1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

advertisement
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
1. Manfaat menyusui
Menyusui
memberikan
kontribusi
dalam
pencapaian
tujuan
pembangunan milenium, di antaranya adalah pengurangan kematian anak dan
perbaikan kesehatan ibu. Sejak tahun 2001 World Health Organization (WHO)
merekomendasikan pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif sebagai
metode pemberian makanan bayi yang optimal selama 6 bulan pertama
kehidupan bayi dan meneruskan menyusui hingga 2 tahun (WHO, 2003;
Kramer and Kakuma, 2012).
Menyusui sangat penting karena dikaitkan
dengan kematian, penyakit infeksi, dan status gizi anak.
Menyusui eksklusif dapat mengurangi kematian bayi. Bayi usia 0-3
bulan yang sudah diberi makanan tanpa ASI mempunyai risiko kematian 15,1
kali lipat karena diare, dan 4 kali lipat karena infeksi saluran pernafasan akut
(Betrán et al., 2001). ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan dapat
mengurangi 13% dari angka kematian bayi (Jones et al., 2003). Anak yang
tidak disusui pada umur 0-5 bulan mempunyai 14,40 (95% CI 6,09–34,05) kali
lipat risiko untuk meninggal dibandingkan dengan anak yang disusui eksklusif.
Anak yang tidak disusui pada usia 6-23 bulan mempunyai 3,68 (95% CI 1,46–
9,29) kali lipat risiko meninggal dibandingkan dengan anak yang disusui
(Black et al., 2008).
Tidak disusui umur 6-23 bulan menyumbang 11,6%
kematian anak balita (Black et al., 2013a)
2
ASI mengandung berbagai sifat anti infeksi, termasuk imunoglobulin,
sel darah putih, komponen anti inflamasi, enzim dan antibodi non-faktor seperti
laktoferin dan faktor bifidus. Bayi yang mendapat ASI secara eksklusif
mendapat perlindungan terhadap: diare, infeksi saluran pernafasan bagian
bawah, otitis media, bakteri meningitis, botulisme, infeksi saluran kemih,
sindrom kematian bayi mendadak, insulin-dependent diabetes, limfoma,
penyakit alergi, penyakit pencernaan kronis dan obesitas (Quigley et al., 2007;
Mihrshahi et al., 2007; Duffy et al., 1997; Kramer and Kakuma, 2002; Kramer
et al., 2001a). Besar risiko anak yang tidak disusui pada kematian dan penyakit
infeksi disajikan pada Tabel 1 (Black et al., 2008)
Tabel 1: Risiko relatif tidak menyusui pada kematian dan penyakit infeksi^
Outcome
Kematian
Kematian diare
Kematian pnemonia
Insiden diare
Insiden pnemonia
Predominan^^
RR (95% CI)
Umur 0-5 bulan
Disusui parsial^^
RR (95% CI)
Tidak disusui
RR (95% CI)
Umur 6-23 bulan
Tidak disusui
RR (95% CI)
1,48(1,13–1,92)
2,28(0,85–6,11)
1,75(0,48–6,43)
1,26(0,81–1,95)
1,79(1,29–2,48)
2,85(1,59–5,10)
4,62(1,81–11,8)
2,49(1,03–6,04)
3,04(1,32–7,00)
2,48(0,23–27,1)
14,40(6,09–34,05)
10,53(2,80–39,64)
15,13(0,61–373,8)
3,65(1,69–7,88)
2,07(0,19–22,64)
3,68(1,46–9,29)
2,83(0,15–54,8)
1,52(0,09–27,1)
1,20(1,05–1,38)
1,17(0,37–3,65)
^ dibandingkan dengan menyusui eksklusif 0-5 bulan dan menyusui 6-23 bulan
^^ ASI eksklusif: hanya diberi ASI, Predominan: ASI dengan air atau teh, Parsial: ASI dengan cairan atau makanan padat
Menyusui memiliki keuntungan jangka panjang. Orang yang disusui
saat bayi mempunyai total kolesterol lebih rendah, tekanan darah sistolik dan
diastolik lebih rendah, tingkat kecerdasan yang lebih tinggi, serta risiko
obesitas dan diabetes tipe-2 lebih rendah (Horta et al., 2007). Menyusui juga
memberikan beberapa manfaat psychoneuroimmunological ibu, mungkin
melalui
prolaktin
atau
melalui
sumbu
hypothalamus-hypophyseal-
3
adrenocortical. Ibu dapat terlindungi dari stres postpartum (Groer and Davis,
2006). Menyusui bayi akan meningkatkan ikatan ibu dan menunda kehamilan
karena lactation ammenorrhea method (LAM). Menyusui eksklusif dapat
mengurangi fertilitas, sehingga dapat mengurangi stres reproduksi (Saadeh and
Benbouzid, 1990; Kennedy and Visness, 1992; Pérez et al., 1992). Menunda
kehamilan dapat meningkatkan jarak kehamilan, sehingga risiko hamil terlalu
sering dan kejadian malnutrisi pada ibu hamil dapat dikurangi. Menyusui
dihubungkan juga dengan pengurangan pendarahan pasca melahirkan, kanker
payudara, kanker endometrium, kanker ovarium, dan juga kemungkinan
penurunan bone loss saat menopause (Horta et al., 2007).
