Undang Hukum Pidana (KUHP) Dan Hukum Pidana Islam Ishaq, SH

advertisement
Perbandingan Sanksi Pidana Pemberontakan Menurut Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) Dan Hukum Pidana Islam
Ishaq, S.H.
IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia
ABSTRAK
Pemberontakan merupakan suatu perbuatan atau muslihat yang bertujuan untuk
menghilangkan nyawa/kemerdekaan Kepala Negara. Permasalahan dalam makalah ini
adalah bagaimanakah sanksi pidana pemberontakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dengan hukum pidana Islam?. Motode yang dipergunakan adalah pendekatan studi
perbandingan. Sumber datanya adalah data sekunder berupa alqur’an, fikih jinayah dan
KUHP. Sanksi pidana pemberontakan dalam Pasal-Pasal KUHP terdiri dari pidana penjara
4 tahun, 5 tahun, 7 tahun, 12 tahun, 15 tahun, seumur hidup, 20 tahun, bahkan sampai
pidana mati. Sedangkan sanksi Pidana Pemberontakan dalam hukum pidana Islam
dijelaskan dalam al-qur’an surah al-Hujurat (49) ayat 9 dan surah al-Maidah (5) ayat 33,
yaitu (1) didamaikan antara keduanya, (2) diperangi golongan yang berbuat aniaya
terhadap golongan yang lain, (3) dibunuh atau disalib (dipotong tangan dan kaki mereka
dengan bertimbal balik) atau dibuang dari negeri tempat kediamannya.
Kata Kunci: Sanksi pidana, pemberontakan, kitab undang-undang hukum pidana, hukum
pidana Islam.
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan kepada hukum, hal ini telah dijelaskan di
dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil
amandemen yaitu,”Negara Indonesia adalah negara hukum”.1 Maksudnya, bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat),
tidak berdasar atas kekuasaan (machtstaat), dan pemerintahan berdasarkan sistem
konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Indonesia sebagai negara hukum, maka terdapat 3 (tiga) prinsip dasar wajib dijunjung oleh
setiap warga negara, yaitu supermasi hukum, kesetaraan dihadapan hukum, dan penegakan
hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan kaedah hukum. Perwujudan
hukum tersebut terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta peraturan perundangundangan di bawahnya.
1
Indonesia, UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap,(Jakarta :
Sinar Grafika, 2002), Cetakan pertama, h. 4.
188
Kaedah hukum, dan kaedah keagamaan berfungsi untuk melarang melakukan perbuatan
pemberontakan. Akan tetapi kaedah hukum melarang perbuatan tersebut adalah dengan
jalan merumuskan di dalam undang-undang hukum pidana, bahwa apabila seseorang
melakukan suatu pemberontakan, maka ada orang lain yang ditunjuk oleh peraturan hukum
akan menerapkan terhadap pelaku pemberontakan tersebut suatu tindakan paksaan tertentu
yang ditetapkan oleh peraturan hukum itu.
Dengan demikian, kaedah hukum menurut Sudikno Mertokusumo di samping melindungi
kepentingan manusia terhadap bahaya yang mengancamnya, juga mengatur hubungan di
antara manusia. Dengan mengatur hubungan di antara manusia, selain tercipta ketertiban
atau stabilitas, diharapkan dapat dicegah atau diatasi terjadinya konflik atau gangguan
kepentingan-kepentingan itu2.
Peraturan hukum yang dapat mengatasi terjadinya konflik dan mempunyai sanksi yang
tegas adalah hukum pidana, sehingga hukum pidana sebagai ultimum remedium yang
artinya hukum pidana merupakan senjata pemungkas atau sarana terakhir yang digunakan
untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum.3. Hukum pidana menurut Mustafa
Abdullah dan Ruben Ahmad adalah hukum mengenai delik yang diancam dengan
hukuman pidana4.
Kaedah keagamaan suatu kaedah sosial yang asalnya dari Tuhan Yang Maha Esa yang
isinya berupa larangan, perintah, dan anjuran. Apabila larangan dan perintah itu tidak
dilaksanakan, maka Allah SWT akan memberikan sanksi kepada umatnya di akhirat nanti.
Kaedah agama bertujuan agar manusia menjadi sempurna, yang akhirnya tidak ada lagi
manusia menjadi jahat. Hal ini senada pendapat Sudikno Mertokusumo yang mengatakan
bahwa tujuan kaedah agama adalah penyempurnaan manusia oleh karena kaedah ini
ditujukan kepada umat manusia dan melarang manusia melakukan perbuatan jahat5.
Dalam agama Islam mengatur tentang macam-macam perbuatan yang dilarang menurut
syara’ (syariát), atau yang disebut dengan istilah jinayat6. Secara global tujuan syara’
dalam menetapkan hukum-hukumnya menurut H. Ismail Muhammad Syah adalah
kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia yang fana ini, maupun
kemaslahatan di hari yang baqa (kekal) kelak7. Perbuatan memberontak tergolong dalam
jinayat/pidana atau yang disebut juga dengan istilah jarimah.
Di dalam ilmu fiqh, bahwa jarimah pemberontak termasuk dengan jarimah hudud, yakni
jarimah yang hukumannya langsung ditetapkan dalam al-Qurán, maupun dalam al-hadits.
Jarimah al-baghyu menurut Mustofa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani adalah usaha
2.
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yogyakarta : Universitas Atma Jaya, 2011), h. 16.
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), h. 26.
4.
Mustafa Abdullah, Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1993), h. 9.
5
.Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 1999), Cetakan Kedua,
h. 6
6 .
Setiap perbuatan yang diharamkan secara syara’, baik apakah perbuatan itu dilakukan terhadap jiwa, harta,
akal, dan kehormatan.
