Perbandingan Sanksi Pidana Pemberontakan Menurut Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) Dan Hukum Pidana Islam Ishaq, S.H. IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia ABSTRAK Pemberontakan merupakan suatu perbuatan atau muslihat yang bertujuan untuk menghilangkan nyawa/kemerdekaan Kepala Negara. Permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimanakah sanksi pidana pemberontakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan hukum pidana Islam?. Motode yang dipergunakan adalah pendekatan studi perbandingan. Sumber datanya adalah data sekunder berupa alqur’an, fikih jinayah dan KUHP. Sanksi pidana pemberontakan dalam Pasal-Pasal KUHP terdiri dari pidana penjara 4 tahun, 5 tahun, 7 tahun, 12 tahun, 15 tahun, seumur hidup, 20 tahun, bahkan sampai pidana mati. Sedangkan sanksi Pidana Pemberontakan dalam hukum pidana Islam dijelaskan dalam al-qur’an surah al-Hujurat (49) ayat 9 dan surah al-Maidah (5) ayat 33, yaitu (1) didamaikan antara keduanya, (2) diperangi golongan yang berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, (3) dibunuh atau disalib (dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik) atau dibuang dari negeri tempat kediamannya. Kata Kunci: Sanksi pidana, pemberontakan, kitab undang-undang hukum pidana, hukum pidana Islam. Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang berdasarkan kepada hukum, hal ini telah dijelaskan di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen yaitu,”Negara Indonesia adalah negara hukum”.1 Maksudnya, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan (machtstaat), dan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Indonesia sebagai negara hukum, maka terdapat 3 (tiga) prinsip dasar wajib dijunjung oleh setiap warga negara, yaitu supermasi hukum, kesetaraan dihadapan hukum, dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan kaedah hukum. Perwujudan hukum tersebut terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta peraturan perundangundangan di bawahnya. 1 Indonesia, UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap,(Jakarta : Sinar Grafika, 2002), Cetakan pertama, h. 4. 188 Kaedah hukum, dan kaedah keagamaan berfungsi untuk melarang melakukan perbuatan pemberontakan. Akan tetapi kaedah hukum melarang perbuatan tersebut adalah dengan jalan merumuskan di dalam undang-undang hukum pidana, bahwa apabila seseorang melakukan suatu pemberontakan, maka ada orang lain yang ditunjuk oleh peraturan hukum akan menerapkan terhadap pelaku pemberontakan tersebut suatu tindakan paksaan tertentu yang ditetapkan oleh peraturan hukum itu. Dengan demikian, kaedah hukum menurut Sudikno Mertokusumo di samping melindungi kepentingan manusia terhadap bahaya yang mengancamnya, juga mengatur hubungan di antara manusia. Dengan mengatur hubungan di antara manusia, selain tercipta ketertiban atau stabilitas, diharapkan dapat dicegah atau diatasi terjadinya konflik atau gangguan kepentingan-kepentingan itu2. Peraturan hukum yang dapat mengatasi terjadinya konflik dan mempunyai sanksi yang tegas adalah hukum pidana, sehingga hukum pidana sebagai ultimum remedium yang artinya hukum pidana merupakan senjata pemungkas atau sarana terakhir yang digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum.3. Hukum pidana menurut Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad adalah hukum mengenai delik yang diancam dengan hukuman pidana4. Kaedah keagamaan suatu kaedah sosial yang asalnya dari Tuhan Yang Maha Esa yang isinya berupa larangan, perintah, dan anjuran. Apabila larangan dan perintah itu tidak dilaksanakan, maka Allah SWT akan memberikan sanksi kepada umatnya di akhirat nanti. Kaedah agama bertujuan agar manusia menjadi sempurna, yang akhirnya tidak ada lagi manusia menjadi jahat. Hal ini senada pendapat Sudikno Mertokusumo yang mengatakan bahwa tujuan kaedah agama adalah penyempurnaan manusia oleh karena kaedah ini ditujukan kepada umat manusia dan melarang manusia melakukan perbuatan jahat5. Dalam agama Islam mengatur tentang macam-macam perbuatan yang dilarang menurut syara’ (syariát), atau yang disebut dengan istilah jinayat6. Secara global tujuan syara’ dalam menetapkan hukum-hukumnya menurut H. Ismail Muhammad Syah adalah kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia yang fana ini, maupun kemaslahatan di hari yang baqa (kekal) kelak7. Perbuatan memberontak tergolong dalam jinayat/pidana atau yang disebut juga dengan istilah jarimah. Di dalam ilmu fiqh, bahwa jarimah pemberontak termasuk dengan jarimah hudud, yakni jarimah yang hukumannya langsung ditetapkan dalam al-Qurán, maupun dalam al-hadits. Jarimah al-baghyu menurut Mustofa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani adalah usaha 2. Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yogyakarta : Universitas Atma Jaya, 2011), h. 16. Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), h. 26. 4. Mustafa Abdullah, Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1993), h. 9. 5 .Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 1999), Cetakan Kedua, h. 6 6 . Setiap perbuatan yang diharamkan secara syara’, baik apakah perbuatan itu dilakukan terhadap jiwa, harta, akal, dan kehormatan. 