KONSEP INTEGRASI AGAMA DAN SAINS (Studi Komparatif Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) Oleh: Sulthon Hidayat NIM: 109033100002 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H./2017 M. PEDOMAN TRANSLITERASI Arab Indonesia Arab Indonesia ﺍ a ﻁ ṭ ﺏ b ﻅ ẓ ﺕ t ﻉ ‘ ﺙ ts ﻍ gh ﺝ j ﻑ f ﺡ ḥ ﻕ q ﺥ kh ﻙ k ﺩ d ﻝ l ﺫ dz ﻡ m ﺭ r ﻥ n ﺯ z ﻭ w ﺱ s ﻩ h ﺵ sy ء ’ ﺹ ṣ ﻱ y ﺽ ḍ ﺓ h Vokal Panjang ﺁ Ā ﺍﻯ Ī ﺍﻭ Ū v Abstrak Konsep Integrasi Agama dan Sains (Studi Komparatif Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara) Membicarakan tentang integrasi agama dan sains berarti berupaya untuk memadukan antara sains dan agama untuk menciptakan format baru hubungan sains dan Islam dalam upaya membangun kembali sains Islam yang selama ini dipandang tidak ada. Agama dan sains berbeda dalam metodologi ketika keduanya mencoba untuk menjelaskan kebenaran. Metode agama umumnya bersifat subyektif, tergantung pada intuisi/pengalaman pribadi dan otoritas nabi/kitab suci. Sedangkan sains bersifat obyektif, yang lebih mengandalkan observasi dan interpretasi terhadap fenomena yang teramati dan dapat diverifikasi. Tetapi bagi Al-Attas dan Mulyadhi, terdapat titik temu antara agama dan sains dari sisi ontologis, objek sains bukan hanya bersifat fisik, melainkan juga metafisik, sehingga dari sisi epistemologinya sumber sains bukan hanya indra saja, melainkan akal dan hati. Meskipun keduanya sama-sama intelektual muslim yang menggagas tentang perpaduan agama dan sains, mereka mempunyai perbedaan-perbedaan dalam penjabaran konsep maupun metodologi. Al-Attas dengan integrasi agama dan sains yang berbasis tasawuf, sedangkan Muyadhi merujuk pada tradisi sains Islam klasik yang bernuansa filosofis. vi KATA PENGANTAR Rasa syukur yang amat sangat mendalam kepada Allah SWT. atas segala rahmat dan kuasa-Nya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw beserta keluarganya, para sahabat serta para pengikutnya yang telah menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Alhamdulillah, penulisan skripsi yang berjudul “Konsep Integrasi Agama dan Sains (Studi Komparatif Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara)” telah dapat penulis selesaikan. Penulisan karya Ilmiah dalam bentuk skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi strata satu (1) guna memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tentunya, proses penulisan skripsi ini melibatkan banyak kalangan, untuk itu saya merasa perlu menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, terutama peulis sampaikan kepada: 1. Kepada kedua orang tua penulis Abu Yazid dan Warsiyem, yang tak henti hentinya memberikan do’a demi lancarnya studi dan penulisan skripsi ini. Juga kepada kakak-kakakku, Fitrul Masruroh, Syafi’ Kamaluddin, dan Muhammad Hikam yang selalu mendukung serta mengingatkan penulis untuk secepatnya menyelesaikan skripsi. 2. Dr. Edwin Syarif, MA. (Ketua Jurusan Tasawuf dan juga sebagai pembimbing skripsi), terima kasih telah membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. vii 3. Dra. Tien Rohmatin, MA (Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam), terima telah menyetujui proposal skripsi, juga atas nasihat dan bantuannya, akhirnya penulis tetap konsisten menyelesaikan judul skripsi ini. 4. Dekan Fakultas Ushuluddin, Prof. Dr. Masri Mansoer, MA dan segenap civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu kelancaran administrasi dan birokrasi. 5. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, MA beserta Jajarannya. 6. Para Dosen Fakultas Ushuluddin, yang telah memberikan pencerahan dan ilmu yang luas kepada penulis. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan fakultas Ushuluddin, terima kasih atas sumber daya, dan fasilitas. 7. Terimakasih untuk teman-teman seperjuangan, Nurul zibat, Nurdian syah, Ach Ilham Zubairy, Moh Ikhwan, Bustakul Khoiri dan teman-teman yang lainnya. 8. Kepada rekan-rekan seperjuangan Aqidah Filsafat angkatan 2009, Sukses selalu. 9. Terimakasih untuk para senior dan teman-teman Wasiat Jakarta dan Formala Jabodetabek, untuk kebersamaan dan dukungan kalian. Ciputat, 14 Juni 2017 Sulthon Hidayat viii DAFTAR ISI Lembar Persetujuan……………………………………………………………..ii Lembar Pernyataan…………………………………………………………….iii Pengesahan Panitia Ujian………………………………………………………iv Pedoman Transliterasi…………………………………………………………..v Abstrak…………………………………………………………………………..vi Kata Pengantar………………………………………………………….……...vii Daftar Isi…………………………………………………………………………ix Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………...1 B. Identifikasi Masalah……………………………………………………….6 C. Batasan & Rumusan Masalah……………………………………………..8 D. Tujuan Penelitian………………………………………………..…...........8 E. Manfaat Penelitian………………………………………………...............9 F. Tinjauan Pustaka…………………………………………………………..9 G. Metodologi Penelittian…………………………………………………...12 H. Sistematika Penulisan…………………………………………………….13 Bab II Biografi Syed Muhammad Naquib Al-Attas & Mulyadhi Kartanegara A. Syed Muhammad Naquib Al-Attas………………………………………14 1. Riwayat Hidup dan pendidikan………………………..................14 2. Karya-karya……………………………………............................21 3. Pemikiran………………………………………………………...22 B. Mulyadhi Kartanegara……………………………………………………29 1. Riwayat Hidup dan Pendidikan…………………………………..29 2. Karya-karya………………………………………………………31 3. Pemikiran…………………………………………………...........32 Bab III Paradigma Integrasi Agama dan Sains A. Pengertian dan Tujuan Integrasi Agama dan Sains………………………37 B. Langkah-langkah untuk mencapai Integrasi Agama dan Sains………….43 C. Faktor Penghambat dan Pendukung Integrasi Agama dan Sains…….......45 Bab IV Konsep Integrasi Agama dan Sains menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara A. Konsep Integrasi Agama dan Sains menurut Syed Muhammad Naquib AlAttas.............................................................................................................50 1. Konsep Integrasi Agama dan Sains……………………………….50 2. Landasan Integrasi Agama dan Sains……………………………..55 3. Metodologi Integrasi Agama dan Sains…………………………..56 B. Konsep Integrasi Agama dan Sains menurut Mulyadhi Kartanegara…….71 1. Konsep Integrasi Agama dan Sains…………………….................71 2. Landasan Integrasi Agama dan Sains…………………………….76 ix 3. Metodologi Integrasi Agama dan Sains…………………………..77 C. Analisis Persaman dan Perbedaan………………………………………...97 1. Persamaan………………………………………………………..98 2. Perbedaan………………………………………………………..99 Bab V Penutup A. Kesimpulan……………………………………………………………….102 B. Saran-saran……………………………………………………………….104 Daftar Pustaka…………………………………………………………………..105 x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Melihat perubahan zaman yang semakin berkembang pesat, juga dunia modernitas yang harus dihadapi umat Islam, salah satu masalah yang dihadapi umat Islam adalah pertumbuhan sains yang semakin berkembang dan perlahan mengikis nilai moral dan agama, sehingga bukan lagi sains yang berkembang mengikuti kebutuhan manusia melainkan manusia yang harus menyesuaikan diri dengan sains. Umat Islam sudah sepatutnya lebih memperhatikan permasalahan ini, karena pada perkembangan zaman saat ini, sains sudah tercampuri oleh budaya Barat yang mencoba melepaskan nilai-nilai agama dari sains sehingga menyebabkan hilangnya peran agama dalam sains tersebut. Untuk itu perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu keislaman, agar sains tersebut tidak bebas nilai atau muncul faham sekuralisme. 1 Masyarakan saat ini beranggapan bahwa “agama” dan “sains” adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi obyek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masingmasing bahkan sampai ke institusi penyelenggaranya. Dengan ungkapan lain, sains tidak peduli agama dan agama tidak peduli sains. Begitulah sebuah gambaran praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air selama ini dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat 1 Al-Attas, Muhammad Naquib, Islam dan Sekuralisme, terj. Karsidjo Djojosuwarno dkk (Bandung: Pustaka, 1991), h. 21-22. 1 2 luas, 2 dikotomi ilmu ini menjalar sebagai satu bentuk pembedaan antara sekolah bercirikhaskan agama di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) dan sekolah umum dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sekolah bercirikhaskan agama secara khusus diwakili oleh madrasah, sedangkan sekolah bercirikhaskan umum menempati kontradiksinya, 3 menyebabkan munculnya ambivaalensi orientasi pendidikan Islam, terjadi kesenjangan antara sistem pendidikan Islam, disintegrasi sistem pendidikan islam, inferioritas pengajar di lembaga pendidikan islam, karena pendidikan Islam selalu dipandang terbelakang, 4 dan berlanjut dengan kemunduran dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Rene Descartes (1596-1650 M) adalah pelopor dikotomi agama dan sains dan ini tidak bisa dipungkiri. Menurut Descartes, metafisik telah mengalihkan perhatian manusia dari entitas fisik yang dianggapnya lebih berfaedah. Sehingga pada gilirannya para Cartesian menolak segala sesuatu yang bersifat metafisik karena dianggap tidak saintifik. 5 Aku berpikir maka aku ada oleh René Descartes, menjadi tolok ukur kebenaran sekaligus sumber ilmu pengetahuan bukan lagi dari ajaran gereja (agama) melainkan rasio dan panca indera (empirisme). Paham empirisme ini terus berkembang hingga zaman modern atau pencerahan. 6 Berarti 2 Zainal Abidin Bagir, dkk, Integrasi Ilmu dan Agama: Intrepretasi dan Aksi (Bandung:Mizan Pustaka Kerjasama dengan UGM dan Suka Press Yogyakarta, 2005),h. 20. 3 Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005), h. 2 4 Salahuddin Wahid, dalam Zainudin, dkk., Pendidikan Islam dari paradigma Klasik hingga Kontemporer, (Malang;UIN Malang Press,2009),h. 96 5 Ahmad Bazli Syafie, “Metafizik Vs Sain; Krisis Pendidikan Barat Modern”, dalam Alhikmah, Bil. 3,(Kuala Lumpur: Forum ISTAC, 2000), h. 10-11 6 Husiaini, A. et. al , Filsafat Ilmu : Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press. 2013), h. 41 3 pada zaman pencerahan, dikotomi agama dan sains terlihat jelas. Ruang lingkup sains hanya dibatasi pada obyek fisik saja, dapat teramati, terulang, terukur, teruji, teramalkan, sehingga dikotomi ilmu ini berlanjut pada munculnya paham atau pemikiran bebas nilai. Dalam kajian keilmuan Islam, dikotomi agama dan sains tidak akan pernah ada, justru yang ada adalah sains terintegrasi dalam agama, walaupun tidak semua prinsip-prinsip sains dijelaskan secara detail dalam agama. Integrasi sains dalam agama, dapat ditelaah dari adanya ajaran Islam tentang pengetahuan dan suruhan penelitian. Dalam Islam dapat diketahui dari wahyu pertama, Allah menegaskan bahwa sumber ilmu itu berasal dari-Nya. Allah mengajarkan manusia apa yang semula belum diketahuinya (QS. al-Baqarah: 239; ar-Rahmān: 1-4). Artinya : Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. Artinya :(Tuhan) yang Maha pemurah. Yang telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara . Hal ini berarti semua yang berasal dari Allah, baik berupa ayat-ayat alQur’an maupun sunnah adalah ilmu yang bermanfaat bagi manusia. Ajaran Islam dapat diketahui dari ayat al-Qur’an lainnya ialah ajakan atau suruhan manusia merenungi fenomena alam, psikologi dan sejarah (QS. al-Baqarah: 164;). 4 Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. Adanya ajaran-ajaran Islam tersebut menunjukkan bahwa kajian keilmuan dalam Islam mencakup aspek keagamaan dalam al-Qur’an maupun Sunnah dan fenomena alam atau sains. 7Bahkan menurut Yusuf Al-Qardhawi, agama dan sains P6F P adalah sama-sama ilmu pengetahuan tanpa ada konflik diantara kedunya. 8 P7F Semenjak adanya kesenjangan antara agama dan sains, telah banyak sosok cendekiawan Muslim dari dahulu hingga abad ini yang berusaha mengintegrasikan dikotomi tersebut. Bukan tanpa dasar ternyata dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam klasik, dikotomi antara ilmu dan agama atau fisik dan metafisik tidak pernah ada, antara lain seperti Ibn Sīnā (370-428 H/980-1037 M), Nashīr al-Dīn Thūsī (597-672 H/1201-1274 M), Quṭb al-Dīn Syīrāzī(634-710 H/1236-1311 M) dan lain-lain. 9 P8F 7 Nor Wan Daud, W.M, Budaya Ilmu Satu Penjelasan, (Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd. 2003),h. 60 8 Yusuf Al-Qardhawi, Islam dan Sekulerisme, terj: Amirullah Kandu & Maman Abd. Djaliel ,(Bandung: CV Pustaka Setia, cet. I. 2006), h. 82 9 Syayed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusia, dan Alam Spiritual; Jembatan Filosofis dan Relegius MenujuPuncak, terj; Ali Noer Zaman dari The Encouner Man and Nature, ,(Yogyakarta; IRCisoD cet. I. 2006), h.84 5 Menurut Al-Attas tentang integrasi sains muncul karena tidak adanya landasan pengetahuan yang bersifat netral, sehingga sains pun tidak dapat berdiri bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidak bebas nilai (value free) akan tetapi syarat nilai (value laden). Pengetahuan yang tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah di waranai corak dan budaya peradaban Barat.Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah pengetahuan yang diwarnai dengan watak dan kepribadian peradaban Barat. Pengetahuan yang dibawakan dan disajikan berupa pengetahuan yang semu dan dilebur secara halus dengan yang asli (the real) sehingga manusia mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan yang sejati.Karena itu Al-Attas memandang bahwa peradaban Barat tidak layak untuk di konsumsi sebelum diseterilkan terlebih dahulu. 10 Disiplin agama dan sains menurut Mulyadhi Kartanegara, tidak mungkin tercapai hanya dengan mengumpulkan dua himpunan keilmuan yang memunyai basis teoritis yang berbeda (sekuler dan religius). Sebaliknya, integrasi harus diupayakan hingga tingkat epistemologis. Menggabungkan dua himpunan ilmu yang berbeda tersebut di sebuah lembaga pendidikan seperti yang terjadi selama ini tanpa diikuti konstruksi epistemologis bukan membuahkan integrasi, melainkan hanya seperti menghimpun dalam ruang yang sama dua entitas yang berjalan sendiri-sendiri. 11Agar integrasi tersebut sampai ketingkat epistemologi, menurut Mulyadhi integrasi harus dilakukan hingga ketingkat ontologis, klasifikasi ilmu, dan metodologis. Tiga tingkat integrasi tersebut melahirkan 10 Al-Attas, Muhammad Naquib, Islam dan Sekuralisme, terj. Karsidjo, h. 43 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik,(Bandung: PT Mizan Pustaka, cet.I. 2005), h. 208-209 11 6 uraian kepada integrasi obyek-obyek ilmu, ilmu teoritis dan praktis, bidangbidang ilmu (metafisika, matematika, dan fisika), sumber ilmu, pengalaman manusia, metode ilmiah, dan integrasi penjelasan ilmiah. Karena Mulyadhi termasuk orang yang mengakui adanya epistemologi Islam, terlihat bahwa integrasi agama dan sains olehnya berada di ruang lingkup epistemologi Islam, yang dari sisi ontologis obyek sains itu tidak hanya bersifat fisik (indrawi), 12 melainkan juga metafisik. Sehingga dari sisi epistemologisnya sumber sains adalah indra, akal, dan hati. 13 Dari kajian dan pemikiran integrasi keilmuan dari kedua tokoh di atas yaitu Muhammad Naquib Al-Atta berbasis tasawuf menyuarakan intuisi sebagai elemen dasar pencarian ilmu pengetahuan, 14sedangkan Mulyadhi Kartanegara merujuk pada tradisi sains Islam klasik yang bernuansa filosofis dalam konsep integrasinya, dari sini penulis akan mengalisis permalahan di atas sehingga bisa di ketahui perbedaan dan persamaan dari konsep kedua tokoh tersebut. B. Idetifikasi Masalah Berdasarkan pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam idetifikasi masalah penelitian, antara lain adalah : 12 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik, h. 43 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik, h. 18 14 Wan Mohd Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib AlAttas, terj: Hamid Fahmy dkk, (Bandung: Mizan, cet. I. 2003), h. 160 13 7 1. Sains telah di warnai corak budaya Barat yang mencoba melepaskan nilainilai agama dari sains sehingga menyebabkan hilangnya peran agama dalam sains. 2. Terjadi pemikiran yang dikotomistik antara agama dan sains yang menimbulkan banyak masalah: kemanusiaan, lingkungan hingga struktur keilmuan. 3. Masyarakan saat ini beranggapan bahwa agama dan sains adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan. 4. Di Indonesia sendiri dikotomi agama dan sains ini menjalar sebagai satu bentuk pembedaan antara sekolah bercirikhaskan agama di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) dan sekolah umum dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). 5. Umat Islam kontemporer terputus dengan khazanah Keilmuan Islam klasik. 6. Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara adalah dua tokoh dari beberapa cendikiawan muslim yang berusahaha mengintegrasikan agama dan sains. 7. Konsep integrasi Muhammad Naquib Al-Attas berbasis tasawuf, menyuarakan intuisi sebagai elemen dasar pencarian ilmu pengetahuan sedangkan Mulyadhi Kartanegara merujuk pada tradisi sains Islam klasik yang bernuansa filosofis. 8 C. Batasan &Rumusan Masalah Dengan mempertimbangkan alur latar belakang dan identifikasi masalah di atas, dan untuk memudahkan menfokuskan kajian ini, penulis akan memberikan batasan masalah pada konsep integrasi Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara meliputi persamaan dan perbedaan konsep keduanya, serta membatasi tahun pemikiran kedua tokoh sampai tahun 2016. Berdasarkan batasan masalah di atas, masalah pokok dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep pemikiran integrasi antara agama dan sains menurut Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara ? 2. Apa perbedaan dan persamaan konsep pemikiran integrasi antara agama dan sainsmenurut Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara ? Karena peneletian ini bersifat komparatif maka penulis lebih menfokuskan dua poin di atas, selain itu kenapa penulis memilih dua tokoh ini karena mereka memiliki obyek pemikiran yang sama namun dengan konsep pemikiran yang berbeda. D. Tujuan Penelitian Dalam hal ini, penulis mengambil judul skripsi “ Konsep Integrasi Agama dan Ilmu (Studi Komparatif Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara)”, bertujuan: 9 1. Mengenal dan memahami konsep pemikiran Syed Muhammad Naquib AlAttas dan Mulyadhi Kartanegara tentang konsep integrasi antara agama dan sains secara jelas dan memadai. 2. Mengetahui perbedaan dan persamaan konsep integrasi agama dan sains Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara. . E. Manfaat penelian 1. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi wacana tentang integrasi keilmuan. 