7.
H. Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992), Cetakan kedua, h. 65.
3.
189
melawan pemerintahan yang sah dengan terang-terangan atau nyata, baik dengan
mengangkat senjata maupun tidak mengindahkan ketentuan yang digariskan pemerintah8.
Salah satu perbuatan jarimah yang termasuk kelompok jahat karena berupaya melakukan
kerusakan di muka bumi, yakni perbuatan pemberontakan. Karena itu al-Qur’an
memutlakkan orang yang melakukan pemberontakan atau al-Baghyu sebagai orang yang
melawan pemerintah yang sah9. Sanksi jarimah pemberontak tersebut menurut hukum
pidana Islam bermacam-macam, yaitu (1) melakukan ishlah atau perdamaian atau
perdamaian dengan pihak pelaku makar, yang dalam ishlah tersebut imam menuntut para
pelaku makar untuk menghentikan perlawanannya dan kembali taat kepada imam. (2) Bila
cara pertama tidak berhasil dalam arti perlawanan masih tetap berlangsung maka imam
memerangi dan membunuh pelaku makar, sampai selesai dan tidak ada lagi perlawanan.10.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), istilah pemberontakan lebih
dikenal dengan istilah makar, dan termasuk tindak pidana yang hukumannya juga sangat
berat. Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mupun hukum pidana Islam masingmasing mempunyai aturan yang berbeda tentang sanksi terhadap pelaku tindak pidana
pemberontakan.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji
dan memeliti lebih dalam mengenai sanksi pidana pemberontakan yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun yang diatur dalam hukum pidana Islam.
Untuk itu permasalahan dari makalah ini adalah bagaimanakah perbandingan sanksi pidana
pemberontakan menurut kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) dan hukum pidana
Islam ?
Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum kepustakaan dimana penelitian ini dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Hal ini sesuai dengan pendapat Soerjono
Soekanto dan Sri Mamuji, bahwa data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya
dinamakan data sekunder.11
Sedangkan bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah peraturan
perundang-undangan, buku-buku yang terkait dengan masalah penelitian, seperti Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, buku hukum pidana, buku hukum pidana Islam, kitab
kitab fiqh, Alqur’an dan terjemahnya, hadits, hasil-hasil penelitian dan jurnal. Data
dianalisis dengan metode kualitatif dan diuraikan secara deskriptif. Ruang lingkup
pembahasan makalah ini hanya menitik beratkan kepada perbandingan sanksinya terhadap
tindak pidana pemberontakan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dengan hukum pidana Islam.
8 .
Mustofa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah, (Bandung: Pustaka Setia,
2013), h.454.
9
Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saebani, Ibid.
10
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), h.315
11
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamuji, Penelitan Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke -13,
(Jkarta : RajaGrafindo Persada, 2011), h. 12.
190
Tindak Pidana Pemberontakan Dalam KUHP Dan Hukum Pidana Islam.
Pengertian Tindak Pidana Pemberontakan (Makar) Dalam KUHP.
Makar berarti serangan,12 dalam hukum pidana Indonsia yang tercantum di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) istilah makar atau aanslag dalam bahasa
Belanda, menurut R. Soesilo adalah penyerangan, yang biasanya dilakukan dengan
perbuatan kekerasan.13 Istilah makar dalam KUHP sendiri dimulai penafsiran secara
khusus yang dapat dimulai dalam Pasal 87, yang berbunyi: Makar (aanslag) sesuatu
perbuatan dianggap ada, apabila niat spembuat kejahatan sudah ternyata dengan
dimulainya melakukan perbuatan itu menurut maksud pasal 53.14 Menurut Pasal 87
KUHP tersebut, bahwa hanya memberikan suatu penafsiran tentang istilah “makar” dan
tidak memberikan memberikan definisinya. Menurut Djoko Prakoso, bahwa dengan
adanyan Pasal 87 KUHP, maka untuk melakukan suatu perbuatan itu ada apabila niat
untuk itu telah ada, yang ternyata dari perbuatan pelaksanaan sebagaimana dimaksud
oleh Pasal 53 KUHP.15
Kemudian Andi Hamzah menyatakan bahwa “makar, aanslag, strikkin (KUHP 87) adalah
(1) awal pelaksanaan niat yang bertujuan melakukan delik, (2) awal pelaksanaan delik
yang membahayakan keamanan negara, misalnya, usaha mebunuh atau merampas
kehormatan kepala negara, menggulingkan perintah, memisahkan wilayah negara atau
menyebabkan wilayah negara jatuh ke tangan musuh (kejahatan terhadap keamanan
negara).16 Sedangkan pengertian aanslag menurut JCT Simorangkir dan kawan-kawan,
yaitu perbuatan atau muslihat yang bertujuan untuk menghilangkan nyawa/kemerdekaan
Kepala Negara dengan jalan pemberontakan.17
Lebih lanjut dijelaskan oleh Adami Chazawi, bahwa istilah makar dalam bahasa Belanda
adalah aanslag yang menurut arti harfiah adalah penyerangan atau serangan. Dikatakan
ada makar untuk melakukan suatu perbuatan apabila niat untuk itu telah ternyata dari
adanya permulaan pelaksanaan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 53 (Percobaan).18
Dalam bahas Belanda, kata aanslag (makar) menurut PAF Lamintang dan Theo Lamintang
mempunyai berbagai arti misalnya : aanval yang berarti serangan, misdadige aanrading
yang berarti penyerangan dengan maksud tidak baik.19Istilah makar itu sendiri berasal dari
istilah “makarun” dalam bahasa Arab yang berarti tipu daya.20
12
M. Sudradjat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
(Bandung : Remadja Karya, 1984), hlm. 210.