7. H. Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992), Cetakan kedua, h. 65. 3. 189 melawan pemerintahan yang sah dengan terang-terangan atau nyata, baik dengan mengangkat senjata maupun tidak mengindahkan ketentuan yang digariskan pemerintah8. Salah satu perbuatan jarimah yang termasuk kelompok jahat karena berupaya melakukan kerusakan di muka bumi, yakni perbuatan pemberontakan. Karena itu al-Qur’an memutlakkan orang yang melakukan pemberontakan atau al-Baghyu sebagai orang yang melawan pemerintah yang sah9. Sanksi jarimah pemberontak tersebut menurut hukum pidana Islam bermacam-macam, yaitu (1) melakukan ishlah atau perdamaian atau perdamaian dengan pihak pelaku makar, yang dalam ishlah tersebut imam menuntut para pelaku makar untuk menghentikan perlawanannya dan kembali taat kepada imam. (2) Bila cara pertama tidak berhasil dalam arti perlawanan masih tetap berlangsung maka imam memerangi dan membunuh pelaku makar, sampai selesai dan tidak ada lagi perlawanan.10. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), istilah pemberontakan lebih dikenal dengan istilah makar, dan termasuk tindak pidana yang hukumannya juga sangat berat. Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mupun hukum pidana Islam masingmasing mempunyai aturan yang berbeda tentang sanksi terhadap pelaku tindak pidana pemberontakan. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan memeliti lebih dalam mengenai sanksi pidana pemberontakan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun yang diatur dalam hukum pidana Islam. Untuk itu permasalahan dari makalah ini adalah bagaimanakah perbandingan sanksi pidana pemberontakan menurut kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) dan hukum pidana Islam ? Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan dimana penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Hal ini sesuai dengan pendapat Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, bahwa data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.11 Sedangkan bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan, buku-buku yang terkait dengan masalah penelitian, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, buku hukum pidana, buku hukum pidana Islam, kitab kitab fiqh, Alqur’an dan terjemahnya, hadits, hasil-hasil penelitian dan jurnal. Data dianalisis dengan metode kualitatif dan diuraikan secara deskriptif. Ruang lingkup pembahasan makalah ini hanya menitik beratkan kepada perbandingan sanksinya terhadap tindak pidana pemberontakan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan hukum pidana Islam. 8 . Mustofa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h.454. 9 Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saebani, Ibid. 10 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), h.315 11 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamuji, Penelitan Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke -13, (Jkarta : RajaGrafindo Persada, 2011), h. 12. 190 Tindak Pidana Pemberontakan Dalam KUHP Dan Hukum Pidana Islam. Pengertian Tindak Pidana Pemberontakan (Makar) Dalam KUHP. Makar berarti serangan,12 dalam hukum pidana Indonsia yang tercantum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) istilah makar atau aanslag dalam bahasa Belanda, menurut R. Soesilo adalah penyerangan, yang biasanya dilakukan dengan perbuatan kekerasan.13 Istilah makar dalam KUHP sendiri dimulai penafsiran secara khusus yang dapat dimulai dalam Pasal 87, yang berbunyi: Makar (aanslag) sesuatu perbuatan dianggap ada, apabila niat spembuat kejahatan sudah ternyata dengan dimulainya melakukan perbuatan itu menurut maksud pasal 53.14 Menurut Pasal 87 KUHP tersebut, bahwa hanya memberikan suatu penafsiran tentang istilah “makar” dan tidak memberikan memberikan definisinya. Menurut Djoko Prakoso, bahwa dengan adanyan Pasal 87 KUHP, maka untuk melakukan suatu perbuatan itu ada apabila niat untuk itu telah ada, yang ternyata dari perbuatan pelaksanaan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 53 KUHP.15 Kemudian Andi Hamzah menyatakan bahwa “makar, aanslag, strikkin (KUHP 87) adalah (1) awal pelaksanaan niat yang bertujuan melakukan delik, (2) awal pelaksanaan delik yang membahayakan keamanan negara, misalnya, usaha mebunuh atau merampas kehormatan kepala negara, menggulingkan perintah, memisahkan wilayah negara atau menyebabkan wilayah negara jatuh ke tangan musuh (kejahatan terhadap keamanan negara).16 Sedangkan pengertian aanslag menurut JCT Simorangkir dan kawan-kawan, yaitu perbuatan atau muslihat yang bertujuan untuk menghilangkan nyawa/kemerdekaan Kepala Negara dengan jalan pemberontakan.17 Lebih lanjut dijelaskan oleh Adami Chazawi, bahwa istilah makar dalam bahasa Belanda adalah aanslag yang menurut arti harfiah adalah penyerangan atau serangan. Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 53 (Percobaan).18 Dalam bahas Belanda, kata aanslag (makar) menurut PAF Lamintang dan Theo Lamintang mempunyai berbagai arti misalnya : aanval yang berarti serangan, misdadige aanrading yang berarti penyerangan dengan maksud tidak baik.19Istilah makar itu sendiri berasal dari istilah “makarun” dalam bahasa Arab yang berarti tipu daya.20 12 M. Sudradjat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Bandung : Remadja Karya, 1984), hlm. 210. 