2. Sebagai salah satu sumbangan pengetahuan, yang bisa penulis katakan sebagai hal baru, mengingat kajian terhadap intgrasi keilmuan masih jarang dikaji oleh banyak kalangan secara spesifik, termasukdikalangan Fakultas Usuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Disamping itu juga penulisan skripsi ini diharapkan bisa berguna bagi kegiatan penelitian akademik selanjutnya. F. Tinjauan Pustaka Dalam penulisan ini untuk lebih fokus dan terarah, penulis merasa penting untuk melakukan tinjauan pustaka sebagai bahan acuan dalam melihat perbedaan dari tulisan-tulisan yang membahas tentang integrasi antara agama dan sains Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara, Penulis menemukan buku karya Hamdani berjudul Filsafat Sain, diungkapakan di dalamnya sejarah lahirnya ilmu pengetahuan, dasar-dasar 10 filsafatnya yang disebut dengan metode ilmiah filsafat sains bagi manusia, sampai problematika sains pada manusia dan kelestarian alam semesta. Selanjutnya selain buku penusis juga menemukan karya akademik berupa tesis ditulis oleh Masykur Arif mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, lulus tahun 2014. Adapun judul tesis tersebut berjudul,Titik Temu Islam dan Sains (Kajian atas Pemikiran Muhammad Naquib Al-Attas dan Amin Abdullah), penelitian ini berisi tentang kontruksi pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai titik temu Islam dan Ilmu, meliputi perbedaan dan persamaannya. Di dalam penelitian ini didapatkan temuan bahwa Muhammad Naquib Al-Attas menemukan asumsi-asumsi filosofismetafisik yang menjadi landasan sains Barat modern, dan juga menemukan baginya Islam tidak mengenal sekuralisme, oleh ituharus berkembang sesuai tujuan akhirnya yaitu untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan demi kemanusian, maka Islamisasi sain sangatlah diperlukan. Sedangkan menurut Amin Abdullah Islam mengalami kemunduran karena dikotomisasi keilmuan, oleh karena itu relasi Islam dan sains hendaknya menggunakan relasi integrasi inter koneksi, melaui pendekatan iterkoneksi truth claim dapat dihindari. Tidak hanya itu penulis juga menemukan karya akademik yang ditulis oleh Khoirul Ikhwan mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga, tahun 2002 yang menulis skripsi tentang Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang Sekularisasi, yang membahas tentang definisi sekuler, sekularisasi, sekularisme menurut Muhammad Naquib Al-Attas, selanjutnya mengungkap timbulnya sekularisasi dan tujuan sekularisasi serta menjelaskan sekularisme dalam perspektif Islam. Dalam pembahasannya ia menyinggung adab tetapi hanya sepintas saja. 11 Selanjutnya penulis juga menemukan karya akademik berbentuk skripsi yang ditulis oleh Abdul Ghofur mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Tahun 2008 tentang Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas), ia membahas faktor yang melatar belakangi gagasan Islamisasi ilmu dan juga tentang pandangan Al-Attas terhadap epistemology Islam dengan Barat. Penulisan karya akademik tentang Mulyadhi Kartanegara ditulis oleh Abdullah Suntani menulis dalam sebuah Seminar Nasional bertema Integrasi Keilmuan di Lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang berlangsung di Auditorium Utama yang berjudul “Integrasi Ilmu Tak Sekedar Menyatukan Ilmu Sekuler dan Agama”, dalam Acara Milad Fakutas Syariah dan Hukum (FSH) ke 43 pada tangal 5/5/2010. Adapun yang membedakan tulisan skripsi ini dengan tulisan-tulisan yang di atas adalah bahwa penulis menfokuskan tulisan terhadap pembahasan mengenai perbedaan dan persamaan konsep integrasi Islam dan ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara agar nanti dapat ditemukan bentuk integrasi yang ideal khususnya untuk Indonesia, dan umumnya untuk seluruh akademika islam yang ada. G. Metode Penelitian Penelitian ini adalah pendekatan filosofis dengan teknik pengumpulan data kepustakaan (library research) atau kualitatif. Adapun sumber-sumber data yang digunakan selama penelitian ada dua ketegori, yaitu primer dan sekunder. Data- 12 data primer yang digunakan seperti karya dari Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara,Islam dan Skularisme yang diterjemahkan dari buku aslinya yang berbahasa inggris Islam and Secularism yang diterjemahkan oleh Karsidjo Djodosuwarno, dan juga dari buku Mulyadhi Gerbang Kearifan; Sebuah Pengantar Filsafat Islam (2002), Menembus Batas Waktu; Panorama Filsafat Islam (2002), Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar EpistemologiIslam (2003),Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik (2005), dan karya-karyanya yang lain jika dibutuhkan. Sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari yang membahas pemikiran dari Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara, serta karya tulis yang terdapat dalam jurnal, majalah, koran atau karya tulis lainnya yang terkait dengan tema tulisan ini Dalam pembahasan, penulis menggunakan metode deskriptif-analitik, yaitu menggunakan sumber-sumber yang ada, lalu mendeskripsikannya, kemudian dianalisis mengenai bagaimana pemkiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara tentang integrasi agama dan sains sekaligus titik temunya.. Sedangkan secara teknis, penulisan skripsi ini didasarkan pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Thesis, dan Disertasi), Jakarta, Ceqda, 2007. Adapun transliterasi menggunakan Jurnal Ilmu Ushuluddinyang diterbitkan Hipius (Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin). 13 H. Sistematika Penulisan Untuk mempermuda pembahasan masalah dalam skripsi ini, penulis membagimenjadi beberapa bab dan masing-masing sub-bab, yaitu sebagai berikut: BabI :Pendahuluan yang membahas latar belakang masalah, idetifikasi masalah,batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II : Otobiografi Biografi Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara, meliputi riwayat hidup dan pendidikan, karya-karya serta pemikirannya Bab III : Pengertian dan tujuan integrasi agama dan sains meliputi langkahlangkah integrasi dan kendala integrasi Bab IV: Membahas konsep integrasi agama dan sains menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara dan selanjutnya Analisis Komparatif konsep integrasi agama dan sains, yang meliputi persamaan dan perbedaan. Bab V : Penutup merupakan kesimpulan yang merupakan jawaban atas rumusan masalah yang ada, serta saran-saran untuk penelitian lebih lanjut. BAB II BIOGRAFI SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS DAN MULYADHI KARTANEGARA A. Muhammad Naquib Al-Attas 1. Riwayat Hidup dan Pendidikan Syed Muhammad Naquib al-Attas bin Ali bin Abdullah bin Muhsin bin Muhammad al-Attas lahir pada tanggal 5 september 1931 di Bogor, Jawa Barat, Indonesia. 1 Pada waktu itu Negara Indonesia masih dalam jajahan atau tekanan bangsa Belanda. Naquib al-Attas adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya bernama Syed Hussain al-Attas, mantan wakil rektor di Universitas Malaya dan ahli di bidang sosiologi. Sedangkan adiknya, Syed Zaid al-Attas adalah seorang insinyur teknik kimia dan mantan dosen pada Institut Teknologi MARA. Bila dilihat dari garis keturunannya, Naquib al-Attas termasuk orang yang beruntung secara inheren. Sebab dari kedua belah pihak, baik ayah maupun ibu merupakan orang-orang yang berdarah biru. Ibunya bernama Sharifah Raquan binti Syed Muhammad al Aydarus yang masih keturunan kerabat para raja sunda di Singaparna, Jawa Barat. Sedangkan ayahnya SyedAli al-Attas masih tergolong bangsawan di Johor. Syed Ali al-Attas sebenarnya berasal dari Arab yang silsilahnya merupakan keturunan ulama dan ahli tasawuf yang terkenal di kalangan sayyid. 1 Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy And Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), h.1 14 15 Dalam Tradisi Islam, orang yang mendapat gelar Sayyid merupakan keturunan langsung dari Rasulullah. Wan Muhammad Daud mencatat bahwa silsilah keluarga Naquib al-Attas dapat dilacak hingga ribuan tahun ke belakang melalui silsilah Sayyid dalam keluarga Ba’lawi di Hadramaut dengan silsilah yang sampai kepada Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Silsilah resmi keluarga Naquib al-Attas yang terdapat dalam koleksi pribadinya menunjukkan bahwa beliau merupakan keturunan ke-37 dari Nabi Muhammad SAW. 2 Syed Abdullah al-Attas sebagai seorang kakak Syed Naquib al-Attas adalah seorang wali yang pengaruhnya tidak hanya di Indonesia, bahkan hingga ke Arabia. Salah seorang pengikutnya adalah Syed Hassan Fad’ak yang pernah dilantik menjadi penasehat agama saudara laki-laki Raja Abdullah dari Yordania yakni Amir Faisal yang kemudian dikenal sebagai ahli hukum kontemporer. Sedangkan neneknya, bernama Ruqayah Hanum, yang termasuk keturunan bangsawan Turki yang sebelumnya menikah dengan Ungku Abdul Majid, adik bungsu Sultan Abu Bakar Johor (w. 1895). Sultan tersebut, menikah dengan Khadijah (adik Ruqayyah) dan menjadi Ratu Johor. Setelah Ungku Abdul Majid wafat, Ruqayyah menikah lagi dengan Syed Abdullah al-Attas dan dikaruniai seorang anak yang bernama Syed Ali al-Attas. 3 Ketika Syed Naquib al-Attas berusia 5 tahun, ia diajak orang tuanya bermigrasi ke Malaysia. Di sini al-Attas dimasukkan dalam pendidikan dasar 2 Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy And Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, h.1-2 3 Muhammad Fathoni, “Filsafat Pendidikan Islam Dalam Pemikiran Naquib Al-Attas”, Retrieved Oktober 14, 2016, From http://dokumen.tips/documents/konsep-pendidikan-menurutnaquib-al.html 16 Ngee Heng Primary School sampai usia 10 tahun. Melihat perkembangan yang kurang menguntungkan yakni ketika jepang menguasai Malaysia, maka al-Attas dan keluarga pindah lagi ke Indonesia. Di sini, ia kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah ‘Urwah al-Wusqa, Sukabumi (Jawa Barat) selama 5 tahun. Di tempat ini al-Attas mulai mendalami dan mendapatkan pemahaman tradisi Islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bisa difahami, karena saat itu, di Sukabumi telah berkembang perkumpulan tarekat Naqsyabandiyah. 4 Setelah itu, pada tahun 1946 ia kembali ke Johor Baru dan tinggal bersama paman (saudara ayahnya) yang lain lagi yang bernama Engku Abdul Aziz (kala itu menjabat sebagai Menteri Johor Baru), lalu ikut dengan Datuk Onn yang kemudian menjadi Menteri Besar Johor Baru yang sekaligus menjadi ketua umum UMNO pertama. Pada tahun 1946 ia belajar di Bukit Zahrah School kemudian di English Johor Baru (1946-1949 M). Setelah tamat dari sana ia memasuki Dinas Tentara sebagai Perwira kader dalam Laskar Melayu-Inggris. Karena kepiwaiannya akhirnya ia pun diikutkan pada pendidikan dan latihan kemiliteran di Eaton Hall, Chester Inggris, kemudian ke Royal Militery Academy Sandhurst Inggris (1952-1959 M.) sampai akhirnya ia mencapai pangkat letnan. Karena merasa bukan bidangnya, maka ia keluar dari Dinas Militer untuk selanjutnya kuliah lagi ke Universitas Malaya (1957-1959 M.) pada Fakultas Kajian Ilmuilmu Sosial (social sciences studies), lalu ia melanjutkan lagi studinya ke McGill 4 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, teoritis dan Praktis cet.2, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 118 17 University, Montreal, Kanada sampai mendapatkan gelar Master of Art (M.A), dengan nilai yang membanggakan dalam bidang Teologi dan Metafisika Islam. 5 Ketika masih mengambil program S1 di Universitas Malaya, Naquib alAttas telah menulis dua buah buku. Buku pertama adalah Rangkaian Ruba’iyat. Buku ini termasuk di antara karya sastra pertama yang dicetak oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, pada tahun 1959. Sedangkan buku kedua yang sekarang menjadi karya klasik adalah Some Aspect of Sufism as Understood and Practiced among the Malays, yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Sosiologi Malaysia pada tahun 1963. Selama yang menulis buku kedua ini demi memperoleh bahan-bahan yang diperlukan, Naquib al-Attas melanglang buana ke seantero Malaysia dengan menjumpai tokoh-tokoh penting sufi agar bisa mengetahui ajaran dan praktek tasawuf mereka. Sedemikian berharganya buku yang kedua ini, pemerintah Kanada melalui Canada Counsel Fellowship memberinya beasiswa untuk belajar di Institute of Islamic Studies, University McGill, Montreal yang didirikan oleh Wilfred Cantwell Smith. Di universitas inilah Naquib al-Attas berkenalan dengan beberapa orang sarjana ternama seperti Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazlur Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang), dan Hossein Nasr(Iran). 6 Tahun 1962, Naquib Al-Attas mendapat gelar M.A. dengan tesis yang berjudul Raniry and the Wujūdiyyah of 17th Century Acheh. Sebelumnya ia sangat tertarik dengan praktik sufi yang berkembang di Indonesia dan Malaysia, sehingga 5 Kemas Badaruddin, Filsafat Pendidikan Islam, Analisis Pemikiran Prof.Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.10 6 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, teoritis dan Praktis, h. 49 18 wajar bila tesisnya berjudul “Raniri and the Wujudiyyah”. Salah satu alasannya adalah ia ingin membuktikan bahwa Islamisasi yang berkembang di Indonesia bukan dilaksanakan oleh Belanda, melainkan murni dari upaya umat Islam itu sendiri. 7 Tidak lama kemudian pada tahun 1963-1964 melalui sponsor Sir Richard Winstert dan Sir Morimer Wheeler dari British Academy ia berkesempatan untuk melanjutkan studinya di School of Oriental and African Studies, University of London, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai pusat kaum orientalis. Di universitas ini ia juga menekuni teologi dan metafisika Islam. 8Di sinilah ia bertemu dengan Martin Lings, seorang Profesor Inggris yang sangat berpengaruh pada diri Naquib al-Attas, walaupun hanya sebatas tataran metodologis. Salah satu pengaruh yang besar dalam diri Naquib al-Attas adalah asumsi yang menyatakan bahwa terdapat integritas antara realitas metafisik, kosmologi dan psikologi. Selama kurang lebih dua tahun (1963-1965) atas bimbingan Profesor Martin Lings, Naquib al-Attas menyelesaikan perkuliahan dan meraih gelar Ph.D (Philosophy Doctor) dalam bidang filsafat Islam dan kesusastraan Melayu Islam dengan mempertahankan disertasi yang berjudul Mistisisme Hamzah Fansuri dengan predikat cumlaude. 9 Disertasi tersebut telah diterbitkan sebagai buku dengan judul Mysticism of Hamzah Fansuri. Hamzah Fansuri adalah seorang ilmwuan dan tokoh sufi yang hidup pada masa keemasannya. 7 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sejarah Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan,1990), h.689 8 Ismail SM, “Paradigma Pendidikan Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib alAttas”dalam jurnal Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h.271-272 9 Hasan Mu’arif Ambary et,al, Suplemen Ensiklopedi Islam (Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Van Hoevoe, 1995), h.78 19 Sekembalinya dari Inggris, al-Attas mengabdikan dirinya di almamaternya dulu, yaitu Universitas Malaya, sebagai dosen tetap. Maka, sejak itulah ia mulai menunjukkan kehebatan dan kecemerlangannya. Pada tahun 1968-1970 ia menjabat sebagai ketua Departemen Kesusastraan dalam Pengkajian Melayu, saat itu ia sempat merancang dasar-dasar bahasa Malaysia untuk fakultas Sastra. Ia termasuk salah seorang pendiri Universitas Kebangsaan Malaysia pada tahun 1970. Kemudian pada tahun 1970-1973 ia menjabat Dekan Fakultas Sastra, dan pada tanggal 24 Januari 1972 dikukuhkan sebagai professor Bahasa dan Kesusastraan Melayu, dengan membacakan pidato ilmiah dengan judul: ”Islam dalam sejarah dan kebudayaan Melayu”. Otoritas kepakaran al-Attas dalam berbagai bidang itu, seperti filsafat, sejarah dan sastra telah diakui oleh dunia internasional, seperti pada tahun 1970 ia dilantik oleh para filsuf Amerika Serikat sebagai International Member American Philosophical Association. Al-Attas juga pernah diundang ceramah di Temple University Philadelphia, Amerika Serikat dengan topic Islam in Southeast Asia: Rationality Versus Iconography (September 1971) dan di Institut Vostokovedunia, Moskow, Rusia, dengan topik “The Role of Islam in History of Culture of the Malays” (Oktober 1971). Juga pernah menjadi pimpinan panel bagian Islam di Asia Tenggara dalam XXIX Congres International des Orientalis, Paris (Juli 1973). Kemudian ia pun rajin menghadiri kongres seniman Internasional sebagai tenaga ahli panel mengenai Islam, filsafat, dan kebudayaan, baik yang diadakan oleh UNESCO, maupun badan-badan ilmiah dunia lainnya. 20 Ia juga ikut mengembangkan pemikirannya untuk pendirian Universitas Islam kepada Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Jeddah, Saudi Arabia, bahkan terlaksananya konferensi tentang pendidikan Islam sedunia I di Makkah tersebut diilhami oleh gagasan al-Attas yang menyatakan bahwa persoalan yang paling urgen dihadapi umat Islam saat ini adalah persoalan ilmu pengetahuan. Gagasannya ini di tuangkannya ke dalam surat yang dikirimnya ke sekretariat Islam di Jeddah tertanggal 15 Mei 1973. Ia juga menjabat sebagai Direktur Institut Pemikiran dan Tamaddun Islam (The Institut of Islamic Thought and Civilization/ ISTAC) Malaysia yang di badaninya sendiri kelahirannya sejak lama, sebagai perwujudan dan obsesi atau cita-cita intelektualnya. Pada tahun 1975, kerajaan Iran memberikan anugerah tertinggi dalam bidang ilmiah sebagai sarjana akademi falsafah maharaja Iran, fellow of the Imperial Iranian Academy of Philosophy. Al attas pun pernah diangkat menjadi anggota di berbagai badan ilmiah internasional lainnya, seperti: 1. Member of International Congress of the VII Centenary of St. Thomas Aquinas. 2. Member of International Congress of the VII Centany of St. Bonaventura da Bognaregia. 3. Member Malaysia Delegate International Congress on the Millinary of alBiruni. 4. Principal Consultant World of Islam Festival Congress. 5. Sectional Chairman for Education World of Islam Festival Congress. 21 Pada Konferensi Islam sedunia I, Al-Attas sebagai pemakalah utama dengan judul: “Preliminary Thought on The Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education”. Maka pada konferensi kedua di Islamabad, Pakistan pada tanggal 15 -20 Maret 1980, ia kembali mengulang dan mengelaborasi pemikirannya. 10 2. Karya-karya Unsur yang paling penting yang dapat di jadikan sebagai dasar dalam mempertimbangkan kualitas dan bobot serta keilmuan seseorang adalah terletak pada karya-karya yang telah dihasilkannya, baik dalam bentuk tulisan maupun lain sebagainya, dari kualitas, maupun kuantitas. Ditinjau dari prespektif ini, maka Al-Attas tergolong kepada intelektual yang sangat produktif dalam menghasilkan karya-karya berupa tulisan dalam berbagai bidang keilmuan, yang jumlahnya mencapai sekitar 22 buah dengan 30 makalah. Adapun karya-karya al-attas tersebut yang antara lain adalah sebagai berikut: 1. Rangkaian Ruba’iyyat, Kuala Lumpur: Dewan dan Pustaka, 1959. 2. Some Aspect of Sufism as Understood and Practical among the Malays, Singapore: MSRI, 1963. 3. The Origin of the Malay Shair, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968. 10 Kemas Badaruddin, Filsafat Pendidikan Islam, Analisis Pemikiran Prof.Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas, h.11-13. 22 4. Islam and Secularism, Kuala Lumpur: ABIM, 1978; untuk edisi Indonesia diterbitkan Bandung: Pustaka, 1981. 5. The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education, Kuala Lumpur: ABIM, 1980. 6. Islam, Secularism and Philosophy of the Nature, 1985. 7. Islam and the Philosophy of Science, 1989; sedangkan untuk edisi Indonesia dengan judul Filsafat Sains, Terj. Saiful Muzami, Bandung: Mizan, 1995. 11 8. Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, ISTAC, Kuala Lumpur, 1995. 12 Dan masih banyak lagi karya-karya beliau, samping itu kebanyakan karyanya sudah diterjemahkan dalam beberapa bahasa yang antara lainnya seperti: Jerman, Perancis, Arab, Urdu, Turki, Persia, Korea, Jepang, Indonesia, dan lain-lain. 3. Pemikiran a) Kebebasan Manusia Manusia merupakan subyek sekaligus obyek pendidikan, sehingga sebelum berbicara tentang pendidikan maka sangat penting sekali untuk membahas tentang manusia. Manusia sering disebut sebagai makhluk monodualistik, karena manusia adalah makhluk yang terdiri dari jasad dan ruh; 11 Kemas Badaruddin, Filsafat Pendidikan Islam, Analisis Pemikiran Prof.Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas h.16-17. 12 Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy And Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, h. 10-13 23 artinya makhluk jasadiah dan ruhaniah sekaligus. 13 Jadi jelas, menurut Al Attas bahwa diri berkaitan erat dengan jasad dan ruh. Oleh karena itu pada satu sisi, ia dianggap jiwa rasional (al-nafs al-natiqqah) ketika berhubungan dengan ruh dan pada sisi lain, sebagai jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyyah 14) ketika berberhubungan dengan jasad. Pilihan dan sikap manusia bergantung aspek mana yang menjadi perioritas utama sehingga inilah yang akan menentukan nasib akhir yang akan mereka terima, baik di dunia yang terbuka ini maupun nanti di akhirat. 15 Sedangkan menurut Munir Mulkhan Al-nafs mempunyai dua daya sebagai sebuah bagian kesempurnaan manusia yaitu daya berfikir yang disebut akal yang berpusat dikepala dan daya rasa yang berpusat di kalbu. 16 Kedua daya inilah, yang membuat manusia mempunyai kebebasan untuk mengelola diri, lingkungan dan alam kehidupannya. Menurut Al-Attas manusia adalah jiwa sekaligus jasad, sekaligus wujud jasmaniah dan ruhaniah; dan jiwanya mesti mengatur jasadnya sebagaimana Allah mengatur jagad. Dia terpadukan sebagai satu kesatuan, dan dengan adanya saling keterkaitan antara fakultas ruhaniah dengan fakultas jasmaniah serta inderanya, ia membimbing dan memelihara kehidupannya di dalam dunia ini. 17 Sehingga dia mendefinisikan manusia sebagai “al-Hayawanun Nathiq” yang dalam hal ini Nathiq diartikan rasional sehingga manusia sering disebut “binatang rasional”. Manusia mempunyai fakultas batin yang merumuskan makna-makna dan 13 Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy And Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, h. 94 14 Naquib Al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education, (Jeddah ; King Abdul Aziz University), 1979, h. 25 15 Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim; Pengantar Pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogjakarta ; Sipress), 1993. h. 136. 16 Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung ; Mizan), 1996, h.37 17 Harun Nasution, Islam Rasional, h. 85-86 24 perumusan makna yang melibatkan penilaian, pembedaan, dan penjelasan inilah menurut Al Attas yang membentuk rasionalitas. 18 Dalam konteks bahwa manusia mempunyai kebebasan, Al Attas menyatakan bahwa ketika manusia mengambil atau memilih untuk menerima amanah 19 itu, pilihan manusia tersebut mengindikasikan bahwa setiap jiwa memiliki kebebasan untuk memilih yang sebaliknya. Artinya setiap orang sudah menyadari semua implikasi yang melekat bersama pilihan tersebut. Al Attas menegaskan bahwa kebebasan telah terjadi pada saat itu. Jadi menurut Al Attas, walaupun manusia diberi kemampuan untuk mengikuti atau menolak perintah Allah SWT yang termaktub dalam hukum agama (syariat), manusia tetap tidak bisa menolak kehendak Allah SWT. 20 b) Islamisasi Ilmu Gagasan Islamisasi Ilmu yang menurutnya merupakan bagian dari “revolusi epistemologis”. Karena menurut Al Attas sejarah epistemologis Islamisasi Ilmu adalah berkaitan dengan pembebasan akal manusia dari keraguan, prasangka, dan argumentasi kosong menuju pencampaian keyakinan dan kebenaran mengenai realitas-realitas spiritual, penalaran dan material. 