membela hak-hak anak

advertisement
MEMBELA HAK-HAK ANAK
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
disusun oleh :
TIM ILRC
PENERBIT
The Indonesian Legal Resources Center (ILRC)
Jalan Tebet Timur I No. 4, Jakarta Selatan
Phone : +62 21 93821173
Fax
: +62 21 8356641
e-mail : [email protected]
website: www.mitrahukum.org
BEKERJASAMA DENGAN AUSTRALIAN AID
Perpustakaan Nasional RI, Data Katalog dalam Terbitan (KDT)
Membela Hak-Hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
viii + 534 halaman, 16 cm x 24 cm
Jakarta ILRC, 2012
ISBN : 978-602-98382-5-1
Design, Layout and printed by
Delapan Cahaya Indonesia Printing - Canting Press
isi diluar tanggung jawab percetakan
Daftar Isi
Kata Pengantar Mengenai Kompilasi
Peraturan Dan Kebijakan Terkait
Anak Berhadapan Dengan Hukum
vii
UNDANG-UNDANG
1. Konvensi tentang Hak Anak.
1
2. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak
20
3. Undang-Undang RI No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO
No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan segera Penghapusan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
39
4. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum untuk diperbolehkan
bekerja.
48
5. Undang-Undang RI No. 19 Tahun 1999 tentang pengesahan Konvensi ILO No. 105 Mengenai Penghapusan Kerja Paksa
59
6. Undang-Undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
63
7. Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban
93
8. Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1998 tentang pengesehan Konvensi Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghapusan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan
martabat manusia.
107
9. Undang-undang RI
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
116
10.Undang-undang RI No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
154
11.Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
178
12.Undang-Undang Ri No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir
Miskin
184
13.Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
200
14.Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang
210
15.Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan
225
16.Putusan Mahkamah Konstitusi dalam JR UU Perkawinan tentang
status anak luar nikah.
271
PERATURAN PEMERINTAH
17.Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara
dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban
Tindak Pidana Perdaganan Orang.
283
18.Peraturan Pemerintah RI No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
296
PERPRES/KEPPRES/INPRES
19.Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi
Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan
Anak.
305
20.Keputusan Presiden RI No. 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi
Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak.
309
21.Keputusan Presiden RI. No. 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
343
22.Keputusan Presiden RI No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi
Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk
Anak.
347
PERATURAN/KEPUTUSAN MENTERI DAN YANG SEDERAJAT
23.Surat Keputusan Bersama antara Menteri Hukum dan HAM,
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
Menteri Sosial, Jaksa Agung, Kepolisian RI serta Mahkamah Agung
NO.166 A/KMA/SKB/XII/2009, NO.148 A/A/JA/12/2009,
NO. B/45/XII/2009, NO.M.HH-08 HM.03.02 TAHUN 2009,
NO. 10/PRS-2/KPTS/2009, NO. 02/Men.PP dan PA/XII/2009
tanggal 22 Desember 2009 TENTANG PENANGANAN ANAK YANG
BERHADAPAN DENGAN HUKUM
360
24.Kesepakatan Bersama Tentang Perlindungan dan Rehabilitasi
Sosial Anak yang Berhadapan Dengan Hukum.
369
25.Peraturan Menteri Negara PP2PA Nomor 15 tahun 2010 tentang
Pedoman Umum Penanganan ABH.
412
26.Keputusan Bersama tentang tentang Peningkatan Kesejahteraan
Sosial Anak Jalanan.
468
27.Nota Kesepahaman antar kementerian tentang Percepatan
Kepemilikan Akta Kelahiran Dalam Rangka Perlindungan Anak.
474
28.Peraturan KAPOLRI No. 10 tahun 2007, 6 Juli 2007 tentang Unit
Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA)
481
29. Peraturan KAPOLRI No. 3 tahun 2008 tentang pembentukan
Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dan tata cara pemeriksaan saksi
dan/atau korban Tindak Pidana
485
30.Peraturan KAPOLRI No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi
Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
495
31.Surat Kejaksaan perihal Petunjuk Teknis Tentang Penuntutan
Terhadap Anak.
528
MAHKAMAH AGUNG
32.Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Kewajiban tiap Pengadilan Negeri (PN) mengadakan ruang sidang khusus dan ruang
tunggu khusus untuk anak yang disidangkan.
530
33.Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1987 tentang tata
tertib sidang anak.
531
PROFIL THE INDONESIAN LEGAL RESOURCE CENTER
533
KATA PENGANTAR
The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) mencoba menyusun
kompilasi aturan hukum berhubungan dengan permasalahan anak dengan
mempertimbangkan beberapa hal. Pertimbangan pertama, permasalahan
anak sangat komplek mulai dari administrasi kependudukan, bantuan
hukum, sampai dengan perlindungan anak dari tindakan kekerasan. Di sisi
lain, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah menyusun
beberapa aturan hukum berkaitan dengan anak, bahkan juga telah
meratifikasi aturan hukum internasional tentang anak menjadi hukum
nasional. Oleh karena itu, baik pendamping anak dan anak itu sendiri
membutuhkan informasi tentang aturan-aturan hukum berhubungan
dengan permasalahan anak. Baik anak dan pendamping anak tidak hanya
untuk sekedar mengetahui substansi aturan-aturan hukum tersebut, tetapi
juga mungkin bisa mengkritisi aturan-aturan hukum yang ada apakah
sudah sesuai dengan rasa keadilan menurut anak itu sendiri.
Pertimbangan kedua, sebenarnya sudah terdapat rumah-rumah
singgah yang menjadi tempat/shelter anak-anak jalanan baik untuk tempat
tinggal maupun belajar. Rumah-rumah singgah tersebut juga mempunyai
perpustakaan yang membutuhkan informasi terbaru terkaitan dengan
permasalahan/aturan-aturan hukum tentang anak. Berdasarkan hal tersebut, ILRC juga mencoba membuat kompilasi aturan-aturan berkaitan dengan
anak untuk mengisi kebutuhan perpustakaan di rumah-rumah singgah anak
jalanan. Meskipun demikian, buku kompilasi ini juga ditujukan untuk siapa
saja yang tertarik atau berkepentingan dengan isu-isu anak secara umum.
Kami mengucapkan terima kasih kepada AusAid yang telah
mendukung penerbitan buku kompilasi aturan-aturan hukum tentang
anak.
Jakarta, 29 Mei 2012
Hormat Kami
Uli Parulian Sihombing
Direktur Eksekutif ILRC
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
KONVENSI TENTANG HAK-HAK ANAK
DISETUJUI OLEH
MAJELIS UMUM PERSERIKATAN BANGSA BANGSA
PADA TANGGAL 20 NOPEMBER 1989
Mukadimah
Negara-negara Pihak pada konvensi ini,
Mempertimbangkan bahwa menurut
prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
pengakuan terhadap martabat yang
melekat, dan hak-hak yang sama dan
tidak terpisahkan dari semua anggota
umat manusia, merupakan dasar dari
kebebasan, keadilan dan perdamaian di
dunia,
Mengingat bahwa bangsa-bangsa dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan sekali lagi dalam piagam
keyakinan mereka akan hak-hak dasar
dari manusia, akan martabat dan penghargaan seseorang manusia, dan telah
berketetapan untuk meningkatkan kemajuan sosial dan standar hidup yang
lebih baik dalam kebebasan yang lebih
luas,
Mengaku bahwa Perserikatan BangsaBangsa, dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Kovenan-kovenan Internasional tentang
Hak-hak Asasi Manusia, menyatakan
dan menyetujui bahwa setiap orang
berhak atas semua hak dan kebebasan
yang dinyatakan didalamnya, tanpa
pembedaan macam apapun seperti ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik, atau pendapat
yang lain, kewarganegaraan atau asal
usul sosial, harta kekayaan atau status
yang lain,
Mengingat bahwa dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia,
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan bahwa anak-anak berhak atas
pengasuhannya dan bantuan khusus,
Meyakini bahwa keluarga, sebagai kelompok dasar masyarakat dan lingkungan alamiah bagi pertumbuhan dan
kesejahteraan semua anggotanya dan
terutama anak-anak, harus diberikan
perlindungan dan bantuan yang diperlukan sedemikian rupa sehingga dapat
dengan sepenuhnya memikul tanggung
jawabnya di dalam masyarakat,
Mengaku bahwa anak, untuk perkembangan kepribadiannya sepenuhnya
yang penuh dan serasi, harus tumbuh
berkembang dalam lingkungan keluarganya dalam suasana kebahagiaan, cinta dan pengertian,
Mempertimbangkan bahwa anak harus
dipersiapkan seutuhnya untuk hidup
dalam suatu kehidupan individu dan
masyarakat, dan dibesarkan semangat
cita-cita yang dinyatakan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan
terutama dalam semangat perdamaian,
kehormatan, tenggang rasa, kebebasan,
persamaan dan solidaritas,
Mengingat bahwa kebutuhan untuk
memberikan pengasuhan khusus kepada anak, telah dinyatakan dalam Deklarasi Jenewa mengenai Hak-hak Anak
1
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
tahun 1924 dan dalam Deklarasi Hakhak Anak yang disetujui oleh Majelis
Umum pada tanggal 20 November 1959
dan diakui dalam Deklarasi Universal
tentang Hak-hak Asasi Manusia, dalam
Kovenan Internasional tentang Hakhak Sipil dan Politik (terutama dalam
pasal 23 dan pasal 24), dalam Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (terutama pasal
10) dan dalam statuta-statuta dan instrumen-instrumen yang relevan dari
badan-badan khusus dan organisasiorganisasi internasional yang memperhatikan kesejahteraan anak,
Mengingat bahwa seperti yang ditunjuk dalam Deklarasi mengenai Hak-hak
Anak, “anak, karena alasan ketidakdewasaan fisik dan jiwanya, membutuhkan perlindungan dan pengasuhan khusus, termasuk perlindungan hukum yang tepat, baik
sebelum dan juga sesudah kelahiran”.
Mengingat ketentuan-ketentuan Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Sosial dan
Hukum yang berkenaan dengan Perlindungan dan Kesejahteraan Anak, dengan Referensi Khusus untuk Meningkatkan Penempatan dan Pemakaian
Secara Nasional dan Internasional; Aturan Standar Minimum Perserikatan
Bangsa-Bangsa, untuk administrasi Peradilan Remaja (Aturan-aturan Beijing);
dan Deklarasi tentang Perlindungan
Wanita dan Anak-anak dalam Keadaan
Darurat dan Konflik Bersenjata,
Mengaku pentingnya kerjasama internasional uuntuk memperbaiki penghidupan anak-anak di setiap negara,
terutama di negara-negara sedang berkembang,
Menyetujui sebagai berikut :
2
Bagian I
Pasal 1
Untuk tujuan-tujuan Konvensi ini, seorang anak berarti setiap manusia di bawah umur delapan belas tahun kecuali
menurut undang-undang yang berlaku
pada anak, kedewasaan dicapai lebih
awal.
Pasal 2
(1) Negara-negara Pihak harus menghormati dan menjamin hak-hak
yang dinyatakan dalam Konvensi
ini pada setiap anak yang berada
di dalam yurisdiksi mereka, tanpa
diskriminasi macam apa pun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain,
kewarganegaraan, etnis, atau asalusul sosial, harta kekayaan, cacat,
kelahiran atau status yang lain dari
anak atau orang tua anak atau wali
hukum anak.
(2) Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat
untuk menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman atas dasar
status, aktivitas, pendapat yang diutarakan atau kepercayaan orang
tua anak, wali hukum anak, atau
anggota keluarga anak.
Pasal 3
(1) Dalam semua tindakan mengenai
anak, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial
negara atau swasta, pengadilan hukum, penguasa administratif atau
badan legislatif, kepentingan-kepentingan terbaik anak harus merupakan pertimbangan utama.
(2) Negara-negara Pihak berusaha
menjamin perlindungan dan perawatan anak-anak seperti yang di-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
perlukan untuk kesejahteraannya,
dengan memperhatikan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban orang tuanya, wali hukumnya atau orangorang lain yang secara sah atas dia,
dan untuk tujuan ini, harus mengambil semua tindakan legislatif dan
administratif yang tepat.
(3) Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa berbagai lembaga, pelayanan, dan fasilitas yang bertanggung jawab atas perawatan dan
perlindungan tentang anak, harus
menyesuaikan diri dengan standarstandar yang ditentukan oleh para
penguasa yang berwenang, terutama di bidang keselamatan, kesehatan, dalam jumlah dan kesesuaian
staf, mereka dan juga pengawasan
yang berwenang.
Pasal 4
Negara-negara Pihak akan melakukan
semua tindakan legislatif, administratif, dan tindakan lain yang tepat untuk
pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini. Mengenai hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya, maka Negara-negara Pihak harus melakukan
tindakan-tindakan tersebut sampai
pada jangkuan semaksimum mungkin
dari sumber-sumber mereka yang tersedia dan apabila dibutuhkan dalam kerangka kerjasama internasional.
Pasal 5
Negara-negara Pihak harus menghormati tanggung jawab, hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua, atau apabila dapat diberlakukan, para anggota
keluarga yang diperluas atau masyarakat seperti yang diurus oleh kebiasaan
lokal, wali hukum, atau orang-orang
lain yang secara sah bertanggung jawab
atas anak itu, untuk memberikan dalam
suatu cara yang sesuai dengan kemam-
puan anak yang berkembang, pengarahan dan bimbingan yang tepat dalam
pelaksanaan oleh anak mengenai hakhak yang diakui dalam Konvensi ini.
Pasal 6
(1) Negara-negara Pihak mengakui
bahwa tiap-tiap anak mempunyai
hak yang melekat atas kehidupan.
(2) Negara-negara Pihak harus menjamin sampai pada jangkauan semaksimum mungkin ketahanan dan
perkembangan anak.
Pasal 7
(1) Anak harus didaftarkan segera sesudah kelahiran dan harus mempunyai hak sejak lahir atas suatu
nama, hak untuk memperoleh kewarganegaraan, dan sejauh mungkin, hak untuk mengetahui dan dirawat oleh orang tuanya.
(2) Negara-negara Pihak harus menjamin pelaksanaan hak-hak ini sesuai dengan hukum nasional mereka
dan kewajiban mereka menurut
instrumen-instrumen internasional yang relevan dalam bidang ini,
terutama apabila anak sebaliknya
akan tidak berkewarganegaraan.
Pasal 8
(1) Negara-negara Pihak harus berusaha menghormati hak anak untuk
mempertahankan
identitasnya,
termasuk kewarganegaraan, nama
dan hubungan keluarga seperti yang diakui oleh hukum tanpa
campur tangan yang tidak sah.
(2) Apabila seorang anak secara tidak
sah dicabut beberapa atau semua
unsur identitasnya, maka Negaranegara Pihak harus memberikan
bantuan dan perlindungan yang
tepat dengan tujuan secara cepat
membentuk kembali identitasnya.
3
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 9
(1) Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa seorang anak tidak
dapat dipisahkan dari orang tuanya, secara bertentangan dengan
kemauan mereka, kecuali ketika
penguasa yang berwenang dengan
tunduk pada yudicial review menetapkan sesuai dengan prosedur dan
hukum yang berlaku bahwa pemisahan tersebut diperlukan demi
kepentingan-kepentingan terbaik
anak. Penetapan tersebut mungkin
diperlukan dalam suatu kasus khusus, seperti kasus yang melibatkan
penyalahgunaan atau penelantaran anak oleh orang tua, atau kasus
apabila orang tua sedang bertempat tinggal secara terpisah dan suatu keputusan harus dibuat mengenai tempat kediaman anak.
(2) Dalam persidangan-persidangan
apapun sesuai dengan ketentuan
ayat 1 pasal ini, maka semua pihak
yang berkepentingan harus diberi
kesempatan untuk ikut serta dalam persidangan-persidangan dan
membuat pendapat mereka diketahui.
(3) Negara-negara Pihak harus menghormati hak anak yang dipisahkan
dari salah satu atau kedua orang
tuanya untuk tetap mengadakan
hubungan pribadi dan hubungan
langsung dengan orang tua atas
dasar yang tetap, kecuali bertentangan dengan kepentingan terbaik
anak.
(4) Apabila pemisahan tersebut diakibatkan tindakan apapun yang
diprakarsai suatu Negara Pihak
seperti penahanan, pemenjaraan,
pengasingan, deportasi atau kematian (termasuk kematian akibat
sebab apapun selama orang itu ada
dalam tahanan negara) salah satu
4
atau kedua orang tua si anak, maka
Negara Pihak yang bersangkutan
atas permintaan harus memberikan kepada orang anak atau kalau
cocok anggota keluarga yang lain
dengan informasi pokok mengenai
tempat berada anggota atau paran
anggota keluarga yang tidak ada
kecuali pemberian informasi itu
akan merusak kesejahteraan anak
itu. Negara-negara Pihak harus lebih jauh menjamin bahwa penyampaian permintaan tersebut dengan
sendirinya harus tidak membawa
konsekuensi yang merugikan bagi
orang (atau orang-orang) yang bersangkutan.
Pasal 10
(1) Sesuai dengan kewajiban Negaranegara Pihak menurut pasal 9 ayat
1, pengajuan permohonan oleh
seorang anak atau orang tuanya,
untuk memasuki atau meninggalkan suatu Negara Pihak untuk tujuan penyatuan kembali keluarga
akan ditangani oleh Negara-negara
Pihak dalam suatu cara yang positif, manusiawi dan lancar. Negara-negara Pihak harus lebih jauh
menjamin bahwa penyampaian
permintaan tersebut harus tidak
membawa konsekuensi yang merugikan para pengaju permohonan
dan anggota keluarga mereka.
(2) Seorang anak dimana orang tuanya berdiam di Negara lain berhak
mengadakan, atas dasar yang tetap
kecuali dalam keadaan-keadaan
yang luar biasa, hubungan pribadi
dan hubungan langsung dengan
kedua orang tuanya. Ke arah tujuan
tersebut dan sesuai dengan kewajiban Negara-negara Pihak menurut
ketentuan pasal 9 ayat 2 maka Negara-negara Pihak harus menghor-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
mati hak anak dan orang tuanya
untuk meninggalkan negara manapun, termasuk negara mereka
sendiri, dan untuk memasuki negara mereka sendiri. Hak untuk meninggalkan negara manapun harus
tunduk hanya pada pembatasanpembatasan seperti yang ditentukan oleh undang-undang dan yang
perlu untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum,
kesehatan, atau kesusilaan umum
atau hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain dan sesuai dengan
hak-hak lainnya yang diakui dalam
Konvensi ini.
dan administratif yang mempengaruhi anak itu, baik secara langsung,
atau melalui suatu perwakilan atau
badan yang tepat, dalam suatu cara
yang sesuai dengan peraturan-peraturan prosedur hukum nasional.
Pasal 11
(1) Negara-negara Pihak harus mengambil tindakan-tindakan untuk
memerangi perdagangan gelap
anak-anak dan tidak dipulangkannya kembali anak-anak yang ada di
luar negeri.
(2) Untuk tujuan ini, maka Negaranegara Pihak, harus meningkatkan
pembuatan persetujuan-persetujuan bilateral atau multilateral atau
aksesi pada persetujuan-persetujuan yang ada.
Pasal 13
(1) Anak harus memiliki hak atas kebebasan mengeluarkan pendapat, hak
ini mencakup kebebasan mencari,
menerima dan memberikan informasi dan semua macam pemikiran,
tanpa memperhatikan perbatasan,
baik secara lisan, dalam bentuk tertulis ataupun cetak, dalam bentuk
seni, atau melalui media lain apa
pun pilihan anak.
2. Pelaksanaan hak ini dapat tunduk
pada pembatasan-pembatasan tertentu, tetapi hanya akan seperti
yang ditentukan oleh undang-undang dan diperlukan:
a. Untuk menghormati hak-hak
atau nama baik orang-orang
lain; atau
b. Untuk perlindungan keamanan nasional atau ketertiban
umum, atau kesehatan, atau
kesusilaan umum.
Pasal 12
(1) Negara-negara Pihak harus menjamin bagi anak yang mampu membentuk pendapatnya sendiri, hak
untuk mengutarakan pendapatpendapat tersebut dengan bebas
dalam semua masalah yang mempengaruhi anak itu, pendapat-pendapat anak itu diberi bobot yang semestinya sesuai dengan umur dan
kematangan si anak.
(2) Untuk tujuan ini, maka anak terutama harus diberi kesempatan untuk
didengar pendapatnya dalam persidangan-persidangan pengadilan
Pasal 14
(1) Negara-negara Pihak harus menghormati hak anak atas kebebasan
berpikir, hati nurani dan beragama.
(2) Negara-negara Pihak harus menghormati hak-hak dan kewajibankewajiban orang tua, dan apabila
berlaku, wali hukum, untuk memberikan pengarahan pada anak dalam melaksanakan haknya dengan
cara yang sesuai dengan kemampuan anak yang sedang berkembang.
(3) Kebebasan untuk menyatakan agama seseorang atau kepercayaan se5
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
seorang, dapat tunduk hanya pada
pembatasan-pembatasan seperti
yang ditentukan oleh undang-undang dan yang diperlukan untuk
melindungi keselamatan umum,
ketertiban umum, kesehatan atau
kesusilaan atau hak-hak atau kebebasan-kebebasan dasar orang lain.
Pasal 15
(1) Negara-negara Pihak mengakui
hak-hak anak atas kebebasan berhimpun dan kebebasan berkumpul
dengan damai.
(2) Tidak satu pun pembatasan dapat
ditempatkan pada pelaksanaan
hak-hak ini, selain yang dibebankan sesuai dengan undang-undang,
dan yang diperlukan dalam suatu
masyarakat demokrasi, demi kepentingan keamanan nasional atau
keselamatan umum, ketertiban
umum, perlindungan kesehatan
atau kesusilaan umum atau perlindungan hak-hak dan kebebasankebebasan orang lain.
Pasal 16
(1) Tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran dari campur tangan
yang sewenang-wenang atau tidak
sah terhadap kerahasiaan pribadinya, keluarganya, rumahnya, atau
hubungan surat-menyuratnya, ataupun dari serangan yang tidak sah
terhadap kehormatan dan nama
baiknya.
(2) Anak berhak atas perlindungan
undang-undang terhadap campur
tangan dan serangan tersebut.
Pasal 17
Negara-negara Pihak mengakui fungsi
penting yang dilakukan media massa
dan harus menjamin bahwa anak mempunyai akses ke informasi dan bahan
6
dari suatu diversitas sumber-sumber
nasional dan internasional; terutama
yang ditujukan pada peningkatan kesejahteraan sosial, spiritual dan kesusilaannya dan kesehatan fisik dan
mentalnya. Untuk tujuan ini, maka Negara-negara Pihak harus :
a. Mendorong media massa untuk
menyebarluaskan informasi dan
bahan yang mempunyai manfaat
sosial dan budaya pada anak dan
sesuai dengan makna pasal 29;
b. Mendorong kerjasama internasional dalam produksi, pertukaran
dan penyebarluasan informasi dan
bahan tersebut dari suatu diversitas budaya, sumber-sumber nasional dan internasional;
c. Mendorong produksi dan penyebarluasan buku anak-anak;
d. Mendorong media massa agar
mempunyai perhatian khusus pada
kebutuhan-kebutuhan linguistik
anak, yang menjadi anggota kelompok minoritas dan merupakan penduduk asli;
e. Mendorong perkembangan pedoman-pedoman yang tepat untuk
perlindungan anak dari informasi dan bahan yang merusak kesejahteraannya dengan mengingat
ketentuan-ketentuan pasal 13 dan
pasal 18.
Pasal 18
(1) Negara-negara Pihak harus menggunakan usaha-usaha terbaiknya
untuk menjamin pengakuan prinsip bahwa kedua orang tua mempunyai tanggung jawab bersama
untuk mendewasakan dan perkembangan anak. Orang tua atau, bagaimanapun nanti, wali hukum,
mempunyai tanggung jawab utama
untuk pendewasaan dan perkembangan anak. Kepentingan-kepen-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
tingan terbaik si anak akan menjadi
perhatian dasar mereka.
(2) Untuk tujuan menjamin dan meningkatkan hak-hak yang dinyatakan dalam Konvensi ini, maka
Negara-negara Pihak harus memberikan bantuan yang tepat kepada orang tua dan wali hukum,
dalam melaksanakan tanggung
jawab membesarkan anak mereka, dan harus menjamin perkembangan berbagai lembaga, fasilitas
dan pelayanan bagi pengasuhan
anak-anak. 3. Negara-negara Pihak
harus mengambil semua langkah
yang tepat untuk menjamin bahwa
anak-anak dari orang tua yang bekerja berhak atas keuntungan dari
pelayanan-pelayanan dan fasilitasfasilitas pengasuhan anak, yang untuknya mereka memenuhi syarat.
Pasal 19
(1) Negara-negara Pihak harus mengambil semua tindakan legislatif, administratif, sosial dan pendidikan
yang tepat untuk melindungi anak
dari semua bentuk kekerasan fisik
atau mental, luka-luka atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan alpa, perlakuan buruk atau
eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seks selama dalam pengasuhan (para) orang tua, wali hukum
atau orang lain manapun yang memiliki tanggung jawab mengasuh
anak.
(2) Tindakan-tindakan perlindungan
tersebut, sebagai layaknya, seharusnya mencakup prosedur-prosedur yang efektif untuk penyusunan
program-program sosial untuk
memberikan dukungan yang perlu bagi mereka yang mempunyai
tanggung jawab perawatan anak,
dan juga untuk bentuk-bentuk
pencegahan lain, dan untuk identifikasi, melaporkan, penyerahan,
pemeriksaan, perlakuan dan tindak
lanjut kejadian-kejadian perlakuan
buruk terhadap anak yang digambarkan sebelum ini, dan, sebagaimana layaknya, untuk keterlibatan
pengadilan.
Pasal 20
(1) Seorang anak yang secara sementara atau tetap dicabut dari lingkungan keluarganya, atau yang
demi kepentingannya sendiri yang
terbaik tidak diperkenankan tetap
berada dalam lingkungan tersebut,
berhak atas perlindungan khusus
dan bantuan yang disediakan oleh
Negara.
(2) Negara-negara Pihak sesuai dengan
undang-undang nasional mereka
harus menjamin pengasuhan alternatif bagi seorang anak semacam
itu.
(3) Perawatan��������������������
tersebut dapat mencakup, antara lain, penempatan
orang tua anak, kafalah dalam hukum Islam, adopsi, atau kalau perlu
penempatan dalam lembaga yang
tepat untuk pengasuhan anak. Ketika mempertimbangkan penyelesaian-penyelesaiannya,
maka
harus diberikan perhatian yang
semestinya pada keinginan yang
berkesinambungan dalam pendidikan seorang anak dan para etnis,
agama, latar belakang budaya dan
linguistik anak.
Pasal 21
Negara-negara Pihak yang mengakui
dan/atau memperkenankan sistem adopsi harus menjamin bahwa kepentingan-kepentingan terbaik si anak akan
merupakan pertimbangan terpenting
dan mereka harus :
7
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
a. Menjamin bahwa adopsi seorang
anak disahkan hanya oleh para
penguasa berwenang yang menetapkan, sesuai dengan undang-undang dan prosedur-prosedur yang
berlaku dan berdasarkan semua
informasi yang berhubungan dan
dapat dipercaya, bahwa adopsi
diiperrkenankan menurut status
anak mengenai orang tua, saudarasaudara dan wali hukum dan bahwa
kalau dipersyaratkan, orang-orang
yang bersangkutan telah memberikan persetujuan adopsi berdasarkan konseling sebagaimana yang
mungkin diperlukan ;
b. Mengakui bahwa adopsi antar negara dapat dianggap sebagai cara
alternatif pengasuhan anak, kalau
anak tidak dapat ditempatkan dalam asuhan orang tua angkat atau
keluarga adoptif atau dalam setiap
cara yang cocok tidak dapat diasuh
di Negara asal si anak ;
c. Menjamin bahwa anak yang bersangkutan dengan adopsi antarnegara memperoleh perlindungan
dan standar yang sepadan dengan
dengan perlindungan dan standar
yang ada dalam kasus adopsi nasional ;
d. Mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa, dalam
adopsi antar-negara, penempatannya tidak berakibat dalam penghasilan keuangan yang tidak cocok
bagi yang terlibat di dalamnya ;
e. Meningkatkan, apabila tepat, tujuan-tujuan pasal ini dengan membuat pengaturan-pengaturan atau
persetujuan-persetujuan bilateral
atau multilateral dan berusaha, di
dalam kerangka kerja ini, menjamin bahwa penempatan si anak di
negara lainnya dilaksanakan oleh
para penguasa atau organ-organ
8
yang berwenang.
Pasal 22
(1) Negara-negara Pihak harus mengambil langkah-langkah yang tepat
untuk menjamin bahwa seorang
anak yang sedang mencari status
pengungsi atau yang dianggap sebagai pengungsi, sesuai dengan
hukum dan prosedur internasional
atau domestik yang berlaku, apakah tidak diikuti atau diikuti oleh
orang tuanya atau oleh orang lain
mana pun, harus menerima perlindungan yang tepat dan bantuan kemanusiaan dalam perolehan
hak-hak yang berlaku yang dinyatakan dalam Konvensi ini dan dalam instrumen-instrumen hak-hak
asasi manusia atau kemanusiaan
internasional yang lain, di mana
Negara-negara tersebut merupakan pesertanya.
(2) Untuk tujuan ini, maka Negaranegara Pihak harus menyediakan,
seperti yang mereka anggap tepat,
kerja sama dalam usaha apa pun
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
dan organisasi-organisasi antar
pemerintah lain yang berwenang,
atau organisasi-Organisasi Non Pemerintah, yang bekerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk melindungi dan membantu
seorang anak semacam itu dan melacak setiap orang tua atau anggota-anggota keluarga yang lain dari
pengungsi anak, agar dapat memperoleh informasi yang diperlukan
untuk melaksanakan repatriasi
dengan keluarganya. Dalam kasus
apabila orang tua atau para anggota keluarga lainnya sama sekali
tidak dapat ditemukan, maka anak
itu harus diberi perlindungan yang
sama seperti anak yang lainnya,
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
yang secara tetap atau sementara
dicabut dari lingkungan keluarganya, karena alasan apa pun, seperti
yang dinyatakan dalam Konvensi
ini.
Pasal 23
(1) Negara-negara Pihak mengakui
bahwa seorang anak yang cacat
mental atau cacat fisik harus menikmati kehidupan yang utuh dan
layak, dalam keadaan-keadaan
yang menjamin martabat, meningkatkan percaya diri dan memberikan fasilitas partisipasi aktif si anak
dalam masyarakat.
(2) Negara-negara Pihak mengakui hak
anak cacat atas perawatan khusus
dan harus mendorong dan menjamin, dengan tunduk pada sumbersumber yang tersedia, pemberian
kepada anak yang memenuhi syarat dan mereka yang bertanggung
jawab atas perawatannya, bantuan
yang untuknya permintaan diajukan dan yang sesuai dengan keadaan si anak dan keadaan-keadaan orang tua atau orang-orang lain
yang merawat anak itu.
(3) Dengan mengakui kebutuhan-kebutuhan khusus seorang anak cacat, maka bantuan yang diberikan,
sesuai dengan ketentuan ayat 2
pasal yang sekarang ini, harus diadakan dengan cuma-cuma, setiap
waktu mungkin, dengan memperhatikan sumber-sumber keuangan
orang tua atau orang lain yang
merawat si anak, dan harus dirancang untuk menjamin bahwa anak
cacat tersebut mempunyai akses
yang efektif ke dan menerima
pendidikan, pelatihan, pelayanan
perawatan kesehatan, pelayanan
rehabilitasi, persiapan bekerja dan
kesempatan rekreasi dalam suatu
cara yang menghasilkan pencapaian integrasi sosial yang paling
sepenuh mungkin, dan pengembangan perseorangan si anak termasuk pengembangan budaya dan
jiwanya.
(4) Negara-negara Pihak harus meningkatkan, dalam semangat kerjasama internasional, pertukaran
informasi yang tepat, di bidang
perawatan kesehatan yang preventif dan perlakuan medis, psikologis
dan fungsional dari anak cacat, termasuk penyebarluasan dan akses
ke informasi mengenai metodemetode rehabilitasi, pendidikan
dan pelayanan kejuruan, dengan
tujuan memungkinkan Negara
Pihak untuk memperbaiki kemampuan dan keahlian mereka dan
untuk memperluas pengalaman
mereka di bidang-bidang ini. Dalam hal ini, perhatian khusus harus
diberikan mengenai kebutuhankebutuhan negara-negara sedang
berkembang.
Pasal 24
(1) Negara-negara Pihak mengakui
hak anak atas penikmatan standar
kesehatan yang paling tinggi dapat
diperoleh dan atas berbagai fasilitas untuk pengobatan penyakit dan
rehabilitasi kesehatan. Negara-negara Pihak harus berusaha menjamin bahwa tidak seorang anak pun
dapat dirampas haknya atas akses
ke pelayanan perawatan kesehatan
tersebut.
(2) Negara-negara Pihak harus mengejar pelaksanaan hak ini sepenuhnya dan terutama, harus mengambil langkah-langkah yang
tepat untuk:
a. Mengurangi kematian bayi dan
anak;
9
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
b. Menjamin penyediaan bantuan
kesehatan yang diperlukan dan
perawatan kesehatan untuk semua anak dengan penekanan
pada perawatan kesehatan primer;
c. Memerangi penyakit dan kekurangan gizi yang termasuk
dalam kerangka kerja perawatan kesehatan primer melalui,
antara lain, penerapan teknologi yang dengan mudah tersedia dan melalui penyediaan
pangan bergizi yang memadai
dan air minum bersih, dengan
mempertimbangkan bahayabahaya dan resiko-resiko pencemaran lingkungan;
d. Menjamin perawatan kesehatan sebelum dan sesudah kelahiran yang tepat untuk para
ibu;
e. Menjamin bahwa semua bagian masyarakat, terutama
orang tua dan anak, diinformasikan, mempunyai akses ke
pendidikan dan ditunjang dalam penggunaan pengetahuan
dasar mengenai kesehatan dan
gizi anak, manfaat-manfaat
ASI, kesehatan dan sanitasi
lingkungan dan pencegahan
kecelakaan;
f. Mengembangkan perawatan
kesehatan yang preventif, bimbingan bagi orang tua dan pendidikan dan pelayanan keluarga berencana.
(3) Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang
efektif dan tepat dengan tujuan
menghilangkan praktek-praktek
tradisional yang merusak kesehatan anak.
(4) Negara-negara Pihak berusaha meningkatkan dan mendorong kerja
10
sama internasional dengan tujuan
mencapai realisasi hak yang diakui
dalam pasal ini sepenuhnya dan secara progresif. Dalam hal ini, maka
harus diberikan perhatian khusus
pada kebutuhan-kebutuhan negara-negara sedang berkembang.
Pasal 25
Negara-negara Pihak mengakui hak
seorang anak yang telah ditempatkan
oleh para penguasa yang berwenang
untuk tujuan perawatan, perlindungan
atau pengobatan kesehatan fisiknya
atau kesehatan mentalnya atau peninjauan kembali secara berkala terhadap
perawatan yang diberikan kepada anak
itu dan semua keadaan lain yang relevan untuk penempatannya.
Pasal 26
(1) Negara-negara Pihak harus mengakui untuk setiap anak hak atas
kemanfaatan dari jaminan sosial
termasuk asuransi sosial dan
harus mengambil langkah-langkah
yang diperlukan untuk mencapai
realisasi hak ini sepenuhnya sesuai
dengan hukum nasional mereka.
(2) Kemanfaatan-kemanfaatan, apabila tepat, akan diberikan, dengan
memperhatikan sumber-sumber
dan keadaan-keadaan anak itu dan
orang-orang yang bertanggung jawab memelihara dan mengasuh
anak tersebut, dan juga setiap pertimbangan lain yang relevan untuk
mengajukan permohonan berbagai
kemanfaatan-kemanfaatan yang
dibuat oleh anak itu atau atas nama
anak itu.
Pasal 27
(1) Negara-negara Pihak mengakui
hak setiap anak atas suatu standar kehidupan yang memadai bagi
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak.
(2) Orang tua atau orang-orang lain
yang bertanggung jawab atas anak
itu mempunyai tanggung jawab
primer untuk menjamin di dalam
kesanggupan dan kemampuan keuangan mereka, penghidupan yang
diperlukan bagi perkembangan si
anak.
(3) Negara-negara Pihak, sesuai dengan keadaan-keadaan nasional
dan di dalam sarana-sarana mereka, harus mengambil langkahlangkah yang tepat untuk membantu orang tua dan orang-orang
lain yang bertanggung jawab atas
anak itu untuk melaksanakan hak
ini, dan akan memberikan bantuan
material dan mendukung programprogram, terutama mengenai gizi,
pakaian dan perumahan.
(4) Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat
untuk menjamin penggantian pengasuhan anak itu, dari orang tua atau
orang-orang lain yang mempunyai
tanggung jawab keuangan atas
anak itu, bukan saja di dalam
Negara Pihak tetapi juga di luar
negeri. Terutama, apabila orang
yang mempunyai tanggung jawab
keuangan atas anak itu tinggal di
suatu negara yang berbeda dengan
negara si anak, maka Negaranegara Pihak harus meningkatkan
aksesi ke persetujuan-persetujuan
internasional
atau
konklusi
persetujuan-persetujuan
semacam itu, dan juga pembuatan
pengaturan-pengaturan lain yang
tepat.
Pasal 28
(1) Negara-negara Pihak mengakui
hak anak atas pendidikan, dan de-
ngan tujuan mencapai hak ini secara progresif dan berdasarkan kesempatan yang sama, mereka harus, terutama:
a. Membuat pendidikan dasar diwajibkan dan terbuka bagi semua anak;
b. Mendorong
perkembangan
bentuk-bentuk
pendidikan
menengah yang berbeda-beda,
termasuk pendidikan umum
dan pendidikan kejuruan,
membuat pendidikan-pendidikan tersebut tersedia dan dapat
dimasuki oleh setiap anak, dan
mengambil langkah-langkah
yang tepat seperti memperkenalkan pendidikan CumaCuma dan menawarkan bantuan keuangan jika dibutuhkan;
c. Membuat pendidikan yang lebih tinggi dapat dimasuki oleh
semua anak berdasarkan kemampuan dengan setiap sarana yang tepat;
d. Membuat informasi pendidikan dan kejuruan dan bimbingan tersedia dan dapat dimasuki
oleh semua anak;
e. Mengambil langkah untuk
mendorong kehadiran yang tetap di sekolah dan penurunan
angka putus sekolah.
(2) Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat
untuk menjamin bahwa disiplin
sekolah dilaksanakan dalam cara
yang sesuai dengan martabat manusia si anak dan sesuai dengan
Konvensi ini.
(3) Negara-negara Pihak harus meningkatkan dan mendorong kerja
sama internasional dalam masalahmasalah yang berkaitan dengan
pendidikan, terutama dengan tujuan mengarah pada penghapusan
11
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
kebodohan dan buta aksara di seluruh penjuru dunia dan memberikan fasilitas akses ke ilmu pengetahuan dan pengetahuan teknik dan
metode-metode mengajar modern.
Dalam hal ini, perhatian khusus
harus diberikan pada kebutuhankebutuhan negara-negara sedang
berkembang.
Pasal 29
(1) Negara-negara Pihak bersepakat
bahwa pendidikan anak harus diarahkan ke:
a. Pengembangan kepribadian
anak, bakat-bakat dan kemampuan mental dan fisik pada potensi terpenuh mereka;
b. Pengembangan penghormatan
terhadap hak hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan
dasar dan prinsip-prinsip yang
diabadikan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;
c. Pengembangan penghormatan
terhadap orang tua anak, jati
diri budayanya sendiri, bahasa
dan nilai-nilainya sendiri terhadap nilai-nilai nasional dari
negara dimana anak itu sedang
bertempat tinggal, negara anak
itu mungkin berasal dan terhadap peradaban-peradaban
yang berbeda dengan miliknya
sendiri;
d. Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab
dalam suatu masyarakat yang
bebas, dalam semangat saling
pengertian, perdamaian, tenggang rasa, persamaan jenis kelamin, dan persahabatan antara semua bangsa, etnis, warga
negara dan kelompok agama,
dan orang-orang asal pribumi;
e. Pengembangan untuk meng12
hargai lingkungan alam.
(2) Tidak satu pun bagian dari pasal
ini atau pasal 28 dapat ditafsirkan
sehingga mengganggu kebebasan
orang-orang dan badan-badan untuk membuat dan mengarahkan
lembaga-lembaga pendidikan, dengan selalu tunduk pada pentaatan
prinsip-prinsip yang dinyatakan
dalam ayat 1 pasal ini dan pada
persyaratan-persyaratan
bahwa
pendidikan yang diberikan dalam
lembaga-lembaga tersebut harus
memenuhi standar minimum seperti yang mungkin ditentukan
oleh Negara yang bersangkutan.
Pasal 30
Pada Negara-negara tersebut di mana
terdapat minoritas etnis, agama, atau
linguistik atau orang-orang asal pribumi, seorang anak yang termasuk
dalam minoritas tersebut atau orangorang pribumi tidak dapat diingkari haknya, dalam masyarakat dengan
anggota-anggota lain dari kelompoknya, untuk menikmati kebudayaannya
sendiri, untuk menyatakan dan mengamalkan agamanya sendiri, atau pun untuk menggunakan bahasanya sendiri.
Pasal 31
(1) Negara-negara Pihak mengakui
hak anak untuk beristirahat dan
bersenang-senang, untuk terlibat
dalam bermain, dan aktivitas-aktivitas rekreasi sesuai dengan umur
anak itu dan berpartisipasi dengan
bebas dalam kehidupan budaya dan
seni.
(2) Negara-negara Pihak harus menghormati dan meningkatkan hak
anak untuk berpartisipasi dengan
sepenuhnya dalam kehidupan budaya dan seni dan harus mendorong pemberian kesempatan-ke-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
sempatan yang tepat dan sama
untuk aktivitas budaya, seni, rekreasi dan bersenang-senang.
penggunaan anak-anak dalam produksi
dan perdagangan gelap bahan-bahan
tersebut.
Pasal 32
(1) Negara-negara Pihak mengakui
hak anak untuk dilindungi dari
eksploitasi ekonomi dan dari melakukan setiap pekerjaan yang
mungkin berbahaya atau mengganggu pendidikan si anak, atau
membahayakan kesehatan si anak
atau pengembangan fisik, mental,
spiritual, moral dan sosialnya.
(2) Negara-negara Pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif,
administratif, sosial dan pendidikan untuk menjamin pelaksanaan pasal ini. Untuk tujuan ini, dan
dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang relevan dari
instrumen-instrumen internasional yang lain, maka Negara-negara
Pihak harus terutama:
a. Menentukan umur minimum
atau umur-umur minimum untuk izin bekerja;
b. Menetapkan peraturan yang
tepat mengenai jam-jam kerja
dan syarat-syarat perburuhan;
c. Menentukan hukuman-hukuman atau sanksi-sanksi lain
yang tepat untuk menjamin
pelaksanaan pasal ini yang
efektif.
Pasal 34
Negara-negara Pihak berusaha melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan
seksual. Untuk tujuan-tujuan ini, maka
Negara-negara Pihak harus terutama
mengambil semua langkah nasional,
bilateral dan multilateral yang tepat,
untuk mencegah:
a. Bujukan atau pemaksaan terhadap
seorang anak untuk terlibat dalam
setiap aktivitas seksual yang melanggar hukum.
b. Penggunaan eksploitatif terhadap
anak-anak dalam pelacuran, atau
praktek-praktek seksual lainnya
yang melanggar hukum.
c. Penggunaan eksploitatif terhadap
anak-anak dalam pertunjukan dan
bahan-bahan pornografis.
Pasal 33
Negara-negara Pihak harus mengambil
semua langkah yang tepat, termasuk
tindakan legislatif, administratif, sosial dan pendidikan untuk melindungi
anak-anak dari penggunaan gelap obat-obatan narkotika dan bahan-bahan
psikotropik seperti yang didefinisikan
dalam perjanjian-perjanjian internasional yang relevan, dan untuk mencegah
Pasal 35
Para Negara Pihak harus mengambil
semua langkah nasional, bilateral dan
multilateral yang tepat, untuk mencegah penculikan, penjualan atau perdagangan anak-anak untuk tujuan apa
pun atau dalam bentuk apa pun.
Pasal 36
Negara-negara Pihak harus melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi
lainnya yang berbahaya untuk setiap
segi-segi kesejahteraan si anak.
Pasal 37
Negara-negara Pihak harus menjamin
bahwa:
a. Tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau
perlakuan kejam yang lain, tidak
manusiawi atau hukuman yang
13
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
menghinakan. Baik hukuman mati
atau pemenjaraan seumur hidup
tanpa kemungkinan pembebasan,
tidak dapat dikenakan untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang di bawah
umur delapan belas tahun;
b. Tidak seorang anak pun dapat
dirampas kebebasannya secara
melanggar hukum atau dengan
sewenang-wenang. Penangkapan,
penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan
undang-undang, dan harus digunakan hanya sebagai upaya jalan lain
terakhir dan untuk jangka waktu
terpendek yang tepat;
c. Setiap anak yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan manusiawi dan menghormati martabat
manusia yang melekat, dan dalam
suatu cara dan mengingat akan
kebutuhan-kebutuhan orang pada
umurnya. Terutama, setiap anak
yang dirampas kebebasannya harus dipisahkan dari orang dewasa
kecuali penempatannya itu dianggap demi kepentingan si anak
dan harus mempunyai hak untuk
mempertahankan kontak dengan
keluarga melalui surat-menyurat
dan kunjungan, kecuali bila dalam
keadaan-keadaan luar biasa.
d. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak atas akses segera
ke bantuan hukum dan bantuan
lain yang tepat, dan juga hak untuk
menyangkal keabsahan perampasan kebebasannya, di hadapan suatu pengadilan atau penguasa lain
yang berwenang, mandiri dan adil,
dan atas putusan segera mengenai
tindakan apa pun semacam itu.
Pasal 38
(1) Negara-negara Pihak
14
berusaha
menghormati dan menjamin penghormatan terhadap peraturan-peraturan hukum humaniter internasional yang dapat berlaku bagi
mereka dalam konflik bersenjata
yang relevan bagi anak itu.
(2) Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat
untuk menjamin bahwa orangorang yang belum mencapai umur
lima belas tahun tidak mengambil
suatu bagian langsung dalam permusuhan.
(3) Negara-negara Pihak harus mengekang diri agar tidak menerima siapapun yang belum mencapai umur
lima belas tahun ke dalam angkatan
bersenjata mereka. Dalam menerima di antara orang-orang tersebut,
yang telah mencapai umur lima
belas tahun tetapi belum mencapai
umur delapan belas tahun maka
Negara-negara Pihak harus berusaha memberikan prioritas kepada
mereka yang tertua.
(4) Sesuai dengan kewajiban-kewajiban mereka menurut hukum humaniter internasional untuk melindungi penduduk sipil dalam konflik
bersenjata, maka Negara-negara
Pihak harus mengambil semua
langkah yang tepat untuk menjamin perlindungan dan pengasuhan
anak-anak yang dipengaruhi oleh
suatu konflik bersenjata.
Pasal 39
Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk
meningkatkan penyembuhan fisik dan
psikologis dan integrasi kembali sosial seorang anak yang menjadi korban
bentuk penelantaran apapun, eksploitasi atau penyalahgunaan, penganiayaan atau bentuk perlakuan kejam yang
lain apapun, tidak manusiawi atau hu-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
kuman yang menghinakan, atau konflik
bersenjata. Penyembuhan dan integrasi kembali tersebut harus berlangsung
dalam suatu lingkungan yang meningkatkan kesehatan, harga diri, dan martabat si anak.
Pasal 40
(1) Negara-negara Pihak mengakui
hak setiap anak yang dinyatakan
sebagai tertuduh, atau diakui sebagai telah melanggar hukum pidana,
untuk diperlakukan dalam suatu
cara yang sesuai dengan peningkatan rasa penghormatan dan harga
diri anak, yang memperkuat kembali penghormatan anak terhadap
hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar orang-orang
lain, dan yang memperhatikan
umur anak dan keinginan untuk
meningkatkan integrasi kembali
anak dan pengambilan anak pada
peran konstruktif dalam masyarakat.
(2) Untuk tujuan ini, dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan
dalam instrumen-instrumen internasional yang relevan, maka Negara-negara Pihak, terutama, harus
menjamin bahwa:
a. Tidak seorang anak pun dapat
dinyatakan, dituduh, atau diakui telah melanggar hukum
pidana, karena alasan berbuat
atau tidak berbuat yang tidak
dilarang oleh hukum nasional
atau internasional pada waktu
perbuatan-perbuatan itu dilakukan;
b. Setiap anak yang dinyatakan
sebagai atau dituduh telah melanggar hukum pidana, paling
sedikit memiliki jaminan-jaminan berikut:
(i) Dianggap tidak bersalah sam-
pai terbukti bersalah menurut
hukum;
(ii) Diberi informasi dengan segera dan langsung mengenai
tuduhan-tuduhan terhadapnya, dan, kalau tepat, melalui orang tuanya atau wali
hukumnya, dan mempunyai
bantuan hukum atau bantuan
lain yang tepat dalam mempersiapkan dan menyampaikan pembelaannya;
(iii)Masalah itu diputuskan tanpa penundaan, oleh suatu
penguasa yang berwe-nang,
mandiri dan adil, atau badan
pengadilan dalam suatu pemeriksaan yang adil menurut hukum, dalam kehadiran
bantuan hukum atau bantuan
lain yang tepat, dan kecuali
dipertimbangkan tidak dalam
kepentingan terbaik si anak,
terutama, dengan memperhatikan umurnya atau situasinya, orang tuanya atau wali
hukumnya;
(iv) Tidak dipaksa untuk memberikan kesaksian atau mengaku salah; untuk memeriksa
para saksi yang berlawanan,
dan untuk memperoleh keikutsertaan dan pemeriksaan
para saksi atas namanya menurut syarat-syarat keadilan;
(v) Kalau dianggap telah melanggar hukum pidana, maka
putusan ini dan setiap upaya
yang dikenakan sebagai akibatnya, ditinjau kembali oleh
penguasa lebih tinggi yang
berwenang, mandiri dan adil
atau oleh badan pengadilan
menurut hukum;
(vi) Mendapat bantuan seorang
penerjemah dengan cuma-cu15
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
ma kalau anak itu tidak dapat
mengerti atau berbicara dengan bahasa yang digunakan;
(vii)Kerahasiaannya
dihormati
dengan sepenuhnya pada semua tingkat persidangan.
(3) Negara-negara Pihak harus berusaha meningkatkan pembuatan undang-undang, prosedur-prosedur,
para penguasa dan lembaga-lembaga yang berlaku secara khusus pada
anak-anak yang dinyatakan sebagai, dituduh, atau diakui melanggar
hukum pidana, terutama:
a. Pembentukan umur minimum; di mana di bawah umur
itu anak-anak dianggap tidak
mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana;
b. Setiap waktu yang tepat dan
diinginkan, langkah-langkah
untuk menangani anak-anak
semacam itu tanpa menggunakan jalan lain pada persidangan pengadilan, dengan syarat
bahwa hak-hak asasi manusia
dan perlindungan hukum dihormati sepenuhnya;
(4) Berbagai pengaturan, seperti perawatan, bimbingan dan pengawasan,
perintah, penyuluhan, percobaan,
pengasuhan anak angkat, pendidikan dan program-program pelatihan kejuruan dan pilihan-pilihan
lain untuk perawatan kelembagaan harus tersedia untuk menjamin
bahwa anak-anak ditangani dalam
suatu cara yang sesuai dengan kesejahteraan mereka dan sepadan
dengan keadaan-keadaan mereka
maupun pelanggaran itu.
Pasal 41
Tidak satu pun ketentuan dalam Konvensi ini akan mempengaruhi setiap ketentuan yang lebih menghasilkan pada
16
realisasi hak-hak anak dan yang mungkin dimuat dalam:
a. Undang-undang suatu Negara Pihak; atau
b. Hukum internasional yang berlaku
untuk Negara yang bersangkutan.
Bagian II
Pasal 42
Negara-negara Pihak berusaha membuat prinsip-prinsip dan ketentuanketentuan dalam Konvensi diketahui
secara meluas dengan cara yang tepat
dan aktif, baik oleh remaja maupun
anak-anak.
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 43
Untuk tujuan memeriksa kemajuan yang dibuat oleh Negara-negara
Pihak dalam mencapai realisasi kewajiban-kewajiban yang dijalankan
dalam Konvensi ini, maka dibentuk
Komite tentang hak-hak anak, yang
akan melaksanakan fungsi-fungsi
yang ditentukan selanjutnya.
Komite akan terdiri dari sepuluh
orang ahli, yang berreputasi moral baik dan diakui cakap di bidang
yang dicakup oleh Konvensi ini.
Para Anggota Komite akan dipilih
oleh Negara-negara Pihak, dari di
antara warga negara mereka, dan
mengabdi dalam kecakapan pribadi mereka, pertimbangan diberikan
pada pembagian geografis yang
adil, dan juga pada sistem-sistem
hukum pokok.
Para anggota Komite akan dipilih
dengan suara rahasia dari daftar
nama orang-orang yang dicalonkan oleh Negara-negara Pihak. Setiap Negara Pihak dapat mencalonkan satu orang dari di antara warga
negaranya sendiri.
Pemilihan pertama Komite akan
dilangsungkan tidak lebih dari
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
enam bulan sesudah tanggal mulai
berlakunya Konvensi ini dan selanjutnya setiap tahun kedua. Paling sedikit empat bulan sebelum
tanggal masing-masing pemilihan,
Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa akan mengirimkan
suatu surat kepada Negara-negara
Pihak, yang meminta mereka untuk menyampaikan calon-calon
mereka dalam waktu dua bulan. Sekretaris Jenderal kemudian mempersiapkan daftar nama dalam
urutan alfabetis dari semua orang
yang jadi dicalonkan, dengan menunjukkan Negara-negara Pihak
yang telah mencalonkan mereka,
dan akan menyampaikannya kepada Negara-negara Pihak Konvensi
ini.
(5) Pemilihan akan dilangsungkan
pada pertemuan Negara-negara
Pihak, yang dipanggil untuk bersidang oleh Sekretaris Jenderal
di Markas Besar Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Pada pertemuanpertemuan tersebut, di mana dua
pertiga Negara Pihak merupakan
suatu kuorum, orang-orang yang
dipilih untuk Komite adalah mereka yang memperoleh untuk Komite
adalah mereka yang memperoleh
jumlah suara terbanyak dan suara
mayoritas absolut dari para wakil
Negara Pihak yang hadir.
(6) Para Anggota Komite akan dipilih
untuk masa jabatan empat tahun.
Mereka harus memenuhi syarat
untuk dapat dipilih kembali. Masa
jabatan lima orang anggota yang
dipilih pada pemilihan pertama
akan berakhir pada akhir masa dua
tahun, segera sesudah pemilihan
pertama, nama kelima orang anggota ini dapat dipilih dengan undian oleh Ketua Sidang.
(7) Kalau seorang anggota Komite meninggal dunia atau mengundurkan
diri atau menyatakan bahwa karena alasan lain apa pun dia tidak dapat lagi melaksanakan kewajibankewajiban Komite, maka Negara
Pihak yang mencalonkan anggota
itu harus menunjuk ahli yang lain
dari di antara warga negaranya untuk mengabdi selama masa jabatan
yang masih tersisa dengan tunduk
pada persetujuan Komite.
(8) Komite harus membuat peraturanperaturan prosedurnya sendiri.
(9) Komite harus memilih para stafnya
untuk masa jabatan dua tahun.
(10)Pertemuan-pertemuan
Komite
biasanya akan dilangsungkan di
Markas Besar Perserikatan BangsaBangsa, atau di tempat lain mana
pun sesuai dengan yang ditetapkan
oleh Komite. Komite biasanya bersidang sekali setiap tahun. Lamanya pertemuan-pertemuan Komite
ditetapkan dan ditinjau kembali,
kalau perlu, oleh suatu pertemuan
Negara-negara Pihak pada Konvensi ini, dengan tunduk pada persetujuan Majelis Umum.
(11)Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa harus menyediakan
staf dan berbagai fasilitas yang diperlukan untuk pelaksanaan fungsi-fungsi Komite yang efektif menurut Konvensi ini.
(12)Dengan
persetujuan
Majelis
Umum, maka para Anggota Komite,
yang ditetapkan menurut Konvensi ini akan menerima honorarium
dari sumber-sumber Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada jangka waktu
dan persyaratan seperti yang Majelis boleh memutuskan.
Pasal 44
(1) Negara-negara Pihak berusaha me17
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
nyampaikan kepada Komite melalui Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa, laporan mengenai
langkah-langkah yang telah mereka ambil yang memberlakukan
hak-hak yang diakui di dalamnya
dan mengenai kemajuan yang dibuat mengenai perolehan hak-hak
tersebut:
a. Dalam dua tahun mulai berlakunya Konvensi bagi Negara
Pihak yang bersangkutan;
b. Selanjutnya setiap lima tahun.
Laporan-laporan yang dibuat menurut ketentuan pasal ini harus
menunjukkan faktor-faktor dan
kesulitan-kesulitan, kalaupun ada,
yang mempengaruhi tingkat pemenuhan
kewajiban-kewajiban
menurut Konvensi ini. Laporanlaporan ini harus juga memuat
informasi yang cukup untuk
memberikan kepada Komite suatu pengertian yang komprehensif
mengenai pelaksanaan Konvensi di
Negara yang bersangkutan.
Suatu Negara Pihak yang telah menyampaikan laporan pertama yang
komprehensif kepada Komite, dalam laporannya yang berikutnya
yang disampaikan sesuai dengan
ketentuan ayat 1(b) pasal ini, tidak
perlu mengulangi informasi dasar
yang diberikan sebelumnya.
Komite dapat meminta dari Negara-negara Pihak, informasi lebih
lanjut yang relevan dengan pelaksanaan Konvensi.
Komite harus menyampaikan kepada Majelis Umum, melalui Dewan Ekonomi dan sosial setiap dua
tahun, laporan mengenai aktivitasaktivitasnya.
Negara-negara Pihak harus membuat laporan secara meluas tersedia untuk umum di Negara-negara
18
mereka sendiri.
Pasal 45
Agar dapat memajukan pelaksanaan
Konvensi yang efektif dan mendorong
kerja sama internasional di bidang yang
dicakup oleh Konvensi:
a. badan-badan khusus, Dana Anakanak Perserikatan Bangsa-Bangsa
dan Organ-organ Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang lain, harus
berhak diwakili pada waktu mempertimbangkan pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini, seperti yang berada di dalam
cakupan mandat mereka. Komite
dapat meminta badan-badan khusus, Dana Anak-anak Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan badan-badan
berwenang yang lain, seperti yang
mungkin dianggap tepat, untuk
memberikan nasehat ahli mengenai pelaksanaan Konvensi di
bidang-bidang yang ada dalam cakupan mandat mereka masing-masing. Komite dapat meminta badanbadan khusus, Dana Anak-anak
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan
Organ-organ Perserikatan BangsaBangsa yang lain, untuk menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan Konvensi di bidang-bidang
yang ada dalam cakupan aktivitasaktivitas mereka;
b. Komite akan menyampaikan, seperti yang mungkin dianggap tepat,
kepada badan-badan khusus, Dana
anak-anak Perserikatan BangsaBangsa, dan badan-badan berwenang yang lain, setiap laporan dari
Negara-negara Pihak yang memuat
permintaan atau yang menunjukkan kebutuhan untuk nasehat teknik atau bantuan, bersama-sama
dengan berbagai pengamatan dan
saran Komite, kalau pun ada, mengenai
permintaan-permintaan
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dan penunjukan-penunjukan ini;
c. Komite dapat merekomendasikan
pada Majelis Umum untuk meminta Sekretaris Jenderal melakukan
atas namanya studi-studi mengenai
pokok masalah khusus mengenai
hak-hak anak;
d. Komite dapat membuat saran-saran dan rekomendasi-rekomendasi
umum berdasarkan informasi yang
diterima sesuai dengan ketentuanketentuan pasal 44 dan pasal 45
Konvensi ini.
Saran-saran dan rekomendasi-rekomendasi umum tersebut akan disampaikan kepada Negara-negara Pihak
mana pun yang bersangkutan, dan dilaporkan kepada Majelis Umum, bersama-sama dengan berbagai tanggapan, kalau pun ada, dari Negara-negara
Pihak.
19
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2002
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak
anak yang merupakan hak asasi
manusia;
b. bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
dalam dirinya melekat harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya;
c. bahwa anak adalah tunas, potensi,
dan generasi muda penerus citacita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai
ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan;
d. bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia,
perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan
hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi;
e. bahwa untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak
20
diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundangundangan yang dapat menjamin
pelaksanaannya;
f. bahwa berbagai undang-undang
hanya mengatur hal-hal tertentu
mengenai anak dan secara khusus
belum mengatur keseluruhan aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan
tersebut pada huruf a, b, c, d, e, dan
f perlu ditetapkan Undang-undang
tentang Perlindungan Anak;
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Mengingat :
Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal
21, Pasal 28B ayat (2), dan Pasal 34
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-undang Nomor 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak
(Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143);
Undang-undang Nomor 7 Tahun
1984 tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination
Against Women) (Lembaran Negara
Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3277);
Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3668);
Undang-undang Nomor 4 Tahun
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
1997 tentang Penyandang Cacat
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3670);
(6) Undang-undang Nomor 20 Tahun
1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum
Age for Admission to Employment
(Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja) (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 56, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3835);
(7) Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
(8) Undang-undang Nomor 1 Tahun
2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for
The Elimination of The Worst Forms of
Child Labour (Konvensi ILO No. 182
mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk untuk
Anak) (Lembaran Negara Tahun
2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3941);
Dengan persetujuan :
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan
1. Anak adalah seseorang yang belum
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
Perlindungan anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi, secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari suami
istri, atau suami istri dan anaknya,
atau ayah dan anaknya, atau ibu
dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau
ke bawah sampai dengan derajat
ketiga.
Orang tua adalah ayah dan/atau
ibu kandung, atau ayah dan/atau
ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu
angkat.
Wali adalah orang atau badan yang
dalam kenyataannya menjalankan
kekuasaan asuh sebagai orang tua
terhadap anak.
Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan
perkembangannya secara wajar.
Anak yang memiliki keunggulan
adalah anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa, atau memiliki
potensi dan/atau bakat istimewa.
Anak angkat adalah anak yang
haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan keluarga orangtua,
wali yang sah, atau orang lain
yang bertanggung jawab atas
21
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam
lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan putusan
atau penetapan pengadilan.
10.�������������������������������
Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga,
untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan,
dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya
tidak mampu menjamin tumbuh
kembang anak secara wajar.
11. Kuasa asuh adalah kekuasaan orang
tua untuk mengasuh, mendidik,
memelihara, membina, melindungi, dan menumbuh-kembangkan
anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat,
serta minatnya.
12. Hak anak adalah bagian dari hak
asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh
orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, dan negara.
13. Masyarakat adalah perseorangan,
keluarga, kelompok, dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan.
14. Pendamping adalah pekerja sosial
yang mempunyai kompetensi profesional dalam bidangnya.
15. Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada
anak dalam situasi darurat, anak
yang berhadapan dengan hukum,
anak dari kelompok minoritas dan
terisolasi, anak yang dieksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual,
anak yang diperdagangkan, anak
yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban
kekerasan baik fisik dan/atau men22
tal, anak yang menyandang cacat,
dan anak korban perlakuan salah
dan penelantaran.
16. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
17. Pemerintah adalah Pemerintah
yang meliputi Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Penyelenggaraan perlindungan anak
berasaskan Pancasila dan berlandaskan
Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 serta prinsipprinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak
meliputi :
a. non diskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi
anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat
anak.
Pasal 3
Perlindungan anak bertujuan untuk
menjamin terpenuhinya hak-hak anak
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia
yang berkualitas, berakhlak mulia, dan
sejahtera.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN ANAK
Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Pasal 6
Setiap anak berhak untuk beribadah
menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan
orang tua.
Pasal 7
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan,
dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab
orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau
anak dalam keadaan terlantar
maka anak tersebut berhak diasuh
atau diangkat sebagai anak asuh
atau anak angkat oleh orang lain
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental,
spiritual, dan sosial.
Pasal 9
(1) Setiap anak berhak memperoleh
pendidikan dan pengajaran dalam
rangka pengembangan pribadinya
dan tingkat kecerdasannya sesuai
dengan minat dan bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi
anak yang menyandang cacat juga
berhak memperoleh pendidikan
luar biasa, sedangkan bagi anak
yang memiliki keunggulan juga
berhak mendapatkan pendidikan
khusus.
Pasal 10
Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya
demi pengembangan dirinya sesuai
dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Pasal 11
Setiap anak berhak untuk beristirahat
dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain,
berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan
minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat
berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
mana pun yang bertanggung jawab
atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan
penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau
pengasuh anak melakukan segala
23
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
bentuk perlakuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), maka
pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh
orang tuanya sendiri, kecuali jika ada
alasan dan/atau aturan hukum yang
sah menunjukkan bahwa pemisahan itu
adalah demi kepentingan terbaik bagi
anak dan merupakan pertimbangan
terakhir.
Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh
perlindungan dari :
a. penyalahgunaan dalam kegiatan
politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang
mengandung unsur kekerasan; dan
e. pelibatan dalam peperangan.
Pasal 16
(1) Setiap anak berhak memperoleh
perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 17
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempa24
tannya dipisahkan dari orang
dewasa;
b. memperoleh bantuan hukum
atau bantuan lainnya secara
efektif dalam setiap tahapan
upaya hukum yang berlaku;
dan
c. membela diri dan memperoleh
keadilan di depan pengadilan
anak yang objektif dan tidak
memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban
atau pelaku kekerasan seksual atau
yang berhadapan dengan hukum
berhak dirahasiakan.
Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau
pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Pasal 19
Setiap anak berkewajiban untuk :
a. menghormati orang tua, wali, dan
guru;
b. mencintai keluarga, masyarakat,
dan menyayangi teman;
c. mencintai tanah air, bangsa, dan
negara;
d. menunaikan ibadah sesuai dengan
ajaran agamanya; dan
e. melaksanakan etika dan akhlak
yang mulia.
BAB IV
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 20
Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan
bertanggung jawab terhadap penye-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
lenggaraan perlindungan anak.
Bagian Kedua
Kewajiban dan Tanggung Jawab
Negara dan Pemerintah
Pasal 21
Negara dan pemerintah berkewajiban
dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak
tanpa membedakan suku, agama, ras,
golongan, jenis kelamin, etnik, budaya
dan bahasa, status hukum anak, urutan
kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/
atau mental.
Pasal 22
Negara dan pemerintah berkewajiban
dan bertanggung jawab memberikan
dukungan sarana dan prasarana dalam
penyelenggaraan perlindungan anak.
Pasal 23
(1) Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan,
dan kesejahteraan anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain
yang secara hukum bertanggung
jawab terhadap anak.
(2) Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.
Pasal 24
Negara dan pemerintah menjamin anak
untuk mempergunakan haknya dalam
menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.
Bagian Ketiga
Kewajiban dan Tanggung Jawab
Masyarakat
Pasal 25
Kewajiban dan tanggung jawab ma-
syarakat terhadap perlindungan anak
dilaksanakan melalui kegiatan peran
masyarakat dalam penyelenggaraan
perlindungan anak.
Bagian Keempat
Kewajiban dan Tanggung Jawab
Keluarga dan Orang Tua
Pasal 26
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuhkembangkan anak
sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau
tidak diketahui keberadaannya,
atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan
tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
BAB V
KEDUDUKAN ANAK
Bagian Kesatu
Identitas Anak
Pasal 27
(1) Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya.
(2) Identitas sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dituangkan dalam
akta kelahiran.
(3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari
orang yang menyaksikan dan/atau
25
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
membantu proses kelahiran.
(4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang
tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran
untuk anak tersebut didasarkan
pada keterangan orang yang menemukannya.
Pasal 28
(1) Pembuatan akta kelahiran menjadi
tanggung jawab pemerintah yang
dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada
tingkat kelurahan/desa.
(2) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal
diajukannya permohonan.
(3) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dikenai biaya.
(4) Ketentuan mengenai tata cara dan
syarat-syarat pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Anak yang Dilahirkan dari
Perkawinan Campuran
Pasal 29
(1) Jika terjadi perkawinan campuran
antara warga negara Republik Indonesia dan warga negara asing,
anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan dari ayah
atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Dalam hal terjadi perceraian dari
perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), anak berhak un26
tuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam
pengasuhan salah satu dari kedua
orang tuanya.
(3)����������������������������������
Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
sedangkan anak belum mampu
menentukan pilihan dan ibunya
berkewarganegaraan Republik Indonesia, demi kepentingan terbaik
anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban mengurus status kewarganegaraan
Republik Indonesia bagi anak tersebut.
BAB VI
KUASA ASUH
Pasal 30
(1) Dalam hal orang tua sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya
dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua
dapat dicabut.
(2) Tindakan pengawasan terhadap
orang tua atau pencabutan kuasa
asuh sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.
Pasal 31
(1) Salah satu orang tua, saudara
kandung, atau keluarga sampai
derajat ketiga, dapat mengajukan
permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa
asuh orang tua atau melakukan
tindakan pengawasan apabila
terdapat alasan yang kuat untuk
itu.
(2) Apabila salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai dengan derajat ketiga, tidak da-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
pat melaksanakan fungsinya, maka
pencabutan kuasa asuh orang tua
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat juga diajukan oleh pejabat
yang berwenang atau lembaga lain
yang mempunyai kewenangan untuk itu.
(3) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menunjuk orang perseorangan
atau lembaga pemerintah/masyarakat untuk menjadi wali bagi yang
bersangkutan.
(4) Perseorangan yang melaksanakan
pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus seagama dengan agama yang dianut
anak yang akan diasuhnya.
Pasal 32
Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3)
sekurang-kurangnya memuat ketentuan:
a. tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya;
b. tidak menghilangkan kewajiban
orang tuanya untuk membiayai hidup anaknya; dan
c. batas waktu pencabutan.
BAB VII
PERWALIAN
Pasal 33
(1) Dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum,
atau tidak diketahui tempat tinggal
atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan.
(2) Untuk menjadi wali anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di-
lakukan melalui penetapan pengadilan.
(3) Wali yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) agamanya
harus sama dengan agama yang dianut anak.
(4) Untuk kepentingan anak, wali sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) wajib mengelola harta milik
anak yang bersangkutan.
(5) Ketentuan mengenai syarat dan
tata cara penunjukan wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 34
Wali yang ditunjuk berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dapat mewakili
anak untuk melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak.
Pasal 35
(1) Dalam hal anak belum mendapat
penetapan pengadilan mengenai
wali, maka harta kekayaan anak
tersebut dapat diurus oleh Balai
Harta Peninggalan atau lembaga
lain yang mempunyai kewenangan
untuk itu.
(2) Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) bertindak sebagai
wali pengawas untuk mewakili kepentingan anak.
(3) Pengurusan harta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
harus mendapat penetapan
Pasal 36
(1) Dalam hal wali yang ditunjuk ternyata di kemudian hari tidak cakap
melakukan perbuatan hukum atau
27
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
menyalahgunakan kekuasaannya
sebagai wali, maka status perwaliannya dicabut dan ditunjuk orang
lain sebagai wali melalui penetapan
pengadilan.
(2) Dalam hal wali meninggal dunia,
ditunjuk orang lain sebagai wali
melalui penetapan pengadilan.
BAB VIII
PENGASUHAN & PENGANGKATAN
ANAK
Bagian Kesatu
Pengasuhan Anak
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Pasal 37
Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak
dapat menjamin tumbuh kembang
anaknya secara wajar, baik fisik,
mental, spiritual, maupun sosial.
Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
oleh lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu.
Dalam hal lembaga sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) berlandaskan agama, anak yang diasuh harus
yang seagama dengan agama yang
menjadi landasan lembaga yang
bersangkutan.
Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan agama, maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang dianut
anak yang bersangkutan.
Pengasuhan anak oleh lembaga dapat dilakukan di dalam atau di luar
Panti Sosial.
Perseorangan yang ingin berpartisipasi dapat melalui lembagalembaga sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5).
28
Pasal 38
(1) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, dilaksanakan tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak,
dan kondisi fisik dan/atau mental.
(2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui kegiatan bimbingan,
pemeliharaan, perawatan, dan pendidikan secara berkesinambungan,
serta dengan memberikan bantuan
biaya dan/atau fasilitas lain, untuk
menjamin tumbuh kembang anak
secara optimal, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial, tanpa
mempengaruhi agama yang dianut
anak.
Bagian Kedua
Pengangkatan Anak
Pasal 39
(1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan
yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pengangkatan anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara
anak yang diangkat dan orang tua
kandungnya.
(3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut
oleh calon anak angkat.
(4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir.
(5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuai-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
kan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Pasal 40
(1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya
mengenai asal usulnya dan orang
tua kandungnya.
(2) Pemberitahuan asal usul dan orang
tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan kesiapan
anak yang bersangkutan.
Pasal 41
(1) Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.
(2) Ketentuan mengenai bimbingan
dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PENYELENGGARAAN
PERLINDUNGAN
Bagian Kesatu
Agama
Pasal 42
(1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.
(2) Sebelum anak dapat menentukan
pilihannya, agama yang dipeluk
anak mengikuti agama orang tuanya.
Pasal 43
(1) Negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya.
(2) Perlindungan anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.
Bagian Kedua
Kesehatan
Pasal 44
(1) Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyeleng-garakan upaya kesehatan yang komprehensif
bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan.
(2) Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan secara
komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didukung oleh
peran serta masyarakat.
(3) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan.
(4) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan secara cuma-cuma bagi keluarga yang
tidak mampu.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) disesuaikan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 45
(1) Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan
anak dan merawat anak sejak dalam kandungan.
(2) Dalam hal orang tua dan keluarga yang tidak mampu melaksana29
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
kan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), maka pemerintah wajib memenuhinya.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 46
Negara, pemerintah, keluarga, dan
orang tua wajib mengusahakan agar
anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan.
Pasal 47
(1) Negara, pemerintah, keluarga, dan
orang tua wajib melindungi anak
dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain.
(2) Negara, pemerintah, keluarga, dan
orang tua wajib melindungi anak
dari perbuatan :
a. pengambilan organ tubuh anak
dan/atau jaringan tubuh anak
tanpa memperhatikan kesehatan anak;
b. jual beli organ dan/atau jaringan tubuh anak; dan
c. penelitian kesehatan yang
menggunakan anak sebagai
objek penelitian tanpa seizin
orang tua dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak.
Bagian Ketiga
Pendidikan
Pasal 48
Pemerintah wajib menyelenggarakan
pendidikan dasar minimal 9 (sembilan)
tahun untuk semua anak.
30
Pasal 49
Negara, pemerintah, keluarga, dan
orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak
untuk memperoleh pendidikan.
Pasal 50
Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diarahkan pada :
1. pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai
mencapai potensi mereka yang optimal;
2. pengembangan penghormatan atas
hak asasi manusia dan kebebasan
asasi;
3. pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional di mana anak
bertempat tinggal, dari mana anak
berasal, dan peradaban-peradaban
yang berbeda-beda dari peradaban
sendiri;
4. persiapan anak untuk kehidupan
yang bertanggung jawab; dan
5. pengembangan rasa hormat dan
cinta terhadap lingkungan hidup.
Pasal 51
Anak yang menyandang cacat fisik
dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk
memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
Pasal 52
Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk
memperoleh pendidikan khusus.
Pasal 53
(1) Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dan/atau bantuan cuma-cuma atau
pelayanan khusus bagi anak dari
keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat
tinggal di daerah terpencil.
(2) Pertanggungjawaban pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) termasuk pula mendorong masyarakat untuk berperan aktif.
Pasal 54
Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya
di dalam sekolah yang bersangkutan,
atau lembaga pendidikan lainnya.
Bagian Keempat
Sosial
Pasal 55
(1) Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan
anak terlantar, baik dalam lembaga
maupun di luar lembaga.
(2) Penyelenggaraan pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat dilakukan oleh lembaga
masyarakat.
(3)����������������������������
Untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, lembaga pemerintah dan
lembaga masyarakat, sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), dapat
mengadakan kerja sama dengan
berbagai pihak yang terkait.
(4) Dalam hal penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3),
pengawasannya dilakukan oleh
Menteri Sosial.
Pasal 56
(1) Pemerintah dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan
wajib mengupayakan dan membantu anak, agar anak dapat :
a. berpartisipasi;
b. bebas menyatakan pendapat
dan berpikir sesuai dengan hati
nurani dan agamanya;
c. bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan
tahapan usia dan perkembangan anak;
d. bebas berserikat dan berkumpul;
e. bebas beristirahat, bermain,
berekreasi, berkreasi, dan berkarya seni budaya; dan
f. memperoleh sarana bermain
yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.
(2) Upaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikembangkan dan
disesuaikan dengan usia, tingkat
kemampuan anak, dan lingkungannya agar tidak menghambat dan
mengganggu perkembangan anak.
Pasal 57
Dalam hal anak terlantar karena suatu
sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya, maka lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, keluarga, atau
pejabat yang berwenang dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menetapkan anak sebagai anak terlantar.
Pasal 58
(1) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sekaligus menetapkan tempat penampungan, pemeliharaan, dan perawatan anak terlantar yang bersangkutan.
(2) Pemerintah atau lembaga yang diberi wewenang wajib menyediakan
tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
31
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Bagian Kelima
Perlindungan Khusus
Pasal 59
Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan
khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan
hukum, anak dari kelompok minoritas
dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak
yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,
penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan
anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Pasal 60
Anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 terdiri atas:
a. anak yang menjadi pengungsi;
b. anak korban kerusuhan;
c. anak korban bencana alam; dan
d. anak dalam situasi konflik bersenjata.
Pasal 61
Perlindungan khusus bagi anak yang
menjadi pengungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum
humaniter.
Pasal 62
Perlindungan khusus bagi anak korban
kerusuhan, korban bencana, dan anak
dalam situasi konflik bersenjata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b, huruf c, dan huruf d, dilaksanakan melalui:
a. pemenuhan kebutuhan dasar yang
32
terdiri atas pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan,
belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan; dan
b. pemenuhan kebutuhan khusus
bagi anak yang menyandang cacat
dan anak yang mengalami gangguan psikososial.
Pasal 63
Setiap orang dilarang merekrut atau
memperalat anak untuk kepentingan
militer dan/atau lainnya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa.
Pasal 64
(1) Perlindungan khusus bagi anak
yang berhadapan dengan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi anak
yang berhadapan dengan hukum
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilaksanakan melalui :
a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c. penyediaan sarana dan prasarana khusus;
d. penjatuhan sanksi yang tepat
untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
e. pemantauan dan pencatatan
terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
f. pemberian jaminan untuk
mempertahankan hubungan
dengan orang tua atau keluar-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
ga; dan
g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media
massa dan untuk menghindari
labelisasi.
(3) Perlindungan khusus bagi anak
yang menjadi korban tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilaksanakan melalui :
a. upaya rehabilitasi, baik dalam
lembaga maupun di luar lembaga;
b. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;
c. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan
d. pemberian aksesibilitas untuk
mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Pasal 65
(1) Perlindungan khusus bagi anak
dari kelompok minoritas dan terisolasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui
penyediaan prasarana dan sarana
untuk dapat menikmati budayanya
sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri, dan
menggunakan bahasanya sendiri.
(2) Setiap orang dilarang menghalanghalangi anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk menikmati budayanya sendiri, mengakui
dan melaksanakan ajaran agamanya, dan menggunakan bahasanya
sendiri tanpa mengabaikan akses
pembangunan masyarakat dan budaya.
Pasal 66
(1) Perlindungan khusus bagi anak
yang dieksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan
kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi anak
yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
melalui :
a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan
perundang-undangan
yang
berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
b. pemantauan, pelaporan, dan
pemberian sanksi; dan
c. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya
masyarakat, dan masyarakat
dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.
(3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,
menyuruh melakukan, atau turut
serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
Pasal 67
Perlindungan khusus bagi anak yang
menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi
oleh pemerintah dan masyarakat. Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan,
33
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi napza sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
Pasal 68
Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh
pemerintah dan masyarakat. Setiap
orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 69
Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya: penyebarluasan
dan sosialisasi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan
pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,
menyuruh melakukan, atau turut serta
melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 70
Perlindungan khusus bagi anak yang
menyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya: perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan
hak anak; pemenuhan kebutuhankebutuhan khusus; dan memperoleh
perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan
34
individu. Setiap orang dilarang memperlakukan anak dengan mengabaikan
pandangan mereka secara diskriminatif, termasuk labelisasi dan penyetaraan dalam pendidikan bagi anak-anak
yang menyandang cacat.
Pasal 71
Perlindungan khusus bagi anak korban
perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh
pemerintah dan masyarakat. Setiap
orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah,
dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
BAB X
PERAN MASYARAKAT
Pasal 72
(1) Masyarakat berhak memperoleh
kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan
anak.
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
oleh orang perseorangan, lembaga
perlindungan anak, lembaga sosial
kemasyarakatan, lembaga swadaya
masyarakat, lembaga pendidikan,
lembaga keagamaan, badan usaha,
dan media massa.
Pasal 73
Peran masyarakat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
BAB XI
KOMISI PERLINDUNGAN ANAK
INDONESIA
Pasal 74
Dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan
anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen.
Pasal 75
(1) Keanggotaan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia terdiri dari 1 (satu)
orang ketua, 2 (dua) orang wakil
ketua, 1 (satu) orang sekretaris,
dan 5 (lima) orang anggota.
(2) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri
dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi
sosial, organisasi kemasyarakatan,
organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan
kelompok masyarakat yang peduli
terhadap perlindungan anak.
(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun,
dan dapat diangkat kembali untuk
1 (satu) kali masa jabatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
kelengkapan organisasi, mekanisme kerja, dan pembiayaan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 76
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
bertugas: melakukan sosialisasi seluruh
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data
dan informasi, menerima pengaduan
masyarakat, melakukan penelaahan,
pemantauan, evaluasi, dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan perlindungan anak; memberikan laporan, saran,
masukan, dan pertimbangan kepada
Presiden dalam rangka perlindungan
anak.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :
a. diskriminasi terhadap anak yang
mengakibatkan anak mengalami
kerugian, baik materiil maupun
moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau
b. penelantaran terhadap anak yang
mengakibatkan anak mengalami
sakit atau penderitaan, baik fisik,
mental, maupun sosial,
c. dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 78
Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi
darurat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60, anak yang berhadapan dengan
hukum, anak dari kelompok minoritas
dan terisolasi, anak yang tereksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual, anak
yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,
anak korban perdagangan, atau anak
korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus
35
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Pasal 79
Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 80
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman
kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000,00
(tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat,
maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka
pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Pasal 81
(1) Setiap orang yang dengan sengaja
36
melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang
lain.
Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan
paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 83
Setiap orang yang memperdagangkan,
menjual, atau menculik anak untuk
diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun dan paling singkat
3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 84
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh anak untuk
pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).
Pasal 85
(1) Setiap orang yang melakukan jual
beli organ tubuh dan/atau jaringan
tubuh anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan pengambilan
organ tubuh dan/atau jaringan
tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan
anak sebagai objek penelitian tanpa
seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik
bagi anak, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).
Pasal 86
Setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan tipu muslihat, rangkaian
kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa anak tersebut
belum berakal dan belum bertanggung
jawab sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Pasal 87
Setiap orang yang secara melawan hukum merekrut atau memperalat anak
untuk kepentingan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 atau
penyalahgunaan dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata atau pelibatan dalam kerusuhan sosial atau pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan atau pelibatan dalam peperangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
Pasal 88
Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 89
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan,
melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan,
produksi atau distribusi narkotika dan/atau psikotropika dipidana dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja
menempatkan, membiarkan, me37
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
libatkan, menyuruh melibatkan
anak dalam penyalahgunaan, produksi, atau distribusi alkohol dan
zat adiktif lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan paling singkat
2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan denda paling sedikit Rp. 20.000.000,00 (dua puluh
juta rupiah).
Pasal 90
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81,
Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal
85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan
Pasal 89 dilakukan oleh korporasi,
maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus dan/atau korporasinya.
(2) Pidana yang dijatuhkan kepada
korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang
dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 91
Pada saat berlakunya undang-undang
ini, semua peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang sudah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang
ini.
38
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 92
Pada saat berlakunya undang-undang
ini, paling lama 1 (satu) tahun, Komisi Perlindungan Anak Indonesia sudah
terbentuk.
Pasal 93
Undang-undang ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 22 Oktober 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 22 Oktober 2002
SEKRETARIS NEGARA RI,
Ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2002 NOMOR 109
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro
Peraturan Perundang-undangan II
Ttd.
EDY SUDIBYO
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2000
TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO.182
CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR THE
ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD LABOUR
(KONVENSI ILO NO.182 MENGENAI PELARANGAN DAN TINDAKAN
SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK
UNTUK ANAK)
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa negara Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945 adalah negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia, sehingga sudah seharusnya setiap manusia baik dewasa
maupun anak-anak dilindungi dari
upaya-upaya mempekerjakannya
pada pekerjaan-pekerjaan yang
merendahkan harkat dan martabat
manusia atau pekerjaan yang tidak
manusiawi;
b. bahwa bangsa Indonesia sebagai
bagian masyarakat internasional
menghormati, menghargai, dan
menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan BangsaBangsa, Deklarasi Universal HakHak Asasi Manusia Tahun 1948,
Deklarasi Philadelphia Tahun 1944,
Konstitusi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO), dan Konvensi Hak-Hak Anak Tahun 1989;
c. bahwa Konferensi Ketenagakerjaan
Internasional yang ke delapanpuluh tujuh tanggal 17 Juni 1999,
telah menyetujui Pengesahan ILO
Convention No. 182 Concerning The
Prohibition and Immediate Action for
the Elimination of the Worst Forms of
Child Labour (Konvensi ILO No.182
mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk untuk
Anak);
d. bahwa konvensi tersebut selaras
dengan keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus-menerus
menegakkan dan meningkatkan
pelaksanaan hak-hak asasi manusia
dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan benegara;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan
tersebut dalam huruf a, b, c, dan d
dipandang perlu mengesahkan ILO
Convention No. 182 Concerning The
Prohibition and Immediate Action for
the Elimination of the Worst Forms of
Child Labour (Konvensi ILO No.182
mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk untuk
Anak) Undang-undang;
Mengingat :
(1) Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20,
Pasal 27, Pasal 31 ayat (1), dan Pasal
34 Undang-undang Dasar 1945;
(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
No.XVII/MPR/l998 tentang Hak
39
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Asasi Manusia;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG PENGESAHAN
ILO CONVENTION NO. 182 CONCERNING
THE PROHIBITION AND IMMEDIATE
ACTION FOR THE ELIMINATION OF THE
WORST FORMS OF CHILD LABOUR
(KONVENSI ILO NO.182 MENGENAI
PELARANGAN DAN TINDAKAN
SEGERA PENGHAPUSAN BENTUKBENTUK PEKERJAAN TERBURUK
UNTUK ANAK).
Pasal 1
Mengesahkan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms
of Child Labour (Konvensi ILO No.182
mengenai Pelarangan dan Tindakan
Segera Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Anak) yang
naskah aslinya dalam bahasa Inggris
dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Undang-undang ini.
Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku Pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
40
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Maret 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Maret 2000
Pj. SEKRETARIS NEGARA RI
Ttd.
BONDAN GUNAWAN
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2000 NOMOR 3
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
PENJELASAN
I. UMUM
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1
TAHUN 2000 TENTANG PENGESAHAN
ILO CONVENTION NO.182 CONCERNING
THE PROHIBITION AND IMMEDIATE
ACTION FOR THE ELIMINATION OF THE
WORST FORMS OF CHILD LABOUR
(KONVENSI ILO NO. 182 MENGENAI
PELARANGAN DAN TINDAKAN
SEGERA PENGHAPUSAN BENTUKBENTUK PEKERJAAN TERBURUK
UNTUK ANAK)
Anak sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa memiliki hak asasi sejak dilahirkan, sehingga tidak ada manusia
atau pihak lain yang boleh merampas
hak tersebut. Hak asasi anak diakui secara universal sebagaimana tercantum
dalam Piagam Perserikatan BangsaBangsa (PBB), Deklarasi PBB Tahun
1948 tentang Hak-Hak Asasi Manusia,
Deklarasi ILO di Philadelphia tahun
1944, Konstitusi ILO, Deklarasi PBB tahun 1959 tentang Hak-Hak Anak, Konvensi PBB Tahun 1966 tentang Hak-Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Konvensi PBB Tahun 1989 tentang Hak-Hak
Anak. Dengan demikian semua negara
di dunia secara moral dituntut untuk
meng-hormati, menegakkan, dan melindungi hak tersebut.
Salah satu bentuk hak asasi anak adalah
jaminan untuk mendapat perlindungan
yang sesuai dengan nilai-nilai agama
dan kemanusian. Jaminan perlindungan hak asasi tersebut sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila dan tujuan negara
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Sebagai anggota PBB dan Organisasi Ketenagakerjaan Internasional atau International Labour Organization (ILO), Indonesia menghargai, menjunjung tinggi,
dan berupaya menerapkan Keputusankeputusan lembaga internasional dimaksud.
Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999
mengenai Pelarangan dan Tindakan
Segera Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Anak yang
disetujui pada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional ke delapan puluh
tujuh tanggal 17 Juni 1999 di Jenewa
merupakan salah satu Konvensi yang
melindungi hak asasi anak. Konvensi ini
mewajibkan setiap negara anggota ILO
yang telah meratifikasinya harus segera melakukan tindakan-tindakan untuk
menghapus bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Konvensi, maka “anak”
berarti semua orang yang berusia di bawah 18 (delapanbelas) tahun.
II. POKOK-POKOK PIKIRAN YANG
MENDORONG LAHIRNYA KONVENSI
1. Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973
mengenai Usia Minimum untuk
Diperbolehkan Bekerja merupakan instrumen dasar tentang kerja
anak.
2. Di samping konvensi ILO No. 138 tahun 1973 tersebut, dipandang perlu
untuk menyetujui instrumen ketenagakerjaan yang baru untuk melarang dan menghapuskan bentukbentuk terburuk dari kerja anak
yang akan melengkapi Konvensi
ILO No. 138 Tahun 1973.
3. Konvensi mengenai Hak Anak telah
diterima oleh Sidang Umum PBB
pada tanggal 20 Nopember 1989.
4. Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
41
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
untuk anak telah diatur oleh instrumen internasional lainnya khususnya Konvensi ILO No.29 Tahun 1930
tentang Kerja Paksa, dan Konvensi
Tambahan PBB mengenai Penghapusan Perbudakan, Perdagangan
Budak, dan Lembaga-lembaga serta
Praktek-praktek Perbudakan atau
Sejenis Perbudakan Tahun 1956.
III. ALASAN INDONESIA
MENGESAHKAN KONVENSI
1. Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia
dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan hukum
nasional, menjunjung tinggi harkat
dan martabat manusia seperti tercermin dalam sila-sila Pancasila
khususnya Sila Kemanusian yang
Adil dan Beradab. Untuk itu bangsa
Indonesia bertekad melindungi hak
asasi anak sesuai dengan ketentuan
Konvensi ini.
2. Dalam rangka Pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945, Indonesia telah
menetapkan berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur perlindungan anak.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia melalui Ketetapan No. XVII/MPR/ 1998 tentang
Hak Asasi Manusia menugasi Presiden dan DPR untuk meratifikasi
berbagai instrumen PBB yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tanggal 30 September
1990, mengenai Hak-hak Anak. Di
samping itu Indonesia telah meratifikasi 7 (tujuh) Konvensi ILO yang
memuat hak-hak dasar pekerja,
termasuk Konvensi No. 138 Tahun
1973 mengenai Usia Minimum un42
tuk Diperbolehkan Bekerja dengan
Undang-undang No. 20 Tahun 1999.
4. Dalam pengamalan Pancasila dan
penerapan peraturan perundangundangan masih dirasakan adanya
penyimpangan perlindungan hak.
anak. Oleh karena itu, Pengesahan
Konvensi ini dimaksudkan untuk
menghapuskan segala bentuk terburuk dalam praktek memperkerjakan anak serta meningkatkan
perlindungan dan penegakan hukum secara efektif sehingga akan
lebih menjamin Perlindungan anak
dari segala bentuk tindakan perbudakan dan tindakan atau Pekerjaan
yang berkaitan dengan praktek pelacuran, pornografi, narkotika, dan
psikotropika. Perlindungan ini juga
mencakup Perlindungan dari pekerjaan yang sifatnya dapat membahayakan kesehatan, keselamatan
atau moral anak-anak.
5. Pengesahan Konvensi ini menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam memajukan dan melindungi
hak asasi anak sebagaimana diuraikan pada butir 4. Hal ini akan lebih
meningkatkan citra positif Indonesia dan memantapkan kepercayaan
masyarakat internasional.
IV. POKOK-POKOK KONVENSI
1. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib mengambil tindakan segera dan efektif
untuk menjamin pelarangan dan
penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
2. “Anak” berarti semua orang yang
berusia di bawah 18 (delapan belas)
tahun.
3. Pengertian “bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.” adalah :
(a) segala bentuk perbudakan atau
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
praktek sejenis perbudakan,
seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt
bondage), dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja,
termasuk pengerahan anak
secara paksa atau wajib untuk
dimanfaatkan dalam konflik
bersenjata;
(b) pemanfaatan, penyediaan atau
penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukanpertunjukan porno;
(c) pemanfaatan, penyediaan atau
penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi perdagangan
obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan;
(d) pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan
kesehatan, keselamatan, atau
moral anak-anak.
2. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib menyusun program aksi untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak.
3.�������������������������������
������������������������������
Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib mengambil langkah-langkah agar ketentuan Konvensi ini dapat diterapkan
secara efektif, termasuk pemberian
sanksi pidana.
4.������������������������������
Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib melaporkan pelaksanaannya.
Indonesia, maka yang berlaku adalah
naskah asli Konvensi dalam bahasa Inggris.
Pasal 2
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI,
NOMOR 3941
V. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Apabila terjadi perbedaan penafsiran
terhadap terjemahannya dalam bahasa
43
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
KONFERENSI KETENAGAKERJAAN
INTERNASIONAL
KONVENSI 182
KONVENSI MENGENAI PELARANGAN
DAN TINDAKAN SEGERA
PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK
PEKERJAAN TERBURUK UNTUK
ANAK YANG DISETUJUI OLEH
KONFERENSI KETENAGAKERJAAN
INTERNASIONAL PADA ACARA
SIDANGNYA YANG KE DELAPAN
PULUH TUJUH Dl JENEWA
Pada tanggal 17 JUNI 1999
Konvensi 182
KONVENSI MENGENAI PELARANGAN
DAN TINDAKAN SEGERA UNTUK
PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK
PEKERJAAN TERBURUK UNTUK
ANAK
Konferensi Umum Organisasi Ketenagakerjaan Internasional, Setelah diundang ke Jenewa oleh Badan Pengurus
Kantor Ketenagakerjaan Internasional
dan setelah mengadakan sidangnya
yang ke-87 Pada tanggal 1 Juni 1999,
dan
Menimbang, perlunya menyetujui instrumen ketenagakerjaaan yang baru
untuk melarang dan menghapuskan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, sebagai prioritas utama untuk
aksi nasional dan internasional, termasuk kerja sama dan bantuan internasional, untuk melengkapi Konvensi dan
Rekomendasi yang berkenaan dengan
Usia Minimum untuk Diperbolehkan
Bekerja, 1973, yang merupakan instrumen dasar tentang kerja anak, dan
Menimbang, bahwa penghapusan secara efektif bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak memerlukan tindakan segera dan komprehensif, dengan
memperhitungkan pentingnya pen44
didikan dasar secara cuma-cuma dan
kebutuhan untuk membebaskan anakanak dari segala bentuk terburuk kerja
anak itu dan untuk mengupayakan rehabilitasi dan integrasi sosial mereka
dengan memperhatikan kebutuhan keluarga mereka, dan
Mengingat, resolusi mengenai penghapusan kerja anak yang diterima oleh
Konferensi Ketenagakerjaan Internasional pada sidangnya yang ke-83 pada
tahun 1996, dan
Memperhatikan, bahwa kerja anak kebanyakan diakibatkan oleh kemiskinan
dan bahwa penyelesaian jangka panjang terletak pada pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan menuju
ke arah kemajuan sosial, khususnya
penanggulangan kemiskinan serta wajib belajar, dan
Mengingat, Konvensi mengenai Hak
Anak yang diterima oleh Sidang Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa Pada tanggal 20 Nopember 1998, dan Mengingat,
Deklarasi ILO mengenai Prinsip dan
Hak Dasar di Tempat Kerja beserta
tindak lanjutnya, yang diterima oleh
Konferensi Ketenagakerjaan Internasional pada sidangnya yang ke-86 pada
tahun 1998, dan
Mengingat, bahwa beberapa bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak
telah diatur oleh instrumen internasional lainnya, khususnya Konvensi Kerja
Paksa, 1930, dan Konvensi Tambahan
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Lembaga-lembaga
serta Praktik-praktik Perbudakan atau
sejenis Perbudakan, 1956, dan Setelah
memutuskan untuk menerima usulanusulan tertentu yang berkaitan dengan
kerja anak, yang merupakan butir keempat dalam agenda acara sidang, dan
Setelah menetapkan bahwa usulanusulan tersebut harus berbentuk kon-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
vensi internasional,
Menyetujui Pada tanggal tujuh belas
bulan Juni tahun seribu sembilan ratus
sembilan puluh sembilan, konvensi ini,
yang dapat disebut Konvensi Bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak,
1999.
