IV - 1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan

advertisement
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan
Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio
hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model REMO yang memiliki
resolusi 0,50 x 0,50, domain Kalimantan (termasuk wilayah Brunei Darussalam dan
Malaysia Timur) terdiri dari 237 pixel. Jumlah pixel ini setara dengan luas Pulau
Kalimantan sebesar 730.000 km2 berdasarkan perhitungan berikut.
Luas pulau Kalimantan
= 237 x (0,50 x 0,50) x (111km x 111km)
= 730.000 km2
Gambar 4.1 Jumlah pixel dalam domain penelitian
Jika dibandingkan dengan data luas wilayah Kalimantan pada tabel 4.1 menunjukan
bahwa luas domain kajian cukup mendekati kondisi sebenarnya.
Tabel 4.1 Luas wilayah dan persentase luas daerah penelitian
Wilayah
Brunei Darussalam
Malaysia Timur
Kalimantan
Total
Luas
(km2)
%
5.570 0,75
197.000 26,55
539.460 72,70
742.030 100
(Sumber : The World Factbook, 2004)
IV - 1
Luas hutan Kalimantan pada kondisi kontrol adalah 580.000 km 2. Selanjutnya dibuat
skenario penurunan rasio hutan 25%, penurunan rasio hutan 50%, dan penambahan
rasio hutan 20% berdasarkan acuan dari luas hutan pada kondisi kontrol tersebut.
Tabel 4.2 Rasio hutan kondisi kontrol dan masing-masing skenario
Skenario
Kontrol
Min 25%
Min 50%
Plus 20%
Luas Wilayah (km2) Luas Hutan (km2) Rasio Hutan
730.000
580.000
0,795
730.000
435.000
0,596
730.000
290.000
0,397
730.000
696.000
0,953
Visualisasi penurunan rasio luas hutan dapat dilihat pada pada gambar 4.2.
(a) Kontrol
(b) Deforestasi 25 %
(c) Deforestasi 50 %
(d) Reforestasi 20%
Gambar 4.2 Plot spasial rasio hutan (a) simulasi kontrol, (b) deforestasi 25%, (c)
deforestasi 50%, dan (d) reforestasi 20%
Selain rasio vegetasi, beberapa parameter permukaan lain juga disesuaikan nilainya
berdasarkan nilai pada kondisi rasio hutannya. Parameter-parameter tersebut adalah
surface background albedo, leaf area index, tipe vegetasi, dan kapasitas lapang tanah.
4.2 Analisis Spasial Parameter Permukaan
Parameter permukaan hasil keluaran REMO yang menjadi pembahasan dalam
penelitian ini terdiri dari sensible heat flux, latent heat flux, temperatur permukaan,
evaporasi, dan curah hujan konvektif.
IV - 2
(a) Sensible Heat Flux
(b) Latent Heat Flux
(c) Temperatur Permukaan
(d) Evaporasi Permukaan
Gambar 4.3 Plot spasial rata-rata bulanan parameter permukaan (a) Sensible Heat
Flux, (b) Latent Heat Flux, (c) Temperatur permukaan, (d) Evaporasi
permukaan. Kasus diambil pada bulan maret 1983 pukul 00.00, 06.00,
12.00, dan 18.00 UTC untuk simulasi kontrol, deforestasi 25%,
deforestasi 50%, dan reforestasi 20%
Sebagai penentu utama cuaca/iklim, neraca energi mengatur kesetimbangan dinamik
dari suatu rangkaian proses yang terjadi pada atau di dekat permukaan. Perbedaan
kondisi tutupan lahan akan berpengaruh pada kesetimbangan energi, yang selanjutnya
IV - 3
akan mempengaruhi parameter cuaca permukaan, yaitu temperatur dan evaporasi.
Kedua parameter tersebut terkait langsung dengan parameter flux panas baik panas
sensible maupun panas laten yang merupakan komponen penting dalam
keseimbangan energi. Perubahan pada kedua parameter cuaca permukaan tersebut
pada tahap selanjutnya akan mempengaruhi pembentukan awan konvektif sebagai
penghasil hujan untuk skala lokal.
Gambar 4.3 menampilkan visualisasi parameter-parameter tersebut pada 4 waktu
simulasi, yaitu pukul 00.00 UTC, 06.00 UTC, 12.00 UTC, dan 18.00 UTC. Adanya
efek diurnal menyebabkan terjadinya keragaman nilai masing-masing parameter
dalam setiap waktu simulasi. Jika dilihat secara teliti, pada plot spasial tersebut
perubahan kondisi hutan cukup berpengaruh pada nilai parameter-parameter tersebut
dan seluruh parameter menunjukan perubahan yang signifikan terjadi pada pukul
12.00 UTC dibandingkan dengan waktu-waktu lainnya. Nilai yang ditunjukan pada
simulasi pukul 12.00 UTC merupakan nilai akumulatif antara pukul 07.00 hingga
12.00 UTC, dimana pada waktu tersebut suplai energi dipancarkan terus menerus dari
matahari yang diterima oleh permukaan bumi.
4.2.1 Analisis Spasial Sensible dan Latent Heat Flux
Pada umumnya radiasi di bumi bernilai positif pada siang hari, ini berarti permukaan
mempunyai kelebihan energi radiasi (surplus radiasi) sedangkan atmosfer mengalami
defisit radiasi. Untuk menyeimbangkan neraca energi, maka kelebihan energi tersebut
dikembalikan ke atmosfer dalam bentuk panas laten dan panas sensible. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya bahwa pengaruh perubahan kondisi hutan pada kedua
parameter ini terlihat jelas pada pukul 12.00 UTC. Gambar 4.4 dan 4.5 menampilkan
plot spasial parameter flux panas sensible dan flux panas latent pada pukul 12.00
UTC.