13 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politeia T.Th), hlm. 108. 14 R. Soesilo, Ibid, hlm. 97. 15 Djoko Prakoso,Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 16. 16 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Harapan, 2009), hlm. 103 17 JCT Simorangkir, et all, Kamus Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 1. 18 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 173. 19 PAF Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan terhadap Kepentingan Hukum Negara, edisi kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hlm. 5. 20 Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir AlQur’an, 1989), hlm. 425. 191 Di dalam Ensiklopedia Hukum Islam, kata makar berasal dari bahasa Arab al-makr sama artinya dengan tipu daya/tipu muslihat atau rencana jahat. Secara simantik makar mengandug arti : akal busuk, perbuatan dengan maksud hendak menyerang orang, dan perbuatan menjatuhkan pemerintahan yang sah. Arti dan pengertian tersebut dikuatkan oleh beberapa ahli dari kaum cendekiawan muslim.21 Makar adalah suatu tipu daya yang dilakukan oleh orang-orang kafir atau kelompok tertentu yang menghancurkan kebenaran atau sistem kehidupan Qur’aniyah. Tipu daya itu bisa dilakukan dengan cara menyebarkan isu, fitnah, teror, dan dengan melakukan kekacauan atau huru-hara.22 Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemberontakan Dalam KUHP Tindak pidana makar di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), telah diatur dalam Bab I (satu) Buku II (dua) tentang kejahatan terhadap keamanan negara. Kejahatan terhadap keamanan negara dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis, walaupun KUHP tidak mengenal pembagian atas 2 (dua) jenis tersebut secara tegas, yaitu: Kejahatan terhadap keamanan di dalam negeri (hoogverrad, yakni pengkhianatan dalam negeri) yang terdiri atas kejahatan yang ditujukan terhadap bentuk pemerintahan dan bentuk negara, sebagaimana dapat ditemukan dalam Bab I Buku II Pasal 104 sampai Pasal 110 KUHP seperti pembunuhan terhadap kepala negara atau wakilnya, pemberontakan dan revolusi. Kejahatan terhadap keamanan negara diluar negeri (landverrad, yakni pengkhianatan luar negeri) yaitu kejahatan yang dapat menimbulkan bahaya bagi negara sendiri sehubungan dengan negara-negara asing sebagaimana dapat ditemukan dalam Bab I Buku II Pasal 111 sampai Pasal 129 KUHP.23 Adapun unsur-unsur tindak pidana makar dapat dilihat berdasarkan Pasal-pasal yang mengatur tentang makar, yaitu: Pasal 104 KUHP. Pasal 104 KUHP ini unsur-unsurnya terdiri dari: makar dengan maksud: Menghilangkan jiwa Presiden atau Wakil Presiden; Merampas kemerdekaan Presiden dan Wakil Presiden; Menjadikan Presiden atau Wakil Presiden tidak mampu menjalankan pemerintahan. 21 Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Hukum Islam, (jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993). Erdianto, Tindak Pidana Makar Terhadap Keamanan Dan Keutuhan Wilayah Negar Dihubungkan Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia Pelaku, Ringkasan Disertasi, (Bandung : Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2014), hlm. 23. 23 H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid I, (Bandung : Alumni, 1986), hlm. 217. 22 192 Adapun penjelasan unsur-unsur yang terkandung Pasal 104 KUHP yaitu: dengan maksud, berarti pelaku mempunyai niat atau kehendak ataupun tujuan, hingga tujuan itu tidak perlu telah terlaksana. Makasud disini adalah meliputi perbuatan menghilangkan jiwa, merampas kemerdekaan atau menjadikan tidak mampu menjalankan pemerintahan atas Presiden atau Wakil Presiden. Menghilangkan jiwa terdiri atas pembunuhan dalam Pasal 338 KUHP dan pembunuhan dengan berencana Pasal 340 KUHP, dan perbuatan percobaan atas kedua jenis kejahatan tersebut. Merampas kemerdekaan itu harus berdasarkan Pasal 333 KUHP yakni merampas kemerdekaan dan melanjtkan perampasan kemerdekaan tersebut. Menjadikan tidak mampu menjalankan pemerintahan, yakni dilakukan beberapa cara dan tidak dipersoalkan jenis sarana atau cara yang dipergunakan dalam melakukan makar itu untuk mencapai tujuannya. 24 Pasal 106 KUHP. Pasal 106 KUHP ini mengndung unsur-unsur sebagai berikut, yaitu: Makar dengan maksud: Menaklukkan daerah atau negara seluruhnya atau sebagian ke bawah pemerintahan asing, Memisahkan sebagian dari daerah negara. Unsur-unsur tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa makar dengan maksud, yakni pelaku mempunyai niat atau tujuan yang diarahkan pada: menaklukkan daerah negara seluruhnya atau sebagian ke bawah pemerintahan asing, memisahkan sebagian dari wilayah negara. Menaklukkan daerah negara seluruhnya atau sebagian ke bawah pemerintahan asing, berarti menyerahkan seluruh atau sebagian besar wilayah negara ke dalam pemerintahan asing. Negara dijadikan daerah jajahan atau dibawah kedaulatan negara lain, sehingga negara kehilangan kemerdekaannya, sedangkan sebagian