BAB 2 EKSPLORASI BISNIS 2.1 Rumusan Peta Pemikiran Konseptual (Conceptual Framework) Konsep pengadaan dan pengoperasian sistem radio trunking di Bandara Soekarno-Hatta didasarkan pada analsisi situasi dimana terjadi ketidak-teraturan penggunaan jaringan radio telekomunikasi yang ada di Bandara serta perilaku pihak-pihak yang terkait (stakeholders) dalam menyikapi hal ini. Bentuk peta pemikiran (conceptual framework) yang dilakukan adalah seperti gambar di bawah ini. Gambar 2.1. Skema Peta Pemikiran Konseptual 13 Beberapa faktor penting yang menjadi latar belakang munculnya ide pengadaan dan pengoperasian radio trunking di Bandara Soekarno-Hatta adalah sebagai berikut: 1. Kemajuan Teknologi Perkembangan teknologi ini mendorong untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja. Perkembangan teknologi tersebut terjadi di segala bidang dan khususnya pada teknologi komunikasi dan informasi. Dengan penggunaan teknologi komunikasi yang modern dan tepat guna, diharapkan akan terjadi peningkatan kinerja. Dalam bidang komunikasi, dengan semakin banyaknya kepentingan maka teknologi yang dapat memaksimalkan ruang yang tersedia untuk melayani kebutuhan jaringan yang lebih banyak merupakan teknologi yang diharapkan saat ini. 2. Keteraturan jaringan komunikasi Seiring dengan kemajuan teknologi tentu saja penggunaan gelombang radio di udara menjadi semakin semerawut dan semakin padat. Penertiban jaringan gelombang radio dan ditentukannya perangkat tepat guna pada di lingkungan Bandara Soekarno-Hatta diharapkan dapat menjadi solusi terbaik untuk kepastian, kelancaran dan keamanan jaringan komunikasi di ingkungan Bandara Soekarno-Hatta. 3. Keamanan dan keselamatan. Dalam setiap bandara, keamanan dan keselamatan penumpang menjadi prioritas utama karena hal ini berpengaruh juga untuk keamanan dan keselamatan dalam penerbangan hingga di lokasi/negara tujuan penerbangan tersebut. Koordinasi dan, antisipasi yang cepat dan tepat mutlak diperlukan bila terjadi hal- hal yang mencurigakan. Untuk itu, dibutuhkan media komunikasi yang selalu siap dan tanpa hambatan/gangguan yang dapat menghubungkan seluruh aspek yang berkepent ingan dalam pengamanan dan keamanan tersebut. 4. Keuangan. Dalam pelaksanaan setiap proyek terutama menyangkut teknologi, tentu saja membutuhkan dana yang tidak sedikit. Pengadaan dan pengoperasian sistem radio trunking membutuhkan dana yang tidak sedikit. Tetapi bila ternyata 14 hasil yang diharapkan dapat terpenuhi dan/atau kebutuhan yang mendesak terhadap proyek tersebut maka proyek dapat dinilai layak untuk dilaksanakan. 5. Regulasi. Proyek ini sesuai dengan regulasi pemerintah yang menertibkan/mengatur penggunaan frekuensi radio dalam PP No. 38 Tahun 2007. Pemerintah menilai semakin padatnya jaringan yang ada dan semakin banyaknya penyalahgunaan gelombang radio secara illegal maka pemerintah merasa perlu adanya penertiban penggunaan jaringan tersebut. Hal ini mendorong kesempatan bagi PT AP II untuk menyediakan jaringan yang legal dan dapat memenuhi kebutuhan komunikasi di Bandara Soekarno-Hatta. 6. Mobilitas tinggi. Tingkat kepadatan dan kesibukan di bandara mewajibkan dibutuhkannya sarana atau media komunikasi yang lebih mobile dan terjamin. Media ini harus dapat memenuhi seluruh kebutuhan komunikasi tanpa gangguan di lingkungan bandara. Keadaan ini menjadikan kebutuhan terhadap radio trunking di kawasan bandara semakin menjadi sesuatu yang mendesak. 