BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Dalam kajian teori ini memuat penjabaran lebih lanjut mengenai teori-teori pendukung pelaksanaan penelitian yang sebelumnya telah disinggung di latar belakang. Berikut merupakan penjabaran dari teori-teori yang mendukung penelitian : 2.1.1 Hakikat Pembelajaran IPA SD Lingkungan alam merupakan objek yang menarik untuk siswa, karena pada dasarnya manusia hidup berdampingan dengan lingkungan alam. Oleh karena itu lingkungan seharusnya menjadi sumber belajar untuk siswa agar bisa menggali informasi yang sebanyak-banyaknya dan sebagi objek untuk mengajarkan siswa agar senantiasa menghargai, serta menjaga ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu usaha manusia agar kehidupannya terus berkembang dan tidak tertinggal adalah dengan belajar. Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2010: 2). Jadi belajar tidak hanya dilakukan di lingkungan formal seperti sekolah saja, tetapi dapat juga dilakukan di lingkungan non formal seperti di keluarga, masyarakat, bahkan juga dari setiap peristiwa yang dialami seharihari. Pembelajaran menurut Undang-undang nomor 20 tahun 2000 pasal 1 tentang pendidikan nasional menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Sedangkan menurut Oemar Hamalik (2010: 57) Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitator, perlengkapan dan proses yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran. 9 Jadi berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu proses interaksi peserta didik dengan pendidik yang dikombinasikan dengan unsur-unsur manusiawi, material, fasilitator, perlengkapan pada suatu lingkungan belajar untuk untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Hakikat IPA menurut Surjani Wonorahardjo (2010: 11) sains mempunyai makna merujuk ke pengetahuan yang berada dalam sistem berpikir dan konsep teoritis dalam sistem tersebut, yang mencakup segala macam pengetahuan, mengenai apa saja. Menurut Usman Samatowa (2010: 2) mengatakan bahwa IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. Perkembangannya tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan fakta, tetapi oleh adanya metode ilmiah dan sikap ilmiah. Jadi, hakikat IPA merupakan suatu ilmu pengetahuan tentang alam atau ilmu yang mempelajari tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam ini dimana di dalamnya terdapat teori sistematis yang berhubungan dengan proses gejala-gejala alam. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Pembelajaran IPA adalah interaksi antar komponen-komponen pembelajaran (guru dan siswa) dalam bentuk proses pembelajaran untuk mencapai tujuan yang berbentuk kompetensi IPA yang telah ditetapkan. Latar belakang dari pembelajaran IPA menurut KTSP Standar Isi 2006 adalah Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga dari latar belakang ini pembelajaran IPA mempunyai pengaruh penting dalam kehidupan manusia pada umumnya. Karena dengan adanya pembelajaran IPA ini, manusia akan termotivasi untuk melakukan penemuan dan inovasi untuk menunjang kehidupannya. 10 Tujuan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) menurut KTSP (2006) adalah mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari serta mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan. Mata Pelajaran IPA di SD menurut KTSP Standar Isi 2006 bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut : 1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya. 2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari 3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat. 4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan. 5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam. 6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan 7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs. Ruang lingkup pembelajaran IPA untuk SD meliputi berbagai aspek yang berkaitan dengan kehidupannya sehari-hari. Ruang lingkup tersebut yaitu makhluk hidup dan proses kehidupan, meliputi manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi cair, padat dan gas. Energi dan perubahannya meliputi gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana. Bumi dan alam semesta meliputi tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya. 11 Pembelajaran IPA di SD harus mampu mendorong siswa untuk dapat memiliki ketrampilan IPA yang berkaitan dengan Sains, Lingkungan, Teknologi dan Masyarakat (Salingtemas) yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam pembelajaran IPA. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran IPA dibutuhkan strategi dan model pembelajaran yang mampu membantu siswa untuk memiliki ketrampilan salingtemas tersebut. Terdapat berbagai model pembelajaran yang potensial terhadap perkembangan pembelajaran IPA di SD. Model-model tersebut diantaranya Discovery Learning, Problem Based Learning (PBL), Project Based Learning (Pjbl), Group Investigation, Inquiry, Make a Match, Snowball Throwing, Picture and Picture, dan Jigsaw. 2.1.2 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran IPA Standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan standar kompetensi dan kompetensi dasar kelas IV, semester 2. Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA Kelas IV Standar Kompetensi Kompetensi Dasar 10.Memahami perubahan 10.1 Mendeskripsikan berbagai perubahan lingkungan fisik dan lingkungan daratan erosi, abrasi, longsor, pengaruhnya terhadap dan banjir. daratan 10.2. Menyebutkan faktor-faktor penyebab dan kerugian terjadinya erosi, abrasi, longsor dan banjir. 