wilayah di bawah negara pemerintahan asing berarti negara kehilangan kedaulatannya sama sekali. Memisahkan sebagian dari negara berarti sebagian dari wilayah negara dijadikan negara yang berdiri sendiri atau negara yang berdiri sendiri atau negara yang merdeka terlepas dari negara Republik Indonesia,25 Pasal 107 KUHP. Pasal 107 KUHP. Adapun unsur-unsur yang terkandung pada Pasal 107 KUHP ini, yaitu: makar yang dilakukan dengan maksud: meruntuhkan pemerintahan, pimpinan atau pengatur makar yang dimaksudkan pada ayat pertama. Makar yang dilakukan dengan maksud, yakni pelaku mempunyai niat atau kehendak ataupun tujuan, hingga tujuan itu tidak perlu telah terlaksana. Meruntuhkan pemerintahan yang sah, berarti menghapuskan atau mengubah dengan jalan yang tidak sah bentuk pemerintahan yang menurut undang-undang dasar atau bentuk pemerintahan yang sah dalam Republik Indonesia. Piminan atau pengatur makar yang 24 25 H.A.K. Moch. Anwar, Ibid, hlm. 219. Djoko Prakoso, Op.Cit, hlm. 38. 193 dimaksudkan pada ayat pertama, yakni perbuatan-perbuatan dari orang-orang tertentu menentukan, bahwa orang-orang tersebut adalah pimpinan atau pengatur. Pimpinan yakni orang yang memberikan perintah, sedangkan pengatur adalah penyelenggara.26 Pasal 108 KUHP. Pasal 108 KUHP ini mengatur tentang pemberontakan dengan unsur-unsurnya terdiri dari: -ke 1:- Melawan dengn senjata; - kekuasaan yang ada di Indonesia; -ke 2: - maju dengan pasukan atau masuk pasukan; - pasukan yang melawan kekuasaan yang syah di Indonesia - dengan maksud melawan kekuasaan yang syah di Indonesia. Jika dijelaskan unsur-unsur tersebut di atas, maka dapat dilihat di bawah ini, yaitu: Melawan dengan senjata merupakan perbuatan melakukan tindakan-tindakan yang menetang dengan membawa senjata atau mempergunakan senjata. Pelaku dalam perbuatannya membawa senjata. Kekuasaan yang telah berdiri di Indonesia bererti pemerintah yang ada di Indonesia, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Masuk pasukan/gerombolan merupakan perbuatan menggabungkan diri dalam pasukan atau gerombolan. Pasukan atau gerombolan yang melawan kekuasaan yang syah di Indonesia dengn senjata harus bertujuan untuk melawan kekusaan yang syah di Indonesia, atau harus melawan atau menentang pemerintah Indonesia, bai di pusat maupun di daerah. Dengan maksud melawan kekuasaan yang syah di Indonesia, yakni pelakunya mempunyai niat atau kehendak melawan kekuasaan yang syah di Indonesia, dan niat atau kehendak itu tidak perlu terlaksana.27 Pasal 139a KUHP. Pasal 139a KUHP ini unsur-unsurnya terdiri atas unsur obyektif, yakni makar yang dilakukan. Sedangkanedangkan unsur subyektifnya adalah dengan maksud untuk melepaskan dari pada pemerintahan yang syah. Daerah Daerah negara sahabat, jajahan negara sahabat, bahagian daerah negara sahabat seluruh atau sebagian. Sedangkan Pasal 139b KUHP unsur-unsurnya adalah makar yang dilakukan dengan maksud untuk menghapuskan atau mengubah denggan jalan tidak syah, bentuk 26 27 H.A.K. Moch. Anwar, Op.Cit, hlm. 222-223. H.A.K. Moch. Anwar, Ibid, hlm. 226. 194 pemerintahan yang telah tetap, dari suatu negara sahabat atau dari suatu jajahan atau sebagian dari suatu negara sahabat. Pasal 140 KUHP. Adapun unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 140 KUHP, yaitu : Makar untuk: menghilangkan nyawa, kemerdekaan; raja yang memerintah negara sahabat; kepala lain dari negara shabat. Makar untuk menghilangkan jiwa itu; menyebabkan mati atau dilakukan yang dirancang lebih dahulu. Makar untuk menghilangkan jiwa itu; yang dirancangkan lebih dahulu; menyebabkan mati. Jika diamati pasal yang telah disebutkan di atas, maka dapat dijelaskan bahwa Pasal 140 KUHP senada dengan Pasal 104 KUHP, karena sama-sama makar terhadap nyawa atau kemerdekaan Kepala Negara atau wakilnya. Pasal 139a KUHP senada dengan Pasal 106 KUHP,yakni sama-sama makar untuk memisahkan wilayah negara, demikian halnya juga terhadap Pasal 139b KUHP dengan Pasal 107 KUHP. Perbedaannya adalah bahwa Pasal 104 KUHP, Pasal 106 KUHP, Pasal 107 KUHP itu mengenai negara Indonesia. Sedangkan Pasal 139a KUHP, Pasal 139b KUHP dan Pasal 140 KUHP, membicarakan tentang negara sahabat sehingga ancaman pidananya berbeda. Pengertian Tindak Pidana Pemberontakan (Makar) Dalam Hukum Pidana Islam. Perbuatan makar atau pemberontakan merupakan suatu tindak pidana yang diharamkan dalam hukum pidana Islam, hal ini dijelaskan di dalam hadits Rasulullah Saw yang berbunyi: )من خرج عن الطا عة وقارق الجما عة ومات فميتته ميتة جاهلية (رواه مسلم Artinya: Barangsiapa yang tidak taat kepada penguasa dan memisahkan diri dari jama’ah (penguasa yang direstui rakyat), maka orang tersebut bila mati, matinya tergolong mati dalam keadaan jahiliyah (kafir) (HR.Muslim).28 Pemberontakan atau al-Baghyu berasal dari akar kata bagha secara arti kata berarti “menuntut sesuatu”. Hal ini dijelaskan oleh Abd Al-Qadir Audah, yaitu : طلب الشئ...لغ ًة.َ اَلَبَغَى...َ Artinya:...Mencari atau menuntut sesuatu.29 28 Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, Juz III, hlm. 258. Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Beirut : Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, T.Th), hlm. 673. 