SEMINAR NASIONAL Politik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik” Pekanbaru, 17-18 November 2015 KOMUNIKASI POLITIK JOKO WIDODO (JOKOWI) ANALISIS SEMIOTIKA IKLAN POLITIK REVOLUSI MENTAL PADA PEMILIHAN PRESIDEN INDONESIA TAHUN 2014 Belli Nasution Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Komunikasi Politik Joko Widodo (Jokowi) Analisis Semiotika Iklan Politik Revolusi Mental Pada Pemilihan Presiden Indonesia Tahun 2014. Penelitian ini menggunaka nmetode deskriptif kualitatif, dengan pendekatan analisis struktural atau biasa disebut semiotik konotasi dari Roland Barthes (1915-1980). untuk pengolahan data yang diperoleh dari lapangan melalui wawancara dan pengamatan di lapangan. Semua informasi yang dikumpulkan dipelajari sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh, yang terkait dengan Komunikasi Politik Joko Widodo (Jokowi), Analisis Semiotika Iklan Politik Revolusi Mental Pada Pemilihan Presiden Indonesia Tahun 2014 Berdasarkan dari penelitian yang telah disimpulkan Iklan Revolusi mental tayang di seluruh media massa elektronik nasional dengan berbagai versi. Di media cetak, Iklan ditampilkan dalam bentuk potongan headline koran. Melalui analisis semiotika, dapat dijelaskan bahwa iklan Revolusi mental ini dibedah berdasarkan makna denotasi, konotasi, kajian mitos dan kajian ideologis. Iklan Revolusi mental ini berusaha mengkonstruksi citra positif Jokowi kepada khalayak. Dalam mengkonstruksi pencitraan Jokowi ini, konsultan politik (tim sukses) mencoba membangun komunikasi politik melalui melalui empat tahapan. Persepsi, kognisi, motif dan sikap Kata kunci : Komunikasi Politik. Revolusi Mental, Analisis Semiotika. PENDAHULUAN Dalam proses politik di Indonesia, salah satu hasil paling nyata dari perjuangan reformasi 1998 adalah pemilihan umum secara langsung pada tahun 2004, berbeda dengan pemilihan umum sebelumnya, pemilihan umum 2004 selain memilih langsung anggota parlemen (DPR/DPRD/DPD), juga dilakukan pemilihan langsung presiden dan wakil presiden oleh rakyat sesuai yang diamanahkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2003. 655 638 SEMINAR NASIONAL Politik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik” Pekanbaru, 17-18 November 2015 Pemilihan presiden 2014 bagi penulis sangat perlu untuk dilakukan penelitian karena kemenangan yang diperoleh J oko Widodo (Jokowi) sangatlah spektakuler dengan mengalahkan calon presiden lainnya, yaitu Prabowo Subianto yang didukung oleh sebagian besar partai politik pemenang pemilu legislatif. Pada pemilihan presiden Republik Indonesia 2014 t ersebut, Joko Widodo (Jokowi) memanfaatkan situasi politik, isu politik dan tema politik sebagai konten utama tampilannya di media massa. Joko Widodo (Jokowi) sangat sadar akan perlunya menjaga imej diri dihadapan masyarakat umum dan juga sangat mempertimbangkan efisiensi dan pengaruh media dalam menjangkau masyarakat luas hingga ke pelosok negara ini dalam membangun imej dirinya. Media massa terutama televisi dianggap lebih tepat dan efektif dalam melakukan komunikasi politik karena daya jangkaunya luas dan mudah masuk dalam ingatan bawah sadar masyarakat. Sehingga iklan politik Joko Widodo (Jokowi) di media massa m emancarkan citra dirinya yang kuat sebagai pemimpin. Menurut Kaid dan Holtz-Bacha dalam Danial (2014). iklan politik televisi didefinisikan dengan “moving image programming that is designed to promote the interest of a given party or individual”. Perbedaan peran yang dimainkan iklan politik televisi di banyak negara, ditentukan oleh sejumlah variable sistemik, antara lain sistem politik negara