2.1.1 Analisis Kompetisi Bandara Internasional Soekarno-Hatta merupakan bandara terbesar di Indonesia yang terletak di Jakarta sebagai pusat pemerintahan Negara Republik Indonesia. Dapat dikatakan bahwa Bandara Soekarno-Hatta merupakan pintu gerbang utama Indonesia. Dalam hal ini pihak pengelola Bandara, PT AP II harus lebih meningkatkan pelayanan di Bandara Soekarno-Hatta. Pelayanan tersebut harus meningkatkan daya saing yang lebih baik dimana akan dihasilkan pelayanan yang lebih fleksibel dan tepat guna. Bandara Soekarno-Hatta sebagai bandara internasional harus diperhadapkan dengan bandara-bandara di seluruh dunia. Hal ini terlebih lagi ditujukan untuk mendukung maksud dari Visit Indonesia Year 2008. Kebutuhan terhadap media komunikasi yang merupakan salah satu unsur pelayanan pada Bandara Soekarno-Hatta menjadi suatu hal yang mutlak disediakan oleh PT AP II sebagai pengelola Bandara Soekarno-Hatta. Jaringan 15 dengan teknologi radio trunking dinilai paling memadai karena dengan teknologi yang di milikinya, Radio trunking ini dapat memaksimalkan jaringan yang terbatas untuk lebih banyak pengguna. 2.1.2 Aspek Pemasaran Pemasaran (marketing) merupakan bagian akhir dari suatu usaha/bisnis. Hal ini memiliki arti bahwa suatu produk baik barang maupun jasa akan dikatakan berhasil jika produk tersebut dapat dipasarkan (marketable). Dengan demikian kajian tentang aspek pemasaran (marketing) merupakan hal pokok yang harus dilakukan sebelum menjalankan suatu ide bisnis. 2.1.2.1 Market Potensial Untuk menilai layak atau tidaknya suatu ide bisnis adalah dengan melihat potensial market (market potential) yang dimiliki oleh suatu ide usaha tersebut. Untuk itu pengukuran dan identifikasi potensi pasar (market potential) diperlukan untuk rencana perwujudan suatu ide bisnis. Hal inilah yang diterapkan dalam rencana pengadaan dan pengoperasian sistem radio trunking di Bandara SoekarnoHatta. 2.1.2.2 Segmentasi dan Perilaku Konsumen Dalam pemasaran bisnis ini, konsumennya adalah para unit-unit bisnis yang ada di Bandara Soekarno-Hatta. Media komunikasi ini mutlak dibutuhkan oleh setiap air lines, ground crew penerbangan, crew kargo, catering, satpam dan lain- lain. Dalam hal ini terdapat unsur monopoli dimana yang memegang hak tunggal untuk pemasaran dan pelayanan jaringan. Tetapi meskipun demikian, unsur pengawasan terhadap pemegang hak tunggal ini akan sangat ketat. 2.2 Studi Kelayakan Usaha (Feasibility Study) Studi kelayakan usaha bertujuan untuk memberikan gambaran atau acuan dalam pengambilan keputusan investasi pada suatu aktifitas usaha. Berikut ini 16 kriteria yang diperhitungkan dalam menentukan apakah investasi tersebut layak atau tidak untuk dijalankan. Kriteria tersebut meliputi : 1. Nilai bersih sekarang (Net Present Value- NPV) 2. Internal Rate of Return (IRR) 3. Periode pengembalian (payback period) 4. Return On Equity (ROE) 5. Return On Investment (ROI) 2.2.1 Perhitungan WACC (Weighted Avarage Cost of Capital ) Weighted Average Cost of Capital (WACC) yang merupakan hurdle rate atau discount rate. WACC menggambarkan tingkat resiko perusahaan berdasarkan bisnisnya. Nilai WACC diperoleh dengan rumusan sebagi berikut. atau dapat disederhanakan menjadi Pada umumnya di Indonesia, cost of debt yang digunakan adalah suku bunga pinjaman bank (i loan), sedangkan untuk cost of equity menggunakan suku bunga deposito (i deposito). WACC dijadikan sebagai pembanding terhadap IRR, apabila IRR lebih besar dari WACC maka NPV yang dihasilkan akan positif atau dengan kata lain layak. Sebaliknya, jika IRR lebih kecil dari WACC, maka NPV suatu proyek akan bernilai negatif. 