan model Make a Match dan Snowball Throwing dalam
pembelajaran IPA.
Model Make a Match dan Snowball Throwing merupakan model
pembelajaran yang berperan untuk mengaktifkan siswa untuk terlibat aktif dalam
proses belajar mengajar (PBM) berlangsung. Model Make a Match siswa berusaha
menemukan dan mencocokan kartu pertanyaan dan jawaban yang cocok,
sedangkan model Snowball Throwing siswa awalanya membuat pertanyaan sesuai
dengan materi yang didapat kemudian pertanyaan tersebut digulung sehingga
membentuk sebuah bola kertas, kemudian bola jertas yang berisi pertanyaan
tersebut dilempar ke teman yang lain untuk dijawab dalam individu maupun
kelompok. Sehingga dengan mendapatkan peluang yang lebih banyak untuk
melakukan percobaan maka pengetahuan yang didapatkan akan tersimpan lebih
lama dalam ingatan siswa.
Dengan demikian, penelitian dengan mengunakan model Make a Match
dan Snowball Throwing dalam pembelajaran, sangat memungkinkan siswa merasa
senang dan tertarik dalam pembelajaran, sehingga siswa akan lebih aktif dan
mudah dalam menguasai meteri yeng telah diberikan oleh guru, yang tentunya
akan berpengaruh pada hasil belajar siswa.
2.2 Kajian Penelitian Yang Relevan
Penelitian ini tidak terlepas dari penelitian-penelitian terdahulu yang
relevan dilaksanakan saat ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Rismadiani Kurnia (2014) yang berjudul
Keefektifan Model Pembelajaran Make a Match Terhadap Hasil Belajar IPA
Kelas III SD Negeri Randugunting 01 Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang
Semester II Tahun Ajaran 2013/2014, menunjukkan bahwa model Make a Match
dapat meningkatkan hasil belajar IPA pada siswa kelas III SDN Randugunting.
Hal ini dibuktikan dengan setelah kedua kelompok eksperimen diberikan model
pembelajaran yang berbeda, mereka diberikan tes akhir pada materi Energi dan
35
diperoleh rata-rata nilai hasil belajar kelas eksperimen sebesar 81,27, sedangkan
kelas kontrol hanya 73,73. Hasil penghitungan dengan menggunakan rumus
independent samples t test melalui program SPSS versi 20, menunjukkan model
kooperatif tipe Make a Match efektif dan signifikan terhadap peningkatan hasil
belajar siswa. Hal ini ditandai dengan nilai hasil thitung > ttabel (2,153 > 2,000).
Dari hasil penelitian, diharapkan guru dapat menerapkan pembelajaran
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match.
Penelitian yang dilakukan oleh Galih (2014) yang berjudul Peningkatan
Keaktifan dan Hasil Belajar IPA Melalui Model Make a Match Siswa Kelas IV
SD Negeri Lemahireng 02 Kecamatan Bawen Semester II Tahun Ajaran
2014/2015, menyatakan bahwa pembelajaran dengan model pembelajaran
kooperatif tipe Make A Match dapat meningkatkan keaktifan belajar pada
pelajaran IPA di kelas 4 Semester II SD Negeri Lemahireng 02 Kecamatan Bawen
Tahun Pelajaran 2014/2015 karena pada Siklus II keaktifan siswa kategori tinggi
diperoleh hasil 87% sehingga telah mencapai indikator keberhasilan keaktifan
siswa yaitu 70% keaktifan tinggi. Terbukti bahwa keaktifan belajar meningkat,
pada pra Siklus kategori tinggi 42% pada Siklus I mengalami peningkatan
menjadi 65% dan meningkat di Siklus II mencapai 87%.
Penelitian yang dilakukan oleh Sanen, Notari (2013) yang berjudul
Peningkatan Hasil Belajar IPA Melalui Model Make a Match Siswa Kelas IV SD
Negeri Dukuh 03 Kota Salatiga Semester II Tahun Ajaran 2013/2014,
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe Make a Match terhadap Hasil Belajar Ipa Siswa
Kelas 4 Sekolah Dasar Negeri Dukuh 03 Salatiga Semester II Tahun Pelajaran
2012/1013. Hal tersebut dibuktikan dengan perbedaan hasil belajar yang
signifikan yaitu siswa yang diajar menggunakan metode Make a Match
memperoleh nilai rata-rata 82,38 sedangkan siswa yang diajar tidak menggunakan
metode Make a Match memperoleh nilai rata-rata 74,34.
Penelitian yang dilakukan oleh Erlin (2012) yang berjudul Pengaruh
Model Snowball Throwing dan Model Konvensional Terhadap Hasil Belajar IPS
kelas IV SD Kanisius Cungkup Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga, menunjukkan
36
bahwa terdapat pengaruh terhadap hasil belajar antara siswa yang diajar
menggunakan model pembelajaran kooperatif Snowball Throwing dan Model
pembelajaran Konvensional siswa kelas IV SD Kanisius Cungkup Kecamatan
Siodrejo Kota Salatiga .Hal tersebut dibuktikan dengan hasil posttest siswa yang
diajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional diperoleh rata-rata
hasil belajar siswa 58,75 yang berada dalam kategori hampir cukup dengan
standar deviasi 11,981. Sedangkan hasil posttest siswa yang diajar dengan
menggunakan model Snowball Throwing diperoleh rata-rata hasil belajar siswa
68,85 yang berada dalam kategori lebih dari cukup dengan standar deviasi 7,659.
