MEMBELA HAK-HAK ANAK Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum disusun oleh : TIM ILRC PENERBIT The Indonesian Legal Resources Center (ILRC) Jalan Tebet Timur I No. 4, Jakarta Selatan Phone : +62 21 93821173 Fax : +62 21 8356641 e-mail : [email protected] website: www.mitrahukum.org BEKERJASAMA DENGAN AUSTRALIAN AID Perpustakaan Nasional RI, Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Membela Hak-Hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum viii + 534 halaman, 16 cm x 24 cm Jakarta ILRC, 2012 ISBN : 978-602-98382-5-1 Design, Layout and printed by Delapan Cahaya Indonesia Printing - Canting Press isi diluar tanggung jawab percetakan Daftar Isi Kata Pengantar Mengenai Kompilasi Peraturan Dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan Dengan Hukum vii UNDANG-UNDANG 1. Konvensi tentang Hak Anak. 1 2. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 20 3. Undang-Undang RI No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan segera Penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 39 4. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum untuk diperbolehkan bekerja. 48 5. Undang-Undang RI No. 19 Tahun 1999 tentang pengesahan Konvensi ILO No. 105 Mengenai Penghapusan Kerja Paksa 59 6. Undang-Undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 63 7. Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban 93 8. Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1998 tentang pengesehan Konvensi Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghapusan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. 107 9. Undang-undang RI tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 116 10.Undang-undang RI No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 154 11.Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak 178 12.Undang-Undang Ri No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin 184 13.Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga 200 14.Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 210 15.Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan 225 16.Putusan Mahkamah Konstitusi dalam JR UU Perkawinan tentang status anak luar nikah. 271 PERATURAN PEMERINTAH 17.Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdaganan Orang. 283 18.Peraturan Pemerintah RI No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga. 296 PERPRES/KEPPRES/INPRES 19.Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak. 305 20.Keputusan Presiden RI No. 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak. 309 21.Keputusan Presiden RI. No. 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia. 343 22.Keputusan Presiden RI No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. 347 PERATURAN/KEPUTUSAN MENTERI DAN YANG SEDERAJAT 23.Surat Keputusan Bersama antara Menteri Hukum dan HAM, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Sosial, Jaksa Agung, Kepolisian RI serta Mahkamah Agung NO.166 A/KMA/SKB/XII/2009, NO.148 A/A/JA/12/2009, NO. B/45/XII/2009, NO.M.HH-08 HM.03.02 TAHUN 2009, NO. 10/PRS-2/KPTS/2009, NO. 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tanggal 22 Desember 2009 TENTANG PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM 360 24.Kesepakatan Bersama Tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan Dengan Hukum. 369 25.Peraturan Menteri Negara PP2PA Nomor 15 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penanganan ABH. 412 26.Keputusan Bersama tentang tentang Peningkatan Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan. 468 27.Nota Kesepahaman antar kementerian tentang Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran Dalam Rangka Perlindungan Anak. 474 28.Peraturan KAPOLRI No. 10 tahun 2007, 6 Juli 2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) 481 29. Peraturan KAPOLRI No. 3 tahun 2008 tentang pembentukan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dan tata cara pemeriksaan saksi dan/atau korban Tindak Pidana 485 30.Peraturan KAPOLRI No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. 495 31.Surat Kejaksaan perihal Petunjuk Teknis Tentang Penuntutan Terhadap Anak. 528 MAHKAMAH AGUNG 32.Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Kewajiban tiap Pengadilan Negeri (PN) mengadakan ruang sidang khusus dan ruang tunggu khusus untuk anak yang disidangkan. 530 33.Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1987 tentang tata tertib sidang anak. 531 PROFIL THE INDONESIAN LEGAL RESOURCE CENTER 533 KATA PENGANTAR The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) mencoba menyusun kompilasi aturan hukum berhubungan dengan permasalahan anak dengan mempertimbangkan beberapa hal. Pertimbangan pertama, permasalahan anak sangat komplek mulai dari administrasi kependudukan, bantuan hukum, sampai dengan perlindungan anak dari tindakan kekerasan. Di sisi lain, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah menyusun beberapa aturan hukum berkaitan dengan anak, bahkan juga telah meratifikasi aturan hukum internasional tentang anak menjadi hukum nasional. Oleh karena itu, baik pendamping anak dan anak itu sendiri membutuhkan informasi tentang aturan-aturan hukum berhubungan dengan permasalahan anak. Baik anak dan pendamping anak tidak hanya untuk sekedar mengetahui substansi aturan-aturan hukum tersebut, tetapi juga mungkin bisa mengkritisi aturan-aturan hukum yang ada apakah sudah sesuai dengan rasa keadilan menurut anak itu sendiri. Pertimbangan kedua, sebenarnya sudah terdapat rumah-rumah singgah yang menjadi tempat/shelter anak-anak jalanan baik untuk tempat tinggal maupun belajar. Rumah-rumah singgah tersebut juga mempunyai perpustakaan yang membutuhkan informasi terbaru terkaitan dengan permasalahan/aturan-aturan hukum tentang anak. Berdasarkan hal tersebut, ILRC juga mencoba membuat kompilasi aturan-aturan berkaitan dengan anak untuk mengisi kebutuhan perpustakaan di rumah-rumah singgah anak jalanan. Meskipun demikian, buku kompilasi ini juga ditujukan untuk siapa saja yang tertarik atau berkepentingan dengan isu-isu anak secara umum. Kami mengucapkan terima kasih kepada AusAid yang telah mendukung penerbitan buku kompilasi aturan-aturan hukum tentang anak. Jakarta, 29 Mei 2012 Hormat Kami Uli Parulian Sihombing Direktur Eksekutif ILRC Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum KONVENSI TENTANG HAK-HAK ANAK DISETUJUI OLEH MAJELIS UMUM PERSERIKATAN BANGSA BANGSA PADA TANGGAL 20 NOPEMBER 1989 Mukadimah Negara-negara Pihak pada konvensi ini, Mempertimbangkan bahwa menurut prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa pengakuan terhadap martabat yang melekat, dan hak-hak yang sama dan tidak terpisahkan dari semua anggota umat manusia, merupakan dasar dari kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia, Mengingat bahwa bangsa-bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan sekali lagi dalam piagam keyakinan mereka akan hak-hak dasar dari manusia, akan martabat dan penghargaan seseorang manusia, dan telah berketetapan untuk meningkatkan kemajuan sosial dan standar hidup yang lebih baik dalam kebebasan yang lebih luas, Mengaku bahwa Perserikatan BangsaBangsa, dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Kovenan-kovenan Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia, menyatakan dan menyetujui bahwa setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dinyatakan didalamnya, tanpa pembedaan macam apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik, atau pendapat yang lain, kewarganegaraan atau asal usul sosial, harta kekayaan atau status yang lain, Mengingat bahwa dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan bahwa anak-anak berhak atas pengasuhannya dan bantuan khusus, Meyakini bahwa keluarga, sebagai kelompok dasar masyarakat dan lingkungan alamiah bagi pertumbuhan dan kesejahteraan semua anggotanya dan terutama anak-anak, harus diberikan perlindungan dan bantuan yang diperlukan sedemikian rupa sehingga dapat dengan sepenuhnya memikul tanggung jawabnya di dalam masyarakat, Mengaku bahwa anak, untuk perkembangan kepribadiannya sepenuhnya yang penuh dan serasi, harus tumbuh berkembang dalam lingkungan keluarganya dalam suasana kebahagiaan, cinta dan pengertian, Mempertimbangkan bahwa anak harus dipersiapkan seutuhnya untuk hidup dalam suatu kehidupan individu dan masyarakat, dan dibesarkan semangat cita-cita yang dinyatakan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan terutama dalam semangat perdamaian, kehormatan, tenggang rasa, kebebasan, persamaan dan solidaritas, Mengingat bahwa kebutuhan untuk memberikan pengasuhan khusus kepada anak, telah dinyatakan dalam Deklarasi Jenewa mengenai Hak-hak Anak 1 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum tahun 1924 dan dalam Deklarasi Hakhak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum pada tanggal 20 November 1959 dan diakui dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, dalam Kovenan Internasional tentang Hakhak Sipil dan Politik (terutama dalam pasal 23 dan pasal 24), dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (terutama pasal 10) dan dalam statuta-statuta dan instrumen-instrumen yang relevan dari badan-badan khusus dan organisasiorganisasi internasional yang memperhatikan kesejahteraan anak, Mengingat bahwa seperti yang ditunjuk dalam Deklarasi mengenai Hak-hak Anak, “anak, karena alasan ketidakdewasaan fisik dan jiwanya, membutuhkan perlindungan dan pengasuhan khusus, termasuk perlindungan hukum yang tepat, baik sebelum dan juga sesudah kelahiran”. Mengingat ketentuan-ketentuan Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Sosial dan Hukum yang berkenaan dengan Perlindungan dan Kesejahteraan Anak, dengan Referensi Khusus untuk Meningkatkan Penempatan dan Pemakaian Secara Nasional dan Internasional; Aturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk administrasi Peradilan Remaja (Aturan-aturan Beijing); dan Deklarasi tentang Perlindungan Wanita dan Anak-anak dalam Keadaan Darurat dan Konflik Bersenjata, Mengaku pentingnya kerjasama internasional uuntuk memperbaiki penghidupan anak-anak di setiap negara, terutama di negara-negara sedang berkembang, Menyetujui sebagai berikut : 2 Bagian I Pasal 1 Untuk tujuan-tujuan Konvensi ini, seorang anak berarti setiap manusia di bawah umur delapan belas tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal. Pasal 2 (1) Negara-negara Pihak harus menghormati dan menjamin hak-hak yang dinyatakan dalam Konvensi ini pada setiap anak yang berada di dalam yurisdiksi mereka, tanpa diskriminasi macam apa pun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau asalusul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status yang lain dari anak atau orang tua anak atau wali hukum anak. (2) Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman atas dasar status, aktivitas, pendapat yang diutarakan atau kepercayaan orang tua anak, wali hukum anak, atau anggota keluarga anak. Pasal 3 (1) Dalam semua tindakan mengenai anak, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial negara atau swasta, pengadilan hukum, penguasa administratif atau badan legislatif, kepentingan-kepentingan terbaik anak harus merupakan pertimbangan utama. (2) Negara-negara Pihak berusaha menjamin perlindungan dan perawatan anak-anak seperti yang di- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum perlukan untuk kesejahteraannya, dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tuanya, wali hukumnya atau orangorang lain yang secara sah atas dia, dan untuk tujuan ini, harus mengambil semua tindakan legislatif dan administratif yang tepat. (3) Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa berbagai lembaga, pelayanan, dan fasilitas yang bertanggung jawab atas perawatan dan perlindungan tentang anak, harus menyesuaikan diri dengan standarstandar yang ditentukan oleh para penguasa yang berwenang, terutama di bidang keselamatan, kesehatan, dalam jumlah dan kesesuaian staf, mereka dan juga pengawasan yang berwenang. Pasal 4 Negara-negara Pihak akan melakukan semua tindakan legislatif, administratif, dan tindakan lain yang tepat untuk pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini. Mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, maka Negara-negara Pihak harus melakukan tindakan-tindakan tersebut sampai pada jangkuan semaksimum mungkin dari sumber-sumber mereka yang tersedia dan apabila dibutuhkan dalam kerangka kerjasama internasional. Pasal 5 Negara-negara Pihak harus menghormati tanggung jawab, hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua, atau apabila dapat diberlakukan, para anggota keluarga yang diperluas atau masyarakat seperti yang diurus oleh kebiasaan lokal, wali hukum, atau orang-orang lain yang secara sah bertanggung jawab atas anak itu, untuk memberikan dalam suatu cara yang sesuai dengan kemam- puan anak yang berkembang, pengarahan dan bimbingan yang tepat dalam pelaksanaan oleh anak mengenai hakhak yang diakui dalam Konvensi ini. Pasal 6 (1) Negara-negara Pihak mengakui bahwa tiap-tiap anak mempunyai hak yang melekat atas kehidupan. (2) Negara-negara Pihak harus menjamin sampai pada jangkauan semaksimum mungkin ketahanan dan perkembangan anak. Pasal 7 (1) Anak harus didaftarkan segera sesudah kelahiran dan harus mempunyai hak sejak lahir atas suatu nama, hak untuk memperoleh kewarganegaraan, dan sejauh mungkin, hak untuk mengetahui dan dirawat oleh orang tuanya. (2) Negara-negara Pihak harus menjamin pelaksanaan hak-hak ini sesuai dengan hukum nasional mereka dan kewajiban mereka menurut instrumen-instrumen internasional yang relevan dalam bidang ini, terutama apabila anak sebaliknya akan tidak berkewarganegaraan. Pasal 8 (1) Negara-negara Pihak harus berusaha menghormati hak anak untuk mempertahankan identitasnya, termasuk kewarganegaraan, nama dan hubungan keluarga seperti yang diakui oleh hukum tanpa campur tangan yang tidak sah. (2) Apabila seorang anak secara tidak sah dicabut beberapa atau semua unsur identitasnya, maka Negaranegara Pihak harus memberikan bantuan dan perlindungan yang tepat dengan tujuan secara cepat membentuk kembali identitasnya. 3 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 9 (1) Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa seorang anak tidak dapat dipisahkan dari orang tuanya, secara bertentangan dengan kemauan mereka, kecuali ketika penguasa yang berwenang dengan tunduk pada yudicial review menetapkan sesuai dengan prosedur dan hukum yang berlaku bahwa pemisahan tersebut diperlukan demi kepentingan-kepentingan terbaik anak. Penetapan tersebut mungkin diperlukan dalam suatu kasus khusus, seperti kasus yang melibatkan penyalahgunaan atau penelantaran anak oleh orang tua, atau kasus apabila orang tua sedang bertempat tinggal secara terpisah dan suatu keputusan harus dibuat mengenai tempat kediaman anak. (2) Dalam persidangan-persidangan apapun sesuai dengan ketentuan ayat 1 pasal ini, maka semua pihak yang berkepentingan harus diberi kesempatan untuk ikut serta dalam persidangan-persidangan dan membuat pendapat mereka diketahui. (3) Negara-negara Pihak harus menghormati hak anak yang dipisahkan dari salah satu atau kedua orang tuanya untuk tetap mengadakan hubungan pribadi dan hubungan langsung dengan orang tua atas dasar yang tetap, kecuali bertentangan dengan kepentingan terbaik anak. (4) Apabila pemisahan tersebut diakibatkan tindakan apapun yang diprakarsai suatu Negara Pihak seperti penahanan, pemenjaraan, pengasingan, deportasi atau kematian (termasuk kematian akibat sebab apapun selama orang itu ada dalam tahanan negara) salah satu 4 atau kedua orang tua si anak, maka Negara Pihak yang bersangkutan atas permintaan harus memberikan kepada orang anak atau kalau cocok anggota keluarga yang lain dengan informasi pokok mengenai tempat berada anggota atau paran anggota keluarga yang tidak ada kecuali pemberian informasi itu akan merusak kesejahteraan anak itu. Negara-negara Pihak harus lebih jauh menjamin bahwa penyampaian permintaan tersebut dengan sendirinya harus tidak membawa konsekuensi yang merugikan bagi orang (atau orang-orang) yang bersangkutan. Pasal 10 (1) Sesuai dengan kewajiban Negaranegara Pihak menurut pasal 9 ayat 1, pengajuan permohonan oleh seorang anak atau orang tuanya, untuk memasuki atau meninggalkan suatu Negara Pihak untuk tujuan penyatuan kembali keluarga akan ditangani oleh Negara-negara Pihak dalam suatu cara yang positif, manusiawi dan lancar. Negara-negara Pihak harus lebih jauh menjamin bahwa penyampaian permintaan tersebut harus tidak membawa konsekuensi yang merugikan para pengaju permohonan dan anggota keluarga mereka. (2) Seorang anak dimana orang tuanya berdiam di Negara lain berhak mengadakan, atas dasar yang tetap kecuali dalam keadaan-keadaan yang luar biasa, hubungan pribadi dan hubungan langsung dengan kedua orang tuanya. Ke arah tujuan tersebut dan sesuai dengan kewajiban Negara-negara Pihak menurut ketentuan pasal 9 ayat 2 maka Negara-negara Pihak harus menghor- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum mati hak anak dan orang tuanya untuk meninggalkan negara manapun, termasuk negara mereka sendiri, dan untuk memasuki negara mereka sendiri. Hak untuk meninggalkan negara manapun harus tunduk hanya pada pembatasanpembatasan seperti yang ditentukan oleh undang-undang dan yang perlu untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan, atau kesusilaan umum atau hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain dan sesuai dengan hak-hak lainnya yang diakui dalam Konvensi ini. dan administratif yang mempengaruhi anak itu, baik secara langsung, atau melalui suatu perwakilan atau badan yang tepat, dalam suatu cara yang sesuai dengan peraturan-peraturan prosedur hukum nasional. Pasal 11 (1) Negara-negara Pihak harus mengambil tindakan-tindakan untuk memerangi perdagangan gelap anak-anak dan tidak dipulangkannya kembali anak-anak yang ada di luar negeri. (2) Untuk tujuan ini, maka Negaranegara Pihak, harus meningkatkan pembuatan persetujuan-persetujuan bilateral atau multilateral atau aksesi pada persetujuan-persetujuan yang ada. Pasal 13 (1) Anak harus memiliki hak atas kebebasan mengeluarkan pendapat, hak ini mencakup kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan semua macam pemikiran, tanpa memperhatikan perbatasan, baik secara lisan, dalam bentuk tertulis ataupun cetak, dalam bentuk seni, atau melalui media lain apa pun pilihan anak. 2. Pelaksanaan hak ini dapat tunduk pada pembatasan-pembatasan tertentu, tetapi hanya akan seperti yang ditentukan oleh undang-undang dan diperlukan: a. Untuk menghormati hak-hak atau nama baik orang-orang lain; atau b. Untuk perlindungan keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan, atau kesusilaan umum. Pasal 12 (1) Negara-negara Pihak harus menjamin bagi anak yang mampu membentuk pendapatnya sendiri, hak untuk mengutarakan pendapatpendapat tersebut dengan bebas dalam semua masalah yang mempengaruhi anak itu, pendapat-pendapat anak itu diberi bobot yang semestinya sesuai dengan umur dan kematangan si anak. (2) Untuk tujuan ini, maka anak terutama harus diberi kesempatan untuk didengar pendapatnya dalam persidangan-persidangan pengadilan Pasal 14 (1) Negara-negara Pihak harus menghormati hak anak atas kebebasan berpikir, hati nurani dan beragama. (2) Negara-negara Pihak harus menghormati hak-hak dan kewajibankewajiban orang tua, dan apabila berlaku, wali hukum, untuk memberikan pengarahan pada anak dalam melaksanakan haknya dengan cara yang sesuai dengan kemampuan anak yang sedang berkembang. (3) Kebebasan untuk menyatakan agama seseorang atau kepercayaan se5 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum seorang, dapat tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan seperti yang ditentukan oleh undang-undang dan yang diperlukan untuk melindungi keselamatan umum, ketertiban umum, kesehatan atau kesusilaan atau hak-hak atau kebebasan-kebebasan dasar orang lain. Pasal 15 (1) Negara-negara Pihak mengakui hak-hak anak atas kebebasan berhimpun dan kebebasan berkumpul dengan damai. (2) Tidak satu pun pembatasan dapat ditempatkan pada pelaksanaan hak-hak ini, selain yang dibebankan sesuai dengan undang-undang, dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokrasi, demi kepentingan keamanan nasional atau keselamatan umum, ketertiban umum, perlindungan kesehatan atau kesusilaan umum atau perlindungan hak-hak dan kebebasankebebasan orang lain. Pasal 16 (1) Tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran dari campur tangan yang sewenang-wenang atau tidak sah terhadap kerahasiaan pribadinya, keluarganya, rumahnya, atau hubungan surat-menyuratnya, ataupun dari serangan yang tidak sah terhadap kehormatan dan nama baiknya. (2) Anak berhak atas perlindungan undang-undang terhadap campur tangan dan serangan tersebut. Pasal 17 Negara-negara Pihak mengakui fungsi penting yang dilakukan media massa dan harus menjamin bahwa anak mempunyai akses ke informasi dan bahan 6 dari suatu diversitas sumber-sumber nasional dan internasional; terutama yang ditujukan pada peningkatan kesejahteraan sosial, spiritual dan kesusilaannya dan kesehatan fisik dan mentalnya. Untuk tujuan ini, maka Negara-negara Pihak harus : a. Mendorong media massa untuk menyebarluaskan informasi dan bahan yang mempunyai manfaat sosial dan budaya pada anak dan sesuai dengan makna pasal 29; b. Mendorong kerjasama internasional dalam produksi, pertukaran dan penyebarluasan informasi dan bahan tersebut dari suatu diversitas budaya, sumber-sumber nasional dan internasional; c. Mendorong produksi dan penyebarluasan buku anak-anak; d. Mendorong media massa agar mempunyai perhatian khusus pada kebutuhan-kebutuhan linguistik anak, yang menjadi anggota kelompok minoritas dan merupakan penduduk asli; e. Mendorong perkembangan pedoman-pedoman yang tepat untuk perlindungan anak dari informasi dan bahan yang merusak kesejahteraannya dengan mengingat ketentuan-ketentuan pasal 13 dan pasal 18. Pasal 18 (1) Negara-negara Pihak harus menggunakan usaha-usaha terbaiknya untuk menjamin pengakuan prinsip bahwa kedua orang tua mempunyai tanggung jawab bersama untuk mendewasakan dan perkembangan anak. Orang tua atau, bagaimanapun nanti, wali hukum, mempunyai tanggung jawab utama untuk pendewasaan dan perkembangan anak. Kepentingan-kepen- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum tingan terbaik si anak akan menjadi perhatian dasar mereka. (2) Untuk tujuan menjamin dan meningkatkan hak-hak yang dinyatakan dalam Konvensi ini, maka Negara-negara Pihak harus memberikan bantuan yang tepat kepada orang tua dan wali hukum, dalam melaksanakan tanggung jawab membesarkan anak mereka, dan harus menjamin perkembangan berbagai lembaga, fasilitas dan pelayanan bagi pengasuhan anak-anak. 3. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa anak-anak dari orang tua yang bekerja berhak atas keuntungan dari pelayanan-pelayanan dan fasilitasfasilitas pengasuhan anak, yang untuknya mereka memenuhi syarat. Pasal 19 (1) Negara-negara Pihak harus mengambil semua tindakan legislatif, administratif, sosial dan pendidikan yang tepat untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, luka-luka atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan alpa, perlakuan buruk atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seks selama dalam pengasuhan (para) orang tua, wali hukum atau orang lain manapun yang memiliki tanggung jawab mengasuh anak. (2) Tindakan-tindakan perlindungan tersebut, sebagai layaknya, seharusnya mencakup prosedur-prosedur yang efektif untuk penyusunan program-program sosial untuk memberikan dukungan yang perlu bagi mereka yang mempunyai tanggung jawab perawatan anak, dan juga untuk bentuk-bentuk pencegahan lain, dan untuk identifikasi, melaporkan, penyerahan, pemeriksaan, perlakuan dan tindak lanjut kejadian-kejadian perlakuan buruk terhadap anak yang digambarkan sebelum ini, dan, sebagaimana layaknya, untuk keterlibatan pengadilan. Pasal 20 (1) Seorang anak yang secara sementara atau tetap dicabut dari lingkungan keluarganya, atau yang demi kepentingannya sendiri yang terbaik tidak diperkenankan tetap berada dalam lingkungan tersebut, berhak atas perlindungan khusus dan bantuan yang disediakan oleh Negara. (2) Negara-negara Pihak sesuai dengan undang-undang nasional mereka harus menjamin pengasuhan alternatif bagi seorang anak semacam itu. (3) Perawatan�������������������� tersebut dapat mencakup, antara lain, penempatan orang tua anak, kafalah dalam hukum Islam, adopsi, atau kalau perlu penempatan dalam lembaga yang tepat untuk pengasuhan anak. Ketika mempertimbangkan penyelesaian-penyelesaiannya, maka harus diberikan perhatian yang semestinya pada keinginan yang berkesinambungan dalam pendidikan seorang anak dan para etnis, agama, latar belakang budaya dan linguistik anak. Pasal 21 Negara-negara Pihak yang mengakui dan/atau memperkenankan sistem adopsi harus menjamin bahwa kepentingan-kepentingan terbaik si anak akan merupakan pertimbangan terpenting dan mereka harus : 7 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum a. Menjamin bahwa adopsi seorang anak disahkan hanya oleh para penguasa berwenang yang menetapkan, sesuai dengan undang-undang dan prosedur-prosedur yang berlaku dan berdasarkan semua informasi yang berhubungan dan dapat dipercaya, bahwa adopsi diiperrkenankan menurut status anak mengenai orang tua, saudarasaudara dan wali hukum dan bahwa kalau dipersyaratkan, orang-orang yang bersangkutan telah memberikan persetujuan adopsi berdasarkan konseling sebagaimana yang mungkin diperlukan ; b. Mengakui bahwa adopsi antar negara dapat dianggap sebagai cara alternatif pengasuhan anak, kalau anak tidak dapat ditempatkan dalam asuhan orang tua angkat atau keluarga adoptif atau dalam setiap cara yang cocok tidak dapat diasuh di Negara asal si anak ; c. Menjamin bahwa anak yang bersangkutan dengan adopsi antarnegara memperoleh perlindungan dan standar yang sepadan dengan dengan perlindungan dan standar yang ada dalam kasus adopsi nasional ; d. Mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa, dalam adopsi antar-negara, penempatannya tidak berakibat dalam penghasilan keuangan yang tidak cocok bagi yang terlibat di dalamnya ; e. Meningkatkan, apabila tepat, tujuan-tujuan pasal ini dengan membuat pengaturan-pengaturan atau persetujuan-persetujuan bilateral atau multilateral dan berusaha, di dalam kerangka kerja ini, menjamin bahwa penempatan si anak di negara lainnya dilaksanakan oleh para penguasa atau organ-organ 8 yang berwenang. Pasal 22 (1) Negara-negara Pihak harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin bahwa seorang anak yang sedang mencari status pengungsi atau yang dianggap sebagai pengungsi, sesuai dengan hukum dan prosedur internasional atau domestik yang berlaku, apakah tidak diikuti atau diikuti oleh orang tuanya atau oleh orang lain mana pun, harus menerima perlindungan yang tepat dan bantuan kemanusiaan dalam perolehan hak-hak yang berlaku yang dinyatakan dalam Konvensi ini dan dalam instrumen-instrumen hak-hak asasi manusia atau kemanusiaan internasional yang lain, di mana Negara-negara tersebut merupakan pesertanya. (2) Untuk tujuan ini, maka Negaranegara Pihak harus menyediakan, seperti yang mereka anggap tepat, kerja sama dalam usaha apa pun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi-organisasi antar pemerintah lain yang berwenang, atau organisasi-Organisasi Non Pemerintah, yang bekerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melindungi dan membantu seorang anak semacam itu dan melacak setiap orang tua atau anggota-anggota keluarga yang lain dari pengungsi anak, agar dapat memperoleh informasi yang diperlukan untuk melaksanakan repatriasi dengan keluarganya. Dalam kasus apabila orang tua atau para anggota keluarga lainnya sama sekali tidak dapat ditemukan, maka anak itu harus diberi perlindungan yang sama seperti anak yang lainnya, Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum yang secara tetap atau sementara dicabut dari lingkungan keluarganya, karena alasan apa pun, seperti yang dinyatakan dalam Konvensi ini. Pasal 23 (1) Negara-negara Pihak mengakui bahwa seorang anak yang cacat mental atau cacat fisik harus menikmati kehidupan yang utuh dan layak, dalam keadaan-keadaan yang menjamin martabat, meningkatkan percaya diri dan memberikan fasilitas partisipasi aktif si anak dalam masyarakat. (2) Negara-negara Pihak mengakui hak anak cacat atas perawatan khusus dan harus mendorong dan menjamin, dengan tunduk pada sumbersumber yang tersedia, pemberian kepada anak yang memenuhi syarat dan mereka yang bertanggung jawab atas perawatannya, bantuan yang untuknya permintaan diajukan dan yang sesuai dengan keadaan si anak dan keadaan-keadaan orang tua atau orang-orang lain yang merawat anak itu. (3) Dengan mengakui kebutuhan-kebutuhan khusus seorang anak cacat, maka bantuan yang diberikan, sesuai dengan ketentuan ayat 2 pasal yang sekarang ini, harus diadakan dengan cuma-cuma, setiap waktu mungkin, dengan memperhatikan sumber-sumber keuangan orang tua atau orang lain yang merawat si anak, dan harus dirancang untuk menjamin bahwa anak cacat tersebut mempunyai akses yang efektif ke dan menerima pendidikan, pelatihan, pelayanan perawatan kesehatan, pelayanan rehabilitasi, persiapan bekerja dan kesempatan rekreasi dalam suatu cara yang menghasilkan pencapaian integrasi sosial yang paling sepenuh mungkin, dan pengembangan perseorangan si anak termasuk pengembangan budaya dan jiwanya. (4) Negara-negara Pihak harus meningkatkan, dalam semangat kerjasama internasional, pertukaran informasi yang tepat, di bidang perawatan kesehatan yang preventif dan perlakuan medis, psikologis dan fungsional dari anak cacat, termasuk penyebarluasan dan akses ke informasi mengenai metodemetode rehabilitasi, pendidikan dan pelayanan kejuruan, dengan tujuan memungkinkan Negara Pihak untuk memperbaiki kemampuan dan keahlian mereka dan untuk memperluas pengalaman mereka di bidang-bidang ini. Dalam hal ini, perhatian khusus harus diberikan mengenai kebutuhankebutuhan negara-negara sedang berkembang. Pasal 24 (1) Negara-negara Pihak mengakui hak anak atas penikmatan standar kesehatan yang paling tinggi dapat diperoleh dan atas berbagai fasilitas untuk pengobatan penyakit dan rehabilitasi kesehatan. Negara-negara Pihak harus berusaha menjamin bahwa tidak seorang anak pun dapat dirampas haknya atas akses ke pelayanan perawatan kesehatan tersebut. (2) Negara-negara Pihak harus mengejar pelaksanaan hak ini sepenuhnya dan terutama, harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk: a. Mengurangi kematian bayi dan anak; 9 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum b. Menjamin penyediaan bantuan kesehatan yang diperlukan dan perawatan kesehatan untuk semua anak dengan penekanan pada perawatan kesehatan primer; c. Memerangi penyakit dan kekurangan gizi yang termasuk dalam kerangka kerja perawatan kesehatan primer melalui, antara lain, penerapan teknologi yang dengan mudah tersedia dan melalui penyediaan pangan bergizi yang memadai dan air minum bersih, dengan mempertimbangkan bahayabahaya dan resiko-resiko pencemaran lingkungan; d. Menjamin perawatan kesehatan sebelum dan sesudah kelahiran yang tepat untuk para ibu; e. Menjamin bahwa semua bagian masyarakat, terutama orang tua dan anak, diinformasikan, mempunyai akses ke pendidikan dan ditunjang dalam penggunaan pengetahuan dasar mengenai kesehatan dan gizi anak, manfaat-manfaat ASI, kesehatan dan sanitasi lingkungan dan pencegahan kecelakaan; f. Mengembangkan perawatan kesehatan yang preventif, bimbingan bagi orang tua dan pendidikan dan pelayanan keluarga berencana. (3) Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang efektif dan tepat dengan tujuan menghilangkan praktek-praktek tradisional yang merusak kesehatan anak. (4) Negara-negara Pihak berusaha meningkatkan dan mendorong kerja 10 sama internasional dengan tujuan mencapai realisasi hak yang diakui dalam pasal ini sepenuhnya dan secara progresif. Dalam hal ini, maka harus diberikan perhatian khusus pada kebutuhan-kebutuhan negara-negara sedang berkembang. Pasal 25 Negara-negara Pihak mengakui hak seorang anak yang telah ditempatkan oleh para penguasa yang berwenang untuk tujuan perawatan, perlindungan atau pengobatan kesehatan fisiknya atau kesehatan mentalnya atau peninjauan kembali secara berkala terhadap perawatan yang diberikan kepada anak itu dan semua keadaan lain yang relevan untuk penempatannya. Pasal 26 (1) Negara-negara Pihak harus mengakui untuk setiap anak hak atas kemanfaatan dari jaminan sosial termasuk asuransi sosial dan harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai realisasi hak ini sepenuhnya sesuai dengan hukum nasional mereka. (2) Kemanfaatan-kemanfaatan, apabila tepat, akan diberikan, dengan memperhatikan sumber-sumber dan keadaan-keadaan anak itu dan orang-orang yang bertanggung jawab memelihara dan mengasuh anak tersebut, dan juga setiap pertimbangan lain yang relevan untuk mengajukan permohonan berbagai kemanfaatan-kemanfaatan yang dibuat oleh anak itu atau atas nama anak itu. Pasal 27 (1) Negara-negara Pihak mengakui hak setiap anak atas suatu standar kehidupan yang memadai bagi Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. (2) Orang tua atau orang-orang lain yang bertanggung jawab atas anak itu mempunyai tanggung jawab primer untuk menjamin di dalam kesanggupan dan kemampuan keuangan mereka, penghidupan yang diperlukan bagi perkembangan si anak. (3) Negara-negara Pihak, sesuai dengan keadaan-keadaan nasional dan di dalam sarana-sarana mereka, harus mengambil langkahlangkah yang tepat untuk membantu orang tua dan orang-orang lain yang bertanggung jawab atas anak itu untuk melaksanakan hak ini, dan akan memberikan bantuan material dan mendukung programprogram, terutama mengenai gizi, pakaian dan perumahan. (4) Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin penggantian pengasuhan anak itu, dari orang tua atau orang-orang lain yang mempunyai tanggung jawab keuangan atas anak itu, bukan saja di dalam Negara Pihak tetapi juga di luar negeri. Terutama, apabila orang yang mempunyai tanggung jawab keuangan atas anak itu tinggal di suatu negara yang berbeda dengan negara si anak, maka Negaranegara Pihak harus meningkatkan aksesi ke persetujuan-persetujuan internasional atau konklusi persetujuan-persetujuan semacam itu, dan juga pembuatan pengaturan-pengaturan lain yang tepat. Pasal 28 (1) Negara-negara Pihak mengakui hak anak atas pendidikan, dan de- ngan tujuan mencapai hak ini secara progresif dan berdasarkan kesempatan yang sama, mereka harus, terutama: a. Membuat pendidikan dasar diwajibkan dan terbuka bagi semua anak; b. Mendorong perkembangan bentuk-bentuk pendidikan menengah yang berbeda-beda, termasuk pendidikan umum dan pendidikan kejuruan, membuat pendidikan-pendidikan tersebut tersedia dan dapat dimasuki oleh setiap anak, dan mengambil langkah-langkah yang tepat seperti memperkenalkan pendidikan CumaCuma dan menawarkan bantuan keuangan jika dibutuhkan; c. Membuat pendidikan yang lebih tinggi dapat dimasuki oleh semua anak berdasarkan kemampuan dengan setiap sarana yang tepat; d. Membuat informasi pendidikan dan kejuruan dan bimbingan tersedia dan dapat dimasuki oleh semua anak; e. Mengambil langkah untuk mendorong kehadiran yang tetap di sekolah dan penurunan angka putus sekolah. (2) Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa disiplin sekolah dilaksanakan dalam cara yang sesuai dengan martabat manusia si anak dan sesuai dengan Konvensi ini. (3) Negara-negara Pihak harus meningkatkan dan mendorong kerja sama internasional dalam masalahmasalah yang berkaitan dengan pendidikan, terutama dengan tujuan mengarah pada penghapusan 11 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum kebodohan dan buta aksara di seluruh penjuru dunia dan memberikan fasilitas akses ke ilmu pengetahuan dan pengetahuan teknik dan metode-metode mengajar modern. Dalam hal ini, perhatian khusus harus diberikan pada kebutuhankebutuhan negara-negara sedang berkembang. Pasal 29 (1) Negara-negara Pihak bersepakat bahwa pendidikan anak harus diarahkan ke: a. Pengembangan kepribadian anak, bakat-bakat dan kemampuan mental dan fisik pada potensi terpenuh mereka; b. Pengembangan penghormatan terhadap hak hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar dan prinsip-prinsip yang diabadikan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa; c. Pengembangan penghormatan terhadap orang tua anak, jati diri budayanya sendiri, bahasa dan nilai-nilainya sendiri terhadap nilai-nilai nasional dari negara dimana anak itu sedang bertempat tinggal, negara anak itu mungkin berasal dan terhadap peradaban-peradaban yang berbeda dengan miliknya sendiri; d. Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab dalam suatu masyarakat yang bebas, dalam semangat saling pengertian, perdamaian, tenggang rasa, persamaan jenis kelamin, dan persahabatan antara semua bangsa, etnis, warga negara dan kelompok agama, dan orang-orang asal pribumi; e. Pengembangan untuk meng12 hargai lingkungan alam. (2) Tidak satu pun bagian dari pasal ini atau pasal 28 dapat ditafsirkan sehingga mengganggu kebebasan orang-orang dan badan-badan untuk membuat dan mengarahkan lembaga-lembaga pendidikan, dengan selalu tunduk pada pentaatan prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam ayat 1 pasal ini dan pada persyaratan-persyaratan bahwa pendidikan yang diberikan dalam lembaga-lembaga tersebut harus memenuhi standar minimum seperti yang mungkin ditentukan oleh Negara yang bersangkutan. Pasal 30 Pada Negara-negara tersebut di mana terdapat minoritas etnis, agama, atau linguistik atau orang-orang asal pribumi, seorang anak yang termasuk dalam minoritas tersebut atau orangorang pribumi tidak dapat diingkari haknya, dalam masyarakat dengan anggota-anggota lain dari kelompoknya, untuk menikmati kebudayaannya sendiri, untuk menyatakan dan mengamalkan agamanya sendiri, atau pun untuk menggunakan bahasanya sendiri. Pasal 31 (1) Negara-negara Pihak mengakui hak anak untuk beristirahat dan bersenang-senang, untuk terlibat dalam bermain, dan aktivitas-aktivitas rekreasi sesuai dengan umur anak itu dan berpartisipasi dengan bebas dalam kehidupan budaya dan seni. (2) Negara-negara Pihak harus menghormati dan meningkatkan hak anak untuk berpartisipasi dengan sepenuhnya dalam kehidupan budaya dan seni dan harus mendorong pemberian kesempatan-ke- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum sempatan yang tepat dan sama untuk aktivitas budaya, seni, rekreasi dan bersenang-senang. penggunaan anak-anak dalam produksi dan perdagangan gelap bahan-bahan tersebut. Pasal 32 (1) Negara-negara Pihak mengakui hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan dari melakukan setiap pekerjaan yang mungkin berbahaya atau mengganggu pendidikan si anak, atau membahayakan kesehatan si anak atau pengembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosialnya. (2) Negara-negara Pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, sosial dan pendidikan untuk menjamin pelaksanaan pasal ini. Untuk tujuan ini, dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang relevan dari instrumen-instrumen internasional yang lain, maka Negara-negara Pihak harus terutama: a. Menentukan umur minimum atau umur-umur minimum untuk izin bekerja; b. Menetapkan peraturan yang tepat mengenai jam-jam kerja dan syarat-syarat perburuhan; c. Menentukan hukuman-hukuman atau sanksi-sanksi lain yang tepat untuk menjamin pelaksanaan pasal ini yang efektif. Pasal 34 Negara-negara Pihak berusaha melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual. Untuk tujuan-tujuan ini, maka Negara-negara Pihak harus terutama mengambil semua langkah nasional, bilateral dan multilateral yang tepat, untuk mencegah: a. Bujukan atau pemaksaan terhadap seorang anak untuk terlibat dalam setiap aktivitas seksual yang melanggar hukum. b. Penggunaan eksploitatif terhadap anak-anak dalam pelacuran, atau praktek-praktek seksual lainnya yang melanggar hukum. c. Penggunaan eksploitatif terhadap anak-anak dalam pertunjukan dan bahan-bahan pornografis. Pasal 33 Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat, termasuk tindakan legislatif, administratif, sosial dan pendidikan untuk melindungi anak-anak dari penggunaan gelap obat-obatan narkotika dan bahan-bahan psikotropik seperti yang didefinisikan dalam perjanjian-perjanjian internasional yang relevan, dan untuk mencegah Pasal 35 Para Negara Pihak harus mengambil semua langkah nasional, bilateral dan multilateral yang tepat, untuk mencegah penculikan, penjualan atau perdagangan anak-anak untuk tujuan apa pun atau dalam bentuk apa pun. Pasal 36 Negara-negara Pihak harus melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi lainnya yang berbahaya untuk setiap segi-segi kesejahteraan si anak. Pasal 37 Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa: a. Tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang 13 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum menghinakan. Baik hukuman mati atau pemenjaraan seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak dapat dikenakan untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang di bawah umur delapan belas tahun; b. Tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan harus digunakan hanya sebagai upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat; c. Setiap anak yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan manusiawi dan menghormati martabat manusia yang melekat, dan dalam suatu cara dan mengingat akan kebutuhan-kebutuhan orang pada umurnya. Terutama, setiap anak yang dirampas kebebasannya harus dipisahkan dari orang dewasa kecuali penempatannya itu dianggap demi kepentingan si anak dan harus mempunyai hak untuk mempertahankan kontak dengan keluarga melalui surat-menyurat dan kunjungan, kecuali bila dalam keadaan-keadaan luar biasa. d. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak atas akses segera ke bantuan hukum dan bantuan lain yang tepat, dan juga hak untuk menyangkal keabsahan perampasan kebebasannya, di hadapan suatu pengadilan atau penguasa lain yang berwenang, mandiri dan adil, dan atas putusan segera mengenai tindakan apa pun semacam itu. Pasal 38 (1) Negara-negara Pihak 14 berusaha menghormati dan menjamin penghormatan terhadap peraturan-peraturan hukum humaniter internasional yang dapat berlaku bagi mereka dalam konflik bersenjata yang relevan bagi anak itu. (2) Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa orangorang yang belum mencapai umur lima belas tahun tidak mengambil suatu bagian langsung dalam permusuhan. (3) Negara-negara Pihak harus mengekang diri agar tidak menerima siapapun yang belum mencapai umur lima belas tahun ke dalam angkatan bersenjata mereka. Dalam menerima di antara orang-orang tersebut, yang telah mencapai umur lima belas tahun tetapi belum mencapai umur delapan belas tahun maka Negara-negara Pihak harus berusaha memberikan prioritas kepada mereka yang tertua. (4) Sesuai dengan kewajiban-kewajiban mereka menurut hukum humaniter internasional untuk melindungi penduduk sipil dalam konflik bersenjata, maka Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin perlindungan dan pengasuhan anak-anak yang dipengaruhi oleh suatu konflik bersenjata. Pasal 39 Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk meningkatkan penyembuhan fisik dan psikologis dan integrasi kembali sosial seorang anak yang menjadi korban bentuk penelantaran apapun, eksploitasi atau penyalahgunaan, penganiayaan atau bentuk perlakuan kejam yang lain apapun, tidak manusiawi atau hu- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum kuman yang menghinakan, atau konflik bersenjata. Penyembuhan dan integrasi kembali tersebut harus berlangsung dalam suatu lingkungan yang meningkatkan kesehatan, harga diri, dan martabat si anak. Pasal 40 (1) Negara-negara Pihak mengakui hak setiap anak yang dinyatakan sebagai tertuduh, atau diakui sebagai telah melanggar hukum pidana, untuk diperlakukan dalam suatu cara yang sesuai dengan peningkatan rasa penghormatan dan harga diri anak, yang memperkuat kembali penghormatan anak terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar orang-orang lain, dan yang memperhatikan umur anak dan keinginan untuk meningkatkan integrasi kembali anak dan pengambilan anak pada peran konstruktif dalam masyarakat. (2) Untuk tujuan ini, dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam instrumen-instrumen internasional yang relevan, maka Negara-negara Pihak, terutama, harus menjamin bahwa: a. Tidak seorang anak pun dapat dinyatakan, dituduh, atau diakui telah melanggar hukum pidana, karena alasan berbuat atau tidak berbuat yang tidak dilarang oleh hukum nasional atau internasional pada waktu perbuatan-perbuatan itu dilakukan; b. Setiap anak yang dinyatakan sebagai atau dituduh telah melanggar hukum pidana, paling sedikit memiliki jaminan-jaminan berikut: (i) Dianggap tidak bersalah sam- pai terbukti bersalah menurut hukum; (ii) Diberi informasi dengan segera dan langsung mengenai tuduhan-tuduhan terhadapnya, dan, kalau tepat, melalui orang tuanya atau wali hukumnya, dan mempunyai bantuan hukum atau bantuan lain yang tepat dalam mempersiapkan dan menyampaikan pembelaannya; (iii)Masalah itu diputuskan tanpa penundaan, oleh suatu penguasa yang berwe-nang, mandiri dan adil, atau badan pengadilan dalam suatu pemeriksaan yang adil menurut hukum, dalam kehadiran bantuan hukum atau bantuan lain yang tepat, dan kecuali dipertimbangkan tidak dalam kepentingan terbaik si anak, terutama, dengan memperhatikan umurnya atau situasinya, orang tuanya atau wali hukumnya; (iv) Tidak dipaksa untuk memberikan kesaksian atau mengaku salah; untuk memeriksa para saksi yang berlawanan, dan untuk memperoleh keikutsertaan dan pemeriksaan para saksi atas namanya menurut syarat-syarat keadilan; (v) Kalau dianggap telah melanggar hukum pidana, maka putusan ini dan setiap upaya yang dikenakan sebagai akibatnya, ditinjau kembali oleh penguasa lebih tinggi yang berwenang, mandiri dan adil atau oleh badan pengadilan menurut hukum; (vi) Mendapat bantuan seorang penerjemah dengan cuma-cu15 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum ma kalau anak itu tidak dapat mengerti atau berbicara dengan bahasa yang digunakan; (vii)Kerahasiaannya dihormati dengan sepenuhnya pada semua tingkat persidangan. (3) Negara-negara Pihak harus berusaha meningkatkan pembuatan undang-undang, prosedur-prosedur, para penguasa dan lembaga-lembaga yang berlaku secara khusus pada anak-anak yang dinyatakan sebagai, dituduh, atau diakui melanggar hukum pidana, terutama: a. Pembentukan umur minimum; di mana di bawah umur itu anak-anak dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana; b. Setiap waktu yang tepat dan diinginkan, langkah-langkah untuk menangani anak-anak semacam itu tanpa menggunakan jalan lain pada persidangan pengadilan, dengan syarat bahwa hak-hak asasi manusia dan perlindungan hukum dihormati sepenuhnya; (4) Berbagai pengaturan, seperti perawatan, bimbingan dan pengawasan, perintah, penyuluhan, percobaan, pengasuhan anak angkat, pendidikan dan program-program pelatihan kejuruan dan pilihan-pilihan lain untuk perawatan kelembagaan harus tersedia untuk menjamin bahwa anak-anak ditangani dalam suatu cara yang sesuai dengan kesejahteraan mereka dan sepadan dengan keadaan-keadaan mereka maupun pelanggaran itu. Pasal 41 Tidak satu pun ketentuan dalam Konvensi ini akan mempengaruhi setiap ketentuan yang lebih menghasilkan pada 16 realisasi hak-hak anak dan yang mungkin dimuat dalam: a. Undang-undang suatu Negara Pihak; atau b. Hukum internasional yang berlaku untuk Negara yang bersangkutan. Bagian II Pasal 42 Negara-negara Pihak berusaha membuat prinsip-prinsip dan ketentuanketentuan dalam Konvensi diketahui secara meluas dengan cara yang tepat dan aktif, baik oleh remaja maupun anak-anak. (1) (2) (3) (4) Pasal 43 Untuk tujuan memeriksa kemajuan yang dibuat oleh Negara-negara Pihak dalam mencapai realisasi kewajiban-kewajiban yang dijalankan dalam Konvensi ini, maka dibentuk Komite tentang hak-hak anak, yang akan melaksanakan fungsi-fungsi yang ditentukan selanjutnya. Komite akan terdiri dari sepuluh orang ahli, yang berreputasi moral baik dan diakui cakap di bidang yang dicakup oleh Konvensi ini. Para Anggota Komite akan dipilih oleh Negara-negara Pihak, dari di antara warga negara mereka, dan mengabdi dalam kecakapan pribadi mereka, pertimbangan diberikan pada pembagian geografis yang adil, dan juga pada sistem-sistem hukum pokok. Para anggota Komite akan dipilih dengan suara rahasia dari daftar nama orang-orang yang dicalonkan oleh Negara-negara Pihak. Setiap Negara Pihak dapat mencalonkan satu orang dari di antara warga negaranya sendiri. Pemilihan pertama Komite akan dilangsungkan tidak lebih dari Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum enam bulan sesudah tanggal mulai berlakunya Konvensi ini dan selanjutnya setiap tahun kedua. Paling sedikit empat bulan sebelum tanggal masing-masing pemilihan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mengirimkan suatu surat kepada Negara-negara Pihak, yang meminta mereka untuk menyampaikan calon-calon mereka dalam waktu dua bulan. Sekretaris Jenderal kemudian mempersiapkan daftar nama dalam urutan alfabetis dari semua orang yang jadi dicalonkan, dengan menunjukkan Negara-negara Pihak yang telah mencalonkan mereka, dan akan menyampaikannya kepada Negara-negara Pihak Konvensi ini. (5) Pemilihan akan dilangsungkan pada pertemuan Negara-negara Pihak, yang dipanggil untuk bersidang oleh Sekretaris Jenderal di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada pertemuanpertemuan tersebut, di mana dua pertiga Negara Pihak merupakan suatu kuorum, orang-orang yang dipilih untuk Komite adalah mereka yang memperoleh untuk Komite adalah mereka yang memperoleh jumlah suara terbanyak dan suara mayoritas absolut dari para wakil Negara Pihak yang hadir. (6) Para Anggota Komite akan dipilih untuk masa jabatan empat tahun. Mereka harus memenuhi syarat untuk dapat dipilih kembali. Masa jabatan lima orang anggota yang dipilih pada pemilihan pertama akan berakhir pada akhir masa dua tahun, segera sesudah pemilihan pertama, nama kelima orang anggota ini dapat dipilih dengan undian oleh Ketua Sidang. (7) Kalau seorang anggota Komite meninggal dunia atau mengundurkan diri atau menyatakan bahwa karena alasan lain apa pun dia tidak dapat lagi melaksanakan kewajibankewajiban Komite, maka Negara Pihak yang mencalonkan anggota itu harus menunjuk ahli yang lain dari di antara warga negaranya untuk mengabdi selama masa jabatan yang masih tersisa dengan tunduk pada persetujuan Komite. (8) Komite harus membuat peraturanperaturan prosedurnya sendiri. (9) Komite harus memilih para stafnya untuk masa jabatan dua tahun. (10)Pertemuan-pertemuan Komite biasanya akan dilangsungkan di Markas Besar Perserikatan BangsaBangsa, atau di tempat lain mana pun sesuai dengan yang ditetapkan oleh Komite. Komite biasanya bersidang sekali setiap tahun. Lamanya pertemuan-pertemuan Komite ditetapkan dan ditinjau kembali, kalau perlu, oleh suatu pertemuan Negara-negara Pihak pada Konvensi ini, dengan tunduk pada persetujuan Majelis Umum. (11)Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa harus menyediakan staf dan berbagai fasilitas yang diperlukan untuk pelaksanaan fungsi-fungsi Komite yang efektif menurut Konvensi ini. (12)Dengan persetujuan Majelis Umum, maka para Anggota Komite, yang ditetapkan menurut Konvensi ini akan menerima honorarium dari sumber-sumber Perserikatan Bangsa-Bangsa pada jangka waktu dan persyaratan seperti yang Majelis boleh memutuskan. Pasal 44 (1) Negara-negara Pihak berusaha me17 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum (2) (3) (4) (5) (6) nyampaikan kepada Komite melalui Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, laporan mengenai langkah-langkah yang telah mereka ambil yang memberlakukan hak-hak yang diakui di dalamnya dan mengenai kemajuan yang dibuat mengenai perolehan hak-hak tersebut: a. Dalam dua tahun mulai berlakunya Konvensi bagi Negara Pihak yang bersangkutan; b. Selanjutnya setiap lima tahun. Laporan-laporan yang dibuat menurut ketentuan pasal ini harus menunjukkan faktor-faktor dan kesulitan-kesulitan, kalaupun ada, yang mempengaruhi tingkat pemenuhan kewajiban-kewajiban menurut Konvensi ini. Laporanlaporan ini harus juga memuat informasi yang cukup untuk memberikan kepada Komite suatu pengertian yang komprehensif mengenai pelaksanaan Konvensi di Negara yang bersangkutan. Suatu Negara Pihak yang telah menyampaikan laporan pertama yang komprehensif kepada Komite, dalam laporannya yang berikutnya yang disampaikan sesuai dengan ketentuan ayat 1(b) pasal ini, tidak perlu mengulangi informasi dasar yang diberikan sebelumnya. Komite dapat meminta dari Negara-negara Pihak, informasi lebih lanjut yang relevan dengan pelaksanaan Konvensi. Komite harus menyampaikan kepada Majelis Umum, melalui Dewan Ekonomi dan sosial setiap dua tahun, laporan mengenai aktivitasaktivitasnya. Negara-negara Pihak harus membuat laporan secara meluas tersedia untuk umum di Negara-negara 18 mereka sendiri. Pasal 45 Agar dapat memajukan pelaksanaan Konvensi yang efektif dan mendorong kerja sama internasional di bidang yang dicakup oleh Konvensi: a. badan-badan khusus, Dana Anakanak Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Organ-organ Perserikatan Bangsa-Bangsa yang lain, harus berhak diwakili pada waktu mempertimbangkan pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini, seperti yang berada di dalam cakupan mandat mereka. Komite dapat meminta badan-badan khusus, Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan berwenang yang lain, seperti yang mungkin dianggap tepat, untuk memberikan nasehat ahli mengenai pelaksanaan Konvensi di bidang-bidang yang ada dalam cakupan mandat mereka masing-masing. Komite dapat meminta badanbadan khusus, Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Organ-organ Perserikatan BangsaBangsa yang lain, untuk menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan Konvensi di bidang-bidang yang ada dalam cakupan aktivitasaktivitas mereka; b. Komite akan menyampaikan, seperti yang mungkin dianggap tepat, kepada badan-badan khusus, Dana anak-anak Perserikatan BangsaBangsa, dan badan-badan berwenang yang lain, setiap laporan dari Negara-negara Pihak yang memuat permintaan atau yang menunjukkan kebutuhan untuk nasehat teknik atau bantuan, bersama-sama dengan berbagai pengamatan dan saran Komite, kalau pun ada, mengenai permintaan-permintaan Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dan penunjukan-penunjukan ini; c. Komite dapat merekomendasikan pada Majelis Umum untuk meminta Sekretaris Jenderal melakukan atas namanya studi-studi mengenai pokok masalah khusus mengenai hak-hak anak; d. Komite dapat membuat saran-saran dan rekomendasi-rekomendasi umum berdasarkan informasi yang diterima sesuai dengan ketentuanketentuan pasal 44 dan pasal 45 Konvensi ini. Saran-saran dan rekomendasi-rekomendasi umum tersebut akan disampaikan kepada Negara-negara Pihak mana pun yang bersangkutan, dan dilaporkan kepada Majelis Umum, bersama-sama dengan berbagai tanggapan, kalau pun ada, dari Negara-negara Pihak. 19 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia; b. bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; c. bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus citacita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan; d. bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi; e. bahwa untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak 20 diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundangundangan yang dapat menjamin pelaksanaannya; f. bahwa berbagai undang-undang hanya mengatur hal-hal tertentu mengenai anak dan secara khusus belum mengatur keseluruhan aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak; g. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, c, d, e, dan f perlu ditetapkan Undang-undang tentang Perlindungan Anak; (1) (2) (3) (4) (5) Mengingat : Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), dan Pasal 34 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143); Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277); Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3668); Undang-undang Nomor 4 Tahun Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 1997 tentang Penyandang Cacat (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3670); (6) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja) (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3835); (7) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886); (8) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for The Elimination of The Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3941); Dengan persetujuan : DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN ANAK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan 1. Anak adalah seseorang yang belum 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar. Anak yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa, atau memiliki potensi dan/atau bakat istimewa. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas 21 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. 10.������������������������������� Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar. 11. Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuh-kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya. 12. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. 13. Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan. 14. Pendamping adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional dalam bidangnya. 15. Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau men22 tal, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. 16. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. 17. Pemerintah adalah Pemerintah yang meliputi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsipprinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi : a. non diskriminasi; b. kepentingan yang terbaik bagi anak; c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. penghargaan terhadap pendapat anak. Pasal 3 Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. BAB III HAK DAN KEWAJIBAN ANAK Pasal 4 Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 5 Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. Pasal 6 Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. Pasal 7 (1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. (2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 8 Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Pasal 9 (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. (2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus. Pasal 10 Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. Pasal 11 Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. Pasal 12 Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Pasal 13 (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya. (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala 23 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman. Pasal 14 Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Pasal 15 Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari : a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b. pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. pelibatan dalam kerusuhan sosial; d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan e. pelibatan dalam peperangan. Pasal 16 (1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. (3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Pasal 17 (1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempa24 tannya dipisahkan dari orang dewasa; b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. (2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Pasal 18 Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Pasal 19 Setiap anak berkewajiban untuk : a. menghormati orang tua, wali, dan guru; b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; c. mencintai tanah air, bangsa, dan negara; d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. BAB IV KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB Bagian Kesatu Umum Pasal 20 Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penye- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum lenggaraan perlindungan anak. Bagian Kedua Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara dan Pemerintah Pasal 21 Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/ atau mental. Pasal 22 Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Pasal 23 (1) Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak. (2) Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak. Pasal 24 Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak. Bagian Ketiga Kewajiban dan Tanggung Jawab Masyarakat Pasal 25 Kewajiban dan tanggung jawab ma- syarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Bagian Keempat Kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga dan Orang Tua Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. (2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. BAB V KEDUDUKAN ANAK Bagian Kesatu Identitas Anak Pasal 27 (1) Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya. (2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran. (3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau 25 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum membantu proses kelahiran. (4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya. Pasal 28 (1) Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa. (2) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan. (3) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dikenai biaya. (4) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Anak yang Dilahirkan dari Perkawinan Campuran Pasal 29 (1) Jika terjadi perkawinan campuran antara warga negara Republik Indonesia dan warga negara asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), anak berhak un26 tuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam pengasuhan salah satu dari kedua orang tuanya. (3)���������������������������������� Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sedangkan anak belum mampu menentukan pilihan dan ibunya berkewarganegaraan Republik Indonesia, demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak tersebut. BAB VI KUASA ASUH Pasal 30 (1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut. (2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan. Pasal 31 (1) Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga, dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh orang tua atau melakukan tindakan pengawasan apabila terdapat alasan yang kuat untuk itu. (2) Apabila salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai dengan derajat ketiga, tidak da- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum pat melaksanakan fungsinya, maka pencabutan kuasa asuh orang tua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh pejabat yang berwenang atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu. (3) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menunjuk orang perseorangan atau lembaga pemerintah/masyarakat untuk menjadi wali bagi yang bersangkutan. (4) Perseorangan yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus seagama dengan agama yang dianut anak yang akan diasuhnya. Pasal 32 Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) sekurang-kurangnya memuat ketentuan: a. tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya; b. tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup anaknya; dan c. batas waktu pencabutan. BAB VII PERWALIAN Pasal 33 (1) Dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan. (2) Untuk menjadi wali anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di- lakukan melalui penetapan pengadilan. (3) Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) agamanya harus sama dengan agama yang dianut anak. (4) Untuk kepentingan anak, wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib mengelola harta milik anak yang bersangkutan. (5) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penunjukan wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 34 Wali yang ditunjuk berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dapat mewakili anak untuk melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak. Pasal 35 (1) Dalam hal anak belum mendapat penetapan pengadilan mengenai wali, maka harta kekayaan anak tersebut dapat diurus oleh Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu. (2) Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertindak sebagai wali pengawas untuk mewakili kepentingan anak. (3) Pengurusan harta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus mendapat penetapan Pasal 36 (1) Dalam hal wali yang ditunjuk ternyata di kemudian hari tidak cakap melakukan perbuatan hukum atau 27 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum menyalahgunakan kekuasaannya sebagai wali, maka status perwaliannya dicabut dan ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan pengadilan. (2) Dalam hal wali meninggal dunia, ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan pengadilan. BAB VIII PENGASUHAN & PENGANGKATAN ANAK Bagian Kesatu Pengasuhan Anak (1) (2) (3) (4) (5) (6) Pasal 37 Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu. Dalam hal lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlandaskan agama, anak yang diasuh harus yang seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga yang bersangkutan. Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan agama, maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang dianut anak yang bersangkutan. Pengasuhan anak oleh lembaga dapat dilakukan di dalam atau di luar Panti Sosial. Perseorangan yang ingin berpartisipasi dapat melalui lembagalembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). 28 Pasal 38 (1) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, dilaksanakan tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental. (2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui kegiatan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, dan pendidikan secara berkesinambungan, serta dengan memberikan bantuan biaya dan/atau fasilitas lain, untuk menjamin tumbuh kembang anak secara optimal, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial, tanpa mempengaruhi agama yang dianut anak. Bagian Kedua Pengangkatan Anak Pasal 39 (1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. (3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. (4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. (5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuai- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum kan dengan agama mayoritas penduduk setempat. Pasal 40 (1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya. (2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan. Pasal 41 (1) Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak. (2) Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB IX PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN Bagian Kesatu Agama Pasal 42 (1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya. (2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya. Pasal 43 (1) Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya. (2) Perlindungan anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak. Bagian Kedua Kesehatan Pasal 44 (1) Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyeleng-garakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan. (2) Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan secara komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didukung oleh peran serta masyarakat. (3) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan. (4) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan secara cuma-cuma bagi keluarga yang tidak mampu. (5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 45 (1) Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan. (2) Dalam hal orang tua dan keluarga yang tidak mampu melaksana29 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum kan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pemerintah wajib memenuhinya. (3) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 46 Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan. Pasal 47 (1) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain. (2) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari perbuatan : a. pengambilan organ tubuh anak dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak; b. jual beli organ dan/atau jaringan tubuh anak; dan c. penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak. Bagian Ketiga Pendidikan Pasal 48 Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. 30 Pasal 49 Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan. Pasal 50 Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diarahkan pada : 1. pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal; 2. pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi; 3. pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional di mana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal, dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri; 4. persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan 5. pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup. Pasal 51 Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa. Pasal 52 Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus. Pasal 53 (1) Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil. (2) Pertanggungjawaban pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk pula mendorong masyarakat untuk berperan aktif. Pasal 54 Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya. Bagian Keempat Sosial Pasal 55 (1) Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga. (2) Penyelenggaraan pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan oleh lembaga masyarakat. (3)���������������������������� Untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak yang terkait. (4) Dalam hal penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengawasannya dilakukan oleh Menteri Sosial. Pasal 56 (1) Pemerintah dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan wajib mengupayakan dan membantu anak, agar anak dapat : a. berpartisipasi; b. bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya; c. bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak; d. bebas berserikat dan berkumpul; e. bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan berkarya seni budaya; dan f. memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan. (2) Upaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikembangkan dan disesuaikan dengan usia, tingkat kemampuan anak, dan lingkungannya agar tidak menghambat dan mengganggu perkembangan anak. Pasal 57 Dalam hal anak terlantar karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya, maka lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, keluarga, atau pejabat yang berwenang dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menetapkan anak sebagai anak terlantar. Pasal 58 (1) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sekaligus menetapkan tempat penampungan, pemeliharaan, dan perawatan anak terlantar yang bersangkutan. (2) Pemerintah atau lembaga yang diberi wewenang wajib menyediakan tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 31 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Bagian Kelima Perlindungan Khusus Pasal 59 Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Pasal 60 Anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 terdiri atas: a. anak yang menjadi pengungsi; b. anak korban kerusuhan; c. anak korban bencana alam; dan d. anak dalam situasi konflik bersenjata. Pasal 61 Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi pengungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum humaniter. Pasal 62 Perlindungan khusus bagi anak korban kerusuhan, korban bencana, dan anak dalam situasi konflik bersenjata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b, huruf c, dan huruf d, dilaksanakan melalui: a. pemenuhan kebutuhan dasar yang 32 terdiri atas pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan; dan b. pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial. Pasal 63 Setiap orang dilarang merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa. Pasal 64 (1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. (2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui : a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak; b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; c. penyediaan sarana dan prasarana khusus; d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluar- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum ga; dan g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. (3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui : a. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; b. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi; c. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan d. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. Pasal 65 (1) Perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri, dan menggunakan bahasanya sendiri. (2) Setiap orang dilarang menghalanghalangi anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya, dan menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengabaikan akses pembangunan masyarakat dan budaya. Pasal 66 (1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. (2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui : a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan c. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual. (3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 67 Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, 33 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi napza sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 68 Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 69 Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya: penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 70 Perlindungan khusus bagi anak yang menyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya: perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak; pemenuhan kebutuhankebutuhan khusus; dan memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan 34 individu. Setiap orang dilarang memperlakukan anak dengan mengabaikan pandangan mereka secara diskriminatif, termasuk labelisasi dan penyetaraan dalam pendidikan bagi anak-anak yang menyandang cacat. Pasal 71 Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah, dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). BAB X PERAN MASYARAKAT Pasal 72 (1) Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak. (2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha, dan media massa. Pasal 73 Peran masyarakat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum BAB XI KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA Pasal 74 Dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen. Pasal 75 (1) Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terdiri dari 1 (satu) orang ketua, 2 (dua) orang wakil ketua, 1 (satu) orang sekretaris, dan 5 (lima) orang anggota. (2) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak. (3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun, dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan organisasi, mekanisme kerja, dan pembiayaan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Pasal 76 Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas: melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak; memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 77 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan : a. diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau b. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, c. dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 78 Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus 35 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 79 Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 80 (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya. Pasal 81 (1) Setiap orang yang dengan sengaja 36 melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Pasal 82 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Pasal 83 Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 84 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 85 (1) Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 86 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 87 Setiap orang yang secara melawan hukum merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 atau penyalahgunaan dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata atau pelibatan dalam kerusuhan sosial atau pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan atau pelibatan dalam peperangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 88 Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 89 (1) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi narkotika dan/atau psikotropika dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, me37 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum libatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi, atau distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan paling singkat 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan denda paling sedikit Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Pasal 90 (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus dan/atau korporasinya. (2) Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 91 Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang sudah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini. 38 BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 92 Pada saat berlakunya undang-undang ini, paling lama 1 (satu) tahun, Komisi Perlindungan Anak Indonesia sudah terbentuk. Pasal 93 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 22 Oktober 2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 22 Oktober 2002 SEKRETARIS NEGARA RI, Ttd. BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 109 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II Ttd. EDY SUDIBYO Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO.182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR THE ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD LABOUR (KONVENSI ILO NO.182 MENGENAI PELARANGAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 adalah negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sehingga sudah seharusnya setiap manusia baik dewasa maupun anak-anak dilindungi dari upaya-upaya mempekerjakannya pada pekerjaan-pekerjaan yang merendahkan harkat dan martabat manusia atau pekerjaan yang tidak manusiawi; b. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat internasional menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan BangsaBangsa, Deklarasi Universal HakHak Asasi Manusia Tahun 1948, Deklarasi Philadelphia Tahun 1944, Konstitusi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO), dan Konvensi Hak-Hak Anak Tahun 1989; c. bahwa Konferensi Ketenagakerjaan Internasional yang ke delapanpuluh tujuh tanggal 17 Juni 1999, telah menyetujui Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No.182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak); d. bahwa konvensi tersebut selaras dengan keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus-menerus menegakkan dan meningkatkan pelaksanaan hak-hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara; e. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dalam huruf a, b, c, dan d dipandang perlu mengesahkan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No.182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) Undang-undang; Mengingat : (1) Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945; (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.XVII/MPR/l998 tentang Hak 39 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Asasi Manusia; Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR THE ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD LABOUR (KONVENSI ILO NO.182 MENGENAI PELARANGAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUKBENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK). Pasal 1 Mengesahkan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No.182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) yang naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-undang ini. Pasal 2 Undang-undang ini mulai berlaku Pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 40 Disahkan di Jakarta Pada tanggal 8 Maret 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. ABDURRAHMAN WAHID Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 8 Maret 2000 Pj. SEKRETARIS NEGARA RI Ttd. BONDAN GUNAWAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 3 Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum PENJELASAN I. UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO.182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR THE ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD LABOUR (KONVENSI ILO NO. 182 MENGENAI PELARANGAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUKBENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK) Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak asasi sejak dilahirkan, sehingga tidak ada manusia atau pihak lain yang boleh merampas hak tersebut. Hak asasi anak diakui secara universal sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan BangsaBangsa (PBB), Deklarasi PBB Tahun 1948 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Deklarasi ILO di Philadelphia tahun 1944, Konstitusi ILO, Deklarasi PBB tahun 1959 tentang Hak-Hak Anak, Konvensi PBB Tahun 1966 tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Konvensi PBB Tahun 1989 tentang Hak-Hak Anak. Dengan demikian semua negara di dunia secara moral dituntut untuk meng-hormati, menegakkan, dan melindungi hak tersebut. Salah satu bentuk hak asasi anak adalah jaminan untuk mendapat perlindungan yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan kemanusian. Jaminan perlindungan hak asasi tersebut sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Sebagai anggota PBB dan Organisasi Ketenagakerjaan Internasional atau International Labour Organization (ILO), Indonesia menghargai, menjunjung tinggi, dan berupaya menerapkan Keputusankeputusan lembaga internasional dimaksud. Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak yang disetujui pada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional ke delapan puluh tujuh tanggal 17 Juni 1999 di Jenewa merupakan salah satu Konvensi yang melindungi hak asasi anak. Konvensi ini mewajibkan setiap negara anggota ILO yang telah meratifikasinya harus segera melakukan tindakan-tindakan untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Konvensi, maka “anak” berarti semua orang yang berusia di bawah 18 (delapanbelas) tahun. II. POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDORONG LAHIRNYA KONVENSI 1. Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja merupakan instrumen dasar tentang kerja anak. 2. Di samping konvensi ILO No. 138 tahun 1973 tersebut, dipandang perlu untuk menyetujui instrumen ketenagakerjaan yang baru untuk melarang dan menghapuskan bentukbentuk terburuk dari kerja anak yang akan melengkapi Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973. 3. Konvensi mengenai Hak Anak telah diterima oleh Sidang Umum PBB pada tanggal 20 Nopember 1989. 4. Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk 41 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum untuk anak telah diatur oleh instrumen internasional lainnya khususnya Konvensi ILO No.29 Tahun 1930 tentang Kerja Paksa, dan Konvensi Tambahan PBB mengenai Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Lembaga-lembaga serta Praktek-praktek Perbudakan atau Sejenis Perbudakan Tahun 1956. III. ALASAN INDONESIA MENGESAHKAN KONVENSI 1. Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan hukum nasional, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti tercermin dalam sila-sila Pancasila khususnya Sila Kemanusian yang Adil dan Beradab. Untuk itu bangsa Indonesia bertekad melindungi hak asasi anak sesuai dengan ketentuan Konvensi ini. 2. Dalam rangka Pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945, Indonesia telah menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan anak. 3. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia melalui Ketetapan No. XVII/MPR/ 1998 tentang Hak Asasi Manusia menugasi Presiden dan DPR untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tanggal 30 September 1990, mengenai Hak-hak Anak. Di samping itu Indonesia telah meratifikasi 7 (tujuh) Konvensi ILO yang memuat hak-hak dasar pekerja, termasuk Konvensi No. 138 Tahun 1973 mengenai Usia Minimum un42 tuk Diperbolehkan Bekerja dengan Undang-undang No. 20 Tahun 1999. 4. Dalam pengamalan Pancasila dan penerapan peraturan perundangundangan masih dirasakan adanya penyimpangan perlindungan hak. anak. Oleh karena itu, Pengesahan Konvensi ini dimaksudkan untuk menghapuskan segala bentuk terburuk dalam praktek memperkerjakan anak serta meningkatkan perlindungan dan penegakan hukum secara efektif sehingga akan lebih menjamin Perlindungan anak dari segala bentuk tindakan perbudakan dan tindakan atau Pekerjaan yang berkaitan dengan praktek pelacuran, pornografi, narkotika, dan psikotropika. Perlindungan ini juga mencakup Perlindungan dari pekerjaan yang sifatnya dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak. 5. Pengesahan Konvensi ini menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam memajukan dan melindungi hak asasi anak sebagaimana diuraikan pada butir 4. Hal ini akan lebih meningkatkan citra positif Indonesia dan memantapkan kepercayaan masyarakat internasional. IV. POKOK-POKOK KONVENSI 1. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 2. “Anak” berarti semua orang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun. 3. Pengertian “bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.” adalah : (a) segala bentuk perbudakan atau Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata; (b) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukanpertunjukan porno; (c) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan; (d) pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak. 2. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib menyusun program aksi untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 3.������������������������������� ������������������������������ Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib mengambil langkah-langkah agar ketentuan Konvensi ini dapat diterapkan secara efektif, termasuk pemberian sanksi pidana. 4.������������������������������ Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib melaporkan pelaksanaannya. Indonesia, maka yang berlaku adalah naskah asli Konvensi dalam bahasa Inggris. Pasal 2 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI, NOMOR 3941 V. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa 43 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum KONFERENSI KETENAGAKERJAAN INTERNASIONAL KONVENSI 182 KONVENSI MENGENAI PELARANGAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK YANG DISETUJUI OLEH KONFERENSI KETENAGAKERJAAN INTERNASIONAL PADA ACARA SIDANGNYA YANG KE DELAPAN PULUH TUJUH Dl JENEWA Pada tanggal 17 JUNI 1999 Konvensi 182 KONVENSI MENGENAI PELARANGAN DAN TINDAKAN SEGERA UNTUK PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK Konferensi Umum Organisasi Ketenagakerjaan Internasional, Setelah diundang ke Jenewa oleh Badan Pengurus Kantor Ketenagakerjaan Internasional dan setelah mengadakan sidangnya yang ke-87 Pada tanggal 1 Juni 1999, dan Menimbang, perlunya menyetujui instrumen ketenagakerjaaan yang baru untuk melarang dan menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, sebagai prioritas utama untuk aksi nasional dan internasional, termasuk kerja sama dan bantuan internasional, untuk melengkapi Konvensi dan Rekomendasi yang berkenaan dengan Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja, 1973, yang merupakan instrumen dasar tentang kerja anak, dan Menimbang, bahwa penghapusan secara efektif bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak memerlukan tindakan segera dan komprehensif, dengan memperhitungkan pentingnya pen44 didikan dasar secara cuma-cuma dan kebutuhan untuk membebaskan anakanak dari segala bentuk terburuk kerja anak itu dan untuk mengupayakan rehabilitasi dan integrasi sosial mereka dengan memperhatikan kebutuhan keluarga mereka, dan Mengingat, resolusi mengenai penghapusan kerja anak yang diterima oleh Konferensi Ketenagakerjaan Internasional pada sidangnya yang ke-83 pada tahun 1996, dan Memperhatikan, bahwa kerja anak kebanyakan diakibatkan oleh kemiskinan dan bahwa penyelesaian jangka panjang terletak pada pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan menuju ke arah kemajuan sosial, khususnya penanggulangan kemiskinan serta wajib belajar, dan Mengingat, Konvensi mengenai Hak Anak yang diterima oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Pada tanggal 20 Nopember 1998, dan Mengingat, Deklarasi ILO mengenai Prinsip dan Hak Dasar di Tempat Kerja beserta tindak lanjutnya, yang diterima oleh Konferensi Ketenagakerjaan Internasional pada sidangnya yang ke-86 pada tahun 1998, dan Mengingat, bahwa beberapa bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak telah diatur oleh instrumen internasional lainnya, khususnya Konvensi Kerja Paksa, 1930, dan Konvensi Tambahan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Lembaga-lembaga serta Praktik-praktik Perbudakan atau sejenis Perbudakan, 1956, dan Setelah memutuskan untuk menerima usulanusulan tertentu yang berkaitan dengan kerja anak, yang merupakan butir keempat dalam agenda acara sidang, dan Setelah menetapkan bahwa usulanusulan tersebut harus berbentuk kon- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum vensi internasional, Menyetujui Pada tanggal tujuh belas bulan Juni tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan, konvensi ini, yang dapat disebut Konvensi Bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak, 1999. Pasal 1 Setiap anggota yang meratifikasi konvensi ini wajib mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin pelarangan dan penghapusan bentukbentuk pekerjaan terburuk bagi anak sebagai hal yang mendesak. Pasal 2 Dalam konvensi ini, istilah “anak” berarti semua orang yang berusia di bawah 18 tahun. Pasal 3 Dalam konvensi ini, istilah “bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak” mengandung pengertian a. segala bentuk perbudakan atau praktik-praktik sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak-anak, kerja ijon (debt bondage) dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak-anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata; b. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau pertunjukan-pertunjukan porno; c. pemanfaatan, penyediaan, atau penawararan anak untuk kegiatan haram, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian Internasional yang relevan; d. pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dila- kukan dapat membahayakan kesehatan, atau moral anak-anak. Pasal 4 (1) Jenis-jenis pekerjaan yang disebut dalam Pasal 3 (d) wajib diatur oleh undang-undang atau peraturan nasional, atau oleh pihak yang berwenang setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja terkait, dengan mempertimbangkan standar internasional yang relevan khususnya paragraf 3 dan paragraf 4 dari Rekomendasi mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, 1999. (2) Pihak yang berwenang, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja terkait, wajb mengidentifikasi tempat-tempat jenis pekerjaan itu berada. (3) Daftar jenis pekerjaan yang disebutkan dalam paragraf I pasal ini wajib dikaji ulang secara berkala dan direvisi bilamana perlu, melalui konsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja terkait. Pasal 5 Setiap anggota, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja, wajib membuat atau menetapkan mekanisme yang sesuai untuk memantau pelaksanaan ketentuan yang membuat konvensi ini berlaku. Pasal 6 (1) Setiap anggota wajib merancang dan melaksanakan program aksi untuk menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak sebagai prioritas. (2) Progam-program aksi itu wajib dirancang dan dilaksanakan melalui konsultasi dengan lembaga pemerintah dan Organisasi peng45 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum usaha dan pekerja terkait, dengan memperhatikan pandangan kelompok-kelompok terkait lainnya sebagaimana perlunya. Pasal 7 (1) Setiap anggota wajib mengambil semua tindakan yang perlu untuk memastikan agar ketentuanketentuan yang memberlakukan konvensi ini diterapkan dan dilaksanakan secara efektif, termasuk ketentuan dan penerapan sanksi pidana dan sanksi-sanksi lain sebagaimana perlunya. (2) Setiap anggota wajib, dengan memperhitungkan pentingnya pendidikan dalam menghapuskan kerja anak, mengambil tindakan efektif dan terikat waktu untuk : (a) mencegah penggunaan anakanak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. (b) memberikan bantuan langsung yang perlu dan sesuai untuk membebaskan anak-anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan untuk rehabilitasi serta integrasi sosial mereka; (c) menjamin tersedianya pendidikan dasar secara cuma-cuma, dan bila mungkin dan sesuai, pelatihan kejuruan bagi anakanak yang telah dibebaskan dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; (d) mengidentifikasi dan menjangkau anak-anak berisiko khusus; dan (e) memperhitungkan situasi khusus anak-anak perempuan. (3) Setiap anggota wajib menunjuk pihak berwenang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang memberlaku46 kan konvensi ini. Pasal 8 Anggota wajib mengambil langkah yang sesuai untuk membantu satu sama lain dalam memberlakukan ketentuan konvensi ini melalui peningkatan kerja sama dan/atau bantuan internasional termasuk dukungan pembangunan sosial dan ekonomi, program-program penanggulangan kemiskinan, dan wajib belajar. Pasal 9 Ratifikasi resmi konvensi ini harus disampaikan kepada Direktur Jenderal Kantor Ketenagakerjaan Nasional untuk didaftar. Pasal 10 (1) Konvensi ini mengikat hanya bagi anggota Organisasi Ketegakerjaan Internasional yang ratifikasinya telah didaftar oleh Direktur Jenderal. (2) Konvensi ini mulai berlaku dua belas bulan setelah tanggal ratifikasi oleh dua anggota Organisasi Ketenagakerjaan Internasional telah didaftar oleh Direktur Jenderal. (3) Selanjutnya, konvensi ini akan berlaku bagi setiap anggota dua belas bulan setelah tanggal ratifikasinya didaftar. Pasal 11 (1) Anggota yang meratifikasi konvensi ini dapat membatalkannya, setelah melampaui waktu sepuluh tahun terhitung sejak tanggal konvensi ini mulai berlaku, dengan menyampaikan keterangan kepada Direktur Jenderal Kantor Ketenagakerjaan Internasional untuk didaftar. Pembatalan itu tidak akan berlaku hingga satu tahun setelah tanggal pendaftarannya. Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum (2) Setiap anggota yang telah meratifikasi konvensi ini dan yang dalam waktu satu tahun setelah berakhirnya masa sepuluh tahun sebagaimana tersebut dalam ayat tersebut di atas tidak menggunakan hak pembataIan menurut ketentuan dalam pasal ini, akan terikat untuk sepuluh tahun lagi, dan sesudah itu dapat membatalkan Konvensi ini pada waktu berakhirnya tiap-tiap masa sepuluh tahun sebagamana diatur dalam pasal ini. Pasal 12 (1) Direktur Jenderal Kantor Ketenagakerjaan Internasional wajib memberitahukan kepada segenap anggota Organisasi Ketenagakerjaan Internasional tentang pendaftaran semua pengesahan dan pembatalan yang disampaikan kepadanya oleh anggota organisasi. (2) Pada saat memberitahukan kepada anggota organisasi tentang pendaftaran ratifikasi kedua yang disampaikan kepadanya, Direktur Jenderal wajib meminta perhatian anggota organisasi mengenai tanggal mulai berlakunya konvensi ini. Pasal 13 Direktur Jenderal Kantor Ketenagakerjaan Internasional wajib menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk didaftarkan, sesuai dengan Pasal 102 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, hal ikhwal mengenai semua ratifikasi dan pembatalan yang didaftarkannyamenurut ketentuan pasal-pasal tersebut di atas. Internasional wajib menyampaikan kepada Konferensi, laporan mengenai pelaksanaan konvensi ini dan wajib mempertimbangkan perlunya mengagendakan dalam konvensi, perubahan konvensi ini seluruhnya atau sebagian. Pasal 15 (1) Jika konferensi menyetujui konvensi baru yang memperbaiki konvensi ini secara keseluruhan atau sebagian, kecuali konvensi baru menentukan lain, maka : (a) ratifikasi oleh anggota atas konvensi baru yang memperbaiki, secara hukum berarti pembatalan atas konvensi ini tanpa mengurangi ketentuan dalam PasaI 5 diatas, jika dan bilamana konvensi baru yang memperbaiki itu mulai berIaku; (b) sejak tanggal konvensi baru yang memperbaiki itu berlaku, konvensi ini tidak dapat disahkan lagi oleh anggota. (2) Konvensi ini akan tetap berlaku dalam bentuk dan isi aslinya bagi anggota yang telah meratifikasinya, tetapi belum mengesahkan konvensi yang memperbaikinya. PasaI 16 Naskah konvensi ini dalam bahasa Inggris dan bahasa Perancis sama-sama resmi. Pasal 14 Pada waktu yang dianggap perlu, Badan Pengurus Kantor Ketenagakerjaan 47 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 138 CONCERNING MINIMUM AGE FOR ADMISSION TO EMPLOYMENT (KONVENSI ILO MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 adalah negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sehingga anak sebagai generasi penerus bangsa wajib memperoleh jaminan perlindungan agar dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar, baik jasmani dan rohani, maupun sosial dan intelektual; b. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat internasional menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia Tahun 1948, Dek1arasi Philadelphia Tahun 1944, Konstitusi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO), dan Konvensi Hak-hak Anak Tahun 1989; c. bahwa Konferensi Ketenagakerjaan Internasiona1 yang kelima puluh delapan tangga1 26 Juni 1973, telah menyetujui ILO Convention No. 138, concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO 48 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja); d. bahwa Konvensi tersebut selaras dengan keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus menerus menegakkan dan meningkatkan pelaksanaan hak-hak dasar anak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara; e. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dalam huruf a, b, c, dan d dipandang perlu mengesahkan ILO Convention No. 138 concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja) dengan Undang-undang; Mengingat : (1) Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, Pasal 31, dan Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945; (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia; Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 138 CONCERNING MINIMUM AGE FOR ADMISSION TO Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum EMPLOYMENT (KONVENSI ILO MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA). Pasal 1 Mengesahkan ILO Convention No. 138 concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja) dengan membuat suatu Pernyataan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-undang ini. Pasal 2 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya. memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 7 Mei 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Ttd BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 7 Mei 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA Ttd AKBAR TANDJUNG LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 56 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO.138 CONCERNING MINIMUM AGE FOR ADMISSION TO EMPLOYMENT (KONVENSI ILO MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA) I. UMUM Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak asasi atau hak dasar sejak dilahirkan, sehingga tidak ada manusia atau pihak lain yang boleh merampas hak tersebut. Hak dasar anak diakui secara universal sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Deklarasi PBB Tahun 1948 tentang Hak-hak Asasi Manusia, Deklarasi ILO di Philadelphia Tahun 1944, Konstitusi ILO, Deklarasi PBB Tahun 1959 tentang Hak-hak Anak, Konvensi PBB Tahun 1966 tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Konvensi PBB Tahun 1989 tentang Hak-hak Anak. Dengan demikian semua negara di dunia secara moral dituntut untuk menghormati, menegakkan, dan melindungi hak tersebut. Salah satu bentuk hak dasar anak adalah jaminan untuk tumbuh kembang secara utuh baik fisik maupun mental. Jaminan perlindungan hak dasar tersebut sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Sebagai anggota PBB dan Organisasi Ketenagakerjaan Internasional atau International Labour Organization (ILO), Indonesia menghargai, menjunjung tinggi, dan berupaya menerapkan ke49 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum putusan-keputusan lembaga internasional dimaksud. Konvensi ILO No.138 Tahun 1973 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja yang disetujui pada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional kelima puluh delapan tanggal 26 Juni 1973 di Jenewa merupakan salah satu Konvensi yang melindungi hak asasi anak. Konvensi ini mewajibkan setiap negara anggota ILO yang telah meratifikasi, menetapkan batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Konvensi, Indonesia melampirkan Pernyataan (Declaration) yang menetapkan bahwa batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang diberlakukan di wilayah Republik Indonesia adalah 15 (lima belas) tahun. II. POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDORONG LAHlRNYA KONVENSI 1. Konvensi No. 5 Tahun 1919 mengenai Usia Minimum untuk sektor Industri, Konvensi No. 7 Tahun 1920 mengenai Usia Minimum untuk Sektor Kelautan, Konvensi No. 10 Tahun 1921 mengenai Usia Minimum untuk Sektor Agraria, dan Konvensi No. 33 Tahun 1932 mengenai Usia Minimum untuk Sektor Non-Industri, menetapkan bahwa usia minimum untuk bekerja 14 (empat belas) tahun. Selanjutnya Konvensi No. 58 Tahun 1936 mengenai Usia Minimum untuk Kelautan, Konvensi No. 59 Tahun 1937 mengenai Usia Minimum untuk Sektor Industri, Konvensi No. 60 Tahun 1937 mengenai Usia Minimum untuk Sektor Non Industri, dan Konvensi No. 112 Tahun 1959 mengenai Usia Minimum untuk Pe50 laut, mengubah usia minimum untuk bekerja menjadi 15 (lima belas) tahun. 2. Dalam penerapan berbagai Konvensi tersebut di atas di banyak negara masih ditemukan berbagai bentuk penyimpangan batas usia minimum untuk bekerja. Oleh karena itu ILO merasa perlu menyusun dan mengesahkan konvensi yang secara khusus mempertegas batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang berlaku di semua sektor yaitu 15 (Iima belas) tahun. III. ALASAN INDONESIA MENGESAHKAN KONVENSI 1. Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan hukum nasional, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti tercermin dalam sila-sila Pancasila khususnya Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Untuk itu bangsa Indonesia bertekad melindungi hak dasar anak sesuai dengan ketentuan Konvensi ini. 2. Dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945, Indonesia telah menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap anak. 3. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia melalui Ketetapan Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menugasi Presiden dan DPR untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tanggal 30 September 1990 mengenai Hak-hak Anak. Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Disamping itu Presiden Republik Indonesia telah ikut menandatangani Keputusan Pertemuan Tingkat Tinggi mengenai Pembangunan Sosial di Kopenhagen Tahun 1995. Keputusan pertemuan tersebut antara lain mendorong anggota PBB meratifikasi tujuh Konvensi ILO yang memuat hak-hak dasar pekerja, termasuk Konvensi No.138 Tahun 1973 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja. 4. ILO dalam Sidang Umumnya yang ke-86 di Jenewa bulan Juni 1998 telah menyepakati Deklarasi ILO mengenai Prinsip dan Hak-hak Dasar di Tempat Kerja. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa setiap negara wajib menghormati dan mewujudkan prinsip-prinsip ketujuh Konvensi Dasar ILO. 5. Dalam pengamalan Pancasila dan penerapan peraturan perundangundangan masih dirasakan adanya penyimpangan perlindungan hak anak. Oleh karena itu pengesahan Konvensi ini dimaksudkan untuk menghapuskan segala bentuk praktek mempekerjakan anak serta meningkatkan perlindungan dan penegakan hukum secara efektif sehingga akan lebih menjamin perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi, pekerjaan yang membahayakan keselamatan dan kesehatan anak, mengganggu pendidikan, serta mengganggu perkembangan fisik dan mental anak. 6. Pengesahan Konvensi ini menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam memajukan dan melindungi hak dasar anak sebagaimana diuraikan pada butir 5. Hal ini akan lebih meningkatkan citra positif Indonesia dan memantapkan kepercayaan masyarakat internasional. IV. POKOK-POKOK KONVENSI 1. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib menetapkan kebijakan nasional untuk menghapuskan praktek mempekerjakan anak dan meningkatkan usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. 2. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak harus diupayakan tidak boleh kurang dari 18 (delapan belas) tahun, kecuali untuk pekerjaan ringan tidak boleh kurang dari 16 (enam belas) tahun. 3. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib menetapkan usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, aturan mengenai jam kerja, dan menetapkan hukuman atau sanksi guna menjamin pelaksanaannya. 4. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib melaporkan pelaksanaannya. V. PASAL DEMI PASAL Pasal l Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa Indonesia, maka yang berlaku adalah naskah asli Konvensi dalam bahasa Inggris . Cukup jelas Pasal 2 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3835 51 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum KONVENSI MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA Konferensi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional, Setelah diundang ke Jenewa oleh Badan Pengurus Kantor Ketenagakerjaan Internasional, dan setelah mengadakan sidangnya yang ke lima puluh delapan Pada tanggal 6 Juni 1973, dan Setelah memutuskan untuk menerima beberapa usul mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, yang merupakan acara ke empat dalam agenda sidang tersebut, dan Memperhatikan syarat-syarat Konvensi Usia Minimum (Industri), 1919, Konvensi Usia Minimum (Laut), 1920, Konvensi Usia Minimum (Pertanian), 1921, Konvensi Usia Minimum (Penghias dan juru Api), 1921, Konvensi Usia Minimum (Pekerjaan Non Industri), 1932, Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Laut), 1936, Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Industri), 1937, Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Pekerjaan Non Industri), 1937, Konvensi Usia Minimum (Nelayan), 1959, dan Konvensi Usia Minimum (Kerja Bawah Tanah), 1965, dan Menimbang bahwa telah tiba waktunya untuk menetapkan suatu naskah umum mengenai hal itu, yang secara berangsur-angsur akan menggantikan naskah-naskah yang berlaku pada sektor ekonomi yang terbatas, dengan tujuan untuk melakukan penghapusan kerja anak secara menyeluruh, dan Setelah menetapkan bahwa naskah ini harus berbentuk Konvensi Internasional, Menyetujui Pada tanggal dua puluh enam bulan Juni tahun seribu sembilan ratus tujuh puluh tiga Konvensi ini, yang disebut Konvensi Usia Minimum, 1973: 52 Pasal 1 Setiap anggota yang memberlakukan Konvensi ini wajib membuat kebijakan nasional yang dirancang untuk menjamin penghapusan secara efektif pekerja anak dan secara bertahap meningkatkan usia minimum untuk diperbolehkan bekerja sampai pada suatu tingkat yang sesuai dengan perkembangan fisik dan mental sepenuhnya dari orang muda. Pasal 2 (1) Setiap anggota yang meratifikasi Konvensi ini wajib menetapkan dalam sebuah deklarasi yang dilampirkan pada ratifikasinya, usia minimum untuk diperbolehkan bekerja dalam wilayahnya dan pada sarana angkutan yang terdaftar di wilayahnya; sesuai dengan Pasal 4 sampai dengan 8 Konvensi ini, tidak seorangpun di bawah usia itu yang diperbolehkan masuk dalam setiap jabatan; (2) Setiap anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini dapat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Kantor Ketenagakerjaan Internasional dengan deklarasi selanjutnya, bahwa ia menetapkan usia minimum yang lebih tinggi dari yang telah ditetapkan sebelumnya; (3) Usia minimum yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan ayat (1) Pasal ini, tidak boleh kurang dari usia tamat wajib belajar, yaitu tidak boleh kurang dari 15 Tahun, dalam keadaan apapun; (4) Tanpa mengurangi ketentuan ayat (3) Pasal ini, anggota yang perekonomian dan fasilitas pendidikannya tidak cukup berkembang, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja yang Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum berkepentingan, jika ada, sebagai permulaan dapat menetapkan usia minimum 14 tahun. (5) Setiap anggota yang telah menetapkan usia minimum 14 tahun sesuai dengan ketentuan ayat itu, wajib mencantumkan dalam laporannya mengenai pelaksanaan Konvensi ini yang diajukan berdasarkan Pasal 22 Konstitusi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional, pernyataan : (a) bahwa alasan untuk melakukan hal itu memang ada; atau (b) bahwa ia melepaskan haknya untuk melaksanakan ketentuan tersebut sejak tanggal penetapan. Pasal 3 (1) Usia Minimum untuk diperbolehkan bekerja di setiap jenis pekerjaan, yang karena sifat atau keadaan lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral orang muda, tidak boleh kurang dari 18 tahun. (2) Jenis pekerjaan atau kerja yang padanya ketentuan ayat (1) Pasal ini berlaku, harus ditetapkan dengan peraturan atau perundangundangan nasional, atau oleh penguasa yang berwenang, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja yang berkepentingan jika ada. (3) Tanpa mengabaikan ketentuan ayat (1) Pasal ini, undang-undang atau peraturan nasional atau penguasa yang berwenang, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja yang berkepentingan, jika ada, dapat memperbolehkan orang muda berusia 16 tahun ke atas bekerja, dengan syarat bahwa kesehatan, keselamatan, dan moral mereka dilindungi sepenuhnya dan mereka telah dapat pendidikan atau pelatihan kejuruan khusus mengenai cabang kegiatan yang bersangkutan. Pasal 4 (1) Apabila diperlukan, penguasa yang berwenang setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja yang berkepentingan, jika ada, dapat mengecualikan pekerjaan atau kerja tertentu dari pemberlakuan Konvensi jika pelaksanaan Konvensi ini menimbulkan masalah yang sangat berat. (2) Setiap anggota yang meratifikasi Konvensi ini wajib membuat daftar dalam laporannya yang pertama mengenai pelaksanaan Konvensi yang diajukan berdasarkan Pasal 22 dari Konstitusi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional, setiap jenis pengecualian menurut ketentuan ayat (1) Pasal ini, alasan pengecualian, dan dalam laporan berikutnya wajib menyebutkan kedudukan hukum dan kebiasaan di negaranya mengenai jenis pengecualian tersebut, dan sejauh mana pengaruh dari konvensi ini telah diberlakukan atau diusulkan untuk diberlakukan terhadap jenis pekerjaan tersebut. (3) Pekerjaan atau kerja yang tercakup dalam Pasal 3 Konvensi ini tidak boleh dikecualikan dari pelaksanaan Konvensi sesuai dengan ketentuan Pasal ini. Pasal 5 (1) Anggota yang perekonomian dan fasilitas administratifnya belum cukup berkembang, setelah berkonsultasi dengan organisasi peng53 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum usaha dan pekerja yang berkepentingan, jika ada, pada walnya dapat membatasi ruang lingkup berlakunya Konvensi ini. (2) Setiap anggota yang tunduk pada ayat (1) pasal ini, dalam suatu pernyataan yang dilampirkan pada ratifikasinya, wajib memperinci secara khusus cabang kegiatan ekonomi atau jenis usaha yang kepadanya ketentuan Konvensi ini berlaku. (3) Ketentuan Konvensi ini wajib diberlakukan sebagai minimum terhadap: pertambangan dan penggalian; pengolahan; bangunan; listrik, gas, dan air, perusahaan sanitari; pengangkutan, pergudangan, dan perhubungan; serta perkebunan dan usaha pertanian lainnya yang hasil utamanya untuk tujuan perdagangan, tetapi kecuali perusahaan keluarga dan usaha kecil yang menghasilkan barang untuk konsumsi lokal dan tidak secara teratur mempekerjakan tenaga bayaran. (4) Setiap anggota yang membatasi ruang lingkup berlakunya Konvensi ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal ini (a) wajib menyebutkan dalam laporannya sesuai dengan Pasal 22 Konstitusi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional, kedudukan umum tentang pekerjaan orang muda dan anakanak dalam cabang kegiatan yang dikecualikan dari ruang lingkup berlakunya Konvensi ini dan setiap kemajuan yang mungkin dicapai ke arah pelaksanaan yang lebih luas dari ketentuan Konvensi ini; (b) dapat setiap waktu secara formal memperluas ruang lingkup 54 pemberlakuan melalui sebuah deklarasi yang disampaikan kepada Direktur Jenderal Kantor Ketenagakerjaan Internasional. Pasal 6 Konvensi ini tidak berlaku bagi pekerjaan yang dilakukan oleh anak dan orang muda di sekolah umum, kejuruan atau teknik atau di lembaga latihan lain, atau bagi pekerjaan yang dilakukan oleh orang muda yang sekurangkurangnya berusia 14 tahun dalam perusahaan, bila pekerjaan itu dilakukan sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh penguasa yang berwenang setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja yang berkepentingan, jika ada, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari (a) suatu program pendidikan atau pelatihan yang penanggung jawab utamanya adalah suatu sekolah atau lembaga pelatihan; (b) program latihan yang untuk sebagian besar atau seluruhnya dilaksanakan dalam suatu perusahaan, yang programnya telah disetujui oleh penguasa yang berwenang; atau (c) suatu program bimbingan atau orientasi yang disusun untuk mempermudah pemilihan jabatan atau jalur pelatihan. Pasal 7 (1) Peraturan atau perundang-undangan������������������������� nasional dapat memperbolehkan mempekerjakannya orang berusia 13-15 tahun dalam pekerjaan ringan yang: (a) tidak berbahaya bagi kesehatan dan perkembangan mereka; (b) tidak mengganggu kehadiran Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum mereka megikuti pelajaran sekolah, mengikuti orientasi kejuruan atau program latihan yang disetujui oleh penguasa yang berwenang atau kemampuan mereka mendapatkan manfaat dari pelajaran yang diterima. (2) Peraturan atau perundang-undangan nasional dapat juga memperbolehkan mempekerjakannya orang berusia sekurang-kurangnya 15 tahun akan tetapi belum menyelesaikan pendidikan sekolah wajib dalam pekerjaan yang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam sub (a) dan (b) ayat (1) Pasal ini. (3) Pengusaha yang berwenang wajib menetapkan kegiatan pada pekerjaan yang diperbolehkan berdasarkan ayat (1) dan (2) Pasal ini dan wajib menetapkan jumlah jam kerja dan kondisi yang harus dipenuhi dalam melakukan pekerjaan dimaksud. (4) Tanpa mengabaikan ketentuan ayat (1) dan (2) Pasal ini, anggota yang telah menyatakan tunduk kepada ketentuan ayat (4) Pasal 2, selama masih dikehendaki dapat menggantikan usia 12 dan 14 tahun untuk usia 13 dan 15 tahun pada ayat (1), dan usia 14 tahun untuk usia 15 tahun pada ayat (2) Pasal ini. Pasal 8 (1) Setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja yang berkepentingan, jika ada, penguasa yang berwenang, dengan izin yang diberikan untuk kasus individual boleh mengecualikan larangan bekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Konvensi ini untuk maksud tertentu, seperti keikutsertaan dalam pertunjukan kesenian. (2) Izin yang diberikan itu harus membatasi jumlah jam dan kondisi kerja untuk diperbolehkan bekerja. Pasal 9 (1)���������������������������������� Segala tindakan yang perlu, termasuk penentuan hukuman yang memadai, harus diambil oleh penguasa yang berwenang untuk menjamin pelaksanaan yang efektif dari ketentuan konvensi ini. (2) Peraturan atau perundang-undangan nasional wajib menetapkan orang-orang yang bertanggung jawab terhadap penataan ketentuan Konvensi ini. (3) Peraturan atau perundang-undangan nasional, atau penguasa yang berwenang wajib menetapkan catatan atau dokumen lain yang harus disimpan dan disediakan oleh pengusaha; catatan atau dokumen itu harus memuat nama dan usia atau tanggal lahir, yang disahkan bila mungkin, mengenai orang-orang yang dipekerjakannya atau yang bekerja untuknya dan yang berusia di bawah 18 tahun. Pasal 10 (1) Konvensi ini merevisi menurut ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal ini, Konvensi Usia Minimum (Industri), 1919, Konvensi Usia Minimum (Laut), 1920, Konvensi Usia Minimum (Pertanian), 1921, Konvensi Usia Minimum (Penghias dan juru Api), 1921, Konvensi Usia Minimum (Pekerjaan Non Industri), 1932, Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Laut), 1936, Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Industri), 1937, Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Pekerjaan Non Industri), 55 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 1937, Konvensi Usia Minimum (Nelayan), 1959, dan Konvensi Usia Minimum (Kerja Bawah Tanah), 1965. (2) Pemberlakuan Konvensi ini tidak menutup kemungkinan untuk meratifikasi Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Laut), 1936, Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Industri), 1937, Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Pekerjaan Non Industri), 1937, Konvensi Usia Minimum (Nelayan), 1959, dan Konvensi Usia Minimum (Kerja Bawah Tanah), 1965. (3) Konvensi ini merevisi menurut ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal ini, Konvensi Usia Minimum (Industri), 1919, Konvensi Usia Minimum (Laut), 1920, Konvensi Usia Minimum (Pertanian), 1921, Konvensi Usia Minimum (Penghias dan juru Api), 1921, akan tertutup untuk diratifikasi lebih lanjut, jika semua pihak yang telah meratifikasinya setuju untuk menutupnya dengan diratifikasinya Konvensi ini atau dengan suatu deklarasi yang disampaikan kepada Direktur Jenderal kantor Ketenagakerjaan Internasional. (4) Jika kewajiban-kewajiban Konvensi ini diterima (a) oleh anggota yang merupakan pihak pada Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Industri), 1937, dan telah menetapkan usia minimum tidak kurang dari 15 tahun menurut ketentuan Pasal 2 Konvensi ini, demi hukum, hal tersebut dengan sendirinya membatalkan Konvensi itu dengan segera, (b) dalam hal pekerjaan non industri sebagaimana dimaksud dalam Konvensi Usia Minimum 56 (Pekerjaan Non Industri), 1932, oleh anggota yang merupakan pihak pada Konvensi itu, demi hukum, hal tersebut dengan sendirinya membatalkan Konvensi itu dengan segera, (c) dalam hal pekerjaan non industri sebagaimana dimaksud dalam Konvensi Usia Minimum (Pekerjaan Non Industri), 1937, oleh anggota yang merupakan pihak pada Konvensi itu dan telah menetapkan usia minimum tidak kurang dari 15 tahun berdasarkan Pasal dua Konvensi ini, demi hukum, hal tersebut dengan sendirinya membatalkan Konvensi itu dengan segera, (d) dalam hal pekerjaan maritim, oleh anggota yang merupakan pihak pada Konvensi (revisi) usia minimum (laut), 1936, dan telah menetapkan usia minimum tidak kurang dari lima belas tahun berdasarkan Pasal 2 Konvensi ini atau anggota itu menetapkan bahwa Pasal 3 Konvensi ini berlaku bagi pekerjaan maritim, demi hukum, hal tersebut dengan sendirinya membatalkan konvensi itu dengan segera, (e) dalam hal pekerjaan perikanan maritim, oleh anggota yang merupakan pihak pihak pada Konvensi Usia Minimum (nelayan), 1959, dan telah menetapkan usia minimum tidak kurang dari lima belas tahun berdasarkan Pasal 2 Konvensi ini, atau anggota itu telah menetapkan bahwa Pasal 3 Konvensi ini berlaku bagi pekerjaan perikanan maritim, demi hukum, hal tersebut de- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum ngan sendirinya membatalkan Konvensi itu dengan segera, (f) oleh anggota yang merupakan pihak pada Konvensi Usia Minimum Kerja (Kerja Bawah Tanah), 1965, dan usia minimum tidak kurang dari usia yang ditetapkan berdasarkan Pasal 2 Konvensi ini atau anggota itu menetapkan bahwa usia itu berlaku bagi pekerjaan di bawah tanah dalam pertambangan berdasarkan Pasal 3 Konvensi ini, demi hukum hal tersebut dengan sendirinya membatalkan Konvensi itu dengan segera jika dan bila Konvensi ini mulai berlaku. (5) Penerimaan kewajiban Konvensi ini berarti : (a) harus membatalkan Konvensi Usia Minimum (industri), 1919, sesuai dengan Pasal 12 Konvensi itu, (b) dalam hal pertanian, harus membatalkan Konvensi Usia Minimum (pertanian), 1921, sesuai dengan Pasal 9 Konvensi itu, (c) dalam hal pekerjaan maritim, harus membatalkan Konvensi Usia Minimum (laut), 1920, sesuai dengan Pasal 10 Konvensi itu dan Konvensi Usia Minimum (penghias dan juru api), 1921, sesuai dengan Pasal 12 Konvensi itu, jika dan bila Konvensi ini mulai berlaku. Pasal 11 Ratifikasi resmi Konvensi ini harus disampaikan kepada Direktur Jenderal Kantor Ketenagakerjaan Internasional untuk didaftar. Pasal 12 1. Konvensi ini mengikat hanya bagi anggota Organisasi Ketenagakerjaan Internasional yang ratifikasinya telah didaftar oleh Direktur Jenderal. 2. Konvensi ini mulai berlaku dua belas bulan setelah tanggal ratifikasi oleh dua anggota Organisasi Ketenagakerjaan Internasional telah didaftar oleh Direktur Jenderal. 3. Selanjutnya, Konvensi ini akan berlaku bagi setiap anggota dua belas bulan setelah tanggal ratifikasinya didaftar. Pasal 13 (1) Anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini dapat membatalkannya, setelah melampaui waktu sepuluh tahun terhitung sejak tanggal Konvensi ini mulai berlaku, denga menyampaikan keterangan kepada Direktur Jenderal Kantor Ketenagakerjaan Internasional untuk didaftar. Pembatalan itu tidak akan berlaku hingga satu tahun setelah tanggal pendaftarannnya. (2) Setiap anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini dan yang dalam waktu satu tahun setelah berakhirnya masa sepuluh tahun sebagaimana tersebut dalam ayat tersebut di atas tidak menggunakan hak pembatalan menurut ketentuan dalam Pasal ini, akan terikat untuk sepuluh tahun lagi, dan sesudah itu dapat membatalkan Konvensi ini pada waktu berakhirnya tiap-tiap masa sepuluh tahun sebagaimana diatur dalam Pasal ini. Pasal 14 (1) Direktur Jenderal Kantor Ketenagakerjaan Internasioanal wajib memberitahukan kepada segenap ang57 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum gota Organisasi Ketenagakerjaan Internasional tentang Pendaftaran Semua Ratifikasi dan pembatalan yang disampaikan kepadanya oleh anggota organisasi. (2) Pada saat memberitahukan kepada anggota organisasi tentang pendaftaran ratifikasi kedua yang disampaikan kepadanya Direktur Jenderal wajib meminta perhatian anggota organisasi mengenai tanggal mulai berlakunya. Pasal 15 Direktur Jenderal Kantor Ketenagakerjaan Internasional wajib menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa untuk didaftarkan, sesuai denga Pasal 102 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa hal ihwal mengenai semua ratifikasi dan pembatalan yang didaftarkannya menurut ketentuan pasal-pasal tersebut di atas. Pasal 16 Pada waktu yang dianggap perlu, Badan Pengurus Kantor Ketenagakerjaan Internasional wajib menyampaikan kepada Konferensi laporan mengenai pelaksanaan Konvensi dan wajib mempertimbangkan perlunya mengagendakan dalam Konvensi, perubahan konvensi 58 ini seluruhnya atau sebagaian. Pasal 17 (1) Jika Konferensi menyetujui Konvensi baru yang memperbaiki Konvensi ini secara keseluruhan atau sebagian, kecuali Konvensi baru menentukan lain maka (a) ratifikasi oleh anggota atas konvensi baru yang memperbaiki, secara hukum berarti pembatalan atas Konvensi ini tanpa mengurangi ketentuan dalam Pasal 5 di atas, jika dan bilamana Konvensi baru yang memperbaiki itu mulai berlaku; (b) sejak tanggal konvensi baru yang memperbaiki itu berlaku, Konvensi ini tidak dapat disahkan lagi oleh anggota. (2) Konvensi ini akan tetap berlaku dalam bentuk dan isi aslinya bagi anggota yang telah meratifikasinya, tetapi belum meratifikasi Konvensi yang memperbaikinya. Pasal 18 Bunyi naskah Konvensi ini dalam bahasa Inggris dan bahasa Perancis samasama resmi. Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 105 CONCERNING THE ABOLITION OF FORCED LABOUR (KONVENSI ILO MENGENAI PENGHAPUSAN KERJA PAKSA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 adalah negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, sehingga segala bentuk kerja paksa harus dihapuskan; b. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat internasional menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan BangsaBangsa, Deklarasi Universal Hakhak Asasi Manusia Tahun 1948, Deklarasi Philadelphia Tahun 1944, dan Konstitusi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO); c. bahwa Konferensi Ketenagakerjaan Internasional keempat puluh tanggal 25 Juni 1957 di Jenewa, Swiss, telah menyetujui ILO Convention No. 105 concerning the Abolition of Forced Labour (Konvensi ILO mengenai Penghapusan Kerja Paksa); d. bahwa ketentuan Konvensi tersebut selaras dengan keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus menerus menegakkan dan mema- jukan pelaksanaan hak-hak dasar pekerja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; e. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dalam huruf a, b, c, dan d, dipandang perlu mengesahkan ILO Convention No. 105 concerning the Abolition of Forced Labour (Konvensi ILO mengenai Penghapusan Kerja Paksa) dengan Undang-undang; Mengingat : (1) Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 27 Undang-undang Dasar 1945; (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia; Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 105 CONCERNING THE ABOLITION OF FORCED LABOUR (KONVENSI ILO MENGENAI PENGHAPUSAN KERJA PAKSA) Pasal 1 Mengesahkan ILO Convention No. 105 concerning the Abolition of Forced Labour (Konvensi ILO mengenai Penghapusan Kerja Paksa) yang salinan naskah asli59 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum nya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-undang ini. Pasal 2 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 7 Mei 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Ttd. BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 7 Mei 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA Ttd. AKBAR TANDJUNG LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 55 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 105 CONCERNING THE ABOLITION OF FORCED LABOUR (KONVENSI ILO MENGENAI PENGHAPUSAN KERJA PAKSA) I. UMUM Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak asasi atau hak dasar sejak dilahirkan, sehingga tidak ada manusia atau pihak lain yang dapat merampas hak tersebut. Hak asasi manusia diakui secara universal sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang disetujui PBB Tahun 1948, Deklarasi ILO di Philadelphia Tahun 1944, dan Konstitusi ILO. Dengan demikian semua negara di dunia secara moral dituntut untuk menegakkan, dan melindungi hak tersebut. Salah satu bentuk hak asasi adalah kebebasan untuk secara sukarela melakukan suatu pekerjaan. Jaminan kebebasan tersebut sesuai dengan nilainilai Pancasila dan telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Ketentuan tersebut telah diatur dalam Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagai anggota PBB dan Organisasi Ketenagakerjaan Internasional atau International Labour Organization (ILO), Indonesia menghargai, menjunjung tinggi dan berupaya menerapkan keputusan-keputusan kedua lembaga internasional dimaksud. 60 Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Konvensi ILO No. 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa yang disetujui pada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional keempat puluh tanggal 25 Juni 1957 di Jenewa merupakan bagian dari perlindungan hak asasi pekerja. Konvensi ini meminta setiap negara anggota ILO untuk menghapuskan dan melarang kerja paksa yang digunakan sebagai: a. alat penekanan atau pendidikan politik atau sebagai hukuman atas pemahaman atau pengungkapan pandangan politik atau ideologi yang bertentangan dengan sistem politik, sosial, dan ekonomi yang berlaku; b. cara mengerahkan dan menggunakan tenaga kerja untuk tujuan pembangunan ekonomi; c. alat untuk mendisiplinkan pekerja; d. hukuman atas keikutsertaan dalam pemogokan; e. cara melakukan diskriminasi atas dasar ras, sosial, kebangsaan, atau agama. II. POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDORONG LAHIRNYA KONVENSI 1. Konvensi ILO No. 29 Tahun 1930 mengenai Kerja Paksa meminta semua negara anggota ILO melarang semua bentuk kerja paksa atau wajib kerja kecuali melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan wajib militer, wajib kerja dalam rangka pengabdian sebagai warga negara, wajib kerja menurut keputusan pengadilan, wajib melakukan pekerjaan dalam keadaan darurat atau wajib kerja sebagai bentuk kerja gotong royong. 2. Dalam penerapan Konvensi No. 29 Tahun 1930 tersebut ditemukan berbagai bentuk penyimpangan. Oleh sebab itu dirasakan perlu menyusun dan mengesahkan konvensi yang secara khusus melarang siapapun mempekerjakan seseorang secara paksa dalam bentuk mewajibkan tahanan politik untuk bekerja, mengerahkan tenaga kerja dengan dalih untuk pembangunan ekonomi, mewajibkan kerja untuk mendisiplinkan pekerja, menghukum pekerja atas keikutsertaannya dalam pemogokan atau melakukan diskriminasi atas dasar ras, sosial, kebangsaan, atau agama. III. ALASAN INDONESIA MENGESAHKAN KONVENSI MENJADI UNDANG-UNDANG 1. Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan hukum nasional, menjunjung tinggi harkat dan martabat pekerja sebagaimana tercermin dalam Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Azas ini merupakan amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia bertekad untuk mencegah, melarang, dan menghapuskan segala bentuk kerja paksa sesuai dengan ketentuan Konvensi ini. 2. Dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945, Indonesia telah menetapkan peraturan perundangundangan yang mengatur pencegahan dan pelarangan segala bentuk kerja paksa yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat pekerja. 3. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia melalui Ketetapan Nomor XVII/MPR/1998 menugasi Presiden dan DPR untuk me61 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 4. 5. 6. 7. ratifikasi berbagai instrumen PBB yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Disamping itu Presiden Republik Indonesia telah ikut menandatangani Keputusan Pertemuan Tingkat Tinggi mengenai Pembangunan Sosial di Kopenhagen Tahun 1995. Keputusan pertemuan tersebut antara lain mendorong anggota PBB meratifikasi tujuh konvensi ILO yang memuat hak-hak dasar pekerja, termasuk Konvensi No. 105 Tahun 1957 mengenai Penghapusan Kerja Paksa. ILO dalam Sidang Umumnya yang ke-86 di Jenewa bulan Juni 1998 telah menyepakati Deklarasi ILO mengenai Prinsip dan Hak-hak Dasar di Tempat Kerja. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa setiap negara wajib menghormati dan mewujudkan prinsip-prinsip ketujuh Konvensi Dasar ILO. Dalam pengamalan Pancasila dan penerapan peraturan perundangundangan masih dirasakan adanya penyimpangan. Oleh karena itu pengesahan Konvensi ini dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan hukum secara efektif sehingga akan lebih menjamin perlindungan hak pekerja dari setiap bentuk pemaksaan kerja. Pengesahan Konvensi ini menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam memajukan dan melindungi hak-hak dasar pekerja khususnya hak untuk bebas dari kerja paksa. Hal ini akan lebih meningkatkan citra positif Indonesia dan memantapkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia. 62 IV. POKOK-POKOK KONVENSI 1. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini harus melarang dan tidak boleh menggunakan setiap bentuk kerja paksa sebagai alat penekanan politik, alat pengerahan untuk tujuan pembangunan, alat mendisiplinkan pekerja, sebagai hukuman atas keterlibatan dalam pemogokan dan sebagai tindakan diskriminasi. 2. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini harus mengambil tindakan yang menjamin penghapusan kerja paksa dengan segera dan menyeluruh. 3. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi harus melaporkan pelaksanaannya. V. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa Indonesia, maka yang berlaku adalah naskah asli Konvensi dalam bahasa Inggris. Cukup jelas Pasal 2 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3834 Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya; b. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun; c. bahwa selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; d. bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Dek1arasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d dalam rangka melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVIUMPR/I998 tentang Hak Asasi Manusia, perlu membentuk Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia; Mengingat 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasa129, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/I998 tentang Hak Asasi Manusia; Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG HAK ASASI MANUSIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 63 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 2. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila hak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia. 3. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi. hukum, sosial, budaya. dan aspek kehidupan lainnya. 4.�������������������������������� Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang lelah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa sese64 orang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan/ atau pejabat publik. 5. Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, terrnasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. 6. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undangundang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. 7. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia. BAB II ASAS-ASAS DASAR Pasal 2 Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. Pasal 3 (1) Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup berrnasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan. (2) Setiap orang berhak atas pegakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. (3) Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi. Pasal 4 Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Pasal 5 (1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum. (2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berpihak. (3) Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Pasal 6 (1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah. (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Pasal 7 (1) Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia. (2) Ketentuan hukum internsional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional. Pasal 8 Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. 65 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum BAB III HAK ASASI MANUSIA DAN KEBEBASAN DASAR MANUSIA Bagian Kesatu Hak untuk Hidup Pasal 9 (1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. (2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. (3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Bagian Kedua Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan Pasal 10 (1) Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Hak Mengembangkan Diri Pasal 11 Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Pasal 12 Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas 66 hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berahlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia. Pasal 13 Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia. Pasal 14 (1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. (2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. Pasal 15 Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Pasal 16 Setiap orang berhak untuk melakukan pekerjaan sosial dan kebajikan, mendirikan organisasi untuk itu, termasuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, serta menghimpun dana untuk maksud tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Bagian Keempat Hak Memperoleh Keadilan Pasal 17 Setiap orang tanpa diskiriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan. pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. (1) (2) (3) (4) (5) Pasal 18 Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya. Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka. Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam per- kara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pasal 19 (1) Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman berupa perampasan seluruh harta kekayaan milik yang bersalah. (2) Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang-piutang. Bagian Kelima Hak Atas Kebebasan Pribadi Pasal 20 (1) Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba. (2) Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang. Pasal 21 Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh manjadi objek penelitian tanpa persetujuan darinya. Pasal 22 (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 67 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 23 (1) Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya. (2) Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan/atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara. Pasal 24 (1) Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai. (2) Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 25 Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 26 (1) Setiap orang berhak memiliki, memperoleh, mengganti, atau mempertahankan status kewarganegaraannya. (2) Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada kewarganegaraannya serta wajib 68 melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 27 (1) Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia. (2) Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keenam Hak atas Rasa Aman Pasal 28 (1) Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain. (2) Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi mereka yang melakukan kejahatan non politik atau perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 29 (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya. (2) Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada. Pasal 30 Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum tidak berbuat sesuatu. Pasal 31 (1) Tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu. (2) Menginjak atau memasuki suatu pekarangan tempat kediaman atau memasuki suatu rumah bertentangan dengan kehendak orang yang mendiaminya, hanya diperbolehkan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Pasal 32 Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronika tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kakuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 33 (1) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa. Pasal 34 Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang. Pasal 35 Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Bagian Ketujuh Hak atas Kesejahteraan Pasal 36 (1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum. (2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum. (3) Hak milik mempunyai fungsi sosial. Pasal 37 (1) Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain. Pasal 38 (1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak. (2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syaratsyarat ketenagakerjaan yang adil. (3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau 69 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama. (4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya. Bagian Kedelapan Hak Turut Serta dalam Pemerintahan Pasal 40 Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak. Pasal 43 (1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melaui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. (3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan. Pasal 41 (1) Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan priadinya secara utuh. (2) Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus. Pasal 44 Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan/ atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 42 Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan/atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara. Bagian Kesembilan Hak Wanita Pasal 39 Setiap orang berhak untuk mendirikan serikat pekerja dan tidak boleh dihambat untuk menjadi anggotanya demi melindungi dan memperjuangkan kepentingannya serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 70 Pasal 45 Hak wanita dalam Undang-undang ini adalah hak asasi manusia. Pasal 46 Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang ekseku- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum tif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan. Pasal 47 Seorang wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya. Pasal 48 Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Pasal 49 (1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. (2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan/atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita. (3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum. Pasal 50 Wanita yang telah dewasa dan/atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya. Pasal 51 (1) Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya. hubungan dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama. (2) Setelah putusnya perkawinan. seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anakanaknya. dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. (3) Setelah putusnya perkawinan. seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak. sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Bagian Kesepuluh Hak Anak Pasal 52 (1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, Masyarakat, dan negara. (2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Pasal 53 (1) Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. (2) Setiap anak sejak kelahirannya. berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan. 71 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 54 Setiap anak yang cacat fisik dan/atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan benegara. Pasal 55 Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan/atau wali. Pasal 56 (1) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. (2) Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan Undang-undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. Pasal 57 (1) Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal sebagai orang tua. (3) Orang tua angkat atau wali seba72 gaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya. Pasal 58 (1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau waljnya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan (2) Dalam hal orangtua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan/atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi maka harus dikenakan pemberatan hukuman. Pasal 59 (1) Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak. (2) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang. Pasal 60 (1) Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, ba- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum kal, dan tingkat kecerdasannya. (2) Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualilas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. Pasal 61 Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya. Pasal 62 Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya. Pasal 63 Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan. Pasal 64 Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya. Pasal 65 Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Pasal 66 (1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak. (3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum. (4) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir . (5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya. (6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. (7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum. BAB IV KEWAJIBAN DASAR MANUSIA Pasal 67 Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia 73 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia. Pasal 68 Setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 69 (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya. Pasal 70 Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. BAB V KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH Pasal 71 Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undangundang ini, peraturan perundang-un74 dangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Pasal 72 Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain. BAB VI PEMBATASAN DAN LARANGAN Pasal 73 Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Pasal 74 Tidak satu ketentuanpun dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-undang ini. BAB VII KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA Pasal 75 Komnas HAM bertujuan : a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945. dan Piagam Perserikatan Bangsa- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan b. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. Pasal 76 (1)������������������������������ Untuk mencapai tujuannya, Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia. (2)���������������������������� Komnas HAM beranggotakan tokoh masyarakat yang profesional, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia. (3) Komnas HAM berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia. (4) Perwakilan Komnas HAM dapat didirikan di daerah. Pasal 77 Komnas HAM berasaskan Pancasila. Pasal 78 (1) Komnas HAM mempunyai kelengkapan yang terdiri dari : a. sidang paripurna; dan b. sub komisi. (2) Komnas HAM mempunyai sebuah Sekretariat Jenderal sebagai unsur pelayanan. Pasal 79 (1) Sidang Paripurna adalah pemegang kekuasaan tertinggi Komnas HAM. (2) Sidang Paripurna terdiri dari seluruh anggota Komnas HAM. (3) Sidang Paripurna menetapkan Per- aturan Tata Tertib, Program Kerja, dan Mekanisme Kerja Komnas HAM. Pasal 80 (1) Pelaksanaan kegiatan Komnas HAM dilakukan oleh Sub-komisi (2) Ketentuan mengenai Sub-komisi diatur dalam Peraturan Tata Tertib Komnas HAM. Pasal 81 (1) Sekretariat Jenderal memberikan pelayanan administratif bagi pelaksanaan kegiatan Komnas HAM. (2) Sekretariat Jenderal dipimpin oleh Sekretaris Jenderal dengan dibantu oleh unit kerja dalam bentuk birobiro. (3) Sekretaris Jenderal dijabat oleh seorang Pegawai Negeri yang bukan anggota Komnas HAM. (4) Sekretaris Jenderal diusulkan oleh Sidang Paripurna dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (5) Kedudukan, tugas, tanggung jawab, dan susunan organisasi Sekretariat Jenderal ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Pasal 82 Ketentuan mengenai Sidang Paripurna dan Sub Komisi ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib Komnas HAM. Pasal 83 (1) Anggota Komnas HAM berjumlah 35 (tiga puluh lima) orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan usulan Komnas HAM dan diresmikan oleh Presiden selaku Kepala Negara. (2) Komnas HAM dipimpin oleh seorang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil 75 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Ketua. (3) Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dipilih oleh dan dari Anggota. (4) Masa jabatan keanggotaan Komnas HAM selama 5 (lima) tahun dan setelah berakhir dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan. lakukan tindak pidana kejahatan; atau e. melakukan perbuatan tercela dan/atau hal-hal lain yang diputus oleh Sidang Paripurna karena mencemarkan martabat dan kemandirian dan kredibilitas Komnas HAM. Pasal 84 Yang dapat diangkat menjadi anggota Komnas HAM adalah Warga Negara Indonesia yang : a. memiliki pengalaman dalam upaya memajukan dan melindungi orang atau kelompok yang dilanggar hak asasi manusianya; b. berpengalaman sebagai hakim, jaksa, polisi, pengacara, atau pengemban profesi hukum lainnya; c. berpengalaman di bidang legislatif. eksekutif, dan lembaga tinggi negara; atau d. merupakan tokoh agama, tokoh masyarakat, anggota lembaga swadaya masyarakat, dan kalangan perguruan tinggi. Pasal 86 Ketentuan mengenai tata cara pemilihan. pengangkatan. serta pemberhentian keanggotaan dan pimpinan Komnas HAM ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM. Pasal 85 (1) Pemberhentian anggota Komnas HAM dilakukan berdasarkan keputusan Sidang Paripurna dan diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (2) Anggota Komnas HAM berhenti antar waktu sebagai anggota karena : a. meninggal dunia; b. atas permintaan sendiri; c. sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan anggota tidak dapat menjalankan tugas selama 1 (satu) tahun secara terus menerus; d. dipidana karena bersalah me76 Pasal 87 (1) Setiap anggota Komnas HAM berkewajiban : a. menaati ketentuan peraturan perundang-unangan yang berlaku dan keputusan Komnas HAM. b. berpartisipasi secara aktif dan sungguh-sungguh untuk tercapainya tujuan Komnas HAM; dan c. menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komnas HAM yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota. (2) Setiap Anggota Komnas HAM berhak: a. menyampaikan usulan dan pendapat kepada Sidang Paripurna dan Sub-komisi; b. memberikan suara dalam pengambilan keputusan Sidang Paripurna dan Sub-komisi; c. mengajukan dan memilih calon Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dalam Sidang Paripurna; dan d. mengajukan bakal calon Ang- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum gota Komnas HAM dalam Sidang Paripurna untuk pergantian periodik dan antar waktu. Pasal 88 Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban dan hak Anggota Komnas HAM serta tata cara pelaksanaannya ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM. Pasal 89 (1) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pengkajian dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan: a. pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan/atau ratifikasi; b. pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundangundangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia; c. penerbitan hasil pengkajian dan penelitian; d. studi kepustakaan, studi lapangan dan studi banding di negara lain mengenai hak asasi manusia; e. pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia; dan f. kerjasama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia (2) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan : a. penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia; b. upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non formal serta berbagai kalangan lainnya; dan c. kerjasama dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia; (3) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan : a. pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut; b. penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia; c. pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya; d. pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan; e. peninjauan di tempat keja77 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dian dan tempat lainnya yang dianggap perlu; f. pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan; g. pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan; dan h. pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan. Bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak. (4) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan : a. perdamaian kedua belah pihak; b. penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi. dan penilaian ahli; c. pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan; d. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklan78 juti penyelesaiannya; dan e. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti. Pasal 90 (1) Setiap orang dan/atau sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM. (2) Pengaduan hanya akan mendapatkan pelayanan apabila disertai dengan identitas pengadu yang benar dan keterangan atau bukti awal yang jelas tentang materi yang diadukan. (3) Dalam hal pengaduan dilakukan oleh pihak lain, maka pengaduan harus disertai dengan persetujuan dari pihak yang hak asasinya dilanggar sebagai korban, kecuali untuk pelanggaran hak asasi manusia tertentu berdasarkan pertimbangan Komnas HAM. (4) Pengaduan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) meliputi pula pengaduan melalui perwakilkan mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh kelompok masyarakat. Pasal 91 (1) Pemeriksaan atas pengaduan kepada Komnas HAM tidak dilakukan atau dihentikan apabila: a. tidak memiliki bukti awal yang memadai; b. materi pengaduan bukan masalah pelanggaran hak asasi manusia; Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum c. pengaduan diajukan dengan itikad buruk atau ternyata tidak ada kesungguhan dari pengadu; d. terdapat upaya hukum yang lebih efektif bagi penyelesaian materi pengaduan; atau e. sedang berlangsung penyelesaian melalui upaya hukum yang tersedia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Mekanisme pelaksanaan kewenangan untuk tidak melakukan atau menghentikan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM. Pasal 92 (1) Dalam hal tertentu dan bila dipandang perlu, guna melindungi kepentingan dan hak asasi yang bersangkutan atau terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada, Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan identitas pengadu, dan pemberi keterangan atau bukti lainnya serta pihak yang terkait dengan materi aduan atau pemantauan. (2) Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan atau membatasi penyebarluasan suatu keterangan atau bukti lain yang diperoleh Komnas HAM, yang berkaitan dengan materi pengaduan atau pemantauan. (3) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didasarkan pada pertimbangan bahwa penyebarluasan keterangan atau bukti lainnya tersebut dapat ; a. membahayakan keamanan dan keselamatan negara; b. membahayakan keselamatan dan ketertiban umum; c. membahayakan keselamatan perorangan; d. mencemarkan nama baik perorangan; e. membocorkan rahasia negara atau hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses pengambilan keputusan Pemerintah; f. membocorkan hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan suatu perkara pidana; g. menghambat terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada; atau h. membocorkan hal-hal yang termasuk dalam rahasia dagang. Pasal 93 Pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia dilakukan secara tertutup, kecuali ditentukan lain oleh Komnas HAM. Pasal 94 (1) Pihak pengadu, korban, saksi, dan/ atau pihak lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c dan d, wajib memenuhi permintaan Komnas HAM. (2) Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi oleh pihak lain yang bersangkutan, maka bagi mereka berlaku ketentuan Pasal 95. Pasal 95 Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peratu79 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum ran perundang-undangan. Negara. Pasal 96 (1) Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (4) huruf a dan b, dilakukan oleh Anggota Komnas HAM yang ditunjuk sebagai mediator. (2) Penyelesaian yang dicapai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berupa kesepakatan secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak dan dikukuhkan oleh mediator. (3) Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan keputusan mediasi yang mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah. (4) Apabila keputusan mediasi tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan tersebut, maka pihak lainnya dapat memintakan kepada Pengadilan Negeri setempat agar keputusan tersebut dinyatakan dapat dilaksanakan dengan pembubuhan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. (5) Pengadilan tidak dapat menolak permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4). Pasal 99 Ketentuan dan tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang serta kegiatan Komnas HAM diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib Komnas HAM. Pasal 97 Komnas HAM wajib menyampaikan laporan tahunan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya, serta kondisi hak asasi manusia, dan perkara-perkara yang ditanganinya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden dengan tembusan kepada Mahkamah Agung. Pasal 98 Anggaran Komnas HAM dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja 80 BAB VIII PARTISIPASI MASYARAKAT Pasal 100 Setiap orang, keIompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, Lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi daIam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia. Pasal 101 Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada Komnas HAM atau lembaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia. Pasal 102 Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakan lainnya, berhak untuk mengajukan usaha mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM dan/atau lembaga lainnya. Pasal 103 Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum lembaga studi, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, baik secara sendirisendiri maupun bekerjasama dengan Komnas HAM dapat melakukan penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia. BAB IX PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA Pasal 104 (1) Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum. (2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Undang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 ( empat) tahun. (3) Sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 105 (1) Segala ketentuan mengenai hak asasi manusia yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur dengan Undang-undang ini. (2) Pada saat berlakunya Undang-undang ini : a. Komnas HAM yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dinyatakan sebagai Komnas HAM menurut Undang-undang ini; b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komnas HAM masih tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya, berdasarkan Undang-undang ini sampai ditetapkannya keanggotaan Komnas HAM yang baru; dan c. Semua permasalahan yang sedang ditangani oleh Komnas HAM tetap dilanjutkan penyelesaiannya berdasarkan Undang-undang ini. (3) Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undangundang ini susunan organisasi, keanggotaan, tugas dan wewenang serta tata tertib Komnas HAM harus disesuaikan dengan Undangundang ini. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 106 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 23 September 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 23 September 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. MULADI LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 165 81 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Di samping itu, untuk mengimbangi kebebasan tersebut manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak, dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sejalan dengan pandangan di atas, Pancasila sebagai dasar negara mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa 82 dengan menyandang dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas (bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Ini berarti bahwa setiap orang mengemban kewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap organisasi pada tataran manapun, terutama negara dan pemerintah, Dengan demikian, negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak asasi manusia setiap warga negara dan penduduknya tanpa diskriminasi. Kewajiban menghormati hak asasi manusia tersebut, tercermin dalam Pembukaan Undangundang Dasar 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan untuk beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun horizontal (antar warga negara sendiri) dan tidak sedikit Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights). Pada kenyataannya selama lebih lima puluh tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan, atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan. Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, bahkan pembunuhan, pembakaran rumah tinggal dan tempat ibadah, penyerangan pemuka agama beserta keluarganya. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat negara yang seharusnya menjadi penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa. Untuk melaksanakan kewajiban yang diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat, serta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. Di samping kedua sumber hukum di atas, pengaturan mengenai hak asasi manusia pada dasarnya sudah ter- cantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk undang-undang yang mengesahkan berbagai konvensi internasional mengenai hak asasi manusia. Namun untuk memayungi seluruh peraturan perundang-undangan yang sudah ada, perlu dibentuk Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia. Dasar pemikiran pembentukan Undang-undang ini adalah sebagai berikut : a. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta dengan segala isinya; b. pada dasarnya, manusia dianugerahi jiwa, bentuk, struktur, kemampuan, kemauan serta berbagai kemudahan oleh Penciptanya, untuk menjamin kelanjutan hidupnya; c. untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan martabat manusia, diperlukan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, karena tanpa hal tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya, sehingga dapat mendorong manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus); d. karena manusia merupakan makhluk sosial, maka hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia yang lain, sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas; e. hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan apapun; f. setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain, sehingga di dalam hak asasi manusia terdapat kewajiban dasar; g. hak asasi manusia harus benarbenar dihormati, dilindungi, dan 83 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum ditegakkan, dan untuk itu pemerintah, aparatur negara, dan pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjamin terselenggaranya penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia. Dalam Undang-undang ini, pengaturan mengenai hak asasi manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa- Bangsa, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Anak, dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur mengenai hak asasi manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Undang-undang ini secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/ atau tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama. Selain mengatur hak asasi manusia, diatur pula mengenai kewajiban dasar, serta tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam penegakan hak asasi manusia. Di samping itu, Undang-undang ini mengatur mengenai Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai lembaga mandiri yang mempunyai fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung 84 jawab untuk melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia. Dalam Undang-undang ini, diatur pula tentang partisipasi masyarakat berupa pengaduan dan/atau gugatan atas pelanggaran hak asasi manusia, pengajaran usulan mengenai perumusan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM, penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia. Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia ini adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas hak asasi manusia dikenakan sanksi pidana, perdata, dan/atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. PASAL DEMI PASAL Cukup jelas Pasal 1 Pasal 2 Hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dilepaskan dari manusia pribadi karena tanpa hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia yang bersangkutan kehilangan harkat dan martabat kemanusiannya. Oleh karena itu, negara Republik Indonesia termasuk Pemerintah berkewajiban, baik secara hukum maupun secara politik, ekonomi, sosial dan moral, untuk melindungi dan memajukan serta mengambil langkah-langkah konkret demi tegaknya hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia. Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Cukup jelas Pasal 3 Pasal 4 Yang dimaksud dengan “dalam keadaan apapun” termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata, dan/atau keadaan darurat. Yang dimaksud dengan “siapapun” adalah Negara, Pemerintah dan/ atau anggota masyarakat. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan “kelompok masyarakat yang rentan” antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat. Pasal 6 Ayat (1) Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepan- jang tidak bertentangan dengan asasasas negara hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Pasal 7 Yang dimaksud dengan “upaya hukum” adalah jalan yang dapat ditempuh oleh setiap orang atau kelompok orang untuk membela dan memulihkan hakhaknya yang disediakan oleh hukum Indonesia seperti misalnya, oleh Komnas HAM atau oleh pengadilan. Termasuk upaya untuk naik banding ke Pengadilan Tinggi, mengajukan kasasi dan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding. Dalam Pasal ini dimaksudkan bahwa mereka yang ingin menegakkan hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya diwajibkan untuk menempuh semua upaya hukum tersebut pada tingkat nasional terlebih dahulu (exhaustion of local remedies) sebelum menggunakan forum baik di tingkat regional maupun internasional, kecuali bila tidak mendapatkan tanggapan dari forum hukum nasional. Pasal 8 Yang dimaksud dengan “perlindungan” adalah termasuk pembelaan hak asasi manusia. Pasal 9 Ayat (1) Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati. Maka tindakan aborsi atau pidana mati 85 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dalam hal dan/atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “perkawinan yang sah” adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kehendak bebas” adalah kehendak yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun dan dari siapapun terhadap calon suami dan/atau calon istri, Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas 86 Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “seluruh harta kekayaan milik yang bersalah” adalah harta yang bukan berasal dari pelanggaran atau kejahatan. Ayat (2) Cukup jelas Cukup jelas Pasal 20 Pasal 21 Yang dimaksud dengan “menjadi objek penelitian” adalah kegiatan menempatkan seseorang sebagai pihak yang dimintai komentar, pendapat atau keterangan yang menyangkut kehidupan pribadi dan data-data pribadinya serta direkam gambar dan suaranya. Pasal 13 Pasal 22 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”hak untuk bebas memeluk agamanya dan kepercayaannya” adalah hak setiap orang untuk beragama menurut keyakinannya sendiri, tanpa adanya paksaan dari siapapun juga. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup je]as Pasal 17 Cukup jelas Pasal 11 Pasal 12 Pasal 18 Cukup jelas Pasal 23 Pasal 24 Pasal 25 Pasal 26 Pasa1 27 Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang menentukan suatu perbuatan termasuk kejahatan politik atau nonpolitik adalah negara yang menerima pencari suaka. Cukup jelas Cukup jelas Pasal 29 Pasal 30 Pasal 31 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “tidak boleh diganggu” adalah hak yang berkaitan dengan kehidupan pribadi (privacy) di dalam tempat kediamannya. Ayat (2) Cukup jelas Cukup jelas Pasal 32 Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penghilangan paksa” dalam ayat ini adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang menyebabkan seseorang tidak diketahui keberadaan dan keadaannya. Sedangkan yang dimaksud dengan “penghilangan nyawa” adalah pembunuhan yang dilakukan sewenang-wenang tidak berdasarkan putusan pengadilan. Cukup jelas Cukup jelas Pasal 34 Pasal 35 Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan “hak milik mempunyai fungsi sosial” adalah bahwa setiap penggunaan hak milik harus memperhatikan kepentingan umum. Apabila kepentingan umum menghendaki alau membutuhkan benar-benar maka hak milik dapat dicabut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Cukup jelas Cukup jelas Pasal 37 Pasal 38 Pasal 39 Yang dimaksud dengan “tidak boleh dihambat” adalah bahwa setiap orang atau pekerja tidak dapat dipaksa untuk menjadi anggota atau untuk tidak menjadi anggota dari suatu serikat pekerja. Cukup jelas Pasal 40 Pasal 41 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “berhak atas jaminan sosial” adalah bahwa setiap warga negara mendapat jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kemampuan negara. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kemudahan dan perlakuan khusus” adalah pemberian pelayanan. jasa, atau penyediaan fasilitas dan sarana demi kelancaran, keamanan, kesehatan, dan keselama87 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum tan. Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Pasal 42 Pasal 43 Pasal 44 Pasal 45 Pasal 46 Yang dimaksud dengan “keterwakilan wanita” adalah pemberian kesempatan dan kedudukan yang sama bagi wanita untuk melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, kepartaian, dan pemilihan umum menuju keadilan dan kesetaraan jender. Cukup jelas Cukup jelas Pasal 47 Pasal 48 Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan “perlindungan khusus terhadap fungsi reproduksi” adalah pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan, dan pemberian kesempatan untuk menyusui anak. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 50 Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan hukum sendiri” adalah ca88 kap menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum, dan bagi wanita beragama Islam yang sudah dewasa, untuk menikah diwajibkan menggunakan wali. Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan “tanggung jawab yang sama” adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada kedua orang tua dalam hal pendidikan, biaya hidup, kasih sayang, serta pembinaan masa depan yang baik bagi anak. Yang dimaksud dengan “Kepentingan terbaik bagi anak” adalah sesuai dengan hak anak sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak Anak). Ayat (3) Cukup jelas Cukup jelas Pasal 52 Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas Ayat(2) Yang dimaksud dengan “suatu nama” adalah nama sendiri, dan nama orang tua kandung, dan/atau nama keluarga, dan/atau nama marga. Pasal 54 Pelaksanaan hak anak yang cacat fisik dan/atau mental atas biaya negara diutamakan bagi kalangan yang tidak mampu. Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Pasal 55 Pasal 56 Pasal 57 Pasal 58 Pasal 59 Pasal ini berkaitan dengan perceraian orang tua anak, atau dalam hal kematian salah seorang dari orang tuanya, atau dalam hal kuasa asuh orang tua dicabut, atau bila anak disiksa atau tidak dilindungi atau ketidakmampuan orang tuanya. Pasal 60 Ayat (1) Pendidikan dalam ayat ini mencakup pendidikan tata krama dan budi pekerti. Ayat (2) Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Pasal 61 Pasal 62 Pasal 63 Pasal 64 Pasal 65 Berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya mencakup kegiatan produksi, peredaran, dan perdagangan sampai dengan penggunaannya yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Pasal 66 Pasal 67 Pasal 68 Pasal 69 Pasal 70 Pasal 71 Pasal 72 Pasal 73 Pembatasan yang dimaksud dalam Pasal ini tidak berlaku terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights) dengan memperhatikan Penjelasan Pasal 4 dan Pasal 9. Yang dimaksud dengan “kepentingan bangsa” adalah untuk keutuhan bangsa dan bukan merupakan kepentingan penguasa. Pasal 74 Ketentuan dalam Pasal ini menegaskan bahwa siapapun tidak dibenarkan mengambil keuntungan sepihak dan/atau mendatangkan kerugian pihak lain dalam mengartikan ketentuan dalam Undang-undang ini, sehingga mengakibatkan berkurangnya dan/atau hapusnya hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-undang ini. 89 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Pasal 75 Pasal 81 Pasal 85 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Keputusan tentang pemberhentian dilakukan dengan pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan dan diberikan hak untuk membela diri dalam Sidang Paripurna yang diadakan khusus untuk itu. Pasal 82 Cukup jelas Pasal 76 Pasal 77 Pasal 78 Pasal 79 Pasal 80 Pasal 83 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “diresmikan oleh Presiden” adalah dalam bentuk Keputusan Presiden. Peresmian oleh Presiden dikaitkan dengan kemandirian Komnas HAM. Usulan Komnas HAM yang dimaksud harus menampung seluruh aspirasi dari berbagai lapisan masyarakat sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan, yang jumlahnya paling banyak 70 (tujuh puluh) orang. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Cukup jelas 90 Pasal 84 Cukup jelas Cukup jelas Pasal 86 Pasal 87 Pasal 88 Pasal 89 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan “penyelidikan dan pemeriksaan” dalam rangka pemantauan adalah kegiatan pencarian data, informasi, dan fakta untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran hak asasi manusia. Huruf c Cukup jelas Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Huruf h Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik” antara lain mengenai pertanahan, ketenagakerjaan, dan lingkungan hidup. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan “mediasi” adalah penyelesaian perkara perdata di luar pengadilan, atas dasar kesepakatan para pihak. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Pasal 90 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan “pengaduan melalui perwakilan” adalah pengaduan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok untuk bertindak mewakili masyarakat tertentu yang dilanggar hak asasinya dan/atau atas dasar kesamaan kepentingan hukumnya. Pasal 91 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Yang dimaksud dengan”itikad buruk” adalah perbuatan yang mengandung maksud dan tujuan yang tidak baik misalnya pengaduan yang disertai data palsu atau keterangan tidak benar. dan/atau ditujukan semata-mata untuk mengakibatkan pencemaran nama baik perorangan, keresahan kelompok, dan/ atau masyarakat. Yang dimaksud dengan”tidak ada kesungguhan” adalah bahwa pengadu benar-benar tidak bermaksud menyelesaikan sengketanya. misalnya pengadu telah 3 (tiga) kali dipanggil tidak datang tanpa alasan yang sah. Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Pasal 92 Pasal 93 Pasal 94 Pasal 95 Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal ini adalah ketentuan Pasal 140 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 141 ayat (1) Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) atau Pasal 167 ayat (1) Reglemen Luar Jawa dan Madura. 91 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 96 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Lembar keputusan asli atau salinan otentik keputusan mediasi diserahkan dan didaftarkan oleh mediator kepada Panitera Pengadilan Negeri. Ayat (4) Permintaan terhadap keputusan yang dapat dilaksanakan (fiat eksekusi) kepada Pengadilan Negeri dilakukan melalui Komnas HAM. Apabila pihak yang bersangkutan tetap tidak melaksanakan keputusan yang telah dinyatakan dapat dilaksanakan oleh pengadilan, maka pengadilan wajib melaksanakan keputusan tersebut. Terhadap pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh keputusan ini, maka pihak ketiga tersebut masih dimungkinkan mengajukan gugatan melalui pengadilan. Ayat (5) Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas 92 Cukup jelas Pasal 103 Pasal 104 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak asasi manusia yang berat” adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic diserimination). Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pengadilan yang berwenang” meliputi empat lingkungan peradilan sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1910 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999. Pasal 105 Pasal 97 Cukup jelas Pasal 98 Cukup jelas Pasal 99 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3886 Pasal 100 Pasal 101 Pasal 102 Pasal 106 Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan Saksi dan/atau Korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana; b. bahwa penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan Saksi dan/atau Korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu; c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan perlindungan bagi Saksi dan/atau Korban yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban; Mengingat : 1. Pasal 1 ayat (3), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28G, Pasal 28I, dan Pasal 28J Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. 2. Korban adalah seseorang yang 93 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 3. 4. 5. 6. mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undangundang itu. Ancaman adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak langsung, yang mengakibatkan Saksi dan/atau Korban merasa takut dan/atau dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana. Keluarga adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga, atau yang mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan Saksi dan/atau Korban. Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini. Pasal 2 Undang-undang ini memberikan perlindungan pada Saksi dan Korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. 94 Pasal 3 Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada: a. penghargaan atas harkat dan martabat manusia; b. rasa aman; c. keadilan; d. tidak diskriminatif; dan e. kepastian hukum. Pasal 4 Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. BAB II PERLINDUNGAN DAN HAK SAKSI DAN KORBAN Pasal 5 1. Seorang Saksi dan Korban berhak: a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i. mendapat identitas baru; Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum j. mendapatkan tempat kediaman baru; k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. mendapat nasihat hukum; dan/atau m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. (2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Pasal 6 Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan: a. bantuan medis; dan b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Pasal 7 (1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa: a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat; b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. (2) Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 8 Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Pasal 9 (1) Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam Ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa. (2) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut. (3) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang. Pasal 10 (1) Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. (2) Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. 95 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum BAB III LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Bagian Kesatu Umum Pasal 11 (1) LPSK merupakan lembaga yang mandiri. (2) LPSK berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia. (3) LPSK mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan. Pasal 12 LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Pasal 13 (1) LPSK bertanggung jawab kepada Presiden. (2) LPSK membuat laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugas LPSK kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling sedikit sekali dalam 1 (satu) tahun. Bagian Kedua Kelembagaan Pasal 14 Anggota LPSK terdiri atas 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, kepolisian, kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, akademisi, advokat, atau lembaga swadaya masyarakat. 96 Pasal 15 (1) Masa jabatan anggota LPSK adalah 5 (lima) tahun. (2) Setelah berakhir masa jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota LPSK dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. (1) (2) (3) (4) Pasal 16 LPSK terdiri atas Pimpinan dan Anggota. Pimpinan LPSK terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap anggota. Pimpinan LPSK dipilih dari dan oleh anggota LPSK. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Pimpinan LPSK diatur dengan Peraturan LPSK. Pasal 17 Masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua LPSK selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Pasal 18 (1) Dalam pelaksanaan tugasnya, LPSK dibantu oleh sebuah sekretariat yang bertugas memberikan pelayanan administrasi bagi kegiatan LPSK. (2) Sekretariat LPSK dipimpin oleh seorang Sekretaris yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil. (3) Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Sekretaris Negara. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan, organisasi, tugas, dan tanggung jawab sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Presiden. (5) Peraturan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak LPSK terbentuk. Pasal 19 (1) Untuk pertama kali seleksi dan pemilihan anggota LPSK dilakukan oleh Presiden. (2) Dalam melaksanakan seleksi dan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden membentuk panitia seleksi. (3) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas 5 (lima) orang, dengan susunan sebagai berikut: a. 2 (dua) orang berasal dari unur pemerintah; dan b. 3 (tiga) orang berasal dari unsur masyarakat. (4) Anggota panitia seleksi tidak dapat dicalonkan sebagai anggota LPSK. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan panitia seleksi, tata cara pelaksanaan scleksi, dan pemilihan calon anggota LPSK, diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 20 (1) Panitia seleksi mengusulkan kepada Presiden sejumlah 21 (dua puluh satu) orang calon yang telah memenuhi persyaratan. (2) Presiden memilih sebanyak 14 (empat belas) orang dari sejumlah calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Dewan Perwakilan Rakyat memilih dan menyetujui 7 (tujuh) orang dari calon sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 21 (1) Dewan Perwakilan Rakyat memberikan persetujuan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon anggota LPSK diterima. (2) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan persetujuan terhadap seorang calon atau lebih yang diajukan oleh Presiden, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya pengajuan calon anggota LPSK, Dewan Perwakilan Rakyat harus memberitahukan kepada Presiden disertai dengan alasan. (3) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden mengajukan calon pengganti sebanyak 2 (dua) kali jumlah calon anggota yang tidak disetujui. (4) Dewan Perwakilan Rakyat wajib memberikan persetujuan terhadap calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon pengganti diterima. Pasal 22 Presiden menetapkan anggota LPSK yang telah memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan diterima Presiden. Bagian Ketiga Pengangkatan dan Pemberhentian Pasal 23 (1) Anggota LPSK diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 97 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum (2) Untuk dapat diangkat menjadi anggota LPSK harus memenuhi syarat: a. warga negara Indonesia; b. sehat jasmani dan rohani; c. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman pidananya paling singkat 5 (lima) tahun; d. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat proses pemilihan; e. berpendidikan paling rendah S-1 (strata satu); f. berpengalaman di bidang hukum dan hak asasi manusia paling singkat 10 (sepuluh) tahun; g. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; dan h. memiliki nomor pokok wajib pajak. Pasal 24 1. Anggota LPSK diberhentikan karena: a. meninggal dunia; b. masa tugasnya telah berakhir; c. atas permintaan sendiri; d. sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan tugas selama 30 (tiga puluh) hari secara terus menerus; e. melakukan perbuatan tercela dan/atau hal-hal lain yang berdasarkan Keputusan LPSK yang bersangkutan harus diberhentikan karena telah mencemarkan martabat dan reputasi, dan/atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas LPSK; atau f. dipidana karena bersalah me98 lakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman pidananya paling singkat 5 (lima) tahun. Pasal 25 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota LPSK diatur dengan Peraturan Presiden. Bagian Keempat Pengambilan Keputusan dan Pembiayaan Pasal 26 (1) Keputusan LPSK diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. (2) Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dicapai, keputusan diambil dengan suara terbanyak. Pasal 27 Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas LPSK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. BAB IV SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN PERLINDUNGAN DAN BANTUAN Bagian Kesatu Syarat Pemberian Perlindungan dan Bantuan Pasal 28 Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut: a. sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban; b. tingkat ancaman yang membaha- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum yakan Saksi dan/atau Korban; c. hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban; d. rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban. Bagian Kedua Tata Cara Pemberian Perlindungan Pasal 29 Tata cara memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebagai berikut: a. Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK; b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan. Pasal 30 (1) Dalam hal LPSK menerima permohonan Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Saksi dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban. (2) Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan; b. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya; c. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara apa pun dcngan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK; d. kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan e. hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK. Pasal 31 LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada Saksi dan/atau Korban, termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30. Pasal 32 (1) Perlindungan atas keamanan Saksi dan/atau Korban hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan: a. Saksi dan/atau Korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri; b. atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan; c. Saksi dan/atau Korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian; atau d. LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/atau Korban tidak lagi memerlukan perlindungan ber99 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dasarkan bukti-bukti yang meyakinkan. (2) Penghentian perlindungan keamanan seorang Saksi dan/atau Korban harus dilakukan secara tertulis. Bagian Ketiga Tata Cara Pemberian Bantuan Pasal 33 Bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan kepada seorang Saksi dan/atau Korban atas permintaan tertulis dari yang bersangkutan ataupun orang yang mewakilinya kepada LPSK. Pasal 34 (1) LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban. (2) Dalam hal Saksi dan/atau Korban layak diberi bantuan, LPSK menentukan jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta jangka waktu dan besaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 35 Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan kepada Saksi dan/atau Korban harus diberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan tersebut. Pasal 36 (1) Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerja lama dengan instansi terkait yang berwenang. (2) Dalam melaksanakan perlindungan 100 dan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini. BAB V KETENTUAN PIDANA Pasal 37 (1) Setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf d sehingga Saksi dan/ atau Korban tidak memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat mana pun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp. 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 38 Setiap orang yang menghalang-halangi dengan cara apapun, sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf d, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 39 Setiap orang yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau keluarganya kehilangan pekerjaan karena Saksi dan/ atau Korban tersebut memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 40 Setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak-hak Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1) karena Saksi dan/atau Korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 41 Setiap orang yang memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau Korban yang tengah dilindungi dalam suatu tempat khusus yang dirahasiakan oleh LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf j, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 42 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 dilakukan oleh pejabat publik, ancaman pidananya ditambah dengan 1/3 (satu per tiga). Pasal 43 (1) Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, dan Pasal 42 pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan hakim. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 44 Pada saat Undang-undang ini diun101 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dangkan, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap Saksi dan/ atau Korban dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 45 LPSK harus dibentuk dalam waktu paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-undang ini diundangkan. Pasal 46 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaga Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 11 Agustus 2006 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 11 Agustus 2006 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd HAMID AWALUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 64 102 PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN I. UMUM Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan. Dalam proses persidangan, terutama yang berkenaan dengan Saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya Saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Padahal, adanya Saksi dan Korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana. Keberadaan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana selama ini kurang mendapat perhatian masyarakat dan penegak hukum. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh Saksi dan Korban takut memberikan kesaksian kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak tertentu. Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum. Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memung- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum kinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu. Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah saatnya perlindungan Saksi dan Korban diatur dengan undang-undang tersendiri. Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Adapun pokok materi muatan yang diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban meliputi: 1. Perlindungan dan hak Saksi dan Korban; 2. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban; 3. Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; dan 4. Ketentuan pidana. II. PASAL DEMI PASAL Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 1 Pasal 2 Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 3 Pasal 4 Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Perlindungan semacam ini merupakan perlindungan utama yang diperlukan Saksi dan Korban. Apabila perlu, Saksi dan Korban harus ditempatkan dalam suatu lokasi yang dirahasiakan dari siapapun untuk menjamin agar Saksi dan Korban aman. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Hak ini diberikan kepada Saksi dan Korban yang tidak lancar berbahasa Indonesia untuk memperlancar persidangan. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Seringkali Saksi dan Korban hanya berperan dalam pemberian kesaksian di pengadilan, tetapi Saksi dan Korban tidak mengetahui perkembangan kasus yang bersangkutan. Oleh karena itu, sudah seharusnya informasi mengenai perkembangan kasus diberikan kepada Saksi dan Korban. Huruf g Informasi ini penting untuk diketahui Saksi dan Korban sebagai tanda penghargaan atas kesediaan Saksi dan Korban dalam proses peradilan tersebut. Huruf h Ketakutan Saksi dan Korban akan adanya balas dendam dari terdakwa cukup beralasan dan ia berhak diberitahu apabila seorang terpidana yang dihukum 103 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum penjara akan dibebaskan. Huruf i Dalam berbagai kasus, terutama yang menyangkut kejahatan terorganisasi, Saksi dan Korban dapat terancam walaupun terdakwa sudah dihukum. Dalam kasus-kasus tertentu, Saksi dan Korban dapat diberi identitas baru. Huruf j Apabila keamanan Saksi dan Korban sudah sangat mengkhawatirkan, pemberian tempat baru pada Saksi dan Korban harus dipertimbangkan agar Saksi dan Korban dapat meneruskan kehidupannya tanpa ketakutan. Yang dimaksud dengan “tempat kediaman baru” adalah tempat tertentu yang bersifat sementara dan dianggap aman. Huruf k Saksi dan Korban yang tidak mampu membiayai dirinya untuk mendatangi lokasi, perlu mendapat bantuan biaya dari negara. Huruf l Yang dimaksud dengan “nasihat hukum” adalah nasihat hukum yang dibutuhkan oleh Saksi dan Korban apabila diperlukan. Huruf m Yang dimaksud dengan “biaya hidup sementara” adalah biaya hidup yang sesuai dengan situasi yang dihadapi pada waktu itu, misalnya biaya untuk makan sehari-hari. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kasus-kasus tertentu”, antara lain, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya. 104 Pasal 6 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “bantuan rehabilitasi psikososial” adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada Korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan Korban. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 7 Pasal 8 Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “ancaman sangat besar” adalah ancaman yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak dapat memberikan kesaksiannya. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pejabat yang berwenang” adalah penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ayat (3) Kehadiran pejabat ini untuk memastikan bahwa Saksi dan/atau Korban tidak dalam paksaan atau tekanan ketika Saksi dan/atau Korban memberikan keterangan. Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pelapor” adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “memberikan Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum keterangan tidak dengan itikad baik” dalam ketentuan ini antara lain memberikan keterangan palsu, sumpah palsu, dan permufakatan jahat. Pasal 11 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “lembaga yang mandiri” adalah lembaga yang independen, tanpa campur tangan dari pihak mana pun. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 22 Pasal 23 Pasal 24 Pasal 25 Pasal 26 Pasal 27 Pasal 28 Pasal 29 Pasal 20 Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Ketentuan ini ditujukan untuk melindungi Saksi dan/atau Korban dari berbagai kemungkinan yang akan melemahkan perlindungan pada dirinya. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 15 Pasal 16 Pasal 17 Pasal 18 Pasal 19 Pasal 31 105 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 32 Pasal 33 Pasal 34 Pasal 35 Pasal 36 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “instansi terkait yang berwenang” adalah lembaga pemerintah dan non pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kapasitas dan hak untuk memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung yang dapat mendukung kerja LPSK, yang diperlukan dan disetujui keberadaannya oleh Saksi dan/atau Korban. Ayat (2) Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 37 Pasal 38 Pasal 39 Pasal 40 Pasal 41 Pasal 42 Yang dimaksud dengan “pejabat publik” adalah pejabat negara dan penyelenggara negara yang menjalankan 106 fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 43 Pasal 44 Pasal 45 Pasal 46 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4635 Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 adalah negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, sehingga segala bentuk penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia harus dicegah dan dilarang; b. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat internasional menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan BangsaBangsa serta Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia; c. bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam sidangnya Pada tanggal 10 Desember 1984 telah menyetujui Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi. atau Merendahkan Martabat Manusia) dan Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut Pada tanggal 23 Oktober 1985; d. bahwa konvensi tersebut pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia serta selaras dengan keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus menerus menegakkan dan memajukan pelaksanaan hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; e. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dalam huruf a, b, c. dan d dipandang perlu mengesahkan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia) dengan Undang-undang. Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal ll, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945: 107 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Pasal 2 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA) Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Pasal 1 (1) Mengesahkan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusia, atau Merendahkan Martabat Manusia) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 20 dan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 30 ayat (1). (2) Salinan naskah asli Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia), Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 20, dan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 30 ayat (1) dalam bahasa Inggris, dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-undang ini. 108 Disahkan di Jakarta Pada tanggal 28 September 1998 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 28 September 1998 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Ttd AKBAR TANDJUNG LEMBARAN NEGARA REPUBLlK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 164 Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA) I. UMUM Pada tanggal 9 Desember Tahun 1975 Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa telah menerima Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Deklarasi tersebut memuat perlindungan terhadap semua orang dari sasaran penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, dan menyatakan perlunya langkah-langkah yang efektif untuk menjamin pelaksanaan Deklarasi tersebut. Langkah-langkah ini mencakup antara lain perbaikan cara interogasi dan pelatihan bagi setiap aparatur penegak hukum dan pejabat publik lain yang bertanggung jawab terhadap orangorang yang dirampas kemerdekaannya. Adapun pengertian penyiksaan dalam Deklarasi ini adalah tindak pidana menurut ketentuan dalam hukum pidana. Namun, karena deklarasi itu bersifat tidak mengikat secara hukum, Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyusun rancangan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia yang selanjutnya diajukan kepada Sidang Majelis Umum PBB untuk disahkan. Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa menyetujui secara konsensus rancangan konvensi tersebut pada tanggal 10 Desember 1984 yang menyatakan mulai berlaku secara efektif Pada tanggal 26 Juni 1987. Pemerintah Republik Indonesia menandatangani konvensi itu pada tanggal 23 Oktoher 1985. Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993 sepakat antara lain menghimbau negara-negara anggota PBB untuk secepatnya mengesahkan perangkatperangkat internasional yang sangat penting di bidang hak asasi manusia (HAM), termasuk Konvensi Menentang Penyiksaan. Sesuai dengan isi Deklarasi Wina 1993, Pemerintah Indonesia telah menyusun Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia 1998-2003 yang berisi kegiatan-kegiatan prioritas dalam rangka pemajuan dan perlindungan HAM. Prioritas kegiatan tahun pertama Rencana Aksi tersebut mencakup pengesahan tiga perangkat internasional di bidang HAM, termasuk Konvensi Menentang Penyiksaan. Karena didorong oleh rasa tanggung jawab untuk memajukan dan menegakkan hak asasi manusia dan pembangunan hukum di Indonesia, DPR-RI memutuskan menggunakan hak inisiatifnya untuk mengajukan Rancangan Undangundang tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan 109 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum atau Penghukuman Lain yang kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia yang telah diterima oleh masyarakat internasional sebagai salah satu perangkat internasional di bidang HAM yang sangat penting. Saat ini Konvensi telah disahkan oleh 105 negara. Sebagai negara berdaulat dan sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku, Indonesia memutuskan untuk menyampaikan suatu pernyataan (declaration) terhadap Pasal 20 Konvensi. Pernyataan ini menegaskan bahwa dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimuat dalam konvensi, kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah Negara Pihak harus tetap dihormati dan dijunjung tinggi. Pernyataan (declaration) ini tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum sehingga pernyataan tersebut sama sekali tidak menghapuskan kewajiban atau tanggung jawab Negara Pihak untuk melaksanakan isi Konvensi. Sesuai dengan ketentuan Konvensi, Indonesia juga menyatakan Pensyaratan (Reservation) terhadap Pasal 30 ayat (1) Konvensi yang mengatur upaya penyelesaian sengketa mengenai penafsiran dan pelaksanaan konvensi melalui Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Sikap ini diambil antara lain atas pertimbangan bahwa Indonesia tidak mengakui jurisdiksi yang mengikat secara otomatis (compulsory jurisdiction) dari Mahkamah Internasional. Pensyaratan tersebut bersifat prosedural sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku. 110 II. POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDORONG LAHIRNYA KONVENSI 1. Penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia masih terus terjadi di berbagai negara dan kawasan dunia, yang diakui secara luas akan dapat merapuhkan sendi-sendi tegaknya masyarakat yang tertib, teratur, dan berbudaya. Dalam rangka menegakkan sendi-sendi masyarakat demikian itu, seluruh masyarakat internasional bertekad bulat melarang dan mencegah segala bentuk tindak penyiksaan, baik jasmaniah maupun rohaniah. Masyarakat internasional sepakat untuk pelarangan dan pencegahan tindak penyiksaan ini dalam suatu wadah perangkat internasional yang mengikat semua Negara Pihak secara hukum. 2. Dalam kaitan itu, Majelis Umum PBB telah menerima Deklarasi Universal HAM Pada tanggal 10 Desember 1948. Pasal 5 Deklarasi ini menjamin sepenuhnya hak setiap orang untuk bebas dari segala bentuk penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. 3. Selanjutnya. perangkat internasional di bidang HAM yang bersifat sangat penting lainnya, yakni Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (Pasal 7), menetapkan bahwa hak tersebut merupakan hak fundamental yang tidak boleh dikurangi dengan alasan apapun (non deroglabe rights). Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum III. ALASAN INDONESIA MENJADI NEGARA PIHAK DALAM KONVENSI 1. Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan hukum nasional, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti tercermin dalam Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Asas ini merupakan amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia tertekad untuk mencegah dan melarang segala bentuk penyiksaan, sesuai dengan ini Konvensi ini. 2. Dalam rangka pengamalan Pancasjla dan pelaksanaan Undangundang Dasar 1945, Indonesia pada dasarnya telah menetapkan peraturan perundang-undangan yang langsung mengatur pencegahan dan pelarangan, segala bentuk penyiksaan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Namun perundang-undangan itu karena belum sepenuhnya sesuai dengan Konvensi, masih perlu disempurnakan. 3. Penyempurnaan perundang-undangan nasional tersebut, akan meningkatkan perlindungan hukum secara lebih efektif, sehingga akan lebih menjamin hak-hak setiap warga negara bebas dari penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, demi tercapainya suatu masyarakat Indonesia yang tertib, teratur, dan berbudaya. 4. Suatu masyarakat Indonesia yang tertib, teratur, dan berbudaya akan mampu mewujudkan upaya bersama untuk memelihara perdamaian, ketertiban umum, dan kemakmuran dunia serta melestarikan peradaban umat manusia. 5. Pengesahan dan pelaksanaan isi Konvensi secara bertanggung jawab menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM, khususnya hak bebas dari penyiksaan. Hak ini juga akan lebih meningkatkan citra positif Indonesia di dunia internasional dan memantapkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia. IV. POKOK-POKOK ISI KONVENSI 1. Konvensi menentang penyiksaan terdiri atas pembukuan dengan 6 paragraf dan batang tubuh dengan 3 bab yang terdiri atas 33 pasal. a. Pembukaan meletakkan dasardasar dan tujuan Konvensi. Dalam konsideran secara tegas dinyatakan bahwa tujuan Konvensi ini adalah lebih mengefektifkan perjuangan di seluruh dunia dalam menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. b Bab I (Pasal 1-16) memuat ketentuan-ketentuan pokok yang mengatur definisi tentang penyiksaan dan kewajiban Negara Pihak untuk mencegah dan melarang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. c Bab II (Pasal 17-24) mengatur ketentuan mengenai Komite Menentang Penyiksaan (Committee Against Torture) dan tu111 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum gas serta kewenangannya dalam melakukan pemantauan atas pelaksanaan Konvensi. d Bab III (Pasal 25-33) merupakan ketentuan penutup yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan mulai berlakunya Konvensi, perubahan, pensyaratan (reservation), ratifikasi dan aksesi, pengunduran diri serta mekanisme penyelesalan perselisihan antar Negara Pihak. 2. Ketentuan-ketentuaan Pokok Konvensi Konvensi mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat publik (public official) dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Adapun pelarangan penyiksaan yang diatur dalam Konvensi ini tidak mencakup rasa sakit atau penderitaan yang timbul, melekat, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku. Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan langkah efektif lainnya guna mencegah tindak penyiksaan di dalam wilayah yurisdiksinya. Tidak terdapat pengecualian apapun, baik dalam keadaan perang, ketidakstabilan politik dalam negeri, maupun keadaan darurat lainnya yang dapat dijadikan sebagai pembenaran atas tindak penyiksaan. Dalam kaitan ini, perintah dari atasan atau penguasa (public authority) juga tidak dapat digunakan sebagai pembenaran atas suatu penyiksaan. 112 Negara Pihak diwajibkan mengatur semua tindak penyiksaan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangannya. Hal yang sama berlaku pula bagi siapa saja yang melakukan percobaan, membantu, atau turut serta melakukan tindak penyiksaan. Negara Pihak juga wajib mengatur bahwa pelaku tindak pidana tersebut dapat dijatuhi hukuman yang setimpal dengan sifat tindak pidananya. Konvensi juga mewajibkan Negara Pihak memasukkan tindak penyiksaan sebagai tindak pidana yang dapat diekstradisikan. Konvensi selanjutnya melarang Negara Pihak untuk mengusir, mengembalikan, atau mengekstradisikan seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang itu menjadi sasaran penyiksaan. Negara Pihak lebih lanjut harus melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melakukan tindak penyiksaan apabila tidak mengekstradiksikannya. Negara Pihak lebih lanjut wajib saling membantu dalam proses peradilan atas tindak penyiksaan dan menjamin bahwa pendidikan dan penyuluhan mengenai larangan terhadap penyiksaan sepenuhnya dimasukkan ke dalam program pelatihan bagi para aparat penegak hukum, sipil, atau militer, petugas kesehatan, pejabat publik dan orang-orang lain yang terlibat dalam proses penahanan, permintaan keterangan (interogasi), atau perlakuan terhadap setiap pribadil individu yang ditangkap, ditahan, atau dipenjarakan. Negara Pihak juga wajib mengatur dalam sistem hukumnya bahwa korban suatu tindak penyiksaan memperoleh Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum ganti rugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk mendapatkan rehabilitasi. 3. Implementasi Konvensi Implementasi Konvensi dipantau oleh Komite Menentang Penyiksaan (Committee Againts Torture) yang terdiri dari sepuluh orang pakar yang bermoral tinggi dan diakui kemampuannya di bidang HAM. Negara pihak harus menanggung pembiayaan yang dikeluarkan oleh para anggota Komite dalam menjalankan tugasnya dan pembiayaan penyelenggaraan sidang Negara pihak dan sidang Komite. Menurut ketentuan Pasal 19, Negara Pihak harus menyampaikan kepada Komite, melalui Sekretaris Jenderal PBB, laporan berkala mengenai langkah-langkah yang telah mereka lakukan dalam melaksanakan kewajibannya menurut Konvensi. Setiap laporan akan dipertimbangkan oleh Komite, yang selanjutnya dapat memberikan tanggapan umum dan memasukkan informasi tersebut dalam laporan tahunannya kepada Negara pihak dan kepada Sekretaris Jenderal PBB. Selanjutanya melalui penyampaian laporan berkala oleh Negara Pihak, pemantauan atas pelaksanaan Konvensi juga dapat dilakukan melalui cara-cara berikut : a. Menurut Pasal 20, apabila Komite menerima informasi yang dapat dipertanggungjawabkan (reliable), bahwa penyiksaan dilakukan secara sistematis di wilayah suatu Negara Pihak. Komite harus mengundang Negara pihak tersebut untuk bekerja sama membahas in- formasi tersebut dan Komite menyampaikan hasil pengamatannya. Komite dapat memutuskan, apabila informasi tersebut benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, segera melaporkannya kepada Komite dan menugaskan anggotanya seorang atau lebih, melakukan suatu penyelidikan rahasia dan segera melaporkan hasilnya kepada Komite. Dengan persetujuan Negara Pihak, penyelidikan semacam itu dapat berupa kunjungan ke wilayah Negara Pihak tersebut. b. Negara Pihak. sesuai dengan ketentuan Pasal 21, dapat membuat deklarasi yang mengakui kewenangan Komite untuk menerima dan membahas laporan pengaduan (communications) suatu Negara Pihak yang menyatakan bahwa Negara Pihak lain tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi. Komite hanya berwenang menerima dan membahas laporan pengaduan oleh Negara Pihak yang telah membuat Deklarasi. Komite tidak berhak menerima dan membahas laporan pengaduan tentang suatu Negara Pihak yang tidak membuat suatu Deklarasi. c. Negara Pihak, sesuai dengan ketentuan Pasal 22, dapat membuat deklarasi mengakui kewenangan Komite untuk menerima dan membahas laporan pengaduan dari atau atas nama pribadi individu yang berada dalam yurisdiksinya, yang menyatakan diri menjadi korban pelanggaran yang 113 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dilakukan Negara Pihak itu terhadap Konvensi. Komite tidak berhak menerima dan membahas laporan pengaduan jika menyangkut suatu Negara Pihak yang tidak membuat Deklarasi. Komite juga tidak berhak menerima dan membahas laporan pengaduan dari seseorang, kecuali jika Komite menyatakan bahwa : 1) Pengaduan tersebut belum pernah atau tidak sedang dibahas oleh prosedur penyelesaian atau penyelidikan internasional lainnya; 2) Perorangan yang dimaksudkan sudah menggunakan segala upaya penyelesaian hukum di dalam negerinya. 4. Pensyaratan (Reservation) dan Deklarasi (Declaration) Konvensi ini memperbolehkan Negara Pihak mengajukan pensyaratan terhadap 2 pasal, yakni: a.. Menyatakan tidak mengakui kewenangan Komite Menentang Penyiksaan dalam Pasal 20, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Konvensi. b. Menyatakan tidak terikat pada pengajuan penyeIesaian suatu perselisihan di antara Negara Pihak kepada Mahkamah Internasional, berdasarkan Pasal 30 ayat (1) Konvensi. Konvensi ini juga memungkinkan Negara Pihak membuat deklarasi mengenai kewenangan Komite Menentang Penyiksaan, sebagaimana diatur oleh Pasal 21 dan Pasal 22 Konvensi. 