13
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal
Demi Pasal, (Bogor : Politeia T.Th), hlm. 108.
14
R. Soesilo, Ibid, hlm. 97.
15
Djoko Prakoso,Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 16.
16
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Harapan, 2009), hlm. 103
17
JCT Simorangkir, et all, Kamus Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 1.
18
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, (Jakarta:Raja Grafindo
Persada, 2002), hlm. 173.
19
PAF Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan terhadap Kepentingan Hukum Negara, edisi kedua,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hlm. 5.
20
Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir AlQur’an, 1989), hlm. 425.
191
Di dalam Ensiklopedia Hukum Islam, kata makar berasal dari bahasa Arab al-makr sama
artinya dengan tipu daya/tipu muslihat atau rencana jahat. Secara simantik makar
mengandug arti : akal busuk, perbuatan dengan maksud hendak menyerang orang, dan
perbuatan menjatuhkan pemerintahan yang sah. Arti dan pengertian tersebut dikuatkan
oleh beberapa ahli dari kaum cendekiawan muslim.21 Makar adalah suatu tipu daya yang
dilakukan oleh orang-orang kafir atau kelompok tertentu yang menghancurkan kebenaran
atau sistem kehidupan Qur’aniyah. Tipu daya itu bisa dilakukan dengan cara menyebarkan
isu, fitnah, teror, dan dengan melakukan kekacauan atau huru-hara.22
Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemberontakan Dalam KUHP
Tindak pidana makar di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), telah diatur
dalam Bab I (satu) Buku II (dua) tentang kejahatan terhadap keamanan negara. Kejahatan
terhadap keamanan negara dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis, walaupun KUHP tidak
mengenal pembagian atas 2 (dua) jenis tersebut secara tegas, yaitu:
Kejahatan terhadap keamanan di dalam negeri (hoogverrad, yakni pengkhianatan dalam
negeri) yang terdiri atas kejahatan yang ditujukan terhadap bentuk pemerintahan dan
bentuk negara, sebagaimana dapat ditemukan dalam Bab I Buku II Pasal 104 sampai Pasal
110 KUHP seperti pembunuhan terhadap kepala negara atau wakilnya, pemberontakan dan
revolusi.
Kejahatan terhadap keamanan negara diluar negeri (landverrad, yakni pengkhianatan luar
negeri) yaitu kejahatan yang dapat menimbulkan bahaya bagi negara sendiri sehubungan
dengan negara-negara asing sebagaimana dapat ditemukan dalam Bab I Buku II Pasal 111
sampai Pasal 129 KUHP.23
Adapun unsur-unsur tindak pidana makar dapat dilihat berdasarkan Pasal-pasal yang
mengatur tentang makar, yaitu:
Pasal 104 KUHP.
Pasal 104 KUHP ini unsur-unsurnya terdiri dari: makar dengan maksud:
Menghilangkan jiwa Presiden atau Wakil Presiden;
Merampas kemerdekaan Presiden dan Wakil Presiden;
Menjadikan Presiden atau Wakil Presiden tidak mampu menjalankan pemerintahan.
21
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Hukum Islam, (jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993).
Erdianto, Tindak Pidana Makar Terhadap Keamanan Dan Keutuhan Wilayah Negar Dihubungkan
Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia Pelaku, Ringkasan Disertasi, (Bandung : Program Doktor Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2014), hlm. 23.
23
H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid I, (Bandung : Alumni, 1986),
hlm. 217.
22
192
Adapun penjelasan unsur-unsur yang terkandung Pasal 104 KUHP yaitu: dengan maksud,
berarti pelaku mempunyai niat atau kehendak ataupun tujuan, hingga tujuan itu tidak perlu
telah terlaksana. Makasud disini adalah meliputi perbuatan menghilangkan jiwa, merampas
kemerdekaan atau menjadikan tidak mampu menjalankan pemerintahan atas Presiden atau
Wakil Presiden.
Menghilangkan jiwa terdiri atas pembunuhan dalam Pasal 338 KUHP dan pembunuhan
dengan berencana Pasal 340 KUHP, dan perbuatan percobaan atas kedua jenis kejahatan
tersebut. Merampas kemerdekaan itu harus berdasarkan Pasal 333 KUHP yakni merampas
kemerdekaan dan melanjtkan perampasan kemerdekaan tersebut. Menjadikan tidak
mampu menjalankan pemerintahan, yakni dilakukan beberapa cara dan tidak dipersoalkan
jenis sarana atau cara yang dipergunakan dalam melakukan makar itu untuk mencapai
tujuannya. 24
Pasal 106 KUHP.
Pasal 106 KUHP ini mengndung unsur-unsur sebagai berikut, yaitu:
Makar dengan maksud:
Menaklukkan daerah atau negara seluruhnya atau sebagian ke bawah pemerintahan asing,
Memisahkan sebagian dari daerah negara.
Unsur-unsur tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa makar dengan
maksud, yakni pelaku mempunyai niat atau tujuan yang diarahkan pada: menaklukkan
daerah negara seluruhnya atau sebagian ke bawah pemerintahan asing, memisahkan
sebagian dari wilayah negara. Menaklukkan daerah negara seluruhnya atau sebagian ke
bawah pemerintahan asing, berarti menyerahkan seluruh atau sebagian besar wilayah
negara ke dalam pemerintahan asing. Negara dijadikan daerah jajahan atau dibawah
kedaulatan negara lain, sehingga negara kehilangan kemerdekaannya, sedangkan sebagian
wilayah di bawah negara pemerintahan asing berarti negara kehilangan kedaulatannya
sama sekali. Memisahkan sebagian dari negara berarti sebagian dari wilayah negara
dijadikan negara yang berdiri sendiri atau negara yang berdiri sendiri atau negara yang
merdeka terlepas dari negara Republik Indonesia,25 Pasal 107 KUHP.
