tesis Leo 29106010

advertisement
BAB 2
EKSPLORASI BISNIS
2.1
Rumusan Peta Pemikiran Konseptual (Conceptual Framework)
Konsep pengadaan dan pengoperasian sistem radio trunking di Bandara
Soekarno-Hatta didasarkan pada analsisi situasi dimana terjadi ketidak-teraturan
penggunaan jaringan radio telekomunikasi yang ada di Bandara serta perilaku
pihak-pihak yang terkait (stakeholders) dalam menyikapi hal ini. Bentuk peta
pemikiran (conceptual framework) yang dilakukan adalah seperti gambar di
bawah ini.
Gambar 2.1. Skema Peta Pemikiran Konseptual
13
Beberapa faktor penting yang menjadi latar belakang munculnya ide
pengadaan dan pengoperasian radio trunking di Bandara Soekarno-Hatta adalah
sebagai berikut:
1. Kemajuan Teknologi
Perkembangan teknologi ini mendorong untuk meningkatkan efisiensi dan
efektifitas kerja. Perkembangan teknologi tersebut terjadi di segala bidang
dan khususnya pada teknologi komunikasi dan informasi. Dengan
penggunaan teknologi komunikasi yang modern dan tepat guna, diharapkan
akan terjadi peningkatan kinerja. Dalam bidang komunikasi, dengan semakin
banyaknya kepentingan maka teknologi yang dapat memaksimalkan ruang
yang tersedia untuk melayani kebutuhan jaringan yang lebih banyak
merupakan teknologi yang diharapkan saat ini.
2. Keteraturan jaringan komunikasi
Seiring dengan kemajuan teknologi tentu saja penggunaan gelombang radio
di udara menjadi semakin semerawut dan semakin padat. Penertiban jaringan
gelombang radio dan ditentukannya perangkat tepat guna pada di lingkungan
Bandara Soekarno-Hatta diharapkan dapat menjadi solusi terbaik untuk
kepastian, kelancaran dan
keamanan jaringan komunikasi di ingkungan
Bandara Soekarno-Hatta.
3. Keamanan dan keselamatan.
Dalam setiap bandara, keamanan dan keselamatan penumpang menjadi
prioritas utama karena hal ini berpengaruh juga untuk keamanan dan
keselamatan dalam penerbangan hingga di lokasi/negara tujuan penerbangan
tersebut. Koordinasi dan, antisipasi yang cepat dan tepat mutlak diperlukan
bila terjadi hal- hal yang mencurigakan. Untuk itu, dibutuhkan media
komunikasi yang selalu siap dan tanpa hambatan/gangguan yang dapat
menghubungkan seluruh aspek yang berkepent ingan dalam pengamanan dan
keamanan tersebut.
4. Keuangan.
Dalam pelaksanaan setiap proyek terutama menyangkut teknologi, tentu saja
membutuhkan dana yang tidak sedikit. Pengadaan dan pengoperasian sistem
radio trunking membutuhkan dana yang tidak sedikit. Tetapi bila ternyata
14
hasil yang diharapkan dapat terpenuhi dan/atau kebutuhan yang mendesak
terhadap proyek tersebut maka proyek dapat dinilai layak untuk dilaksanakan.
5. Regulasi.
Proyek ini sesuai dengan regulasi pemerintah yang menertibkan/mengatur
penggunaan frekuensi radio dalam PP No. 38 Tahun 2007. Pemerintah
menilai semakin padatnya jaringan yang ada dan semakin banyaknya
penyalahgunaan gelombang radio secara illegal maka pemerintah merasa
perlu adanya penertiban penggunaan jaringan tersebut. Hal ini mendorong
kesempatan bagi PT AP II untuk menyediakan jaringan yang legal dan dapat
memenuhi kebutuhan komunikasi di Bandara Soekarno-Hatta.
6.
Mobilitas tinggi.
Tingkat kepadatan dan kesibukan di bandara mewajibkan dibutuhkannya
sarana atau media komunikasi yang lebih mobile dan terjamin. Media ini
harus dapat memenuhi seluruh kebutuhan komunikasi tanpa gangguan di
lingkungan bandara. Keadaan ini menjadikan kebutuhan terhadap radio
trunking di kawasan bandara semakin menjadi sesuatu yang mendesak.