114 V. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Ayat (1) Diajukannya DekIarasi (Declaration) terhadap PasaI 20 adalah berdasarkan prinsip untuk menghormati kedauIatan negara dan keutuhan wilayah Negara Pihak dan diajukannya Pensyaratan (Reservation) terhadap Pasal 30 ayat (1) adalah berdasarkan prinsip untuk tidak menerima kewajiban dalam pengajuan perselisihan kepada Mahkamah Internasional, kecuali dengan kesepakatan Para Pihak. Ayat (2) Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa Indonesia, naskah yang berlaku adalah naskah asli Konvensi. Deklarasi terhadap Pasal 20 dan Pensyaratan terhadap Pasal 30 ayat (1) dalam bahasa Inggris. Cukup jelas Pasal 2 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3783 Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER, CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA) LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER, CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA) DEKLARASI TERHADAP PASAL 20 DAN PENSYARATAN TERHADAP PASAL 30 AYAT (1) KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN & PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA DECLARATION TO ARTICLE 20 AND RESERVATION TO ARTICLE 30 PARAGRAPH I CONVENTION AGAINTST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT Pernyataan : Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa ketentuan Pasal 20 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Konvensi akan dilaksanakan dengan memenuhi prinsip-prinsip kedaulatan dan keutuhan wilayah suatu negara. Pensyaratan : Pemerintah Republik Indonesia menyatakan tidak terikat pada ketentuan Pasal 30 ayat (1) Konvensi dan berpendirian bahwa apabila terjadi perselisihan akibat perbedaan penafsiran atau penerapan isi Konvensi, yang tidak terselesaikan melalui jalur sebagaimana diatur dalam ayat (1) pasal tersebut, dapat menunjuk Mahkamah Internasional hanya berdasarkan kesepakatan para Pihak yang berselisih. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Declaration : The Government of the republic of Indonesia declares that the provisions of paragraphs 1, 2 and 3 of Article 20 of the Convention will have to be implemented strict compliance with the principles of the sovereignty and territorial integrity of States. Reservation : The Government of the Republic of Indonesia does not consider itself bound by the provision of Article 30, paragraph 1, and takes the position that relating to the interpretation and application of the Convention which cannot besettled through the channel provided for in paragraph I of the said article, may be referred to the International Court of Justice only with the consent of all parties to the disputes. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE 115 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK1 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; b. bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan; c. bahwa Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of the Child) yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum; d. bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi de-ngan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud da1 lam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28G, dan Pasal 281 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235); 4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635); 5. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5248); Undang-Undang ini disetujui oleh DPR dalam rapat paripurna, tanggal 3 Juli 2012. 116 Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. 2. Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. 3. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 4. Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. 5. Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. 6. Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. 7. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dan proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. 8. Penyidik adalah penyidik Anak. 9. Penuntut Umum adalah penuntut umum Anak. 10. Hakim adalah hakim Anak. 11. Hakim Banding adalah hakim banding Anak. 12. Hakim Kasasi adalah hakim kasasi Anak. 13. Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap Anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana. 14. Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui 117 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial Anak. 15. Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara profesional untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial dan/ atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial Anak. 16. Keluarga adalah orang tua yang terdiri atas ayah, ibu, dan/atau anggota keluarga lain yang dipercaya oleh Anak. 17. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak. 18. Pendamping adalah orang yang dipercaya oleh Anak untuk mendampinginya selama proses peradilan pidana berlangsung. 19. Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 20. Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang selanjutnya disingkat LPKA adalah lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya. 21. Lembaga Penempatan Anak Sementara yang selanjutnya disingkat LPAS adalah tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung. 22. Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disingkat LPKS adalah lembaga 118 atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi Anak. 23. Klien Anak adalah Anak yang berada di dalam pelayanan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan Pembimbing Kemasyarakatan. 24. Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Bapas adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan. Pasal 2 Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas: a. perlindungan; b. keadilan; c. non-diskriminasi; d. kepentingan terbaik bagi Anak; e. penghargaan terhadap pendapat Anak; f. kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak; g. pembinaan dan pembimbingan Anak; h. proporsional; i. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan j. penghindaran pembalasan. Pasal 3 Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak: a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; b. dipisahkan dari orang dewasa; c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; d. melakukan kegiatan rekreasional; e. bebas dari penyiksaan, penghuku- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. man atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; tidak dipublikasikan identitasnya; memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak; memperoleh advokasi sosial; memperoleh kehidupan pribadi; memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; memperoleh pendidikan; memperoleh pelayananan kesehatan; dan memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 4 (1) Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak: a. mendapat pengurangan masa pidana; b. memperoleh asimilasi; c. memperoleh cuti mengunjungi keluarga; d. memperoleh pembebasan bersyarat; e. memperoleh cuti menjelang bebas; f. memperoleh cuti bersyarat; dan g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Anak yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 5 (1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. (2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini; b. persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan. (3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi. BAB II DIVERSI Pasal 6 Diversi bertujun: a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak; b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekan; 119 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Pasal 7 (1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak dipengadilan negeri wajib diupayakan Diversi. (2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Pasal 8 (1) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. (2) Dalam hal diperlukan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan. Sosial, dan/atau masyarakat. (3) Proses Diversi wajib memperhatikan: a. kepentingan korban; b. kesejahteraan dan tanggung jawab Anak; c. penghindaran stigma negatif; d. penghindaran pembalasan; e. keharmonisan masyarakat; dan f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. 120 Pasal 9 (1) Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan: a. kategori tindak pidana; b. umur Anak; c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat. (2) Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/ atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk: a. tindak pidana yang berupa pelanggaran; b. tindak pidana ringan; c. tindak pidana tanpa korban; atau d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat. Pasal 10 (1) Kesepakatan Diversi untuk menyelesaikan tindak pidana tanpa korban dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku dan/ atau keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat. (2) Kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penyidik atas rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan dapat berbentuk: a. pengembalian kerugian dalam hal ada korban; b. rehabilitasi medis dan psikososial; c. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali; d. keikutsertaan dalam pendi- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau e. pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan. bagaimana dimaksud pada ayat (4), Penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau Penuntut Umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan. Pasal 11 Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain: a. perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; b. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali; c. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau d. pelayanan masyarakat. Pasal 13 Proses peradilan pidana Anak dilanjutkan dalam hal: a. proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan; atau b. kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan. Pasal 12 (1) Hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dituangkan dalam bentuk kesepakatan Diversi. (2) Hasil kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan. (3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan Diversi. (4) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan. (5) Setelah menerima penetapan se- Pasal 14 (1) Pengawasan atas proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan. (2) Selama proses Diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan Diversi dilaksanakan, Pembimbing Kemasyarakatan wajib melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan. (3) Dalam hal kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, Pembimbing Kemasyarakatan segera melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menindaklanjuti laporan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari. Pasal 15 Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan proses Diversi, tata cara, dan koordinasi pelaksanaan Diversi diatur dengan Peraturan Pemerintah. 121 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum BAB III ACARA PERADILAN PIDANA ANAK Bagian Kesatu Umum Pasal 16 Ketentuan beracara dalam Hukum Acara Pidana berlaku juga dalam acara peradilan pidana anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Pasal 17 (1) Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim wajib memberikan perlindungan khusus bagi Anak yang diperiksa karena tindak pidana yang dilakukannya dalam situasi darurat. (2) Perlindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui penjatuhan sanksi tanpa pemberatan. Pasal 18 Dalam menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara. Pasal 19 (1) Identitas Anak, Anak Korban, dan/ atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. (2) Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat meng122 ungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi. Pasal 20 Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak. Pasal 21 (1) Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk: a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi Pemerintah atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan. (2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan ke pengadilan untuk ditetapkan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari. (3) Bapas wajib melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (4) Dalam hal hasil evaluasi sebagai- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum mana dimaksud pada ayat (3) Anak dinilai masih memerlukan pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan lanjutan, masa pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan. (5) Instansi Pemerintah dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib menyampaikan laporan perkembangan anak kepada Bapas secara berkala setiap bulan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengambilan keputusan serta program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 22 Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan petugas lain dalam memeriksa perkara Anak, Anak Korban, dan/ atau Anak Saksi tidak memakai toga atau atribut kedinasan. Pasal 23 (1) Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Korban atau Anak Saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak Korban dan/ atau Anak Saksi, atau Pekerja Sosial. (3) Dalam hal orang tua sebagai ter- sangka atau terdakwa perkara yang sedang diperiksa, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi orang tua. Pasal 24 Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa atau anggota Tentara Nasional Indonesia diajukan ke pengadilan Anak, sedangkan orang dewasa atau anggota Tentara Nasional Indonesia diajukan ke pengadilan yang berwenang. Pasal 25 (1) Register perkara Anak dan Anak Korban wajib dibuat secara khusus oleh lembaga yang menangani perkara Anak. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman register perkara anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Penyidikan Pasal 26 (1) Penyidikan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2) Pemeriksaan terhadap Anak Korban atau Anak Saksi dilakukan oleh Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. telah berpengalaman sebagai penyidik; b. mempunyai minat, perhatian, 123 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak. (4) Dalam hal belum terdapat Penyidik yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tugas penyidikan dilaksanakan oleh Penyidik yang melakukan tugas penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Pasal 27 (1) Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara Anak, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan. (2) Dalam hal dianggap perlu, Penyidik dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan tenaga ahli lainnya. (3) Dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap Anak Korban dan Anak Saksi, Penyidik wajib meminta laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan. Pasal 28 Hasil Penelitian Kemasyarakatan wajib diserahkan oleh Bapas kepada Penyidik dalam waktu paling lama 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam setelah permintaan penyidik diterima. Pasal 29 (1) Penyidik wajib mengupayakan Diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai. 124 (2) Proses Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya Diversi. (3) Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penyidik menyampaikan berita acara Diversi beserta Kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan. (4) Dalam hal Diversi gagal, Penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke Penuntut Umum dengan melampirkan berita acara Diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan. Bagian Ketiga Penangkapan dan Penahanan Pasal 30 (1) Penangkapan terhadap Anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh empat) jam. (2) Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus Anak. (3) Dalam hal ruang pelayanan khusus Anak belum ada di wilayah yang bersangkutan, Anak dititipkan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. (4) Penangkapan terhadap Anak wajib dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya. (5) Biaya bagi setiap Anak yang ditempatkan di LPKS dibebankan pada anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. Pasal 31 (1) Dalam melaksanakan penyidikan, Penyidik berkoordinasi dengan Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Penuntut Umum. (2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak dimulai penyidikan. Pasal 32 (1) Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana. (2) Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut: a. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan b. diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih. (3) Syarat penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. (4) Selama Anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial Anak harus tetap dipenuhi. (5) Untuk melindungi keamanan Anak, dapat dilakukan penempatan Anak di LPKS. Pasal 33 (1) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 untuk kepentingan penyidikan dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari. (2) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum pa- ling lama 8 (delapan) hari. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir, Anak wajib dikeluarkan demi hukum. (4) Penahanan terhadap Anak dilaksanakan di LPAS. (5) Dalam hal tidak terdapat LPAS, penahanan dapat dilakukan di LPKS setempat. Pasal 34 (1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan penuntutan, Penuntut Umum dapat melakukan penahanan paling lama 5 (lima) hari. (2) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Penuntut Umum dapat diperpanjang oleh Hakim pengadilan negeri paling lama 5 (lima) hari. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir, Anak wajib dikeluarkan demi hukum. Pasal 35 (1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, Hakim dapat melakukan penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Hakim dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri paling lama 15 (lima belas) hari. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir dan Hakim belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum. 125 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 36 Penetapan pengadilan mengenai penyitaan barang bukti dalam perkara Anak harus ditetapkan paling lama 2 (dua) hari. 33 ayat (3), Pasal 34 ayat (3), Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3) telah berakhir, petugas tempat Anak ditahan harus segera mengeluarkan Anak demi hukum. Pasal 37 (1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat banding, Hakim Banding dapat melakukan penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Hakim Banding dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi paling lama 15 (lima belas) hari. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah berakhir dan Hakim Banding belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum. Pasal 40 (1) Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada Anak dan orang tua/Wali mengenai hak memperoleh bantuan hukum. (2) Dalam hal pejabat tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penangkapan atau penahanan terhadap Anak batal demi hukum. Pasal 38 (1) Dalam hal penahanan terpaksa dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi, Hakim Kasasi dapat melakukan penahanan paling lama 15 (lima belas) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Hakim Kasasi dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 20 (dua puluh) hari. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah berakhir dan Hakim Kasasi belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum. Pasal 39 Dalam hal jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 Bagian Keempat Penuntutan Pasal 41 (1) Penuntutan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Penuntut Umum yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. (2) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. telah berpengalaman sebagai penuntut umum; b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak. (3) Dalam hal belum terdapat Penuntut Umum yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tugas penuntutan dilaksanakan oleh penuntut umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum orang dewasa. Pasal 42 (1) Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari Penyidik. (2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari. (3) Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penuntut Umum menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan. (4) Dalam hal Diversi gagal, Penuntut Umum wajib menyampaikan berita acara Diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan. Bagian Kelima Hakim Pengadilan Anak Paragraf 1 Hakim Tingkat Pertama Pasal 43 (1) Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Hakim yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan negeri yang bersangkutan melalui ketua pengadilan tinggi. (2) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan umum; b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak. (3) Dalam hal belum terdapat Hakim yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tugas pemeriksaan di sidang Anak dilaksanakan oleh hakim yang melakukan tugas pemeriksaan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Pasal 44 (1) Hakim memeriksa dan memutus perkara Anak dalam tingkat pertama dengan hakim tunggal. (2) Ketua pengadilan negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara Anak dengan hakim majelis dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau sulit pembuktiannya. (3) Dalam setiap persidangan Hakim dibantu oleh seorang panitera atau panitera pengganti. Paragraf 2 Hakim Banding Pasal 45 Hakim Banding ditetapkan berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan. Pasal 46 Untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Banding, berlaku syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2). Pasal 47 (1) Hakim Banding memeriksa dan memutus perkara Anak dalam tingkat banding dengan hakim 127 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum tunggal. (2) Ketua pengadilan tinggi dapat menetapkan pemeriksaan perkara Anak dengan hakim majelis dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau sulit pembuktiannya. (3) Dalam menjalankan tugasnya, Hakim Banding dibantu oleh seorang panitera atau seorang panitera pengganti. Paragraf 3 Hakim Kasasi Pasal 48 Hakim Kasasi ditetapkan berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung. Pasal 49 Untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Kasasi berlaku syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2). Pasal 50 (1) Hakim Kasasi memeriksa dan memutus perkara Anak dalam tingkat kasasi sebagai hakim tunggal. (2) Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan pemeriksaan perkara Anak dengan hakim majelis dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau sulit pembuktiannya. (3) Dalam menjalankan tugasnya, Hakim Kasasi dibantu oleh seorang panitera atau seorang panitera pengganti. Paragraf 4 Peninjauan Kembali Pasal 51 Terhadap putusan pengadilan me128 ngenai perkara Anak yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat dimohonkan peninjauan kembali oleh Anak, orang tua/Wali, dan/atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya kepada Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keenam Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Pasal 52 (1) Ketua pengadilan wajib menetapkan Hakim atau majelis hakim untuk menangani perkara Anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara dari Penuntut Umum. (2) Hakim wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai Hakim. (3) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari. (4) Proses Diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi pengadilan negeri. (5) Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Hakim menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan. (6) Dalam hal Diversi tidak berhasil dilaksanakan, perkara dilanjutkan ke tahap persidangan. Pasal 53 (1) Anak disidangkan dalam ruang sidang khusus Anak. (2) Ruang tunggu sidang Anak dipisahkan dari ruang tunggu sidang orang dewasa. (3) Waktu sidang Anak didahulukan Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dan waktu sidang orang dewasa. Pasal 54 Hakim memeriksa perkara Anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan. Pasal 55 (1) Dalam sidang Anak, Hakim wajib memerintahkan orang tua/Wali atau pendamping, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan untuk mendampingi Anak. (2) Dalam hal orang tua/Wali dan/ atau pendamping tidak hadir, sidang tetap dilanjutkan dengan didampingi Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya dan/atau Pembimbing Kemasyarakatan. (3) Dalam hal Hakim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sidang Anak batal demi hukum. Pasal 56 Setelah Hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, Anak dipanggil masuk beserta orang tua/Wali, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan. Pasal 57 (1) Setelah surat dakwaan dibacakan, Hakim memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan membacakan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai Anak yang bersangkutan tanpa kehadiran Anak, kecuali Hakim berpendapat lain. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi: a. data pribadi Anak, keluarga, b. c. d. e. f. pendidikan, dan kehidupan sosial; latar belakang dilakukannya tindak pidana; keadaan korban dalam hal ada korban dalam tindak pidana terhadap tubuh atau nyawa; hal lain yang dianggap perlu; berita acara Diversi; dan kesimpulan dan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan. Pasal 58 (1) Pada saat memeriksa Anak Korban dan/atau Anak Saksi, Hakim dapat memerintahkan agar Anak dibawa keluar ruang sidang. (2) Pada saat pemeriksaan Anak Korban dan/atau Anak Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua/Wali, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan tetap hadir. (3) Dalam hal Anak Korban dan/atau Anak Saksi tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan, Hakim dapat memerintahkan Anak Korban dan/ atau Anak Saksi didengar keterangannya: a. di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan di daerah hukum setempat dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya; atau b. melalui pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audio visual dengan didampingi oleh orang tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan 129 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum atau pendamping lainnya. Pasal 59 Sidang Anak dilanjutkan setelah Anak diberitahukan mengenai keterangan yang telah diberikan oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi pada saat Anak berada di luar ruang sidang pengadilan. (1) (2) (3) (4) Pasal 60 Sebelum menjatuhkan putusan, Hakim memberikan kesempatan kepada orang tua/Wali dan/ atau pendamping untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi Anak. Dalam hal tertentu Anak Korban diberi kesempatan oleh Hakim untuk menyampaikan pendapat tentang perkara yang bersangkutan. Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara. Dalam hal laporan penelitian kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipertimbangkan dalam putusan Hakim, putusan batal demi hukum. Pasal 61 (1) Pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat tidak dihadiri oleh Anak. (2) Identitas Anak, Anak Korban, dan/ atau Anak Saksi tetap harus dirahasiakan oleh media massa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dengan hanya menggunakan inisial tanpa gambar. Pasal 62 (1) Pengadilan wajib memberikan 130 petikan putusan pada hari putusan diucapkan kepada Anak atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Penuntut Umum. (2) Pengadilan wajib memberikan salinan putusan paling lama 5 (lima) hari sejak putusan diucapkan kepada Anak atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Penuntut Umum. BAB IV PETUGAS KEMASYARAKATAN Bagian Kesatu Umum Pasal 63 Petugas kemasyarakatan terdiri atas: a. Pembimbing Kemasyarakatan; b. Pekerja Sosial Profesional; dan c. Tenaga Kesejahteraan Sosial. Bagian Kedua Pembimbing Kemasyarakatan Pasal 64 (1) Penelitian Kemasyarakatan, Pendampingan, Pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. (2) Syarat untuk dapat diangkat sebagai Pembimbing Kemasyarakatan sebagai berikut: a. berijazah paling rendah diploma tiga (D-3) bidang ilmu sosial atau yang setara atau telah berpengalaman bekerja sebagai pembantu Pembimbing Kemasyarakatan bagi lulusan: 1) sekolah menengah kejuruan bidang pekerjaan Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum sosial berpengalaman paling singkat 1 (satu) tahun; atau 2) sekolah menengah umum dan berpengalaman di bidang pekerjaan sosial paling singkat 3 (tiga) tahun. b. sehat jasmani dan rohani; c. pangkat/golongan ruang paling rendah Pengatur Muda Tingkat I/II/b; d. mempunyai minat, perhatian, dan dedikasi di bidang pelayanan dan pembimbingan pemasyarakatan serta perlindungan anak; dan e. telah mengikuti pelatihan teknis Pembimbing Kemasyarakatan dan memiliki sertifikat. (3) Dalam hal belum terdapat Pembimbing Kemasyarakatan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tugas dan fungsi Pembimbing Kemasyarakatan dilaksanakan oleh petugas LPKA atau LPAS atau belum terbentuknya LPKA atau LPAS dilaksanakan oleh petugas rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Pasal 65 Pembimbing Kemasyarakatan bertugas: a. membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan Diversi, b. melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak selama proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan, termasuk melaporkannya kepada pengadilan apabila Diversi tidak dilaksanakan; c. membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepenting- an penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara Anak, baik di dalam maupun di luar sidang, termasuk di dalam LPAS dan LPKA; d. menentukan program perawatan Anak di LPAS dan pembinaan Anak di LPKA bersama dengan petugas pemasyarakatan lainnya; e. melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan; dan f. melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat. Bagian Ketiga Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Pasal 66 Syarat untuk dapat diangkat sebagai Pekerja Sosial Profesional sebagai berikut: a. berijazah paling rendah strata satu (S-1) atau diploma empat (D4) di bidang pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial; b. berpengalaman kerja paling singkat 2 (dua) tahun di bidang praktik pekerjaan sosial dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial; c. mempunyai keahlian atau keterampilan khusus dalam bidang pekerjaan sosial dan minat untuk membina, membimbing, dan membantu Anak demi kelangsungan hidup, perkembangan fisik, mental, sosial, dan perlindungan terhadap Anak; dan d. lulus uji kompetensi sertifikasi Pe131 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum kerja Sosial Profesional oleh organisasi profesi di bidang kesejahteraan sosial. Pasal 67 Syarat untuk dapat diangkat sebagai Tenaga Kesejahteraan Sosial sebagai berikut: a. berijazah paling rendah SLTA pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial atau sarjana non-pekerja sosial atau kesejahteraan sosial; b. mendapatkan pelatihan bidang pekerjaan sosial; c. berpengalaman kerja paling singkat 3 (tiga) tahun di bidang praktik pekerjaan sosial dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial; dan d. mempunyai keahlian atau keterampilan khusus dalam bidang pekerjaan sosial dan minat untuk membina, membimbing, dan membantu Anak demi kelangsungan hidup, perkembangan fisik, mental, sosial, dan perlindungan terhadap Anak. Pasal 68 (1) Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial bertugas: a. membimbing, membantu, melindungi, dan mendampingi Anak dengan melakukan konsultasi sosial dan mengembalikan kepercayaan diri Anak; b. memberikan pendampingan dan advokasi sosial; c. menjadi sahabat Anak dengan mendengarkan pendapat Anak dan menciptakan suasana kondusif; d. membantu proses pemulihan dan perubahan perilaku Anak; e. membuat dan menyampaikan laporan kepada Pembimbing 132 Kemasyarakatan mengenai hasil bimbingan, bantuan, dan pembinaan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau tindakan; f. memberikan pertimbangan kepada aparat penegak hukum untuk penanganan rehabilitasi sosial Anak; g. mendampingi penyerahan Anak kepada orang tua, lembaga pemerintah, atau lembaga masyarakat; dan h. melakukan pendekatan kepada masyarakat agar bersedia menerima kembali Anak di lingkungan sosialnya. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial mengadakan koordinasi dengan Pembimbing Kemasyarakatan. BAB V PIDANA DAN TINDAKAN Bagian Kesatu Umum Pasal 69 (1) Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini. (2) Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan. Pasal 70 Ringannya perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak men- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum jatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. (2) Bagian Kedua Pidana dana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun. Dalam putusan pengadilan mengenai pidana dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana dengan syarat. Syarat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan Anak. Masa pidana dengan syarat khusus lebih lama daripada masa pidana dengan syarat umum. Jangka waktu masa pidana dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun. Selama menjalani masa pidana dengan syarat, Penuntut Umum melakukan pengawasan dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pembimbingan agar Anak menempati persyaratan yang telah ditetapkan. Selama Anak menjalani pidana dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Anak harus mengikuti wajib belajar 9 (sembilan) tahun. Pasal 71 (1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas: a. pidana peringatan; b. pidana dengan syarat: 1) pembinaan di luar lembaga, 2) pelayanan masyarakat; atau 3) pengawasan. c. pelatihan kerja; d. pembinaan dalam lembaga; dan e. penjara. (2) Pidana tambahan terdiri atas: a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidna; atau b. pemenuhan kewajiban adat. (3) Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. (4) Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat Anak. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (3) Pasal 72 Pidana peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan anak. Pasal 74 Dalam hal Hakim memutuskan bahwa Anak dibina di luar lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf b angka 1, lembaga tempat pendidikan dan pembinaan ditentukan dalam putusannya. Pasal 73 (1) Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan oleh Hakim dalam hal pi- (4) (5) (6) (7) (8) 133 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 75 (1) Pidana pembinaan di luar lembaga dapat berupa keharusan: a. mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat pembina; b. mengikuti terapi di rumah sakit jiwa; atau c. mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. (2) Jika selama pembinaan anak melanggar syarat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (4), pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pembinaan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali masa pembinaan yang belum dilaksanakan. Pasal 76 (1) Pidana pelayanan masyarakat merupakan pidana yang dimaksudkan untuk mendidik Anak dengan meningkatkan kepeduliannya pada kegiatan kemasyarakatan yang positif. (2) Jika anak tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban dalam menjalankan pidana pelayanan masyarakat tanpa alasan yang sah, pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memerintahkan anak tersebut mengulangi seluruh atau sebagian pidana pelayanan masyarakat yang dikenakan terhadapnya. (3) Pidana pelayanan masyarakat untuk anak dijatuhkan paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama 120 (seratus dua puluh) jam. Pasal 77 (1) Pidana pengawasan yang dapat di134 jatuhkan kepada Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf b angka 3 paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. (2) Dalam hal Anak dijatuhi pidana pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak ditempatkan di bawah pengawasan Penuntut Umum dan dibimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Pasal 78 (1) Pidana pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf c dilaksanakan di lembaga yang melaksanakan pelatihan kerja yang sesuai dengan usia Anak. (2) Pidana pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun. Pasal 79 (1) Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan dalam hal anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan kekerasan. (2) Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa. (3) Minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak. (4) Ketentuan mengenai pidana penjara dalam KUHP berlaku juga terhadap Anak sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. Pasal 80 (1) Pidana pembinaan di dalam lem- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum baga dilakukan di tempat pelatihan kerja atau lembaga pembinaan yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah maupun swasta. (2) Pidana pembinaan di dalam lembaga dijatuhkan apabila keadaan dan perbuatan Anak tidak membahayakan masyarakat. (3) Pembinaan dalam lembaga dilaksanakan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. (4) Anak yang telah menjalani 1/2 (satu perdua) dari lamanya pembinaan di dalam lembaga dan tidak kurang dari 3 (tiga) bulan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. Pasal 81 (1) Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila keadaan dan perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat. (2) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. (3) Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. (4) Anak yang telah menjalani 1/2 (satu perdua) dari lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. (5) Pidana penjara terhadap anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir. (6) Jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidanayang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Bagian Ketiga Tindakan Pasal 82 (1) Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak meliputi: a. pengembalian kepada orang tua/Wali; b. penyerahan kepada seseorang; c. perawatan di rumah sakit jiwa; d. perawatan di LPKS; e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau g. perbaikan akibat tindak pidana. (2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan paling lama 1 (satu) tahun. (3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Penuntut Umum dalam tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 83 (1) Tindakan penyerahan Anak kepada seseorang dilakukan untuk kepentingan anak yang bersangkutan. (2) Tindakan perawatan terhadap Anak dimaksudkan untuk mem135 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum bantu orang tua/ Wali dalam mendidik dan memberikan pembimbingan kepada Anak yang bersangkutan. BAB VI PELAYANAN, PERAWATAN, PENDIDIKAN, PEMBINAAN ANAK, DAN PEMBIMBINGAN KLIEN ANAK (1) (2) (3) (4) (5) Pasal 84 Anak yang ditahan ditempatkan di LPAS. Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak memperoleh pelayanan, perawatan, pendidikan dan pelatihan, pembimbingan dan pendampingan, serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. LPAS wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pembimbing Kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan program pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Bapas wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal 85 (1) Anak yang dijatuhi pidana penjara ditempatkan di LPKA. (2) Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak memperoleh pembinaan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan, serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 136 (3) LPKA wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan, pembinaan, dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Pembimbing Kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan program pendidikan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Bapas wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal 86 (1) Anak yang belum selesai menjalani pidana di LPKA dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. (2) Dalam hal Anak telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetapi belum selesai menjalani pidana, Anak dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan dewasa dengan memperhatikan kesinambungan pembinaan Anak. (3) Dalam hal tidak terdapat lembaga pemasyarakatan pemuda, Kepala LPKA dapat memindahkan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ke lembaga pemasyarakatan dewasa berdasarkan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan. Pasal 87 (1) Anak yang berstatus Klien Anak menjadi tanggung jawab Bapas. (2) Klien Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak mendapatkan pembimbingan, pengawasan dan pendampingan, serta pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum peraturan perundang-undangan. (3) Bapas wajib menyelenggarakan pembimbingan, pengawasan dan pendampingan, serta pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Bapas wajib melakukan evaluasi pelaksanaan pembimbingan, pengawasan dan pendampingan, serta pemenuhan hak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 88 Pelaksanaan tugas dan fungsi Bapas, LPAS, dan LPKA dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden. (1) (2) BAB VII ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI Pasal 89 Anak Korban dan/atau Anak Saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 90 (1) Selain hak yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Anak Korban dan Anak Saksi berhak atas: a. upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga; b. jaminan keselamatan, balk fisik, mental, maupun sosial; dan c. kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan hak Anak Korban dan Anak Saksi sebagaimana dimaksud (3) (4) Pasal 91 Berdasarkan pertimbangan atau saran Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial atau Penyidik dapat merujuk Anak, Anak Korban, atau Anak Saksi ke instansi atau lembaga yang menangani perlindungan anak atau lembaga kesejahteraan sosial anak. Dalam hal Anak Korban memerlukan tindakan pertolongan segera, Penyidik, tanpa laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional, dapat langsung merujuk Anak Korban ke rumah sakit atau lembaga yang menangani perlindungan anak sesuai dengan kondisi Anak Korban. Berdasarkan hasil Penelitian Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan dan laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, Anak, Anak Korban, dan/ atau Anak Saksi berhak memperoleh rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, dan reintegrasi sosial dari lembaga atau instansi yang menangani perlindungan anak. Anak Korban dan/atau Anak Saksi yang memerlukan perlindungan dapat memperoleh perlindungan dari lembaga yang menangani perlindungan saksi dan korban atau rumah perlindungan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 137 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum BAB VIII PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (1) (2) (3) (4) Pasal 92 Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi penegak hukum dan pihak terkait secara terpadu. Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling singkat 120 (seratus dua puluh) jam. Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden. BAB IX PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 93 Masyarakat dapat berperan serta dalam perlindungan Anak mulai dan pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial Anak dengan cara: a. menyampaikan laporan terjadinya pelanggaran hak Anak kepada pihak yang berwenang; b. mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan Anak; c. melakukan penelitian dan pendidikan mengenai Anak; d. berpartisipasi dalam penyelesaian perkara Anak melalui Diversi dan pendekatan Keadilan Restoratif; e. berkontribusi dalam rehabilitasi dan reintegrasi sosial Anak, Anak Korban dan/atau Anak Saksi mela138 lui organisasi kemasyarakatan; f. melakukan pemantauan terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam penanganan perkara Anak; atau g. melakukan sosialisasi mengenai hak Anak serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Anak. BAB X KOORDINASI, PEMANTAUAN, DAN EVALUASI Pasal 94 (1) Kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang perlindungan anak melakukan koordinasi lintas sektoral dengan lembaga terkait. (2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka sinkronisasi perumusan kebijakan mengenai langkah pencegahan, penyelesaian administrasi perkara, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial. (3) Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak dilakukan oleh kementerian dan komisi yang menyelenggarakan urusan di bidang perlindungan anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan koordinasi, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB XI SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 95 Pejabat atau petugas yang melanggar Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 21 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 29 ayat (1), Pasal 39, Pasal 42 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 55 ayat (1), serta Pasal 62 dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 96 Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun penjara atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 97 Setiap orang yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 98 Penyidik yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. Pasal 99 Penuntut Umum yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. Pasal 100 Hakim yang dengan sengaja tidak me- laksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. Pasal 101 Pejabat pengadilan yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 102 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, perkara anak yang: a. masih dalam proses penyidikan dan penuntutan atau yang sudah dilimpahkan ke pengadilan negeri, tetapi belum disidang harus dilaksanakan berdasarkan hukum acara Undang-Undang ini; dan b. sedang dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan berdasarkan hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pengadilan Anak. Pasal 103 (1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, anak negara dan/atau anak sipil yang masih berada di lembaga pemasyarakatan anak diserahkan kepada: a. orang tua/ Wali; b. Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial/keagamaan; atau c. kementerian atau dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dite139 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum tapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Pasal 104 Setiap lembaga pemasyarakatan anak harus melakukan perubahan sistem menjadi LPKA sesuai dengan UndangUndang ini paling lama 3 (tiga) tahun. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 105 (1) Dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah diberlakukannya Undang-Undang ini: a. setiap kantor kepolisian wajib memiliki Penyidik; b. setiap kejaksaan wajib memiliki Penuntut Umum; c. setiap pengadilan wajib memiliki Hakim; d. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum wajib membangun Bapas di kabupaten/ kota; e. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum wajib membangun LPKA dan LPAS di provinsi; dan f. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial wajib membangun Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. (2) Ketentuan mengenai pembentukan kantor Bapas dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf f dikecualikan dalam hal letak provinsi dan kabupaten/kota berdekatan. (3) Dalam hal kementerian yang me140 nyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum tidak memiliki lahan untuk membangun kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e, pemerintah daerah setempat menyiapkan lahan yang dibutuhkan. Pasal 106 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 107 Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diberlakukan. Pasal 108 Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA AMIR SYAMSUDIN Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK I. UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah yang bertujuan melindungi Anak. Anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku Anak. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak, antara lain, disebabkan oleh faktor di luar diri Anak tersebut. Data Anak yang berhadapan dengan hukum dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunjukan bahwa tingkat kriminalitas serta pengaruh negatif penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif semakin meningkat. Prinsip perlindungan hukum terhadap Anak harus sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi Anak yang berhadapan dengan hukum agar Anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada Anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun, dalam pelaksanaannya Anak diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan Anak. Selain itu, Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan demikian, perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum, antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab 141 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum untuk meningkatkan kesejahteraan Anak serta memberikan perlindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum. Penyusunan Undang-Undang ini merupakan penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668) yang dilakukan dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa. Undang-Undang ini menggunakan nama Sistem Peradilan Pidana Anak tidak diartikan sebagai badan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Namun, Undang-Undang ini merupakan bagian dari lingkungan peradilan umum. Adapun substansi yang diatur dalam Undang-Undang ini, antara lain, mengenai penempatan Anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi 142 yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan pada terciptanya Keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Dan kasus yang muncul, ada kalanya. Anak berada dalam status saksi dan/ atau korban sehingga Anak Korban dan/atau Anak Saksi juga diatur dalam Undang-Undang ini. Khusus mengenai sanksi terhadap Anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur Anak, yaitu bagi Anak yang masih berumur kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya dikenai tindakan, sedangkan bagi Anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai dengan (delapan belas) tahun dapat dijatuhi tindakan dan pidana. Mengingat ciri dan sifat yang khas pada Anak dan demi perlindungan terhadap Anak, perkara Anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana Anak yang berada di lingkungan peradilan Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum umum. Proses peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah Anak. Namun, sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian. perkara Anak yang berhadapan dengan hukum mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. II. PASAL DEMI PASAL Cukup jelas. Pasal 1 Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan “perlindungan” meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung dari tindakan yang membahayakan Anak secara fisik dan/atau psikis. Huruf b Yang dimaksud dengan “keadilan” adalah bahwa setiap penyelesaian perkara Anak harus mencerminkan rasa keadilan bagi Anak. Huruf c Yang dimaksud dengan “non-diskriminasi” adalah tidak adanya perlakuan yang berbeda didasarkan pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum Anak, urutan kelahiran Anak, serta kondisi fisik dan/atau mental. Huruf d Yang dimaksud dengan “kepentingan terbaik bagi Anak” adalah segala pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak. Huruf e Yang dimaksud dengan “penghargan terhadap pendapat Anak” adalah penghormatan atas hak Anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan, terutama jika menyangkut hal yang memengaruhi kehidupan Anak. Huruf f Yang dimaksud dengan “kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak” adalah hak asasi yang paling mendasar bagi Anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua. Huruf g Yang dimaksud dengan “pembinaan” adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani Anak baik di dalam maupun di luar proses peradilan pidana. Yang dimaksud dengan “pembimbingan” adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan. Huruf h Yang dimaksud dengan “proporsional” adalah segala perlakuan terhadap Anak harus memperhatikan batas keperluan, umur, dan kondisi Anak. Huruf i Yang dimaksud dengan “perampasan kemerdekaan merupakan upaya ter143 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum akhir” adalah pada dasarnya Anak tidak dapat dirampas kemerdekaannya, kecuali terpaksa guna kepentingan penyelesaian perkara. Huruf j Yang dimaksud dengan “penghindaran pembalasan” adalah prinsip menjauhkan upaya pembalasan dalam proses peradilan pidana. Pasal 3 Huruf a Yang dimaksud dengan “kebutuhan sesuai dengan umurnya” meliputi melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya, mendapat kunjungan dari keluarga dan/atau pendamping, mendapat perawatan rohani dan jasmani, mendapat pendidikan dan pengajaran, mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, mendapat bahan bacaan, menyampaikan keluhan, serta mengikuti siaran media massa. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “rekreasional” adalah kegiatan latihan fisik bebas sehari-hari di udara terbuka dan Anak harus memiliki waktu tambahan untuk kegiatan hiburan harian, kesenian, atau mengembangkan keterampilan. Huruf e Yang dimaksud dengan “merendahkan derajat dan martabatnya” misalnya Anak disuruh membuka baju dan lari berkeliling, Anak digunduli rambutnya, Anak diborgol, Anak disuruh membersihkan WC, serta Anak perempuan disuruh memijat Penyidik lakilaki. Huruf f Cukup jelas. 144 Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Selama menjalani proses peradilan, Anak berhak menikmati kehidupan pribadi, antara lain Anak diperbolehkan membawa barang atau perlengkapan pribadinya, seperti mainan, dan jika anak ditahan atau ditempatkan di LPKA, Anak berhak memiliki atau membawa selimut atau bantal, pakaian sendiri, dan diberikan tempat tidur yang terpisah. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” antara lain Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang tentang Pemasyarakatan. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” antara lain Undang-Undang tentang Pemasyarakatan. Cukup jelas. Pasal 5 Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Cukup jelas. Pasal 6 Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Ketentuan “pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun” mengacu pada hukum pidana. Huruf b Pengulangan tindak pidana dalam ketentuan ini merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh Anak, baik tindak pidana sejenis maupun tidak sejenis, termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui Diversi. Pasal 8 Ayat (1) Orang tua dan Wali korban dilibatkan dalam proses Diversi dalam hal korban adalah anak. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “masyarakat” antara lain tokoh agama, guru, dan tokoh masyarakat. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Ketentuan ini merupakan indikator bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin tinggi prioritas Diversi. Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme, yang diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun. Huruf b Umur anak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menentukan prio- ritas pemberian Diversi dan semakin muda umur anak semakin tinggi prioritas Diversi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan mengenai “Persetujuan, keluarga Anak Korban” dimaksudkan dalam hal korban adalah Anak di bawah umur. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “tindak pidana ringan” adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 10 Pasal 11 Pasal 12 Ayat (1) Kesepakatan Diversi dalam ketentuan ini ditandatangani oleh para pihak yang terlibat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 145 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Cukup jelas. Pasal 13 Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud “atasan langsung” antara lain kepala kepolisian, kepala kejaksaan, dan ketua pengadilan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Laporan tersebut sekaligus berisi rekomendasi. Ayat (4) Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 15 Pasal 16 Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “situasi darurat” antara lain situasi pengungsian, kerusuhan, bencana alam, dan konflik bersenjata. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Yang dimaksud dengan “pemberi bantuan hukum lainnya” adalah paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Bantuan Hukum. Suasana kekeluargaan misalnya suasana yang membuat Anak nyaman, ramah Anak, serta tidak menimbulkan ketakutan dan tekanan. Cukup jelas. 146 Pasal 19 Pasal 20 Sesuai dengan asas praduga tidak bersalah, seorang Anak yang sedang dalam proses peradilan tetap dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Anak yang sudah kawin dan belum berumur 18 (delapan belas) tahun tetap diberikan hak dan kewajiban keperdataan sebagai orang dewasa. Pasal 21 Ayat (1) Batas umur 12 (dua belas) tahun bagi Anak untuk dapat diajukan ke sidang anak didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis bahwa anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik terhadap Anak dilakukan bukan dalam rangka proses peradilan pidana, melainkan digunakan sebagai dasar mengambil keputusan oleh Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional. Dalam ketentuan ini, pertimbangan dari Pembimbing Kernasyarakatan berupa laporan penelitian kemasyarakatan yang merupakan persyaratan wajib sebelum Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Keikutsertaan program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dalam ketentuan ini termasuk rehabilitasi sosial dan rehabilitasi psikososial. Dalam ketentuan ini, Anak yang masih sekolah tetap dapat mengikuti pendidikan formal, baik yang diselenggarakan Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum oleh instansi pemerintah maupun swasta. Dalam pelaksanaan program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dapat melibatkan dinas pendidikan, dinas sosial, Pembimbing Kemasyarakatan atau lembaga pendidikan, dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 22 Pasal 23 Pasal 24 Ketentuan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Undang-Undang ini memberikan perlakuan khusus terhadap Anak, dalam arti harus ada pemisahan perlakuan terhadap Anak dan perlakuan terhadap orang dewasa atau terhadap Anggota Tentara Nasional Indonesia dalam perkara koneksitas. Cukup jelas. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Pasal 25 Pasal 26 Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak” adalah memahami: 1) pembinaan Anak yang meliputi pola asuh keluarga, pola pembinaan sopan santun, disiplin Anak, serta melaksanakan pendekatan secara efektif, afektif, dan simpatik; 2) pertumbuhan dan perkembangan Anak; dan 3) berbagai tata nilai yang hidup di masyarakat 4) yang memengaruhi kehidupan Anak. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Ketentuan ini dimaksudkan agar penyidikan tetap dapat dilaksanakan walaupun di daerah yang bersangkutan belum ada penunjukan Penyidik. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 27 Pasal 28 Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Ketentuan ini dimaksudkan agar pemeriksa pada tahap selanjutnya mengetahui ada tidaknya upaya Diversi dan sebab gagalnya Diversi. 147 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 30 Ayat (1) Penghitungan 24 (dua puluh empat) jam masa penangkapan oleh Penyidik dihitung berdasarkan waktu kerja. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Koordinasi dilakukan dengan memberi petunjuk dan visi agar kelengkapan berkas dapat segera terpenuhi secara formal dan material. Pasal 32 Ayat (1) Pada dasarnya penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan, tetapi penahanan terhadap Anak harus pula memperhatikan kepentingan Anak yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan Anak, baik fisik, mental, maupun sosial, Anak dan kepentingan masyarakat. Yang dimaksud dengan “lembaga” dalam ketentuan ini adalah lembaga, baik pemerintah maupun swasta, di bidang kesejahteraan sosial Anak, antara lain panti asuhan, dan panti rehabilitasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Kebutuhan rohani Anak termasuk kebutuhan intelektual Anak. Ayat (5) 148 Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup Jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 33 Pasal 34 Pasal 35 Pasal 36 Pasal 37 Pasal 38 Pasal 39 Pasal 40 Ayat (1) Ketentuan bantuan hukum mengacu Undang-Undang tentang Bantuan Hukum. Pemberitahuan mengenai hak memperoleh bantuan hukum dilakukan secara tertulis, kecuali apabila Anak dan orang tua/Wali tidak dapat membaca, pemberitahuan dilakukan secara lisan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penuntut umum yang ditunjuk sekurang-kurangnya memahami masalah Anak. Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Cukup jelas. Pasal 42 Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Hakim yang ditunjuk sekurang-kurangnya memahami masalah Anak. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 44 Pasal 45 Pasal 46 Pasal 47 Pasal 48 Pasal 49 Pasal 50 Pasal 51 Pasal 52 Pasal 53 Pasal 54 Pemeriksaan perkara Anak harus dilakukan secara tertutup di ruang sidang khusus Anak. Walaupun de- mikian, dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Hakim dapat menetapkan pemeriksaan perkara dilakukan secara terbuka, tanpa mengurangi hak Anak. Hal tertentu dan dipandang perlu tersebut antara lain karena sifat dan keadaan perkara harus dilakukan secara terbuka. Suatu sifat perkara akan diperiksa secara terbuka, misalnya perkara pelanggaran lalu lintas, dan dilihat dari keadaan perkara, misalnya pemeriksaan perkara di tempat kejadian perkara. Pasal 55 Ayat (1) Meskipun pada prinsipnya tindak pidana merupakan tanggung jawab Anak sendiri, tetapi karena dalam hal ini terdakwanya adalah Anak, Anak tidak dapat dipisahkan dengan kehadiran orang tua/Wali. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 56 Pasal 57 Ayat (1) Ketentuan “tanpa kehadiran Anak” dimaksudkan untuk menghindari adanya hal yang memengaruhi jiwa Anak Korban dan/atau Anak Saksi. Ayat (2) Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 58 Pasal 59 149 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 60 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Batal demi hukum dalam ketentuan ini adalah tanpa dimintakan untuk dibatalkan dan putusan tidak mempunyai hukum mengikat. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Ayat (1) Cukup jelas. 150 Pasal 62 Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kewajiban adat” adalah denda atau tindakan yang hams dipenuhi berdasarkan norma adat setempat yang tetap menghormati harkat dan martabat Anak serta tidak membahayakan kesehatan fisik dan mental Anak. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 61 Pasal 64 Pasal 65 Pasal 66 Pasal 67 Pasal 68 Pasal 69 Pasal 70 Pasal 71 Pasal 72 Pasal 73 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Jangka waktu dalam ketentuan ini merupakan masa percobaan. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Cukup jelas. Ayat (1) Huruf a Pasal 74 Pasal 75 Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Yang dimaksud dengan “pejabat pembina” adalah petugas yang mempunyai kompetensi di bidang yang dibutuhkan oleh Anak sesuai dengan asesmen Pembimbing Kemasyarakatan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 76 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pelayanan masyarakat” adalah kegiatan membantu pekerjaan di lembaga pemerintah atau lembaga kesejahteraan sosial. Bentuk pelayanan masyarakat misalnya membantu lansia, orang cacat, atau anak yatim piatu di panti dan membantu administrasi ringan di kantor kelurahan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 77 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pidana pengawasan” adalah pidana yang khusus dikenakan untuk Anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh Penuntut Umum terhadap perilaku Anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah Anak dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 78 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “lembaga yang melaksanakan pelatihan kerja” antara lain balai latihan kerja, lembaga pendidikan vokasi yang dilaksanakan, misalnya, oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, pendidikan, atau sosial. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 79 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa” adalah maksimum ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau undang-undang lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 80 Pasal 81 Pasal 82 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “penyerahan kepada seseorang” adalah penyerahan kepada orang dewasa yang dinilai cakap, berkelakuan baik, dan bertanggung jawab, oleh Hakim serta dipercaya oleh Anak. Huruf c Tindakan ini diberikan kepada Anak yang pada waktu melakukan tindak 151 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum pidana menderita gangguan jiwa atau penyakit jiwa. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan “perbaikan akibat tindak pidana” misalnya memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh tindak pidananya dan memulihkan keadaan sesuai dengan sebelum terjadinya tindak pidana. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 83 Pasal 84 Pasal 85 Ayat (1) Apabila di dalam suatu daerah belum terdapat LPKA, Anak dapat ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan yang penempatannya terpisah dari orang dewasa. Ayat (2) Hak yang diperoleh Anak selama ditempatkan di LPKA diberikan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang Pemasyarakatan. Dalam pemberian hak tersebut, tetap perlu diperhatikan pembinaan bagi Anak yang bersangkutan, antara lain mengenai pertumbuhan dan perkembangan Anak, baik fisik, mental, maupun sosial. 152 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 86 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penempatan Anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun sampai dengan umur 21 (dua puluh satu) tahun. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 87 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang undangan” antara lain Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan UndangUndang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 88 Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” antara lain Undang-Undang tentang Pemasyarakatan. Cukup jelas. Pasal 89 Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Cukup jelas. Pasal 90 Pasal 91 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “memerlukan tindakan pertolongan segera” adalah kondisi anak yang mengalami penderitaan, baik fisik maupun psikis, sehingga harus segera diatasi. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “rehabilitasi medis” adalah proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk memulihkan kondisi fisik Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi. Yang dimaksud dengan “rehabilitasi sosial” adalah proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar Anak, Anak Korban, dan/ atau Anak Saksi dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan di masyarakat. Yang dimaksud dengan “reintegrasi sosial” adalah proses penyiapan Anak, Anak Korban, dan/ atau Anak Saksi untuk dapat kembali ke dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Ayat (4) Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 92 Pasal 93 Pasal 94 Pasal 95 Pasal 96 Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 97 Pasal 98 Pasal 99 Pasal 100 Pasal 101 Pasal 102 Pasal 103 Pasal 104 Pasal 105 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “menyiapkan” adalah memberikan dan menyerahkan hak kepemilikan lahan kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang hukum. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 106 Pasal 107 Pasal 108 153 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang; b. bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus; c. bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, pengkhususan pengadilan anak berada di lingkungan Peradilan Umum dan dibentuk dengan Undang-undang; 154 d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, dan c, perlu membentuk Undang-undang tentang pengadilan Anak. Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951); 3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327); Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN ANAK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umum 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. belas) tahun dan belum pernah kawin. Anak Nakal adalah: a. anak yang melakukan tindak pidana; atau b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Anak Didik Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, Tim Pengamat Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan adalah Anak Didik Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, Tim Pengamat Pemasyarakatan dan Klien Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara atau di tempat tertentu. Penyidik adalah penyidik anak. Penuntut Umum adalah penuntut umum anak. Hakim adalah Hakim anak. Hakim Banding adalah hakim banding anak. Hakim Kasasi adalah hakim kasasi anak. Orang tua asuh adalah orang yang secara nyata mengasuh anak, selaku orang tua terhadap anak. Pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan yang melakukan Bimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Organisasi Sosial Kemasyarakatan adalah organisasi masyarakat yang mempunyai perhatian khusus kepada masalah Anak Nakal. 13. Penasihat Hukum adalah penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal 2 Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Pasal 3 Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak, bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam Undangundang ini. Pasal 4 (1) Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. (2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak. Pasal 5 (1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik. (2)�������������������������������� Apabila menurut hasil pemeriksa155 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum an, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, atau oang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya. (3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan. Pasal 6 Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas. Pasal 7 (1) Anak yang melakukan pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan ke Sidang Anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa. (2) Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Sidang Anak, sedangkan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer. Pasal 8 (1) Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup. (2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu pemeriksaan, perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dalam sidang terbuka. 156 (3) Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat dihadiri oleh anak yang bersangkutan beserta orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan. (4) Selain mereka yang disebut dalam ayat (3), orang-orang tertentu atas izin hakim atau majelis hakim dapat menghadiri persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) (5) Pemberitaan mengenai perkara anak mulai sejak penyidikan sampai saat sebelum pengucapan putusan pengadilan menggunakan singkatan dari nama anak, orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. (6) Putusan pengadilan dalam memeriksa perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum BAB II HAKIM DAN WEWENANG SIDANG ANAK Bagian Pertama Hakim Pasal 9 Hakim ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi. Pasal 10 Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 adalah: a. telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum; b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 11 (1) Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal. (2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis. (3) Hakim dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang Panitera atau seorang Panitera Pengganti. Bagian Kedua Hakim Banding Pasal 12 Hakim Banding ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Pasal 13 Syarat-syarat yag berlaku untuk Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, berlaku pula untuk Hakim Banding. Pasal 14 (1) Hakim Banding memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat banding sebagai hakim tunggal. (2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Pengadilan Tinggi dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis. (3) Hakim Banding dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang Panitera atau seorang Panitera Pengganti. Pasal 15 Ketua Pengadilan Tinggi memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap jalannya peradilan di dalam daerah hukumnya agar Sidang Anak diseleng- garakan sesuai dengan Undang-undang ini. Bagian Ketiga Hakim Kasasi Pasal 16 Hakim Kasasi ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung. Pasal 17 Syarat-syarat yang berlaku untuk Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, berlaku pula untuk Hakim Kasasi. Pasal 18 (1) Hakim Kasasi memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat kasasi sebagai hakim tunggal. (2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Mahakamah Agung dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis. (3) Hakim kasasi dalam menjalankan tugasnya, dibantu oleh seorang Panitera atau seorang Panitera Pengganti. Pasal 19 Pengawas tertinggi atas Sidang Anak dilakukan oleh Mahkamah Agung. Bagian Keempat Peninjauan Kembali Pasal 20 Terhadap putusan pengadilan mengenai perkara Anak Nakal yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimohonkan peninjauan kembali oleh anak dan/atau orang tua, wali, orang tua asuh, atau Penasihat hukumnya kepada Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan Undang-undang 157 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum yang berlaku. Bagian Kelima Wewenang Sidang Anak Pasal 21 Sidang Anak berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dalam hal perkara Anak Nakal. BAB III PIDANA DAN TINDAKAN Pasal 22 Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-undang ini. Pasal 23 (1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan. (2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: a. pidana penjara; b. pidana kurungan; c. pidana denda; atau d. pidana pengawasan. (3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan/atau pembayaran ganti rugi. (4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 24 (1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: a. mengembalikan kepada orang tua, wali, orangtua asuh; b. Menyerahkan kepada negara 158 untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. (2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim. Pasal 25 (1) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, Hakim menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24. (2) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf b, Hakim menjatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Pasal 26 (1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. (2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun. (3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum mati atau pidana penjara seumur hidup maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b. (4) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Pasal 27 Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. Pasal 28 (1) Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa. (2) Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja. (3) Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari. Pasal 29 (1) Pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh Hakim, apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun. (2) Dalam putusan pengadilan mengenai pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan syarat umum dan syarat khusus. (3) Syarat umum ialah bahwa Anak Nakal tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana bersyarat. (4) Syarat khusus ialah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak. (5) Masa pidana bersyarat bagi syarat khusus lebih pendek daripada masa pidana bersyarat bagi syarat umum. (6) Jangka waktu masa pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun. (7) Selama menjalankan masa pidana bersyarat, Jaksa melakukan pengawasan dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan bimbingan agar Anak Nakal menepati persyaratan yang telah ditentukan. (8) Anak Nakal yang menjalani pidana bersyarat dibimbing oleh Balai Pemasyarakatan dan berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan. (9) Selama Anak Nakal berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan dapat mengikuti pendidikan sekolah. Pasal 30 (1) Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. (2) Apabila terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, dijatuhkan pida159 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum na pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka anak tersebut ditempatkan di bawah pengawasan Jaksa dan bimbingan Pembimbing kemasyarakatan. (3) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana pengawasan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 31 (1) Anak Nakal yang oleh Hakim diputus untuk diserahkan kepada negara, ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai Anak Negara. (2) Demi kepentingan anak, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak dapat mengajukan izin kepada Menteri Kehakiman agar Anak Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditempatkan di lembaga pendidikan anak yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Swasta. Pasal 32 Apabila Hakim memutuskan bahwa Anak Nakal wajib mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf c, Hakim dalam keputusannya sekaligus menentukan lembaga tempat pendidikan, pembinaan dan latihan kerja tersebut dilaksanakan. BAB IV PETUGAS KEMASYARAKATAN Pasal 33 Petugas kemasyarakatan terdiri dari: a. Pembimbing Kemasyarakatan dari Departemen Kehakiman; b. Pekerja Sosial dari Departemen Sosial; dan c. Pekerja Sosial Sukarela dari Organisasi Sosial Kemasyarakatan. 160 Pasal 34 (1) Pembimbing Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a bertugas: a. membantu memperlancar tugas Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam perkara Anak Nakal, baik di dalam maupun di luar Sidang Anak dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan; b. membimbing, membantu, dan mengawasi Anak Nakal yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana denda, diserahkan kepada negara dan harus mengikuti latihan kerja, atau anak yang memperoleh pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan. (2) Pekerja Sosial sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 huruf b, bertugas membimbing, membantu, dan mengawasi Anak Nakal yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada Departemen Sosial untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. (3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pekerja Sosial mengadakan koordinasi dengan Pembimbing Kemasyarakatan. Pasal 35 Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) dapat dibantu oleh Pekerja Sosial Sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf c. Pasal 36 Ketentuan mengenai tugas, kewajiban, Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dan syarat-syarat bagi Pembimbing Kemasyarakatan diatur lebih dengan Keputusan Menteri kehakiman. Pasal 37 Ketentuan mengenai tugas, kewajiban, dan syarat-syarat bagi Pekerja Sosial diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Sosial. Pasal 38 Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial harus mempunyai keahlian khusus sesuai dengan tugas dan kewajibannya atau mempunyai keterampilan teknis dan jiwa pengabdian di bidang usaha kesejahteraan sosial. Pasal 39 (1) Pekerja Sosial Sukarela harus mempunyai keahlian atau keterampilan khusus dan minat untuk membina, membimbing, dan membantu anak demi kelangsungan hidup, perkembangan fisik, mental, sosial, dan perlindungan terhadap anak. (2) Pekerja Sosial Sukarela memberikan laporan kepada Pembimbing Kemasyarakatan mengenai hasil bimbingan, bantuan, dan pembinaan terhadap anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau tindakan. BAB V ACARA PENGADILAN ANAK Bagian Pertama Umum Pasal 40 Hukum Acara yang berlaku diterapkan pula dalam pengadilan anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Bagian Kedua Perkara Anak Nakal Paragraf 1 Penyidikan Pasal 41 (1) Penyidikan terhadap Anak Nakal dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia. (2) Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah: a. telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. (3) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, tugas penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibebankan kepada: a. penyidik yang melakukan tugas penyidikan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; atau b. penyidik lain yang ditetapkan berdasarkan ketentuan Undang-undang yang berlaku. Pasal 42 (1) Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan. (2) Dalam melakukan penyidikan terhadap Anak Nakal, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas 161 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum kemasyarakatan lainnya. (3) Proses penyidikan terhadap perkara Anak Nakal wajib dirahasiakan. Paragraf 2 Penangkapan dan Penahanan Pasal 43 (1) Penangkapan Anak Nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. (2) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 (satu) hari. Pasal 44 (1) Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, berwenang melakukan penahanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. (2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku untuk paling lama 20 (dua puluh) hari. (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum yang berwenang, untuk paling lama 10 (sepuluh) hari. (4) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sudah harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada Penuntut Umum. (5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilampaui dan berkas perkara belum diserah162 kan, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. (6) Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara, atau di tempat tertentu. Pasal 45 (1) Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan/atau kepentingan masyarakat. (2) Alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. (3) Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa. (4) Selama anak ditahan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi. Pasal 46 (1) Untuk kepentingan penuntutan, Penuntut Umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan. (2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 10 (sepuluh) hari. (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan Penuntut Umum dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk paling lama 15 (lima belas) hari. (4) Dalam jangka waktu 25 (dua puluh lima) hari, Penuntut Umum harus melimpahkan berkas perkara anak kepada pengadilan negeri. (5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilampaui Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dan berkas perkara belum dilimpahkan ke pengadilan negeri, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Pasal 47 (1) Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim di sidang pengadilan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak yang sedang diperiksa. (2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 15 (lima belas) hari. (3) jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari. (4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan Hakim Banding belum membeberkan putusannya, maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Pasal 48 (1) Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim Banding di sidang pengadilan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak yang sedang diperiksa. (2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 15 (lima belas) hari. (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari. (4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan Hakim belum memberikan putusannya, maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Pasal 49 (1) Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim Kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak yang sedang diperiksa. (2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 25 (dua puluh lima) hari. (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari. (4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan Hakim Kasasi belum memberikan putusannya maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Pasal 50 (1) Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, dan pasal 49 guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. (2) Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 15 163 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum (3) (4) (5) (6) (lima belas) hari, dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama 15 (lima belas) hari. Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan oleh: a. Ketua Pengadilan Negeri dalam tingkat penyidikan dan penuntutan; b. Ketua Pengadilan Tinggi dalam tingkat pemeriksaan di pengadilan negeri; c. Ketua Mahkamah Agung dalam tingkat pemeriksaan banding dan kasasi. Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggung jawab. Setelah waktu 30 (tiga puluh) hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Terhadap perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan kepada: a. Ketua Pengadilan Tinggi dalam tingkat penyidikan dan penuntutan; b. Ketua Mahkamah Agung dalam tingkat pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding. Pasal 51 (1) Setiap Anak Nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat Hukum selama dalam waktu dan 164 pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-undang ini. (2) Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada tersangka dan orang tua, wali, atau orang tua asuh, mengenai hak memperoleh bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Setiap Anak Nakal yang ditangkap atau ditahan berhak berhubungan langsung dengan Penasihat Hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang. Pasal 52 Dalam memberikan bantuan hukum kepada anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), Penasihat Hukum berkewajiban memperhatikan kepentingan anak dan kepentingan umum serta berusaha agar suasana kekeluargaan tetap terpelihara dan peradilan berjalan lancar. Paragraf 3 Penuntutan Pasal 53 (1) Penuntutan terhadap Anak Nakal dilakukan oleh Penuntut Umum, yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. (2) Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah: a. telah berpengalaman sebagai Penuntut Umum tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami ma- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum salah anak. (3) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, tugas penuntutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibebankan kepada Penuntut Umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Pasal 54 Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka ia wajib dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Paragraf 4 Pemeriksaan di Sidang pengadilan Pasal 55 Dalam perkara Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2, Penuntut Umum, Penasihat Hukum, Pembimbing Kemasyarakatan, orang tua, wali, atau orang tua asuh dan saksi, wajib hadir dalam Sidang Anak. Pasal 56 (1) Sebelum sidang dibuka, Hakim memerintahkan agar Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan. (2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berisi: a. data individu anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial anak; dan b. kesimpulan atau pendapat dari Pembimbing Kemasyarakatan. Pasal 57 (1) Setelah Hakim membuka persi- dangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, terdakwa dipanggil masuk beserta orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum dan Pembimbing Kemasyarakatan. (2) Selama dalam persidangan, terdakwa didampingi orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum dan Pembimbing Kemasyarakatan. Pasal 58 (1) Pada waktu memeriksa saksi, Hakim dapat memerintahkan agar terdakwa dibawa ke luar ruang sidang. (2) Pada waktu pemeriksaan saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), orang tua, wali, orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan tetap hadir. Pasal 59 1. Sebelum mengucapkan putusannya, Hakim memberikan kesempatan kerja kepada orang tua, wali, orang tua asuh untuk mengemukakan segala hal ikhwal yang bermanfaat bagi anak. 2. Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan (3) Putusan Pengadilan wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. BAB VI LEMBAGA KEMASYARAKATAN ANAK Pasal 60 1. Anak Didik Pemasyarakatan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang harus terpisah dari orang dewasa. 2. Anak yang ditempatkan di lembaga 165 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berhak memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya serta hak lain berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 61 1. Anak Pidana yang belum selesai menjalani pidananya di Lembaga Pemasyarakatan Anak dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan. 2. Anak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan secara terpisah dari yang telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih. 1. 2. 3. 4. 5. Pasal 62 Anak Pidana yang telah menjalani pidana penjara 2/3 (dua per tiga) dari pidana yang dijatuhkan yang sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan dan berkelakuan baik, dapat diberikan pembebasan bersyarat. Anak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di bawah pengawasan Jaksa dan Pembimbing Kemasyarakatan yang dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan. Pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan masa percobaan yang lamanya sama dengan sisa pidana yang harus dijalankannya. Dalam pembebasan beryarat ditentukan syarat umum dan syarat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4). Pengamatan terhadap pelaksanaan bimbingan sebagaimana dimaksud 166 dalam ayat (2) dilakukan oleh Tim Pengamat Pemasyarakat. Pasal 63 Apabila Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak berpendapat bahwa Anak Negara setelah menjalani masa pendidikannya dalam lembaga paling sedikit 1 (satu) tahun dan berkelakuan baik sehingga tidak memerlukan pembinaan lagi, Kepala Lembaga Pemasyarakatan dapat mengajukan permohonan izin kepada Menteri Kehakiman agar anak tersebut dapat dikeluarkan dari lembaga dengan atau tanpa syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4). BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 65 Perkara Anak Nakal yang pada saat berlakunya Undang-undang ini: a. sudah diperiksa tetapi belum diputus, penyelesaian selanjutnya dilaksanakan berdasarkan hukum acara yang berlaku sebelum berlakunya Undang-undang ini; b. sudah dilimpahkan ke pengadilan negeri tetapi belum diperiksa, penyelesaian selanjutnya dilaksanakan berdasarkan hukum acara Pengadilan Anak yang diatur dalam Undang-undang ini. Pasal 66 Putusan hakim mengenai perkara Anak Nakal yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap, atau yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tetapi belum dilaksanakan pada saat Undangundang ini mulai berlaku, penyelesaian selanjutnya dilaksanakan berdasarkan Undang-undang ini. Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 67 Pada saat mulai berlakunya Undangundang ini, maka Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 68 Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 3 Januari 1997 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Ttd. SOEHARTO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 3 Januari 1997 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. MOERDIONO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 3 _________________________________ PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UMUM Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa depan. Dalam berbagai hal upaya pembinaan dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai penyimpangan perilaku di kalangan anak, bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum tanpa mengenal status sosial dan ekonomi. Di samping itu, terdapat pula anak, yang karena satu dan lain hal tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental, maupun sosial. Karena keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka baik sengaja maupun tidak sengaja sering juga anak melakukan tindakan atau perilaku yang dapat merugikan dirinya dan/atau masyarakat. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan 167 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu, anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan, dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya. Dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku Anak Nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas. Walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasar pikiran, perasaan, dan kehendaknya, tetapi keadaan sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu, dalam menghadapi masalah Anak Nakal, orang tua dan masyarakat sekelilingnya seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku anak tersebut. Hubungan antara orang tua dengan anaknya merupakan suatu hubungan yang hakiki, baik hubungan psikologis, maupun mental spritualnya. Mengingat ciri dan sifat anak yang khas tersebut, maka dalam menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap Anak Nakal diusahakan agar anak dimaksud jangan dipisahkan dari orang tuanya. Apabila karena hubungan antara orang tua dan anak kurang baik, atau karena 168 sifat perbuatannya sangat merugikan masyarakat, sehingga perlu memisahkan anak dari orang tuanya, hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa pemisahan tersebut semata-mata demi pertumbuhan dan perkembangan anak secara sehat dan wajar. Di samping pertimbangan tersebut di atas, demi pertumbuhan dan perkembangan mental anak, perlu ditentukan pembedaan perlakuan di dalam hukum acara dan ancaman pidananya. Dalam hubungan ini pengaturan pengecualian dari ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang lama pelaksanaan penahannya ditentukan sesuai dengan kepentingan anak dan pembedaan ancaman pidana bagi anak yang ditentukan oleh Kitab Undangundang Hukum Pidana yang penjatuhan pidananya ditentukan 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana yang dilakukan oleh orang dewasa, sedangkan penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak. Pembedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam Undang-undang ini dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak tersebut agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang. Selain itu pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Khusus mengenai sanksi terhadap anak dalam Undang-undang ini ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak, Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum yaitu bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) tahun sampai 12 (dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan, seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan kepada Negara, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur di atas 12 (dua belas) tahun dijatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak. Mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan terhadap anak, maka perkara Anak Nakal, wajib disidangkan pada Pengadilan Anak yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Dengan demikian proses peradilan perkara Anak Nakal dari sejak ditangkap, ditahan, diadili dan pembinaan selanjutnya, wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang benar-benar memahami masalah anak. Dalam penyelesaian perkara Anak Nakal, Hakim wajib mempertimbangkan laporan hasil penelitian ke masyarakat yang dihimpun oleh Pembimbing Kemasyarakatan mengenai data pribadi maupun keluarga dari anak yang bersangkutan. Dengan adanya hasil laporan tersebut, diharapkan Hakim dapat memperoleh gambaran yang tepat untuk memberikan putusan yang seadiladilnya bagi anak yang bersangkutan. Putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan selanjutnya dari anak yang bersangkutan, oleh sebab itu Hakim harus yakin benar, bahwa putusan yang diambil akan dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk mengembalikan dan mengantar anak menuju masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya sebagai warga yang ber- tanggung jawab bagi kehidupan keluarga, bangsa dan negara. Untuk lebih memantapkan upaya pembinaan dan pemberian bimbingan bagi Anak Nakal yang telah diputus oleh Hakim, maka anak tersebut ditampung di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Berbagai pertimbangan tersebut di atas serta dalam rangka mewujudkan peradilan yang memperhatikan perlindungan dan kepentingan anak, maka perlu diatur ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan yang khusus bagi anak dalam lingkungan Peradilan Umum. Dengan demikian Pengadilan Anak diharapkan memberikan arah yang tepat dalam pembinaan dan perlindungan terhadap anak. PASAL DEMI PASAL Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Pasal 1 Pasal 2 Pasal 3 Pasal 4 Ayat (1) Sesuai dengan asas praduga tak bersalah, maka seorang Anak Nakal yang sedang dalam proses peradilan tetap dianggap sebagai tidak bermasalah sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Batas umur 8 (delapan) tahun bagi Anak Nakal untuk dapat diajukan ke Sidang Anak didasarkan pada pertimbangan sosialogis, psikologis dan pedagogis, 169 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum bahwa anak yang belum mencapai 8 (delapan) tahun dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik terhadap anak yang melakukan tindak pidana sebelum mencapai umur 8 (delapan) tahun tetap diterapkan asas praduga tak bersalah. Penyidikan terhadap anak dilakukan untuk apakah anak melakukan tindak pidana seorang diri atau ada unsur pengikutsertaan (delneming) dengan anak yang berumur di atas 8 (delapan) tahun atau dengan orang dewasa. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 6 Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk menciptakan suasana kekeluargaan pada Sidang Anak. Pasal 7 Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk menunjukan bahwa Undang-undang ini memberikan perlakuan khusus terhadap anak, dalam arti harus ada pemisahan perlakuan terhadap anak dan perlakuan terhadap orang dewasa, atau terhadap Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam perkara koneksitas. Yang dimaksud dengan “Mahkamah Militer” adalah pengadilan di lingkungan Peradilan Militer. Pasal 8 Ayat (1) Pemeriksaan perkara anak dilakukan 170 dalam sidang tertutup untuk melindungi kepentingan anak. Ayat (2) Pada prinsipnya pemeriksaan perkara anak harus dilakukan secara tertutup. Walaupun demikian dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Hakim dapat menetapkan pemeriksaan perkara dilakukan secara terbuka, tanpa mengurangi hak anak. Hal tertentu dan dipandang perlu tersebut antara lain karena sifat dan keadaan perkara harus dilakukan secara terbuka. Suatu sifat perkara akan diperiksa secara terbuka misalnya perkara pelanggaran lalu lintas, sedangkan dilihat dari keadaan perkara misalnya pemeriksaan perkara di tempat kejadian perkara. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan “orang-orang tertentu” antara lain psikolog, tenaga pendidik, ahli agama, tenaga peneliti, dan mahasiswa yang mengadakan riset. Ayat (5) Tanpa mengurangi hak yang dijamin dalam peraturan perundang-undangan atau kode etik penyiaran berita, pemberian mengenai hal yang terkait dengan perkara anak perlu dibatasi. Oleh karena itu, sejak penyidikan sampai sebelum putusan pengadilan dijatuhkan, nama pihak-pihak yang terkait dengan perkara anak digunakan singkatan. Ayat (6) Meskipun pemeriksaan perkara Anak Nakal dilakukan dalam sidang tertutup, namun putusan Hakim sesuai dengan ketentuan yang berlaku wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Cukup jelas Pasal 9 Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 10 Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan “mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak” adalah memahami: 1) pembinaan anak yang meliputi pola asuh keluarga, pola pembinaan sopan santun, disiplin anak, serta melaksanakan pendekatan secara efektif, afektif dan simpatik; 2) pertumbuhan dan perkembangan anak; dan 3) berbagai tata nilai yang hidup di masyarakat yang mempengaruhi kehidupan anak. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan “hal tertentu” adalah apabila ancaman pidana atas tindak pidana yang dilakukan anak yang bersangkutan lebih dari 5 (lima) tahun dan sulit pembuktiannya. Ayat (3) Cukup jelas Cukup jelas Ayat (1) Cukup jelas Cukup jelas Pasal 12 Pasal 13 Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Lihat penjelasan Pasal 11 ayat (2). Ayat (3) Cukup jelas Pasal 15 Yang dimaksud dengan “bimbingan” adalah pengarahan dan petunjuk, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dari Ketua Pengadilan Tinggi kepada Hakim di daerah hukumnya, apabila Hakim tidak melaksanakan tugas sesuai dengan prosedur yang ditentukan dalam Undangundang ini. Cukup jelas Cukup jelas Pasal 16 Pasal 17 Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Lihat penjelasan Pasal 11 ayat (2). Ayat (3) Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Pasal 19 Pasal 20 Pasal 21 Pasal 22 Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Pembayaran ganti rugi yang dijatuhkan sebagai pidana tambahan merupakan tanggung jawab dari orang tua atau orang lain yang menjalankan kekua171 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum saan orang tua. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Huruf a Meskipun anak dikembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh, anak tersebut tetap di bawah pengawasan dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan antara lain mengikuti kegiatan kepramukaan dan lain-lain. Huruf b Apabila Hakim berpendapat bahwa orang tua, wali atau orang tua asuh tidak memberikan pendidikan dan pembinaan yang lebih baik, maka Hakim dapat menetapkan anak tersebut ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Latihan kerja dimaksudkan untuk memberkan bekal keterampilan kepada anak, misalnya dengan memberikan keterampilan mengenai pertukangan, pertanian, perbengkelan, tata rias dan sebagainya sehingga setelah selesai menjalani tindakan dapat hidup mandiri. Huruf c Pada prinsipnya pendidikan, pembinaan dan latihan kerja diselenggarakan oleh Pemerintah di Lembaga Pemasyarakatan Anak atau Departemen Sosial, tetapi dalam kepentingan anak menghendaki Hakim dapat menetapkan anak yang bersangkutan diserahkan kepada Organisasi Sosial Kemasyarakatan, seperti pesantren, panti sosial dan lembaga sosial lainnya dengan memperhatikan agama anak yang bersangkutan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “teguran” adalah peringatan dari Hakim baik secara 172 langsung terhadap anak yang dijatuhi tindakan maupun secara tidak langsung melalui orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, agar anak tersebut tidak mengulangi perbuatan yang mengakibatkan ia dijatuhi tindakan. Yang dimaksud dengan “syarat tambahan” misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik kepada Pembimbing Kemasyarakatan. Pasal 25 Dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak, Hakim memperhatikan berat ringannya tindak pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan. Di samping itu Hakim juga wajib memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah tangga orang tua, wali. atau orang tua asuh, hubungan antara anggota keluarga dan keadaan lingkungannya. Demikian pula, Hakim wajib memperhatikan laporan Pembimbing Kemasyarakatan. Pasal 26 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa” adalah maksimum ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam Kitab Undang-undang Pidana atau Undang-undang lainnya. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 27 Yang dimaksud dengan “maksimum ancaman pidana denda bagi orang de- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum wasa” adalah maksimum ancaman pidana kurungan terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana atau Undangundang lainnya. Pasal 28 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa adalah maksimum ancaman pidana denda terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Undang-undang lainnya. Ayat (2) Wajib latihan kerja dimaksudkan sebagai pengganti pidana denda yang sekaligus untuk mendidik anak yang bersangkutan agar memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan “syarat khusus” antara lain tidak boleh mengemudikan kendaraan bermotor atau diwajibkan mengikuti kegiatan yang di programkan Balai Pemasyarakatan. Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Ayat (9) Yang dimaksud dengan “pendidikan sekolah” adalah pendidikan yang dilaksanakan di sekolah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 30 Yang dimaksud dengan “pidana pengawasan” adalah pidana yang khusus dikenakan untuk anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh Jaksa terhadap perilaku anak dalam kehidupan seharihari di rumah anak tersebut, dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Demi kepentingan anak, Kepala Lembaga Pemasyarakatan diberikan kewenangan untuk memindahkan Anak Negara dari Lembaga Pemasyarakatan Anak ke lembaga pendidikan anak yang diselenggarakan Pemerintah atau swasta dengan memperhatikan agama anak yang bersangkutan. Pemberian kewenangan ini didasarkan pada pertimbangan karena Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak mengetahui dengan baik mengenai perkembangan anak selama mengalami pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak, serta pembinaan Anak Negara selanjutnya. Namun, kewenangan untuk memindahkan Anak Negara ini harus mendapat izin terlebih dahulu dari Menteri Kehakiman. Yang dimaksud dengan “lembaga pendidikan anak” adalah setiap lembaga yang menyelenggarakan kegiatan dalam rangka memberikan pendidikan 173 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum kepada anak, baik jasmani, rohani, maupun sosial anak. Pasal 32 Keharusan mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, khusus dikenakan kepada Anak Nakal yang tidak atau kurang mengenal disiplin dan ketertiban dalam kehidupan sehari-hari. Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Pasal 33 Pasal 34 Pasal 35 Pasal 36 Pasal 37 Pasal 38 Pasal 39 Pasal 40 Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Huruf a Cukup jelas Huruf b Lihat penjelasan Pasal 10 huruf b. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “hal tertentu” 174 adalah dalam hal belum terdapat penyidik anak yang persyaratan pengangkatannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-udang ini. Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar penyidikan tetap dapat dilaksanakan, walaupun di daerah tersebut belum ada penunjukan penyidik anak, sedangkan penyidik lain dalam huruf b adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang ditetapkan berdasarkan Undangundang yang berlaku. Pasal 42 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dalam suasana kekeluargaan” antara lain pada waktu memeriksa tersangka, Penyidik tidak memakai pakaian dinas dan melakukan pendekatan secara efektif, afektif, dan simpatik. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan “1 (satu) hari” adalah satu kali 24 (dua puluh empat) jam. Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Pasal 44 Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Yang dimaksud dengan “tempat khusus” adalah tempat penahanan yang secara khusus diperuntukkan bagi anak, yang terpisah dari tahanan orang dewasa. Apabila di dalam suatu daerah belum terdapat Rumah tahanan negara atau cabang Rumah Tahanan Negara, atau apabila di kedua tempat tahanan di atas sudah penuh, maka penahanan terhadap anak dapat dilaksanakan di tempat tertentu lainnya dengan tetap memperhatikan kepentingan pemeriksaan perkara dan kepentingan anak. Pasal 45 Ayat (1) Pada dasarnya penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan, namun penahanan terhadap anak harus pula memperhatikan kepentingan anak yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, maupun sosial anak dan kepentingan masyarakat. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Kebutuhan rohani anak termasuk kebutuhan intelektual anak. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan “kepentingan pemeriksaan” adalah kepentingan pemeriksaan dalam rangka penuntutan. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Pasal 47 Pasal 48 Pasal 49 Pasal 50 Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Ketentuan ini tidak mengurangi hak orang tua, wali, orang tua asuh, atau petugas kemasyarakatan untuk berhubungan langsung dengan anak yang ditangkap atau ditahan. Pasal 52 Dalam melaksanakan kewajiban ini, Penasihat Hukum memperhatikan pula pendapat petugas kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33. Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Lihat penjelasan Pasal 10 huruf b. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “hal tertentu” adalah dalam hal belum terdapat penuntut umum anak yang persyaratan pengangkatannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini. Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar penuntutan tetap dapat dilak175 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum sanakan, walaupun di daerah tersebut belum ada penunjukan penuntut umum anak. Cukup jelas Pasal 54 Pasal 55 Meskipun pada prinsipnya tindak Pidana merupakan tanggung jawab terdakwa sendiri, tetapi karena dalam hal ini terdakwanya adalah anak, maka tidak dapat dipisahkan dengan kehadiran orang tua, wali, atau orang tua asuh. Pasal 56 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “sebelum sidang dibuka” adalah sebelum sidang secara resmi dibuka. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi cukup waktu bagi Hakim untuk mempelajari laporan penelitian kemasyarakatan, karena itu laporan tersebut tidak diberikan pada saat menjelang sidang melainkan beberapa waktu sebelumnya. Hakim wajib meminta penjelasan kepada pembimbing Kemasyarakatan atas hal tertentu yang berhubungan dengan perkara anak untuk mendapatkan data yang lebih lengkap. Ayat (2) Cukup jelas Cukup jelas Pasal 57 Pasal 58 Ayat (1) Terdakwa dibawa ke luar sidang dimaksudkan untuk menghindari adanya hal yang mempengaruhi jiwa anak. Ayat (2) Cukup jelas 176 Pasal 59 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan “wajib” dalam ayat ini adalah apabila ketentuan ini tidak dipenuhi, mengakibatkan putusan batal demi hukum. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 60 Ayat (1) Apabila di dalam suatu daerah belum terdapat Lembaga pemasyarakatan Anak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, maka Anak Didik Pemasyarakatan dapat ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan yang penempatnnya terpisah dari orang dewasa. Ayat (2) Hal yang diperoleh Anak Didik Pemasyarakatan selama ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam pemberian hak tersebut tetap perlu diperhatikan pembinaan bagi nak yang bersangkutan antara lain mengenai pertumbuhan dan perkembangan baik fisik, mental, maupun sosial anak. Pasal 61 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Penempatan Anak Pidana di lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun. Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Cukup jelas Pasal 62 Pasal 63 Untuk mengeluarkan anak dari Lembaga Pemasyarakatan Anak diperlukan izin dari Menteri Kehakiman, agar mengenai masalah tersebut dapat dilaksanakan dengan tertib. Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Cukup jelas Pasal 64 Pasal 65 Pasal 66 Pasal 67 Pasal 68 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3668 177 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1979 TENTANG KESEJAHTERAAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya; b. bahwa agar setiap anak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial; c. bahwa di dalam masyarakat terdapat pula anak-anak yang mengalami hambatan kesejahteraan rohani, jasmani, sosial dan ekonomi; d. bahwa pemeliharaan kesejahteraan anak belum dapat dilaksanakan oleh anak sendiri; e. bahwa kesempatan, pemeliharaan dan usaha menghilangkan hambatan tersebut hanya akan dapat dilaksanakan dan diperoleh bilamana usaha kesejahteraan anak terjamin; f. bahwa untuk mencapai maksud tersebut perlu menyusun Undangundang yang mengatur kesejahteraan anak; Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 31 dan 34 Undang-undang Dasar 1945; 178 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara; 3. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3039); Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KESEJAHTERAAN ANAK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksudkan di dalam Undangundang ini dengan: 1.a.Kesejahteraan Anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial; b.Usaha Kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya Kesejahteraan Anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak. 2. Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum tahun dan belum pernah kawin. 3.a.Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung; b.Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak. 4. Keluarga adalah kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah dan/atau ibu dan anak. 5. Anak yang tidak mempunyai orang tua adalah anak yang tidak ada lagi ayah dan ibu kandungnya. 6. Anak yang tidak mampu adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik secara rohani, jasmani maupun sosial dengan wajar. 7. Anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. 8. Anak yang mengalami masalah kelakuan adalah anak yang menunjukkan tingkah laku menyimpang dari norma-norma masyarakat. 9. Anak cacat adalah anak yang mengalami hambatan rohani dan/atau jasmani sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. BAB II HAK ANAK Pasal 2 (1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. (2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna. (3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlidungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. (4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. Pasal 3 Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah yang pertama-tama berhak mendapat pertolongan, bantuan, dan perlindungan. Pasal 4 (1) Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oleh negara atau orang atau badan. (2) Pelaksanaan ketentuan ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 5 (1) Anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar. (2) Pelaksanaan ketentuan ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 6 (1) Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan 179 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dan perkembangannya. (2) Pelayanan dan asuhan, sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1), juga diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim. Pasal 7 Anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan sejauh batas kemampuan dan kesanggupan anak yang bersangkutan. Pasal 8 Bantuan dan pelayanan, yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, agama, pendirian politik, dan kedudukan sosial. BAB III TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP KESEJAHTERAAN ANAK Pasal 9 Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Pasal 10 (1) Orang tua yang terbukti melalaikan tanggung jawabnya sebagaimana termaksud dalam Pasal 9, sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya. Dalam hal itu ditunjuk orang atau badan sebagai wali. (2) Pencabutan kuasa asuh dalam ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban orang tua yang bersangkutan untuk 180 membiayai, sesuai dengan kemampuannya, penghidupan, pemeliharaan, dan pendidikan anaknya. (3) Pencabutan dan pengembalian kuasa asuh orang tua ditetapkan dengan keputusan hakim. (4) Pelaksanaan ketentuan ayat (1), (2) dan (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB IV USAHA KESEJAHTERAAN ANAK Pasal 11 (1) Usaha kesejahteraan anak terdiri atas usaha pembinaan, pengembangan, pencegahan, dan rehabilitasi. (2) Usaha kesejahteraan anak dilakukan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat. (3) Usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh Pemerintah dan/ atau masyarakat dilaksanakan baik di dalam maupun di luar Panti. (4) Pemerintah mengadakan pengarahan, bimbingan, bantuan, dan pengawasan terhadap usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh masyarakat. (5) Pelaksanaan usaha kesejahteraan anak sebagai termaktub dalam ayat (1), (2), (3) dan (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 12 (1) Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. (2) Kepentingan kesejahteraan anak yang termaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (3) Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 13 Kerjasama international di bidang kesejahteraan anak dilaksanakan oleh Pemerintah atau oleh Badan lain dengan persetujuan Pemerintah. BAB V KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP Pasal 14 Tata cara koordinasi antar instansi dalam pelaksanaan usaha-usaha kesejahteraan anak ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Pasal 15 Segala Peraturan Perundang-undangan di bidang kesejahteraan anak tetap berlaku selama dan sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini. Pasal 16 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 23 Juli 1979 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SOEHARTO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 23 Juli 1979 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, SUDHARMONO, SH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1979 NOMOR 32 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1979 TENTANG KESEJAHTERAAN ANAK UMUM Suatu bangsa dalam membangun dan mengurus rumah tangganya harus mampu membentuk dan membina suatu tata penghidupan serta kepribadiannya. Usaha ini merupakan suatu usaha yang terus menerus, dari generasi ke generasi. Untuk menjamin usaha tersebut, perlu setiap generasi dibekali oleh generasi yang terdahulu dengan kehendak, kesediaan, dan kemampuan serta ketrampilan untuk melaksanakan tugas itu. Hal ini hanya akan dapat tercapai bila generasi muda selaku generasi penerus mampu memiliki dan menghayati falsafah hidup bangsa. Untuk itu perlu diusahakan agar generasi muda memiliki pola perilaku yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Guna mencapai maksud tersebut diperlukan usahausaha pembinaan, pemeliharaan, dan peningkatan kesejahteraan anak. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan pandangan hidup dan dasar tata masyarakat. Karena itu, usahausaha untuk memelihara, membina, dan meningkatkan kesejahteraan anak haruslah didasarkan falsafah Pancasila dengan maksud untuk menjamin kelangsungan hidup dan kepribadian bangsa. Oleh karena anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, maka menjadi kewajiban bagi generasi yang terdahulu untuk menjamin, memelihara, dan mengamankan kepentingan anak itu. Pemeliharaan, 181 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum jaminan dan pengamanan kepentingan ini selayaknya dilakukan oleh pihakpihak yang mengasuhnya di bawah pengawasan dan bimbingan Negara, dan bilamana perlu, oleh Negara sendiri. Karena kewajiban inilah, maka yang bertanggung jawab atas asuhan anak wajib pula melindunginya dari gangguan-gangguan yang datang dari luar maupun dari anak itu sendiri. Asuhan anak, pertama-tama dan terutama menjadi kewajiban dan tanggungjawab orang tua di lingkungan keluarga; akan tetapi, demi untuk kepentingan kelangsungan tata sosial maupun untuk kepentingan anak itu sendiri, perlu ada pihak yang melindunginya. Apabila orang tua anak itu sudah tidak ada, tidak diketahui adanya, atau nyata-nyata tidak mampu untuk melaksanakan hak dan kewajibannya, maka dapatlah pihak lain, baik karena kehendak sendiri maupun karena ketentuan hukum, diserahi hak dan kewajiban itu. Bilamana memang tidak ada pihak-pihak yang dapat melaksanakannya maka pelaksanaan hak dan kewajiban itu menjadi tanggung jawab Negara. Di samping anak-anak yang kesejahteraannya dapat terpenuhi secara wajar di dalam masyarakat terdapat pula anak-anak yang mengalami hambatan rohani, jasmani, dan sosial ekonomi dan memerlukan pelayanan secarakhusus, yaitu: 1. Anak-anak yang tidak mampu. 2. Anak-anak terlantar. 3. Anak-anak yang mengalami masalah kelakuan 4. Anak-anak yang cacat rohani dan atau jasmani. Sejalan dengan tujuan Undang-undang, ini, maka Undang-undang ini mengu182 rangi dan atau merubah ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Perundangundangan lainnya. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 a. Cukup jelas. b. Yang dimaksudkan dengan kebutuhan pokok anak adalah pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, dan kesehatan. Angka 2 Batas umur 21 (dua puluh satu) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut. Batas umur 21 (dua puluh satu) tahun tidak mengurangi ketentuan batas umur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 Cukup jelas. Angka 9 Cukup jelas. Ayat (1) Cukup jelas. Pasal 2 Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Ayat (2) Yang dimaksudkan dengan pelayanan antara lain kesempatan memperoleh pendidikan dan kesehatan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksudkan dengan lingkungan hidup adalah lingkungan hidup fisik dan sosial. Pasal 3 Yang dimaksud dengan keadaan yang membahayakan adalah keadaan yang sudah mengancam jiwa manusia baik karena alam maupun perbuatan manusia. Cukup jelas. Cukup jelas Pasal 4 Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 10 Pasal 11 Pasal 12 Ayat (1) Pengangkatan anak berdasarkan pasal ini tidak memutuskan: Menetapkan hubungan darah antara anak dengan orang tuanya dan keluarga orang tuanya berdasarkan hukum yang berlaku bagi anak yang bersangkutan. Ayat (2) Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan antara lain perlu mengatur pencatatan sebagai bukti sah, adanya pengangkatan anak guna pemeliharaan kepentingan kesejahteraan anak yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Pasal 13 Dalam pengertian kerjasama internasional tercakup pula kerjasama regional. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Tanggung jawab orang tua atas kesejahteraan anak mengandung kewajiban memelihara dan mendidik anak sedemikian rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti kepada orang tua, berbudi pekerti luhur, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkemauan serta berkemampuan untuk meneruskan cita-cita bangsa berdasarkan Pancasila. Cukup jelas. Cukup jelas Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 14 Pasal 15 Pasal 16 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3143 183 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara mempunyai tanggung jawab untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa; b. bahwa sesuai dengan ketentuan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara bertanggung jawab untuk memelihara fakir miskin guna memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kemanusiaan; c. bahwa untuk melaksanakan tanggung jawab negara sebagaimana dimaksud pada huruf b, diperlukan kebijakan pembangunan nasional yang berpihak pada fakir miskin secara terencana, terarah, dan berkelanjutan; d. bahwa pengaturan mengenai pemenuhan kebutuhan dasar bagi fakir miskin masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga diperlukan pengaturan penanganan fakir miskin yang terintegrasi dan terkoordinasi; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-undang 184 tentang Penanganan Fakir Miskin; Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2), Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4), dan Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 2. 3. 4. 5. 6. dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya. Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara. Kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. Pasal 2 Penanganan fakir miskin berasaskan: a. kemanusiaan; b. keadilan sosial; c. non diskriminasi; d. kesejahteraan; e. kesetiakawanan; dan f. pemberdayaan. BAB II HAK DAN TANGGUNG JAWAB sandang, dan perumahan; b. memperoleh pelayanan kesehatan; c. memperoleh pendidikan yang dapat meningkatkan martabatnya; d. mendapatkan perlindungan sosial dalam membangun, mengembangkan, dan memberdayakan diri dan keluarganya sesuai dengan karakter budayanya; e. mendapatkan pelayanan sosial melalui jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan rehabilitasi sosial dalam membangun, mengembangkan, serta memberdayakan diri dan keluarganya; f. memperoleh derajat kehidupan yang layak; g. memperoleh lingkungan hidup yang sehat; h. meningkatkan kondisi kesejahteraan yang berkesinambungan; dan i. memperoleh pekerjaan dan kesempatan berusaha. Pasal 4 Fakir miskin bertanggung jawab: a. menjaga diri dan keluarganya dari perbuatan yang dapat merusak kesehatan, kehidupan sosial, dan ekonominya; b. meningkatkan kepedulian dan ketahanan sosial dalam bermasyarakat; c. memberdayakan dirinya agar mandiri dan meningkatkan taraf kesejahteraan serta berpartisipasi dalam upaya penanganan kemiskinan; dan d. berusaha dan bekerja sesuai dengan kemampuan bagi yang mempunyai potensi. Pasal 3 Fakir miskin berhak: a. memperoleh kecukupan pangan, 185 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum BAB III PENANGANAN FAKIR MISKIN Bagian Kesatu Umum Pasal 5 Penanganan fakir miskin dilaksanakan secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pasal 6 Sasaran penanganan fakir miskin ditujukan kepada: a. perseorangan; b. keluarga; c. kelompok; dan/atau d. masyarakat. Pasal 7 (1) Penanganan fakir miskin dilaksanakan dalam bentuk: a. pengembangan potensi diri; b. bantuan pangan dan sandang; c. penyediaan pelayanan perumahan; d. penyediaan pelayanan kesehatan; e. penyediaan pelayanan pendidikan; f. penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha; g. bantuan hukum; dan/atau h. pelayanan sosial. (2) Penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. pemberdayaan kelembagaan masyarakat; b. peningkatan kapasitas fakir miskin untuk mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha; c. jaminan dan perlindungan sosial untuk memberikan rasa 186 aman bagi fakir miskin; d. kemitraan dan kerja sama antar pemangku kepentingan; dan/atau e. koordinasi antara kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Bagian Kedua Pendataan Fakir Miskin Pasal 8 (1) Menteri menetapkan kriteria fakir miskin sebagai dasar untuk melaksanakan penanganan fakir miskin. (2) Dalam menetapkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait. (3) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan statistik untuk melakukan pendataan. (4) Menteri melakukan verifikasi dan validasi terhadap hasil pendataan yang dilakukan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan statistik sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan secara berkala sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sekali. (6) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikecualikan apabila terjadi situasi dan kondisi tertentu yang baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi seseorang menjadi fakir miskin. (7) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan oleh potensi dan sumber Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum kesejahteraan sosial yang ada di kecamatan, kelurahan atau desa. (8) Hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaporkan kepada bupati/walikota. (9) Bupati/walikota menyampaikan hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada gubernur untuk diteruskan kepada Menteri. Pasal 9 (1) Seorang fakir miskin yang belum terdata dapat secara aktif mendaftarkan diri kepada lurah atau kepala desa atau nama lain yang sejenis di tempat tinggalnya. (2) Kepala keluarga yang telah terdaftar sebagai fakir miskin wajib melaporkan setiap perubahan data anggota keluarganya kepada lurah atau kepala desa atau nama lain yang sejenis di tempat tinggalnya. (3) Lurah atau kepala desa atau nama lain yang sejenis wajib menyampaikan pendaftaran atau perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada bupati/walikota melalui camat. (4) Bupati/walikota menyampaikan pendaftaran atau perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada gubernur untuk diteruskan kepada Menteri. (5) Dalam hal diperlukan, bupati/walikota dapat melakukan verifikasi dan validasi terhadap pendaftaran dan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 10 (1) Data yang telah diverifikasi dan validasi harus berbasis teknologi informasi dan dijadikan sebagai data terpadu. (2) Data terpadu sebagaimana dimak- sud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Menteri. (3) Data terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipergunakan oleh kementerian/ lembaga terkait dalam penanganan fakir miskin dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (4) Kementerian/lembaga yang menggunakan data terpadu untuk menangani fakir miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melaporkan hasil pelaksanaannya kepada Menteri. (5) Anggota masyarakat yang tercantum dalam data terpadu sebagai fakir miskin diberikan kartu identitas. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai teknologi informasi dan penerbitan kartu identitas diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Penetapan Pasal 11 (1) Data fakir miskin yang telah diverifikasi dan divalidasi yang disampaikan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (9) dan Pasal 9 ayat (4) ditetapkan oleh Menteri. (2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar bagi Pemerintah dan pemerintah daerah untuk memberikan bantuan dan/atau pemberdayaan. (3) Setiap orang dilarang memalsukan data fakir miskin baik yang sudah diverifikasi dan divalidasi maupun yang telah ditetapkan oleh Menteri. 187 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Bagian Keempat Tanggung Jawab dalam Pelaksanaan Bentuk Penanganan Fakir Miskin Paragraf 1 Pengembangan Potensi Diri Pasal 12 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab mengembangkan potensi diri bagi perseorangan, keluarga, kelompok, dan/ atau masyarakat. (2) Pengembangan potensi diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui bimbingan mental, spiritual, dan keterampilan. Paragraf 2 Bantuan Pangan dan Sandang Pasal 13 Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan bantuan pangan dan sandang yang layak. Paragraf 3 Penyediaan Pelayanan Perumahan Pasal 14 Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan pelayanan perumahan. Paragraf 4 Penyediaan Pelayanan Kesehatan Pasal 15 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyelenggarakan penyediaan pelayanan kesehatan, baik dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif. (2) Pembiayaan penyelenggaraan pe188 layanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui sistem jaminan sosial nasional. Paragraf 5 Penyediaan Pelayanan Pendidikan Pasal 16 Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab memberi bantuan biaya pendidikan atau beasiswa. Paragraf 6 Penyediaan Akses Kesempatan Kerja dan Berusaha Pasal 17 Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan akses kesempatan kerja dan berusaha, yang dilakukan melalui upaya: a. penyediaan informasi lapangan kerja; b. pemberian fasilitas pelatihan dan keterampilan; c. peningkatan akses terhadap pengembangan usaha mikro; dan/ atau d. penyediaan fasilitas bantuan permodalan. Paragraf 7 Pelayanan Sosial Pasal 18 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan sosial. (2) Pelayanan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. meningkatkan fungsi sosial, aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar, dan kualitas hidup; b. meningkatkan kemampuan Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dan kepedulian masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan; c. meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dan menangani masalah kemiskinan; dan d. meningkatkan kualitas manajemen pelayanan kesejahteraan sosial. Bagian Kelima Pelaksanaan Penanganan Fakir Miskin Paragraf 1 Umum Pasal 19 (1) Penanganan fakir miskin diselenggarakan oleh Menteri secara terencana, terarah, terukur, dan terpadu. (2) Penanganan fakir miskin yang diselenggarakan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan pengembangan potensi diri, sandang, pangan, perumahan, dan pelayanan sosial. (3) Pemenuhan kebutuhan selain yang dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan oleh kementerian/lembaga terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam koordinasi Menteri. Paragraf 2 Penanganan Fakir Miskin Melalui Pendekatan Wilayah Pasal 20 Penanganan fakir miskin melalui pendekatan wilayah diselenggarakan dengan memperhatikan kearifan lokal, yang meliputi wilayah: a. perdesaan; b. perkotaan; c. pesisir dan pulau-pulau kecil; d. tertinggal/terpencil; dan/atau e. perbatasan antarnegara. Pasal 21 Upaya penanganan fakir miskin di wilayah perdesaan dilakukan melalui: a. penyediaan sumber mata pencaharian di bidang pertanian, peternakan, dan kerajinan; b. bantuan permodalan dan akses pemasaran hasil pertanian, peternakan, dan kerajinan; c. peningkatan pembangunan sarana dan prasarana; d. penguatan kelembagaan masyarakat dan pemerintahan desa; dan/ atau e. pemeliharaan dan pendayagunaan sumber daya. Pasal 22 Upaya penanganan fakir miskin di wilayah perkotaan dilakukan melalui: a. penyediaan sumber mata pencaharian di bidang usaha sektor informal; b. bantuan permodalan dan akses pemasaran hasil usaha; c. pengembangan lingkungan pemukiman yang sehat; dan/atau d. peningkatan rasa aman dari tindak kekerasan dan kejahatan. Pasal 23 Upaya penanganan fakir miskin di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan melalui: a. penyediaan sumber mata pencaharian di bidang perikanan dan sumber daya laut; b. bantuan permodalan dan akses pemasaran hasil usaha; 189 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum c. penguatan lembaga dan organisasi masyarakat pesisir dan nelayan; d. pemeliharaan daya dukung serta mutu lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil; dan/atau e. peningkatan keamanan berusaha dan pengamanan sumber daya kelautan dan pesisir. Pasal 24 Upaya penanganan fakir miskin di wilayah tertinggal/terpencil dilakukan melalui: a. pengembangan ekonomi lokal bertumpu pada pemanfaatan sumber daya alam, budaya, adat istiadat, dan kearifan lokal secara berkelanjutan; b. penyediaan sumber mata pencaharian di bidang pertanian, peternakan, perikanan, dan kerajinan; c. bantuan permodalan dan akses pemasaran hasil pertanian, peternakan, perikanan, dan kerajinan; d. peningkatan pembangunan terhadap sarana dan prasarana; e. penguatan kelembagaan dan pemerintahan; dan/atau f. pemeliharaan, perlindungan, dan pendayagunaan sumber daya lokal. Pasal 25 Upaya penanganan fakir miskin di wilayah perbatasan antar negara dilakukan melalui: a. penyediaan sumber mata pencaharian di bidang pertanian, peternakan, perikanan, dan kerajinan; b. bantuan permodalan dan akses pemasaran hasil pertanian, peternakan, perikanan, dan kerajinan; c. peningkatan pembangunan sarana dan prasarana; d. penguatan kelembagaan dan pemerintahan; e. pemeliharaan dan pendayagunaan 190 sumber daya; f. menjamin keamanan wilayah perbatasan serta pengamanan sumber daya lokal; dan/atau g. peningkatan daya tahan budaya lokal dari pengaruh negatif budaya asing. Pasal 26 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan upaya penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 25 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Paragraf 3 Penyaluran Bantuan Pasal 27 Penyaluran bantuan kepada fakir miskin diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah secara komprehensif dan terkoordinasi. BAB IV TUGAS DAN WEWENANG Bagian Kesatu Pemerintah Pasal 28 Dalam pelaksanaan penanganan fakir miskin, Pemerintah bertugas: a.�������������������������� memberdayakan pemangku kepentingan dalam penanganan fakir miskin; b. memfasilitasi dan mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan dan strategi penanganan fakir miskin; c. mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan dan strategi dalam penanganan fakir miskin; d. mengevaluasi kebijakan dan strategi penyelenggaraan penanganan fakir miskin; e. menyusun dan menyediakan basis Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum data fakir miskin; dan f. mengalokasikan dana yang memadai dan mencukupi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk penyelenggaraan penanganan fakir miskin. Pasal 29 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Pemerintah berwenang menetapkan kebijakan dan strategi penanganan fakir miskin pada tingkat nasional. Bagian Kedua Pemerintah Daerah Provinsi Pasal 30 (1) Dalam pelaksanaan penanganan fakir miskin, pemerintah daerah provinsi bertugas: a. memberdayakan pemangku kepentingan dalam penanganan fakir miskin lintas kabupaten/kota; b. memfasilitasi, mengoordinasi, serta menyosialisasikan pelaksanaan kebijakan dan strategi penanganan fakir miskin lintas kabupaten/kota; c. mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan, strategi, dan program dalam penanganan fakir miskin lintas kabupaten/kota; d. mengevaluasi pelaksanaan kebijakan, strategi, dan program penyelenggaraan penanganan fakir miskin lintas kabupaten/ kota; dan e. mengalokasikan dana yang memadai dan mencukupi dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk penyelenggaraan penanganan fakir miskin. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah provinsi berwenang menetapkan kebijakan, strategi, dan program tingkat provinsi dalam bentuk rencana penanganan fakir miskin di daerah dengan berpedoman pada kebijakan, strategi, dan program nasional. Bagian Ketiga Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Pasal 31 (1) Dalam penyelenggaraan penanganan fakir miskin, pemerintah daerah kabupaten/kota bertugas: a.��������������������������� memfasilitasi, mengoordinasikan, dan menyosialisasikan pelaksanaan kebijakan, strategi, dan program penyelenggaraan penanganan kemiskinan, dengan memperhatikan kebijakan provinsi dan kebijakan nasional; b. melaksanakan pemberdayaan pemangku kepentingan dalam penanganan fakir miskin pada tingkat kabupaten/kota; c. melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap kebijakan, strategi, serta program dalam penanganan fakir miskin pada tingkat kabupaten/kota; d. mengevaluasi kebijakan, strategi, dan program pada tingkat kabupaten/kota; e. menyediakan sarana dan prasarana bagi penanganan fakir miskin; f. mengalokasikan dana yang cukup dan memadai dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk menyelenggarakan penanganan fakir miskin. 191 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah kabupaten/ kota berwenang menetapkan kebijakan, strategi, dan program tingkat kabupaten/kota dalam bentuk rencana penanganan fakir miskin di daerah dengan berpedoman pada kebijakan, strategi, dan program nasional. (3) Pemerintah desa melaksanakan penanganan fakir miskin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB V SUMBER DAYA Bagian Kesatu Umum Pasal 32 Sumber daya penyelenggaraan penanganan fakir miskin meliputi: a. sumber daya manusia; b. sarana dan prasarana; c. sumber pendanaan; dan d. sumber daya alam. Bagian Kedua Sumber Daya Manusia Pasal 33 Sumber daya manusia penyelenggaraan penanganan fakir miskin dilakukan oleh tenaga penanganan fakir miskin yang terdiri atas: a. tenaga kesejahteraan sosial; b. pekerja sosial profesional; c. relawan sosial; d. penyuluh sosial; dan e. tenaga pendamping. Pasal 34 (1) Tenaga penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud dalam Pa192 sal 33 huruf a dan huruf b minimal memiliki kualifikasi: a. pendidikan di bidang kesejahteraan sosial; b. pelatihan dan keterampilan pelayanan sosial; dan/atau c. pengalaman melaksanakan pelayanan sosial. (2) Tenaga penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dapat memperoleh: a. pendidikan; b. pelatihan; dan/atau c. penghargaan. (3) Tenaga penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a, huruf b, huruf d, dan huruf e dapat memperoleh promosi dan tunjangan. (4) Ketentuan mengenai tenaga penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Sarana dan Prasarana Pasal 35 (1) Sarana dan prasarana penyelenggaraan penanganan fakir miskin meliputi: a. panti sosial; b. pusat rehabilitasi sosial; c. pusat pendidikan dan pelatihan; d. pusat kesejahteraan sosial; e. rumah singgah; dan f. rumah perlindungan sosial. (2) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki standar minimum yang ditetapkan oleh Pemerintah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar minimum sarana dan Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keempat Sumber Pendanaan Pasal 36 (1) Sumber pendanaan dalam penanganan fakir miskin, meliputi: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. Anggaran pendapatan dan belanja daerah; c. dana yang disisihkan dari perusahaan perseroan; d. Dana hibah baik dari dalam maupun luar negeri; dan e. Sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat. (2) Dana yang disisihkan dari perusahaan perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c digunakan sebesar-besarnya untuk penanganan fakir miskin. (3) Sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 37 (1) Sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf e, merupakan sumbangan masyarakat bagi kepentingan penanganan fakir miskin yang pengumpulan dan penggunaannya dilaksanakan oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengumpulan dan penggunaan sumbangan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 38 Setiap orang atau korporasi dilarang menyalahgunakan dana penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1). BAB VI KOORDINASI DAN PENGAWASAN Bagian Kesatu Koordinasi Pasal 39 (1) Menteri mengoordinasikan pelaksanaan penanganan fakir miskin pada tingkat nasional. (2) Gubernur mengoordinasikan pelaksanaan penanganan fakir miskin pada tingkat provinsi. (3) Bupati/walikota mengoordinasikan pelaksanaan penanganan fakir miskin pada tingkat kabupaten/ kota. Bagian Kedua Pengawasan Pasal 40 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan penanganan fakir miskin. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 193 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum BAB VII PERAN SERTA MASYARAKAT (1) (2) (3) (4) Pasal 41 Masyarakat berperan serta dalam penyelenggaraan dan pengawasan penanganan fakir miskin. Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh: a. badan usaha; b. organisasi kemasyarakatan; c. perseorangan; d. keluarga; e. kelompok; f. organisasi sosial; g. yayasan; h. lembaga swadaya masyarakat i. organisasi profesi; dan/atau j. pelaku usaha. Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf j berperan serta dalam menyediakan dana pengembangan masyarakat sebagai pewujudan dari tanggung jawab sosial terhadap penanganan fakir miskin. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VIII KETENTUAN PIDANA Pasal 42 Setiap orang yang memalsukan data verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 43 (1) Setiap orang yang menyalahgunakan dana penanganan fakir mis194 kin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Korporasi yang menyalahgunakan dana penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana dengan denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 44 (1) Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penanganan fakir miskin dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. (2) Peraturan pelaksanaan Undangundang ini harus telah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan. Pasal 45 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 18 Agustus 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 18 Agustus 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 83 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN I. UMUM Tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Negara berkewajiban mensejahterakan seluruh warga negaranya dari kondisi kefakiran dan kemiskinan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kewajiban negara dalam membebaskan dari kondisi tersebut dilakukan melalui upaya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas kebutuhan dasar. Upaya tersebut harus dilakukan oleh negara sebagai prioritas utama dalam pembangunan nasional termasuk untuk mensejahterakan fakir miskin. Landasan hukum bagi upaya mensejahterakan fakir miskin sampai saat ini masih bersifat parsial yang tersebar di berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga diperlukan adanya undang-undang yang secara khusus mengatur fakir miskin. Dengan adanya undang-undang yang secara 195 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum khusus mengatur fakir miskin, diharapkan memberikan pengaturan yang bersifat komprehensif dalam upaya mensejahterakan fakir miskin yang lebih terencana, terarah, dan berkelanjutan. Materi pokok yang diatur dalam Undang-undang ini, antara lain Hak dan Tanggung Jawab, Penanganan Fakir Miskin, Tugas dan Wewenang, Sumber Daya, Koordinasi dan Pengawasan, Peran Serta Masyarakat, dan Ketentuan Pidana. Undang-undang ini diharapkan dapat memberikan keadilan sosial bagi warga negara untuk dapat hidup secara layak dan bermartabat. II. PASAL DEMI PASAL Cukup jelas. Pasal 1 Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan asas “kemanusiaan” adalah dalam penanganan fakir miskin harus memberikan perlindungan, penghormatan hak-hak asasi manusia, serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. Huruf b Yang dimaksud dengan asas “keadilan sosial” adalah dalam penanganan fakir miskin harus memberikan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. Huruf c Yang dimaksud dengan asas “non diskriminasi” adalah dalam penanganan fakir miskin harus dilakukan atas dasar persamaan tanpa membedakan asal, suku, agama, ras, dan antar golongan. Huruf d Yang dimaksud dengan asas “kesejahteraan” adalah dalam penanganan fakir 196 miskin harus dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan fakir miskin. Huruf e Yang dimaksud dengan asas “kesetiakawanan” adalah dalam penanganan fakir miskin harus dilandasi oleh kepedulian sosial untuk membantu orang yang membutuhkan pertolongan dengan empati dan kasih sayang. Huruf f Yang dimaksud dengan asas “pemberdayaan” adalah dalam penanganan fakir miskin harus dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan kapasitas sumber daya manusia untuk meningkatkan kemandirian. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 3 Pasal 4 Pasal 5 Pasal 6 Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “pengembangan potensi diri” adalah upaya untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri seseorang antara lain mental, spiritual, dan budaya. Huruf b Yang dimaksud dengan “bantuan pangan dan sandang” adalah bantuan untuk meningkatkan kecukupan dan diversifikasi pangan, serta kecukupan sandang yang layak. Huruf c Yang dimaksud dengan ”penyediaan pelayanan perumahan” adalah bantu- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum an untuk memenuhi hak masyarakat miskin atas perumahan yang layak dan sehat. Huruf d Yang dimaksud dengan ”penyediaan pelayanan kesehatan” adalah penyediaan pelayanan kesehatan untuk memenuhi kebutuhan dasar fakir miskin. Huruf e Yang dimaksud dengan “penyediaan pelayanan pendidikan” adalah penyediaan pelayanan pendidikan untuk memenuhi kebutuhan dasar fakir miskin dalam memperoleh layanan pendidikan yang bebas biaya, bermutu, dan tanpa diskriminasi gender. Huruf f Yang dimaksud dengan ”penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha” adalah untuk memenuhi hak fakir miskin atas pekerjaan dan pengembangan usaha yang layak. Huruf g Yang dimaksud dengan “bantuan hukum” adalah bantuan yang diberikan kepada fakir miskin yang bermasalah dan berhadapan dengan hukum. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “pemberdayaan kelembagaan masyarakat” adalah upaya penguatan lembaga masyarakat agar dapat berperan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar fakir miskin. Huruf b Yang dimaksud dengan ”peningkatan kapasitas fakir miskin” adalah upaya untuk mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha fakir miskin antara lain melalui pelatihan keterampilan dan bantuan permodalan melalui Kelompok Usaha Bersama. Huruf c Yang dimaksud dengan ”jaminan dan perlindungan sosial” adalah upaya memberikan jaminan dan perlindungan sosial, serta rasa aman bagi fakir miskin yang antara lain disebabkan oleh bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi, dan konflik sosial. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dalam melakukan verifikasi dan validasi terhadap hasil pendataan, Menteri bekerjasama dengan lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendataan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Yang dimaksud dengan “potensi sumber kesejahteraan sosial” antara lain Karang Taruna, Organisasi Sosial, Pekerja Sosial Masyarakat, dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 9 197 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan ”kartu identitas” adalah kartu kepesertaan untuk pemenuhan kebutuhan dasar bagi fakir miskin dalam berbagai macam program pelaksanaan penanganan fakir miskin. Ayat (6) Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. 198 Pasal 11 Pasal 12 Pasal 13 Pasal 14 Pasal 15 Pasal 16 Pasal 17 Pasal 18 Pasal 19 Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 20 Pasal 21 Pasal 22 Pasal 23 Pasal 24 Pasal 25 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “penguatan kelembagaan” adalah penguatan kementerian/lembaga yang menangani fakir miskin yang dalam melaksanakan tugasnya didukung anggaran, sumber daya manusia, dan pengorganisasian. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 26 Pasal 27 Yang dimaksud dengan ”komprehensif dan terkoordinir” adalah dalam penyaluran bantuan dikoordinasikan oleh Menteri agar bantuan tepat sasaran, tepat jumlah, dan tepat waktu. Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 28 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “memadai dan mencukupi” adalah penganggaran disesuaikan dengan target sasaran dalam rencana kerja tahunan pemerintah dan kapasitas fiskal. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 29 Pasal 30 Pasal 31 Pasal 32 Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas Pasal 38 Pasal 39 Pasal 40 Pasal 41 Pasal 42 Pasal 43 Pasal 44 Pasal 45 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5235 Pasal 33 Pasal 34 Pasal 35 Pasal 36 Pasal 37 199 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus; c. bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan; d. bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk Undang-undang 200 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29 Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 2. 3. 4. 5. 6. 7. perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan. Pasal 2 (1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-undang ini meliputi : a. suami, istri, dan anak; b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. (2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 3 Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas: a. penghormatan hak asasi manusia; b. keadilan dan kesetaraan gender; c. non diskriminasi; dan d. perlindungan korban. Pasal 4 Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan : a. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; b. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. BAB III LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Pasal 5 Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, 201 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dengan cara : a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga. Pasal 6 Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Pasal 7 Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Pasal 8 Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi : a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/ atau tujuan tertentu. Pasal 9 (1)��������������������������������� Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan 202 ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. BAB IV HAK-HAK KORBAN Pasal 10 Korban berhak mendapatkan : a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan e. pelayanan bimbingan rohani. BAB V KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT Pasal 11 Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 12 (1) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pemerintah : a. merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga; b. menyelenggarakan komunika- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum si, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; c. menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan d. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri. (3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 13 Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya : a. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian; b. penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani; c. pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan d. memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban. Pasal 14 Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masingmasing, dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya. Pasal 15 Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk : a. mencegah berlangsungnya tindak pidana; b. memberikan perlindungan kepada korban; c. memberikan pertolongan darurat; dan d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. BAB VI PERLINDUNGAN Pasal 16 (1) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban. (2) Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani. (3) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Pasal 17 Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau 203 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pasal 18 Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan. Pasal 19 Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 20 Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang : a. identitas petugas untuk pengenalan kepada korban; b. kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan c. kewajiban kepolisian untuk melindungi korban. Pasal 21 (1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus : a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya; b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti. (2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. 204 Pasal 22 (1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus : a. melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban; b. memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; c. mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan d. melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban. (2) Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Pasal 23 Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat : a. menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping; b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; c. mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan d. memberikan dengan aktif pengua- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum tan secara psikologis dan fisik kepada korban. Pasal 24 Dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban. Pasal 25 Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib : a. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan; b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau c. melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya. Pasal 26 (1) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Pasal 27 Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 28 Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut. Pasal 29 Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh : a. korban atau keluarga korban; b. teman korban; c. kepolisian; d. relawan pendamping; atau e. pembimbing rohani. Pasal 30 (1) Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. (2) Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan negeri setempat wajib mencatat permohonan tersebut. (3) Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani maka korban harus memberikan persetujuannya. (4) Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban. Pasal 31 (1) Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk : a. menetapkan suatu kondisi khusus; b. mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan. (2) Pertimbangan sebagaimana dimak205 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum sud pada ayat (1) dapat diajukan bersama-sama dengan proses pengajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 32 (1) Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun. (2) Perintah perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan. (3) Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari sebelum berakhir masa berlakunya. Pasal 33 (1) Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan. (2)������������������������������� Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani. Pasal 34 (1) Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan. (2)����������������������������� Dalam pemberian tambahan kondisi dalam perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani. Pasal 35 (1) Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pe206 laku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas. (2) Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam. (3) Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2). Pasal 36 (1) Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindungan. (2) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam. Pasal 37 (1) Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan. (2) Dalam hal pengadilan mendapatkan laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam guna dilakukan pemeriksaan. (3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pengadilan di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum waktu pelanggaran diduga terjadi. Pasal 38 (1) Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan. (2) Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari. (3) Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan surat perintah penahanan. BAB VII PEMULIHAN KORBAN Pasal 39 Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari : a. tenaga kesehatan; b. pekerja sosial; c. relawan pendamping; dan/atau d. pembimbing rohani. Pasal 40 (1) Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya. (2) Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban. Pasal 41 Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling un- tuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban. Pasal 42 Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama. Pasal 43 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya pemulihan dan kerja sama diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VIII KETENTUAN PIDANA Pasal 44 (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). (4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau 207 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pasal 45 (1)�������������������������������� Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah). na dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Pasal 48 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 46 Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Pasal 49 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2). Pasal 47 Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipida- Pasal 50 Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa : a. pembatasan gerak pelaku baik 208 Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu. Pasal 51 Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan. Pasal 52 Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan. Pasal 53 Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya merupakan delik aduan. BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 54 Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 56 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 22 September 2004 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 22 September 2004 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 95 Salinan sesuai dengan aslinya Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan, Lambock V. Nahattands Pasal 55 Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. 209 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang a. bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak azasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh undangUndang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. bahwa perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak azasi manusia, sehingga harus diberantas; c. bahwa perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak azasi manusia; d. bahwa keinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional, dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan se210 jak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama; e. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perdagangan orang belum memberikan landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e , perlu membentuk undangundang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; Mengingat 1. Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 28B ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention On The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277); 3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Indonesia Nomor 4235); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan ekspolitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. 2. Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-undang ini. 3. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau entransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil. Ekspolitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan. Perekrutan adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya. Pengiriman adalah tindakan memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari satu tempat ke tempat lain. Kekerasan adalah setiap perbuatan 211 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 12. 13. 14. 15. secara melawan hukum, dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang. Ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan atau tanpa menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki seseorang. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/ atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Rehabilitasi adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Penjeratan Utang adalah perbuatan menempatkan orang dalam status atau keadaan menjaminkan atau terpaksa menjaminkan dirinya atau keluarganya atau orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, atau jasa pribadinya sebagai bentuk pelunasan utang. BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan 212 kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,- (Seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta rupiah). (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 3 Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilyah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta rupiah). Pasal 4 Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,- (Seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta rupiah). Pasal 5 Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta rupiah) Pasal 6 Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apapun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,- (Seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta rupiah). Pasal 7 (1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (Dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (Lima milyar rupiah). Pasal 8 (1) Setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, pasal 4, pasal 5, dan Pasal 6 maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya. (3) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan. Pasal 9 Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,- (Empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 240.000.000,(Dua ratus empat puluh juta rupiah). 213 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 10 Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Pasal 11 Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Pasal 12 Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang, dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Pasal 13 (1) Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. (2) Dalam hal tindak pidana perda214 gangan orang dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/ atau pengurusnya. Pasal 14 Dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurus. Pasal 15 (1) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa : a. pencabutan izin usaha; b. perampasan hasil kekayaan hasil tindak pidana; c. pencabutan status badan hukum; d. pemecatan pengurus; dan/ atau e. pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama. Pasal 16 Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok yang Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga). pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,- (Empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 280.000.000,(Dua ratus delapan puluh juta rupiah). Pasal 17 Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 21 (1) Setiap orang yang melakukan penyerangan fisik terhadap sanksi atau petugas di persidangan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,-(Empat puluh juta) dan paling banyak Rp. Rp. 200.000.000,(Dua ratus juta rupiah). (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan sanksi atau petugas di persidangan luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 80.000.000,- (Delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,- (Empat ratus juta rupiah). (3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan sanksi atau petugas di persidangan mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,- (Seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta rupiah). Pasal 18 Korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana. BAB III TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 19 Setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,- (Empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 280.000.000,- (Dua ratus delapan puluh juta rupiah). Pasal 20 Setiap orang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi sanksi secara melawan hukum di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan Pasal 22 Setiap orang yang dengan sengaja men215 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum cegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa atau sanksi dalam perkara perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,- (Empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000,(Dua ratus juta rupiah). juta rupiah). Pasal 23 Setiap orang yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana dengan : a. memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku; b. menyediakan tempat tinggal bagi pelaku; c. menyembunyikan pelaku; atau d. menyembunyikan informasi keberadaan pelaku, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000.- (Empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000,- (Dua ratus juta rupiah). Pasal 27 Pelaku tindak pidana perdagangan orang kehilangan hak tagihnya atas uang atau perjanjian lainnya terhadap korban, jika utang atau perjanjian lainnya tersebut digunakan untuk mengeksploitasi korban. Pasal 24 Setiap orang yang memberitahukan identitas saksi atau korban padahal kepadanya telah diberitahukan, bahwa identitas saksi atau korban tersebut harus dirahasiakan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,- (Seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 280.000.000,- (Dua ratus delapan puluh Pasal 29 Alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa : a. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu 216 Pasal 25 Jika terpidana tidak mampu membayar pidana denda, maka terpidana dapat dijatuhi pidana pengganti kurungan paling lama 1 (satu) tahun Pasal 26 Persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang. BAB IV PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN Pasal 28 Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada : 1) tulisan, suara, atau gambar; 2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau 3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. Pasal 30 Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang sanksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya. Pasal 31 (1) Berdasarkan bukti permulaan yang cukup penyidik berwenang menyadap telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana perdagangan orang. (2) Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dilakukan atas izin tertulis ketua pengadilan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Pasal 32 Penyidik, penuntutan umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada penyedia jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana perdagangan orang. Pasal 33 (1) Dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, pelapor berhak dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. (2) Dalam hal pelapor meminta dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kewajiban merahasiakan identitas tersebut diberitahukan kepada saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana perdagangan orang sebelum pemeriksaan oleh pejabat yang berwenang yang melakukan pemeriksaan. Pasal 34 Dalam hal saksi dan/atau korban tidak dapat dihadirkan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, keterangan saksi dapat diberikan secara jarak jauh melalui alat komunikasi audio visual. Pasal 35 Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan/atau korban berhak didampingi oleh advokat dan/atau pendamping lainnya yang dibutuhkan. Pasal 36 (1) Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan, korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya. (2) Informasi tentang perkembangan, kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemberian salinan berita acara setiap tahap pemeriksaan. 217 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 37 (1) Saksi dan/atau korban berhak meminta kepada hakim ketua sidang untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa. (2) Dalam hal saksi dan/atau korban akan memberikan keterangan tanpa kehadiran terdakwa, hakim ketua sidang memerintahkan terdakwa untuk keluar ruang sidang. (3) Pemeriksaan terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilanjutkan setelah kepada terdakwa diberitahukan semua keterangan yang diberikan saksi dan/atau korban pada waktu terdakwa berada di luar ruang sidang pengadilan. Pasal 38 Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap saksi dan/atau korban anak dilakukan dengan memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak dengan tidak memakai toga atau pakaian dinas. Pasal 39 (1) Sidang tindak pidana perdagangan orang untuk memeriksa saksi dan/ atau korban anak dilakukan dalam sidang tertutup. (2) Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) saksi dan/atau korban anak wajib didampingi orang tua, wali, orang tua asuh, advokat, atau pendamping lainnya. (3) Pemeriksaaan terhadap saksi dan/ atau korban anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa. Pasal 40 (1) Pemeriksaan terhadap saksi dan/ atau korban anak, atas persetujuan 218 hakim, dapat dilakukan di luar sidang pengadilan dengan perekaman. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang. Pasal 41 (1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut, tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputuskan tanpa kehadiran terdakwa. (2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai alat bukti yang diberikan dengan kehadiran terdakwa. Pasal 42 Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada keluarga atau kuasanya. BAB V PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Pasal 43 Ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam perkara tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 44 (1) Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang berhak memperoleh kerahasiaan identitas. (2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan juga kepada keluarga saksi dan/atau korban sampai dengan derajat kedua, apabila keluarga saksi dan/atau korban mendapat ancaman baik fisik maupun psikis dari orang lain yang berkenaan dengan keterangan saksi dan/atau korban. Pasal 45 (1) Untuk melindungi saksi dan/atau korban, di setiap provinsi dan kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus pada kantor kepolisian setempat guna melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan ruang pelayanan khusus dan tata cara pemeriksaan saksi dan/atau korban diatur dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 46 (1) Untuk melindungi saksi dan/atau korban, pada setiap kabupaten/ kota dapat dibentuk pusat pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 47 Dalam hal saksi dan/atau korban beserta keluarganya mendapatkan anca- man yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memberikan perlindungan, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara. Pasal 48 (1) Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi : (2) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas: a. kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. penderitaan; c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. (3) Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang. (4) Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama. (5) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus. (6) Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (7) Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan di219 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum kembalikan kepada yang bersangkutan. Pasal 49 (1) Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada ketua pengadilan yang memutuskan perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi tersebut. (2) Setelah ketua pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketua pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut di papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan. (3) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pengadilan kepada korban atau ahli warisnya. Pasal 50 (1) Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (6), korban atau ahli warisnya memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan. (2) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi restitusi, untuk segera memenuhi kewajiban memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya. (3) Dalam hal surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilaksanakan dalam waktu 14 (empat belas) hari, pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melarang harta tersebut untuk pembayaran restitusi. (4) Jika pelaku tidak mampu mem220 bayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun. Pasal 51 (1) Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang. (2) Hak-hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial setelah korban melaporkan kasus yang dialaminya atau pihak lain melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada pemerintah melalui menteri atau instansi yang menangani masalahmasalah kesehatan dan sosial di daerah. Pasal 52 (1) Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) wajib memberikan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diajukan permohonan. (2) Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma. Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum (3) Untuk penyelenggaraan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), masyarakat atau lembagalembaga pelayanan sosial lainnya dapat pula membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma. Pasal 53 Dalam hal korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya akibat tindak pidana perdagangan orang sehingga memerlukan pertolongan segera, maka menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah wajib memberikan pertolongan pertama paling lambat 7 (tujuh) hari setelah permohonan diajukan. Pasal 54 (1) Dalam hal korban berada di luar negeri memerlukan perlindungan hukum akibat tindak pidana perdagangan orang, maka Pemerintah Republik Indonesia melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan korban, dan mengusahakan untuk memulangkan korban ke Indonesia atas biaya negara. (2) Dalam hal korban adalah warga negara asing yang berada di Indonesia, maka Pemerintah Republik Indonesia mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke negara asalnya melalui koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia. (3) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, hukum internasional, atau kebiasaan internasional. Pasal 55 Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang, selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini juga berhak mendapatkan hak dan perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VI PENCEGAHAN DAN PENANGANAN Pasal 56 Pencegahan tindak pidana perdagangan orang bertujuan mencegah sedini mungkin terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Pasal 57 (1) Pemerintah, Pemerintah daerah, masyarakat, dan keluarga wajib mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang. Pasal 58 (1) Untuk melaksanakan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengambil langkahlangkah untuk pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang. (2)������������������������������� Untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi. (3) Pemerintah Daerah membentuk 221 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah daerah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademi. (4) Gugus tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan lembaga koordinatif yang bertugas : a. mengoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang; b. melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerjasama; c.������������������������� memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi sosial; d. memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum; serta e. melaksanakan pelaporan dan evaluasi. (5) Gugus tugas pusat dipimpin oleh seorang menteri atau pejabat setingkat menteri yang ditunjuk berdasarkan Peraturan Presiden. (6) Guna mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan anggaran yang diperlukan. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan organisasi, keangotaan, anggaran, dan mekanisme kerja gugus tugas pusat dan daerah diatur dengan Peraturan Presiden. 222 BAB VII KERJA SAMA INTERNASIONAL DAN PERAN SERTA MASYARAKAT Bagian Kesatu Kerja Sama Internasional Pasal 59 (1) Untuk mengefektifkan penyelenggaraan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah Republik Indonesia wajib melaksanakan kerja sama internasional, baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateral. (2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Peran Serta Masyarakat Pasal 60 (1) Masyarakat berperan serta membantu upaya pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dengan tindakan memberikan informasi dan/atau melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada penegak hukum atau pihak yang berwajib, atau turut serta dalam menangani korban tindak pidana perdagangan orang. Pasal 61 Untuk tujuan pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah wajib mem- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum buka akses seluas-luasnya bagi peran serta masyarakat, baik nasional maupun internasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum, dan kebiasaan internasional yang berlaku. Pasal 62 Untuk melaksanakan peran serta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 61, masyarakat berhak untuk memperoleh perlindungan hukum. Pasal 63 Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 61 dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 64 Pada saat Undang-undang ini berlaku, perkara tindak pidana perdagangan orang yang masih dalam proses penyelesaian di tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tetap diperiksa berdasarkan undang-undang yang mengaturnya. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 65 Pada saat undang-undang ini berlaku, maka Pasal 297 dan Pasal 324 Undangundang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9) jo Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1660) yang telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3850) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 66 Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan oleh Undang-undang ini harus diterbitkan selambat-lambatnya dalam 6 (enam) bulan setelah Undang-undang ini berlaku. Pasal 67 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 19 April 2007 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO. Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 19 April 2007 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA Ttd HAMID AWALUDIN ... ... ... 223 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum ... ... ... LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 58. Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA R.I. Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat. Wisnu Setiawan 224 Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk Indonesia yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. bahwa untuk memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi dan status hukum setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk Indonesia dan Warga Negara Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu dilakukan pengaturan tentang Administrasi Kependudukan; c. bahwa pengaturan tentang Administrasi Kependudukan hanya dapat terlaksana apabila didukung oleh pelayanan yang profesional dan peningkatan kesadaran penduduk, termasuk Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri; d. bahwa peraturan perundang-undangan mengenai Administrasi Kependudukan yang ada tidak sesuai lagi dengan tuntutan pelayanan Administrasi Kependudukan yang tertib dan tidak diskriminatif sehingga diperlukan pengaturan secara menyeluruh untuk menjadi pegangan bagi semua penyelenggara negara yang berhubungan dengan kependudukan; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk undang-undang tentang Administrasi Kependudukan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4), Pasal 26, Pasal 28 B ayat (1), Pasal 28 D ayat (4), Pasal 28 E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 I, Pasal 29 ayat (1), Pasal 34 ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019); 3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 225 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 4. 5. 6. 7. 8. 9. 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 32); Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3474); Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3852); Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3882); Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886); Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235); Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 226 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548); 10. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4634); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan Data Kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain. 2. Penduduk adalah Warga Negara In- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. donesia dan Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara Indonesia. Orang Asing adalah orang bukan Warga Negara Indonesia. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dalam negeri Penyelenggara adalah Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang dalam urusan Administrasi Kependudukan. Instansi Pelaksana adalah perangkat pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan Administrasi Kependudukan. Dokumen Kependudukan adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Data Kependudukan adalah data perseorangan dan/atau data agregat yang terstruktur sebagai hasil dari kegiatan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Pendaftaran Penduduk adalah pencatatan biodata Penduduk, pencatatan atas pelaporan Peristiwa Kependudukan dan pendataan Penduduk rentan Administrasi Kependudukan serta penerbitan Dokumen Kependudukan berupa kartu identitas atau surat keterangan kependudukan. Peristiwa Kependudukan adalah ke- 12. 13. 14. 15. 16. 17. jadian yang dialami Penduduk yang harus dilaporkan karena membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan/atau surat keterangan kependudukan lainnya meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap. Nomor Induk Kependudukan, selanjutnya disingkat NIK, adalah nomor identitas Penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk Indonesia. Kartu Keluarga, selanjutnya disingkat KK, adalah kartu identitas keluarga yang memuat data tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota keluarga. Kartu Tanda Penduduk, selanjutnya disingkat KTP, adalah identitas resmi Penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pencatatan Sipil adalah pencatatan Peristiwa Penting yang dialami oleh seseorang dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana. Pejabat Pencatatan Sipil adalah pejabat yang melakukan pencatatan Peristiwa Penting yang dialami seseorang pada Instansi Pelaksana yang pengangkatannya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan 227 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. nama dan perubahan status kewarganegaraan. Izin Tinggal Terbatas adalah izin tinggal yang diberikan kepada Orang Asing untuk tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu yang terbatas sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Izin Tinggal Tetap adalah izin tinggal yang diberikan kepada Orang Asing untuk tinggal menetap di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Petugas Registrasi adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas dan tanggung jawab memberikan pelayanan pelaporan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting serta pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan di desa/kelurahan. Sistem Informasi Administrasi Kependudukan, selanjutnya disingkat SIAK, adalah sistem informasi yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan di tingkat Penyelenggara dan Instansi Pelaksana sebagai satu kesatuan. Data Pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya. Kantor Urusan Agama Kecamatan, selanjutnya disingkat KUAKec, adalah satuan kerja yang melaksanakan pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk pada tingkat kecamatan bagi Penduduk yang beragama Islam. Unit Pelaksana Teknis Dinas Instansi Pelaksana, selanjutnya disingkat UPTD Instansi Pelaksana, 228 adalah satuan kerja di tingkat kecamatan yang melaksanakan pelayanan Pencatatan Sipil dengan kewenangan menerbitkan akta. BAB II HAK DAN KEWAJIBAN PENDUDUK Pasal 2 Setiap Penduduk mempunyai hak untuk memperoleh: a. Dokumen Kependudukan; b. pelayanan yang sama dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil; c. perlindungan atas Data Pribadi; d. kepastian hukum atas kepemilikan dokumen; e. informasi mengenai data hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil atas dirinya dan/atau keluarganya; dan f. ganti rugi dan pemulihan nama baik sebagai akibat kesalahan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil serta penyalahgunaan Data Pribadi oleh Instansi Pelaksana. Pasal 3 Setiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Pasal 4 Warga Negara Indonesia yang berada di luar wilayah Republik Indonesia wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana Pencatatan Sipil negara setempat dan/atau kepada Perwakilan Republik Indonesia dengan Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. BAB III KEWENANGAN PENYELENGGARA DAN INSTANSI PELAKSANA Bagian Kesatu Penyelenggara Paragraf 1 Pemerintah Pasal 5 Pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menyelenggarakan Administrasi Kependudukan secara nasional, yang dilakukan oleh Menteri dengan kewenangan meliputi: a. koordinasi antar instansi dalam urusan Administrasi Kependudukan; b. penetapan sistem, pedoman, dan standar pelaksanaan Administrasi Kependudukan; c. sosialisasi Administrasi Kependudukan; d. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan urusan Administrasi Kependudukan; e. pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan berskala nasional; dan f. pencetakan, penerbitan, dan distribusi blangko Dokumen Kependudukan. Paragraf 2 Pemerintah Provinsi Pasal 6 Pemerintah provinsi berkewajiban dan bertanggung jawab menyelenggarakan urusan Administrasi Kependudukan, yang dilakukan oleh gubernur dengan kewenangan meliputi: a. koordinasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan; b. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil; c. pembinaan dan sosialisasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan; d. pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan berskala provinsi; dan e. koordinasi pengawasan atas penyelenggaraan Administrasi Kependudukan. Paragraf 3 Pemerintah Kabupaten/Kota Pasal 7 (1)������������������������������ Pemerintah kabupaten/kota berkewajiban dan bertanggung jawab menyelenggarakan urusan Administrasi Kependudukan, yang dilakukan oleh bupati/walikota dengan kewenangan meliputi: a. koordinasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan; b. pembentukan Instansi Pelaksana yang tugas dan fungsinya di bidang Administrasi Kependudukan; c. pengaturan teknis penyelenggaraan Administrasi Kependudukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; d. pembinaan dan sosialisasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan; e. pelaksanaan kegiatan pelayanan masyarakat di bidang Administrasi Kependudukan; f. penugasan kepada desa untuk menyelenggarakan sebagian urusan Administrasi Kependu229 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dukan berdasarkan asas tugas pembantuan; g. pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan berskala kabupaten/kota; dan h. koordinasi pengawasan atas penyelenggaraan Administrasi Kependudukan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Bagian Kedua Instansi Pelaksana Pasal 8 (1) Instansi Pelaksana melaksanakan urusan Administrasi Kependudukan dengan kewajiban yang meliputi: a. mendaftar Peristiwa Kependudukan dan mencatat Peristiwa Penting; b. memberikan pelayanan yang sama dan profesional kepada setiap Penduduk atas pelaporan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting; c. menerbitkan Dokumen Kependudukan; d. mendokumentasikan hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil; e. menjamin kerahasiaan dan keamanan data atas Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting; dan f. melakukan verifikasi dan validasi data dan informasi yang disampaikan oleh Penduduk dalam pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud 230 pada ayat (1) huruf a untuk pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk bagi Penduduk yang beragama Islam pada tingkat kecamatan dilakukan oleh pegawai pencatat pada KUAKec. (3) Pelayanan Pencatatan Sipil pada tingkat kecamatan dilakukan oleh UPTD Instansi Pelaksana dengan kewenangan menerbitkan Akta Pencatatan Sipil. (4) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk persyaratan dan tata cara Pencatatan Peristiwa Penting bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama menurut peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai UPTD Instansi Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan prioritas pembentukannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 9 (1) Instansi Pelaksana melaksanakan urusan Administrasi Kependudukan dengan kewenangan yang meliputi: a. memperoleh keterangan dan data yang benar tentang Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dilaporkan Penduduk; b. memperoleh data mengenai Peristiwa Penting yang dialami Penduduk atas dasar putusan atau penetapan pengadilan; c. memberikan keterangan atas laporan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting untuk kepentingan penyelidikan, penyidikan, dan pembuktian kepada lembaga peradilan; dan Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum d. mengelola data dan mendayagunakan informasi hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil untuk kepentingan pembangunan. (2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b berlaku juga bagi KUAKec, khususnya untuk pencatatan, nikah, talak, cerai, dan rujuk bagi Penduduk yang beragama Islam. (3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Pelaksana mempunyai kewenangan untuk mendapatkan data hasil pencatatan peristiwa perkawinan, perceraian, dan rujuk bagi Penduduk yang beragama Islam dari KUAKec. Pasal 10 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 11 (1) Pejabat Pencatatan Sipil mempunyai kewenangan melakukan verifikasi kebenaran data, melakukan pembuktian pencatatan atas nama jabatannya, mencatat data dalam register akta Pencatatan Sipil, menerbitkan kutipan akta Pencatatan Sipil, dan membuat catatan pinggir pada akta-akta Pencatatan Sipil. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pengangkatan dan pemberhentian serta tugas pokok Pejabat Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 12 (1) Petugas Registrasi membantu kepala desa atau lurah dan Instansi Pelaksana dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. (2) Petugas Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh bupati/walikota dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pengangkatan dan pemberhentian serta tugas pokok Petugas Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. BAB IV PENDAFTARAN PENDUDUK Bagian Kesatu Nomor Induk Kependudukan Pasal 13 (1) Setiap Penduduk wajib memiliki NIK. (2) NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku seumur hidup dan selamanya, yang diberikan oleh Pemerintah dan diterbitkan oleh Instansi Pelaksana kepada setiap Penduduk setelah dilakukan pencatatan biodata. (3) NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam setiap Dokumen Kependudukan dan dijadikan dasar penerbitan paspor, surat izin mengemudi, nomor pokok wajib pajak, polis asuransi, sertifikat hak atas tanah, dan penerbitan dokumen identitas lainnya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan ruang lingkup penerbitan dokumen identitas lainnya, serta pencantuman NIK diatur dengan Peraturan Pemerintah. 231 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Bagian Kedua Pendaftaran Peristiwa Kependudukan Paragraf 1 Perubahan Alamat Pasal 14 (1) Dalam hal terjadi perubahan alamat Penduduk, Instansi Pelaksana wajib menyelenggarakan penerbitan perubahan dokumen Pendaftaran Penduduk. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penerbitan perubahan dokumen Pendaftaran Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri Paragraf 2 Pindah Datang Penduduk dalam Wilayah Indonesia Pasal 15 (1) Penduduk Warga Negara Indonesia yang pindah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melapor kepada Instansi Pelaksana di daerah asal untuk mendapatkan Surat Keterangan Pindah. (2) Pindah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah berdomisilinya Penduduk di alamat yang baru untuk waktu lebih dari 1 (satu) tahun atau berdasarkan kebutuhan yang bersangkutan untuk waktu yang kurang dari 1 (satu) tahun. (3) Berdasarkan Surat Keterangan Pindah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penduduk yang bersangkutan wajib melapor kepada Instansi Pelaksana di daerah tujuan untuk penerbitan Surat Keterangan Pindah Datang. (4) Surat Keterangan Pindah Datang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai dasar peru232 bahan atau penerbitan KK dan KTP bagi Penduduk yang bersangkutan. Pasal 16 Instansi Pelaksana wajib menyelenggarakan pendaftaran pindah datang Penduduk Warga Negara Indonesia yang bertransmigrasi. Pasal 17 (1) Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang pindah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melaporkan rencana kepindahannya kepada Instansi Pelaksana di daerah asal. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Instansi Pelaksana mendaftar dan menerbitkan Surat Keterangan Pindah Datang. (3) Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaporkan kedatangan kepada Instansi Pelaksana di daerah tujuan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkan Surat Keterangan Pindah Datang. (4) Surat Keterangan Pindah Datang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar perubahan dan penerbitan KK, KTP, atau Surat Keterangan Tempat Tinggal bagi Orang Asing yang bersangkutan. Paragraf 3 Pindah Datang Antar Negara Pasal 18 (1) Penduduk Warga Negara Indonesia yang pindah ke luar negeri wajib melaporkan rencana kepindahannya kepada Instansi Pelaksana. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dimaksud pada ayat (1), Instansi Pelaksana mendaftar dan menerbitkan Surat Keterangan Pindah ke Luar Negeri. (3) Penduduk Warga Negara Indonesia yang telah pindah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berstatus menetap di luar negeri wajib melaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak kedatangannya. Pasal 19 (1) Warga Negara Indonesia yang datang dari luar negeri wajib melaporkan kedatangannya kepada Instansi Pelaksana paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal kedatangan. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Pelaksana mendaftar dan menerbitkan Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri sebagai dasar penerbitan KK dan KTP. Pasal 20 (1) Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas yang datang dari luar negeri dan Orang Asing yang memiliki izin lainnya yang telah berubah status sebagai pemegang Izin Tinggal Terbatas yang berencana bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melaporkan kepada Instansi Pelaksana paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterbitkan Izin Tinggal Terbatas. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Pelaksana mendaftar dan menerbitkan Surat Keterangan Tempat Tinggal. (3) Masa berlaku Surat Keterangan Tempat Tinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan masa berlaku Izin Tinggal Terbatas. (4) Surat Keterangan Tempat Tinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dibawa pada saat berpergian. Pasal 21 (1) Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas yang telah berubah status menjadi Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap wajib melaporkan kepada Instansi Pelaksana paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterbitkan Izin Tinggal Tetap. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Pelaksana mendaftar dan menerbitkan KK dan KTP. Pasal 22 (1) Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas atau Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang akan pindah ke luar negeri wajib melaporkan kepada Instansi Pelaksana paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum rencana kepindahannya. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Pelaksana melakukan pendaftaran. Pasal 23 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran Peristiwa Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 diatur dalam Peraturan Presiden. 233 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Paragraf 4 Penduduk Pelintas Batas Pasal 24 (1) Penduduk Warga Negara Indonesia yang tinggal di perbatasan antar negara yang bermaksud melintas batas negara diberi buku pas lintas batas oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (2) Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah memperoleh buku pas lintas batas wajib didaftar oleh Instansi Pelaksana. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran bagi Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Pendataan Penduduk Rentan Administrasi Kependudukan Pasal 25 (1) Instansi Pelaksana wajib melakukan pendataan Penduduk rentan Administrasi Kependudukan yang meliputi: a. penduduk korban bencana alam; b. penduduk korban bencana sosial; c. orang terlantar; dan d. komunitas terpencil. (2) Pendataan Penduduk rentan Administrasi Kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dapat dilakukan di tempat sementara. (3) Hasil pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar penerbitan Surat Keterangan Kependudukan untuk 234 Penduduk rentan Administrasi Kependudukan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendataan Penduduk rentan diatur dalam Peraturan Presiden. Bagian Keempat Pelaporan Penduduk yang Tidak Mampu Mendaftarkan Sendiri Pasal 26 (1) Penduduk yang tidak mampu melaksanakan sendiri pelaporan terhadap Peristiwa Kependudukan yang menyangkut dirinya sendiri dapat dibantu oleh Instansi Pelaksana atau meminta bantuan kepada orang lain. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden. BAB V PENCATATAN SIPIL Bagian Kesatu Pencatatan Kelahiran Paragraf 1 Pencatatan Kelahiran di Indonesia Pasal 27 (1) Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran. Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 28 (1) Pencatatan kelahiran dalam Register Akta Kelahiran dan penerbitan Kutipan Akta Kelahiran terhadap peristiwa kelahiran seseorang yang tidak diketahui asal-usulnya atau keberadaan orang tuanya, didasarkan pada laporan orang yang menemukan dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan dari kepolisian. (2) Kutipan Akta Kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Pejabat Pencatatan Sipil dan disimpan oleh Instansi Pelaksana. Paragraf 2 Pencatatan Kelahiran Di Luar Wilayah Republik Indonesia Pasal 29 (1) Kelahiran Warga Negara Indonesia di luar wilayah Republik Indonesia wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia. (2) Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyelenggarakan pencatatan kelahiran bagi orang asing, pencatatan dilakukan pada Perwakilan Republik Indonesia setempat. (3) Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencatat peristiwa kelahiran dalam Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran. (4) Pencatatan Kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Warga Negara Indonesia yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Paragraf 3 Pencatatan Kelahiran di atas Kapal Laut atau Pesawat Terbang Pasal 30 (1) Kelahiran Warga Negara Indonesia di atas kapal laut atau pesawat terbang wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat tujuan atau tempat singgah berdasarkan keterangan kelahiran dari nakhoda kapal laut atau kapten pesawat terbang. (2) Dalam hal tempat tujuan atau tempat singgah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di wilayah Republik Indonesia, kelahiran dilaporkan kepada Instansi Pelaksana setempat untuk dicatat dalam Register Akta Kelahiran dan diterbitkan Kutipan Akta Kelahiran. (3) Dalam hal tempat tujuan atau tempat singgah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kelahiran dilaporkan kepada negara tempat tujuan atau tempat singgah. (4) Apabila negara tempat tujuan atau tempat singgah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menyelenggarakan pencatatan kelahiran bagi orang asing, pencatatan dilakukan pada Perwakilan Republik Indonesia setempat. (5) Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mencatat peristiwa kelahiran dalam Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran. (6) Pencatatan Kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak 235 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Warga Negara Indonesia yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Pasal 31 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dalam Peraturan Presiden. Paragraf 4 Pencatatan Kelahiran yang Melampaui Batas Waktu Pasal 32 (1) Pelaporan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) yang melampaui batas waktu 60 (enam puluh) hari sampai dengan 1 (satu) tahun sejak tanggal kelahiran, pencatatan dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Kepala Instansi Pelaksana setempat. (2) Pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden. Bagian Kedua Pencatatan Lahir Mati Pasal 33 (1) Setiap lahir mati wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak lahir mati. (2) Instansi Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerbitkan Surat Keterangan Lahir Mati. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai 236 persyaratan dan tata cara pencatatan lahir mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden. Bagian Ketiga Pencatatan Perkawinan Paragraf 1 Pencatatan Perkawinan di Indonesia Pasal 34 (1) Perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan. (3) Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing diberikan kepada suami dan istri. (4) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang beragama Islam dilakukan oleh KUA-Kec. (5) Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dalam Pasal 8 ayat (2) wajib disampaikan oleh KUAKec kepada Instansi Pelaksana dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pencatatan perkawinan dilaksanakan. (6) Hasil pencatatan data sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memerlukan penerbitan kutipan akta Pencatatan Sipil. (7) Pada tingkat kecamatan laporan Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada UPTD Instansi Pelaksana. Pasal 35 Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan b. perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan. Pasal 36 Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan. Paragraf 2 Pencatatan Perkawinan di luar Wilayah Republik Indonesia Pasal 37 (1) Perkawinan Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan pada Perwakilan Republik Indonesia. (2) Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyelenggarakan pencatatan perkawinan bagi Orang Asing, pencatatan dilakukan pada Perwakilan Republik Indonesia setempat. (3) Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencatat peristiwa perkawinan dalam Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan. (4) Pencatatan perkawinan sebagaima- na dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada Instansi Pelaksana di tempat tinggalnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Pasal 38 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 diatur dalam Peraturan Presiden. Bagian Keempat Pencatatan Pembatalan Perkawinan Pasal 39 (1) Pembatalan perkawinan wajib dilaporkan oleh Penduduk yang mengalami pembatalan perkawinan kepada Instansi Pelaksana paling lambat 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan pengadilan tentang pembatalan perkawinan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (2) Instansi Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencabut Kutipan Akta Perkawinan dari kepemilikan subjek akta dan mengeluarkan Surat Keterangan Pembatalan Perkawinan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan pembatalan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden. 237 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Bagian Kelima Pencatatan Perceraian Paragraf 1 Pencatatan Perceraian di Indonesia Pasal 40 (1) Perceraian wajib dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada Instansi Pelaksana paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak putusan pengadilan tentang perceraian yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perceraian dan menerbitkan Kutipan Akta Perceraian. Paragraf 2 Pencatatan Perceraian di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 41 (1) Perceraian Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan pada Perwakilan Republik Indonesia. (2) Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyelenggarakan pencatatan perceraian bagi Orang Asing, pencatatan dilakukan pada Perwakilan Republik Indonesia setempat. (3) Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencatat peristiwa perceraian dalam Register Akta Perceraian dan menerbitkan Kutipan Akta Perceraian. 238 (4) Pencatatan perceraian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada Instansi Pelaksana di tempat tinggalnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Pasal 42 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 diatur dalam Peraturan Presiden. Bagian Keenam Pencatatan Pembatalan Perceraian Pasal 43 (1) Pembatalan perceraian bagi Penduduk wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah putusan pengadilan tentang pembatalan perceraian mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Pelaksana mencabut Kutipan Akta Perceraian dari kepemilikan subjek akta dan mengeluarkan Surat Keterangan Pembatalan Perceraian. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan pembatalan perceraian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden. Bagian Ketujuh Pencatatan Kematian Paragraf 1 Pencatatan Kematian di Indonesia Pasal 44 (1) Setiap kematian wajib dilaporkan Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum oleh keluarganya atau yang mewakili kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal kematian. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kematian dan menerbitkan Kutipan Akta Kematian. (3) Pencatatan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan keterangan kematian dari pihak yang berwenang. (4) Dalam hal terjadi ketidakjelasan keberadaan seseorang karena hilang atau mati tetapi tidak ditemukan jenazahnya, pencatatan oleh Pejabat Pencatatan Sipil baru dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan. (5) Dalam hal terjadi kematian seseorang yang tidak jelas identitasnya, Instansi Pelaksana melakukan pencatatan kematian berdasarkan keterangan dari kepolisian. Paragraf 2 Pencatatan Kematian di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 45 (1) Kematian Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dilaporkan oleh keluarganya atau yang mewakili keluarganya kepada Perwakilan Republik Indonesia dan wajib dicatatkan kepada instansi yang berwenang di negara setempat paling lambat 7 (tujuh) hari setelah kematian. (2) Apabila Perwakilan Republik Indonesia mengetahui peristiwa kematian seorang Warga Negara Indonesia di negara setempat yang tidak dilaporkan dan dicatatkan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimanya informasi tersebut, pencatatan kematiannya dilakukan oleh Perwakilan Republik Indonesia. (3) Dalam hal seseorang Warga Negara Indonesia dinyatakan hilang, pernyataan kematian karena hilang dan pencatatannya dilakukan oleh Instansi Pelaksana di negara setempat. (4) Dalam hal terjadi kematian seseorang Warga Negara Indonesia yang tidak jelas identitasnya, pernyataan dan pencatatan dilakukan oleh Instansi Pelaksana di negara setempat. (5) Keterangan pernyataan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dicatatkan pada Perwakilan Republik Indonesia setempat. (6) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menjadi dasar Instansi Pelaksana di Indonesia mencatat peristiwa tersebut dan menjadi bukti di pengadilan sebagai dasar penetapan pengadilan mengenai kematian seseorang. Pasal 46 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan kematian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dan Pasal 45 diatur dalam Peraturan Presiden. 239 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Bagian Kedelapan Pencatatan Pengangkatan Anak, Pengakuan Anak, dan Pengesahan Anak Paragraf 1 Pencatatan Pengangkatan Anak di Indonesia Pasal 47 (1) Pencatatan pengangkatan anak dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan di tempat tinggal pemohon. (2) Pencatatan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana yang menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya salinan penetapan pengadilan oleh Penduduk. (3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat Pencatatan Sipil membuat catatan pinggir pada Register Akta Kelahiran dan Kutipan Akta Kelahiran. Paragraf 2 Pencatatan Pengangkatan Anak Warga Negara Asing di luar Wilayah Republik Indonesia Pasal 48 (1) Pengangkatan anak warga negara asing yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia di luar wilayah Republik Indonesia wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat. (2) Hasil pencatatan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia. (3) Apabila negara setempat sebagai240 mana dimaksud pada ayat (1) tidak menyelenggarakan pencatatan Pengangkatan Anak bagi warga negara asing, warga negara yang bersangkutan melaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia setempat untuk mendapatkan surat keterangan pengangkatan anak. (4) Pengangkatan anak warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat tinggalnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia. (5) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Instansi Pelaksana mengukuhkan Surat Keterangan Pengangkatan Anak. Paragraf 3 Pencatatan Pengakuan Anak Pasal 49 (1) Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Surat Pengakuan Anak oleh ayah dan disetujui oleh ibu dari anak yang bersangkutan. (2) Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengakuan anak yang lahir diluar hubungan perkawinan yang sah. (3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Pengakuan Anak dan menerbitkan Kutipan Akta Pengakuan Anak. Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Paragraf 4 Pencatatan Pengesahan Anak Pasal 50 (1) Setiap pengesahan anak wajib dilaporkan oleh orang tua kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak ayah dan ibu dari anak yang bersangkutan melakukan perkawinan dan mendapatkan akta perkawinan. (2) Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengesahan anak yang lahir diluar hubungan perkawinan yang sah. (3) Berdasarkan laporan pengesahan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil membuat catatan pinggir pada Akta Kelahiran. Pasal 51 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan pengangkatan anak, pengakuan anak, dan pengesahan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 diatur dalam Peraturan Presiden. Bagian Kesembilan Pencatatan Perubahan Nama dan Perubahan Status Kewarganegaraan Paragraf 1 Pencatatan Perubahan Nama Pasal 52 (1) Pencatatan perubahan nama dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri tempat pemohon. (2) Pencatatan perubahan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana yang menerbitkan akta Pencatatan Sipil paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya salinan penetapan pengadilan negeri oleh Penduduk. (3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat Pencatatan Sipil membuat catatan pinggir pada register akta Pencatatan Sipil dan kutipan akta Pencatatan Sipil. Paragraf 2 Pencatatan Perubahan Status Kewarganegaraan di Indonesia Pasal 53 (1) Perubahan status kewarganegaraan dari warga negara asing menjadi Warga Negara Indonesia wajib dilaporkan oleh Penduduk yang bersangkutan kepada Instansi Pelaksana di tempat peristiwa perubahan status kewarganegaraan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak berita acara pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia oleh pejabat. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil membuat catatan pinggir pada register akta Pencatatan Sipil dan kutipan akta Pencatatan Sipil. Paragraf 3 Pencatatan Perubahan Status Kewarganegaraan dari Warga Negara Indonesia Menjadi Warga Negara Asing di luar Wilayah Republik Indonesia Pasal 54 (1) Perubahan status kewarganega241 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum raan dari Warga Negara Indonesia menjadi warga negara asing di luar wilayah Republik Indonesia yang telah mendapatkan persetujuan dari negara setempat wajib dilaporkan oleh Penduduk yang bersangkutan kepada Perwakilan Republik Indonesia. (2) Perwakilan Republik Indonesia setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerbitkan Surat Keterangan Pelepasan Kewarganegaraan Indonesia. (3) Pelepasan kewarganegaraan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan oleh Perwakilan Republik Indonesia setempat kepada menteri yang berwenang menurut Peraturan Perundang-undangan untuk diteruskan kepada Instansi Pelaksana yang menerbitkan akta Pencatatan Sipil yang bersangkutan. (4) Berdasarkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pejabat Pencatatan Sipil membuat catatan pinggir pada register akta Pencatatan Sipil dan kutipan akta Pencatatan Sipil. Pasal 55 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan perubahan nama dan status kewarganegaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Pasal 53, dan Pasal 54 diatur dalam Peraturan Presiden. Bagian Kesepuluh Pencatatan Peristiwa Penting Lainnya Pasal 56 (1) Pencatatan Peristiwa Penting lainnya dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil atas permintaan Pen242 duduk yang bersangkutan setelah adanya putusan pengadilan negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (2) Pencatatan Peristiwa Penting lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya salinan penetapan pengadilan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan Peristiwa Penting lainnya diatur dalam Peraturan Presiden. Bagian Kesebelas Pelaporan Penduduk yang Tidak Mampu Melaporkan Sendiri Pasal 57 (1) Penduduk yang tidak mampu melaksanakan sendiri pelaporan terhadap Peristiwa Penting yang menyangkut dirinya sendiri dapat dibantu oleh Instansi Pelaksana atau meminta bantuan kepada orang lain. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pelaporan Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden. BAB VI DATA DAN DOKUMEN KEPENDUDUKAN Bagian Kesatu Data Kependudukan Pasal 58 (1) Data Kependudukan terdiri atas data perseorangan dan/atau data agregat Penduduk. (2) Data perseorangan meliputi : a. nomor KK; / b. NIK; Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum c. d. e. f. g. h. i. j. nama lengkap; jenis kelamin; tempat lahir; tanggal/bulan/tahun lahir; golongan darah; agama/kepercayaan; status perkawinan; status hubungan dalam keluarga; k. cacat fisik dan/atau mental; l. pendidikan terakhir; m. jenis pekerjaan; n. NIK ibu kandung; o. nama ibu kandung; p. NIK ayah; q. nama ayah; r. alamat sebelumnya; s. alamat sekarang; t. kepemilikan akta kelahiran/ surat kenal lahir; u. nomor akta kelahiran/nomor surat kenal lahir; v. kepemilikan akta perkawinan/ buku nikah; w. nomor akta perkawinan/buku nikah; x. tanggal perkawinan; y. kepemilikan akta perceraian; z. nomor akta perceraian/surat cerai; aa. tanggal perceraian. (3) Data agregat meliputi himpunan data perseorangan yang berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Bagian Kedua Dokumen Kependudukan Pasal 59 (1) Dokumen Kependudukan meliputi: a. Biodata Penduduk; b. KK; c. KTP; d. surat keterangan kependudukan; dan e. Akta Pencatatan Sipil. (2) Surat keterangan kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi: a. Surat Keterangan Pindah; b. Surat Keterangan Pindah Datang; c. Surat Keterangan Pindah ke Luar Negeri; d. Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri; e. Surat Keterangan Tempat Tinggal; f. Surat Keterangan Kelahiran; g. Surat Keterangan Lahir Mati. h. Surat Keterangan Pembatalan Perkawinan; i. Surat Keterangan Pembatalan Perceraian; j. Surat Keterangan Kematian; k. Surat Keterangan Pengangkatan Anak; l. Surat Keterangan Pelepasan Kewarganegaraan Indonesia; m. Surat Keterangan Pengganti Tanda Identitas; dan n. Surat Keterangan Pencatatan Sipil. (3) Biodata Penduduk, KK, KTP, Surat Keterangan Pindah Penduduk Warga Negara Indonesia antar kabupaten/kota dalam satu provinsi dan antar provinsi dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Surat Keterangan Pindah Datang Penduduk Warga Negara Indonesia antar kabupaten/kota dalam satu provinsi dan antar provinsi dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Surat Keterangan Pindah Datang Penduduk Orang Asing dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Surat Keterangan Pindah ke Luar Negeri, Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri, Surat Keterangan Tempat Tinggal untuk Orang Asing Tinggal 243 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Terbatas, Surat Keterangan Kelahiran untuk Orang Asing, Surat Keterangan Lahir Mati untuk Orang Asing, Surat Keterangan Kematian untuk Orang Asing, Surat Keterangan Pembatalan Perkawinan, Surat Keterangan Pembatalan Perceraian, Surat Keterangan Pengganti Tanda Identitas, diterbitkan dan ditandatangani oleh Kepala Instansi Pelaksana. (4) Surat Keterangan Pindah Penduduk Warga Negara Indonesia antar kecamatan dalam satu kabupaten/ kota, Surat Keterangan Pindah Datang Penduduk Warga Negara Indonesia antar kecamatan dalam satu kabupaten/kota, dapat diterbitkan dan ditandatangani oleh Camat atas nama Kepala Instansi Pelaksana. (5) Surat Keterangan Pindah Datang Penduduk Warga Negara Indonesia dalam satu desa/kelurahan, Surat Keterangan Pindah Datang Penduduk Warga Negara Indonesia antar desa/kelurahan dalam satu kecamatan, Surat Keterangan Kelahiran untuk Warga Negara Indonesia, Surat Keterangan Lahir Mati untuk Warga Negara Indonesia dan Surat Keterangan Kematian untuk Warga Negara Indonesia, dapat diterbitkan dan ditandatangani oleh kepala desa/lurah atas nama Kepala Instansi Pelaksana. (6) Surat Keterangan Pengakuan Anak dan Surat Keterangan Pelepasan Kewarganegaraan Republik Indonesia, diterbitkan dan ditandatangani oleh Kepala Perwakilan Republik Indonesia. Pasal 60 Biodata Penduduk paling sedikit memuat keterangan tentang nama, tempat 244 dan tanggal lahir, alamat dan jatidiri lainnya secara lengkap, serta perubahan data sehubungan dengan Peristiwa Penting dan Peristiwa Kependudukan yang dialami. Pasal 61 (1) KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua. (2) Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan. (3) Nomor KK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk selamanya, kecuali terjadi perubahan kepala keluarga. (4) KK diterbitkan dan diberikan oleh Instansi Pelaksana kepada Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap. (5) KK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan salah satu dasar penerbitan KTP. Pasal 62 (1) Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap hanya diperbolehkan terdaftar dalam 1 (satu) KK. (2) Perubahan susunan keluarga dalam KK wajib dilaporkan kepada Instansi Pelaksana selambat-lambatnya Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 30 (tiga puluh) hari sejak terjadinya perubahan. (3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Instansi Pelaksana mendaftar dan menerbitkan KK. Pasal 63 (1) Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP. (2) Orang Asing yang mengikuti status orang tuanya yang memiliki Izin Tinggal Tetap dan sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun wajib memiliki KTP. (3) KTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku secara nasional. (4) Penduduk wajib melaporkan perpanjangan masa berlaku KTP kepada Instansi Pelaksana apabila masa berlakunya telah berakhir. (5) Penduduk yang telah memiliki KTP wajib membawa pada saat bepergian. (6) Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya diperbolehkan memiliki 1 (satu) KTP. Pasal 64 (1) KTP mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah negara Republik Indonesia, memuat keterangan tentang NIK, nama, tempat tanggal lahir, lakilaki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP, tandatangan pemegang KTP, serta memuat nama dan nomor induk pegawai pejabat yang menandatanganinya. (2) Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan. (3) Dalam KTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan ruang untuk memuat kode keamanan dan rekaman elektronik pencatatan Peristiwa Penting. (4) Masa berlaku KTP: a. untuk Warga Negara Indonesia berlaku selama 5 (lima) tahun; b. untuk Orang Asing Tinggal Tetap disesuaikan dengan 6. masa berlaku Izin Tinggal Tetap. (5) Penduduk yang telah berusia 60 (enam puluh) tahun diberi KTP yang berlaku seumur hidup. Pasal 65 Surat Keterangan Kependudukan paling sedikit memuat keterangan tentang nama lengkap, NIK, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, agama, alamat, Peristiwa Penting dan Peristiwa Kependudukan yang dialami oleh seseorang. Pasal 66 (1) Akta Pencatatan Sipil terdiri atas: a. Register Akta Pencatatan Sipil; dan b. Kutipan Akta Pencatatan Sipil. (2) Akta Pencatatan Sipil berlaku selamanya. Pasal 67 (1) Register Akta Pencatatan Sipil memuat seluruh data Peristiwa Penting. 245 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum (2) Data Peristiwa Penting yang berasal dari KUAKec diintegrasikan ke dalam database kependudukan dan tidak diterbitkan Kutipan Akta Pencatatan Sipil. (3) Register Akta Pencatatan Sipil disimpan dan dirawat oleh Instansi Pelaksana. (4) Register Akta Pencatatan Sipil memuat: a. jenis Peristiwa Penting; b. NIK dan status kewarganegaraan; c. nama orang yang mengalami Peristiwa Penting; d. nama dan identitas pelapor; e. tempat dan tanggal peristiwa; f. nama dan identitas saksi; g. tempat dan tanggal dikeluarkannya akta; dan h. nama dan tanda tangan Pejabat yang berwenang. Pasal 68 (1) Kutipan Akta Pencatatan Sipil terdiri atas kutipan akta: a. kelahiran; b. kematian; c. perkawinan; d. perceraian; dan e. pengakuan anak. (2) Kutipan Akta Pencatatan Sipil memuat: a. jenis Peristiwa Penting; b. NIK dan status kewarganegaraan; c. nama orang yang mengalami Peristiwa Penting; d. tempat dan tanggal peristiwa; e. tempat dan tanggal dikeluarkannya akta; f. nama dan tanda tangan Pejabat yang berwenang; dan g. pernyataan kesesuaian kutipan tersebut dengan data yang terdapat dalam Register Akta Pen246 catatan Sipil. Pasal 69 (1) Instansi Pelaksana atau Pejabat yang diberi kewenangan, sesuai tanggung jawabnya, wajib menerbitkan dokumen Pendaftaran Penduduk sebagai berikut: a. KK atau KTP paling lambat 14 (empat belas) hari; b. Surat Keterangan Pindah paling lambat 14 (empat belas) hari; c. Surat Keterangan Pindah Datang paling lambat 14 (empat belas) hari; d. Surat Kerangan Pindah ke Luar Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari; e. Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari; f. Surat Keterangan Tempat Tinggal untuk Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas paling lambat 14 (empat belas) hari; g. Surat Keterangan Kelahiran paling lambat 14 (empat belas) hari; h. Surat Keterangan Lahir Mati paling lambat 14 (empat belas) hari; i. Surat Keterangan Kematian paling lambat 3 (tiga) hari; j. Surat Keterangan Pembatalan Perkawinan paling lambat 7 (tujuh) hari; atau k. Surat Keterangan Pembatalan Perceraian paling lambat 7 (tujuh) hari; sejak tanggal dipenuhinya semua persyaratan. (2) Perwakilan Republik Indonesia wajib menerbitkan Surat Keterangan Kependudukan sebagai berikut: a. Surat Keterangan Perceraian Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum paling lambat 7 (tujuh) hari; b. Surat Keterangan Pengangkatan Anak paling lambat 7 (tujuh) hari; atau c. Surat Keterangan Pelepasan Kewarganegaraan Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari; sejak tanggal dipenuhinya semua persyaratan. (3) Pejabat Pencatatan Sipil dan Pejabat pada Perwakilan Republik Indonesia yang ditunjuk sebagai pembantu pencatat sipil wajib mencatat pada register akta Pencatatan Sipil dan menerbitkan kutipan akta Pencatatan Sipil paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dipenuhinya semua persyaratan. Pasal 70 (1) Pembetulan KTP hanya dilakukan untuk KTP yang mengalami kesalahan tulis redaksional. (2) Pembetulan KTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan atau tanpa permohonan dari orang yang menjadi subjek KTP. (3) Pembetulan KTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Instansi Pelaksana. Pasal 71 (1) Pembetulan akta Pencatatan Sipil hanya dilakukan untuk akta yang mengalami kesalahan tulis redaksional. (2) Pembetulan akta Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan atau tanpa permohonan dari orang yang menjadi subjek akta. (3) Pembetulan akta Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil sesuai dengan ke- wenangannya. Pasal 72 (1) Pembatalan akta Pencatatan Sipil dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Berdasarkan putusan pengadilan mengenai pembatalan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil membuat catatan pinggir pada Register Akta dan mencabut kutipan akta-akta Pencatatan Sipil yang dibatalkan dari kepemilikan subjek akta. Pasal 73 Dalam hal wilayah hukum Instansi Pelaksana yang menerbitkan akta berbeda dengan pengadilan yang memutus pembatalan akta, salinan putusan pengadilan disampaikan kepada Instansi Pelaksana yang menerbitkan akta Pencatatan Sipil oleh pemohon atau pengadilan. Pasal 74 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan pembetulan dan pembatalan Akta Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72 diatur dalam Peraturan Presiden. Pasal 75 Ketentuan mengenai spesifikasi dan formulasi kalimat dalam Biodata Penduduk, blangko KK, KTP, Surat Keterangan Kependudukan, Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 76 Ketentuan mengenai penerbitan Dokumen Kependudukan bagi petugas rahasia khusus yang melakukan tugas kea247 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum manan negara diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 77 Setiap orang dilarang mengubah, menambah atau mengurangi tanpa hak, isi elemen data pada Dokumen Kependudukan. Pasal 78 Ketentuan mengenai pedoman pendokumentasian hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Perlindungan Data dan Dokumen Kependudukan Pasal 79 (1) Data dan dokumen kependudukan wajib disimpan dan dilindungi oleh negara. (2) Menteri sebagai penanggung jawab memberikan hak akses kepada petugas pada Penyelenggara dan Instansi Pelaksana untuk memasukkan, menyimpan, membaca, mengubah, meralat dan menghapus, serta mencetak Data, mengkopi Data dan Dokumen Kependudukan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, ruang lingkup, dan tata cara mengenai pemberian hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 248 BAB VII PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL SAAT NEGARA ATAU SEBAGIAN NEGARA DALAM KEADAAN DARURAT DAN LUAR BIASA Pasal 80 (1) Apabila negara atau sebagian negara dinyatakan dalam keadaan darurat dengan segala tingkatannya menurut Peraturan Perundangundangan, otoritas pemerintahan yang menjabat pada saat itu diberi kewenangan membuat surat keterangan mengenai Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting. (2) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai dasar penerbitan Dokumen Kependudukan. (3) Apabila keadaan sudah dinyatakan pulih, Instansi Pelaksana aktif mendata ulang dengan melakukan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil di tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 81 (1) Dalam hal terjadi keadaan luar biasa sebagai akibat bencana alam, Instansi Pelaksana wajib melakukan pendataan Penduduk bagi pengungsi dan korban bencana alam. (2) Instansi Pelaksana menerbitkan Surat Keterangan Pengganti Tanda Identitas dan Surat Keterangan Pencatatan Sipil berdasarkan hasil pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Surat Keterangan Pengganti Tanda Identitas atau Surat Keterangan Pencatatan Sipil digunakan sebagai tanda bukti diri dan bahan pertimbangan untuk penerbitan Dokumen Kependudukan. Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penerbitan Surat Keterangan Pengganti Tanda Identitas dan Surat Keterangan Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. BAB VIII SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN Pasal 82 (1) Pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan dilakukan oleh Menteri. (2) Pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pembangunan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi Administrasi Kependudukan dan pengelolaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (4) Pengkajian dan pengembangan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan dilakukan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota (5) Pedoman pengkajian dan pengembangan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. Pasal 83 (1) Data Penduduk yang dihasilkan oleh Sistem Informasi Administrasi Kependudukan dan tersimpan di dalam database kependudukan dimanfaatkan untuk kepentingan perumusan kebijakan di bidang pe- merintahan dan pembangunan. (2) Pemanfaatan data Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan izin Penyelenggara. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. BAB IX PERLINDUNGAN DATA PRIBADI PENDUDUK Pasal 84 (1) Data Pribadi Penduduk yang harus dilindungi memuat: a. nomor KK; b. NIK; c. tanggal/bulan/tahun lahir; d. keterangan tentang kecacatan fisik dan/atau mental; e. NIK ibu kandung; f. NIK ayah; dan g. beberapa isi catatan Peristiwa Penting; (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai beberapa isi catatan Peristiwa Penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 85 (1) Data Pribadi Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 wajib disimpan dan dilindungi oleh negara. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyimpanan dan perlindungan terhadap Data Pribadi Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. (3) Data Pribadi Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus di249 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum jaga kebenarannya dan dilindungi kerahasiaannya oleh Penyelenggara dan Instansi Pelaksana sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 86 (1) Menteri sebagai penanggung jawab memberikan hak akses kepada petugas pada Penyelenggara dan Instansi Pelaksana untuk memasukkan, menyimpan, membaca, mengubah, meralat dan menghapus, mengkopi Data serta mencetak Data Pribadi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, ruang lingkup, dan tata cara mengenai pemberian hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 87 (1) Pengguna Data Pribadi Penduduk dapat memperoleh dan menggunakan Data Pribadi dari petugas pada Penyelenggara dan Instansi Pelaksana yang memiliki hak akses. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk memperoleh dan menggunakan Data Pribadi Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB X PENYIDIKAN Pasal 88 (1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dalam bidang Administrasi Kependudukan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil 250 sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. (2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugas penyidikan berwenang untuk: a. menerima laporan atau pengaduan dari orang atau badan hukum tentang adanya dugaan tindak pidana Administrasi Kependudukan; b. memeriksa laporan atau keterangan atas adanya dugaan tindak pidana Administrasi Kependudukan; c. memanggil orang untuk diminta keterangannya atas adanya dugaan sebagaimana dimaksud huruf b; dan d. membuat dan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan. (3) Pengangkatan, mutasi, dan pemberhentian Penyidik Pegawai Negeri Sipil, serta mekanisme penyidikan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB XI SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 89 (1) Setiap Penduduk dikenai sanksi administratif berupa denda apabila melampaui batas waktu pelaporan Peristiwa Kependudukan dalam hal: a. pindah datang bagi Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas atau Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3); b. pindah datang ke luar negeri bagi Penduduk Warga Negara Indonesia sebagaimana dimak- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum sud dalam Pasal 18 ayat (3); c. pindah datang dari luar negeri bagi Penduduk Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1); d. pindah datang dari luar negeri bagi Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1); e. perubahan status Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas menjadi Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); f. pindah ke luar negeri bagi Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas atau Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1); g. perubahan KK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2); atau h. perpanjangan KTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (4). (2) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap Penduduk Warga Negara Indonesia paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan Penduduk Orang Asing paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden . Pasal 90 (1) Setiap Penduduk dikenai sanksi administratif berupa denda apabila melampaui batas waktu pelaporan Peristiwa Penting dalam hal: a. kelahiran sebagaimana di- maksud dalam Pasal 27 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (4) atau Pasal 30 ayat (6) atau Pasal 32 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (1); b. perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) atau Pasal 37 ayat (4); c. pembatalan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1); d. perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) atau Pasal 41 ayat (4); e. pembatalan perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1); f. kematian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) atau Pasal 45 ayat (1); g. pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) atau Pasal 48 ayat (4); h. pengakuan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1); i. pengesahan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1); j. perubahan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2); k. perubahan status kewarganegaraan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1); atau l. Peristiwa Penting lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2). (2) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden. 251 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 91 (1) Setiap Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5) yang berpergian tidak membawa KTP dikenakan denda administratif paling banyak Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). (2) Setiap Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) yang berpergian tidak membawa Surat Keterangan Tempat Tinggal dikenai denda administratif paling banyak Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden. Pasal 92 (1) Dalam hal Pejabat pada Instansi Pelaksana melakukan tindakan atau sengaja melakukan tindakan yang memperlambat pengurusan Dokumen Kependudukan dalam batas waktu yang ditentukan dalam undang-undang ini dikenakan sanksi berupa denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden. BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 93 Setiap Penduduk yang dengan sengaja memalsukan surat dan/atau dokumen kepada Instansi Pelaksana dalam melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) ta252 hun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 94 Setiap orang yang tanpa hak dengan sengaja mengubah, menambah, atau mengurangi isi elemen data pada Dokumen Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). Pasal 95 Setiap orang yang tanpa hak mengakses database kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1), Pasal 86 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). Pasal 96 Setiap orang atau badan hukum yang tanpa hak mencetak, menerbitkan, dan/atau mendistribusikan blangko Dokumen Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 97 Setiap Penduduk yang dengan sengaja mendaftarkan diri sebagai kepala keluarga atau anggota keluarga lebih dari satu KK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) atau untuk memiliki KTP lebih dari satu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (6) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum juta rupiah). Pasal 98 (1) Dalam hal pejabat dan petugas pada Penyelenggara dan Instansi Pelaksana melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 atau Pasal 94, pejabat yang bersangkutan dipidana dengan pidana yang sama ditambah 1/3 (satu pertiga). (2) Dalam hal pejabat dan petugas pada Penyelenggara dan Instansi Pelaksana membantu melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95, pejabat yang bersangkutan dipidana sesuai dengan ketentuan undang-undang. Pasal 99 Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96, dan Pasal 97 adalah tindak pidana Administrasi Kependudukan. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 100 (1) Semua Dokumen Kependudukan yang telah diterbitkan atau yang telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan dinyatakan tetap berlaku menurut Undangundang ini. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk KK dan KTP sampai dengan batas waktu berlakunya atau diterbitkannya KK dan KTP yang sesuai dengan ketentuan dalam Undangundang ini. Pasal 101 Pada saat Undang-undang ini berlaku: a. Pemerintah memberikan NIK kepa- b. c. d. e. da setiap Penduduk paling lambat 5 (lima) tahun; Semua instansi wajib menjadikan NIK sebagai dasar dalam menerbitkan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) paling lambat 5 (lima) tahun; KTP seumur hidup yang sudah mempunyai NIK tetap berlaku dan yang belum mempunyai NIK harus disesuaikan dengan Undang-undang ini; KTP yang diterbitkan belum mengacu pada Pasal 64 ayat (3) tetap berlaku sampai dengan batas waktu berakhirnya masa berlaku KTP; Keterangan mengenai alamat, nama dan nomor induk pegawai pejabat dan penandatanganan oleh pejabat pada KTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dihapus setelah database kependudukan nasional terwujud. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 102 Pada saat mulai berlakunya Undangundang ini, semua Peraturan Pelaksanaan yang berkaitan dengan Administrasi Kependudukan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini. Pasal 103 Peraturan pelaksanaan Undang-undang ini harus telah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan. Pasal 104 Pembentukan UPTD Instansi Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) dilakukan paling lambat 5 253 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum (lima) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan. Pasal 105 Dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak diundangkannya Undangundang ini, Pemerintah wajib menerbitkan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang penetapan persyaratan dan tata cara perkawinan bagi para penghayat kepercayaan sebagai dasar diperolehnya kutipan akta perkawinan dan pelayanan pencatatan Peristiwa Penting. Pasal 106 Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku: a. Buku Kesatu Bab Kedua Bagian Kedua dan Bab Ketiga Kitab Undangundang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie, Staatsblad 1847:23); b. Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Eropa (Reglement op het Holden der Registers van den Burgerlijken Stand voor Europeanen, Staatsblad 1849:25 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Staatsblad 1946:136); c. Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Cina (Bepalingen voor Geheel Indonesie Betreffende het Burgerlijken Handelsrecht van de Chinezean, Staatsblad 1917:129 jo. Staatsblad 1939:288 sebagaimana diubah terakhir dengan Staatsblad 1946:136); d. Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Indonesia (Reglement op het Holden van de Registers van den Burgerlijeken Stand voor Eenigle Groepen v.d nit tot de Onderhoringer van een Zelfbestuur, behoorende Ind. Bevolking van Java en Madura,Staatsblad 1920:751 jo. Staatsblad 1927:564); e. Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Kristen Indonesia (Hu254 welijksordonantie voor Christenen Indonesiers Java, Minahasa en Amboiena, Staatsblad 1933:74 jo. Staatsblad 1936:607 sebagaimana diubah terakhir dengan Staatsblad 1939:288); f. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1961 tentang Perubahan atau Penambahan Nama Keluarga (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2154); dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 107 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 29 Desember 2006 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 29 Desember 2006 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA AD INTERIM REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YUSRIL IHZA MAHENDRA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 124 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI. DEPUTI MENTERI SEKRETARIS NEGARA BIDANG PERUNDANG-UNDANGAN, Abdul Wahid Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, I. UMUM Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Republik Indonesia. Berbagai Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan tegas menjamin hak setiap Penduduk untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, memperoleh status kewarganegaraan, menjamin kebebasan memeluk agama, dan memilih tempat tinggal di wilayah Republik Indonesia dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Peristiwa Kependudukan, antara lain perubahan alamat, pindah datang untuk menetap, tinggal terbatas atau tinggal sementara, serta perubahan status Orang Asing Tinggal Terbatas menjadi tinggal tetap dan Peristiwa Penting, antara lain kelahiran, lahir mati, kematian, perkawinan, dan perceraian, termasuk pengangkatan, pengakuan, dan pengesahan anak, serta perubahan sta- tus kewarganegaraan, ganti nama dan Peristiwa Penting lainnya yang dialami oleh seseorang merupakan kejadian yang harus dilaporkan karena membawa implikasi perubahan data identitas atau surat keterangan kependudukan. Untuk itu, setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting memerlukan bukti yang sah untuk dilakukan pengadministrasian dan pencatatan sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dalam pemenuhan hak Penduduk, terutama di bidang Pencatatan Sipil, masih ditemukan penggolongan Penduduk yang didasarkan pada perlakuan diskriminatif yang membeda-bedakan suku, keturunan, dan agama sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan produk kolonial Belanda. Penggolongan Penduduk dan pelayanan diskriminatif yang demikian itu tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kondisi tersebut mengakibatkan pengadministrasian kependudukan mengalami kendala yang mendasar sebab sumber Data Kependudukan belum terkoordinasi dan terintegrasi, serta terbatasnya cakupan pelaporan yang belum terwujud dalam suatu sistem Administrasi Kependudukan yang utuh dan optimal. Kondisi sosial dan administratif seperti yang dikemukakan di atas tidak memiliki sistem database kependudukan yang menunjang pelayanan Administrasi Kependudukan. Kondisi itu harus diakhiri dengan pembentukan suatu sistem Administrasi Kependudukan yang sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi untuk memenuhi tuntutan masyarakat atas pelayanan kependudukan 255 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum yang profesional. Seluruh kondisi tersebut di atas menjadi dasar pertimbangan perlunya membentuk Undang-undang tentang Administrasi Kependudukan. Undang-undang tentang Administrasi Kependudukan ini memuat pengaturan dan pembentukan sistem yang mencerminkan adanya reformasi di bidang Administrasi Kependudukan. Salah satu hal penting adalah pengaturan mengenai penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK). NIK adalah identitas Penduduk Indonesia dan merupakan kunci akses dalam melakukan verifikasi dan validasi data jati diri seseorang guna mendukung pelayanan publik di bidang Administrasi Kependudukan. Sebagai kunci akses dalam pelayanan kependudukan, NIK dikembangkan ke arah identifikasi tunggal bagi setiap Penduduk. NIK bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk Indonesia dan berkait secara langsung dengan seluruh Dokumen Kependudukan. Untuk penerbitan NIK, setiap Penduduk wajib mencatatkan biodata Penduduk yang diawali dengan pengisian formulir biodata Penduduk di desa/kelurahan secara benar. NIK wajib dicantumkan dalam setiap Dokumen Kependudukan, baik dalam pelayanan Pendaftaran Penduduk maupun Pencatatan Sipil, serta sebagai dasar penerbitan berbagai dokumen yang ditetapkan menurut peraturan perundang-undangan. Pendaftaran Penduduk pada dasarnya menganut stelsel aktif bagi Penduduk. Pelaksanaan Pendaftaran Penduduk didasarkan pada asas domisili atau 256 tempat tinggal atas terjadinya Peristiwa Kependudukan yang dialami oleh seseorang dan/atau keluarganya. Pencatatan Sipil pada dasarnya juga menganut stelsel aktif bagi Penduduk. Pelaksanaan Pencatatan Sipil didasarkan pada asas peristiwa, yaitu tempat dan waktu terjadinya Peristiwa Penting yang dialami oleh dirinya dan/atau keluarganya. Administrasi Kependudukan sebagai suatu sistem diharapkan dapat diselenggarakan sebagai bagian dari Penyelenggaraan administrasi negara. Dari sisi kepentingan Penduduk, Administrasi Kependudukan memberikan pemenuhan hak-hak administratif, seperti pelayanan publik serta perlindungan yang berkenaan dengan Dokumen Kependudukan, tanpa adanya perlakuan yang diskriminatif. Administrasi Kependudukan diarahkan untuk: 1. memenuhi hak asasi setiap orang di bidang Administrasi Kependudukan tanpa diskriminasi dengan pelayanan publik yang profesional; 2. meningkatkan kesadaran Penduduk akan kewajibannya untuk berperan serta dalam pelaksanaan Administrasi Kependudukan; 3. memenuhi data statistik secara nasional mengenai Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting; 4. mendukung perumusan kebijakan dan perencanaan pembangunan secara nasional, regional, serta lokal; dan 5. mendukung pembangunan sistem Administrasi Kependudukan. Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan bertujuan untuk: 1. memberikan keabsahan identitas dan kepastian hukum atas dokumen Penduduk untuk setiap Peris- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 2. 3. 4. 5. tiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk; memberikan perlindungan status hak sipil Penduduk; menyediakan data dan informasi kependudukan secara nasional mengenai Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil pada berbagai tingkatan secara akurat, lengkap, mutakhir, dan mudah diakses sehingga menjadi acuan bagi perumusan kebijakan dan pembangunan pada umumnya; mewujudkan tertib Administrasi Kependudukan secara nasional dan terpadu; dan menyediakan data Penduduk yang menjadi rujukan dasar bagi sektor terkait dalam penyelenggaraan setiap kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Prinsip-prinsip tersebut di atas menjadi dasar terjaminnya penyelenggaraan Administrasi Kependudukan sebagaimana yang dikehendaki oleh Undang-undang ini melalui penerapan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan. Sistem Informasi Administrasi Kependudukan dimaksudkan untuk: 1. terselenggaranya Administrasi Kependudukan dalam skala nasional yang terpadu dan tertib; 2. terselenggaranya Administrasi Kependudukan yang bersifat universal, permanen, wajib, dan berkelanjutan; 3. terpenuhinya hak Penduduk di bidang Administrasi Kependudukan dengan pelayanan yang profesional; dan 4. tersedianya data dan informasi secara nasional mengenai Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Si- pil pada berbagai tingkatan secara akurat, lengkap, mutakhir, dan mudah diakses sehingga menjadi acuan bagi perumusan kebijakan dan pembangunan pada umumnya. Secara keseluruhan, ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini meliputi hak dan kewajiban Penduduk, Penyelenggara dan Instansi Pelaksana, Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, Data dan Dokumen Kependudukan, Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil pada saat negara dalam keadaan darurat, pemberian kepastian hukum, dan perlindungan terhadap Data Pribadi Penduduk. Untuk menjamin pelaksanaan Undang-undang ini dari kemungkinan pelanggaran, baik administratif maupun ketentuan materiil yang bersifat pidana, diatur juga ketentuan mengenai tata cara penyidikan serta pengaturan mengenai sanksi administratif dan ketentuan pidana. II. PASAL DEMI PASAL Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 1 Pasal 2 Pasal 3 Persyaratan yang dimaksud adalah sesuai dengan peraturan pelaksanaan Undang-undang ini. Pasal 4 Lihat Penjelasan Pasal 3. Pasal 5 Yang dimaksud dengan “Pemerintah” adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia seba257 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum gaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penetapan sistem, pedoman, dan standar yang bersifat nasional di bidang Administrasi Kependudukan sangat diperlukan dalam upaya penertiban Administrasi Kependudukan. Penetapan pedoman di bidang Administrasi Kependudukan oleh Presiden, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden, serta pedoman yang ditetapkan oleh Menteri dalam bentuk Peraturan Menteri digunakan sebagai acuan dalam pembuatan peraturan daerah oleh kabupaten/kota. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan ”pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan berskala nasional” adalah pengelolaan Data Kependudukan yang menggambarkan kondisi nasional dengan menggunakan SIAK yang disajikan sesuai dengan kepentingan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Huruf f Cukup jelas. Pasal 6 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan ”pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan berskala provinsi” adalah pengelolaan data 258 kependudukan yang menggambarkan kondisi provinsi dengan menggunakan SIAK yang disajikan sesuai dengan kepentingan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Huruf e Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan ”desa” adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asalusul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Huruf g Yang dimaksud dengan ”pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan berskala kabupaten/kota” adalah pengelolaan Data Kependudukan yang menggambarkan kondisi kabupaten/ kota dengan menggunakan SIAK yang disajikan sesuai dengan kepentingan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sesuai kekhususannya berbeda dengan provinsi yang lain karena diberi ke- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum wenangan untuk menyelenggarakan Administrasi Kependudukan seperti kabupaten/kota. Cukup jelas Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 8 Pasal 9 Pasal 10 Pasal 11 Pasal 12 Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pemberian NIK kepada Penduduk menggunakan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”dokumen Pendaftaran Penduduk” adalah bagian dari Dokumen Kependudukan yang dihasilkan dari proses Pendaftaran Penduduk, misalnya KK, KTP, dan Biodata. Ayat (2) Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 15 Pasal 16 Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan ”hari” adalah hari kerja (berlaku untuk penjelasan ”hari” pada pasal-pasal berikutnya). Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pindah ke luar negeri“ adalah Penduduk yang tinggal menetap di luar negeri atau meninggalkan tanah air untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berturut-turut atau lebih dari 1 (satu) tahun. Penduduk tersebut termasuk Tenaga Kerja Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pelaporan pada Kantor Perwakilan Republik Indonesia diperlukan sebagai bahan pendataan WNI di luar negeri. Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “datang dari luar negeri“ adalah WNI yang sebelumnya pindah ke luar negeri kemudian datang untuk menetap kembali di Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Surat Keterangan Tempat Tinggal” adalah Surat Keterangan Kependudukan yang dibe259 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum rikan kepada Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas sebagai bukti diri bahwa yang bersangkutan telah terdaftar di pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai Penduduk tinggal terbatas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 21 Pasal 22 Pasal 23 Pasal 24 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Penduduk Pelintas Batas” adalah Penduduk yang bertempat-tinggal secara turun-temurun di wilayah kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan negara tetangga yang melakukan lintas batas antar negara karena kegiatan ekonomi, sosial dan budaya yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Penduduk rentan Administrasi Kependudukan” adalah Penduduk yang mengalami hambatan dalam memperoleh Dokumen Kependudukan yang disebabkan oleh bencana alam dan kerusuhan sosial. Pendataan dilakukan dengan memben260 tuk tim di daerah yang beranggotakan dari instansi terkait. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan ”orang terlantar” adalah Penduduk yang karena suatu sebab sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhannya secara wajar, baik rohani, jasmani maupun sosial. Ciri-cirinya: 1) tidak terpenuhinya kebutuhan dasar hidup khususnya makan, sandang dan papan; 2) tempat tinggal tidak tetap/gelandangan; 3) tidak mempunyai pekerjaan/kegiatan yang tetap; 4) miskin. Huruf d Yang dimaksud dengan “komunitas terpencil” adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan, baik sosial, ekonomi maupun politik. Ciri-cirinya: 1) berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen; 2) pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan; 3) pada umumnya terpencil secara geografis dan relatif sulit terjangkau; 4) peralatan teknologi sederhana; 5) terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”tempat sementara” adalah tempat pada saat terjadi pengungsian. Ayat (3) Cukup jelas. Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”Penduduk yang tidak mampu melaksanakan sendiri pelaporan” adalah Penduduk yang tidak mampu melaksanakan pelaporan karena pertimbangan umur, sakit keras, cacat fisik dan cacat mental. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “tempat terjadinya peristiwa kelahiran” adalah wilayah terjadinya kelahiran. Waktu pelaporan kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari merupakan tenggang waktu yang memungkinkan bagi Penduduk untuk melaporkan peristiwa kelahiran sesuai dengan kondisi/letak geografis Indonesia. Penduduk yang wajib melaporkan kelahiran adalah Kepala Keluarga. Ayat (2) Penerbitan Kutipan Akta Kelahiran tanpa dipungut biaya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kutipan akta kelahiran seorang anak yang tidak diketahui asal usulnya atau keberadaan orang tuanya diserahkan kepada yang bersangkutan setelah dewasa. Pasal 29 Ayat (1) Kewajiban untuk melaporkan kepada “instansi yang berwenang di negara se- tempat” berdasarkan asas yang dianut, yaitu asas peristiwa. Yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang di negara setempat” adalah lembaga yang berwenang seperti yang dimaksud dengan Instansi Pelaksana dalam Undang-undang ini. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”tempat singgah” adalah tempat persinggahan pesawat terbang atau kapal laut dalam perjalanannya mencapai tujuan. Hal ini sesuai dengan asas yang berlaku secara universal, yakni tempat di mana peristiwa kelahiran (persinggahan pertama pesawat terbang/kapal laut), apabila memungkinkan pelaporan dilakukan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 31 Pasal 32 Ayat (1) Persetujuan dari Instansi Pelaksana diperlukan mengingat pelaporan kelahiran tersebut sudah melampaui batas waktu sampai dengan 1 (satu) tahun dikhawatirkan terjadi manipulasi data 261 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum atau hal-hal yang tidak diinginkan. Persetujuan tersebut juga berfungsi sebagai verifikasi atas keabsahan data yang dilaporkan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “lahir mati” adalah kelahiran seorang bayi dari kandungan yang berumur paling sedikit 28 (dua puluh delapan) minggu pada saat dilahirkan tanpa menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Ayat (2) Peristiwa lahir mati hanya diberikan Surat Keterangan Lahir Mati, tidak diterbitkan Akta Pencatatan Sipil. Meskipun tidak diterbitkan akta Pencatatan Sipil tetapi pendataannya diperlukan untuk kepentingan perencanaan dan pembangunan di bidang kesehatan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Perkawinan bagi Penduduk yang beragama Islam dicatat oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Penerbitan Akta Perkawinan bagi Penduduk yang beragama Islam dilakukan oleh Departemen Agama. Ayat (3) Cukup jelas. 262 Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Karena akta perkawinan bagi Penduduk yang beragama Islam sudah diterbitkan oleh KUAKec, data perkawinan yang diterima oleh Instansi Pelaksana tidak perlu diterbitkan kutipan akta perkawinan. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 35 Huruf a Yang dimaksud dengan ”Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antarumat yang berbeda agama. Huruf b Perkawinan yang dilakukan oleh warga negara asing di Indonesia, harus mengikuti ketentuan peraturan perundangundangan mengenai perkawinan di Indonesia. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 36 Pasal 37 Pasal 38 Pasal 39 Pasal 40 Pasal 41 Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Cukup jelas. Pasal 42 Pasal 43 Ayat (1) Bagi penganut agama Islam diberlakukan ketentuan mengenai rujuk yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk jo. UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”kematian” adalah tidak adanya secara permanen seluruh kehidupan pada saat manapun setelah kelahiran hidup terjadi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan ”pihak yang berwenang” adalah kepala rumah sakit, dokter/paramedis, kepala desa/lurah atau kepolisian. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan ”pernyataan” adalah keterangan dari pejabat yang berwenang. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pengangkatan anak” adalah perbuatan hukum untuk mengalihkan hak anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “catatan pinggir” adalah catatan mengenai perubahan status atas terjadinya Peristiwa Penting dalam bentuk catatan yang diletakkan pada bagian pinggir akta atau bagian akta yang memungkinkan (di halaman/bagian muka atau belakang akta) oleh Pejabat Pencatatan Sipil. Cukup jelas. Pasal 48 Pasal 49 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pengakuan anak” adalah pengakuan seorang ayah terhadap anaknya yang lahir di luar ikatan perkawinan sah atas persetujuan ibu kandung anak tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas 263 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 50 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pengesahan anak” adalah pengesahan status seorang anak yang lahir di luar ikatan perkawinan sah pada saat pencatatan perkawinan kedua orang tua anak tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 51 Pasal 52 Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pembuatan catatan pinggir pada akta Pencatatan Sipil diperuntukkan bagi warga negara asing yang melakukan perubahan kewarganegaraan dan pernah mencatatkan Peristiwa Penting di Indonesia. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 54 Pasal 55 Pasal 56 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Peristiwa Penting lainnya” adalah peristiwa yang ditetapkan oleh pengadilan negeri untuk dicatatkan pada Instansi Pelaksana, antara lain perubahan jenis kelamin. Ayat (2) Cukup jelas. 264 Ayat (3) Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 57 Pasal 58 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Yang dimaksud dengan cacat fisik dan/ atau mental mengacu pada undangundang yang menetapkan tentang hal tersebut. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Huruf q Cukup jelas. Huruf r Cukup jelas. Huruf s Cukup jelas. Huruf t Cukup jelas. Huruf u Cukup jelas. Huruf v Cukup jelas. Huruf w Cukup jelas. Huruf x Cukup jelas. Huruf y Cukup jelas. Huruf z Cukup jelas. Huruf aa Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “data agregat” adalah kumpulan data tentang Peristiwa Kependudukan, Peristiwa Penting, jenis kelamin, kelompok usia, agama, pendidikan, dan pekerjaan. Yang dimaksud dengan ”data kuantitatif” adalah data yang berupa angkaangka. Yang dimaksud dengan ”data kualitatif” adalah data yang berupa penjelasan. Pasal 59 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan ”Biodata Penduduk” adalah keterangan yang berisi elemen data tentang jati diri, informasi dasar serta riwayat perkembangan dan perubahan keadaan yang dialami oleh Penduduk sejak saat kelahiran. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 60 Kata “paling sedikit” dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kemungkinan adanya tambahan keterangan, tetapi keterangan tersebut tidak bersifat diskriminatif. Yang dimaksud dengan ”alamat” adalah alamat sekarang dan alamat sebelumnya. Yang dimaksud dengan ”jati diri lainnya” meliputi nomor KK, NIK, lakilaki/perempuan, golongan darah, agama, pendidikan terakhir, pekerjaan, penyandang cacat, status perkawinan, kedudukan/hubungan dalam keluarga, NIK ibu kandung, nama ibu kandung, NIK ayah kandung, nama ayah kandung, nomor paspor, tanggal berakhir paspor, nomor akta kelahiran/surat kenal lahir, nomor akta perkawinan/buku nikah, tanggal perkawinan, nomor akta perceraian/surat cerai, dan tanggal perceraian. Pasal 61 Ayat (1) Yang dimaksud “dengan Kepala Keluarga” adalah : a. orang yang bertempat tinggal 265 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dengan orang lain, baik mempunyai hubungan darah maupun tidak, yang bertanggung jawab terhadap keluarga; b. orang yang bertempat tinggal seorang diri; atau c. kepala kesatrian, kepala asrama, kepala rumah yatim piatu, dan lainlain tempat beberapa orang tinggal bersama-sama. Setiap kepala keluarga wajib memiliki KK, meskipun kepala keluarga tersebut masih menumpang di rumah orang tuanya karena pada prinsipnya dalam satu alamat rumah boleh terdapat lebih dari satu KK. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “perubahan susunan keluarga dalam KK” adalah perubahan yang diakibatkan adanya Peristiwa Kependudukan atau Peristiwa Penting seperti pindah datang, kelahiran, atau kematian. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 266 Pasal 63 Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Dalam rangka menciptakan kepemilikan 1 (satu) KTP untuk 1 (satu) Penduduk diperlukan sistem keamanan/pengendalian dari sisi administrasi ataupun teknologi informasi dengan melakukan verifikasi dan validasi dalam sistem database kependudukan serta pemberian NIK. Pasal 64 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Ketentuan tentang pindah domisili tetap bagi KTP seumur hidup mengikuti ketentuan yang berlaku menurut Undang-undang ini. Ayat (5) Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Huruf a Cukup jelas Pasal 65 Pasal 66 Pasal 67 Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Huruf h Yang dimaksud dengan ”pejabat yang berwenang” adalah Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana yang telah diambil sumpahnya untuk melakukan tugas pencatatan. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 68 Pasal 69 Pasal 70 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kesalahan tulis redaksional”, misalnya kesalahan penulisan huruf dan/atau angka. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 71 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pembetulan akta biasanya dilakukan pada saat akta sudah selesai diproses (akta sudah jadi) tetapi belum diserahkan atau akan diserahkan kepada subjek akta. Pembetulan akta atas dasar koreksi dari petugas, wajib diberitahukan kepada subjek akta. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 72 Ayat (1) Pembatalan akta dilakukan atas permintaan orang lain atau subjek akta, dengan alasan akta cacat hukum karena dalam proses pembuatan didasarkan pada keterangan yang tidak benar dan tidak sah. Ayat (2) Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 73 Pasal 74 Pasal 75 Pasal 76 Yang dimaksud dengan “petugas rahasia” adalah reserse dan intel yang melakukan tugasnya di luar daerah domisilinya. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 77 Pasal 78 Pasal 79 Pasal 80 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “negara atau sebagian dari negara dinyatakan dalam keadaan darurat dengan segala tingkatannya” adalah sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. 267 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 81 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Surat Keterangan Pencatatan Sipil” adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini ketika negara atau sebagian negara dalam keadaan luar biasa. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 82 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pembangunan dan pengembangan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan bertujuan mewujudkan komitmen nasional dalam rangka menciptakan sistem pengenal tunggal, berupa NIK, bagi seluruh Penduduk Indonesia. Dengan demikian, data Penduduk dapat diintegrasikan dan direlasionalkan dengan data hasil rekaman pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Sistem ini akan menghasilkan data Penduduk nasional yang dinamis dan mutakhir. Pembangunan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan dilakukan dengan menggunakan perangkat keras, perangkat lunak dan sistem jaringan komunikasi data yang efisien dan efektif agar dapat diterapkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik In268 donesia. Bagi wilayah yang belum memiliki fasilitas komunikasi data, sistem komunikasi data dilakukan dengan manual dan semi-elektronik. Yang dimaksud dengan “manual” adalah perekaman data secara manual, yang pengiriman data dilakukan secara periodik dengan sistem pelaporan berjenjang karena tidak tersedia listrik ataupun jaringan komunikasi data. Yang dimaksud dengan “semi-elektronik” adalah perekaman data dengan menggunakan komputer, tetapi pengirimannya menggunakan CD/disket secara periodik karena belum tersedia jaringan komunikasi data. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 83 Ayat (1) Data Penduduk yang dihasilkan oleh sistem informasi dan tersimpan di dalam database kependudukan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti dalam menganalisa dan merumuskan kebijakan kependudukan, menganalisa dan merumuskan perencanaan pembangunan, pengkajian ilmu pengetahuan. Dengan demikian baik pemerintah maupun non pemerintah untuk kepentingannya dapat diberikan izin terbatas dalam arti terbatas waktu dan peruntukkannya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 84 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan ”beberapa isi catatan Peristiwa Penting” adalah beberapa catatan mengenai data yang bersifat pribadi dan berkaitan dengan Peristiwa Penting yang perlu dilindungi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 85 Ayat (1) Lihat Penjelasan Pasal 84. Ayat (2) Penyimpanan dan perlindungan dimaksud meliputi tata cara dan penanggung jawab. Ayat (3) Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 86 Pasal 87 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pengguna Data Pribadi Penduduk” adalah instansi pemerintah dan swasta yang membutuhkan informasi data sesuai dengan bidangnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (1) Cukup jelas. Pasal 88 Ayat (2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil memberitahukan kepada Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia mengenai saat dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan jaminan bahwa hasil penyidikannya telah memenuhi ketentuan dan persyaratan. Mekanisme hubungan koordinasi antara Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Administrasi Kependudukan” adalah pegawai negeri yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan di bidang Administrasi Kependudukan. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (1) Cukup jelas Pasal 89 269 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penetapan besaran denda administratif dalam Peraturan Presiden dilakukan dengan memperhatikan kondisi masyarakat di setiap daerah. Pasal 90 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penetapan besaran denda administratif dalam Peraturan Presiden dilakukan dengan memperhatikan kondisi masyarakat di setiap daerah. Pasal 91 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penetapan besaran denda administratif dalam Peraturan Presiden dilakukan dengan memperhatikan kondisi masyarakat di setiap daerah. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. 270 Pasal 92 Pasal 93 Pasal 94 Pasal 95 Pasal 96 Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 97 Pasal 98 Pasal 99 Pasal 100 Pasal 101 Pasal 102 Pasal 103 Pasal 104 Pembentukan UPTD Instansi Pelaksana dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan pelayanan masyarakat. Pasal 105 Yang dimaksud dengan ”persyaratan dan tata cara perkawinan bagi penghayat kepercayaan” adalah persyaratan dan tata cara pengesahan perkawinan yang ditentukan oleh penghayat kepercayaan sendiri dan ketentuan itu menjadi dasar pengaturan dalam Peraturan Pemerintah. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 106 Pasal 107 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4674 Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum PUTUSAN Nomor 46/PUU-VIII/2010 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: [1.2] 1. Nama : Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim Tempat dan Tanggal Lahir : Ujung Pandang, 20 Maret 1970 Alamat : Jalan Camar VI Blok BL 12A, RT/RW 002/008, Desa/Kelurahan Pondok Betung, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang, Banten 2. Nama : Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono Tempat dan Tanggal Lahir : Jakarta, 5 Februari 1996 Alamat : Jalan Camar VI Blok BL 12A, RT/RW 002/008, Desa/Kelurahan Pondok Betung, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang, Banten. Berdasarkan Surat Kuasa Nomor 58/ KH.M&M/K/VIII/2010 bertanggal 5 Agustus 2010, memberi kuasa kepada : i) Rusdianto Matulatuwa; ii) Oktryan Makta; dan iii) Miftachul I.A.A., yaitu advokat pada Kantor Hukum Matulatuwa & Makta yang beralamat di Wisma Nugra Santana 14 Floor, Suite 1416, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 7-8 Jakarta 10220, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa; Selanjutnya disebut sebagai para Pemohon; [1.3] Membaca permohonan dari para Pemohon; Mendengar keterangan dari para Pemohon; Memeriksa bukti-bukti dari para Pemohon; Mendengar keterangan ahli dari para Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pemerintah; Mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Dewan Perwakilan Rakyat; Membaca kesimpulan tertulis dari para Pemohon; 2. DUDUK PERKARA ---------------------------------------3. PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah untuk me271 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum nguji Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019, selanjutnya disebut UU 1/1974) terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan: a. Kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo; b. Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo; KEWENANGAN MAHKAMAH [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan 272 konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar; [3.4] Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo; Kedudukan Hukum (Legal Standing) para Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan Pengujian Undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara; Dengan demikian, para Pemohon dalam pengujian Undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu: a. kedudukannya sebagai para Pemo- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum hon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK; b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undangundang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam permohonan a quo sebagai berikut: [3.8] Menimbang bahwa pada pokoknya para Pemohon mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang mempunyai hak konstitusional yang diatur dalam UUD 1945 yaitu: Pasal 28B ayat (1) yang menyatakan, “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”; Pasal 28B ayat (2) yang menyatakan, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, dan Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan, ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; Hak konstitusional tersebut telah dirugikan akibat berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974; [3.9] Menimbang bahwa dengan memperhatikan akibat yang dialami oleh para Pemohon dikaitkan dengan hak konstitusional para Pemohon, menurut Mahkamah, terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-undang yang dimohonkan pengujian, sehingga para Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo; [3.10] Menimbang bahwa oleh karena Mahka273 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum mah berwenang mengadili permohonan a quo, dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; PENDAPAT MAHKAMAH POKOK PERMOHONAN [3.11] Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon, adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, khususnya mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anak; [3.12] Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan menurut peraturan perundangundangan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan tersebut, Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan, “... bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwaperistiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”. 274 Berdasarkan Penjelasan UU 1/1974 di atas nyatalah bahwa (i) pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan; dan (ii) pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif. Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945]. Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan Undang-undang dan dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945]. Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam Pasal 55 UU 1/1974 yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya; [3.13] Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak. Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu. Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak. Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari 275 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan; [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”; [3.15] Menimbang bahwa, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, maka dalil para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tidak beralasan menurut hukum. Adapun Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan 276 perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya; 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo; [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo; [4.3] Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian; Berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Repu- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum blik Indonesia Nomor 5076); 5. AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan: Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; • Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya; • Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/ atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang • • dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”; Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya; Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal tiga belas, bulan Februari, tahun dua ribu dua belas dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Jumat, tanggal tujuh belas, bulan Februari, tahun dua ribu dua belas, oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon dan/atau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. 277 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum KETUA, Ttd. Moh. Mahfud MD. ANGGOTA-ANGGOTA, Ttd. Achmad Sodiki Ttd. Harjono Ttd. Anwar Usman Ttd. M. Akil Mochtar Ttd. Maria Farida Indrati Ttd. Ahmad Fadlil Sumadi Ttd. Hamdan Zoelva Ttd. Muhammad Alim 6. ALASAN BERBEDA ( CONCURRING OPINION) Terhadap Putusan Mahkamah ini, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati memiliki alasan berbeda (concurring opinion), sebagai berikut: [6.1] Perkawinan menurut Pasal 1 UU 1/1974 adalah “… ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”; sedangkan mengenai syarat sahnya perkawinan Pasal 2 UU 1/1974 menyatakan bahwa: ayat (1) “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Sementara ayat (2) menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 278 Keberadaan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 menimbulkan ambiguitas bagi pemaknaan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 karena pencatatan yang dimaksud oleh Pasal 2 ayat (2) Undang-undang a quo tidak ditegaskan apakah sekadar pencatatan secara administratif yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang telah dilangsungkan menurut agama atau kepercayaan masing-masing, ataukah pencatatan tersebut berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang dilakukan. Keberadaan norma agama dan norma hukum dalam satu peraturan perundang-undangan yang sama, memiliki potensi untuk saling melemahkan bahkan bertentangan. Dalam perkara ini, potensi saling meniadakan terjadi antara Pasal 2 ayat (1) dengan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974. Pasal 2 ayat (1) yang pada pokoknya menjamin bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, ternyata menghalangi dan sebaliknya juga dihalangi oleh keberlakuan Pasal 2 ayat (2) yang pada pokoknya mengatur bahwa perkawinan akan sah dan memiliki kekuatan hukum jika telah dicatat oleh instansi berwenang atau pegawai pencatat nikah. Jika Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 dimaknai sebagai pencatatan secara administratif yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidak sahnya suatu pernikahan, maka hal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak terjadi penambahan terhadap syarat perkawinan. Seturut dengan itu, kata “perkawinan” dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-undang a quo juga akan dimaknai sebagai perkawinan yang sah secara Islam atau perkawinan menurut rukun nikah yang lima. Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Namun demikian, berdasarkan tinjauan sosiologis tentang lembaga perkawinan dalam masyarakat, sahnya perkawinan menurut agama dan kepercayaan tertentu tidak dapat secara langsung menjamin terpenuhinya hak-hak keperdataan istri, suami, dan/atau anakanak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut karena pelaksanaan norma agama dan adat di masyarakat diserahkan sepenuhnya kepada kesadaran individu dan kesadaran masyarakat tanpa dilindungi oleh otoritas resmi (negara) yang memiliki kekuatan pemaksa. [6.2] Pencatatan perkawinan diperlukan sebagai perlindungan negara kepada pihak-pihak dalam perkawinan, dan juga untuk menghindari kecenderungan dari inkonsistensi penerapan ajaran agama dan kepercayaan secara sempurna/utuh pada perkawinan yang dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan tersebut. Dengan kata lain, pencatatan perkawinan diperlukan untuk menghindari penerapan hukum agama dan kepercayaannya itu dalam perkawinan secara sepotong-sepotong untuk meligitimasi sebuah perkawinan, sementara kehidupan rumah tangga pasca perkawinan tidak sesuai dengan tujuan perkawinan dimaksud. Adanya penelantaran istri dan anak, kekerasan dalam rumah tangga, fenomena kawin kontrak, fenomena istri simpanan (wanita idaman lain), dan lain sebagainya, adalah bukti tidak adanya konsistensi penerapan tujuan perkawinan secara utuh. Esensi pencatatan, selain demi tertib administrasi, adalah untuk melindungi wanita dan anak-anak. Syarat pencatatan perkawinan dimaksud dapat diletakkan setidaknya dalam dua kon- teks utama, yaitu (i) mencegah dan (ii) melindungi, wanita dan anak-anak dari perkawinan yang dilaksanakan secara tidak bertanggung jawab. Pencatatan sebagai upaya perlindungan terhadap wanita dan anak-anak dari penyalahgunaan perkawinan, dapat dilakukan dengan menetapkan syarat agar rencana perkawinan yang potensial menimbulkan kerugian dapat dihindari dan ditolak. Negara mengatur (mengundangkan) syarat-syarat perkawinan sebagai upaya positivisasi norma ajaran agama atau kepercayaan dalam hukum perkawinan. Syarat-syarat perkawinan yang dirumuskan oleh negara, yang pemenuhannya menjadi syarat pencatatan nikah sekaligus syarat terbitnya Akta Nikah, dapat ditemukan dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan perundangundangan lainnya yang terkait dengan perkawinan dan administrasi kependudukan. Saya berharap adanya upaya sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agama atau kepercayaan dengan konstruksi hukum negara mengenai perkawinan dan administrasi kependudukan. Saya berharap adanya upaya sinkronisasi hukum dan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya dan masalah yang menyangkut administrasi kependudukan. [6.3] Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam prakteknya, hukum tidak selalu dapat dilaksanakan sesuai yang dikehendaki oleh pembuatnya. Pada kenyataannya, hingga saat ini masih terdapat perkawinan-perkawinan yang mengabaikan 279 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum UU 1/1974, dan hanya menyandarkan pada syarat perkawinan menurut ajaran agama dan kepercayaan tertentu. Terhadap perkawinan secara hukum agama atau kepercayaan yang tidak dilaksanakan menurut UU 1/1974 yang tentunya juga tidak dicatatkan, negara akan mengalami kesulitan dalam memberikan perlindungan secara maksimal terhadap hak-hak wanita sebagai istri dan hak-hak anak-anak yang kelak dilahirkan dari perkawinan tersebut. Para Pemohon menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, adalah bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Saya menilai, Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 karena Pasal 2 ayat (2) Undangundang a quo yang mensyaratkan pencatatan, meskipun faktanya menambah persyaratan untuk melangsungkan perkawinan, namun ketiadaannya tidak menghalangi adanya pernikahan itu sendiri. Kenyataan ini dapat terlihat adanya pelaksanaan program/kegiatan perkawinan massal dari sejumlah pasangan yang telah lama melaksanakan perkawinan tetapi tidak dicatatkan. Selain itu hak anak yang dilindungi oleh Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, tidak dirugikan oleh adanya Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang mensyaratkan pencatatan perkawinan. Perlindungan terhadap hak anak sebagaimana diatur oleh Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, justru akan dapat dimaksimalkan apabila semua perkawinan dicatatkan sehingga dengan mudah akan diketahui silsilah anak dan siapa yang memiliki kewaji280 ban terhadap anak dimaksud. Pencatatan perkawinan adalah dimensi sosial yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas status dan akibat hukum dari suatu peristiwa hukum seperti juga pencatatan tentang kelahiran dan kematian. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut saya tidak ada kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon sebagai akibat keberadaan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974, walaupun jika pencatatan ditafsirkan sebagai syarat mutlak bagi sahnya perkawinan, pasal a quo potensial merugikan hak konstitusional Pemohon I. [6.4] Harus diakui bahwa praktek hukum sehari-hari menunjukkan adanya pluralisme hukum karena adanya golongan masyarakat yang dalam hubungan keperdataannya sehari-hari berpegang pada hukum agama, atau secara utuh berpegang pada hukum nasional, maupun mendasarkan hubungan keperdataannya kepada hukum adat setempat. Pluralisme hukum ini diatur dan secara tegas dilindungi oleh UUD 1945, selama tidak bertentangan dengan cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai implikasi pluralisme hukum, memang tidak dapat dihindari terjadinya friksi-friksi, baik yang sederhana maupun yang kompleks, terkait praktek-praktek hukum nasional, hukum agama, maupun hukum adat dimaksud. Dengan semangat menghindarkan adanya friksi-friksi dan efek negatif dari friksi-friksi dimaksud, negara menghadirkan hukum nasional (peraturan perundang-undangan) yang berusaha menjadi payung bagi pluralisme hu- Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum kum. Tidak dapat dihindarkan jika upaya membuat sebuah payung yang mengayomi pluralisme hukum, di satu sisi harus menyelaraskan tafsir bagi pelaksanaan hukum agama maupun hukum adat. Praktek pembatasan semacam ini mendapatkan pembenarannya dalam paham konstitusionalisme, yang bahkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” kepercayaan memang tidak dapat dipaksakan oleh negara untuk dilaksanakan, karena norma agama atau kepercayaan merupakan wilayah keyakinan transendental yang bersifat privat, yaitu hubungan antara manusia dengan penciptanya; sedangkan norma hukum, dalam hal ini UU 1/1974, merupakan ketentuan yang dibuat oleh negara sebagai perwujudan kesepakatan warga (masyarakat) dengan negara sehingga dapat dipaksakan keberlakuannya oleh negara (Pemerintah). Dalam kenyataannya, di Indonesia masih banyak terdapat perkawinan yang hanya mendasarkan pada hukum agama atau kepercayaan, yaitu berpegang pada syarat-syarat sahnya perkawinan menurut ajaran agama atau kepercayaan tertentu tanpa melakukan pencatatan perkawinan sebagai bentuk jaminan kepastian hukum dari negara atas akibat dari suatu perkawinan. Kenyataan ini dalam prakteknya dapat merugikan wanita, sebagai istri, dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Terkait dengan perlindungan terhadap wanita dan anak-anak sebagaimana telah diuraikan di atas, terdapat perbedaan kerugian akibat perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974 dari sisi subjek hukumnya, yaitu (i) akibat bagi wanita atau istri; dan (ii) akibat bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan dimaksud. Potensi kerugian akibat perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974, bagi wanita (istri) sangat beragam, tetapi sebenarnya yang terpenting adalah apakah kerugian tersebut dapat dipulihkan atau tidak. Di sinilah titik krusial UU 1/1974 terutama pengaturan mengenai pencatatan perkawinan. Dalam konteks sistem hukum perkawinan, perlindungan oleh negara (Pemerintah) terhadap pihak-pihak dalam perkawinan, terutama terhadap wanita sebagai istri, hanya dapat dilakukan jika perkawinan dilakukan secara sadar sesuai dengan UU 1/1974, yang salah satu syaratnya adalah perkawinan dilakukan dengan dicatatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide Pasal 2 UU 1/1974). Konsekuensi lebih jauh, terhadap perkawinan yang dilaksanakan tanpa dicatatkan, negara tidak dapat memberikan perlindungan mengenai status perkawinan, harta gono-gini, waris, dan hak-hak lain yang timbul dari sebuah perkawinan, karena untuk membuktikan adanya hak wanita (istri) harus dibuktikan terlebih dahulu adanya perkawinan antara wanita (istri) dengan suaminya. [6.5] Secara teoritis, norma agama atau [6.6] Perkawinan yang tidak didasarkan pada 281 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum UU 1/1974 juga memiliki potensi untuk merugikan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Potensi kerugian bagi anak yang terutama adalah tidak diakuinya hubungan anak dengan bapak kandung (bapak biologis)-nya, yang tentunya mengakibatkan tidak dapat dituntutnya kewajiban bapak kandungnya untuk membiayai kebutuhan hidup anak dan hak-hak keperdataan lainnya. Selain itu, dalam masyarakat yang masih berupaya mempertahankan kearifan nilai-nilai tradisional, pengertian keluarga selalu merujuk pada pengertian keluarga batih atau keluarga elementer, yaitu suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak (anak-anak). Keberadaan anak dalam keluarga yang tidak memiliki kelengkapan unsur keluarga batih atau tidak memiliki pengakuan dari bapak biologisnya, akan memberikan stigma negatif, misalnya, sebagai anak haram. Stigma ini adalah sebuah potensi kerugian bagi anak, terutama kerugian secara sosial-psikologis, yang sebenarnya dapat dicegah dengan tetap mengakui hubungan anak dengan bapak biologisnya. Dari perspektif peraturan perundang-undangan, pembedaan perlakuan terhadap anak karena sebab-sebab tertentu yang sama sekali bukan diakibatkan oleh tindakan anak bersangkutan, dapat dikategorikan sebagai tindakan yang diskriminatif. Potensi kerugian tersebut dipertegas dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Keberadaan Pasal a quo menutup kemungkinan bagi anak untuk memiliki hubungan keperdataan dengan bapak kandungnya. Hal tersebut adalah risiko dari perkawinan 282 yang tidak dicatatkan atau perkawinan yang tidak dilaksanakan menurut UU 1/1974, tetapi tidaklah pada tempatnya jika anak harus ikut menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan (perkawinan) kedua orang tuanya. Jika dianggap sebagai sebuah sanksi, hukum negara maupun hukum agama (dalam hal ini agama Islam) tidak mengenal konsep anak harus ikut menanggung sanksi akibat tindakan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, atau yang dikenal dengan istilah “dosa turunan”. Dengan kata lain, potensi kerugian akibat perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan UU 1/1974 merupakan risiko bagi laki-laki dan wanita yang melakukan perkawinan, tetapi bukan risiko yang harus ditanggung oleh anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. Dengan demikian, menurut saya, pemenuhan hak-hak anak yang terlahir dari suatu perkawinan, terlepas dari sah atau tidaknya perkawinan tersebut menurut hukum negara, tetap menjadi kewajiban kedua orang tua kandung atau kedua orang tua biologisnya. PANITERA PENGGANTI, Ttd. Mardian Wibowo Peraturan Pemerintah terkait Anak Berhadapan dengan Hukum PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PELAYANAN TERPADU BAGI SAKSI DAN/ATAU KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BAB I KETENTUAN UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pelayanan Terpadu adalah serangkaian kegiatan untuk melakukan perlindungan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh instansi atau lembaga terkait sebagai satu kesatuan penyelenggaraan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum bagi saksi dan/ atau korban tindak pidana perdagangan orang. 2. Pusat Pelayanan Terpadu, yang selanjutnya disingkat PPT, adalah suatu unit kesatuan yang menyelenggarakan pelayanan terpadu untuk saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. 3. Saksi dan/atau Korban adalah seorang saksi yang sekaligus sebagai korban yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/ atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. 4. Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang yang ditentukan da- Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 46 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PELAYANAN TERPADU BAGI SAKSI DAN/ATAU KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. 283 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum lam undang-undang. 5. Rehabilitasi Kesehatan adalah pemulihan saksi dan/atau korban dari gangguan kesehatan yang dideritanya baik fisik maupun psikis yang dilaksanakan di PPT. 6. Rehabilitasi Sosial adalah pemulihan saksi dan/atau korban dari gangguan kondisi psikososial dan pengembalian keberfungsian sosial secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. 7. Pemulangan adalah tindakan pengembalian saksi dan/atau korban ke daerah asal atau negara asal dengan tetap mengutamakan pelayanan perlindungan dan pemenuhan kebutuhannya. 8. Reintegrasi Sosial adalah penyatuan kembali saksi dan/atau korban dengan pihak keluarga, keluarga pengganti, atau masyarakat yang dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi saksi dan/atau korban. 9. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan pemberdayaan perempuan. Pasal 2 PPT wajib: a. memberikan pelayanan dan penanganan secepat mungkin kepada saksi dan/atau korban; b. memberikan kemudahan, kenyamanan, keselamatan dan bebas biaya bagi saksi dan/atau korban; c. menjaga kerahasiaan saksi dan/ atau korban; dan d. menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi saksi dan/atau korban. Pasal 3 Penyelenggaraan pelayanan terpadu bertujuan melaksanakan perlindungan dan pemenuhan hak saksi dan/atau 284 korban atas rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. Pasal 4 (1) Lingkup pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban meliputi pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial, termasuk advokasi, konseling, dan bantuan hukum. (2) Pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi: a. setiap saksi dan/atau korban yang berada di wilayah Republik Indonesia; dan b. setiap saksi dan/atau korban warga negara Indonesia yang berada di luar negeri. (3) Dalam hal saksi dan/atau korban adalah anak, maka pelayanan diberikan secara khusus sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak. Pasal 5 (1) Penyelenggaraan PPT bersifat integratif antar instansi atau lembaga, baik berupa satu atap maupun berjejaring untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada saksi dan/atau korban. (2) Dalam hal penyelenggaraan pelayanan terpadu dilakukan satu atap, PPT bertanggung jawab melaksanakan keseluruhan proses dalam satu kesatuan unit kerja untuk memberikan pelayanan yang diperlukan saksi dan/atau korban. (3) Dalam hal penyelenggaraan pelayanan terpadu dilakukan berjejaring, PPT bertanggung jawab atas keseluruhan proses rujukan pelayanan yang diperlukan saksi dan/ Peraturan Pemerintah terkait Anak Berhadapan dengan Hukum atau korban. BAB II PEMBENTUKAN PUSAT PELAYANAN TERPADU Pasal 6 (1) Untuk melindungi saksi dan/atau korban, pemerintah kabupaten/ kota membentuk dan menyelenggarakan PPT. (2) Pembentukan dan penyelenggaraan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan daerah pada masing-masing kabupaten/kota. (3) Untuk mempermudah penanganan saksi dan/atau korban, di daerah perbatasan dapat dibentuk PPT. (3) Dalam membentuk peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), substansi atau materi peraturan daerah tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah ini. (4) Dalam hal di daerah belum dibentuk peraturan daerah, maka ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan peraturan pelaksanaannya dapat dijadikan dasar untuk menyelenggarakan PPT. Pasal 7 (1) Untuk lebih menjamin kualitas pelayanan terpadu, Menteri menyusun dan menetapkan standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial pada PPT. (2) Standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan pelayanan terpadu. (3) Dalam menyusun standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan pembahasan bersama dengan menteri atau pimpinan lembaga terkait. Pasal 8 (1) Guna menjamin terselenggaranya PPT sesuai dengan standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial, Pimpinan PPT menyusun dan melaksanakan program kerja secara berkesinambungan. (2) Dalam melaksanakan program kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPT dapat melakukan kerjasama dengan masyarakat. BAB III SARANA DAN PRASARANA Pasal 9 (1) Pemerintah kabupaten/kota yang membentuk dan menyelenggarakan PPT wajib menyediakan sarana dan prasarana pada PPT. (2) Dalam penyediaan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disesuaikan dengan standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial yang berlaku. (3) Rumah sakit swasta dapat menyediakan sarana dan prasarana untuk rujukan PPT bagi saksi dan/atau korban setelah mendapat persetujuan dari dinas kesehatan di daerahnya. (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dimaksudkan 285 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum untuk mempermudah pelaksanaan pelayanan terpadu dan pelaksanaan evaluasi. Pasal 10 (1) Dalam hal telah tersedia sarana dan prasarana pelayanan terpadu yang digunakan untuk saksi dan/atau korban tindak pidana lain sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, maka sarana dan prasarana yang telah ada tersebut dapat dimanfaatkan untuk pelaksanaan pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengaturannya diserahkan pada masing-masing kabupaten/kota. (3) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disesuaikan dengan standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial yang berlaku berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan peraturan pelaksanaannya. BAB IV PETUGAS PELAKSANA PELAYANAN TERPADU Pasal 11 (1) Penyelenggaraan pelayanan terpadu wajib didukung oleh petugas pelaksana atau petugas fungsional yang meliputi tenaga kesehatan, psikolog, psikiater, pekerja sosial yang disediakan oleh instansi atau lembaga terkait. (2) Dalam hal tenaga psikolog dan psikiater sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia, maka PPT dapat meminta bantuan kepada instansi atau lembaga lain yang tersedia dengan memberikan honora286 rium. (3) Dalam hal diperlukan, PPT dapat melakukan kerja sama dengan lembaga tertentu dalam penyediaan penerjemah dan relawan pendamping yang diperlukan oleh saksi dan/atau korban. Pasal 12 (1) Penyelenggaraan pelayanan terpadu dilaksanakan pemerintah kabupaten/kota yang dilakukan dengan bekerja sama antar instansi atau lembaga pemerintah terkait di daerah. (2) Pemerintah dan pemerintah provinsi dapat menyediakan petugas pelaksana atau petugas fungsional yang diperlukan oleh PPT di kabupaten/kota. (3) Dalam hal diperlukan, PPT dapat mendayagunakan tenaga pelaksana atau petugas fungsional dari masyarakat. Pasal 13 (1) Dalam hal petugas PPT memerlukan perlindungan dalam penyelenggaraan pelayanan terpadu, maka pimpinan PPT dapat mengajukan permohonan perlindungan secara tertulis kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat untuk memberikan rasa aman kepada petugas PPT. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan. BAB V TATA CARA DAN MEKANISME PELAYANAN TERPADU Pasal 14 (1) Saksi dan/atau korban berhak Peraturan Pemerintah terkait Anak Berhadapan dengan Hukum memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum pada PPT. (2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh saksi dan/ atau korban, keluarganya, temannya, petugas kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial. (3) Pimpinan atau petugas yang ada pada PPT wajib melayani saksi dan/ atau korban berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (4) Pimpinan atau petugas PPT segera menangani saksi dan/atau korban sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. (5) Pimpinan atau petugas PPT, dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam sejak menerima saksi dan/atau korban yang sedang dirawat atau dipulihkan kesehatannya, wajib melaporkannya kepada petugas kepolisian terdekat. Pasal 15 (1) Dalam hal saksi dan/atau korban melaporkan kepada kepolisian terdekat, maka petugas kepolisian wajib menempatkan saksi dan/atau korban pada ruang pemeriksaan khusus yang tersedia. (2) Jika setelah dilakukan pemeriksaan dan terbukti bahwa saksi dan/atau korban mengalami penderitaan akibat tindak pidana perdagangan orang, maka petugas kepolisian yang melakukan pemeriksaan wajib membawa saksi dan/atau korban ke PPT terdekat. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditindaklanjuti untuk diproses sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku. (4) Untuk menjalankan proses seba- gaimana dimaksud pada ayat (3), pimpinan kepolisian memerintahkan kepada penyidik untuk melakukan tugas penyidikan dan sekaligus melakukan perlindungan terhadap saksi dan/atau korban sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pasal 16 (1) Dalam hal pemerintah daerah sudah memiliki rumah perlindungan sosial atau pusat trauma sebelum Peraturan Pemerintah ini diberlakukan, maka rumah perlindungan sosial atau pusat trauma tersebut dapat difungsikan untuk mendukung penyelenggaraan pelayanan PPT. (2) Untuk penyelenggaraan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah dapat mendayagunakan rumah perlindungan sosial atau pusat trauma milik masyarakat atau lembaga-lembaga pelayanan sosial lainnya. (3) Ketentuan mengenai tata cara dan mekanisme penyelenggaraan pelayanan di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur sekaligus dalam peraturan daerah kabupaten/kota mengenai pembentukan PPT. Pasal 17 (1) Dalam hal saksi dan/atau korban adalah warga negara Indonesia dan berada di luar negeri, Pemerintah Republik Indonesia melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan saksi dan/atau korban serta memulangkannya ke Indonesia atas biaya negara. (2) Untuk kepentingan pemulangan saksi dan/atau korban sebagai287 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum mana dimaksud pada ayat (1), perwakilan Pemerintah Republik Indonesia di luar negeri segera melaporkan kepada Menteri Luar Negeri dalam rangka percepatan penanganan saksi dan/atau korban. (3) Menteri Luar Negeri wajib melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah asal saksi dan/atau korban dan instansi terkait lainnya, untuk memulangkan saksi dan/atau korban ke daerah asalnya. (4) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menjemput dan memulangkan ke daerah asal dan tindakan lain yang diperlukan dalam melindungi saksi dan/atau korban. (5) Dalam hal saksi dan/atau korban mengalami penderitaan akibat tindak pidana perdagangan orang, maka: a. Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri wajib memberikan pertolongan kepada saksi dan/atau korban ke rumah sakit terdekat; b. Departemen Sosial atau instansi yang menangani bidang sosial di daerah wajib membawa saksi dan/atau korban ke PPT terdekat. Pasal 18 (1) Dalam hal diperlukan, pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dapat dibentuk PPT. (2) PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan Peraturan Menteri Luar Negeri. Pasal 19 (1) Dalam hal saksi dan/atau korban berada di luar wilayah daerah asalnya, kepala daerah setempat segera melakukan koordinasi dengan 288 kepala daerah asal saksi dan/atau korban untuk mengambil tindakan atau langkah-langkah perlindungan dan pemulangan saksi dan/atau korban ke daerah asalnya. (2) Bupati/walikota daerah asal saksi dan/atau korban tersebut wajib segera menangani hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan dan pemulihan saksi dan/ atau korban ke PPT yang tersedia. (3) Dalam penyelenggaraan pemulangan saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), bupati/walikota dapat melakukan kerja sama dengan bupati/ walikota lainnya dengan pemberitahuan kepada gubernur masingmasing. Pasal 20 (1) Dalam hal saksi dan/atau korban adalah warga negara asing, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia wajib berkoordinasi dengan instansi terkait dan perwakilan negara asal saksi dan/atau korban tersebut di Indonesia, untuk membantu pemulangannya dan memberitahukan kepada perwakilan asingnya. (2) Pemulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada perwakilan negara asing yang berada di Indonesia dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal saksi dan/atau korban adalah warga negara asing yang negaranya tidak mempunyai perwakilan di Indonesia, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia memberitahukan kepada negara asing tersebut pada perwakilan negara asing yang terdekat dengan wilayah negara Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 21 (1) Dalam penanganan saksi dan/atau korban, PPT wajib melakukan jejaring dengan rumah sakit pemerintah atau swasta untuk perawatan dan pemulihan kesehatannya. (2) Dalam hal diperlukan, PPT juga dapat melakukan jejaring dengan rumah perlindungan sosial atau pusat trauma milik pemerintah, masyarakat, atau lembaga-lembaga pelayanan sosial lainnya. BAB VI PEMANTAUAN DAN EVALUASI (1) (2) (3) (4) Pasal 22 Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial pada PPT. Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk mengetahui: a. perkembangan pelaksanaan program PPT; b. capaian kinerja PPT. Pemantauan dilakukan secara berkesinambungan dan evaluasi dilaksanakan setiap 6 (enam) bulan sekali. Menteri melaporkan hasil kegiatan pemantauan dan evaluasi kepada Presiden dan tembusan disampaikan kepada pimpinan Gugus Tugas Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pasal 23 (1) Dalam hal pemantauan dan evaluasi ditemukan adanya tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka Menteri dapat mereko- mendasikan kepada PPT melalui bupati/walikota untuk peningkatan kualitas pelayanan. (2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditindaklanjuti, maka bupati/walikota dapat memberikan sanksi administratif kepada pimpinan atau petugas di PPT. (3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 24 Dalam hal pemantauan dan evaluasi ditemukan adanya kinerja yang baik dalam menjalankan tugasnya, maka Menteri memberikan penghargaan kepada pimpinan dan/atau petugas pada PPT. Pasal 25 Pendanaan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini dan penyelenggaraan PPT bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah serta dari sumber-sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 26 Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan pusat pelayanan terpadu yang telah ada dinyatakan masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau belum diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 27 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan 289 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 4 Pebruari 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 4 Pebruari 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 22 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BIRO PERUNDANG-UNDANGAN BIDANG POLITIK DAN KESRA, Wisnu Setiawan PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA MEKANISME PELAYANAN TERPADU BAGI SAKSI DAN/ATAU KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG I. UMUM Pasal 46 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengamanatkan mengenai tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah ini diharapkan dapat lebih memberikan kemudahan penerapan undang-undang yang di dalamnya mengatur mengenai pencegahan, pemberantasan, penghukuman, dan penanganan tindak pidana perdagangan orang. Tata cara adalah rangkaian proses pelayanan terpadu yang diberikan kepada korban tindak pidana perdagangan orang mulai dari identifikasi korban, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, bantuan hukum, pemulangan, dan reintegrasi sosial. Mekanisme adalah sistem pelayanan terpadu satu pintu baik dalam satu atap maupun berjejaring yang merupakan rangkaian tugas dan fungsi instansi/ lembaga terkait dalam menangani korban tindak pidana perdagangan orang. Di samping pengaturan mengenai tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu, Peraturan Pemerintah ini juga mengatur mengenai pembentukan PPT bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. PPT ini dimaksudkan sebagai pusat pelayanan yang menjamin adanya kecepatan proses 290 Peraturan Pemerintah terkait Anak Berhadapan dengan Hukum pelayanan dan penanganan saksi dan/ atau korban tindak pidana perdagangan orang serta menjamin adanya kemudahan, kenyamanan, keselamatan, kerahasiaan korban, bahkan bebas dari biaya pelayanan, guna mewujudkan adanya keadilan dan kepastian hukum bagi saksi dan/atau korban. Saksi dan/ atau korban dalam Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan hanya untuk korban tindak pidana perdagangan orang. Terkait dengan perlindungan saksi, telah ditentukan tersendiri dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban beserta peraturan pelaksanaannya. Republik Indonesia dan saksi dan/atau korban WNI yang berada di luar wilayah Republik Indonesia. PPT dibentuk di kabupaten/kota yang pembentukannya dengan peraturan daerah pada masing-masing kabupaten/kota. Peraturan daerah kabupaten/kota yang akan dibentuk mengacu pada Peraturan Pemerintah ini, terutama mengenai tata cara dan mekanisme pelayanan, serta pengaturan mengenai standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial. Guna menjamin adanya keterpaduan antara PPT baik yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat diperlukan adanya pola pemantauan terhadap perkembangan atas pelaksanaan penyelenggaraan PPT tersebut. Untuk kelangsungan penyelenggaraan PPT, Menteri melaksanakan evaluasi untuk dijadikan dasar pemberian penghargaan dan peringatan serta pembinaan. Melalui PPT, saksi dan/atau korban berhak untuk memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum dari pemerintah kabupaten/ kota apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan akibat tindak pidana perdagangan orang. Untuk hal itu, penyelenggaraan PPT bertujuan memberikan pemenuhan hak-hak saksi dan/ atau korban tersebut yang lingkup pelayanannya meliputi rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial termasuk advokasi, konseling, dan bantuan hukum. Penyelenggaraan PPT diperuntukkan bagi saksi dan/atau korban di wilayah Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan sarana dan prasarana PPT yang meliputi penyediaan fisik bangunan beserta perlengkapan yang dibutuhkan atau sesuai dengan standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial. Sarana dan prasarana lain adalah ketersediaan para petugas dalam pengelolaan PPT tersebut, misalnya, tenaga kesehatan, keperawatan, psikolog, psikiater, pekerja sosial yang digaji sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam penyelenggaraan PPT diperlukan pelayanan satu atap atau berjejaring, sehingga dibutuhkan keterpaduan dari berbagai pihak. Untuk melakukan jejaring dan kerja sama, PPT melakukan hubungan dengan lembaga-lembaga lain, misalnya dalam penyediaan penerjemah, relawan pendamping yang diperlukan korban, di antaranya pekerja sosial, advokat, atau petugas rohaniawan yang dilaksanakan secara profesional. Pendanaan penyelenggaraan PPT dibebankan pada anggaran pendapatan be291 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum lanja negara dan anggaran pendapatan belanja daerah serta dari sumber-sumber lain yang sah. II. PASAL DEMI PASAL Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 1 Pasal 2 Pasal 3 Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “advokasi” dalam ketentuan ini adalah menyampaikan informasi dengan tujuan untuk mempengaruhi dalam pemberian pelayanan terhadap saksi dan/atau korban. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan agar standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial terhadap anak sebagai saksi dan/atau korban ditentukan sesuai dengan prinsip konvensi hak anak, antara lain prinsip non diskriminasi dan kepentingan terbaik bagi anak. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “lembaga” dalam ketentuan ini adalah lembaga yang melakukan pendampingan terhadap saksi dan/atau korban, misalnya lembaga sosial masyarakat atau lembaga bantuan hukum. Ayat (2) Cukup jelas. 292 Ayat (3) Yang dimaksud “rujukan pelayanan” dalam ketentuan ini adalah pemberian jenis pelayanan lanjutan kepada rumah sakit atau pusat trauma yang tersedia, yang masuk dalam jaringan pelayanan terpadu. Ketentuan ini merupakan jejaring yang berbasis rumah sakit dan masyarakat. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pembentukan dan penyelenggaraan PPT dalam ketentuan ini meliputi pula pembentukan organisasi dan tata laksana PPT. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Ketentuan ini dimaksudkan agar bagi daerah yang telah tersedia semacam lembaga pelayanan terpadu, maka sebelum dibentuk peraturan daerah, ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dapat dijadikan pedoman bagi lembaga tersebut dalam menyelenggarakan pelayanan tehadap saksi dan/atau korban. Peraturan pelaksanaan dalam ketentuan ini misalnya: Peraturan Menteri mengenai standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan agar terdapat satu pedoman dari Pemerintah Peraturan Pemerintah terkait Anak Berhadapan dengan Hukum sehingga tidak tersebar di berbagai peraturan. Hal ini untuk lebih memudahkan pemerintah kabupaten/kota untuk menyelengarakan pelayanan terpadu. Yang dimaksud dengan menteri terkait, antara lain: Menteri Sosial, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Pimpinan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Cukup Jelas. Pasal 8 Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “sarana” adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud dan tujuan, misalnya, meja dan tempat tidur periksa pasien, stetoskop. Yang dimaksud dengan “prasarana” adalah segala hal yang merupakan penunjang utama terselenggaranya pelayanan terpadu misalnya, ruangan khusus untuk pemeriksaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Sarana dan prasarana pelayanan terpadu yang telah ada selama ini misalnya di rumah sakit umum milik Pemerintah, provinsi, dan kabubaten/kota serta Rumah Sakit Kepolisian Pusat, atau Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat II, III, dan IV. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Petugas pelaksana atau petugas fungsional dalam ketentuan ini berasal dari pegawai negeri sipil di lingkungan dinas masing-masing yang dipekerjakan yang pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. Ayat (2) Honorarium dalam ketentuan ini diberikan sesuai dengan kemampuan pemerintah kabupaten/kota. Ayat (3) Yang dimaksud dengan relawan pendamping, misalnya, pekerja sosial, advokat, atau petugas rohaniwan. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 12 Pasal 13 Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dalam ketentuan ini, makna “segera” dimaksudkan agar pimpinan atau petugas dalam menangani saksi dan/atau korban menggunakan metode penanganan atau pertolongan pertama pada saksi dan/atau korban. Prosedur dalam ketentuan ini ditetapkan oleh masingmasing PPT. Ayat (5) Cukup jelas. 293 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Ruang Pemeriksaan Khusus” dalam ketentuan ini adalah tempat melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi saksi dan/ atau korban tindak pidana perdagangan orang pada setiap Kepolisian Resort/ Kepolisian Kota Besar dan Kepolisian Daerah yang pembentukan dan pelaksanaannya sesuai dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Rumah perlindungan sosial atau pusat trauma (trauma center) dalam ketentuan ini ada yang diselenggarakan oleh pemerintah provinsi. Rumah perlindungan sosial adalah lembaga atau panti yang bertujuan untuk memberikan perlindungan awal kepada korban sebelum dirujuk ke lembaga atau panti lain yang memberikan pelayanan lebih intensif. Pusat trauma adalah suatu lembaga atau panti yang menjadi pusat peredaman (penurunan atau penghilangan) kondisi traumatis yang dialami korban sebagai tindak kekerasan yang dialaminya atau anggota keluarganya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) 294 Pasal 17 Cukup jelas. Ayat (3) “Instansi terkait lainnya” dalam ketentuan ini misalnya: Departemen Sosial, Departemen Dalam Negeri, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Polri, Imigrasi. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “tindakan lain” dalam ketentuan ini antara lain: pemberitahuan kepada pihak keluarga saksi dan/atau korban. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Pembentukan PPT di luar negeri diutamakan pada negara yang sering terjadi tindak pidana perdagangan orang. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pembiayaan penanganan dalam ketentuan ini dibebankan kepada bupati/ walikota daerah asal saksi dan/atau korban. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 20 Pasal 21 Pasal 22 Pasal 23 Pasal 24 Peraturan Pemerintah terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Penghargaan dalam ketentuan ini misalnya: piagam atau tropi. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 25 Pasal 26 Pasal 27 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4818 295 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN KERJASAMA PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BAB I KETENTUAN UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1. Pemulihan korban adalah segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah tangga agar lebih berdaya, baik secara fisik maupun psikis. 2. Penyelenggaraan pemulihan adalah segala tindakan yang meliputi pelayanan dan pendampingan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga. 3. Pendampingan adalah segala tindakan berupa konseling, terapi psikologis, advokasi, dan bimbingan rohani, guna penguatan diri korban kekerasan dalam rumah tangga untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. 4. Kerjasama adalah cara yang sistematis dan terpadu antar penyelenggara pemulihan dalam memberikan pelayanan untuk memulihkan korban kekerasan dalam rumah tangga. 5. Petugas penyelenggara pemulihan adalah tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/ atau pembimbing rohani. 6. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan. Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419). MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN DAN KERJASAMA PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. 296 Peraturan Pemerintah terkait Anak Berhadapan dengan Hukum BAB II PENYELENGGARAAN PEMULIHAN Pasal 2 (1) Penyelenggaraan pemulihan terhadap korban dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan pemerintah daerah serta lembaga sosial sesuai dengan tugas dan fungsi masingmasing, termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban. (2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. ruang pelayanan khusus di jajaran kepolisian; b. tenaga yang ahli dan profesional; c. pusat pelayanan dan rumah aman; dan d. sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan korban. (3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Pasal 3 (1) Menteri menetapkan pedoman pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga yang sensitif gender. (2) Pedoman pemulihan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 4 Penyelenggaraan kegiatan pemulihan korban meliputi : a. pelayanan kesehatan; b. pendampingan korban; c. konseling; d. bimbingan rohani; dan e. resosialisasi. Pasal 5 (1) Pelayanan kesehatan dilakukan oleh tenaga kesehatan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, termasuk swasta dengan cara memberikan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan korban. (2) Pendampingan korban dilakukan oleh tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/ atau pembimbing rohani dengan cara memberikan konseling, terapi, bimbingan rohani, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban. (3) Pemberian konseling dilakukan oleh pekerja sosial, relawan pendamping, dengan mendengarkan secara empati dan menggali permasalahan untuk penguatan psikologis korban. (4) Bimbingan rohani dilakukan oleh pembimbing rohani dengan cara memberikan penjelasan mengenai hak dan kewajibannya, serta penguatan iman dan takwa sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya. (5) Resosialisasi korban dilaksanakan oleh instansi sosial dan lembaga sosial agar korban dapat kembali melaksanakan fungsi sosialnya dalam masyarakat. Pasal 6 Untuk kepentingan pemulihan, korban berhak mendapatkan pelayanan dari tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani. 297 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 7 (1) Tenaga kesehatan harus memberikan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan korban sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, dan kebutuhan medis korban. (2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana kesehatan dasar dan sarana kesehatan rujukan milik pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat termasuk swasta. (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan. Pasal 8 (1) Dalam memberikan pelayanan kepada korban, tenaga kesehatan melakukan upaya : a. anamnesis kepada korban; b. pemeriksaan kepada korban; c. pengobatan penyakit; d. pemulihan kesehatan, baik fisik maupun psikis; e. konseling; dan/atau f. merujuk ke sarana kesehatan yang lebih memadai bila diperlukan. (2) Selain upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kasus tertentu, tenaga kesehatan dapat melakukan : a. pelayanan keluarga berencana darurat untuk korban perkosaan; dan b. pelayanan kesehatan reproduksi lainnya sesuai dengan kebutuhan medis. (3) Dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tenaga kesehatan harus membuat rekam medis sesuai dengan ketentuan peraturan 298 perundang-undangan. (4) Untuk setiap tindakan medis yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan harus ada persetujuan tindakan medis (informed consent) dari korban atau keluarganya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Untuk keperluan penyidikan, tenaga kesehatan yang berwenang harus membuat visum et repertum dan/atau visum et repertum psichiatricum atau membuat surat keterangan medis. (6) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan. Pasal 9 (1) Pekerja sosial dalam memberikan pelayanan kepada korban, dapat dilakukan di rumah aman, pusat pelayanan atau tempat tinggal alternatif milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. (2) Dalam hal diperlukan dan atas persetujuan korban, korban dapat ditempatkan oleh pekerja sosial di rumah aman, pusat pelayanan, atau tempat tinggal alternatif yang aman untuk melindungi korban dari ancaman. (3) Pengadaan rumah aman, pusat pelayanan, atau tempat tinggal alternatif yang dilakukan masyarakat dapat difasilitasi oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan pelayanan pada rumah aman, atau tempat tinggal alternatif milik pemerintah, diatur dengan Peraturan Menteri Sosial. Peraturan Pemerintah terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 10 Menteri Sosial dan Menteri Kesehatan, setelah memperhatikan saran dan pertimbangan menteri, dapat menyelenggarakan pusat pelayanan milik pemerintah. Pasal 11 Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, pekerja sosial melakukan upaya : a. menggali permasalahan korban untuk membantu pemecahan masalahnya; b. memulihkan korban dari kondisi traumatis melalui terapi psikososial; c. melakukan rujukan ke rumah sakit atau rumah aman atau pusat pelayanan atau tempat alternatif lainnya sesuai dengan kebutuhan korban; d. mendampingi korban dalam upaya pemulihan melalui pendampingan dan konseling; dan/atau e. melakukan resosialisasi agar korban dapat kembali melaksanakan fungsi sosialnya di dalam masyarakat. Pasal 12 Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, relawan pendamping melakukan upaya : a. membangun hubungan yang setara dengan korban agar bersedia membuka diri dalam mengemukakan persoalannya; b. berempati dan tidak menyalahkan korban mengenai atau yang terkait dengan permasalahannya; c. meyakinkan korban bahwa tidak seorang pun boleh melakukan tindakan kekerasan; d. menanyakan apa yang ingin dilakukan dan bantuan apa yang diperlukan; e. memberikan informasi dan menghubungkan dengan lembaga atau perorangan yang dapat membantu mengatasi persoalannya; dan/atau f. membantu memberikan informasi tentang layanan konsultasi hukum. Pasal 13 Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, pembimbing rohani melakukan upaya : a. menggali informasi dan mendengarkan keluh kesah dari korban; b. mempertebal keimanan dan ketakwaan korban serta mendorong untuk menjalankan ibadat menurut agama masingmasing korban dan kepercayaannya itu. c. menyarankan pemecahan masalah kekerasan dalam rumah tangga menurut agama masing-masing korban dan kepercayaannya itu. d. memberikan pemahaman mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan. Pasal 14 Pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dapat diberikan juga kepada pelaku dan anggota keluarganya. BAB III KERJASAMA PEMULIHAN Pasal 15 (1) Menteri dapat melakukan koordinasi mengenai pelaksanaan ker299 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum jasama dalam rangka pemulihan korban. (2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri dapat membentuk forum koordinasi pusat yang keanggotaannya berasal dari instansi terkait dan masyarakat yang peduli terhadap penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan koordinasi, syarat dan tata cara pembentukan forum koordinasi diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 16 (1) Untuk melaksanakan kerjasama dalam rangka pemulihan korban, pemerintah daerah dapat melakukan koordinasi antar instansi terkait dengan masyarakat yang peduli terhadap penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. (2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu badan yang khusus membidangi pemberdayaan perempuan dan anak. (3) Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibentuk oleh Gubernur. Pasal 17 (1) Tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan pembimbing rohani dapat melakukan kerjasama dalam melaksanakan pemulihan korban. (2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan sebagai berikut : a. melakukan rujukan dalam pelaksanaan upaya pemulihan korban; dan b. penyiapan fasilitas rumah 300 aman atau tempat alternatif bagi korban. Pasal 18 Dalam hal tertentu, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat menjalin kerjasama dengan : a. kepolisian, untuk melaporkan dan memproses pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga; b. advokat, untuk membantu korban dalam proses peradilan; c. penegak hukum lainnya, untuk membantu korban dalam proses di sidang pengadilan; d. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan; e. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI); f. pihak tertentu yang diinginkan demi kepentingan korban. Pasal 19 Untuk penyelenggaraan pemulihan, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masingmasing dapat melakukan kerjasama dengan masyarakat atau lembaga sosial, baik nasional maupun internasional yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 20 Pemerintah dan pemerintah daerah : a. menjamin terlaksananya kemudahan pelayanan kepada korban; b. mengupayakan efektivitas dan efisiensi bagi proses pemulihan korban; dan c. mengupayakan terciptanya kerjasama dan koordinasi dalam upaya pemulihan korban. Peraturan Pemerintah terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 21 Menteri melakukan pemantauan, evaluasi, dan peningkatan kinerja pelaksanaan kerjasama pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga secara transparan dan bertanggung jawab. BAB IV PEMBIAYAAN Pasal 22 Segala biaya untuk pelaksanaan pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dibebankan pada: a. Anggaran Pendapatan Belanja Negara; b. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah; dan c. Sumber pendapatan lain yang sah yang perolehannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 13 Pebruari 2006 MENTERI HUKUM DAN HAK AZASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd HAMID AWALUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 15 BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 23 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 13 Pebruari 2006 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 301 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN KERJA SAMA DALAM UPAYA PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA I. UMUM Upaya pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga perlu terus dilakukan, yang pelaksanaannya dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu antar lintas sektor baik pada tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Untuk kelancaran pelaksanaan pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga, perlu peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan dan kerja sama antar instansi pemerintah dengan melibatkan masyarakat. Upaya pemulihan tersebut merupakan amanat dari Pasal 43 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Guna menunjang pelaksanaan tersebut, perlu pengaturan mengenai penyelenggaraan dan kerja sama pemulihan korban dengan menentukan tugas dan fungsi masing-masing dan kewajiban serta tanggung jawab tenaga kesehatan, pekerja sosial, pembimbing rohani dan relawan pendamping. Untuk lebih mengefektifkan pelayanan terpadu, maka dalam peraturan ini dibentuk forum koordinasi yang akan mengkoordinasikan antar petugas pelayanan, sekaligus menyusun rencana program bagi peningkatan upaya pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga. Forum koordinasi tersebut dibentuk di pusat dan di daerah. Menteri membentuk forum koordinasi di tingkat pusat, 302 sedangkan di daerah dibentuk oleh Gubernur. Penyelenggaraan kerja sama pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga diarahkan pada pulihnya kondisi korban seperti semula baik fisik maupun psikis dalam waktu yang tidak terlalu lama, sehingga korban dapat menjalankan aktivitasnya sehari-hari dan dapat hidup di tengah masyarakat seperti semula. Oleh karena itu, pelayanan harus dilaksanakan semaksimal mungkin segera setelah adanya pengaduan atau pelaporan dari korban untuk memperoleh pelayanan bagi pemulihan kondisi korban kekerasan dalam rumah tangga. Dengan demikian, upaya penyelenggaraan pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga pada dasarnya bertujuan menjamin terlaksananya kemudahan pelayanan korban kekerasan dalam rumah tangga, menjamin efektivitas dan efisiensi bagi proses pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga dan terciptanya kerjasama dan koordinasi yang baik dalam pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga antar instansi, antar petugas pelaksana, dan antar lembaga terkait lainnya. II. PASAL DEMI PASAL Cukup jelas. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Pasal 1 Pasal 2 Peraturan Pemerintah terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Huruf c Yang dimaksud pusat pelayanan adalah yang dikenal dengan trauma center, sedangkan rumah aman dikenal dengan shelter. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 3 Pasal 4 Huruf a Cukup jelas. Huruf b koordinasi yang baik dalam pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga antar instansi, antar petugas pelaksana, dan antar lembaga terkait lainnya. Huruf c Yang dimaksud dengan “konseling” adalah pemberian bantuan oleh seseorang yang ahli atau orang yang terlatih sedemikian rupa sehingga pemahaman dan kemampuan psikologis diri korban meningkat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi. Huruf d Yang dimaksud dengan “bimbingan rohani” adalah konseling yang diberikan oleh rohaniwan. Huruf e Cukup jelas. Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Pasal 5 Instansi Sosial adalah instansi pemerintah yang ruang lingkup tugasnya menangani urusan sosial, dan instansi pemerintah daerah yang menanggulangi masalah sosial. Cukup jelas Pasal 6 Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Standar Profesi” adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and proffesional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. Yang dimaksud dengan “Standar Prosedur Operasional” adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu, yang dibuat oleh sarana kesehatan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan sarana kesehatan antara lain puskesmas, balai pengobatan, dan rumah sakit. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “rekam medis” adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien (korban) pada sarana kesehatan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “persetujuan 303 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum tindakan medis” (informed consent) adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien (korban) atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap korban tersebut. Persetujuan dapat diberikan secara lisan atau tertulis. Ayat (5) Visum et repertum dibuat oleh dokter yang memeriksa korban dan visum et repertum psichiatricum dibuat oleh dokter spesialis kesehatan jiwa. Ayat (6) Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. 304 Pasal 9 Pasal 10 Pasal 11 Pasal 12 Pasal 13 Pasal 14 Pasal 15 Pasal 16 Pasal 17 Pasal 18 Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 19 Pasal 20 Pasal 21 Pasal 22 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4604 Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 88 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENGHAPUSAN PERDAGANGAN (TRAFIKING) PEREMPUAN DAN ANAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perempuan sebagai ibu bangsa dan anak sebagai penerus bangsa merupakan mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa wajib dilindungi dan dijaga kehormatan, martabat dan harga dirinya secara wajar dan proporsional baik secara hukum, ekonomi, politik, sosial, dan budaya tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan; b. bahwa berdasarkan norma-norma agama, moral, serta norma hukum baik nasional maupun internasional, kegiatan perdagangan (trafiking) perempuan dan anak merupakan kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang harus diberantas hingga ke akarakarnya; c. bahwa praktek perdagangan (trafiking) perempuan dan anak di Indonesia sudah sedemikian memprihatinkan, sehingga telah menimbulkan kerisauan dan kecemasan kita sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, dan untuk itu, perlu penanganan segera dan serius dengan melibatkan semua pihak; d. bahwa penanganan secara sistematis, komprehensif, berkesinambungan, dan terpadu sangat dibutuhkan, sehingga perlu pedoman suatu rencana aksi sebagai derivasi dan penjabaran dari berbagai amanat yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan nasional maupun hukum internasional terhadap upayaupaya untuk menghapuskan perdagangan (trafiking) perempuan dan anak; e. bahwa sehubungan dengan butir a, b, c, dan d, dipandang perlu menyusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (trafiking) Perempuan dan anak dengan Keputusan Preisden; 1. 2. 3. 4. Mengingat : Pasal 4 dan Pasal 28 Undangundang Dasar Tahun 1945 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143); Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277); Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Pengadilan Anak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 305 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 3668); 5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 6. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848); 7. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886); 8. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 28 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4026); 9. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4235); 10. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 57); cantum dalam Lampiran I Keputusan Presiden ini. (2) RAN-P3A sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan landasan dan pedoman bagi Pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan penghapusan Perdagangan (trafiking) perempuan dan anak. MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENGHAPUSAN PERDAGANGAN (TRAFIKING) PEREMPUAN DAN ANAK Pasal 3 Pelaksanaan RAN-P3A dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan dalam suatu program 5 (lima) tahunan yang akan ditinjau dan disempurnakan kembali setiap 5 (lima) tahun. Pasal 1 (1) Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (trafiking) Perempuan dan Anak, selanjutnya disebut RAN-P3A, adalah sebagaimana ter- Pasal 4 (1) Untuk menjamin terlaksananya RAN-P3A dibentuk suatu Gugus Tugas yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung 306 Pasal 2 Hakekat dan tujuan RAN-P3A adalah untuk: a. menjamin peningkatan dan pemajuan atas upaya-upaya perlindungan terhadap korban Perdagangan (trafiking) orang, khususnya terhadap perempuan dan anak; b. mewujudkan kegiatan-kegiatan baik yang bersifat preventif maupun represif dalam upaya melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan atas praktekpraktek perdagangan (trafiking) orang khususnya terhadap perempuan dan anak; c. mendorong untuk adanya pembentukan dan/atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindakan perdagangan (trafiking) orang khususnya terhadap perempuan dan anak; Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum kepada Presiden. (2) Gugus Tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas: a. Pengkoordinasian pelaksanaan upaya penghapusan perdagangan (trafiking) perempuan dan anak yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat sesuai dengan tugas fungsi dan/atau kualifikasi masingmasing; b. Advokasi dan sosial RAN-P3A pada pemangku kepentingan; c. Pemantauan dan evaluasi baik secara periodik maupun insidentil serta penyampaian permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan RANP3A kepada instansi yang berwenang untuk penanganan dan penyelesaian lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. Kerjasama nasional, regional, dan internasional untuk langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan dalam upaya penghapusan perdagangan (trafiking) perempuan dan anak; e. Pelaporan perkembangan pelaksanaan upaya penghapusan Perdagangan (trafiking) perempuan dan anak kepada Presiden dan masyarakat. (3) Susunan keanggotaan Gugus Tugas RAN-P3A sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Keputusan Presiden ini. Pasal 5 (1) Susunan keanggotaan Gugus Tugas RAN-P3A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) terdiri dari Tim Pengarah yang diketuai oleh Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Tim Pelaksana yang diketuai oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (2) Untuk adanya kelancaran dan kesinambungan yang sinergis dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan selaku Ketua Pelaksana, mengkoordinasikan setiap kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan RAN-P3A. Pasal 6 (1) Untuk menjamin terlaksananya RAN-P3A di daerah dilakukan oleh Gugus Tugas Daerah RAN-P3A, yang dibentuk melalui Keputusan Gubernur untuk Pemerintah Provinsi (pemprov) dan Keputusan Bupati/Walikota untuk Pemerintah Kabupaten/Kota (Pemkab/Pemkot). (2) Susunan keanggotaan Gugus Tugas Daerah RAN-P3A menyesuaikan susunan keanggotaan Gugus Tugas RAN-P3A dan/atau disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi daerah yang bersangkutan. Pasal 7 (1) Pembiayaan pelaksanaan RANP3A dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, anggaran masing-masing pemangku kepentingan dan/atau sumber dana lain yang sah serta tidak mengikat. (2) Pembiayaan Gugus Tugas RANP3A dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, 307 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta sumber dana lain yang sah serta tidak mengikat Pasal 8 Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 Desember 2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II; Ttd Edy Sudibyo 308 Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENGHAPUSAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak merupakan mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa wajib dilindungi dan dijaga kehormatan, martabat dan harga dirinya secara wajar dan proporsional baik secara hukum, ekonomi, politik, sosial, dan budaya, tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan; b. bahwa anak adalah generasi penerus bangsa yang akan sangat menentukan nasib dan masa depan bangsa secara keseluruhan di masa yang akan datang dan oleh karena itu pembinaan dan perlindungan anak haruslah menjadi tugas utama seluruh komponen bangsa; c. bahwa kegiatan eksploitasi seksual komersial anak adalah merupakan kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang harus diberantas hingga ke akar-akarnya; d. bahwa kegiatan eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia sudah sedemikian parah yang sungguh merisaukan dan mencemaskan sehingga harus segera ditangani dengan sungguh-sungguh dan melibatkan semua pihak; e. bahwa untuk itu diperlukan tindakan nyata berupa tindakan penegakan hukum dan program nyata yang merupakan derivasi dan penjabaran dari berbagai amanat yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan nasional maupun internasional tentang perlindungan anak terhadap kegiatan eksploitasi seksual komersial anak; f. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dalam butir a, b, c, d, dan e dipandang perlu menetapkan Keputusan Presiden mengenai Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak; Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 28 B ayat (2) Undang-undang Dasar Tahun 1945; 2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143); 3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277); 4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Pengadilan Anak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3668); 5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 309 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 6. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848); 7. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886); 8. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention Number 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak) (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3941); 9. Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4026); 10. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4235); 11 Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 57); MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENGHAPUSAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK. 310 Pasal 1 (1) Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, selanjutnya disebut RANPESKA, adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan Presiden ini. (2) RAN-PESKA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan landasan dan pedoman bagi Pemerintah, Propinsi dan Kabupaten/Kota serta Organisasi Non Pemerintah dalam melaksanakan penghapusan eksploitasi seksual komersial anak. Pasal 2 Hakekat dan tujuan RAN-PESKA adalah untuk: a. menjamin peningkatan dan pemajuan atas upaya-upaya perlindungan terhadap korban eksploitasi seksual komersial anak; b. mewujudkan kegiatan-kegiatan baik yang bersifat preventif maupun represif dalam upaya melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan atas praktek-praktek eksploitasi seksual komersial anak; c. mendorong untuk adanya pembentukan dan/atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindakan eksploitasi seksual komersial anak. Pasal 3 Pelaksanaan RAN-PESKA dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan dalam suatu program 5 (lima) tahunan yang akan ditinjau dan disempurnakan kembali setiap 5 (lima) tahun. Pasal 4 (1) Untuk menjamin terlaksananya RAN-PESKA dibentuk suatu Gugus Tugas / Panitia Nasional yang berkedudukan di bawah dan ber- Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum tanggung jawab langsung kepada Presiden. (2) Gugus Tugas / Panitia Nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas: a. Pengkoordinasian pelaksanaan upaya penghapusan eksploitasi seksual komersial anak yang dilakukan oleh Pemerintah, Propinsi dan Kabupaten/Kota serta Organisasi Non Pemerintah sesuai dengan tugas fungsi dan/atau kualifikasi masingmasing; b. Advokasi dan sosialisasi RANPESKA pada pemangku kepentingan; c. Kerjasama nasional, regional dan internasional untuk langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan dalam upaya penghapusan eksploitasi seksual komersial anak; d. Pemantauan dan evaluasi baik secara periodik maupun insidentil serta penyampaian permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan RAN-PESKA kepada instansi yang berwenang untuk penanganan dan penyelesaian lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; e. Pelaporan perkembangan pelaksanaan upaya penghapusan eksploitasi seksual komersial anak kepada Presiden dan masyarakat. (3) Susunan keanggotaan Gugus Tugas / Panitia Nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Keputusan Presiden ini. Pasal 5 (1) Susunan keanggotaan Gugus Tugas / Panitia Nasional RAN-PESKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) terdiri dari Tim Pengarah yang diketuai oleh Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Tim Pelaksana yang diketuai oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (2) Untuk adanya kelancaran dan kesinambungan yang sinergis dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan selaku Ketua Pelaksana, mengkoordinasikan setiap kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan RAN-PESKA. Pasal 6 (1) Untuk menjamin terlaksananya RAN-PESKA di daerah dilakukan oleh Gugus Tugas / Panitia Daerah RAN-PESKA, yang dibentuk melalui Keputusan Gubernur untuk Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan Keputusan Bupati/Walikota untuk Pemerintah Kabupaten/Kota (Pemkab/Pemkot). (2) Susunan keanggotaan Gugus Tugas / Panitia Daerah RAN-PESKA menyesuaikan susunan keanggotaan Gugus Tugas / Panitia Nasional RAN-PESKA dan/atau disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi daerah yang bersangkutan. Pasal 7 Pembiayaan pelaksanaan RAN-PESKA dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, anggaran masing-masing pemangku kepentingan dan/atau sumber dana lain yang sah serta tidak mengikat. 311 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pasal 8 Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 Desember 2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II, Edy Sudibyo LAMPIRAN I KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 87 Tahun 2002 TANGGAL : 30 Desember 2002 RENCANA AKSI NASIONAL PENGHAPUSAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak merupakan mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa wajib dilindungi dan dijaga kehormatan, martabat dan harga dirinya secara wajar, baik secara hukum, ekonomi, politik, sosial dan budaya tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan. Anak adalah generasi penerus bangsa yang akan sangat menentukan nasib dan masa depan bangsa secara keseluruhan di masa yang akan datang. Anak harus dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah dan kodratnya, oleh karena itu segala bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak akhlak anak dalam berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan termasuk eksploitasi untuk tujuan seksual komersial harus segera dihentikan tanpa kecuali. Korban diperlakukan seperti komoditas yang dapat diperjualbelikan dan dirampas hak-haknya bahkan beresiko tinggi terhadap gangguan kesehatan jasmani, rohani dan sosialnya serta berpengaruh buruk terhadap masa depannya. Terdapat tiga bentuk eksploitasi seksual komersial terhadap anak yaitu prostitusi anak, pornografi anak, dan perdagangan (trafiking) anak untuk 312 Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum tujuan seksual. Berdasarkan pemetaan yang dilakukan pada tahun 1997/1998, ketiga bentuk eksploitasi seksual komersial anak tersebut ditemukan dengan skala dan intensitas yang berbeda. Prostitusi anak di Indonesia telah meluas, jumlah anak yang dilacurkan diperkirakan mencapai 30% dari total prostitusi yakni sekitar 40.000-70.000 anak atau bahkan lebih. Gejala prostitusi anak diperkirakan akan terus meningkat karena tidak ada prasyarat yang menunjukkan adanya penurunan permintaan. Pornografi anak terjadi dalam skala paling rendah, namun dengan terbukanya arus informasi global, bukanlah hal yang tidak biasa menampilkan figur anak berumur belasan tahun dalam situs internet yang dapat diakses oleh siapapun. Kasus-kasus perdagangan (trafiking) anak untuk tujuan seksual diidentifikasi terjadi di Indonesia. Dalam hal perdagangan anak untuk tujuan seksual secara lintas batas negara, Indonesia merupakan negara asal dengan tujuan ke negara-negara tetangga sekitar Indonesia. Dengan demikian, menjadi nyata bahwa kegiatan eksploitasi seksual komersial anak merupakan kejahatan kemanusian dan pelanggaran berat hak asasi manusia yang harus dibasmi sampai keakar-akarnya dan ditangani secara sungguh-sungguh melalui Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak dengan melibatkan semua pihak dengan potensi yang dimilikinya. Perumusan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (RAN-PESKA) di Indonesia merujuk kepada kesepakatan yang tertuang dalam empat instrumen internasional/ regional sebagai berikut: a. Konvensi tentang Hak-hak Anak (KHA), yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990; b. Deklarasi dan Agenda Aksi Stockholm, disepakati pada tahun 1996; c. Komitmen dan Rencana Aksi Regional Kawasan Asia Timur dan Pasifik melawan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Regional Commitment and Action Plan of the East Asia and Pacific Region against Commercial Sexual Exploitation of Children), ditandatangani di Bangkok pada bulan Oktober 2001; dan d. Komitmen Global Yokohama, disepakati pada bulan Desember 2001. Instrumen pertama dan keempat memberikan landasan legal dan moral, sedang instrumen kedua dan ketiga, selain memberikan landasan moral juga memberikan kerangka program bagi upaya penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA), baik di tingkat internasional dan regional maupun nasional dan lokal. Kerangka yang diberikan oleh Agenda Aksi Stockholm dan Komitmen dan Rencana Aksi Regional Kawasan Asia Timur dan Pasifik melawan Eksploitasi Seksual Komersial Anak terbagi menjadi lima kategori, yaitu : a. Koordinasi dan Kerjasama; b. Pencegahan; c. Perlindungan; d. Pemulihan dan Reintegrasi Sosial; e. Partisipasi Anak. Selain merujuk kepada empat instrumen sebagaimana dimaksud di atas, Rencana Aksi ini juga terkait dengan kesepakatan Indonesia terhadap tiga instrumen internasional lainnya, yaitu : a. Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai 313 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak (diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000), dan telah disusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak; b. Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (ditandatangani oleh Indonesia Pada tanggal 24 September 2001); serta c. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, supplementing to the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (ditandatangani oleh Indonesia Pada tanggal 12 Desember 2002), dan telah disusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (trafiking) Terhadap Perempuan dan Anak. Selain terkait dengan berbagai instrumen internasional/regional tersebut, perkembangan yang terjadi di tingkat nasional telah memberikan landasan baru bagi perumusan Rencana Aksi ini, yaitu : a. Perubahan Kedua atas Undangundang Dasar 1945 (Agustus 2000), yang memberikan landasan konstitusional bagi pengakuan hak anak atas perlindungan. Pasal 28 B (ayat 2) menyatakan, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” b. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan legal bagi 314 perumusan Rencana Aksi ini. Pasal 52 (ayat 1) dari Undang-undang ini menyatakan, “Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orangtua, keluarga, masyarakat, dan negara.” Sedang Pasal 65 menyatakan, “Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.” c. Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 13 (ayat 1) dari Undang-undang ini menyatakan, “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindung-an dari perlakuan eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.” Pasal 59 menyatakan bahwa Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada “… anak (yang) tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan...”. Selanjutnya Pasal 66 sampai dengan Pasal 68 menjabarkan lebih lanjut tentang operasionalisasi perlindungan sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 di atas. Keputusan Presiden ini lahir karena didorong oleh keprihatinan yang mendalam terhadap berbagai kasus eksploitasi seksual komersial terhadap anak di Indonesia yang mulai merisaukan dan mencemaskan kehidupan dan masa depan anak-anak Indonesia. Di Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum samping itu, komitmen nasional dan internasional telah memberikan landasan legal dan moral bagi bangsa Indonesia untuk memerangi dan menghapus eksploitasi seksual komersial terhadap anak-anak Indonesia. B. LANDASAN HUKUM Berbagai landasan hukum nasional dalam menghapus eksploitasi seksual komersial terhadap anak yang berlaku sekarang ini antara lain : 1. Undang-undang Dasar 1945; 2. Ketetapan MPR RI Nomor X/ MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001; 3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; 4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita; 5. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Pengadilan Anak; 6. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; 7. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah; 8. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 9. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention Number 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worsdt Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak); 10. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; 11. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 12. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak); 13. Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia; 14. Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Berbagai instrumen internasional lain yang telah disetujui pemerintah Indonesia antara lain : a. Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography; b. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, supplementing to the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime. Pada tahun 1996 dan tahun 2001 Indonesia menyetujui komitmen internasional dan regional untuk menghapus eksploitasi seksual komersial anak melalui : a. Deklarasi dan Agenda Aksi Stockholm menentang eksploitasi seksual komersial anak; b. Komitmen Global Yokohama menentang eksploitasi seksual komersial anak; c. Komitmen Regional dan Rencana Aksi Regional Asia Timur dan Pasifik menentang eksploitasi seksual komersial anak. 315 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum C. PENGERTIAN Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak ialah suatu program nasional untuk mencegah dan menghapuskan eksploitasi seksual komersial terhadap anak di Indonesia. Eksploitasi Seksual Komersial Anak selanjutnya disebut ESKA adalah “penggunaan anak untuk tujuan seksual dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain antara anak, pembeli jasa seks, perantara atau agen, dan pihak lain yang memperoleh keuntungan dari perdagangan seksualitas anak tersebut”.1 Ada tiga bentuk ESKA, yakni:2 a. Prostitusi anak; yaitu penggunaan anak dalam kegiatan seksual dengan pembayaran atau dengan imbalan dalam bentuk lain. b. Pornografi anak; yaitu setiap representasi, dengan sarana apapun, pelibatan secara eksplisit seorang anak dalam kegiatan seksual baik secara nyata maupun disimulasikan, atau setiap representasi dari organ-organ seksual anak untuk tujuan seksual. c. Perdagangan anak untuk tujuan seksual.3 Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, supplementing to the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime mendefinisikan “trafiking (perdagangan) manusia” sebagai berikut (Pasal 3): 1 Background Paper prepared for the World Congress Against Commercial Sexual Exploitation of Children; Stockholm, 27-31 August 1996 (h.3). 2 Ibid. 3 Ibid. (Ps. 2(c)) – Child pornography means any representation, by whatever means, of a child engaged in real or simulated explicit sexual activities or any representation of the sexual parts of a child for primarily sexual purposes’ 316 a. Trafiking (perdagangan) manusia ialah rekrutmen, transportasi, transfer, penampungan atau penerimaan orang, dengan ancaman atau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, penipuan, pemerdayaan, penyalahgunaan kekuasaan atau ketergantungan atau dengan pemberian atau penerimaan pembayaran atau imbalan lain dalam memperoleh persetujuan dari seseorang yang memiliki kendali atas orang lainnya, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi setidak-tidaknya akan meliputi eksploitasi dalam bentuk pemelacuran orang lain atau dalam bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupai perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh. b. Rekrutmen, transportasi, transfer, penampungan atau penerimaan seorang anak untuk tujuan eksploitasi akan dianggap sebagai “Trafiking (perdagangan) manusia” bahkan apabila hal tersebut tidak melibatkan cara-cara sebagaimana dipaparkan dalam sub-paragrap (a) dari pasal ini. c. Anak berarti setiap orang yang umurnya belum mencapai delapanbelas tahun. Dengan demikian, sudah bisa dikategorikan sebagai “trafiking (perdagangan) anak untuk tujuan seksual”, apabila terdapat unsur-unsur: - rekrutmen, transportasi, transfer, penampungan atau penerimaan atas seseorang yang umurnya belum mencapai delapan belas tahun; dan - untuk tujuan eksploitasi dengan Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum menjerumuskannya ke dalam prostitusi atau dalam bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya. walaupun tidak selalu terkandung unsur-unsur ancaman atau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, penipuan dan pemerdayaan. Yang dimaksud dengan “anak” dalam RAN-PESKA ini - sesuai dengan Konvensi tentang Hak-hak Anak, Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, supplementing to the United Nations Convention against Transnational Organized Crime, serta Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak - adalah setiap manusia yang umurnya dibawah 18 (delapan belas) tahun. BAB II ARAH KEBIJAKAN A. TUJUAN UMUM 1. Memberikan perlindungan kepada setiap anak dari eksploitasi seksual komersial dan memfasilitasi pemenuhan hak-hak anak sesuai Konvensi tentang Hak-Hak Anak; 2. Mengurangi jumlah anak yang rawan eksploitasi seksual komersial; 3. Mengembangkan lingkungan, sikap dan praktek yang tanggap terhadap hak-hak anak. B. VISI Setiap anak tanpa diskriminasi apapun terlindungi dari kekerasan dan eksploitasi seksual komersial dan dapat terpenuhi semua hak-haknya sesuai yang ditetapkan dalam Konvensi tentang Hak-hak Anak, dalam suatu lingkungan yang menghormati kepentingan terbaik anak, menghargai pandanganpandangan anak, dan yang mendukung kelangsungan hidup mereka. C. MISI Memberikan kepada setiap anak tanpa diskriminasi atas dasar apapun perlindungan maksimum dari ancaman kekerasan dan eksploitasi seksual komersial dan sekaligus mengupayakan pemenuhan hak-hak anak terutama bagi mereka yang beresiko dan yang menjadi korban kekerasan dan eksploitasi seksual; serta mengembangkan suatu lingkungan yang menghormati kepentingan terbaik anak, menghargai pandanganpandangan anak dan yang mendukung kelangsungan hidup anak. D. STRATEGI Untuk mencapai tujuan-tujuan umum di atas maka lima kelompok agenda yang direkomendasikan dalam Agenda Aksi Stockholm diadopsi sebagai berikut : 1. Pengembangan koordinasi dan kerjasama antara pemerintah dan non-pemerintah termasuk kelompok anak-anak di tingkat nasional dan lokal serta di tingkat internasional dan regional guna merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi program penghapusan ESKA. 2. Penyediaan akses ke pendidikan dasar dan layanan kesehatan seluas-luasnya kepada semua anak, pengembangan sumber pendapatan alternatif bagi keluarga-keluarga yang rawan ESKA, pengarusutamaan hak anak dan penguatan sistem hukum guna pencegahan ESKA. 3. Pengembangan dan/atau pengua317 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum tan hukum nasional guna memberikan perlindungan kepada anak, antara lain dengan mengkriminalisasikan pelaku eksploitasi seksual anak dan memperlakukan anak sebagai korban dan menerapkan hukum pidana secara ekstra-teritorial, serta penguatan peran masyarakat sipil dalam perlindungan anak. 4. Pengarusutamaan pendekatan yang tidak bersifat menghukum (nonpunitive) kepada korban ESKA, penyediaan pelayanan pemulihan dan pengembangan sumber pendapatan alternatif bagi korban ESKA dan keluarga mereka, serta pengembangan budaya yang mendukung pengintegrasian kembali korban ke keluarga dan masyarakat. 5. Pengembangan kapasitas anak agar mereka bisa berpartisipasi secara maksimal dalam perencanaan, implementasi, pemantauan dan evaluasi program-program penghapusan ESKA termasuk dengan pembentukan komite anak yang independen. 318 BAB III PROGRAM KEGIATAN PROGRAM KEGIATAN LIMA TAHUN (2003-2007) A. KOORDINASI DAN KERJASAMA Strategi : Pengembangan koordinasi dan kerjasama antara pemerintah dan non pemerintah termasuk kelompok anakanak di tingkat nasional dan lokal serta di tingkat internasional dan regional guna merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi program penghapusan ESKA. Penjuru (Focal Point) : 1. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan; 2. Gugus Tugas / Panitia Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak; 3. Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Tujuan Khusus : 1. Mengembangkan koordinasi di tingkat nasional dan lokal dengan melibatkan semua stakeholders dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi programprogram penghapusan ESKA di Indonesia; 2. Membentuk sistem pendukung bagi kegiatan-kegiatan penghapusan ESKA di Indonesia; 3. Mewujudkan kerjasama di tingkat internasional dan regional dalam penghapusan ESKA;. (B) Sumberdaya dan dana bagi implementasi, pemantauan, dan evaluasi RANPESKA teralokasikan (A) Terbentuk Gugus Tugas / Panitia Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak dengan peran sebagai pemantau/ evaluasi implementasi RANPESKA Keluaran Mengembangkan mekanisme implementasi pemantauan dan evaluasi pelaksanaan RANPESKA untuk dipergunakan oleh Gugus Tugas / Panitia Nasional • Mengalokasikan sumber daya dan dana secara progresif sesuai kebutuhan dari anggaran Kantor Meneg. PP Mengoperasionalkan Gugus Tugas / Panitia Nasional • • Membuat rencana pembentukan Gugus Tugas / Panitia Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak • Kegiatan Tahun 2003-2007 Tahun 2003 Tahun 0 Jadwal Kantor Meneg. PP Kantor Meneg. PP Kantor Meneg. PP Penanggung Jawab • • • • • • Rencana anggaran untuk implementasi, pemantauan, dan evaluasi RANPESKA di lingkungan Kantor Meneg. PP teralokasikan Alokasi anggaran dari setiap Departemen/Kantor Meneg-Menko terkait untuk penghapusan ESKA Rincian indikator guna pemantauan Rumusan mekanisme implementasi, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan RANPESKA Pembentukan Gugus Tugas / Panitia Nasional melalui Keppres Gugus Tugas / Panitia Nasional beroperasi sesuai perannya Indikator a. Gugus Tugas / Panitia Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (GT/PNPESKA) b. Departemen/Kantor Meneg-Menko terkait c. Organisasi Non Pemerintah d. Perguruan Tinggi a. Departemen/Kantor Meneg-Menko terkait b. Organisasi Non Pemerintah c. Perguruan Tinggi Mitra yang Terlibat Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 319 320 (C) Terbentuk sistem pendukung dan pemantauan bagi kegiatan-kegiatan penghapusan ESKA di Indonesia (B) ... (lanjutan) Keluaran Mengembangkan indikator-indikator guna memantau implementasi dan kemajuan pencapaian penghapusan ESKA berdasarkan RAN ini Memprakarsai pembentukan penjurupenjuru di tingkat nasional • Mendesak donor internasional agar mengalokasikan sebagian dana bantuan guna keperluan penghapusan ESKA • • Mendorong sektor lain yang relevan dan Pemerintah Daerah agar mengalokasikan sumber daya dan dana berdasarkan potensi yang ada • Kegiatan Tahun 2003 Tahun 2003 Tahun 2004-2007 Tahun 2003-2007 Jadwal Kantor Meneg. PP KPTPA-ESKA Kantor Meneg. PP Kantor Meneg. PP Penanggung Jawab • • • • • • • Ada penjuru-penjuru di tingkat nasional Rumusan indikator pemantauan implementasi dan pencapaian RAN-PESKA Evaluasi diselenggarakan sebanyak 2 kali/tahun Pertemuan dengan donor internasional MoU dengan donor internasional Pertemuan sebanyak 4 kali/tahun Risalah komunikasi resmi dengan Departemen/Kantor MenegMenko terkait dan Pemerintah Daerah mengenai pengalokasian sumberdaya dan dana Indikator a. Departemen/Kantor Meneg-Menko terkait b. Organisasi Non Pemerintah Kantor Meneg. PP a. Depdagri b. GT/PNPESKA Mitra yang Terlibat Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum (C) ... Keluaran Mendorong Departemen/ Kantor Meneg-Menko terkait agar membentuk penjuru-penjuru di tingkat Propinsi dan Kabupaten/ Kota Menyelenggarakan pertemuan pemantauan sebanyak 1 kali/tahun Menyelenggarakan pertemuan evaluasi tingkat nasional melibatkan sebanyak banyaknya stakeholders dari Pemerintah maupun Organisasi Non Pemerintah Mengembangkan RANPESKA tahap II untuk lima tahun berikutnya Mengintegrasikan pelaksanaan dan pencapaian RANPESKA ke dalam laporan periodik Indoneesia kepada Komite Hak Anak PBB • • • • • Kegiatan Setiap laporan periodik KHA Akhir Tahun 2006 Tahun 2006 Tahun 2003-2007 Tahun 2003-2004 Jadwal Kantor Meneg. PP Kantor Meneg. PP Kantor Meneg. PP Kantor Meneg. PP Kantor Meneg. PP Penanggung Jawab • • • • • • Pelaksanaan dan pencapaian RANPESKA terintegrasi ke dalam laporan periodik dari Indonesia kepada Komite Hak Anak PBB Rumusan RANPESKA Tahap II Laporan pertemuan evaluasi tahunan, dibagikan kepada semua stakeholders Laporan pertemuan pemantauan Kesepakatan dengan Departemen/Kantor MenegMenko terkait Ada penjuru- penjuru di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota Indikator a. Departemen/Kantor Meneg-Menko terkait b. Organisasi Non Pemerintah c. Kelompok/Komite Anak d. GT/PN-PESKA a. Departemen/Kantor Meneg-Menko terkait b. Organisasi Non Pemerintah c. Kelompok/-Komite Anak d. GT/PN-PESKA a. GT/PN-PESKA b. Departemen/Kantor Meneg-Menko terkait c. Organisasi Non Pemerintah d. Perguruan Tinggi a. GT/PN-PESKA b. Organisasi Non Pemerintah a. Depdagri b. GT/PN-PESKA c. Organisasi Non Pemerintah Mitra yang Terlibat Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 321 322 Melakukan analisis berkelanjutan tentang situasi ESKA terutama tentang korban dan pelaku kejahatan ESKA sebagai bahan pengembangan kegiatan berkelanjutan • Merumuskan kriteria, melakukan identifikasi, dan melaksanakan kerjasama dengan negaranegara serta organisasiorganisasi regional/ internasional untuk pemberantasan ESKA Mengembangkan dan mengaplikasikan sistem database tentang anakanak korban dan pelaku kejahatan ESKA Kegiatan • (D) • Terselenggara kerjasama internasional dan regional bagi penghapusan ESKA (C) ... Keluaran Mulai tahun 2004 Akhir tahun 2006 Tahun 2004-2007 Jadwal Kantor Meneg. PP Kantor Meneg. PP Departemen Kehakiman dan HAM Penanggung Jawab • • • • • • • Rumusan kriteria dan hasil identifikasi Laporan studi banding Dokumen kerjasama ditandatangani antara POLRI dengan INTERPOL/ASEANAPOL Analisa situasi ESKA dipublikasikan Sistem database dikembangkan di tingkat nasional, Propinsi, dan Kabupaten/Kota Uji coba database di pengadilan Database tentang anak- anak korban dan pelaku kejahatan ESKA (nama dirahasiakan) Indikator a. Departemen/Kantor Meneg-Menko terkait b. POLRI c. Departemen Luar Negeri a. Departemen Kehakiman dan HAM b. GT/PN-PESKA a. Departemen/Kantor Meneg-Menko terkait b. POLRI c. Organisasi Non Pemerintah Mitra yang Terlibat Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum (D) ... Keluaran • Jadwal Berpartisipasi aktif Tahun dalam berbagai 2003-2007 peristiwa regional/ internasional menyangkut implementasi Agenda Stockholm dan Komitmen Yokohama serta Rencana Aksi Regional Asia Timur dan Pasifik Kegiatan Kantor Meneg. PP Penanggung Jawab • Laporan keterlibatan dalam berbagai peristiwa regional/ internasional mengenai penghapusan ESKA, meliputi:: a. pertemuan persiapan untuk kesertaan dalam Regional Monitoring Meeting tahun 2004 b. keikutsertaan dalam Regional Monitoring Meeting tahun 2004 Indikator a. Departemen Luar Negeri b. Departemen/Kantor Meneg-Menko terkait c. Organisasi Non Pemerintah d. Kelompok/Komite Anak Mitra yang Terlibat Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 323 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum B. PENCEGAHAN Strategi : Penyediaan akses ke pendidikan dasar seluas-luasnya kepada semua anak, pengembangan sumber pendapatan alternatif bagi keluarga-keluarga yang rawan ESKA, pengarusutamaan hak anak dan penguatan sistem hukum guna pencegahan ESKA. Penjuru : 1. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan; 2. Departemen Pendidikan Nasional; 3. Departemen Agama; 4. Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata; 5. Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Tujuan Khusus : 1. Mengurangi jumlah anak yang rawan eksploitasi seksual komersial; 2. Meningkatkan kesadaran dan komitmen keluarga, masyarakat, pejabat dan aparatur negara tentang hak-hak anak dan sebab serta akibat yang ditimbulkan oleh ESKA 324 (B) Anak-anak, terutama anak perempuan di wilayah yang rawan ESKA memperoleh akses maksimum pada pendidikan dasar (A) Hak-hak anak, khususnya hak anak atas perlindungan dari ESKA, tersosialisasikan ke seluruh lapisan masyarakat Keluaran Menyediakan akses bagi pemenuhan pendidikan dasar 9 tahun kepada anak-anak perempuan di wilayah-wilayah yang rawan ESKA, termasuk melakukan upaya untuk mencegah terjadinya putus sekolah di tingkat pendidikan dasar Melakukan pendidikan pencegahan ESKA kepada Anak-anak • • Melakukan kampanye publik secara ekstensif melalui berbagai media cetak dan elektronik, antara lain dengan iklan masyarakat mengenai hak anak, khususnya hak atas perlindungan ESKA, mengenai kriminalitas ESKA dan dampak buruk ESKA • Kegiatan Tahun 2003-2007 Tahun 2003-2007 Tahun 2004 Jadwal Departemen Pendidikan Nasional Departemen Pendidikan Nasional Kantor Meneg. PP Penanggung Jawab • • • • Rencana program rintisan di wilayah- wilayah rawan ESKA Laporan tahunan atas pelaksanaan program rintisan Kampanye publik dilaksanakan melalui berbagai media termasuk media cetak dan elektronik Laporan kampanye Indikator a. Departemen/Kantor Meneg-Menko terkait b. Organisasi Non Pemerintah a. Organisasi Non Pemerintah b. Kelompok/Komite Anak a. Organisasi Non Pemerintah b. Kelompok/Organisasi Anak c. Sekolah-sekolah d. Departemen Pendidikan Nasional e. Departemen Sosial f. Kantor Meneg. Kebudayaan dan Pariwisata g. Departemen Agama Mitra yang Terlibat Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 325 326 • • • • (B) ... (C) Terselenggara pendidikan keluarga yang berpihak kepada anak (D) Pariwisata yang ramah anak dan bebas ESKA tersosialisasi di kalangan pelaku bisnis pariwisata (E) Berkembangnya iklim hukum yang bisa lebih mencegah terjadinya ESKA Keluaran Tahun 2004-2007 Jadwal Mendorong penguatan hukum pidana dan perdata nasional agar lebih melindungi anak rawan/korban ESKA Melakukan kampanye dan mendorong pelaku bisnis pariwisata untuk menolak ESKA dan mengembangkan paket wisata yang bebas ESKA Tahun 2004-2007 Tahun 2003-2004 Melakukan kampanye Mulai khusus tentang resiko tahun perkawinan usia dini di 2004 wilayahwilayah dengan tingkat perkawinan usia dini yang tinggi, bila perlu dengan pengembangan proyek rintisan pencegahan perkawinan usia dini Mendorong lembaga pendidikan untuk mengintegrasikan pendidikan KHA dan isu ESKA ke dalam pelajaran sekolah tingkat SD-SLTP Kegiatan Departemen Kehakiman dan HAM Kantor Meneg Kebudayaan dan Pariwisata Departemen Agama Departemen Pendidikan Nasional Penanggung Jawab • • • • • • • • • • • • Program penguatan hukum pidana dan perdata Draf usulan amandemen hukum pidana dan perdata Amandemen disahkan, utamanya mengenai kriminalisasi ESKA dalam KUHP Program dan disain kampanye Pelaksanaan kampanye Laporan pelaksanaan kampan Program dan disain kampanye Kampanye dilaksanakan Laporan pelaksanaan kampanye Modul pendidikan KHA dan isu ESKA Laporan uji coba modul di sekolah-sekolah di wilayah rawan Modul pendidikan diintegrasikan dalam kurikulum SLTP dan SLTA Indikator a. BPHN b. Perguruan Tinggi c. Organisasi Non Pemerintah d. DPR a. Departemen/Kantor Meneg-Menko terkait b. Pemerintah Daerah c. Organisasi NonPemerintah d. Komisi Perlindungan Anak Indonesia e. Kelompok/Komite Anak a. Departemen/Kantor Meneg-Menko terkait b. Pemerintah Daerah c. Organisasi Non Pemerintah d. Kelompok/Komite Anak a. Pemerintah Daerah b. Organisasi Non Pemerintah c. Kelompok/Komite Anak Mitra yang Terlibat Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum C. PERLINDUNGAN Strategi : Pengembangan dan/atau penguatan hukum nasional guna memberikan perlindungan kepada anak, antara lain dengan mengkriminalisasikan pelaku eksploitasi seksual anak dan memperlakukan anak sebagai korban dan menerapkan hukum pidana secara ekstrateritorial, serta penguatan peran masyarakat sipil dalam perlindungan anak. Penjuru : 1. Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; 2. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan; 3. Departemen Luar Negeri; 4. Kepolisian Negara Republik Indonesia; 5. Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Tujuan Khusus : 1. Memberikan perlindungan yang memadai bagi anak dari ancaman ESKA; 2. Memberikan perlindungan yang memadai bagi anak yang menjadi korban ESKA. 327 328 (A) Tersedia perlindungan yang lebih memadai bagi anak dari ancaman ESKA Keluaran • Melakukan penelaahan kritis atas kesesuaian perundangan/peraturan nasional dengan standar yang ditetapkan secara internasional tentang pemberantasan ESKA Mendorong upaya peratifikasian segera berbagai instrumen internasional yang relevan dengan isu ESKA • Tahun 2004 Tahun 2003-2005 Mendorong upaya untuk Tahun meningkatkan status 2003-2007 ratifikasi Konvensi tentang Hak-hak Anak dari Keppres menjadi undang-undang dan mendorong pencabutan reservasi terhadap Konvensi tentang Hak-hak Anak Jadwal • Kegiatan Departemen Kehakiman dan HAM Departemen Kehakiman & HAM Departemen Kehakiman & HAM Penanggung Jawab • • • • • • Program penelaahan Hasil penelaahan dipublikasikan Draf usulan ratifikasi, meliputi antara lain Optional Protocol to the CRC on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography dan UN Convention against Transnational Organized Crime Usulan diterima dan dilaksanakan Draf usulan kepada Presiden dan DPR Usulan diterima dan disahkan Indikator a. Komnas HAM b. Komisi Perlindungan Anak Indonesia a. Komnas HAM b. Komisi Perlindungan Anak Indonesia c. Organisasi Non Pemerintah d. DPR a. Komnas HAM b. Komisi Perlindungan Anak Indonesia c. Organisasi Non Pemerintah d. DPR Mitra yang Terlibat Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum (A) ... Keluaran Melakukan upaya harmonisasi hukum nasional (material dan prosedural) agar sesuai dengan standar internasional, terutama di wilayah hukum pidana, hukum perdata dan Undang Undang Imigrasi, guna memberikan perlindungan maksimal kepada anakanak korban ESKA Melakukan upaya untuk mengkriminalisasikan ESKA Mendorong pengembangan perangkat dan prosedur yang ramah anak dalam penanganan kasus-kasus ESKA dan memberikan pelatihan tentang prosedur ramah anak dalam penanganan kasus-kasus korban ESKA kepada jajaran penegak hukum • • • Kegiatan Departemen Kehakiman dan HAM Departemen Kehakiman dan HAM Tahun 2003 Tahun 2004-2007 Departemen Kehakiman dan HAM Penanggung Jawab Tahun 2005-2007 Jadwal • • • • • • • • Disain pengembangan perangkat dan prosedur yang ramah anak Program latihan Laporan pelatihan Usulan amandemen KUHP KUHP diamandemen Program harmonisasi Draf usulan harmonisasi Ketentuan-ketentuan dalam perundangan nasional diamendemen Indikator a. POLRI b. Kejaksaan Agung RI a. DPR b. Komnas HAM c. Komisi Perlindungan Anak Indonesia d. Komnas Perempuan e. Perguruan Tinggi f. Organisasi Non Pemerintah a. Komnas HAM b. Komisi Perlindungan Anak Indonesia c. DPR Mitra yang Terlibat Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 329 330 (B) Kelembagaan dan mekanisme serta kemampuan memerangi ESKA di kalangan aparat penegak hukum dan masyarakat menguat (A) ... Keluaran Mengembangkan perangkat dan prosedur penanganan kasus-kasus ESKA yang berbasis hak anak dan mengadakan latihan-latihan penanganan kasus-kasus ESKA kepada aparat penegak hukum dan pengacara Mendorong terbentuknya mekanisme di masyarakat untuk melakukan pemantauan dan penanganan kasus-kasus ESKA • • Tahun 20032004 Tahun 2003-2005 Mengadakan kerjasama Mulai bilateral dan multilateral tahun bagi penanganan kasus 2003 ESKA secara lintas batas, bila perlu dalam kerangka kerjasama dengan INTERPOL dan/ atau ASEANA-POL • Mulai tahun 2004 Mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam rangka pemberantasan ESKA dan perlindungan pada anak yang beresiko dan yang menjadi korban ESKA Jadwal • Kegiatan Departemen Kehakiman dan HAM, Kantor Meneg. PP POLRI, Kejaksaan Agung RI, Departemen Kehakiman dan HAM Departemen Luar Negeri, POLRI Kantor Meneg. PP Penanggung Jawab • • • • • Disain rencana Mekanisme diimplentasikan di wilayah-wilayah percontohan Laporan implementasi Draf pengembangan perangkat Rencana latihan Laporan-laporan latihan Rencana program kerjasama Laporan implementasi program MoU Disain program Laporan implementasi program Indikator a. POLRI b. Kejaksaan Agung c. Organisasi Non Pemerintah a. Organisasi Pengacara b. Organisasi Non Pemerintah Departemen/Kantor Meneg-Menko terkait c. Organisasi Non Pemerintah a. Komisi Perlindungan Anak Indonesia b. Pemda Mitra yang Terlibat Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum (C) Pengembangan kultur hukum dan sosial yang mendukung pemberantasan ESKA, khususnya guna mendestigmatisasi korban dan sekaligus mengkriminalisasikan pelaku ESKA Keluaran Melakukan kampanye publik melalui media massa untuk mendestigmatisasi korban dan kriminalisasi pelaku ESKA Melakukan studi di wilayah-wilayah tertentu yang dianggap rawan ESKA untuk mengidentifikasi faktorfaktor yang mengancam dan mendorong terjadinya ESKA Sosialisasi dan memberikan peringatan dini (early-warning) kepada instansi terkait dan masyarakat luas, utamanya orang tua dan anak-anak mengenai modus, pola, jaringan, sindikat, pelaku dan perantara ESKA • • • Kegiatan Mulai tahun 2005 Tahun 2003 Tahun 2004 Jadwal Kantor Meneg. PP Kantor Meneg. PP Kantor Meneg. PP Penanggung Jawab • • • • • • • • a. Perguruan Tinggi b. Organisasi Non Pemerintah c. Pemda d. Departemen/Kantor Meneg-Menko terkait a. Organisasi Non Pemerintah b. Kelompok/Komite Anak Mitra yang Terlibat Rencana sosialisasi a. Departemen Sosial Sistem peringatan dini diterapkan b. Organisasi Non Pemerintah di tingkat komunitas c. Kelompok/Komite Anak Laporan sosialisasi Studi dilakukan di wilayahwilayah pilihan Laporan hasil studi disebarkan ke semua stakeholder Rencana kampanye publik Kampanye dilakukan di tingkat nasional dan sub-nasional Laporan kampanye Indikator Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 331 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum D. PEMULIHAN DAN REINTEGRASI Strategi : Pengarusutamaan pendekatan yang bersifat tidak menghukum non punitive kepada korban ESKA, penyediaan pelayanan pemulihan dan pengembangan sumber pendapatan alternatif bagi korban ESKA dan keluarga mereka, serta pengembangan budaya yang mendukung pengintegrasian kembali korban ke keluarga dan masyarakat. Penjuru : 1. Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; 2. Kepolisian Negara Republik Indonesia; 3. Departemen Sosial; 4. Departemen Pendidikan Nasional; 5. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi; 6. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Tujuan Khusus : 1. Menyelamatkan dan memulihkan korban ESKA secara psikososial serta mengintegrasikan mereka kembali ke dalam kehidupan masyarakat. 2. Mengembangkan suasana yang kondusif bagi pemulihan dan integrasi korban ESKA kembali ke dalam lingkungan keluarga, pendidikan dan masyarakat. 332 (B) Penyediaan layanan pemulihan dan pengembangan sumber pendapatan alternatif bagi korban ESKA dan keluarga mereka (A) Diterapkannya pendekatan yang tidak menghukum kepada korban ESKA Keluaran Membentuk dan/atau mendorong pembentukan layanan hotline dan helpline di berbagai wilayah rawan ESKA Memberikan latihan sensitif anak, sensitif gender dan HAM/hak anak kepada para pekerja pemulihan dan para guru sekolah • Memfasilitasi pemberian latihan sensitif anak (child-sensitivity) dan hak anak dalam proses penanganan perkara kepada tenaga bantuan/ asistensi hukum • • Mendorong agar keseluruhan proses hukum dari tingkat penyidikan hingga proses di pengadilan tidak memperparah trauma yang dialami oleh korban ESKA dan keluarganya • Kegiatan Mulai tahun 2004 Mulai tahun 2004 Mulai tahun 2004 Mulai tahun 2004 Jadwal Departemen Sosial, Departemen Pendidikan Nasional Departemen Sosial Departemen Kehakiman dan HAM POLRI, Kejaksaan Agung, Departemen Kehakiman dan HAM Penanggung Jawab • • • • • • • • • Modul dan rencana latihan bagi pekerja sosial dan guru Laporan penyelenggaraan latihan Rencana program pembentukan hotline dan helpline Laporan implementasi program Rencana/ modul latihan Latihan kepada tenaga bantuan/ asistensi hukum dilaksanakan Laporan pelaksanaan latihan Rencana pengembangan pendekatan baru Pendekatan baru dilaksanakan dalam semua tahap penyelidikan/ penyidikan sampai pengadilan Indikator a. Organisasi Non Pemerintah b. Sekolah-sekolah a. Organisasi Non Pemerintah b. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) a. Organisasi pengacara b. Organisasi bantuan hukum c. Organisasi Non Pemerintah a. Departemen Sosial b. Organisasi Non Pemerintah c. Perguruan Tinggi d. Organisasi bantuan hukum Mitra yang Terlibat Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 333 334 (C) Kampanye pengembangan budaya yang mendukung pengintegrasian kembali korban ke keluarga dan masyarakat (B) ... Keluaran Melakukan kampanye destigmatisasi kepada korban ESKA Mendorong dan membantu pengembalian korban ESKA kepada keluarganya Mendorong dan membantu pengembalian korban ESKA kebangku pendidikan formal Memfasilitasi keterlibatan anak-anak, dalam upaya pemulihan dan reintegrasi sosial korban ESKA • • • Merintis programprogram pendapatan alternatif bagi korban ESKA dan keluarga mereka • • Mengembangkan sistem rujukan medis kepada korban ESKA • Kegiatan Mulai tahun 2005 Mulai tahun 2004 Mulai tahun 2004 Tahun 2004-2005 Mulai tahun 2004 Mulai tahun 2004 Jadwal Departemen Sosial Departemen Pendidikan Nasional Departemen Sosial Departemen Sosial Departemen Sosial Departemen Kesehatan Penanggung Jawab • • • • • • • • • • • • • Kelompok-kelompok relawan anak terbentuk Laporan kegiatan Laporan kegiatan Laporan kegiatan Rencana dan disain kampanye Kampanye dilaksanakan Laporan pelaksanaan kampanye Rencana dan disain program rintisan Implementasi program Laporan implementasi program Rumusan rencana Sistem dikembangkan dan diimplementasikan Laporan implementasi Indikator Organisasi Non Pemerintah a. Departemen Sosial b. Organisasi Non Pemerintah a. POLRI b. Organisasi Non Pemerintah a. Organisasi Non Pemerintah b. POLRI c. LPA a. Departemen/Kantor Meneg-Menko terkait b. Pemda c. Organisasi Non Pemerintah a. Departemen Sosial b. Departemen/Kantor Meneg-Menko terkait c. Organisasi Non Pemerintah d. LPA Mitra yang Terlibat Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum (E) Rekomendasi bagi penyempurnaan program-program pemulihan dan reintegrasi korban ESKA terumuskan (D) Tersedia sumber-sumber penghasilan alternatif bagi anak-anak korban ESKA dan/atau keluarganya Keluaran Kantor Meneg. PP Kantor Meneg. PP Mulai tahun 2005 Mendorong tumbuhnya sumber pendapatan alternatif bagi keluarga korban ESKA Mempersiapkan perangkat dan melakukan pemantauan terhadap perkembangan anak yang diselamatkan, dipulihkan dan diintegrasikan kembali ke kehidupan masyarakat Tahun Melakukan evaluasi atas 2006 efektifitas programprogram pemulihan dan reintegrasi serta merumuskan rekomendasi bagi penyempurnaan program pemulihan dan reintegrasi selanjutnya • • Mulai tahun 2006 Departemen Sosial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi • Mulai tahun 2006 Membuka lapangan kerja bagi korban ESKA yang sudah dipulihkan atau membantu menyalurkan mereka ke lapangan kerja yang tersedia Departemen Sosial • Mulai tahun 2005 Penanggung Jawab Memberikan pendidikan ketrampilan kepada korban ESKA yang tidak bersekolah lagi Jadwal • Kegiatan • • • • • • • • • Rumusan rekomendasi mengenai cara-cara pemulihan dan reintegrasi anak korban ESKA yang efektif Perangkat pemantauan Laporan hasil pemantauan Laporan kegiatan Laporan jumlah keluarga yang terjangkau Laporan kegiatan Laporan jumlah anak yang terjangkau Laporan kegiatan Laporan jumlah anak yang terjangkau Indikator a. Depsos b. Depdiknas c. Depnakertrans d. Organisasi Non Pemerintah a. Depsos b. Depdiknas c. Depnakertrans d. Organisasi Non Pemerintah Organisasi Non Pemerintah a. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi b. Organisasi Non Pemerintah a. Departe-men Sosial b. Organisasi Non Pemerintah a. Laporan kegiatan b. Laporan jumlah anak yang terjangkau Mitra yang Terlibat Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 335 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum E. PARTISIPASI ANAK Strategi : Pengembangan kapasitas anak agar mereka bisa berpartisipasi secara maksimal dalam perencanaan, implementasi, pemantauan dan evaluasi program-program penghapusan ESKA termasuk dengan pembentukan komite anak yang independen. Penjuru : Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Tujuan Khusus : Memfasilitasi terwujudnya partisipasi anak dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta tindak lanjut kebijakan dan program penghapusan ESKA. 336 (B) Partisipasi kelompok-kelompok/ forum anak dalam studi dan program intervensi ESKA difasilitasi (A) Terbentuk jaringan diantara berbagai kelompok anak untuk isyu ESKA Keluaran Mendorong pembentukan jaringan diantara berbagai kelompok anak dan memfasilitasi terjadinya forum/pertemuan diantara kelompok anak untuk membahas isyu ESKA dan masalahmasalah hak anak lainnya • Melakukan kajian tentang ESKA dalam perspektif hak anak dengan melibatkan kelompokkelompok anak Mensosialisasikan RANPESKA di seluruh kelompok anak • • Mendorong dan memfasilitasi terbentuknya kelompokkelompok anak termasuk dengan melibatkan mereka yang selamat dari ESKA • Kegiatan Mulai tahun 2004 Tahun 2005, kemudian secara periodik tiap 3 tahun Tahun 2003-2007 Tahun 2003 Jadwal Kantor Meneg. PP • Kantor Meneg. PP • • • • • • • • Kantor Meneg. PP Kantor Meneg. PP Penanggung Jawab Rencana kajian yang melibatkan kelompok-kelompok anak Laporan implementasi didiseminasikan Jaringan yang operasional terbentuk Laporan kegiatan Laporan kegiatan sosialisasi Rencana program Jaringan antar kelompok anak terbentuk Draf statuta Komite Anak Laporan Indikator a. Organisasi Non Pemerintah b. Kelompok/Komite Anak Organisasi Non Pemerintah a. Organisasi Non Pemerintah b. Depdiknas c. Sekolah-sekolah a. Organisasi Non Pemerintah b. Depdiknas c. Sekolah-sekolah Mitra yang Terlibat Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 337 338 • (C) Dana untuk memfasilitasi keterlibatan kelompokkelompok/ forum anak dalam implementasi, evaluasi dan rencana tindak lanjut RANPESKA teralokasikan • • • (B) ... Keluaran Meningkatkan kapasitas partisipasi anak baik dalam mengartikulasikan pendapat maupun sebagai pendamping sebaya (peer educator) melalui program latihan, pertukaran, dll. Mendorong agar dana yang tersedia di daerah dan yang disediakan oleh donor internasional dialokasikan sebagiannya untuk pengembangan partisipasi anak Mengalokasikan sebagian dana yang tersedia untuk RANPESKA guna memfasilitasi partisipasi anak Memfasilitasi pengembangan pendekatan anak ke anak dalam pencegahan ESKA dan perlindungan, pemulihan serta reintegrasi korban ESKA melalui kelompokkelompok/forum anak Kegiatan Mulai tahun 2004 Mulai tahun 2004 Tahun 2004 Tahun 2004-2006 Jadwal Kantor Meneg. PP Kantor Meneg. PP Kantor Meneg. PP Kantor Meneg. PP Penanggung Jawab • • • • • • • • Program fasilitasi Laporan implementasi Laporan kegiatan MoU dengan donor internasional mengenai pendanaan partisipasi anak Anggaran untuk memfasilitasi partisipasi anak di lingkungan Kantor Meneg. PP teralokasikan Rumusan modul Implementasi modul Laporan hasil implementasi modul Indikator a. Organisasi Non Pemerintah b. Depsos c. Depdiknas d. Komnas PAI e. LPA f. Kelompok/Komite Anak a. Depdagri b. Depsos c. Depdiknas d. GT/PNPESKA a. Depsos b. Depdiknas a. Organisasi Non Pemerintah b. Depdiknas c. Sekolah-sekolah Mitra yang Terlibat Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum (D) Pembentukan komite anak/ orang muda sebagai badan konsultatif independen untuk memberi masukan kepada pemerintah guna pengembangan legislasi, kebijakan dan program menyangkut ESKA terfasilitasi Keluaran Memfasilitasi pembentukan komite anak/orang muda melalui forum anak (keluaran (a) kegiatan butir ke-3) Memfasilitasi partisipasi anak dalam setiap program pengembangan legislasi, kebijakan dan program menyangkut ESKA • • Kegiatan Tahun 2004-2007 Tahun 2003 Jadwal Kantor Meneg. PP Kantor Meneg. PP Penanggung Jawab • • • • Rencana fasilitasi pengembangan partisipasi anak dalam proyekproyek dan kebijakan-kebijakan Laporan implementasi Komite anak operasional Laporan implementasi Indikator a. Organisasi Non Pemerintah b. Depsos c. Depdiknas d. Komisi Perlindungan Anak Indonesia e. LPA f. Komite Anak a. Organisasi Non Pemerintah b. Depsos c. Depdiknas d. Komnas PAI e. LPA f. Kelompok/Komite Anak Mitra yang Terlibat Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 339 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum BAB IV MONITORING DAN EVALUASI BAB V PENUTUP Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional ini berada dibawah koordinasi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Secara teknis, implementasinya dikoordinasikan melalui penjuru-penjuru (focal points) yang melibatkan berbagai Departemen dan Kantor Menteri Negara-Menteri Koordinator dalam jajaran pemerintah baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Guna menjamin pelaksanaan sebaik-baiknya Rencana Aksi Nasional ini, dibentuk suatu Gugus Tugas / Panitia Nasional Penghapusan Eksploitasi Komersial Anak yang bertugas untuk memantau, mengevaluasi dan memberikan masukan bagi implementasi rencana aksi tersebut. Penghapusan eksploitasi seksual komersial anak bukan merupakan proses yang mudah dan dapat dilakukan dalam jangka waktu singkat, tetapi merupakan proses yang panjang dan berkelanjutan. Keberhasilan pelaksanaannya sangat tergantung kepada komitmen para penyelenggara negara di berbagai tingkatan, peran serta masyarakat termasuk anak-anak, serta tergantung kepada upaya-upaya penegakan hukum. Dengan demikian, Gugus Tugas / Panitia Nasional itu, disebut sebagai “Gugus Tugas / Panitia Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak.” yang disingkat menjadi GT-PESKA. Pemantauan dan evaluasi dilakukan untuk menilai keberhasilan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional tersebut berdasarkan hal-hal sebagai berikut : 1. Sistem dan mekanisme pemantauan dan evaluasi yang telah dikembangkan; 2. Keberhasilan program berdasarkan indikator kemajuan dan keluaran yang telah ditetapkan; 3. Penerbitan berkala; 4. Laporan tahunan berkala. 340 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II, Edy Sudibyo Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum LAMPIRAN II KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 87 Tahun 2002 TANGGAL : 30 Desember 2002 SUSUNAN KEANGGOTAAN GUGUS TUGAS / PANITIA NASIONAL PENGHAPUSAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK A. TIM PENGARAH : Ketua : Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, merangkap anggota; Sekretaris : Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, merangkap anggota; Anggota : 1. Menteri Dalam Negeri; 2. Menteri Luar Negeri; 3. Menteri Agama; 4. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; 5. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi; 6. Menteri Sosial; 7. Menteri Kesehatan; 8. Menteri Pendidikan Nasional; 9. Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata; 10. Menteri Negara Komunikasi dan Informasi; 11. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; 12. Kepala Badan Pusat Statistik. B. TIM PELAKSANA : Ketua : Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Sekretaris : Deputi Bidang Kesejahteraan dan Perlindungan Anak, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Anggota : 1. Deputi Bidang Koordinasi Pemberdayaan Perempuan, Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat; 2. Staf Ahli Bidang Hukum, Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat; 3. Deputi Bidang Pengembangan dan Informasi, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan; 4. Deputi Bidang Kualitas Hidup Perempuan, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan; 5. Deputi Bidang Peranserta Masyarakat, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan; 6. Direktur Jenderal Administrasi Kependudukan, Departemen Dalam Negeri; 7. Direktur Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri; 8. Direktur Jenderal Multilateral Politik, Sosial dan Keamanan, Departemen Luar Negeri; 9. Staf Ahli Bidang Kerukunan Antar Umat Beragama, Departemen Agama; 10. Direktur Jenderal Perlindungan Hak Asasi Manusia, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; 11. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; 341 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 12. Direktur Jenderal Imigrasi, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; 13. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi; 14. Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan; 15. Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Departemen Sosial; 16. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional; 17. Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, Departemen Pendidikan Nasional; 18. Deputi Bidang Pengembangan Pariwisata, Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata; 19. Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Komunikasi dan Informasi, Kantor Menteri Negara Komunikasi dan Informasi; 20. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN); 21. Komandan Korps Reserse, Mabes POLRI; 22. Ketua Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat 23. (PKPM), Universitas Atmajaya; 24. Ketua Non-Governmental Organizations Group (NGO’s Group) for Convention on the Rights of the Child (CRC); 25. Ketua Komisi Nasional (KOMNAS) Perlindungan Anak; 26. Ketua Umum End Child Prostitution in Asean Tourism (ECPAT) Indonesia; 27. Ketua Umum Jaringan Lembaga Non Pemerintah untuk Program Aksi Penanggulangan Pekerja Anak di Indonesia (JARAK); 28. Ketua Umum Solidaritas Perem342 puan; 29. Ketua Umum Komisi Nasional (KOMNAS) Perempuan; 30. Ketua Umum Dewan Pimpinan Kongres Wanita Indonesia (DP KOWANI); 31. Ketua Umum Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Pusat; 32. Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II, Edy Sudibyo Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2003 TENTANG KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mencapai tujuan penyelenggaraan perlindungan anak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diperlukan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat secara melembaga; b. bahwa sehubungan dengan huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 75 ayat (4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dipandang perlu menetapkan Keputusan Presiden tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia; Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4235); MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah lembaga yang bersifat independen yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak. Pasal 2 Komisi Perlindungan Anak Indonesia berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. BAB II TUGAS Pasal 3 Komisi Perlindungan Anak Indonesia mempunyai tugas : a. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak; b. memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. 343 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum BAB III ORGANISASI Bagian Kedua Kesekretariatan Bagian Pertama Keanggotaan Pasal 7 (1) Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dibantu oleh Sekretariat. (2) Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipimpin oleh Kepala Sekretariat, yang dalam melaksanakan tugasnya secara fungsional bertanggung jawab kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia. (3) Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh satu unit kerja yang berada di lingkungan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, yang ditetapkan oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan setelah mendapat persetujuan dari Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. Pasal 4 Susunan keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terdiri dari : a. 1 (satu) orang Ketua; b. 2 (dua) orang Wakil Ketua; c. 1 (satu) orang Sekretaris; d. 5 (lima) orang Anggota. Pasal 5 Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 terdiri dari unsur : a. pemerintah; b. tokoh agama; c. tokoh masyarakat; d. organisasi sosial; e. organisasi kemasyarakatan; f. organisasi profesi; g. lembaga swadaya masyarakat; h. dunia usaha; dan i. kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak. Pasal 6 (1) Pengisian jabatan dalam susunan keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dipilih dan dilaksanakan sendiri oleh para anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia. (2) Ketentuan mengenai tata cara pengisian jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Bagian Ketiga Kelompok Kerja Pasal 8 (1) Untuk menunjang pelaksanaan tugas, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dapat membentuk kelompok kerja. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, tugas, dan tata kerja Kelompok Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Bagian Keempat Perwakilan Pasal 9 (1) Apabila dipandang perlu dalam menunjang pelaksanaan tugasnya, 344 Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Komisi Perlindungan Anak Indonesia dapat membentuk Perwakilan di Daerah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Perwakilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia. BAB IV PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN Pasal 10 Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Pasal 11 Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia diangkat untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Pasal 12 (1) Untuk pertama kali, keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia diusulkan kepada Presiden oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Sosial. (2) Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Sosial dalam memilih keanggotaan yang diusulkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibantu oleh Tim Seleksi. (3) Pengusulan keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia kepada Presiden untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia. (4) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan calon keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang diusulkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Peraturan Tata Tertib Komisi Perlindungan Anak Indonesia dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Jumlah calon keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang diusulkan sebanyak 18 (delapan belas) orang. (6) Presiden dapat menolak keanggotaan yang diusulkan apabila tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 13 (1) Dalam hal Pegawai Negeri Sipil duduk dalam keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia sebagai unsur Pemerintah, Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan diberhentikan dari jabatan organiknya tanpa kehilangan statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil. (2) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dinaikkan pangkatnya setiap kali setingkat lebih tinggi tanpa terikat jenjang pangkat, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila telah mencapai batas usia pensiun dan diberikan hak-hak kepegawaiannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 14 Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang berhenti sebelum berakhirnya masa jabatan diatur dalam 345 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Peraturan Tata Tertib Komisi Perlindungan Anak Indonesia. BAB V MEKANISME KERJA Pasal 15 (1) Pelaksanaan tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia dilakukan dengan mengutamakan musyawarah untuk mufakat. (2) Laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden disampaikan atas dasar kesepakatan anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Pasal 16 Apabila dipandang perlu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dapat melakukan kerjasama dengan instansi Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli, dan pihak-pihak lain yang dipandang perlu. Pasal 17 Mekanisme kerja Komisi Perlindungan Anak Indonesia didasarkan pada prinsip pemberdayaan, kemitraan, akuntabilitas, kredibilitas, efektifitas, dan efisiensi. Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme kerja Komisi Perlindungan Anak Indonesia diatur dalam Peraturan Tata Tertib Komisi Perlindungan Anak Indonesia. BAB VI PEMBIAYAAN Pasal 19 Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Komisi Perlindungan 346 Anak Indonesia dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 20 Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 14 Oktober 2003 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II Ttd. Edy Sudibyo Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak Indonesia baik sebagai individu maupun sebagai generasi penerus bangsa harus dijaga pertumbuhan dan perkembangannya sehingga anak dapat berkembang secara wajar baik fisik, mental, sosial, dan intelektualnya; b. bahwa bekerja bagi anak terutama pada jenis pekerjaan-pekerjaan yang terburuk sangat membahayakan bagi anak dan akan menghambat anak untuk tumbuh dan berkembang secara wajar disamping sangat bertentangan pula dengan hak asasi anak dan nilai-nilai kemanusiaan yang diakui secara universal; c. bahwa Indonesia telah mengesahkan ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak) dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000; d. bahwa ketentuan Pasal 6 Konvensi ILO Nomor 182 tersebut mengamanatkan untuk menyusun dan melaksanakan Program Aksi Nasional untuk menghapus bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak; e. bahwa sehubungan dengan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, dipandang perlu menetapkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak dengan Keputusan Presiden; Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak) (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3941); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 5. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 tentang Komite Aksi 347 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Nasional Penghapusan BentukBentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak; MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENGHAPUSAN BENTUKBENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK. Pasal 1 Menetapkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan Presiden ini. Pasal 2 Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan Presiden ini merupakan pedoman bagi pelaksanaan Program Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Pasal 3 Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 13 Agustus 2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II Ttd Edy Sudibyo 348 LAMPIRAN KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 59 Tahun 2002 TANGGAL : 13 Agustus 2002 RENCANA AKSI NASIONAL PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sampai dengan saat ini jumlah pekerja anak masih belum terdata secara pasti. Pekerja anak tersebar baik di daerah pedesaan maupun di perkotaan. Pekerja anak di daerah pedesaan lebih banyak melakukan pekerjaan bidang pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan maupun kegiatan ekonomi di lingkungan keluarga. Pekerja anak di daerah perkotaan dapat ditemukan di perusahaan, rumah tangga (sebagai pembantu rumah tangga atau pekerja industri rumahan atau industri keluarga) maupun di jalanan seperti penjual koran, penyemir sepatu atau pemulung. Beberapa diantara pekerjaan yang dilakukan anak tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Banyak alasan yang dikemukakan sebagai pembenaran terhadap keberadaan pekerja anak tersebut. Dari berbagai alasan yang dikemukakan, faktor kemiskinan dan kondisi ekonomi dianggap sebagai faktor utama yang mendorong keberadaan pekerja anak. Mempekerjakan anak pada dasarnya merupakan sesuatu hal yang buruk di Indonesia, namun demikian keadaan seperti itu sudah ada sejak Indonesia masih dijajah oleh Pemerintah Belanda. Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Sejarah perlindungan bagi anak yang bekerja dimulai sejak jaman Pemerintahan Belanda yang ditandai dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur soal pelarangan untuk mempekerjakan anak. Namun, upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan bagi anak yang bekerja tersebut melalui peraturan perundangundangan lebih menitikberatkan kepada perlindungan bagi anak yang bekerja dan bukan khusus ditujukan untuk menghapus secara keseluruhan pekerja anak. Berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Belanda tersebut antara lain : 1. Staatsblad Nomor 647 Tahun 1925 yang intinya melarang anak di bawah umur 12 (dua belas) tahun untuk melakukan pekerjaan: a. di pabrik pada ruangan tertutup di mana biasanya dipergunakan tenaga mesin; b. di tempat kerja ruangan tertutup yang biasanya dilakukan pekerjaan tangan oleh sepuluh orang atau lebih secara bersama-sama; c. pembuatan, pemeliharan, perbaikan dan pembongkaran jalan tanah, penggalian, perairan dan bangunan serta jalan-jalan; d. pada perusahaan kereta api, pada pemuatan, pembongkaran, dan pemindahan barang baik di pelabuhan, dermaga dan galangan kapal maupun di stasiun, tempat pemberhentian dan pembongkaran muatan, di tempat penyimpanan dan gudang kecuali jika membawa dengan tangan; e. larangan bagi anak untuk me- mindahkan barang berat di dalam atau untuk keperluan perusahaan. 2. Ordonansi Tahun 1926, Staatsblad Nomor 87 melarang mempekerjakan anak di bawah umur 12 (dua belas) tahun pada pekerjaan di kapal kecuali bila ia bekerja di bawah pengawasan ahlinya atau seorang keluarga sampai derajat ketiga; 3. Regeringsverordening Tahun 1930 Staatsblad Nomor 341 melarang anak usia di bawah 16 (enam belas) tahun untuk melakukan pekerjaan pada bangunan di atas tanah. Setelah Indonesia merdeka, kebijakan perlindungan anak yang bekerja ditandai dengan terbitnya Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 yang melarang anak bekerja pada malam hari, dan Undangundang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undangundang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 yang melarang orang laki-laki maupun perempuan berumur 14 (empat belas) tahun ke bawah melakukan pekerjaan. Sekalipun telah dikeluarkan Undangundang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 tersebut, namun dalam prakteknya ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang dimaksud tidak berlaku. Peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek pada saat itu dalam pelaksanaan perlindungan dan pelarangan untuk mempekerjakan anak adalah Staatsblad sebagaimana tersebut di atas. Dalam perkembangan selanjutnya, pengaturan mengenai perlindungan dan pelarangan anak yang bekerja diatur 349 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dalam peraturan perundang-undangan lainnya, diantaranya adalah Undangundang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Selain itu, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar, sehingga anak-anak yang berusia 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dasar. Dengan kebijakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar secara tidak langsung diharapkan dapat mengurangi pekerja anak. Peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah dirasakan masih kurang memadai, sehingga Pemerintah meratifikasi Konvensi tentang Hak-hak Anak dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on Rights of Child. Selanjutnya, untuk lebih melindungi hak-hak anak maka Indonesia meratifikasi beberapa Konvensi ILO yaitu dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja), dan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination for the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak). Pekerja anak merupakan masalah bagi 350 semua pihak dan bersifat multi sektoral, sehingga kebijakan penanggulangan pekerja anak merupakan kebijakan lintas sektor. Berbagai upaya telah dilaksanakan untuk terus menerus mengurangi jumlah pekerja anak, namun demikian dengan kondisi perekonomian yang belum kondusif upaya tersebut belum mencapai hasil yang menggembirakan. Bahkan perkembangan masalah sosial yang semakin kompleks, mendorong pekerja anak terpuruk pada jenis-jenis pekerjaan terburuk. Sejalan dengan hal tersebut dan sebagai pelaksanaan Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 182 tersebut, maka disusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak disusun dengan melibatkan berbagai komponen yang tergabung dalam Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001. Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak merupakan pedoman bagi pelaksanaan Program Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Kesulitan yang mendasar dalam merencanakan kegiatan atau program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak adalah tidak adanya data yang meyakinkan semua pihak tentang jumlah dan besaran masalah pekerja anak pada pekerjaan terburuk. Hal ini tentunya dapat dimengerti, mengingat kondisi geografis, jenis pekerjaan maupun bentuk pekerjaan ber- Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum beda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Yang dimaksud dengan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for The Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaaan Terburuk Untuk Anak) adalah : a. segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan (serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata; b. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno; c. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan; d. pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak. Pengertian bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undangundang Nomor 1 Tahun 2000 tersebut di atas di Indonesia secara umum meliputi anak-anak yang dieksploitasi secara fisik maupun ekonomi yang antara lain dalam bentuk: 1. Anak-anak yang dilacurkan; 2. Anak-anak yang bekerja di pertambangan; 3. Anak-anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara; 4. Anak-anak yang bekerja di sektor konstruksi; 5. Anak-anak yang bekerja di jermal; 6. Anak-anak yang bekerja sebagai pemulung sampah; 7. Anak-anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang menggunakan bahan-bahan peledak; 8. Anak yang bekerja di jalan; 9. Anak yang bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga; 10. Anak yang bekerja di industri rumah tangga; 11 Anak yang bekerja di perkebunan; 12. Anak yang bekerja pada penebangan, pengolahan dan pengangkutan kayu; 13. Anak yang bekerja pada industri dan jenis kegiatan yang menggunakan bahan kimia yang berbahaya. B. TANTANGAN BAGI AKSI PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK Tantangan dalam program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, yaitu : 1. Belum tersedianya data serta informasi yang akurat, dan terkini tentang pekerja anak baik tentang besaran (jumlah pekerja anak), lokasi, jenis pekerjaan, kondisi pekerjaan, dan dampaknya bagi anak. 2. Belum tersedianya informasi mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 3. Terbatasnya kapasitas dan pengalaman Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan berbagai pihak lainnya dalam upaya penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk 351 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum untuk anak. 4. Lemahnya koordinasi berbagai pihak yang terkait dengan penghapusan bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak baik di tingkat Pusat maupun Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota). 5. Rendahnya pengetahuan, kesadaran, dan kepedulian masyarakat dalam penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 6. Belum memadainya perangkat hukum dan penegakannya yang diperlukan dalam aksi penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 7. Belum adanya kebijakan yang terpadu dan menyeluruh dalam rangka penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. BAB II KEBIJAKAN NASIONAL PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK A. TUJUAN Hakekat dan tujuan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak adalah mencegah dan menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang ada di Indonesia. B. VISI DAN MISI Visi : Anak sebagai generasi penerus bangsa terbebas dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk sehingga dapat tumbuh kembang secara wajar dan optimal baik fisik, mental, sosial maupun intelektualnya. Misi : 1. Mencegah dan menghapus segala 352 bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan (serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata; 2. Mencegah dan menghapus pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, produksi pornografi, atau untuk pertunjukan porno; 3. Mencegah dan menghapus pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram atau terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obatobatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional; 4. Mencegah dan menghapus pelibatan anak dalam produksi atau penjualan bahan peledak, penyelaman air dalam, pekerjaan-pekerjaan di anjungan lepas pantai, di dalam tanah, pertambangan serta penghapusan pekerjaan lain yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak. C. KELOMPOK SASARAN 1. Semua anak yang melakukan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk; 2. Semua pihak yang memanfaatkan, menyediakan atau menawarkan anak untuk melakukan bentuk pekerjaan terburuk. D. KEBIJAKAN NASIONAL Mencegah dan menghapus bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak secara bertahap. Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum E. STRATEGI Kebijakan Nasional dilaksanakan dengan pendekatan terpadu dan menyeluruh, dengan strategi : 1. Penentuan prioritas penghapusan bentuk pekerjaan terburuk secara bertahap 2. Penentuan prioritas dilakukan dengan mempertimbangkan besaran dan kompleksitas masalah pekerja anak yang terlibat dalam pekerjaan terburuk serta berbagai sumber yang tersedia untuk melaksanakan program penghapusannya. 3. Melibatkan semua pihak di semua tingkatan 4. Persoalan pekerja anak yang terlibat dalam pekerjaan terburuk merupakan masalah bangsa. Tidak ada satu pihakpun yang merasa mampu menyelesaikan masalah pekerja anak secara sendirian. Oleh karena itu pelibatan semua pihak dalam program penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak merupakan kunci keberhasilan. 5. Mengembangkan dan memanfaatkan secara cermat potensi dalam negeri 6. Mengingat besarnya sumber daya yang diperlukan dalam penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, maka penggalian, pengembangan dan pemanfaatan secara cermat berbagai sumber yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Daerah maupun potensi masyarakat perlu dilakukan secara maksimal. 7. Kerjasama dan bantuan teknis dengan berbagai negara dan lembaga internasional 8. Memperhatikan berbagai keterbatasan sumber dan pengalaman dalam pelaksanaan penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, maka kerjasama dan bantuan teknis dari berbagai negara dan lembaga internasional diperlukan. BAB III PROGRAM AKSI Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran rencana aksi nasional yaitu penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak maka diadakan program aksi. Untuk lebih menunjang pencapaian program-program aksi tersebut rencana aksi nasional dibagi dalam beberapa tahapan. Tahapan program-program dimaksud yaitu: a. tahap pertama, sasaran yang ingin dicapai setelah 5 (lima) tahun yang pertama; b. tahap kedua, merupakan sasaran yang ingin dicapai setelah 10 (sepuluh) tahun; c. tahap ketiga, merupakan sasaran yang ingin dicapai setelah 20 (dua puluh) tahun. Secara lebih rinci pentahapan tersebut adalah sebagai berikut : A. Tahapan Program 1. Tahap Pertama Sasaran yang ingin dicapai setelah 5 tahun adalah: 1. tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; 2. terpetakannya permasalahan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan upaya penghapusannya; 3. terlaksananya program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dengan prioritas pekerja anak di anjungan lepas pantai dan penyelaman air dalam, 353 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum pekerja anak yang diperdagangkan untuk pelacuran, pekerja anak di pertambangan, pekerja anak di industri alas kaki, pekerja anak di industri dan peredaran narkotika, psikotropika, prekursor, dan zat adiktif lainnya. 2. Tahap Kedua Sasaran yang ingin dicapai setelah 10 tahun adalah : a. replikasi model penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang telah dilaksanakan pada tahap pertama di daerah lain; b. berkembangnya program penghapusan pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak lainnya; c. tersedianya kebijakan dan perangkat pelaksanaan untuk penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 3. Tahap Ketiga Sasaran yang ingin dicapai setelah 20 tahun adalah : a. pelembagaan gerakan nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak secara efektif; b. pengarusutamaan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. B. Kegiatan Tahap Pertama 1. Penelitian dan Dokumentasi Program pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak disusun atas dasar besaran, kualitas dan lokasi masalah. Untuk itu diperlukan penyediaan data statistik yang lengkap mengenai anak, jenis pekerjaan dan ancaman yang dihadapi oleh anak yang terlibat pada bentuk pekerjaan terburuk. Jangkauan penelitian dan 354 dokumentasi untuk pekerja anak dapat diperluas, yang meliputi : a. data statistik mengenai pekerja anak yang dimulai dari usia 10 tahun keatas; b. data statistik mengenai pekerja anak usia di bawah 18 tahun yang terlibat dalam bentuk pekerjaan terburuk; c. data statistik kriminal yang dilakukan anak menyangkut jumlah kasus, jenis kasus, jumlah korban, pelaku, modus, lokasi dan waktu kejadian. 2. Kampanye Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak Informasi mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk sangat menunjang keberhasilan penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Program penyebarluasan informasi meliputi kegiatan : a. menyebarluaskan informasi tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak kepada masyarakat luas; b. memfasilitasi tumbuhnya kelompok masyarakat yang peduli pekerja anak; c. sosialisasi Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak; d. mendorong peranan media massa dalam penyebaran informasi baik di tingkat Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota. 3. Pengkajian dan Pengembangan Model Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak Guna menunjang keberhasilan program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak perlu dilakukan Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum kajian serta pengembangan model, sehingga penyelenggaraan program tidak didasarkan pada suatu asumsi belaka. Kajian yang dilakukan meliputi : a. lembaga-lembaga yang terlibat dalam penanganan pekerja anak; b. karakteristik bentuk pekerjaan terburuk bagi anak; c. model-model penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang mencakup antara lain cara advokasi, bantuan langsung, pemulihan, dan reintegrasi dengan basis masyarakat; d. panduan replikasi model; e. panduan bagi pekerja sosial pendamping; f. panduan pemantauan dan evaluasi. vokasi Peningkatan kesadaran dan advokasi sangat penting dalam mempercepat tindakan segera dan pelarangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak Kegiatan peningkatan kesadaran dan advokasi meliputi : a. penyusunan metode dan modul sosialisasi Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak; b sosialisasi Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak; c. membangun sistem pengaduan masyarakat bagi kasus-kasus pelibatan anak dalam pekerjaan terburuk. 4. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for The Elimination of The Worst Form of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) dilaksanakan dan ditindaklanjuti dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang meliputi : a. menetapkan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral anak; b. menetapkan bahwa melibatkan anak dalam pekerjaan terburuk merupakan tindak pidana. c. merumuskan kebijakan, menetapkan upaya dan tindakan dalam pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, baik secara preemptif, preventif maupun represif. 