tersebut, sistem pemilihan umum, dan sistem penyiaran televisinya. Selain itu bagaimana pesan-pesan pemilihan umum di desain untuk iklan politik juga sangat bergantung pada budaya politik negara bersangkutan. Karena itulah, setiap penelitian tentang proses komunikasi politik dalam perspektif komparatif harus mempertimbangkan perbedaan-perbedaan yang ada dalam struktur dan proses politik di tiap negara, budaya politik, dan sistem medianya (penyiaran). Berdasarkan variabel-variabel sistem itulah regulasi tentang iklan politik, peran televisi dalam pemilihan umum, dan pengaruh iklan politik di sebuah negara boleh ditafsirkan. Menyadari bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi baru dengan sistem penyiaran yang ‘bebas’, penulis melihat bahwa tim kampanye Joko Widodo (Jokowi) melalui iklan-iklan politik yang ditampilkan di televisi meniru berbagai model iklan politik di negara-negara Barat terutama Amerika. Berbagai iklan kreatif diciptakan, mulai dari yang paling sederhana berupa pidato Joko Widodo (Jokowi), iklan testimonial, dokumentasi aktivitas, hingga berupa mini sinetron. Semua iklan diakhiri dengan ajakan atau ungkapan memilih Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden Republik Indonesia untuk masa pemerintahan yang ke dua 2014-2019. Salah satu iklan paling kontroversial dan menarik perhatian publik adalah iklan politik Jokowi yang bertemakan revolusi mental. Dari fenomena-fenomena yang dikemukakan dalam iklan tersebut muncul dugaan bahwa ada upaya dari Jokowi beserta Tim suksesnya dalam hal memperkuat citra ( brand image) Jokowi kepada khalayak dengan cara massif di media, khususnya televisi. Dari kontroversi yang 656 639 SEMINAR NASIONAL Politik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik” Pekanbaru, 17-18 November 2015 dihasilkan iklan inilah yang membuat peneliti tertarik ingin meneliti lebih dalam, terkait citra (image) Jokowi yang selama ini dinilai sebagai pemimpin yang b ersih dan peduli kepada masyarakat kecil. TEORI KOMUNIKASI POLITIK Menilik hal seputar popularitas Jokowi tersebut, penulis menggunakan teoriteori yang berkaitan dengan hal - hak tersebut, di antaranya adalah teori Lasswell, teori analisis kultivasi, dan teori agenda setting. Teori Lasswell yakni “Who, Says What, In Which Channel, To Whom, With What Effect”. Teori ini mengisyaratkan bahwa lebih dari satu saluran dapat membawa pesan. Unsur sumber (who) merangsang pertanyaan mengenai pengendalian pesan (misalnya oleh ”penjaga gerbang), sedangkan unsur pesan (says what) merupakan bahan untuk analisis isi. Saluran komunikasi (in which channel) dikaji di dalam analisis media. Unsur penerima (to whom) dikaitkan dengan analisis khalayak, sementara unsur pengaruh (with what effect) jelas berhubungan dengan studi mengenai akibat yang ditimbulkan peran komunikasi massa pada khalayak pembaca, pendengar atau pemirsa (Mulyana, 2007:147-148). Sedangkan Teori yang kedua adalah teori Analisis Kultivasi dikemukakan oleh Gerbner (1969). Teori ini adalah teori yang memprediksikan dan menjelaskan formasi dan pembentukan jangka panjang dari persepsi, pemahaman, dan keyakinan mengenai dunia sebagai akibat dari konsumsi akanpesan-pesan media. Analisis Kultivasi berkembang dengan dua perspektif, yakni perspektiftransmisional dan perspektif ritual. Perspektif transmisional adalah posisi yang menggambarkan media sebagai pengirim pesan-pesan ke seluruh penjuru ruang. Sedangkan perspektif ritual adalah posisi yang menggambarkan media sebagai pembawa representrasi mengenai keyakinan yang dimiliki bersama (West dan Turner, 2008:82-83). Dan yang terakhir