Pasal 1
Setiap anggota yang meratifikasi konvensi ini wajib mengambil tindakan
segera dan efektif untuk menjamin
pelarangan dan penghapusan bentukbentuk pekerjaan terburuk bagi anak
sebagai hal yang mendesak.
Pasal 2
Dalam konvensi ini, istilah “anak”
berarti semua orang yang berusia di bawah 18 tahun.
Pasal 3
Dalam konvensi ini, istilah “bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk
anak” mengandung pengertian
a. segala bentuk perbudakan atau
praktik-praktik sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak-anak, kerja ijon (debt
bondage) dan perhambaan serta
kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak-anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
b. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran,
untuk produksi pornografi, atau
pertunjukan-pertunjukan porno;
c. pemanfaatan, penyediaan, atau
penawararan anak untuk kegiatan
haram, khususnya untuk produksi
dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian
Internasional yang relevan;
d. pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dila-
kukan dapat membahayakan kesehatan, atau moral anak-anak.
Pasal 4
(1) Jenis-jenis pekerjaan yang disebut dalam Pasal 3 (d) wajib diatur
oleh undang-undang atau peraturan nasional, atau oleh pihak yang
berwenang setelah berkonsultasi
dengan organisasi pengusaha dan
pekerja terkait, dengan mempertimbangkan standar internasional
yang relevan khususnya paragraf
3 dan paragraf 4 dari Rekomendasi
mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, 1999.
(2) Pihak yang berwenang, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja terkait, wajb
mengidentifikasi tempat-tempat
jenis pekerjaan itu berada.
(3) Daftar jenis pekerjaan yang disebutkan dalam paragraf I pasal ini
wajib dikaji ulang secara berkala
dan direvisi bilamana perlu, melalui konsultasi dengan organisasi
pengusaha dan pekerja terkait.
Pasal 5
Setiap anggota, setelah berkonsultasi
dengan organisasi pengusaha dan pekerja, wajib membuat atau menetapkan
mekanisme yang sesuai untuk memantau pelaksanaan ketentuan yang membuat konvensi ini berlaku.
Pasal 6
(1) Setiap anggota wajib merancang
dan melaksanakan program aksi
untuk menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak
sebagai prioritas.
(2) Progam-program aksi itu wajib dirancang dan dilaksanakan melalui konsultasi dengan lembaga
pemerintah dan Organisasi peng45
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
usaha dan pekerja terkait, dengan
memperhatikan pandangan kelompok-kelompok terkait lainnya sebagaimana perlunya.
Pasal 7
(1) Setiap anggota wajib mengambil
semua tindakan yang perlu untuk memastikan agar ketentuanketentuan yang memberlakukan
konvensi ini diterapkan dan dilaksanakan secara efektif, termasuk
ketentuan dan penerapan sanksi
pidana dan sanksi-sanksi lain sebagaimana perlunya.
(2) Setiap anggota wajib, dengan memperhitungkan pentingnya pendidikan dalam menghapuskan kerja
anak, mengambil tindakan efektif
dan terikat waktu untuk :
(a) mencegah penggunaan anakanak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak.
(b) memberikan bantuan langsung
yang perlu dan sesuai untuk
membebaskan anak-anak dari
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan untuk
rehabilitasi serta integrasi sosial mereka;
(c) menjamin tersedianya pendidikan dasar secara cuma-cuma,
dan bila mungkin dan sesuai,
pelatihan kejuruan bagi anakanak yang telah dibebaskan
dari bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak;
(d) mengidentifikasi dan menjangkau anak-anak berisiko
khusus; dan
(e) memperhitungkan situasi khusus anak-anak perempuan.
(3) Setiap anggota wajib menunjuk pihak berwenang yang bertanggung
jawab terhadap pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang memberlaku46
kan konvensi ini.
Pasal 8
Anggota wajib mengambil langkah
yang sesuai untuk membantu satu sama
lain dalam memberlakukan ketentuan
konvensi ini melalui peningkatan kerja
sama dan/atau bantuan internasional
termasuk dukungan pembangunan sosial dan ekonomi, program-program
penanggulangan kemiskinan, dan wajib
belajar.
Pasal 9
Ratifikasi resmi konvensi ini harus
disampaikan kepada Direktur Jenderal
Kantor Ketenagakerjaan Nasional untuk didaftar.
Pasal 10
(1) Konvensi ini mengikat hanya bagi
anggota Organisasi Ketegakerjaan
Internasional yang ratifikasinya telah didaftar oleh Direktur Jenderal.
(2) Konvensi ini mulai berlaku dua belas bulan setelah tanggal ratifikasi
oleh dua anggota Organisasi Ketenagakerjaan Internasional telah
didaftar oleh Direktur Jenderal.
(3) Selanjutnya, konvensi ini akan berlaku bagi setiap anggota dua belas
bulan setelah tanggal ratifikasinya
didaftar.
Pasal 11
(1) Anggota yang meratifikasi konvensi ini dapat membatalkannya,
setelah melampaui waktu sepuluh
tahun terhitung sejak tanggal konvensi ini mulai berlaku, dengan
menyampaikan keterangan kepada
Direktur Jenderal Kantor Ketenagakerjaan Internasional untuk
didaftar. Pembatalan itu tidak akan
berlaku hingga satu tahun setelah
tanggal pendaftarannya.
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
(2) Setiap anggota yang telah meratifikasi konvensi ini dan yang dalam
waktu satu tahun setelah berakhirnya masa sepuluh tahun sebagaimana tersebut dalam ayat tersebut
di atas tidak menggunakan hak
pembataIan menurut ketentuan
dalam pasal ini, akan terikat untuk
sepuluh tahun lagi, dan sesudah itu
dapat membatalkan Konvensi ini
pada waktu berakhirnya tiap-tiap
masa sepuluh tahun sebagamana
diatur dalam pasal ini.
Pasal 12
(1) Direktur Jenderal Kantor Ketenagakerjaan Internasional wajib memberitahukan kepada segenap anggota Organisasi Ketenagakerjaan
Internasional tentang pendaftaran
semua pengesahan dan pembatalan
yang disampaikan kepadanya oleh
anggota organisasi.
(2) Pada saat memberitahukan kepada anggota organisasi tentang
pendaftaran ratifikasi kedua yang
disampaikan kepadanya, Direktur
Jenderal wajib meminta perhatian
anggota organisasi mengenai tanggal mulai berlakunya konvensi ini.
Pasal 13
Direktur Jenderal Kantor Ketenagakerjaan Internasional wajib menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
didaftarkan, sesuai dengan Pasal 102
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,
hal ikhwal mengenai semua ratifikasi
dan pembatalan yang didaftarkannyamenurut ketentuan pasal-pasal tersebut di atas.
Internasional wajib menyampaikan
kepada Konferensi, laporan mengenai
pelaksanaan konvensi ini dan wajib
mempertimbangkan perlunya mengagendakan dalam konvensi, perubahan
konvensi ini seluruhnya atau sebagian.
Pasal 15
(1) Jika konferensi menyetujui konvensi baru yang memperbaiki konvensi ini secara keseluruhan atau
sebagian, kecuali konvensi baru
menentukan lain, maka :
(a) ratifikasi oleh anggota atas
konvensi baru yang memperbaiki, secara hukum berarti
pembatalan atas konvensi ini
tanpa mengurangi ketentuan
dalam PasaI 5 diatas, jika dan
bilamana konvensi baru yang
memperbaiki itu mulai berIaku;
(b) sejak tanggal konvensi baru
yang memperbaiki itu berlaku,
konvensi ini tidak dapat disahkan lagi oleh anggota.
(2) Konvensi ini akan tetap berlaku dalam bentuk dan isi aslinya bagi anggota yang telah meratifikasinya, tetapi belum mengesahkan konvensi
yang memperbaikinya.
PasaI 16
Naskah konvensi ini dalam bahasa Inggris dan bahasa Perancis sama-sama
resmi.
Pasal 14
Pada waktu yang dianggap perlu, Badan Pengurus Kantor Ketenagakerjaan
47
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 1999
TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 138 CONCERNING
MINIMUM AGE FOR ADMISSION TO EMPLOYMENT
(KONVENSI ILO MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN
BEKERJA)
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa negara Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945 adalah
negara hukum yang menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia sehingga anak sebagai generasi
penerus bangsa wajib memperoleh
jaminan perlindungan agar dapat
tumbuh dan berkembang secara
sehat dan wajar, baik jasmani dan
rohani, maupun sosial dan intelektual;
b. bahwa bangsa Indonesia sebagai
bagian masyarakat internasional
menghormati, menghargai, dan
menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia Tahun
1948, Dek1arasi Philadelphia Tahun 1944, Konstitusi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO),
dan Konvensi Hak-hak Anak Tahun
1989;
c. bahwa Konferensi Ketenagakerjaan
Internasiona1 yang kelima puluh
delapan tangga1 26 Juni 1973, telah
menyetujui ILO Convention No. 138,
concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO
48
mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja);
d. bahwa Konvensi tersebut selaras
dengan keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus menerus
menegakkan dan meningkatkan
pelaksanaan hak-hak dasar anak
dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan benegara;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan
tersebut dalam huruf a, b, c, dan d
dipandang perlu mengesahkan ILO
Convention No. 138 concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia
Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja) dengan Undang-undang;
Mengingat :
(1) Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20
ayat (1), Pasal 27, Pasal 31, dan Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945;
(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG PENGESAHAN
ILO CONVENTION NO. 138 CONCERNING
MINIMUM AGE FOR ADMISSION TO
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
EMPLOYMENT
(KONVENSI ILO MENGENAI USIA
MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN
BEKERJA).
Pasal 1
Mengesahkan ILO Convention No. 138
concerning Minimum Age for Admission
to Employment (Konvensi ILO mengenai
Usia Minimum untuk Diperbolehkan
Bekerja) dengan membuat suatu Pernyataan sesuai dengan ketentuan Pasal
2 ayat (1) yang naskah aslinya dalam
bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-undang ini.
Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya. memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Mei 1999
MENTERI NEGARA
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Ttd
AKBAR TANDJUNG
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1999 NOMOR 56
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999
TENTANG PENGESAHAN
ILO CONVENTION NO.138 CONCERNING
MINIMUM AGE FOR ADMISSION TO
EMPLOYMENT
(KONVENSI ILO MENGENAI USIA
MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN
BEKERJA)
I. UMUM
Anak sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa memiliki hak asasi atau hak
dasar sejak dilahirkan, sehingga tidak
ada manusia atau pihak lain yang boleh
merampas hak tersebut. Hak dasar
anak diakui secara universal sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Deklarasi
PBB Tahun 1948 tentang Hak-hak Asasi
Manusia, Deklarasi ILO di Philadelphia
Tahun 1944, Konstitusi ILO, Deklarasi
PBB Tahun 1959 tentang Hak-hak Anak,
Konvensi PBB Tahun 1966 tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
dan Konvensi PBB Tahun 1989 tentang
Hak-hak Anak. Dengan demikian semua
negara di dunia secara moral dituntut
untuk menghormati, menegakkan, dan
melindungi hak tersebut.
Salah satu bentuk hak dasar anak adalah jaminan untuk tumbuh kembang
secara utuh baik fisik maupun mental.
Jaminan perlindungan hak dasar tersebut sesuai dengan nilai-nilai Pancasila
dan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Sebagai anggota PBB dan Organisasi
Ketenagakerjaan Internasional atau
International Labour Organization (ILO),
Indonesia menghargai, menjunjung
tinggi, dan berupaya menerapkan ke49
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
putusan-keputusan lembaga internasional dimaksud.
Konvensi ILO No.138 Tahun 1973 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja yang disetujui pada
Konferensi Ketenagakerjaan Internasional kelima puluh delapan tanggal
26 Juni 1973 di Jenewa merupakan salah satu Konvensi yang melindungi hak
asasi anak. Konvensi ini mewajibkan
setiap negara anggota ILO yang telah
meratifikasi, menetapkan batas usia
minimum untuk diperbolehkan bekerja
sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat
(1) Konvensi, Indonesia melampirkan
Pernyataan (Declaration) yang menetapkan bahwa batas usia minimum untuk
diperbolehkan bekerja yang diberlakukan di wilayah Republik Indonesia adalah 15 (lima belas) tahun.
II. POKOK-POKOK PIKIRAN YANG
MENDORONG LAHlRNYA KONVENSI
1. Konvensi No. 5 Tahun 1919 mengenai Usia Minimum untuk sektor
Industri, Konvensi No. 7 Tahun
1920 mengenai Usia Minimum untuk Sektor Kelautan, Konvensi No.
10 Tahun 1921 mengenai Usia Minimum untuk Sektor Agraria, dan
Konvensi No. 33 Tahun 1932 mengenai Usia Minimum untuk Sektor
Non-Industri, menetapkan bahwa
usia minimum untuk bekerja 14
(empat belas) tahun. Selanjutnya
Konvensi No. 58 Tahun 1936 mengenai Usia Minimum untuk Kelautan, Konvensi No. 59 Tahun 1937
mengenai Usia Minimum untuk
Sektor Industri, Konvensi No. 60
Tahun 1937 mengenai Usia Minimum untuk Sektor Non Industri,
dan Konvensi No. 112 Tahun 1959
mengenai Usia Minimum untuk Pe50
laut, mengubah usia minimum untuk bekerja menjadi 15 (lima belas)
tahun.
2. Dalam penerapan berbagai Konvensi tersebut di atas di banyak negara
masih ditemukan berbagai bentuk
penyimpangan batas usia minimum untuk bekerja. Oleh karena
itu ILO merasa perlu menyusun dan
mengesahkan konvensi yang secara khusus mempertegas batas usia
minimum untuk diperbolehkan bekerja yang berlaku di semua sektor
yaitu 15 (Iima belas) tahun.
III. ALASAN INDONESIA
MENGESAHKAN KONVENSI
1. Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia
dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan hukum
nasional, menjunjung tinggi harkat
dan martabat manusia seperti tercermin dalam sila-sila Pancasila
khususnya Sila Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab. Untuk itu bangsa
Indonesia bertekad melindungi hak
dasar anak sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.
2. Dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945, Indonesia telah
menetapkan berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap anak.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia melalui Ketetapan Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menugasi
Presiden dan DPR untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB yang
berkaitan dengan hak asasi manusia. Indonesia telah meratifikasi
Konvensi PBB tanggal 30 September 1990 mengenai Hak-hak Anak.
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Disamping itu Presiden Republik
Indonesia telah ikut menandatangani Keputusan Pertemuan Tingkat Tinggi mengenai Pembangunan
Sosial di Kopenhagen Tahun 1995.
Keputusan pertemuan tersebut antara lain mendorong anggota PBB
meratifikasi tujuh Konvensi ILO
yang memuat hak-hak dasar pekerja, termasuk Konvensi No.138 Tahun 1973 mengenai Usia Minimum
untuk Diperbolehkan Bekerja.
4. ILO dalam Sidang Umumnya yang
ke-86 di Jenewa bulan Juni 1998
telah menyepakati Deklarasi ILO
mengenai Prinsip dan Hak-hak
Dasar di Tempat Kerja. Deklarasi
tersebut menyatakan bahwa setiap
negara wajib menghormati dan
mewujudkan prinsip-prinsip ketujuh Konvensi Dasar ILO.
5. Dalam pengamalan Pancasila dan
penerapan peraturan perundangundangan masih dirasakan adanya penyimpangan perlindungan
hak anak. Oleh karena itu pengesahan Konvensi ini dimaksudkan
untuk menghapuskan segala bentuk praktek mempekerjakan anak
serta meningkatkan perlindungan
dan penegakan hukum secara efektif sehingga akan lebih menjamin
perlindungan anak dari eksploitasi
ekonomi, pekerjaan yang membahayakan keselamatan dan kesehatan anak, mengganggu pendidikan,
serta mengganggu perkembangan
fisik dan mental anak.
6. Pengesahan Konvensi ini menunjukkan kesungguhan Indonesia
dalam memajukan dan melindungi
hak dasar anak sebagaimana diuraikan pada butir 5. Hal ini akan
lebih meningkatkan citra positif Indonesia dan memantapkan kepercayaan masyarakat internasional.
IV. POKOK-POKOK KONVENSI
1. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib menetapkan kebijakan nasional untuk
menghapuskan praktek mempekerjakan anak dan meningkatkan
usia minimum untuk diperbolehkan bekerja.
2. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang
membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak harus diupayakan tidak boleh kurang dari
18 (delapan belas) tahun, kecuali
untuk pekerjaan ringan tidak boleh
kurang dari 16 (enam belas) tahun.
3. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib menetapkan usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, aturan mengenai
jam kerja, dan menetapkan hukuman atau sanksi guna menjamin
pelaksanaannya.
4. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib melaporkan pelaksanaannya.
V. PASAL DEMI PASAL
Pasal l
Apabila terjadi perbedaan penafsiran
terhadap terjemahannya dalam bahasa
Indonesia, maka yang berlaku adalah
naskah asli Konvensi dalam bahasa Inggris .
Cukup jelas
Pasal 2
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3835
51
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
KONVENSI MENGENAI
USIA MINIMUM UNTUK
DIPERBOLEHKAN BEKERJA
Konferensi Organisasi Ketenagakerjaan
Internasional,
Setelah diundang ke Jenewa oleh Badan Pengurus Kantor Ketenagakerjaan
Internasional, dan setelah mengadakan
sidangnya yang ke lima puluh delapan
Pada tanggal 6 Juni 1973, dan
Setelah memutuskan untuk menerima
beberapa usul mengenai usia minimum
untuk diperbolehkan bekerja, yang merupakan acara ke empat dalam agenda
sidang tersebut, dan
Memperhatikan syarat-syarat Konvensi Usia Minimum (Industri), 1919,
Konvensi Usia Minimum (Laut), 1920,
Konvensi Usia Minimum (Pertanian),
1921, Konvensi Usia Minimum (Penghias dan juru Api), 1921, Konvensi Usia
Minimum (Pekerjaan Non Industri),
1932, Konvensi (Revisi) Usia Minimum
(Laut), 1936, Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Industri), 1937, Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Pekerjaan Non Industri), 1937, Konvensi Usia Minimum
(Nelayan), 1959, dan Konvensi Usia Minimum (Kerja Bawah Tanah), 1965, dan
Menimbang bahwa telah tiba waktunya
untuk menetapkan suatu naskah umum
mengenai hal itu, yang secara berangsur-angsur akan menggantikan naskah-naskah yang berlaku pada sektor
ekonomi yang terbatas, dengan tujuan
untuk melakukan penghapusan kerja
anak secara menyeluruh, dan
Setelah menetapkan bahwa naskah ini
harus berbentuk Konvensi Internasional,
Menyetujui Pada tanggal dua puluh
enam bulan Juni tahun seribu sembilan ratus tujuh puluh tiga Konvensi ini,
yang disebut Konvensi Usia Minimum,
1973:
52
Pasal 1
Setiap anggota yang memberlakukan
Konvensi ini wajib membuat kebijakan
nasional yang dirancang untuk menjamin penghapusan secara efektif pekerja
anak dan secara bertahap meningkatkan usia minimum untuk diperbolehkan bekerja sampai pada suatu tingkat
yang sesuai dengan perkembangan fisik dan mental sepenuhnya dari orang
muda.
Pasal 2
(1) Setiap anggota yang meratifikasi
Konvensi ini wajib menetapkan
dalam sebuah deklarasi yang dilampirkan pada ratifikasinya, usia
minimum untuk diperbolehkan bekerja dalam wilayahnya dan pada
sarana angkutan yang terdaftar di
wilayahnya; sesuai dengan Pasal 4
sampai dengan 8 Konvensi ini, tidak seorangpun di bawah usia itu
yang diperbolehkan masuk dalam
setiap jabatan;
(2) Setiap anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini dapat memberitahukan kepada Direktur
Jenderal Kantor Ketenagakerjaan
Internasional dengan deklarasi selanjutnya, bahwa ia menetapkan
usia minimum yang lebih tinggi
dari yang telah ditetapkan sebelumnya;
(3) Usia minimum yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan ayat
(1) Pasal ini, tidak boleh kurang
dari usia tamat wajib belajar, yaitu
tidak boleh kurang dari 15 Tahun,
dalam keadaan apapun;
(4) Tanpa mengurangi ketentuan ayat
(3) Pasal ini, anggota yang perekonomian dan fasilitas pendidikannya tidak cukup berkembang,
setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja yang
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
berkepentingan, jika ada, sebagai
permulaan dapat menetapkan usia
minimum 14 tahun.
(5) Setiap anggota yang telah menetapkan usia minimum 14 tahun
sesuai dengan ketentuan ayat itu,
wajib mencantumkan dalam laporannya mengenai pelaksanaan
Konvensi ini yang diajukan berdasarkan Pasal 22 Konstitusi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional, pernyataan :
(a) bahwa alasan untuk melakukan hal itu memang ada; atau
(b) bahwa ia melepaskan haknya
untuk melaksanakan ketentuan tersebut sejak tanggal penetapan.
Pasal 3
(1) Usia Minimum untuk diperbolehkan bekerja di setiap jenis pekerjaan, yang karena sifat atau keadaan lingkungan tempat pekerjaan
itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau
moral orang muda, tidak boleh kurang dari 18 tahun.
(2) Jenis pekerjaan atau kerja yang
padanya ketentuan ayat (1) Pasal
ini berlaku, harus ditetapkan dengan peraturan atau perundangundangan nasional, atau oleh penguasa yang berwenang, setelah
berkonsultasi dengan organisasi
pengusaha dan pekerja yang berkepentingan jika ada.
(3) Tanpa mengabaikan ketentuan
ayat (1) Pasal ini, undang-undang
atau peraturan nasional atau penguasa yang berwenang, setelah
berkonsultasi dengan organisasi
pengusaha dan pekerja yang berkepentingan, jika ada, dapat memperbolehkan orang muda berusia
16 tahun ke atas bekerja, dengan
syarat bahwa kesehatan, keselamatan, dan moral mereka dilindungi
sepenuhnya dan mereka telah dapat pendidikan atau pelatihan kejuruan khusus mengenai cabang
kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Apabila diperlukan, penguasa yang
berwenang setelah berkonsultasi
dengan organisasi pengusaha dan
pekerja yang berkepentingan, jika
ada, dapat mengecualikan pekerjaan atau kerja tertentu dari pemberlakuan Konvensi jika pelaksanaan Konvensi ini menimbulkan
masalah yang sangat berat.
(2) Setiap anggota yang meratifikasi
Konvensi ini wajib membuat daftar
dalam laporannya yang pertama
mengenai pelaksanaan Konvensi
yang diajukan berdasarkan Pasal
22 dari Konstitusi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional, setiap
jenis pengecualian menurut ketentuan ayat (1) Pasal ini, alasan
pengecualian, dan dalam laporan
berikutnya wajib menyebutkan kedudukan hukum dan kebiasaan di
negaranya mengenai jenis pengecualian tersebut, dan sejauh mana
pengaruh dari konvensi ini telah
diberlakukan atau diusulkan untuk
diberlakukan terhadap jenis pekerjaan tersebut.
(3) Pekerjaan atau kerja yang tercakup
dalam Pasal 3 Konvensi ini tidak
boleh dikecualikan dari pelaksanaan Konvensi sesuai dengan ketentuan Pasal ini.
Pasal 5
(1) Anggota yang perekonomian dan
fasilitas administratifnya belum
cukup berkembang, setelah berkonsultasi dengan organisasi peng53
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
usaha dan pekerja yang berkepentingan, jika ada, pada walnya dapat
membatasi ruang lingkup berlakunya Konvensi ini.
(2) Setiap anggota yang tunduk pada
ayat (1) pasal ini, dalam suatu pernyataan yang dilampirkan pada
ratifikasinya, wajib memperinci
secara khusus cabang kegiatan
ekonomi atau jenis usaha yang kepadanya ketentuan Konvensi ini
berlaku.
(3) Ketentuan Konvensi ini wajib diberlakukan sebagai minimum terhadap: pertambangan dan penggalian; pengolahan; bangunan; listrik,
gas, dan air, perusahaan sanitari;
pengangkutan, pergudangan, dan
perhubungan; serta perkebunan
dan usaha pertanian lainnya yang
hasil utamanya untuk tujuan perdagangan, tetapi kecuali perusahaan keluarga dan usaha kecil
yang menghasilkan barang untuk
konsumsi lokal dan tidak secara
teratur mempekerjakan tenaga bayaran.
(4) Setiap anggota yang membatasi
ruang lingkup berlakunya Konvensi ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal ini
(a) wajib menyebutkan dalam laporannya sesuai dengan Pasal
22 Konstitusi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional,
kedudukan umum tentang pekerjaan orang muda dan anakanak dalam cabang kegiatan
yang dikecualikan dari ruang
lingkup berlakunya Konvensi
ini dan setiap kemajuan yang
mungkin dicapai ke arah pelaksanaan yang lebih luas dari
ketentuan Konvensi ini;
(b) dapat setiap waktu secara formal memperluas ruang lingkup
54
pemberlakuan melalui sebuah
deklarasi yang disampaikan
kepada Direktur Jenderal Kantor Ketenagakerjaan Internasional.
Pasal 6
Konvensi ini tidak berlaku bagi pekerjaan yang dilakukan oleh anak dan
orang muda di sekolah umum, kejuruan
atau teknik atau di lembaga latihan
lain, atau bagi pekerjaan yang dilakukan oleh orang muda yang sekurangkurangnya berusia 14 tahun dalam perusahaan, bila pekerjaan itu dilakukan
sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh penguasa yang berwenang
setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja yang berkepentingan, jika ada, dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari
(a) suatu program pendidikan atau
pelatihan yang penanggung jawab
utamanya adalah suatu sekolah
atau lembaga pelatihan;
(b) program latihan yang untuk sebagian besar atau seluruhnya dilaksanakan dalam suatu perusahaan,
yang programnya telah disetujui
oleh penguasa yang berwenang;
atau
(c) suatu program bimbingan atau
orientasi yang disusun untuk mempermudah pemilihan jabatan atau
jalur pelatihan.
Pasal 7
(1) Peraturan atau perundang-undangan�������������������������
nasional dapat memperbolehkan mempekerjakannya orang
berusia 13-15 tahun dalam pekerjaan ringan yang:
(a) tidak berbahaya bagi kesehatan dan perkembangan mereka;
(b) tidak mengganggu kehadiran
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
mereka megikuti pelajaran sekolah, mengikuti orientasi kejuruan atau program latihan
yang disetujui oleh penguasa
yang berwenang atau kemampuan mereka mendapatkan
manfaat dari pelajaran yang
diterima.
(2) Peraturan atau perundang-undangan nasional dapat juga memperbolehkan mempekerjakannya
orang berusia sekurang-kurangnya
15 tahun akan tetapi belum menyelesaikan pendidikan sekolah
wajib dalam pekerjaan yang telah
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam sub (a) dan (b) ayat
(1) Pasal ini.
(3) Pengusaha yang berwenang wajib
menetapkan kegiatan pada pekerjaan yang diperbolehkan berdasarkan ayat (1) dan (2) Pasal ini
dan wajib menetapkan jumlah jam
kerja dan kondisi yang harus dipenuhi dalam melakukan pekerjaan
dimaksud.
(4) Tanpa mengabaikan ketentuan
ayat (1) dan (2) Pasal ini, anggota
yang telah menyatakan tunduk
kepada ketentuan ayat (4) Pasal 2,
selama masih dikehendaki dapat
menggantikan usia 12 dan 14 tahun
untuk usia 13 dan 15 tahun pada
ayat (1), dan usia 14 tahun untuk
usia 15 tahun pada ayat (2) Pasal
ini.
Pasal 8
(1) Setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja yang
berkepentingan, jika ada, penguasa
yang berwenang, dengan izin yang
diberikan untuk kasus individual
boleh mengecualikan larangan bekerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 Konvensi ini untuk maksud
tertentu, seperti keikutsertaan dalam pertunjukan kesenian.
(2) Izin yang diberikan itu harus membatasi jumlah jam dan kondisi kerja
untuk diperbolehkan bekerja.
Pasal 9
(1)����������������������������������
Segala tindakan yang perlu, termasuk penentuan hukuman yang memadai, harus diambil oleh penguasa yang berwenang untuk menjamin pelaksanaan yang efektif dari
ketentuan konvensi ini.
(2) Peraturan atau perundang-undangan nasional wajib menetapkan
orang-orang yang bertanggung jawab terhadap penataan ketentuan
Konvensi ini.
(3) Peraturan atau perundang-undangan nasional, atau penguasa
yang berwenang wajib menetapkan
catatan atau dokumen lain yang
harus disimpan dan disediakan
oleh pengusaha; catatan atau
dokumen itu harus memuat nama
dan usia atau tanggal lahir, yang
disahkan bila mungkin, mengenai
orang-orang yang dipekerjakannya
atau yang bekerja untuknya dan
yang berusia di bawah 18 tahun.
Pasal 10
(1) Konvensi ini merevisi menurut
ketentuan yang ditetapkan dalam
Pasal ini, Konvensi Usia Minimum
(Industri), 1919, Konvensi Usia
Minimum (Laut), 1920, Konvensi
Usia Minimum (Pertanian), 1921,
Konvensi Usia Minimum (Penghias
dan juru Api), 1921, Konvensi Usia
Minimum (Pekerjaan Non Industri), 1932, Konvensi (Revisi) Usia
Minimum (Laut), 1936, Konvensi
(Revisi) Usia Minimum (Industri),
1937, Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Pekerjaan Non Industri),
55
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
1937, Konvensi Usia Minimum
(Nelayan), 1959, dan Konvensi Usia
Minimum (Kerja Bawah Tanah),
1965.
(2) Pemberlakuan Konvensi ini tidak
menutup kemungkinan untuk meratifikasi Konvensi (Revisi) Usia
Minimum (Laut), 1936, Konvensi
(Revisi) Usia Minimum (Industri),
1937, Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Pekerjaan Non Industri),
1937, Konvensi Usia Minimum
(Nelayan), 1959, dan Konvensi Usia
Minimum (Kerja Bawah Tanah),
1965.
(3) Konvensi ini merevisi menurut
ketentuan yang ditetapkan dalam
Pasal ini, Konvensi Usia Minimum
(Industri), 1919, Konvensi Usia
Minimum (Laut), 1920, Konvensi
Usia Minimum (Pertanian), 1921,
Konvensi Usia Minimum (Penghias
dan juru Api), 1921, akan tertutup
untuk diratifikasi lebih lanjut, jika
semua pihak yang telah meratifikasinya setuju untuk menutupnya
dengan diratifikasinya Konvensi
ini atau dengan suatu deklarasi
yang disampaikan kepada Direktur
Jenderal kantor Ketenagakerjaan
Internasional.
(4) Jika kewajiban-kewajiban Konvensi
ini diterima
(a) oleh anggota yang merupakan
pihak pada Konvensi (Revisi)
Usia Minimum (Industri), 1937,
dan telah menetapkan usia minimum tidak kurang dari 15 tahun menurut ketentuan Pasal
2 Konvensi ini, demi hukum,
hal tersebut dengan sendirinya membatalkan Konvensi itu
dengan segera,
(b) dalam hal pekerjaan non industri sebagaimana dimaksud
dalam Konvensi Usia Minimum
56
(Pekerjaan Non Industri), 1932,
oleh anggota yang merupakan pihak pada Konvensi itu,
demi hukum, hal tersebut dengan sendirinya membatalkan
Konvensi itu dengan segera,
(c) dalam hal pekerjaan non industri sebagaimana dimaksud
dalam Konvensi Usia Minimum
(Pekerjaan Non Industri), 1937,
oleh anggota yang merupakan
pihak pada Konvensi itu dan telah menetapkan usia minimum
tidak kurang dari 15 tahun berdasarkan Pasal dua Konvensi
ini, demi hukum, hal tersebut
dengan sendirinya membatalkan Konvensi itu dengan segera,
(d) dalam hal pekerjaan maritim,
oleh anggota yang merupakan
pihak pada Konvensi (revisi)
usia minimum (laut), 1936, dan
telah menetapkan usia minimum tidak kurang dari lima
belas tahun berdasarkan Pasal
2 Konvensi ini atau anggota
itu menetapkan bahwa Pasal 3
Konvensi ini berlaku bagi pekerjaan maritim, demi hukum,
hal tersebut dengan sendirinya membatalkan konvensi itu
dengan segera,
(e) dalam hal pekerjaan perikanan maritim, oleh anggota
yang merupakan pihak pihak
pada Konvensi Usia Minimum
(nelayan), 1959, dan telah menetapkan usia minimum tidak
kurang dari lima belas tahun
berdasarkan Pasal 2 Konvensi ini, atau anggota itu telah
menetapkan bahwa Pasal 3
Konvensi ini berlaku bagi pekerjaan perikanan maritim,
demi hukum, hal tersebut de-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
ngan sendirinya membatalkan
Konvensi itu dengan segera,
(f) oleh anggota yang merupakan pihak pada Konvensi Usia
Minimum Kerja (Kerja Bawah
Tanah), 1965, dan usia minimum tidak kurang dari usia
yang ditetapkan berdasarkan
Pasal 2 Konvensi ini atau anggota itu menetapkan bahwa
usia itu berlaku bagi pekerjaan
di bawah tanah dalam pertambangan berdasarkan Pasal
3 Konvensi ini, demi hukum
hal tersebut dengan sendirinya membatalkan Konvensi
itu dengan segera jika dan bila
Konvensi ini mulai berlaku.
(5) Penerimaan kewajiban Konvensi
ini berarti :
(a) harus membatalkan Konvensi
Usia Minimum (industri), 1919,
sesuai dengan Pasal 12 Konvensi itu,
(b) dalam hal pertanian, harus
membatalkan Konvensi Usia
Minimum (pertanian), 1921,
sesuai dengan Pasal 9 Konvensi
itu,
(c) dalam hal pekerjaan maritim,
harus membatalkan Konvensi
Usia Minimum (laut), 1920, sesuai dengan Pasal 10 Konvensi
itu dan Konvensi Usia Minimum (penghias dan juru api),
1921, sesuai dengan Pasal 12
Konvensi itu, jika dan bila
Konvensi ini mulai berlaku.
Pasal 11
Ratifikasi resmi Konvensi ini harus disampaikan kepada Direktur Jenderal
Kantor Ketenagakerjaan Internasional
untuk didaftar.
Pasal 12
1. Konvensi ini mengikat hanya bagi
anggota Organisasi Ketenagakerjaan Internasional yang ratifikasinya telah didaftar oleh Direktur
Jenderal.
2. Konvensi ini mulai berlaku dua belas bulan setelah tanggal ratifikasi
oleh dua anggota Organisasi Ketenagakerjaan Internasional telah didaftar oleh Direktur Jenderal.
3. Selanjutnya, Konvensi ini akan berlaku bagi setiap anggota dua belas
bulan setelah tanggal ratifikasinya
didaftar.
Pasal 13
(1) Anggota yang telah meratifikasi
Konvensi ini dapat membatalkannya, setelah melampaui waktu sepuluh tahun terhitung sejak tanggal Konvensi ini mulai berlaku,
denga menyampaikan keterangan
kepada Direktur Jenderal Kantor
Ketenagakerjaan Internasional untuk didaftar. Pembatalan itu tidak
akan berlaku hingga satu tahun setelah tanggal pendaftarannnya.
(2) Setiap anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini dan yang dalam
waktu satu tahun setelah berakhirnya masa sepuluh tahun sebagaimana tersebut dalam ayat tersebut
di atas tidak menggunakan hak
pembatalan menurut ketentuan
dalam Pasal ini, akan terikat untuk
sepuluh tahun lagi, dan sesudah itu
dapat membatalkan Konvensi ini
pada waktu berakhirnya tiap-tiap
masa sepuluh tahun sebagaimana
diatur dalam Pasal ini.
Pasal 14
(1) Direktur Jenderal Kantor Ketenagakerjaan Internasioanal wajib memberitahukan kepada segenap ang57
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
gota Organisasi Ketenagakerjaan
Internasional tentang Pendaftaran
Semua Ratifikasi dan pembatalan
yang disampaikan kepadanya oleh
anggota organisasi.
(2) Pada saat memberitahukan kepada anggota organisasi tentang
pendaftaran ratifikasi kedua yang
disampaikan kepadanya Direktur
Jenderal wajib meminta perhatian
anggota organisasi mengenai tanggal mulai berlakunya.
Pasal 15
Direktur Jenderal Kantor Ketenagakerjaan Internasional wajib menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-bangsa untuk didaftarkan, sesuai denga Pasal 102 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa hal
ihwal mengenai semua ratifikasi dan
pembatalan yang didaftarkannya menurut ketentuan pasal-pasal tersebut di
atas.
Pasal 16
Pada waktu yang dianggap perlu, Badan Pengurus Kantor Ketenagakerjaan
Internasional wajib menyampaikan kepada Konferensi laporan mengenai pelaksanaan Konvensi dan wajib mempertimbangkan perlunya mengagendakan
dalam Konvensi, perubahan konvensi
58
ini seluruhnya atau sebagaian.
Pasal 17
(1) Jika
Konferensi
menyetujui
Konvensi baru yang memperbaiki
Konvensi ini secara keseluruhan
atau sebagian, kecuali Konvensi
baru menentukan lain maka
(a) ratifikasi oleh anggota atas
konvensi baru yang memperbaiki, secara hukum berarti
pembatalan atas Konvensi ini
tanpa mengurangi ketentuan
dalam Pasal 5 di atas, jika dan
bilamana Konvensi baru yang
memperbaiki itu mulai berlaku;
(b) sejak tanggal konvensi baru
yang memperbaiki itu berlaku,
Konvensi ini tidak dapat disahkan lagi oleh anggota.
(2) Konvensi ini akan tetap berlaku dalam bentuk dan isi aslinya bagi anggota yang telah meratifikasinya,
tetapi belum meratifikasi Konvensi
yang memperbaikinya.
Pasal 18
Bunyi naskah Konvensi ini dalam bahasa Inggris dan bahasa Perancis samasama resmi.
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 1999
TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 105
CONCERNING THE ABOLITION OF FORCED LABOUR
(KONVENSI ILO MENGENAI PENGHAPUSAN KERJA PAKSA)
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa negara Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945 adalah
negara hukum yang menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia serta menjamin semua warga
negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum, sehingga segala
bentuk kerja paksa harus dihapuskan;
b. bahwa bangsa Indonesia sebagai
bagian masyarakat internasional
menghormati, menghargai, dan
menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan BangsaBangsa, Deklarasi Universal Hakhak Asasi Manusia Tahun 1948,
Deklarasi Philadelphia Tahun 1944,
dan Konstitusi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO);
c. bahwa Konferensi Ketenagakerjaan
Internasional keempat puluh tanggal 25 Juni 1957 di Jenewa, Swiss,
telah menyetujui ILO Convention No.
105 concerning the Abolition of Forced
Labour (Konvensi ILO mengenai
Penghapusan Kerja Paksa);
d. bahwa ketentuan Konvensi tersebut selaras dengan keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus
menerus menegakkan dan mema-
jukan pelaksanaan hak-hak dasar
pekerja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan
tersebut dalam huruf a, b, c, dan
d, dipandang perlu mengesahkan
ILO Convention No. 105 concerning the
Abolition of Forced Labour (Konvensi
ILO mengenai Penghapusan Kerja
Paksa) dengan Undang-undang;
Mengingat :
(1) Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20
ayat (1), dan Pasal 27 Undang-undang Dasar 1945;
(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG PENGESAHAN
ILO CONVENTION NO. 105 CONCERNING
THE ABOLITION OF FORCED LABOUR
(KONVENSI ILO MENGENAI
PENGHAPUSAN KERJA PAKSA)
Pasal 1
Mengesahkan ILO Convention No. 105
concerning the Abolition of Forced Labour
(Konvensi ILO mengenai Penghapusan
Kerja Paksa) yang salinan naskah asli59
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
nya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Undang-undang
ini.
Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Mei 1999
MENTERI NEGARA
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Ttd.
AKBAR TANDJUNG
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1999 NOMOR 55
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19
TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN
ILO CONVENTION NO. 105 CONCERNING
THE ABOLITION OF FORCED LABOUR
(KONVENSI ILO MENGENAI
PENGHAPUSAN KERJA PAKSA)
I. UMUM
Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa memiliki hak asasi atau hak
dasar sejak dilahirkan, sehingga tidak
ada manusia atau pihak lain yang dapat
merampas hak tersebut. Hak asasi manusia diakui secara universal sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Deklarasi
Universal Hak-hak Asasi Manusia yang
disetujui PBB Tahun 1948, Deklarasi ILO
di Philadelphia Tahun 1944, dan Konstitusi ILO. Dengan demikian semua negara di dunia secara moral dituntut untuk
menegakkan, dan melindungi hak tersebut. Salah satu bentuk hak asasi adalah kebebasan untuk secara sukarela
melakukan suatu pekerjaan. Jaminan
kebebasan tersebut sesuai dengan nilainilai Pancasila dan telah diatur dalam
UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan”. Ketentuan
tersebut telah diatur dalam Ketetapan
MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.
Sebagai anggota PBB dan Organisasi
Ketenagakerjaan Internasional atau
International Labour Organization (ILO),
Indonesia menghargai, menjunjung
tinggi dan berupaya menerapkan keputusan-keputusan kedua lembaga internasional dimaksud.
60
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Konvensi ILO No. 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa yang disetujui
pada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional keempat puluh tanggal 25
Juni 1957 di Jenewa merupakan bagian
dari perlindungan hak asasi pekerja.
Konvensi ini meminta setiap negara
anggota ILO untuk menghapuskan dan
melarang kerja paksa yang digunakan
sebagai:
a. alat penekanan atau pendidikan
politik atau sebagai hukuman atas
pemahaman atau pengungkapan
pandangan politik atau ideologi
yang bertentangan dengan sistem
politik, sosial, dan ekonomi yang
berlaku;
b. cara mengerahkan dan menggunakan tenaga kerja untuk tujuan
pembangunan ekonomi;
c. alat untuk mendisiplinkan pekerja;
d. hukuman atas keikutsertaan dalam
pemogokan;
e. cara melakukan diskriminasi atas
dasar ras, sosial, kebangsaan, atau
agama.
II. POKOK-POKOK PIKIRAN YANG
MENDORONG LAHIRNYA KONVENSI
1. Konvensi ILO No. 29 Tahun 1930
mengenai Kerja Paksa meminta semua negara anggota ILO melarang
semua bentuk kerja paksa atau wajib kerja kecuali melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan wajib
militer, wajib kerja dalam rangka
pengabdian sebagai warga negara,
wajib kerja menurut keputusan
pengadilan, wajib melakukan pekerjaan dalam keadaan darurat
atau wajib kerja sebagai bentuk
kerja gotong royong.
2. Dalam penerapan Konvensi No. 29
Tahun 1930 tersebut ditemukan
berbagai bentuk penyimpangan.
Oleh sebab itu dirasakan perlu menyusun dan mengesahkan konvensi yang secara khusus melarang
siapapun mempekerjakan seseorang secara paksa dalam bentuk
mewajibkan tahanan politik untuk
bekerja, mengerahkan tenaga kerja
dengan dalih untuk pembangunan ekonomi, mewajibkan kerja
untuk mendisiplinkan pekerja,
menghukum pekerja atas keikutsertaannya dalam pemogokan atau
melakukan diskriminasi atas dasar
ras, sosial, kebangsaan, atau agama.
III. ALASAN INDONESIA
MENGESAHKAN KONVENSI MENJADI
UNDANG-UNDANG
1. Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia
dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan hukum
nasional, menjunjung tinggi harkat
dan martabat pekerja sebagaimana
tercermin dalam Sila Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab. Azas ini
merupakan amanat konstitusional
bahwa bangsa Indonesia bertekad
untuk mencegah, melarang, dan
menghapuskan segala bentuk kerja paksa sesuai dengan ketentuan
Konvensi ini.
2. Dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945, Indonesia telah
menetapkan peraturan perundangundangan yang mengatur pencegahan dan pelarangan segala bentuk
kerja paksa yang tidak manusiawi
dan merendahkan martabat pekerja.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia melalui Ketetapan Nomor XVII/MPR/1998 menugasi Presiden dan DPR untuk me61
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
4.
5.
6.
7.
ratifikasi berbagai instrumen PBB
yang berkaitan dengan hak asasi
manusia. Disamping itu
Presiden Republik Indonesia telah ikut menandatangani Keputusan Pertemuan Tingkat Tinggi
mengenai Pembangunan Sosial di
Kopenhagen Tahun 1995. Keputusan pertemuan tersebut antara
lain mendorong anggota PBB meratifikasi tujuh konvensi ILO yang
memuat hak-hak dasar pekerja,
termasuk Konvensi No. 105 Tahun
1957 mengenai Penghapusan Kerja
Paksa.
ILO dalam Sidang Umumnya yang
ke-86 di Jenewa bulan Juni 1998
telah menyepakati Deklarasi ILO
mengenai Prinsip dan Hak-hak
Dasar di Tempat Kerja. Deklarasi
tersebut menyatakan bahwa setiap
negara wajib menghormati dan
mewujudkan prinsip-prinsip ketujuh Konvensi Dasar ILO.
Dalam pengamalan Pancasila dan
penerapan peraturan perundangundangan masih dirasakan adanya
penyimpangan. Oleh karena itu
pengesahan Konvensi ini dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan hukum secara efektif
sehingga akan lebih menjamin perlindungan hak pekerja dari setiap
bentuk pemaksaan kerja.
Pengesahan Konvensi ini menunjukkan kesungguhan Indonesia
dalam memajukan dan melindungi
hak-hak dasar pekerja khususnya
hak untuk bebas dari kerja paksa.
Hal ini akan lebih meningkatkan
citra positif Indonesia dan memantapkan kepercayaan masyarakat
internasional terhadap Indonesia.
62
IV. POKOK-POKOK KONVENSI
1. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini harus melarang dan tidak boleh menggunakan
setiap bentuk kerja paksa sebagai
alat penekanan politik, alat pengerahan untuk tujuan pembangunan,
alat mendisiplinkan pekerja, sebagai hukuman atas keterlibatan dalam pemogokan dan sebagai tindakan diskriminasi.
2. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini harus mengambil tindakan yang menjamin
penghapusan kerja paksa dengan
segera dan menyeluruh.
3. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi harus melaporkan pelaksanaannya.
V. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Apabila terjadi perbedaan penafsiran
terhadap terjemahannya dalam bahasa
Indonesia, maka yang berlaku adalah
naskah asli Konvensi dalam bahasa Inggris.
Cukup jelas
Pasal 2
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3834
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 1999
TENTANG HAK ASASI MANUSIA
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa manusia, sebagai makhluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang
mengemban tugas mengelola dan
memelihara alam semesta dengan
penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan
umat manusia, oleh pencipta-Nya
dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya;
b. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati
melekat pada diri manusia, bersifat
universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh
diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
c. bahwa selain hak asasi, manusia
juga mempunyai kewajiban dasar
antara manusia yang satu terhadap
yang lain dan terhadap masyarakat
secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara;
d. bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung
jawab moral dan hukum untuk
menjunjung tinggi dan melaksanakan Dek1arasi Universal tentang
Hak Asasi Manusia yang ditetapkan
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa,
serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi
manusia yang telah diterima oleh
negara Republik Indonesia;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, b, c, dan d dalam rangka
melaksanakan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor XVIUMPR/I998
tentang Hak Asasi Manusia, perlu
membentuk Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia;
Mengingat
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1),
Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasa129,
Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33
ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 34
Undang-undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/I998 tentang Hak
Asasi Manusia;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG HAK ASASI MANUSIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
63
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, Pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
2. Kewajiban dasar manusia adalah
seperangkat kewajiban yang apabila hak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.
3. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan
yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan
manusia atas dasar agama, suku,
ras, etnik, kelompok, golongan,
status sosial, status ekomomi, jenis
kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan,
penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau
penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam kehidupan
baik individual maupun kolektif
dalam bidang politik, ekonomi.
hukum, sosial, budaya. dan aspek
kehidupan lainnya.
4.��������������������������������
Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa
sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani,
pada seseorang untuk memperoleh
pengakuan atau keterangan dari
seseorang atau dari orang ketiga,
dengan menghukumnya atas suatu
perbuatan yang lelah dilakukan
atau diduga telah dilakukan oleh
seseorang atau orang ketiga, atau
mengancam atau memaksa sese64
orang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan
pada setiap bentuk diskriminasi,
apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas
hasutan dari, dengan persetujuan,
atau sepengetahuan siapapun dan/
atau pejabat publik.
5. Anak adalah setiap manusia yang
berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,
terrnasuk anak yang masih dalam
kandungan apabila hal tersebut
adalah demi kepentingannya.
6. Pelanggaran hak asasi manusia
adalah setiap perbuatan seseorang
atau kelompok orang termasuk
aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian
yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok
orang yang dijamin oleh Undangundang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku.
7. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
yang selanjutnya disebut Komnas
HAM adalah lembaga mandiri yang
kedudukannya setingkat dengan
lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian,
penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.
BAB II
ASAS-ASAS DASAR
Pasal 2
Negara Republik Indonesia mengakui
dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari
manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan
martabat kemanusiaan, kesejahteraan,
kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Pasal 3
(1) Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia
yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk
hidup berrnasyarakat, berbangsa,
dan bernegara dalam semangat
persaudaraan.
(2) Setiap orang berhak atas pegakuan,
jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
(3) Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia, tanpa
diskriminasi.
Pasal 4
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun
dan oleh siapapun.
Pasal 5
(1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut
dan memperoleh perlakuan serta
perlindungan yang sama sesuai
dengan martabat kemanusiaannya
di depan hukum.
(2) Setiap orang berhak mendapat
bantuan dan perlindungan yang
adil dari pengadilan yang objektif
dan tidak berpihak.
(3) Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan
berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Pasal 6
(1) Dalam rangka penegakan hak asasi
manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat
harus diperhatikan dan dilindungi
oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.
(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah
ulayat dilindungi, selaras dengan
perkembangan zaman.
Pasal 7
(1) Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas
semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional
mengenai hak asasi manusia yang
telah diterima negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan hukum internsional
yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut
hak asasi manusia menjadi hukum
nasional.
Pasal 8
Perlindungan, pemajuan, penegakan,
dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.
65
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
BAB III
HAK ASASI MANUSIA
DAN KEBEBASAN DASAR MANUSIA
Bagian Kesatu
Hak untuk Hidup
Pasal 9
(1) Setiap orang berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
(2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Bagian Kedua
Hak Berkeluarga dan
Melanjutkan Keturunan
Pasal 10
(1) Setiap orang berhak membentuk
suatu keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan
yang sah.
(2) Perkawinan yang sah hanya dapat
berlangsung atas kehendak bebas
calon suami dan calon istri yang
bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Hak Mengembangkan Diri
Pasal 11
Setiap orang berhak atas pemenuhan
kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan
berkembang secara layak.
Pasal 12
Setiap orang berhak atas perlindungan
bagi pengembangan pribadinya, untuk
memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas
66
hidupnya agar menjadi manusia yang
beriman, bertaqwa, bertanggung jawab,
berahlak mulia, bahagia, dan sejahtera
sesuai dengan hak asasi manusia.
Pasal 13
Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni
dan budaya sesuai dengan martabat
manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia.
Pasal 14
(1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
(2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan
segala jenis sarana yang tersedia.
Pasal 15
Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya,
baik secara pribadi maupun kolektif,
untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Pasal 16
Setiap orang berhak untuk melakukan
pekerjaan sosial dan kebajikan, mendirikan organisasi untuk itu, termasuk
menyelenggarakan pendidikan dan
pengajaran, serta menghimpun dana
untuk maksud tersebut sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Bagian Keempat
Hak Memperoleh Keadilan
Pasal 17
Setiap orang tanpa diskiriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan. pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara
pidana, perdata, maupun administrasi
serta diadili melalui proses peradilan
yang bebas dan tidak memihak, sesuai
dengan hukum acara yang menjamin
pemeriksaan yang objektif oleh hakim
yang jujur dan adil untuk memperoleh
putusan yang adil dan benar.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 18
Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka
melakukan sesuatu tindak pidana
berhak dianggap tidak bersalah,
sampai dibuktikan kesalahannya
secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk
pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap orang tidak boleh dituntut
untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang
sudah ada sebelum tindak pidana
itu dilakukannya.
Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka
berlaku ketentuan yang paling
menguntungkan bagi tersangka.
Setiap orang yang diperiksa berhak
mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Setiap orang tidak dapat dituntut
untuk kedua kalinya dalam per-
kara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap.
Pasal 19
(1) Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan
hukuman berupa perampasan seluruh harta kekayaan milik yang
bersalah.
(2) Tidak seorangpun atas putusan
pengadilan boleh dipidana penjara
atau kurungan berdasarkan atas
alasan ketidakmampuan untuk
memenuhi suatu kewajiban dalam
perjanjian utang-piutang.
Bagian Kelima
Hak Atas Kebebasan Pribadi
Pasal 20
(1) Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba.
(2) Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa
apapun yang tujuannya serupa, dilarang.
Pasal 21
Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan
karena itu tidak boleh manjadi objek
penelitian tanpa persetujuan darinya.
Pasal 22
(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan
setiap orang memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
67
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 23
(1) Setiap orang bebas untuk memilih
dan mempunyai keyakinan politiknya.
(2) Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati
nuraninya, secara lisan dan/atau
tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan,
ketertiban, kepentingan umum,
dan keutuhan negara.
Pasal 24
(1) Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat
untuk maksud-maksud damai.
(2) Setiap warga negara atau kelompok
masyarakat berhak mendirikan
partai politik, lembaga swadaya
masyarakat atau organisasi lainnya
untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan,
dan pemajuan hak asasi manusia
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 25
Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk
hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
(1) Setiap orang berhak memiliki,
memperoleh, mengganti, atau
mempertahankan status kewarganegaraannya.
(2) Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa diskriminasi berhak menikmati hak-hak
yang bersumber dan melekat pada
kewarganegaraannya serta wajib
68
melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 27
(1) Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak,
berpindah, dan bertempat tinggal
dalam wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Setiap warga negara Indonesia
berhak meninggalkan dan masuk
kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keenam
Hak atas Rasa Aman
Pasal 28
(1) Setiap orang berhak mencari suaka
untuk memperoleh perlindungan
politik dari negara lain.
(2) Hak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak berlaku bagi mereka
yang melakukan kejahatan non politik atau perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 29
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan hak
miliknya.
(2) Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.
Pasal 30
Setiap orang berhak atas rasa aman dan
tenteram serta perlindungan terhadap
ancaman ketakutan untuk berbuat atau
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
tidak berbuat sesuatu.
Pasal 31
(1) Tempat kediaman siapapun tidak
boleh diganggu.
(2) Menginjak atau memasuki suatu
pekarangan tempat kediaman atau
memasuki suatu rumah bertentangan dengan kehendak orang yang
mendiaminya, hanya diperbolehkan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Pasal 32
Kemerdekaan dan rahasia dalam
hubungan surat-menyurat termasuk
hubungan komunikasi melalui sarana
elektronika tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kakuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 33
(1) Setiap orang berhak untuk bebas
dari penyiksaan, penghukuman
atau perlakuan yang kejam, tidak
manusiawi, merendahkan derajat
dan martabat kemanusiaannya.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas
dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.
Pasal 34
Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan,
atau dibuang secara sewenang-wenang.
Pasal 35
Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang
damai, aman, dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan
kewajiban dasar manusia sebagaimana
diatur dalam Undang-undang ini.
Bagian Ketujuh
Hak atas Kesejahteraan
Pasal 36
(1) Setiap orang berhak mempunyai
milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi
pengembangan dirinya, keluarga,
bangsa, dan masyarakat dengan
cara yang tidak melanggar hukum.
(2) Tidak seorangpun boleh dirampas
miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.
(3) Hak milik mempunyai fungsi sosial.
Pasal 37
(1) Pencabutan hak milik atas suatu
benda demi kepentingan umum,
hanya diperbolehkan dengan
mengganti kerugian yang wajar
dan segera serta pelaksanaannya
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Apabila sesuatu benda berdasarkan
ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau
tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan
dengan mengganti kerugian sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain.
Pasal 38
(1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan
yang layak.
(2) Setiap orang berhak dengan bebas
memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syaratsyarat ketenagakerjaan yang adil.
(3) Setiap orang, baik pria maupun
wanita yang melakukan pekerjaan
yang sama, sebanding, setara atau
69
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang
sama.
(4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan
yang sepadan dengan martabat
kemanusiaannya berhak atas upah
yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.
Bagian Kedelapan
Hak Turut Serta
dalam Pemerintahan
Pasal 40
Setiap orang berhak untuk bertempat
tinggal serta berkehidupan yang layak.
Pasal 43
(1) Setiap warga negara berhak untuk
dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melaui pemungutan suara
yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Setiap warga negara berhak turut
serta dalam pemerintahan dengan
langsung atau dengan perantaraan
wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
Pasal 41
(1) Setiap warga negara berhak atas
jaminan sosial yang dibutuhkan
untuk hidup layak serta untuk perkembangan priadinya secara utuh.
(2) Setiap penyandang cacat, orang
yang berusia lanjut, wanita hamil,
dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan
khusus.
Pasal 44
Setiap orang baik sendiri maupun
bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan/
atau usulan kepada pemerintah dalam
rangka pelaksanaan pemerintahan
yang bersih, efektif, dan efisien, baik
dengan lisan maupun dengan tulisan
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 42
Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan/atau cacat mental
berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus
atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan
rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara.
Bagian Kesembilan
Hak Wanita
Pasal 39
Setiap orang berhak untuk mendirikan
serikat pekerja dan tidak boleh dihambat untuk menjadi anggotanya demi
melindungi dan memperjuangkan kepentingannya serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
70
Pasal 45
Hak wanita dalam Undang-undang ini
adalah hak asasi manusia.
Pasal 46
Sistem pemilihan umum, kepartaian,
pemilihan anggota badan legislatif, dan
sistem pengangkatan di bidang ekseku-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
tif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang
ditentukan.
Pasal 47
Seorang wanita yang menikah dengan
seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti
status kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh
kembali status kewarganegaraannya.
Pasal 48
Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis,
jenjang dan jalur pendidikan sesuai
dengan persyaratan yang telah ditentukan.
Pasal 49
(1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan,
jabatan, dan profesi sesuai dengan
persyaratan dan peraturan perundang-undangan.
(2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam
pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat
mengancam keselamatan dan/atau
kesehatannya berkenaan dengan
fungsi reproduksi wanita.
(3) Hak khusus yang melekat pada diri
wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi
oleh hukum.
Pasal 50
Wanita yang telah dewasa dan/atau telah menikah berhak untuk melakukan
perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya.
Pasal 51
(1) Seorang istri selama dalam ikatan
perkawinan mempunyai hak dan
tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang
berkenaan dengan kehidupan perkawinannya. hubungan dengan
anak-anaknya, dan hak pemilikan
serta pengelolaan harta bersama.
(2) Setelah putusnya perkawinan. seorang wanita mempunyai hak dan
tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua
hal yang berkenaan dengan anakanaknya. dengan memperhatikan
kepentingan terbaik bagi anak.
(3) Setelah putusnya perkawinan. seorang wanita mempunyai hak yang
sama dengan mantan suaminya
atas semua hal yang berkenaan
dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak. sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
Bagian Kesepuluh
Hak Anak
Pasal 52
(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga,
Masyarakat, dan negara.
(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya
hak anak itu diakui dan dilindungi
oleh hukum bahkan sejak dalam
kandungan.
Pasal 53
(1) Setiap anak sejak dalam kandungan
berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan
taraf kehidupannya.
(2) Setiap anak sejak kelahirannya.
berhak atas suatu nama dan status
kewarganegaraan.
71
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 54
Setiap anak yang cacat fisik dan/atau
mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara untuk
menjamin kehidupannya sesuai dengan
martabat kemanusiaan, meningkatkan
diri, dan kemampuan berpartisipasi
dalam kehidupan bermasyarakat dan
benegara.
Pasal 55
Setiap anak berhak untuk beribadah
menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan/atau wali.
Pasal 56
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya
sendiri.
(2) Dalam hal orang tua anak tidak
mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan
sesuai dengan Undang-undang ini,
maka anak tersebut boleh diasuh
atau diangkat sebagai anak oleh
orang lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan-undangan.
Pasal 57
(1) Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dan dibimbing kehidupannya oleh orang
tua atau walinya sampai dewasa
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali
berdasarkan putusan pengadilan
apabila kedua orang tua telah meninggal sebagai orang tua.
(3) Orang tua angkat atau wali seba72
gaimana dimaksud dalam ayat (2)
harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya.
Pasal 58
(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari
segala bentuk kekerasan fisik atau
mental, penelantaran, perlakuan
buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua
atau waljnya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan
(2) Dalam hal orangtua, wali, atau
pengasuh anak melakukan segala
bentuk penganiayaan fisik atau
mental, penelantaran, perlakuan
buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan/atau
pembunuhan terhadap anak yang
seharusnya dilindungi maka harus
dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 59
(1) Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara
bertentangan dengan kehendak
anak sendiri, kecuali jika ada alasan
dan aturan hukum yang sah yang
menunjukan bahwa pemisahan itu
adalah demi kepentingan terbaik
bagi anak.
(2) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak
untuk tetap bertemu langsung dan
berhubungan pribadi secara tetap
dengan orang tuanya tetap dijamin
oleh Undang-undang.
Pasal 60
(1) Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran
dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, ba-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
kal, dan tingkat kecerdasannya.
(2) Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi
sesuai dengan tingkat intelektualilas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai
dengan nilai-nilai kesusilaan dan
kepatutan.
Pasal 61
Setiap anak berhak untuk beristirahat,
bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai
dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya.
Pasal 62
Setiap anak berhak untuk memperoleh
pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya.
Pasal 63
Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan,
sengketa bersenjata, kerusuhan sosial,
dan peristiwa lain yang mengandung
unsur kekerasan.
Pasal 64
Setiap anak berhak untuk memperoleh
perlindungan dari kegiatan eksploitasi
ekonomi dan setiap pekerjaan yang
membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan
mental spiritualnya.
Pasal 65
Setiap anak berhak untuk memperoleh
perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan,
perdagangan anak, serta dari berbagai
bentuk penyalahgunaan narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
Pasal 66
(1) Setiap anak berhak untuk tidak
dijadikan sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan
untuk pelaku tindak pidana yang
masih anak.
(3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
(4) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang
berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir .
(5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan
perlakuan secara manusiawi dan
dengan memperhatikan kebutuhan
pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan
dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.
(6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya
secara efektif dalam setiap tahapan
upaya hukum yang berlaku.
(7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri
dan memperoleh keadilan di depan
Pengadilan Anak yang objektif dan
tidak memihak dalam sidang yang
tertutup untuk umum.
BAB IV
KEWAJIBAN DASAR MANUSIA
Pasal 67
Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh
pada peraturan perundang-undangan,
hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia
73
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.
Pasal 68
Setiap warga negara wajib ikut serta
dalam upaya pembelaan negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 69
(1) Setiap orang wajib menghormati
hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
(2) Setiap hak asasi manusia seseorang
menimbulkan kewajiban dasar dan
tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain serta
menjadi tugas Pemerintah untuk
menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya.
Pasal 70
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh
Undang-undang dengan maksud untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.
BAB V
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB
PEMERINTAH
Pasal 71
Pemerintah wajib dan bertanggung
jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi
manusia yang diatur dalam Undangundang ini, peraturan perundang-un74
dangan lain, dan hukum internasional
tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.
Pasal 72
Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum,
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang
lain.
BAB VI
PEMBATASAN DAN LARANGAN
Pasal 73
Hak dan kebebasan yang diatur dalam
Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin
pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan
dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban
umum, dan kepentingan bangsa.
Pasal 74
Tidak satu ketentuanpun dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa
Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi,
merusak, atau menghapuskan hak asasi
manusia atau kebebasan dasar yang
diatur dalam Undang-undang ini.
BAB VII
KOMISI NASIONAL
HAK ASASI MANUSIA
Pasal 75
Komnas HAM bertujuan :
a. mengembangkan kondisi yang
kondusif bagi pelaksanaan hak
asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945.
dan Piagam Perserikatan Bangsa-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Bangsa, serta Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia; dan
b. meningkatkan perlindungan dan
penegakan hak asasi manusia guna
berkembangnya pribadi manusia
Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Pasal 76
(1)������������������������������
Untuk mencapai tujuannya, Komnas HAM melaksanakan fungsi
pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia.
(2)����������������������������
Komnas HAM beranggotakan tokoh masyarakat yang profesional, berdedikasi dan berintegritas
tinggi, menghayati cita-cita negara
hukum dan negara kesejahteraan
yang berintikan keadilan, menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.
(3) Komnas HAM berkedudukan di
ibukota negara Republik Indonesia.
(4) Perwakilan Komnas HAM dapat didirikan di daerah.
Pasal 77
Komnas HAM berasaskan Pancasila.
Pasal 78
(1) Komnas HAM mempunyai kelengkapan yang terdiri dari :
a. sidang paripurna; dan
b. sub komisi.
(2) Komnas HAM mempunyai sebuah
Sekretariat Jenderal sebagai unsur
pelayanan.
Pasal 79
(1) Sidang Paripurna adalah pemegang
kekuasaan tertinggi Komnas HAM.
(2) Sidang Paripurna terdiri dari seluruh anggota Komnas HAM.
(3) Sidang Paripurna menetapkan Per-
aturan Tata Tertib, Program Kerja,
dan Mekanisme Kerja Komnas
HAM.
Pasal 80
(1) Pelaksanaan kegiatan Komnas
HAM dilakukan oleh Sub-komisi
(2) Ketentuan mengenai Sub-komisi
diatur dalam Peraturan Tata Tertib
Komnas HAM.
Pasal 81
(1) Sekretariat Jenderal memberikan
pelayanan administratif bagi pelaksanaan kegiatan Komnas HAM.
(2) Sekretariat Jenderal dipimpin oleh
Sekretaris Jenderal dengan dibantu
oleh unit kerja dalam bentuk birobiro.
(3) Sekretaris Jenderal dijabat oleh
seorang Pegawai Negeri yang bukan anggota Komnas HAM.
(4) Sekretaris Jenderal diusulkan oleh
Sidang Paripurna dan ditetapkan
dengan Keputusan Presiden.
(5) Kedudukan, tugas, tanggung jawab,
dan susunan organisasi Sekretariat
Jenderal ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 82
Ketentuan mengenai Sidang Paripurna
dan Sub Komisi ditetapkan lebih lanjut
dalam Peraturan Tata Tertib Komnas
HAM.
Pasal 83
(1) Anggota Komnas HAM berjumlah
35 (tiga puluh lima) orang yang
dipilih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia berdasarkan usulan Komnas HAM dan
diresmikan oleh Presiden selaku
Kepala Negara.
(2) Komnas HAM dipimpin oleh seorang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil
75
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Ketua.
(3) Ketua dan Wakil Ketua Komnas
HAM dipilih oleh dan dari Anggota.
(4) Masa jabatan keanggotaan Komnas
HAM selama 5 (lima) tahun dan setelah berakhir dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa
jabatan.
lakukan tindak pidana kejahatan; atau
e. melakukan perbuatan tercela
dan/atau hal-hal lain yang diputus oleh Sidang Paripurna
karena mencemarkan martabat dan kemandirian dan kredibilitas Komnas HAM.
Pasal 84
Yang dapat diangkat menjadi anggota
Komnas HAM adalah Warga Negara Indonesia yang :
a. memiliki pengalaman dalam upaya
memajukan dan melindungi orang
atau kelompok yang dilanggar hak
asasi manusianya;
b. berpengalaman sebagai hakim, jaksa, polisi, pengacara, atau pengemban profesi hukum lainnya;
c. berpengalaman di bidang legislatif.
eksekutif, dan lembaga tinggi negara; atau
d. merupakan tokoh agama, tokoh
masyarakat, anggota lembaga swadaya masyarakat, dan kalangan
perguruan tinggi.
Pasal 86
Ketentuan mengenai tata cara pemilihan. pengangkatan. serta pemberhentian keanggotaan dan pimpinan Komnas HAM ditetapkan dengan Peraturan
Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 85
(1) Pemberhentian anggota Komnas
HAM dilakukan berdasarkan keputusan Sidang Paripurna dan diberitahukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia serta
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Anggota Komnas HAM berhenti antar waktu sebagai anggota karena :
a. meninggal dunia;
b. atas permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani yang
mengakibatkan anggota tidak
dapat menjalankan tugas selama 1 (satu) tahun secara terus
menerus;
d. dipidana karena bersalah me76
Pasal 87
(1) Setiap anggota Komnas HAM berkewajiban :
a. menaati ketentuan peraturan
perundang-unangan yang berlaku dan keputusan Komnas
HAM.
b. berpartisipasi secara aktif dan
sungguh-sungguh untuk tercapainya tujuan Komnas HAM;
dan
c. menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komnas HAM
yang diperoleh berdasarkan
kedudukannya sebagai anggota.
(2) Setiap Anggota Komnas HAM berhak:
a. menyampaikan usulan dan
pendapat kepada Sidang Paripurna dan Sub-komisi;
b. memberikan suara dalam
pengambilan keputusan Sidang
Paripurna dan Sub-komisi;
c. mengajukan dan memilih calon
Ketua dan Wakil Ketua Komnas
HAM dalam Sidang Paripurna;
dan
d. mengajukan bakal calon Ang-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
gota Komnas HAM dalam Sidang Paripurna untuk pergantian periodik dan antar waktu.
Pasal 88
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban dan hak Anggota Komnas HAM
serta tata cara pelaksanaannya ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 89
(1) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pengkajian dan
penelitian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan:
a. pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional
hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran
mengenai kemungkinan aksesi
dan/atau ratifikasi;
b. pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundangundangan untuk memberikan
rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan
pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan hak asasi manusia;
c. penerbitan hasil pengkajian
dan penelitian;
d. studi kepustakaan, studi lapangan dan studi banding di
negara lain mengenai hak asasi
manusia;
e. pembahasan berbagai masalah
yang berkaitan dengan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia; dan
f. kerjasama pengkajian dan penelitian dengan organisasi,
lembaga atau pihak lainnya,
baik tingkat nasional, regional,
maupun internasional dalam
bidang hak asasi manusia
(2) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76,
Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :
a. penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia;
b. upaya peningkatan kesadaran
masyarakat tentang hak asasi
manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non formal
serta berbagai kalangan lainnya; dan
c. kerjasama dengan organisasi,
lembaga atau pihak lainnya,
baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia;
(3) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76,
Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :
a. pengamatan pelaksanaan hak
asasi manusia dan penyusunan
laporan hasil pengamatan tersebut;
b. penyelidikan dan pemeriksaan
terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang
berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia;
c. pemanggilan kepada pihak
pengadu atau korban maupun
pihak yang diadukan untuk
dimintai dan didengar keterangannya;
d. pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu
diminta menyerahkan bukti
yang diperlukan;
e. peninjauan di tempat keja77
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dian dan tempat lainnya yang
dianggap perlu;
f. pemanggilan terhadap pihak
terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau
menyerahkan dokumen yang
diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua
Pengadilan;
g. pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat
lainnya yang diduduki atau
dimiliki pihak tertentu dengan
persetujuan Ketua Pengadilan;
dan
h. pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua
Pengadilan terhadap perkara
tertentu yang sedang dalam
proses peradilan. Bilamana dalam perkara tersebut terdapat
pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan
acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat
Komnas HAM tersebut wajib
diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
(4) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76,
Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :
a. perdamaian kedua belah pihak;
b. penyelesaian perkara melalui
cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi. dan penilaian
ahli;
c. pemberian saran kepada para
pihak untuk menyelesaikan
sengketa melalui pengadilan;
d. penyampaian
rekomendasi
atas suatu kasus pelanggaran
hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklan78
juti penyelesaiannya; dan
e. penyampaian
rekomendasi
atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.
Pasal 90
(1) Setiap orang dan/atau sekelompok
orang yang memiliki alasan kuat
bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan
pengaduan lisan atau tertulis pada
Komnas HAM.
(2) Pengaduan hanya akan mendapatkan pelayanan apabila disertai dengan identitas pengadu yang benar
dan keterangan atau bukti awal
yang jelas tentang materi yang diadukan.
(3) Dalam hal pengaduan dilakukan
oleh pihak lain, maka pengaduan
harus disertai dengan persetujuan
dari pihak yang hak asasinya dilanggar sebagai korban, kecuali untuk pelanggaran hak asasi manusia
tertentu berdasarkan pertimbangan Komnas HAM.
(4) Pengaduan pelanggaran hak asasi
manusia sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) meliputi pula pengaduan melalui perwakilkan mengenai pelanggaran hak asasi manusia
yang dialami oleh kelompok masyarakat.
Pasal 91
(1) Pemeriksaan atas pengaduan kepada Komnas HAM tidak dilakukan
atau dihentikan apabila:
a. tidak memiliki bukti awal yang
memadai;
b. materi pengaduan bukan masalah pelanggaran hak asasi
manusia;
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
c. pengaduan diajukan dengan
itikad buruk atau ternyata tidak ada kesungguhan dari pengadu;
d. terdapat upaya hukum yang
lebih efektif bagi penyelesaian
materi pengaduan; atau
e. sedang berlangsung penyelesaian melalui upaya hukum
yang tersedia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Mekanisme pelaksanaan kewenangan untuk tidak melakukan atau
menghentikan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Tata
Tertib Komnas HAM.
Pasal 92
(1) Dalam hal tertentu dan bila dipandang perlu, guna melindungi
kepentingan dan hak asasi yang
bersangkutan atau terwujudnya
penyelesaian terhadap masalah
yang ada, Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan
identitas pengadu, dan pemberi keterangan atau bukti lainnya serta
pihak yang terkait dengan materi
aduan atau pemantauan.
(2) Komnas HAM dapat menetapkan
untuk merahasiakan atau membatasi penyebarluasan suatu keterangan atau bukti lain yang diperoleh
Komnas HAM, yang berkaitan dengan materi pengaduan atau pemantauan.
(3) Penetapan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) didasarkan pada
pertimbangan bahwa penyebarluasan keterangan atau bukti lainnya
tersebut dapat ;
a. membahayakan keamanan dan
keselamatan negara;
b. membahayakan keselamatan
dan ketertiban umum;
c. membahayakan keselamatan
perorangan;
d. mencemarkan nama baik perorangan;
e. membocorkan rahasia negara
atau hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses pengambilan keputusan Pemerintah;
f. membocorkan hal-hal yang
wajib dirahasiakan dalam proses penyidikan, penuntutan,
dan persidangan suatu perkara
pidana;
g. menghambat terwujudnya penyelesaian terhadap masalah
yang ada; atau
h. membocorkan hal-hal yang
termasuk dalam rahasia dagang.
Pasal 93
Pemeriksaan pelanggaran hak asasi
manusia dilakukan secara tertutup,
kecuali ditentukan lain oleh Komnas
HAM.
Pasal 94
(1) Pihak pengadu, korban, saksi, dan/
atau pihak lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal
89 ayat (3) huruf c dan d, wajib memenuhi permintaan Komnas HAM.
(2) Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi oleh pihak lain yang bersangkutan, maka bagi mereka berlaku
ketentuan Pasal 95.
Pasal 95
Apabila seseorang yang dipanggil tidak
datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM
dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara
paksa sesuai dengan ketentuan peratu79
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
ran perundang-undangan.
Negara.
Pasal 96
(1) Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (4) huruf
a dan b, dilakukan oleh Anggota
Komnas HAM yang ditunjuk sebagai mediator.
(2) Penyelesaian yang dicapai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
berupa kesepakatan secara tertulis
dan ditandatangani oleh para pihak
dan dikukuhkan oleh mediator.
(3) Kesepakatan tertulis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) merupakan keputusan mediasi yang mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah.
(4) Apabila keputusan mediasi tidak
dilaksanakan oleh salah satu pihak
dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan tersebut,
maka pihak lainnya dapat memintakan kepada Pengadilan Negeri
setempat agar keputusan tersebut
dinyatakan dapat dilaksanakan
dengan pembubuhan kalimat “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
(5) Pengadilan tidak dapat menolak
permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
Pasal 99
Ketentuan dan tata cara pelaksanaan
fungsi, tugas, dan wewenang serta kegiatan Komnas HAM diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Tata Tertib Komnas
HAM.
Pasal 97
Komnas HAM wajib menyampaikan laporan tahunan tentang pelaksanaan
fungsi, tugas, dan wewenangnya, serta
kondisi hak asasi manusia, dan perkara-perkara yang ditanganinya kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden dengan tembusan
kepada Mahkamah Agung.
Pasal 98
Anggaran Komnas HAM dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja
80
BAB VIII
PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 100
Setiap orang, keIompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, Lembaga
swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi daIam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
Pasal 101
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga
swadaya masyarakat, atau lembaga
kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia kepada
Komnas HAM atau lembaga lain yang
berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi
manusia.
Pasal 102
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga
swadaya masyarakat, atau lembaga
kemasyarakan lainnya, berhak untuk
mengajukan usaha mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas
HAM dan/atau lembaga lainnya.
Pasal 103
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga
swadaya masyarakat, perguruan tinggi,
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
lembaga studi, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, baik secara sendirisendiri maupun bekerjasama dengan
Komnas HAM dapat melakukan penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan
informasi mengenai hak asasi manusia.
BAB IX
PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
Pasal 104
(1) Untuk mengadili pelanggaran hak
asasi manusia yang berat dibentuk
Pengadilan Hak Asasi Manusia di
lingkungan Peradilan Umum.
(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dibentuk dengan
Undang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 ( empat) tahun.
(3) Sebelum terbentuk Pengadilan Hak
Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diadili oleh pengadilan yang
berwenang.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 105
(1) Segala ketentuan mengenai hak
asasi manusia yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan
lain dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur dengan Undang-undang ini.
(2) Pada saat berlakunya Undang-undang ini :
a. Komnas HAM yang dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993
tentang Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia dinyatakan sebagai Komnas HAM menurut
Undang-undang ini;
b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komnas HAM masih tetap
menjalankan fungsi, tugas, dan
wewenangnya,
berdasarkan
Undang-undang ini sampai
ditetapkannya
keanggotaan
Komnas HAM yang baru; dan
c. Semua permasalahan yang
sedang ditangani oleh Komnas
HAM tetap dilanjutkan penyelesaiannya berdasarkan Undang-undang ini.
(3) Dalam waktu paling lama 2 (dua)
tahun sejak berlakunya Undangundang ini susunan organisasi,
keanggotaan, tugas dan wewenang
serta tata tertib Komnas HAM harus disesuaikan dengan Undangundang ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 106
Undang-undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
MENTERI NEGARA
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MULADI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 165
81
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 1999
TENTANG HAK ASASI MANUSIA
I. UMUM
Bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang
baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan
perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya
itu, maka manusia memiliki kebebasan
untuk memutuskan sendiri perilaku
atau perbuatannya. Di samping itu, untuk mengimbangi kebebasan tersebut
manusia memiliki kemampuan untuk
bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.
Kebebasan dasar dan hak-hak dasar
itulah yang disebut hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara
kodrati sebagai anugerah Tuhan Yang
Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak
tersebut berarti mengingkari martabat
kemanusiaan. Oleh karena itu, negara,
pemerintah, atau organisasi apapun
mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia
pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini
berarti bahwa hak asasi manusia harus
selalu menjadi titik tolak, dan tujuan
dalam penyelenggaraan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sejalan dengan pandangan di atas,
Pancasila sebagai dasar negara mengandung pemikiran bahwa manusia
diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa
82
dengan menyandang dua aspek yakni,
aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas (bermasyarakat). Oleh
karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Ini berarti bahwa setiap orang mengemban
kewajiban mengakui dan menghormati
hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga
berlaku bagi setiap organisasi pada tataran manapun, terutama negara dan
pemerintah, Dengan demikian, negara
dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak asasi manusia
setiap warga negara dan penduduknya
tanpa diskriminasi. Kewajiban menghormati hak asasi manusia tersebut,
tercermin dalam Pembukaan Undangundang Dasar 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya,
terutama berkaitan dengan persamaan
kedudukan warga negara dalam hukum
dan pemerintahan, hak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak
untuk mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan untuk beribadat sesuai
dengan agama dan kepercayaannya itu,
hak untuk memperoleh pendidikan dan
pengajaran.
Sejarah bangsa Indonesia hingga kini
mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial,
yang disebabkan oleh perilaku tidak
adil dan diskriminatif atas dasar etnik,
ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status
sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan
diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang
bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau
sebaliknya) maupun horizontal (antar
warga negara sendiri) dan tidak sedikit
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross
violation of human rights).
Pada kenyataannya selama lebih lima
puluh tahun usia Republik Indonesia,
pelaksanaan penghormatan, perlindungan, atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan. Hal
tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, bahkan pembunuhan,
pembakaran rumah tinggal dan tempat
ibadah, penyerangan pemuka agama
beserta keluarganya. Selain itu, terjadi
pula penyalahgunaan kekuasaan oleh
pejabat publik dan aparat negara yang
seharusnya menjadi penegak hukum,
pemelihara keamanan, dan pelindung
rakyat, tetapi justru mengintimidasi,
menganiaya, menghilangkan paksa
dan/atau menghilangkan nyawa.
Untuk melaksanakan kewajiban yang
diatur dalam Undang-undang Dasar
1945 tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dengan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh
Aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi
manusia kepada seluruh masyarakat,
serta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang
tidak bertentangan dengan Pancasila
dan Undang- Undang Dasar 1945.
Di samping kedua sumber hukum di
atas, pengaturan mengenai hak asasi
manusia pada dasarnya sudah ter-
cantum dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, termasuk undang-undang yang mengesahkan berbagai konvensi internasional mengenai hak asasi manusia. Namun untuk
memayungi seluruh peraturan perundang-undangan yang sudah ada, perlu
dibentuk Undang-undang tentang Hak
Asasi Manusia. Dasar pemikiran pembentukan Undang-undang ini adalah
sebagai berikut :
a. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta dengan segala
isinya;
b. pada dasarnya, manusia dianugerahi jiwa, bentuk, struktur, kemampuan, kemauan serta berbagai
kemudahan oleh Penciptanya, untuk menjamin kelanjutan hidupnya;
c. untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan martabat
manusia, diperlukan pengakuan
dan perlindungan hak asasi manusia, karena tanpa hal tersebut
manusia akan kehilangan sifat dan
martabatnya, sehingga dapat mendorong manusia menjadi serigala
bagi manusia lainnya (homo homini
lupus);
d. karena manusia merupakan makhluk sosial, maka hak asasi manusia
yang satu dibatasi oleh hak asasi
manusia yang lain, sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas;
e. hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam
keadaan apapun;
f. setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang
lain, sehingga di dalam hak asasi
manusia terdapat kewajiban dasar;
g. hak asasi manusia harus benarbenar dihormati, dilindungi, dan
83
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
ditegakkan, dan untuk itu pemerintah, aparatur negara, dan pejabat
publik lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjamin
terselenggaranya penghormatan,
perlindungan, dan penegakan hak
asasi manusia.
Dalam Undang-undang ini, pengaturan
mengenai hak asasi manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan
Bangsa- Bangsa, Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Anak, dan
berbagai instrumen internasional lain
yang mengatur mengenai hak asasi manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan hukum
masyarakat dan pembangunan hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945.
Undang-undang ini secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup dan hak
untuk tidak dihilangkan paksa dan/
atau tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan,
hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan
pribadi, hak atas rasa aman, hak atas
kesejahteraan, hak turut serta dalam
pemerintahan, hak wanita, hak anak,
dan hak atas kebebasan beragama. Selain mengatur hak asasi manusia, diatur
pula mengenai kewajiban dasar, serta
tugas dan tanggung jawab pemerintah
dalam penegakan hak asasi manusia.
Di samping itu, Undang-undang ini
mengatur mengenai Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai lembaga mandiri yang mempunyai
fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung
84
jawab untuk melaksanakan pengkajian,
penelitian, penyuluhan, pemantauan,
dan mediasi tentang hak asasi manusia.
Dalam Undang-undang ini, diatur pula
tentang partisipasi masyarakat berupa
pengaduan dan/atau gugatan atas pelanggaran hak asasi manusia, pengajaran usulan mengenai perumusan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi
manusia kepada Komnas HAM, penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan
informasi mengenai hak asasi manusia.
Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia ini adalah merupakan payung
dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia.
Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas hak
asasi manusia dikenakan sanksi pidana,
perdata, dan/atau administratif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PASAL DEMI PASAL
Cukup jelas
Pasal 1
Pasal 2
Hak asasi manusia dan kebebasan dasar
manusia tidak dapat dilepaskan dari
manusia pribadi karena tanpa hak asasi
manusia dan kebebasan dasar manusia
yang bersangkutan kehilangan harkat
dan martabat kemanusiannya. Oleh
karena itu, negara Republik Indonesia
termasuk Pemerintah berkewajiban,
baik secara hukum maupun secara politik, ekonomi, sosial dan moral, untuk
melindungi dan memajukan serta mengambil langkah-langkah konkret demi
tegaknya hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia.
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Cukup jelas
Pasal 3
Pasal 4
Yang dimaksud dengan “dalam keadaan
apapun” termasuk keadaan perang,
sengketa bersenjata, dan/atau keadaan
darurat. Yang dimaksud dengan “siapapun” adalah Negara, Pemerintah dan/
atau anggota masyarakat. Hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut dapat dikecualikan dalam
hal pelanggaran berat terhadap hak
asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kelompok masyarakat yang rentan” antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir
miskin, wanita hamil, dan penyandang
cacat.
Pasal 6
Ayat (1)
Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus
dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak
asasi manusia dalam masyarakat yang
bersangkutan dengan memperhatikan
hukum dan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang
masih secara nyata dipegang teguh
oleh masyarakat hukum adat setempat,
tetap dihormati dan dilindungi sepan-
jang tidak bertentangan dengan asasasas negara hukum yang berintikan
keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “upaya hukum”
adalah jalan yang dapat ditempuh oleh
setiap orang atau kelompok orang untuk membela dan memulihkan hakhaknya yang disediakan oleh hukum Indonesia seperti misalnya, oleh Komnas
HAM atau oleh pengadilan. Termasuk
upaya untuk naik banding ke Pengadilan Tinggi, mengajukan kasasi dan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung
terhadap putusan pengadilan tingkat
pertama dan tingkat banding. Dalam
Pasal ini dimaksudkan bahwa mereka
yang ingin menegakkan hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya diwajibkan untuk menempuh semua upaya
hukum tersebut pada tingkat nasional
terlebih dahulu (exhaustion of local remedies) sebelum menggunakan forum baik
di tingkat regional maupun internasional, kecuali bila tidak mendapatkan
tanggapan dari forum hukum nasional.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan “perlindungan”
adalah termasuk pembelaan hak asasi
manusia.
Pasal 9
Ayat (1)
Setiap orang berhak atas kehidupan,
mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak
atas kehidupan ini bahkan juga melekat
pada bayi yang belum lahir atau orang
yang terpidana mati. Dalam hal atau
keadaan yang sangat luar biasa yaitu
demi kepentingan hidup ibunya dalam
kasus aborsi atau berdasarkan putusan
pengadilan dalam kasus pidana mati.
Maka tindakan aborsi atau pidana mati
85
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dalam hal dan/atau kondisi tersebut,
masih dapat diizinkan. Hanya pada dua
hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perkawinan
yang sah” adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan,
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kehendak bebas” adalah kehendak yang lahir dari
niat yang suci tanpa paksaan, penipuan,
atau tekanan apapun dan dari siapapun
terhadap calon suami dan/atau calon
istri,
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
86
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “seluruh harta
kekayaan milik yang bersalah” adalah
harta yang bukan berasal dari pelanggaran atau kejahatan.
Ayat (2) Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 20
Pasal 21
Yang dimaksud dengan “menjadi objek
penelitian” adalah kegiatan menempatkan seseorang sebagai pihak yang
dimintai komentar, pendapat atau keterangan yang menyangkut kehidupan
pribadi dan data-data pribadinya serta
direkam gambar dan suaranya.
Pasal 13
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”hak untuk
bebas memeluk agamanya dan kepercayaannya” adalah hak setiap orang
untuk beragama menurut keyakinannya sendiri, tanpa adanya paksaan dari
siapapun juga.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup je]as
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 23
Pasal 24
Pasal 25
Pasal 26
Pasa1 27
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang menentukan suatu perbuatan
termasuk kejahatan politik atau nonpolitik adalah negara yang menerima
pencari suaka.
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 29
Pasal 30
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tidak boleh
diganggu” adalah hak yang berkaitan
dengan kehidupan pribadi (privacy) di
dalam tempat kediamannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 32
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penghilangan
paksa” dalam ayat ini adalah tindakan
yang dilakukan oleh siapapun yang menyebabkan seseorang tidak diketahui
keberadaan dan keadaannya. Sedangkan yang dimaksud dengan “penghilangan nyawa” adalah pembunuhan
yang dilakukan sewenang-wenang tidak berdasarkan putusan pengadilan.
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 34
Pasal 35
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “hak milik
mempunyai fungsi sosial” adalah bahwa setiap penggunaan hak milik harus
memperhatikan kepentingan umum.
Apabila kepentingan umum menghendaki alau membutuhkan benar-benar
maka hak milik dapat dicabut sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 37
Pasal 38
Pasal 39
Yang dimaksud dengan “tidak boleh
dihambat” adalah bahwa setiap orang
atau pekerja tidak dapat dipaksa untuk
menjadi anggota atau untuk tidak menjadi anggota dari suatu serikat pekerja.
Cukup jelas
Pasal 40
Pasal 41
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “berhak atas
jaminan sosial” adalah bahwa setiap
warga negara mendapat jaminan sosial
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kemampuan
negara.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kemudahan
dan perlakuan khusus” adalah pemberian pelayanan. jasa, atau penyediaan
fasilitas dan sarana demi kelancaran,
keamanan, kesehatan, dan keselama87
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
tan.
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 42
Pasal 43
Pasal 44
Pasal 45
Pasal 46
Yang dimaksud dengan “keterwakilan
wanita” adalah pemberian kesempatan
dan kedudukan yang sama bagi wanita
untuk melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, kepartaian, dan pemilihan umum
menuju keadilan dan kesetaraan jender.
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 47
Pasal 48
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “perlindungan
khusus terhadap fungsi reproduksi”
adalah pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan,
dan pemberian kesempatan untuk menyusui anak.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 50
Yang dimaksud dengan “melakukan
perbuatan hukum sendiri” adalah ca88
kap menurut hukum untuk melakukan
perbuatan hukum, dan bagi wanita beragama Islam yang sudah dewasa, untuk menikah diwajibkan menggunakan
wali.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tanggung
jawab yang sama” adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada kedua
orang tua dalam hal pendidikan, biaya
hidup, kasih sayang, serta pembinaan
masa depan yang baik bagi anak.
Yang dimaksud dengan “Kepentingan
terbaik bagi anak” adalah sesuai dengan hak anak sebagaimana tercantum
dalam Konvensi Hak Anak yang telah
diratifikasi dengan Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child
(Konvensi tentang Hak Anak).
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 52
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat(2)
Yang dimaksud dengan “suatu nama”
adalah nama sendiri, dan nama orang
tua kandung, dan/atau nama keluarga,
dan/atau nama marga.
Pasal 54
Pelaksanaan hak anak yang cacat fisik dan/atau mental atas biaya negara
diutamakan bagi kalangan yang tidak
mampu.
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 55
Pasal 56
Pasal 57
Pasal 58
Pasal 59
Pasal ini berkaitan dengan perceraian
orang tua anak, atau dalam hal kematian salah seorang dari orang tuanya,
atau dalam hal kuasa asuh orang tua
dicabut, atau bila anak disiksa atau tidak dilindungi atau ketidakmampuan
orang tuanya.
Pasal 60
Ayat (1)
Pendidikan dalam ayat ini mencakup
pendidikan tata krama dan budi pekerti.
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 61
Pasal 62
Pasal 63
Pasal 64
Pasal 65
Berbagai bentuk penyalahgunaan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya mencakup kegiatan produksi,
peredaran, dan perdagangan sampai
dengan penggunaannya yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 66
Pasal 67
Pasal 68
Pasal 69
Pasal 70
Pasal 71
Pasal 72
Pasal 73
Pembatasan yang dimaksud dalam Pasal ini tidak berlaku terhadap hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi
(non-derogable rights) dengan memperhatikan Penjelasan Pasal 4 dan Pasal 9.
Yang dimaksud dengan “kepentingan
bangsa” adalah untuk keutuhan bangsa dan bukan merupakan kepentingan
penguasa.
Pasal 74
Ketentuan dalam Pasal ini menegaskan
bahwa siapapun tidak dibenarkan mengambil keuntungan sepihak dan/atau
mendatangkan kerugian pihak lain dalam mengartikan ketentuan dalam Undang-undang ini, sehingga mengakibatkan berkurangnya dan/atau hapusnya
hak asasi manusia yang dijamin oleh
Undang-undang ini.
89
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 75
Pasal 81
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Keputusan tentang pemberhentian dilakukan dengan pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan
dan diberikan hak untuk membela diri
dalam Sidang Paripurna yang diadakan
khusus untuk itu.
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 76
Pasal 77
Pasal 78
Pasal 79
Pasal 80
Pasal 83
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “diresmikan
oleh Presiden” adalah dalam bentuk Keputusan Presiden. Peresmian oleh Presiden dikaitkan dengan kemandirian
Komnas HAM. Usulan Komnas HAM
yang dimaksud harus menampung seluruh aspirasi dari berbagai lapisan masyarakat sesuai dengan syarat-syarat
yang ditetapkan, yang jumlahnya paling banyak 70 (tujuh puluh) orang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Cukup jelas
90
Pasal 84
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 86
Pasal 87
Pasal 88
Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penyelidikan
dan pemeriksaan” dalam rangka pemantauan adalah kegiatan pencarian
data, informasi, dan fakta untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran hak asasi manusia.