21 Islamisasi Ilmu merupakan pembebasan manusia atau individu dari takhayul dan kekangan sekularisme agar manusia kembali ke fitrah insaniahnya. Ada beberapa realitas yang menjadi dasar gagasan ini diantaranya adalah 18 Harun Nasution, Islam Rasional, h. 37 Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy And Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, h. 100 20 Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy And Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, h. 102 21 Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy And Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, h. 336 19 25 bergesernya peradaban Islam ke Barat dan didominasi serta hegemoni pengetahuan yang dilandasi kebudayaan dan peradaban Barat yang tersebar seluruh kehidupan umat manusia di dunia termasuk umat Islam. Al Attas menjelaskan bahwa Ilmu pengetahuan itu tidak ada yang bersifat netral atau bebas nilai. Sehingga Ilmu pengetahuan yang tersebar di seluruh belahan dunia tidak bisa lepas dari corak dan budaya Barat. Atau dengan kata lain telah terjadi deislamisasi. Bagi Al-Attas peradaban Barat telah kehilangan hakekat sehingga mengacaukan hidup manusia, kehilangan kedamaian dan keadilan. Karena pengetahuan mereka didasarkan pada skeptimisme lalu di Ilmiahkan dengan metodologi. 22 Secara ringkas, gagasan Islamisasi merupakan upaya dekonstruksi terhadap ilmu pengetahuan Barat untuk kemudian di dekonstruksi ke dalam sistem pengetahuan Islam. Atau upaya “desekularisasi” ilmu yang dilandasi dengan epistemologi Islam. Desekularisasi berarti kita perlu membersihkan unsur-unsur yang menyimpang sehingga ilmu pengetahuan yang ada benar-benar “Islamic”. Al Attas menjelaskan dalam Islamisasi pengetahuan harus dimulai dari Islamisasi bahasa. Atau Islamisasi harus diawali dari mengislamkan simbolsimbol linguistik mengenai realitas dan kebenaran. 23 Dari bahasa inilah menurutnya yang dapat mempengaruhi akal dan cara berfikir seseorang. 22 Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy And Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, h. 336 23 Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy And Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, h. 317 26 Berangkat dari akal dan cara berfikir atau cara pandang inilah landasan untuk memulai Islamisasi. Konsep Islamisasi ini menurut Al-Attas harus dibangun dan dibina di atas satu kerangka filsafat, metafisika dan epistemologi menurut pandangan Islam. Untuk menopang hal ini maka harus didukung pemahaman terhadap tradisi keilmuan Islam seperti tasawuf, kalam, teologi. Pemahamannya yang cukup kuat terhadap tradisi melayu dan Indonesia dan dipraktekkan langsung dalam universitasnya (ISTAC) semakin menegaskan bahwa konsep Islamisasi Pengetahuan Al Attas adalah sebuah konsep yang operasional, di mana konsep Islamisasi sampai hari ini cukup memberikan warna dalam corak pemikiran Umat Islam. c) Pendidikan Islam Keberagaman khasanah pemikiran Islam, juga membawa perbedaan para pemikir di dalam menggunakan istilah pendidikan Islam. Ada menggunakan istilah tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas istilah ta’dib lebih tepat untuk mengartikan pendidikan Islam. 24 Menurut Al-Attas, ada beberapa kosa kata yang merupakan konsep kunci untuk membangun konsep pendidikan yaitu: makna (ma’na), ilmu (‘ilm), keadilan (‘adl), kebijaksanaan (hikmah), tindakan (‘amal), kebenaran atau ketepatan sesuai dengan fakta (haqq), nalar (Nathiq), jiwa (nafs), hati (qalb), pikiran (‘aql), tatanan 24 Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam; suatu rangka pikir pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, h.64 27 hirarkhis dalam penciptaan (maratib dan darajat), kata-kata, tanda-tanda dan simbol-simbol (ayat) dan interpretasi (tafsir dan ta’wil) 25 Adapun konsep kunci yang merupakan inti pendidikan dan proses pendidikan adalah Adab. Karena Adab adalah disiplin tubuh, jiwa, dan ruh yang menegaskan pengenalan dan pengakuan mengenai posisi yang tepat mengenai hubungannya dengan potensi Jasmani, intelektual dan ruhaniyah. 26 Adab diartikan juga disiplin terhadap pikiran dan jiwa, yakni pencapaian sifat-sifat yang baik oleh pikiran dan jiwa untuk menunjukkan tindakan yang betul melawan yang keliru, yang benar melawan yang salah, agar terhindar dari kehinaan. 27 Istilah ta’dib adalah paling tepat untuk mengartikan pendidikan Islam, karena ta’dib sasaran pendidikannya adalah manusia. Adapun Pendidikan itu meliputi unsur pengetahuan, pengajaran dan pengasuhan yang baik. Ketiga unsur tersebut sudah masuk dalam konsep ta’dib. Menurut Al-Attas, ta’dib merupakan bentuk mashdar dari addaba yang berarti memberi adab atau pendidikan. jadi adab yang diturunkan dari akar yang sama dengan ta’dib diartikan sebagai lukisan (masyhad) yang mampu member contoh yang baik, karena pada akhirnya nanti akan berahir pada pengakuan atas berbagai pelajaran baik (maratib) dalam tata tingkat wujud, eksistensi, pengetahuan dan perbuatan yang sesuai dengan pengakuan itu. 28 25 Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam; suatu rangka pikir pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, h.64 h. 52 26 Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam; suatu rangka pikir pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, h.64h. 52-53 27 Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam; suatu rangka pikir pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, h.64 h, 53 28 Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, Karsidjo Djojosumarno, (Penerjemah), Pustaka, Bandung, 1981, h 221 28 Mengingat makna pengetahuan dan pendidikan hanya berkenaan dengan manusia saja dan lebih luas adalah masyarakat, maka pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan mesti paling utama diterapkan pada pengenalan dan pengakuan manusia itu sendiri tentang tempatnya yang tepat yaitu kedudukannya dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarganya, kelompoknya, komunitasnyadan masyarakatnya, serta kepada disiplin pribadinya di dalam mengaktualisasikan dalam dirinya pengenalan dan pengakuan. Hal ini berarti bahwa dia mesti mengetahui tempatnya di dalam tatanan kemanusiaan yang mesti dipahami sebagai teratur secara hirarkhis dan sah ke dalam berbagai derajat (darajat) keutamaan berdasarkan kriteria Al-Qur’an tentang akal, ilmu dan kebaikan (ihsan) dan mesti bertindak sesuai dengan pengetahuan dengan cara yang positif, dipujikan dan terpuji. Pengenalan diri pribadi yang dipenuhi dalam pengakuan diri inilah yang didefinisikan di sini sebagai adab. Apabila kita berkata bahwa pengakuan merupakan unsur fundamental dalam pengenalan yang benar, dan bahwa pengakuan tentang apa-apa yang dikenali inilah yang menjadikan pendidikan. 29 Tujuan pendidikan menurut Al-Attas, sebagaimana dikutip oleh Ismail SM bahwa tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan dalam diri sendiri sebagai manusia maupun sebagai diri individu. Ismail SM menegaskan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah lebih berorientasi pada 29 Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, , h 62-63 29 Individu. 30 Al Attas menjelaskan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk dan menghasilkan manusia yang “baik”. Baik dalam konsep manusia yang baik berarti tepat sebagai manusia adab yakni meliputi kehidupan material dan spiritual manusia. Karena manusia, sebelum menjadi manusia, telah mengikat perjanjian (mitsaq) individual secara kolektif dengan Tuhan serta telah mengenal dan mengakui Allah sebagai Tuhan. Hal ini berarti bahwa sebelum manusia memperoleh bentuk jasmaniah ia telah dilengkapi dengan kemampuan ilmu pengetahuan ruhaniah. 31 Dengan demikian tujuan pendidikan muslim adalah menciptakan manusia yang baik dan berbudi luhur, yang menyembah Allah dalam pengertian yang benar, membangun struktur kehidupan dunia sesuai dengan syari’ah dan melaksanakan untuk menjunjung imannya. 32 Kalau di lihat secara cermat dari konsep pendidikannya Al Attas, maka tujuan akhir pendidikan adalah membentuk manusia paripurna. B. Mulyadhi Kartanegara 1. Riwayat Hidup dan Pendidikan Mulyadhi Kartanegara lahir pada 11 Juni 1959 M di lingkungan religius (pesantren) kampung Dukuh Kecamatan Legok di arah Selatan kota Tanggerang. Adapun pendidikan formalnya, setelah tamat SDN Legok (1971), berlanjut belajar di sekolah PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri) di Tanggerang (1972-1975). 30 Ismail SM, “Paradigma Pendidikan Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib alAttas”dalam jurnal Pemikiran Pendidikan Islam, h 283 31 Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, h 55 32 Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, h. 85 30 Setelah merasa bosan sekolah di PGAN dan pindah keluar daerahnya di sekolah SP (Sekolah Persiapan) IAIN di Ciputat. Dibandingkan dengan sekolah sebelumnya, selama dua tahun di SP IAIN telah membawanya pada perkembangan intelektual yang lumayan. Tahun 1977 sewaktu berumur 18 tahun beliau telah mempunyai karya tulis sebagai tugas akhir untuk kelulusan dari SP IAIN yang berjudul Menuju Jalur Kehidupan. Pada tahun 1978 Mulyadhi diterima menjadi mahasiswa di Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan mendapat gelar Drs (1984). Ia mendapat tugas dari Departemen Agama RI untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri (1986), dengan beasiswa dari Ford Foundation untuk English International Course di Davis California, dan Fullbright Foundation Scholarship untuk program Master di University of Chicago, USA. Gelar master diraih pada tahun 1989 dengan tesis The Mystical Reflection of Rumi. Pada tahun 1996 Mulyadhi meraih gelar Doktor dari universitas yang sama dengan judul disertasi The Mukhtasar Siwân al-Hikma of ‘Umar B. Sahlân al -Sâwî Arabic Text and Introduction, yang berisi sekitar 1000 kata mutiara dari 60 filsuf Yunani dan 13 filsuf Muslim. Berkenaan dengan profesi atau karir yang dijalaninya, Mulyadhi aktif mengajar di berbagai Perguruan Tinggi dan Universitas, antara lain: Program Pascasarjana dan Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, Islamic College for Advanced Studies (ICAS) cabang London, Universitas Paramadina Jakarta, Universitas Indonesia (UI), Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), STT Apostolos, dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkarya. Selain itu, juga aktif sebagai Direktur di Center for Islamic Philosophichal Studies and Information (CIPSI) Jakarta. Tahun 31 2001-2003,dan juga menjabat sebagai Direktur Pelaksana di Program Pascasarjana: Pusat Kajian Agama Lintas Budaya UGM Jakarta. 33 2. Karya-karya Unsur yang paling penting yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam mempertimbangkan kualitas dan bobot serta keilmuan seseorang adalah terletak pada karya-karya yang telah dihasilkannya, baik dalam bentuk tulisan maupun lain sebagainya, dari kualitas, maupun kuantitas. Ditinjau dari prespektif ini, maka Mulyadhi tergolong kepada intelektual yang sangat produktif dalam menghasilkan karya-karya berupa tulisan dalam berbagai bidang keilmuan. Adapun karya-karya Mulyadhi tersebut yang antara lain adalah sebagai berikut; 1. Renungan Mistik Jalâl al -Dîn Rum i(Pustaka Jaya,1986) 2. Sejarah Filsafat Islam, terj. (Pustaka Jaya, 1987), 3. Moslem Scholar 4. Biologi dan Fisika (Departemen Agama, 1998), and Heros (MSSG Chicago, 1994), 5. The Venture of Islam II, (terjemahan, Paramadina, 2002), Menembus Batas Waktu; Panorama Filsafat Islam (Mizan, 2002), 6. Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam (UIN Press, 2003), Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar Epistemologi Islam (Mizan, 2003), 33 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Arasy,Mizan.2005), h. 7 32 7. Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik (Arasy Mizan, 2005), 8. Seni Mengukir Kata; Kiat-kiat Menulis Kreatif dan Efektif (Mlc, 2005), Gerbang Kearifan; Sebuah Pengantar Filsafat Ilsam (Lentera Hati, 2006), 9. Menyelami Lubuk Tasawuf (Erlangga, 2006), Selain aktif menulis, dan berpartisipasi dalam berbagai seminar, dalam maupun luar negeri, ia juga termasuk rajin menyajikan kuliah jejaring sosial (facebook), terutama kuliah di bidang tasawuf dan filsafat 3. Pemikiran Mengetahui pemikirannya dari karya-karyanya sangat penting untuk bisa membuka pengetahuan kita tentang sosoknya. Mulyadhi Kartanegara telah menulis sejumlah buku dalam rangka mengembangkan pemikirannya dan juga membagikan setiap ilmu yang dimilikinya, antara lain tentang: 1. Tuhan Bagi Mulyadhi ke-Esa-an Tuhan tercermin dalam kesatuan perintah (amr) yang mengendalikan kosmos, dan memang kenyataannya hanya ada satu sistem yang berlaku pada alam semesta dalam suatu saat. Alam semesta masih eksis sampai sekarang menunjukkan hanya ada satu sistem kontrol, bukan sebaliknya yang memang tidak terbukti secara ilmiah. 34 Tuhan tidak jauh, impersonal, dan sibuk memikirkan dirinya sendiri sebagaimana Neoplatonis, melainkan Tuhan yang akrab, mengetahui, sekaligus perhatian terhadap kelangsungan dan 34 Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Manusia, dan Alam, (Jakarta: Erlangga. 2007), h. 3-4 33 kesejahteraan makhluk-Nya. 35 Tuhan tidak bertindak sewenang-wenang, walau pun jika Dia ingin melakukan hal tersebut maka tiada kekuatan yang mampu menghalangi-Nya. 36 Tuhan tidak butuh sesuatu dari makhluk, kewajiban yang dipikulkan kepada manusia dan jin tidak menyiratkan ada kepentingan-Nya disitu. Tuhan adalah al-Ghanî (Maha Kaya) dan selain-Nya adalah al-Faqîr (yang butuh) kepada-Nya. 37 Dalam kaitannya dengan alam, Tuhan adalah transenden sekaligus imanen. Dia transenden karena mengatasi atau melampaui alam dan tidak identik dengan alam. Namun, Tuhan juga imanen karena kehadirannya dapat dirasakan di manamana tanpa harus bersifat berbilang. Dia bagaikan matahari yang bisa dilihat diberbagai tempat di muka bumi ini dan akan dirasakan kehadiran-Nya, tetapi tanpa harus sama dengan bumi ataupun berbilang. 38 2. Manusia Selain sebagai makhluk fisik, manusia juga makhluk spiritual yang ditiupkan roh Tuhan ke dalam dirinya, sehingga dibandingkan makhluk lain, manusia bisa menerima wahyu, ilham, meneruskan hidup setelah kematian, melakukan perenungan abstrak, dan mengetahui sesuatu yang ma’qūlāt. Dengan demikian, manusia menempati posisi yang unik antara alam semesta dan Tuhan yang memungkinkan ia bisa berkomunikasi dengan keduanya. Ia semacam 35 Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Manusia, dan Alam, h. 4-5 36 Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Manusia, dan Alam, h. 5 37 Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Manusia, dan Alam, h. 6 38 Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Manusia, dan Alam, h. 7 34 “astrolab” yang akan tersingkap ketersembunyian rahasia Tuhan dalam bentuk simbolis. Manusia adalah makhluk dua dimensi yang sempurna, dan di antara seluruh manusia, Muhammad SAW adalah contoh manusia sempurna. Selain itu, hanya manusia yang memiliki jiwa rasional (dibandingkan dengan hewan lainnya), sehingga ia mampu mengambil premis rasional yang berguna untuk membimbing, mengatur, dan menguasai daya dari jiwa yang lebih rendah. Atas beberapa keistimewaannya manusia disebut sebagai khalîfah. Dengan perannya sebagai khalîfah, manusia dikaruniakan kebebasan dan ilmu pengetahuan. 39 3. Alam Alam semesta dan makhluk hidup yang memiliki kemampuan untuk mencintai dan dicintai adalah ciptaan Allah. 40 Alam adalah tanda-tanda (āyāt) Allah, oleh karena itu alam semesta bukanlah realitas terakhir sebagaimana disangkakan para ilmuwan alam yang ateis dan sekular. Alam semesta diciptakan dengan tidak melalui keniscayaan sebagaimana dikatakan kelompok Neoplatonis, tetapi ia diciptakan melalui kehendak bebas-Nya dan terencana. Alam semesta tidak abadi sebagaimana disangkakan oleh Aristoteles, al-Fārābî, maupun Ibn Sînā. Alam dicipta dari tiada (creatio ex nihilo) seperti diasumsikan para teolog (mutakallimūn) dan didukung oleh teori fisikal astronomi modern seperti yang dikembangkan oleh Huble dengan teori big bang-nya. Sejak kejadian pada peristiwa big bang, alam semesta berkembang secara rentetan evolitif yang 39 Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Manusia, dan Alam, h. 12-14 40 Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Penerbit Erlangga. 2006), h. 273 35 perlahan. Dalam perkembangan yang perlahan ini, maka teori yang cocok menurut Mulyadhi adalah yang dikemukakan oleh Mullā Shadrā sebagai “gerak taran-substansial” (al-Harakah al-Jauhariyyah), yakni perubahan menuju ke arah lebih sempurna, bukan hanya pada level aksiden, tetapi juga substansial. Dan ini tercermin pada perubahan gas hidrogen menjadi kerak bumi yang keras di atas mana kita hidup. Gerak evolutif ini pun terjadi pada bumi atau yang biasa disebut “evolusi geologis”. Selain evolusi geologis ini, juga terjadi sebagai konsekuensi logisnya, evolusi pada tingkat biologis, sebagaimana yang dikemukakan Rumî, Miskawaih, dan Darwin 41 Alam semesta diatur melalui sunah Allah, bukan hukum alam (natural law). Sunnah Allah berbeda dengan hukum alam, sunah Allah mengizinkan kreatifitas sementara hal ini tidak terjadi pada hukum alam, apalagi hukum alam ala Newton yang mekanistik. Sunnah Allah adalah kebiasaan (al-Ghzzâlî menyebutnya adat) atau cara Allah dalam menyelenggarakan alam, sehingga kemungkinan mukjizat dapat mengambil tempat, tidak seperti hukum alam yang sangat sulit bagi mukjizat untuk mengambil tempatnya. Jika hukum alam mengandaikan sebuah aturan yang tidak mungkin dilanggar, maka dalam sunah atau adat pelanggaran kebiasaan bukan sebuah kemustahilan. Justru karena adanya pengecualian itulah adat menjadi adat, bukan sebuah aturan yang tidak bisa diubah. 42 4. Tasawuf 41 42 Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Manusia, dan Alam, h. 8-9 Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Manusia, dan Alam, h. 9 36 Pengaruh modernisasi begitu berarti setelah sains modern beserta teknologinya mengambil pandangan sekuler khususnya positivisme ala Comte sebagai dasar filosofisnya. Sehingga manusia modern dalam berbagai bentuknya naturalisme, materialisme, positivism mengalami krisis spiritual. 43Mereka menolak dunia nonfisik yang diyakini adanya oleh para sufi. Krisis spiritual pada gilirannya menimbulkan disorientasi yaitu dalam perspektif sufistik kehilangan arah mau ke mana bahkan asalnya dari mana. Sehingga hanya berkutat di satu dunia ini saja, seakan tidak punya asal dan tempat untuk kembali (disoriented). Ketika berinteraksi dengan alam sekitar, yang diperhatikan adalah aspek biofisik dan ekonomis, tidak memperhatikan aspek nonfisik (spiritual), akibatnya menimbulkan krisis ekologis yang mengganggu ekosistem alam sampai taraf mengkhawatirkan, ini hanya terjadi pada masa modern. 44 Tasawuf dalam pandangan Mulyadhi berpotensi untuk menyembuhkan penyakit manusia modern tersebut. Secara potensial maupun aktual, tasawuf dapat mengarahkan manusia modern yang telah kehilangan orientasi dan memberikan pengertian komprehensif tentang siapa manusia itu sesungguhnya. 45 Sedangkan krisis ekologis, tasawuf dapat mengajarkan bahwa alam bukanlah objek mati yang bisa dieksploitasi semaunya tanpa hormat, melainkan alam adalah makhluk hidup yang memiliki kemampuan mencintai dan dicintai, maka tasawuf bisa dijadikan sarana pencerahan hakikat alam semesta, sehingga manusia memperlakukannya secara santun dan penuh cinta. 46 43 Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 264 Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h 268 45 Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf , h. 172 46 Mulyadhi Kartanegara, Filsafat Islam, Etika, dan Tasawuf; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Ushul Press, cet. I. 2009), h. 132 44 BAB III PARADIGMA INTEGRASI AGAMA DAN SAINS A. Pengertian dan Tujuan Integrasi Agama dan Sains Membicarakan tentang integrasi agama dan sains berarti berupaya untuk memadukan antara sains dan agama untuk menciptakan format baru hubungan sains dan Islam dalam upaya membangun kembali sains Islam yang selama ini dipandang tidak ada. Agama dan sains berbeda dalam metodologi ketika keduanya mencoba untuk menjelaskan kebenaran. Metode agama umumnya bersifat subyektif, tergantung pada intuisi/pengalaman pribadi dan otoritas nabi/kitab suci. Sedangkan sains bersifat obyektif, yang lebih mengandalkan observasi dan interpretasi terhadap fenomena yang teramati dan dapat diverifikasi. 