10.3.Mendeskripsikan cara pencegahan kerusakan lingkungan (erosi, abrasi,banjir, dan longsor) (Silabus Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, 2006) 12 2.1.3 Model Pembelajaran Kooperatif Sebagai pendidik, guru mempunyai peran yang penting dalam memilih model pembelajaran yang tepat, karena sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan suatu proses pembelajaran, agar tujuan dari pembelajaran tersebut dapat tercapai dengan baik. Salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa sekolah dasar yang suka berkelompok adalah model pembelajaran kooperatif. Sesuai dengan namanya kooperatif yang artinya kerja sama, model ini dapat membantu meringankan siswa dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Slavin (2005: 5) berpendapat bahwa model pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Sedangkan Nurulhayati (dalam Rusman, 2013: 11) mengatakan bahwa Cooperative Learning (pembelajaran kooperatif) adalah strategi pembelajaran yang melibatkan siswa dalam satu kelompok kecil untuk saling berinteraksi. Senada dengan pendapat-pendapat tersebut, pembelajaran kooperatif menurut Rusman (2011: 202) adalah berntuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dalam kelompok – kelompok kecil secara kolaboratif yang anggoytanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang anggotanya heterogen sehingga terjadi suatu kerja sama dan saling mempelajari dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Terdapat berbagai tipe model pembelajaran kooperatif yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran IPA. Model-model pembelajaran kooperatif tersebut yaitu Jigsaw, Think Pair Share, Snowball Throwing, Numbered Head Together, Group Investigation, Two Stay Two Stray, Make a Match, dan Inside-Outside Circle. Dari beberapa model kooperatif tersebut, menurut peneliti model Make a Match dan Snowball Throwing dianggap memiliki potensi dalam meningkatkan kualitas pembelajaran IPA di SD, karena di dalam model model Make a Match 13 juga memilik karakteristik yang sama dengan model Snowball Throwing yaitu mengandung unsur kerja sama. Dalam kaitannya dengan materi IPA yang diambil yaitu tentang pengaruh perubahan lingkungan daratan. Dengan menerapkan model pembelajaran Make a Macth dan Snowball Throwing diharapkan dapat memberikan kemudahan siswa dalam belajar IPA bersama kelompok. Selain itu model pembelajaran Make a Match merupakan model pembelajaran kooperatif, pada penerapannya dapat dilakukan dengan cara siswa mencari dan menemukan pasangan kartu yang cocok sesuai dengan soal dan jawaban, sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Sedangkan model Snowball Throwing terkandung unsur untuk menguatkan pengetahuan siswa yang diperoleh peserta didik dari mendengarkan dan membaca materi yang diajarkan oleh guru, kemudian siswa mempunyai jiwa kooperatif atau kerja sama yaitu membuat pertanyaan secara berkelompok yang sesuai dengan karakteristik siswa SD yang suka berkelompok. Penelitian lebih lanjut mengenai keefektifan model Make a Match dan Snowball Throwing perlu dilakukan dengan terlebih dahulu memahami hakikat model Snowball Throwing dan Make a Match, karakteristik, komponen dan kelebihan dari kedua model tersebut. 2.1.4 Model Pembelajaran Make a Match 2.1.4.1 Pengertian Model Pembelajaran Make a Match Model ini dikembangkan oleh Lorna Curran (1994). Salah satu cara keunggulan teknik ini adalah peserta didik mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik,dalam suasana yang menyenangkan. Menurut Rusman (2011: 223-233) Model Make A Match (membuat pasangan) merupakan salah satu jenis dari metode dalam pembelajaran kooperatif. Anita Lie (2008: 56) menyatakan bahwa model pembelajaran tipe Make A Match atau bertukar pasangan merupakan teknik belajar yang memberi kesempatan siswa untuk bekerja sama dengan orang lain. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia peserta 14 didik. Sedangkan menurut M.Huda (2011: 135), model Make a Match dalam penerapannya siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Jadi, berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Make A Match adalah suatu model pembelajaran yang mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam semua mata pelajaran dan tingkatan kelas. Model ini juga bisa diterapkan untuk semua mata pelajaran dan tingkatan kelas. Model pembelajaran Make a Match dilakukan di dalam kelas dengan suasana yang menyenangkan karena dalam pembelajarannya siswa dituntut untuk berkompetisi mencari pasangan dari kartu yang sedang dibawanya dengan waktu yang cepat. Guru menyiapkan kartu yang berisi persoalan atau permasalahan dan kartu yang berisi jawabannya, setiap siswa mencari dan mendapatkan sebuah kartu soal dan berusaha menjawabnya, setiap siswa mencari kartu jawaban yang cocok dengan persoalannya siswa yang benar mendapat nilai-reward, kartu dikumpul lagi dan dikocok, untuk babak berikutnya pembelajaran seperti babak pertama, penyimpulan dan evaluasi, refleksi. Pada penerapan model Make a Match, penulis memperoleh beberapa temuan bahwa model Make a Match dapat memupuk kerja sama siswa dalam menjawab pertanyaan dengan mencocokkan kartu yang yang ada di tangan mereka, proses pembelajaran lebih menarik dan nampak sebagian besar siswa lebih antusias mengikuti proses pembelajaran, dan keaktifan siswa tampak sekali pada saat siswa mencari pasangan kartunya masing-masing. Kegiatan yang dilakukan guru ini merupakan upaya guru untuk menarik perhatian sehingga pada akhirnya dapat menciptakan keaktifan dan motivasi siswa dalam mengikuti proses pembelajaran di kelas. Selanjutnya, penerapan model Make a Match dapat membangkitkan keingintahuan dan kerja sama di antara siswa serta mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Hal ini sesuai dengan tuntutan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) bahwa pelaksanaan proses pembelajaran mengikuti standar kompetensi, yaitu: berpusat pada siswa, mengembangkan keingintahunan dan imajinasi, memiliki semangat 15 mandiri,bekerja sama, dan kompetensi, menciptakan kondisi yang menyenangkan, mengembangkan beragam kemampuan dan pengalaman belajar, karakteristik mata pelajaran. 2.1.4.2 Karakteristik Model Pembelajaran Make a Match Model pembelajaran Make a Match merupakan salah satu model pembelajaran yang berorientasi pada permainan. Menurut Suyatno (2009 : 102) adapun beberapa prinsip-prinsip model Make a Match antara lain: 1) Anak belajar melalui panca indera, 2) Anak belajar melalui berbuat, 3) Anak belajar melalui bahasa, 4) Anak belajar melalui bergerak. Tujuan dari pembelajaran dengan model Make a Match adalah untuk melatih peserta didik agar lebih cermat dan kuat pemahamannya terhadap suatu materi pokok (Fachrudin, 2009: 168). Siswa dilatih berpikir cepat, menghafal cepat sambil menganalisis dan berinteraksi sosial. Model pembelajaran Make a Match merupakan model yang menciptakan hubungan baik antara guru dan siswa. Guru mengajak siswa bersenang-senang dalam permainan. Kesenangan tersebut juga dapat mengenai materi dan siswa dapat belajar secara langsung maupun tidak langsung. 