Huruf c
Cukup jelas
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Yang dimaksud dengan “pelanggaran
hak asasi manusia dalam masalah publik” antara lain mengenai pertanahan,
ketenagakerjaan, dan lingkungan hidup.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan “mediasi” adalah penyelesaian perkara perdata di
luar pengadilan, atas dasar kesepakatan para pihak.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pengaduan
melalui perwakilan” adalah pengaduan
yang dilakukan oleh perorangan atau
kelompok untuk bertindak mewakili
masyarakat tertentu yang dilanggar
hak asasinya dan/atau atas dasar kesamaan kepentingan hukumnya.
Pasal 91
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan”itikad buruk”
adalah perbuatan yang mengandung
maksud dan tujuan yang tidak baik misalnya pengaduan yang disertai data
palsu atau keterangan tidak benar.
dan/atau ditujukan semata-mata untuk
mengakibatkan pencemaran nama baik
perorangan, keresahan kelompok, dan/
atau masyarakat.
Yang dimaksud dengan”tidak ada kesungguhan” adalah bahwa pengadu
benar-benar tidak bermaksud menyelesaikan sengketanya. misalnya pengadu
telah 3 (tiga) kali dipanggil tidak datang
tanpa alasan yang sah.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 92
Pasal 93
Pasal 94
Pasal 95
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam
Pasal ini adalah ketentuan Pasal 140
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 141 ayat (1)
Reglemen Indonesia yang diperbaharui
(RIB) atau Pasal 167 ayat (1) Reglemen
Luar Jawa dan Madura.
91
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 96
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Lembar keputusan asli atau salinan
otentik keputusan mediasi diserahkan
dan didaftarkan oleh mediator kepada
Panitera Pengadilan Negeri.
Ayat (4)
Permintaan terhadap keputusan yang
dapat dilaksanakan (fiat eksekusi) kepada Pengadilan Negeri dilakukan melalui Komnas HAM. Apabila pihak yang
bersangkutan tetap tidak melaksanakan keputusan yang telah dinyatakan
dapat dilaksanakan oleh pengadilan,
maka pengadilan wajib melaksanakan
keputusan tersebut. Terhadap pihak
ketiga yang merasa dirugikan oleh keputusan ini, maka pihak ketiga tersebut
masih dimungkinkan mengajukan gugatan melalui pengadilan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
92
Cukup jelas
Pasal 103
Pasal 104
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pelanggaran
hak asasi manusia yang berat” adalah
pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar
putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan
orang secara paksa, perbudakan, atau
diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic diserimination).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pengadilan
yang berwenang” meliputi empat lingkungan peradilan sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1910
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 35 Tahun 1999.
Pasal 105
Pasal 97
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3886
Pasal 100
Pasal 101
Pasal 102
Pasal 106
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2006
TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa salah satu alat bukti yang
sah dalam proses peradilan pidana
adalah keterangan Saksi dan/atau
Korban yang mendengar, melihat,
atau mengalami sendiri terjadinya
suatu tindak pidana dalam upaya
mencari dan menemukan kejelasan
tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana;
b. bahwa penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan
oleh pelaku tindak pidana mengalami kesulitan karena tidak dapat
menghadirkan Saksi dan/atau Korban disebabkan adanya ancaman,
baik fisik maupun psikis dari pihak
tertentu;
c. bahwa sehubungan dengan hal
tersebut, perlu dilakukan perlindungan bagi Saksi dan/atau
Korban yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan
pidana;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
membentuk Undang-undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
Mengingat :
1. Pasal 1 ayat (3), Pasal 20, Pasal 21,
Pasal 28G, Pasal 28I, dan Pasal 28J
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI
DAN KORBAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Saksi adalah orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia
alami sendiri.
2. Korban adalah seseorang yang
93
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
3.
4.
5.
6.
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi
yang diakibatkan oleh suatu tindak
pidana.
Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban, yang selanjutnya disingkat
LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak
lain kepada Saksi dan/atau Korban
sebagaimana diatur dalam Undangundang itu.
Ancaman adalah segala bentuk
perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak
langsung, yang mengakibatkan
Saksi dan/atau Korban merasa takut dan/atau dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan
pemberian kesaksiannya dalam
suatu proses peradilan pidana.
Keluarga adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan
garis menyamping sampai derajat
ketiga, atau yang mempunyai hubungan perkawinan, atau orang
yang menjadi tanggungan Saksi
dan/atau Korban.
Perlindungan adalah segala upaya
pemenuhan hak dan pemberian
bantuan untuk memberikan rasa
aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh
LPSK atau lembaga lainnya sesuai
dengan ketentuan Undang-undang
ini.
Pasal 2
Undang-undang ini memberikan perlindungan pada Saksi dan Korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan.
94
Pasal 3
Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada:
a. penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
b. rasa aman;
c. keadilan;
d. tidak diskriminatif; dan
e. kepastian hukum.
Pasal 4
Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada
Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses
peradilan pidana.
BAB II
PERLINDUNGAN DAN HAK SAKSI
DAN KORBAN
Pasal 5
1. Seorang Saksi dan Korban berhak:
a. memperoleh
perlindungan
atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta
bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan, sedang, atau telah diberikannya;
b ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan
keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa
tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang
menjerat;
f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. mendapat identitas baru;
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
j. mendapatkan tempat kediaman baru;
k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan;
l. mendapat nasihat hukum;
dan/atau
m. memperoleh bantuan biaya
hidup sementara sampai batas
waktu perlindungan berakhir.
(2) Hak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan kepada
Saksi dan/atau Korban tindak
pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan
LPSK.
Pasal 6
Korban dalam pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, selain berhak atas
hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan:
a. bantuan medis; dan
b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Pasal 7
(1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:
a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung
jawab pelaku tindak pidana.
(2) Keputusan mengenai kompensasi
dan restitusi diberikan oleh pengadilan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak tahap penyelidikan
dimulai dan berakhir sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam
Undang-undang ini.
Pasal 9
(1) Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam Ancaman
yang sangat besar, atas persetujuan
hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa.
(2) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
memberikan kesaksiannya secara
tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan
membubuhkan tanda tangannya
pada berita acara yang memuat
tentang kesaksian tersebut.
(3) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
pula didengar kesaksiannya secara
langsung melalui sarana elektronik
dengan didampingi oleh pejabat
yang berwenang.
Pasal 10
(1) Saksi, Korban, dan pelapor tidak
dapat dituntut secara hukum baik
pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang,
atau telah diberikannya.
(2) Seorang Saksi yang juga tersangka
dalam kasus yang sama tidak dapat
dibebaskan dari tuntutan pidana
apabila ia ternyata terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan
pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan pelapor
yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.
95
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
BAB III
LEMBAGA PERLINDUNGAN
SAKSI DAN KORBAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 11
(1) LPSK merupakan lembaga yang
mandiri.
(2) LPSK berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia.
(3) LPSK mempunyai perwakilan di
daerah sesuai dengan keperluan.
Pasal 12
LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan
bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang
ini.
Pasal 13
(1) LPSK bertanggung jawab kepada
Presiden.
(2) LPSK membuat laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugas
LPSK kepada Dewan Perwakilan
Rakyat paling sedikit sekali dalam 1
(satu) tahun.
Bagian Kedua
Kelembagaan
Pasal 14
Anggota LPSK terdiri atas 7 (tujuh)
orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman
di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak
asasi manusia, kepolisian, kejaksaan,
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, akademisi, advokat, atau lembaga swadaya masyarakat.
96
Pasal 15
(1) Masa jabatan anggota LPSK adalah
5 (lima) tahun.
(2) Setelah berakhir masa jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
anggota LPSK dapat dipilih kembali
dalam jabatan yang sama, hanya
untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 16
LPSK terdiri atas Pimpinan dan
Anggota.
Pimpinan LPSK terdiri atas Ketua
dan Wakil Ketua yang merangkap
anggota.
Pimpinan LPSK dipilih dari dan
oleh anggota LPSK.
Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara pemilihan Pimpinan LPSK
diatur dengan Peraturan LPSK.
Pasal 17
Masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua
LPSK selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu)
kali masa jabatan berikutnya.
Pasal 18
(1) Dalam pelaksanaan tugasnya, LPSK
dibantu oleh sebuah sekretariat
yang bertugas memberikan pelayanan administrasi bagi kegiatan
LPSK.
(2) Sekretariat LPSK dipimpin oleh seorang Sekretaris yang berasal dari
Pegawai Negeri Sipil.
(3) Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Sekretaris Negara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
kedudukan, susunan, organisasi,
tugas, dan tanggung jawab sekretariat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Presiden.
(5) Peraturan Presiden sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) ditetapkan
dalam waktu paling lambat 3 (tiga)
bulan sejak LPSK terbentuk.
Pasal 19
(1) Untuk pertama kali seleksi dan pemilihan anggota LPSK dilakukan
oleh Presiden.
(2) Dalam melaksanakan seleksi dan
pemilihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Presiden membentuk
panitia seleksi.
(3) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas 5
(lima) orang, dengan susunan sebagai berikut:
a. 2 (dua) orang berasal dari unur pemerintah; dan
b. 3 (tiga) orang berasal dari unsur masyarakat.
(4) Anggota panitia seleksi tidak dapat
dicalonkan sebagai anggota LPSK.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
susunan panitia seleksi, tata cara
pelaksanaan scleksi, dan pemilihan
calon anggota LPSK, diatur dengan
Peraturan Presiden.
Pasal 20
(1) Panitia seleksi mengusulkan kepada Presiden sejumlah 21 (dua puluh
satu) orang calon yang telah memenuhi persyaratan.
(2) Presiden memilih sebanyak 14 (empat belas) orang dari sejumlah calon sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat memilih dan menyetujui 7 (tujuh) orang
dari calon sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
Pasal 21
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memberikan persetujuan dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon anggota LPSK diterima.
(2) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan persetujuan
terhadap seorang calon atau lebih
yang diajukan oleh Presiden, dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal
diterimanya pengajuan calon anggota LPSK, Dewan Perwakilan Rakyat harus memberitahukan kepada
Presiden disertai dengan alasan.
(3) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Presiden mengajukan calon
pengganti sebanyak 2 (dua) kali
jumlah calon anggota yang tidak
disetujui.
(4) Dewan Perwakilan Rakyat wajib
memberikan persetujuan terhadap
calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon pengganti diterima.
Pasal 22
Presiden menetapkan anggota LPSK
yang telah memperoleh persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak tanggal persetujuan diterima Presiden.
Bagian Ketiga
Pengangkatan dan Pemberhentian
Pasal 23
(1) Anggota LPSK diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
97
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
(2) Untuk dapat diangkat menjadi anggota LPSK harus memenuhi syarat:
a. warga negara Indonesia;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. tidak pernah dijatuhi pidana
karena melakukan tindak
pidana kejahatan yang ancaman pidananya paling singkat
5 (lima) tahun;
d. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling
tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat proses pemilihan;
e. berpendidikan paling rendah
S-1 (strata satu);
f. berpengalaman di bidang
hukum dan hak asasi manusia
paling singkat 10 (sepuluh) tahun;
g. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; dan
h. memiliki nomor pokok wajib
pajak.
Pasal 24
1. Anggota LPSK diberhentikan karena:
a. meninggal dunia;
b. masa tugasnya telah berakhir;
c. atas permintaan sendiri;
d. sakit jasmani atau rohani yang
mengakibatkan tidak dapat
menjalankan tugas selama 30
(tiga puluh) hari secara terus
menerus;
e. melakukan perbuatan tercela
dan/atau hal-hal lain yang berdasarkan Keputusan LPSK yang
bersangkutan harus diberhentikan karena telah mencemarkan martabat dan reputasi,
dan/atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas LPSK;
atau
f. dipidana karena bersalah me98
lakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman pidananya
paling singkat 5 (lima) tahun.
Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pengangkatan dan pemberhentian
anggota LPSK diatur dengan Peraturan
Presiden.
Bagian Keempat
Pengambilan Keputusan
dan Pembiayaan
Pasal 26
(1) Keputusan LPSK diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
dicapai, keputusan diambil dengan
suara terbanyak.
Pasal 27
Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas LPSK dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
BAB IV
SYARAT DAN TATA CARA
PEMBERIAN PERLINDUNGAN
DAN BANTUAN
Bagian Kesatu
Syarat Pemberian
Perlindungan dan Bantuan
Pasal 28
Perjanjian perlindungan LPSK terhadap
Saksi dan/atau Korban tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut:
a. sifat pentingnya keterangan Saksi
dan/atau Korban;
b. tingkat ancaman yang membaha-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
yakan Saksi dan/atau Korban;
c. hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban;
d. rekam jejak kejahatan yang pernah
dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban.
Bagian Kedua
Tata Cara Pemberian Perlindungan
Pasal 29
Tata cara memperoleh perlindungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
sebagai berikut:
a. Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan
permohonan secara tertulis kepada
LPSK;
b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. Keputusan LPSK diberikan secara
tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari
sejak permohonan perlindungan
diajukan.
Pasal 30
(1) Dalam hal LPSK menerima permohonan Saksi dan/atau Korban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29, Saksi dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan
mengikuti syarat dan ketentuan
perlindungan Saksi dan Korban.
(2) Pernyataan kesediaan mengikuti
syarat dan ketentuan perlindungan
Saksi dan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan;
b. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan
yang berkenaan dengan keselamatannya;
c. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan
dengan cara apa pun dcngan
orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK;
d. kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaannya di bawah
perlindungan LPSK; dan
e. hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
Pasal 31
LPSK wajib memberikan perlindungan
sepenuhnya kepada Saksi dan/atau
Korban, termasuk keluarganya, sejak
ditandatanganinya pernyataan kesediaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30.
Pasal 32
(1) Perlindungan atas keamanan Saksi
dan/atau Korban hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan:
a. Saksi dan/atau Korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam
hal permohonan diajukan atas
inisiatif sendiri;
b. atas permintaan pejabat yang
berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap
Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan;
c. Saksi dan/atau Korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian;
atau
d. LPSK berpendapat bahwa Saksi
dan/atau Korban tidak lagi memerlukan perlindungan ber99
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dasarkan bukti-bukti yang meyakinkan.
(2) Penghentian perlindungan keamanan seorang Saksi dan/atau Korban
harus dilakukan secara tertulis.
Bagian Ketiga
Tata Cara Pemberian Bantuan
Pasal 33
Bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan kepada seorang
Saksi dan/atau Korban atas permintaan
tertulis dari yang bersangkutan ataupun orang yang mewakilinya kepada
LPSK.
Pasal 34
(1) LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi
dan/atau Korban.
(2) Dalam hal Saksi dan/atau Korban
layak diberi bantuan, LPSK menentukan jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
kelayakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) serta jangka waktu
dan besaran biaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
Keputusan LPSK mengenai pemberian
bantuan kepada Saksi dan/atau Korban
harus diberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan dalam waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
diterimanya permintaan tersebut.
Pasal 36
(1) Dalam melaksanakan pemberian
perlindungan dan bantuan, LPSK
dapat bekerja lama dengan instansi
terkait yang berwenang.
(2) Dalam melaksanakan perlindungan
100
dan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi terkait
sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
BAB V
KETENTUAN PIDANA
Pasal 37
(1) Setiap orang yang memaksakan
kehendaknya baik menggunakan
kekerasan maupun cara-cara tertentu, yang menyebabkan Saksi
dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf
a atau huruf d sehingga Saksi dan/
atau Korban tidak memberikan
kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat mana pun, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
5 (lima) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp. 40.000.000,00
(empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sehingga
menimbulkan luka berat pada Saksi
dan/atau Korban, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 80.000.000,00 (delapan
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
(3) Setiap orang yang melakukan
pemaksaan kehendak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sehingga
mengakibatkan matinya Saksi
dan/atau Korban, dipidana dengan
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama
seumur hidup dan pidana denda
paling sedikit Rp. 80.000.000,00
(delapan puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Pasal 38
Setiap orang yang menghalang-halangi
dengan cara apapun, sehingga Saksi
dan/atau Korban tidak memperoleh
perlindungan atau bantuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf d, Pasal 6, atau Pasal 7
ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp. 80.000.000,00
(delapan puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
Pasal 39
Setiap orang yang menyebabkan Saksi
dan/atau Korban atau keluarganya kehilangan pekerjaan karena Saksi dan/
atau Korban tersebut memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp. 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Pasal 40
Setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak-hak
Saksi dan/atau Korban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, atau
Pasal 7 ayat (1) karena Saksi dan/atau
Korban memberikan kesaksian yang
benar dalam proses peradilan, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Pasal 41
Setiap orang yang memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau Korban yang
tengah dilindungi dalam suatu tempat
khusus yang dirahasiakan oleh LPSK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) huruf j, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp. 80.000.000,00
(delapan puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
Pasal 42
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal
39, Pasal 40, dan Pasal 41 dilakukan oleh
pejabat publik, ancaman pidananya ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).
Pasal 43
(1) Dalam hal terpidana tidak mampu
membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41,
dan Pasal 42 pidana denda tersebut
diganti dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Pidana penjara sebagai pengganti
pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan
dalam amar putusan hakim.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 44
Pada saat Undang-undang ini diun101
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dangkan, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
perlindungan terhadap Saksi dan/
atau Korban dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-undang ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 45
LPSK harus dibentuk dalam waktu paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-undang ini diundangkan.
Pasal 46
Undang-undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaga Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 11 Agustus 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 11 Agustus 2006
MENTERI HUKUM
DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2006 NOMOR 64
102
PENJELASAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2006
TENTANG PERLINDUNGAN
SAKSI DAN KORBAN
I. UMUM
Keberhasilan suatu proses peradilan
pidana sangat bergantung pada alat
bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan. Dalam proses persidangan, terutama yang berkenaan dengan Saksi,
banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya Saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Padahal,
adanya Saksi dan Korban merupakan
unsur yang sangat menentukan dalam
proses peradilan pidana. Keberadaan
Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana selama ini kurang mendapat perhatian masyarakat dan penegak
hukum. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh Saksi dan Korban takut
memberikan kesaksian kepada penegak
hukum karena mendapat ancaman dari
pihak tertentu. Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk
mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan
cara memberikan perlindungan hukum
dan keamanan kepada setiap orang
yang mengetahui atau menemukan
suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada
penegak hukum.
Pelapor yang demikian itu harus diberi
perlindungan hukum dan keamanan
yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau
terintimidasi baik hak maupun jiwanya.
Dengan jaminan perlindungan hukum
dan keamanan tersebut, diharapkan
tercipta suatu keadaan yang memung-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
kinkan masyarakat tidak lagi merasa
takut untuk melaporkan suatu tindak
pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut
jiwanya terancam oleh pihak tertentu.
Perlindungan Saksi dan Korban dalam
proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal
50 sampai dengan Pasal 68 Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka
atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan
pelanggaran hak asasi manusia. Oleh
karena itu, sudah saatnya perlindungan
Saksi dan Korban diatur dengan undang-undang tersendiri.
Berdasarkan asas kesamaan di depan
hukum (equality before the law) yang
menjadi salah satu ciri negara hukum,
Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan
perlindungan hukum. Adapun pokok
materi muatan yang diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan
Saksi dan Korban meliputi:
1. Perlindungan dan hak Saksi dan
Korban;
2. Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban;
3. Syarat dan tata cara pemberian
perlindungan dan bantuan; dan
4. Ketentuan pidana.
II. PASAL DEMI PASAL
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 1
Pasal 2
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Perlindungan semacam ini merupakan
perlindungan utama yang diperlukan
Saksi dan Korban. Apabila perlu, Saksi
dan Korban harus ditempatkan dalam
suatu lokasi yang dirahasiakan dari siapapun untuk menjamin agar Saksi dan
Korban aman.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Hak ini diberikan kepada Saksi dan Korban yang tidak lancar berbahasa Indonesia untuk memperlancar persidangan.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Seringkali Saksi dan Korban hanya berperan dalam pemberian kesaksian di
pengadilan, tetapi Saksi dan Korban tidak mengetahui perkembangan kasus
yang bersangkutan. Oleh karena itu,
sudah seharusnya informasi mengenai
perkembangan kasus diberikan kepada
Saksi dan Korban.
Huruf g
Informasi ini penting untuk diketahui
Saksi dan Korban sebagai tanda penghargaan atas kesediaan Saksi dan Korban dalam proses peradilan tersebut.
Huruf h
Ketakutan Saksi dan Korban akan adanya balas dendam dari terdakwa cukup
beralasan dan ia berhak diberitahu apabila seorang terpidana yang dihukum
103
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
penjara akan dibebaskan.
Huruf i
Dalam berbagai kasus, terutama yang
menyangkut kejahatan terorganisasi,
Saksi dan Korban dapat terancam walaupun terdakwa sudah dihukum. Dalam kasus-kasus tertentu, Saksi dan
Korban dapat diberi identitas baru.
Huruf j
Apabila keamanan Saksi dan Korban
sudah sangat mengkhawatirkan, pemberian tempat baru pada Saksi dan Korban harus dipertimbangkan agar Saksi
dan Korban dapat meneruskan kehidupannya tanpa ketakutan. Yang dimaksud dengan “tempat kediaman baru”
adalah tempat tertentu yang bersifat
sementara dan dianggap aman.
Huruf k
Saksi dan Korban yang tidak mampu
membiayai dirinya untuk mendatangi
lokasi, perlu mendapat bantuan biaya
dari negara.
Huruf l
Yang dimaksud dengan “nasihat
hukum” adalah nasihat hukum yang
dibutuhkan oleh Saksi dan Korban apabila diperlukan.
Huruf m
Yang dimaksud dengan “biaya hidup
sementara” adalah biaya hidup yang
sesuai dengan situasi yang dihadapi
pada waktu itu, misalnya biaya untuk
makan sehari-hari.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kasus-kasus
tertentu”, antara lain, tindak pidana
korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme,
dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.
104
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bantuan rehabilitasi psikososial” adalah bantuan
yang diberikan oleh psikolog kepada
Korban yang menderita trauma atau
masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan
Korban.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “ancaman
sangat besar” adalah ancaman yang
menyebabkan Saksi dan/atau Korban
tidak dapat memberikan kesaksiannya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pejabat yang
berwenang” adalah penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Ayat (3)
Kehadiran pejabat ini untuk memastikan bahwa Saksi dan/atau Korban tidak dalam paksaan atau tekanan ketika
Saksi dan/atau Korban memberikan keterangan.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pelapor” adalah orang yang memberikan informasi
kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “memberikan
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
keterangan tidak dengan itikad baik”
dalam ketentuan ini antara lain memberikan keterangan palsu, sumpah palsu, dan permufakatan jahat.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “lembaga yang
mandiri” adalah lembaga yang independen, tanpa campur tangan dari pihak mana pun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
Pasal 25
Pasal 26
Pasal 27
Pasal 28
Pasal 29
Pasal 20
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan ini ditujukan untuk melindungi Saksi dan/atau Korban dari berbagai kemungkinan yang akan melemahkan perlindungan pada dirinya.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
Pasal 19
Pasal 31
105
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 32
Pasal 33
Pasal 34
Pasal 35
Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “instansi terkait yang berwenang” adalah lembaga
pemerintah dan non pemerintah atau
lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kapasitas dan hak untuk memberikan bantuan baik langsung maupun
tidak langsung yang dapat mendukung
kerja LPSK, yang diperlukan dan disetujui keberadaannya oleh Saksi dan/atau
Korban.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 37
Pasal 38
Pasal 39
Pasal 40
Pasal 41
Pasal 42
Yang dimaksud dengan “pejabat publik” adalah pejabat negara dan penyelenggara negara yang menjalankan
106
fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan
tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 43
Pasal 44
Pasal 45
Pasal 46
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4635
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1998
TENTANG PENGESAHAN
CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR
DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT
(KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN
ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI,
ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA)
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa negara Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945 adalah
negara hukum yang menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia serta menjamin semua warga
negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum, sehingga segala
bentuk penyiksaan dan perlakuan
atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia harus
dicegah dan dilarang;
b. bahwa bangsa Indonesia sebagai
bagian masyarakat internasional
menghormati, menghargai, dan
menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan BangsaBangsa serta Deklarasi Universal
Hak-hak Asasi Manusia;
c. bahwa Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa di dalam sidangnya
Pada tanggal 10 Desember 1984 telah menyetujui Convention Against
Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment
(Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau Penghukuman
Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi.
atau Merendahkan Martabat Manusia) dan Pemerintah Republik
Indonesia telah menandatangani
konvensi tersebut Pada tanggal 23
Oktober 1985;
d. bahwa konvensi tersebut pada
dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila, Undang-undang
Dasar 1945, dan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia serta selaras dengan keinginan
bangsa Indonesia untuk secara
terus menerus menegakkan dan
memajukan pelaksanaan hak asasi
manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan
tersebut dalam huruf a, b, c. dan
d dipandang perlu mengesahkan
Convention Against Torture and Other
Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan
atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia) dengan
Undang-undang.
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal ll, Pasal 20 ayat
(1), Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 27 ayat
(1) Undang-undang Dasar 1945:
107
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG PENGESAHAN
CONVENTION AGAINST TORTURE
AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR
DEGRADING TREATMENT OR
PUNISHMENT
(KONVENSI MENENTANG
PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN
ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG
KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, ATAU
MERENDAHKAN MARTABAT
MANUSIA)
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pasal 1
(1) Mengesahkan Convention Against
Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment
(Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau Penghukuman
Lain yang Kejam, Tidak Manusia,
atau Merendahkan Martabat Manusia) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 20 dan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal
30 ayat (1).
(2) Salinan naskah asli Convention
Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment (Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam,
Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia), Declaration
(Pernyataan) terhadap Pasal 20,
dan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 30 ayat (1) dalam bahasa Inggris, dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana
terlampir merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari Undang-undang ini.
108
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 28 September 1998
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 28 September 1998
MENTERI NEGARA
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
AKBAR TANDJUNG
LEMBARAN NEGARA
REPUBLlK INDONESIA
TAHUN 1998 NOMOR 164
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1998
TENTANG PENGESAHAN
CONVENTION AGAINST TORTURE
AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR
DEGRADING TREATMENT OR
PUNISHMENT
(KONVENSI MENENTANG
PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN
ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG
KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, ATAU
MERENDAHKAN MARTABAT
MANUSIA)
I. UMUM
Pada tanggal 9 Desember Tahun 1975
Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa telah menerima Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.
Deklarasi tersebut memuat perlindungan terhadap semua orang dari
sasaran penyiksaan dan perlakuan
atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat
manusia, dan menyatakan perlunya
langkah-langkah yang efektif untuk
menjamin pelaksanaan Deklarasi tersebut. Langkah-langkah ini mencakup antara lain perbaikan cara interogasi dan
pelatihan bagi setiap aparatur penegak
hukum dan pejabat publik lain yang
bertanggung jawab terhadap orangorang yang dirampas kemerdekaannya.
Adapun pengertian penyiksaan dalam
Deklarasi ini adalah tindak pidana menurut ketentuan dalam hukum pidana.
Namun, karena deklarasi itu bersifat
tidak mengikat secara hukum, Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan
Bangsa-Bangsa telah menyusun rancangan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia yang
selanjutnya diajukan kepada Sidang
Majelis Umum PBB untuk disahkan.
Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa menyetujui secara konsensus
rancangan konvensi tersebut pada
tanggal 10 Desember 1984 yang menyatakan mulai berlaku secara efektif Pada
tanggal 26 Juni 1987. Pemerintah Republik Indonesia menandatangani konvensi itu pada tanggal 23 Oktoher 1985.
Deklarasi dan Program Aksi Wina
1993 sepakat antara lain menghimbau negara-negara anggota PBB untuk
secepatnya mengesahkan perangkatperangkat internasional yang sangat
penting di bidang hak asasi manusia
(HAM), termasuk Konvensi Menentang
Penyiksaan. Sesuai dengan isi Deklarasi
Wina 1993, Pemerintah Indonesia telah
menyusun Rencana Aksi Nasional HAM
Indonesia 1998-2003 yang berisi kegiatan-kegiatan prioritas dalam rangka
pemajuan dan perlindungan HAM. Prioritas kegiatan tahun pertama Rencana
Aksi tersebut mencakup pengesahan
tiga perangkat internasional di bidang
HAM, termasuk Konvensi Menentang
Penyiksaan.
Karena didorong oleh rasa tanggung
jawab untuk memajukan dan menegakkan hak asasi manusia dan pembangunan hukum di Indonesia, DPR-RI memutuskan menggunakan hak inisiatifnya
untuk mengajukan Rancangan Undangundang tentang Pengesahan Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan
109
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
atau Penghukuman Lain yang kejam,
Tidak Manusiawi, atau Merendahkan
Martabat Manusia yang telah diterima
oleh masyarakat internasional sebagai
salah satu perangkat internasional di
bidang HAM yang sangat penting. Saat
ini Konvensi telah disahkan oleh 105
negara.
Sebagai negara berdaulat dan sesuai
dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku, Indonesia memutuskan untuk menyampaikan suatu pernyataan (declaration) terhadap Pasal 20
Konvensi. Pernyataan ini menegaskan
bahwa dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimuat
dalam konvensi, kedaulatan nasional
dan keutuhan wilayah Negara Pihak
harus tetap dihormati dan dijunjung
tinggi. Pernyataan (declaration) ini tidak
mempunyai kekuatan mengikat secara
hukum sehingga pernyataan tersebut
sama sekali tidak menghapuskan kewajiban atau tanggung jawab Negara Pihak untuk melaksanakan isi Konvensi.
Sesuai dengan ketentuan Konvensi, Indonesia juga menyatakan Pensyaratan
(Reservation) terhadap Pasal 30 ayat (1)
Konvensi yang mengatur upaya penyelesaian sengketa mengenai penafsiran dan pelaksanaan konvensi melalui
Mahkamah Internasional (International
Court of Justice). Sikap ini diambil antara
lain atas pertimbangan bahwa Indonesia tidak mengakui jurisdiksi yang mengikat secara otomatis (compulsory jurisdiction) dari Mahkamah Internasional.
Pensyaratan tersebut bersifat prosedural sesuai dengan ketentuan hukum
internasional yang berlaku.
110
II. POKOK-POKOK PIKIRAN YANG
MENDORONG LAHIRNYA KONVENSI
1. Penyiksaan dan perlakuan atau
penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan
martabat manusia masih terus terjadi di berbagai negara dan kawasan dunia, yang diakui secara luas
akan dapat merapuhkan sendi-sendi tegaknya masyarakat yang tertib, teratur, dan berbudaya. Dalam
rangka menegakkan sendi-sendi
masyarakat demikian itu, seluruh
masyarakat internasional bertekad bulat melarang dan mencegah
segala bentuk tindak penyiksaan,
baik jasmaniah maupun rohaniah.
Masyarakat internasional sepakat
untuk pelarangan dan pencegahan
tindak penyiksaan ini dalam suatu
wadah perangkat internasional
yang mengikat semua Negara Pihak
secara hukum.
2. Dalam kaitan itu, Majelis Umum
PBB telah menerima Deklarasi Universal HAM Pada tanggal 10 Desember 1948. Pasal 5 Deklarasi ini
menjamin sepenuhnya hak setiap
orang untuk bebas dari segala bentuk penyiksaan dan perlakuan atau
penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan
martabat manusia.
3. Selanjutnya. perangkat internasional di bidang HAM yang bersifat sangat penting lainnya, yakni
Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik (Pasal 7),
menetapkan bahwa hak tersebut
merupakan hak fundamental yang
tidak boleh dikurangi dengan alasan apapun (non deroglabe rights).
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
III. ALASAN INDONESIA MENJADI
NEGARA PIHAK DALAM KONVENSI
1. Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia
dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan hukum
nasional, menjunjung tinggi harkat
dan martabat manusia seperti tercermin dalam Sila Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab. Asas ini
merupakan amanat konstitusional
bahwa bangsa Indonesia tertekad
untuk mencegah dan melarang
segala bentuk penyiksaan, sesuai
dengan ini Konvensi ini.
2. Dalam rangka pengamalan Pancasjla dan pelaksanaan Undangundang Dasar 1945, Indonesia pada
dasarnya telah menetapkan peraturan perundang-undangan yang
langsung mengatur pencegahan
dan pelarangan, segala bentuk penyiksaan yang tidak manusiawi dan
merendahkan martabat manusia.
Namun perundang-undangan itu
karena belum sepenuhnya sesuai
dengan Konvensi, masih perlu disempurnakan.
3. Penyempurnaan perundang-undangan nasional tersebut, akan meningkatkan perlindungan hukum
secara lebih efektif, sehingga akan
lebih menjamin hak-hak setiap
warga negara bebas dari penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat manusia, demi tercapainya
suatu masyarakat Indonesia yang
tertib, teratur, dan berbudaya.
4. Suatu masyarakat Indonesia yang
tertib, teratur, dan berbudaya
akan mampu mewujudkan upaya
bersama untuk memelihara perdamaian, ketertiban umum, dan
kemakmuran dunia serta melestarikan peradaban umat manusia.
5. Pengesahan dan pelaksanaan isi
Konvensi secara bertanggung jawab menunjukkan kesungguhan
Indonesia dalam upaya pemajuan
dan perlindungan HAM, khususnya
hak bebas dari penyiksaan. Hak ini
juga akan lebih meningkatkan citra
positif Indonesia di dunia internasional dan memantapkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia.
IV. POKOK-POKOK ISI KONVENSI
1. Konvensi menentang penyiksaan
terdiri atas pembukuan dengan 6
paragraf dan batang tubuh dengan
3 bab yang terdiri atas 33 pasal.
a. Pembukaan meletakkan dasardasar dan tujuan Konvensi.
Dalam konsideran secara tegas dinyatakan bahwa tujuan Konvensi ini adalah lebih
mengefektifkan perjuangan di
seluruh dunia dalam menentang penyiksaan dan perlakuan
atau penghukuman lain yang
kejam, tidak manusiawi, atau
merendahkan martabat manusia.
b Bab I (Pasal 1-16) memuat ketentuan-ketentuan pokok yang
mengatur definisi tentang penyiksaan dan kewajiban Negara Pihak untuk mencegah dan
melarang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain
yang kejam, tidak manusiawi,
atau merendahkan martabat
manusia.
c Bab II (Pasal 17-24) mengatur
ketentuan mengenai Komite
Menentang Penyiksaan (Committee Against Torture) dan tu111
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
gas serta kewenangannya dalam melakukan pemantauan
atas pelaksanaan Konvensi.
d Bab III (Pasal 25-33) merupakan ketentuan penutup yang
memuat hal-hal yang berkaitan dengan mulai berlakunya
Konvensi, perubahan, pensyaratan (reservation), ratifikasi
dan aksesi, pengunduran diri
serta mekanisme penyelesalan
perselisihan antar Negara Pihak.
2. Ketentuan-ketentuaan Pokok Konvensi
Konvensi mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental,
dan perlakuan atau penghukuman
lain yang kejam, tidak manusiawi,
atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas
hasutan dari atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat publik (public official) dan orang lain
yang bertindak dalam jabatannya.
Adapun pelarangan penyiksaan
yang diatur dalam Konvensi ini
tidak mencakup rasa sakit atau
penderitaan yang timbul, melekat,
atau diakibatkan oleh suatu sanksi
hukum yang berlaku. Negara Pihak
wajib mengambil langkah-langkah
legislatif, administratif, hukum,
dan langkah efektif lainnya guna
mencegah tindak penyiksaan di
dalam wilayah yurisdiksinya. Tidak terdapat pengecualian apapun,
baik dalam keadaan perang, ketidakstabilan politik dalam negeri,
maupun keadaan darurat lainnya
yang dapat dijadikan sebagai pembenaran atas tindak penyiksaan.
Dalam kaitan ini, perintah dari atasan atau penguasa (public authority)
juga tidak dapat digunakan sebagai
pembenaran atas suatu penyiksaan.
112
Negara Pihak diwajibkan mengatur
semua tindak penyiksaan sebagai
tindak pidana dalam peraturan perundang-undangannya.
Hal yang sama berlaku pula bagi
siapa saja yang melakukan percobaan, membantu, atau turut serta melakukan tindak penyiksaan.
Negara Pihak juga wajib mengatur
bahwa pelaku tindak pidana tersebut dapat dijatuhi hukuman yang
setimpal dengan sifat tindak pidananya. Konvensi juga mewajibkan
Negara Pihak memasukkan tindak
penyiksaan sebagai tindak pidana
yang dapat diekstradisikan. Konvensi selanjutnya melarang Negara
Pihak untuk mengusir, mengembalikan, atau mengekstradisikan seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk
menduga bahwa orang itu menjadi
sasaran penyiksaan. Negara Pihak
lebih lanjut harus melakukan penuntutan terhadap seseorang yang
melakukan tindak penyiksaan apabila tidak mengekstradiksikannya.
Negara Pihak lebih lanjut wajib saling membantu dalam proses peradilan atas tindak penyiksaan dan
menjamin bahwa pendidikan dan
penyuluhan mengenai larangan
terhadap penyiksaan sepenuhnya
dimasukkan ke dalam program
pelatihan bagi para aparat penegak hukum, sipil, atau militer, petugas kesehatan, pejabat publik
dan orang-orang lain yang terlibat
dalam proses penahanan, permintaan keterangan (interogasi), atau
perlakuan terhadap setiap pribadil
individu yang ditangkap, ditahan,
atau dipenjarakan. Negara Pihak
juga wajib mengatur dalam sistem
hukumnya bahwa korban suatu
tindak penyiksaan memperoleh
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
ganti rugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang
adil dan layak, termasuk sarana untuk mendapatkan rehabilitasi.
3. Implementasi Konvensi
Implementasi Konvensi dipantau
oleh Komite Menentang Penyiksaan (Committee Againts Torture)
yang terdiri dari sepuluh orang pakar yang bermoral tinggi dan diakui
kemampuannya di bidang HAM.
Negara pihak harus menanggung
pembiayaan yang dikeluarkan oleh
para anggota Komite dalam menjalankan tugasnya dan pembiayaan
penyelenggaraan sidang Negara
pihak dan sidang Komite. Menurut
ketentuan Pasal 19, Negara Pihak
harus menyampaikan kepada Komite, melalui Sekretaris Jenderal
PBB, laporan berkala mengenai
langkah-langkah yang telah mereka lakukan dalam melaksanakan
kewajibannya menurut Konvensi.
Setiap laporan akan dipertimbangkan oleh Komite, yang selanjutnya dapat memberikan tanggapan
umum dan memasukkan informasi tersebut dalam laporan tahunannya kepada Negara pihak dan
kepada Sekretaris Jenderal PBB.
Selanjutanya melalui penyampaian
laporan berkala oleh Negara Pihak,
pemantauan atas pelaksanaan Konvensi juga dapat dilakukan melalui
cara-cara berikut :
a. Menurut Pasal 20, apabila Komite menerima informasi yang
dapat dipertanggungjawabkan
(reliable), bahwa penyiksaan
dilakukan secara sistematis di
wilayah suatu Negara Pihak.
Komite harus mengundang
Negara pihak tersebut untuk
bekerja sama membahas in-
formasi tersebut dan Komite
menyampaikan hasil pengamatannya. Komite dapat memutuskan, apabila informasi
tersebut benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, segera
melaporkannya kepada Komite
dan menugaskan anggotanya
seorang atau lebih, melakukan
suatu penyelidikan rahasia dan
segera melaporkan hasilnya
kepada Komite. Dengan persetujuan Negara Pihak, penyelidikan semacam itu dapat
berupa kunjungan ke wilayah
Negara Pihak tersebut.
b. Negara Pihak. sesuai dengan
ketentuan Pasal 21, dapat
membuat deklarasi yang mengakui kewenangan Komite
untuk menerima dan membahas laporan pengaduan
(communications) suatu Negara
Pihak yang menyatakan bahwa
Negara Pihak lain tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi. Komite hanya
berwenang menerima dan
membahas laporan pengaduan
oleh Negara Pihak yang telah
membuat Deklarasi. Komite
tidak berhak menerima dan
membahas laporan pengaduan
tentang suatu Negara Pihak
yang tidak membuat suatu Deklarasi.
c. Negara Pihak, sesuai dengan
ketentuan Pasal 22, dapat
membuat deklarasi mengakui
kewenangan Komite untuk
menerima dan membahas laporan pengaduan dari atau atas
nama pribadi individu yang
berada dalam yurisdiksinya,
yang menyatakan diri menjadi korban pelanggaran yang
113
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dilakukan Negara Pihak itu
terhadap Konvensi. Komite
tidak berhak menerima dan
membahas laporan pengaduan
jika menyangkut suatu Negara
Pihak yang tidak membuat
Deklarasi. Komite juga tidak
berhak menerima dan membahas laporan pengaduan dari
seseorang, kecuali jika Komite
menyatakan bahwa :
1) Pengaduan tersebut belum
pernah atau tidak sedang
dibahas oleh prosedur penyelesaian atau penyelidikan internasional lainnya;
2) Perorangan yang dimaksudkan sudah menggunakan segala upaya penyelesaian hukum di dalam
negerinya.
4. Pensyaratan (Reservation) dan Deklarasi (Declaration) Konvensi ini
memperbolehkan Negara Pihak
mengajukan pensyaratan terhadap
2 pasal, yakni:
a.. Menyatakan tidak mengakui
kewenangan Komite Menentang Penyiksaan dalam Pasal
20, sebagaimana diatur dalam
Pasal 28 ayat (1) Konvensi.
b. Menyatakan tidak terikat pada
pengajuan penyeIesaian suatu
perselisihan di antara Negara
Pihak kepada Mahkamah Internasional, berdasarkan Pasal
30 ayat (1) Konvensi. Konvensi
ini juga memungkinkan Negara Pihak membuat deklarasi
mengenai kewenangan Komite
Menentang Penyiksaan, sebagaimana diatur oleh Pasal 21
dan Pasal 22 Konvensi.
114
V. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Ayat (1)
Diajukannya DekIarasi (Declaration)
terhadap PasaI 20 adalah berdasarkan
prinsip untuk menghormati kedauIatan
negara dan keutuhan wilayah Negara
Pihak dan diajukannya Pensyaratan
(Reservation) terhadap Pasal 30 ayat (1)
adalah berdasarkan prinsip untuk tidak
menerima kewajiban dalam pengajuan
perselisihan kepada Mahkamah Internasional, kecuali dengan kesepakatan
Para Pihak.
Ayat (2)
Apabila terjadi perbedaan penafsiran
terhadap terjemahannya dalam bahasa
Indonesia, naskah yang berlaku adalah
naskah asli Konvensi. Deklarasi terhadap Pasal 20 dan Pensyaratan terhadap
Pasal 30 ayat (1) dalam bahasa Inggris.
Cukup jelas
Pasal 2
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3783
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
LAMPIRAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1998
TENTANG PENGESAHAN CONVENTION
AGAINST TORTURE AND OTHER, CRUEL,
INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT
OR PUNISHMENT
(KONVENSI MENENTANG
PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN
ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG
KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, ATAU
MERENDAHKAN MARTABAT
MANUSIA)
LAMPIRAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1998
TENTANG PENGESAHAN CONVENTION
AGAINST TORTURE AND OTHER, CRUEL,
INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT
OR PUNISHMENT
(KONVENSI MENENTANG
PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN
ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG
KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, ATAU
MERENDAHKAN MARTABAT
MANUSIA)
DEKLARASI TERHADAP PASAL 20
DAN PENSYARATAN TERHADAP
PASAL 30 AYAT (1) KONVENSI
MENENTANG PENYIKSAAN &
PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN
LAIN YANG KEJAM, TIDAK
MANUSIAWI, DAN MERENDAHKAN
MARTABAT MANUSIA
DECLARATION TO ARTICLE 20
AND RESERVATION TO ARTICLE 30
PARAGRAPH I CONVENTION AGAINTST
TORTURE AND OTHER CRUEL,
INHUMAN OR DEGRADING
TREATMENT OR PUNISHMENT
Pernyataan :
Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa ketentuan Pasal 20 ayat
(1), ayat (2) dan ayat (3) Konvensi akan
dilaksanakan dengan memenuhi prinsip-prinsip kedaulatan dan keutuhan
wilayah suatu negara.
Pensyaratan :
Pemerintah Republik Indonesia menyatakan tidak terikat pada ketentuan
Pasal 30 ayat (1) Konvensi dan berpendirian bahwa apabila terjadi perselisihan akibat perbedaan penafsiran atau
penerapan isi Konvensi, yang tidak terselesaikan melalui jalur sebagaimana
diatur dalam ayat (1) pasal tersebut, dapat menunjuk Mahkamah Internasional
hanya berdasarkan kesepakatan para
Pihak yang berselisih.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Declaration :
The Government of the republic of Indonesia declares that the provisions of
paragraphs 1, 2 and 3 of Article 20 of the
Convention will have to be implemented strict compliance with the principles
of the sovereignty and territorial integrity of States.
Reservation :
The Government of the Republic of Indonesia does not consider itself bound
by the provision of Article 30, paragraph 1, and takes the position that relating to the interpretation and application of the Convention which cannot
besettled through the channel provided
for in paragraph I of the said article,
may be referred to the International
Court of Justice only with the consent
of all parties to the disputes.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
115
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK1
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa anak merupakan amanah
dan karunia Tuhan Yang Maha Esa
yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya;
b. bahwa untuk menjaga harkat dan
martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam
sistem peradilan;
c. bahwa Indonesia sebagai Negara
Pihak dalam Konvensi Hak-Hak
Anak (Convention on The Rights of
the Child) yang mengatur prinsip
perlindungan hukum terhadap
anak mempunyai kewajiban untuk
memberikan perlindungan khusus
terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum;
d. bahwa Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi
de-ngan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif
memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan
hukum sehingga perlu diganti
dengan undang-undang baru;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud da1
lam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d, perlu membentuk Undang
Undang tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28B
ayat (2), Pasal 28G, dan Pasal 281
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);
4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
4635);
5. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5248);
Undang-Undang ini disetujui oleh DPR dalam rapat paripurna, tanggal 3 Juli 2012.
116
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG
TENTANG
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap
penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
2. Anak yang Berhadapan dengan
Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang
menjadi korban tindak pidana,
dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
3. Anak yang Berkonflik dengan
Hukum yang selanjutnya disebut
Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi
belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
4. Anak yang Menjadi Korban Tindak
Pidana yang selanjutnya disebut
Anak Korban adalah anak yang
belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan
oleh tindak pidana.
5. Anak yang Menjadi Saksi Tindak
Pidana yang selanjutnya disebut
Anak Saksi adalah anak yang belum
berumur 18 (delapan belas) tahun
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan tentang suatu
perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
6. Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana
dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan
pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian
yang adil dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan
semula, dan bukan pembalasan.
7. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dan proses
peradilan pidana ke proses di luar
peradilan pidana.
8. Penyidik adalah penyidik Anak.
9. Penuntut Umum adalah penuntut
umum Anak.
10. Hakim adalah hakim Anak.
11. Hakim Banding adalah hakim banding Anak.
12. Hakim Kasasi adalah hakim kasasi
Anak.
13. Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak
hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap Anak di dalam
dan di luar proses peradilan pidana.
14. Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik
di lembaga pemerintah maupun
swasta, yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial
serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui
117
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
pendidikan, pelatihan, dan/atau
pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah
sosial Anak.
15. Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara profesional untuk melaksanakan tugas pelayanan dan
penanganan masalah sosial dan/
atau seseorang yang bekerja, baik
di lembaga pemerintah maupun
swasta, yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial Anak.
16. Keluarga adalah orang tua yang
terdiri atas ayah, ibu, dan/atau
anggota keluarga lain yang dipercaya oleh Anak.
17. Wali adalah orang atau badan yang
dalam kenyataannya menjalankan
kekuasaan asuh sebagai orang tua
terhadap anak.
18. Pendamping adalah orang yang
dipercaya oleh Anak untuk mendampinginya selama proses peradilan pidana berlangsung.
19. Advokat atau pemberi bantuan
hukum lainnya adalah orang yang
berprofesi memberi jasa hukum,
baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
20. Lembaga Pembinaan Khusus Anak
yang selanjutnya disingkat LPKA
adalah lembaga atau tempat Anak
menjalani masa pidananya.
21. Lembaga Penempatan Anak Sementara yang selanjutnya disingkat LPAS adalah tempat sementara
bagi Anak selama proses peradilan
berlangsung.
22. Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya
disingkat LPKS adalah lembaga
118
atau tempat pelayanan sosial yang
melaksanakan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial bagi Anak.
23. Klien Anak adalah Anak yang berada di dalam pelayanan, pembimbingan, pengawasan, dan
pendampingan Pembimbing Kemasyarakatan.
24. Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Bapas adalah unit
pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan
fungsi penelitian kemasyarakatan,
pembimbingan, pengawasan, dan
pendampingan.
Pasal 2
Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:
a. perlindungan;
b. keadilan;
c. non-diskriminasi;
d. kepentingan terbaik bagi Anak;
e. penghargaan terhadap pendapat
Anak;
f. kelangsungan hidup dan tumbuh
kembang Anak;
g. pembinaan dan pembimbingan
Anak;
h. proporsional;
i. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir;
dan
j. penghindaran pembalasan.
Pasal 3
Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak:
a. diperlakukan secara manusiawi
dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
b. dipisahkan dari orang dewasa;
c. memperoleh bantuan hukum dan
bantuan lain secara efektif;
d. melakukan kegiatan rekreasional;
e. bebas dari penyiksaan, penghuku-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
man atau perlakuan lain yang
kejam, tidak manusiawi, serta
merendahkan derajat dan martabatnya;
tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
memperoleh keadilan di muka
pengadilan Anak yang objektif,
tidak memihak, dan dalam sidang
yang tertutup untuk umum;
tidak dipublikasikan identitasnya;
memperoleh pendampingan orang
tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak;
memperoleh advokasi sosial;
memperoleh kehidupan pribadi;
memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
memperoleh pendidikan;
memperoleh pelayananan kesehatan; dan
memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
(1) Anak yang sedang menjalani masa
pidana berhak:
a. mendapat pengurangan masa
pidana;
b. memperoleh asimilasi;
c. memperoleh cuti mengunjungi keluarga;
d. memperoleh pembebasan bersyarat;
e. memperoleh cuti menjelang
bebas;
f. memperoleh cuti bersyarat;
dan
g. memperoleh hak lain sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan kepada Anak
yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 5
(1) Sistem Peradilan Pidana Anak
wajib mengutamakan pendekatan
Keadilan Restoratif.
(2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. penyidikan dan penuntutan
pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, kecuali ditentukan
lain dalam Undang-Undang
ini;
b. persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di
lingkungan peradilan umum;
dan
c. pembinaan, pembimbingan,
pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses
pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani
pidana atau tindakan.
(3) Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak sebagaimana dimaksud pada
ayat huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.
BAB II
DIVERSI
Pasal 6
Diversi bertujun:
a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b. menyelesaikan perkara Anak di
luar proses peradilan;
c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekan;
119
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
d. mendorong masyarakat untuk
berpartisipasi; dan
e. menanamkan rasa tanggung jawab
kepada Anak.
Pasal 7
(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara
anak dipengadilan negeri wajib
diupayakan Diversi.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan dalam
hal tindak pidana yang dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun;
dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Pasal 8
(1) Proses Diversi dilakukan melalui
musyawarah dengan melibatkan
anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan
Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.
(2) Dalam hal diperlukan musyawarah
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan. Sosial, dan/atau masyarakat.
(3) Proses Diversi wajib memperhatikan:
a. kepentingan korban;
b. kesejahteraan dan tanggung
jawab Anak;
c. penghindaran stigma negatif;
d. penghindaran pembalasan;
e. keharmonisan
masyarakat;
dan
f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
120
Pasal 9
(1) Penyidik, Penuntut Umum, dan
Hakim dalam melakukan Diversi
harus mempertimbangkan:
a. kategori tindak pidana;
b. umur Anak;
c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan
d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
(2) Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/
atau keluarga Anak Korban serta
kesediaan Anak dan keluarganya,
kecuali untuk:
a. tindak pidana yang berupa pelanggaran;
b. tindak pidana ringan;
c. tindak pidana tanpa korban;
atau
d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum
provinsi setempat.
Pasal 10
(1) Kesepakatan Diversi untuk menyelesaikan tindak pidana tanpa
korban dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(2) huruf c dapat dilakukan oleh
penyidik bersama pelaku dan/
atau keluarganya, Pembimbing
Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat.
(2) Kesepakatan Diversi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Penyidik atas rekomendasi
Pembimbing Kemasyarakatan dapat berbentuk:
a. pengembalian kerugian dalam
hal ada korban;
b. rehabilitasi medis dan psikososial;
c. penyerahan kembali kepada
orang tua/Wali;
d. keikutsertaan dalam pendi-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
e. pelayanan masyarakat paling
lama 3 (tiga) bulan.
bagaimana dimaksud pada ayat
(4), Penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau
Penuntut Umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan.
Pasal 11
Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain:
a. perdamaian dengan atau tanpa
ganti kerugian;
b. penyerahan kembali kepada orang
tua/Wali;
c. keikutsertaan dalam pendidikan
atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3
(tiga) bulan; atau
d. pelayanan masyarakat.
Pasal 13
Proses peradilan pidana Anak dilanjutkan dalam hal:
a. proses Diversi tidak menghasilkan
kesepakatan; atau
b. kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan.
Pasal 12
(1) Hasil kesepakatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dituangkan dalam bentuk kesepakatan Diversi.
(2) Hasil kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh atasan langsung
pejabat yang bertanggung jawab
di setiap tingkat pemeriksaan ke
pengadilan negeri sesuai dengan
daerah hukumnya dalam waktu
paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan.
(3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam
waktu paling lama 3 (tiga) hari
terhitung sejak diterimanya kesepakatan Diversi.
(4) Penetapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan,
Penyidik, Penuntut Umum, atau
Hakim dalam waktu paling lama 3
(tiga) hari sejak ditetapkan.
(5) Setelah menerima penetapan se-
Pasal 14
(1) Pengawasan atas proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan
yang dihasilkan berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat
pemeriksaan.
(2) Selama proses Diversi berlangsung
sampai dengan kesepakatan Diversi dilaksanakan,
Pembimbing
Kemasyarakatan wajib melakukan
pendampingan, pembimbingan,
dan pengawasan.
(3) Dalam hal kesepakatan Diversi
tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, Pembimbing
Kemasyarakatan segera melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pejabat yang bertanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) wajib menindaklanjuti laporan
dalam waktu paling lama 7 (tujuh)
hari.
Pasal 15
Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan proses Diversi, tata cara,
dan koordinasi pelaksanaan Diversi
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
121
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
BAB III
ACARA PERADILAN PIDANA ANAK
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 16
Ketentuan beracara dalam Hukum
Acara Pidana berlaku juga dalam acara
peradilan pidana anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 17
(1) Penyidik, Penuntut Umum, dan
Hakim wajib memberikan perlindungan khusus bagi Anak yang diperiksa karena tindak pidana yang
dilakukannya dalam situasi darurat.
(2) Perlindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui penjatuhan sanksi
tanpa pemberatan.
Pasal 18
Dalam menangani perkara Anak, Anak
Korban, dan/atau Anak Saksi, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja
Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau
pemberi bantuan hukum lainnya wajib
memperhatikan kepentingan terbaik
bagi Anak dan mengusahakan suasana
kekeluargaan tetap terpelihara.
Pasal 19
(1) Identitas Anak, Anak Korban, dan/
atau Anak Saksi wajib dirahasiakan
dalam pemberitaan di media cetak
ataupun elektronik.
(2) Identitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi nama Anak,
nama Anak Korban, nama Anak
Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat meng122
ungkapkan jati diri Anak, Anak
Korban, dan/atau Anak Saksi.
Pasal 20
Dalam hal tindak pidana dilakukan
oleh Anak sebelum genap berumur 18
(delapan belas) tahun dan diajukan ke
sidang pengadilan setelah Anak yang
bersangkutan melampaui batas umur
18 (delapan belas) tahun, tetapi belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun, Anak tetap diajukan ke sidang
Anak.
Pasal 21
(1) Dalam hal Anak belum berumur 12
(dua belas) tahun melakukan atau
diduga melakukan tindak pidana,
Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam
program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan
di instansi Pemerintah atau
Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial di instansi
yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di
tingkat pusat maupun daerah,
paling lama 6 (enam) bulan.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diserahkan ke
pengadilan untuk ditetapkan dalam waktu paling lama 3 (tiga)
hari.
(3) Bapas wajib melakukan evaluasi
terhadap pelaksanaan program
pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b.
(4) Dalam hal hasil evaluasi sebagai-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
mana dimaksud pada ayat (3) Anak
dinilai masih memerlukan pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan lanjutan, masa pendidikan,
pembinaan, dan pembimbingan
dapat diperpanjang paling lama 6
(enam) bulan.
(5) Instansi Pemerintah dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b wajib menyampaikan laporan perkembangan anak kepada Bapas secara
berkala setiap bulan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai
syarat dan tata cara pengambilan
keputusan serta program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
Penyidik, Penuntut Umum, Hakim,
Pembimbing Kemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan hukum
lainnya, dan petugas lain dalam memeriksa perkara Anak, Anak Korban, dan/
atau Anak Saksi tidak memakai toga
atau atribut kedinasan.
Pasal 23
(1) Dalam setiap tingkat pemeriksaan,
Anak wajib diberikan bantuan
hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau
pendamping lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Dalam setiap tingkat pemeriksaan,
Anak Korban atau Anak Saksi
wajib didampingi oleh orang tua
dan/atau orang yang dipercaya
oleh Anak Korban dan/ atau Anak
Saksi, atau Pekerja Sosial.
(3) Dalam hal orang tua sebagai ter-
sangka atau terdakwa perkara
yang sedang diperiksa, ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tidak berlaku bagi orang tua.
Pasal 24
Anak yang melakukan tindak pidana
bersama-sama dengan orang dewasa
atau anggota Tentara Nasional Indonesia diajukan ke pengadilan Anak,
sedangkan orang dewasa atau anggota
Tentara Nasional Indonesia diajukan
ke pengadilan yang berwenang.
Pasal 25
(1) Register perkara Anak dan Anak
Korban wajib dibuat secara khusus oleh lembaga yang menangani
perkara Anak.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pedoman register perkara anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Penyidikan
Pasal 26
(1) Penyidikan terhadap perkara Anak
dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Keputusan
Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
(2) Pemeriksaan terhadap Anak Korban atau Anak Saksi dilakukan
oleh Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Syarat untuk dapat ditetapkan
sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. telah berpengalaman sebagai
penyidik;
b. mempunyai minat, perhatian,
123
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan
c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.
(4) Dalam hal belum terdapat Penyidik yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), tugas penyidikan dilaksanakan
oleh Penyidik yang melakukan tugas penyidikan tindak pidana yang
dilakukan oleh orang dewasa.
Pasal 27
(1) Dalam melakukan penyidikan
terhadap perkara Anak, Penyidik
wajib meminta pertimbangan atau
saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan.
(2) Dalam hal dianggap perlu, Penyidik dapat meminta pertimbangan
atau saran dari ahli pendidikan,
psikolog, psikiater, tokoh agama,
Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan tenaga ahli lainnya.
(3) Dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap Anak Korban dan
Anak Saksi, Penyidik wajib meminta laporan sosial dari Pekerja
Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial setelah tindak
pidana dilaporkan atau diadukan.
Pasal 28
Hasil Penelitian Kemasyarakatan wajib
diserahkan oleh Bapas kepada Penyidik dalam waktu paling lama 3x24 (tiga
kali dua puluh empat) jam setelah permintaan penyidik diterima.
Pasal 29
(1) Penyidik wajib mengupayakan Diversi dalam waktu paling lama 7
(tujuh) hari setelah penyidikan dimulai.
124
(2) Proses Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh)
hari setelah dimulainya Diversi.
(3) Dalam hal proses Diversi berhasil
mencapai kesepakatan, Penyidik
menyampaikan berita acara Diversi beserta Kesepakatan Diversi
kepada ketua pengadilan negeri
untuk dibuat penetapan.
(4) Dalam hal Diversi gagal, Penyidik
wajib melanjutkan penyidikan dan
melimpahkan perkara ke Penuntut Umum dengan melampirkan
berita acara Diversi dan laporan
penelitian kemasyarakatan.
Bagian Ketiga
Penangkapan dan Penahanan
Pasal 30
(1) Penangkapan terhadap Anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh
empat) jam.
(2) Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan
khusus Anak.
(3) Dalam hal ruang pelayanan khusus
Anak belum ada di wilayah yang
bersangkutan, Anak dititipkan di
Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
(4) Penangkapan terhadap Anak wajib
dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan
sesuai dengan umurnya.
(5) Biaya bagi setiap Anak yang ditempatkan di LPKS dibebankan pada
anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
Pasal 31
(1) Dalam melaksanakan penyidikan,
Penyidik berkoordinasi dengan
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Penuntut Umum.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
waktu paling lama 1 x 24 (satu
kali dua puluh empat) jam sejak
dimulai penyidikan.
Pasal 32
(1) Penahanan terhadap Anak tidak
boleh dilakukan dalam hal Anak
memperoleh jaminan dari orang
tua/Wali dan/atau lembaga bahwa
Anak tidak akan melarikan diri,
tidak akan menghilangkan atau
merusak barang bukti, dan/atau
tidak akan mengulangi tindak pidana.
(2) Penahanan terhadap Anak hanya
dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut:
a. Anak telah berumur 14 (empat
belas) tahun atau lebih; dan
b. diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana
penjara 7 (tujuh) tahun atau
lebih.
(3) Syarat penahanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus dinyatakan secara tegas dalam surat
perintah penahanan.
(4) Selama Anak ditahan, kebutuhan
jasmani, rohani, dan sosial Anak
harus tetap dipenuhi.
(5) Untuk melindungi keamanan
Anak, dapat dilakukan penempatan Anak di LPKS.
Pasal 33
(1) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 untuk kepentingan penyidikan dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari.
(2) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas
permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum pa-
ling lama 8 (delapan) hari.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah
berakhir, Anak wajib dikeluarkan
demi hukum.
(4) Penahanan terhadap Anak dilaksanakan di LPAS.
(5) Dalam hal tidak terdapat LPAS, penahanan dapat dilakukan di LPKS
setempat.
Pasal 34
(1) Dalam hal penahanan dilakukan
untuk kepentingan penuntutan,
Penuntut Umum dapat melakukan
penahanan paling lama 5 (lima)
hari.
(2) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
atas permintaan Penuntut Umum
dapat diperpanjang oleh Hakim
pengadilan negeri paling lama 5
(lima) hari.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah
berakhir, Anak wajib dikeluarkan
demi hukum.
Pasal 35
(1) Dalam hal penahanan dilakukan
untuk kepentingan pemeriksaan
di sidang pengadilan, Hakim dapat melakukan penahanan paling
lama 10 (sepuluh) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan
Hakim dapat diperpanjang oleh
ketua pengadilan negeri paling
lama 15 (lima belas) hari.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah
berakhir dan Hakim belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum.
125
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 36
Penetapan pengadilan mengenai penyitaan barang bukti dalam perkara
Anak harus ditetapkan paling lama 2
(dua) hari.
33 ayat (3), Pasal 34 ayat (3), Pasal 35
ayat (3), Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38
ayat (3) telah berakhir, petugas tempat Anak ditahan harus segera mengeluarkan Anak demi hukum.
Pasal 37
(1) Dalam hal penahanan dilakukan
untuk kepentingan pemeriksaan
di tingkat banding, Hakim Banding dapat melakukan penahanan
paling lama 10 (sepuluh) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan
Hakim Banding dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi
paling lama 15 (lima belas) hari.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) telah berakhir dan Hakim
Banding belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi
hukum.
Pasal 40
(1) Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib
memberitahukan kepada Anak
dan orang tua/Wali mengenai hak
memperoleh bantuan hukum.
(2) Dalam hal pejabat tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penangkapan atau penahanan terhadap
Anak batal demi hukum.
Pasal 38
(1) Dalam hal penahanan terpaksa dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi, Hakim
Kasasi dapat melakukan penahanan paling lama 15 (lima belas)
hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan
Hakim Kasasi dapat diperpanjang
oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 20 (dua puluh) hari.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) telah berakhir dan Hakim
Kasasi belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi
hukum.
Pasal 39
Dalam hal jangka waktu penahanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
126
Bagian Keempat
Penuntutan
Pasal 41
(1) Penuntutan terhadap perkara
Anak dilakukan oleh Penuntut
Umum yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung
atau pejabat lain yang ditunjuk
oleh Jaksa Agung.
(2) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. telah berpengalaman sebagai
penuntut umum;
b. mempunyai minat, perhatian,
dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan
c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.
(3) Dalam hal belum terdapat Penuntut Umum yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), tugas penuntutan dilaksanakan oleh penuntut umum yang
melakukan tugas penuntutan bagi
tindak pidana yang dilakukan oleh
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
orang dewasa.
Pasal 42
(1) Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas
perkara dari Penyidik.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan paling
lama 30 (tiga puluh) hari.
(3) Dalam hal proses Diversi berhasil
mencapai kesepakatan, Penuntut Umum menyampaikan berita
acara Diversi beserta kesepakatan
Diversi kepada ketua pengadilan
negeri untuk dibuat penetapan.
(4) Dalam hal Diversi gagal, Penuntut
Umum wajib menyampaikan berita acara Diversi dan melimpahkan
perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian
kemasyarakatan.
Bagian Kelima
Hakim Pengadilan Anak
Paragraf 1
Hakim Tingkat Pertama
Pasal 43
(1) Pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap perkara Anak dilakukan
oleh Hakim yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh Ketua Mahkamah
Agung atas usul ketua pengadilan
negeri yang bersangkutan melalui
ketua pengadilan tinggi.
(2) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. telah berpengalaman sebagai
hakim dalam lingkungan peradilan umum;
b. mempunyai minat, perhatian,
dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan
c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.
(3) Dalam hal belum terdapat Hakim
yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
tugas pemeriksaan di sidang Anak
dilaksanakan oleh hakim yang melakukan tugas pemeriksaan bagi
tindak pidana yang dilakukan oleh
orang dewasa.
Pasal 44
(1) Hakim memeriksa dan memutus
perkara Anak dalam tingkat pertama dengan hakim tunggal.
(2) Ketua pengadilan negeri dapat
menetapkan pemeriksaan perkara
Anak dengan hakim majelis dalam
hal tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 7 (tujuh)
tahun atau lebih atau sulit pembuktiannya.
(3) Dalam setiap persidangan Hakim
dibantu oleh seorang panitera atau panitera pengganti.
Paragraf 2
Hakim Banding
Pasal 45
Hakim Banding ditetapkan berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah
Agung atas usul ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan.
Pasal 46
Untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim
Banding, berlaku syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2).
Pasal 47
(1) Hakim Banding memeriksa dan
memutus perkara Anak dalam
tingkat banding dengan hakim
127
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
tunggal.
(2) Ketua pengadilan tinggi dapat menetapkan pemeriksaan perkara
Anak dengan hakim majelis dalam
hal tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 7 (tujuh)
tahun atau lebih atau sulit pembuktiannya.
(3) Dalam menjalankan tugasnya, Hakim Banding dibantu oleh seorang
panitera atau seorang panitera
pengganti.
Paragraf 3
Hakim Kasasi
Pasal 48
Hakim Kasasi ditetapkan berdasarkan
keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 49
Untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim
Kasasi berlaku syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2).
Pasal 50
(1) Hakim Kasasi memeriksa dan memutus perkara Anak dalam tingkat
kasasi sebagai hakim tunggal.
(2) Ketua Mahkamah Agung dapat
menetapkan pemeriksaan perkara
Anak dengan hakim majelis dalam
hal tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 7 (tujuh)
tahun atau lebih atau sulit pembuktiannya.
(3) Dalam menjalankan tugasnya, Hakim Kasasi dibantu oleh seorang
panitera atau seorang panitera
pengganti.
Paragraf 4
Peninjauan Kembali
Pasal 51
Terhadap putusan pengadilan me128
ngenai perkara Anak yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat
dimohonkan peninjauan kembali oleh
Anak, orang tua/Wali, dan/atau Advokat atau pemberi bantuan hukum
lainnya kepada Ketua Mahkamah
Agung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keenam
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pasal 52
(1) Ketua pengadilan wajib menetapkan Hakim atau majelis hakim
untuk menangani perkara Anak
paling lama 3 (tiga) hari setelah
menerima berkas perkara dari Penuntut Umum.
(2) Hakim wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari
setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai Hakim.
(3) Diversi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan paling
lama 30 (tiga puluh) hari.
(4) Proses Diversi dapat dilaksanakan
di ruang mediasi pengadilan negeri.
(5) Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Hakim
menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan Diversi
kepada ketua pengadilan negeri
untuk dibuat penetapan.
(6) Dalam hal Diversi tidak berhasil
dilaksanakan, perkara dilanjutkan
ke tahap persidangan.
Pasal 53
(1) Anak disidangkan dalam ruang sidang khusus Anak.
(2) Ruang tunggu sidang Anak dipisahkan dari ruang tunggu sidang
orang dewasa.
(3) Waktu sidang Anak didahulukan
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dan waktu sidang orang dewasa.
Pasal 54
Hakim memeriksa perkara Anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup
untuk umum, kecuali pembacaan putusan.
Pasal 55
(1) Dalam sidang Anak, Hakim wajib
memerintahkan orang tua/Wali
atau pendamping, Advokat atau
pemberi bantuan hukum lainnya,
dan Pembimbing Kemasyarakatan
untuk mendampingi Anak.
(2) Dalam hal orang tua/Wali dan/
atau pendamping tidak hadir, sidang tetap dilanjutkan dengan
didampingi Advokat atau pemberi
bantuan hukum lainnya dan/atau
Pembimbing Kemasyarakatan.
(3) Dalam hal Hakim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sidang Anak
batal demi hukum.
Pasal 56
Setelah Hakim membuka persidangan
dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, Anak dipanggil masuk beserta orang tua/Wali, Advokat atau
pemberi bantuan hukum lainnya, dan
Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 57
(1) Setelah surat dakwaan dibacakan,
Hakim memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan membacakan laporan hasil penelitian
kemasyarakatan mengenai Anak
yang bersangkutan tanpa kehadiran Anak, kecuali Hakim berpendapat lain.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berisi:
a. data pribadi Anak, keluarga,
b.
c.
d.
e.
f.
pendidikan, dan kehidupan
sosial;
latar belakang dilakukannya
tindak pidana;
keadaan korban dalam hal ada
korban dalam tindak pidana
terhadap tubuh atau nyawa;
hal lain yang dianggap perlu;
berita acara Diversi; dan
kesimpulan dan rekomendasi
dari Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 58
(1) Pada saat memeriksa Anak Korban
dan/atau Anak Saksi, Hakim dapat
memerintahkan agar Anak dibawa
keluar ruang sidang.
(2) Pada saat pemeriksaan Anak Korban dan/atau Anak Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
orang tua/Wali, Advokat atau
pemberi bantuan hukum lainnya,
dan Pembimbing Kemasyarakatan
tetap hadir.
(3) Dalam hal Anak Korban dan/atau
Anak Saksi tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di
depan sidang pengadilan, Hakim
dapat memerintahkan Anak Korban dan/ atau Anak Saksi didengar
keterangannya:
a. di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik
yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan di daerah hukum setempat dengan
dihadiri oleh Penyidik atau
Penuntut Umum dan Advokat
atau pemberi bantuan hukum
lainnya; atau
b. melalui pemeriksaan langsung
jarak jauh dengan alat komunikasi audio visual dengan didampingi oleh orang tua/Wali,
Pembimbing Kemasyarakatan
129
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
atau pendamping lainnya.
Pasal 59
Sidang Anak dilanjutkan setelah Anak
diberitahukan mengenai keterangan
yang telah diberikan oleh Anak Korban
dan/atau Anak Saksi pada saat Anak
berada di luar ruang sidang pengadilan.
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 60
Sebelum menjatuhkan putusan,
Hakim memberikan kesempatan kepada orang tua/Wali dan/
atau pendamping untuk mengemukakan hal yang bermanfaat
bagi Anak.
Dalam hal tertentu Anak Korban
diberi kesempatan oleh Hakim untuk menyampaikan pendapat tentang perkara yang bersangkutan.
Hakim wajib mempertimbangkan
laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara.
Dalam hal laporan penelitian kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipertimbangkan dalam putusan Hakim,
putusan batal demi hukum.
Pasal 61
(1) Pembacaan putusan pengadilan
dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat tidak
dihadiri oleh Anak.
(2) Identitas Anak, Anak Korban, dan/
atau Anak Saksi tetap harus dirahasiakan oleh media massa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
dengan hanya menggunakan inisial tanpa gambar.
Pasal 62
(1) Pengadilan wajib memberikan
130
petikan putusan pada hari putusan diucapkan kepada Anak atau
Advokat atau pemberi bantuan
hukum lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Penuntut
Umum.
(2) Pengadilan wajib memberikan salinan putusan paling lama 5 (lima)
hari sejak putusan diucapkan
kepada Anak atau Advokat atau
pemberi bantuan hukum lainnya,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan
Penuntut Umum.
BAB IV
PETUGAS KEMASYARAKATAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 63
Petugas kemasyarakatan terdiri atas:
a. Pembimbing Kemasyarakatan;
b. Pekerja Sosial Profesional; dan
c. Tenaga Kesejahteraan Sosial.
Bagian Kedua
Pembimbing Kemasyarakatan
Pasal 64
(1) Penelitian Kemasyarakatan, Pendampingan, Pembimbingan, dan
pengawasan terhadap Anak dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.
(2) Syarat untuk dapat diangkat sebagai Pembimbing Kemasyarakatan
sebagai berikut:
a. berijazah paling rendah diploma tiga (D-3) bidang ilmu
sosial atau yang setara atau telah berpengalaman bekerja sebagai pembantu Pembimbing
Kemasyarakatan bagi lulusan:
1) sekolah menengah kejuruan bidang pekerjaan
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
sosial berpengalaman paling singkat 1 (satu) tahun;
atau
2) sekolah menengah umum
dan berpengalaman di bidang pekerjaan sosial paling singkat 3 (tiga) tahun.
b. sehat jasmani dan rohani;
c. pangkat/golongan ruang paling rendah Pengatur Muda
Tingkat I/II/b;
d. mempunyai minat, perhatian,
dan dedikasi di bidang pelayanan dan pembimbingan pemasyarakatan serta perlindungan anak; dan
e. telah mengikuti pelatihan teknis Pembimbing Kemasyarakatan dan memiliki sertifikat.
(3) Dalam hal belum terdapat Pembimbing Kemasyarakatan yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
tugas dan fungsi Pembimbing Kemasyarakatan dilaksanakan oleh
petugas LPKA atau LPAS atau belum terbentuknya LPKA atau LPAS
dilaksanakan oleh petugas rumah
tahanan dan lembaga pemasyarakatan.
Pasal 65
Pembimbing Kemasyarakatan bertugas:
a. membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan
Diversi,
b. melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak selama proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan,
termasuk melaporkannya kepada
pengadilan apabila Diversi tidak
dilaksanakan;
c. membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepenting-
an penyidikan, penuntutan, dan
persidangan dalam perkara Anak,
baik di dalam maupun di luar sidang, termasuk di dalam LPAS dan
LPKA;
d. menentukan program perawatan
Anak di LPAS dan pembinaan Anak
di LPKA bersama dengan petugas
pemasyarakatan lainnya;
e. melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana
atau dikenai tindakan; dan
f. melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti
menjelang bebas, dan cuti bersyarat.
Bagian Ketiga
Pekerja Sosial Profesional
dan Tenaga Kesejahteraan Sosial
Pasal 66
Syarat untuk dapat diangkat sebagai
Pekerja Sosial Profesional sebagai berikut:
a. berijazah paling rendah strata
satu (S-1) atau diploma empat (D4) di bidang pekerjaan sosial atau
kesejahteraan sosial;
b. berpengalaman kerja paling singkat 2 (dua) tahun di bidang praktik
pekerjaan sosial dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
c. mempunyai keahlian atau keterampilan khusus dalam bidang
pekerjaan sosial dan minat untuk membina, membimbing, dan
membantu Anak demi kelangsungan hidup, perkembangan fisik,
mental, sosial, dan perlindungan
terhadap Anak; dan
d. lulus uji kompetensi sertifikasi Pe131
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
kerja Sosial Profesional oleh organisasi profesi di bidang kesejahteraan sosial.
Pasal 67
Syarat untuk dapat diangkat sebagai
Tenaga Kesejahteraan Sosial sebagai
berikut:
a. berijazah paling rendah SLTA pekerjaan sosial atau kesejahteraan
sosial atau sarjana non-pekerja sosial atau kesejahteraan sosial;
b. mendapatkan pelatihan bidang
pekerjaan sosial;
c. berpengalaman kerja paling singkat 3 (tiga) tahun di bidang praktik
pekerjaan sosial dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial; dan
d. mempunyai keahlian atau keterampilan khusus dalam bidang
pekerjaan sosial dan minat untuk membina, membimbing, dan
membantu Anak demi kelangsungan hidup, perkembangan fisik,
mental, sosial, dan perlindungan
terhadap Anak.
Pasal 68
(1) Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial bertugas:
a. membimbing, membantu, melindungi, dan mendampingi
Anak dengan melakukan konsultasi sosial dan mengembalikan kepercayaan diri Anak;
b. memberikan pendampingan
dan advokasi sosial;
c. menjadi sahabat Anak dengan mendengarkan pendapat
Anak dan menciptakan suasana kondusif;
d. membantu proses pemulihan
dan perubahan perilaku Anak;
e. membuat dan menyampaikan
laporan kepada Pembimbing
132
Kemasyarakatan
mengenai
hasil bimbingan, bantuan, dan
pembinaan terhadap Anak
yang berdasarkan putusan
pengadilan dijatuhi pidana
atau tindakan;
f. memberikan pertimbangan
kepada aparat penegak hukum
untuk penanganan rehabilitasi sosial Anak;
g. mendampingi
penyerahan
Anak kepada orang tua, lembaga pemerintah, atau lembaga masyarakat; dan
h. melakukan pendekatan kepada masyarakat agar bersedia
menerima kembali Anak di
lingkungan sosialnya.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial mengadakan koordinasi dengan Pembimbing Kemasyarakatan.
BAB V
PIDANA DAN TINDAKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 69
(1) Anak hanya dapat dijatuhi pidana
atau dikenai tindakan berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang
ini.
(2) Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan.
Pasal 70
Ringannya perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi
kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak men-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
jatuhkan pidana atau mengenakan
tindakan dengan mempertimbangkan
segi keadilan dan kemanusiaan.
(2)
Bagian Kedua
Pidana
dana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun.
Dalam putusan pengadilan mengenai pidana dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan syarat umum dan syarat
khusus.
Syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Anak
tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa
pidana dengan syarat.
Syarat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah untuk
melakukan atau tidak melakukan
hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap
memperhatikan kebebasan Anak.
Masa pidana dengan syarat khusus
lebih lama daripada masa pidana
dengan syarat umum.
Jangka waktu masa pidana dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3
(tiga) tahun.
Selama menjalani masa pidana
dengan syarat, Penuntut Umum
melakukan pengawasan dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pembimbingan agar Anak
menempati persyaratan yang telah ditetapkan.
Selama Anak menjalani pidana
dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Anak harus
mengikuti wajib belajar 9 (sembilan) tahun.
Pasal 71
(1) Pidana pokok bagi Anak terdiri
atas:
a. pidana peringatan;
b. pidana dengan syarat:
1) pembinaan di luar lembaga,
2) pelayanan masyarakat; atau
3) pengawasan.
c. pelatihan kerja;
d. pembinaan dalam lembaga;
dan
e. penjara.
(2) Pidana tambahan terdiri atas:
a. perampasan keuntungan yang
diperoleh dari tindak pidna;
atau
b. pemenuhan kewajiban adat.
(3) Apabila dalam hukum materiil
diancam pidana kumulatif berupa
penjara dan denda, pidana denda
diganti dengan pelatihan kerja.
(4) Pidana yang dijatuhkan kepada
Anak dilarang melanggar harkat
dan martabat Anak.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3)
Pasal 72
Pidana peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan
pembatasan kebebasan anak.
Pasal 74
Dalam hal Hakim memutuskan bahwa
Anak dibina di luar lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1)
huruf b angka 1, lembaga tempat pendidikan dan pembinaan ditentukan dalam putusannya.
Pasal 73
(1) Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan oleh Hakim dalam hal pi-
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
133
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 75
(1) Pidana pembinaan di luar lembaga
dapat berupa keharusan:
a. mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang dilakukan
oleh pejabat pembina;
b. mengikuti terapi di rumah sakit
jiwa; atau
c. mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
(2) Jika selama pembinaan anak melanggar syarat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat
(4), pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas
untuk memperpanjang masa pembinaan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali
masa pembinaan yang belum dilaksanakan.
Pasal 76
(1) Pidana pelayanan masyarakat merupakan pidana yang dimaksudkan untuk mendidik Anak dengan
meningkatkan kepeduliannya pada kegiatan kemasyarakatan yang
positif.
(2) Jika anak tidak memenuhi seluruh
atau sebagian kewajiban dalam
menjalankan pidana pelayanan
masyarakat tanpa alasan yang
sah, pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas
untuk memerintahkan anak tersebut mengulangi seluruh atau sebagian pidana pelayanan masyarakat
yang dikenakan terhadapnya.
(3) Pidana pelayanan masyarakat untuk anak dijatuhkan paling singkat
7 (tujuh) jam dan paling lama 120
(seratus dua puluh) jam.
Pasal 77
(1) Pidana pengawasan yang dapat di134
jatuhkan kepada Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat
(1) huruf b angka 3 paling singkat
3 (tiga) bulan dan paling lama 2
(dua) tahun.
(2) Dalam hal Anak dijatuhi pidana
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak ditempatkan di bawah pengawasan Penuntut Umum dan dibimbing oleh
Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 78
(1) Pidana pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat
(1) huruf c dilaksanakan di lembaga yang melaksanakan pelatihan kerja yang sesuai dengan usia
Anak.
(2) Pidana pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan paling singkat 3 (tiga) bulan
dan paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 79
(1) Pidana pembatasan kebebasan
diberlakukan dalam hal anak melakukan tindak pidana berat atau
tindak pidana yang disertai dengan kekerasan.
(2) Pidana pembatasan kebebasan
yang dijatuhkan terhadap anak
paling lama 1/2 (satu perdua) dari
maksimum pidana penjara yang
diancamkan terhadap orang dewasa.
(3) Minimum khusus pidana penjara
tidak berlaku terhadap anak.
(4) Ketentuan mengenai pidana penjara dalam KUHP berlaku juga
terhadap Anak sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 80
(1) Pidana pembinaan di dalam lem-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
baga dilakukan di tempat pelatihan kerja atau lembaga pembinaan
yang diselenggarakan, baik oleh
pemerintah maupun swasta.
(2) Pidana pembinaan di dalam lembaga dijatuhkan apabila keadaan
dan perbuatan Anak tidak membahayakan masyarakat.
(3) Pembinaan dalam lembaga dilaksanakan paling singkat 3 (tiga)
bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(4) Anak yang telah menjalani 1/2
(satu perdua) dari lamanya pembinaan di dalam lembaga dan tidak
kurang dari 3 (tiga) bulan berkelakuan baik berhak mendapatkan
pembebasan bersyarat.
Pasal 81
(1) Anak dijatuhi pidana penjara di
LPKA apabila keadaan dan perbuatan Anak akan membahayakan
masyarakat.
(2) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2
(satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang
dewasa.
(3) Pembinaan di LPKA dilaksanakan
sampai anak berumur 18 (delapan
belas) tahun.
(4) Anak yang telah menjalani 1/2
(satu perdua) dari lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan
baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
(5) Pidana penjara terhadap anak
hanya digunakan sebagai upaya
terakhir.
(6) Jika tindak pidana yang dilakukan
anak merupakan tindak pidanayang diancam dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun.
Bagian Ketiga
Tindakan
Pasal 82
(1) Tindakan yang dapat dikenakan
kepada Anak meliputi:
a. pengembalian kepada orang
tua/Wali;
b. penyerahan kepada seseorang;
c. perawatan di rumah sakit
jiwa;
d. perawatan di LPKS;
e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh
pemerintah atau badan swasta;
f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
g. perbaikan akibat tindak pidana.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan
huruf f dikenakan paling lama 1
(satu) tahun.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan
oleh Penuntut Umum dalam tuntutannya, kecuali tindak pidana
diancam dengan pidana penjara
paling singkat 7 (tujuh) tahun.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
tindakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 83
(1) Tindakan penyerahan Anak kepada seseorang dilakukan untuk kepentingan anak yang bersangkutan.
(2) Tindakan perawatan terhadap
Anak dimaksudkan untuk mem135
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
bantu orang tua/ Wali dalam
mendidik dan memberikan pembimbingan kepada Anak yang bersangkutan.
BAB VI
PELAYANAN, PERAWATAN,
PENDIDIKAN, PEMBINAAN ANAK,
DAN PEMBIMBINGAN KLIEN ANAK
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 84
Anak yang ditahan ditempatkan di
LPAS.
Anak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berhak memperoleh pelayanan, perawatan, pendidikan
dan pelatihan, pembimbingan dan
pendampingan, serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
LPAS wajib menyelenggarakan
pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pembimbing Kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan program pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(3).
Bapas wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada
ayat (4).
Pasal 85
(1) Anak yang dijatuhi pidana penjara
ditempatkan di LPKA.
(2) Anak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berhak memperoleh pembinaan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan, pendidikan
dan pelatihan, serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
136
(3) LPKA wajib menyelenggarakan
pendidikan, pelatihan keterampilan, pembinaan, dan pemenuhan
hak lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Pembimbing Kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan program pendidikan dan
pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Bapas wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada
ayat (4).
Pasal 86
(1) Anak yang belum selesai menjalani
pidana di LPKA dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda.
(2) Dalam hal Anak telah mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun,
tetapi belum selesai menjalani pidana, Anak dipindahkan ke
lembaga pemasyarakatan dewasa
dengan memperhatikan kesinambungan pembinaan Anak.
(3) Dalam hal tidak terdapat lembaga
pemasyarakatan pemuda, Kepala
LPKA dapat memindahkan Anak
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) ke lembaga pemasyarakatan dewasa berdasarkan
rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 87
(1) Anak yang berstatus Klien Anak
menjadi tanggung jawab Bapas.
(2) Klien Anak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berhak mendapatkan
pembimbingan, pengawasan dan
pendampingan, serta pemenuhan
hak lain sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
peraturan perundang-undangan.
(3) Bapas wajib menyelenggarakan
pembimbingan, pengawasan dan
pendampingan, serta pemenuhan
hak lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Bapas wajib melakukan evaluasi
pelaksanaan pembimbingan, pengawasan dan pendampingan, serta pemenuhan hak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 88
Pelaksanaan tugas dan fungsi Bapas,
LPAS, dan LPKA dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
(1)
(2)
BAB VII
ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI
Pasal 89
Anak Korban dan/atau Anak Saksi berhak atas semua perlindungan dan hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 90
(1) Selain hak yang telah diatur dalam
ketentuan peraturan perundangundangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89, Anak Korban dan
Anak Saksi berhak atas:
a. upaya rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar
lembaga;
b. jaminan keselamatan, balk
fisik, mental, maupun sosial;
dan
c. kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan hak Anak Korban dan
Anak Saksi sebagaimana dimaksud
(3)
(4)
Pasal 91
Berdasarkan pertimbangan atau
saran Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional
atau Tenaga Kesejahteraan Sosial atau Penyidik dapat merujuk
Anak, Anak Korban, atau Anak
Saksi ke instansi atau lembaga
yang menangani perlindungan
anak atau lembaga kesejahteraan
sosial anak.
Dalam hal Anak Korban memerlukan tindakan pertolongan segera, Penyidik, tanpa laporan sosial
dari Pekerja Sosial Profesional, dapat langsung merujuk Anak Korban ke rumah sakit atau lembaga
yang menangani perlindungan
anak sesuai dengan kondisi Anak
Korban.
Berdasarkan hasil Penelitian Kemasyarakatan dari Pembimbing
Kemasyarakatan dan laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan
Sosial, Anak, Anak Korban, dan/
atau Anak Saksi berhak memperoleh rehabilitasi medis, rehabilitasi
sosial, dan reintegrasi sosial dari
lembaga atau instansi yang menangani perlindungan anak.
Anak Korban dan/atau Anak Saksi
yang memerlukan perlindungan
dapat memperoleh perlindungan
dari lembaga yang menangani perlindungan saksi dan korban atau
rumah perlindungan sosial sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
137
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
BAB VIII
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 92
Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
bagi penegak hukum dan pihak
terkait secara terpadu.
Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling singkat 120 (seratus dua puluh) jam.
Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB IX
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 93
Masyarakat dapat berperan serta dalam perlindungan Anak mulai dan
pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial Anak dengan cara:
a. menyampaikan laporan terjadinya
pelanggaran hak Anak kepada pihak yang berwenang;
b. mengajukan usulan mengenai
perumusan dan kebijakan yang
berkaitan dengan Anak;
c. melakukan penelitian dan pendidikan mengenai Anak;
d. berpartisipasi dalam penyelesaian
perkara Anak melalui Diversi dan
pendekatan Keadilan Restoratif;
e. berkontribusi dalam rehabilitasi
dan reintegrasi sosial Anak, Anak
Korban dan/atau Anak Saksi mela138
lui organisasi kemasyarakatan;
f. melakukan pemantauan terhadap
kinerja aparat penegak hukum
dalam penanganan perkara Anak;
atau
g. melakukan sosialisasi mengenai
hak Anak serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan Anak.
BAB X
KOORDINASI, PEMANTAUAN,
DAN EVALUASI
Pasal 94
(1) Kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang perlindungan anak melakukan koordinasi
lintas sektoral dengan lembaga
terkait.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
rangka sinkronisasi perumusan kebijakan mengenai langkah
pencegahan, penyelesaian administrasi perkara, rehabilitasi, dan
reintegrasi sosial.
(3) Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak dilakukan oleh
kementerian dan komisi yang menyelenggarakan urusan di bidang
perlindungan anak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara pelaksanaan koordinasi, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
BAB XI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 95
Pejabat atau petugas yang melanggar
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 14 ayat (2),
Pasal 17, Pasal 18, Pasal 21 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 29
ayat (1), Pasal 39, Pasal 42 ayat (1) dan
ayat (4), Pasal 55 ayat (1), serta Pasal
62 dikenai sanksi administratif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 96
Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim
yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun penjara atau denda paling
banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).
Pasal 97
Setiap orang yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp. 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Pasal 98
Penyidik yang dengan sengaja tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun.
Pasal 99
Penuntut Umum yang dengan sengaja
tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun.
Pasal 100
Hakim yang dengan sengaja tidak me-
laksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3), Pasal
37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun.
Pasal 101
Pejabat pengadilan yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62
dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 102
Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku, perkara anak yang:
a. masih dalam proses penyidikan
dan penuntutan atau yang sudah
dilimpahkan ke pengadilan negeri, tetapi belum disidang harus
dilaksanakan berdasarkan hukum
acara Undang-Undang ini; dan
b. sedang dalam proses pemeriksaan
di sidang pengadilan dilaksanakan
berdasarkan hukum acara yang
diatur dalam Undang-Undang tentang Pengadilan Anak.
Pasal 103
(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, anak negara dan/atau
anak sipil yang masih berada di
lembaga pemasyarakatan anak diserahkan kepada:
a. orang tua/ Wali;
b. Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial/keagamaan; atau
c. kementerian atau dinas yang
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan di bidang sosial.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dite139
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
tapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum.
Pasal 104
Setiap lembaga pemasyarakatan anak
harus melakukan perubahan sistem
menjadi LPKA sesuai dengan UndangUndang ini paling lama 3 (tiga) tahun.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 105
(1) Dalam waktu paling lama 5 (lima)
tahun setelah diberlakukannya
Undang-Undang ini:
a. setiap kantor kepolisian wajib
memiliki Penyidik;
b. setiap kejaksaan wajib memiliki Penuntut Umum;
c. setiap pengadilan wajib memiliki Hakim;
d. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum wajib membangun Bapas di kabupaten/
kota;
e. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum wajib membangun LPKA dan LPAS di provinsi; dan
f. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang sosial wajib membangun Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan kantor Bapas dan Lembaga
Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d dan huruf f
dikecualikan dalam hal letak provinsi dan kabupaten/kota berdekatan.
(3) Dalam hal kementerian yang me140
nyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum tidak memiliki lahan untuk membangun
kantor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d dan huruf e,
pemerintah daerah setempat menyiapkan lahan yang dibutuhkan.
Pasal 106
Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku, Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3668), dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 107
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diberlakukan.
Pasal 108
Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI HUKUM
DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
AMIR SYAMSUDIN
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
I. UMUM
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup
manusia dan keberlangsungan sebuah
bangsa dan negara. Dalam konstitusi
Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa
negara menjamin hak setiap anak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak
patut dihayati sebagai kepentingan
terbaik bagi kelangsungan hidup umat
manusia. Konsekuensi dari ketentuan
Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
perlu ditindaklanjuti dengan membuat
kebijakan pemerintah yang bertujuan
melindungi Anak.
Anak perlu mendapat perlindungan
dari dampak negatif perkembangan
pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, serta perubahan gaya
dan cara hidup sebagian orang tua
yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan
masyarakat yang sangat berpengaruh
terhadap nilai dan perilaku Anak. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan
oleh Anak, antara lain, disebabkan oleh
faktor di luar diri Anak tersebut. Data
Anak yang berhadapan dengan hukum
dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunjukan bahwa tingkat kriminalitas serta pengaruh negatif penyalahgunaan narkotika, psikotropika,
dan zat adiktif semakin meningkat.
Prinsip perlindungan hukum terhadap
Anak harus sesuai dengan Konvensi
Hak-Hak Anak (Convention on the Rights
of the Child) sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child
(Konvensi tentang Hak-Hak Anak).
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi
Anak yang berhadapan dengan hukum
agar Anak dapat menyongsong masa
depannya yang masih panjang serta
memberi kesempatan kepada Anak
agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia
yang mandiri, bertanggung jawab, dan
berguna bagi diri sendiri, keluarga,
masyarakat, bangsa, dan negara. Namun, dalam pelaksanaannya Anak diposisikan sebagai objek dan perlakuan
terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan
Anak. Selain itu, Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan hukum dalam masyarakat
dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada
Anak yang berhadapan dengan hukum.
Dengan demikian, perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan Anak yang berhadapan dengan
hukum, antara lain didasarkan pada
peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara lainnya yang
berkewajiban dan bertanggung jawab
141
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
untuk meningkatkan kesejahteraan
Anak serta memberikan perlindungan
khusus kepada Anak yang berhadapan
dengan hukum.
Penyusunan
Undang-Undang
ini
merupakan penggantian terhadap
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3668) yang
dilakukan dengan tujuan agar dapat
terwujud peradilan yang benar-benar
menjamin perlindungan kepentingan
terbaik terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus
bangsa.
Undang-Undang ini menggunakan
nama Sistem Peradilan Pidana Anak
tidak diartikan sebagai badan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Namun, Undang-Undang
ini merupakan bagian dari lingkungan
peradilan umum.
Adapun substansi yang diatur dalam
Undang-Undang ini, antara lain, mengenai penempatan Anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (LPKA). Substansi yang paling
mendasar dalam Undang-Undang ini
adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi
142
yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses
peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang
berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam
lingkungan sosial secara wajar. Oleh
karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka
mewujudkan hal tersebut. Proses itu
harus bertujuan pada terciptanya Keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan Restoratif
merupakan suatu proses Diversi, yaitu
semua pihak yang terlibat dalam suatu
tindak pidana tertentu bersama-sama
mengatasi masalah serta menciptakan
suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik
dengan melibatkan korban, Anak, dan
masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan
menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.
Dan kasus yang muncul, ada kalanya.
Anak berada dalam status saksi dan/
atau korban sehingga Anak Korban
dan/atau Anak Saksi juga diatur dalam
Undang-Undang ini. Khusus mengenai
sanksi terhadap Anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur Anak, yaitu
bagi Anak yang masih berumur kurang
dari 12 (dua belas) tahun hanya dikenai tindakan, sedangkan bagi Anak
yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai dengan (delapan belas) tahun dapat dijatuhi tindakan dan
pidana.