2.2.2 Perhitungan Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) dari sebuah proyek atau investasi didefinisikan sebagai penjumlahan nilai sekarang dari expected cash flow dikurangi dengan initial investment. Expected cash flow merupakan free cash flow yang dihasilkan dari investment setiap tahun selama umur proyek. Nilai cash flow ini didiskontokan atau disesuaikan dengan time value of money. Net present value (NPV) menggunakan discount rate untuk mengurangi expected free cash flows dan terminal value dari suatu proyek. 17 Tujuan dari perhitungan NPV adalah untuk menentukan nilai yang dihasilkan dari investasi. Intinya, suatu proyek dapat dinyatakan layak apabila net cash inflows, setelah memperhitungkan time value of money melebihi cost suatu proyek. NPV merupakan salah satu alat evaluasi keuangan yang paling akurat untuk mengestimasi nilai suatu investasi. Tujuan dari perhitungan NPV adalah untuk menentukan nilai yang dihasilkan dari investasi. Perhitungan NPV membutuhkan tiga langkah. Langkah pertama adalah mengidentifikasikan besar dan waktu dari expected future cash flow yang dihasilkan oleh suatu proyek atau investasi. Langkah kedua adalah menentukan discount rate atau estimated rate of return untuk suatu proyek. Langkah ketiga adalah menghitung NPV dengan menggunakan rumus di bawah ini : atau Perhitungan NPV suatu proyek dapat juga dilakukan dengan menjumlah nilai keseluruahan free cash flow yang sudah didiskon dengan WACC sebagai discount rate-nya yang kemudian dijumlahkan dengan investasi awal. 2.2.3 Perhitungan IRR Internal Rate of Return (IRR) didefinisikan sebagai discount rate yang membuat proyek memiliki Net Present Value (NPV) sama dengan nol. IRR adalah salah satu metode alternatif untuk mengevaluasi investasi tanpa harus mengestimasi discount rate. IRR memperhitungkan time value of money dari cash flows selama umur proyek. Perhitungan IRR dilakukan melalui proses trial and error yang mencari discount rate yang menghasilkan NPV sama dengan nol. IRR adalah nilai discount rate maksimum yang diperbolehkan yang akan menghasilkan nilai dengan mempertimbangkan cost of capital dan resiko proyek. Oleh karena itu, IRR kadang-kadang diartikan sebagai break-even rate of return 18 yaitu rate dimana nilai cash outflow sama dengan nilai cash inflow. IRR diperoleh dengan menyelesaikan perhitungan NPV untuk rate yang menghasilkan NPV sama dengan nol. Perhitungan Internal Rate of Return (IRR) dinyatakan sebagai berikut: Perhitungan IRR dengan menjadikan NPV sama dengan 0 (nol) diatas dapat diselesaikan dengan metode trial and error. Metode ini dapat memakan waktu yang lama. Dengan bantuan program Microsoft Excel dari Microsoft Office, maka perhitungan trial and error untuk discount rate yang menghasilkan NPV = 0 dapat dihitung dengan menuliskan rumusan “=IRR(Accumulated free cash flow dari tahun ke 0 hingga tahun akhir proyek)” pada cell yang dikehendaki. 2.2.4 Perhitungan Payback Period Payback period (PBP) didefinisikan sebagai lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan investasi awal melalui cash flow yang dihasilkan oleh investasi tersebut. Payback Period ini tidak boleh melebihi target maksimum payback period suatu investasi yang sudah ditetapkan. Apabila ada dua atau lebih proyek yang bersifat mutually exclusive (salah satu yang dipilih), maka proyek dengan payback period yang terpendek yang dipilih. Target maksimum payback period biasanya merupakan lamanya jangka waktu investasi tersebut aktif. Payback Period adalah sebuah alat yang mudah digunakan dan dimengerti tetapi