Pasal 107 KUHP.
Adapun unsur-unsur yang terkandung pada Pasal 107 KUHP ini, yaitu: makar yang
dilakukan dengan maksud: meruntuhkan pemerintahan, pimpinan atau pengatur makar
yang dimaksudkan pada ayat pertama. Makar yang dilakukan dengan maksud, yakni
pelaku mempunyai niat atau kehendak ataupun tujuan, hingga tujuan itu tidak perlu telah
terlaksana.
Meruntuhkan pemerintahan yang sah, berarti menghapuskan atau mengubah dengan jalan
yang tidak sah bentuk pemerintahan yang menurut undang-undang dasar atau bentuk
pemerintahan yang sah dalam Republik Indonesia. Piminan atau pengatur makar yang
24
25
H.A.K. Moch. Anwar, Ibid, hlm. 219.
Djoko Prakoso, Op.Cit, hlm. 38.
193
dimaksudkan pada ayat pertama, yakni perbuatan-perbuatan dari orang-orang tertentu
menentukan, bahwa orang-orang tersebut adalah pimpinan atau pengatur. Pimpinan yakni
orang yang memberikan perintah, sedangkan pengatur adalah penyelenggara.26
Pasal 108 KUHP.
Pasal 108 KUHP ini mengatur tentang pemberontakan dengan unsur-unsurnya terdiri dari:
-ke 1:- Melawan dengn senjata;
- kekuasaan yang ada di Indonesia;
-ke 2: - maju dengan pasukan atau masuk pasukan;
- pasukan yang melawan kekuasaan yang syah di Indonesia
- dengan maksud melawan kekuasaan yang syah di Indonesia.
Jika dijelaskan unsur-unsur tersebut di atas, maka dapat dilihat di bawah ini, yaitu:
Melawan dengan senjata merupakan perbuatan melakukan tindakan-tindakan yang
menetang dengan membawa senjata atau mempergunakan senjata. Pelaku dalam
perbuatannya membawa senjata.
Kekuasaan yang telah berdiri di Indonesia bererti pemerintah yang ada di Indonesia, baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Masuk pasukan/gerombolan merupakan perbuatan menggabungkan diri dalam pasukan
atau gerombolan.
Pasukan atau gerombolan yang melawan kekuasaan yang syah di Indonesia dengn senjata
harus bertujuan untuk melawan kekusaan yang syah di Indonesia, atau harus melawan atau
menentang pemerintah Indonesia, bai di pusat maupun di daerah.
Dengan maksud melawan kekuasaan yang syah di Indonesia, yakni pelakunya mempunyai
niat atau kehendak melawan kekuasaan yang syah di Indonesia, dan niat atau kehendak itu
tidak perlu terlaksana.27
Pasal 139a KUHP.
Pasal 139a KUHP ini unsur-unsurnya terdiri atas unsur obyektif, yakni makar yang
dilakukan. Sedangkanedangkan unsur subyektifnya adalah dengan maksud untuk
melepaskan dari pada pemerintahan yang syah. Daerah Daerah negara sahabat, jajahan
negara sahabat, bahagian daerah negara sahabat seluruh atau sebagian.
Sedangkan Pasal 139b KUHP unsur-unsurnya adalah makar yang dilakukan dengan
maksud untuk menghapuskan atau mengubah denggan jalan tidak syah, bentuk
26
27
H.A.K. Moch. Anwar, Op.Cit, hlm. 222-223.
H.A.K. Moch. Anwar, Ibid, hlm. 226.
194
pemerintahan yang telah tetap, dari suatu negara sahabat atau dari suatu jajahan atau
sebagian dari suatu negara sahabat.
Pasal 140 KUHP.
Adapun unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 140 KUHP, yaitu :
Makar untuk: menghilangkan nyawa, kemerdekaan; raja yang memerintah negara sahabat;
kepala lain dari negara shabat.
Makar untuk menghilangkan jiwa itu; menyebabkan mati atau dilakukan yang dirancang
lebih dahulu.
Makar untuk menghilangkan jiwa itu; yang dirancangkan lebih dahulu; menyebabkan mati.
Jika diamati pasal yang telah disebutkan di atas, maka dapat dijelaskan bahwa Pasal 140
KUHP senada dengan Pasal 104 KUHP, karena sama-sama makar terhadap nyawa atau
kemerdekaan Kepala Negara atau wakilnya. Pasal 139a KUHP senada dengan Pasal 106
KUHP,yakni sama-sama makar untuk memisahkan wilayah negara, demikian halnya juga
terhadap Pasal 139b KUHP dengan Pasal 107 KUHP. Perbedaannya adalah bahwa Pasal
104 KUHP, Pasal 106 KUHP, Pasal 107 KUHP itu mengenai negara Indonesia. Sedangkan
Pasal 139a KUHP, Pasal 139b KUHP dan Pasal 140 KUHP, membicarakan tentang negara
sahabat sehingga ancaman pidananya berbeda.
Pengertian Tindak Pidana Pemberontakan (Makar) Dalam Hukum Pidana Islam.