Mengingat ciri dan sifat yang khas
pada Anak dan demi perlindungan
terhadap Anak, perkara Anak yang
berhadapan dengan hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana Anak
yang berada di lingkungan peradilan
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
umum. Proses peradilan perkara Anak
sejak ditangkap, ditahan, dan diadili
pembinaannya wajib dilakukan oleh
pejabat khusus yang memahami masalah Anak. Namun, sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum,
keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar
jalur pengadilan, yakni melalui Diversi
berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.
Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian. perkara Anak yang berhadapan
dengan hukum mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
II. PASAL DEMI PASAL
Cukup jelas.
Pasal 1
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perlindungan” meliputi kegiatan yang bersifat
langsung dan tidak langsung dari tindakan yang membahayakan Anak secara fisik dan/atau psikis.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “keadilan”
adalah bahwa setiap penyelesaian
perkara Anak harus mencerminkan
rasa keadilan bagi Anak.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “non-diskriminasi” adalah tidak adanya perlakuan yang berbeda didasarkan pada
suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status
hukum Anak, urutan kelahiran Anak,
serta kondisi fisik dan/atau mental.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kepentingan terbaik bagi Anak” adalah segala
pengambilan keputusan harus selalu
mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “penghargan terhadap pendapat Anak” adalah
penghormatan atas hak Anak untuk
berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan,
terutama jika menyangkut hal yang
memengaruhi kehidupan Anak.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “kelangsungan
hidup dan tumbuh kembang Anak”
adalah hak asasi yang paling mendasar
bagi Anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga,
dan orang tua.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “pembinaan”
adalah kegiatan untuk meningkatkan
kualitas, ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan
perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan
rohani Anak baik di dalam maupun di
luar proses peradilan pidana.
Yang dimaksud dengan “pembimbingan” adalah pemberian tuntunan untuk
meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan
keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “proporsional” adalah segala perlakuan terhadap
Anak harus memperhatikan batas keperluan, umur, dan kondisi Anak.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “perampasan
kemerdekaan merupakan upaya ter143
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
akhir” adalah pada dasarnya Anak
tidak dapat dirampas kemerdekaannya, kecuali terpaksa guna kepentingan penyelesaian perkara.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “penghindaran pembalasan” adalah prinsip menjauhkan upaya pembalasan dalam proses peradilan pidana.
Pasal 3
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kebutuhan
sesuai dengan umurnya” meliputi melakukan ibadah sesuai dengan agama
atau kepercayaannya, mendapat kunjungan dari keluarga dan/atau pendamping, mendapat perawatan rohani dan jasmani, mendapat pendidikan
dan pengajaran, mendapat pelayanan
kesehatan dan makanan yang layak,
mendapat bahan bacaan, menyampaikan keluhan, serta mengikuti siaran media massa.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “rekreasional”
adalah kegiatan latihan fisik bebas
sehari-hari di udara terbuka dan Anak
harus memiliki waktu tambahan untuk kegiatan hiburan harian, kesenian,
atau mengembangkan keterampilan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “merendahkan
derajat dan martabatnya” misalnya
Anak disuruh membuka baju dan lari
berkeliling, Anak digunduli rambutnya, Anak diborgol, Anak disuruh
membersihkan WC, serta Anak perempuan disuruh memijat Penyidik lakilaki.
Huruf f
Cukup jelas.
144
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Selama menjalani proses peradilan,
Anak berhak menikmati kehidupan
pribadi, antara lain Anak diperbolehkan membawa barang atau perlengkapan pribadinya, seperti mainan,
dan jika anak ditahan atau ditempatkan di LPKA, Anak berhak memiliki
atau membawa selimut atau bantal,
pakaian sendiri, dan diberikan tempat
tidur yang terpisah.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Yang dimaksud dengan “peraturan
perundang-undangan” antara lain Undang-Undang tentang Hukum Acara
Pidana dan Undang-Undang tentang
Pemasyarakatan.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “peraturan
perundang-undangan” antara lain Undang-Undang tentang Pemasyarakatan.
Cukup jelas.
Pasal 5
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Cukup jelas.
Pasal 6
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Ketentuan “pidana penjara di bawah 7
(tujuh) tahun” mengacu pada hukum
pidana.
Huruf b
Pengulangan tindak pidana dalam ketentuan ini merupakan tindak pidana
yang dilakukan oleh Anak, baik tindak
pidana sejenis maupun tidak sejenis,
termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui Diversi.
Pasal 8
Ayat (1)
Orang tua dan Wali korban dilibatkan
dalam proses Diversi dalam hal korban
adalah anak.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “masyarakat”
antara lain tokoh agama, guru, dan
tokoh masyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Ketentuan ini merupakan indikator
bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin tinggi prioritas Diversi.
Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba,
dan terorisme, yang diancam pidana di
atas 7 (tujuh) tahun.
Huruf b
Umur anak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menentukan prio-
ritas pemberian Diversi dan semakin
muda umur anak semakin tinggi prioritas Diversi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan mengenai “Persetujuan, keluarga Anak Korban” dimaksudkan dalam hal korban adalah Anak di bawah
umur.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tindak pidana ringan” adalah tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara atau
pidana kurungan paling lama 3 (tiga)
bulan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12
Ayat (1)
Kesepakatan Diversi dalam ketentuan
ini ditandatangani oleh para pihak
yang terlibat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
145
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Cukup jelas.
Pasal 13
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud “atasan langsung” antara lain kepala kepolisian, kepala kejaksaan, dan ketua pengadilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Laporan tersebut sekaligus berisi rekomendasi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “situasi darurat” antara lain situasi pengungsian,
kerusuhan, bencana alam, dan konflik
bersenjata.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Yang dimaksud dengan “pemberi bantuan hukum lainnya” adalah paralegal,
dosen, dan mahasiswa fakultas hukum
sesuai dengan Undang-Undang tentang Bantuan Hukum.
Suasana kekeluargaan misalnya suasana yang membuat Anak nyaman,
ramah Anak, serta tidak menimbulkan
ketakutan dan tekanan.
Cukup jelas.
146
Pasal 19
Pasal 20
Sesuai dengan asas praduga tidak bersalah, seorang Anak yang sedang dalam proses peradilan tetap dianggap
tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Anak yang sudah kawin dan belum
berumur 18 (delapan belas) tahun tetap diberikan hak dan kewajiban keperdataan sebagai orang dewasa.
Pasal 21
Ayat (1)
Batas umur 12 (dua belas) tahun bagi
Anak untuk dapat diajukan ke sidang
anak didasarkan pada pertimbangan
sosiologis, psikologis, dan pedagogis
bahwa anak yang belum mencapai
umur 12 (dua belas) tahun dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya.
Proses pemeriksaan yang dilakukan
oleh Penyidik terhadap Anak dilakukan
bukan dalam rangka proses peradilan
pidana, melainkan digunakan sebagai
dasar mengambil keputusan oleh Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan,
dan Pekerja Sosial Profesional.
Dalam ketentuan ini, pertimbangan
dari Pembimbing Kernasyarakatan
berupa laporan penelitian kemasyarakatan yang merupakan persyaratan
wajib sebelum Penyidik, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial
Profesional mengambil keputusan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Keikutsertaan program pendidikan,
pembinaan, dan pembimbingan dalam
ketentuan ini termasuk rehabilitasi sosial dan rehabilitasi psikososial. Dalam
ketentuan ini, Anak yang masih sekolah tetap dapat mengikuti pendidikan
formal, baik yang diselenggarakan
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
oleh instansi pemerintah maupun
swasta.
Dalam pelaksanaan program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan
dapat melibatkan dinas pendidikan,
dinas sosial, Pembimbing Kemasyarakatan atau lembaga pendidikan, dan
Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Undang-Undang ini
memberikan perlakuan khusus terhadap Anak, dalam arti harus ada pemisahan perlakuan terhadap Anak dan
perlakuan terhadap orang dewasa atau
terhadap Anggota Tentara Nasional Indonesia dalam perkara koneksitas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Pasal 25
Pasal 26
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “mempunyai
minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak” adalah memahami:
1) pembinaan Anak yang meliputi
pola asuh keluarga, pola pembinaan sopan santun, disiplin Anak,
serta melaksanakan pendekatan
secara efektif, afektif, dan simpatik;
2) pertumbuhan dan perkembangan
Anak; dan
3) berbagai tata nilai yang hidup di
masyarakat
4) yang memengaruhi kehidupan
Anak.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini dimaksudkan agar penyidikan tetap dapat dilaksanakan
walaupun di daerah yang bersangkutan belum ada penunjukan Penyidik.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 27
Pasal 28
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini dimaksudkan agar
pemeriksa pada tahap selanjutnya
mengetahui ada tidaknya upaya Diversi dan sebab gagalnya Diversi.
147
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 30
Ayat (1)
Penghitungan 24 (dua puluh empat)
jam masa penangkapan oleh Penyidik
dihitung berdasarkan waktu kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Koordinasi dilakukan dengan memberi petunjuk dan visi agar kelengkapan
berkas dapat segera terpenuhi secara
formal dan material.
Pasal 32
Ayat (1)
Pada dasarnya penahanan dilakukan
untuk kepentingan pemeriksaan, tetapi penahanan terhadap Anak harus
pula memperhatikan kepentingan
Anak yang menyangkut pertumbuhan
dan perkembangan Anak, baik fisik,
mental, maupun sosial, Anak dan kepentingan masyarakat.
Yang dimaksud dengan “lembaga” dalam ketentuan ini adalah lembaga, baik
pemerintah maupun swasta, di bidang
kesejahteraan sosial Anak, antara lain
panti asuhan, dan panti rehabilitasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kebutuhan rohani Anak termasuk kebutuhan intelektual Anak.
Ayat (5)
148
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup Jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 33
Pasal 34
Pasal 35
Pasal 36
Pasal 37
Pasal 38
Pasal 39
Pasal 40
Ayat (1)
Ketentuan bantuan hukum mengacu Undang-Undang tentang Bantuan
Hukum.
Pemberitahuan mengenai hak memperoleh bantuan hukum dilakukan secara tertulis, kecuali apabila Anak dan
orang tua/Wali tidak dapat membaca,
pemberitahuan dilakukan secara lisan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penuntut umum yang ditunjuk sekurang-kurangnya memahami masalah
Anak.
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Cukup jelas.
Pasal 42
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hakim yang ditunjuk sekurang-kurangnya memahami masalah Anak.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 44
Pasal 45
Pasal 46
Pasal 47
Pasal 48
Pasal 49
Pasal 50
Pasal 51
Pasal 52
Pasal 53
Pasal 54
Pemeriksaan perkara Anak harus dilakukan secara tertutup di ruang
sidang khusus Anak. Walaupun de-
mikian, dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Hakim dapat menetapkan
pemeriksaan perkara dilakukan secara
terbuka, tanpa mengurangi hak Anak.
Hal tertentu dan dipandang perlu
tersebut antara lain karena sifat dan
keadaan perkara harus dilakukan secara terbuka. Suatu sifat perkara akan
diperiksa secara terbuka, misalnya
perkara pelanggaran lalu lintas, dan
dilihat dari keadaan perkara, misalnya
pemeriksaan perkara di tempat kejadian perkara.
Pasal 55
Ayat (1)
Meskipun pada prinsipnya tindak pidana merupakan tanggung jawab Anak
sendiri, tetapi karena dalam hal ini
terdakwanya adalah Anak, Anak tidak
dapat dipisahkan dengan kehadiran
orang tua/Wali.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 56
Pasal 57
Ayat (1)
Ketentuan “tanpa kehadiran Anak”
dimaksudkan untuk menghindari adanya hal yang memengaruhi jiwa Anak
Korban dan/atau Anak Saksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 58
Pasal 59
149
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Batal demi hukum dalam ketentuan ini
adalah tanpa dimintakan untuk dibatalkan dan putusan tidak mempunyai
hukum mengikat.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
150
Pasal 62
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kewajiban
adat” adalah denda atau tindakan yang
hams dipenuhi berdasarkan norma
adat setempat yang tetap menghormati harkat dan martabat Anak serta
tidak membahayakan kesehatan fisik
dan mental Anak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 61
Pasal 64
Pasal 65
Pasal 66
Pasal 67
Pasal 68
Pasal 69
Pasal 70
Pasal 71
Pasal 72
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Jangka waktu dalam ketentuan ini
merupakan masa percobaan.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Huruf a
Pasal 74
Pasal 75
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Yang dimaksud dengan “pejabat pembina” adalah petugas yang mempunyai
kompetensi di bidang yang dibutuhkan oleh Anak sesuai dengan asesmen
Pembimbing Kemasyarakatan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pelayanan
masyarakat” adalah kegiatan membantu pekerjaan di lembaga pemerintah atau lembaga kesejahteraan sosial.
Bentuk pelayanan masyarakat misalnya membantu lansia, orang cacat,
atau anak yatim piatu di panti dan
membantu administrasi ringan di kantor kelurahan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 77
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pidana pengawasan” adalah pidana yang khusus
dikenakan untuk Anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh Penuntut
Umum terhadap perilaku Anak dalam
kehidupan sehari-hari di rumah Anak
dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “lembaga yang
melaksanakan pelatihan kerja” antara
lain balai latihan kerja, lembaga pendidikan vokasi yang dilaksanakan, misalnya, oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang ketenagakerjaan, pendidikan,
atau sosial.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “maksimum
ancaman pidana penjara bagi orang
dewasa” adalah maksimum ancaman
pidana penjara terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana atau undang-undang
lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 80
Pasal 81
Pasal 82
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penyerahan
kepada seseorang” adalah penyerahan kepada orang dewasa yang dinilai
cakap, berkelakuan baik, dan bertanggung jawab, oleh Hakim serta dipercaya oleh Anak.
Huruf c
Tindakan ini diberikan kepada Anak
yang pada waktu melakukan tindak
151
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
pidana menderita gangguan jiwa atau
penyakit jiwa.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “perbaikan
akibat tindak pidana” misalnya memperbaiki kerusakan yang disebabkan
oleh tindak pidananya dan memulihkan keadaan sesuai dengan sebelum
terjadinya tindak pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 83
Pasal 84
Pasal 85
Ayat (1)
Apabila di dalam suatu daerah belum
terdapat LPKA, Anak dapat ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan yang
penempatannya terpisah dari orang
dewasa.
Ayat (2)
Hak yang diperoleh Anak selama ditempatkan di LPKA diberikan sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang
tentang Pemasyarakatan. Dalam pemberian hak tersebut, tetap perlu diperhatikan pembinaan bagi Anak yang
bersangkutan, antara lain mengenai
pertumbuhan dan perkembangan
Anak, baik fisik, mental, maupun sosial.
152
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penempatan Anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan menyediakan blok tertentu bagi mereka
yang telah mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun sampai dengan umur 21
(dua puluh satu) tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang undangan” antara
lain Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
Undang-Undang tentang Kekerasan
dalam Rumah Tangga, dan UndangUndang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 88
Yang dimaksud dengan “peraturan
perundang-undangan” antara lain Undang-Undang tentang Pemasyarakatan.
Cukup jelas.
Pasal 89
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Cukup jelas.
Pasal 90
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “memerlukan
tindakan pertolongan segera” adalah
kondisi anak yang mengalami penderitaan, baik fisik maupun psikis, sehingga harus segera diatasi.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi
medis” adalah proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk memulihkan kondisi fisik Anak, Anak Korban,
dan/atau Anak Saksi.
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi
sosial” adalah proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental
maupun sosial, agar Anak, Anak Korban, dan/ atau Anak Saksi dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam
kehidupan di masyarakat.
Yang dimaksud dengan “reintegrasi
sosial” adalah proses penyiapan Anak,
Anak Korban, dan/ atau Anak Saksi
untuk dapat kembali ke dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 92
Pasal 93
Pasal 94
Pasal 95
Pasal 96
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 97
Pasal 98
Pasal 99
Pasal 100
Pasal 101
Pasal 102
Pasal 103
Pasal 104
Pasal 105
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “menyiapkan”
adalah memberikan dan menyerahkan
hak kepemilikan lahan kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan
di bidang hukum.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 106
Pasal 107
Pasal 108
153
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 1997
TENTANG PENGADILAN ANAK
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa anak adalah bagian dari
generasi muda sebagai salah satu
sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang
memiliki peranan strategis dan
mempunyai ciri dan sifat khusus,
memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan
fisik, mental, dan sosial secara
utuh, serasi, selaras, dan seimbang;
b. bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang
menyangkut kelembagaan maupun
perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu
ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu
dilakukan secara khusus;
c. bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 10 Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum, pengkhususan pengadilan anak berada
di lingkungan Peradilan Umum dan
dibentuk dengan Undang-undang;
154
d. bahwa berdasarkan pertimbangan
tersebut pada huruf a, b, dan c,
perlu membentuk Undang-undang
tentang pengadilan Anak.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1)
Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor
74, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2951);
3. Undang-undang Nomor 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umum
(Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG
TENTANG PENGADILAN ANAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai
umum 8 (delapan) tahun tetapi
belum mencapai umur 18 (delapan
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
belas) tahun dan belum pernah kawin.
Anak Nakal adalah:
a. anak yang melakukan tindak
pidana; atau
b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang
bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan
maupun menurut peraturan
hukum lain yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat
yang bersangkutan.
Anak Didik Pemasyarakatan, Balai
Pemasyarakatan, Tim Pengamat
Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan adalah Anak Didik
Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, Tim Pengamat Pemasyarakatan dan Klien Pemasyarakatan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995
tentang Pemasyarakatan.
Penahanan adalah penempatan
tersangka atau terdakwa di Rumah
Tahanan Negara, Cabang Rumah
Tahanan Negara atau di tempat tertentu.
Penyidik adalah penyidik anak.
Penuntut Umum adalah penuntut
umum anak.
Hakim adalah Hakim anak.
Hakim Banding adalah hakim banding anak.
Hakim Kasasi adalah hakim kasasi
anak.
Orang tua asuh adalah orang yang
secara nyata mengasuh anak, selaku orang tua terhadap anak.
Pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan pada
Balai Pemasyarakatan yang melakukan Bimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan.
Organisasi Sosial Kemasyarakatan
adalah organisasi masyarakat yang
mempunyai perhatian khusus kepada masalah Anak Nakal.
13. Penasihat Hukum adalah penasihat hukum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
Pasal 2
Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di
lingkungan Peradilan Umum.
Pasal 3
Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak, bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam Undangundang ini.
Pasal 4
(1) Batas umur Anak Nakal yang dapat
diajukan ke Sidang Anak adalah
sekurang-kurangnya 8 (delapan)
tahun tetapi belum mencapai umur
18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah kawin.
(2) Dalam hal anak melakukan tindak
pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu) tahun, tetap diajukan
ke Sidang Anak.
Pasal 5
(1) Dalam hal anak belum mencapai
umur 8 (delapan) tahun melakukan
atau diduga melakukan tindak
pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan
oleh Penyidik.
(2)��������������������������������
Apabila menurut hasil pemeriksa155
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
an, Penyidik berpendapat bahwa
anak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) masih dapat dibina oleh
orang tua, atau oang tua asuhnya,
Penyidik menyerahkan kembali
anak tersebut kepada orang tua,
wali atau orang tua asuhnya.
(3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak dapat dibina
lagi oleh orang tua, wali atau orang
tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar
pertimbangan dari Pembimbing
Kemasyarakatan.
Pasal 6
Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan
Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai
toga atau pakaian dinas.
Pasal 7
(1) Anak yang melakukan pidana bersama-sama dengan orang dewasa
diajukan ke Sidang Anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa.
(2) Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Anggota
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Sidang Anak,
sedangkan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer.
Pasal 8
(1) Hakim memeriksa perkara anak
dalam sidang tertutup.
(2) Dalam hal tertentu dan dipandang
perlu pemeriksaan, perkara anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat dilakukan dalam sidang
terbuka.
156
(3) Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat dihadiri
oleh anak yang bersangkutan beserta orang tua, wali, atau orang
tua asuh, Penasihat Hukum, dan
Pembimbing Kemasyarakatan.
(4) Selain mereka yang disebut dalam
ayat (3), orang-orang tertentu atas
izin hakim atau majelis hakim dapat menghadiri persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(5) Pemberitaan mengenai perkara
anak mulai sejak penyidikan sampai saat sebelum pengucapan putusan pengadilan menggunakan singkatan dari nama anak, orang tua,
wali, atau orang tua asuhnya.
(6) Putusan pengadilan dalam memeriksa perkara anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum
BAB II
HAKIM DAN WEWENANG
SIDANG ANAK
Bagian Pertama
Hakim
Pasal 9
Hakim ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan Ketua Mahkamah Agung
atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang
bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi.
Pasal 10
Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan
sebagai Hakim sebagaimana dimaksud
dalam pasal 9 adalah:
a. telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah
anak.
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 11
(1) Hakim memeriksa dan memutus
perkara anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal.
(2) Dalam hal tertentu dan dipandang
perlu, Ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim
majelis.
(3) Hakim dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang Panitera
atau seorang Panitera Pengganti.
Bagian Kedua
Hakim Banding
Pasal 12
Hakim Banding ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah
Agung atas usul Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.
Pasal 13
Syarat-syarat yag berlaku untuk Hakim
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
berlaku pula untuk Hakim Banding.
Pasal 14
(1) Hakim Banding memeriksa dan
memutus perkara anak dalam tingkat banding sebagai hakim tunggal.
(2) Dalam hal tertentu dan dipandang
perlu, Ketua Pengadilan Tinggi dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim
majelis.
(3) Hakim Banding dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang
Panitera atau seorang Panitera
Pengganti.
Pasal 15
Ketua Pengadilan Tinggi memberikan
bimbingan dan pengawasan terhadap
jalannya peradilan di dalam daerah
hukumnya agar Sidang Anak diseleng-
garakan sesuai dengan Undang-undang
ini.
Bagian Ketiga
Hakim Kasasi
Pasal 16
Hakim Kasasi ditetapkan berdasarkan
Surat Keputusan Ketua Mahkamah
Agung.
Pasal 17
Syarat-syarat yang berlaku untuk Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, berlaku pula untuk Hakim Kasasi.
Pasal 18
(1) Hakim Kasasi memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat
kasasi sebagai hakim tunggal.
(2) Dalam hal tertentu dan dipandang
perlu, Ketua Mahakamah Agung
dapat menetapkan pemeriksaan
perkara anak dilakukan dengan hakim majelis.
(3) Hakim kasasi dalam menjalankan
tugasnya, dibantu oleh seorang Panitera atau seorang Panitera Pengganti.
Pasal 19
Pengawas tertinggi atas Sidang Anak
dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Bagian Keempat
Peninjauan Kembali
Pasal 20
Terhadap putusan pengadilan mengenai perkara Anak Nakal yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat dimohonkan peninjauan kembali oleh anak dan/atau orang tua, wali,
orang tua asuh, atau Penasihat hukumnya kepada Mahkamah Agung sesuai
dengan ketentuan Undang-undang
157
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
yang berlaku.
Bagian Kelima
Wewenang Sidang Anak
Pasal 21
Sidang Anak berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara pidana dalam hal perkara Anak
Nakal.
BAB III
PIDANA DAN TINDAKAN
Pasal 22
Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang
ditentukan dalam Undang-undang ini.
Pasal 23
(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:
a. pidana penjara;
b. pidana kurungan;
c. pidana denda; atau
d. pidana pengawasan.
(3) Selain pidana pokok sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) terhadap
Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu
dan/atau pembayaran ganti rugi.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan
tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 24
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan
kepada Anak Nakal ialah:
a. mengembalikan kepada orang
tua, wali, orangtua asuh;
b. Menyerahkan kepada negara
158
untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja;
atau
c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi
Sosial kemasyarakatan yang
bergerak di bidang pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan
yang ditetapkan oleh Hakim.
Pasal 25
(1) Terhadap Anak Nakal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2
huruf a, Hakim menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud dalam
pasal 23 atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24.
(2) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka
2 huruf b, Hakim menjatuhkan
tindakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24.
Pasal 26
(1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka
2 huruf a, paling lama 1/2 (satu
per dua) dari maksimum ancaman
pidana penjara bagi orang dewasa.
(2) Apabila Anak Nakal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2
huruf a, melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup,
maka pidana penjara yang dapat
dijatuhkan kepada anak tersebut
paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(3) Apabila Anak Nakal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2
huruf a, belum mencapai umur 12
(dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
mati atau pidana penjara seumur
hidup maka terhadap Anak Nakal
tersebut hanya dapat dijatuhkan
tindakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.
(4) Apabila Anak Nakal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2
huruf a, belum mencapai umur 12
(dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam
pidana mati atau tidak diancam
pidana penjara seumur hidup,
maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Pasal 27
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf
a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari
maksimum ancaman pidana kurungan
bagi orang dewasa.
Pasal 28
(1) Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi
orang dewasa.
(2) Apabila pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ternyata
tidak dapat dibayar maka diganti
dengan wajib latihan kerja.
(3) Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama
90 (sembilan puluh) hari kerja dan
lama latihan kerja tidak lebih dari 4
(empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari.
Pasal 29
(1) Pidana bersyarat dapat dijatuhkan
oleh Hakim, apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2
(dua) tahun.
(2) Dalam putusan pengadilan mengenai pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditentukan syarat umum dan syarat khusus.
(3) Syarat umum ialah bahwa Anak
Nakal tidak akan melakukan tindak
pidana lagi selama menjalani masa
pidana bersyarat.
(4) Syarat khusus ialah untuk melakukan atau tidak melakukan hal
tertentu yang ditetapkan dalam
putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak.
(5) Masa pidana bersyarat bagi syarat khusus lebih pendek daripada
masa pidana bersyarat bagi syarat
umum.
(6) Jangka waktu masa pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun.
(7) Selama menjalankan masa pidana
bersyarat, Jaksa melakukan pengawasan dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan bimbingan
agar Anak Nakal menepati persyaratan yang telah ditentukan.
(8) Anak Nakal yang menjalani pidana
bersyarat dibimbing oleh Balai Pemasyarakatan dan berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan.
(9) Selama Anak Nakal berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan dapat
mengikuti pendidikan sekolah.
Pasal 30
(1) Pidana pengawasan yang dapat
dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 angka 2 huruf a, paling singkat 3
(tiga) bulan dan paling lama 2 (dua)
tahun.
(2) Apabila terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 2 huruf a, dijatuhkan pida159
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
na pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka anak
tersebut ditempatkan di bawah
pengawasan Jaksa dan bimbingan
Pembimbing kemasyarakatan.
(3) Ketentuan mengenai bentuk dan
tata cara pelaksanaan pidana pengawasan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
(1) Anak Nakal yang oleh Hakim diputus untuk diserahkan kepada negara, ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai Anak
Negara.
(2) Demi kepentingan anak, Kepala
Lembaga Pemasyarakatan Anak dapat mengajukan izin kepada Menteri Kehakiman agar Anak Negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditempatkan di lembaga pendidikan anak yang diselenggarakan
oleh Pemerintah atau Swasta.
Pasal 32
Apabila Hakim memutuskan bahwa
Anak Nakal wajib mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
(1) huruf c, Hakim dalam keputusannya
sekaligus menentukan lembaga tempat
pendidikan, pembinaan dan latihan
kerja tersebut dilaksanakan.
BAB IV
PETUGAS KEMASYARAKATAN
Pasal 33
Petugas kemasyarakatan terdiri dari:
a. Pembimbing Kemasyarakatan dari
Departemen Kehakiman;
b. Pekerja Sosial dari Departemen
Sosial; dan
c. Pekerja Sosial Sukarela dari Organisasi Sosial Kemasyarakatan.
160
Pasal 34
(1) Pembimbing Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 huruf a bertugas:
a. membantu memperlancar tugas Penyidik, Penuntut Umum,
dan Hakim dalam perkara Anak
Nakal, baik di dalam maupun di
luar Sidang Anak dengan membuat laporan hasil penelitian
kemasyarakatan;
b. membimbing, membantu, dan
mengawasi Anak Nakal yang
berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana bersyarat,
pidana pengawasan, pidana
denda, diserahkan kepada
negara dan harus mengikuti
latihan kerja, atau anak yang
memperoleh pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan.
(2) Pekerja Sosial sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 huruf b,
bertugas membimbing, membantu,
dan mengawasi Anak Nakal yang
berdasarkan putusan pengadilan
diserahkan kepada Departemen
Sosial untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
Pekerja Sosial mengadakan koordinasi dengan Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 35
Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (1) dan ayat (2) dapat dibantu oleh
Pekerja Sosial Sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf c.
Pasal 36
Ketentuan mengenai tugas, kewajiban,
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dan syarat-syarat bagi Pembimbing Kemasyarakatan diatur lebih dengan Keputusan Menteri kehakiman.
Pasal 37
Ketentuan mengenai tugas, kewajiban,
dan syarat-syarat bagi Pekerja Sosial
diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri Sosial.
Pasal 38
Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial harus mempunyai keahlian
khusus sesuai dengan tugas dan kewajibannya atau mempunyai keterampilan
teknis dan jiwa pengabdian di bidang
usaha kesejahteraan sosial.
Pasal 39
(1) Pekerja Sosial Sukarela harus mempunyai keahlian atau keterampilan
khusus dan minat untuk membina,
membimbing, dan membantu anak
demi kelangsungan hidup, perkembangan fisik, mental, sosial, dan
perlindungan terhadap anak.
(2) Pekerja Sosial Sukarela memberikan laporan kepada Pembimbing
Kemasyarakatan mengenai hasil
bimbingan, bantuan, dan pembinaan terhadap anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi
pidana atau tindakan.
BAB V
ACARA PENGADILAN ANAK
Bagian Pertama
Umum
Pasal 40
Hukum Acara yang berlaku diterapkan
pula dalam pengadilan anak, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang
ini.
Bagian Kedua
Perkara Anak Nakal
Paragraf 1
Penyidikan
Pasal 41
(1) Penyidikan terhadap Anak Nakal
dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
(2) Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah:
a. telah berpengalaman sebagai
penyidik tindak pidana yang
dilakukan oleh orang dewasa;
b. mempunyai minat, perhatian,
dedikasi, dan memahami masalah anak.
(3) Dalam hal tertentu dan dipandang
perlu, tugas penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dibebankan kepada:
a. penyidik yang melakukan tugas penyidikan bagi tindak
pidana yang dilakukan oleh
orang dewasa; atau
b. penyidik lain yang ditetapkan
berdasarkan ketentuan Undang-undang yang berlaku.
Pasal 42
(1) Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan.
(2) Dalam melakukan penyidikan terhadap Anak Nakal, Penyidik wajib
meminta pertimbangan atau saran
dari Pembimbing Kemasyarakatan,
dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran
dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas
161
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
kemasyarakatan lainnya.
(3) Proses penyidikan terhadap perkara Anak Nakal wajib dirahasiakan.
Paragraf 2
Penangkapan dan Penahanan
Pasal 43
(1) Penangkapan Anak Nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana.
(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
guna kepentingan pemeriksaan
untuk paling lama 1 (satu) hari.
Pasal 44
(1) Untuk kepentingan penyidikan,
Penyidik sebagaimana dimaksud
dalam pasal 41 ayat (1) dan ayat (3)
huruf a, berwenang melakukan penahanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti permulaan yang
cukup.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) hanya berlaku untuk
paling lama 20 (dua puluh) hari.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, atas
permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum yang
berwenang, untuk paling lama 10
(sepuluh) hari.
(4) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sudah harus
menyerahkan berkas perkara yang
bersangkutan kepada Penuntut
Umum.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) dilampaui
dan berkas perkara belum diserah162
kan, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
(6) Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk
anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara, atau di tempat tertentu.
Pasal 45
(1) Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak
dan/atau kepentingan masyarakat.
(2) Alasan penahanan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan secara tegas dalam surat
perintah penahanan.
(3) Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang
dewasa.
(4) Selama anak ditahan kebutuhan
jasmani, rohani, dan sosial anak
harus tetap dipenuhi.
Pasal 46
(1) Untuk kepentingan penuntutan,
Penuntut Umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan
lanjutan.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) untuk paling lama 10
(sepuluh) hari.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, atas
permintaan Penuntut Umum dapat
diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk
paling lama 15 (lima belas) hari.
(4) Dalam jangka waktu 25 (dua puluh
lima) hari, Penuntut Umum harus
melimpahkan berkas perkara anak
kepada pengadilan negeri.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) dilampaui
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dan berkas perkara belum dilimpahkan ke pengadilan negeri, maka
tersangka harus dikeluarkan dari
tahanan demi hukum.
Pasal 47
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan,
Hakim di sidang pengadilan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak yang sedang
diperiksa.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) untuk paling lama 15
(lima belas) hari.
(3) jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat
diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan
untuk paling lama 30 (tiga puluh)
hari.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dilampaui
dan Hakim Banding belum membeberkan putusannya, maka anak
yang bersangkutan harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 48
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan,
Hakim Banding di sidang pengadilan berwenang mengeluarkan surat
perintah penahanan anak yang sedang diperiksa.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) untuk paling lama 15
(lima belas) hari.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat
diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan
untuk paling lama 30 (tiga puluh)
hari.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dilampaui
dan Hakim belum memberikan
putusannya, maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari
tahanan demi hukum.
Pasal 49
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan,
Hakim Kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan
anak yang sedang diperiksa.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) untuk paling lama 25
(dua puluh lima) hari.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat
diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama 30
(tiga puluh) hari.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dilampaui
dan Hakim Kasasi belum memberikan putusannya maka anak yang
bersangkutan harus dikeluarkan
dari tahanan demi hukum.
Pasal 50
(1) Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44, Pasal 46, Pasal 47,
Pasal 48, dan pasal 49 guna kepentingan pemeriksaan, penahanan
terhadap tersangka atau terdakwa
dapat diperpanjang berdasarkan
alasan yang patut dan tidak dapat
dihindarkan karena tersangka atau
terdakwa menderita gangguan fisik
atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter.
(2) Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diberikan untuk paling lama 15
163
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
(3)
(4)
(5)
(6)
(lima belas) hari, dan dalam hal
penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk
paling lama 15 (lima belas) hari.
Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diberikan oleh:
a. Ketua Pengadilan Negeri dalam
tingkat penyidikan dan penuntutan;
b. Ketua Pengadilan Tinggi dalam
tingkat pemeriksaan di pengadilan negeri;
c. Ketua Mahkamah Agung dalam
tingkat pemeriksaan banding
dan kasasi.
Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) dilakukan secara bertahap dan
dengan penuh tanggung jawab.
Setelah waktu 30 (tiga puluh) hari,
walaupun perkara tersebut belum
selesai diperiksa atau belum diputus, tersangka atau terdakwa harus
sudah dikeluarkan dari tahanan
demi hukum.
Terhadap perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) tersangka atau terdakwa
dapat mengajukan keberatan kepada:
a. Ketua Pengadilan Tinggi dalam
tingkat penyidikan dan penuntutan;
b. Ketua Mahkamah Agung dalam
tingkat pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan
banding.
Pasal 51
(1) Setiap Anak Nakal sejak saat
ditangkap atau ditahan berhak
mendapatkan bantuan hukum
dari seorang atau lebih Penasihat
Hukum selama dalam waktu dan
164
pada setiap tingkat pemeriksaan
menurut tata cara yang ditentukan
dalam Undang-undang ini.
(2) Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada tersangka dan
orang tua, wali, atau orang tua
asuh, mengenai hak memperoleh
bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Setiap Anak Nakal yang ditangkap
atau ditahan berhak berhubungan
langsung dengan Penasihat Hukum
dengan diawasi tanpa didengar
oleh pejabat yang berwenang.
Pasal 52
Dalam memberikan bantuan hukum kepada anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), Penasihat Hukum
berkewajiban memperhatikan kepentingan anak dan kepentingan umum
serta berusaha agar suasana kekeluargaan tetap terpelihara dan peradilan
berjalan lancar.
Paragraf 3
Penuntutan
Pasal 53
(1) Penuntutan terhadap Anak Nakal
dilakukan oleh Penuntut Umum,
yang ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa
Agung.
(2) Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah:
a. telah berpengalaman sebagai
Penuntut Umum tindak pidana
yang dilakukan oleh orang dewasa;
b. mempunyai minat, perhatian,
dedikasi, dan memahami ma-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
salah anak.
(3) Dalam hal tertentu dan dipandang
perlu, tugas penuntutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat dibebankan kepada Penuntut
Umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang
dilakukan oleh orang dewasa.
Pasal 54
Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat
dilakukan penuntutan, maka ia wajib
dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan sesuai dengan ketentuan
dalam Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana.
Paragraf 4
Pemeriksaan di Sidang pengadilan
Pasal 55
Dalam perkara Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2,
Penuntut Umum, Penasihat Hukum,
Pembimbing Kemasyarakatan, orang
tua, wali, atau orang tua asuh dan saksi,
wajib hadir dalam Sidang Anak.
Pasal 56
(1) Sebelum sidang dibuka, Hakim
memerintahkan agar Pembimbing
Kemasyarakatan menyampaikan
laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) berisi:
a. data individu anak, keluarga,
pendidikan, dan kehidupan
sosial anak; dan
b. kesimpulan atau pendapat dari
Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 57
(1) Setelah Hakim membuka persi-
dangan dan menyatakan sidang
tertutup untuk umum, terdakwa
dipanggil masuk beserta orang tua,
wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum dan Pembimbing Kemasyarakatan.
(2) Selama dalam persidangan, terdakwa didampingi orang tua, wali, atau
orang tua asuh, Penasihat Hukum
dan Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 58
(1) Pada waktu memeriksa saksi, Hakim dapat memerintahkan agar
terdakwa dibawa ke luar ruang sidang.
(2) Pada waktu pemeriksaan saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), orang tua, wali, orang tua asuh,
Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan tetap hadir.
Pasal 59
1. Sebelum mengucapkan putusannya, Hakim memberikan kesempatan kerja kepada orang tua, wali,
orang tua asuh untuk mengemukakan segala hal ikhwal yang bermanfaat bagi anak.
2. Putusan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing
Kemasyarakatan (3) Putusan Pengadilan wajib diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum.
BAB VI
LEMBAGA KEMASYARAKATAN ANAK
Pasal 60
1. Anak Didik Pemasyarakatan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang harus terpisah
dari orang dewasa.
2. Anak yang ditempatkan di lembaga
165
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) berhak memperoleh pendidikan
dan latihan sesuai dengan bakat
dan kemampuannya serta hak lain
berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pasal 61
1. Anak Pidana yang belum selesai
menjalani pidananya di Lembaga
Pemasyarakatan Anak dan telah
mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan.
2. Anak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang telah
mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun, tetapi ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan secara terpisah dari yang telah mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.
1.
2.
3.
4.
5.
Pasal 62
Anak Pidana yang telah menjalani
pidana penjara 2/3 (dua per tiga)
dari pidana yang dijatuhkan yang
sekurang-kurangnya 9 (sembilan)
bulan dan berkelakuan baik, dapat
diberikan pembebasan bersyarat.
Anak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di bawah
pengawasan Jaksa dan Pembimbing
Kemasyarakatan yang dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan.
Pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan masa percobaan yang
lamanya sama dengan sisa pidana
yang harus dijalankannya.
Dalam pembebasan beryarat ditentukan syarat umum dan syarat
khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4).
Pengamatan terhadap pelaksanaan
bimbingan sebagaimana dimaksud
166
dalam ayat (2) dilakukan oleh Tim
Pengamat Pemasyarakat.
Pasal 63
Apabila Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak berpendapat bahwa Anak
Negara setelah menjalani masa pendidikannya dalam lembaga paling sedikit
1 (satu) tahun dan berkelakuan baik sehingga tidak memerlukan pembinaan
lagi, Kepala Lembaga Pemasyarakatan
dapat mengajukan permohonan izin
kepada Menteri Kehakiman agar anak
tersebut dapat dikeluarkan dari lembaga dengan atau tanpa syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat
(3) dan ayat (4).
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 65
Perkara Anak Nakal yang pada saat berlakunya Undang-undang ini:
a. sudah diperiksa tetapi belum diputus, penyelesaian selanjutnya
dilaksanakan berdasarkan hukum
acara yang berlaku sebelum berlakunya Undang-undang ini;
b. sudah dilimpahkan ke pengadilan negeri tetapi belum diperiksa,
penyelesaian selanjutnya dilaksanakan berdasarkan hukum acara
Pengadilan Anak yang diatur dalam
Undang-undang ini.
Pasal 66
Putusan hakim mengenai perkara Anak
Nakal yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap, atau yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tetapi
belum dilaksanakan pada saat Undangundang ini mulai berlaku, penyelesaian
selanjutnya dilaksanakan berdasarkan
Undang-undang ini.
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 67
Pada saat mulai berlakunya Undangundang ini, maka Pasal 45, Pasal 46 dan
Pasal 47 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 68
Undang-undang ini mulai berlaku 1
(satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Januari 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Januari 1997
MENTERI NEGARA
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1997 NOMOR 3
_________________________________
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 1997
TENTANG PENGADILAN ANAK
UMUM
Anak sebagai bagian dari generasi muda
merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia
bagi pembangunan nasional. Dalam
rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan
mampu memimpin serta memelihara
kesatuan dan persatuan bangsa dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945, diperlukan
pembinaan secara terus menerus demi
kelangsungan hidup, pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental, dan sosial
serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan
mereka dan bangsa di masa depan. Dalam berbagai hal upaya pembinaan dan
tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai penyimpangan
perilaku di kalangan anak, bahkan lebih
dari itu terdapat anak yang melakukan
perbuatan melanggar hukum tanpa
mengenal status sosial dan ekonomi.
Di samping itu, terdapat pula anak, yang
karena satu dan lain hal tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental, maupun
sosial. Karena keadaan diri yang tidak
memadai tersebut, maka baik sengaja
maupun tidak sengaja sering juga anak
melakukan tindakan atau perilaku yang
dapat merugikan dirinya dan/atau masyarakat. Penyimpangan tingkah laku
atau perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan oleh anak, disebabkan oleh
berbagai faktor, antara lain adanya
dampak negatif dari perkembangan
167
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta perubahan gaya
dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan sosial yang
mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap
nilai dan perilaku anak. Selain itu, anak
yang kurang atau tidak memperoleh
kasih sayang, asuhan, bimbingan, dan
pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta
pengawasan dari orang tua, wali, atau
orang tua asuh akan mudah terseret
dalam arus pergaulan masyarakat dan
lingkungannya yang kurang sehat dan
merugikan perkembangan pribadinya.
Dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah
laku Anak Nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala
ciri dan sifatnya yang khas. Walaupun
anak telah dapat menentukan sendiri
langkah perbuatannya berdasar pikiran, perasaan, dan kehendaknya, tetapi
keadaan sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu, dalam menghadapi masalah Anak Nakal,
orang tua dan masyarakat sekelilingnya
seharusnya lebih bertanggung jawab
terhadap pembinaan, pendidikan, dan
pengembangan perilaku anak tersebut.
Hubungan antara orang tua dengan
anaknya merupakan suatu hubungan
yang hakiki, baik hubungan psikologis,
maupun mental spritualnya.
Mengingat ciri dan sifat anak yang khas
tersebut, maka dalam menjatuhkan
pidana atau tindakan terhadap Anak
Nakal diusahakan agar anak dimaksud
jangan dipisahkan dari orang tuanya.
Apabila karena hubungan antara orang
tua dan anak kurang baik, atau karena
168
sifat perbuatannya sangat merugikan
masyarakat, sehingga perlu memisahkan anak dari orang tuanya, hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa pemisahan tersebut semata-mata demi
pertumbuhan dan perkembangan anak
secara sehat dan wajar.
Di samping pertimbangan tersebut di
atas, demi pertumbuhan dan perkembangan mental anak, perlu ditentukan
pembedaan perlakuan di dalam hukum
acara dan ancaman pidananya. Dalam
hubungan ini pengaturan pengecualian
dari ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang lama
pelaksanaan penahannya ditentukan
sesuai dengan kepentingan anak dan
pembedaan ancaman pidana bagi anak
yang ditentukan oleh Kitab Undangundang Hukum Pidana yang penjatuhan pidananya ditentukan 1/2 (satu per
dua) dari maksimum ancaman pidana
yang dilakukan oleh orang dewasa, sedangkan penjatuhan pidana mati dan
pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak.
Pembedaan perlakuan dan ancaman
yang diatur dalam Undang-undang ini
dimaksudkan untuk lebih melindungi
dan mengayomi anak tersebut agar dapat menyongsong masa depannya yang
masih panjang. Selain itu pembedaan
tersebut dimaksudkan untuk memberi
kesempatan kepada anak agar melalui
pembinaan akan diperoleh jati dirinya
untuk menjadi manusia yang mandiri,
bertanggung jawab, dan berguna bagi
diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara.
Khusus mengenai sanksi terhadap anak
dalam Undang-undang ini ditentukan
berdasarkan perbedaan umur anak,
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
yaitu bagi anak yang masih berumur
8 (delapan) tahun sampai 12 (dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan,
seperti dikembalikan kepada orang
tuanya, ditempatkan pada organisasi
sosial, atau diserahkan kepada Negara,
sedangkan terhadap anak yang telah
mencapai umur di atas 12 (dua belas)
tahun dijatuhkan pidana. Pembedaan
perlakuan tersebut didasarkan atas
pertumbuhan dan perkembangan fisik,
mental, dan sosial anak.
Mengingat ciri dan sifat yang khas pada
anak dan demi perlindungan terhadap
anak, maka perkara Anak Nakal, wajib disidangkan pada Pengadilan Anak
yang berada di lingkungan Peradilan
Umum. Dengan demikian proses peradilan perkara Anak Nakal dari sejak
ditangkap, ditahan, diadili dan pembinaan selanjutnya, wajib dilakukan oleh
pejabat khusus yang benar-benar memahami masalah anak.
Dalam penyelesaian perkara Anak Nakal, Hakim wajib mempertimbangkan
laporan hasil penelitian ke masyarakat
yang dihimpun oleh Pembimbing Kemasyarakatan mengenai data pribadi
maupun keluarga dari anak yang bersangkutan. Dengan adanya hasil laporan tersebut, diharapkan Hakim dapat
memperoleh gambaran yang tepat untuk memberikan putusan yang seadiladilnya bagi anak yang bersangkutan.
Putusan hakim akan mempengaruhi
kehidupan selanjutnya dari anak yang
bersangkutan, oleh sebab itu Hakim
harus yakin benar, bahwa putusan yang
diambil akan dapat menjadi salah satu
dasar yang kuat untuk mengembalikan dan mengantar anak menuju masa
depan yang baik untuk mengembangkan dirinya sebagai warga yang ber-
tanggung jawab bagi kehidupan keluarga, bangsa dan negara.
Untuk lebih memantapkan upaya pembinaan dan pemberian bimbingan bagi
Anak Nakal yang telah diputus oleh Hakim, maka anak tersebut ditampung di
Lembaga Pemasyarakatan Anak. Berbagai pertimbangan tersebut di atas serta
dalam rangka mewujudkan peradilan
yang memperhatikan perlindungan
dan kepentingan anak, maka perlu diatur ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan yang khusus
bagi anak dalam lingkungan Peradilan
Umum.
Dengan demikian Pengadilan Anak diharapkan memberikan arah yang tepat
dalam pembinaan dan perlindungan
terhadap anak.
PASAL DEMI PASAL
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Ayat (1)
Sesuai dengan asas praduga tak bersalah, maka seorang Anak Nakal yang
sedang dalam proses peradilan tetap
dianggap sebagai tidak bermasalah
sampai adanya putusan pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Batas umur 8 (delapan) tahun bagi Anak
Nakal untuk dapat diajukan ke Sidang
Anak didasarkan pada pertimbangan
sosialogis, psikologis dan pedagogis,
169
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
bahwa anak yang belum mencapai 8
(delapan) tahun dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik terhadap anak
yang melakukan tindak pidana sebelum
mencapai umur 8 (delapan) tahun tetap
diterapkan asas praduga tak bersalah.
Penyidikan terhadap anak dilakukan
untuk apakah anak melakukan tindak
pidana seorang diri atau ada unsur pengikutsertaan (delneming) dengan anak
yang berumur di atas 8 (delapan) tahun
atau dengan orang dewasa.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk menciptakan suasana kekeluargaan pada Sidang Anak.
Pasal 7
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan
untuk menunjukan bahwa Undang-undang ini memberikan perlakuan khusus
terhadap anak, dalam arti harus ada pemisahan perlakuan terhadap anak dan
perlakuan terhadap orang dewasa, atau
terhadap Anggota Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia dalam perkara koneksitas. Yang dimaksud dengan “Mahkamah Militer” adalah pengadilan di
lingkungan Peradilan Militer.
Pasal 8
Ayat (1)
Pemeriksaan perkara anak dilakukan
170
dalam sidang tertutup untuk melindungi kepentingan anak.
Ayat (2)
Pada prinsipnya pemeriksaan perkara
anak harus dilakukan secara tertutup. Walaupun demikian dalam hal
tertentu dan dipandang perlu, Hakim
dapat menetapkan pemeriksaan perkara dilakukan secara terbuka, tanpa
mengurangi hak anak. Hal tertentu dan
dipandang perlu tersebut antara lain
karena sifat dan keadaan perkara harus
dilakukan secara terbuka.
Suatu sifat perkara akan diperiksa secara terbuka misalnya perkara pelanggaran lalu lintas, sedangkan dilihat dari
keadaan perkara misalnya pemeriksaan
perkara di tempat kejadian perkara.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “orang-orang
tertentu” antara lain psikolog, tenaga
pendidik, ahli agama, tenaga peneliti,
dan mahasiswa yang mengadakan riset.
Ayat (5)
Tanpa mengurangi hak yang dijamin
dalam peraturan perundang-undangan
atau kode etik penyiaran berita, pemberian mengenai hal yang terkait dengan perkara anak perlu dibatasi. Oleh
karena itu, sejak penyidikan sampai sebelum putusan pengadilan dijatuhkan,
nama pihak-pihak yang terkait dengan
perkara anak digunakan singkatan.
Ayat (6)
Meskipun pemeriksaan perkara Anak
Nakal dilakukan dalam sidang tertutup,
namun putusan Hakim sesuai dengan
ketentuan yang berlaku wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Cukup jelas
Pasal 9
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan “mempunyai
minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak” adalah memahami:
1) pembinaan anak yang meliputi pola
asuh keluarga, pola pembinaan sopan
santun, disiplin anak, serta melaksanakan pendekatan secara efektif, afektif
dan simpatik;
2) pertumbuhan dan perkembangan
anak; dan
3) berbagai tata nilai yang hidup di masyarakat yang mempengaruhi kehidupan anak.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “hal tertentu”
adalah apabila ancaman pidana atas
tindak pidana yang dilakukan anak
yang bersangkutan lebih dari 5 (lima)
tahun dan sulit pembuktiannya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (1)
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 11 ayat (2).
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Yang dimaksud dengan “bimbingan”
adalah pengarahan dan petunjuk, tanpa
mengurangi kebebasan Hakim dari Ketua Pengadilan Tinggi kepada Hakim di
daerah hukumnya, apabila Hakim tidak
melaksanakan tugas sesuai dengan prosedur yang ditentukan dalam Undangundang ini.
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 11 ayat (2).
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 19
Pasal 20
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pembayaran ganti rugi yang dijatuhkan
sebagai pidana tambahan merupakan
tanggung jawab dari orang tua atau
orang lain yang menjalankan kekua171
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
saan orang tua.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Meskipun anak dikembalikan kepada
orang tua, wali, atau orang tua asuh,
anak tersebut tetap di bawah pengawasan dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan antara lain mengikuti kegiatan kepramukaan dan lain-lain.
Huruf b
Apabila Hakim berpendapat bahwa
orang tua, wali atau orang tua asuh
tidak memberikan pendidikan dan
pembinaan yang lebih baik, maka Hakim dapat menetapkan anak tersebut
ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Latihan kerja dimaksudkan untuk
memberkan bekal keterampilan kepada anak, misalnya dengan memberikan
keterampilan mengenai pertukangan,
pertanian, perbengkelan, tata rias dan
sebagainya sehingga setelah selesai
menjalani tindakan dapat hidup mandiri.
Huruf c
Pada prinsipnya pendidikan, pembinaan dan latihan kerja diselenggarakan
oleh Pemerintah di Lembaga Pemasyarakatan Anak atau Departemen Sosial,
tetapi dalam kepentingan anak menghendaki Hakim dapat menetapkan anak
yang bersangkutan diserahkan kepada
Organisasi Sosial Kemasyarakatan, seperti pesantren, panti sosial dan lembaga sosial lainnya dengan memperhatikan agama anak yang bersangkutan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “teguran” adalah peringatan dari Hakim baik secara
172
langsung terhadap anak yang dijatuhi
tindakan maupun secara tidak langsung
melalui orang tua, wali, atau orang tua
asuhnya, agar anak tersebut tidak mengulangi perbuatan yang mengakibatkan ia dijatuhi tindakan.
Yang dimaksud dengan “syarat tambahan” misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik kepada Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 25
Dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan kepada
anak, Hakim memperhatikan berat
ringannya tindak pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan. Di samping itu Hakim juga
wajib memperhatikan keadaan anak,
keadaan rumah tangga orang tua, wali.
atau orang tua asuh, hubungan antara
anggota keluarga dan keadaan lingkungannya. Demikian pula, Hakim wajib memperhatikan laporan Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “maksimum
ancaman pidana penjara bagi orang
dewasa” adalah maksimum ancaman
pidana penjara terhadap tindak pidana
yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam Kitab Undang-undang
Pidana atau Undang-undang lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 27
Yang dimaksud dengan “maksimum
ancaman pidana denda bagi orang de-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
wasa” adalah maksimum ancaman
pidana kurungan terhadap tindak
pidana yang dilakukan sesuai dengan
yang ditentukan dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana atau Undangundang lainnya.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “maksimum
ancaman pidana denda bagi orang
dewasa adalah maksimum ancaman
pidana denda terhadap tindak pidana
yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana atau Undang-undang
lainnya.
Ayat (2)
Wajib latihan kerja dimaksudkan sebagai pengganti pidana denda yang sekaligus untuk mendidik anak yang bersangkutan agar memiliki keterampilan
yang bermanfaat bagi dirinya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “syarat khusus” antara lain tidak boleh mengemudikan kendaraan bermotor atau diwajibkan mengikuti kegiatan yang di
programkan Balai Pemasyarakatan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Yang dimaksud dengan “pendidikan
sekolah” adalah pendidikan yang dilaksanakan di sekolah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal 30
Yang dimaksud dengan “pidana pengawasan” adalah pidana yang khusus
dikenakan untuk anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh Jaksa terhadap
perilaku anak dalam kehidupan seharihari di rumah anak tersebut, dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh
Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Demi kepentingan anak, Kepala Lembaga Pemasyarakatan diberikan kewenangan untuk memindahkan Anak
Negara dari Lembaga Pemasyarakatan
Anak ke lembaga pendidikan anak
yang diselenggarakan Pemerintah atau
swasta dengan memperhatikan agama
anak yang bersangkutan. Pemberian
kewenangan ini didasarkan pada pertimbangan karena Kepala Lembaga
Pemasyarakatan Anak mengetahui dengan baik mengenai perkembangan
anak selama mengalami pembinaan di
dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak,
serta pembinaan Anak Negara selanjutnya. Namun, kewenangan untuk
memindahkan Anak Negara ini harus
mendapat izin terlebih dahulu dari
Menteri Kehakiman.
Yang dimaksud dengan “lembaga pendidikan anak” adalah setiap lembaga
yang menyelenggarakan kegiatan dalam rangka memberikan pendidikan
173
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
kepada anak, baik jasmani, rohani,
maupun sosial anak.
Pasal 32
Keharusan mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, khusus dikenakan kepada Anak Nakal yang tidak
atau kurang mengenal disiplin dan ketertiban dalam kehidupan sehari-hari.
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 33
Pasal 34
Pasal 35
Pasal 36
Pasal 37
Pasal 38
Pasal 39
Pasal 40
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Lihat penjelasan Pasal 10 huruf b.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “hal tertentu”
174
adalah dalam hal belum terdapat penyidik anak yang persyaratan pengangkatannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-udang ini.
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar penyidikan tetap dapat dilaksanakan, walaupun di daerah tersebut
belum ada penunjukan penyidik anak,
sedangkan penyidik lain dalam huruf
b adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil
yang ditetapkan berdasarkan Undangundang yang berlaku.
Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dalam suasana
kekeluargaan” antara lain pada waktu
memeriksa tersangka, Penyidik tidak
memakai pakaian dinas dan melakukan
pendekatan secara efektif, afektif, dan
simpatik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “1 (satu) hari”
adalah satu kali 24 (dua puluh empat)
jam.
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Pasal 44
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Yang dimaksud dengan “tempat khusus” adalah tempat penahanan yang
secara khusus diperuntukkan bagi
anak, yang terpisah dari tahanan orang
dewasa. Apabila di dalam suatu daerah
belum terdapat Rumah tahanan negara
atau cabang Rumah Tahanan Negara,
atau apabila di kedua tempat tahanan
di atas sudah penuh, maka penahanan
terhadap anak dapat dilaksanakan di
tempat tertentu lainnya dengan tetap
memperhatikan kepentingan pemeriksaan perkara dan kepentingan anak.
Pasal 45
Ayat (1)
Pada dasarnya penahanan dilakukan
untuk kepentingan pemeriksaan, namun penahanan terhadap anak harus
pula memperhatikan kepentingan anak
yang menyangkut pertumbuhan dan
perkembangan anak, baik fisik, mental,
maupun sosial anak dan kepentingan
masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Kebutuhan rohani anak termasuk kebutuhan intelektual anak.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kepentingan
pemeriksaan” adalah kepentingan
pemeriksaan dalam rangka penuntutan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 47
Pasal 48
Pasal 49
Pasal 50
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan ini tidak mengurangi hak
orang tua, wali, orang tua asuh, atau
petugas kemasyarakatan untuk berhubungan langsung dengan anak yang
ditangkap atau ditahan.
Pasal 52
Dalam melaksanakan kewajiban ini, Penasihat Hukum memperhatikan pula
pendapat petugas kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Lihat penjelasan Pasal 10 huruf b.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “hal tertentu”
adalah dalam hal belum terdapat penuntut umum anak yang persyaratan
pengangkatannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini. Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan
agar penuntutan tetap dapat dilak175
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
sanakan, walaupun di daerah tersebut
belum ada penunjukan penuntut umum
anak.
Cukup jelas
Pasal 54
Pasal 55
Meskipun pada prinsipnya tindak Pidana merupakan tanggung jawab terdakwa sendiri, tetapi karena dalam hal ini
terdakwanya adalah anak, maka tidak
dapat dipisahkan dengan kehadiran
orang tua, wali, atau orang tua asuh.
Pasal 56
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sebelum sidang dibuka” adalah sebelum sidang
secara resmi dibuka. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi cukup waktu bagi Hakim untuk mempelajari laporan penelitian kemasyarakatan, karena
itu laporan tersebut tidak diberikan
pada saat menjelang sidang melainkan
beberapa waktu sebelumnya.
Hakim wajib meminta penjelasan kepada pembimbing Kemasyarakatan atas
hal tertentu yang berhubungan dengan
perkara anak untuk mendapatkan data
yang lebih lengkap.
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 57
Pasal 58
Ayat (1)
Terdakwa dibawa ke luar sidang dimaksudkan untuk menghindari adanya
hal yang mempengaruhi jiwa anak.
Ayat (2)
Cukup jelas
176
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “wajib” dalam
ayat ini adalah apabila ketentuan ini tidak dipenuhi, mengakibatkan putusan
batal demi hukum.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 60
Ayat (1)
Apabila di dalam suatu daerah belum
terdapat Lembaga pemasyarakatan
Anak sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan, maka Anak
Didik Pemasyarakatan dapat ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan yang
penempatnnya terpisah dari orang dewasa.
Ayat (2)
Hal yang diperoleh Anak Didik Pemasyarakatan selama ditempatkan di
Lembaga Pemasyarakatan Anak sesuai
dengan ketentuan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam pemberian hak tersebut
tetap perlu diperhatikan pembinaan
bagi nak yang bersangkutan antara lain
mengenai pertumbuhan dan perkembangan baik fisik, mental, maupun
sosial anak.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penempatan Anak Pidana di lembaga
Pemasyarakatan dilakukan dengan
menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun sampai 21 (dua puluh
satu) tahun.
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Cukup jelas
Pasal 62
Pasal 63
Untuk mengeluarkan anak dari Lembaga Pemasyarakatan Anak diperlukan izin dari Menteri Kehakiman, agar
mengenai masalah tersebut dapat
dilaksanakan dengan tertib.
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 64
Pasal 65
Pasal 66
Pasal 67
Pasal 68
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3668
177
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 1979
TENTANG KESEJAHTERAAN ANAK
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa anak adalah potensi serta
penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh
generasi sebelumnya;
b. bahwa agar setiap anak mampu
memikul tanggung jawab tersebut,
maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk
tumbuh dan berkembang dengan
wajar baik secara rohani, jasmani
maupun sosial;
c. bahwa di dalam masyarakat terdapat pula anak-anak yang mengalami hambatan kesejahteraan rohani, jasmani, sosial dan ekonomi;
d. bahwa pemeliharaan kesejahteraan anak belum dapat dilaksanakan
oleh anak sendiri;
e. bahwa kesempatan, pemeliharaan
dan usaha menghilangkan hambatan tersebut hanya akan dapat
dilaksanakan dan diperoleh bilamana usaha kesejahteraan anak
terjamin;
f. bahwa untuk mencapai maksud
tersebut perlu menyusun Undangundang yang mengatur kesejahteraan anak;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1),
Pasal 27 ayat (2), Pasal 31 dan 34
Undang-undang Dasar 1945;
178
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978
tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara;
3. Undang-undang Nomor 6 Tahun
1974 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
53, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3039);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG
TENTANG KESEJAHTERAAN ANAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksudkan di dalam Undangundang ini dengan:
1.a.Kesejahteraan Anak adalah suatu
tata kehidupan dan penghidupan
anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya
dengan wajar, baik secara rohani,
jasmani maupun sosial;
b.Usaha Kesejahteraan anak adalah
usaha kesejahteraan sosial yang
ditujukan untuk menjamin terwujudnya Kesejahteraan Anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok
anak.
2. Anak adalah seseorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu)
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
tahun dan belum pernah kawin. 3.a.Orang tua adalah ayah dan/atau
ibu kandung;
b.Wali adalah orang atau badan yang
dalam kenyataannya menjalankan
kekuasaan asuh sebagai orang tua
terhadap anak.
4. Keluarga adalah kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah
dan/atau ibu dan anak.
5. Anak yang tidak mempunyai orang
tua adalah anak yang tidak ada lagi
ayah dan ibu kandungnya.
6. Anak yang tidak mampu adalah
anak yang karena suatu sebab tidak
dapat terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik secara rohani, jasmani maupun sosial dengan wajar.
7. Anak terlantar adalah anak yang
karena suatu sebab orang tuanya
melalaikan kewajibannya sehingga
kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara
rohani, jasmani, maupun sosial.
8. Anak yang mengalami masalah kelakuan adalah anak yang
menunjukkan tingkah laku menyimpang dari norma-norma masyarakat.
9. Anak cacat adalah anak yang mengalami hambatan rohani dan/atau
jasmani sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya
dengan wajar.
BAB II
HAK ANAK
Pasal 2
(1) Anak berhak atas kesejahteraan,
perawatan, asuhan dan bimbingan
berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam
asuhan khusus untuk tumbuh dan
berkembang dengan wajar.
(2) Anak berhak atas pelayanan untuk
mengembangkan kemampuan dan
kehidupan sosialnya, sesuai dengan
kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara
yang baik dan berguna.
(3) Anak berhak atas pemeliharaan
dan perlidungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah
dilahirkan.
(4) Anak berhak atas perlindungan
terhadap lingkungan hidup yang
dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.
Pasal 3
Dalam keadaan yang membahayakan,
anaklah yang pertama-tama berhak
mendapat pertolongan, bantuan, dan
perlindungan.
Pasal 4
(1) Anak yang tidak mempunyai orang
tua berhak memperoleh asuhan
oleh negara atau orang atau badan.
(2) Pelaksanaan ketentuan ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 5
(1) Anak yang tidak mampu berhak
memperoleh bantuan agar dalam
lingkungan keluarganya dapat
tumbuh dan berkembang dengan
wajar.
(2) Pelaksanaan ketentuan ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 6
(1) Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan menolongnya
guna mengatasi hambatan yang
terjadi dalam masa pertumbuhan
179
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dan perkembangannya.
(2) Pelayanan dan asuhan, sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1),
juga diberikan kepada anak yang
telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim.
Pasal 7
Anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat
pertumbuhan dan perkembangan sejauh batas kemampuan dan kesanggupan anak yang bersangkutan.
Pasal 8
Bantuan dan pelayanan, yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak
menjadi hak setiap anak tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, agama, pendirian politik, dan kedudukan sosial.
BAB III
TANGGUNG JAWAB ORANG TUA
TERHADAP KESEJAHTERAAN ANAK
Pasal 9
Orang tua adalah yang pertama-tama
bertanggungjawab atas terwujudnya
kesejahteraan anak baik secara rohani,
jasmani maupun sosial.
Pasal 10
(1) Orang tua yang terbukti melalaikan
tanggung jawabnya sebagaimana
termaksud dalam Pasal 9, sehingga
mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut
kuasa asuhnya sebagai orang tua
terhadap anaknya. Dalam hal itu
ditunjuk orang atau badan sebagai
wali.
(2) Pencabutan kuasa asuh dalam ayat
(1) tidak menghapuskan kewajiban
orang tua yang bersangkutan untuk
180
membiayai, sesuai dengan kemampuannya, penghidupan, pemeliharaan, dan pendidikan anaknya.
(3) Pencabutan dan pengembalian
kuasa asuh orang tua ditetapkan
dengan keputusan hakim.
(4) Pelaksanaan ketentuan ayat (1), (2)
dan (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB IV
USAHA KESEJAHTERAAN ANAK
Pasal 11
(1) Usaha kesejahteraan anak terdiri
atas usaha pembinaan, pengembangan, pencegahan, dan rehabilitasi.
(2) Usaha kesejahteraan anak dilakukan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
(3) Usaha kesejahteraan anak yang
dilakukan oleh Pemerintah dan/
atau masyarakat dilaksanakan baik
di dalam maupun di luar Panti.
(4) Pemerintah mengadakan pengarahan, bimbingan, bantuan, dan
pengawasan terhadap usaha kesejahteraan anak yang dilakukan
oleh masyarakat.
(5) Pelaksanaan usaha kesejahteraan
anak sebagai termaktub dalam ayat
(1), (2), (3) dan (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
(1) Pengangkatan anak menurut
adat dan kebiasaan dilaksanakan
dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.
(2) Kepentingan kesejahteraan anak
yang termaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
(3) Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 13
Kerjasama international di bidang kesejahteraan anak dilaksanakan oleh Pemerintah atau oleh Badan lain dengan
persetujuan Pemerintah.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN DAN
PENUTUP
Pasal 14
Tata cara koordinasi antar instansi dalam pelaksanaan usaha-usaha kesejahteraan anak ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 15
Segala Peraturan Perundang-undangan
di bidang kesejahteraan anak tetap berlaku selama dan sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
Pasal 16
Undang-undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Juli 1979
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Juli 1979
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
SUDHARMONO, SH
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1979 NOMOR 32
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 1979
TENTANG KESEJAHTERAAN ANAK
UMUM
Suatu bangsa dalam membangun dan
mengurus rumah tangganya harus
mampu membentuk dan membina suatu tata penghidupan serta kepribadiannya. Usaha ini merupakan suatu usaha
yang terus menerus, dari generasi ke
generasi. Untuk menjamin usaha tersebut, perlu setiap generasi dibekali
oleh generasi yang terdahulu dengan
kehendak, kesediaan, dan kemampuan
serta ketrampilan untuk melaksanakan tugas itu. Hal ini hanya akan dapat
tercapai bila generasi muda selaku generasi penerus mampu memiliki dan
menghayati falsafah hidup bangsa.
Untuk itu perlu diusahakan agar generasi muda memiliki pola perilaku yang
sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Guna mencapai maksud tersebut diperlukan usahausaha pembinaan, pemeliharaan, dan
peningkatan kesejahteraan anak.
Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan pandangan hidup dan dasar
tata masyarakat. Karena itu, usahausaha untuk memelihara, membina,
dan meningkatkan kesejahteraan anak
haruslah didasarkan falsafah Pancasila dengan maksud untuk menjamin
kelangsungan hidup dan kepribadian
bangsa. Oleh karena anak baik secara
rohani, jasmani maupun sosial belum
memiliki kemampuan untuk berdiri
sendiri, maka menjadi kewajiban bagi
generasi yang terdahulu untuk menjamin, memelihara, dan mengamankan
kepentingan anak itu. Pemeliharaan,
181
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
jaminan dan pengamanan kepentingan
ini selayaknya dilakukan oleh pihakpihak yang mengasuhnya di bawah
pengawasan dan bimbingan Negara,
dan bilamana perlu, oleh Negara sendiri. Karena kewajiban inilah, maka yang
bertanggung jawab atas asuhan anak
wajib pula melindunginya dari gangguan-gangguan yang datang dari luar
maupun dari anak itu sendiri.
Asuhan anak, pertama-tama dan terutama menjadi kewajiban dan tanggungjawab orang tua di lingkungan keluarga;
akan tetapi, demi untuk kepentingan
kelangsungan tata sosial maupun untuk kepentingan anak itu sendiri, perlu
ada pihak yang melindunginya. Apabila
orang tua anak itu sudah tidak ada, tidak diketahui adanya, atau nyata-nyata
tidak mampu untuk melaksanakan hak
dan kewajibannya, maka dapatlah pihak lain, baik karena kehendak sendiri
maupun karena ketentuan hukum, diserahi hak dan kewajiban itu. Bilamana
memang tidak ada pihak-pihak yang
dapat melaksanakannya maka pelaksanaan hak dan kewajiban itu menjadi
tanggung jawab Negara.
Di samping anak-anak yang kesejahteraannya dapat terpenuhi secara wajar di dalam masyarakat terdapat pula
anak-anak yang mengalami hambatan
rohani, jasmani, dan sosial ekonomi
dan memerlukan pelayanan secarakhusus, yaitu:
1. Anak-anak yang tidak mampu.
2. Anak-anak terlantar.
3. Anak-anak yang mengalami masalah kelakuan
4. Anak-anak yang cacat rohani dan
atau jasmani.
Sejalan dengan tujuan Undang-undang,
ini, maka Undang-undang ini mengu182
rangi dan atau merubah ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Perundangundangan lainnya.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
a. Cukup jelas.
b. Yang dimaksudkan dengan kebutuhan pokok anak adalah pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, dan
kesehatan.
Angka 2
Batas umur 21 (dua puluh satu) tahun
ditetapkan oleh karena berdasarkan
pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada
umur tersebut. Batas umur 21 (dua
puluh satu) tahun tidak mengurangi
ketentuan batas umur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya, dan
tidak pula mengurangi kemungkinan
anak melakukan perbuatan sejauh ia
mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Pasal 2
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Ayat (2)
Yang dimaksudkan dengan pelayanan
antara lain kesempatan memperoleh
pendidikan dan kesehatan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksudkan dengan lingkungan
hidup adalah lingkungan hidup fisik
dan sosial.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan keadaan yang
membahayakan adalah keadaan yang
sudah mengancam jiwa manusia baik
karena alam maupun perbuatan manusia.
Cukup jelas.
Cukup jelas
Pasal 4
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12
Ayat (1)
Pengangkatan anak berdasarkan pasal
ini tidak memutuskan: Menetapkan
hubungan darah antara anak dengan
orang tuanya dan keluarga orang tuanya berdasarkan hukum yang berlaku
bagi anak yang bersangkutan.
Ayat (2)
Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan antara lain perlu mengatur pencatatan sebagai bukti sah, adanya pengangkatan anak guna pemeliharaan
kepentingan kesejahteraan anak yang
bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Pasal 13
Dalam pengertian kerjasama internasional tercakup pula kerjasama regional.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Tanggung jawab orang tua atas kesejahteraan anak mengandung kewajiban memelihara dan mendidik anak
sedemikian rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi
orang yang cerdas, sehat, berbakti kepada orang tua, berbudi pekerti luhur,
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan berkemauan serta berkemampuan
untuk meneruskan cita-cita bangsa
berdasarkan Pancasila.
Cukup jelas.
Cukup jelas
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3143
183
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2011
TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa sesuai dengan Pembukaan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara mempunyai tanggung jawab
untuk memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945,
negara bertanggung jawab untuk memelihara fakir miskin guna
memenuhi kebutuhan dasar yang
layak bagi kemanusiaan;
c. bahwa untuk melaksanakan tanggung jawab negara sebagaimana
dimaksud pada huruf b, diperlukan
kebijakan pembangunan nasional
yang berpihak pada fakir miskin
secara terencana, terarah, dan berkelanjutan;
d. bahwa pengaturan mengenai pemenuhan kebutuhan dasar bagi
fakir miskin masih tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga diperlukan pengaturan penanganan fakir miskin
yang terintegrasi dan terkoordinasi;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
perlu membentuk Undang-undang
184
tentang Penanganan Fakir Miskin;
Mengingat :
1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat
(2), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4), dan
Pasal 34 ayat (1) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 11 Tahun
2009 tentang Kesejahteraan Sosial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4967);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG PENANGANAN FAKIR
MISKIN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Fakir miskin adalah orang yang
sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau
mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
2.
3.
4.
5.
6.
dasar yang layak bagi kehidupan
dirinya dan/atau keluarganya.
Penanganan fakir miskin adalah
upaya yang terarah, terpadu, dan
berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan,
serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.
Kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan,
kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
dan/atau pelayanan sosial.
Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan
Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
Pasal 2
Penanganan fakir miskin berasaskan:
a. kemanusiaan;
b. keadilan sosial;
c. non diskriminasi;
d. kesejahteraan;
e. kesetiakawanan; dan
f. pemberdayaan.
BAB II
HAK DAN TANGGUNG JAWAB
sandang, dan perumahan;
b. memperoleh pelayanan kesehatan;
c. memperoleh pendidikan yang dapat meningkatkan martabatnya;
d. mendapatkan perlindungan sosial
dalam membangun, mengembangkan, dan memberdayakan diri dan
keluarganya sesuai dengan karakter budayanya;
e. mendapatkan pelayanan sosial melalui jaminan sosial, pemberdayaan
sosial, dan rehabilitasi sosial dalam
membangun,
mengembangkan,
serta memberdayakan diri dan keluarganya;
f. memperoleh derajat kehidupan
yang layak;
g. memperoleh lingkungan hidup
yang sehat;
h. meningkatkan kondisi kesejahteraan yang berkesinambungan; dan
i. memperoleh pekerjaan dan kesempatan berusaha.
Pasal 4
Fakir miskin bertanggung jawab:
a. menjaga diri dan keluarganya dari
perbuatan yang dapat merusak kesehatan, kehidupan sosial, dan ekonominya;
b. meningkatkan kepedulian dan ketahanan sosial dalam bermasyarakat;
c. memberdayakan dirinya agar mandiri dan meningkatkan taraf kesejahteraan serta berpartisipasi
dalam upaya penanganan kemiskinan; dan
d. berusaha dan bekerja sesuai dengan kemampuan bagi yang mempunyai potensi.
Pasal 3
Fakir miskin berhak:
a. memperoleh kecukupan pangan,
185
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
BAB III
PENANGANAN FAKIR MISKIN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
Penanganan fakir miskin dilaksanakan secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat.
Pasal 6
Sasaran penanganan fakir miskin ditujukan kepada:
a. perseorangan;
b. keluarga;
c. kelompok; dan/atau
d. masyarakat.
Pasal 7
(1) Penanganan fakir miskin dilaksanakan dalam bentuk:
a. pengembangan potensi diri;
b. bantuan pangan dan sandang;
c. penyediaan pelayanan perumahan;
d. penyediaan pelayanan kesehatan;
e. penyediaan pelayanan pendidikan;
f. penyediaan akses kesempatan
kerja dan berusaha;
g. bantuan hukum; dan/atau
h. pelayanan sosial.
(2) Penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan melalui:
a. pemberdayaan kelembagaan
masyarakat;
b. peningkatan kapasitas fakir
miskin untuk mengembangkan
kemampuan dasar dan kemampuan berusaha;
c. jaminan dan perlindungan sosial untuk memberikan rasa
186
aman bagi fakir miskin;
d. kemitraan dan kerja sama antar pemangku kepentingan;
dan/atau
e. koordinasi antara kementerian/lembaga dan pemerintah
daerah.
Bagian Kedua
Pendataan Fakir Miskin
Pasal 8
(1) Menteri menetapkan kriteria fakir
miskin sebagai dasar untuk melaksanakan penanganan fakir miskin.
(2) Dalam menetapkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Menteri berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait.
(3) Kriteria sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menjadi dasar bagi
lembaga yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kegiatan statistik untuk melakukan
pendataan.
(4) Menteri melakukan verifikasi dan
validasi terhadap hasil pendataan
yang dilakukan oleh lembaga yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan statistik sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
(5) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan secara berkala sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sekali.
(6) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikecualikan apabila terjadi situasi dan
kondisi tertentu yang baik secara
langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi seseorang menjadi
fakir miskin.
(7) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan oleh potensi dan sumber
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
kesejahteraan sosial yang ada di
kecamatan, kelurahan atau desa.
(8) Hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaporkan kepada bupati/walikota.
(9) Bupati/walikota menyampaikan
hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
kepada gubernur untuk diteruskan
kepada Menteri.
Pasal 9
(1) Seorang fakir miskin yang belum
terdata dapat secara aktif mendaftarkan diri kepada lurah atau kepala desa atau nama lain yang sejenis
di tempat tinggalnya.
(2) Kepala keluarga yang telah terdaftar sebagai fakir miskin wajib melaporkan setiap perubahan data
anggota keluarganya kepada lurah
atau kepala desa atau nama lain
yang sejenis di tempat tinggalnya.
(3) Lurah atau kepala desa atau nama
lain yang sejenis wajib menyampaikan pendaftaran atau perubahan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) kepada bupati/walikota melalui camat.
(4) Bupati/walikota menyampaikan
pendaftaran atau perubahan data
sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) kepada gubernur untuk diteruskan kepada Menteri.
(5) Dalam hal diperlukan, bupati/walikota dapat melakukan verifikasi
dan validasi terhadap pendaftaran
dan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 10
(1) Data yang telah diverifikasi dan validasi harus berbasis teknologi informasi dan dijadikan sebagai data
terpadu.
(2) Data terpadu sebagaimana dimak-
sud pada ayat (1) menjadi tanggung
jawab Menteri.
(3) Data terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipergunakan oleh kementerian/
lembaga terkait dalam penanganan
fakir miskin dan dapat diakses oleh
seluruh masyarakat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
(4) Kementerian/lembaga yang menggunakan data terpadu untuk menangani fakir miskin sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) melaporkan hasil pelaksanaannya kepada
Menteri.
(5) Anggota masyarakat yang tercantum dalam data terpadu sebagai
fakir miskin diberikan kartu identitas.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai
teknologi informasi dan penerbitan
kartu identitas diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Penetapan
Pasal 11
(1) Data fakir miskin yang telah diverifikasi dan divalidasi yang disampaikan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (9)
dan Pasal 9 ayat (4) ditetapkan oleh
Menteri.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan dasar bagi
Pemerintah dan pemerintah daerah untuk memberikan bantuan
dan/atau pemberdayaan.
(3) Setiap orang dilarang memalsukan
data fakir miskin baik yang sudah
diverifikasi dan divalidasi maupun
yang telah ditetapkan oleh Menteri.
187
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Bagian Keempat
Tanggung Jawab dalam Pelaksanaan
Bentuk Penanganan Fakir Miskin
Paragraf 1
Pengembangan Potensi Diri
Pasal 12
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab mengembangkan potensi diri bagi perseorangan, keluarga, kelompok, dan/
atau masyarakat.
(2) Pengembangan potensi diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui bimbingan
mental, spiritual, dan keterampilan.
Paragraf 2
Bantuan Pangan dan Sandang
Pasal 13
Pemerintah dan pemerintah daerah
bertanggung jawab menyediakan bantuan pangan dan sandang yang layak.
Paragraf 3
Penyediaan Pelayanan Perumahan
Pasal 14
Pemerintah dan pemerintah daerah
bertanggung jawab menyediakan pelayanan perumahan.
Paragraf 4
Penyediaan Pelayanan Kesehatan
Pasal 15
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyelenggarakan penyediaan pelayanan kesehatan, baik dengan pendekatan
promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif.
(2) Pembiayaan penyelenggaraan pe188
layanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
melalui sistem jaminan sosial nasional.
Paragraf 5
Penyediaan Pelayanan Pendidikan
Pasal 16
Pemerintah dan pemerintah daerah
bertanggung jawab memberi bantuan
biaya pendidikan atau beasiswa.
Paragraf 6
Penyediaan Akses
Kesempatan Kerja dan Berusaha
Pasal 17
Pemerintah dan pemerintah daerah
bertanggung jawab menyediakan akses
kesempatan kerja dan berusaha, yang
dilakukan melalui upaya:
a. penyediaan informasi lapangan
kerja;
b. pemberian fasilitas pelatihan dan
keterampilan;
c. peningkatan akses terhadap pengembangan usaha mikro; dan/
atau
d. penyediaan fasilitas bantuan permodalan.
Paragraf 7
Pelayanan Sosial
Pasal 18
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan sosial.
(2) Pelayanan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. meningkatkan fungsi sosial,
aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar, dan kualitas
hidup;
b. meningkatkan
kemampuan
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dan kepedulian masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan
sosial secara melembaga dan
berkelanjutan;
c. meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dan menangani masalah
kemiskinan; dan
d. meningkatkan kualitas manajemen pelayanan kesejahteraan sosial.
Bagian Kelima
Pelaksanaan Penanganan
Fakir Miskin
Paragraf 1
Umum
Pasal 19
(1) Penanganan fakir miskin diselenggarakan oleh Menteri secara terencana, terarah, terukur, dan terpadu.
(2) Penanganan fakir miskin yang diselenggarakan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan pengembangan potensi
diri, sandang, pangan, perumahan,
dan pelayanan sosial.
(3) Pemenuhan kebutuhan selain yang
dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan oleh kementerian/lembaga
terkait sesuai dengan tugas dan
fungsinya dalam koordinasi Menteri.
Paragraf 2
Penanganan Fakir Miskin
Melalui Pendekatan Wilayah
Pasal 20
Penanganan fakir miskin melalui pendekatan wilayah diselenggarakan dengan memperhatikan kearifan lokal,
yang meliputi wilayah:
a. perdesaan;
b. perkotaan;
c. pesisir dan pulau-pulau kecil;
d. tertinggal/terpencil; dan/atau
e. perbatasan antarnegara.
Pasal 21
Upaya penanganan fakir miskin di wilayah perdesaan dilakukan melalui:
a. penyediaan sumber mata pencaharian di bidang pertanian, peternakan, dan kerajinan;
b. bantuan permodalan dan akses pemasaran hasil pertanian, peternakan, dan kerajinan;
c. peningkatan pembangunan sarana
dan prasarana;
d. penguatan kelembagaan masyarakat dan pemerintahan desa; dan/
atau
e. pemeliharaan dan pendayagunaan
sumber daya.
Pasal 22
Upaya penanganan fakir miskin di wilayah perkotaan dilakukan melalui:
a. penyediaan sumber mata pencaharian di bidang usaha sektor informal;
b. bantuan permodalan dan akses pemasaran hasil usaha;
c. pengembangan lingkungan pemukiman yang sehat; dan/atau
d. peningkatan rasa aman dari tindak
kekerasan dan kejahatan.
Pasal 23
Upaya penanganan fakir miskin di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan melalui:
a. penyediaan sumber mata pencaharian di bidang perikanan dan sumber daya laut;
b. bantuan permodalan dan akses pemasaran hasil usaha;
189
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
c. penguatan lembaga dan organisasi
masyarakat pesisir dan nelayan;
d. pemeliharaan daya dukung serta
mutu lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil; dan/atau
e. peningkatan keamanan berusaha
dan pengamanan sumber daya kelautan dan pesisir.
Pasal 24
Upaya penanganan fakir miskin di wilayah tertinggal/terpencil dilakukan
melalui:
a. pengembangan ekonomi lokal bertumpu pada pemanfaatan sumber
daya alam, budaya, adat istiadat,
dan kearifan lokal secara berkelanjutan;
b. penyediaan sumber mata pencaharian di bidang pertanian, peternakan, perikanan, dan kerajinan;
c. bantuan permodalan dan akses pemasaran hasil pertanian, peternakan, perikanan, dan kerajinan;
d. peningkatan pembangunan terhadap sarana dan prasarana;
e. penguatan kelembagaan dan pemerintahan; dan/atau
f. pemeliharaan, perlindungan, dan
pendayagunaan sumber daya lokal.
Pasal 25
Upaya penanganan fakir miskin di wilayah perbatasan antar negara dilakukan melalui:
a. penyediaan sumber mata pencaharian di bidang pertanian, peternakan, perikanan, dan kerajinan;
b. bantuan permodalan dan akses pemasaran hasil pertanian, peternakan, perikanan, dan kerajinan;
c. peningkatan pembangunan sarana
dan prasarana;
d. penguatan kelembagaan dan pemerintahan;
e. pemeliharaan dan pendayagunaan
190
sumber daya;
f. menjamin keamanan wilayah perbatasan serta pengamanan sumber
daya lokal; dan/atau
g. peningkatan daya tahan budaya lokal dari pengaruh negatif budaya
asing.
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan upaya penanganan fakir miskin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
sampai dengan Pasal 25 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3
Penyaluran Bantuan
Pasal 27
Penyaluran bantuan kepada fakir miskin diselenggarakan oleh Pemerintah
dan pemerintah daerah secara komprehensif dan terkoordinasi.
BAB IV
TUGAS DAN WEWENANG
Bagian Kesatu
Pemerintah
Pasal 28
Dalam pelaksanaan penanganan fakir
miskin, Pemerintah bertugas:
a.��������������������������
memberdayakan pemangku kepentingan dalam penanganan fakir
miskin;
b. memfasilitasi dan mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan dan
strategi penanganan fakir miskin;
c. mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan dan strategi
dalam penanganan fakir miskin;
d. mengevaluasi kebijakan dan strategi penyelenggaraan penanganan
fakir miskin;
e. menyusun dan menyediakan basis
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
data fakir miskin; dan
f. mengalokasikan dana yang memadai dan mencukupi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
untuk penyelenggaraan penanganan fakir miskin.
Pasal 29
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Pemerintah berwenang menetapkan kebijakan
dan strategi penanganan fakir miskin
pada tingkat nasional.
Bagian Kedua
Pemerintah Daerah Provinsi
Pasal 30
(1) Dalam pelaksanaan penanganan fakir miskin, pemerintah daerah provinsi bertugas:
a. memberdayakan
pemangku
kepentingan dalam penanganan fakir miskin lintas kabupaten/kota;
b. memfasilitasi, mengoordinasi,
serta menyosialisasikan pelaksanaan kebijakan dan strategi
penanganan fakir miskin lintas
kabupaten/kota;
c. mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan,
strategi, dan program dalam
penanganan fakir miskin lintas
kabupaten/kota;
d. mengevaluasi pelaksanaan kebijakan, strategi, dan program
penyelenggaraan penanganan
fakir miskin lintas kabupaten/
kota; dan
e. mengalokasikan dana yang
memadai dan mencukupi dalam anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk penyelenggaraan penanganan fakir
miskin.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pemerintah daerah provinsi
berwenang menetapkan kebijakan,
strategi, dan program tingkat provinsi dalam bentuk rencana penanganan fakir miskin di daerah dengan berpedoman pada kebijakan,
strategi, dan program nasional.
Bagian Ketiga
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 31
(1) Dalam penyelenggaraan penanganan fakir miskin, pemerintah daerah kabupaten/kota bertugas:
a.���������������������������
memfasilitasi, mengoordinasikan, dan menyosialisasikan
pelaksanaan kebijakan, strategi, dan program penyelenggaraan penanganan kemiskinan,
dengan memperhatikan kebijakan provinsi dan kebijakan
nasional;
b. melaksanakan pemberdayaan
pemangku kepentingan dalam
penanganan fakir miskin pada
tingkat kabupaten/kota;
c. melaksanakan
pengawasan
dan pengendalian terhadap
kebijakan, strategi, serta program dalam penanganan fakir
miskin pada tingkat kabupaten/kota;
d. mengevaluasi kebijakan, strategi, dan program pada tingkat
kabupaten/kota;
e. menyediakan sarana dan prasarana bagi penanganan fakir
miskin;
f. mengalokasikan dana yang cukup dan memadai dalam anggaran pendapatan dan belanja
daerah untuk menyelenggarakan penanganan fakir miskin.
191
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemerintah daerah kabupaten/
kota berwenang menetapkan kebijakan, strategi, dan program tingkat kabupaten/kota dalam bentuk
rencana penanganan fakir miskin
di daerah dengan berpedoman
pada kebijakan, strategi, dan program nasional.
(3) Pemerintah desa melaksanakan
penanganan fakir miskin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
SUMBER DAYA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 32
Sumber daya penyelenggaraan penanganan fakir miskin meliputi:
a. sumber daya manusia;
b. sarana dan prasarana;
c. sumber pendanaan; dan
d. sumber daya alam.
Bagian Kedua
Sumber Daya Manusia
Pasal 33
Sumber daya manusia penyelenggaraan penanganan fakir miskin dilakukan
oleh tenaga penanganan fakir miskin
yang terdiri atas:
a. tenaga kesejahteraan sosial;
b. pekerja sosial profesional;
c. relawan sosial;
d. penyuluh sosial; dan
e. tenaga pendamping.
Pasal 34
(1) Tenaga penanganan fakir miskin
sebagaimana dimaksud dalam Pa192
sal 33 huruf a dan huruf b minimal
memiliki kualifikasi:
a. pendidikan di bidang kesejahteraan sosial;
b. pelatihan dan keterampilan
pelayanan sosial; dan/atau
c. pengalaman melaksanakan pelayanan sosial.
(2) Tenaga penanganan fakir miskin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dapat memperoleh:
a. pendidikan;
b. pelatihan; dan/atau
c. penghargaan.
(3) Tenaga penanganan fakir miskin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a, huruf b, huruf d, dan
huruf e dapat memperoleh promosi
dan tunjangan.
(4) Ketentuan mengenai tenaga penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Sarana dan Prasarana
Pasal 35
(1) Sarana dan prasarana penyelenggaraan penanganan fakir miskin
meliputi:
a. panti sosial;
b. pusat rehabilitasi sosial;
c. pusat pendidikan dan pelatihan;
d. pusat kesejahteraan sosial;
e. rumah singgah; dan
f. rumah perlindungan sosial.
(2) Sarana dan prasarana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memiliki
standar minimum yang ditetapkan
oleh Pemerintah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar minimum sarana dan
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
prasarana sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Sumber Pendanaan
Pasal 36
(1) Sumber pendanaan dalam penanganan fakir miskin, meliputi:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Anggaran pendapatan dan belanja daerah;
c. dana yang disisihkan dari perusahaan perseroan;
d. Dana hibah baik dari dalam
maupun luar negeri; dan
e. Sumber dana lain yang sah dan
tidak mengikat.
(2) Dana yang disisihkan dari perusahaan perseroan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c digunakan sebesar-besarnya untuk
penanganan fakir miskin.
(3) Sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf
b, huruf c, dan huruf d dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
(1) Sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf e,
merupakan sumbangan masyarakat bagi kepentingan penanganan
fakir miskin yang pengumpulan
dan penggunaannya dilaksanakan
oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara pengumpulan dan penggunaan sumbangan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 38
Setiap orang atau korporasi dilarang
menyalahgunakan dana penanganan
fakir miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1).
BAB VI
KOORDINASI DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Koordinasi
Pasal 39
(1) Menteri mengoordinasikan pelaksanaan penanganan fakir miskin
pada tingkat nasional.
(2) Gubernur mengoordinasikan pelaksanaan penanganan fakir miskin
pada tingkat provinsi.
(3) Bupati/walikota mengoordinasikan pelaksanaan penanganan fakir
miskin pada tingkat kabupaten/
kota.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 40
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan penanganan fakir
miskin.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
193
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 41
Masyarakat berperan serta dalam
penyelenggaraan dan pengawasan
penanganan fakir miskin.
Peran serta sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. badan usaha;
b. organisasi kemasyarakatan;
c. perseorangan;
d. keluarga;
e. kelompok;
f. organisasi sosial;
g. yayasan;
h. lembaga swadaya masyarakat
i. organisasi profesi; dan/atau
j. pelaku usaha.
Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf j berperan
serta dalam menyediakan dana
pengembangan masyarakat sebagai pewujudan dari tanggung jawab
sosial terhadap penanganan fakir
miskin.
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 42
Setiap orang yang memalsukan data
verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun atau denda paling banyak
Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 43
(1) Setiap orang yang menyalahgunakan dana penanganan fakir mis194
kin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Korporasi yang menyalahgunakan
dana penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38, dipidana dengan denda paling
banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh
ratus lima puluh juta rupiah).
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
(1) Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai penanganan fakir miskin
dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
(2) Peraturan pelaksanaan Undangundang ini harus telah ditetapkan
paling lambat 1 (satu) tahun sejak
Undang-undang ini diundangkan.
Pasal 45
Undang-undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Agustus 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Agustus 2011
MENTERI HUKUM
DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2011 NOMOR 83
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2011
TENTANG PENANGANAN FAKIR
MISKIN
I. UMUM
Tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Negara berkewajiban mensejahterakan seluruh warga negaranya
dari kondisi kefakiran dan kemiskinan
sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Kewajiban negara dalam membebaskan
dari kondisi tersebut dilakukan melalui
upaya penghormatan, perlindungan,
dan pemenuhan hak atas kebutuhan
dasar. Upaya tersebut harus dilakukan
oleh negara sebagai prioritas utama dalam pembangunan nasional termasuk
untuk mensejahterakan fakir miskin.
Landasan hukum bagi upaya mensejahterakan fakir miskin sampai saat ini
masih bersifat parsial yang tersebar di
berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga diperlukan
adanya undang-undang yang secara
khusus mengatur fakir miskin. Dengan
adanya undang-undang yang secara
195
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
khusus mengatur fakir miskin, diharapkan memberikan pengaturan yang bersifat komprehensif dalam upaya mensejahterakan fakir miskin yang lebih
terencana, terarah, dan berkelanjutan.
Materi pokok yang diatur dalam Undang-undang ini, antara lain Hak dan
Tanggung Jawab, Penanganan Fakir
Miskin, Tugas dan Wewenang, Sumber
Daya, Koordinasi dan Pengawasan, Peran Serta Masyarakat, dan Ketentuan
Pidana. Undang-undang ini diharapkan
dapat memberikan keadilan sosial bagi
warga negara untuk dapat hidup secara
layak dan bermartabat.
II. PASAL DEMI PASAL
Cukup jelas.
Pasal 1
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan asas “kemanusiaan” adalah dalam penanganan fakir
miskin harus memberikan perlindungan, penghormatan hak-hak asasi manusia, serta harkat dan martabat setiap
warga negara dan penduduk Indonesia
secara proporsional.
Huruf b
Yang dimaksud dengan asas “keadilan
sosial” adalah dalam penanganan fakir
miskin harus memberikan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
Huruf c
Yang dimaksud dengan asas “non diskriminasi” adalah dalam penanganan
fakir miskin harus dilakukan atas dasar
persamaan tanpa membedakan asal,
suku, agama, ras, dan antar golongan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas “kesejahteraan” adalah dalam penanganan fakir
196
miskin harus dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan fakir miskin.
Huruf e
Yang dimaksud dengan asas “kesetiakawanan” adalah dalam penanganan
fakir miskin harus dilandasi oleh kepedulian sosial untuk membantu orang
yang membutuhkan pertolongan dengan empati dan kasih sayang.
