2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaaan Umum Perairan Inlet Waduk Koto Panjang Waduk Koto Panjang terletak pada posisi geografis 1000 40’ BT-1010 00’ BT dan 000 10’ LU-000 24’ LU yang berbatasan langsung dengan Sumatera Barat. Waduk termasuk dalam kecamatan XIII Koto Kampar, dan jarak waduk ke Pekanbaru sekitar 150 km dan 80 km dari daerah Bangkinang (Kampar dalam Angka 2004). Waduk Koto Panjang dikelilingi oleh daerah perbukitan yang dibentuk pada tahun 1996 dengan memanfaatkan pertemuan antara Sungai Batang Mahat dan Sungai Kampar Kanan. Sungai Kampar Kanan adalah cabang dari hulu Sungai Kampar dengan cabang satu lagi adalah Sungai Kampar Kiri. Antara Sungai Kampar Kanan dan Kiri bertemu kembali kira-kira 5 km sebelah barat Desa Langgam dan mengalir ke Selat Malaka dengan jarak 180 km dari Desa Langgam (Nurdin et al. 2005). Waduk ini merupakan salah satu waduk terluas di Indonesia (± 124 km2 atau 12.400 Ha) dengan kapasitas genangan 1.545 juta km3 dan ketinggian muka air maksimum ± 85 m di atas permukaan laut (Departemen Pertambangan dan Energi, 1995). Debit air yang masuk ke waduk PLTA Koto Panjang lebih kurang 184,4 m3/det dan waduk dioperasikan pada ketinggian maksimal 82-83 m. Sartono (2000) menyatakan, kapasitas penampungan aktif air di waduk PLTA Koto Panjang adalah sekitar 1.040 juta m3. Habitat yang dulunya bersifat lothik (mengalir) menjadi lenthik (tergenang) secara tidak langsung telah merubah struktur habitat Sungai Kampar Kanan itu sendiri. Ikan yang terperangkap dalam waduk harus bisa beradaptasi dengan situasi perairan seperti itu, ikan-ikan yang mempunyai daya adaptasi tinggi yang bisa bertahan hidup dan mempunyai keturunan. Sebaliknya ikan-ikan yang tidak mampu beradaptasi dengan baik akan tersingkirkan oleh karena adanya tekanan dari lingkungan itu sendiri. Pembendungan sungai mengakibatkan tiga perubahan keseimbangan ekologi seperti (1) perubahan ekosistem perairan mengalir (lotik) menjadi ekosistem perairan tergenang (lentik), (2) jejaring makanan bentik menjadi jejaring makanan pelagis dan (3) pengkayaan nutrient (eutrofikasi) (Coasta-Pierce 1997). Disamping itu akan merubah kandungan nutrien di perairan (Miranda 2001). Deposit nutrien dari tanah dan bahan organik lainnya dapat meningkatkan produktifitas perairan pada beberapa tahun awal penggenangan. Balon dan Coche (1974) dalam Costa-Pierce (1997) mengemukakan perubahan ekosistem perairan menjadi empat fase proses yaitu (1) ketidakseimbangan kesuburan (eutrof), (2) ketidakstabilan, (3) stabilisasi dan (4) kemantapan (maturity). Salah satu aspek habitat adalah kualitas air (fisika, kimia dan biologi) seperti suhu, arus, oksigen terlarut, dan pH yang mempengaruhi kemampuan hidup ikan di perairan. Suhu optimum untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis berkisar 25-30 ºC (Boyd dan Kopler 1979). Keasaman air disebut juga dengan pH (puissance negatif de hidrogen) yang dinyatakan dalam angka 1,0 sampai 14,0. pH adalah log 10 (l/(H+)), dimana (H+) adalah konsentrasi ion hidrogen. Apabila O2 tinggi maka pH tinggi, sedangkan bila O2 rendah maka pH rendah (Effendie 2003). Umumnya pH yang cocok bagi kehidupan ikan berkisar antara 6,7 - 8,6. Namun beberapa jenis ikan yang karena lingkungan hidup aslinya berada di rawarawa mempunyai ketahanan untuk