IV - 4
(a) Kontrol
(b) Deforestasi 25 %
(c) Deforestasi 50 %
(d) Reforestasi 20%
Gambar 4.4 Plot spasial sensible heat flux bulan Maret 1983 Pukul 12.00 UTC
Pada gambar 4.3a, nilai fluks panas sensible pada pukul 00.00 dan 06.00 UTC
berkisar antara 0 – 40 W/m2, pada pukul 12.00 berkisar antara 150 – 550 W/m2,
sedangkan pada pukul 18.00 UTC berkisar antara 150 – 300 W/m2. Nilai fluks
maksimum yang terjadi pada pukul 12.00 UTC ini, tentunya dipengaruhi oleh suplai
energi dari matahari pada waktu tersebut.
Jika ditinjau dari masing-masing skenario kondisi hutan untuk waktu simulasi pukul
12.00 UTC seperti ditampilkan pada gambar 4.4, maka dapat dilihat bahwa akibat
penurunan rasio hutan menyebabkan turunnya nilai fluks panas sensible di beberapa
kawasan. Sebaliknya, jika rasio hutan ditambah dari kondisi kontrol (gambar 4.4d),
maka secara spasial nilai fluks panas ini akan meningkat di sebagian besar wilayah.
Transfer panas sensible terjadi jika ada perbedaan panas antara permukaan dengan
atmosfer yang cukup tinggi. Kawasan yang tidak ditumbuhi vegetasi memiliki
kapasitas panas yang rendah sehingga lebih cepat panas. Hal ini menyebabkan
perbedaan temperatur antara permukaan dan atmosfer, yang saat itu juga sedang
menghangat, menjadi lebih kecil. Sehingga aliran panas antara kedua tempat tersebut
berkurang, yang menyebabkan nilai flux panas sensible pada kawasan ini rendah
dibandingkan pada kawasan yang tertutup vegetasi.
IV - 5
(a) Kontrol
(b) Deforestasi 25 %
(c) Deforestasi 50 %
(d) Reforestasi 20%
Gambar 4.5 Plot spasial latent heat flux bulan Maret 1983 Pukul 12.00 UTC
Nilai fluks panas laten juga mengalami fluktuasi tiap waktunya. Pada gambar 4.3b
menunjukan bahwa pada pukul 00.00 dan 06.00 UTC yang berkisar antara 0 – 20
W/m2, pada pukul 12.00 UTC berkisar antara 20 – 400 W/m2, sedangkan pada pukul
18.00 UTC berkisar antara 0 – 200 W/m2. Berdasarkan skenario rasio hutan yang
telah dibuat, seperti ditunjukan pada gambar 4.5, parameter latent heat flux cenderung
mengalami penurunan jika rasio hutan berkurang dan mengalami kenaikan di
sebagian wilayah jika rasio hutan bertambah.
Seperti kita ketahui bahwa flux panas laten digunakan untuk proses evaporasi atau
transpirasi pada tumbuhan. Jika tidak ada vegetasi yang tumbuh di suatu kawasan dan
kandungan air yang dimiliki kawasan tersebut rendah, maka nilai flux panas laten pun
menjadi rendah. Kawasan yang tidak tertutup vegetasi lebih sedikit mengandung air
daripada kawasan hutan. Sehingga energi untuk menguapkan air pada kawasan
tersebut akan digunakan untuk memanaskan permukaannya. Sedangkan pada
kawasan yang tertutup vegetasi seperti hutan, maka radiasi yang sampai pada daerah
tersebut akan diserap oleh permukaan daun dan tanah menjadi panas laten, sehingga
nilai flux panas laten meningkat. Radiasi matahari yang diserap oleh daun digunakan
dalam proses transpirasi. Oleh karena itu, kawasan yang mengalami penurunan rasio
hutan akan mengalami penurunan nilai fluks panas laten yang mengakibatkan
menurunnya evaporasi.
IV - 6
4.2.2 Analisis Spasial Temperatur dan Evaporasi Permukaan
Temperatur permukaan dan evaporasi merupakan parameter cuaca permukaan yang
memiliki keterkaitan erat dengan nilai fluks panas yang telah dijelaskan sebelumnya.
Gambar 4.6 dan 4.7 menampilkan plot spasial kedua parameter cuaca ini yang
diambil pada pukul 12.00 UTC.
(a) Kontrol
(b) Deforestasi 25 %
(c) Deforestasi 50 %
(d) Reforestasi 20%
Gambar 4.6 Plot spasial temperatur permukaan bulan Maret 1983 Pukul 12.00 UTC
Nilai temperatur permukaan berfluktuasi setiap waktu. Dari keempat waktu simulasi
yang ditampilkan pada gambar 4.3c, untuk simulasi pukul 00.00 nilai temperatur
permukaan berkisar antara 284 – 292 K (110 – 190C). Pada pukul 06.00 dan 18.00
UTC, nilainya berkisar antara 295 – 301 K (220 – 280C). Nilai maksimum terjadi
pada pukul 12.00 UTC yang berkisar antara 300 K (270C) hingga lebih dari 314 K
(410C). Nilai temperatur di kawasan pesisir pantai pada waktu simulasi tersebut
cenderung lebih rendah daripada di kawasan pedalaman. Hal ini terjadi karena pada
waktu tersebut berhembus angin laut yang membawa massa udara yang lebih dingin
dari laut ke daratan.
Gambar 4.6 menunjukan nilai parameter temperatur permukaan pada pukul 12.00
UTC ditinjau berdasarkan skenario rasio hutan yang telah dibuat. Jika rasio hutan di
suatu kawasan mengalami penurunan, maka nilai temperatur permukaan cenderung
meningkat di beberapa kawasan. Pada skenario deforestasi 50% nilai temperatur
untuk seluruh wilayah Kalimantan rata-rata di atas 305 Kelvin atau 320C. Hal ini
IV - 7
terjadi karena flux panas sensible pada kawasan yang tidak tertutup vegetasi nilainya
rendah. Sehingga aliran panas yang keluar dari permukaan pun berkurang dan lebih
banyak disimpan di dalam permukaan. Inilah yang menyebabkan temperatur pada
permukaan yang tidak ditumbuhi vegetasi menjadi lebih tinggi daripada kawasan
yang berupa hutan. Sedangkan pada daerah yang tertutup vegetasi, radiasi yang
datang akan dihamburkan dan diserap oleh vegetasi tersebut untuk digunakan dalam
proses transpirasi dan fotosintesis dan hanya sebagian lainnya yang diteruskan ke
permukaan. Sehingga nilai temperatur permukaan untuk wilayah tersebut cenderung
lebih rendah.