29 195 Jika dilihat dari segi bahasa,maka al-Baghy mempunyai beberapa pengertian, antara lain ( الظلمzhalim, aniaya), ( الجنا يةperbuatan jahat) ( العصيانdurhaka) لعدول عن الحقا (menyimpang dari kebenaran), dan ( التعدىmelanggar, menetang).30 Pengertian tindak pidana pemberontakan (makar) secara terminologi dijelaskan oleh H. Zainuddin Ali yaitu usaha atau gerakan yang dilakukan oleh suatu kelompok dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.31 Kemudian H. Ahmad Wardi Muslich menjelaskan, bahwa pemberontakan adalah pembangkangan terhadap kepala negara (imam) dengan menggunakan kekuatan berdasarkan argumentasi atau alasan (ta’wil).32 Senada dengan hal tersebut juga Mustafa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani menjelaskan bahwa al-Baghyu (pemberontakan) adalah usaha melawan pemerintah yang sah dengan terang-terangan atau nyata, baik dengan mengangkat senjata maupun tidak mengindahkan ketentuan yang digariskan pemerintah.33 Di samping itu juga Makhrus Munajat mengemukakan bahwa al-Baghyu (pemberontakan) sering diartikan sebagai keluarnya seseorang dari ketaatan kepada imam yang sah tanpa alasan.34 Selain pengertian al-Baghyu (pemberontakan) yang telah dikemukakan tersebut di atas, juga dikemukakan oleh ulama mazhab yang redaksinya juga berbeda-beda, yaitu : Pendapat Imam Malikiyah. Menurut Imam Malikiyah, bahwa al-Baghyu (pemberontakan) adalah: المتناع عن طاعة من ثبتت اما مته فى غير معصية بمغا لبته ولو تاء وي ًل...البغى Artinya: Pemberontakan... adalah menolak untuk tunduk dan taat kepada orang yang kepemimpinannya telah tetap dan tindakannya bukan dalam mksiat, dengan cara menggulingkannya, dengan menggunakan alasan (ta’wil).35 Pendapat Hanafiyah. Imam Hanafiyah memberikan pengertian al-Baghyu (pemberontakan) adalah sebagai berikut, yaitu: الخروج عن طا عة امام الحق بغير حق...البغى Artinya: Pemberontakan adalah...ke luar dari ketaatan kepada Imam (kepala negara) yang benar (sah) dengan cara yang tidak benar (sah).36 30 Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani, Op.Cit, hlm. 257. H. Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 122. 32 H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hlm. 111. 33 Mustafa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah, (Bandung : Pustaka Setia, 2013), hlm. 454. 34 Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta : Teras, 2009), hlm. 158. 35 Abd Al-Qadir Audah, Loc.Cit. 36 Abd Al-Qadir Audah, Ibid. 31 196 Pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah. Adapun pendapat Imam Syafi’iyah maupun Imam Hanabilah tentang pemberontakan dapat dijelaskan di bawah ini, yaitu: هو خروج جما عة ذا ت شو كة ورئيس مطاع عن طا عة ال مام بتاء ويل فا سد...فا لبغى Artinya: Pemberontakan... adalah keluarnya kelompok yang memiliki kekuatan dan pemimpin yang ditaati, dari kepatuhan kepada kepala negara (imam), dengan menggunakan alasan (ta’wil) yang tidak benar.37 Berdasarkan pengertian yang telah dijelaskan oleh para ulama tersebut, terdapat perbedaan tentang persyaratan yang harus dipenuhi dalam tindak pidana (jarimah) pemberontakan, namun tidak dalam unsur yang prinsipil. Unsur- Unsur Tindak Pidana (Jarimah) Pemberontakan Dalam Hukum Pidana Islam. Adapun unsur-unsur tindak pidana (jarimah) pemberontakan berdasarkan pengertian yang telah dijelaskan di atas, oleh H. Ahmad Wardi Muslich dikemukakan atas tiga macam, yaitu : Pembangkangan terhadap kepala negara (imam); Pembangkangan dilakukan dengan menggunakan kekuatan, dan Adanya niat yang melawan hukum (al-Qasd Al-Jinaiy).38 Kemudian unsur-unsur tindak pidana (jarimah) pemberontakan menurut H. M. Nurul Irfan, dan Masyrofah juga terdapat tiga unsur yang penting, yaitu: Memberontak terhadap pemimpin negara yang sah serta berdaulat, Dilakukan secara demonstratif, dan Termasuk tindakan pidana.39 Sedangkan unsur-unsur tindak pidana (jarimah) pemberontakan yang dikemukakan oleh Mustofa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani adalah sebagai berikut, yaitu: (1) melawan pemerintahan yang sah atau melepaskan diri atau keluar dari kekuasaan imam dan 37 Abd Al-Qadir Audah, Ibid, hlm. 674. 38 . H. Ahmad Wardi Muslich, Loc.Cit. 39 H. M. Nurul Irfan, dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta : Amzah, 2013), hlm. 62. 197 kesengajaan atau iktikad tidak baik, (2) melepaskan diri atau keluar merupakan perbuatan menentang dan memcoba menjatuhkan kekuasaan imam dengan alasan politis.40 Senada dengan hal tersebut di atas, juga Amir Syarifuddin menjelaskan unsur-unsur tindak pidana (jarimah) pemberontakan, sebagai berikut: Menentang kekuasaan atau melakukan perlawanan terhadap imam atau penguasa yang sah dan adil dengan maksud dan cara menghilangkan kekuasaan yang sah; atau menarik kepatuhan dari padanya; atau menolak memberikan hak-haknya. 1. 2. 3. 4. 