Huruf f
Yang dimaksud dengan asas “pemberdayaan” adalah dalam penanganan fakir miskin harus dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan kapasitas
sumber daya manusia untuk meningkatkan kemandirian.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pengembangan potensi diri” adalah upaya untuk
mengembangkan potensi yang ada dalam diri seseorang antara lain mental,
spiritual, dan budaya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bantuan pangan dan sandang” adalah bantuan
untuk meningkatkan kecukupan dan
diversifikasi pangan, serta kecukupan
sandang yang layak.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”penyediaan
pelayanan perumahan” adalah bantu-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
an untuk memenuhi hak masyarakat
miskin atas perumahan yang layak dan
sehat.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ”penyediaan
pelayanan kesehatan” adalah penyediaan pelayanan kesehatan untuk memenuhi kebutuhan dasar fakir miskin.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “penyediaan
pelayanan pendidikan” adalah penyediaan pelayanan pendidikan untuk
memenuhi kebutuhan dasar fakir miskin dalam memperoleh layanan pendidikan yang bebas biaya, bermutu, dan
tanpa diskriminasi gender.
Huruf f
Yang dimaksud dengan ”penyediaan
akses kesempatan kerja dan berusaha”
adalah untuk memenuhi hak fakir miskin atas pekerjaan dan pengembangan
usaha yang layak.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “bantuan hukum” adalah bantuan yang diberikan
kepada fakir miskin yang bermasalah
dan berhadapan dengan hukum.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pemberdayaan kelembagaan masyarakat” adalah
upaya penguatan lembaga masyarakat
agar dapat berperan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar fakir miskin.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”peningkatan
kapasitas fakir miskin” adalah upaya
untuk mengembangkan kemampuan
dasar dan kemampuan berusaha fakir
miskin antara lain melalui pelatihan
keterampilan dan bantuan permodalan
melalui Kelompok Usaha Bersama.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”jaminan dan
perlindungan sosial” adalah upaya
memberikan jaminan dan perlindungan
sosial, serta rasa aman bagi fakir miskin
yang antara lain disebabkan oleh
bencana alam, dampak negatif krisis
ekonomi, dan konflik sosial.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam melakukan verifikasi dan validasi terhadap hasil pendataan, Menteri
bekerjasama dengan lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang pendataan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “potensi sumber kesejahteraan sosial” antara lain
Karang Taruna, Organisasi Sosial, Pekerja Sosial Masyarakat, dan Tenaga
Kesejahteraan Sosial Kecamatan.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 9
197
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan ”kartu identitas” adalah kartu kepesertaan untuk
pemenuhan kebutuhan dasar bagi fakir
miskin dalam berbagai macam program
pelaksanaan penanganan fakir miskin.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
198
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
Pasal 19
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 20
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
Pasal 25
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “penguatan kelembagaan” adalah penguatan kementerian/lembaga yang menangani fakir miskin yang dalam melaksanakan
tugasnya didukung anggaran, sumber
daya manusia, dan pengorganisasian.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 26
Pasal 27
Yang dimaksud dengan ”komprehensif
dan terkoordinir” adalah dalam penyaluran bantuan dikoordinasikan oleh
Menteri agar bantuan tepat sasaran, tepat jumlah, dan tepat waktu.
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 28
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “memadai dan
mencukupi” adalah penganggaran disesuaikan dengan target sasaran dalam
rencana kerja tahunan pemerintah dan
kapasitas fiskal.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 29
Pasal 30
Pasal 31
Pasal 32
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas
Pasal 38
Pasal 39
Pasal 40
Pasal 41
Pasal 42
Pasal 43
Pasal 44
Pasal 45
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5235
Pasal 33
Pasal 34
Pasal 35
Pasal 36
Pasal 37
199
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan rasa aman dan bebas
dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa segala bentuk kekerasan,
terutama kekerasan dalam rumah
tangga, merupakan pelanggaran
hak asasi manusia dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan
serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus;
c. bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat
perlindungan dari negara dan/atau
masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman
kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat
dan martabat kemanusiaan;
d. bahwa dalam kenyataannya kasus
kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin
perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d, perlu dibentuk Undang-undang
200
tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga;
Mengingat :
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B,
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal
28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29 Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: UNDANG-UNDANG
TENTANG PENGHAPUSAN
KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/
atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
2.
3.
4.
5.
6.
7.
perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang
diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga,
dan melindungi korban kekerasan
dalam rumah tangga.
Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman
kekerasan dalam lingkup rumah
tangga.
Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang
dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, atau pihak
lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan pengadilan.
Perlindungan Sementara adalah
perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau
lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan.
Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh
Pengadilan untuk memberikan
perlindungan kepada korban.
Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
di bidang pemberdayaan perempuan.
Pasal 2
(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-undang ini meliputi :
a. suami, istri, dan anak;
b. orang-orang yang mempunyai
hubungan keluarga dengan
orang sebagaimana dimaksud
pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c. orang yang bekerja membantu
rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
(2) Orang yang bekerja sebagaimana
dimaksud pada huruf c dipandang
sebagai anggota keluarga dalam
jangka waktu selama berada dalam
rumah tangga yang bersangkutan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
a. penghormatan hak asasi manusia;
b. keadilan dan kesetaraan gender;
c. non diskriminasi; dan
d. perlindungan korban.
Pasal 4
Penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga bertujuan :
a. mencegah segala bentuk kekerasan
dalam rumah tangga;
b. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c. menindak pelaku kekerasan dalam
rumah tangga; dan
d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
BAB III
LARANGAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap
orang dalam lingkup rumah tangganya,
201
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dengan cara :
a. kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual; atau
d. penelantaran rumah tangga.
Pasal 6
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan
yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit, atau luka berat.
Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Pasal 8
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi :
a. pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah
tangga tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang
lain untuk tujuan komersial dan/
atau tujuan tertentu.
Pasal 9
(1)���������������������������������
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian
ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi
setiap orang yang mengakibatkan
202
ketergantungan ekonomi dengan
cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di
dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali
orang tersebut.
BAB IV
HAK-HAK KORBAN
Pasal 10
Korban berhak mendapatkan :
a. perlindungan dari pihak keluarga,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial
dan bantuan hukum pada setiap
tingkat proses pemeriksaan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. pelayanan bimbingan rohani.
BAB V
KEWAJIBAN PEMERINTAH
DAN MASYARAKAT
Pasal 11
Pemerintah bertanggung jawab dalam
upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 12
(1) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11, Pemerintah :
a. merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga;
b. menyelenggarakan komunika-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
si, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah
tangga;
c. menyelenggarakan sosialisasi
dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan
d. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam
rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Menteri.
(3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 13
Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan
tugas masing-masing dapat melakukan
upaya :
a. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;
b. penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani;
c. pembuatan dan pengembangan
sistem dan mekanisme kerja sama
program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses
oleh korban; dan
d. memberikan perlindungan bagi
pendamping, saksi, keluarga, dan
teman korban.
Pasal 14
Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masingmasing, dapat melakukan kerja sama
dengan masyarakat atau lembaga sosial
lainnya.
Pasal 15
Setiap orang yang mendengar, melihat,
atau mengetahui terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga wajib melakukan
upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :
a. mencegah berlangsungnya tindak
pidana;
b. memberikan perlindungan kepada
korban;
c. memberikan pertolongan darurat;
dan
d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
BAB VI
PERLINDUNGAN
Pasal 16
(1) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua
puluh empat) jam terhitung sejak
mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara
pada korban.
(2) Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.
(3) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua
puluh empat) jam terhitung sejak
pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan.
Pasal 17
Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama
dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau
203
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
pembimbing rohani untuk mendampingi korban.
Pasal 18
Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan
pendampingan.
Pasal 19
Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau
menerima laporan tentang terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 20
Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang :
a. identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;
b. kekerasan dalam rumah tangga
adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan
c. kewajiban kepolisian untuk melindungi korban.
Pasal 21
(1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus :
a. memeriksa kesehatan korban
sesuai dengan standar profesinya;
b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas
permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan
hukum yang sama sebagai alat
bukti.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan
di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
204
Pasal 22
(1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus :
a. melakukan konseling untuk
menguatkan dan memberikan
rasa aman bagi korban;
b. memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan perlindungan
dari kepolisian dan penetapan
perintah perlindungan dari
pengadilan;
c. mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal
alternatif; dan
d. melakukan koordinasi yang
terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan
pihak kepolisian, dinas sosial,
lembaga sosial yang dibutuhkan korban.
(2) Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau
masyarakat.
Pasal 23
Dalam memberikan pelayanan, relawan
pendamping dapat :
a. menginformasikan kepada korban
akan haknya untuk mendapatkan
seorang atau beberapa orang pendamping;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat
pemeriksaan pengadilan dengan
membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;
c. mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh
pendamping; dan
d. memberikan dengan aktif pengua-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
tan secara psikologis dan fisik kepada korban.
Pasal 24
Dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan
penjelasan mengenai hak, kewajiban,
dan memberikan penguatan iman dan
taqwa kepada korban.
Pasal 25
Dalam hal memberikan perlindungan
dan pelayanan, advokat wajib :
a. memberikan konsultasi hukum
yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan
dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan
dalam rumah tangga yang dialaminya; atau
c. melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan
pendamping, dan pekerja sosial
agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.
Pasal 26
(1) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain
untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak
kepolisian baik di tempat korban
berada maupun di tempat kejadian
perkara.
Pasal 27
Dalam hal korban adalah seorang anak,
laporan dapat dilakukan oleh orang
tua, wali, pengasuh, atau anak yang
bersangkutan yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 28
Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat
penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut.
Pasal 29
Permohonan untuk memperoleh surat
perintah perlindungan dapat diajukan
oleh :
a. korban atau keluarga korban;
b. teman korban;
c. kepolisian;
d. relawan pendamping; atau
e. pembimbing rohani.
Pasal 30
(1) Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan
atau tulisan.
(2) Dalam hal permohonan diajukan
secara lisan, panitera pengadilan
negeri setempat wajib mencatat
permohonan tersebut.
(3) Dalam hal permohonan perintah
perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani maka korban harus
memberikan persetujuannya.
(4) Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban.
Pasal 31
(1) Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk :
a. menetapkan suatu kondisi
khusus;
b. mengubah atau membatalkan
suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimak205
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
sud pada ayat (1) dapat diajukan
bersama-sama dengan proses pengajuan perkara kekerasan dalam
rumah tangga.
Pasal 32
(1) Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1
(satu) tahun.
(2) Perintah perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan.
(3) Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari sebelum berakhir masa
berlakunya.
Pasal 33
(1) Pengadilan dapat menyatakan satu
atau lebih tambahan perintah perlindungan.
(2)�������������������������������
Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib
mempertimbangkan keterangan
dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping,
dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 34
(1) Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan.
(2)�����������������������������
Dalam pemberian tambahan kondisi dalam perintah perlindungan,
pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga
kesehatan, pekerja sosial, relawan
pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 35
(1) Kepolisian dapat menangkap untuk
selanjutnya melakukan penahanan
tanpa surat perintah terhadap pe206
laku yang diyakini telah melanggar
perintah perlindungan, walaupun
pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas.
(2) Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah
1 x 24 (satu kali dua puluh empat)
jam.
(3) Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat
(2).
Pasal 36
(1) Untuk memberikan perlindungan
kepada korban, kepolisian dapat
menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena
telah melanggar perintah perlindungan.
(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.
Pasal 37
(1) Korban, kepolisian atau relawan
pendamping dapat mengajukan laporan secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap
perintah perlindungan.
(2) Dalam hal pengadilan mendapatkan laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3x24 (tiga kali dua puluh
empat) jam guna dilakukan pemeriksaan.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
pengadilan di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
waktu pelanggaran diduga terjadi.
Pasal 38
(1) Apabila pengadilan mengetahui
bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga
akan melakukan pelanggaran lebih
lanjut, maka Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat
pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan.
(2) Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari.
(3) Penahanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disertai dengan surat
perintah penahanan.
BAB VII
PEMULIHAN KORBAN
Pasal 39
Untuk kepentingan pemulihan, korban
dapat memperoleh pelayanan dari :
a. tenaga kesehatan;
b. pekerja sosial;
c. relawan pendamping; dan/atau
d. pembimbing rohani.
Pasal 40
(1) Tenaga kesehatan wajib memeriksa
korban sesuai dengan standar profesinya.
(2) Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib
memulihkan dan merehabilitasi
kesehatan korban.
Pasal 41
Pekerja sosial, relawan pendamping,
dan/atau pembimbing rohani wajib
memberikan pelayanan kepada korban
dalam bentuk pemberian konseling un-
tuk menguatkan dan/atau memberikan
rasa aman bagi korban.
Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja
sama.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya pemulihan dan
kerja sama diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 44
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima
belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh
sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling
banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana
dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,00
(empat puluh lima juta rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau
207
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 45
(1)��������������������������������
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam
lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf
b dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 9.000.000,00
(sembilan juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau
sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
na dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun atau
denda paling sedikit Rp. 12.000.000,00
(dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47
mengakibatkan korban mendapat luka
yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan
daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak
berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit
Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah) dan denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama
12 (dua belas) tahun atau denda paling
banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh
enam juta rupiah).
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:
a. menelantarkan orang lain dalam
lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1);
b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(2).
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang
menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipida-
Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud
dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa :
a. pembatasan gerak pelaku baik
208
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
yang bertujuan untuk menjauhkan
pelaku dari korban dalam jarak dan
waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
Pasal 51
Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4)
merupakan delik aduan.
Pasal 52
Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat
(2) merupakan delik aduan.
Pasal 53
Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
yang dilakukan oleh suami terhadap
istri atau sebaliknya merupakan delik
aduan.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 54
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan
menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan
lain dalam Undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Undang-undang ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 22 September 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 22 September 2004
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2004 NOMOR 95
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet Bidang
Hukum dan Perundang-undangan,
Lambock V. Nahattands
Pasal 55
Sebagai salah satu alat bukti yang sah,
keterangan seorang saksi korban saja
sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai
dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
209
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2007
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang
a. bahwa setiap orang sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak azasi sesuai dengan
kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh undangUndang berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. bahwa perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat
manusia dan melanggar hak azasi
manusia, sehingga harus diberantas;
c. bahwa perdagangan orang telah
meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan
tidak terorganisasi, baik bersifat
antarnegara maupun dalam negeri,
sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara, serta terhadap norma-norma
kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak azasi manusia;
d. bahwa keinginan untuk mencegah
dan menanggulangi tindak pidana
perdagangan orang didasarkan
pada nilai-nilai luhur, komitmen
nasional, dan internasional untuk
melakukan upaya pencegahan se210
jak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama;
e. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perdagangan orang belum memberikan landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi upaya
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e , perlu membentuk undangundang tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang;
Mengingat
1. Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 28B
ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention On The Elimination
of all Forms of Discrimination Against
Women) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor
29, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3277);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Indonesia Nomor 4235);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan
uang atau memberikan bayaran
atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di
dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan ekspolitasi atau
mengakibatkan orang tereksploitasi.
2. Tindak Pidana Perdagangan Orang
adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi
unsur-unsur tindak pidana yang
ditentukan dalam Undang-undang
ini.
3. Korban adalah seseorang yang
mengalami penderitaan psikis,
mental, fisik, seksual, ekonomi,
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
dan/atau sosial, yang diakibatkan
tindak pidana perdagangan orang.
Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan
orang.
Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
Korporasi adalah kumpulan orang
dan/atau kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.
Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau
pelayanan paksa, perbudakan atau
praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau
secara melawan hukum memindahkan atau entransplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik
materiil maupun immateriil.
Ekspolitasi Seksual adalah segala
bentuk pemanfaatan organ tubuh
seksual atau organ tubuh lain dari
korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.
Perekrutan adalah tindakan yang
meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan
seseorang dari keluarga atau komunitasnya.
Pengiriman adalah tindakan memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari satu tempat ke tempat
lain.
Kekerasan adalah setiap perbuatan
211
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
12.
13.
14.
15.
secara melawan hukum, dengan
atau tanpa menggunakan sarana
terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang.
Ancaman kekerasan adalah setiap
perbuatan secara melawan hukum
berupa ucapan, tulisan, gambar,
simbol, atau gerakan tubuh, baik
dengan atau tanpa menggunakan
sarana yang menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki seseorang.
Restitusi adalah pembayaran ganti
kerugian yang dibebankan kepada
pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap atas kerugian materiil dan/
atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
Rehabilitasi adalah pemulihan dari
gangguan terhadap kondisi fisik,
psikis dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara
wajar baik dalam keluarga maupun
dalam masyarakat.
Penjeratan Utang adalah perbuatan
menempatkan orang dalam status
atau keadaan menjaminkan atau
terpaksa menjaminkan dirinya atau keluarganya atau orang-orang
yang menjadi tanggung jawabnya,
atau jasa pribadinya sebagai bentuk pelunasan utang.
BAB II
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN
ORANG
Pasal 2
(1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan,
atau penerimaan seseorang dengan
ancaman kekerasan, penggunaan
212
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau
memberi bayaran atau manfaat
walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan
mengeksploitasi orang tersebut di
wilayah negara Republik Indonesia,
dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp.
120.000.000,- (Seratus dua puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp.
600.000.000,- (Enam ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 3
Setiap orang yang memasukkan orang
ke wilayah negara Republik Indonesia
dengan maksud untuk dieksploitasi di
wilyah negara Republik Indonesia atau
dieksploitasi di negara lain dipidana
dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 120.000.000,- (seratus dua
puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta rupiah).
Pasal 4
Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara
Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara
Republik Indonesia dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,- (Seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
600.000.000,- (Enam ratus juta rupiah).
Pasal 5
Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan
maksud untuk dieksploitasi dipidana
dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 120.000.000,- (seratus dua
puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta rupiah)
Pasal 6
Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apapun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi
dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp. 120.000.000,- (Seratus
dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta
rupiah).
Pasal 7
(1) Jika tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2),
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal
6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang
membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya
fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 5, dan Pasal 6.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2),
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal
6 mengakibatkan matinya korban,
dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama penjara seumur hidup
dan pidana denda paling sedikit
Rp. 200.000.000,- (Dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp.
5.000.000.000,- (Lima milyar rupiah).
Pasal 8
(1) Setiap penyelenggara negara yang
menyalahgunakan kekuasaan yang
mengakibatkan terjadinya tindak
pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, pasal 4, pasal 5, dan Pasal
6 maka pidananya ditambah 1/3
(sepertiga) dari ancaman pidana
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal
5, dan Pasal 6.
(2) Selain sanksi pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenakan pidana tambahan
berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya.
(3) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan
sekaligus dalam amar putusan pengadilan.
Pasal 9
Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan
tindak pidana perdagangan orang, dan
tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 6 (enam)
tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp. 40.000.000,- (Empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 240.000.000,(Dua ratus empat puluh juta rupiah).
213
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 10
Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan
tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal
3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
Pasal 11
Setiap orang yang merencanakan atau
melakukan permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana perdagangan
orang, dipidana dengan pidana yang
sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 5, dan Pasal 6.
Pasal 12
Setiap orang yang menggunakan atau
memanfaatkan korban tindak pidana
perdagangan orang, dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan
cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan
orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan
dari hasil tindak pidana perdagangan
orang dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal
6.
Pasal 13
(1) Tindak pidana perdagangan orang
dianggap dilakukan oleh korporasi
apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama
korporasi atau untuk kepentingan
korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain,
bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
(2) Dalam hal tindak pidana perda214
gangan orang dilakukan oleh suatu
korporasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), maka penyidikan,
penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/
atau pengurusnya.
Pasal 14
Dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di
tempat pengurus berkantor, di tempat
korporasi itu beroperasi, atau di tempat
tinggal pengurus.
Pasal 15
(1) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu
korporasi, selain pidana penjara
dan denda terhadap pengurusnya,
pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana
denda dengan pemberatan 3 (tiga)
kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
(2) Selain pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), korporasi
dapat dijatuhkan pidana tambahan
berupa :
a. pencabutan izin usaha;
b. perampasan hasil kekayaan
hasil tindak pidana;
c. pencabutan status badan hukum;
d. pemecatan pengurus; dan/
atau
e. pelarangan kepada pengurus
tersebut untuk mendirikan
korporasi dalam bidang usaha
yang sama.
Pasal 16
Dalam hal tindak pidana perdagangan
orang dilakukan oleh kelompok yang
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam
kelompok yang terorganisasi tersebut
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga).
pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp.
40.000.000,- (Empat puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 280.000.000,(Dua ratus delapan puluh juta rupiah).
Pasal 17
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan terhadap anak, maka
ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 21
(1) Setiap orang yang melakukan penyerangan fisik terhadap sanksi
atau petugas di persidangan dalam
perkara tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp.
40.000.000,-(Empat puluh juta) dan
paling banyak Rp. Rp. 200.000.000,(Dua ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan sanksi atau petugas di persidangan luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan pidana denda paling sedikit
Rp. 80.000.000,- (Delapan puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp.
400.000.000,- (Empat ratus juta rupiah).
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan sanksi atau petugas di
persidangan mati, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp.
120.000.000,- (Seratus dua puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp.
600.000.000,- (Enam ratus juta rupiah).
Pasal 18
Korban yang melakukan tindak pidana
karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana.
BAB III
TINDAK PIDANA LAIN
YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Pasal 19
Setiap orang yang memberikan atau
memasukkan keterangan palsu pada
dokumen negara atau dokumen lain
atau memalsukan dokumen negara atau
dokumen lain, untuk mempermudah
terjadinya tindak pidana perdagangan
orang, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp. 40.000.000,- (Empat
puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 280.000.000,- (Dua ratus delapan
puluh juta rupiah).
Pasal 20
Setiap orang memberikan kesaksian
palsu, menyampaikan alat bukti palsu
atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi sanksi secara melawan hukum
di sidang pengadilan tindak pidana
perdagangan orang, dipidana dengan
Pasal 22
Setiap orang yang dengan sengaja men215
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
cegah, merintangi, atau menggagalkan
secara langsung atau tidak langsung
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
tersangka, terdakwa atau sanksi dalam
perkara perdagangan orang, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp. 40.000.000,- (Empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000,(Dua ratus juta rupiah).
juta rupiah).
Pasal 23
Setiap orang yang membantu pelarian
pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana dengan :
a. memberikan atau meminjamkan
uang, barang, atau harta kekayaan
lainnya kepada pelaku;
b. menyediakan tempat tinggal bagi
pelaku;
c. menyembunyikan pelaku; atau
d. menyembunyikan informasi keberadaan pelaku, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp. 40.000.000.- (Empat puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 200.000.000,- (Dua ratus
juta rupiah).
Pasal 27
Pelaku tindak pidana perdagangan orang kehilangan hak tagihnya atas uang
atau perjanjian lainnya terhadap korban, jika utang atau perjanjian lainnya
tersebut digunakan untuk mengeksploitasi korban.
Pasal 24
Setiap orang yang memberitahukan
identitas saksi atau korban padahal
kepadanya telah diberitahukan, bahwa identitas saksi atau korban tersebut harus dirahasiakan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,- (Seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
280.000.000,- (Dua ratus delapan puluh
Pasal 29
Alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Hukum
Acara Pidana, dapat pula berupa :
a. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu; dan
b. data, rekaman, atau informasi yang
dapat dilihat, dibaca, dan/atau
didengar, yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu
216
Pasal 25
Jika terpidana tidak mampu membayar
pidana denda, maka terpidana dapat dijatuhi pidana pengganti kurungan paling lama 1 (satu) tahun
Pasal 26
Persetujuan korban perdagangan orang
tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang.
BAB IV
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN
PEMERIKSAAN DI SIDANG
PENGADILAN
Pasal 28
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang,
dilakukan berdasarkan Hukum Acara
Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apapun selain
kertas, atau yang terekam secara
elektronik, termasuk tidak terbatas
pada :
1) tulisan, suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau
3) huruf, tanda, angka, simbol,
atau perforasi yang memiliki
makna atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Pasal 30
Sebagai salah satu alat bukti yang sah,
keterangan seorang sanksi korban saja
sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai
dengan satu alat bukti yang sah lainnya.
Pasal 31
(1) Berdasarkan bukti permulaan yang
cukup penyidik berwenang menyadap telepon atau alat komunikasi
lain yang diduga digunakan untuk
mempersiapkan, merencanakan,
dan melakukan tindak pidana perdagangan orang.
(2) Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya
dilakukan atas izin tertulis ketua
pengadilan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 32
Penyidik, penuntutan umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada penyedia jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta
kekayaan setiap orang yang disangka
atau didakwa melakukan tindak pidana
perdagangan orang.
Pasal 33
(1) Dalam penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan, pelapor berhak dirahasiakan
nama dan alamatnya atau hal-hal
lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas
pelapor.
(2) Dalam hal pelapor meminta dirahasiakan nama dan alamatnya atau
hal-hal lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), kewajiban merahasiakan identitas tersebut diberitahukan kepada saksi dan orang
lain yang bersangkutan dengan
tindak pidana perdagangan orang
sebelum pemeriksaan oleh pejabat
yang berwenang yang melakukan
pemeriksaan.
Pasal 34
Dalam hal saksi dan/atau korban tidak
dapat dihadirkan dalam pemeriksaan
di sidang pengadilan, keterangan saksi
dapat diberikan secara jarak jauh melalui alat komunikasi audio visual.
Pasal 35
Selama proses penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan,
saksi dan/atau korban berhak didampingi oleh advokat dan/atau pendamping lainnya yang dibutuhkan.
Pasal 36
(1) Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan
sidang pengadilan, korban berhak
mendapatkan informasi tentang
perkembangan kasus yang melibatkan dirinya.
(2) Informasi tentang perkembangan,
kasus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa pemberian
salinan berita acara setiap tahap
pemeriksaan.
217
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 37
(1) Saksi dan/atau korban berhak meminta kepada hakim ketua sidang
untuk memberikan keterangan di
depan sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa.
(2) Dalam hal saksi dan/atau korban
akan memberikan keterangan tanpa kehadiran terdakwa, hakim ketua sidang memerintahkan terdakwa untuk keluar ruang sidang.
(3) Pemeriksaan terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilanjutkan setelah kepada terdakwa
diberitahukan semua keterangan
yang diberikan saksi dan/atau korban pada waktu terdakwa berada di
luar ruang sidang pengadilan.
Pasal 38
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
saksi dan/atau korban anak dilakukan
dengan memperhatikan kepentingan
yang terbaik bagi anak dengan tidak
memakai toga atau pakaian dinas.
Pasal 39
(1) Sidang tindak pidana perdagangan
orang untuk memeriksa saksi dan/
atau korban anak dilakukan dalam
sidang tertutup.
(2) Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) saksi
dan/atau korban anak wajib didampingi orang tua, wali, orang tua
asuh, advokat, atau pendamping lainnya.
(3) Pemeriksaaan terhadap saksi dan/
atau korban anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
tanpa kehadiran terdakwa.
Pasal 40
(1) Pemeriksaan terhadap saksi dan/
atau korban anak, atas persetujuan
218
hakim, dapat dilakukan di luar sidang pengadilan dengan perekaman.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang.
Pasal 41
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut, tidak hadir
di sidang pengadilan tanpa alasan
yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputuskan tanpa kehadiran terdakwa.
(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan
dijatuhkan, maka terdakwa wajib
diperiksa, dan segala keterangan
saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap
sebagai alat bukti yang diberikan
dengan kehadiran terdakwa.
Pasal 42
Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman
pengadilan, kantor Pemerintah Daerah,
atau diberitahukan kepada keluarga
atau kuasanya.
BAB V
PERLINDUNGAN
SAKSI DAN KORBAN
Pasal 43
Ketentuan mengenai perlindungan
saksi dan korban dalam perkara tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan berdasarkan Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang
ini.
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 44
(1) Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang berhak
memperoleh kerahasiaan identitas.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan juga kepada keluarga saksi dan/atau korban sampai dengan derajat kedua, apabila
keluarga saksi dan/atau korban
mendapat ancaman baik fisik maupun psikis dari orang lain yang berkenaan dengan keterangan saksi
dan/atau korban.
Pasal 45
(1) Untuk melindungi saksi dan/atau
korban, di setiap provinsi dan kabupaten/kota wajib dibentuk ruang
pelayanan khusus pada kantor kepolisian setempat guna melakukan
pemeriksaan di tingkat penyidikan
bagi saksi dan/atau korban tindak
pidana perdagangan orang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pembentukan ruang pelayanan
khusus dan tata cara pemeriksaan
saksi dan/atau korban diatur dengan Peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Pasal 46
(1) Untuk melindungi saksi dan/atau
korban, pada setiap kabupaten/
kota dapat dibentuk pusat pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau
korban tindak pidana perdagangan
orang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 47
Dalam hal saksi dan/atau korban beserta keluarganya mendapatkan anca-
man yang membahayakan diri, jiwa,
dan/atau hartanya, Kepolisian Negara
Republik Indonesia wajib memberikan
perlindungan, baik sebelum, selama,
maupun sesudah proses pemeriksaan
perkara.
Pasal 48
(1) Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya
berhak memperoleh restitusi :
(2) Restitusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berupa ganti kerugian
atas:
a. kehilangan kekayaan atau
penghasilan;
b. penderitaan;
c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis;
dan/atau
d. kerugian lain yang diderita
korban sebagai akibat perdagangan orang.
(3) Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar
putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang.
(4) Pemberian restitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama.
(5) Restitusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat
perkara diputus.
(6) Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung
sejak diberitahukannya putusan
yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(7) Dalam hal pelaku diputus bebas
oleh pengadilan tingkat banding
atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar
uang restitusi yang dititipkan di219
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
kembalikan kepada yang bersangkutan.
Pasal 49
(1) Pelaksanaan pemberian restitusi
dilaporkan kepada ketua pengadilan yang memutuskan perkara,
disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi tersebut.
(2) Setelah ketua pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketua pengadilan mengumumkan pelaksanaan
tersebut di papan pengumuman
pengadilan yang bersangkutan.
(3) Salinan tanda bukti pelaksanaan
pemberian restitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pengadilan kepada korban
atau ahli warisnya.
Pasal 50
(1) Dalam hal pelaksanaan pemberian
restitusi kepada pihak korban tidak
dipenuhi sampai melampaui batas
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (6), korban atau
ahli warisnya memberitahukan hal
tersebut kepada pengadilan.
(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memberikan surat
peringatan secara tertulis kepada
pemberi restitusi, untuk segera
memenuhi kewajiban memberikan
restitusi kepada korban atau ahli
warisnya.
(3) Dalam hal surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak dilaksanakan dalam waktu
14 (empat belas) hari, pengadilan
memerintahkan penuntut umum
untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melarang harta tersebut untuk pembayaran restitusi.
(4) Jika pelaku tidak mampu mem220
bayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti
paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 51
(1) Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi
sosial dari pemerintah apabila yang
bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang.
(2) Hak-hak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman
korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial setelah korban melaporkan kasus yang
dialaminya atau pihak lain melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada
pemerintah melalui menteri atau
instansi yang menangani masalahmasalah kesehatan dan sosial di
daerah.
Pasal 52
(1) Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1)
wajib memberikan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung
sejak diajukan permohonan.
(2) Untuk penyelenggaraan pelayanan
rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi
sosial, pemulangan, dan reintegrasi
sosial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat
trauma.
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
(3) Untuk penyelenggaraan pelayanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), masyarakat atau lembagalembaga pelayanan sosial lainnya
dapat pula membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma.
Pasal 53
Dalam hal korban mengalami trauma
atau penyakit yang membahayakan
dirinya akibat tindak pidana perdagangan orang sehingga memerlukan pertolongan segera, maka menteri atau
instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah
wajib memberikan pertolongan pertama paling lambat 7 (tujuh) hari setelah
permohonan diajukan.
Pasal 54
(1) Dalam hal korban berada di luar
negeri memerlukan perlindungan
hukum akibat tindak pidana perdagangan orang, maka Pemerintah Republik Indonesia melalui
perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan korban, dan mengusahakan
untuk memulangkan korban ke Indonesia atas biaya negara.
(2) Dalam hal korban adalah warga
negara asing yang berada di Indonesia, maka Pemerintah Republik
Indonesia mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke negara
asalnya melalui koordinasi dengan
perwakilannya di Indonesia.
(3) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan, hukum internasional,
atau kebiasaan internasional.
Pasal 55
Saksi dan/atau korban tindak pidana
perdagangan orang, selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
ini juga berhak mendapatkan hak dan
perlindungan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB VI
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN
Pasal 56
Pencegahan tindak pidana perdagangan orang bertujuan mencegah sedini
mungkin terjadinya tindak pidana perdagangan orang.
Pasal 57
(1) Pemerintah, Pemerintah daerah,
masyarakat, dan keluarga wajib
mencegah terjadinya tindak pidana
perdagangan orang.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan
pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang.
Pasal 58
(1) Untuk melaksanakan pemberantasan tindak pidana perdagangan
orang, Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib mengambil langkahlangkah untuk pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang.
(2)�������������������������������
Untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) Pemerintah membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat,
lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi.
(3) Pemerintah Daerah membentuk
221
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
gugus tugas yang beranggotakan
wakil-wakil dari pemerintah daerah, penegak hukum, organisasi
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan
peneliti/akademi.
(4) Gugus tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan lembaga koordinatif yang
bertugas :
a. mengoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang;
b. melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerjasama;
c.�������������������������
memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi sosial;
d. memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum;
serta
e. melaksanakan pelaporan dan
evaluasi.
(5) Gugus tugas pusat dipimpin oleh
seorang menteri atau pejabat setingkat menteri yang ditunjuk berdasarkan Peraturan Presiden.
(6) Guna mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib mengalokasikan anggaran yang diperlukan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pembentukan, susunan organisasi,
keangotaan, anggaran, dan mekanisme kerja gugus tugas pusat dan
daerah diatur dengan Peraturan
Presiden.
222
BAB VII
KERJA SAMA INTERNASIONAL
DAN PERAN SERTA MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Kerja Sama Internasional
Pasal 59
(1) Untuk mengefektifkan penyelenggaraan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan
orang, Pemerintah Republik Indonesia wajib melaksanakan kerja
sama internasional, baik yang bersifat bilateral, regional, maupun
multilateral.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
dalam bentuk perjanjian bantuan
timbal balik dalam masalah pidana
dan/atau kerja sama teknis lainnya
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat
Pasal 60
(1) Masyarakat berperan serta membantu upaya pencegahan dan penanganan korban tindak pidana
perdagangan orang.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dengan tindakan memberikan
informasi dan/atau melaporkan
adanya tindak pidana perdagangan orang kepada penegak hukum
atau pihak yang berwajib, atau turut serta dalam menangani korban
tindak pidana perdagangan orang.
Pasal 61
Untuk tujuan pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah wajib mem-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
buka akses seluas-luasnya bagi peran
serta masyarakat, baik nasional maupun internasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
hukum, dan kebiasaan internasional
yang berlaku.
Pasal 62
Untuk melaksanakan peran serta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan
Pasal 61, masyarakat berhak untuk
memperoleh perlindungan hukum.
Pasal 63
Peran serta masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 61
dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Pada saat Undang-undang ini berlaku,
perkara tindak pidana perdagangan
orang yang masih dalam proses penyelesaian di tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tetap diperiksa berdasarkan
undang-undang yang mengaturnya.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Pada saat undang-undang ini berlaku,
maka Pasal 297 dan Pasal 324 Undangundang Nomor 1 tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9) jo
Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958
tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk
Seluruh Wilayah Republik Indonesia
dan Mengubah Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor
127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1660) yang telah beberapa kali diubah dan ditambah,
terakhir dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3850) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 66
Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan oleh Undang-undang ini harus diterbitkan selambat-lambatnya dalam 6
(enam) bulan setelah Undang-undang
ini berlaku.
Pasal 67
Undang-undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 19 April 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO.
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 April 2007
MENTERI HUKUM
DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
Ttd
HAMID AWALUDIN
... ... ...
223
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
... ... ...
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2007 NOMOR 58.
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA R.I.
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan Bidang Politik
dan Kesejahteraan Rakyat.
Wisnu Setiawan
224
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG
ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
pada hakikatnya berkewajiban
memberikan perlindungan dan
pengakuan terhadap penentuan
status pribadi dan status hukum
atas setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang
dialami oleh Penduduk Indonesia
yang berada di dalam dan/atau di
luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. bahwa untuk memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan
status pribadi dan status hukum
setiap Peristiwa Kependudukan
dan Peristiwa Penting yang dialami
oleh Penduduk Indonesia dan Warga Negara Indonesia yang berada di
luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu dilakukan
pengaturan tentang Administrasi
Kependudukan;
c. bahwa pengaturan tentang Administrasi Kependudukan hanya dapat terlaksana apabila didukung
oleh pelayanan yang profesional
dan peningkatan kesadaran penduduk, termasuk Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri;
d. bahwa peraturan perundang-undangan mengenai Administrasi
Kependudukan yang ada tidak sesuai lagi dengan tuntutan pelayanan Administrasi Kependudukan
yang tertib dan tidak diskriminatif
sehingga diperlukan pengaturan
secara menyeluruh untuk menjadi
pegangan bagi semua penyelenggara negara yang berhubungan dengan kependudukan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,
perlu membentuk undang-undang
tentang Administrasi Kependudukan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1),
ayat (2) dan ayat (4), Pasal 26, Pasal
28 B ayat (1), Pasal 28 D ayat (4), Pasal 28 E ayat (1) dan ayat (2), Pasal
28 I, Pasal 29 ayat (1), Pasal 34 ayat
(1) dan ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3019);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun
1984 tentang Ratifikasi Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun
225
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
4.
5.
6.
7.
8.
9. 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 32);
Undang-undang Nomor 9 Tahun
1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3474);
Undang-undang Nomor 29 Tahun
1999 tentang Pengesahan International Convention On The Elimination
Of All Forms Of Racial Discrimination
1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial 1965) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 83, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3852);
Undang-undang Nomor 37 Tahun
1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 156,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3882);
Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3886);
Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4235);
Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 8 Tahun
226
2005 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Perubahan Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 108,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
10. Undang-undang Nomor 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 63, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
4634);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG
ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan
dan penertiban dalam penerbitan
dokumen dan Data Kependudukan
melalui Pendaftaran Penduduk,
Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan
pembangunan sektor lain.
2. Penduduk adalah Warga Negara In-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
3.
4.
5. 6. 7.
8.
9.
10.
11.
donesia dan Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Warga Negara Indonesia adalah
orang-orang bangsa Indonesia asli
dan orang-orang bangsa lain yang
disahkan dengan undang-undang
sebagai Warga Negara Indonesia.
Orang Asing adalah orang bukan
Warga Negara Indonesia.
Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dalam negeri
Penyelenggara adalah Pemerintah,
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang dalam
urusan Administrasi Kependudukan.
Instansi Pelaksana adalah perangkat pemerintah kabupaten/kota
yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan
dalam urusan Administrasi Kependudukan.
Dokumen Kependudukan adalah
dokumen resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai
alat bukti autentik yang dihasilkan
dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Data Kependudukan adalah data
perseorangan dan/atau data agregat yang terstruktur sebagai hasil
dari kegiatan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Pendaftaran Penduduk adalah
pencatatan biodata Penduduk,
pencatatan atas pelaporan Peristiwa Kependudukan dan pendataan
Penduduk rentan Administrasi Kependudukan serta penerbitan Dokumen Kependudukan berupa kartu identitas atau surat keterangan
kependudukan.
Peristiwa Kependudukan adalah ke-
12.
13.
14.
15.
16.
17.
jadian yang dialami Penduduk yang
harus dilaporkan karena membawa
akibat terhadap penerbitan atau
perubahan Kartu Keluarga, Kartu
Tanda Penduduk dan/atau surat
keterangan kependudukan lainnya
meliputi pindah datang, perubahan
alamat, serta status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap.
Nomor Induk Kependudukan, selanjutnya disingkat NIK, adalah nomor identitas Penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan
melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk Indonesia.
Kartu Keluarga, selanjutnya disingkat KK, adalah kartu identitas keluarga yang memuat data tentang
nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota keluarga.
Kartu Tanda Penduduk, selanjutnya disingkat KTP, adalah identitas resmi Penduduk sebagai bukti
diri yang diterbitkan oleh Instansi
Pelaksana yang berlaku di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pencatatan Sipil adalah pencatatan Peristiwa Penting yang dialami
oleh seseorang dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana.
Pejabat Pencatatan Sipil adalah
pejabat yang melakukan pencatatan Peristiwa Penting yang dialami
seseorang pada Instansi Pelaksana yang pengangkatannya sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Peristiwa Penting adalah kejadian
yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir
mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak,
pengangkatan anak, perubahan
227
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
nama dan perubahan status kewarganegaraan.
Izin Tinggal Terbatas adalah izin
tinggal yang diberikan kepada Orang Asing untuk tinggal di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu yang terbatas sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Izin Tinggal Tetap adalah izin tinggal yang diberikan kepada Orang
Asing untuk tinggal menetap di
wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
Petugas Registrasi adalah pegawai
negeri sipil yang diberi tugas dan
tanggung jawab memberikan pelayanan pelaporan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting
serta pengelolaan dan penyajian
Data Kependudukan di desa/kelurahan.
Sistem Informasi Administrasi Kependudukan, selanjutnya disingkat
SIAK, adalah sistem informasi yang
memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi untuk memfasilitasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan di tingkat
Penyelenggara dan Instansi Pelaksana sebagai satu kesatuan.
Data Pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta
dilindungi kerahasiaannya.
Kantor Urusan Agama Kecamatan,
selanjutnya disingkat KUAKec, adalah satuan kerja yang melaksanakan pencatatan nikah, talak, cerai,
dan rujuk pada tingkat kecamatan
bagi Penduduk yang beragama Islam.
Unit Pelaksana Teknis Dinas Instansi Pelaksana, selanjutnya disingkat UPTD Instansi Pelaksana,
228
adalah satuan kerja di tingkat kecamatan yang melaksanakan pelayanan Pencatatan Sipil dengan
kewenangan menerbitkan akta.
BAB II
HAK DAN KEWAJIBAN PENDUDUK
Pasal 2
Setiap Penduduk mempunyai hak untuk memperoleh:
a. Dokumen Kependudukan;
b. pelayanan yang sama dalam
Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil;
c. perlindungan atas Data Pribadi;
d. kepastian hukum atas kepemilikan
dokumen;
e. informasi mengenai data hasil
Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil atas dirinya dan/atau
keluarganya; dan
f. ganti rugi dan pemulihan nama
baik sebagai akibat kesalahan dalam Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil serta penyalahgunaan Data Pribadi oleh Instansi
Pelaksana.
Pasal 3
Setiap Penduduk wajib melaporkan
Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada
Instansi Pelaksana dengan memenuhi
persyaratan yang diperlukan dalam
Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan
Sipil.
Pasal 4
Warga Negara Indonesia yang berada di
luar wilayah Republik Indonesia wajib
melaporkan Peristiwa Kependudukan
dan Peristiwa Penting yang dialaminya
kepada Instansi Pelaksana Pencatatan
Sipil negara setempat dan/atau kepada
Perwakilan Republik Indonesia dengan
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil.
BAB III
KEWENANGAN PENYELENGGARA
DAN INSTANSI PELAKSANA
Bagian Kesatu
Penyelenggara
Paragraf 1
Pemerintah
Pasal 5
Pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menyelenggarakan Administrasi Kependudukan secara nasional,
yang dilakukan oleh Menteri dengan
kewenangan meliputi:
a. koordinasi antar instansi dalam urusan Administrasi Kependudukan;
b. penetapan sistem, pedoman, dan
standar pelaksanaan Administrasi
Kependudukan;
c. sosialisasi Administrasi Kependudukan;
d. pemberian bimbingan, supervisi,
dan konsultasi pelaksanaan urusan
Administrasi Kependudukan;
e. pengelolaan dan penyajian Data
Kependudukan berskala nasional;
dan
f. pencetakan, penerbitan, dan distribusi blangko Dokumen Kependudukan.
Paragraf 2
Pemerintah Provinsi
Pasal 6
Pemerintah provinsi berkewajiban dan
bertanggung jawab menyelenggarakan
urusan Administrasi Kependudukan,
yang dilakukan oleh gubernur dengan
kewenangan meliputi:
a. koordinasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan;
b. pemberian bimbingan, supervisi,
dan konsultasi pelaksanaan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan
Sipil;
c. pembinaan dan sosialisasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan;
d. pengelolaan dan penyajian Data
Kependudukan berskala provinsi;
dan
e. koordinasi pengawasan atas penyelenggaraan Administrasi Kependudukan.
Paragraf 3
Pemerintah Kabupaten/Kota
Pasal 7
(1)������������������������������
Pemerintah kabupaten/kota berkewajiban dan bertanggung jawab
menyelenggarakan urusan Administrasi Kependudukan, yang dilakukan oleh bupati/walikota dengan kewenangan meliputi:
a. koordinasi penyelenggaraan
Administrasi Kependudukan;
b. pembentukan Instansi Pelaksana yang tugas dan fungsinya di
bidang Administrasi Kependudukan;
c. pengaturan teknis penyelenggaraan Administrasi Kependudukan sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
d. pembinaan dan sosialisasi penyelenggaraan Administrasi
Kependudukan;
e. pelaksanaan kegiatan pelayanan masyarakat di bidang Administrasi Kependudukan;
f. penugasan kepada desa untuk
menyelenggarakan sebagian urusan Administrasi Kependu229
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dukan berdasarkan asas tugas
pembantuan;
g. pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan berskala kabupaten/kota; dan
h. koordinasi pengawasan atas
penyelenggaraan Administrasi
Kependudukan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) di Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Bagian Kedua
Instansi Pelaksana
Pasal 8
(1) Instansi Pelaksana melaksanakan
urusan Administrasi Kependudukan dengan kewajiban yang meliputi:
a. mendaftar Peristiwa Kependudukan dan mencatat Peristiwa
Penting;
b. memberikan pelayanan yang
sama dan profesional kepada
setiap Penduduk atas pelaporan Peristiwa Kependudukan
dan Peristiwa Penting;
c. menerbitkan Dokumen Kependudukan;
d. mendokumentasikan
hasil
Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil;
e. menjamin kerahasiaan dan
keamanan data atas Peristiwa
Kependudukan dan Peristiwa
Penting; dan
f. melakukan verifikasi dan validasi data dan informasi yang
disampaikan oleh Penduduk
dalam pelayanan Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud
230
pada ayat (1) huruf a untuk pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk
bagi Penduduk yang beragama Islam pada tingkat kecamatan dilakukan oleh pegawai pencatat pada
KUAKec.
(3) Pelayanan Pencatatan Sipil pada
tingkat kecamatan dilakukan oleh
UPTD Instansi Pelaksana dengan
kewenangan menerbitkan Akta
Pencatatan Sipil.
(4) Kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk persyaratan
dan tata cara Pencatatan Peristiwa
Penting bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama
menurut peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
UPTD Instansi Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
prioritas pembentukannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
(1) Instansi Pelaksana melaksanakan
urusan Administrasi Kependudukan dengan kewenangan yang
meliputi:
a. memperoleh keterangan dan
data yang benar tentang Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dilaporkan
Penduduk;
b. memperoleh data mengenai
Peristiwa Penting yang dialami
Penduduk atas dasar putusan
atau penetapan pengadilan;
c. memberikan keterangan atas
laporan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting untuk kepentingan penyelidikan,
penyidikan, dan pembuktian
kepada lembaga peradilan; dan
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
d. mengelola data dan mendayagunakan informasi hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil untuk kepentingan
pembangunan.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf
b berlaku juga bagi KUAKec, khususnya untuk pencatatan, nikah,
talak, cerai, dan rujuk bagi Penduduk yang beragama Islam.
(3) Selain kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Instansi
Pelaksana mempunyai kewenangan
untuk mendapatkan data hasil pencatatan peristiwa perkawinan, perceraian, dan rujuk bagi Penduduk
yang beragama Islam dari KUAKec.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Pejabat Pencatatan Sipil mempunyai kewenangan melakukan verifikasi kebenaran data, melakukan
pembuktian pencatatan atas nama
jabatannya, mencatat data dalam
register akta Pencatatan Sipil, menerbitkan kutipan akta Pencatatan
Sipil, dan membuat catatan pinggir
pada akta-akta Pencatatan Sipil.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pedoman pengangkatan dan pemberhentian serta tugas pokok Pejabat Pencatatan Sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 12
(1) Petugas Registrasi membantu kepala desa atau lurah dan Instansi
Pelaksana dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
(2) Petugas Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh bupati/walikota dari pegawai negeri sipil yang
memenuhi persyaratan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pedoman pengangkatan dan pemberhentian serta tugas pokok Petugas Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Menteri.
BAB IV
PENDAFTARAN PENDUDUK
Bagian Kesatu
Nomor Induk Kependudukan
Pasal 13
(1) Setiap Penduduk wajib memiliki
NIK.
(2) NIK sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku seumur hidup dan
selamanya, yang diberikan oleh
Pemerintah dan diterbitkan oleh
Instansi Pelaksana kepada setiap
Penduduk setelah dilakukan pencatatan biodata.
(3) NIK sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dicantumkan dalam setiap
Dokumen Kependudukan dan dijadikan dasar penerbitan paspor, surat izin mengemudi, nomor pokok
wajib pajak, polis asuransi, sertifikat hak atas tanah, dan penerbitan
dokumen identitas lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan, tata cara dan ruang
lingkup penerbitan dokumen identitas lainnya, serta pencantuman
NIK diatur dengan Peraturan Pemerintah.
231
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Bagian Kedua
Pendaftaran Peristiwa
Kependudukan
Paragraf 1
Perubahan Alamat
Pasal 14
(1) Dalam hal terjadi perubahan alamat Penduduk, Instansi Pelaksana
wajib menyelenggarakan penerbitan perubahan dokumen Pendaftaran Penduduk.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan dan tata cara penerbitan perubahan dokumen Pendaftaran Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Menteri Paragraf 2 Pindah Datang Penduduk dalam Wilayah Indonesia
Pasal 15
(1) Penduduk Warga Negara Indonesia
yang pindah dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia wajib
melapor kepada Instansi Pelaksana
di daerah asal untuk mendapatkan
Surat Keterangan Pindah.
(2) Pindah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah berdomisilinya
Penduduk di alamat yang baru untuk waktu lebih dari 1 (satu) tahun
atau berdasarkan kebutuhan yang
bersangkutan untuk waktu yang
kurang dari 1 (satu) tahun.
(3) Berdasarkan Surat Keterangan Pindah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Penduduk yang bersangkutan wajib melapor kepada Instansi Pelaksana di daerah tujuan
untuk penerbitan Surat Keterangan Pindah Datang.
(4) Surat Keterangan Pindah Datang
sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) digunakan sebagai dasar peru232
bahan atau penerbitan KK dan KTP
bagi Penduduk yang bersangkutan.
Pasal 16
Instansi Pelaksana wajib menyelenggarakan pendaftaran pindah datang Penduduk Warga Negara Indonesia yang
bertransmigrasi.
Pasal 17
(1) Orang Asing yang memiliki Izin
Tinggal Terbatas dan Orang Asing
yang memiliki Izin Tinggal Tetap
yang pindah dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia wajib
melaporkan rencana kepindahannya kepada Instansi Pelaksana di
daerah asal.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Instansi
Pelaksana mendaftar dan menerbitkan Surat Keterangan Pindah
Datang.
(3) Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaporkan kedatangan kepada Instansi Pelaksana
di daerah tujuan paling lambat 30
(tiga puluh) hari sejak diterbitkan
Surat Keterangan Pindah Datang.
(4) Surat Keterangan Pindah Datang
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) digunakan sebagai dasar perubahan dan penerbitan KK, KTP,
atau Surat Keterangan Tempat
Tinggal bagi Orang Asing yang bersangkutan.
Paragraf 3
Pindah Datang Antar Negara
Pasal 18
(1) Penduduk Warga Negara Indonesia
yang pindah ke luar negeri wajib
melaporkan rencana kepindahannya kepada Instansi Pelaksana.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dimaksud pada ayat (1), Instansi
Pelaksana mendaftar dan menerbitkan Surat Keterangan Pindah ke
Luar Negeri.
(3) Penduduk Warga Negara Indonesia yang telah pindah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan berstatus menetap di luar negeri wajib
melaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 30
(tiga puluh) hari sejak kedatangannya.
Pasal 19
(1) Warga Negara Indonesia yang datang dari luar negeri wajib melaporkan kedatangannya kepada
Instansi Pelaksana paling lambat
14 (empat belas) hari sejak tanggal
kedatangan.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Instansi
Pelaksana mendaftar dan menerbitkan Surat Keterangan Datang
dari Luar Negeri sebagai dasar penerbitan KK dan KTP.
Pasal 20
(1) Orang Asing yang memiliki Izin
Tinggal Terbatas yang datang dari
luar negeri dan Orang Asing yang
memiliki izin lainnya yang telah
berubah status sebagai pemegang
Izin Tinggal Terbatas yang berencana bertempat tinggal di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melaporkan kepada Instansi Pelaksana paling lambat 14
(empat belas) hari sejak diterbitkan
Izin Tinggal Terbatas.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Instansi
Pelaksana mendaftar dan menerbitkan Surat Keterangan Tempat
Tinggal.
(3) Masa berlaku Surat Keterangan
Tempat Tinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan
dengan masa berlaku Izin Tinggal
Terbatas.
(4) Surat Keterangan Tempat Tinggal
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) wajib dibawa pada saat berpergian.
Pasal 21
(1) Orang Asing yang memiliki Izin
Tinggal Terbatas yang telah berubah status menjadi Orang Asing
yang memiliki Izin Tinggal Tetap
wajib melaporkan kepada Instansi
Pelaksana paling lambat 14 (empat
belas) hari sejak diterbitkan Izin
Tinggal Tetap.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Instansi
Pelaksana mendaftar dan menerbitkan KK dan KTP.
Pasal 22
(1) Orang Asing yang memiliki Izin
Tinggal Terbatas atau Orang Asing
yang memiliki Izin Tinggal Tetap
yang akan pindah ke luar negeri
wajib melaporkan kepada Instansi
Pelaksana paling lambat 14 (empat
belas) hari sebelum rencana kepindahannya.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Instansi
Pelaksana melakukan pendaftaran.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran Peristiwa Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal
17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal
21, dan Pasal 22 diatur dalam Peraturan
Presiden.
233
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Paragraf 4
Penduduk Pelintas Batas
Pasal 24
(1) Penduduk Warga Negara Indonesia
yang tinggal di perbatasan antar
negara yang bermaksud melintas
batas negara diberi buku pas lintas
batas oleh instansi yang berwenang
sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
(2) Penduduk sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang telah memperoleh buku pas lintas batas wajib
didaftar oleh Instansi Pelaksana.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan dan tata cara pendaftaran bagi Penduduk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Pendataan Penduduk Rentan
Administrasi Kependudukan
Pasal 25
(1) Instansi Pelaksana wajib melakukan pendataan Penduduk rentan
Administrasi Kependudukan yang
meliputi:
a. penduduk korban bencana
alam;
b. penduduk korban bencana sosial;
c. orang terlantar; dan
d. komunitas terpencil.
(2) Pendataan Penduduk rentan Administrasi Kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dan huruf b dapat dilakukan di
tempat sementara.
(3) Hasil pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan
sebagai dasar penerbitan Surat
Keterangan Kependudukan untuk
234
Penduduk rentan Administrasi Kependudukan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan dan tata cara pendataan Penduduk rentan diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Keempat
Pelaporan Penduduk yang Tidak
Mampu Mendaftarkan Sendiri
Pasal 26
(1) Penduduk yang tidak mampu melaksanakan sendiri pelaporan terhadap Peristiwa Kependudukan
yang menyangkut dirinya sendiri
dapat dibantu oleh Instansi Pelaksana atau meminta bantuan kepada
orang lain.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.
BAB V
PENCATATAN SIPIL
Bagian Kesatu
Pencatatan Kelahiran
Paragraf 1
Pencatatan Kelahiran di Indonesia
Pasal 27
(1) Setiap kelahiran wajib dilaporkan
oleh Penduduk kepada Instansi
Pelaksana di tempat terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat 60
(enam puluh) hari sejak kelahiran.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pejabat
Pencatatan Sipil mencatat pada
Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran.
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 28
(1) Pencatatan kelahiran dalam Register Akta Kelahiran dan penerbitan
Kutipan Akta Kelahiran terhadap
peristiwa kelahiran seseorang yang
tidak diketahui asal-usulnya atau
keberadaan orang tuanya, didasarkan pada laporan orang yang menemukan dilengkapi Berita Acara
Pemeriksaan dari kepolisian.
(2) Kutipan Akta Kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Pejabat Pencatatan
Sipil dan disimpan oleh Instansi
Pelaksana.
Paragraf 2
Pencatatan Kelahiran
Di Luar Wilayah Republik Indonesia
Pasal 29
(1) Kelahiran Warga Negara Indonesia
di luar wilayah Republik Indonesia
wajib dicatatkan pada instansi yang
berwenang di negara setempat dan
dilaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia.
(2) Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
menyelenggarakan pencatatan kelahiran bagi orang asing, pencatatan dilakukan pada Perwakilan Republik Indonesia setempat.
(3) Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) mencatat peristiwa kelahiran
dalam Register Akta Kelahiran dan
menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran.
(4) Pencatatan Kelahiran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaporkan kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh)
hari sejak Warga Negara Indonesia
yang bersangkutan kembali ke Indonesia.
Paragraf 3
Pencatatan Kelahiran di atas
Kapal Laut atau Pesawat Terbang
Pasal 30
(1) Kelahiran Warga Negara Indonesia di atas kapal laut atau pesawat
terbang wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di
tempat tujuan atau tempat singgah
berdasarkan keterangan kelahiran
dari nakhoda kapal laut atau kapten pesawat terbang.
(2) Dalam hal tempat tujuan atau tempat singgah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berada di wilayah Republik Indonesia, kelahiran dilaporkan kepada Instansi Pelaksana
setempat untuk dicatat dalam Register Akta Kelahiran dan diterbitkan Kutipan Akta Kelahiran.
(3) Dalam hal tempat tujuan atau tempat singgah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berada di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, kelahiran dilaporkan kepada
negara tempat tujuan atau tempat
singgah.
(4) Apabila negara tempat tujuan atau
tempat singgah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menyelenggarakan pencatatan kelahiran
bagi orang asing, pencatatan dilakukan pada Perwakilan Republik
Indonesia setempat.
(5) Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) mencatat peristiwa kelahiran
dalam Register Akta Kelahiran dan
menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran.
(6) Pencatatan Kelahiran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
wajib dilaporkan oleh Penduduk
kepada Instansi Pelaksana paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
235
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Warga Negara Indonesia yang bersangkutan kembali ke Indonesia.
Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30
diatur dalam Peraturan Presiden.
Paragraf 4
Pencatatan Kelahiran
yang Melampaui Batas Waktu
Pasal 32
(1) Pelaporan kelahiran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1)
yang melampaui batas waktu 60
(enam puluh) hari sampai dengan 1
(satu) tahun sejak tanggal kelahiran, pencatatan dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Kepala Instansi Pelaksana setempat.
(2) Pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan dan tata cara pencatatan kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Kedua
Pencatatan Lahir Mati
Pasal 33
(1) Setiap lahir mati wajib dilaporkan
oleh Penduduk kepada Instansi
Pelaksana paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak lahir mati.
(2) Instansi Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerbitkan
Surat Keterangan Lahir Mati.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
236
persyaratan dan tata cara pencatatan lahir mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
Pencatatan Perkawinan
Paragraf 1
Pencatatan Perkawinan
di Indonesia
Pasal 34
(1) Perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan wajib
dilaporkan oleh Penduduk kepada
Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat
60 (enam puluh) hari sejak tanggal
perkawinan.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pejabat
Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.
(3) Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
masing-masing diberikan kepada
suami dan istri.
(4) Pelaporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bagi Penduduk yang
beragama Islam dilakukan oleh
KUA-Kec.
(5) Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dan dalam Pasal 8 ayat (2)
wajib disampaikan oleh KUAKec
kepada Instansi Pelaksana dalam
waktu paling lambat 10 (sepuluh)
hari setelah pencatatan perkawinan dilaksanakan.
(6) Hasil pencatatan data sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) tidak memerlukan penerbitan kutipan akta
Pencatatan Sipil.
(7) Pada tingkat kecamatan laporan
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan pada UPTD Instansi
Pelaksana.
Pasal 35
Pencatatan perkawinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula
bagi:
a. perkawinan yang ditetapkan oleh
Pengadilan; dan
b. perkawinan Warga Negara Asing
yang dilakukan di Indonesia atas
permintaan Warga Negara Asing
yang bersangkutan.
Pasal 36
Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan,
pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.
Paragraf 2
Pencatatan Perkawinan
di luar Wilayah Republik Indonesia
Pasal 37
(1) Perkawinan Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang
di negara setempat dan dilaporkan
pada Perwakilan Republik Indonesia.
(2) Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyelenggarakan pencatatan
perkawinan bagi Orang Asing, pencatatan dilakukan pada Perwakilan
Republik Indonesia setempat.
(3) Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mencatat peristiwa perkawinan dalam Register Akta Perkawinan dan
menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.
(4) Pencatatan perkawinan sebagaima-
na dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada Instansi Pelaksana
di tempat tinggalnya paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia.
Pasal 38
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37
diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Keempat
Pencatatan Pembatalan Perkawinan
Pasal 39
(1) Pembatalan perkawinan wajib dilaporkan oleh Penduduk yang mengalami pembatalan perkawinan
kepada Instansi Pelaksana paling
lambat 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan pengadilan tentang
pembatalan perkawinan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Instansi Pelaksana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencabut Kutipan Akta Perkawinan
dari kepemilikan subjek akta dan
mengeluarkan Surat Keterangan
Pembatalan Perkawinan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan dan tata cara pencatatan pembatalan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dalam Peraturan
Presiden.
237
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Bagian Kelima
Pencatatan Perceraian
Paragraf 1
Pencatatan Perceraian
di Indonesia
Pasal 40
(1) Perceraian wajib dilaporkan oleh
yang bersangkutan kepada Instansi
Pelaksana paling lambat 60 (enam
puluh) hari sejak putusan pengadilan tentang perceraian yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pejabat
Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perceraian dan menerbitkan Kutipan Akta Perceraian.
Paragraf 2
Pencatatan Perceraian di luar
Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia
Pasal 41
(1) Perceraian Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang
di negara setempat dan dilaporkan
pada Perwakilan Republik Indonesia.
(2) Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyelenggarakan pencatatan
perceraian bagi Orang Asing, pencatatan dilakukan pada Perwakilan
Republik Indonesia setempat.
(3) Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mencatat peristiwa perceraian dalam Register Akta Perceraian dan
menerbitkan Kutipan Akta Perceraian.
238
(4) Pencatatan perceraian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada Instansi Pelaksana
di tempat tinggalnya paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia.
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan perceraian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 dan Pasal 41 diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Keenam
Pencatatan Pembatalan Perceraian
Pasal 43
(1) Pembatalan perceraian bagi Penduduk wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana
paling lambat 60 (enam puluh) hari
setelah putusan pengadilan tentang pembatalan perceraian mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Instansi
Pelaksana mencabut Kutipan Akta
Perceraian dari kepemilikan subjek
akta dan mengeluarkan Surat Keterangan Pembatalan Perceraian.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan dan tata cara pencatatan pembatalan perceraian diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Bagian Ketujuh
Pencatatan Kematian
Paragraf 1
Pencatatan Kematian di Indonesia
Pasal 44
(1) Setiap kematian wajib dilaporkan
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
oleh keluarganya atau yang mewakili kepada Instansi Pelaksana
paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal kematian.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Pejabat
Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kematian dan menerbitkan Kutipan Akta Kematian.
(3) Pencatatan kematian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan
berdasarkan keterangan kematian
dari pihak yang berwenang.
(4) Dalam hal terjadi ketidakjelasan
keberadaan seseorang karena hilang atau mati tetapi tidak ditemukan jenazahnya, pencatatan oleh
Pejabat Pencatatan Sipil baru dilakukan setelah adanya penetapan
pengadilan.
(5) Dalam hal terjadi kematian seseorang yang tidak jelas identitasnya,
Instansi Pelaksana melakukan pencatatan kematian berdasarkan keterangan dari kepolisian.
Paragraf 2
Pencatatan Kematian di luar
Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia
Pasal 45
(1) Kematian Warga Negara Indonesia
di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia wajib dilaporkan oleh keluarganya atau yang
mewakili keluarganya kepada Perwakilan Republik Indonesia dan
wajib dicatatkan kepada instansi
yang berwenang di negara setempat paling lambat 7 (tujuh) hari setelah kematian.
(2) Apabila Perwakilan Republik Indonesia mengetahui peristiwa kematian seorang Warga Negara Indonesia di negara setempat yang tidak
dilaporkan dan dicatatkan paling
lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimanya informasi tersebut, pencatatan kematiannya dilakukan oleh
Perwakilan Republik Indonesia.
(3) Dalam hal seseorang Warga Negara
Indonesia dinyatakan hilang, pernyataan kematian karena hilang
dan pencatatannya dilakukan oleh
Instansi Pelaksana di negara setempat.
(4) Dalam hal terjadi kematian seseorang Warga Negara Indonesia yang
tidak jelas identitasnya, pernyataan dan pencatatan dilakukan oleh
Instansi Pelaksana di negara setempat.
(5) Keterangan pernyataan kematian
sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan ayat (4) dicatatkan pada
Perwakilan Republik Indonesia setempat.
(6) Keterangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) menjadi dasar Instansi Pelaksana di Indonesia mencatat peristiwa tersebut dan menjadi
bukti di pengadilan sebagai dasar
penetapan pengadilan mengenai
kematian seseorang.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan kematian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 dan Pasal 45 diatur dalam Peraturan Presiden.
239
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Bagian Kedelapan
Pencatatan Pengangkatan Anak,
Pengakuan Anak, dan Pengesahan
Anak
Paragraf 1
Pencatatan Pengangkatan Anak
di Indonesia
Pasal 47
(1) Pencatatan pengangkatan anak
dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan di tempat tinggal
pemohon.
(2) Pencatatan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilaporkan oleh Penduduk
kepada Instansi Pelaksana yang
menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran paling lambat 30 (tiga puluh)
hari setelah diterimanya salinan
penetapan pengadilan oleh Penduduk.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Pejabat
Pencatatan Sipil membuat catatan
pinggir pada Register Akta Kelahiran dan Kutipan Akta Kelahiran.
Paragraf 2
Pencatatan Pengangkatan Anak
Warga Negara Asing di luar Wilayah
Republik Indonesia
Pasal 48
(1) Pengangkatan anak warga negara
asing yang dilakukan oleh Warga
Negara Indonesia di luar wilayah
Republik Indonesia wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang
di negara setempat.
(2) Hasil pencatatan pengangkatan
anak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia.
(3) Apabila negara setempat sebagai240
mana dimaksud pada ayat (1) tidak menyelenggarakan pencatatan
Pengangkatan Anak bagi warga
negara asing, warga negara yang
bersangkutan melaporkan kepada
Perwakilan Republik Indonesia setempat untuk mendapatkan surat
keterangan pengangkatan anak.
(4) Pengangkatan anak warga negara
asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (3) dilaporkan
oleh Penduduk kepada Instansi
Pelaksana di tempat tinggalnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke
Indonesia.
(5) Berdasarkan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Instansi
Pelaksana mengukuhkan Surat Keterangan Pengangkatan Anak.
Paragraf 3
Pencatatan Pengakuan Anak
Pasal 49
(1) Pengakuan anak wajib dilaporkan
oleh orang tua pada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal Surat Pengakuan
Anak oleh ayah dan disetujui oleh
ibu dari anak yang bersangkutan.
(2) Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang tua yang
agamanya tidak membenarkan
pengakuan anak yang lahir diluar
hubungan perkawinan yang sah.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pejabat
Pencatatan Sipil mencatat pada
Register Akta Pengakuan Anak dan
menerbitkan Kutipan Akta Pengakuan Anak.
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Paragraf 4
Pencatatan Pengesahan Anak
Pasal 50
(1) Setiap pengesahan anak wajib dilaporkan oleh orang tua kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30
(tiga puluh) hari sejak ayah dan ibu
dari anak yang bersangkutan melakukan perkawinan dan mendapatkan akta perkawinan.
(2) Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang tua yang
agamanya tidak membenarkan
pengesahan anak yang lahir diluar
hubungan perkawinan yang sah.
(3) Berdasarkan laporan pengesahan
anak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil
membuat catatan pinggir pada
Akta Kelahiran.
Pasal 51
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan
pengangkatan anak, pengakuan anak,
dan pengesahan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal
49, dan Pasal 50 diatur dalam Peraturan
Presiden.
Bagian Kesembilan
Pencatatan Perubahan Nama dan
Perubahan Status Kewarganegaraan
Paragraf 1
Pencatatan Perubahan Nama
Pasal 52
(1) Pencatatan perubahan nama dilaksanakan berdasarkan penetapan
pengadilan negeri tempat pemohon.
(2) Pencatatan perubahan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilaporkan oleh Penduduk
kepada Instansi Pelaksana yang
menerbitkan akta Pencatatan Sipil
paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak diterimanya salinan penetapan pengadilan negeri oleh Penduduk.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Pejabat
Pencatatan Sipil membuat catatan
pinggir pada register akta Pencatatan Sipil dan kutipan akta Pencatatan Sipil.
Paragraf 2
Pencatatan Perubahan Status
Kewarganegaraan di Indonesia
Pasal 53
(1) Perubahan status kewarganegaraan dari warga negara asing menjadi
Warga Negara Indonesia wajib dilaporkan oleh Penduduk yang bersangkutan kepada Instansi Pelaksana di tempat peristiwa perubahan
status kewarganegaraan paling
lambat 60 (enam puluh) hari sejak
berita acara pengucapan sumpah
atau pernyataan janji setia oleh pejabat.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pejabat
Pencatatan Sipil membuat catatan
pinggir pada register akta Pencatatan Sipil dan kutipan akta Pencatatan Sipil.
Paragraf 3
Pencatatan Perubahan Status
Kewarganegaraan dari
Warga Negara Indonesia Menjadi
Warga Negara Asing di luar Wilayah
Republik Indonesia
Pasal 54
(1) Perubahan status kewarganega241
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
raan dari Warga Negara Indonesia
menjadi warga negara asing di luar
wilayah Republik Indonesia yang
telah mendapatkan persetujuan
dari negara setempat wajib dilaporkan oleh Penduduk yang bersangkutan kepada Perwakilan Republik
Indonesia.
(2) Perwakilan Republik Indonesia
setempat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menerbitkan Surat
Keterangan Pelepasan Kewarganegaraan Indonesia.
(3) Pelepasan kewarganegaraan Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diberitahukan oleh Perwakilan Republik Indonesia setempat
kepada menteri yang berwenang
menurut Peraturan Perundang-undangan untuk diteruskan kepada
Instansi Pelaksana yang menerbitkan akta Pencatatan Sipil yang bersangkutan.
(4) Berdasarkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Pejabat Pencatatan Sipil membuat
catatan pinggir pada register akta
Pencatatan Sipil dan kutipan akta
Pencatatan Sipil.
Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan perubahan nama dan status kewarganegaraan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52, Pasal 53, dan Pasal 54 diatur
dalam Peraturan Presiden.
Bagian Kesepuluh
Pencatatan Peristiwa Penting
Lainnya
Pasal 56
(1) Pencatatan Peristiwa Penting lainnya dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil atas permintaan Pen242
duduk yang bersangkutan setelah
adanya putusan pengadilan negeri
yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(2) Pencatatan Peristiwa Penting lainnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya salinan
penetapan pengadilan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan dan tata cara pencatatan Peristiwa Penting lainnya diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Kesebelas
Pelaporan Penduduk yang Tidak
Mampu Melaporkan Sendiri
Pasal 57
(1) Penduduk yang tidak mampu
melaksanakan sendiri pelaporan
terhadap Peristiwa Penting yang
menyangkut dirinya sendiri dapat
dibantu oleh Instansi Pelaksana
atau meminta bantuan kepada
orang lain.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan dan tata cara pelaporan Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Presiden.
BAB VI
DATA DAN DOKUMEN
KEPENDUDUKAN
Bagian Kesatu
Data Kependudukan
Pasal 58
(1) Data Kependudukan terdiri atas
data perseorangan dan/atau data
agregat Penduduk.
(2) Data perseorangan meliputi :
a. nomor KK; /
b. NIK;
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
c. d. e. f. g.
h. i. j.
nama lengkap;
jenis kelamin;
tempat lahir;
tanggal/bulan/tahun lahir;
golongan darah;
agama/kepercayaan;
status perkawinan;
status hubungan dalam keluarga;
k. cacat fisik dan/atau mental;
l. pendidikan terakhir;
m. jenis pekerjaan;
n. NIK ibu kandung;
o. nama ibu kandung;
p. NIK ayah;
q. nama ayah;
r. alamat sebelumnya;
s. alamat sekarang;
t. kepemilikan akta kelahiran/
surat kenal lahir;
u. nomor akta kelahiran/nomor
surat kenal lahir;
v. kepemilikan akta perkawinan/
buku nikah;
w. nomor akta perkawinan/buku
nikah;
x. tanggal perkawinan;
y. kepemilikan akta perceraian;
z. nomor akta perceraian/surat
cerai;
aa. tanggal perceraian.
(3) Data agregat meliputi himpunan
data perseorangan yang berupa
data kuantitatif dan data kualitatif.
Bagian Kedua
Dokumen Kependudukan
Pasal 59
(1) Dokumen Kependudukan meliputi:
a. Biodata Penduduk;
b. KK;
c. KTP;
d. surat keterangan kependudukan; dan
e. Akta Pencatatan Sipil.
(2) Surat keterangan kependudukan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d meliputi:
a. Surat Keterangan Pindah;
b. Surat Keterangan Pindah Datang;
c. Surat Keterangan Pindah ke
Luar Negeri;
d. Surat Keterangan Datang dari
Luar Negeri;
e. Surat Keterangan Tempat
Tinggal;
f. Surat Keterangan Kelahiran;
g. Surat Keterangan Lahir Mati.
h. Surat Keterangan Pembatalan
Perkawinan;
i. Surat Keterangan Pembatalan
Perceraian;
j. Surat Keterangan Kematian;
k. Surat Keterangan Pengangkatan Anak;
l. Surat Keterangan Pelepasan
Kewarganegaraan Indonesia;
m. Surat Keterangan Pengganti
Tanda Identitas; dan
n. Surat Keterangan Pencatatan
Sipil.
(3) Biodata Penduduk, KK, KTP, Surat Keterangan Pindah Penduduk
Warga Negara Indonesia antar kabupaten/kota dalam satu provinsi
dan antar provinsi dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Surat Keterangan Pindah
Datang Penduduk Warga Negara
Indonesia antar kabupaten/kota
dalam satu provinsi dan antar provinsi dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Surat Keterangan Pindah Datang Penduduk
Orang Asing dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, Surat
Keterangan Pindah ke Luar Negeri,
Surat Keterangan Datang dari Luar
Negeri, Surat Keterangan Tempat
Tinggal untuk Orang Asing Tinggal
243
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Terbatas, Surat Keterangan Kelahiran untuk Orang Asing, Surat Keterangan Lahir Mati untuk Orang
Asing, Surat Keterangan Kematian
untuk Orang Asing, Surat Keterangan Pembatalan Perkawinan,
Surat Keterangan Pembatalan Perceraian, Surat Keterangan Pengganti Tanda Identitas, diterbitkan
dan ditandatangani oleh Kepala
Instansi Pelaksana.
(4) Surat Keterangan Pindah Penduduk Warga Negara Indonesia antar
kecamatan dalam satu kabupaten/
kota, Surat Keterangan Pindah
Datang Penduduk Warga Negara
Indonesia antar kecamatan dalam
satu kabupaten/kota, dapat diterbitkan dan ditandatangani oleh
Camat atas nama Kepala Instansi
Pelaksana.
(5) Surat Keterangan Pindah Datang
Penduduk Warga Negara Indonesia
dalam satu desa/kelurahan, Surat
Keterangan Pindah Datang Penduduk Warga Negara Indonesia antar
desa/kelurahan dalam satu kecamatan, Surat Keterangan Kelahiran
untuk Warga Negara Indonesia,
Surat Keterangan Lahir Mati untuk
Warga Negara Indonesia dan Surat
Keterangan Kematian untuk Warga
Negara Indonesia, dapat diterbitkan dan ditandatangani oleh kepala desa/lurah atas nama Kepala
Instansi Pelaksana.
(6) Surat Keterangan Pengakuan Anak
dan Surat Keterangan Pelepasan
Kewarganegaraan Republik Indonesia, diterbitkan dan ditandatangani oleh Kepala Perwakilan Republik Indonesia.
Pasal 60
Biodata Penduduk paling sedikit memuat keterangan tentang nama, tempat
244
dan tanggal lahir, alamat dan jatidiri
lainnya secara lengkap, serta perubahan data sehubungan dengan Peristiwa
Penting dan Peristiwa Kependudukan
yang dialami.
Pasal 61
(1) KK memuat keterangan mengenai
kolom nomor KK, nama lengkap
kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat,
tempat lahir, tanggal lahir, agama,
pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam
keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua.
(2) Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama
sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan atau bagi
penghayat kepercayaan tidak diisi,
tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.
(3) Nomor KK sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berlaku untuk selamanya, kecuali terjadi perubahan
kepala keluarga.
(4) KK diterbitkan dan diberikan oleh
Instansi Pelaksana kepada Penduduk Warga Negara Indonesia dan
Orang Asing yang memiliki Izin
Tinggal Tetap.
(5) KK sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dijadikan salah satu dasar
penerbitan KTP.
Pasal 62
(1) Penduduk Warga Negara Indonesia
dan Orang Asing yang memiliki Izin
Tinggal Tetap hanya diperbolehkan
terdaftar dalam 1 (satu) KK.
(2) Perubahan susunan keluarga dalam
KK wajib dilaporkan kepada Instansi Pelaksana selambat-lambatnya
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
30 (tiga puluh) hari sejak terjadinya
perubahan.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Instansi
Pelaksana mendaftar dan menerbitkan KK.
Pasal 63
(1) Penduduk Warga Negara Indonesia
dan Orang Asing yang memiliki Izin
Tinggal Tetap yang telah berumur
17 (tujuh belas) tahun atau telah
kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP.
(2) Orang Asing yang mengikuti status
orang tuanya yang memiliki Izin
Tinggal Tetap dan sudah berumur
17 (tujuh belas) tahun wajib memiliki KTP.
(3) KTP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) berlaku secara
nasional.
(4) Penduduk wajib melaporkan perpanjangan masa berlaku KTP kepada Instansi Pelaksana apabila masa
berlakunya telah berakhir.
(5) Penduduk yang telah memiliki KTP
wajib membawa pada saat bepergian.
(6) Penduduk sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) hanya diperbolehkan memiliki 1 (satu) KTP.
Pasal 64
(1) KTP mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta
wilayah negara Republik Indonesia,
memuat keterangan tentang NIK,
nama, tempat tanggal lahir, lakilaki atau perempuan, agama, status
perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan,
pas foto, masa berlaku, tempat dan
tanggal dikeluarkan KTP, tandatangan pemegang KTP, serta memuat
nama dan nomor induk pegawai
pejabat yang menandatanganinya.
(2) Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam
database kependudukan.
(3) Dalam KTP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disediakan ruang untuk memuat kode keamanan dan
rekaman elektronik pencatatan Peristiwa Penting.
(4) Masa berlaku KTP:
a. untuk Warga Negara Indonesia
berlaku selama 5 (lima) tahun;
b. untuk Orang Asing Tinggal Tetap disesuaikan dengan
6. masa berlaku Izin Tinggal Tetap. (5) Penduduk yang telah
berusia 60 (enam puluh) tahun
diberi KTP yang berlaku seumur hidup.
Pasal 65
Surat Keterangan Kependudukan paling sedikit memuat keterangan tentang nama lengkap, NIK, jenis kelamin,
tempat tanggal lahir, agama, alamat,
Peristiwa Penting dan Peristiwa Kependudukan yang dialami oleh seseorang.
Pasal 66
(1) Akta Pencatatan Sipil terdiri atas:
a. Register Akta Pencatatan Sipil;
dan
b. Kutipan Akta Pencatatan Sipil.
(2) Akta Pencatatan Sipil berlaku selamanya.
Pasal 67
(1) Register Akta Pencatatan Sipil memuat seluruh data Peristiwa Penting.
245
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
(2) Data Peristiwa Penting yang berasal dari KUAKec diintegrasikan
ke dalam database kependudukan
dan tidak diterbitkan Kutipan Akta
Pencatatan Sipil.
(3) Register Akta Pencatatan Sipil disimpan dan dirawat oleh Instansi
Pelaksana.
(4) Register Akta Pencatatan Sipil memuat:
a. jenis Peristiwa Penting;
b. NIK dan status kewarganegaraan;
c. nama orang yang mengalami
Peristiwa Penting;
d. nama dan identitas pelapor;
e. tempat dan tanggal peristiwa;
f. nama dan identitas saksi;
g. tempat dan tanggal dikeluarkannya akta; dan
h. nama dan tanda tangan Pejabat
yang berwenang.
Pasal 68
(1) Kutipan Akta Pencatatan Sipil terdiri atas kutipan akta:
a. kelahiran;
b. kematian;
c. perkawinan;
d. perceraian; dan
e. pengakuan anak.
(2) Kutipan Akta Pencatatan Sipil memuat:
a. jenis Peristiwa Penting;
b. NIK dan status kewarganegaraan;
c. nama orang yang mengalami
Peristiwa Penting;
d. tempat dan tanggal peristiwa;
e. tempat dan tanggal dikeluarkannya akta;
f. nama dan tanda tangan Pejabat
yang berwenang; dan
g. pernyataan kesesuaian kutipan
tersebut dengan data yang terdapat dalam Register Akta Pen246
catatan Sipil.
Pasal 69
(1) Instansi Pelaksana atau Pejabat
yang diberi kewenangan, sesuai
tanggung jawabnya, wajib menerbitkan dokumen Pendaftaran Penduduk sebagai berikut:
a. KK atau KTP paling lambat 14
(empat belas) hari;
b. Surat Keterangan Pindah paling lambat 14 (empat belas)
hari;
c. Surat Keterangan Pindah Datang paling lambat 14 (empat
belas) hari;
d. Surat Kerangan Pindah ke Luar
Negeri paling lambat 14 (empat
belas) hari;
e. Surat Keterangan Datang dari
Luar Negeri paling lambat 14
(empat belas) hari;
f. Surat Keterangan Tempat
Tinggal untuk Orang Asing
yang memiliki Izin Tinggal Terbatas paling lambat 14 (empat
belas) hari;
g. Surat Keterangan Kelahiran
paling lambat 14 (empat belas)
hari;
h. Surat Keterangan Lahir Mati
paling lambat 14 (empat belas)
hari;
i. Surat Keterangan Kematian
paling lambat 3 (tiga) hari;
j. Surat Keterangan Pembatalan
Perkawinan paling lambat 7
(tujuh) hari; atau
k. Surat Keterangan Pembatalan
Perceraian paling lambat 7 (tujuh) hari; sejak tanggal dipenuhinya semua persyaratan.
(2) Perwakilan Republik Indonesia wajib menerbitkan Surat Keterangan
Kependudukan sebagai berikut:
a. Surat Keterangan Perceraian
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
paling lambat 7 (tujuh) hari;
b. Surat Keterangan Pengangkatan Anak paling lambat 7 (tujuh)
hari; atau
c. Surat Keterangan Pelepasan
Kewarganegaraan Indonesia
paling lambat 7 (tujuh) hari; sejak tanggal dipenuhinya semua
persyaratan.
(3) Pejabat Pencatatan Sipil dan Pejabat pada Perwakilan Republik Indonesia yang ditunjuk sebagai pembantu pencatat sipil wajib mencatat
pada register akta Pencatatan Sipil
dan menerbitkan kutipan akta Pencatatan Sipil paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal dipenuhinya semua persyaratan.
Pasal 70
(1) Pembetulan KTP hanya dilakukan
untuk KTP yang mengalami kesalahan tulis redaksional.
(2) Pembetulan KTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
dengan atau tanpa permohonan
dari orang yang menjadi subjek
KTP.
(3) Pembetulan KTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Instansi Pelaksana.
Pasal 71
(1) Pembetulan akta Pencatatan Sipil
hanya dilakukan untuk akta yang
mengalami kesalahan tulis redaksional.
(2) Pembetulan akta Pencatatan Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan dengan atau tanpa
permohonan dari orang yang menjadi subjek akta.
(3) Pembetulan akta Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Pejabat
Pencatatan Sipil sesuai dengan ke-
wenangannya.
Pasal 72
(1) Pembatalan akta Pencatatan Sipil
dilakukan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
(2) Berdasarkan putusan pengadilan
mengenai pembatalan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pejabat Pencatatan Sipil membuat
catatan pinggir pada Register Akta
dan mencabut kutipan akta-akta
Pencatatan Sipil yang dibatalkan
dari kepemilikan subjek akta.
Pasal 73
Dalam hal wilayah hukum Instansi
Pelaksana yang menerbitkan akta berbeda dengan pengadilan yang memutus pembatalan akta, salinan putusan
pengadilan disampaikan kepada Instansi Pelaksana yang menerbitkan akta
Pencatatan Sipil oleh pemohon atau
pengadilan.
Pasal 74
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan pembetulan dan pembatalan Akta Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 dan Pasal 72 diatur dalam Peraturan Presiden.
Pasal 75
Ketentuan mengenai spesifikasi dan
formulasi kalimat dalam Biodata Penduduk, blangko KK, KTP, Surat Keterangan Kependudukan, Register dan
Kutipan Akta Pencatatan Sipil diatur
dalam Peraturan Menteri.
Pasal 76
Ketentuan mengenai penerbitan Dokumen Kependudukan bagi petugas rahasia khusus yang melakukan tugas kea247
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
manan negara diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 77
Setiap orang dilarang mengubah, menambah atau mengurangi tanpa hak,
isi elemen data pada Dokumen Kependudukan.
Pasal 78
Ketentuan mengenai pedoman pendokumentasian hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil diatur dalam
Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Perlindungan Data dan Dokumen
Kependudukan
Pasal 79
(1) Data dan dokumen kependudukan
wajib disimpan dan dilindungi oleh
negara.
(2) Menteri sebagai penanggung jawab memberikan hak akses kepada
petugas pada Penyelenggara dan
Instansi Pelaksana untuk memasukkan, menyimpan, membaca,
mengubah, meralat dan menghapus, serta mencetak Data, mengkopi Data dan Dokumen Kependudukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan, ruang lingkup, dan
tata cara mengenai pemberian hak
akses sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
248
BAB VII
PENDAFTARAN PENDUDUK
DAN PENCATATAN SIPIL SAAT
NEGARA ATAU SEBAGIAN NEGARA
DALAM KEADAAN DARURAT DAN
LUAR BIASA
Pasal 80
(1) Apabila negara atau sebagian negara dinyatakan dalam keadaan darurat dengan segala tingkatannya
menurut Peraturan Perundangundangan, otoritas pemerintahan
yang menjabat pada saat itu diberi
kewenangan membuat surat keterangan mengenai Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting.
(2) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai dasar
penerbitan Dokumen Kependudukan.
(3) Apabila keadaan sudah dinyatakan pulih, Instansi Pelaksana aktif
mendata ulang dengan melakukan
Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil di tempat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 81
(1) Dalam hal terjadi keadaan luar biasa sebagai akibat bencana alam,
Instansi Pelaksana wajib melakukan pendataan Penduduk bagi pengungsi dan korban bencana alam.
(2) Instansi Pelaksana menerbitkan
Surat Keterangan Pengganti Tanda Identitas dan Surat Keterangan
Pencatatan Sipil berdasarkan hasil pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Surat Keterangan Pengganti Tanda
Identitas atau Surat Keterangan
Pencatatan Sipil digunakan sebagai tanda bukti diri dan bahan pertimbangan untuk penerbitan Dokumen Kependudukan.
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan dan tata cara penerbitan Surat Keterangan Pengganti
Tanda Identitas dan Surat Keterangan Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB VIII
SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI
KEPENDUDUKAN
Pasal 82
(1) Pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan dilakukan oleh
Menteri.
(2) Pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui pembangunan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
Sistem Informasi Administrasi Kependudukan dan pengelolaannya
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Pengkajian dan pengembangan
Sistem Informasi Administrasi Kependudukan dilakukan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota
(5) Pedoman pengkajian dan pengembangan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Menteri.
Pasal 83
(1) Data Penduduk yang dihasilkan oleh Sistem Informasi Administrasi
Kependudukan dan tersimpan di
dalam database kependudukan dimanfaatkan untuk kepentingan
perumusan kebijakan di bidang pe-
merintahan dan pembangunan.
(2) Pemanfaatan data Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus mendapatkan izin Penyelenggara.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan dan tata cara mendapatkan izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB IX
PERLINDUNGAN DATA PRIBADI
PENDUDUK
Pasal 84
(1) Data Pribadi Penduduk yang harus
dilindungi memuat:
a. nomor KK;
b. NIK;
c. tanggal/bulan/tahun lahir;
d. keterangan tentang kecacatan
fisik dan/atau mental;
e. NIK ibu kandung;
f. NIK ayah; dan
g. beberapa isi catatan Peristiwa
Penting;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
beberapa isi catatan Peristiwa Penting sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 85
(1) Data Pribadi Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 wajib
disimpan dan dilindungi oleh negara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyimpanan dan perlindungan
terhadap Data Pribadi Penduduk
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(3) Data Pribadi Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus di249
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
jaga kebenarannya dan dilindungi
kerahasiaannya oleh Penyelenggara dan Instansi Pelaksana sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 86
(1) Menteri sebagai penanggung jawab memberikan hak akses kepada
petugas pada Penyelenggara dan
Instansi Pelaksana untuk memasukkan, menyimpan, membaca,
mengubah, meralat dan menghapus, mengkopi Data serta mencetak
Data Pribadi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan, ruang lingkup, dan
tata cara mengenai pemberian hak
akses sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 87
(1) Pengguna Data Pribadi Penduduk
dapat memperoleh dan menggunakan Data Pribadi dari petugas pada
Penyelenggara dan Instansi Pelaksana yang memiliki hak akses.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan dan tata cara untuk
memperoleh dan menggunakan
Data Pribadi Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
BAB X
PENYIDIKAN
Pasal 88
(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Pejabat
Pegawai Negeri Sipil yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya dalam bidang Administrasi Kependudukan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil
250
sebagaimana diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam melaksanakan tugas penyidikan berwenang untuk:
a. menerima laporan atau pengaduan dari orang atau badan
hukum tentang adanya dugaan
tindak pidana Administrasi Kependudukan;
b. memeriksa laporan atau keterangan atas adanya dugaan
tindak pidana Administrasi Kependudukan;
c. memanggil orang untuk diminta keterangannya atas adanya
dugaan sebagaimana dimaksud
huruf b; dan
d. membuat dan menandatangani
Berita Acara Pemeriksaan.
(3) Pengangkatan, mutasi, dan pemberhentian Penyidik Pegawai Negeri Sipil, serta mekanisme penyidikan dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
BAB XI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 89
(1) Setiap Penduduk dikenai sanksi administratif berupa denda apabila
melampaui batas waktu pelaporan
Peristiwa Kependudukan dalam
hal:
a. pindah datang bagi Orang
Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas atau Orang Asing
yang memiliki Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3);
b. pindah datang ke luar negeri
bagi Penduduk Warga Negara
Indonesia sebagaimana dimak-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
sud dalam Pasal 18 ayat (3);
c. pindah datang dari luar negeri
bagi Penduduk Warga Negara
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1);
d. pindah datang dari luar negeri
bagi Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 ayat (1);
e. perubahan status Orang Asing
yang memiliki Izin Tinggal
Terbatas menjadi Orang Asing
yang memiliki Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);
f. pindah ke luar negeri bagi Orang Asing yang memiliki Izin
Tinggal Terbatas atau Orang
Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1);
g. perubahan KK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 62 ayat
(2); atau
h. perpanjangan KTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63
ayat (4).
(2) Denda administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terhadap
Penduduk Warga Negara Indonesia paling banyak Rp. 1.000.000,00
(satu juta rupiah) dan Penduduk
Orang Asing paling banyak Rp.
2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penetapan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Peraturan Presiden .
Pasal 90
(1) Setiap Penduduk dikenai sanksi administratif berupa denda apabila
melampaui batas waktu pelaporan
Peristiwa Penting dalam hal:
a. kelahiran sebagaimana di-
maksud dalam Pasal 27 ayat (1)
atau Pasal 29 ayat (4) atau Pasal
30 ayat (6) atau Pasal 32 ayat (1)
atau Pasal 33 ayat (1);
b. perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1)
atau Pasal 37 ayat (4);
c. pembatalan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
39 ayat (1);
d. perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1)
atau Pasal 41 ayat (4);
e. pembatalan perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
43 ayat (1);
f. kematian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) atau
Pasal 45 ayat (1);
g. pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
ayat (2) atau Pasal 48 ayat (4);
h. pengakuan anak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat
(1);
i. pengesahan anak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat
(1);
j. perubahan nama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat
(2);
k. perubahan status kewarganegaraan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
ayat (1); atau
l. Peristiwa Penting lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
56 ayat (2).
(2) Denda administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penetapan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Peraturan Presiden.
251
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 91
(1) Setiap Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5)
yang berpergian tidak membawa
KTP dikenakan denda administratif
paling banyak Rp. 50.000,00 (lima
puluh ribu rupiah).
(2) Setiap Orang Asing yang memiliki
Izin Tinggal Terbatas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4)
yang berpergian tidak membawa
Surat Keterangan Tempat Tinggal
dikenai denda administratif paling
banyak Rp. 100.000,00 (seratus ribu
rupiah).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
denda administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Peraturan Presiden.
Pasal 92
(1) Dalam hal Pejabat pada Instansi
Pelaksana melakukan tindakan atau sengaja melakukan tindakan
yang memperlambat pengurusan
Dokumen Kependudukan dalam
batas waktu yang ditentukan dalam undang-undang ini dikenakan
sanksi berupa denda paling banyak
Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
denda administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 93
Setiap Penduduk yang dengan sengaja
memalsukan surat dan/atau dokumen
kepada Instansi Pelaksana dalam melaporkan Peristiwa Kependudukan dan
Peristiwa Penting dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) ta252
hun dan/atau denda paling banyak Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 94
Setiap orang yang tanpa hak dengan
sengaja mengubah, menambah, atau
mengurangi isi elemen data pada Dokumen Kependudukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima
juta rupiah).
Pasal 95
Setiap orang yang tanpa hak mengakses database kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat
(1), Pasal 86 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 96
Setiap orang atau badan hukum yang
tanpa hak mencetak, menerbitkan,
dan/atau mendistribusikan blangko
Dokumen Kependudukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pasal 97
Setiap Penduduk yang dengan sengaja
mendaftarkan diri sebagai kepala keluarga atau anggota keluarga lebih dari
satu KK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 ayat (1) atau untuk memiliki
KTP lebih dari satu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (6) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
juta rupiah).
Pasal 98
(1) Dalam hal pejabat dan petugas
pada Penyelenggara dan Instansi
Pelaksana melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93 atau Pasal 94, pejabat yang
bersangkutan dipidana dengan pidana yang sama ditambah 1/3 (satu
pertiga).
(2) Dalam hal pejabat dan petugas pada
Penyelenggara dan Instansi Pelaksana membantu melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 95, pejabat yang bersangkutan dipidana sesuai dengan
ketentuan undang-undang.
Pasal 99
Tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal
96, dan Pasal 97 adalah tindak pidana
Administrasi Kependudukan.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 100
(1) Semua Dokumen Kependudukan
yang telah diterbitkan atau yang
telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan dinyatakan
tetap berlaku menurut Undangundang ini.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikecualikan untuk
KK dan KTP sampai dengan batas
waktu berlakunya atau diterbitkannya KK dan KTP yang sesuai
dengan ketentuan dalam Undangundang ini.