2.1.1
Analisis Kompetisi
Bandara Internasional Soekarno-Hatta merupakan bandara terbesar di
Indonesia yang terletak di Jakarta sebagai pusat pemerintahan Negara Republik
Indonesia. Dapat dikatakan bahwa Bandara Soekarno-Hatta merupakan pintu
gerbang utama Indonesia.
Dalam hal ini pihak pengelola Bandara, PT AP II harus lebih
meningkatkan pelayanan di Bandara Soekarno-Hatta. Pelayanan tersebut harus
meningkatkan daya saing yang lebih baik dimana akan dihasilkan pelayanan yang
lebih fleksibel dan tepat guna. Bandara Soekarno-Hatta sebagai bandara
internasional harus diperhadapkan dengan bandara-bandara di seluruh dunia. Hal
ini terlebih lagi ditujukan untuk mendukung maksud dari Visit Indonesia Year
2008.
Kebutuhan terhadap media komunikasi yang merupakan salah satu unsur
pelayanan pada Bandara Soekarno-Hatta menjadi suatu hal yang mutlak
disediakan oleh PT AP II sebagai pengelola Bandara Soekarno-Hatta. Jaringan
15
dengan teknologi radio trunking dinilai paling memadai karena dengan teknologi
yang di milikinya, Radio trunking ini dapat memaksimalkan jaringan yang
terbatas untuk lebih banyak pengguna.
2.1.2
Aspek Pemasaran
Pemasaran (marketing) merupakan bagian akhir dari suatu usaha/bisnis.
Hal ini memiliki arti bahwa suatu produk baik barang maupun jasa akan dikatakan
berhasil jika produk tersebut dapat dipasarkan (marketable). Dengan demikian
kajian tentang aspek pemasaran (marketing) merupakan hal pokok yang harus
dilakukan sebelum menjalankan suatu ide bisnis.
2.1.2.1 Market Potensial
Untuk menilai layak atau tidaknya suatu ide bisnis adalah dengan melihat
potensial market (market potential) yang dimiliki oleh suatu ide usaha tersebut.
Untuk itu pengukuran dan identifikasi potensi pasar (market potential) diperlukan
untuk rencana perwujudan suatu ide bisnis. Hal inilah yang diterapkan dalam
rencana pengadaan dan pengoperasian sistem radio trunking di Bandara SoekarnoHatta.
2.1.2.2 Segmentasi dan Perilaku Konsumen
Dalam pemasaran bisnis ini, konsumennya adalah para unit-unit bisnis
yang ada di Bandara Soekarno-Hatta. Media komunikasi ini mutlak dibutuhkan
oleh setiap air lines, ground crew penerbangan, crew kargo, catering, satpam dan
lain- lain.
Dalam hal ini terdapat unsur monopoli dimana yang memegang hak
tunggal untuk pemasaran dan pelayanan jaringan. Tetapi meskipun demikian,
unsur pengawasan terhadap pemegang hak tunggal ini akan sangat ketat.
2.2
Studi Kelayakan Usaha (Feasibility Study)
Studi kelayakan usaha bertujuan untuk memberikan gambaran atau acuan
dalam pengambilan keputusan investasi pada suatu aktifitas usaha. Berikut ini
16
kriteria yang diperhitungkan dalam menentukan apakah investasi tersebut layak
atau tidak untuk dijalankan. Kriteria tersebut meliputi :
1.
Nilai bersih sekarang (Net Present Value- NPV)
2.
Internal Rate of Return (IRR)
3.
Periode pengembalian (payback period)
4.
Return On Equity (ROE)
5.
Return On Investment (ROI)
2.2.1
Perhitungan WACC (Weighted Avarage Cost of Capital )
Weighted Average Cost of Capital (WACC) yang merupakan hurdle rate
atau discount rate. WACC menggambarkan tingkat resiko perusahaan berdasarkan
bisnisnya. Nilai WACC diperoleh dengan rumusan sebagi berikut.
atau dapat disederhanakan menjadi
Pada umumnya di Indonesia, cost of debt yang digunakan adalah suku
bunga pinjaman bank (i loan), sedangkan untuk cost of equity menggunakan suku
bunga deposito (i deposito).