Berkaitan dengan status gizi, penelitian Kramer menunjukkan bahwa
bayi yang disusui eksklusif selama tiga
bulan sedikit lebih baik dalam
pencapaian berat badan dibandingkan dengan yang disusui eksklusif selama
enam bulan, tetapi bayi yang disusui eksklusif selama 6 bulan mengalami
pertumbuhan tinggi badan lebih cepat pada usia sembilan bulan dan 12 bulan
(Kramer et al., 2003). Anak yang disusui eksklusif kurang dari dua bulan
mempunyai pertambahan berat badan 348 gram (95% CI 69 - 626 gram) lebih
tinggi dibandingkan dengan yang disusui eksklusif lebih dari lima bulan
(Gunnarsdottir et al., 2010). Di negara-negara berkembang atau sedang
berkembang bayi yang disusui eksklusif selama enam bulan tidak mengalami
defisit pertumbuhan pada bayi
(Fewtrell et al., 2007; Martines et al., 1994;
Kramer and Kakuma, 2012). Beberapa ahli mengkhawatirkan bahwa menyusui
eksklusif selama enam bulan dapat mengganggu pertumbuhan, akan tetapi pada
systematic review tentang durasi optimal menyusui eksklusif tidak ditemukan
4
bukti
objektif
dari
'weanling's
dilemma'.
Beberapa
penelitian
juga
menunjukkan bahwa bayi yang menyusu secara eksklusif tidak menunjukkan
kegagalan pertumbuhan (Cohen et al., 1994; Simondon and Simondon, 1997;
Kramer et al., 2007b; Bhandari et al., 2003; Kramer and Kakuma, 2012).
Mengingat
pentingnya
menyusui,
Indonesia
telah
mengadopsi
rekomendasi WHO untuk menerapkan menyusui eksklusif selama 6 bulan
pertama kehidupan dan meneruskan menyusui sampai usia 24 bulan (Menteri
Kesehatan RI., 2004). Walaupun berbagai kebijakan dan program telah
diupayakan, akan tetapi target menyusui eksklusif belum tercapai dan terdapat
kecenderungan penurunan lama menyusui yang konsisten. Prevalensi menyusui
eksklusif bayi < 6 bulan masih jauh di bawah target 80%. Data Survei
Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan bahwa pada tahun 2002
prevalensi menyusui eksklusif adalah 40%, menurun menjadi 32% pada 2007,
dan meningkat kembali menjadi 41% pada 2012. Median durasi menyusui
eksklusif cenderung menurun berturut-turut tahun 2002, 2007, dan 2012 adalah
1,6 bulan, menurun menjadi 0.7 bulan, dan tetap pada 0,7 bulan. Median durasi
menyusui cenderung menurun berturut-turut tahun 2002, 2007, dan 2012
adalah 22,1 bulan, 22,3 bulan, dan 21,4 bulan. Angka ini masih di bawah
anjuran 24 bulan. Data menyusui eksklusif hasil Riskesdas 2010 menunjukkan
bahwa 90,3% anak usia 0-23 bulan pernah disusui, dan prevalensi menyusui
eksklusif sejak lahir sampai anak usia 6 bulan sebesar 15,3% (Kementrian
Kesehatan RI, 2010). Beberapa faktor determinan dicurigai menjadi penyebab
belum tercapainya target menyusui eksklusif dan menyusui. Faktor determinan
5
ini perlu dimodifikasi melalui intervensi atau program untuk meningkatkan
prevalensi dan durasi menyusui.
Faktor determinan yang dicurigai sebagai penyebab tidak tercapainya
target menyusui eksklusif di Indonesia penting untuk diidentifikasi, sehingga
mendapatkan intervensi yang tepat. Faktor determinan yang dicurigai
berpengaruh pada perilaku menyusui eksklusif telah diidentifikasi pada
beberapa artikel dengan menggunakan data survei (Nkala and Msuya, 2011;
Carvalhaes et al., 2007; Duong et al., 2004), kohor (Gabmayer et al., 2008;
Taveras et al., 2004), eksperimen (Susin and Giugliani, 2008), atau review
artikel (de Jager et al., 2013; Neifert and Bunik, 2013; Yngve and Sjostrom,
2001). Faktor determinan ini berada pada beberapa level atau multilevel, yaitu
pada level individu, keluarga, masyarakat, organisasi, dan kebijakan (Bentley
et al., 2003). Identifikasi faktor determinan yang dicurigai dapat ditelusur dari
level kebijakan sampai ke individu.