Perbuatan makar atau pemberontakan merupakan suatu tindak pidana yang diharamkan
dalam hukum pidana Islam, hal ini dijelaskan di dalam hadits Rasulullah Saw yang
berbunyi:
)‫من خرج عن الطا عة وقارق الجما عة ومات فميتته ميتة جاهلية (رواه مسلم‬
Artinya: Barangsiapa yang tidak taat kepada penguasa dan memisahkan diri dari jama’ah
(penguasa yang direstui rakyat), maka orang tersebut bila mati, matinya tergolong mati
dalam keadaan jahiliyah (kafir) (HR.Muslim).28
Pemberontakan atau al-Baghyu berasal dari akar kata bagha secara arti kata berarti
“menuntut sesuatu”. Hal ini dijelaskan oleh Abd Al-Qadir Audah, yaitu :
‫ طلب الشئ‬...‫لغ ًة‬.َ‫ اَلَبَغَى‬...َ
Artinya:...Mencari atau menuntut sesuatu.29
28
Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, Juz III, hlm. 258.
Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Beirut : Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, T.Th),
hlm. 673.
29
195
Jika dilihat dari segi bahasa,maka al-Baghy mempunyai beberapa pengertian, antara lain
‫( الظلم‬zhalim, aniaya), ‫( الجنا ية‬perbuatan jahat) ‫( العصيان‬durhaka) ‫لعدول عن الحقا‬
(menyimpang dari kebenaran), dan ‫( التعدى‬melanggar, menetang).30
Pengertian tindak pidana pemberontakan (makar) secara terminologi dijelaskan oleh H.
Zainuddin Ali yaitu usaha atau gerakan yang dilakukan oleh suatu kelompok dengan tujuan
untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.31 Kemudian H. Ahmad Wardi Muslich
menjelaskan, bahwa pemberontakan adalah pembangkangan terhadap kepala negara
(imam) dengan menggunakan kekuatan berdasarkan argumentasi atau alasan (ta’wil).32
Senada dengan hal tersebut juga Mustafa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani menjelaskan
bahwa al-Baghyu (pemberontakan) adalah usaha melawan pemerintah yang sah dengan
terang-terangan atau nyata, baik dengan mengangkat senjata maupun tidak mengindahkan
ketentuan yang digariskan pemerintah.33 Di samping itu juga Makhrus Munajat
mengemukakan bahwa al-Baghyu (pemberontakan) sering diartikan sebagai keluarnya
seseorang dari ketaatan kepada imam yang sah tanpa alasan.34 Selain pengertian al-Baghyu
(pemberontakan) yang telah dikemukakan tersebut di atas, juga dikemukakan oleh ulama
mazhab yang redaksinya juga berbeda-beda, yaitu :
Pendapat Imam Malikiyah.
Menurut Imam Malikiyah, bahwa al-Baghyu (pemberontakan) adalah:
‫المتناع عن طاعة من ثبتت اما مته فى غير معصية بمغا لبته ولو تاء وي ًل‬...‫البغى‬
Artinya: Pemberontakan... adalah menolak untuk tunduk dan taat kepada orang yang
kepemimpinannya telah tetap dan tindakannya bukan dalam mksiat, dengan cara
menggulingkannya, dengan menggunakan alasan (ta’wil).35
Pendapat Hanafiyah.
Imam Hanafiyah memberikan pengertian al-Baghyu (pemberontakan) adalah sebagai
berikut, yaitu:
‫ الخروج عن طا عة امام الحق بغير حق‬...‫البغى‬
Artinya: Pemberontakan adalah...ke luar dari ketaatan kepada Imam (kepala negara) yang
benar (sah) dengan cara yang tidak benar (sah).36
30
Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani, Op.Cit, hlm. 257.
H. Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
hlm. 122.
32
H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hlm. 111.
33
Mustafa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah, (Bandung : Pustaka Setia,
2013), hlm. 454.
34
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta : Teras, 2009), hlm. 158.
35
Abd Al-Qadir Audah, Loc.Cit.
36
Abd Al-Qadir Audah, Ibid.
31
196
Pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah.
Adapun pendapat Imam Syafi’iyah maupun Imam Hanabilah tentang pemberontakan dapat
dijelaskan di bawah ini, yaitu:
‫ هو خروج جما عة ذا ت شو كة ورئيس مطاع عن طا عة ال مام بتاء ويل فا سد‬...‫فا لبغى‬
Artinya: Pemberontakan... adalah keluarnya kelompok yang memiliki kekuatan dan
pemimpin yang ditaati, dari kepatuhan kepada kepala negara (imam), dengan
menggunakan alasan (ta’wil) yang tidak benar.37
Berdasarkan pengertian yang telah dijelaskan oleh para ulama tersebut, terdapat perbedaan
tentang persyaratan yang harus dipenuhi dalam tindak pidana (jarimah) pemberontakan,
namun tidak dalam unsur yang prinsipil.
Unsur- Unsur Tindak Pidana (Jarimah) Pemberontakan Dalam Hukum Pidana
Islam.
Adapun unsur-unsur tindak pidana (jarimah) pemberontakan berdasarkan pengertian yang
telah dijelaskan di atas, oleh H. Ahmad Wardi Muslich dikemukakan atas tiga macam,
yaitu :
Pembangkangan terhadap kepala negara (imam);
Pembangkangan dilakukan dengan menggunakan kekuatan, dan
Adanya niat yang melawan hukum (al-Qasd Al-Jinaiy).38
Kemudian unsur-unsur tindak pidana (jarimah) pemberontakan menurut H. M. Nurul Irfan,
dan Masyrofah juga terdapat tiga unsur yang penting, yaitu:
Memberontak terhadap pemimpin negara yang sah serta berdaulat,
Dilakukan secara demonstratif, dan
Termasuk tindakan pidana.39
Sedangkan unsur-unsur tindak pidana (jarimah) pemberontakan yang dikemukakan oleh
Mustofa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani adalah sebagai berikut, yaitu: (1) melawan
pemerintahan yang sah atau melepaskan diri atau keluar dari kekuasaan imam dan
37
Abd Al-Qadir Audah, Ibid, hlm. 674.
