Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 1 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEPERAWATAN : UPDATE KEPERAWATAN BENCANA Pengurangan Resiko Bencana Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Copyright @ 2016 ISSN : 2548-3153 REVIEWER : Yendrizal Jafri, S.Kp, M.Biomed Ns. Yaslina, M.Kep, Sp. Kom Ns. Ida Suryati, M.Kep Dewi Yudiana Shinta, M.Si, Apt Editor : Anita Khairani, M.Si Fitra Wahyuni, M.Si Diterbitkan Oleh : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIKes Perintis Padang Alamat Penerbit : Jl. Adinegoro Simpang Kalumpang Lubuk Buaya Padang, Sumatera Barat – Indonesia Telp. (+62751) 481992, Fax. (+62751) 481962 LPPM STIKes Perintis Padang i Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb Puji dan syukur kita ucapkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga kita senantiasa dalam keadaan sehat wal’afiat untuk dapat melaksanakan aktifitas yang menjadi tanggung jawab kita. Shalawat dan salam kita sampaikan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan kepada zaman yang terang akan penuh ilmu pengetahuan, semoga kita menjadi pengikutnya yang mendapat syafaat pada akhir zaman, Amin Ya Rabbal ‘Alamin. Pada kesempatan ini izinkan kami Panitia mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselenggaranya kegiatan ini serta kepercayaan yang diberikan kepada kami untuk menyajikan materi Seminar Nasional Keperawatan: Update Keperawatan Bencana, Pengurangan Resiko Bencana yang diselenggarakan di Istana Bung Hatta Kota Bukittinggi pada Tanggal 27 November 2016. Proceeding ini berisi abstrak yang disajikan pada acara tersebut. Akhir kata kami Panitia berharap agar kumpulan abstrak ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dunia kesehatan dimasa yang akan datang, atas segala kekurangan kami mohon maaf. Wassalam, Bukittinggi, 25 November 2016 TTD PANITIA LPPM STIKes Perintis Padang ii Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 DAFTAR ISI DEWAN REDAKSI ........................................................................................................i KATA PENGANTAR .....................................................................................................ii DAFTAR ISI ....................................................................................................................iii MAKALAH KEPERAWATAN Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kesiapan Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Erupsi Gunung Marapi di Kecamatan Sungai Puar Oleh : Ida Suryati, Muhammad Arief dan Yaslina(STIKes Perintis Padang) .............. 1 Faktor-Faktor yang Mepengaruhi Pengontrolan Perilaku Kesehatan terhadap Pasien Pasca Stroke di Wilayah Kerja Puskesmas Rasimah Achmad Bukittinggi Tahun 2016 Oleh : Yaslina dan Rizi Faserina (STIKes Perintis Padang) ..................................... 9 Pengaruh Pelaksanaan Senam Dismenore terhadap Penurunan Nyeri Haid Oleh : Mera Delima, Insanu Muclisa dan Maidaliza (STIKes Perintis Padang) .............17 Terapi Murotal Pengaruhi Adaptasi Nyeri Persalinan pada Ibu Inpartu Primipara Oleh : Hidayati, Nova Tri Yanti (STIKes Perintis Padang)..................................................24 Perilaku Bullying Berhubungan dengan Karakteristik Perkembangan Remaja di SMPN 3 Linggo Sari Baganti Kabupaten Pesisir Selatan Oleh : Isna Ovari, Falerisiska Yunere, Ilham Wira Satria (STIKes Perintis Padang) ...........................................................................................................................................32 Hubungan Intensitas Bullying dengan Tingkat Depresi pada Remaja di Poliklinik Anak & Remaja RSJ. Prof. Hb. Sa’anin Padang Tahun 2016 Oleh : Asmawati dan Wika Maya Sari (STIKes Alifah) .............................................. 39 Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Stres Kerja Perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr.M.Djamil Padang Tahun 2016 Oleh : Yuanita Ananda (STIKes Alifah) ...................................................................................43 Pengembangan Model Peer Support Intervention Sebagai Upaya Meningkatkan Perilaku Hidup Sehat Klien Hipertensi Oleh : Aria Wahyuni, Cici Apriza Yanti, dan Efriza (STIKes Fort De Kock) ...................53 Teknik Relaksasi Finger Hold T Menurunkan Skala Nyeri Pada Pasien Cedera Kepala Ringan Oleh : Lisa Mustika Sari, Aldo Yuliano dan Melda Aprisa Shinta (STIKes Perintis Padang) ..................................................................................................................................... 62 Pengaruh Senam Diabetes Melitus dengan Nilai Abi pada Pasien DM di Puskesmas Andalas Padang Oleh : Melti Suriya (STIKes Alifah) ..................................................................................68 LPPM STIKes Perintis Padang iii Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Kualitas Pelayanan Rawat Jalan dengan Kepuasan Pasien Dirumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi Oleh : Endra Amalia, Mera Delima dan Kalpana Kartika (STIKes Perintis Padang) ....75 Hubungan Karakteristik dan Pola Asuh Orangtua dengan Kemampuan Melakukan Toilet Training pada Anak Usia Toddler di Paud Terpadu Surya Kids Bukittinggi Tahun 2016 Oleh : Falerisiska Yunere dan Rahma Desi (STIKes Perintis Padang) ........................ 82 Tipe Keluarga dengan Perilaku Agresif Pada Anak Remaja Oleh : Yendrizal Jafri dan Atika Nurul Huda Dwi Vally (STIKes Perintis Padang) ........92 Budaya Organisasi Erat Hubungannya dengan Kepuasan Pasien Rawat Inap Oleh : Erlinda Rosya, Emil Wahyu Andria dan Mera Delima (STIKes Perintis Padang) ...........................................................................................................................................101 Pengaruh Terapi Rendam Kaki Air Hangat Terhadap Penurunan Tekanan Darah di Puskesmas Andalas Padang Oleh : Zuriati (STIKes Alifah) ...........................................................................................113 Penurunan Nyeri Haid (Dismenore) Primer Melalui Pemberian Minuman Jahe Emprit Oleh : Ridha Hidayati dan Ririn Fuji Rahma (STIKes Ranah Minang) ...........................119 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan Patient Safety Sesuai Joint Comission International Oleh : Adriani, Yusi Yusman dan Lisavina Juwita (STIKes Fort De Kock, Rumah Sakit Achmad Mochtar) ............................................................................................................................125 Intervensi Teknik Relaksasi Otot Progresif Berpengaruh terhadap Mual dan Muntah Delayed pada Pasien Kanker yang Menjalani Kemoterapi di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016 Oleh : Muhammad Arief dan Rahmita Tri Havizcha (STIKes Perintis Padang)........... 133 Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kemandirian Activity Daily Living Anak Tunagrahita Di SLB Air Randah Wilayah Kerja Puskesmas Gadut Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2016 Oleh : Yuli Permata Sari, Junnatul Wafiq dan Isna Ovari (STIKes Perintis Padang) .. 140 MAKALAH HEALTH SCIENCE Hubungan Aktifitas Olah Raga dengan Kadar Protein Urine pada Mahasiswa Fakultas Olahraga Universitas Negeri Padang (UNP) Oleh : Endang Suriani (STIKes Perintis Padang) ............................................................146 Prevalensi Penderita Infeksi Ascaris lumbricoides pada Siswa SDN 39 Tanjung Aur Lubuk Minturun Padang Tahun 2016 Oleh : Sri Indrayanti dan Khairunisa (STIKes Perintis Padang) .....................................149 LPPM STIKes Perintis Padang iv Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Perbandingan Kadar Hemoglobin pada Pria Perokok dan Tidak Merokok dengan Metode Sianmethemoglobin Oleh : Suraini dan Andri (STIKes Perintis Padang).........................................................152 Faktor Risiko Kejadian Hiperkolesterolemia pada Penderita Penyakit Jantung Koroner Oleh : Widia Dara dan Juliana Tanjung (STIKes Perintis Padang) ................................157 Uji Daya Hambat Air Rebusan Daun Gambir (Uncaria gambir Roxb) Terhadap Bakteri Methicillin Resistent Staphylococcus aureus Oleh : Putra Rahmadea Utami (STIKes Perintis Padang) ...............................................166 Analisa Khasiat Sari Kurma Terhadap Jumlah Trombosit pada Penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) Oleh : Miftahul Muslih, Suci Fitrawati dan Lillah (STIKes Perintis Padang) .................172 Hubungan Obesitas dengan Harga Diri Rendah Pada Siswa/I SMAN 5 Bukittinggi Tahun 2016 Oleh : Lisa Fradisa, Hermawan dan Yendrizal Jafri (STIKes Perintis Padang) .............176 Analisis Nilai Gizi Ikan Pantau (Rasbora argirotaenia) dan Daya Terima Terhadap Proses Pengolahan Oleh : Nurhamidah dan Widiadara (STIKes Perintis Padang) ........................................184 Profil Pelayanan Kefarmasian pada Apotek Swasta di Bukittinggi pada Tahun 2016 Oleh : Widyastuti (Akademi Farmasi Imam Bonjol) .........................................................188 Hubungan Perilaku dan Intensitas Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja Bagian Produksi PT. Jaya Sentrikon Indonesia Kecamatan Lembah Anai Tahun 2016 Oleh : Fitria Fatma dan Wulan Septia Hanum (STIKes Fort De Kock)...........................194 Penentuan Kadar Timbal (Pb) Dalam Darah Pada Sopir Truk Di Jalan Raya Padang Indarung Tahun 2016 Oleh : Marissa (STIKes Perintis Padang) ........................................................................200 Verifikasi Analisa Plumbum (Pb) Dalam Urin Pada Petugas SPBU Kubang Pekanbaru Oleh : Betti Rosita , Niken Siska Apriani (STIKes Perintis Padang) ................................204 LPPM STIKes Perintis Padang v Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KESIAPAN MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA ERUPSI GUNUNG MARAPI DI KECAMATAN SUNGAI PUAR Ida suryati 1, Yaslina 2, M.Arif 3 Prodi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis Padang123 Email : [email protected] Email : [email protected] Email: perawat.arifyahoo.co.id Abstract The results of the preliminary survey they in kecamatan sungai puar of four nagari owned three nagari is a region closest to the mountain marapi or derah red zone. The research aims to know factor-factor affecting in behavior disaster readiness the eruption marapi which includes: knowledge, attitude perception, motivation and desire .Design resrach deskritif the correlation with used the cross sectional .The sample people living in kanagarian the puar , batagak and stone palano were 212 respondents, tehnik the sample and systematic cluster of sampling random sampling .Research instruments is a questionnaire. The results of the study not a significant relation exists knowledge was with the behavior readiness in face disasters eruption merapi ( p value = 0,058 ), a significant relation exists perception of respondents with the behavior readiness in face disasters eruption merapi ( p value = 0,000 ), not a significant relation exists attitude respondents with the behavior readiness in face disasters eruption merapi ( p value = 0,207 ), a significant relation exists the wish of respondents with the behavior readiness in face disasters eruption merapi ( p value = 0,001 ), a significant relation exists motivation respondents with the behavior readiness in face disasters eruption merapi ( p value = 0,004 ). It was concluded that perception , desire and readiness motivation affect the community in facing disaster mountain marapi eruption and no the dominant factor affecting the readiness of the community in facing disaster mountain marapi eruption..Was recommended to health workers to always improve the provision of information and health facilities in for disaster preparedness eruption mountain marapi Key Word : behaviour, disasater, readiness, knowledge, perception. 1. PENDAHULUAN Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan manusia.Lingkungan dapat berupa lingkungan fisik dan nonfisik. Lingkungan fisik yang dapat mempengaruhi keadaan komunitas salah satunya adalah keadaan bencana atau lingkungan (wilayah) rawan bencana (Allender & Spradley, 2005).Wilayah rawan bencana (hazard region) adalah suatu kawasan dipermkaan bumi yang rawan bencana alam akibat proses alam maupun non-alam(Farah, 2011). Sementara itu menurut Linda (2011) kawasan rawan bencana adalah suatu wilayah yang memiliki kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi yang untuk jangka waktu tertentu tidak dapat atau tidak mampu mencegah, meredam, mencapai kesiapan, sehingga mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu. Akbar (2014) menyatakan Sumatera Barat memiliki beberapa gunung berapi, diataranya adalah Gunung Sago, Gunung Talang, Gunung LPPM STIKes Perintis Padang Singgalang, Gunung Marapi. Gunung Marapi merupakan gunung setinggi 2.891 meter di atas permukaan laut (mdpl) berada di wilayah administrasi Kabupaten Agam, namun dapat dilihat dari Kota Bukittinggi, Kota Padang Panjang dan Kabupaten Tanah Datar. Sejumlah tempat di wilayah itu, terancam menjadi area berdampak bila marapi sewaktu-waktu meletus dengan daya letusan tinggi. Pada saat terjadi bencana biasannya semua pihak panik dan akhirnya timbul korban dan kerusakan yang lebih besar.Stanhope dan Lancaster (2007) menyatakan bahwa perawat sebaiknya memahami apasumber yang tersedia di komunitas dalam persiapan terhadap bencana, mengetahui efek dari bencana yang terjadi dan bagaimana mengembangkan kerjasama dalam menangani bencana di komunitas. Menurut Ramli (2010) menyatakan, selain dari peran perawat, masyarakat juga sangat berpengaruh dalam manajemen bencana, baik pada fase pra bencana, saat bencana, maupun pasca bencana. Jika 1 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana masyarakat memahami dan menjalankan manajemen bencana dengan baik, keparahan dampak bencana mungkin dapat ditekan.Menurut Coalition for Health Funds(2002) bahwa kesadaran dan keterlibatan masyarakat harus sangat mendukung dalampersiapan bencana yang optimal, yaitu untuk mencapai kesehatan yang baik dan pencegahan terhadap bahaya lain dari bencana yang akan terjadi . Aspek pada masyarakat yang dapat berpengaruh terhadap kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana, yaitu perilaku masyarakat sendiri terhadap bencana. Menurut Spranger, dalam Notoadmodjo (2010), faktor pembentuk perilaku manusia, yaitu : pengetahuan, persepsi, sikap, keinginan, motivasi, dan niat. Hasil penelitian Dorotha (2006) menyatakan bahwa masyarakat mengemukakan bahwa mereka membutuhkan informasi yang dapat dipercaya untuk kesiapan dalam menghadapi bencana dari berbagai sumber. Oleh sebab itu, peran masyarakat sangat dominan dalam penananggulangan bencana, jika peran tenaga kesehatan dipadukan dengan kesiapan masyarakat dan badan terkait lainnya, maka akan terwujudnya masyarakat yang siaga terhadap bencana, sehingga dapat meminimalisir terjadinya dampak serta kerugian akibat bencana. Salah satu kecamatan di Kabupaten Agam yang yang berada disekitar Gunung Marapi adalah Kecamatan Sungai Puar.Dari survey awal yang peneliti lakukan di Kecamatan Sungai Puar didapatkan data terdiri dari lima (5) nagari dengan total jumlah penduduk 27.661 jiwa. Dari lima nagari tersebut terdapat tiga nagari yang sangat dekat dengan erupsi Gunung Marapi (zona merah) yaitu Nagari Sungai Puar, Batu Palano dan Sarik. Hasil wawancara yang dilakukan dengan aparat wilayah Sungai Puar bahwa kecamatan ini sudah ditetapkan sebagai Kecamatan Siaga Bencana. Kegiatan yang sudah dilakukan pada tahun 2014 oleh pihak kecamatan yaitu sosialisasi dan eduaksi berkaitan dengan evaluasi dan penanggulangan bencana. Hasil wawancara dengan beberapa orang masyarakat di Nagari Sungai Puar menyatakan tidak tahu dan tidak perlu mempersiapkan diri dalam menghadapinya karena tidak dapat diprediksi sehingga tidak perlu disiapkan Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul tentang “Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Marapi di Kecamatan Sungai Puar, Kabupaten Agam tahun 2016”. LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 2. METODE Penelitian telah dilakukan pada bulan April sd Mei 2016. Sampel pada penelitian ini adalah masyarakat di Kecamatan Sungai Puar khususnya di Tiga Kenagarian yaitu Kenagarian Sungai Pua, Batu Palano dan Batagak dengan sampel sebayak 212 KK. Tehnik Pengambilan sampel dilakukan dengan multistage random sampling. Proses pengumpulan data dilakukan dengan mengukur faktor pengetahuan, persepsi, sikap, serta perilaku kesiapan dalam bencana erupsi Gunung Merapi dengan menggunakan kuesioner dan waktu pengisian 30-45 menit. Penelitian ini menggunakan analisis univariat, bivariatdan multivariat untuk mengetahui distribusi frekuensi pengetahuan, persepsi, sikap,keinginan dan motivasi serta perilaku kesiapan, hubungan faktor pengetahuan, persepsi, sikap,keinginan dan motivasidengan perilaku kesiapan menggunakan uji chi squaredengan α = 0,05 dan tingkat kepercayaan 95%. 2 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Penelitian 3.1.1Faktor Perilaku Kesiapan Masyarakat Tabel 3.1 Distribusi Frekuensi FaktorPerilaku Kesiapan Masyarakat Mei 2016 ( n = 212 ) No Variabel F % 1 Pengetahuan Rendah 105 49,5 Tinggi 107 50,5 2 Persepsi Negatif 56 26,4 Positif 156 73,6 3` Sikap Negatif 65 30,7 Positif 147 69,3 4 Keinginan Rendah 76 35,8 Tinggi 136 64,2 5 Motivasi Rendah 99 46,7 Tinggi 113 53,3 Tabel 3.1 menunjukkan bahwa distribusi proporsi pengetahuan responden yang tinggi dan rendah hampir sama banyak yaitu sebesar 49.5% rendah dan 50.5% tinggi. Selanjutnya persepsi responden responden yang terbanyak adalah postif sebesar 73.6% dan untuk sikap yang terbanyak adalah positif yaitu sebesar 69.3 %, keinginan yang terbanyak adalah tinggi sebesar 64.2% dan motivasi responden lebih dari separo adalah tinggi yaitu 53.3%. 3.1.2 Kesiapan Masyarakat Dalam Bencana Tabel 3.2 Distribusi Frekuensi Kesiapan Masyarakat Dalam Bencana Mei 2016 ( n = 212 ) No 1 2 Kesiapan Rendah Tinggi Jumlah F 42 170 212 % 19,8 80,2 100% Tabel 3.2 menunjukkan bahwa distribusi proporsi kesiapan responden dalam menghadapai bencana sebagian besar adalah tinggi yaitu sebesar 80.2% 3.1.3 Hubungan pengetahuan, persepsi, sikap, keinginan dan motivasi dengan Kesiapan Masyarakat Dalam Bencana Erupsi Gunung Merapi . 3.1.3.1 Analisa korelasi perilaku terhadap kesiapan menghadapi bencana Tabel 3.3. Distribusi Frekuensi korelasi perilaku terhadap kesiapan menghadapi bencana Mei 2016 ( n = 212 ) Correlations Variabel bebas (Independent variable) Sig. (1-tailed) Pengetahuan 0,558 Persepsi 0,000 Sikap 0,207 Keinginan 0,001 Motivasi 0,042 LPPM STIKes Perintis Padang 3 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Pengambilan keputusan didasarkan padaperbandingan antara nilai ( ) dan nilai probabilitas (0,05). Jika nilai ( ) lebih kecildari 0,05 maka hipotesis awal ditolak artinyaterdapat hubungan yang erat antara variabel bebasdan variabel terikat. Dari Tabel 3.4.3 dapat diketahui bahwa terdapat 3 (tiga) variabel yang memilikinilai kurang dari 0,05 yaitu persepsi, keinginan, dan motivasi kesiapan menghadapi bencana erupsi Gunung Marapi . Dengan demikian, dapat disimpulkanbahwa faktorpersepsi, keinginan, dan motivasipersepsi, keinginan, dan motivasi mempunyai tingkat korelasi yang tinggi dengankesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Marapi. 3.1.3.2 Analisis regresi logistic kesiapan masyarakat terhadap bencana erupsi Gunung Marap Tabel 3.3.1 Distribusi Frekuensi korelasi perilaku terhadap kesiapan menghadapi bencana Mei 2016 ( n = 212 ) Correlations Variabel bebas (Independent variable) Pengetahuan Persepsi Sikap Keinginan Motivasi Sig. (1-tailed) 0,558 0,000 0,207 0,001 0,042 Tabel 3.3.2 . Pemodelan Analisis miltivariate No 1 2 3 4 5 Variabel Pengetahuan Persepsi Sikap Keinginan Motivasi B 0,049 -0,937 0,130 -0,614 0,126 P wald 0,017 1,950 0,086 1,292 0,058 sig 0,896 0,163 0,769 0,256 0,809 Exp (B) 1,050 0,392 1,139 0,541 1,134 95% CI Lower Upper 0,508 2,170 0,105 1,459 0,477 2,719 0,188 1,560 0,410 3,136 Hasil pengolahan data pada tabel 3.3.2 untuk multivariat dengan menggunakan regesi logistik diapatkan pada permodelan tahap 1 bahwa tidak ada varibel yang memiliki nilai p value ≤ 0.05, sehingga permodelan tidak dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya dan dapat disimpulkan tidak ada faktor yang dominan dalam mempengaruhi kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Marapi atau persepsi, keinginan dan motivasi sebagai faktor yang sama kuatnya mempengaruhi terhadap kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Marapi. 3.2 Pembahasan 3.2.1 Faktor yang mempengaruhi perilaku kesiapan (Pengetahuan, Persepsi, Sikap, Keinginan, Motivasi) Hasil penelitian tentang faktor yang mempengaruhi perilaku kesiapan dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Merapi meliputi pengetahuan, persepsi, sikap,keinginan, dan motivasi. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa distribusi proporsi pengetahuan responden yang tinggi dan rendah hampir sama banyak yaitu sebesar 49.5% rendah dan 50.5% tinggi. Selanjutnya persepsi responden responden yang terbanyak adalah postif sebesar 73.6% dan untuk sikap yang terbanyak adalah positif yaitu sebesar LPPM STIKes Perintis Padang 69.3 %, keinginan yang terbanyak adalah tinggi sebesar 64.2% dan motivasi responden lebih dari separo adalah tinggi yaitu 53.3%. Maulana (2007) menyatakan bahwa determinan perilaku adan dua macam yaitu internal dan eksternal. Determinan internal adalah karakteristik dari individu atau kelompok yang bersangkutan yang meliputi ras, sifat fisik, sifat kepribadian, bakat bawaan, tingkat kecerdasan, dan jenis kelamin. Faktor eksternal meliputi lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi dan politik. Menurut International Council Nurse (2007) bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat meliputi kemampuan kognitif, sikap (affektif) dan psikomotor (skill) dalam disaster manajemen, 4 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Pengetahuan Kebencanaan yang dimiliki. Sementara itu menurut citizan Corps (2006) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesiapsiagaan suatu komunitas terhadap bencana, yaitu; 1) external motivasi meliputi kebijakan, pendidikan dan latihan, dana, 2) pengetahuan, 3) sikap , dan 4) keahlian 3.2.2 Perilaku Kesiapan Dalam Menghadapi Bencana Erupsi Gunung Merapi Hasil penelitian ini didapatkan bahwa distribusi proporsi perilaku kesiapan responden dalam menghadapai bencana sebagian besar adalah tinggi yaitu sebesar 80.2% Skiner (1938, dalam Notoadmojo 2005) menyatakan perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku manusia pada hakekatnya adalah aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan respon sera dapat diamati secara langsung dan tidak langsung. Menurut Sarwono (1983, dalam Notoadmojo 2005) ciri-ciri yang membedakan perilaku manusia dengan mahluk lain adalah kepekaan sosial, orientasi pada tugas, usaha dan perjuangan dan tiap individu unik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Susanti, dkk (2013) yang didapatkan tingkat kesiapsiagaan komunitas SSB yang sangat siap menghadapi bencana dan juga hasil penelitian Nugroho, dkk (2007) yang didapatkan sebagian besar keluarga siap dalam menghadapi bencana khususnya bencana gempa dan tsunami di Nias. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Johnston and Becker, (2013) yang menunjukan tingkat kesiapan individu dalam menghadapi bencana sangat rendah meski dilakukan kampanye untuk mengurangi resiko bencana.Perilaku dalam kesiapan bencana merupakan sebagai kelangsungan dari perilaku sebelumnya dan perilaku berikutnya. Kesiapsiagaan bencana merupakan serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta langkahlangkahsecara berdayaguna dan berhasil guna Jadi perilaku manusia dalam kesiapan bencana tidak pernah berhenti hal ini dapat dikaitkan dengan pengalaman,informasi yang didapatkan sebelumnya sehingga melakukan perilaku baru untuk meningkatkan perilaku selanjutnya. Hal ini dibuktikan hasil penelitian ini dengan lebih dari separo perilaku kesiapan dalam menghadapi bencana adalah tinggi (80%). Mc. Kiernan, dkk (2005) mengemukakan bahwa perilaku atau tindakan berhubungan dengan terbentuk atau punahnya suatu kebiasaan. LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Tindakan merupakan mekanisme suatu pengamatan yang muncul dari persepsi sehingga ada respon untuk mewujudkan suatu tindakan. Dasar dari setiap sikap dan tindakan manusia adalah adanya persepsi, pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.Menurut Anam, Andarini dan Kuswantoro (20130 bahwa salah satu teori perilaku yaitu teori Preced-Proceed yang di kembangkan oleh Lawrence Green. Menurut teori ini perilaku manusia dari tingkat kesehatan dimana ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku diantaranya adalah pengetahuan yang termasuk sebagai faktor predisposisi (predisposing factor) dalam pembentukan perilaku kesiapsiagaan bencana. Pengetahuan seseorang atau masyarakat tentang kesiagaan bencana Gunung Marapi akan mendorong masyarakat untuk berusaha dalam kondisi siapsiaga mengahadapi bencana Gunung Marapi tersebut.Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa kesiapan menghadapi bencana ini seringkali terabaikan pada masyarakat yang belum memiliki pengalaman langsung dengan bencana (Priyanto, 2006). Disisi lain bahwa adanya kebijakan BNPB yang memberikan arahan Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB) adalah perencanaan lima tahunan di tingkat nasional yang memuat program program dan kegiatan penanggulangan bencana yang direncanakan oleh pemerintah untuk mengurangi risiko bencana di seluruh Indonesia, hal ini juga terlihat dengan adanya program oleh Kecamatan Sungai Pua sebagai kecamatan siaga bencana, sehingga kesiagaan masyarakat dan seluruh elemen dalam menghadapi bencana Gunung Marapi akan tinngi pula. 3.2.3 Hubungan Faktor Pengetahuan, Persepsi, Sikap, Keinginan, Motivasi dengan kesiapan menghadapi bencana erupsi Gunung Marapi Pengambilan keputusan didasarkan padaperbandingan antara nilai Sig. 1-tailed dan nilai probabilitas (0,05). Jika nilai Sig. 1-tailed lebih kecildari 0,05 maka hipotesis awal ditolak artinyaterdapat hubungan yang erat antara variabel bebasdan variabel terikat. Dari Tabel 3.4.3 dapat diketahui bahwa terdapat 3 (tiga) variabel yang memiliki nilai kurang dari 0,05 yaitu persepsi, keinginan, dan motivasi kesiapan menghadapi bencana erupsi Gunung Marapi . Dengan demikian, dapat disimpulkanbahwa faktorpersepsi, keinginan, dan motivasipersepsi, keinginan, dan motivasi mempunyai tingkat 5 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana korelasi yang tinggi dengan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Marapi. Persepsi merupakan proses diterimanya rangsang melalui panca indera, yang didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang sesuatu yang ada didalam maupun yang ada diluar dirinya. Menurut Triutomo (2007), di Indonesia, masih banyak penduduk yangmenganggap bahwa bencana itu merupakan suatu takdir. Pada umumnya merekapercaya bahwa bencana itu adalah suatu kutukan atas dosa dan kesalahan yang telahdiperbuat, sehingga seseorang harus menerima bahwa itu sebagai takdir akibatperbuatannya. Sehingga tidak perlu lagi berusaha untuk mengambil langkah-langkah pencegahan atau penanggulangannya. Keinginan adalah niat yang timbul pada individu untuk melakukan sesuatu (Annissa, 2014). Hasil penelitian didapatkan ada hubungan antara keinginan dengan kesiapan masyarakat menghadapi bencana erupsi Gunung Marapi. Adanya keinginan masyarakat mendorong mereka untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan kesiapan menghadapi bencana erupsi Gunung Marapi. Hal ini terlihat dari hasil penelitian ini dimana responden telah menentukan tempat yang aman untuk mengungsi jika terjadi letusan gunung Merapi,,telah membuat tanggul lumpur / lahar jika akan terjadi letusan gunung Merapi. Motivasi adalah dorongan penggerak untuk mencapai tujuan tertentu, baik disadari maupun tidak disadari. Motivasi dapat timbul dari dalam diri ataupun dari lingkungan (Sunaryo, 2004).Selanjutnya Notoatmodjo (2010) menambahkan hasil dari beberapa pengalaman dan hasil observasi yang terjadi di lapangan (masyarakat) bahwasanya perilaku seseorang termasuk terjadinya perilaku kesehatan, diawali dengan adanya pengalaman-pengalaman seseorang serta adanya faktor eksternal (lingkungan fisik dan non fisik). Pengalaman dan lingkungan tersebut kemudian diketahui, dipersepsikan atau diyakini seseorang sehingga menimbulkan motivasi/niat untuk bertindak yang akhirnya diwujudkan berupa perilaku, termasuk perilaku kesiapan dalam menghadapi bencana. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Reskar (2001) yang mendapatkan adanya pengaruh motivasi terhadap produktivitas. Hal ini juga sesuai dengan penelitian ini dimana dengan tingginya motivasi mendorong tingginya kesiapan masyarakat dalam menghadapi erupsi bencana Gunung Marapi. LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Dari tabel tersebut juga didapatkan 2 (dua) variabel yang memiliki nilai lebih dari 0,05 yaitu pengetahuan dan siakap kesiapan menghadapi bencana erupsi Gunung Marapi . Dengan demikian, dapat disimpulkanbahwa faktorpengetahuan dan sikap tidak berhubungan dengan kesiapan masyarakat menghadapi bencana erupsi Gunung Marapi. Pengetahuan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku seseorang, karena dari pengalaman dan penelitian, perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan menetap lebih lama pada seseorang daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Purwanto, 1999).Pengetahuan dibagi menjadi 6 (enam) tingkatan meliputi; tahu, memahami (comprehension), aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi (Notoatmodjo, 2010; Gronlund, 1970, dalam Allender & Spradley,2005). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Ryan (2015) didapatkan tidak terdapatnya hubungan antara pengetahuan dengan kesiapsiagaan tanggap darurat kebakaran dengan pvalue 0,165. Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Ismawan Adityansyah yang menyebutkan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kesiapsiagaan tanggap darurat kebakaran. Riset yang dilakukan di New Zealand memperlihatkan bahwa perasaan bisa mencegah bahaya gempa bumi dapat ditingkatkan dengan intervensi melalui pengisian kuesioner pengetahuan tentang gempa bumi yang di follow up dengan penjelasanpenjelasan yang ditujukan untuk menghilangkan gap atau miskonsepsi pengetahuan tentang gempa bumi. Hasil riset menunjukkan bahwa pengetahuanpartisipan mengenai gempa bumi berhubungan dengan tingkat kesiapannyamenghadapi gempa bumi.Dengan pengetahuan akan meningkatkan kemampuanpenduduk mempersiapkan diri dengan lebih baik dari gempa bumi atau bencana lain(Priyanto, 2006) Menurut asumsi peneliti bahwa terjadinya perubahan perilaku khususnya berkaitan dengan kesiagaan menghadapi bencana pada masyarakat tersebut jika pengetahuan seseorang atau masyarakat sudah mencapai pada tingkatan yang tinggi yaitu tingkatan sistesis dan evaluasi, karena pada tingkatan ini kemampuan seseorang atau masyarakat dalam tahap ini, tidak hanya mampu memisahkan dan memahami bagian-bagian dari komponen yang dipelajari berkaitan kesiagaan bencana , tetapi juga membentuk bagian-bagian dari komponen tersebut dalam bentuk satu kesatuan yang baru dan Evaluasi merupakan 6 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 tingkatan pengetahuan yang lebih tinggi dari sintesis, sehingga seseorang atau masyarakat secara otomatis telah memiliki kemampuan untuk membuat solusi yang adekuat berkaitan dengan kesiagaan bencana berdasarkan penilaian yang dilakukannya. Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau objek, baik yang bersifat intern atau ekstern sehingga manifestasinya tidak dapat langsung terlihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan dahulu dari perilaku yang tertutup tersebut (sunaro, 2004). Sikap adalah hasil evaluasi terhadap objek yang diekspresikan ke dalam proses-proses kognitif, afektif (emosi), dan perilaku. Sikap sebagai hasil evaluasi merupakan totalitas yang disimpulkan dari berbagai pengamatan terhadap objek yang diekspresikan dalam bentuk respon kognitif, afektif maupun perilaku (Eagly.et.al., 1993, dalam Wawan & Dewi, 2010). Newcomb (1969), seorang ahli psikologi sosial yang dikutip oleh Notoatmodjo (2010) menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan seseorang untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu, sikap bukan merupakan tindakan (belum dapat diamati dari luar), akan tetapi menjadi predisposisi dari tindakan yang dilakukan Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Ryan (2015) yang menyatakan Terdapatnya hubungan antara sikap dengan kesiapsiagaan tanggap darurat kebakaran dengan pvalue 0,000. Penelitian lainnya juga menunjukan tidak sejalan dengan penelitian ini adalah penelitian Sulistianingrum (2010) ada hubungan antara sikap dengan kesiapsiagaan tanggap darurat bencana kebakaran. penanggulangan bencana.Pengetahuan bencana yang dimiliki umumnya sangat mempengaruhi sikap dan kepedulian untuk siap siaga menghadapi bencana. Menurut asumsi peneliti bahwa ditemukannya tidak ada hubungan sikap dengan kesiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana gunung merapi disebabkan oleh faktor pengetahuan dari masyarakat tersebut berkaitan dengan bencana dimana didapatkan hampir separo yaitu 49.5% responden (masyarakat) memilki pengetahuan yang rendah berkaitan dengan kesiagaan bencana. Hal ini sejalan dengan peryataan Anam, Andarini dan Kuswantoro (2013) yang menyatakan bahwa sikap dapat mendukung kemauan seseorang dalam meningkatkan pengetahuannya tentang penanggulangan bencana. Peningkatan sikap seseorang dalam penanggulangan bencana dilakukan dengan melibatkan langsung seesorang atau masyarakat dalam persiapan Allender. J.A., & Spradley, B.W. (2005). Communnity health nursing: Promoting and protecting the public’s health. (6thEd.). Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. Aminudin. 2013. Mitigasi dan Kesiapsiagaan Bencana Alam. Bandung : Angkasa. Antoni, S. 2014. BPBD SUMBAR larang daki tiga gunung .Diakses pada tanggal 20 Maret 2014. http://geospasial.bpbdsumbar.go.id/wpcontent/uploads/2011/06/dusun.html Berita satu.com. 2014. 19 Gunung Berapi Indonesia Berstatus Waspada. Diakses pada tanggal 20 Maret 2014. http://www.gunungsemeru.com/2013/04/d LPPM STIKes Perintis Padang 4. KESIMPULAN 4.1 Distribusi proporsi pengetahuan responden yang tinggi dan rendah hampir sama banyak yaitu sebesar 49.5% rendah dan 50.5% tinggi. 4.2 Distribusi proporsipersepsi responden responden yang terbanyak adalah postif sebesar 73.6% 4.3 Distribusi proporsi sikap yang terbanyak adalah positif yaitu sebesar 69.3 %, 4.4 Distribusi proporsi keinginan yang terbanyak adalah tinggi sebesar 64.2% 4.5 Distribusi proporsi motivasi responden lebih dari separo adalah tinngi yaitu 53.3%. 4.6 Distribusi proporsi kesiapan responden dalam menghadapi bencana sebagian besar adalah tinggi yaitu sebesar 80.2% 4.7 Ada hubungan yang signifikan persepsi, keinginan dan motivasi dengan perilaku kesiapan dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Merapi Hasil uji stasistik diperoleh nilai p= 0,000, p= 0,001 dan p= 0,042 4.8 Tidak ada hubungan pengetahuan dan sikap dengan perilaku kesiapan dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Merapi Hasil uji stasistik diperoleh nilai p= 0,058 dan p=0,207 4.9 Tidak ada faktor yang dominan (persepsi, keinginan dan otivasi) dalam memepengaruhi kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Marapi. 5. REFERENSI 7 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 aftar-namagunungdi-indonesia-besertaletaknya.html DEPKES RI. 2006. Penatalaksanaan Korban Bencana Massal. Edisi ke-3. Jakarta : DEPKES RI. Dorotha L.H. Exploration of the know ledge, perceptions of personal R isk and perc ptio n of the public health response to a Terrorist event or natural disaster: perspective. . 2006; http://www. proquest.com/docview/pdf, diperoleh tanggal 5 Maret 2015). Hitchcock, J.E., Schubert, P.E., & Thomas, S.A. (1999). Community health nursing: Caring in action. Albani: Delmas Publisher. Issni Nurul Annissa (2014). Faktor-faktor yang berhubungan dengan keinginan pindah kerja perawat di RS. Sehat Terpadu. Skripsi Keputusan Mentri Kesehatan RI. 2006. Pedoman Penanggulangan Masalah Kesehatan Jiwa dan Psikososial pada Masyarakat Akibat Bencana dan Konflik. Jakarta : DEPKES RI. Mubarak I. W & Chayatin, N. 2009. Ilmu Keperawatan Komunitas Pengantar dan Teori. Jakarta : Salemba Medika. Notoadmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Refisi. Jakarta : Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Fundamental of Nursing : concepts, process and practice (4thed). Alih bahasa : Yasmin, A., dkk. Jakarta: EGC. Ramli S. 2010. Pedoman Praktis Manajemen Bencana (Disaster Manajemen). Jakarta : Dian Rakyat. Stanhope, M., & Lancaster, J. (2004). Community and public health nursing. (6th Ed). Mosby : St Louis. UU Republik Indonesia. Nomor 24. Tahun 2007. Tentang Penanggulangan Bencana. Weenbee. (2011). Peran Perawat Dalam Manajemen Bencana.http://weenbee.wordpress.com/20 11/08/23/peran-perawat-dalammanajemen bencana/#more-94. Diakses Pada Tanggal 21 Maret 2014. LPPM STIKes Perintis Padang 8 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGONTROLAN PERILAKU KESEHATAN PADA PASIEN PASCA STROKE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RASIMAH AHMAD BUKITTINGGI TAHUN 2016 Yaslina1, Rizi Faserina2 .Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKes Perintis Padang Email:[email protected] 2. Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKes Perintis Padang Email:[email protected] 1. Abstract Treatments of the post stroke are important during the recovery of the stroke patients at home to prevent the occurrence of the risk of recurrent stroke and complications of it. This research aims to know the relationship between the factors that relate to the control of health behavior of patients' post-stroke. Research design was descriptive analytic with cross sectional design. This research was done in January 2016 with total sampling in this research as 30 people in post stroke patients who were in the working area at Clinics Rasimah Ahmad, the measurement of knowledge, attitudes, economic status, family support, and health behavior control methods by using questionnaire. The data described by the shape of the table, analyzed by chi square test. In this study the results obtained the majority of the respondents have good knowledge about stroke care i.e. 26 people (86,7%) General people (56.7%) being nice, 10 (33.3%) with economic status above the UMR, 14 people (46.7) with good family support, and 14 people (46,7%) with a good health behavior control.Based on the analysis results obtained bivariat no relation with the economic status of knowledge, controlling behavior, whereas in the attitude of the obtained relations significance of 0.04 with OR 13.22 and support families of 0.003 with OR 15.88. In this research it can be concluded that the attitudes and family support are in the control of health behavior of post stroke. As for economic status of knowledge, there is no connection with the control of health behavior. A good understanding of the expected against control health behaviors in patients and encourage family support care post-stroke patientthat can be done since the beginning of the patients admitted in the hospital. Keywords: controlling factors of health, post-stroke patients, behavior 1. PENDAHULUAN Stroke merupakan suatu penyakit menurunnya fungsi syaraf secara akut yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak, terjadi secara mendadak dan cepat yang menimbulkan gejala dan tanda sesuai dengan daerah otak yang terganggu. Stroke dapat juga diartikan sebagai suatu sindroma yang mempunyai karakteristik suatu serangan yang mendadak, nonkonvulsif yang disebabkan karena gangguan perdarahan otak non traumatik. Stroke memiliki beberapa sindrome yang terdiri dari tanda dan atau gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam detik atau menit) (Jeffrey, 2012). Menurut WHO stroke merupakan pembunuh nomor 3 setelah penyakit jantung dan kanker. Sebanyak 75% pasien stroke di Amerika menderita kelumpuhan. Di Eropa ditemukan sekitar 650.000 kasus baru stroke setiap tahunnya. LPPM STIKes Perintis Padang Di Inggris stroke menduduki urutan ke-3 sebagai pembunuh setelah penyakit jantung dan kanker. Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki) menyebutkan, angka kejadian stroke menurut data dasar rumah sakit 63,52 per 100.000 penduduk usia di atas 65 tahun, sedangkan jumlah penderita yang meninggal dunia lebih dari 125.000 jiwa (Ratna, 2011). Data dari rekam medik Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi di dapat total pasien stroke pada tahun 2014 sebesar 6160 pasien. Jumlah kunjungan rawat jalan sebesar 1880 dengan kasus stroke non hemoregik sedang jumlah pasien rawat inap sebesar 3276 pasien stroke non hemoregik dan 1004 pasien hemoregik. Stroke susulan bisa juga terjadi sesaat setelah terjadi stroke yang pertama sekitar 3% pasien stroke sering kali terkena stroke susulan dalam waktu 30 hari. Namun, bahaya ini tentunya akan menurun setelah pasien menjalani perawatan yang intensif (Vitahealth, 2003). Sekitar 30% - 40% 9 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana penderita stroke dapat disembuhkan secara sempurna bila ditangani dalam jangka waktu 6 jam atau kurang dari itu, agar pasien tidak mengalami kecacatan. Tapi, sebagian penderita serangan stroke baru datang kerumah sakit setelah 48 jam terjadinya serangan (Sutarto 2003). Sumber lain menyebutkan bahwa sekitar 30% 43% dapat terjadi serangan stroke ulang dalam waktu 5 tahun. Kemungkinan terjadi kematian akibat serangan stroke antara 20% sampai dengan 30%. Dengan demikian, masih terdapat kemungkinan sembuh total ataupun sembuh dengan fungsi beberapa bagian tubuh yang mengalami kecacatan. Sekitar 50% penderita stroke yang mengalami kelumpuhan separuh badan dapat kembali memenuhi kebutuhannya sendiri.Mereka dapat berpikir dan berjalan dengan baik, meskipun penggunaan lengan atau tungkai agak terbatas. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menekan angka kejadian stroke berulang adalah mengetahui faktor resiko dan melakukan upaya memodifikasi gaya hidup, menjalani terapi yang diberikan dan melakukan pemeriksaan yang dapat memberikan informasi optimal tentang faktor resiko. Modifikasi prilaku serta pengontrolan faktor resiko stroke merupakan hal yang penting dilakukan dalam perawatan pasca stroke karena stroke dapat berulang.Stroke berulang merupakan suatu hal yang mengkhawatirkan karena dapat memberikan karena dapat memperburuk keadaan klien artinya terjadi bahaya yang lebih parah dari serangan pertama dan meningkatkan biaya perawatan (Siswanto & Yuliadji, 2005). Sebagian besar stroke terjadi akibat kombinasi faktor penyebab medis yaitu faktor resiko (misalnya, peningkatan tekanan darah) dan faktor prilaku (merokok). Sebagian besar faktor resiko dapat dikendalikan atau dihilangkan sama sekali dengan cara medis misalnya minum obatobatan tertentu, atau cara non medis misalnya perubahan gaya hidup. Ini disebut faktor resiko yang dapat dimodifikasi.Diperkirakan 80% stroke dapat dicegah dengan mengendalikan faktor resiko yang dapat dimodifikasi tersebut.Salah satu caranya dengan melakukan pengotrolan dan pengawasan prilaku kesehatan (Feigin, 2007). Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.Perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan seseorang. LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Diantaranya faktor predisposisi (pengetahuan, keyakinan, nilai, sikap, budaya, usia, jenis kelamin, ras dan akses ke pelayanan kesehatan), faktor yang memungkinkan (dukungan, keterampilan, kemampuan, ketersediaan sumber daya, kemampuan fisik, emosional, faktor ekonomi), dan faktor yang menguatkan (insentif, dukungan keluarga dan teman sebaya, sumber komunitas, akses ke pendidikan). Diantara beberapa faktor yang dapat dimodifikasi faktor yang paling sering mempengaruhi perilaku penderita stroke dalam menjaga kesehatannya adalah pengetahuan, sikap, motivasi penderita dan dukungan dari keluarga (Kathleen, 2006). Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengontrolan perilaku kesehatan terhadap pasien pasca stroke di wilayah kerja Puskesmas Rasimah Ahmad Bukittinggi tahun 2016. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian metode deskriptif analitik yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengontrolan perilaku kesehatan terhadap pasien pasca stroke di wilayah kerja Puskesmas Rasimah Ahmad Bukittinggi tahun 2016. Pendekatan desain penelitian dengan cross sectional. Rancangan ini merupakan penelitian dimana variabel-variabel yang termasuk faktor resiko dan variabel-variabel yang termasuk efek diobservasi sekaligus pada waktu yang sama (Notoadmojo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien Stroke yang berobat ke Poliklinik RSSN Bukittinggi yang berasal dari wilayah kerja Puskesmas Rasimah Ahmad Bukittinggi yang berjumlah 33 orang. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu pengambilan sampel yang didasarkan pada pertimbangan peneliti Jumlah sampel adalah 30 responden berdasarakan hitungan rumus. Untuk mengumpulkan responden, peneliti melakukan kunjungan ke rumah responden dari tanggal 15 Januari 2016 selama 2 minggu. 10 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana 3. ISSN: 2548-3153 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa Univariat Tabel1. Distribusi frekuensi pengetahuan responden di Puskesmas Rasimah Ahmad Tahun 2016 No Pengetahuan Frekuensi Persentase (%) 1 Tinggi 26 86,7 2 Rendah 4 13,3 Total 30 100,0 Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa lebih dari separoh yaitu 26 responden (86,7%) memiliki pengetahuan tinggi. Tabel 2. Distribusi frekuensi sikap responden di Puskesmas Rasimah Ahmad Tahun 2016 No 1 2 Sikap Baik Kurang baik Total Frekuensi 17 13 30 Persentase (%) 56,7 43,3 100,0 Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa lebih dari separoh yaitu 17 responden (56,7%) bersikap baik dalam pengontrolan perilaku kesehatan No 1 2 Tabel 3. Distribusi frekuensi Status Ekonomi Responden di Puskesmas Rasimah Ahmad Tahun 2016 Status Ekonomi Frekuensi Persentase (%) Sesuai UMR 10 33,3 Dibawah UMR 20 66,7 Total 30 100,0 Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa kurang dari separoh yaitu 10 responden (33,3%) memiliki penghasilan sesuai UMR. Tabel 4. Distribusi frekuensi dukungan keluarga di wilayah kerjaPuskesmas Rasimah Ahmad tahun 2016. No Dukungan keluarga Frekuensi Persentase (%) 1 Baik 14 46,7 2 Kurang baik 16 53,3 Total 30 100,0 Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa kurang dari separuh yaitu 14 (46,7%) responden yang mendapat dukungan keluarga dalam pengontrolan perilaku kesehatan. Tabel 5. Distribusi frekuensi pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke di Puskesmas Rasimah Ahmad tahun 2016 No Pengontrolan Perilaku Frekuensi Persentase (%) Kesehatan 1 Tinggi 14 46,7 2 Rendah 16 53,3 Total 30 100,0 Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa kurang dari separuh yaitu 14 (46,7%) responden melakukan pengontrolan perilaku kesehatan. LPPM STIKes Perintis Padang 11 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Analisa Bivariat Tabel 6. Distribusi frekuensi Hubungan pengetahuan dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke di Puskesmas Rasimah Ahmad tahun 2016 Pengontrolan Perilaku Kesehatan P Jumlah OR Value Pengetahuan Baik Kurang Baik f % F % f % Tinggi 14 53,8 12 46,2 26 100 0,103 2,167 Rendah 0 0 4 100 4 100 Total 14 46,7 16 53,3 30 100 Dari tabel 6 dapat dilihat bahwa dari 26 responden yang pengetahuan tinggi terdapat 53,8% yang melakukan pengontrolan perilaku kesehatan pasca stoke dengan baik dan 46,2% tidak baik. Sedangkan responden pengetahuan rendah 4 responden, 0% melakukan pengontrolan perilaku pasca stroke dengan baik dan 100% melakukan pengontrolan perilaku kesehatan kurang baik.Berdasarkan uji statistik pengetahuan dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke diperoleh nilai p = 0,103(p<0,05), berarti H0 diterima yaitu tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan pengontrolan perilaku kesehatan pada pasien pasca stroke. Tabel 7. Distribusi frekuensi Hubungan sikap dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke di Puskesmas Rasimah Ahmad Tahun 2016 Pengontrolan Perilaku kesehatan P Jumlah OR Value Sikap Baik Kurang Baik f % f % f % Baik 12 70,6 5 29,4 17 100 0,04 13,2 Kurang baik 2 15,4 11 84,6 13 100 Total 14 46,7 16 53,3 30 100 Dari tabel 7 dapat diihat bahwa dari 17 responden yang bersikap baik, terdapat 70,6% responden memiliki pengontrolan perilaku kesehatan baik, 29,4% memiliki pengontrolan perilaku kesehatan kurang baik. Sedangkan 13 responden yang bersikap kurang baik sebanyak 15,4% pengontrolan perilaku kesehatannya baik dan 84,6% kurang baik. Berdasarkan uji statistik didapat nilai berdasarkan uji statistik hubungan sikap dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke diperoleh nilai p=0,04(p<0,05), berarti Ha diterima yaitu ada hubungan antara sikap dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke dengan OR (odds ratio) 13,2 artinya responden yang bersikap baik berpeluang sebesar 13,2 kali memiliki pengontrolan perilaku kesehatan pasca stoke baik dibanding dengan yang mendapat bersikap kurang baik. Tabel 8. Distribusi frekuensi Hubungan Status Ekonomi dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke di wilayah kerja Puskesmas Rasimah Ahmad Tahun 2016 Pengotrolan Perilaku kesehatan P Jumlah OR Value Status Ekonomi Baik Kurang Baik f % f % f % Sesuai UMR 5 50,0 5 50,0 10 100 0,1 1,222 Dibawah UMR 9 45,0 11 55,0 20 100 Total 14 46,7 16 53,3 30 100 Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa dari 10 responden yang berpenghasilan sesuai UMR, 50% responden memiliki pengontrolan perilaku kesehatan baik dan 50% memiliki pengontroan perilaku kesehatan kurang baik. Sedangkan 20 responden dengan status ekonomi dibawah UMR, 45% memiliki pengontrolan perilaku pasca sroke dengan baik dan 55% memiliki pengontrolan perilaku kesehatan LPPM STIKes Perintis Padang 12 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 kurang baik.Berdasarkan uji statistik pengetahuan dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke diperoleh nilai p = 0,1(p<0,05) , berarti H0 diterima yaitu tidak ada hubungan antara status ekonomi dengan pengontrolan perilaku kesehatan pada pasien pasca stoke. Tabel 9. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pengontrolan Perilaku Kesehatan Pasien Pasca Stroke di Puskesmas Rasimah Ahmad Tahun 2016 Pengontrolan perilaku P kesehatan Jumlah OR Dukungan Value keluarga Baik Kurang Baik F % F % f % Baik 11 78,6 3 21,4 14 100 0,003 15,889 Kurang Baik 3 18,8 13 81,2 16 100 Total 14 46,7 16 53,3 30 100 Dari tabel 9 dapat diihat bahwa dari 14 responden yang mendapat dukungan baik dari keluarga terdapat 78,6% melakukan pengontrolan perilaku kesehatan dengan baik, dan 21,4% kurang baik sedangkan 16 respon dan yang mendapatkan dukungan kurang baik dari keluarga 18,8% pengontrolan perilaku kesehatannya baik dan 81,2% kurang baik. Berdasarkan uji statistik hubungan dukungan keluarga dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke diperoleh nilai p = 0,003(p<0,05), berarti Ha diterima yaitu ada hubungan antara dukungan keluarga dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke dengan OR (odds ratio) 15,889 artinya responden yang memiliki dukungan keluarga baik berpeluang sebesar 15,889 kali memiliki pengontrolan perilaku kesehatan pasca stoke baik dibanding dengan yang mendapat dukungan keluarga kurang baik. PEMBAHASAN 1. Pengetahuan Berdasarkan penelitian diperoleh data bahwa lebih dari separoh yaitu 26 responden (86,7%) memiliki pengetahuan yang tinggi tentang perawatan pasca stroke. Pengetahuan adalah perilaku yang berasal dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan penderita stroke tentang perawatan pasca stroke yang memungkinkan terjadinya stroke berulang dan komplikasi stroke.Pengetahuan yang dimiliki oleh penderita stroke sangat ditentukan oleh pendidikan yang dimiliki.Karena dengan pendidikan yang baik, maka penderita stroke dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang pentingnya keteraturan perilaku kontrol. 2. Sikap Berdasarkan penelitian diperoleh data bahwa lebih dari separoh yaitu 26 responden (86,7%) memiliki sikap yang tinggi tentang perawatan pasca stroke. Sikap merupakan penilaian (bisa berupa pendapat) seseorang terhadap stimulus atau objek (dalam hal ini masalah kesehatan, termasuk penyakit). Setelah seseorang mengetahui stimulus LPPM STIKes Perintis Padang atau objek, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap stimulus atau objek kesehatan tersebut. Sikap secara umum dirumuskan sebagai kecenderungan untuk berespon secara positif dan negatif terhadap orang, objek dan situasi tertentu. Dengan kata lain sikap merupakan kecendrungan berpikir, berpersepsi dan bertindak. Sikap mengandung 3 komponen, yaitu kognitif, afektif /emosional serta komponen konatif (visional). 3. Status Ekonomi Berdasarkan penelitian diperoleh data bahwa kurang dari separoh yaitu 10 responden (33,3%) memiliki status ekonomi yang sesuai UMR. Keluarga yang sosial ekonominya rendah akan mendapat kesulitan untuk membantu seseorang mencapai kesehatan yang optimal (Supartini, 2004). Sebaliknya dengan ekonomi keluarga yang meningkat, maka kemampuan dalam pemeliharaan dan peningkatan kesehatan keluarga juga meningkat (Notoatmodjo, 2003). Data responden yang didapatkan peneliti lebih dari separo yang berstatus ekonomi dibawah UMR bisa jadi dikarenakan waktu penelitian responden yang didata waktu itu memang yang memiliki penghasilan di bawah UMR. 13 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana 4. Dukungan Keluarga Berdasarkan penelitian diperoleh data bahwa kurang dari separoh yaitu 14 responden (46,7%) memiliki dukungan keluarga yang baik. Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit (Suprajitno, 2004). Dukungan dari keluarga akan memainkan suatu peran penting dalam kepatuhan. Walaupun demikian, perbedaan dalam bagaimana keluarga menunjukkan dukungannya memainkan suatu peran dalam menentukan apakah hal tersebut dapat menjadi kontributor terhadap kepatuhan kontrol pada penderita stroke (Stanley, 2006). Menurut Sabastian (2009) menyatakan bahwa pertolongan keluarga sangat penting untuk pemulihan stroke.Jika semakin besar keterlibatan keluarga dalam perawatan pasien pasca stroke maka makin besar pula peluang pasien pasca stroke untuk sembuh. 5. Pengontrolan Perilaku Kesehatan Pasien Pasca Stroke Berdasarkan penelitian diperoleh data bahwa kurang dari separoh yaitu 14 responden (46,7%) memiliki pengontrolan perilaku kesehatan yang baik. Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan (Notoatmodjo, 2003). Perilaku itu sendiri terbentuk dari pengetahuan, sikap, status ekonomi, dukungan keluarga, sistem nilai, budaya dan lain-lain. 6. Hubungan pengetahuan dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke di wilayah kerja Puskesmas Rasimah Ahmad tahun 2016 Berdasarkan uji statistik pengetahuan dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke diperoleh nilai p = 0,103(p<0,05), berarti H0 diterima yaitu tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan pengontrolan perilaku kesehatan pada pasien pasca stroke. Hal ini didukung oleh hasil penelitian dari Dian Agung et al(2010) dan juga penelitian Fadila (2014), bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke. Berdasarkan penelitian diatas yang menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan pengontrolan perilaku kesehatan. Hal ini menurut peneliti bisa saja LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 karena banyak hal yang mempengaruhi respon seseorang sehingga sampai pada tahap tindakan untuk melakukan sesuai dengan teori Notoatmojo dan Sukma Dinata 2003, pengetahuan mempunyai beberapa tingkatan yaitu: pendidikan, paparan media masa (akses informasi), budaya, pengaman, dan status ekonomi yang akan mempengaruhi domain kognitif pada tingkatan pengetahuan. Menurut Notoatmojo. 2007 pengetahuan mencakup dalam domain kognitif yang memiliki enam tingkatan yaitu: tahu, memahami, aplikasi, analysis, sintetis, evaluasi ini bisa dicontohkan bisa saja seseorang yang berpendidikan tinggi belum tentu dia mengerti sepenuhnya mengenai perawatan pasca stroke dirumah karena minimnya informasi serta pengalaman yang kurang tentang perawatan pasca stroke dirumah, sehingga pengontrolan perilaku kesehatannya baik. 7. Hubungan sikap dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke di wilayah kerja Puskesmas Rasimah Ahmad tahun 2016 Berdasarkan uji statistik didapat nilai berdasarkan uji statistik hubungan sikap dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke diperoleh nilai p=0,04(p<0,05), berarti Ha diterima yaitu ada hubungan antara sikap dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke dengan OR (odds ratio) 13,2 artinya responden yang bersikap baik 13,2 kali memiliki pengontrolan perilaku kesehatan pasca stoke baik dibanding dengan yang mendapat bersikap kurang baik. Ini didukung dengan penelitian Irdawati,yang menjelaskan bahwa ada hubungan signifikan antara sikap dan perilaku pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke,akan tetapi hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan Naela Fadhila yang menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara sikap dengan pengontrolan perilaku untuk mencegah stroke berulang pada pasien pasca stroke. Sikap yang positif biasanya dimunculkan karena adanya pengetahuan yang baik terhadap sesuatu disini mengenai perawatan pasca stroke yang nantinya memunculkan keinginan yang positif untuk menjaga dan berperilaku kesehatan yang baik bagi pasien pasca stroke. Pengontrolan perilaku kesehatan yang baik sangat dipengaruhi oleh kekuatan sikap positif.Kekuatan sikap di pengaruhi oleh faktor:pengalaman pribadi,pengaruh orang terdekat,kebudayaan,media masa lembaga pendidikan dan lain-lain. 14 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana 8. Hubungan Status Ekonomi dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke di wilayah kerja Puskesmas Rasimah Ahmad tahun 2016 Berdasarkan uji statistik pengetahuan dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke diperoleh nilai p = 0,1(p<0,05) , berarti H0 diterima yaitu tidak ada hubungan antara status ekonomi dengan pengontrolan perilaku kesehatan pada pasien pasca stoke. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan Dian Agung et al 2014 yang menyatakan ada hubungan antara status ekonomi seseorang dengan keteraturan pasien pasca stroke melakukan kontrol berobat. Tidak adanya hubungan status ekonomi dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasca stroke karena seperti kita ketahui saat ini pemerintah sudah menyiapkan program yang menjamin pembiayaan kesehatan penduduk badan yang mengelola ini kita kenal dengan nama BPJS. Tingkatan strata ekonomi apapun sekarang ini diwajibkan memiliki kartu BPJS ini.Begitu juga dengan responden penelitian ini yang berobat hampir semuanya menggunakan kartu BPJS, baik yang menerima iuran pemerintah maupun yang non menerima iuran pemerintah.Jadi bisa saja mereka yang status ekonominya dibawah rata-rata bisa melakukan pengontrolan perilaku kesehatan karena tidak memerlukan biaya yang terlalu mahal. 9. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pengontrolan Perilaku Kesehatan Pasien Pasca Stroke di Wilayah Kerja Puskesmas Rasimah Ahmad Tahun 2016. Berdasarkan uji statistik hubungan dukungan keluarga dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke diperoleh nilai p = 0,003(p<0,05), berarti Ha diterima yaitu ada hubungan antara dukungan keluarga dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke dengan OR (odds ratio) 15,889 artinya responden yang memiliki dukungan keluarga baik 15,889 kali memiliki pengontrolan perilaku kesehatan pasca stoke baik dibanding dengan yang mendapat dukungan keluarga kurang baik. Menurut peneliti dukungan keluarga memiliki hubungan dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke karena seperti yang telah diketahui pasien pasca stroke akan mengalami dampak penurunan fungsi neorologis dan psikologis. Peranan dan dukungan keluarga dibutuhkan dalam perawatan pasien pasca stroke agar bisa mencapai pemulihan dan mencegah LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 komplikasi stroke.Hal yang sangat penting dalam pengontrolan ini adalah memberikan semangat dan perhatian kepada pasien pasca stroke.Serta ikut dalam pelaksanaan pengontrolan kesehatan tersebut, seperti menyiapkan menu makanan sesuai diit, menemani untuk beraktifitas olahraga dan periksa kesehatan. 4. KESIMPULAN Berdasarkan uraian dari hasil analisa univariat dan bivariat serta pembahasan, maka dpat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Lebih dari separoh yaitu 26 responden (86,7%) memiliki pengetahuan yang tinggi tentang perawatan pasca stroke. 2. Lebih dari separoh yaitu 26 responden (86,7%) memiliki sikap yang tinggi tentang perawatan pasca stroke. 3. Kurang dari separoh yaitu 14 responden (46,7%) memiliki pengontrolan perilaku kesehatan yang baik. 4. Kurang dari separoh yaitu 14 responden (46,7%) memiliki dukungan keluarga yang baik. 5. Kurang dari separoh yaitu 14 responden (46,7%) memiliki pengontrolan perilaku kesehatan yang baik. 6. Tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan pengontrolan perilaku kesehatan pada pasien pasca stoke. 7. Ada hubungan antara sikap dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke dengan OR (odds ratio) 13,2 8. Tidak ada hubungan antara status ekonomi dengan pengontrolan perilaku kesehatan pada pasien pasca stoke. 9. Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan pengontrolan perilaku kesehatan pasien pasca stroke dengan OR (odds ratio) 15,889 5. REFERENSI Berman, Audrey, et al. (2009). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Edisi.5. Jakarta: EGC. Dinkes S Limbar, (2013). Profil KesehatanSumatera Barat, Sumatera Barat Feigin, Valery. (2007). Stroke. Jakarta: Buana Ilmu Populer. Guyton&Hall.(2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Hasmoko, E. V., 2008. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Klinis 15 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Perawat Berdasarkan Penerapan Sistem Pengembangan 11anajemen Kinerja Klinis (SPMKK) Irdawati. (2009) Hubungan Pengetahuan dan Sikap Keluarga dengan Perilaku dalam Meningkatkan Kapsitas Fungsional Pasien Pasca Stroke di Wilayah Kerja Puskesmas Surakarta 2009. (Jurnal) Irdawati.(2009). Hubungan antara Pengetahuan dan Sikap Keluarga dengan Perilaku dalam Meningkatkan Kapasitas Fungsional Pasien Pasca Stroke di Wilayah Kerja Kartasura (thesis). Jeffrey, M. C & Scott, K. Master Plan KedaruratanMedik. Jakarta: Binarupa Aksara. Johnson, Young Joice, et al. (2005). Prosedur Perawatan di Rumah Pedoman untuk Perawat. Jakarta: EGC Kathleen, Koening Blais, et al. '(2007). Praktik Keperawatan Professional Konsep & Perspentif. Jakarta: EGC Naila Fadila. (2010). Hubungan Pengetahuan Sikap dan Perilaku tentang Faktor Resiko penyakit Serebrovascular Terhadap Kejadian Stroke Iskemik. (Jurnal) Notoatmodjo.S. (2003).Pendidikan dan perilaku Kesehatan.Jakarta; Rineka Cipta Notoatmodjo.S(2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka. Cipta Tarwoto.(2013). Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: EGC Vitahealth. (2004). Stroke. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama LPPM STIKes Perintis Padang 16 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 PENGARUH PELAKSANAAN SENAM DISMENORE TERHADAP PENURUNAN NYERI HAID 1,2,3 Mera Delima1*, Insanu Muchlisa2, Maidaliza3 Program Studi Ilmu Keperawatan Stikes perintis Sumbar *Email : [email protected] Email : [email protected] Email : [email protected] Abstract Dysmenorrhea is the imbalance of progesterone in the blood causing pain sarises. In US there are 90% of women who experience dysmenorrhea, in Indonesia 55%, and 41,2% in West Sumatra woman dysmenorrhea. Exercises sports / exercises lightweight which is one of the techniques for relaxin is highly recommended to reduce this dysmenorrhea. The purpose of this study was to determine the effect the implementation of dysmenorrhea gymnastics against a decrease in menstrual pain in studensts of Nursing Stikes Perintis Sumbar 2015. The design of this study is pre experiment by using approach one group pre-post test design. This study was conducted on June 22, 2015 to July 4, 2015. The number of samples in this study were 20 students of Nursing Levels I and IV are experiencing dysmenorrhea. The tools used for data collection are questionnaires and observation sheets in the form of sheets look. Paired test statistic test results obtained with a 95% degree of convidence that the effect of the implementation of dysmenorrhea gymnastics against a decrease in menstrual pain in studenst of Nursing Stikes Perintis Sumbar 2015 (p = 0.000). it is suggested to the students to be able to do this so the gymnastics dysmenorrhea menstrual pain can be reduced and not interfere with the activity of the course. Keywords :Dysmenorrhea, Gymnastics Dysmenorrhea 1. PENDAHULUAN Wanita merupakan makhluk yang memiliki sistem reproduksi yang cukup unik.Setiap bulan wanita melepaskan satu sel telur dari salah satu ovariumnya. Bila sel telur ini tidak mengalami pembuahan maka akan terjadi pendarahan (menstruasi) (Proverawati, 2009). Menstruasi (haid) adalah pendarahan secara periodik dan siklik dari uterus yang disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium. Menstruasi terjadi jika ovum tidak dibuahi oleh sperma.Siklus menstruasi sekitar 28 hari. Pelepasan ovum yang berupa oosit sekunder dari ovarium disebut ovulasi, yang berkaitan dengan adanya kerjasama antara hipotalamus dan ovarium. Hasil kerjasama tersebut akan memacu pengeluaran hormon – hormon yang mempengaruhi siklus menstruasi (Marimbi, 2011 : 36). Siklus menstruasi merupakan rangkaian peristiwa yang secara kompleks saling mempengaruhi dan terjadi secara simultan di endometrium, kelenjar hipotalamus dan hipofisis serta ovarium.Siklus menstruasi mempersiapkan uterus untuk kehamilan.Bila tidak terjadi kehamilan, terjadi menstruasi. Usia wanita, status fisik dan emosi wanita serta lingkungan LPPM STIKes Perintis Padang mempengaruhi pengaturan siklus menstruasi (Bobak, dkk , 2004). Biasanya, masa menstruasi pertama (menarche) terjadi sekitar umur 12 atau 13, atau kadang – kadang lebih awal.Bagi sebagian wanita, adakalanya menstruasi bak momok yang kehadirannya membuat cemas manakala timbul rasa nyeri tak tertahanketika menstruasi tiba. Kondisi ini dikenal sebagai dismenore (dysmenorrhea) (Proverawati, 2009 : 83). Dismenore merupakan ketidakseimbangan hormon progesteron dalam darah sehingga mengakibatkan rasa nyeri timbul, faktor psikologis juga ikut berperan terjadinya dismenorepada beberapa wanita. Wanita pernah mengalamidismenoresebanyak 90%. Masalah ini setidaknya mengganggu 50% wanita masa reproduksi dan 60-85% pada usia remaja, yang mengakibatkan banyaknya absensi pada sekolah maupun kantor. Pada umumnya 50 - 60% wanita diantaranya memerlukan obat-obatan analgesik untuk mengatasi masalah dismenoreini (Jurnal Phederal Vol.4 No. 1 Mei 2011 : 2). Latihan-latihan olahraga yang ringan sangat dianjurkan untuk mengurangi dismenore. Olahraga / senam merupakan salah satu teknik relaksasi yang dapat digunakan untuk mengurangi 17 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana nyeri. Hal ini disebabkan saat melakukan olahraga/ senam tubuh akan menghasilkan endorphin. Endorphin dihasilkan di otak dan susunan syaraf tulang belakang. Hormon ini dapat berfungsi sebagai obat penenang alami yang diproduksi otak sehingga menimbulkan rasa nyaman (Harry,2007). Dari hasil penelitian ternyata dismenore lebih sedikit terjadi pada olahragawati dibandingkan wanita yang tidak melakukan olahraga / senam (Jurnal Phederal Vol.4 No. 1 Mei 2011 : 2). Latihan / senam yang teratur (sesi ± 30 menit 3-5 kali) adalah suatu hal yang bermanfaat dan dapat mengurangi gejala karena dapat meningkatkan produksi endorphin (pembunuh rasa sakit alami tubuh), dimana hal ini dapat meningkatkan kadar serotonin. Latihan yang teratur juga mengurangi stress dan meningkatkan pola tidur yang teratur (Proverawati, 2012 : 127128). Gerakan-gerakan senam yang dilakukan adalah : 1) Mengangkat lutut Berdiri di atas satu kaki sambil mengangkat lutut setinggi yang mampu untuk dilakukan.Tarik kedua lengan lurus ke atas, lalu turunkan.Untuk menjaga keseimbangan dapat dilakukan sambil berpegangan. 2) Lutut merenggang Atur posisi lutut.Salah satu kaki dalam posisi berlutut, dan satu kaki ditekuk dengan telapak menjejak ke lantai.Posisi kedua kaki berjauhan.Buka kedua lengan dan tarik ke atas.Pastikan dalam latihan ini untuk tidak bersandar pada apapun. 3) Menguatkan bokong Berlutut di atas satu kaki, dan bertumpu pada kedua tangan. Angkat kaki yang lain dan hadapkan telapak kaki ke arah langit-langit, atau dorong sejauh yang bisa dilakukan. Turunkan kaki perlahan, dan ulangi sekali lagi. 4) Peregangan otot paha bawah Posisi tubuh membungkuk, kedua kaki rapat.Gerakkan satu kaki ke arah samping, kaki dibuka lebar. Rasakan peregangan di paha bawah. 5) Penguatan otot paha bagian dalam Berbaring dengan bertumpu pada salah satu sisi badan. Satu kaki dilipat dengan telapak menjejal lantai. Sementara kaki yang lainnya diluruskan, lalu digerakkan naik-turun. Gerakan LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 ini mengandalkan otot paha bagian dalam dan kaki bawah 6) Penguatan dengan rotasi dalam Berbaring dengan bertumpu pada salah satu sisi badan.Pinggul dan lutut ditekuk.Satu kaki direbahkan dan kaki yang lain diangkat. Kemudian naik dan turunkan tungkai kaki, tapi jagalah agar posisi lutut tetap tidak berubah. Lutut akan berputar dengan sendirinya ketika tungkai kaki digerakkan ke atas dan ke bawah. 7) Penguatan dengan rotasi luar Bertumpu pada salah satu sisi tubuh.Tekuk kaki yang berada di sebelah atas, telapak kaki menjejak lantai.Sementara kaki yang berada di sebelah bawah dinaik-turunkan tungkainya, tapi pertahankan lutut tidak bergeser. Lutut akan berputar ketika tungkai naik-turun. 8) Peregangan dengan rotasi luar Berbaringlah dengan punggung di lantai (atau bertumpu pada kedua siku) dan lutut ditekuk.Angkat satu kaki, kemudian gerakkan ke sisi luar. Beban kaki saat peregangan ini akan menguatkan otot pinggul. Pada latihan ini, jaga agar pinggul tetap rapat pada lantai. 9) Peregangan dengan rotasi dalam Berbaringlah dengan punggung di lantai (atau bertumpu pada kedua sikut) dan lutut ditekuk.Taruh satu kaki ke sisi dalam kaki lainnya.Kemudian lutut pada kaki sebelah atas dinaik-turunkan (mendekat dan menjauhi kaki yang lainnya). Beban kaki akan meregangkan otot punggung. Pada latihan ini, jaga agar pinggul tetap rapat pada lantai. 10) Bertekuk ganda Berbaringlah, dan tarik kedua lutut ke arah dada dengan bantuan tangan. Untuk melakukan ini, gunakan kekuatan tangan dan biarkan punggung bagian bawah rileks dan merenggang. 11) Gerakan mengangkat dan menarik ke belakang Gerakan ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan fleksibilitas tulang belikat dan tulang selangka, peregangan dan pelemasan di area punggungdan otot-otot leher. 12) Gerakan untuk mengurangi ketegangan, mengusir kekakuan Gerakan ini bermanfaat mengurangi ketegangan dan kekakuan pada leher dan kedua 18 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana bahu, menghangatkan kedua tangan, dan merelaksasi jaringan otot di sekitarnya.Otot-otot seperti spons yang penuh air, sehingga ketika berjalan perlahan, tubuh seperti teraliri air karena otot-otot tersebut ikut meregang dan melebar. Begitu juga menghirup napas, akibatnya kita akan rileks dan hilanglah ketegangan. Cara melakukannya, letakkan tangan kiri di belakang leher, ambil napas dan tekan otot di area tersebut dengan tangan sambil hembuskan napas.Ulangi 35 kali.Kemudian turun sedikit, letakkan tangan kiri pada bahu kanan (pada otot-otot trapeziuz, bukan pada tulang), ambil napas dalam, hembuskan perlahan dan relaks. Ulangi dengan sisi yang lain. 13) Tepukan untuk menghilangkan ketegangan. Gerakan ini untuk memperbaiki sirkulasi dan untuk meningkatkan sensasi dan fleksibilitas gerak tubuh, melepaskan hormon pertumbuhan di dalam kulit, dan melancarkan produksi endorphin, yaitu hormon yang diproduksi saat sedang beraktifitas, terutama saat berolahraga, anatara lain bermanfaat untuk mengurangi rasa sakit.Setiap tepukan dapat merangsang dan merelaksasi kulit, menghubungkan jaringan-jaringan otot, tulang hingga ke sum-sum. Cara melakukan, tangan kiri yang setengah menggenggam, letakkan di atas bahu kanan. Lalu tepuklah bahu kanan dengan kuat tapi lembut. Teruskan sampai otot-otot trapezius di samping dan belakang leher. Ulangi gerakan ini dengan posisi yang berlawanan. (Olivia, 2013). Angka kejadian dismenore di dunia sangat besar. Di Amerika Serikat diperkirakan hampir 90% wanita mengalami dismenore dan 10 - 15% diantaranya mengalami dismenore berat, yang menyebabkan mereka tidak mampu melakukan kegiatan apapun dan ini akan menurunkan kualitas hidup pada individu masing – masing. Sebuah studi longitudinal secara kohort pada wanita Swedia ditemukan prevalensi dismenore adalah 90% pada usia 19 tahun dan 67% pada usia 24 tahun. Sepuluh persen dari wanita usia 24 tahun yang dilaporkan tersebut mengalami nyeri sampai mengganggu aktivitas dan 78-85% wanita mengalami dismenore ringan (Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes Vol III No 4, 2012). Sementara di Indonesia angkanya diperkirakan 55% perempuan usia produktif yang tersiksa oleh nyeri selama menstruasi. Angka kejadian (prevalensi) nyeri menstruasi berkisar 45-95 % di kalangan wanita usia produktif. Walaupun pada umumnya tidak berbahaya, namun sering kali LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 dirasa mengganggu bagi wanita yang mengalaminya. Derajat nyeri dan kadar gangguan tentu tidak sama untuk setiap wanita. Ada yang masih bisa bekerja ( sesekali sambil menangis),adapula yang tak kuasa beraktifitas saking nyerinya (Proverawati, 2009 : 83). Sumatera Barat angka kejadian dismenore pada tahun 2009 sebesar 41,2%, yang pada umunya banyak diderita oleh remaja (usia yang masih produktif) dan pada umumnya para remaja ini harus istirahat di tempat tidur dan terkadang meninggalkan pekerjaan atau sekolah akibat dismenore (Aulia, 2012). Studi awal peneliti lakukan pada 6 Maret 2014 di STIKes Perintis SumBar kepada mahasiswi Ilmu Keperawatan.Disini peneliti meneliti mahasiswi Ilmu Keperawatan Tingkat I dan IV. Adapun jumlah mahasiswi tingkat I sebanyak 30 orang, yang mengalami dismenore sebanyak 16 orang, dengan persentase kehadiran siswa sebesar 43,3% dengan keterangan sakit, alfa atau izin saat perkuliahan berlangsung. Tingkat IV sebanyak 36 orang, yang mengalami dismenore sebanyak 23 orang yang mengalami nyeri haid, dengan persentase kehadiran mahasiswi dalam perkuliahan adalah sebanyak 38,8% mahasiswa yang meninggalkan perkuliahannya, baik dengan keterangan sakit, alfa atau yang izin meninggalkan perkuliahan. Wawancara yang peneliti lakukan pada 6 Maret 2015 pada beberapa mahasiswa mengatakan bahwa di STIKes Perintis ini tidak pernah dilakukan senam dismenore. Mahasiswa tersebut mengatakan untuk mengurangi dismenore yang mereka rasakan,mereka hanya mengonsumsi obat yang dapat mengurangi nyeri haidnya. Sehingga mahasiswa yang mengalami dismenore tersebut ada yang tetap mengikuti perkuliahan dan ada pula yang meninggalkan perkuliahan mereka dengan meminta izin kepada dosen yang mengajar di kelas atau tanpa keterangan. Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh pelaksanaan senam dismenore terhadap penurunan nyeri haid pada mahasiswa Ilmu Keperawatan STIKes Perintis Sumatera Barat tahun 2015. 2. METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah bentuk rancangan atau desain yang digunakan dalam melakukan prosedur penelitian (Alimul, 2008).Desain penelitian yang digunakan adalah praeksperimental.Penelitian ini menggunakan pendekatan one group pre – post test design, 19 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana dimana kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah dilakukan intervensi (Nursalam, 2013). Penelitian ini dilaksanakan di STIKes Perintis Sumatera Barat Kampus II Bukittinggi dan telah dilaksanakan pada tanggal 22 Juni 2015 sampai dengan 4 Juli 2015. Pada penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh mahjasiswa perempuan Stikes Perintis Sumatera Barat Prodi Ilmu Keperawatan Tingkat I dan IV tahun 2015 yang mengalami dismenore yaitu sebanyak 39 orang, teknik sampling yang digunakan adalah proportional cluster sampling, sehingga didapatkan 20 orang mahasiswa Ilmu Keperawatan yang mengalami dismenore di Stikes. ISSN: 2548-3153 dismenore. Selama penelitian ini, peneliti tidak langsung mendapatkan 20 orang responden yang berbeda-beda setiap harinya. Pada hari pertama penelitian, peneliti mendapatkan 2 orang responden, dihari berikutnya peneliti tidak mendapatkan mahasiswa yang mengalami dismenore. Di hari ketiga peneliti kembali mendaptkan 3 orang responden. Begitu seterusnya sampai peneliti mendapatkan 20 orang responden. Peneliti melakukan penelitian ini dalam jangka waktu 2 minggu. Pengumpulan Data Instrument yang digunakan pada penelitian ini adalah kuisioner untuk penilaian tingkat nyeri responden.dan lembaran observasi berbentuk lembar tilik untuk pelaksanaan senam dismenore serta mengisikan tingkat nyeri pada lembar observasi sebelum dan sesudah dilakukan senam dismenore. Cara Kerja Adapun proses yang peneliti lakukan dalam penelitian ini adalah peneliti mengidentifikasi mahasiswa Ilmu Keperawatan Stikes Perintis Sumatera Barat Kampus II Bukittinggi yang mengalami menstruasi dan dismenore. Setelah peneliti mengetahui mahasiswa yang mengalami dismenore, kemudian peneliti menanyakan kesediaan mahasiswa tersebut untuk menjadi responden. Jika mahsiswa tersebut bersedia, maka peneliti kemudian memberikan lembar inform consent kepada responden tersebut. Selanjutnya, peneliti mengidentifikasi dengan mengobservasi dan memberikan lembar kuisioner kepada responden untuk mengetahui skala nyeri yang dirasakan oleh responden tersebut.Kemudian mengisikan nilai pada lembar observasi pre / sebelum pelaksanaan senam dismenore.Setelah itu, peneliti mengajarkan teknik dari senam dismenore, yang mana senam ini dilakukan selama ± 30 menit.Setelah selesai mengajarkan senam tersebut, kemudian peneliti meminta responden tersebut untuk melakukan senam tersebut sebanyak 3 kali pelaksanaan di rumah.Setelah itu, keesokan harinya peneliti kembali menemui responden untuk mengobservasi dan memberikan kembali lembar kuisioner kepada responden untuk penilaian skala nyeri post / sesudah pelaksanaan senam LPPM STIKes Perintis Padang 20 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Univariat Tabel 1 Distribusi Frekuensi Nyeri Haid Sebelum Melaksanakan Senam Dismenore pada Mahasiswa Ilmu Keperawatan STIKes Perintis SumBar Tahun 2015. Skala Nyeri Frekuensi Persentase % Nyeri Ringan 1 5% Nyeri Sedang 18 90% Nyeri Berat 1 5% 20 100% Jumlah Pada tabel 1 di atas, menunjukkan bahwa skala nyeri sebelum melaksanakan senam dismenore terbanyak adalah mahasiswa dengan skala nyeri sedang yaitu sebanyak 18 orang (90%). Untuk skala nyeri ringan dan berat sebanyak 1 orang ( 5%). Nyeri Haid Sesudah Melaksanakan Senam Dismenore Tabel 2 Distribusi Frekuensi Nyeri Haid Sesudah Melaksanakan Senam Dismenore pada Mahasiswa Ilmu Keperawatan STIKes Perintis SumBar Tahun 2015. Skala Nyeri Frekuensi Persentase % Nyeri Ringan 19 95% Nyeri Sedang 1 5% Nyeri Berat 0 0% 20 100% Jumlah Pada tabel 2 di atas, menunjukkan bahwa skala nyeri sesudah melaksanakan senam dismenore terbanyak adalah mahasiswa dengan skala nyeri ringan yaitu sebanyak 19 orang (95%). Untuk skala nyeri sedang sebanyak 1 orang (5%) dan skala nyeri berat tidak ada (0%). Analisis Bivariat Tabel 3 Distribusi Frekuensi Pengaruh Pelaksanaan Senam Dismenore Terhadap Penurunan Nyeri Haid pada Mahasiswa Ilmu Keperawatan STIKes Perintis SumBar Tahun 2015. Variabel Rerata Standar Deviasi Standar error P value Nyeri Haid Sebelum 5,95 0.887 0,198 0,000 Sesudah 3.7 0,470 0,105 n 20 Dari tabel 3 di atas didapatkan bahwa nilai rerata 2,250, standar deviasi 1,164, dan standar error rata-rata 0,260. Nilai t hitung pada penelitian ini adalah 8,643. Setelah dilakukan Uji Paired Test secara komputerisasi didapatkan p value < 0,05 (0,000), maka p value = bermakna artinya ada pengaruh pelaksanaan senam dismenore terhadap penurunan nyeri haid pada mahsiswa ilmu keperawatan STIKes Perintis SumBar tahun 2015. LPPM STIKes Perintis Padang 21 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana PEMBAHASAN Skala nyeri haid pada hahasiswa yang mengalami dismenore sebelum melakukan senam dismenore Berdasarkan tablel 1 ditunjukkan bahwa lebih dari separoh(90%) derajat nyeri punggung bawah responden berada pada tingkat sedang.Sedangkan sisanya 1 % mengalami nyeri haid berat dan 1 % lagi mengalami nyeri haid ringan. Wanita umumnya mengalami nyeri saat menstruasi, nyeri ini terjadi akibat iskemik dari otot uterus, derajat nyeri mencerminkan kondisi psikologis dari penderita serta gangguan fisiologi menstruasi (Janiwarti, 2013).Dismenore mempengaruhi lebih dari 50 % wanita dan menyebabkan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas harian selama 1 sampai 3 hari setiap bulannya pada sekitar 10 % dari wanita tersebut (Reeder, 2014). Penyebab dismenore bermacam-macam, bisa karena penyakit, stress atau cemas yang berlebihan. Penyebab lainnya diduga akibat terjadinya ketidakseimbangan hormonal dan tidak ada hubungannya dengan organ reproduksi (Judha, 2012 : 46). Sedangkan menurut Proverawati (2009 : 87) mengatakan bahwa penyebab pasti dari dismenore hingga kini belum diketahui secara pasti, namun beberapa faktor ditengarai sebagai pemicu terjadinya dismenore diantaranya faktor psikis, faktor endokrin, faktor prostaglandin, faktor hormonal dan faktor alergi. Faktor stress juga dapat menurunkan ketahanan tubuh terhadap rasa nyeri. Tanda pertama yang menunjukan keadaan stress adalah adanya reaksi yang muncul yaitu menegangnya otot tubuh individu dipenuhi oleh hormon stress yang menyebabkan tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh, dan pernafasan meningkat. Dismenore terjadi pada saat fase pramenstruasi (seksresi).Pada fase ini terjadi peningkatan hormon prolactin dan hormone estrogen.Sesuai dengan sifatnya, prolaktin dapat meningkatkan kontraksi uterus. Selain itu hormone yang juga terlibat dalam dismenore adalah hormon prostaglandin. Pada fase menstruasi prostaglandin jga menstimulasi peningkatan dari hormone oksitosin yang juga bersifat meningkatkan kontraksi uterus.Sehingga dapat disimpulkan bahwa dismenore sebagian besar merupakan akibat dari kontraksi uterus (Manuaba, 2001). Keluhan dismenore yang dialami oleh mahasiswa tentunya tidak dapat dibiarkan begitu LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 saja. Menurut Varney (2008 : 342) mengatakan bahwa terdapat beberapa pendekatan dalam mengurangi dismenore. Diantaranya adalah olahraga atau senam.Menurut asumsi peneliti, dismenoreterjadi akibat peningkatan dari beberapa jenis hormon yaitu diantaranya hormon estrogen, progesterone, prolaktin, dan oksitosin yang mengakibatkan meningkatnya kontraksi dari uterus. Sehingga pada saat menstruasi wanita akan mengalami berbagai keluhan diantaranya nyeri atau rasa sakit di daerah perut ataupun panggul. Skala nyeri haid pada hahasiswa yang mengalami dismenore sesudah melaksanakan senam dismenore Berdasarkan tabel. 2 menunjukkan bahwa setelah melaksanakan senam dismenore lebih dari separoh responden (95 %) mengatakan lebih nyaman dari sebelumnya atau mengalami nyeri ringan , dan 1 % lagi mengalami nyeri sedang. Menurut Proverawati (2009 : 87) mengatakan bahwa pemicu terjadinya dismenore diantaranya adalah faktor psikis, faktor endokrin, faktor prostaglandin, faktor hormonal dan faktor alergi. Senam dismenore merupakan salah satu teknik relaksasi.Olahraga atau latihan fisik yang dapat menghasilkan hormone endorphin. Hormone ini dapat berfungsi sebagai obat penenang alami yang bisa diproduksi otak yang akan melahirkan rasa nyaman dan untuk mengurangi rasa nyeri pada saat kontraksi. Olahraga terbukti dapat meningkatkan ßendorphin empat sampai lima kali dalam darah. Semakin banyak melakukan senam / olahraga maka akn semakin tinggi pula kadarß-endorphin. seseorang yang melakukan senam / olahraga, maka ß-endorphin akan keluar dan ditangkap oleh reseptor di dalam hypothalamus dan sistem limbic yang berfungsi untuk mengatur emosi (Jurnal Keperawatan Maternitas, Vol 1, No 2, November 2013 : 118-123). Latihan / senam ini paling sederhana dilakukan dan terdiri atas gerakan pelemasan dan peregangan otot.Senam dismenore dilakukan untuk membangun otot menjadi lebih baik (Olivia, 2013). Menurut Analisis peneliti, penurunan skala nyeri yang dirasakan mahasiswa ini berbedabeda.Hal ini dibuktikan selama penelitian ini dilaksanakan yaitu dengan melaksanakan senam dismenore terdapat beberapa mahasiswa yang mengalami penurunan nyeri haid dan ada juga mahasiswa yang tidak mengalami penurunan nyeri haid. 22 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Pengaruh pelaksanaan senam dismenore terhadap penurunan nyeri haid Berdasarkan tabel 3 didapatkan bahwa hasil analisis dari Paired Test p value = 0,000 (p < 0,05) yang menunjukkan adanya pengaruh dari pelaksanaan senam dismenore terhadap penurunan nyeri haid mahasiswa. Senam dismenore tersebut dilakukan minimal 3 kali pelaksanaan selama menstruasi. Penelitian inidiperkuat dengan hasil pendapat Wong,et,al (2002) latihan seperti dengan menggerakkan panggul, dengan posisi dada-lutut, dan latihan pernafasan dapat bermanfaat untuk mengurangi dismenore. Hal serupa juga dikemukakan oleh Taber (2005) bahwa salah satu cara untuk mengatasi dismenore adalah dengan mengambil atau melakukan posisi menungging sehingga rahim tergantung dengan posisi ke bawah, dan menarik nafas dalam untuk relaksasi. Dengan relaksasi dipercaya dapat menurunkan nyeri dan merilekskan otot yang menunjang terjadinya nyeri. 4. KESIMPULAN Berdasarkan uraian dari hasil analisa univariat dan bivariate serta pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : a) Lebih dari separoh (90 %) responden mengalami nyeri sedang, sedangkan selebihnya mengalami nyeri berat dan ringan. b) Lebih dari separoh (95 %) responden merasakan nyeri berkurang yaitu nyeri ringan, sedangkan 5 % sisanya mengalami nyeri sedang. c) Latihan senam dismenore berpengaruh terhadap penurunan nyeri haid ditunjukkan dengan p value = 0,000 (p < 0,05). 5. REFERENSI ISSN: 2548-3153 Judha, Muhammad, dkk. 2012. Teori Pengukuran Nyeri & Nyeri Persalinan. Yogyakarta. : Nuha Medika. Manuaba,, Ida Bagus Gde. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Jakarta : EGC. Marimbi, Hanum. 2011. Biologi Reproduksi. Yogyakarta : Nuha Medika. Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan; Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan, Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika. .2013. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Pendekatan Praktis, Edisi Jakarta : Salemba Medika. Olivia. 2013. Mengatasi Gangguan Haid. Jakarta : Redaksi Health Secret. Price, A Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC. Proverawati, Atikah. 2009. Menarche Menstruasi Pertama Penuh Makna. Yogyakarta : Nuha Medika. Reeder, Sharon, dkk. 2014. Keperawatan Maternitas Kesehatan Wanita, Bayi & Keluarga. Jakarta : EGC. Rochimah. 2011. Keterampilan Dasar Praktik Klinik (KDPK). Jakarta : Trans Info Media. Saryono, dkk. 2009. Sindrom Pramenstruasi. Yogyakarta. : Nuha Mediak. Suparto, Achmad. 2011. Jurnal Efektifitas Senam Dismenore dalam Mengurangi Dismenore Pada Remaja Putri .Phederal Vol. 4 No. 1.Sumenep : STKIP PGRI. Varney, Helen, dkk. 2008. Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Edisi 4. Jakarta : EGC. Wasis, 2008. Pedoman Riset Praktis untuk Profesi Perawat. Jakarta : EGC. Wylie, Linda. 2010. Esensial Anatomi & Fisiologi dalam Asuhan Maternitas. Jakarta :EGC. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta. Aziz, Alimul. 2008. Metode Penelitian dan Teknik Analisa Data.Jakarta : Salemba Medika. Bobak, Irene, dkk. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Edisi 4. Jakarta : EGC. Hidayat, Aziz Alimul. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia, Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. LPPM STIKes Perintis Padang 23 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 TERAPY MUROTAL PENGARUHI ADAPTASI NYERI PERSALINAN PADA IBU INPARTU PRIMIPARA Hidayati 1, Nova Tri Yanti 2 Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis Padang Email: [email protected] 2 Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis Padang Email: [email protected] 1 Abstract Pregnant women often feel worried about the pain they will experience during childbirth, nearly 90% of maternal experience pain in childbirth (Muhiman 2006 cit Ika 2010) of the pain experienced by primiparous and multiparous, labor pain in primiparous heavier due to the intensity of the contractions especially in the first stage I. To determine the effect on adaptation murotal terapy facing labor pain in primiparous mothers in hospitals inpartu Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi in 2016. The population in this study is 12 people. This research has been conducted on July 11 until July 31, 2016 at the Hospital Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. The study design used is quasy-experiment that is one-group pre-post test design by using t tests dependent. The average difference of pain before and after the intervention as much as 0.667, 0.516 standard deviation, standard error 0.211. Statistical test results obtained p value of 0.025, it can be inferred the existence of differences in pain adaptation before and after therapeutic intervention in patients inpartu murottal primipara. The average difference of pain before and after the intervention as much as -1.667, 0.516 standard deviation, standard error 0.211. Statistical test results obtained p value of 0.001, it can be inferred the existence of differences in pain adaptation before and after the therapy control in patients inpartu murottal primipara. The results of this study should be used as an input or as an action for the reduction of pain in the mother inpartu at Hospital Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi . Keywords: Murotal, Therapy, Pain Adaptation The reading list: 21 (2002-2013) 1. PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan Nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas penduduk sehingga tercapai kesejahteraan bangsa. Salah satu indikator dalam menentukan derajat kesehatan suatu bangsa ditandai dengan tinggi rendahnya angka kematian ibu dan bayinya. Setiap tahun lebih dari 200 juta wanita hamil, sebagian besar kehamilan berakhir dengan kelahiran bayi hidup pada ibu yang sehat, walaupun demikian ada beberapa kasus kelahiran bukanlah peristiwa membahagiakan tetapi menjadi suatu masa yang penuh dengan rasa nyeri dan rasa takut (Admin, 2013). Persalinan adalah serangkaian kejadian yang berakhir dengan pengeluaran bayi yang cukup bulan atau hampir cukup bulan disusul dengan pengeluaran plasenta dan selaput janin (Kuswanti, 2014). Persalinan merupakan proses yang alami, tetapi dapat menjadi beban dan beresiko bagi seorang ibu. Salah satu resiko persalinan yang sangat fatal adalah kematian (Hacker, 2001 cit AnDriawati, 2011). LPPM STIKes Perintis Padang Menurut World Health Organitation (WHO) tahun 2014 Angka Kematian Ibu (AKI) di dunia yaitu 289.000 jiwa.Amerika Serikat yaitu 9.300 jiwa, Afrika Utara 179.000 jiwa, dan Asia Tenggara 16.000 jiwa.Angka kematian ibu di Indonesia 214 per 100.000 kelahiran hidup (WHO, 2014).Millenium Development Goals (MDGs) menargetkan AKI menurun hingga 102 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2015 dan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) menetapkan AKI dapat diturunkan menjadi 118 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2014. Angka kematian ibu melahirkan di Indoneia masih tinggi, pada tahun ini mencapai 359 per 10.000 kelahiran.Kematian itu di sebabkan oleh perdarahan, infeksi dan tekanan darah tinggi (eklampsi) dilihat dari survey demografi dan kependudukan (oleh Mensos dalam Metrotvnews.com tahun 2015). Data yang diperoleh oleh kementrian kesehatan Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2013 di dapatkan jumlah ibu dengan persalinan normal sebanyak 27.534 jiwa (Kemenkes, 2014). 