Pada level kebijakan, pemerintah telah memfasilitasi dengan beberapa
peraturan tentang dukungan menyusui eksklusif dan menyusui. Peraturan
pemerintah terbaru tentang ASI eksklusif ditandatangani pada 12 Maret 2012
oleh Presiden, diikuti oleh keputusan Kementerian Kesehatan tentang susu
formula bayi pada 13 Mei 2013 (Presiden Republik Indonesia, 2012b).
Peraturan-peraturan tersebut perlu dimaksimalkan implementasinya (World
Health Organization, 2013a).
Pada level organisasi, organisasi profesi
kesehatan dan Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia dapat mendukung kebijakan
menyusui. Pemberian pelayanan pada ibu seperti inisiasi menyusu dini,
konseling menyusui, rawat gabung di pelayanan kesehatan, dan pelatihan
6
petugas kesehatan berpengaruh pada keberhasilan menyusui (Pechlivani et al.,
2005; Merten et al., 2005) (Britton et al., 2007) (Yoesvita, 2008). Hambatan
terutama berasal dari industri susu formula (Merewood et al., 2010; Sadacharan
et al., 2011). Mudahnya mendapatkan susu bayi 0-6 bulan di toko atau warung
di pedesaan menunjukkan pelanggaran terhadap kebijakan menyusui eksklusif.
Pada level masyarakat, agama dan budaya mendukung kebiasaan menyusui.
Lebih dari 90% penduduk adalah muslim yang mempercayai firman
Allah dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 233 dengan terjemahan sebagai
berikut:
"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara ma'ruf. Seorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula
seorang ayah menderita karena anaknya. Ahli waris pun
berkewajiban seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih
(sebelum dua tahun) dengan persetujuan dan permusyawaratan
antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu
ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa
yang kamu kerjakan".
Budaya Jawa menganggap menyusui merupakan bagian dari pengasuhan anak.
Sekitar 70% ibu menjadikan menyusui bayi sebagai kewajiban atau tugas
seorang ibu, dan 60-70% ibu berpikir bahwa menyusui adalah hal yang alamiah
seperti haid, hamil, dan melahirkan. Akan halnya menyusui eksklusif, 30-40%
saja yang pernah mendengar tentang ASI eksklusif (Margawati, 2005). Hal ini
dapat dipahami, karena ASI eksklusif merupakan rekomendasi yang relatif
baru. Perubahan budaya terjadi karena adanya kontak dengan budaya negara
maju yang dianggap modern, termasuk penggunaan susu formula (Kretchmer
7
and Zimmerman, 1997). Dukungan pemimpin, tokoh masyarakat, dan petugas
kesehatan menjadi penting untuk dipertimbangkan (Britton et al., 2007; Kakute
et al., 2005; Anderson et al., 2005)
Level keluarga yang dapat berpengaruh adalah dukungan suami, nenek,
dan keluarga lain. Faktor pengetahuan, sikap, pendapatan, pendidikan, dan
pekerjaan dapat juga memberikan kontribusi pada keberhasilan menyusui. Pada
level individu, faktor pengetahuan, sikap, kepercayaan, tabu, dan praktik
berkaitan dengan keberhasilan menyusui. Hadirnya susu formula menjadikan
perilaku menyusui mendapatkan perilaku pesaing. Ibu dihadapkan pada 2
pilihan cara pemberian makan anaknya, yaitu menyusui, memberikan makanan
pendamping ASI (MPASI) dini, atau memberikan susu botol.
Penanganan
faktor-faktor
determinan
secara
bersamaan
dapat
memaksimalkan hasil intervensi suatu program (UNICEF, 2009). Dengan kata
lain, efektivitas intervensi pada perubahan perilaku menyusui eksklusif akan
tergantung pada sedikit banyaknya penanganan faktor-faktor determinan yang
diasumsikan berpengaruh pada suatu kelompok atau masyarakat. Upaya-upaya
telah dilaksanakan dengan melakukan studi intervensi tunggal, edukasi
berulang,
atau kompleks dengan setting pelayanan kesehatan atau setting
masyarakat.