1 Islam adalah agama yang memerintahkan umatnya untuk menjadikan ajaran agama Islam dengan sumber utamanya sebagai rahmatan lil’alamin. Bagi komunitas Muslim, Islam adalah sebuah sistem agama, kebudayan, dan peradaban secara menyeluruh, ia merupakan sistem holistik yang menyentuh setiap aspek kehidupan manusia. Etika dan nilai-nilainya menyerap setiap aktivitas manusia, termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan. 2 Sedangkan yang terjadi pada intelektual spiritual Barat, menurut Hossein Nasr, itu disebabkan karena Barat telah menduniawikan 1 Iis Arifudin, Integrasi Sains dan Agama serta Implikasinya terhadap Pendidikan Islam, Volume 1, Nomor 1, Desember 2016/1438 2 Nasim Butt, Science and Muslim Society, diterjemahkan Masdar Hilmi: Sains dan masyarakat Islam, (Bandung:: Pustaka Hidayah, 1996), cet. Ke-1 h, 69 37 38 (mensekulerkan) pengetahuan dan kehilangan kontak dengan yang metafisik. Sehingga, tampak keduanya memposisikan paradigma yang berbeda. Salah satu implikasi di atas memunculkan banyak reaksi dari beberapa pihak, sains modern menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi kalangan pendidikan Islam, kemudian, hal ini menjadi isu yang besar: yakni dikotomi agama dan sains. Isu ini hanya akan berarti jika dipandang dalam konteks bangkitnya kesadaran di kalangan dunia Islam yang dihadapkan dengan sains modern. Yakni model pengkajian alam semesta yang dikembangkan oleh filosof dan Ilmuwan Barat sejak abad ke tujuh belas, termasuk seluruh aplikasi praktisnya di wilayah teknologi. 3 Istilah Islamisasi untuk pertama kali sangat populer ketika Konferensi Dunia yang pertama kali tentang Pendidikan Islam yang dilangsungkan di Makkah pada April 1977. Islamisasi adalah konsep pembebasan manusia dari tradisi-tradisi yang bersifat magnis-sekuler. Yang membelenggu pikiran dan prilakunya. 4 Islamisasi dalam pengertian ini meniscayakan pada pendestruksian terhadap kekuatan-kekuatan tradisi yang tidak mempunyai kerangka argumentasi yang jelas. Sedang Islamisasi dalam kontek sains adalah suatau upaya integrasi wawasan objek sains yang harus ditempuh sebagai awal proses integrasi kehidupan kaum Muslimin.5 Bagi al-Faruqi, pengintegrasian pengetahuan tersebut dilakukan dengan 3 Osman Bakar, “Tawhid and Science: Essays oon the history and philoshopy of Islamic Science, diterjemahkan oleh yuliani Liputo, Tauhid dan Sains: Essay tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994) cet. Ke-1 h.214 4 Mughal, Amien Rais, Cakrawala Islam: antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1990) , h. 867 5 A.M. Saefudin. Desakralisasi Pemikiran Landasan Islamisasi, (Bandung: Mizan, 1990), h. 86 39 cara memasukkan pengetahuan baru dengan warisan Islam dengan melakukan eliminasi, perubahan, reintrepetasi, dan penyesuaian terhadap komponen- komponennya sebagai pandangan Dunia Islam (Wolrdview Islam), serta menetapkan nilai-nilainya. Dengan demikian usaha integrasi ini, bagi umat Islam tidak perlu berbuat dari kerangka pengetahuan modern, dan mampu memanfaatkan khazanah Islam klasik dengan tidak harus mempertahankannya secara mutlak karena terdapat beberapa kecenderungan yang kurang relevan dengan perkembangan modern. Bagi Osman Bakar, integrasi sebagai usaha untuk menyediakan sebuah model alternatif bagi sains modern. Usaha ini dilangsungkan guna merumuskan kajian yang mencakup alam semesta, bersama aplikasi teknologinya yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam. 6 Beberapa prinsip dalam Islam di antaranya sebagai berikut : 1. Kajian tidak ditujukan kepada kepentingan praktis, tetapi didelegasi untuk tujuantujuan memahami eksistensi alam dan manusia. Dengan ini akan mampu menghantarkan umat pada peningkatan iman kepada Tuhan yang menciptakan ilmu sekaligus sebagai sumber ilmu tersebut. 2. Melepaskan ikatan-ikatan ilmu pengetahuan dari pengaruh sekulerisme. Desekulerisasi ini akan menghadirkan pada keniscayaan kebenaran religius secara diferensial. 6 Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays oon the history and philoshopy of Islamic science, h. 214-235 40 3. Semua sumber pengetahuan didasarkan pada sumber ayat-ayat al-qur’an di samping fenomena alam. 7 Dalam ketiga inilah terjadi hubungan simultan dan saling melengkapi (complentary), yang pada tahap selanjutnya membutuhkan pada susunan langkah-langkah praktis dalam usaha integrasi agama dan sains Dalam skala global, persoalan pokok yang dihadapi agama memang masalah sekulerisasi. Sekulerisasi itu menjelajahi kehidupan sosial dalam dua bentuk. Menurut Dr. Zubaedi M.Ag. M.pd. dalam bukunya Islam Benturan dan antar Peradaban, membagi dua masalah tersebut menjadi dua, yakni sekulerisasi obyektif dan sekulerisasi subyektif. Sekulerisasi obyektif bersifat konkret dan radikal, biasanya ditandai dengan pemisahan urusan/bidang agama ruhaniah dengan urusan/bidang material jasmaniah. Praktik ini mudah kita temukan dalam sejarah kehidupan masyarakat modern, terutama negara-negara Barat yang mempunyai pengalaman negatif soal hubungan agama (gereja) dengan keilmuan. 8 Adapun sekulerisasi subyektif bersifat halus, biasanya ditandai dengan perasaan atau keyakinan batin untuk tidak menghubungkan pegalaman pragmatis sehari-hari dengan pengalaman keagamaan. Ia cenderung membebaskan diri dari kontrol ataupun komitmen terhadap nilai-nilai agama. Begitu halusnya sampaisampai orang yang mempraktikannya kadang-kadang kurang menyadarinya. Barangkali pernah dalam sanubari kita bahwa saya makan untuk kenyang, bekerja untuk mencari uang, dan meraih prestasi atas dasar kemampuannya sendiri. 7 8 Mulyanto, “ Islamisasi Ilmu pengetahuan” , Ulumul Qur’an, no.9, vol. II/1991) , h. 58 Zubaedi. Islam Benturan dan Antar Peradaban, (Jogjakarta, AR-RUZZ MEDIA, 2007) cet.I hal 216 41 Semuanya steril dari campur tangan atau kepentingan Tuhan. Kalau keyakinan hanya sampai disitu, maka kita telah mengidap gejala sekulerisasi subyektif. James L. Peacock dan A. Thomas Kirsch, penulis buku The Human Direction, adalah ilmuan yang bependapat bahwa fenomena sekuleristik ini telah menjadi kecenderungan umum masyarakat modern. Menurut keduanya, masa depan manusia adalah sekuler dan transendentalisasi atau proses dimana Tuhan menjadi impersonal. Jika dilacak, munculnya kecenderungan masyarakat modern kearah sekuleristik dikondisikan oleh sains dan teknologi. Kontruksi Iptek modern yang kurang mengakomodasi dimensi religiutas bersumber dari paradigma yang diandalkan oleh para ilmuan modern dalam membangun pengetahuan yang bercorak rasionalistik, positivistik, dan pragmatis. Cara berpikir yang lebih mementingkan halhal rasional-material dan menafikan hal-hal spiritual metafisik ini secara tidak sadar telah mereduksi dimensi kemanusiaan yang secara fitrah tidak bisa lepas dari hal-hal mistis spiritualis. Salah satu dampaknya, umat menjadi terperangkap pada jaringan sistem rasionalitas ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang humanis. Jika sudah demikian, manusia modern akan mengalami kekosongan dalam landasasn moral dan kurang mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dalam aspek nilai-nilai Ilahiyah (Transenden). 9 Pengalaman masyarakat Barat setidak-tidaknya telah memberikan pelajaran berharga akan hal ini. Masyarakat yang kini memasuki Era Post-Industrial Society dengan meraih kemakmuran material melimpah berkat perangkat teknologi yang 9 Zubaedy. Islam Benturan dan Antar Peradaban hal 217 42 serba mekanis dan otomatis bukannya semakin mendekati kebahagiaan hidup, namun, justru menghadapi berbagai kecemasan hidup dan rendahnya rasa kebermaknaan hidup. Mereka merasa cukup dengan berbagai kemudahan hidup yang dihasilkan iptek modern, sementara itu pemikiran dan paham keagamaan yang bersumber dari ajaran wahyu kian ditinggalkan. Akibatnya, kehidupan keagamaannya meluncur pada post-Cristian Era dengan mengembangkan pola hidup sekulerisasi. Mereka berpaling dari “dunia sana” dan hanya memusatkan pada “disini dan sekarang ini”. Karena mereka memuja kemakmuran material yang disimbolkan dengan penguasaan uang, maka agama paling dominan dalam kehidupannya diistilahkan dengan The Religion of Money.10 Kita menyadari fenomena keberagamaan sebagian pemeluk Islam belum mencerminkan idealitas sebagaimana yang dituntut oleh ajaran Islam. Nilai-nilai Islam belum berfungsi sepenuhnya sebagai sumber nilai yang menjadi tolak ukur dan rujukan dalam menilai baik-buruk sebuah perbuatan. Yang sering terjadi, umat Islam mengeksploitasi ajarannya demi memuluskan kepentingan pribadi maupun golongannya sendiri. Islam diidentikkan dalam sebuah simbol, slogan, dan aliran pemahaman keislaman tertentu yang cenderung membelah kehidupan sosial umat Islam dalam retakan-retakan sosial dan cenderung menempatkan pemeluk Islam diluar kelompok atau organisasinya sebagai saingan dan musuh. Jika gejala ini berkembang, sudah pasti makna Islam yang seharusnya menjadi rahmatal lil’alamin dan pemersatu umat menjadi tereduksi. 10 Zubaedy. Islam Benturan dan Antar Peradaban hal 218 43 B. Langkah-Langkah Integrasi Agama dan Sains Ketika mengeluarkan suatu ide besar yang dikemukakan oleh para intelektual atau ilmuwan pasti ada suatu cara maupun langkah-langkah yang harus dilakukan agar tercapai suatu hal yang diinginkan. Dengan begitu penulis mengambil salah satu langkah dari tokoh yang memiliki konsep tentang integrasi. Ismail Raji Al-faruqi sebagai tokoh pemabaharu Islam yang membahas tentang integrasi agama dan sains memberikan suatu langkah-langkah yang sistematis untuk mencapai ide tersebut, diantaranya 11: 1. Penguasaan Disiplin Ilmu Modern : Penguraian Kategoris mengenai disiplin-disiplin ilmu dalam kemajuannya di zaman sekarang harus dipecah menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema, dan tema-tema yang mencerminkan daftar isi dalam sebuah buku teks (pelajaran) dalam bidang metodologi disiplin ilmu yang bersangkutan 2. Survei Disiplin Ilmu : Apabila kategori-kategori disiplin ilmu telah dipilahpilah, maka suatu survei secara menyeluruh harus ditulis untuk setiap disiplin ilmu, seperti mengenai asal-usul dan perkembangannya serta pertumbuhan metodologinya, perluasan cakrawala wawasannya, sumbangan-sumbangan pemikiran yangberikan oleh para tokoh utama, memberikan bibliografi dengan singkat, dan mencantumkan 11 Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 1984), h.98-118 44 karya-karya tepenting. Langkah-langkah ini diperlukan bagi para sarjana-sarjana Muslim agar mampu menguasai setiap disiplin ilmu modern 3. Penguasaan Khasanah Islam: Sebuah Antologi di langkah yang ketiga ini, sebelum kita mengetahui secara jauh ilmu-ilmu pengetahuan modern diperlukan penguasaan ilmu-ilmu ilmiah warisan para ilmuwan Islam dari nenek moyang kita. Hal itu diperlukan karena sebagai titik awal usaha yang dilakukan untuk mengIslamkan ilmu-ilmu modern. 4. Penguasaan Khasanah Ilmiah Islam Tahap Analisa apabila antalogi- antalogi sudah disiapkan dengan baik, maka langkah selanjutnya yang harus diambil untuk memahami warisan ilmu-ilmu Islam adalah melakukan suatu analisa sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang dihadapi masa kini atau sesuai dengan perspektif dari masing-masing bidang keilmuan 5. Penentuan Relevansi Islam yang Khas Terhadap Disiplin-disiplin Ilmu ari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh para pemikir Islam terdahulu, secara bersamaan telah memfokuskan permasalahan pada perkembangan ilmu pengetahuan yang dikaitkan dengan khasanah keIslaman. Maka dari itu, relevansi khasanah Islam menurut Al-Faruqi bisa dilakukan dengan mengajukan tiga persoalan, yaitu: a. Apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari alquran hingga ke pemikiran-pemikiran kaum modernis masa kini kepada seluruh permasalahan yang telah dicakup oleh disiplin ilmu modern? b. Seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu Barat tersebut, atau sampai dimanakah 45 tingkat pemenuhan, kekurangan serta kelebihan khasanah Islam itu dibandingkan dengan wawasan dan ruang lingkup disiplin ilmu Barat modern tersebut c. Apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau bahkan tidak diperhatikan sama sekali oleh warisan ilmu-ilmu Islam, ke arah manakah kaum Muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, kemudian merumuskan kembali permasalahanpermasalahan yang dihadapi dan memperluas visi disiplin ilmu tersebut 6. Penilaian Kritis Terhadap Ilmu Modern: Tingkat perkembangan dan masa kini Setelah menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh ilmu modern dan ilmu-ilmu warisan Islam mulai dari metodologi, prinsip, tema, permasalahan dan hasil-hasil yang telah dicapai harus diidentifikasi, disurvei dan di analisa, dan setelah relevansi Islam telah dijelaskan dan ditegaskan. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah memberikan suatu penilaian (baik dalam hal perbaikan, penabahan, perubahan atau ada suatu yang dihapus) terhadap disiplin ilmu serta memberikan suatu analisa yang mendalam dilihat dari sudut pandang Islam. C. Faktor Penghambat dan Pendukung Integrasi Agama dan Sains Usaha-usaha yang dilakukan para pakar ilmuwan Muslim dengan berbagai upaya yang dilakukan menghasilkan berbagai gagasan yang terkonsentrasikan pada 46 usaha integrasi agama dan sains. Berbagai macam faktor pendukung diupayakan pengamatan dan penelitian tentang berbagai faktor yang ditimbulkan seiring dengan semakin pesatnya kemajuan peradaban Barat. Makin banyak saja orang yang yakin bahwa apa yang disebut sebagai peradaban modern, yang di dalamnya kita hidup sekarang ini, sedang berada dalam krisis. Padahal, berbicara tentang peradaban modern adalah berbicara tentang sains modern dan penerapannya. Memang, kedengarannya agak berlebihan, tapi dalam kenyataannya sains modern bisa menerangkan berbagai persoalan modern tepatnya krisis global masa kini. Tentang alienasi individual, rusaknya lingkungan manusia, dan sebagainya. Masalah-masalah inilah bersama masalah-masalah lain yang saling mempengaruhi dan terakumulasi dalam apa yang sekarang sering disebut krisis global. Dan jika disebut peradaban modern, itu artinya bagian terbesar dari negaranegara di dunia; karena hampir seluruh Negara kecil atau besar dengan sadar atau terpaksa sedang atau telah berjalan ke arahnya. Dengarlah Gregory Bateson: 12 “Sudah jelas bagi banyak orang bahwa banyak bahaya mengerikan telah tumbuh dari kekeliruan-kekeliruan epistimologi Barat. Mulai insektisida sampai polusi, malapetaka atomik, ataupun kemungkinan mencairnya topi es antariksa. Di atas segalanya, dorongan fantastik kita untuk menyelamatkan kehidupan-kehidupan perorangan telah menciptakan kemungkinan bahaya kelaparan dunia di masan mendatang.” 12 Syed M. Naquib Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, h.38 47 Kalau krisis-krisis ini didaftar secara lebih terinci, maka akan didapatkan daftar yang amat panjang. Contoh pertama dan mungkin yang terbesar adalah krisis lingkungan. Ekosistem alam kita berada dalam keadaan yang amat labil. Karena terlalu banyaknya campur tangan manusia di dalamnya, baik direncanakan maupun tidak. Efek rumah kaca akibat banyaknya gas karbondioksida hasil pembakaran bahan bakar fosil tidak hanya mengancam sebagian dunia, tapi seluruh dunia. Ancaman lain adalah menipisnya lapisan ozon atmosfer karena gas-gas yang dilepaskan pada penggunaan penyegar, misalnya “ deodoran” dan “ aerosol”. Meskipun jumlahnya kecil, hanya seperjuta bagian, ozon sangat penting untuk melindungi kehidupan dari serangan sinar ultraviolet sinar matahari. Berkurangnya ozon bisa mengakibatkan bencana bagi kesehatan manusia maupun makhluk lainnya. Ada perkiraan yang menyebutkan bahwa pengurangan ozon akan mencapai tiga persen pada tahun 2000, dan lebih dari sepuluh persen pada tahun 2050. pada 1986 telah ditemukan lubang ozon di atmosfer di atas antartika yang ternyata meluasnya lebih cepat dari dugaan semula. Lalu, atmosfer di Eropa saat ini mendapat tambahan sulfur satu gram lebih tiap satu meter persegi sebagai polusi udara. Ini bisa mengakibatkan hujan asam yang merusakkan hutan-hutan dan perairan. Tanah-tanah produktif di Dunia Ketiga berubah menjadi gurun dengan kecepatan yang mencengankan. Setiap tahunnya, enam juta hektar tanah produktif berubah menjadi gurun. Tiga dasawarsa mendatang berarti gurun telah bertambah seluas Saudi Arabia. Keadaan ini tidak mendukung tata kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islam. 13 13 Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, (Pustaka Salman), 1987, h. 88 48 Kemudian secara rinci Mujammil Qomar mengatakan bahwa yang diakibatkan oleh dikotomi agama dan sains menyebabkan : 1. Kegagalan merumuskan Tauhid dan bertauhid 2. Lahirnya syirik yang berakibat adanya dikotomi fikrah Islam. 3. Adanya dikotomi kurikulum 4. Terjadinya dikotomi dalam proses pencapaian tujuan pendidikan 5. Adanya dikotomi lulusan pendidikan dalam bentuk split personality ganda dalam arti kemuyrikan, kemunafikan, kemunafikan yang melembaga dalam sistem keyakinan, sistem pemikiran , sikap, cita-cita dan perilaku yang disebut sekulerisme. 6. Rusaknya sistem pengelolaan lembaga pendidikan 7. Lembaga pendidikan melahirkan manusia yang berkepribadian ganda, yang justru menimbulkan dan memperkokoh sistem kehidupan umat yang sekuleristik, rasionalistik-empiristik-intuitif dan materealistik. 8. Lahirnya peradaban Barat sekuler yang dipoles dengan nama Islam. 9. Lahirnya Da’i yang berusaha merealisasikan Islam dalam bentuknya yang memisahkan kehidupan sosial politik-ekonomi ilmu pengetahuan, teknologi dengan ajaran Islam, agama urusan dan berkaitan dengan akhirat dan ilmu-ilmu teknologi untuk urusan 49 dunia. 14 Demikian bahaya yang selalu mengancam dan terisolir kandasnya integrasi agama dan sains sebagai upaya pendidikan dalam membebaskan kekuatan pendidikan dominasi Barat yang mengancam kelangsungan hidup umat manusia. Akibat-akibat yang harus disadari adalah dengan penerapan pendidikan yang dikotomik itu pihak yang mengalami kerusakan atau kerugian bukan sekedar sistem dan lembaga pendidikan Islam saja, melainkan juga merugikan alumni pendidikan Islam, peradaban Islam, dan suasana kehidupan umat. Semua komponen ini tertimpa penderitaan yang berkepanjangan. 14 Amrullah Ahmad, Kerangka dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam”, dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara cita dan fakta, ( Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991), hal. 94 BAB IV KONSEP INTEGRASI AGAMA DAN SAINS MENURUT SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS DAN MULYADHI KARTANEGARA A. Muhammad Naquib Al-Attas 1. Konsep Integrasi Agama dan Sains Membandingkan antara Islam dengan filsafat dan ilmu pengetahuan kontemporer, sebagaimana yang disadari oleh al-Attas terdapat persamaan khususnya dalam hal-hal yang menyangkut sumber dan metode, kesatuan cara mengetahui secara nalar dan empiris, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagai filsafat sains; proses dan filsafat sains. Al-Attas menegaskan bahwa terdapat sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldviews).1 Wolrdview Islam merupakan pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang bukan hanya tampak oleh mata tapi juga hati kita yang mampu menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total baik yang fisik atau metafisik maka wolrdview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru‟yat al-Islam lil-wujud).2 1 Syed Muhammad Naquib al-Attas Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995), cet. Ke-1, h.189 2 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Methaphisics of Islam and Exposition of Fundamental Elements of the Worldview of Islam ( Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), h. 2 50 51 Terdapat perbedaan yang sangat fundamental yang tidak mungkin dikompromikan antara pandangan Islam dan Barat. Worldview Islam tidak berdasarkan dikotomis seperti obyektif-subyektif, historis-normatif, tekstualkontekstual. Akan tetapi, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode tauhidi di mana terdapat kesatuan antara kaedah empiris, rasional, deduktif dan induktif, sebagaiman para sarjana pada masa silam menggunakan berbagai metode dalam penyelidikan mereka. Realitas dan kebenaran dalam konsep Islam bukan semata-mata fikiran tentang alam inderawi dan peranan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada dalam konsep Barat sekuler mengenai dunia yang hanya menaruh perhatian terhadap dunia empiris saja. Tetapi lebih dari itu, memaknai realitas dan kebenaran berdasarkan kajian metafisis terhadap dunia yang empiris dan non empiris. Dengan demikian, wolrdview Islam mencakup dunia akhirat, yang mana aspek dunia tidak boleh terpisah dan harus dikorelasikan dengan cara yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, dengan keyakinan bahwa aspek akhirat merupakan yang terakhir dan final. Worldview Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi keimanan dan pengamalan ibadahnya, doktrinnya serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW . Permasalahan yang sangat krusial umat Islam adalah bagaimana menemukan kembali konsep dasar Islam dalam menghadapi sains yang sekuleristik menjadi Islami. 