2.1.4.3 Sintak/Langkah-Langkah Model Pembelajaran Make a Match Model pembelajaran Make a Match atau mencari pasangan dikembangkan oleh Lorna Curran (1994). Salah satu keunggulan model ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Adapun langkah-langkah penerapan model pembelajaran Make a Match menurut M. Huda (2011: 135) sebagai berikut: 1. Tahap petama, guru menyiapkan beberapa kartu sejumlah siswa Pada tahap ini guru menyiapkan beberapa kartu sejumlah siswa. Kemudian separuh dari jumlah kartu dibuat sebagai pertanyaan dan separuh lagi untuk jawaban dari pertanyaan. Soal disesuaikan dengan konsep yang diajarkan . 16 2. Tahapan kedua, setiap siswa mendapatkan sebuah kartu yang berisikan soal/jawaban Tugas guru adalah membagikan kartu-kartu tersebut. Baik kartu soal maupun kartu jawaban. Kartu tersebut dibuka bersama-sama. 3. Tahap ketiga, setiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang. Guru memberikan batas waktu untuk siswa memikirkan jawaban atau hal lain yang berkaitan dengan kartu yang sedang dibawa siswa. 4. Tahap keempat, setiap siswa mencari pasangan kartu yang cocok dengan kartunya. Siswa diberi kesempatan untuk bertanya-tanya dengan temannya kartu apa yang sedang mereka bawa. 5. Tahap kelima, setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin atau reward. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya, demikian seterusnya 6. Tahap keenam, guru bersama dengan siswa membuat kesimpulan terhadap materi pelajaran. 2.1.4.4 Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Make a Match Kelebihan model Make A Match menurut Sri Rejeki (2010: 145) adalah : 1. Dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa, baik secara kognitif maupun fisik 2. Karena ada unsur permainan, metode ini menyenangkan. 3. Meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari dan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. 4. Efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi. 5. Efektif melatih kedisiplinan siswa menghargai waktu untuk belajar. Kelemahan dalam penerapan yaitu: 1. Waktu yang tersedia perlu dibatasi jagan sampai murid terlalu banyak bermain-main dalam proses pembelajaran.. 2. Memakan waktu yang banyak karena sebelum masuk kelas, terlebih dahulu kita mempersiapkan kartu-kartu. 17 2.1.4.5 Komponen Model Pembelajaran Make a Match Joyce, Weil dan Calhoun (2009: 104-106) menyebutkan bahwa sebuah model pembelajaran terdiri dari komponen sintaks, komponen prinsip reaksi atau peran guru, komponen sistem sosial, komponen daya dukung berupa sarana prasarana pelaksanaan model, serta dampak instruksional yaitu hasil belajar siswa sesuai tujuan yang hendak dicapai dan dampak pengiring sebagai akibat dari terciptanya suasana belajar dalam model tertentu. Komponen-komponen dari model pembelajaran Make a Match yaitu sebagai berikut ; 1. Sintagmatik Sintagmatik atau struktur model pembelajaran menurut Miftahul Huda, 2011: 135) yaitu, Tahap pertama, guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topic yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian lainnya bentuk jawaban. Tahap kedua, pada tahap ini guru berperan untuk membagi komunitas menjadi 2 kelompok yaitu kelompok A dan B. Kelompok A merupakan kelompok pembawa karu-kartu berisi pertanyaan-pertanyaan. Sedangkan kelompok B adalah kelompok pembawa kartu-kartu berisi jawaban-jawaban. Upayakan kelompok pertama dan kedua berjajar saling berhadapan. setiap murid mendapat satu buah kartu yang berisi soal dan jawaban. Tahap ketiga, jika masing-masing kelompok sudah berada di posisi yang telah ditentukan, maka guru membunyikan peluit sebagai tanda agar kelompok pertama maupun kelompok kedua saling bergerak mereka bertemu, mencari pasangan pertanyaan-jawaban yang cocok. Berikan kesempatan kepada mereka untuk berdiskusi. Ketika mereka diskusi alangkah baiknya jika ada musik instrumentali yang lembut mengiringi aktivitas belajar mereka. Hasil diskusi ditandai oleh pasangan-pasangan antara anggota kelompok pembawa kartu pertanyaan dan anggota kelompok pembawa kartu jawaban. Tahap keempat, yaitu siswa mencari kartu yang cocok dengan kartunya. Artinya murid yang kebetulan mendapat kartu “soal” maka harus mencari pasangan yang memegang kartu “jawaban soal” secepat mungkin. Demikian juga 18 sebaliknya.Tahap kelima, setiap murid dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu akan diberi poin. Tahap keenam, guru membuat kesimpulan/penutup terhadap materi yang telah diajarkan. 2. Prinsip reaksi Peran guru dalam model Make a Match ini adalah sebagai sebagai fasilitator atau pemberi kemudahan. Dalam keseluruhan proses pembelajaran pengajar bertugas dan bertanggungjawab atas terpeliharannya suasana belajar dengan cara menunjukkan sikap yang mendukung dan tidak bersikap menilai. Siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta ketrampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada permainan yang bersifat kompetitif ini. 3. Sistem sosial Sistem sosial dalam model pembelajaran ini adalah suasana kooperatif kerja sama antar teman kelas yang penuh dengan tanggung jawab dengan pembelajaran yang dikemas dalam suasana belajar yang menyenangkan karena siswa termotivasi mencari pasangan kartu yang cocok. 4. Daya dukung Sistem pendukung dalam model Make a Match ini harus ekstensif dan responsif terhadap semua kebutuhan siswa. Pengajar yang memiliki kepribadian hangat dan trampil dalam mengelola hubungan interpersonal dengan siswa, sehingga akan mampu menciptakan iklim kelas yang terbuka dan aktif. Media berupa kartu soal dan jawaban yang berisi bahan-bahan dan data terpilih serta terorganisasi untuk memberikan contoh-contoh yang sesuai permasalahan dalam suatu materi pembelajaran. 