Intervensi tunggal, misalnya dengan konseling laktasi, training petugas,
kunjungan rumah oleh petugas kesehatan, sedangkan di masyarakat misalnya
training ibu, peer counselor, dan pelatihan untuk ayah memberikan hasil
peningkatan prevalensi menyusui eksklusif dari 1 sampai 2,2 kali lipat
dibandingkan dengan yang tidak dilakukan intervensi (Su et al., 2007; Pisacane
8
et al., 2005; Sukini, 2006). Intervensi dengan konseling berulang pada prenatal
dan postnatal minimal 6 kali memberikan hasil peningkatan prevalensi
menyusui eksklusif dari 1,3 hingga 11,7 kali lipat
(Haider et al., 2000;
Coutinho et al., 2005; Labarere et al., 2005). Pada intervensi kompleks yang
berhasil, efektivitas intervensi sebesar 10,5 dan 13,2 kali lipat dibandingkan
dengan kelompok kontrol (Kramer et al., 2001a; Bhandari et al., 2003; Bolton
et al., 2009). Dari berbagai macam intervensi, intervensi kompleks dapat
memberikan hasil yang lebih maksimal.
Mengingat determinan yang dicurigai berpengaruh terdapat pada
beberapa level, maka konsep promosi harus didekati dengan menggunakan
promosi multilevel. Konsep promosi multilevel digunakan untuk memodifikasi
faktor determinan yang meliputi beberapa level, sesuai pendekatan MATCH
(Multilevel Approach to Community Health) yang melakukan modifikasi faktor
determinan pada berbagai level, yaitu: level ibu, keluarga, masyarakat, dan
kebijakan yang berkaitan dengan menyusui eksklusif.
Konsep promosi
multilevel ini dipilih karena merupakan intervensi yang komprehensif tidak
kompartemental, sesuai dengan struktur sosial masyarakat, dan dapat
memodifikasi lebih banyak faktor determinan.
Pendekatan MATCH ini memfokuskan pada implementasi dengan
perspektif sosioekologi dan mengembangkan intervensi multipel untuk
mengatasi perilaku individu dan kondisi lingkungan. Perspektif ekologi
mempertimbangkan faktor determinan kesehatan, yaitu faktor biologi manusia,
lingkungan, gaya hidup dan pelayanan kesehatan (Davies and MacDowall,
2006; Yngve and Sjostrom, 2001). Perspektif struktur sosial memahami level
9
multipel yang ada di masyarakat yaitu level pemerintah untuk mengubah
kebijakan, level masyarakat untuk membentuk norma, level interpersonal untuk
memberikan dukungan, dan level individu untuk membentuk perilaku. Pada
level masyarakat intervensi ini mengedepankan dan memanfaatkan peran
ulama/kiai untuk membentuk norma masyarakat, di samping memanfaatkan
peran tokoh kepala desa dan kader. Strategi dilakukan berdasarkan berbagai
teori-teori yang mendasari pada tiap level (Bartholomew et al., 2006).
Pendekatan dilakukan dengan menggunakan edukasi, pelatihan, konseling,
konsultasi, advokasi kebijakan, perubahan organisasi, pengembangan media,
dan pengorganisasian masyarakat (Simmons-Morton et al., 1995). Promosi
multilevel ini juga sejalan dengan pedoman pelaksanaan peningkatan ASI
eksklusif yang juga mempertimbangkan latar budaya dan penggunaan sumber
daya serta sarana lokal (Depkes, 1997).
Pendekatan multilevel diterapkan
dalam peningkatan menyusui eksklusif di New York, akan tetapi tidak ada
laporan detail dan hasilnya (Farley, 2011).
Penelitian ini dilakukan di pedesaan Demak, yang mempunyai
prevalensi ASI eksklusif relatif rendah, yaitu sebesar 9%. Penelitian ini juga
mengedepankan peran ulama/kiai, sehingga sesuai dengan masyarakat Demak
yang merupakan masyarakat religius dengan 99,2% pemeluk Islam, didukung
sekitar 20 ulama/mubaligh/khotib per desa. Rasio ulama perpenduduk di
kabupaten Demak termasuk tinggi 1 ulama per 152 penduduk, dibandingkan
dengan rasio di kabupaten Rembang dan Blora berturut-turut adalah 1 per 183
dan 1 per 225 penduduk. Potensi ini ada mengingat Demak merupakan
kerajaan Islam pertama dan terbesar di Indonesia, sehingga pelibatan ulama
10
dalam urusan pemerintahan sudah menjadi budaya. Potensi keberadaan ulama
ini yang dilibatkan dalam promosi multilevel menyusui eksklusif. Selanjutnya
istilah untuk ulama digunakan kata kiai sesuai dengan sebutannya di kalangan
masyarakat Demak. Keteraturan sistem administrasi pemerintahan daerah dan
kepemimpinan dari tingkat kecamatan sampai ke desa bahkan ke rukun
tetangga (RT) memberikan potensi untuk dimanfaatkan dalam promosi ASI. Di
Kabupaten Demak terdapat 1.226 posyandu yang berarti terdapat 5 posyandu
di setiap desa. Pelibatan camat, kepala puskesmas, kepala desa dan kader
posyandu dapat menambah pemberian dukungan untuk promosi menyusui
eksklusif.