hidup pada pH yang rendah. Faktor lingkungan lainnya adalah arus. Arus dapat menguntungkan karena dapat membawa makanan, oksigen dan sebagainya. Namun arus kuat menyebabkan ketidakseimbangan pada dasar perairan yang lunak. Data parameter fisika dan kimia perairan Sungai Kampar dapat dilihat pada penelitian Siregar (2004) suhu pada daerah hulu sungai Kampar (Kabupaten Kampar) suhu berkisar antara 28,0 – 32,0 C, kecerahan antara 0,60 – 0,85 meter, kekeruhan antara 30,80 – 40,50 NTU, kadar O2 terlarut antara 7,15 – 8,19 ppm, kadar CO2 terlarut antara 3,00 – 4,24 ppm, pH antara 6,8 – 7,2 dan salinitas 0,515 – 0,628 permil. Fitoplankton adalah makhluk hidup yang berupa tumbuhan renik yang melayang-layang di dalam kolom air yang tidak mampu bergerak secara aktif melawan arus air (Odum 1993). Secara ekologis fitoplankton merupakan dasar dari rantai pakan, sehingga keberadaanya akan menentukan keberadaan seluruh biota air (Nybakken 1988). Lebih lanjut dijelaskan bahwa perkembangan fitoplankton sangat ditentukan oleh faktor fisik kimiawi lingkungan seperti intensitas cahaya matahari, nutrien dan suhu serta faktor biologis seperti struktur komunitas fitoplankton. Krebs (1972) menambahkan bahwa keanekaragaman fitoplankton dapat dikatakan sebagai keheterogenan spesies dan merupakan ciri khas dari struktur komumitas yang erat kaitannya dengan kondisi lingkungan dimana biota hidup sedangkan indeks keseragaman dapat dikatakan sebagai keseimbangan komposisi setiap spesies dalam suatu komunitas. Beberapa plankton yang ditemukan di perairan inlet Waduk Koto Panjang antara lain terdiri dari kelas Chlorophyceae, Cyanophyceae, Chrysophyceae, Xantophyceae dan Bacillariophyceae (Aprilianti 2007). Terdapat perbedaan jumlah dan jenis ikan sebelum dan sesudah dibentuknya waduk. Menurut Pulungan et al. (1986), sebelum dibangun waduk, pada penelitiannya ditemukan ikan-ikan yang hidup di sungai Kampar Kanan sebanyak 25 jenis. Setelah empat tahun berdirinya waduk, ikan-ikan yang terdapat pada waduk PLTA Koto Panjang jumlahnya menjadi 22 jenis ikan (Pulungan 2000). Setelah menjadi waduk beberapa jenis ikan yang tidak ditemukan antara lain : tali-tali (Botia hymenophysa Blkr), tali-tali (Nemachilus fasciatus CV), buntal (Tetraodon leiurus Blkr), ongan (Osteochillus borneensis Blkr), pantau kulibi (Rasbora vaillanti Popta), seluang (Dangila fasciata Blkr), tetapi dijumpai jenis-jenis ikan setelah waduk terbentuk seperti ikan motan (Thynnicthys polylepis CV), julung-julung (Hemirhampus sp.), toman (Channa micropeltes), baung tundik (Mystus nigriceps CV), baung senggal (M. planiceps), tapah (Wallago leeri Blkr), juaro (Pangasius polyuronodon), kalang (Clarias teysmani Blkr), dan bawal air tawar (Monodactylus argentus). Khairuzuhdi (2007) melakukan penelitian di Sungai Kampar dengan menemukan jenis-jenis ikan yang tidak ditemukan oleh Pulungan 1986. Beberapa jenis ikan tersebut antara lain mas (Cyprinus carpio), kapiek (Barbonymus schwanenfeldii), pala bujap (Osteochilus kahajanensis), pantau (Rasbora trilineata), barau (Hampala macrolepidota), sipaku (Puntius kahajanensis), sepimping (Chela oxygastroides), bunga air (Clupeichthys goniognathus). Semua jenis ikan tersebut tertangkap di Sungai Kampar Kanan dan Kiri Provinsi Riau. 2.2 Klasifikasi dan Struktur Morfologis Ikan C. goniognathus Ikan C. goniognathus adalah salah satu jenis ikan pelagis yang hidup di air tawar. Menurut Kottelat et al. (1993) ikan ini termasuk kedalam Kelas Actinopterygii Ordo Clupeiformes Famili Clupeidae Genus Clupeichtyhs dan Spesies Clupeichthys goniognathus Bleeker, 1855. 