Pasal 101
Pada saat Undang-undang ini berlaku:
a. Pemerintah memberikan NIK kepa-
b.
c. d.
e.
da setiap Penduduk paling lambat 5
(lima) tahun;
Semua instansi wajib menjadikan
NIK sebagai dasar dalam menerbitkan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) paling
lambat 5 (lima) tahun;
KTP seumur hidup yang sudah
mempunyai NIK tetap berlaku dan
yang belum mempunyai NIK harus
disesuaikan dengan Undang-undang ini;
KTP yang diterbitkan belum mengacu pada Pasal 64 ayat (3) tetap berlaku sampai dengan batas waktu
berakhirnya masa berlaku KTP;
Keterangan mengenai alamat, nama dan nomor induk pegawai pejabat dan penandatanganan oleh
pejabat pada KTP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1)
dihapus setelah database kependudukan nasional terwujud.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 102
Pada saat mulai berlakunya Undangundang ini, semua Peraturan Pelaksanaan yang berkaitan dengan Administrasi Kependudukan dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan
dan belum diganti sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 103
Peraturan pelaksanaan Undang-undang ini harus telah ditetapkan paling
lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan.
Pasal 104
Pembentukan UPTD Instansi Pelaksana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (5) dilakukan paling lambat 5
253
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
(lima) tahun sejak Undang-undang ini
diundangkan.
Pasal 105
Dalam waktu paling lambat 6 (enam)
bulan sejak diundangkannya Undangundang ini, Pemerintah wajib menerbitkan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang penetapan persyaratan
dan tata cara perkawinan bagi para
penghayat kepercayaan sebagai dasar
diperolehnya kutipan akta perkawinan
dan pelayanan pencatatan Peristiwa
Penting.
Pasal 106
Pada saat Undang-undang ini mulai
berlaku:
a. Buku Kesatu Bab Kedua Bagian Kedua dan Bab Ketiga Kitab Undangundang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek voor Indonesie, Staatsblad
1847:23);
b. Peraturan Pencatatan Sipil untuk
Golongan Eropa (Reglement op het
Holden der Registers van den Burgerlijken Stand voor Europeanen, Staatsblad
1849:25 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Staatsblad 1946:136);
c. Peraturan Pencatatan Sipil untuk
Golongan Cina (Bepalingen voor Geheel Indonesie Betreffende het Burgerlijken Handelsrecht van de Chinezean,
Staatsblad 1917:129 jo. Staatsblad
1939:288 sebagaimana diubah terakhir dengan Staatsblad 1946:136);
d. Peraturan Pencatatan Sipil untuk
Golongan Indonesia (Reglement op
het Holden van de Registers van den
Burgerlijeken Stand voor Eenigle Groepen v.d nit tot de Onderhoringer van
een Zelfbestuur, behoorende Ind. Bevolking van Java en Madura,Staatsblad
1920:751 jo. Staatsblad 1927:564);
e. Peraturan Pencatatan Sipil untuk
Golongan Kristen Indonesia (Hu254
welijksordonantie voor Christenen
Indonesiers Java, Minahasa en Amboiena, Staatsblad 1933:74 jo. Staatsblad
1936:607 sebagaimana diubah terakhir dengan Staatsblad 1939:288);
f. Undang-undang Nomor 4 Tahun
1961 tentang Perubahan atau Penambahan Nama Keluarga (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 15,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2154);
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 107
Undang-undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Desember 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Desember 2006
MENTERI HUKUM
DAN HAK ASASI MANUSIA AD INTERIM
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YUSRIL IHZA MAHENDRA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 124
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI.
DEPUTI MENTERI SEKRETARIS NEGARA
BIDANG PERUNDANG-UNDANGAN,
Abdul Wahid
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG ADMINISTRASI
KEPENDUDUKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
I. UMUM
Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 pada hakikatnya berkewajiban untuk memberikan perlindungan
dan pengakuan terhadap penentuan
status pribadi dan status hukum setiap
Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa
Penting yang dialami oleh Penduduk
yang berada di dalam dan/atau di luar
wilayah Republik Indonesia.
Berbagai Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan tegas menjamin hak
setiap Penduduk untuk membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah, memperoleh status kewarganegaraan, menjamin kebebasan memeluk agama, dan
memilih tempat tinggal di wilayah Republik Indonesia dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Peristiwa Kependudukan, antara lain
perubahan alamat, pindah datang untuk menetap, tinggal terbatas atau tinggal sementara, serta perubahan status
Orang Asing Tinggal Terbatas menjadi
tinggal tetap dan Peristiwa Penting,
antara lain kelahiran, lahir mati, kematian, perkawinan, dan perceraian, termasuk pengangkatan, pengakuan, dan
pengesahan anak, serta perubahan sta-
tus kewarganegaraan, ganti nama dan
Peristiwa Penting lainnya yang dialami
oleh seseorang merupakan kejadian
yang harus dilaporkan karena membawa implikasi perubahan data identitas
atau surat keterangan kependudukan.
Untuk itu, setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting memerlukan
bukti yang sah untuk dilakukan pengadministrasian dan pencatatan sesuai
dengan ketentuan undang-undang.
Dalam pemenuhan hak Penduduk, terutama di bidang Pencatatan Sipil, masih
ditemukan penggolongan Penduduk
yang didasarkan pada perlakuan diskriminatif yang membeda-bedakan suku,
keturunan, dan agama sebagaimana
diatur dalam berbagai peraturan produk kolonial Belanda. Penggolongan
Penduduk dan pelayanan diskriminatif
yang demikian itu tidak sesuai dengan
Pancasila dan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kondisi tersebut mengakibatkan pengadministrasian kependudukan mengalami kendala yang mendasar sebab
sumber Data Kependudukan belum
terkoordinasi dan terintegrasi, serta
terbatasnya cakupan pelaporan yang
belum terwujud dalam suatu sistem
Administrasi Kependudukan yang utuh
dan optimal.
Kondisi sosial dan administratif seperti
yang dikemukakan di atas tidak memiliki sistem database kependudukan
yang menunjang pelayanan Administrasi Kependudukan.
Kondisi itu harus diakhiri dengan pembentukan suatu sistem Administrasi
Kependudukan yang sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi untuk memenuhi tuntutan masyarakat atas pelayanan kependudukan
255
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
yang profesional.
Seluruh kondisi tersebut di atas menjadi dasar pertimbangan perlunya membentuk Undang-undang tentang Administrasi Kependudukan.
Undang-undang tentang Administrasi
Kependudukan ini memuat pengaturan
dan pembentukan sistem yang mencerminkan adanya reformasi di bidang Administrasi Kependudukan. Salah satu
hal penting adalah pengaturan mengenai penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK). NIK adalah identitas
Penduduk Indonesia dan merupakan
kunci akses dalam melakukan verifikasi dan validasi data jati diri seseorang
guna mendukung pelayanan publik di
bidang Administrasi Kependudukan.
Sebagai kunci akses dalam pelayanan
kependudukan, NIK dikembangkan ke
arah identifikasi tunggal bagi setiap
Penduduk. NIK bersifat unik atau khas,
tunggal dan melekat pada seseorang
yang terdaftar sebagai Penduduk Indonesia dan berkait secara langsung
dengan seluruh Dokumen Kependudukan.
Untuk penerbitan NIK, setiap Penduduk
wajib mencatatkan biodata Penduduk
yang diawali dengan pengisian formulir biodata Penduduk di desa/kelurahan
secara benar. NIK wajib dicantumkan
dalam setiap Dokumen Kependudukan,
baik dalam pelayanan Pendaftaran Penduduk maupun Pencatatan Sipil, serta
sebagai dasar penerbitan berbagai dokumen yang ditetapkan menurut peraturan perundang-undangan.
Pendaftaran Penduduk pada dasarnya
menganut stelsel aktif bagi Penduduk.
Pelaksanaan Pendaftaran Penduduk
didasarkan pada asas domisili atau
256
tempat tinggal atas terjadinya Peristiwa Kependudukan yang dialami oleh seseorang dan/atau keluarganya.
Pencatatan Sipil pada dasarnya juga
menganut stelsel aktif bagi Penduduk.
Pelaksanaan Pencatatan Sipil didasarkan pada asas peristiwa, yaitu tempat dan waktu terjadinya Peristiwa Penting yang dialami oleh dirinya dan/atau
keluarganya.
Administrasi Kependudukan sebagai
suatu sistem diharapkan dapat diselenggarakan sebagai bagian dari Penyelenggaraan administrasi negara.
Dari sisi kepentingan Penduduk, Administrasi Kependudukan memberikan
pemenuhan hak-hak administratif,
seperti pelayanan publik serta perlindungan yang berkenaan dengan Dokumen Kependudukan, tanpa adanya perlakuan yang diskriminatif. Administrasi
Kependudukan diarahkan untuk:
1. memenuhi hak asasi setiap orang
di bidang Administrasi Kependudukan tanpa diskriminasi dengan
pelayanan publik yang profesional;
2. meningkatkan kesadaran Penduduk akan kewajibannya untuk berperan serta dalam pelaksanaan Administrasi Kependudukan;
3. memenuhi data statistik secara nasional mengenai Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting;
4. mendukung perumusan kebijakan
dan perencanaan pembangunan secara nasional, regional, serta lokal;
dan
5. mendukung pembangunan sistem
Administrasi Kependudukan.
Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan bertujuan untuk:
1. memberikan keabsahan identitas
dan kepastian hukum atas dokumen Penduduk untuk setiap Peris-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
2.
3.
4.
5.
tiwa Kependudukan dan Peristiwa
Penting yang dialami oleh Penduduk;
memberikan perlindungan status
hak sipil Penduduk;
menyediakan data dan informasi
kependudukan secara nasional
mengenai Pendaftaran Penduduk
dan Pencatatan Sipil pada berbagai
tingkatan secara akurat, lengkap,
mutakhir, dan mudah diakses sehingga menjadi acuan bagi perumusan kebijakan dan pembangunan pada umumnya;
mewujudkan tertib Administrasi
Kependudukan secara nasional dan
terpadu; dan
menyediakan data Penduduk yang
menjadi rujukan dasar bagi sektor
terkait dalam penyelenggaraan
setiap kegiatan pemerintahan,
pembangunan, dan kemasyarakatan. Prinsip-prinsip tersebut di
atas menjadi dasar terjaminnya
penyelenggaraan Administrasi Kependudukan sebagaimana yang
dikehendaki oleh Undang-undang
ini melalui penerapan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan.
Sistem Informasi Administrasi Kependudukan dimaksudkan untuk:
1. terselenggaranya Administrasi Kependudukan dalam skala nasional
yang terpadu dan tertib;
2. terselenggaranya Administrasi Kependudukan yang bersifat universal, permanen, wajib, dan berkelanjutan;
3. terpenuhinya hak Penduduk di bidang Administrasi Kependudukan
dengan pelayanan yang profesional; dan
4. tersedianya data dan informasi secara nasional mengenai Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Si-
pil pada berbagai tingkatan secara
akurat, lengkap, mutakhir, dan
mudah diakses sehingga menjadi
acuan bagi perumusan kebijakan
dan pembangunan pada umumnya.
Secara keseluruhan, ketentuan yang
diatur dalam Undang-undang ini meliputi hak dan kewajiban Penduduk, Penyelenggara dan Instansi Pelaksana,
Pendaftaran Penduduk, Pencatatan
Sipil, Data dan Dokumen Kependudukan, Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil pada saat negara dalam
keadaan darurat, pemberian kepastian
hukum, dan perlindungan terhadap
Data Pribadi Penduduk. Untuk menjamin pelaksanaan Undang-undang ini
dari kemungkinan pelanggaran, baik
administratif maupun ketentuan materiil yang bersifat pidana, diatur juga
ketentuan mengenai tata cara penyidikan serta pengaturan mengenai sanksi
administratif dan ketentuan pidana.
II. PASAL DEMI PASAL
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Persyaratan yang dimaksud adalah sesuai dengan peraturan pelaksanaan Undang-undang ini.
Pasal 4
Lihat Penjelasan Pasal 3.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “Pemerintah”
adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia seba257
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
gaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penetapan sistem, pedoman, dan standar yang bersifat nasional di bidang
Administrasi Kependudukan sangat diperlukan dalam upaya penertiban Administrasi Kependudukan. Penetapan
pedoman di bidang Administrasi Kependudukan oleh Presiden, baik dalam
bentuk Peraturan Pemerintah maupun
Peraturan Presiden, serta pedoman
yang ditetapkan oleh Menteri dalam
bentuk Peraturan Menteri digunakan
sebagai acuan dalam pembuatan peraturan daerah oleh kabupaten/kota.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan ”pengelolaan
dan penyajian Data Kependudukan
berskala nasional” adalah pengelolaan
Data Kependudukan yang menggambarkan kondisi nasional dengan menggunakan SIAK yang disajikan sesuai
dengan kepentingan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ”pengelolaan
dan penyajian Data Kependudukan berskala provinsi” adalah pengelolaan data
258
kependudukan yang menggambarkan
kondisi provinsi dengan menggunakan
SIAK yang disajikan sesuai dengan kepentingan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan ”desa” adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asalusul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan dihormati
dalam sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf g
Yang dimaksud dengan ”pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan berskala kabupaten/kota” adalah
pengelolaan Data Kependudukan yang
menggambarkan kondisi kabupaten/
kota dengan menggunakan SIAK yang
disajikan sesuai dengan kepentingan
penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
sesuai kekhususannya berbeda dengan
provinsi yang lain karena diberi ke-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
wenangan untuk menyelenggarakan
Administrasi Kependudukan seperti kabupaten/kota.
Cukup jelas
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberian NIK kepada Penduduk
menggunakan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”dokumen
Pendaftaran Penduduk” adalah bagian
dari Dokumen Kependudukan yang dihasilkan dari proses Pendaftaran Penduduk, misalnya KK, KTP, dan Biodata.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”hari” adalah
hari kerja (berlaku untuk penjelasan
”hari” pada pasal-pasal berikutnya).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pindah ke luar
negeri“ adalah Penduduk yang tinggal
menetap di luar negeri atau meninggalkan tanah air untuk jangka waktu 1
(satu) tahun berturut-turut atau lebih
dari 1 (satu) tahun.
Penduduk tersebut termasuk Tenaga
Kerja Indonesia yang akan bekerja ke
luar negeri.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Pelaporan pada Kantor Perwakilan Republik Indonesia diperlukan
sebagai bahan pendataan WNI di luar
negeri.
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “datang dari
luar negeri“ adalah WNI yang sebelumnya pindah ke luar negeri kemudian
datang untuk menetap kembali di Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Surat Keterangan Tempat Tinggal” adalah Surat
Keterangan Kependudukan yang dibe259
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
rikan kepada Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas sebagai bukti
diri bahwa yang bersangkutan telah
terdaftar di pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai Penduduk tinggal
terbatas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Penduduk
Pelintas Batas” adalah Penduduk yang
bertempat-tinggal secara turun-temurun di wilayah kabupaten/kota yang
berbatasan langsung dengan negara
tetangga yang melakukan lintas batas
antar negara karena kegiatan ekonomi, sosial dan budaya yang ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Penduduk rentan Administrasi Kependudukan” adalah Penduduk yang mengalami hambatan dalam memperoleh Dokumen
Kependudukan yang disebabkan oleh
bencana alam dan kerusuhan sosial.
Pendataan dilakukan dengan memben260
tuk tim di daerah yang beranggotakan
dari instansi terkait.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”orang terlantar” adalah Penduduk yang karena
suatu sebab sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhannya secara wajar,
baik rohani, jasmani maupun sosial.
Ciri-cirinya:
1) tidak terpenuhinya kebutuhan dasar hidup khususnya makan, sandang dan papan;
2) tempat tinggal tidak tetap/gelandangan;
3) tidak mempunyai pekerjaan/kegiatan yang tetap;
4) miskin.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “komunitas
terpencil” adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar
serta kurang atau belum terlibat dalam
jaringan dan pelayanan, baik sosial,
ekonomi maupun politik.
Ciri-cirinya:
1) berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen;
2) pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan;
3) pada umumnya terpencil secara
geografis dan relatif sulit terjangkau;
4) peralatan teknologi sederhana;
5) terbatasnya akses pelayanan sosial,
ekonomi dan politik.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”tempat sementara” adalah tempat pada saat terjadi pengungsian.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”Penduduk
yang tidak mampu melaksanakan sendiri pelaporan” adalah Penduduk yang
tidak mampu melaksanakan pelaporan
karena pertimbangan umur, sakit keras, cacat fisik dan cacat mental.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tempat terjadinya peristiwa kelahiran” adalah wilayah terjadinya kelahiran.
Waktu pelaporan kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari merupakan
tenggang waktu yang memungkinkan
bagi Penduduk untuk melaporkan peristiwa kelahiran sesuai dengan kondisi/letak geografis Indonesia.
Penduduk yang wajib melaporkan kelahiran adalah Kepala Keluarga.
Ayat (2)
Penerbitan Kutipan Akta Kelahiran tanpa dipungut biaya sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kutipan akta kelahiran seorang anak
yang tidak diketahui asal usulnya atau
keberadaan orang tuanya diserahkan
kepada yang bersangkutan setelah dewasa.
Pasal 29
Ayat (1)
Kewajiban untuk melaporkan kepada
“instansi yang berwenang di negara se-
tempat” berdasarkan asas yang dianut,
yaitu asas peristiwa.
Yang dimaksud dengan “instansi yang
berwenang di negara setempat” adalah
lembaga yang berwenang seperti yang
dimaksud dengan Instansi Pelaksana
dalam Undang-undang ini.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”tempat singgah” adalah tempat persinggahan pesawat terbang atau kapal laut dalam
perjalanannya mencapai tujuan. Hal ini
sesuai dengan asas yang berlaku secara
universal, yakni tempat di mana peristiwa kelahiran (persinggahan pertama
pesawat terbang/kapal laut), apabila
memungkinkan pelaporan dilakukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 31
Pasal 32
Ayat (1)
Persetujuan dari Instansi Pelaksana diperlukan mengingat pelaporan kelahiran tersebut sudah melampaui batas
waktu sampai dengan 1 (satu) tahun
dikhawatirkan terjadi manipulasi data
261
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
atau hal-hal yang tidak diinginkan. Persetujuan tersebut juga berfungsi sebagai verifikasi atas keabsahan data yang
dilaporkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “lahir mati”
adalah kelahiran seorang bayi dari
kandungan yang berumur paling sedikit 28 (dua puluh delapan) minggu pada
saat dilahirkan tanpa menunjukkan
tanda-tanda kehidupan.
Ayat (2)
Peristiwa lahir mati hanya diberikan
Surat Keterangan Lahir Mati, tidak diterbitkan Akta Pencatatan Sipil.
Meskipun tidak diterbitkan akta Pencatatan Sipil tetapi pendataannya diperlukan untuk kepentingan perencanaan
dan pembangunan di bidang kesehatan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perkawinan”
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
Perkawinan bagi Penduduk yang beragama Islam dicatat oleh Kantor Urusan
Agama Kecamatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Penerbitan Akta Perkawinan bagi Penduduk yang beragama Islam dilakukan
oleh Departemen Agama.
Ayat (3)
Cukup jelas.
262
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Karena akta perkawinan bagi Penduduk
yang beragama Islam sudah diterbitkan
oleh KUAKec, data perkawinan yang
diterima oleh Instansi Pelaksana tidak
perlu diterbitkan kutipan akta perkawinan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 35
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”Perkawinan
yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antarumat yang berbeda agama.
Huruf b
Perkawinan yang dilakukan oleh warga
negara asing di Indonesia, harus mengikuti ketentuan peraturan perundangundangan mengenai perkawinan di Indonesia.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 36
Pasal 37
Pasal 38
Pasal 39
Pasal 40
Pasal 41
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Cukup jelas.
Pasal 42
Pasal 43
Ayat (1)
Bagi penganut agama Islam diberlakukan ketentuan mengenai rujuk yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32
Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk jo. UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan peraturan pelaksanaannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”kematian”
adalah tidak adanya secara permanen
seluruh kehidupan pada saat manapun
setelah kelahiran hidup terjadi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”pihak yang
berwenang” adalah kepala rumah sakit,
dokter/paramedis, kepala desa/lurah
atau kepolisian.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ”pernyataan”
adalah keterangan dari pejabat yang
berwenang.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengangkatan
anak” adalah perbuatan hukum untuk
mengalihkan hak anak dari lingkungan
kekuasaan keluarga orang tua, wali
yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan
dan membesarkan anak tersebut ke
dalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan putusan atau
penetapan pengadilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “catatan pinggir” adalah catatan mengenai perubahan status atas terjadinya Peristiwa
Penting dalam bentuk catatan yang diletakkan pada bagian pinggir akta atau
bagian akta yang memungkinkan (di
halaman/bagian muka atau belakang
akta) oleh Pejabat Pencatatan Sipil.
Cukup jelas.
Pasal 48
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengakuan
anak” adalah pengakuan seorang ayah
terhadap anaknya yang lahir di luar
ikatan perkawinan sah atas persetujuan
ibu kandung anak tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
263
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 50
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengesahan anak” adalah pengesahan status
seorang anak yang lahir di luar ikatan
perkawinan sah pada saat pencatatan
perkawinan kedua orang tua anak tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 51
Pasal 52
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembuatan catatan pinggir pada akta
Pencatatan Sipil diperuntukkan bagi
warga negara asing yang melakukan
perubahan kewarganegaraan dan pernah mencatatkan Peristiwa Penting di
Indonesia.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 54
Pasal 55
Pasal 56
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Peristiwa Penting lainnya” adalah peristiwa yang ditetapkan oleh pengadilan negeri untuk
dicatatkan pada Instansi Pelaksana, antara lain perubahan jenis kelamin.
Ayat (2)
Cukup jelas.
264
Ayat (3)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 57
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Yang dimaksud dengan cacat fisik dan/
atau mental mengacu pada undangundang yang menetapkan tentang hal
tersebut.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Cukup jelas.
Huruf u
Cukup jelas.
Huruf v
Cukup jelas.
Huruf w
Cukup jelas.
Huruf x
Cukup jelas.
Huruf y
Cukup jelas.
Huruf z
Cukup jelas.
Huruf aa
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “data agregat”
adalah kumpulan data tentang Peristiwa Kependudukan, Peristiwa Penting,
jenis kelamin, kelompok usia, agama,
pendidikan, dan pekerjaan.
Yang dimaksud dengan ”data kuantitatif” adalah data yang berupa angkaangka.
Yang dimaksud dengan ”data kualitatif” adalah data yang berupa penjelasan.
Pasal 59
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”Biodata Penduduk” adalah keterangan yang berisi
elemen data tentang jati diri, informasi
dasar serta riwayat perkembangan dan
perubahan keadaan yang dialami oleh
Penduduk sejak saat kelahiran.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 60
Kata “paling sedikit” dalam ketentuan
ini dimaksudkan untuk memberikan
kemungkinan adanya tambahan keterangan, tetapi keterangan tersebut tidak bersifat diskriminatif.
Yang dimaksud dengan ”alamat” adalah alamat sekarang dan alamat sebelumnya.
Yang dimaksud dengan ”jati diri lainnya” meliputi nomor KK, NIK, lakilaki/perempuan, golongan darah, agama, pendidikan terakhir, pekerjaan,
penyandang cacat, status perkawinan,
kedudukan/hubungan dalam keluarga,
NIK ibu kandung, nama ibu kandung,
NIK ayah kandung, nama ayah kandung,
nomor paspor, tanggal berakhir paspor, nomor akta kelahiran/surat kenal
lahir, nomor akta perkawinan/buku
nikah, tanggal perkawinan, nomor akta
perceraian/surat cerai, dan tanggal
perceraian.
Pasal 61
Ayat (1)
Yang dimaksud “dengan Kepala Keluarga” adalah :
a. orang yang bertempat tinggal
265
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dengan orang lain, baik mempunyai hubungan darah maupun tidak, yang bertanggung jawab terhadap keluarga;
b. orang yang bertempat tinggal seorang diri; atau
c. kepala kesatrian, kepala asrama,
kepala rumah yatim piatu, dan lainlain tempat beberapa orang tinggal
bersama-sama. Setiap kepala keluarga wajib memiliki KK, meskipun
kepala keluarga tersebut masih
menumpang di rumah orang tuanya karena pada prinsipnya dalam
satu alamat rumah boleh terdapat
lebih dari satu KK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “perubahan
susunan keluarga dalam KK” adalah perubahan yang diakibatkan adanya Peristiwa Kependudukan atau Peristiwa
Penting seperti pindah datang, kelahiran, atau kematian.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
266
Pasal 63
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Dalam rangka menciptakan kepemilikan 1 (satu) KTP untuk 1 (satu) Penduduk
diperlukan sistem keamanan/pengendalian dari sisi administrasi ataupun
teknologi informasi dengan melakukan
verifikasi dan validasi dalam sistem database kependudukan serta pemberian
NIK.
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan tentang pindah domisili tetap bagi KTP seumur hidup mengikuti
ketentuan yang berlaku menurut Undang-undang ini.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Pasal 65
Pasal 66
Pasal 67
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Yang dimaksud dengan ”pejabat yang
berwenang” adalah Pejabat Pencatatan
Sipil pada Instansi Pelaksana yang telah
diambil sumpahnya untuk melakukan
tugas pencatatan.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 68
Pasal 69
Pasal 70
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kesalahan tulis redaksional”, misalnya kesalahan
penulisan huruf dan/atau angka.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembetulan akta biasanya dilakukan
pada saat akta sudah selesai diproses
(akta sudah jadi) tetapi belum diserahkan atau akan diserahkan kepada subjek akta. Pembetulan akta atas dasar
koreksi dari petugas, wajib diberitahukan kepada subjek akta.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Pembatalan akta dilakukan atas permintaan orang lain atau subjek akta,
dengan alasan akta cacat hukum karena dalam proses pembuatan didasarkan
pada keterangan yang tidak benar dan
tidak sah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 73
Pasal 74
Pasal 75
Pasal 76
Yang dimaksud dengan “petugas rahasia” adalah reserse dan intel yang melakukan tugasnya di luar daerah domisilinya.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 77
Pasal 78
Pasal 79
Pasal 80
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “negara atau
sebagian dari negara dinyatakan dalam
keadaan darurat dengan segala tingkatannya” adalah sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
267
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Surat Keterangan Pencatatan Sipil” adalah surat
keterangan yang diterbitkan oleh lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini ketika negara atau sebagian negara dalam
keadaan luar biasa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembangunan dan pengembangan
Sistem Informasi Administrasi Kependudukan bertujuan mewujudkan komitmen nasional dalam rangka menciptakan sistem pengenal tunggal, berupa
NIK, bagi seluruh Penduduk Indonesia.
Dengan demikian, data Penduduk dapat diintegrasikan dan direlasionalkan
dengan data hasil rekaman pelayanan
Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Sistem ini akan menghasilkan
data Penduduk nasional yang dinamis
dan mutakhir.
Pembangunan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan dilakukan
dengan menggunakan perangkat keras,
perangkat lunak dan sistem jaringan
komunikasi data yang efisien dan efektif agar dapat diterapkan di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik In268
donesia. Bagi wilayah yang belum memiliki fasilitas komunikasi data, sistem
komunikasi data dilakukan dengan manual dan semi-elektronik.
Yang dimaksud dengan “manual” adalah perekaman data secara manual,
yang pengiriman data dilakukan secara periodik dengan sistem pelaporan
berjenjang karena tidak tersedia listrik
ataupun jaringan komunikasi data.
Yang dimaksud dengan “semi-elektronik” adalah perekaman data dengan
menggunakan komputer, tetapi pengirimannya menggunakan CD/disket secara periodik karena belum tersedia jaringan komunikasi data.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Data Penduduk yang dihasilkan oleh
sistem informasi dan tersimpan di dalam database kependudukan dapat
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti dalam menganalisa dan
merumuskan kebijakan kependudukan,
menganalisa dan merumuskan perencanaan pembangunan, pengkajian ilmu
pengetahuan. Dengan demikian baik
pemerintah maupun non pemerintah
untuk kepentingannya dapat diberikan
izin terbatas dalam arti terbatas waktu
dan peruntukkannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 84
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan ”beberapa isi
catatan Peristiwa Penting” adalah beberapa catatan mengenai data yang
bersifat pribadi dan berkaitan dengan
Peristiwa Penting yang perlu dilindungi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 85
Ayat (1)
Lihat Penjelasan Pasal 84.
Ayat (2)
Penyimpanan dan perlindungan dimaksud meliputi tata cara dan penanggung
jawab.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 86
Pasal 87
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengguna
Data Pribadi Penduduk” adalah instansi
pemerintah dan swasta yang membutuhkan informasi data sesuai dengan
bidangnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Pasal 88
Ayat (2)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil memberitahukan kepada Pejabat Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia
mengenai saat dimulainya penyidikan
dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui
Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hal itu dimaksudkan
untuk memberikan jaminan bahwa hasil penyidikannya telah memenuhi ketentuan dan persyaratan. Mekanisme
hubungan koordinasi antara Pejabat
Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Administrasi Kependudukan” adalah pegawai
negeri yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan di bidang Administrasi Kependudukan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas
Pasal 89
269
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penetapan besaran denda administratif
dalam Peraturan Presiden dilakukan
dengan memperhatikan kondisi masyarakat di setiap daerah.
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penetapan besaran denda administratif
dalam Peraturan Presiden dilakukan
dengan memperhatikan kondisi masyarakat di setiap daerah.
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penetapan besaran denda administratif
dalam Peraturan Presiden dilakukan
dengan memperhatikan kondisi masyarakat di setiap daerah.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
270
Pasal 92
Pasal 93
Pasal 94
Pasal 95
Pasal 96
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 97
Pasal 98
Pasal 99
Pasal 100
Pasal 101
Pasal 102
Pasal 103
Pasal 104
Pembentukan UPTD Instansi Pelaksana
dilakukan dengan mempertimbangkan
kebutuhan pelayanan masyarakat.
Pasal 105
Yang dimaksud dengan ”persyaratan
dan tata cara perkawinan bagi penghayat kepercayaan” adalah persyaratan
dan tata cara pengesahan perkawinan
yang ditentukan oleh penghayat kepercayaan sendiri dan ketentuan itu menjadi dasar pengaturan dalam Peraturan
Pemerintah.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 106
Pasal 107
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4674
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
PUTUSAN Nomor 46/PUU-VIII/2010
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
[1.1]
Yang mengadili perkara konstitusi pada
tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
terhadap Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang
diajukan oleh:
[1.2]
1. Nama :
Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti
H. Mochtar Ibrahim
Tempat dan Tanggal Lahir :
Ujung Pandang, 20 Maret 1970
Alamat :
Jalan Camar VI Blok BL 12A, RT/RW
002/008, Desa/Kelurahan Pondok Betung, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang, Banten
2. Nama :
Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono
Tempat dan Tanggal Lahir :
Jakarta, 5 Februari 1996
Alamat :
Jalan Camar VI Blok BL 12A, RT/RW
002/008, Desa/Kelurahan Pondok Betung, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang, Banten.
Berdasarkan Surat Kuasa Nomor 58/
KH.M&M/K/VIII/2010 bertanggal 5
Agustus 2010, memberi kuasa kepada :
i) Rusdianto Matulatuwa;
ii) Oktryan Makta; dan
iii) Miftachul I.A.A.,
yaitu advokat pada Kantor Hukum Matulatuwa & Makta yang beralamat di
Wisma Nugra Santana 14 Floor, Suite
1416, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 7-8
Jakarta 10220, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk
dan atas nama pemberi kuasa;
Selanjutnya disebut sebagai
para Pemohon;
[1.3]
Membaca permohonan dari para Pemohon; Mendengar keterangan dari para
Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti dari para Pemohon; Mendengar keterangan ahli dari
para Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pemerintah;
Mendengar dan membaca keterangan
tertulis dari Dewan Perwakilan Rakyat;
Membaca kesimpulan tertulis dari para
Pemohon;
2. DUDUK PERKARA
---------------------------------------3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1]
Menimbang bahwa maksud dan tujuan
permohonan a quo adalah untuk me271
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
nguji Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat
(1) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3019, selanjutnya disebut UU 1/1974) terhadap
Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);
[3.2]
Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan
mempertimbangkan:
a. Kewenangan Mahkamah untuk
mengadili permohonan a quo;
b. Kedudukan hukum (legal standing)
para Pemohon untuk mengajukan
permohonan a quo;
KEWENANGAN MAHKAMAH
[3.3]
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal
24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat
(1) huruf a Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), serta Pasal 29
ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut
UU 48/2009), salah satu kewenangan
272
konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap
Undang-undang Dasar;
[3.4]
Menimbang bahwa permohonan para
Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma Pasal 2 ayat (2)
dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu
kewenangan Mahkamah, sehingga oleh
karenanya Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo; Kedudukan Hukum (Legal Standing) para
Pemohon
[3.5]
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal
51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan Pengujian Undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan
oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
Undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat;
atau
d. lembaga negara;
Dengan demikian, para Pemohon dalam
pengujian Undang-undang terhadap
UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai para Pemo-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
hon sebagaimana dimaksud Pasal
51 ayat (1) UU MK;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan
oleh UUD 1945 yang diakibatkan
oleh berlakunya undang-undang
yang dimohonkan pengujian;
[3.6]
Menimbang pula bahwa Mahkamah
sejak Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal
31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007
bertanggal 20 September 2007, serta
putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana
dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus
memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya
undang-undang yang dimohonkan
pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut
harus bersifat spesifik (khusus)
dan aktual atau setidak-tidaknya
potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan
terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat
(causal verband) antara kerugian
dimaksud dan berlakunya undangundang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi;
[3.7]
Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan [3.6] di atas, selanjutnya
Mahkamah akan mempertimbangkan
mengenai kedudukan hukum (legal
standing) para Pemohon dalam permohonan a quo sebagai berikut:
[3.8]
Menimbang bahwa pada pokoknya para
Pemohon mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang
mempunyai hak konstitusional yang
diatur dalam UUD 1945 yaitu: Pasal 28B
ayat (1) yang menyatakan, “Setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah”; Pasal 28B ayat (2) yang menyatakan, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi”, dan Pasal 28D ayat (1)
yang menyatakan, ”Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; Hak
konstitusional tersebut telah dirugikan
akibat berlakunya ketentuan Pasal 2
ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974;
[3.9]
Menimbang bahwa dengan memperhatikan akibat yang dialami oleh para
Pemohon dikaitkan dengan hak konstitusional para Pemohon, menurut
Mahkamah, terdapat hubungan sebab
akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dan berlakunya Undang-undang yang dimohonkan pengujian, sehingga para Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan a quo;
[3.10]
Menimbang bahwa oleh karena Mahka273
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
mah berwenang mengadili permohonan a quo, dan para Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing), selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan;
PENDAPAT MAHKAMAH
POKOK PERMOHONAN
[3.11]
Menimbang bahwa pokok permohonan
para Pemohon, adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974
yang menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, dan Pasal 43 ayat
(1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya”, khususnya
mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anak;
[3.12]
Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan menurut peraturan perundangundangan adalah mengenai makna
hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan tersebut, Penjelasan Umum angka 4 huruf
b UU 1/1974 tentang asas-asas atau
prinsip-prinsip perkawinan menyatakan, “... bahwa suatu perkawinan adalah
sah bilamana dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah
sama halnya dengan pencatatan peristiwaperistiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang
dinyatakan dalam surat-surat keterangan,
suatu akte yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan”.
274
Berdasarkan Penjelasan UU 1/1974 di
atas nyatalah bahwa (i) pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor
yang menentukan sahnya perkawinan;
dan (ii) pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat
yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai.
Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif.
Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan
tersebut, menurut Mahkamah, dapat
dilihat dari dua perspektif. Pertama,
dari perspektif negara, pencatatan
dimaksud diwajibkan dalam rangka
fungsi negara memberikan jaminan
perlindungan, pemajuan, penegakan,
dan pemenuhan hak asasi manusia
yang bersangkutan yang merupakan
tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara
hukum yang demokratis yang diatur
serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat
(4) dan ayat (5) UUD 1945]. Sekiranya
pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian
menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional
karena pembatasan ditetapkan dengan
Undang-undang dan dilakukan dengan
maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945].
Kedua, pencatatan secara administratif
yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan
yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat
hukum yang sangat luas, di kemudian
hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta
otentik, sehingga perlindungan dan
pelayanan oleh negara terkait dengan
hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik
perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian
yang memakan waktu, uang, tenaga,
dan pikiran yang lebih banyak, seperti
pembuktian mengenai asal-usul anak
dalam Pasal 55 UU 1/1974 yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak
dapat dibuktikan dengan akta otentik
maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang
berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien
bila dibandingkan dengan adanya akta
otentik sebagai buktinya;
[3.13]
Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa
“yang dilahirkan di luar perkawinan”. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab
pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak.
Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan
spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain
berdasarkan perkembangan teknologi
yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan
bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar
perkawinan hanya memiliki hubungan
dengan perempuan tersebut sebagai
ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak
adil pula jika hukum membebaskan
laki-laki yang melakukan hubungan
seksual yang menyebabkan terjadinya
kehamilan dan kelahiran anak tersebut
dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu
hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya.
Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa
seorang anak itu merupakan anak dari
laki-laki tertentu.
Akibat hukum dari peristiwa hukum
kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara
seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang
di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan
bapak.
Berdasarkan uraian di atas, hubungan
anak dengan seorang laki-laki sebagai
bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi
dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara
anak dengan laki-laki tersebut sebagai
bapak. Dengan demikian, terlepas dari
275
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus
mendapatkan perlindungan hukum.
Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di
luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya
di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status
ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus
memberi perlindungan dan kepastian
hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak
yang ada padanya, termasuk terhadap
anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan;
[3.14]
Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 43 ayat
(1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya”;
[3.15]
Menimbang bahwa, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, maka dalil
para Pemohon sepanjang menyangkut
Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tidak beralasan menurut hukum. Adapun Pasal
43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
276
perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya” adalah bertentangan dengan
UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata
dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah sebagai ayahnya;
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan
hukum sebagaimana diuraikan di atas,
Mahkamah berkesimpulan:
[4.1]
Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
[4.2]
Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan a quo;
[4.3]
Pokok permohonan beralasan menurut
hukum untuk sebagian;
Berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan UndangUndang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
157, Tambahan Lembaran Negara Repu-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
blik Indonesia Nomor 5076);
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
• Pasal 43 ayat (1) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor
1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang
menyatakan, “Anak yang dilahirkan
di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki
yang dapat dibuktikan berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut
hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;
• Pasal 43 ayat (1) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor
1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang
menyatakan, “Anak yang dilahirkan
di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang
dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/
atau alat bukti lain menurut hukum
ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat
tersebut harus dibaca, “Anak yang
•
•
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan
perdata dengan keluarga ayahnya”;
Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
Memerintahkan untuk memuat
putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana
mestinya;
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan
Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud
MD., selaku Ketua merangkap Anggota,
Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati,
Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar
Usman, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin,
tanggal tiga belas, bulan Februari,
tahun dua ribu dua belas dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah
Konstitusi terbuka untuk umum pada
hari Jumat, tanggal tujuh belas, bulan Februari, tahun dua ribu dua belas, oleh sembilan Hakim Konstitusi,
yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua
merangkap Anggota, Achmad Sodiki,
Maria Farida Indrati, Harjono, Ahmad
Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan
Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardian
Wibowo sebagai Panitera Pengganti,
serta dihadiri oleh para Pemohon
dan/atau kuasanya, Pemerintah atau
yang mewakili, dan Dewan Perwakilan
Rakyat atau yang mewakili.
277
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
KETUA,
Ttd.
Moh. Mahfud MD.
ANGGOTA-ANGGOTA,
Ttd.
Achmad Sodiki
Ttd.
Harjono
Ttd.
Anwar Usman
Ttd.
M. Akil Mochtar
Ttd.
Maria Farida Indrati
Ttd.
Ahmad Fadlil Sumadi
Ttd.
Hamdan Zoelva
Ttd.
Muhammad Alim
6. ALASAN BERBEDA
( CONCURRING OPINION)
Terhadap Putusan Mahkamah ini, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati memiliki alasan berbeda (concurring opinion), sebagai berikut:
[6.1]
Perkawinan menurut Pasal 1 UU 1/1974
adalah “… ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”; sedangkan mengenai syarat
sahnya perkawinan Pasal 2 UU 1/1974
menyatakan bahwa: ayat (1) “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.” Sementara ayat (2)
menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
278
Keberadaan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974
menimbulkan ambiguitas bagi pemaknaan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 karena
pencatatan yang dimaksud oleh Pasal 2
ayat (2) Undang-undang a quo tidak ditegaskan apakah sekadar pencatatan
secara administratif yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidaknya
perkawinan yang telah dilangsungkan
menurut agama atau kepercayaan masing-masing, ataukah pencatatan tersebut berpengaruh terhadap sah atau
tidaknya perkawinan yang dilakukan.
Keberadaan norma agama dan norma
hukum dalam satu peraturan perundang-undangan yang sama, memiliki potensi untuk saling melemahkan
bahkan bertentangan. Dalam perkara
ini, potensi saling meniadakan terjadi
antara Pasal 2 ayat (1) dengan Pasal
2 ayat (2) UU 1/1974. Pasal 2 ayat (1)
yang pada pokoknya menjamin bahwa
perkawinan adalah sah jika dilakukan
menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya, ternyata menghalangi dan sebaliknya juga dihalangi oleh
keberlakuan Pasal 2 ayat (2) yang pada
pokoknya mengatur bahwa perkawinan akan sah dan memiliki kekuatan hukum jika telah dicatat oleh instansi berwenang atau pegawai pencatat nikah.
Jika Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 dimaknai sebagai pencatatan secara administratif yang tidak berpengaruh terhadap
sah atau tidak sahnya suatu pernikahan, maka hal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak
terjadi penambahan terhadap syarat
perkawinan. Seturut dengan itu, kata
“perkawinan” dalam Pasal 43 ayat (1)
Undang-undang a quo juga akan dimaknai sebagai perkawinan yang sah secara
Islam atau perkawinan menurut rukun
nikah yang lima.
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Namun demikian, berdasarkan tinjauan
sosiologis tentang lembaga perkawinan
dalam masyarakat, sahnya perkawinan menurut agama dan kepercayaan
tertentu tidak dapat secara langsung
menjamin terpenuhinya hak-hak keperdataan istri, suami, dan/atau anakanak yang dilahirkan dari perkawinan
tersebut karena pelaksanaan norma agama dan adat di masyarakat diserahkan sepenuhnya kepada kesadaran individu dan kesadaran masyarakat tanpa
dilindungi oleh otoritas resmi (negara)
yang memiliki kekuatan pemaksa.
[6.2]
Pencatatan perkawinan diperlukan
sebagai perlindungan negara kepada
pihak-pihak dalam perkawinan, dan
juga untuk menghindari kecenderungan dari inkonsistensi penerapan ajaran
agama dan kepercayaan secara sempurna/utuh pada perkawinan yang dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan tersebut. Dengan kata lain,
pencatatan perkawinan diperlukan
untuk menghindari penerapan hukum
agama dan kepercayaannya itu dalam
perkawinan secara sepotong-sepotong
untuk meligitimasi sebuah perkawinan,
sementara kehidupan rumah tangga
pasca perkawinan tidak sesuai dengan
tujuan perkawinan dimaksud. Adanya
penelantaran istri dan anak, kekerasan
dalam rumah tangga, fenomena kawin
kontrak, fenomena istri simpanan (wanita idaman lain), dan lain sebagainya,
adalah bukti tidak adanya konsistensi
penerapan tujuan perkawinan secara
utuh.
Esensi pencatatan, selain demi tertib
administrasi, adalah untuk melindungi wanita dan anak-anak. Syarat pencatatan perkawinan dimaksud dapat
diletakkan setidaknya dalam dua kon-
teks utama, yaitu (i) mencegah dan (ii)
melindungi, wanita dan anak-anak dari
perkawinan yang dilaksanakan secara
tidak bertanggung jawab. Pencatatan
sebagai upaya perlindungan terhadap
wanita dan anak-anak dari penyalahgunaan perkawinan, dapat dilakukan dengan menetapkan syarat agar rencana
perkawinan yang potensial menimbulkan kerugian dapat dihindari dan ditolak.
Negara mengatur (mengundangkan)
syarat-syarat perkawinan sebagai upaya positivisasi norma ajaran agama atau kepercayaan dalam hukum perkawinan. Syarat-syarat perkawinan yang
dirumuskan oleh negara, yang pemenuhannya menjadi syarat pencatatan
nikah sekaligus syarat terbitnya Akta
Nikah, dapat ditemukan dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan peraturan perundangundangan lainnya yang terkait dengan
perkawinan dan administrasi kependudukan. Saya berharap adanya upaya
sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agama
atau kepercayaan dengan konstruksi
hukum negara mengenai perkawinan
dan administrasi kependudukan.
Saya berharap adanya upaya sinkronisasi hukum dan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan
perkawinan menurut agama dan kepercayaannya dan masalah yang menyangkut administrasi kependudukan.
[6.3]
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
prakteknya, hukum tidak selalu dapat
dilaksanakan sesuai yang dikehendaki
oleh pembuatnya. Pada kenyataannya,
hingga saat ini masih terdapat perkawinan-perkawinan yang mengabaikan
279
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
UU 1/1974, dan hanya menyandarkan
pada syarat perkawinan menurut ajaran agama dan kepercayaan tertentu.
Terhadap perkawinan secara hukum
agama atau kepercayaan yang tidak
dilaksanakan menurut UU 1/1974 yang
tentunya juga tidak dicatatkan, negara
akan mengalami kesulitan dalam memberikan perlindungan secara maksimal
terhadap hak-hak wanita sebagai istri
dan hak-hak anak-anak yang kelak dilahirkan dari perkawinan tersebut.
Para Pemohon menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”, adalah bertentangan dengan
Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Saya menilai,
Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD
1945 karena Pasal 2 ayat (2) Undangundang a quo yang mensyaratkan pencatatan, meskipun faktanya menambah
persyaratan untuk melangsungkan
perkawinan, namun ketiadaannya tidak menghalangi adanya pernikahan
itu sendiri. Kenyataan ini dapat terlihat
adanya pelaksanaan program/kegiatan
perkawinan massal dari sejumlah pasangan yang telah lama melaksanakan
perkawinan tetapi tidak dicatatkan.
Selain itu hak anak yang dilindungi
oleh Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945, tidak dirugikan oleh
adanya Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang
mensyaratkan pencatatan perkawinan.
Perlindungan terhadap hak anak sebagaimana diatur oleh Pasal 28B ayat (2)
dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, justru
akan dapat dimaksimalkan apabila semua perkawinan dicatatkan sehingga
dengan mudah akan diketahui silsilah
anak dan siapa yang memiliki kewaji280
ban terhadap anak dimaksud. Pencatatan perkawinan adalah dimensi sosial
yang dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas status dan akibat hukum
dari suatu peristiwa hukum seperti juga
pencatatan tentang kelahiran dan kematian.
Berdasarkan pertimbangan tersebut,
menurut saya tidak ada kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon
sebagai akibat keberadaan Pasal 2 ayat
(2) UU 1/1974, walaupun jika pencatatan ditafsirkan sebagai syarat mutlak
bagi sahnya perkawinan, pasal a quo potensial merugikan hak konstitusional
Pemohon I.
[6.4]
Harus diakui bahwa praktek hukum
sehari-hari menunjukkan adanya pluralisme hukum karena adanya golongan masyarakat yang dalam hubungan keperdataannya sehari-hari
berpegang pada hukum agama, atau secara utuh berpegang pada hukum nasional, maupun mendasarkan hubungan
keperdataannya kepada hukum adat
setempat. Pluralisme hukum ini diatur
dan secara tegas dilindungi oleh UUD
1945, selama tidak bertentangan dengan cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai implikasi pluralisme hukum,
memang tidak dapat dihindari terjadinya friksi-friksi, baik yang sederhana
maupun yang kompleks, terkait praktek-praktek hukum nasional, hukum
agama, maupun hukum adat dimaksud.
Dengan semangat menghindarkan adanya friksi-friksi dan efek negatif dari
friksi-friksi dimaksud, negara menghadirkan hukum nasional (peraturan
perundang-undangan) yang berusaha
menjadi payung bagi pluralisme hu-
Undang-Undang terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
kum. Tidak dapat dihindarkan jika
upaya membuat sebuah payung yang
mengayomi pluralisme hukum, di satu
sisi harus menyelaraskan tafsir bagi pelaksanaan hukum agama maupun hukum adat. Praktek pembatasan semacam ini mendapatkan pembenarannya
dalam paham konstitusionalisme, yang
bahkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa, “Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
kepercayaan memang tidak dapat
dipaksakan oleh negara untuk dilaksanakan, karena norma agama atau kepercayaan merupakan wilayah keyakinan transendental yang bersifat privat,
yaitu hubungan antara manusia dengan
penciptanya; sedangkan norma hukum,
dalam hal ini UU 1/1974, merupakan
ketentuan yang dibuat oleh negara sebagai perwujudan kesepakatan warga
(masyarakat) dengan negara sehingga
dapat dipaksakan keberlakuannya oleh
negara (Pemerintah).
Dalam kenyataannya, di Indonesia masih banyak terdapat perkawinan yang
hanya mendasarkan pada hukum agama atau kepercayaan, yaitu berpegang
pada syarat-syarat sahnya perkawinan
menurut ajaran agama atau kepercayaan tertentu tanpa melakukan pencatatan perkawinan sebagai bentuk
jaminan kepastian hukum dari negara
atas akibat dari suatu perkawinan. Kenyataan ini dalam prakteknya dapat
merugikan wanita, sebagai istri, dan
anak-anak yang lahir dari perkawinan
tersebut. Terkait dengan perlindungan
terhadap wanita dan anak-anak sebagaimana telah diuraikan di atas, terdapat perbedaan kerugian akibat perkawinan yang tidak didasarkan pada UU
1/1974 dari sisi subjek hukumnya, yaitu
(i) akibat bagi wanita atau istri; dan (ii)
akibat bagi anak-anak yang lahir dari
perkawinan dimaksud.
Potensi kerugian akibat perkawinan
yang tidak didasarkan pada UU 1/1974,
bagi wanita (istri) sangat beragam, tetapi sebenarnya yang terpenting adalah
apakah kerugian tersebut dapat dipulihkan atau tidak. Di sinilah titik krusial
UU 1/1974 terutama pengaturan mengenai pencatatan perkawinan. Dalam
konteks sistem hukum perkawinan,
perlindungan oleh negara (Pemerintah)
terhadap pihak-pihak dalam perkawinan, terutama terhadap wanita sebagai
istri, hanya dapat dilakukan jika perkawinan dilakukan secara sadar sesuai dengan UU 1/1974, yang salah satu
syaratnya adalah perkawinan dilakukan dengan dicatatkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang
berlaku (vide Pasal 2 UU 1/1974). Konsekuensi lebih jauh, terhadap perkawinan
yang dilaksanakan tanpa dicatatkan,
negara tidak dapat memberikan perlindungan mengenai status perkawinan,
harta gono-gini, waris, dan hak-hak
lain yang timbul dari sebuah perkawinan, karena untuk membuktikan adanya
hak wanita (istri) harus dibuktikan terlebih dahulu adanya perkawinan antara
wanita (istri) dengan suaminya.
[6.5]
Secara teoritis, norma agama atau
[6.6]
Perkawinan yang tidak didasarkan pada
281
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
UU 1/1974 juga memiliki potensi untuk
merugikan anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut. Potensi kerugian
bagi anak yang terutama adalah tidak
diakuinya hubungan anak dengan bapak kandung (bapak biologis)-nya, yang
tentunya mengakibatkan tidak dapat
dituntutnya kewajiban bapak kandungnya untuk membiayai kebutuhan hidup
anak dan hak-hak keperdataan lainnya.
Selain itu, dalam masyarakat yang masih berupaya mempertahankan kearifan nilai-nilai tradisional, pengertian keluarga selalu merujuk pada pengertian
keluarga batih atau keluarga elementer, yaitu suatu keluarga yang terdiri
dari ayah, ibu, dan anak (anak-anak).
Keberadaan anak dalam keluarga yang
tidak memiliki kelengkapan unsur keluarga batih atau tidak memiliki pengakuan dari bapak biologisnya, akan
memberikan stigma negatif, misalnya,
sebagai anak haram. Stigma ini adalah
sebuah potensi kerugian bagi anak, terutama kerugian secara sosial-psikologis, yang sebenarnya dapat dicegah
dengan tetap mengakui hubungan anak
dengan bapak biologisnya. Dari perspektif peraturan perundang-undangan,
pembedaan perlakuan terhadap anak
karena sebab-sebab tertentu yang sama
sekali bukan diakibatkan oleh tindakan
anak bersangkutan, dapat dikategorikan sebagai tindakan yang diskriminatif.
Potensi kerugian tersebut dipertegas
dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU
1/1974 yang menyatakan, “Anak yang
dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya”. Keberadaan Pasal a quo menutup kemungkinan bagi
anak untuk memiliki hubungan keperdataan dengan bapak kandungnya. Hal
tersebut adalah risiko dari perkawinan
282
yang tidak dicatatkan atau perkawinan
yang tidak dilaksanakan menurut UU
1/1974, tetapi tidaklah pada tempatnya
jika anak harus ikut menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan
(perkawinan) kedua orang tuanya. Jika
dianggap sebagai sebuah sanksi, hukum
negara maupun hukum agama (dalam
hal ini agama Islam) tidak mengenal
konsep anak harus ikut menanggung
sanksi akibat tindakan yang dilakukan
oleh kedua orang tuanya, atau yang dikenal dengan istilah “dosa turunan”.
Dengan kata lain, potensi kerugian akibat perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan UU 1/1974 merupakan risiko bagi laki-laki dan wanita yang
melakukan perkawinan, tetapi bukan
risiko yang harus ditanggung oleh anak
yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. Dengan demikian, menurut saya,
pemenuhan hak-hak anak yang terlahir
dari suatu perkawinan, terlepas dari
sah atau tidaknya perkawinan tersebut
menurut hukum negara, tetap menjadi
kewajiban kedua orang tua kandung
atau kedua orang tua biologisnya.
PANITERA PENGGANTI,
Ttd.
Mardian Wibowo
Peraturan Pemerintah terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2008
TENTANG
TATA CARA DAN MEKANISME PELAYANAN TERPADU BAGI SAKSI
DAN/ATAU KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
BAB I
KETENTUAN UMUM
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang
dimaksud dengan:
1. Pelayanan Terpadu adalah serangkaian kegiatan untuk melakukan
perlindungan bagi saksi dan/atau
korban tindak pidana perdagangan
orang yang dilaksanakan secara
bersama-sama oleh instansi atau
lembaga terkait sebagai satu kesatuan penyelenggaraan rehabilitasi
kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan
bantuan hukum bagi saksi dan/
atau korban tindak pidana perdagangan orang.
2. Pusat Pelayanan Terpadu, yang
selanjutnya disingkat PPT, adalah
suatu unit kesatuan yang menyelenggarakan pelayanan terpadu
untuk saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang.
3. Saksi dan/atau Korban adalah seorang saksi yang sekaligus sebagai
korban yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual,
ekonomi, dan/ atau sosial, yang
diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.
4. Tindak Pidana Perdagangan Orang
adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi
unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang yang ditentukan da-
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 46 ayat (2) Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi
dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4720);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN
PEMERINTAH TENTANG TATA CARA
DAN MEKANISME PELAYANAN
TERPADU BAGI SAKSI DAN/ATAU
KORBAN TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG.
283
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
lam undang-undang.
5. Rehabilitasi Kesehatan adalah pemulihan saksi dan/atau korban
dari gangguan kesehatan yang dideritanya baik fisik maupun psikis
yang dilaksanakan di PPT.
6. Rehabilitasi Sosial adalah pemulihan saksi dan/atau korban dari
gangguan kondisi psikososial dan
pengembalian keberfungsian sosial
secara wajar baik dalam keluarga
maupun dalam masyarakat.
7. Pemulangan adalah tindakan pengembalian saksi dan/atau korban
ke daerah asal atau negara asal
dengan tetap mengutamakan pelayanan perlindungan dan pemenuhan kebutuhannya.
8. Reintegrasi Sosial adalah penyatuan kembali saksi dan/atau korban
dengan pihak keluarga, keluarga
pengganti, atau masyarakat yang
dapat memberikan perlindungan
dan pemenuhan kebutuhan bagi
saksi dan/atau korban.
9. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan pemberdayaan perempuan.
Pasal 2
PPT wajib:
a. memberikan pelayanan dan penanganan secepat mungkin kepada
saksi dan/atau korban;
b. memberikan kemudahan, kenyamanan, keselamatan dan bebas biaya bagi saksi dan/atau korban;
c. menjaga kerahasiaan saksi dan/
atau korban; dan
d. menjamin keadilan dan kepastian
hukum bagi saksi dan/atau korban.
Pasal 3
Penyelenggaraan pelayanan terpadu
bertujuan melaksanakan perlindungan
dan pemenuhan hak saksi dan/atau
284
korban atas rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum yang
diselenggarakan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah.
Pasal 4
(1) Lingkup pelayanan terpadu bagi
saksi dan/atau korban meliputi
pelayanan rehabilitasi kesehatan,
rehabilitasi sosial, pemulangan dan
reintegrasi sosial, termasuk advokasi, konseling, dan bantuan hukum.
(2) Pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi:
a. setiap saksi dan/atau korban
yang berada di wilayah Republik Indonesia; dan
b. setiap saksi dan/atau korban
warga negara Indonesia yang
berada di luar negeri.
(3) Dalam hal saksi dan/atau korban
adalah anak, maka pelayanan diberikan secara khusus sesuai dengan
kepentingan terbaik bagi anak.
Pasal 5
(1) Penyelenggaraan PPT bersifat integratif antar instansi atau lembaga, baik berupa satu atap maupun
berjejaring untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada saksi
dan/atau korban.
(2) Dalam hal penyelenggaraan pelayanan terpadu dilakukan satu
atap, PPT bertanggung jawab melaksanakan keseluruhan proses dalam satu kesatuan unit kerja untuk
memberikan pelayanan yang diperlukan saksi dan/atau korban.
(3) Dalam hal penyelenggaraan pelayanan terpadu dilakukan berjejaring, PPT bertanggung jawab atas
keseluruhan proses rujukan pelayanan yang diperlukan saksi dan/
Peraturan Pemerintah terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
atau korban.
BAB II
PEMBENTUKAN PUSAT PELAYANAN
TERPADU
Pasal 6
(1) Untuk melindungi saksi dan/atau
korban, pemerintah kabupaten/
kota membentuk dan menyelenggarakan PPT.
(2) Pembentukan dan penyelenggaraan PPT sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam peraturan daerah pada masing-masing
kabupaten/kota.
(3) Untuk mempermudah penanganan
saksi dan/atau korban, di daerah
perbatasan dapat dibentuk PPT.
(3) Dalam membentuk peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3), substansi atau
materi peraturan daerah tetap
mengacu pada Peraturan Pemerintah ini.
(4) Dalam hal di daerah belum dibentuk peraturan daerah, maka ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
ini dan peraturan pelaksanaannya
dapat dijadikan dasar untuk menyelenggarakan PPT.
Pasal 7
(1) Untuk lebih menjamin kualitas
pelayanan terpadu, Menteri menyusun dan menetapkan standar
pelayanan minimal dan standar
operasional prosedur pemulangan
dan reintegrasi sosial pada PPT.
(2) Standar pelayanan minimal dan
standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dijadikan pedoman dalam
penyelenggaraan pelayanan terpadu.
(3) Dalam menyusun standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan
reintegrasi sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri
melakukan pembahasan bersama
dengan menteri atau pimpinan
lembaga terkait.
Pasal 8
(1) Guna menjamin terselenggaranya
PPT sesuai dengan standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan
dan reintegrasi sosial, Pimpinan
PPT menyusun dan melaksanakan
program kerja secara berkesinambungan.
(2) Dalam melaksanakan program kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPT dapat melakukan kerjasama dengan masyarakat.
BAB III
SARANA DAN PRASARANA
Pasal 9
(1) Pemerintah kabupaten/kota yang
membentuk dan menyelenggarakan PPT wajib menyediakan sarana
dan prasarana pada PPT.
(2) Dalam penyediaan sarana dan
prasarana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib disesuaikan
dengan standar pelayanan minimal
dan standar operasional prosedur
pemulangan dan reintegrasi sosial
yang berlaku.
(3) Rumah sakit swasta dapat menyediakan sarana dan prasarana untuk
rujukan PPT bagi saksi dan/atau
korban setelah mendapat persetujuan dari dinas kesehatan di daerahnya.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dimaksudkan
285
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
untuk mempermudah pelaksanaan
pelayanan terpadu dan pelaksanaan evaluasi.
Pasal 10
(1) Dalam hal telah tersedia sarana dan
prasarana pelayanan terpadu yang
digunakan untuk saksi dan/atau
korban tindak pidana lain sebelum
Peraturan Pemerintah ini berlaku,
maka sarana dan prasarana yang
telah ada tersebut dapat dimanfaatkan untuk pelaksanaan pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pengaturannya diserahkan pada masing-masing kabupaten/kota.
(3) Sarana dan prasarana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disesuaikan dengan standar pelayanan
minimal dan standar operasional
prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial yang berlaku berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan
peraturan pelaksanaannya.
BAB IV
PETUGAS PELAKSANA PELAYANAN
TERPADU
Pasal 11
(1) Penyelenggaraan pelayanan terpadu wajib didukung oleh petugas
pelaksana atau petugas fungsional
yang meliputi tenaga kesehatan,
psikolog, psikiater, pekerja sosial
yang disediakan oleh instansi atau
lembaga terkait.
(2) Dalam hal tenaga psikolog dan psikiater sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) belum tersedia, maka PPT
dapat meminta bantuan kepada
instansi atau lembaga lain yang tersedia dengan memberikan honora286
rium.
(3) Dalam hal diperlukan, PPT dapat
melakukan kerja sama dengan lembaga tertentu dalam penyediaan
penerjemah dan relawan pendamping yang diperlukan oleh saksi
dan/atau korban.
Pasal 12
(1) Penyelenggaraan pelayanan terpadu dilaksanakan pemerintah kabupaten/kota yang dilakukan dengan
bekerja sama antar instansi atau
lembaga pemerintah terkait di daerah.
(2) Pemerintah dan pemerintah provinsi dapat menyediakan petugas
pelaksana atau petugas fungsional
yang diperlukan oleh PPT di kabupaten/kota.
(3) Dalam hal diperlukan, PPT dapat
mendayagunakan tenaga pelaksana atau petugas fungsional dari
masyarakat.
Pasal 13
(1) Dalam hal petugas PPT memerlukan perlindungan dalam penyelenggaraan pelayanan terpadu,
maka pimpinan PPT dapat mengajukan permohonan perlindungan
secara tertulis kepada Kepolisian
Negara Republik Indonesia terdekat untuk memberikan rasa aman
kepada petugas PPT.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
BAB V
TATA CARA DAN MEKANISME
PELAYANAN TERPADU
Pasal 14
(1) Saksi dan/atau korban berhak
Peraturan Pemerintah terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan
hukum pada PPT.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diajukan oleh saksi dan/
atau korban, keluarganya, temannya, petugas kepolisian, relawan
pendamping, atau pekerja sosial.
(3) Pimpinan atau petugas yang ada
pada PPT wajib melayani saksi dan/
atau korban berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2.
(4) Pimpinan atau petugas PPT segera
menangani saksi dan/atau korban
sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.
(5) Pimpinan atau petugas PPT, dalam
waktu paling lama 24 (dua puluh
empat) jam sejak menerima saksi
dan/atau korban yang sedang dirawat atau dipulihkan kesehatannya,
wajib melaporkannya kepada petugas kepolisian terdekat.
Pasal 15
(1) Dalam hal saksi dan/atau korban
melaporkan kepada kepolisian terdekat, maka petugas kepolisian wajib menempatkan saksi dan/atau
korban pada ruang pemeriksaan
khusus yang tersedia.
(2) Jika setelah dilakukan pemeriksaan
dan terbukti bahwa saksi dan/atau
korban mengalami penderitaan akibat tindak pidana perdagangan
orang, maka petugas kepolisian
yang melakukan pemeriksaan wajib membawa saksi dan/atau korban ke PPT terdekat.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib ditindaklanjuti
untuk diproses sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku.
(4) Untuk menjalankan proses seba-
gaimana dimaksud pada ayat (3),
pimpinan kepolisian memerintahkan kepada penyidik untuk melakukan tugas penyidikan dan sekaligus melakukan perlindungan
terhadap saksi dan/atau korban sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Pasal 16
(1) Dalam hal pemerintah daerah sudah memiliki rumah perlindungan
sosial atau pusat trauma sebelum
Peraturan Pemerintah ini diberlakukan, maka rumah perlindungan
sosial atau pusat trauma tersebut
dapat difungsikan untuk mendukung penyelenggaraan pelayanan
PPT.
(2) Untuk penyelenggaraan pelayanan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pemerintah daerah dapat mendayagunakan rumah perlindungan sosial atau pusat trauma milik
masyarakat atau lembaga-lembaga
pelayanan sosial lainnya.
(3) Ketentuan mengenai tata cara dan
mekanisme penyelenggaraan pelayanan di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
diatur sekaligus dalam peraturan
daerah kabupaten/kota mengenai
pembentukan PPT.
Pasal 17
(1) Dalam hal saksi dan/atau korban
adalah warga negara Indonesia dan
berada di luar negeri, Pemerintah
Republik Indonesia melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan
saksi dan/atau korban serta memulangkannya ke Indonesia atas biaya
negara.
(2) Untuk kepentingan pemulangan
saksi dan/atau korban sebagai287
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
mana dimaksud pada ayat (1),
perwakilan Pemerintah Republik
Indonesia di luar negeri segera melaporkan kepada Menteri Luar Negeri dalam rangka percepatan penanganan saksi dan/atau korban.
(3) Menteri Luar Negeri wajib melakukan koordinasi dengan pemerintah
daerah asal saksi dan/atau korban
dan instansi terkait lainnya, untuk
memulangkan saksi dan/atau korban ke daerah asalnya.
(4) Pemerintah daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) wajib menjemput dan memulangkan ke daerah asal dan tindakan lain yang
diperlukan dalam melindungi saksi
dan/atau korban.
(5) Dalam hal saksi dan/atau korban
mengalami penderitaan akibat
tindak pidana perdagangan orang,
maka:
a. Perwakilan Republik Indonesia
di luar negeri wajib memberikan pertolongan kepada saksi
dan/atau korban ke rumah sakit terdekat;
b. Departemen Sosial atau instansi yang menangani bidang sosial di daerah wajib membawa
saksi dan/atau korban ke PPT
terdekat.
Pasal 18
(1) Dalam hal diperlukan, pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dapat dibentuk PPT.
(2) PPT sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibentuk dengan Peraturan
Menteri Luar Negeri.
Pasal 19
(1) Dalam hal saksi dan/atau korban
berada di luar wilayah daerah asalnya, kepala daerah setempat segera melakukan koordinasi dengan
288
kepala daerah asal saksi dan/atau
korban untuk mengambil tindakan
atau langkah-langkah perlindungan dan pemulangan saksi dan/atau
korban ke daerah asalnya.
(2) Bupati/walikota daerah asal saksi
dan/atau korban tersebut wajib segera menangani hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan dan pemulihan saksi dan/
atau korban ke PPT yang tersedia.
(3) Dalam penyelenggaraan pemulangan saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), bupati/walikota dapat melakukan kerja sama dengan bupati/
walikota lainnya dengan pemberitahuan kepada gubernur masingmasing.
Pasal 20
(1) Dalam hal saksi dan/atau korban
adalah warga negara asing, Menteri
Luar Negeri Republik Indonesia wajib berkoordinasi dengan instansi
terkait dan perwakilan negara asal
saksi dan/atau korban tersebut di
Indonesia, untuk membantu pemulangannya dan memberitahukan
kepada perwakilan asingnya.
(2) Pemulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada perwakilan negara asing yang
berada di Indonesia dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal saksi dan/atau korban
adalah warga negara asing yang
negaranya tidak mempunyai perwakilan di Indonesia, Menteri Luar
Negeri Republik Indonesia memberitahukan kepada negara asing
tersebut pada perwakilan negara asing yang terdekat dengan wilayah
negara Republik Indonesia.
Peraturan Pemerintah terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 21
(1) Dalam penanganan saksi dan/atau
korban, PPT wajib melakukan jejaring dengan rumah sakit pemerintah atau swasta untuk perawatan
dan pemulihan kesehatannya.
(2) Dalam hal diperlukan, PPT juga dapat melakukan jejaring dengan rumah perlindungan sosial atau pusat
trauma milik pemerintah, masyarakat, atau lembaga-lembaga pelayanan sosial lainnya.
BAB VI
PEMANTAUAN DAN EVALUASI
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 22
Menteri melakukan pemantauan
dan evaluasi terhadap pelaksanaan standar pelayanan minimal
dan standar operasional prosedur
pemulangan dan reintegrasi sosial
pada PPT.
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk mengetahui:
a. perkembangan pelaksanaan
program PPT;
b. capaian kinerja PPT.
Pemantauan dilakukan secara berkesinambungan dan evaluasi dilaksanakan setiap 6 (enam) bulan sekali.
Menteri melaporkan hasil kegiatan
pemantauan dan evaluasi kepada
Presiden dan tembusan disampaikan kepada pimpinan Gugus Tugas
Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Pasal 23
(1) Dalam hal pemantauan dan evaluasi ditemukan adanya tindakan yang
tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, maka Menteri dapat mereko-
mendasikan kepada PPT melalui
bupati/walikota untuk peningkatan kualitas pelayanan.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak ditindaklanjuti, maka bupati/walikota
dapat memberikan sanksi administratif kepada pimpinan atau petugas di PPT.
(3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 24
Dalam hal pemantauan dan evaluasi ditemukan adanya kinerja yang baik dalam menjalankan tugasnya, maka Menteri memberikan penghargaan kepada
pimpinan dan/atau petugas pada PPT.
Pasal 25
Pendanaan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini dan penyelenggaraan PPT bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara atau
anggaran pendapatan dan belanja daerah serta dari sumber-sumber lain yang
sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
Semua peraturan perundang-undangan
yang mengatur pelaksanaan pusat pelayanan terpadu yang telah ada dinyatakan masih tetap berlaku, sepanjang
tidak bertentangan atau belum diatur
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 27
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
289
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Pebruari 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Pebruari 2008
MENTERI HUKUM
DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2008 NOMOR 22
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO PERUNDANG-UNDANGAN
BIDANG POLITIK DAN KESRA,
Wisnu Setiawan
PENJELASAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2008
TENTANG TATA CARA
MEKANISME PELAYANAN TERPADU
BAGI SAKSI DAN/ATAU KORBAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN
ORANG
I. UMUM
Pasal 46 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang mengamanatkan mengenai tata
cara dan mekanisme pelayanan terpadu yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah ini
diharapkan dapat lebih memberikan
kemudahan penerapan undang-undang
yang di dalamnya mengatur mengenai
pencegahan, pemberantasan, penghukuman, dan penanganan tindak pidana
perdagangan orang. Tata cara adalah
rangkaian proses pelayanan terpadu
yang diberikan kepada korban tindak
pidana perdagangan orang mulai dari
identifikasi korban, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, bantuan hukum,
pemulangan, dan reintegrasi sosial.
Mekanisme adalah sistem pelayanan
terpadu satu pintu baik dalam satu atap
maupun berjejaring yang merupakan
rangkaian tugas dan fungsi instansi/
lembaga terkait dalam menangani korban tindak pidana perdagangan orang.
Di samping pengaturan mengenai tata
cara dan mekanisme pelayanan terpadu, Peraturan Pemerintah ini juga
mengatur mengenai pembentukan PPT
bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. PPT ini dimaksudkan sebagai pusat pelayanan yang
menjamin adanya kecepatan proses
290
Peraturan Pemerintah terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
pelayanan dan penanganan saksi dan/
atau korban tindak pidana perdagangan orang serta menjamin adanya kemudahan, kenyamanan, keselamatan,
kerahasiaan korban, bahkan bebas dari
biaya pelayanan, guna mewujudkan adanya keadilan dan kepastian hukum
bagi saksi dan/atau korban. Saksi dan/
atau korban dalam Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan hanya untuk
korban tindak pidana perdagangan
orang. Terkait dengan perlindungan
saksi, telah ditentukan tersendiri dalam
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban
beserta peraturan pelaksanaannya.
Republik Indonesia dan saksi dan/atau
korban WNI yang berada di luar wilayah Republik Indonesia.
PPT dibentuk di kabupaten/kota yang
pembentukannya dengan peraturan
daerah pada masing-masing kabupaten/kota. Peraturan daerah kabupaten/kota yang akan dibentuk mengacu
pada Peraturan Pemerintah ini, terutama mengenai tata cara dan mekanisme
pelayanan, serta pengaturan mengenai
standar pelayanan minimal dan standar
operasional prosedur pemulangan dan
reintegrasi sosial.
Guna menjamin adanya keterpaduan
antara PPT baik yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat diperlukan adanya pola pemantauan terhadap perkembangan atas
pelaksanaan penyelenggaraan PPT
tersebut. Untuk kelangsungan penyelenggaraan PPT, Menteri melaksanakan
evaluasi untuk dijadikan dasar pemberian penghargaan dan peringatan serta
pembinaan.
Melalui PPT, saksi dan/atau korban
berhak untuk memperoleh rehabilitasi
kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan
hukum dari pemerintah kabupaten/
kota apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan akibat tindak pidana
perdagangan orang. Untuk hal itu, penyelenggaraan PPT bertujuan memberikan pemenuhan hak-hak saksi dan/
atau korban tersebut yang lingkup pelayanannya meliputi rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan
dan reintegrasi sosial termasuk advokasi, konseling, dan bantuan hukum.
Penyelenggaraan PPT diperuntukkan
bagi saksi dan/atau korban di wilayah
Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib menyediakan sarana dan prasarana PPT yang meliputi penyediaan fisik
bangunan beserta perlengkapan yang
dibutuhkan atau sesuai dengan standar
pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial. Sarana dan prasarana
lain adalah ketersediaan para petugas
dalam pengelolaan PPT tersebut, misalnya, tenaga kesehatan, keperawatan,
psikolog, psikiater, pekerja sosial yang
digaji sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam penyelenggaraan PPT diperlukan pelayanan satu atap atau berjejaring, sehingga dibutuhkan keterpaduan
dari berbagai pihak. Untuk melakukan
jejaring dan kerja sama, PPT melakukan
hubungan dengan lembaga-lembaga lain, misalnya dalam penyediaan penerjemah, relawan pendamping yang diperlukan korban, di antaranya pekerja
sosial, advokat, atau petugas rohaniawan yang dilaksanakan secara profesional.
Pendanaan penyelenggaraan PPT dibebankan pada anggaran pendapatan be291
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
lanja negara dan anggaran pendapatan
belanja daerah serta dari sumber-sumber lain yang sah.
II. PASAL DEMI PASAL
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “advokasi”
dalam ketentuan ini adalah menyampaikan informasi dengan tujuan untuk
mempengaruhi dalam pemberian pelayanan terhadap saksi dan/atau korban.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan agar standar pelayanan minimal dan standar
operasional prosedur pemulangan dan
reintegrasi sosial terhadap anak sebagai saksi dan/atau korban ditentukan
sesuai dengan prinsip konvensi hak anak, antara lain prinsip non diskriminasi dan kepentingan terbaik bagi anak.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “lembaga” dalam ketentuan ini adalah lembaga yang
melakukan pendampingan terhadap
saksi dan/atau korban, misalnya lembaga sosial masyarakat atau lembaga
bantuan hukum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
292
Ayat (3)
Yang dimaksud “rujukan pelayanan”
dalam ketentuan ini adalah pemberian
jenis pelayanan lanjutan kepada rumah
sakit atau pusat trauma yang tersedia,
yang masuk dalam jaringan pelayanan
terpadu. Ketentuan ini merupakan jejaring yang berbasis rumah sakit dan masyarakat.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembentukan dan penyelenggaraan
PPT dalam ketentuan ini meliputi pula
pembentukan organisasi dan tata laksana PPT.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Ketentuan ini dimaksudkan agar bagi
daerah yang telah tersedia semacam
lembaga pelayanan terpadu, maka sebelum dibentuk peraturan daerah, ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
ini dapat dijadikan pedoman bagi lembaga tersebut dalam menyelenggarakan pelayanan tehadap saksi dan/atau
korban.
Peraturan pelaksanaan dalam ketentuan ini misalnya: Peraturan Menteri mengenai standar pelayanan minimal dan
standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan agar terdapat satu pedoman dari Pemerintah
Peraturan Pemerintah terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
sehingga tidak tersebar di berbagai
peraturan. Hal ini untuk lebih memudahkan pemerintah kabupaten/kota
untuk menyelengarakan pelayanan
terpadu.
Yang dimaksud dengan menteri
terkait, antara lain: Menteri Sosial,
Menteri Kesehatan, Menteri Dalam
Negeri, Menteri Luar Negeri, Pimpinan
Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI).
Cukup Jelas.
Pasal 8
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sarana” adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai
alat dalam mencapai maksud dan tujuan, misalnya, meja dan tempat tidur
periksa pasien, stetoskop.
Yang dimaksud dengan “prasarana”
adalah segala hal yang merupakan penunjang utama terselenggaranya pelayanan terpadu misalnya, ruangan khusus untuk pemeriksaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Sarana dan prasarana pelayanan terpadu yang telah ada selama ini misalnya
di rumah sakit umum milik Pemerintah, provinsi, dan kabubaten/kota serta
Rumah Sakit Kepolisian Pusat, atau Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat II, III,
dan IV.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Petugas pelaksana atau petugas fungsional dalam ketentuan ini berasal dari
pegawai negeri sipil di lingkungan dinas masing-masing yang dipekerjakan
yang pelaksanaannya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Ayat (2)
Honorarium dalam ketentuan ini diberikan sesuai dengan kemampuan pemerintah kabupaten/kota.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan relawan pendamping, misalnya, pekerja sosial, advokat, atau petugas rohaniwan.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam ketentuan ini, makna “segera”
dimaksudkan agar pimpinan atau petugas dalam menangani saksi dan/atau
korban menggunakan metode penanganan atau pertolongan pertama pada
saksi dan/atau korban. Prosedur dalam
ketentuan ini ditetapkan oleh masingmasing PPT.
Ayat (5)
Cukup jelas.
293
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Ruang Pemeriksaan Khusus” dalam ketentuan ini
adalah tempat melakukan pemeriksaan
di tingkat penyidikan bagi saksi dan/
atau korban tindak pidana perdagangan orang pada setiap Kepolisian Resort/
Kepolisian Kota Besar dan Kepolisian
Daerah yang pembentukan dan pelaksanaannya sesuai dengan peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Rumah perlindungan sosial atau pusat
trauma (trauma center) dalam ketentuan
ini ada yang diselenggarakan oleh pemerintah provinsi. Rumah perlindungan sosial adalah lembaga atau panti
yang bertujuan untuk memberikan perlindungan awal kepada korban sebelum
dirujuk ke lembaga atau panti lain yang
memberikan pelayanan lebih intensif.
Pusat trauma adalah suatu lembaga
atau panti yang menjadi pusat peredaman (penurunan atau penghilangan)
kondisi traumatis yang dialami korban
sebagai tindak kekerasan yang dialaminya atau anggota keluarganya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
294
Pasal 17
Cukup jelas.
Ayat (3)
“Instansi terkait lainnya” dalam ketentuan ini misalnya: Departemen Sosial,
Departemen Dalam Negeri, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Polri,
Imigrasi.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “tindakan lain”
dalam ketentuan ini antara lain: pemberitahuan kepada pihak keluarga saksi
dan/atau korban.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Pembentukan PPT di luar negeri diutamakan pada negara yang sering terjadi
tindak pidana perdagangan orang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembiayaan penanganan dalam ketentuan ini dibebankan kepada bupati/
walikota daerah asal saksi dan/atau
korban.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 20
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
Peraturan Pemerintah terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Penghargaan dalam ketentuan ini misalnya: piagam atau tropi.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 25
Pasal 26
Pasal 27
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4818
295
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2006
TENTANG PENYELENGGARAAN DAN KERJASAMA
PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
BAB I
KETENTUAN UMUM
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang
dimaksud dengan :
1. Pemulihan korban adalah segala
upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah tangga agar
lebih berdaya, baik secara fisik
maupun psikis.
2. Penyelenggaraan pemulihan adalah segala tindakan yang meliputi
pelayanan dan pendampingan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Pendampingan adalah segala tindakan berupa konseling, terapi
psikologis, advokasi, dan bimbingan rohani, guna penguatan diri
korban kekerasan dalam rumah
tangga untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
4. Kerjasama adalah cara yang sistematis dan terpadu antar penyelenggara pemulihan dalam memberikan pelayanan untuk memulihkan
korban kekerasan dalam rumah
tangga.
5. Petugas penyelenggara pemulihan
adalah tenaga kesehatan, pekerja
sosial, relawan pendamping, dan/
atau pembimbing rohani.
6. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
di bidang pemberdayaan perempuan.
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419).
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN
PEMERINTAH TENTANG
PENYELENGGARAAN DAN
KERJASAMA PEMULIHAN KORBAN
KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA.
296
Peraturan Pemerintah terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
BAB II
PENYELENGGARAAN PEMULIHAN
Pasal 2
(1) Penyelenggaraan pemulihan terhadap korban dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan pemerintah
daerah serta lembaga sosial sesuai
dengan tugas dan fungsi masingmasing, termasuk menyediakan
fasilitas yang diperlukan untuk
pemulihan korban.
(2) Fasilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi :
a. ruang pelayanan khusus di jajaran kepolisian;
b. tenaga yang ahli dan profesional;
c. pusat pelayanan dan rumah
aman; dan
d. sarana dan prasarana lain yang
diperlukan untuk pemulihan
korban.
(3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2).
Pasal 3
(1) Menteri menetapkan pedoman pemulihan korban kekerasan dalam
rumah tangga yang sensitif gender.
(2) Pedoman pemulihan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan berdasarkan standar
pelayanan minimal sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
Penyelenggaraan kegiatan pemulihan
korban meliputi :
a. pelayanan kesehatan;
b. pendampingan korban;
c. konseling;
d. bimbingan rohani; dan
e. resosialisasi.
Pasal 5
(1) Pelayanan kesehatan dilakukan
oleh tenaga kesehatan di sarana kesehatan milik pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat, termasuk swasta dengan cara
memberikan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan
korban.
(2) Pendampingan korban dilakukan
oleh tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/
atau pembimbing rohani dengan
cara memberikan konseling, terapi, bimbingan rohani, dan advokasi
guna penguatan dan pemulihan
diri korban.
(3) Pemberian konseling dilakukan
oleh pekerja sosial, relawan pendamping, dengan mendengarkan
secara empati dan menggali permasalahan untuk penguatan psikologis korban.
(4) Bimbingan rohani dilakukan oleh
pembimbing rohani dengan cara
memberikan penjelasan mengenai
hak dan kewajibannya, serta penguatan iman dan takwa sesuai dengan agama dan kepercayaan yang
dianutnya.
(5) Resosialisasi korban dilaksanakan
oleh instansi sosial dan lembaga sosial agar korban dapat kembali melaksanakan fungsi sosialnya dalam
masyarakat.
Pasal 6
Untuk kepentingan pemulihan, korban
berhak mendapatkan pelayanan dari
tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
297
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 7
(1) Tenaga kesehatan harus memberikan pelayanan pengobatan dan
pemulihan kesehatan korban sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, dan kebutuhan medis korban.
(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan di sarana
kesehatan dasar dan sarana kesehatan rujukan milik pemerintah,
pemerintah daerah atau masyarakat termasuk swasta.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.
Pasal 8
(1) Dalam memberikan pelayanan kepada korban, tenaga kesehatan melakukan upaya :
a. anamnesis kepada korban;
b. pemeriksaan kepada korban;
c. pengobatan penyakit;
d. pemulihan kesehatan, baik fisik maupun psikis;
e. konseling; dan/atau
f. merujuk ke sarana kesehatan
yang lebih memadai bila diperlukan.
(2) Selain upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kasus tertentu, tenaga kesehatan dapat
melakukan :
a. pelayanan keluarga berencana darurat untuk korban
perkosaan; dan
b. pelayanan kesehatan reproduksi lainnya sesuai dengan
kebutuhan medis.
(3) Dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), tenaga kesehatan
harus membuat rekam medis sesuai dengan ketentuan peraturan
298
perundang-undangan.
(4) Untuk setiap tindakan medis yang
akan dilakukan oleh tenaga kesehatan harus ada persetujuan tindakan medis (informed consent) dari
korban atau keluarganya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Untuk keperluan penyidikan, tenaga kesehatan yang berwenang
harus membuat visum et repertum dan/atau visum et repertum
psichiatricum atau membuat surat
keterangan medis.
(6) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.
Pasal 9
(1) Pekerja sosial dalam memberikan
pelayanan kepada korban, dapat
dilakukan di rumah aman, pusat
pelayanan atau tempat tinggal alternatif milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
(2) Dalam hal diperlukan dan atas
persetujuan korban, korban dapat
ditempatkan oleh pekerja sosial
di rumah aman, pusat pelayanan,
atau tempat tinggal alternatif yang
aman untuk melindungi korban
dari ancaman.
(3) Pengadaan rumah aman, pusat
pelayanan, atau tempat tinggal alternatif yang dilakukan masyarakat dapat difasilitasi oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara penyelenggaraan pelayanan pada rumah aman, atau tempat tinggal alternatif milik pemerintah, diatur dengan Peraturan
Menteri Sosial.
Peraturan Pemerintah terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 10
Menteri Sosial dan Menteri Kesehatan,
setelah memperhatikan saran dan pertimbangan menteri, dapat menyelenggarakan pusat pelayanan milik pemerintah.
Pasal 11
Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, pekerja sosial
melakukan upaya :
a. menggali permasalahan korban untuk membantu pemecahan masalahnya;
b. memulihkan korban dari kondisi traumatis melalui terapi
psikososial;
c. melakukan rujukan ke rumah
sakit atau rumah aman atau
pusat pelayanan atau tempat
alternatif lainnya sesuai dengan kebutuhan korban;
d. mendampingi korban dalam
upaya pemulihan melalui pendampingan dan konseling;
dan/atau
e. melakukan resosialisasi agar
korban dapat kembali melaksanakan fungsi sosialnya di
dalam masyarakat.
Pasal 12
Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, relawan pendamping melakukan upaya :
a. membangun hubungan yang
setara dengan korban agar bersedia membuka diri dalam mengemukakan persoalannya;
b. berempati dan tidak menyalahkan korban mengenai atau
yang terkait dengan permasalahannya;
c. meyakinkan korban bahwa tidak seorang pun boleh melakukan tindakan kekerasan;
d. menanyakan apa yang ingin dilakukan dan bantuan apa yang
diperlukan;
e. memberikan informasi dan
menghubungkan dengan lembaga atau perorangan yang dapat membantu mengatasi persoalannya; dan/atau
f. membantu memberikan informasi tentang layanan konsultasi hukum.
Pasal 13
Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, pembimbing rohani melakukan upaya :
a. menggali informasi dan mendengarkan keluh kesah dari
korban;
b. mempertebal keimanan dan
ketakwaan korban serta mendorong untuk menjalankan
ibadat menurut agama masingmasing korban dan kepercayaannya itu.
c. menyarankan pemecahan masalah kekerasan dalam rumah
tangga menurut agama masing-masing korban dan kepercayaannya itu.
d. memberikan pemahaman mengenai kesetaraan laki-laki dan
perempuan.
Pasal 14
Pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dapat diberikan juga kepada pelaku dan
anggota keluarganya.
BAB III
KERJASAMA PEMULIHAN
Pasal 15
(1) Menteri dapat melakukan koordinasi mengenai pelaksanaan ker299
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
jasama dalam rangka pemulihan
korban.
(2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
menteri dapat membentuk forum
koordinasi pusat yang keanggotaannya berasal dari instansi terkait
dan masyarakat yang peduli terhadap penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan koordinasi, syarat
dan tata cara pembentukan forum
koordinasi diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 16
(1) Untuk melaksanakan kerjasama
dalam rangka pemulihan korban,
pemerintah daerah dapat melakukan koordinasi antar instansi
terkait dengan masyarakat yang
peduli terhadap penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh suatu
badan yang khusus membidangi
pemberdayaan perempuan dan
anak.
(3) Badan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dibentuk oleh Gubernur.
Pasal 17
(1) Tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping, dan pembimbing rohani dapat melakukan
kerjasama dalam melaksanakan
pemulihan korban.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi kegiatan sebagai berikut :
a. melakukan rujukan dalam pelaksanaan upaya pemulihan
korban; dan
b. penyiapan fasilitas rumah
300
aman atau tempat alternatif
bagi korban.
Pasal 18
Dalam hal tertentu, tenaga kesehatan,
pekerja sosial, relawan pendamping
dan/atau pembimbing rohani dapat
menjalin kerjasama dengan :
a. kepolisian, untuk melaporkan dan
memproses pelaku tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga;
b. advokat, untuk membantu korban
dalam proses peradilan;
c. penegak hukum lainnya, untuk
membantu korban dalam proses di
sidang pengadilan;
d. Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan;
e. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI);
f. pihak tertentu yang diinginkan demi kepentingan korban.
Pasal 19
Untuk penyelenggaraan pemulihan,
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masingmasing dapat melakukan kerjasama
dengan masyarakat atau lembaga sosial, baik nasional maupun internasional
yang pelaksanaannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 20
Pemerintah dan pemerintah daerah :
a. menjamin terlaksananya kemudahan pelayanan kepada korban;
b. mengupayakan efektivitas dan efisiensi bagi proses pemulihan korban; dan
c. mengupayakan terciptanya kerjasama dan koordinasi dalam upaya
pemulihan korban.
Peraturan Pemerintah terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 21
Menteri melakukan pemantauan, evaluasi, dan peningkatan kinerja pelaksanaan kerjasama pemulihan korban
kekerasan dalam rumah tangga secara
transparan dan bertanggung jawab.
BAB IV
PEMBIAYAAN
Pasal 22
Segala biaya untuk pelaksanaan pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah
dan pemerintah daerah terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dibebankan pada:
a. Anggaran Pendapatan Belanja Negara;
b. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah; dan
c. Sumber pendapatan lain yang sah
yang perolehannya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Pebruari 2006
MENTERI HUKUM
DAN HAK AZASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2006 NOMOR 15
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Pebruari 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
DR.H. SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO
301
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
PENJELASAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2006
TENTANG PENYELENGGARAAN DAN
KERJA SAMA DALAM UPAYA
PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
I. UMUM
Upaya pemulihan korban kekerasan
dalam rumah tangga perlu terus dilakukan, yang pelaksanaannya dilakukan
secara terkoordinasi dan terpadu antar
lintas sektor baik pada tingkat pusat,
provinsi, maupun kabupaten/kota. Untuk kelancaran pelaksanaan pemulihan
korban kekerasan dalam rumah tangga,
perlu peraturan perundang-undangan
yang mengatur penyelenggaraan dan
kerja sama antar instansi pemerintah
dengan melibatkan masyarakat. Upaya
pemulihan tersebut merupakan amanat
dari Pasal 43 Undang-undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Guna menunjang pelaksanaan tersebut,
perlu pengaturan mengenai penyelenggaraan dan kerja sama pemulihan
korban dengan menentukan tugas dan
fungsi masing-masing dan kewajiban
serta tanggung jawab tenaga kesehatan, pekerja sosial, pembimbing rohani
dan relawan pendamping. Untuk lebih
mengefektifkan pelayanan terpadu,
maka dalam peraturan ini dibentuk forum koordinasi yang akan mengkoordinasikan antar petugas pelayanan,
sekaligus menyusun rencana program
bagi peningkatan upaya pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Forum koordinasi tersebut dibentuk di
pusat dan di daerah. Menteri membentuk forum koordinasi di tingkat pusat,
302
sedangkan di daerah dibentuk oleh Gubernur.
Penyelenggaraan kerja sama pemulihan korban kekerasan dalam rumah
tangga diarahkan pada pulihnya kondisi korban seperti semula baik fisik
maupun psikis dalam waktu yang tidak
terlalu lama, sehingga korban dapat
menjalankan aktivitasnya sehari-hari
dan dapat hidup di tengah masyarakat
seperti semula. Oleh karena itu, pelayanan harus dilaksanakan semaksimal
mungkin segera setelah adanya pengaduan atau pelaporan dari korban untuk memperoleh pelayanan bagi pemulihan kondisi korban kekerasan dalam
rumah tangga.
Dengan demikian, upaya penyelenggaraan pemulihan korban kekerasan
dalam rumah tangga pada dasarnya
bertujuan menjamin terlaksananya kemudahan pelayanan korban kekerasan
dalam rumah tangga, menjamin efektivitas dan efisiensi bagi proses pemulihan korban kekerasan dalam rumah
tangga dan terciptanya kerjasama dan
koordinasi yang baik dalam pemulihan
korban kekerasan dalam rumah tangga
antar instansi, antar petugas pelaksana,
dan antar lembaga terkait lainnya.
II. PASAL DEMI PASAL
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 1
Pasal 2
Peraturan Pemerintah terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Huruf c
Yang dimaksud pusat pelayanan adalah
yang dikenal dengan trauma center, sedangkan rumah aman dikenal dengan
shelter.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 3
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
koordinasi yang baik dalam pemulihan
korban kekerasan dalam rumah tangga
antar instansi, antar petugas pelaksana,
dan antar lembaga terkait lainnya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “konseling”
adalah pemberian bantuan oleh seseorang yang ahli atau orang yang terlatih sedemikian rupa sehingga pemahaman dan kemampuan psikologis diri
korban meningkat dalam memecahkan
permasalahan yang dihadapi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “bimbingan rohani” adalah konseling yang diberikan
oleh rohaniwan.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Pasal 5
Instansi Sosial adalah instansi pemerintah yang ruang lingkup tugasnya
menangani urusan sosial, dan instansi
pemerintah daerah yang menanggulangi masalah sosial.
Cukup jelas
Pasal 6
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Standar Profesi” adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and proffesional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang
individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat
secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi.
Yang dimaksud dengan “Standar Prosedur Operasional” adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang
dibakukan untuk menyelesaikan suatu
proses kerja rutin tertentu, yang dibuat
oleh sarana kesehatan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan sarana kesehatan antara lain puskesmas, balai pengobatan, dan rumah sakit.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “rekam medis”
adalah berkas yang berisikan catatan
dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan
dan pelayanan lain kepada pasien (korban) pada sarana kesehatan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “persetujuan
303
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
tindakan medis” (informed consent)
adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien (korban) atau keluarganya atas
dasar penjelasan mengenai tindakan
medik yang akan dilakukan terhadap
korban tersebut. Persetujuan dapat diberikan secara lisan atau tertulis.