52 Naquib al-Attas beranggapan bahwa solusi dari permasalahan yang kita (Umat Islam) hadapi adalah dengan konsep integrasi agama dan sains yaitu Islamisasi. Menurut al-Attas, pada awalnya sains ada pada bentuknya yang Islam. Namun seiring dengan perkembangan zaman, bentuk fithrah sains sedidit demi sedikit berubah. Perubahan itu terjadi bersamaan dengan proses sekulerisasi masyarakat yang terjadi di Eropa yang beberapa Tahun kemudian diekspor kedunia Islam. Definisi sekulerisasi yang menurut Naquib al-Attas paling sesuai adalah definisi yang diberikan oleh seorang teolog Belanda, Coernelius Van Peursen yang pernah menjabat Ketua Jurusan Filsafat di Universitas Leiden. Van peursen mendefinisikan sekulerisasi sebagai Pembebasan seseorang, pertama dari kontrol religius dan kemudian metafisis, terhadap pemikiran dan bahasanya.3 Berarti menurut Van peursen ada dua aspek yang sangat penting dalam isu sekulerisasi ini : pemikiran dan bahasa, tentu kita dapat mengerti aspek sekulerisasi pemikiran karena seseorang melakukan segala sesuatunya sesuai dengan pemikirannya. Berarti, jika pemikirannya sudah sekuler, pandangan-hidupnya juga akan sekuler. Jika ia sudah sampai pada tigkat ini, maka ia akan berpendapat bahwa dirinya adalah segalanya, dan tidak ada otoritas yang lebih tinggi lagi adri dirinya. Dengan demikian, amal-amalnya pun akan dikerjakan sesuai dengan hatinya sendiri. Inilah proses pergantian fokus dari tuhan kepada manusia seperti yang telah termaktub dalam inti filsafat Humanisme.4 3 4 Syed. Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Sekulerisme, h. 17 Ismail Fajrie Alatas, Konsep Ilmu dalam Islam, (jakarta Diwani Publissing 2006), h. 278 53 Setelah membahas pemikiran kemudian dari segi bahasa menurut isu sekulerisasi yang berkembang. Bahasa adalah sebuah fenomena kultural dimana bahasa terbentuk berdasarkan pengalaman historis dan kultural sebuah bangsa,. Karena adanya perbedaan pengalaman antara satu bangsa dengan bangsa yang lainnya, maka bahasanya pun juga banyak berbeda. Yang dimaksud perbedaan di sini adalah dari segi semantik, sehingga banyak kita jumpai konsep-konsep serta terminologi yang terdapat disatu bahasa, namun tidak terdapat bahasa yang lain. Salah satu contoh adalah kesulitan yang dihadapi oleh para penerjemah bahasa Arab menuju Bahasa Inggris. Bahasa Arab adalah bahasa yang sangat metafisis akibat keberadaan al-Qur‟an, sedangkan bahasa Inggris telah berubah menjadi bahasa yang sangat teknis, mekanis dan anti-metafisis. Oleh karena itu banyak kata-kata kunci dari bahasa Arab yang tidak dapat diterjemahkan kedalam bahasa inggris karena ketiadaan konsep yang sama. Salah satu contoh yang paling konkret adalah kata qalb, fu‟ad dan lubb. Seseorang yang akan menerjemahkan kata ini kedalam bahasa Inggris akan sangat kesulitan untuk melakukannya karena ketiadaan perbedaan antara terminologi tersebut. Kata yang dapat mendeskripsikan ketiganya hanyalah heart atau hati. Sedangkan dalam bahasa Arab, ketiga terminolog itu mendeskripkan tingkatan hati yang berbeda-beda. Namun karena ketiadaan terminologi yang sama dalam bahasa Inggris, maka ketiga kata tersebut hanya dapat diterjemahkan dengan satu kata: heart. Akibat dari ketidak tepatan penerjemahan, maka pemahaman seseorang akan suatu hal juga akan tidak tepat. “ Atas dasar inilah, Al-Attas mendefinisikan sebagai : “ Pembebasan manusia dari tradsi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang 54 bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasanya “ juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, menjadi bodoh akan tujuan yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya, sehingga perlu suatu proses menuju bentuk asalnya ( Fithrah) yang tidak sekuat proses evolusi dan devolusi.5 Dalam definisi di atas, terdapat dua aspek yang perlu diungkapkan lebih lanjut. Pada tingkat individu, konsekuensi dari integrasi adalah pengakuan terhadap Nabi Muhammad sebagai pemimpin dan pribadi teladan bagi pria maupun wanita baik pada tingkat kolektif, sosial dan historis.6 Pengakuan terhadap derajat dari tingkat Nabi Muhammad yang begitu tinggi, akan diresapinya dan dipikirkannya, sehingga tidak akan mungkin terlontar dari lisannya bahwa “Nabi Muhammad adalah manusia biasa”. Seseorang yang terdidik secara Islami tidak akan berani melontarkan kata-kata yang seperti ini. Sebaliknya, dengan penuh kerendahan hati dan diri, dia akan mengakui ketinggian posisi Nabi yang juga telah diakui oleh Allah Swt. Pada saat pengakuan itu sudah terpatri, maka dengan sendirinya, pribadi dan kehidupan Nabi Muhammad akan menjadi simbol dan realisasi kesempurnaan 5 6 Syed. Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Sekulerism, h. 45 Syed. Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan sekulerisme, h. 47 55 moralitas dan etika.7 Dengan demikian ia akan menyontoh kesempurnaan tersebut, dalam upayanya untuk menyempurnakan dirinya sendiri. Pengertian integrasi pada tingkat individu ini, sangat berhubungan dengan konsep adab. Al-Attas beranggapan bahwa dilema yang dihadapi umat Islam telah membentuk lingkaran setan yang didahului dengan sekulerisasi sains.8 2. Landasan Integrasi Agama dan Sains Integrasi agama dan sains adalah kerja-kerja kognitif dan spiritual yang terjadi secara bersamaan tanpa ada celah waktu. Sebelum “memisahkan “dan “mengeluarkan” ide-ide dan konsep-konsep yang tidak Islami, seseorang pertamatama harus mampu mengidentifikasikan semua itu dan memiliki pemahaman yang mendalam mengenai pandangan dunia Islam berikut semua elemen dan konsep kuncinya.9 Proses ini menurut Al-Attas senada dengan kalimat lā Ilāha Illallāllah (Tiada Tuhan Selain Allah) yang berisi dua klaus yang tersambung dalam satu kalimat. Klaus yang pertama lā Ilāha (Tiada Tuhan) adalah sebuah penolakan dari konsep-konsep serta elemen ketuhanan yang ada dialam semesta ini. Sedangkan klaus yang kedua Illallāllah (Selain Allah) adalah afirmasi bahwa Allah adalah satusatunya Tuhan yang ada dan yang diakui. Kedua aksi ini, penolakan dan afirmasi 7 Syed. Muhammad Naquib al-Attas ,Islam dan sekulerisme , h. 45 Syed. Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam 9 Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib Al-Attas, h 339 8 56 terjadi secara simultan sehingga tidak terdapat celah yang kosong antara kedua aksi tersebut. Dengan demikian, integrasi agama dan sains juga bekerja secara simultan. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, integrasi yang digagas oleh Al-Attas ini bisa dikatakan sebagai dekonstruksi atas sekularisasi dan melanjtukannya dengan melakukan rekonstruksi dengan cara meletakkan pondasi ontologi yang kokoh yang didasarkan atas prinsip kesatuan tauhid, yaitu bahwa semua pengetahuan berasal dari Allah. Dari prinsip ini secara aksiologis diletakkan nilai-nilai moralitas adab, kemudian secara epistemologis dimulai denga bahasa, dibangun kerangka keilmuwan dengan cara mengintegrasikan semua sumber pengetahuan yang berasal dari wahyu, intuisi, rasio, maupun empiri.10 Setelah mengetaui secara mendalam mengenai pandangan hidup Islam dan Barat serta konsep dan landasan integrasi agama dan sains, maka proses integrasi baru bisa dilaksanakan. 3. Metodologi Integrasi Agama dan Sains Metodologi Al-Attas dalam integrasi agama dan sains itu melalui tahap pengklasifikasian yang tidak terlepas dari tiga unsur: ketidak terbatasan sains, kemuliaan tanggung jawab untuk mencarinya, dan keterbatasan hidup manusia. 10 Arqom Kuswanjono, Integrasi Ilmu Perspektif Mullā Shadrā, (Yogyakarta: Kahfi Offset, 2010), h.74 57 Klasifikasi ini terbagi kedalam beberapa kategori umum bergantung pada berbagai pertimbangan. Dalam hal ini al-Attas mengklasifikasikan berdasarkan caracara untuk mempelajarinya terbagi menjadi 2 (dua), yaitu ilmu Iluminasi (Ma‟rîfah) dan ilmu sains (ilmu Pengetahuan). Pengklasifikasian ini dilakukan untuk mewujudkan keadilan dalam menempatkan dua kubu yang berbeda, yaitu kubu si pengenal dan kubu yang dikenal atau antara subyek dan obyek.11 Iluminasi (Ma‟rîfah) adalah ilmu yang diberkan Allah. Sebagai karunia-Nya kepada insan. Ilmu ini diperoleh oleh insan yang melakukan amal ibadah serta kesucian hidupnya yakni dengan keihsanannya beribadah kepada Allah. Berdasarkan ilmu yang benar.12 Manusia menerima ilmu ini melalui dzāuq dan kasf. Dzāuq yaitu pandangan batin atau rasa ruhani yang dialami secara langsung. Sedangkan kasf yaitu penyingkapan hijab yang menyelubungi alam hakiki kandungan ilmu ini dengan sekejap alam ruhani dapat dilihat oleh penglihatan ruhani. Iluminasi ini merupakan yang paling valid dan paling tinggi, yaitu wahyu yang diterima oleh Nabi kemudian diikuti intuisi orang-orang bijak, para wali, dan ilmuwan. Ilmu iluminasi hanya terjadi pada makhluk hidup yang melibatkan orang yang ingin mengetahui (Knower) dan sesuatu yang hendak diketahui (known) melalui perkataan ataupun cara-cara lain yang bisa dipahami dengan jelas, setelah terlebih dahulu ada rasa saling mngenal dan memercayai diantara keduanya dan keinginan 11 A. Sony Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu pengetahuan: sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), cet, ke-1 h. 19 12 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, h. 80 58 untuk dipahami oleh diri yang ingin berbagi rahasia-rahasia dan kondisi batinnya. Jika benar-benar ingin mendekatkan diri pada objek ilmunya, dia dengan sendirinya mengharuskan orang yang ingin mengetahui itu mengenal dan mengakui sesuatu yang ingin diketahuinya dengan cara yang tepat, sesuai dengan personalitas dan tingkat yang ingin diketahuinya. Objek iluminasi bersifat non-fisik. Ilmu ini merupakan konsumsi bagi jiwa manusia. Dalam konteks Nabi Muhammad sebagaimana yang disinggung di atas, ilmu ini diberikan dalam bentuk al-Qur‟an, yang kemudian dipahami dan diamalkan oleh Nabi sebagai sunnah. Dalam perspektif hukum al-Qur‟an dan sunnah ini disebut dengan syari‟at, sedangkan dalam perspektif spiritualitas disebut dengan ilmu Ladunni dan Hikmāh. Oleh sebab itu, ilmu iluminasi yang diperoleh Nabi merupakan ilmu tertinggi dan selalu menjadi referensi dan petunjuk dalam semua formulasi sains dan aktivitas umat. Sains adalah ilmu yang diperoleh oleh insan berdasarkan daya usaha akliyahnya sendiri yang berasal dari pengalaman hiidup, penelitian, dan pegkajian indera jasmani terhadap obyek-obyek yang bersifat materi.13 Pengamatan indera terhadap objek-objek tersebut tentu saja tidak cukup untuk memberi atau menerapkan objek-objek fisik itu sebagaimana adanya, karena sering terjadi bahwa informasi yang ditangkap oleh pengamatan indera konvensional adalah keliru. Misalnya suara gemuruh dari halilintar yang kita dengar belum tentu terjadi pada saat kita 13 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat sains,., h.78 59 mendengarnya. Dengan demikian diperlukan cara-cara tertentu untuk membuat pengalaman inderawi menjadi obyektif. Karena kebutuhan yang semacam inilah yang pertama kali metode observasi inderawi. Metode ini adalah yang paling sering dipakai oleh pengetahuan jenis apapun.14 Beberapa langkah bisa ditempuh untuk menyempurnakan pengamatan inderawi, yaitu: Pertama, pengukuran (Measurement) adalah cara yang efektif untuk menentukan ukuran yang lebih akurat tentang sebuah jarak atau besarnya objek. Kedua, menggunakan alat bantu, seperti mikroskop, teleskop, dan sebagainya. Ketiga, mengadakan eksperimen-eksperimen (tajrîbat) tentang hal-hal yang belum jelas oleh pengamatan inderwi. Misalnya eksperimen yang dilakukan oleh al-Biruni untuk mengukur keliling bumi cukup mengesankan dengan memanfaatkan rumusrumus trigonometri, dia memperoleh nilai keliling bumi yang sangat akurat bahkan dibandingkan dengan ukuran modern. Tetapi, betapapun canggihnya metode pengamatan indrwai yang kita miliki, pengamatan indra tetap saja tidak memadai, karena sehebat-hebatnya pengamatan indra, ia tidak akan mampu menembus objek-objek non fisik karena sifatnya yang indrawi. Padahal objek-objek non-indrawi tersebut tidak sedikit. Disinilah keterlibatan ilmu iluminasi dengan sains, untuk menutupi kelemahan-kelemahan sains tersebut. 14 Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2005), cet. Ke- 1, h.97 60 Sains bersifat empiris dan pencapaiannya menempuh jalan-jalan yang betingkat-tingkat ilmu pegetahuan sebagai sifat Allah swt. Yang Maha Qadim adalah tidak terbatas. Namun sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa keterlibatan ilmu pengetahuan, kemudian tanggung jawab untuk mencarinya, dan keterbatasan hidup manusia. Dengan demikian, konsekuensi logisnya kemudian adalah manusia harus membatasi keinginanya dalam mencari ilmu pengetahuan. Dapat dikatakan bahwa tidak mungkin (mustahil) bagi manusia untuk menguasai seluruh ilmu pengetahuan yang setiap saat terus berubah dan berkembang. Walaupun demikian, al-Attas mengajak umat Islam untuk tidak boleh tertinggal dari bangsa lain, oleh karenanya umat Islam harus mampu membangun dan mengatur sistem pendidikan yang mampu mengakomodir ilmu-ilmu pengetahuan yang diperlukan. Kemudian jika ditinjau dari aspek kewajiban manusia mempelajarinya, ilmu dikalsifikasilan menjadi Fardhu „Ain dan Fardhū Kifayāh.15 Ilmu iluminasi (Ma‟rifāt ) merupakan ilmu Fardhu „Ain, artinya ilmu yang harus dipelajari oleh setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, maka setiap individu akan menanggung beban apabila meninggalkan kewajiban ini.16 Sedangkan ilmu pengetahuan merupakan ilmu Fardhū Kifayāh. Maksudnya yaitu ilmu pengetahuan yang hanya wajib diketahui dan dipelajari oleh beberapa orang saja, maka apabila 15 h. 270 16 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al- Attas.h.157 61 sebagian atau beberapa orang menunaikan kewajiban itu, gugurlah kewajiban bagi yang lain. Konsep ilmu Fardhū „Ain dan Fardhū Kifayāh harus dipahami secara lebih mendalam, agar tidak keliru dalam tatarn praktis. Konsep al-Attas tentang itu jangan dipahami bahwa Al-Attas telah membangun dinding yang membatasi umat Islam dalam mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena seperti yang diungkapkan di atas bahwa ilmu pengetahuan memiliki batasan-batasan yang berbeda-beda. Akan tetapi, justru pandangan seperti itu akan sangat membantu dalam mengarahkan pendidikan untuk lebih jujur, praktis, dan lebih bermakna bagi orang yang sedang menjalaninya. Jadi, pendapat yang mengatakan bahwa ilmu itu tidak perlu dipisah-pisahkan 17 tidaklah tepat. Untuk lebih mudah memahami konsep fardhū „ain dan fardhū kifayah dalam konsep al-Attas, berikut akan diuraikan secara lebih terperinci: 1. Fardhū „Ain Al-Attas menyatakan bahwa fardhu „ain bukanlah kumpulan ilmu yang kaku dan tertutup.18 Ruang lingkup fardhu „ain sangat luas sesuai dengan tanggung jawab spiritual, sosial, dan profesionalisme seseorang.19 Dengan demikian, karena 17 Abd. Rachman Assegaf, Membangun Format Pendidikan Islam di Era Globalisasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), cet. Ke-1, h. 18 18 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, h.273 19 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib alAttas., h. 276 62 Islam mewajibkan mencari ilmu tingkat tinggi, maka fasilitas untuk mencapainya merupakan sesuatu yang diisyaratkan. Oleh sebabitu, seorang Muslim diwajibkan menguasai ilmu-ilmu yang membantu memperoleh ilmu-ilmu yang lebih tinggi tersebut, seperti ilmu keterampilan membaca, menulis dan menghitung. Adapun ilmu-ilmu yang termasuk dalam kategori fardhu „ain adalah ilmuilmu agama yaitu sebagai berikut: a) Al-Quran; pembacaan dan penafsiran (Tafsîr dan Ta‟wîl ) b) As-Sunnah; kehidupan Nabi, sejarah dan pesan-pesan para Rasul sebelumnya, hadis dan riwayat-riwayat otoritasnya. c) Asy-Syari‟ah; undang-undang hukum, prinsip-prinsip, dan praktek-praktek Islam (Islām, Imān, dan Ihsān). d) Teologi; Tuhan, esensi-Nya, sifat-sifat dan nama-nama-Nya serta tindakan-tindakan-Nya (at-Tauhîd).20 Perlu ditekankan kembali disini karena kategorisasi fardhu „ain bukanlah suatu hal yang statis. Oleh karena itu, dalam proses pendidikan ia harus dipelajari harus mempertimbangkan keadaan peserta didik, tidak mesti diketahui dalam waktu yang sama. Akan tetapi untuk memudahkan dapat dilakukan dengan cara bertahap (gradual). Di samping itu, ilmu fardhu „ain bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan kemapuan intelektual dan spiritual seseorang serta keadaan masyarakatnya. 20 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib alAttas., h. 277 63 2. Fardhū Kifayah Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa ilmu fardhu kifayah tidak diwajibkan kepada setiap indvidu Muslim untuk mempelajarinya. Kewajiban itu gugur apabila telah ada sebagian atau beberapa orang telah memnuhi kewajiban tersebut. Namun, tidak ada di antara umat Islam yang memnuhi kewajiban itu, maka seluruh umat Islam harus turut bertanggng jawab dan menanggung resiko atas segala kesuatu yang ditimbulkannya. Sudah tentu kategorisasi ini sangat urgen karena akan memberikan landasan teoritis dan motivasi keagamaan kepada umat Islam untuk mempelajarinya dan mengembangkan segala ilmu ataupun teknologi yang diperlukan untuk kemakmuran umat Islam. Al-Attas mengklasifikasikan ilmu fardhu kifayah manjadi:21 a. Ilmu-ilmu kemanusiaan, b. Ilmu-ilmu alam, c. Ilmu-ilmu terapan, d. Ilmu-ilmu teknologi, e. Perbandingan agama, f. Kebudayaan dan peradaban Barat, g. Ilmu-ilmu linguistik h. Sejarah Islam, 21 Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 90-91 64 Dari klasifikasi ilmu fardhu kifayah di atas, al-Attas tidaklah bermaksud untuk membatasi cakupan ilmu pengetahuan yang harus dipelajari dan dikuasi oleh umat Islam. Karena seperti yang diungkapkan oleh Al-Attas bahwa semua ilmu datang dari Allah,22 yang tidak terhitung jumlahnya. Di samping itu, sebagaiaman halnya ilmu fardhu „ain bersifat dinamis, sudah barang tentu ilmu fardhu kifayah juga bahkan lebih bersifat dinamis, yang terus mengalami perkembangan seiring dengan perubahan kebutuhan masyarakat dan tuntutan zaman. Menurut al-Attas, ilmu datang dari Tuhan yang kemudian ditafsirkan oleh kekuatan fakultas-fakultas manusia, sehingga pengetahuan yang dimiliki manusia adalah tafsiran terhadap pengetahuan dari Tuhan. Dengan konsep ini, dari sisi sumbernya, pengetahuan adalah masuknya makna sesuatu dari Tuhan kedalam jiwa manusia; sebaliknya dari sisi subyek manusianya, pengetahuan adalah sampainya jiwa pada makna sesuatu obyek pengetahuan.23 Dengan pemaknaan yang demikian, bagi al-Attas, objek pengetahuan bukan hanya objek materil tetapi juga non-materil, atau makna dari realitas objek. Artinya, subjek (manusia) yang memegang peranan yang lebih penting dalam menentukan apa yang ada pada objek. Makna objek ada dalam persepsi manusia bukan dalam diri objek.24 Konsep ini tentu sangat kontradiksi dengan epistemologi Barat yang positivistik, materialistik, dan empiris. Dunia Barat meyakini bahwa makna 22 Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 42 23 Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 43 24 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, h.44 65 pengetahuan sebenarnya ada dalam diri objek (in-self) itu sendiri secara objektif, dan otonom, dan tanpa ada intervensi dari manusia (subjek). Artinya, manusia bersikap pasif, yang diisi objek materal melalui pengalaman inderawi.25 Dalam menafsirkan pengetahuan dari Tuhan dan menangkap makna-makna objek pengetahuan, menurut al-Attas, manusia dapat menggunakan kekuatan fakultas-fakultas yang telah dianugerahkan kepada setiap manusia, yaitu melalui panca indra (al-khawass ai-khamsāh), akal sehat (al-„aql as-Salim ), kabar yang benar (al-Khābar as-Shādiq), dan intuisi (Ilhām).26 Panca indera (al-Khāwass al Kamsāh) menurut al-Attas sepakat dengan Iqbal yang menyatakan bahwa Islam tidak pernah mengecilkan peranan indra, yang pada dasarnya merupakan saluran yang sangat penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan mengenai realitas empiris. Bahkan al-Attas juga menganggap bahwa indra sebagai instrumen pokok bagi jiwa dalam mengetahui aspek-aspek tertentu dari sifat-sifat dan ilmu Allah swt, indra disini mengacu pada pengamatan dan persepsi lima indra lahir, yakni perasaan tubuh, pencium perasa lidah, penglihatan, dan pendengaran, yang semua berfungsi mempersepsikan hal-hal partikular dalam alam lahir. Namun, terkait dengan panca indra lahir ini ada lima indra batin yang secara bathiniyyah mempersepsikan cita-cita indrawi dan maknanya, menyatukan, atau memilahkan, mengkonsepsi gagasan 25 A. Khudlori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. Ke-1, h.261 26 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib alAttas. h, 158 66 tentangnya, menyimpan hasil-hasil pencerapan dan melakukan interaksi terhadapnya. Kelima indra batin ini adalah indera umum, representasi, estimasi, pengingat kembali dan imajinasi. Dalam hal ini persepsi adalah rupa (form) dari objek lahiriyah, yakni representasi realitas atau inderawi, bukan realitas itu sendiri. Apa yang disebut realitas lahir atau objek lahir adalah sesuatu yang diabstraksikan oleh indra, yang disebut „rupa‟ ( form), bukan realitas itu sesungguhnya dalam dirinya sendiri yang disebut „makna‟. Perbedaan antara rupa dan makna objek-objek indrawi adalah bahwa „rupa‟ merupakan apa yang pertama kali dipersepsi oleh indra lahir dan kemudian oleh indra batin, sedang „makna‟ adalah apa yang dipersepsi indra batin dari objek tanpa terlebih dahulu dipersepsi indra lahir.27 Adapun mengenai masalah akal, Al-Attas menambah dengan kata shifat “sehat” setelah perkataan akal ( Sound Reason). Hal ini disebabkan akal manusia memiliki tendensi menghasilkan pemikiran yang tidak benar atau tidak tepat. Disamping itu, akal manusia dipengaruhi oleh estimasi dan imajinasi, yang bisa salah atau kurang tepat ketika akal menegasikan kemampuannya untuk memahami realitas spiritual melalui daya lain yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Akal sehat bukan sekedar unsur-unsur indrawi atau fakultas mental yang secara logis mensistemasi dan menafsirkan fakta-fakta pengalaman indrawi menjadi citra akliyah yang dapat dipahami, atau yang melakukan kerja abstraksi fakta-fakta 27 Syed M. Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, h. 35-36 67 dan data indrawi serta hubungan keduanya. Lebih dari itu, akal disini adalah substansi ruhaniyah yang melekat dalam organ pemahaman yang disebut hati (qalb) yang merupakan tempat terjadinya intuisi. Jadi, apa yang disebutkan diatas baru merupakan bagian dari aspek akal. Kemudian mengenai otoritas berita yang benar merupakan sumber lain yang dapat diklsifikasikan menjadi 2 (dua) jenis. Pertama adalah berita yang terbukti secara berkesinambungan (continue) oleh orang-orang yang memilki ahlak yang mulia, yang tidak mungkin menimbulkan pemikiran bagi orang bahwa mereka akan melakukan dan menyebarkan kesalahan . contoh hadits mutawatir. Kedua, berita absolut yang dibawa oleh Nabi yang berdasarkan wahyu. Berkenaan dengan intuisi itu sendiri, al-Attas tidak membatasi pada pengenalan langsung tanpa perantara, oleh subjek yang mengenali tentang dirinya sendiri, keadaan sadarnya, diri-diri lain yang seperti dirinya, dunia lahiriyah, hal-hal universal nilai-nilai atau kebenaran-kebenaran rasional. Intuisi juga mencakup pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran agama, realitas dan eksistensi Tuhan, serta realitas eksistensi sebagai lawan essensi; bahkan dalam tingkat yang lebih tinggi, intuisi adalah intuisi terhadap eksistensi itu sendiri.28 Intuisi tidak datang pada sembarang orang, tapi ia diperoleh oleh orang-orang yang hatinya telah bersih, telah siap, dan sanggup menerima pengetahuan tersebut.29 Kemampuan menerima 28 29 Syed M. Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains.h. 37 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) cet, ke-2, h. 108 68 secara langsung itu diperoleh melalui latihan, yang dalam Islam disebut riyādhāh. Konon, kemampuan orang-orang itu sampai bisa melihat Tuhan, berbincang dengan Tuhan, melihat surga, neraka, dan alam ghaib lainnya. Dari kemampuan ini dapat dipahami bahwa mereka tentu mempunyai pengetahuan tingkat tinggi yang banyak sekali dan meyakinkan pengetahuan itu diperoleh bukan lewat indra dan bukan lewat akal, melainkan lewat hati.30 Intuisi ini datang pada orang yang merenungkan secara terus menerus hakekat realitas, untuk kemudian selam pereenungan mendalam ini dan dengan kehendak-Nya, kesadaran akan dirinya dan kesadaran subjektifnya terhapuskan, lalu masuk kedalam kedirian yang lebuih tinggi, baqa‟ dalam Tuhan. Ketika kembali kepada keadaan manusiawi dan subyektifnya, yang bersangkutan kehilangan apa yang ditemukan, tetapi ilmu tentang apa yang ia temukan, pengalaman ruhani yang dialami selama baqa‟ , tetap ada pada dirinya.31 Meskipun pengalaman intuitif tidak bisa dikomunikasikan, akan tetapi pemahaman mengenai kandungannya atau ilmu pengetahuan yang berasal darinya dapat transformasikan. Intuisi terdiri pelbagai jenis dan tingkat, yang terendah adalah yang dialami oleh para ilmuwan dan sarjana dalam penemuan-penemuan mereka, sedangkan yang tertinggi dialami oleh para Nabi. Dan perlu diketahui bahwa semua ilmu pengetahuan ketika untuk pertama kalinya diperhatikan oleh pemeerhatinya adalah sesuatau yang dicapai melalui intuisi. 30 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, akal, dan Hati sejak Thales sampai Capra, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002) h. 58 31 Syed M. Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains. h. 38 69 Adapun yang digunakan al-Attas dalam proses integrasi agama dan sains setelah apa yang dijelaskan diatas, selanjutnya adalah proses atau langkah yang saling berkaitan, yaitu: 1. Proses Verifikasi, yaitu mengenali dan memisahkan unsur-unsur (4 unsur yang telah disebutkan sebelumnya) yang dibentuk oleh budaya dan peradaban Barat, kemudian dipisahkan dan diasingkan dari tubuh pengetahuan kontemporer85 khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika, ilmu-ilmu terapan juga harus dislamkan, khusunya dalam penafsiranpenafsiran akan fakta-fakta dalam formulasi teori-teori. Menurut al-Attas, jika tidak sesuai dengan pandangan hidup Islam, maka fakta menjadi tidak benar. Selain itu, sains modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari sains modern, beserta aspek-aspek empiris, dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai-nilai dan etika, penafsiran historis tersebut, bangunan teori, praduga berkaitan dengan dunia dan rasionalitas proses-proses ilmiah, klasifikasinya, batasannya, hubungan dan keterkaitannya dengan hubungan dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.32 2. Memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep kunci.33 Dengan masuknya itu, maka akan merubah bentuk-bentuk, nilai-nilai dan tafsiran konseptual isi. 32 Syed Muhammad Naquib al-Attas Prolegomena to the Methaphisics of Islam and Exposition of Fundamental Elements of the Worldview of Islam, h. 114 33 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib AlAttas h. 337 70 Selanjutnya, al-Attas juga merincikan dan beberapa konsep dasar Islam yang harus dituangkan ke dalam setiap cabang ilmu apa pun yang dipelajari oleh umat Islam adalah seperti berikut ini :34 a. Konsep agama (Dîn) b. Konsep manusia (Insan) c. Konsep ilmu („Ilm dan Ma‟rifālh) d. Konsep kearifan (Hikmah) e. Konsep keadilan („Adl ) f. Konsep prbuatan yang benar („ Amal sebagai adab) g. Konsep universitas (Kulliyah-Jami‟ah ) Dalam penerapan prktisnya sangat terkait dengan dunia pendidikan. Konsep agama (dîn) menunjukkan kepada maksud mencari pengetahuan dan keterlibatan dalam prose pendidikan. Konsep manusia (insan) kepada ruang lingkup. Konsep ilmu („ ilm dan ma‟rifālh) mengacu kepada isi. Konsep kearifan (hikmāh) kepada kreteria dalam hubungannya dengan konsep manusia (insan) dan ilmu (ilm dan ma‟rifāh). Konsep keadilan ( „adl ) kepada pengembangan dalam hubungannya dengan konsep kearifan (hikmāh). Konsep perbuatan yang benar („ amal sebagai adab) kepada metode dalam hununggannya dengan konsep agama (dîn) – konsep keadilan ( „adl ). Konsep universitas (kulliyāh-jami‟āh) dianggap penting karena berfungsi sebagai 34 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sukelarisme, h. 233 71 implementasi semua konsep itu dan menjadi model sistem pendidikan untuk tingkat rendah. Selanjutnya manurut al-Attas memasukkan konsep kunci Islam, misalnya konsep universitas (kulliyāh-jami‟āh) yaitu harus ditransformasikan kepada para mahasiswa yang belajar di Universitas. Al-attas menolak pandangan yang menyatakan bahwa integrasi sains dan agama tidak bisa tercapai dengan melakukan stempelan Islami pada sains. Usaha yang demikian hanya akan memperburuk keadaan dan tidak berfaedah sebab unsur asing atau kuman penyakit itu masih terdapat pada tubuh Islam dan sains itu. Ia cuma akan menghasilkan sesuatu yang Islam pun bukan dan sekuler pun bukan.35 B. Mulyadhi Kartanegara 1. Konsep Integrasi Agama dan Sains Menurut Mulyadhi dikotomi agama dan sains berdampak negatif dari kaca mata agama, disiplin ilmu umum seperti fisika, matematika, biologi, dan lain-lain dianggap profan dan netral. Muatan agama hanya terdapat pada, misalnya, tafsir, hadits, fiqih dan lain-lain. Padahal menurut Mulyadhi dalam mengamati fenomena alam (objek ilmu umum) dapat dengan mudah menjumpai nilai-nilai agama.36 Ini 35 36 Rosnani Hashim, gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Komtemporer, h. 35 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 20-21 72 tidak berarti disiplin ilmu agama dipandang rendah dibandingkan ilmu umum. Keduanya harus dianggap mulia dan setara, yang satu menjadi ayat kauniyyah (ilmu umum) dan yang satu lagi menjadi ayat qauliyyah (ilmu agama), yang setatusnya bersatu sebagai ayat-ayat Allah untuk dijadikan sebagai objek ilmu.37 Dikotomi sains dan agama juga membuat kelompok pendukungnya masingmasing berada pada dua titik ekstrim yang berbeda. Sains modern (ilmu umum) menganggap objek ilmu yang valid hanya yang bisa diobservasi oleh indra zahir, sebaliknya bagi pendukung ilmu agama justru objek nonfisik seperti Tuhan dan malaikat (ataupun jiwa) merupakan objek mulia, menguatkan dan meningkatkan status ilmiah para pengkajinya, juga akan mendapatkan kebahagiaan yang luar bisa.38 Kontras dengan kedua kubu tersebut, bagi ilmuwan Muslim klasik metafisika adalah mahkota ilmu, sedangkan bagi saintis Barat fisika adalah sains sejati yang harus diteladani tanpa mempedulikan objek matematik dan metafisik. Ketimpangan ini menjadi problem serius terhadap sistem klasifikasi ilmu yang seimbang antara ilmu metafisika dan fisika. Secara praktis, contohnya pada jurusan psikologi, apakah psikologi termasuk ilmu empiris (mengikuti sistem klasifikasi Barat) atau ilmu metafisika atau filsafat (dalam tradisi keilmuan Islam) yang jiwa pada dirinya dipandang sebagai substansi immaterial atau metafisika, bukan hanya sebagai fungsi otak menurut asumsi neurolog modern.39 37 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 22 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 22-25 39 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 26-27 38 73 Permasalahan selanjutnya berkenaan dengan metodologi ilmiah. Sains modern pada dasarnya hanya mengenal satu metodologi ilmiah yang disebut observasi atau eksperimen indrawi yang ketat. Sedangkan metode rasional maupun logis dianggap apriori, apalagi metode intuitif yang dianggap subjektif bahkan halusinatif. Akhirnya, yang difokuskan hanya sebab material dan efisien dari sebuah objek, sedangkan sebab formal dan final tidak dihiraukan dengan alasan bahwa sebab formal dan final berkaitan dengan makna, tidak dengan fakta. Pengalaman intelektual, intuitif, mistik, mimpi, dan religius tidak diperhitungkan sebagai data ilmiah. Sebaliknya, penekanan yang terlalu kuat terhadap pengalaman mistik dan religius, oleh sementara ulama sering mengabaikan pentingnya pengalaman indrawi dan rasional.40 Untuk itu Mulyadhi mengupayakan sebuah integrasi (atau reintegrasi) yang bersifat rekonstruksi (menata ulang) sistem keilmuan secara holistik agar tidak terjadi problem seperti yang tersebut di atas. Singkatnya, rekonstruksi yang dimaksudkan Mulyadhi dapat ditegaskan yaitu meramu secara kritis bahan-bahan yang ada pada tradisi intelektual Islam yang telah dibina selama lebih dari satu millenium oleh para filosof dan ilmuwan Muslim klasik.41 Sedangkan holistik dapat dikatakan bahwa dilihat dari aspek ontologis, objek sains bukan hanya fisik tetapi juga nonfisik seperti Tuhan, malaikat, dan jiwa baik jiwa binatang dan planet-planet maupun manusia sebagai substansi yang immateriil. 40 41 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 28-31 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, h. 130 74 Walaupun demikian, integrasi harus diupayakan hingga tingkat epistemologis, jika tidak maka yang terjadi hanya menghimpun dalam ruang yang sama dua entitas yang berjalan sendiri-sendiri.42 Untuk mencapai tingkat integrasi epistemologis tersebut, integrasi harus diupayakan dengan tiga langkah. Pertama, Integrasi Ontologis: Basis ontologis yang dipilih sangat menentukan corak epistemologis yang dibangunnya. Tidak percayanya seorang ilmuwan terhadap keberadaan entitas metafisik menyebabkan subject-matter ilmu (sains) hanya terbatas pada bidang fisikempiris (dunia positif). Klasifikasi dan metode keilmuan juga akan berkompas dengan pandangan ontologis tersebut. Sebaliknya, Al-Fārābî (w. 950) misalnya percaya bahwa yang ada (maujūdāt) ini membentang dari yang metafisik sampai pada yang fisik dan membentuk apa yang disebut marātib al-wujūd dalam istilah Ibn Sab‟in. Dengan kepercayaan status ontologis sedemikian, maka subject-matter ilmu mereka tidak hanya terbatas pada bidang fisik-empiris. Kedua, Integrasi klasifikasi berpadanan dengan integrasi ontologis. Ibn Sîna dan al-Fārābi sepakat untuk membagi yang ada (maujūdād) ke dalam tiga kategori: (1) objek yang tidak berkaitan dengan materi dan gerak, yang menghasilkan kelompok ilmu metafisika. (2) objek yang berkaitan dengan materi dan gerak, dan menghasilkan kelompok ilmu fisika. (3) objek yang pada dirinya immaterial tetapi kadang melakukan kontak dengan materi dan gerak, ini disebut objek matematik dan menghasilkan ilmu matematika. Dari pembagian jenis wujud tersebut sebagai basis ontologis, muncullah tiga kelompok besar ilmu yaitu, ilmu metafisika, matematika, 42 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 208-209 75 dan ilmu-ilmu alam. Al-Fārābî membangun tiga kelompok ilmu menjadi dua bagian besar, ilmu agama (naqli) dan ilmu-ilmu rasional („aqli). Ilmu naqli terdiri dari (1) tafsir al-Qur‟an dan hadits, (2) ilmu fiqh yang meliputi fiqh farā‟id dan ushul fiqh, (3) ilmu kalam, (4) tafsir ayat-ayat mutasyābihāt, (5) tasawuf, (6) tabir mimpi (ta‟bîr alru‟yah). Ilmu „aqli (rasional) terbagi pada empat bagian yaitu, logika, fisika, matematika, dan metafisika. Sedangkan ilmu praktis menurut Ibn Khaldūn adalah etika, ekonomi, dan politik, dan termasuk ilmu budaya („ulūm al-umrān) yaitu ilmu sosiologi.43 Ketiga, Integrasi Metodologis: Integrasi sains dan agama dalam level metodologis yang tentunya dalam aplikasinya berhubungan dengan integrasi ontologis dan klasifikasi ilmu. Metode ilmiah yang dikehendaki para ilmuwan Barat berbeda dengan para ilmuwan Muslim. Ilmuwan Barat hanya menggunakan metode ilmiahnya dengan observasi yang bisa dijangkau oleh indera manusia. Sedangkan ilmuwan Muslim menggunakan tiga metode (1) metode observasi atau eksperimen (tajrîbî) seperti halnya yang digunakan di Barat, (2) metodologi demonstratif atau logis (burhānî), dan (3) metodologi intuitif (irfāni) yang masing-masing bersumber pada indera, akal, dan hati.44 Sehingga terdapat perbedaan yang akhirnya menghasilkan hasil yang berbeda. 43 44 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu., h. 211-214 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 218-223 76 2. Landasan Integrasi Agama dan Sains Bagi Mulyadhi tauhid merupakan prinsip paling utama dari prinsip-prinsip epistemologi Islam, juga menjadi asas pemersatu bagi integrasi sains dan agama. Bagi filosof Muslim, keesaan Tuhan (tauhîd) tidak boleh terkesan adanya komposisi apalagi dualis pada diri-Nya. Bagi Ibn Sînā misalnya, esensi dan eksistensi pada diri Tuhan adalah tunggal karena Dia tidak memiliki genus dan spesies sebagaimana wujud selain-Nya.45 Tauhid tentu tidak lepas dari lafaz syahadat lā Ilāha Illallāllah, bagi para sufi kata “ilāh” di situ berarti “hakikat” (realitas), sehingga “lā Ilāha Illallāllah” bisa berarti “tidak ada realitas yang betul-betul sejati kecuali Allah”. Mulyadhi menyimpulkan bahwa bagi sufi dan filosof pemilik sejati wujud adalah Tuhan, realitas sejati yang al-Haqq menurut para sufi dan wajib al-Wujūd menurut para filosof, yang wujud-Nya senantiasa actual.46 Menurut Mulyadhi, tauhid filosofis khususnya penafsiran ke-Esa-an Tuhan ala Mullā Shadrā dalam konsep Wahdahtu al-Wujūd adalah paling cocok dijadikan basis integrasi, terutama bagi status ontologis. Menurut Mullā Shadrā segala wujud yang ada pada hakikatnya adalah sama dan dari sumber yang sama. Perbedaanya hanya pada gradasi (Tasykîk al-Wujūd) yang disebabkan oleh perbedaan dalam esensinya. Sehingga, wujud apa pun yang diketahui manusia (spiritual mau pun materiil) mempunyai status ontologis yang sama-sama kuat dan riil. Wujud menurut Mullā Shadrā tidak perlu pembuktian karena bersifat badîhî, yakni terbukti dengan 45 46 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 33 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 33-35 77 sendirinya, sehingga tidak membutuhkan definisi apa pun.47 Konsep kesatuan wujud ala Mullā Shadrā ini menurut Mulyadhi membuat segala tingkat wujud boleh menjadi objek yang valid bagi ilmu karena realitas ontologis mereka telah ditetapkan. Sehingga, wujud tersebut tidak bisa dipisahkan dangan kategori riil dan tidak riil, nyata atau ilusi.48 3. Metodologi Integrasi Agama dan sains Menurut Mulyadhi dikotomi yang terjadi antara agama dan sains masih bisa diatasi dengan cara menemukan basis yang sama bagi keduanya, yaitu baik agama dan sains sama-sama mengkaji ayat (tanda) Allah, hanya saja yang pertama mengkaji ayat qauliyyah (nash, baik al-Qur‟an maupun hadis) dan yang satunya lagi mengkaji ayat kauniyyah (alam). Dilihat dari kedudukan keduanya sebagai sama-sama mengkaji ayat-ayat Allah, maka keduanya memiliki hubungan yang sama dengan sumbernya, para ulama (ilmuwan) memandang alam sebagai kitab besar dan alQur‟an sebagai kitab kecil, sehingga masing-masing memiliki sakralitas.49 Walaupun qauliyyah dan kauniyyah adalah sama-sama ayat Allah, Mulyadhi tidak menafikan perbedaan karakter dari keduanya. Karena perbedaan tersebut, metode penyelidikan dan klasifikasi kedua ilmu tersebut juga berbeda. Dari sudut epistemologis, metode untuk memahami al-Qur‟an disebut bayānî, yang menekankan 47 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 35-37 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 37 49 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 48-49 48 78 otoritas nash dan dijustifikasi oleh naluri penarikan kesimpulan (istidhlāl). Ini bisa dilakukan secara langsung (tidak dinalarkan) dan tidak langsung (perlu dinalarkan). Dengan demikian, sumber pengetahuan bayānî adalah nash. Metode bayānî ini menempuh dua jalan, yaitu berpegang teguh pada radaksi lafal nash dengan menggunakan kaidah bahasa Arab sebagai alat analisisnya, dan menggunakan logika melalui empat tahap: (1) Berpegang pada tujuan pokok diturunkannya nash. Caranya dengan menggunakan induksi tematis, disini akal berperan besar. (2) Berpegang pada „illat yang melekat pada nash. Cara yang kedua ini menimbulkan metode yang disebut qiyās dan istiẖsān. Istihsān adalah berpaling dari makna yang jelas ke makna samar karena adanya alasan yang kuat. (3) Berpegang pada kajian sekunder teks, yang mendukung terlaksananya tujuan pokok teks. Sarana yang digunakan untuk menemukan tujuan sekunder disebut istidhlāl (mencari dalil di luar nash), berbeda dengan istinbāth (mencari dalil dari dalam nash). (4) Berpegang pada diamnya syariat, sehingga permasalahan ditetapkan melalui istishāb, yakni berdasarkan keadaan yang berlaku sebelumnya selama tidak ada dalil yang menunjukkan perubahannya. Demikianlah keempat tahap tersebut, tetapi karena dari sudut filosofis nash memiliki makna batiniah, maka digunakan metode ta‟wîl atau hermeneutik yang menurut sementara kelompok boleh dilakukan karena bahasa kitab suci bersifat simbolis. Jika terlihat ketidakcocokan pada kitab suci dengan kebenaran ilmiah dan filosofis, bagi Mulyadhi dapat di atasi dengan metode ta‟wîl.50 50 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 49-51 79 Bagi sains modern, hanya objek fisiklah yang dijadikannya sasaran penelitian dan bisa diteliti secara objektif, sedangkan objek nonfisik adalah sebaliknya dan dianggap tidak ilmiah. Berbeda dengan epistemologi Islam, yang objek penelitiannya bukan hanya yang fisik, sebagaimana empat hierarki wujud (Martabat al-Maujūdāt) sebagai berikut: Pertama, Tuhan menjadi hirearki wujud puncak dari sebab keberadaan selainNya. Di sini, Tuhan dikatakan sebagai sebab, dan tentunya sebab lebih unggul dari akibat. Berbeda dengan akibat, sebab adalah berdiri sendiri dan oleh Suhrawardî disebut dengan istilah al-Ghanî (tidak butuh pada yang lain), sedangkan akibat disebut al-Faqîr (bergantung pada yang lain). Keberadaan Tuhan oleh para filosof dibuktikan secara demonstratif. Ibn Sînā, misalnya mengatakan, “karena alam pada dasarnya adalah potensi (Mumkin al-Wujūd), dan sebagai potensi ia tidak bisa mengadakan dirinya sendiri, maka ketika alam mewujud seperti sekarang ini, mau tidak mau harus dicari agen yang bertanggung jawab atas keberadaannya itu.” Agen yang dimaksudkan adalah Tuhan, Sang Sebab Pertama. Karena telah dibuktikan keunggulan sebab dari akibat, maka status ontologis Tuhan lebih fundamental dan esensial daripada status ontologis alam. Kedua, para malaikat menempati posisi kedua setelah Tuhan. Bagi para filosof Muslim, para malaikat mempunyai fungsi yang lebih daripada apa yang digambarkan oleh agama. Malaikat Jibril misalnya, diidentifikasi sebagai akal aktif 80 yang dunia materiil tidak mewujud jika tidak diberinya “bentuk” (shūrah),51 sekalipun ia telah memiliki unsur materiil, yaitu potensi murni. Jadi, akal aktif menjadi “sebab langsung” bagi terwujudnya dunia materiil, sementara Tuhan merupakan “sebab akhir” yang jauh daripadanya. Oleh karena ia sebagai sebab langsung bagi keberadaan materiil, maka akal aktif memiliki status ontologis yang lebih utama dan sah dijadikan objek kajian ilmiah yang cocok dengan karakteristiknya. Ketiga, Benda-benda langit ini dianggap berbeda kedudukannya dengan bendabenda bumi. Dan status ontologisnya lebih tinggi dan istimewa dibandingkan bumi. Baik al-Fārābî, Ibn Sînā, maupun Ibn Rusyd meyakini adanya jiwa bintang atau planet sebagai benda angkasa yang berpengaruh signifikan terhadap dunia di bawah bulan. Pandangan demikian tentu berbeda dengan kita pada abad ini, untuk itu Mulyadhi menjelaskan bahwa walaupun bumi tidak jauh berbeda derajat ontologisnya dengan planet lain, tetapi terdapat perbedaannya dengan bintang dan temasuk matahari. Bumi memantulkan cahaya matahari, sementara matahari memancarkan sendiri cahayanya, dan ia memberikan kehidupan atau energy pada benda di bumi seperti tumbuhan, hewan, dan manusia. Di sini, kelihatanlah dan bisa dimengerti mengapastatus ontologis benda-benda langi dikatakan lebih fundamental dari pada bumi. 51 M. Sa‟id Syaikh, Kamus Filsafat Islam, ter: Machnun Husein dari buku A Dictionari of Muslim Philosophy, (Jakarta: Rajawali Pers, cet. I. 1991), h. 85-86 81 Keempat, benda-benda bumi. Benda bumi yang dibagi kepada mineral, tumbuhan, dan hewan, menurut Mulyadhi tidak perlu berargumen karena status ontologisnya telah diakui secara universal, baik di kalangan pemikir Barat modern maupun dalam epistemologi Islam.52 Adapun yang dimaksud dengan klarifikasi objek-objek ilmu ini adalah sebuah sistem terpadu objek-objek ilmu yang berkesinambungan, dari objek bersifat metafisik, imajinal, dan fisik yang disajikan secara utuh, bukan secara parsial, ketika objek-objek ilmu hanya dibatasi pada bagian-bagian tertentu saja, dengan mengabaikan objek-objek lainnya. Sesuai dengan doktrin Wahdah al-Wujūd, maka wujud-wujud yang mengisi rangkaian atau hierarki wujud ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan atau diperlakukan secara pilih kasih, tanpa menodai keutuhan itu sendiri. Oleh karena itu, dalam sebuah sistem epistemologi yang holistik semua rangkaian wujud ini harus diperlakukan sama. Demikian juga status ontologis mereka harus dipandang sama-sama kuat dan riil.53 Integrasi bidang atau disiplin ilmu adalah konsekuensi logis dari integrasi objek-objek ilmu. Karena lingkup objek ilmu begitu luas dan beragam, maka bidang ilmu yang berpadanan dengannya juga demikian. Seperti terbentuknya tiga kelompok besar ilmu pengetahuan oleh Ibn Sîna dan al-Fārābi,54 yang secara organik terkait erat dengan tiga kelompok utama objek ilmu yaitu metafisika, fisika, dan matematika. 