Dari hasil studi formatif pada keluarga yang dilakukan peneliti
didapatkan fakta bahwa menyusui merupakan hal yang biasa dipraktikkan,
tetapi para ibu tidak mengetahui menyusui eksklusif. Demikian pula para kiai,
mereka memahami bahwa menyusui diperintahkan hingga masa 2 tahun, tetapi
mereka juga tidak paham menyusui eksklusif. Para ibu sudah memberikan
kolostrum, tetapi praktik menyusui yang mendukung untuk menyusui eksklusif
masih belum dipraktikkan, seperti: ibu memberikan makanan/minuman
sebelum bayi berusia 6 bulan, posisi dan pelekatan menyusui yang kurang
benar, tidak memberikan susu awal dan akhir dengan berganti-ganti payudara
saat menyusui, membatasi minum ibu hanya segelas dalam sehari, ibu tabu
untuk makan makanan hewani, dan ibu belum mengatasi kesulitan menyusui
dengan benar. Demikian pula suami dan orangtua, mempunyai kepercayaan
dan pengetahuan yang kurang benar tentang menyusui. Berbeda dengan staf
puskesmas yang sudah memiliki pengetahuan tentang menyusui eksklusif,
11
tetapi masih berpendapat bahwa tidak mungkin untuk diterapkan karena ibu
biasa memberikan makanan selain ASI pada minggu-minggu pertama setelah
anaknya lahir. Staf puskesmas juga melakukan praktik seperti: memberikan
susu formula bila ASI tidak segera keluar, tidak melakukan inisiasi menyusu
dini, dan kurang memberikan penyuluhan tentang menyusui eksklusif. Hasil
temuan studi formatif digunakan untuk penyusunan program dan kuesioner.
Dalam penelitian ini, promosi multilevel merupakan suatu paket
promosi yang melakukan modifikasi faktor determinan (modifiable factors)
menyusui eksklusif pada setiap level. Faktor determinan didekati dengan
menggunakan PRECEDE-PROCEED model, melalui need assessment pada
riset formatif (Simmons-Morton et al., 1995; Keleher et al., 2007). Faktorfaktor determinan yang dimodifikasi dalam promosi ASI eksklusif ini adalah:
(1) faktor pada level pemerintah/kebijakan, yaitu pelayanan inisiasi menyusu
dini (IMD), rawat gabung/rooming in/bedsharing, tidak memberikan sampel
susu formula, dan melakukan konseling kunjungan rumah, (2) faktor pada level
organisasi adalah pengetahuan, sikap, dan praktik staf puskesmas dan anggota
tim Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi tingkat kecamatan, (3) faktor pada
level masyarakat yaitu pengetahuan dan sikap kader posyandu, kiai, kepala
desa, (4) faktor pada level keluarga yaitu pengetahuan dan sikap ayah, nenek,
atau keluarga yang dihormati, dan (5) faktor pada level individu, yaitu faktorfaktor ibu meliputi pengetahuan, sikap, praktik, kesulitan menyusui.
Implementasi promosi multilevel dimulai dari level kebijakan sesuai
dengan budaya paternalistik yang ada (Butarbutar and Sendjaya, 2009).
Intervensi pada level pemerintah memungkinkan pimpinan mengubah
12
kebijakan dan membagi tugas yang diperlukan. Intervensi pada level ini
dilakukan melalui advokasi sehingga puskesmas dapat menerapkan program
menyusui eksklusif melalui kebijakan inisiasi menyusu dini (IMD), rawat
gabung/rooming in/bedsharing, tidak memberikan sampel susu formula gratis,
penyuluhan, dan konseling kunjungan rumah. Pada level masyarakat dilakukan
melalui media dan advokasi kepada tokoh masyarakat, yaitu kader posyandu,
kiai, dan kepala desa, supaya memberikan dukungan dan membentuk norma
menyusui eksklusif. Pada level keluarga dilaksanakan pelatihan pada ayah dan
nenek/keluarga yang dihormati supaya memberikan dukungan pada ibu. Pada
level ibu diberikan pelatihan dan konseling kunjungan rumah supaya ibu
menyusui eksklusif selama 6 bulan.