24 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Wanita yang telah melahirkan bayi aterm sebanyak satu kali di sebut dengan primipara, dan wanita yang telah pernah melahirkan anak hidup beberapa kali, dimana persalinan tersebut tidak lebih dari lima kali disebut multipara (Asuhan kebidanan komprehensif 2015). Wanita hamil sering merasa khawatir tentang rasa nyeri yang akan mereka alami saat melahirkan, hampir sekitar 90% ibu bersalin mengalami nyeri pada persalinan (Muhiman 2006 cit Ika 2010) nyeri tersebut dialami oleh primipara dan multipara, nyeri persalinan pada primipara lebih berat dikarenakan adanya intensitas kontraksi terutama pada kala I. Intensitas kontraksi ini disebabkan oleh penipisan serviks primipara yang terjadi lebih dahulu dari pada dilatasi serviks. Dan primipara belum memiliki pengalaman terhadap nyeri persalinan sebelumnya yang menimbulkan ketegangan emosi dan cemas sehingga memperberat persepsi nyeri (Yuliatun, 2008 dalam Laisouw 2015). Penanggulangan nyeri pada persalinan sangat penting karena akan dapat memperbaiki keadaan fisiologis dan psikologi ibu dan bayi baru lahir serta mengurangi kematian ibu dan janin. Saat ini proses persalinan dengan menggunakan metode metode pengurangan rasa nyeri sedang berkembang dimasyarakat, karena ibu bersalin meyakini bahwa persalinan itu nyeri, dan menganggap lebih penting mengatasi rasa nyeri pada proses persalinan dibandingkan dengan tempat persalinan atau siapa yang mendampingi (Aprillia, 2014). Ibu bersalin yang sulit beradaptasi dengan rasa nyeri persalinan dapat menyebabkan tidak terkoordinasinya kontraksi uterus yang dapat mengakibatkan perpanjangan kala I persalinan dan kesejahteraan janin terganggu (Hani, 2010). Berdasarkan penelitian Ellyta Aizar, 2012 menggambarkan bahwa mayoritas adaptasi psikososial ibu bersalin 91,9% adaptif pada fase aktif dan hanya 37,8% yang adaptif pada fase transisi. Nyeri selama persalinan meningkatkan metabolisme tubuh sehingga terjadi peningkatan tekanan darah, denyut nadi, RR, peningkatan suhu yang juga akan berpengaruh pada sistem gastrointestinal, perkemihan dan persarafan. Pada fase aktif mayoritas Pasien memiliki adaptasi fisiologis yang adaptif, namun pada fase transisi 18,9% memiliki tekanan sistole hipertensi stage I, 2,7% tekanan distole hipertensi stage II, 5,4% suhu di atas normal, 18,9% respirasi yang di atas normal dan 56,8% merasakan nyeri berat. Menurut Elvoski, menyatakan bahwa sekitar 90 % wanita mengalami nyeri saat proses melahirkan LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 dan hanya 4-7 % wanita yang tidak mengalami nyeri saat melahirkan (Cit Muhiman 2006, Cit Hartati 2008). Beratnya nyeri persalinan telah tergambar dalam Al-Qur’an dalam surah maryam : Makarasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkalpohon kurma, ia berkata, aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti lagi di lupakan (Qs. Maryam, 19:23). Berbagai metode telah digunakan untuk mengurangi dan menghilangkan nyeri persalinan baik secara farmakologis maupun secara nonfarmakologis.Salah satu teknik yang biasa digunakan yaitu murotal Al-Qur’an. Murotal AlQur’an merupakan rekaman suara Al-Qur’an yang dilagukan oleh seorang Qori’ (Purna, 2006). Terapi murotal Al-Qur’an dapat mempercepat penyembuhan, telah dibuktikan oleh beberapa ahli seperti yang dilakukan Ahmad Al Khadi direktur utama Islamic Medicine Institute for Education andResearch di Florida, Amerika Serikat, dengan hasil penelitian menunjukkan 97% bahwa pengaruh mendatangkan ketenangan dan menurunkan ketegangan urat saraf reflektif (Remolda, 2009). Relaksasi dengan mendengarkan Al-Qur’an merupakan salah satu metode terapi non farmakologis yang dapat mengurangi nyeri dan juga dapat memberikan ketenangan jiwa, karena ketenangan jiwa dapat menginduksi hormon endorphin dan mereduksi hormon-hormon yang mengakibatkan vasokontriksi pembuluh dan spasme darah ibu. Selain itu ketenangan jiwa juga dapat meningkatkan oksigenasi (Djihan,2005 cit, Windiasih, 2007). Berdasarkan penelitian Alkahel (2011) bahwa Al-Quran yang diperdengarkan akan memberikan efek relaksasi sebesar 65%. Penelitian yang dilakukan oleh Wahida 2014, yang memberikan murotal surat Ar-Rahman, pada ibu bersalin kala I fase aktif sebanyak 1 kali selama 25 menit, dapat menurunkan intensitas nyeri dan meningkatkan kadar ß endorphin. Penelitian yang dilakukan Bayrami(2014) yang memberikan murottal surat Ar-Rahman sebanyak 2 kali yaitu pada pembukaan 4-6 cm dan 7-10 cm dengan durasi selama 30 menit, menunjukkan hasil bahwa, intensitas nyeri persalinan ibu menurun setelah diperdengarkan murottal surat Ar-Rahman dibandingkan dengan kelompok yang tidak diperdengarkan murotal intensitas nyerinya tidak mengalami penurunan. Menurut Yuanitasari (2008) durasi pemberian terapi musik atau suara selama 10-15 menit dapat memberikan efek relaksasi.Menurut Smith (dalam Upoyo, Ropi, & Sitoru 2012) terapi bacaan Al- 25 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Qur’an terbukti mengaktifkan sel-sel tubuh dengan mengubah getaran suara menjadi gelombang yang ditangkap oleh tubuh, menurunkan stimulasi reseptor nyeri. Berdasarkan penelitian Wahida (2015) terapi murotal AlQur’an menunjukkan peningkatan kadar beta endorphin dimana sebelum perlakuan (1053,6 ng/L) dan setelah perlakuan (1813,6 ng/L). Berdasarkan informasi yang di dapatkan oleh peneliti dari Ruang Bersalin RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi terapi yang sudah pernah dilakukan oleh perawat dan penelitian sebelumnya adalah terapi musik, relaksasi dan teknik pernapasan. Sedangkan terapi murotal belum pernah di lakukan oleh perawat ataupun peneliti sebelumnya. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, peneliti berminat untuk mengetahui pengaruh terapy murotal terhadap adaptasi nyeri menghadapi persalinan pada ibu inpartu primipara di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. 2. METODE PENELITIAN Desain penelitian menggunakan metode quasi -eksperimen dengan rancangan pre - post test yaitu satu kelompok diberikan terapy murotal dan satu kelompok kontrol tidak diberikan terapy murotal. Populasi dalam penelitian sebanyak 30 orang dan sampel dalam penelitian ini 12 orang, 6 di lakukan intervensi dan 6 orang lagi tidak diberikan perlakuan atau kontrol. Instrument yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini menggunakan speaker, headset, hand phone, ayat Al – Quran surat Ar-Rahman, lembar prosedur pelaksanaan terapy murotal, dan lembar observasi terapy murotal pre dan post melakukan terapy murotal. Penelitian dilakukan di Ruangan Bersalin RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi pada tanggal 9 Juni – 9 Juli 2016. Tekhnik dalam pengumpulan data pertamakali peneliti meminta data pasien ibu yang akan inpartu primipara di Ruangan Bersalin RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. Peneliti mengambil 12 pasien yang akan di jadikan responden sesuai dengan banyak sampel yang peneliti butuhkan, 6 orang diberikan perlakuan dan 6 orang lagi tidak diberikan perlakuan atau kontrol. Peneliti menjelaskan kepada pasien tentang pemberian terapi murottal surat Ar – Rahman pada ibu yang akan inpartu kala I. Jika pasien setuju dijadikan sampel dalam penelitian ini, peneliti mengajukan lembar persetujuan (informed consent) untuk ditanda tangani. Peneliti melakukan pengukuran tanda – tanda vital dan intensitas nyeri pertama respoden sebelum LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 dilakukan terapy murotal. Peneliti melakukan persiapan terapy murotal lalu menganjurkan pasien dengan posisi yang nyaman. Peneliti mendengarkan kepada pasien murotal surat Ar Rahman.Terapy dilakukan selama 30 menit. Setelah melakukan terapy, ukur kembali tanda – tanda vital dan intensitas nyeri pasien sesudah melakukan terapy murotal. Begitu juga dengan pasien kontrol, peneliti tetap melakukan pengukuran tanda – tanda vital dan intensitas nyeri pertama respoden. Setelah 30 menit peneliti melakukan kembali pengukuran tanda – tanda vital dan intensitas nyeri pasien. Peneliti mengumpulkan hasil pengumpulan data untuk selanjutnya diolah dan dianalisis. TEKHNIK ANALISIS 1. Analisis Univariat Analisis univariat yaitu hasil pemeriksaan tanda – tanda vital dan nyeri sebelum dan sesudah intervensi pada ibu primipara. 2. Analisis Bivariat Analisis bivariat yang digunakan pada penelitian ini adalah uji t dependen (paired ttest) untuk menguji perbedaan adaptasi nyeri sebelum dilakukan terapy murotal dan sesudah melakukan terapy murotal dengan batasan kemaknaan 0,05. 26 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Hasil Penelitian 1). Analisa Univariat a). Rata – Rata Pasien Berdasarkan Adaptasi Nyeri Pasien Inpartu Primipara Sebelum Kontrol di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Variabel Mean SD SE Adaptasi Nyeri Sebelum 6,83 0,983 0,401 Dilakukan Kontrol Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa rata - rata adaptasi nyeri sebelum dilakukan kontrol sebanyak 6,83 dengan standar deviasi 0,983 dan standar eror 0,401. b). Rata - Rata Pasien Berdasarkan Adaptasi Nyeri Pasien Inpartu Primipara Setelah dilakukan Kontrol Di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Variabel n Mean SD SE Adaptasi nyeri dilakukan kontrol setelah 12 8,50 0,548 0,224 Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa rata - rata adaptasi nyeri setelah dilakukan kontrol sebanyak 8,50 dengan standar deviasi 0,548 dan standar eror 0,224. c). Rata - Rata Pasien Berdasarkan Adaptasi Nyeri Pasien Inpartu Primipara Sebelum Intervensi di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Variabel N Mean SD SE Adaptasi nyeri sebelum 12 7,83 0,753 0,307 dilakukan intervensi Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa rata - rata adaptasi nyeri sebelum dilakukan intervensi sebanyak 7,83 dengan standar deviasi 0,753 dan standar eror 0,307. d). Rata – Rata Pasien Berdasarkan Adaptasi Nyeri Pasien Inpartu Primipara Setelah Dilakukan Intervensi di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Variabel N Mean SD SE Adaptasi Nyeri Setelah 12 7,17 0,983 0,401 Dilakukan Intervensi Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa rata - rata adaptasi nyeri sebelum dilakukan intervensi sebanyak 7,17 dengan standar deviasi 0,983 dan standar eror 0,401. 2).AnalisaBivariat a). Rata – Rata Pasien Berdasarkan Adaptasi Nyeri Pasien Inpartu Primipara Sebelum dan Sesudah kontrol di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Variabel N Mean SD SE P value Adaptasi Nyeri Sebelum 12 -1,667 0,516 0,211 0,001 dan Setelah Dilakukan kontrol Berdasarkan tabel 5.3.1 dapat dilihat bahwar rata - rata perbedaan nyeri sebelum dan sesudah kontrol sebanyak -1,667, standar deviasi 0,516, standar eror 0,211. Hasil uji statistik didapatkan nilai p value 0,001 maka dapat disimpulkan adanya perbedaan adaptasi nyeri sebelum dan setelah dilakukan kontrol terapi murottal pada pasien inpartu primipara. LPPM STIKes Perintis Padang 27 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 b). Rata – Rata Pasien Berdasarkan Adaptasi Nyeri Pasien Inpartu Primipara Sebelum dan Sesudah intervensi di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Variabel n Mean SD SE P value Adaptasi Nyeri Sebelum dan 12 0,667 0,516 0,211 0,025 Setelah Dilakukan Intervensi Berdasarkan tabel5.3.2 dapat dilihat bahwa rata - rata perbedaan nyeri sebelum dan sesudah intervensi sebanyak 0,667, standar deviasi 0,516, standar eror 0,211. Hasil uji statistik didapatkan nilai p value 0,025 maka dapat disimpulkan adanya perbedaan adaptasi nyeri sebelum dan setelah dilakukan intervensi terapi murottal pada pasien inpartu primipara b. Pembahasan 1). Analisa Univariat a). Adaptasi nyeri sebelum pada pasien kontrol inpartu primipara di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. Hasil penelitian didapatkan bahwa rata rata adaptasi nyeri sebelum dilakukan kontrol sebanyak 6,83 dengan standar deviasi 0,983 dan standar eror 0,401. Penelitian ini diperkuat oleh penelitiankala (2014), tentang pengaruh terapi murottal Al-Qur’an untuk penurunan nyeri persalinan dan kecemasan pada ibu bersalin, menjelaskan bahwa analisis menggunakan uji paired t test didapatkan rata - rata intensitas nyeri sebelum terapi murottal adalah 6,57, rata - rata setelah dilakukan terapi murottal adalah 4,93. Bahwa ada perbedaan rerata penurunan intensitas nyeri persalinan kala I fase aktif sebelum dan sesudah dilakukan terapi murottal dengan nilai p value <α (0,000<0,05). Rata - rata kecemasan sebelum terapi murottal adalah 26,67, rata-rata setelah dilakukan terapi murottal adalah 20,52. Uji paired t test menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata penurunan tingkat kecemasan sebelum dan sesudah dilakukan terapi murottal dengan nilai p value<α (0,000<0,05). Penelitian ini sesuai dengan teori Nanda (2010), Association of the Study Pain menyatakan nyeri merupakan pengalaman emosional dan sensori yang tidak menyenangkan yang muncul dari kerusakan jaringan secara aktual dan potensial atau menunjukkan adanya kerusakan. Sedangkan menurut Bobak (2004), rasa nyeri pada persalinan adalah nyeri kontraksi uterus yang dapat mengakibatkan peningkatan aktifitas sistem saraf simpatis, perubahan tekanan darah, denyut jantung, pernafasan Pdan warna kulit dan apabila tidak segera diatasi maka akan meningkatkan rasa khawatir, tegang, takut dan stress. Menurut analisis peneliti nyeri pada saat melahirkan merupakan nyeri secara fisiologis sangatlah wajar dikarenakan pada saat melahirkan LPPM STIKes Perintis Padang akan terjadi kontraksi uterus, peregangan pada otot panggul, dan pada saat jalan lahir sudah terbuka maka nyeri akan bertambah, disini pada kelompok kontrol tidak terjadi penurunan nyeri, nyeri pada kelompok kontrol ini akan bertambah tetapi pasien tidak bisa beradaptasi dengan nyeri, pasien tidak bisa menahan nyeri yang dialaminya. b). Adaptasi nyeri sesudah pasien kontrol inpartu primipara di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. Hasil penelitian didapatkan bahwa rata rata adaptasi nyeri setelah dilakukan kontrol sebanyak 8,50 dengan standar deviasi 0,548 dan standar erorr 0,224. Penelitian ini diperkuat oleh penelitian Rahma (2015) tentang efektivitas terapi murottal Al - qur’an terhadap intensitas nyeri persalinan kala I fase aktif, menjelaskan bahwa hasil uji statistik pada kelompok eksperimen dengan menggunakan uji dependent ttestdiperoleh p value 0,000 < α (0,05). Menurut analisis peneliti nyeri yang dialami pada saat kontraksi uterus, dan akan bertambah jika adanya tekanan kepala bayi pada pelvis. pada penelitian ini kelompok kontrol tidak bisa beradaptasi dengan nyeri karena nyeri semakin bertambah maka pasien yang mengalami nyeri ini tidak bisa menahan nyeri, pasien tampak cemas, berkeringat dingin, menangis dan pasien tampak mengeram kesakitan. c). Adaptasi nyeri sebelum intervensi terapi murotal pasien inpartu primipara di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. Hasil penelitian didapatkan bahwa rata rata adaptasi nyeri sebelum dilakukan intervensi sebanyak 7,83 dengan standar deviasi 0,753 dan standar eror 0,307. Penelitian ini diperkuat oleh Nanda (2010), Association of the Study Pain menyatakan nyeri merupakan pengalaman emosional dan sensori yang tidak menyenangkan 28 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana yang muncul dari kerusakan jaringan secara aktual dan potensial atau menunjukkan adanya kerusakan. Menurut analisis peneliti nyeri pada kelompok intervensi, nyeri terus mengalami peningkatan karena pada persalinan sudah merupakan fisiologis untuk nyeri, kalau tidak nyeri merupakan tidak wajar, tetapi disini yang mau diperhatikan peneliti dari pasien tidak bisa beradaptasi dengan nyeri. d). Adaptasi nyeri sesudahintervensi terapi murottal pada pasien inpartu primipara di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. Hasil penelitian didapatkan rata - rata adaptasi nyeri sebelum dilakukan intervensi sebanyak 7,17 dengan standar deviasi 0,983 dan standar eror 0,401. Cuningham (2004), berpendapat bahwa nyeri persalinan sebagai kontraksi miometrium, hal ini merupakan proses fisiologi dengan intensitas yang berbeda dengan masing - masing individu. Nyeri adalah suatu sensasi tunggal yang disebabkan oleh stimulus spesifik bersifat subjektif dan berbeda antara masing - masing individu karena dipengaruhi oleh faktor psikososial, kultur dan endorphin seseorang, sehingga orang tersebut lebih merasakan nyeri (Potter & Perry, 2005). Terapi dengan menggunakan lantunan murotal Al – Qur’an ( selanjutnya disebut terapi murotal Al – Qur’an ), ternyata sudah memasyarakat di kalangan tertentu pemeluk agama Islam.Tujuan mereka bukan sebagai terapi suara,tapi untuk membedakandiri kepada Tuhan (Allah SWT). Gagasan untuk mengetahui tanggapan otak ketika mendengarkan lantunan murotal Al – Qur’an.Tidak saja melihat respon secara umum, tapi juga dengan lebih detail, seperti melihat daerah korteks otak manakah yang memberikan respon relaksasi setiap 10 detik sejak di berikan stimulasi (Siswantinah, 2011). Menurut analisis peneliti bahwa pada penelitian intervensi terapi murotal, didapatkan hasil, nyeri saat persalinan terus meningkat tetapi pada kelompok intervensi terapi murotal ini pasien bisa beradaptasi dengan nyeri di karenakan lantunan ayat suci Al – qur’an yang dibacakan oleh manusia merupan obat yang paling ampuh dikarena bisa membuat rileks nyaman dan tenang dalam beberapa menit walaupun nyeri itu bertambah terus menerus. LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 2). Analisa Bivariat a). Perbadaan adaptasi nyeri sebelum dan sesudah kontrol pasien inpartu primipara di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. Hasil penelitian didapatkan rata-rata perbedaan nyeri sebelum dan sesudah kontrol sebanyak -1,667, standar deviasi 0,516, standar eror 0,211. Hasil uji statistik didapatkan nilai p value 0,001 maka dapat disimpulkan adanya perbedaan adaptasi nyeri sebelum dan setelah dilakukan kontrol terapi murottal pada pasien inpartu primipara. Menurut Mansur (2009) adaptasi adalah manusia hendaknya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, akan tetapi manusia tidak selalu harus berubah tetapi justru harus membuat perubahan. Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai daya upaya untuk dapat menyesuaikan diri aktif maupun pasif. Pada dasarnya seseorang aktif melakukan penyesuaian diri bila keseimbangannya terganggu. manusia akan merespon dari tidak seimbang menjadi seimbang. Ketidak seimbangan ditimbulkan karena frustasi dan konflik. Menurut analisis peneliti pada kelompok kontrol terdapat perbedaan yang signifikan karena rata - rata perbedaan nyeri sebelum dan sesudah intervensi sebanyak -1,667, standar deviasi 0,516, standar eror 0,211. Hasil uji statistik didapatkan nilai p value 0,001 maka dapat disimpulkan adanya perbedaan adaptasi nyeri sebelum dan setelah dilakukan kontrol terapi murottal pada pasien inpartu primipara. Disini pasien tidak bisa beradaptasi dengan nyeri , pasien mengalami nyeri yang sangat hebat hanya bisa menangis, cemas dengan keadaan, dan mengerang kesakitan. b). Perbedaan adaptasi nyeri sebelum dan sesudah intervensi pasien inpartu primipara di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi pada kelompok kontrol. Hasil penelitian didapatkan bahwa rata - rata perbedaan nyeri sebelum dan sesudah intervensi sebanyak 0,667, standar deviasi 0,516, standar eror 0,211. Hasil uji statistik didapatkan nilai p value 0,025 maka dapat disimpulkan adanya perbedaan adaptasi nyeri sebelum dan setelah dilakukan intervensi terapi murottal pada pasien inpartu primipara. Adaptasi nyeri adalah penyesuaian diri terhadap pengalaman emosional dan sensori yang tidak menyenangkan yang muncul dari kerusakan 29 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana jaringan secara aktual dan potensial atau menunjukkan adanya kerusakan. Ma’mun (2012), bahwa Al – Qur’an dapat menyembuhkan berbagai penyakit jasmani maupun rohani seperti kegelisahan, kecemasan dan kejiwaan. Al –Qur’an merupakan kitab wahyu yang di turunkan oleh Allah kepada rasulnya yang mulia Muhammad S.A.W lebih empat belas abad yang lalu. Ia di turunkan secara peringkat – peringkat memakan masa lebih 20 tahun. Ayat – ayatnya terbagi ke dalam 2 zaman yaitu : Makiyah dan Madaniyyah sesuai dengan keadaan zaman dan penerimaan sahabat rasulullah. Ia tidak berubah dan tidak dapat di tandingi sampai akhir zaman. Al – Qur’an merupakan mukjizat yang teragung untuk dipelajari, dijadikan panduan dan diamalkan oleh seluruh umat manusia sampai akhir zaman (Qindil, 2008). Menurut analisis peneliti bahwa setelah dilakukan terapi terdapat perbedaan rata - rata adaptasi nyeri sebelum dan sesudah dilakukan intervensi terapi murotal 0,667. dengan nilai p value nya 0,025 dapat disimpulakan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara nyeri sebelum dilakukan intervensi dan nyeri sesudah intervensi terapi murotal, pasien bisa beradaptasi dengan nyeri karena dengan adanya terapi murotal ini pasien bisa menjadi rileks , tenang, nyaman dan mampu menahan nyeri dalam beberapa menit walaupun nyeri terus-menerus akan bertambah. 3. KESIMPULAN Penelitian ini dapat disimpulkan ada pengaruh terapy murotal terhadap adaptasi nyeri persalinan pada ibu inpartu primipara, adanya perbedaan adaptasi nyeri sebelum dan setelah dilakukan intervensi terapi murottal pada ibu inpartu primipara dan adanya perbedaan adaptasi nyeri sebelum dan setelah dilakukan kontrol terapi murottal pada ibu inpartu primipara. 4. REFERENSI Admin, 2013. World Health Organization. Angka Kematian Ibu (http://WWW.sribid.com/doc/55332903 /Angka-Kematian Ibu) Diakses Tanggal 08 Februari 2015 Al Kaheel, Abdel Daem. 2013. Pengobatan Qur’ani : Manjurnya berobat dengan Al Qur’an. Jakarta : Amzah. Asrinah, 2010. Asuhan Kebidanan Masa Persalinan. Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Penerbit EGC. Jakarta Cuningham, 2004. Obstetri Wiliams. Penerbit EGC. Jakarta Cuningham. 2004. Obstetri Wiliams. Penerbit EGC. Jakarta Destiana, 2013. Pengaruh Therapi Murrotal AlQuran Untuk Penurunan Nyeri Persalinan Dan Kecemasan Pada Ibu Bersalin Kala I Fase Aktif (http://gilibstikeskusumahusada. ac.id) Diakses Tanggal 05 Februari 2015 Elzaky, 2011, Mukjizat Kesehatan Ibadah, Penerbit Zaman, Jakarta Ghufron, M. N. & Rini, R. S. 2010. Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar- Ruzz Media. Guyton & Hall, 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran , Penerbit EGC. Jakarta Hafidz. 2010. Keajaiban Mendengarkan AlQuran (http://fsqalhafidz.org/index.php/materi -utama /kajian/108- jawaban-imamibnu-taimiyah-bag2) Diakses Tanggal 05 Februari 2015 Handayani.R. 2014. Skripsi: Pengaruh Terapi Murrotal Untuk Penurunan Nyeri Persalinan dan Kecemasan Pada Ibu Bersalin Kala I Fase Aktif. Judha.M. 2012. Teori Pengukuran Nyeri dan Nyeri Persalinan. Penerbit Nuha Medika. Yogyakarta Kadir. 2012. Manfaat Al-Quran Bagi Kesehatan (http://anasukmawatikadir87.blogspot.com /2012/4/manfaat-AlQuran-bagikesehatan.html)Diakses Tanggal 05 Februari 2015 Kuswanti, 2014. Askeb II Persalinan. Pustaka Pelajar .Yogyakarta Laisouw, Meilany. 2015. Tesis : Perbedaan Tehnik Distraksi Mendengarkan Murrotal Dan Tehnik Relaksasi Pernafasan Terhadap Penurunan Nyeri Inpartu Kala I Di Rs TK II Prof.Dr.J.A.Latumeten Ambon : Universitas Hasanuddin Makasar Mansur,Herawati. 2009. Psikologi Ibu dan Anak Untuk Kebidanan. Penerbit Salemba Medika. Jakarta Ma’Mun, 2012. Sehat Dengan Meditasi Membaca Al-Quran (http://mitrajaya.com/sehat-denganmeditasi-bacaanal-quran) Diakses Tanggal 05 Februari 2015 Bobak.I. 30 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Maryunani.I. 2010. Nyeri Dalam Persalinan Tehnik dan Cara Penanganannya. Penerbit Trans Info Media. Jakarta Nanda, 2010. Nursing Diagnosis Defenition and Classification. Philadelpia.AS Notoatmodjo S. (2005). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta Nugroho, A. (2005) Strategi jitu memilih metode statistic penelitian dengan SPSS, penerbit Andi : Yogyakarta. Nursalam, (2011) Konsep dan peneraoan metodologi penelitian ilmu keperawatan, Jakarta : PT gramedia pustaka utama. Permansari, 2010. Pengaruh Mendengarkan Ayat Suci Al-Quran Terhadap Tingkat Nyeri Persalinan Kala I Fase Aktif Pada Primipara di Puskesmas Margangsang Yogyakarta. Yogyakarta Pillitteri,Adele. 2002. Buku Saku Asuhan Ibu Dan Anak. Jakarta : EGC Potter & Perry, 2005. Fundamentals of Nursing Philadelphia, AS Qadiy, A. 1984. Pengaruh Terapi Murotal Terhadap Organ Tubuh.http://www.mailarchive.com. Tanggal Akses : 28 Februari 2014 Remold, 2009, Pengaruh Al-Quran pada manusia Dalam Prospek Fisiologi dan Psikologi. (http://the.edc.com) Diakses tanggal 31 Januari 2015 Rekam Medis RSAM Bukittinggi, (2016). Laporan kasus KB IGD RSAM Bukittinggi. Sastroasmoro & Ismael (2010), Dasar-dasar metodologi penelitian klinis,keperawatan medical bedah. Edisi 3.Vol 2 ,Jakarta : Rineka Cipta. Smeltzer & Barre, 2007. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah . Penerbit EGC. Jakarta Simkin. 2007. Panduan Lengkap Kehamilan, Melahirkan dan Bayi. Penerbit Arcan. Jakarta Siswantinah, 2011, Pengaruh Terapi Murrotal Terhadap Kecemasan Pasien Gagal Kronik Yang Dilakukan Tindakan Hemodilusi Di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. Semarang. Sodikin. 2012. Tesis :Pengaruh Terapi Bacaan Al-Quran Melalui Media Audio Terhadap Respon Nyeri Pasien Post Operasi Hernia Di Rs Cilacap Depok : Universitas Indonesia. LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Varney, H. (2007). Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta : EGC Wahida, 2015. Terapi murrotal Surat Ar-Rahman Meningkatkan Kadar Endorpin dan Menurunkan Intensitas Nyeri Pada Ibu Bersalin Kala I. (http://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article /viewFile/672/441) Diakses Tanggal 27 Maret 2015 31 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 PERILAKU BULLYING BERHUBUNGAN DENGAN KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN REMAJA DI SMPN 3 LINGGO SARI BAGANTI KABUPATEN PESISIR SELATAN Isna Ovari1, Falerisiska Yunere2, Ilham Wira Satria3 1. 2. 3. Program Studi Profesi Ners, STIKes Perintis Padang e-mail: [email protected] Program Studi S-1 Keperawatan, STIKes Perintis Padang e-mail: [email protected] Program Studi S-1 Keperawatan, STIKes Perintis Padang e-mail:[email protected] Abstract Delinquency is caused by the characteristics of the development of troubled teens. From interviews with 15 students, the data obtained psychosocial development where 10 of the 15 students have not been able to control the behavior that can lead to bullying behavior. of cognitive development, 6 teenagers should know his role as a student is to learn and study, but it is becoming a problem because it always sees his students that the school is a place to play around it. The purpose of this study sees Characteristics of Youth Development Relationship with Bullying Behavior Students at SMPN 3 Linggo Sari Baganti Kabupaten Pesisir Selatan Year 2016. This study used a correlative description method and tool used is a questionnaire with a student population of 324 people. 76 people were sampled using the technique of "Multistage Random Sampling". The results of this study found, there is a significant relationship between psychosocial development with bullying behavior p = 0.032 (p <0.005), there is a significant relationship between cognitive development with bullying behavior value of p = 0.047 (p <0.005), there is a significant relationship between moral development with bullying behavior p = 0.028 (p <0.005), There was a significant relationship between spiritual development with bullying behavior value of p = 0.018 (p <0.005), There was a significant relationship between social development with bullying behavior p = 0.046 (p <0.005. Suggestions researchers better understand about bullying either a student teacher at the school. Keywords: bullying, characteristics of adolescents 1. PENDAHULUAN Kementerian Kesehatan Indonesia mendefinisikan remaja sebagai individu yang hanya berumur 1019 dan tidak kawin. BKKBN menjelaskan kelompok umur remaja adalah 10-24 tahun, tidak kawin. Sensus tahun 2010, mencatatpendudukIndonesiakelompok anakmudausia10-24tahun a d a l a h sekitar 64 juta jiwa atau 27.6% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 237.6jutajiwa. Dalam proses perkembaganremaja mencari identitas diri, sering terjadi masalah karena remaja berusaha untuk memenuhi tugas perkembangannya. Berdasarkan teori perkembangan, usia remaja adalah masa terjadinya perubahan-perubahan yang cepat, termasuk perubahan fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan pencapaian (Fagan, 2006). LPPM STIKes Perintis Padang Siswa disekolah saat ini bukan saja berani melanggar peraturan sekolah yang berkaitan dengan disiplin seperti; merokok, minum alkohol, merusak fasilitas sekolah, mencuri, berkelahi, bolos sekolah, menganggu pelajaran di kelas, tidak mematuhi arahan guru bahkan mem-bully kawan sekelas atau adik kelas (Fahrudin, 2007). Keadaan seperti ini harus diamati secara serius mengingat jumlah siswa sekolah yang terlibat semakin meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini dapat dilihat terjadi peningkatan jumlah anak dan remaja yang menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan Anak dan Pemuda, Pusat Rehabilitasi Anak Nakal dan juga Pusat Rehabilitasi Korban Narkoba. Oleh karena kenakalan remaja sangat luas maka tulisan ini hanya memfokuskan kepada masalah bentuk kenakalan remaja yaitu perilaku bullying remaja (Jurnal Psikologi Undip, 2012). Remaja rentan terhadap perilaku – perilaku negatif, salah satunya adalah perilaku 32 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana bullying. Masa remajamerupakan tahapan bagi seorang remaja menuju kedewasaan yang seringkali menuntut seorang remaja untuk menemukan karakter dan jati dirinya, sayangnya seringkali seorang remaja dalam mencari jati dirinya terjerumus dalam pola hidup dan perilaku yang salah karena pengaruh negatif lingkungan sosial dan kurang pengawasan dari beberapa pihak seperti orangtua dan sekolah, hal–hal seperti inilah yang akhirnya menyebabkan remaja melakukan bullying (Coloroso, 2007). Hasil studi pendahuluan, didapatkan data dari Kepala Sekolah melalui Guru BP SMPN 3 Linggo Sari Baganti jumlah siswa SMP berjumlah sebanyak 324 siswa dari sekian banyak siswa rata rata tiap bulannya masuk keruangan BP sebanyak 4-8 siswa akibat melakukan kekerasan, kenakalan, dan bullying. Perilaku bullying tersebut seperti melakukan kekerasan fisik kepada teman sendiri, meminta uang secara paksa, melakukan pengejekan pada teman di sekolah dan juga mengajak tawuran dengan lokal lain yang bukan kelas mereka. Kemudian ada juga kejadian pada saat classmeeting menurut keterangan dari seorang siswa yang berada di kelas 2, pada saat ini kelas telah selesai melakukan pertandingan. Berdasarkan data tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan karakteristik perkembangan remaja terhadap perilaku bullying di SMPN 3 Linggo Sari Baganti Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2016. ISSN: 2548-3153 2. METODE PENELITIAN Desain penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan cross sectional, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menganalisisi antara faktorfaktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2005: 145). Penelitian ini telah dilaksanakan di SMPN 3 Linggo Sari Baganti Pesisir Selatan, pada tanggal 20-23, bulan Juli, tahun 2016. Populasi adalah keseluruhan siswa-siswi kelas 1,2, dan 3 di SMPN 3 Linggo Sari Baganti Pesisir Selatan, dengan jumlah 324 siswa Sampel adalah sebagian dari populasi atau keseluruhan objek yang telah diteliti dan dianggap mewakili dari populasi (Notoatmodjo, 2005). Sampel pada penelitian ini diambil menggunakan teknik Multistage Random Sampling. Teknik ini merupakan suatu cara pengambilam sampel, bila objek yang diteliti atau sumber data sangat luas atau besar, yakni populasinya heterogen, terdiri atas cluster dan strata. Cara samplingnya adalah berdasarkan daerah dari populasi yang di tetapkan, dengan melakukan randomisasi cluster, kemudian dilakukan strasifikasi atas cluster terpilih dan terakhir dilakukan randomisasi unit populasi dari masing-masing strata (Hidayat, 2009). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 HASIL Tabel 3.1.1 Hubungan Karakteristik Perkembangan Psikologis Remaja Dengan Perilaku Bullying Siswa di SMPN 3 Linggo Sari Baganti Perilaku Bullying pJumlah Perkembangan Tidak Terjadi value Psikologis Terjadi % f % f % Kurang Baik 50 17 50 34 100 7 Baik 52,4 20 47,6 42 100 0,03 2 2 Total 51,3 37 48,7 100 9 76 OR 0,909 Tabel 1 menunjukkan dari 42 orang siswa dengan perkembangan psikologis baik sebanyak 22 orang ( 52,4%) melakukan perilaku Bullying, sedangkan dari 34 orang siswa yang perkembangan psikologis kurang baik ada 17 orang (50%) melakukan perilaku bullying di SMPN 3 Linggo Sari Baganti Kabupaten Pesisir Selatan. Hasil uji statistic chi-square didapatkan p=0,032 (p < 0,05).Berarti Ha diterima dan Ho ditolak jadi terdapat hubungan yang bermakna antara perkembangan psikologis dengan perilaku bullying siswa di LPPM STIKes Perintis Padang 33 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 SMPN 3 Linggo Sari Baganti Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2016. OR didapatkan 0,909 artinya siswa yang memiliki perkembangan psikologis kurang baikberpeluang 0,909 kali melakukan perilaku bullying dibandingkan dengan siswa dengan perkembangan psikologis baik. Tabel 3.1.2 Hubungan Karakteristik Perkembangan Kognitif Remaja Dengan Perilaku BullyingSiswa di SMPN 3 Linggo Sari Baganti Perilaku Bullying pJumlah Perkembang Tidak Terjadi value an Kognitif Terjadi f % f % f % Kurang Baik 14 46,7 16 63,3 30 100 Baik 25 54,3 21 45,7 46 100 0,047 Total 39 51,3 37 48,7 100 76 OR 0,735 Tabel 2 menunjukkan dari 46 orang siswa dengan perkembangan kognitif baik sebanyak 25 orang ( 54,3%) melakukan perilaku bullying, sedangkan dari 30 orang siswa dengan perkembangan kognitif kurang baik sebanyak 16 orang (63.3%) melakukan perilaku bullying di SMPN 3 Linggo Sari Baganti Kabupaten Pesisir Selatan. Hasil uji statistic chi-square didapatkan p=0,047 (p < 0,05). Berarti Ha diterima dan Ho ditolak jadi terdapat hubungan yang bermakna antara perkembangan kognitif dengan perilaku bullying siswa remaja di SMPN 3 Linggo Sari Baganti Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2016. OR didapatkan 0,735 artinya siswa yang memiliki perkembangan kognitif kurang baikberpeluang 0,735 kali melakukan perilaku bullying dibandingkan dengan siswa yang memiliki perkembangan kognitif baik. Perkembang an Moral Kurang Baik Baik Total Tabel 3.1.3 Hubungan Karakteristik Perkembangan Moral Remaja Dengan Perilaku BullyingSiswa di SMPN 3 Linggo Sari Baganti Perilaku Bullying pJumlah Tidak Terjadi value Terjadi F % f % F % 16 55,2 13 44,8 29 100 23 48,9 24 51,1 47 100 0,028 39 51,3 37 48,7 100 76 OR 1,284 Tabel 3 menunjukkan dari 47 orang siswa dengan perkembangan moral baik, ada 24 orang siswa ( 51,1%) tidak ada melakukan perilaku bullying, sedangkan dari 29 orang siswa dengan perkembangan moral yang kurang baik, ada 16 orang siswa (55,2%) melakukan perilaku bullying di SMPN 3 Linggo Sari Baganti Kabupaten Pesisir Selatan. Hasil uji statistic chi-square p=0,028 (p < 0,05). Berarti Ha diterima dan Ho ditolak jadi terdapat hubungan yang bermakna antara perkembangan moral dengan perilaku bullying pada siswa remaja di SMPN 3 Linggo Sari Baganti Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2016. OR didapatkan 1,284 artinya responden yang memiliki perkembangan moral yang kurang baikberpeluang 1,284 kali melakukan perilaku bullying dibandingkan dengan responden yang memiliki perkembangan moral baik. LPPM STIKes Perintis Padang 34 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Tabel 3.1.4 Hubungan Karakteristik Perkembangan Spritual Remaja Dengan Perilaku Bullying Siswa di SMPN 3 Linggo Sari Baganti Perilaku Bullying pJumlah Perkembangan Terjadi Tidak Terjadi value Spritual f % f % f % Kurang Baik 18 54,5 15 45,5 33 100 Baik 21 48.8 22 51,2 43 100 0.018 Total 39 51,3 37 48,7 100 76 OR 1,257 Tabel 4 menunjukkan dari 43 orang siswa dengan perkembangan Spiritual baik, ada 22 orang siswa ( 51,2%) tidak melakukan perilaku bullying, sedangkan dari 33 orang siswa dengan perkembangan spiritual kurang baik, ada 18 orang siswa (54,5%) melakukan perilaku bullying di SMPN 3 Linggo Sari Baganti Kabupaten Pesisir Selatan. Hasil uji statistic chi-square didapatkanHasil uji statistic chi-square p=0,018 (p < 0,05). Berarti Ha diterima dan Ho ditolak jadi terdapat hubungan yang bermakna antara perkembangan spritual dengan perilaku bullying pada siswa remaja di SMPN 3 Linggo Sari Baganti Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2016. OR didapatkan 1,257 artinya siswa dengan perkembangan spiritual kurang baikberpeluang 1,257 kali untuk melakukan perilaku bullying dibandingkan dengan siswa dengan perkembangan spiritual baik. Tabel 3.1.5 Hubungan Karakteristik Perkembangan Sosial Remaja Dengan Perilaku BullyingSiswa di SMPN 3 Linggo Sari Baganti Perilaku Bullying p-value Jumlah Perkembangan Terjadi Tidak Terjadi Sosial f % f % f % Kurang Baik 18 58.1 13 41.9 31 100 Baik 21 23,1 24 53.3 45 100 0,046 Total 39 51,3 37 48,7 100 76 OR 1,582 Tabel 5 menunjukkan dari 45 orang siswa dengan perkembangan sosial baik, ada sebanyak 24 orang(53,3%) tidak melakukan perilaku Bullying, sedangkan dari 31 orang siswa dengan perkembangan sosial kurang baik, ada 18 orang siswa (58.1%) melakukan perilaku bullying di SMPN 3 Linggo Sari Baganti Kabupaten Pesisir Selatan. Hasil uji statistic chi-square didapatkanp=0,046 (p < 0,05). Berarti Ha diterima dan Ho ditolak jadi terdapat hubungan yang bermakna antara perkembangan sosial dengan perilaku bullying pada siswa remaja di SMPN 3 Linggo Sari Baganti Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2016. OR didapatkan 1,582 artinya siswa yang memiliki perkembangan sosial kurang baikberpeluang 1,582 kali melakukan perilaku bullying dibandingkan dengan siswa dengan perkembangan sosial baik. 3.2. PEMBAHASAN 3.2.1. Hubungan Perkembangan Psikologis Remaja Dengan Perilaku Bullying Perkembangan Psikologis merupakan perkembangan yang harus dijalani oleh siswa sekolah/remaja agar tidak melakukan hal hal yang tidak diiginkan makanya jika remaja LPPM STIKes Perintis Padang memahami psikososial maka remaja tersebut akan menghindari perilaku bullying. Hasil uji statistik p-value=0,032(p< 0,05), terdapat hubungan yang bermakna antara perkembangan psikologis remaja dengan perilaku bullying siswa di SMPN 3 Linggo Sari Baganti dengan nilai OR 0,909. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sari Pediatri, 2013, dimana terdapat hubungan antara perilaku bullying 35 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana dengan perilaku kekerasan. Peneliti berasumsi terdapatnya hubungan dalam penelitian ini adalah karena psikologis remaja berkaitan dengan perilaku kekerasan, maksudnya adalah semakin baik psikolsosial remaja maka perilakunya disekolah,semakin baik, sehingga remaja akan menjalani masa perkembangannya dengan baik pula. 3.2.2. Hubungan Perkembangan Kognitif Remaja Dengan Perilaku Bullying Hasil uji statistik p=0,047 (p < 0,05), terdapat hubungan yang bermakna antara perkembangan kognitif remaja dengan perilaku bullying siswa remaja di SMPN 3 Linggo Sari Baganti dengan nilai OR 0,735. Perkembangan kognitif sangat penting bagi remaja dimana kognitif merupakan pengembangan wawasan pengetahuan menjadi lebih baik, bisa membawa remaja kearah yang baik pula sehingga perkembangan yang baik atau kognitif yang baik akan mempengaruhi perilaku bullying remaja tersebut. Kenyataannya perilaku tersebut telah terjadi dalam kurun waktu yang lama dan terjadi di berbagai segi kehidupan termasuk juga dunia pendidikan. Padahal tindakan bullying merupakan fenomena yang berhubungan dengan kognitif remaja Hal ini senada dengan hasil penelitian Erika Valentina, 2008, hasilnya bahwa di negaranegara Skandinavia bullying sangat berhubungan dengan pengetahuan atau kognitif remaja karena bullying dikenal dengan istilah mobbing mob yaitu sekelompok orang yang bersifat anonim yang terlibat atau bahkan melakukan suatu pelecehan dan penekanan terhadap orang lain. Peneliti berasumsi bahwa adanya hubungan perkembangan kognitif remaja dengan bullying dikarenakan bahwa pengetahuan remaja selalu berkaitan dengan perilaku kekerasanya atau semakin baik pengetahuan remaja maka akan semakin tidak terjadi perilaku bullying di sekolah sehingga remaja bisa menjalani masa perkembangannyadengan baik. Hal ini dibuktikan dengan data yang didapatkan yaitu, 60,5% siswa selalu berencana untuk melanjutkan jenjang pendidikannya ke SMA, 26,3% siswa selalu mengerjakasn tugas terlebih dahulu sebelum pergi bermain bersama teman, 42,1% siswa selalu bisa memikirkan perkiraan waktu supaya tidak terlambat datang kesekolah. LPPM STIKes Perintis Padang 3.2.3. ISSN: 2548-3153 Hubungan Perkembangan Moral Remaja dengan Perilaku Bullying Hasil uji statistik p=0,028 (p < 0,05), terdapat hubungan yang bermakna antara perkembangan moral remaja dengan perilaku bullying siswa di SMPN 3 Linggo Sari Baganti dengan nilai OR 1,284. Moral merupakan ahklak, bagi kalangan remaja moral anak sekolah atau remaja tergantung pada moral ajaran mereka yang didapat dari sekolah atau orang tua. Maka semakin baikmoral maka akan semakin baik pula tindakan perilaku mereka, ini berkaitan sekali dengan apa yang akan mereka lakukan di lingkungan sekolah sehingga ada keterkaitan moral dengan bullying. Pendapat ini sesuai dengan penelitian, Liness (2010), hasilnya terdapat hubungan perilaku moral dengan perilaku bullying dengan p-value = 0,0043 < 0,05 dengan OR = 3.213 maka perilaku bullying sebagai intimidasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok baik secara fisik, psikologis, sosial, verbal atau emosional, yang dilakukan secara terus menerus. Peneliti berasumsi bahwa adanya hubungan dikarenakan bahwa moral remaja selalu berkaitan dengan perilaku kekerasanya remaja tersebut atau semakin baik moral remaja maka akan semakin tidak terjadi perilaku bullying di sekolah sehingga remaja akan menjalani masa perkembangan moral dengan baik. Didukung oleh data bahwa 26,3% siswa selalu mentaati peraturan yang berlaku. 25% siswa bersedia menerima hukuman jika melakukan kesalahan dan melanggar peraturan yang ditetapkan sekolah. 3.2.4. Hubungan Perkembangan Spritual Remaja dengan Perilaku Bullying Hasil uji statistik p=0,018 (p < 0,05), terdapat hubungan yang bermakna antara perkembangan Spritual remaja dengan perilaku bullying siswa di SMPN 3 Linggo Sari Baganti dengan nilai OR 1,257. Spritual merupakan ajaran keagamaan yang dimiliki oleh siswa sekolah, dengan adanya perkembangan spiritual yang baik dalam diri siswa tentunya tindakan kekerasan dilingkungan sekolah tidak terjadi. Penelitian Sari Menurut Sari (2013), menunjukkan bahwa di Jepang perilaku bullying dikenal dengan istilah ijime, yang berasal dari kata kerja ijimeru yang memiliki arti harafiah sebagai tindakan menyiksa, memarahi, dan mencaci maki dimana terdapat hubungan ajaran spiritual dengan kekerasan dengan p-value 36 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana =0.0045 < 0,05 sehingga terdapat significansi antara spiritual dengan bullying Peneliti berasumsi bahwa adanya hubungan dikarenakan perkembangan spiritual siswa sekolah selalu berkaitan dengan perilaku kekerasanya, dimana anak sekolah sebagai remaja tersebut akan berfikir apa yang akan dilakukannya, jika semakin baik perkembangan spiritual mereka maka semakin tidak terjadi perilaku bullying di sekolah sehingga remaja akan menjalani masa perkembangan spiritualnya dengan dengan baik. Hal ini diperkuat oleh data yaitu 56,6% siswa menyadari apa yang harus dilakukan sebagai umat yang beragama. 31,6% siswa selalu melaksanakan ibadah setiap hari. 39,5% siswa selalu diberitahu oleh orangtua untuk tidak meninggalkan ibadah setiap harinya. 3.2.5. Hubungan Perkembangan Remaja dengan Perilaku Bullying Hasil uji statistik didapatkan p=0,046 (p < 0,05), terdapat hubungan yang bermakna antara perkembangan sosial remaja dengan perilaku bullying siswa remaja di SMPN 3 Linggo Sari Baganti dengan nilai OR 1,582. Perkembangan sosial merupakan perkembangan yang dilalui oleh remaja yang perlu mendapatkan perhatian dari pihak sekolah ataupun orang tua karena sosial remaja sekarang ini sangat labil yang perlu dikontrol supaya tidak melakukan tindakan anarkis atau kekerasan. Istilah bullying merupakan suatu istilah yang masing terdengar asing bagi kebanyakan masyarakat di Indonesia, walaupun pada kenyataannya perilaku tersebut telah terjadi dalam kurun waktu yang lama dan terjadi di berbagai segi kehidupan termasuk juga dunia pendidikan. Pendapat ini senada dengan Rigby Ken (2003), perilaku bullying dapat terjadi secara individual ataupun berkelompok yangdilakukan seorang anak ataupun kelompok secara konsisten dimana tindakan tersebut mengandung unsur melukai bagi anak yang jauh lebih lemah dibanding pelaku. Dan hal ini ada kaitannya dengan perkembangan sosial siswa sekolah jika tidak diperhatikan perkembangan sosialnya maka kekerasan akan merajalela Peneliti berasumsi bahwa adanya hubungan dikarenakan bahwa sosial remaja selalu berkaitan dengan perilaku kekerasanya remaja tersebut atau semakin baik perkembangan sosial nya maka akan semakin tidak terjadi perilaku bullying di sekolah sehingga remaja akan LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 mernjalani masa perkembangannya dengan baik. Hal ini berkaitan dengan data penelitian yang di dapatkan yaitu, 14,5% siswa memiliki orangtua yang sering mendengarkan keluhan tentang masalah yang dihadapi oleh siswa. 30,3% siswa selalu bisa menyesuaikan diri untuk masuk kedalam kelompok teman-temannya. 44,7% siswa sering memiliki sahabat ataupun teman dekat. 30,3% siswa menyadari bahwa diri mereka adalah laki-laki dan perempuan remaja, sehingga mereka harus membatasi pergaulan yang bersifat negatif dengan lawan jenis. 4. KESIMPULAN Hasil penelitian terhadap 76 orang siswa dengan judul Hubungan Karakteristik Perkembangan Remaja Dengan Perilaku BullyingSiswa di SMPN 3 Linggo Sari Baganti Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2016 menyimpulkan : 1. Lebih dari separoh siswa memiliki perkembangan psikologis baik sebanyak 42 siswa (55.3 %). 2. Lebih dari separoh siswa memiliki perkembangan kognitif baik sebanyak 46 siswa (60.5 %). 3. Lebih dari separoh siswa memiliki perkembangan moral baik sebanyak 47 siswa (61.8%). 4. Lebih dari separoh siswa memiliki perkembangan spiritual baik sebanyak 43 siswa (56,6 %.) 5. Lebih dari separoh siswa memiliki perkembangan sosial baik sebanyak 45 siswa (59.2 %) 6. Lebih dari separoh siswa melakukan perilaku bullying yaitu sebanyak 39 siswa (51.3 %) di SMPN 3 Linggo Sari Baganti 7. Terdapat hubungan yang bermakna antara perkembangan psikologis, kognitif, moral, spiritual dan sosial dengan perilaku bullying siswa di SMPN 3 Linggo Sari Baganti Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2016 dengan p value = 0,032, 0,047, 0,028, 0,018, 0,046. 5. REFERENSI Al-Mighwar. (2006). Psikologi Remaja Petunjuk bagi Guru dan Orangtua. Bandung : Pustaka Setia Buda M & Szirmai E. (2010). School Bullying in the Primary School Report of a Research in Hajdu-Bihar Country (Hungary). Joz/ma/ of Social Research &Policy. No. 1, July 2010 Aznan Adviis Ardiyansyah. (2008). FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Bullying Pada 37 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Remaja. Naskah Publikasi. Universitas Islam Indonesia. Coloroso, Barbara. (2007).Stop Bullying:Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Prasekolah hingga SMU. Diterjemahkan oleh: Santi Indra Astuti. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. Dake A. Joseph, Price H. James, and Telljohann K. Susan. (2003). The Nature and Extend of Bullying at SchoolJournal of School Health. Vol. 73. No. 5. Mei 2003. 174. . . Focus on Bullying: A Prevention Program for Elementary School Comunities. Columbia British Ministry of Education. Hurlock, E. (2001). Psikologi Perkembangan. Edisi 5.Jakarta : Erlangga http://www.republikapenerbit.com/artikel/ detail_info/408 pada tanggal 19 Juli 2014, Jam 15.50 WIB. Notoatmodjo S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta Nursalam, (2011).Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperwawatan, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Rigby, Ken. (2003).Bullying Among Young Children: A Guide for Teachers and Carers. Australia: Australian Government AttorneyGenerar's Departmen Sarwono, S.W. (2002). Psikologi Remaja. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Sejiwa. (2008). Bullying. Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak. Jakarta: PT. Grasindo WHO Remaja dan Perkembangan. Diakses dari www.who.int. Pada tanggal 10 April 2016 Wong. (2009). Buku Ajar Pediatrik. Vol 1. Jakarta : EGC LPPM STIKes Perintis Padang 38 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 HUBUNGAN INTENSITAS BULLYING DENGAN TINGKAT DEPRESI PADA REMAJA DI RSJ. PROF. HB. SA’ANIN PADANG 2016 Asmawati 1, Wika Maya Sari2 STIKes Alifah Padang, Indonesia Email: [email protected] Email: [email protected] 12 Abstract Depression is a major mental health problem today. Depression is estimated to affect 350 million people. Health Survey conducted in 17 countries found that on average about 1 in 20 people are reported to have episodes of depression. Data incidence of depression in adolescents in the can in 2013 as many as 716 people, in 2014 as many as 971 people and in 2015 as many as 1344 people adolescents with depression in the hospital. Prof. HB. Sa'anin Padang.The aim of research to determine the relationship of the intensity of bullying to the level of depression in adolescents in child and adolescent clinic RSJ.Prof.HB.Sa'anin Padang 2016. This type of research is analytic with cross sectional design. The population in this study were teenagers who were in Child and Adolescent Clinic RSJ Prof. HB. Saanin Padang totaling 157 people and the sample 60. The sampling technique is purposive random sampling. This research has been carried out in the Child and Adolescent Clinic RSJ. Prof. HB. Sa'anin Padang in December 2015 through August 2016. The results of the univariate analysis found more than half (73.3%) of respondents with depression and (56.7%) of respondents who experienced bullying, bivariate analysis results was a significant relationship between the level of intensity Bullying Depression In Adolescents in Child and Adolescent Clinic RSJ , Prof. HB. Sa'anin Padang pvalue = 0.000 (pvalue ≤ 0.05). The conclusion of this study is more than half (73.3%) adolescents suffering from depression. It is suggested that the hospital to carry out the provision of information on how the prevention of bullying that depression in adolescents can be reduced and can be tackled. And to further researchers to develop research on the factors that influence the rate of depression in adolescents using variables authoritarian parenting parents. Keywords: depression, adolescents, intensity of bullying 1. PENDAHULUAN Depresi diperkirakan mempengaruhi 350 juta orang. Survei yang dilakukandi 17 negara menemukan bahwa rata-rata sekitar1dari 20 orang dilaporkan memiliki episode depresi. Gangguan depresisering dimulai pada usia muda. Sebuah Majelis Kesehatan Dunia baru-baru ini meminta Organisasi Kesehatan Dunia dan negara-negara anggotanya untuk mengambil tindakan ke arah ini(WHO, 2012). Organisasi kesehatan dunia (WHO) menyebutkan 17% pasien yang berobat ke dokter adalah pasien dengan depresi dan selanjutnya diperkirakan prevalensi depresi pada populasi masyarakat dunia adalah 3% (Hawari, 2013). Depresi pada remaja mempengaruhi prestasi sekolah, mereka mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi, selain itu depresi juga mempengaruhi fungsi sosial dan kesulitan dalam penyesuaian diri (Nevid dkk., 2005; Lubis, 2009). Weissman (Nevid dkk., 2005) menyatakan depresi pada remaja menyebabkan resiko terjadinya LPPM STIKes Perintis Padang depresi berat, bahkan percobaan bunuh diri di masa dewasa. Depresi adalah perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga hilangnya kegairahan hidup, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (reality testing ability/RTA, masih baik), kepribadian tetap utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian/splitting of personality) prilaku dapat terganggu tetapi dalm batas-batas normal (Hawari, 2007). Berdasarkan perspektif perkembangan, depresi mulai banyak muncul pada masa remaja Studistudi epidemologis menunjukkan bahwa angka prevalensi depresi untuk anak-anak adalah 2,5 persen, dan meningkat menjadi 8,3 persen untuk remaja (Carr, 2001). Bila depresi ringan juga diperhitungkan, angka prevalensi ini meningkat sampai 25 persen (Steinberg, 2002). Dengan demikian, setidaknya terdapat tiga juta remaja di Amerika yang menderita depresi. Para peneliti menduga tingginya angka depresi pada remaja 39 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana terkait dengan meningkatnya angka perceraian, tuntutan akademis, dan tekanan sosial (Newsweek, 2002) Prevalensi gangguan jiwa di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) 2013 adalah DIY 2,7 juta, Aceh 2,7 juta, Sulawesi Selatan 2,6 Juta, Bali 2,5 juta, Jawa Tengah 2,3 juta, Jawa Timur 2,2 juta, Bangka Belitung 2,2 juta, NTB 2,1 juta, dan Sumbar 1,9 juta. Jumlah penduduk yang mengalami gangguan jiwa berat di Sumatra Barat semakin banyak. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas, 2013) penderita gangguan jiwa berat di Sumatra Barat merupakan peringkat kesembilan yaitu sebanyak 1,9 juta. Penelitian oleh Hankin (2006) menyatakan bahwa salah satu faktor kerentanan depresi pada remaja adalah kejadian hidup negatif yang menekan..Remaja kerap mendapatkan perilaku kekerasan di sekolah, seperti perilaku kekerasan dari guru, teman sekelas, dan kakak kelas.Perilaku kekerasan ini dapat disebut dengan istilah bullying. Seseorang dikatakan mengalami bullying jika terkena ancaman secara berulang. Bullying dapat dianggap sebagai kejadian hidup yang menekan sebab berkarakteristik negatif dan sulit untuk dikendalikan oleh korban. Taylor (2006) Bullying bukanlah fenomena yang baru dan masalah ini telah lama didiskusikan. Secara umum bullying adalah aktivitas sadar, disengaja dan keji yang bertujuan untuk melukai atau menanamkan ketakutan melalui ancaman agresi lebih lanjut dan menciptakan teror Menurut Coloroso (2006) bullying akan selalu melibatkan adanya ketidak seimbangan kekuatan, niat untuk mencederai, ancaman agresi lebih lanjut, dan teror. Bullying merupakan salah satu bentuk perilaku agresi. Ejekan, hinaan, dan ancaman seringkali merupakan pancingan yang dapat mengarah ke agresi. Berdasarkan observasi data kejadian Depresi pada remaja yang di dapat pada tahun 2013 sebanyak 716 orang, pada tahun 2014 sebanyak 971 orang dan pada tahun 2015 sebanyak 1344 orang remaja yang mengalami depresi di RSJ. Prof. HB. Sa’anin Padang. Data tersebut menunjukkan bahwa pasien depresi yang dirawat jalan semakin bertambah setiap tahunnya. Jumlah pasien yang mengalami Depresi di poliklinik Anak dan remaja yang didapat 6 bulan terakhir,bulan Juli 2015 sampai dengan Desember 2015 yaitu sebanyak 157 orang. Anak yang mengalami bullying akan menyebabkan depresi dan akan mengakibatkan LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 anak tersebut mengalami kesulitan berinteraksi dengan lingkungan dan kesulitan berkonsentrasi sehingga mempengaruhi prestasi anak di sekolah. Tujuan penelitian ini Untuk mengetahui hubungan Intensitas Bullying dengan Tingkat depresi pada remaja di RSJ. Prof. HB. Sa’anin Padang 2016. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2015 – bulan Agustus tahun 2016 di RSJ. Prof HB. Saanin Padang. Penelitian ini dilakukan pada remaja yang mengalami Intensitas Bullying. Jenis penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Variabel independen (Hubungan Intensitas Bullying) dan variabel dependen (Tingkat Depresi). Pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan teknik pengambilan sampel purposive random sampling. Tekhnik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu pengumpulan data primer dengan menyebarkan kuesioner. Penelitian ini menggunakan analisis Univariat dan analisis Bivariat dengan menggunakan uji statistik chisquare dengan derajat kepercayaan 95 % (α = 0,05). 40 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 3.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan Tingkat Depresi pada Remaja di RSJ. Prof. HB. Sa'anin Padang Tahun 2016 No Tingkat f (%) Depresi 1 Depresi 44 73,3 2 Tidak Depresi 16 26,7 Jumlah 60 100,0 Tabel 3.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan Intensitas Bullying pada Remaja di RSJ. Prof. HB. Sa'anin Padang 2016 Intensitas No f (%) Bullying 1 Bullying 34 56,7 2 Tidak Bullying 26 43,3 Jumlah 60 100,0 Tabel 3.3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan Intensitas Bullying dengan Tingkat Depresi pada Remaja 2016 Tingkat Depresi Intensitas Tidak P Total % Depresi Bullying Depresi Value f % f % Bullying 32 94.1 2 5,9 34 100,0 0,000 Tidak 12 46,2 14 53,8 26 100,0 Bullying Jumlah 44 73,3 16 26,7 60 100,0 1. Depresi Depresi yang dialami oleh remaja dikarenakan suatu perasaan sedih yang sangat mendalam yang terjadi setelah mengalami peristiwa dramatis atau menyedihkan, misalnya kehilangan seseorang yang disayangi. Seseorang bisa jatuh dalam kondisi depresi jika ia terus-menerus memikirkan kejadian pahit, menyakitkan, keterpurukan dan peristiwa sedih yang menimpanya,diharapkan kepada remaja apabila ada suatu masalah yang menimpa untuk bisa menceritakan kepada orangorang terdekat supaya tidak menjadi suatu beban mental yang mendalam. Bullying terjadi karena remaja pernah dikucilkan oleh teman disekolah karena selalu diantarkan kesekolah oleh orang tua, sehingga remaja tersebut merasa minder dan lamakelamaan remaja akan menjauh dari teman LPPM STIKes Perintis Padang seusianya dan remaja itu akan merasa dirinya tidak akan bisa seperti temannya yang lain, diharapkan kepada semua pihak seperti guru, orang tua, murid untuk memperhatikan remaja agar bullying tidak terjadi, Jika bullying terjadi maka orang yang memiliki otoritas (guru) harus memberikan perhatian dan dengan tegas melawan prilaku tersebut, Siswa yang berpotensi menjadi calon korban harus diberikan cara penanganan langsung terhadap bullying, mereka harus diberikan pemahaman dan pengetahuan apa yang harus dilakukan dan kepada siapa mereka harus mengadu ketika bullying terjadi, Bantuan dari luar sering berguna dalam mengidentifikasi penyebab bullying dan dalam merancang program untuk mengurangi prilaku bullying tersebut. 41 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana 2. Intensitas Bullying Menurut Kerdiana (2015) intensitas bullyingterhadap tingkat depresi pada siswa SMP, ditemukan dari intensitas bullyingyang meningkat, tingkat depresi cenderung tinggi. Pada siswa yang tidak mengalami bullying, sebanyak 30,6% mengalami depresi, sedangkan siswa yang mengalami intensitas ringan, sekitar 59,7% mengalami depresi, dan siswa yang mengalami intensitas sedang, 66,7% mengalami depresi. Menurut peneliti hubungan intensitas bullying dengan tingkat depresi dikarenakan remaja yang mengalami intensitas bullying akan meningkat depresinya. Bullying merupakan bentuk perilaku atau tindakan yang dilakukan dengan tujuan menyakiti perasaan korban yang dialakukan secara berulang-ulang dengan jangka waktu yang cukup lama. Bullying merupakan sub katagori dari tindakan agresif. Bullying adalah bentuk bentuk perilaku berupa pemaksaan atau usaha menyakiti secara fisik maupun psikologis terhadap seseorang atau sekelompok orang yang lebih lemah oleh seseorang atau sekelompok orang yang mempersepsikan dirinya lebih kuat. Bullying juga dapat diartikan sebagai perilaku negatif berulang yang bermaksud menyebabkan ketidak senangan atau menyakitkan yang dilakukan orang lain oleh satu atau beberapa orang secara langsung terhadap orang yang tidak mampu melawannya. Bulying biasanya terjadi secara berkelanjutan dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga korban terus menerus dalam keadaan terintimidasi. Tindakan agresif ini dapat berupa tindakan agresif secara langsung (fisik maupun verbal) atau secara tidak langsung (berupa psikologis seperti pencemaran nama). 4. KESIMPULAN Terdapat 56,7% responden yang mengalami Intensitas bullying, 73,3% responden yang mengalami depresi. Terdapat hubungan intensitas bullying dengan tingkat depresi pada Remaja di RSJ. Prof. HB. Sa'anin Padang Tahun 2016. Bullying merupakan bentuk perilaku atau tindakan yang dilakukan dengan tujuan menyakiti perasaan korban yang dialakukan secara berulangulang dengan jangka waktu yang cukup lama. Depresi adalah keadaan patah hati atau putus asa yang disertai dengan melemahnya kepekaan terhadap stimuli tertentu. Hubungan intensitas bullying dengan tingkat depresi dikarenakan remaja yang mengalami intensitas bullying akan meningkat depresinya. LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 5. REFERENSI Coloroso, Barbara. 2006. Penindas, Tertindas, dan Penonton. Resep Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Prasekolah Hingga SMU. Jakarta: Serambi. Coyne,Dkk. (2008). Cyber Bullying: Bullying in the Digital Age 2nd edition. Malden: Blackwell. Craig, D.2006. Bullying.England : Indevendence. Craig, W. M., Pepler, D. And Atlas, R. (2000).Observation of Bullying in heplaygroup and in the Classroom. (20 Januari 2016) Darmayant, Nefi. (2008). Gender Dan Depresi Pada Remaja.Sumatera Utara.Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. (6 Desember 2015) Hawari, Dadang. (2001). Manajemen Stres Cemas dan Depresi.Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hawari, Dadang. (2007). Sejahtera di Usia Senja. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Keliat, Budi A. (2011). Manajemen Kasus Gangguan Jiwa: CHMN (Intermediate Course). Jakarta: EGC. Lubis Namora, M,.Sc. 2009. Depresi Tinjauan Psikologis. Jakarta . Kencana Pernada Media Group Riset kesehatan dasar.2013:RIKESDAS Routledge. 2003. School Bullying: Insights and Perspectives. Peter K.Smith and Sonia Sharp. USA and Canada : Simultaneously Santrock, J. W. (2003). Adolescence Perkembangan Remaja (terjemahan: Shinto B. Adelar & Sherly Saragih). Jakarta: Penerbit Erlangga. Steinberg, L., & Belsky, J. (1991). Infancy, chi ldhood, and adolescence: Development in Context. New York: McGraw-Hill Taylor, S. E. (2006). Health Psychology 6th edition. New York: McGraw-Hill. World Mental Health Day. (2012). Depression: A Global Crisis. file:///G:/proposal%20ade/jurnal/New%20 Folder/wfmh_paper_depression_wmhd_20 12.pdf. (10 Desember 2015). 42 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STRES KERJA PERAWAT DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSUP DR.M.DJAMIL PADANG TAHUN 2016 Yuanita Ananda STIKes Alifah Padang Email : [email protected] Abstract Nurses as the longest power contacts or associated with the patient and family. This will lead to a strong stressor on nurses in the work environment. American National Association For Occupational Safety (ANAOS) put severe stress on the nurse comes out top in the first forty cases of stress on workers. Based on the results of research conducted by the National Care Association of Indonesia (PPNI) contained 50.9% of nurses who experience job stress. This study aims to determine the Factors Associated With Job Stress Nurses in Emergency Instalation of RSUP Dr.M.Djamil Padang 2016. This type of research is descriptive analytic with cross sectional approach. This research was din on November 2015-June 2016, while taken data was din on 25 Mei- 11 June 2016. The population in this research is 55 nurses with the sampling technique used is total sampling as many as 55 nurses in the emergency instalation of RSUP Dr.M.Djamil Padang 2016. Retrieving data using questionnaires. The data were analyzed using univariate with frequency distribution and bivariate using Chi Square test with a confidence level of 95%. The results of univariate in getting that more than half (61.5%) of respondents experiencing work stress. more than half (65.4%) of respondents experienced a heavy workload. more than half (53.8%) of respondents experienced a heavy duty demands. more than half (55.8%) of respondents did not experience labor conflict. In bivariate there is a significant relationship between workloads with job stress of nurses in Emergency Instalation of RSUP Dr.M.Djamil Padang 2016 with pvalue 0,006 (p<0,05). There was no significant relationship between job demand (p=0,062) and job conflicts (p=0,843) with job stress of nurses in Emergency Instalation of RSUP Dr.M.Djamil Padang 2016 (p>0,05). The conclusion is there is a meaningful relation about workload with job stress nurses in Emergency Instalation of RSUP Dr.M.Djamil Padang 2016. Suggested the need for a balance between the ratio of nurses and patients who visit the emergency room so that the workload is felt not too heavy so as not to cause work stress in nurses. Keywords : workload, the demands of the task, work conflict, work stress, nurses 1. PENDAHULUAN Kualitas pelayanan Rumah Sakit salah satunya ditentukan oleh kualitas pelayanan keperawatan, karena pelayanan keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan. Kualitas pelayanan keperawatan di Rumah Sakit dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya ketersediaan/kelengkapan fasilitas terhadap mutu pelayanan rumah sakit, jumlah petugas, ketanggapan petugas, kehandalan petugas dan salah satu faktor yang memiliki konstribusi paling besar adalah faktor kenyamanan dalam bekerja. Hal ini didukung oleh penelitian Djuariah Chanafi (2005) yang menemukan bahwa waktu kerja produktif perawat LPPM STIKes Perintis Padang yaitu 89,2% dengan waktu kerja yang cukup lama dapat menimbulkan ketidaknyamanan perawat dalam bekerja (Hamid, 2001). Perawat sebagai tenaga yang paling lama kontak atau berhubungan dengan pasien dan keluarga. Hal ini akan menyebabkan stressor yang kuat pada perawat didalam lingkungan pekerjaan. Stres adalah suatu reaksi, kondisi ketegangan atau respon tubuh terhadap situasi yang menimbulkan tekanan mental, perubahan, dan ketegangan emosi atau beban psikososial yang mempengaruhi emosi, proses pikir, pekerjaan dan kondisi seseorang Stres kerja perawat menyebabkan penurunan produktivitas, ketidakhadiran, rotasi staf di bangsal dan tingginya biaya perawatan kesehatan staf. 43 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Akibatnya setiap tahun sistem pelayanan kesehatan menghabiskan 200 miliar dolar karena masalah ini (Mozhdeh. dkk, 2008). American National Association For Occupational Safety menempatkan kejadian stres pada perawat berada diurutan paling atas pada empat puluh pertama kasus stres pada pekerja (Prihatini, 2007). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Persatuan Perawatan Nasional Indonesia pada tahun 2011 terdapat 50,9% perawat yang mengalami stres kerja dengan gejala sering merasa pusing, lelah, kurang ramah, kurang istirahat akibat beban kerja terlalu tinggi serta penghasilan yang tidak memadai (Revalicha, 2013 dalam Valarencia, 2015). Kondisi kerja perawat di instalasi gawat darurat (IGD) perlu diketahui agar dapat ditentukan kebutuhan kuantitas dan kualitas tenaga perawat yang diperlukan dalam ruang IGD sehingga tidak terjadi beban kerja yang tidak sesuai yang akhirnya menyebabkan stres kerja. Kondisi kerja berupa situasi kerja yang mencakup fasilitas, peraturan yang diterapkan, hubungan sosial kerjasama antar petugas yang dapat mengakibatkan ketidaknyamanan bagi pekerja. Demikian juga dengan beban kerja baik secara kuantitas dimana tugas-tugas yang harus dikerjakan terlalu banyak atau sedikit maupun secara kualitas dimana tugas yang harus dikerjakan membutuhkan keahliahan. Bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia maka akan menjadi sumber stres (Ilyas, 2002). Faktor yang mempengaruhi stres kerja perawat Instalasi Gawat Darurat adalah kondisi pasien yang selalu berubah, jumlah ratarata jam perawatan yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan langsung pada pasien melebihi dari kemampuan seseorang, keinginan untuk berprestasi kerja, tuntutan pekerjaan tinggi serta dokumentasi asuhan keperawatan (Munandar, 2011). RSUP Dr. M. Djamil Padang merupakan Rumah Sakit Umum Pusat yang ada di Sumatera Barat dan merupakan rumah sakit umum tipe B Pendidikan milik pemerintah. RSUP Dr. M. Djamil Padang merupakan rumah sakit rujukan untuk wilayah Sumatera Bagian Tengah sehingga memungkinkan selalu terjadi peningkatan jumlah pasien. Dengan banyaknya jumlah pasien yang masuk mengharuskan rumah sakit memiliki perawat yang berkualitas dan berdedikasi tinggi, perawat diharapkan memiliki kinerja yang baik dalam melayani kebutuhan pasien. LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan Januari tahun 2016 didapatkan jumlah pasien yang masuk ke ruang IGD RSUP. Dr. M.Djamil Padang tahun 2015 adalah 32104 orang dan 3 bulan terakhir berjumlah 7763 orang dengan rincian bulan Oktober yaitu 2769 orang, bulan November yaitu 2216 orang, dan bulan Desember yaitu 2778 orang. Data tenaga perawat yang dinas di ruang IGD RSUP Dr. M Djamil Padang berjumlah 55 orang, terdiri dari 45 orang bertugas di triase, 10 orang bertugas diruang pre operasi. Jadwal dinas perawat IGD RSUP Dr. M Djamil Padang adalah 3 shift pagi sore dan malam. Jumlah perawat yang dinas di Triase pada shift pagi yaitu 10 sampai 14 orang, shift sore yaitu 8 samapi 9 orang dan shift malam yaitu 7 orang. Sedangkan pada ruangan Pre Op jumlah perawat yang dinas pada shift pagi yaitu 3 sampai 4 orang, shift sore yaitu 1 orang dan pada shift malam yaitu 2 orang. Fenomena yang terjadi di ruang IGD RSUP Dr. M.Djamil Padang yaitu beban kerja yang berlebihan dilihat dari ketidakseimbangan antara rasio perawat dengan pasien. Jumlah kunjungan pasien ke IGD RSUP Dr. M.Djamil Padang sangat besar setiap pergantian shift dinas. Seperti data rata-rata kunjungan pasien dalam tiga bulan terakhir pada setiap shift berikut : (1) Pada bulan Oktober 2015 rata-rata jumlah kunjungan pasien pada shift pagi yaitu 25 orang, shift sore 36 orang dan shift malam 31 orang (2) Bulan November 2015 rata-rata kunjungan pasien pada shift pagi yaitu 17 orang, shift sore 31 orang dan shift malam 26 orang (3) Bulan Desember 2015 rata-rata kunjungan pasien pada shift pagi yaitu 27 orang, shift sore 35 orang dan shift malam 30 orang. Dari data tersebut didapatkan bahwa kunjungan pasien ke IGD lebih besar pada shift sore dan lebih sedikit pada shift pagi sedangkan jumlah perawat yang dinas pada shift sore lebih sedikit dari pada shift pagi. Menurut Hariyati (2010) standar perhitungan kebutuhan perawat di IGD dilihat dari rata-rata jumlah pasien per hari, jumlah jam perawatan per hari dan dilihat dari jam efektif perawat perhari. Untuk rata-rata 88 orang kunjungan pasien dari standar perhitungan kebutuhan perawat IGD dibutuhkan 64 orang tenaga perawat. Sedangkan jumlah perawat di IGD RSUP Dr. M.Djamil Padang yaitu 41 orang. Kondisi ini dihadapi tanpa adanya penambahan tenaga perawat mengingat rumah sakit ini merupakan rumah sakit rujukan yang ada di wilayah Sumatera bagian tengah, yang memungkinkan terjadinya peningkatan beban 44 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana kerja dan tuntutan tugas pada perawat di IGD RSUP Dr. M.Djamil Padang. Menurut hasil survey pendahuluan yang telah dilakukan peneliti pada perawat pelaksana di ruang Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. M Djamil Padang pada tanggal 25-29 Januari 2016 dengan melakukan wawancara langsung terhadap 4 orang perawat yang bersedia dan berhasil di wawancarai, 2 orang perawat mengatakan mengalami stres karena beban kerja yang sering meningkat seiring dengan kegawatan pasien yang masuk. Satu diantara perawat tersebut mengatakan stres yang diraskannya juga meningkat karena tuntutan tugas perawat IGD yang tinggi dimana perawat IGD dituntut untuk harus bekerja atau memberikan asuhan keperawatan secara cepat dan tepat. Banyaknya pekerjaan yang harus dilaksanakan dan kondisi kerja di IGD yang berbahaya dan menyangkut keselamatan atau nyawa pasien serta kebisingan dapat menimbulkan kecemasan atau stres pada perawat tersebut. Kemudian perawat tersebut mengatakan bahwa tingkat stres kerja perawat di ruang IGD lebih tinggi dari pada di ruang inap. Sedangkan 1 perawat lainnya mengatakan bahwa disamping beban kerja dan tuntutan tugas yang tinggi, konflik kerja juga merupakan faktor yang dapat menyebabkan stres kerja. Hal ini dipicu oleh sering terjadi perbedaan pendapat atau argumen saat bekerja antara sesama perawat atau tim kesehatan lainnya. Konflik kerja yang ditemui di Ruang IGD yaitu terkait dengan konflik peran. Konflik peran yang timbul dalam instansi yang memiliki standar ganda, dengan perbedaan persepsi antara atasan dan bawahan yang menyolok. Wawancara juga dilakukan dengan perawat manager yang mengatakan bahwa tidak ada lagi perawat IGD yang mengalami stres karena dilihat dari BB semua perawat memiliki BB sangat ideal dan malahan banyak yang memiliki berat badan yang melebihi ideal. Sedangkan dari hasil observasi yang dilakukan peneliti selama 5 hari didapatkan bahwa beberapa perawat pelaksana yang bekerja di ruang IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang kurang kooperatif dan mudah marah atau jengkel. Dimana pada saat peneliti mau melakukan wawancara lansung untuk pengambilan data awal terhadap 10 orang perawat, 6 diantaranya mengatakan belum siap diwawancarai karena sibuk bekerja dan mengatakan tugasnya masih LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 banyak yang belum diselesaikan serta menyuruh peneliti untuk melakukan wawancara kepada perawat yang lain saja dulu, padahal perawat tersebut tidak terlihat melakukan pekerjaan. Kemudian dari hasil observasi peneliti juga menemukan beberapa perawat pelakasana mudah marah atau jengkel pada keluarga pasien yang berkunjung melihat pasien dan komunikasi perawat dengan keluarga pasien tidak terjalin dengan baik. Dari hasil observasi tersebut dapat disimpulkan bahwa perawat pelakasana di ruang IGD mengalami stres kerja karena memiliki beberapa gejala stres kerja seperti kurang kooperatif, mudah marah dan komunikasi kurang baik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan Stres Kerja Perawat di Ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUP. Dr. M.Djamil Padang Tahun 2016. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini telah dilakukan pada minggu keempat bulan Mei sampai minggu ke 2 bulan Juni 2016 dengan jumlah responden 52 orang di IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang dan 3 orang lainnya cuti. Penelitian ini dilakukan pada perawat pelaksana di ruang IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang. Jenis penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Variabel dependen (Stress Kerja) dan variabel independen (Beban kerja, tuntutan tugas, konflik kerja). Pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan teknik pengambilan total sampling. Tekhnik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu pengumpulan data primer dengan menyebarkan kuesioner. Penelitian ini menggunakan analisis Univariat dan analisis Bivariat dengan menggunakan uji statistik chisquare dengan derajat kepercayaan 95 % (α = 0,05). 45 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 3.1 Distribusi Frekuensi Perawat Berdasarkan Beban Kerja di Instalasi Gawat Darurat RSUP. DR. M. Djamil Padang Tahun 2016 Beban Frekuensi Persentase Kerja Ringan 18 34,6 Berat 34 65,4 Total 52 100,0 Tabel 3.2 Distribusi Frekuensi Perawat Berdasarkan Tuntutan Tugas di Instalasi Gawat Darurat RSUP. DR. M. Djamil Padang Tahun 2016 Tuntutan Frekuensi Persentase Tugas Ringan 24 46,2 Berat 28 53,8 Total 52 100,0 Tabel 3.3 Distribusi Frekuensi Perawat Berdasarkan Konflik Kerja di Instalasi Gawat Darurat RSUP. DR. M. Djamil Padang Tahun 2016 Konflik kerja Tidak mengalami Frekuensi 29 Persentase 55,8 Mengalami 23 44,2 Total 52 100,0 Tabel 3.4 Distribusi Frekuensi Perawat Berdasarkan Stres Kerja di Instalasi Gawat Darurat RSUP. DR. M. Djamil Padang Tahun 2016 Stres Frekuensi Persentase Kerja Tidak 20 38,5 Stres stres 32 61,5 Total 52 100,0 Tabel 3.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Beban Kerja dan Stres Kerja Perawat Di Instalasi Gawat Darurat RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun 2016 Stres Kerja Jumlah Beban P Tidak Stres Stres Kerja Value f % F % F % Ringan 12 66,7 6 33,3 18 100 Berat 8 34,8 26 65,2 34 100 0,006 Jumlah 20 38,5 32 61,5 52 100 LPPM STIKes Perintis Padang 46 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Tabel 3.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tuntutan Tugas dan Stres Kerja Perawat Di Instalasi Gawat Darurat RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun 2016 Stres Kerja Jumlah Tuntutan P Tidak Stres Stres Tugas Value f % F % F % Ringan 13 54,2 11 45,8 24 100 Berat 7 25,0 21 75,0 28 100 0,062 Jumlah 20 38,5 32 61,5 52 100 Tabel 3.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Konflik Kerja dan Stres Kerja Perawat Di Instalasi Gawat Darurat RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun 2016 Stres Kerja Jumlah Konflik P Tidak Stres Stres Kerja Value f % f % F % Tidak Mengalami 12 41,4 17 58,6 29 100 mengalami 8 34,8 15 65,2 23 100 0,843 Jumlah 20 38,5 32 61,5 52 100 1. Beban Kerja Perawat Berdasarkan tabel 3.1 menunjukkan bahwa lebih dari separoh (65,4%) responden mengalami beban kerja berat. Sedangkan kurang dari separoh (34,6%) responden mengalami beban kerja ringan. Berdasarkan persentase pada distribusi frekuensi yang diperoleh tersebut didapatkan bahwa lebih banyak perawat di ruang IGD mengalami beban kerja berat. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Haryanti (2013) bahwa beban kerja perawat di ruang IGD RSUD Kabupaten Semarang sebagian besar adalah tinggi yaitu sebanyak 27 responden (93,15%), dan beban kerja perawat yang rendah didapatkan pada 2 responden (6,0%). Beban kerja adalah kemampuan tubuh pekerja dalam menerima pekerjaan. Dari sudut pandang ergonomi, setiap beban kerja yang diterima seseorang harus sesuai dan seimbang terhadap kemampuan fisik maupun psikologis pekerja yang menerima beban kerja tersebut. Beban kerja yang dirasakan responden di IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang dapat dilihat pada item pernyataan no 8, 11, dan 12. Perawat menyatakan bahwa tingginya beban kerja yang harus dilakukan demi keselamatan klien (87%), perawat melaksanakan tugas delegasi dari dokter seperti pemberian obat secara intensif kepada klien (84%), dan perawat menyatakan bahwa tingginya jumlah kunjungan klien yang masuk LPPM STIKes Perintis Padang ruang IGD setiap hari (83%). Hal tersebut disebabkan karena RSUP Dr.M.Djamil Padang merupakan Rumah Sakit Tipe B milik pemerintah yang merupakan rujukan untuk wilayah Sumatera Bagian Tengah sehingga memungkinkan selalu terjadi peningkatan jumlah pasien. Dengan banyaknya jumlah pasien yang masuk mengharuskan rumah sakit memiliki perawat yang berkualitas dan berdedikasi tinggi, perawat diharapkan memiliki kinerja yang baik dalam melayani kebutuhan pasien. Berdasarkan hal ini maka menurut analisa peneliti terhadap penelitian ini adalah ditemukan bahwa beban kerja perawat di IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang dalam kategori berat, yang memperlihatkan bahwa sebagian besar perawat yang mengalami beban kerja berat tertuju pada situasi dan kondisi yang tidak mendukung bagi perawat untuk lebih dapat menjalani aktifitas pekerjaan yang tidak membebankan pada diri mereka, namun kenyataan bahwa sebagian perawat merasa jenuh dan kurang bersemangat dalam melayani pasien atau aktifitas lain yang mereka lakukan dirumah sakit tersebut seperti selalu mengobservasi kondisi klien pada saat masuk secara berkelanjutan selama jam dinas. 2. Tuntutan Tugas Perawat Berdasarkan tabel 3.2 menunjukkan bahwa lebih dari separoh (53,8%) responden mengalami 47 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana tuntutan tugas berat. Sedangkan kurang dari separoh (46,2%) responden mengalami tutuntan tugas ringan. Dari hasil persentase pada distribusi frekuensi tersebut terlihat bahwa sebagian perawat IGD RSUP Dr.M.Djamil padang mengalami tuntutan tugas berat. Hal ini dihadapi karena banyak dan beragamnya tugas yang harus dihadapi perawat di ruang IGD seperti memberikan asuhan keperawatan dan melaksankan tugas delegasi dari dokter sehingga membuat perawat merasa jenuh dengan tugas yang diberikan. Hasil penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian Nursetyaningsih (2014) di RSUD Haji Makassar didapatkan bahwa lebih dari separoh (56,7%) perawat IGD menyatakan tuntutan tugas tidak membebani dan kurang dari separoh (43,3%) menyatakan tuntutan tugas membebani. Hal ini disebabkan karena setiap rumah sakit memiliki tuntutan tugas yang berbeda-beda tergantung dengan tipe rumah sakit tersebut dan setiap orang juga memiliki persepsi yang berbeda tentang berat atau ringannya tugas yang dijalaninya. Berdasarkan hal ini maka analisa peneliti terhadap penelitian ini adalah ditemukan bahwa tuntutan tugas perawat di IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang dalam kategori berat. Hal ini disebabkan karena banyak dan beragamnya tugas yang ada di ruang IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang seperti memberikan asuhan keperawatan dan melaksanakan tugas delegasi dari dokter, banyaknya kesaling tergantungan antara tugas perawat dengan tugas profesi lain, kemudian tuntutan tugas berat yang dialami perawat IGD akan menyebabkan perawat merasa jenuh dengan tugas yang diberikan bergantian setiap hari 3. Konflik Kerja Perawat Berdasarkan tabel 3.3 menunjukkan bahwa lebih dari separoh (55,8%) responden tidak mengalami konflik kerja sedangkan kurang dari separoh (44,2%) responden mengalami konflik kerja. Berdasarkan persentase pada distribusi frekuensi yang diperoleh tersebut didapatkan bahwa lebih banyak perawat di ruang IGD tidak mengalami konflik kerja. Hal tersebut terjadi karena perawat saling berinteraksi dengan baik antar sesasama teman sejawat atau pun tim kesehatan lainnya. Penelitian ini berbanding terbalik dngan hasil penelitian Murharyati (2013) yang menunjukan bahwa sebagian besar (88,1%) perawat di Ruang Rawat Inap RSUD Sukorojo mengalami konflik dengan kriteria sedang. Konflik yang terjadi akan LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 menimbulkan rasa sakit hati diantara individu sehingga akan menambah perasaan tertekan dan stres. Konflik yang dirasakan seseorang tergantung dengan hubungan kerjasama atar rekan kerja atau teman sejawat. Berdasarkan hal ini maka analisa peneliti terhadap penelitian ini adalah lebih banyak ditemukan perawat yang tidak mengalami konflik kerja dibandingkan dengan perawat yang mengalami konflik kerja di ruang IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang. Hal ini terjadi karena terjalinannya hubungan kerjasama yang baik dan kekompokan dalam bekerja serta saling memberikan masukan terhadap sesama rekan kerja. 4. Stres Kerja Perawat Berdasarkan tabel 3.4 menunjukkan bahwa lebih dari separoh (61,5%) responden mengalami stres kerja di ruang IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang. Sedangkan kurang dari separoh (38,5%) responden tidak mengalami stres kerja. Hal ini terlihat dari tanda-tanda stres yang muncul antara lain betis terasa pegal, otot kaku saat/setelah bekerja (kaku leher), sakit perut/ nyeri ulu hati, tangan terasa capek, kehilangan konsentrasi atau konsentrasi menurun dan merasa jenuh dalam bekerja. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Shaulim dalam jurnal Revalicha tahun 2013 menunjukan sebanyak 60% dari perawat Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bengka yang mengalami stres kerja berat dengan kesimpulan yakni pada shift pagi terdapat 6 perawat (18,75%) yang mengalami stres berat dan pada shift malam terdapat 4 perawat (12,5%) yang mengalami stres ringan. Hal tersebut dapat menimbulkan dampak terhadap kinerja keperawatan seperti pengambilan keputusan yang buruk, kurang konsentrasi, apatis, kelelahan, kecelakaan kerja sehingga pemberian asuhan keperawatan tidak maksimal yang dapat mengakibatkan rendahnya produktivitas organisasi. Menurut Mangkunegara (2013) Stres kerja adalah perasaan menekan atau tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stres kerja yang dirasakan responden di IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang dapat dilihat pada item pernyataan no 6, 7, dan 14. Perawat menyatakan betis terasa pegal saat bekerja (76%), perawat merasa sakit perut/nyeri ulu hati saat bekerja (75%) dan perawat merasa otot kaku saat/ setelah bekerja (75%). Hal tersebut terjadi karena banyaknya pekerjaan yang harus dijalani perawat dalam memberikan pelayanan kepada pasien. 48 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Berdasarkan hal ini maka analisa peneliti terhadap penelitian ini adalah lebih banyak ditemukan perawat yang mengalami stres kerja dibandingkan dengan perawat yang tidak mengalami stres kerja di ruang IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang. Hal ini disebabkan karena perawat berada pada tingkat kejenuhan yang tinggi akibat tingginya beban kerja yang harus dilakukan demi keselamatan klien, melaksanakan tugas delegasi dari dokter seperti pemberian obat secara intensif, mengobservasi kondisi klien sesegera mungkin pada saat masuk secara berkelanjutan selama jam dinas mengingat pasien IGD adalah pasien gawat darurat yang membutuhkan pertolongan sesegera mungkin, tingginya jumlah kunjungan klien yang masuk ruang IGD setiap hari karena RSUP M.Djamil Padang merupakan rumah sakit rujukan yang ada di Sumatera Barat. 5. Hubungan Beban Kerja dengan Stres Kerja Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi responden yang mengalami stres kerja di IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang lebih banyak ditemukan pada responden yang mengalami beban kerja berat yaitu (65,2%), dibandingkan pada responden yang beban kerjanya ringan (33,3%). Hasil uji statistik (chi-square) didapatkan pvalue sebesar 0,006 (p<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara beban kerja dengan stres kerja perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun 2016. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Haryanti (2013) tentang hubungan beban kerja dengan stres kerja perawat perawat di IGD RSUD Kabupaten Semarang didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara beban kerja dengan stres kerja perawat dalam kategori kuat dengan pvalue 0,000. Menurut Jauhari, 2005 (Dalam Haryanti, 2013) beban kerja yang banyak di sertai tuntutan dari pihak keluarga pasien menyebabkan perawat harus selalu bergegas dan terburu-buru dalam melakukan tindakan keperawatan. Berdasarkan hal ini maka menurut analisa peneliti terhadap penelitian ini adalah diperolehnya proporsi perawat yang mengalami stres kerja di IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang banyak ditemukan pada perawat yang mengalami beban kerja berat. Hal ini berarti bahwa beban kerja berat yang dirasakan perawat IGD akan mempengaruhi langsung terjadinya stres kerja LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 pada perawat. Dimana stres kerja yang dihadapi perawat tersebut akan berpengaruh pada kualitas kerja dan kesehatan perawat itu sendiri bisa jadi terganggu. 6. Hubungan Tuntutan Tugas dengan Stres Kerja Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi responden yang mengalami stres kerja di IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang banyak ditemukan pada responden yang mengalami tuntutan tugas berat yaitu (75,0%), dibandingkan pada responden yang tuntutan tugasnya ringan yaitu (45,8%). Hasil uji statistik (chi-square) didapatkan pvalue sebesar 0,062 (p>0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tuntutan tugas dengan stres kerja perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun 2016. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Nursetyaningsih (2014) menyatakan terdapat hubungan yang yang bermakna antara tuntutan tugas dan stres kerja perawat IGD RS Haji Kota Makassar. Menurut Robbins (2007) Tuntutan tugas merupakan faktor yang dikaitkan pada pekerjaan seseorang. Berdasarkan hal ini maka menurut analisa peneliti terhadap penelitian ini adalah diperolehnya proporsi perawat yang mengalami stres kerja di IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang banyak ditemukan pada perawat yang mengalami tuntutan tugas berat. Hal ini mengindikasikan bahwa tuntutan tugas berat akan mempengaruhi terjadinya stres kerja pada perawat. Tuntutan tugas berat yang dirasakan perawat di IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang ditandai dengan banyak dan beragamnya tugas yang ada di IGD, kemudian kesaling tergantungan antara tugas perawat dengan tugas profesi lain sehingga mengakibatkan kejenuhan bagi perawat terhadap tugas yang dijalaninya. Maka hal ini akan memicu terjadinya stres kerja pada perawat tersebut. 7. Hubungan Konflik Kerja dengan Stres Kerja Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi responden yang mengalami stres kerja lebih banyak ditemukan pada responden yang mengalami konflik kerja yaitu (65,2%), dibandingkan pada responden yang tidak mengalami konflik kerja yaitu (58,6%). Hasil uji statistik (chi-square) diperoleh nilai pvalue sebesar 0,843 (p>0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang 49 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana bermakna antara konflik kerja dengan stres kerja perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun 2016. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Murharyati (2013) yang menunjukan bahwa konflik kerja memiliki pengaruh terhadap stres kerja perawat di Ruang Rawat Inap RSUD Sukoharjo dengan p value 0,0001. Mangkunegara (2013) mengatakan bahwa pihak pemimpin organisasi perlu menganalisis dengan nyata konflik yang terjadi, apakah konflik tersebut fungsional atau disfungsional, dan bagaimana manajemen konflik agar berpengaruh positif bagi kemajuan organisasi atau pekerjaan. Berdasarkan hal ini maka analisa peneliti terhadap penelitian ini adalah diperolehnya proporsi perawat yang mengalami stres kerja lebih banyak ditemukan pada perawat mengalami konflik kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa konflik kerja yang dialami perawat akan mempengaruhi terjadinya stres kerja. Konflik kerja yang dirasakan perawat yaitu tidak ada koordinasi kerja yang baik di rumah sakit, tidak adanya pembagian tugas yang jelas tiap ruangan dan mempunyai ketergantungan dalam pelaksanaan tugas. Sehingga hal tersebut memicu terjadinya stres kerja pada perawat IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang. 4. KESIMPULAN Lebih dari separoh responden mengalami stres kerja di RSUP DR. Djamil Padang tahun 2016. Stres kerja yang dirasakan responden di IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang karena banyaknya pekerjaan yang harus dijalani perawat dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Serta pasien IGD adalah pasien gawat darurat yang membutuhkan pertolongan sesegera mungkin, tingginya jumlah kunjungan klien yang masuk ruang IGD setiap hari karena RSUP M.Djamil Padang merupakan rumah sakit rujukan yang ada di Sumatera Barat. Lebih dari separoh beban kerja responden berat di RSUP DR. Djamil Padang tahun 2016. Hal tersebut disebabkan karena RSUP Dr.M.Djamil Padang merupakan Rumah Sakit Tipe B milik pemerintah yang merupakan rujukan untuk wilayah Sumatera Bagian Tengah sehingga memungkinkan selalu terjadi peningkatan jumlah pasien. Dengan banyaknya jumlah pasien yang masuk mengharuskan rumah sakit memiliki perawat yang berkualitas dan berdedikasi tinggi, perawat diharapkan memiliki kinerja yang baik dalam melayani kebutuhan pasien. LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Lebih dari separoh tuntutan tugas responden berat di RSUP DR. Djamil Padang tahun 2016. Hal ini disebabkan karena banyak dan beragamnya tugas yang ada di ruang IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang seperti memberikan asuhan keperawatan dan melaksanakan tugas delegasi dari dokter, banyaknya kesaling tergantungan antara tugas perawat dengan tugas profesi lain, kemudian tuntutan tugas berat yang dialami perawat IGD akan menyebabkan perawat merasa jenuh dengan tugas yang diberikan bergantian setiap hari Lebih dari separoh responden tidak mengalami konflik kerja di RSUP DR. Djamil Padang tahun 2016. Hal ini terjadi karena terjalinannya hubungan kerjasama yang baik dan kekompokan dalam bekerja serta saling memberikan masukan terhadap sesama rekan kerja. Ada hubungan yang bermakna antara beban kerja dengan stres kerja perawat di instalasi gawat darurat RSUP DR. M. Djamil Padang tahun 2016. Hal ini berarti bahwa beban kerja berat yang dirasakan perawat IGD akan mempengaruhi langsung terjadinya stres kerja pada perawat. Dimana stres kerja yang dihadapi perawat tersebut akan berpengaruh pada kualitas kerja dan kesehatan perawat itu sendiri bisa jadi terganggu. Tidak ada hubungan yang bermakna antara tuntutan tugas dengan stres kerja perawat di instalasi gawat darurat RSUP DR. M. Djamil Padang tahun 2016. Hal ini mengindikasikan bahwa tuntutan tugas berat akan mempengaruhi terjadinya stres kerja pada perawat. Tuntutan tugas berat yang dirasakan perawat di IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang ditandai dengan banyak dan beragamnya tugas yang ada di IGD, kemudian kesaling tergantungan antara tugas perawat dengan tugas profesi lain sehingga mengakibatkan kejenuhan bagi perawat terhadap tugas yang dijalaninya. Maka hal ini akan memicu terjadinya stres kerja pada perawat tersebut. Tidak ada hubungan yang bermakna antara konflik kerja dengan stres kerja perawat di instalasi gawat darurat RSUP DR. M. Djamil Padang tahun 2016. Hal ini mengindikasikan bahwa konflik kerja yang dialami perawat akan mempengaruhi terjadinya stres kerja. Konflik kerja yang dirasakan perawat yaitu tidak ada koordinasi kerja yang baik di rumah sakit, tidak adanya pembagian tugas yang jelas tiap ruangan dan mempunyai ketergantungan dalam pelaksanaan tugas. Sehingga hal tersebut memicu terjadinya stres kerja pada perawat IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang. 50 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana 5. REFERENSI Aiska, Selviani. 2014. Analisis faktor-faktor yang berpengaruh pada tingkat stres kerja perawat di rumah sakit jiwa grhasia yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah. Anoraga, Panji. 2014. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta. Aprilia, Devi. 2010. Hubungan Tingkat Stress Kerja Perawat dengan Adaptasi Stress pada Perawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUP DR. M. Djamil Padang. Skripsi tidak dipublikasikan. Padang: Universitas Andalas Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi, Ed. 3; Alih Bahasa, Nike Budhi Subekti. Jakarta: EGC. Gelsema. 