5 mm mm mm Gambar 2. Ikan Clupeichthys goniognathus Bleeker, 1851 m Ikan C. goniognathus adalah salah satu ikan yang termasuk IndochineseThai Clupeid, dua jenis lainnya adalah Clupeoides borneensis Bleeker, 1851 berasal dari Banjarmasin, Pulau Borneo. Corica soborna Hamilton-Buchanan, 1822 berasal dari Sungai Mahanada, India. Sedangkan Clupeichthys goniognathus Bleeker, 1855 berasal dari Lahat, Sumatera Selatan (Taki 1975). Menurut Kottelat et al. (1993), ikan (C. goniognathus) memiliki ciri-ciri tubuh sebagai berikut: bentuk tubuh torpedo, sisik-sisik pada sumbu sirip dada lebih pendek daripada setengah panjang; 15-16 sisir saring pada lengkung bawah insang. Adanya jari-jari bagian belakang yang terpisah dari sirip ekor menurut Fischer dan Bianchi, 1983 menjadi ciri khas dari ikan ini. Pada perutnya terdapat geligir yang berawal dari kepala sampai ke sirip dubur. Sirip dada berpangkal dekat profil perut dan sirip-sirip lainnya tidak berduri, sirip ekor bercagak dalam, sirip punggung tunggal, gurat sisi sangat pendek atau tidak ada sama sekali dan sisik profil perutnya bertaji. Famili Clupeidae ini sangat besar jenisnya; umumnya berukuran kecil dan merupakan ikan-ikan migran. Ikan haring dan sardin termasuk dalam suku ini dan berperan penting dalam perikanan di pesisir tropis dan kawasan beriklim sedang, dan berkelompok di permukaan. Beberapa jenis hidup ikan terbatas di sungaisungai atau muara sungai. Beberapa jenis mempunyai gigi tetapi kebanyakan memakan plankton. Beberapa jenis penting untuk konsumsi manusia maupun binatang laut yang lebih besar (Kottelat et al., 1993). 2.3 Kebiasaan Makanan Umumnya makanan yang pertama kali datang dari lingkungan untuk semua ikan dalam mengawali hidupnya adalah plankton. Jika pertama kali ikan itu menemukan makanan berukuran tepat dengan mulutnya, diperkirakan akan dapat meneruskan hidupnya. Dalam mengelompokan ikan berdasarkan makanan, ada ikan sebagai pemakan plankton, pemakan tumbuhan, pemakan dasar, pemakan detritus, ikan buas dan ikan pemakan campuran. Menurut Effendie (2002) berdasarkan jumlah variasi dari macam-macam makanan tadi, ikan dapat dibagi menjadi eurypaghic yaitu ikan pemakan bermacam-macam makanan; stenophagic adalah ikan pemakan yang macamnya sedikit atau sempit dan monophagic, ikan yang makananya terdiri atas satu macam makanan saja. Kebanyakan cara ikan mencari makanan dengan menggunakan mata. Pembauan dan persentuhan digunakan juga untuk mencari makanan terutama oleh ikan pemakan dasar dalam perairan yang kekurangan cahaya atau dalam perairan keruh. Pada umumnya ikan mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap kebiasaan makannya serta dalam memanfaatkan makanan yang tersedia. Winemiller (1992) menyatakan kebiasaan makanan dipengaruhi oleh bentuk tubuh seperti bentuk gigi, ukuran mulut dan posisi mata. Pada penelitian sebelumnya Desrita (2007) jenis organisme yang biasa dimakan ikan C. goniognathus antara lain kelas Cyanophyceae, Bacillariophyceae, Chlorophyceae, Crysophyceae, tumbuhan air, Rotifera, Aquatic insecta, dan Oligochaeta. 