52 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 62-67 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu,h. 67 54 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 28-29 53 82 Metafisika ini dibagi oleh Ibn Khaldūn menjadi lima bagian: Pertama, pengkajian wujud sebagai wujud (ontologis). Kajian ini disebut juga sebagai filsafat pertama (alfalsafah al-ūlā), yang telah melahirkan dua aliran besar dalam filsafat Islam, yaitu eksistensialis dan esensialis.55 Selain itu, juga melahirkan pemilahan wujud ke dalam tiga kategori, yaitu wājib al-wujūd, mumkin al-wujūd, dan mumtani‟ al-wujūd. Kedua, Mulyadhi mengatakan: Yakni bidang yang mempelajari materi umum yang memengaruhi benda-benda materiil maupun spiritual seperti kuiditas, kesatauan, pluralitas, dan kemungkinan. Di sini sebenarnya kita berhubungan dengan konsepkonsep filosofis dan matematis, dan telah banyak dipergunakan oleh para filosof dalam debat mereka tentang esensi (kuiditas/māhiyyah) dan eksistensi (wujud) dan, seperti telah disinggung, telah menimbulkan dua aliran besar filsafat, yaitu eksistensialisme dan esensialisme.56 Ketiga, mempelajari asal-usul benda-benda dan menentukan bahwa apakah mereka entitas spiritual atau sebaliknya. Ini merupakan kajian kosmologi filosofis Islam dengan persoalan utamanya adalah bagaimana makhluk spiritual seperti akal, malaikat, dan jiwa muncul atau berhubungan dengan Tuhan Yang Esa. Pembahasan ini pada gilirannya menghasilkan cabang metafisika yang berbicara tentang malaikat 55 56 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h.75-76 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h.77-78 83 (angelologi) pada khususnya, dan teori emanasi pada umumnya oleh filosof Muslim seperti al-Fārābî, Ibn Sînā dan Suhrawardî.57 Keempat, mempelajari bagaimana benda-benda yang ada muncul dari entitasentitas spiritual dan mempelajari susunan mereka. Kajian ini berbeda dengan para fisikawan dan astronom modern, yang seakan-akan ingin mengatakan alam semesta lahir dari dirinya sendiri, Mulyadhi mengatakan: Pandangan para filosof Muslim tentang asal-usul ruhani alam semesta, sekalipun perlu diperbaiki atau direvisi sesuai dengan perkembangan ilmu astrofisika modern, tetapi memiliki keunggulan atas pandangan Barat modern karena dengan itu mereka mampu menjelaskan secara filosofis pertanyaan dari mana alam semsta ini berasal, dan tidak dibiarkan begitu saja sebagaimana dalam fisika modern.58 Kelima, mempelajari keadaan jiwa setelah berpisahnya dari badan, dan kembalinya ia ke asalnya. Kajian ini melahirkan teori-teori tentang jiwa dari filosof Muslim, seperti sl-Fârâbî, Ibn Sînâ, al-„Âmirî, Ibn Bâjjah, Ibn Rusyd (w.1198), Rūmî,59 Mullâ Shadrâ, dan Iqbâl. Umumnya mereka tersebut memahami jiwa sebagai substansi immateriil, namun pada masa modern, apalagi setelah psikologi terpisah dari filsafat, dianggaptidak ilmiah. Menurut Mulyadhi, 57 ini bagian yang tidak Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h.78-79 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 82 59 Mulyadhi Kartanegara, Jalal al-Dîn Rūmî; Guru Sufi Penyair Agung, terj: Ilham B. Saenong dari buku The Mystical Reflections of Jalal al-Dîn Rūmî,(Jakarta Selatan: Teraju, cet. I. 2004), h. 87 58 84 terpisahkan dari upaya menemukan integrasi ilmu, khususnya dari segi bidang-bidang ilmu.60 Selain itu, topik metafisika yang juga mendapat perhatian intens oleh para filosof Muslim adalah alam imajinal (mitsāl), yang berada diantara alam materiil dan spiritual. Alam ini adalah tempat bertemunya bentuk fisik dengan bentuk ruhani. Di sini, entitas ruhani dimaterikan, sehinngga bisa mengambil bentuk fisik seperti penampakan Jibril pada Nabi Muhammad Saw, sedangkan entitas fisik dimurnikan atau dispiritualkan. Di alam ini tidak diperkenankan masuknya unsur materi kecuali dalam bentuk image (citra) fisik, bukan fisikalitas itu sendiri.61 Dalam epistemologi Islam, ilmuwan-ilmuwan Muslim mengakui tiga macam alat ilmu yang mampu menguak segala jenis objek ilmu, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik, yaitu indra, akal, dan hati (intuisi). Berbeda dengan neurologi modern, menurut para filosof Muslim, indra merupakan kecakapan (daya) jiwa, yang dimiliki setiap hewan (termasuk manusia), dan bukan sekadar kecakapan fisik seperti dibayangkan ilmuwan modern. Jadi, bersama dengan gerak (harakah), indra (sensasi) merupakan kecakapan jiwa manusia.62 Setelah menguraikan fungsi dan kelebihan masing-masing indra seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba, Mulyadhi mengatakan bahwa selain memiliki unsur kognitif, (sebagai sumber ilmu) indra juga memiliki 60 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 82-85 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 85 62 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 100-102 61 85 fungsi lain yang barangkali lebih vital daripada fungsi kognitif, yaitu sebagai instrumen kelangsungan hidup (survival). Dalam upaya untuk bertahan hidup, manusia melakukan dua hal: mendapatkan sesuatu atau menghindarkannya, dan untuk melakukan dua hal tersebut indra sangat berperan penting. Oleh karena itu, indra bukan hanya menjadi sumber pengetahuan bagi manusia, sekaligus juga alat efektif untuk membantu manusia untuk bertahan hidup.63 Sebagai sumber sains, indra manusia mampu menggali beragam informasi. Meskipun begitu, ia memiliki kelemahan, misalnya mata, ia hanya bisa menangkap dan kemudian menterjemahkan gelombang cahaya dalam frekuensi 400 - 700 nanometer, tidak lebih dari itu. Sehingga sinar kosmik, sinar x, sinar gamma, inframerah, dan ultraviolet luput darinya. Demikian juga indra lainnya, juga memiliki keterbatasannya masing-masing. Keterbatasannya yang paling nyata adalah tidak bisa mencerap entitas-entitas nonfisik. Untuk itu, dibutuhkan alat lain agar gambaran suatu realitas menjadi utuh dan integral,64 antara lain sumber ilmu kedua, yaitu akal. Menurut para filosof Muslim, akal merupakan kecakapan jiwa/mental yang khas baginya.65 Kekuatan khas akal yang tidak berhubungan atau berdasar pada pengindraan adalah kemampuannya mengabstrak dari konsep universal yang sudah diabstrak dari benda konkret sehingga ia mampu berpikir sesuatu yang tidak bersangkutan dengan benda fisik. Misalnya, memahami perasaan sedih, gembira, 63 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 102-107 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 105-106 65 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, h.21-24 64 86 kecewa, dan sebagainya. Selain itu, ia juga mampu mengkomunikasikan pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain melalui simbol-simbol (bahasa) ciptaannya. Ketika kemampuan akal bisa mengabstrak dan mengenali esensi dari apa yang ditemuinya di alam ini, tentu saja indra sangat membantu akal dengan cara mengajukan pertanyaan berdasarkan kategori-kategori mental yang dimilikinya seperti kategori ruang, waktu, substansi, kuantitas, kualitas, dan kausalitas sehingga muncullah pertanyaan apa, di mana, mengapa, siapa, beberapa, yang mana, dan lain-lain.66 Dengan demikian, akal mampu memahami konsep yang diabstrak dari benda fisik seperti matematik, juga yang diabstrak dari yang telah abstrak yaitu metafisik. Jadi, keberadaan objek ma‟qūlât seperti malaikat dan Tuhan dapat ditangkap oleh akal melalui penalaran rasional yang disebut silogisme, khususnya silogisme yang menggunakan dalil-dalil burhānî (demonstratif). 67 Walaupun demikian, akal juga memiliki keterbatasan fundamental. Ibn Khaldūn mengatakan, “sebagai timbangan emas dan perak, akal adalah sempurna; tapi masalahnya bisakah timbangan emas dipakai untuk menimbang gunung?” Jadi, pada sektor tertentu akal menjadi bungkam, sehingga, seperti Ibn Sînā dan Mullā Shadrā, walaupun akal dijadikannya sebagai alat primer dalam penelitian ilmiah filosofis, mereka masih mengakui adanya daya lain dimiliki manusia selain akal dan indra, yaitu hati (intuisi) yang terkadang bisa melakukan apa yang tidak bisa dilakukan akal. Bagi Bergson dan Rūmî, ketidakmampuan akal menembus realitas 66 67 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 107 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 108-110 87 karena ketergantungannya pada kata-kata (simbol).68 Pengenalan rasional terhadap sebuah objek diperoleh melalui “representasi” yang kadang benar (kalau berkorelasi positif), kadang keliru (kalau berkorelasi negatif). Modus pengetahuan seperti itu tidak bisa membawa pada kepastian. Para filosof Isyraqî menyebut jenis pengetahuan rasional sebagai ilmu hushūlî (acquerid knowledge). Berbeda dengan pengetahuan rasional, pengetahuan intuitif disebut hudhūrî karena objek yang diamatinya hadir dalam jiwa si pengamat, sehingga ia menjadi identik dengannya, yaitu seseorang mengetahui secara langsung dan akrab dengan objek tanpa melalui konsep-konsep atau representasi apa pun. Ada pun akal yang bekerja melalui kategori-kategori mental yang subjektif, ia hanya mengetahui secara global dan tidak langsung. Dengan demikian, intuisi bisa melengkapi pengetahuan rasional dan indrawi sebagai suatu kesatuan sumber ilmu yang manusia miliki, dan banyak memberi tambahan informasi yang lebih akrab dan partikular tentang sebuah objek dengan cara yang berbeda dengan akal dan indrawi. Adapun contoh keunggulan intuisi atas akal seperti kitab Matsnawi oleh Jalāl al-Dîn Rūmî (w. 1273) yang memuat 36.000 bait sebagai hasil pengalaman mistik setelah melakukan ritual sufistik hingga mencapai ekstase. Contoh lain adalah karya Ibn „Arabî berjudul Risālah al-Anwār fi mā Yumnāh Shahib alKhalwā min al-Asrār. Melalui zikirnya Ibn „Arabî memasuki dunia mineral dan tumbuhan hingga diperkenalkan dengan segala manfaatnya, baik bersifat medis maupun nutritif. Selain itu, ia juga melihat surga, „Arasy dan dunia gaib lainnya yang 68 Mulyadhi Kartanegara, Jalal al-Dîn Rūmi, h. 75 88 akal bungkam mengenai hal itu. Sekitar 23 dunia disingkapkan kepadanya yang bisa dilihat pada karyanya tersebut.69 Meskipun tinggi pengalaman sufi, itu baru awal dari pengalaman spiritual para nabi. Baik al-Fārābî maupun Ibn Sînā mengakui tingkatan kenabian yang dialami manusia. Ada kenabian tingkat yang lebih rendah (lesser prophethood), seperti yang mungkin dialami oleh para wali/sufi, tetapi ada juga tingkat kenabian yang lebih tinggi, seperti dialami oleh para nabi. Wahyu atau kenabian adalah puncak pengalaman spiritual yang dicapai oleh para nabi, termasuk Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, Al-Quran sebagai sesuatu yang diterima dalam peristiwa kenabian merupakan puncak pengalaman intuitif manusia yang tertinggi. Oleh karena itu, dipandang sebagai salah satu sumber ilmu yang paling otoritatif, khususnya bagi ilmu naqliyyah, apalagi yang menyangkut masalah akhirat dan setelah perceraian jiwa dan jasad. Bagi al-„Âmîrî dan Ibn Sînā, wahyulah paling otoritatif untuk itu, sedangkan akal hanya mampu membuktikan kekekalan dan kemampuan jiwa untuk bisa survival setelah percerainnya dengan jasad. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk mengkaji berbagai objek ilmu baik yang fisik maupun nonfisik, filosof Muslim mengakui empat sumber ilmu yang terpadu dan saling melengkapi, yaitu indra, akal, hati, dan kitab suci (al- 69 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 110-113 89 Qur‟an). Keempat sumber ilmu ini membentuk satu kesatuan sumber ilmu yang diakui manfaat dan keabsahannya yang tidak bisa dipisahkan.70 Adapun untuk dipaparkan bagaimana cara menggunakan alat-alat untuk mendapatkan ilmu (indra, akal, dan hati) didayagunakan secara benar menurut objeknya masing-masing. Juga metode yang digunakan dalam memahami al-Quran. Sehingga pengetahuan yang didapatkan adalah “ilmiah”, khususnya ilmiah menurut para ilmuwan Muslim. Untuk objek fisik, tidak cukup hanya diamati sebagaimana yang dilakukan sehari-hari. Disamping indrawi memiliki kelebihan yang sama-sama tidak kita nafikan, ia juga memiliki kelelamahan. Agar pengamatan indrawi lebih objektif, maka muncul metode observasi indrawi untuk menyempurnakannya, langkahnya menurut Mulyadhi adalah melakukan pengukuran, menggunakan alat bantu, dan eksperimen. Namun, sistem pandangan keilmuan yang integral tidak hanya menuntut objek fisik, tetapi juga nonfisik dengan dua cara, yaitu secara intelektual melalui penyelidikan akal dan intuitif melalui pengalaman mistik atau “pengamatan” hati (intuisi). Pertama, penyelidikan akal melalui metode-metode logis yang terdiri dari burhānî (demonstratif), yaitu mengkaji silogisme yang menghasilkan pengetahuan pasti; jadalî (dialektik), yaitu semacam penalaran analogis (silogisme) yang menunjukkan bagaimana mematahkan atau membungkam lawan bicara; mugālithî (sofistik), yaitu silogisme yang mengajarkan lawan dari kebenaran atau mengaburkan kebenaran sehingga bisa membingungkan musuhnya; khithābi (retorik), 70 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 114-115 90 yang mengajarkan bagaimana mempengaruhi massa sehingga membuat mereka tersugesti untuk melakukan suatu anjuran; syi‟rî (puitis), yaitu semacam silogisme yang mengajarkan kiasan atau perumpamaan untuk mendorong atau menghindarkan seseorang untuk melakukan sesuatu. Di antara bermacam metode logika tersebut, metode demonstratiflah yang digunakan dalam dunia ilmiah.71 Silogisme-silogisme di atas merupakan cara mengambil kesimpulan yang belum diketahui dari premis yang telah diketahui. Contohnya, setiap Mukmin tidak korupsi, Nazaruddin melakukan korupsi, maka Nazaruddin bukan Mukmin. Kalimat pertama disebut premis mayor dan yang kedua disebut premis minor, sedangkan kalimat terakhir adalah kesimpulan. Adapun kedua premis di atas dihubungkan oleh terma “korupsi” yang disebut sebagai middle term (al-hadd al-ausath). Middle term mesti ada untuk memenuhi syarat tertentu agar kesimpulan dapat ditarik dengan sempurna. Selain itu, kebenaran dan kualitas premis sangat penting untuk menunjukkan pringkat silogismenya. Premis yang diambil dari kebenaran primer dan langsung akan membawa pada kesimpulan yang benar dan pasti. Jika tidak, maka silogismenya turun dari demonstratif menjadi dialektik. Dan, jika premisnya kebenaran semu, yang dicapai adalah pringkat silogisme sofistik, hingga seterusnya ke tingkat retorik dan puitis.72 Filosof Muslim menunjukkan contoh-contoh yang keliru agar seseorang tidak terkena kekeliruan logis dalam mengambil kesimpulan. 71 72 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 138 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 139-140 91 Sehingga pemahaman akal terhadap objek ma‟qūlāt tidak keliru,73 sebagaimana objek fisik dapat ditangkap oleh indra zahir manusia. Metode lain yang bersifat non indrawi dan supra rasional adalah „irfānî. Metode ini menurut tokohnya seperti Suhrawardî, Ibn „Arabî, dan Mullā Shadrā mampu menangkap makna dari suatu objek secara keseluruhan. Tidak seperti akal yang hanya menangkap bentuk eksternal/artifisial dari suatu objek abstrak yang mereka sebut dengan shūrah atau shuwar. Metode „irfānî tidak tidak didasarkan pada pengamatan indrawi atau intelektual (akal), tetapi lebih pada pengamat intuisi. Pengamatan intuitif adalah pengenalan langsung (tanpa mediasi), baik yang berupa konsep ataupun representasi.74 Sehingga dikatakan, terjadinya “identik” antara si mengetahui dengan yang diketahui. Dengan kata lain, objek yang diteliti hadir dalam jiwa seseorang (hudhurî), atau disebut juga ‟ilm hudhurî, lawan dari „ilm hushūlî atau ilmu perolehan. Kualitas „ilm hudhurî ini bergantung pada tingkat kesempurnaan seseorang. Semakin bersih zahir batin seseorang dari dosa, semakin siap ia menerima dan menyongsong iluminasi (pencahayaan) dari Tuhan, bukan dengan mempertajam pencerapan indra atau olah nalar.75 Dalam kategori ilmu intuitif atau hudhuri adalah “kenabian”. Nabi-nabi adalah yang kualitas kepribadiannya menerima ilmuminasi dari Tuhan begitu tinggi. Sehingga apa yang diterimanya tersebut begitu baik, akurat, dan sempurna 73 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 140-141 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 142-143 75 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 143-145 74 92 sebagaimana al-Quran. Namun, menurut Mulyadhi karena ia adalah ayat (tandatanda), maka ia bersifat simbolis atau memiliki makna spiritual (ma‟nawiyah). Sehingga, penafsiran bahkan penafsiran ulang terbuka baginya, atau jika perlu ta‟wil. Penafsiran terhadap kitab suci (al-Qur‟an) telah menghasilkan metode ilmiah Islam yang disebut metode bayānî.76 Dalam rangka memahami kitab suci sebagai bahasa simbolis, ada beberapa cara yang ditempuh oleh ahli tafsir dan ulama lainnya. (1) Tafsîr, mengubah redaksi bahasanya dengan redaksi bahasa lain, baik yang sama kedudukannya dalam bahasa Arab atau sepadan pengertiannya dengan bahasa asing; (2) Ta‟wîl, menjelaskan makna sebuah ayat setelah menghilangkan makna esoterisnya; (3) Tashrîf, melakukan pengubahan kata yang berimplikasi pada penambahan dan pengurangan; (4) Tafri‟, mengembangkan sebuah objek dengan partisi-partisi atau sub-sub bahasa; (5) Jam‟, menggabungkan yang terpisah; (6) Tafrîq, memisah-misahkan hal yang telah terhimpun. Misalnya, memisahkan cuplikan ayat dari konteks keseluruhannya.77 Metode ilmiah tajrîbî, burhānî, „irfānî, dan bayānî yang merupakan kesatuan padu dalam epistemologi Islam harus dipertahan dan dikembangkan jika tidak mau terjadi disintegrasi metodologis. Keempat metode tersebut adalah sah dan ilmiah, sekalipun objek penelitiannya tidak hanya yang fisik. Perbedaannya hanya pada sifat 76 77 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 145-146 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 146 93 objek penelitiannya. Diharapkan dengan keempat metode tersebut, seluruh rangkaian objek dari yang fisik hingga metafisik dapat diketahui dengan cermat dan baik.78 Ada empat penjelasan ilmiah Aristotelian yang telah dipangkas oleh saintis modern sedemikian rupa. Sehingga penjelasan ilmiah hanya melingkar-lingkar pada yang kasatmata. Empat sebab atau prinsip penjelasan ilmiah Aristotelian tersebut adalah: pertama, sebab efisien: yaitu sumber dari sebuah perubahan (gerak), atau menurut Muhammad Taqi Mizbah Yazdî adalah sebuah wujud (maujūd) lewat mana wujud yang lain (akibat) dihasilkan, termasuk agen alami yang mempunyai pengaruh atas gerakan dan perubahan dari benda jasmani. Bagi Aristoteles dan pengikutnya (peripatetik), Tuhanlah sebagai sebab efisien alam semesta. Selain Tuhan, akal aktif juga dapat dikatakan sebagai sebab