adalah teori Agenda Setting. Teori agenda setting model menurut Ardianto, Komala, dan Karlinah, 2009:77) menekankan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media pada suatu persoalan tersebut, Dengan kata lain, apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting juga oleh masyarakat. Apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat. Adapun efek dari agenda setting model terdiri atas efek langsung dan efek tidak langsung. Efek langsung berkaitan dengan isu: apakah isu itu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak; dari semua isu, mana yang dianggap paling penting menurt khalayak; sedangkan efek lanjutan berupa persepsi (pengetahuan tentang peristiwa tertentu) atau tindakan. 657 640 SEMINAR NASIONAL Politik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik” Pekanbaru, 17-18 November 2015 Iklan Politik sebagai Alat Komunikasi Politik Iklan politik menekankan pada periklanan citra, yaitu imbauan yang ditujukan untuk membina reputasi pejabat pemerintah atau yang menghendaki menjadi pejabat pemerintah. Komunikasi politik itu sendiri hadir dalam setiap realitas kehidupan politik. Denton dan Woodward (Pawito, 2009: 5) mendefinisikan komunikasi politik sebagai diskusi publik mengenai penjatahan sumber daya publik yakni mengenai pembagian pendapatan atau penghasilan yang diterima oleh publik; kewenangan resmi yakni siapa yang diberi kekuasaan untuk membuat keputusan-keputusan hukum, membuat peraturanperaturan; dan sanksi-sanksi resmiyakni apa yang negara berikan sebagai ganjaran atau mungkin hukuman. Komunikasi politik dapat menjadi alat untuk membangun suatu image politik. Komunikasi politik yang dimaksud dalam hal ini adalah semua hal yang dilakukan oleh partai politik untuk mentransfer sekaligus menerima umpan balik tentang isu-isu politik berdasarkan semua aktifitas yang dilakukannya terhadap masyarakat. Isu-isu politik tersebut dapat berupa ideologi partai, program kerja partai, visi dan misi partai, sosok atau figur pemimpin partai, latar belakang pendirian partai, dan permasalahanperlmasalahan lain yang diungkapkan dalam komunikasi politik tersebut (Firmanzah, 2007: 255). Teori Semiotika Dalam teorinya tersebut, Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Misalnya menggunakan contoh fotografi. Apa yang dipotret adalah objek bersifat denotatif. Akan tetapi bagaimana cara memotret, apa objek yang diutamakan, dari sudut pandang mana, apakah memakai film hitam-putih, apakah menggunakan filter lembut, warna merah atau biru, apakah close-up atau long shot, dan sebagainya, semua masuk dalam tataran konotasi. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Konotasi menjelaskan adanya interaksi yang muncul ketika tanda bertemu dengan perasaan, emosi, dan ”nilai-nilai budaya” si pengguna tanda. Dengan kata lain, konotasi bersifat subjektif (setidaknya intersubjektif), arbitrer, spesifik dalam suatu lingkungan budaya dan sangat tergantung pada ”pengetahuan budaya”. (Adityawan S, 2008: 23-24). Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja (Cobley & Jansz dalam Sobur, 2004;69). 658 641 SEMINAR NASIONAL Politik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik” Pekanbaru, 17-18 November 2015 METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan apa yang terjadi pada situasi atau peristiwa pada penelitian ini dan tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005;4) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (dalam Moleong, 2005;4) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik (Moleong, 2005;5). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Komunikasi Politik, Nimmo mendefinisikannya sebagai kegiatan komunikasi yang berdasarkan konsekuensi-konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia di dalam kondisi-kondisi konflik. Sedangkan Roelofs (dalam Sumarno & Suhandi, 1993) mendefinisikan komunikasi politik sebagai komunikasi yang materi pesan-pesan berisi politik yang mencakup masalah kekuasaan dan penempatan pada lembaga-lembaga kekuasaan (lembaga otoritatif). Sedangkan Dahlan dalam Cangara (2014) menyebutkan komunikasi politik adalah suatu bidang atau disiplin yang menelaah perilaku dan kegiatan komunikasi yang bersifat politik, mempunyai akibat politik, atau berpengaruh terhadap perilaku politik. Dengan demikian pengertian komunikasi politik dapat dirumuskan sebagai suatu proses pengoperan lambang-lambang atau simbol-simbol komunikasi yang berisi pesan-pesan politik dari seseorang atau kelompok pada orang lain dengan tujuan membuka wawasan atau cara berpikir, serta memengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak yang menjadi target politik. Citra (image), terbentuk berdasarkan pengetahuan dan informasi-informasi yang diterima seseorang. Komunikasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu, tetapi cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasi citra kita tentang lingkungan (Danasaputra, dalam Soemirat, 2004: 114). Konstruksi brand image dalam struktur kognitif seperti yang dikutip Danasaputra, sebagai berikut: 659 642 SEMINAR NASIONAL Politik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik” Pekanbaru, 17-18 November 2015 Gambar 2. Model Konstruksi Brand Image Stimulus Rangsang Kognisi Persepsi Sikap Respon Perilaku Motivasi Sumber : Dasar-Dasar PR, Soemirat (2004: 115) Model konstruksi brand image ini menunjukkan bagaimana stimulus yang berasal dari luar diorganisasikan dan mempengaruhi respons. Stimulus (rangsang) yang diberikan pada individu dapat diterima atau ditolak. Jika rangsang ditolak proses selanjutnya tidak akan berjalan, hal ini menunjukkan bahwa rangsang tersebut tidak efektif dalam mempengaruhi individu karena tidak ada perhatian dari individu tersebut. Sebaliknya, jika rangsang itu diterima oleh individu berarti terdapat komunikasi dan terdapat perhatian dari organisme, dengan demikian proses selanjutnya dapat berjalan. Empat komponen persepsi-kognisi-motivasi-sikap diartikan sebagai citra individu terhadap rangsang. Ini disebut sebagai “picture in our head” oleh Lipman. Jika stimulus mendapat perhatian, individu akan berusaha mengerti tentang rangsang tersebut. Menurut Jefkins, ada beberapa jenis citra yang dikenal di dunia aktivitas humas dan dapat dibedakan satu dengan yang lainnya sebagai berikut : a) “Citra Bayangan (mirror image), citra ini merupakan pandangan sebuah perusahaan yang selalu merasa memiliki posisi baik tanpa mengacuhkan kesan dari luar. Citra ini melekat pada orang dalam atau anggota-angggota organisasi, biasanya adalah pemimpinnya mengenai anggapan pihak luar tentang organisasinya. Merasa perusahaan baik di mata masyarakat tanpa memperdulikan tanggapan negatif yang muncul. b) Citra Kini (current image), citra merupakan kesan yang baik diperoleh dari orang lain tentang perusahaan atau hal lain yang berkaitan dengan produknya. Berdasarkan pengalaman dan informasi kurang baik penerimaannya, sehingga dalam posisi tersebut pihak humas akan menghadapi resiko yang sifatnya permusuhan, kecurigaan hingga muncul kesalahpahaman yang 660 643 SEMINAR NASIONAL Politik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik” Pekanbaru, 17-18 November 2015 menyebabkan citra kini yang ditanggapi secara tidak