38 .
H. Ahmad Wardi Muslich, Loc.Cit.
39
H. M. Nurul Irfan, dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta : Amzah, 2013), hlm. 62.
197
kesengajaan atau iktikad tidak baik, (2) melepaskan diri atau keluar merupakan perbuatan
menentang dan memcoba menjatuhkan kekuasaan imam dengan alasan politis.40
Senada dengan hal tersebut di atas, juga Amir Syarifuddin menjelaskan unsur-unsur tindak
pidana (jarimah) pemberontakan, sebagai berikut:
Menentang kekuasaan atau melakukan perlawanan terhadap imam atau penguasa yang sah
dan adil dengan maksud dan cara menghilangkan kekuasaan yang sah; atau menarik
kepatuhan dari padanya; atau menolak memberikan hak-haknya.
1.
2.
3.
4.
5.
Dilakukan oleh sekelompok orang yang diorganisir oleh pimpinan yang dipatuhi.
Dilakukan dengan suatu ide (al-ta’wil) tertentu.
Menggunakan kekuatan senjata.
Perlawanan terhadap kekuasaan yanh sah itu dilakukan dengan sengaja, sadar dan
mengetahui bahwa tindakan tersebut adalah salah dan dilarang oleh agama.41
Pembangkangan terhadap kepala negara (imam).
Pembangkangan, yakni menentang kepala negara dan berupaya untuk memberhentikannya
atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara. Untuk terwujudnya
jarimah atau tindak pidana pemberontakan diupayakan terjadinya upaya pembangkangan
terhadap kepala negara. Pembangkangan yang dimaksudkan disini menurut H. Ahmad
Wardi Muslich, yakni pembangkangan kepada imam atau kepala negara, atau kepada
pejabat yang ditunjuk atau yang mewakilinya.42
Pembangkangan dilakukan dengan kekuatan.
Pembangkangan termasuk sebagai pemberontakan, apabila pembangkanagan itu disertai
dengan penggunaan dan pengerahan kekuatan. Jika pembangkangan itu tidak
menggunakan kekerasan, maka tidak termasuk sebagai pemberontakan atau makar.
Adanya niat yang melawan hukum.
Adanya niat yang melawan hukum merupakan salah satu terwujudnya tindak pidana atau
jarimah pemberontakan. Unsur ini akan terpenuhi jika seseorang mempunyai tujuan
menggunakan kekuatan dalam rangka menggulingkan imam atau tidak mau mentaatinya.
Islam menuntut kepatuhan ummatnya kepada pemimpinnya atau ulil amrinya, seperti
dijelaskan di dalam al-Qur’an pada surat al-Nisa’ (04) ayat 59:
40
Mustofa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani, Op.Cit, hlm. 455.
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm. 311-313.
42
H. Ahmad Wardi Muslich, Loc.Cit.
41
198
...          
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu.... (Q.S. al-Nisa’(04):59).43
Kepatuhan kepada ulil amri tersebut selalu dituntut selama ulil amri itu tidak membawa
umat kepada hal-hal yang menyalahi hukum Allah. Mentaati ulil amri menurut Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, tidak berdiri sendiri, tetapi jga merupakan rangkaian
dari ketaatan berdiri sendiri, tetapi jga merupakan rangkaian dari ketaatan kepada kepada
Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, kata “ulil amri”, tidak diulangi di depan kata “ulil amri”,
tetapi ikut ungkapan sebelumnya, yakni menaati Allah dan Rasul-Nya. Dan ketaatan
kepada ulil amri juga termasuk menegakkan syari’at Allah dan Rasul-Nya.44
Jika umat Islam yang tidak mematuhi perintah ulil amri yang sah dan adil berarti telah
menyalahi perintah Allah yang terkandung dalam ayat di atas, dan mereka disebut durhaka
sehingga pantas menerima celaan dari Allah SWT. Jika kedurhakaan itu dilakukan dengan
menggunakan kekerasan dan kekuatan senjata yang terorganisir dengan pimpinan yang
dipatuhi, maka perbuatan itu sudah termasuk pemberontakan atau makar (al-baghyu).
Sanksi Tindak Pidana Pemberontakan Dalam KUHP Dan Hukum Pidana Islam.
Sanksi Tindak Pidana Pemberontakan Dalam KUHP.
Tindak pidana pemberontakan atau makar sebagaimana dirumuskan pada Pasal 104
KUHP, Pasal 106 KUHP, Pasal 107 KUHP, Pasal 108 KUHP, Pasal 110 KUHP, yakni
kejahatan terhadap keamanan di dalam negeri yang terdiri atas kejahatan yang ditujukan
terhadap bentuk pemerintahan dan bentuk negara, termasuk juga tindak pidana terhadap
Kepala Negara. Kejahatan tersebut seperti pembunuhan terhadap kepala negara atau
wakilnya, pemberontakan dan revolusi.
Sedangkan kejahatan terhadap keamanan negara di luar negeri, yakni kejahatan yang dapat
menimbulkan bahaya bagi negara sendiri sehubungan dengan negara-negara asing
sebagaimana diatur di dalam Bab I Buku II pada Pasal 111 KUHP, Pasal 112 KUHP, Pasal
113 (1) KUHP, Pasal 122 KUHP, Pasal 124 KUHP, Pasal 126 KUHP, dan Pasal 127
KUHP.
Sanksi tindak pidana pemberontakan atau makar tersebut bermacam-macam berdasarkan
Pasal-pasal yang dilanggar. Jika pelaku pemberontakan atau makar terhadap negara
melanggar Pasal 104 KUHP, maka sanksinya adalah dipidana mati atau penjara seumur
hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun. Apabila pelaku
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah AlQur’an, 1981/1982), hlm. 128
44
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, Jilid I, (Jakarta : Cakrawala
Publishing, 2011), hlm. 549.