efisien. Sebab efisien ini bisa diterapkan pada objek apa saja, baik budaya maupun objek fisik lainnya.79 Kedua, sebab final, yaitu tujuan akhir bagi sebab sesuatu itu dilakukan atau diadakan.yang untuk mencapainya sesuatu itu dilakukan. Tidak seperti sains modern, dalam epistemologi Islam, didapat beberapa jawaban atas pertanyaan untuk apa alam ini diciptakan. Misalnya, alam diciptakan dengan tujuan tertentu (bi al-haqq) bukan kebetulan atau tanpa tujuan (bi al-bāthil). Juga, ia diciptakan sebagai tanda (ayat) Allah, yang menunjukkan keberadaan-Nya, kebesaran, kebijaksanaan, dan sifat-Nya yang lain. Bahkan banyak sufi mengatakan alam semesta tak lain dari manifestasi 78 79 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 147 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h.153-155 94 (tajalliyāt) sifat-sifat ilahi.80 Selain sebagai tanda (ayat) Allah, juga diciptakan untuk tujuan menghasilkan manusia khususnya dalam bentuknya yang sempurna (al-insān al-kāmil) seperti yang diwakili oleh Nabi Muhammad Saw. Hadis qudsi mengatakan laulāka wa laulāka mā khalaqtu a‟lām kulluhā.81 Dengan demikian, penciptaan alam memiliki tujuan, bukan “kekuatan buta” oleh Schopenhour, juga kekuatan alam tanpa tujuan tertentu seperti yang dibayangkan Darwin.82 Dalam wacana kosmologi kontemporer, sebenarnya ditemukan apa yang dikenal sebagai prinsip antropis (anthropic principle). Walaupun dalam prinsip ini memahami adanya tujuan terencana dari penciptaan alam yang puncaknya adalah manusia. Namun, para ilmuwan modern ada yang ragu, tidak peduli, bahkan membantah adanya campur tangan Tuhan. Meskipun begitu, bagi yang yakin bahwa alam semesta diciptakan dengan tujuan tertentu, teori antropik di atas bisa dijadikan sebagai jawaban alternatif terhadap sebab final penciptaan alam semesta, sebagaimana dalam hadis qudsi di atas. Ketiga, sebab materiil, yaitu sebagai sebab di mana sesuatu itu datang atau sebab di mana sebuah perubahan terjadi. Sebab materiil berbicara tentang materi yang menyusun sebuah objek. Sebab materiil ini harus ada disetiap objek yang diteliti, tetapi materi ini sangat bergantung kepada bentuk dan si pemberi bentuk agar bisa terlihat seperti sekarang ini. Pada alam semesta, menurut Aristoteles sebab 80 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 156 Mulyadhi Kartanegara , Menembus Batas Waktu, h. 44-45 82 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu. h. 157 81 95 materiilnya adalah “materi utama” (al-hāyūlā). Materi utama ini bukan, misalnya, air, api, angin dan sebagainya, ia adalah potensi, yaitu berpotensi untuk mengaktual atau sebaliknya. Oleh karena itu Ibn Sînā menyebut alam semesta sebagai mumkin alwujūd, yaitu wujud potensial yang untuk mengaktual memerlukan agen aktual yang disebut wajib al-wujūd.83 Pengubahan potensi keaktualitas hanya mungkin apabila potensi tersebut diberi bentuk (shūrah). Oleh karena itu, para filosof Muslim merasa penting menjelaskan sebab keempat, yaitu sebab formal, yaitu sebab kemana sesuatu itu diubah, yang dengannya berbagai objek memperoleh sifat khasnya masing-masing. Tanpa diberi atau bergabungnya bentuk dan materi, materi alam tetap menjadi potensi dan tidak mengaktual seperti sekarang ini. Pemberi bentuk tersebut adalah akal aktif, yang sering disebut wāhib al-shuwar (pemberi bentuk).84 Keempat penjelasan ilmiah di atas ilustrasinya seperti patung yang dibuat oleh seorang pemahat (sebab efisien). Caranya dengan membuat beberapa perubahan pada perunggu (sebab materiil) dengan tujuan untuk membuat sebuah objek yang menarik dan indah (sebab finalnya), sehingga perunggu tersebut memperoleh bentuk khusus (sebab formal) dari sebuah patung.85 Dalam alam pikiran modern, sebab materil dan formal dianggap kuno, tanpa nilai atau makna yang besar kecuali dalam estetika. Sebab final juga demikian, 83 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu. h. 158-160 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara dari A History of Islamic Philosophy, (Jakarta: Pustaka Jaya, cet. I. 1987), h. 137 85 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu. h. 150 84 96 apalagi dalam fisika, karena memang sebagian besar penelitian mencontohi fisika yang ide tentang tujuan tidak memiliki tempat. Sebab formal, sebagaimana sebab final, juga disingkirkan karena dipandang tidak menjelaskan fakta, tetapi berbicara tentang makna yang tidak dibutuhkan oleh sains.86 Sedangkan sebab efisien masih diperhatikan, namun dipahami dalam pengertian imanen, yaitu alam berasal dari dirinya sendiri, tidak lebih dari itu. Sains modern hanya menjawab pertanyaan “bagaimana”. Padahal, bagi kaum Muslimin, misalnya, pertanyaan tentang apa tujuan alam diciptakan begitu bermakna. Hal demikian menyebabkan penjelasan ilmiah tidak lengkap dan tidak memberi “orientasi” yang berguna bagi manusia, serta menodai rasa ingin tahu manusia.141 Dari sudut pandang keilmuan yang integral dan holistik, keempat prinsip (sebab) penjelasan ilmiah itu harus dikembalikan, alasannya agar sebuah objek yangditeliti menjadi komprehensif.87 Dalam lipatan sejarah pemikiran Islam, keempat prinsip penjelasan ilmiah tersebut mendapat perhatian serius, mulai dari al-Kindî hingga Ibn Khaldūn, dan bahkan hingga pemikir Muslim kontemporer seperti Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Thabathaba‟i, dan lain-lain.88 Sains modern menderita banyak akibat hanya memperhatikan pada sebab efisien, kini 86 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu. h. 151 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu. h. 142 88 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, h. 123-126 87 97 ilmuwan Barat mulai menyadarinya, sehingga mencoba melengkapinya dengan menggunakan tradisi Timur.89 Menurut Al-Kindî, keempat penjelasan ilmiah tersebut menjawab pertanyaan apakah, apa, yang mana dan mengapa. Keempatnya pertanyaan itu akan menjelaskan tentang keberadaan (dari sesuatu), jenis dari setiap yang ada yang memiliki sebuah genus, perbedaannya yang khas, dan tentang sebab final yang absolut.90 Akhirnya, diperolehlah pengetahuan penuh tentang definisi dari setiap objek yang diteliti. Juga, dengan menjelaskan keempat sebab tersebut, akan memperoleh pengetahuan yang holistik dan komprehensif dari suatu objek yang diteliti, dan akhirnya secara tidak langsung melebur menjadi satu. C. Analisis Persamaan dan Perbedaan Selama ini di kalangan Islam telah terjadi suatu pandangan yang membedakan antara kailmuan Islam dan sains modern. Ada perlakukan diskriminatif terhadap dua jenis ilmu tersebut. Umat Islam seolah terbelah antara mereka yang berpandangan positif terhadap ilmu-ilmu ke-Islam-an sambil memandang negatif yang lainnya, dan mereka yang berpandangan positif terhadap sains sembari memandang negatif terhadap ilmu-ilmu ke-Islam-an. Kenyataan itu telah melahirkan pandangan dan perlakuan yang berbeda terhadap ilmuwan. 89 90 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu. h. 153 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu. h. 160 98 Karena itu perlu ada usaha untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali argument dan rasional yang berkaitan dengan persoalam tersebut dan menilai kembali kesimpulan dan penafsiran, memproyeksi kembali tujuan-tujuan dan melakuakan semua itu sedemikian rupa sehingga memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cita-cita, yang mencoba memecahkan masalahmasalah yang timbul karena perjumpaan Islam dan sains moderns sebelumnya. Al-Attas dan Mulyadhi merupakan cendikiawan yang memiliki kesamaan pemikiran bahwa untuk mengatasi masalah yang dihadapi umat di antaranya yaitu dikotomi pendidikan, merosotnya moral umat, adalah dengan cara integrasi agama dan sains. Dari kedua pemikir diatas dapat dianalisa bahwa ada persamaan dan perbedaan dalam kerangka pemikiran mereka tentang integrasi agama dan sains. 1. Persamaan Dilihat dari Landasan integrasi agama dan sains, Al-Attas dan Mulyadhi sama dan satu konsep yang berlandasakan prinsip metafisik, ontologi, epistimologi, dan aksiologi dengan konsep tauhid sebagai kuncinya. Al-Attas mendukung metode tauhid di mana terdapat kesatuan antara kaidah empiris, rasional, deduktif dan induktif. Dia juga menyarankan agar memakai metode tafsir dan ta‟wil sebagai metode pendekatan untuk ilmu pengetahuan dan pendidikan. Sama halnya dengan Mulyadhi, yang bisa direkam dari integrasi ala Mulyadhi adalah, tauhid wahdah al-wujūd oleh seorang saintis 99 ketika melihat beragam aspek alam sekaligus cabang ilmunya, tergambar adanya satu kesatuan dari seluruh realitas, termasuk dirinya sendiri di dalamnya. Mulyadhi juga menginginkan adanya keterlibatan agama (metafisis-filosofis) terhadap sains. Namun, keterlibatan ini tidaklah melebur dan menyatukan diri secara mutlak, metodologi (cara memperoleh dan mengolahnya) tetap berbeda, kecuali dilihat dari sudut pandang status ontologis, yang di situ membuat sains dan agama kelihatannya bisa dirajut. Sehingga, epistemologi Islam sekaligus menjadi epistemologi sains. Keduanya sepakat bahwa konsep integrasi agama dan sains merupakan solusi dari masalah yang dialami umat. Yaitu dengan melakukan pembedahan ulang atas nilai sains yang dikotomik dengan menyesuaikan dengan padangan Islam. Hal ini bisa dilihat dari karya-kaya mereka Islam and Sekulerism dan integrasi ilmu serta karaya lainya. 2. Perbedaan Meskipun sama-sama mengemukakan ide tentang integrasi agama dan sains, tetapi tak dapat dipungkiri kalau terdapat beberapa perbedaan antara kedua tokoh tersebut diantaranya adalah: 1. Konsep integrasi Al-Attas adalah pembebasan manusia dari tradsi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasanya. Sedangkan konsep integrasi Mulyadhi adalah reintegrasi, yang bersifat 100 rekonstruksi (menata ulang) sistem keilmuan secara holistik, rekonstruksi yang dimaksudkan Mulyadhi dapat ditegaskan yaitu meramu secara kritis bahan-bahan yang ada pada tradisi intelektual Islam yang telah dibina selama lebih dari satu millenium oleh para filosof dan ilmuwan Muslim klasik. 2. Dalam metodologi, Al-Attas memisahkan unsur-unsur yang dibentuk budaya peradaban barat dan memaskukan elemen-elemen Islam. Sebagaimana telah dijelaskan Al-Attas Sumber dan metode sains menurtu Al-attas ada 3 yaitu: Indera-indra lahir dan batin, Akal dan intuisi, otoritas. Adapun untuk penerapan praktis memasukan elemen-elemen Islam sangat terkait dengan dunia pendidikan. Konsep agama (dîn) menunjukkan kepada maksud mencari pengetahuan dan keterlibatan dalam prose pendidikan. Konsep manusia (insān) kepada ruang lingkup. Konsep ilmu („ ilm dan ma‟rifāh) mengacu kepada isi. Konsep kearifan (hikmāh) kepada kreteria dalam hubungannya dengan konsep manusia (insān) dan ilmu (ilm dan ma‟rifāh). Konsep keadilan ( „adl ) kepada pengembangan dalam hubungannya dengan konsep kearifan (hikmāh). Konsep perbuatan yang benar („amal sebagai adab) kepada metode dalam hubunggannya dengan konsep agama (dîn) – konsep keadilan ( „adl ). Konsep universitas (kulliyāh-jami‟āh) dianggap penting karena berfungsi sebagai implementasi semua konsep itu dan menjadi model sistem pendidikan untuk tingkat rendah. Selanjutnya manurut al-Attas memasukkan konsep 101 kunci Islam, misalnya konsep universitas (kulliyāh-jami‟āh) yaitu harus ditransformasikan kepada para mahasiswa yang belajar di Universitas. Adapun Mulyadhi Mengintegrasikan agama dan sains yang telah terdikotomi adalah dengan cara menemukan basis yang sama bagi sains tersebut terkait sumber dan metode ilmiah menurut mulyadhi ada 4 yaitu; tajrîbî, burhānî, „irfānî, dan bayānî yang merupakan kesatuan padu dalam epistemologi Islam dan juga bisa menjadi sumber sains sehingga nanti bisa menyatukan diri walaupun tidak secara mutlak. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan analisis dan sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa Islam merupakan sarana yang menghubungkan manusia dengan Allah. Sehingga antara manusia dengan Allah terbingkai dalam mikrokosmos dan makrokosmos. Saluran yang dipakai dalam hubungan itu adalah sains. Maka Islam dan sains merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan mencapai kebenaran. Pencapaian sains didapatkan melalui hidayah Allah dan usaha manusia itu sendiri. Idealnya muslim yang berpegang teguh pada Islam akan meraih kesuksesan dalam berfikir. Adapun dikotomi agama dan sains yang terjadi selama ini, ternyata pada masa kejayaan khasanah keilmuan Islam pada masa lampau tidak pernah terjadi. Penyebab dari permasalahan ini adalah munculnya pemikiran dan budaya Barat yang meleburkan diri pada sains. Barat telah berhasil meracuni pikiran Muslim melalui kebudayaan yang masuk ke tubuh umat Islam dengan sains modernnya yang sangat maju dan sekuler. Seperti halnya lembaga pendidikan Islam di Indonesia sendiri hampir semua terkontaminasi oleh budaya Barat sehingga terdapat kecendrungan sinis terhadap keilmuan Islam dan itu berlanjut dengan kemunduran dalam dunia pendidikan masyarakat Islam. Melihat kenyataan ini maka para Cendikiawan Muslim mempunyai pandangan tersendiri dalam menyatukan agama dan sains dengan cara integrasi, seperti Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara dengan konsep integrasinya yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya dengan persamaan dan perbedaan konsep integrasinya. 102 103 . Persamaan Kriteria Muhammad Naquib Al-Attas Mulyadhi Kartanegara Ontologi, epistemologi, aksiologi, Ontologi, epistemologi, aksiologi, dan tauhid sebagai konsep kunci dan tauhid sebagai konsep kunci Landasan Integrasi Pebedaan Kriteria Konsep Metodologi Muhammad Naquib Al-Attas Mulyadhi Kartanegara Pembebasan manusia dari tradsi magis, mitologis, animistis, kulturReintegrasi, yang bersifat rekonstruksi nasional (yang bertentangan dengan (menata ulang) sistem keilmuan Islam) dan dari belenggu paham secara holistik sekuler terhadap pemikiran dan bahasanya Memisahkan unsur-unsur yang dibentuk budaya peradaban barat Menemukan basis yang sama bagi dan memaskukan elemen-elemen sains dengan tradisi intelektual Islam Islam Dari kajian dan pemikiran integrasi dari kedua tokoh di atas bisa disimpukan bahwa integrasi Muhammad Naquib Al-Atta itu berbasis tasawuf yang menyuarakan intuisi sebagai elemen dasar sedangkan Mulyadhi Kartanegara merujuk pada tradisi sains Islam klasik yang bernuansa filosofis. Walaupun berbeda dalam metodologi namun mereka sama berpendapat bahwa sains yang dianggap skuler ini bisa disatu padukan kembali karena sains menurut Mulyadhi bukan sekedar fakta namun juga plus ilmuwan, sains juga bisa menempati sisi objektif dan sujektif sekaligus. Sehingga sains pun bisa dinaturisasikan kembali seperti pada masa keemasan keilmuan Islam klasik yang integral. 104 B. Saran-saran Kajian Integrasi agama dan sains ini tentu tidak sempurna, sehingga diperlukan kajiankajian yang lebih mendalam mengenai tema tersebut dengan membandingkan konsep beberapa tokoh sehingga bisa didapatkan sebuah bentuk yang ideal, karena kajian ini menyangkut tentang tujuan hidup, sejarah, dan nilai Islam yang berorientasi membangkitkan kembali masyarakat dari kemunduran yang disebakan oleh dikotomi antara agama dan sains. Adapun yang tidak kalah pentingnya ialah mengimplementasikan dalam dunia pendidikan segala hasil penelitian ini. Sehingga konsep ini bermanfaat. Daftar Pustaka Al-Attas, Syeh Muhammad Naquib. Islam dan Sekuralisme. terj. Karsidjo Djojosuwarno dkk. Bandung: Pustaka, 1991. ________________, Islam dan Filsafat Sains, Bandung: Mizan, 1995. ________________, Konsep Pendidikan dalam Islam; suatu rangka pikir pembinaan Filsafat Pendidikan Islam. Bandung:Mizan, 1994. ________________, Islam dan Sejarah Kebudayaan Melayu, Bandung: Mizan,1990 ________________, Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah ; King Abdul Aziz University, 1979. ________________, Prolegomena to the Methaphisics of Islam and Expo sition Fundamental Elements of the Worldview of Islam Kuala Lumpur: ISTAC, 2001. of Alatas, Ismail Fajrie. Konsep Ilmu dalam Islam, Jakarta: Diwani Publissing 2006. Al-Faruqi, Ismail Raji, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, 1984. Al-Qardhawi, Yusuf. Islam dan Sekulerisme, terj: Amirullah Kandu & Maman Abd. Djaliel, Bandung: CV Pustaka Setia, 2006. cet. Ke-I. Ahmad, Amrullah Kerangka dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam”, dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara cita dan fakta, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991. Ambary, Hasan Mu’arif. et, al, Suplemen Ensiklopedi Islam. Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Van Hoevoe, 1995. Assegaf, Abd. Rachman. Membangun Format Pendidikan Islam di Era Globalisasi, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004 cet. Ke-1. Badaruddin, Kema. Filsafat Pendidikan Islam, Analisis Pemikiran Prof.Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005. Bagir, Zainal Abidin, dkk, Integrasi Ilmu dan Agama: Intrepretasi dan Aksi Bandung:Mizan Pustaka Kerjasama dengan UGM dan Suka Press Yogyakarta, 2005. 105 106 Butt, Nasim, “ Scince and Muslim Society ”, terj, Masdar Hilmi: Sanins masyarakat Islam, Bandung:: Pustaka Hidayah, 1996, cet. Ke-1 dan Bakar, Osman “Tawhid and Science: Essays oon the history and philoshopy of Islamic science”, terj oleh yuliani Liputo, Tauhid dan Sains: Essay tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994 cet. Ke-1 Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara dari A History of Islamic Philosophy, Jakarta: Pustaka Jaya, 1987 cet. Ke-I. Fathoni, Muhammad, “Filsafat Pendidikan Islam Dalam Pemikiran Naquib Al-Attas”, Retrieved Oktober 14, 2016, From http://dokumen.tips/documents/konseppendidikan-menurut-naquib-al.html. Hashim, Rosnani. gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Komtemporer. No. 6 Thn. 2. Jakarta : Juli-September, 2005. Husiaini, A. et. al , Filsafat Ilmu : Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani Press. 2013. Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik, Arasy,Mizan.2005. ________________, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Manusia, dan Alam, Jakarta: Erlangga. 2007. ________________, Menyelami Lubuk Tasawuf, Ahmad Ta’yudin & Singgih Agung (ed), Jakarta: Penerbit Erlangga. 2006. ________________, Menembus Batas Waktu. Panorama Fisafat Islam. Bandung: Mizan,. 2002. ________________, Menyibak Tirai Kejahilan. Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan, 2003. ________________, Filsafat Islam, Etika, dan Tasawuf; Sebuah Pengantar, Agus Darmaji (ed), (Jakarta: Ushul Press, cet. I. 2009. ________________, Jalal al-Dîn Rūmî; Guru Sufi Penyair Agung, terj: Ilham B. Saenong dari buku The Mystical Reflections of Jalal al-Dîn Rūmî,Jakarta Selatan: Teraju,. 2004. cet. Ke-I Kuswanjono, Arqom, Integrasi Ilmu Perspektif Mullā Shadrā, Yogyakarta: Kahfi Offset, 2010 107 Mulyanto, “ Islamisasi Ilmu pengetahuan” , Ulumul Qur’an, no.9, vol. II/1991 Muliawan, Jasa Ungguh, Pendidikan Islam Integratif, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005 Mikhael Dua A. Sony Keraf dan, Ilmu pengetahuan: sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta: Kanisius, 2001, cet, ke-1 Mughal, Amien Rais, Cakrawala Islam: antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1990 Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung : Mizan, 1995. Nasr, Syayed Hossein, Antara Tuhan, Manusia, dan Alam Spiritual; Jembatan Filosofis dan Relegius Menuju Puncak, terj; Ali Noer Zaman dari The Encouner Man and Nature, Yogyakarta; IRCisoD 2006. cet. Ke-I. Sardar, Ziauddin, Masa Depan Islam. Pustaka Salman, 1987. Syafie, Ahmad Bazli, “Metafizik Vs Sain; Krisis Pendidikan Barat Modern”, dalam Al-hikmah, Bil. 3, Kuala Lumpur: Forum ISTAC, 2000. Soleh, A. Khudlori, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 cet. Ke-1. Samsul Nizar dan Al-Rasyidin, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, teoritis dan Praktis cet.2, Jakarta: Ciputat Press, 2005. Syaikh,M. Sa’id Kamus Filsafat Islam, ter: Machnun Husein dari buku A Dictionari of Muslim Philosophy, Jakarta: Rajawali Pers, cet. I. 1991. Suharton, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2005. Saefudin, A.M. Desakralisasi Pemikiran Landasan Islamisasi, Bandung: Mizan, 1990. SM, Ismail “Paradigma Pendidikan Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib alAttas”dalam jurnal Pemikiran Pendidikan Islam, 2001. Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, akal, dan Hati sejak Thales sampai Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002. Wan Daud, Wan Mohd Nor, (ed), Budaya Ilmu Satu Penjelasan, Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd. 2003. 108 _________________, The Educational Philosophy And Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, Kuala Lumpur: ISTAC, 1998. ________________, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib AlAttas, Bandung: Mizan, 2003. Zainuddin, dkk (ed), Pendidikan Islam dari paradigma klasik Hingga Kontemporer, Malang;UIN Malang Press, 2009. Zubaedi. Islam Benturan dan Antar Peradaban, Jogjakarta, AR-RUZZ MEDIA, 2007 cet. ke-I.