Temperatur permukaan merupakan tanggapan dari semua fluks energi yang melewati
permukaan tersebut. Daerah yang sebagian besar tertutup vegetasi (hutan,
perkebunan, atau pedesaan) mempunyai temperatur yang lebih mantap, artinya
perbedaan temperatur pagi, siang, dan malam lebih kecil dibandingkan wilayah yang
sedikit ditutupi vegetasi (Lestiana, 1997). Pernyataan tersebut dapat dibuktikan pada
penelitian ini, dimana kawasan yang mengalami penurunan rasio hutan akan
mengakibatkan perbedaan temperatur antara pagi, siang, dan malam menjadi lebih
besar daripada untuk kawasan yang masih berupa hutan.
(a) Kontrol
(b) Deforestasi 25 %
(c) Deforestasi 50 %
(d) Reforestasi 20%
Gambar 4.7 Plot spasial evaporasi permukaan bulan Maret 1983 Pukul 12.00 UTC
Pada gambar 4.3d dapat dilihat plot spasial evaporasi permukaan untuk 4 waktu
simulasi, dimana indeks negatif menunjukan arah proses evaporasi yang terjadi. Nilai
minimum terjadi pada pukul 00.00 dan 06.00 UTC berkisar antara 0 – 0,4 mm/hari.
IV - 8
Sedangkan pada pukul 12.00 UTC terjadi nilai evaporasi maksimum yang berkisar
antara 0,5 – 4,5 mm/hari. Pada pukul 18.00 UTC nilainya berkurang dari waktu
sebelumnya, yaitu berkisar antara 1 – 2,6 mm/hari. Berdasarkan skenario rasio hutan
untuk pukul 12.00 UTC yang ditampilkan pada gambar 4.7, dapat dilihat bahwa
akibat penurunan rasio hutan menyebabkan nilai evaporasi berkurang di sejumlah
wilayah. Namun jika rasio hutan ditambah dari kondisi kontrol menyebabkan nilai
evaporasi meningkat. Hal ini sesuai dengan yang terjadi pada parameter fluks panas
laten yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.
Kawasan yang mengalami penurunan rasio vegetasi, akan memiliki kandungan air
yang lebih sedikit daripada kawasan yang masih ditumbuhi vegetasi, khususnya
hutan. Akibat rendahnya kadar air pada permukaan, maka energi yang digunakan
untuk menguapkan air pun akan berkurang (panas laten). Kondisi ini menyebabkan
proses evaporasi permukaan mengalami penurunan. Selain itu dengan berkurangnya
jumlah vegetasi pada kawasan tersebut menyebabkan menurunnya proses transpirasi
oleh tumbuhan.
4.2.3 Analisis Curah Hujan Konvektif
Di atas permukaan wilayah Indonesia sering ditemui awan konvektif jenis cumulus.
Awan ini terbentuk dalam kondisi udara lembab dan tidak stabil secara konvektif
akibat pemanasan permukaan dari radiasi matahari. Curah hujan konvektif
merupakan salah satu parameter yang terkait langsung dengan parameter temperatur
permukaan. Jika temperatur permukaan mengalami perubahan, maka akan
berpengaruh pada aktivitas konvektif yang terjadi. Gambar 4.8 merupakan visualisasi
curah hujan konvektif yang diambil untuk kasus bulan Maret 1983.
IV - 9
Gambar 4.8 Plot spasial curah hujan konvektif bulan Maret 1983 Pukul 00.00,
06.00, 12.00, dan 18.00 UTC untuk simulasi kontrol, deforestasi 25%,
deforestasi 50%, dan reforestasi 20%
Pada gambar 4.8 dapat dilihat adanya perubahan pola curah hujan pada masingmasing skenario penurunan maupun penambahan rasio hutan pada masing-masing
waktu simulasi. Perubahan yang terjadi pada parameter curah hujan konvektif tidak
homogen di seluruh kawasan sebagaimana yang terjadi pada parameter temperatur
dan evaporasi. Artinya, ada beberapa wilayah mengalami peningkatan intensitas
curah hujan, tapi ada pula yang mengalami penurunan.
IV - 10
(a) Kontrol
(b) Deforestasi 25 %
(c) Deforestasi 50 %
(d) Reforestasi 20%
Gambar 4.9a Plot spasial CH konvektif bulan Maret 1983 Pukul 12.00 UTC
Seperti yang terlihat pada gambar 4.7, curah hujan konvektif mengalami perubahan
pola untuk masing-masing skenario. Pada kondisi kontrol, terdapat curah hujan
maksimum yang terjadi di bagian barat pulau Kalimantan dimana nilainya mencapai
2,7 mm/hari. Jika kawasan hutan berkurang sebesar 25%, maka ada beberapa
kawasan yang pada kondisi kontrol tidak mengalami hujan menjadi mengalami hujan.
Dengan kata lain terjadi perluasan daerah cakupan hujan, akan tetapi nilai maksimum
berkurang dari kondisi kontrol menjadi sekitar 1,5 mm/hari. Jika luas hutan
diturunkan lagi dua kali lipatnya, yaitu sebesar 25%, maka cakupan hujan menjadi
semakin luas, namun nilai maksimum curah hujan kembali mengalami penurunan,
yaitu sekitar 0,8 mm/hari. Sedangkan jika hutan mengalami perluasan sebanyak 20%
dari kondisi awal, maka curah cakupan hujan konvektif sedikit mengalami perluasan
dari kondisi kontrol dan nilai maksimum mencapai 1,5 mm/hari.