Ayat (5)
Visum et repertum dibuat oleh dokter
yang memeriksa korban dan visum et
repertum psichiatricum dibuat oleh dokter spesialis kesehatan jiwa.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
304
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 19
Pasal 20
Pasal 21
Pasal 22
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4604
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 88 TAHUN 2002
TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL
PENGHAPUSAN PERDAGANGAN (TRAFIKING)
PEREMPUAN DAN ANAK
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa perempuan sebagai ibu
bangsa dan anak sebagai penerus
bangsa merupakan mahluk ciptaan
Tuhan Yang Maha Kuasa wajib
dilindungi dan dijaga kehormatan,
martabat dan harga dirinya secara
wajar dan proporsional baik secara
hukum, ekonomi, politik, sosial,
dan budaya tanpa membedakan
suku, agama, ras, dan golongan;
b. bahwa berdasarkan norma-norma agama, moral, serta norma
hukum baik nasional maupun
internasional, kegiatan perdagangan (trafiking) perempuan dan
anak merupakan kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang
harus diberantas hingga ke akarakarnya;
c. bahwa
praktek
perdagangan
(trafiking) perempuan dan anak
di Indonesia sudah sedemikian
memprihatinkan, sehingga telah
menimbulkan
kerisauan
dan
kecemasan kita sebagai negara
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan
beradab, dan untuk itu, perlu penanganan segera dan serius dengan
melibatkan semua pihak;
d. bahwa penanganan secara sistematis, komprehensif, berkesinambungan, dan terpadu sangat
dibutuhkan, sehingga perlu pedoman suatu rencana aksi sebagai
derivasi dan penjabaran dari
berbagai amanat yang tertuang
dalam peraturan perundang-undangan nasional maupun hukum
internasional terhadap upayaupaya untuk menghapuskan perdagangan (trafiking) perempuan dan
anak;
e. bahwa sehubungan dengan butir
a, b, c, dan d, dipandang perlu
menyusun Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Perdagangan (trafiking) Perempuan dan anak dengan
Keputusan Preisden;
1.
2.
3.
4. Mengingat :
Pasal 4 dan Pasal 28 Undangundang Dasar Tahun 1945
Undang-undang Nomor 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak
(Lembaran Negara Tahun 1979
Nomor 32, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3143);
Undang-undang Nomor 7 Tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
(Lembaran Negara Tahun 1984
Nomor 29, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3277);
Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 Pengadilan Anak (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor
305
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
3668);
5. Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3839);
6. Undang-undang Nomor 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3848);
7. Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 165, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3886);
8. Undang-undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Tahun
2000 Nomor 28 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4026);
9. Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Tahun 2002
Nomor 109, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4235);
10. Keputusan Presiden Nomor 36
Tahun 1990 tentang Pengesahan
Convention on the Rights of the Child
(Konvensi tentang Hak-hak Anak)
(Lembaran Negara Tahun 1990
Nomor 57);
cantum dalam Lampiran I Keputusan Presiden ini.
(2) RAN-P3A sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) merupakan landasan
dan pedoman bagi Pemerintah dan
masyarakat dalam melaksanakan
penghapusan Perdagangan (trafiking) perempuan dan anak.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN
PRESIDEN TENTANG RENCANA
AKSI NASIONAL PENGHAPUSAN
PERDAGANGAN (TRAFIKING)
PEREMPUAN DAN ANAK
Pasal 3
Pelaksanaan RAN-P3A dilakukan secara
bertahap dan berkesinambungan dalam suatu program 5 (lima) tahunan
yang akan ditinjau dan disempurnakan
kembali setiap 5 (lima) tahun.
Pasal 1
(1) Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (trafiking) Perempuan dan Anak, selanjutnya disebut
RAN-P3A, adalah sebagaimana ter-
Pasal 4
(1) Untuk menjamin terlaksananya
RAN-P3A dibentuk suatu Gugus
Tugas yang berkedudukan di bawah
dan bertanggung jawab langsung
306
Pasal 2
Hakekat dan tujuan RAN-P3A adalah
untuk:
a. menjamin peningkatan dan pemajuan atas upaya-upaya perlindungan
terhadap
korban
Perdagangan (trafiking) orang,
khususnya terhadap perempuan
dan anak;
b. mewujudkan
kegiatan-kegiatan
baik yang bersifat preventif
maupun represif dalam upaya
melakukan tindakan pencegahan
dan penanggulangan atas praktekpraktek perdagangan (trafiking)
orang
khususnya
terhadap
perempuan dan anak;
c. mendorong untuk adanya pembentukan dan/atau penyempurnaan
peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan tindakan
perdagangan (trafiking) orang
khususnya terhadap perempuan
dan anak;
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
kepada Presiden.
(2) Gugus Tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas:
a. Pengkoordinasian pelaksanaan
upaya penghapusan perdagangan (trafiking) perempuan
dan anak yang dilakukan oleh
pemerintah dan masyarakat
sesuai dengan tugas fungsi
dan/atau kualifikasi masingmasing;
b. Advokasi dan sosial RAN-P3A
pada pemangku kepentingan;
c. Pemantauan dan evaluasi baik secara periodik maupun
insidentil serta penyampaian
permasalahan yang terjadi
dalam pelaksanaan RANP3A kepada instansi yang
berwenang untuk penanganan
dan penyelesaian lebih lanjut
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
d. Kerjasama nasional, regional,
dan
internasional
untuk
langkah-langkah pencegahan
dan
penanggulangan
dalam
upaya
penghapusan
perdagangan (trafiking) perempuan dan anak;
e. Pelaporan perkembangan pelaksanaan upaya penghapusan
Perdagangan (trafiking) perempuan dan anak kepada
Presiden dan masyarakat.
(3) Susunan keanggotaan Gugus Tugas
RAN-P3A sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II
Keputusan Presiden ini.
Pasal 5
(1) Susunan keanggotaan Gugus Tugas
RAN-P3A sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) terdiri
dari Tim Pengarah yang diketuai
oleh Menteri Negara Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat dan
Tim Pelaksana yang diketuai oleh
Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan
(2) Untuk adanya kelancaran dan
kesinambungan yang sinergis dalam
pelaksanaan tugas sehari-hari,
Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan selaku Ketua Pelaksana,
mengkoordinasikan setiap kegiatan
yang terkait dengan pelaksanaan
RAN-P3A.
Pasal 6
(1) Untuk menjamin terlaksananya
RAN-P3A di daerah dilakukan oleh
Gugus Tugas Daerah RAN-P3A,
yang dibentuk melalui Keputusan
Gubernur untuk Pemerintah Provinsi (pemprov) dan Keputusan
Bupati/Walikota untuk Pemerintah
Kabupaten/Kota
(Pemkab/Pemkot).
(2) Susunan keanggotaan Gugus Tugas
Daerah RAN-P3A menyesuaikan susunan keanggotaan Gugus Tugas
RAN-P3A dan/atau disesuaikan
dengan kebutuhan serta kondisi
daerah yang bersangkutan.
Pasal 7
(1) Pembiayaan pelaksanaan RANP3A dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara,
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, anggaran masing-masing
pemangku kepentingan dan/atau
sumber dana lain yang sah serta
tidak mengikat.
(2) Pembiayaan Gugus Tugas RANP3A dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara,
307
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah serta sumber dana lain
yang sah serta tidak mengikat
Pasal 8
Keputusan Presiden ini mulai berlaku
pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Desember 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan II;
Ttd
Edy Sudibyo
308
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 87 TAHUN 2002
TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL
PENGHAPUSAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa anak merupakan mahluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa
wajib dilindungi dan dijaga kehormatan, martabat dan harga dirinya
secara wajar dan proporsional baik
secara hukum, ekonomi, politik,
sosial, dan budaya, tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan;
b. bahwa anak adalah generasi penerus bangsa yang akan sangat menentukan nasib dan masa depan
bangsa secara keseluruhan di masa
yang akan datang dan oleh karena
itu pembinaan dan perlindungan
anak haruslah menjadi tugas utama
seluruh komponen bangsa;
c. bahwa kegiatan eksploitasi seksual
komersial anak adalah merupakan
kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang harus diberantas hingga
ke akar-akarnya;
d. bahwa kegiatan eksploitasi seksual
komersial anak di Indonesia sudah
sedemikian parah yang sungguh
merisaukan dan mencemaskan sehingga harus segera ditangani dengan sungguh-sungguh dan melibatkan semua pihak;
e. bahwa untuk itu diperlukan tindakan nyata berupa tindakan penegakan hukum dan program nyata yang merupakan derivasi dan
penjabaran dari berbagai amanat
yang tertuang dalam peraturan
perundang-undangan
nasional
maupun internasional tentang perlindungan anak terhadap kegiatan
eksploitasi seksual komersial anak;
f. bahwa sehubungan dengan hal
tersebut dalam butir a, b, c, d, dan
e dipandang perlu menetapkan
Keputusan Presiden mengenai
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial
Anak;
Mengingat :
1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 28 B ayat
(2) Undang-undang Dasar Tahun
1945;
2. Undang-undang Nomor 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak
(Lembaran Negara Tahun 1979
Nomor 32, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3143);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita (Lembaran Negara Tahun
1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277);
4. Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 Pengadilan Anak (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3668);
5. Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3839);
309
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
6. Undang-undang Nomor 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Daerah (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3848);
7. Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 165, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3886);
8. Undang-undang Nomor 1 Tahun
2000 tentang Pengesahan ILO Convention Number 182 Concerning the
Prohibition and Immediate Action for
the Elimination of the Worst Forms of
Child Labour (Konvensi ILO Nomor
182 Mengenai Pelanggaran dan
Tindakan Segera Penghapusan
Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak) (Lembaran Negara
Tahun 2000 Nomor 30, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3941);
9. Undang-undang Nomor 26 tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Tahun
2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4026);
10. Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Tahun 2002
Nomor 109, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4235);
11 Keputusan Presiden Nomor 36
tahun 1990 tentang Pengesahan
Convention on the Rights of the Child
(Konvensi tentang Hak-hak Anak)
(Lembaran Negara Tahun 1990
Nomor 57);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN
PRESIDEN TENTANG RENCANA
AKSI NASIONAL PENGHAPUSAN
EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL
ANAK.
310
Pasal 1
(1) Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial
Anak, selanjutnya disebut RANPESKA, adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan Presiden ini.
(2) RAN-PESKA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan landasan dan pedoman bagi Pemerintah, Propinsi dan Kabupaten/Kota
serta Organisasi Non Pemerintah
dalam melaksanakan penghapusan
eksploitasi seksual komersial anak.
Pasal 2
Hakekat dan tujuan RAN-PESKA adalah
untuk:
a. menjamin peningkatan dan pemajuan atas upaya-upaya perlindungan terhadap korban eksploitasi seksual komersial anak;
b. mewujudkan kegiatan-kegiatan baik yang bersifat preventif maupun
represif dalam upaya melakukan
tindakan pencegahan dan penanggulangan atas praktek-praktek eksploitasi seksual komersial anak;
c. mendorong untuk adanya pembentukan dan/atau penyempurnaan
peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan tindakan
eksploitasi seksual komersial anak.
Pasal 3
Pelaksanaan RAN-PESKA dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan
dalam suatu program 5 (lima) tahunan
yang akan ditinjau dan disempurnakan
kembali setiap 5 (lima) tahun.
Pasal 4
(1) Untuk menjamin terlaksananya
RAN-PESKA dibentuk suatu Gugus Tugas / Panitia Nasional yang
berkedudukan di bawah dan ber-
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
tanggung jawab langsung kepada
Presiden.
(2) Gugus Tugas / Panitia Nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) mempunyai tugas:
a. Pengkoordinasian pelaksanaan
upaya penghapusan eksploitasi
seksual komersial anak yang
dilakukan oleh Pemerintah,
Propinsi dan Kabupaten/Kota
serta Organisasi Non Pemerintah sesuai dengan tugas fungsi
dan/atau kualifikasi masingmasing;
b. Advokasi dan sosialisasi RANPESKA pada pemangku kepentingan;
c. Kerjasama nasional, regional
dan internasional untuk langkah-langkah pencegahan dan
penanggulangan dalam upaya
penghapusan eksploitasi seksual komersial anak;
d. Pemantauan dan evaluasi baik
secara periodik maupun insidentil serta penyampaian permasalahan yang terjadi dalam
pelaksanaan RAN-PESKA kepada instansi yang berwenang
untuk penanganan dan penyelesaian lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku;
e. Pelaporan perkembangan pelaksanaan upaya penghapusan
eksploitasi seksual komersial
anak kepada Presiden dan
masyarakat.
(3) Susunan keanggotaan Gugus Tugas
/ Panitia Nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Keputusan Presiden ini.
Pasal 5
(1) Susunan keanggotaan Gugus Tugas
/ Panitia Nasional RAN-PESKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) terdiri dari Tim Pengarah
yang diketuai oleh Menteri Negara
Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat dan Tim Pelaksana yang
diketuai oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
(2) Untuk adanya kelancaran dan kesinambungan yang sinergis dalam
pelaksanaan tugas sehari-hari,
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan selaku Ketua Pelaksana,
mengkoordinasikan setiap kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan RAN-PESKA.
Pasal 6
(1) Untuk menjamin terlaksananya
RAN-PESKA di daerah dilakukan
oleh Gugus Tugas / Panitia Daerah
RAN-PESKA, yang dibentuk melalui
Keputusan Gubernur untuk Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan Keputusan Bupati/Walikota untuk
Pemerintah Kabupaten/Kota (Pemkab/Pemkot).
(2) Susunan keanggotaan Gugus Tugas
/ Panitia Daerah RAN-PESKA menyesuaikan susunan keanggotaan
Gugus Tugas / Panitia Nasional
RAN-PESKA dan/atau disesuaikan
dengan kebutuhan serta kondisi
daerah yang bersangkutan.
Pasal 7
Pembiayaan pelaksanaan RAN-PESKA
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, anggaran
masing-masing pemangku kepentingan
dan/atau sumber dana lain yang sah
serta tidak mengikat.
311
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pasal 8
Keputusan Presiden ini mulai berlaku
pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Desember 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro
Peraturan Perundang-undangan II,
Edy Sudibyo
LAMPIRAN I
KEPUTUSAN PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 87 Tahun 2002
TANGGAL : 30 Desember 2002
RENCANA AKSI NASIONAL
PENGHAPUSAN EKSPLOITASI
SEKSUAL KOMERSIAL ANAK
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Anak merupakan mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa wajib dilindungi
dan dijaga kehormatan, martabat dan
harga dirinya secara wajar, baik secara
hukum, ekonomi, politik, sosial dan budaya tanpa membedakan suku, agama,
ras dan golongan. Anak adalah generasi
penerus bangsa yang akan sangat menentukan nasib dan masa depan bangsa
secara keseluruhan di masa yang akan
datang. Anak harus dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang
sesuai dengan fitrah dan kodratnya,
oleh karena itu segala bentuk perlakuan
yang mengganggu dan merusak akhlak
anak dalam berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi yang
tidak berperikemanusiaan termasuk
eksploitasi untuk tujuan seksual komersial harus segera dihentikan tanpa
kecuali. Korban diperlakukan seperti
komoditas yang dapat diperjualbelikan
dan dirampas hak-haknya bahkan beresiko tinggi terhadap gangguan kesehatan jasmani, rohani dan sosialnya
serta berpengaruh buruk terhadap
masa depannya.
Terdapat tiga bentuk eksploitasi seksual komersial terhadap anak yaitu
prostitusi anak, pornografi anak, dan
perdagangan (trafiking) anak untuk
312
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
tujuan seksual. Berdasarkan pemetaan
yang dilakukan pada tahun 1997/1998,
ketiga bentuk eksploitasi seksual komersial anak tersebut ditemukan dengan skala dan intensitas yang berbeda. Prostitusi anak di Indonesia telah
meluas, jumlah anak yang dilacurkan
diperkirakan mencapai 30% dari total
prostitusi yakni sekitar 40.000-70.000
anak atau bahkan lebih. Gejala prostitusi anak diperkirakan akan terus
meningkat karena tidak ada prasyarat
yang menunjukkan adanya penurunan
permintaan. Pornografi anak terjadi
dalam skala paling rendah, namun dengan terbukanya arus informasi global,
bukanlah hal yang tidak biasa menampilkan figur anak berumur belasan
tahun dalam situs internet yang dapat
diakses oleh siapapun.
Kasus-kasus perdagangan (trafiking)
anak untuk tujuan seksual diidentifikasi terjadi di Indonesia. Dalam hal
perdagangan anak untuk tujuan seksual secara lintas batas negara, Indonesia merupakan negara asal dengan
tujuan ke negara-negara tetangga sekitar Indonesia. Dengan demikian, menjadi nyata bahwa kegiatan eksploitasi
seksual komersial anak merupakan
kejahatan kemanusian dan pelanggaran berat hak asasi manusia yang harus dibasmi sampai keakar-akarnya
dan ditangani secara sungguh-sungguh
melalui Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial
Anak dengan melibatkan semua pihak
dengan potensi yang dimilikinya. Perumusan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial
Anak (RAN-PESKA) di Indonesia merujuk kepada kesepakatan yang tertuang
dalam empat instrumen internasional/
regional sebagai berikut:
a. Konvensi tentang Hak-hak Anak
(KHA), yang telah diratifikasi oleh
Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990;
b. Deklarasi dan Agenda Aksi Stockholm, disepakati pada tahun 1996;
c. Komitmen dan Rencana Aksi Regional Kawasan Asia Timur dan
Pasifik melawan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Regional Commitment and Action Plan of the East Asia
and Pacific Region against Commercial Sexual Exploitation of Children),
ditandatangani di Bangkok pada
bulan Oktober 2001; dan
d. Komitmen Global Yokohama, disepakati pada bulan Desember
2001.
Instrumen pertama dan keempat memberikan landasan legal dan moral, sedang instrumen kedua dan ketiga, selain memberikan landasan moral juga
memberikan kerangka program bagi
upaya penghapusan Eksploitasi Seksual
Komersial Anak (ESKA), baik di tingkat
internasional dan regional maupun nasional dan lokal.
Kerangka yang diberikan oleh Agenda
Aksi Stockholm dan Komitmen dan
Rencana Aksi Regional Kawasan Asia
Timur dan Pasifik melawan Eksploitasi
Seksual Komersial Anak terbagi menjadi lima kategori, yaitu :
a. Koordinasi dan Kerjasama;
b. Pencegahan;
c. Perlindungan;
d. Pemulihan dan Reintegrasi Sosial;
e. Partisipasi Anak.
Selain merujuk kepada empat instrumen sebagaimana dimaksud di atas,
Rencana Aksi ini juga terkait dengan
kesepakatan Indonesia terhadap tiga
instrumen internasional lainnya, yaitu :
a. Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai
313
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk
Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
(diratifikasi oleh Indonesia melalui
Undang-undang Nomor 1 Tahun
2000), dan telah disusun Rencana
Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk
Untuk Anak;
b. Optional Protocol to the Convention on
the Rights of the Child on the Sale of
Children, Child Prostitution and Child
Pornography (ditandatangani oleh
Indonesia Pada tanggal 24 September 2001); serta
c. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially
Women and Children, supplementing to the United Nations Convention Against Transnational Organized
Crime (ditandatangani oleh Indonesia Pada tanggal 12 Desember 2002),
dan telah disusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan
(trafiking) Terhadap Perempuan
dan Anak.
Selain terkait dengan berbagai instrumen internasional/regional tersebut,
perkembangan yang terjadi di tingkat
nasional telah memberikan landasan
baru bagi perumusan Rencana Aksi ini,
yaitu :
a. Perubahan Kedua atas Undangundang Dasar 1945 (Agustus 2000),
yang memberikan landasan konstitusional bagi pengakuan hak anak
atas perlindungan. Pasal 28 B (ayat
2) menyatakan, “Setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
b. Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia
memberikan landasan legal bagi
314
perumusan Rencana Aksi ini. Pasal
52 (ayat 1) dari Undang-undang
ini menyatakan, “Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orangtua,
keluarga, masyarakat, dan negara.”
Sedang Pasal 65 menyatakan, “Setiap anak berhak untuk memperoleh
perlindungan dari kegiatan eksploitasi
dan pelecehan seksual, penculikan,
perdagangan anak, serta dari berbagai
bentuk penyalahgunaan narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya.”
c. Undang-undang Nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 13 (ayat 1) dari Undang-undang ini menyatakan, “Setiap anak
selama dalam pengasuhan orang tua,
wali, atau pihak lain manapun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan,
berhak mendapatkan perlindung-an
dari perlakuan eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.” Pasal 59 menyatakan bahwa Pemerintah dan
lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk
memberikan perlindungan khusus
kepada “… anak (yang) tereksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual,
anak yang diperdagangkan, anak yang
menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (napza), anak korban
penculikan, penjualan dan perdagangan...”. Selanjutnya Pasal 66 sampai
dengan Pasal 68 menjabarkan lebih
lanjut tentang operasionalisasi perlindungan sebagaimana dimaksud
pada Pasal 59 di atas.
Keputusan Presiden ini lahir karena
didorong oleh keprihatinan yang mendalam terhadap berbagai kasus eksploitasi seksual komersial terhadap
anak di Indonesia yang mulai merisaukan dan mencemaskan kehidupan dan
masa depan anak-anak Indonesia. Di
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
samping itu, komitmen nasional dan internasional telah memberikan landasan legal dan moral bagi bangsa Indonesia untuk memerangi dan menghapus
eksploitasi seksual komersial terhadap
anak-anak Indonesia.
B. LANDASAN HUKUM
Berbagai landasan hukum nasional
dalam menghapus eksploitasi seksual
komersial terhadap anak yang berlaku
sekarang ini antara lain :
1. Undang-undang Dasar 1945;
2. Ketetapan MPR RI Nomor X/
MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang
Tahunan MPR RI Tahun 2001;
3. Undang-undang Nomor 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak;
4. Undang-undang Nomor 7 Tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita;
5. Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 Pengadilan Anak;
6. Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah;
7. Undang-undang Nomor 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah;
8. Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia
9. Undang-undang Nomor 1 Tahun
2000 tentang Pengesahan ILO Convention Number 182 Concerning the
Prohibition and Immediate Action for
the Elimination of the Worsdt Forms of
Child Labour (Konvensi ILO Nomor
182 Mengenai Pelanggaran dan
Tindakan Segera Penghapusan
Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak);
10. Undang-undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia;
11. Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak;
12. Keputusan Presiden Nomor 36
Tahun 1990 tentang Pengesahan
Convention on the Rights of the Child
(Konvensi tentang Hak-hak Anak);
13. Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia;
14. Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.
Berbagai instrumen internasional lain
yang telah disetujui pemerintah Indonesia antara lain :
a. Optional Protocol to the Convention on
the Rights of the Child on the Sale of
Children, Child Prostitution and Child
Pornography;
b. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially
Women and Children, supplementing to
the United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime.
Pada tahun 1996 dan tahun 2001 Indonesia menyetujui komitmen internasional dan regional untuk menghapus
eksploitasi seksual komersial anak melalui :
a. Deklarasi dan Agenda Aksi Stockholm menentang eksploitasi seksual komersial anak;
b. Komitmen Global Yokohama menentang eksploitasi seksual komersial anak;
c. Komitmen Regional dan Rencana
Aksi Regional Asia Timur dan Pasifik menentang eksploitasi seksual
komersial anak.
315
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
C. PENGERTIAN
Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Eksploitasi Seksual Komersial Anak
ialah suatu program nasional untuk
mencegah dan menghapuskan eksploitasi seksual komersial terhadap
anak di Indonesia. Eksploitasi Seksual
Komersial Anak selanjutnya disebut
ESKA adalah “penggunaan anak untuk
tujuan seksual dengan imbalan tunai atau
dalam bentuk lain antara anak, pembeli
jasa seks, perantara atau agen, dan pihak
lain yang memperoleh keuntungan dari
perdagangan seksualitas anak tersebut”.1
Ada tiga bentuk ESKA, yakni:2
a. Prostitusi anak; yaitu penggunaan
anak dalam kegiatan seksual dengan pembayaran atau dengan imbalan dalam bentuk lain.
b. Pornografi anak; yaitu setiap representasi, dengan sarana apapun,
pelibatan secara eksplisit seorang
anak dalam kegiatan seksual baik
secara nyata maupun disimulasikan, atau setiap representasi dari
organ-organ seksual anak untuk
tujuan seksual.
c. Perdagangan anak untuk tujuan
seksual.3
Protocol to Prevent, Suppress and Punish
Trafficking in Persons, Especially Women
and Children, supplementing to the United
Nations Convention Against Transnational
Organized Crime mendefinisikan “trafiking (perdagangan) manusia” sebagai
berikut (Pasal 3):
1 Background Paper prepared for the World Congress Against Commercial Sexual Exploitation of
Children; Stockholm, 27-31 August 1996 (h.3).
2 Ibid.
3 Ibid. (Ps. 2(c)) – Child pornography means any
representation, by whatever means, of a child
engaged in real or simulated explicit sexual activities or any representation of the sexual parts
of a child for primarily sexual purposes’
316
a. Trafiking (perdagangan) manusia ialah rekrutmen, transportasi,
transfer, penampungan atau penerimaan orang, dengan ancaman
atau penggunaan kekuatan atau
bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, penipuan, pemerdayaan, penyalahgunaan kekuasaan atau ketergantungan atau
dengan pemberian atau penerimaan pembayaran atau imbalan
lain dalam memperoleh persetujuan dari seseorang yang memiliki
kendali atas orang lainnya, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi
setidak-tidaknya akan meliputi
eksploitasi dalam bentuk pemelacuran orang lain atau dalam bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa,
perbudakan atau praktek-praktek
yang menyerupai perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ
tubuh.
b. Rekrutmen, transportasi, transfer,
penampungan atau penerimaan seorang anak untuk tujuan eksploitasi akan dianggap sebagai “Trafiking
(perdagangan) manusia” bahkan
apabila hal tersebut tidak melibatkan cara-cara sebagaimana dipaparkan dalam sub-paragrap (a)
dari pasal ini.
c. Anak berarti setiap orang yang
umurnya belum mencapai delapanbelas tahun.
Dengan demikian, sudah bisa dikategorikan sebagai “trafiking (perdagangan) anak untuk tujuan seksual”, apabila
terdapat unsur-unsur:
- rekrutmen, transportasi, transfer,
penampungan atau penerimaan atas seseorang yang umurnya belum
mencapai delapan belas tahun; dan
- untuk tujuan eksploitasi dengan
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
menjerumuskannya ke dalam prostitusi atau dalam bentuk-bentuk
eksploitasi seksual lainnya.
walaupun tidak selalu terkandung unsur-unsur ancaman atau penggunaan
kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, penipuan dan
pemerdayaan.
Yang dimaksud dengan “anak” dalam
RAN-PESKA ini - sesuai dengan Konvensi tentang Hak-hak Anak, Konvensi
ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan
dan Tindakan Segera Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk
Untuk Anak, Protocol to Prevent, Suppress
and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, supplementing
to the United Nations Convention against
Transnational Organized Crime, serta
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak - adalah setiap manusia yang umurnya dibawah 18
(delapan belas) tahun.
BAB II
ARAH KEBIJAKAN
A. TUJUAN UMUM
1. Memberikan perlindungan kepada
setiap anak dari eksploitasi seksual komersial dan memfasilitasi
pemenuhan hak-hak anak sesuai
Konvensi tentang Hak-Hak Anak;
2. Mengurangi jumlah anak yang
rawan eksploitasi seksual komersial;
3. Mengembangkan lingkungan, sikap dan praktek yang tanggap terhadap hak-hak anak.
B. VISI
Setiap anak tanpa diskriminasi apapun
terlindungi dari kekerasan dan eksploitasi seksual komersial dan dapat
terpenuhi semua hak-haknya sesuai
yang ditetapkan dalam Konvensi tentang Hak-hak Anak, dalam suatu lingkungan yang menghormati kepentingan
terbaik anak, menghargai pandanganpandangan anak, dan yang mendukung
kelangsungan hidup mereka.
C. MISI
Memberikan kepada setiap anak tanpa
diskriminasi atas dasar apapun perlindungan maksimum dari ancaman kekerasan dan eksploitasi seksual komersial
dan sekaligus mengupayakan pemenuhan hak-hak anak terutama bagi mereka yang beresiko dan yang menjadi korban kekerasan dan eksploitasi seksual;
serta mengembangkan suatu lingkungan yang menghormati kepentingan
terbaik anak, menghargai pandanganpandangan anak dan yang mendukung
kelangsungan hidup anak.
D. STRATEGI
Untuk mencapai tujuan-tujuan umum
di atas maka lima kelompok agenda
yang direkomendasikan dalam Agenda Aksi Stockholm diadopsi sebagai
berikut :
1. Pengembangan koordinasi dan
kerjasama antara pemerintah dan
non-pemerintah termasuk kelompok anak-anak di tingkat nasional
dan lokal serta di tingkat internasional dan regional guna merencanakan, melaksanakan, memantau
dan mengevaluasi program penghapusan ESKA.
2. Penyediaan akses ke pendidikan
dasar dan layanan kesehatan seluas-luasnya kepada semua anak, pengembangan sumber pendapatan
alternatif bagi keluarga-keluarga
yang rawan ESKA, pengarusutamaan hak anak dan penguatan sistem
hukum guna pencegahan ESKA.
3. Pengembangan dan/atau pengua317
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
tan hukum nasional guna memberikan perlindungan kepada anak,
antara lain dengan mengkriminalisasikan pelaku eksploitasi seksual
anak dan memperlakukan anak
sebagai korban dan menerapkan
hukum pidana secara ekstra-teritorial, serta penguatan peran masyarakat sipil dalam perlindungan
anak.
4. Pengarusutamaan
pendekatan
yang tidak bersifat menghukum
(nonpunitive) kepada korban ESKA,
penyediaan pelayanan pemulihan
dan pengembangan sumber pendapatan alternatif bagi korban
ESKA dan keluarga mereka, serta
pengembangan budaya yang mendukung pengintegrasian kembali
korban ke keluarga dan masyarakat.
5. Pengembangan kapasitas anak agar mereka bisa berpartisipasi secara maksimal dalam perencanaan,
implementasi, pemantauan dan
evaluasi program-program penghapusan ESKA termasuk dengan
pembentukan komite anak yang independen.
318
BAB III
PROGRAM KEGIATAN
PROGRAM KEGIATAN LIMA TAHUN
(2003-2007)
A. KOORDINASI DAN KERJASAMA
Strategi :
Pengembangan koordinasi dan kerjasama antara pemerintah dan non
pemerintah termasuk kelompok anakanak di tingkat nasional dan lokal serta
di tingkat internasional dan regional
guna merencanakan, melaksanakan,
memantau, dan mengevaluasi program
penghapusan ESKA.
Penjuru (Focal Point) :
1. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan;
2. Gugus Tugas / Panitia Nasional
Penghapusan Eksploitasi Seksual
Komersial Anak;
3. Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia.
Tujuan Khusus :
1. Mengembangkan koordinasi di
tingkat nasional dan lokal dengan
melibatkan semua stakeholders dalam perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi programprogram penghapusan ESKA di Indonesia;
2. Membentuk sistem pendukung
bagi kegiatan-kegiatan penghapusan ESKA di Indonesia;
3. Mewujudkan kerjasama di tingkat
internasional dan regional dalam
penghapusan ESKA;.
(B)
Sumberdaya dan dana
bagi implementasi,
pemantauan, dan
evaluasi RANPESKA
teralokasikan
(A)
Terbentuk Gugus
Tugas / Panitia
Nasional Penghapusan
Eksploitasi Seksual
Komersial Anak
dengan peran
sebagai pemantau/
evaluasi implementasi
RANPESKA
Keluaran
Mengembangkan
mekanisme implementasi
pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan RANPESKA
untuk dipergunakan oleh
Gugus Tugas / Panitia
Nasional
•
Mengalokasikan
sumber daya dan dana
secara progresif sesuai
kebutuhan dari anggaran
Kantor Meneg. PP
Mengoperasionalkan
Gugus Tugas / Panitia
Nasional
•
•
Membuat rencana
pembentukan Gugus
Tugas / Panitia Nasional
Penghapusan Eksploitasi
Seksual Komersial Anak
•
Kegiatan
Tahun
2003-2007
Tahun
2003
Tahun 0
Jadwal
Kantor
Meneg. PP
Kantor
Meneg. PP
Kantor
Meneg. PP
Penanggung
Jawab
•
•
•
•
•
•
Rencana anggaran untuk
implementasi, pemantauan, dan
evaluasi RANPESKA di lingkungan
Kantor Meneg. PP teralokasikan
Alokasi anggaran dari
setiap Departemen/Kantor
Meneg-Menko terkait untuk
penghapusan ESKA
Rincian indikator guna
pemantauan
Rumusan mekanisme
implementasi, pemantauan dan
evaluasi pelaksanaan RANPESKA
Pembentukan Gugus Tugas /
Panitia Nasional melalui Keppres
Gugus Tugas / Panitia Nasional
beroperasi sesuai perannya
Indikator
a. Gugus Tugas / Panitia
Nasional Penghapusan
Eksploitasi Seksual Komersial
Anak (GT/PNPESKA)
b. Departemen/Kantor
Meneg-Menko terkait
c. Organisasi Non Pemerintah
d. Perguruan Tinggi
a. Departemen/Kantor
Meneg-Menko terkait
b. Organisasi Non Pemerintah
c. Perguruan Tinggi
Mitra yang Terlibat
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
319
320
(C)
Terbentuk sistem
pendukung dan
pemantauan bagi
kegiatan-kegiatan
penghapusan ESKA di
Indonesia
(B) ... (lanjutan)
Keluaran
Mengembangkan
indikator-indikator guna
memantau implementasi
dan kemajuan pencapaian
penghapusan ESKA
berdasarkan RAN ini
Memprakarsai
pembentukan penjurupenjuru di tingkat
nasional
•
Mendesak donor
internasional agar
mengalokasikan sebagian
dana bantuan guna
keperluan penghapusan
ESKA
•
•
Mendorong sektor
lain yang relevan dan
Pemerintah Daerah
agar mengalokasikan
sumber daya dan dana
berdasarkan potensi yang
ada
•
Kegiatan
Tahun
2003
Tahun
2003
Tahun
2004-2007
Tahun
2003-2007
Jadwal
Kantor
Meneg. PP
KPTPA-ESKA
Kantor
Meneg. PP
Kantor
Meneg. PP
Penanggung
Jawab
•
•
•
•
•
•
•
Ada penjuru-penjuru di tingkat
nasional
Rumusan indikator pemantauan
implementasi dan pencapaian
RAN-PESKA
Evaluasi diselenggarakan
sebanyak 2 kali/tahun
Pertemuan dengan donor
internasional
MoU dengan donor internasional
Pertemuan sebanyak 4 kali/tahun
Risalah komunikasi resmi dengan
Departemen/Kantor MenegMenko terkait dan Pemerintah
Daerah mengenai pengalokasian
sumberdaya dan dana
Indikator
a. Departemen/Kantor
Meneg-Menko terkait
b. Organisasi Non Pemerintah
Kantor Meneg. PP
a. Depdagri
b. GT/PNPESKA
Mitra yang Terlibat
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
(C) ...
Keluaran
Mendorong Departemen/
Kantor Meneg-Menko
terkait agar membentuk
penjuru-penjuru di
tingkat Propinsi dan
Kabupaten/ Kota
Menyelenggarakan
pertemuan pemantauan
sebanyak 1 kali/tahun
Menyelenggarakan
pertemuan evaluasi
tingkat nasional
melibatkan sebanyak
banyaknya stakeholders
dari Pemerintah
maupun Organisasi Non
Pemerintah
Mengembangkan
RANPESKA tahap II untuk
lima tahun berikutnya
Mengintegrasikan
pelaksanaan dan
pencapaian RANPESKA ke
dalam laporan periodik
Indoneesia kepada Komite
Hak Anak PBB
•
•
•
•
•
Kegiatan
Setiap
laporan
periodik
KHA
Akhir
Tahun
2006
Tahun
2006
Tahun
2003-2007
Tahun
2003-2004
Jadwal
Kantor
Meneg. PP
Kantor
Meneg. PP
Kantor
Meneg. PP
Kantor
Meneg. PP
Kantor
Meneg. PP
Penanggung
Jawab
•
•
•
•
•
•
Pelaksanaan dan pencapaian
RANPESKA terintegrasi ke dalam
laporan periodik dari Indonesia
kepada Komite Hak Anak PBB
Rumusan RANPESKA Tahap II
Laporan pertemuan evaluasi
tahunan, dibagikan kepada semua
stakeholders
Laporan pertemuan pemantauan
Kesepakatan dengan
Departemen/Kantor MenegMenko terkait
Ada penjuru- penjuru di tingkat
Propinsi dan Kabupaten/Kota
Indikator
a. Departemen/Kantor
Meneg-Menko terkait
b. Organisasi Non Pemerintah
c. Kelompok/Komite Anak
d. GT/PN-PESKA
a. Departemen/Kantor
Meneg-Menko terkait
b. Organisasi Non Pemerintah
c. Kelompok/-Komite Anak
d. GT/PN-PESKA
a. GT/PN-PESKA
b. Departemen/Kantor
Meneg-Menko terkait
c. Organisasi Non Pemerintah
d. Perguruan Tinggi
a. GT/PN-PESKA
b. Organisasi Non Pemerintah
a. Depdagri
b. GT/PN-PESKA
c. Organisasi Non Pemerintah
Mitra yang Terlibat
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
321
322
Melakukan analisis
berkelanjutan tentang
situasi ESKA terutama
tentang korban dan
pelaku kejahatan
ESKA sebagai bahan
pengembangan kegiatan
berkelanjutan
•
Merumuskan kriteria,
melakukan identifikasi,
dan melaksanakan
kerjasama dengan negaranegara serta organisasiorganisasi regional/
internasional untuk
pemberantasan ESKA
Mengembangkan dan
mengaplikasikan sistem
database tentang anakanak korban dan pelaku
kejahatan ESKA
Kegiatan
•
(D)
•
Terselenggara
kerjasama internasional
dan regional bagi
penghapusan ESKA
(C) ...
Keluaran
Mulai
tahun
2004
Akhir
tahun
2006
Tahun
2004-2007
Jadwal
Kantor
Meneg. PP
Kantor
Meneg. PP
Departemen
Kehakiman
dan HAM
Penanggung
Jawab
•
•
•
•
•
•
•
Rumusan kriteria dan hasil
identifikasi
Laporan studi banding
Dokumen kerjasama
ditandatangani antara POLRI
dengan INTERPOL/ASEANAPOL
Analisa situasi ESKA
dipublikasikan
Sistem database dikembangkan
di tingkat nasional, Propinsi, dan
Kabupaten/Kota
Uji coba database di pengadilan
Database tentang anak- anak
korban dan pelaku kejahatan
ESKA (nama dirahasiakan)
Indikator
a. Departemen/Kantor
Meneg-Menko terkait
b. POLRI
c. Departemen Luar Negeri
a. Departemen Kehakiman
dan HAM
b. GT/PN-PESKA
a. Departemen/Kantor
Meneg-Menko terkait
b. POLRI
c. Organisasi Non Pemerintah
Mitra yang Terlibat
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
(D) ...
Keluaran
•
Jadwal
Berpartisipasi aktif
Tahun
dalam berbagai
2003-2007
peristiwa regional/
internasional menyangkut
implementasi Agenda
Stockholm dan Komitmen
Yokohama serta Rencana
Aksi Regional Asia Timur
dan Pasifik
Kegiatan
Kantor
Meneg. PP
Penanggung
Jawab
•
Laporan keterlibatan dalam
berbagai peristiwa regional/
internasional mengenai
penghapusan ESKA, meliputi::
a. pertemuan persiapan untuk
kesertaan dalam Regional
Monitoring Meeting tahun
2004
b. keikutsertaan dalam Regional
Monitoring Meeting tahun
2004
Indikator
a. Departemen Luar Negeri
b. Departemen/Kantor
Meneg-Menko terkait
c. Organisasi Non Pemerintah
d. Kelompok/Komite Anak
Mitra yang Terlibat
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
323
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
B. PENCEGAHAN
Strategi :
Penyediaan akses ke pendidikan dasar
seluas-luasnya kepada semua anak,
pengembangan sumber pendapatan
alternatif bagi keluarga-keluarga yang
rawan ESKA, pengarusutamaan hak anak dan penguatan sistem hukum guna
pencegahan ESKA.
Penjuru :
1. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan;
2. Departemen Pendidikan Nasional;
3. Departemen Agama;
4. Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata;
5. Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia.
Tujuan Khusus :
1. Mengurangi jumlah anak yang
rawan eksploitasi seksual komersial;
2. Meningkatkan kesadaran dan komitmen keluarga, masyarakat, pejabat dan aparatur negara tentang
hak-hak anak dan sebab serta akibat yang ditimbulkan oleh ESKA
324
(B)
Anak-anak, terutama
anak perempuan di
wilayah yang rawan
ESKA memperoleh
akses maksimum pada
pendidikan dasar
(A)
Hak-hak anak,
khususnya hak anak
atas perlindungan dari
ESKA, tersosialisasikan
ke seluruh lapisan
masyarakat
Keluaran
Menyediakan akses bagi
pemenuhan pendidikan
dasar 9 tahun kepada
anak-anak perempuan
di wilayah-wilayah yang
rawan ESKA, termasuk
melakukan upaya untuk
mencegah terjadinya
putus sekolah di tingkat
pendidikan dasar
Melakukan pendidikan
pencegahan ESKA kepada
Anak-anak
•
•
Melakukan kampanye
publik secara ekstensif
melalui berbagai media
cetak dan elektronik,
antara lain dengan iklan
masyarakat mengenai
hak anak, khususnya hak
atas perlindungan ESKA,
mengenai kriminalitas
ESKA dan dampak buruk
ESKA
•
Kegiatan
Tahun
2003-2007
Tahun
2003-2007
Tahun
2004
Jadwal
Departemen
Pendidikan
Nasional
Departemen
Pendidikan
Nasional
Kantor
Meneg. PP
Penanggung
Jawab
•
•
•
•
Rencana program rintisan di
wilayah- wilayah rawan ESKA
Laporan tahunan atas
pelaksanaan program rintisan
Kampanye publik dilaksanakan
melalui berbagai media termasuk
media cetak dan elektronik
Laporan kampanye
Indikator
a. Departemen/Kantor
Meneg-Menko terkait
b. Organisasi Non Pemerintah
a. Organisasi Non Pemerintah
b. Kelompok/Komite Anak
a. Organisasi Non Pemerintah
b. Kelompok/Organisasi Anak
c. Sekolah-sekolah
d. Departemen Pendidikan
Nasional
e. Departemen Sosial
f. Kantor Meneg. Kebudayaan
dan Pariwisata
g. Departemen Agama
Mitra yang Terlibat
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
325
326
•
•
•
•
(B) ...
(C)
Terselenggara
pendidikan keluarga
yang berpihak kepada
anak
(D)
Pariwisata yang
ramah anak dan bebas
ESKA tersosialisasi di
kalangan pelaku bisnis
pariwisata
(E)
Berkembangnya
iklim hukum yang
bisa lebih mencegah
terjadinya ESKA
Keluaran
Tahun
2004-2007
Jadwal
Mendorong penguatan
hukum pidana dan
perdata nasional agar
lebih melindungi anak
rawan/korban ESKA
Melakukan kampanye dan
mendorong pelaku bisnis
pariwisata untuk menolak
ESKA dan mengembangkan paket wisata yang
bebas ESKA
Tahun
2004-2007
Tahun
2003-2004
Melakukan kampanye
Mulai
khusus tentang resiko
tahun
perkawinan usia dini di
2004
wilayahwilayah dengan
tingkat perkawinan usia
dini yang tinggi, bila perlu
dengan pengembangan
proyek rintisan
pencegahan perkawinan
usia dini
Mendorong lembaga
pendidikan untuk
mengintegrasikan
pendidikan KHA dan isu
ESKA ke dalam pelajaran
sekolah tingkat SD-SLTP
Kegiatan
Departemen
Kehakiman
dan HAM
Kantor
Meneg
Kebudayaan
dan
Pariwisata
Departemen
Agama
Departemen
Pendidikan
Nasional
Penanggung
Jawab
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Program penguatan hukum
pidana dan perdata
Draf usulan amandemen hukum
pidana dan perdata
Amandemen disahkan, utamanya
mengenai kriminalisasi ESKA
dalam KUHP
Program dan disain kampanye
Pelaksanaan kampanye
Laporan pelaksanaan kampan
Program dan disain kampanye
Kampanye dilaksanakan
Laporan pelaksanaan kampanye
Modul pendidikan KHA dan isu
ESKA
Laporan uji coba modul di
sekolah-sekolah di wilayah rawan
Modul pendidikan diintegrasikan
dalam kurikulum SLTP dan SLTA
Indikator
a. BPHN
b. Perguruan Tinggi
c. Organisasi Non Pemerintah
d. DPR
a. Departemen/Kantor
Meneg-Menko terkait
b. Pemerintah Daerah
c. Organisasi NonPemerintah
d. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia
e. Kelompok/Komite Anak
a. Departemen/Kantor
Meneg-Menko terkait
b. Pemerintah Daerah
c. Organisasi Non Pemerintah
d. Kelompok/Komite Anak
a. Pemerintah Daerah
b. Organisasi Non Pemerintah
c. Kelompok/Komite Anak
Mitra yang Terlibat
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
C. PERLINDUNGAN
Strategi :
Pengembangan dan/atau penguatan
hukum nasional guna memberikan
perlindungan kepada anak, antara lain
dengan mengkriminalisasikan pelaku
eksploitasi seksual anak dan memperlakukan anak sebagai korban dan
menerapkan hukum pidana secara ekstrateritorial, serta penguatan peran
masyarakat sipil dalam perlindungan
anak.
Penjuru :
1. Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia;
2. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan;
3. Departemen Luar Negeri;
4. Kepolisian Negara Republik Indonesia;
5. Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Tujuan Khusus :
1. Memberikan perlindungan yang
memadai bagi anak dari ancaman
ESKA;
2. Memberikan perlindungan yang
memadai bagi anak yang menjadi
korban ESKA.
327
328
(A)
Tersedia perlindungan
yang lebih memadai
bagi anak dari ancaman
ESKA
Keluaran
•
Melakukan penelaahan
kritis atas kesesuaian
perundangan/peraturan
nasional dengan standar
yang ditetapkan secara
internasional tentang
pemberantasan ESKA
Mendorong upaya peratifikasian segera berbagai
instrumen internasional
yang relevan dengan isu
ESKA
•
Tahun
2004
Tahun
2003-2005
Mendorong upaya untuk
Tahun
meningkatkan status
2003-2007
ratifikasi Konvensi
tentang Hak-hak Anak
dari Keppres menjadi
undang-undang dan
mendorong pencabutan
reservasi terhadap
Konvensi tentang Hak-hak
Anak
Jadwal
•
Kegiatan
Departemen
Kehakiman
dan HAM
Departemen
Kehakiman &
HAM
Departemen
Kehakiman &
HAM
Penanggung
Jawab
•
•
•
•
•
•
Program penelaahan
Hasil penelaahan dipublikasikan
Draf usulan ratifikasi, meliputi
antara lain Optional Protocol to the
CRC on the Sale of Children, Child
Prostitution and Child Pornography
dan UN Convention against
Transnational Organized Crime
Usulan diterima dan dilaksanakan
Draf usulan kepada Presiden dan
DPR
Usulan diterima dan disahkan
Indikator
a. Komnas HAM
b. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia
a. Komnas HAM
b. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia
c. Organisasi Non Pemerintah
d. DPR
a. Komnas HAM
b. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia
c. Organisasi Non Pemerintah
d. DPR
Mitra yang Terlibat
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
(A) ...
Keluaran
Melakukan upaya
harmonisasi hukum
nasional (material
dan prosedural) agar
sesuai dengan standar
internasional, terutama
di wilayah hukum pidana,
hukum perdata dan
Undang Undang Imigrasi,
guna memberikan
perlindungan maksimal
kepada anakanak korban
ESKA
Melakukan upaya untuk
mengkriminalisasikan
ESKA
Mendorong
pengembangan perangkat
dan prosedur yang ramah
anak dalam penanganan
kasus-kasus ESKA dan
memberikan pelatihan
tentang prosedur ramah
anak dalam penanganan
kasus-kasus korban ESKA
kepada jajaran penegak
hukum
•
•
•
Kegiatan
Departemen
Kehakiman
dan HAM
Departemen
Kehakiman
dan HAM
Tahun
2003
Tahun
2004-2007
Departemen
Kehakiman
dan HAM
Penanggung
Jawab
Tahun
2005-2007
Jadwal
•
•
•
•
•
•
•
•
Disain pengembangan perangkat
dan prosedur yang ramah anak
Program latihan
Laporan pelatihan
Usulan amandemen KUHP
KUHP diamandemen
Program harmonisasi
Draf usulan harmonisasi
Ketentuan-ketentuan dalam
perundangan nasional
diamendemen
Indikator
a. POLRI
b. Kejaksaan Agung RI
a. DPR
b. Komnas HAM
c. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia
d. Komnas Perempuan
e. Perguruan Tinggi
f. Organisasi Non Pemerintah
a. Komnas HAM
b. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia
c. DPR
Mitra yang Terlibat
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
329
330
(B)
Kelembagaan
dan mekanisme
serta kemampuan
memerangi ESKA
di kalangan aparat
penegak hukum dan
masyarakat menguat
(A) ...
Keluaran
Mengembangkan
perangkat dan prosedur
penanganan kasus-kasus
ESKA yang berbasis hak
anak dan mengadakan
latihan-latihan penanganan kasus-kasus ESKA
kepada aparat penegak
hukum dan pengacara
Mendorong terbentuknya
mekanisme di masyarakat
untuk melakukan pemantauan dan penanganan
kasus-kasus ESKA
•
•
Tahun
20032004
Tahun
2003-2005
Mengadakan kerjasama
Mulai
bilateral dan multilateral tahun
bagi penanganan kasus
2003
ESKA secara lintas
batas, bila perlu dalam
kerangka kerjasama
dengan INTERPOL dan/
atau ASEANA-POL
•
Mulai
tahun
2004
Mendorong partisipasi
aktif masyarakat dalam
rangka pemberantasan
ESKA dan perlindungan
pada anak yang beresiko
dan yang menjadi korban
ESKA
Jadwal
•
Kegiatan
Departemen
Kehakiman
dan HAM,
Kantor
Meneg. PP
POLRI,
Kejaksaan
Agung RI,
Departemen
Kehakiman
dan HAM
Departemen
Luar Negeri,
POLRI
Kantor
Meneg. PP
Penanggung
Jawab
•
•
•
•
•
Disain rencana
Mekanisme diimplentasikan di
wilayah-wilayah percontohan
Laporan implementasi
Draf pengembangan perangkat
Rencana latihan
Laporan-laporan latihan
Rencana program kerjasama
Laporan implementasi program
MoU
Disain program
Laporan implementasi program
Indikator
a. POLRI
b. Kejaksaan Agung
c. Organisasi Non Pemerintah
a. Organisasi Pengacara
b. Organisasi Non Pemerintah
Departemen/Kantor
Meneg-Menko terkait
c. Organisasi Non
Pemerintah
a. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia
b. Pemda
Mitra yang Terlibat
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
(C)
Pengembangan
kultur hukum dan
sosial yang mendukung
pemberantasan ESKA,
khususnya guna
mendestigmatisasi
korban dan sekaligus
mengkriminalisasikan
pelaku ESKA
Keluaran
Melakukan kampanye
publik melalui
media massa untuk
mendestigmatisasi korban
dan kriminalisasi pelaku
ESKA
Melakukan studi
di wilayah-wilayah
tertentu yang dianggap
rawan ESKA untuk
mengidentifikasi faktorfaktor yang mengancam
dan mendorong
terjadinya ESKA
Sosialisasi dan memberikan peringatan dini
(early-warning) kepada
instansi terkait dan
masyarakat luas,
utamanya orang tua dan
anak-anak mengenai
modus, pola, jaringan,
sindikat, pelaku dan
perantara ESKA
•
•
•
Kegiatan
Mulai
tahun
2005
Tahun
2003
Tahun
2004
Jadwal
Kantor
Meneg. PP
Kantor
Meneg. PP
Kantor
Meneg. PP
Penanggung
Jawab
•
•
•
•
•
•
•
•
a. Perguruan Tinggi
b. Organisasi Non Pemerintah
c. Pemda
d. Departemen/Kantor
Meneg-Menko terkait
a. Organisasi Non Pemerintah
b. Kelompok/Komite Anak
Mitra yang Terlibat
Rencana sosialisasi
a. Departemen Sosial
Sistem peringatan dini diterapkan b. Organisasi Non Pemerintah
di tingkat komunitas
c. Kelompok/Komite Anak
Laporan sosialisasi
Studi dilakukan di wilayahwilayah pilihan
Laporan hasil studi disebarkan ke
semua stakeholder
Rencana kampanye publik
Kampanye dilakukan di tingkat
nasional dan sub-nasional
Laporan kampanye
Indikator
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
331
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
D. PEMULIHAN DAN REINTEGRASI
Strategi :
Pengarusutamaan pendekatan yang
bersifat tidak menghukum non punitive kepada korban ESKA, penyediaan
pelayanan pemulihan dan pengembangan sumber pendapatan alternatif
bagi korban ESKA dan keluarga mereka, serta pengembangan budaya yang
mendukung pengintegrasian kembali
korban ke keluarga dan masyarakat.
Penjuru :
1. Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia;
2. Kepolisian Negara Republik Indonesia;
3. Departemen Sosial;
4. Departemen Pendidikan Nasional;
5. Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi;
6. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan.
Tujuan Khusus :
1. Menyelamatkan dan memulihkan
korban ESKA secara psikososial serta mengintegrasikan mereka kembali ke dalam kehidupan masyarakat.
2. Mengembangkan suasana yang
kondusif bagi pemulihan dan integrasi korban ESKA kembali ke
dalam lingkungan keluarga, pendidikan dan masyarakat.
332
(B)
Penyediaan layanan
pemulihan dan
pengembangan sumber
pendapatan alternatif
bagi korban ESKA dan
keluarga mereka
(A)
Diterapkannya
pendekatan yang tidak
menghukum kepada
korban ESKA
Keluaran
Membentuk dan/atau
mendorong pembentukan
layanan hotline dan helpline di berbagai wilayah
rawan ESKA
Memberikan latihan
sensitif anak, sensitif
gender dan HAM/hak
anak kepada para pekerja
pemulihan dan para guru
sekolah
•
Memfasilitasi pemberian
latihan sensitif anak
(child-sensitivity) dan
hak anak dalam proses
penanganan perkara
kepada tenaga bantuan/
asistensi hukum
•
•
Mendorong agar
keseluruhan proses
hukum dari tingkat
penyidikan hingga proses
di pengadilan tidak
memperparah trauma
yang dialami oleh korban
ESKA dan keluarganya
•
Kegiatan
Mulai
tahun
2004
Mulai
tahun
2004
Mulai
tahun
2004
Mulai
tahun
2004
Jadwal
Departemen
Sosial,
Departemen
Pendidikan
Nasional
Departemen
Sosial
Departemen
Kehakiman
dan HAM
POLRI,
Kejaksaan
Agung,
Departemen
Kehakiman
dan HAM
Penanggung
Jawab
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Modul dan rencana latihan bagi
pekerja sosial dan guru
Laporan penyelenggaraan latihan
Rencana program pembentukan
hotline dan helpline
Laporan implementasi program
Rencana/ modul latihan
Latihan kepada tenaga bantuan/
asistensi hukum dilaksanakan
Laporan pelaksanaan latihan
Rencana pengembangan
pendekatan baru
Pendekatan baru dilaksanakan
dalam semua tahap penyelidikan/
penyidikan sampai pengadilan
Indikator
a. Organisasi Non Pemerintah
b. Sekolah-sekolah
a. Organisasi Non Pemerintah
b. Lembaga Perlindungan
Anak (LPA)
a. Organisasi pengacara
b. Organisasi bantuan hukum
c. Organisasi Non Pemerintah
a. Departemen Sosial
b. Organisasi Non Pemerintah
c. Perguruan Tinggi
d. Organisasi bantuan hukum
Mitra yang Terlibat
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
333
334
(C)
Kampanye
pengembangan budaya
yang mendukung
pengintegrasian
kembali korban
ke keluarga dan
masyarakat
(B) ...
Keluaran
Melakukan kampanye
destigmatisasi kepada
korban ESKA
Mendorong dan
membantu pengembalian
korban ESKA kepada
keluarganya
Mendorong dan
membantu pengembalian
korban ESKA kebangku
pendidikan formal
Memfasilitasi keterlibatan
anak-anak, dalam upaya
pemulihan dan reintegrasi sosial korban
ESKA
•
•
•
Merintis programprogram pendapatan
alternatif bagi korban
ESKA dan keluarga
mereka
•
•
Mengembangkan sistem
rujukan medis kepada
korban ESKA
•
Kegiatan
Mulai
tahun
2005
Mulai
tahun
2004
Mulai
tahun
2004
Tahun
2004-2005
Mulai
tahun
2004
Mulai
tahun
2004
Jadwal
Departemen
Sosial
Departemen
Pendidikan
Nasional
Departemen
Sosial
Departemen
Sosial
Departemen
Sosial
Departemen
Kesehatan
Penanggung
Jawab
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Kelompok-kelompok relawan
anak terbentuk
Laporan kegiatan
Laporan kegiatan
Laporan kegiatan
Rencana dan disain kampanye
Kampanye dilaksanakan
Laporan pelaksanaan kampanye
Rencana dan disain program
rintisan
Implementasi program
Laporan implementasi program
Rumusan rencana
Sistem dikembangkan dan
diimplementasikan
Laporan implementasi
Indikator
Organisasi Non Pemerintah
a. Departemen Sosial
b. Organisasi Non Pemerintah
a. POLRI
b. Organisasi Non Pemerintah
a. Organisasi Non Pemerintah
b. POLRI
c. LPA
a. Departemen/Kantor
Meneg-Menko terkait
b. Pemda
c. Organisasi Non Pemerintah
a. Departemen Sosial
b. Departemen/Kantor
Meneg-Menko terkait
c. Organisasi Non Pemerintah
d. LPA
Mitra yang Terlibat
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
(E)
Rekomendasi bagi
penyempurnaan
program-program
pemulihan dan
reintegrasi korban
ESKA terumuskan
(D)
Tersedia
sumber-sumber
penghasilan alternatif
bagi anak-anak
korban ESKA dan/atau
keluarganya
Keluaran
Kantor
Meneg. PP
Kantor
Meneg. PP
Mulai
tahun
2005
Mendorong tumbuhnya
sumber pendapatan
alternatif bagi keluarga
korban ESKA
Mempersiapkan
perangkat dan melakukan
pemantauan terhadap
perkembangan anak yang
diselamatkan, dipulihkan
dan diintegrasikan
kembali ke kehidupan
masyarakat
Tahun
Melakukan evaluasi atas
2006
efektifitas programprogram pemulihan
dan reintegrasi serta
merumuskan rekomendasi
bagi penyempurnaan
program pemulihan dan
reintegrasi selanjutnya
•
•
Mulai
tahun
2006
Departemen
Sosial
Departemen
Tenaga
Kerja dan
Transmigrasi
•
Mulai
tahun
2006
Membuka lapangan kerja
bagi korban ESKA yang
sudah dipulihkan atau
membantu menyalurkan
mereka ke lapangan kerja
yang tersedia
Departemen
Sosial
•
Mulai
tahun
2005
Penanggung
Jawab
Memberikan pendidikan
ketrampilan kepada
korban ESKA yang tidak
bersekolah lagi
Jadwal
•
Kegiatan
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Rumusan rekomendasi mengenai
cara-cara pemulihan dan
reintegrasi anak korban ESKA
yang efektif
Perangkat pemantauan
Laporan hasil pemantauan
Laporan kegiatan
Laporan jumlah keluarga yang
terjangkau
Laporan kegiatan
Laporan jumlah anak yang
terjangkau
Laporan kegiatan
Laporan jumlah anak yang
terjangkau
Indikator
a. Depsos
b. Depdiknas
c. Depnakertrans
d. Organisasi Non Pemerintah
a. Depsos
b. Depdiknas
c. Depnakertrans
d. Organisasi Non Pemerintah
Organisasi Non Pemerintah
a. Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi
b. Organisasi Non Pemerintah
a. Departe-men Sosial
b. Organisasi Non Pemerintah
a. Laporan
kegiatan
b. Laporan jumlah anak yang
terjangkau
Mitra yang Terlibat
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
335
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
E. PARTISIPASI ANAK
Strategi :
Pengembangan kapasitas anak agar
mereka bisa berpartisipasi secara
maksimal dalam perencanaan, implementasi, pemantauan dan evaluasi
program-program penghapusan ESKA
termasuk dengan pembentukan komite
anak yang independen.
Penjuru :
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan
Tujuan Khusus :
Memfasilitasi terwujudnya partisipasi
anak dalam perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi serta tindak
lanjut kebijakan dan program penghapusan ESKA.
336
(B)
Partisipasi
kelompok-kelompok/
forum anak dalam studi
dan program intervensi
ESKA difasilitasi
(A)
Terbentuk
jaringan diantara
berbagai kelompok
anak untuk isyu ESKA
Keluaran
Mendorong pembentukan
jaringan diantara berbagai
kelompok anak dan
memfasilitasi terjadinya
forum/pertemuan
diantara kelompok
anak untuk membahas
isyu ESKA dan masalahmasalah hak anak lainnya
•
Melakukan kajian tentang
ESKA dalam perspektif
hak anak dengan
melibatkan kelompokkelompok anak
Mensosialisasikan
RANPESKA di seluruh
kelompok anak
•
•
Mendorong dan
memfasilitasi
terbentuknya kelompokkelompok anak termasuk
dengan melibatkan
mereka yang selamat dari
ESKA
•
Kegiatan
Mulai
tahun
2004
Tahun
2005,
kemudian
secara
periodik
tiap 3
tahun
Tahun
2003-2007
Tahun
2003
Jadwal
Kantor
Meneg. PP
•
Kantor
Meneg. PP
•
•
•
•
•
•
•
•
Kantor
Meneg. PP
Kantor
Meneg. PP
Penanggung
Jawab
Rencana kajian yang melibatkan
kelompok-kelompok anak
Laporan implementasi
didiseminasikan
Jaringan yang operasional
terbentuk
Laporan kegiatan
Laporan kegiatan sosialisasi
Rencana program
Jaringan antar kelompok anak
terbentuk
Draf statuta Komite Anak
Laporan
Indikator
a. Organisasi Non Pemerintah
b. Kelompok/Komite Anak
Organisasi Non Pemerintah
a. Organisasi Non Pemerintah
b. Depdiknas
c. Sekolah-sekolah
a. Organisasi Non Pemerintah
b. Depdiknas
c. Sekolah-sekolah
Mitra yang Terlibat
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
337
338
•
(C)
Dana untuk
memfasilitasi
keterlibatan kelompokkelompok/ forum anak
dalam implementasi,
evaluasi dan rencana
tindak lanjut RANPESKA teralokasikan
•
•
•
(B) ...
Keluaran
Meningkatkan kapasitas
partisipasi anak baik
dalam mengartikulasikan
pendapat maupun sebagai
pendamping sebaya (peer
educator) melalui program
latihan, pertukaran, dll.
Mendorong agar dana
yang tersedia di daerah
dan yang disediakan
oleh donor internasional
dialokasikan sebagiannya
untuk pengembangan
partisipasi anak
Mengalokasikan sebagian
dana yang tersedia
untuk RANPESKA guna
memfasilitasi partisipasi
anak
Memfasilitasi pengembangan pendekatan
anak ke anak dalam
pencegahan ESKA dan
perlindungan, pemulihan
serta reintegrasi korban
ESKA melalui kelompokkelompok/forum anak
Kegiatan
Mulai
tahun
2004
Mulai
tahun
2004
Tahun
2004
Tahun
2004-2006
Jadwal
Kantor
Meneg. PP
Kantor
Meneg. PP
Kantor
Meneg. PP
Kantor
Meneg. PP
Penanggung
Jawab
•
•
•
•
•
•
•
•
Program fasilitasi
Laporan implementasi
Laporan kegiatan
MoU dengan donor internasional
mengenai pendanaan partisipasi
anak
Anggaran untuk memfasilitasi
partisipasi anak di lingkungan
Kantor Meneg. PP teralokasikan
Rumusan modul
Implementasi modul
Laporan hasil implementasi
modul
Indikator
a. Organisasi Non Pemerintah
b. Depsos
c. Depdiknas
d. Komnas PAI
e. LPA
f. Kelompok/Komite Anak
a. Depdagri
b. Depsos
c. Depdiknas
d. GT/PNPESKA
a. Depsos
b. Depdiknas
a. Organisasi Non Pemerintah
b. Depdiknas
c. Sekolah-sekolah
Mitra yang Terlibat
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
(D)
Pembentukan
komite anak/ orang
muda sebagai
badan konsultatif
independen untuk
memberi masukan
kepada pemerintah
guna pengembangan
legislasi, kebijakan dan
program menyangkut
ESKA terfasilitasi
Keluaran
Memfasilitasi pembentukan komite anak/orang
muda melalui forum anak
(keluaran (a) kegiatan
butir ke-3)
Memfasilitasi partisipasi
anak dalam setiap program pengembangan
legislasi, kebijakan dan
program menyangkut
ESKA
•
•
Kegiatan
Tahun
2004-2007
Tahun
2003
Jadwal
Kantor
Meneg. PP
Kantor
Meneg. PP
Penanggung
Jawab
•
•
•
•
Rencana fasilitasi pengembangan
partisipasi anak dalam proyekproyek dan kebijakan-kebijakan
Laporan implementasi
Komite anak operasional
Laporan implementasi
Indikator
a. Organisasi Non Pemerintah
b. Depsos
c. Depdiknas
d. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia
e. LPA
f. Komite Anak
a. Organisasi Non Pemerintah
b. Depsos
c. Depdiknas
d. Komnas PAI
e. LPA
f. Kelompok/Komite Anak
Mitra yang Terlibat
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
339
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
BAB IV
MONITORING DAN EVALUASI
BAB V
PENUTUP
Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional ini
berada dibawah koordinasi Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan.
Secara teknis, implementasinya dikoordinasikan melalui penjuru-penjuru
(focal points) yang melibatkan berbagai
Departemen dan Kantor Menteri Negara-Menteri Koordinator dalam jajaran
pemerintah baik di tingkat nasional
maupun di tingkat daerah. Guna menjamin pelaksanaan sebaik-baiknya Rencana Aksi Nasional ini, dibentuk suatu
Gugus Tugas / Panitia Nasional Penghapusan Eksploitasi Komersial Anak yang
bertugas untuk memantau, mengevaluasi dan memberikan masukan bagi implementasi rencana aksi tersebut.
Penghapusan eksploitasi seksual komersial anak bukan merupakan proses
yang mudah dan dapat dilakukan dalam
jangka waktu singkat, tetapi merupakan proses yang panjang dan berkelanjutan. Keberhasilan pelaksanaannya
sangat tergantung kepada komitmen
para penyelenggara negara di berbagai
tingkatan, peran serta masyarakat termasuk anak-anak, serta tergantung kepada upaya-upaya penegakan hukum.
Dengan demikian, Gugus Tugas / Panitia Nasional itu, disebut sebagai “Gugus
Tugas / Panitia Nasional Penghapusan
Eksploitasi Seksual Komersial Anak.”
yang disingkat menjadi GT-PESKA. Pemantauan dan evaluasi dilakukan untuk menilai keberhasilan pelaksanaan
Rencana Aksi Nasional tersebut berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
1. Sistem dan mekanisme pemantauan dan evaluasi yang telah
dikembangkan;
2. Keberhasilan program berdasarkan
indikator kemajuan dan keluaran
yang telah ditetapkan;
3. Penerbitan berkala;
4. Laporan tahunan berkala.
340
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro
Peraturan Perundang-undangan II,
Edy Sudibyo
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
LAMPIRAN II
KEPUTUSAN PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 87 Tahun 2002
TANGGAL : 30 Desember 2002
SUSUNAN KEANGGOTAAN GUGUS
TUGAS / PANITIA NASIONAL
PENGHAPUSAN EKSPLOITASI
SEKSUAL KOMERSIAL ANAK
A. TIM PENGARAH :
Ketua :
Menteri Negara Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat, merangkap anggota;
Sekretaris :
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, merangkap anggota;
Anggota :
1. Menteri Dalam Negeri;
2. Menteri Luar Negeri;
3. Menteri Agama;
4. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia;
5. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
6. Menteri Sosial;
7. Menteri Kesehatan;
8. Menteri Pendidikan Nasional;
9. Menteri Negara Kebudayaan dan
Pariwisata;
10. Menteri Negara Komunikasi dan
Informasi;
11. Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
12. Kepala Badan Pusat Statistik.
B. TIM PELAKSANA :
Ketua :
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Sekretaris :
Deputi Bidang Kesejahteraan dan Perlindungan Anak, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Anggota :
1. Deputi Bidang Koordinasi Pemberdayaan Perempuan, Kantor
Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat;
2. Staf Ahli Bidang Hukum, Kantor
Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat;
3. Deputi Bidang Pengembangan dan
Informasi, Kantor Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan;
4. Deputi Bidang Kualitas Hidup Perempuan, Kantor Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan;
5. Deputi Bidang Peranserta Masyarakat, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan;
6. Direktur Jenderal Administrasi Kependudukan,
Departemen
Dalam Negeri;
7. Direktur Jenderal Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa, Departemen
Dalam Negeri;
8. Direktur Jenderal Multilateral Politik, Sosial dan Keamanan, Departemen Luar Negeri;
9. Staf Ahli Bidang Kerukunan Antar
Umat Beragama, Departemen Agama;
10. Direktur Jenderal Perlindungan
Hak Asasi Manusia, Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia;
11. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan,
Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia;
341
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
12. Direktur Jenderal Imigrasi, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia;
13. Direktur Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
14. Direktur Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat, Departemen Kesehatan;
15. Direktur Jenderal Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial, Departemen
Sosial;
16. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional;
17. Direktur Jenderal Pendidikan Luar
Sekolah dan Pemuda, Departemen
Pendidikan Nasional;
18. Deputi Bidang Pengembangan Pariwisata, Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata;
19. Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Komunikasi dan Informasi, Kantor Menteri Negara Komunikasi
dan Informasi;
20. Kepala Badan Narkotika Nasional
(BNN);
21. Komandan Korps Reserse, Mabes
POLRI;
22. Ketua Pusat Kajian Pembangunan
Masyarakat
23. (PKPM), Universitas Atmajaya;
24. Ketua Non-Governmental Organizations Group (NGO’s Group) for Convention on the Rights of the Child (CRC);
25. Ketua Komisi Nasional (KOMNAS)
Perlindungan Anak;
26. Ketua Umum End Child Prostitution
in Asean Tourism (ECPAT) Indonesia;
27. Ketua Umum Jaringan Lembaga
Non Pemerintah untuk Program
Aksi Penanggulangan Pekerja Anak
di Indonesia (JARAK);
28. Ketua Umum Solidaritas Perem342
puan;
29. Ketua Umum Komisi Nasional
(KOMNAS) Perempuan;
30. Ketua Umum Dewan Pimpinan
Kongres Wanita Indonesia (DP
KOWANI);
31. Ketua Umum Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga
(TP PKK) Pusat;
32. Ketua Umum Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI).
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan II,
Edy Sudibyo
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 77 TAHUN 2003
TENTANG KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa untuk mencapai tujuan penyelenggaraan perlindungan anak
sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
diperlukan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat secara
melembaga;
b. bahwa sehubungan dengan huruf
a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 75 ayat (4)
Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak,
dipandang perlu menetapkan Keputusan Presiden tentang Komisi
Perlindungan Anak Indonesia;
Mengingat :
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4235);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN
PRESIDEN TENTANG KOMISI
PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia adalah lembaga yang
bersifat independen yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dalam rangka meningkatkan efektifitas
penyelenggaraan perlindungan anak.
Pasal 2
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BAB II
TUGAS
Pasal 3
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
mempunyai tugas :
a. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan
perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima
pengaduan masyarakat, melakukan
penelaahan, pemantauan, evaluasi,
dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak;
b. memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada
Presiden dalam rangka perlindungan anak.
343
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
BAB III
ORGANISASI
Bagian Kedua
Kesekretariatan
Bagian Pertama
Keanggotaan
Pasal 7
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia
dibantu oleh Sekretariat.
(2) Sekretariat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dipimpin oleh Kepala Sekretariat, yang dalam melaksanakan tugasnya secara fungsional bertanggung jawab kepada
Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
(3) Sekretariat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh satu unit kerja yang
berada di lingkungan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, yang ditetapkan oleh Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan
setelah mendapat persetujuan dari
Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara.
Pasal 4
Susunan keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terdiri dari :
a. 1 (satu) orang Ketua;
b. 2 (dua) orang Wakil Ketua;
c. 1 (satu) orang Sekretaris;
d. 5 (lima) orang Anggota.
Pasal 5
Keanggotaan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 terdiri dari unsur :
a. pemerintah;
b. tokoh agama;
c. tokoh masyarakat;
d. organisasi sosial;
e. organisasi kemasyarakatan;
f. organisasi profesi;
g. lembaga swadaya masyarakat;
h. dunia usaha; dan
i. kelompok masyarakat yang peduli
terhadap perlindungan anak.
Pasal 6
(1) Pengisian jabatan dalam susunan
keanggotaan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dipilih dan
dilaksanakan sendiri oleh para anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengisian jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib Komisi
Perlindungan Anak Indonesia.
Bagian Ketiga
Kelompok Kerja
Pasal 8
(1) Untuk menunjang pelaksanaan tugas, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dapat membentuk kelompok kerja.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
keanggotaan, tugas, dan tata kerja
Kelompok Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Bagian Keempat
Perwakilan
Pasal 9
(1) Apabila dipandang perlu dalam
menunjang pelaksanaan tugasnya,
344
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Komisi Perlindungan Anak Indonesia dapat membentuk Perwakilan
di Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pembentukan Perwakilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Komisi Perlindungan
Anak Indonesia.
BAB IV
PENGANGKATAN
DAN PEMBERHENTIAN
Pasal 10
Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 11
Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia diangkat untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 12
(1) Untuk pertama kali, keanggotaan
Komisi Perlindungan Anak Indonesia diusulkan kepada Presiden oleh
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Sosial.
(2) Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Sosial dalam
memilih keanggotaan yang diusulkan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dibantu oleh Tim Seleksi.
(3) Pengusulan keanggotaan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia kepada Presiden untuk selanjutnya
dilaksanakan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan calon keanggotaan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia yang
diusulkan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) diatur dalam Peraturan Tata Tertib Komisi Perlindungan Anak Indonesia dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(5) Jumlah calon keanggotaan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia yang
diusulkan sebanyak 18 (delapan belas) orang.
(6) Presiden dapat menolak keanggotaan yang diusulkan apabila tidak
memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 13
(1) Dalam hal Pegawai Negeri Sipil
duduk dalam keanggotaan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia sebagai unsur Pemerintah, Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan diberhentikan dari jabatan organiknya
tanpa kehilangan statusnya sebagai
Pegawai Negeri Sipil.
(2) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat dinaikkan pangkatnya setiap kali setingkat lebih tinggi tanpa terikat
jenjang pangkat, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diberhentikan dengan hormat sebagai
Pegawai Negeri Sipil apabila telah
mencapai batas usia pensiun dan
diberikan hak-hak kepegawaiannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 14
Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang berhenti sebelum
berakhirnya masa jabatan diatur dalam
345
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Peraturan Tata Tertib Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
BAB V
MEKANISME KERJA
Pasal 15
(1) Pelaksanaan tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia dilakukan
dengan mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
(2) Laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden disampaikan atas dasar kesepakatan
anggota Komisi Perlindungan Anak
Indonesia.
Pasal 16
Apabila dipandang perlu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dapat melakukan kerjasama dengan instansi Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah,
organisasi masyarakat, para ahli, dan
pihak-pihak lain yang dipandang perlu.
Pasal 17
Mekanisme kerja Komisi Perlindungan
Anak Indonesia didasarkan pada prinsip pemberdayaan, kemitraan, akuntabilitas, kredibilitas, efektifitas, dan
efisiensi.
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme kerja Komisi Perlindungan Anak
Indonesia diatur dalam Peraturan Tata
Tertib Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
BAB VI
PEMBIAYAAN
Pasal 19
Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Komisi Perlindungan
346
Anak Indonesia dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Keputusan Presiden ini mulai berlaku
pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 14 Oktober 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro
Peraturan Perundang-undangan II
Ttd.
Edy Sudibyo
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 59 TAHUN 2002
TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENGHAPUSAN
BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa anak Indonesia baik sebagai
individu maupun sebagai generasi
penerus bangsa harus dijaga pertumbuhan dan perkembangannya
sehingga anak dapat berkembang
secara wajar baik fisik, mental, sosial, dan intelektualnya;
b. bahwa bekerja bagi anak terutama pada jenis pekerjaan-pekerjaan
yang terburuk sangat membahayakan bagi anak dan akan menghambat anak untuk tumbuh dan berkembang secara wajar disamping
sangat bertentangan pula dengan
hak asasi anak dan nilai-nilai kemanusiaan yang diakui secara universal;
c. bahwa Indonesia telah mengesahkan ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate
Action for the Elimination of the Worst
Forms of Child Labour (Konvensi ILO
Nomor 182 Mengenai Pelarangan
dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak) dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000;
d. bahwa ketentuan Pasal 6 Konvensi
ILO Nomor 182 tersebut mengamanatkan untuk menyusun dan
melaksanakan Program Aksi Nasional untuk menghapus bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk
anak;
e. bahwa sehubungan dengan hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d, dipandang perlu menetapkan
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak dengan Keputusan Presiden;
Mengingat :
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun
2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the
Elimination of the Worst Forms of Child
Labour (Konvensi ILO Nomor 182
Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Untuk Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak) (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3941);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25
Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor
54, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3952);
5. Keputusan Presiden Nomor 12
Tahun 2001 tentang Komite Aksi
347
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Nasional Penghapusan BentukBentuk Pekerjaan Terburuk Untuk
Anak;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN
PRESIDEN TENTANG RENCANA AKSI
NASIONAL PENGHAPUSAN BENTUKBENTUK PEKERJAAN TERBURUK
UNTUK ANAK.
Pasal 1
Menetapkan Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak sebagaimana
tersebut dalam Lampiran Keputusan
Presiden ini.
Pasal 2
Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk
Untuk Anak sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan Presiden ini
merupakan pedoman bagi pelaksanaan
Program Aksi Nasional Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk
Untuk Anak.
Pasal 3
Keputusan Presiden ini mulai berlaku
pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Agustus 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro
Peraturan Perundang-undangan II
Ttd
Edy Sudibyo
348
LAMPIRAN KEPUTUSAN PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 59 Tahun 2002
TANGGAL : 13 Agustus 2002
RENCANA AKSI NASIONAL
PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK
PEKERJAAN TERBURUK UNTUK
ANAK
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sampai dengan saat ini jumlah pekerja
anak masih belum terdata secara pasti.
Pekerja anak tersebar baik di daerah
pedesaan maupun di perkotaan. Pekerja anak di daerah pedesaan lebih
banyak melakukan pekerjaan bidang
pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan maupun kegiatan ekonomi
di lingkungan keluarga. Pekerja anak
di daerah perkotaan dapat ditemukan
di perusahaan, rumah tangga (sebagai
pembantu rumah tangga atau pekerja
industri rumahan atau industri keluarga) maupun di jalanan seperti penjual koran, penyemir sepatu atau pemulung. Beberapa diantara pekerjaan
yang dilakukan anak tersebut dapat
dikategorikan sebagai bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak.
Banyak alasan yang dikemukakan sebagai pembenaran terhadap keberadaan
pekerja anak tersebut. Dari berbagai
alasan yang dikemukakan, faktor kemiskinan dan kondisi ekonomi dianggap sebagai faktor utama yang mendorong keberadaan pekerja anak.
Mempekerjakan anak pada dasarnya
merupakan sesuatu hal yang buruk di
Indonesia, namun demikian keadaan
seperti itu sudah ada sejak Indonesia
masih dijajah oleh Pemerintah Belanda.
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Sejarah perlindungan bagi anak yang
bekerja dimulai sejak jaman Pemerintahan Belanda yang ditandai dengan
dikeluarkannya beberapa peraturan
perundang-undangan yang mengatur
soal pelarangan untuk mempekerjakan anak. Namun, upaya-upaya yang
dilakukan dalam rangka memberikan
perlindungan bagi anak yang bekerja
tersebut melalui peraturan perundangundangan lebih menitikberatkan kepada perlindungan bagi anak yang bekerja dan bukan khusus ditujukan untuk
menghapus secara keseluruhan pekerja
anak.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Belanda tersebut antara lain :
1. Staatsblad Nomor 647 Tahun 1925
yang intinya melarang anak di bawah umur 12 (dua belas) tahun untuk melakukan pekerjaan:
a. di pabrik pada ruangan tertutup di mana biasanya dipergunakan tenaga mesin;
b. di tempat kerja ruangan tertutup yang biasanya dilakukan
pekerjaan tangan oleh sepuluh
orang atau lebih secara bersama-sama;
c. pembuatan, pemeliharan, perbaikan dan pembongkaran jalan tanah, penggalian, perairan
dan bangunan serta jalan-jalan;
d. pada perusahaan kereta api,
pada pemuatan, pembongkaran, dan pemindahan barang
baik di pelabuhan, dermaga
dan galangan kapal maupun di
stasiun, tempat pemberhentian dan pembongkaran muatan,
di tempat penyimpanan dan
gudang kecuali jika membawa
dengan tangan;
e. larangan bagi anak untuk me-
mindahkan barang berat di
dalam atau untuk keperluan
perusahaan.
2. Ordonansi Tahun 1926, Staatsblad
Nomor 87 melarang mempekerjakan anak di bawah umur 12 (dua
belas) tahun pada pekerjaan di kapal kecuali bila ia bekerja di bawah
pengawasan ahlinya atau seorang
keluarga sampai derajat ketiga;
3. Regeringsverordening Tahun 1930
Staatsblad Nomor 341 melarang
anak usia di bawah 16 (enam belas)
tahun untuk melakukan pekerjaan
pada bangunan di atas tanah.
Setelah Indonesia merdeka, kebijakan
perlindungan anak yang bekerja ditandai dengan terbitnya Ordonansi Nomor
9 Tahun 1949 yang melarang anak bekerja pada malam hari, dan Undangundang Nomor 1 Tahun 1951 tentang
Pernyataan Berlakunya Undangundang
Kerja Tahun 1948 Nomor 12 yang melarang orang laki-laki maupun perempuan berumur 14 (empat belas) tahun
ke bawah melakukan pekerjaan.
Sekalipun telah dikeluarkan Undangundang Nomor 1 Tahun 1951 tentang
Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 tersebut, namun dalam prakteknya ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang
dimaksud tidak berlaku.
Peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam praktek pada saat itu dalam pelaksanaan perlindungan dan pelarangan untuk mempekerjakan anak
adalah Staatsblad sebagaimana tersebut
di atas.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengaturan mengenai perlindungan dan
pelarangan anak yang bekerja diatur
349
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dalam peraturan perundang-undangan
lainnya, diantaranya adalah Undangundang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak.
Selain itu, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar dengan Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar, sehingga anak-anak yang berusia
7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima
belas) tahun mendapatkan kesempatan
untuk memperoleh pendidikan dasar.
Dengan kebijakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar secara tidak langsung diharapkan dapat mengurangi pekerja
anak. Peraturan perundang-undangan
yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah dirasakan masih kurang memadai,
sehingga Pemerintah meratifikasi Konvensi tentang Hak-hak Anak dengan
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun
1990 tentang Pengesahan Convention on
Rights of Child.
Selanjutnya, untuk lebih melindungi
hak-hak anak maka Indonesia meratifikasi beberapa Konvensi ILO yaitu
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age
for Admission to Employment (Konvensi
ILO No. 138 mengenai Usia Minimum
Untuk Diperbolehkan Bekerja), dan
dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition
and Immediate Action for the Elimination
for the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan
dan Tindakan Segera Untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk
Untuk Anak).
Pekerja anak merupakan masalah bagi
350
semua pihak dan bersifat multi sektoral,
sehingga kebijakan penanggulangan pekerja anak merupakan kebijakan lintas
sektor. Berbagai upaya telah dilaksanakan untuk terus menerus mengurangi
jumlah pekerja anak, namun demikian
dengan kondisi perekonomian yang
belum kondusif upaya tersebut belum
mencapai hasil yang menggembirakan.
Bahkan perkembangan masalah sosial
yang semakin kompleks, mendorong
pekerja anak terpuruk pada jenis-jenis
pekerjaan terburuk.
Sejalan dengan hal tersebut dan sebagai pelaksanaan Ratifikasi Konvensi
ILO Nomor 182 tersebut, maka disusun
Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk
Untuk Anak. Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan
Terburuk Untuk Anak disusun dengan
melibatkan berbagai komponen yang
tergabung dalam Komite Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan
Terburuk Untuk Anak yang dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001.
Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk
Untuk Anak merupakan pedoman bagi
pelaksanaan Program Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan
Terburuk Untuk Anak.
Kesulitan yang mendasar dalam merencanakan kegiatan atau program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak adalah tidak adanya
data yang meyakinkan semua pihak
tentang jumlah dan besaran masalah
pekerja anak pada pekerjaan terburuk.
Hal ini tentunya dapat dimengerti,
mengingat kondisi geografis, jenis pekerjaan maupun bentuk pekerjaan ber-
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
beda-beda antara satu daerah dengan
daerah yang lain.
Yang dimaksud dengan bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun
2000 tentang Pengesahan ILO Convention
No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for The Elimination of the
Worst Forms of Child Labour (Konvensi
ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan
dan Tindakan Segera Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaaan Terburuk
Untuk Anak) adalah :
a. segala bentuk perbudakan atau
praktek sejenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan
anak, kerja ijon (debt bondage), dan
perhambaan (serfdom) serta kerja
paksa atau wajib kerja, termasuk
pengerahan anak secara paksa atau
wajib untuk dimanfaatkan dalam
konflik bersenjata;
b. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran,
untuk produksi pornografi, atau
untuk pertunjukan-pertunjukan
porno;
c. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi
dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian
internasional yang relevan;
d. pekerjaan yang sifat atau keadaan
tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak.
Pengertian bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak menurut Undangundang Nomor 1 Tahun 2000 tersebut
di atas di Indonesia secara umum meliputi anak-anak yang dieksploitasi secara fisik maupun ekonomi yang antara
lain dalam bentuk:
1. Anak-anak yang dilacurkan;
2. Anak-anak yang bekerja di pertambangan;
3. Anak-anak yang bekerja sebagai
penyelam mutiara;
4. Anak-anak yang bekerja di sektor
konstruksi;
5. Anak-anak yang bekerja di jermal;
6. Anak-anak yang bekerja sebagai
pemulung sampah;
7. Anak-anak yang dilibatkan dalam
produksi dan kegiatan yang menggunakan bahan-bahan peledak;
8. Anak yang bekerja di jalan;
9. Anak yang bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga;
10. Anak yang bekerja di industri rumah tangga;
11 Anak yang bekerja di perkebunan;
12. Anak yang bekerja pada penebangan, pengolahan dan pengangkutan
kayu;
13. Anak yang bekerja pada industri
dan jenis kegiatan yang menggunakan bahan kimia yang berbahaya.
B. TANTANGAN BAGI AKSI
PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK
PEKERJAAN TERBURUK
Tantangan dalam program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak, yaitu :
1. Belum tersedianya data serta informasi yang akurat, dan terkini tentang pekerja anak baik tentang besaran (jumlah pekerja anak), lokasi,
jenis pekerjaan, kondisi pekerjaan,
dan dampaknya bagi anak.
2. Belum tersedianya informasi mengenai bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak.
3. Terbatasnya kapasitas dan pengalaman Pemerintah, lembaga swadaya
masyarakat, dan berbagai pihak
lainnya dalam upaya penghapusan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
351
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
untuk anak.
4. Lemahnya koordinasi berbagai
pihak yang terkait dengan penghapusan bentukbentuk pekerjaan
terburuk untuk anak baik di tingkat Pusat maupun Daerah (Propinsi
dan Kabupaten/Kota).
5. Rendahnya pengetahuan, kesadaran, dan kepedulian masyarakat dalam penghapusan bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak.
6. Belum memadainya perangkat hukum dan penegakannya yang diperlukan dalam aksi penghapusan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak.
7. Belum adanya kebijakan yang terpadu dan menyeluruh dalam rangka penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
BAB II
KEBIJAKAN NASIONAL
PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK
PEKERJAAN TERBURUK UNTUK
ANAK
A. TUJUAN
Hakekat dan tujuan Rencana Aksi
Nasional Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk Untuk
Anak adalah mencegah dan menghapus bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak yang ada di
Indonesia.
B. VISI DAN MISI
Visi :
Anak sebagai generasi penerus
bangsa terbebas dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk sehingga
dapat tumbuh kembang secara wajar dan optimal baik fisik, mental,
sosial maupun intelektualnya.
Misi :
1. Mencegah dan menghapus segala
352
bentuk perbudakan atau praktek
sejenis perbudakan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan (serfdom)
serta kerja paksa atau wajib kerja,
termasuk pengerahan anak secara
paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
2. Mencegah dan menghapus pemanfaatan, penyediaan atau penawaran
anak untuk pelacuran, produksi
pornografi, atau untuk pertunjukan porno;
3. Mencegah dan menghapus pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram
atau terlarang, khususnya untuk
produksi dan perdagangan obatobatan sebagaimana diatur dalam
perjanjian internasional;
4. Mencegah dan menghapus pelibatan anak dalam produksi atau penjualan bahan peledak, penyelaman
air dalam, pekerjaan-pekerjaan di
anjungan lepas pantai, di dalam
tanah, pertambangan serta penghapusan pekerjaan lain yang sifat
atau keadaan tempat pekerjaan itu
dilakukan dapat membahayakan
kesehatan, keselamatan atau moral
anak.
C. KELOMPOK SASARAN
1. Semua anak yang melakukan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk;
2. Semua pihak yang memanfaatkan,
menyediakan atau menawarkan
anak untuk melakukan bentuk pekerjaan terburuk.
D. KEBIJAKAN NASIONAL
Mencegah dan menghapus bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak
secara bertahap.
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
E. STRATEGI
Kebijakan Nasional dilaksanakan dengan pendekatan terpadu dan menyeluruh, dengan strategi :
1. Penentuan prioritas penghapusan
bentuk pekerjaan terburuk secara
bertahap
2. Penentuan prioritas dilakukan
dengan mempertimbangkan besaran dan kompleksitas masalah
pekerja anak yang terlibat dalam
pekerjaan terburuk serta berbagai sumber yang tersedia untuk
melaksanakan program penghapusannya.
3. Melibatkan semua pihak di semua
tingkatan
4. Persoalan pekerja anak yang terlibat dalam pekerjaan terburuk
merupakan masalah bangsa. Tidak
ada satu pihakpun yang merasa
mampu menyelesaikan masalah
pekerja anak secara sendirian. Oleh
karena itu pelibatan semua pihak
dalam program penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak
merupakan kunci keberhasilan.
5. Mengembangkan dan memanfaatkan secara cermat potensi dalam
negeri
6. Mengingat besarnya sumber daya
yang diperlukan dalam penghapusan bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak, maka penggalian, pengembangan dan pemanfaatan secara cermat berbagai sumber yang
dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan
Daerah maupun potensi masyarakat perlu dilakukan secara maksimal.
7. Kerjasama dan bantuan teknis
dengan berbagai negara dan lembaga internasional
8. Memperhatikan berbagai keterbatasan sumber dan pengalaman
dalam pelaksanaan penghapusan
bentuk pekerjaan terburuk untuk
anak, maka kerjasama dan bantuan
teknis dari berbagai negara dan
lembaga internasional diperlukan.
BAB III
PROGRAM AKSI
Dalam rangka mencapai tujuan dan
sasaran rencana aksi nasional yaitu
penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak maka diadakan
program aksi. Untuk lebih menunjang
pencapaian program-program aksi
tersebut rencana aksi nasional dibagi
dalam beberapa tahapan. Tahapan program-program dimaksud yaitu:
a. tahap pertama, sasaran yang ingin
dicapai setelah 5 (lima) tahun yang
pertama;
b. tahap kedua, merupakan sasaran
yang ingin dicapai setelah 10 (sepuluh) tahun;
c. tahap ketiga, merupakan sasaran
yang ingin dicapai setelah 20 (dua
puluh) tahun.
Secara lebih rinci pentahapan tersebut
adalah sebagai berikut :
A. Tahapan Program
1. Tahap Pertama
Sasaran yang ingin dicapai setelah 5 tahun adalah:
1. tumbuhnya kesadaran masyarakat
untuk menghapus bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak;
2. terpetakannya permasalahan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan upaya penghapusannya;
3. terlaksananya program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dengan prioritas pekerja anak di anjungan lepas
pantai dan penyelaman air dalam,
353
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
pekerja anak yang diperdagangkan untuk pelacuran, pekerja anak
di pertambangan, pekerja anak di
industri alas kaki, pekerja anak di
industri dan peredaran narkotika,
psikotropika, prekursor, dan zat
adiktif lainnya.
2. Tahap Kedua
Sasaran yang ingin dicapai setelah 10
tahun adalah :
a. replikasi model penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang telah dilaksanakan
pada tahap pertama di daerah lain;
b. berkembangnya program penghapusan pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak lainnya;
c. tersedianya kebijakan dan perangkat pelaksanaan untuk penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
3. Tahap Ketiga
Sasaran yang ingin dicapai setelah 20
tahun adalah :
a. pelembagaan gerakan nasional
penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak secara efektif;
b. pengarusutamaan
penghapusan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak.
B. Kegiatan Tahap Pertama
1. Penelitian dan Dokumentasi
Program pelarangan dan tindakan
segera penghapusan bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak disusun atas dasar besaran, kualitas dan
lokasi masalah. Untuk itu diperlukan
penyediaan data statistik yang lengkap mengenai anak, jenis pekerjaan
dan ancaman yang dihadapi oleh anak
yang terlibat pada bentuk pekerjaan
terburuk. Jangkauan penelitian dan
354
dokumentasi untuk pekerja anak dapat
diperluas, yang meliputi :
a. data statistik mengenai pekerja
anak yang dimulai dari usia 10 tahun keatas;
b. data statistik mengenai pekerja
anak usia di bawah 18 tahun yang
terlibat dalam bentuk pekerjaan
terburuk;
c. data statistik kriminal yang dilakukan anak menyangkut jumlah
kasus, jenis kasus, jumlah korban,
pelaku, modus, lokasi dan waktu
kejadian.
2. Kampanye Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk untuk
Anak
Informasi mengenai bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk sangat menunjang
keberhasilan penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Program
penyebarluasan informasi meliputi kegiatan :
a. menyebarluaskan informasi tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak kepada masyarakat luas;
b. memfasilitasi tumbuhnya kelompok masyarakat yang peduli pekerja anak;
c. sosialisasi Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak;
d. mendorong peranan media massa
dalam penyebaran informasi baik
di tingkat Nasional, Propinsi dan
Kabupaten/Kota.
3. Pengkajian dan Pengembangan
Model Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk
Anak
Guna menunjang keberhasilan program
penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak perlu dilakukan
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
kajian serta pengembangan model, sehingga penyelenggaraan program tidak
didasarkan pada suatu asumsi belaka.
Kajian yang dilakukan meliputi :
a. lembaga-lembaga yang terlibat dalam penanganan pekerja anak;
b. karakteristik bentuk pekerjaan terburuk bagi anak;
c. model-model penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak yang mencakup antara
lain cara advokasi, bantuan langsung, pemulihan, dan reintegrasi
dengan basis masyarakat;
d. panduan replikasi model;
e. panduan bagi pekerja sosial pendamping;
f. panduan pemantauan dan evaluasi.
vokasi
Peningkatan kesadaran dan advokasi
sangat penting dalam mempercepat
tindakan segera dan pelarangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk
anak Kegiatan peningkatan kesadaran
dan advokasi meliputi :
a. penyusunan metode dan modul
sosialisasi Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak;
b sosialisasi Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak;
c. membangun sistem pengaduan
masyarakat bagi kasus-kasus pelibatan anak dalam pekerjaan terburuk.
4. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000
tentang Pengesahan ILO Convention No.
182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for The Elimination of The
Worst Form of Child Labour (Konvensi ILO
Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan
Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk
Anak) dilaksanakan dan ditindaklanjuti
dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang meliputi :
a. menetapkan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang
membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral anak;
b. menetapkan bahwa melibatkan
anak dalam pekerjaan terburuk
merupakan tindak pidana.
c. merumuskan kebijakan, menetapkan upaya dan tindakan dalam
pencegahan dan penanggulangan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak, baik secara preemptif,
preventif maupun represif.