2005. Job Stress in the Nursing Profession: The influence of Organizational and Environmental Conditions and Job Characteristics. International Journal of Stress Management, vol 12., no.3, 222-240. Hamid, A.Y. (2001). Rencana Strategik Keperawatan. PPNI Haryanti, Faridah. 2013. Hubungan Antara Beban Kerja Dengan Stres Kerja Perawat Di Instalasi Gawat Darurat RSUD Kabupaten Semarang. Jurnal Managemen Keperawatan. 1(1), (Online) (http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JM K/article/view/949 di akses tanggal 20 Januari 2016 jam 13.20 WIB) Corwin, Hawari, Dadang. 2011. Manajemen Stres, Cemas dan Depresi. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hidayat. 2012. Hubungan Beban Kerja dan Tuntutan Tugas dengan Stres Kerja Perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUP DR. M. Djamil Padang. Skripsi. Padang: STIKes Indonesia Ilyas,Yaslis. (2010), Perencanaan Sumber Daya manusia Rumah Sakit. UGM Keliat. (2009). Penatalaksanaan stress. Jakarta: EGC Kurnianingsih dkk. (2013). Efektifitas Terapi Musik Klasik Terhadap penurunan Stres kerja perawat igd di rsud dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga. Posding Konferensi Nasional PPNI Jawa Tengah. LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 (http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn 12012010/article/viewFile/870/924) Kurnianingtyas, R. 2009. Penerimaan diri pada wanita bekerja usia dewasa dini ditinjau dari status pernikahan. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah. Mangkunegara, Anwar Prabu. 2013. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusaan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Manuaba. 2012. Manajemen Keperawatan dengan Pendekatan Praktis. Jakarta : Erlangga. Mozhdeh, Soheila. dkk. 2008. Relationship Between Nurse's Stress And Environmental - Occupational Factors. Iranian Journal of Nursing and Midwifery Research Winter; Vol 13, No 1 Munandar, Ashar Sunyoto. 2011. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI Press. Murharyati, Atiek. 2014. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Stres Kerja Perawat diruang Rawat Inap RSUD Sukoharjo. Skripsi. Surakarta: STIKes Kusuma Husada. Muthmainah, Iin. 2012. Faktor-Faktor penyebab stres kerja di ruang ICU Pelayanan Jantung Terpadu Dr.Cipto Mngunkusumo. Skripsi. Jakarta: Universitas Indonesia. National Safety Consil. 2003. Manajemen stres. Alih bahasa oleh Palupi Widyastuti. Jakarta: EGC Notoatmodjo,s. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Nursalam. 2013. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan edisi 3. Jakarta: Salemba Medika. Nursetyaningsih. 2015. Hubungan Tuntutan Tugas, Tuntutan Peran dan tuntutan antar pribadi dengan Stres Kerja Perawat IGD RS Haji Kota Makassar. Skripsi. Makassar : UIN Alauddin Pascal dkk. (2015). Perbedaan Tingkat Stres Kerja Perawat Instalasi Gawat Darurat Dan Unit Rawat Inap Di Rumah Sakit Pancaran Kasih Gmim Manado. ejoural Keperawatan (e-Kep). 3(1), (Online) (http://ejournal.unimus.ac.id/index.php.jk p/article/download/7446/6991, diakses tanggal 15 Februari 2016 jam 19.30 WIB) 51 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Prabowo, Yudha Fandy. 2010. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stres Kerja pada bagian Produksi Industri Mebel Pt. Chia Jiann Indonesia Furniture di Wedelan Jepara. Skripsi. Semarang. UNNES Prihatini, L.D. 2007. Analisis Hubungan beban kerja dg stres kerja perawat di setiap ruang rawat inap RSUD Sidikalang. Tesis. Sumatera Utara: Fakultas Ilmu keperawatan Universitas Sumatera Utara. Rahardjo. (2007). Peran perawat IGD. http://etd.eprints.ums.ac.id/14777/2/3._B ab_I.pdf, diakses pada tanggal 8 Februari 2016 jam 10.30 WIB Revalicha, Selvia. 2013. Perbedaan Stres Kerja ditinjau dari Shift Kerja pada Perawat di RSUP Dr. Soetomo Surabaya. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi. 2(1), (Online), (http://www.journal.unair.ac.id/ diakses pada tanggal 2 Februari 2016 jam 14.35 WIB). Robbins S. P. 2007. Perilaku organisasi. Prehalindo, jakarta Siagian, S. P. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakart: Bumi Aksara. Sunaryo. 2012. Persepsi Perawat terhadap Sistem Penilaian Kinerja dan Hubungannya dengan Kelengkapan Dokumentasi Asuhan Keperawatan di Rumah Sakit Krakatau Medika Cirebon. Tesis. Jakarta : Universitas Indonesia Saam, Zulfam & Wahyuni. 2013. Psikologi Keperawatan Ed 2. Jakarta: Rajawali Pers. Terry Looker dan Olga Gregson. 2005. Managing Stress Mengatasi Stress Secara Mandiri. Jogjakarta: BACA! LPPM STIKes Perintis Padang 52 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 PENGEMBANGAN MODEL PEER SUPPORT INTERVENTION SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU HIDUP SEHAT KLIEN HIPERTENSI Aria Wahyuni1, Cici Apriza Yanti2, Efriza3 1 Program Studi Ilmu Keperawatan 2&3 Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat STIKes Fort De Kock Bukittinggi [email protected],[email protected], [email protected] Abastract The purpose of this research is to produce and develop a model of peer support intervention as an effort to increase healthy behaviors of client hypertension. This research was conducted by the Research and Development (RD), which through ten stages over two years. The study was conducted in the District Mandiangin Koto Selayan Bukittinggi and rural area in Agam Tilatang Kamang with 21 sample as participants in hypertensive patients, 5 people of family, 6 health centers, and 2 camat. In the first year of research through five stages, namely the potential problem, literature, model design planning, validation with an expert and revise the model design. Results of this research obtained through interviewing the four themes to the participants that is the ability to understand, respond, and manage hypertension and the necessity of the presence of peer support in helping to improve the healthy behavior. Results from research on the family obtained their psychological response of family and the importance of providing family support, while in the health workers obtained the importance theme of peer support officer to hypertensive patients, and from interviews with the district head was found that the government remains concerned in reducing hypertension, particularly by helping people to motivate hypertensive selfcare. The result of this interview conducted by literature study to design the model design and validated from an experts, after that, the results agreed and concluded that the model of peer support is modified with four theories that Health Belief Model, Health Promotion models, peer Support Model and Self Care theory. The four models and this teory is designed with a name Peer Support Intervention Models. Peer Support Intervention Models in second year will be tested in two districts by comparing urban and rural communities. Keywords: Hypertension, Peer Model Support Intervention. 1. PENDAHULUAN Secara global, prevalensi keseluruhan hipertensi berdasarkan usia dan jenis kelamin didapatkan sekitar 4% terjadi pada usia dewasa berusia 25 tahun keatas dan prevalensinya ada pada jenis kelamin laki-laki.Prevalensi hipertensi paling tertinggi ada di wilayah Afrika dengan angka lebih dari 40% dan prevalensi terendah berada di Amerika dengan angka 35% (GHO, 2014). Indonesia merupakan salah satu negara ikut serta dalam meningkatkan prevalensi hipertensi berdasarkan data tahun 2013 mencapai 25,8%. Sampai saat ini, hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia dikarenakan hipertensi juga banyak ditemukan di pelayanan kesehatan primer. Hal ini dibuktikan bahwa dari 33 provinsi yang ada di Indonesia tujuh diantaranya memiliki prevalensi hipertensi melebihi prevalensi Indonesia pada umumnya dengan rentang 26,4% sampai dengan 30,9% (Kemenkes, 2013). Sumatera Barat meskipun LPPM STIKes Perintis Padang prevalensi hipertensi mencapai 22 % yang artinya masih dibawah prevalensi Indonesia bila tidak dapat dicegah maka berkemungkinan untuk meningkat dikarenakan iklim di daerah ini berpotensi meningkatkan hipertensi (Kemenkes, 2013). Kejadian hipertensi di Bukittinggi berada diurutan keempat dari penyakit tidak menular yang ada di Sumatera Barat dimana Kecamatan Mandiangin Koto Selayan angka kejadian hipertensi tertinggi dengan jumlah 3081 jiwa.Kabupaten Agam berada di urutan ketiga Kecamatan Tilatang Kamang menduduki urutan pertama dengan jumlah 4455 jiwadi tahun 2014. Kecamatan Mandiangin Koto Selayan dan Kecamatan Tilatang Kamang, merupakan kecamatan yang menjadi prioritas dalam peanganan hipertensi di Sumatera Barat (Profil MKS & Agam, 2014). Hipertensi memberikan banyak dampak mulai dari kerusakan beberapa organ seperti mata , jantung, ginjal, dan otak hingga kematian oleh 53 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana karena itu seseorang yang telah mengalami hipertensi harus mampu mengontrol tekanan darahnya. Hipertensi merupakan pintu awal untuk penyakit penyerta yang berakibat fatal dan dapat menurunkan kualitas hidup seseorang dengan hipertensi (Moser & Riegel, 2008).Hipertensi disebut thesilent killer karena penyakit ini tidak menyebabkan gangguan pada awalnya akan tetapi bisa mengakibatkan kematian sehingga diperkirakan banyak dari penderita hipertensi tidak menyadari bahwa mereka mengalami tekanan darah tinggi dan tidak merasa perlu untuk mengatasi faktor risiko dan mengubah gaya hidupnya (Lueckenote & Meiner, 2006).Penatalaksanaan hipertensi ada dua yaitu secara farmakologis dan non farmakologis akan tetapi penatalaksanaan yang utama dan ampuh untuk hipertensi adalah penatalaksanaan yang bersifat nonfarmakologis yaitu pengendalian faktor resiko peningkatan tekanan darah berupa perubahan gaya hidup (Lueckenotte & Meiner, 2006).Penatalaksanaan non farmakologi ini membutuhkan dukungan untuk dapat terlaksana seperti peer support (sesama klien hipertensi, keluarga, tenaga kesehatan, dan masyarakat). 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Research and Development (RD). RD merupakan suatu metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan suatu produk atau model tertentu dan menguji keefektifan produk atau model tersebut(Sugiyono, 2011). Pada tahap pertama ini dimulai dengan potensi dan masalah, studi literatur, merancang desain, validasi desain model, revisi model hingga menetapkan desain awal model. Respoden dalam penelitian ini pada tahap potensi dan masalah sebanyak 21 orang responden, 5 orang keluarga responden, 6 orang tenaga kesehatan, dan 2 orang camat dengan pengambilan sampel secara purposive di dua kecamatan rural (Kecamatan Tilatang Kamang) dan urban (Mandiangin Koto Selayan) yang merupakan daerah binaan STIKes Fort De Kock Bukittinggi. Tahapan penelitian ini dimulai dengan penelitian kuantitatif.Alat ukur yang digunakan adalah angket wawancara menggunakan indepth interview dengan pendekatan Collazi. Setelah data didapat maka tahap selanjutnya adalah studi literatur dan validasi pakar Keperawatan Medikal Bedah, Keperawatan Komunitas, dan Kesehatan LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Masyarakat untuk menciptakan model peer support intervention. 3. HASIL PENELITIAN Hasil dari wawancara ini didapatkan tema pertama yaitu: A. Pasien Hipertensi: 1. Kemampuan Pasien dalam memahami Hipertensi (Pengetahuan). Hampir semua partisipan merasakan tanda dan gejala yang sama, namun ada bervariasi bahkan kadang-kadang tidak ada keluhan yang terasa saat tekanan darah meningkat. P1 – P21 menyatakan “saat ini (darah tinggi) sakit kepala, pusing, kuduk terasa kaku” P3 dan P7 “kalau tensi tinggi ditambah mual bahkan muntah” P5, P16, P20 “kadang-kadang tidak ada keluhan yang terasa” an kadang-kadang tidak ada Kemampuan partisipan mengenali penyebab hipertensi. Hampir semua partisipan menjawab tentang keadaan psikologi yang dirasakan, keturunan, suka makan yang berlemak, kolesterol, dan pakai Pil KB seperti pernyataan berikut : P1-P10, P12-P21 “apabila banyak yang difikirkan itu langsung cepat sekalai tensi naik” P1-P21 “makanan di minang ini enak-enak, kalau ndak makan yang bersantan, berlemak atau ndak bergulai itu kurang enak terasa” P5, P6, P17, P10, P15 “keluarga juga ada yang tensi tinggi turunan dari bapak dan turunan ibu bahkan sampai meninggal dengan tensi tinggi” P11 “kalau saya sih alhamdulillah tidak pernah punyak banyak fikiran, namun yang buat tensi saya tinggi selama ini karena saya selama 25 tahun menggunakan pil KB tidak pernah putus”. Semua partisipan berpendapat bahwa hipertensi dapat menyebabkan komplikasi bahkan kematian P1-P21 “tensi tinggi dapat menyebabkan stroke”, “banyak yang stroke itu asalnya dari darah tinggi” P21 “darah tinggi juga menyebabkan mata kita jadi buta” P16 “ada juga bisa menyebabkan sakit ginjal” P8 “hipertensi menyebabkan kematian” Dalam hal penanganan hipertensi sesaat partisipan berpendapat langsung mengambil obat herbal yang diolah sendiri, istirahat, pijat, dan minum obat serta ke puskesmas untuk memeriksakan diri 54 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 P1, P3, P5 “rilekskan badan dan bawa istirahat sejenak serta tenangkan diri” P2, P4, P6-P15 “langsung minum herbal seperti daun binahong, seledri, dun salam, belimbing wuluh dan banyak lagi” P16,P18-P21 “biasanya langsung minum obat hipertensi” P17, P 19 “Periksa ke puskesmas” P19,21 “saya rutin minum obat, badan jadi enak” Partisipan juga berpendapat bahwa banyak diantara mereka yang tidak tahu secara detail tentang hipertensi, ada yang berpendapat tidak pernah mendengar penyuluhan dan ada juga berpendapat pernah mendengar penyuluhan P1-P12, 17, 19, 16 “saran petugas kesehatan kurangi makan berlemak, kurangi stress, perbanyak istirahat, dan rajin kontrol” P1, P5 “terkadang saran dari petugas tidak dipatuhi” P2,3,6,7“susah kurangi makan berlemak apalagi kalau sudah ada acara baralek (pesta)” P17, 9,10“……saya susah menghilangkan fikiran negatif..” P4,11“kalau sudah banyak makan berlemak langsung minum obat, kadang suka lupa juga” P5,6,7,8,12,18,21 “tidak pernah mendengar penyuluhan tentang hipertensi baik itu dari puskesmas maupun yang lainnya” “kalau datang ke puskesmas hanya sekedar periksa dan dapat obat” P1,2,4,11,17 “setiap sabtu ada penyuluhan di puskesmas tentang hipertensi dan sangat bermanfaat” P3,9,10,13,14,15 “ada dengar penyuluhan tapi tidak paham” “sering lupa juga apa yang dijelaskan” 2. Kemampuan dalam menyikapi hipertensi (Sikap) Pertanyaan yang mengarah kepada sikap pasien terhadap hipertensi “apakah ibu/bapak rajin memeriksakan diri ke dokter?”. Hampir semua partisipan berpendapat tidak pernah kontrol, kalau sakit saja, malas pergi, takut kebanyakan minum obat, dan tidak ada yang pergi mengantar. P1-P12 “pergi ke dokter apabila kalau sakit saja kalau badan tidak begitu terasa sakit kenapa harus ke dokter” P17, 19 “pergi ke puskesmas kalau sudah tidak tahan lagi” P13,15,18 “tidak ada yang pergi mengantar ke dokter” P16 “ada ke dokter spesialis” P14,16, 20,21 “ke dokter itu yang paling malas” Pendapat partisipan tentang meminum obat hipertensi yaitu banyak yang tidak rajin minum obat, takut kebanyakan minum obat, minum obat juga tensi tidak turun P1,2,3 “Aduh saya takut minum obat kebanyakan, takut komplikasi ke yang lain” P4-16 “saya tidak rajin minum obat darah tinggi” “minum obat juga tensi ndak turun selamanya” LPPM STIKes Perintis Padang Partisipan juga menyikapi bagaimana peran petugas kesehatan, partisipan juga berpendapat bahwa petugas kesehatan juga sering memberi nasihat untuk memperhatikan hipertensi akan tetapi banyak dari partisipan tidak mematuh saran petugas kesehatan tersebut 3. Kemampuan mengelola hipertensi secara fisik dan psikologi (Perilaku dan gaya hidup) Kemampuan mengelola hipertensi peneliti menemukan dua cara yaitu secara fisik dan psikologis. Kemampuan secara fisik yaitu mengontrol diet dan aktivitas sedangkan secara psikologis yaitu bagaimana cara mengelola stress. Pendapat partisipan banyak mengeluarkan pernyataan yang berbeda seperti berikut : P2,7-14“ndak pernah diet untuk menurunkan tekanan darah” P15,18“ada menjalani diet supaya turun tekanan darah tapi ndak kuat suka lemas dan langsung tidak nafsu makan” P1,5,6“pernah mengatur makanan tapi ndak ngaruh akhirnya ndak pernah lagi diet” P8,10,11“makanan orang minang bersantan dan belemak jadi susah untuk mengatur diet soalnya sudah kebiasaan dan enak” P15,18“kenapa harus mengatur makanan untuk diet tensi berat badan saya normal” P20,21 “tidak tahu kalau berat badan ada mempengaruhi dengan tekanan darah” Sebagian besar partisipan berpendapat bahwa hipertensi disebabkan oleh stress namun apabila stress tidak diatasi maka hipertensi tidak dapat ditangani P17,18,20“sebenarnya sudah bosan dengan keadaan saat ini” P7-P12“memikirkan anak karena sudah tua jadi anak sudah tidak tinggal dengan kita” 55 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana P13,16“kalau sudah bayak fikiran maka susah untuk dilupakan” P1-P6 “Banyak fikiran buat kepala jadi sakit” P21“tidak ada tempat untuk meluapkan stress” Partisipan yang diteliti semuanya beragama islam jadi partisipan meyakini setiap masalah ada jalan keluarnya dan meyakini adanya pertolongan dari Allah SWT sehingga pendapat partisipan banyak membawa zikir dan tawakal membantu meringankan beban fikiran selama ini. P1-P21“dibawa zikir”“tawakal dan pasrah saja” P1“pergi rileks dan rekreasi” P21“suka menangis sendiri” P16,17“pergi cari tempat curhat” Tempat penelitian ini semua puskesmas menyediakan hari dan tempat untuk memfasilitasi masyarakat untuk olahraga tidak hanya lansia saja namun orang dewasa ikutserta dalam kegiatan olahraga.Ada juga partisipan berpendapat bahwa olahraga setiap hari sabtu tidak sempat datang karena harus berjualan di pasar.Bagi yang tidak datang olahraga partisipan berpendapat bahwa dengan melakukan kerja di rumah sudah dianggap sebagai olahraga. P1-P6, P19,20,21 “olahraga seminggu sekali di posyandu lansia” P7-14“kadang malas pergi olahraga sebagai gantinya kerja di rumah saja” P15-18 “kalau olahraga disini setiap sabtu jadi ndak punya waktu untuk olahraga” Efek yang dirasakan akibat olahraga partisipan mengemukakan pendapat ada yang menguntungkan danada yang merugikan diri sendiri P18“takut olahraga nanti kecapekan” P1-P6, P19,20,21 “olahraga bikin enak badan dan segar” P7-14 “habis olahraga badan terasa sakit-sakitan sehingga tensi ikut naik juga” 4. Peer Support Pendapat partisipan tentang peer support (dukungan sesama) didapatkan hasil bahwa partisipan membutuhkan dukungan sesama, dukungan sesama memberikan manfaat dan partisipan meminta agar dapat difasilitasi adanya wadah untuk berkumpul LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 P1,5,9 “saya sering bercerita ke sesama teman tentang hipertensi ini” P16,18 “saya jarang bercerita ke teman saya” P2,8,10 “butuh teman untuk bercerita tentang hipertensi paling tidak tahu bagaimana cara mengatasi hipertensi” P20,21 “berkumpul dengan sesama hipertensi dirasakan aman untuk menurunkan tekanan darah karena berasa ada sakit yang sama” Manfaat yang dirasakan partisipan apabila dapat berkumpul sesama hipertensi adalah seperti pernyataan berikut P2,8,10“ketemu sama teman yang sesama hipertensi bisa buat pengetahuan bertambah” P1,20,21“melihat orang jadi termotivasi untuk sembuh” P5,9“percaya diri untuk merawat diri sendiri” Harapan partisipan agar bisa dapat berkumpul antar sesama teman bisa difasilitasi oleh pihak tenaga kesehatan karena selama ini tidak ada tempat bahkan hanya memanfaatkan posyandu lansia P8,10“kalau kita ketemu paling di posyandu lansia dua kali seminggu” P5,9“berharap ada fasilitas tempat kumpul” P1,2,20,21“selama ini tidak ada tempat untuk bertukar pendapat” B. Keluarga: 1. Respon Keluarga: Hasil yang didapatkan pada wawancara keluarga yaitu keluarga merasa kaget, bingung dan sedih selain itu keluarga P5“kaget mendengar orang tua darah tinggi”“sedih juga melihat bapak harus mengurangi makan berlemak” P3“sempat ndak percaya juga”“terkadang suka dibuat sedih” P2“Bingung kalau sudah hipertensi P1“bingung merawatnya” P4“nanti tidak patuh malah tambah beresiko” 2. Dukungan Keluarga Tentang dukungan keluarga yang diberikan pada pasien hipertensi adalah berupa dukungan informasi, dukungan penghargaan dan dukungan kasih sayang. Berikut hasil wawancara terhadap keluarga: P1“sebagai keluarga kami selalu memberitahu tentang apa itu tekanan darah tinggi” P2“membantu mencari informasi tentang pengelolaan hipertensi” 56 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 P4.3,5“membantu membuat obat herbal” P1,3,4“mengantar ke puskesmas dan dokter” P2,5“memberi ongkos ke puskesmas” P1,2,3,4,5“memberikan perhatian dan memantau minum obat” P2 “kami sangat mendukung kalau ada yang bisa mengajarkan masyarakat tentang cara mengelola stress dengan baik” C. Peran Petugas Puskesmas Pihak pemegang program di puskesmas sebanyak 6 puskesmas yang didapatkan hasil bahwa upaya puskesmas kepada pasien hipertensi sudah banyak namun puskesmas juga mengaku masyarakat kalau tidak mersakan sakit maka tidak datang untuk berobat P1 “Kami pihak puskesmas sudah sering meminta masyarakat rajin kontrol” P2 “untuk memudahkan masyarakat kami juga membuat kelompok senam lansia” P3-4 “masyarakat juga diminta untk ikut posbindu” P5-P6 walaupun kami tidak punya posbindu tapi kami rajin meminta masayarakat untuk kontrol paling ga tekanan darah” Tahap penelitian tahun pertama dalam mengembangkan model peer support intervention dilakukan survey awal terhadap kebutuhan responden untuk mengidentifikasi kebutuhan akan dukungan sesama. Hasil penelitian yang didapatkan dari survei terhadap responden yang mengalami hipertensi adalah pengetahuan, sikap, dan ketrampilan pasien dalam mengelola hipertensi serta merasa penting adanya peer support.Survei dilakukan kepada keluarga didapatkan hasil berespon terhadap anggota keluarga yang menderita hipertensi dan memberikan dukungan yang maksimal kepada keluarga. Hasil survei terhadap Kecamatan didapatkan pentingnya manajemen stress dan gaya hidup sehat yang belum ada oleh masyarakat yang menderita hipertensi. Sedangkan survei ke puskesmas didapatkan hasil sikap masyarakat kurang baik (kurangnya kepatuhan pasien responden) susah mengatur gaya hidup). Terkait dengan adanya penyuluhan kesehatan, puskesmas memiliki program penyuluhan rutin namun puskesmas mengaku agak sedikit kesulitan mengajak masyarakat untuk mengikuti penyuluhan P1,2,3,4 “program penyuluhan puskesmas saat ini sangat banyak terkait dengan penyuluhan terutama hipertensi kami meminta agar masyarakat datang dan mengikuti penyuluhan dan kami pun memberi umpan balik” P5 dan 6 “Puskesmas yang ada di sini selalu rutin tiap kamis memberikan penyuluhan hipertensi” D. Kepedulian Pemerintah Ada dua orang camat yang yang dilakukan wawancara dan dari hasil wawancara didapatkan bahwa dari pihak pemerintahan sangat peduli dalam menurunkan hipertensi dan berharap agar masyarakat dapat merubah gaya hidup dan mengelola stress dengan baik P1 “seperti kita ketahui bahwa makanan kita saat ini banyak berlemak kalau masyarakat kita tidak mampu merubah gaya hidup maka akan berdampak buruk” “masyarakat suka lupa kalau tentang makanan” P2 “di kampung ini orangnya suka makan bersantan, kalau sudah makan suka lupa” P1 “sehubungan dengan ekonomi saat ini masyarakat memiliki beban hidup yangbanyak yang bisa buat stress dan akhirnya hipertensi” LPPM STIKes Perintis Padang DISKUSI Pengetahuan Hasil wawancara yang didapatkan adalah hampir semua partisipan merasakan tanda dan gejala yang sama, namun ada bervariasi bahkan kadangkadang tidak ada keluhan yang terasa saat tekanan darah meningkat. Partisipan banyak yang tahu tentang bahaya dari hipertensi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Malik, Yorsida, Erkin, Salim dan Hamajima (2014) didapatkan bahwa 65% pasien hipertensi memiliki pengetahuan yang baik terhadap hipertensi dan 35 % yang berpengetahuan rendah. Lebih lanjut penelitian ini menjelaskan pengetahuan akan mempengaruhi dalam perubahan perilaku hipertensi sehingga pendidikan edukasi sangat disarankan dalam penelitian ini. Penelitian yang sama dilakukan oleh Almas, Godil, Lalani, Samani, dan Khan (2012) tentang pengetahuan pasien hipertensi akan tetapi penelitian ini respondennya hampir dari sebagian memiliki pengetahuan yang rendah sehingga dalam merubah perilaku hidup sehat pasien hipertensi sangatlah susah dan mengakibatkan pasien hipertensi tidak terkontrol. Pengetahuan merupakan Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang yang diperoleh dari hasil pembelajaran 57 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana (Notoatmodjo, 2007).Berdasarkaan penelitian yang dilakukan oleh Samal, Greiseneggger, Auff, Lang, Lalousheck (2007) pasien yang terkena stroke berawal dari kurangnya pengetahuan pasien hipertensi dalam mencegah terjadinya komplikasi. Sikap Survei tentang sikap tentang hipertensi didapatkan hasil hampir semua partisipan berpendapat tidak pernah kontrol, kalau sakit saja, malas pergi, takut kebanyakan minum obat, dan tidak ada yang pergi mengantar. Sikap sangat erat hubungannya dengan kepercayaan,dan seseorang bersikap didasari dengan rasa percaya. Partisipan mempercayai bahwa kalau sakit saja baru pergi kontrol atau memeriksakan diri ke dokter.Penelitian yang dilakukan oleh Klinism Tsimtsou, Markaki, Galanakes, Symvoulakis (2014) menjelaskan bahwa kepercayaan dan sikap pasien mempengaruhi hasil dari pengobatan yang dilakukan pasien hipertensi.Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Sibouhi (2011) disampaikan bahwa meskipun pengetahuan pasien baik namun sikap dan kepercayaan tidak baik tekanan darah menjadi tidak terkontrol. Perilaku dan Gaya Hidup Kemampuan mengelola hipertensi peneliti menemukan dua cara yaitu secara fisik dan psikologis. Kemampuan secara fisik yaitu mengontrol diet dan aktivitas sedangkan secara psikologis yaitu bagaimana cara mengelola stress. Hasil penelitian ini sejalan dengan dilakukan oleh Iyalomhe dan Iyalomhe (2010) gaya hidup pasien yang mengalami berawal dari gaya hidup yang tidak sehat seperti tidak mampu mengelola stress. Penelitian Su et al (2013) cara menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi yaitu dengan memodifikasi gaya hidup. Penelitian ini dilakukan bersamaan dengan peer support efektif menurunkan tekanan darah di komunitas Peer Support Pendapat partisipan tentang peer support (dukungan sesama) didapatkan hasil bahwa partisipan membutuhkan dukungan sesama, dukungan sesama memberikan manfaat dan partisipan meminta agar dapat difasilitasi adanya wadah untuk berkumpul. Peer support sebagai salah satu intervensi yang diberikan kepada sekelompok sesama penderita hipertensi dimana ada harapan saling berbagi pengalaman tentang LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 sakitnya, cara penanganan dan pengontrolan hipertensi, selain dari penderita yang berkumpul juga dibantu dengan kelompok pendukung lainnya seperti keluarga, tenaga professional kesehatan seperti kader kesehatan. Kelompok sebaya adalah cara yang efektif dan kuat untuk memulai dan melaksanakan perubahan bagi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat (Edelman & Mandle, 2006). Menurut Stanhope dan Lancaster (2004), proses kelompok merupakan suatu bentuk intervensi keperawatan yang melibatkan klien, masyarakat dan kelompok yang berisiko tinggi melalui pembentukan kelompok.Hitchcock, Schubert dan Thomas (1999), menyebutkan bermacam bentuk kelompok seperti kelompok fitness, kelompok relaksasi, kelompok nutrisi, kelompok teman sebaya, kelompok pendidikan kesehatan dan kelompok pendukung. Menurut Lumbantobing (2008), penderita hipertensi biasanya selalu lalai dalam hal pengobatannya, selain itu seseorang penderita hipertensi juga erat kaitannya dengan psikologis, dan tidak dapat mengontrol makanannya. Berdasarkan hal tersebut, dibutuhkan adanya pendukung dalam bentuk dukungan sosial seperti kelompok sebaya dan kelompok pendukung lainnya yang dapat membantu dan mendukung dalam mengendalikan faktor risiko berupa modifikasi atau perubahan pola hidup menjadi perilaku yang sehat.Hal ini didukung oleh Pender, Murdaugh dan Parsons (2002) yang menyebutkan bahwa dukungan sosial dapat mempengaruhi perilaku kesehatan yang dapat menekan angka kejadian lebih lanjut. Penelitian yang dilakukan oleh Balcazar et al., (2009) terhadap penderita hipertensi di Meksiko Amerika, menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna terhadap pengontrolan hipertensi setelah dilakukan intervensi oleh suatu peer support berupa intervensi yang dilakukan oleh kelompok pendukung. Partisipan yang dilakukan penelitian adalah penduduk dewasa Meksiko yang menderita hipertensi yang berjumlah 98, dibagi dalam dua kelompok terdiri dari 58 partisipan untuk kelompok intervesi dan 40 partisipan untuk kelompok kontrol. Program peer support dengan pendekatan kelompok pendukung dilakukan selama 9 minggu. Sembilan minggu dibagi menjadi empat minggu pemberian materi dalam 6 sesi, empat minggu follow up, dan minggu terakhir sebagai minggu evaluasi. Materi yang diberikan oleh kelompok intervensi antara lain what you need to know high blood pressure, salt and 58 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana sodium, how to control your blood pressure, be more physically active dan eat less fat, saturated fat, cholesterol, maintain a healthy weight and make heart-healthy eating a family affair, eat healthy even when time or money is tight. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang bermakna dua perilaku kesehatan dalam mengontrol hipertensi melalui faktor resiko (garam dan sodium dan kolesterol dan lemak) antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Penelitian tentang kelompok pendukung juga dilakukan oleh Gellert, Aubert dan Mikami (2010) di Hawai. Penelitian dilakukan pada 61 penderita penyakit kronis dengan kelompok intervensi. Program dijalankan selama 12 minggu dan materi yang diberikan adalah understanding daily caloric needs, incorporating physical activity into your new lifestyle, modifying risk factor for diabetes, progress and challenges, preventing chronic kidney desease through diet modification, moods and foods (focusing on emotional triggers around eating), cancer-fighting foods, incorporating Hawaiian traditional medicine practices to treat chronic disease, increasing physical activity to achieve the recommended 1h/d, 5d/wk, meal planning, cardiovascular disease prevention. Hasil evaluasi pre dan post intervensi menunjukkan adanya perbedaan bermakna terkait dengan berat, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, dan total kolesterol. ISSN: 2548-3153 meningkatkan koping mekanisme dan kualitas hidup. Hayes et al (2010) melakukan penelitian tentang peer support dengan pendekatan peer leader pada 27 post tentara. Penelitian ini diberikan selama 2 tahun dimana materi yang diberikan berupa pendidikan kesehatan hipertensi, ketrampilan dan kepercayaan diri. Hasil penelitian didapatkan bahwa peer leader mampu meningkatkan manajemen diri tentara hipertensi. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Whittle et al (2014) tentang peer support untuk mendukung manajemen diri hipertensi pada tentara hipertensi di 58 posko. Ada 404 tentara yang diikutkan dalam pemberian pendidikan kesehatan hipertensi selama 12 bulan.Hasil penelitian didapatkan signifikan menurunkan tekanan darah dan meningkatkan manajemen diri. Model Peer Support Intervention Berdasarkan dari hasil penelitian diatas maka desain yang dirancang dalam model ini adalah menggunakan Health Promotion Model, Health Belief Model, Peer Support dan Self Care Theory. Dalam model tersebut kita memberikan pendidikan kesehatan, modifikasi gaya hidup dan meyakinkan pasien untuk dapat meningkatkan perilaku hidup sehat. 4. KESIMPULAN Penelitian yang dilakukan oleh Su et al (2013) tentang efektifitas modifikasi gaya hidup melalui peer support dalam memonitoring tekanan darah pasien hipertensi. Penelitian dilakukan pada 320 orang yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu 160 orang kelompok kontrol dan 160 orangkelompok intervensi. Penelitian ini dilakukan selama 12 bulan dengan materi pelatihan pengukuran tekanan darah, pendidikan kesehatan tentang makanan dan aktivitas fisik serta mengunakan kalkulator IMT sedangkan pada kelompok kontrol diberikan pengukuran IMT dan pembagian leaflet.Hasil didapatkan adanya peningkatan yang signifikan tentang kesadaran diet sehat, aktifitas fisik dan manajemen diri. Penelitian tentang peer support juga dilakukan oleh Ng, Amatya, & Khan (2013) pada pasien multiple sclerosis. Penelitian ini dilakukan pada 28 orang yang berhasil mengikuti tiga kali treatmen selama 12 bulan. Hasil penelitian didapatkan program peer support bermakna menurunkan depresi, meningkatkan fungsi fisik, LPPM STIKes Perintis Padang Pada penelitian tahap pertama ini dapat disimpulkan bahwa pengetahuan, sikap, perilaku, gaya hidup merupakan faktor yang mempengaruhi peningkatan perilaku pasien hipertensi didukung dengan adanya intervensi yang dilakukan peer support. Faktor tersebut mendukung adanya model peer support intervention menggunakan Health Promotion Model, Health Belief Model, Peer Support dan Self Care Theory. Penelitian ini menyarakan agar model tersebut dilakukan uji coba model dan uji coba pemakaian model. 5. REFERENSI Almas, A., Godil, S.S., Lalani,S., Samani, Z.A.,& Khan. A. (2012).Good knowledge about hypertension is linked tobetter control of hypertension; A multicentrecross sectional study in Karachi, Pakistan. BMC Research Notes 2012,5:579 Balcazar, H.G., Byrd, T.L., Ortiz, M., Tondapu, S.R., & Chaves, M. (2009). A randomized 59 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana community hypertension control among Mexican Americans: Using the promotoras de salud community outreach model. Journal of Health Care for the Poor and Underserved. 20, 1079-1094. Black, J.M., & Hawks, J.H. 2009.Medicalsurgical nursing: Clinical management for positive outcomes. Eight edition. Singapore: Saunders Elsevier. Burke, M.M., & Laramie, J.A. 2000. Primary care of the older adult: a multidisciplinary approach. First edition. Philadelphia: Mosby. Edelman, C.L., & Mandle, C.L. 2006. Health Promotion: Throughout the life span. Sixth edition. St.Louis Missouri: Mosby Gellert, K.S., Aubert, R.E., & Mikami, J.S. 2010. Ke ‘Ano Ola: Moloka’i’s communitybased healthy lifestyle modification program. American Journal of Public Health. 100(5), 779-783 GHO. 2014. Raised blood pressure. Diakses tanggal 21 April 2015 di http://www.who.int/gho/ncd/risk_factors/blo od_pressure_prevalence_text/en/ Hayes, A et al. 2010. Preliminary description of the Feasibility of using Peer leaders to encourage Hypertension SelfManagement.Wisconsin Medical Journal 2010 Volume 109, No. 2 Heiser. 2006. Building Peer Support Programs to Manage Chronic Disease: Seven Models for Success. Diakses tanggal 21 April 2015 di http://www.chcf.org/~/media/MEDIA%20LI BRARY%20Files/PDF/B/PDF%20Building PeerSupportPrograms.pdf Iyalomhe, G & Iyalomhe, S. (2010). Hypertension-related knowledge, attitudes and life-style practices among hypertensive patients in a sub-urban Nigerian community.Journal of Public Health and Epidemiology Vol. 2(4), pp. 71-77, July 2010 Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta :Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Luekenotte, A.G., & Meiner. 2006. Gerontologic Nursing. St Louis: Mosby Lumbantobing, S.M. 2008. Tekanan darah tinggi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Malik, A., Yoshida, Y., Erkin, T., Salim, D., & Hamajima, N. (2014).Hypertension-Related Knowledge, Practice And Drug Adherence Among Inpatients Of A Hospital In LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Samarkand, Uzbekistan. Nagoya J. Med. Sci. 76. 255 ~ 263, 2014 McMurray, A. 2003.Community health and wellness: A sociological Approach. Philadelphia: Mosby Moser, D.K., & Riegel, B. 2008.Cardiac nursing : A companion braunwald’s heart disease. Philadelphia : Saunders Elsevier Ng, L., Amatya, B., & Khan, F. 2013. Sclerosis in an Australian Community Cohort: A Prospective Study. Journal of Neurodegenerative Diseases Volume 2013 Pender, N.J., Murdaugh, C.L., & Parsons, M.A. 2002.Health Promotion in nursing practice.Fourth edition. New Jersey: Prentice Hall. Sabouhi, F., Babaee, S., Naji, H., & Zadeh, A. H. (2011). Knowledge, awareness, attitudes and practice about hypertension in hypertensive patients referring to public health care centers in Khoor & Biabanak. Iranian Journal of Nursing and Midwifery Research, 16(1), 34– 40. Samal, D.,Greisenegger, S., Auff , E., Lang, W.,& Lalouschek W. (2007). The Relation Between Knowledge About Hypertension and Education in Hospitalized Patients With Stroke in Vienna. http://dx.doi.org/10.1161/01.STR.000025973 3.43470.27 Stroke. 2007;38:1304-1308 Originally published March 26, 2007 Stanhope, M., & Lancaster, J. 2004.Community & public health nursing.Sixth edition. St Louis Missouri: Mosby. Stanley, M., Blair, K.A., & Beare, P.G. 2005.Gerontological nursing: Promoting successful aging with older adults. Third edition. Philadelphia: F.A Davis Company. Su, et al. (2013). The effectiveness of a life style modification andpeer support home blood pressure monitoring incontrol of hypertension: protocol for a clusterrandomized controlled trial. BMC Public Health 2014,14 (Suppl 3):S4 http://www.biomedcentral.com/14712458/14/S3/S4 Su, T.T et al. 2013. The effectiveness of a life style modification and peer support home blood pressure monitoring in control of hypertension: protocol for a cluster randomized controlled trial. BMC Public Health 2014, 14 (Suppl 3):S4 60 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Whittle, J et al. 2014. Randomized trial of peerdelivered self managemen support for hypertension.American journal of hypertension publish April 2014 LPPM STIKes Perintis Padang 61 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 TEKNIK RELAKSASI FINGER HOLD MENURUNKAN SKALA NYERI PADA PASIEN CEDERA KEPALA RINGAN Lisa Mustika Sari1, Aldo Yuliano2, Meldia Aprisa Shinta3, Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKes Perintis Padang Email: [email protected] Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKes Perintis Padang Email : [email protected] Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKes Perintis Padang Email : [email protected] Abstract Head injury is a traumatic disruption of brain function with interstitial hemorrhage in the brain substance without being followed by the dissolution of the continuity of the brain. Based on the interview with the head of the surgical room RSAM Bukittinggi found head injury patients are only given pharmacological actions are like analgesics. Analgesics have an impact on the body such as liver disorders, kidney disorders, and allergic reactions. Therefore, researchers wanted to examine nonpharmacological measures in patients with head injury such as relaxation techniques finger hold. The aim of research to see average before and after as well as the effects of relaxation techniques finger hold on the pain scale decline in patients with mild head injury in the surgical room RSAM 2016. The study design using the quasi experimental Design, in the form of One Group Pre-Post Test Design made for 10 minutes. Samples in this study of 10 people with a sampling technique accidental sampling. Collecting data using observation sheets, statistical tests using test formula Paired T-Test. This study showed that on average before 6.47 and after 6.07 and decreased pain in head injury patients with p value <α (0.003 <0.05). Based on the results of this study concluded that giving the finger hold relaxation techniques can reduce pain in patients with head injury. It is suggested to nursing care therapy techniques can be applied as a finger hold terapy that will enhance patients' ability to cope with pain. apply non pharmacological techniques Finger Hold as intervention techniques and making room Nursing Service Standards in treating patients with head ceder especially in pain management in the Standard Operational Procedures (SOP). Keywords: Head Injury, Pain, Relaxation Technique Finger Hold. 1. PENDAHULUAN Otak merupakan organ yang sangat vital bagi seluruh aktifitas dan fungsi tubuh, karena didalam otak terdapat berbagai pusat kontrol seperti pengendalian fisik, intelektual, emosional, sosial dan keterampilan. Walaupun otak berada dalam ruang yang tertutup dan terlindung oleh tulang tulang yang kuat namun dapat juga mengalami keruskan . Salah stu penyebab dari kerusakan otak adalah terjadinya trauma atau cedera kepala yang dapat menyebabkan keruskan struktur otak sehingga fungsinya juga dapat terganggu ( Black & Hawks, 2014). Angka Kejadian cedera kepala semakin tahun semakin bertambah, hal ini seiring dengan meningkatnya angka kejadian kecelakaan, Berdasarkan data dari Riskedas Tahun 2013 telah menunjukkan angka cedera akibat kecelakaan transportasi darat di Provinsi Sumatera Barat LPPM STIKes Perintis Padang adalah nomor 5 tertinggi di Indonesia, sebesar 54,9%, lebih tinggi dari rata – rata angka nasional 47,7%. Angka cedera akibat kecelakaan transportasi darat di Sumatera Barat tahun 2014 menempati nomor lima tertinggi di Indonesia dengan jumlah kejadian 564.242 atau 54,9 persen, lebih tinggi dari rata rata nasional. Berdasarkan data dari Medical Record Rumah Sakit Uum Dr. Ahmad Mochtar Bukittinggi didapatkan jumlah pasien yang mengalami cedera kepala ringan meningkat setiap tahunnya dimana selama tahun 2014 terdapat 77 orang yang mengalami cedera kepala ringan, tahun 2015 sebanyak 118 orang, dan data yang didapatkan pada bulan Januari, Februari, dan Maret 2016 terdapat 80 orang pasien yang mengalami cedera kepala (Rekam Medis RSUD Dr. Ahmad Mochtar Bukittinggi, 2016). 62 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Kasus cedera kepala lebih banyak melibatkan kelompok usia produktif, yaitu antara 15-44 tahun (dengan usia rata-rata sekitar 30 tahun) dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Adapun penyebab yang tersering adalah kecelakaan lalu lintas (49%) dan kemudian disusul dengan jatuh (terutama pada kelompok usia anak-anak) (Satyanegara, Ilmu Bedah Saraf, 2010).Meningkatnya jumlah kecelakaan ini dapat meningkatkan angka kejadian cedera kepala ringan lebih banyak ( 80%) dibandingkan cedera kepala sedang ( 10%) dan cedera kepala berat ( 10%) .( Irwana, 2009). Diperkirakan lebih dari 30% kasus cedera kepala berakibat fatal sebelum datang dibawa kerumah sakit dan 20% kasus cedera kepala mengalami komplikasi sekunder seperti iskemia serebral akibat hipoksia dan hipotensi, perdarahan serebral serta oedema serebral ( Black & Hawk, 2014)Komplikasi lain yang terjadi pada cedera kepala adalah peningkatan tekanan intrakranial, yaitu tekanan yang terjadi pada ruang serebral akibat bertambahnya volume otak melebihi ambang toleransi dalam ruang kranium. Hal ini dapat disebebkan karena edema serebri dan perdarahan serebral. Slah satu gejala dari peningkatan tekann intrakranila adalah adanya nyeri kepala. Nyeri kepala postraumatik dikelompokan menjadi dua yaiyu nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri kepala akut terjadi setelah trauma sampai 7 hari, sedangkan nyeri kronik terjadi setelah 3 bualan pasca cedera kepala ( Perdossi, 2010). Menurut evan, al, dalam Wijayasakti, 2009 , pada cedra kepala ringan, nyeri kepala meruapakan keluahan yang paling sering terjadi yaitu sekitar 82%. Keadaan nyeri ini terjadi akibat perubahan organik atau keruskan syaraf otak, oedema otak dan peningkatan tekanan intraknial kareana sirkulasi serebral yang tidak adekuat. ( Black& Hawk 2014). Nyeri kepala pada pasien tentu menimbulkan tentu menimbulkan perasaan tidak nyaman, hal ini menimbulakan perasaan tidak nyaman dan hal ini akan berpengaruh pada aktifitasnya, tidak terpenuhinya kebutuhan dasar, bahkan berdampak pada faktor psikologis seperti menarik diri, menghindar percakapan, menghindari kontak dengan orang lain ( Potter& Perry, 2006). Prinsip utama dalam penanganan nyeri kepala post truma kepala dalah adekuanya perfusi jaringan otak dengan memepertahankan takanan perfusi serebral 60 mmhg atau lebih dan mengurangi tekananan intrakranial kurang dari 25 LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 mmhg sehingga oksigen terjaga. ( Stifel, et alldalam Tarwoto 2013). Standar Pelayanan keperawatan pada pasein cedera kepala ringan di RSUD achmad Mochtar yaitu dengan mengobservasi tingkat kesadaran, tanda tanda vital , defisit neurologi, peningkatan intrakranial dan nyeri kepla. Pasien dianjurkan mengurangi katifitas dan mengindari valsavava manuever dan berkolaborasi dengan tim medis lain dalam pemberian obat obatan untuk mengurangi edema sebri, antibiotik dan analgetik. Hasil observasi peneliti penatalaksanann nyeri kepala pada pasien dengan cedera kepala ringan belum dilakukan dengan teknik non farmakologik seperti terapi behavioral( relaksasi, hipnoterapi, biofeedback) maupun terapi fisik seperti akupuntur, traskutaneues electric nerve stimulation ( TENS). Untuk mengurangi nyeri perawat hanya mengajarkan kepada pasien dengan teknik nafas dalam.Teknik relaksasi dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Salah satu teknik relaksasi yang dapat menurunkan nyeri adalah teknik relaksasi genggam jari (finger hold). Teknik relaksasi genggam jari (finger hold) merupakan teknik relaksasi yang sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh siapapun yang berhubungan dengan jari tangan serta aliran energi didalam tubuh (Liana, 2008).Dari hasil penelitian Iin Pinandita dkk 2012, p value sebesar 0,001 (p < α), maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan skala nyeri sebelum dan sesudah pemberian teknik relaksasi finger hold pada pasien post laparatomi. Dari hasil penelusuran penulis penelitian penelitian yang sudah ada umumnya teknik relaksasi seperti Tekni rekasasi Slow deep breathing sudah dilakukan pada pasien dengan nyeri kepala post trauma. Penelitian tentang teknik finger Hold belum dilakukan pada pasien dengan cedera kepala, sehingga penelitin tertarik ingin membeutikan bahwa apakah teknik non farmakologis finger hold mampu menurunka nyeri kepala pada pasien cedera kepala ringan. 2. METODE PENELITIAN Desain penelitian menggunakan QuasiEksperimen dengan pendekatan One Grup Pretest- Postest yaitu sebelum diberi teknik relaksasi finger hold akan diukur skala nyeri pasien cedera kepala kemudian setelah itu diberikan teknik relaksasi finger hold kemudian diukur lagi scala nyeri pasien cedera kepala dengan mengunakan alat ukur Numerik rating 63 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana scale ( NRS)Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang dirawat diruang bedah RSAM seakam 1 Bulan adalah 27 orang Sampel adalah bagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili keseluruhan objek yang diteliti (Notoadmodjo, 2012).Sampel dalam penelitian ini adalah pasien dirawat diruang bedah dengan kriteria inklusi dan kriteria ekslusi yang telah ditetapkan.yaitu 10 responden dengan kriteria inklusi (1)Bersedia untuk diteliti;(2) GCS pasien 12-15;(3) bisa diajak komunikasi;(4) Mempunyai respon terhadap teknik relaksasi genggam;(5) Pasien yang dirawat lebih dari 3 hari. Teknik sampling yang peneliti gunakan adalah aksidental sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan secara kebetulan bertemu. Apabila dijumpai ada maka sampel tersebut diambil dan langsung dijadikan sebagai sampel utama ISSN: 2548-3153 Beberapa metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, pengkajian dilakukan 6 jam setelah pasien mendaptkan terapi farmakologi dan dalam keadaan sadar penuh. Pasien kemudian diberi penjelasan tentang penelitian, tujuan dan manfaat teknik Finger Hold setelah pasien mengerti dan setuju maka pasien mennada tangani lembar persetujuan dan peneliti dapat melakuka pengambilan data . 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan Tabel 3.1 terlihat bahwa dari 10 responden diketahui bahwa di RSAM Bukittinggi tahun 2016 sebelum dilakukan intervensi dengan rata-rata skala nyeri adalah 6,47 dengan standar deviasi 1,103. Tabe 3.l. Distribusi Rata-rata skala nyeri Sebelum Dilakukan Teknik Relaksasi Finger Hold Variabel n Mean Min- Max SD 95%CI Rerata Skala Nyeri Sebelum dilakukan intervensi 10 6,47 5-8 1,103 5,68 Berdasarkan Tabel 3.2 terlihat bahwat dari 10 responden diketahui bahwa di RSAM Bukittinggi setelah dilakukan intervensi dengan rata-rata nyeri adalah 6,07, standar deviasi 1,305, dengan 95 % CI 5,13. Variabel Tabel 3.2. Rata-rata Skala Nyeri Setelah Dilakukan Teknik Relaksasi Finger Hold n Mean Min -Max SD 95%CI Rerata Frekuensi pernafasan setelah dilakukan intervensi 10 6,07 4-8 1,305 5,13 Berdasarkan Grafik 3.3.terlihat bahwarata-rata skala nyeri pada pasien cedera kepala ringan mengalami penurunan setelah dilakukan teknik relasasi finger hold dimana terlihat pada grafik diatas di hari ketiga sebelum diberi perlakuan teknik relaksasi finger hold sebesar 6,1 setelah diberi perlakuan menurun menjadi 5,2. LPPM STIKes Perintis Padang 64 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Grafik 3.3. Rata-Rata Skala Nyeri Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Teknik Relaksasi Finger Hold 8 7 7 6.9 6.6 6 6.1 5.8 5.2 5 4 3 2 1 0 pre 1 post 1 pre 2 post 2 pre 3 post 3 Tabel 3.4 terlihat bahwa rata-rata penurunan skala nyeri sebelum dan sesudah yaitu 0,4 dengan standar deviasi 0,202. Pengaruh ini di uji dengan uji paired test menghasilkan nilai p=0,003, dimana nilai p < α (0,05), maka dapat disimpulkan ada pengaruh yang signifikan Teknik relaksasi finger hold terhadap penurunan skala nyeri pada pasien cedera kepala. Tabel 3.4 Rata-Rata Perbedaan Penurunan Skala Nyeri Sebelum dan Sesudah Teknik Finger Hold Variabel Kelompok RataRata SD SE pValue n t Penurunan skala nyeri Total Pre 6,47 1,103 0,349 Total Post Selisih 6,07 0,4 1,305 0,202 0,413 0,064 PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian pada 10 orang responden dimana delapan berjenis kelamin lakilaki dan 2 berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan tabel 1 diatas dilihat dari 10 responden diketahui bahwa di RSAM Bukittinggi Tahun 2016 sebelum dilakukan intervensi dengan rata-rata skala nyeri adalah 6.47 dengan standar deviasi 1.103.Menurut Smeltzer & Bare (2002) Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. Sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Herfina (2009), dengan pembahasan tentang “pengaruh kompres air hangat terhadap penurunan skala nyeri pada klien rematik” sebelum di lakukan kompres air hangat didapatkan dari 18 orang responden yang mengalami nyeri berat 8 responden (44,4%), nyeri sedang 10 responden (55,6%). Menurut analisis peneliti, hasil ukur dimana nilai nyeri tersebut dapat diukur dan ditentukan dengan nilai berkisar antara 1-10. LPPM STIKes Perintis Padang 0,003 10 4,143 Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan teori yang ada, penelitian dapat menyimpulkan bahwa lebih dari sebagian besar responden mengalami penurunan skala nyeri sebelum dilakukan teknik relaksasi finger hold. Ini terbukti dari penelitian yang dilakukan peneliti. Rata-rata skala nyeri setelah dilakukan teknik finger hold Berdasarkan tabel 5.2 diatas dilihat dari 10 responden diketahui bahwa di RSAM Bukittinggi setelah dilakukan intervensi dengan rata-rata penurunan skala nyeri adalah 6.07 dengan standar deviasi 1.305.Menurut Alimul (2006) nyeri adalah kondisi berupa perasaan tidak mengenangkan bersifat sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala dan tingkatannya dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan nyeri yang di alaminya.Nyeri timbul akibat adanya rangsangan oleh zat-zat algesik pada reseptor nyeri yang banyak di jumpai pada lapisan superfical kulit dan beberapa jaringan didalam tumbu. Resepter nyeri 65 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana merupakan ujung-ujung bebas serat syaraf aferen A delta dan C. Resptor – reseptor ini disktifkan oleh adanya rangsangan – rangsangan dengan intensitas tinggi.Menurut Liana (2008) dalam Pinandita (2011) teknik relaksasi genggam jari (finger hold) merupakan teknik relaksasi dengan jari tangan serta aliran energi didalam tubuh. Relaksasi genggam jari menghasilkan impuls yang di kirim melalui serabut aferen non-nosiseptor. Serabut saraf non-nosiseptor mengakibatkan “gerbang” tertutup sehingga stimulus pada kortek serebri dihambat atau dikurangi akibat counter stimulasi relaksasi dan mengenggam jari. Sehingga skala nyeri akan berubah atau mengalami modulasi akibat stimulasi relaksasi genggam jari yang lebih dahulu dan lebih banyak mencapai otak (Pinandita, 2012 )Sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Herfina (2009), dengan pembahasan tentang “pengaruh kompres air hangat terhadap penurunan skala nyeri pada klien rematik” setelah di lakukan kompres air hangat didapatkan dari 18 orang responden yang mengalami nyeri ringan 9 responden (50,0%), nyeri sedang 9 responden (50,0%). Menurut analisis peneliti nyeri timbul akibat adanya rangsangan oleh zat-zat algesik pada reseptor nyeri yang banyak di jumpai pada lapisan superfical kulit dan beberapa jaringan didalam tubuh oleh karna itu teknik relaksasi finger hold dapat mengurangi nyeri cedera kepala dan juga dapat melancarkan aliran dalam darah, mengurangi perasaan panik, menenangkan pikiran dan dapat mengontrol emosi. Nyeri disebabkan oleh stimulus termal, mekanik, kimiawi dan stimulus listrik yang menyebabkan pelepasan substansi nyeri yang tergabung dengan lokasi reseptor di Nosiseptor (reseptor yang berespon terhadap stimulus yang membahayakan) untuk memulai transmisi neural yang dikaitkan dengan nyeri (Clancy dan McVicar, 1992 dalam Potter & Perry,2005 ). Nosisseptor tersebar luas pada kulit dan mukosa dan terdapat pada struktur-struktur yang lebih dalam seperti pada visera, persendian, dinding arteri, hati dan kandung empedu (Kozier, 2004).Impuls saraf, yang dihasilkan oleh stimulus nyeri, menyebar disepanjang saraf perifer dan mengkonduksi stimulus nyeri: serabut A-Delta bermielin dan cepat dan serabut C yang tidak bermielinasi dan berukuran sangat kecil serta lambat. Serabut A mengirim sensasi yang tajam, terlokalisasi dan jelas yang melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri (Potter & Perry, 2005).Serabut C menyampaikan impuls yang terlokalisasi buruk, viseral dan terus menerus LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Transmisi stimulus nyeri berlanjut di sepanjang serabut saraf aferen dan berakhir di bagian kornu dorsalis medula spinalis. Di dalam kornu dorsalis, neurotransmiter seperti substansi P dilepaskan, sehingga menyebabkan suatu transmisi sinapsis dari saraf perifer (sensori) ke saraf traktus spinotalamus (Paice, 1991 dalam Potter & Perry, 2005), yang memungkinkan impuls nyeri ditransmisikan lebih jauh ke dalam sistem saraf pusat. Di traktus ini juga terdapat serabut-serabut saraf yang berakhir di otak tengah, yang menstimulasi daerah tersebut untuk mengirim stimulus kembali ke bawah kornu dorsalis di medula spinalis (Paice, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Setelah impuls nyeri naik ke medula spinalis, informasi ditransmisikan dengan cepat ke otak, termasuk pembentukan retikular, sistem limbik, talamus, dan korteks sensori dan korteks asosiasi. Seiring dengan transmisi stimulus nyeri, tubuh mampu menyesuaikan diri atau memvariasikan resepsi nyeri. Terdapat serabut saraf di traktus spinotalamus yang berakhir di otak tengah, menstimulasi daerah tersebut untuk mengirim stimulus kembali ke bawah kornu dorsalis di medula spinalis. Serabut ini disebut sistem nyeri desenden, yang bekerja dengan melepaskan neuroregulator yang menghambat transmisi stimulus nyeri (Paice, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Relaksasi genggam jari menghasilkan impuls yang di kirim melalui serabut aferen nonnosiseptor. Serabut saraf non-nosiseptor mengakibatkan “gerbang” tertutup sehingga stimulus pada kortek serebri dihambat atau dikurangi akibat counter stimulasi relaksasi dan mengenggam jari. Sehingga skala nyeri akan berubah atau mengalami modulasi akibat stimulasi relaksasi genggam jari yang lebih dahulu dan lebih banyak mencapai otak (Pinandita, 2012 : 41). Menurut penelitian Tarwoto (2011), menyatakan bahwa Latihan slow deep breathing dapat meningkatkan suplai oksigen ke otak dan dapat menurunkan metabolisme otak sehingga kebutuhan oksigen otak menurun.. Hasil penelitian diperoleh ada perbedaan yang bermakna rerata intensitas nyeri kepala akut pada pasien cedera kepala ringan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah dilakukan latihan SDB (p=0,000, α = 0,05). Menurut asumsi peneliti, berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan didapatkan bahwa pada pasien yang mengalami cedera kepala 66 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana setelah melakukan teknik relaksasi finger hold nyeri yang dirasakan pasien menurun dengan ratarata 6, 07. Pengaruh teknik relaksasi finger hold terhadap penurunan skala nyeri akan terlihat setelah beberapa kali melakukan secara benar dan teratur yaitu pada hari ke 3 setelah melakukan teknik relaksasi finger hold. Berdasarkan hasil penelitian dan uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa dilihat teknik relaksasi finger hold dapat mengurangi nyeri pada pasien cedera kepala. 4. KESIMPULAN Pengaruh Teknik Relaksasi Finger Hold Terhadap Penurunan Nyeri Pada Pasien Cedera Kepala Ringan Di Ruangan Bedah RSAM Bukittinggi Tahun 2016. a. Rata-rata nyeri sebelum dilakukan teknik relaksasi finger hold yaitu 6.47. b. Rata-rata nyeri sesudah dilakukan relaksasi finger hold yaitu 6.07. c. Terdapat pengaruh secara signifikan antara teknik relaksasi finger hold dengan penurunan nyeri setelah dilakukan teknik relaksasi finger hold dengan nilai p = 0,003 (p<0,005). SARAN Saran bagi pelayanan keperawatan Strategi manajemen nyeri non farmakologi dengan terapi teknik finger holddapat diterapkan sebagai terapy yang tepat untuk meningkatkan kemampuan pasien mengatasi rasa nyeri. Mengingat kompleksnya aspek nyeri dan banyaknya keluhan nyeri yang ditemukan pada setiap pasien, maka sudah saatnya perawat untuk dapat menerapkan teknik non farmakologis Teknik Finger Holdsebagai intervensi ruangan dan menjadikannya Standar Pelayanan Keperawatan dalam merawat pasien dengan ceder kepala khusunya dalam penagangan management nyeri yang dituangakan dalam Standar Operational Prosedur ( SOP ). Bagi Pendidikan memahami lebih dalam lagi fisiologis Terapi Finger Holddan dapat dipertimbangan sebagai intervensi mandiri dan dijadikan bahan literatur khususnya mata ajar keperawatan medikal bedah yang berhubungan dengan manajemen nyeri yang efektif dan juga penelitian ini diharapkan sebaga bagian dari program pendidkan yang bertujuan untuk menambah wawasan. 5. ISSN: 2548-3153 Hasil yang diharapkan, edisi 8 buku 2, Elsevier. Liana, Emmmy Dewi, ( 2008) Pemerhati dan Praktisi Kesehatan Holistik .Jakarta Herfina (2009), Pengaruh kompres air hangat terhadap penurunan skala nyeri pada klien rematik di Rsud Ulin Banjarmsin Irwana, o, ( 2009). Cedrea Kepala . http://belibisa17.com/2009/05/25/cederake pala/, diakses tanggal juni 2016 Pinandita et al. 2012.Pengaruh Terapi Finger Hold Terhadap neyri pasien post laparatomi di Rumah Sakit Eka Hospital BSD Medical Record RSAM. 2016. Data Pasien Cedera Kepala. Bukittinggi : RSAM. Notoadmodjo.2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Perry & Potter. 2005. Fundamental of Nursing (Fundamental Keperawatan). Jakarta : Salemba Medika. Perdosssi.(2010). Konsesus Nasional III, Diagnostik dan Penalatksanaan Nyeri Kepala, Kelompok Studi Nyeri Kepala. Surabaya: Airlangga University Press Riskesdas Sumatera Barat. 2013 : Data Riskesdas Sumatera Barat. Satyanegara, (2010). Ilmu Bedah Saraf, Edisi IV. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Smeltzer, S C & Bare, B G. 2005. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 3. Agung Waluyo (penterjemah). Jakarta : EGC. Tarwoto, (2013). Keperawatan Medikal Bedah, Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Sagung Seto Tarwoto ( 2011). Pengaruh Slow deep Breathing terhadap nyeri kaut pada pasien cedera kepala di RSUP Fatmawati, Tesis, http;//lontar lib ui.com. diakses juni 2016 Wijayasakti, R( 2009) Glasgow Coma Scale dengan keluahan Nyeri Kepala pasca Trauma Pada Pasien Cedera Kepala Di Rumah Sakit PKU muhammadyah Karanganger, Skripsi, Fakutas Kedokteran Universitas Muhammdiah Surakar REFERENSI Black, M.J, & Hawk, H.J.( 2014). Keperawatan Medikal Bedah Manajemen klinis untuk LPPM STIKes Perintis Padang 67 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 PENGARUH SENAM DIABETES MELITUS DENGAN NILAI ABI PADA PASIEN DM DI PUSKESMAS ANDALAS PADANG Melti Suriya 1 STIKes Alifah, Padang 25000 Email: [email protected] 1 Abstract Data from the World Health Organization declared the number of patients with diabetes mellitus (DM) in the world reached 347 million people and more than 80% of deaths due to diabetes. Indonesia was rated fourth in the world with DM and the province of West Sumatra has a prevalence of DM (1.3%). DM patients have thickening on toenail which can increase the risk of complications such as diabetic ulcers and amputation risk patients with diabetic ulcers. The aim of this research is to determine the effect of DM Gymnastics Rated ABI (angkle Brachial Index) in Andalas Community Health Center Padang 2016. The type of this research is quasi experiment. The research sample is 30 diabetes mellitus patients with purposive sampling technique in February-August 2016. The data were analyzed by using statistical tests dependent T-test, independent t-test with a 95% confidence level α = 0.05. The results showed that average values before treatment gymnastics ABI diabetes with a mean value was 0.7, the standard deviation was 0.488. The average value of ABI after exercise treatment of diabetes with a mean value was 1.1, the standard deviation was 0.516. There are differences between the mean before and after treatment in the intervention group with p value = 0.001. It is expected to be able to provide counseling and do diabetes mellitus gymnastic routine 2 times a week. Keywords : Diabetes Mellitus and ABI 1. PENDAHULUAN ADA (American Diabetes Association) 2014 menjelaskan bahwa jumlah penderita DM di dunia mencapai 347 juta orang dan lebih dari 80% kematian akibat DM terjadi pada negara miskin dan berkembang. Sedangkan dalam Diabetes Atlas 2000 IDF (International Diabetes Federation) diperkirakan pada tahun 2020 nanti DM sejumlah 178 juta penduduk Indonesia berusia diatas 20 tahun dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4,6%. Pasien DM di Indonesia diperkirakan berjumlah 7 juta penduduk pada tahun 2009, meningkat menjadi 7,6 juta penduduk pada tahun 2011, dan menjadi 8,5 juta penduduk pada tahun 2013. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, angka prevalensi diabetes melitus tertinggi terdapat di provinsi Kalimantan Barat dan Maluku Utara (masing-masing 11,1 persen), diikuti Riau (10,4 persen) dan NAD (8,5 persen) sedangkan provinsi Sumatera Barat mempunyai prevalensi DM (1,3 persen). Pasien DM dapat mengalami penurunan kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin atau penurunan produksi insulin oleh pankreas (Smeltzer & Bare, 2002). Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, DM adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena LPPM STIKes Perintis Padang kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduaduanya. Lebih dari 90 persen dari semua populasi diabetes adalah diabetes melitus tipe 2 yang ditandai dengan penurunan sekresi insulin karena berkurangnya fungsi sel beta pankreas secara progresif yang disebabkan oleh resistensi insulin. Diabetes Melitus dapat diklasifikasikan dalam empat tipe yaitu : DM tipe 1(DMT1) tergantung insulin (Insulin Dependent Diabetes Melitus/IDDM),DM tipe 2 (DMT2) tidak tergantung insulin (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus/NIDDM) dan DM tipe gestasional, dan DM karena penyebab lain (Smeltzer & Bare , 2009). Perkiraan peningkatan kasus DM diakibatkan oleh faktor gaya hidup, diantaranya oleh faktor genetik,obesitas, pola makan yang salah, obat-obatan yang dapat mempengaruhi kadar glukosa darah, umur, kehamilan. Sebagai tambahan, stress juga berkontribusi terhadap terjadinya diabetes melitus (Soegondo, dkk 2009). Faktor resiko DM tipe 2 dapat dikategorikan menjadi faktor yang dapat dirubah dan yang tidak dapat dirubah. Faktor yang tidak dapat dirubah antara lain : etnisitas, usia, jenis kelamin, genetik, diabetes gestasional. Faktor-faktor yang dapat dirubah antara lain yaitu obesitas, kurang aktivitas, merokok, diet, dan alkohol (Sari, 2012) 68 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Gangguan metabolik yang distimulasi oleh penimbunan sorbitol dan fruktosa tersebut dapat secara langsung ataupun tidak langsung merusak sel saraf. Gangguan neurovaskular yang terjadi akan mengganggu suplai darah dan oksigen menuju sel saraf (Subekti, 2009). Kerusakan sel saraf akibat DM atau neuropati DM dapat mengenai seluruh saraf tubuh baik serat saraf sensorik, motorik, dan otonom (Suyono, 2013). Upaya pengelolaan DM yang lebih baik, terencana, dan berkesinambungan harus dilaksanakan berdasarkan empat pilar manajemen DM yaitu : latihan jasmani, terapi gizi medis , edukasi, dan terapi farmakolgi. Penatalaksanaan pada DM tipe-2, memerlukan terapi agresif untuk mencapai kendali glikemik dan kendali faktor risiko kardiovaskular (Suyono, 2013). Latihan fisik sebagai salah satu pilar tatalaksana pasien DM sangat bermanfaat dalam kontrol glukosa darah, terutama pada pasien DM tipe 2. Latihan fisik dapat meningkatkan permeabilitas membran sel terhadap glukosa sehingga resistensi insulin berkurang atau sensitivitas/respon reseptor pada sel terhadap insulin meningkat. Manfaat yang didapat dengan latihan fisik akan optimal apabila memperhatikan frekuensi, intensitas, dan durasi latihan (Sari, 2012). Salah satu latihan fisik yang dianjurkan pada pasien DM adalah senam diabetik (Akhtyo, 2009). Latihan Senam Diabetes yang dilakukan dengan cara menggerakkan otot dan sendi kaki. Senam dilakukan untuk memperbaiki sirkulasi darah, memperkuat otot-otot kecil, mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki, meningkatkan kekuatan otot betis dan paha, serta mengatasi keterbatasan gerak sendi. Dengan adanya pergerakan pada otot-otot yang beraktivitas dapat meningkatkan insulin. Insulin yang semula tinggi di pembuluh darah dapat digunakan sel otot sebagai energi. Kadar glukosa darah yang tinggi secara perlahan akan menurun karena digunakan oleh sel otot. Penurunan kadar glukosa darah juga akan mengurangi timbunan glukosa, sorbitol, dan fruktosa pada sel saraf. Hal ini akan meningkatkan sirkulasi dan fungsi sel saraf atau meningkatkan sensitivitas saraf kaki dan menurunkan risiko/mencegah terjadinya ulkus kaki diabetik ,untuk mencegah ulkus diabetik maka dilakukan pengukuran ABI (Subekti, 2009). Angkle Brachial Index (ABI) adalah invasif tes non skrining vaskular untuk mengidentifikasi penyakit arteri perifer dengan membandingkan sistolik tekanan darah di pergelangan kaki ke yang lebih tinggi dari brakialis yang tekanan darah LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 sistolik, yang merupakan estimasi terbaik dari pusat tekanan darah sistolik. Pemeriksaan ABI sangat berguna untuk mengetahui adanya penyakit arteri perifer (PAP). Pada pasien yang mengalami gangguan peredaran darah kaki maka akan ditemukan tekanan darah tungkai lebih rendah dibandingkan dengan tekanan darah lengan yang dapat dilihat dari skor ABI (Ostemy, 2011). Gangguan aliran darah pada kaki dapat dideteksi dengan mengukur ankle brachial index (ABI) yaitu mengukur rasio dari tekanan sistolik di lengan dengan tekanan sistolik kaki bagian bawah. ABI dihitung dengan membagi tekanan sistolik di pergelangan kaki dengan tekanan darah sistolik di lengan. Pemeriksaan ABI sangat berguna untuk mengetahui adanya penyakit arteri perifer (PAP). Penyakit arteri perifer merupakan manifestasi paling sering adanya aterosklerosis perifer yang menyebabkan menurunnya sirkulasi darah pada kaki. Pada pasien yang mengalami gangguan peredaran darah kaki maka akan ditemukan tekanan darah tungkai lebih rendah dibandingkan dengan tekanan darah lengan yang dapat dilihat dari skor ABI (Ostemy, 2011). Keadaan yang tidak normal dapat diperoleh bila nilai ABI 0,4 – 0,9 yang diindikasikan ada resiko tinggi luka di kaki, dan pasien perlu perawatan tindak lanjut. ABI < 0.4 diindikasikan kaki sudah mengalami kaki nekrotik, gangren, ulkus, borok yang perlu yang perlu penanganan multi disiplin ilmu (ADA, 2013). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pasien mengeluh pada gangguan pada kaki seperti kesemutan, rasa tebal, rasa panas dan nyeri, Hasil observasi menunjukkan terdapat 12 mengalami penebalan atau penandukan pada kuku kaki. Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah ada Pengaruh Senam Diabetes Melitus dengan Nilai ABI (Angkle Brachial Index) pada Pasien DM di Puskesmas Andalas Padang 2. METODE PENELITIAN Jenis penelitian Quasy eksperimen rancangan Pretest – Postest design, dengan intervensi pemberikan latihan fisik senam penderita DM dengan pengukuran ABI. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Andalas Padang pada bulan Januari – September 2016. Populasi penelitian penderita DM dengan teknik random sampling sebanyak 30 orang dengan 15 kelompok intervensi dan 15 orang kelompok control. Pengumpulan data 69 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana dilakukan dengan observasi. Pengolahan data melalui analisa data secara univariat dan bivariat No Variabel Definsi Operasional ISSN: 2548-3153 menggunakan uji T-Test kepercayaan 95% = 0,05. Cara Ukur Variabel Independen 1 Senam Senam merupakan Pengukuran diabetes kegiatan latihan fisik cara yang dilakukan 2 kali berkelompok seminggu pada penderita DM selama 4 minggu Variabel Dependen 2 Pemeriksa prosedur pemeriksaan Pengukuran an ABI ekstremitas bawah ABI untuk mendeteksi kemungkinan adanya peripheral artery disease (PAD) dengan cara membandingkan tekanan darah sistolik tertinggi dari kedua pergelangan kaki dan lengan Alat Ukur dengan tingkat Hasil Ukur Skala Ukur Lembar Observasi Kelompok intervensi Tensi Meter Pengukuran dijabarkan dalam mg/dd Nominal Rasio 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 1) Rata-rata ABI Sebelum dan Sesudah Kelompok Intervensi Tabel 3.1 Rata-rata Nilai ABI Responden Sebelum dan Sesudah Perlakukan di Puskesmas Andalas Padang tahun 2016 Mean Standar Min Max Deviasi 0,7 0,488 0,7 0,8 Intervensi Sebelum 1,1 0,516 1,1 1,2 Intervensi Sesudah Berdasarkan tabel 3.1 dilihat rata-rata nilai ABI sebelum perlakuan senam diabetes melitus dengan nilai mean 0,7, median 0,8 standar deviasi 0,488. Rata-rata nilai ABI sesudah perlakuan senam diabetes melitus dengan nilai mean 1,1 median 1,2 standar deviasi 0,516. 2) Data ABI pada Pengukuran I dan II pada Kelompok Kontrol Tabel 3.2 Rata-rata Nilai ABI Responden pada Pengukuran I dan Pengukuran II pada Kelompok Kontrol di Puskesmas Andalas Padang Tahun 2016 Pengukuran Mean Standar Min Max Nilai ABI Deviasi 1,2 0,535 1,1 1,3 Kontrol I Sebelum 1,1 0,594 1,1 1,3 Kontrol II Sesudah Berdasarkan tabel 3.2 dapat dilihat bahwa rata-rata nilai ABI penderita diabetes melitus pada kontrol I dengan nilai mean 1,2, median 1,2 standar deviasi 0,535. rata-rata nilai ABI penderita diabetes melitus pada kontrol I & dengan nilai mean 1,2 median 1,2 standar deviasi 0,594. LPPM STIKes Perintis Padang 70 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 3) Pengaruh Senam Diabetes Melitus dengan Nilai ABI Tabel 3.3 Perbedaan Rerata Nilai ABI pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol di Puskesmas Andalas Padang Tahun 2016 Pengukuran Nilai ABI Intervensi Sebelum dan Sesudah Kontrol I dan Kontrol II Mean N SD T Hitung p value 0,073 15 0,0704 -4,036 0,000 95% Confidence Interval of The Difference Lower Upper 0,112 0,034 0,007 15 0,564 0,582 0,019 0,0458 0,032 Tabel 3.3 menunjukan rata-rata perbedaan nilai ABI sebelum dan sesudah diberi perlakuan adalah 0,073 untuk intervensi dan nilai ABI sebelum dan sesudah diberi perlakukan 0,007 untuk kontrol. Setelah dilakukan uji statistik dependent T-test untuk intervensi didapatkan nilai p value 0,000 (p value < 0,05), artinya ada pengaruh senam diabetes melitus dengan nilai ABI pada pasien diabetes melitus di Puskesmas Andalas Padang. Untuk kontrol didapatkan nilai p value 0,582 (p value > 0,05) artinya tidak ada pengaruh senam diabetes melitus dengan nilai ABI. 4) Selisih Intervensi dengan Kontrol Tabel 3.4 Rata-rata Selisih nilai ABI antara Kelompok Intervensi dengan Kelompok Kontrol di Puskesmas Andalas Padang Tahun 2016 Pengukuran Nilai ABI Intervensi dan Kontrol Mean N SD T Hitung p value 95% Confidence Interval of The Difference Lower Upper 0,3467 15 0,1652 20,981 0,000 0,3112 0,3821 Tabel 3.4 menunjukan rata-rata perbedaan nilai ABI intervensi dan kontrol diberi perlakuan adalah 0,3467 untuk rata-rata intervensi dan kontrol terendah 0,3112, intervensi dan kontrol tertinggi 0,3821. Setelah dilakukan uji statistik independent T-test untuk intervensi didapatkan nilai p value 0,000 (p value < 0,05). Berarti terdapat perbedaan bermakna antara selesih rerata nilai ABI kelompok intervensi dan kelompok kontrol. PEMBAHASAN 1) Nilai ABI Sebelum di Berikan Senam Diabetes Melitus Rata-rata nilai ABI sebelum perlakuan senam diabetes melitus dengan nilai mean 0,7, median 0,8 standar deviasi 0,488 dan nilai terendah adalah 0,7 dan nilai tertinggi adalah 0,8. Hal ini dapat dilihat dari pengisian lembar observasi dimana sebanyak 5 orang mengalami ABI 0,7 dan 10 orang mengalami nilai ABI 0,8. Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian Trisumarni (2011) tentang Pengaruh sistem melitus dengan nilai ABI pada pasien di LPPM STIKes Perintis Padang Puskesmas Padamara Purbalingga ditemukan hasil nilai ABI 7 sebelum di lakukan perlakuan. ABI dengan nilai lebih dari 0,9 dinilai sebagai nilai normal atau terbebas dari keadaan PAD (Periperal Arteri Deases) karena darah masih bersirkulasi dengan baik tanpa adanya obstruksi yang bermakna pada pembuluh perifer, sehingga kebutuhan nutrisi dan oksigen pada ekstremitas bawah dapat terpenuhi dengan baik (Smeltzer & Bare, 2009). Penderita DM yang tergolong usia pertengahan / middle age (45 – 49 tahun), keadaan pembuluh darah relatif masih baik, namun perlu pemantauan untuk mengantisipasi terjadinya PAD (Mansjoer, 2005). ABI dalam rentang 0,6 sampai 0,8 merupakan borderline perfusion atau batasan perfusi. Gejala primer PAD 71 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana berupa nyeri pada pantat/betis ketika berjalan (kaludikasio intermiten) mulai terasa (Smeltzer, 2008). Pada penelitian ini ditemukan kejadian diabetes melitus banyak terjadi pada usia > 45 tahun. Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Melitus adalah > 45 tahun. Data penelitian menunjukkan bahwa nilai ABI 0,7 ada 5 orang dan nilai ABI 0,8 ada 10 orang. Analisa peneliti nilai sedang pada ABI dikarenakan penderita diabetes melitus tidak pernah melakukan aktifitas fisik seperti senam diabetes melitus. Selain itu jenis kelamin juga mempengaruhi nilai ABI memiliki jenis kelamin perempuan sebanyak 20 orang (66,7%). Penyakit diabetes melitus sebagian besar dapat dijumpai pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan karena pada perempuan memiliki LDL atau koleterol jahat tingkat trigliresida yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Widyanthari, 2016). Melakukan senam diabetes melitus dapat memperlancar peredaran darah sehingga kebutuhan nutrisi dan oksigen pada ekstremitas bawah dapat terpenuhi dengan baik. 2) Nilai ABI Sesudah di Berikan Senam Diabetes Melitus Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa rata-rata nilai ABI sesudah perlakuan senam diabetes melitus dengan nilai mean 1,1, median 1,2 standar deviasi 0,516 dan nilai terendah adalah 1,1 dan nilai tertinggi adalah 1,2. Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian Trisumarni (2011) ditemukan hasil nilai ABI yaitu 1,2 sesudah di lakukan perlakuan. ABI dengan nilai lebih dari 0,9 dinilai sebagai nilai normal atau terbebas dari keadaan Periperal Artery Desease (PAD) karena darah masih bersirkulasi dengan baik tanpa adanya obstruksi yang bermakna pada pembuluh perifer (Smeltzer, 2009). Proses penuaan yang mengakibatkan perubahan dinding pembuluh darah sehingga mempengaruhi transportasi oksigen dan nutrisi ke jaringan. Lapisan inti menebal sebagai akibat proliferasi seluler dan fibrosis. Serabut di lapisan media mengalami kalsifikasi, tipis dan terpotong, serta kolagen yang menumpuk di lapisan inti dan media. Perubahan tersebut menyebabkan kekakuan pembuluh darah, yang mengakibatkan peningkatan tekanan pembuluh perifer, ganguan aliran darah, dan peningkatan kerja ventrikel kiri (Smeltzer & Bare, 2009). Prevalensi PAD pada penderita DM tipe 2 dilaporkan terjadi sebesar 20,5 % pada usia 40-59 tahun, 48,3 % pada usia 60-69 tahun, dan LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 31,2% pada usia 70-79 tahun (Jaff, 2004 dalam Chaniago, 2007). Berdasarkan analisa peneliti perubahan intervensi sebelum dan sesudah ini dapat dilihat dari hasil dimana selisih 0,5 sebanyak 2 orang, 0,4 sebanyak 9 orang, 0,3 sebanyak 4 orang. Artinya selesih yang paling banyak intervensi sebelum dan sesudah ini 0,4. Pada penelitian ini nilai normal pada ABI dikarenakan penderita sudah melakukan senam diabetes melitus selama 30 menit, senam 2 kali seminggu dalam 4 minggu. Senam akan mempengaruhi tubuh dalam bereaksi terhadap insulin, senam yang teratur menjadikan tubuh bereaksi lebih sensitif peka terhadap insulin, dan akan membuat kadar gula darah menjadi terlalu rendah atau yang biasa disebut dengan hipoglikemia setelah melakukan senam. Tujuan senam adalah untuk meningkatkan kepekaan insulin, mencegah kegemukan, memperbaiki aliran darah, merangsang pembentukan glikogen baru dan mencegah komplikasi lebih lanjut. 3) Pengaruh senam diabetes melitus dengan nilai ABI (Ankle Brachial Indeks) Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian Trisumarni (2011) tentang Pengaruh senam diabetes melitus dengan nilai ABI pada pasien di Puskesmas Padamara Purbalingga ditemukan hasil ada pengaruh senam diabetes melitus dengan nilai ABI. Hasil penelitian Hendro (2011) tentang pengaruh senam diabetes melitus terhadap kadar glukosa darah pada penderita DM tipe 2 di Desa Darussalam Medan ditemukan hasil adanya efektifitas senam DM dapat menurunkan kadar gula darah pada penderita DM tipe 2. Angkle Brachial Indeks (ABI) adalah invasif tes non skrining vaskular untuk mengidentifikasi penyakit arteri periver dengan membandingkan sistolik tekanan darah di pergelangan kaki ke yang lebih tinggi dari brakialis yang tekanan darah sistolik, merupakan estimasi terbaik dari pusat tekanan darah sistolik. Penyakit arteri periver merupakan manisfestasi paling sering adanya arterosklerosis periver yang menyebabkan menurunnya sirkulasi darah pada kaki. Pada pasien yang mengalami gangguan peredaran darah pada kaki maka akan ditemukan tekanan darah tungkai lebih rendah dibandingkan dengan tekanan darah lengan yang dapat dilihat dari skor ABI (Sari, 2012). Hal ini didukung oleh Sukatemin (2013). Bahwa ada hubungan status vaskuler terhadap kejadian diabetik. Secara umum mayoritas 72 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana responden mengalami obstruksi vaskuler yaitu sebanyak 34 orang atau 53,1% (dari ringan sampai berat). Gambaran klinis gangguan vaskularisasi bervariasi, mulai dari tidak bergejala sampai menimbulkan gejala (umumnya pada awal penyakit) hingga nyeri dan rasa tidak nyaman. Dua gejala yang paling umum yang terkait dengan gangguan vaskularisasi adalah klaudikasio interiten dan nyeri atau sakit pada ekstremitas bawah. Klaudikasio interiten ditandai dengan adanya kelemahan, rasa tidak nyaman, nyeri, kram, dan rasa ketat atau baal pada ekstremitas yang terkena neuropati dan ada hubungan dengan kejadian ulkus. Kualitas yang menunjukan berat ringannya latihan. Intensitas latihan untuk daya tahan paru jantung sebesar 60 – 70% detak jantung maksimal. Kualitas yang digunakan selama perlakuan yaitu responden harus mencapai THRnya dengan menggunakan rumus 60% x (220 – umur). Misalnya responden berusia 45 tahun maka denyut jantungnya harus bisa mencapai 105 kali per menit. Oleh karena itu peneliti mewajibkan responden untuk bisa mencapai THRnya yang diukur 10 – 20 detik setelah latihan dengan melakukan palpasi pada arteri misalnya arteri radialis atau arteri carotis communis. Waktu atau durasi yang diperlukan setiap kali latihan sedangkan untuk meningkatkan kebugaran fisik diperlukan waktu berlatih 20 – 60 menit yang didahului 3 – 5 menit pemanasan dan diakhiri dengan 3- 5 menit pendinginan. Adapun waktu yang diperlukan selama latihan yaitu 30 menit dengan waktu untuk pemanasan 5 menit dan pendinginan 5 menit sehingga latihan intinya 20 menit sampai responden mencapai Target Heart Rate (THR). Apabila THR belum terpenuhi, maka durasi latihan ditambah sampai maksimal 60 menit dimana latihan ini dilakukan pada pagi hari. Analisa peneliti adanya pengaruh senam diabetes melitus dengan nilai ABI pada penelitian ini dikarenakan pasien rutin melakukan senam diabetes melitus selama 4 minggu yang dilakukan 2 kali sehari selama 30 menit. Hal ini dapat dilihat senam DM memiliki pengaruh untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran tubuh khususnya meningkatkan fungsi dan metabolisme tubuh. Selain itu senam DM juga memberikan rasa senang pada responden dan juga dapat memotivasi responden yang lain untuk melakukan olah raga secara teratur. 4. KESIMPULAN Rata-rata nilai ABI sebelum perlakuan senam diabetes melitus dengan nilai mean 0,7 LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 standar deviasi 0,488. Rata-rata nilai ABI sesudah perlakuan senam diabetes melitus dengan nilai mean 1,1, standar deviasi 0,516. Rata-rata nilai ABI sebelum pada kelompok kontrol senam diabetes melitus dengan nilai mean 1.1 standar deviasi 0,535. Rata-rata nilai ABI sesudah pada kelompok kontrol senam diabetes melitus dengan nilai mean 1,1 standar deviasi 0,594. Terdapat perbedaan rerata antara sebelum dan setelah perlakukan pada kelompok intervensi dengan nilai p value = 0,001. Terdapat perbedaan selisih ratarata nilai ABI kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan p value = 0,000 di Puskesmas Andalas Padang. 5. REFERENSI ADA (American Diabetes Assosiation)., 2010. Clinical Practice Recommendations Report of the Expert Commite on the Diagnosis and Classifications of Diabetes Mellitus Diabetes Care, USA: p.S4-S24. American Diabetes Association, (2014). Executive summary: Standars of medical care in diabetes-2014. http://www.care.diabetes journal. Aktyo 2009 . Senam kaki diabetes militus . http://www akhtyo.blogspot.com//senamkaki-diabetes-melitus. Di akses pada 17 Desember Chaniago, Arman Y.S. 2007. Overall and central obesity and risk of type-2 diabetes in U.S. black women Made Widyanthari, Ratna Sitorus, Yulia. Pemeriksaan ankle brachial index (ABI). (2016) post exercise Pada pasien diabetes melitus dengan Peripheral arterial disease. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Mansjoer,A., dkk, 2005. Kapita Selekta Kedokteran .Edisi ketiga Jilid 1 Cetakan Keenam., Jakarta : Media Aesculapius Fakultas PERKENI. 2011. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta: FKUI RSCM. Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Edisi 6. Vol.2. Jakarta : EGC Riset Kesehatan Dasar. (2013). Badan penelitian dan pengembangan kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Soegondo, Sidartawan.,Soewondo, Pradana., &Subekti, Imam. (2009). Penatalaksanaan Diabetes MelitusTerpadu.Edisi 4. Jakarta: FakultasKedokteranUniversitas Indonesia. 73 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Smeltzer, Suzanne C.,& Bare, Brenda G. (2009). Texbook of Medical Surgical Nursing. (10 .ed.). Vol.2. Philadeiphia: Lippincott William & Wilkins. Sari, R. N, (2012). Diabetes Melitus (Dilengkapi Dengan Senam DM). Yogyakarta: Medika Book. Sidartawan S. Diagnosa dan Klasifikasi Diabetes Melitus Terkini dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu : .2007:17. Smeltzer, S.C & Bare, B.G, 2002, Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2, Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk Jakarta. EGC Subekti, Imam. 2009. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sukatemin. 2010. Tingkat Kepuasan Pasien Immobilisasi tentang Pelaksanaan Personal Hygiene oleh Perawat di RSU Kota Yogyakarta. Skripsi: Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM. Suyono S. 2013. Patofisiologi Diabetes Melitus. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta : Balai Penerbit FKUI Trisumarni, dkk (2011), pengaruh terapi senam kaki terhadap penurunan glukosa darah pada lansia dengan DM. STIKes Harapan Bangsa Wound Ostomy Continence Nurs. 2012; Ankle Brachial Index Quick Reference Guide for Clinicians. Published by Lippincott Williams & Wilkins LPPM STIKes Perintis Padang 74 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 KUALITAS PELAYANAN RAWAT JALAN DENGAN KEPUASAN PASIEN DI RUMAH SAKIT STROKE NASIONAL BUKITTINGGI Endra Amalia1), Mera Delima2), Kalpana Kartika3) Prodi D III Keperawatan STIKes Perintis Sumbar [email protected] Prodi Profesi NERS STIKes Perintis Sumbar [email protected] Prodi D III Keperawatan STIKes Perintis Sumbar [email protected] Abstract Health services outpatients is one of the service which concern the main hospital .. According to the preliminary survey 25 patients in poly interne and neorologi rssn Bukittinggi got that waiting times in every registration more than an hour , the wait patients and the restroom ( the toilet patients ) inadequate , waiting times medical services more than two hours , this condition was quite risk down quality of services outpatient in hospital.A design used in this research was deskritif correlation conducted in cross sectional .Samples to be taken as many as 97 people. The results of the study bivariat or physical qualities with satisfaction patients value p 0.05, while the quality of reliable, response, insurance, and attention with satisfaction patients value p 0.05. No conclusion there was a correlation physical qualities with satisfaction patients go the way in the hospital a stroke national Bukittinggi, there was a correlation the quality of reliable, response, insurance, and attention with satisfaction patients go the way in the hospital a stroke national Bukittinggi.Advice should hospital maintaining quality of registration in the hospitality officers , skills , the speed of service , and clarity information the public. Keywords : The quality of services , outpatient , satisfaction patients dikembangkan Likert (dikenal dengan istilah skala Likert), kepuasan pasien dapat dilihat dari 1. PENDAHULUAN sarana prasarana, proses Rumah sakit adalah suatu institusi ketersediaan keramahan perawat, yang penyelenggara pelayanan kesehatan yang administrasi, merupakan bagian integral dari sistem pelayanan seluruhnya menggambarkan tingkat kualitas yang kesehatan yang memberikan pelayanan kuratif paling tinggi. maupun preventif serta menyelenggarakan Dalam memberikan pelayanan umumnya pelayanan rawat jalan dan rawat inap juga perawatan di rumah, hal ini tertuang dalam masyarakat mempunyai kesan pertama dalam Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 tentang menilai rumah sakit adalah penampilan dari rumah sakit, yaitu pelayanan kesehatan paripurna pelayanan rawat jalan dan juga bagaimana kesan adalah pelayanan kesehatan yang meliputi lamanya waktu yang di berikan oleh rumah sakit. Pada umumnya rumah sakit memberikan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. pelayanan kepada pasien yang datang sesuai Pelayanan kesehatan pasien rawat jalan kini dengan kemauannya dan bila distribusi waktu merupakan salah satu pelayanan yang menjadi pelayanan tidak di ketahui maka akan perhatian utama rumah sakit. Hampir seluruh menyebabkan waktu tunggu pelayanan lama, rumah sakit di negara maju meningkatkan mutu sehingga pelayanan di instansi rawat jalan dapat dan kualitas pelayanan terhadap pasien rawat menyebabkan pasien tidak puas dan akan jalan. Penilaian terhadap mutu rumah sakit berakibat kunjungan pasien rawat jalan menurun bersumber dari pengalaman pasien. Pengalaman ini berarti tidak dapat memenuhi kebutuhan dapat diartikan sebagai suatu perlakuan atau masyarakat. tindakan rumah sakit yang sedang atau pernah Berdasarkan survey awal dari 25 orang dijalani, dirasakan, dan ditanggung oleh seseorang pasien di RSSN Bukittinggi ditemukan keluhan yang membutuhkan pelayanan kesehatan rumah antara lain 8 pasien mengatakan waktu tunggu sakit. Kegiatan dan prasarana pelayanan kesehatan yang mencerminkan kualitas rumah sakit juga diloket pendaftaran lebih dari satu jam, 12 pasien menjadi determinan utama dari kepuasan pasien. mengatakan kursi tunggu pasien dan kamar kecil Berpedoman pada skala pengukuran yang (Toilet pasien) kurang memadai, 5 pasien LPPM STIKes Perintis Padang 75 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana mengatakan dibeberapa poli rawat jalan (Poli Interne dan Poli Neorologi) RSSN Bukittinggi waktu tunggu pelayanan medis lebih dari dua jam. Walaupun angka keluhan masih sangat kecil namun hal ini harus segera ditangani secepat mungkin, karena dapat menurunkan kualitas pelayanan rawat jalan di rumah sakit. Adapun tujuan penelitian ini adalahuntuk mengetahui hubungan kualitas pelayanan rawat jalan dengan kepuasan pasien berobat di RSSN Bukittinggi. ISSN: 2548-3153 2. METODE PENELITIAN Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskritif korelasi yang dilakukan secara cross sectional. Sampel yang diambil sebanyak 97 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan peneliti adalah Consecutive sampling. Data yang telah dikumpulkan dengan menggunakan instrumen penelitian selanjutnya diolah melalui tahap-tahap: editing, coding, scoring, tabulating, processing, dan cleaning. Sedangkan analisis data yang digunakan adalah Univariat dan Bivariat. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN No 1. 2. No 1. 2. No 1. 2. No 1. 2. No 1. 2. Tabel 1 Distribusi Frekuensi Kualitas Fisik, Handal, Tanggap, Jaminan, & Perhatian di Rumah sakit Stroke Nasional Bukittinggi Tahun 2016. Kualitas Fisik Frekuensi % Baik 38 39.2 Kurang 59 60.8 Jumlah 97 100.0 Kualitas Handal Frekuensi % Kurang 35 36.1 Baik 62 63.9 Jumlah 97 100.0 Kualitas Tanggap Frekuensi % Kurang 35 36.1 Baik 62 63.9 Jumlah 97 100.0 Kualitas Jaminan Frekuensi % Kurang 36 37.1 Baik 61 62.9 Jumlah 97 100.0 Kualitas Perhatian Frekuensi % Kurang 35 36.1 Baik 62 63.9 Jumlah 97 100.0 Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa untuk kualitas fisik 60.8 % kurang baik, kualitas handal, kualitas tanggap, kualitas perhatian sama 63,9 % baik, dan kualitas jaminan 62,9 % baik No 1. 2. No 1. 2. Tabel 2 Distribusi Frekuensi Kepuasan Fisik, Handal, Tanggap, Jaminan, & Perhatian di Rumah sakit Stroke Nasional Bukittinggi Tahun 2016. Kepuasan Fisik Frekuensi % Kurang 53 54.6 Baik 44 45.4 Jumlah 97 100.0 Kepuasan Handal Frekuensi % Kurang 47 48.5 Baik 50 51.5 LPPM STIKes Perintis Padang 76 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana No 1. 2. No 1. 2. No 1. 