memiliki kekurangan yaitu tidak memperhitungkan time value of money. Pada umunya perhitungan nilai payback periode adalah sebagai berikut: 2.2.5 Perhitungan ROE Return on Equity (ROE) adalah suatu indikator untuk mengukur tingkat pengembalian ekonomis dari sebuah proyek atau investasi dari modal yang 19 ditanamkan/disetorkan oleh pemegang saham. Nilai ROE dalam practical view diperoleh dengan rumusan berikut : Keunggulan utama dari rasio ini adalah sebagai indikator awal untuk mengindikasikan apakah suatu perusahaan merupakan profit creator atau profit burner dari setiap modal yang disetor oleh pemegang saham. Selain itu, rasio ini merupakan indikator apakah suatu perusahaan mampu meningkatkan keuntungan tanpa menambahkan modal ekuitas baru terhadap bisnis tersebut, atau dengan kata lain merupakan speed limit dari profitabilitas suatu perusahaan tanpa melakukan penambahan modal ekuitas baru. 2.2.6 Return on Investment (ROI) Return on Investment (ROI) adalah alat keuangan yang mudah untuk mengukur tingkat pengembalian ekonomis dari sebuah proyek atau investasi. ROI mengukur efektivitas investasi dengan membandingkan net benefit dengan investasi awal. ROI telah menjadi salah satu metode yang paling popular digunakan untuk memahami, mengevaluasi, dan membandingkan nilai dari pilihan investasi yang berbeda. Secara praktis, pehitungan ROI adalah dengan menggunakan rumusan sebagai berikut: Perhitungan ROI di atas dalam prakteknya seringkali diterapkan karena telah memperhitungkan time value of money dengan jalan mem-present value-kan EBIT (Earning Before Interest and Tax ) berdasarkan discount rate perusahaan. EBIT digunakan dalam perhitungan di atas, karena merupakan indikator utama kemampuan suatu proyek untuk menghasilkan keuntungan serta menjadi perhatian bersama bagi seluruh share-holder baik itu kreditur (bunga pinjaman), pemerintah (pajak) dan pemegang saham (dividen). 20 2.3 Pola Kerjasama PT AP II selaku pengelola Bandara Soekarno-Hatta memiliki keterbatasan sumber daya terutama sumber daya manusia terutama tenaga ahli dan pembia yaan yang terlampau besar untuk suatu proyek yang bukan merupakan bisnis inti bila membiayai sendiri proyek pengadaan dan pengoperasian sistem jaringan radio trunking tersebut. Oleh sebab itu, PT AP II memiliki beberapa alternatif lain untuk menjalankan proyek tersebut. Alternatif-alternatif tersebut antara lain dengan melakukan leasing atas seluruh aset yang dibutuhkan untuk pengerjaan proyek tersebut atau dengan cara mencari investor untuk berinvestasi pada proyek tersebut. Alternatif mencari investor untuk berinvestasi pada proyek pengadaan dan pengoperasian radio trunking di Bandara Soekarno-Hatta dapat berupa sistem BOT (Built Operate Transfer), BOO (Built Own Operate), KM (Kontrak Manajemen), KSO (Kerjasama Operasi), maupun dengan melakukan patungan (joint venture). Berikut ini merupakan beberapa penjelasan mengenai pola kerjasama yang dimiliki oleh PT(Persero) Angkasa Pura II. 2.3.1 Leasing Pemerintah Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia, mendefenisikan leasing sebagai berikut: "Leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama. 2.3.2 Kontrak Manajemen (KM) Kontrak manajemen mengatur kerjasama manajemen suatu proyek antara badan penyelenggara proyek dengan badan lain dimana badan penyelenggara 21 memperoleh bantuan manajemen dari badan lain atau sebaliknya dengan kewajiban pihak penerima bantuan manajemen memberikan kompensasi. Lingkup kerjasama kontrak manejemen meliputi manajemen bidang perencanaan, pembangunan, operasi, pemasaran, tenaga ahli, perlengkapan, keuangan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan. Keuntungan dari Contract management yang efektif adalah : • Dapat meningkatkan produksi dan menurunkan inventory • Dapat memperbaiki kualitas produk dan kepuasan pelanggan. • Dapat menrunkan biaya pembelian, pengaturan jadwal yang bentrok dan pengelolaan limbah. • Dapat merubah biaya-biaya tetap kontrak menjadi tunai yang langung masuk ke dalam anggaran dasar. 