5. Dilakukan oleh sekelompok orang yang diorganisir oleh pimpinan yang dipatuhi. Dilakukan dengan suatu ide (al-ta’wil) tertentu. Menggunakan kekuatan senjata. Perlawanan terhadap kekuasaan yanh sah itu dilakukan dengan sengaja, sadar dan mengetahui bahwa tindakan tersebut adalah salah dan dilarang oleh agama.41 Pembangkangan terhadap kepala negara (imam). Pembangkangan, yakni menentang kepala negara dan berupaya untuk memberhentikannya atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara. Untuk terwujudnya jarimah atau tindak pidana pemberontakan diupayakan terjadinya upaya pembangkangan terhadap kepala negara. Pembangkangan yang dimaksudkan disini menurut H. Ahmad Wardi Muslich, yakni pembangkangan kepada imam atau kepala negara, atau kepada pejabat yang ditunjuk atau yang mewakilinya.42 Pembangkangan dilakukan dengan kekuatan. Pembangkangan termasuk sebagai pemberontakan, apabila pembangkanagan itu disertai dengan penggunaan dan pengerahan kekuatan. Jika pembangkangan itu tidak menggunakan kekerasan, maka tidak termasuk sebagai pemberontakan atau makar. Adanya niat yang melawan hukum. Adanya niat yang melawan hukum merupakan salah satu terwujudnya tindak pidana atau jarimah pemberontakan. Unsur ini akan terpenuhi jika seseorang mempunyai tujuan menggunakan kekuatan dalam rangka menggulingkan imam atau tidak mau mentaatinya. Islam menuntut kepatuhan ummatnya kepada pemimpinnya atau ulil amrinya, seperti dijelaskan di dalam al-Qur’an pada surat al-Nisa’ (04) ayat 59: 40 Mustofa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani, Op.Cit, hlm. 455. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm. 311-313. 42 H. Ahmad Wardi Muslich, Loc.Cit. 41 198 ... Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.... (Q.S. al-Nisa’(04):59).43 Kepatuhan kepada ulil amri tersebut selalu dituntut selama ulil amri itu tidak membawa umat kepada hal-hal yang menyalahi hukum Allah. Mentaati ulil amri menurut Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, tidak berdiri sendiri, tetapi jga merupakan rangkaian dari ketaatan berdiri sendiri, tetapi jga merupakan rangkaian dari ketaatan kepada kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, kata “ulil amri”, tidak diulangi di depan kata “ulil amri”, tetapi ikut ungkapan sebelumnya, yakni menaati Allah dan Rasul-Nya. Dan ketaatan kepada ulil amri juga termasuk menegakkan syari’at Allah dan Rasul-Nya.44 Jika umat Islam yang tidak mematuhi perintah ulil amri yang sah dan adil berarti telah menyalahi perintah Allah yang terkandung dalam ayat di atas, dan mereka disebut durhaka sehingga pantas menerima celaan dari Allah SWT. Jika kedurhakaan itu dilakukan dengan menggunakan kekerasan dan kekuatan senjata yang terorganisir dengan pimpinan yang dipatuhi, maka perbuatan itu sudah termasuk pemberontakan atau makar (al-baghyu). Sanksi Tindak Pidana Pemberontakan Dalam KUHP Dan Hukum Pidana Islam. Sanksi Tindak Pidana Pemberontakan Dalam KUHP. Tindak pidana pemberontakan atau makar sebagaimana dirumuskan pada Pasal 104 KUHP, Pasal 106 KUHP, Pasal 107 KUHP, Pasal 108 KUHP, Pasal 110 KUHP, yakni kejahatan terhadap keamanan di dalam negeri yang terdiri atas kejahatan yang ditujukan terhadap bentuk pemerintahan dan bentuk negara, termasuk juga tindak pidana terhadap Kepala Negara. Kejahatan tersebut seperti pembunuhan terhadap kepala negara atau wakilnya, pemberontakan dan revolusi. Sedangkan kejahatan terhadap keamanan negara di luar negeri, yakni kejahatan yang dapat menimbulkan bahaya bagi negara sendiri sehubungan dengan negara-negara asing sebagaimana diatur di dalam Bab I Buku II pada Pasal 111 KUHP, Pasal 112 KUHP, Pasal 113 (1) KUHP, Pasal 122 KUHP, Pasal 124 KUHP, Pasal 126 KUHP, dan Pasal 127 KUHP. Sanksi tindak pidana pemberontakan atau makar tersebut bermacam-macam berdasarkan Pasal-pasal yang dilanggar. Jika pelaku pemberontakan atau makar terhadap negara melanggar Pasal 104 KUHP, maka sanksinya adalah dipidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun. Apabila pelaku Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah AlQur’an, 1981/1982), hlm. 128 44 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, Jilid I, (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2011), hlm. 549. 43 199 pemberontakan atau makar itu terhadap negara melanggar Pasal 106 KUHP, maka sanksinya hanyalah dipidana penjara seumur hidup atau penjara sementara selam-lamanya dua puluh tahun. Kemudian pelaku pemberontakan atau makar yang melanggar Pasal 107 KUHP pada ayat (1), maka ancaman pidananya adalah lima belas tahun penjara, jika melanggar ayat (2) pasal tersebut, maka sanksinya adalah dihukum penjara seumur hidup atau penjara semenara selama-lamanya dua puluh tahun. Sanksi terhadap pelanggaran Pasal 108 (1) KUHP adalah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun, dan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau dipidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun terhadap pelanggaran Pasal 108 (2) KUHP tersebut. Sanksi terhadap pelanggaran Pasal 111 KUHP adalah dipidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau dipidana penjara selama-lamanya lima belas tahun. Perbuatan yang melanggar Pasal 112 KUHP akan dipidana dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun. Pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur di dalam Pasal 113 ayat (1) KUHP akan dipidana penjara selama-lamanya empat tahun. Pelanggaran terhadap Pasal 122 KUHP