Paket promosi multilevel ini diharapkan dapat meningkatkan durasi
menyusui eksklusif. Menyusui eksklusif ditengarai merupakan prediktor dari
durasi menyusui (Labarere et al., 2005; Heath et al., 2002; Camurdan et al.,
2008; Hill et al., 1997). Pemberian makanan minuman selain ASI dini secara
signifikan berhubungan dengan lebih rendahnya durasi menyusui (Howie et al.,
1981; Heath et al., 2002; Marques et al., 2001; Giugliani et al., 2008; Hornell
et al., 2001; Tarrant et al., 2010; Langellier et al., 2012). Median durasi pada
ibu yang sudah memberi makanan minuman pada bulan pertama adalah 65 hari
dibandingkan dengan 165 hari pada ibu yang tidak memberi (Marques et al.,
2001).
Saat ini, stunting (kependekan) menjadi masalah besar di Indonesia.
Prevalensi balita pendek mencapai 35,6% anak balita. Demikian pula
prevalensi balita berat kurang (underweight) dan balita kurus (wasting) relatif
13
tinggi, yaitu sebesar 17,9% dan 13,3% . Beberapa studi mengkhawatirkan
menyusui eksklusif
dapat mengganggu pertumbuhan. Hasil dari studi
prospektif mengungkapkan bahwa ketika ibu didukung dan mengikuti
rekomendasi WHO tentang ASI eksklusif, maka produksi ASI tinggi dan
meningkat seiring waktu, cukup asupan energi, dan pertumbuhan bayi normal
(Nielsen et al., 2011). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bayi yang
menyusui eksklusif tidak menunjukkan kegagalan pertumbuhan (Cohen et al.,
1994; Simondon and Simondon, 1997; Kramer et al., 2007b; Bhandari et al.,
2003). Demikian pula terdapat data tentang menyusui yang mengindikasikan
bahwa menyusui 7 bulan dapat menyebabkan perlambatan dalam mencapai
pertumbuhan berat badan dan tinggi badan (Nielsen et al., 1998). Beberapa
studi melaporkan hubungan antara menyusui lama (prolonged breastfeeding)
dengan pertumbuhan yang kurang baik (Li et al., 2010; Durmuş et al., 2011;
Victora et al., 1998). Studi di Indonesia dan beberapa studi lain menunjukkan
bahwa anak yang tidak disusui mempunyai risiko 2.06 lipat lebih tinggi untuk
menjadi stunting dibandingkan dengan anak yang disusui (Taufiqurrahman et
al., 2009; Adair and Guilkey, 1997; Simondon et al., 2001; Marquis et al.,
1997).
Berdasarkan pertimbangan di atas, patut dipertanyakan:
1. Apakah promosi multilevel dapat meningkatkan durasi menyusui eksklusif di
pedesaan Demak?
2. Apakah faktor pengetahuan ibu dapat meningkatkan durasi menyusui
eksklusif di daerah pedesaan Demak?
3. Apakah menyusui eksklusif dapat meningkatkan durasi menyusui pada anak?
14
4. Apakah promosi multilevel dapat meningkatkan status gizi pada anak sampai
usia 6 bulan dan 24 bulan?
B. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui efektivitas program promosi multilevel ASI dalam meningkatkan
durasi menyusui eksklusif di daerah pedesaan di Demak.
2. Mengetahui pengaruh faktor pengetahuan ibu dalam meningkatkan durasi
menyusui eksklusif di daerah pedesaan Demak.
3. Mengetahui efek menyusui eksklusif terhadap durasi menyusui.
4. Menguji efektivitas program promosi multilevel ASI dalam meningkatkan
status gizi anak di daerah pedesaan di Demak
C. Keaslian Penelitian
Untuk mendapatkan data keaslian penelitian dilakukan pencarian artikel
melalui beberapa ‘search engine’ yaitu: Science Direct, PubMed, Emerald,
SpringerLink, The Cochran, Ebscohost, ProQuest, dan Google Scholar. Juga
dilakukan dengan menggunakan website universitas dan jurnal yang berkaitan
dengan menyusui seperti: perpustakaan UGM, perpustakaan Undip, perpustakaan
UI, Paediatrics, Journal of Nutrition, The Lancet, dan lainnya.
Pencarian menggunakan kata kunci exclusive breastfeeding, breastfeeding
intervention, breastfeeding promotion, multilevel breastfeeding, dan complex
intervention beserta terjemahan kata tersebut. Hasil pencarian mendapatkan
sejumlah 202 judul yang berkaitan dengan intervensi peningkatan menyusui dan
15
menyusui eksklusif serta promosi multilevel. Berdasar judul-judul tersebut
kemudian ditelaah keterkaitan dengan penelitian ini dan mendapatkan 88 abstrak
yang relevan. Dari fulltext artikel tersebut, pada beberapa artikel tersebut di bawah
dirasa terdapat beberapa kesamaan, tetapi juga perbedaan yang dapat
menunjukkan keaslian penelitian ini.