5. Dampak instruksional dan dampak pengiring Dampak instruksional adalah dampak atau hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan para siswa pada tujuan yang diharapkan. Secara khusus dampak instruksional yang terdapat dalam pembelajaran IPA materi pengaruh perubahan lingkungan melalui model Make a Match adalah 19 kemampuan mendiskripsikan dan menyebutkan cara pencegahan terhadap perubahan lingkungan fisik terhadap daratan (erosi, abrasi, banjir, dan longsor). Dampak pengiring adalah hasil belajar lainnya yang dihasilkan oleh suatu proses pembelajaran, sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami langsung oleh para siswa tanpa pengarahan langsung dari pengajar. Secara khusus dampak pengiring yang didapatkan siswa dalam pembelajaran IPA dengan materi materi perubahan lingkungan melalui model Make a Match adalah ketrampilan membuat keputusan, ketelitian, kecermatan, ketepatan serta kecepatan. Dampak instuksional dan dampak pengiring dalam model Make a Match digambarkan dalam bagan berikut. Mendeskripsikan Ketelitian perubahan lingkungan erosi, abrasi, longsor, Membuat Keputusan Ketepatan dan banjir. Model Make a Match Kecermatan Kecepatan Menyebutkan faktorfaktor penyebab dan kerugian terjadinya erosi, abrasi, longsor dan banjir. Menyebutkan cara pencegahan erosi, abrasi, longsor dan banjir Gambar 2.1 Dampak Pengiring dan Instruksional Model Pembelajaran Make a Match Keterangan Dampak Instruksional Dampak Pengiring 20 2.1.5 Model Pembelajaran Snowball Throwing 2.1..5.1 Pengertian Snowball Throwing Snowball Throwing diartikan sebagai kegiatan melempar bola. Dalam pembelajaran Snowball Throwing, bola tersebut terbuat dari kertas yang berisi pertanyaan yang dibuat oleh siswa kemudian dilempar kepada siswa yang lain untuk dijawab. Model Snowball Throwing bertujuan untuk melatih siswa agar lebih tanggap terhadap pesan yang diterimanya dari siswa lain dan menyampaikan pesan tersebut kepada temannya dalam satu kelompok. Peran guru di sini hanya sebagai pemberi arahan awal mengenai topik pembelajaran dan selanjutnya penertiban terhadap jalannya pembelajaran. Menurut M. Huda (2014: 226) model Snowball Throwing yang penerapannya dengan cara melempar segumpalan kertas untuk menunjuk siswa yang diharuskan siswa menjawab soal. Model ini melatih siswa untuk lebih tanggap menerima pesan dari siswa lain dalam bentuk bola saju yang terbuat dari kertas dan menyampaikan pesan tersebut kepada temannya. Menurut Suprijono (2013: 106) model Snowball Throwing disebut juga model pembelajaran melempar bola yag terbuat dari kertas”. Model pembelajaran ini melatih siswa untuk lebih tanggap menerima pesan dari siswa lain dalam bentuk bola salju yang terbuat dari kertas, dan menyampaikan pesan tersebut kepada temannya dalam satu kelompok. Jadi, dapat disimpulkan bahwa model Snowball Throwing adalah model pembelajaran yang penerapannya dengan cara melempar bola/segumpalan kertas yang berisi pertanyaan yang dibuat oleh siswa dan dilemparkan kesiswa lain untuk dijawab. 2.1.5.2 Karakteristik Model Pembelajaran Snowball Throwing Menurut M. Huda (2014: 227) model Snowball Throwing memiliki beberapa karakteristik, diantaranya : 1. Peserta didik bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis. 21 2. Siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan untuk melatih pemahaman siswa seputar materi. 3. Penilaian yang diberikan dalam pembelajaran kooperatif didasarkan kepada hasil kerja kelompok. Namun demikian, guru perlu menyadari, bahwa sebenarnya prestasi yang diharapkan adalah prestasi setiap individu siswa. 4. Siswa berlatih belajar bekerja sama, juga harus belajar bagaimana membangun kepercayaan diri. 2.1.5.3 Langkah-langkah (Sintaks) Model Pembelajaran Snowball Throwing Menurut M. Fsthurrohman (2015: 61) langkah-langkah pembelajaran metode Snowball Throwing adalah: 1. Tahap pertama, guru menyampaikan materi yang akan disajikan, dan KD yang ingin dicapai. Pada tahap ini guru menyajikan sebuah masalah yang memancing perhatian dan kehebohan siswa. Penyajian masalah tersebut dapat dilakukan secara verbal dalam bentuk cerita pengalaman atau dapat juga melalui penayangan video/gambar 2. Tahap kedua,guru membentuk siswa berkelompok, Pada tahap ini guru membuat kelompok belajar yang masing-masing kelompok terdiri dari 4-5 siswa. kemudian guru memanggil masing-masing ketua atau perwakilan kelompok untuk memberikan penjelasan tentang materi. 3. Tahap ketiga,masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya masing-masing, kemudian menjelaskan materi yang disampaikan oleh guru kepada temannya. 4. Tahap Keempat, masing-masing siswa diberikan satu lembar kertas kerja,pada tahap ini siswa ditugaskan untuk menuliskan satu pertanyaan apa saja yang menyangkut materi yang sudah dijelaskan oleh ketua kelompok. 5. Tahap Kelima, kemudian kertas yang berisi pertanyaan tersebut dibuat seperti bola dan dilempar dari satu siswa ke siswa yang lain. 22 6. Tahap Keenam, setelah siswa dapat satu bola/satu pertanyaan diberikan kesempatan kepada siswa untuk menjawab pertanyaan yang tertulis dalam kertas berbentuk bola tersebut secara bergantian sesuai waktu yang telah ditentukan oleh guru. 7. Tahap Ketujuh, guru bersama dengan siswa membuat kesimpulan terhadap materi pelajaran. 2.1.5.4 Kelebihan dan Kekurangan Kelebihan model pembelajaran Snowball Throwing menurut M. Huda (2014: 227) yaitu untuk menguatkan pengetahuan siswa yang diperoleh peserta didik mendengarkan dan membaca materi yang diajarkan oleh guru, kemudian siswa mempunyai jiwa kooperatif, dan meningkatkan kemampuan siswa dalam berdiskusi antar teman. Kelemahan model pembelajaran Snowball Throwing yaitu sangat bergantung pada kemampuan siswa dalam memahami materi sehingga apa yang dikuasai siswa hanya sedikit. Hal ini dapat dilihat dari contoh soal yang dibuat oleh masing-masing biasanya hanya seputar materi yang sudah dijelaskan atau seperti contoh soal yang telah diberikan. Kemudian dalam model ini dalam pelaksanaannya memerlukan waktu yang panjang. 2.1.5.5 Analisis Komponen Model Snowball Throwing Joyce, Weil dan Calhoun (2009: 104-106) menyebutkan bahwa sebuah model pembelajaran terdiri dari komponen sintaks atau struktur suatu model, komponen prinsip reaksi atau peran guru, komponen sistem sosial atau situasi kelas pada saat model berlangsung, daya dukung yang terdiri dari bahan dan alat yang diperlukan untuk melaksanakan model, serta dampak instruksional yaitu hasil belajar siswa sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dan dampak pengiring sebagai akibat dari terciptanya suasana belajar dalam model tertentu. Komponen-komponen dari model pembelajaran Snowball Throwing yaitu sebagai berikut. 23 1. Sintagmatik Sintagmatik atau struktur model pembelajaran Snowball Throwing menurut Joyce, Weil dan Calhoun (2009:318). Tahap pertama yaitu menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa, Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai pada kegiatan pelajaran dan menekankan pentingnya topik yang akan dipelajari. Tahap ke dua, guru menyajikan informasi dan menyajikan sebuah masalah yang memancing perhatian dan kehebohan siswa. Penyajian masalah tersebut dapat dilakukan secara verbal dalam bentuk cerita pengalaman atau dapat juga melalui penayangan video/gambar. Dalam kaitan dengan materi pembelajaran yaitu pengaruh perubahan lingkungan yang disajikan dalam bentuk video atau gambar. Tahap ke tiga, mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar. Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membimbing setiap kelompok agar melakukan transisi secara efektif dan efisien. Model pembelajaran Snowball Throwing ini siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang masing-masing kelompok diwakili seorang ketua kelompok untuk mendapatkan tugas dari guru. Tahap ke empat, membimbing kelompok bekerja dan belajar. Memanggil ketua kelompok dan menjelaskan materi serta pembagian tugas. Meminta ketua kelompok untuk mendiskusikan tugas yang diberikan guru dengan anggotanya. Memberikan selembar kertas kepada setiap kelompok dan meminta kelompok tersebut menulis pertanyaan sesuai dengan materi yang dijelaskan guru. Meminta setiap kelompok untuk menggulung dan melemparkan kepada kelompok yang lain. Meminta setiap kelompok untuk menuliskan jawaban atas pertanyaan yang d dapat dari kelompok lainnya. Tahap ke lima, evaluasi. Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari. 2. Prinsip reaksi Peran guru dalam model Snowball Throwing ini adalah sebagai seorang fasilitator yang langsung terlibat dalam proses kelompok (membantu pembelajar 24 dalam merumuskan rencana, bertindak, dan mengatur kelompok. Selain itu guru juga berfungsi sebagai seorang konselor akademik. 3. Sistem sosial Sistem sosial dalam model pembelajaran ini adalah suasana kooperatif kerja sama antar teman kelas yang penuh dengan tanggung jawab dengan pembelajaran yang dikemas dalam suasana belajar yang menyenangkan karena siswa termotivasi untuk menjawab pertanyaan yang dikemas dalam bentuk bola yang dalam atuaran main drngan cara dilempar ke siswa lain dan jika bola tersebut mengenai siswa maka siswa tersebutlah yang harus menjawab pertanyaan. Sehingga melalui kegiatan kelompok tersebut, diharapkan akan muncul sikap demokratis, kooperatif dan bertanggung jawab. 4. Daya dukung Sistem pendukung dalam model Snowball Throwing ini harus ekstensif dan responsif terhadap semua kebutuhan siswa. Lingkungan harus mampu merespon berbagai tuntutan pembelajar yang bermacam-macam. Guru dan siswa harus bisa menghimpun apa saja yang dibutuhkan saat mereka membutuhkannya. Misalnya dalam pembelajaran IPA tentang pengaruh perubahan lingkungan dibutuhkan berbagai macam media yang akan mendukung terjadinya proses pembelajaran seperti contoh video atau gambar sesuai materi. 5. Dampak instruksional dan dampak pendukung Dampak instruksional adalah dampak atau hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan para siswa pada tujuan yang diharapkan. Dampak instruksional dalam model Snowball Throwing secara umum adalah: a. Proses dan pengelolaan kelompok efektif Model Snowball Throwing diharapkan dapat menciptakan proses berkelompok dan pengelolaannya secara efektif, artinya proses dalam membentuk kelompok tidak dilakukan secara sembarangan tetapi berdasarkan minat anggota kelompok. Sehingga proses pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok dapat berjalan sebagaimana mestinya dan mencapai tujuan yang diharapkan. 25 b. Pandangan konstruktivis tentang pengetahuan Para konstruktivis mempunyai pandangan bahwa pengetahuan tidak sekedar ditransmisikan oleh guru atau pengajar, tetapi mau tidak mau harus dibangun dan dimunculkan sendiri oleh siswa agar mereka dapat merespon informasi dalam lingkungan pendidikan. Oleh karena itu dengan penerapan model Snowball Throwing ini diharapkan dapat membiasakan siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri melalui diskusi dalam kelompoknya bukan berdasarkan penyampaian informasi oleh guru secara konvensional. c. Disiplin terhadapa tugas masing-masing. Melalui proses kerjasama dalam kelompok diharapkan adanya kedisiplinan dan tanggung jawab dari masing-masing anggota kelompok. Sehingga semua anggota kelompok ikut berpartisipasi aktif dalam diskusi yang dilakukan. Secara khusus dampak instruksional yang terdapat dalam pembelajaran IPA dengan materi perubahan lingkungan melalui model pembelajaran Snowball Throwing adalah kemampuan menjelaskan dan menyebutkan cara pencegahan terhadap pengaruh perubahan lingkungan. Dampak pengiring adalah hasil belajar lainnya yang dihasilkan oleh suatu proses pembelajaran, sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami langsung oleh para siswa tanpa pengarahan langsung dari pengajar. Dari segi dampak pengiring melalui model Snowball Throwing diharapkan dapat terbentuk kemampuan kemandirian sebagai pembelajar seperti mempunyai rasa tanggung jawab tinggi sehingga berusaha untuk mencari tahu sendiri pengetahuannya. Selain itu juga diharapkan timbulnya penghargaan terhadap martabat orang lain melalui kerja sama dalam kelompok sehingga timbul anggapan bahwa orang lain juga memiliki kemampuan yang tidak bisa diremehkan. 26 Dampak instruksional dan dampak pengiring dalam model Snowball Throwing digambarkan dalam bagan berikut ; Mendeskripsikan komunikatif perubahan lingkungan erosi, abrasi, longsor, dan banjir. Kerja Sama Disiplin Model Snowball Throwing Mandiri Menyebutkan faktorfaktor penyebab dan kerugian terjadinya erosi, abrasi, longsor dan banjir. Tanggung Jawab Menyebutkan cara pencegahan erosi, abrasi, longsor dan banjir Demokrasi Gambar 2.2 Dampak Pengiring dan Instruksional Model Pembelajaran SnowbalThrowing Keterangan Dampak Instruksional Dampak Pengiring 2.1.6 Pembelajaran IPA dengan Menggunakan Perlakuan Model Make a Match dan Snowball Throwing Pembelajaran dengan menggunakan model Make a Match dan Snowball Throwing adalah serangkaian aktivitas belajar dengan model Make a Match dan Snowball Throwing yang sudah direncanakan sebelumnya ke dalam bentuk langkah-langkah pembelajaran di kelas. Prosedur yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembelajaran IPA dengan model Make a Match dan Snowball Throwing sebagai berikut. 27 Tabel 2.2 Prosedur Pelaksanaan Pembelajaran IPA dengan Model Make a Match Kegiatan Guru 1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Siswa Menyampaikan tujuan 1.Guru menyampaikan pembelajaran tujuan pelajaran yang yang ingin dicapai. ingin dicapai pada pembelajaran 2. Guru menyajikan suatu permasalahan 2. Siswa menggali Ekspolrasi Reaksi pengetahuannya melalui penayangan sehingga membuat video, gambar atau untuk bertanya tentang percobaan untuk masalah yang disajikan memancing siswa guru. bertanya mengenai masalah yang disajikan. 