5. Peningkatan Kesadaran dan Ad- 6. Penguatan Kapasitas Kapasitas lembaga, jejaring kerja dan sumber daya manusia dalam mengelola program ini perlu ditingkatkan. Pengembangan kapasitas dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, cara-cara pelarangan dan tindakan penghapusan, serta pengembangan jejaring kerja. Upaya penguatan dilakukan melalui pelatihan, kerjasama teknis antar instansi pemerintah, organisasi pengusaha dan pekerja/buruh, serta lembaga swadaya masyarakat, magang dan studi banding maupun pemberdayaan masyarakat dan keluarga dilaksanakan pada tingkat Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota. 7. Integrasi Program Penghapusan Pekerja Anak dalam Institusi Terkait Anak-anak yang telah terbebas dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak memerlukan bimbingan dan dukungan sosial, pelayanan kesehatan maupun keuangan agar kembali dalam 355 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum masyarakat (keluarga dan lingkungannya). Untuk itu membebaskan anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak harus terintegrasi dengan upayaupaya lain agar anak tidak kembali pada bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Upaya integrasi dilakukan melalui : a. penetapan kebijakan di Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, maupun Pemerintah Kabupaten/ Kota; b. perencanaan terpadu; c. koordinasi lintas sektor maupun lintas fungsi. C. Kegiatan Tahap Kedua dan Ketiga Kegiatan tahap kedua disusun berdasarkan hasil kegiatan yang dicapai dalam tahap pertama. Demikian pula kegiatan tahap ketiga akan disusun berdasarkan hasil yang dicapai dalam tahap kedua. BAB IV PERAN DAN TANGGUNG JAWAB Untuk melaksanakan program diperlukan peran semua pihak baik pemerintah pusat maupun daerah, lembaga swadaya masyarakat, Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, organisasi pengusaha maupun masyarakat pada umumnya. Peran dan tanggung jawab terdiri dari bidang-bidang sebagai berikut : 1. Bidang Pendidikan a. pengumpulan data tentang anak putus sekolah; b. pemberian kemudahan agar program-program wajib belajar 9 (sembilan) tahun dapat dijangkau bagi semua lapisan masyarakat; c. pemberian program beasiswa dapat diprioritaskan kepada 356 anak-anak dari keluarga yang kurang mampu seperti keluarga dimana ibu sebagai kepala keluarga dan keluarga miskin yang tidak dapat membiayai pendidikan anak-anaknya; d. perbaikan metode belajar mengajar serta fasilitas tambahan seperti asrama, dan pelayanan konsultasi psikologi bagi anak-anak yang melakukan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; e. pemberian kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi anak-anak yang telah terbebas dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; f. pemberian pelatihan bagi para pendidik dan pembimbing dalam menghadapi pekerja anak yang bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 2. Bidang Ketenagakerjaan a. pengumpulan dan penyebarluasan data serta informasi mengenai segala hal yang berkaitan dengan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; b. pemberian pelatihan serta upaya rehabilitasi dan integrasi program; c. pengkoordinasian pembebasan terhadap pekerja anak serta melakukan upaya agar mereka tidak kembali bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; d. penciptaan dan pelaksanaan program-program pemindahan anak-anak dari tempat kerja; e. pelaksanaan pemeriksaan tem- Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum pat-tempat kerja yang rawan akan praktek bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; f. pelaksanaan tindakan pembebasan anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 3. Bidang Kesehatan a. pengumpulan data, penelitian, dan pengkajian mengenai dampak buruk yang mungkin timbul dan mengganggu kesehatan anak yang melakukan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; b. penyediaan pelayanan kesehatan bagi anak-anak (termasuk yang telah keluar dari tempat kerjanya) di sarana-sarana kesehatan c. penyebarluasan informasi tentang resiko kesehatan bagi anak yang bekerja kepada pihak-pihak terkait dengan masalah pekerja anak; d. peningkatan kesadaran tentang kesehatan bagi pekerja anak dan orangtuanya. 4. Bidang Penegakan Hukum a. penyusunan strategi kerjasama dengan Departemen/instansi lintas sektoral terkait maupun lembaga swadaya masyarakat untuk membebaskan dan menyelamatkan anak-anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; b. penyusunan dan penetapan kebijakan dan upaya serta tindakan pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak di daerah/kewilayahan baik secara pre-emptif, preventif dan represif; c. pengambilan langkah-langkah dan tindakan lain yang dianggap perlu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyelamatkan anak-anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; d. pelaksanaan upaya pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak melalui kegiatan yang bersifat : 1. Pre-emptif yaitu kegiatan yang ditujukan untuk menetralisasi dan menghilangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak melalui kegiatan bimbingan, penyuluhan, penerangan, dan tatap muka dengan pelaku dan korban anak yang bersangkutan, orang tua, tokoh agama/masyarakat dan pendidik; 2. Preventif yaitu kegiatan yang ditujukan untuk menghilangkan kesempatan terjadinya peristiwa/kasus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak melalui kegiatan patroli/ perondaan, penjagaan baik secara terbuka maupun tertutup terhadap tempat-tempat/daerah-daerah dan saat/waktu yang dianggap rawan terjadinya peristiwa/kasus; 3. Represif yaitu kegiatan yang ditujukan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan oleh aparat yang berwenang terhadap pelaku untuk dapat diajukan ke Penuntut Umum. 357 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum e. penuntutan terhadap para pelaku yang melibatkan anak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; f. pelaksanaan koordinasi dan kerjasama lintas sektoral untuk dapat mewujudkan keterpaduan sikap dan tindakan dalam penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, mulai dari tahap perumusan, pengorganisasian, pelaksanaan sampai dengan pengendalian. g. pelaksanaan tindak lanjut atas segala pengaduan tentang eksploitasi pekerja anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5. Bidang Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan a. pengevaluasian berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelarangan anak bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, b. penyusunan dan penetapan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelarangan anak bekerja pada pekerjaan terburuk untuk anak, dan menyatakan bahwa tindakan melibatkan anak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak merupakan suatu tindak pidana; c. pelaksanaan revisi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau merancang 358 peraturan perundang-undangan yang baru sesuai dengan konvensi internasional mengenai anak yang telah disahkan; d. pelaksanaan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya yang berkaitan dengan masalah anak. 6. Bidang Sosial Budaya dan Ekonomi a. pengidentifikasian daerahdaerah yang terdapat ancaman bahaya fisik, mental, dan perkembangan moral anak; b. penyusunan pengajaran agama dan pendidikan mental spiritual kepada anak-anak yang mempunyai resiko putus sekolah; c. pensosialisasian dan diseminasi kepada para tokoh agama dan lembaga agama tentang kebijakan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; d. penyusunan panduan bagi mubaligh mengenai pekerja anak dan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; e. pelaksanaan kerjasama dengan para pekerja sosial untuk menjamin anak-anak tersebut menjalankan rehabilitasi sosial dalam bentuk bimbingan. f. penyampaian skema pemberian kredit mikro kepada keluarga yang mempekerjakan anaknya; g. pemberian bimbingan usaha skala kecil dan berupaya membuka akses pasar yang lebih luas; h. perbaikan sarana perumahan bagi keluarga miskin agar dicapai rumah bersih dan sehat; Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum i. pemberdayaan masyarakat dalam rangka pelaksanaan penghapusan bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 7. Bidang Media a. penyebarluasan informasi tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak; b. penyebarluasan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; c. penyebarluasan informasi tentang berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Untuk Anak; d. pengupayaan tumbuhnya jurnalis/wartawan yang sensitif terhadap praktek bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. BAB V PEMANTAUAN DAN EVALUASI Dalam rangka menjaga kesinambungan kebijakan dan berbagai program nasional, maka pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak perlu dinilai ulang secara berkala. Pemantauan dan evaluasi Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak dilaksanakan oleh Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001. Pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan ke- tentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan pemantauan dan evaluasi, Komite Aksi Nasional dapat mengikutsertakan segenap lapisan masyarakat maupun instansi terkait, sehingga dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna. Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi dilakukan untuk menilai keberhasilan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional. Pemantauan dan evaluasi dilakukan melalui penyusunan dan pengembangan : 1. sistem dan mekanisme pemantauan; 2. indikator keberhasilan program; 3. publikasi; 4. pelaporan secara berkala. BAB VI PENUTUP Upaya penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak bukanlah hal yang mudah dan dapat dilakukan dalam waktu yang singkat, tetapi merupakan suatu proses yang panjang dan berkelanjutan. Karena itu, upaya tersebut perlu dilakukan secara terus menerus, berkelanjutan dan terpadu oleh semua pihak yakni pemerintah, organisasi sosial dan kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat serta semua kalangan dan lapisan masyarakat secara bersama-sama. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II Ttd Edy Sudibyo 359 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum KEPUTUSAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA, KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, MENTERI HUKUM DAN HAM REPUBLIK INDONESIA, MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, DAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 166 A/KMA/SKB/XII/2009 NOMOR : 148 A/A/JA/12/2009 NOMOR : B/45/XII/2009 NOMOR : M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009 NOMOR : 10/PRS-2/KPTS/2009 NOMOR : 02/Men.PP dan PA/XII/2009 TENTANG PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA, KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, MENTERI HUKUM DAN HAM REPUBLIK INDONESIA, MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, DAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa anak sebagai generasi penerus bangsa berhak memperoleh perlindungan baik secara fisik, mental, maupun sosial sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar termasuk anak yang berhadapan dengan hukum; 360 b. bahwa penanganan anak yang berhadapan dengan hukum oleh aparat penegak hukum belum menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam peraturan perlindungannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; c. bahwa untuk meningkatkan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, perlu kerja sama yang terpadu antar penegak hukum dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana terpadu untuk pemenuhan kepentingan terbaik bagi anak; d. bahwa pendekatan keadilan restoratif perlu dijadikan sebagai landasan pelaksanan sistem peradilan pidana terpadu bagi anak yang berhadapan dengan hukum; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum perlu menetapkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia; Mengingat : 1. Pasal 28B ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahakamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958); 3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3614); 4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668); 5. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886); 6. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168); 7. Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4235); 8. Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401); 9. Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635); 10. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967); 11. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); 12. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 57); 13. Resolusi Majelis PBB No.40/33 361 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Tanggal 29 November 1985 tentang Peraturan-Peraturan Standar Minimum PBB Mengenai Administrasi Peradilan Anak (Beijing Rules); 14. Resolusi PBB No.663C (XXIV) Tahun 1957 Tanggal 31 Juli 1957, dan Resolusi PBB No.2076 (LXII) Tahun 1977 Tanggal 13 Mei 1977 tentang Standar Minimum Perlakuan Terhadap Tahanan; 15. Resolusi PBB No. 45/113 Tanggal 14 Desember 1990 Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perlindungan Anak yang Terampas Kemerdekaannya; 16. Resolusi PBB No. 45/112 Tanggal 14 Desember 1990 tentang Pedoman PBB Mengenai Pencegahan Tindak Pidana Anak (Riyadh Guidelines). MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA, KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, MENTERI HUKUM DAN HAM REPUBLIK INDONESIA, MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, DAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan Bersama ini, yang dimaksud dengan: 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun 362 2. 3. 4. 5. 6. 7. termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Anak sebagai saksi tindak pidana adalah anak yang melihat, mendengar, dan/atau mengalami sendiri suatu tindak pidana. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga. Keadilan restoratif adalah suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana, secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya, dengan menekankan pemulihan kembali kepada keadaan semula. Pusat Pelayanan Terpadu yang selanjutnya disingkat PPT adalah suatu unit kerja fungsional yang menyelenggarakan pelayanan terpadu untuk saksi dan/atau korban tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ruang Pelayanan Khusus yang selanjutnya disingkat RPK adalah ruangan yang aman dan nyaman diperuntukkan khusus bagi saksi dan/atau korban tindak pidana termasuk tersangka tindak pidana yang terdiri dari perempuan dan anak yang patut diperlakukan atau membutuhkan perlakuan secara khusus, dan perkaranya sedang ditangani di kantor polisi. Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 8. Unit Pelayanan Perempuan dan Anak yang selanjutnya disingkat Unit PPA adalah unit yang bertugas memberikan pelayanan, dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap pelakunya. 9. Panti Sosial Marsudi Putra yang selanjutnya disingkat PSMP adalah suatu unit pelayanan yang berfungsi memberikan perlindungan, pemulihan, rehabilitasi, advokasi, dan reunifikasi bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum. 10. Rumah Perlindungan Sosial Anak yang selanjutnya disingkat RPSA adalah suatu unit pelayanan yang berfungsi memberikan perlindungan, pemulihan, rehabilitasi, advokasi, dan reunifikasi bagi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. 11. Pusat Trauma adalah lembaga atau panti yang menjadi pusat peredaman (penurunan atau menghilangkan) kondisi traumatis yang dialami korban sebagai akibat tindak kekerasan yang dialami korban atau anggota keluarganya. 12. Jaringan kerja penanganan anak yang berhadapan dengan hukum adalah suatu jaringan yang terdiri atas berbagai instansi/lembaga yang berkaitan dengan penanganan anak meliputi: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Pemasyarakatan (Bapas, Rutan, Lapas), dan lembaga bantuan hukum, pemerintahan daerah, organisasi sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, lembaga kesehatan, media massa, serta lembaga swadaya masyarakat pemerhati anak. Pasal 2 Keputusan Bersama ini dimaksudkan untuk mewujudkan keterpaduan dalam upaya penyelesaian perkara Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum yang dilakukan secara terkoordinasi oleh aparat penegak hukum dan semua pihak terkait. Pasal 3 Tujuan Keputusan Bersama ini adalah: a. terwujudnya persamaan persepsi diantara jejaring kerja dalam Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum; b. meningkatnya koordinasi dan kerjasama dalam upaya menjamin perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum; dan c. meningkatnya efektivitas Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum secara sistematis, komprehensif, berkesinambungan, dan terpadu. Pasal 4 Keputusan Bersama ini mengatur tentang Penanganan Anak yang berhadapan dengan Hukum meliputi penanganan di tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan pengadilan, pembimbingan, pendampingan, pelayanan, dan pembinaan pemasyarakatan serta penanganan selanjutnya setelah putusan pengadilan. BAB II PELAKSANAAN PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM Pasal 5 Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum dilakukan oleh: a. Mahkamah Agung Republik Indonesia; 363 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum b. Kejaksaan Agung Republik Indonesia; c. Kepolisian Negara Republik Indonesia; d. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia; e. Kementerian Sosial Republik Indonesia; dan f. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Sesuai dengan tugas dan kewenangannya masing-masing. Pasal 6 Pelaksanaan tugas dan kewenangan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi: a. menyiapkan hakim dan panitera yang mempunyai minat, kemampuan, perhatian dan dedikasi yang bersertifikasi di bidang anak pada setiap pengadilan negeri; b. menyiapkan fasilitas dan prasarana, ruang tunggu dan ruang sidang ramah anak, serta ruang saksi anak pada setiap pengadilan secara bertahap; c. mengadakan diskusi secara rutin serta pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan; d. menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung/Peraturan Mahkamah Agung/dan menyusun standar operasional prosedur Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum dengan pendekatan restoratif; e. membentuk Kelompok Kerja Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum; f. melakukan sosialisasi internal; dan g. mengefektifkan fungsi Ketua Pengadilan Tinggi dalam memberikan bimbingan dan pengawasan 364 terhadap jalannya persidangan di dalam daerah hukumnya. Pasal 7 Pelaksanaan tugas dan kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia dalam Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi: a. melakukan penuntutan dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak yang berhadapan dengan hukum; b. menyiapkan jaksa dan tenaga administrasi yang mempunyai minat, kemampuan, perhatian, dan dedikasi di bidang anak pada setiap kantor kejaksaan; c. menyediakan ruang pemeriksaan khusus bagi anak pada setiap kantor kejaksaan; d. mengadakan diskusi secara rutin serta pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan; e. menyusun panduan/pedoman, surat edaran/standar operasional prosedur Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum dengan pendekatan keadilan restoratif; f. membentuk Kelompok Kerja Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum; g. melakukan sosialisi internal; dan h. mengefektifkan fungsi kepala kejaksaan tinggi dalam memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap jalannya penuntutan di dalam daerah hukumnya. Pasal 8 Pelaksana tugas dan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi: Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum a. menyiapkan penyidik yang mempunyai minat, kemampuan, perhatian dan dedikasi dengan bersertifikasi di bidang anak di Mabes Polri dan jajaran kewilayahannya; b. meningkatkan jumlah unit pelayanan Perempuan dan Anak di Mabes Polri dan jajaran kewilayahannya; c. menyediakan ruang pemeriksaan khusus bagi anak di Mabes Polri dan jajaran kewilayahannya; d. melaksanakan pendidikan dan pelatihan tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum; e. menyusun panduan/pedoman standar tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum dengan pendekatan keadilan restorarif; f. membentuk Kelompok Kerja Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum; dan g. melakukan sosialisasi internal, yang dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan instansi terkait. Pasal 9 Pelaksanaan tugas dan kewenangan Kementerian Hukum dan Hak asasi Manusia Republik Indonesia dalam Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, meliputi: a. menetapkan kebijakan, program, dan kegiatan perlindungan dan pemenuhan hak anak yang berhadapan dengan hukum di lingkungan pemasyarakatan; b. meningkatkan pelayanan litmas, pembimbingan, dan pengawasan serta pendampingan anak yang berhadapan dengan hukum; c. menyiapkan Pembimbing Kemasyarakatan pada Balai Pemasyara- d. e. f. g. h. i. j. k. katan dan Petugas pemasyarakatan pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan yang mempunyai minat, kemampuan, perhatian, dan dedikasi dengan bersertifikasi di bidang anak; meningkatkan pelayanan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, dan pengawasan serta pendampingan terhadap anak yang diputus dengan pidana pengawasan, pidana bersyarat, anak yang dikembalikan kepada orang tua, dan anak yang memerlukan bimbingan lanjutan (after care). menyiapkan fasilitas dan prasarana bagi pembinaan, dan menyiapkan ruang khusus bagi tahanan anak dan anak didik pemasyarakatan di Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan; menyediakan psikolog, tenaga pendidik, dan tenaga medis; menyusun standar operasional prosedur Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum dengan pendekatan Keadilan Restoratif; meningkatkan peran serta masyarakat; membentuk Kelompok Kerja Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum; dan melakukan sosialisasi internal. Pasal 10 (1) Pelaksanaan tugas dan kewenangan Kementerian Sosial Republik Indonesia dalam Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi: a. menyiapkan Pekerja sosial dalam pelayanan masalah sosial anak berhadapan dengan hukum yang mempunyai minat, 365 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum kemampuan, perhatian dan dedikasi dengan bersertifikasi di bidang anak di tingkat pusat sampai dengan tingkat daerah; b. memfasilitasi penyediaan Panti Sosial Marsudi Putra, Rumah Perlindungan Sosial Anak dan Pusat Trauma bagi anak yang berhadapan dengan hukum; c. mendorong dan memperkuat peran keluarga, masyarakat, dan organisasi sosial atau Lembaga Swadaya Masyarakat untuk peduli pada anak yang berhadapan dengan hukum; d. mengembangkan panduan atau pedoman, standar operasional prosedur perlindungan dan rehabilitasi sosial anak yang berhadapan dengan hukum; e. membentuk Kelompok Kerja Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum; dan f. melakukan sosialisasi internal. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum diatur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Pasal 11 Pelaksanaan tugas dan kewenangan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia dalam Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi: a. merumuskan kebijakan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum; b. melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan instansi/lembaga terkait; c. melakukan sosisalisasi, advokasi, dan fasilitasi; 366 d. mendorong peran serta masyarakat; e. mengadakan pelatihan-pelatihan; f. membentuk Kelompok Kerja Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum; g. mengembangakan panduan atau pedoman, standar dan prosedur penanganan anak yang berhadapan dengan hukum; h. melakukan sosialisasi internal; dan i. melakukan pemantauan, analisis, evaluasi, dan pelaporan. BAB III PENANGANAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM Pasal 12 Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum meliputi: a. Anak sebagai pelaku; b. Anak sebagai korban; dan c. Anak sebagai saksi tindak pidana. Pasal 13 Perlakuan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana sebagai berikut: a. penyidik melakukan upaya penanganan perkara anak yang berhadapan hukum dengan pendekatan keadilan restoratif untuk kepentingan terbaik bagi anak wajib melibatkan Balai Pemasyarakatan, orang tua dan/atau keluarga korban dan pelaku tindak pidana serta tokoh masyarakat setempat; b. balai pemasyarakatan wajib membuat laporan penelitian pemasyarakatan; c. dalam hal anak ditahan maka penempatannya dipisahkan dengan tahanan orang dewasa atau dititipkan di Rumah Tahanan khusus anak; Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum d. proses penyidikan dan penyerahan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum dilaksanakan segera dengan mengikutsertakan Pembimbing Kemasyarakatan Bapas; e. dalam hal Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dan hasil penelitian kemasyarakatan dapat dilakukan penuntutan dengan acara pendekatan keadilan restoratif maka Jaksa Penuntut Umum segera melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri; f. setelah menerima pelimpahan dari Jaksa Penuntut Umum, Hakim segera melaksanakan sidang anak dengan acara pendekatan keadilan restoratif; g. apabila putusan hakim berupa tindakan, maka Balai Pemasyarakatan wajib melakukan pembimbingan dan pengawasan; h. pembimbingan, pembinaan, dan perawatan di Bapas, Rutan, dan Lapas dilaksanakan secara terpadu dengan melibatkan instansi terkait; dan i. dalam hal putusan hakim menyerahkan anak yang berhadapan dengan hukum kepada Dinas Sosial, maka Dinas Sosial wajib menerima dan menyiapkan sarana dan prasarana dalam rangka pemulihan dan rehabilitasi sosial anak. Pasal 14 Perlakuan terhadap anak sebagai korban tindak pidana, sebagai berikut: a. segera setelah menerima laporan dari korban tindak pidana, penyidik melakukan interview awal; b. dalam melakukan wawancara, penyidik memperhatikan situasi dan kondisi korban; c. apabila korban memerlukan pera- watan lebih lanjut, setelah wawancara awal maka korban dapat dirawat atau ditempatkan pada ruang khusus (sementara) untuk pelayanan lain yang diperlukan seperti perawatan medik, psikologi, sosial atau pemeriksaan dalam rangka proses penyelidikan dan penyidikan; d. setelah korban sembuh dan seluruh pelayanan termasuk proses hukumnya selesai, korban dapat dipulangkan atau dititipkan pada rumah perlindungan sosial anak, rumah aman, pusat trauma, untuk rehabilitasi sosial dan mental. Pasal 15 Perlakuan terhadap anak sebagai saksi tindak pidana, sebagai berikut: a. dalam hal anak melapor sebagai saksi, maka polisi segera menghubungi orangtuanya atau wali anak tersebut, kecuali orangtuanya atau wali anak dimaksud terlibat atau diduga sebagai pelaku; b. membuat catatan identitas dari pihak yang merujuk, data mengenai anak, kronologi kejadian; c. meminta orangtua atau wali yang dipercayai anak, untuk mendampingi anak pada saat anak memberikan keterangan; d. dalam hal anak memberikan keterangan dalam proses penyidikan dilakukan pada ruangan khusus dan tertutup didampingi orangtua/ wali dengan memperhatikan usia, tingkat intelektual, dan pentingnya kesaksian anak tersebut; e. anak berhak mendapatkan perlindungan dari lembaga perlindungan saksi dan korban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; f. apabila diperlukan perawatan me367 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dis, anak dirujuk kerumah sakit terdekat; g. di setiap tahap pemeriksaan hingga pemeriksaan di pengadilan, anak sebagai saksi wajib diberikan pendamping. BAB IV SARANA DAN PRASARANA Pasal 16 Penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan dengan menggunakan sarana dan prasarana yang ada pada masing-masing pihak terkait. BAB VI PEMANTAUAN, EVALUASI, DAN PELAPORAN Pasal 19 (1) Para pihak berkewajiban melakukan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan terhadap pelaksanaan Keputusan Bersama ini di tingkat pusat dan daerah. (2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam forum koordinasi. BAB VII PEMBIAYAAN Pasal 17 (1) Untuk kelancaran pelaksanaan Keputusan Bersama ini diadakan pertemuan koordinasi sekurangkurangnya 6 (enam) bulan sekali yang difasilitasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2) Pertemuan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihadiri oleh pimpinan instansi terkait dan/ atau wakil yang ditunjuk dan para pemangku kepentingan. (3) Koordinasi sebgaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di tingkat pusat dan daerah. Pasal 20 Keseluruhan pembiayaan yang diperlukan dalam pelaksanaan Keputusan Bersama ini dibebankan kepada anggaran masing-masing instansi. Pasal 18 Untuk mewujudkan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum perlu dibentuk jejaring dan kerja sama lintas instansi, organisasi profesi, organisasi masyarakat, dan pakar/akademisi di tingkat pusat dan daerah. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 22 Desember 2009 368 BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Keputusan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan apabila di kemudian hari terdapat perkembangan atau perubahan peraturan perundangundangan, akan dilakukan penyesuaian seperlunya. Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI SOSIAL NOMOR : 110/RS-KSA/KEP/2011 TENTANG PEDOMAN KERJASAMA ANTAR KEMENTERIAN/LEMBAGA DALAM PERLINDUNGAN DAN REHABILITASI SOSIAL ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI SOSIAL Menimbang: a. bahwa meningkatnya kompleksitas permasalahan Anak yang Berhadapan dengan Hukum, memerlukan sinergi/keterpaduan antara Kementerian/Lembaga dalam Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial ABH; b. bahwa untuk meningkatkan peran masing-masing Kementerian/ Lembaga dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum, memerlukan pedoman kerjasama antar Kementerian/ Lembaga; c. bahwa Kementerian Sosial RI sebagai salah satu pengemban amanat undang-undang, memandang perlu untuk disusun Pedoman Kerjasama antar Kementerian/Lembaga dalam Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum; Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; 2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; 3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan; 4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; 5. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No.138 Concerning Minimum Age For Admission To Employment (Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja); 6. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 7. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan; 8. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kehakiman; 9. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI; 10. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The child (Konvensi Tentang HakHak Anak) ; 12. Peraturan Presiden RI Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara; 13. Peraturan Kepala Polisi Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak; 14. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 15A/HUK/2010 tentang Panduan Umum Program Kesejahteraan Sosial Anak; 369 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 15. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 86/HUK/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Sosial; 16. Kesepakatan Bersama Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI dan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: 20/PRS2/ KEP/2005 Nomor: E.U.M 06.07-83 Tahun 2005 tentang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Didik Pemasyakatan. 17. Kesepakatan Bersama antara Menteri Sosial RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Pendidikan Nasional RI, Menteri Kesehatan RI, Menteri Agama RI, dan Kepolisian RI, Nomor 12/PRS2/KPTS/2009, Nomor M.HH.04.HM.03.02 Th 2009, Nomor 11/XII/KB/2009, Nomor 1220/Menkes/SKB/XII/2009, Nomor 06/XII/2009, Nomor B/43/ XII/2009 tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum. MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI SOSIAL TENTANG PEDOMAN KERJASAMA ANTAR KEMENTERIAN/LEMBAGA DALAM PERLINDUNGAN DAN REHABILITASI SOSIAL ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM PERTAMA: Menetapkan Pedoman Kerjasama Antar Kementerian/Lembaga dalam Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini; KEDUA: Pedoman Kerjasama Antar Kemente370 rian/Lembaga merupakan salah satu acuan bagi Kementerian/Lembaga dalam melaksanakan perannya dalam perlindungan dan rehabilitasi sosial ABH sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. KETIGA: Pedoman Kerjasama Antar Kementerian/Lembaga merupakan acuan khusus untuk dipedomani pihak Kementerian /Lembaga terkait dalam melaksanakan perlindungan dan rehabilitasi sosial anak yang berhadapan dengan hukum. KEEMPAT: Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan akan disempurnakan dan dibetulkan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 7 November 2011 Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Makmur Sunusi Ph.D NIP. 19540101.198103.1.007 Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sesuai dengan amanat UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, mengemban tugas dan tanggung jawab untuk merumuskan kebijakan dalam penanganan perlindungan anak, khususnya untuk anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Sebagai upaya mewujudkan tugas dan tanggung jawab tersebut, Kementerian Sosial telah menyusun Kesepakatan Bersama dengan 4 Departemen lain (Departemen Hukum Dan HAM, Departemen Pendidikan Nasional RI, Departemen Kesehatan RI, dan Departemen Agama) serta Kepolisian Negara RI pada Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum (ABH). Kesepakatan Bersama 5 Menteri dan POLRI ini merupakan perluasan atas kesepakatan bersama antara Depsos dengan Departemen Hukum dan HAM yang telah dibuat pada Tahun 2005, tentang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Didik Pemasyarakatan. Surat Kesepakatan Bersama ini dibuat untuk memberikan acuan bagi para pemangku kepentingan yang terlibat dalam pelayanan dan rehabilitasi sosial ABH agar dapat dilakukan secara lebih terkoordinasi dan terintegrasi, dengan mengutamakan pendekatan keadilan restoratif serta berdasar pada prinsipprinsip perlindungan anak non diskriminatif, kepentingan terbaik anak, menjamin tumbuh kembang anak dan partisipasi anak. Di dalam SKB para pihak menyepakati ketentuan-ketentuan umum per- lindungan dan rehabilitasi sosial ABH, tujuan, prinsip, dan ruang lingkup kegiatan, serta menyepakati pembagian tugas dan tanggung jawab diantara keenam lembaga dalam pelaksanaan perlindungan dan rehabilitasi sosial ABH. Sebagai tindak lanjut dari Surat Kesepakatan Bersama, seperti juga diatur dalam Pasal 15, ayat (3), maka Perjanjian Kerjasama ini disusun dalam bentuk Pedoman Kerja Antar Lembaga dalam Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial ABH, yang merupakan bagian integral dari Surat Kesepakatan Bersama. B. TUJUAN Pedoman Kerja Antar Lembaga ini disusun dengan tujuan untuk memberikan landasan kebijakan yang lebih jelas bagi semua pihak, di pusat maupun daerah, yang terlibat secara aktif di dalam menangani Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH), khususnya yang berkaitan dengan program perlindungan dan rehabilitasi sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). C. DASAR HUKUM 1. Undang-undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, tentang Pengadilan Anak. 3. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. 4. Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia 5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 6. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban 7. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial 8. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, tentang Pengesahan 371 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Convention On The Rights of Child 9. Resolusi Majelis PBB No. 40/33 tanggal 29 November 1985 tentang Peraturan Standar Minimum PBB mengenai Administrasi Peradilan Anak (Beijijng Rules) 10. Resolusi PBB No. 45/113 tanggal 14 Desember 1990, tentang Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perlindungan Anak yang Terampas Kemerdekaannya 11. Resolusi PBB No. 45/112 Tanggal 14 desember 1990 tentang Pedoman PBB mengenai Pencegahan Tindak Pidana Anak (Riyadh Guidelines). BAB II FRAMEWORK TENTANG PERLINDUNGAN DAN REHABILITASI SOSIAL ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM Perlindungan Sosial diberikan kepada anak-anak yang berhadapan dengan hukum, untuk menjamin pemenuhan hak anak untuk hidup, tumbuh kembang dan berpartisipasi, serta melindungi anak dari diskriminasi, tindak kekerasan, eksploitasi dan penelantaran. Untuk dapat menjamin pemenuhan hak-hak dasar anak tersebut, maka berbagai upaya dilakukan melalui program pencegahan untuk menjauhkan anak dari proses peradilan, dan kasuskasus anak berhadapan dengan hukum perlu diupayakan untuk ditangani melalui proses peradilan restoratif di dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya sendiri. Adapun rehabilitasi sosial diberikan kepada ABH, untuk dapat mengembalikan serta mengembangkan keberfungsian sosial anak, melalui berbagai program pengubahan perilaku, serta program-program sosial lainnya yang bisa mempermudah anak melalui proses reintegrasi sosial 372 dengan lingkungan sosialnya, setelah anak selesai menjalani masa putusan pengadilan atau selesai melalui program peradilan restoratif yang berbasis masyarakat. Proses perlindungan dan rehabilitasi sosial diberikan kepada anak-anak yang berhadapan dengan hukum, baik dalam proses peradilan formal maupun dalam proses penyelesaian kasus dengan pendekatan peradilan restoratif (informal). Adapun program perlindungan dan rehabilitasi sosial dalam proses informal, dimulai dari penyelenggaraan berbagai program pencegahan kepada anakanak yang ada dalam situasi rentan untuk terlibat dalam konflik hukum. Bagi anak-anak yang sudah berhadapan dengan hukum, berbagai upaya dilakukan untuk terselenggaranya musyawarah (keluarga dan masyarakat) sebagai wahana penyelesaian kasus anak tanpa melalui proses peradilan formal. Sebagai sarana rehabilitasi sosial dan pengubahan perilaku anak di dalam masyarakat, maka perlu difasilitasi berbagai program dukungan sosial bagi anak pasca musyawarah. Selain itu, pemberian pendampingan psikososial bagi anak dan keluarganya juga perlu dilakukan untuk membantu anak dan keluarga tersebut mengatasi permasalahan-permasalahan psikososial berkaitan dengan keterlibatannya dalam konflik hukum yang mereka hadapi. Untuk menjamin agar anak dan keluarga benar-benar menjalankan kesepakatan yang telah dihasilkan pada musyawarah (keluarga atau masyarakat) maka upaya pengawasan pun harus dilakukan dengan melibatkan tokoh atau warga masyarakat setempat. Lebih dari itu, berbagai program rehabilitasi dan reintegrasi sosial harus diciptakan dan diselenggarakan agar bisa diakses oleh Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum anak-anak yang akan dikembalikan kepada keluarga dan masyarakatnya. Proses perlindungan dan rehabilitasi sosial bagi ABH yang telah masuk dalam poses peradilan formal dilaksanakan mulai dari proses pelaporan kasus ke polisi, pada tahap pepenyidikan, penuntutan dan persidangan, masa manjalankan tindakan, bahkan ketika anak berada di dalam lembaga pemasyarakatan, sampai dengan masa pembebasan. Ketika, peradilan restoratif tidak bisa dilaksanakan karena satu dan lain hal, maka proses peradilan formal perlu diupayakan dengan tetap memberikan jaminan bagi pemenuhan hakhak dasar anak yang ditunjang dengan pemberian pelayanan sosial dasar bagi anak dengan perpertimbangan kepentingan terbaik anak, serta dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan hak anak atas pengasuhan orang tua. Upaya-upaya diversi perlu dilakukan pada setiap tahapan proses peradilan formal, sebagai perwujudan dari pengutamaan pengasuhan anak dalam lingkungan keluarga. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa program perlindungan dan rehabilitasi sosial anak yang berhadapat dengan hukum meliputi 4 (empat) aspek, yaitu: A. PENCEGAHAN Program pencegahan diarahkan kepada kelompok anak dan masyarakat yang karena kondisi dan situasinya, membuat mereka menjadi rentan untuk menghadapi konflik dengan hukum. Program-program pencegahan dibuat untuk menjauhkan anak dari kemungkinan berhadapan dengan hukum. Program pencegahan terutama diarahkan untuk memperbaiki kualitas perlindungan dan pengasuhan anak di dalam keluarga. B. PERLINDUNGAN Program perlindungan diberikan melalui pendampingan psikososial untuk memberikan jaminan atas pemenuhan hak dasar anak, dengan mengedepankan pendekatan keadilan restoratif dalam menyelesaikan kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum, serta pemberian pendampingan psikososial bagi anak yang terpaksa masuk dalam proses peradilan. C. PELAYANAN Pemberian pelayanan dasar yang terintegrasi dan terkoordinasi dilakukan secara bersama-sama oleh semua stakeholder bagi semua anak, termasuk anakanak yang berhadapan dengan hukum yang diproses dalam proses peradilan formal maupun anak yang ditangani melalui musyawarah keluarga dan masyarakat. Pelayanan yang dimaksud meliputi pelayanan bantuan hukum, pelayanan probasi, dan pelayanan kesejahteraan sosial, termasuk pelayanan pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Pelayanan khusus yang diberikan Kementerian Sosial melalui para pekerja sosialnya adalah pelayanan pendampingan psikososial, program rehabilitasi sosial yang diarahkan pada upaya pengubahan perilaku anak, serta program reintegrasi sosial. D. PENGASUHAN Sejalan dengan kebijakan mengenai pengasuhan anak pada umumnya, pengasuhan anak yang berhadapan dengan hukum pun diatur dengan mengedepankankan pendekatan pengasuhan yang berbasis keluarga. Prioritas terutama diberikan kepada anak-anak di bawah umur. Dengan pertimbangan kepentingan terbaik anak dan prinsip keutuhan keluarga, anak-anak berha373 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dapan dengan hukum yang usianya masih di bawah 12 tahun, diupayakan untuk menghindari penempatan anak yang secara terpisah dari keluarganya. Tanggung jawab Kementerian Sosial dalam hal ini adalah untuk memastikan agar anak masih tetap berada dalam tanggung jawab pengasuhan orangtua atau keluarganya. Dalam ketiadaan orangtua kandung, maka kerabat terdekat anak diprioritaskan untuk menjadi pelindung anak, sebelum anak diserahkan menjadi tanggung jawab masyarakat dimana anak tinggal. Pengasuhan alternatif seperti lembaga asuhan atau lembaga lainnya, hanya bisa dijadikan alternatif terakhir jika tidak ada pihak lain yang lebih dekat dengan anak, mampu dan bersedia menjadi pengasuh atau penanggung jawab anak dan bersifat sementara dengan pertimbangan demi kepentingan terbaik anak. BAB III IMPLEMENTASI KESEPAKATAN BERSAMA TENTANG PERLINDUNGAN DAN REHABILITASI SOSIAL ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM Sesuai dengan Kesepakatan Bersama tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum tahun 2009, yang ditandatangani oleh Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama dan Kepolisian RI, maka masing-masing kementerian menyusun peran masingmasing. A. KEMENTERIAN SOSIAL 1. Menetapkan Kebijakan ABH sesuai kewenangannya dengan perspektif keadilan restoratif Implementasi Program: 374 a. Program Kesejahteraan Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Pemenuhan kebutuhan dasar sandang, pangan, papan - Akses Layanan pendidikan, kesehatan, hukum, sosial - Pengembangan potensi diri dan kreatifitas anak - Penguatan, Peran dan tanggung jawab keluarga dalam pengasuhan - Penguatan Kapasitas lembaga terkait (menjadi mitra Komite PRS ABH, PRS ABH BM, LSM/ Orsos, FKPM dll) - Fasilitasi Pembentukan komite PRS ABH b. Penanganan ABH dengan perspektif restoratif justice melalui LKSA (PSMP, RPSA, PSBR, LSM/ Orsos). Dengan bentuk kegiatan berupa: - melakukan penjangkauan kasus - Melakukan asesmen - Melakukan case conference termasuk family conference dan community conference - Membuat rencana pelayanan - Melakukan pendampingan psikososial terhadap anak dan keluarga - Melakukan home visit - Melakukan tracing, reunifikasi, dan reintegrasi - Melakukan Pencatatan, Monitoring dan evaluasi c. PRS ABH Berbasis Masyarakat, dengan bentuk kegiatan berupa: - Penguatan kapasitas masyarakat melalui upaya pencegahan - Penguatan kapasitas masyara- Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum kat dalam penyelesaian kasus ABH, keluarga dan komunitas, dengan mengedepankan upaya mediasi - Fasilitasi pembentukan PRSABHBM 2. Memfasilitasi ketersediaan pekerja sosial untuk melaksanakan pendampingan psikososial ABH. Implementasi program : a. Ketersediaan Pekerja Sosial Profesional yang ada di lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA) yang bermitra dengan program kesejahteraan sosial anak yang berhadapan dengan hukum, seperti di UPT/UPTD ataupun lembaga layanan anak lainnya b. Satuan Bhakti Pekerja Sosial (lulusan Sarjana Kesejahteraan Sosial dan telah melalui proses seleksi) berjumlah 49 orang yang ditempatkan di LKSA mitra PKS ABH. Dengan bentuk kegiatan berupa: Peningkatan kemampuan dan kapasitas pekerja sosial dan satuan bhakti pekerja sosial di LKSA (tahun 2010-2011 sejumlah 174 pekerja sosial UPT/UPTD dan 49 satuan bhakti pekerja sosial) 3. Memfasilitasi penjangkauan kasus ABH (apabila diperlukan) Implementasi Program: a. Pendampingan anak di Masyarakat. dengan kegiatan berupa: - Merespon laporan kasus dan asesmen; - Motivasi dan penyiapan mediasi/penyelesaian melalui musyawarah; - Pelaksanaan mediasi dan penandatanganan berita acara kesepakatan; - - - b. - - - - - c. - - - - Pelaksanaan kesepakatan; Monitoring dan evaluasi; Tindak lanjut pelayanan Pendampingan ABH (pelaku, korban, saksi) pada proses di kepolisian. Dengan bentuk kegiatan berupa: Pekerja Sosial melakukan home visit, penelusuran (tracing) keluarga untuk memastikan keberadaan keluarga, hubungan dan dukungan keluarga Memelihara atau mengupayakan anak tetap dalam asuhan keluarga Asesmen kebutuhan dasar anak Memastikan kondisi fisik, psikis dan lingkungan sosial anak Penempatan pengasuhan dan perawatan yang bersifat sementara bagi ABH dalam PSMP dan RPSA milik Kementerian Sosial RI. Bagi ABH yang belum/tidak diketahui keberadaan orang tuanya, di upayakan untuk tetap dalam pengasuhan kerabat maupun dengan alternatif pengasuhan lainnya Pendampingan ABH pada proses penuntutan dan persidangan. Dengan bentuk kegiatan berupa : Penguatan kepada keluarga agar mampu memberikan dukungan kepada ABH Pendampingan psikososial bagi pelaku, korban, maupun saksi dan keluarganya Mempermudah akses pendampingan hukum Memastikan terpenuhinya akses layanan sosial, pendidikan, kesehatan dan akses layanan 375 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum lainnya yang dibutuhkan. 4. Melakukan koordinasi dengan Bapas untuk memfasilitasi dan melaksanakan pendampingan psikososial ABH selama menjalani proses peradilan, sampai dengan terjadinya reunifikasi keluarga dan reintegrasi sosial kepada orang tua/ keluarga, kerabat, orangtua asuh dan/atau orang tua pengganti. Implementasi Program: a. Pendampingan ABH pada proses peradilan. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Pekerja Sosial melakukan home visit, tracing keluarga untuk memastikan hubungan dan dukungan keluarga - Mengupayakan anak tetap dalam asuhan keluarga dengan tidak menjalani penahanan. - Pendampingan psikososial pada anak maupun keluarganya - Melakukan asesmen sebagai bahan masukan/pertimbangan kepada APH, atau disampaikan melalui Litmas PK Bapas. - Memastikan kondisi fisik, psikis dan lingkungan sosial anak - Penempatan pengasuhan dan perawatan yang bersifat sementara bagi ABH dalam PSMP dan RPSA . - Bagi ABH yang tidak diketahui keberadaan orang tuanya di upayakan untuk tetap dalam pengasuhan kerabat maupun dengan alternatif pengasuhan lainnya b. Menerima rujukan dari putusan pengadilan yang menempatkan anak di PSMP atau LKSA lainnya. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Kelengkapan administrasi pe376 layanan sistem rujukan (berita acara serah terima, case record ABH, kontrak layanan, dsb) - Asesmen untuk menentukan layanan yang dibutuhkan ABH - Pembahasan kasus, termasuk di keluarga dan masyarakat - Penelusuran (Tracing) keluarga dan Home visit - Reunifikasi - Reintegrasi (keluarga, sosial, dan layanan sosial dasar) - Monitoring dan evaluasi 5. Melakukan Advokasi Sosial agar tercapai diversi dalam penyelesaian kasus ABH. Implementasi Program: Optimalisasi peran komite PRSABH, PRS ABHBM, PSMP, RPSA, PSBR dan LKSA lainnya, dengan bentuk kegiatan berupa: - Rapat Koordinasi - Pembahasan Kasus lintas sektor. - Pekerja sosial melakukan family and community conference. - Melakukan koordinasi dengan Bapas dalam memberikan masukan kepada APH dalam PRS ABH berdasarkan perspektif Restoratif Justice. 6. Melaksanakan Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial kepada ABH melalui Unit Pelaksana Teknis (Pusat/ Daerah). Implementasi Program: a. Mengoptimalkan fungsi layanan PSMP dan PSBR milik Pemerintah Daerah ; - BRSMP Cileungsi Jawa Barat; - PSMP Tengkuyuk Riau; - UPT Rehsos Anak Nakal dan Korban Napza Jawa Timur dan - PSMP Dharmapala Palembang - Serta 36 PSBR UPTD. b. Kementerian Sosial RI memi- Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum liki 4 Panti Sosial Marsudi Putera yang tersebar di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. serta 6 Rumah Perlindungan Sosial Anak (Aceh, Jambi, Jakarta, Batur Raden, Magelang, NTT dan NTB). Bentuk kegiatan: - Capacity Building untuk pekerja sosial, pendamping/ pengasuh, dan pengelola - Supervisi terhadap pelaksanaan layanan oleh pekerja sosial, pendamping/pengasuh, dan pengelola - Studi banding skala Nasional maupun Internasional - Penyusunan buku pedoman - Penyediaan sarana dan prasarana pendukung 7. Mengembangkan Model Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Berbasis Institusi, Keluarga dan Masyarakat. Implementasi Program: a. Program Kesejahteraan Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum (PKS ABH) b. Penanganan ABH dengan perspektif restoratif justice melalui PSMP c. Komite PRS ABH d. PRS ABH Berbasis Masyarakat Bentuk kegiatan: a. Pelaksanaan Workshop b. Rapat Koordinasi c. Penyusunan modul maupun pedoman terkait model layanan yang dikembangkan d. Penelitian e. Peningkatan kapasitas pekerja sosial f. Uji coba pengembangan model layanan g. Supervisi, monitoring dan eva- luasi untuk penyempurnaan model layanan h. Disusunnya Perjanjian Kerjasama SKB PRSABH antara Kementerian/Lembaga (Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan Nasional, Kepolisian RI) yang difasilitasi UNICEF. i. Replikasi pengembangan model layanan j. Mengembangkan sistem jaringan 8. Memfasilitasi terbentuknya Komite Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial ABH di Tingkat Nasional serta mendukung terbentuknya komite di Tingkat Kabupaten/ Kota. Implementasi Program: Pengembangan Komite PRSABH. Dengan bentuk kegiatan berupa: a. Sosialisasi Komite PRS ABH b. Membentuk Komite PRS ABH Nasional dan Komite PRSABH Provinsi/Kabupaten Kota (Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Barat serta Kota Pontianak dan Kabupaten Magelang). c. Bantuan operasional Komite dalam mendukung pelaksanaan PKSABH melalui dukungan APBN, Dana Dekonsentrasi dan sharing APBD dalam pembentukan komite di propinsi/kab. Kota 9. Memfasilitasi peningkatan kemampuan (Capacity Building) Pendamping/ Pekerja Sosial dalam lembaga maupun luar lembaga, termasuk pelaksana Komite Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial ABH. Implementasi Program: 377 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Capacity buliding SDM PRSABH. Dengan bentuk kegiatan berupa: a. Penyusunan pedoman TOT Pekerja Sosial dan Pengelola b. Pelaksanaan kegiatan capacity building bagi Pekerja Sosial/ Pendamping UPT dan UPTD c. Capacity building pengelola LKSA d. Capacity building tim kerja PRSABHBM B. KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM 1. Menetapkan kebijakan pelayanan, pembinaan, pembimbingan dan perlindungan ABH di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM dengan mengedepankan keadilan restoratif. Implementasi Program: Menyusun SOP yang berkaitan dengan penguatan kapasitas PK Bapas. Dengan bentuk kegiatan berupa: a. Ditjen Pemasyarakatan melakukan sosialisasi dan uji coba SOP yang sudah tersusun di Rutan/Lapas/Bapas b. Ditjen Pemasyarakatan melakukan revisi/penyempurnaan SOP setelah dilakukannya uji coba 2. Menyusun SOP terkait dengan PRS ABH di lingkungan Rutan Lapas dan Bapas. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Ditjen Pemasyarakatan melakukan sosialisasi dan uji coba SOP yang sudah tersusun di Rutan/Lapas/Bapas - Ditjen Pemasyarakatan melakukan revisi/penyempurnaan SOP setelah dilakukannya uji coba a. Menyusun modul bagi PK Ba378 - b. - - c. - d. - e. - - pas. Dengan bentuk kegiatan berupa: Ditjen Pemasyarakatan melakukan sosialisasi modul, monitoring dan Evaluasi terhadap pelaksanaan tugas Bapas Diklat peningkatan profesionalisme kerja bagi petugas Pemasyarakatan di bidang HAM. Dengan bentuk kegiatan berupa: BPSDM melaksanakan Diklat bagi petugas Rutan/Lapas/Bapas dibidang HAM secara berkala dan berkesinambungan Ditjen PAS mengadakan Bimbingan Teknis terhadap Petugas Rutan/Lapas/Bapas terkait dibidang HAM secara berkala dan berkesinambungan Penyempurnaan draft litmas sesuai dengan kebutuhan. Dengan bentuk kegiatan berupa: Ditjen Pemasyarakatan melakukan sosialisasi draft Litmas yang telah dibuat sesuai kebutuhan Mengajukan perubahan Keppres no.174 tahun 1999 tentang Remisi. Dengan bentuk kegiatan berupa: Ditjen Pemasyarakatan bekerjasama dengan Biro Hukum dalam menyusun draft rancangan Keppres tentang Remisi Menyusun SOP terkait perlakuan khusus bagi ABH. Dengan bentuk kegiatan berupa: Ditjen Pemasyarakatan melakukan sosialisasi dan uji coba SOP yang sudah tersusun di Rutan/Lapas/Bapas Ditjen Pemasyarakatan melakukan revisi/penyempurnaan SOP setelah dilakukannya uji coba Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum f. Program database Pemasyarakatan. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Direktorat Registrasi dan Statistik membuat database yang up to date Pemayarakatan berdasarkan input data dari UPT seluruh Indonesia 3. Memberikan perlindungan dan menyelenggarakan pelayanan dan pembinaan terhadap ABH yang berada di dalam Rutan dan Lapas. Implementasi Program: a. Menempatkan ABH terpisah dari WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan)/narapidana dewasa. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Ditempatkan pada Lapas Anak. - Apabila pada wilayah setempat tidak ada Lapas Anak, maka penempatan dilakukan pada Lapas Dewasa (di Blok Khusus Anak). b. Memperhatikan gizi ABH sesuai dengan aturan yang berlaku. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Memberikan makan bagi ABH yang berada di dalam Rutan/ Lapas sebanyak 3 kali sehari. - ABH yang berada di luar Rutan/Lapas (ABH yang sedang mengikuti proses peradilan) tidak mendapatkan makan oleh pihak Rutan/Lapas. - Pemberian makanan kepada ABH tetap memperhatikan gizi seimbang dan menu yang berbeda. c. Pihak Rutan/Lapas memfasilitasi pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan ABH. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Menyediakan ruang atau tempat bagi PK Bapas/Pengacara/ - - - - d. - - - - - - - Keluarga berkaitan dengan kepentingan ABH. Pihak Rutan mempersiapkan ABH untuk mengikuti Sidang Anak. Rutan/Lapas membuat jadwal hari kunjungan bagi ABH. Penyediaan telepon umum di Rutan/Lapas. Penyediaan data ABH di Rutan/Lapas sesuai dengan kebutuhan pihak terkait. Membuka akses bagi pihak lain yang ingin membantu perlindungan dan pelayanan ABH sesuai dengan kapasitasnya. Dengan bentuk kegiatan berupa: Ditjen Pemasyarakatan mengeluarkan izin prinsip bagi K/L maupun masyarakat yang berminat memberikan bantuan dan pelayanan ABH di Rutan/Lapas Kasi/Kasubsi Bimker mendorong terbentuknya program PKBM di Rutan/Lapas. Kasi Binadik/Kasi Pelayanan Tahanan Pro aktif menghubungi pihak sekolah agar ABH tidak putus sekolah. Tenaga medis/paramedis Rutan/Lapas memberikan layanan kesehatan bagi ABH sesuai sarana & prasarana yang ada. Kasi Binadik/Kasi Pelayanan Tahanan Pro Aktif menghubungi Puskesmas/RS rujukan untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi ABH. Rutan/Lapas membuat program/jadwal Olah Raga rutin/ insidentil bagi ABH. Rutan/Lapas membuat program/jadwal kegiatan keagamaan rutin/insidentil bagi ABH. 379 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum - Penyelenggaraan Rumah Pesantren di Lapas Anak. - Rutan/Lapas memberikan dan memfasilitasi penyuluhan hukum bagi ABH. - Rutan/Lapas mengusulkan Remisi. e. Melakukan peningkatan tahap pembinaan bagi ABH. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Rutan/Lapas mengajukan permintaan Litmas pada Bapas guna usulan Asimilasi, Cuti Bersyarat (CB), Cuti Menjelang Bebas (CMB), Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK), Pembebasan Bersyarat (PB) bagi ABH. - Rutan/Lapas/Bapas melakukan sidang TPP terkait usulan di atas. - Rutan/Lapas mengusulkan pemberian Asimilasi ke dalam dan keluar bagi ABH. - Rutan/Lapas mengusulkan pemberian reintgrasi ke lingkungan keluarga dan masyarakat bagi ABH berupa: Cuti Bersyarat (CB), Cuti Menjelang Bebas (CMB), Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK), Pembebasan Bersyarat (PB). - Kanwil melakukan siding TPP terkait usulan di atas melanjutkan usulan ke Ditjen Pemasyarakatan - Kanwil mengeluarkan SK Asimilasi, CB dan CMB - Dijen Pemasyarakatan melakukan siding TPP terkait usulan PB dan mengeluarkan SK PB atas nama Menteri 4. Melakukan penyusunan penelitian kemasyarakatan yang akan dijadikan bahan pertimbangan dalam penanganan ABH. Implementasi Program : 380 a. Bapas membuka akses bagi pihak terkait dalam hal pembuatan Litmas. Dengan bentuk kegiatan berupa: - PK Bapas membuat Litmas sebagai bahan pertimbangan pihak Kepolisian untuk melakukan Diversi - PK Bapas menyampaikan Litmas kepada Hakim sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara anak. - PK Bapas membuat Litmas untuk usulan Asimilasi, CB, CMB, CMK, dan PB. 5. Melakukan pembimbingan, pengawasan dan pendampingan ABH Implementasi Program : a. Bapas melakukan pendampingan. Dengan bentuk kegiatan berupa: - KaBapas melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait (Polri, Kejaksaan dan Pengadilan) dalam rangka Diversi maupun Sidang Anak yang mengedepankan Restoratif Justice - PK Bapas melakukan mediasi/musyawarah dengan pihak korban dan keluarganya, Toma, Toga serta berkoordinasi dengan instansi terkait dalam proses Diversi. - PK Bapas melakukan pendampingan psikologis ABH selama proses persidangan dan berkoordinasi dengan Peksos sesuai dengan kebutuhan - PK Bapas memfasilitai kehadiran keluarga dalam persidangan - PK Bapas menfasilitasi pemenuhan kebutuhan LBH bagi kepentingan ABH dalam persidangan b. Bapas melakukan pembimbi- Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum ngan. Dengan bentuk kegiatan berupa: - PK Bapas melakukan kunjungan rumah dalam rangka pembimbingan klien (ABH). - PK Bapas melakukan konselling dengan klien (ABH) di kantor Bapas - Bapas Proaktif melakukan koordinasi dengan : o Diknas dalam rangka memenuhi kebutuhan pendidikan klien (ABH) o Puskesmas/RS rujukan dalam rangka memenuhi kebutuhan kesehatan klien (ABH) o Bintalkesos/Dinas sosial dan Menaker Trans/dinas yang ada di daerah setempat dalam rangka pemberian life skill bagi klien (ABH) c. Bapas melakukan pengawasan. Dengan bentuk kegiatan berupa: - PK Bapas melakukan pengawasan terhadap ABH yang diputus oleh Hakim berupa: AKOT, Pidana Bersyarat, dan Anak yang diserahkan ke Lembaga Sosial atau pendidikan (panti sosial, pesantren, orang tua asuh). - PK Bapas melakukan assessment terhadap masyarakat di lingkungan tempat tinggal klien menjalani CB, CMB, CMK dan PB agar program tersebut berhasil - PK Bapas menghubungkan klien dengan unsur-unsur yang ada di masyarakat untuk rehabilitasi sosial dan kemandirian klien. 6. Menyediakan data dan registrasi anak didik pemasyarakatan, tahanan anak dan klien Bapas Implementasi Program: a. Ditjen Pemasyarakatan menyediakan data dan Registrasi ABH dalam skala Nasional. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Petugas Regisrasi dan Statistik menghimpun, mengentri dan memfinalisasi data dan registrasi ABH berdasarkan laporan rutin dari UPT seluruh Indonesia b. Kanwil menyediakan data dan Registrasi ABH dalam tingkat Kanwil. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Petugas Regisrasi dan Statistik menghimpun, mengentri dan memfinalisasi data dan registrasi ABH berdasarkan laporan rutin dari UPT yang ada di wilayahnya c. Rutan/Lapas/Bapas menyediakan data dan Registrasi ABH di tingkat UPT - Petugas Regisrasi dan Statistik menghimpun, mengentri dan memfinalisasi data dan registrasi ABH berdasarkan fakta yang ada di masing-masing UPT 7. Melakukan pelatihan peningkatan kemampuan petugas Bapas dan Lapas Anak tentang diversi dan keadilan restoratif. Implementasi Program : BPSDM berkoordinasi dengan Ditjen Pemasyarakatan dalam penyusunan program pelatihan bagi petugas Rutan/Lapas/Bapas. Dengan bentuk kegiatan berupa: - BPSDM melaksanakan Diklat bagi petugas Rutan/Lapas/Bapas tentang Diversi dan Restoratif Justice secara berkala dan berkesinambungan - Ditjen PAS mengadakan Bim381 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum bingan teknis terhadap petugas Rutan/Lapas/Bapas terkait hal diatas secara berkala dan berkesinambungan 8. Menyediakan SDM, sarana dan prasarana untuk pelayanan dan pemenuhan hak anak Implementasi Program: a. Setjen berkoordinasi dengan Ditjen Pemasyarakatan dalam menyusun program rekruitmen pegawai yang berkompetensi dan berkomitmen terhadap kepentingan ABH. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Setjen melakukan rekruitmen pegawai yang berkompetensi dan berkomitmen terhadap kepentingan ABH b. Setjen berkoordinasi dengan Ditjen Pemasyarakatan dalam menyusun program pengadaan sarana dan prasarana. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Setjen memberikan dana bagi tersedianya blok khusus anak di setiap Rutan/Lapas Dewasa - Setjen memberikan dana bagi tersedianya tempat tidur yang layak, pakaian yang layak, makanan yang layak, obat-obatan yang memadai, alat keterampilan, olahraga dan kesenian dan Perpustakaan yang dibutuhkan ABH - Setjen memberikan dana yang memadai bagi terselenggaranya pembuatan Litmas, Pendampingan, Pembimbingan dan Pengawasan bagi ABH oleh Bapas. C. KEMENTERIAN KESEHATAN 1. Menyediakan Pedoman Pelayanan Kesehatan bagi ABH 2. Melakukan pembinaan kesehatan 382 anak secara komprehensif yang meliputi: a. Upaya pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas yaitu: 1) Upaya promotif 2) Upaya preventif 3) Upaya Kuratif 4) Upaya rehabilitatif b. Pelayanan kesehatan rujukan di RS yang meliputi pelayanan rujukan medis/ pelayanan terpadu (PPT). 3. Menyediakan biaya pengobatan melalui Jamkesmas bagi ABH yang terdaftar sebagai keluarga miskin dan ABH yang berasal dari kelompok gelandangan, pengemis dan terlantar atas rekomendasi dinas/ instansi sosial setempat dan bagi ABH di Lapas/Rutan melalui Rekomendasi Kepala Rutan/Lapas setempat 4. Implementasi pelayanan kesehatan dilaksanakan terdiri dari: a. Sebelum menjadi kasus “ABH”: melaksankan upaya promotif dan preventif seperti: Penyuluhan tentang Kesehatan Reproduksi Remaja, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), Bahaya NAPZA terhadap kesehatan remaja, dan Dampak Kekerasan Fisik, Emosional, Seksual, Penelantaran terhadap Tumbuh Kembang Anak termasuk pada anak korban TPPO/trafiking. b. Dalam Proses Peradilan: Pelayanan kesehatan dan dukungan medikolegal (visum et repertum) dan menjadi saksi ahli jika diperlukan. c. Dalam Proses Menjalani Tindakan: Pelayanan kesehatan rutin bagi ABH di Klinik Lapas/ Rutan atau Puskesmas setem- Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum pat; penyuluhan kesehatan, penjaringan kesehatan, Konseling, Pendidikan Keterampilan Hidup Sehat serta pelayanan kesehatan rujukan di rumah sakit. d. Setelah menjadi ABH/Pasca ABH menjalani tindakan: Home visit oleh petugas puskesmas, rawat jalan, pelayanan rehabilitasi psikologis anak/konseling. e. Bekerjasama memperkuat dukungan pelayanan psikososial dalam tim yaitu Babinkamtibmas, UPPA/Klinik di Lapas/rutan, LKSA/RPSA untuk upaya perlindungan ABH 5. Melaksanakan koordinasi dalam rangka upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan bagi ABH 6. Melaksanakanan pencatan dan pelaporan 7. Melaksanakan monitoring dan evalusia program pembinaan kesehatan ABH Implementasi Program Kesehatan tahun 2010 : 1. Menyediakan Buku Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Lapas Rutan. 2. Melaksnakan Orientasi pelayanan kesehatann anak di Lapas/Rutan bagi tenaga kesehatan di puskesmas 3. Melaksanakan fasilitasi teknis terpadu/monev 4. Menyediakan Jamkesmas bagi pelayanan kesehatan anak di lapas/ rutan sesuai prosedur (Kepmenkes no 1259/menkes/SK/XII/2009) 5. Puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan di 8 Lapas Anak di Indonesia yang terdiri dari kegiatan: penyuluhan kesehatan, penja- ringan kesehatan dan pengobtan D. KEMENTERIAN AGAMA 1. Mengembangkan dan menetapkan kebijakan perlindungan ABH untuk lingkungan pendidikan di lingkungan Kementerian Agama. Implementasi Program: a. Program pendidikan terpadu anak harapan (DIKTERAPAN). Dengan bentuk kegiatan berupa: - Penyusunan petunjuk pelaksanaan pendidikan terpadu anak harapan (DIKTERAPAN) - Penyusunan petunjuk teknis DIKTERAPAN - Penyusunan pedoman pelaksanaan DIKTERAPAN di Kanwil (Daerah) b. Program keluarga Sakinah. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Penyusunan pedoman terwujudnya keluarga sakinah sebagai lingkungan terkecil ABH oleh Dirjen Bimas Islam; - Sosialisasi pedoman pedoman yang disusun oleh Ditjen Pendidikan Islam tentang keluarga sakinah; c. Program pendidikan Agama untuk ABH. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Penyusunan petunjuk pelaksanaan pendidikan Agama untuk ABH; - Penyusunan pedoman pelaksanaan pendidikan Agama untuk ABH; - Sosialisasi juklak dan pedoman tentang pendidikan Agama untuk ABH; 2. Menetapkan kebijakan alternatif pelayanan pendidikan agama dan yang dibutuhkan ABH dalam ben383 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum tuk formal, non formal dan informal. Implementasi Program: a. Program layanan bimbingan dan konseling agama kepada ABH. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Pengembangan layanan bimbingan dan konseling agama kepada ABH; - Penyusunan modul layanan bimbingan dan konseling agama kepada ABH; - Roundtable discussion tentang modul layanan bimbingan dan konselling agama kepada ABH; - Penyempurnaan modul operasional layanan bimbingan dan konselling agama kepada ABH; b. Program pendampingan untuk memberikan pelatihan praktek keagamaan terhadap ABH oleh Direktorat PENAIS, pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Pengembangan program pendampingan untuk memberikan pelatihan praktek keagamaan terhadap ABH oleh Direktorat PENAIS, pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren; - Penyusunan program pendampingan untuk memberikan pelatihan praktek keagamaan terhadap ABH oleh Direktorat PENAIS, pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren; - Roundtable discussion tentang disain program pendampingan untuk memberikan pelatihan praktek keagamaan terhadap ABH oleh Direktorat PENAIS, pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren. c. Program pendidikan agama 384 berbasis institusi, keluarga, dan masyarakat. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Pengembangan model pendidikan agama berbasis institusi, keluarga, dan masyarakat - Penyusunan modul operasional pendidikan agama berbasis institusi, keluarga, dan masyarakat - Roundtable discussion tentang modul pendidikan agama berbasis institusi, keluarga, dan masyarakat - Penyempurnaan modul operasional pendidikan agama berbasis institusi, keluarga, dan masyarakat; d. Program pendampingan keluarga sakinah bagi ABH. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Pengembangan program pendampingan keluarga sakinah bagi ABH sehingga tidak terjadi sama sekali kekerasan terhadap anak; - Penyusunan program pendampingan keluarga sakinah bagi ABH sehingga tidak terjadi sama sekali kekerasan terhadap anak; - Roundtable discussion tentang disain program pendampingan keluarga sakinah bagi ABH sehingga tidak terjadi sama sekali kekerasan terhadap anak; 3. Melakukan langkah pencegahan tindak kekerasan terhadap siswa selama dalam proses pendidikan agama sebagai upaya pencegahan siswa melakukan rindak pelanggaran tata tertib madrasah, pesantren, madrasah diniyah, majelis taklim, TPQ. Implementasi Program: a. Program pencegahan tindak Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum kekerasan terhadap siswa di satuan pendidikan di lingkungan Kementerian Agama. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Penyusunan pedoman pencegahan tindak kekerasan terhdap siswa di madrasah, pesantren, madrasah diniyah, majelis taklim, dan TPQ - Roundtable discussion pedoman pencegahan tindak kekerasan terhdap siswa di madrasah, pesantren, madrasah diniyah, majelis taklim, dan TPQ - Penyempurnaan pedoman pencegahan tindak kekerasan terhdap siswa di madrasah, pesantren, madrasah diniyah, majelis taklim, dan TPQ - Penggandaan pedoman pencegahan tindak kekerasan terhdap siswa di madrasah, pesantren, madrasah diniyah, majelis taklim, dan TPQ - Sosialisasi pedoman pencegahan tindak kekerasan terhdap siswa di madrasah, pesantren, madrasah diniyah, majelis taklim, dan TPQ b. Program peningkatan kapasitas pendidik agama khusus dan tenaga bimbingan/konseling agama terhadap ABH untuk pencegahan tindak kekerasan terhdap siswa di madrasah, pesantren, madrasah diniyah, majelis taklim, dan TPQ. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Fasilitasi bagi pendidik agama khusus dan tenaga bimbingan/ konseling agama terhadap ABH untuk pencegahan tindak kekerasan terhdap siswa di madrasah, pesantren, madrasah diniyah, majelis taklim, dan TPQ - - - - c. - - - d. Penunjukan dan pengangkatan pendidik agama khusus dan tenaga bimbingan/konseling agama terhadap ABH Pemberian subsidi tunjangan terhadap pendidik khusus dan bimbingan/konseling terhadap ABH Peningkatan kompetensi pendidik agama dan tenaga bimbingan/konseling agama terhadap ABH Semiloka desain kegiatan peningkatan kompetensi pendidik agama dan tenaga bimbingan/konseling agama terhadap ABH Workshop peningkatan kompetensi pendidik agama dan tenaga bimbingan/konseling agama terhadap ABH program pendampingan mental spiritual bagi ABH yg sedang berproses peradilan sekaligus bisa menerima putusan dengan lapang dada dan sabar. Dengan bentuk kegiatan berupa: Pengembangan program pendampingan mental spiritual bagi ABH yg sedang berproses peradilan sekaligus bisa menerima putusan dengan lapang dada dan sabar; Penyusunan desain program pendampingan mental spiritual bagi ABH yg sedang berproses peradilan sekaligus bisa menerima putusan dengan lapang dada dan sabar; Roundtable discussion tentang disain program pendampingan mental spiritual bagi ABH yg sedang berproses peradilan sekaligus bisa menerima putusan dengan lapang dada dan sabar; Program penguatan mental 385 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum spiritual dengan adanya harapan akan masa depan yang lebih cerah. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Pengembangan program penguatan mental spiritual dengan adanya harapan akan masa depan yang lebih cerah; - Penyusunan desain program penguatan mental spiritual dengan adanya harapan akan masa depan yang lebih cerah; - Roundtable discussion desain program penguatan mental spiritual dengan adanya harapan akan masa depan yang lebih cerah; e. Program pendampingan dan monitoring terhadap kondisi mental spiritual selama menjalani putusan, baik LAPAS, RUTAN maupun pihak lainnya. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Pengembangan program pendampingan dan monitoring terhadap kondisi mental spiritual selama menjalani putusan, baik LAPAS, RUTAN maupun pihak lainnya; - Penyusunan desain program pendampingan dan monitoring terhadap kondisi mental spiritual selama menjalani putusan, baik LAPAS, RUTAN maupun pihak lainnya; - Roundtable discussion program pendampingan dan monitoring terhadap kondisi mental spiritual selama menjalani putusan, baik LAPAS , RUTAN maupun pihak lainnya f. Program penguatan keluarga sakinah dengan pembekalan keterampilan cukup untuk melanjutkan dan menjalani kehi386 dupan baru yang lebih aman, ramah dan damai. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Pengembangan program penguatan keluarga sakinah dengan pembekalan keterampilan cukup untuk melanjutkan dan menjalani kehidupan baru yang lebih aman, ramah dan damai; - Penyusunan desain program penguatan keluarga sakinah dengan pembekalan keterampilan cukup untuk melanjutkan dan menjalani kehidupan baru yang lebih aman, ramah dan damai; - Roundtable discussion program penguatan keluarga sakinah dengan pembekalan keterampilan cukup untuk melanjutkan dan menjalani kehidupan baru yang lebih aman, ramah dan damai; g. Program pembentukan satuan gugus pendampingan di tiap LAPAS dan RUTAN terhadap ABH dan keluarganya agar memiliki mental dan spiritual yang kuat sehingga semaksimal mungkin terhidarkan dari kekerasan terhadap anak, dan anak tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum. Dengan bentuk kegiatan berupa: - Need assessment tentang satuan gugus pendampingan di tiap LAPAS dan RUTAN terhadap ABH dan keluarganya agar memiliki mental dan spiritual yang kuat sehingga semaksimal mungkin terhidarkan dari kekerasan terhadap anak, dan anak tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum; Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum - - - Pembentukan satuan gugus pendampingan di tiap LAPAS dan RUTAN terhadap ABH dan keluarganya agar memiliki mental dan spiritual yang kuat sehingga semaksimal mungkin terhindarkan dari kekerasan terhadap anak, dan anak tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum; Peningkatan kompetensi satuan gugus pendampingan di tiap LAPAS dan RUTAN terhadap ABH dan keluarganya agar memiliki mental dan spiritual yang kuat sehingga semaksimal mungkin terhindarkan dari kekerasan terhadap anak, dan anak tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum; Evaluasi dan monitoring satuan gugus pendampingan di tiap LAPAS dan RUTAN terhadap ABH dan keluarganya agar memiliki mental dan spiritual yang kuat sehingga semaksimal mungkin terhindarkan dari kekerasan terhadap anak, dan anak tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum. E. POLRI 1. Menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan ABH di lingkungan POLRI Implementasi Program : a. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan interen POLRI tentang Diversi dan Peradilan Restoratif bagi ABH b. Melakukan sambang/kunjungan kepada tokoh masyarakat (formal dan informal) c. Melakukan pengumpulan pendapat masyarakat (pulpatmas) untuk mendapatkan informasi 2. 3. 4. 5. tentang permasalahan-permasalahan yang meresahkan masyarakat. Melakukan upaya pencegahan ABH di lingkungan masyarakat Implementasi Program : a. Bimbingan dan Penyuluhan oleh Bhabinkamtibmas/petugas Polisi Masyarakat (Polmas) di lingkungan pendidikan dan permukiman untuk menghindari agar masyarakat (termasuk anak) tidak menjadi pelaku atau korban kejahatan dan menjadi masyarakat yang patuh hukum. b. Menjadi pembina upcara di sekolah-sekolah untuk menyampaikan penyuluhan tentang kepatuhan terhadap hukum dan perundang-undangan tentang hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas pelajar. c. Memberikan pengenalan hukum kepada anak usia dini dengan program ”Polisi Sahabat Anak”. Memberdayakan masyarakat untuk melakukan upaya penyelesaian masalah ABH a. Melakukan penertiban terhadap masyarakat, termasuk anak-nak. b. Memberdayakan FKPM (Forum Kemitraan Polisi Masyarakat) dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang meibatkan anak dalam suatu lingkungan atau komunitas. Melakukan rehabilitasi mental agar anak dapat menjalani kehidupan normal dalam keluarga dan masyarakat. Melakukan upaya dalam rangka mengkondisikan agar keluarga dan 387 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 6. 7. 4. 5. masyarakat dapat menerima kembali anak tersebut di lingkungannya. Melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya anak yang menjadi pelaku tindak pidana Implementasi Program: Proses pendampingan awal ABH dari Instansi yang terkait (PK Bapas,pekerja sosial) dalam rangka diversi. Melakukan penyidikan terhadap dugaan adanya anak yang menjadi pelaku tindak pidana dengan melibatkan Bapas dan pendamping ABH sejak dini, dalam rangka penelitian kemasyarakatan. Implementasi Program : a. Menghubungi petugas Bapas untuk dilakukan Litmas. b. Menghubungi pekerja sosial untuk mendapatkan psikososial baik terhadap ABH maupun keluarga. Memberikan perlindungan dari tindak kekerasan, diskriminasi, intimidasi dan perlakuan tidak manusiawi lainnya dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Implementasi Program : a. Apabila ABH ditahan ditempatkan dalam tahanan yang ramah terhadap anak. b. Memberikan rasa aman terhadap ABH dalam proses penyelidikan c. Menghubungi Litmas dan pekerja sosial untuk memberikan perlindungan baik terhadap ABH maupun keluarganya. Menunjuk LBH untuk mendampingi ABH yang diancam hukuman penjara di atas 5 (lima) tahun yang berasal dari keluarga tidak mampu. Implementasi Program : a. Meningkatkan kemampuan penyidik Polri yang punya minat 388 6. 7. 8. 9. 10. dan kepekaan/sensitifitas dan empati terhadap penanganan ABH. b. Mencarikan pengacara yang berpihak kepada ABH yang tidak di dampingi oleh pengacara. Mengupayakan diversi dan keadilan restoratif terhadap perkara ABH sebagai pelaku, dengan mempertimbangkan hasil penelitian kemasyarakatan demi kepentingan terbaik anak Implementasi Program : Memberikan rasa aman terhadap ABH dalam proses penyidikan serta dengan mengupayakan hak-hak dasar ABH. Melibatkan para pihak dalam proses restoratif justice. Implementasi Program : Melibatkan keluarga, bantuan hukum, pekerja sosial, masyarakat, pelaku korban dan saksi. Merujuk ABH sebagai pelaku kepada kepada Departemen Sosial, guna mendapatkan layanan berdasarkan putusan diversi dan kesepakatan keadilan restoratif Implementasi Program : Menghubungi pekerja sosial yang terdekat untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan. Mengupayakan agar selama dalam proses penyidikan anak yang diduga melakukan tindak pidana tidak dilakukan penahanan kecuali untuk kepentingan terbaik anak. Implementasi Program : Apabila ABH ditahan ditempatkan dalam tahanan khusus anak Meningkatkan kemampuan penyidik untuk melakukan penyidikan ABH Implementasi Program : Sosialisasi tentang proses pena- Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum nganan ABH kepada para penyidik POLRI. 11. Merujuk ABH ke rumah sakit/lembaga kesehatan yang ditunjuk dalam rangka keperluan visum Implementasi Program : Memintakan Visum ke Rumah Sakit rujukan POLRI 12. Menempatkan sementara ABH di UPT atau lembaga Kementerian Sosial selama proses pengadilan dengan memberikan fasilitas keamanan BAB IV MEKANISME PRS ABH A. PERAN KEMENTERIAN SOSIAL 1. Tahap Anak di Masyarakat a. Pencegahan Khusus 1) Pemberian bantuan untuk pemenuhan hak dasar anak, bagi anak-anak yang sangat membutuhkan. Bantuan diberikan dalam bentuk tabungan anak yang akan dapat dicairkan oleh anak berdarakan asesmen kebutuhan yang dilakukan oleh para pendamping/pekerja sosial yang ditugaskan oleh KEMENSOS. 2) Peningkatan aksesibilitas terhadap berbagai pelayanan sosial dasar (dalam rangka pemenuhan hak dasar) pada anak. Contohnya, akses terhadap pendidikan dasar/pendidikan alternatif dan akses terhadap vocational training bagi anak yang berusia 15 tahun ke atas; akses layanan kesehatan dasar dari puskesmas, poliklinik, akses terhadap layanan konseling keseha- tan reproduksi, dsb 3) Pengembangan Pusat-Pusat Kegiatan Remaja. Sasaran: Anak dengan kenakalan yang bukan pelaku tindak pidana dan/atau rentan. Pelaksana: Orsos/NGO 4) Pengembangan Kapasitas Pekerja Sosial dan pengelola LKSA PRS ABH. Sasaran : Pekerja sosial dan pengelola LKSA Pelaksana: Orsos/NGO 5) Fasilitasi pembentukan dan replikasi PRS ABH BM. Sasaran : Masyarakat, Tokoh masyarakat dan tokoh adat. Pelaksana: TKSA, SSK, PSK, PSM, Relawan 6) Replikasi Komite. Sasaran: Instansi lintas sektor yang terkait dengan SKB Provinsi dan Kabupaten Pelaksana: Kementerian sosial, Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten b. Pencegahan Umum Kampanye sosial Program PRS ABH serta Peraturan dan Kebijakan pemerintah terkait PRS ABH. Sasaran: Instansi pusat dan daerah serta LSM Pelaksana: Kementerian social, Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten serta orsos/NGO/LSM c. Memfasilitasi Musyawarah Masyarakat dan Musyawarah Keluarga 1) Merespon laporan dan assesmen 2) Motivasi dan penyiapan mediasi/penyelesaian me389 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum lalui musyawarah dengan mengintensifkan kegiatan family conference dan community conference 3) Pelaksanaan mediasi dan penandatanganan berita acara kesepakatan 4) Pelaksanaan kesepakatan 5) Monitoring dan evaluasi 6) Tindak lanjut pelayanan Sasaran: ABH, Keluarga, Masyarakat dan Lingkungan sosial Pelaksana: Kementerian sosial, Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten, UPT dan UPTD, TKSA, SSK, PSK, PSM, Relawan serta Orsos/ NGO d. Rehabilitasi Sosial untuk mengubah perilaku ABH, dan membangun perilaku prososial di kalangan anak. 1) Menyelenggarakan program-program konseling individual untuk anak korban, pelaku maupun saksi. 2) Menyelenggarakan program-program konseling/ terapi kelompok untuk anak 3) Menyelenggarakan program-program pendidikan sebaya (peer education) kepada ABH 4) Menyelenggarakan program-program terapi keluarga untuk meningkatkan kualitas pengasuhan anak. e. Pemantauan / Binjut 1) Persiapan keluarga 2) Reintegrasi dan bila diperlukan family support untuk keluarga 3) Reunifikasi 390 Sasaran: ABH, Keluarga, Masyarakat dan Lingkungan sosial Pelaksana: Kementerian sosial, Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten, UPT dan UPTD, TKSA, SSK, PSK, PSM, Relawan serta Orsos/ NGO 2. Tahap Proses di Kepolisian a. Pekerja sosial melakukan home visit, tracing keluarga untuk memastikan hubungan dan dukungan keluarga b. Mengupayakan anak tetap dalam asuhan keluarga c. Assesmen kebutuhan dasar anak d. Memastikan kondisi fisik, psikis dan lingkungan sosial anak e. Penempatan pengasuhan dan perawatan yang bersifat sementara bagi ABH dalam PSMP dan RPSA milik kementerian Sosial RI f. Bagi ABH yang tidak diketahui keberadaan orang tuanya diupayakan untuk tetap dalam pengasuhan kerabat maupun dengan alternatif pengasuhan lainnya Sasaran: ABH (saksi, korban dan pelaku), Keluarga ABH, Masyarakat dan lingkungan sosial, Pelaksana: Kementerian sosial, Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten, UPT dan UPTD, TKSA, SSK, PSK, PSM, Relawan serta Orsos/NGO 3. Tahap Pasca Putusan Diversi • Pekerja sosial melakukan home visit, tracing keluarga untuk memastikan hubungan, dukungan dan penerimaan keluarga • Mengupayakan anak tetap da- Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum lam asuhan keluarga Asessment kebutuhan layanan lanjutan ABH (Akses layanan pendidikan, vocational training) • Memastikan kondisi fisik, psikis dan lingkungan sosial anak untuk proses reunifikasi dan reintegrasi • Bagi ABH yang tidak diketahui keberadaan orang tuanya diupayakan untuk tetap dalam pengasuhan kerabat maupun dengan alternatif pengasuhan lainnya seperti penempatan pengasuhan dan perawatan yang bersifat sementara bagi ABH dalam PSMP dan RPSA milik Kementerian Sosial RI Sasaran: ABH, Keluarga ABH, Masyarakat dan lingkungan sosial Pelaksana: Kementerian sosial, Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten, UPT dan UPTD, TKSA, SSK, PSK, PSM, Relawan serta Orsos/NGO 4. Tahap Proses Penuntutan dan Persidangan a. Penguatan kepada keluarga untuk memberikan dukungan kepada ABH b. Pendampingan psikososial bagi pelaku (jika diminta), korban, maupun saksi c. Mempermudah akses pendampingan hukum d. Memastikan terpenuhinya akses layanan sosial, pendidikan, kesehatan dsb. Sasaran: ABH dan Keluarga Pelaksana: Kementerian sosial, Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten, UPT dan UPTD, TKSA, SSK, PSK, PSM, Relawan serta Orsos/NGO 5. Tahap Penempatan Tahanan Anak (Rumah, Lembaga, Kesejahteraan Sosial Anak/LKSA) • a. Kelengkpan administrasi pelayanan system rujukan (berita acara serah terima, case record ABH, kontrak layanan, dsb) b. Asessment untuk menentukan layanan yang dibutuhkan ABH c. Tracing keluarga dan home visit d. Pembahasan kasus e. Reintegrasi dan reunifikasi f. Monitoring dan evaluasi Sasaran: LKSA, ABH, Keluarga, Masyarakat Pelaksana: Kementerian sosial, Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten, UPT dan UPTD, TKSA, SSK, PSK, PSM, Relawan serta Orsos/NGO 6. Tahap Pasca Putusan dan Menjalani Putusan a. Kembali ke orang tua 1) Penyiapan anak (Sosial skill training, life skill) 2) Penyiapan keluarga (social parenting sklill) 3) Penyiapan lingkungan sosial Sasaran: ABH, Keluarga dan Masyarakat Pelaksana: Kementerian sosial, Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten, UPT dan UPTD, TKSA, SSK, PSK, PSM, Relawan serta Orsos/NGO b. Pidana Bersyarat 1) Penyiapan anak (Sosial skill training, life skill) 2) Penyiapan keluarga (social parenting sklill) 3) Penyiapan lingkungan sosial 4) Berkoordinasi dengan pihak Bapas dalam memantau perkembangan anak Sasaran: ABH, Keluarga dan Masyarakat Pelaksana: Kementerian sosial, Dinas Sosial Pro391 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum vinsi dan Kabupaten, UPT dan UPTD, TKSA, SSK, PSK, PSM, dan Relawan c. LKSA 1) Melakukan penjangkauan kasus 2) Melakukan case conference termasuk family conference dan community conference 3) Membuat rencana pelayanan 4) Melakukan pendampingan psikososial 5) Melakukan home visit (untuk menyiapkan keluarga dan lingkungan sosial) 6) Melakukan tracing, reunifikasi dan reintegrasi 7) Melakukan pencatatan, monitoring dan evaluasi Sasaran: ABH, Keluarga dan Masyarakat Pelaksana: Kementerian sosial, Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten, UPT dan UPTD, TKSA, SSK, PSK, PSM, Relawan serta Orsos/ NGO 7. Tahap setelah Menjalani Putusan Pengadilan a. Pekerja social melakukan home visit, tracing keluarga untuk memastikan hubungan, dukungan dan penerimaan keluarga b. Mengupayakan anak tetap dalam asuhan keluarga c. Asessmen kebutuhan layanan lanjutan ABH (akses layanan pendidikan, vocational training) d. Memastikan kondisi fisik, psikis dan lingkungan social anak untuk proses reunifikasi dan reintegrasi dalam menghilangkan stigma keluarga dan masyarakat, menghilangkan trauma anak terhadap proses 392 peradilan formal e. Bagi ABH yang tidak diketahui keberadaan orang tuanya diupayakan untuk tetap dalam pengasuhan kerabat maupun alternatif pengasuhan lainnya seperti penempatan pengasuhan dan perawatan yang bersifat sementara bagi ABH dalam PSMP dan RPSA milik Kementerian Sosial Sasaran: ABH, Keluarga, Masyarakat dan Lingkungan Sosial Pelaksana: Kementerian sosial, Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten, UPT dan UPTD, TKSA, SSK, PSK, PSM, Relawan serta Orsos/NGO B. PERAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA 1. Tahap Anak di Masyarakat a. Pencegahan Umum Penyuluhan hukum Sasaran: Masyarakat Pelaksana: Provinsi: Kanwil (cq Div. Pelayanan Hukum) b. Pencegahan Khusus Konseling dan Pendampingan Kasus Sasaran: Masyarakat Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten Kota: Bapas c. Musyawarah Konseling dan Pendampingan Kasus Sasaran: Masyarakat Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten/Kota: Bapas d. Pemantauan/Binjut Penerimaan Laporan Masyarakat dan Pembimbingan Sasaran: Masyarakat Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten/Kota: Bapas 2. Tahap Proses di Kepolisian Tahap penerimaan-pengaduan Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 3. 4. 5. 6. ABH di Kepolisian Tahap Penyelidikan dan Penyidikan 1) Menerima Laporan 2) Membuat Litmas 3) Berkoordinasi dengan pihak lain sehubungan dengan pengumpulan data laporan litmas 4) Berupaya melakukan diversi Sasaran: ABH Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten/Kota: Bapas Tahap Pasca Putusan Diversi Melakukan pengawasan dan melakukan pembimbingan Sasaran: ABH Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten/Kota: Bapas Tahap Proses Penuntutan Melakukan pengawasan dan Pembimbingan Sasaran: ABH Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten/Kota: Rutan /Lapas Tahap Proses Persidangan a. Mempersiapkan keluarga ABH dalam menghadapi persidangan b. ABH tetap melanjutkan pendidikan (koordinasi dengan pihak sekolah atau Diknas) c. ABH mendapatkan perawatan kesehatan d. Mendampingi ABH saat diperiksa JPU e. Pendampingan psikososial ABH dalam menghadapi persidangan Sasaran: ABH Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten/Kota: Rutan/Lapas, Bapas Tahap Penempatan Tahanan Anak Ditempatkan pada Lapas Anak dan Ditempatkan di blok khusus anak Sasaran: ABH Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten/Kota: Rutan/Lapas, Bapas 7. Tahap Pasca Putusan a. Kembali ke Orang Tua 1) Melakukan Kunjungan rumah dan assessment dalam rangka pengawasan bimbingan 2) Melakukan pengawasan dan bimbingan Sasaran: ABH Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten/Kota: Bapas b. Pidana Bersyarat 1) Melakukan Kunjungan rumah dan assessment dalam rangka pengawasan bimbingan 2) Melakukan pengawasan dan bimbingan Sasaran: ABH Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten/Kota: Bapas c. Rutan/Lapas 1) Memperhatikan gizi ABH sesuai dengan aturan yang berlaku 2) Melakukan Pembinaan 3) Memfasilitasi pihak lain yang berkepentingan dengan ABH 4) Mendorong terbentuknya program PKBM 5) Pro-aktif menghubungi Puskesmas untuk kepentingan kesehatan anak 6) Peningkatan kegiatan keagamaan bagi ABH 7) Penyelenggaraan pesantren bagi ABH 8) Mengusulkan remisi 9) Memproses ABH untuk dapat diusulkan menjalani program CB, CMK, CMB, dan PB 393 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Sasaran: ABH Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten Kota: Rutan/Lapas 8. Tahap Setelah Menjalani Putusan Pengadilan a. Melaksanakan pengawasan dan pembimbingan terhadap ABH b. Membuat evaluasi hasil bimbingan c. Melakukan pengakhiran bimbingan d. Melakukan after care bagi ABH yang memerlukan bantuan BAPAS Sasaran: ABH Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten/Kota: Bapas C. PERAN KEMENTERIAN AGAMA 1. Tahap Anak di Masyarakat (Preventif dan Pemantauan/Binjut) a. Pencegahan Khusus Sebagai penyusun, pengembang, dan pelaksana kebijakan, program, dan kegiatan pencegahan serta perlindungan sosial bagi ABH baik di sekolah, madrasah, pesantren, diniyah, majelis ta’lim, dan TPQ Sebagai penyusun, pengembang, dan pelaksana kebijakan, program, dan kegiatan pencegahan serta perlindungan bagi ABH baik di institusi pendidikan, institusi keagamaan, maupun kelompok atau organisasi masyarakat. Sasaran: ABH, Masyarakat, Keluarga dan lembaga-lembaga sosial keagamaan Pelaksana: 1) Pusat: Ditjen Pendidikan Islam, Cq. Ditpdpontren, Dit Penais, Dit Pais, Dit Madrasah 2) Provinsi: Kepala Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid Pekapontren, Kabid Penais, Ka394 bid Madrasah 3) Kabupaten/Kota: Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II Cq. Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi Madrasah. 4) Kecamatan: Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan beserta jajarannya: Pengawas Pendidikan Islam, Penyuluh agama, Guru-guru Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai. 5) Kelurahan: Majelis Taklim/ Pengajian-pengajian di Mushollah dan lain-lain b. Pencegahan Umum Sebagai penyusun, pengembang, dan pelaksana kebijakan, program, dan kegiatan pencegahan serta perlindungan sosial bagi ABH baik di sekolah, madrasah, pesantren, diniyah, majelis ta’lim, dan TPQ Sebagai penyusun, pengembang, dan pelaksana kebijakan, program, dan kegiatan pencegahan serta perlindungan bagi ABH baik di institusi pendidikan, institusi keagamaan, maupun kelompok atau organisasi masyarakat. c. Musyawarah Sebagai inisiator, pelopor, peserta, atau penasehat pelaksanaan musyawarah dalam rangka pencegahan dan perlindungan ABH baik, madrasah, pesantren, diniyah, majelis ta’lim, dan TPQ. Sasaran: ABH, Masyarakat, Keluarga dan lembaga-lemabaga sosial keagamaan. Pelaksana: 1) Pusat: Ditjen Pendidikan Islam,Cq. Ditpdpontren, Dit Penais, Dit Pais, Dit Madrasah 2) Provinsi: Kepala Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid Pekapontren, Kabid Penais, Kabid. 3) Kabupaten/Kota: Kepala Kan Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum tor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II Cq. Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi Madrasah. 4) Kecamatan: Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan beserta jajarannya: Pengawas Pendidikan Islam, Penyuluh agama, Guru-guru Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai. 5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian-pengajian di Mushollah dll. d. Pemantauan/Binjut Sebagai Pemantau dan evaluator upaya pembinaan, pencegahan dan perlindungan ABH baik di sekolah, madrasah, pesantren, diniyah, majelis ta’lim, dan TPQ. Sebagai pemantau dan evaluator upaya pembinaan, pencegahan dan perlindungan ABH baik di keluarga, masyarakat, institusi sosial kemasyarakatan, institusi sosial keagamaan Sasaran: ABH, Masyarakat, keluarga dan lembaga-lembaga sosial, keagamaan. Pelaksana: 1) Pusat: Ditjen Pendidikan Islam,Cq. Ditpdpontren, Dit Penais, Dit Pais, Dit Madrasah 2) Provinsi: Kepala Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid Pekapontren, Kabid Penais, Kabid. 3) Kabupaten/Kota: Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II Cq. Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi Madrasah. 4) Kecamatan: Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan beserta jajarannya: Pengawas Pendidikan Islam, Penyuluh agama, Guru-guru Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai. 5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian di Mushollah dan lain-lan. 2. Tahap Anak di Kepolisian a. Tahap penerimaan laporan pengaduan ABH ke Kepolisian. b. Proses Penyelidikan dan penyidikan. Sasaran: Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH) Masyarakat, Keluarga dan lembaga-lemabaga sosial keagamaan. Pelaksana: 1) Pusat: Ditjen Pendidikan Islam, Cq. Ditpdpontren, Dit Penais, Dit Pais, Dit Madrasah. 2) Provinsi: Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid Pekapontren, Kabid Penais, Kabid Madrasah. 3) Kabupaten/Kota: Kantor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II Cq. Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi Madrasah. 4) Kecamatan: Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Beserta jajarannya: Pengawas Pendidikan Islam, Penyuluh agama, Guru-guru Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai. 5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian-pengajian di Mushollah dll. 3. Tahap Pasca Putusan Diversi Sebagai pendamping, penasehat agama, dan pembimbing mental spiritual kepada ABH agar sabar, ikhlas dan tetap semangat dalam menjalani putusan Sasaran: ABH, Masyarakat, Keluarga dan lembaga-lembaga sosial keagamaan. Pelaksana: 1) Pusat: Ditjen Pendidikan Islam,Cq. Ditpdpontren, Dit Penais, Dit Pais, Dit Madrasah. 2) Provinsi: Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid Pekapontren, Kabid Penais, Kabid Madrasah. 395 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 3) Kabupaten/Kota: Kantor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II Cq. Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi Madrasah. 4) Kecamatan: Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Beserta jajarannya: Pengawas Pendidikan Islam, Penyuluh agama, Guru-guru Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai. 5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian-pengajian di Mushollah dll. 4. Tahap Proses Penuntutan Pelaksana: 1) Pusat: Ditjen Pendidikan Islam,Cq. Ditpdpontren, Dit Penais, Dit Pais, Dit Madrasah. 2) Provinsi: Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid Pekapontren, Kabid Penais, Kabid Madrasah. 3) Kabupaten/Kota: Kantor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II Cq. Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi Madrasah. 4) Kecamatan: Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Beserta jajarannya: Pengawas Pendidikan Islam, Penyuluh agama, Guru-guru Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai. 5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian-pengajian di Mushollah dll. 5. Tahap Proses Persidangan Pelaksana: 1) Pusat: Ditjen Pendidikan Islam,Cq. Ditpdpontren, Dit Penais, Dit Pais, Dit Madrasah. 2) Provinsi: Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid Pekapontren, Kabid Penais, Kabid Madrasah. 3) Kabupaten/Kota: Kantor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II Cq. Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi Madrasah. 396 4) Kecamatan: Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Beserta jajarannya: Pengawas Pendidikan Islam, Penyuluh agama, Guru-guru Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai. 5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian-pengajian di Mushollah dll 6. Tahap Penempatan Tahanan Anak a. Sebagai pendamping, penasehat agama, dan pembimbing mental spiritual kepada ABH agar sabar, ikhlas dan tetap semangat dalam menjalani putusan; b. Sebagai fasilitator kepada petugas LAPAS/ rutan agar menempatkan ABH pada ruangan, kelompok sesuai dengan tingkat usia, prilaku keagamaa dan mental spiritual; Sasaran: ABH, Masyarakat, Keluarga dan lembaga lembaga sosial keagamaan. Pelaksana: 1) Pusat: Ditjen Pendidikan Islam,Cq. Ditpdpontren, Dit Penais, Dit Pais, Dit Madrasah. 2) Provinsi: Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid Pekapontren, Kabid Penais, Kabid Madrasah. 3) Kabupaten/Kota: Kantor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II Cq. Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi Madrasah. 4) Kecamatan: Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Beserta jajarannya: Pengawas Pendidikan Islam, Penyuluh agama, Guru-guru Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai. 5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian-pengajian di Mushollah dll. 7. Tahap Pasca Putusan dan Menja- Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum lani Putusan a. Kembali ke Orang Tua Sebagai pendamping, penasehat agama, dan pembimbing mental spiritual kepada ABH agar sabar, ikhlas dan tetap semangat setelah dikembalikan kepada keluarga sehingga dapat menjalani kehidupan keagamaan sebagaimana biasa dan lebih beriman, bertaqwa dan berakhlakul karimah. Sasaran: ABH, Masyarakat, Keluarga dan lembaga lembaga sosial keagamaan Pelaksana: 1) Pusat: Ditjen Pendidikan Islam,Cq. Ditpdpontren, Dit Penais, Dit Pais, Dit Madrasah. 2) Provinsi: Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid Pekapontren, Kabid Penais, Kabid Madrasah. 3) Kabupaten/Kota: Kantor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II Cq. Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi Madrasah. 4) Kecamatan: Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Beserta jajarannya: Pengawas Pendidikan Islam, Penyuluh agama, Guru-guru Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai. 5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian-pengajian di Mushollah dll. b. Pidana Bersyarat 1) Sebagai pendamping, penasehat agama, dan pembimbing mental spiritual kepada ABH agar sabar, ikhlas dan tetap semangat dalam menjalani putusan bersyarat sehingga dapat menjalani kehidupan keagamaan sebagaimana biasa dan lebih beriman, bertaqwa dan berakhlakul karimah; 2) Sebagai fasilitator, informator dan komunikator kepada lingkungan masyarakat agar berperan aktif dalam upaya rehabilitasi social terhadap ABH. Sasaran: ABH, Masyarakat, Keluarga dan lembaga lembaga sosial keagamaan Pelaksana: 1) Pusat: Ditjen Pendidikan Islam,Cq. Ditpdpontren, Dit Penais, Dit Pais, Dit Madrasah. 2) Provinsi: Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid Pekapontren, Kabid Penais, Kabid Madrasah. 3) Kabupaten/Kota: Kantor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II Cq. Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi Madrasah. 4) Kecamatan: Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Beserta jajarannya: Pengawas Pendidikan Islam, Penyuluh agama, Guru-guru Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai. 5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian-pengajian di Mushollah dll. c. LKSA 1) Sebagai pendamping, penasehat agama, dan pembimbing mental spiritual kepada ABH agar sabar, ikhlas dan tetap semangat di LKSA sehingga dapat menjalani kehidupan keagamaan sebagaimana biasa dan lebih beriman, bertaqwa dan berakhlakul karimah; 2) Sebagai fasilitator, informator dan komunikator kepada LKSA agar berperan aktif dalam upaya rehabilitasi sosial terhadap ABH. Sasaran: ABH, Masyarakat, Keluarga dan lembaga lembaga sosial keagamaan Pelaksana: 397 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 1) Pusat: Ditjen Pendidikan Islam, Cq. Ditpdpontren, Dit Penais, Dit Pais, Dit Madrasah. 2) Provinsi : Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid Pekapontren, Kabid Penais, Kabid Madrasah. 3) Kabupaten/Kota: Kantor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II Cq. Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi Madrasah. 4) Kecamatan: Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Beserta jajarannya: Pengawas Pendidikan Islam, Penyuluh agama, Guru-guru Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai. 5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian-pengajian di Mushollah dll. d. Lembaga Pemasyarakatan 1) Sebagai pendamping, penasehat agama, dan pembimbing mental spiritual kepada ABH agar sabar, ikhlas dan tetap semangat di Lapas sehingga dapat menjalani kehidupan keagamaan sebagaimana biasa dan lebih beriman, bertaqwa dan berakhlakul karimah; 2) Sebagai fasilitator, informator dan komunikator kepada Lapas agar berperan aktif dalam upaya rehabilitasi sosial terhadap ABH. Sasaran: ABH, Masyarakat, Keluarga dan lembaga lembaga sosial keagamaan. Pelaksana: 1) Pusat: Ditjen Pendidikan Islam,Cq. Ditpdpontren, Dit Penais, Dit Pais, Dit Madrasah. 2) Provinsi : Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid Pekapontren, Kabid Penais, Kabid Madrasah. 3) Kabupaten/Kota: Kantor Ke398 menag Kabupaten Kota Dt. II Cq. Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi Madrasah. 4) Kecamatan: Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Beserta jajarannya: Pengawas Pendidikan Islam, Penyuluh agama, Guru-guru Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai. 5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian-pengajian di Mushollah dll. 8. Tahap Setelah Menjalani Putusan Pengadilan a. Sebagai pendamping, penasehat agama, dan pembimbing mental spiritual kepada ABH agar sabar, ikhlas dan tetap semangat di masyarakat sehingga dapat menjalani kehidupan keagamaan sebagaimana biasa dan lebih beriman, bertaqwa dan berakhlakul karimah; b. Sebagai fasilitator, informator dan komunikator kepada/ di masyarakat agar berperan aktif dalam upaya rehabilitasi sosial terhadap ABH; Sasaran: ABH, Masyarakat, Keluarga dan lembaga lembaga sosial keagamaan Pelaksana: 1) Pusat: Ditjen Pendidikan Islam,Cq. Ditpdpontren, Dit Penais, Dit Pais, Dit Madrasah. 2) Provinsi : Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid Pekapontren, Kabid Penais, Kabid Madrasah. 3) Kabupaten/Kota: Kantor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II Cq. Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi Madrasah. 4) Kecamatan: Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Beserta jajarannya: Pengawas Pendidikan Islam, Penyuluh agama, Guru-guru Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai. 5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian-pengajian di Mushollah dll. D. PERAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL 1. Tahap Anak di Masyarakat a. Menyelenggarakan proses belajar mengajar di sekolah berupa intra dan ekstra kurikuler, terutama berkaitan dengan pendidikan moral, etika dan agama. b. Penanganan gejala kenakalan anak dengan pemberian konseling oleh guru-guru BP. c. Pembinaan terhadap anakanak yang telah melakukan kegiatan yang bertentangan dengan hukum melalui penyelesaian kekeluargaan (ditangani secara interen) 2. Tahap Proses Peradilan Formal (Kepolisian, Pasca Putusan Diversi, Penuntutan dan Persidangan) a. Menugaskan guru pendamping dari sekolah anak yang bermasalah untuk memenuhi hak edukasi, terutama yang berkaitan dengan evaluasi belajar yang harus diikuti anak ( ujian kenaikan kelas, ujian semester, atau ujian kelulusan) b. Mendorong orang tua untuk tetap memenuhi kebutuhankebutuhan pendidikan anak. c. Memberikan buku modul mata pelajaran yang harus tetap diikuti anak. 3. Tahap Penempatan Tahanan Anak Mendorong ABH untuk ditempatkan di LAPAS anak yang di dalamnya menyelenggarakan pendidikan (PLK) baik diselenggarakan sendiri atau bekerja sama dengan sekolah reguler/PLK. 4. Tahap Pasca Putusan dan Menjalani Putusan a. Menyepakati MOU denga LAPAS b. Memberikan fasilitas pendidikan berupa : 1) Bantuan dana subsidi untuk pendidikan 2) Bantuan alat keterampilan hidup 3) Menugaskan guru dari sekolah terkait untuk mengajar di tempat anak dibina 5. Tahap setelah Menjalani Putusan Pengadilan a. Membuat peraturan/kebijakan untuk membuka sekolah yang dapat menerima ABH di semua sekolah sesuai dengan persyaratan yang berlaku. b. Menyesuaikan semua hasil belajar ABH selama berada di instansi pembina ABH c. Pendampingan belajar ABH selama proses pengajaran di sekolah E. PERAN KEMENTERIAN KESEHATAN 1. Tahap Sebelum Menjadi ABH a. Penyuluhan tentang dampak kekerasan terhadap anak baik secara fisik, emosional, seksual dan penelantaran termasuk pada korban TPPO b. Talkshow seminar dalam rangka Hari Anak dll. Sasaran: Kelompok PKK, Guru dan Orang tua murid di sekolah, di pondok pesantren, “boarding house”, dll. Pelaksana: Dinas Kesehatan 399 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Provinsi dan Kabupaten/Kota 2. Tahap Proses Peradilan a. Pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, yaitu: pengobatan melalui puskesmas dan Rumah Sakit b. Dukungan spesialistik: Psikiater, Psikolog (untuk konseling dan terapi kejiwaan) c. Dukungan medikolegal (visum et repertum) d. Sebagai saksi Ahli di persidangan e. Menyediakan biaya pelayanan kesehatan melalui Jamkesmas sesuai ketentuan yang berlaku Catatan: pelayanan kesehatan yang diberikan di rutan, RPSA, Shelter 3. Tahap Proses Menjalani Tindakan a. Pelayanan kesehatan anak di Lapas b. Bekerja sama dengan klinik Lapas, UUPA/PPT RS Bhayangkara/PPT RSUD di luar sistem rujukan 4. Tahap Setelah Menjadi ABH/Pasca ABH menjalani Tindakan a. Home visit oleh petugas puskesmas untuk memantau tanda gangguan kejiwaan b. Bekerja sama dengan tim Babinkamtibmas/UPPA/Klinik di Lapas/urutan dalam Upaya perlindungan anak (supporting) F. 1. a. PERAN POLRI Tahap Anak di Masyarakat Pencegahan Umum Melakukan bimbingan penyuluhan kepada masyarakat agar patuh hukum (menghilangkan niat jahat tumbuhkan niat baik) Sasaran: Masyarakat umum dan ABH 400 b. c. d. 2. a. Pelaksana: Kasat Binmas Polres, Kanit Binmas Polsek, Bhabinkamtibmas/ Petugas Polmas Pencegahan Khusus melakukan deteksi dini permasalahan dalam masyarakat (terutama potensi gangguan yang dilakukan oleh anak) Sasaran: Komponen Masyarakat dan ABH Pelaksana: Kasat Binmas Polres, Kanit Binmas Polsek, Bhabinkamtibmas/ Petugas Polmas. Musyawarah Menjadi fasilitator pemecahan masalah dalam Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat untuk mencari solusi terbaik terutama terhadap anak di luar jalur hukum formal. Sasaran: Masyarakat, Ormas, Tokoh agama, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, dan elemen masyarakat Pelaksana: Kapolsek, Bhabinkamtibmas/Petugas Polmas, dan FKPM. Pemantauan/Binjut Melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap hasil solusi pemecahan masalah dengan melakukan sambang. Sasaran: Masyarakat, Ormas, Tokoh agama, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, dan elemen masyarakat Pelaksana: Pejabat POLRI (seperti: Kapolres, Kasat Binmas, Kapolsek, dll) Bhabinkamtibmas/Petugas Polmas. Tahap Proses di Kepolisian Penerimaan laporan pengaduan ABH di Kepolisian 1) Memberi perlindungan kepada ABH dari tindakan kekerasan, diskriminasi dan intimidasi terhadap dugaan pelaku tindak pidana (TP) 2) Pengalihan penyelesaian proses pidana ABH dari formal ke alternatif penyelesaian permasalah- Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum an anak di luar hukum formal. 