2.3.3 Kerjasama Operasi (KSO) Kerjasama operasi yaitu kerjasama dimana pemerintah memberikan hak pengelolaan atas aset yang dimilikinya untuk dikelola dan dioperasikan dalam jangka waktu tertentu kepada swasta. Kerjasama ini meliputi kegiatan penyediaan, pelayanan atau penyediaan dan pelayanan yang dapat berupa pola bagi hasil atau pola kompensasi. Dalam hal ini baik pemilik proyek dan perusahaan rekanan saling berbagi kewajiban maupun resikonya. Pihak swasta bertanggungjawab menyediakan modal kerja, keahlian dan teknologi tertentu, melakukan pengoperasian dan pemeliharaan, menjual produk atau jasa pelayanan serta memenuhi kewajiban memberi kompensasi kepada pemerintah dalam bentuk imbal jasa yang diperoleh dari kegiatan yang dikerjasamakan. Pada akhir masa periode kerjasama, barang modal yang disetorkan oleh masingmasing pihak akan tetap menjadi milik pihak yang bersangkutan tersebut. 2.3.4 Built Operate Transfer (BOT) BOT yaitu suatu mekanisme dimana investor membangun dan mengoperasikan proyek infrastruktur dan kemudian menyerahkannya kepada 22 pemerintah setelah periode waktu tertentu yang disepakati (http://www.dmo.or.id, 2007). Model build operate transfer (BOT)/design-build-operate-maintain (DBOM) adalah kemitraan gabungan yang menyatukan tanggung jawab perencangan dan konstuksi dari kegiatan perancangan-pembangunan (designbuild) dengan operasi pemeliharaan. Kemitraan Pemerintah dan Swasata ini memindahkan perancangan, konstruksi, dan operasi dari suatu fasilitas tunggal atau kelompok aset tertentu kepada mitra di sektor swasta. Gambar 2.2. Built – Operate –Transfer Kelebihan dari pendekatan BOT/DBOM adalah metode ini menggabungkan wewenang yang biasanya terpisah antara perancangan, konstruksi dan pemeliharaan dalam satu tanggung jawab. Hal ini memberikan pada pihak swasta untuk mengambil keuntungan dari efisiensi yang dilakukan. Rancangan proyek ini dapat disesuaikan dengan perlengkapan dan material konstruksi yang akan digunakan. Pemegang proyek mendapatkan kontrak BOT/DBOM melalui proses tawar menawar yang kompetitif dalam suatu mekanisme tender yang transparan. Para pengusul menanggapi spesifikasi yang ditetapkan dalam dokumen tender dan biasanya dibutuhkan untuk menyediakan harga tunggal untuk rancangan, konstruksi dan pemeliharaan atas fasilitas tersebut untuk kapanpun periode waktu yang ditentukan. Para pengusul juga diminta mengajukan dokumentasi dari kualifikasi mereka, dengan demikian memperbolehkan pemegang proyek untuk membandingkan biaya-biaya dari berbagai penawaran yang berbeda dan 23 kemampuan dari para pengusul untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan owner yang spesifik. Pertimbangan-pertimbangan pokok bagi pembangunan proyek infrastruktur dengan pola BOT didasarkan atas: 1. Tidak membebani neraca pembayaran pemerintah (off balance-sheet financing) 2. Mengurangi jumlah pinjaman Pemerintah maupun sektor publik lainnya 3. Merupakan tambahan sumber pembiayaan bagi proyek-proyek yang diprioritaskan 4. Tambahan fasilitas baru 5. Mengalihkan resiko bagi konstruksi, pembiayaan dan pengoperasian kepada sektor swasta 6. Mengoptimalkan kemungkinan pemanfaatan perusahaan swasta maupun teknologi asing 7. Mendorong proses alih teknologi, khususnya bagi kepentingan negara- negara berkembang 8. Diperolehnya fasilitas yang lengkap dan operasional setelah masa akhir konsesi. 