Gambar 4.9b Anomali vektor angin skenario deforestasi25% - kontrol 12.00 UTC
IV - 11
Menurunnya rasio hutan di suatu wilayah menyebabkan peningkatan pada temperatur
permukaan. Jika penurunan ini merata di seluruh wilayah Kalimantan, maka daerah
ini akan mempunyai perbedaan temperatur pada siang hari yang cukup tinggi dengan
lautan di sekitarnya yang lebih dingin. Perbedaan temperatur menyebabkan
munculnya perbedaan tekanan diantara keduanya, sehingga muncul pergerakan udara
yang mengandung banyak uap air dari lautan ke daratan yang bertekanan rendah dan
menyebabkan kelembaban di daratan menjadi tinggi. Hal ini dapat dilihat dengan
jelas pada anomali vektor angin untuk skenario deforestasi 25% pada gambar 4.9b.
Temperatur yang tinggi di atas daratan menyebabkan meningkatnya gaya apung
termal sehingga massa udara naik dan terjadilah proses konveksi. Karena daerah
tersebut menjadi lembab akibat suplai uap air dari lautan, menyebabkan kondisinya
menjadi jenuh dan memenuhi syarat terbentuknya tetes hujan. Hal ini kemungkinan
besar merupakan penyebab terjadinya perluasan daerah yang mengalami hujan.
4.3 Anomali Parameter Permukaan
Analisis selanjutnya adalah menghitung anomali parameter cuaca permukaan antara
hasil simulasi kontrol dengan ketiga skenario perubahan rasio hutan. Nilai anomali
dapat ditinjau dalam bentuk spasial maupun temporal. Secara spasial, nilai anomali
dibuat dalam bentuk komposit (nilai rata-rata tiap bulan yang dirata-ratakan kembali
selama waktu kajian, yaitu 15 tahun). Sedangkan secara temporal, nilai anomali ratarata wilayah yang dirata-ratakan perbulan selama 15 tahun lalu diplot dalam grafik
time series.
Perhitungan nilai anomali dibuat untuk parameter temperatur permukaan, evaporasi
permukaan, dan curah hujan konvektif dengan mengambil contoh kasus pada bulan
dan waktu simulasi tertentu untuk menganalisis output yang dihasilkan. Analisis
perhitungan anomali ini betujuan untuk mengetahui seberapa besar kenaikan ataupun
penurunan nilai masing-masing parameter cuaca permukaan akibat penurunan
maupun penambahan luas rasio hutan.
IV - 12
4.3.1 Anomali Temperatur Permukaan
4.3.1.1 Anomali Spasial Komposit Temperatur Permukaan
(a) Perioda DJF (bulan Januari)
(b) Perioda JJA (bulan Juli)
Gambar 4.10 Anomali spasial komposit temperatur permukaan (a) bulan Januari
(perioda DJF) dan (b) bulan Juli (perioda JJA) pada pukul 00.00,
06.00, 12.00, dan 18.00 UTC untuk anomali deforestasi 25% - kontrol,
deforestasi 50% - kontrol, dan reforestasi 20% - kontrol
Pada gambar 4.10, dapat dilihat bahwa anomali temperatur pada pukul 00.00, 06.00,
dan 18.00 UTC nilainya relatif kecil sedangkan pada pukul 12.00 UTC, anomali yang
dihasilkan menunjukan nilai yang maksimum. Hal ini sesuai dengan pembahasan
mengenai plot spasial temperatur permukaan pada 4.2.2 dimana nilai temperatur
permukaan menunjukan maksimum pada pukul 12.00 UTC dan anomali parameter
ini untuk masing-masing simulasi terlihat paling jelas pada waktu tersebut.
IV - 13
Jika dibandingkan antara perioda DJF (Bulan Januari) dengan perioda JJA (Bulan
Juli) pada gambar 4.10, anomali spasial yang dihasilkan untuk empat waktu simulasi
menunjukan adanya perbedaan yang jelas pada pukul 12.00 UTC untuk skenario
deforestasi 50% dan reforestasi 20%. Dimana anomali deforestasi 50% terhadap
kontrol pada perioda JJA menunjukan nilai anomali temperatur rata-rata tinggi diatas
2 K untuk seluruh wilayah dibandingkan dengan perioda DJF dimana ada sebagian
wilayah yang memiliki anomali rendah. Begitupun dengan anomali reforestasi 20%
terhadap kontrol, pada periode JJA ada beberapa kawasan yang mengalami kenaikan
nilai anomali dibandingkan dengan periode DJF. Hal ini kemungkinan disebabkan
karena pada perioda JJA matahari sedang berada di utara ekuator (tropics of cancer),
sehingga sebagian besar wilayah Indonesia mengalami musim kemarau. Pengaruh
musim ini menyebabkan anomali temperatur yang dihasilkan pada periode ini ratarata tinggi di seluruh wilayah.
Jika ditinjau berdasarkan masing-masing anomali yang dihasilkan untuk seluruh
waktu simulasi pada gambar 4.10, dapat dilihat bahwa untuk anomali skenario
deforestasi 25% terhadap kontrol, nilainya berkisar antara 0,1 s.d 2,5 K. Untuk
anomali skenario deforestasi 50% terhadap kontrol, nilainya berkisar antara 0,2 s.d 5
K. Sedangkan untuk anomali skenario reforestasi 20% terhadap kontrol, nilainya
berkisar antara 0 s.d -2,5 K. Dari hasil yang diperoleh tersebut menunjukan bahwa
dengan berkurangnya luas rasio hutan, anomali minimum dan maksimum temperatur
permukaan di suatu kawasan mengalami peningkatan. Seperti yang terjadi pada
skenario deforestasi 50%, dimana anomali maksimum mencapai 5 K. Untuk lebih
jelasnya, dapat dilihat pada gambar 4.11. Anomali spasial tersebut merupakan contoh