adil atau bahkan kesan yang negatif yang diperolehnya. c) Citra Penampilan (performance image)¸ citra ini lebih ditujukan kepada subjeknya, bagaimana kinerja atau penampilan diri para ptofesional pada perusahaan bersangkutan, misalnya dalam memberikan berbagai bentuk dan kualitas pelayanan. d) Citra Perusahaan (corporate image), citra ini berkaitan dengan sosok perusahaan sebagai tujuan utama, bagaimana menciptakan citra perusahaan yang positif, lebih dikenal serta diterima oleh publiknya, mungkin tentang sejarahnya, kualitas pelayanan prima, keberhasilan dalam bidang marketing dan hingga berkaitan dengan tanggungjawab sosial. Dalam hal ini pihak humas berupaya bahkan ikut bertanggungjawab untuk mempertahankan citra perusahaan. e) Citra Majemuk (multiple image), citra ini merupakan citra pelengkap dari citra di atas, misalnya bagaimana pihak humas akan menampilkan pengenalan terhadap identitas perusahaan” (Ruslan, 2003;72). Iklan Politik, adalah Semua bentuk aktifitas untuk menghadirkan dan mempromosikan individu maupun partai mereka, secara nonpersonal melalui media yang dibayar oleh sponsor tertentu. Dan berisikan muatan-muatan politik, seperti berisikan profil pribadi tokoh elit partai tersebut yang nantinya akan membangun minat pilih masyarakat akan diberikan kepada calon tersebut yang lebih dikenal masyarakat sehingga nantinya suara atau hak pilih masyarakat terebut diberikan kepada orang yang sering melihat iklan tersebut. Dan kepercayaan individu kepada calon anggota legislatif maupun kepada partai akan tercipta sehingga hak pilih orang tersebut akan diberikan dengan sendirinya. Konteks periklanan politik di Indonesia belum bisa diukur seberapa penting partai politik menempatkan iklan sebagai sarana kampanye politik, begitu pula efektivitasnya. Periklanan politik lebih mirip propaganda. Sasarannya heterogen, tetapi materi kampanye oleh pimpinan parpol dengan jalan pidato terkesan mengarahkan pada sasaran homogen atau kelompok tertentu karena materi kampanye disensor oleh pemerintah, lebih mirip pejabat pidato. Mengutip pendapat Jacques Seguela, ahli kreatif dari Perancis yang pernah menangani kampanye Francois Mitterand dalam pemilihan presiden, periklanan merupakan bagian dari upaya demokrasi. Dalam konteks ini, demokrasi adalah kebebasan untuk memilih. Melalui iklan, warga mengetahui lebih banyak mengenai 661 644 SEMINAR NASIONAL Politik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik” Pekanbaru, 17-18 November 2015 suatu ide atau produk yang dapat dipilih. Di banyak negara, iklan terbukti efektif dan efisien melakukan komunikasi massa. Dengan memahami profesionalismenya, praktisi periklanan dan komunikasi dapat mengoptimalkan peran iklan dalam membantu kampanye politik. Miranty Abidin (dalam Setiyono, 2008;56) mengatakan, iklan politik sangat berpengaruh untuk meraih suara pemilih. Keberhasilannya tentu tidak hanya ditentukan oleh iklan politik. Bantuan media partai saat itu, sangat menentukan sebagai sosialisasi dan kampanye partai politik. Isi pesan iklan-iklan politik umumnya sama, yaitu ajakan mencoblos tanda gambar atau nomor dan menampilkan figur. Harapan bahwa iklan-iklan politik menampilkan program-program partai politik tak terwujud. Iklan politik umumnya berupaya mengkonstruksi pemirsa yang juga adalah segmen politik sebuah partai pada saat pemilihan umum pemilih partai tersebut. Gagasan iklan politik sama dengan iklan konsumen, hanya saja bedanya pada produk yang dijual dan penyelesaian akhir tujuan iklan. Iklan politik tidak menjual produk, namun menjual program partai dan tidak mengarahkan pemirsa pada