2. Jumlah Kepuasan Tanggap Kurang Baik Jumlah Kepuasan Jaminan Kurang Baik Jumlah Kepuasan perhatian Kurang Baik Jumlah 97 Frekuensi 46 51 97 Frekuensi 49 48 97 Frekuensi 45 52 97 ISSN: 2548-3153 100.0 % 47.4 52.6 100.0 % 50.5 49.5 100.0 % 46.4 53.6 100.0 Berdasarkan table diatas dapat dilihat untuk kepuasan fisik 54 6 % kurang baik, kepuasan handal 51,5 % baik, kepuasan tanggap 52,6 % baik, kepuasan jamainan 50,5 kurang baik, dan kepuasan perhatian 53, 6 % baik. Tabel 3 Hubungan Kualitas Pelayanan Fisik Dengan Kepuasan Pasien Di Rawat Jalan Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi Tahun 2016 Kualitas Kepuasan Pasien P OR Pelayanan value Fisik Kurang % Baik % Total % n N n Kurang 25 65,8 13 34,2 38 100 0.077 2,129 Baik 28 47,5 31 52,5 59 100 Jumlah 53 54,6 44 45,4 97 100 Berdasarkan Tabel diatas dapat dilihat bahwa dari kualitas pelayanan fisik yang kurang baik mempunyai kepuasan pasien kurang baik 65,8 % dan kepuasan pasien yang baik 34,2 %, sedangkan kualitas pelayanan fisik yang baik mempunyai kepuasan pasien kurang baik 47,5 % dan kepuasan pasien baik 52,5 %. Berdasarkan uji statistik didapatkan P vulue 0.077 bila dibandingkan dengan nilai α = 0,05 maka P vulue > dari α ( 0,077 > 0,05 ) sehingga Ha ditolak maka tidak ada hubungan kualitas fisik dengan kepuasan pasien berobat jalan di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi. Hasil OR didapatkan 2,129 artinya kualitas fisik yang kurang baik mempunyai peluang 2 kali untuk tidak mendapatkan kepuasan pasien dibandingkan dengan kualitas fisik yang baik. Tabel 4 Hubungan Kualitas Pelayanan Handal Dengan Kepuasan Pasien Di Rawat Jalan Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi Tahun 2016 Kualitas Kepuasan Pasien P OR Pelayanan value Handal Kurang % Baik % Total % n N n Kurang 24 68,6 11 31,4 35 100 0.003 3.700 Baik 23 37,1 39 62,9 62 100 Jumlah 47 48,5 50 51,5 97 100 Berdasarkan Tabel diatas dapat dilihat bahwa dari kualitas pelayanan handal yang kurang baik mempunyai kepuasan pasien kurang baik 68,6 % dan kepuasan pasien yang baik 31,4 %, sedangkan kualitas pelayanan handal yang baik mempunyai kepuasan pasien kurang baik 37,1 % dan kepuasan pasien baik 62,9 %. Berdasarkan uji statistik didapatkan P vulue 0.003 bila dibandingkan dengan nilai α = 0,05 maka P vulue < dari α ( 0,003 < 0,05 ) sehingga Ha diterima maka ada hubungan kualitas handal LPPM STIKes Perintis Padang 77 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 dengan kepuasan pasien berobat jalan di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi. Hasil OR didapatkan 3,700 artinya kualitas handal yang baik mempunyai peluang 3,7 kali untuk mendapatkan kepuasan pasien dibandingkan dengan kualitas handal yang kurang baik. Tabel 5 Hubungan Kualitas Pelayanan Tanggap Dengan Kepuasan Pasien Di Rawat Jalan Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi Tahun 2016 Kualitas Kepuasan Pasien P value OR Pelayanan Kurang % Baik % Total % Tanggap n N n Kurang 27 77,1 8 22,9 35 100 0.000 7.638 Baik 19 30,6 43 69,4 62 100 Jumlah 46 47,4 51 52,6 97 100 Berdasarkan Tabel diatas dapat dilihat bahwa dari kualitas pelayanan tanggap yang kurang baik mempunyai kepuasan pasien kurang baik 77,1 % dan kepuasan pasien yang baik 22,9 %, sedangkan kualitas pelayanan tanggap yang baik mempunyai kepuasan pasien kurang baik 30,6 % dan kepuasan pasien baik 69,4 %. Berdasarkan uji statistik didapatkan P vulue 0.000 bila dibandingkan dengan nilai α = 0,05 maka P vulue < dari α ( 0,000 < 0,05 ) sehingga Ha diterima maka ada hubungan kualitas tanggap dengan kepuasan pasien berobat jalan di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi. Hasil OR didapatkan 7,638 artinya kualitas tanggap yang baik mempunyai peluang 7,6 kali untuk mendapatkan kepuasan pasien dibandingkan dengan kualitas tanggap yang kurang baik. Tabel 6 Hubungan Kualitas Pelayanan Jaminan Dengan Kepuasan Pasien Di Rawat Jalan Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi Tahun 2016 Kualitas Kepuasan Pasien P value OR Pelayanan Kurang % Baik % Total % Jaminan N N n Kurang 31 86,1 5 13,9 36 100 0.000 14.811 Baik 18 29,5 43 70,5 61 100 Jumlah 49 50,5 48 49,5 97 100 Berdasarkan Tabel diatas. dapat dilihat bahwa dari kualitas pelayanan jaminan yang kurang baik mempunyai kepuasan pasien kurang baik 86,1 % dan kepuasan pasien yang baik 13,9 %, sedangkan kualitas pelayanan jaminan yang baik mempunyai kepuasan pasien kurang baik 29,5 % dan kepuasan pasien baik 70,5 %. Berdasarkan uji statistik didapatkan P vulue 0.000 bila dibandingkan dengan nilai α = 0,05 maka P vulue < dari α ( 0,000 < 0,05 ) sehingga Ha diterima maka ada hubungan kualitas tanggap dengan kepuasan pasien berobat jalan di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi. Hasil OR didapatkan 14,811 artinya kualitas jaminan yang baik mempunyai peluang 14,8 kali untuk mendapatkan kepuasan pasien dibandingkan dengan kualitas jaminan yang kurang baik. Tabel 7 Hubungan Kualitas Pelayanan Perhatian Dengan Kepuasan Pasien Di Rawat Jalan Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi Tahun 2016 Kualitas Kepuasan Pasien P value OR Pelayanan Kurang % Baik % Total % Perhatian N n n Kurang 29 82,9 6 17,1 35 100 0.000 13.896 Baik 16 25,8 46 74,2 62 100 Jumlah 45 46,4 52 53,6 97 100 LPPM STIKes Perintis Padang 78 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Berdasarkan Tabel diatas dapat dilihat bahwa dari kualitas pelayanan perhatian yang kurang baik mempunyai kepuasan pasien kurang baik 82,9 % dan kepuasan pasien yang baik 17,1 %, sedangkan kualitas pelayanan perhatian yang baik mempunyai kepuasan pasien kurang baik 25,8 % dan kepuasan pasien baik 74,2 %. Berdasarkan uji statistik didapatkan P vulue 0.000 bila dibandingkan dengan nilai α = 0,05 maka P vulue < dari α ( 0,000 < 0,05 ) sehingga Ha diterima maka ada hubungan kualitas perhatian dengan kepuasan pasien berobat jalan di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi. Hasil OR didapatkan 13,896 artinya kualitas perhatian yang baik mempunyai peluang 13,8 kali untuk mendapatkan kepuasan pasien dibandingkan dengan kualitas perhatian yang kurang baik. PEMBAHASAN Berdasarkan uji statistikHubungan Kualitas Pelayanan Fisik Dengan Kepuasan Pasien Di Rawat Jalan Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi Tahun 2016 didapatkan P vulue 0.077 bila dibandingkan dengan nilai α = 0,05 maka P vulue > dari α ( 0,077 > 0,05 ) sehingga Ha ditolak maka tidak ada hubungan kualitas fisik dengan kepuasan pasien berobat jalan di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi. Hasil OR didapatkan 2,129 artinya kualitas fisik yang kurang baik mempunyai peluang 2 kali untuk tidak mendapatkan kepuasan pasien dibandingkan dengan kualitas fisik yang baik. Rumah Sakit sebagai perusahaan jasa, kualitas pelayanan merupakan hal yang sangat penting dalam menciptakan kepuasan konsumen atau pelanggan, sehingga dapat menciptakan kesetiaan atau loyalitas kepada perusahaan karena memberikan kualitas yang memuaskan ( Tjiptono, 2000: 54 ). Dahulu Rumah sakit dianggap hanya sebagai suatu tempat penderita ditangani. Saat ini rumah sakit dianggap sebagai suatu lembaga yang giat memperluas layanannya kepada penderita dimanapun lokasinya, Seiring meningkatnya kerumitan pelayanan kesehatan, diagnosis, pencegahan dan terapi maka diperlukan tenaga terlatih, fasilitas dan alat yang mencukupi untuk dapat memberikan pelayanan yang berkualitas, diminta patut diperoleh masyarakat dengan alasan pelayanan kesehatan ditetapkan menjadi hak bagi semua. Berdasarkan uji statistik Hubungan kualitas handal dengan kepuasan pasien didapatkan P vulue 0.003 bila dibandingkan dengan nilai α = 0,05 maka P vulue < dari α ( 0,003 < 0,05 ) sehingga Ha diterima maka ada hubungan kualitas handal dengan kepuasan pasien berobat jalan di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi. Hasil OR didapatkan 3,700 artinya kualitas handal yang baik mempunyai peluang 3,7 kali untuk mendapatkan kepuasan pasien dibandingkan dengan kualitas handal yang kurang baik. Pelayanan yang bermutu atau kualitas yang handal merupakan hal yang penting karena LPPM STIKes Perintis Padang persepsi tentang kualitas pelayanan suatu rumah sakit terbentuk saat kunjungan pasien. Persepsi tentang kualitas handal yang buruk akan sangat mempengaruhi keputusan dalam kunjungan berikutnya dan pasien biasanya mencari rumah sakit lain ( Jackovitz, 2000 ). Secara tidak langsung pasien akan mempunyai persepsi tentang mutu pelayanan yang buruk akan menceritakan pengalamannya kepada delapan sampai sepuluh orang bahkan satu dari lima pasien yang tidak puas akan menceritakan masalahnya kepada dua puluh temannya ( Krowinski dan Steiber, 1997 ). Sebaliknya ketika pasien mendapatkan kualitas handal yang baik maka pasien tersebut akan menceritakan pengalaman yang baik kepada pasien lainnya. Berdasarkan uji statistik Kualitas tanggap, jaminan, dan perhatian didapatkan P vulue sama yaitu P vulue 0.000 bila dibandingkan dengan nilai α = 0,05 maka P vulue < dari α ( 0,000 < 0,05 ) sehingga Ha diterima maka ada hubungan kualitas tanggap, jaminan, dan perhatian dengan kepuasan pasien berobat jalan di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi. Tjiptono (2000:54) menyebutkan bahwa kualitas pelayanan memiliki hubungan yang erat dengan kepuasan pasien. Kualitas memberikan suatu dorongan kepada pasien untuk menjalin ikatan hubungan yang kuat dengan kepuasan. Dalam jangka panjang, ikatan seperti ini memungkinkan untuk memahami dengan seksama harapan pasien serta kebutuhan mereka. Rumah sakit dapat meningkatkan kepuasan dengan cara memaksimumkan pengalaman pasien yang menyenangkan dan meminimumkan atau meniadakan pengalaman pasien yang kurang menyenangkan. Pada gilirannya kepuasan pasien dapat menciptakan kesetiaan atau loyalitas kepada rumah sakit yang memberikan kualitas pelayanan yang memuaskan. Kaitan antara kepuasan pasien dengan persepsi pasien tentang prosedur rawat jalan adalah semakin baik kualitas pelayanan yang diberikan maka tingkat kepuasan pasien juga akan meningkat. Pasien yang puas sangat 79 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana dimungkinkan untuk mempengaruhi lingkungannya mengkonsumsi produk yang telah memuaskannya. Keadaan ini akan sangat membantu perusahaan dalam mempromosikan produknya yang juga dapat dijadikan sebagai salah satu langkah atau strategi marketing yang dikenal dengan "Word of Mouth" atau biasa kita kenal omongan dari mulut ke mulut. Kondisi yang terjadi di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi adalah kurangnya sinergisitas antar unit pemberi pelayanan, dimulai dari proses administrasi, pembayaran, hingga proses pemberi pelayanan jasa kesehatan. Hal ini didapat melalui : a) Komplain pasien yang diketahui saat dilakukannya proses pendaftaran awal, yaitu “seharusnya, pendaftaran antara pasien baru dengan pasien lama dipisah di MR, jadi waktu tunggu kita berkurang. Tidak antri selama ini ”. b) Selain itu, lokasi yang tidak dekat antara kasir dengan administrasi membuat pasien kehilangan waktu. Seperti saat pasien ingin menebus obat, pasien setelah diberikan resep harus ke farmasi untuk menyerahkan resep kemudian kembali ke kasir untuk melakukan pembayaran dan kembali ke farmasi untuk menyerahkan kwitansi pembayaran kemudian menunggu panggilan. c) Demikian pula hal nya dengan pasien yang hendak melakukan pemeriksaan laboratorium, pasien harus menyerahkan surat pengantar pemeriksaan ke laboratorium, menunggu daftar biaya dari laboratorium, kembali ke kasir untuk melakukan pembayaran kemudian melakukan pemeriksaan laboratorium dan menunggu hasil laboratorium. d) Keterbatasan petugas administrasi dan petugas kasir, membuat terjadinya antrian panjang. Hal ini akan berpengaruh terhadap respon dari petugas, karena banyaknya beban pekerjaan akan membuat petugas tidak dapat bekerja secara optimal seperti memberikan senyum (berlaku ramah tamah) terhadap pasien. Kecepatan respon dari petugas pun dinilai pasien sangat kurang. e) Toilet umum untuk pasien di rawat jalan hanya ada satu, sehingga ketika ada pasien yang mau ke toilet juga harus antri yang cukup lama. 4. KESIMPULAN Kesimpulan dari hasil penelitian ini sebagai berikut: a. Lebih dari separo untuk kualitas fisik 60.8 % kurang baik, kualitas handal, kualitas tanggap, kualitas perhatian sama 63,9 % baik, dan kualitas jaminan 62,9 % baik tahun 2016 b. Lebih dari separo kepuasan fisik 54 6 % kurang baik, kepuasan handal 51,5 % baik, LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 kepuasan tanggap 52,6 % baik, kepuasan jamainan 50,5 kurang baik, dan kepuasan perhatian 53, 6 % baik tahun 2016 c. Tidak ada hubungan kualitas fisik dengan kepuasan pasien berobat jalan di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi tahun 2016 d. Ada hubungan kualitas handal, tanggap, jaminan, dan perhatian dengan kepuasan pasien berobat jalan di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi tahun 2016 5. REFERENSI Bambang, Shofari, 2004, Pengantar Sistem Rekam Medis, Semarang. Departemen Kesehatan RI, 2009, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta. Fandi Tjiptono, 1996, Manajemen Jasa, Andi, Yogyakarta. Jacobalis S. 1989. Menjaga Pelayanan Mutu di RS (Quality Assurance). Jakarta : Persi Katz dan Jacqueline, M., 1997, Managing Quality Missouri: Mosdy. Kotler, P., 1997, Manajemen Pemasaran: Analisis Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian, Jilid I Edisi 9, PT Prenhalindo, Jakarta. Mc. Gibony, Jhon. R., 1997, Priciple of Hospital Administration, New York, GP. Putnam, Sons. Melly, O., 1997, Ultimate Patient Satisfaction. New York: HFMA. Notoadjmodjo,Soekijo.2005.Metodologi Penelitian Kesehatan Masyarakat. Jakarta. RinekaCipta Nursalam. 2001. Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta. CV. Infomedika Parasuraman Zeithamel and Berry 1985. Conceptual Model of Service Quality and Its Simplications for Future Research Journal of Marketing Vol. 49, 41-50 Riwidikdo, Handoko, 2006, Statistik Kesehatan, Yogyakarta : Mitra Cendikia Press. Sabarguna, B., 2004, Pemasaran Rumah Sakit. Konsorsium RSI Jawa Tengah, DIY. Snock, 1991, Hospital What They Are Hair They Work, Aspen System Corporation, Rock Ville, Maryland, London. Sugiyono, 1999, Metode Penelitian Bisnis, Bandung : Alfabeta Suprapto J., 1997, Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menaikkan Pangsa Pasar, Rineka Cipta, Jakarta. Woodside, Frey and Daly, 1989, “Linking Service Quality, Customer Satisfaction, and Behavioral Intention” Jurnal of Health Care Marketing, Vol. 9 No. 4.5-17. 80 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Yulianto, 2000, Analisis Kepuasan Pasien di Instansi Rawat Jalan RSU Jendral Ahmad Yani Metro Lampung, Tesis, Yogyakarta: MMR-UGM. Arief TQ. 2008. Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan CSGF (community of self help group forum ) . Klaten: LPP UNS & UNS Press Arikunto S.2010. Prosedur penelitian Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta DepKes RI. 2006. Pedoman Pengelolaan Rekam Medis Rumah Sakit Di IndonesiaRevisi 1I, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Hatta G. 2008. Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan Di Sarana Pelayanan Kesehatan. Universitas Indonesia Jakarta Pohan I. 2002. Pelayanan Kesehatan Kedokteran ECG. Jaminan . Jakarta: Mutu Buku Shofari B. 2002. Pengelolaan Sistem Rekam Medik. Perhimpunan Perekam Medik dan Informasi Kesehatan Indonesia. Semarang Sugiyono P. 2010. Metode Penelitian Pendidikan (pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D . Bandung: alfabeta Wijono Dj. 1999. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan . Teori, Strategi dan Aplikasi Volume 1. Surabaya: A LPPM STIKes Perintis Padang 81 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN POLA ASUH ORANGTUA DENGAN KEMAMPUAN MELAKUKAN TOILET TRAININGPADA ANAK USIA TODDLER DI PAUD TERPADU SURYA KIDS BUKITTINGGI TAHUN 2016 Falerisiska Yunere¹,Rahma Desi² Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis Sumbar¹ Email : [email protected] Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis Sumbar² Email : [email protected] Abstract child of Age toddler ( 1-3 year) refer concept of critical period and high plasticity in course of growing flower, One of major duty at a period to toddler is toilet training. Pattern take care of parent is pattern of interaction of between parent with child, which pattern take care of the parent influenced by some factor among other things the close-knit past experience with pattern take care of and or attitude of their parent and the values embraced by parent. target of this Research is to see Relation of Characteristic And Pattern Take Care Of Parent Ably Do Toilet Training of Child of Age of Toddler in Inwrought PAUD of Surya Kids Bukittinggi of Year 2016. Desain of this Research is Descriptive correlation with approach of cross sectional , where data retrieval independent and dependent variables done coincide. With a sample of 45 respondents and data processing of Chi-Square test. Pursuant to statistical test from 45 people of responder got by result p-value of young age < 35 year as much 82,2 , p-value of education is (SLTA) as much 64,4%, p-value don’t work as much 62,2 , p-value of pattern take care of premisif as much 64,4%, p-value owning ability in conducting toilet training as much 68.9% at child of age of toddler in Inwrought PAUD of Surya Kids Bukittinggi of year 2016. There is relation between age ably the child by p-value = 0,040, There is relation of between education ably child in conducting toilet training by p-value = 0,026, There is relation of between Work ably child in conducting toilet training of at child of age of toddler by p-value = 0,034, There is relation of between pattern take care of parent ably child in conducting toilet training of at child of age of toddler in Inwrought PAUD of Surya Kids Bukittinggi of year 2016 p-value = 0,016. Expected by a research Keywords: characteristicsof parents, parenting, toilet training 1. PENDAHULUAN Salah satu tugas mayor pada masa toddler adalah toilet training.Kontrol volunter sfingter anal dan uretra terkadang dicapai kira-kira setelah anak berjalan, mungkin antara usia 18 dan 24 bulan. Namun,diperlukan faktor psikofisiologis kompleks untuk kesiapan. Anak harus mampu mengenali urgensi untuk mengeluarkan dan menahan eliminasi serta mampu mengkomunikasikan sensasi ini kepada orang tua. Selain itu mungkin ada berbagai motivasi yang penting untuk memuaskan orang tua dengan menahan, daripada memuaskan diri dengan mengeluarkan eliminasi (Wong,2008). Laporan hasil literature yang telah dilakukan di Singapura yaitu 15% anak tetap mengompol setelah berusia 5 tahun dan sekitar 1,3% anak lakilaki serta 0,3% anak perempuan di Inggris masih LPPM STIKes Perintis Padang memiliki kebiasaan BAB sembarangan pada usia 7 tahun, hal ini dikarenakan kegagalan toilet training (Irwan, 2003). Di Indonesia diperkirakan jumlah balita mencapai 30% dari 250 juta jiwa penduduk Indonesia, dan menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Nasional diperkirakan jumlah balita yang susah mengontrol BAB dan BAK (ngompol) mencapai 75 juta anak. Jumlah kasus anak berusia 6 tahun yang masih mengompol di Indonesia mencapai 12 % (Asti dan Faidah, 2009). Sebuah survey yang pernah ada di Indonesia oleh tabloid nakita menyebutkan, setengah juta anak berusia 6–16 tahun masih suka ngompol, yang terdiri dari:17% anak berusia 5 tahun, 14% anak berusia 7 tahun, 9% anak berusia 9 tahun, dan 1– 2% anak berusia 15 tahun, Sedangkan sekitar 30% 82 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana anak berumur 4 tahun, 10% anak berumur 6 tahun, 3% anak berumur 12 tahun dan 1% anak berumur 18 tahun masih mengompol di tempat tidur. Terdapat juga sekitar 20% anak usia balita tidak melakukan toilet training dan 75% orang tua tidak memandang kondisi seperti itu sebagai masalah. Dari data UPT Perpustakaan Proklamator Pustaka Tahun 2015 di dapatkan jumlah PAUD yang terdaftar di Bukittinggi sebanyak 43 PAUD. Dari 5 PAUD yang sudah di data di dapati jumlah murid usia toddler kurang dari 50 orang. Dari 5 (lima) pimpinan PAUD yang peneliti wawancarai tentang kemampuan toilet training pada anak usia toddler mengatakan bahwa anak usia toddler belum mampu melakukan toilet training secara mandiri. Dari data tersebut PAUD Surya Kids mempunyai jumlah anak usia toddler cukup banyak yang belum mampu melakukan kemampuan toilet training secara mandiri. Penelitian Ustari (2006) menunjukan bahwa kategori dengan pola asuh orang tua autoritatif didapatkan sebanyak 85 % dengan toilet training berhasil dan 15 % dengan toilet training tidak berhasil, dan tidak didapatkan pola asuh orang tua yang otoriter, pemanja, ataupun penelantar. Sehingga dari keterangan tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa pola asuh orang tua autoritatif lebih efektif terhadap keberhasilan toilet training pada anak usia prasekolah (4-6 tahun ) di TK Wahid Hasyim Malang. Penelitian Syahid (2009) menunjukan bahwa tingkat pengetahuan ibu tentang toilet training sebagian besar tidak baik sebanyak 63,8%. Penerapan toilet training pada anak usia toddler 2. METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Sampel dalam penelitian ini adalah anak usia toddler (1-3 tahun) di Paud Terpadu Surya Kids dengan jumah 45 orang balita. Instrumen untuk pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner yang memuat beberapa pernyataan yang telah di kembangkan oleh peneliti sesuai kerangka konsep. Setelah mendapatkan persetujuan dari kepala Paud, maka peneliti memilih responden yang memenuhi kriteria untuk dijadikan calon responden. Kemudian peneliti memita responden yang telah bersedia menjadi responden, maka pengumpulan data dilakukan dengan tahap LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 (1-3 tahun) sebagaian besar tidak di terapkan sebanyak 56,4%. Ada hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang penerapan toilet training anak usia toddler (1-3 tahun). Lebih lanjut penelitian Syahid (2009) menunjukan bahwa ada hubungan signifikan antara tingkat pengetahuan ibu tentang toilet training dengan penerapan toilet training pada anak usia toddler. Berdasarkan hasil survei dan wawancara yang telah dilakukan di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi terhadap 5 orang ibu yang mempunyai anak usia 3 tahun. Diketahui bahwa 2 orang ibu yang berpendidikan tinggi dan bekerja sebagai pengawai menerapkan pola asuh yang menuntut anak untuk mematuhi semua keinginan orang tua dan tidak memberikan perhatian sepenuhnya terhadap perkembangan anak terutama dalam mengajarkan kemampuan melakukan toilet training pada anak usia 3 tahun sehingga anak belum mampu mengontrol kemampuan BAK dan BAB. Sedangkan 2 orang ibu yang berpendidikan tinggi,bekerja sebagai ibu rumah tangga menerapkan pola asuh memberikan kebebasan kepada anak untuk berkreasi sesuai dengan imajinasi anak,memberikan pengarahan terhadap anaknya terutama dalam kemampuan mengontrol BAK pada siang dan malam hari. Ternyata anak sudah mampu mengontrol BAK pada siang dan malam hari. Dan 1 orang ibu yang berpendidikan rendah, bekerja sebagai ibu rumah tangga juga menerapkan pola asuh yang memberikan pengarahan dalam mengajarkan kemampuan mengontrol BAK pada siang dan malam hari terhadap anaknya yang berusia 3 tahun juga mengatakan bahwa anaknya sudah mandiri dalam hal mengontrol BAB dan BAK. memberikan penjelasan tentang tujuan,manfaat dan prosedur penelitian yang akan dilaksanakan kepada responden. Setelah responden memahami penjelasan yang diberikan, responden di minta persetujuannya yang dibuktikan dengan menandatangani inforcement consent dan untuk pengisian lembaran kuesioner diisi langsung oleh responden. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrument berupa kuesioner. Sedangkan untuk pengisian kuesioner ini peneliti menjelaskan pada responden yang berada di Paud tersebut. Peneliti mengingatkan responden untuk mengisi seluruh pernyataan dengan lengkap. Kuesioner yang telah diisi dikumpulkan dan 83 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 diperiksa kelengkapannya. Kemudian peneliti akan mengakhiri pertemuan dengan mengucapkan terima kasih pada responden atas kerjasama. Analisa univariat yang dilakukan dengan analisis distribusi frekuensi dan statistik deskriptif untuk melihat dari variabel independent. Pengolahan data terkumpul diklasifikasikan dalam beberapa kelompok menurut sub variabel yang ada dalam pernyataan. Data yang terkumpul diolah dengan menggunakan langkah-langkah seperti pengkodean data (coding), pemindahan data (entering),entri data, pembersihan data (cleaning), penyajian data (out put), dan penganalisaan data (analyzing). Analisa Bivariat yang dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel independent dan dependen dengan menggunakan uji statistik ChiSquare. Untuk melihat kemaknaan perhitungan statistik digunakan batasan kemaknaan 0,05 sehingga jika nilai p> 0,05 maka hasil hitung tersebut tidak bermakna dan jika nilai p ≤ 0,05 maka hasil hitung bermakna. 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN a. Hasil Penelitian Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Orang Tua dalam melakukan toilet training Pada Anak Usia Toddler di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi Tahun 2016 Karakteristik F % 1. ≤ 35 Usia Tahun 37 82,2 2. > 35 Tahun 8 17,8 Pendidikan 1. Tinggi 9 20 2. Sedang 29 64,4 3. Rendah 7 15,6 Pekerjaan 1. Bekerja 17 37,8 2. Tidak Bekerja 28 62,2 Total 45 100 Hasil analisis dari tabel 5.1 diatas dapat dilihat dari 45 orang tua sebahagian besar 82.2% dengan jumlah 37 orang tua berusia muda ≤ 35 tahun di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Pola Asuh Orang Tua Dalam Melakukan Toilet Training Pada Anak Usia Toddler di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi Tahun 2016 No Pola Asuh F % 1 Otoriter 3 6,7 2 Demokratis 13 28,9 3 Permisif 29 64,4 4 Laissez Faire 0 0 Total 45 100 Hasil analisis dari tabel 5.2 diatas dapat dilihat dari 45 orang tua sebahagian besar 64.4% dengan jumlah 29 orang tua menerapkan pola asuh permisif kepada anaknya dalam melakukan kemampuan toilet training di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Kemampuan Melakukan Toilet Training Pada Anak Usia Toddler di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi Tahun 2016 LPPM STIKes Perintis Padang 84 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 No Kemampuan Toilet Training F % 1 Mandiri 31 78,9 2 Tidak Mandiri 14 31,1 Total 45 100 Hasil analisis dari tabel 5.3 diatas dapat dilihat dari 45 orang tua sebahagian besar 78.9% dengan jumlah 31 orang anak sudah mandiri dalam melakukan toilet trainingdi PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi hubungan Usia dengan kemampuan melakukan Toilet Training pada anak usia toddler di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi Tahun 2016 Kemampuan Toilet Usia Orang Training f % P-value OR Tidak Tua Mandiri Mandiri f % f % Muda 24 64.9 13 35.1 37 100 0,040 3.792 Tua 7 1 12.5 8 100 87.5 Total 31 68.9 14 31.1 45 100 Hasil analisis tabel 5.4 diatas dapat dilihat bahwa dari 37 orang tuayang memiliki usia muda terdapat 64.9 % orang tua yang mampu anak mereka melakukan toilet training. Sedangkan dari 8 orang tua dengan usia tua terdapat 87,5% yang mampu melakukan toilet training di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Dari hasil tersebut dilakukan uji chi square dengan menggunakan komputerisasi maka didapat hasil P value = 0,040 < 0,05 sehingga P value < alpha maka secara statitik Ho Di tolak sehingga ada hubungan usia orang tua dengan kemampuan anak melakukan toilet trainingdi PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Hubungan tersebut didukung oleh nilai Oods ratio 3.792 yang artinya orang tua yang memiliki usia Muda memiliki peluang sebesar 3.792 kali untuk lebih mampu melakukan kemampuan toilet training dari pada yang usianya tua di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi hubungan Pendidikan dengan kemampuan melakukan Toilet Training pada anak usia toddler di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi Tahun 2016 Kemampuan Toilet Pendidian Training Tidak F % P-value Orang Tua Mandiri Mandiri F % f % Pendidikan rendah 3 42.9 4 57.1 7 100 Pendidikan Sedang 21 72.4 8 27.6 29 100 0,026 Pendidikan Tinggi 7 2 22.2 9 100 77.8 Total 31 68.9 14 31.1 45 100 Hasil analisis dari tabel 5.5 diatas dapat dilihat bahwa dari 29 orang tua yang memiliki pendidikan sedang terdapat 72.4 % orang tua yang mampu anak mereka melakukan toilet training. Sedangkan dari 7 orang tua dengan pendidikan Rendah terdapat 57,1% yang tidak mampu melakukan toilet training di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Dari hasil tersebut dilakukan uji chi square dengan menggunakan komputerisasi maka didapat hasil P value = 0,026 < 0,05 sehingga P value < alpha maka secara statitik Ho Ditolak sehingga ada LPPM STIKes Perintis Padang 85 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 hubungan pendidikan orang tua dengan kemampuan anak melakukan toilet trainingdi PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi hubungan pekerjaan Orang tua Usia dengan kemampuan melakukan toilet training pada anak usia toddler di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi Tahun 2016 Pekerjaan Kemampuan Toilet Training Tidak Orang Tua Mandiri f % P-value OR Mandiri F % f % Tidak Bekerja 19 67.9 9 32.1 28 100 0,034 1.137 Bekerja 12 5 29.4 17 100 70.6 Total 31 68.9 14 31.1 45 100 Hasil analisis dari tabel 5.6 diatas dapat dilihat bahwa dari 28 orang tua yang tidak bekerja terdapat 67.9 % orang tua yang mampu anak mereka melakukan toilet training. Sedangkan dari 17 orang tua yang bekerja terdapat 70.6% yang mampu melakukan toilet training. Orang tua yang bekerja memiliki quality time untuk mengajarkan kemampuan bertoilet training kepada anak di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Dari hasil tersebut dilakukan uji chi square dengan menggunakan komputerisasi maka didapat hasil P value = 0,034 < 0,05 sehingga P value < alpha maka secara statitik Ho Ditolak sehingga ada hubungan pekerjaan orang tua dengan kemampuan anak melakukan toilet trainingdi PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Hubungan tersebut didukung oleh nilai Oods ratio 1.137 yang artinya orang tua yang memiliki pekerjaan memiliki peluang sebesar 1.137 kali untuk mampu melakukan toilet training dari pada yang tidak bekerja di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi hubungan Pola asuh dengan kemampuan melakukan Toilet Training pada anak usia toddler di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi Tahun 2016 Pola Asuh Kemampuan Toilet Training Orang Tua f % P-value Mandiri Tidak Mandiri F Otoriter Demokratis Premisif Laissez Faire Total 2 10 19 0 31 % 66.7 76.9 65.5 0 68.9 f 1 3 10 0 14 % 33.3 23.1 34.5 0 31.1 3 13 29 0 45 100 100 100 0 100 0,016 Hasil analisis dari tabel 5.7 diatas dapat dilihat bahwa dari 29 orang tuayang memiliki pola asuh Premisif terdapat 65.5 % orang tua yang mampu anak mereka melakukan toilet training. Sedangkan dari 3 orang tua dengan pola asuh otoriter terdapat 76,9% yang mampu melakukan toilet training di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Dari hasil tersebut dilakukan uji chi square dengan menggunakan komputerisasi maka didapat hasil P value = 0,016 < 0,05 sehingga P value < alpha maka secara statitik Ho Ditolak sehingga ada hubungan pola asuh orang tua dengan kemampuan anak melakukan toilet trainingdi PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. b. Pembahasan Karakteristik Orang tua Hasil analisa dari tabel 5.1 diatas tentang usiaorang tua dapat dilihat dari 45 orang tua sebahagian besar 82.2% orang tua berada pada LPPM STIKes Perintis Padang usia muda ≤ 35 Tahun di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Menurut Fareer Tahun 2010 bahwa Usia merupakan salah satu faktor yang penting dalam 86 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana melakukan toilet training pada anak dimana jika usia orang masih muda maka orang tua lebih aktif dan mampu melakukan toilet training pada anak mereka sehingga orang tua masih dapat melatih akan melakukan toilet training pada anak mereka dan mampu memberikan dorongan pada anak mereka dalam melakukan toilet training dan akan dapat anak pintar untuk melakukan toilet training. Hasil analisa dari tabel 5.1 diatas tentang pendidikan orang tua dapat dilihat dari 45 orang tua sebahagian besar 64,4% orang tua berada pada pendidikan Sedang yaitu Pendidikan SMA di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Menurut Kodyat Tahun 2006 bahwa Tingkat pendidikan ibu turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh. Dari kepentingan keluarga pendidikan ibu sendiri sangat diperlukan seseorang lebih tanggap adanya perkembangan anak salah satunya penerapan toilet training didalam keluarganya. Sedangkan Tingkat pendidikan menurut Notoadmojo Tahun 2003 bahwa Tingkat pendidikan ibu berpengaruh pada pengetahuan ibu tentang penerapan toilet training, apabila pendidikan ibu rendah akan berpengaruh pada pengetahuan tentang penerapan toilet training sehingga berpengaruh pada cara melatih secara dini penerapan toilet training Hasil analisa dari tabel 5.1 diatas tentang pekerjaan orang tua dapat dilihat dari 45 orang tua sebahagian besar 62,2% orang tua tergolong tidak bekerja di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Menurut Kusumaning Tahun 2002 bahwa Status pekerjaan ibu mempunyai hubungan yang bermakna dengan penerapan toilet training pada anak sehingga akan berdampak pada terlambatnya anak untuk mandiri melakukan toilet training. Ibu yang bekerja diluar rumah harus pandai-pandai mengatur waktu untuk keluarga, karena pada hakekatnya seorang ibu mempunyai tugas utama yaitu mengatur urusan rumah tangga ternasuk mengawasi, mengatur dan membimbing anakanak. Pengorbanan tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan jika melihat anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang kuat da stabil. Sedangkan untuk ibu yang tinggal dirumah pun harus mampu mengatur waktu dengan bijaksana. Walaupun banyak waktu untuk bersama anak tetapi yang paling penting adalah kualitas hubungan interpersonal antara ibu dan anak. Asumsi peneliti bahwa karakteristik orang tua berusia muda ≤ 35 tahun lebih cendrung LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 mengajarkan dan memberikan pendidikan kepada anak dibandingkan dengan orang tua yang berusia lebih tua atau > 35 tahun. Dari segi pendidikan orang tua didapatkan data bahwa pendidikan orang tua lebih dominan berpendidikan sedang, dan belum melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi. Sedangkan pekerjaan orang tua dari data yang diperoleh bahwa orang tua lebih banyak tidak bekerja tetapi mereka tetap menitipkan anaknya di Paud dengan alasan agar anaknya mendapatkan pendidikan usia dini lebih baik. Orang tua yang bekerja masih memiliki waktu atau quality time untuk mengajarkan kemampuan toilet training kepada anaknya. Pola asuh Orang Tua Hasil analisa dari tabel 5.2 diatas dapat dilihat dari 45 orang tua sebahagian besar 64.4% orang tua memiliki pola asuh Premisif di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) Pola adalah sistem; cara kerja. Asuh adalah menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil; membimbing (membantu, melatih) supaya dapat berdiri sendiri (Kamus Besar Bahasa Indonesia,2001). Sedangkan orang tua adalah ayah ibu kandung; orang yang dianggap tua (cerdik,pandai,ahli) . Secara umum pola asuh orang tua merupakan suatu kecenderungan yang relatif menetap dari orang tua dalam memberikan didikan, bimbingan dan perawatan kepada anakanaknya. Penelitian Ustari (2006) menunjukan bahwakategori dengan pola asuh orang tua autoritatif didapatkan sebanyak 85 % dengan toilet training berhasil dan 15 % dengan toilet training tidak berhasil, dan tidak didapatkan pola asuh orang tua yang otoriter, pemanja, ataupun penelantar. Sehingga dari keterangan tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa pola asuh orang tua autoritatif lebih efektif terhadap keberhasilan toilet training pada anak usia prasekolah (4-6 tahun ) di TK Wahid Hasyim Malang. Asumsi peneliti pola asuh orang tua diantaranya otoriter, demokratis, permisif dan laissez faire semuanya diterapkan oleh orang tua kepada anak. Hasil penelitian yang peneliti dapatkan bahwa orang tua yang menerapkan pola asuh permisif. Dalam pola asuh permisif orang tua lebih sering memanjakan anak untuk memperoleh kebebasan dan memiliki disiplin yang longgar, tetapi ibu tetap mengawasi dan memperhatikan anaknya. Segala keinginan anak selalu dipenuhi 87 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana dan memberikan kepercayaan yang penuh kepada anaknya dalam melakukan sesuatu. ISSN: 2548-3153 Kemampuan Toilet Training Hasil analisa dari table 5.3 diatas dapat dilihat dari 45 orang tua sebahagian besar 68,9% anak mampu melakukan toilet training di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Menurut Hidayat tahun 2005 bahwa Toilet training pada anak merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar mampu mengontrol dalam melakukan buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB). Toilet training ini dapat berlangsung pada fase kehidupan anak umur 18 bulan – 2 tahun . Dalam melakukan latihan buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB) pada anak dibutuhkan persiapan baik fisik, psikologis maupun intelektual, melalui persiapan tersebut diharapkan anak mampu mengontrol buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB) secara mandiri. Sedangkan Menurut Supartini (2004), bahwa toilet training merupakan aspek penting dalam perkembangan anak usia toddler yang harus mendapat perhatian orang tua dalam berkemih dan defekasi. Dan toilet training juga dapat menjadi awal terbentuknya kemandirian anak secara nyata sebab anak sudah bisa untuk melakukan hal-hal yang kecil seperti buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB). Asumsi peneliti bahwa kemampuan anak melakukan toilet training banyak dipengaruhi oleh faktor seperti faktor usia orang tua , pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua dan juga pola asuh yang dilakukan oleh orang tua. Banyaknya anak yang mampu melakukan toilet training karena beberapa anak masih dapat mengikuti perintah orang tuanya, dimana orang tua dapat mengajarkan anak dalam melakukan kemampuan toilet training yang bisa dilakukan anak dengan memberikan pola asuh yang baik seperti pola asuh permisif yang dilakukan orang tua terhadap anak. Semisal, umur manusia dikatakan lima belas tahun diukur sejak dia lahir hingga waktu umur itu dihitung. Usia orang tua tidak berpengaruh dalam memberikan pola asuh terhadap anak. Jenis perhitungan umur/usia. Sedangkan usia kronologis adalah perhitungan usia yang dimulai dari saat kelahiran seseorang sampai dengan waktu perhitungan usia, begitu juga dengan usia mental adalah perhitungan usia yang didapatkan dari taraf kemampuan mental seseorang. Misalnya seorang anak secara kronologis berusia empat tahun akan tetapi masih merangkak dan belum dapat berbicara dengan kalimat lengkap dan menunjukkan kemampuan yang setara dengan anak berusia satu tahun, maka dinyatakan bahwa usia mental anak tersebut adalah satu tahun. Dari hasil tersebut dilakukan uji chi square dengan menggunakan komputerisasi maka didapat hasil P value = 0,040 < 0,05 sehingga P value < α maka secara statitik Ho Ditolak sehingga ada hubungan usia orang tua dengan kemampuan anak melakukan toilet training di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Hubungan tersebut didukung oleh nilai Oods ratio 3.792 yang artinya Responden yang memiliki usia Muda memiliki peluang sebesar 3.792 kali untuk lebih mampu melakukan toilet training dari pada yang usianya muda di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Asumsi peneliti bahwa adanya hubungan antara usia dengan kemampuan toilet training karena dari beberapa kegiatan yang dilakukan maka lebih banyak usia muda yang melakukan kemampuan toilet training dari pada usia yang tua dimana usia ini sangat dipengarungi karena adanya kesanggupan ibu dalam melakukan toilet training pada anak terlihat dari nilai OR dimana yang artinya orang tua yang memiliki usia muda memiliki peluang sebesar 3.792 kali untuk lebih mampu melakukan toilet training dari pada yang usianya tua terhadap anak di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Hubungan Usia Dengan Kemampuan Toilet Training Hasil analisa dari table 5.4 diatas dapat dilihat bahwa dari 37 orang tua yang memiliki usia muda terdapat 64.9 % orang tua yang mampu anak mereka melakukan toilet training. sedangkan dari 8 orang tua dengan usia tua terdapat 87,5% yang mampu melakukan toilet training di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Umur atau usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Hubungan Pendidikan Dengan Kemampuan Toilet Training Hasil analisa dari tabel 5.5 diatas dapat dilihat bahwa dari 29 orang tua yang memiliki pendidikan sedang terdapat 72.4 % orang tua yang mampu anak mereka melakukan toilet training. Sedangkan dari 7 orang tua dengan pendidikan rendah terdapat 57,1% yang tidak mampu melakukan toilet training di di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Dari hasil tersebut dilakukan uji chi square dengan menggunakan komputerisasi maka didapat LPPM STIKes Perintis Padang 88 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana hasil P value = 0,026 < 0,05 sehingga P value < α maka secara statitik Ho Ditolak sehingga ada hubungan pendidikan orang tua dengan kemampuan anak melakukan toilet trainingdi PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Asumsi peneliti bahwa kemampuan anak melakukan toilet training banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor usia orang tua , pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua dan juga pola asuh yang dilakukan oleh orang tua, banyaknya anak yang mampu melakukan toilet training karena anak masih dapat mengikuti perintah orang tua dilihat dari adanya pendidikan orang tua yang mendukung seperti pendidikan sedang dan pendidikan tinggi pada orang tua. Hubungan Pekerjaan Dengan Kemampuan Toilet Training Hasil analisa dari tabel 5.6 diatas dapat dilihat bahwa dari 28 orang tua yang tidak bekerja terdapat 67.9 % orang tua yang mampu anak mereka melakukan toilet training. Sedangkan dari 17 orang tua yang bekerja terdapat 70.6% yang mampu melakukan toilet training di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Pekerjaan ibu mempunyai hubungan yang bermakna dengan penerapan toilet training pada anak sehingga akan berdampak pada terlambatnya anak untuk mandiri melakukan toilet training. Ibu yang bekerja diluar rumah harus pandai-pandai mengatur waktu untuk keluarga, karena pada hakekatnya seorang ibu mempunyai tugas utama yaitu mengatur urusan rumah tangga ternasuk mengawasi, mengatur dan membimbing anakanak. Pengorbanan tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan jika melihat anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang kuat da stabil. Sedangkan untuk ibu yang tinggal dirumah pun harus mampu mengatur waktu dengan bijaksana. Walaupun banyak waktu untuk bersama anak tetapi yang paling penting adalah kualitas hubungan interpersonal antara ibu dan anak. Dari hasil tersebut dilakukan uji chi square dengan menggunakan komputerisasi maka didapat hasil P value = 0,034 < 0,05 sehingga P value < α maka secara statitik Ho Ditolak sehingga ada hubungan pekerjaan orang tua dengan kemampuan anak melakukan toilet training di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Hubungan tersebut didukung oleh nilai Oods ratio 1.137 Asumsi peneliti bahwa adanya hubungan pekerjaan dengan kemampuan anak melakukan toilet training dapat didukung oleh nilai OR LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 dimana artinya orang tua yang tidak bekerja memiliki peluang sebesar 1.137 kali untuk mampu melakukan toilet training dari pada yang bekerja di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Hubungan Pola Asuh dengan Kemampuan Toilet Training Hasil analisa dari tabel 5.7 diatas dapat dilihat bahwa dari 29 orang tua yang memiliki pola asuh Premisif terdapat 65.5 % orang tua yang mampu anak mereka melakukan toilet training. Sedangkan dari 3 orang tua dengan pola asuh otoriter terdapat 76,9% yang mampu melakukan toilet training di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Menurut Supartini (2004), bahwa toilet training merupakan aspek penting dalam perkembangan anak usia toddler yang harus mendapat perhatian orang tua dalam berkemih dan defekasi. Dan toilet training juga dapat menjadi awal terbentuknya kemandirian anak secara nyata sebab anak sudah bisa untuk melakukan hal-hal yang kecil seperti buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB). Toilet training merupakan proses pengajaran untuk kontrol buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) secara benar dan teratur. Biasanya kontrol buang air kecil (BAK) lebih dahulu dipelajari oleh anak, kemudian kontrol buang air besar (BAB). Pengaturan buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) diperlukan untuk keterampilan sosial. Mengajarkan toilet training pada anak membutuhkan waktu, kesabaran, dan pengertian . Dari hasil tersebut dilakukan uji chi square dengan menggunakan komputerisasi maka didapat hasil P value = 0,016 < 0,05 sehingga P value < α maka secara statitik Ho Ditolak sehingga ada hubungan pola asuh orang tua dengan kemampuan anak melakukan toilet trainingdi PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Asumsi peneliti bahwa adanya hubungan pola asuh dengan kemampuan melakukan toilet training pada anak karena kemampuan anak melakukan toilet training banyak dipengaruhi faktor seperti faktor usia orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua dan juga pola asuh yang dilakukan oleh orang tua. Banyaknya anak yang mampu melakukan toilet training karena beberapa anak masih dapat mengikuti perintah orang tua dimana orang tua masih dapat melakukan toilet training yang bisa dilakukan anak dengan memberikan pola asuh yang baik 89 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana seperti pola asuh permisif yang dilakukan orang tua terhadap anak. 4. KESIMPULAN Dari Penelitian yang dilakukan dengan judul hubungan karakteristik dan pola asuh orang tua dengan kemampuan melakukan toilet training pada anak usia toddler di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. Dengan orang tua sebanyak 45 orang maka peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai berikut : 4.1 Dari 45 orang tua sebahagian besar memiliki usia muda < 35 tahun 82,2% pada anak usia toddler di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. 4.2 Dari 45 orang tua sebahagian besar memiliki pendidikan sedang (SLTA) 64,4% pada anak usia toddler di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. 4.3 Dari 45 orang tua sebahagian besar tidak bekerja 62,2% pada anak usia toddler di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. 4.4 Dari 45 orang tua sebahagian besar memiliki pola asuh permisif 64,4% pada anak usia toddler di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016 4.5 Dari 45 orang tua sebahagian besar memiliki kemampuan dalam melakukan toilet training 68.9% pada anak usia toddler di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016. 4.6 Dari hasil uji chi square maka ada hubungan antara usia dengan kemampuan anak dalam melakukan toilet training pada anak usia toddler di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016 p-value = 0,040. 4.7 Dari hasil uji chi square maka ada hubungan antara Pendidikan dengan kemampuan anak dalam melakukan toilet training pada anak usia toddler di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016 p-value = 0,026 4.8 Dari hasil uji chi square maka ada hubungan antara Pekerjaan dengan kemampuan anak dalam melakukan toilet training pada anak usia toddler di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016 p-value = 0,034 4.9 Dari hasil uji chi square maka ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan kemampuan anak dalam melakukan toilet training pada anak usia toddler di PAUD Terpadu Surya Kids Bukittinggi tahun 2016 p-value = 0,016 LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 5. REFERENSI Arikunto, S. (2002).Manajemen penelitian cetakan ke7. Jakarta: PT. Rineka Cipta Hasan.Alwi (2002).Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Hidayat,A.Aziz Alimul (2005).Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Jakarta : Salemba Medika Hidayat, (2011). Pengetahuan Ibu Tentang Toilet Training. Diakses 25 November 2015 dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/12345 6789/23318/5/chapter Irwan. 2003. Hubungan pengetahuan orang tua tentang toilet training. Diakses dari http://konsep-toilet-training.blogspot.com pada tanggal 15 Desember 2015 Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta; Rineka Cipta Nursalam. (2005). Asuhan Keperawatan Bayi & Anak, Jakarta; Salemba Medika Syahid.2009.Pengetahuan orang tua tentang toilet training.I Diakses dari http://digilib.unimus.ac.id./files/disk1/104/ jtptunimus-gdl-senjputri-5197-4-babiii.pdf . Pada tanggal 13 November 2015 Supartini, Yupi. (2004). Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta; EGC Soetjiningsih (1995). Tumbuh Kembang Anak. FK Universintas Udayana, Bali; EGC Rifa.1993 .Pengertian Pola Asuh.Diakses 3 November 2015 dari http://www.sarjanaku.com/2012/12/penger tian-pola-asuh-menurut-para-ahli.htm Rugolotto. 2004. toilet training pada anak toddler. Diakses dari http://hubunganpengetahuan-orang-tua-toilettraining.blogspot.com pada tanggal 16 Desember 2015 Stari.2006.Hubungan pola asuh orang tua dengan toilet training.Diakses dari http://polaasuh-orang-tua-toilettraining.blogspot.com pada tanggal 15 Desember 2015 90 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Warner. 2007. Pengertian toilet training. Diakses dari http://supartini-konsep-toilettraining.blogspot.com pada tanggal 15 Desember 2015 Wong. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta; EGC. www.depkes_Bukittinggi.com LPPM STIKes Perintis Padang 91 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 TIPE KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA ANAK REMAJA Yendrizal Jafri1, Atikah Nurul Huda Dwi Vally2 Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis Padang Email: [email protected], [email protected] Abstract Based on the preliminary study on 19 April 2016 showed interviews with four students and two teachers say aggressive behaviour often occurs late coming to school, lack of ethics, smoking, against the teacher and others. The purpose of this study is to determine the relationship of the type of families’ with aggressive behaviour in adolescents. This study was conducted on 21 to 22 July 2016 with a method. Descriptive correlation The number of samples in this research is 207 respondents, with sampling technique multistage random sampling, this research instrument using a questionnaire. From the results of research, the value of p = 0,054, means that ho accepted, no relation that have meaning (value of p > 0,05). OR obtained 1,849 mean that the type of families’ dual career at risk 1,849 times for the occurrence of aggressive behaviour in adolescents compared to families. Dual-career it can be concluded that the existence of family-type relationship dual career with aggressive behaviour in adolescents and it is expected that the Principal district in order to improve the ability of schools, teachers and officers Counseling to cope with aggressive behaviour of teenagers in school and develop methods of counseling teens with family – type dual career. Keywords : Type Family, Aggressive Behaviour 1. PENDAHULUAN Setiap manusia memliki tahap perkembangan masing-masing yang secara umum di mulai dari tahapan prenatal, periode bayi, masa kanak-kanak awal, masa kanak-kanak pertengahan, dan masa kanak-kanak akhir atau remaja (Wong, 2000). Masa remaja (Adolescence) merupakan masa di mana terjadi transisi masa kanak-kanak menuju dewasa, biasanya antara usia 13 dan 20 tahun. Istilah adolescence merujuk kepada kematangan psikologis individu, sedangkan pubertas merujuk kepada saat di mana telah ada kemampuan reproduksi. Perubahan hormonal saat pubertas mengakibatkan perubahan penampilan pada anak, sedangkan perkembangan kognitif mengakibatkan kemampuan untuk menyusun hipotesis dan berhubungan dengan hal abstrak. Penyesuaian dan adaptasi dibutuhkan untuk menghadapi perubahan ini dan mencoba untuk memperoleh identitas diri yang matang (Potter & Perry , 2009). Menurut WHO, remaja merupakan penduduk dalam rentang usia 10-19 tahun, Sekitar sembilan ratus juta berada dinegara sedang berkembang. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 25 tahun 2014, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun, dan menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) rentang usia remaja adalah LPPM STIKes Perintis Padang 10-24 tahun dan belum nikah. Jumlah kelompok usia 10-19 tahun di Indonesia menurut Sensus Penduduk 2010 sebanyak 43,5 juta atau sekitar 18% dari jumlah penduduk. Di dunia diperkirakan kelompok remaja berjumlah 1,2 miliyar atau 18% dari jumlah penduduk dunia (WHO, 2014). Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa pubertas menuju masa dewasa. Selama periode ini, remaja banyak mengalami perubahan baik secara fisik, psikologis, ataupun sosial. Perubahan fisik pada masa remaja mulai pada masa remaja awal hingga remaja akhir sedikit mengalami penurunan. Penambahan tinggi badan remaja putri rata-rata pada usia 17-18 tahun dan penambahan tinggi remaja putra kira-kira pada usia 18-19 tahun. Perubahan berat badan remaja mengikuti jadwal yang sama dengan tinggi dan terjadi pada bagian-bagian tubuh yang mengandung lemak sedikit atau tidak sama sekali. Perkembangan organ-organ seksual akan mencapai ukuran yang matang pada masa remaja akhir. Namun, fungsinya belumlah matang hingga beberapa tahun. Adapun, perkembangan ciri-ciri seks sekunder akan sempurna matang pada remaja akhir. Beberapa dari bagian anggota tubuh lambat laun akan mencapai perbandingan proporsi tubuh yang lebih seimbang (Pieter dkk, 2010). 92 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Selanjutnya pada perkembangan psikososial, pencarian jati diri merupakan tugas utama remaja. Mereka dapat membentuk hubungan kelompok yang erat atau memilih untuk tetap terisolasi. Erikson meninjau kebingungan identitas (atau peran) sebagai bahaya utama pada tingkat ini. Ia juga menyatakan bahwa penolakan kelompok terhadap perbedaan pada remaja anggotanya merupakan suatu mekanisme pertahanan terhadap kebingungan identitas tersebut (Erikson,1968). Remaja berusaha memisahkan unsur emosional dari pihak orangtua sambil tetap mempertahankan hubungan keluarga. Selain itu, mereka harus membangun sistem etis yang berdasarkan nilai-nilai pribadi. Mereka akan membuat keputusan mengenai karier, pendidikan di masa depan, dan gaya hidup. Berbagai komponen tentang identitas total berasal dari tugas – tugas tersebut dan akan membentuk identitas pribadi dewasa yang unik untuk masing-masing orang (Potter & Perry, 2009). Data Demografi menunjukan bahwa penduduk di dunia jumlah populasi remaja merupakan yang besar. Data Demografi di Amerika Serikat menunjukan jumlah remaja berumur 10-19 tahun sekitar 15% populasi. Di Asia Pasifik jumlah penduduknya merupakan 60% dari penduduk dunia, seperlimanya adalah remaja umur 10-19 tahun. Di Indonesia menurut Biro Pusat Statistik kelompok umur 10-19 tahun adalah 22%, yang terdiri dari 50,9% remaja lakilaki dan 49,1% remaja perempuan (Soetjiningsih, 2010). Di Provinsi Sumatera Barat tercatat remaja laki-laki yang berusia 10-14 tahun berjumlah 491.806 remaja yang terdiri dari 250.601 remaja laki-laki dan 241.205 remaja perempuan. Sedangkan remaja yang berusia 15-19 tahun berjumlah 471.294 remaja yang terdiri dari 238.400 remaja laki-laki dan 232.894 remaja perempuan. Di Kabupaten Padang Pariaman dari 403.530 jiwa penduduk terdapat 166.518 jiwa remaja. Di Kecamatan Kayutanam dari 26.344 jiwa penduduk terdapat 4.732 jiwa penduduk, terdiri dari 595 jiwa remaja laki-laki dan 4.137 jiwa remaja perempuan (BPS, 2014). Dengan banyaknya populasi usia remaja maka beragam pula perilaku yang ditimbulkan baik itu sesuai norma ataupun perilaku menyimpang dan perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan norma yang ada di masyarakat seperti kenakalan remaja. Jensen (1985) membagi kenakalan remaja ini menjadi empat jenis yaitu: kenakalan yang menimbulkan LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 korban fisik pada orang lain: perkelahian, pemerkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka, dan sebagainya. Kenakalan remaja dan beberapa kelainan perilaku remaja yang lain biasanya dikaitkan dengan perilaku agresif dari remaja (Sarwono, 2013). Perilaku agresif merupakan perilaku menyerang atau melukai orang lain atau mencakup perusakan properti. Perilaku agresif ditujukan untuk menyakiti atau menghukum orang lain atau memaksa seseorang untuk patuh. Perilaku agresif sering kali di temui pada remajaremaja disekolah (Videbeck, 2012). Sekolah seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan, tempat yang aman dan sehat, tempat dimana para siswa dapat mengembangkan berbagai macam potensi yang mereka miliki dengan sepenuhnya. Namun bayangan akan terjadinya peristiwa tindak kekerasan dan sesuatu yang tidak menyenangkan saat memasuki lingkungan sekolah seringkali menghantui perasaan sebagai siswa. Perilaku agresif siswa di sekolah sudah menjadi masalah yang universal (Neto, 2005), dan akhir-akhir ini cederung semakin meningkat. Berita tentang terlibatnya para siswa dalam berbagai bentuk kerusuhan, tawuran, perkelahian, dan tindak kekerasan lainnya semakin sering terdengar. Perilaku agresif siswa di sekolah sangat beragam dan kompleks (GatraNews, 12 Oktober 2011). Perilaku agresif yang beragam dan kompleks ini akan menimbulkan dampak yang merugikan dan membahayakan bagi kedua belah pihak yang terlibat konflik, sebab masing-masing pihak biasanya berusaha melakukan sesuatu yang mempunyai konsekuensi negatif dan merugikan bagi pihak lawannya (Gurp, 2002). Beberapa hal yang dapat menyebabkan perilaku agresif antara lain adanya kadar serotonin yang berperan sebagai inhibitor utama pada perilaku agresif. Dengan demikian, kadar serotonin yang rendah dapat menyebabkan peningkatan perilaku agresif. Selanjutnya; kerusakan struktur pada sistem limbik dan lobus frontal serta lobus temporal otak dapat mengubah kemampuan individu untuk memodulasi agresi 93 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana sehingga menyebabkan perilaku agresif. Selanjutnya pada psikososial, ketika anak tumbuh dewasa, anak diharapkan mengembangkan kontrol impuls (kemampuan untuk menunda terpenuhinya keinginan) dan perilaku yang tepat secara sosial. Kegagalan untuk mengembangkan kualitas tersebut dapat menyebabkan individu ynag impulsif, mudah frustasi, dan rentan terhadap perilaku agresif (Videbeck, 2012). Data dari Penelitian dan Pengembangan (LITBANG) juga menunjukkan di Jakarta, pada tahun 2010 tercatat 128 kasus tawuran antar pelajar. Angka tersebut meningkat lebih dari 100% pada 2011, yakni 330 kasus tawuran yang menewaskan 82 pelajar. Pada bulan Januari-Juni 2012, telah terjadi 139 tawuran yang menewaskan 12 orang pelajar (Lukmansyah & Andini, 2012). Di Kota Padang, perilaku agresi remaja juga terlihat dalam beberapa kasus seperti pencurian motor (curanmor) yang dilakukan oleh tiga orang pelajar SMK pada tahun 2012 dengan alasan iseng (Postmetro Padang, 2012). Aksi kebut-kebutan di jalan raya yang dilakukan oleh pelajar hingga mengganggu kenyamanan pengguna jalan lainnya karena siswa dengan sengaja menyenggol atau menyerempet kendaraan yang parkir sehingga angka kecelakaan motor meningkat menjadi 80% dan korbannya didominasi oleh remaja berumur 18 tahun ke atas (Padang Ekspress, 2012). Dilengkapi dengan 18 kasus tawuran pelajar selama 3 tahun belakangan yang mengalami peningkatan dari sebelumnya (Polresta Kota Padang, 2013). Kasus tersebut memperlihatkan bentuk perilaku agresif fisik yang dilakukan oleh pelajar di Kota Padang. Perilaku agresif dapat terjadi karena adanya faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Pertama yaitu faktor biologis. Faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresif adalah faktor gen, faktor sistem otak dan faktor kimia darah. Kedua faktor keluarga dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Pola asuh orang tua dapat dibagi menjadi tiga tipe yaitu pola asuh otoriter (menerapkan peraturan kepada anaknya secara ketat dan sepihak), pola asuh permisif (memberikan banyak kebebaskan kepada anaknya dan kurang kontrol yang disebabkan orang tua mereka sibuk berkarir dengan pekerjaannya), dan pola asuh otoritatif (orang tua memberikan kebebasan disertai bimbingan kepada anak). Orang tua juga harus dapat menerapkan ketiga pola asuh tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi karena tantangan terbesar bagi tipe keluarga dual career adalah mengatur dan LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 mengoordinasi pengasuhan anak sementara orang tua bekerja. Faktor sekolah yang mempengaruhi perilaku agresif seperti pengalaman bersekolah dan lingkungannya, guru-guru di sekolah sangat berperan dalam munculnya masalah emosi dan perilaku agresif, disiplin sekolah yang sangat kaku atau sangat longgar di lingkungan sekolah akan sangat membingungkan anak yang masih membutuhkan panduan untuk berperilaku. Faktor belajar sosial dan faktor lingkungan juga mempengaruhi karena remaja suka meniru apa yang dilihatnya serta mudah terpengaruhi dengan perilaku yang ada disekitar lingkungannya. Hasil penelitian Rina (2011), dua faktor yang melatarbelakangi perilaku agresif, pertama faktor eksternal yang melatarbelakangi perilaku agresif yang diurutkan berdasarkan nilai tertinggi pertama, kedua, ketiga sampai yang paling banyak memiliki nilai terendah yaitu, faktor ejekan dari teman, faktor media audiovisual, dukungan keluarga, lingkungan sekolah yang kurang menguntungkan. Faktor kedua yaitu faktor internal yang melatarbelakangi perilaku agresif pada remaja adalah membalas ejekan teman, kecewa dan pergi dari rumah, kurang nyaman, mencoba adegan kekerasan seperti yang ditayangkan di televisi. Perilaku dibentuk dari masa kanak-kanak awal, masa kanak-kanak pertengahan dan masa kanak-kanak akhir atau remaja. Dalam proses pembentukan perilaku remaja ada agen yang sangat besar dan penting sekali pengaruhnya, yang dapat membawa individu diterima dengan baik dikalangan masyarakat terutama teman sebayanya. Agen yang dimaksud adalah keluarga. Keluarga merupakan dua orang atau lebih yang disatukan oleh kebersamaan dan kedekatan emosional serta mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari keluarga . Ketika orang tua menyediakan dukungan emosional dan kebebasan bagi remaja untuk menjelajahi lingkungannya, maka remaja akan berkembang dengan memiliki pemahaman yang sehat mengenai siapa dirinya. Dukungan dan komunikasi yang terbuka dari orangtua atau keluarga akan mempengaruhi pembentukan identitas diri remaja (Friedman, Bowden, & Jones 2014). Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya perilaku agresif. Dengan ikut berperannya seorang ibu untuk menambah penghasilan keluarga menyebabkan kurangnya perhatian orangtua terhadap aktivitas remaja, kurangnya kasih sayang orang tua dan penerapan disiplin dapat menjadi pemicu timbulnya perilaku 94 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana agresif. Sikap dan perilaku serta perasaan orang tua selalu dilihat, dinilai dan ditiru oleh anaknya yang kemudian secara sadar dan tidak sadar diresapi dan menjadi kebiasaan bagi anakanaknya, hal ini disebabkan karena anak mengidentifikasikan dirinya pada orang tua sebelum mengadakan identifikasi dengan orang lain (Tarmudji, 2004). Di zaman modern saat ini, peran orangtua terutama seorang ibu juga telah berubah. Saat ini banyak dijumpai keluarga yang kedua orang tuanya bekerja. Dengan makin banyaknya kehadiran dual-career family, ada tiga pekerjaan purnawaktu: dua pekerjaan orang dewasa yang digaji dan satu pekerjaan rumah tangga (Friedman, Bowden, & Jones 2014). Ketika wanita bekerja, suami mereka biasanya berbagi peran mengasuh anak dan mengurus rumah tangga (Shaw, 1988). Peningkatan keterlibatan suami yang memiliki istri bekerja khususnya tampak melalui keterlibatan dalam pengasuhan anak (Pleck,1985). Tantangan dalam mengatur dua buah pekerjaan dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang dimiliki oleh pasangan suami-istri dan stres yang ditimbulkan oleh pekerjaan tersebut. Tuntutan kerja yang sangat tinggi disertai kendali yang lemah pada tuntutan kerja, pada umumnya menimbulkan tingkat stres yang tinggi. Stres yang ditimbulkan oleh pekerjaan bukan hanya masalah pribadi tetapi juga masalah keluarga. Sebagai contoh, stres yang disebabkan oleh pekerjaan dapat berpengaruh buruk pada hubungan orang tua-anak (Friedman, Bowden & Jones, 2004). Dari hasil wawancara dengan empat siswa SMAN 1 Kecamatan 2 x 11 Kayutanam, satu orang siswa yang kedua orangtuanya PNS mengatakan bahwa perilaku agresif yang sering terjadi di sekolah adalah banyak siswa yang telat datang ke sekolah, bolos, merokok, mencela teman dan pacaran, dua orang siswa yang kedua orangtuanya wirausaha mengatakan bahwa kasus yang sering terjadi di sekolah adalah banyak siswa yang merokok, cabut, melawan guru, berkata kotor kepada guru dan perselisihan antara siswa dan guru. Satu orang siswi yang kedua orangtuanya berdagang mengatakan banyak siswa yang merokok di sekitar sekolah, cabut, pacaran dan siswi-siswi mempunyai kelompok-kelompok teman (genk). Dua orang guru yang diwawancara mengatakan bahwa kasus yang sering terjadi adalah kurangnya etika siswa terhadap guru, siswa banyak yang telat datang ke sekolah, bolos, kadang-kadang terjadi perkelahian antar sesama LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 siswa. Dari hasil observasi peneliti banyak siswa laki-laki ngebut-ngebutan saat membawa motor, tidak mematuhi tata tertib lalu lintas bahkan salah satu siswa yang tinggal di dekat rumah peneliti ketika di tegur mereka bukannya minta maaf malahan melawan. Ada juga siswa yang pulang sekolah masih menggunakan seragam sekolah lengkap mereka dengan bebasnya merokok, pacaran, berkata kotor sesama teman, saling mencela satu sama lain dan sejumlah siswi mempunyai genk nya masing-masing. Berdasarkan fenomena yang ditemukan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan Tipe Keluarga dengan Perilaku Agresif pada Remaja di SMAN 1 Kecamatan 2 x 11 Kayutanam Kabupaten Padang Pariaman tahun 2016”. Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian sebagai berikut : Apakah ada hubungan tipe keluarga dengan perilaku agresif pada remaja di SMAN 1 2 x 11 Kayutanam tahun 2016? Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui hubungan tipe keluarga dengan perilaku agresif pada remaja di SMAN 1 Kecamatan 2 x 11 Kayutanam Kabupaten Padang Pariaman tahun 2016. 2. METODE PENELITIAN Jenis penelitian Deskriptif Korelasi, pendekatan Cross Sectional yang bertujuan untuk melihat hubungan tipe keluarga dengan perilaku agresif pada remaja di SMAN 1 Kecamatan 2 x 11 Kayutanam Kabupaten Padang Pariaman, dimana variabel independennya adalah hubungan tipe keluarga, sedangkan variabel dependen adalah perilaku agresif, kedua variabel ini diteliti dalam waktu bersamaan. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas X - XII berjumlah 429 orang. Penelitian ini menggunakan teknik Multistage random sampling. Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data yaitu kuesioner. Pengolahan Data dan Analisa Data adalah sebagai berikut: Memeriksa (Editing), memberi Tanda Kode (Coding), proses (Processing), pembersihan Data (Cleaning), skor (Scoring), dan analisa yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yang diteliti, pengujian hipotesis untuk pengambilan keputusan dengan menggunakan uji statistik chi square test, untuk melihat kemaknaan perhitingan statistik digunakan batasan kemaknaan 0,05 sehingga p ≤ 0,05 secara statistik disebut “bermakna” dan jika 95 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 p > 0,05 maka hasil hitungan tersebut “tidak bermakna” secara komputerisasi. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1). Tipe Keluarga Tabel 3.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tipe Keluarga Tipe Keluarga f % Dual Career Tidak Dual Career 72 135 34,8 65,2 Total 207 100.0 Dari tabel 3.1 diatas terlihat bahwa tipe keluarga siswa lebih dari separuh dengan tipe keluarga tidak dual career yaitu sebanyak 65,2% atau sebanyak 135 orang responden. Sisanya 34,8% atau sebanyak 72 orang responden mempunyai tipe keluarga dual career. 2. Perilaku Agresif Pada Remaja Tabel 3.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Perilaku Agresif Pada Anak Remaja Perilaku Remaja f Agresif Tidak agresif Total 109 98 207 % 52,7 47,3 100.0 Dari tabel 3.2 diatas terlihat bahwa 52,7% siswa mempunyai perilaku agresif atau sebanyak 109 orang responden. Sisanya 47,3% atau sebanyak 98 orang responden mempunyai perilaku tidak agresif. 3) Hubungan Tipe Keluarga dengan Perilaku Agresif pada Anak Remaja Tabel 3.3 Hubungan Tipe Keluarga dengan Perilaku Agresif pada Anak Remaja Perilaku Total Agresif f % Tipe Keluarga Tidak agresif f % P f % Dual Career Tidak Dual Career 45 64 62,5% 47,4% 27 71 37,5% 52,6% 72 135 100,0% 100,0% Total 109 52.7% 98 47.3% 207 100.0% OR 0.054 1.849 Pada tabel 3.3 ditunjukkan bahwa hasil analisa diperoleh dari 52.7% siswa yang berperilaku secara agresif 62,5% diantaranya mempunyai tipe keluarga dual career. Sementara itu dari 47.3% siswa yang berperilaku tidak agresif 52,6% diantaranya mempunyai tipe keluarga dual career. Nilai p= 0.054, berarti Ho diterima, tidak ada hubungan yang bermakna ( nilai p > 0,05). Maka menunjukan tidak adanya hubungan tipe keluarga dual career dengan perilaku agresif pada remaja. OR didapatkan 1.849 artinya tipe keluarga dual career beresiko 1.849 kali untuk terjadinya perilaku agresif pada remaja dibandingkan keluarga tidak dual career. LPPM STIKes Perintis Padang 96 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana B. Pembahasan 1) Tipe Keluarga Dual Career Dari tabel 3.1 diatas terlihat bahwa tipe keluarga siswa lebih dari separuh dengan tipe keluarga tidak dual career yaitu sebanyak 65,2% atau sebanyak 135 orang responden. Keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh kebersamaan dan kedekatan emosional serta mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari keluarga (Friedman, Bowden, & Jones 2014). Dalam sosiologi keluarga, berbagai bentuk keluarga digolongkan sebagai bentuk tradisional dan nontradisional, dan sebagai bentuk normatif dan non-normatif atau bentuk-bentuk keluarga varian. Bentuk keluarga varian menunjukan kepada struktur keluarga yang merupakan sebuah variasi dari bentuk norma. Bentuk varian tersebut meliputi semua bentuk deviasi dari keluarga inti tradisional yang dicirikan oleh rumah tangga suami, istri dan anak-anak hidup terpisah dari orangtua, dengan laki-laki sebagai pencari nafkah dan istri sebagai ibu rumah tangga (Sussman et al,1971). Dengan meningkatnya wanita yang bekerja secara tajam, maka akan terdapat banyak sekali keluarga yang suami istri sama-sama bekerja selama periode tertentu dalam siklus kehidupan berkeluarga. Dalam kebanyakan keluarga dimana pasangan suami istri bekerja, baik sebagai pekerja sambilan maupun tetap, kebanyakan wanita (demikian juga dengan lakilaki) memiliki apa yang dinamakan jabatan-yaitu posisi yang bukan menjadi kepentingan umum kehidupan dan diterima karena alasan ekonomi (Skinnre, 1984). Seiring perpindahan wanita dari rumah ke tempat kerja pada dekade baru-baru ini, peran mereka juga telah berubah, dan secara berhubungan, peran perilaku pasangan mereka juga berubah. Perubahan peran pria dalam keluarga terjadi, tetapi pada kecepatan yang lebih lambat dibandingkan perubahan pada pekerjaan wanita dan perubahan dalam peran keluarga. Penelitian mengenai peran wanita dalam keluarga difokuskan terutama pada keluarga dan alokasi peran. Telah dianalisis sampai sejauh mana wanita mempertahankan kewajiban peran jenis kelamin tradisional (pengasuhan anak, pengurus rumah tangga, dll.) dan secara simultan melakukan peran kerja mereka. Kelebihan beban, konflik, dan ketegangan peran didokumentasikan dalam studi setelah studi seiring wanita beralih menjadi tenaga kerja dan menciptakan karir bagi diri mereka. Dengan makin banyaknya kehadiran dual-career family, ada tiga pekerjaan purnawaktu: dua LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 pekerjaan orang dewasa yang digaji dan satu pekerjaan rumah tangga (Friedman, Bowden, & Jones 2014). Menurut peneliti, tipe keluarga dual career adalah tipe keluarga dimana suami istri sama-sama bekerja baik sambilan maupun tetap dengan tujuan untuk menambah penghasilan keluarga. Di sini terjadi perubahan peran pada pasangan suami istri, jika istri tidak bisa melakukan perannya sebagai pengasuh dan mengatur rumah tangga, ini akan menimbulkan hubungan yang tidak baik dalam keluarga terutama pada anak, sehingga anak akan mencari perhatian orang tua dengan caranya sendiri. 2) Perilaku Agresif Pada Remaja Dari tabel 3.2 diatas terlihat bahwa 52,7% siswa mempunyai perilaku agresif atau sebanyak 109 orang responden. Perilaku agresif fisik merupakan perilaku menyerang atau melukai orang lain atau mencakup perusakan properti. Perilaku agresif ditujukan untuk menyakiti atau menghukum orang lain atau memaksa seseorang untuk patuh. Perilaku agresif sering kali di temui pada remaja-remaja disekolah (Videbeck, 2012). Relational aggression (agresi relasi ) adalah perilaku yang menyebabkan kerugian pada orang lain dengan cara merusak ( atau ancaman merusak) hubungan atau dukungan, persahabatan atau ikatan kelompok (Crick et al., dalam Yoon et al., 2004). Agresif menurut Baron (dalam Koeswara, 1998) adalah tingkah laku yang dijalankan oleh individu dengan tujuan melukai atau mencelakakan individu lain. Myers (dalam Adriani, 1985) mengatakan tingkah laku agresif adalah tingkah laku fisik atau verbal untuk melukai orang lain. Menurut Dollar dan Miler (dalam Sarwono, 1988) Agresi merupakan pelampiasan dari perasaan frustasi. Menurut Berkowitz (1987), agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang mempunyai niat tertentu untuk melukai secara fisik atau psikologis pada diri orang lain. Murray (dalam Hall dan Lindzey, 1981) mengatakan bahwa agresif adalah suatu cara untuk mengatasi perlawanan dengan kuat atau menghukum orang lain. Menurut peneliti, perilaku agresif adalah perilaku yang ditujukan untuk merugikan orang lain, perilaku yang dimaksud untuk melukai orang lain baik secara fisik atau verbal) atau merusak harta benda. Jika seseorang tidak bisa mengontrol emosi dan melampiaskan kepada orang lain atau benda dengan disengaja maka orang tersebut sudah berperilaku agresif. 97 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Hubungan Tipe Keluarga dengan Perilaku Agresif pada Remaja di SMAN 1 Kecamatan 2 x 11 Kayutanam Kabupaten Padang Pariaman tahun 2016. Hasil analisa diperoleh nilai p = 0.054, berarti Ho diterima, tidak ada hubungan yang bermakna ( nilai p > 0,05). Maka menunjukan tidak adanya hubungan tipe keluarga dual career dengan perilaku agresif pada remaja. OR didapatkan 1.849 artinya tipe keluarga dual career beresiko 1.849 kali untuk terjadinya perilaku agresif pada remaja dibandingkan keluarga tidak dual career. Dapat kita lihat juga hasil penelitian yang dilakukan oleh M.Faizan Ismail Tahun 2014 tentang hubungan pola asuh orang tua dengan kejadian perilaku agresif pada remaja SMPN III Bawen Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang bahwa ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan perilaku agresif dimana p value 0,040 (p<0,05), dari hasil Regresi Logistik terdapat hasil otoriter 1,000 dan demokratis 0,444 hal ini menunjukan tidak dapat mengetahui tipe pola asuh orang tua yang paling berhubungan dengan perilaku agresif. Di zaman modern saat ini, peran orangtua terutama seorang ibu juga telah berubah. Saat ini banyak dijumpai keluarga yang kedua orang tuanya bekerja. Terlepas dari apakah wanita bekerja karena keinginan sendiri atau keharusan (ataupun kedua-duanya), bentuk keluarga yang dominan terjadi sekarang ini adalah dual career family. Rappoport & Rappoport (dalam Wilcox dkk,1989) menyatakan bahwa dual career family merupakan tipe keluarga dimana suami dan istri aktif dalam mengejar karir dan kehidupan keluarga secara serentak. Menurut Penelitian Apperson dkk (2002) mayoritas pria dan wanita sekarang ini, mempunyai kedudukan ganda sebagai karyawan dengan jenis pekerjaan full time. Dikatakan Primastuti (dalam Prawitasari dkk, 2007) bahwa banyak dari mereka yang mempunyai peranan ganda dalam dunia kerja untuk mendapatkan penghasilan ataupun kepuasan hidup. Dalam dual career family, ketegangan-ketegangan akan lebih sering muncul dibandingkan dengan keluarga tradisional. Ketegangan-ketegangan umumnya berasal dari peran-peran yang sering menjadi tidak jelas serta adanya tuntutan peran dari lingkungan. Seorang isteri menikah yang memutuskan untuk bekerja, peran yang dipikulnya pasti semakin bertambah, yaitu peran sebagai isteri, orang tua, dan peran sebagai pekerja. Tuntutan-tuntutan pekerjaan mengakibatkan isteri pulang kerja dalam keadaan LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 lelah sehingga ia tidak memiliki cukup energi untuk memenuhi semua kebutuhan anggota keluarganya. Selain itu, dengan adanya jumlah jam kerja yang cukup panjang menyebabkan ibu tidak selalu ada pada saat dimana ia sangat dibutuhkan oleh anak atau pasangannya. Ketika wanita bekerja, suami mereka biasanya berbagi peran mengasuh anak dan mengurus rumah tangga (Shaw, 1988). Peningkatan keterlibatan suami yang memiliki istri bekerja khususnya tampak melalui keterlibatan dalam pengasuhan anak (Pleck,1985). Coltrane (1977) mencatat bahwa masih banyak terdapat halangan besar bagi partisipasi penuh ayah dalam tugas keluarga, termasuk tuntutan pekerjaan, struktur tempat kerja mereka, dan terbatasnya penerimaan sosial terhadap “daddy tracks” dengan program kerja keluarga seperti pengaturan waktu kerja dan kepergian orang tua. Perilaku agresif adalah tingkah laku pelampiasan dari perasaan frustasi untuk mengatasi perlawanan dengan kuat atau menghukum orang lain, yang ditujukan untuk melukai pihak secara fisik maupun psikologis pada orang lain yang dapat dilakukan secara fisik maupun verbal. Menurut Atkinson dkk (1981) agresif adalah tingkah laku yang diharapkan untuk merugikan orang lain, perilaku yang dimaksud untuk melukai orang lain, perilaku yang dimaksud untuk melukai orang lain (baik secara fisik atau verbal) atau merusak harta benda. Menurut peneliti tipe keluarga dual career berpengaruh terhadap timbulnya perilaku agresif. Dengan bekerjanya kedua orang tua menyebabkan waktu bersama anak berkurang, anak juga merasakan kurangnya kasih sayang. Kurangnya komunikasi dan interaksi antara orang tua dan anak membuat anak mencari perhatian dengan melakukan hal-hal yang mereka anggap menyenangkan tanpa memikirkan akibat dari perbuatannya itu. Hal inilah yang menimbulkan perilaku agresif pada anak. Namun, hal tersebut dapat dihindari orang tua yang keduanya bekerja dengan cara membuat anak tetap merasakan kasih sayang orang tua dengan lebih banyak meluangkan waktu bersama dan berbagi kasih sayang terhadap anak. Dari 207 orang responden yang diteliti terlihat pada kuesioner tentang perilaku agresif responden yang menjawab Sering paling banyak pada pertanyaan 4 sebanyak 21 orang atau 10,1% dan yang menjawab Sangat Sering paling banyak pada pertanyaan no 3 orang responden atau 1,4%. 98 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana KESIMPULAN Setelah dilakukan penelitian yang dilaksanakan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: a) Tipe keluarga siswa lebih dari separuh dengan tipe keluarga tidak dual career yaitu sebanyak 65,2% atau sebanyak 135 orang responden. b) Sebanyak 109 orang responden atau setara dengan 52,7% siswa mempunyai perilaku agresif. c) Dari uji Chi-Square nilai p = 0.054, berarti Ho diterima, tidak ada hubungan yang bermakna ( nilai p > 0,05) tipe keluarga dual career dengan perilaku agresif pada remaja di SMAN 1 Kecamatan 2 x 11 Kayu tanam Kabupaten Padang Pariaman tahun 2016. OR didapatkan 1.849 artinya tipe keluarga dual career beresiko 1.849 kali untuk terjadinya perilaku agresif pada remaja dibandingkan keluarga tidak dual career. Walaupun demikian diharapkan kepada sekolah agar meningkatkan kemampuan sekolah, guru-guru, dan petugas Bimbingan Konseling untuk mengatasi perilaku agresif remaja di sekolah serta mengembangkan metode bimbingan konseling remaja bersama keluarga terutama tipe keluarga dual carrer. ISSN: 2548-3153 4. Hidayat M. (2015), Perilaku Agresi Relasi Siswa Di Sekolah, Aswaja Pressindo, Yogyakarta Ismail, M. F. (2014). Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Kejadian Perilaku Agresif Pada Remaja Di SMP III Bawen Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Jurnal Penelitian. Ungaran: Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Ngudi Waluyo Ungaran Lukmansyah, D & Andini, P. (2012). Data tawuran pelajar selama 2010-2012. Diperoleh tanggal 4 Juli 2013 dari http:///video.tvOneNews.antaranews.tv/ars ip Materi 05 - Agresi.pdf - Kenes. Di Unduh dari kenes.staff.gunadarma. ac.id/Downlo ads/.../Materi+05+-+Agresi.pdf tanggal 7 april 2016 Notoatmodjo. (2010), Metodologi Penelitian Kesehatan Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta 5. REFERENSI Achir Yani S.H. (2009), Bunga Rampai-Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa, Buku Kedokteran, EGC , Jakarta BPS. (2014). Jumlah remaja dirinci menurut kelompok umur dan jenis kelamin. Diperoleh tanggal 13 April 2016 dari BPS Kabupaten Padang Pariaman http://padangpariamankab.bps.go.id/linkTa belStatis/view/id/127 Data demografi jumlah populasi remaja di beberapa negara dan di Indonesia https://www.scribd.com/doc/223921391/M enurut-Badan-Pusat-Statistik Friedman. (1998), Keperawatan Keluarga Teori dan Praktik Edisi 3, Buku Kedokteran, EGC, Jakarta Nursalam. (2011), Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta Pieter, dkk. (2010), Pengantar Psikologi dalam Keperawatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta Potter & Perry. (2009), Fundamentals of NursingFundamental Keperawatan Buku 1 Edisi 7, Salemba Medika, Jakarta Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI (2014). Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja Dalam Rangka Hari Keluarga Nasional, 29 Juni http://www.depkes.go.id/resources/downlo ad/pusdatin/infodatin/infodatin%20r eproduksi%20remaja-ed.pdf Rina Friedman, Bowden & Jones. (2014), Buku Ajar-Keperawatan Keluarga Edisi 5f, Buku Kedokteran, EGC, Jakarta Hidayat, A. A. (2009), Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data, Salemba Medika, Jakarta LPPM STIKes Perintis Padang (2011), “FaktorFaktor Yang Melatarbelakangi Perilaku Agresif Pada Remaja Kelas II ,III Di Smp Pahlawan Toha Bandung 18 September 2006 – 05 Januari 2007”, Jurnal Kesehatan Prima, Vol. 3 No.2, p.14-24 99 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Sarwono. (2013), Psikologi Remaja edisi revisi, Rajawali Pers, Jakarta Setiadi. (2013), Konsep & Penulisan Riset Keperawatan, Graha Ilmu, Yogyakarta Tim Penulis Falkutas Psikologi UI. (2009), Psikolog Sosial, Salemba Humanika, Jakarta Universitas Andalas (2013). Gambaran Perilaku Agresi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Pada Siswa SMK X di Kota Padang http://repository.unand.ac.id/21606/3/bab %201.pdf Videbeck. (2012), Buku Ajar-Keperawatan Jiwa, Buku Kedokteran, EGC, Jakarta Wong. (2009), Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Volume 1, Buku Kedokteran, EGC, Jakarta LPPM STIKes Perintis Padang 100 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 BUDAYA ORGANISASI ERAT HUBUNGANNYA DENGAN KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP Ernalinda Rosya 1, Emil Wahyu Andria 2, Mera Delima 3 Program Studi Profesi Ners STIKes Perintis Padang Email: [email protected] Abstract Medical Records Hospital Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi (2016) that writers get, the largest number of patients treated is in the room interne. During 2014 there were 2,621 patients treated, and in 2015 increased to 3,697 patients. The goal is to determine the relationship with the organizational culture of patient satisfaction at Hospital. The sample in this study was 22 people. This study was conducted on July 11, 2016 until July 16, 2016 Bukittinggi. This research uses descriptive analytic method with cross sectional design, then the data is processed by using Chi Square test. Statistical test results obtained p value of 0.027 can be inferred the existence of a relationship between the right sincere promise nurse with patient satisfaction. P value of 0.027 can be inferred the existence of a relationship between empathy nurses with patient satisfaction. P value 0.006 can be inferred the existence of a relationship between responsibiliti nurse with patient satisfaction. P value of 0.006 can be inferred the existence of a relationship between a wise nurse with patient satisfaction. P value 0.008 can be concluded their fair relationship between nurse and patient's satisfaction. P value 0.003 can be inferred the existence of a relationship between the integrity of the nurses with patient satisfaction. P value 0.000 can be inferred the existence of a relationship between togetherness nurse with patient satisfaction. To that end, in the nursing field needed improvement and development of resource nurses on the meaning of organizational culture, especially nurses diruangan interne men and women through how to behave or conduct of a nurse to the patient or the patient's family, and every month to evaluate patient satisfaction with the performance of nurses as well as the necessary their reward and punishment for nurses who have good performance. Keywords: Organizational Culture, Patient Satisfaction 1. PENDAHULUAN Rumah sakit merupakan salah satu pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang memiliki peran strategis dalam mempercepat peningkatan derajat kesehatan sebagai tujuan pembangunan kesehatan, sehingga rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu sesuai standar yang ditetapkan. Menurut Kepmenkes No.228/2002 menyebutkan bahwa standar pelayanan minimal rumah sakit harus memuat standar penyelenggaraan pelayanan medik, pelayanan penunjang, dan pelayanan keperawatan. Konsumen dalam hal ini adalah pasien yang mengharapkan pelayanan di rumah sakit, bukan saja mengharapkan pelayanan medik dan keperawatan tetapi juga mengharapkan kenyamanan, akomodasi yang baik dan hubungan harmonis antara staf rumah sakit dan pasien. Oleh karena itu, diperlukan adanya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit. Kualitas pelayanan baik, iklim kerja yang tanggap terhadap pasien akan menciptakan kepuasan pasien (Keliat & Akemat, 2010). LPPM STIKes Perintis Padang Penilaian mutu pelayanan rumah sakit didapatkan nilai indeks kepuasan masyarakat di ruang rawat inap interne 75,6% (Bagian Pelayanan Medik RSUD Dr. Achmad Mochtar, 20 April 2016). Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat kepuasan pasien di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi masih jauh dibawah standar. Minimal standar kepuasan pasien rawat inap rumah sakit menurut Kemenkes RI (2008) yaitu 90%. Kepuasan pasien merupakan salah satu tujuan dalam suatu organisasi di rumah sakit. Organisasi rumah sakit mempunyai budaya diantaranya adalah budaya yang tanggap terhadap pelanggan. Budaya yang tanggap terhadap pelanggan merupakan nilai budaya organisasi yang diterapkan di rumah sakit tersebut dalam memberikan pelayanan. Robbins dan Judge (2014: 256) mendefinisikan budaya organisasi adalah sebagai sistem nilai yang dianut bersama oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Manfaat budaya organisasi adalah menimbulkan rasa memiliki identitas bagi anggota. Budaya yang kuat, akan membuat anggota organisasi memiliki identitas 101 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana yang merupakan ciri khas organisasinya. Budaya organisasi memiliki pengaruh yang kuat pada karyawan seperti kepuasan kerja yang hasil akhirnya akan dapat memenuhi harapan pelanggan dalam bentuk kepuasan pelanggan. Dibuktikan dengan penelitian Siti Kholipah (2013) ditemukannya hubungan yang kuat antara budaya organisasi dengan kepuasan pasien di RSUD Ambarawa. Budaya organisasi yang dikembangkan oleh rumah sakit ini adalah TERBAIK. Budaya TERBAIK mulai diterapkan pada tahun 2010. Budaya TERBAIK merupakan ketetapan atau konsensus bersama dari rumah sakit itu sendiri. Budaya ini telah tercantum di UU RSUD Dr. Achmad Mochtar yang dinamakan Hospital Bylows atau HBL RS (Kebijakan dari pihak RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi). Kesenjangan yang didapatkan antara budaya yang diterapkan dengan ketidakpuasan pasien tersebut, dapat disimpulkan bahwa kurang terlaksananya fungsi manajemen dalam pengorganisasian di rumah sakit. Bentuk pengorganisasian yang dimaksud adalah budaya organisasi. Berdasarkan fenomena tersebut, maka dicoba meneliti tentang hubungan budaya organisasi dengan kepuasan pasien rawat inap. ISSN: 2548-3153 Peneliti mengobservasi perawat yang dinas pagi dan mengisi lembar observasi yang peneliti buat sendiri. Kemudian saat dinas siang, peneliti kembali ke rumah sakit untuk melanjutkan penelitian dengan membagikan kuesioner kepada 4 orang pasien sekaligus peneliti mengobservasi perawat yang dinas siang, begitupun saat dinas malam, peneliti membagikan kuesioner kepada 4 orang pasien sekaligus peneliti mengobservasi perawat yang dinas malam. Setelah data terkumpul, diklasifikasikan dalam beberapa kelompok menurut sub variabel yang ada dalam pertanyaan kuesioner dan lembar observasi. Data yang telah diklasifikasikan diolah.Pada analisa data univariat digunakan untuk memperoleh gambaran pada masing-masing variabel independent (Tulus dan tepat janji, Empati, Responsibiliti, Bijak, Adil, Integritas, Kebersamaan dan kompak) maupun variabel dependent (Kepuasan pasien). Data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. masalah etika dalam penelitian ini meliputi: inf ormed concent (lembar persetujuan), anonimity (tanpa nama) dan confidentiality (kerahasiaan). 2. METODOLOGI Menggunakan metode descriptif analitic, dengan pendekatan crossectional.Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang dirawat di Ruang Rawat Inap Interne Pria dan Wanita RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi dan semua perawat yang dinas di ruangan interne pria dan wanita RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. Sampel dalam penelitian ini adalah 22 orang. Instrument dalam pengumpulan data penelitian ini menggunakan kuesioner dan lembar observasi. Proses pengumpulan data diawali dengan melakukan pengambilan data di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. Setelah itu peneliti melakukan identifikasi pasien sesuai kriteria inklusi dengan melihat buku status pasien. Selanjutnya peneliti membagikan kuesioner sebanyak 6 kuesioner kepada pasien sesuai jumlah perawat yang dinas pagi dimana 1 orang perawat diobservasi sebanyak 2x dan dinilai oleh pasien yang berbeda dengan cara mengisi lembar kuesioner yang diberikan oleh peneliti. LPPM STIKes Perintis Padang 102 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Hasil analisa univariat Tabel 5.1 menunjukkan bahwa lebih dari separoh (59,1%) perawat mempunyai sikap tulus dan tepat janji yang kurang baik. Pada sikap empati menunjukkan bahwa lebih dari separoh(59,1) perawat mempunyai sikap empati yang kurang baik. Perawat yang mempunyai sikap responsibiliti yang kurang baik lebih dari separoh (63,6%). Pada sikap bijak lebih dari separoh (63,6%) perawat yang mempunyai sikap bijak yang kurang baik. Perawat yang mempunyai sikap adil yang kurang baik lebihdariseparoh (54,5%). Separoh (50%) perawat mempunyai sikap integritas yang baik. perawat yang mempunyai sikap kebersamaan dan kompak yang baik yaitu lebihdariseparoh (50,4%). Tabel 5. 1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap (Budaya Organisasi) Di Ruangan Rawat Inap Interne Pria dan wanita di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi (N=22) Tulus dan Tepat Janji Baik Kurang Baik Empati Baik Kurang Baik Responsibiliti Baik Kurang Baik Bijak Baik Kurang Baik Adil Baik Kurang Baik Integritas Baik Kurang Baik Kebersamaan/ kompak Baik Kurang Baik f 9 13 Persentase % 40,9 59,1 9 13 40,9 59,1 8 14 36,4 63,6 8 14 36,4 63,6 10 12 45,5 54,5 11 11 50 50 12 10 50,4 45,5 Tabel 5.2 menunjukkan lebih dari separoh (54,5%) pasien menyatakan tidak puas terhadap sikap perawat saat memberikan pelayanan keperawatan. Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Kepuasan Pasien Rawat Inap Interne Pria dan wanita di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Kepuasan pasien f Persentase % Puas 10 45,5 Tidak puas 12 54,5 Total 22 100 b. Hasil analisa bivariat Tabel 5.3 menunjukkan hasil uji statistik di dapatkan p value 0,027 artinya adanya hubungan antara perawat yang mempunyai sikap tulus dan tepat janji dengan kepuasan pasien. Hasil analisis di dapatkan nilai OR = 11,667 artinya perawat yang mempunyai sikap tulus dan tepat janji yang baik berpeluang 11,667 kali terhadap kepuasan pasien dibandingkan dengan pasien yang menyatakan sikap perawat kurang baik dalam bersikap tulus dan tepat janji. LPPM STIKes Perintis Padang 103 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Tabel 5.3 Hubungan Tulus dan Tepat janji dengan Kepuasan Pasien Rawat Inap Interne Pria dan Wanita di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tulus tepat janji Kurang baik baik Total Kepuasan pasien Tidak puas Puas f % f % 10 76,9 3 23,1 2 22,2 7 77,8 12 54,5 10 45,5 Total f 13 9 22 % 100 100 100 P value OR value 0,027 11,667 Tabel 5.4 menunjukkan hasil uji statistik di dapatkan p value 0,027 artinya adanya hubungan antara perawat yang mempunyai sikap empati dengan kepuasan pasien. Hasil analisis di dapatkan nilai OR = 11,667 artinya perawat yang mempunyai sikap empati yang baik berpeluang 11,667 kali terhadap kepuasan pasien dibandingkan dengan pasien yang menyatakan sikap perawat kurang baik dalam bersikap empati. Tabel 5.4 Hubungan Empati dengan Kepuasan pasien Rawat Inap Interne Pria dan Wanita di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Empati Kurang baik baik Total Kepuasan pasien Tidak puas Puas f % f % 10 76,9 3 23,1 2 22,2 7 77,8 12 54,5 10 45,5 Total f 13 9 22 % 100 100 100 P value OR value 0,027 11,667 Tabel 5.5 menunjukkan hasil uji statistik didapatkan p value 0,006 artinya adanya hubungan antara perawat yang mempunyai sikap reponsibiliti dengan kepuasan pasien. Hasil analisis didapatkan nilai OR = 25,667 artinya perawat yang mempunyai sikap responsibiliti yang baik berpeluang 25,667 kali terhadap kepuasan. Tabel 5.5 Hubungan Responsibiliti dengan Kepuasan pasien Rawat Inap Interne Pria dan wanita di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Responsibiliti Kurang baik baik Total Kepuasan pasien Tidak puas Puas f % f % 11 78,6 3 21,4 1 12,5 7 87,5 12 54,5 10 45,5 Total f 14 8 22 % 100 100 100 P value OR value 0,006 25,667 Tabel 5.6 menunjukkan hasil uji statistik p value 0,006 artinya adanya hubungan antara perawat yang mempunyai sikap bijak dengan kepuasan pasien. Hasil analisis di dapatkan nilai OR = 25,667 artinya perawat yang mempunyai sikap bijak yang baik berpeluang 25,667 kali terhadap kepuasan pasien dibandingkan dengan pasien yang menyatakan sikap perawat kurang baik dalam bersikap bijak. Tabel 5.6 Hubungan Bijak dengan Kepuasan pasien Rawat Inap Interne Pria dan Wanita di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Bijak Kepuasan pasien Total P OR value value Tidak puas Puas f % f % f % Kurang baik 11 78,6 3 21,4 14 100 0,006 25,667 baik 1 12,5 7 87,5 8 100 LPPM STIKes Perintis Padang 104 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Total 12 54,5 10 45,5 22 ISSN: 2548-3153 100 Tabel 5.7 menunjukkan hasil uji statistik didapatkan p value 0,008 artinya adanya hubungan antara perawat yang mempunyai sikap adil dengan kepuasan pasien. Hasil analisis di dapatkan nilai OR = 20,000 artinya perawat yang mempunyai sikap adil yang baik berpeluang 20,000 kali terhadap kepuasan pasien dibandingkan dengan pasien yang menyatakan sikap perawat kurang baik dalam bersikap adil. Tabel 5.7 Hubungan Adil dengan Kepuasan pasien Rawat Inap Interne Pria dan Wanita di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Adil Kurang baik baik Total Kepuasan pasien Tidak puas Puas f % f % 10 83,3 2 16,7 2 20 8 80 12 54,5 10 45,5 Total f 12 10 22 % 100 100 100 P value OR value 0,008 20,000 Tabel 5.8 menunjukkan hasil uji statistik didapatkan p value 0,003 artinya adanya hubungan antara perawat yang mempunyai sikap integritas dengan kepuasan pasien. Hasil analisis di dapatkan nilai OR = 45,000 artinya perawat yang mempunyai sikap integritas yang baik berpeluang 45,000 kali terhadap kepuasan pasien dibandingkan dengan pasien yang menyatakan sikap perawat kurang baik dalam bersikap integritas. Tabel 5.8 Hubungan Integritas dengan kepuasan pasien Rawat Inap Interne Pria dan wanita di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Integritas Kurang baik baik Total Kepuasan pasien Tidak puas Puas f % f % 10 90,9 1 9,1 2 18,2 9 81,8 12 54,5 10 45,5 Total f 11 11 22 % 100 100 100 P value OR value 0,003 45,000 Tabel 5.9 menunjukkan hasil uji statistik didapatkan p value 0,000 artinya adanya hubungan antara perawat yang mempunyai sikap kebersamaan dengan kepuasan pasien. Hasil analisis didapatkan nilai OR = 6,000 artinya perawat yang mempunyai sikap kebersamaan yang baik berpeluang 6,000 kali terhadap kepuasan pasien dibandingkan dengan pasien yang menyatakan sikap perawat kurang baik dalam bersikap kebersamaan. Tabel 5.9 Hubungan Kebersamaan dengan kepuasan pasien Rawat Inap Interne Pria dan wanita di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016 Kebersamaan Kurang baik baik Total LPPM STIKes Perintis Padang Kepuasan pasien Tidak puas Puas f % f % 10 100 0 0 2 16,7 10 83,3 12 54,5 10 45,5 Total f 10 12 22 % 100 100 100 P value OR value 0,000 6,000 105 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana PEMBAHASAN 1. Analisis Univariat a. Tulus, dan Tepat Janji Hasil distribusi frekuensi tulus dan tepat janji lebihdariseparoh perawat yang mempunyai sifat tulus dan tepat janji yang kurang baik. Penelitian ini didukung oleh dokumen usulan penerapan PPK-BLUD RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi pada tahun 2009. Arti kata Tulus dan tepat janji yang peneliti gunakan sebagai variabel pada penelitian ini adalah sungguh dan bersih hati (benar-benar keluar dari hati yang suci, tidak purapura) sebagai sumber energi kekuatan diri dalam memberikan pelayanan, yang tercermin dari keramahtamahan, ikhlas, jujur dan sopan santun dalam memberikan advis/informasi kepada yang dilayani. Peneliti berpendapat bahwa budaya organisasi yaitu tulus dan tepat janji merupakan suatu yang sangat penting dalam dunia keperawatan karena ini merupakan modal untuk menciptakan kepuasan pasien. Tulus disini maksudnya yaitu melakukan sesuatu tindakan dari hati yang suci tidak berpura-pura. Ini dibuktikan dari 22 pasien yang selalu dilayani oleh perawat yang ramah dan senyum saat bertemu yaitu sebanyak 6 orang pasien. Untuk item pertanyaan ke dua, pasien yang kenal dengan perawat karena perawat tersebut selalu memperkenalkan dirinya ketika bertemu pertama kali yaitu sebanyak 4 orang pasien. Pada item tepat janji disini maksudnya yaitu menepati semua janji yang kita buat supaya pasien percaya dengan perawat yang ada diruangan tersebut. Ini dibuktikan dari 22 pasien yang dilayani oleh perawat yang selalu menepati janjinya ketika perawat tersebut berjanji dengan pasien ataupun keluarga pasien dalam hal tindakan keperawatan yaitu sebanyak 5 orang pasien. Sehingga jika budaya organisasi (tulus, tepat janji) baik maka semakin baik pula kepuasan pasien yang ada dalam ruangan. b. Empati Hasil distribusi frekuensi empati diketahui bahwa lebihdariseparoh perawat yang mempunyai sifat empati yang kurang baik. Penelitian ini didukung oleh dokumen usulan penerapan PPK-BLUD RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggipadatahun2009. Arti Empati adalah kemampuan menghadapi perasaan dan pikiran orang lain yaitu dengan perilaku sabar, terbuka/informatif sehingga orang lain merasa LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 aman dan nyaman berada di lingkungan rumah sakit. Menurut peneliti empati merupakan bagian dari budaya organisasi, empati ini merupakan prilaku sabar menghadapi orang lain, sehingga orang lain merasa nyaman kepada kita. Maksudnya disini adalah seseorang perawat sebaiknya berprilaku empati karena seorang perawat harus sabar menghadapi dan berprilaku baik kepada pasien yang ada di ruangan tersebut. Ini dibuktikan dari 22 pasien yang selalu dilayani oleh perawat dimana perawat tersebut sabar dalam mendengarkan ungkapan perasaan pasien yaitu sebanyak 4 orang pasien. Untuk item pertanyaan ke dua, pasien yang selalu mendapatkan kenyamanan selama dirawat di rumah sakit dari perawat yaitu sebanyak 5 orang pasien. Dan untuk item pertanyaan ke tiga, responden yang selalu mendapatkan perhatian dan dukungan moril dari perawat yaitu sebanyak 4 orang pasien. c. Responsibilitas Hasil distribusi frekuensi responsibiliti diketahui, lebihdariseparoh perawat yang mempunyai sifat responsibiliti yang kurang baik. Penelitian ini didukung oleh dokumen usulan penerapan PPKBLUD RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggipadatahun2009. Arti Responsibilitas yaitu berani bertanggung jawab atas perbuatan atau tindakan yang diberikan, dengan memperhatikan kesesuaian dan kepatuhan untuk disiplin dalam pengelolaan organisasi berdasarkan praktek bisnis yang sehat serta peraturan perundang-undangan. Menurut peneliti responsibiliti merupakan berani bertanggung jawab atas perbuatan atau tindakan yang diberikan dan memperhatikan kesesuaian. Maksudnya disini adalah berani untuk bertanggung jawab apapun tindakan yang telah dilakukan oleh perawat yang ada diruangan. Ini dibuktikan dari 22 pasien yang selalu mendapatkan pelayanan dari perawat dimana perawat tersebut memberikan pelayanan keperawatan sesuai SOP yaitu sebanyak 5 orang pasien. Untuk item pertanyaan ke dua, responden yang selalu dilayani oleh perawat dimana perawat tersebut selalu berani dan bertanggung jawab atas tindakan yang diberikan yaitu sebanyak 8 orang pasien. Dan pada item pertanyaan ke tiga, responden yang selalu mendapatkan pertolongan tepat waktu dari perawat yaitu sebanyak 3 orang pasien. 106 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana d. Bijak Hasil distribusi frekuensi bijak diketahui bahwa lebihdariseparoh perawat yang mempunyai sifat bijak yang kurang baik. Penelitian ini didukung oleh dokumen usulan penerapan PPK-BLUD RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggipadatahun2009. Arti dari Bijak adalah selalu menggunakan akal budi sebelum bertindak, sehingga loyalitas kepada organisasi dan individu lainnya tetap terjaga. Menurut asumsi peneliti bahwa bijak adalah selalu berfikir sebelum bertindak sehingga bisa memperlihatkan loyalitas perawat kepada pasien. Maksudnya disini adalah sebelum melakukan tindakan medis seorang perawat harus lah berfikir dengan baik, apakah tindakan yang diambil sudah benar atau belum, sudah tepat atau belum, karena sesuatu tindakan akan di pertanggung jawabkan jika tindakan tersebut salah. Ini dibuktikan dari 22 pasien yang selalu dilayani oleh perawat dimana perawat tersebut selalu menjelaskan tindakan keperawatannya yaitu sebanyak 4 orang pasien. untuk item pertanyaan ke dua, pasien yang selalu dilayani perawat dimana perawat tersebut teliti dan terampil dalam tindakan keperawatan yaitu sebanyak 7 orang pasien. dan untuk pertanyaan ke tiga, pasien yang selalu dilayani oleh perawat dimana perawat tersebut bijak dalam menanggapi keluhannya yaitu sebanyak 6 orang pasien. e. Adil Hasil distribusi frekuensi adil diketahui bahwa lebihdariseparoh perawat yang mempunyai sifat adil yang kurang baik. Penelitian ini didukung oleh dokumen usulan penerapan PPK-BLUD RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi pada tahun 2009. Arti dari Adil adalah berkata dan bertindak selalu tidak berat sebelah; tidak memihak/tidak diskriminatif, tidak sewenang-wenang, sehingga seluruh stakeholders mendapat perlakuan (jaminan) yang sama. Menurut asumsi peneliti bahwa adil dengan keadilan yang ada di rumah sakit, maksudnya disini adalah bertindak selalu tidak berat sebelah, tidak memihak, tidak semenang-menang. Sehingga pasien bisa mendapatkan keadilan dalam perawatan yang dilakukan. Ini dibuktikan dari 22 pasien yang selalu mendapatkan bantuan tepat waktu dari perawat yaitu sebanyak 6 orang pasien. untuk item pertanyaan ke dua, pasien yang selalu dilayani oleh perawat dimana perawat LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 tersebut tidak membeda-bedakan pasien yaitu sebanyak 8 orang pasien. dan untuk pertanyaan ke tiga, pasien yang selalu mendapatkan informasi dari perawat yaitu sebanyak 4 orang pasien. f. Integritas Hasil distribusi frekuensi integritas diketahui bahwadari 22 pasien, separoh perawat yang mempunyai sifat integritasyang baik yaitu50% diruangan rawat inap interne pria dan wanita RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2016. Penelitian ini didukung oleh dokumen usulan penerapan PPK-BLUD RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi pada tahun 2009. Arti dari Integritas adalah satu dalam kata dan perbuatan = komitmen pada prinsip. Integritas pada diri sendiri; profesional; mengedepankan keahlian; giat belajar dan menguasai ilmu pengetahuan sebagai pendukung dalam menghasilkan setiap output pelayanan dengan reward yang wajar. Integritas kepada Sang Pencipta (Allah); ibadah yang benar dan mengimplementasikan dalam perbuatan/pergaulan dengan mencerminkan akhlak yang dimuliakan Allah. Menurut asumsi peneliti didapatkan integritas yang baik sangat di perlukan dalam budaya organisasi, bisa memperlihatkan keahlian, supaya pasien percaya dengan tindakan yang dilakukan oleh perawat. Keahlian yang baik akan memperlihatkan tindakan yang baik. Ini dibuktikan dari 22 pasien yang selalu dianjurkan oleh perawat yang berhubungan dengan keyakinan yaitu sebanyak 4 orang pasien. untuk item pertanyaan ke dua, pasien yang selalu mendapatkan bantuan khusus dari perawat yaitu sebanyak 4 orang pasien. Dan untuk pertanyaan ke tiga, pasien yang selalu mendapatkan pelayanan dari perawat dimana perawat tersebut selalu menghormati keinginan pasien yaitu sebanyak 1 orang pasien. g. Kebersamaan dan kompak Hasil distribusi frekuensi kebersamaan diketahui bahwa dari 22 pasien,lebihdariseparoh perawat yang mempunyai sifat kebersamaan dan kompak yang baik yaitu50,4% diruangan rawat inap interne pria dan wanita RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2016. Penelitian ini didukung oleh dokumen usulan penerapan PPK-BLUD RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi pada tahun 2009. Arti dari 107 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Kebersamaan, kompak adalah bermusyawarah untuk satu keputusan dalam mendorong komitmen bersama demi tercapainya kinerja maksimal dan harmonis. Akan tercipta suatu kondisi yang kondusif; bersatu, toleransi, penuh kasih sayang dan cinta. Menurut peneliti kekompakan suatu organisasi mencerminkan kebaikan tindakan yang dilakukan oleh perawat pada pasien. Semakin kompak seorang perawat maka semakin baik pula kepuasan yang didapatkan oleh pasien di dalam ruangan tersebut. Ini dibuktikan dari 22 pasien yang selalu dilayani perawat dimana perawat tersebut selalu bermusyawarah dengan pasien terkait tindakan yang diberikan yaitu sebanyak 10 orang pasien. Untuk item pertanyaan ke dua, pasien yang selalu dilayani perawat dimana perawat tersebut selalu melibatkan keluarga dalam perawatan pasien yaitu sebanyak 5 orang pasien. Dan untuk pertanyaan ke tiga, pasien yang selalu dilayani perawat dimana perawat tersebut selalu membatasi pengunjung yaitu sebanyak 6 orang pasien. h. Kepuasan pasien Hasil distribusi frekuensi kepuasan pasien diketahui bahwa pasien yang puas hanya 45,5% dan yang tidak puas terhadap sikap perawat ketika memberikan pelayanan keperawatan yaitu 54,5% diruangan rawat inap interne pria dan wanita RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2016. Penelitian ini sesuai dengan teori Nursalam, (2011). Kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapan-harapannya. Nursalam (2012: 328) menyebutkan kepuasan adalah perasaan senang seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesenangan terhadap aktivitas dan suatu produk dengan harapannya. Kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja layanan kesehatan yang diperolehnya setelah pasien membandingkannya dengan apa yang diharapkannya (Pohan, 2006). Kepuasan pasien berhubungan dengan kualitas pelayanan rumah sakit. Dengan mengetahui tingkat kepuasan pasien, manajemen rumah sakit dapat melakukan peningkatan kualitas pelayanan. Dari beberapa pendapat terkait, jika dihubungkan dengan konsep keluarga yang anggotanya dirawat LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 dapat disimpulkan bahwa defenisi tingkat kepuasan adalah tingkat penerimaan dan respon keluarga terhadap pemberian pelayanan keperawatan yang diberikan. Pasien yang puas merupakan aset yang sangat berharga, karena apabila pasien puas mereka akan terus melakukan pemakaian terhadap jasa pilihannya. Untuk menciptakan kepuasan pasien, rumah sakit harus menciptakan dan mengelola suatu system untuk memperoleh pasien yang lebih banyak. Persentase pasien yang menyatakan puas terhadap pelayanan berdasarkan hasil survey dengan instrumen yang baku menurut Indikator Kinerja Rumah Sakit, Depkes RI ( 2005: 31) yang dikutip oleh Nursalam (2012). Menurut Yazid (2004: 286) yang dikutip oleh Nursalam (2012), ada enam faktor menyebabkan timbulnya rasa tidak puas pasien terhadap suatu pelayanan yaitu: Tidak sesuai harapan dan kenyataan, Layanan selama proses menikmati jasa tidak memuaskan, Perilaku personel kurang memuaskan, Suasana dan kondisi fisik lingkungan yang tidak menunjang, Cost/biaya terlalu tinggi, karena jarak terlalu jauh, banyak waktu terbuang dan harga tidak sesuai, Promosi/iklan tidak sesuai dengan kenyataan. Menurut asumsi peneliti didapatkan kepuasan pasien tergantung dengan pelayanan yang diberikan oleh perawat yang memberikan tindakan di ruangan. Semakin baik budaya organisasi maka semakin baik pula kepuasan yang diterima oleh pasien dan sebaliknya jika budaya organisasi yang diberikan tidak baik maka kepuasan pasien juga semakin jelek. Ini dibuktikan dari 22 pasien, pasien yang puas hanya 10 orang pasien. 2. Analisis Bivariat a. Hubungan tulus dan tepat janji dengan kepuasan pasien Hasil uji statistik di dapatkan p value 0,027 artinya adanya hubungan antara perawat yang mempunyai sikap tulus dan tepat janji dengan kepuasan pasien. Hasil analisis di dapatkan nilai OR = 11,667 artinya perawat yang mempunyai sikap tulus dan tepat janji yang baik berpeluang 11,667 kali terhadap kepuasan pasien dibandingkan dengan pasien yang menyatakan sikap perawat kurang baik dalam bersikap tulus dan tepat janji. Penelitian ini didukung oleh dokumen usulan penerapan PPK-BLUD RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggipadatahun2009. Dimana arti dari kata Tulus dan tepat janji adalah sungguh dan 108 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana bersih hati (benar-benar keluar dari hati yang suci, tidak pura-pura) sebagai sumber energi kekuatan diri dalam memberikan pelayanan,yang tercermin dari keramahtamahan, ikhlas, jujur dan sopan santun dalam memberikan advis/informasi kepada yang dilayani. Hal ini akan mempengaruhi kepuasan pasien. Penelitian ini sesuai dengan teori Nursalam (2012: 328) menyebutkan kepuasan adalah perasaan senang seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesenangan terhadap aktivitas dan suatu produk dengan harapannya. Kepuasan pasien berhubungan dengan kualitas pelayanan rumah sakit. Dengan mengetahui tingkat kepuasan pasien, manajemen rumah sakit dapat melakukan peningkatan kualitas pelayanan. Untuk menciptakan kepuasan pasien, rumah sakit harus menciptakan dan mengelola suatu system untuk memperoleh pasien yang lebih banyak. Persentase pasien yang menyatakan puas terhadap pelayanan berdasarkan hasil survey dengan instrumen yang baku menurut Indikator Kinerja Rumah Sakit, Depkes RI ( 2005: 31) yang dikutip oleh Nursalam (2012). Menurut Yazid (2004: 286) yang dikutip oleh Nursalam (2012), ada enam faktor menyebabkan timbulnya rasa tidak puas pasien terhadap suatu pelayanan yaitu: Tidak sesuai harapan dan kenyataan, Layanan selama proses menikmati jasa tidak memuaskan, Perilaku personel kurang memuaskan, Suasana dan kondisi fisik lingkungan yang tidak menunjang, Cost/biaya terlalu tinggi, karena jarak terlalu jauh, banyak waktu terbuang dan harga tidak sesuai, Promosi/iklan tidak sesuai dengan kenyataan. Menurut asumsi peneliti budaya organisasi yaitu tulus dan tepat janji merupakan suatu yang sangat penting dalam dunia keperawatan karena ini merupakan modal untuk menciptakan kepuasan pasien. Tulus dan tepat janji disini maksudnya yaitu melakukan sesuatu tindakan dari hati yang suci tidak berpura-pura. Dan tepat janji disini maksudnya yaitu menepati semua janji yang kita buat supaya pasien percaya dengan perawat yang ada di ruangan tersebut. Semakin baik budaya organisasi (tulus, tepat janji) maka semakin baik kepuasan pasien yang ada dalam ruangan. Ini dibuktikan dengan hasil analisis hubungan budaya organisasi perawat yang mempunyai sikap tulus dan tepat janji yang baik membuat pasien puas yaitu sebanyak 7 orang (77,8%). LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 b. Hubungan empati dengan kepuasan pasien Hasil uji statistik di dapatkan p value 0,027 artinya adanya hubungan antara perawat yang mempunyai sikap empati dengan kepuasan pasien. Hasil analisis di dapatkan nilai OR = 11,667 artinya perawat yang mempunyai sikap empati yang baik berpeluang 11,667 kali terhadap kepuasan pasien dibandingkan dengan pasien yang menyatakan sikap perawat kurang baik dalam bersikap empati. Penelitian ini didukung oleh dokumen usulan penerapan PPK-BLUD RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi pada tahun 2009. Dimana arti dari kata Empati adalah kemampuan menghadapi perasaan dan pikiran orang lain yaitu dengan perilaku sabar, terbuka/informatif sehingga orang lain merasa aman dan nyaman berada di lingkungan rumah sakit, Hal ini akan mempengaruhi kepuasan pasien. Dengan mengetahui tingkat kepuasan pasien, manajemen rumah sakit dapat melakukan peningkatan kualitas pelayanan. Untuk menciptakan kepuasan pasien, rumah sakit harus menciptakan dan mengelola suatu system untuk memperoleh pasien yang lebih banyak. Persentase pasien yang menyatakan puas terhadap pelayanan berdasarkan hasil survey dengan instrumen yang baku menurut Indikator Kinerja Rumah Sakit, Depkes RI ( 2005: 31) yang dikutip oleh Nursalam (2012). Menurut Yazid (2004: 286) yang dikutip oleh Nursalam (2012), ada enam faktor menyebabkan timbulnya rasa tidak puas pasien terhadap suatu pelayanan yaitu: Tidak sesuai harapan dan kenyataan, Layanan selama proses menikmati jasa tidak memuaskan, Perilaku personel kurang memuaskan, Suasana dan kondisi fisik lingkungan yang tidak menunjang, Cost/biaya terlalu tinggi, karena jarak terlalu jauh, banyak waktu terbuang dan harga tidak sesuai, Promosi/iklan tidak sesuai dengan kenyataan. Menurut asumsi peneliti empati merupakan bagian dari budaya organisasi, empati ini merupakan prilaku sabar menghadapi orang lain, sehingga orang lain merasa nyaman kepada kita. Maksudnya disini adalah seseorang perawat sebaiknya berprilaku empati karena seorang perawat harus sabar menghadapi dan berprilaku baik kepada pasien yang ada di ruangan tersebut. Ini dibuktikan dengan hasil analisis hubungan budaya organisasi perawat yang mempunyai sikap empati yang baik membuat pasien puas sebanyak 7 orang (77,8%). 109 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana c. Hubungan responsibiliti dengan kepuasan pasien Hasil uji statistik didapatkan p value 0,006 artinya adanya hubungan antara perawat yang mempunyai sikap reponsibiliti dengan kepuasan pasien di ruang rawat. Hasil analisis didapatkan nilai OR = 25,667 artinya perawat yang mempunyai sikap responsibiliti yang baik berpeluang 25,667 terhadap kepuasan pasien dibandingkan dengan pasien yang menyatakan sikap perawat kurang baik dalam bersikap responsibiliti. Penelitian ini didukung oleh dokumen usulan penerapan PPK-BLUD RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi pada tahun 2009. Dimana arti dari kata Responsibilitas adalah berani bertanggung jawab atas perbuatan atau tindakan yang diberikan, dengan memperhatikan kesesuaian dan kepatuhan untuk disiplin dalam pengelolaan organisasi berdasarkan praktek bisnis yang sehat serta peraturan perundang-undangan. Hal ini akan mempengaruhi kepuasan pasien. Dengan mengetahui tingkat kepuasan pasien, manajemen rumah sakit dapat melakukan peningkatan kualitas pelayanan. Untuk menciptakan kepuasan pasien, rumah sakit harus menciptakan dan mengelola suatu system untuk memperoleh pasien yang lebih banyak. Persentase pasien yang menyatakan puas terhadap pelayanan berdasarkan hasil survey dengan instrumen yang baku menurut Indikator Kinerja Rumah Sakit, Depkes RI ( 2005: 31) yang dikutip oleh Nursalam (2012). Menurut Yazid (2004: 286) yang dikutip oleh Nursalam (2012), ada enam faktor menyebabkan timbulnya rasa tidak puas pasien terhadap suatu pelayanan yaitu: Tidak sesuai harapan dan kenyataan, Layanan selama proses menikmati jasa tidak memuaskan, Perilaku personel kurang memuaskan, Suasana dan kondisi fisik lingkungan yang tidak menunjang, Cost/biaya terlalu tinggi, karena jarak terlalu jauh, banyak waktu terbuang dan harga tidak sesuai, Promosi/iklan tidak sesuai dengan kenyataan. Menurut asumsi peneliti didapatkan bahwa responsibiliti merupakan berani bertanggung jawab atas perbuatan atau tindakan yang diberikan dan memperhatikan kesesuaian. Maksudnya disini adalah berani untuk bertanggung jawab apapun tindakan yang telah dilakukan oleh perawat yang ada diruangan. Semakin baik budaya organisasi (responsibiliti) seseorang maka semakin baik pula kepuasan pasien. Ini dibuktikan dengan hasil hasil LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 analisis hubungan budaya organisasi perawat yang mempunyai sikap responsibiliti yang baik membuat pasien puas yaitu sebanyak 7 orang (87,5%). d. Hubungan bijak dengan kepuasan pasien Hasil uji statistik didapatkan p value 0,006 artinya adanya hubungan antara perawat yang mempunyai sikap bijak dengan kepuasan pasien Hasil analisis di dapatkan nilai OR = 25,667 artinya perawat yang mempunyai sikap bijak yang baik berpeluang 25,667 kali terhadap kepuasan pasien dibandingkan dengan pasien yang menyatakan sikap perawat kurang baik dalam bersikap bijak. Penelitian ini didukung oleh dokumen usulan penerapan PPK-BLUD RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi pada tahun 2009. Dimana arti dari kata Bijak adalah selalu menggunakan akal budi sebelum bertindak, sehingga loyalitas kepada organisasi dan individu lainnya tetap terjaga. Bersikap bijak yang tidak baik dapat berdampak pada kepuasan pasien. hal ini di dukung oleh teori Nursalam (2012:328) yaitu Kepuasan pasien berhubungan dengan kualitas pelayanan rumah sakit. Dengan mengetahui tingkat kepuasan pasien, manajemen rumah sakit dapat melakukan peningkatan kualitas pelayanan. Menurut Yazid (2004: 286) yang dikutip oleh Nursalam (2012), ada enam faktor menyebabkan timbulnya rasa tidak puas pasien terhadap suatu pelayanan yaitu: Tidak sesuai harapan dan kenyataan, Layanan selama proses menikmati jasa tidak memuaskan, Perilaku personel kurang memuaskan, Suasana dan kondisi fisik lingkungan yang tidak menunjang, Cost/biaya terlalu tinggi, karena jarak terlalu jauh, banyak waktu terbuang dan harga tidak sesuai, Promosi/iklan tidak sesuai dengan kenyataan. Menurut asumsi peneliti bahwa bijak adalah selalu berfikir sebelum bertindak sehingga bisa memperlihatkan loyalitas perawat kepada pasien. Maksudnya disini adalah sebelum melakukan tindakan medis seorang perawat harus lah berfikir dengan baik, apakah tindakan yang diambil sudah benar atau belum, sudah tepat atau belum, karena sesuatu tindakan akan di pertanggung jawabkan jika tindakan tersebut salah. Ini dibuktikan dengan hasil analisis hubungan budaya organisasi perawat yang mempunyai sikap bijak yang baik membuat pasien puas yaitu sebanyak 7 orang (87,5%). 110 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana e. Hubungan adil dengan kepuasan pasien Hasil uji statistik didapatkan p value 0,008 artinya adanya hubungan antara perawat yang mempunyai sikap adil dengan kepuasan pasien. Hasil analisis di dapatkan nilai OR = 20,000 artinya perawat yang mempunyai sikap adil yang baik berpeluang 20,000 kali terhadap kepuasan pasien dibandingkan dengan pasien yang menyatakan sikap perawat kurang baik dalam bersikap adil. Penelitian ini didukung oleh dokumen usulan penerapan PPK-BLUD RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi pada tahun 2009. Dimana arti dari kata Adil adalah berkata dan bertindak selalu tidak berat sebelah; tidak memihak/tidak diskriminatif, tidak sewenang-wenang, sehingga seluruh stakeholders mendapat perlakuan (jaminan) yang sama. Ini akan berpengaruh terhadap Kepuasan pasien. Kepuasan pasien ini berhubungan dengan kualitas pelayanan rumah sakit. Dengan mengetahui tingkat kepuasan pasien, manajemen rumah sakit dapat melakukan peningkatan kualitas pelayanan. Menurut Yazid (2004: 286) yang dikutip oleh Nursalam (2012), ada enam faktor menyebabkan timbulnya rasa tidak puas pasien terhadap suatu pelayanan yaitu: Tidak sesuai harapan dan kenyataan, Layanan selama proses menikmati jasa tidak memuaskan, Perilaku personel kurang memuaskan, Suasana dan kondisi fisik lingkungan yang tidak menunjang, Cost/biaya terlalu tinggi, karena jarak terlalu jauh, banyak waktu terbuang dan harga tidak sesuai, Promosi/iklan tidak sesuai dengan kenyataan. Menurut asumsi peneliti bahwa adil dengan keadilan yang ada di rumah sakit, maksudnya disini adalah bertindak selalu tidak berat sebelah, tidak memihak, tidak semenang-menang. Sehingga pasien bisa mendapatkan keadilan dalam perawatan yang dilakukan. Ini dibuktikan dengan hasil analisis hubungan budaya organisasi perawat yang mempunyai sikap adil yang baik membuat pasien puas yaitu sebanyak 8 orang (80%). f. Hubungan integritas dengan kepuasan pasien Hasil uji statistik didapatkan p value 0,003 artinya adanya hubungan antara perawat yang mempunyai sikap integritas dengan kepuasan pasien. Hasil analisis di dapatkan nilai OR = 45,000 artinya perawat yang mempunyai sikap integritas yang baik berpeluang 45,000 kali terhadap kepuasan LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 pasien dibandingkan dengan pasien yang menyatakan sikap perawat kurang baik dalam bersikap integritas. Penelitian ini didukung oleh dokumen usulan penerapan PPK-BLUD RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggipadatahun2009. Arti dari kata Integritas adalah satu dalam kata dan perbuatan = komitmen pada prinsip. Integritas pada diri sendiri; profesional; mengedepankan keahlian; giat belajar dan menguasai ilmu pengetahuan sebagai pendukung dalam menghasilkan setiap output pelayanan dengan reward yang wajar. Integritas kepada Sang Pencipta (Allah); ibadah yang benar dan mengimplementasikan dalam perbuatan/pergaulan dengan mencerminkan akhlak yang dimuliakan Allah. Bersikap integritas yang baik mencerminkan perbuatan/akhlak yang baik, begitupun sebaliknya. Hal ini mempengaruhi pelayanan keperawatan dan berdampak tehadap kepuasan pasien. Karena kepuasan pasien berhubungan dengan kualitas pelayanan rumah sakit. Menurut Yazid (2004: 286) yang dikutip oleh Nursalam (2012), ada enam faktor menyebabkan timbulnya rasa tidak puas pasien terhadap suatu pelayanan yaitu: Tidak sesuai harapan dan kenyataan, Layanan selama proses menikmati jasa tidak memuaskan, Perilaku personel kurang memuaskan, Suasana dan kondisi fisik lingkungan yang tidak menunjang, Cost/biaya terlalu tinggi, karena jarak terlalu jauh, banyak waktu terbuang dan harga tidak sesuai, Promosi/iklan tidak sesuai dengan kenyataan. Menurut asumsi peneliti didapatkan integritas yang baik sangat di perlukan dalam budaya organisasi, bisa memperlihatkan keahlian, supaya pasien percaya dengan tindakan yang dilakukan oleh perawat. Keahlian yang baik akan memperlihatkan tindakan yang baik. Ini dibuktikan dengan hasil analisis hubungan budaya organisasi perawat yang mempunyai sikap integritas yang baik membuat pasien puas yaitu sebanyak 9 orang (81,8%). g. Hubungan kebersamaan, kompak dengan kepuasan pasien Hasil uji statistik didapatkan p value 0,000 artinya adanya hubungan antara perawat yang mempunyai sikap kebersamaan dengan kepuasan pasien. Hasil analisis didapatkan nilai OR = 6,000 artinya perawat yang mempunyai sikap kebersamaan yang baik berpeluang 6,000 kali terhadap kepuasan pasien dibandingkan dengan pasien 111 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana yang menyatakan sikap perawat kurang baik dalam bersikap kebersamaan. Penelitian ini didukung oleh dokumen usulan penerapan PPK-BLUD RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggipadatahun2009. Dimana arti dari katan Kebersamaan, kompak adalah bermusyawarah untuk satu keputusan dalam mendorong komitmen bersama demi tercapainya kinerja maksimal dan harmonis. Akan tercipta suatu kondisi yang kondusif; bersatu, toleransi, penuh kasih sayang dan cinta. Jika ini tidak diterapkan pasien akan merasa tidak nyaman bila dirawat dirumah sakit tersebut. Hal ini menunjukkan ketidakpuasan pasien terhadap layanan yang diberikan. karena kepuasan pasien berhubungan dengan kualitas pelayanan rumah sakit. Menurut Yazid (2004: 286) yang dikutip oleh Nursalam (2012), ada enam faktor menyebabkan timbulnya rasa tidak puas pasien terhadap suatu pelayanan yaitu: Tidak sesuai harapan dan kenyataan, Layanan selama proses menikmati jasa tidak memuaskan, Perilaku personel kurang memuaskan, Suasana dan kondisi fisik lingkungan yang tidak menunjang, Cost/biaya terlalu tinggi, karena jarak terlalu jauh, banyak waktu terbuang dan harga tidak sesuai, Promosi/iklan tidak sesuai dengan kenyataan. Menurut asumsi peneliti kekompakan suatu organisasi mencerminkan kebaikan tindakan yang dilakukan oleh perawat pada pasien. Semakin kompak seorang perawat maka semakin baik pula kepuasan yang didapatkan oleh pasien di dalam ruangan tersebut. Ini dibuktikan dengan hasil analisis hubungan budaya organisasi perawat yang mempunyai sikap kebersamaan dan kompak yang baik membuat pasien puas yaitu sebanyak 10 orang (83,3%). 4. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan, maka dapatddisimpulkan: 1. Lebihdariseparoh perawat yang mempunyai sikap tulus dan tepat, empati, responsibiliti, bijak, adil, kebersamaan dan kompak yang kurang baik diruangan rawat inap interne pria dan wanita RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. 2. Separoh perawat yang mempunyai sikap integritas yang baik diruangan rawat inap LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 interne pria dan wanita RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. 3. Hasil penelitian didapatkan bahwa pasien yang puas hanya 45,5% dan yang tidak puas terhadap sikap perawat ketika memberikan pelayanan keperawatan yaitu 54,5% diruangan rawat inap interne pria dan wanita RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. 4. Hasil uji statistik di dapatkan adanya hubungan antara perawat yang mempunyai sikap tulus dan tepat janji, empati, responsibiliti, bijak, adil, integritas dan kebersamaan dengan kepuasan pasien di ruang rawat inap interne pria dan wanita RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. 5. REFERENSI Dahlan, Dr. H. Azwir. 2009. Dokumen Usulan Penerapan PPK-BLUD RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Depkes RI. 2005. Indikator Kinerja Rumah Sakit. Depkes RI. Jakarta Keliat, BA, & Akemat. 2010. Model Pelayanan Keperawatan Profesional. Jakarta. EGC Kepmenkes RI. 2008. Kepmenkes RI No. 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit Kholipah, Siti dkk. 2013. Hubungan Penerapan Budaya Organisasi Dengan Kepuasan Pasien Di RSUD Ambarawa Tahun 2013. Jurnal Nursalam. 2012. Manajemen Keperawatan : Aplikasi Dalam Praktik Keperawatan Profesional. Ed 3. Jakarta.Salemba Medika Robbins, Stephen. P dan Timothy A. Judge. 2014. Perilaku Organisasi Edisi 12 Buku 2. Jakarta. Salemba Medika Widiastuti, Eni. 2012. Hubungan Karakteristik Perawat dan Budaya Organisasi Dengan Kepuasan Pasien Di RSI Pondok Kopi Jakarta Tahun 2012. Tesis. FIK UI 112 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 PENGARUH TERAPI RENDAM KAKI AIR HANGAT TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH DI PUSKESMAS ANDALAS PADANG Zuriati 1 STIKes Alifah, Padang 25000 Email: [email protected] 1 Abstract According to the World Health Organization or WHO, hypertension is the number one cause of death in the world. Based on the data recorded by Padang City Health Department in 2015, Andalas Community Health Center (Puskesmas) is the the highest coverage number of hypertension as many as 8047 people. The research objective is to determine the effect of therapeutic foot soak with warm water to the reduction of blood pressure in patients with hypertension in Andalas Community Health Center Padang in 2016.. The type of this research is Quasy Experiment with Pretest - Posttest Study Design. This research took place in January until September 2016. Samples were 30 accidental sampling observed by t-test. The result showed the average blood pressure of the pre-test 164.00 / 69.33 mmHg and a post-test at the 151.33 / 56.67 mmHg. P value = 0.000 which means that there are significant Warm Water Therapy Foot Soak to Decrease Blood Pressure In Patients with Hypertension in Andalas Community Health Center Padang 2016.. It can be concluded that therapeutic foot soak with warm water could decrease the blood pressure in patients with hypertension. It is suggested to healthcare officer to give information and explanation about therapeutic foot soak with warm water as an alternative way to decrease blood pressure. Keywords : Hypertension, Therapeutic foot soak with warm water 1. PENDAHULUAN Menurut World Health Organization (WHO), batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah kurang dari 130/85 mmHg, sedangkan bila lebih dari 140/90 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi, dan di antara nilai tersebut disebut sebagai normal-tinggi (batasan tersebut diperuntukkan bagi individu dewasa diatas 18 tahun) (CBN, 2006 dalam Triyanto, 2014). Semakin tua umur seseorang, tekanan darah normalnya semakin meningkat. Tekanan darah orang dewasa disebut tinggi jika tekanan sistoliknya 140 mmHg ke atas atau tekanan diastoliknya 90 mmHg ke atas. Menurut Joint 2009, hipertensi ditemukan sebanyak 60-70% pada populasi berusia diatas 65 tahun. Menurut laporan Badan Kesehatan Dunia atau WHO, hipertensi merupakan penyebab nomor 1 kematian di dunia. Data tahun 2010 di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 28,6% orang dewasa berusia 18 tahun ke atas menderita hipertensi. Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada umur ≥18 tahun sebesar 25,8%, tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%) dan Jawa Barat (29,4%). Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui tenaga kesehatan sebesar 9,4%, LPPM STIKes Perintis Padang yang didiagnosis tenaga kesehatan atau sedangminum obat sebesar 9,5%. Jadi, ada 0,1% yang minum obat sendiri. Responden yang belum pernah didiagnosis menderita hipertensi tetapi saat diwawancara yang sedang minum obat hipertensi sebesar 0,7%. Jadi prevalensi hipertensi diIndonesia sebesar 26,5% (25,8% + 0,7 %) (Riskesdas, 2013). Hasil laporan Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2012 jumlah hipertensi 6392 kasus, dan pada tahun 2013 hipertensi menjadi posisi teratas yakni 6714 kasus, disusul dengan kasus DM, Rematik, dan ISPA. Hipertensi ini disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok dan kurang olahraga serta pola makan masyarakat minang yang cenderung mengkonsumsi makanan yang tinggi kolesterol (Dinas Kesehatan Kota Padang, 2014) Berdasarkan pencatatan data Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2014, dari 22 puskesmas di Kota Padang Puskesmas Andalas merupakan angka cakupan tertinggi tentang hipertensi sebanyak 8047 orang, tertinggi kedua di puskesmas Lubeg yaitu sebesar 4487 orang, Ratarata kelompok umur yang terbanyak berkunjung di Puskesmas Andalas Padang yaitu kelompok umur dewasa akhir yang berumur 45-60 tahun (Dinas Kesehatan Kota Padang, 2014). 113 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Upaya ideal untuk mencegah dan menangkal risiko tekanan darah tinggi pertamanya adalah dengan penanggulangan secara nonmedikamentosa alias tanpa obat. Caranya dengan menghindari faktor pemicu timbulnya penyakit tersebut (kecuali faktor yang tidak bisa dihindari seperti faktor keturunan dan usia). Salah satu upaya pencegahan dengan cara memeriksakan tekanan darah secara teratur agar bila sewaktuwaktu ada kenaikan tekanan darah yang cukup tinggi, maka bisa diketahui lebih dini (Sudarmoko, 2010). Joint National Committee (JNC) telah mengeluarkan guideline terbaru mengenai tatalaksana hipertensi atau tekanan darah tinggi yaitu, mengingat bahwa hipertensi merupakan suatu penyakit kronis yang memerlukan terapi jangka panjang dengan banyak komplikasi yang mengancam nyawa seperti infark miokard, stroke, gagal ginjal, hingga kematian jika tidak dideteksi dini dan diterapi dengan tepat, dirasakan perlu untuk terus menggali strategi tatalaksana yang efektif dan efisien dengan begitu, terapi yang dijalankan diharapkan dapat memberikan dampak maksimal (Riskesdas, 2013). Praktek merendam kaki dengan air hangat adalah satu metode perawatan kesehatan yang populer di kalangan masyarakat Cina. Menurut pengobatan tradisional Cina (TCM), kaki adalah jantung kedua tubuh manusia, barometer yang mencerminkan kondisi kesehatan badan. Telapak kaki memiliki 60 titik akupuntur yang berhubungan dengan kandung empedu, kandung kemih, lambung, limpa, hati dan ginjal. Merendam kaki dengan air hangat dapat memanaskan seluruh tubuh, meningkatkan sirkulasi darah ke bagian atas tubuh dan juga melepas tekanan. TCM merekomendasikan rendam kaki dengan air hangat setiap hari untuk meningkatkan sirkulasi darah dan menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi (Karmanboegyss.blogspot.co.id, 2013). Praktek kerja dari terapi rendam kaki dengan air hangat ini yaitu dengan menggunakan air hangat yang bersuhu sekitar 40,5 - 43oC secara konduksi dimana terjadi perpindahan panas dari air hangat ke tubuh sehingga akan membantu meningkatkan sirkulasi darah dengan memperlebar pembuluh darah akibatnya lebih banyak oksigen dipasok ke jaringan yang mengalami pembengkakan dan ketegangan otot. Perbaikan sirkulasi darah dapat juga memperlancar sirkulasi getah bening sehingga membersihkan tubuh dari racun. Oleh karena itu orang orang yang menderita penyakit seperti LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 rematik, radang sendi, linu panggul, sakit punggung, insomnia, kelelahan, stress, sirkulasi darah yang buruk (hipertensi), nyeri otot, kram, kaku, terapi air hangat bisa digunakan untuk meringankan masalah tersebut (Dewi 2014). Manfaat merendam kaki dengan air hangat 38o-40oC akan mempelancar peredaran darah, merangsang keringat, menyembuhkan batuk pilek dan susah tidur. Penderita yang mengalami tekanan darah tinggi jika melakukan rendam kaki menggunakan air hangat yang dilakukan secara rutin maka dapat terjadi penurunan tekanan darah, karena efek dari rendam kaki air hangat menghasilkan energi kalori yang bersifat mendilatasi dan melancarkan peredaran darah juga merangsang saraf yang ada pada kaki untuk mengaktifkan saraf parasimpatis, sehingga menyebabkan penurunan tekanan darah (Umah, 2012). Berdasarkan survey awal di dapatkan keterangan bahwa selama ini usaha yang mereka lakukan untuk mengatasi hipertensi adalah dengan menggunakan terapi herbal dan farmakologis, tetapi untuk melakukan terapi rendam kaki air hangat sendiri belum pernah dilakukan dan klien juga tidak ada yang mengetahui bahwa merendam kaki dengan air hangat dapat menurunkan tekanan darah. Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui pengaruh terapi rendam kaki air hangat terhadap penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi di Puskesmas Andalas Padang tahun 2016. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti melakukan penelitian pemberian terapi rendam kaki air hangat terhadap penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi di Puskesmas Andalas Padang tahun 2016. Rendam kaki air hangat adalah salah satu terapi hipertensi yang bermanfaat untuk mendilatasi pembuluh darah, melancarkan peredaran darah dan memicu saraf yang ada pada telapak kaki untuk bekerja (Tari Batjun, 2015). Hasil penelitian Batjun (2015) rendam kaki air hangat dalam waktu 2. METODE PENELITIAN Jenis penelitian Quasy eksperimen rancangan Pretest – Postest design, dengan intervensi pemberikan terapi rendam kaki air hangat pada penderita hipertensi. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Andalas Padang pada bulan Januari – September 2016. Populasi penelitian penderita hipertensi dengan kelompok 114 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 umur 45- 60 tahun dengan teknik accidental sampling sebanyak 30 orang dengan 15 kelompok intervensi dan 15 orang kelompok kontrol. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi. Pengolahan data melalui analisa data secara univariat dan bivariat menggunakan uji T-Test dengan tingkat kepercayaan 95% = 0,05. Defenisi Operasional Variabel Terapi rendam kaki air hangat Penurunan Tekanan Darah Defenisi Operasional Alat Ukur Terapi rendam kaki air Lembar hangat merupakan kegiatan Observasi fisik yang dilakukan 3x seminggu selama 3 minggu. Waktu yang diperlukan untuk merendam kaki selama 20-30 menit, dengan temperatur 38o-40oC. Hasil Ukur - Skala Ukur - Tekanan darah pada Pigmano penderita hipertensi yang meter, diambil sebelum dan Stetoskop sesudah diberikan terapi rendam kaki air hangat. Pengukuran dijabarkan dalam mmHg Rasio 3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Tekanan Darah Sebelum Dilakukan Terapi Rendam Kaki Air Hangat Tabel 3.1 Distribusi Rerata Tekanan Darah Responden Pre-test Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol di Puskesmas Andalas Tahun 2016 Kelompok Tekanan darah N Mean SD Min Max Intervensi Sistolik 15 164,00 9,85 150 180 Diastolik 15 69,33 9,61 60 90 Kontrol Sistolik 15 162,67 13,34 140 180 Diastolik 15 65,33 9,90 50 80 Pada tabel 3.1 dapat dlihat rata-rata tekanan darah sistolik pre-test pada kelompok intervensi didapatkan rata-rata tekanan darah sistoliknya adalah 164.00 mmHg dengan starndar deviasi 9.85 mmHg sedangkan rata-rata tekanan darah diastolik adalah 69.33 mmHg dengan standar deviasi 9.61 mmHg sedangkan pada kelompok kontrol adalah tekanan darah sistoliknya 162.67 mmHg dengan standar deviasi 13,34 sedangkan rata-rata tekanan darah diastolik adalah 65.33 mmHg dengan standar deviasi 9.90 mmHg b. Tekanan Darah Setelah Dilakukan Terapi Rendam Kaki Air Hangat Tabel 3.2 Distribusi Rerata Tekanan Darah Responden Post-test Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol di Puskesmas Andalas Padang Tahun 2016 Tekanan Min Max Kelompok N Mean SD darah Intervensi Sistolik 15 151,33 10,60 140 170 Diastolik 15 66,67 9,75 60 70 Kontrol Sistolik 15 155,33 15,97 130 180 Diastolik 15 62,27 10,32 65 80 Pada tabel 3.2 dapat dlihat rata-rata tekanan darah sistolik post-test pada kelompok intervensi didapatkan rata-rata tekanan darah sistoliknya adalah 151.33 mmHg dengan starndar deviasi 10.60 LPPM STIKes Perintis Padang 115 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 sedangkan rata-rata tekanan darah diastolik adalah 56.67 mmHg dengan standar deviasi 9,75 mmHg. Pada kelompok kontrol adalah tekanan darah sistoliknya 155.33 mmHg dengan standar deviasi 15.97 sedangkan rata-rata tekanan darah diastolik adalah 62.67 mmHg dengan standar deviasi 10.32 mmHg c. Perbedaan rata-rata tekanan darah sebelum dan sesudah dilakukan terapi rendam kaki air hangat Tabel 3.3 Perbedaan rata-rata tekanan darah sebelum dan sesudah diberikan terapi rendam kaki air hangat pada penderita hipertensi di puskesmas andalas padang tahun 2016 Tekanan Kelompok N Mean SD Min Max darh Sistolik 164.00 9.856 Pre test 15 43.972 0.00 Diastolik 69.33 9.612 Intervensi Sistolik 15 151.33 10.60 Post test 40,049 0.00 Diastolik 15 56.67 9.759 Sistolik 15 162.67 13.345 Pre test 30.828 0.00 Diastolik 15 65.33 9.904 Kontrol Sistolik 15 155.33 15.976 Post test 23.400 0.000 Diastolik 15 62.67 10.328 Dari hasil uji Paired Samples T test (uji T-Test) didapatkan nilai p = 0,000 (p≤ 0,05) artinya Ho ditolak dan Ha diterima yaitu ada Pengaruh Terapi Rendam Kaki Air Hangat terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi di Puskesmas Andalas Padang Tahun 2016. Pembahasan Upaya ideal untuk mencegah dan menangkal risiko tekanan darah tinggi pertamanya adalah dengan penanggulangan secara nonmedikamentosa alias tanpa obat. Caranya adalah dengan menghindari faktor-faktor pemicu timbulnya penyakit tersebut (kecuali faktor yang tidak bisa dihindari seperti faktor keturunan dan usia). Salah satu upaya pencegahan adalah dengan cara memeriksakan tekanan darah secara teratur agar bila sewaktu-waktu ada kenaikan tekanan darah yang cukup tinggi, maka bisa diketahui lebih dini (Sudarmoko, 2010). Hasil yang didapatkan berdasarkan karakteristik responden, hasil yang tertinggi yaitu berjenis kelamin perempuan sebanyak 18 orang (60%) yang berusia dalam batasan lanjut usia (5360 tahun) yaitu sebanyak 19 orang (63,4%). Menurut pendapat peneliti tekanan darah terdiri dari tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik, pada kondisi tertentu tekanan darah sistolik dan diastolik bisa mengalami perubahan, perubahan tekanan darah tersebut biasanya tidak mengalami perubahan yang cukup berarti. Hipertensi biasanya lebih dominan terjadi pada usia lanjut yang merupakan salah satu penyakit degeneratif yang biasanya muncul setelah usia lanjut. Penyebab penyakit hipertensi secara umum diantaranya penyempitan arteri yang mensuplai darah ke ginjal, aterosklerosis (penebalan dinding LPPM STIKes Perintis Padang arteri yang menyebabkan hilangnya elastisitas pembuluh darah) keturunan, umur, jenis kelamin, tekanan psikologis, stres, kegemukan (obesitas), kurang olahraga dan kolesterol tinggi. Akibat tingginya tekanan darah yang lama tentu saja akan merusak pembuluh darah diseluruh tubuh, yang paling jelas pada mata, jantung, ginjal dan otak. Konsekuensi pada hipertensi yang lama tidak terkontrol adalah gangguan penglihatan, oklusi koroner, gagal ginjal dan stroke. Selain itu jantung juga membesar karena dipaksa meningkatkan beban kerja saat memompa melawan tingginya tekanan darah. Setelah dilakukan terapi rendam kaki air hangat ternyata tekanan darah sistol dan diastol pada penderita hipertensi mengalami penurunan. Joint National Committee (JNC) telah mengeluarkan guideline terbaru mengenai tatalaksana hipertensi atau tekanan darah tinggi, yaitu,mengingat bahwa hipertensi merupakan suatu penyakit kronis yang memerlukan terapi jangka panjang dengan banyak komplikasi yang mengancam nyawa seperti infark miokard, stroke, gagal ginjal, hingga kematian jika tidak dideteksi dini dan diterapi dengan tepat, dirasakan perlu untuk terus menggali strategi tatalaksana yang efektif dan efisien dengan begitu, terapi yang dijalankan diharapkan dapat memberikan dampak maksimal (Riskesdas, 2013). Hipertensi dapat di obati secara nonfarmakologis. Pengobatan non farmakologis salah 116 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana satunya adalah rendam kaki. Rendam kaki menggunakan air hangat akan merangsang saraf yang terdapat pada kaki untuk merangsang baroreseptor, dimana baroreseptor merupakan refleks paling utamadalam menentukan kontrol regulasi pada denyut jantung dan tekanan darah. Baroreseptor menerima rangsangan dari pereganganatau tekanan yang berlokasi di arkus aorta dan sinus karotikus. Pada saat tekanan darah arteri meningkat dan arteri menegang, reseptorreseptor ini dengan cepat mengirim impulsnya ke pusat vasomotor mengakibatkan vasodilatasi pada arteriol dan vena dan perubahan tekanan darah. Dilatasi arteriol menurunkan tahanan perifer dan dilatasi vena menyebabkan darah menumpuk pada vena sehingga mengurangi aliran balik vena, dan dengan demikian menurunkan curah jantung. Impuls afern suatu baroreseptor yang mencapai jantung akan merangsang aktivitas saraf parasimpatis dan menghambat pusat simpatis (kardioaselerator) sehingga menyebabkan penurunan denyut jantung dan daya kontraktilitas jantung (Hembing, 2000). Sementara pengukuran tekanan darah pada kelompok kontrol dilakukan sebagai perbandingan untuk kelompok intervensi yang dilakukan terapi rendam kaki air hangat, dimana didapatkan hasil tekanan darah sistol pada kelompok kontrol juga mengalami penurunan yaitu rata-rata 155,33 mmHg dengan standar deviasinya 15,97 dan tekanan darah diastol ratarata 62,67 mmHg dengan standar deviasinya 10,32. Menurut pendapat peneliti pada penelitian ini bahwa terapi rendam kaki air hangat pada penderita hipertensi dapat menurunkan tekanan darah jika dilakukan secara rutin, dapat dilihat pada kelompok intervensi yang secara rutin melakukan terapi rendam kaki air hangat mengalami penurunan dari hari pertama hingga hari terakhir. Sementara pada kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan pada penderita hipertensi juga mengalami penurunan dan ada juga malahan sebaliknya mengalami peningkatan pada tekanan darah sistolik dan diastolik, hal tersebut mungkin disebabkan karena pada kelompok kontrol melakukan berobat rutin ke Puskesmas dan memperoleh obat anti hipertensi, hal sebaliknya yang terjadi tekanan darah sistolik menjadi naik, mungkin karena adanya faktor pemicu yaitu budaya dan lingkungan yang menyebabkan tekanan darah menjadi naik, contohnya seperti ketidakpatuhan diet garam, stress yang berlebihan, obesitas, merokok dan hidup sembarangan atau tidak teratur. LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Menurut peneliti pada tekanan darah penderita hipertensi yang tekanan darah diastolnya 40-50 mmHg tidak perlu diberikan terapi rendam kaki air hangat, apabila tetap diberikan maka efek terhadap penderita tidak baik, dan bisa mengakibatkan tubuh penderita menjadi lelah, tangan dan kakinya terasa kesemutan dan penderita juga merasakan pusing. Manfaat merendam kaki dengan air hangat 38o-40oC akan mempelancar peredaran darah, merangsang keringat, menyembuhkan batuk pilek dan susah tidur. Penderita yang mengalami tekanan darah tinggi jika melakukan rendam kaki menggunakan air hangat yang dilakukan secara rutin maka dapat terjadi penurunan tekanan darah, karena efek dari rendam kaki air hangat menghasilkan energi kalori yang bersifat mendilatasi dan melancarkan peredaran darah juga merangsang saraf yang ada pada kaki untuk mengaktifkan saraf parasimpatis, sehingga menyebabkan penurunan tekanan darah (Umah, 2012). Rendam kaki air hangat adalah salah satu terapi hipertensi yang bermanfaat untuk mendilatasi pembuluh darah, melancarkan peredaran darah dan memicu saraf yang ada pada telapak kaki untuk bekerja (Umah, 2012). Secara ilmiah terapi rendam kaki air hangat mempunyai dampak fisiologis bagi tubuh. Pertama berdampak pada pembuluh darah dimana hangatnya air membuat sirkulasi darah menjadi lancar, yang kedua adalah faktor pembebanan di dalam air yang menguntungkan otot-otot dan ligament yang mempengaruhi sendi tubuh (Hembing A, 2000). Menurut Peni (2008) penderita hipertensi dalam pengobatannya tidak hanya menggunakan obat-obatan, tetapi bisa menggunakan alternatif non-farmakologis dengan menggunakan metode yang lebih murah dan mudah yaitu dengan menggunakan terapi rendam kaki air hangat dapat digunakan sebagai salah satu terapi yang dapat memulihkan otot sendi yang kaku serta dapat menurunkan tekanan darah apabila dilakukan secara melalui kesadaran dan kedisiplinan (Umah dkk, 2012). 4. KESIMPULAN Setelah dilakukan penelitian pada 30 orang responden didapatkan terdapat pengaruh terapi rendam kaki air hangat terhadap penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi di Puskesmas Andalas Padang Tahun 2016. Rendam kaki air hangat adalah salah satu terapi hipertensi yang bermanfaat untuk mendilatasi pembuluh darah, melancarkan peredaran darah dan memicu 117 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 saraf yang ada pada telapak kaki untuk bekerja (Umah, 2012). Secara ilmiah terapi rendam kaki air hangat mempunyai dampak fisiologis bagi tubuh. Pertama berdampak pada pembuluh darah dimana hangatnya air membuat sirkulasi darah menjadi lancar, yang kedua adalah faktor pembebanan di dalam air yang menguntungkan otot-otot dan ligament yang mempengaruhi sendi tubuh (Hembing A, 2000). Disarankan kepada petugas kesehatan dapat memberikan edukasi pada pasien dan keluarga dapat mengontrol dan menurunkan tekanan darah secara non farmakologi yaitu dengan terapi rendam air hangat yang didapatkan secara mudah. 5. DAFTAR PUSTAKA Dewi, Anita. 2014. Pemberian Terapi Rendam Kaki Air Hangat Terhadap Perubahan Tekanan Darah Pada Asuhan Keperawatan Pada Penderita Hipertensi. Karmanboegyys. Blogspot. co.id. Rendam Kaki Air Hangat Mempercepat Peredaran Darah. di Akses 1 Maret 2016 Kusuma, Wijaya Hembing. 2000. Hipertensi. (http://Rendam Kaki Menggunakan Air Hangat). Di Akses20 Januari 2016 Notoatmodjo. 2010. Medika Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Peni. 2008. Panduan Gaya Hidup Tabloid Gaya Hidup Sehat (http//Gaya Hidup Sehat Online. Com). di Akses 10 Januari 2016 Profil Dinas Kesehatan Kota Padang, 2014 Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar). 2013. Data Kejadian Hipertensi. di Akses 5 Januari 2016 Sudarmoko, Arief. 2010. Tetap Tersenyum Melawan Hipertensi. Yogyakarta : Atma Media Fress Sugiono. 2010. Statistik Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta Triyanto, Endang. 2014. Pelayanan Keperawatan Bagi Penderita Hipertensi Secara Terpadu. Jakarta : Graha Ilmu Umah, Khoiroh & dkk. 2014. Pengaruh Terapi Rendam Kaki Air Hangat Terhadap Perubahan Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi. Skripsi : A3 PSIK UNIGRES WHO (World Health Orgnization). 2013. Data Hipertensi. di Akses 5 Januari 2016 LPPM STIKes Perintis Padang 118 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 PENURUNAN NYERI HAID (DISMENORE) PRIMER MELALUI PEMBERIAN MINUMAN JAHE EMPRIT Ridha Hidayati*,Ririn Fuji Rahma STIKes Ranah Minang Padang, Jl. Parak Gadang E-mail: [email protected] Abstract Dysmenorrhea is painful menstruation in the lower abdomen and waist caused by excessive prostaglandin formation, which causes the uterus to contract quickly. Dysmenorrhea resulted in many famale students do not attend school. One way to overcome this by consuming beverages dysmenorrhea ginger. Ginger contains gingerol chemistry, shogaol, zingerol, capable blogging prostaglandin production so as to reduce pain during menstruation. The purpose of this study was to determine the influence of ginger drink to the intensity of menstrual pain primer. This type of research is preeksprerimen with one design group pre-post test. The population in this research are the female students that experiencing dysmenorrhea and complete the criteria. The samples of 15 female students with a purposive sampling.Data were analyzed using the paired t-test.The results shows that the average pain female students before being given a drink ginger is 6.87 with a standard deviation of 1.302, the average pain female students after being given drink ginger is 3.27 with a standard deviation of 1.668, there is a significant difference before and after drink ginger with ρ = 0.001 where ρ <0.05.it is recommended can use ginger to cope with menstrual pain. Keywords : Dysmenorrhea, Jahe Emprit 1. PENDAHULUAN Menurut organisasi kesehatan dunia World Health Organization (WHO) sekitar 1,2 milyar atau 18% dari jumlah penduduk dunia adalah kelompok remaja. Remaja adalah periode usia antara 10 sampai 19 tahun (WHO, 2014). Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, di tandai dengan perubahanperubahan fisik pubertas dan emosional yang kompleks.Pubertas adalah saat dimana sistem reproduksi mengalami kematangan (Pieter, 2010). Diantara perubahan fisik (organbiologik) itu ditandai dengan perubahan seks sekunder yaitu panggul membesar, pertumbuhan rahim dan vagina, payudara membesar, tumbuhnya rambut di ketiak dan sekitar kemaluan.Perubahan seks primer seperti munculnya haid (Jamal, 2010).Menstruasi (haid) adalah kejadian alamiah yang terjadi pada wanita.Bagi sebagian wanita, adakalanya menstruasi menjadi hal yang sangat menakutkan salah satunya timbul rasa nyeri ketika menstruasi (dismenore) (Proverawati, 2009). Dismenore diduga sebagai akibat dari pembentukan prostaglandin yang berlebihan, yang menyebabkan uterus untuk berkontraksi secara cepat dan juga mengakibatkan vasospasme anterolar.Dismenore dibagi menjadi dua yaitu dismenore primer dan dismenore sekunder.Dismenore primer adalah menstruasi yang sangat nyeri, tanpa patologi pelvis (ketiadaan penyakit pada pelvis).Dismenore ditandai oleh LPPM STIKes Perintis Padang nyeri keram dibagian bawah perut biasanya menyebar ke bagian belakang yang berlangsung selama 48 hingga 72 jam.Pada dismenore sekunder, terdapat patologi pelvis, seperti endometriosis, tumor, dan penyakit inflamatori pelvik (PID) (Anurogo, 2011). Studi epidemiologi pada populasi remaja di Amerika Serikat, oleh Klein dan Litt (2013) melaporkan prevalensi dismenore mencapai 59,7, dan di Swedia sekitar 72%. Sementara itu, hasil survei terhadap 113 pasien di Family Practice Setting menunjukkan prevalensi dismenore 29-44 %. Dari sejumlah 1266 mahasiswi di Firat University, Turki, sejumlah 45,3 % merasakan nyeri di setiap haid. Berdasarkan data profil kesehatan Indonesia tahun 2013 angka kejadian dismenore terdiri dari 54, 89% dismenore primer dan 9,36 % dismenore sekunder (Depkes, 2013). Kasus dismenore ini setiap tahunnya rata-rata meningkat dibuktikan data dari Sukoharjo, tahun 2011 kunjungan pasien dismenore 237 kasus, tahun 2012 435 kasus, dan tahun 2013 terdapat 445 kasus (Dinkes Sukoharjo, 2014). Umumnya dismenore tidak berbahaya, namun dirasa mengganggu bagi wanita yang mengalaminya.Dilaporkan lebih dari 20% wanita lebih sering tinggal di rumah untuk istirahat dan pembatasan aktifitas fisik sewaktu nyeri haid. Derajat nyeri dan kadar gangguan tentu tidak sama untuk setiap wanita, ada yang masih bisa bekerja 119 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ada pula yang tidak kuasa beraktifitas (Proverawati, 2009). Berdasarkan penelitian Iswari (2014) tentang “Hubungan dismenore dengan aktivitas belajar mahasiswi Psik Fk Unud” diperoleh 68,4% aktivitas terganggu, 21,5% sangat terganggu dan tidak terganggu 10,1%. Dismenore berdampak pada proses belajar siswi di sekolah diperkuat dengan penelitian Abdul, dkk (2015) siswi yang tidak masuk sekolah dan izin pulang kerumah pada hari pertama dan hari kedua saat menstruasi 24%, dan 49% beristirahat di UKS, dan 27% mengalami penurunan kosentrasi saat pelajaran berlangsung. Ada beberapa cara untuk meredakan gejala-gejala nyeri menstruasi (dismenore) yaitu dengan cara farmakologi dan non farmakalogi. Obat farmakologi yang sering digunakan adalah analgesik dan anti inflamasi seperti asam mafenamat, ibuprofen, dan lain-lain.Akan tetapi penggunaan obat farmakologis menimbulkan efek samping seperti gangguan pada lambung dan penurunan pada darah (anemia).Sedangkan pengobatan non farmakologis banyak hal yang dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri pada dismenore primer, misalnya penggunaan kompres hangat, olahraga teratur, dan mengkonsumsi produk-produk herbal yang telah dipercaya khasiatnya (Smith, 2006). Terapi ramuan herbal dapat dilakukan dengan menggunakan obat tradisional yang berasal dari bahan- bahan tanaman.Beberapa bahan tanaman dipercaya dapat mengurangi nyeri.Salah satu tanaman herbal tersebut adalah jahe (Zingiber Officinale Rose) yang bagian rimpangnyaberfungsi sebagai analgesik, antipiretik, dan anti inflamasi (Utami, 2012).Rimpang jahe mengandung 2-3% minyak atsiri yang terdiri dari zingiberin, kemferia, limonene, borneol, sineol, zingiberal, linalool, geraniol, kavikol, zingiberol, gingerol, dan shogaol. Rimpang jahe juga mengandung minyak damar yang terdiri dari zingeron, pati, damar, asam-asam organik, asam oksalat, asam malat, dan gingerin. Rimpang jahe bersifat anti peradangan atau anti inflamasi (Maryani, dkk, 2004). Jahe (ginger)sama efektifnya dengan asam mefenamat (mefenamic acid) dan ibuprofen untuk mengurangi nyeri haid atau dismenore primer (Anurogo, 2011). Selain bahannya mudah didapat, ramuan minuman jahe mudah dibuat.Jahe mengandung zat yang berkhasiat menghilangkan rasa sakit dan mual saat menstruasi (Utami, 2012).Zat tersebut adalah shogaol, gingerol, dan LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 zingeberin.Varian jahe yang memiliki zat tersebut salah satunya jahe emprit.Jahe emprit memiliki rimpang berwarna kuning dan lebih kecil, jahe emprit memiliki kandungan minyak atsiri yang cukup tinggi (Ramadhan, 2013).Kandungan kimia gingerol dalam jahe emprit mampu memblokir prostaglandin sehingga dapat menurunkan nyeri saat pada menstruasi (Utami, 2012). Dari hasil penelitian yang di lakukan oleh Arfiana (2014) tentang “Pengaruh minuman jahe merah terhadap intensitas nyeri haid pada mahasiswa D-IV Kebidanan Stikes Ngudi Waluyo” membuktikan bahwa ada pengaruh minuman jahe terhadap haid dengan nilai ρ = 0,000 < α (0,05). Hal ini diperkuat juga dari penelitian yang dilakukan oleh Tanjung (2014) dengan judul “Efektifitas ekstrak jahe dalam menurunkan dismenore primer pada mahasiswa tingkat I Akademi Kebidanan Poltekes Medan” membuktikan bahwa ekstrak jahe efektif menurunkan nyeri dismenore primer dengan nilai ρ = 0.000 . Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Kota Padang (2015), jumlah siswi terbanyak salah satunya SMK N 2 Padang. Survei awal pada tanggal 18 Maret 2016 dengan melakukan wawancara kepada 10 siswi yang mengalami dismenore, 4 siswi mengurangi nyeri tersebut dengan tiduran di UKS dan diolesi minyak kayu putih, 2 siswi mengurangi nyerinya dengan minum jahe, dan 4 siswi tidak melakukan upaya penanganan, hanya ditahan dan dibiarkan saja. Mereka mengatakan keadaan ini menggangu konsentrasi belajar di kelas dan membuat malas untuk melakukan aktivitas. Menurut keterangan yang didapat dari guru Bimbingan Konseling, rata-rata siswi yang mengalami dismenore mengeluh sakit perut disertai pusing, lemas dan bahkan ada beberapa siswi yang sampai pingsan ketika benar-benar tidak kuat menahan rasa sakit tersebut, ada pula yang terpaksa tidak bisa masuk sekolah dan izin untuk pulang karena dismenore, rata-rata 3-6 orang per bulannya. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: “Apakah ada pengaruh minuman jahe emprit terhadap intensitas nyeri haid (dismenore) primer pada siswi di SMKN 2 Padang”? Untuk mengetahui pengaruh pemberian minuman jahe emprit terhadap intensitas nyeri haid (dismenore) primer pada siswi SMKN 2 Padang. 120 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian pra eksperimen dengan rancangan one group pretestposttestdesign.Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswi yang berada di SMKN 2 Padang.Sampel pada penelitian ini adalah 15 siswi yang mengalami dismenoredengan carapurposive sampling. Data diolah dengan uji paired ttest.Instrument penelitian menggunakan lembar penilaian skala nyeri numerik. Persiapan Alat/Bahan: Alat: Gelas, Parutan, Penyaring Bahan: Jahe 25 gram (sekitar 2 ruas jari tangan), Gula aren (secukupnya), 2 gelas air 1) Cara kerja: Bahan- bahan tersebut akan di olah dengan cara bersihkan jahe dari kulitnya, kemudian jahe diparut, rebus dengan 2 gelas air dan tambahkan gula aren secukupnya sehingga menyusut menjadi 1 gelas minuman jahe. 2) Cara minum: Minuman ini diminum dalam keadaan hangat sebanyak 1 gelas 2 x sehari. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada hasil penelitian pengaruh pemberian minuman jahe emprit terhadap intensitas nyeri haid (dismenore) primer pada siswi didapatkan hasil sebagai berikut: Tabel 1 Nilai rata-rata nyeri sebelum diberikan minuman jahe emprit pada siswi SMKN 2 Padang tahun 2016 Tingkat Mean SD SE Min Max nyeri 9 Sebelum 6.87 1.302 0.336 5 minum Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata nyeri pada siswi sebelum diberikan minuman jahe emprit adalah 6.87. Hal ini terlihat pada saat peneliti mengobservasi dimana siswi terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat berkomunikasi dengan baik, tidak dapat diatasi dengan alih posisi, nafas panjang dan distraksi. Respon dari siswi berbeda-beda diantaranya berbaring ditempat tidur, merintih kesakitan, mengeluh pusing, dan tidak dapat melakukan aktivitas, hal ini berdampak pada kehadiran siswi di sekolah. Pada saat penelitian ditemukan ada siswi yang tidak mengikuti proses belajar di sekolah sebanyak 6 orang, sehingga peneliti melakukan observasi dirumah siswi LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 masing-masing. Jika hal ini dibiarkan maka akan berdampak pada prestasi belajar siswi-siswi tersebut. Menurut peneliti dari hasil penelitian nyeri menstruasi (dismenore) sebelum diberikan minuman jahe emprit pada siswi SMKN 2 Padang paling banyak mengalami nyeri berat dan sedang, karena nyeri menstruasi tersebut terdapat gangguan terhadap aktivitas pada siswi dalam proses belajar yang membutuhkan kosentrasi, tidur untuk istirahat, serta aktivitas lainnya. Selain itu, beberapa faktor seperti stress, ansietas, lingkungan yang bising, dan pengalaman nyeri sebelumnya yang mempengaruhi tingkat nyeri menstruasi pada siswi.Dimana persepsi tiap orang terhadap nyeri juga sangat bersifat subjektif sehingga dapat mempengaruhi respon nyeri yang bervariasi.Hal ini didukung oleh teori Lowdermilk (2013) faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri salah satunya pengalaman nyeri sebelumnya, dengan rasa nyeri dapat mempengaruhi deskripsi seseorang mengenai rasa nyerinya dan kemampuan untuk mengatasi rasa nyeri tersebut. Dismenore adalah nyeri yang timbul pada saat wanita mengalami menstruasi.Hal ini diduga akibat dari pembentukan prostaglandin yang berlebihan, yang menyebabkan uterus berkontraksi secara cepat, nyeri ini menyebabkan perut terasa mulas, pusing, bahkan pingsan (Proverawati, 2009). Nyeri haid (dismenore) yang terjadi pada siswi disebabkan banyak hal, salah satunya akibat pelepasan prostaglandin tertentu.Prostaglandin F2 alfa yang berasal dari sel-sel endometrium uterus.Prostaglandin F2 alfa adalah salah satu perangsang kuat kontraksi otot polos miometrium dan kontriksi pembuluh darah uterus (Anurogo, 2011). Hal ini diperkuat oleh Judha, dkk (2012) dalam Arfiana (2014) bahwa nyeri haid yang timbul akibat adanya hormon prostaglandin berlebihan yang membuat otot uterus (rahim) berkontraksi .Nyeri tersebut dapat dirasakan di daerah panggul bagian bawah, pinggang bahkan punggung.Dia juga menambahkan bahwa nyeri haid yang sering terjadi adalah nyeri haid yang fungsional (wajar) yang terjadi pada hari pertama dan kedua atau menjelang hari pertama akibat penekanan pada kranalis servikalis (leher rahim). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Arfiana (2014) dengan judul pengaruh minuman jahe terhadap intensitas nyeri haid pada mahasiswa D-IV Kebidanan STIKes Ngudi Waluyo. Sebelum diakukan pemberian minuman rebusan jahe banyak siswi yang mengalami 121 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana dismenore pada tingkat nyeri sedang yaitu 10 siswi (62,5 %) dan 6 siswi (37,5 %) pada nyeri berat. Tabel 2 Nilai rata-rata nyeri setelah diberikan minuman jahe emprit pada siswi SMKN 2 Padang tahun 2016. Tingkat Mean SD SE Min Max Nyeri 6 Setelah 3.27 1.668 0.431 0 minum Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata nyeri pada siswi setelah diberikan minuman jahe emprit adalah 3.27. Ini menunjukan adanya penurunan tingkat nyeri setelah diberikan minuman jahe emprit. Hal ini terlihat pada saat peneliti mengobservasi siswi, dimana siswi sudah dapat berkomunikasi dengan baik, mengikuti perintah dengan baik , beraktivitas seperti biasa, dan tidak ada lagi siswi yang absensi ke sekolah, bahkan siswi yang mengalami tingkat nyeri sedang menjadi tidak nyeri. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa siswi yang mengalami nyeri haid (dismenore) setelah diberikan minuman jahe emprit terjadi penurunan tingkat nyeri yang signifikan, ditandai dengan siswi yang mengalami nyeri berat terjadi penurunan ke sedang dan ringan, sedangkan siswi yang mengalami nyeri sedang terjadi penurunan ke nyeri ringan dan tidak nyeri. Dari hasil yang didapatkan bahwasanya minuman jahe berpengaruh terhadap penurunan tingkat nyeri haid (dismenore). Hal ini sesuai dengan pendapat Anurogo (2011) bahwa kandungan jahe shogaol, gingerol, dan zingeberin dapat mengurangi nyeri saat menstruasi pada wanita. Penurunan nyeri siswi disebabkan karena adanya zat yang dimiliki oleh jahe yang berfungsi sebagai anti analgesik, antipiretik, dan anti inflamasi serta memblog peningkatan prostaglandin didalam tubuh sehingga menurunkan nyeri pada siswi yang mengalami dismenore. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Wijaya (2012) bahwa sistem pengobatan jahe bisa digunakan untuk mengatasi nyeri akibat menstruasi dengan cara menghentikan kerja prostaglandin yang merupakan penyebab rasa sakit dan peradangan pembuluh darah dan meredakan kram. LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Tabel 3 Perbedaan nyeri siswi sebelum diberikan minuman jahe empritdengan tingkat nyeri pada siswi setelah diberikan minuman jahe emprit pada siswi SMKN 2 Padang tahun 2016 Perlakuan Sebelum Setelah Mean SD 6.87 1.302 3.27 1.668 SE 0..336 0.431 Jumlah 15 Berdasarkan tabel 3 diatas dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata nyeri siswi sebelum diberikan minuman jahe emprit adalah sebesar 6.87 dan mengalami penurunan setelah diberikan minuman jahe emprit 3.27.Hal ini menunjukan penurunan nilai dari tingkat nyeri setelah diberikan minuman jahe emprit. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji paired ttestdidapatkan nilai pvalue = 0.000 (ρ<0.05) bahwa ada pengaruh pemberian minuman jahe emprit terhadap intensitas nyeri haid (dismenore) primer. Menurut peneliti dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa minuman jahe emprit dapat menurunkan tingkat nyeri haid pada siswi SMKN 2 Padang.Minuman jahe emprit dapat dijadikan sebagai alternatif pengobatan secara nonfarmakologi pada siswi untuk mengurangi nyeri haid.Kandungan dalam jahe tersebut seperti gingerol, shogaol, dan zingeberine bermanfaat sebagai analgesik (penghilang rasa nyeri), anti inflamasi, dan antipiretik, sehingga nyeri yang dirasakan pada saat menstruasi dapat berkurang dengan mengkonsumsi minuman jahe emprit.Hal ini menunjukkan bahwa minuman jahe emprit berpengaruh dalam mengurangi nyeri haid. Dengan demikian terdapat pengaruh pemberian minuman jahe terhadap intensitas nyeri haid (dismenore) primer pada siswi SMKN 2 Padang Tahun 2016. Jahe emprit memiliki zat untuk mengurangi nyeri dan rasa mual saat menstruasi.Zat tersebut adalah shogaol, gingerol, dan zingeberin.Jahe emprit memiliki rimpang berwarna kuning dan lebih kecil, jahe emprit memiliki kandungan minyak atsiri yang cukup tinggi (Ramadhan, 2013).Kandungan kimia gingerol dalam jahe emprit mampu memblokir prostaglandin sehingga dapat menurunkan nyeri saat pada menstruasi (Utami, 2012). Jahe emprit terbukti memiliki keefektifan yang sama dengan asam mefenamat dan ibuprofen dalam mengurangi nyeri dismenore primer. Hal ini dibuktikan oleh Ozgoli, dkk (2009) dalam 122 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana penelitiannya yang berjudul “Comparison of effects if ginger, mefenamic acid, and ibuprofen on pain in woment with primary dysmenorrhea”.Khasiat jahe juga dibenarkan oleh Terry, dkk (2011) dalam penelitiannya disebutkan bahwa jahe terbukti dapat mengurangi nyeri akibat osteoarthritis dan nyeri haid (dismenore). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Arfiana (2014) dengan judul pengaruh minuman jahe terhadap intensitas nyeri haid pada mahasiswa D-IV Kebidanan Stikes Ngudi Waluyo membuktikan bahwa ada pengaruh minuman jahe terhadap nyeri haid dengan nilai Pvalue= 0.000 < α 0.05. Penelitian lain yang dilakukan oleh Xiao Yan dan Jing (2009) tentang efek dari jahe emprit dalam mengobati dismenore primer menunjukkan bahwa terapi menggunakan jahe adalah terapi yang aman dan efektif dalam mengurangi nyeri dismenore primer. Hasil penelitian ini sesuai dengan apa yang dikatakan Anurogo (2011) bahwa jahe emprit sama efektifnya dengan asam mefenamat (mefenamic acid) dan ibuprofen untuk mengurangi nyeri pada wanita dengan nyeri haid (dismenore) primer. Selain bahannya mudah didapat, ramuan minuman jahe mudah dibuat. 4. KESIMPULAN Ada pengaruh dari minuman jahe emprit terhadap intensitas nyeri haid (dismenore) primer pada siswi SMKN 2 Padang Tahun 2016 (P= 0.000) P<0.05 1. Bagi ilmu keperawatan Hasil penelitian diharapkan dapat menjadikan bahan informasi bagi petugas kesehatan dan wanita yang mengalami dismenore bahwa jahe emprit bermanfaat dalam mengurangi nyeri haid(dismenore) 2. Bagi praktisi a. Bagi tenaga kesehatan Bagi tenaga kesehatan (perawat) diharapkan dapat memberikan penyuluhan atau promosi kesehatan tentang kesehatan reproduksi wanita khususnya penatalaksanaan dismenore dengan memanfaatkan tanaman tradisional seperti jahe emprit sebagai terapi non-farmakologis yang tidak berdampak negatif bagi tubuh. b. Bagi sekolah Bagi sekolah SMKN 2 Padang diharapkan dapat bekerja sama dengan Uni Kesehatan Sekolah (UKS) serta puskesmas pembina wilayah dalam mensosialisasikan pemberian minuman jahe emprit sebagai alternatif untuk LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 mengurangi nyeri dismenore sehingga siswa tidak lagi absen karna nyeri haid (dismenore). 3. Bagi peneliti selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya diharapkan menggunakan rancangan metode yang berbeda, jumlah sampel diperbanyak sehingga nampak perbedaan yang lebih signifikan, dan melakukan penelitian dengan menggunakan jenis varian jahe lain agar dapat membandingkan keefektifan jahe emprit dengan jahe yang berbeda. 5. DAFTAR PUSTAKA Abdul, dkk.2015. Perbandingan Efektifitas Pemberian Minuman Kunyit Asam Jahe Terhadap Penurunan Nyeri Haid Pada Siswi di SMA Negeri 3 Gorontalo Utara.Diakses dari http://kim.ung.ac.id pada tanggal 17 Februari 2016. Anurogo, W. 2011.Cara Jitu Mengatasi Nyeri Haid. Yogyakarta: C.V Andi Offset. Arfiana, Iva. 2014. Pengaruh Minuman Jahe (Zingiber Officinale) Terhadap Intensitas Nyeri Haid Pada Mahasiswa D-IV Kebidanan Stikes Ngudi Waluyo. Diakses dari http://perpusnwu.web.id pada tanggal 16 Februari 2016. Hayat. 2013. Budi Daya Jahe. Bandung: Agro. Diakses dari http://wwwgemaperta.com pada tanggal 31 Juli 2016. Hernani, dkk.2012. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor. Diakses dari http://balitro.litbang.deptan.go.id pada tanggal 12 Juni 2016. Hidayat, Aziz A. 2007. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika. Iswari et al. 2014.Hubungan Dismenore dengan Aktivitas Belajar Mahasiswi Psik Fk Unud. Diakses dari http://ojs.unud.ac.id pada tanggal 16 Februari 2016. Jamal, A. 2010.Kesehatan Reproduksi. Padang: Universitas Baiturrahmah. Maryani, H. 2004. Tanaman Obat untuk Influenza. Jakarta: AgroMedia Pustaka. Mitayani. 2009. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika. Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Ozgoli, G., Goli, M. Moattar F. 2009. Comparison of effect of nginger, mefenamic acid, and ibuprofen on pain in women with primary dismenorea.Diakses dari 123 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 http://books.google.co.id pada tanggal 16 februari 2016. Pieter, dkk.2010. Pengantar Psikologi untuk Kebidanan. Jakarta: Prenada Media. Prayitno, Sunyoto. 2014. Buku Lengkap Kesehatan Organ Reproduksi Wanita. Jogjakarta: Saufa. Proverawati, Atikah. 2009. Menarche Menstruasi Pertama Penuh Makna. Yogyakarta: Nuha Medika. Ramadhan.2013. Aneka Manfaat Ampuh Rimpang Jahe untuk Pengobatan. Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia. Ruhnayat, A dan Kardinan, A. 2003.BudiDaya Tanaman Obat Secara Organik. Jakarta: AgroMedia Pustaka. Sari, Wulan.P. 2013. Efektivitas Terapi Farmakologis dan Non Farmakologis Terhadap Nyeri Haid (Disminore) Pada Siswi XI Di SMA Negeri 1 Pemangkat. Diakses dari http://jurnal.untan.ac.id pada tanggal 17 Februari 2016. Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Tamsuri, A. 2006.Konsep & Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC Tanjung, Juliana.H. 2014. Efektifitas Ekstrak Jahe dalam Menurunkan Dismenore Primer Pada Mahasiswa Tingkat I Akademi Kebidanan Poltekes Medan 2014.Diakses dari http://repository.usu.ac.id pada tanggal 16 Februari 2016. Utami, P. 2012. Antibiotik Alami untuk Mengatasi Aneka Penyakit. Jakarta: Agro Medika Pustaka. Wijaya, S. 2012. Khasiat dan Manfaat Jahe Bagi Kesehatan. Diakses dari http://kreasireseomasakan.blogspot.com pada tanggal 20 Maret 2016. Wijayakusuma, H.M. 2005. Menumpas Penyakit Kewanitaan dengan Tanaman Obat. Jakarta: Puspa Swara. Wilis, Anggi.R. 2011. Pengaruh Pemberian Air Rebusan Jahe Terhadap Intensitas Nyeri Haid Pada Mahasiswa Semester 7 Stikes Aisyiyah Yogyakarta.Diakses dari http://repository.usu.ac.id pada tanggal 18 Februari 2016. LPPM STIKes Perintis Padang 124 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PELAKSANAAN PATIENT SAFETY SESUAI JOINT COMISSION INTERNATIONAL Adriani 1, Yusi Yusman 2 , & Lisavina Juwita3 1&3 STIKes Fort De Kock Bukittinggi 2 Rumah Sakit Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi [email protected] Yusi [email protected] Abstract Hospital as a health care institution must provide services to the community, locally and internationally. Accreditation to assess the quality of an organization including hospital. The purpose of this experiment to determine the factors associated with the implementation of patient safety by nurses based joint international comission in Hospital Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi in 2016. This study was a descriptive cross sectional analytic approach. This study used a questionnaire as a measuring tool of research. The population in this study are all nurses in number 55. The result showed high knowledge that is high 37 (67.3%), good attitude that is 35 people (63.6%), motivation is low at 30 persons (54.5%), good facilities with 43 people ( 78.2%) and the proportion of patient safety are implemented either half stated that 29 people (52.7%). There is a patient safety knowledge with values obtained p = 0.043. There is a relationship between the attitude of nurses to patient safety that the value p = 0.010. There is a relationship with the patient safety motivation obtained value of p = 0.008. There is no significant relationship between patient safety facility with a p-value 0.385. It can be concluded that there is a relationship of knowledge, motivation and attitude of nurses to the implementation of patient safety based Joint Commission International Hospital Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi, 2016. It is expected that the implementation of patient safety can be applied by nurses in the hospital. Keywords: Knowledge, motivation, attitude of nurses, patient safety 1. PENDAHULUAN Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan haruslah memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam lingkup lokal maupun internasional. Berdasarkan hal tersebut, beberapa dekade terkahir ini munculah istilah akreditasi untuk menilai kualitas suatu organisasi termasuk rumah sakit. Secara umum akreditasi berarti pengakuan oleh suatu jawatan tentang adanya wewenang seseorang untuk melaksanakan atau menjalankan tugasnya. Menurut Kemenkes RI (2011) meskipun akreditasi rumah sakit telah berlangsung sejak tahun 1995, namun dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta makin kritisnya masyarakat Indonesia dalam menilai mutu pelayanan kesehatan, maka dianggap perlu dilakukannya perubahan yang bermakna terhadap mutu rumah sakit di Indonesia. Perubahan tersebut tentunya harus diikuti dengan pembaharuan standar akreditasi rumah sakit yang lebih berkualitas dan menuju standar Internasional. Dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI khususnya Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan memilih dan menetapkan sistem LPPM STIKes Perintis Padang akreditasi yang mengacu pada Joint Commission International (JCI) (JCI, 2011). Undang-Undang No 012 Tahun 2012 tentang Akreditasi Rumah Sakit, disebutkan bahwa akreditasi bertujuan meningkatkan keselamatan pasien rumah sakit dan meningkatkan perlindungan bagi pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit dan rumah sakit sebagai institusi. Beberapa ketentuan yang diatur dalam UU tentang akreditasi rumah sakit adalah : (1) dalam upaya meningkatkan daya saing, rumah sakit dapat mengikuti akreditasi internasional sesuai kemampuan, (2) rumah sakit yang akan mengikuti akreditasi internasional harus sudah mendapatkan status akreditasi nasional, (3) akreditasi internasional hanya dapat dilakukan oleh lembaga independen penyelenggara Akreditasi yang sudah terakreditasi oleh International Society for Quality in Health Care (ISQua). Proses akreditasi dilakukan oleh lembaga independen yang memiliki kewenangan untuk memberikan penilaian tentang kualitas pelayanan di institusi pelayanan kesehatan. Salah satu lembaga akreditasi internasional rumah sakit 125 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana yang telah diakui oleh dunia adalah Joint Commission Internasional (JCI). JCI merupakan salah satu divisi dari Joint Commission International Resurces. JCI telah bekerja dengan organisasi perawatan kesehatan, departemen kesehatan, dan organisasi global dilebih dari 80 negara sejak tahun 1994. JCI merupakan lembaga non pemerintah dan tidak terfokus pada keuntungan. Fokus dari JCI adalah meningkatkan keselamatan perawatan pasien melalui penyediaan jasa akreditasi dan sertifikasi serta melalui layanan konsultasi dan pendidikan yang bertujuan membantu organisasi menerapkan solusi praktis dan berkelanjutan (Ali, 2014). Penanganan pasien membutuhkan suatu standar pelayanan yang bermutu mengacu kepada standar tersebut telah dibuat dalam JCI (2011). Keseluruhan standar JCI setelah diidentifikasi, maka diperoleh standar yang paling relevan digunakan dalam mengkaji keselamatan pasien yang terkait dengan mutu pelayanan sesuai dengan JCI adalah sasaran internasional keselamatan pasien (SIKP) rumah sakit meliputi indikator : (1) ketepatan identifikasi pasien, (2) peningkatan komunikasi yang efektif, (3) peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, (4) kepastian tepat lokasi tepat prosedur, tepat pasien operasi, (5) pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan dan (6) pengurangan risiko pasien jatuh. Penerapan SIKP sesuai standar JCI di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi sampai saat ini sedang dalam proses dan dilakukan penyempurnaan secara manajemen, sumber daya manusia maupun fasilitas. Proses penerapan SIKP di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi belum optimal, hal ini ditandai dengan belum terlaksananya sesuai standar Join Commission International. Berdasarkan pengamatan awal yang penulis lakukan di IGD, Bedah dan OK RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi pada 31 Juni 2016, penulis melakukan observasi pada masingmasing 3 orang perawat dalam memberikan asuhan keperawatan, didapatkan hasil observasi perawat belum melakukan tindakan sesuai dengan standar JCI. Dalam melakukan identifikasi pasien, perawat sudah melakukan identifikasi pasien dan memilah pasien, namun belum optimal LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 dilaksanakan. Sedangkan dari segi komunikasi belum tampak efektif sesuai dengan standar JCI, belum ada komunikasi yang tepat, akurat dan efektif antara perawat, dokter dan pasien. Dalam pemberian obat-obatan sudah dilakukan sesuai dengan SOP di ruangan akan tetapi belum sesuai dengan JCI seperti tempat penyimpanan cairan dan obat-obatan yang belum sesuai dengan ketentuan. Pemberian tindakan pembedahan dan pengurangan resiko infeksi sudah diterapkan di IGD RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. Akan tetapi pengurangan resiko pasien jatuh belum sepenuhnya dilakukan. Ini ditandai dengan tidak semua pansien dipasang pengaman pada brankar. Penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan patient safety oleh perawat berdasarkan Joint Comission International belum pernah dilakukan di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi karena standar JCI baru akan diterapkan pada awal 2016 namun sejak awal tahun 2016 kegiatan sudah mulai diarahkan sesuai dengan standar akreditasi sesuai JCI. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti “Faktor- Faktor Yang Berhubungan Dengan Pelaksanaan Patient Safety oleh Perawat Berdasarkan Joint Comission International di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi 2016”. 2. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini membahas tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan patient safety oleh perawat berdasarkan Joint Comission International di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2016. Variabel independen dalam penelitian ini adalah pengetahuan perawat, sikap dan motivasi perawat sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah pelaksanaan patient safety oleh perawat sesuai Joint Commission International. Desain penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini menggunakan angket sebagai alat ukur penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi, jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 55 orang. Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 3 Juni 2016. Uji statistik yang digunakana adalah chi square. 126 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden di RSUD Dr Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016 Karakteristik Kategori Frekuensi Prosentase Responden Usia Dewasa awal (20 – 39 Tahun) 42 76,4 Dewasa menengah (40 tahun-59 13 23,6 tahun) 55 100 Total Masa Kerja ≥ 10 tahun 24 43,6 < 10 tahun 31 56,4 Total 55 100 Unit Kerja IGD 15 27,2 Bedah 15 27,2 OK 25 45,6 Total 55 100 Status Kepegawaian PNS 48 87,3 Non PNS 7 12,7 Total 55 100 Pendidikan S1 18 32,7 D3 37 67,3 Total 55 100 orang (76,4%). Masa kerja paling dominan perawat adalah kurang dari 10 tahun yaitu 31 orang (56,4%). Unit kerja paling dominan A. Analisa Univariat perawat adalah OK yaitu 25 orang (45,4%). Dari tabel d i a t a s dapat dilihat bahwa Status Kepegawaian paling dominan perawat berdasarkan usia paling dominan perawat di adalah PNS yaitu 48 orang (87,3%). Pendidikan RSUD dr Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun paling dominan perawat adalah DIII yaitu 37 2016 adalah antara 20 hingga 39 tahun yaitu 42 orang (56,4%). Tabel 2. Distrubisi Pengetahuan, Motivasi, Fasilitas Perawat, Patient Safety di RSUD Dr Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016 Variabel Kategori Frekuensi Prosentase Pengetahuan Rendah 18 32,7 Tinggi 37 67,3 Total 55 100 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Motivasi Rendah Tinggi Total 30 25 55 54,5 45,5 100 Fasilitas Perawat Kurang Baik Baik Total 12 43 55 21,8 78,2 100 Sikap Tidak Baik Baik Total 20 35 55 36,4 63,6 100 Patient Safety Kurang Baik Baik Total 26 29 55 47,3 52,7 100 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa lebih dari separuh perawat di RSUD dr Achmad Mochtar LPPM STIKes Perintis Padang Bukittinggi memiliki pengetahuan yang tinggi yaitu tinggi 37 orang (67,3%). Hasil penelitian ini 127 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana sejalan dengan penelitian yang dilakukan Awalia (2012) di RSUP dr Wahidin Sudirohusodo di Makasar, menunjukkan bahwa pengetahuan perawat dengan pelaksanaan Patient Safety dengan kategori baik sehingga pelayanan keperawatan sesuai dengan standar JCI. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sumarianto (2013) dengan judul hubungan pengetahuan dan motivasi terhadap kinerja perawat dalam penerapan program patient safety di ruang perawatan inap RSUD Andi Makkasau Kota Parepare didapatkan Dari 64 responden, 49 diantaranya (76,5%) berkategori pengetahuan baik, sebelas responden (17,2%) kategori pengetahuan cukup, dan empat responden (6,3%) kategori pengetahuan kurang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ngalngola (2012) dengan judul gambaran pengetahuan dan motivasi perawat terhadap penerapan program patient safety di instalasi rawat inap RSUD Daya Makassar tahun 2012 didapatkan Pengetahuan perawat pada umunya di instalasi rawat inap dengan tiga bagian yaitu :perawatan anak umumnya baik yaitu 21 orang (100,0%).perawatan interna umumnya baik yaitu 27 orang (93,1%) dan perawatan bedah umumnya baik yaitu 21 orang (100,0%). Menurut asumsi peneliti, pengetahuan yang dimiliki perawat diperoleh dari keinginan untuk mengetahui dan ilmu yang tinggi sehingga pelayanan yang diberikan sesuai dengan yang diharapkan dan tercapainya pelayanan yang holistic di Rumah Sakit. Bedasarkan Motivasi hasil yang didapat Lebih dari separuh perawat di RSUD dr Achmad Mochtar Bukittinggi memiliki motivasi yang rendah yaitu 30 orang (54,5%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sumarianto (2013) dengan judul hubungan pengetahuan dan motivasi terhadap kinerja perawat dalam penerapan program patient safety di ruang perawatan inap RSUD Andi Makkasau Kota Parepare didapatkan distribusi frekuensi responden menurut motivasi di ruang perawatan inap RSUD Andi Makkasau kota Parepare tahun 2013 bahwa dominan motivasi responden mengenai program patient safety termasuk dalam kategori tinggi dari 64 responden, 45 diantaranya (70,2%) berkategori motivasi tinggi dan reponden dengan motivasi rendah sebanyak sembilan belas responden (29,8%). LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Astuti (2011) di RSUD Palembang dimana motivasi perawat (82%) yang tinggi dalam memberikan pelayanan dipengaruhi oleh kemauan dan perasaan yang sensitive dalam memenuhi kebutuhan pasien dan kurang baik 12%. Menurut asumsi perawat motivasi yang tinggi memberikan dan meningkatkan pelayanan di Rumah Sakit karena responden mempunyai semangat yang tinggi dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan standar JCI. Pasien merasa puas dengan pelayanan yang diberikan oleh perawat. Semua perawat di RSUD dr Achmad Mochtar Bukittinggi memiliki sikap yang baik yaitu 35 orang (63,6%). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Alvionita (2014) dengan judul sikap perawat terhadap patient safety di unit anak rumah sakit PKU Muhammadiyah Bantul, PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I, dan PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II didapatkan Sikap perawat terhadap patient safety dengan prosentase sebesar (71%) terdiri dari 20 responden dikategorikan memiliki sikap mendukung, kurang mendukung sebanyak 8 responden (29%). Menurut asumsi peneliti, dari hasil penelitian diperoleh dilapangan terlihat banyaknya responden yang memiliki sikap baik dalam hal penaganan Patient Safety di RSUD dr Achmad Mochtar Bukittinggi. Hasil ini penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Trimulaim (2009) di RS dr Kariadi Semarang Ruangan Pav Garuda menunjukkan bahwa sikap perawat sangat berpengaruh dalam pelaksanaan Patient Safety di Rumah Sakit. Banyak perawat yang memiliki sikap yang baik dalam memberikan pelayanan dan tanpa membedakan pasien. Sikap yang baik terhadap pasien akan menimbulkan kepuasaan bagi pasien dan pelayanan yang dituntut dalam akreditasi JCI adalah pelayananan yang mengutamakan pasien. Separuh perawat di RSUD dr Achmad Mochtar Bukittinggi memiliki fasilitas yang baik yaitu 43 orang (78,2%). Fasilitas merupakan segala sesuatu yang memudahkan rumah sakit dalam menggunakan alat maupun media yang digunakan sesuai dengan peruntukannya. Fasilitas adalah sumberdaya fisik yang ada dalam sebelum suatu jasa/pelayanan dapat ditawarkan kepada konsumen (Tjiptono,2011). Fasilitas merupakan segala sesuatu yang memudahkan 128 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana konsumen/pasien Dalam usaha yang bergerak di bidang jasa/pelayanan, maka segala fasilitas yang ada yaitu kondisi fasilitas, kelengkapan, serta kebersihan fasilitas harus diperhatikan terutama yang berkaitan erat dengan apa yang dirasakan atau didapat pasien secara langsung. Dari hasil penelitian Suka Dewi di RSUD Palembang diruangan khusus sejalan dengan fasilitas rumah sakit hanya 23% karena sarana dan prasaran dan SDM yang kurang memadai.Menurut asumsi perawat, Oleh karena itu peneliti melihat fasilitas yang ada sekarang masih kurang baik dari sarana maupun prasarana ISSN: 2548-3153 sesuai dengan JCI.Hal ini terjadi karena terbatasnya dana ,alat,kurangnya pelatihan yang diberikan pihak rumah sakit kepada tenaga perawat sehingga tenaga perawat banyak yang beum mengetahui atau memahai pasien safety sesuai standar JCI. B. Analisa Bivariat Hasil Bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, motivasi, sikap, dan fsilitas dengan patient safety Tabel 3. Hubungan antara pengetahuan, motivasi, sikap, dan fsilitas dengan patient safety Patient Safety Total OR Kurang Baik Baik Variabel p Value 95% CI n % n % N % Pengetahuan Rendah 12 66,7 6 33,3 18 100 3,286 0,085 (1,006-10,735) Tinggi 14 37,8 23 62,2 37 100 26 47,3 29 52,7 55 100 Total Motivasi 4,442 Rendah 19 63,3 11 36,7 30 100 0,019 (1,412-13,973) Tinggi 7 28 18 72 25 100 26 47,3 29 52,7 55 100 Total Sikap Tidak Baik 14 70 6 30 20 100 4,472 0,023 (1,369-14,612) Baik 12 34,3 23 65,7 35 100 26 47,3 29 52,7 55 100 Total Fasilitas Kurang Baik 7 58,3 5 41,7 12 100 1,768 0,589 (0,484-6,462) Baik 19 44,2 24 55,8 43 100 26 47,3 29 52,7 55 100 Total Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat dari hasil analisis bahwa hubungan antara pengetahuan perawat dengan Patient Safety yang tinggi lebih dari separuh responden safetynya bagus yaitu 23 orang (62,2%). Sedangkan pada pengetahuan perawat dengan Patient Safety yang rendah kurang dari separuh responden safetynya bagus yaitu 12 orang (66,7%). Hasil uji statistik dengan uji chi-square diperoleh nilai p = 0,085 sehingga p > 0,05 artinya tidak ada hubungan signifikan antara fasilitas dengan Patient Safety. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Abdullah (2014) dengan judul hubungan pengetahuan, motivasi, dan supervisi dengan kinerja pencegahan infeksi nosokomial di RSUD Haji Makassar didapatkan Hasil penelitian diperoleh bahwa pengetahuan (p=0,000), yang LPPM STIKes Perintis Padang berarti ada hubungan signifikan antara pengetahuan dengan kinerja perawat pelaksana dalam pencegahan infeksi nosokomial di Instalasi Rawat Inap RSUD Haji Makassar. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Cintya (2013) yang berjudul hubungan pengetahuan dan sikap perawat dengan pelaksanaaan keselamatan pasien (patient safety) di ruang rawat inap RSUD. Hasil analisis bahwa hubungan antara motivasi perawat tinggi dengan patient safetynya bagus yaitu 18 orang (72%). Sedangkan pada motivasi perawat rendah dengan safetynya bagus yaitu 11 orang (36,7%). Hasil uji statistik dengan uji chi-square diperoleh nilai p = 0,019 sehingga p < 0,05 artinya terdapat hubungan signifikan antara motivasi dengan Patient Safety. Hasil analisis 129 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana diperoleh OR 4,442 artinya responden yang motivasi tinggi memiliki peluang 4,442 kali Patient Safety bagus dibandingkan motivasi perawat yang rendah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sumarianto (2013) dengan judul hubungan pengetahuan dan motivasi terhadap kinerja perawat dalam penerapan program patient safety di ruang perawatan inap RSUD Andi Makkasau Kota Parepare didapatkan dari hasil uji chi-square diperoleh nilai p=0.000 (p<0,05) yang berarti ada hubungan Motivasi dengan Pasien safety. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Murdyastuti (2010) dengan judul pengaruh persepsi tentang profesionalitas,pengetahuan patients safety dan motivasi perawat terhadap pelaksanaan program patients safety di ruang rawat Inap Rso Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta didapatkan motivasi perawat berpengaruh positif dan signifikan terhadap pelaksanaan program patients safety. Hal ini dibuktikan oleh besarnya nilai uji t statistik dengan derajat kepercayaan 95% sebesar 2,360 > t tabel 1,679 yang menunjukkan pengaruh variable tersebut kuat. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ngalngola (2012) dengan judul gambaran pengetahuan dan motivasi perawat terhadap penerapan program patient safety di instalasi rawat inap RSUD Daya Makassar tahun 2012 didapatkan motivasi perawat pada umunya di instalasi rawat inap dengan tiga bagianyaitu :perawatan anak umumnya Motivasi sedang yaitu 12 orang (54,5%) perawatan interna umumnya Motivasi Tinggi yaitu 21 orang (72,4%) dan perawatan Bedah umumnya Motivasi Tinggi yaitu 16 orang (76,2%). Liun Kendage Tahun A didapatkan Analisis statistik menunjukan hasil bahwa ada hubungan pengetahuan perawat dengan pelaksanaan keselamatan pasien (patient safety) di Ruang Rawat Inap RSUD Liun Kendage Tahuna, p=0,014 (p<0,05). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Irma (2015) berjudul pengaruh pengetahuan, motivasi, sikap perawat dan bidan terhadap penerapan budaya patient safety di RSIA ‘Aisyiyah Klaten didapatkan berpengaruh signifikan terhadap penerapan budaya patient safety adalah pengetahuan (p= 0, 003). LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Hasil analisis bahwa hubungan antara sikap perawat baik dengan Patient safetynya yang bagus yaitu 23 orang (65,7%). Sedangkan pada sikap perawat kurang baik dengan Patient safetynya bagus yaitu 6 orang (30%). Hasil uji statistik dengan uji chi-square diperoleh nilai p = 0,023 sehingga p < 0,05 artinya terdapat hubungan signifikan antara sikap perawat dengan Patient Safety. Hasil analisis diperoleh OR 4,472 artinya responden yang sikap baik memiliki peluang 4,472 kali Patient Safety bagus dibandingkan sikap perawat yang kurang baik. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Alvionita (2014) dengan judul sikap perawat terhadap patient safety di unit anak rumah sakit PKU Muhammadiyah Bantul, PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I, dan PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II didapatkan ada hubungan sikap perawat terhadap patient safety. Prosentase tertinggi pada prinsip check patient medicines (60,70%) yang didukung dengan hasil observasi I (86,4%) dan observasi II (100%) pada tindakan responden selalu mengaplikasikan 6 benar dalam pemberian obat. Prinsip terendah sebesar 47,63% pada prinsip Identify patient safety risks didukung dengan hasil observasi I hanya sebesar 36,4% dan 54,5% pada observasi II responden yang melakukan tindakan memastikan pengaman pada tempat tidur telah terpasang atau tidak. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Cintya (2013) hubungan pengetahuan dan sikap perawat dengan pelaksanaaan keselamatan pasien (patient safety) di ruang rawat inap RSUD Liun Kendage Tahun A didapatkan Ada hubungan sikap perawat dengan pelaksanaan keselamatan pasien (patient safety) di Ruang Rawat Inap RSUD Liun Kendage Tahuna, p=0,000 (α <0,05). Hasil analisis bahwa hubungan antara fasilitas yang baik dengan tindakan Patient Safety yang bagus yaitu 24 orang (55,8%). Sedangkan pada fasilitas yang kurang baik dengan tindakan Patient Safety yang bagus yaitu 5 orang (41,7%). Hasil uji statistik dengan uji chi-square diperoleh nilai p = 0,589 sehingga p > 0,05 artinya tidak ada hubungan signifikan antara fasilitas dengan Patient Safety. Dari hasil penelitian Suka Dewi di RSUD Palembang diruangan khusus sejalan dengan fasilitas rumah sakit yaitu ada hubungan Fasilitas dengan Pasien safety Menurut asumsi perawat, 130 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Dari hasil yang peneliti peroleh dilapangan fasilitas responden tentang pelayanan sesuai dengan standar JCI kurang baik hal ini terlihat dari distribusi frekuensi fasilitas 52,7%. Dari hasil peneliti diperoleh dilapangan fasilitas yang ada sekarang masih kurang baik dari sarana maupun prasarana sesuai dengan JCI. Hal ini terjadi karena terbatasnya dana, alat, sehingga banyak yang belum memahami pasien safety sesuai engan standar JCI. 4. KESIMPULAN Setelah dilakukan penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan patient safety oleh perawat berdasarkan joint comission international di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2016 maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut 37 orang (67,3%) memiliki pengetahuan tinggi terhadap patient safety, 30 orang (54,5%) memiliki motivasi yang rendah terhadap patient safety, 35 orang (63,6%) memiliki sikap yang baik terhadap patient safety, 43 orang (78,2%) fasilitas yang baik terhadap patient safety, 29 orang (52,7%) yang dilaksanakan oleh perawat patient safety, Tidak ada hubungan signifikan antara pengetahuan dengan patient safety diperoleh nilai p = 0,085, OR=3,286. Ada hubungan signifikan antara motivasi dengan patient safety diperoleh nilai p = 0,019, OR=4,442. Ada hubungan signifikan antara sikap perawat dengan patient safety diperoleh nilai p = 0,023, OR=4,472. Tidak ada hubungan signifikan antara fasilitas dengan patient safety Diperoleh nilai p = 0,589, OR=1,768 Pelaksanaan patient safety di RSAM Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi sudah baik, diharapkan terus ditingkatkan lagi penanaman motivasi dan sikap perawat di RSAM Dr. Achmad Mochtar. Diharapkan memasukkan materi pembelajaran tentang pencapaian sasaran internasional keselamatan pasien (SIKP) sesuai Joint Commission International di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi untuk mengembangkan keilmuan dan bermanfaat dalam praktek lapangan mahasiswa. Melakukan penelitian lain untuk meneliti tentang respon time dan hubungannya dengan patient safety dalam upaya pencapaian sasaran internasional keselamatan pasien (SIKP) sesuai Joint Commission International di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 5. DAFTAR PUSTAKA Abdullah (2014) Hubungan pengetahuan, motivasi, dan supervisi dengan kinerja pencegahan infeksi nosokomial di RSUD Haji Makassar. Universitas Hasanuddin: Makasar Ali, Umar et al. (2014). Faktor - Faktor Yang Berhubungan Dengan Mutu Pelayanan Keperawatan Di Ruang IGD RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Alvionita (2014) sikap perawat terhadap patient safety di unit anak rumah sakit PKU Muhammadiyah Bantul, PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I, dan PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II. Muhammadiyah Yogyakarta: Yogyakarta Atihuta, Jeles A. (2010). Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Mutu Pelayanan di RSUD Dr M.Haulussy Ambon. Astuti.2011. Faktor yang berhubungan dengan Motivasi perawat dalam pelayanan di RSUD Palembang. Palembang Awalia. 2012. Pengetahuan Perawat dengan Pelaksanaan Patient Safety di RSUP dr Wahidin Sudirohusodo di Makasar. Universitas Hasanuddin: Makasar Blais, Kathleen Koenig. (2009). Praktik Keperawatan Profesional Konsep & Perspektif Edisi 4. Jakarta: EGC Dewi. 2011. Faktor yang berhubungan dengan sarana dan prasarana di RSUD Palembang. Palembang JCI. (2011). Join Commission International Standar Akreditasi Rumah Sakit Edisi ke-4. Kemenkes RI. (2012). Pedoman Penerapan Standar Pelayanan keperawatan Gawat Darurat, ICU, Kamar Operasi dan Neonatus di Rumah Sakit. McMahon, Rosemary, dkk. (2009). Manajemen Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta: EGC. Notoatmodjo, S. (2005). Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam. (2008), Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. Ed 2. Jakarta: Salemba Medika Potter & Perry. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC. Putera dkk. (2009). Tingkat Kesesuaian Standar Akreditasi Terhadap Strategi dan Rencana Pengembangan Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Studi Kasus di RSUD Cut Meutia 131 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Aceh Utara. Sumarianto (2013) hubungan pengetahuan dan motivasi terhadap kinerja perawat dalam penerapan program patient safety di ruang perawatan inap RSUD Andi Makkasau Kota Parepare. Universitas Hasanuddin: Makassar Widodo (2015) hubungan respon time perawat dalam memberikan pelayanan dengan kepuasan pelanggan di IGD RS.Panti Waluyo Surakarta. Stikes Kusuma Husada: Surakarta LPPM STIKes Perintis Padang 132 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 INTERVENSI TEKNIK RELAKSASI OTOT PROGRESIF BERPENGARUH TERHADAP MENURUNKAN MUAL DAN MUNTAH DELAYED PADA PASIEN KANKER YANG MENJALANI KEMOTERAPI DI RSUD ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI TAHUN 2016 Ns. Muhammad Arif, M.Kep 1), Rahmita Tri Havizcha 2) 1 Program Studi D III Keperawatan, STIKes Perintis Padang email: [email protected] 2 Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKes Perintis Padang email: [email protected] Abstract Chemoteraphy has side effects, one of them is delayed nausea and vomiting. The result of observation and interview, 3 of 5 patients suffered delayed nausea and vomiting. Progresive Muscular Relaxation Technique is a complementary therapy wich can be given to cancer patients who experience delayed chemoteraphy-induced nausea and vomiting. The purpose of this research is to know influence progresive muscular relaxation technique intervention of delayed nausea and vomitting of cancer patients with chemoterapy-induced in RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi 2016. This research is quasi-experiment with one group pretest and posttest approach. This research was conducted on June 21th – July 29th 2016. Sample by purposive samplin technique, 15 respondents selected for the study. Progresive Muscular Relaxation Technique was giving once a day for 4 days.The average before intervention is (13.60±3.135) and the average after intervention is (8.33±2.289).The average difference of nausea-vommit frecuencies before and after intervention (5.27±0.846) Result of statistic test is pvalue = 0.001 (α= 0.05), it can conclude that there is influence progresive muscular relaxation technique intervention of delayed nausea and vomitting of cancer patients with chemoterapy- induced. Expected to the respondents who experienced delayed chemoteraphy-induced nausea and vomiting should be given progresive muscular relaxation technique and the next research can do delayed nausea and vomitting research with specific cases and another complementer therapi. Keyword : Chemoterapy, Delayed Nausea and Vomiting, Progresive Muscular Relaxation Technique 6. PENDAHULUAN Penyakit tidak menular saat ini menjadi masalah kesehatan utama baik di dunia maupun di Indonesia. Menurut data WHO tahun 2013, sebanyak 63% kematian di dunia disebabkan oleh penyakit tidak menular seperti penyakit kardiovaskuler, kanker, diabetes dan penyakit pernafasan. Insidens kanker meningkat dari 12,7 juta kasus tahun 2008 menjadi 14,1 juta kasus tahun 2012. Sedangkan jumlah kematian meningkat dari 7,6 juta orang tahun 2008 menjadi 8,2 juta pada tahun 2012. Kanker menjadi penyebab kematian nomor 2 di dunia sebesar 13% setelah penyakit kardiovaskular. Diperkirakan pada 2030 insidens kanker dapat mencapai 26 juta orang dan 17 juta di antaranya meninggal akibat kanker, terlebih untuk negara miskin dan berkembang kejadiannya akan lebih cepat (WHO, 2015). Di Indonesia, prevalensi penyakit kanker juga cukup tinggi. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi tumor/kanker di Indonesia adalah 1,4 per 1000 LPPM STIKes Perintis Padang penduduk, atau sekitar 330.000 orang. Kanker tertinggi di Indonesia pada perempuan adalah kanker payudara dan kanker leher rahim. Sedangkan pada laki-laki adalah kanker paru dan kanker kolorektal. Berdasarkan estimasi Globocan, International Agency for Research on Cancer (IARC) tahun 2012, insidens kanker payudara sebesar 40 per 100.000 perempuan, kanker leher rahim 17 per 100.000 perempuan, kanker paru 26 per 100.000 laki-laki, kanker kolorektal 16 per 100.000 laki-laki. Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit 2010, kasus rawat inap kanker payudara 12.0 14 kasus (28,7%), kanker leher rahim 5.349 kasus (12,8%). Yogyakarta memiliki prevalensi tertinggi untuk penyakit kanker, yaitu sebesar 4,1‰. Penyakit kanker dapat menyerang semua umur, hampir semua kelompok umur penduduk memiliki prevalensi penyakit kanker yang cukup tinggi (Depkes, 2015). Kanker adalah pertumbuhan atau penyebaran sel yang abnormal dan tidak terkendali. Berbeda dengan sel normal, 133 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana kanker tidak memiliki kontrol untuk menghentikan pertumbuhan dan mengakibatkan sel kanker tumbuh atau membelah tak terkendali. Kanker disebabkan oleh beberapa faktor pencentus yaitu disebabkan oleh inflamasi (peradangan) jangka panjang seperti virus, bakteri, zat kimia (karsinogen) diantaranya asap rokok, asbestros, alkohol, dan zat kimia pada makanan yang diproses berlebihan, seperti makanan yang digoreng dalam rendaman minyak ulang pakai, diasap atau dibakar, bisa juga berupa makanan yang mengandung pewarna atau makanan yang terkontaminasi logam berbahaya seperti merkuri pada seafood, paparan sinar ultraviolet (UV), ketegangan atau stres, faktor genetik dan faktor hormonal (Tim Cancer Helps, 2010). Gejala kanker pada stadium awal biasanya tidak menimbulkan gejala. Gejala kanker baru muncul ketika telah berkembang menjadi besar dan menekan organ-organ disekitarnya, namun ada beberapa gejala umum biasanya semakin lama semakin buruk diantaranya adanya benjolan yang tumbuh dan membesar dipermukaan kulit , perdarahan yang tidak normal, rasa sakit dan kerap datang, sering demam, perubahan dalam kebiasaan buang air besar atau kecil, perubahan warna kulit tubuh dan penurunan berat badan (Tim Cancer Helps, 2010). Jenis-jenis penyakit kanker yaitu, karsioma, limfoma, sarkoma, glioma, karsinoma in situ. Karsinoma merupakan jenis kanker berasal dari sel yang melapisi permukaan tubuh atau permukaan saluran tubuh, misalnya jaringan seperti sel kulit, testis, ovarium, kelenjar mucus, sel melanin, payudara, leher rahim, kolon, rektum, lambung, pankreas. Limfoma termasuk jenis kanker berasal dari jaringan yang membentuk darah, misalnya sumsum tulang, lueukimia, limfoma merupakan jenis kanker yang tidak membentuk masa tumor, tetapi memenuhi pembuluh darah dan mengganggu fungsi sel darah normal. Sarkoma adalah jenis kanker akibat kerusakan jaringan penujang di permukaan tubuh seperti jaringan ikat, sel-sel otot dan tulang. Glioma adalah kanker susunan saraf, misalnya sel-sel glia (jaringan panjang) di susunan saraf pusat. Karsinoma in situ adalah istilah untuk menjelaskan sel epitel abnormal yang masih terbatas di daerah tertentu sehingga dianggap lesi prainvasif (kelainan/ luka yang belum menyebar) (Akmal, 2010). Penatalaksanaan kanker yaitu meliputi pembedahan, radiasi, kemoterapi, terapi biologis dan masih ada kemungkinan metoda lain yang dilakukan dalam mengatasi masalah kanker. LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Kemoterapi merupakan salah satu modalitas pengobatan pada kanker secara sistemik yang sering dipilih terutama untuk mengatasi kanker stadium lanjut, lokal maupun metastatis. Kemoterapi sangat penting dan dirasakan besar manfaatnya karena bersifat sistemik mematikan/membunuh sel-sel kanker dengan cara pemberian melalui infus, dan sering menjadi pilihan metode efektif dalam mengatasi kanker terutama kanker stadium lanjut lokal. Efek samping yang banyak ditemukan pada pasien yang mendapat kemoterapi meliputi depresi sumsum tulang, diare, stomatitis, kehilangan rambut, masalah-masalah kulit serta yang paling sering dirasakan adalah mual dan muntah dengan derajat yang bervariasi. Walaupun banyak antinausea dan antivomiting yang telah digunakan dalam pengobatan, efek mual dan muntah yang disebabkan oleh kemoterapi masih merupakan penyebab terbesar terhadap perubahan kualitas hidup pasien kanker (Desen, 2008). Kemoterapi menimbulkan mual dan muntah melalui beberapa mekanisme yang bervariasi dan serangkaian yang kompleks. Pertama, kemoterapi secara langsung dapat menstimulasi chemoreseptor triger zone (CTZ). Efek ini dimediasi oleh pengeluaran 5HT3 (5 hydroxytriptamine) dan NHK (neurokinin 1) akibat pemberian kemoterapi. Kedua, kemoterapi dapat menyebabkan neuro transmitter termasuk 5HT3. Hal ini menyebabkan mual dan muntah melalui jalur perifer yang dimediasi oleh saraf vagus. Ketiga, gej ala ini disebabkan oleh neurohormonal melalui tegangnya orginin vasopresin dan prostaglandin. Keempat, mual dan muntah dimediasi oleh kecemasan yang memberikan pengaruh terhadap sistem saraf pusat termasuk pusat muntah (wood, shega, lynch, 2007). Keluhan mual dan muntah setelah kemoterapi digolongkan menjadi tiga tipe yaitu akut, tertunda (delayed) dan terantisipasi (anticipatory). Muntah akut terjadi pada 24 jam pertama setelah diberikan kemotherapy. Muntah yang terjadi setelah periode akut ini kemudian digolongkan dalam muntah tertunda (delayed) setelah 24 jam sampai 6 hari. Sedangkan muntah antisipasi merupakan suatu respon klasik yang sering dijumpai pada pasien kemoterapi (10-40%) dimana muntah terjadi sebelum diberikannya kemoterapi atau tidak ada hubungannya dengan pemberian kemoterapi. Muntah antisipasi ini sering dijumpai pada pasien yang sudah mendapatkan kemoterapi sebelumnya dengan 134 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana penanganan muntah yang kurang baik, sehingga pasien kadang-kadang menolak untuk melanjutkan pengobatan atau drop out (Rittenberg, 2005). Mual dan muntah akibat kemoterapi tidak selalu sama diantara beberapa individu, diukur menggunakan Rhodes Index of Nausea Vomiting and Retching (RINVR). Alat ini untuk menilai mual dan muntah yang terdiri dari 8 pertanyaan, dimana kuesioner ini akan diisi oleh responden dengan 5 respon Skala Likert yaitu 0-4. Intensitas mual muntah berdasarkan rentang skor 0-3 2. Dimana 0 merupakan skor terendah dan 32 merupakan skor tertinggi (Rhodes dan McDaniel, 2001). Lee, et al (2008), menyatakan bahwa tindakan penunjang berupa terapi komplementer dapat efektif membantu dalam manajemen mual muntah akibat kemoterapi. Terapi komplementer tersebut berupa relaksasi otot progresif, guided imagery, distraksi, hipnosis, akupresure dan akupunktur. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Morrow dan Dobkin (2002) didapatkan bahwa latihan relaksasi otot progresif, efektif dalam mengontrol mual muntah pasca pengobatan. Penatalaksanaan non farmakologis saat ini sangat di anjurkan, karena tidak menimbulkan efek samping. Salah satu pengobatan secara non farmakologis menurut para ahli diantaranya adalah teknik relaksasi otot progresif. Teknik relaksasi otot progresif adalah salah satu dari teknik relaksasi yang paling mudah dan sederhana yang sudah digunakan secara luas.Teknik relaksasi otot progresif merupakan suatu prosedur untuk mendapatkan relaksasi pada otot melalui dua langkah. Langkah pertama adalah dengan memberikan tegangan pada suatu kelompok otot, dan kedua dengan menghentikan tegangan tersebut kemudian memusatkan perhatian terhadap bagaimana otot tersebut menjadi relaks, merasakan sensasi relaks secara fisik dan tegangannya menghilang (Richmond, 2007). Teknik relaksasi otot progresif merupakan salah satu pencegahan aktifitas kemoreseptor dimana relaksasi otot progresif merangsang sistem saraf otonom untuk mengeluarkan opiate peptides, epidhipin dan penithylamin yang akan mempengaruhi kecemasan dan mood. Kemoterapi dapat menimbulkan efek diantaranya kecemasan dan merangsang saluran gastrointestinal untuk meningkatkan aktifitas CTZ yang mempengaruhi sistem saraf pusat dan medula oblongata untuk menstimulasi LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 kemoreseptor neurotransmiter untuk menimbulkan rasa mual dan muntah. melalui teknik relaksasi otot progresif ini terbukti dapat menurunkan produksi kortisol dalam darah serta menurunkan stimulasi kemoreseptor neurotransmiter sehingga tubuh menjadi rilek dan mual muntah menurun (Smeltzer & Bare, 2008). Teknik relaksasi otot progresif sampai saat ini menjadi metode relaksasi termurah tidak memerlukan imajinasi, tidak ada efek samping, mudah untuk dilakukan, serta dapat membuat tubuh dan pikiran terasa tenang, rileks, dan lebih mudah untuk tidur (Davia,1995). Relaksasi ini dapat dilakukan dimana saja dan disemua tempat. Seperti dimalam hari sebelum tidur, sebelum makan, selama pertemuan, situasi menakutkan, dikantor, dipesawat, didalam kereta, sewaktu istirahat siang, perjalanan singkat selama didalam mobil, dan berbagai situasi lainnya yang dimanfaatkan (Paul, 2010). Relaksasi otot progresif adalah relaksasi yang dilakukan dengan cara melakukan peregangan otot dan mengistirahatkannya kembali secara berrtahap dan teratur. Latihan relaksasi otot progresif dapat memberikan pemijatan halus dan berbagai kelenj errkelenjer pada tubuh , menurunkan produksi kartisol dalam darah, mengembalikan pengeluaran hormon yang secukupnya sehingga memberi keseimbangan emosi dan ketenangan pikiran (Purwanto, 2007). Hasil studi yang dilakukan oleh Molassiotis, Yung, Yam, Chan dan Mok, (2001), menunjukan sebanyak 38 pasien dari kelompok intervensi dengan relaksasi otot progresif mengalami penurunan mual dan muntah setelah kemoterapi secara signifikan dibandingkan dengan 33 pasien yang masuk dalam kelompok kontrol. Hasil penelitian yang dilakukan di Korea Selatan pada tahun 2005 menunjukkan dari 30 pasien yang mendapat relaksasi otot progresif dan Guided Imagery telah mengalami penurunan kecemasan, mual dan muntah paska kemoterapi dibanding 30 pasien yang masuk dalam kelompok kontrol (Richmond, 2007). Penelitian mengenai mual dan muntah delayed sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh Rukayah (2013) pada 20 responden anak usia sekolah yang menjalani kemoterapi dengan menggunakan teknik consecutive sampling. Penelitian ini menggunakan desain pre-postest witout control design dengan memberikan perlakuan akupresure pada hari kedua setelah kemoterapi di RS. Kanker Dharmais Jakarta. Hasil penelitian ini adalah akupresur dapat menurunkan 135 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 mual muntah lambat akibat kemoterapi pada anak usia sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui intervensi teknik relaksasi otot progresif berpengaruh terhadap menurunkan mual dan muntah delayed pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2016. 7. METODOLOGI PENELITIAN Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasi–Eksperiment menggunakan pendekatan pre and post group design dengan mengetahui intervensi teknik relaksasi otot progresif berpengaruh terhadap menurunkan mual dan muntah delayed dengan melibatkan satu kelompok subjek (Notoadmojo, 2010). Penelitian ini rencana akan dilakukan intervensi satu kali sehari selama 4 hari dengan waktu intervensi 15-20 menit dan pengukuran pada setiap sebelum dan sesudah dilakukan teknik relaksasi otot progresif. Penelitian ini dilakukan di ruang bedah RSUD. Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016. Penelitian dimulai pada bulan 21 Juni - 23 Juli tahun 2016 di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016 selama 5 minggu. Metode pengumpulan data merupakan cara atau sistematis dalam pengumpulan, pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan tertentu (sumarsono, 2004). Kuesioner digunakan untuk memperoleh data karakteristik responden. Instrumen Rhodes Index Nausea, Vomiting & Retching (RINVR) digunakan untuk mengukur variabel mual muntah. Telah diterjemahkan dan dilakukan uji validitas dan uji reabilitas oleh Rukyah (2013). Uji validitas dilakukan dengan menggunakan Pearson dan uji reliabilitas menggunakan Alpha-Cronbach, berdasarkan hasil uji validitas didapatkan semua item pertanyaan valid (r > 0,2 5). Kemudian dilanjutkan uji reliabilitas pada semua item yang valid tersebut, didapatkan bahwa semua item pertanyaan reliable, dengan nilai r Alpha (0,890) lebih besar dibandingkan dengan r tabel. Secara umum prinsip etika dalam penelitian/pengumpulan data dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu prinsip manfaat, prinsip menghargai hak-hak subjek, dan prinsip keadilan. LPPM STIKes Perintis Padang 136 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 8. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini meneliti mual dan muntah delayed pasien kanker yang menjalani kemoterapi sebelum dan sesudah diberikan intervensi teknik relaksasi otot progresif di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016. Tabel 3.1 Intervensi Teknik Relaksasi Otot Progresif Berpengaruh terhadap Mual Muntah Delayed pada Pasien Kanker yang Menjalani Kemoterapi di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016 95% CI Mean SD p-value Variabel Lower Upper Pengukuran Pre 13.60 3.135 11.86 15.34 0.001 Pengukuran Post 8.33 Selisih 5.267 2.289 Berdasarkan tabel tersebut rerata pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi sebelum dan sesudah diberikan intervensi teknik relaksasi otot progresif di Ruangan Bedah RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi terdapat perbedaan yang bermakna. Rerata mual dan muntah delayed sebelum diberikan intervensi teknik relaksasi otot progresif adalah sebesar 13.60 dengan standar deviasi 3.135. dari hasil estimasi interval 95% diyakini bahwa rerata mual dan muntah delayed sebelum dilakukan intervensi teknik relaksasi otot progresif berkisar antara 11.86- 15.34. sedangkan sesudah diberikan intervensi relaksasi otot progresif rerata mual dan muntah delayed pasien kanker yang menjalani kemoterapi menjadi 8.33 dengan standar deviasi 2.289. dari hasil estimasi interval 95% diyakini bahwa rerata mual dan muntah delayed setelah intervensi berkisar antara 7.07- 9.60. hal ini menunj ukkan adanya penurunan rerata mual dan muntah delayed sebesar 5.267. Dari hasil penelitian memperlihatkan perbedaan rerata pengukuran pretest dengan rerata 13.6 dengan standar deviasi 3.135 dan posttest mual dan muntah delayed dengan rerata 8.33 dan standar deviasi 2.89 dengan nilai p- value=0.001, maka dapat disimpulkan ada pengaruh intervensi teknik relaksasi otot progresif berpengaruh terhadap mual muntah delayed karena ada perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah intervensi. Mual dan muntah merupakan gejala dan tanda yang sering menyertai gangguan pada system gastrointestinal, demi kian j uga dengan penyakit– penyakit lain.(Price & Wilson, 2008). LPPM STIKes Perintis Padang 7.07 9.60 Menurut Garret et al (2003) mual muntah lambat terjadi minimal 24 jam pertama setelah pemberian kemoterapi, dan dapat berlangsung hingga 120 jam. Reflek muntah terjadi akibat aktivasi nukleus dari neuron yang terletak di medulla oblongata. Pusat muntah dapat diaktifkan secara langsung oleh sinyal dari korteks serebral (antisipasi, takut, memori), sinyal dari organ sensori (pemandangan yang mengganggu, bau) atau sinyal dari apparatus vestibular dari telinga dalam (mual karena gerakan tertentu/mabuk) (Garret et.al, 2003). Pada penelitian ini dilakukan tindakan komplementer untuk menurunkan mual dan muntah delayed pada pasien kanker yang dikemoterapi. Teknik relaksasi otot progresif merupakan salah satu pencegahan aktifitas kemoreseptor dimana relaksasi otot progresif merangsang sistem saraf otonom untuk mengeluarkan opiate peptides, epidhipin dan penithylamin yang akan mempengaruhi kecemasan dan mood. Kemoterapi dapat menimbulkan efek diantaranya kecemasan dan merangsang saluran gastrointestinal untuk meningkatkan aktifitas Chemoreseptor Triger Zone (CTZ) yang mempengaruhi sistem saraf pusat dan medula oblongata untuk menstimulasi kemoreseptor neurotransmiter untuk menimbulkan rasa mual dan muntah. melalui teknik relaksasi otot progresif ini terbukti dapat menurunkan produksi kortisol dalam darah serta menurunkan stimulasi kemoreseptor neurotransmiter sehingga tubuh menjadi rilek dan mual muntah menurun (Smeltzer & Bare, 2008). Penelitian Tessa (2014) mengenai pengaruh relaksasi otot progresif terhadap 137 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana mual dan muntah pasien kanker yang menjalani kemoterapi mendapatkan hasil pada kelompok kontrol 9.13 dengan SD±4.673 dan pada kelompok intervensi 5.67 dengan SDterdapat perbedaan bermakna skor rerata mual dan muntah antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi dengan SD±4.177. Pada penelitian ini diperoleh hasil perbedaan mual dan muntah pada kelompok intervensi setelah diberikan teknik relaksasi otot progresif yang bermakna (p-value >0.05), artinya terdapat pengaruh yang bermakna teknik relaksasi otot progresif terhada mual dan muntah akibat kemoterapi. Penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Rukayah (2013) pada 20 responden anak usia sekolah yang menj alani kemoterapi dengan hasil sebelum diberikan intervensi adalah 6,15 dengan SD=2,30 dan setelah diberikan intervensi adalah 3,75 dengan SD=1 ,44 dan didapatkan hasil p- value 0.001. Hasil ini menunjukkan perubahan yang signifikan skor mual muntah sebelum dan setelah intervensi (p- value 0,001; ≤ : 0,05). Pada penelitian ini ditemukan 20 % responden setelah dilakukan latihan teknik relaksasi otot progresif tidak mengalami penurunan mual dan muntah delayed. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti ketidakmampuan responden dalam melakukan teknik relaksasi otot progresif dengan benar meskipun telah melakukan sesuai dengan prosedur namun bila yang bersangkutan tidak mampu fokus maka akan membawa hasil yang tidak maksimal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Richmond (2007), bahwa salah satu yang dibutuhkan dalam teknik relaksasi otot progresif memerlukan perhatian yang diarahkan untuk membedakan perasaan kelompok otot dilemaskan dan dibandingkan ketika otototot dalam kondisi tegang, jika fokus kurang maka akan membawa hasil yang kurang maksimal. Berdasarkan penelitian dan teori diatas peneliti berasumsi bahwa ketika melakukan teknik relaksasi otot progresif sekali dalam sehari selama 4 hari dimana saraf otonom akan mempengaruhi arteri atau pembuluh darah yang mengakibatkan resistensi perifer menurun serta mengeluarkan epidiphin dan penitilamhin sehingga dapat menurunkan produksi kortisol dalam darah dan menormalkan pengeluaran hormon serotonim, dhopamin, dan asetilkolin menyebabkan menurunnya stimulasi pada pusat mual muntah sehingga tubuh menjadi rilek dan mual muntah menurun. Dengan demikian LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 didapatkan hasil penelitian bahwa intervensi Intervensi Teknik Relaksasi Otot Progresif Berpengaruh terhadap Mual dan Muntah Delayed pada Pasien Kanker yang Menjalani Kemoterapi di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016. 9. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pengaruh intervensi teknik relaksasi otot progresif berpengaruh terhadap mual dan muntah delayed pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi di RSUD Dr Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016, dapat disimpulkan bahwa : 1. Rerata Mual dan Muntah Delayed responden sebelum dilakukan intervensi teknik relaksasi otot progresif mengalami mual muntah sedang. 2. Rerata Mual dan Muntah Delayed sesudah dilakukan intervensi teknik relaksasi otot progresif mengalami mual muntah ringan. 3. Ada pengaruh Intervensi Teknik Relaksasi Otot Progresif Berpengaruh terhadap Mual dan Muntah Delayed pada Pasien Kanker yang Menjalani Kemoterapi di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016 dengan p-value = 0.001. 10.REFERENSI Abraham, A., Collins, D. and Martindale, R. (2006) The coaching schematic: Validation through expert coach consensus. Journal of Sports Science, 24 (6) pp.549-546 Akmal, M. Zely, I. (2010). Ensiklopedi kesehatan untuk umum. Jogjakarta: Arruzz Media Alimul Aziz, H. (2008). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika. Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8 volume 2, EGC, Jakarta Corey, Gerald. 2005. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama Corwin, E. J. (2001).Patofisiologi.Jakarta: EGC. Desen, W., 2008. Buku Ajar Onkologi Klinis. Edisi II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta Depkes. (2015). Situasi penyakit kanker. Diunduh dari http://www.depkes. go. 138 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana id/resources/download/pusdatin/infod atin/infodatin-kanker.pdf Grunberg, S.M. (2004). Chemotherapy induced nausea vomiting: Prevention, detection and treatment-how are we doing? The Journal of SupprtiveOncology, 2(1), 1-12. Hesketh, P.J. (2008). Chemotherapy induced nausea and vomiting. The New England Journal of Medicine, 358(23), 2482-2494. LeMone, P, & Burke .(2008). Medical surgical nursing : Critical thinking in client care.( 4th ed). Pearson Prentice Hall: New Jersey Lee, J., Dodd, M., Dibble, S., & Abrams, D. (2008). Review of acupressure studies for chemotherapy-induced nausea and vomiting control. Journal ofPain and Symptom Management, 36(5), 529-544. Morrow,G.R., & Dobkin, P.L. (2002) Anticipatory nausea and vomiting in cancer patients undergoing chemotherapy treatment prevalence, etiology, and behavioral interventions. Clinical Psychology Review, 8(5), 517556. Muthalib, A. (2006). Prinsip dasar terapi sistemik pada kanker. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Molassiotis, A., Yung, H. P., Yam, B.M.C., Chan, F.Y.S., & Mok, T.S.K. (2001). The effectiveness of progressive muscle relaxation training in managing chemotherapy-induced nausea and vomiting in Chinese breast cancer patients:a randomised controlled trial. Support Care Cancer, (2002) 10:237– 246National Cancer Institute. 2009. Breast Cancer. http://cancerweb. ncl.ac.uk/cancernet/100013.html.10 April 2016. National Safety Council. T.C. Gilchrest. (2004). Manajemen Stres AlihBahasa Widyastutik. Jakarta: EGC. Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi penelitian kesehatan. (edisi revisi). Jakarta: PT Rieneka Cipta Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Price, S.A., & Wilson, L.M.(2008). Patofisiologi: Konsep klinis prosesproses penyakit. Jakarta : EGC LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Purwanto, B. (2013). Herbal dan Keperawatan Komplementer. Yogyakarta : Nuha Medika Potter, P. A & Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik.(Edisi 4). Jakarta: EGC Richmond, R.L. (2007). A Guide to Psychology and its Practice. Diunduh dari http://www. guidetopsychology. com/pmr.htm tanggal 20 April 2016 Rittenberg. (2005). Chemotherapy Induced Nausea and Vomiting the Past the Present And The Future. Diunduh dari http://ccn. aacnj ournals. org/cgi/content/full/23/1/31 tanggal 15 April 2016. Rhodes, V. A. & McDaniel, W. (2001). Nausea, Vomiting, and Retching : Complex Problem In Paliative Care. Cancer Journal Clinic, 51, 232-248. Rahayu, Wahyu. (2011). Mengenali, mencegah dan mengobati kanker, Victoriy inti cipta, Jakarta. Rukyah. (2013). Pengaruh Terapi Akupresur Terhadap Mual Muntah Lambat Akibat Kemoterapi Pada Anak Usia Sekolah Yang Menderita Kanker Di RS Kanker Dharmais Jakarta.Universitas Indonesia. Thesis. Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle,J.L., & Cheever, K,H. (2008). Textbook of medical-surgical nursing (Eleventh edition) Tanjung, Y. (2011). Berdamai dengan kanker: Kiat hidup sehat survivor kanker. Bandung : Qanita 139 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEMANDIRIAN ACTIVITY DAILY LIVING ANAK TUNAGRAHITA DI SLB AIR RANDAH WILAYAH KERJA PUSKESMAS GADUT KABUPATEN LIMA PULUH KOTA TAHUN 2016 1 Yuli Permata Sari, Program Studi D III Keperawatan, STIKes Perintis Padang e-mail: [email protected] 2 Junnatul Wafiq, Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKes Perintis Padang e-mail: [email protected] 3 Isna Ovari, Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKes Perintis Padang e-mail: [email protected] Abstract Mental retardation is intellectual functioning significantly below average (defined as an IQ score below 70 to 75), there are limitations associated simultaneously with two or more adaptive skill areas. Mental retardation in the world of education is also called mental retardation. Defined in terms of cognitive mental retardation (IQ below 70) and the adaptive function, and is a condition that occurs before the age of 18 years. This study aims to determine the relationship of family support to the independence of Daily Living Activity retarded children in SLB Air rendah Gadut Puskesmas District 50 City 2016. The study design using descriptive analytic with cross sectional approach. The instrument used in this study is the use of a questionnaire, then the data is processed using the Chi-square test. Samples in this study amounted to 44 people, they are parents of children with intellectual challenges that exist in SLB Air rendah Puskesmas District Fifty Gadut City. It was concluded that not all family support (instrumental support) is related to the independence of daily living activity retarded children at SLB Air Randah. Therefore, efforts need to be improved family support to children with intellectual challenges that the child is able to perform daily activities independently without relying with others. Keywords : Family support, Daily living activity, Tunagrahita 1. PENDAHULUAN Intelegency Quotient (IQ) atau inteligensi berasal dari bahasa Inggris “intelligence” yang juga berasal dari bahasa Latin yaitu “intellectus dan intellegentia” yang artinya adalah akal pikiran. Retardasi mental adalah fungsi intelektual yang secara signifikan dibawah rata-rata (didefenisikan sebagai nilai IQ dibawah 70 hingga 75), terdapat bersamaan dengan keterbatasan yang berkaitan dua atau lebih area keterampilan adaptif. Retardasi mental dalam dunia pendidikan disebut juga dengan tunagrahita (Alpers, 2014). Tunagrahita dapat juga didefenisikan sebagai individu yang memiliki kecerdasan intelektual dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidak mampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul pada masa perkembangan atau sebelum usia 18 tahun. (Ramawati, 2011). Kegiatan sehari-hari (Activity Daily Living) pada anak tunagrahita terdiri dari: 1) membersihkan & merapikan diri, misalnya mandi; 2) berpakaian, misalnya memakai pakaian sekolah; 3) makan & minum, misalnya makan LPPM STIKes Perintis Padang dengan sendok atau minum menggunakan gelas, dan; 4) BAB & BAK. Kegiatan sehari-hari ini dapat diajarkan dan dilatih kepada anak tunagrahita secara terus-menerus agar anak dapat melakukannya dengan mandiri (Astati, 2008). Menurut Friedman (2014), mengatakan dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Bagi anak tunagrahita, sekurang-kurangnya diperlukan dua bidang kemandirian yang harus dimiliki yaitu: (1) keterampilan dasar dalam hal membaca, menulis, komunikasi lisan, dan berhitung, (2) keterampilan perilaku adaptif yaitu keterampilan mengurus diri dalam kehidupan sehari-hari (activity daily living), dan keterampilan menyesuaikan diri dengan lingkungan (social living skills). Berdasarkan informasi data yang peneliti peroleh dari Kepala Sekolah SLB Air Randah terdapat 44 orang siswa yang mengalami tunagrahita, 14 siswa perempuan dan 30 siswa laki-laki dengan rincian 5 orang duduk dikelas I, 6 orang duduk dikelas II, 11 orang duduk dikelas III, 140 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana 6 orang duduk dikelas IV, 4 orang duduk dikelas V, 5 orang duduk dikelas VI, 1 orang duduk di kelas VII, 3 orang duduk dikelas VIII, 1 orang duduk dikelas IX, dan 1 orang duduk dikelas X. Dan rata-rata usia anak tunagrahita di SLB Air Randah berkisar antara 9-12 tahun (Laporan Statistik SLB Air Randah, Januari 2016). Menurut keterangan dari kepala sekolah maupun guru pengajar di SLB Air Randah anak tunagrahita tersebut mempunyai berbagai macam permasalahan. Salah satunya adalah masalah dalam kegiatan sehari-hari. Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan, terdapat beberapa orang anak yang masih dibimbing oleh gurunya untuk jajan dikantin, pergi buang air kecil maupun besar, dan dari segi penampilan anak tersebut tidak rapi.. Karena di SLB Air Randah masih ada beberapa anak yang didampingi oleh orang tuanya saat disekolah, dikarenakan anak tersebut tidak bisa melakukan kegiatan seperti jajan, buang air besar maupun kecil, masuk keruangan kelas saat bel jam masuk sudah dibunyikan, dan kegiatan lainnya yang menyangkut tentang activity daily living. Jadi dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita di SLB Air Randah belum mandiri seutuhnya dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Berdasarkan hasil wawancara dengan lima orang tua siswa yang mengalami tunagrahita di SLB Air Randah mengenai kemampuan melakukan aktifitas sehari-hari pada anaknya. Hasilnya di dapatkan bahwa dua dari lima orang tua mengatakan anaknya sudah mampu melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi, toileting, makan dan berhias. Usia dari anak tersebut yaitu 10 tahun dan 12 tahun, berjenis kelamin laki-laki & perempuan. Tiga orang tua dari lima orang tua yang di wawancarai mengatakan bahwa anaknya belum mampu melakukan aktivitas perawatan diri seperti mandi, makan, toileting dan berhias. Peneliti juga menanyakan pada ke tiga orang tua tersebut apakah mereka memberikan dukungan seperti informasi, saran, penghargaan, perhatian dan memfasilitasi anak dalam melakukan perawatan diri, jawaban satu dari tiga orang tua yang anaknya berusia 17 tahun dengan jenis kelamin laki-laki tersebut mengatakan memberikan dukungan informasi seperti memberikan pengatahuan tentang cara makan, sebelum makan cuci tangan terlebih dahulu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan kemandirian activity daily living anak tunagrahita di slb air LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 randah wilayah kerja puskesmas gadut kabupaten lima puluh kota tahun 2016. 2. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah anak tunagrahita dengan sampel sebanyak 44 responden. Penelitian ini dilakukan di SLB Air Randah Wilayah Kerja Puskesmas Gadut Kabuapten Lima Puluh Kota dengan menggunakan tekhnik analisa univariat dan bivariat. 141 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Informasional di SLB Air Randah Wilayah Kerja Puskesmas Gadut Tahun 2016 Dukungan Informasional Frekuensi Persentase (%) Mendukung 34 77,3 Tidak Mendukung 10 22,7 Total 44 100 Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa lebih dari separoh yaitu sebanyak 34 orang responden (77,3 %) mempunyai dukungan informasional yang mendukung. Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Penilaian di SLB Air Randah Wilayah Kerja Puskesmas Gadut Tahun 2016 Dukungan Penilaian Frekuensi Persentase (%) Mendukung 37 84,1 Tidak Mendukung 7 15,9 Total 44 100 Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa lebih dari separoh yaitu sebanyak 37 orang responden (84,1%) mempunyai dukungan penilaian yang mendukung. Tabel 3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Instrumental di SLB Air Randah Wilayah Kerja Puskesmas Gadut Tahun 2016 Dukungan Instrumental Frekuensi Persentase (%) Mendukung 35 79,5 Tidak Mendukung 9 20,5 Total 44 100 Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa lebih dari separoh yaitu sebanyak 35 orang responden (79,5%) mempunyai dukungan instrumental yang mendukung. Tabel 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Emosional di SLB Air Randah Wilayah Kerja Puskesmas Gadut Tahun 2016 Dukungan Emosional Frekuensi Persentase (%) Mendukung 37 84,1 Tidak Mendukung 7 15,9 Total 44 100 Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat bahwa lebih dari separoh yaitu sebanyak 37 orang responden (84,1%) mempunyai dukungan emosional yang mendukung. Tabel 5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kemandirian ADL di SLB Air Randah Wilayah Kerja Puskesmas Gadut Tahun 2016 Kemandirian ADL Frekuensi Persentase (%) Mandiri Tergantung Total LPPM STIKes Perintis Padang 34 10 44 77,3 22,7 100 142 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat bahwa lebih dari separoh yaitu sebanyak 34 orang responden (77,3%) mempunyai kemandirian ADL mandiri. Tabel 6 Hubungan Dukungan Informasional Dengan Kemandirian ADLAnak Tunagrahita di SLB Air Randah Wilayah Kerja Puskesmas Gadut Tahun 2016 Dukungan Kemandirian ADL Total P value OR informasional Tergantung Mandiri F % f % F % Tidak Mendukung 5 50 5 50 10 100 Mendukung 5 14,7 29 85,3 34 100 Total 10 22,7 34 77,3 40 100 Dari hasil tabel 6 terdapat sebanyak 5 (50%) dari 44 orang responden yang mempunyai dukungan keluarga: dukungan informasional tidak mendukung, mengalami kemandirian ADL tergantung. Terdapat sebanyak 5 (50%) dari 44 orang responden yang mempunyai dukungan keluarga: dukungan informasional tidak mendukung, mengalami kemandirian ADL. Terdapat sebanyak 5 (14,7%) dari 44 orang responden yang mempunyai dukungan keluarga: dukungan informasional mendukung, mengalami kemandirian ADL tergantung. Terdapat sebanyak 29 (85,3%) dari 44 responden yang mempunyai 0,032 5,800 dukungan keluarga: dukungan informasional mendukung, mengalami keamndirian ADL. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,032 artinya (p < 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara dukungan informasional dengan kemandirian ADL. Dari hasil analisis juga didapatkan OR=5,800, artinya dukungan informasional yang mendukung memiliki peluang sebanyak 5,800 kali untuk kemandirian ADL mandiri dibandingkan dengan dukungan informasional tidak mendukung. Tabel 7 Hubungan Dukungan Penilaian Dengan Kemandirian ADL Anak Tunagrahita di SLB Air Randah Wilayah Kerja Puskesmas Gadut Tahun 2016 Dukungan Kemandirian ADL Total P value OR penilaian Tergantung Mandiri F % F % F % Tidak Mendukung 4 57,1 3 42,9 7 100 Mendukung 6 16,2 31 83,8 37 100 Total 10 22,7 34 77,3 40 100 Dari hasil tabel 7 didapatkan lebih dari separoh yaitu sebanyak 4 (57,1%) dari 44 orang responden yang mempunyai dukungan keluarga: dukungan penialian tidak mendukung, mengalami kemandirian ADL tergantung. Terdapat sebanyak 3 (42,9%) dari 44 orang responden yang mempunyai dukungan keluarga: dukungan penilaian tidak mendukung, mengalami kemandirian ADL. Terdapat sebanyak 6 (16,2%) dari 44 orang responden yang mempunyai dukungan keluarga: dukungan penilain LPPM STIKes Perintis Padang 0,037 6,889 mendukung, mengalami kemandirian ADL tergantung. Terdapat sebanyak 31 (83,8%) dari 44 responden yang mempunyai dukungan keluarga: dukungan penilaian mendukung, mengalami kemandirian ADL. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,037 artinya (p < 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara dukungan penilaian dengan kemandirian ADL. Dari hasil analisis juga didapatkan OR=6,889, artinya dukungan penilaian yang mendukung memiliki peluang 143 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 sebanyak 6,889 kali untuk kemandirian ADL mandiri dibandingkan dengan dukungan penilaian tidak mendukung. Tabel 8 Hubungan Dukungan Instrumental Dengan Kemandirian ADL Anak Tunagrahita di SLB Air Randah Wilayah Kerja Puskesmas Gadut Tahun 2016 Dukungan Kemandirian ADL Total P value OR instrumental Tergantung Mandiri Tidak Mendukung f 4 % 44,4 F 5 % 55,6 F 9 % 100 Mendukung 6 17,1 29 82,9 35 100 Total 10 22,7 34 77,3 44 100 Dari hasil tabel 8 didapatkan bahwa kurang dari separoh yaitu sebanyak 4 (44,4 %) dari 44 orang responden yang mempunyai dukungan keluarga: dukungan instrumental tidak mendukung, mengalami kemandirian ADL yang tergantung. Terdapat sebanyak 5 (55,6 %) dari 44 orang responden yang mepunyai dukungan keluarga: dukungan instrumental tidak mendukung, mengalami kemandirian ADL. Terdapat sebanyak 6 (17,1 %) dari 44 orang responden yang mempunyai dukungan keluarga: dukungan instrumental mendukung mengalami kemandirian ADL yang tergantung. Terdapat 0,175 3,867 sebanyak 29 (82,9 %) dari 44 responden yang mempunyai dukungan instrumental mendukung, mengalami kemandirian ADL. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,175 artinya (p > 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara dukungan instrumental dengan kemandirian ADL. Dari hasil analisis juga didapatkan OR=3,867, artinya dukungan instrumental yang tidak mendukung memiliki peluang sebanyak 5,800 kali untuk kemandirian ADL tergantung dibandingkan dengan dukungan instrumental mendukung. Tabel 9 Hubungan Dukungan Emosional Dengan Kemandirian ADL Anak Tunagrahita di SLB Air Randah Wilayah Kerja Puskesmas Gadut Tahun 2016 Dukungan Kemandirian ADL Total P value OR emosional Tergantung Mandiri F % F % F % Tidak Mendukung 4 57,1 3 42,9 7 100 0,037 5,614 Mendukung 6 16,2 31 83,8 37 100 Total 10 22,7 34 77,3 44 100 Dari hasil tabel 9 didapatkan lebih dari separoh yaitu sebanyak 4 (57,1 %) dari 44 orang responden yang mempunyai dukungan keluarga: dukungan emosional tidak mendukung, mengalami kemandirian ADL tergantung. Terdapat sebanyak 3 (42,9 %) dari 44 orang responden yang mempunyai dukungan keluarga: dukungan emosional tidak mendukung, mengalami kemandirian ADL. Terdapat sebanyak 6 (16,2 %) dari 44 orang responden yang mempunyai dukungan keluarga: dukungan emosional mendukung, mengalami kemandirian ADL tergantung. Terdapat sebanyak 31 (83,8 %) LPPM STIKes Perintis Padang dari 44 responden yang mempunyai dukungan keluarga: dukungan emosional mendukung, mengalami kemandirian ADL. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,037 artinya (p < 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara dukungan emosional dengan kemandirian ADL. Dari hasil analisis juga didapatkan OR=5,614, artinya dukungan emosional yang mendukung memiliki peluang sebanyak 5,614 kali untuk kemandirian ADL mandiri dibandingkan dengan dukungan emosional tidak mendukung. 144 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana 4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada tanggal 18-23 Juli 2016 di SLB Air Randah Wilayah Kerja Puskesmas Gadut Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2016 didapatkan kesimpulan sebagai berikut: Lebih dari separoh yaitu sebanyak 34 orang responden (77,3%) mempunyai dukungan informasional yang mendukung di SLB Air Randah Wilayah Kerja Puskesmas Gadut Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2016 , Lebih dari separoh yaitu sebanyak 37 orang responden (84,1%) mempunyai dukungan penilaian yang mendukung di SLB Air Randah Wilayah Kerja Puskesmas Gadut Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2016, Lebih dari separoh yaitu sebanyak 35 orang responden (79,5%) mempunyai dukungan instrumental yang mendukung di SLB Air Randah Wilayah Kerja Puskesmas Gadut Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2016, Lebih dari separoh yaitu sebanyak 37 orang responden (84,1%) mempunyai dukungan emosional yang mendukung di SLB Air Randah Wilayah Kerja Puskesmas Gadut Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2016, Lebih dari separoh yaitu sebanyak 34 orang responden (77,3%) mempunyai kemandirian ADL di SLB Air Randah Wilayah Kerja Puskesmas Gadut Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2016, Terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan informasional dengan kemandirian ADL dengan nilai P = 0, 032, Terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan penilaian dengan kemandirian ADL dengan nilai P = 0, 037, Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan instrumental dengan kemandirian ADL dengan nilai P = 0, 175, Ada hubungan yang bermakna antara dukungan emosional dengan kemandirian ADL dengan nilai P = 0, 037. 5. REFERENSI Alpers. (2014). Pediatri Rudolf Jakarta: EGC ISSN: 2548-3153 Latief, Nurmayanti. (2015). Upaya Memandirikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Melalui Pembelajaran Bina Diri. Pada http://nl26.blogspot.co.id diakses pada 21 April 2016 Suparyanto. (2011). Activity Daily Living. Padahttp://dokumen.tips/documents/konsepadl.html diakses pada 19 April 2016 Volume S1. Astati. (2010). Menuju Kemandirian Anak TunaGrahita.Pada http://bintangbangsaku.com diakses pada 16 april 2016 Febry, Yunanda Putra. (2012). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Tingkat Friedman, Marylin, dkk. (2014). Buku Ajar Keperawatan Keluarga, Riset, Teori & Praktik. Jakarta: EGC LPPM STIKes Perintis Padang 145 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 HUBUNGAN AKTIVITAS OLAH RAGA DENGAN KADAR PROTEIN URINE PADA MAHASISWA FAKULTAS OLAHRAGA UNIVERSITAS NEGERI PADANG Endang Suriani, SKM Program Study D III Technology Laboratorium Medic Email: [email protected] Abstract Protein in urine (proteinuria or Microalbuminuria) is an abnormal amount of protein found in urine specimens. Normal excretion of protein usually does not exceed 150 mg / 24 hr or 10 mg / dl of urine, more than it would otherwise proteinuria. some diseases or conditions that can allow proteins to pass the filters of the kidney that causes increased protein in urine. Besides increasing the amount of protein in the urine can usually be caused by physiological factors and pathologic factors. Physiological factor can occur due after strenuous physical activity such as sports, while pathological factors can be caused by an abnormal disorder or disease of the kidney or organ more. Has conducted a study entitled 'Examination of urine protein in the student Faculty sports Padang State University (UNP)'. This research is descriptive in order to determine whether an increase in protein in the urine in the student frequently exercise. This research was conducted in April 2016 in the Laboratory of Pathology STIKes Perintis Padang. Population and samples in this study were all students sport faculty drawn at random as many as 30 people checked Protein in urine specimens using a method of heating with acetic acid 6%. From the results, positive samples Protein urine is 20 peoples with a percentage of 66.7%, with positive urine protein one (+1) is 18 people at a presentation of 60% and a positive urine protein two (+2) is 2 peoples with percentage 6,7%, and the results of urine protein sample negative () is 10 people with a percentage of 33.3%. Keywords: Protein, Urine, Student Sport 1. PENDAHULUAN Urinalisis merupakan salah satu pemeriksaan laboratorium yang penting untuk menegakkan berbagai diagnosis. Banyak produk akhir metabolisme dan berbagai zat lainnya diekskresikan melalui urin. Pemeriksaan urinalisis selain memberikan indikasi kondisi ginjal sebagai organ ekskresi dan juga sebagai indikasi kondisi sistemik seseorang. Pemeriksaan urine rutin yang biasa disebut pemeriksaan penyaring” ialah beberapa macam pemeriksaan yang dianggap dasar bagi pemeriksaan selanjutnya dan yang menyertai pemeriksaan fisik tanpa pendapat khusus (R. Gandasoebrata, 2008). Pemeriksaan urine rutin adalah termasuk parameter jumlah urin, makrokopis urin, berat jenis, protein, glukosa, pemeriksaan sediment. Protein dalam urin (proteinuria atau mikroalbuminuria) adalah jumlah abnormal tinggi protein yang ditemukan dalam sampel urine. Normal ekskresi protein biasanya tidak melebihi 150 mg/24 jam atau 10 mg/dl urin. Lebih dari 10 mg/dl didefinisikan sebagai proteinuria (Davey, 2005). Ginjal merupakan penyaring produk produk makanan yang dibutuhkan oleh kita, termasuk protein. Namun, beberapa penyakit dan LPPM STIKes Perintis Padang kondisi dapat memungkinkan protein untuk melewati filter dari ginjal, menyebabkan meningkatnya protein dalam urine. Selain itu meningkatnya jumlah protein dalam urine biasanya dideteksi setelah melakukan aktivitas berat seperti olahraga, juga bisa ditemukan ketika kita sedang dalam keadaan sakit/tidak sehat. Pada Test urine (mikroalbumin) menjadi sebuah pertanda awal kerusakan ginjal diabetes. Protein memiliki beberapa fungsi yang berbeda, misalnya menyediakan struktur (ligamen, kuku, rambut), membantu pencernaan (enzim perut), membantu gerakan (otot), dan berperan dalam kemampuan kita untuk melihat (lensa mata kita adalah kristal protein murni) (Price, 2005a:867). Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti akan melakukan penelitian tentang Pemeriksaan Protein Dalam Urine Pada Mahasiswa/i Fakultas Olahraga Universitas Negeri Padang (UNP). 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Patologi STIKes Perintis Sumbar, Pada bulan Juni. Populasi pada penelitian ini Mahasiswa/I Fakultas OLahraga Universitas Negeri Padang 146 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 (UNP) dengan sampel 30 orang Mahasiswa/I yang diambil urinnya. Sebelumnya pemeriksaan protein urine, kita harus mensentrifuge urine, urine yang telah di sentrifuge masukan kedalam tabung reaksi 2/3, lalu panaskan sampai mendidih. Jika terjadi kekeruhan tambahkan asam asetat 2 – 3 tetes, lalu panaskan lagi sampai mendidih. Lihat hasilnya, jika kekeruhan hilang berarti hasil protein negative, jika kekeruhan masih ada berarti hasilnya positif. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan rumus Frekuensi yang diaanalisa secara deskriptif. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel: Hasil pemeriksaan Protein dalam urin pada mahasiswa/I Fakultas Olahraga Universitas Negeri Padang - +1 N =30 +2 +3 +4 Tidak Ada Kekeruhan 10 - - - 2 Kekeruhan sedikit (tanpa berbutir-butir) - 18 - 3 Kekeruhan jelas (berbutir) - - 4 Kekeruhan hebat (Berkepingkeping) - 5 Menggumpal Total No Jenis Kekeruhan 1 Jumlah % - 10 33,3% - - 18 60% 2 - - 2 6,7% - - - - - - - - - - - - - 10 18 2 - - 30 100% Pada tabel didapatkan hasil terhadap pemeriksaan protein urine Mahasiswa/i Fakultas Olahraga Universitas Negeri Padang (UNP) sebanyak 30 sampel spesimen urine, ditemukan 18 orang spesimen urinenya yang positif satu (+1) yaitu terbentuknya kekeruhan sedikit dengan presentase 60%, 2 orang spesimen urine positif dua (+2) yaitu terbentuknya kekeruhan jelas dengan presentase 6.7%, dan 10 orang spesimen urine didapatkan negative (-) dengan presentase 33.3%. Spesimen yang positif dikarenakan kerja jasmani dan olahraga yang terlalu berat. faktorfaktor lain yang mempengaruhi proteinuria, proteinuria postural, mengekskresikan protein LPPM STIKes Perintis Padang dalam jumlah yang normal atau sedikit meningka pada posisi terlentang. Pada posisi tegak, jumlah protein dalam urine dapat meningkat 10 kali atau lebih. Proteinurianya biasanya ditemukan pada analisis urine rutin, etiologinya belum diketahui. Proteinuria karena demam, proteinuria sementara ini dapat ditemukan pada penderita dengan demam lebih dari 38,3oC. Mekanisme proteinuria yang disertai demam tinggi belum diketahui. Proteinuria pada demam tinggi akan menghilang pada saat demam menurun. Behram Dkk (2000, h. 1826). Proteinuria juga dapat ditemukan dalam keadaan fisiologis yang jumlahnya kurang dari 147 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 200 mg/hari dan bersifat sementara. Pada keadaan demam tinggi, gagal jantung, latihan fisik yang kuat dapat mencapai lebih dari 1 gram/hari. Proteinuria fisiologis dapat terjadi pada masa remaja dan juga pasien iordotik (ortostatik proteinuria). Penyakit saluran kemih, infeksi, tumor, kalkuli,peningkatan produksi protein yang bisa disaring rantai panjang imunoglobulin (Protein Bonce Jones) pada mieloma, mioglobinura, hhemoglobinuria, trhombosis vena renalis adalah sebab sekaligus akibat proteinuria (Rubenstein, 2007). 4. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penilitian terhadap 30 spesimen urine Mahasiswa/i Fakultas Olahraga Universitas Negeri Padang (UNP) diambil kesimpulan : 1) Terdapat 20 orang spesimen urine yang positif (+) proteinuria. 2) Pemeriksaan proteinuria pada Mahasiswa/i fakultas Olahraga Universitas Negeri Padang (UNP) didapatkan positif satu (+1) sebanyak 18 orang dengan presentase 60%, positif dua (+2) sebanyak 2 orang dengan presentase 6,7%, dan urine dengan hasil negative (-) sebanyak 10 orang dengan presentase 33,3%. 5. DAFTAR PUSTAKA Anggraini, Silvia, 2015 . Membandingkan Hasil Pemeriksaan Protein Dalam Urine Melalui Metode Pemanasan Asam Asetat Dengan Metoda Cerik – Celup Pada Penderita Proteinuria (KTI). Baron.D.N, 1990. Kapita selekta Patologi Klinik. Buku Kedokteran EGC: Jakarta Bawazier, L.A . 2007 . Proteinuria Bawazier, L.A . 2009 . Ginjal Hipertensi Proteinuria Behrman, dkk . 2000. Ilmu Kesehtan Anak Nelson. Volume 3. Jakarta : ECG Gandasoerbata, R, 2007, Penuntun Laboratorium Klinik, Edisi %, Dian Rakyat :Jakarta Nezz, Jauri Gagal Kronik, Sumedang, 2010 Rubenstein D, 2007 . Kedokteran Klinis Edisi 6 . Jakarta Erlangga. LPPM STIKes Perintis Padang 148 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 PREVALENSI PENDERITA INFEKSI Ascaris lumbricoides PADA SISWA SDN 39 TANJUNG AUR LUBUK MINTURUN PADANG TAHUN 2016 Sri Indrayati dan Khairunisa D III Teknologi Laboratorium Medik STIKes Perintis 1 Email : [email protected] Abstract Ascaris lumbricoides is a type of intestinal nematode worm, Ascaris lumbricoides in Indonesia is known as roundworms that can cause disease with clinical symptoms such as: nausea, abdominal pain, diarrhea, indigestion, and anemia. Diseases caused by these worms called Ascariasis. This study entitled " PREVALENCE PATIENTS INFECTION Ascaris lumbricoides ON STUDENT SDN 39 TANJUNG AUR LUBUK MINTURUN PADANG YEAR 2016". The purpose of this study is determine the prevalence of Ascaris lumbricoides infection in students of SDN 39 Tanjung Aur Lubuk Minturun. This research is a survey directly. This research was conducted in June in Biomedical Laboratory STIKes Pioneer Padang with a population that is taken in this study were all students of SDN 39 Tanjung Aur Lubuk Minturun and samples of students in grade 1 to grade 3 as many as 30 samples, taken feces and do microscopic examination directly using eosin 2%. The research found 8 people (26.67%) were infected with Ascaris lumbricoides and 22 (73.33%) were not infected with Ascaris lumbricoides. Keywords : Prevalence, Ascaris lumbricoides, students SDN. I.PENDAHULUAN Di Indonesia, prevalensi Infeksi cacing usus Ascariasis ternyata masih cukup tinggi dimana diperkirakan bahwa lebih dari 60% anak-anak di Indonesia menderita suatu infeksi cacing. Hal ini disebabkan karena kesadaran anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih rendah (Rahardja, 2008). Anak usia Sekolah Dasar menjadi populasi terbesar pada penderita Ascariasis, dikarenakan pola hidup mereka yang kurang bersih dan aktifitas mereka yang banyak berhubungan dengan tanah menjadi erat hubungannya dengan prilaku hidup sehat. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi kecacingan ditunjukan oleh lancarnya proses daur hidup dan cara penularannya. Kondisi sanitasi lingkungan dan hygiene perorangan yang buruk serta keadaan sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah juga merupakan salah satu faktor kecacingan. Kondisi sanitasi lingkungan sangat erat hubungannya dengan infestasi cacing pada anak sekolah dasar. Hal ini dikarenakan sanitasi lingkungan yang tidak memadai dapat menjadi sumber penularan cacing pada tubuh manusia (Dachi, 2005). Infeksi cacing pada manusia dapat menimbulkan beberapa masalah khususnya pada anak SD antara lain: menurunkan daya tahan tubuh, meningkatnya secara tidak langsung penurunan nafsu makan pada anak-anak yang mengakibatkan kurangnya pemasukan gizi dalam LPPM STIKes Perintis Padang tubuh, sehingga gizi makin buruk, infeksi disertai muntah dan diare. Siswa yang terinfeksi akan kekurangan kadar hemoglobin dan akan berdampak terhadap kemampuan tubuh membawa oksigen ke berbagai jaringan tubuh, termasuk ke otak. Sekitar 20 ekor cacing Ascaris lumbricoides dewasa didalam usus manusia mampu mengkonsumsi hidrat arang sebanyak 2,8 gram dan 0,7 gram protein setiap hari. Dari hal tersebut dapat diperkirakan besarnya kerugian yang disebabkan oleh infeksi cacing dalam jumlah yang cukup banyak dapat mengakibatkan malnutrisi. Selain menyerang anak-anak, ternyata cacingan dapat juga menyerang orang tua atau golongan dewasa berusia di atas 20 tahun (Husada, 2006). Tingginya angka kecacingan ini dapat diturunkan dengan cara meningkatkan kesadaran akan hygiene pada pribadi siswa tersebut. 2. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah survey secara langsung menggunakan teknik pemeriksaan mikroskopis secara langsung dengan eosin 2%. Penelitian ini dilakukan di SDN 39 Tanjung Aur Lubuk Minturun dan di Laboratorium Biomedik STIKes Perintis Sumbar. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua siswa SDN 39 Tanjung Aur Lubuk Minturun. Sampel dari 149 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana penelitian ini adalah murid kelas 1 sampai kelas 3 di SDN 39 Tanjung Aur Lubuk Minturun yang diambil fesesnya. Alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu: mikroskop, objek glass, cover glass, lidi, dan botol. Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu : Aquadest, NaCl, eosin 2%, dan feces. Disiapkan objek glass sebanyak sampel yang tersedia. Tetesi masing-masing 1 tetes zat warna eosin 2% pada permukaan kaca objek, ambil seujung lidi atau sedikit feces, kemudian campurkan masing-masing tetesan zat warna, aduk sampai menjadi suspense yang rata dan tipis, tutup masing-masing suspense dengan deck glass, amati masing-masing apusan dibawah mikroskop dengan pembesaran 40 x 10 (Natadisastra, 2009). Hasil pemeriksaan pada feses telur cacing Ascaris lumbricoides disajikan dalam bentuk tabel yang dinyatakan dengan: Positif (+) = jika ditemukan telur cacing Ascaris lumbricoides Negative (-) = jika tidak ditemukan telur cacing Ascaris lumbricoides Dari data hasil pemeriksaan yang didapatkan diolah secara manual dan disajikan dalam bentuk tabel. F= x 100% 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari penelitian yang telah dilakukan terhadap 30 spesimen feces siswa SDN 39 Tanjung Aur Lubuk Minturun kota Padang di dapatkan hasil seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini: Tabel 3.1.Hasil Pemeriksaan Telur Cacing pada Feces Siswa SDN 39 Tanjung Aur Lubuk Minturun Kota Padang No Jenis Telur N=30 cacing (+) (-) Terinfeksi 1 Ascaris 8 lumbricoides Tidak terinfeksi 2 22 Ascaris lumbricoides. Total Presentase 26,67% 73,33% Keterangan: N : Jumlah Sampel (+) : Ditemukan nya telur cacing Ascaris lumbricoides LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 (-) : Tidak ditemukan nya cacing Ascaris lumbricoides Dari tabel diatas didapatkan dari 30 spesimen feses siswa SDN 39 Tanjung Aur Lubuk Minturun ditemukan 8 orang positif telur cacing Ascaris lumbricoides (26,67%), dan 22 orang didapatkan hasil negatif dari infeksi telur cacing Ascaris lumbricoides (73,33%). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan pemeriksaan telur cacing pada feses siswa SDN 39 Tanjung Aur Lubuk Minturun sebanyak 30 spesimen feses, didapatkan hasil 8 orang positif Ascaris lumbricaudes (26,67%). Tingginya angka kecacingan ascaris pada siswa SDN 39 Tanjung Aur Lubuk Minturun Padang disebabkan dari kebiasaan siswa yang kurang memperhatikan kebersihan diri pribadi mereka. Pada Umumnya siswa sering menghabiskan waktu istirahatnya dengan bermain dan sering kontak dengan tanah selain itu kebiasaan anak-anak pulang sekolah dengan melepas sepatu, bermain langsung ditanah dan kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah beraktivitas. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan terhadap anak-anak didaerah tersebut pada umumnya mereka sering bermain dengan tanah sehingga memungkinkan mereka terinfeksi oleh telur cacing melalui tangan ke mulut. Hal ini sesuai yang diungkapkan oleh Brown (1983) bahwa penularan telur cacing Ascaris lumbricoides dapat berlangsung dari tangan ke mulut. Hal ini dikatakan oleh Brown tahun 1983 bahwa Ascaris lumbricoides adalah parasit yang paling gampang hidup didaerah yang beriklim dingin maupun didaerah yang beriklim tropis, tapi cacing ini lebih umum hidup didaerah tropis dan juga banyak ditemukan pada tempat-tempat yang sanitasinya buruk. Natadisastra (2000) menambahkan Beberapa faktor lainnya yang menyebabkan siswa terinfeksi cacing diantaranya adalah sanitasi lingkungan yang kurang baik, hygiene pribadi anak-anak yang buruk, kebiasaan bermain ditanah yang telah terkontaminasi sebelumnya oleh feses mereka sendiri yang mengandung telur parasit ini. Penduduk yang heterogen baik tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, tingkat pekerjaan akan berpengaruh terhadap kesadaran akan hidup sehat dan kepedulian terhadap lingkungan terutama kesehatan lingkungan. Dari hasil penelitian 73,33% siswa terbebas dari cacing, dari keseluruhan mereka ada beberapa siswa yang pulang sekolah tidak melepas sepatu, tidak memiliki kuku panjang, sebelum makan 150 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana mencuci tangan dan sebagainya. Adanya kesadaran prilaku hidup sehat pada beberapa siswa SDN 39 Tanjung Aur Lubuk Minturun akan mencegah dari infeksi telur cacing Ascaris lumbricoides. Hal ini terbukti dari beberapa orang siswa yang telah disurvey yang peduli akan kebersihan diri mereka sehingga menunjukkan hasil negative yaitu bebas dari penyakit kecacingan. Tabel 3.2 Distribusi Infeksi cacing Ascaris lumbricoides Pada Tingkat Kelas siswa SDN 39 Tanjung Aur Lubuk Minturun Kota Padang Dari distribusi frekuensi infeksi cacing Ascaris lumbricoides menurut pembagian kelas terlihat bahwa pada kelas I terinfeksi sebanyak 3 orang NO KELAS SD JUMLAH PERSEN TERINFE TASE KSI 1 I 3 10% 2 II 4 13,33% 3 II 1 3,33% TOTAL 8 26,67% (10%), kelas II terinfeksi sebanyak 4 orang ISSN: 2548-3153 2. Persentase prevalensi Infeksi cacing Ascaris lumbricoides berdasarkan kelas, yang terbanyak terdapat pada kelas II yaitu 4 orang (13,33%). 5. REFERENSI Brown, 1988.Dasar Parasitologi Klinik, Edisi Ketiga, PT. Gramedia, Jakarta. Dachi, RA.2005.Hubungan Perilaku Anak Sekolah Dasar No.174593 Hatoguan Terhadap Infeksi Cacing Perut Di Kecamatan Palipi Kabupaten Samosir Medan. Husada, G. 2006. Parasitologi Kedokteran edisi ketiga, FKUI, Jakarta. Natadisastra, D. 2009. Jakarta .Parasitologi Kedokteran. Kedokteran. EGC, Jakarta. Rahardja, 2008.Parasitologi. USU, Medan Menurut pembagian kelas terlihat bahwa pada kelas I terinfeksi sebanyak 3 orang (10%), kelas II terinfeksi sebanyak 4 orang (13,33%), kemudian kelas III terinfeksi sebanyak 1 orang (3,33%). Tingginya angka infeksi pada murid kelas I dan II SD disebabkan karena masih kurangnya kesadaran akan pentingnya kebersihan pada beberapa siswa di kelas tersebut. Namun pada tingkat kelas III SD angka infeksi jauh menurun dari kelas sebelumnya. Dari hal ini tampak, siswa kelas III ini sudah mulai memperhatikan kebersihan diri seperti memotong kuku secara rutin, mencuci tangan setelah berakhtivitas, dan tidak lagi melepas sepatu saat jalan pulang sekolah. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian frekuensi infeksi cacing pada siswa SDN 39 Tanjung Aur Lubuk Minturun dapat disimpulkan sebagai barikut: 1. Persentase prevalensi infeksi cacing Ascaris lumbricoides pada siswa SDN 39Tanjung Aur Lubuk Minturun sebesar (26,67%) LPPM STIKes Perintis Padang 151 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 PERBANDINGAN KADAR HEMOGLOBIN PADA PRIA PEROKOK DAN TIDAK MEROKOK DENGAN METODE SIANMETHEMOGLOBIN Suraini1) ,Andri2) Program Studi D-IV Analis Kesehatan STIKes Perintis Padang email : [email protected] Abstract Smoking has a detrimental effect on health. One cigarette is burned emits about 400 chemicals in which 200 of them are toxic and some of them are tar, nicotine and carbon monoxide. Carbon monoxide hemoglobin desaturation raises, lowers the direct supply of oxygen to tissues throughout the body. Carbon monoxide replaces oxygen in hemoglobin, interfering with the release of oxygen, and accelerated atherosclerosis (calcification and thickening of blood vessel walls). Research was conducted to determine levels of hemoglobin (Hb) in men and male smokers not to smoke in the hospital Mukomuko of Bengkulu wear Sianmethemoglobin with the data analysis method using KolmogorofSmirnov test. Total sample comprised 40 male non-smokers, light smokers, moderate smokers and heavy smokers. The result showed the average Hb men do not smoke 14,3g / dL, the average Hb light smokers 14,1g / dL, the average Hb moderate smokers 14,4g / dL, and the mean Hb smokers weight 15.9 g / dL. Statistical test results Kolmogorof-Smirnov test using SPSS 16 p value = 0.2 Keywords: levels, hemoglobin, smokers, not smokers, 1. PENDAHULUAN Merokok adalah tindakan mengisap asap yang berasal dari pembakaran tembakau, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Banyak penyakit telah terbukti akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung. (Tendra H, 2003). Menurut WHO, kebiasaan merokok telah terbukti menimbulkan 25 jenis penyakit pada berbagai organ tubuh, seperti penyakit jantung koroner, kanker paru-paru, bronchitis kronis, emfisoma, penyakit pembuluh darah, perdarahan pembuluh darah otak, sampai kelainan kehamilan pada janin yang di kandung oleh ibu yang merokok. Dari sejumlah penyakit itu, kematian terbesar perokok disebabkan oleh kanker paru dan bronchitis kronik. Kebiasaan merokok pun merupakan penyebab kematian 10% penduduk dunia (Saktyowati, 2008). Rata- rata merokok yang dilakukan oleh kebanyakan laki-laki dipengaruhi oleh faktor psikologis meliputi rangsangan sosial, ritual masyarakat, menunjukkan kejantanan, mengalihkan diri dari kecemasan, kebanggaan diri. Selain faktor psikologis juga dipengaruhi oleh faktor fisiologis yaitu adiksi tubuh terhadap bahan yang dikandung rokok seperti nikotin atau juga disebut kecanduan terhadap nikotin (Mangku S., 1997). Karbonmonoksidamenggantikan tempat oksigen dihemoglobin, mengganggu pelepasan oksigen, dan mem-percepat aterosklerosis LPPM STIKes Perintis Padang (pengapuran dan penebalan dinding pembuluh darah). Dengan demikian karbonmonoksida menurunkan kapasitas, meningkatkan viskositas darah, mempermudah penggumpalan darah, sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar haemoglobin darah (Tendra H, 2003). Berdasarkan data dari WHO tahun 2002, Indonesia menduduki urutan ke 5 terbanyak dalam konsumsi rokok di dunia dan setiap tahunnya mengkonsumsi 2,5 miliar batang rokok. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2004 secara nasional dilaporkan bahwa penduduk 15 tahun ke atas yang mempunyai kebiasaan merokok tercatat sebanyak 34,44%, terdiri dari merokok setiap hari 28,35% dan kadang-kadang 6,09% (Setiaji, 2007). Lembaga Demografi UI mencatat, angka kematian akibat penyakit yang disebabkan rokok tahun 2004 adalah 427.948 jiwa, berarti 1.172 jiwa per hari atau sekitar 22,5% dari kematian total di Indonesia. Depkes RI (2004) mengatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara konsumen tembakau terbesar di dunia. Secara nasional, konsumsi rokok di Indonesia pada tahun 2002 berjumlah 182 milyar batang yang merupakan urutan ke-5 diantara 10 negara di dunia dengan konsumsi tertinggi pada tahun yang sama. Konsumsi rokok di Indonesia meningkat 7 kali lipat selama periode 1970-2000 dari 33 milyar batang pada tahun 1970 menjadi 217 milyar batang pada tahun 2000. Antara tahun 1970 dan 152 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana 1980 konsumsi meningkat sebesar 159%, yaitu dari 33 milyar batang menjadi 84 milyar batang. Antara tahun 1990 dan 2000 peningkatan lebih jauh sebesar 54% terjadi dalam konsumsi tembakau walaupun terjadi krisis ekonomi. Prevalensi merokok di kalangan dewasa meningkat menjadi 31,5% pada tahun 2001 dari 26,9% pada tahun 1995 (Depkes RI, 2003). Jumlah perokok di dunia akan terus bertambah terutama karena terjadi pertambahan jumlah populasi. Pada tahun 2030 akan ada sekitar 2 milyar orang di dunia dan jumlah perokok jugaakan meningkat (Mackay & Eriksen, 2002). Perokok pasif adalah asap rokok yang di hirup oleh seseorang yang tidak merokok (Pasive Smoker). Asap rokok lebih berbahaya terhadap perokok pasif daripada perokok aktif. Asap rokok yang dihembusan oleh perokok aktif dan terhirup oleh perokok pasif, lima kali lebih banyak mengandung karbon monoksida, empat kali lebih banyak mengandung tar dan nikotin (Wardoyo, 1996). Menurut (Bustan,M.N., 2000) rokok aktif adalah asap rokok yang berasal dari isapan perokok atau asap utama pada rokok yang dihisap (mainstream). Dari pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perokok aktif adalah orang yang merokok dan langsung menghisap rokok serta bisa mengakibatkan bahaya bagi kesehatan diri sendiri maupun lingkungan nya. Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Ia memiliki afinitas (daya abung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentukoxihemoglobindi dalam sel darah merah. Dengan melalui fungsi ini maka oksigen di bawa dari paru-paru ke jaringan-jaringan (Evelyn,2000). Kadar hemoglobin adalah ukuran pigmen respiratorik dalam butiran-butiran darah merah (Costill,1998). Jumlah hemoglobin dalam darah normal kira-kira 15 gram setiap 100 ml darah dan jumlah ini biasanya disebut “100 persen” (Evelyn, 2009). Batas normal nilai hemoglobin untuk seseorang sukar ditentukan karena kadar hemoglobin bervariasi diantara setiap suku bangsa. Hasil pemeriksaan kadar hemoglobin juga dapat dipengaruhi oleh peralatan pemeriksaan yang dipergunakan. Antara cara sahli yang sederhana dengancara yang lebih modern dengan alat fotometer tentu akan ada perbedaan hasil yang ditampilkan. Namun demikian WHO telah menetapkan batas kadar hemoglobin normal berdasarkan umur dan jenis kelamin (WHO dalam Arisman,2002). LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Hemoglobin juga berperan penting dalam mempertahankan bentuk sel darah yang bikonkaf, jika terjadi gangguan pada bentuk sel darah ini,maka keluwesan sel arah merah dalam melewati kapiler jadi kurang maksimal. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa kekurangan zat besi bisa mengakibatkan anemia. Jika nilainya kurang bisa dikatakan anemia, dan apabila nilainya kelebihan akan mengakibatkan polinemis (Evelyn, 2000). Hemoglobin di dalam darah membawa oksigen dari paru-paru keseluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida dari seluruh sel ke paru-paru untuk di keluarkan dari tubuh. (Sunita,2001). Menurut Depkes RI adapun manfaat hemoglobin antara lain :a) mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam jaringanjaringan tubuh.b) mengambil oksigen dari paruparu kemudian dibawa ke seluruh jaringanjaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar.c) membawa karbondioksida dari jarringanjaringan tubuh sebagai hasil meta-bolisme ke paru-paru untuk di buang. Beberapa faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin adalah :a) kecukupan besi dalam tubuh. Besi dibutuhkan untuk produksi hemoglobin, sehingga anemia gizi besi akan menyebabkan terbentuknya sel darah merah yang lebih kecil dan kandungan hemoglobin yang rendah. Besi juga merupakan mikronutrien essensil dalam memproduksi hemoglobin yang berfungsi mengantar oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh,untuk diekskresikan ke dalam udara perrnafasan, sitokrom, dan komponen lain pada sistem enzim pernafasan seperti sitokrom oksidase, katalase dan peroksidase. Besi berperan dalam sintesis hemoglobin dalam sel darah merah dan mioglobin dalam sel otot. Kandungan ± 0,004% berat tubuh (60-70%) terdapat dalam hemoglobin yang disimpan sebagai feritin di dalam hati,hemosiderin di dalam limfa dan sumsum tulang (Zarianis,2006). Kurang lebih 4% besi di dalam tubuh berada sebagai mioglobin dan senyawa-senyawa besi sebagai enzim oksidatif seperti sitokrom dan flavoprotein.Walaupun jumlahnya sangat kecil namun mempunyai peranan yang sangat penting. Mioglobin ikut dalam transportasi oksigen menerobos sel-sel membran masuk kedalam selsel otot, sitokrom, flavoprotein dan senyawasenyawa mitokondria yang mengan-dung besi lainnya, memegang peranan penting dalam proses oksidasi menghasilkan Adenosin Tri Phosphat (ATP) yang merupakan molekul berenergi tinggi. Sehingga apabila tubuh mengalami anemia gizi 153 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana besi maka terjadi penurunan kemampuan bekerja (WHO dalam Zarianis, 2006). b) metabolisme besi dalam tubuh. Besi yang terdapat di dalam tubuh orang dewasa sehat berjumlah lebih dari 4 gram. Besi tersebut berada di dalam sel-sel darah merah atau hemoglobin (lebih dari 2,5g), mioglobin (150mg), phorphyrin cytochrome, hati, limfa sumsum tulang (> 200-1500mg). Ada dua bagian besi dalam tubuh, yaitu bagian fungsional yang dipakai untuk keperluan metabolic dan bagian yang merupakan cadangan. Hemoglobin,mioglobin, sitokrom, serta enzim hemdan non hem adalahbentuk besi fungsional dan berjumlah antara 25-55 mg/kg berat badan.Sedangkan besi cadangan apabila dibutuhkan untuk fungsi-fungsifisiologis dan jumlahnya 5-25 mg/kg berat badan.Feritin dan hemosiderinadalah bentuk besi cadangan yang biasanya terdapat dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Metabolisme besi dalam tubuh terdiridari proses absorpsi, pengangkutan, pemanfaatan, penyimpanan dan pengeluaran (Zarianis, 2006). Terdapat berbagai cara untuk menetapkan kadar hemoglobin tetapi yang sering dikerjakan di laboratorium klinik adalah yang berdasarkan kolorimeterik visual yaitu cara Sahli dan fotoelektrik cara Sianmethemoglobin atau Hemiglobinsianida. Cara Sahli kurang baik, karena tidak semua macam hemoglobin diubah menjadi hematin asam misalnya karboksihemoglobin, methemoglobin dan sulfhemoglobin. Selain itu alat yang digunakan untuk pemeriksaan hemoglobin cara Sahli tidak dapat distandarkan, sehingga ketelitian yang didapat dicapai hanya ±10% (Fransisca D.K.,2010). Cara sianmethemoglobin adalah cara yang dianjurkan untuk penetapan kadar hemoglobin di laboratorium karena larutan standar sianmethemoglobin sifatnya stabil, mudah diperoleh dan pada cara ini hampir semua hemoglobin terukur kecuali sulfhemoglobin. Pada cara ini ketelitian yang dapat dicapai ± 2% (Darma, 2008). Seiring berkembangnya teknologi alat kesehatan yang semakin canggih selain kedua cara pemeriksaan tersebut, kini telah banyak digunakan pemeriksaan darah lengkap dengan menggunakan alat otomatik yang di kenal dengan nama hematology alyser. Berhubung ketelitian masingmasing cara berbeda, untuk penilaian hasil sebaiknya diketahui cara mana yang dipakai. Nilai rujukan kadar hemoglobin tergantung dari umur dan jenis kelamin. Perempuan hamil terjadi hemodilusi sehingga batas terendah nilai rujukan ditentukan 10 g/dl.(Darma, 2008). LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang diangkat penulis untuk diteliti dan dibahas adalah apakah ada perbandingan Kadar Hemoglobin pada pria perokok dan pria tidak merokok dengan Metode Sianmethemoglobin. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan kadar hemoglobin pada pria perokok dan tidak perokok dengan metode sianmethemoglobin. 2. METODE PENELITIAN a. Jenis penelitian Jenis penelitian ini deskriptif. Kadar Hemoglobin pada pria perokok dan tidak perokok diperiksa dengan metode Sianmethemoglobin. b. Tempat Penelitian. Penelitian ini dilakukan di RSUD Mukomuko Bengkulu. Populasi dan Sampel. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua pria tidak merokok dan pria perokok dan yang bekerja di RSUD Mukomuko. Sampel yang diambil dalam penelitian ini berjumlah 40 orang yang terdiri dari 10 orang pria tidak merokok, 10 orang perokok ringan (<10 batang/hari), 10 orang perokok sedang (11-20 batang/hari) dan 10 orang. perokok berat (21-30 batang/hari). Alat dan bahan Alat: Fotometer, mikropipet, tissue, tabung reaksi, rak tabung. Bahan : lancet, kapas alkohol 70%, larutan drabkin, aquadest dan darah kapiler. c. Cara Pengambilan Darah Kapiler Darah yang di pakai untuk pemeriksaan adalah darah kapiler. Cara pengambilan darah menurut Soebrata (1992) adalah sebagai berikut : tempat yang akan di ambil darahnya didesintifikasi terlebih dahulu dengan kapas alkohol 70 % dan biarkan sampai kering. Peganglah bagian yang akan ditusuk supaya tidak bergerak dan tekan sedikit supaya rasa nyeri kurang, tusuklah dengan cepat memakai lancet steril. Pada jari tusuklah dengan arah tegak lurus pada garis-garis sidik kulit jari. Tusukkan harus cukup dalam supaya darah mudah keluar. Buanglah tetes darah yang pertama keluar dengan memakai segumpal kapas kering. Tetes darah yang berikutnya dipakai untuk pemeriksaan. d. Prosedur Pemeriksaan Hb Prinsip: Darah dimasukan kedalam larutan yang mengandung Kalium Sianida dan Kalium Ferrisianida kemudian hemoglobin menjadi methemolobin yang berikatan dengan Kalium 154 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Sianida yang membentuk pigmen yang stabil Sianmethemoglobin. Intensitas warna yang terbentuk diukur dengan fotometer dengan panjang gelombang 540 nm. Pemeriksaan Kadar Hemoglobin Secara Sianmethemoglobin: Persiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Dipipet 1000 μL larutan Drabkin, masukan dalam tabung hemoglobin. Kemudian dipipet darah sebanyak 10 μL, dengan menggunakan pipet hemoglobin. Dikocok hingga homogen dan biarkan selama 5 menit pada suhu kamar, dan persiapkan juga untuk blanko pemeriksaan. Dibaca pada fotometer dengan panjang gelombang 540 nm. e. Pengolahan Data. Diasumsikan bahwa keempat kelompok memiliki varian yang sama sehingga untuk menganalisa data di gunakan uji Kolmogorof-Smirnov. 3. HASIL Dari penelitian yang telah dilakukan maka didapatkan hasil sebagai berikut: Tabel 1: Hasil pemeriksaan kadar hemoglobin pada pria tidak merokok No Kode Umur Hemoglobin Sampel (th) (g/ dL) KN 38 14.2 1 AF 42 15.6 2 RD 34 13.2 3 ST 45 13.8 4 FD 37 14.6 5 NS 28 13.8 6 TM 35 14.6 7 CN 50 15.2 8 DV 32 14.0 9 HV 40 14.6 10 Jumlah 143.6 Rata – rata 14.3 Pada tabel diatas pada pria tidak perokok, kadar hemoglobin terendah adalah 13.2 g/ dL dan kadar hemoglobin tertinggi adalah 15.6 g/ dL dengan rata-rata 14,3 g/dL. Setelah di uji dengan statistik menggunakan rumus KolmogorofSmirnov SPSS 16 didapat nilai p=0,2 Tabel 2: Hasil pemeriksaan kadar hemoglobin pada pria perokok ringan No Kode Umur Hemoglobin Sampel (th) (g/ dL) DP 30 13.8 1 RP 38 14.6 2 BY 43 15.7 3 RK 32 13.6 4 LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 EK 26 12.8 AL 34 14.2 AN 31 13.8 AP 52 14.3 AG 35 15.0 PN 42 13.7 Jumlah 141.5 Rata – rata 14.1 Dari tabel diatas pada pria perokok ringan, kadar hemoglobin terendah 12.8 g/ dL dan kadar hemoglobin tertinggi adalah 15.7 g/ dL dengan rata-rata 14,1 g/dL. Setelah di uji dengan statistik menggunakan rumus KolmogorofSmirnov SPSS 16 didapat nilai p=0,2 5 6 7 8 9 10 Tabel 3 : Hasil pemeriksaan kadar hemoglobin pada pria perokok sedang No Kode Umur Hemoglobin Sampel (th) (g/ dL) UW 36 13.2 1 WW 27 14.6 2 HZ 29 13.8 3 TN 40 14.6 4 RD 32 16.6 5 AR 45 14.2 6 MT 34 15.2 7 PD 28 13.6 8 JK 29 13.7 9 AY 42 14.8 10 Jumlah 144.3 Rata – rata 14.4 Dari tabel diatas pada pria perokok sedang, kadar hemoglobin terendah adalah 13.2 g/ dL dan kadar hemoglobin tertinggi adalah 16.6 g/dL dengan rata-rata 14,4g/dL. Setelah di uji dengan statistik menggunakan rumus Kolmogorof-Smirnov SPSS 16 didapat nilai p=0,2 Tabel 4: Hasil pemeriksaan kadar hemoglobin pada pria perokok berat. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kode Sampel ZR AZ RW AD HF RL HD HP DW NZ Umur (th) 48 32 43 35 30 42 36 33 42 38 Hemoglobin (g/ dL) 15.2 14.7 16.6 17.2 15.6 14.7 16.0 17.2 15.6 17.0 155 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Jumlah Rata – rata 159.8 15.9 5. Dari tabel diatas pada pria perokok berat, kadar hemoglobin terendah adalah 14.7 g/ dL dan kadar hemoglobin tertinggi adalah 17.2 g/ dL dengan rata-rata 15,9 g/dL. Setelah di uji dengan statistik menggunakan rumus KolmogorofSmirnov SPSS 16 didapat nilai p=0,2 Berdasarkan hasil uji statistik memakai rumus Kolmogorof-Smirnov kadar Hb antara pria tidak merokok, perokok ringan, perokok sedang dan perokok berat didapatkan nilai p=2 yaitu >0,5 yang berarti tidak terdapat perbedaan yang bermakna kadar hemoglobin antara pria tidak merokok, perokok ringan,perokok sedang dan perokok berat. Hasil penelitian ini terdapat perbedaan dengan hasil penelitian Makawekes dkk, 2016 yang melakukan penelitian terhadap mahasiswa semester tujuh fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 60 orang, dimana hasil penelitiannya didapatkan perbedaan yang bermakna kadar hemoglobin antara mahasiswa perokok dan bukan perokok dengan nilai hitung sebesar 0.021. Terdapatnya perbedaan hasil ini diduga karena pada penelitian ini jumlah sampel yang digunakan lebih sedikit. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. ISSN: 2548-3153 Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Jakarta Depkes RI, 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta. Evelyn CP, 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta. Gramedia. Mangku, S., 1997. Usaha Mencegah Bahaya Merokok. Jakarta:Gramedia. Saktyowati Oky Dian. 2008.Bahaya RokokArya Duta, Depok. Sunita. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Cetakan keempat. PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta Tendra, Hans. 2003. Tembakau dan Produknya. Bandung: PT.Rineka Cipta. Wardoyo, 1996. Pencegahan Penyakit Jantung Koroner. Solo: Toko Buku Agency. Zarianis, 2006. Efek Suplementasi Besi Vitamin C dan Vitamin C terhadap Kadar Hemoglobin Anak Sekolah Dasar yang Anemia Di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak.Tesis Program Magister Gizi Masyarakat Universitas Diponegoro. 4. KESIMPULAN 1. Rata-rata kadar hemoglobin pada pria tidak merokok adalah 14,3 gr/dL 2. Rata-rata kadar hemoglobin pada pria perokok ringan adalah 14,1 gr/dL 3. Rata-rata kadar hemoglobin pada pria perokok sedang adalah 14,4gr/dL 4. Rata-rata kadar hemoglobin pada pria perokok berat adalah 15,9 gr/dL 5. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar hemoglobin pria tidak merokok, perokok ringan, perokok sedang dan perokok berat. 5. REFERENSI 1. Arisman. 2002. Gizi dalam Daur Kehidupan. EGC. Jakarta. 2. Arisman, 2006. Gizi dalam daur Kehidupan Buku Ajar Ilmu Gizi.Buku Kedokteran UGC.Jakarta. 3. Bustan, M.N., 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. PT Rineka. Cipta, Jakarta. 4. Depkes RI, 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan. LPPM STIKes Perintis Padang 156 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 FAKTOR RISIKO KEJADIAN HIPERKOLESTEROLEMIA PADA PENDERITA PENYAKIT JANTUNG KORONER (Studi Kasus di Poliklinik Jantung RSUP dr. M. Djamil Padang) Widia Dara dan Juliana Tanjung Program Studi Gizi STIKES Perintis Padang Email : [email protected] Abstract This study was conducted to determine the risk factors of hypercholesterolemia in patients with coronary heart disease. The study was a case control study with the number of respondents 90 people. A total of 45 respondents heart disease patients with hypercholesterolemia and the condition of 45 respondents who suffer from heart disease but not hypercholesterolemia. Data were collected from January to February 2016 in the hospital Dr.M. Djamil Padang. Cholesterol measurement based on the results of laboratory analysis of blood serum respondents. Data retrieval intake of saturated fat, unsaturated and fiber with an interview with Food Frequency Quesiner tools (FFQ). Variable nutrition knowledge taken from interviews using questionnaires. Physical activity is categorized according to WHO standards. Analyses were performed with a frequency distribution and bivariate statistical tests chi-square and odds ratio. The research found that more than half of respondents (60%) in case group (60%) of physical activity light, intake of unsaturated fats 64.4% is not good, the consumption of saturated fat 53.3% is not good, and fiber intake 71.1% less, and 68.9% knowledge undernutrition. In the control group patients with coronary heart disease hypercholesterolemia do not have the intake of unsaturated fat 55.5% excellent, 71% good saturated fats, and fiber 88.9% good and 80% moderate physical activity. All variables were analyzed contained a risk factor for the incidence of hypercholesterolemia that is with physical activity (OR = 6.00), no saturated fat intake (OR = 1.44), saturated fat (OR = 2.36), and fiber intake (OR = 2.05), as well as nutritional knowledge (OR = 2.43). Keywords: hypercholesterolemia, physical activity, intake of unsaturated fat, saturated fat, fiber. 