1. Penelitian berjudul ‘Promotion of Breastfeeding Intervention Trial (PROBIT):
A randomized trial in the Republic of Belarus‘ (Kramer et al., 2000; Kramer et
al., 2001a; Kramer et al., 2003; Kramer et al., 2007b; Kramer et al., 2007a)
tahun 2001- 2007 merupakan penelitian intervensi kompleks di bidang
promosi ASI terbesar dengan randomisasi yang melibatkan 17.795 ibu.
Penelitian tersebut melakukan intervensi dengan menggunakan model BFHI
WHO/UNICEF. Sebanyak 31 rumah sakit dan poliklinik dirandomisasi untuk
menerima pelatihan BFHI pada petugas medis, bidan dan perawat (sebagai
kelompok eksperimen) atau meneruskan kegiatan rutinnya (kelompok
kontrol). Hasil yang diukur adalah efeknya terhadap durasi menyusui,
prevalensi ASI eksklusif dan predominan ASI pada usia anak 3 dan 6 bulan,
pertumbuhan anak, kejadian infeksi saluran pencernaan, infeksi saluran
pernafasan, alergi, dan atopic eczema, serta efek jangka panjang pada status
gizi anak dan tekanan darah. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan ini
adalah menggunakan model BFHI dengan sampel ibu dan melihat efeknya
terhadap ASI eksklusif, dan status gizi bayi. Walaupun penelitian ini
nonrandomisasi dan besar sampel jauh lebih kecil, namun penelitan ini
menyertakan konsep perubahan budaya, yaitu norma menyusui yang ada:
(a) pada keluarga melalui ayah dan nenek, (b) pada masyarakat melalui kiai,
16
kader, dukun bayi, kepala desa, dan (c) pada kebijakan pelayanan kesehatan
melalui staf puskesmas dan staf kecamatan. Di samping itu, penelitian ini
melakukan analisis faktor pengaruh pada durasi menyusui eksklusif
dan
waktu penyapihan.
2. Penelitian berjudul
Breastfeeding among low income, African-American
women: power, beliefs and decision making (Bentley et al., 2003) merupakan
review artikel yang mengaplikasikan pendekatan sosioekologi untuk
melakukan review faktor determinan menyusui yang dikelompokkan dalam
level
individu,
interpersonal,
masyarakat,
organisasi,
dan
kebijakan
mengemukakan konsep promosi multilevel. Persamaan dengan penelitian
yang dilakukan ini adalah penggunaan pendekatan sosioekologi dengan
multilevel. Perbedaannya adalah bahwa penelitian tersebut tidak melakukan
intervensi promosi ASI secara multilevel tetapi melakukan review artikel
(Bentley et al., 2003) tetapi bukan meta analisis dan penelitian ini melakukan
intervensi promosi multilevel serta menganalisis faktor yang berpengaruh
pada durasi menyusui eksklusif.
3. Evaluation of the breastfeeding intervention program in a Korean community
health center (Kang et al., 2005)
merupakan penelitian promosi untuk
meningkatkan durasi menyusui. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan
ini adalah melakukan intervensi melalui puskesmas. Perbedaannya adalah:
a. penelitian
yang
dilakukan
menggunakan
kelompok
kontrol
dan
pengumpulan data oleh enumerator, sedangkan penelitian tersebut tanpa
kelompok kontrol dan pengumpulan data oleh petugas puskesmas,
b. penelitian ini melakukan intervensi di puskesmas dan level di bawahnya,
17
c. penelitian ini menganalisis faktor yang berpengaruh pada durasi menyusui
eksklusif, dan
d. penelitian
ini
menekankan
juga
pada
menyusui
eksklusif
dan
memprediksikannya untuk durasi menyusui.
4. Penelitian berjudul Efficacy of breastfeeding support provided by trained
clinicians during an early, routine, preventive visit: a prospective,
randomized, open trial of 226 mother-infant pairs (Labarere et al., 2005)
memberikan akses dukungan untuk menelepon peer, kunjungan rawat jalan
pada 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 bulan usia bayi untuk kelompok kontrol dan untuk
kelompok perlakuan menambah fasilitas konseling dengan dokter anak atau
dokter keluarga dalam 2 minggu setelah melahirkan. Dokter anak dan dokter
keluarga mendapat pelatihan 5 jam tentang program menyusui. Persamaan
dengan penelitian yang dilakukan ini adalah: menggambarkan survival
probability dari menyusui eksklusif menggunakan Kaplan-Meier dan Coxregresi untuk menilai efek promosi. Perbedaannya adalah: (a) nonrandomized
trial, (b) menganalisis faktor yang berpengaruh pada durasi menyusui
eksklusif serta waktu penyapihan, sedangkan penelitian tersebut menganalisis
faktor-faktor determinan ASI eksklusif pada usia bayi 4 minggu.