2.4 Pertumbuhan Pertumbuhan adalah suatu indikator yang baik untuk melihat kondisi kesehatan individu, populasi dan lingkungan. Laju pertumbuhan yang cepat menunjukan kelimpahan makanan yang tinggi dan kondisi lingkungan tempat hidup yang sesuai. Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai perubahan ukuran (panjang dan bobot ikan) selama kurun waktu tertentu. Dari segi energi pertumbuhan berguna untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ikan, yaitu asupan energi dari makanan, keluaran energi untuk metabolisme, keluaran energi untuk perrtumbuhan dan keluaran energi melalui ekskresi (Brett dan Groves 1979 dalam Moyle dan Cech 2004). Pada mulanya, saat ukuran ikan kecil ukuran ikan mulai meningkat secara lambat. Akan tetapi kemudian, laju pertumbuhan semakin cepat. Setelah waktu tertentu laju pertumbuhan kembali meningkat dengan lambat sampai pada akhirnya tetap pada suatu garis asimtotik. Sebagian besar ikan memiliki kemampuan untuk meneruskan pertumbuhan selama hidup bila kondisi lingkungannya sesuai dan ketersediaan makanan cukup baik, walaupun pada umur tua pertumbuhan ikan menjadi lambat. Ikan tidak memiliki limit tertentu untuk membatasi pertumbuhan (undeterminate growth) (Effendie 2002). Secara umum pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu keturunan (genetik), jenis kelamin, umur, parasit dan penyakit (Effendie 2002). Faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, jumlah ikan yang menggunakan sumber makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut (Weatherley 1972), kadar amonia di perairan dan salinitas (Moyle dan Cech 2004). Pertumbuhan ikan bersifat sangat labil (Weatherley 1972). Hubungan panjang bobot penting artinya dalam dinamika populasi (Manik 2009) yakni misalnya dalam menghitung hasil tangkap per rekrut (yield per recruit, Y/R) dan biomassanya (biomass per recruitt, B/R). Dari data panjang tersebut dapat ditentukan panjang ikan maksimum (L∞) dan koefesien pertumbuhannya (K). Sehingga hubungan antar umur dan panjang ikan dapat diduga melalui data komposisi panjang yang dapat dikonversi untuk mendapatkan data komposisi umur. Selanjutnya data komposisi umur digunakan dalam pendugaan parameter pertumbuhan ikan (Sparre dan Venema 1999). Desrita (2007) menyatakan persamaan hubungan panjang berat untuk ikan gabungan (jantan dan betina) adalah Log W = -4,4943 + 2,7826 Log L. Nilai b yang dihasilkan <3 dan berarti pola pertumbuhannya bersifat alometrik negatif. 2.5 Reproduksi Ikan yang ukuran tubuhnya kecil dan masa hidupnya singkat, akan mencapai dewasa kelamin pada umur yang lebih muda, jika dibandingkan dengan spesies ikan yang lebih besar dan umumnya lebih panjang (Lagler et al. 1977). Faktor-faktor yang mengontrol siklus reproduksi ikan di perairan terdiri dari faktor fisika, kimia dan biologi. Ikan yang hidup di daerah tropis, faktor fisika utama yang mengontrol siklus reproduksi adalah arus, suhu dan substrat. Faktor kimia adalah gas-gas terlarut pH, Nitrogen dan metabolitnya serta zat buangan yang berbahaya bagi kehidupan ikan di perairan. Faktor biologi yang mengontrol siklus reproduksi ikan dibagi menjadi faktor dalam dan luar. Faktor dalam meliputi faktor fisiologis dan respon terhadap berbagai faktor lingkungan, selanjutnya faktor luar adalah