perilaku membeli, namun mengarahkan pada sikap menerima sebuah partai dan memilihnya pada saat pemilihan umum. Iklan politik tidak beda promosi produk. Keduanya berusaha menjual sesuatu kepada sasaran konsumen tertentu. Memang iklan politik lebih rumit daripada, iklan sabun atau obat nyamuk. Jika berhasil, iklan politik bisa meraih sejumlah target, seperti meningkatkan popularitas calon, meyakinkan pemilih yang masih bingung, meraih dukungan, menyerang pesaing dan penentang, menjelaskan visi dan misi, dan menjaga citra sang calon. Sindiran, kritikan, drama, humor, horor, dan serangan terbuka menjadi isi iklan politik. Meskipun iklan politik memainkan peran yang sangat penting dalam kemenangan seorang kandidat, tetapi iklan politik juga menyimpan sejumlah persoalan. Pertama, berkaitan dengan iklan negatif, kedua, iklan politik disinyalir mengalami krisis etika, dan ketiga tidak adanya batasan tentang pengeluaran (budget) iklan politik. Menurut Denton dalam Cangara (2014: 345), televisi memiliki peranan yang sangat besar dalam pertumbuhan iklan politik. Oleh karena itu, televisi merupakan media yang paling banyak meraup keuntungan dari kampanye politik dan membesarkannya sebagai bisnis penyiaran, sebagaimana dinyatakan oleh Nimmo dan Felsberg bahwa “paid political advertising via television now constitutes the mainstream of modern electoral politics.” 662 645 SEMINAR NASIONAL Politik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik” Pekanbaru, 17-18 November 2015 yaitu : Baukus (dalam Cangara, 2014: 346) membagi iklan politik atas empat macam, 1. ”Iklan serangan, yang ditujukan untuk mendiskreditkan lawan 2. Iklan argumen, yang memperlihatkan kemampuan para kandidat untuk mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi 3. Iklan ID, yang memberi pemahaman mengenai siapa sang kandidat kepada para pemilih 4. Iklan resolusi, dimana para kandidat menyimpulkan pemikiran mereka untuk para pemilih.” 1.2. Analisis Semiotika Iklan Politik Revolusi mental dalam Pemilihan Presiden 2014 Semiotika pada dasarnya mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensikonvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Pada dasarnya semiotika hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Tradisi semiotika tidak pernah mengandaikan terjadinya salah pemaknaan, karena setiap ‘pembaca’ mempunyai pengalaman budaya yang relatif berbeda, sehingga pemaknaan diserahkan kepada pembaca. Dengan demikian istilah kegagalan komunikasi (communication failure) tidak pernah berlaku dalam tradisi ini, karena setiap orang berhak memaknai teks dengan cara yang berbeda. Maka makna menjadi sebuah pengertian yang cair, tergantung pada frame budaya pembacanya. Pada saat iklan telah tersaji ke ruang publik, maka iklan akan memproduksi makna, dan pencipta tanda-tanda dalam iklan tidak lagi memiliki otoritas untuk memaksa makna-makna yang mereka kehendaki. Peran pemaknaan pun be rpindah ke tangan pembaca. Dari tampilan iklan yang ada, peneliti hendak mengkaji melalui pemikiran Barthes. Melalui semiotika, Barthes mengkaji iklan menjadi dua tahapan, yaitu tahapan denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak 663 646 SEMINAR NASIONAL Politik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik” Pekanbaru, 17-18 November 2015 langsung, dan tidak pasti. Setelah melalui tahapan denotasi dan konotasi, peneliti juga membedah iklan menggunakan mitos dan ideologis. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan makna komprehensif dan tidak setengah-setengah. Bila menyaksikan iklan politik revolusi mental, sebenarnya tidak begitu rumit karena unsur-unsur yang digunakan nampak sederhana, seperti tampilan iklan politik tag line: “REVOLUSI MENTAL” Deskripsi Iklan: 1. Iklan dengan tema ‘Revolusi mental’ ini merupakan komunikasi politik yang mengandung pesan merubah mental diri pada setiap orang tanpa pandang bulu. 2. Ide berawal dari keprihatinan terhadap situasi bangsa yang semakin terpuruk baik secara ekonomi maupun moral. 3. Iklan ‘Revolusi mental’ merupakan solusi untuk memperbaiki nasib bangsa Indonesia ke depan oleh setiap individu yang ada di negara ini. Analisis Semiotika Iklan Revolusi mental 1. Makna denotasi: Iklan terlalu berat untuk dilaksanakan publik sehingga terkesan utopis. 2. Makna konotasi: Bila dikaji lebih dalam, iklan mengandung pesan besar yaitu perubahan diri secara drastis terutama para penyelenggara negara. 3. Kajian mitos: Dua mitos, yaitu bangsa ini tidak akan pernah maju jika setiap orang tidak mau merevolusi mentalnya, dan negarawan yang bebas korupsi adalah pemimpin yang bisa merevolusi mentalnya. 4. Kajian ideologis: Sosok Jokowi adalah pemimpin yang sederhana dan nasionalis. Ini ditandai dengan memakai kemeja putih pada tampilan iklannya. Konstruksi Citra Jokowi pada Iklan Politik Revolusi mental 1. Persepsi: Berdasarkan 664 647 persepsi khalayak secara umum, SEMINAR NASIONAL Politik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik” Pekanbaru, 17-18 November 2015 2. 3. 4. menyatakan bahwa Jokowi sebagai pemimpin yang sangat sederhana, bersih, dan nasionalis. Kognisi: Iklan revolusi mental sebagai stimulus, mempengaruhi kognisi khalayak. Dalam kognisi khalayak tercipta konsistensi Jokowi sebagai pemimpin yang memiliki kepedulian tinggi terhadap persoalan rakyat kecil. Motif: Jokowi sadar bahwa bersaing meraih suara sebanyakbanyaknya di dalam pemilihan presiden tahun 2014 a kan memuluskannya meraih kekuasaan untuk 5 ( lima) tahun kepemimpinannya ke depan. Sikap: Sikap khalayak setelah menerima stimulus, cenderung positif. KESIMPULAN Dari penjelasan hasil penelitian mengenai Komunikasi Politik Joko Widodo, Analisis Semiotika Iklan Politik Revolusi Mental pada Pemilihan Presiden Indonesia Tahun 2014 m aka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa :Iklan Revolusi mental tayang di seluruh media massa elektronik nasional dengan berbagai versi. Di media cetak, Iklan ditampilkan dalam bentuk potongan headline koran. Melalui analisis semiotika, dapat dijelaskan bahwa iklan Revolusi mental ini dibedah berdasarkan makna denotasi, konotasi, kajian mitos dan kajian ideologis. Iklan Revolusi mental ini berusaha mengkonstruksi citra positif Jokowi kepada khalayak. Dalam mengkonstruksi pencitraan Jokowi ini, konsultan politik (tim sukses) mencoba membangun komunikasi politik melalui melalui empat tahapan. Persepsi, kognisi, motif dan sikap. 665 648 SEMINAR NASIONAL Politik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik” Pekanbaru, 17-18 November 2015 DAFTAR PUSTAKA Adityawan S, Arief. 2008. Propaganda Pemimpin Politik Indonesia. Mengupas Semiotika Orde Baru Soeharto. Jakarta: LP3ES. Agger, Ben. 2005. Teori Sosial Kritis. Yogyakarta : Kreasi Wacana. Aly, Bachtiar. 2010. K omunikasi Politik sebagai Penjuru Penyelesaian Konflik dan Mengoptimalkan Sinergitas Hubungan Pusat dan Daerah. Makalah. Seminar Nasional di UMB Jakarta. 15 Mei 2010. Aliah Darma, Yoce. 2014. Analisis Wacana Kritis. Bandung: CV. Yrama Widya. Arifin, Anwar. 2010. Pers dan Dinamika Politik: Analisis Media Politik Indonesia. Jakarta: Yarsif Watampone. Arif Subiyantoro dan FX Suwarto. 2007. Metode dan Teknik Penelitian Sosial, Yogyakarta: Penerbit Andi. Barthes, Roland. 