43
199
pemberontakan atau makar itu terhadap negara melanggar Pasal 106 KUHP, maka
sanksinya hanyalah dipidana penjara seumur hidup atau penjara sementara selam-lamanya
dua puluh tahun. Kemudian pelaku pemberontakan atau makar yang melanggar Pasal 107
KUHP pada ayat (1), maka ancaman pidananya adalah lima belas tahun penjara, jika
melanggar ayat (2) pasal tersebut, maka sanksinya adalah dihukum penjara seumur hidup
atau penjara semenara selama-lamanya dua puluh tahun.
Sanksi terhadap pelanggaran Pasal 108 (1) KUHP adalah dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya lima belas tahun, dan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
dipidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun terhadap pelanggaran Pasal 108 (2)
KUHP tersebut. Sanksi terhadap pelanggaran Pasal 111 KUHP adalah dipidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau dipidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Perbuatan yang melanggar Pasal 112 KUHP akan dipidana dengan pidana mati, atau
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara selama-lamanya dua puluh
tahun. Pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur di dalam Pasal 113 ayat (1) KUHP akan
dipidana penjara selama-lamanya empat tahun. Pelanggaran terhadap Pasal 122 KUHP
akan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun. Sedangkan perbuatan
yang melanggra Pasal 124 KUHP akan dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun, atau penjara sementara
selama-lamanya lima belas tahun.
Adapun perbuatan makar yang melanggar Pasal 126 KUHP akan diberikan sanksi dengan
dipidana penjara selama-lamanya tujuh tahun. Kemudiann terhadap perbuatan
pemberontakan yang melanggar pada Pasal 127 KUHP akan diberikan sanksi pidana
dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Sedangkan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan terhadap negara yang bersahabat dan
terhadap kepala negara dan wakil kepala negara sebagaimana yang diatur di dalamm Pasal
139a KUHP adalah dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima
tahun. Pelanggaran terhadap Pasal 139b KUHP dikenakan sanksi pidana penjara selamalamanya empat tahun, dan terhadap pelaku makar yang melanggar Pasal 140 KUHP
dikenakan sanksi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
sementara selama-lamanya dua puluh tahun atau pidana penjara selama-lamanya lima belas
tahun.
Sanksi Tindak Pidana Pemberontakan Dalam Hukum Pidana Islam.
Hukum pidana Islam, sebagai realisasi dari hukum Islam itu sendiri, menerapkan sanksi
pidana dengan tujuan untuk menciptakan ketentraman individu dan masyarakat serta
mencegah perbuatan-perbuatan yang bisa menimbulkan kerugian terhadap anggota
masyarakat, baik yang berkenaan dengan jiwa, harta maupun kehormatan.45 Tujuan
memberikan sanksi pidana dalam Islam sesuai dengan konsep tujuan umum di syariatkan
hukum, yakni untuk merealisasikan kemaslahatan umat dan sekaligus akan ditegakkan
keadilan.46
45
46
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang,1968), hlm. 255.
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Usul al-Fiqh, (Kuwait : Dar al-Qalam, 1992), hlm. 198.
200
Lebih lanjut dijelaskan oleh Abdul Ghofur Anshori dan Yulakrnain Harahab, bahwa tujuan
hukum Islam adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan serta kebahagiaan manusia
(sebagai individu dan sebagai masyarakat) seluruhnya, baik kebahagiaan di dunia ini,
maupun kebahagiaan di akhirat kelak.47 Dengan demikian kemaslahatan itu tidak hanya
untuk kehidupan di dunia saja, tetapi juga untuk kehidupan kelak.
Adapun dasar hukum yang menjadi acuan sanksi pidana bagi yang melakukan
pemerontakan terhadap negara atau pemerintah yang sah, telah dijelaskan di dalam alqur’an dalam surah al-Hujurat (49) ayat 9 dan surah al-Maidah ( ) ayat 33 sebagai berikut:
Al-Qur’an Surah al-Hujurat (49) ayat 9 berbunyi sebagai berikut:
             
                 
Artinya: dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah
kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang
lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada
perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan
hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku
adil. (Q.S. Al-Hujurat (49):9).48
Ayat tersebut di atas menjelaskan tentang perselisihan antara kaum mkminin yang antara
lain disebabkan oleh adanya isu yang tidak jelas kebenarannya. Dan jika ada dua kelompok
yang telah menyatu secara faktual atau berpotensi untuk menyatu dari yakni sedang
mereka adalah orang-orang mukmin bertikai dalam bentuk sekecil apapun maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya yakni kedua kelompok itu,
sedang atau masih terus menerus berbuat aniaya terhadap kelompok yang lain sehingga
enggan menerima kebenaran dan atau perdamaian maka tindaklah kelompok yang berbuat
aniaya itu sehingga ia yakni kelompok itu kembali kepada perintah Allah yakni menerima
kebenaran; jika ia kembali kepada perintah Allah itu maka damaikanlah antara keduanya
denga adil dan berlaku adillah dalam segala hal agar putusan kamu dapat diterima dengan
baik oleh semua kelompok. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil.49
Kemudian juga Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy mengemukakan, bahwa jika
dua golongan dari orang-orang mukmin berperang atau saling membunuh, maka wajiblah
atas umat Islam mendamaikan dua golongan ini. Mengajak mereka menerima hukum
Allah, baik hukum itu berbentuk qisas maupun berbentuk diyat. Kewajiban yang lazim
dilaksanakan oleh pemerintah. Pemerintahlah yang mengajak kedua golongan yang
47
Abdul Ghofur Anshori, dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di
Indonesia, (Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008), hlm.31
48
Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm. 846
49
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta : Lentera Hati,
2002), hlm. 243.