3) Melibatkan Bapas untuk pendampingan psikososial secara dini dalam rangka penelitian untuk pertimbangan upaya diversi dalam RJ. 4) Upaya diversi dan RJ terhadap perkara ABH sebagai pelaku dengan pertimbangan hasil penelitian kemasyarakatan Sasaran: ABH dan Keluarga Pelaksana: KPPA Polda dan KPPA Polres b. Proses penyelidikan dan penyidikan 1) Dalam menanggapi kasus ABH sebagai pelaku, penyidik mengedepankan azas kepentingan anak sebagai landasan utama dalam mengambil keputusan penanganan terhadap perkara ABH. 2) Pemanggilan terhadap ABH agar dilampirkan surat pengantar kepada orang tua/wali, supaya menghadap anaknya kepada penyidik. 3) Penangkapan terhadap ABH sebagai pelaku tindak pidana berat dengan mempedomani ketentuan penangkapan yang berlaku dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. 4) pemeriksaan terhadap ABH menggunakan metode wawancara dalam suasana kekeluargaan, dengan meteri yang sudah disiapkan untuk mendapat keterangan yang diharapkan, didampingi penasehat hukum, pendamping yang disetujui ABH dituangkan dalam BAP dan ditandatangani apabila ABH telah setuju. 5) Penahanan merupakan upaya terakhir apabila diduga pelaku tindak pidana berat dengan usia 8 tahun, bila terpaksa harus ditahan agar dipisahkan dengan tahanan 3. 4. 5. a. b. orang dewasa. 6) Meminta pertimbangan Balai penelitian pemasyarakatan untuk melaksanakan penelitian kemasyarakatan (Litmas) terhadap ABH. 7) Mengupayakan diversi dalam RJ yaitu pengalihan bentuk penyelesaian, demi kepentingan terbaik anak Sasaran: ABH dan Keluarga Pelaksana: Penyidik Polda di tingkat Provinsi dan Penyidik Polres di tingkat Kabupaten/Kota Tahap Pasca Putusan Diversi Rehabilitasi, penyesuaian pengembalian prilaku anak menjadi situasi kondusip dilingkungan masyarakat Sasaran: ABH dan Keluarga Pelaksana: Kanit Binmas Polsek, Bhabinkamtibmas dan FKPM/Polmas, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Tokoh adat Tahap Penempatan Tahanan Anak (Kantor Polisi, Rutan, Rumah, Lembaga Layanan) Penahanan merupakan upaya terakhir, bila terpaksa harus ditahan agar dipisahkan dengan tahanan orang dewasa Sasaran: ABH dan Keluarga Pelaksana: Penyidik Polres Tahap Pasca Putusan dan Menjalani Putusan Kembali ke Orang tua Rehabilitasi penyesuaian pengembalian perilaku sehingga situasi menjadi kondusif bagi ABH dan keluarga Sasaran: ABH, Keluarga dan Lingkungan Pelaksana: Kanit Binmas Polsek, Bhabikamtibmas, FKPM/Polmas, Tokoh agama, Tokoh masyarakat, Tokoh adat Pidana Bersyarat 1) Meminta pertimbangan Balai 401 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Litmas, mengupayakan diversi dalam RJ demi kepentingan terbaik ABH Sasaran: ABH, Keluarga dan Lingkungan Pelaksana: Penyidik Polres, LKSA 2) Melakukan bimbingan dan penyuluhan agar memiliki daya tangkal dan cegah serta tidak menjadi korban dan pelaku kejahatan Sasaran: RPSA, PSMP, LPA, dll Pelaksana: Kanit Binmas Polsek, Bhabinkamtibmas, FKPM/Polmas, Tokoh agama, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat. 4. Tahap setelah Menjalani Putusan Pengadilan Melakukan pembinaan dan rehabilitasi agar masyarakat mau menerima dan tidak kembali kepada perbuatan yang melanggar hukum Sasaran: ABH, Keluarga dan Lingkungan Pelaksana: Kanit Binmas Polsek, Bhabikamtibmas, FKPM/Polmas, Tokoh agama, Tokoh masyarakat, Tokoh adat BAB IV PENUTUP Perjanjian Kerjasama (SOP) Pedoman Kerja antar Lembaga/Kementerian dalam program Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Beradapan dengan Hukum, diharapkan menjadi acuan bagi para pihak yang terlibat dalam penanganan ABH Khususnya kementerian atau lembaga yang telah melakukan kesepakatan bersama dalam penanganan ABH. Masing-masing Lembaga/Kementerian dapat memberikan pelayanan terbaiknya kepada ABH, sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing dan keten402 tuan yang tercantum dalam Perjanjian kerjasama ini. Dengan adanya pedoman ini, diharapkan kinerja berbagai kementerian/ lembaga dalam memberikan pelayanan serta perlindungan dan rehabilitasi semakin meningkat, dan memberikan manfaat yang sebaik-baiknya bagi ABH, keluarga, dan masyarakat. GLOSARRY • • • • Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak Nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana; atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang terpaksa berkontak dengan sistem peradilan pidana karena: 1. Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum, atau; 2. Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya atau; 3. Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran hukum. Anak Pidana adalah Anak yang berdasarkan putusan Hakim menjalani pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum • • • • • • Anak Negara adalah anak yang berdasarkan putusan Hakim diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama berumur 18 (delapan belas) tahun. Anak Sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai umur 18 (delapan belas) tahun. Kesejahteraan Anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pengadilan Anak dalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Restorative Justice adalah suatu proses diversi dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, tentang bagaimana menangani akibat perbuatan anak di masa yang akan datang. Tindak pidana dilihat sebagai suatu pelanggaran terhadap manusia dan relasi antar manusia. Tindak pidana menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan menen- • • • • • • • • • tramkan hati. Diversi adalah pengalihan dari proses pidana formal sebagai alternatif terbaik dalam penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Diskresi adalah otoritas legal polisi untuk bertindak dalam kondisi atau situasi tertentu berdasarkan kebijaksanaan atau penilaian pribadi polisi. Panti Sosial adalah unit pelaksana teknis yang berada di bawah Departemen Sosial RI. yang bertugas memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) adalah suatu unit yang berada pada fungsi reserse kriminal umum untuk menangani perempuan dan anak yang menjadi pelaku maupun korban tindak pidana dari pelaporan hingga pemberkasan perkara. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Penasihat Hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang diten403 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum • • • • • tukan oleh atau berdasarkan undang-undang untuk memberi bantuan hukum. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Keterangan anak adalah keterangan yang diberikan oleh seorang anak tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau bawah sampai dengan derajat ketiga. Pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas pembimbing kemasyarakatan klien anak yang memberikan bimbingan dan perlindungan terhadap anak melalui pembuatan Penelitian Kemasyarakatan (litmas) dan membimbing, membantu, mengawasi anak yang dijatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana denda, diserahkan kepada Negara untuk mengikuti latihan kerja, atau anak yang memperoleh 404 • • • • • pembebasan bersyarat. Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pekerja Sosial adalah petugas Departemen Sosial yang bertugas membimbing, membantu, dan mengawasi Anak Nakal atau anak yang berkonflik dengan hukum yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada Departemen Sosial untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Pekerjaan Sosial ialah semua keterampilan teknis yang dijadikan wahana bagi pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial. Pekerja Sosial Sukarela adalah petugas dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mempunyai tugas advokasi terhadap anak nakal atau anak yang berkonflik dengan hukum. Mediasi adalah diversi dalam bentuk perantaraan yang dilakukan oleh Polisi untuk memfasilitasi pemenuhan kebutuhan korban dan perlindungan terhadap anak sebagai pelaku, dalam upaya menyelesaikan persoalan yang timbul akibat perbuatan anak. DIREKTORI I. Identitas Lembaga 1. PSMP Handayani Jakarta Jl. Panti Sosial PPA Bambu Apus, Cipayung, Jakarta Timur 13890 (021) 8445679 http://www.depsos.go.id Email : Handayani_Jakarta@yahoo. co.id 2. PSMP Antasena Magelang Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 3. 4. 5. 6. 7. 8. Jl. Raya Magelang Purworejo Km. 14 Salaman, Magelang, Jawa Tengah Telp. 0293-335293 PSMP Paramita Mataram Jl.Tgh.Saleh hambali No.339 Bengkel, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat Telp/Fax : (0370)636681, Email [email protected]. PSMP Tuddopoli Makasar Jl. Salodong Kel. Untia Kec. Biringkayana, Makasar Telp. 0411-85549 PSMP Harapan Cileungsi PSMP Andika Surabaya PSMP Tengkuyuk Riau Jl. Jend. Sudirman No. 239, Kota Pekanbaru PSMP Dharmapala Palembang Jl. Raya Kayu Agung Km. 32 Indralaya, Kab. Ogan Ilir, Sumatera Selatan II. Profil Singkat Lembaga A. PSMP Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) di Lingkungan Kementerian Sosial yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial dan secara fungsional sehari-hari di bawah binaan Direktur Kesejahteraan Sosial Anak. Tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi) adalah memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat preventif, kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan fisik, mental, sosial dan pelatihan keterampilan, resosialisasi dan bimbingan lanjut kepada anak yang berhadapan dengan hukum agar mampu mandiri dan ber- peran aktif dalam kehidupan masyarakat, melakukan pengkajian dan penyiapan standar pelayanan serta rujukan. Tujuannya adalah (1) untuk memulihkan kondisi dan fungsi psikososial anak berhadapan dengan hukum sehingga dapat hidup, tumbuh dan berkembang secara wajar di masyarakat, serta menjadi SDM yang berguna, produktif, berkualitas, dan berakhlak mulia. (2) menghilangkan label dan stigma negatif masyarakat yang menghambat tumbuh kembang anak berhadapan hukum untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Dalam praktik penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi sosial, PSMP memiliki mandat untuk memberikan pelayanan kepada tiga pihak berikut yang menjadi sasaran garapan yaitu : 1. Anak nakal 2. Orangtua anak nakal. Sebagai lingkungan terdekat anak, orangtua perlu dipersiapkan agar mampu memberi daya dukung positif bagi tumbuh kembangnya potensi anak. Menghadapi permasalahan anak/remaja nakal, orangtua diharapkan dapat menciptakan kondisi yang dapat menghindarkan anak dari perilaku nakal. Untuk mencapai hal itu maka PSMP melaksanakan kegiatan motivasi dan konsultasi keluarga melalui home visit secara berkala. 3. Masyarakat. Lingkungan masyarakat berperan penting dalam mencegah timbulnya permasalahan kenakalan anak/ remaja. Masyarakat memberikan kesempatan kepada anak/remaja nakal untuk mengaktualisasikan diri. PSMP melakukan sosialisasi kepada masyarakat (dunia usaha, khususnya bengkel-bengkel skala 405 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum kecil dan menengah) di wilayah sekitarnya untuk dapat mengikutsertakan eks anak/remaja nakal dalam mengikuti program magang dan memberikan kesempatan kerja. Untuk memperoleh pelayanan di PSMP harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Laki-laki/Perempuan 2. Usia 10 s/d 18 tahun 3. Sehat fisik dan mental berdasarkan Surat Keterangan Sehat dari Dokter 4. Sanggup mentaati dan mengikuti program rehabilitasi 5. Surat Penyerahan dari orangtua/ wali/lembaga (Rujukan dari Permasyarakatan yaitu Bapas, Rutan, Lapas serta dari Kepolisian) 6. Bila masih sekolah (kelas V SD s/d kelas III SLTP), harus melampirkan surat pindah dan raport (khusus untuk SLB-E PSMP Handayani Jakarta) 7. Lulus Seleksi. B. Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) 1. Kedudukan. a. Tingkat Mabes Polri Unit Pelayanan Perempuan dan Anak-anak (Unit PPA) berkedudukan di bawah Direktorat I/Keamanan dan Transnasional Bareskrim Polri. b. Tingkat Polda. Unit Pelayanan Perempuan dan Anak-anak (Unit PPA) berkedudukan di bawah Satuan Operasional Dit Reskrim/Dit Reskrim Um Polda. c. Tingkat Polres. Unit Pelayanan Perempuan dan Anak-anak (Unit PPA) berkedudukan di bawah Sat Reskrim Polres. 2. Tugas. Unit PPA bertugas untuk mem406 a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. berikan pelayanan dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan/kekerasan dan penegakan hukum terhadap pelakunya. Dalam pelaksanaan tugasnya unit PPA menyelenggarakan : Menerima laporan/pengaduan tentang tindak kejahatan/kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak yang meliputi: 1) Kekerasan secara umum. 2) Kekerasan dalam rumah tangga. 3) Pelecehan seksual. 4) Perdagangan orang. 5) Penyelundupan manusia. 6) Kasuskasus yang melibatkan perempuan dan anak, baik kejahatan maupun kekerasan. Membuat laporan Polisi. Memberikan konseling. Merujuk/mengirimkan korban ke Pusat Pelayanan Terpadu ( PPT ) atau Rumah Sakit terdekat. Melakukan penyidikan perkara, termasuk permintaan Visum et Repertum. Memberikan kepastian kepada pelapor, bahwa akan ada tindak lanjut dari laporan/pengaduan. Menjamin kerahasiaan informasi yang diperoleh. Menjamin keamanan dan keselamatan pelapor maupun korban. Menyalurkan korban ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau Rumah Aman, apabila diperlukan. Mengadakan koordinasi/kerjasama dengan lintas fungsi/instansi, pihak yang terkait. Menginformasikan perkembangan penyidikan kepada pelapor. Membuat laporan kegiatan secara berkala sesuai prosedur/hierarki. 3. Fungsi a. Memberikan perlindungan terha- Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum b. 4. a. b. c. 5. a. b. c. d. dap perempuan dan anak korban kejahatan/kekerasan. Melakukan penyidikan perkara terhadap perempuan dan anak pelaku kejahatan/kekerasan. Peranan. Memberikan rasa aman kepada perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan/kekerasan. Mengungkap kasus kejahatan/kekerasan yang terkait dengan perempuan dan anak. Membangun dan memelihara sinergi dengan fungsi/lembaga terkait dalam pelayanan perempuan dan anak yang menjadi korban/ pelaku kejahatan/kekerasan. Mekanisme pelaksanaan tugas. Penerimaan laporan/pengaduan dari masyarakat dalam masalah perempuan dan anak-anak sebagai korban/kejahatan/kekerasan, dilayani oleh Polwan awak Unit PPA, kemudian dibawa ke Ruang Khusus Unit PPA. Penilaian terhadap keadaan korban dan bila korban dalam keadaan kritis lakukan tindakan penyelamatan dengan merujuk ke Unit PPT atau Rumah Sakit terdekat serta permintaan pembuatan Visum et Repertum. Pembuatan laporan Polisi oleh Polwan awak Unit PPA dan bila perlu mendatangi TKP untuk mencari dan mengumpulkan barang bukti. Untuk kasus yang tidak memenuhi unsur pidana, dilakukan upaya bantuan melalui konseling dan pendekatan psikologis atau kerjasama dengan fungsi terkait di lingkungan Polri atau kerjasama dengan instansi terkait/mitra kerja di luar Polri (apabila diperlukan merujuk korban ke PPT/Rumah Sakit, LBH, Psikolog, LSM atau Instansi terkait lainnya). e. Bila kasus yang ditangani memenuhi unsur pidana, dilakukan penyidikan perkara, kerjasama dengan Penyidik Polri lainnya di lingkungan Reskrim atau kerjasama dengan penegak hukum lainnya di luar lingkungan Polri. f. Diperlukan koordinasi yang harmonis antara awak Unit PPA dengan pengemban/pelaksana fungsi pelayanan masyarakat dan penyidik/penegak hukum, baik di lingkungan Polri maupun di luar Polri. 6. Jaringan kerjasama. a. Dalam pelaksanaan tugasnya, Unit PPA melaksanakan kerjasama dengan fungsi/instansi/lembaga/mitra kerja antara lain: 1) Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK). 2) Unit Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) atau Rumah Sakit terdekat. 3) Psikolog. 4) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). 5) Rumah Aman (Shelter). 6) Penyidik Polri di lingkungan Bareskrim Polri/Dit Reskrim Polda/Sat Reskrim Polres. 7) Penuntut Umum (Kejaksaan). 8) Pengadilan/Kehakiman. b. Kerjasama yang dilakukan 1) Dalam kedudukan yang setingkat/setara. 2) Bersifat saling membantu. 3) Proporsional (sesuai tugas/fungsi/peran masing-masing . 7. Hubungan Tata Cara Kerja. a. Hubungan Unit PPA dengan SPK 1) Laporan masyarakat yang diterima oleh SPK dan menyangkut lingkup tugas Unit PPA, diteruskan oleh SPK ke Unit PPA. 2) Penomoran Laporan Polisi dilaksanakan oleh SPK dan Unit PPA memberikan nomor agenda tersendiri. 3) Apabila diperlukan Tindakan Pertama di Tempat Kejadian Per407 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum b. c. d. e. f. kara (TPTKP), SPK melibatkan Unit PPA. Hubungan Unit PPA dengan Instalasi PPT/Rumah Sakit terdekat 1) Perempuan dan Anak korban kejahatan/kekerasan yang memerlukan pelayanan medik/medikolegal/psikososial, dikirimkan oleh Unit PPA ke Instalasi PPT/rumah sakit terdekat. 2) Apabila Instalasi PPT/Rumah Sakit melayani/menerima Perempuan dan Anak korban kejahatan/ kekerasan, diinformasikan kepada Unit PPA. Hubungan Unit PPA dengan Psikolog 1) Dalam memberikan konseling kepada Perempuan dan Anak korban kejahatan/kekerasan, Unit PPA melibatkan Psikolog. 2) Psikolog dapat juga diikut sertakan untuk pendampingan Perempuan dan Anak korban kejahatan/ kekerasan pada saat dilakukan pemeriksaan untuk kepentingan penyidikan perkara. Hubungan Unit PPA dengan LSM Dalam pemberian konseling kepada Perempuan dan Anak korban kejahatan/kekerasan, Unit PPA dapat mengikut sertakan LSM untuk membantu pembelaan hak-hak korban kejahatan/kekerasan. Hubungan Unit PPA dengan Rumah Aman (Shelter) Dalam penanganan Perempuan dan Anak korban kejahatan/kekerasan yang memerlukan perawatan lebih lanjut (pengamanan/perlindungan), Unit PPA berkoordinasi dengan Rumah Aman (Shelter) yang berada dibawah Depatemen/Dinas Sosial setempat. Hubungan Unit PPA dengan Penyidik Polri. 408 Dalam penyidikan perkara terhadap Perempuan dan Anak pelaku kejahatan/kekerasan, penyidik pada Unit PPA dapat melakukan koordinasi/kerjasama dengan penyidik Polri lainnya, baik intern kesatuan tersebut maupun penyidik pada satuan atas. g. Hubungan Unit PPA dengan Penuntut Umum (Kejaksaan) 1) Unit PPA berkoordinasi dengan Penuntut Umum (Kejaksaan) untuk menangani kasus yang diajukannya guna proses selanjutnya. 2) Unit PPA memonitor perkembangan kasus yang diajukan dan memperbaiki berkas perkara (bila diperlukan), untuk mendapatkan P – 21. h. Hubungan Unit PPA dengan Pengadilan 1) Unit PPA mengikuti/monitoring pelaksanaan sidang pengadilan terhadap kasus kejahatan/kekerasan oleh Perempuan dan Anak, yang telah diajukan melalui Penuntut Umum (Kejaksaan). 2) Unit PPA mencatat/mendata vonis pengadilan yang dijatuhkan kepada Perempuan dan Anak pelaku kejahatan/kekerasan. 8. Tindak Pidana yang terkait dengan Perempuan dan Anak a. Kekerasan fisik. 1) Penganiayaan, pasal 352,353, 354, 355, 356 KUHP. 2) Pembunuhan, pasal 338, 340, 342 KUHP. 3) Aborsi, pasal 299, 347 KUHP. 4) Perdagangan wanita dan anak 296, 297 KUHP. 5) Penculikan, pasal 330, 331 KUHP. 6) Melarikan perempuan, pasal 332 KUHP. b. Kekerasan Psikis. Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 1) Penghinaan, pasal 310, 311 KUHP. 2) Perbuatan tidak menyenangkan, pasal 335 KUIHP. 3) Pengancaman, pasal 336 KUHP. 4) Pengemisan anak, pasal 301 KUHP. c. Kekerasan / Pelecehan Seksual. 1) Melanggar kesusilaan di depan umum, pasal 281, bis, KUHP. 2) Perzinahan, pasal 284 KUHP. 3) Pemerkosaan pasal 285 KUHP. 4) Persetubuhan, pasal 286, 287 (1), 288 (1) KUHP. 5) Perbuatan cabul, pasal 289, 290, 292, 293 (1), 294, 295 (1) KUHP. 6) Kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak sebagaimana diatur dalam pasal 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90 UU No. 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan anak. 7) Kasus Susila yang menimpa anak-anak (Sodomi oleh para pedhopilie). d. Kejahatan vice (Prostitusi dan Perjudian) dan Pornografi. 1) Prostitusi dan Perjudian (vice) 2) Kasus-kasus pornografi baik di media cetak maupun media elektronik. 3) Pornoaksi di tempat-tempat hiburan maupun ruang tertutup lainnya. e. Penggunaan Tenaga Kerja Anak dan Perempuan. 1) Penggunaan tenaga kerja anak dan perempuan sebagaimana diatur dalam pasal 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76 UU No. 13 Tahun 2003 sedangkan ketentuan pidananya diatur dalam pasal 183, 185, 187 UU No 13 Tahun 2003. 2) Kasus-kasus perburuhan (Tenaga Kerja Wanita / Tenaga Kerja Indonesia) dan ketenagakerjaan f. g. h. i. j. (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri). Kekerasan dalam rumah tangga (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Perdagangan / Penyelundupan Manusia. 1) Kasus-kasus perdagangan orang (eksploitasi secara ekonomi, seksual dan waktu serta tenaga). 2) Kasus perdagangan bayi (adopsi illegal), penyelundupan manusia/ bayi. 3) Kasus-kasus yang menyangkut masalah keimigrasian (UndangUndang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1992). Kasus-kasus terkait reproduksi perempuan (aborsi, perkosaan, cabul). Tindak Pidana yang terkait dengan Perempuan dan Anak sebagai pelaku 1) Tindak Pidana sebagaimana telah diuraikan pada sub-bab 14 butir a sampai dengan h. 2) Kasus-kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku kejahatan (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak). Kasus lainnya yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap harkat dan martabat Perempuan dan Anak. 9. Sumber Daya Manusia. Sumber Daya Manusia/personel yang mengawaki Unit PPA diharapkan dapat memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Diutamakan Polwan (Perwira/Bin409 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum tara). b. Telah mengikuti pelatihan awak Unit RPK/PPA. c. Berkualifikasi penyidik atau penyidik pembantu. d. Mampu dan trampil membuat laporan Polisi. e. Mengetahui dasar-dasar konseling. f. Menghayati masalah kejahatan/kekerasan terhadap perempuan dan anak. g. Masa kerja di Polri minimal dua tahun. h. Berpakaian rapi dan menarik. i. Simpatik dan sabar. j. Dapat memperlakukan korban kejahatan/kekerasan dengan penuh empati. k. Komunikatif dan profesional. 10. Sarana. Sarana minimal yang harus tersedia di ruang Unit PPA antara lain: a. Meja dan kursi kerja. b. Meja dan kursi tamu. c. Almari/rak arsip. d. Komputer dan printer. e. Tempat tidur. f. Televisi. g. Alat komunikasi (Telepon/HT/HP). h. Jam dinding. i. Air Conditioning (AC). j. Faksimile. k. Alat perekam. l. Alat Tulis Kantor (ATK). m. Bahan bacaan. n. Kendaraan bermotor (R-4, R-2). 11. Prasarana. a. Terdiri dari dua ruangan atau lebih, antara lain : 1) Ruang pelayanan pengaduan/laporan. 2) Ruang konseling. 3) Ruang penyidikan. 4) Ruang istirahat. 410 b. Persyaratan ruangan 1) Keberadaannya diketahui oleh semua personel satuan setempat dan didukung oleh Pimpinan. 2) Mudah dijangkau, dilihat dan ditemukan oleh masyarakat. 3) Nyaman dan terkesan kekeluargaan (tidak terkesan angker). 4) Cukup ventilasi dan penerangan. 5) Jauh dari keramaian dan kesibukan sehingga menjamin privacy. 6) Ruang pengaduan/pelayanan dan konseling terpisah dengan ruang penyidikan. c. Diupayakan tersedia/berdekatan dengan kamar mandi dan WC. 12. Administrasi umum. Pelaksanaan kegiatan dan surat menyurat sehari-hari berpedoman kepada ketentuan yang berlaku di lingkungan Polri. 13. Administrasi penyidikan. a. Berpedoman kepada ketentuan administrasi penyidikan yang berlaku di lingkungan Polri. b. Administrasi penyidikan yang harus tersedia antara lain : 1) Register Kejahatan terhadap perempuan (P1). 2) Data Kejahatan terhadap perempuan (P2). 3) Data Kerawanan kejahatan terhadap perempuan (P3). 4) Data per bulan Kejahatan terhadap perempuan (P4). 5) Data Jenis Kejahatan terhadap perempuan (P5). 6) Register Kejahatan terhadap anak (A1). 7) Data Kejahatan terhadap anak (A2). 8) Data Kerawanan kejahatan terhadap anak (A3). 9) Data per bulan Kejahatan terha- Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum dap anak (A4). 10) Data Jenis Kejahatan terhadap anak (A5). 11) Data Imigran Gelap yang masuk ke wilayah Indonesia (khusus) (Model: D) 12) Data Crime Total Kejahatan terhadap anak dan perempuan (Model: E ). 13) Data Kasus menonjol terhadap perempuan dan anak (Model: F). 14) Data Aparat yang terlibat kejahatan terhadap anak dan perempuan (Model: G). 15) Data Jaringan kejahatan terhadap perempuan dan anak (Model: H). 16) Data LSM yang berperan aktif bekerjasama dengan Polri dalam penanganan kejahatan terhadap perempuan dan anak (Model: I). 17) Laporan Unit PPA. Semua Administrasi yang menyangkut data Unit PPA dimasukkan dalam computerized filing and recording. 14. Pelaporan. a.�������������������������������� Pembuatan laporan Unit PPA sesuai ketentuan yang berlaku di lingkungan Polri. b. Pembuatan laporan Unit PPA menjadi tanggung jawab Kanit PPA dan Atasan Kanit PPA. c. Laporan Unit PPA dikirimkan sesuai prosedur/hierarki yang berlaku di lingkungan Polri dan tembusan dikirimkan kepada fungsi / lembaga terkait. 15. Pengawasan dan pengendalian. a. Pengawasan Pengawasan atas pelaksanaan tugas Unit PPA dilakukan oleh fungsi yang mengemban tugas pengawasan: b. 16. a. b. c. 1) Di tingkat Mabes Polri oleh Itwasum Polri. 2) Di tingkat Polda dan Polres oleh Itwasda Polda. Pengendalian. Pengendalian atas pelaksanaan tugas Unit PPA dilakukan oleh : 1) Kanit PPA. 2) Atasan Kanit PPA. a) Di tingkat Mabes Polri oleh Direktur I/Keamanan dan Transnasional Bareskrim Polri. b) Di tingkat Polda oleh Kasat Opsnal Dit Reskrim/Dit Reskrim Um Polda. c) Di tingkat Polres oleh Kasat Reskrim Polres. Anggaran Dukungan anggaran untuk Unit PPA dialokasikan pada Satuan Kerja (Satker), dimana Unit PPA tersebut berada. Dukungan anggaran ideal untuk Unit PPA antara lain : 1) Uang makan. 2) Alat Tulis Kantor. 3) Biaya koordinasi/kemitraaan. 4) Biaya konseling. 5) Biaya penyidikan perkara. 6) Bahan Bakar Minyak. 7) Biaya pemeliharaan kendaraan bermotor. 8) Biaya pemeliharaan Alat khusus Kepolisian. Kebutuhan anggaran Unit PPA. 1) Didukung dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 2) Dikoordinasikan oleh Unit PPA dengan fungsi perencanaan dan Bendahara Satker masing-masing. 411 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN UMUM PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap anak yang berhadapan dengan hukum berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak memperoleh pelayanan pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, dan spiritual; b. bahwa Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum berhak mendapatkan perlindungan khusus dari Pemerintah dan masyarakat; c. bahwa pelaksanaan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum baik selama proses penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di Pengadilan belum optimal dan masih diperlukan peningkatan pelayanan secara terpadu demi kepentingan terbaik bagi anak; d. bahwa untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum diperlukan dukungan kelembagaan dan kerjasama dalam pemenuhan hak412 hak anak; e. bahwa untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum secara terpadu diperlukan suatu Pedoman Umum tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia tentang Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum; Mengingat : 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana; 2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668); 3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235); 4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lemba- Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 5. 6. 7. 8. 9. ran Negara Republik Indonesia Nomor 4288); Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301); Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Repubilk Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967); Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014; Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Pengangkatan Menteri Negara Kabinet Indonesia Bersatu II; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEDOMAN UMUM PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. 2. Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak sebagai korban, pelaku dan saksi. 3. Penegak hukum adalah Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. 4. Kementerian terkait adalah Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 5. Lembaga atau organisasi terkait dengan bantuan hukum adalah lembaga atau organisasi profesi yang peduli anak dan didirikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 6. Lembaga terkait adalah lembaga yang peduli terhadap perlindungan anak terutama dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Pasal 2 Dengan Peraturan Menteri ini disusun Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri. Pasal 3 Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum dimaksudkan untuk menjadi pedoman atau acuan bagi penegak hukum, kementerian dan lembaga terkait, serta lembaga atau organisasi terkait dengan bantuan hukum yang peduli anak dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Pasal 4 Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum bertujuan untuk menyamakan persepsi dan gerak langkah bagi penegak hu413 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum kum, kementerian dan lembaga terkait, serta lembaga atau organisasi terkait dengan bantuan hukum dalam penanganan anak berhadapan dengan hukum yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak. Pasal 5 Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum memuat tentang garis-garis besar penanganan anak yang berhadapan dengan hukum yang meliputi mekanisme, prosedur, pelayanan, koordinasi, kerjasama, pemantauan, evaluasi, pelaporan serta dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Pasal 6 Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum dapat digunakan penegak hukum, kementerian dan lembaga terkait, serta lembaga atau organisasi terkait dengan bantuan hukum dalam menyusun standar operasional prosedur dan petunjuk teknis masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 7 Dalam melaksanakan Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum, penegak hukum, kementerian dan lembaga terkait, serta lembaga atau organisasi terkait dengan bantuan hukum dapat melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan kerjasama berdasarkan hubungan fungsional demi kepentingan terbaik bagi Pasal 8 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan 414 Perempuan dan Perlindungan Anak ini diundangkan dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 19 Oktober 2010 MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA, Ttd. LINDA AMALIA SARI Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 19 Oktober 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA Ttd. PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 513 Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum LAMPIRAN PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN UMUM PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak sebagai tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Anak memiliki karakteristik yang spesifik dibandingkan dengan orang dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan yang haknya masih terabaikan, oleh karena itu hak anak menjadi penting untuk diprioritaskan. Dalam Undang-undang Dasar 1945 pada Pasal 28B Ayat (2) disebutkan bahwa Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Peran strategis anak sebagai penerus cita–cita perjuangan bangsa telah disadari oleh masyarakat internasional untuk melahirkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child). Ratifikasi terhadap Konvensi Hak Anak ini ini dilakukan melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak Anak). Selanjutnya, dalam rangka pelaksanaan konvensi tersebut, pemerintah berinisiatif untuk menerbitkan beberapa peraturan perundang-undangan untuk perlindungan anak, diantaranya adalah Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan lainnya. Peraturan perundang-undangan tersebut diharapkan dapat menjadi dasar pelaksanaan perlindungan anak, terutama bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Berdasarkan peraturan tersebut di atas, setiap anak yang berhadapan dengan hukum berhak untuk mendapat perlindungan, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Dalam melaksanakan tugasnya aparat penegakan hukum dan instansi/lembaga terkait perlu memperhatikan prinsip-prinsip Konvensi Hak Anak dan Undang-undang Perlindungan Anak, yaitu prinsip non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak. Dari berbagai kajian dan pemetaan tentang penanganan anak yang berhadapan dengan hukum masih ditemukan pelaksanaan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum yang belum sepenuhnya sesuai dengan keten415 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum tuan peraturan perundang-undangan. Hal ini disebabkan antara lain kurangnya sosialisasi peraturan perundangundangan, sehingga pemahaman dan pelaksanaan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum masih bervariasi dan cenderung menggunakan persepsi yang berbeda dan terbatasnya sarana prasarana penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Tingginya angka kejahatan yang dilakukan oleh anak dapat membawa dampak bagi semakin besarnya anak yang masuk dalam proses peradilan pidana. Dalam proses peradilan pidana, sebagian besar anak pelaku tindak pidana menjalani penahanan di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) dan selanjutnya divonis menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Jumlah LAPAS anak saat ini masih sangat kurang jika dibandingkan dengan jumlah kasus anak yang berhadapan dengan hukum, akibatnya anak yang ditahan atau narapidana yang terpaksa harus tinggal satu area dengan tahanan/narapidana dewasa. Kondisi tersebut membawa implikasi buruk terhadap perkembangan anak. Untuk menghindari hal tersebut di atas dan demi kepentingan terbaik bagi anak, maka para penegak hukum seharusnya melakukan upaya penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum dengan pendekatan keadilan restoratif, sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak Anak, The Beijing Rules, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak. Dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dengan pendekatan keadilan restoratif, perlu ada koordinasi dan kerjasama antara aparat penegak 416 hukum (polisi, jaksa, hakim), advokat, Petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS), Petugas Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), Petugas Rumah Tahanan (RUTAN), Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan Nasional, dan Kementerian Kesehatan serta kementerian lainnya yang terkait dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Koordinasi dan kerjasama tersebut selain untuk penyamaan persepsi juga untuk penyelarasan gerak langkah. Terkait dengan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum telah ditandatangani Keputusan Bersama Tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia pada tanggal 22 Desember 2009. Sebagai tindak lanjut dari Keputusan Bersama tersebut diperlukan Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum, yang dapat digunakan sebagai acuan bagi aparat penegak hukum dan pihak terkait dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. B. LANDASAN HUKUM 1. Pasal 28 B ayat (2), Pasal 28 H ayat (2) Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 4. Undang-undang Nomor 12 Tahun Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 1995 tentang Pemasyarakatan. 5. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention against Torture and Other Cruel in Human or Degrading Treatment or Punishment, tanggal 28 September 1998. (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia). 7. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 8. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 9. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 10. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 11. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; 12. Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. 13. Undang-undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. 14. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak. 15. Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1989 tentang Pembinaan Kesejahteraan Anak. 16. Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Nomor: 17. 18. 19. 20. 21. 166 A/KMA/SKB/XII/2009, Nomor: 146A/A/JA/12/2009, Nomor B/45/XII/2009, Nomor: M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009, Nomor: 10/ PRS-2/KPTS/2009; Nomor: 02/Men. PP dan PA/XII/2009 Tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Resolusi Majelis PBB No. 663C (XXIV) Tahun 1957 tanggal 31 Juli 1957 dan Resolusi PBB No. 2076 (LXII) Tahun 1977 tanggal 13 Mei 1977 tentang Standar Minimum Perlakuan terhadap Tahanan. Resolusi Majelis PBB Nomor 40/33 tanggal 29 November 1985 tentang Peraturan Standar Minimum PBB mengenai Administrasi Peradilan Anak (Beijing Rules). Resolusi Majelis PBB Nomor 45/113 tanggal 14 Desember 1990 tentang Perlindungan Anak yang Terampas Kemerdekaannya (Havana Rules). Resolusi Majelis PBB Nomor 45/112, Tanggal 14 Desember 1990 Tentang Pedoman PBB tentang Pencegahan Tindak Pidana Anak (Riyadh Guidelines). Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 45/110 tanggal 14 Desember 1990 tentang Peraturan Standar Minimum PBB untuk Upaya Non Penahanan (Tokyo Rules). C. PENGERTIAN Dalam Pedoman Umum ini yang dimaksud dengan: 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapanbelas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan (Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). 2. Anak Didik Pemasyarakatan (ANDIKPAS). a. Anak Pidana yaitu anak yang 417 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapanbelas) tahun. b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapanbelas) tahun sesuai Pasal 1 Butir 8 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 3. Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak sebagai korban, pelaku dan saksi. 4. Balai Pemasyarakatan adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang menangani pembinaan klien pemasyarakatan yang terdiri dari terpidana bersyarat (dewasa dan anak), narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, serta anak negara yang mendapat pembebasan bersyarat atau diserahkan kepada keluarga asuh, anak negara yang mendapat cuti menjelang bebas, dan anak negara yang oleh hakim diputus dikembalikan kepada orang tuanya. 5. Diskresi adalah wewenang yang diberikan kepada polisi berdasarkan undang-undang untuk mengambil keputusan dalam situasi tertentu menurut penilaiannya sendiri, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik 418 (AUPB). 6. Hakim anak adalah hakim yang penunjukkannya ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung atas usulan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi (Pasal 9 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak), yang telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak (Pasal 10 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak). 7. Jaksa anak adalah penuntut umum yang penunjukannya ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung (Pasal 53 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 dan Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor SE-002/J.A/4/1989). 8. Keadilan restoratif adalah suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana untuk secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya, dengan menekankan pemulihan kembali kepada keadaan semula. 9. Klien pemasyarakatan adalah seseorang yang berada dalam layanan, pembimbingan, pengawasan dan pendampingan pembimbing kemasyarakatan di dalam dan di luar sistem peradilan pidana anak. 10. Lembaga Bantuan Hukum/Lembaga Masyarakat Anak adalah lembaga independen non pemerintah yang peduli pada anak. 11. Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 12. 13. 14. 15. adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan Anak (LAPAS Anak) Lembaga Pemasyarakatan anak adalah unit pelaksana pemasyarakatan yang menampung, merawat dan membina anak negara. Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial Anak adalah lembaga yang melakukan upaya yang terarah, terpadu dan berkelanjutan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan kesejahteraan sosial anak, antara lain melalui unit pelaksana teknis (UPT), unit pelaksana teknis daerah (UPTD), Komite Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial ABH, yang berbasis masyarakat dan mitra lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA) lainnya. Pedoman Umum Penanganan ABH adalah pedoman yang dapat digunakan sebagai acuan bagi penegak hukum, pemerintah, pemerintah provinsi, kabupaten/kota, organisasi/lembaga/badan sosial kemasyarakatan, pengacara dan lembaga kemasyarakatan lainnya dalam penanganan ABH. Pekerja Sosial adalah seseorang yang bekerja baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan dan/atau pengalaman praktek dalam pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan sosial (Undang-undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial). 16. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan sub-sistem dari sistem pemidanaan dan sistem tata peradilan pidana. 17. Pembimbing kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan dan pendampingan terhadap klien pemasyarakatan di dalam dan di luar proses peradilan pidana. 18. Penanganan ABH adalah penanganan perkara ABH, baik melalui jalur formal, maupun pembinaan alternatif, yang dilakukan oleh berbagai instansi/lembaga terkait, baik penegak hukum, pemerintah, pemerintah provinsi, kabupaten/ kota maupun organisasi/lembaga/badan sosial kemasyarakatan, pengacara serta lembaga kemasyarakatan lainnya dengan jejaring secara sistematik, komprehensif, berkesinambungan, dan terpadu. 19. Penyidik anak adalah penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Pasal 41 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak). 20. Rumah Tahanan Negara adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP). 21. Sistem Peradilan Pidana Terpadu 419 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum adalah sistem peradilan yang melibatkan pihak-pihak terkait (polisi, jaksa, hakim dan pemasyarakatan) yang merupakan suatu jaringan peradilan dengan menggunakan hukum pidana sebagai sarana utama, baik materiil maupun formil. 22. Tahanan anak adalah anak yang ditahan dan sedang menjalani proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. 23. Unit Pelayanan Perempuan dan Anak adalah unit yang bertugas memberikan pelayanan dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap pelakunya. 24. Wali ANDIKPAS adalah petugas LAPAS/RUTAN yang melakukan tugas pendampingan, terhadap ANDIKPAS selama proses pembinaan di LAPAS/RUTAN. D. RUANG LINGKUP Pedoman Umum Penanganan ABH ini mengatur tentang penanganan anak yang berhadapan dengan hukum sebagai pelaku, korban dan saksi tindak pidana. E. MAKSUD DAN TUJUAN Penyusunan Pedoman Umum Penanganan ABH ini dimaksudkan sebagai pedoman atau acuan bagi aparat penegak hukum, lembaga dan instansi terkait dalam upaya memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Pedoman Umum Penanganan ABH bertujuan untuk menyamakan persepsi dan gerak langkah aparat penegak hukum dalam penanganan ABH dengan pendekatan keadilan restoratif untuk kepentingan terbaik bagi anak. F. SASARAN 420 1. Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 2. Kementerian/Lembaga terkait lainnya, seperti Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Kesehatan, serta lembaga/organisasi bantuan hukum. 3. Orang tua dari anak yang berhadapan dengan hukum. 4. Organisasi/lembaga/badan sosial kemasyarakatan peduli anak. BAB II ARAH KEBIJAKAN A. ARAH KEBIJAKAN PERLINDUNGAN ANAK Berdasarkan RPJMN tahun 2010-2014, kebijakan peningkatan perlindungan anak diarahkan pada: 1. peningkatan akses terhadap pelayanan yang berkualitas, peningkatan partisipasi anak dalam pembangunan, dan upaya menciptakan lingkungan yang ramah anak dalam rangka mendukung tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak; 2. peningkatan perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi; dan 3. peningkatan efektivitas kelembagaan perlindungan anak. Dalam rangka mencapai arah kebijakan tersebut, perlindungan anak dilaksanakan melalui tiga fokus prioritas. 1. Peningkatan kualitas tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak, antara lain melalui: a. peningkatan aksesibilitas dan kualitas program pengembangan anak usia dini; b. peningkatan kualitas keseha- Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum tan anak; dan c. peningkatan pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja. 2. Perlindungan anak dari segala bentuk tindak kekerasan dan diskriminasi, antara lain melalui: a. peningkatan rehabilitasi dan perlindungan sosial anak; b. peningkatan perlindungan bagi pekerja anak; dan c. penghapusan pekerja terburuk anak; dan d. peningkatan perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum. 3. Peningkatan kapasitas kelembagaan perlindungan anak, antara lain melalui: a. penyusunan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait perlindungan anak; b. peningkatan kapasitas pelaksana perlindungan anak; c. peningkatan penyediaan data dan informasi perlindungan anak; dan d. peningkatan koordinasi dan kemitraan antar pemangku kepentingan terkait pemenuhan hak-hak anak, baik lokal, nasional maupun internasional. B. ARAH KEBIJAKAN PENANGANAN ABH Dalam rangka melaksanakan penanganan ABH maka kebijakannya diarahkan kepada penyelesaian perkara anak dengan pendekatan keadilan restoratif yang dilakukan oleh berbagai instansi/ lembaga terkait, baik penegak hukum, pemerintah, pemerintah provinsi, kabupaten/kota maupun organisasi/ lembaga/badan sosial kemasyarakatan, pengacara, dan lembaga kemasyarakatan lainnya dengan jejaring secara sistematis, komprehensif, berkesinambungan dan terpadu. A. Prinsip keadilan restoratif Dalam penyelesaian perkara anak dengan pendekatan keadilan restoratif, perlu mengedepankan prinsip-prinsip keadilan restoratif yaitu: a. membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya; b. memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif; c. melibatkan para korban, orangtua, keluarga besar, sekolah, dan teman sebaya; d. menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah; e. menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dan reaksi sosial yang formal. Penyelesaian perkara anak dengan pendekatan keadilan restoratif wajib memperhatikan: a. kepentingan korban; b. kesejahteraan dan tanggung jawab anak; c. penghindaran stigma negatif; d. penghindaran pembalasan; e. keharmonisan masyarakat; dan f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. B. Prasyarat Pendekatan keadilan restoratif a. Pelaku 1) Usia Pelaku Anak Dalam penanganan perkara anak sebagai pelaku tindak pidana, hendaknya selalu memperhatikan usia pelaku, semakin muda usia pelaku semakin pen421 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum ting untuk dilakukan penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif. Usia pertanggungjawaban kriminal anak di Indonesia adalah 8 (delapan) tahun (dalam Rancangan Kitab Undangundang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak Usia pertanggungjawaban kriminal anak 12 tahun), artinya tidak ada seorang anak pun yang berusia dibawah 8 (delapan) tahun yang dapat dimintakan pertanggungjawaban kriminal karena melakukan kejahatan. Jika ada anak di bawah 8 (delapan) tahun yang melakukan kejahatan, diindikasikan telah terjadi masalah yang sangat serius, walaupun sebenarnya anak tersebut tidak mengerti akibat dari tindakan tersebut. Untuk penanganan perkara seperti ini, penyelesaian melalui proses peradilan tidak akan efektif, oleh karenanya perlu ditangani oleh lembaga atau instansi yang kompeten dengan cara merujuk pada lembaga pendidikan, jasa pelayanan sosial atau lembaga masyarakat terkait. Dalam suatu kondisi tertentu, anak yang berusia antara 8 (delapan) sampai dengan 12 (duabelas) tahun dapat diproses melalui hukum formal, tetapi tidak bisa dikenakan penahanan atau pemenjaraan. Untuk kelompok anak yang berusia dibawah 12 (dua belas) tahun ini, penanganan dengan pendekatan keadilan restoratif harus menjadi prioritas pertama. Anak yang berusia diatas 12 (duabelas) tahun dapat diproses melalui proses hukum formal, walupun demikian penanganan dengan pendekatan keadilan restoratif harus menjadi prioritas pertama dan pemenjaraan adalah upaya terakhir. 422 2) Pengakuan dan Penyesalan Pelaku Penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif akan efektif jika anak mengakui perbuatan dan menyesalinya. Pengakuan dan penyesalan anak atas perbuatan tersebut tidak boleh dipaksakan dengan ancaman atau bujukan atas imbalan (akan diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif). Penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif tidak dapat dipertimbangkan jika anak tidak mengakui perbuatan dan tidak menyesalinya. 3) Kondisi Anak sebagai Pelaku dan Jumlah Tindak Pidana yang Dilakukan Anak Penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif harus memperhatikan kondisi anak saat melakukan tindak pidana. Apabila faktor pendorong anak melakukan tindak pidana ada diluar kendali anak dan/atau anak melakukan tindak pidana untuk pertama kali, maka penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif dilakukan dengan cara mediasi atau musyawarah keluarga, dengan melibatkan korban, pelaku dan keluarganya menjadi prioritas utama. b. Kategori Tindak Pidana Perkara tindak pidana yang melibatkan anak sebagai pelaku harus diupayakan penyelesaiannya dengan pendekatan keadilan restoratif. Pada saat melakukan penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak, hendaknya dipertimbangkan seriusitas perbuatan tindak pidana dan jumlah tindak pidana yang telah dilakukan. Kategori tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana sampai dengan 1 Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum (satu) tahun harus diprioritaskan untuk dilakukan diskresi. Perkara tersebut tidak perlu diproses melalui hukum formal, cukup diberikan peringatan secara lisan maupun tertulis. Kategori tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana lebih dari 1 (satu) tahun dan sampai dengan 5 (lima) tahun diprioritaskan untuk diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif, dengan cara mediasi atau musyawarah keluarga dengan melibatkan korban, pelaku dan keluarganya. Kategori tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana lebih dari 5 (lima) tahun, yang tidak mengakibatkan luka berat dan hilangnya nyawa dapat diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif, dengan cara mediasi atau musyawarah keluarga dengan melibatkan korban, pelaku dan keluarganya. Anak yang baru pertama kali melakukan tindak pidana hendaknya diprioritaskan untuk diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif, dengan cara mediasi atau musyawarah keluarga, dengan melibatkan korban, pelaku dan keluarganya. Walaupun demikian penyelesaian dengan pendekatan keadilan Restoratif harus tetap dilakukan terhadap anak yang sebelumnya pernah melakukan tindak pidana, dengan mempertimbangkan kondisi korban, pelaku dan keluarganya. c. Korban 1) Dampak perbuatan terhadap korban. Setiap kejahatan akan berdampak berbeda bagi masing-masing korban. Kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana dapat berupa fisik, psikis, materi dan sosial yang bisa berdampak serius terhadap korban. Dengan demikian korban memerlukan respon yang berbeda-beda pada tindak pidana yang sama. 2) Persetujuan korban Untuk kasus yang berdampak serius terhadap korban, maka persetujuan korban sangat diperlukan dalam penyelesaian perkara anak. Sedangkan, untuk kasus yang tidak berdampak serius terhadap korban, tidak diperlukan persetujuan korban dalam penyelesaian perkara anak. 3) Partisipasi dan pendapat korban Dalam penanganan ABH dengan pendekatan keadilan restoratif sedapat mungkin melibatkan korban dan/atau keluarganya, dan mendengar, serta mempertimbangkan pendapat/keinginan korban. d. Dukungan Orang Tua/Wali dan Keluarga Dalam penanganan perkara anak pelaku tindak pidana dukungan dari orang tua/wali dan keluarga sangat penting agar pendekatan keadilan restoratif dapat berhasil. Orang tua/wali atau keluarga anak tersebut perlu dilibatkan secara aktif dalam penyelesaian perkara, program rehabilitasi, dan reintegrasi. Jika keluarga (orang tua/wali) tidak diikutsertakan secara aktif, maka rencana penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif yang efektif akan sulit untuk diimplementasikan. Keluarga mungkin merasa malu atas tindakan anak tersebut sehingga menutup-nutupi kesalahan anak. Jika ada orang tua atau keluarga seperti ini maka APH atau pihak terkait wajib 423 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum memberi pengertian kepada orang tua atau keluarga tersebut tentang perlunya dukungan keluarga. e. Jenis-jenis penanganan dengan pendekatan keadilan restoratif. 1) Mediasi korban dengan pelaku Tujuan mediasi adalah untuk menyelesaikan sengketa melalui proses perundingan guna memperoleh kesepakatan para pihak dengan, dibantu oleh seorang atau lebih mediator. Sebagai mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak mencari berbagai kemungkinan penyelesaian tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian (Pasal 1 butir 6 dan butir 7 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008). 2) Musyawarah Keluarga Musyawarah keluarga dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara anak melalui musyawarah yang melibatkan keluarga pelaku dan keluarga korban, dengan difasilitasi oleh seorang fasilitator dari pihak yang netral agar memperoleh kesepakatan dari kedua belah pihak. Dalam musyawarah keluarga, perlu diperhatikan: a) keterlibatan pihak-pihak terkait yang meliputi korban, pelaku, keluarga dan orang-orang yang dekat dengan anak; b) pihak lain yang perlu dilibatkan yaitu pihak yang mendukung korban dan pihak yang mendukung pelaku; c) hal-hal lain yang perlu diperhatikan antara lain memberikan informasi kepada para pihak mengenai tempat, waktu dan mekanisme pertemuan. 424 3) Musyawarah Masyarakat Musyawarah masyarakat dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara anak melalui musyawarah yang melibatkan keluarga pelaku, keluarga korban dan tokoh masyarakat/tokoh agama, dengan difasilitasi oleh seorang fasilitator dari pihak yang netral agar memperoleh kesepakatan dari kedua belah pihak. Dalam musyawarah masyarakat, perlu diperhatikan: a) keterlibatan pihak-pihak terkait meliputi korban, pelaku, keluarga dan orang-orang yang dekat dengan anak, tokoh masyarakat/ tokoh agama dan siapa saja yang dirugikan oleh perbuatan tersebut; b) pihak lain yang perlu dilibatkan yaitu pihak yang mendukung korban dan pihak yang mendukung pelaku.; c) hal-hal lain yang perlu diperhatikan antara lain memberikan informasi kepada para pihak mengenai tempat, waktu dan mekanisme pertemuan. f. Mekanisme Penanganan dengan Pendekatan keadilan restoratif 1) Penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menyelesaikan perkara anak dengan pendekatan keadilan restoratif harus mempertimbangkan: - kategori tindak pidana; - umur anak; - hasil penelitian kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan; - kerugian yang ditimbulkan; - tingkat perhatian masyarakat; dan - dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat. Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Tahapan dalam Musyawarah Tahap Menggali informasi (1) Informasi Pelaku Fasilitator mengadakan pertemuan dengan pelaku dengan melibatkan pihak terkait (keluarga dan orang-orang yang dekat dengan pelaku, pembimbing kemasyarakatan BAPAS dan pekerja sosial), tanpa melibatkan korban dan keluarga korban. - Penyambutan dan perkenalan. - Fasilitator membacakan kronologi perkara dengan rinci. - Pelaku diberikan kesempatan untuk merespon kronologi perkara tersebut, dan pelaku dapat menerima atau menolak bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. - Bila anak mengakui perbuatannya dan mau bertanggung jawab, maka penyelesaian perkara bisa dilanjutkan dengan musyawarah. - Namun apabila anak tidak mengakui perbuatannya, maka musyawarah tidak bisa dilanjutkan dan kasus harus dikembalikan ke proses formal. - Usaha harus dilakukan untuk mendorong agar anak mengatakan apa sebenarnya yang telah terjadi. (2) Informasi Korban - Fasilitator mengadakan pertemuan dengan korban dengan melibatkan pihak terkait (keluarga dan orang-orang yang dekat dengan pelaku, pembimbing kemasyarakatan BAPAS dan Pekerja Sosial), tanpa melibatkan pelaku dan keluarga pelaku. - 2) a) - Korban diberi kesempatan bicara tentang apa yang telah terjadi, bagaimana ia dirugikan, dan apa yang dianggap perlu untuk dilakukan oleh pelaku agar dapat mengganti kesalahannya. b) Pertimbangan keluarga Keluarga masing-masing pihak diberi kesempatan untuk berunding dan harus menjawab pertanyaan. - Bagaimana anak dapat mengganti kesalahan dengan kebaikan bagi korban, keluarganya dan masyarakat. - Rencana apa yang anak dapat lakukan bersama keluarganya untuk mencegah pengulangan perbuatan. c) Negosiasi dan perjanjian Fasilitator perlu untuk memeriksa hal-hal sebagai berikut. - Apakah rencana ini telah memenuhi kebutuhan korban? - Apakah rencana ini telah memenuhi kebutuhan masyarakat? - Apakah rencana ini telah realistis dan dapat dicapai? - Apakah rencana ini dilakukan dalam jangka waktu yang relevan? - Apakah rencana ini dapat diukur? - Apakah rencana ini layak dan proporsional? - Apakah rencana ini melindungi hak anak dan memajukan perkembangan anak? - Apakah rencana ini memprediksi antisipasi apa yang akan dilakukan bila rencana ini berhasil atau tidak berhasil? Setelah memeriksa rencana tersebut di atas maka fasilitator mulai 425 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum melakukan perundingan dengan melibatkan keluarga pelaku, keluarga korban (untuk musyawarah keluarga). Untuk musyawarah masyarakat perlu juga melibatkan tokoh masyarakat/tokoh agama. Keputusan hasil musyawarah harus mendapatkan persetujuan korban dan keluarganya, serta persetujuan anak sebagai pelaku dan keluarganya. Hasil kesepakatan keadilan restoratif dapat berupa: a. perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; b. penyerahan kembali kepada orang tua/wali; c. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan ke lembaga pendidikan, lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial atau lembaga kesejahteraan sosial; atau d. pelayanan masyarakat. Kesepakatan sebagaimana dimaksud di atas dituangkan ke dalam suatu keputusan yang berlaku sejak dicapainya kesepakatan. Keputusan keadilan restoratif dimasukkan dalam berkas perkara anak yang wajib dipertimbangkan oleh jaksa pada saat membuat tuntutan dan oleh hakim pada saat membuat putusan. Register perkara anak dengan penyelesaian pendekatan keadilan restoratif pada kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan dibuat secara khusus. Pengawasan atas proses penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif dan pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab pada setiap tingkat pemeriksaan. Selama proses keadilan restoratif berlangsung dan setelah kea426 dilan restoratif dilaksanakan, pembimbing kemasyarakatan wajib melakukan pembimbingan dan pengawasan. Dalam hal kesepakatan keadilan restoratif tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan dalam kesepakatan, pembimbing kemasyarakatan segera melaporkan kepada pejabat yang bertanggung jawab. Pejabat yang bertanggung jawab tersebut wajib menindaklanjuti laporan. Anak yang keberadaan orang tua/ walinya tidak diketahui maka pengasuhannya menjadi tanggung jawab kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial dan dinas/instansi sosial. Pengasuhan tersebut dilaksanakan di lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang direkomendasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial dan dinas/instansi sosial. BAB III GARIS BESAR PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN HUKUM A. KEPOLISIAN Tugas dan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penanganan ABH sesuai dengan Pasal 8 Keputusan Bersama tentang Penanganan ABH meliputi: 1. menyiapkan penyidik yang mempunyai minat, kemampuan, perhatian, dan dedikasi dan bersertifikasi dibidang anak pada Mabes Polri dan jajaran kewilayahannya; 2. meningkatkan jumlah Unit Pelayanan Perempuan dan Anak/Unit PPA di Mabes Polri dan jajaran kewilayahannya; 3. menyediakan ruang pemeriksaan Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 4. 5. 6. 7. khusus bagi anak di Mabes Polri dan jajaran kewilayahannya; melaksanakan pendidikan dan pelatihan tentang penanganan ABH; menyusun panduan/pedoman standar tentang penanganan ABH dengan pendekatan keadilan restoratif; membentuk kelompok kerja penanganan ABH; dan melakukan sosialisasi internal, yang dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan instansi terkait. Pelaksanaan tugas dan kewenanganan tersebut dilakukan secara terintegrasi oleh Unit Pelaksana Teknis Kepolisian. 1. Penyidikan perkara anak dilakukan oleh Penyidik anak. 2. Setiap Polsek/Polres/Polresta/Polwiltabes/Polda/Mabespolri wajib mempunyai buku register khusus perkara anak (pelaku/saksi/korban) dan membuat laporan berkala sedikitnya 6 (enam) bulan sekali. 3. Setiap Polsek/Polres/Polresta/Polwiltabes/Polda/Mabespolri harus memiliki Penyidik khusus yang menangani perkara anak, yang ditunjuk oleh Kepala kesatuan masingmasing. 4. Kepolisian mengutamakan penanganan perkara anak dengan memprioritaskan proses penyidikan. 5. Waktu pemeriksaan anak untuk pembuatan BAP tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari dan tidak dilakukan pada malam hari. Diusahakan untuk menghadirkan orangtua anak, wali dan penasehat hukum. Anak Sebagai Pelaku 1. Penyidik menerima pelaporan atau pengaduan dari seseorang atau menemukan sendiri adanya tindak pi- dana. 2. Setelah menerima pelaporan atau menemukan sendiri, penyidik segera melakukan penyidikan untuk mencari keterangan dan barang bukti. 3. Dalam hal ditemukan cukup bukti adanya tindak pidana, segera diterbitkan Surat Perintah Tugas dan Surat Perintah Penyidikan. 4. Kepala Unit PPA menunjuk penyidik atau beberapa orang penyidik yang disesuaikan dengan kasus dan jenis kelamin anak. 5. Dalam melaksanakan penyidikan, penyidik wajib memberitahukan kepada BAPAS dan meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan. Apabila perlu dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya. 6. Sebelum dilakukan pemanggilan kepada anak, sebagai pelaku tindak pidana, penyidik wajib memeriksa terlebih dahulu pelapor dan para saksi termasuk konsultasi dengan ahli. 7. Pemanggilan kepada anak sebagai pelaku wajib mempertimbangkan dampak psikologi atau dampak lainnya. 8. Anak yang diduga sebagai pelaku tindak pidana yang dipanggil atau tertangkap tangan langsung dibawa ke ruang pelayanan khusus pada Unit PPA. 9. Dalam hal polisi terpaksa melakukan penangkapan, tindakan tersebut harus dilakukan sebagai upaya terakhir, dan jangka waktu penangkapan tidak lebih dari 1 x 12 jam. 10. Terhadap anak yang tertangkap tangan, penyidik wajib membe427 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum ritahukan kepada keluarga, wali, orang tua asuh, penasehat hukum, advokat dan BAPAS dalam waktu 1 x 12 jam. 11. Pemeriksaan awal terhadap anak wajib memperhatikan kondisi kesehatan dan kesiapan anak. 12. Pemeriksaan terhadap anak dapat dilakukan apabila anak dalam kondisi kesehatan baik. Dalam hal anak dalam kondisi tidak sehat, baik fisik maupun psikis, maka penyidik wajib menunda pemeriksaan awal terhadap anak. 13. Penyidik melakukan upaya pemulihan terhadap kondisi kesehatan anak, jika perlu merujuk ke puskesmas, rumah sakit, pusat pelayanan terpadu (PPT), pusat pelayanan terpadu perlindungan perempuan dan anak (P2TP2A) dan psikolog. 14. Waktu pemeriksaan anak untuk pembuatan BAP tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari dan tidak dilakukan pada malam hari. Diusahakan untuk menghadirkan orangtua anak, wali dan penasehat hukum. 15. Selama melakukan pemeriksaan, penyidik wajib memeriksa anak dalam suasana kekeluargaan, dengan pendekatan secara efektif, afektif/ kasih sayang dan simpatik. 16. Penahanan sebagai upaya terakhir, dapat dilakukan terhadap anak yang melakukan tindak pidana yang diancam pidana 10 tahun atau lebih. 17. Dalam proses penilaian terhadap anak dan kasusnya, penyidik mengumpulkan informasi dalam suasana kekeluargaan. 18. Dalam melakukan penyidikan, penyidik wajib segera meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan dalam waktu 1 x 12 jam, dan apabila perlu 428 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya. Penentuan identitas anak sebagai pelaku, khususnya terkait dengan umur anak, sedapat mungkin dibuktikan dengan akte kelahiran/ surat kenal lahir/surat keterangan lainnya yang sah seperti ijazah, buku rapor, kartu keluarga dan surat keterangan dari RT, RW dan kelurahan. Penyidik wajib melakukan upaya musyawarah dengan cara pendekatan keadilan restoratif dengan melibatkan pembimbing kemasyarakatan dan para pihak terkait dalam waktu paling lama 30 hari sejak diterimanya laporan. Penyidik dapat melakukan proses diskresi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal anak sebagai pelaku ditahan, penyidik wajib melakukan upaya musyawarah dengan cara pendekatan keadilan restoratif paling lama 20 hari sejak penahanan. Dalam hal dicapai kesepakatan maka hasil kesepakatan tersebut ditandatangani oleh penyidik, pembimbing kemasyarakatan, pelaku, orang tua/wali, korban/orang tua/wali, tokoh masyarakat, tokoh agama dan guru. Dalam hal tidak dicapai kesepakatan, proses hukum tetap dilanjutkan dan penyidik segera melimpahkan berkas perkara kepada penuntut umum dengan melampirkan hasil kesepakatan. Penyidik tidak melakukan penahanan terhadap anak yang belum berumur 12 tahun. Dalam hal anak sudah dapat ber- Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum tanggung jawab secara pidana menurut undang-undang, penahanan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir dan demi keselamatan anak. Penyidik dapat menitipkan anak tersebut di lembaga sosial/lembaga keagamaan/lembaga pendidikan atau di tempat yang khusus dan layak untuk anak. 27. Penahanan sebagai upaya terakhir, dapat dilakukan terhadap anak yang melakukan tindak pidana yang diancam pidana 10 tahun atau lebih. 28. Apabila tidak ada alternatif lain sehingga harus dilakukan penahanan, penyidik dapat melakukan penahanan kota atau penahanan rumah, atau tempat khusus untuk anak di lingkungan RUTAN, cabang RUTAN, atau di tempat tertentu yang terpisah dari orang dewasa, setelah mempertimbangkan hasil penelitian kemasyarakatan. 29. Setiap Polsek, Polres dan Polda wajib mencatat data kasus ABH (pelaku, korban dan saksi) yang ditangani dalam catatan tersendiri pada buku register dan membuat laporan secara berkala Anak Sebagai Korban/Saksi 1. Penyidik menerima pelaporan dari korban, orangtua/wali atau masyarakat. 2. Dalam hal penyidik menerima laporan dari masyarakat, maka penyidik segera menghubungi orang tua/wali dan penasehat hukum dalam waktu 1x12 jam, kecuali jika mereka turut diduga sebagai pelaku. 3. Penyidik sesegera mungkin membawa anak sebagai korban ke dokter atau petugas kesehatan untuk meminta visum et repertum. 4. Penyidik melakukan upaya pemulihan terhadap kondisi kesehatan anak sebagai korban, jika perlu merujuk ke puskesmas, rumah Sakit, Pusat Pelayanan Terpadu (PPT), Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan psikolog. 5. Pemeriksaan terhadap anak sebagai korban dapat dilakukan apabila anak dalam kondisi kesehatan baik. Dalam hal anak dalam kondisi tidak sehat baik fisik maupun psikis, penyidik wajib menunda pemeriksaan terhadap anak. 6. Dalam menentukan anak sebagai saksi, penyidik harus mempertimbangkan usia, daya intelektual, dampak psikologi dan dampak lainnya, serta kadar pentingnya kesaksian tersebut. 7. Waktu pemeriksaan anak sebagai korban/saksi untuk pembuatan BAP tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari dan tidak dilakukan pada malam hari. Diusahakan untuk menghadirkan orangtua anak, wali dan penasehat hukum. 8. Pada saat melakukan pemeriksaan terhadap anak sebagai korban/saksi dilakukan di ruang khusus atau tempat lainnya yang dirasa aman dan nyaman. 9. Selama proses pemeriksaan, anak sebagai korban/saksi berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. 10. Penyidik dapat memanfaatkan hasil rekam medis dari puskesmas atau tenaga kesehatan lainnya sebagai bahan penyidikan. Dokumendokumen hasil pemeriksaan dan perawatan tersebut merupakan bagian dari berkas dokumen anak bersangkutan. 11. Dalam melindungi korban/saksi, 429 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 12. 13. 14. 15. 16. penyidik dapat membuat permohonan penetapan perlindungan sementara kepada ketua pengadilan, dan/atau mengajukan permohonan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Penyidik harus memrioritaskan penanganan kasus anak sebagai korban, dengan segera melimpahkan perkara ke penuntut umum. Selama proses penyidikan, korban/ saksi berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya, berupa pemberian salinan berita acara setiap tahap pemeriksaan. Selama pemeriksaan korban/saksi, penyidik tidak boleh mempertemukan korban/saksi dengan para pelaku. Selama melakukan pemeriksaan, penyidik wajib memeriksa anak sebagai korban/saksi dalam suasana kekeluargaan, dengan pendekatan secara efektif, afektif/kasih sayang, dan simpatik. Selama proses penyidikan, penyidik wajib merahasiakan identitas anak. B. KEJAKSAAN Tugas dan kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia dalam penanganan ABH sesuai dengan Pasal 7 Keputusan Bersama tentang Penanganan ABH meliputi: 1. melakukan penuntutan dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi ABH; 2. menyiapkan Jaksa dan tenaga administrasi yang mempunyai minat, kemampuan, perhatian dan dedikasi serta bersertifikasi di bidang anak pada setiap kantor kejaksaan; 3. menyediakan ruang pemeriksaan khusus bagi anak pada setiap kan430 tor kejaksaan; 4. mengadakan diskusi secara rutin serta pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan; 5. menyusun panduan/pedoman, surat edaran tentang penanganan ABH dengan pendekatan keadilan restoratif; 6. membentuk kelompok kerja penanganan ABH; 7. melakukan sosialisasi internal; dan 8. mengefektifkan fungsi kepala kejaksaan tinggi dalam memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap jalannya penuntutan di dalam daerah hukumnya. Pelaksanaan tugas dan kewenanganan tersebut dilakukan secara terintegrasi oleh unit pelaksana teknis kejaksaan sebagai berikut. 1. Setiap kejaksaan negeri, kejaksaan tinggi dan kejaksaan agung wajib mempunyai buku register khusus perkara anak dan membuat laporan berkala sedikitnya 6 (enam) bulan sekali. 2. Jaksa Penuntut Umum (JPU) perkara anak dilakukan oleh Jaksa Anak. 3. Setiap Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Tinggi serta Kejaksaan Agung harus memiliki JPU khusus yang menangani perkara anak, yang ditunjuk oleh Kepala Kejaksaan masing-masing. 4. Kejaksaan mengutamakan penanganan perkara anak dengan memprioritaskan proses penuntutan. 5. Setelah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) segera diterbitkan Surat Perintah Penunjukan jaksa penuntut umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan perkara (P-16). 6. Setiap kantor kejaksaan harus mempunyai buku register khusus Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. perkara anak dan membuat laporan bulanan khusus perkara anak. Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang telah ditunjuk memperhatikan usia tersangka dan memastikan kepada penyidik dengan mencari buktibukti autentik seperti akte kelahiran atau surat kenal lahir, data di sekolah, kelurahan, dan lain sebagainya. Mengikuti secara aktif setiap perkembangan penyidikan dan mengintensifkan koordinasi, baik dengan penyidik maupun pihak yang terkait, guna mewujudkan keterpaduan dalam upaya penyelesaian perkara penanganan anak yang berhadapan dengan hukum demi kepentingan terbaik bagi anak. Jaksa Penuntut Umum dapat meminta kepada penyidik untuk segera melakukan proses penyidikan dan penyerahan berkas dengan mengikutsertakan pembimbing kemasyarakatan (PK BAPAS). Dalam hal penyerahan berkas tahap pertama, disamping meneliti syarat formil dan materiil juga disarankan memeriksa hasil penelitian PK BAPAS. Pada saat penerimaan tersangka dan barang bukti tahap kedua, jaksa penuntut umum melakukan penerimaan dan penelitian tersangka di ruang khusus bagi anak. Rekomendasi PK BAPAS agar benar-benar diperhatikan oleh jaksa peneliti dan dimanfaatkan dalam penyelesaian perkara. Setelah perkara dilimpahkan ke kejaksaan, kepala kejaksaan menyelenggarakan musyawarah keadilan restoratif dengan melibatkan pelaku, korban, orang tua/wali/ orangtua asuh pelaku dan korban, penasehat hukum, pendamping 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. (sekolah), tokoh masyarakat/tokoh agama, BAPAS dan kepolisian. Dalam hal terjadi “kesepakatan keadilan restoratif”, hasil musyawarah keadilan restoratif dijadikan sebagai dasar tuntutan JPU. Apabila tidak terjadi kesepakatan, JPU dalam tuntutannya tetap dengan pendekatan keadilan restotarif. Dalam hal kesepakatan keadilan restoratif berhasil, tembusan rumusan hasil kesepakatan keadilan restoratif disampaikan ke Pengadilan. Dalam melakukan penuntutan, JPU apabila perlu dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya. Apabila tersangka melakukan tindak pidana dengan orang dewasa, penuntutan terhadap masing-masing tersangka dilakukan secara terpisah. Dalam hal dilakukan penahanan terhadap anak, JPU wajib mempertimbangkan bahwa penahanan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir dan anak ditempatkan di rumah tahanan khusus anak. Dalam melakukan pemeriksaan anak sebagai korban/saksi di persidangan, JPU memperhatikan situasi dan kondisi korban/saksi. JPU menghadirkan orang tua atau wali yang dipercayai anak untuk mendampingi anak saat memberikan keterangan di persidangan. JPU membantu memfasilitasi aksesibilitas anak untuk mendapatkan perlindungan dari LPSK. Selama proses penuntutan, saksi korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus 431 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum yang melibatkan dirinya. 23. Sesuai Petunjuk Teknis Jampidum Nomor: B-532/E/l1/1995 tanggal 9 November 1995 tentang Penuntutan Terhadap Anak Dibawah Umur dilakukan hal-hal sebagai berikut: - Apabila terdakwa anak di bawah umur tersebut tidak ditahan, maka JPU mengajukan tuntutan agar anak tersebut dikembalikan kepada orang tua/wali untuk dididik, dan kalau orang tua/wali menolak hendaknya dituntut untuk diserahkan kepada pemerintah sebagai anak negara atau diserahkan kepada organisasi/suatu badan tertentu untuk mendapat pendidikan sebagaimana mestinya tanpa pidana apapun (Pasal 45 dan Pasal 46 KUHP). - Dalam hal tersangka ditahan, agar JPU menuntut pidana penjara minimum sama dengan masa selama dalam tahanan. - Dalam hal JPU memandang perlu menuntut pidana penjara, agar memedomani Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor SE 001/JA/4/1995 tentang Pedoman Tuntutan Pidana. 24. JPU dalam membuat tuntutan wajib mempertimbangkan hasil penelitian kemasyarakatan dari BAPAS. 25. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, berdasarkan Petikan/Salinan Putusan yang dikirim oleh Panitera (Pasal 226 ayat 2 dan Pasal 270 KUHAP, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 21 Tahun 1983, tanggal 18 Desember 1983). 26. Kebijakan upaya hukum terhadap putusan hakim harus memperhati432 kan kepentingan terbaik bagi anak. 27. Jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatangani oleh jaksa, kepala lembaga pemasyarakatan, dan terpidana, kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, BAPAS, RUTAN dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan). C. PENGADILAN Tugas dan kewenangan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam penanganan ABH sesuai dengan Pasal 6 Keputusan Bersama tentang Penanganan ABH meliputi: 1. menyiapkan hakim dan panitera yang mempunyai minat, kemampuan, perhatian dan dedikasi, yang bersertifikasi di bidang anak pada setiap pengadilan negeri; 2. menyiapkan fasilitas dan prasarana, ruang tunggu dan ruang sidang yang ramah anak, serta ruang saksi anak pada setiap pengadilan secara bertahap; 3. mengadakan diskusi secara rutin dan pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan; 4. menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung/Peraturan Mahkamah Agung dan menyusun standar operasional prosedur penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dengan pendekatan keadilan restoratif; 5. membentuk kelompok kerja penanganan ABH; 6. melakukan sosialisasi internal; dan 7. mengefektifkan fungsi ketua pengadilan tinggi dalam memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap jalannya persidangan di dalam daerah hukumnya. Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum Pelaksanakan tugas dan kewenangan tersebut dilakukan secara terintegrasi oleh Unit Pelaksana Teknis Pengadilan sebagai berikut. 1. Hakim yang menyidang perkara anak pelaku tindak Pidana dilakukan oleh Hakim anak. 2. Setiap pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung wajib mempunyai buku register khusus perkara anak (pelaku/saksi/korban) dan membuat laporan berkala sedikitnya 6 (enam) bulan sekali. 3. Setiap Pengadilan Negeri harus memiliki hakim khusus yang menangani perkara anak, yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung melalui rekomendasi Ketua Pengadilan Negeri masing-masing. 4. Setiap pengadilan harus memiliki panitera khusus yang menangani perkara pidana anak, yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan. 5. Pengadilan mengutamakan sidang khusus anak dengan mendahulukan jadwal waktu sidang. 6. Waktu pemeriksaan anak dalam persidangan tidak lebih dari 1 (satu) jam sehari, dan diusahakan untuk menghadirkan orang tua anak, wali, dan penasehat hukum. Anak Sebagai Pelaku 1. Selama menunggu proses persidangan, anak sebagai pelaku ditempatkan di ruang tunggu khusus anak, dan disidangkan dalam ruang sidang khusus anak. 2. Sidang anak wajib dihadiri oleh orangtua/wali/orangtua asuh/keluarga, pembimbing kemasyarakatan dan penasehat hukum. 3. Sebelum sidang dibuka, hakim memerintahkan agar PK menyampaikan laporan hasil penelitian 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. kemasyarakatan, dan menanyakan pendapat serta kesimpulan tentang kemungkinan untuk diupayakan musyawarah dengan cara pendekatan keadilan restoratif. Dalam hal hasil penelitian PK berpendapat bahwa dapat diupayakan musyawarah dengan cara pendekatan keadilan restoratif, maka hakim wajib melakukan upaya musyawarah di ruang mediasi. Musyawarah dengan cara pendekatan keadilan restoratif dihadiri oleh JPU, PK, pelaku, orang tua/ wali, penasehat hukum, korban/ orang tua/wali, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan/atau pihak lain yang ditentukan oleh hakim. Dalam hal dicapai kesepakatan maka hasil kesepakatan tersebut ditandatangani oleh pelaku, orang tua/wali, korban/orang tua/wali, pembimbing kemasyarakatan, tokoh masyarakat, dan/atau tokoh agama. Setelah proses musyawarah selesai, hakim membuka persidangan di ruang sidang khusus anak dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, dilanjutkan dengan proses sidang penetapan hasil musyawarah. Dalam hal musyawarah gagal, hakim melanjutkan proses penyelesaian dengan membuka persidangan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hakim memberikan kesempatan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh untuk mengemukakan segala hal ihwal yang bermanfaat bagi anak. Setelah mendengar keterangan orang tua/wali pelaku anak, Hakim meminta penjelasan dan pendapat pembimbing kemasyarakatan ten433 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. tang segala hal ihwal yang bermanfaat bagi anak dan perkembangan hasil musyawarah. Dalam putusannya, hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari PK dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Jika dipandang perlu dapat menghadirkan ahli tertentu, misalnya psikolog, psikiater, dan lain sebagainya. Dalam hal Hakim tidak mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan, mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dalam hal hakim memutuskan anak diserahkan kepada Kementerian Sosial atau Dinas Sosial atau diwajibkan mengikuti latihan kerja, maka dalam amar putusan Hakim harus memuat tempat dan waktu secara jelas. Dalam hal hakim memutuskan anak dikembalikan kepada orangtua, maka dalam amar putusan hakim dapat memuat syarat tambahan berupa bimbingan dan pengawasan di bawah pembimbing kemasyarakatan sampai dengan anak berumur 18 tahun. Petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada anak pelaku tindak pidana, atau penasehat hukum, JPU, RUTAN/LAPAS, penyidik, Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (Rupbasan) dan BAPAS segera setelah putusan diucapkan. Salinan surat putusan pengadilan diberikan segera kepada penuntut umum dan penyidik, RUTAN, LAPAS, dan BAPAS. Ketua pengadilan menunjuk hakim wasmat dari hakim anak. Panitera pengadilan tingkat pertama melakukan pencatatan dalam buku Register pengawasan dan 434 pengamatan, ditutup dan ditandatangani oleh panitera pada setiap hari kerja, untuk diketahui dan ditandatangani juga oleh hakim wasmat. 19. Hakim wasmat melaksanakan tugas pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan, sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali dalam setahun. 20. Laporan hakim wasmat disampaikan kepada Ketua Pengadilan dan ditembuskan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. 21. Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim wasmat dapat membicarakan dengan kepala LAPAS tentang cara pembinaan narapidana tertentu. Anak Sebagai Korban/Saksi 1. Selama menunggu proses persidangan, saksi dan/atau korban menunggu di ruang khusus. 2. Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap saksi atau korban anak dilakukan dengan memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak dengan tidak memakai toga atau pakaian dinas. 3. Pemeriksaan saksi dan korban dilakukan dalam sidang yang tertutup untuk umum. 4. Selama proses pemeriksaan di depan sidang pengadilan, saksi dan/ atau korban berhak didampingi oleh penasehat hukum dan/atau pendamping lainnya. 5. Pemeriksaan saksi korban sedapat mungkin di ruang terpisah dari ruang sidang. 6. Dalam hal saksi atau korban tidak dapat dihadirkan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, keterangan saksi dapat diberikan secara jarak jauh melalui alat komunikasi Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum audio visual atau perekaman. 7. Selama proses pemeriksaan di depan sidang pengadilan, saksi korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya, dapat berupa pemberian salinan berita acara setiap tahap pemeriksaan. 8. Hakim dapat memeriksa keterangan Saksi dan/atau korban tanpa kehadiran terdakwa. 9. Ketua pengadilan wajib mengeluarkan penetapan perlindungan sementara terhadap korban anak berdasarkan permohonan dari korban, atau keluarga korban, dan teman korban, kepolisian, relawan pendamping, dan rohaniawan. D. KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA (BAPAS, LAPAS DAN RUTAN) Pelaksanaan tugas dan kewenangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dalam penanganan ABH sesuai dengan Pasal 9 Keputusan Bersama tentang penanganan ABH meliputi: 1. menetapkan kebijakan, program dan kegiatan perlindungan dan pemenuhan hak ABH di lingkungan pemasyarakatan; 2. meningkatkan pelayanan litmas, pembimbingan, dan pengawasan, serta pendampingan ABH; 3. menyiapkan pembimbing kemasyarakatan (PK) pada BAPAS dan petugas pemasyarakatan pada LAPAS dan RUTAN yang mempunyai minat, kemampuan, perhatian dan dedikasi dengan bersertifikasi di bidang anak; 4. meningkatkan pelayanan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, dan pengawasan serta pendampingan terhadap anak yang diputus 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. dengan pidana pengawasan, pidana bersyarat, anak yang dikembalikan kepada orang tua, dan anak yang memerlukan bimbingan lanjutan (after care); menyiapkan fasilitas dan prasarana bagi pembinaan, pembimbingan, dan perawatan anak; menyiapkan ruang khusus bagi tahanan anak dan anak didik pemasyarakatan di RUTAN dan LAPAS; menyediakan psikolog, tenaga pendidik, dan tenaga medis; menyusun prosedur standar operasional penanganan ABH dengan pendekatan keadilan restoratif; meningkatkan peran serta masyarakat; membentuk kelompok kerja penanganan ABH; dan melakukan sosialisasi internal. Untuk melaksanakan tugas dan kewenanganan tersebut dilakukan secara terintegrasi oleh Unit Pelaksana Teknis pemasyarakatan sebagai berikut. 1. Balai Pemasyarakatan (BAPAS) a. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pembimbing kemasyarakatan (PK), BAPAS wajib mengedepankan pendekatan keadilan restoratif dan kepentingan terbaik bagi anak. b. Segera setelah menerima permintaan penelitian kemasyarakatan dari penyidik, Kepala BAPAS menerbitkan surat perintah melakukan penelitian kemasyarakatan. c. PK yang telah ditunjuk segera melakukan penelitian kemasyarakatan dengan memastikan kepada penyidik, mencari data, fakta dan bukti-bukti terkait lainnya. d. Hasil penelitian kemasyara435 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum e. f. g. h. i. j. k. 436 katan berupa rekomendasi dengan mencantumkan alternatif tindakan/pidana yang jelas dan tegas dengan mempertimbangkan analisis data, fakta dan bukti otentik lainnya, sesuai kebutuhan dan kepentingan terbaik bagi anak. PK dapat merekomendasikan/ memfasilitasi ahli tertentu (ahli biopsikososial dan spiritual, psikolog, kriminolog, ahli pendidikan dan ahli kesehatan, dan lain sebagainya) sesuai kebutuhan anak pada setiap tahap pemeriksaan. Memfasilitasi penyelesaian kasus ABH sebelum masuk pada proses penyidikan dengan koordinasi dengan Kementerian Sosial dan pihak terkait. PK mengajukan inisiatif dan memfasilitasi proses mediasi dengan penyidik, jaksa, hakim, petugas LAPAS dan/atau RUTAN, orang tua/penanggung jawab, pemerintah setempat, dan tokoh masyarakat. PK wajib mengikuti secara aktif setiap perkembangan perkara anak dan mengintensifkan koordinasi dengan penyidik maupun pihak yang terkait untuk mewujudkan keterpaduan dalam upaya penyelesaian penanganan perkara anak. Setiap kantor BAPAS wajib mempunyai buku register khusus anak, dan buku register lain sesuai tugas dan fungsinya. PK wajib mengikuti proses penyerahan berkas perkara dari penyidik kepada penuntut umum. Sebelum sidang dibuka, PK menyampaikan laporan kepa- l. m. n. o. p. q. r. s. da hakim hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan. PK mengikuti proses pemeriksaan persidangan di pengadilan secara aktif dan memberikan masukan dan penjelasan kepada hakim tentang hasil penelitian kemasyarakatan. PK melakukan pendampingan anak didalam dan di luar proses peradilan pidana. Dalam menentukan rekomendasi penelitian kemasyarakatan, menentukan program perlakuan (perawatan dan pelayanan, pembinaan, pembimbingan, pengawasan dan pendampingan) dan melakukan evaluasi pelaksanaan program, BAPAS wajib melakukan sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) sesuai ketentuan perundang-undangan. PK wajib melakukan asesmen risiko dan kebutuhan anak untuk menentukan program perlakuan, pembimbingan dan pengawasan terhadap ABH. BAPAS wajib melakukan penerimaan ABH berdasarkan surat-surat yang sah, melakukan pencatatan dan registrasi. BAPAS melakukan pencatatan data dasar ABH, dan pendokumentasian identitas dan lainlain sesuai kebutuhan. PK BAPAS melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program perawatan dan pelayanan, perlakuan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap ABH, di BAPAS, RUTAN dan LAPAS, serta membuat laporan berkala. Dalam melaksanakan tugas Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum pelayanan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan, BAPAS wajib mengembangkan program berbasis masyarakat. t. PK berkoordinasi dengan pekerja sosial (Peksos) dan pekerja sosial sukarela dalam melaksanakan pembimbingan ABH. u. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya BAPAS melakukan kerjasama dengan instansi terkait, perguruan tinggi, dan lembaga sosial kemasyarakatan. 2. Rumah Tahanan Negara (RUTAN). a. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya RUTAN wajib mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak dan pendekatan keadilan restoratif. b. Penyelenggaraan proses pelayanan dan perawatan tahanan wajib dilaksanakan dengan menjauhkan anak dari kekerasan dan diskriminasi. c. Dalam menerima tahanan anak RUTAN wajib meneliti keabsahan surat perintah penahanan/penetapan penahanan dari pejabat yang secara yuridis berwenang melakukan penahanan disertai penelitian kemasyarakatan dari BAPAS. d. Setiap RUTAN wajib mempunyai buku register khusus anak dan buku register lain sesuai tugas dan fungsinya. e. Setiap tahanan anak wajib diperiksa kesehatannya oleh dokter atau tenaga medis lainnya. Dalam hal tidak ada dokter atau tenaga medis lainnya, RUTAN wajib berkoordinasi dengan puskesmas/rumah sakit setempat. f. Setiap tahanan anak sedapat mungkin ditempatkan di RUTAN terdekat dengan lingkungan tempat tinggalnya. g. Dalam hal tidak terdapat RUTAN, penempatan atau perlakuan anak dapat dilakukan di LAPAS, dan ditempatkan terpisahkan dari orang dewasa. h. Sebelum menentukan program pelayanan dan perawatan serta melakukan evaluasi, RUTAN wajib mempertimbangkan penelitian kemasyarakatan, asesmen risiko, dan kebutuhan anak melalui mekanisme Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) RUTAN sesuai ketentuan. i. Selama dalam proses penahanan, anak diberi kesempatan untuk melaksanakan aktifitas kesehariannya secara wajar, dan kesempatan yang cukup untuk dikunjungi, serta berkomunikasi dengan orang tua atau keluarganya dan/atau penasehat hukumnya. j. RUTAN wajib: - menyiapkan fasilitas dan prasarana bagi pelayanan, dan perawatan tahanan anak; - menyediakan ruang khusus penyidikan dan/atau ruang konsultasi bagi PK BAPAS dan Advokat; - menyediakan dan melaksanakan bimbingan dan bantuan hukum bagi tahanan anak. k. Dalam menyelenggarakan program pelayanan dan perawatan tahanan, RUTAN berkoordinasi dengan instansi yang secara yuridis berhak menahan. 437 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum l. Untuk mendukung proses perawatan dan pelayanan tahanan, RUTAN wajib menyediakan tenaga profesional, sesuai kebutuhan anak seperti tenaga medis, paramedis, psikolog, psikiater, paedagogi, pekerja sosial, dan lainnya. m. Apabila anak mempunyai hambatan yang berhubungan dengan fisik, psikis, mental dan aspek sosialnya, maka proses pelayanan dan perawatannya dapat dialihkan dari RUTAN ke rumah sakit, panti sosial atau lembaga sosial kemasyarakatan lain yang memiliki kekhususan dalam penanganan hambatan anak tersebut. n. Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya RUTAN dapat mengadakan kerjasama dengan instansi pemerintah terkait, perguruan tinggi, badan/organisasi kemasyarakatan, keluarga dan perorangan. o. Setiap anak melakukan pemeriksaan kesehatan secara periodik oleh dokter atau tenaga medis lainnya. p. Dalam hal ditemukan anak yang sakit maka dilakukan perawatan/ pengobatan di rumah sakit atau klinik LAPAS. Apabila tidak dapat ditangani oleh rumah sakit atau klinik LAPAS dapat dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit terdekat. q. Demi hukum, RUTAN wajib mengeluarkan tahanan setelah selesai atau habis masa penahanannya. 3. Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). a. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya LAPAS wajib menge438 b. c. d. e. depankan kepentingan terbaik bagi anak dan pendekatan keadilan restoratif. Setiap anak didik pemasyarakatan (ANDIKPAS) yang dikirim ke LAPAS wajib disertai surat-surat yang sah dari pejabat berwenang (salinan putusan/ petikan putusan pengadilan/ ekstrak vonis) dan penelitian kemasyarakatan BAPAS. LAPAS anak melakukan penerimaan ABH berdasarkan surat-surat yang sah, dan wajib meneliti kembali keabsahan surat-surat sebagai berikut. - Surat Pengantar dari instansi lain asal ANDIKPAS. - Surat Perintah Penahanan dari instansi yang berwenang menahan. - Surat Putusan Pengadilan yang memutus perkaranya. - Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan dan Berita Acara Pelaksanaan Putusan Pengadilan dari Kejaksaan Negeri. - Laporan Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) BAPAS. - Surat-surat lain yang berkaitan dengan perkaranya. Setiap LAPAS wajib mempunyai buku register khusus anak, dan buku register lain sesuai tugas dan fungsinya. Setiap LAPAS melakukan pencatatan dan registrasi terhadap ANDIKPAS. Kegiatan pencatatan dan registrasi meliputi: - memeriksa kembali keabsahan surat-surat dan identitas klien; - membuat berita acara serah terima klien; - mencatat dalam buku re- Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum gister khusus anak; - pengambilan foto; - pengambilan sidik jari. f. Setiap ANDIKPAS mendapat pemeriksaan kesehatan oleh dokter atau tenaga medis lain. g. Dalam hal ditemukan anak yang sakit maka dilakukan perawatan/pengobatan di rumah sakit atau klinik LAPAS. Apabila tidak dapat ditangani oleh rumah sakit atau klinik LAPAS dapat dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit terdekat. h. Setiap ANDIKPAS sedapat mungkin ditempatkan di LAPAS anak terdekat dengan lingkungan tempat tinggalnya. i. Dalam hal tidak terdapat LAPAS anak, penempatan atau perlakuan anak dapat dilakukan di LAPAS dewasa atau pemuda dan ditempatkan terpisahkan dari orang dewasa. j. Setiap ANDIKPAS wajib mengikuti masa admisi-orientasi paling lama satu bulan. k. Penyelenggaraan proses perlakuan dan pendidikan ANDIKPAS dilakukan berdasarkan proses dan tahap pembinaan pemasyarakatan. l. Pelaksanaan proses dan tahap pembinaan ANDIKPAS meliputi tahap admisiorientasi dan pembinaan pendahuluan, tahap pembinaan lanjutan, tahap asimilasi dan tahap integrasi. m. Untuk kepentingan program perlakuan dan pendidikan serta untuk kepentingan terbaik bagi anak, maka kepada setiap ANDIKPAS dilakukan penelitian kemasyarakatan, asesmen resiko, dan kebutuhan anak. n. Proses penentuan program o. p. q. r. s. t. u. perlakuan dan pembinaan ANDIKPAS dilakukan melalui mekanisme Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) LAPAS, sesuai ketentuan. Untuk kepentingan perlakuan, pembinaan dan kepentingan terbaik bagi anak, ANDIKPAS dapat dipindahkan dari satu LAPAS Anak ke LAPAS Anak lainnya. LAPAS wajib melaksanakan pendidikan sembilan tahun. Untuk mendukung proses perlakuan dan pembinaan ANDIKPAS, di setiap LAPAS wajib disediakan tenaga profesional, seperti: Tenaga medis, paramedis, psikolog, psikiater, paedagog, pekerja sosial, dan lainnya. Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya, LAPAS dapat mengadakan kerjasama dengan keluarga, instansi pemerintah terkait, perguruan tinggi, badan/organisasi kemasyarakatan, dan perorangan. Untuk kepentingan terbaik bagi anak, apabila ANDIKPAS mempunyai hambatan yang berhubungan dengan fisik, psikis, mental dan aspek sosialnya, maka proses perlakuannya dapat dialihkan dari LAPAS anak ke panti sosial atau lembaga sosial kemasyarakatan lain yang memiliki kekhususan dalam penanganan hambatan anak tersebut. Penyelenggaraan perlakuan ANDIKPAS didalam LAPAS harus dijauhkan dari kekerasan dan diskriminasi. Secara periodik terhadap AN439 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum v. w. x. y. DIKPAS dilakukan pemeriksaan kesehatan. Untuk kepentingan perlakuan ANDIKPAS, maka LAPAS menyediakan ruang khusus PK BAPAS. LAPAS wajib melakukan sidang TPP untuk menentukan program perlakuan terhadap ANDIKPAS dan melakukan evaluasi pelaksanaan program perlakuan. LAPAS berkewajiban memenuhi hak ANDIKPAS sesuai ketentuan perudangan. LAPAS wajib mengeluarkan ANDIKPAS setelah selesai menjalani pidana sesuai ketentuan. E. KEMENTERIAN SOSIAL Tugas dan kewenangan Kementerian Sosial Republik Indonesia dalam penanganan ABH sesuai dengan Pasal 10 Keputusan Bersama tentang Penanganan ABH meliputi: 1. menyiapkan pekerja sosial dalam pelayanan masalah sosial ABH yang mempunyai minat, kemampuan, perhatian dan dedikasi dengan bersertifikasi diidang anak di tingkat pusat sampai dengan tingkat daerah; 2. memfasilitasi penyediaan Panti Sosial Marsudi Putra, Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) dan pusat trauma bagi anak yang berhadapan dengan hukum; 3. mendorong dan memperkuat peran keluarga, masyarakat, dan organisasi sosial atau lembaga masyarakat untuk peduli pada ABH; 4. mengembangkan panduan atau pedoman perlindungan dan rehabilitasi sosial ABH; 5. membentuk kelompok kerja penanganan ABH; dan 440 6. melakukan sosialisasi internal. Untuk melaksanakan tugas dan kewenanganan tersebut dilakukan hal-hal sebagai berikut. 1. Melaksanakan pendampingan psikososial bagi ABH didalam panti sosial: a. melaksanakan orientasi, konsultasi, motivasi dan seleksi; b. melaksanakan asesmen dan perumusan rencana pelayanan; c. melaksanakan intervensi dan manajemen kasus yang mencakup pendampingan sosial psikologis, peningkatan motivasi, konseling, terapi psikososial, dan perubahan perilaku, mencatat dan memantau perkembangan perilaku; d. melaksanakan pembinaan, terminasi institusi, dan rujukan. 2. Melaksanakan penjangkauan, rehabilitasi sosial bagi ABH, memfasilitasi reintegrasi dan reunifikasi ABH. 3. Melakukan asesmen motivasi terhadap ABH sebelum dilakukan rujukan ke panti. 4. Melaksanakan pendampingan dan advokasi sosial bagi ABH dan lingkungannya. 5. Melaksanakan penyuluhan dan sosialisasi. 6. Melaksanakan fasilitasi penyelesaian kasus ABH sebelum masuk pada proses penyidikan berkoordinasi dengan BAPAS dan pihak terkait. 7. Melaksanakan koordinasi dan kerjasama dengan PK dalam proses penanganan kasus ABH. 8. Melaksanakan konsultasi, orientasi, peningkatan motivasi dan advokasi sosial dalam upaya mendorong penyelesaian kasus ABH di luar Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum pengadilan dengan pihak terkait. 9. Memberikan motivasi dan pendampingan bagi ABH pada tahap bimbingan awal masuk panti sosial. 10. Melaksanakan asesmen, motivasi, konseling dan terapi psikososial dan perubahan perilaku dengan sistem penjangkauan. 11. Dalam hal tidak terdapat RUTAN, panti dapat menerima rujukan atau penitipan ABH dari instansi yang secara yuridis berwenang melakukan penahanan dengan tanggung jawab pada instansi penitip. 12. Dalam hal hakim memutuskan tindakan pembinaan/pelatihan kerja di panti sosial, maka tanggung jawab fisik menjadi tanggung jawab panti sosial. F. KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK Tugas dan kewenangan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia dalam penanganan ABH sesuai dengan Pasal 11 Keputusan Bersama tentang Penanganan ABH meliputi: 1. merumuskan kebijakan penanganan ABH; 2. melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan instansi/lembaga terkait; 3. melakukan sosialisasi, advokasi, dan fasilitasi; 4. mendorong peran serta masyarakat; 5. mengadakan pelatihan-pelatihan; 6. membentuk kelompok kerja penanganan ABH; 7. mengembangkan panduan atau pedoman, standard dan prosedur penanganan anak yang berhadapan dengan hukum; 8. melakukan sosialisasi internal; dan 9. melakukan pemantauan, analisis, evaluasi dan pelaporan. Untuk melaksanakan tugas dan kewenanganan tersebut dilakukan hal-hal sebagai berikut: 1. melaksanakan kajian atau pemetaan situasi dan kondisi ABH; 2. merumuskan kebijakan penanganan ABH; 3. melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan instansi/lembaga terkait; 4. melakukan sosialisasi, advokasi dan fasilitasi; 5. mendorong peran serta masyarakat; 6. mengadakan pelatihan-pelatihan bagi aparat penegak hukum dengan pendekatan keadilan restoratif; 7. membentuk kelompok kerja penanganan ABH; 8. membentuk jejaring kerja aparat penegak hukum di tingkat pusat dan daerah; 9. mengembangkan sistem pelaporan data ABH G. KEMENTERIAN DAN LEMBAGA TERKAIT LAINNYA 1. Bidang Pendidikan a. Kementerian Pendidikan Nasional Tugas dan kewenangan Kementerian Pendidikan Nasional dalam rangka menjamin ketersediaan layanan dan keberlangsungan pendidikan bagi ABH meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) memfasilitasi pengambilan kebijakan nasional di bidang penyediaan layanan pendidikan khusus bagi ABH, baik pada jalur pendidikan formal maupun jalur pendidikan non formal; 2) memfasilitasi lahirnya kerja441 Melindungi Hak-hak Anak Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum sama khusus dengan dengan Kementerian Hukum dan HAM untuk memberikan layanan penyelenggaraan pendidikan khusus bagi ABH, baik dalam RUTAN anak maupun LAPAS anak; 3) menyediakan panduan umum tentang penyelenggaraan layanan pendidikan khusus bagi ABH, baik pada jalur pendidikan formal maupun non formal; 4) memfasilitasi penyediaan bantuan biaya operasional untuk penyediaan layanan pendidikan khusus bagi ABH, baik selama di RUTAN anak maupun di LAPAS anak; 5) memfasilitasi penyediaan dukungan sarana/prasarana pendidikan sesuai kebutuhan penyelenggaraan layanan pendidikan bagi ABH yang dilangsungkan di dalam LAPAS/RUTAN anak; 6) menambah fasilitasi pendidikan hukum dan hak asasi manusia dalam ekstrakulikuler. b. Dinas Pendidikan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) Dinas pendidikan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) selaku pemegang otoritas kebijakan penyelenggaraan pendidikan di daerah, sesuai dengan kewenangan dan kapasitasnya, wajib mendukung implementasi MoU Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Hukum dan HAM (LAPAS anak dan perempuan) di bidang penyelenggaraan layanan pendidikan untuk ABH, baik yang berlangsung di RUTAN anak atau LAPAS anak. Dinas pendidikan bekerjasama dengan LAPAS dan RUTAN anak wajib berperan membantu menjamin keberlangsungan pelayanan pendi442 dikan bagi ABH di wilayahnya. Fasilitasi dinas pendidikan setempat meliputi: 1) penyediaan sarana/prasarana pendidikan yang dibutuhkan LAPAS atau RUTAN anak dalam rangka menyediakan layanan pendidikan ABH; 2) penyediaan guru/tenaga pengajar yang kompeten atau memenuhi syarat sesuai kebutuhan pelaksanaan pembelajaran ABH baik di dalam LAPAS maupun di RUTAN anak; 3) penyediaan bahan ajar/belajar bagi ABH baik di dalam maupun diluar LAPAS atau RUTAN anak di wilayahnya; 4) bekerjasama dengan LAPAS/ RUTAN anak, memfasilitasi penyelenggaraan setiap jenis evaluasi pembelajaran ABH, baik yang dilaksanakan di luar maupun di dalam LAPAS anak maupun RUTAN anak; 5) bekerjasama dengan LAPAS atau RUTAN, orangtua, dan masyarakat memfasilitasi pengembalian anak dalam satuan pendidikan reguler di luar LAPAS/RUTAN anak setelah berakhirnya masa pelaksanaan tindakan yang dijalani ABH; 6) bekerjasama dengan LAPAS/ RUTAN anak memfasilitasi penyediaan tenaga pendamping, psikolog, pekerja sosial yang bertugas memberikan pendampingan baik selama ABH di RUTAN maupun menjalani sanksi hukum/tindakan di LAPAS; 7) mengupayakan dukungan penyediaan biaya penyelenggaraan pendidikan bagi ABH, baik melalui APBD provinsi dan kabupaten/kota maupun APBN; 8) bekerjasama dengan orang tua, LAPAS/RUTAN memberikan dam- Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum pingan untuk pengembalian anak dalam binaan keluarga pasca menjalani masa sanksi atau tindakan ABH. Tugas dan kewenangan dinas pendidikan daerah (provinsi dan kabupaten/ kota) dan/atau satuan pendidikan/ sekolah dalam penanganan ABH, meliputi hal-hal berikut. Anak sebagai pelaku 1) Setelah mengetahui/menerima laporan bahwa ada anak didik yang diduga menjadi pelaku tindak pidana, dinas pendidikan kabupaten/ kota segera berkoordinasi dengan pihak keluarga, lembaga pendidikan atau orangtua yang bersangkutan. 2) Sekolah bersama keluarga ABH dan dinas pendidikan kabupaten/ kota segera berkoordinasi dengan pihak berwenang, yang secara yuridis melakukan penahanan, untuk memastikan kondisi/status anak. 3) Setelah mendapat kepastian tentang status sebagai ABH, dinas pendidikan, sekolah, orangtua, dan pihak berwenang, yang secara yuridis melakukan penahanan, harus mengupayakan jalan keluar terbaik, agar keberlangsungan pendidikan anak dapat tetap berlangsung/tidak terhenti. 4) Dalam kondisi anak sudah ditetapkan sebagai tersangka dan harus menjalani penahanan di RUTAN anak maka dinas pendidikan/ sekolah, orang tua, dan kepolisian harus berusaha memfasilitasi tetap berlangsungnya pendidikan ABH, baik dalam lingkungan RUTAN/ maupun di tempat sekolah asal. 5) ABH berstatus sebagai tersangka dan ditahan di RUTAN anak atau di kepolisian, diharapkan dinas pendidikan atau sekolah, orang tua, dan kepolisian atau pihak RUTAN harus tetap mengupayakan anak tidak kehilangan hak-haknya untuk mengikuti setiap kegiatan pembelajaran, termasuk keikutsertaannya dalam evaluasi pembelajaran, seperti ulangan harian, ulangan semester, ujian akhir sekolah atau ujian akhir nasional. 6) Dalam statusnya sebagai tahanan di RUTAN atau kepolisian, semua pihak baik dinas pendidikan/sekolah, orang tua, RUTAN atau kepolisian harus tetap menjamin agar anak dapat melakukan kegiatan belajar di luar kelas setiap hari. 7) Dalam statusnya sebagai tahanan di RUTAN atau kepolisian, semua pihak baik dinas pendidikan/seko