patogen, predator dan kompetisi sesama spesies ikan atau dengan spesies lain. Induk yang siap memijah adalah induk yang telah melakukan fase pembentukan kuning telur (phase vitellogenesis) dan masuk fase dorman (Woynavorich dan Horvart 1980). Fase pembentukan kuning telur dimulai sejak terjadinya penumpukan bahan-bahan kuning telur (yolk) dalam sel telur dan berakhir setelah sel telur mencapai ukuran tertentu atau nukleolus tertarik ketengah nukleus. Setelah fase pembentukan kuning telur berakhir, sel telur tidak mengalami perubahan bentuk selama beberapa saat, tahap ini disebut fase istirahat (dorman). Menurut Lam (1985) apabila rangsangan diberikan pada saat ini, maka rangsangan akan menyebabkan terjadinya migrasi inti ke perifer, inti pecah atau lebur selanjutnya terjadi ovulasi (pecahnya folikel) dan oviposisi. Effendie (2002) mengemukakan bahwa, bilamana kondisi lingkungan tidak cocok dan rangsangan tidak diberikan, telur yang dorman tersebut akan mengalami degradasi atau gagal diovulasikan lalu diserap kembali oleh sel-sel ovarium, telur yang demikian dikenal dengan oosit atresia. Ikan air tawar di daerah tropis memiliki musim pemijahan yang lebih panjang. Setiap individu dapat memijah pada waktu yang berlainan dengan individu lainnya, tetapi masih terlihat adanya puncak-puncak musim pemijahan dalam setiap periode waktu tertentu, yaitu biasanya terjadi pada musim penghujan (Welcomme 1985). Lama pemijahan pada ikan dapat diduga dari ukuran diameter terlur. Jika waktu pemijahan pendek, semua telur masak yang terdapat dalam ovarium berukuran sama ukuran ini berbeda dengan ukuran telur pada saat folikel masih muda (Hoar 1957). Salman dan Wallace (1981) bila dihubungka periode waktu pemijahan dengan oosit yang berada dalam ovarium, maka ovarium ikan dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu sinkronisme total (seluruh oosit berada pada tingkat perkembangan atau stadia yang sama), sinkronisme kelompok (sedikitnya ada dua populasi yang berada dalam stadia yang sama) dan tidak ada sinkronisme atau metakrom (oosit terdiri atas semua tingkat perkembangan). 2.5.1 Seksualitas Untuk mengetahui jenis kelamin suatu spesies ikan jantan atau betina dapat diketahui dengan memperhatikan ciri-ciri seksual yang terdapat pada individu tersebut, baik itu ciri seksual primer maupun ciri seksual sekunder. Effendie (2002), menyatakan ciri seksual primer pada ikan ditandai dengan adanya organ yang secara tidak langsung berhubungan dengan proses reproduksi yaitu ovarium dan testes. Ciri seksual sekunder ialah tanda-tanda luar yang dapat dipakai untuk membedakan ikan jantan dengan ikan betina. Apabila satu spesies ikan mempunyai ciri morfologis yang dapat dipakai untuk membedakan ikan jantan dan betina, maka spesies itu memilki sifat dikromatisme. Biasanya warna ikan jantan lebih cerah dibandingkan ikan betina. Lagler et al. (1977) menyatakan bahwa perbedaan antara ikan jantan dan ikan betina pada jenis yang sama dapat dilihat pada ukuran kepala, bentuk kepala, permukaan tengkorak kepala, bentuk sirip ekor, bentuk badan, perut, bentuk sirip anus, dasar sirip dada, bentuk sirip perut dan anus, bentuk serta ukuran lubang pelepasan alat kelamin. Setelah jenis kelamin diketahui maka perlu diketahui nisbah kelamin antara ikan jantan dan betina di perairan. Hal ini disebabkan karena jenis kelamin sangat mempengaruhi kondisi habitat. Nisbah kelamin yang diperoleh pada penelitian sebelumnya adalah 1 : 1,79 dari hasil pengamatan terhadap 187 sampel ikan, 67 ikan jantan dan 120 ikan betina. Setelah diuji statistik ternyata hasilnya tidak ada perbedaan jumlah antara ikan jantan dan betina (Desrita 2007). 