WACC dijadikan sebagai pembanding terhadap IRR, apabila IRR lebih
besar dari WACC maka NPV yang dihasilkan akan positif atau dengan kata lain
layak. Sebaliknya, jika IRR lebih kecil dari WACC, maka NPV suatu proyek akan
bernilai negatif.
2.2.2
Perhitungan Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) dari sebuah proyek atau investasi didefinisikan
sebagai penjumlahan nilai sekarang dari expected cash flow dikurangi dengan
initial investment. Expected cash flow merupakan free cash flow yang dihasilkan
dari investment setiap tahun selama umur proyek. Nilai cash flow ini
didiskontokan atau disesuaikan dengan time value of money. Net present value
(NPV) menggunakan discount rate untuk mengurangi expected free cash flows
dan terminal value dari suatu proyek.
17
Tujuan dari perhitungan NPV adalah untuk menentukan nilai yang
dihasilkan dari investasi. Intinya, suatu proyek dapat dinyatakan layak apabila net
cash inflows, setelah memperhitungkan time value of money melebihi cost suatu
proyek. NPV merupakan salah satu alat evaluasi keuangan yang paling akurat
untuk mengestimasi nilai suatu investasi. Tujuan dari perhitungan NPV adalah
untuk menentukan nilai yang dihasilkan dari investasi.
Perhitungan NPV membutuhkan tiga langkah. Langkah pertama adalah
mengidentifikasikan besar dan waktu dari expected future cash flow yang
dihasilkan oleh suatu proyek atau investasi. Langkah kedua adalah menentukan
discount rate atau estimated rate of return untuk suatu proyek. Langkah ketiga
adalah menghitung NPV dengan menggunakan rumus di bawah ini :
atau
Perhitungan NPV suatu proyek dapat juga dilakukan dengan menjumlah
nilai keseluruahan free cash flow yang sudah didiskon dengan WACC sebagai
discount rate-nya yang kemudian dijumlahkan dengan investasi awal.
2.2.3
Perhitungan IRR
Internal Rate of Return (IRR) didefinisikan sebagai discount rate yang
membuat proyek memiliki Net Present Value (NPV) sama dengan nol. IRR adalah
salah satu metode alternatif untuk mengevaluasi investasi tanpa harus
mengestimasi discount rate. IRR memperhitungkan time value of money dari cash
flows selama umur proyek. Perhitungan IRR dilakukan melalui proses trial and
error yang mencari discount rate yang menghasilkan NPV sama dengan nol.
IRR adalah nilai discount rate maksimum yang diperbolehkan yang akan
menghasilkan nilai dengan mempertimbangkan cost of capital dan resiko proyek.
Oleh karena itu, IRR kadang-kadang diartikan sebagai break-even rate of return
18
yaitu rate dimana nilai cash outflow sama dengan nilai cash inflow. IRR diperoleh
dengan menyelesaikan perhitungan NPV untuk rate yang menghasilkan NPV
sama dengan nol.
Perhitungan Internal Rate of Return (IRR) dinyatakan sebagai berikut:
Perhitungan IRR dengan menjadikan NPV sama dengan 0 (nol) diatas
dapat diselesaikan dengan metode trial and error. Metode ini dapat memakan
waktu yang lama. Dengan bantuan program Microsoft Excel dari Microsoft
Office, maka perhitungan trial and error untuk discount rate yang menghasilkan
NPV = 0 dapat dihitung dengan menuliskan rumusan “=IRR(Accumulated free
cash flow dari tahun ke 0 hingga tahun akhir proyek)” pada cell yang dikehendaki.
2.2.4
Perhitungan Payback Period
Payback period (PBP) didefinisikan sebagai lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk mengembalikan investasi awal melalui cash flow yang
dihasilkan oleh investasi tersebut. Payback Period ini tidak boleh melebihi target
maksimum payback period suatu investasi yang sudah ditetapkan. Apabila ada
dua atau lebih proyek yang bersifat mutually exclusive (salah satu yang dipilih),
maka proyek dengan payback period yang terpendek yang dipilih. Target
maksimum payback period biasanya merupakan lamanya jangka waktu investasi
tersebut aktif.
Payback Period adalah sebuah alat yang mudah digunakan dan dimengerti
tetapi memiliki kekurangan yaitu tidak memperhitungkan time value of money.