kasus simulasi anomali komposit temperatur yang diambil pada bulan Juli pukul
12.00 UTC.
IV - 14
Gambar 4.11 Anomali spasial komposit bulan Juli pukul 12.00 UTC untuk anomali
deforestasi 25% - kontrol, deforestasi 50% - kontrol, dan reforestasi
20% - kontrol
Jika ditinjau secara detail, maka untuk skenario penurunan rasio hutan, nilai anomali
temperatur permukaan di daerah pesisir pantai relatif kecil. Seperti telah dijelaskan
pada subbab 4.2.2, bahwa pada waktu simulasi tersebut terjadi perbedaan temperatur
yang sangat tinggi antara daratan dan lautan di sekitarnya. Hal ini memicu adanya
perbedaan tekanan antara kedua kawasan tersebut, sehingga muncul gerak massa
udara yang memiliki temperatur lebih rendah dari lautan menuju ke daratan. Sehingga
IV - 15
di kawasan pesisir nilai temperaturnya cenderung lebih rendah daripada di kawasan
pedalaman. Akibatnya nilai anomali yang dihasilkan pun menjadi lebih kecil di
kawasan tersebut.
4.3.1.2 Anomali Rata-Rata Bulanan Temperatur Permukaan
Setelah membahas anomali temperatur secara spasial, dilakukan pula pembahasan
anomali secara temporal. Pada pembahasan kali ini, nilai anomali temperatur rata-rata
wilayah dirata-ratakan setiap bulan selama 15 tahun, dimulai tahun 1979 hingga
1993. Time series yang ditampilkan pada gambar 4.12 merupakan salah satu kasus
yang diambil untuk simulasi pukul 12.00 UTC.
Gambar 4.12 Time series anomali rata-rata bulanan temperatur permukaan pukul
12.00 UTC untuk anomali deforestasi 25% - kontrol, deforestasi 50% kontrol, dan reforestasi 20% - kontrol
IV - 16
Gambar 4.12 menampilkan grafik anomali temperatur bulanan untuk skenario
deforestasi 25% - kontrol (plot orange), skenario deforestasi 50% - kontrol (plot
merah), dan skenario reforestasi 20% (plot biru). Dari grafik tersebut dapat dilihat
bahwa dua skenario deforestasi memiliki nilai anomali positif, artinya jika rasio hutan
di suatu wilayah mengalami penurunan maka akan terjadi kenaikan temperatur ratarata di wilayah tersebut sebesar anomali yang dihasilkan terhadap simulasi kontrol.
Semakin tinggi tingkat deforestasi yang terjadi maka nilai anomali temperatur pun
semakin besar, dapat dilihat pada plot anomali deforestasi 50% - kontrol (plot merah)
yang secara keseluruhan lebih tinggi nilainya daripada plot anomali deforestasi 25% kontrol (plot orange). Sedangkan untuk anomali reforestasi 20% - kontrol (plot biru)
memiliki nilai anomali negatif, artinya jika suatu wilayah mengalami penambahan
jumlah rasio hutan, maka temperatur permukaan mengalami penurunan sebesar
anomali yang dihasilkan terhadap simulasi kontrol.
Dalam 15 tahun waktu kajian, anomali parameter temperatur permukaan berfluktuasi
nilainya dan cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada gambar
4.12, kenaikan temperatur permukaan rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Juli 1993
untuk skenario deforestasi 50%, dimana nilai anomali yang dihasilkan sebesar 1,71 K
sedangkan penurunan temperatur tertinggi terjadi pada bulan Oktober 1992 untuk
skenario reforestasi 20% dengan nilai anomali sebesar -0,58 K. Untuk memperkuat
dugaan mengenai adanya kenaikan nilai anomali selama 15 tahun, maka dibuat pula
grafik perbandingan masing-masing anomali untuk membuktikan adanya trend
kenaikan anomali yang ditampilkan pada gambar 4.13.
Gambar 4.13 membuktikan adanya kenaikan anomali temperatur permukaan dari
tahun 1979 hingga 1993, walaupun nilai trend yang dihasilkan cukup rendah tapi
tetap mengindikasikan adanya kenaikan anomali selama 15 tahun tersebut. Jika rasio
hutan di suatu kawasan mengalami penurunan sebesar 25% (skenario deforestasi
25%) maka anomali meningkat rata-rata tiap tahunnya dengan nilai trend sebesar
0,039, sedangkan jika penurunan rasio hutan lebih besar lagi, yaitu 50% maka trend
IV - 17
anomali yang dihasilkan semakin tinggi, yaitu 0,077. Begitu pula jika rasio hutan
ditambah sebesar 20% dari kondisi kontrol, maka anomali mengalami kenaikan
(dalam grafik nilainya semakin negatif) dengan nilai trend sebesar 0,127.
Gambar 4.13 Grafik perbandingan trend kenaikan temperatur permukaan rata-rata
bulanan pukul 12.00 UTC untuk anomali deforestasi 25% - kontrol,
deforestasi 50% - kontrol, dan reforestasi 20% - kontrol
Jika dilihat dari besarnya nilai trend yang dihasilkan, maka pengaruh reforestasi pada
perubahan nilai suatu parameter iklim lebih besar daripada pengaruh deforestasi.
Sehingga jika suatu daerah mengalami penurunan rasio hutan, maka upaya untuk
mengembalikan perubahan kondisi parameter cuaca yang terjadi ke kondisi semula
tidak perlu dilakukan penanaman kembali hutan sebesar persentase rasio hutan yang
hilang tersebut. Karena seperti terlihat pada gambar 4.13, trend yang dihasilkan oleh
skenario reforestasi walaupun hanya sebesar 20% nilainya lebih tinggi daripada trend
yang dihasilkan oleh skenario deforestasi yang persentasenya mencapai 50%.
IV - 18
Kenaikan nilai anomali temperatur permukaan di Kalimantan dalam gambar 4.13
menunjukan bahwa pengaruh perubahan hutan yang dianggap statis selama 15 tahun
semakin menguat dari tahun ke tahun. Deforestasi sangat berkontribusi secara nyata
pada kenaikan temperatur lokal di Kalimantan. Hal ini diakibatkan oleh dua hal,
yakni keterkaitannya dalam kesetimbangan fluks-fluks energi dimana pada tahap
selanjutnya akan meningkatkan temperatur permukaan dan menurunnya fungsi hutan
sebagai daya serap karbon yang selanjutnya dapat memperparah pemanasan global.