5. Penelitian berjudul Promoting growth and development of infants by a
multidisciplinary team, in the community of Paraisópolis
(Torres et al.,
2004) mengimplementasikan program-program untuk meningkatkan ikatan
ibu-bayi, promosi ASI eksklusif 6 bulan, dan pendidikan kepada ibu yang
dilakukan oleh tim multidisiplin. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan
ini adalah: (a) melakukan intervensi multipel melalui pendidikan ibu,
18
meningkatkan pelayanan kesehatan, dan promosi ASI eksklusif 6 bulan yang
dilakukan tim multidisiplin, (b) tidak melakukan randomisasi, (c) penelitian
longitudinal dengan setting di masyarakat, dan (d) mengetahui efek prevalensi
ASI eksklusif dan pertumbuhan. Perbedaannya adalah: (a) penelitian tersebut
merupakan action research tanpa kelompok kontrol, sedangkan penelitian ini
menggunakan nonrandomized pretest posttest control group- (b) penelitian
tersebut melakukan intervensi pelatihan memasak untuk mendukung
pertumbuhan anak, penelitian ini melakukan intervensi multilevel pada
menyusui eksklusif pada ibu, ayah, nenek, tokoh masyarakat, petugas
kesehatan, dan penentu kebijakan, dan (c) penelitian ini menganalisis faktor
yang berpengaruh pada durasi menyusui eksklusif dan waktu penyapihan.
Berdasar tinjauan beberapa penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa
penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Penelitian ini berbeda
dengan penelitian lain dari konsep promosi multilevel dan pelibatan kiai untuk
menciptakan norma. Konsep promosi multilevel menggunakan pendekatan yang
komprehensif menyentuh hampir semua pengambil keputusan untuk menyusui
melalui beberapa level sejalan dengan level pada faktor determinan menyusui
eksklusif. Pada setiap level intervensi yang dilakukan berbeda dengan berbagai
cara, yaitu advokasi, media advokasi, training pada beberapa level, dan konseling
home visit. Intervensi yang beragam tersebut diharapkan dapat memberikan hasil
pada perubahan kebijakan pelayanan kesehatan ibu dan anak di tingkat
puskesmas, pembentukan norma menyusui eksklusif di masyarakat, dan
perubahan perilaku ibu. Pelibatan kiai diharapkan dapat memperbaiki norma
19
menyusui eksklusif dan mempertahankan durasi menyusui. Kiai di Demak dan
daerah sekitarnya menjadi bagian penting dalam pembangunan karena sudah di
data dan dibina melalui pemerintah daerah. Potensi ini menjadi lebih
memungkinkan untuk dimanfaatkan dalam promosi ASI eksklusif. Penelitian ini
direncanakan untuk dapat juga mengungkap faktor yang berpengaruh pada durasi
menyusui eksklusif. Di samping itu, penelitian ini dapat memberikan informasi
tentang pengaruh pemberian menyusui eksklusif pada durasi menyusui.
D. Manfaat dan Luaran Penelitian
Manfaat penelitian dapat ditinjau dari 3 aspek, yaitu aspek kebijakan,
strategi promosi, dan teori. Dari aspek kebijakan, pemerintah telah mempunyai
peraturan pendukung menyusui di antaranya adalah telah diatur dengan SK Dirjen
Yanmed no 240/Menkes/Kep/V/1985 tentang kebijakan untuk mewujudkan
Rumah Sakit Sayang Bayi (RSSB = BFHI), SK Menkes Nomor: 237/MENKES
/SK/IV/1997 tentang Pemasaran Pengganti Air Susu Ibu (DepkesRI, 1997), SK
Menkes Nomor 450/MENKES/ SK/IV/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu
(ASI) Secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia (Menteri Kesehatan RI., 2004).
Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada pemerintah daerah, yaitu
dengan menerapkan secara penuh peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
menyusui dapat memperbaiki durasi menyusui eksklusif.
Berbagai macam strategi promosi ASI banyak dilakukan di berbagai
populasi. Hasil promosi multilevel ini paling tidak akan memberikan pedoman
pelaksanaan promosi ASI dengan setting masyarakat dari level individu hingga
level puskesmas. Pedoman pelaksanaan tersebut memungkinkan untuk diperbaiki
20
atau disesuaikan dengan kondisi populasi. Dari aspek teori, dengan diketahuinya
efektivitas promosi multilevel, faktor determinan menyusui eksklusif dapat
memperkaya hasil penelitian sebagai bahan penelitian lanjutan dalam melakukan
upaya meningkatkan prevalensi menyusui eksklusif melalui pendekatan
sosioekologi dalam promosi kesehatan.
Download