2.3.5 Built-Own-Operate (BOO) BOO (Built-Own-Operate) yaitu mekanisme dimana investor swasta membangun, dan melanjutkan proyek infrastrukturnya sendiri (http://www.dmo.or.id, 2007). Dalam hal ini setelah proyek selesai dilaksanakan, fasilitas/hasil yang telah dibangun tidak diserahkan pada pemerintah. Bentuk ini kemudian dimodifikasi menjadi BOOT (built, own, operate, transfer). Bila dilihat dari bentukannya maka BOOT dapat dianggap sebagai penggabungan BOO dan BOT. Pada dasarnya, proyek yang berbasis BOOT atau dikenal juga sebagai turnkey project adalah ketika pemerintah memberikan semacam konsesi pada pihak swasta untuk membangun fasilitas, membiarkan pihak swasta itu memiliki dan mengoperasikan untuk kurun waktu tertentu dan mengalihkan kembali kepemilikannya pada pemerintah setelah jangka waktu yang disepakati terlampaui (http://www.republika.co.id, 2001). 24 2.3.6 Perusahaan Patungan (Joint Venture company) Perusahaan patungan (joint venture company) merupakan kerjasama dimana pemerintah bersama-sama pihak swasta membentuk suatu badan usaha patungan dalam bentuk perseroan. Dalam badan usaha tersebut terjadi penggabungkan dana, properti, pengetahuan, keahlian, waktu atau sumber daya lain yang dimilik dan saling menyetujui untuk berbagi keuntungan dan kerugian. Masing- masing pihak memiliki tingkatan kendali tertentu atas badan usaha tersebut. Perusahaan patungan ini diberi tanggungjawab atas pembanguna n dan pengelolaan suatu aset yang dimiliki oleh perusahaan patungan tersebut, termasuk segala kegiatan yang menjadi lingkup usaha perusahaan patungan. Pembagian resiko dan keuntungan sebagai hasil dari usaha patungan diperhitungkan berdasarkan proporsi besarnya nilai penyertaan aset dan modal dari masing- masing pihak, setelah dikurangi dengan penyusutan, biaya modal kerja, biaya operasi dan pemeliharaan, pembayaran hutang, dan lain- lain. Setelah masa berakhirnya kontrak, aset atau modal yang dikuasakan kepada perusahaan patungan akan dikembalikan kepada masing- masing pihak sesuai kondisi sebagaimana yang ditetapkan dalam kontrak Perusahaan patungan dapat dijalankan dengan berbagai dasar hukum yang terbagi menjadi tiga kategori, yakni: 1. Perusahaan patungan gabungan (the incorporated joint venture) 2. Perusahaan patungan kemitraan (the partnership venture) 3. Perusahaan patungan kontraktual dimana pihak-pihak terkait menggabungkan sumber-sumber daya yang mereka miliki untuk memajukan sebuah badan usaha bisnis tanpa kemitraan yang sesungguhnya atau penunjukkan perusahaan. 2.4 Akar Masalah Keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh PT AP II mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan proyek pengadaan dan pengoperasian sistem radio trunking di Bandara Soekarno-Hatta. Artinya perlu untuk dilakukan penelitian terhadap rencana bisnis yang tidak hanya menganalisis layak atau tidaknya bisnis 25 tersebut dilaksanakan, tetapi juga saat dioperasionalkan secara rutin dalam rangka pencapaian keuntungan yang maksimal untuk waktu yang sudah ditentukan. Hal tersebut sangat berperan penting dalam proses pengambilan keputusan dalam melakukan investasi untuk memutuskan apakah investasi pada proyek dapat dilaksanakan atau mempunyai harapan untuk berhasil. 26