1. PENDAHULUAN Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskular saat ini merupakan salah satu penyebab utama dan pertama kematian di negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia. Pada tahun 2010, secara global penyakit ini menjadi penyebab kematian pertama di negara berkembang, menggantikan kematian akibat infeksi. Diperkirakan, PJK pada tahun 2020 menjadi pembunuh pertama tersering yakni sebesar 36% dari seluruh kematian, angka ini dua kali lebih tinggi dari angka kematian diseluruh dunia akibat kanker. PJK (yang dikelompokkan menjadi penyakit sistem sirkulasi) merupakan penyebab utama dan pertama dari seluruh kematian, yakni sebesar 26,4%, angka ini empat kali lebih tinggi dari angka kematian yang disebabkan oleh kanker (6%) di Indonesia. Dengan kata lain, lebih kurang satu diantara empat orang yang meninggal di Indonesia adalah akibat PJK. Berbagai faktor risiko mempunyai peran penting timbulnya PJK mulai dari aspek metabolik, hemostasis, imunologi, infeksi, dan banyak faktor lain yang saling terkait (Depkes, 2006). LPPM STIKes Perintis Padang Prevalensi hiperkolesterolemia pada pasien dengan penyakit jantung koroner meningkat dari tahun 2009 (13,5%) ke tahun 2010(19,2%). Dalam hal ini diharapkan perlu dilakukan pengendalian kadar kolesterol yaitu meliputi usaha mengubah pola hidup dan medika mentosa agar tidak jatuh pada penyakit jantung koroner (Prilia, 2011). Penyebab utama meningkatnya kadar kolesterol di dalam darah adalah seringnya mengonsumsi makanan tinggi lemak jenuh atau mengandung kolesterol tinggi. Hal ini di dukung oleh penelitian epidiomologik yang menunjukkan bahwa rendahnya asupan makanan yang berlemak tinggi dapat mengurangi resiko terjadinya hiperkolesterolemia (Bernstein, et al., 2010; Devore, et al., 2009; Sulastri, et al ., 2005). Hiperkolesterolemia juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik yang dilakukan oleh seseorang (Roger, et al., 2011; Rana, et al., 2011; Arsenault, et al., 2011). Aktivitas fisik adalah gerakan tubuh oleh otot rangka yang menghasilkan energi. Selain pola konsumsi dan aktivitas fisik yang dapat mempengaruhi kadar kolesterol dalam darah, 157 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana pengetahuan gizi juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembentukan kebiasaan makan seseorang. Kesalahan dalam memilih makanan dan kurang cukupnya pengetahuan tentang gizi akan mengakibatkan timbulnya masalah gizi yang akhirnya mempengaruhi status gizi. Status gizi yang baik hanya dapat tercapai dengan pola makan yang baik, yaitu pola makan yang didasarkan atas prinsip menu seimbang, alami dan sehat (Sediaoetama,2006). Penderita penyakit jantung koroner dengan diagnosa Arterisclerotic Heart Disease (ASHD) yang dihitung pada trimester terakhir (Bulan April, Mei dan Juni) di Poli Klinik Jantung RSUP Dr. M.Djamil Padang Tahun 2015 yaitu sebanyak 786 orang dan 60-75% diantaranya dengan hiperkolesterolemia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Faktor Risiko Kejadian Hiperkolesterolemia Pada Penderita Penyakit Jantung Koroner DiPoli Klinik Jantung RSUP Dr.M.Djamil Padang Tahun 2016. 2. METODE PENELITIAN Jenis penelitian adalah observasional yang bersifat analitik yaitu membandingkan distribusi kejadian hiperkolesterolemia pada penderita Penyakit Jantung Koroner antara kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan menggunakan desain penelitian case control. Penelitian dilakukan pada Bulan Januari sampai dengan Bulan Februari Tahun 2016 di Poli Klinik Jantung RSUP Dr.M. Djamil Padang. Sampel dihitung berdasarkan rumus (Lemeshow, 1997). Besaran sampel sebanyak 45 orang kasus. Dengan jumlah yang sama ditentukan sampel control sebesar 45 orang. Kelompok kasus adalah semua penderita hiperkolesterolemia pada pasien PJK yang berumur 30-75 Tahun di Poli klinik Jantung RSUP Dr.M.Djamil Padang. Kelompok kasus didapatkan berdasarkan rumus dengan jumlah sampel kasus 45 orang dengan kriteria sampel yaitu pasien yang berkunjung saat waktu penelitian dan memiliki hasil pemeriksaan labor kolesterol total diatas 200 mg/dl . Pengambilan sampel kontrol diambil dari pasien Penyakit jantung koroner yang tidak menderita hiperkolesterolemia (kolesterol total < 200 mg/dl) di RSUP.M.Djamil Padang , dimana jumlah sampel kontrol sama dengan jumlah kasus. Data yang dikumpulkan berupa identitas, aktivitas fisik, pola konsumsi, dan tingkat pengetahuan gizi responden. Cara mendapatkan data primer tersebut, baik kasus maupun kontrol yaitu dengan cara melakukan wawancara, dan LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 dipandu dengan kuesioner. Tanya jawab yang dilakukan oleh peneliti dan dibantu oleh 1 orang tenaga gizi tamatan Diploma Gizi. Data asupan lemak jenuh dan tak jenuh serta serat dikumpulkan melalui food frequency quantitative (FFQ). Alat bantu yang digunakan untuk memperoleh data primer kuesioner dan food model. Kadar kolesterol digolongkan menjadi 2 kategori yaitu kadar kolesterol baik adalah total kolesterol kecil sama dari 200 mg/dl dan kadar kolesterol totak tinggi adalah total kolesterol besar dari 200 mg/dl. Varibel aktivitas fisik dibagi menjadi 2 kategori yaitu aktivitas fisik ringan sedang (WHO). Variabel konsumsi lemak, baik lemak jenuh (Saturated Fatty Acid / SFA) maupun lemak tak jenuh (Mono Unsaturated Fatty Acid/ MUFA) diukur berdasarkan persentasi total energy. Varibel pengetahuan gizi didapat dari analisis jawaban responden yaitu jawaban responden besar sama dari 80 % benar dikategorikan baikSedangkan jawaban reponden kecil dari 80% dikategorikan pengetahuan gizi kurang Hasil pengolahan data disajikan dalam bentuk distribusi. Analisis ini dilakukan untuk memperoleh gambaran masing-masing variable, disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan diinterprestasikan. Analisis data dilakukan dengan uji chi-square untuk mengetahui hubungan antara variable dependen dan independen.Uji ini dengan syarat skala ordinal. Analisis data dilakukan dengan komputerisasi menggunakan program SPSS 17.0. Uji statistic yang digunakan adalah Chi-Square . Bila p-value < 0,05 menunjukan bahwa ada hubungan yang bermakna antara variable independen dengan variable dependen. Dan dilanjutkan dengan penetapan risiko relative yang dihitung secara tidak langsung dengan menggunakan odds ratio. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Rumah Sakit DR. M. Djamil Padang merupakan Rumah Sakit tipe A dan pendidikan calon dokter, dokter spesialis dan sub spesialis serta tenaga kesehatan lainnya seperti Akademi Perawat dan Akademi-Akademi kesehatan lainnya. Gambaran Umum Responden Penelitian dilakukan terhadap pasien rawat jalan yang berkunjung ke Poliklinik Jantung RSUP Dr. M.Djamil Padang. Distribusi frekuensi aktivitas fisik pada pasien PJK di Poliklinik 158 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Jantung RSUP DR. M.Djamil Padang Tahun 2016 dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Aktivitas Fisik Responden Kasus Kontrol Aktifitas Fisik n % n % Ringan 27 60 9 20 Sedang 18 40 36 80 Jumlah 45 100 45 100 Tabel 2. Distribusi Frekuensi Konsumsi Lemak Tidak Jenuh Responden Kasus Kontrol n % n % Baik 16 35.6 25 55.5 Tidak Baik 29 64.4 20 44.4 Jumlah 45 100 45 100 Dari tabel 2 dapat dilihat lebih dari separuh responden pada kelompok kasus 29 (64.4%) konsumsi lemak tidak jenuh secara tidak baik. Pada kelompok kontrol lebih dari separuh 25 (55.5%) responden mengkonsumsi lemak tidak jenuh dengan baik. Distribusi frekuensi konsumsi lemak jenuh pada pasien PJK di Poliklinik Jantung RSUP DR. M.Djamil Padang Tahun 2016 dapat dilihat pada tabel 3 Tabel 3. Distribusi Frekuensi Konsumsi Lemak Jenuh Responden Lemak Jenuh Kasus Kontrol n % n % Baik 21 46.7 32 71.1 Tidak Baik 24 53.3 13 28.9 Jumlah 45 100 45 100 LPPM STIKes Perintis Padang Dari tabel 3 dapat dilihat sebagian besar responden pada kelompok kasus 24 (53.3%) menkonsumsi lemak jenuh secara tidak baik. Pada kelompok kontrol lebih dari separuh 32 (71.1%) menkonsumsi lemak jenuh secara baik. Distribusi frekuensi konsumsi serat pada pasien PJK di Poliklinik Jantung RSUP DR. M.Djamil Padang Tahun 2016 dapat dilihat pada tabel 4 Tabel 4. Distribusi Frekuensi Konsumsi Serat Responden Dari tabel 1 dapat dilihat lebih dari separuh responden pada kelompok kasus 27 (60%) aktifitas fisiknya ringan. Pada kelompok kontrol lebih dari separuh 36 (80%) responden aktifitas fisiknya sedang. Lemak Tidak Jenuh ISSN: 2548-3153 Konsumsi Serat n Kasus Kontrol % n % Baik 13 28.9 40 88.9 Kurang 32 71.1 5 11.1 Jumlah 45 100 45 100 Dari tabel 4 dapat dilihat lebih dari separuh responden pada kelompok kasus 32 (71.1%) mengkonsumsi serat kurang. Pada kelompok kontrol lebih dari separuh 40 (88.9%) responden mengkonsumsi serat dengan baik. Distribusi frekuensi pengetahuan gizi pada pasien PJK di Poliklinik Jantung RSUP DR. M.Djamil Padang Tahun 2016 dapat dilihat pada tabel 5 Tabel 5. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Gizi Responden Pengetahuan Gizi Kasus Kontrol n % n % Baik 14 31.1 23 51.1 kurang 31 68.9 22 48.9 Jumlah 45 100 41 100 Dari tabel 5 dapat dilihat lebih dari separuh responden pada kelompok kasus 31 (68.9%) responden memiliki pengetahuan gizi kurang. Pada kelompok kontrol lebih dari separuh 23 (51.1%) responden memiliki pengetahuan gizinya baik. Hasil analisis bivariat terhadap variabel-variabel yang menjadi faktor risiko hiperkolesterolemia pada penderita PJK di Poliklinik Jantung RSUP DR.M.Djamil Padang Tahun 2016 dapat dilihat pada tabel 6 159 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Tabel 6. Korelasi Faktor Risiko Terhadap Kejadian Hiperkolesterolemia Pada Penderita PJK Di Poliklinik Jantung RSUP.DR.M.Djamil Padang Tahun 2016 No Faktor Risiko OR 95% (CI) p - Value 1 Aktivitas Fisik 6.000 2.337-15.406 0.000 2 1.441 1.189-2.030 0.047 3 Konsumsi Lemak Tidak Jenuh Konsumsi Lemak Jenuh 2.355 1.149-2.849 0.018 4 Konsumsi Serat 2.051 1.016-2.157 0.000 5 Pengetahuan Gizi 2.432 1.183-2.021 0.044 Gambaran Aktifitas Fisik Hasil uji statistik aktivitas fisik responden didapatkan nilai p 0.000 < 0.05 artinya aktivitas fisik merupakan faktor risiko kejadian Hiperkolesterolemia. Nilai OR=6.000 maka dapat disimpulkan responden dengan aktifitas fisik ringan memiliki risiko 6.0 kali mengalami hiperkolesterolemia dibandingkan responden yang aktifitasnya sedang. Hasil penelitian didapatkan lebih dari separuh responden pada kelompok kasus 27 (60%) aktifitas fisiknya ringan. Pada kelompok kontrol lebih dari separuh 36 (80%) responden aktifitas fisiknya sedang. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan Krisnawaty (2013) tentang Risiko Hiperkolesterolemia pada Pekerja di Kawasan Industri yang mendapatkan hasil lebih dari separuh (58%) responden dengan aktivitas fisik ringan pada kelompok kasus. Menurut Farizati (2002 aktifitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang membutuhkan energi untuk mengerjakannya, seperti berjalan, menari, mengasuh cucu, dan lain sebagainya. Aktifitas fisik yang terencana dan terstruktur, yang melibatkan gerakan tubuh berulang-ulang serta ditujukan untuk meningkatkan kebugaran jasmani disebut olahraga. Hasil penelitian dapat disimpulkan banyaknya pasien dengan aktivitas fisik ringan menjadi salah satu penyebab tingginya kejadian Hiperkolesterolemia pada kelompok kasus. Pasien dengan aktivitas fisik ringan banyak mengalami Hiperkolesterolemia karena tidak mendapatkan manfaat dari olahraga seperti menyehatkan jantung,otot, dan tulang, membuat pasien lebih mandiri, mencegah obesitas, mengurangi LPPM STIKes Perintis Padang kecemasan dan depresi, dan kepercayaan diri yang lebih tinggi. memperoleh Gambaran Konsumsi Lemak Tidak Jenuh Dari tabel 6 dapat dilihat hasil uji statistik responden berdasarkan konsumsi lemak tidak jenuh secara tidak baik memiliki nilai p 0.047 < 0.05 artinya konsumsi lemak tidak jenuh secara tidak baik merupakan faktor risiko kejadian hiperkolesterolemia. Nilai OR=1.4 maka dapat disimpulkan responden yang mengkonsumsi lemak tidak jenuh secara tidak baik memiliki risiko hiperkolesterolemia sebesar 1.4 kali dibandingkan responden yang mengkonsumsi lemak tidak jenuh secara baik. Artinya responden yang mengkonsumsi lemak tidak jenuh secara baik dapat menekan risiko kejadian hiperkolesterolemia sebesar 1.4 kali. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok kasus lebih dari separuh responden yaitu 29 (64.4%) responden mengkonsumsi lemak tidak jenuh secara tidak baik. Sedangkan pada kelompok kontrol lebih dari separuh 25 (55.5%) responden mengkonsumsi lemak tidak jenuh secara baik. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan Krisnawaty (2013) tentang Risiko Hiperkolesterolemia pada Pekerja di Kawasan Industri yang mendapatkan hasil lebih dari separuh (65%) responden dengan asupan lemak tidak jenuh tidak baik pada kelompok kasus hiperkolesterolemia. Hasil penelitian Sobary (2014) Tentang Hubungan Asupan Asam Lemak Jenuh Dan Tak Jenuh Dengan Kadar Kolesterol HDL Pada Pasien Penyakit Jantung Koroner di RSUD dr. Moewardi mendapatkan hasil asupan asam lemak tak jenuh 160 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana responden penelitian sebagian besar termasuk dalam kategori baik sebesar 75% dan asupan asam lemak tak jenuh yang termasuk dalam kategori tidak baik sebesar 25%. Asam Lemak tak jenuh tunggal (Mono Unsaturated Fatty Acid/ MUFA) merupakan jenis asam lemak yang mempunyai 1 (satu) ikatan rangkap pada rantai atom karbon. Asam lemak ini tergolong dalam asam lemak rantai panjang (LCFA), yang kebanyakan ditemukan dalam minyak zaitun, minyak kedelai, minyak kacang tanah, minyak biji kapas, dan kanola. Minyak zaitun adalah salah satu contoh yang mengandung MUFA. Secara umum, lemak tak jenuh tunggal berpengaruh menguntungkan kadar kolesterol dalam darah, terutama bila digunakan sebagai pengganti asam lemak jenuh. Asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) lebih efektif menurunkan kadar kolesterol darah, daripada asam lemak tak jenuh jamak (PUFA), sehingga asam oleat lebih populer dimanfaatkan untuk formulasi makanan olahan menjadi populer Menurut hasil peneliti kurangnya responden yang mengkonsumsi asupan lemak tidak jenuh menjadi salah satu penyebab tingginya kadar kolesterol karena lemak tidak jenuh berpengaruh menguntungkan terhadap kadar kolesterol darah. Gambaran Konsumsi Lemak Jenuh Dari tabel 6 dapat dilihat uji statistik responden dengan konsumsi lemak jenuh memliki nilai p 0.018 < 0.05 artinya lemak jenuh merupakan faktor risiko kejadian Hiperkolesterolemia. Nilai OR=2.4 maka dapat disimpulkan responden yang mengkonsumsi lemak jenuh secara tidak baik memiliki risiko 2.4 kali mengalami hiperkolesterolemia dibandingkan responden yang mengkonsumsi lemak jenuh secara baik. Artinya konsumsi lemak jenuh berlebih dapat berisiko terhadap kejadian hiperkolestero-lemia. Dari hasil penelitian didapatkan pada kelompok kasus sebagian besar responden yaitu 24 (53.3%) responden mengkonsumsi lemak jenuh secara tidak baik. Dan pada kelompok kontrol lebih dari separuh responden yaitu 32 (71.1%) responden mengkonsumsi lemakjenuh secara baik baik. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan Krisnawaty (2013) tentang Risiko Hiperkolesterolemia pada Pekerja di Kawasan Industri yang mendapatkan hasil lebih dari separuh (63%) responden dengan asupan lemak jenuh tidak baik pada kelompok kasus. LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Hasil penelitian oleh Sobary (2014) Tentang Hubungan Asupan Asam Lemak Jenuh Dan Tak Jenuh Dengan Kadar Kolesterol HDL Pada Pasien Penyakit Jantung Koroner di RSUD dr. Moewardi mendapatkan hasil kadar kolesterol HDL normal terlihat bahwa asupan asam lemak jenuh baik lebih besar (37.5%), dibandingkan dengan asupan asam lemak jenuh tidak baik (2.77%). Tidak demikian pada responden penelitian dengan kadar kolesterol HDL tidak normal terlihat bahwa asupan asam lemak jenuh tidak baik lebih besar (97.22%), dibandingkan asupan asam lemak jenuh baik (62.5%). Asupan lemak, terutama lemak jenuh yang berlebih dapat meningkatkan kadar kolesterol. Kadar kolesterol yang tinggi akan meningkatkan resiko terjadinya pengerasan pembuluh nadi sehingga mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah ke otak (Sibagariang, 2010). Berdasarkan penelitian banyaknya responden yang mengkonsumsi asupan lemak jenuh dikarenakan faktor kebiasaan masyarakat Sumatera Barat pada umumnya masakan sehari – hari banyak mengandung lemak seperti rendang, gulai yang banyak mengandung santan. Gambaran Konsumsi Serat Dari tabel 6 dapat dilihat uji statistik responden dengan konsumsi serat kurang memiliki nilai p 0.000 < 0.05 artinya konsumsi serat kurang merupakan faktor risiko kejadian Hiperkolesterolemia. Nilai OR = 2.1 maka dapat disimpulkan responden dengan konsumsi serat kurang memiliki risiko 2.1 kali mengalami hiperkolesterolemia dibandingkan responden yang mengkonsumsi serat secara baik. Dari hasil penelitian didapatkan lebih dari separuh responden pada kelompok kasus yaitu 32 (71.1%) responden mengkonsumsi serat dengan kurang. Sedangkan pada kelompok kontrol lebih dari separuh responden yaitu 40 (88.9%) responden menhkonsumsi serat dengan baik. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian oleh Sobary (2014) Tentang Hubungan Asupan Asam Lemak Jenuh Dan Tak Jenuh Dengan Kadar Kolesterol HDL Pada Pasien Penyakit Jantung Koroner di RSUD dr. Moewardi mendapatkan hasil hasil lebih dari separoh (53%) responden kurang suka mengkonsumsi makanan yang berserat. Konsumsi serat dapat menurunkan resiko penyakit jantung dan arteri karena rendahnya konsentrasi kolesterol dalam batas yang normal. Kurangnya aktivitas fisik merupakan faktor resiko independen untuk penyakit kronis dan secara 161 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana keseluruhan menyebabkan kematian secara global (WHO, 2010, Physical Acivity In Guide to Community Preventive Service web site, 2008). Berdasarkan penelitian, banyaknya responden yang kurang suka mengkonsumsi makanan berserat dikarenakan kurannya pengetahuan dan wawasan responden akan pentingnya makanan yang mengandung serat. Serta ketidak tahuan responden akan apa – apa saja jenis makanan – makanan yang banyak mengandung serat. Gambaran Pengetahuan Gizi Dari tabel 6 dapat dilihat uji statistik responden dengan pengetahuan gizi kurang didapatkan nilai p 0.044 < 0.05 artinya pengetahauan gizi merupakan faktor risiko kejadian hiperkolesterolemia. Nilai OR = 2.4 maka dapat disimpulkan responden dengan pengetahauan gizi kurang memiliki risiko 2.4 kali mengalami hiperkolesterolemia dibandingkan responden dengan pengetahuan gizi baik. Penelitian ini juga tidak sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Whardany (2016) tentang Hubungan Pengetahuan Diet Dan Perilaku Membaca Informasi Nilai Gizi Produk Makanan Kemasan Terhadap Kepatuhan Diet Pasien Penyakit Jantung Koroner (PJK) Dengan Hipertensi Rawat Jalan di RSUD dr. Moewardi yang mendapatkan hasil 30 (81,1%) responden memiliki pengetahuan baik Menurut Nasution Tingkat pengetahuan diet dapatmempengaruhi sikap acuh tak acuhterhadap penggunaan bahan makanan tertentu, walaupun bahan makanan tersebut mengandung zat gizi yang cukup. Secara teori, semakin tinggi pengetahuan gizi seseorang maka akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang akan dikonsumsi. Rendahnya pengetahuan gizi responden tentang makanan yang baik untuk penderita hiperkolesterolemia menjadi salah satu penyebab tingginya kejadian hiperkolesterolemia. Pasien tidak menerapkan pola makan yang baik dengan menghindari sumber makanan penyebab tingginya kolesterol darah. Hubungan Aktivitas Fisik dengan Hiperkolesterolemia Berdasarkan hasil penelitian dida-patkan aktifitas fisik ringan lebih tinggi pada kelompok kasus yaitu 27 (75%) dibandingkan dengan aktifitas fisik sedang 18 (33.3%). Dari hasil analisis uji statistik didapatkan dengan nilai p 0.000 < 0.05 artinya aktivitas fisik merupakan LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 faktor risiko kejadian hiperkolesterolemia. Nilai OR = 6.0 maka dapat disimpulkan responden dengan aktifitas fisik ringan memiliki risiko 6.0 kali mengalami hiperkolesterolemia dibandingkan responden yang aktifitasnya sedang atau berat. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan Waloya (2013) tentang Hubungan Antara Konsumsi Pangan Dan Aktivitas Fisik Dengan Kadar Kolesterol Darah Pria Dan Wanita Dewasa Di Bogor yang mendapatkan hasil tingkat aktivitas fisik berpengaruh nyata terhadap kadar kolesterol darah (p<0.05). Hasil penelitian Shirazi (2008), menyatakan hal yang sama, yaitu olahraga secara teratur dapat menurunkan kadar kolesterol darah secara signifikan dan meningkatkan kadar HDL dalam darah. Menurut Nina (2007), secara fisiologis, olahraga dapat meningkatkan kapasitas aerobik, kekuatan, fleksibilitas, dan keseimbangan. Secara psikologis,olahraga dapat meningkatkan mood, mengurangi risiko pikun, dan mencegah depresi. Secara sosial, olahraga dapat mengurangi ketergantungan pada orang lain, mendapat banyak teman, dan meningkatkan produktivitas. Banyaknya pasien dengan hiperkolsterolemia disebabkan karena aktivitas fisik pasien yang ringan. Hal ini terjadi dikarenakan pasien tidak dapat melakukan olahraga dan aktivitas fisik yang berat karena faktor penyakit lain yang diderita oleh pasien seperti rematik sehingga membuat pasien jarang beraktifitas secara baik. Hubungan Lemak Tidak Jenuh dengan Hiperkolesterolemia Dari hasil penelitian pada kelompok kasus didapatkan responden dengan konsumsi lemak tidak jenuh secara tidak baik lebih tinggi yaitu 29 (59.2%) responden jika dibandingkan dengan responden yang mankonsumsi lemak tidak jenuh secara baik yaitu 16 (39%) responden pada kelompok kasus. Dari hasil analisis uji statistic didapatkan dengan nilai p 0.047 < 0.05 artinya lemak tidak jenuh merupakan faktor risiko kejadian hiperkolesterolemia. Nilai OR = 1.4 maka dapat disimpulkan responden dengan konsumsi lemak tidak jenuh secara tidak baik berisiko mengalami hiperkolesterolemia 1.441 kali jika dibandingkan dengan responden yang mengkonsumsi lemak tidak jenuh secara baik. Namun dalam hal ini yang dimaksud berisiko adalah sebagai faktor risiko yang bersifat protektif artinya konsumsi lemak tidak jenuh secara baik dapat menekan atau mencegah kejadian hiperkolesterolemia 1,4 kali jika dibandingkan 162 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana dengan responden yang tidak mengkonsumsi lemak tidak jenuh secara tidak baik. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan Krisnawaty (2013) tentang Risiko Hiperkolesterolemia pada Pekerja di Kawasan Industri yang mendapatkan hasil terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi lemak tidak jenuh dengan kejadian Hiperkolesterolemia. Hasil penelitian tidak sama dengan hasil penelitian Sobary (2014) Tentang Hubungan Asupan Asam Lemak Jenuh Dan Tak Jenuh Dengan Kadar Kolesterol HDL Pada Pasien Penyakit Jantung Koroner di RSUD dr. Moewardi mendapatkan hasil nilai p=0.236. Nilai p (>0.05) maka Ho diterima dan dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara asupan asam lemak tak jenuh dengan kadar kolesterol HDL pasien PJK. Kekuatan hubungan ditunjukan dengan nilai r (correlation coefficient) sebesar-0.183. Asupan asam lemak tak jenuh pasien PJK di RSUP Dr.M.Djamil Padang sebagian besar termasuk ke dalam kategori tidak baik (59.2%) atau sebanyak 29 responden penelitian. Asupan asam lemak tak jenuh bersumber dari bahan makan nabati seperti kacang-kacangan, biji-bijian dan minyak kelapa sawit. Menurut teori Pepper (2008), menyatakan bahwa asupan asam lemak tak jenuh yang tinggi akan meningkatkan apolipoprotein A-1, apolipoprotein A-1 merupakan komponen utama dari HDL. Menurunkan sintesis dari VLDL, menyebabkan produksi LDL berkurang kemudian asam lemak tidak membentuk trigliserida pada VLDL selanjutnya VLDL akan dioksidasi sebagai sumber energi, kolesterol HDL dapat mengangkut kembali kolesterol yang berlebih ke hati dan akibatnya kolesterol tidak akan menumpuk. Asam Lemak tak jenuh tunggal (Mono Unsaturated Fatty Acid/ MUFA) merupakan jenis asam lemak yang mempunyai 1 (satu) ikatan rangkap pada rantai atom karbon. Asam lemak ini tergolong dalam asam lemak rantai panjang (LCFA), yang kebanyakan ditemukan dalam minyak zaitun, minyak kedelai, minyak kacang tanah, minyak biji kapas, dan kanola. Minyak zaitun adalah salah satu contoh yang mengandung MUFA. Secara umum, lemak tak jenuh tunggal berpengaruh menguntungkan kadar kolesterol dalam darah, terutama bila digunakan sebagai pengganti asam lemak jenuh. Asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) lebih efektif menurunkan kadar kolesterol darah, daripada asam lemak tak jenuh jamak (PUFA), sehingga asam oleat lebih populer dimanfaatkan untuk formulasi makanan olahan menjadi populer LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Penurunan kadar kolesterol HDL dipengaruhi oleh faktor risiko yang lain seperti genetik, aktivitas fisik, penyakit penyerta, stres, kebiasaan merokok, obesitas dan asupan obat-obat. Pada penelitian ini diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi kadar kolesterol HDL pada saat penelitian berlangsung yaitu konsumsi obat jenis sinvastatin yang termasuk ke dalam obat penurun kolesterol yang memberikan efek penurunan kadar kolesterol dalam darah, sehingga meskipun asupan asam lemak tak jenuh sudah dalam kategori baik tetap saja terjadi penurunan kadar kolesterol HDL dalam darah. Hubungan Lemak Jenuh dengan Hiperkolesterolemia Dari hasil penelitian pada kelompok kasus didapatkan responden dengan konsumsi lemak jenuh secara tidak baik lebih tinggi yaitu 24 (64.9%) dibandingkan dengan responden yang mengkonsumsi lemak jenuh secara baik yaitu 21 (39.6%) responden pada kelompok kasus. Dari hasil analisis uji statistik didapatkan nilai p 0.018 < 0.05 artinya lemak jenuh merupakan faktor risiko kejadian hiperkolesterolemia. Nilai OR = 2.4, maka dapat disimpulkan responden yang mengkonsumsi lemak jenuh secara tidak baik memiliki risiko 2.4 kali mengalami hiperkolesterolemia dibandingkan responden yang mengkonsumsi lemak jenuh dengan baik. Sama dengan hasil penelitian Sobary (2014) Tentang Hubungan Asupan Asam Lemak Jenuh Dan Tak Jenuh Dengan Kadar Kolesterol HDL Pada Pasien Penyakit Jantung Koroner di RSUD dr. Moewardi mendapatkan hasil nilai p=0.001. Nilai p (<0.05) maka Ho ditolak dan dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara asupan asam lemak jenuh dengan kadar kolesterol HDL pasien PJK. Kekuatan hubungan ditunjukkan dengan nilai r (correlation coefficient) sebesar 0.466. Hal ini membuktikan bahwa hubungan antar variabel sangat kuat (mendekati nilai 1) dan hubungan bersifat positif. Hasil penelitian asupan asam lemak jenuh dengan kadar kolesterol HDL terdapat hubungan dengan mekanisme asupan asam lemak jenuh mempengaruhi penurunan kadar kolesterol HDL dengan cara mengambat kerja enzim LCAT dari jaringa ndan menurunkan faktor pembentukan kolesterol HDL yaitu Apoliprotein A-1. Apoliprotein A-1 yang menurun akan mengakibatkan pembentukan kolesterol HDL menjadi terhambat. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sulastri dkk (2005), menyebutkan bahwa terdapat 163 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana hubungan yang signifikan dan konsisten antara asupan asam lemak jenuh dengan kadar kolesterol plasma. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Dwiani (2004), menyatakan bahwa tidak ada pengaruh antara tingkat konsumsi asam lemak jenuh terhadap kadar lipid darah pasien PJK. Menurut Prasetyawati (2009), menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara asupan asam lemak jenuh dengan kejadian dislipidemia. Hubungan Konsumsi Serat dengan Hiperkolesterolemia Dari hasil penelitian didapatkan responden dengan konsumsi serat kurang lebih tinggi pada kelompok kasus yaitu 32 (86.5%) dibandingkan dengan responden yang mengkonsumsi serat dengan baik yaitu 13 (24.5%) pada kelompok kasus. Dari hasil analisis uji statistik didapatkan nilai p 0.000 < 0.05 artinya konsumsi serat merupakan faktor risiko kejadian hiperkolesterolemia. Nilai OR = 2.1maka dapat disimpulkan responden dengan konsumsi serat kurang memiliki peluang 2.1 kali mengalami Hiperkolesterolemia dibandingkan responden yang mengkonsumsi serat denan baik. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan Krisnawaty (2013) tentang Risiko Hiperkolesterolemia pada Pekerja di Kawasan Industri yang mendapatkan hasil terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi serat dengan kejadian hiperkolesterolemia. Serat dalam makanan (dietary fiber) merupakan bahan tanaman yang tidak dapat dicerna oleh enzim dalam saluran pencernaan manusia. Serat dengan berbagai tipe yang berbedabeda dan jumlah yang berlainan terdapat dalam segala struktur tanaman. Serat tersebut berada di dalam dinding sel dan di dalam sel-sel akar, daun, batang, biji serta buah (Beck, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Leveille tahun , bahwa serat makanan yang diberikan pada laki-laki perempuan dewasa berusia 70-79 tahun dapat mencegah terjadinya risiko stroke. Selain itu, Leveille juga menyatakan bahwa serat makanan mampu mengikat asam empedu. Dengan demikian dapat mencegah penyerapannya kembali dari usus, di samping itu juga meningkatkan konversi kolesterol dari darah menjadi asam empedu. Produk akhir pencernaan lemak dalam usus adalah monogliserida, asam lemak, kolesterol, fosfolipid, trigliserida berantai pendek dan medium. Lignin dan pektin sebagai penyusun serat makanan mempunyai gugus penukar kation yang mampu mengikat asam empedu dan berfungsi sebagai emulsifier. Dengan LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 demikian, kolesterol yang berikatan dengan asam empedu dan lignin atau pektin tidak dapat diserap usus, tetapi akan keluar bersama feses (Sutanto, 2010). Menurut analisis peneliti, banyaknya responden yang mengalami hiperkolesterolemia juga tidak lepas dari kebiasaan responden yang kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung serat. Hal ini tergambar dari hasil wawancara peneliti dengan responden yang menyatakan bahwasanya responden dalam kesehariannya jarang mengkonsumsi buah – buahan serta sayur – sayuran yang banyak mengandung serat. Hubungan Pengetahuan Gizi dengan Hiperkolesterolemia Dari hasil penelitian didapatkan responden dengan pengetahauan gizi kurang, lebih tinggi pada kelompok kasus yaitu 31 (58.5%) dibandingkan dengan responden dengan pengetahauan gizi baik yaitu 14 (37.8%) pada kelompok kasus. Dari hasil analisis uji statistic didapatkan nilai p 0.044 < 0.05 artinya pengetahauan gizi merupakan faktor risiko kejadian hiperkolesterolemia. Nilai OR = 2.4 maka dapat disimpulkan responden dengan pengetahauan gizi kurang memiliki peluang 2.4 kali mengalami hiperkolesterolemia dibandingkan responden dengan pengetahauan gizi baik. Penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Whardany (2016) tentang Hubungan Pengetahuan Diet Dan Perilaku Membaca Informasi Nilai Gizi Produk Makanan Kemasan Terhadap Kepatuhan Diet Pasien Penyakit Jantung Koroner (PJK) Dengan Hipertensi Rawat Jalan di RSUD dr. Moewardi yang mendapatkan hasil terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi dengan hipertensi dengan nilai p=0.02 Rendahnya pengetahuan gizi responden tentang makanan yang baik untuk penderita hiperkolesterolemia menjadi salah satu penyebab tingginya kejadian hiperkolesterolemia. Pasien tidak menerapkan pola makan yang baik dengan menghindari sumber makanan penyebab tingginya kolesterol darah. 4. KESIMPULAN Lebih dari separuh responden pada kelompok kasus (60%) aktifitas fisiknya ringan. Pada kelompok kontrol lebih dari separuh (80%) responden aktifitas fisiknya sedang. Lebih dari separuh responden pada kelompok kasus konsumsi lemak tidak jenuh 29 (64.4%) tidak 164 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana baik. Pada kelompok kontrol lebih dari separuh 25(55.5%) responden baik. Sebagian besar responden pada kelompok kasus konsumsi lemak jenuh 24 (53.3%) baik. Pada kelompok kontrol lebih dari separuh 32 (71.1%) responden tidak baik. Lebih dari separuh responden pada kelompok kasus konsumsi seratnya 32 (71.1%) kurang. Pada kelompok kontrol lebih dari separuh 40 (88.9%) responden baik. Lebih dari separuh responden pada kelompok kasus 31 (68.9%) pengetahuan gizinya kurang. Pada kelompok kontrol lebih dari separuh 23 (51.1%) responden pengetahuan gizinya baik. Faktor risiko aktivitas fisik terhadap kejadian hiperkolesterolemia pada penderita Penyakit Jantung Koroner di Poli Klinik Jantung RSUP Dr.M.Djamil Padang Tahun 2016. Responden dengan aktifitas fisik ringan memiliki risiko 6. kali mengalami hiperkolesterolemia dibandingkan responden yang aktifitas fisiknya sedang atau berat. Responden yang mengkonsumsi lemak tidak jenuh dengan baik dapat menekan atau mencegah risiko terjadinya hiperkoles-terolemia 1.44 kali jika dibandingkan responden yang mengkonsumsi lemak tidak jenuh secara tidak baik. Responden yang mengkonsumsi lemak jenuh secara tidak baik berisiko 2.35 kali mengalami hiperkolesterolemia dibandingkan dengan responden yang mengkonsumsi lemak jenuh secara baik. Responden dengan konsumsi serat kurang memiliki peluang 2.05 kali mengalami Hiperkolesterolemia dibandingkan responden yang mengkonsumsi serat baik. Faktor risiko pengetahuan gizi terhadap kejadian hiperkolesterolemia pada penderita Penyakit Jantung Koroner di Poli Klinik Jantung RSUP Dr.M.Djamil Padang Tahun 2016. Responden dengan pengetahauan gizi kurang memiliki peluang 2.43 kali mengalami Hiperkolesterolemia dibandingkan responden dengan pengetahauan gizi baik. ISSN: 2548-3153 Inap Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2008. Tersedia pada, http://balitbangnovdasumsel.com/ data/download/20140124150739.pdf Diakses Pada Tanggal 11 Juni 2015. Hartono, Adry. 2006. Terapi Gizi Dan Diet Rumah Sakit. Buku Kedokteran : Jakarta Haritonang, Indah. 2013. Definisi, Jenis, Struktur, Dan Fungsi Karbohidrat. Tersedia,padahttp://indaharitonangfakultasp ertanianunpad.blogspot.com/2013/05/definis i-jenis- struktur-dan-fungsi.html. Diakses Pada 7 Juli 2015. Hidayatullah, Syarif. 2013. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kadar Kolesterol Total Pada Anggota Klub Senam Jantung Sehat Uin Jakarta Tahun 2013. Tersedia Pada. Diakses Pada Tanggal 12 Juli 2015. Michael dkk. 2013. Public Health Nutrition. Buku Kedokteran : Jakarta Mumpuni, Yekti. 2013. Cara Jitu Mengatasi Kolesterol. ANDI: Yogyakarta Nita. 2008. Kaitan Penyakit Kardiovaskular, Hiperkolesterolemia, dan Pola Hidup Sehat. Tersedia Pada www.medicastore.com. Diakses Pada Tanggal 20 Juni 2015. Prilia, Soraya. 2011. Prevalensi Hiperkolesterolemia Pada Pasien Dengan Penyakit Jantung Koroner Di RSUP H. Adam Malik. Tersedia Pada http://repository.usu.ac.id/bitstream/1234567 89/31091/7/Cover.pdf. Diakses Pada Tanggal 5 Juni 2015. Soeharto, Imam.2006. Kolesterol dan Lemak Jahat, kolesterol dan LemakBaik. Gramedia : Jakarta Saputra, Roni. 2013. Satatistik Terapan dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat. Stikes Perintis Sumbar. Supriyono, Mamat. 2008. Faktor Risiko Yang berpengaruh Terhadap kejadian Penyakit Jantung Koroner Pada Kelompok Usia < 45 tahun. Tersedia Pada,http://core.ac.uk/download/pdf/117177 72.pdf . Diakses Pada tanggal 15 Juli 2015 5. REFERENSI Bull, Eleanor. 2007. Kolesterol. Erlangga : Jakarta Ekawati dkk. 2011. Optimasi Kadar Maltodekstrin Pada pembuatan Minuman Instan Serbuk Kayu Manis.. Diakses 11 Juli 2015 Effendi dkk. 2009. Pemberian Diet Serat Tinggi Dan Pengaruhnya Terhadap Penurunan Kadar Kolesterol Darah Pada Pasien Penyakit Jantung Koroner Di Ruang Rawat LPPM STIKes Perintis Padang 165 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 UJI DAYA HAMBAT AIR REBUSAN DAUN GAMBIR (Uncaria gambir Roxb) TERHADAP BAKTERI Methicillin Resistent Staphylococcus aureus Putra Rahmadea Utami [email protected] Prodi DIII TLM Stikes Perintis Sumbar Abstract The main content of Gambier are catechin compounds and other compounds such as katekutannat, quercetin, gallic acid, elagat acid, catechol, pigments and others. Gambir contain high antioxidants. The antioxidant properties of Gambir for their polyphenol compounds such as tannins, catechins and gambiriin. Catechin polyphenols (catechins) are useful as natural antioxidants can counteract free radicals, so it can serve capture free radicals that can protect against cardiovascular disease, Methicillin resistant Staphylococcus aureus is a gram-positive which is a type of bacteria present in the skin. This study aims to demonstrate the inhibition of water decoction of the leaves of gambier against Methicillin resistant Staphylococcus aureus, this study is an experimental research laboratory using a method Difusicakram Kirby-Bauer method to determine the diameter of the inhibition of germs, the concentration of water decoction of the leaves of gambier used was 0.05 g / ml, 0.04 g / ml, 0.06 g / ml, and 0.08 g / ml, Ciproloxasin as a positive control and sterile distilled water as a negative control. From the results, the average diameter of the inhibition of the water decoction of the leaves of gambier against bacteria Methicillin resistant Staphylococcus aureus at concentrations of 0.02 g / ml is obtained 5.6 mm, a concentration of 0.04 g / ml didapatka 7 mm, the concentration of 0.06 gr / ml obtained 8 mm, a concentration of 0.08 g / ml is obtained 9.3 mm. From the relationship between the concentration of water decoction of the leaves of gambier with a diameter of inhibitory bacteria, obtained the higher the concentration of the cooking water, the greater the diameter of inhibition is formed. Keywords : Methicillin Resistant Staphylococcus aureus, gambier leaves boiled water, power resistor. 1. PENDAHULUAN Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis, dimana saat ini tingkat kesehatan menghadapi tantangan yang sangat berat. Hal ini disebabkan oleh tingkat biaya kesehatan yang cenderung meningkat, seperti harga obat-obatan dan biaya layanan dokter atau rumah sakit (Nurwidodo, 2006). Penyakit kulit adalah infeksi yang paling umum terjadi pada orang-orang dengan segala usia. Sebagian besar pengobatan infeksi kulit membutuhkan waktu yang lama.Untuk pengobatan biasanya diberikan salep oles pada daerah yang terkena (Hariana, 2008). Penyakit infeksi masih merupakan jenis penyakit yang paling banyak diderita oleh penduduk di negara berkembang, termasuk Indonesia. Salah satu penyebab penyakit infeksi adalah bakteri Staphylococcus aureus (Radji, 2011). Pada negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menjadi penyebab utama tingginya angka kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality) di rumah sakit, dimana penyakit infeksi yang didapat di rumah sakit ini disebut dengan infeksi Nosokomial. Infeksi nosokomial pertama kali dikenal oleh Semmelweis pada tahun LPPM STIKes Perintis Padang 1847 dan hingga sekarang tetap menjadi masalah yang cukup menyita perhatian (Darmadi, 2008). Perawatan pada pasien rawat inap. Infeksi nosokomial menjadi ancaman besar terhadap kesehatan sejak di temukannya bakteri yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik. Diantaranya bakteri yang sering menyebabkan infeksi nosokomial yaitu Staphylococus aureus sebesar 21,7% Sekitar 40% bakteri Staphylococus aureus yang diisolasi di rumah sakit resisten terhadap beberapa jenis antibiotik turunan βlaktam dan sefalosporin, tetapi masih sensitif terhadap antibiotik vankomisin dan klindamisin (Aguilar, et al., 2003). Insiden infeksi MRSA terus meningkat di berbagai belahan dunia. Di Asia, prevalensi infeksi MRSA mencapai 70%, sedangkan di indonesia prevalensinya sekitar 23,5% pada tahun 2006 (Wahid, 2007). Penularan MRSA dapat terjadi melalui alat-alat kesehatan, petugas kesehatan, maupun melalui kontak dengan udara (Brien, et al 2004). Tanaman gambir (Uncaria gambir Roxb) merupakan tanaman yang memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Kegunaan gambir secara tradisional adalah sebagai pelengkap makan sirih dan sebagai obat-obatan. Penggunaan gambir 166 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana dalam makan sirih dapat menyehatkan gigi, gusi dan tenggorokan (Heyne, 1987). Di Malaysia gambir digunakan untuk luka bakar, rebusan daun muda dan tunasnya digunakan sebagai obat diare dan disentri serta obat kumur-kumur pada sakit kerongkongan. Secara moderen gambir banyak digunakan sebagai bahan baku industri farmasi dan makanan, diantaranya bahan baku obat penyakit hati dengan paten “catergen”, bahan baku permen yang melegakan kerongkongan bagi perokok di Jepang karena gambir mampu menetralisir nikotin. Sedangkan di Singapura gambir digunakan sebagai bahan baku obat sakit perut dan sakit gigi (Dhalimi, 2006). Kandungan utama dari gambir adalah senyawa katekin dan senyawa lainnya seperti katekutannat, kuersetin, asam gallat, asam elagat, katekol, pigmen dan lain-lain. Gambir mengandung zat antioksidan yang tinggi. Sifat antioksidan dari gambir karena adanya senyawa polifenol seperti tanin, katekin dan gambiriin (Kaylaku, 2012). Kandungan polifenol katekin (catechin) yang bermanfaat sebagai antioksidan alami dapat menangkal radikal bebas (Gani et all, 2013), sehingga dapat berfungsi menangkap radikal bebas yang dapat melindungi dari penyakit kardiovaskuler, oksidasi lipoprotein densitas rendah (LDL), dan penyakit kanker lainnya. Gambir juga memiliki peran dalam mekanisme pertahanan terhadap mikroorganisme, serangga dan herbivora (Agawa, 2001 cit Kresnawati, 2009). Berdasarkan latar belakang diatas, penulis melakukan penelitian untuk melihat apakah ada pengaruh air rebusan daun gambir terhadap bakteri Metisilin Resisten Staphylococus aureus (MRSA). Apakah air rebusan daun gambir dapat menghambat pertumbuhan bakteri MRSA (Merthicilin resistantStaphylococus aureus). ISSN: 2548-3153 Adapun tujuan penelitian untuk mengetahui kemampuan daya hambat air rebusan daun gambir terhadap bakteri MRSA (Merthicilin resisten staphylococus aureus. Hasil penelitian ini di harapkan dapat menambah informasi ilmiah mengenai potensi, antimikroba air rebusan daun gambir terutama terhadap bakteri MRSA (Merticilin resistent stapylococcus aureus). 2. METODE PENELITIAN Jenis penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental untuk mengetahui kemampuan daya hambat air rebusan daun gambir terhadap pertumbuhan bakteri MRSA (Methicillin resistant staphylococcus aureus). Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium STIKes Perintis Sumbar kampus 1 Padang. Rancangan Penelitian Sampel penelitian ini adalahAir Rebusan Daun Gambir dengan rancangan penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Bakteri MRSA (Methicillin resistant staphylococcus aureus).diberi perlakuan dengan Air rebusan daun gambir dengan konsentrasi 0,02gr/mL, 0,04gr/mL, 0,06gr/mL, dan 0,08gr/mL, dan sebagai control negative yaitu aquades steril. Media yang digunakan adalah agar Muller Hinton dengan waktu inkubasi selama 24 jam pada suhu 370C. Masing- masing konsentrasi dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan. Variabel yang diukur adalah diameter zona bening yang merupakan indikator daya hambat pertumbuhan bakteri MRSA (Methicillin resistant staphylococcus aureus) terhadap air rebusan daun gambir yang berasal dari berbagai macam infeksi pada pasien infeksi nosokomial di RSUP DR. M. Djamil Padang. Tabel 2.1 Rancangan Penelitian Dengan 3 Kali Pengulangan pada masing-masing konsentrasi. Pengula Daya Hambat Konsentrasi ngan Control 0,02gr/ 0,04gr/ 0,06gr/ 0,08gr/ Control Positif Negatif mL mL mL mL 1 Aquades 2 Aquades 3 Aquades Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan:Lampu spiritus, Tabung reaksi, Autoclave, Inkubator, Cawan Petri, Pipet Automatic, Jarum ose, Batang Pengaduk, Oven, LPPM STIKes Perintis Padang Lidi kapas steril, Pingset,Alat Penghitung Koloni (Colony Counter). Bahan yang digunakan:Biakan murni MetisilinResisten Staphylococcus aureus 167 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana (MRSA), Medium agar Muller-Hinton (MH), Air Rebusan Daun GambirLarutan NaCl 0,9% steril, Aquades (H2O). Prosedur Penelitian Cara Kerja Penentuan Daya Hambat Bakteri MRSA (Methicillin resistant staphylococcus aureus). a.Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Difusi Kirby-Bauer. b.Cara kerja Pembuatan Air Rebusan Daun Gambir Dipilih daun gambir muda, kemudian ditimbang sebanyak 100gr. Setelah itu dicuci dan dipotong kecil-kecil kemudian di masukan kedalam erlenmeyer, lalu direbus dengan ISSN: 2548-3153 penambahan aquades sebanyak 1000mL sampai tersisa kurang lebih setengahnya. Diamkan sebentar sampai dingin lalu disaring dan diambil sarinya. Pipet air rebusan daun gambir 2mL dan diencerkan dengan penambahan aquades 8mL didapatkan konsentrasi 0,02gr/mL. 1. Pipet air rebusan daun gambir 4mL dan diencerkan dengan penambahan aquades 6mL didapatkan konsentrasi 0,04gr/mL. 2. Pipet air rebusan daun gambir 6mL dan diencerkan dengan penambahan aquades 4mL didapatkan konsentrasi 0,06gr/mL. 3. Pipet air rebusan daun gambir 8mL dan diencerkan dengan penambahan aquades 2mL didapatkan konsentrasi 0,08gr/mL. Dan dapat dilihat pada gambar 4.2. Gambar. Air rebusan daun gambir dengan konsentrasi 0,02gr/mL, 0,04gr/mL 0,06gr/mL dan 0,08gr/mL. Air rebusan daun gambir yang sudah diencerkan dengan konsentrasi masing-masing, setelah itu kertas cakram direndam selama 5 menit Uji Aktivitas Antibakteri Menggunakan Metode Difusi Kirby Bauer Disiapkan media agar Muller Hinton dengan ketebalan media 4-6 mm dan diberi tanda dengan dibagi menjadi 4 daerah uji. Persiapkan suspensi bakteri MRSA (Methicillin resistant staphylococcus aureus) Kemudian kertas cakram steril dengan diameter tertentu dicelupkan atau ditetesi dengan 15 µL larutan air rebusan daun gambir setelah dibuat dengan setiap konsentrasi. Masing- masing konsentrasi mempunyai 3 kali ulangan. Penanaman bakteri pada Muller Hinton agar dengan cara : celupkan swab steril ke dalam suspensi bakteri, angkat swab kemudian di atas permukaan suspensi inokulum pada sisi tabung putar swab dengan sedikit ditekan agar tidak berlebih, kemudian diusapkan pada seluruh permukaan medium Muller Hinton agar, kemudian plate dibiarkan selama 3-5 menit pada LPPM STIKes Perintis Padang suhu ruang, tetapi tidak lebih dari 15 menit, supaya medium benar-benar kering sebelum dilakukan uji kepekaan dengan air rebusan daun gambir. Tempatkan cakram yang telah direndam dengan larutan air rebusan daun gambir dengan berbagai konsentrasi pada permukaan agar yang telah ditanami bakteri dengan memperhatikan jarak penyimpanan cakram. Dapat dilakukan menggunakan pinset steril. Diinkubasikan pada suhu 370 C selama 24 jam didalam inkubator. Interpretasi hasil pengujian dilakukan setelah inkubasi selama 24 jam. Diameter zona bening yang terdapat disekitar kertas cakram diukur menggunakan mistar. Zona bening ini menandakan ada daya hambat air rebusan daun gamir terhadap pertumbuhan bakteri MRSA (Methicillin resistant staphylococcus aureus). 168 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari penelitian yang sudah dilakukan didapatkan bahwa air rebusan daun gambir (Uncaria gambier Roxb) dalam berbagai konsentrasi dapat menghasilkan daerah bebas kuman pada pertumbuhan Methicillin resistent Staphylococcus aureus, dan daya hambat yang dimiliki berbagai konsentrasi rebusan daun gambir (Uncaria gambier Roxb) berpengaruh terhadap daerah bebas kuman yang timbul. ISSN: 2548-3153 Uji antibakteri ini dilakukan menggunakan metode difusi agar Kirby-bauer yang memiliki prinsip berdasarkan pengamatan luas daerah hambatan pertumbuhan bakteri. Penelitian ini menggunakan beberapa konsentrasi Air rebusan daun gambir yaitu, 0,02gr/ml, 0,04gr/ml, 0,06gr/ml dan 0,08gr/ml, kemudian control Positif yaitu Ciproloxasin. Masing-masing konsentrasi dilakukan 3kali pengulangan. Gambar 4.3.1 Daya hambat Air Rebusan Daun Gambir (Uncaria gambier Roxb) terhadap MRSA dengan konsentrasi 0,02gr/mL 0,04gr/mL 0,06gr/mL dan 0,08gr/mL Dari gambar diatas didapatkan bahwa air rebusan daun gambir (Uncaria gambier Roxb) dalam berbagai konsentrasi dapat menghasilkan daerah bebas kuman pada pertumbuhan Methicillin resistent Staphylococcus aureus, dan daya hambat yang dimiliki berbagai konsentrasi rebusan daun gambir (Uncaria gambier Roxb) berpengaruh terhadap daerah bebas kuman yang timbul. Tabel 3.1 Hasil masing-masing konsentrasi. Pengulangan Daya Hambat Konsentrasi 0,02gr/mL 0,04gr/mL 0,06gr/mL kontrol 0,08gr/mL Negatif 1 0 6 7 8 10 2 0 6 7 8 9 3 0 5 7 8 9 Rata-rata 0 5,6 7 8 9,3 SD 0 0,58 0 0 0,58 Dari tabel diatas dapat dilihat perbedaan zona hambat pertumbuhan Methicillin resistant Staphylococcus aureus terhadap konsentrasi air rebusan daun gambir adalah mulai dari konsentrasi 0,02gr/ml sampai dengan 0,08gr/ml. Daya hambat minimal air rebusan daun gambir mulai tampak pada konsentrasi 0,02gr/ml dengan rata-rata 4,6mm dan daya hambat maksimal ekstrak kulit manggis mulai nampak pada konsentrasi 0,08gr/ml dengan rata-rata 8,3mm. Maka dapat disimpulkan bahwa semakin besar konsentrasi air rebusan daun gambir maka semakin besar daya hambat yang diperoleh. Pembahasan Kegunaan gambir secara tradisional adalah sebagai pelengkap makan sirih dan sebagai obatobatan. Penggunaan gambir dalam makan sirih dapat menyehatkan gigi, gusi dan tenggorokan (Heyne, 1987). LPPM STIKes Perintis Padang Di Malaysia gambir digunakan untuk luka bakar, rebusan daun muda dan tunasnya digunakan sebagai obat diare dan disentri serta obat kumur-kumur pada sakit kerongkongan. Secara moderen gambir banyak digunakan 169 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana sebagai bahan baku industri farmasi dan makanan, diantaranya bahan baku obat penyakit hati dengan paten “catergen”, bahan baku permen yang melegakan kerongkongan bagi perokok di Jepang karena gambir mampu menetralisir nikotin. Sedangkan di Singapura gambir digunakan sebagai bahan baku obat sakit perut dan sakit gigi (Dhalimi, 2006). Kandungan polifenol katekin (catechin) yang bermanfaat sebagai antioksidan alami dapat menangkal radikal bebas (Gani dkk, 2013), sehingga dapat berfungsi menangkap radikal bebas yang dapat melindungi dari penyakit kardiovaskuler, oksidasi lipoprotein densitas rendah (LDL), dan penyakit kanker lainnya. Gambir juga memiliki peran dalam mekanisme pertahanan terhadap mikroorganisme, serangga dan herbivora (Agawa, 2001 cit Kresnawati, 2009). Bachtiar (1991) mengatakan kandungan kimia gambir yang banyak dimanfaatkan adalah katekin dan tannin. Secara tradisional daun gambir sering juga digunakan sebagai obat untuk luka, demam, sakit kepala, sakit perut dan infeksi karena bakteri dan jamur (Kaylaku, 2012). Hasil uji bakteri didapatkan bahwa ekstrak gambir memiliki aktifitas anti bakteri dalam berbagai konsentrasi terhadap bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus, dibuktikan dengan terbentuknya daerah zona bening yang tidak ditumbuhi oleh bakteri (Kresnawaty, 2009). Dilaporkan juga bahwa disamping mengandung bahan aktif anti mikroba gambir juga bersifat anti jamur dan serangga (Adria, 1998). Air rebusan daun gambir ( Uncaria gambier Roxb) digunakan untuk mengobati penyakit infeksi kulit seperti luka yang disebabkan oleh bakteri. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa air rebusan daun gambir ( Uncaria gambier Roxb) memiliki daya hambat terhadap pertumbuan kuman MRSA. Hal ini dapat dilihat dari terbentuknya daerah bening bebas pertumbuhan kuman disekitar cakram. Uji daya hambat air rebusan daun gambir ( Uncaria gambier Roxb) terhadap bakteri MRSA dibuat dalam konsentrasi 0,02gr/ml, 0,04gr/ml, 0,06gr/ml, 0,08gr/ml dan kontrol positif (Ciproloxasin). Pertumbuhan kuman dapat dihambat pada konsentrasi 0,08gr/ml didapatkan pada daerah bebas kuman yang lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih rendah. Konsentrasi 0,02gr/ml merupakan konsentrasi yang memiliki nilai daya hambat yang paling kecil diantara konsentrasi yang lain, dilihat dari hasil pengamatan yang telah dilakukan. LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap pengukuran diameter daerah bening pada masing-masing konsentrasi yang dilakukan selama empat hari dan tiga kali pengulangan, memperlihatkan hasil yang berbeda.pengulangan I didapatkan hasil tertinggi 9mm pada konsentrasi 8gr/ml, pengulangan II didapatkan hasil tertinggi 8mm pada konsentras 8gr/ml, pengulangan III didapatkan hasil tertinggi 8mm pada konsentrasi 8gr/ml. Adanya daya hambat terhadap pertumbuhan kuman menunjukkan bahwa adanya senyawa aktif antibakteri dalam air rebusan daun gambir ( Uncaria gambier Roxb) dapat menghambat pertumbuhan bakteri MRSA, makin besar konsentrasi yang diberikan makin besar pula daerah bebas kuman yang diperoleh. Besarnya daya hambat terhadap pertumbuhan kuman tergantung pada jumlah senyawa yang terkandung paa tiap-tiap konsentrasi yang berbeda. Semakin tinggi konsentrasi maka besar pula senyawa aktif yang terkandung didalamnya sehingga daya hambat terhadap pertumbuhan kuman semakin besar. Sebaliknya dengan penuruan konsentrasi maka semakin sedikit pula senyawa aktif yang terkandung didalamnya sehingga daya hambatnya terhadap pertumbuhan kuman semakin kecil. Terhambatnya pertumbuhan kuman terlihat jelas dengan semakin besarnya daerah bebas kuman pada medium, disebabkan oleh kandungan yang dimiliki daun gambir yaitu senyawa katekin, katekutannat, kuersetin, asam gallat,asam elegat, katekol. Gambir mengandung zat antioksidan yang tinggi. Sifat antioksidan dari gambir karena adanya senyawa polifenol seperti tanin, katekin dan gambirin (Kaylaku, 2012). 4. KESIMPULAN Setelah dilakukan penelitian uji daya hambat air rebusan daun gambir (Uncaria gambier Roxb) terhadap pertumbuhan bakteri MRSA maka dapat disimpulkan: 1. Daya hambat air rebusan daun gambir terjadi pada konsentrasi 0,02gr/ml dengan ratarata diameter zona bening 4,6mm, konsentrasi 0,04gr/ml dengan rata-rata diameter zona bening 6mm, konsentrasi 0,06gr/ml dengan rata-rata diameter zona bening 7mm, konsentrasi 0,08gr/ml dengan rata-rata diameter zona bening 8,3mm. 2. Semakin tinggi konsentrasi yang digunakan, maka semakin besar pula diameter daya hambat yang di dapatkan sehingga pada dasarnya daun gambir bisa digunakan untuk menghambat bakteri Metisilin resisten Stapylococus aureus dikarnakan kandungan sifat 170 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana antioksidan yang tinggi pada daun gambir (Uncaria gambier Roxb) 5. DAFTAR PUSTAKA Adria, 1998. Pengaruh Ekstrak Gambir Terhadap Hama Terong KB Epilachma varivestis Mulsant. Jurnal Penelitian Tanaman Industri. Vol. IV . 4 Bogor Aguilar, G., W. A Hammerman, R. Edwart and S.L. Kapan 2003. Clindamycintreatment of invasive infections caused by communityacquired, methicilinresistant and methicilinsusceptibleStaphylococus aureus children. Pediatr infect Dis J. 22:593-8. Agawa 2001, Mand Suyama, 2001. Amine Oksidase Lie aktivity of fpavonoid. Europa Jurnal Biochem ryist, 2 68, 1953-1963. Amos, 2010. Kandungan Katekin Gambir Sentia Produksi Di Indonesia . Jurnal Standarisasi. Pusat Pengkajian Teknologi Agrondustri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Brien, F. G., T. T. Lim, F. N. Chong, G. W. Coombs, M. C. Enright, D. A.Robinson and A Monk. 2004. Diversity among community isolates ofmethicilinresistsnt Staphylococus aureus in Australia. JclinMicrobiol. P. 31853190. Bronto Adi A. H., 2011. Pengaruh Agroindostri Gambir Di kaupaten limah puluh koto, Sumatera Barat. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial : Prolematika Dan Pengendalian Jakarta : Penerbit Salemba Medika, Jakarta. Dhalimi, A. 2006. Permasalahan Gambir (Uncaria Gambir L.) di Sumatera Barat dan Alternatif pemecahannya, Balai besar pengajian dan pengemangan teknologi pertanian, jurnal perpektif. Volume V Nomor 1 hal 46-59. Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1989. Materia Medika Indonesia Jilid V. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hariana, Arief 2007. Tumuhan oat dan khasiatnya seri 3. Depok: Penebar Swadaya :114 Jawezt, E., J. L. Melnick, E. A. Adelberg, G. F. Brooks, J. S. Butel and L. N.Orston.1996. Mikrobiologi LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 kedokteran.Edisi 20. Diterjemahkan oleh E. Nugroho & R.f. Mulany. Jakarta: buku kedokteran EGC. Hal. 211-215. Juuti, K. 2004. Sufase protein Pls of merthicilinresistent Staphylococus aureus in adhesion, invasion and pathogenesis, and evolutionary aspects.(Disetation) Helinski: Departemen of Biological and Environmental Sciences Faculty of Biosciences. P, 61-63. 171 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 ANALISA KHASIAT SARI KURMA TERHADAP JUMLAH TROMBOSIT PADA PENDERITA DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) Miftahul Mushlih*, Suci Fitrawati , Lillah* *Program Studi D IV Analis Kesehatan/ Tek. Lab. Medik STIKes Perintis Padang Alumni Program Studi D IV Analis Kesehatan/ Tek. Lab. Medik STIKes Perintis Padang Correspondent Author: [email protected] Abstract The treatment of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) / Dengue shock syndrome (DSS) is mainly supportive or symptomatic because there is no specific therapy to increase the platelet count. Palm juice contains protein, fiber, glucose, vitamins and minerals that are important to metabolism. This study aimed to determine the effect of palm juice to increase the number of platelets in DHF patients. Samples are obtained by purposive sampling. Giving doses palm juice 3 times a day. Analysis using one-way ANOVA test and T-test. The results show Palm juice have significantly influenced the increase of the platelets number in patients with DHF in which the p-value <0.05. Key Words: Dengue Hemorrhagic Fever (DHF), Platelet count , Palm juice 1. PENDAHULUAN Di Indonesia kasus demamberdarah dengue pertama kali terjadi di Surabaya pada tahun1968. Penyakit demam berdarah dengue pertama kali ditemukan di 200 kota di 27 provinsi dan telah terjadi kejadian luar biasa (KLB) akibat demam berdarah dengue. Profil kesehatan provinsi Jawa Tengah tahun 1999 melaporkan bahwa kelompok tertinggi adalah usia 5-14 tahun yang terserang sebanyak 37%. Data tersebut didapat dari data rawat inap rumah sakit. Rata-rata insidensi penyakit DBD sebesar 6-27 /100.000 penduduk (Widoyono, 2011). DBD merupakan suatu infeksi akut yang disebabkan Arbovirus (arthropodbor virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Tanda dan gejala Penyakit DBD, demam mendadak 2 sampai 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati disertai tanda perdarahan dikulit berupa bintik perdarahan, lebam/ruam (Hadinegoro, 2001). Keadaan kritis terjadi mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran menurun atau shock. DBD menyebabkan Trombositopeni pada hari ke-3 sampai ke-7 dan ditemukan penurunan trombosit hingga 100.000/mm3 dan hemokonsentrasi meningkatnya hematrokit sebanyak 20% atau lebih (Widoyono, 2011). Pada pasien trombositopenia terdapat perdarahan baik kulit seperti patekia atau perdarahan mukosa mulut. Hal ini disebabkan karena trombosit tidak ataukurang diproduksi di sumsum tulang atau karena kerusakan LPPM STIKes Perintis Padang trimbosit pada sirkulasi darah (Tarwoto dkk., 2008). Banyak penelitian telah dilakukandengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di alam untuk mengatasi penyakit dengan defisiensi trombosit. Buah jambu biji merah, buah angkak, daun ubi jalar, air kelapa muda dan kurma secara empirik dapat digunakan pada kasus defisiensi trombosit (Bermawie, 2006; Sahutu, 2010). Buah kurma (Phoenix dactylifera) kaya dengan protein, serat, glukosa dan vitamin seperti vitamin A (β-karoten), B1 (tiamin), B2 (riboflavin), C (asam askorbat), Biotin, Niasin, asam folat dan terdapat zat mineral seperti Besi, Kalsium, Sodium dan potassium (Habib & Ibrahim, 2011). Kadar protein pada buah kurma sekitar 1,8-2%, kadar glukosa sekitar 72-88%, dan kadar serat 2-4% (Chao & Krueger, 2007). Menurut Linder (2006) terdapat hubungan yang jelas antara kebutuhan askorbat dan perbaikan pembuluh darah seperti pada gejala sariawan, perdarahan gusi dan penyembuhan luka. Penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2009) mengenai metabolism sari kurma pada pasien dewasa dengan demam berdarah dengue membuktikan bahwa persentase peningkatan jumlah trombosit per hari pada pasien DBD dengan pemberian kurma lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontrol. Rata-rata persentase peningkatan trombosit per hari dengan pemberian kurma yaitu sebesar 23,90%. Rata-rata persentase peningkatan trombosit per hari kontrol yaitu sebesar 8,09%. 172 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana 2. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada bulan April Mei 2016 di Laboratorium RSUD Petala Bumi Pekanbaru. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental invitro dengan rancangan pre-test and post-test with control group design melalui pemeriksaan kadar trombosit darah Pre dan Post hari ke-3 pada kelompok perlakuan dan kelompok control setelah pemberian sari kurma. Menilai seberapa besar kenaikan angka trombosit setelah pemberian sari kurma pada hari ke-3 pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (yang tidak diberikan sari kurma) pada pasien DBD di RSUD Petala Bumi Pekanbaru (Notoatmodjo, 20012), respondent masih mendapatkan pengobatan yang dianjurkan oleh rumah sakit, konfirmasi konsumsi makanan selain sari kurma dilakukan untuk meminimalisir eror hasil penelitian. Pengambilan sampel dengan cara Purposivesamplingyang berjumlah 40 orang yang terdiri dari 20 orang kelompok perlakuan dan 20 orang kelompok kontrol. Analisis dilakukan menggunakan uji T-test dan uji one way Anovawindows dengan SPSS versi 16.0 dengan Significant level 95% 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan pada beberada responden rentang umur 7-27 tahun sebanyak 37 orang (92,5%) dan umur 51-57 tahun sebanyak 3orang (7,5%). Padapenelitian ditemukan responden terbanyak adalah responden dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 62,5%. Jenis kelamin laki-laki merupakan responden dengan jumlah terbanyak (62,5%) sedangkan jenis kelamin perempuan (37,5%).Responden terbanyak dari segi umur yaitu responden yang berumur 7 –27 tahun (92,5%).Responden yang masuk dengan hari demam ke 4 merupakan responden dengan jumlah terbanyak 47,5% (Tabel 1). Tabel 1. Karakteristik Responden ISSN: 2548-3153 Hasil penelitian menunjukkan rata-rata trombosit sebelum yang diberikan sari kurma jumlah trombosit 36500±10490 dan hasil trombosit responden sebelum yang tidak diberikan sari kurma jumlah trombositnya adalah 41500±13124, yang mana hasil uji T-test pvalue 0.191 menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara responden yang diberikan sari kurma dengan yang tidak diberikan sari kurma (p-value> 0,05). Hari pertama responden yang diberikan sari kurma trombositnya meningkat menjadi 61000±19550 dan responden yang tidak diberikan sari kurma jumlah trombositnya ratarata 52800±15171, yang mana hasil uji T-test pvalue 0,147 menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara responden yang diberikan sari kurma dengan yang tidak diberikan sari kurma (p-value> 0,05), dan hari kedua responden yang diberikan sari kurma rata-rata jumlah trombosit 97200±24386 dan responden yang tidak diberikan sari kurma jumlah trombositnya rata-rata 66450±12504 (p-value=0,000) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara responden yang diberikan sari kurma dengan yang tidak diberikan sari kurma (p-value<0,05), dan hari ketiga responden yang diberikan sari kurma rata-rata jumlah trombosit 174150±32593 dan responden yang tidak diberikan sari kurma jumlah trombositnya rata-rata 80200±12344, (pvalue 0,000) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara responden yang diberikan sari kurma dengan yang tidak diberikan sari kurma, dengan nilai p-value < 0,05, (Gambar 1). Hal ini diduga karena sari kurma mengandung asam askorbat yang fungsi dala/m membantu perbaikan pembuluh darah (Chao & Krueger, 2007). Gambar 1 Perbandingan Kenaikan Jumlah Trombosit Antara Perlakuan Diberikan Sari Kurma Dan Tidak Diberi Sari Kurma. Ket. Huruf (ab) Yang Berbeda Menunjukkan Perbedaan Nyata Pada Responden Yang Diberikan Sari Kurma Dengan Yang Tidak Diberikan Sari Kurma. Huruf (AB) Yang Berbeda Menunjukkan Perbedaan Jumlah Trombosit Berdasarkan Waktu LPPM STIKes Perintis Padang 173 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Pemberian sari kurma memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan jumlah trombosit pada hari kedua dan ketiga dimana jumlah trombosit mengalami peningkatan yang cepat dibandingkan dengan yang tidak diberikan sari kurma (Gambar 2). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Hartoyo (2008) dan Ahmed dkk. (2008) yang menjelaskan bahwa hal ini berkaitan dengan kebiasaan nyamuk Aedes aegepty yang aktif menggigit pada siang hari dengan dua puncak aktivitas yaitu pada pukul 08.00-12.00 dan 15.00-17.00, pada jam tersebut anak kebanyakan bermain diluar rumah terutama laki-laki. Gambar 2. Perbandingan Kenaikan Trombosit Antara Perlakuan Diberikan Sari Kurma Dan Tidak Diberi Sari Kurma Sebelum Dan Sesudah Hari Ketiga Responden terbanyak yang masuk rumah sakit padapenelitian ini berdasarkan hari demamnya yaitu responden yang masuk pada hari demam ke 4 sebanyak 19 responden (47,5%), hal ini disebabkan karena pada infeksi denguejumlah trombosit terus menurun hingga mengalami trombositopenia mulai hari ke 4 demam dan mencapai titik terendah pada hari ke 6 demam (Sutirta-yasa, 2012), tetapi penurunan trombosit secara drastis dapat dicegah dengan penatalaksanaan pemberian cairan serta pemberian sari kurma secara teratur sesuai instruksi dan mengobservasi dengan ketat keadaan umum pasien serta tanda-tanda vital. Kandungan sari kurma yang dapat secara langsung meningkatkan jumlah trombosit yaitu sejumlah polisakarida penting seperti rhamnosa, arabinosa, xilosa, manosa, galaktosa dan glukosa karena merupakan bahan pembentukan granula trombosit pada megakariosit di sumsum tulang (Onuh, 2012).Kandungan sarikurma yang secara tidak langsung juga dapat meningkatkan jumlah trombosit yaitu zat mineral seperti zat besi yang LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 essensial bagi pembentukan hemoglobin. Besi yang segera dibutuhkan untuk produksi sel darah merah diserap ke dalam darah untuk disalurkan ke sumsum tulang dan akan digunakan untuk membentuk hemoglobin bagi sel darah merah baru yang akan mengikat oksigen untuk kebutuhan metabolisme sel terutama ke hati sehingga hati dapat melaksanakan fungsinya dengan baik termasuk menghasilkan hormon Trombopoietin(hormon glikoprotein yang dihasilkan oleh hepatosit). Fungsi hormon ini untuk meningkatkan jumlah megakariosit di sumsum tulang dan merangsang masing-masing megakariosit untuk menghasilkan lebih banyak trombosit (Linder, 2006). Vitamin C yang terkandung dalam sari kurma juga dapat meningkatkan penyerapan besi terutama dengan mereduksi besi feri menjadi fero (besi fero lebih mudah diserap usus daripada besi feri sehingga dapat digunakan secara langsung untuk membentuk hemoglobin dalam proses pembentukan sel darah merah). Selain itu, vitamin B12 dan asam folat yang terkandung dalam sari kurma juga berfungsi dalam perbaikan fungsi sumsum tulang yang akan mempengaruhi proses megakariopoiesis dimana bila terjadi defisiensi kedua vitamin ini maka sumsum tulang akan membentuk megakariosit yang besar dan hiperlobulus. Vitamin B12diperlukan untuk mengubah folat menjadi bentuk aktif dan dalam fungsi normal semua fungsi sel seperti sumsum tulang. Vitamin ini merupakan kofaktor dua jenis enzim pada manusia yaitu metionin sintetase dan metimalonil-KoA mutase. Reaksi metionin sintetase melibatkan asam folat. Gugus metil 5metiltetrahidrofolat dipindahkan ke kobalamin untuk membentuk metilkobalamin yang kemudian memberikan gugus metil ke homosistein. Produk akhir adalah metionin, kobalamin, H4 folat yang dibutuhkan dalam pembentukan poliglutamil folat 5, 10-metil-H4 folat yang merupakan kofaktor timidilat sintase dan akhirnya untuk sintesis DNA (Onuh, 2012). Menurut Marzuki dkk (2012) yang menggunakan hewan coba mengalami peningkatkan jumlah trombosit pada tikus. Penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2009) mengenai metabolism sari kurma pada pasien dewasa dengan demam berdarah dengue membuktikan bahwa persentasepeningkatan jumlah trombosit perhari pada pasien DBD dengan pemberian kurma lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontrol. Sari kurma diberikan kepada 14 pasien berjenis kelamin pria 174 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana dengan umur 15-35 tahun dengan dosis 30 mL perhari dengan kontrol pembanding digunakan data rekam medis sebanyak 9 orang. Rata-rata persentase peningkatantrombosit perhari dengan pemberian kurma yaitu sebesar 23,90%. Rata-rata persentase peningkatan trombosit per harikontrol yaitu sebesar 8,09%. Persamaan antara penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2009) dengan penelitian ini adalah tetap dilakukannya intervensi pemberian cairan infus dan obat-obatan terhadap responden sehingga responden pada kedua penelitian ini bersifat homogen dan hasil penelitian keduanya tetap menunjukkan hasil yang sama yaitu terjadi peningkatan jumlah trombosit setelah intervensi pemberian sari kurma. ISSN: 2548-3153 Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Linder M. 2006. Biokimia nutrisi dan metabolisme. Terjemahan oleh Aminuddin Parakkasi. UI: Jakarta. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa sari kurma mempunyai pengaruh signifikan terhadap peningkatan jumlah trombosit pada penderita DBD. 5. REFERENSI Ahmed, Rizal, Muntaz, Khan & Tariq M. 2008. Dengue fever outbreak in karachi 2006-a study of profile and outcome of children under 15 years of age, J Pak Med Assoc. Vol.58, No.1 Bermawie N. 2006. Mengatasidemam berdarah dengan tanaman obat. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol.28. No. 6, p. 6-8. Chao CT & Krueger RR. 2007. The datepalm (Phoenix dactylifera L.):overview of biology, uses and cultivation, Hortscience, vol 42 (5) Habib HM & Ibrahim WH. 2011. Nutritional quality of 18 date fruitvarieties,International Journal of Food Sciences and Nutrition, 62 (5): 544-551 Hadinegoro S, Soegijanto S, Wuryadi S & Seroso T. 2001. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Dep.Kes RI. Jakarta. Hartoyo E. 2008. Spektrum klinis demam berdarah dengue pada anak, SariPediatri. Vol. 10, No. 3. Kusuma MAN. 2009. Metabolisme sari kurma pada pasien demam berdarah dengue: studi hematologis. Disertasi diterbitkan. Bogor: Program Studi Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu LPPM STIKes Perintis Padang 175 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 HUBUNGAN OBESITAS DENGAN HARGA DIRI RENDAH PADA SISWA/I SMA N 5 BUKITTINGGI TAHUN 2016 Lisa Fradisa1 , Hermawan 2 , Yendrizal Jafri 3 Program Studi Diploma III Keperawatan STIKes Perintis Padang Email : [email protected] 2 Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis Padang Email : [email protected] 3 Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Perintis Padang Email : [email protected] 1 Abstract Self-esteem is closely associated with weight adolescents. Teenagers who have a healthy weight, easier to accept the environment so that teens are becoming more confident and can improve self-esteem, and vice versa. Adolescents who are obese have lower self-esteem, especially, low selfperception will physical appearance, athletic competence and declining cognitive abilities as well as the disruption of the award on the body. An initial survey of the 10 students known that four people (40%) were obese. Among the four students who are obese are 3 people feel insecure and feel inferior to her appearance. The aim of research for obesity know relationship with low self esteem. Descriptive analytic method with cross sectional design. The population is all students / i in Senio High School 5 Bukittinggi, totaling 1,168 people. Samples numbered 92 people, who were taken by systematic. sampling porposive Processing and analysis of data is computerized. The results of the univariate analysis are known in 78.3% of respondents were not obese, and 51.1% did not experience low selfesteem. The results of the bivariate analysis there is a relationship of obesity with low self esteem (p = 0.017 and OR 4.200). Expected at the school, especially teachers BK, in order to attention and counseling to students/i that obesity. Keywords : Low Self-Esteem, Obesity 1. PENDAHULUAN Masa remaja merupakan merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan biologis, perubahan psikologis, dan perubahan sosial. Menurut World Health Organization (WHO) remaja merupakan individu yang sedang mengalami masa peralihan yang secara berangsurangsur mencapai kematangan seksual, mengalami perubahan jiwa dari jiwa kanak-kanak menjadi dewasa dan mengalami perubahan keadaan ekonomi dari ketergantungan menjadi relatif mandiri (Notaotmodjo, 2011). Perubahan apapun yang membedakan remaja dari teman sebayanya dianggap sebagai suatu tragedi besar. Citra tubuh remaja yang berubah cepat tersebut sering membuat mereka merasa tidak nyaman pada tubuh mereka sendiri. Mereka dapat berespon terhadap kejadian semacam itu dengan mengajukan peratanyaan, menarik diri, menolak orang lain (Wong, 2009). Tindakan remaja yang menarik diri tersebut merupakan salah satu gejala dan tanda dari harga LPPM STIKes Perintis Padang diri rendah. Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri (Keliat dan Akemat, 2010). Gangguan harga diri rendah di gambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan, mengkritik diri sendiri, penurunan produktivitas, destruktif yang diarahkan pada orang lain, perasaan tidak mampu, mudah tersinggung dan menarik diri secara sosial (Rikayanti, 2014). Menurut NANDA (2005) tanda dan gejala yang dimunculkan sebagai perilaku telah dipertahankan dalam waktu yang lama dan terus menerus, mengekspresikan sikap malu atau minder, rasa bersalah, kontak mata kurang atau tidak ada, selalu mengatakan ketidak mampuan atau kesulitan untuk mencoba sesuatu, bergantung pada orang lain, tidak asertif, pasif atau hipoaktif, bimbang dan ragu-ragu serta menolak umpan 176 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana balik positif dan membesarkan umpan balik negatif mengenai dirinya. Pada penelitian yang dilakukan Frost dan Mc. Kelvie (2004) ditemukan hubungan yang signifikan antara harga diri dan kepuasan citra tubuh pada anak-anak, remaja dan orang dewasa khususnya remaja putri yang tidak puas terhadap citra tubuhnya mempunyai harga diri yang rendah dan mengalami eating disorder atau gangguan makan. Sarafino (2002) remaja dengan berat badan lebih mempunyai harga diri yang rendah dibandingkan dengan remaja yang mempunyai berat badan normal (Kawuwung, 2015). Remaja yang obesitas memiliki harga diri yang lebih rendah, terutama rendahnya persepsi diri akan penampilan fisik, kompetensi atletik dan menurunnya kemampuan kognisi serta terganggunya penghargaan pada tubuh (French dkk, 2000). Menurunnya harga diri pada remaja yang obesitas terutama bila mereka merasa bahwa mereka yang bertanggung jawab akan kelebihan berat badan pada dirinya, sedangkan bagi remaja yang menyalahkan faktor eksternal yang menyebabkan mereka kelebihan berat badan cenderung memiliki harga diri yang lebih positif (Sutjijoso, 2009). Untuk mengukur seseorang menderita obesitas atau tidak, digunakan pedoman Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI), dengan rumus berat badan (kg) dibagi tinggi badan (m2). Jumlah angka penderita kelebihan berat badan dan obesitas pada remaja di dunia terus meningkat. Berdasarkan data Centres for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika, angka obesitas pada remaja terus meningkat dari 5% di tahun 1980 hingga 21% di tahun 2012 dengan 20,5% remaja perempuan dan laki-laki mengalami obesitas (www.cdc.gov). Prevalensi obesitas pada remaja usia 16–18 tahun di Indonesia menurut Riskesdas 2013 adalah sebanyak 1,6%. Dan prevalensi obesitas pada remaja usia 16–18 tahun di Provinsi Sumatera Barat juga sebanyak 1,69% (www.depkes.go.id). Di kota Bukittinggi, berdasarkan hasil pemeriksaan obesitas pada pengunjung Puskesmas se Kota Bukittinggi tahun 2014, diketahui bahwa terdapat penderita obesitas sebanyak 83 orang (3,2%) dari 312.675 kunjungan pada penduduk usia > 15 tahun yang terdiri dari 29 orang laki-laki dan 54 orang perempuan (DKK Bukittinggi, 2015). SMA N 5 Bukittinggi berada ± 3 km dari pusat kota. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah dan pembina UKS, diketahui bahwasanya LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 petugas kesehatan dari Puskesmas datang setiap 1 kali dalam 6 bulan. Petugas kesehatan datang untuk melakukan penjaringan kesehatan (pengukuran BB dan TB, pemeriksaan kesehatan mata, pemeriksaan kesehatan gigi) dan pembinaan UKS. Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada siswa/i kelas X saja. Survei awal yang dilakukan terhadap 10 orang siswa yang telah diukur berat badan dan tinggi badannya diketahui bahwa 4 orang (40%) diantaranya mengalami obesitas. Saat dilakukan wawancara pada 4 orang siswa/i, diketahui bahwa 3 orang merasa tidak percaya diri dan merasa minder dengan penampilannya, sehingga mereka merasa malu tampil di depan umum. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk mengetahui tentang hubungan obesitas dengan harga diri rendah pada siswa/i SMA N 5 Bukittinggi tahun 2016. 177 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 2. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan desain cross sectional yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mempelajari dinamika hubungan antara faktor-faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2010). Penelitian dilakukan terhadap variabel yang diduga berhubungan, yaitu obesitas dengan harga diri rendah. Pengolahan Data Setelah data terkumpul diklasifikasikan dalam beberapa kelompok menurut sub variable yang ada dalam pertanyaan. Data yang terkumpul diolah dengan langkah-langkah seperti pemeriksaan data (editing), pemberian tanda (coding), pengelompokan (tabulating), entry data, memproses data (processing), dan pembersihan data (cleaning). Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah siswa SMA Negeri 5 Bukittinggi yang berjumlah 92 orang. Analisa Data Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian, yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase. Instrument Instrument untuk pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner yang memuat beberapa pertanyaan yang telah dikembangkan oleh peneliti sesuai kerangka konsep. Analisa bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan. Analisis hasil uji statistik menggunakan Chi-Square test untuk menyimpulkan adanya hubungan 2 variabel. Prosedur Pengumpulan Data Sampel dalam melakukan penelitian ini berjumlah 92 orang yang diambil dengan teknik non probability, porposive sampling, yaitu pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang ditentukan oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui. Pelaksanaan pengambilan sampel secara porposive ini mula-mula peneliti mengidentifikasi semua karakteristik populasi dengan melakukan studi pendahuluan atau dengan mempelajari berbagai hal yang berhubungan dengan populasi. Kemudian peneliti menetapkan berdasarkan pertimbangannya, sebagian dari anggota populasi menjadi sampel penelitian. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama adalah pengajuan surat persetujuan menjadi responden kepada seluruh sampel. Tahap selanjutnya setelah setuju menjadi responden dan menandatangani surat persetujuan, kemudian dilakukan penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan pada seluruh sampel. Tahap ketiga adalah pengumpulan data dengan membagikan kuesioner kepada seluruh sampel.dan lama pengisian kuesioner kurang lebih lima belas menit Tahap terakhir adalah pengumpulan kembali lembaran kuesioner yang telah diisi oleh seluruh sampel,dimana sampel diambil secara porposive sampling. LPPM STIKes Perintis Padang 178 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Obesitas pada Siswa/i SMA N 5 Bukittinggi Tahun 2016 (n = 92) Obesitas Obesitas Tidak obesitas Jumlah Frekuensi 20 72 92 % 21,7 78,3 100 Tabel 5.1 menunjukkan bahwa dari 92 responden, sebagian besar (78,3 %) siswa/i SMA N 5 Bukittinggi tidak mengalami obesitas. Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Harga Diri Rendah pada Siswa/i SMA N 5 Bukittinggi Tahun 2016 (n = 92) Harga Diri Rendah Frekuensi % Ya 45 48,9 Tidak 47 51,1 Jumlah 92 100 Tabel 5.2 menunjukkan bahwa dari 92 responden, lebih dari sebagian (51,1 %) siswa/i SMA N 5 Bukittinggi tidak mengalami harga diri rendah. Tabel 5.3 Hubungan Obesitas dengan Harga Diri Rendah pada Siswa/i SMA N 5 Bukittinggi Tahun 2016 (n = 92) Obesitas Obesitas Tidak Obesitas Total Harga Diri Rendah Ya Tidak n % n % 15 75,0 5 25,0 30 41,7 42 58,3 45 48,9 47 51,1 Jumlah pvalue N 20 72 % 100 100 92 100 0,017 OR (CI 95 %) 4,200 (1,37712,812) Tabel 5.3 menunjukkan bahwa dari 20 responden yang mengalami obesitas, terdapat 15 orang (75,0 %) siswa/i SMA N 5 Bukittinggi memiliki harga diri rendah dan 5 orang (25,0 %) siswa/i SMA N 5 Bukittinggi tidak memiliki harga diri rendah. Dan diantara 72 responden yang tidak mengalami obesitas, terdapat 30 orang (41,7 %) siswa/i SMA N 5 Bukittinggi memiliki harga diri rendah dan 42 orang (58,3 %) siswa/i SMA N 5 Bukittinggi tidak memiliki harga diri rendah. Hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai p = 0,017 (p < 0,05) artinya terdapat hubungan yang bermakna antara obesitas dengan harga diri rendah pada siswa/i SMA N 5 Bukittinggi tahun 2016, dengan Odds Ratio 4,200, artinya bahwa responden yang mengalami obesitas mempunyai peluang 4,2 kali untuk memiliki harga diri rendah, dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami obesitas. LPPM STIKes Perintis Padang 179 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Pembahasan Obesitas Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 92 responden, sebagian besar tidak mengalami obesitas, yaitu sebanyak 72 orang (78,3 %). Obesitas adalah keadaan yang menunjukkan adanya kelebihan lemak tubuh. Obesitas disebabkan oleh banyak faktor seperti faktor genetik, gangguan metabolik, konsumsi makanan yang berlebihan yang tidak diimbangi dengan olahraga yang teratur. Obesitas dapat meningkatkan risiko timbulnya berbagai gangguan kesehatan seperti hipertensi, hiperlipidemia, DM, dan lain sebagainya (Waspadji dan Sukardji, 2003). Menurut asumsi peneliti, remaja yang mengalami obesitas disebabkan berat badan mereka melebihi berat ideal untuk tinggi badannya, dimana hasil penilain IMT (indeks massa tubuh) mereka > 30. Hal ini juga terlihat dari pemantauan pada saat penelitian bahwa remaja tersebut memiliki timbunan lemak di beberapa bagian tubuhnya, seperti pinggang, perut, panggul dan paha. Terjadinya obesitas tersebut dapat dipengaruhi oleh pola makan remaja yang berlebihan dan tidak mengkonsumsi gizi seimbang, serta malas melakukan aktifitas untuk membakar energi/lemak yang ada pada tubuh. Bagi responden yang tidak obesitas disebabkan IMT mereka kurang dari 30, dimana mereka tidak memiliki kelebihan timbunan lemak di tubuhnya. Remaja yang tidak obesitas tersebut dapat disebabkan adanya aktifitas fisik yang dapat membakar energi dan timbunan lemak yang ada pada tubuh. Disamping itu, kemungkinan remaja ini juga tidak menyukai makanan yang dapat menyebabkan timbulnya obesitas, seperti makanan yang banyak mengandung lemak. Adanya program diet yang dijalankan remaja juga menjadi penyebab tidak terjadinya obesitas pada dirinya, karena mereka berusaha untuk mengkonsumsi gizi seimbang dan membatasi konsumsi makanan yang dapat menyebabkan kegemukan. Harga Diri Rendah Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa dari 92 responden, lebih dari sebagian tidak mengalami harga diri rendah, yaitu sebanyak 47 orang (51,1 %). Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri (Keliat dan LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Akemat, 2010). Gangguan harga diri rendah di gambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan, mengkritik diri sendiri, penurunan produktivitas, destruktif yang diarahkan pada orang lain, perasaan tidak mampu, mudah tersinggung dan menarik diri secara sosial (Rikayanti 2014). Menurut asumsi peneliti, responden yang memiliki harga diri rendah disebabkan adanya perasaan negatif terhadap diri dan kemampuan dirinya, serta merasa tidak berharga dibandingkan teman-temannya yang lain. Hal ini terlihat dari hasil pengumpulan data bahwa banyak responden yang merasa penampilannya tidak trendy, adanya keinginan untuk merubah bentuk tubuh saat ini, dan selalu membandingkan diri dengan penampilan orang lain. Timbulnya harga diri rendah tersebut dapat disebabkan karena postur tubuh mereka bukan merupakan postur tubuh ideal bagi seorang remaja, karena adanya tekanan dari teman-teman sepergaulannya yang memiliki penampilan lebih menarik dan trendy. Bagi responden yang tidak memiliki harga diri rendah disebabkan mereka yakin dan percaya diri dengan penampilannya. Hal ini terlihat dari hasil pengumpulan data bahwa banyak responden yang merasa penampilannya menarik, tidak merasa kecewa dengan penampilannya dan tidak merasa malu dengan keadaan tubuhnya saat ini. Tidak adanya harga diri rendah tersebut dapat disebabkan karena remaja yang bersangkutan tidak mengalami obesitas, sehingga mereka bisa merasa yakin dan percaya diri dengan penampilannya, dimana apapun yang meraka gunakan terasa membuat dirinya lebih menarik dan penampilannya tidak jauh berbeda dengan teman-teman sepergaulannya. Hubungan Obesitas dengan Harga Diri Rendah Berdasarkan tabel 5.3 di atas dapat diketahui bahwa dari 20 responden yang mengalami obesitas, terdapat 15 orang (75,0 %) memiliki harga diri rendah dan 5 orang (25,0 %) tidak memiliki harga diri rendah. Dan diantara 72 responden yang tidak mengalami obesitas, terdapat 30 orang (41,7 %) memiliki harga diri rendah dan 42 orang (58,3 %) tidak memiliki harga diri rendah. Hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai p = 0,017 (p < 0,05) artinya terdapat hubungan obesitas dengan harga diri 180 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana rendah pada siswa/i SMA N 5 Bukittinggi tahun 2016, responden yang mengalami obesitas berpeluang 4,2 kali untuk memiliki harga diri rendah, dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami obesitas. Harga diri erat kaitannya dengan berat badan remaja. Remaja yang memiliki berat badan ideal, lebih mudah diterima lingkungannya sehingga remaja tersebut menjadi lebih percaya diri dan dapat meningkatkan harga dirinya, begitu pula sebaliknya. Sedangkan remaja yang mengalami obesitas atau kegemukan seringkali merasa tidak menarik dan berbeda dari remaja lainnya. Penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan antara harga diri dan obesitas pada remaja pertama kali dilakukan oleh French dan kawan-kawan pada tahun 1995. Penelitian ini menemukan adanya hubungan antara obesitas dengan harga diri yang rendah pada anak dan remaja (French dkk,1995 dalam Sutjijoso, 2009). Remaja yang obesitas memiliki harga diri yang lebih rendah terutama, rendahnya persepsi diri akan penampilan fisik, kompetensi atletik dan menurunnya kemampuan kognisi serta terganggunya penghargaan pada tubuh (French dkk,1995). Menurunnya harga diri pada remaja yang obesitas terutama bila mereka merasa bahwa mereka yang bertanggung jawab akan kelebihan berat badan pada dirinya, sedangkan bagi remaja yang menyalahkan faktor eksternal yang menyebabkan mereka kelebihan berat badan cenderung memiliki harga diri yang lebih positif (Sutjijoso, 2009). Menurut asumsi peneliti, adanya hubungan obesitas dengan harga diri rendah disebabkan remaja yang mengalami obesitas cendrung untuk memiliki harga diri rendah, dan sebaliknya remaja yang tidak mengalami obesitas cendrung untuk tidak memiliki harga diri rendah. Hal ini dapat terjadi karena kondisi tubuh yang obesitas menyebabkan remaja tersebut tidak dapat memiliki penampilan seperti teman-temannya yang lain, dimana mereka kesulitan mencari baju yang ideal bagi badannya. Disamping itu, kondisi tubuh yang obesitas menyebabkan remaja sering disindir oleh teman sepergaulan, sehingga membuat mereka tidak percaya diri dan melahirkan harga diri yang rendah. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan obesitas dengan harga diri rendah pada siswa/i SMA N 5 Bukittinggi, dapat diambil kesimpulan bahwa: LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 1. Sebagian besar responden yaitu 78,3 % tidak mengalami obesitas. 2. Lebih dari sebagian responden yaitu 51,1 % tidak mengalami harga diri rendah. 3. Terdapat hubungan antara obesitas dengan harga diri rendah pada siswa/i SMA N 5 Bukittinggi tahun 2016 dengan p value 0,017 ( α ≤ 0,05 ) 5. REFERENSI Al-Mighwar, M. (2011). Psikologi remaja. Pustaka Setia: Bandung. Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Rineka Cipta: Jakarta. Atwater, E dan Duffy. K. G. (1999). Psychology for living; adjustment, growth, andbehavior today (6th ed). PrieticeHall. Ince: New Jersey. Baron, R. A. dan Byrne, D. (2004). Psikologi sosial (Ed. 10). Penerbit Erlangga: Jakarta. Burn, R. B. (1998). Konsep diri: Teori pengukuran, perkembangan dan perilaku. Ahli bahasa oleh Eddy. Arcan: Jakarta. Centres for Disease Control and Prevention. (2015). Childood obesityfacts, diakses tanggal 27 Agustus 2015, <www.cdc.gov>. Copernito. (2000). Buku diagnosa keperawatan. Editor Monica Ester. EGC: Jakarta. Dacey, J dan Kenny. (2001). Adolescent development (2nd ed). Browndan Benchmark Publisher: USA. Guyton dan Hall. (2008). Buku ajar fisiologi kedokteran. EGC: Jakarta. Hawari, Dadang. (2001). Manajemen stres, cemas, dan depresi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. Hidayat, AA. (2007). Riset keperawatan dan teknik penulisan. Salemba Medika: Jakarta. 181 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Kawuwung. (2015). Hubungan obesitas dengan citra tubuh dan harga diri pada remaja putri program studi ilmu keperawatan fakultas kedokteran universitas sam ratulangi Manado. e-Journal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2 Mei 2015. Keliat, Budi Anna, dkk. (2005). Proses keperawatan kesehatan jiwa edisi 2. EGC: Jakarta. Keliat dan Akemat. (2010). Model praktik keperawatan profesional jiwa. EGC: Jakarta. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Pusat data dan informasi kementrian kesehatan, diakses tanggal 19 Agustus 2015, <www.depkes.go.id>. (2011). Tinjauan pustaka, diakses tanggal 27 Agustus 2015, <www.unila.ac.id>. (2011). Tinjauan pustaka, diakses tanggal 27 agustus 2015, <www.usu.ac.id>. Kusumawati, Frida dan Yudi Hartono. (2010). Buku ajar keperawatan jiwa. Salemba Medika: Jakarta. Nanda. (2005). Panduan diagnosa keperawatan Nanda definisi dan klasifikasi 20052006. Editor: Budi Sentosa. Prima Medika: Jakarta. Notoatmodjo. (2005). Metodologi penelitian kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta. --------. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta. --------. (2011). Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Rineka Cipta: Jakarta. Potter, P. A dan Perry, A. G. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan. EGC: Jakarta. Rikayanti. (2014). Hubungan harga diri dengan aktualisasi diri pada remaja putri dengan obesitas di SMA Negeri 4 Makassar Volume 2 Nomor 4 Tahun 2013 ● ISSN : 2302-1721 LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Rimbawan dan Albainer Siagian. (2004). Indeks glikemik pangan. Penebar Swadaya: Jakarta. Sarwono, SW. (2012). Psikologi remaja. Rajawali Press: Jakarta. Sarwono, Sarlito Wirawan. (2002). Psikologi sosial individu dan teori-teori psikologi sosial. Balai Pustaka: Jakarta. Sherwood NE, Jeffery RW, French SA, Hannan PJ, Murray DM. (2000). Predictors of weight gain in the pound of prevention study. Soegih, R. R dan Wiramihardja. (2009). Obesitas permasalahan dan terapi praktis. Sagungseto: Jakarta. Stuart dan Laria. (2005). Principles and practice of psychiatric nursing. Mosby Company: USA. Stuart, Gait dan Sundeen, Sandra. (2005). Buku ajar keperawatan jiwa. EGC: Jakarta. Stuart, G. W dan Sundeen. (2006). Buku saku keperawatan jiwa. EGC: Jakarata. Sutjijoso, AR. (2009). Harga diri dan prestasi belajar pada remaja yang obesitas. Jurnal Psikologi Volume 3, No.1, Desember 2009 Tim Penulis Poltekes Depkes Jakarta. 2010. Kesehatan remaja; problem dan solusinya. Salemba Medika: Jakarta Townsend. (2003). Diagnosa keperawatan pada keperawatn psikiatri, pedoman untuk pembuatan rencana perawatan Edisi 3. EGC: Jakarta. ----------. (2005). Essensials of psychiatric mental health nursing. Davis Company: Philadelphia. Trihendradi. C. (2009). 7 langkah mudah melakukan analisa statistik menggunakan SPSS. Andi Offset: Yogyakarta. Videbeck, Sheila L. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Alih bahasa, Renata Komalasari Alfrina Hany, Editor edisi 182 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 bahasa Indonesia, Pamilih Eko Karyuni. EGC: Jakarta. Waspadji, S. (2002). Kegemukan: Pendekatan klinis dan pemilihan obatnya, dalam prosiding temu ilmiah akbar. Pusat informasi dan penerbit bagian ilmu penyakit dalam FKUI: Jakarta. Wong, Dl. (2009). Buku ajar keperawatan pediatrik. EGC: Jakarta. Yoseph, Iyus. (2009). Keperawatan jiwa. Cetakan kedua (edisi revisi). PT Refrika Aditama: Bandung. LPPM STIKes Perintis Padang 183 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 ANALISIS NILAI GIZI IKAN PANTAU (Rasbora argirotaenia) DAN DAYA TERIMA TERHADAP PROSES PENGOLAHAN Nurhamidah1), Widiadara2) Program studi S1 gizi, STIKesPerintis Padang email : [email protected] 2) Program studi D-III gizi, STIKes Perintis Padang 1) Abstract Pantau fish is have silvery bright basic colors. Fins yellowish color coupled with each lobe of the tail fin has a black ribbon across it. Body shape of this fish body length rounded, her scales large, and to date no studies done that look at the analysis of the nutritional value of fish this pantau. The purpose of this study was to determine the nutritional value of fish pantau analysis and to determine the level of A panelist on the process pengolahan.Metode: pantau fish smoothed by way of raw, steamed, fried and dried and then analyzed qualitatively, SSA and HPLC to see kharbohidrat nutritional value, protein , fat, moisture content, ash content, calcium, zinc and vitamin A. Also the organoleptic test (hedonic) for color, aroma, texture and taste. The survey results revealed that out of 4 treatment, carbohydrate highest in treatment fried (64 261 g) and the lowest in treatment steamed (0295 grams). The highest protein treatment of dried (24 548 g) and the lowest steamed treatment (4.203gram). The highest fat steamed treatment (18 520 g) and the lowest in the untreated (0164 grams). The highest water levels in the untreated (82.56 grams) and dried treatment room (6:07 grams). Dried ash content tertertinggi treatment (16 243 g) and the lowest in the untreated (2,882 grams). The highest levels of calcium treatment dried (329.31 mc / g) and the lowest steamed treatment (160.34 mc / g). The highest levels of treatment Zink dried (45.61 mg) and the lowest in treatment steamed (21.93 mg). And for the highest levels of vitamin A in the treatment of dried (457 RE) and the lowest treatment of raw, steamed and fried (<0.50 RE). From the organoleptic test that dillakukan to special processing (steamed, fried and dried) are most preferred panelist is by frying, but after statistically tested the value of preference for color, aroma, taste and texture as a whole did not show significant differences (p <0, 05). Processing by drying can further improve the nutritional value of fish pantau (Rasbora argirotaenia). Keywords: Nutritional Value Analysis, fish Pantau (Rasbora argirotaenia), organoleptic processing 1. PENDAHULUAN Kekurangan gizi pada anak usia dini (0-6 tahun) masih merupakan masalah yang memerlukan perhatian lebih besar terutama pada masyarakat golongan sosial ekonomi rendah. Salah satu pangan lokal yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan gizi dimasyarakat adalah ikan pantau (Rasbora argirotaenia). Ikan pantau (Rasbora argirotaenia) ini memiliki keunggulan sangat mudah untuk berkembang biak. Sebelum dikembangkan lebih lanjut untuk dapat dimanfaatkan dalam bentuk makanan tambahan dalam program penanggulangan masalah gizi kurang, maka perlu dilihat keunggulan dari ikan pantau (Rasbora argirotaenia). Berdasarkan hal tersebutmaka perlu dilakukan analisis kandungan nilai gizi ikan pantau (Rasbora argirotaenia) dan daya terima terhadap proses pengolahannya. IkanPantau (Rasbora argirotaenia) ini jenis ordo: Cypriniformes, famili : Cyprinidae genus : Rasbora dan spesies : Rasbora aryrotaenia LPPM STIKes Perintis Padang (Saanin, 1984). Menurut Djuhanda (1981) ikan Pantau mempunyai warna dasar keperakan yang cemerlang.Warna siripnya yang kekuningkuningan ditambah dengan masing-masing cuping sirip ekornya yang memiliki pita warna hitam melintang. Bentuk tubuh ikan ini panjang membulat, sisik sisiknya besar. Warna tubuh bagian atasnya kecoklatan dan bagian bawahnya kekuning-kuningan dipisahkan oleh gurat sisi yang menghitam mulai dari belakang tutup insang terus kebelakang badan. Lubang mulut kecil, sekitar mulut tidak ada sungut eraba, sepintas lalu kelihatan seperti beunteur. Ikan pantau (Rasbora argirotaenia) termasuk dalam genus Rasbora mempunyai bentuk tubuh memanjang hampir persegi dan ditutupi oleh sisik cycloid yang terdapat mulai dari belakang kepala sampai kepangkal ekor. Perut membundar, sirip punggung berukuran pendek tidak memiliki jarijari lemak yang mengeras serta terletak di belakang sirip perut bercagak (forked), posisi mulut terminal dan mulut tidak memiliki sungut. 184 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat keunggulan dari kandungan nilai gizi ikan pantau dalam proses pengolahan sebelum dijadikan sebagai makanan tambahan alternatif pada anak gizi kurang. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium teknologi hasil pertanian dan laboratorium air teknik lingkungan Universitas Andalas Padang. Desain penelitian yang digunakan adalah Analitik eksperimental, ekstrak ikan pantau mentah, dikukus, digoreng dan dikeringkan dianalisa nilai gizinya secara kualitatif, Spektrofotometer Serapan Atom(SSA)dan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan seterusnya ikan yang diolah dengan cara dikukus, digoreng dan dikeringkan di uji secara organoleptik (hedonik) kepada 30 orang panelis yang sudah memahami tentang uji organoleptik, penilaian berdasarkan tingkat kesukaan dengan skala pengujian 1 sampai 5 yaitu 5= sangat suka, 4= suka, 3= kurang suka, 2= tidak suka, 1= sangat tidak suka. Data yang diperoleh diuji secara statistik dengan uji anova. Alat yang digunakan untuk analisa kandungan nilai gizi ikan pantau (Rasbora argirotaenia), blender, oven listrik, timbangankasar, timbangan analitik, seperangkat alat spektrofotometeruv, kromatografi, oven, seperangkat alat destruksi, cawan porselen, desikator, labu ukur aluminium, erlenmeyer dan kertas saring whatman, photometer analyzer, dan seperangkat alat High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari bahan dasar dan bahan kimia. Bahan dasar yang digunakan adalah: ikan-ikan pantau yang diperoleh dari daerah limau manis Kota Padang, Bahan kimia yang dipakaiadalah, arsenomolybdat, glukosa, tetra butilaminhidroksit, H2SO4 pekat, H3BO3, NaOHdan N-Hexana, aquadest, asamasetat, kloroform, larutan KI jenh, N2 S2 O3, larutan pati 1%, propanol, reagen albumin, kit pemeriksaan vitamin A, enzimamilase, indicator metel merah, pelarutmetanol, pelarut petroleum eter 300 ml, HCL dan form ujiorganoleptik. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Analisis Nilai Gizi ikan Pantau (Rasbora argirotaenia) Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap analisis nilai gizi ikan pantau (R asbora rgirotaenia) diketahui nilai gizinya adalah sebagai berikut : LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Tabel1.AnalisaNilaiGiziIkanPantau(Rasboraargi rotaenia) dalam 100 gram bahan Mentah No Kandungan nilai gizi 1 Kharbohidrat (gram) 2 Protein (gram) 3 Lemak (gram) 4 Kadar air (gram) 5 Kadar abu (gram) 6 Calsium (mc/gr) 7 Zn (mg) 8 Vitamin A (RE) Dikukus No Kandungan nilai gizi 1 Kharbohidrat (gram) 2 Protein (gram) 3 Lemak (gram) 4 Kadar air (gram) 5 Kadar abu (gram) 6 Calsium (mc/gr) 7 Zn (mg) 8 Vitamin A (RE) Digoreng No Kandungan nilai gizi 1 Kharbohidrat (gram) 2 Protein (gram) 3 Lemak (gram) 4 Kadar air (gram) 5 Kadar abu (gram) 6 Calsium (mc/gr) 7 Zn (mg) 8 Vitamin A (RE) Dikeringkan No Kandungan nilai gizi 1 Kharbohidrat (gram) 2 Protein (gram) 3 Lemak (gram) 4 Kadar air (gram) 5 Kadar abu (gram) 6 Calsium (mc/gr) 7 Zn (mg) 8 Vitamin A (RE) Jumlah 9.827 4.565 0.164 82.56 2.882 182.76 28.95 <0.50 jumlah 0.295 4.203 18.520 73.50 3.480 160.34 21.93 <0.50 jumlah 64.261 8.743 3.063 17.52 6.410 172.41 35.53 <0.50 jumlah 36.429 24.548 16.709 6.07 16.243 329.31 45.61 457 Dari tabel 1 di atas diketahui bahwa dari 4 perlakuan, karbohidrat yang paling tinggi terdapat pada perlakuan digoreng (64.261 gram) dan yang 185 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana paling rendah pada perlakuan dikukus (0.295 gram). Protein yang paling tinggi pada perlakuan dikeringkan (24.548 gram) dan yang paling rendah dengan perlakuan dikukus (4.203 gram). Kandungan lemak yang paling tinggi dengan perlakuan dikukus (18.520 gram) dan yang paling rendah dengan tanpa perlakuan (0.164 gram). Kadar air yang paling tinggi dengan tanpa perlakuan (82.56 gram) dan yang paling rendah dengan perlakuan dikeringkan (6.07 gram). Kadar abu yang paling tinggi dengan perlakuan dikeringkan (16.243 gram) dan yang paling rendah dengan tanpa perlakuan (2.882 gram). Kalsium yang paling tinggi terdapat pada perlakuan yang dikeringkan (329.31 mc/gr) dan yang paling rendah dengan perlakuan dikukus (160.34 mc/gr). Kadar Zn yang paling tinggi terdapat pada perlakuan dikeringkan (45.61 ppm) dan yang paling rendah dengan perlakuan dikukus (21.93ppm), dan kadar vitamin A yang paling tinggi pada perlakuan dikeringkan (457 RE) dan ketiga perlakuan lainnya rendah yaitu (<0,50 RE). b. Uji Organoleptik dari perlakukan ikan Pantau (Rasboraargirotaenia) Uji organoleptik (ujihedonik) dilakukan untuk menilai daya terima panelis terhadap pengolahan yang dilakukan pada ikan pantau seperti digoreng, dikukus dan dikeringkan yang meliputi warna, aroma, tekstur dan rasa dengan menggunakan rentang nilai 1-5 yaitu amat suka (5), sangat suka (4), suka (3), agak suka (2) dan tidak suka (1). Jumlah panelis pada uji organoleptik yang telah dilakukan berjumlah 30 orang yang telah di pahami tentang pelaksanaan uji organoleptik. Adapun hasil uji organoleptik sebagai berikut : a. Ikan Pantau (Rasbora argirotaenia) Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap kesukaan uji organoleptik ikan pantau (Rasbora argirotaenia) dapat dilihat pada table dibawah ini : Tabel 2. Nilai rata-rata kesukaan Panelis terhadap kesukaan uji organoleptik Ikan Pantau(Rasbora argirotaenia) Per Warn Aro Rasa Tekstur Ratalak a ma rata uan B1 3.03 2.97 2.87 2.77 2.91 B2 2.93 2.9 2.37 2.17 2.59 B3 2.1 2.47 1.77 1.8 2.04 LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Keterangan : B1=digoreng, B2=dikukus, dan B3=dikeringkan Dari grafik di atas diketahui bahwa rata-rata nilai hasil uji organoleptik panelis secara keseluruhan adalah pengolahan dengan cara digoreng mempunyai nilai kesukaan tertinggi (2.91), berikutnya pengolahan dengan cara dikukus (2.59) dan nilai kesukaan yang terendah dengan pengolahan dikeringkan (2.04). Dan berdasarkan uji statistic nilai kesukaan terhadap warna, aroma, rasa dan tekstur secara keseluruhan tidak menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05). Dibandingkan dengan nilai gizi ikan bilih (Mystacoleucus-padangensis) kandungan vitamin A nya 389.9 RE (Yuniritha E. 2015) sedikit lebih rendah dibandingkan kandungan vitamin A ikan pantau yaitu 457 RE. 4. KESIMPULAN Proses pengolahan dengan cara dikukus, digoreng dan dikeringkan dapat lebih meningkatkan kandungan nilai gizi ikan pantau. Dan dari uji organoleptik yang paling disukai adalah dengan cara digoreng, tetapi berdasarkan uji statistic nilai kesukaan terhadap warna, aroma, rasa dan tekstur secara keseluruhan tidak menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05). Ikan pantau sangat berpotensi dikembangkan sebagai bahan pangan lokal makanan tambahan alternatif pada anak gizi kurang, karena kandungan vitamin A dan zat gizi lainnya yang cukup tinggi. 5. REFERENSI Dinas pertanian, peternakan dan perikanan, “ mengenalnilaigiziikan”, diakses 15april 2015. Sudarmadji, S, Bambang, H dan Suhardi. 1997. AnalisaBahanMakanandanPertanian.Yog yakarta.Liberty bekerjasama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi UGM. Herbert V, Jayatilleke E, Shaw S, Rosman AS, Giardina P, Grady Rw, dkk. Serum fertin ion, a new test, measures human body iron stores un confounded by inflammation. Stem Cell 1997 ; 15 : 291-6. Gibson, R.S Principles of Nutritional Assesment, Second Edition, New York : Oxford press.2005. DalamDewiPermaesih. GiziIndon 2008,31 (2) : 92 -97. Penialian Status Gizi. Saskia de Pee and Dary O. Biochemical Indicators of Vitamin A Deficiency : Serum Retinol and Serum Retinol Binding Protein.J. Nutr.2002.132 : 2895S. 186 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 DalamDewiPermaesih. GiziIndon 2008,31 (2) : 92 -97. Penialian Status Gizi. Yuniritha E. Pengembangan formula sirup zink dari ekstrak ikan bilih (Mystacoleucuspadangensis) sebagai alternatif suplementasi zink organik pada anak pendek (stunted) usia 12-36 bulan,2015. LPPM STIKes Perintis Padang 187 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 PROFIL PELAYANAN KEFARMASIAN PADA APOTEK SWASTA DI BUKITTINGGI PADA TAHUN 2016 Widyastuti* *Akademi Farmasi Imam Bonjol [email protected] Abstract The enactment of Regulation of the Minister of Health regarding the standard pharmacy services at a pharmacy in 2014 encourage research on the profile of pharmacy services at private pharmacies at Bukittinggi in 2016 to see the picture of the extent to which the regulation has been implemented as an indicator in the assessment of pharmacy services at a pharmacy. This research is a descriptive observational research to determine the application of the standard pharmaceutical services in accordance with the Minister of Health No. 35 of 2014 on private pharmacies in Bukittinggi by way of filling out the questionnaire on private pharmacies in Bukittinggi. From the questionnaires have been collected calculated the percentage of achievement that has been implemented in accordance with the Minister of Health RI No. 35. From this research it can be concluded that the pharmacy services at private pharmacies in Bukittinggi the average of the managerial aspects of 94.18%, the average of the aspects of clinical pharmacy services at 49.39 and the overall average of 71.79% has been implemented in accordance with the Indonesian Minister of Health no. 35 in 2014. Keywords:Pharmaceutical service, Pharmacist, Descriptive observational 1. PENDAHULUAN Apotek mempunyai fungsi utama dalam pelayanan obat berupa resep dan yang berhubungan dengan itu, serta pelayanan obat tanpa resep yang biasa di pakai di rumah. Apotek adalah suatu tempat tertentu tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat (Anief, 2005).Apotek wajib melayani resep Dokter, Dokter gigi dan Dokter hewan (Anief, 2000). Pelayanan kefarmasian merupakan konsep masa kini dan masa depan pada profesi farmasi dimulai dari penyediaan obat untuk pasien secara langsung dan bertanggung jawab terhadap obat yang diberikan kepada pasien untuk mencapai kualitas hidup pasien (Surahman & Husen, 2011). Secara umum apotek mempunyai dua fungsi yaitu memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat, sekaligus sebagai tempat usaha yang menerapkan prinsip laba jadi keduanya bisa dijalankan secara beriringan tanpa meninggalkan satu sama lain (Bogadenta, 2013). Handayani, et.al (2009) melakukan penelitian mengenai persepsi konsumen apotek terhadap pelayanan apotek di tiga kota di Indonesia menunjukkan 74,5% konsumen memiliki persepsi yang baik terhadap layanan apotek meskipun pelayanan kefarmasian yang diperoleh belum memenuhi standar farmasi komunitas. Ihsan, et.al (2014) melakukan penelitian tentang evaluasi mutu pelayanan di apotek komunitas Kota Kendari berdasarkan LPPM STIKes Perintis Padang standar pelayanan kefarmasian menunjukkan mutu pelayanan pada apotek komunitas Kota Kendari adalah kategori cukup. Purwanti, et.al (2004) melakukan penelitian tentang gambaran pelaksanaan standar pelayanan farmasi di Apotek DKI Jakarta tahun 2003 menunjukkan apotek tidak memenuhi standar pelayanan obat resep dan non resep, Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) dan pengelolaan obat. Mulyani, et.al (2013) melakukan penelitian tentang persepsi pasien apotek terhadap pelayanan Apotek di Kabupaten Wonosobo menunjukkan sebanyak 50,60% pasien setuju terhadap pelayanan kefarmasian di apotek sudah baik. Anisah, et.al (2010) melakukan penelitian tentang pengaruh pelayanan kefarmasian terhadap kepuasan konsumen Apotek di Wilayah Purwokerto menunjukkan sudah berjalan dengan baik dan sesuai dengan PerMenKes No. 1027 tahun 2004. Baroroh (2014) melakukan penelitian tentang evaluasi kepuasan konsumen terhadap pelayanan kefarmasian di Apotek Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa konsumen apotek di Kota Yogyakarta puas terhadap pelayanan kefarmasian. Berdasarkan hal–hal tersebut diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai profil pelayanan kefarmasian pada apotek swasta di Kota Bukittinggi.Tujuan penelitian ini untuk melihat apakah pelayanan kefarmasian di apotek swasta Bukitinggi pada 188 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana tahun 2016 sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 35 tahun 2014.Manfaat penelitian ini agar dapat memahami dan menerapkan pelayanan kefarmasian khususnya apotek-apotek swasta di daerah Bukittinggi dan penelitian ini juga dapat dijadikan masukan guna peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat. 2. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang bersifat deskriptif untuk mengetahui penerapan standar pelayanan kefarmasian sesuai dengan PerMenKes RI Nomor 35 Tahun 2014 pada apotek–apotek swasta di Bukittinggi. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh apotek yang ada di kota Bukittinggi. Sampel penelitian diambil menurut rumus (Sari, 2004): ISSN: 2548-3153 n = p.q (Z½α / b)² dimana : n = jumlah sampel minimum p = proporsi persentase kelompok populasi pertama q = proporsi persentase kelompok kedua atau proporsi sisa = 1-p Z½α = derajat koefisien konfidensi pada taraf kepercayaan tertentu (missal 95 atau 99%) b = persentase perkiraan kemungkinan membuat kekeliruan dalam menentukan ukuran sampel (berkisar 0,1 sampai 0,5) Lembaran kuesioner yang telah diisi dilakukan pengolahan data dengan cara menghitung persentase pencapaian yang sesuai dengan standar. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Persentase Pencapaian Pelayanan Kefarmasian di Apotek Swasta Bukittinggi Parameter yang diamati Aspek Administrasi Perencanaan Pengadaan A B C D Apotek E F G H I 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% Penerimaan 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% Penyimpanan 100% 66,67 % 100% 100% 33,33 % 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 33,33 % 100% 100% 100% 100% 33,33 % 100% 100% 100% 33,33 % 100% 100% 33,33 % 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 92,31 % 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 92,31 % 100% 100% PIO 100% 92,31 % 100% 100% 100% 100% 100% 92,31 % 100% 100% 92,31 % 100% Konseling 50% 50% 50% 50% 50% 50% 50% 50% 50% Home Care 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Pemantauan Terapi Obat 0 0 0 0 0 0 0 0 0 MESO 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Pemusnahan Pengendalian Pencatatan dan Pelaporan Aspek Klinis Pengkajian Resep Dispensing LPPM STIKes Perintis Padang 100% 100% 189 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi, kini berubah menjadi pelayanan komprehensif, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien.Sesuai ketentuan perundang-undang yang berlaku, sebuah apotek harus dikelola oleh apoteker profesional (Bogadenta, 2013). Hasil penelitian didapatkan semua apotek telah memiliki apoteker yang memiliki SIPA. Menurut PP RI No. 51 Tahun 2009, Surat Izin Praktik Apoteker disingkat SIPA adalah surat izin yang diberikan kepada apoteker untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada apotek atau instalasi farmasi rumah sakit, yang digunakan untuk mendirikan sebuah apotek dan pemesanan obat kepada PBF. Berdasarkan rumus penentuan sampel, dari 54 Apotek yang ada di Bukittinggi, maka terpilih 9 Apotek, dimana masing-masing kecamatan yang berada di kota Bukittinggi diwakili oleh 3 apotek. Dalam melakukan tugasnya apoteker dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK). Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah/ Asisten Apoteker. Surat Izin KerjaTenaga Teknis Kefarmasian (SIKTTK) adalah surat izin praktik yang diberikan kepada Tenaga Teknis Kefarmasian untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas kefarmasian. Dari hasil penelitian semua apotek telah memiliki Tenaga Teknis Kefarmasian tetapi sebagian dari TTK belum memiliki SIKTTK karena masih dalam pengurusan. Fungsi tenaga administrasi ialah membuat laporan realisasi data dan anggaran setiap bulan, membuat laporan penutupan buku dan melakukan rekaptulasi buku penjualan tunai dihitungberdasarkan jumlah resep dan rekaptulasi buku pembelian. Dari hasil penelitian 3 apotek telah memiliki tenaga administrasi yang bekerja sebagai kasir, menghitung resep dan membuat laporan akhir bulanan/ tahunan tetapi masih ada 6 apotek belum memiliki tenaga administrasi karena pekerjaan administrasi masih bisa dilakukan oleh Apoteker, Tenaga teknis kefarmasian dan Pemilik sarana apotek. Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi konseling, lemari buku, buku-buku referensi, leaflet, poster, alat bantu konseling, buku catatan konseling dan formulir catatan pengobatan pasien. Hasil penelitian didapatkan hanya 1 apotek yang LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 memiliki ruang konseling dan masih ada 8 apotek hanya memiliki kursi dan meja yang tidak memiliki ruang konseling tersendiri karena fasilitas yang tidak mencukupi, sehingga tempat penyerahan obat kepada pasien digunakan juga oleh apoteker untuk konseling apoteker dengan pasien. Hasil ini lebih bagus dibandingkan pada apotek di DKI Jakarta pada tahun 2003 dimana apotek yang menyediakan ruang konseling apoteker hanya 1,5% (1 apotek) dari 68 apotek yang disurvei hal ini disebabkan karena tidak adanya ruangan tersendiri untuk apoteker (Purwanti, et al, 2004). Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan dengan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai serta pelayanan kefarmasiaan dalam jangka waktu tertentu. Dari hasil penelitian semua apotek belum memiliki ruang arsip karena semua arsip diletakkan didalam lemari penyimpanan resep, faktur, laporan dan sebagainya yang berada di dalam apotek. Pemusnahan obat merupakan kegiatan penyelesaian terhadap obat-obatan yang tidak terpakai karena kadaluarsa, rusak, ataupun mutunya sudah tidak memenuhi standar.Tujuan dilakukan pemusnahan ini ialah untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan obat atau perbekalan kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu keamanan dan kemanfaatan. Dari hasil penelitian hanya 44,44% yang melakukan pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika atau psikotropika dan 55,55% apotek yang tidak melakukan pemusnahan. Tidak dilakukannya pemusnahan dengan cara yang sama, hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal yaitu karena obat kadaluwarsa atau rusak mengandung narkotika atau psikotropika dapat dikembalikan kepada PBF, tidak menyediakan obat narkotika dan psikotropika, obat narkotika dan psikotropika tidak ada yang rusak atau kadaluwarsa. Dengan kondisi seperti itu hasil penelitian lapangan yang didapat menjadi 100%. Hasil penelitian 33,33% apotek sudah melakukan pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika hanya saja ada 66,66% apotek yang tidak melakukan pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika karena obat tersebut dapat dikembalikan kepada PBF dan yang tidak bisa dikembalikan kepada PBF tidak dilakukan pemusnahan hanya saja diletakkan di gudang dan ditempat yang terpisah. Pemusnahan resep berguna untuk keamanan resep supaya tidak disalah gunakan. 190 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Dari hasil penelitian hanya 44,44% yang melakukan pemusnahan resep, sedangkan 55,55% belum melakukan karena tidak dilakukan pemusnahan di apotek tersebut. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien digunakan untuk melihat kembali riwayat penyakit pasien apabila ada keluhan dari pasien atau keluarga pasien. Dari hasil penelitian hanya 44,44% yang membuat catatan pengobatan pasien, 55,55% apotek masih belum melakukannya karena belum tersedianya kartu catatan pengobatan pasien di apotek dan masih belum ada waktu untuk melakukanya. Pelayanan informasi obat didefenisikan sebagai kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, komprehensif, terkini oleh apoteker kepada pasien, tenaga kesehatan, masyarakat maupun pihak yang memerlukan. Tujuan pelayanan informasi obat adalah menunjang ketersediaan dan penggunaan obat rasional, berorientasi kepada pasien, tenaga kesehatan, dan pihak lain, menyediakan dan memberikan informasi obat kepada pasien, tenaga kesehatan dan pihak lain, menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan obat (Kurniawan Chabib, 2010). Hasil penelitian semuaapoteker apotek telah melakukan PIO hanya saja 5 apotek melakukan PIO satu kali sehari, 3 apotek melakukan PIO tiap minggu, 1 apotek melakukan PIO satu kali sebulan, masih ada apoteker apotek yang belum melakukan PIO setiap hari karena belum sanggupnya apoteker untuk melakukan PIO tiap hari. Hal ini lebih bagus dibandingkan pada apotek di DKI Jakarta pada tahun 2003 dimana apoteker yang hadir setiap hari 12,8%, apoteker yang hadir 1 kali seminggu 57,4%, apoteker yang hadir 1 kali sebulan 23,4% (Purwanti, et al, 2004). Gambar 1.Persentase Pencapaian Pelayanan Kefarmasian di Apotek Swasta Bukittinggi 76% 74% 72% 70% 68% 66% 74.45%74.45% 75% 72% 70.24% 70.24%70.24% LPPM STIKes Perintis Padang 69.69%69.69% ISSN: 2548-3153 Kegiatan pelayanan informasi obat yang dilakukan harus terdokumentasi dengan baik agar apa yang disampaikan kepada pasien itu jelas dan memudahkan untuk melihat kembali riwayat pasien. Berdasarkan hasil penelitian semua apotek belum melakukan pendokumentasian PIO karena belum adanya membuat, belum tersedianya kartu PIO pasien dan belum adanya waktu untuk melakukan pendokumentasian PIO. Konseling merupakan proses untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah pasien yang berkaitan dengan pengambilan keputusan penggunaan obat. Tujuan dilakukannya konseling adalah memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien/ keluarga pasien antara lain tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara dan lama penggunaan obat, efek samping, tanda-tanda toksisitas dan cara penyimpanan obat. Hasil penelitian semua apotek telah melakukan konseling antara apoteker dengan pasien hanya saja 5 apotek melakukan konseling tiap hari, 3 apotek melakukan konseling tiap minggu, 1 apotek melakukan konseling tiap bulan, masih ada apotek belum melakukan konseling tiap hari karena belum sanggupnya apoteker untuk melakukan konseling tiap hari.Semua apotek belum melakukan pendokumentasian konseling dengan meminta tanda tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan dalam konseling karena belum adanya waktu dan belum tersedianya kartu konseling pasien. Home care merupakan pelayanan kesehatan yang dilakuakan secara intensif dan berkelanjutan pada seseorang atau keluarga di tempat tinggal mereka sendiri, dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional dengan perencanaan dan koordinasi di atur berdasarkan perjanjian bersama. Pelayanan home care bertujuan untuk memonitoring terapi obat yang diberikan. Home care merupakan tanggung jawab apoteker untuk memonitor keberhasilan terapi obat yang diberikan. Home care diberikan untuk mengetahui apakah pasien sudah sembuh atau belum, apakah pasien patuh dalam minum obat atau tidak dan melihat kondisi pasien secara langsung. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 35 tahun 2014, Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Dari penelitian yang didapatkan semua apotek belum melakukan pelayanan kefarmasian di rumah dari hasil penelitian lapangan di dapat karena masih 191 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana belum terlaksananya kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah dan belum adanya waktu. Berdasarkan penelitian semua apotek belum melakukan pemantauan terapi obat karena belum menemukan kasus pemantauan terapi obat terhadap pasien. Pemantauan terapi obat adalah suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan pemantauan terapi obat adalah meningkatkan efektivitas terapi dan menimilkan resiko reaksi obat tidak diharapkan (Anonim, 2011). Berdasarkan penelitian kegiatan untuk Monitoring Efek Samping Obat (MESO) yang mempunyai resiko tinggi semua apotek belum melakukan karena tidak cukupnya waktu yang ada dengan banyaknya resep yang masuk ke Apotek dan belum adanya waktu. Monitoring efek samping obat merupakan kegiatan pemantauan setiap respon tubuh yang tidak dikehendaki terhadap obat yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi (Anonim, 2011). 4. KESIMPULAN Dari penelitian yang dilakukan pada apotekapotek swasta di Bukittinggi dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian sesuai dengan PerMenKes RI No. 35 tahun 2014 dapat disimpulkan: 1. Pencapaian rata-rata dari aspek manajerial sebesar 94,18% 2. Pencapaian rata-rata dari pelayanan farmasi klinis sebesar 49,39% 3. Pencapaian rata-rata keseluruhan sebesar 71,79% 5. REFERENSI Anief, M., 2000, Prinsip dan Dasar ManajemenPemasaran Umum dan Farmasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Anief, M., 2005, Manajemen Farmasi,Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Anisah, Z, M, Hasanmihardja, D, Setiawan., 2010, Pengaruh Pelayanan Kefarmasian Terhadap Kepuasan Konsumen Apotek di Wilayah Purwokerto, Pharmacy, Vol. 07, No. 01: 4657. Anonim., 2011, Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik, Dirjen Binfar Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Baroroh, F., 2014, Evaluasi Kepuasan Konsumen Terhadap Pelayanan Kefarmasian di Apotek LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 Kota Yogyakarta, Pharmaciana, Vol. 4, No. 2: 135-141. Bogadenta, A., 2013, Manajemen Pengelolaan Apotek, D-Medika, Yogyakarta. Handayani, R, S, Raharni, R, Gitawati., 2009, Persepsi Konsumen Apotek Terhadap Pelayanan Apotek di Tiga Kota di Indonesia, Makara Kesehatan, Vol. 13, No. 1: 22-26. Hartono., 1998, Manajemen Apotek, Depot Informasi Obat, Jakarta. Ihsan, S, P, Rezkya, N, I, Akib., 2014, Evaluasi Mutu Pelayanan di Apotek Komunitas Kota Kendari Berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian, Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol. 1, No. 2: 30-35. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Jakarta. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002, tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek,Jakarta. Kurniawan, D, W & L,Chabib., 2010, Pelayanan Informasi Obat Teori dan Praktik, Graha Ilmu, Yogyakarta. Mulyani, Y, M, H, Hasanmihardja, A, Siswanto., 2013, Persepsi Pasien Apotek Terhadap Pelayanan Apotek di Kabupaten Wonosobo, Pharmacy, Vol. 10, No. 01: 55-59. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek,Jakarta. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009, tentang Pekerjaan Kefarmasian, Jakarta. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980, tentang Apotek,Jakarta. Purwanti, A, Harianto, S, Supardi., 2004, Gambaran Pelaksanaan Standar Pelayanan Farmasi di Apotek DKI Jakarta Tahun 2003, Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. 1, No. 2: 102-115. Sari, I, P., 2004, Penelitian Farmasi Komunitas dan Klinik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Surahman, E, M & Ike R. Husen., 2011, Konsep Dasar Pelayanan Kefarmasian Berbasiskan Pharmaceutical Care, Widya Padjadjaran, Bandung. Syamsuni, A., 2005, Ilmu Resep, Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Umar, M., 2004, Manajemen Apotek Praktis, CV. Ar-rahman, Jakarta. 192 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Undang–undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009, tentang Kesehatan, Jakarta LPPM STIKes Perintis Padang 193 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 HUBUNGAN PERILAKU DAN INTENSITAS KEBISINGAN DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA PEKERJA BAGIAN PRODUKSI PT. JAYA SENTRIKON INDONESIA KECAMATAN LEMBAH ANAI TAHUN 2016 Fitria Fatma, SKM, M.Kes1, Wulan Septia Hanum2 ¹´² Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, STIKes Fort De Kock Bukittinggi email [email protected]¹ email [email protected] ² Abstract Hearing impairment is a diminished disease or loss of auditory function subjected to one or both ears. Hearing impairment is divided into two types, temporary and permanent. Based on the results of a national survey of the health of the senses of vision and hearing with samples of 19,375 in 7 provinces (West Sumatra, South Sumatra, Central Java, East Java, NTB, South Sulawesi, and North Sulawesi) in 2010, the prevalence of deafness is approximately 0.4% and hearing loss is about 16.8%. The purpose of this research is to know the relationship of knowledge, working period, attitude, intensity of the noise with the hearing impairment toward workers in the production part of PT Sentrikon Jaya Indonesia Batang Anai Regency Padang- Pariaman2016. The research is descriptive analytic research with cross sectional approach using collection of independent variables and dependent variable which were done simultaneously. The sampling technique used was total sampling with 35 people. Research was conducted mid month July 2016 at the production of PT Sentrikon JayaIndonesia. The data collected was then analyzed in univariate and bivariat using Chi-Square test. The results showed there is relationship between the working masses with hearing impairment (p= 0.002) the noise intensity (p= 0.002) and there is no relationship of knowledge with hearing impairment (p= 0.960) and there is no relationship with attitude with hearing impairment (p= 0,708). The working masses and the intensity of the noise relate to hearing impairment in the production section of PT Jaya Indonesia Sentrikon 2016. It is recommended to the company to give a reprimand or punishment to the workers who do not abide by the rules that have been applied by the company and expected the company to transfer workers to other parts to reduce hearing impainment. To all workers are expected to really understand and apply it in the workplace so as to avoid accidents and occupational diseases. Key words References : Hearing impairment :22 (2007-2014) 1. PENDAHULUAN LatarBelakang Peningkatan industri tidak terlepas dari peningkatan teknologi modern. Seiring dengan adanya mekanisasi dalam dunia industri yang menggunakan teknologi yang tinggi, diharapkan industri dapat berproduksi secara maksimal sehingga dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pemilihan teknologi dalam bidang produksi dimaksudkan untuk menggantikan posisi manusia dari aktor utama kegiatan produksi menjadi pengendali kegiatan produksi (Anizar, 2009, p.153) Wilayah industri modern dapat menimbulkan kebisingan. Kebisingan dapat menyebabkan dua masalah pada keselamatan dan kesehatan kerja. Kebisingan dapat menarik perhatian pekerja dan menganggu konsentrasi LPPM STIKes Perintis Padang mereka dan dapat menyebabkan kecelakaan. Kebisingan dapat menyebabkan masalah pada pendengaran seperti hilangya pendengaran. Jika terpapar kebisingan melebihi batas yang dianjurkan dapat menyebabkan kehilangan pendengaran permanen (Anizar, 2009, p.154). Gangguan pendengaran adalah suatu penyakit berkurang atau hilangnya fungsi pendengaran disalah satu atau kedua telinga. Gangguan pendengaran dibagi menjadi dua macam yaitu gangguan pendengaran yang bersifat sementara dan tetap. Gangguan pendengaran yang bersifat sementara diakibatkan oleh pajanan kebisingan dengan intensitas tinggi dan waktu yang singkat. Sedangkan gangguan pendengaran yang bersifat menetap diakibatkan oleh pajanan kebisingan dengan waktu yang lama. Nilai ambang batas kebisingan (NAB) berdasarkan waktu yang telah ditetapkan yaitu 1 194 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana sampai 8 jam perhari untuk intensitas kebisingan antara 85 dB. Pada satuan menit, waktu yag telah ditetapkan adalah 0,94 sampai sampai 30 menit perhari untuk intensitas kebisingan antara 97 dB sampai 112 dB. Sedangkan dalam satuan detik, waktu yang telah ditetapkan adalah 0,11 sampai 28,12 detik perhari untuk intensitas kebisingan antara 115 dB sampai 130 dB (PER/13/MEN/X/2011). Nilai ambang batas berdasarkan tempat yang telah diizinkan antara lain 55 dB di kawasan terbuka hijau, rumah sakit, pemukiman, sekolah dan tempat ibadah. Sedangkan untuk perkantoran kawasan industri , stasiun, pasar dan fasilitas umum lainnya antara 60 – 70 dB (KEP-48/MENLH/11/1996). Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-51/MEN/1999 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di tempat kerja bahwa intensitas kebisingan 85 dB selama 8 jam kerja dalam sehari, selain itu, ada tenaga kerja yang meraskan keluhan seperti terdengar suara nyaring/berdenging di telinga setelah meninggalkan lingkungan kerja yang bising, sukar mendengar/menangkap pembicaraan di lingkungan kerja yang bising. Alat pelindung telinga yang diberikan oleh perusahaan berupa sumbat atau tutup telinga yang dapat mengurangi intensitas kebisingan sekitar 10 – 25 dB. Salah satu faktor pencemar fisik yang menjadi masalah Berdasarkan Peraturan Mentri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja, ditetapkan sebesar 85 dBA. Nilai Ambang Batas adalah standar factor tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari–hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. PT. Jaya Sentrikon Indonesia adalah salah satu IndustriNasional yang didirikan pada tahun 1985 dalam rangka penanaman modal dalam Negri (PDMN). PT. Jaya Sentrikon Indonesia merupakan perusahaan yang memproduksi tiang pancang beton pra-tekan bagi proyek–proyek jembatan, pelabuhan maupun pembangunan gedung bertingkat, antara lain proyek Pertamina termina BBM di Bungus, Teluk Kabung Padang, Hotel Sedona Bumi Minang, Pembangunan Tangki Timbun di Teluk Bayur, Pembangunan Dermaga Peti Kemas Teluk Bayur, Jembatan Sitti Nurbaya dan lain – lain. Berdasarkan survey awal yang dilakukan pada PT. Jaya Sentrikon Indonesia Kabupaten Padang – Pariaman Jumlahtenagakerja yang LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 bekerja pada PT. Jaya Sentrikon Indonesia sebanyak 202 orang. Pada bagian produksi terdiri dari beberapa proses produksi yaitu yang dimulai dari proses cutting, hadding, forming, bagian setting, placing, spinning, tension, remoulding, dan batching plant, pada salah satu proses produksi di bagian spinning telah menggunakan mesin-mesin untuk melakukan proses pemadatan tiang pancang beton dan tiang listrik yang menimbulkan suara yang keras. Dari survei awal didapatkan pengukuran intensitas kebisingan pada bagian Spinning yaitu 97,31dB.Tampak jelas dari hasil pengukuran yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa intensitas kebisingan pada bagian spinning telah melebihi nilai ambang batas (NAB) yang telah ditetapkan, yaitu 85 dB untuk 8 jam kerja. Pada survei awal dilakukan juga pemeriksaan pendengaran menggunakan garpu tala pada 10 orang pekerja bagian produksi PT. Jaya Sentrikon Indonesia, sebanyak 7 orang yang mengalami gangguan pendengaran.PT.Jaya Sentrikon Indonesia telah menyediakan alat pelindung telinga (APT) untuk melindungi telinga pekerja dari paparan bising, sedangkan tenaga kerja tidak mau memakai Alat pelindung telinga (APT) yang telah disediakan oleh perusahaan dengan kondisi demikian akan membuat tenaga kerja pada bagian Spinning akan mengalami penurunan gangguan pendengaran dan terpapar secara terus – menerus melebihi jam kerja yang telah ditetapkan. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik yang menggunakan desain cross sectional study yaitu mengumpulkan data untuk menemukan Hubugan pengetahuan, massa kerja, sikap dan intensitas kebisingan pekerja dengan terhadap gangguan pendengaran pada pekerja bagian produksi PT. Jaya Sentrikon Indonesia Di Jalan Bypass Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang – Pariaman Tahun 2016. Populasi pada penelitian ini adalah semua pekerja di PT. Jaya Sentrikon Indonesia yaitu sebanyak 202 orang yang terdiri dari bagian produksi, mentener, personalia dan umum, bagian labor dan quality control, sub kontraktor serta pemasaran. Sampel penelitian dengan tekhnik pengambilan sampel secaratotal sampling yaitu semua tenaga kerja yang bekerja di bagian produksi yaitu sebanyak 35 orang di PT. Jaya Sentrikon Indonesia Tahun 2016. 195 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 penanaman modal dalam negeri (PMDN) dengan 3. HASIL DAN PEMBAHASAN PT. JAYA SENTRIKON INDONESIA berlokasi surat keputusan BKPM NO.198/1/PMDN/1985 di Jalan By Pass, Kanagarian Kasang, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat adalah perusahaan Nasional yang didirikan pada tahun 1985 dalam rangka Gangguan Pendengaran Tidak Mengalami OR Total Mengalami Variabel Gangguan CI 95% ) ρ Value Gangguan Pendengaran Pendengaran n % n % n % Pengetahuan Rendah 10 66,7 5 33,3 15 100 0,96 1,333 (0,330-5,393) Tinggi 12 60 8 40 20 100 Sikap Negatif 6 54,5 5 45,5 11 100 0,708 0,600 (0,139- 2,581) Positif 16 66,7 8 33,3 24 100 Massa Kerja Lama 21 77,8 6 22,2 27 100 24,500 0,002 (2,498Baru 1 12,5 7 87,5 8 100 240,318) Intensitas Kebisingan 14,250 Diatas NAB 19 82,6 4 17,4 23 100 0,002 (2,619- 77,540) Dibawah NAB 3 25 9 75 12 100 Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa persentase dari 35 responden yang mengalami gangguan pendengaran pada pekerja yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi yaitu 12 (60,0%) dibadingkan dengan yang berpengetahuan rendah sebanyak 10 pekerja (66,7%). Setelah dilakukanuji statistik diperoleh nilai p=0,960maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan gangguan pendengaran. Dari hasil analisis selanjutnya diperoleh nilai OR= 1,333 yang dapat diartikan bahwa responden yang memiliki tingkat pengetahuan rendah mempunyai peluang 1,33 kali untuk mengalami gangguan pendengaran dibandingkan dengan responden yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi. Menurut asumsi peneliti didapatkan lebih dari separuh pekerja memiliki pengetahuan yang tinggi dan banyak mengalami gangguan pendengaran ini disebabkan karena responden yang memiliki pengetahuan tinggi tidak menjamin tidak mengalami gangguan pendengaran hal ini disebabkan karena responden tidak melakukan atau mengaplikasikan di lapangan informasi, pelatihan, pendidikan yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerja tentang penyakit LPPM STIKes Perintis Padang akibat kerja salah satunya gangguan pendengaran dan keselamatan kesehatan, sedangkan responden yang tingkat pengetahuannya rendah, tidak mengetahui tentang gangguan pendengaran, jenisjenis alat pelindung telinga serta fungsi alat pelindung telinga dalam menurunkan intensitas kebisingan yang dapat mencengah terjadinya gangguan pendengaran. Pengetahuan pekerja dapat ditingkatkan dengan caramemberikan pelatihan kepada karyawan dan lebih menekankan lagi tentang keselamatan dan kesehatan kerja kepada pekerja pada saat bekerja. Bentuk pelatihan tentang kesehatan dan keselamatan yang membahas tentang pengertian dan tujuan K3, identifikasi faktor penyebab kecelakaan kerja, menguraikan cara pencegahan kecelakaan dan penggunaan alat pelindung diri saat bekerja dan lain-lainya misalnya faktor bahaya dari lingkungan seperti kebisingan, dampak kebisingan dan penggunaan alat pelindung telinga.Selain memberikan pelatihan diharapkan adanya keinginan dari dalam diri pekerja untuk dapat merespon positif pengetahuan dan menerapkannya dalam bentuk sikap dan tindakan yang baik. 196 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa persentase yang mengalami gangguan pendengaran pada responden yang memiliki massa kerja lama yaitu besar sama dari 5 tahunyaitu 21 (77,8%), dibandingkan dengan responden yang memiliki massa kerja baru yaitu kecil dari 5 tahun (12,5%) yang mengalami gangguan pendengaran. Setelah dilakukanuji statistik diperoleh nilai p= 0,002 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara massa kerja dengan gangguan pendengaran.Dari hasil analisis selanjutnya diperoleh nilai OR= 24,500 yang dapat diartikan bahwa responden yang memiliki massa kerja lama besar sama dari 5 tahun mempunyai peluang 24,5 kali untuk mengalami gangguan pendengaran dibandingkan dengan massa kerja baru kecil dari 5 tahun. Menurut asumsi peneliti massa kerja merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap gangguan pendengaran, pekerja bagian produksi rata-rata memiliki massa kerja yang lama yaitu besar sama dari 5 tahun dimana semakin lama seseorang bekerja maka memiliki kemungkinan mengalami gangguan pendnegaran dibandingkan dnegan pekerja yang memiliki masa kerja kecil dari 5 tahun. Hal ini sesuai dengan teori sekitar 3 - 5 tahun masakerja, setelah terpapar bising 85 - 90 dB secara terus menerus selama kurang lebih 8 jam perhari akanterjadi kerusakan organ pendengaran. Perusahaan seharusnya melakukan pemeriksaan kesehatan berkala kepada pekerja yang bekerja pada bagian produksi. Adanya hubungan antara massa kerja dengan gangguan pendengaran yag dialami pekerja seharusnya mendapat perhatian dari perusahaan tempat bekerja. Pekerja yang telah lama bekerja dan mengalami gangguan pendengaran seharusnya mendapat perlindungan dari perusahaan misalnya dengan memindahkan pekerja tersebut ke bagian lainsesuai dengan kemampuan pekerja atau dengan mengurangi jam kerja pekerja. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa persentase yang mengalami gangguan pendengaran pada responden yang memiliki sikap tidak baik yaitu 6 (54,5%), sedangkan responden yang memiliki sikap baik yaitu 16 (66,7%) yang mengalami gangguan pendengaran. Setelah dilakukan uji statistik dengan Chi-Square diperoleh nilai p= 0,708 maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dengan gangguan pendengaran. Menurut asumsi peneliti, responden yang memiliki sikap yang baik karena didorong oleh LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 kesadaran pekerja yang mau menerima informasi yang telah diberikan oleh perusahaan serta di dukung dari perusahaan dengan cara memberikan informasi kepada pekerja mengenai kesehatan dan keselamatan kerja, serta sikap pekerja yang baik terhadap penggunaan APT untuk pencengahan gangguan pendengaran, namun dengan sikap mereka yang baik tidak menjamin terhindar dari gangguan pendengaran hal ini disebabkan kurangya kesadaran, tindakan pekerja dalam mengaplikasi sikap yang baik disertai dengan pengawasan yang baik, karena pengaplikasikan tanpa pengawasan tidak akan mecapai tujuan dan rencana. Sedangkan untuk tenaga kerja yang memiliki sikap yang tidak baik mereka kurang setuju dengan pemberian sangsi oleh perusahaan serta teguran oleh mandor dan pekerja juga kurang setuju bahwa dengan memakai alat pelindung telinga merupakan cerminan tenaga kerja yang baik, padahal dengan pekerja dapat memahami maksud positif dari pemberian sangsi dan teguran akan dapat merubah sikap pekerja menjadi positif dengan itu pekerja dapat melakukan tindakan yang nyata untuk pencengahan terjadinya gangguan pendengaran. Diharapkan kepada perusahaan melakukan pengwasan, teguran bahkan pemberian sangsi terhadap tenaga kerja yang tidak menggunakan alat pelindung telinga (APT) dalam bekerja. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa persentase yang mengalami gangguan pendengaran pada responden yang bekerja pada daerah dengan intensitas kebisingan yang diatas nilai ambang batas (NAB) yaitu 19 (82,6%) dibandingkan dengan responden yang bekerja pada daerah dengan intensitas kebisingan yang dibawah nilai ambang batas (NAB) sebanyak 3 (25,0%) mengalami gangguan pendengaran. Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,002 maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara intensitas kebisingan dengan gangguan pendengaran.Dari hasil analisis selanjutnya diperoleh nilai OR= 14,250 yang dapat diartikan bahwa responden yang bekerja pada daerah yang intensitas kebisingan yang tidak memenuhi syarat mempunyai peluang 14,2 kali mengalami gangguan pendengaran dibandingkan dengan responden yang bekerja pada daerah yang intensitas kebisingan yang memenuhi syarat. Menurut Suma’murdanWardhanadalam Sri Indah KusumaNingrum,pengaruh utama kebisingan terhadap kesehatan adalah kerusakan pada indera-indera pendengaran yang menyebabkan ketulianapabila kontak 197 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana terjadidalamwaktu lama, gangguan stress yang dapatmengganggukesehatanjiwaseseoranghingga akhirnyamenurunkankesehatanfisik, gangguan komunikasidan gangguan tidur. Selainitukebisinganjugadapatmengganggukonsen trasi, dayaingatdanmenyebabkankelelahanpsikologis. Untuk beberapa orang yang rentan kebisingan dapat menyebabkan rasa pusing, kantuk, sakit, tekanan darah tinggi, tegang dan stress yang diikuti dengan sakit maag, kesulitan tidur. Pemaparan bising yang berlebihan dapat menurunkan gairah kerja danmenyebabkan meningkatnya absensi, bahkan penurunan produktivitas. Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss/NHL) ialah gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya disebakan oleh bising lingkungan kerja. secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan, bising ini memiliki intensitas 85 desibel (dB) atau lebih sehingga dapat menyebabkan kerusakan reseptor Corti pada telinga dalam. Menurut asumsi peneliti, kebisingan adalah bunyi yang tidak dikehendaki yang berasal dari alat-alat proses produksi yang menghasilkan intensitas kebisingan yang di atas nilai ambang batas (NAB) pada bagian produksi, sehingga sebagian besar responden bekerja pada intensitas kebisingan yang di atas NAB yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran pada pekerja. intensitas kebisingan merupakan faktor yang berpengaruh dalam gangguan pendengaran. Sesuai juga dengan teori diatas bahwa intensitas kebisingan diatas NAB > 85 dBA dengan lama paparan lebih dari 8 jam akan menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran. Diharapkan pekerja memakai alat pelindung telinga sewaktu bekerja seperti Ear Muff atau Ear Plugagar dapat mengurang 20-30 dB intensitas kebisingan serta tidak menjadi sumber bahaya bagi pekerja, adanya suatu manajemen yang baik agar pekerjadapat bekerja secara nyaman, efektif, efisien sehingga performansi dan produktivitas kerja meningkat dan adanya pengawasan yang dilakukan perusahaan terhadap pemakaian APT. 4. KESIMPULAN Adanya hubungan antara massa kerja dan intensitas kebisingan dengan gangguan pendengaran yag dialami pekerja seharusnya mendapat perhatian dari perusahaan tempat LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 bekerja. Pekerja yang telah lama bekerja dan mengalami gangguan pendengaran seharusnya mendapat perlindungan dari perusahaan misalnya dengan memindahkan pekerja tersebut ke bagian lainsesuai dengan kemampuan pekerja atau dengan mengurangi jam kerja pekerja. Intensitas kebisingan yang tidak dikehendaki yang berasal dari alat-alat proses produksi yang menghasilkan intensitas kebisingan yang di atas nilai ambang batas (NAB) pada bagian produksi, sehingga sebagian besar responden bekerja pada intensitas kebisingan yang di atas NAB yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran pada pekerja. Pengetahuan yang tinggi dan banyak mengalami gangguan pendengaran ini disebabkan karena responden yang memiliki pengetahuan tinggi tidak menjamin tidak mengalami gangguan pendengaran hal ini disebabkan karena responden tidak melakukan atau mengaplikasikan di lapangan informasi, pelatihan, pendidikan yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerja tentang penyakit akibat kerja salah satunya gangguan pendengaran dan keselamatan kesehatan, sedangkan responden yang tingkat pengetahuannya rendah, tidak mengetahui tentang gangguan pendengaran, jenis-jenis alat pelindung telinga serta fungsi alat pelindung telinga dalam menurunkan intensitas kebisingan yang dapat mencengah terjadinya gangguan pendengaran. Sikap yang baik karena didorong oleh kesadaran pekerja yang mau menerima informasi yang telah diberikan oleh perusahaan serta di dukung dari perusahaan dengan cara memberikan informasi kepada pekerja mengenai kesehatan dan keselamatan kerja, serta sikap pekerja yang baik terhadap penggunaan APT untuk pencengahan gangguan pendengaran. 5. DAFTAR PUSTAKA Al-Dosky, Berivan H.M. 2010. Noise Lavel And Annoyance Of Industrial Factories In Duho City. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16 823764. diakses tanggal 21 Januari 2016. Anizar. 2009. Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Industri. Yogyakarta : Graha Ilmu Bintang. 2015. Tinjauan Hubungan Tingkat Kebisingan dan Keluhan Subjektif (Audiotory) Pada Operator Bagian Derso Bekasi. Universitas Sebelas Maret. Jurnal Diakses tanggal 5 Maret 2016 198 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Buchari. 2007. Kebisingan Industri dan Hearing Conversation Program,Available at library.usu.ac.id/download/ft/0700279. Diakses tanggal 21 Januari 2016 Buntarto. 2015. Panduan Praktis Keselamatan dan Kesehatan Kerja Untuk Industri. Yogyakarta : Pustaka BaruPress Burnside – McGlynn. 2001. Adams Diagnosis Fisik (Physical Diagnosis). Jakarta : Buku Kedokteran ISSN: 2548-3153 Soepardi, Nurbaiti, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Jurusan Spesialis THT Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta. Tribowo, Mitha Erlisya. 2013.Kesehatan Lingkungan dan K3. Yogyakarta : Nuha Medika. Emil, Salim. 2002. Factor Fisik di Lingkungan Kerja. Jakarta: Buku Kedokteran Harrington,J.M, F.S. Gill. 2003. Buku Saku Kesehatan Kerja Cetakan ke 3, Jakarta : Buku Kedokteran Heryati, Euis. 2013.Pengukuran Fungsi Pendengaran. Iw, Utami. 2011. Hubungan Tingkat Pemaparan Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran Pada Pengemudi Becak Mesin Di Kota Pematang Siantar. Jurnal Diakses tanggal 5 Maret 2016. Lampiran I Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per. 13/MEN/X/2011. 2012. Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Promosi Kesehatan Teori & Aplikasi. Jakarta : Rineka Cipta Notoatmodjo, Soekidjo.2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta P.K, Suma’mur. 2013.Hygiene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja (Hyperkes). Jakarta : CV. Sagung Seto Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per. 13/MEN/X/2011. Tahun 2012 R.Pracy, J.Siegler dkk. 1983.Pelajaran Ringkas Telinga, Hidung, dan Tenggorokan. Jakarta : PT. Gramedia S, Hisman, Syamsiar S. Sugeng. 2014. Hubungan Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran Pada Pekerja di Unit Produksi Paving Block CV. Sumber Galian Makassar. Universitas Hassanuddin Makassar. Jurnal. tanggal 16 Februari 2016 LPPM STIKes Perintis Padang Diakses 199 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 PENENTUAN KADAR TIMBAL (Pb) DALAM DARAH PADA SOPIR TRUK DI JALAN RAYA PADANG - INDARUNG TAHUN 2016 Marisa Dosen D.III Teknologi Laboratorium Medik STIKes Perintis Padang Email: [email protected] Abstract The truck driver working in the street everyday gain immediate exposure to air pollution, especially by lead (Pb). Therefore, they are very vulnerable to the negative effects of of lead (Pb) which can attack the nervous system. The object of research is the blood of a truck driver in Jalan Raya Padang Indarung taken as many as 10 samples were taken based on work experience ranging from <5 years, 5-10 years and those with work experience ranging from 10-15 years, this study uses the experimental method with croosectional approach. Each sample was analyzed by AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer). Results of the study was the amount of lead (Pb) found in the blood samples with varying levels, but has not exceeded the threshold value .. The amount of the lowest levels found in blood Pb truck driver who had worked for 5 years with a code sample 1, while the number of levels of Lead ( Pb) is the highest found in the blood of a truck driver who has worked for 12 years with the sample code 3. Lead metal levels in the blood does not exceed the maximum threshold that is equal to 25mg / dl Keywords: Analysis of levels of lead (Pb), Truckers. 1. PENDAHULUAN Logam berat adalah unsur logam yang mempunyai berat jenis atau densitas lebih dari 5 g/cm3. Logam berat masih termasuk golongan logam dengan kriteria-kriteria yang sama dengan logam-logam lain. Perbedaannya terletak dari pengaruh yang dihasilkan bila logam berat ini berikatan atau masuk ke dalam tubuh organisme hidup. Logam berat biasanya menimbulkan efekefek khusus pada makhluk hidup. Dapat dikatakan bahwa semua logam berat dapat menjadi bahan racun yang akan meracuni tubuh makhluk hidup. Sebagai contoh adalah logam air raksa (Hg), kadmium (Cd), timah hitam (Pb), dan khrom (Cr) (Palar,2008). Timah hitam atau Pb yang ada dalam tatanan udara, terutama sekali bersumber dari buangan (asap) kendaraan bermotor. Logam ini merupakan sisa-sisa pembakaran yang terjadi anatara bahan bakar dengan mesin kendaraan. Melalui buangan mesin kendaraan tersebut, unsur Pb terlepas ke udara. Sebagian diantaranya akan membentuk partikulat di udara bebas dengan unsur-unsur lain, sedangkan sebagian lainnya akan menempel dan diserap oleh daun tumbuh tumbuhan yang ada disepanjang jalan (Palar,2008). Tingginya kadar timbal (Pb) pada sopir truk disebabkan terjadi kontak langsung dengan polusi udara yang mengandung Pb yang berasal dari buangan gas kendaraan bermotor. Emisi LPPM STIKes Perintis Padang tersebut merupakan hasil samping dari pembakaran yang terjadi dalam mesin-mesin kendaraan. Tujuan Penelitian adalah Untuk mengetahui kadar Pb pada sopir truk di Jalan Raya Padang-Indarung tahun 2016. 2.METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental di laboratorium. Metode yang dipilih adalah random sampling dengan menggunakan alat AAS dalam pemeriksaannya. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juni 2016 di Kopertis Wilayah X. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah semua sopir truk di jalan raya Padang - Indarung kota Padang yang dipilih secara acak. Sampel dalam penelitian ini adalah darah sopir truk di jalan Raya Padang Indarung Kota Padang sebanyak 10 orang yang diambil spesimen darah venanya. Alat yang digunakan:AAS Shimadzu AA6300 PC, HCL (Hallow Cathode Lamp)., kertas saring, labu ukur 5 mL, labu destruksi, pipet takar 5 mL, beaker glass, corong, kompor destruksi, botol darah, torniquet, spuit, kapas. Bahan yang digunakan adalah sampel darah vena, alkohol 70%, Larutan HNO3, aquadest, larutan standar Pb (0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1) ppm. 200 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Prosedur Pemeriksaan yaitu Pipet 5 ml sampel whole blood dan masukkan kedalam labu destruksi yang beralaskan beaker glass. Ditambahkan 5 ml aquadest dan ditambahkan 5 ml HNO3 pekat. Destruksi hingga jernih dan tepatnya mencapai volume ± 5 ml. Dinginkan, masukkan kedalam botol, beri label dan ukur dengan AAS. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Timbal (Pb) dalam Darah Sopir Truk. Setelah dilakukan pengujian terhadap 10 sampel darah sopir truk di jalan raya Padang - Indarung didapatkan hasil sebagai berikut: Tabel 1. kadar timbal dalam darah sopir truk No Kode Sampel Hasil Satuan 1 Sampel 1 3.3 μg/dl 2 Sampel 2 7.3 μg/dl 3 Sampel 3 11.8 μg/dl 4 Sampel 4 9.1 μg/dl 5 Sampel 5 3.8 μg/dl 6 Sampel 6 10.3 μg/dl 7 Sampel 7 7.9 μg/dl 8 Sampel 8 7.1 μg/dl 9 Sampel 9 6.9 μg/dl 10 Sampel 10 9.0 μg/dl Jumlah 76.4 μg/dl Rata – rata 7.64 μg/dl 1 21 – 30 Jumlah 2 LPPM STIKes Perintis Padang 31 – 40 4 40% 3 41 – 50 3 30% 4 51 – 60 1 10% Jumlah 10 100% Umur yang dimaksud merupakan lama hidup responden sopir truk. Umur responden dihitung sejak responden lahir sampai penelitian ini dilakukan dalam satuan tahunan. Berdasarkan tabel diketahui bahwa sebagian besar responden berada pada kelompok umur 31-40 tahun yaitu berjumlah 4 orang dengan persentase 40%. No Masa Kerja Jumlah persentase 1 < 5 Tahun 3 30% 2 5 - 10 Tahun 5 50% 3 11 – 15 Tahun 2 20% Jumlah 10 100% Kadar Timbal (Pb) dalam Darah Berdasarkan hasil uji laboratorium kadar timbal (Pb) dalam darah yang telah dilakukan pada sopir truk diporoleh hasil sebagai berikut: Rata-rata Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan umur Umur 2 Distribusi responden berdasarkan masa kerja Berdasarkan hasil kuisoner dan wawancara yang telah dilakukan pada sopir truk diperoleh data responden berdasarkan masa kerja sebagai berikut: Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan masa kerja Distribusi responden berdasarkan umur Berdasarkan hasil kuisoner dan wawancara yang telah dilakukan pada sopir truk diperoleh data responden berdasarkan umur sebagai berikut: No ISSN: 2548-3153 No Kadar Timbal (Pb) dalam darah Jumlah Persentase Persentase 1 ≤ 7 μg/dl 3 30% 1,39 2 > 7 μg/dl 7 70% 6,25 Jumlah 10 100% Persentase 20% 201 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Kadar timbal (Pb) darah yang dimaksud adalah adanya akumulasi unsur timbal (Pb) dalam tubuh responden sopir truk yang dibuktikan dengan uji laboratorium kadar timbal (Pb) dengan spesimen darah responden dalam satuan μg/dl. Uji laboratorium sampel darah dilakukan dengan menggunakan metode Atomic Absorbtion Spectrofotometer (AAS). Nilai normal kadar timbal (Pb) dalam darah untuk orang dewasa adalah 10-25 μg/dl. Kategori kadar timbal (Pb) dalam darah ditentukan dari nilai batas atas kadar timbal (Pb) dalam darah yaitu 11,8 μg/dl dikurangi dengan nilai batas bawah kadar timbal (Pb) dalam darah yaitu 3,3 μg/dl sehingga didapatkan hasil 8,5 μg/dl. Dari hasil pengurangan tersebut kemudian dibagi 2 dan didapatkan hasil sebesar 4,25 μg/dl. Penentuan kategori batas bawah. Kadar timbal (Pb) dalam darah yaitu nilai batas bawah kadar timbal dalam darah ditambahkan dengan hasil pembagian tersebut yaitu 4,25 μg/dl dan didapatkan hasil sebesar 7,55 μg/dl. Namun hasil tersebut dibulatkan menjadi 7 μg/dl. Sehingga kategori kadar timbal (Pb) dalam darah pada penelitian ini yaitu ≤ 7 μg/dl dan > 7μg/dl. Sebagian besar responden memiliki kadar timbal (Pb) darah > 7 μg/dl yaitu berjumlah 7 orang dengan persentase 70%. Keluhan Kesehatan yang dialami sopir truk Berdasarkan hasil kuisoner dan wawancara yang telah dilakukan pada sopir truk diperoleh data keluhan kesehatan sebagai berikut: Dari jenis keluhan kesehatan yang dialami oleh sopir truk tersebut keluhan terbanyak yang dirasakan adalah cepat marah sebanyak 9 orang dengan persentase 90%, dan mengalami kelelahan sebanyak 8 orang dengan persentase 80%. Gejala yang ditimbulkan apabila sesorang terpapar timbal dalam konsentrasi tinggi yaitu: sering sakit kepala, tenggorokan terasa kering, mudah lelah, sering merasa lesu, mulut terasa logam, (Darmono, 2001). Keracunan akibat kontaminasi timbal dapat menimbulkan: 1. Sistem haemopoietik; dimana timbal menghambat sistem pembentukan hemoglobin (Hb) sehingga menyebabkan anemia 2. Sistem saraf; dimana timbal bisa menimbulkan kerusakan otak dengan gejala epilepsi, halusinasi, kerusakan otak besar dan delirium. 3. Sistem urinaria; dimana timbal bisa menyebabkan lesi tubulus proksimalis, Loop of Henle serta menyebabkan aminasiduria. 4. Sistem gastro-intestinal; dimana timbal bisa menyebabkan kolik dan konstipasi. LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 5. Sistem kardiovaskuler; dimana timbal bisa menyebabkan peningkatan permiabilitas pembuluh darah. 6. Sistem reproduksi; berpengaruh terutama terhadap gametoksisitas atau janin belum lahir menjadi peka terhadap timbal. Ibu hamil yang terkontaminasi timbal bisa mengalami keguguran, tidak berkembangnya sel otak embrio, kematian janin waktu lahir, serta hipospermia dan teratospermia pada pria. 7. Sistem endokrin; dimana timbal mengakibatkan gangguan fungsi tiroid dan fungsi adrenal. Bersifat karsinogenik dalam dosis tinggi. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa rata-rata kadar timah hitam dalam darah pekerja adalah 7,64 μg/dl dengan nilai median dan standar deviasi masing-masing adalah 7,6 μg/dl dan 2,6483 μg/dl. Kadar timah hitam terendah dalam darah pekerja adalah 3,3 μg/ml dan tertinggi adalah 11,8 μg/ml. Walaupun semua pekerja memiliki kadar Pb dalam darah <25 μg/dL(normal), akan tetapi hal ini tetap perlu diwaspadai karena kadar timbal dalam darah bersifat akumulatif dan akan mengalami peningkatan secara progresif sejalan dengan paparan yang diterima baik secara kuantitas maupun kualitas. Jumlah kadar timbal yang ada dalam darah dapat dipengaruhi oleh jumlah paparan timbal yang masuk kedalam tubuh, lama seseorang terpapar oleh timbal, cara masuk timbal ke dalam tubuh, faktor lingkungan dan keadaan geografis tempat seseorang tersebut tinggal, makanan atau minuman yang dikonsumsi, antibodi tubuh serta pola hidup orang tersebut. Pada penelitian ini berdasarkan pertanyaan keluhan terhadap keracunan timbal yang diajukan kepada responden didapatkan hasil jenis dan banyaknya keluhan kesehatan yang dirasakan sopir truk yang dapat yang mengindikasi bahwa gejala yang paling banyak dikeluhkan adalah cepat marah sebanyak 9 responden dengan persentase 90% dan kejadian kelelahan sebanyak 8 responden dengan persentase 80%, serta keluhan yang paling sedikit adalah perasaan canggung sebanyak 1 responden dengan persentase 10%. Penyakit yang ditimbulkan akibat keracunan timbale adalah anemia, gangguan pada system haematopoetic dan system syaraf pusat. Sehingga berdasarkan hasil keluhan yang ada, dapat dikatakan bahwa sebagian besar 202 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana pekerja sudah mengalami gejala-gejala kemungkinan keracunan timbal, dan jika dilihat dari bentuk gejala yang terbanyak dirasakan yakni cepat marah, kelelahan dan keram otot. Hal ini dapat menunjukkan kemungkinan sopir truk tersebut mengalami gangguan pada system haemotopoetic dan system saraf pusat. Sehingga pekerja kemungkinan dapat terserang anemia dan penyakit saraf lainnya jika tidak segera dilakukan penanggulangan dan pemeriksaan lebih lanjut. Berdasarkan uji statistik menggunakan uji t Test didaptkan hasil bahwa t hitung < t tabel, yaitu 2,81 < 2,82 sehingga Ho diterima dan dapat disimpulkan bahwa kadar timbal (Pb) dalam darah pria perokok yang bekerja sebagai sopir truk di jalan raya padang indarung tidak melebihi ambang batas normal yaitu 10-25 μg/dl. Hal ini dapat dikarenakan rutinnya sopir truk mengkonsumsi air yang cukup, buah dan sayuran yang dapat membuat akumulasi kadar timbal dalam darah berkurang dan dapat diekresikan melalui urine. Kondisi daerah yang dilalui sopir truk banyak ditumbuhi oleh pepohonan juga dapat mengurangi paparan kadar timbal yang masuk kedalam tubuh. 4.KESIMPULAN ISSN: 2548-3153 (Perumnas) Mandala, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. Majalah Kesehatan Nusantara Vol 38, No. Jakarta. Darmono, 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran (Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam).Universitas Indonesia Press, Jakarta. De Ross Fj. (1997). Smelters and Metal Reclaimenrs. In Occupational,Industrial, and environmental toxicology . New York : Mosby-Year book. Mentri Kesehatan Republik Indonesia, 2002. Keputusan Mentri Kesehatan Nomor: 1406/MEMKES/SK/IX/2002 tentang Standar Pemeriksaan Kadar Timah Hitam pada Spesimen Biomarker Manusia. Jakarta: Departemen Kesehatan. Mukono. 2002. Epidemiologi Lingkungan. Universitas Airlangga. Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. PT. Rineka Cipta, Jakarta. Palar, H. 2004. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. PT. Rineka Cipta, Jakarta. Palar,Heryando. 2008.Pencemaran dan toksikologi logam berat-Cet.4. PT. Rineka Cipta, Jakarta. Berdasarkan hasil penelitian yang tentang penentuan kadar timbal (Pb) dalam darah pada sopir truk di jalan raya padang indarung dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut; 1. Hasil uji laboratorium menunjukan bahwa kadar timbal darah pada sopir truk sebagian besar masih dibawah batas aman dengan ratarata kadar timbal dalam darah adalah 7,64 μg/dl. 2. Kadar timbal (Pb) dalam darah pria perokok yang bekerja sebagai sopir truk di jalan raya padang indarung tidak melebihi ambang batas normal yaitu 10-25 μg/dl. 5.REFERENSI Bassed,J. 1994. Buku Ajar Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Edisi Keempat, buku Kedokteran. Jakarta. BPS,2012. Perkembangan Tingkat Penggunaan Sarana Akomodasi dan Transportasi. Indonesia: Badan Pusat Statistik. Chahaya, 2005. Faktor-Faktor Kesehatan Lingkungan Perumahan yang Mempengaruhi Kejadian ISPA pada Balita di Perumahan Nasional LPPM STIKes Perintis Padang 203 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 VERIFIKASI ANALISA PLUMBUM (Pb) DALAM URIN PADA PETUGAS SPBU KUBANG PEKANBARU Betti Rosita , Niken Siska Apriani Program Studi DIV TLM STIKes Perintis Padang Email: [email protected] Abstract Embodiments of the quality of a healthy environment is a fundamental part in the health sector, source of air pollution can come from a variety of activities such as industry, transport, offices and housing. Motor vehicles in major cities are the largest source of air pollutants, approximately 70% of air pollution caused by vehicle emissions-driving out the harmful substances that have a negative impact on human health and environmental health. Threats plumbum (Pb) can be experienced for those who interact directly with the sources of pollution like Pb gasoline user for motorcycle has increased lately, which can cause the emission of particles flying from logam.Tujuan this study was to determine the level of contamination Pb in urine at the gas station attendant Kubang Pekanbaru and determine the validity of urine examination by the method of destruction Wet Sprektofotometer Using Atomic Absorption (AAS). While the benefits of the research is to provide information on the content of Pb in urine at the gas station attendant. This type of research is the experiment, with the design of the study is the analysis of cross-sectional approach. Laboratory examination results in the second urine sample gas station attendant Kubang Pekanbaru, the average content of Pb is still below the Threshold Limit Value (TLV) is 0.5725μg / L according to Kepmenkes No. 1406 year 2002yaitu <10 mg / L, the price of 0.966% precision and accuracy of 102.47% in the validation test equipment. Validation Pb elemental analysis with a concentration range mentioned above, with the price still meet the requirements of precision of <2% and an accuracy of 100% ± 15% thorough destruction can be concluded that this method is more reliable or valid for the analysis of Pb in urine using SSA. Keywords: Verification, Plumbum, Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) 1. PENDAHULUAN Seiring dengan kemajuan IPTEK dan semakin meningkatnya populasi manusia serta bertambah banyaknya kebutuhan manusia, mengakibatkan semakin besar pula terjadinya masalah-masalah pencemaran lingkungan. Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian pokok di bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya sehingga dapat meningkatkan daya dukung untuk lingkungannya (Andryes, 2011). Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain industri, transportasi, perkantoran dan perumahan. Kendaraan bermotor di kota-kota besar merupakan sumber pencemar udara yang terbesar, kurang lebih 70% pencemaran udara disebabkan oleh emisi kendaraan bermotor mengeluar-kan zat-zat berbahaya yang menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia maupun kesehatan lingkungan. Penguapan bahan bakar, sistem ventilasi mesin dan yang terutama adalah buangan dari knalpot hasil pembakaran bahan bakar yang merupakan pencampuran ratusan gas dan aerosol LPPM STIKes Perintis Padang yang menjadi penyebab utama keluarnya berbagai pencemar dari sektor transportasi. Senyawasenyawa tersebut seluruhnya bersifat merugikan manusia, baik secara langsung terhadap kesehatan, seperti karbon monoksida dan timah hitam (Plumbum) (yustin, 2009). Pb (plumbum) dalam kesehariannya lebih dikenal dengan timah hitam. Pb adalah logam lunak kebiruan atau kelabu keperakan yang sering terdapat dalam kandungan endapan sulfit yang tercampur mineral-mineral lain seperti premium, seng dan tembaga. Ancaman Pb bisa dialami bagi mereka yang bersinggungan langsung dengan sumber pencemar Pb tersebut. Pencemaran oleh Pb Berupa industri perakitan, pengecetan mobil,dan pengguna bensin bagi pengendara mengalami peningkatan akhir-akhir ini, sehingga dapat menimbulkan emisi dari partikel-partikel yang terbang berupa alumunium dari logam campuran. Pb berbahaya bagi sistem peredaran darah serta sistem syaraf pusat manusia, dampak negatif lain yang ditimbulkan yaitu kerusakan pada ginjal, anemia, liver dan sistem reproduksi akibat terpapar Pb (Astini , 2013). 204 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana Pb (plumbum) Pb yang di kenal sehari-hari dengan nama timah hitam, dalam bahasa ilmiahnya dinamankan plumbum dan logam ini di simbolkn dengan Pb. Logam ini termsuk kedalam kelompok logamlogam golongan IV-A pada tabel priodik unsur kimia. Pb mempuyai nomor atom 82 dengan bobot atau berat atom 207,2 . Pb menguap dan membentuk timbal oksida. Bentuk oksida yamg paling umum adalah timbal (II). Walaupun bersifat lunak dan lentur, Pb sangat rapuh dan mengkerut pada pendinginan, sukar larut dalam air, air panas dan air asam. Pb dapat larut dengan asam nitrit, asam asetat dan asam sulfat pekat (Palar, 2004). Keracunan Pb adalah salasatu penyakit lingkungan yang berhubungan dengan kerja. Meskipun diakui bahayanya, Pb tetap digunakan secara komersial di seluruh dunia. Paparan Pb dari lingkungan yang tersebar luas melalui distribusi Pb secara antropogenik di udara, air, dan makanan telah menurun dengan nyata selama 20 tahun terakhir ini akibat penurunan penggunaan timbal pada bensin (katzung, 2004). Jalur masuk Pb ke dalam tubuh manusia Pada debu, udara, dan tanah yang mengandung timbal didalamnya akan mengkontaminasi air minum dan kemudian dikonsumsi manusia. Keracuanan yang diakibatkan oleh persenyawaan timbal disebut juga plumbism. Keracunan oleh timbal dapat terjadi diakibatkan masuknya logam tersebut melalui beberapa jalur, yaitu: 1. Melalui udara Udara ambien di pinggiran kota negara barat dapat mencapai kadar timbl (Pb) sebesar 0,5μg/m3 dan di dalam kota dapat mencapai 1-10 μg/m3. Dalam keadaan yang sangat padat oleh kendaraan bermotor kadar di udara dapat mencapai 14-25 μg/m3. Timbal di udara ini akan masuk melalui saluran pernapasan dan penetrasi atau perembesan pada selaput kulit. Selain terhadap manusia, hewan dan tanaman juga dapat terpapar oleh timbal di udara. Bila tanaman yang tercemar dikonsumsi oleh hewan, hal tersebut menyebabkan hewan tersebut akan semakin terpapar dengan timbal. Apabila hewan yang telah terpapar tersebut dikonsumsi oleh manusia, mengakibatkan timbal terakumulasi dalam tubuh manusia (Mukono, 2002). 2. Melalui air Pemaparan timbal oleh air jumlahnya lebih rendah dibandingkan dengan pemaparan oleh udara dan makanan. Seperti kasus pencemaran LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 timbal yang terjadi di Amerik Serikat, kadar timbal di dalam air minum mencapai 50 μg/l. Hal tersebut terjadi akibat penggunaan tandon dan pipa air yang berlapiskan timbal (Mukono, 2002). 3. Melalui makanan Jenis makanan yang dikonsumsi manusia juga terdapat kemungkinan mengandung timbal secara alami. Sehingga perlu diperhatikan menu makanan yang dikonsumsi setiap harinya. Telah diketahui bahwa setiap 100 mg timbal yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut akan menghasilkan timbal darah sebesar 6-10 μg/100 liter darah (Mukono, 2002). Nilai Ambang Batas Pb Pada Tubuh Manusia Menurut Menteri Kesehatan (2002) dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1406/MENKES/SK/IX/2002 tentang standar pemeriksaan kadar timah hitam pada spesimen biomarker manusia, pengukuran kadar timbal pada tubuh manusia dapat dilakukan melalui spesimen darah, urine, dan rambut. Adapun pada masing-masing spesimen tersebut memiliki nilai ambang batas yang berbeda-beda, yaitu: 1. Spesimen darah Nilai ambang batas kadar timbal dalam spesimen darah pada orang dewasa normal adalah 10-25 μg per desiliter. 2. Spesimen urine Nilai ambang batas kadar timbal dalam spesimen urine 150 μg/ml creatinine. 3. Spesimen rambut Nilai ambang batas kadar timbal dalam spesimen rambut 0,007-1,17 mg Pb/100gr Jaringan Basah (Palar, 2008). Urin Urin adalah cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal yang kemudian akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi. Eksreksi urin diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang disaring oleh ginjal dan untuk menjaga hemostasis cairan tubuh.Urin disaring di dalam ginjal, dibawa melalui ureter menuju kandung kemih, akhirnya dibuang keluar tubuh melalui uretra. Validasi Validasi adalah konfirmasi melalui pengujian dan pengadaan bukti yang obyektif bahwa persyaratan tertentu untuk maksud khusus dipenuhi.Validasi suatu metode analitik adalah evaluasi sistematik dari suatu prosedur analitik 205 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana untuk menunjukkan bahwa metode analitik yang dipakai secara scientific baik. Hasil uji yang absah ada]ah hasil uji denganakurasi dan presisi yang baik. Metode uji memegang peranan penting dalam memperoleh hasil uji dengan akurasi dan presisi yang baik.Untuk memperoleh keabsahan data hasil uji dengan metode spektrometri serapan atom, beberapa parameter yang perlu mendapatkan perhatian adalah validasi alat dan metode uji. Validasi metode uji dilakukan dengan menentukan presisi dan akurasi yang diperoleh dari pengukuran serapan larutan standar serta parameter analit yang menyertai yaitu bias, standar deviasi, %RSO, %D dan batas deteksi. Selain parameter tersebut, dalam analisis kuantitatifunsur kelumit (trace element) perlu ditentukan batasdeteksi alat dan metode (IOL= Instrument Detection Limit, dan MOL = Method Detection Limit). Spektrofotometri serapan Atom (SSA) Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) adalah suatu alat yang digunakan pada metode analisis untuk penentuan unsur-unsur logam dan metaloid yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya pada panjang gelombang tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas (skoog et. Al, 2000) 2. METODE PENELITIAN JenispenelitianiniadalahEksperimen, dengandesain penelitian analisa pendekatan crossectional. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2016 di SPBU kubang Pekanbaru. Sedangkan tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Kopertis Wilayah X AlatdanBahan Peralatan yang digunakan adalah : spektofotometer serapan atom, wadah penampungan urine, kantong plastik, gelas ukur, gelas beaker, mikroskop, pipet tetes, labu ukur, kertas saring, mikro pipet ukuran 10 -100 μL, 100 -1000 μL dan 50 -250 μL, kompor listrik, labu takar. Bahan yang digunakan adalah : Urine, aquades, HNO3, urine, giemsa stok, larutan standar Pb. ProsedurKerja Pengambilan Sampel: Siapkan tempat penampungan urine yang bersih dan bertutup. Berilah label atau identitas LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 pada botol penampung. Pengambilan urine dilakukan pada pagi hari. kemudian ditampung dalam wadah yang sudah disediakan. urine yang telah ditampung diambil sebanyak 50 – 100 ml. kemudian tambahkan dengan 2 ml formalin 37%. kemudian kocok hingga homogen. Bawa urine yang sudah ditampung ke laboratorium. Pengukuran Pb pada urine Metode spektrofotometer serapan atom (AAS) Pipet sebanyak 25 mL sampel urine karyawan SPBU. Diasamkan dengan 10 mL HNO3 pekat sampai pH < 2. Larutan ini dimasukkan kedalam labu ukur 50 ml serta mengencerkan dengan akuades sampai tanda batas. Mengocok hingga homogen. Menyaring campuran dengan kertas saring. Hasil saringan diukur dengan SSA pada panjang gelombang 283,3 nm. Kadar Pb dalam sampel ditentukan dengan menggunakan kurva kalibrasi yang telah dibuat sebelumnya. ValidasiMetode 1. Ujiakurasi (ketepatan) Uji ini dilakukandengancaramenambahkanlarutanbakup embanding (Pb0,6 ppm) kedalamsampel yang akandiperiksasebelumdidestruksi dengan 3 kali pengulangan. Kemudiandilakukanujiblanko (tanpapenambahanlarutanbakustandar).Masingmasingsampelkemudiandidestruksidenganmetode destruksibasahmenggunakan HNO3 dandiukurmenggunakan AAS padapanjanggelombang283,3nm. 2. Ujilinieritas Uji ini dilakukandenganmembuatkurvakalibrasistandard enganbeberapamacamkonsentrasistandarPb yang dimulaidarilarutantanpaPb. KemudiandilanjutkandenganmengukurstandarPb 2, 4, 6, 8 dan 10 ppm. Setelahitudidapatkanharga “r”. 3. Ujipresisi Metodeujipresisidilakukansecararepitabilitas atauketerulangandilakukandalamkondisi yang samadalam interval waktu yang singkat, yaitudenganmengukurlarutansampelmetodedestru ksibasahmenggunakan HNO3 dan dengan 3 kali ulanganpadahari yang sama, kemudian data hasilabsorbsdihitungsimpanganbakunya. 4. Uji limit deteksi (LoD) dan limit kuantitasi (LoQ) Uji ini dilakukandenganmengukurkonsentrasistandar 206 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana yang paling rendah yang dapatterdeteksiabsorbansinya. LoDdapatdihitungdenganrumus: LoD = 3 x SD SedangkanLoQdapatdihitungdenganrumus: LoQ = 10 x SD Keterangan: SD : StandarDeviasi LoD : Limit of Detection LoQ : Limit of Quantitation ISSN: 2548-3153 menggunakan Atomic Absorbition Spectrophotometer, jenis lampu Hollow Chatode Lamps (HCL), pada panjang gelombang 283,3 nm. Hasil pemeriksaan kandungan Timbal (Pb) yang dilakukan terhadap sampel urine petugas SPBU di Kubang Pekanbaru. Melalui pemeriksaan Laboratorium Kopertis Wilayah X, analisa sampel dilakukan dengan cara membandingkan standar yang ada yaitu menurut Kepmenkes RI No.1406 tahun 2002 tentang Standar Pemeriksaan Kadar Pb Spesimen Biomarker Manusia artinya melihat di atas atau di bawah NAB. Hasil analisa didapatkan bahwa kedua sampel yang di periksa <10 μg/L Pb. Kemungkinan yang menyebabkan rendahnya uji hasil laboratorium kandungan Timbal (Pb) dikarenakan para petugas SPBU yang ada di Kubang pekanbaru berumur di bawah dari 30 tahun sehingga memungkinkan rendahnya kandungan Pb pada petugas SPBU. Waktu paruh Pb secara biologi dalam tubuh manusia diperkirakan 2-3 tahun.Pb dalam darah akan dapat dideteksi dalam waktu paruh sekitar 20 hari, sedangkan ekskresi Pb dalam tubuh secara keseluruhan terjadi dalam waktu paruh sekitar 28 hari. Dari darah dan tempat deposit, Pb kemudian diekskresikan melalui urine, feces dan keringat.Umur dan jenis kelamin juga mempengaruhi kandungan Pb dalam jaringan tubuh. Semakin tua umur seseorang akan semakin tinggi pula konsentrasi Pb yang terakumulasi pada jaringan tubuhnya. Jenis jaringan juga turut mempengaruhi kadar Pb yang dikandung tubuh (Palar, 2008). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pemeriksaan Pb dalam Sampel Urine Kadar Pb dalam urine merupakan salasatu indikator terakumulasinya logam Pb dalam tubuh. Sala satu syarat analisa logam dengan menggunakan AAS adalah sampel harus berupa larutan, maka sebelum kadar Pb di analisis dilakukan dekstruksi terlebih dahulu. Fungsi dari dekstruksi adalah untuk memutus ikatan antara senyawa organik dengan logam yang akan di analisis. Dalam penelitian ini digunakan dekstruksi basah karena pada umumnya dekstruksi basah dapat di pakai untuk menentukan unsur-unsur dengan konsentrasi rendah.setelah proses dekstruksi diharapkan yang tertinggal hanya logam-logam saja dalam bentuk ion. pelarut-pelarutyang dapat digunakan untuk dekstruksi basah antara lain asam nitrat, asam sulfat, asam perklorat, dan asam klorida. Dari semua pelarut tersebut dapat digunakan baik tunggal maupun campuran. Setelah sampel urin didesktruksi kemudian dilakukan analisis kadar Pb menggunakan SSA. Analisis dilakuklan dengan Tabel 4.1 kandungan Pb dalam sampel urine No Jenis Masa Rata-rata Sampel Kerja kerja/ hari 1 Sampel I 5Tahun 8 Jam 2 Sampel II 7Tahun 8 Jam Lama Konsentrasi Pb dalam urine (mg/L) 0.218 mg/L 0.240 mg/L Uji Akurasi Pada metode destruksi basah menggunakan HNO3 mempunyai rata-rata recovery 102.47 % dengan demikian metode dekstruksi ini sudah baik karna berada pada nilai kisaran persentase recovery yang di sarankan, yaitu pada rentang 100% ±15 % dengan nilai yang lebih mendekati 100%. Rentang tersebut dianggap baik karena menunjukkan bahwa metode tersebut mempunyai ketepatan yang baik dalam menunjukan tingkat kesesuaian nilai rata-rata dari suatu pengukuran yang sebanding dengan nilai sebenarnya. Dapat dikaitkan pada proses destruksi yaitu tidak adanya Pb yang hilang dan dapat dianggap akurat (AOAC. 1993) LPPM STIKes Perintis Padang 207 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Tabel 4.2 Nilai Persentase Recovery Larutan Sampel Volume Sampel Spake Pb Jumlah Pb Analisis Jumlah Pb Teoritis Recovery 100% Sampel 2 S2+ 10 ml pb 0.60 ppm 10 ml 10 ml 4.8 µg 2.4 µg 7.28 µg 7.20 µg 101.11 % 6 µg 8.93 µg 8.40 µg 106.31 % 7.2 µg 9.60 µg 9.60 µg 100.00 % S2+ 10 ml pb 0.72 ppm S2 + 10 ml pb 0.48 ppm 10 ml 10 ml Rata-rata = 102.47 % Uji Presisi Presisi adalah suatu ukuran penyebaran (dispersi suatu kumpulan hasil), kedekatan dari suatu rangkaian pengukuran berulang-ulang satu sama lain. Presis diterapkan pada pengukuran berulangulang sehingga menunjukkan hasil pengukuran individual didistribusikan sekitar nilai rata-rata tanpa menghiraukan letak nilai rata-rata terhadap nilai benar (Darmono, 2006). Pada tabel 4.3 dapat Hasil Uji Presisi Pemeriksaan Pb dalam Sampel Urine. Pada hasil perhitungan rumus didapatkan nilai % RSD metode destruksi sebesar 0.966 % nilai yang diperoleh masih pada rentang yang di syaratkan yaitu <2 %. Seluruh hasil metode yang telah di lakukan dalam penelitian ini menunjukkan hasil uji dari metode dekstruksi basah menggunkan HNO3 menunjukkan hasil yang dapat dikategorikan teliti dapat di simpulkan bahwa dekstruksi metode ini dapat dipercaya atau lebih valid untuk analisis Pb dalam urine dengan menggunakan AAS. No 1 2 3 4 5 6 7 Tabel 4.3 Hasil Uji Presisi Konsentrasi Larutan (x) 0.608 0.609 0.600 0.600 0.595 0.607 0.596 ∑X = 4.215 . X= = 0.602 X-X 0.006 0.007 -0.002 -0.002 -0.007 0.005 -0.006 (X-X)2 0.000036 0.000049 0.000004 0.000004 0.000049 0.000025 0.000036 Uji Linearitas Linieritas adalah suatu koefisien korelasi antara konsentrasi larutan standar baku dengan absorbans yang dihasilkan yang merupakan suatu garis lurus. Metode analisis yang menggambarkan kemampuan suatu alat untuk memperoleh hasil pengujian yang sebanding dengan kadar analitik alat dalam sampel uji pada rentang konsentrasi tertentu. Uji linieritas dilakukan dengan membuat kurva kalibrasi yang dapat menghasilkan persamaan garis regresi serta nilai koefisien determinasi yaitu untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi lartan baku dengan nilai absorbans yang dihasilkan (Darmono, 2006). Berdasarkan pengukuran sederet larutan standar, diperoleh nilai korelasi (r) sebesar 0,99966. Pada gambar dapat dilihat bawah kurva kalibrasi standar tersebut mempunyaigaris singgung yang linear respon yang diberikan alat terhadap konsentrasi analit telah memenuhi syarat., nilai r = 0,99966 yang LPPM STIKes Perintis Padang 208 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Absorban diperoleh telah memenuhi syarat yang ditetapkan, dengan ketentuan r >0,99. hasil tersebut menunjukkan alat yang digunakan mempunyai respon yang baik terhadap sampel. 0.045 0.04 0.035 0.03 0.025 0.02 0.015 0.01 0.005 0 0 0.5 1 1.5 Pb mg/L Gambar 4.1 Kurva Uji Linieritas Berdasarkan perolehan harga presisi0.966 Uji Limit of Detection (LOD) dan Limit of % dan akurasi102.47 % pada validasi alat uji Quantitation (LOQ) Parameter limit deteksi (LoD) instrument dapat disimpulkan bahwa spektrometer serapan menunjukkan kosentrasi terkecil yang dapat atom layak digunakan sebagai alat uji.Validasi terbaca oleh instrument. Pada kosentrasi terkecil metoda dekstruksi basah menggunkan HNO3 yang berada pada limit deteksi alat sangat terbatas analisis unsur Pb dengan kisaran konsentrasi dalam membedakan antara sinyal analit dengan tersebut di atas, masih memenuhi persyaratan noise. Apabila kosentrasi berada di bawah limit dengan harga presisi<2% dan akurasi 100 % ±15 deteksii maka sinyal yang ditangkap alat adalah % yang teliti dapat di simpulkan bahwa dekstruksi sepenuhnya baik. Konsentrasi analit yang berada metode ini dapat dipercaya atau lebih valid untuk pada limit deteksi belum sepenuhnya dapat analisis Pb dalam urine dengan menggunakan dipercaya karena akurasi yang dihasilkan rendah. AAS. Dari beberapa larutan standar baku Pb diukur, dimana yang mendekati batas antara yang Saran terdeteksi dan tidak terdeteksi diukur ulang dan 1. Perlu dilakukan pemantauan terhadap kadar Pb menghasilkan konsentrasi terendah unutk Pb di udara, lingkungan maupun kawasan yang adalah 0.01745 ppm. padat arus lalu lintas yaitu di sekitar SPBU Sementara itu, limit kauntitasi (LoQ) Kubang Pekanbaru didefenisikan sebagai kosentrasi analit terendah 2. Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam sampel yang dapat ditentukan dengan melalui kegiatan penyuluhan agar masyarakat presisi dan akurasi yang dapat diterima pada dapat mengetahui bahaya Pb.Tindakan yang kondisi operasional metode yang digunakan.LoQ perlu dilakukan adalah mengurangi merupakan suatu kompromi antara kosentrasi pencemaran Pb pada sumbernya yaitu dengan dengan presisi dan akurasi yang cara menggunakan bensin tanpa Pb dan dipersyaratkan.Jika kosentrasi LoQ menurun mengurangi pencemaran Pb di lingkungan maka presisi juga menurun.Jika presisi tinggi yaitu dengan menanam pohon yang dapat dipersyaratkan, maka kosentrasi LoQ lebih tinggi menyerap Pb terutama Pb yang terdapat di harus dilaporkan.Hasil LOQ didapatkan dari udara misalnya Pohon Ketapang serta perhitungan Rumus adalah 0.05816 ppm. penggunaan masker bagi petugas SPBU dan menjaga kesehatan dengan pola hidup yang sehat. 4. KESIMPULAN DAN SARAN 3. Sebaiknya dilakukan penelitian lanjut dengan Kesimpulan Berdasarkan hasil pemeriksaan pada 2 memperbanyak sampel uji dan lokasi sampel urine petugas SPBU Kubang Pekanbaru, sampling, serta waktu yang digunakan lebih rata- rata kandungan Pb masih di bawah NAB lama. yaitu 0.229 μg/ml sesuai dengan Kepmenkes No. 4. Sebaiknya apabila di temukan kandungan Pb di 1406 tahun 2002<10 μg/L creatinine. atas NAB, di sarankan untuk melakukan medical check up LPPM STIKes Perintis Padang 209 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana 5. DAFTAR PUSTAKA Andryes, P. 2011 .Studi Deskriftif Kandngan Timbal (Pb) dalam Urine pada Pedagang Asongan di Sekitar Jumbo Pasar Swalayan Kota Manado.Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Manado.Manado. Annisa, F. 2012. Studi Kandungan Pb dalam Gorengan yang Dijual di Pinggir Jalan. Prosding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA.Universitas Negeri Yogyakarta.Yogyakarta. Anshori, Muslich dan Sri Iswati.(2009). Buku Ajar Metodelogi Penelitian Kuantitatif.Airlangga University Press. Surabaya. Apriyanto, A.2004. Analisis Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor. Astini Dewi Sari. 2013. Uji Kandungan Plumbum (Pb) Dalam Urine Karyawan Darmono, 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta Darmono, 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. UI-Proses. Jakarta. Dewi, R.S. 2009. Analisis Kadar Timbal Udara, Timbal Darah dan Dampaknya Terhadap Kadar Hemoglobin Pedagang Pasar di Kota Ambon.Tesis tidak diterbitkan. Makassar: Program Pascasarjana. UNHAS. Harmita.2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan cara perhitungannya. Majalah Ilmu Kafarmasian. Katzung, B.G.2004. Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 3 Edisi 8. Penerjemah dan Editor : Bagian Farmakologi Fk UNAIR. Penerbit Salemba Medika, Surabaya. Kepmenkes RI.2002. Standar Pemeriksaan Kadar Timah Hitam Pada Spesimen Biomarker Manusia. Jakarta Khidri, 2008. Kadar Timbal dalam darah Anakanak di Kota Makassar, (Online), (http://www.pdpersi.co.id, diakses 7 februari 2016). Khopkar, S.M.1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia. Jakarta. KPPB, 2005. Dampak Pemakaian Bensin Bertimbal dan Kesehatan, (Online), LPPM STIKes Perintis Padang ISSN: 2548-3153 (http://www.kpbb.org/pdf, diakses 6 Februari 2016). Lestari, P. 2011. Polusi Timbal Bikin Bodoh, (Online), (http://www.pjnhk.go.id, diakses 10 Februari 2016). Lestari, P. 2005. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Kadar Timbal Dalam Darah Anak-Anak Sekolah Dasar di Kota Bandung. Journal Indonesian. Mukono, H.J.2008. Epidemiologi Lingkungan (Environmental Epidemiologi ). UNAIR Press. Surabaya. Nasir,M.2012.GambaranInfestasiAscarisLumbric oidesdanTrichurisTrichiuraPadaMuridKel as I, II, dan III SD Negeri 45 di LingkunganPembuatanBatu Bata KecamatanTenayan Raya Kota Pekanbaru. FK UR.Pekanbaru. Palar, H.2004.Pencemaran Tosikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta. Pertamina.2009. Indrustri Disel Oil (Minyak Disel).>http:www.Pertamina.Com/ Indonesia /head-office/hilirppdn/product/prd-solar.htlm.(2 Februari 2016) Purwanto, A., Supriyanto,C., Samin P. (2007).Validasi Pengujian Cr, Cu Dan Pb Dengan Metode Spektrometri Serapan Atom. Pusat Teknologi Akselerator Dan Proses Bahan Batan.Yogyakarta. Riyadina, W.2002. Faktor-Faktor Resiko Hipertensi Pada Operator Pompa Bensin (SPBU).Media Litbang Kesehatan. Jakarta. Soedomo, M., 2001,Pencemaran Udara, Penerbit ITB, Bandung. SPBU Bayaoge Kota Palu.Jurnal Biocelebes. Palu Rahayu Sri, W.N.2012.Validasi Uji Toksisitas Akut Metode Organization And Developmen (OECD) 425 Pada Mencit Betina Menggunakan Tembaga (II) Sulfat Pentahidrat.FMIPA.Depok. Syukri, M., 2012, Analisis Logam Pb pada Garam Talise.Skripsi Jurusan Kimia FMIPA UNTAD. Yusthin, Catur Yuantari, dkk. (2009). Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kadar Timah Hitam (Pb) Dalam Darah Operator Spbu Coco Di Jl. Ahmad Yani Semarang. FKUdinus. Semarang. 210 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Roger Waston.2002.Anatomi Fisiologi Untuk Perawat.Jakarta.Garmedia LPPM STIKes Perintis Padang 211 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153 Copyright @ 2016 Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIKes Perintis Padang Alamat Penerbit : Jl. Adinegoro Simpang Kalumpang Lubuk Buaya Padang, Sumatera Barat – Indonesia Telp. (+62751) 481992, Fax. (+62751) 481962 LPPM STIKes Perintis Padang Prosiding Seminar Nasional Keperawatan : Update Keperawatan Bencana Pengurangan Resiko Bencana ISSN: 2548-3153