Pada umunya perhitungan nilai payback periode adalah sebagai berikut:
2.2.5
Perhitungan ROE
Return on Equity (ROE) adalah suatu indikator untuk mengukur tingkat
pengembalian ekonomis dari sebuah proyek atau investasi dari modal yang
19
ditanamkan/disetorkan oleh pemegang saham. Nilai ROE dalam practical view
diperoleh dengan rumusan berikut :
Keunggulan utama dari rasio ini adalah sebagai indikator awal untuk
mengindikasikan apakah suatu perusahaan merupakan profit creator atau profit
burner dari setiap modal yang disetor oleh pemegang saham. Selain itu, rasio ini
merupakan indikator apakah suatu perusahaan mampu meningkatkan keuntungan
tanpa menambahkan modal ekuitas baru terhadap bisnis tersebut, atau dengan kata
lain merupakan speed limit dari profitabilitas suatu perusahaan tanpa melakukan
penambahan modal ekuitas baru.
2.2.6
Return on Investment (ROI)
Return on Investment (ROI) adalah alat keuangan yang mudah untuk
mengukur tingkat pengembalian ekonomis dari sebuah proyek atau investasi. ROI
mengukur efektivitas investasi dengan membandingkan net benefit dengan
investasi awal. ROI telah menjadi salah satu metode yang paling popular
digunakan untuk memahami, mengevaluasi, dan membandingkan nilai dari
pilihan investasi yang berbeda. Secara praktis, pehitungan ROI adalah dengan
menggunakan rumusan sebagai berikut:
Perhitungan ROI di atas dalam prakteknya seringkali diterapkan karena
telah memperhitungkan time value of money dengan jalan mem-present value-kan
EBIT (Earning Before Interest and Tax ) berdasarkan discount rate perusahaan.
EBIT digunakan dalam perhitungan di atas, karena merupakan indikator utama
kemampuan suatu proyek untuk menghasilkan keuntungan serta menjadi
perhatian bersama bagi seluruh share-holder baik itu kreditur (bunga pinjaman),
pemerintah (pajak) dan pemegang saham (dividen).
20
2.3
Pola Kerjasama
PT AP II selaku pengelola Bandara Soekarno-Hatta memiliki keterbatasan
sumber daya terutama sumber daya manusia terutama tenaga ahli dan pembia yaan
yang terlampau besar untuk suatu proyek yang bukan merupakan bisnis inti bila
membiayai sendiri proyek pengadaan dan pengoperasian sistem jaringan radio
trunking tersebut. Oleh sebab itu, PT AP II memiliki beberapa alternatif lain untuk
menjalankan proyek tersebut. Alternatif-alternatif tersebut antara lain dengan
melakukan leasing atas seluruh aset yang dibutuhkan untuk pengerjaan proyek
tersebut atau dengan cara mencari investor untuk berinvestasi pada proyek
tersebut.
Alternatif mencari investor untuk berinvestasi pada proyek pengadaan dan
pengoperasian radio trunking di Bandara Soekarno-Hatta dapat berupa sistem
BOT (Built Operate Transfer), BOO (Built Own Operate), KM (Kontrak
Manajemen), KSO (Kerjasama Operasi), maupun dengan melakukan patungan
(joint venture).
Berikut ini merupakan beberapa penjelasan mengenai pola kerjasama yang
dimiliki oleh PT(Persero) Angkasa Pura II.
2.3.1
Leasing
Pemerintah Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama Menteri
Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia,
mendefenisikan leasing sebagai berikut: "Leasing adalah setiap kegiatan
pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk
digunakan
suatu
perusahaan
untuk
jangka
waktu
tertentu
berdasarkan
pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan
tersebut
untuk
membeli
barang-barang
modal
yang
bersangkutan
atau
memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang disepakati
bersama.
2.3.2
Kontrak Manajemen (KM)
Kontrak manajemen mengatur kerjasama manajemen suatu proyek antara
badan penyelenggara proyek dengan badan lain dimana badan penyelenggara
21
memperoleh bantuan manajemen dari badan lain atau sebaliknya dengan
kewajiban pihak penerima bantuan manajemen memberikan kompensasi. Lingkup
kerjasama kontrak manejemen meliputi manajemen bidang perencanaan,
pembangunan, operasi, pemasaran, tenaga ahli, perlengkapan, keuangan,
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan.