201
bersengketa itu menerima ketetapan Allah. Jika salah satu dari dua golongan itu merusak
atau melanggar perdamaian, lalu menyerang kembali golongan yang lain dengan tidak ada
satu sebab yang membolehkan, maka wajiblah atas pemerintah dan umat Islam memerangi
golongan yang merusak perdamaian dan mengembalikannya kepada kitab Allah. Jika
golongan itu kembali berdamai,maka wajiblah bagi kita mendamaikan keduanya dengan
adil dan tidak memihak.50
Al-Qur’an Surah al-Maidah (5) ayat 33 yang berbunyi:
               
                 
 
Artinya:. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib,
atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri
(tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (Q.S. Al-Maidah (5):33).51
Berdasarkan ayat tersebut di di atas menurut Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy,
bahwa memerangi Allah dan Rasul-Nya adalah mengadakan kekacauan, menghilangkan
ketentraman, menentang hak-hak syara’, maka pembalasan bagi orang-orang tersebut
adalah dibunuh atau disalib atau dipotong tangan kanan dengan kaki kiri (tangan kiri
dengan kaki kanan) atau diusir dari negerinya.52
Berdasarkan ayat al-qur’an di atas, maka menurut H. Zainuddin Ali, bahwa sanksi pidana
terhadap pelaku pemberontakan adalah sebagai berikut:
Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, damaikanlah antara keduanya.
Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain,
perangilah golongan yang berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, perangilah
golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah,
Damaikanlah keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil.
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, jilid 4, (Jakarta :
Cakrawala, 2011), hlm. 147.
51
Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm. 164.
52
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Op.Cit, hlm. 657.
50
202
Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan dimuka bumi adalah dibunuh atau disalib (dipotong tangan dan kaki mereka
dengan bertimbal balik) atau dibuang dari negeri tempat kediamannya.53
Pemberlakuan sanksi sebagaimana dikemukakan ayat al-Qur’an di atas bertujuan untuk
menciptakan sistem kemasyarakatan dan kewibawaan pemerintahan. Pemberontakan
dalam arti upaya menggulingkan pemerintah yang sah itu dapat disajajarkan dengan
pengkhianat. Dengan demikian pemberlakuan sanksi pidana mati terhadap orang yang
melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah didasari pertimbangan bahwa:
(1) tanpa pelaksanaan pemerintahan maka masyarakat akan kacau, (2) orang yang
melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah berdasarkan hukum Islam berarti
sama dengan orang yang melawan kemauan Allah SWT dan Rasul-Nya.54
Kesimpulan.
Berdasarkan pembahsan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Sanksi pidana pemberontakan dalam KUHP sebagaimana dirumuskan pada Pasal 104
KUHP, Pasal 106 KUHP, Pasal 107 KUHP, Pasal 108 KUHP, Pasal 110 KUHP, Pasal 111
KUHP, Pasal 112 KUHP, Pasal 113 (1) KUHP, Pasal 122 KUHP, Pasal 124 KUHP, Pasal
126 KUHP, dan Pasal 127 KUHP, sanksinya minimal dipidana penjara 4 tahun dan
maksimal dipidana dengan pidana mati.
Sanksi Pidana Pemberontakan Dalam Hukum Pidana Islam, yakni (1) didamaikan antara
keduanya, (2) diperangi golongan yang berbuat aniaya terhadap golongan yang lain,
sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, (3) dibunuh atau disalib (dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik) atau dibuang dari negeri tempat
kediamannya. Dasar hukumnya adalah al-qur’an dalam surah al-Hujurat (49) ayat 9 dan
surah al-Maidah (5) ayat 33.
Daftar Pustaka
Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, Beirut : Dar Al-Kitab Al‘Arabi, T.Th.
Abdul Ghofur Anshori, dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan
Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Usul al-Fiqh, Kuwait : Dar al-Qalam, 1992.
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 2002.
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang,1968
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta : Kencana, 2010
53
H. Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hlm. 75.
54
H. Zainuddin Ali, Ibid, hlm. 77.
203
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Harapan, 2009
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Hukum Islam, jakarta : Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1993.
Djoko Prakoso,Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1986.
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,
2014.
Erdianto, Tindak Pidana Makar Terhadap Keamanan Dan Keutuhan Wilayah Negar
Dihubungkan Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia Pelaku, Ringkasan Disertasi,
Bandung : Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2014.
H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2005.
H. Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Cetakan kedua, Jakarta : Bumi Aksara,
1992
H. Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2008.
-------------, Hukum Pidana Islam Jakarta : Sinar Grafika, 2007
Indonesia, UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara
Lengkap, Cetakan pertama, Jakarta : Sinar Grafika, 2002.
JCT Simorangkir, et all, Kamus Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2009.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta :
Lentera Hati, 2002.
M. Sudradjat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Bandung : Remadja Karya, 1984.
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta : Teras, 2009.
Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, Juz III.
Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia,
Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1989
Jakarta
:
Yayasan
Penyelenggara
Mustafa Abdullah, Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1993
Mustafa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah, Bandung :
Pustaka Setia, 2013.
204
PAF Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan terhadap Kepentingan Hukum Negara,
edisi kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 2010.
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politeia T.Th.
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamuji, Penelitan Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Cetakan ke -13, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2011
Sudikno Mertokusumo,
Mengenal
Yogyakarta : Liberty, 1999
Hukum
Suatu
Pengantar,
Cetakan
Kedua
-------------, Teori Hukum, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya, 2011
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, jilid 4,
Jakarta : Cakrawala, 2011.
205
Download