Jadi penurunan rasio hutan yang dianggap statis ini, dapat meningkatkan temperatur
permukaan secara signifikan dari tahun ke tahun sehingga nilai anomalinya terhadap
kondisi kontrol semakin tinggi. Begitu pula untuk skenario reforestasi, dimana
penambahan rasio hutan dapat menyebabkan efek pendinginan lokal, sehingga nilai
temperatur semakin menunjukan adanya penurunan dari tahun ke tahun, terlihat
dengan adanya trend anomali yang turun. Kemungkinan lain disebabkan oleh adanya
“bias model”, hal ini terjadi akibat pemakaian data permukaan yang dianggap statis
selama waktu kajian. Sehingga terjadi perbedaan antara hasil simulasi dengan kondisi
nyata yang terjadi dimana rasio hutan berubah-ubah terhadap waktu.
4.3.1.3 Anomali Temperatur Rata-Rata 15 Tahun
Untuk mengetahui besar kenaikan dan penurunan rata-rata temperatur permukaan,
maka dihitung nilai anomali rata-rata selama 15 tahun. Anomali rata-rata untuk
masing-masing waktu simulasi serta anomali rata-rata total ditunjukan pada tabel 4.3.
Tabel 4.3 Anomali temperatur rata-rata 15 tahun
Time
00.00
06.00
12.00
18.00
Anomali Rata-Rata
Min25% - CTRL Min50% - CTRL Plus20% - CTRL
0,10
0,21
-0,05
0,11
0,24
-0,06
0,34
0,74
-0,20
0,14
0,30
-0,10
0,17
0,37
-0,10
IV - 19
Tabel 4.3 menunjukan nilai anomali temperatur permukaan selama 15 tahun yang
dirata-ratakan, sedangkan grafik untuk masing-masing waktu simulasi ditampilkan
pada gambar 4.14. Anomali temperatur rata-rata tertinggi terjadi pada pukul 12.00
UTC. Dari rata-rata wilayah untuk pukul 12.00 UTC, anomali untuk skenario
deforestasi 25% - kontrol sebesar 0,34, anomali skenario deforestasi 50% - kontrol
sebesar 0,74, sedangkan anomali skenario reforestasi 20% - kontrol sebesar -0,2. Hal
ini sesuai dengan pembahasan anomali secara spasial, dimana nilai anomali tertinggi
secara spasial terjadi pada pukul 12.00 UTC.
Gambar 4.14 Grafik anomali temperatur rata-rata 15 tahun
Jika untuk seluruh waktu simulasi dirata-ratakan seperti ditunjukan pada tabel 4.3,
maka nilai rata-rata anomali temperatur wilayah selama 15 tahun dari tahun 1979
hingga 1993 untuk masing-masing skenario adalah sebagai berikut:
1. Anomali rata-rata deforestasi 25% - kontrol adalah 0,17, artinya penurunan rasio
hutan sebesar 25% menyebabkan kenaikan temperatur rata-rata sebesar 0,17 K.
2. Anomali rata-rata deforestasi 50% - kontrol adalah 0,37, artinya penurunan rasio
hutan sebesar 50% menyebabkan kenaikan temperatur rata-rata sebesar 0,37 K.
3. Anomali rata-rata reforestasi 20% - kontrol adalah -0,1, artinya penambahan rasio
hutan sebesar 20% menyebabkan penurunan temperatur rata-rata sebesar 0,1 K.
IV - 20
4.3.2 Anomali Evaporasi Permukaan
4.3.2.1 Anomali Spasial Komposit Evaporasi Permukaan
Seperti pada pembahasan sebelumnya mengenai temperatur permukaan, nilai anomali
komposit evaporasi permukaan pun rata-rata tinggi pada pukul 12.00 UTC.
Pembahasan langsung ditujukan pada contoh kasus yang diambil pada perioda JJA
(bulan Juli) yang dapat dilihat pada gambar 4.15.
Gambar 4.15 Anomali spasial komposit bulan Juli pukul 12.00 UTC untuk anomali
deforestasi 25% - kontrol, deforestasi 50% - kontrol, dan reforestasi
20% - kontrol
IV - 21
Anomali evaporasi permukaan untuk skenario deforestasi 25% - kontrol berkisar
antara 0 s.d 0,6 mm/hari, untuk skenario deforestasi 50% - kontrol berkisar antara 0,2
s.d 0,9 mm/hari, sedangkan untuk skenario reforestasi 20% berkisar antara 0 s.d -0,4
mm/hari. Pada visualisasi parameter evaporasi untuk masing-masing simulasi pada
gambar 4.7 menunjukan bahwa nilai evaporasi memiliki indeks negatif, hal ini
berkaitan dengan arah transfer energi yang digunakan dalam proses ini. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa akibat penurunan luas rasio hutan maka nilai evaporasi
mengalami penurunan di sejumlah wilayah. Semakin besar penurunan rasio hutan,
maka semakin menurun nilai evaporasi di suatu kawasan. Akan tetapi dengan indeks
negatifnya, menyebabkan nilai anomali antara skenario deforestasi terhadap kontrol
bernilai positif. Sedangkan antara skenario reforestasi terhadap kontrol bernilai
negatif.