3. Guru membagi 3. Siswa membentuk menjadi 2 kelompok, Membagi kartu dan misalnya kelompok A kelompok belajar kelompok A membawa kartu pertanyaan dan dan kelompok B. kelompok B membawa Mintalah mereka kartu jawaban. berhadap-hadapan. 4. Siswa membentuk 4. Bagikan kartu barisan yang saling pertanyaan kepada berhadapan agar kelompok A dan kartu memudahkan proses jawaban kepada mencari pasangan kartu. kelompok B. 5.Guru menyuruh setiap 5. Siswa mencari murid mencari pasangan pasangan yang yang mempunyai kartu mempunyai kartu yang 28 yang cocok dengan kartunya. Artinya murid Belajar mencari pasangan cocok dengan kartunya dan mencocokan yang kebetulan mendapat kartunya sebelum batas kartu “soal” maka harus waktu akan diberi poin. mencari pasangan yang 6. Setelah babak I memegang kartu selesai, siswa dibagi “jawaban soal” secepat kartu untuk mencari mungkin. Demikian juga pasangan kartu yang sebaliknya. cocok sesuai waktu yang 6.setiap murid dapat telah di tentukan. mencocokkan kartunya sebelum batas waktu akan diberi poin. 7.Guru membimbing siswa untuk membuat 7. Siswa dengan Kesimpulan bimbingan guru kesimpulan menyimpulkan inti dari pembelajaran kegiatan pembelajaran mereka Tabel 2.3 Prosedur Pelaksanaan Pembelajaran IPA dengan Snowball Throwing Kegiatan Guru 1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Siswa Penyampaian tujuan 1.Guru menyampaikan pembelajaran tujuan pelajaran yang ingin dicapai. ingin dicapai pada pembelajaran 29 2. Guru memancing siswa melalui penayangan video, 2. Siswa Eksplorasi reaksi memperhatikan apa gambar untuk bertanya yang dilakukan oleh mengenai masalah yang guru yang menimbulkan disajikan. rasa ingin tahu sehingga membuat untuk bertanya tentang masalah yang disajikan guru. 3.Gurumemberi kebebasan 3.Siswa membentuk kelompokdan menentukan ketua ketua kelompok. siswa untuk membentuk kelompok yang terdiri dari 4-5 orang. Perumusan tugas 4.Ketua/perwakilan kelompok menjelaskan materi yang telah disampaiakn oleh guru kepada kelompok. 4. guru memanggil masing-masing perwakilan kelompok untuk menjelaskan materi kerja siswa 5. Guru membimbing kelompok untuk membuat pertanyaan sesuai materi dan menggulungnya 5. Siswa membuat Proses melemparkan pertanyaan sesuai pertanyan ke siswa dengan materinya yang lain nanti akan dilemparkan menjadi sebuah bola yang pada kelompok yang nantinya akan dilemparkan lain. pada siswa yang lain. 6. Siswa menjawab pertanyaan yang telah dilempar oleh siswa lainnya. 30 6. . Guru memberikan 7. Siswa bertanya refleksi terhadap materi kepada guru terhadap yang belum dipahami Kesimpulan materi yang belum 7. Guru membimbing dipahami. siswa untuk membuat 8. Siswa dan guru kesimpulan pembelajaran bersama-sama membuat kesimpulan pembelajaran. 2.1.7 Hasil Belajar 2.1.7.1 Pengertian Hasil Belajar Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah melalui proses pembelajaran, baik kemampuan secara kognitif, kemampuan secara afektif maupun kemampuan secara psikomotor. Hasil belajar dalam penelitian ini merupakan hasil belajar kognitif yang dapat diketahui hasilnya melalui tes tertulis setelah proses pembelajaran selesai sedangkan kemampuan afektif dan psikomotor dapat diketahui hasilnya melalui penskoran pengamatan keaktifan siswa pada saat pembelajaran. Hasil belajar menurut Nana Sudjana (2005: 22) adalah kemampuankemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Horward Kingsley (dalam Sudjana, 2005: 22) mengklasifikasikan hasil belajar menjadi 3 macam, yaitu ketrampilan dan kebiasaan, pengetahuan dan pengertian, sikap dan cita-cita. Hal tersebut senada dengan Benyamin Bloom yang membagi kriteria hasil belajar menjadi 3 ranah yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan psikomotoris Diantara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil/bukti keberhasilan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran berupa kemampuankemampuan yang dimiliki dari segi kognitif, afektif, dan psikomotorik. 31 Keefektifan model pembelajaran Make a Match dan Snowball Throwing dalam penelitian ini dapat dilihat dari ketuntasan perolehan hasil belajar IPA pada materi menjelaskan pengaruh perubahan lingkungan fisik terhadap daratan. dengan menggunakan model Make a Match dan Snowball Throwing. Pengukuran hasil belajar tersebut diperoleh dengan menggunakan teknik tes berupa tes sumatif dalam bentuk pilihan ganda. 2.1.7.2 Pengukuran Hasil Belajar IPA Menurut Endang Purwanti (2008: 4) pengukuran dapat diartikan sebagai kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk memberikan angka-angka pada suatu gejala atau peristiwa, atau benda, sehingga hasil pengukuran akan selalu berupa angka. Sedangkan menurut Sutrisno Hadi (Sugihartono, 2007: 129) pengukuran dapat diartikan sebagai suatu tindakan untuk mengidentifikasikan besar kecilnya gejala. Hasil pengukuran dapat berupa angka atau uraian tentang kenyataan yang menggambarkan derajat kualitas, kuantitas dan eksistensi keadaan yang diukur. Dengan kata lain pengukuran dalam kegiatan belajar mengajar dimaksudkan untuk menilai hasil belajar siswa setelah melakukan proses belajar mengajar. Penilaian hasil belajar (Sudjana, 2016: 3) adalah proses pemberian nilai terhadap hasil-hasil belajar yang dicapai siswa dengan kriteria tertentu. Hal ini mengisyaratkan bahwa objek yang dinilainya adalah hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku. Tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang luas mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotoris. 1. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi. 2. Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. 32 3. Ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotoris yaitu gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks dan gerakan ekspresif dan interpretatif. Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar. Di antara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran. Dalam penelitian ini, penulis akan melakukan penelitian pada ranah kognitif mata pelajaran IPA. Ranah kognitif yang diambil sebagai bahan penelitian yaitu hasil belajar pengetahuan. Cara untuk mengetahui atau mengukur kognitif (pengetahuan) belajar siswa, terdapat beberapa jenis penilaian yang dapat digunakan guru untuk mengukur tingkat pengetahuan siswa berkenaan dengan KD tertentu. Jenis-jenis penilaian yang dimaksud berupa tes lisan, tes tertulis, dan penugasan (Kosasih, 2014:139). Ada jenis tes, ada pula bentuk tes. Menurut Widoyoko (2014:51) “tes merupakan salah satu alat untuk melakukan pengukuran, yaitu alat untuk mengumpulkan informasi karakteristik suatu objek. Di antara objek tes adalah kemampuan siswa”. Dilihat dari waktu pelaksanaanya tes dapat dibedakan menjadi: 1) pre-test dan post-test: 2) tes formatif dan tes sumatif diuraikan sebagai berikut; 1. Pre-test dan post-test, Pre-test merupakan salah satu bentuk tes yang dilaksanakan pada awal proses pembelajaran, dan post-test merupakan salah satu bentuk tes yang dilaksanakan setelah kegiatan inti. 2. Tes formatif dan tes sumatif, Tes formatif merupakan satu bentuk tes yang dilaksanakan setelah siswa menyelesaikan satu unit pembelajaran. Sedangkan tes sumatif merupakan tes yeng dilakukan pada setiap akhir pembelajaran atau akhir satu satuan waktu yang didalamnya tercakup satu pokok bahasan. (Widoyoko, 2014:51) Berdasarkan pemaparan di atas dan halaman sebelumnya semakin jelas bahwa hasil belajar mempunyai peranan penting dalam proses pebelajaran. 33 Hasil belajar merupakan tingkat perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik yang lebih baik dengan melakukan usaha secara maksimal yang dilakukan oleh seseorang setelah melakukan usaha-usaha belajar. Untuk mengetahui seberapa ketercapaian hasil belajar siswa dilakukan pengukuran atau penilaian dalam kegiatan belajar melalui tes dan nontes. Berdasarkan waktu pelaksanaannya tes dapat dibedakan menjadi dua yaitu pretest-postest dan tes formatif dan sumatif. Untuk selanjutnya yang dimaksud hasil belajar dalam penelitian ini adalah hasil tes formatif yang diambil dari mata pelajaran IPA siswa kelas IV SDN Lemahireng 01 Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang. 2.1.7.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar Hasil belajar sebagai salah satu indikator pencapaian tujuan pembelajaran yang telah dilakukan tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar itu sendiri. Hamdani (2011:60) menyebutkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajar sebagai berikut; 1. Model pembelajaran, untuk mencapai ketuntasan hasil belajar, diantarannya pembelajaran individu, pembelajaran kelompok, dan tutorial. 2. Peran guru, guru harus inisiatif dalam hal menjabarkan KD, mengajarkan materi, memonitor pekerjaan siswa, serta menilai perkembangan sosial dalam mecapai kompetensi yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik, menggunakan teknik diagnosis, menyediakan alternatif strategi pembelajaran siswa yang kesulitan belajar. 3. Peran siswa, Siswa diberi kebebasan dalam menetapkan kecepatan pencapaian kompetensi. Berdasarkan faktor yang mempengaruhi kegiatan belajar di atas dapat nyatakan bahwa belajar itu merupakan proses yang cukup kompleks,artinya bahwa hasil belajar siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mendukung, yaitu: 1. faktor internal meliputi : faktor fisiologis dan faktor psikologis. 2. faktor eksternal meliputi : faktor lingkungan sosial dan non lingkungan sosial, serta peran siswa, peran guru, serta model yang digunakan 34 dalam pembelajaran. Maka untuk memaksimalkan situasi, kondisi, dan kemampuan yang telah dimiliki oleh siswa, penelitian ini mencoba menggunakan model Make a Match dan Snowball Throwing dalam pembelajaran IPA. Model Make a Match dan Snowball Throwing merupakan model pembelajaran yang berperan untuk mengaktifkan siswa untuk terlibat aktif dalam proses belajar mengajar (PBM) berlangsung. Model Make a Match siswa berusaha menemukan dan mencocokan kartu pertanyaan dan jawaban yang cocok, sedangkan model Snowball Throwing siswa awalanya membuat pertanyaan sesuai dengan materi yang didapat kemudian pertanyaan tersebut digulung sehingga membentuk sebuah bola kertas, kemudian bola jertas yang berisi pertanyaan tersebut dilempar ke teman yang lain untuk dijawab dalam individu maupun kelompok. Sehingga dengan mendapatkan peluang yang lebih banyak untuk melakukan percobaan maka pengetahuan yang didapatkan akan tersimpan lebih lama dalam ingatan siswa. Dengan demikian, penelitian dengan mengunakan model Make a Match dan Snowball Throwing dalam pembelajaran, sangat memungkinkan siswa merasa senang dan tertarik dalam pembelajaran, sehingga siswa akan lebih aktif dan mudah dalam menguasai meteri yeng telah diberikan oleh guru, yang tentunya akan berpengaruh pada hasil belajar siswa. 2.2 Kajian Penelitian Yang Relevan Penelitian ini tidak terlepas dari penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dilaksanakan saat ini. Penelitian yang dilakukan oleh Rismadiani Kurnia (2014) yang berjudul Keefektifan Model Pembelajaran Make a Match Terhadap Hasil Belajar IPA Kelas III SD Negeri Randugunting 01 Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang Semester II Tahun Ajaran 2013/2014, menunjukkan bahwa model Make a Match dapat meningkatkan hasil belajar IPA pada siswa kelas III SDN Randugunting. Hal ini dibuktikan dengan setelah kedua kelompok eksperimen diberikan model pembelajaran yang berbeda, mereka diberikan tes akhir pada materi Energi dan 35 diperoleh rata-rata nilai hasil belajar kelas eksperimen sebesar 81,27, sedangkan kelas kontrol hanya 73,73. Hasil penghitungan dengan menggunakan rumus independent samples t test melalui program SPSS versi 20, menunjukkan model kooperatif tipe Make a Match efektif dan signifikan terhadap peningkatan hasil belajar siswa. Hal ini ditandai dengan nilai hasil thitung > ttabel (2,153 > 2,000). Dari hasil penelitian, diharapkan guru dapat menerapkan pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match. Penelitian yang dilakukan oleh Galih (2014) yang berjudul Peningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar IPA Melalui Model Make a Match Siswa Kelas IV SD Negeri Lemahireng 02 Kecamatan Bawen Semester II Tahun Ajaran 2014/2015, menyatakan bahwa pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match dapat meningkatkan keaktifan belajar pada pelajaran IPA di kelas 4 Semester II SD Negeri Lemahireng 02 Kecamatan Bawen Tahun Pelajaran 2014/2015 karena pada Siklus II keaktifan siswa kategori tinggi diperoleh hasil 87% sehingga telah mencapai indikator keberhasilan keaktifan siswa yaitu 70% keaktifan tinggi. Terbukti bahwa keaktifan belajar meningkat, pada pra Siklus kategori tinggi 42% pada Siklus I mengalami peningkatan menjadi 65% dan meningkat di Siklus II mencapai 87%. Penelitian yang