akan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun. Sedangkan perbuatan yang melanggra Pasal 124 KUHP akan dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun, atau penjara sementara selama-lamanya lima belas tahun. Adapun perbuatan makar yang melanggar Pasal 126 KUHP akan diberikan sanksi dengan dipidana penjara selama-lamanya tujuh tahun. Kemudiann terhadap perbuatan pemberontakan yang melanggar pada Pasal 127 KUHP akan diberikan sanksi pidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun. Sedangkan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan terhadap negara yang bersahabat dan terhadap kepala negara dan wakil kepala negara sebagaimana yang diatur di dalamm Pasal 139a KUHP adalah dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Pelanggaran terhadap Pasal 139b KUHP dikenakan sanksi pidana penjara selamalamanya empat tahun, dan terhadap pelaku makar yang melanggar Pasal 140 KUHP dikenakan sanksi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun atau pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun. Sanksi Tindak Pidana Pemberontakan Dalam Hukum Pidana Islam. Hukum pidana Islam, sebagai realisasi dari hukum Islam itu sendiri, menerapkan sanksi pidana dengan tujuan untuk menciptakan ketentraman individu dan masyarakat serta mencegah perbuatan-perbuatan yang bisa menimbulkan kerugian terhadap anggota masyarakat, baik yang berkenaan dengan jiwa, harta maupun kehormatan.45 Tujuan memberikan sanksi pidana dalam Islam sesuai dengan konsep tujuan umum di syariatkan hukum, yakni untuk merealisasikan kemaslahatan umat dan sekaligus akan ditegakkan keadilan.46 45 46 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang,1968), hlm. 255. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Usul al-Fiqh, (Kuwait : Dar al-Qalam, 1992), hlm. 198. 200 Lebih lanjut dijelaskan oleh Abdul Ghofur Anshori dan Yulakrnain Harahab, bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan serta kebahagiaan manusia (sebagai individu dan sebagai masyarakat) seluruhnya, baik kebahagiaan di dunia ini, maupun kebahagiaan di akhirat kelak.47 Dengan demikian kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia saja, tetapi juga untuk kehidupan kelak. Adapun dasar hukum yang menjadi acuan sanksi pidana bagi yang melakukan pemerontakan terhadap negara atau pemerintah yang sah, telah dijelaskan di dalam alqur’an dalam surah al-Hujurat (49) ayat 9 dan surah al-Maidah ( ) ayat 33 sebagai berikut: Al-Qur’an Surah al-Hujurat (49) ayat 9 berbunyi sebagai berikut: Artinya: dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil. (Q.S. Al-Hujurat (49):9).48 Ayat tersebut di atas menjelaskan tentang perselisihan antara kaum mkminin yang antara lain disebabkan oleh adanya isu yang tidak jelas kebenarannya. Dan jika ada dua kelompok yang telah menyatu secara faktual atau berpotensi untuk menyatu dari yakni sedang mereka adalah orang-orang mukmin bertikai dalam bentuk sekecil apapun maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya yakni kedua kelompok itu, sedang atau masih terus menerus berbuat aniaya terhadap kelompok yang lain sehingga enggan menerima kebenaran dan atau perdamaian maka tindaklah kelompok yang berbuat aniaya itu sehingga ia yakni kelompok itu kembali kepada perintah Allah yakni menerima kebenaran; jika ia kembali kepada perintah Allah itu maka damaikanlah antara keduanya denga adil dan berlaku adillah dalam segala hal agar putusan kamu dapat diterima dengan baik oleh semua kelompok. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.49 Kemudian juga Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy mengemukakan, bahwa jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang atau saling membunuh, maka wajiblah atas umat Islam mendamaikan dua golongan ini. Mengajak mereka menerima hukum Allah, baik hukum itu berbentuk qisas maupun berbentuk diyat. Kewajiban yang lazim dilaksanakan oleh pemerintah. Pemerintahlah yang mengajak kedua golongan yang 47 Abdul Ghofur Anshori, dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, (Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008), hlm.31 48 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm. 846 49 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm. 243. 201 bersengketa itu menerima ketetapan Allah. Jika salah satu dari dua golongan itu merusak atau melanggar perdamaian, lalu menyerang kembali golongan yang lain dengan tidak ada satu sebab yang membolehkan, maka wajiblah atas pemerintah dan umat Islam memerangi golongan yang merusak perdamaian dan mengembalikannya kepada kitab Allah. Jika golongan itu kembali berdamai,maka wajiblah bagi kita mendamaikan keduanya dengan adil dan tidak memihak.50 Al-Qur’an Surah al-Maidah (5) ayat 33 yang berbunyi: Artinya:. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (Q.S. Al-Maidah (5):33).51 Berdasarkan ayat tersebut di di atas menurut Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, bahwa memerangi Allah dan Rasul-Nya adalah mengadakan kekacauan, menghilangkan ketentraman, menentang hak-hak syara’, maka pembalasan bagi orang-orang tersebut adalah dibunuh atau disalib atau dipotong tangan kanan dengan kaki kiri (tangan kiri dengan kaki kanan) atau diusir dari negerinya.52 Berdasarkan ayat al-qur’an di atas, maka menurut H. Zainuddin Ali, bahwa sanksi pidana terhadap pelaku pemberontakan adalah sebagai berikut: Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, perangilah golongan yang berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, Damaikanlah keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, jilid 4, (Jakarta : Cakrawala, 2011), hlm. 147. 51 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm. 164. 52 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Op.Cit, hlm. 657. 50 202 Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi adalah dibunuh atau disalib (dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik) atau dibuang dari negeri tempat kediamannya.53 Pemberlakuan sanksi sebagaimana dikemukakan ayat al-Qur’an di atas bertujuan untuk menciptakan sistem kemasyarakatan dan kewibawaan pemerintahan. Pemberontakan dalam arti upaya menggulingkan pemerintah yang sah itu dapat disajajarkan dengan pengkhianat. Dengan demikian pemberlakuan sanksi pidana mati terhadap orang yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah didasari pertimbangan bahwa: (1) tanpa pelaksanaan pemerintahan maka masyarakat akan kacau, (2) orang yang melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah berdasarkan hukum Islam berarti sama dengan orang yang melawan kemauan Allah SWT dan Rasul-Nya.54 Kesimpulan. Berdasarkan pembahsan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Sanksi pidana pemberontakan dalam KUHP sebagaimana dirumuskan pada Pasal 104 KUHP, Pasal 106 KUHP, Pasal 107 KUHP, Pasal 108 KUHP, Pasal 110 KUHP, Pasal 111 KUHP, Pasal 112 KUHP, Pasal 113 (1) KUHP, Pasal 122 KUHP, Pasal 124 KUHP, Pasal 126 KUHP, dan Pasal 127 KUHP, sanksinya minimal dipidana penjara 4 tahun dan maksimal dipidana dengan pidana mati. Sanksi Pidana Pemberontakan Dalam Hukum Pidana Islam, yakni (1) didamaikan antara keduanya, (2) diperangi golongan yang berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, (3) dibunuh atau disalib (dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik) atau dibuang dari negeri tempat kediamannya. Dasar hukumnya adalah al-qur’an dalam surah al-Hujurat (49) ayat 9 dan surah al-Maidah (5) ayat 33. Daftar Pustaka Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, Beirut : Dar Al-Kitab Al‘Arabi, T.Th. Abdul Ghofur Anshori, dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Usul al-Fiqh, Kuwait : Dar al-Qalam, 1992. Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2002. Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang,1968 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta : Kencana, 2010 53 H. Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hlm. 75. 54 H. Zainuddin Ali, Ibid, hlm. 77. 203 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Harapan, 2009 Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Hukum Islam, jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993. Djoko Prakoso,Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1986. Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014. Erdianto, Tindak Pidana Makar Terhadap Keamanan Dan Keutuhan Wilayah Negar Dihubungkan Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia Pelaku, Ringkasan Disertasi, Bandung : Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2014. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2005. H. Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Cetakan kedua, Jakarta : Bumi Aksara, 1992 H. Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. -------------, Hukum Pidana Islam Jakarta : Sinar Grafika, 2007 Indonesia, UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap, Cetakan pertama, Jakarta : Sinar Grafika, 2002. JCT Simorangkir, et all, Kamus Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2009. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta : Lentera Hati, 2002. M. Sudradjat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bandung : Remadja Karya, 1984. Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta : Teras, 2009. Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, Juz III. Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1989 Jakarta : Yayasan Penyelenggara Mustafa Abdullah, Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1993 Mustafa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah, Bandung : Pustaka Setia, 2013. 204 PAF Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan terhadap Kepentingan Hukum Negara, edisi kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 2010. R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politeia T.Th. Soerjono Soekanto, dan Sri Mamuji, Penelitan Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke -13, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2011 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Yogyakarta : Liberty, 1999 Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Kedua -------------, Teori Hukum, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya, 2011 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, jilid 4, Jakarta : Cakrawala, 2011. 205