Penelitian yang dilakukan oleh Sutoro (2014) yang berjudul Pengaruh
Model Snowball Throwing Terhadap Hasil Belajar Matematika Kelas IV SD
Negeri 01 Mojotengah Semester II Tahun Ajaran 2011/2012, menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan penerapan pembelajaran kooperatif tipe
Snowball Throwing terhadap hasil belajar matematika pada siswa kelas IV SD
Negeri 01 Mojotegah Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012 yang dibuktikan
dengan adanya perbedaan hasil belajar antara kedua kelas. Hasil posttest siswa
kelas IVA (kelas kontrol) yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran
konvensional diperoleh rata-rata hasil belajar matematika kelas 76,30. Sedangkan
hasil posttest siswa kelas IVB (kelas eksperimen) yang diajar menggunakan
model pembelajaran Snowball Throwing
diperoleh rata-rata hasil belajar
matematika kelas 89,60.
Penelitian yang dilakukan oleh Putri (2012) yang berjudul Pengaruh
Model Pembelajaran Snowball Throwing dan Student Team-Achievement
Divisions (STAD) terhadap hasil belajar siswa kelas VII SMP Negeri 2 Boyolali,
menunjukkan hasil analisis data yang diperoleh nilai signifikansi sebesar
0,001<0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan efektivitas
penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Snowball Throwing dengan
model pembelajaran Student Team-Achievement Divisions (STAD). Hal ini dilihat
dari hasil belajar matematika siswa yaitu kelas VIID yang diajar menggunakan
model pembelajaran Snowball Throwing memperoleh nilai rata-rata kelas 79,067
sedangkan kelas VIIE yang diajar menggunakan model pembelajaran Student
37
Team-Achievement Divisions (STAD) memperoleh nilai rata-rata kelas sebesar
70,233.
2.3 Kerangka Berpikir
Kondisi awal kedua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol dalam kondisi awal yang sama atau homogen. Kelompok eksperimen
diberi pre-test kemudian diberi treatmen (perlakuan) dengan menggunakan model
Make a Match kemudian diberi post-test. Sedangkan kelompok kontrol di beri
pre-test kemudian dalam pembelajaran menggunakan model Snowball Throwing
kemudain diberi post-test.
Membandingkan hasil belajar IPA materi perubahan lingkungan antara
pembelajaran yang menggunakan Make a Match dengan pembelajaran yang
menggunakan model Snowball Throwing. Cara ini untuk mengetahui seberapa
besar perbedaan keefektifan hasil belajar dalam penerapan model Make a Match
dengan pembelajaran yang menggunakan model Snowball Throwing pada
pembelajaran IPA. Jika siswa dalam pembelajaran IPA menggunakan model
Make a Match mendapatkan hasil yang baik, maka model Make a Match lebih
unggul dan efektif digunakan dalam pembelajaran IPA. Kemudian jika
pembelajaran siswa menggunakan model Snowball Throwing mendapatkan hasil
yang lebih baik daripada model Make a Match maka model Snowball Throwing
lebih unggul dan efektif digunakan dalam pembelajaran IPA.
38
Berikut
ini
gambar
bagan kerangka
berpikir penggunaan
model
pembelajaran Make a Match dan Snowball Throwing.
Model Make a Match
Mendeskripsikan
Sintak/langkah-langkah
perubahan
lingkungan daratan
Menyampaikan
tujuan
pembelajaran
Eksplorasi reaksi
(erosi, abrasi,
Minat siswa
muncul
Rasa ingin tahu
Ketrampilan
Membagi kartu
longsor, dan banjir).
Berfikir kritis dan
membuat
keputusan
Mencari
pasangan kartu
Menyebutkan faktorfaktor penyebab dan
kerugian terjadinya
erosi, abrasi, longsor
dan banjir.
Ketelitian
Mendiskripsikan
cara pencegahan
erosi, abrasi,
longsor dan banjir
Kecermatan
Kesimpulan
Ketepatan
kenampakan
Kecepatan
Hasil Belajar
Gambar 2.3 Bagan kerangka berpikir model Make a Match
Keterangan
Dampak Instruksional
Dampak Pengiring
39
Model Snowball Throwing
Mendeskripsikan
perubahan lingkungan
Sintak/langkah – langkah
daratan (erosi, abrasi,
longsor, dan banjir).
Menyampaikan
tujuan
pembelajaran
Minat siswa
muncul
Eksplorasi reaksi
Rasa ingin tahu
Perumusan
tugas
Demokratis
Menyebutkan faktorfaktor penyebab dan
kerugian terjadinya
erosi, abrasi, longsor dan
banjir.
Kerja Sama
Mandiri
Proses melempar
pertanyaan
Tanggung Jawab
Mendiskripsikan cara
pencegahan erosi, abrasi,
longsor dan banjir
Disiplin
Kesimpulan
Komunikatif
Hasil Belajar
Gambar 2.4 Bagan kerangka berpikir model Snowball Throwing
Keterangan
Dampak Instruksional
Dampak Pengiring
40
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berpikir di atas maka dirumuskan suatu
hipotesis sebagai berikut :
Hₒ :
Tidak ada perbedaan keefektifan antara hasil belajar IPA yang
menggunakan model pembelajaran Make a Match dengan
Snowball Throwing pada siswa kelas IV SD Negeri Lemahireng
01 Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang.
Hₐ :
Ada perbedaan
keefektifan antara hasil belajar IPA yang
menggunakan model pembelajaran Make a Match dengan
Snowball Throwing pada siswa kelas IV SD Negeri Lemahireng
01 Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang.
41
Download