Keuntungan dari Contract management yang efektif adalah :
•
Dapat meningkatkan produksi dan menurunkan inventory
•
Dapat memperbaiki kualitas produk dan kepuasan pelanggan.
•
Dapat menrunkan biaya pembelian, pengaturan jadwal yang bentrok dan
pengelolaan limbah.
•
Dapat merubah biaya-biaya tetap kontrak menjadi tunai yang langung masuk
ke dalam anggaran dasar.
2.3.3
Kerjasama Operasi (KSO)
Kerjasama operasi yaitu kerjasama dimana pemerintah memberikan hak
pengelolaan atas aset yang dimilikinya untuk dikelola dan dioperasikan dalam
jangka waktu tertentu kepada swasta. Kerjasama ini meliputi kegiatan penyediaan,
pelayanan atau penyediaan dan pelayanan yang dapat berupa pola bagi hasil atau
pola kompensasi. Dalam hal ini baik pemilik proyek dan perusahaan rekanan
saling berbagi kewajiban maupun resikonya.
Pihak swasta bertanggungjawab menyediakan modal kerja, keahlian dan
teknologi tertentu, melakukan pengoperasian dan pemeliharaan, menjual produk
atau jasa pelayanan serta memenuhi kewajiban memberi kompensasi kepada
pemerintah dalam bentuk imbal jasa yang diperoleh dari kegiatan yang
dikerjasamakan. Pada akhir masa periode kerjasama, barang modal yang
disetorkan oleh masingmasing pihak akan tetap menjadi milik pihak yang
bersangkutan tersebut.
2.3.4
Built Operate Transfer (BOT)
BOT
yaitu
suatu
mekanisme
dimana
investor
membangun
dan
mengoperasikan proyek infrastruktur dan kemudian menyerahkannya kepada
22
pemerintah setelah periode waktu tertentu yang disepakati (http://www.dmo.or.id,
2007).
Model build
operate
transfer
(BOT)/design-build-operate-maintain
(DBOM) adalah kemitraan gabungan yang menyatukan tanggung jawab
perencangan dan konstuksi dari kegiatan perancangan-pembangunan (designbuild) dengan operasi pemeliharaan. Kemitraan Pemerintah dan Swasata ini
memindahkan perancangan, konstruksi, dan operasi dari suatu fasilitas tunggal
atau kelompok aset tertentu kepada mitra di sektor swasta.
Gambar 2.2. Built – Operate –Transfer
Kelebihan
dari
pendekatan
BOT/DBOM
adalah
metode
ini
menggabungkan wewenang yang biasanya terpisah antara perancangan,
konstruksi dan pemeliharaan dalam satu tanggung jawab. Hal ini memberikan
pada pihak swasta untuk mengambil keuntungan dari efisiensi yang dilakukan.
Rancangan proyek ini dapat disesuaikan dengan perlengkapan dan material
konstruksi yang akan digunakan.
Pemegang proyek mendapatkan kontrak BOT/DBOM melalui proses
tawar menawar yang kompetitif dalam suatu mekanisme tender yang transparan.
Para pengusul menanggapi spesifikasi yang ditetapkan dalam dokumen tender dan
biasanya dibutuhkan untuk menyediakan harga tunggal untuk rancangan,
konstruksi dan pemeliharaan atas fasilitas tersebut untuk kapanpun periode waktu
yang ditentukan. Para pengusul juga diminta mengajukan dokumentasi dari
kualifikasi mereka, dengan demikian memperbolehkan pemegang proyek untuk
membandingkan biaya-biaya dari berbagai penawaran yang berbeda dan
23
kemampuan dari para pengusul untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan owner
yang spesifik.
Pertimbangan-pertimbangan
pokok
bagi
pembangunan
proyek
infrastruktur dengan pola BOT didasarkan atas:
1.
Tidak membebani neraca pembayaran pemerintah (off balance-sheet
financing)
2.
Mengurangi jumlah pinjaman Pemerintah maupun sektor publik lainnya
3.
Merupakan tambahan sumber pembiayaan bagi proyek-proyek yang
diprioritaskan
4.
Tambahan fasilitas baru
5.