4.3.2.2 Anomali Rata-Rata Bulanan Evaporasi Permukaan
Gambar 4.16 Grafik perbandingan trend kenaikan evaporasi permukaan rata-rata
bulanan pukul 12.00 UTC untuk anomali deforestasi 25%-kontrol,
deforestasi 50%-kontrol, dan reforestasi 20%-kontrol
IV - 22
Pembahasan anomali evaporasi permukaan ini dibuat pula secara temporal, dengan
membuat grafik perbandingan masing-masing anomali antara skenario perubahan
rasio hutan dengan kondisi kontrol untuk membuktikan adanya trend kenaikan
anomali yang ditampilkan pada gambar 4.16. Dari grafik anomali rata-rata bulanan
tersebut, dapat diketahui bahwa parameter evaporasi permukaan pun mengalami
kenaikan anomali dari tahun 1979 hingga 1993. Walaupun nilai trend yang dihasilkan
cukup rendah tapi tetap mengindikasikan adanya kenaikan anomali selama 15 tahun
tersebut. Jika rasio hutan di suatu kawasan mengalami penurunan sebesar 25%
(skenario deforestasi 25%) maka anomali meningkat rata-rata tiap tahunnya dengan
nilai trend sebesar 0,051, sedangkan jika penurunan rasio hutan lebih besar lagi, yaitu
50% maka trend anomali yang dihasilkan semakin tinggi, yaitu 0,081. Begitu pula
jika rasio hutan ditambah sebesar 20% dari kondisi kontrol, maka anomali mengalami
kenaikan (dalam grafik nilainya semakin negatif) dengan nilai trend sebesar 0,095.
Dari pembahasan ini, dapat disimpulkan bahwa perubahan rasio hutan di suatu
kawasan akan berpengaruh pada kemampuan kawasan tersebut dalam proses
evaporasi. Seperti telah dijelaskan pada subbab 4.2.2, bahwa kawasan yang tidak
tertutup vegetasi akan memiliki nilai evaporasi yang rendah karena selain
berkurangnya kadar air yang tersimpan dalam tanah, pada kawasan yang tidak
ditumbuhi vegetasi tidak terjadi proses transpirasi dari tumbuhan sehingga nilai
evaporasi di kawasan tersebut cenderung kecil. Jika dilihat dari grafik masing-masing
anomali pada gambar 4.16, menunjukan bahwa perubahan rasio hutan yang statis
selama 15 tahun akan menghasilkan trend kenaikan anomali evaporasi permukaan
untuk skenario deforestasi dan trend anomali yang turun untuk skenario reforestasi.
IV - 23
4.3.3 Anomali Curah Hujan Konvektif
4.3.3.1 Anomali Spasial Komposit Curah Hujan Konvektif
Untuk mengetahui distribusi curah hujan pada perioda musim yang berbeda, maka
diambil dua contoh kasus yang diambil pada musim basah (bulan Januari) dan musim
kering (bulan Juli) seperti dapat dilihat pada gambar 4.17.
(a) Perioda DJF (Bulan Januari)
(b) Perioda JJA (Bulan Juli)
Gambar 4.17 Anomali spasial komposit curah hujan konvektif (a) bulan Januari
(perioda DJF) dan (b) bulan Juli (perioda JJA) pada pukul 00.00,
06.00, 12.00, dan 18.00 UTC untuk anomali deforestasi 25% - kontrol,
deforestasi 50% - kontrol, dan reforestasi 20% - kontrol
Pada dua contoh kasus yang diambil, dapat dilihat dengan jelas bahwa intensitas
curah hujan pada perioda musim basah (bulan januari) lebih tinggi di sebagian besar
IV - 24
kawasan dibandingkan pada perioda musim kering (bulan juli). Dari simulasi ini
dapat diketahui bahwa deforestasi dapat mempengaruhi curah hujan konvektif di
suatu wilayah baik pada musim basah maupun musim kering, ditinjau dari anomali
yang dihasilkan. Pada musim kering (gambar 4.17b) untuk waktu simulasi pukul
00.00 UTC dan 06 UTC, jika dibandingkan antara anomali spasial deforestasi 25% kontrol dengan deforestasi 50% - kontrol, maka dapat dilihat bahwa anomali positif
curah hujan mengalami perluasan daerah cakupan dengan besar anomali hingga
mencapai 0,4 mm/hari. Hal ini mengindikasikan adanya kenaikan aktivitas konvektif
di sebagian kawasan di Kalimantan jika penurunan rasio hutan ditambah dari 25%
menjadi 50% yang menyebabkan meningkatnya intensitas curah hujan di kawasan
tersebut. Sedangkan pada perioda musim basah, perubahan kondisi anomali curah
hujan konvektif tidak homogen ada kawasan yang mengalami peningkatan curah
hujan akibat deforestasi, sehingga anomalinya positif. Namun ada pula yang
mengalami penurunan intensitas curah hujan sehingga anomalinya negatif.
Hal ini sesuai dengan yang telah dijelaskan sebelumnya pada subbab 4.2.3 bahwa
perubahan yang terjadi pada parameter curah hujan konvektif tidak homogen di
seluruh kawasan, seperti yang terjadi pada parameter temperatur dan evaporasi. Ada
beberapa wilayah mengalami peningkatan intensitas curah hujan, tapi ada pula yang
mengalami penurunan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perubahan rasio hutan di
suatu kawasan akan berdampak pada perubahan pola dan intensitas curah hujan
konvektif di kawasan tersebut. Gambar 4.18 menunjukan lebih detail pengaruh
perubahan rasio hutan terhadap kondisi anomali curah hujan untuk masing-masing
skenario yang diambil pada kasus bulan april, dimana pada bulan ini intensitas curah
hujan di Kalimantan nilainya rata-rata maksimum karena pola curah hujan jenis
ekuatorial yang terjadi di sebagian besar kawasan di Kalimantan mengalami
maksimum setelah terjadi ekinoks (21 Maret dan 23 September).