dilakukan oleh Sanen, Notari (2013) yang berjudul Peningkatan Hasil Belajar IPA Melalui Model Make a Match Siswa Kelas IV SD Negeri Dukuh 03 Kota Salatiga Semester II Tahun Ajaran 2013/2014, menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match terhadap Hasil Belajar Ipa Siswa Kelas 4 Sekolah Dasar Negeri Dukuh 03 Salatiga Semester II Tahun Pelajaran 2012/1013. Hal tersebut dibuktikan dengan perbedaan hasil belajar yang signifikan yaitu siswa yang diajar menggunakan metode Make a Match memperoleh nilai rata-rata 82,38 sedangkan siswa yang diajar tidak menggunakan metode Make a Match memperoleh nilai rata-rata 74,34. Penelitian yang dilakukan oleh Erlin (2012) yang berjudul Pengaruh Model Snowball Throwing dan Model Konvensional Terhadap Hasil Belajar IPS kelas IV SD Kanisius Cungkup Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga, menunjukkan 36 bahwa terdapat pengaruh terhadap hasil belajar antara siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran kooperatif Snowball Throwing dan Model pembelajaran Konvensional siswa kelas IV SD Kanisius Cungkup Kecamatan Siodrejo Kota Salatiga .Hal tersebut dibuktikan dengan hasil posttest siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional diperoleh rata-rata hasil belajar siswa 58,75 yang berada dalam kategori hampir cukup dengan standar deviasi 11,981. Sedangkan hasil posttest siswa yang diajar dengan menggunakan model Snowball Throwing diperoleh rata-rata hasil belajar siswa 68,85 yang berada dalam kategori lebih dari cukup dengan standar deviasi 7,659. Penelitian yang dilakukan oleh Sutoro (2014) yang berjudul Pengaruh Model Snowball Throwing Terhadap Hasil Belajar Matematika Kelas IV SD Negeri 01 Mojotengah Semester II Tahun Ajaran 2011/2012, menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan penerapan pembelajaran kooperatif tipe Snowball Throwing terhadap hasil belajar matematika pada siswa kelas IV SD Negeri 01 Mojotegah Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012 yang dibuktikan dengan adanya perbedaan hasil belajar antara kedua kelas. Hasil posttest siswa kelas IVA (kelas kontrol) yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional diperoleh rata-rata hasil belajar matematika kelas 76,30. Sedangkan hasil posttest siswa kelas IVB (kelas eksperimen) yang diajar menggunakan model pembelajaran Snowball Throwing diperoleh rata-rata hasil belajar matematika kelas 89,60. Penelitian yang dilakukan oleh Putri (2012) yang berjudul Pengaruh Model Pembelajaran Snowball Throwing dan Student Team-Achievement Divisions (STAD) terhadap hasil belajar siswa kelas VII SMP Negeri 2 Boyolali, menunjukkan hasil analisis data yang diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,001<0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan efektivitas penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Snowball Throwing dengan model pembelajaran Student Team-Achievement Divisions (STAD). Hal ini dilihat dari hasil belajar matematika siswa yaitu kelas VIID yang diajar menggunakan model pembelajaran Snowball Throwing memperoleh nilai rata-rata kelas 79,067 sedangkan kelas VIIE yang diajar menggunakan model pembelajaran Student 37 Team-Achievement Divisions (STAD) memperoleh nilai rata-rata kelas sebesar 70,233. 2.3 Kerangka Berpikir Kondisi awal kedua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dalam kondisi awal yang sama atau homogen. Kelompok eksperimen diberi pre-test kemudian diberi treatmen (perlakuan) dengan menggunakan model Make a Match kemudian diberi post-test. Sedangkan kelompok kontrol di beri pre-test kemudian dalam pembelajaran menggunakan model Snowball Throwing kemudain diberi post-test. Membandingkan hasil belajar IPA materi perubahan lingkungan antara pembelajaran yang menggunakan Make a Match dengan pembelajaran yang menggunakan model Snowball Throwing. Cara ini untuk mengetahui seberapa besar perbedaan keefektifan hasil belajar dalam penerapan model Make a Match dengan pembelajaran yang menggunakan model Snowball Throwing pada pembelajaran IPA. Jika siswa dalam pembelajaran IPA menggunakan model Make a Match mendapatkan hasil yang baik, maka model Make a Match lebih unggul dan efektif digunakan dalam pembelajaran IPA. Kemudian jika pembelajaran siswa menggunakan model Snowball Throwing mendapatkan hasil yang lebih baik daripada model Make a Match maka model Snowball Throwing lebih unggul dan efektif digunakan dalam pembelajaran IPA. 38 Berikut ini gambar bagan kerangka berpikir penggunaan model pembelajaran Make a Match dan Snowball Throwing. Model Make a Match Mendeskripsikan Sintak/langkah-langkah perubahan lingkungan daratan Menyampaikan tujuan pembelajaran Eksplorasi reaksi (erosi, abrasi, Minat siswa muncul Rasa ingin tahu Ketrampilan Membagi kartu longsor, dan banjir). Berfikir kritis dan membuat keputusan Mencari pasangan kartu Menyebutkan faktorfaktor penyebab dan kerugian terjadinya erosi, abrasi, longsor dan banjir. Ketelitian Mendiskripsikan cara pencegahan erosi, abrasi, longsor dan banjir Kecermatan Kesimpulan Ketepatan kenampakan Kecepatan Hasil Belajar Gambar 2.3 Bagan kerangka berpikir model Make a Match Keterangan Dampak Instruksional Dampak Pengiring 39 Model Snowball Throwing Mendeskripsikan perubahan lingkungan Sintak/langkah – langkah daratan (erosi, abrasi, longsor, dan banjir). Menyampaikan tujuan pembelajaran Minat siswa muncul Eksplorasi reaksi Rasa ingin tahu Perumusan tugas Demokratis Menyebutkan faktorfaktor penyebab dan kerugian terjadinya erosi, abrasi, longsor dan banjir. Kerja Sama Mandiri Proses melempar pertanyaan Tanggung Jawab Mendiskripsikan cara pencegahan erosi, abrasi, longsor dan banjir Disiplin Kesimpulan Komunikatif Hasil Belajar Gambar 2.4 Bagan kerangka berpikir model Snowball Throwing Keterangan Dampak Instruksional Dampak Pengiring 40 2.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir di atas maka dirumuskan suatu hipotesis sebagai berikut : Hₒ : Tidak ada perbedaan keefektifan antara hasil belajar IPA yang menggunakan model pembelajaran Make a Match dengan Snowball Throwing pada siswa kelas IV SD Negeri Lemahireng 01 Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang. Hₐ : Ada perbedaan keefektifan antara hasil belajar IPA yang menggunakan model pembelajaran Make a Match dengan Snowball Throwing pada siswa kelas IV SD Negeri Lemahireng 01 Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang. 41