Mengalihkan resiko bagi konstruksi, pembiayaan dan pengoperasian kepada
sektor swasta
6.
Mengoptimalkan kemungkinan pemanfaatan perusahaan swasta maupun
teknologi asing
7.
Mendorong proses alih teknologi, khususnya bagi kepentingan negara- negara
berkembang
8.
Diperolehnya fasilitas yang lengkap dan operasional setelah masa akhir
konsesi.
2.3.5
Built-Own-Operate (BOO)
BOO (Built-Own-Operate) yaitu mekanisme dimana investor swasta
membangun,
dan
melanjutkan
proyek
infrastrukturnya
sendiri
(http://www.dmo.or.id, 2007). Dalam hal ini setelah proyek selesai dilaksanakan,
fasilitas/hasil yang telah dibangun tidak diserahkan pada pemerintah.
Bentuk ini kemudian dimodifikasi menjadi BOOT (built, own, operate,
transfer). Bila dilihat dari bentukannya maka BOOT dapat dianggap sebagai
penggabungan BOO dan BOT. Pada dasarnya, proyek yang berbasis BOOT atau
dikenal juga sebagai turnkey project adalah ketika pemerintah memberikan
semacam konsesi pada pihak swasta untuk membangun fasilitas, membiarkan
pihak swasta itu memiliki dan mengoperasikan untuk kurun waktu tertentu dan
mengalihkan kembali kepemilikannya pada pemerintah setelah jangka waktu yang
disepakati terlampaui (http://www.republika.co.id, 2001).
24
2.3.6
Perusahaan Patungan (Joint Venture company)
Perusahaan patungan (joint venture company) merupakan kerjasama
dimana pemerintah bersama-sama pihak swasta membentuk suatu badan usaha
patungan dalam bentuk perseroan. Dalam badan usaha tersebut terjadi
penggabungkan dana, properti, pengetahuan, keahlian, waktu atau sumber daya
lain yang dimilik dan saling menyetujui untuk berbagi keuntungan dan kerugian.
Masing- masing pihak memiliki tingkatan kendali tertentu atas badan usaha
tersebut. Perusahaan patungan ini diberi tanggungjawab atas pembanguna n dan
pengelolaan suatu aset yang dimiliki oleh perusahaan patungan tersebut, termasuk
segala kegiatan yang menjadi lingkup usaha perusahaan patungan.
Pembagian resiko dan keuntungan sebagai hasil dari usaha patungan
diperhitungkan berdasarkan proporsi besarnya nilai penyertaan aset dan modal
dari masing- masing pihak, setelah dikurangi dengan penyusutan, biaya modal
kerja, biaya operasi dan pemeliharaan, pembayaran hutang, dan lain- lain.
Setelah masa berakhirnya kontrak, aset atau modal yang dikuasakan
kepada perusahaan patungan akan dikembalikan kepada masing- masing pihak
sesuai kondisi sebagaimana yang ditetapkan dalam kontrak
Perusahaan patungan dapat dijalankan dengan berbagai dasar hukum yang
terbagi menjadi tiga kategori, yakni:
1.
Perusahaan patungan gabungan (the incorporated joint venture)
2.
Perusahaan patungan kemitraan (the partnership venture)
3.
Perusahaan patungan kontraktual dimana pihak-pihak terkait menggabungkan
sumber-sumber daya yang mereka miliki untuk memajukan sebuah badan
usaha bisnis tanpa kemitraan yang sesungguhnya atau penunjukkan
perusahaan.
2.4
Akar Masalah
Keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh PT AP II mengakibatkan
terhambatnya pelaksanaan proyek pengadaan dan pengoperasian sistem radio
trunking di Bandara Soekarno-Hatta. Artinya perlu untuk dilakukan penelitian
terhadap rencana bisnis yang tidak hanya menganalisis layak atau tidaknya bisnis
25
tersebut dilaksanakan, tetapi juga saat dioperasionalkan secara rutin dalam rangka
pencapaian keuntungan yang maksimal untuk waktu yang sudah ditentukan. Hal
tersebut sangat berperan penting dalam proses pengambilan keputusan dalam
melakukan investasi untuk memutuskan apakah investasi pada proyek dapat
dilaksanakan atau mempunyai harapan untuk berhasil.
26
Download