1983. Mythologies. Terjemahan Annete Lavers. London: Granada. Berger, Arthur Asa. 1984. Signs in Contemporary Culture: An Introductions to Semiotics. New York: Longman. Bessette, Guy. 2004. Involving the Community, a Guide to Participatory Development Communication. Penang Malaysia: Southbound. Cangara, Hafied. 2014. Komunikasi Politik. Jakarta: Rajawali Pers. Danial, Akhmad. 2014. Iklan Politik TV: Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru. Yogyakarta: LKiS. Dan Nimmo. 1989. Komunikasi Politik: Komunikator, Mesej dan Media (Edisi Terjemahan oleh Tjun Surjaman). Bandung: Remaja Rosdakarya. Ermanto. 2005. Wawasan Jurnalistik Praktis. Yogyakarta : Cinta Pena Eriyanto. 2002. Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. 666 649 SEMINAR NASIONAL Politik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik” Pekanbaru, 17-18 November 2015 . 2005. Analisis Framing “Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media”. Yogyakarta : LKiS Pelangi Aksara. Firmanzah. 2007. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Fiske, John. 2000. Cultural and Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling Komprehensif . Yogyakarta : Jalasutra Anggita IKAPI. Gunadi. 1998. Himpunan Istilah Komunikasi. Jakarta : Grasindo. Hardiman, Fransisco Budi, 2003. Kritik Ideologi, menyingkap kepentingan pengetahuan bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta : Buku Baik. Iskandar. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Gaung Persada Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada. Liliweri, Alo. 1994. Perspektif Teoritis Komunikasi Antar Pribadi, Suatu Pendekatan ke Arah Psikologi Sosial, Citra Aditya Bakti, Bandung. Mar’at. 1981. Sikap Manusia, Perubahan dan Pengukurannya, Ghalia, Jakarta. Matthew B. Miles & Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif, Jakarta: Kencana. McCombs, Maxwell E. 1979. “Setting the Agenda for Agenda Setting Research: An Assessment of the priority Ideas and Problems” in Mass Communication Review Yearbook. Moleong, J. Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Newman, Bruce. 1999. Handbook of Political Marketing. London, Sage Publication Nimmo, Dan. 2005. Komunikasi Politik (Dua Jilid). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset. Rakhmat, Djalaluddin. 2007, Psikologi Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. 667 650 SEMINAR NASIONAL Politik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik” Pekanbaru, 17-18 November 2015 Ruslan, Rosady. 2007. Manajemen PR & Media Komunikasi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Tanjung, Akbar. 2007. The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi, Jakarta: Gramedia. Turner, T.C., Hogg, MA., & Oakes, P.J., Reicher, S.D., & Wetherel, M.S. 1987, Rediscovering the Social Group: A self-categorization theory, Oxford: Blackwell. Narwaya, St tri Guntur. 2006. Matinya Ilmu Komunikasi. Yogyakarta : Resist Book. Setiyono, Budi. 2008. Iklan dan Politik: Menjaring Suara dalam Pemilihan Umum. Jakarta: AdGoal.com. Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media; Suatu pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung : Remaja Rosdakarya. Soemirat, Soleh., Elvinaro Ardianto. 2004. Dasar-Dasar Public Relations. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta : LkiS. Sumarno & Suhandi. 1993. Pengantar Bidang Komunikasi Politik. Bandung: Orba Shakti. Suryabrata, Sumadi. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta : RajaGrafindo Persada.. Jurnal Jurnal Ilmu Komunikasi. Vol. 8 No. 1/Januari 2010, ms. 27. Jurnal Komunikator. Vol. 1/Mei 2014, ms.11. 668 651