IV - 25
Gambar 4.18 Anomali spasial komposit bulan april pukul 00.00 UTC untuk anomali
deforestasi 25% - kontrol, deforestasi 50% - kontrol, dan reforestasi
20% - kontrol
Dari ketiga simulasi pada gambar 4.18 dapat dilihat adanya perubahan nilai anomali
curah hujan di beberapa kawasan jika penurunan rasio hutan ditambah dari 25%
menjadi 50%. Pada anomali deforestasi 25% - kontrol, nilai anomali positif mencapai
lebih dari 0,4 mm/hari sedangkan pada anomali deforestasi 50% - kontrol mengalami
penurunan nilai maksimum hanya mencapai 0,4 mm/hari dan mengalami sedikit
penyempitan cakupan wilayah dengan anomali positif. Sedangkan anomali negatif
IV - 26
justru mengalami perluasan cakupan wilayah yang cukup signifikan dan nilai anomali
maksimumnya pun meningkat hingga mencapai -0,25. Artinya, sebagian wilayah ada
yang mengalami kenaikan intensitas curah hujan, namun sebagian lagi mengalami
penurunan intensitas curah hujan. Untuk anomali reforestasi 20% - kontrol, nilai
anomali positif maupun negatif mengalami penyempitan wilayah cakupan. Perubahan
nilai anomali yang tidak homogen ini mengindikasikan bahwa akibat perubahan
tutupan hutan di suatu kawasan mengakibatkan CH konvektif mengalami perubahan
pada pola dan intensitasnya.
4.3.3.2 Anomali Rata-Rata Bulanan Curah Hujan Konvektif
Setelah dilakukan pembahasan secara spasial, selanjutnya dibuat pula analisis secara
temporal. Gambar 4.19 menunjukan plot anomali curah hujan rata-rata bulanan dari
tahun 1979 hingga tahun 1993.
Gambar 4.19 Time series anomali rata-rata bulanan curah hujan konvektif pukul
00.00 UTC untuk anomali deforestasi 25% - kontrol, deforestasi 50% kontrol, dan reforestasi 20% - kontrol
IV - 27
Gambar 4.19 merupakan contoh kasus yang diambil pada pukul 00.00 UTC. Anomali
curah hujan yang dihasilkan bervariasi dan menghasilkan nilai maksimum pada bulan
Maret 1984, yaitu 0,1097 sedangkan nilai anomali minimum terjadi pada bulan
Januari 1982, yaitu -0,0872. Kedua nilai tersebut muncul pada anomali deforestasi
50% - kontrol. Pengaruh deforestasi hutan akan terlihat pada perbedaan temperatur
maksimum dan minimumnya, hal inilah yang berpotensi merubah pola konveksi lokal
di wilayah kajian.
4.4 Pembahasan Umum
Perubahan Rasio Hutan
Deforestasi
Reforestasi
Matahari
NERACA ENERGI
NERACA ENERGI
Laten Heat Flux
menurun
Sensible Heat Flux
menurun
Sensible Heat Flux
meningkat
Laten Heat Flux
meningkat
Evaporasi
menurun
Temperatur
meningkat
Temperatur
menurun
Evaporasi
meningkat
Perubahan pola dan intensitas curah hujan
secara spasial dan temporal
Gambar 4.20 Diagram alir pembahasan umum penelitian
Dari serangkaian pembahasan mengenai pengaruh perubahan rasio hutan terhadap
beberapa parameter iklim di Kalimantan, maka dibuat suatu pembahasan secara
IV - 28
umum mengenai keterkaitan antara perubahan rasio hutan terhadap kondisi beberapa
parameter iklim, yaitu temperatur permukaan, evaporasi permukaan, dan curah hujan
konvektif. Hutan memiliki keterkaitan yang erat dengan cuaca dan iklim. Selain
berfungsi sebagai penyeimbang dalam siklus karbon, hutan pun berperan penting
dalam neraca energi. Kedua hal tersebut perlu dijaga keseimbangannya agar
perubahan iklim dan fenomena-fenomena cuaca yang menyertainya tidak terus
menerus mengancam kehidupan makhluk hidup.
Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, pengaruh hutan terhadap
keseimbangan neraca energi menunjukan adanya keterkaitan. Jika rasio hutan di
Kalimantan terus mengalami penurunan hingga 50% dari kondisi kontrol (baseline),
maka akan merubah karakteristik kawasan tersebut sehingga nilai fluks-fluks panas
dalam neraca energi mengalami perubahan, dimana fluks panas sensible dan fluks
panas laten mengalami penurunan. Fluks panas sensible dan temperatur permukaan
memiliki keterkaitan yang kuat dan saling mempengaruhi, dimana naiknya
temperatur permukaan akibat penurunan rasio hutan dapat mengurangi transfer panas
sensible, karena perbedaan temperatur antara permukaan dan atmosfer yang juga
sedang menghangat menjadi lebih kecil. Akibat berkurangnya transfer fluks panas
dari permukaan tersebut, menyebabkan energi lebih banyak tersimpan di permukaan
sehingga temperatur semakin meningkat. Sedangkan transfer panas laten saling
berkaitan dengan proses evaporasi yang terjadi di kawasan tersebut. Karena
berkurangnya vegetasi di suatu kawasan menyebabkan proses transpirasi berkurang,
ditambah lagi dengan berkurangnya kandungan air disana menyebabkan energi lebih
banyak digunakan untuk memanaskan permukaan daripada digunakan untuk
menguapkan air (latent heat), sehingga nilai fluks panas latent berkurang dan proses
evaporasi pun akan berkurang. Kondisi sebaliknya akan terjadi jika rasio hutan
ditambah dari kondisi kontrol.
Perubahan temperatur permukaan di suatu kawasan akan mempengaruhi aktivitas
konvektif di kawasan tersebut. Semakin meningkat temperaturnya, maka semakin
IV - 29
tinggi gaya apung termal yang menyebabkan naiknya massa udara dan terjadilah
kondensasi. Hujan konvektif dihasilkan, karena kondisi lingkungan yang lembab
terpenuhi dari suplai uap air yang berasal dari lautan akibat perbedaan tekanan
dengan daratan yang temperaturnya menjadi jauh lebih tinggi akibat deforestasi. Dari
seluruh pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat dibuktikan bahwa perubahan
rasio hutan di suatu kawasan dapat berkontribusi pada berubahnya kondisi parameter
iklim permukaan di kawasan tersebut secara signifikan dan selanjutnya akan memicu
semakin tingginya perubahan iklim skala lokal yang terjadi.
IV - 30
Download