2.5.2 Perkembangan Gonad Bagian dari reproduksi ikan sebelum terjadi pemijahan adalah perkembangan gonad yang semakin masak, selama proses ini sebagian besar hasil metabolisme tertuju kepada perkembangan gonad. Kematangan gonad ikan di daerah tropik dipengaruhi oleh faktor suhu yang secara relatif perubahannya tidak besar dan umumnya gonad dapat masak lebih cepat dibandingkan dengan daerah yang beriklim empat (Effendie 1979). Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah memijah. Selama proses reproduksi sebagian besar energi hasil metabolisme ikan akan tertuju untuk perkembangan gonad atau pertumbuhan gonad (Effendie 2002). Perkembangan gonad ikan sangat berkaitan erat dengan pertumbuhan ikan sehingga faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan, juga berpengaruh pada perkembangan gonad. Ada dua tahapan perkembangan gonad yaitu tahap perkembangan gonad menjadi dewasa kelamin (sexuality mature) dan tahapan pematangan gamet (gamet maturation). Pada hewan vertebrata seperti ikan, saat terjadinya kematangan gonad adalah merupakan periode ikan yang muda memiliki kemampuan untuk melakukan reproduksi. Hal ini terjadi dengan teraktivitasinya axis hipotalamus-pituitarygonad (Amer et al. 2001). Pada proses perkembangan dan pematangan gonad ikan maka sebagian besar energi pertumbuhan akan dialihkan dari perkembangan sel somatis menjadi pertumbuhan sel gamet. Pada saat ikan sudah matang gonad, bobot gonad pada ikan betina beratnya dapat mencapai 10-50% dari berat tubuhnya sedangkan pada ikan jantan antara 5-10% dari berat tubuhnya (Effendie 1979). Secara kuantitatif tingkat perkembangan gonad ini dapat dihitung dengan menggunakan Gonadal Somatic Index (GSI). Semakin tinggi perkembangan gonad maka perbandingan antara berat tubuh dan goand semakin besar yang diperlihatkan dengan nilai GSI yang besar, semakin besar nilai GSI maka dapat dijadikan indikator semakin dekatnya waktu untuk memijah. Fekunditas merupakan salah satu kegiatan penting yang dilakukan oleh ikan untuk melangsungkan populasi dengan dinamikanya. Dari fekunditas dapat ditaksir jumlah anak ikan yang akan dihasilkan dan akan menentukan jumlah ikan dalam kelas umur yang bersangkutan. Jadi fekunditas adalah jumla semua telur yang akan dikeluarkan pada waktu pemijahan (Effendie 1979). Pada ikan yang berbiak setahun sekali, fekunditas yaitu jumlah telur yang diproduksi per tahun. (Wootton 1992). Hasil penelitian sebelumnya menunjukan fekunditas ikan C. Goniognathus berkisar antara 78 – 369 butir (Desrita 2007). Sebelumnya Nikolsky (1963) menyatakan bahwa fekunditas indvidu adalah jumlah telur yang terdapat di dalam ovarium ikan. Menentukan fekunditas ikan sebaiknya dilakukan pada tingkat kematangan gonad IV dan yang paling baik sesaat sebelum terjadinya pemijahan. Nilai fekunditas dari suatu spesies ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ketersediaan makanan, ukuran ikan (panjang dan berat) dan faktor lingkungan (Effendie 2002).