5. Peningkatan Kesadaran dan Ad-
6. Penguatan Kapasitas
Kapasitas lembaga, jejaring kerja dan
sumber daya manusia dalam mengelola
program ini perlu ditingkatkan. Pengembangan kapasitas dilakukan untuk
meningkatkan pengetahuan tentang
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak, cara-cara pelarangan dan
tindakan penghapusan, serta pengembangan jejaring kerja. Upaya penguatan dilakukan melalui pelatihan,
kerjasama teknis antar instansi pemerintah, organisasi pengusaha dan pekerja/buruh, serta lembaga swadaya
masyarakat, magang dan studi banding
maupun pemberdayaan masyarakat
dan keluarga dilaksanakan pada tingkat
Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota.
7. Integrasi Program Penghapusan
Pekerja Anak dalam Institusi Terkait
Anak-anak yang telah terbebas dari
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak memerlukan bimbingan dan
dukungan sosial, pelayanan kesehatan
maupun keuangan agar kembali dalam
355
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
masyarakat (keluarga dan lingkungannya).
Untuk itu membebaskan anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk
anak harus terintegrasi dengan upayaupaya lain agar anak tidak kembali pada
bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
Upaya integrasi dilakukan melalui :
a. penetapan kebijakan di Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi,
maupun Pemerintah Kabupaten/
Kota;
b. perencanaan terpadu;
c. koordinasi lintas sektor maupun
lintas fungsi.
C. Kegiatan Tahap Kedua dan
Ketiga
Kegiatan tahap kedua disusun berdasarkan hasil kegiatan yang dicapai dalam
tahap pertama. Demikian pula kegiatan
tahap ketiga akan disusun berdasarkan
hasil yang dicapai dalam tahap kedua.
BAB IV
PERAN DAN TANGGUNG JAWAB
Untuk melaksanakan program diperlukan peran semua pihak baik pemerintah pusat maupun daerah, lembaga
swadaya masyarakat, Serikat Pekerja/
Serikat Buruh, organisasi pengusaha
maupun masyarakat pada umumnya.
Peran dan tanggung jawab terdiri dari
bidang-bidang sebagai berikut :
1. Bidang Pendidikan
a. pengumpulan data tentang
anak putus sekolah;
b. pemberian kemudahan agar
program-program wajib belajar 9 (sembilan) tahun dapat
dijangkau bagi semua lapisan
masyarakat;
c. pemberian program beasiswa
dapat diprioritaskan kepada
356
anak-anak dari keluarga yang
kurang mampu seperti keluarga dimana ibu sebagai kepala
keluarga dan keluarga miskin
yang tidak dapat membiayai
pendidikan anak-anaknya;
d. perbaikan metode belajar
mengajar serta fasilitas tambahan seperti asrama, dan pelayanan konsultasi psikologi
bagi anak-anak yang melakukan bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak;
e. pemberian kemudahan untuk
memperoleh pendidikan bagi
anak-anak yang telah terbebas
dari bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak;
f. pemberian pelatihan bagi para
pendidik dan pembimbing dalam menghadapi pekerja anak
yang bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk
anak.
2. Bidang Ketenagakerjaan
a. pengumpulan dan penyebarluasan data serta informasi
mengenai segala hal yang berkaitan dengan bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk
anak;
b. pemberian pelatihan serta upaya rehabilitasi dan integrasi
program;
c. pengkoordinasian pembebasan
terhadap pekerja anak serta
melakukan upaya agar mereka tidak kembali bekerja pada
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
d. penciptaan dan pelaksanaan
program-program pemindahan anak-anak dari tempat kerja;
e. pelaksanaan pemeriksaan tem-
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
pat-tempat kerja yang rawan
akan praktek bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak;
f. pelaksanaan tindakan pembebasan anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk
anak.
3. Bidang Kesehatan
a. pengumpulan data, penelitian, dan pengkajian mengenai
dampak buruk yang mungkin
timbul dan mengganggu kesehatan anak yang melakukan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
b. penyediaan pelayanan kesehatan bagi anak-anak (termasuk
yang telah keluar dari tempat kerjanya) di sarana-sarana
kesehatan
c. penyebarluasan informasi tentang resiko kesehatan bagi
anak yang bekerja kepada pihak-pihak terkait dengan masalah pekerja anak;
d. peningkatan kesadaran tentang kesehatan bagi pekerja
anak dan orangtuanya.
4. Bidang Penegakan Hukum
a. penyusunan strategi kerjasama
dengan Departemen/instansi
lintas sektoral terkait maupun
lembaga swadaya masyarakat
untuk membebaskan dan menyelamatkan anak-anak dari
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
b. penyusunan dan penetapan kebijakan dan upaya serta tindakan pencegahan dan penanggulangan
bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak
di daerah/kewilayahan baik
secara pre-emptif, preventif
dan represif;
c. pengambilan langkah-langkah
dan tindakan lain yang dianggap perlu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku untuk menyelamatkan anak-anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak;
d. pelaksanaan upaya pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak melalui kegiatan
yang bersifat :
1. Pre-emptif yaitu kegiatan
yang ditujukan untuk menetralisasi dan menghilangkan
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak melalui kegiatan
bimbingan, penyuluhan, penerangan, dan tatap muka dengan
pelaku dan korban anak yang
bersangkutan, orang tua, tokoh agama/masyarakat dan
pendidik;
2. Preventif yaitu kegiatan yang
ditujukan untuk menghilangkan kesempatan terjadinya
peristiwa/kasus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk
anak melalui kegiatan patroli/
perondaan, penjagaan baik secara terbuka maupun tertutup
terhadap tempat-tempat/daerah-daerah dan saat/waktu
yang dianggap rawan terjadinya peristiwa/kasus;
3. Represif yaitu kegiatan yang
ditujukan untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan
oleh aparat yang berwenang
terhadap pelaku untuk dapat
diajukan ke Penuntut Umum.
357
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
e. penuntutan terhadap para pelaku yang melibatkan anak dalam bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku;
f. pelaksanaan koordinasi dan
kerjasama lintas sektoral untuk dapat mewujudkan keterpaduan sikap dan tindakan
dalam penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak, mulai dari tahap
perumusan, pengorganisasian,
pelaksanaan sampai dengan
pengendalian.
g. pelaksanaan tindak lanjut atas
segala pengaduan tentang eksploitasi pekerja anak sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
5. Bidang Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan
a. pengevaluasian berbagai peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan pelarangan anak bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak,
b. penyusunan dan penetapan
berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelarangan anak bekerja pada pekerjaan terburuk
untuk anak, dan menyatakan
bahwa tindakan melibatkan
anak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak
merupakan suatu tindak pidana;
c. pelaksanaan revisi peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku dan/atau merancang
358
peraturan perundang-undangan yang baru sesuai dengan
konvensi internasional mengenai anak yang telah disahkan;
d. pelaksanaan harmonisasi peraturan perundang-undangan
yang berlaku khususnya yang
berkaitan dengan masalah
anak.
6. Bidang Sosial Budaya dan Ekonomi
a. pengidentifikasian
daerahdaerah yang terdapat ancaman
bahaya fisik, mental, dan perkembangan moral anak;
b. penyusunan pengajaran agama
dan pendidikan mental spiritual kepada anak-anak yang
mempunyai resiko putus sekolah;
c. pensosialisasian dan diseminasi kepada para tokoh agama
dan lembaga agama tentang
kebijakan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak;
d. penyusunan panduan bagi mubaligh mengenai pekerja anak
dan bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak;
e. pelaksanaan kerjasama dengan
para pekerja sosial untuk menjamin anak-anak tersebut menjalankan rehabilitasi sosial dalam bentuk bimbingan.
f. penyampaian skema pemberian kredit mikro kepada keluarga yang mempekerjakan anaknya;
g. pemberian bimbingan usaha
skala kecil dan berupaya membuka akses pasar yang lebih
luas;
h. perbaikan sarana perumahan
bagi keluarga miskin agar dicapai rumah bersih dan sehat;
Keputusan Presiden terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
i. pemberdayaan masyarakat dalam rangka pelaksanaan penghapusan bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
7. Bidang Media
a. penyebarluasan informasi tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk Untuk
Anak;
b. penyebarluasan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
c. penyebarluasan informasi tentang berbagai kegiatan yang
berkaitan dengan pelaksanaan
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Untuk Anak;
d. pengupayaan tumbuhnya jurnalis/wartawan yang sensitif
terhadap praktek bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk
anak.
BAB V
PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Dalam rangka menjaga kesinambungan
kebijakan dan berbagai program nasional, maka pelaksanaan Rencana Aksi
Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk Untuk Anak perlu
dinilai ulang secara berkala.
Pemantauan dan evaluasi Rencana Aksi
Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk Untuk Anak dilaksanakan oleh Komite Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan
Terburuk Untuk Anak, sebagaimana
dimaksud dalam Keputusan Presiden
Nomor 12 Tahun 2001. Pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan ke-
tentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan pemantauan dan evaluasi, Komite
Aksi Nasional dapat mengikutsertakan
segenap lapisan masyarakat maupun
instansi terkait, sehingga dapat lebih
berdaya guna dan berhasil guna.
Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi
dilakukan untuk menilai keberhasilan
pelaksanaan Rencana Aksi Nasional. Pemantauan dan evaluasi dilakukan melalui penyusunan dan pengembangan :
1. sistem dan mekanisme pemantauan;
2. indikator keberhasilan program;
3. publikasi;
4. pelaporan secara berkala.
BAB VI
PENUTUP
Upaya penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak bukanlah hal yang mudah dan dapat dilakukan dalam waktu yang singkat, tetapi
merupakan suatu proses yang panjang
dan berkelanjutan. Karena itu, upaya
tersebut perlu dilakukan secara terus
menerus, berkelanjutan dan terpadu
oleh semua pihak yakni pemerintah,
organisasi sosial dan kemasyarakatan,
lembaga swadaya masyarakat serta semua kalangan dan lapisan masyarakat
secara bersama-sama.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro
Peraturan Perundang-undangan II
Ttd
Edy Sudibyo
359
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
KEPUTUSAN BERSAMA
KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,
JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
MENTERI HUKUM DAN HAM REPUBLIK INDONESIA,
MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, DAN
MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN
PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 166 A/KMA/SKB/XII/2009
NOMOR : 148 A/A/JA/12/2009
NOMOR : B/45/XII/2009
NOMOR : M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009
NOMOR : 10/PRS-2/KPTS/2009
NOMOR : 02/Men.PP dan PA/XII/2009
TENTANG PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN
DENGAN HUKUM
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
KETUA MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA,
JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA,
MENTERI SOSIAL
REPUBLIK INDONESIA, DAN
MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN
PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN
ANAK REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa anak sebagai generasi penerus bangsa berhak memperoleh
perlindungan baik secara fisik,
mental, maupun sosial sehingga
anak dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar termasuk anak yang berhadapan dengan
hukum;
360
b. bahwa penanganan anak yang
berhadapan dengan hukum oleh
aparat penegak hukum belum menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam peraturan perlindungannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
c. bahwa untuk meningkatkan penanganan anak yang berhadapan
dengan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b,
perlu kerja sama yang terpadu antar penegak hukum dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana
terpadu untuk pemenuhan kepentingan terbaik bagi anak;
d. bahwa pendekatan keadilan restoratif perlu dijadikan sebagai landasan pelaksanan sistem peradilan
pidana terpadu bagi anak yang berhadapan dengan hukum;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
perlu menetapkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, Menteri Sosial
Republik Indonesia, dan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia;
Mengingat :
1. Pasal 28B ayat (2) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahakamah Agung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958);
3. Undang-undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3614);
4. Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3668);
5. Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3886);
6. Undang-undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 2, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
4168);
7. Undang-undang Nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia nomor 4235);
8. Undang-undang Nomor 16 tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor
67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4401);
9. Undang-undang Nomor 13 tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
4635);
10. Undang-undang Nomor 11 Tahun
2009 tentang Kesejahteraan Sosial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4967);
11. Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
12. Keputusan Presiden Nomor 36
Tahun 1990 tentang Pengesahan
Convention on the Rights of Child
(Konvensi tentang Hak-Hak Anak)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 57);
13. Resolusi Majelis PBB No.40/33
361
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Tanggal 29 November 1985 tentang
Peraturan-Peraturan Standar Minimum PBB Mengenai Administrasi
Peradilan Anak (Beijing Rules);
14. Resolusi PBB No.663C (XXIV) Tahun 1957 Tanggal 31 Juli 1957, dan
Resolusi PBB No.2076 (LXII) Tahun
1977 Tanggal 13 Mei 1977 tentang
Standar Minimum Perlakuan Terhadap Tahanan;
15. Resolusi PBB No. 45/113 Tanggal
14 Desember 1990 Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perlindungan Anak yang Terampas
Kemerdekaannya;
16. Resolusi PBB No. 45/112 Tanggal 14
Desember 1990 tentang Pedoman
PBB Mengenai Pencegahan Tindak
Pidana Anak (Riyadh Guidelines).
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN BERSAMA
KETUA MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA,
JAKSA AGUNG
REPUBLIK INDONESIA,
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA,
MENTERI SOSIAL
REPUBLIK INDONESIA, DAN
MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN
PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN
ANAK REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PENANGANAN ANAK YANG
BERHADAPAN DENGAN HUKUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Bersama ini, yang dimaksud dengan:
1. Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun
362
2. 3. 4. 5. 6. 7. termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
Anak Yang Berhadapan Dengan
Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana.
Anak sebagai saksi tindak pidana
adalah anak yang melihat, mendengar, dan/atau mengalami sendiri suatu tindak pidana.
Keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari suami
istri, atau suami istri dan anaknya,
atau ayah dan anaknya, atau ibu
dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau
ke bawah sampai dengan derajat
ketiga.
Keadilan restoratif adalah suatu
penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga
mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana,
secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana
tersebut dan implikasinya, dengan
menekankan pemulihan kembali
kepada keadaan semula.
Pusat Pelayanan Terpadu yang selanjutnya disingkat PPT adalah
suatu unit kerja fungsional yang
menyelenggarakan pelayanan terpadu untuk saksi dan/atau korban
tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Ruang Pelayanan Khusus yang selanjutnya disingkat RPK adalah
ruangan yang aman dan nyaman
diperuntukkan khusus bagi saksi
dan/atau korban tindak pidana
termasuk tersangka tindak pidana
yang terdiri dari perempuan dan
anak yang patut diperlakukan atau
membutuhkan perlakuan secara
khusus, dan perkaranya sedang ditangani di kantor polisi.
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
8. Unit Pelayanan Perempuan dan
Anak yang selanjutnya disingkat
Unit PPA adalah unit yang bertugas memberikan pelayanan, dalam
bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi
korban kejahatan dan penegakan
hukum terhadap pelakunya.
9. Panti Sosial Marsudi Putra yang
selanjutnya disingkat PSMP adalah
suatu unit pelayanan yang berfungsi memberikan perlindungan,
pemulihan, rehabilitasi, advokasi,
dan reunifikasi bagi anak-anak
yang berhadapan dengan hukum.
10. Rumah Perlindungan Sosial Anak
yang selanjutnya disingkat RPSA
adalah suatu unit pelayanan yang
berfungsi memberikan perlindungan, pemulihan, rehabilitasi, advokasi, dan reunifikasi bagi anak-anak
yang membutuhkan perlindungan
khusus.
11. Pusat Trauma adalah lembaga atau
panti yang menjadi pusat peredaman (penurunan atau menghilangkan) kondisi traumatis yang dialami korban sebagai akibat tindak
kekerasan yang dialami korban atau anggota keluarganya.
12. Jaringan kerja penanganan anak
yang berhadapan dengan hukum
adalah suatu jaringan yang terdiri
atas berbagai instansi/lembaga
yang berkaitan dengan penanganan anak meliputi: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Pemasyarakatan
(Bapas, Rutan, Lapas), dan lembaga
bantuan hukum, pemerintahan
daerah, organisasi sosial, lembaga
pendidikan, lembaga keagamaan,
lembaga kesehatan, media massa,
serta lembaga swadaya masyarakat
pemerhati anak.
Pasal 2
Keputusan Bersama ini dimaksudkan
untuk mewujudkan keterpaduan dalam
upaya penyelesaian perkara Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum yang dilakukan secara terkoordinasi oleh aparat penegak hukum dan
semua pihak terkait.
Pasal 3
Tujuan Keputusan Bersama ini adalah:
a. terwujudnya persamaan persepsi
diantara jejaring kerja dalam Penanganan Anak yang Berhadapan
dengan Hukum;
b. meningkatnya koordinasi dan kerjasama dalam upaya menjamin perlindungan khusus bagi anak yang
berhadapan dengan hukum; dan
c. meningkatnya efektivitas Penanganan Anak yang Berhadapan dengan
Hukum secara sistematis, komprehensif, berkesinambungan, dan
terpadu.
Pasal 4
Keputusan Bersama ini mengatur tentang Penanganan Anak yang berhadapan dengan Hukum meliputi penanganan di tingkat penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan pengadilan, pembimbingan, pendampingan, pelayanan, dan
pembinaan pemasyarakatan serta penanganan selanjutnya setelah putusan
pengadilan.
BAB II
PELAKSANAAN PENANGANAN
ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN
HUKUM
Pasal 5
Penanganan Anak yang Berhadapan
dengan Hukum dilakukan oleh:
a. Mahkamah Agung Republik Indonesia;
363
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
b. Kejaksaan Agung Republik Indonesia;
c. Kepolisian Negara Republik Indonesia;
d. Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia;
e. Kementerian Sosial Republik Indonesia; dan
f. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia.
Sesuai dengan tugas dan kewenangannya masing-masing.
Pasal 6
Pelaksanaan tugas dan kewenangan
Mahkamah Agung Republik Indonesia
dalam Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi:
a. menyiapkan hakim dan panitera
yang mempunyai minat, kemampuan, perhatian dan dedikasi yang
bersertifikasi di bidang anak pada
setiap pengadilan negeri;
b. menyiapkan fasilitas dan prasarana, ruang tunggu dan ruang sidang
ramah anak, serta ruang saksi anak
pada setiap pengadilan secara bertahap;
c. mengadakan diskusi secara rutin
serta pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan;
d. menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung/Peraturan Mahkamah
Agung/dan menyusun standar operasional prosedur Penanganan
Anak yang Berhadapan dengan Hukum dengan pendekatan restoratif;
e. membentuk Kelompok Kerja Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum;
f. melakukan sosialisasi internal; dan
g. mengefektifkan fungsi Ketua Pengadilan Tinggi dalam memberikan bimbingan dan pengawasan
364
terhadap jalannya persidangan di
dalam daerah hukumnya.
Pasal 7
Pelaksanaan tugas dan kewenangan
Kejaksaan Republik Indonesia dalam
Penanganan Anak yang Berhadapan
dengan Hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, meliputi:
a. melakukan penuntutan dengan
memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak yang berhadapan
dengan hukum;
b. menyiapkan jaksa dan tenaga administrasi yang mempunyai minat,
kemampuan, perhatian, dan dedikasi di bidang anak pada setiap
kantor kejaksaan;
c. menyediakan ruang pemeriksaan
khusus bagi anak pada setiap kantor kejaksaan;
d. mengadakan diskusi secara rutin
serta pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan;
e. menyusun panduan/pedoman, surat edaran/standar operasional
prosedur Penanganan Anak yang
Berhadapan dengan Hukum dengan pendekatan keadilan restoratif;
f. membentuk Kelompok Kerja Penanganan Anak yang Berhadapan
dengan Hukum;
g. melakukan sosialisi internal; dan
h. mengefektifkan fungsi kepala kejaksaan tinggi dalam memberikan
bimbingan dan pengawasan terhadap jalannya penuntutan di dalam
daerah hukumnya.
Pasal 8
Pelaksana tugas dan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi:
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
a. menyiapkan penyidik yang mempunyai minat, kemampuan, perhatian dan dedikasi dengan bersertifikasi di bidang anak di Mabes Polri
dan jajaran kewilayahannya;
b. meningkatkan jumlah unit pelayanan Perempuan dan Anak di
Mabes Polri dan jajaran kewilayahannya;
c. menyediakan ruang pemeriksaan
khusus bagi anak di Mabes Polri
dan jajaran kewilayahannya;
d. melaksanakan pendidikan dan pelatihan tentang Penanganan Anak
yang Berhadapan dengan Hukum;
e. menyusun
panduan/pedoman
standar tentang Penanganan Anak
yang Berhadapan dengan Hukum dengan pendekatan keadilan
restorarif;
f. membentuk Kelompok Kerja Penanganan Anak yang Berhadapan
dengan Hukum; dan
g. melakukan sosialisasi internal,
yang dalam pelaksanaannya dapat
bekerja sama dengan instansi terkait.
Pasal 9
Pelaksanaan tugas dan kewenangan Kementerian Hukum dan Hak asasi Manusia Republik Indonesia dalam Penanganan Anak yang Berhadapan dengan
Hukum sebagaimana dimaksud dalam
pasal 5, meliputi:
a. menetapkan kebijakan, program,
dan kegiatan perlindungan dan pemenuhan hak anak yang berhadapan dengan hukum di lingkungan
pemasyarakatan;
b. meningkatkan pelayanan litmas,
pembimbingan, dan pengawasan
serta pendampingan anak yang
berhadapan dengan hukum;
c. menyiapkan Pembimbing Kemasyarakatan pada Balai Pemasyara-
d.
e. f.
g.
h. i.
j. k. katan dan Petugas pemasyarakatan
pada Lembaga Pemasyarakatan dan
Rumah Tahanan yang mempunyai
minat, kemampuan, perhatian, dan
dedikasi dengan bersertifikasi di
bidang anak;
meningkatkan pelayanan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, dan pengawasan serta
pendampingan terhadap anak yang
diputus dengan pidana pengawasan, pidana bersyarat, anak yang
dikembalikan kepada orang tua,
dan anak yang memerlukan bimbingan lanjutan (after care).
menyiapkan fasilitas dan prasarana
bagi pembinaan, dan
menyiapkan ruang khusus bagi
tahanan anak dan anak didik pemasyarakatan di Rumah Tahanan dan
Lembaga Pemasyarakatan;
menyediakan psikolog, tenaga pendidik, dan tenaga medis;
menyusun standar operasional
prosedur Penanganan Anak yang
Berhadapan dengan Hukum dengan pendekatan Keadilan Restoratif;
meningkatkan peran serta masyarakat;
membentuk Kelompok Kerja Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum; dan
melakukan sosialisasi internal.
Pasal 10
(1) Pelaksanaan tugas dan kewenangan Kementerian Sosial Republik Indonesia dalam Penanganan Anak
yang Berhadapan dengan Hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi:
a. menyiapkan Pekerja sosial dalam pelayanan masalah sosial
anak berhadapan dengan hukum yang mempunyai minat,
365
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
kemampuan, perhatian dan
dedikasi dengan bersertifikasi
di bidang anak di tingkat pusat
sampai dengan tingkat daerah;
b. memfasilitasi penyediaan Panti Sosial Marsudi Putra, Rumah
Perlindungan Sosial Anak dan
Pusat Trauma bagi anak yang
berhadapan dengan hukum;
c. mendorong dan memperkuat
peran keluarga, masyarakat,
dan organisasi sosial atau Lembaga Swadaya Masyarakat untuk peduli pada anak yang berhadapan dengan hukum;
d. mengembangkan panduan atau pedoman, standar operasional prosedur perlindungan
dan rehabilitasi sosial anak
yang berhadapan dengan hukum;
e. membentuk Kelompok Kerja
Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum; dan
f. melakukan sosialisasi internal.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan
Hukum diatur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Pasal 11
Pelaksanaan tugas dan kewenangan Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak Republik Indonesia dalam Penanganan Anak yang
Berhadapan dengan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi:
a. merumuskan kebijakan penanganan anak yang berhadapan dengan
hukum;
b. melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan instansi/lembaga
terkait;
c. melakukan sosisalisasi, advokasi,
dan fasilitasi;
366
d. mendorong peran serta masyarakat;
e. mengadakan pelatihan-pelatihan;
f. membentuk Kelompok Kerja Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum;
g. mengembangakan panduan atau
pedoman, standar dan prosedur
penanganan anak yang berhadapan dengan hukum;
h. melakukan sosialisasi internal; dan
i. melakukan pemantauan, analisis,
evaluasi, dan pelaporan.
BAB III
PENANGANAN TERHADAP ANAK
YANG BERHADAPAN DENGAN
HUKUM
Pasal 12
Penanganan Anak yang Berhadapan
dengan Hukum meliputi:
a. Anak sebagai pelaku;
b. Anak sebagai korban; dan
c. Anak sebagai saksi tindak pidana.
Pasal 13
Perlakuan terhadap anak sebagai
pelaku tindak pidana sebagai berikut:
a. penyidik melakukan upaya penanganan perkara anak yang berhadapan hukum dengan pendekatan
keadilan restoratif untuk kepentingan terbaik bagi anak wajib melibatkan Balai Pemasyarakatan, orang tua dan/atau keluarga korban
dan pelaku tindak pidana serta tokoh masyarakat setempat;
b. balai pemasyarakatan wajib membuat laporan penelitian pemasyarakatan;
c. dalam hal anak ditahan maka penempatannya dipisahkan dengan
tahanan orang dewasa atau dititipkan di Rumah Tahanan khusus anak;
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
d. proses penyidikan dan penyerahan
berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum dilaksanakan segera
dengan mengikutsertakan Pembimbing Kemasyarakatan Bapas;
e. dalam hal Jaksa Penuntut Umum
berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dan hasil penelitian kemasyarakatan dapat dilakukan penuntutan dengan acara pendekatan
keadilan restoratif maka Jaksa Penuntut Umum segera melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan
Negeri;
f. setelah menerima pelimpahan dari Jaksa Penuntut Umum, Hakim
segera melaksanakan sidang anak
dengan acara pendekatan keadilan
restoratif;
g. apabila putusan hakim berupa tindakan, maka Balai Pemasyarakatan
wajib melakukan pembimbingan
dan pengawasan;
h. pembimbingan, pembinaan, dan
perawatan di Bapas, Rutan, dan
Lapas dilaksanakan secara terpadu
dengan melibatkan instansi terkait;
dan
i. dalam hal putusan hakim menyerahkan anak yang berhadapan dengan hukum kepada Dinas Sosial,
maka Dinas Sosial wajib menerima
dan menyiapkan sarana dan prasarana dalam rangka pemulihan dan
rehabilitasi sosial anak.
Pasal 14
Perlakuan terhadap anak sebagai korban tindak pidana, sebagai berikut:
a. segera setelah menerima laporan
dari korban tindak pidana, penyidik melakukan interview awal;
b. dalam melakukan wawancara, penyidik memperhatikan situasi dan
kondisi korban;
c. apabila korban memerlukan pera-
watan lebih lanjut, setelah wawancara awal maka korban dapat dirawat atau ditempatkan pada ruang
khusus (sementara) untuk pelayanan lain yang diperlukan seperti
perawatan medik, psikologi, sosial
atau pemeriksaan dalam rangka
proses penyelidikan dan penyidikan;
d. setelah korban sembuh dan seluruh pelayanan termasuk proses
hukumnya selesai, korban dapat
dipulangkan atau dititipkan pada
rumah perlindungan sosial anak,
rumah aman, pusat trauma, untuk
rehabilitasi sosial dan mental.
Pasal 15
Perlakuan terhadap anak sebagai saksi
tindak pidana, sebagai berikut:
a. dalam hal anak melapor sebagai
saksi, maka polisi segera menghubungi orangtuanya atau wali anak
tersebut, kecuali orangtuanya atau
wali anak dimaksud terlibat atau
diduga sebagai pelaku;
b. membuat catatan identitas dari pihak yang merujuk, data mengenai
anak, kronologi kejadian;
c. meminta orangtua atau wali yang
dipercayai anak, untuk mendampingi anak pada saat anak memberikan keterangan;
d. dalam hal anak memberikan keterangan dalam proses penyidikan
dilakukan pada ruangan khusus
dan tertutup didampingi orangtua/
wali dengan memperhatikan usia,
tingkat intelektual, dan pentingnya
kesaksian anak tersebut;
e. anak berhak mendapatkan perlindungan dari lembaga perlindungan
saksi dan korban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan;
f. apabila diperlukan perawatan me367
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dis, anak dirujuk kerumah sakit
terdekat;
g. di setiap tahap pemeriksaan hingga
pemeriksaan di pengadilan, anak
sebagai saksi wajib diberikan pendamping.
BAB IV
SARANA DAN PRASARANA
Pasal 16
Penanganan anak yang berhadapan
dengan hukum dilaksanakan dengan
menggunakan sarana dan prasarana
yang ada pada masing-masing pihak
terkait.
BAB VI
PEMANTAUAN, EVALUASI, DAN
PELAPORAN
Pasal 19
(1) Para pihak berkewajiban melakukan pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan terhadap pelaksanaan
Keputusan Bersama ini di tingkat
pusat dan daerah.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan dalam
forum koordinasi.
BAB VII
PEMBIAYAAN
Pasal 17
(1) Untuk kelancaran pelaksanaan
Keputusan Bersama ini diadakan
pertemuan koordinasi sekurangkurangnya 6 (enam) bulan sekali
yang difasilitasi oleh Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak.
(2) Pertemuan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihadiri
oleh pimpinan instansi terkait dan/
atau wakil yang ditunjuk dan para
pemangku kepentingan.
(3) Koordinasi sebgaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan di tingkat
pusat dan daerah.
Pasal 20
Keseluruhan pembiayaan yang diperlukan dalam pelaksanaan Keputusan Bersama ini dibebankan kepada anggaran
masing-masing instansi.
Pasal 18
Untuk mewujudkan penanganan anak
yang berhadapan dengan hukum perlu
dibentuk jejaring dan kerja sama lintas
instansi, organisasi profesi, organisasi
masyarakat, dan pakar/akademisi di
tingkat pusat dan daerah.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 22 Desember 2009
368
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Keputusan Bersama ini mulai berlaku
pada tanggal ditetapkan dan apabila di
kemudian hari terdapat perkembangan
atau perubahan peraturan perundangundangan, akan dilakukan penyesuaian
seperlunya.
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI SOSIAL
NOMOR : 110/RS-KSA/KEP/2011
TENTANG PEDOMAN KERJASAMA
ANTAR KEMENTERIAN/LEMBAGA DALAM PERLINDUNGAN DAN
REHABILITASI SOSIAL ANAK YANG BERHADAPAN
DENGAN HUKUM
DIREKTUR JENDERAL
REHABILITASI SOSIAL
Menimbang:
a. bahwa meningkatnya kompleksitas
permasalahan Anak yang Berhadapan dengan Hukum, memerlukan sinergi/keterpaduan antara
Kementerian/Lembaga dalam Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial
ABH;
b. bahwa untuk meningkatkan peran masing-masing Kementerian/
Lembaga dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam
Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan
Hukum, memerlukan pedoman
kerjasama antar Kementerian/
Lembaga;
c. bahwa Kementerian Sosial RI sebagai salah satu pengemban amanat
undang-undang, memandang perlu
untuk disusun Pedoman Kerjasama
antar Kementerian/Lembaga dalam Perlindungan dan Rehabilitasi
Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum;
Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana;
3. Undang-undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan;
4. Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak;
5. Undang-undang Nomor 20 Tahun
1999 tentang Pengesahan ILO Convention No.138 Concerning Minimum Age
For Admission To Employment (Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum
Untuk Diperbolehkan Bekerja);
6. Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia;
7. Undang-undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan;
8. Undang-undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kehakiman;
9. Undang-undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara RI;
10. Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak;
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan Convention on The Rights
of The child (Konvensi Tentang HakHak Anak) ;
12. Peraturan Presiden RI Nomor 47
Tahun 2009 tentang Pembentukan
dan Organisasi Kementerian Negara;
13. Peraturan Kepala Polisi Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 2007
tentang Organisasi dan Tata Kerja
Unit Pelayanan Perempuan dan
Anak;
14. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor
15A/HUK/2010 tentang Panduan
Umum Program Kesejahteraan Sosial Anak;
369
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
15. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor
86/HUK/2010 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Sosial;
16. Kesepakatan Bersama Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi
Sosial Departemen Sosial RI dan
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI Nomor: 20/PRS2/
KEP/2005 Nomor: E.U.M 06.07-83
Tahun 2005 tentang Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial Anak Didik Pemasyakatan.
17. Kesepakatan Bersama antara Menteri Sosial RI, Menteri Hukum dan
HAM RI, Menteri Pendidikan Nasional RI, Menteri Kesehatan RI,
Menteri Agama RI, dan Kepolisian
RI, Nomor 12/PRS2/KPTS/2009,
Nomor M.HH.04.HM.03.02 Th 2009,
Nomor 11/XII/KB/2009, Nomor
1220/Menkes/SKB/XII/2009, Nomor 06/XII/2009, Nomor B/43/
XII/2009 tentang Perlindungan dan
Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN
DIREKTUR JENDERAL
REHABILITASI SOSIAL
TENTANG PEDOMAN KERJASAMA
ANTAR KEMENTERIAN/LEMBAGA
DALAM PERLINDUNGAN DAN
REHABILITASI SOSIAL ANAK YANG
BERHADAPAN DENGAN HUKUM
PERTAMA:
Menetapkan Pedoman Kerjasama Antar Kementerian/Lembaga dalam Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak
yang Berhadapan dengan Hukum sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Keputusan ini;
KEDUA:
Pedoman Kerjasama Antar Kemente370
rian/Lembaga merupakan salah satu
acuan bagi Kementerian/Lembaga dalam melaksanakan perannya dalam
perlindungan dan rehabilitasi sosial
ABH sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya masing-masing.
KETIGA:
Pedoman Kerjasama Antar Kementerian/Lembaga merupakan acuan khusus
untuk dipedomani pihak Kementerian
/Lembaga terkait dalam melaksanakan
perlindungan dan rehabilitasi sosial
anak yang berhadapan dengan hukum.
KEEMPAT:
Keputusan ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan, dengan ketentuan
apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan akan disempurnakan dan dibetulkan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 November 2011
Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial
Makmur Sunusi Ph.D
NIP. 19540101.198103.1.007
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sesuai dengan amanat UU No. 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak dan UU
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, mengemban tugas dan tanggung jawab
untuk merumuskan kebijakan dalam
penanganan perlindungan anak, khususnya untuk anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Sebagai upaya
mewujudkan tugas dan tanggung jawab
tersebut, Kementerian Sosial telah menyusun Kesepakatan Bersama dengan 4
Departemen lain (Departemen Hukum
Dan HAM, Departemen Pendidikan
Nasional RI, Departemen Kesehatan
RI, dan Departemen Agama) serta Kepolisian Negara RI pada Tahun 2009,
tentang Perlindungan dan Rehabilitasi
Sosial Anak Yang Berhadapan Dengan
Hukum (ABH). Kesepakatan Bersama 5
Menteri dan POLRI ini merupakan perluasan atas kesepakatan bersama antara Depsos dengan Departemen Hukum
dan HAM yang telah dibuat pada Tahun
2005, tentang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Didik Pemasyarakatan.
Surat Kesepakatan Bersama ini dibuat
untuk memberikan acuan bagi para
pemangku kepentingan yang terlibat
dalam pelayanan dan rehabilitasi sosial
ABH agar dapat dilakukan secara lebih
terkoordinasi dan terintegrasi, dengan
mengutamakan pendekatan keadilan
restoratif serta berdasar pada prinsipprinsip perlindungan anak non diskriminatif, kepentingan terbaik anak,
menjamin tumbuh kembang anak dan
partisipasi anak.
Di dalam SKB para pihak menyepakati ketentuan-ketentuan umum per-
lindungan dan rehabilitasi sosial ABH,
tujuan, prinsip, dan ruang lingkup kegiatan, serta menyepakati pembagian
tugas dan tanggung jawab diantara keenam lembaga dalam pelaksanaan perlindungan dan rehabilitasi sosial ABH.
Sebagai tindak lanjut dari Surat Kesepakatan Bersama, seperti juga diatur dalam Pasal 15, ayat (3), maka Perjanjian
Kerjasama ini disusun dalam bentuk
Pedoman Kerja Antar Lembaga dalam
Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial
ABH, yang merupakan bagian integral
dari Surat Kesepakatan Bersama.
B. TUJUAN
Pedoman Kerja Antar Lembaga ini disusun dengan tujuan untuk memberikan
landasan kebijakan yang lebih jelas bagi
semua pihak, di pusat maupun daerah,
yang terlibat secara aktif di dalam menangani Anak yang Berhadapan dengan
Hukum (ABH), khususnya yang berkaitan dengan program perlindungan
dan rehabilitasi sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH).
C. DASAR HUKUM
1. Undang-undang No. 12 Tahun 1995
Tentang Pemasyarakatan.
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997, tentang Pengadilan Anak.
3. Undang-undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Azasi Manusia.
4. Undang-undang No. 2 tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
5. Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
6. Undang-undang Nomor 13 Tahun
2006, tentang Perlindungan Saksi
dan Korban
7. Undang-undang Nomor 11 Tahun
2009 tentang Kesejahteraan Sosial
8. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, tentang Pengesahan
371
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Convention On The Rights of Child
9. Resolusi Majelis PBB No. 40/33
tanggal 29 November 1985 tentang
Peraturan Standar Minimum PBB
mengenai Administrasi Peradilan
Anak (Beijijng Rules)
10. Resolusi PBB No. 45/113 tanggal 14
Desember 1990, tentang Peraturan
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
Perlindungan Anak yang Terampas
Kemerdekaannya
11. Resolusi PBB No. 45/112 Tanggal 14
desember 1990 tentang Pedoman
PBB mengenai Pencegahan Tindak
Pidana Anak (Riyadh Guidelines).
BAB II
FRAMEWORK
TENTANG PERLINDUNGAN DAN
REHABILITASI SOSIAL ANAK YANG
BERHADAPAN DENGAN HUKUM
Perlindungan Sosial diberikan kepada
anak-anak yang berhadapan dengan
hukum, untuk menjamin pemenuhan
hak anak untuk hidup, tumbuh kembang dan berpartisipasi, serta melindungi anak dari diskriminasi, tindak kekerasan, eksploitasi dan penelantaran.
Untuk dapat menjamin pemenuhan
hak-hak dasar anak tersebut, maka
berbagai upaya dilakukan melalui program pencegahan untuk menjauhkan
anak dari proses peradilan, dan kasuskasus anak berhadapan dengan hukum
perlu diupayakan untuk ditangani
melalui proses peradilan restoratif di
dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya sendiri. Adapun rehabilitasi
sosial diberikan kepada ABH, untuk
dapat mengembalikan serta mengembangkan keberfungsian sosial anak,
melalui berbagai program pengubahan
perilaku, serta program-program sosial lainnya yang bisa mempermudah
anak melalui proses reintegrasi sosial
372
dengan lingkungan sosialnya, setelah
anak selesai menjalani masa putusan
pengadilan atau selesai melalui program peradilan restoratif yang berbasis masyarakat.
Proses perlindungan dan rehabilitasi
sosial diberikan kepada anak-anak yang
berhadapan dengan hukum, baik dalam
proses peradilan formal maupun dalam
proses penyelesaian kasus dengan pendekatan peradilan restoratif (informal).
Adapun program perlindungan dan rehabilitasi sosial dalam proses informal,
dimulai dari penyelenggaraan berbagai
program pencegahan kepada anakanak yang ada dalam situasi rentan
untuk terlibat dalam konflik hukum.
Bagi anak-anak yang sudah berhadapan
dengan hukum, berbagai upaya dilakukan untuk terselenggaranya musyawarah (keluarga dan masyarakat) sebagai wahana penyelesaian kasus anak
tanpa melalui proses peradilan formal.
Sebagai sarana rehabilitasi sosial dan
pengubahan perilaku anak di dalam
masyarakat, maka perlu difasilitasi berbagai program dukungan sosial bagi
anak pasca musyawarah. Selain itu,
pemberian pendampingan psikososial
bagi anak dan keluarganya juga perlu
dilakukan untuk membantu anak dan
keluarga tersebut mengatasi permasalahan-permasalahan psikososial berkaitan dengan keterlibatannya dalam
konflik hukum yang mereka hadapi.
Untuk menjamin agar anak dan keluarga benar-benar menjalankan kesepakatan yang telah dihasilkan pada musyawarah (keluarga atau masyarakat)
maka upaya pengawasan pun harus dilakukan dengan melibatkan tokoh atau
warga masyarakat setempat. Lebih dari
itu, berbagai program rehabilitasi dan
reintegrasi sosial harus diciptakan dan
diselenggarakan agar bisa diakses oleh
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
anak-anak yang akan dikembalikan kepada keluarga dan masyarakatnya.
Proses perlindungan dan rehabilitasi
sosial bagi ABH yang telah masuk dalam poses peradilan formal dilaksanakan mulai dari proses pelaporan kasus
ke polisi, pada tahap pepenyidikan,
penuntutan dan persidangan, masa
manjalankan tindakan, bahkan ketika
anak berada di dalam lembaga pemasyarakatan, sampai dengan masa pembebasan. Ketika, peradilan restoratif tidak bisa dilaksanakan karena satu dan
lain hal, maka proses peradilan formal
perlu diupayakan dengan tetap memberikan jaminan bagi pemenuhan hakhak dasar anak yang ditunjang dengan
pemberian pelayanan sosial dasar bagi
anak dengan perpertimbangan kepentingan terbaik anak, serta dengan tetap
memperhatikan dan mengutamakan
hak anak atas pengasuhan orang tua.
Upaya-upaya diversi perlu dilakukan
pada setiap tahapan proses peradilan
formal, sebagai perwujudan dari pengutamaan pengasuhan anak dalam lingkungan keluarga.
Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa
program perlindungan dan rehabilitasi
sosial anak yang berhadapat dengan
hukum meliputi 4 (empat) aspek, yaitu:
A. PENCEGAHAN
Program pencegahan diarahkan kepada
kelompok anak dan masyarakat yang
karena kondisi dan situasinya, membuat mereka menjadi rentan untuk
menghadapi konflik dengan hukum.
Program-program pencegahan dibuat
untuk menjauhkan anak dari kemungkinan berhadapan dengan hukum. Program pencegahan terutama diarahkan
untuk memperbaiki kualitas perlindungan dan pengasuhan anak di dalam
keluarga.
B. PERLINDUNGAN
Program perlindungan diberikan melalui pendampingan psikososial untuk
memberikan jaminan atas pemenuhan
hak dasar anak, dengan mengedepankan pendekatan keadilan restoratif dalam menyelesaikan kasus-kasus anak
yang berhadapan dengan hukum, serta
pemberian pendampingan psikososial
bagi anak yang terpaksa masuk dalam
proses peradilan.
C. PELAYANAN
Pemberian pelayanan dasar yang terintegrasi dan terkoordinasi dilakukan
secara bersama-sama oleh semua stakeholder bagi semua anak, termasuk anakanak yang berhadapan dengan hukum
yang diproses dalam proses peradilan
formal maupun anak yang ditangani
melalui musyawarah keluarga dan masyarakat. Pelayanan yang dimaksud
meliputi pelayanan bantuan hukum,
pelayanan probasi, dan pelayanan kesejahteraan sosial, termasuk pelayanan
pendidikan, kesehatan dan lain-lain.
Pelayanan khusus yang diberikan Kementerian Sosial melalui para pekerja
sosialnya adalah pelayanan pendampingan psikososial, program rehabilitasi sosial yang diarahkan pada upaya
pengubahan perilaku anak, serta program reintegrasi sosial.
D. PENGASUHAN
Sejalan dengan kebijakan mengenai
pengasuhan anak pada umumnya, pengasuhan anak yang berhadapan dengan hukum pun diatur dengan mengedepankankan pendekatan pengasuhan
yang berbasis keluarga. Prioritas terutama diberikan kepada anak-anak di
bawah umur. Dengan pertimbangan
kepentingan terbaik anak dan prinsip
keutuhan keluarga, anak-anak berha373
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dapan dengan hukum yang usianya
masih di bawah 12 tahun, diupayakan
untuk menghindari penempatan anak
yang secara terpisah dari keluarganya.
Tanggung jawab Kementerian Sosial
dalam hal ini adalah untuk memastikan
agar anak masih tetap berada dalam
tanggung jawab pengasuhan orangtua
atau keluarganya. Dalam ketiadaan
orangtua kandung, maka kerabat terdekat anak diprioritaskan untuk menjadi
pelindung anak, sebelum anak diserahkan menjadi tanggung jawab masyarakat dimana anak tinggal. Pengasuhan
alternatif seperti lembaga asuhan atau
lembaga lainnya, hanya bisa dijadikan
alternatif terakhir jika tidak ada pihak lain yang lebih dekat dengan anak,
mampu dan bersedia menjadi pengasuh
atau penanggung jawab anak dan bersifat sementara dengan pertimbangan
demi kepentingan terbaik anak.
BAB III
IMPLEMENTASI KESEPAKATAN
BERSAMA TENTANG PERLINDUNGAN
DAN REHABILITASI SOSIAL ANAK
BERHADAPAN DENGAN HUKUM
Sesuai dengan Kesepakatan Bersama
tentang Perlindungan dan Rehabilitasi
Sosial Anak yang Berhadapan dengan
Hukum tahun 2009, yang ditandatangani oleh Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian
Pendidikan Nasional, Kementerian
Kesehatan, Kementerian Agama dan
Kepolisian RI, maka masing-masing
kementerian menyusun peran masingmasing.
A. KEMENTERIAN SOSIAL
1. Menetapkan Kebijakan ABH sesuai
kewenangannya dengan perspektif
keadilan restoratif
Implementasi Program:
374
a. Program Kesejahteraan Sosial
Anak yang Berhadapan dengan
Hukum.
Dengan bentuk kegiatan berupa:
- Pemenuhan kebutuhan dasar
sandang, pangan, papan
- Akses Layanan pendidikan, kesehatan, hukum, sosial
- Pengembangan potensi diri
dan kreatifitas anak
- Penguatan, Peran dan tanggung jawab keluarga dalam
pengasuhan
- Penguatan Kapasitas lembaga
terkait (menjadi mitra Komite
PRS ABH, PRS ABH BM, LSM/
Orsos, FKPM dll)
- Fasilitasi Pembentukan komite
PRS ABH
b. Penanganan ABH dengan perspektif restoratif justice melalui
LKSA (PSMP, RPSA, PSBR, LSM/
Orsos). Dengan bentuk kegiatan berupa:
- melakukan penjangkauan kasus
- Melakukan asesmen
- Melakukan case conference termasuk family conference dan
community conference
- Membuat rencana pelayanan
- Melakukan
pendampingan
psikososial terhadap anak dan
keluarga
- Melakukan home visit
- Melakukan tracing, reunifikasi,
dan reintegrasi
- Melakukan Pencatatan, Monitoring dan evaluasi
c. PRS ABH Berbasis Masyarakat,
dengan bentuk kegiatan berupa:
- Penguatan kapasitas masyarakat melalui upaya pencegahan
- Penguatan kapasitas masyara-
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
kat dalam penyelesaian kasus
ABH, keluarga dan komunitas,
dengan mengedepankan upaya
mediasi
- Fasilitasi pembentukan PRSABHBM
2. Memfasilitasi ketersediaan pekerja
sosial untuk melaksanakan pendampingan psikososial ABH.
Implementasi program :
a. Ketersediaan Pekerja Sosial
Profesional yang ada di lembaga kesejahteraan sosial anak
(LKSA) yang bermitra dengan
program kesejahteraan sosial
anak yang berhadapan dengan
hukum, seperti di UPT/UPTD
ataupun lembaga layanan anak
lainnya
b. Satuan Bhakti Pekerja Sosial
(lulusan Sarjana Kesejahteraan
Sosial dan telah melalui proses
seleksi) berjumlah 49 orang
yang ditempatkan di LKSA mitra PKS ABH. Dengan bentuk
kegiatan berupa: Peningkatan
kemampuan dan kapasitas pekerja sosial dan satuan bhakti
pekerja sosial di LKSA (tahun
2010-2011 sejumlah 174 pekerja sosial UPT/UPTD dan 49
satuan bhakti pekerja sosial)
3. Memfasilitasi penjangkauan kasus
ABH (apabila diperlukan)
Implementasi Program:
a. Pendampingan anak di Masyarakat. dengan kegiatan berupa:
- Merespon laporan kasus dan
asesmen;
- Motivasi dan penyiapan mediasi/penyelesaian
melalui
musyawarah;
- Pelaksanaan mediasi dan penandatanganan berita acara
kesepakatan;
- - - b.
-
-
-
-
-
c.
-
-
-
- Pelaksanaan kesepakatan;
Monitoring dan evaluasi;
Tindak lanjut pelayanan
Pendampingan ABH (pelaku,
korban, saksi) pada proses di
kepolisian. Dengan bentuk kegiatan berupa:
Pekerja Sosial melakukan home
visit, penelusuran (tracing) keluarga untuk memastikan keberadaan keluarga, hubungan
dan dukungan keluarga
Memelihara atau mengupayakan anak tetap dalam asuhan
keluarga
Asesmen kebutuhan dasar
anak
Memastikan kondisi fisik, psikis dan lingkungan sosial anak
Penempatan
pengasuhan
dan perawatan yang bersifat
sementara bagi ABH dalam
PSMP dan RPSA milik Kementerian Sosial RI. Bagi ABH
yang belum/tidak diketahui
keberadaan orang tuanya, di
upayakan untuk tetap dalam
pengasuhan kerabat maupun
dengan alternatif pengasuhan
lainnya
Pendampingan ABH pada proses penuntutan dan persidangan.
Dengan bentuk kegiatan berupa :
Penguatan kepada keluarga
agar mampu memberikan dukungan kepada ABH
Pendampingan psikososial bagi
pelaku, korban, maupun saksi
dan keluarganya
Mempermudah akses pendampingan hukum
Memastikan terpenuhinya akses layanan sosial, pendidikan,
kesehatan dan akses layanan
375
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
lainnya yang dibutuhkan.
4. Melakukan koordinasi dengan Bapas untuk memfasilitasi dan melaksanakan pendampingan psikososial ABH selama menjalani proses
peradilan, sampai dengan terjadinya reunifikasi keluarga dan reintegrasi sosial kepada orang tua/
keluarga, kerabat, orangtua asuh
dan/atau orang tua pengganti.
Implementasi Program:
a. Pendampingan ABH pada proses peradilan.
Dengan bentuk kegiatan berupa:
- Pekerja Sosial melakukan home
visit, tracing keluarga untuk
memastikan hubungan dan
dukungan keluarga
- Mengupayakan anak tetap dalam asuhan keluarga dengan tidak menjalani penahanan.
- Pendampingan psikososial pada anak maupun keluarganya
- Melakukan asesmen sebagai
bahan masukan/pertimbangan kepada APH, atau disampaikan melalui Litmas PK Bapas.
- Memastikan kondisi fisik, psikis dan lingkungan sosial anak
- Penempatan pengasuhan dan
perawatan yang bersifat sementara bagi ABH dalam PSMP
dan RPSA .
- Bagi ABH yang tidak diketahui
keberadaan orang tuanya di
upayakan untuk tetap dalam
pengasuhan kerabat maupun
dengan alternatif pengasuhan
lainnya
b. Menerima rujukan dari putusan pengadilan yang menempatkan anak di PSMP atau
LKSA lainnya.
Dengan bentuk kegiatan berupa:
- Kelengkapan administrasi pe376
layanan sistem rujukan (berita
acara serah terima, case record
ABH, kontrak layanan, dsb)
- Asesmen untuk menentukan
layanan yang dibutuhkan ABH
- Pembahasan kasus, termasuk
di keluarga dan masyarakat
- Penelusuran (Tracing) keluarga
dan Home visit
- Reunifikasi
- Reintegrasi (keluarga, sosial,
dan layanan sosial dasar)
- Monitoring dan evaluasi
5. Melakukan Advokasi Sosial agar
tercapai diversi dalam penyelesaian kasus ABH.
Implementasi Program:
Optimalisasi peran komite PRSABH,
PRS ABHBM, PSMP, RPSA, PSBR
dan LKSA lainnya, dengan bentuk
kegiatan berupa:
- Rapat Koordinasi
- Pembahasan Kasus lintas sektor.
- Pekerja sosial melakukan family and community conference.
- Melakukan koordinasi dengan
Bapas dalam memberikan masukan kepada APH dalam PRS
ABH berdasarkan perspektif
Restoratif Justice.
6. Melaksanakan Perlindungan dan
Rehabilitasi Sosial kepada ABH melalui Unit Pelaksana Teknis (Pusat/
Daerah).
Implementasi Program:
a. Mengoptimalkan fungsi layanan PSMP dan PSBR milik Pemerintah Daerah ;
- BRSMP Cileungsi Jawa Barat;
- PSMP Tengkuyuk Riau;
- UPT Rehsos Anak Nakal dan
Korban Napza Jawa Timur dan
- PSMP Dharmapala Palembang
- Serta 36 PSBR UPTD.
b. Kementerian Sosial RI memi-
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
liki 4 Panti Sosial Marsudi Putera yang tersebar di Provinsi
DKI Jakarta, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. serta 6 Rumah Perlindungan Sosial Anak (Aceh,
Jambi, Jakarta, Batur Raden,
Magelang, NTT dan NTB).
Bentuk kegiatan:
- Capacity Building untuk pekerja
sosial, pendamping/ pengasuh,
dan pengelola
- Supervisi terhadap pelaksanaan layanan oleh pekerja sosial, pendamping/pengasuh,
dan pengelola
- Studi banding skala Nasional
maupun Internasional
- Penyusunan buku pedoman
- Penyediaan sarana dan prasarana pendukung
7. Mengembangkan Model Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Berbasis Institusi, Keluarga dan Masyarakat.
Implementasi Program:
a. Program Kesejahteraan Sosial
Anak yang Berhadapan dengan
Hukum (PKS ABH)
b. Penanganan ABH dengan perspektif restoratif justice melalui
PSMP
c. Komite PRS ABH
d. PRS ABH Berbasis Masyarakat
Bentuk kegiatan:
a. Pelaksanaan Workshop
b. Rapat Koordinasi
c. Penyusunan modul maupun
pedoman terkait model layanan yang dikembangkan
d. Penelitian
e. Peningkatan kapasitas pekerja
sosial
f. Uji coba pengembangan model
layanan
g. Supervisi, monitoring dan eva-
luasi untuk penyempurnaan
model layanan
h. Disusunnya Perjanjian Kerjasama SKB PRSABH antara
Kementerian/Lembaga
(Kementerian Sosial, Kementerian
Hukum dan HAM, Kementerian
Agama, Kementerian Pendidikan Nasional, Kepolisian RI)
yang difasilitasi UNICEF.
i. Replikasi pengembangan model layanan
j. Mengembangkan sistem jaringan
8. Memfasilitasi terbentuknya Komite
Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial ABH di Tingkat Nasional serta
mendukung terbentuknya komite
di Tingkat Kabupaten/ Kota.
Implementasi Program:
Pengembangan Komite PRSABH.
Dengan bentuk kegiatan berupa:
a. Sosialisasi Komite PRS ABH
b. Membentuk Komite PRS ABH
Nasional dan Komite PRSABH
Provinsi/Kabupaten Kota (Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa
Tengah, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi Sulawesi Selatan,
Provinsi Nusa Tenggara Barat
serta Kota Pontianak dan Kabupaten Magelang).
c. Bantuan operasional Komite
dalam mendukung pelaksanaan PKSABH melalui dukungan
APBN, Dana Dekonsentrasi dan
sharing APBD dalam pembentukan komite di propinsi/kab.
Kota
9. Memfasilitasi peningkatan kemampuan (Capacity Building) Pendamping/ Pekerja Sosial dalam lembaga
maupun luar lembaga, termasuk
pelaksana Komite Perlindungan
dan Rehabilitasi Sosial ABH.
Implementasi Program:
377
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Capacity buliding SDM PRSABH.
Dengan bentuk kegiatan berupa:
a. Penyusunan pedoman TOT Pekerja Sosial dan Pengelola
b. Pelaksanaan kegiatan capacity
building bagi Pekerja Sosial/
Pendamping UPT dan UPTD
c. Capacity building pengelola
LKSA
d. Capacity building tim kerja PRSABHBM
B. KEMENTERIAN HUKUM DAN
HAM
1. Menetapkan kebijakan pelayanan,
pembinaan, pembimbingan dan
perlindungan ABH di lingkungan
Kementerian Hukum dan HAM
dengan mengedepankan keadilan
restoratif.
Implementasi Program:
Menyusun SOP yang berkaitan dengan penguatan kapasitas PK Bapas.
Dengan bentuk kegiatan berupa:
a. Ditjen Pemasyarakatan melakukan sosialisasi dan uji coba
SOP yang sudah tersusun di Rutan/Lapas/Bapas
b. Ditjen Pemasyarakatan melakukan revisi/penyempurnaan
SOP setelah dilakukannya uji
coba
2. Menyusun SOP terkait dengan PRS
ABH di lingkungan Rutan Lapas dan
Bapas.
Dengan bentuk kegiatan berupa:
- Ditjen Pemasyarakatan melakukan sosialisasi dan uji coba
SOP yang sudah tersusun di Rutan/Lapas/Bapas
- Ditjen Pemasyarakatan melakukan revisi/penyempurnaan
SOP setelah dilakukannya uji
coba
a. Menyusun modul bagi PK Ba378
-
b.
-
-
c.
-
d.
-
e.
-
-
pas. Dengan bentuk kegiatan
berupa:
Ditjen Pemasyarakatan melakukan sosialisasi modul, monitoring dan Evaluasi terhadap
pelaksanaan tugas Bapas
Diklat peningkatan profesionalisme kerja bagi petugas Pemasyarakatan di bidang HAM.
Dengan bentuk kegiatan berupa:
BPSDM melaksanakan Diklat
bagi petugas Rutan/Lapas/Bapas dibidang HAM secara berkala dan berkesinambungan
Ditjen PAS mengadakan Bimbingan Teknis terhadap Petugas Rutan/Lapas/Bapas terkait
dibidang HAM secara berkala
dan berkesinambungan
Penyempurnaan draft litmas
sesuai dengan kebutuhan. Dengan bentuk kegiatan berupa:
Ditjen Pemasyarakatan melakukan sosialisasi draft Litmas
yang telah dibuat sesuai kebutuhan
Mengajukan perubahan Keppres no.174 tahun 1999 tentang
Remisi. Dengan bentuk kegiatan berupa:
Ditjen Pemasyarakatan bekerjasama dengan Biro Hukum dalam menyusun draft rancangan Keppres tentang Remisi
Menyusun SOP terkait perlakuan khusus bagi ABH. Dengan bentuk kegiatan berupa:
Ditjen Pemasyarakatan melakukan sosialisasi dan uji coba
SOP yang sudah tersusun di Rutan/Lapas/Bapas
Ditjen Pemasyarakatan melakukan revisi/penyempurnaan
SOP setelah dilakukannya uji
coba
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
f. Program database Pemasyarakatan. Dengan bentuk kegiatan
berupa:
- Direktorat Registrasi dan Statistik membuat database yang
up to date Pemayarakatan berdasarkan input data dari UPT
seluruh Indonesia
3. Memberikan perlindungan dan
menyelenggarakan pelayanan dan
pembinaan terhadap ABH yang berada di dalam Rutan dan Lapas.
Implementasi Program:
a. Menempatkan ABH terpisah
dari WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan)/narapidana dewasa. Dengan bentuk kegiatan
berupa:
- Ditempatkan pada Lapas Anak.
- Apabila pada wilayah setempat
tidak ada Lapas Anak, maka
penempatan dilakukan pada
Lapas Dewasa (di Blok Khusus
Anak).
b. Memperhatikan gizi ABH sesuai dengan aturan yang berlaku. Dengan bentuk kegiatan
berupa:
- Memberikan makan bagi ABH
yang berada di dalam Rutan/
Lapas sebanyak 3 kali sehari.
- ABH yang berada di luar Rutan/Lapas (ABH yang sedang
mengikuti proses peradilan) tidak mendapatkan makan oleh
pihak Rutan/Lapas.
- Pemberian makanan kepada
ABH tetap memperhatikan gizi
seimbang dan menu yang berbeda.
c. Pihak Rutan/Lapas memfasilitasi pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan ABH. Dengan bentuk kegiatan berupa:
- Menyediakan ruang atau tempat bagi PK Bapas/Pengacara/
-
-
-
-
d.
-
-
-
-
-
-
- Keluarga berkaitan dengan kepentingan ABH.
Pihak Rutan mempersiapkan
ABH untuk mengikuti Sidang
Anak.
Rutan/Lapas membuat jadwal
hari kunjungan bagi ABH.
Penyediaan telepon umum di
Rutan/Lapas.
Penyediaan data ABH di Rutan/Lapas sesuai dengan kebutuhan pihak terkait.
Membuka akses bagi pihak lain
yang ingin membantu perlindungan dan pelayanan ABH sesuai dengan kapasitasnya. Dengan bentuk kegiatan berupa:
Ditjen Pemasyarakatan mengeluarkan izin prinsip bagi
K/L maupun masyarakat yang
berminat memberikan bantuan dan pelayanan ABH di Rutan/Lapas
Kasi/Kasubsi Bimker mendorong terbentuknya program
PKBM di Rutan/Lapas.
Kasi Binadik/Kasi Pelayanan
Tahanan Pro aktif menghubungi pihak sekolah agar ABH tidak putus sekolah.
Tenaga medis/paramedis Rutan/Lapas memberikan layanan kesehatan bagi ABH sesuai
sarana & prasarana yang ada.
Kasi Binadik/Kasi Pelayanan Tahanan Pro Aktif menghubungi Puskesmas/RS rujukan untuk memberikan
pelayanan kesehatan bagi ABH.
Rutan/Lapas membuat program/jadwal Olah Raga rutin/
insidentil bagi ABH.
Rutan/Lapas membuat program/jadwal kegiatan keagamaan rutin/insidentil bagi
ABH.
379
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
- Penyelenggaraan Rumah Pesantren di Lapas Anak.
- Rutan/Lapas memberikan dan
memfasilitasi penyuluhan hukum bagi ABH.
- Rutan/Lapas mengusulkan Remisi.
e. Melakukan peningkatan tahap
pembinaan bagi ABH. Dengan
bentuk kegiatan berupa:
- Rutan/Lapas mengajukan permintaan Litmas pada Bapas
guna usulan Asimilasi, Cuti
Bersyarat (CB), Cuti Menjelang
Bebas (CMB), Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK), Pembebasan Bersyarat (PB) bagi ABH.
- Rutan/Lapas/Bapas melakukan sidang TPP terkait usulan
di atas.
- Rutan/Lapas
mengusulkan
pemberian Asimilasi ke dalam
dan keluar bagi ABH.
- Rutan/Lapas
mengusulkan
pemberian reintgrasi ke lingkungan keluarga dan masyarakat bagi ABH berupa: Cuti
Bersyarat (CB), Cuti Menjelang
Bebas (CMB), Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK), Pembebasan Bersyarat (PB).
- Kanwil melakukan siding TPP
terkait usulan di atas melanjutkan usulan ke Ditjen Pemasyarakatan
- Kanwil mengeluarkan SK Asimilasi, CB dan CMB
- Dijen Pemasyarakatan melakukan siding TPP terkait usulan
PB dan mengeluarkan SK PB
atas nama Menteri
4. Melakukan penyusunan penelitian
kemasyarakatan yang akan dijadikan bahan pertimbangan dalam
penanganan ABH.
Implementasi Program :
380
a. Bapas membuka akses bagi
pihak terkait dalam hal pembuatan Litmas. Dengan bentuk
kegiatan berupa:
- PK Bapas membuat Litmas sebagai bahan pertimbangan pihak Kepolisian untuk melakukan Diversi
- PK Bapas menyampaikan Litmas kepada Hakim sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara anak.
- PK Bapas membuat Litmas untuk usulan Asimilasi, CB, CMB,
CMK, dan PB.
5. Melakukan pembimbingan, pengawasan dan pendampingan ABH
Implementasi Program :
a. Bapas melakukan pendampingan. Dengan bentuk kegiatan
berupa:
- KaBapas melakukan koordinasi
dengan pihak-pihak terkait
(Polri, Kejaksaan dan Pengadilan) dalam rangka Diversi maupun Sidang Anak yang mengedepankan Restoratif Justice
- PK Bapas melakukan mediasi/musyawarah dengan pihak korban dan keluarganya,
Toma, Toga serta berkoordinasi dengan instansi terkait
dalam proses Diversi.
- PK Bapas melakukan pendampingan psikologis ABH selama
proses persidangan dan berkoordinasi dengan Peksos sesuai
dengan kebutuhan
- PK Bapas memfasilitai kehadiran keluarga dalam persidangan
- PK Bapas menfasilitasi pemenuhan kebutuhan LBH bagi
kepentingan ABH dalam persidangan
b. Bapas melakukan pembimbi-
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
ngan. Dengan bentuk kegiatan
berupa:
- PK Bapas melakukan kunjungan rumah dalam rangka pembimbingan klien (ABH).
- PK Bapas melakukan konselling dengan klien (ABH) di kantor Bapas
- Bapas Proaktif melakukan
koordinasi dengan :
o Diknas dalam rangka memenuhi kebutuhan pendidikan klien
(ABH)
o Puskesmas/RS rujukan dalam
rangka memenuhi kebutuhan
kesehatan klien (ABH)
o Bintalkesos/Dinas
sosial
dan Menaker Trans/dinas
yang ada di daerah setempat dalam rangka pemberian life skill bagi klien
(ABH)
c. Bapas melakukan pengawasan.
Dengan bentuk kegiatan berupa:
- PK Bapas melakukan pengawasan terhadap ABH yang diputus
oleh Hakim berupa: AKOT, Pidana Bersyarat, dan Anak yang
diserahkan ke Lembaga Sosial
atau pendidikan (panti sosial,
pesantren, orang tua asuh).
- PK Bapas melakukan assessment
terhadap masyarakat di lingkungan tempat tinggal klien
menjalani CB, CMB, CMK dan
PB agar program tersebut berhasil
- PK Bapas menghubungkan
klien dengan unsur-unsur yang
ada di masyarakat untuk rehabilitasi sosial dan kemandirian
klien.
6. Menyediakan data dan registrasi
anak didik pemasyarakatan, tahanan anak dan klien Bapas
Implementasi Program:
a. Ditjen Pemasyarakatan menyediakan data dan Registrasi ABH
dalam skala Nasional. Dengan
bentuk kegiatan berupa:
- Petugas Regisrasi dan Statistik
menghimpun, mengentri dan
memfinalisasi data dan registrasi ABH berdasarkan laporan
rutin dari UPT seluruh Indonesia
b. Kanwil menyediakan data dan
Registrasi ABH dalam tingkat
Kanwil. Dengan bentuk kegiatan berupa:
- Petugas Regisrasi dan Statistik
menghimpun, mengentri dan
memfinalisasi data dan registrasi ABH berdasarkan laporan
rutin dari UPT yang ada di wilayahnya
c. Rutan/Lapas/Bapas menyediakan data dan Registrasi ABH di
tingkat UPT
- Petugas Regisrasi dan Statistik
menghimpun, mengentri dan
memfinalisasi data dan registrasi ABH berdasarkan fakta
yang ada di masing-masing
UPT
7. Melakukan pelatihan peningkatan
kemampuan petugas Bapas dan Lapas Anak tentang diversi dan keadilan restoratif.
Implementasi Program :
BPSDM berkoordinasi dengan Ditjen Pemasyarakatan dalam penyusunan program pelatihan bagi petugas Rutan/Lapas/Bapas. Dengan
bentuk kegiatan berupa:
- BPSDM melaksanakan Diklat
bagi petugas Rutan/Lapas/Bapas tentang Diversi dan Restoratif Justice secara berkala dan
berkesinambungan
- Ditjen PAS mengadakan Bim381
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
bingan teknis terhadap petugas Rutan/Lapas/Bapas terkait
hal diatas secara berkala dan
berkesinambungan
8. Menyediakan SDM, sarana dan prasarana untuk pelayanan dan pemenuhan hak anak
Implementasi Program:
a. Setjen berkoordinasi dengan
Ditjen Pemasyarakatan dalam
menyusun program rekruitmen pegawai yang berkompetensi dan berkomitmen terhadap kepentingan ABH. Dengan
bentuk kegiatan berupa:
- Setjen melakukan rekruitmen
pegawai yang berkompetensi
dan berkomitmen terhadap kepentingan ABH
b. Setjen berkoordinasi dengan
Ditjen Pemasyarakatan dalam
menyusun program pengadaan
sarana dan prasarana. Dengan
bentuk kegiatan berupa:
- Setjen memberikan dana bagi
tersedianya blok khusus anak
di setiap Rutan/Lapas Dewasa
- Setjen memberikan dana bagi
tersedianya tempat tidur yang
layak, pakaian yang layak, makanan yang layak, obat-obatan
yang memadai, alat keterampilan, olahraga dan kesenian dan
Perpustakaan yang dibutuhkan
ABH
- Setjen memberikan dana yang
memadai bagi terselenggaranya pembuatan Litmas, Pendampingan,
Pembimbingan
dan Pengawasan bagi ABH oleh
Bapas.
C. KEMENTERIAN KESEHATAN
1. Menyediakan Pedoman Pelayanan
Kesehatan bagi ABH
2. Melakukan pembinaan kesehatan
382
anak secara komprehensif yang
meliputi:
a. Upaya pelayanan kesehatan
dasar di Puskesmas yaitu:
1) Upaya promotif
2) Upaya preventif
3) Upaya Kuratif
4) Upaya rehabilitatif
b. Pelayanan kesehatan rujukan
di RS yang meliputi pelayanan
rujukan medis/ pelayanan terpadu (PPT).
3. Menyediakan biaya pengobatan
melalui Jamkesmas bagi ABH yang
terdaftar sebagai keluarga miskin
dan ABH yang berasal dari kelompok gelandangan, pengemis dan
terlantar atas rekomendasi dinas/
instansi sosial setempat dan bagi
ABH di Lapas/Rutan melalui Rekomendasi Kepala Rutan/Lapas setempat
4. Implementasi pelayanan kesehatan
dilaksanakan terdiri dari:
a. Sebelum menjadi kasus “ABH”:
melaksankan upaya promotif
dan preventif seperti: Penyuluhan tentang Kesehatan Reproduksi Remaja, Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS), Bahaya NAPZA terhadap kesehatan remaja, dan Dampak Kekerasan Fisik, Emosional, Seksual,
Penelantaran terhadap Tumbuh Kembang Anak termasuk
pada anak korban TPPO/trafiking.
b. Dalam Proses Peradilan: Pelayanan kesehatan dan dukungan medikolegal (visum et repertum) dan menjadi saksi ahli
jika diperlukan.
c. Dalam Proses Menjalani Tindakan: Pelayanan kesehatan rutin bagi ABH di Klinik Lapas/
Rutan atau Puskesmas setem-
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
pat; penyuluhan kesehatan,
penjaringan kesehatan, Konseling, Pendidikan Keterampilan
Hidup Sehat serta pelayanan
kesehatan rujukan di rumah
sakit.
d. Setelah menjadi ABH/Pasca
ABH menjalani tindakan: Home
visit oleh petugas puskesmas,
rawat jalan, pelayanan rehabilitasi psikologis anak/konseling.
e. Bekerjasama
memperkuat
dukungan pelayanan psikososial dalam tim yaitu Babinkamtibmas, UPPA/Klinik di Lapas/rutan, LKSA/RPSA untuk
upaya perlindungan ABH
5. Melaksanakan koordinasi dalam
rangka upaya peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan bagi ABH
6. Melaksanakanan pencatan dan pelaporan
7. Melaksanakan monitoring dan evalusia program pembinaan kesehatan ABH
Implementasi Program Kesehatan tahun 2010 :
1. Menyediakan Buku Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Lapas
Rutan.
2. Melaksnakan Orientasi pelayanan
kesehatann anak di Lapas/Rutan
bagi tenaga kesehatan di puskesmas
3. Melaksanakan fasilitasi teknis terpadu/monev
4. Menyediakan Jamkesmas bagi pelayanan kesehatan anak di lapas/
rutan sesuai prosedur (Kepmenkes
no 1259/menkes/SK/XII/2009)
5. Puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan di 8 Lapas Anak di
Indonesia yang terdiri dari kegiatan: penyuluhan kesehatan, penja-
ringan kesehatan dan pengobtan
D. KEMENTERIAN AGAMA
1. Mengembangkan dan menetapkan
kebijakan perlindungan ABH untuk
lingkungan pendidikan di lingkungan Kementerian Agama.
Implementasi Program:
a. Program pendidikan terpadu
anak harapan (DIKTERAPAN).
Dengan bentuk kegiatan berupa:
- Penyusunan petunjuk pelaksanaan pendidikan terpadu anak
harapan (DIKTERAPAN)
- Penyusunan petunjuk teknis
DIKTERAPAN
- Penyusunan pedoman pelaksanaan DIKTERAPAN di Kanwil
(Daerah)
b. Program keluarga Sakinah.
Dengan bentuk kegiatan berupa:
- Penyusunan pedoman terwujudnya keluarga sakinah sebagai lingkungan terkecil ABH
oleh Dirjen Bimas Islam;
- Sosialisasi pedoman pedoman
yang disusun oleh Ditjen Pendidikan Islam tentang keluarga sakinah;
c. Program pendidikan Agama
untuk ABH. Dengan bentuk kegiatan berupa:
- Penyusunan petunjuk pelaksanaan pendidikan Agama untuk
ABH;
- Penyusunan pedoman pelaksanaan pendidikan Agama untuk
ABH;
- Sosialisasi juklak dan pedoman
tentang pendidikan Agama untuk ABH;
2. Menetapkan kebijakan alternatif
pelayanan pendidikan agama dan
yang dibutuhkan ABH dalam ben383
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
tuk formal, non formal dan informal.
Implementasi Program:
a. Program layanan bimbingan
dan konseling agama kepada
ABH. Dengan bentuk kegiatan
berupa:
- Pengembangan layanan bimbingan dan konseling agama
kepada ABH;
- Penyusunan modul layanan
bimbingan dan konseling agama kepada ABH;
- Roundtable discussion tentang
modul layanan bimbingan dan
konselling agama kepada ABH;
- Penyempurnaan modul operasional layanan bimbingan dan
konselling agama kepada ABH;
b. Program pendampingan untuk
memberikan pelatihan praktek
keagamaan terhadap ABH oleh
Direktorat PENAIS, pendidikan
Diniyah dan Pondok Pesantren.
Dengan bentuk kegiatan berupa:
- Pengembangan program pendampingan untuk memberikan
pelatihan praktek keagamaan
terhadap ABH oleh Direktorat
PENAIS, pendidikan Diniyah
dan Pondok Pesantren;
- Penyusunan program pendampingan untuk memberikan
pelatihan praktek keagamaan
terhadap ABH oleh Direktorat
PENAIS, pendidikan Diniyah
dan Pondok Pesantren;
- Roundtable discussion tentang
disain program pendampingan
untuk memberikan pelatihan
praktek keagamaan terhadap
ABH oleh Direktorat PENAIS,
pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren.
c. Program pendidikan agama
384
berbasis institusi, keluarga,
dan masyarakat. Dengan bentuk kegiatan berupa:
- Pengembangan model pendidikan agama berbasis institusi,
keluarga, dan masyarakat
- Penyusunan modul operasional pendidikan agama berbasis
institusi, keluarga, dan masyarakat
- Roundtable discussion tentang
modul pendidikan agama berbasis institusi, keluarga, dan
masyarakat
- Penyempurnaan modul operasional pendidikan agama berbasis institusi, keluarga, dan
masyarakat;
d. Program pendampingan keluarga sakinah bagi ABH. Dengan bentuk kegiatan berupa:
- Pengembangan program pendampingan keluarga sakinah
bagi ABH sehingga tidak terjadi
sama sekali kekerasan terhadap anak;
- Penyusunan program pendampingan keluarga sakinah bagi
ABH sehingga tidak terjadi
sama sekali kekerasan terhadap anak;
- Roundtable discussion tentang
disain program pendampingan keluarga sakinah bagi ABH
sehingga tidak terjadi sama sekali kekerasan terhadap anak;
3. Melakukan langkah pencegahan
tindak kekerasan terhadap siswa
selama dalam proses pendidikan
agama sebagai upaya pencegahan
siswa melakukan rindak pelanggaran tata tertib madrasah, pesantren, madrasah diniyah, majelis
taklim, TPQ.
Implementasi Program:
a. Program pencegahan tindak
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
kekerasan terhadap siswa di
satuan pendidikan di lingkungan Kementerian Agama. Dengan bentuk kegiatan berupa:
- Penyusunan pedoman pencegahan tindak kekerasan
terhdap siswa di madrasah,
pesantren, madrasah diniyah,
majelis taklim, dan TPQ
- Roundtable discussion pedoman
pencegahan tindak kekerasan
terhdap siswa di madrasah,
pesantren, madrasah diniyah,
majelis taklim, dan TPQ
- Penyempurnaan
pedoman
pencegahan tindak kekerasan
terhdap siswa di madrasah,
pesantren, madrasah diniyah,
majelis taklim, dan TPQ
- Penggandaan pedoman pencegahan tindak kekerasan
terhdap siswa di madrasah,
pesantren, madrasah diniyah,
majelis taklim, dan TPQ
- Sosialisasi pedoman pencegahan tindak kekerasan terhdap
siswa di madrasah, pesantren,
madrasah diniyah, majelis
taklim, dan TPQ
b. Program peningkatan kapasitas pendidik agama khusus dan
tenaga bimbingan/konseling
agama terhadap ABH untuk
pencegahan tindak kekerasan
terhdap siswa di madrasah,
pesantren, madrasah diniyah,
majelis taklim, dan TPQ. Dengan bentuk kegiatan berupa:
- Fasilitasi bagi pendidik agama
khusus dan tenaga bimbingan/
konseling agama terhadap ABH
untuk pencegahan tindak kekerasan terhdap siswa di madrasah, pesantren, madrasah
diniyah, majelis taklim, dan
TPQ
-
-
-
-
c.
-
-
-
d.
Penunjukan dan pengangkatan
pendidik agama khusus dan
tenaga bimbingan/konseling
agama terhadap ABH
Pemberian subsidi tunjangan
terhadap pendidik khusus dan
bimbingan/konseling terhadap ABH
Peningkatan kompetensi pendidik agama dan tenaga bimbingan/konseling agama terhadap ABH Semiloka desain
kegiatan peningkatan kompetensi pendidik agama dan
tenaga bimbingan/konseling
agama terhadap ABH
Workshop peningkatan kompetensi pendidik agama dan
tenaga bimbingan/konseling
agama terhadap ABH
program pendampingan mental spiritual bagi ABH yg
sedang berproses peradilan sekaligus bisa menerima putusan
dengan lapang dada dan sabar.
Dengan bentuk kegiatan berupa:
Pengembangan program pendampingan mental spiritual
bagi ABH yg sedang berproses
peradilan sekaligus bisa menerima putusan dengan lapang
dada dan sabar;
Penyusunan desain program
pendampingan mental spiritual bagi ABH yg sedang berproses peradilan sekaligus bisa
menerima putusan dengan lapang dada dan sabar;
Roundtable discussion tentang
disain program pendampingan
mental spiritual bagi ABH yg
sedang berproses peradilan sekaligus bisa menerima putusan
dengan lapang dada dan sabar;
Program penguatan mental
385
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
spiritual dengan adanya harapan akan masa depan yang
lebih cerah. Dengan bentuk kegiatan berupa:
- Pengembangan program penguatan mental spiritual dengan adanya harapan akan
masa depan yang lebih cerah;
- Penyusunan desain program
penguatan mental spiritual
dengan adanya harapan akan
masa depan yang lebih cerah;
- Roundtable discussion desain
program penguatan mental
spiritual dengan adanya harapan akan masa depan yang
lebih cerah;
e. Program pendampingan dan
monitoring terhadap kondisi
mental spiritual selama menjalani putusan, baik LAPAS,
RUTAN maupun pihak lainnya.
Dengan bentuk kegiatan berupa:
- Pengembangan program pendampingan dan monitoring
terhadap kondisi mental spiritual selama menjalani putusan,
baik LAPAS, RUTAN maupun
pihak lainnya;
- Penyusunan desain program
pendampingan dan monitoring
terhadap kondisi mental spiritual selama menjalani putusan,
baik LAPAS, RUTAN maupun
pihak lainnya;
- Roundtable discussion program
pendampingan dan monitoring
terhadap kondisi mental spiritual selama menjalani putusan,
baik LAPAS , RUTAN maupun
pihak lainnya
f. Program penguatan keluarga
sakinah dengan pembekalan
keterampilan cukup untuk melanjutkan dan menjalani kehi386
dupan baru yang lebih aman,
ramah dan damai. Dengan bentuk kegiatan berupa:
- Pengembangan program penguatan keluarga sakinah dengan pembekalan keterampilan
cukup untuk melanjutkan dan
menjalani kehidupan baru
yang lebih aman, ramah dan
damai;
- Penyusunan desain program
penguatan keluarga sakinah
dengan pembekalan keterampilan cukup untuk melanjutkan dan menjalani kehidupan
baru yang lebih aman, ramah
dan damai;
- Roundtable discussion program
penguatan keluarga sakinah
dengan pembekalan keterampilan cukup untuk melanjutkan dan menjalani kehidupan
baru yang lebih aman, ramah
dan damai;
g. Program
pembentukan satuan gugus pendampingan di
tiap LAPAS dan RUTAN terhadap ABH dan keluarganya agar
memiliki mental dan spiritual
yang kuat sehingga semaksimal mungkin terhidarkan dari
kekerasan terhadap anak, dan
anak tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum.
Dengan bentuk kegiatan berupa:
- Need assessment tentang satuan
gugus pendampingan di tiap
LAPAS dan RUTAN terhadap
ABH dan keluarganya agar
memiliki mental dan spiritual
yang kuat sehingga semaksimal mungkin terhidarkan dari
kekerasan terhadap anak, dan
anak tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum;
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
-
-
-
Pembentukan satuan gugus
pendampingan di tiap LAPAS
dan RUTAN terhadap ABH dan
keluarganya agar memiliki
mental dan spiritual yang kuat
sehingga semaksimal mungkin
terhindarkan dari kekerasan
terhadap anak, dan anak tidak
melakukan tindakan yang melanggar hukum;
Peningkatan kompetensi satuan gugus pendampingan di
tiap LAPAS dan RUTAN terhadap ABH dan keluarganya agar
memiliki mental dan spiritual
yang kuat sehingga semaksimal mungkin terhindarkan
dari kekerasan terhadap anak,
dan anak tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum;
Evaluasi dan monitoring satuan gugus pendampingan di
tiap LAPAS dan RUTAN terhadap ABH dan keluarganya agar
memiliki mental dan spiritual
yang kuat sehingga semaksimal mungkin terhindarkan
dari kekerasan terhadap anak,
dan anak tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum.
E. POLRI
1. Menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan ABH di lingkungan
POLRI
Implementasi Program :
a. Melakukan sosialisasi kepada
masyarakat dan interen POLRI
tentang Diversi dan Peradilan
Restoratif bagi ABH
b. Melakukan sambang/kunjungan kepada tokoh masyarakat
(formal dan informal)
c. Melakukan pengumpulan pendapat masyarakat (pulpatmas)
untuk mendapatkan informasi
2.
3.
4.
5.
tentang permasalahan-permasalahan yang meresahkan masyarakat.
Melakukan upaya pencegahan ABH
di lingkungan masyarakat
Implementasi Program :
a. Bimbingan dan Penyuluhan
oleh Bhabinkamtibmas/petugas Polisi Masyarakat (Polmas)
di lingkungan pendidikan dan
permukiman untuk menghindari agar masyarakat (termasuk anak) tidak menjadi pelaku
atau korban kejahatan dan
menjadi masyarakat yang patuh hukum.
b. Menjadi pembina upcara di
sekolah-sekolah untuk menyampaikan
penyuluhan
tentang kepatuhan terhadap
hukum dan perundang-undangan tentang hal-hal yang
berkaitan dengan aktivitas pelajar.
c. Memberikan
pengenalan
hukum kepada anak usia dini
dengan program ”Polisi Sahabat Anak”.
Memberdayakan masyarakat untuk melakukan upaya penyelesaian
masalah ABH
a. Melakukan penertiban terhadap masyarakat, termasuk
anak-nak.
b. Memberdayakan FKPM (Forum
Kemitraan Polisi Masyarakat)
dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang
meibatkan anak dalam suatu
lingkungan atau komunitas.
Melakukan rehabilitasi mental agar
anak dapat menjalani kehidupan
normal dalam keluarga dan masyarakat.
Melakukan upaya dalam rangka
mengkondisikan agar keluarga dan
387
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
6.
7.
4.
5.
masyarakat dapat menerima kembali anak tersebut di lingkungannya.
Melakukan penyelidikan terhadap
dugaan adanya anak yang menjadi
pelaku tindak pidana Implementasi
Program: Proses pendampingan
awal ABH dari Instansi yang terkait
(PK Bapas,pekerja sosial) dalam
rangka diversi.
Melakukan penyidikan terhadap
dugaan adanya anak yang menjadi
pelaku tindak pidana dengan melibatkan Bapas dan pendamping ABH
sejak dini, dalam rangka penelitian
kemasyarakatan.
Implementasi Program :
a. Menghubungi petugas Bapas
untuk dilakukan Litmas.
b. Menghubungi pekerja sosial
untuk mendapatkan psikososial baik terhadap ABH maupun keluarga.
Memberikan perlindungan dari
tindak kekerasan, diskriminasi,
intimidasi dan perlakuan tidak
manusiawi lainnya dalam proses
penyelidikan dan penyidikan.
Implementasi Program :
a. Apabila ABH ditahan ditempatkan dalam tahanan yang
ramah terhadap anak.
b. Memberikan rasa aman terhadap ABH dalam proses penyelidikan
c. Menghubungi Litmas dan pekerja sosial untuk memberikan
perlindungan baik terhadap
ABH maupun keluarganya.
Menunjuk LBH untuk mendampingi ABH yang diancam hukuman
penjara di atas 5 (lima) tahun yang
berasal dari keluarga tidak mampu.
Implementasi Program :
a. Meningkatkan kemampuan penyidik Polri yang punya minat
388
6.
7. 8.
9.
10.
dan kepekaan/sensitifitas dan
empati terhadap penanganan
ABH.
b. Mencarikan pengacara yang
berpihak kepada ABH yang
tidak di dampingi oleh pengacara.
Mengupayakan diversi dan keadilan restoratif terhadap perkara
ABH sebagai pelaku, dengan mempertimbangkan hasil penelitian
kemasyarakatan demi kepentingan
terbaik anak
Implementasi Program :
Memberikan rasa aman terhadap
ABH dalam proses penyidikan serta
dengan mengupayakan hak-hak
dasar ABH.
Melibatkan para pihak dalam proses restoratif justice.
Implementasi Program :
Melibatkan
keluarga, bantuan
hukum, pekerja sosial, masyarakat,
pelaku korban dan saksi.
Merujuk ABH sebagai pelaku kepada kepada Departemen Sosial, guna
mendapatkan layanan berdasarkan
putusan diversi dan kesepakatan
keadilan restoratif
Implementasi Program :
Menghubungi pekerja sosial yang
terdekat untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan.
Mengupayakan agar selama dalam
proses penyidikan anak yang diduga melakukan tindak pidana tidak
dilakukan penahanan kecuali untuk kepentingan terbaik anak.
Implementasi Program :
Apabila ABH ditahan ditempatkan
dalam tahanan khusus anak
Meningkatkan kemampuan penyidik untuk melakukan penyidikan
ABH
Implementasi Program :
Sosialisasi tentang proses pena-
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
nganan ABH kepada para penyidik
POLRI.
11. Merujuk ABH ke rumah sakit/lembaga kesehatan yang ditunjuk dalam rangka keperluan visum
Implementasi Program :
Memintakan Visum ke Rumah Sakit rujukan POLRI
12. Menempatkan sementara ABH di
UPT atau lembaga Kementerian
Sosial selama proses pengadilan
dengan memberikan fasilitas keamanan
BAB IV
MEKANISME PRS ABH
A. PERAN KEMENTERIAN SOSIAL
1. Tahap Anak di Masyarakat
a. Pencegahan Khusus
1) Pemberian bantuan untuk pemenuhan hak dasar
anak, bagi anak-anak yang
sangat membutuhkan. Bantuan diberikan dalam bentuk tabungan anak yang
akan dapat dicairkan oleh
anak berdarakan asesmen
kebutuhan yang dilakukan
oleh para pendamping/pekerja sosial yang ditugaskan oleh KEMENSOS.
2) Peningkatan aksesibilitas
terhadap berbagai pelayanan sosial dasar (dalam
rangka pemenuhan hak dasar) pada anak. Contohnya,
akses terhadap pendidikan
dasar/pendidikan alternatif dan akses terhadap vocational training bagi anak
yang berusia 15 tahun ke
atas; akses layanan kesehatan dasar dari puskesmas,
poliklinik, akses terhadap
layanan konseling keseha-
tan reproduksi, dsb
3) Pengembangan Pusat-Pusat Kegiatan Remaja.
Sasaran: Anak dengan kenakalan yang bukan pelaku
tindak pidana dan/atau
rentan.
Pelaksana: Orsos/NGO
4) Pengembangan Kapasitas
Pekerja Sosial dan pengelola LKSA PRS ABH.
Sasaran : Pekerja sosial dan
pengelola LKSA
Pelaksana: Orsos/NGO
5) Fasilitasi pembentukan dan
replikasi PRS ABH BM.
Sasaran : Masyarakat, Tokoh masyarakat dan tokoh
adat.
Pelaksana: TKSA, SSK, PSK,
PSM, Relawan
6) Replikasi Komite.
Sasaran: Instansi lintas
sektor yang terkait dengan
SKB Provinsi dan Kabupaten
Pelaksana:
Kementerian
sosial, Dinas Sosial Provinsi
dan Kabupaten
b. Pencegahan Umum
Kampanye sosial Program PRS
ABH serta Peraturan dan Kebijakan pemerintah terkait PRS
ABH.
Sasaran: Instansi pusat dan
daerah serta LSM
Pelaksana: Kementerian social,
Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten serta orsos/NGO/LSM
c. Memfasilitasi Musyawarah Masyarakat dan Musyawarah Keluarga
1) Merespon laporan dan assesmen
2) Motivasi dan penyiapan
mediasi/penyelesaian me389
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
lalui musyawarah dengan
mengintensifkan kegiatan
family conference dan community conference
3) Pelaksanaan mediasi dan
penandatanganan berita
acara kesepakatan
4) Pelaksanaan kesepakatan
5) Monitoring dan evaluasi
6) Tindak lanjut pelayanan
Sasaran: ABH, Keluarga,
Masyarakat dan Lingkungan sosial
Pelaksana:
Kementerian
sosial, Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten, UPT
dan UPTD, TKSA, SSK, PSK,
PSM, Relawan serta Orsos/
NGO
d. Rehabilitasi Sosial untuk mengubah perilaku ABH, dan
membangun perilaku prososial
di kalangan anak.
1) Menyelenggarakan
program-program konseling
individual untuk anak korban, pelaku maupun saksi.
2) Menyelenggarakan
program-program konseling/
terapi kelompok untuk
anak
3) Menyelenggarakan
program-program pendidikan
sebaya (peer education) kepada ABH
4) Menyelenggarakan
program-program terapi keluarga untuk meningkatkan kualitas pengasuhan
anak.
e. Pemantauan / Binjut
1) Persiapan keluarga
2) Reintegrasi dan bila diperlukan family support untuk
keluarga
3) Reunifikasi
390
Sasaran: ABH, Keluarga,
Masyarakat dan Lingkungan sosial
Pelaksana:
Kementerian
sosial, Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten, UPT
dan UPTD, TKSA, SSK, PSK,
PSM, Relawan serta Orsos/
NGO
2. Tahap Proses di Kepolisian
a. Pekerja sosial melakukan home
visit, tracing keluarga untuk
memastikan hubungan dan
dukungan keluarga
b. Mengupayakan anak tetap dalam asuhan keluarga
c. Assesmen kebutuhan dasar
anak
d. Memastikan kondisi fisik, psikis dan lingkungan sosial anak
e. Penempatan pengasuhan dan
perawatan yang bersifat sementara bagi ABH dalam PSMP
dan RPSA milik kementerian
Sosial RI
f. Bagi ABH yang tidak diketahui keberadaan orang tuanya
diupayakan untuk tetap dalam
pengasuhan kerabat maupun
dengan alternatif pengasuhan
lainnya
Sasaran: ABH (saksi, korban
dan pelaku), Keluarga ABH,
Masyarakat dan lingkungan
sosial,
Pelaksana: Kementerian sosial,
Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten, UPT dan UPTD, TKSA,
SSK, PSK, PSM, Relawan serta
Orsos/NGO
3. Tahap Pasca Putusan Diversi
• Pekerja sosial melakukan home
visit, tracing keluarga untuk memastikan hubungan, dukungan
dan penerimaan keluarga
• Mengupayakan anak tetap da-
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
lam asuhan keluarga
Asessment kebutuhan layanan
lanjutan ABH (Akses layanan
pendidikan, vocational training)
• Memastikan kondisi fisik, psikis dan lingkungan sosial anak
untuk proses reunifikasi dan
reintegrasi
• Bagi ABH yang tidak diketahui keberadaan orang tuanya
diupayakan untuk tetap dalam
pengasuhan kerabat maupun
dengan alternatif pengasuhan
lainnya seperti penempatan
pengasuhan dan perawatan
yang bersifat sementara bagi
ABH dalam PSMP dan RPSA milik Kementerian Sosial RI
Sasaran: ABH, Keluarga ABH, Masyarakat dan lingkungan sosial
Pelaksana: Kementerian sosial, Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten,
UPT dan UPTD, TKSA, SSK, PSK,
PSM, Relawan serta Orsos/NGO
4. Tahap Proses Penuntutan dan
Persidangan
a. Penguatan kepada keluarga
untuk memberikan dukungan
kepada ABH
b. Pendampingan psikososial bagi
pelaku (jika diminta), korban,
maupun saksi
c. Mempermudah akses pendampingan hukum
d. Memastikan terpenuhinya akses layanan sosial, pendidikan,
kesehatan dsb.
Sasaran: ABH dan Keluarga
Pelaksana: Kementerian sosial,
Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten, UPT dan UPTD, TKSA,
SSK, PSK, PSM, Relawan serta
Orsos/NGO
5. Tahap Penempatan Tahanan Anak (Rumah, Lembaga, Kesejahteraan Sosial Anak/LKSA)
•
a. Kelengkpan administrasi pelayanan system rujukan (berita
acara serah terima, case record
ABH, kontrak layanan, dsb)
b. Asessment untuk menentukan
layanan yang dibutuhkan ABH
c. Tracing keluarga dan home visit
d. Pembahasan kasus
e. Reintegrasi dan reunifikasi
f. Monitoring dan evaluasi
Sasaran: LKSA, ABH, Keluarga,
Masyarakat
Pelaksana: Kementerian sosial,
Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten, UPT dan UPTD, TKSA,
SSK, PSK, PSM, Relawan serta
Orsos/NGO
6. Tahap Pasca Putusan dan Menjalani Putusan
a. Kembali ke orang tua
1) Penyiapan anak (Sosial skill
training, life skill)
2) Penyiapan keluarga (social
parenting sklill)
3) Penyiapan lingkungan sosial Sasaran: ABH, Keluarga
dan Masyarakat Pelaksana:
Kementerian sosial, Dinas
Sosial Provinsi dan Kabupaten, UPT dan UPTD, TKSA,
SSK, PSK, PSM, Relawan
serta Orsos/NGO
b. Pidana Bersyarat
1) Penyiapan anak (Sosial skill
training, life skill)
2) Penyiapan keluarga (social
parenting sklill)
3) Penyiapan lingkungan sosial
4) Berkoordinasi dengan pihak Bapas dalam memantau perkembangan anak
Sasaran: ABH, Keluarga dan
Masyarakat
Pelaksana:
Kementerian
sosial, Dinas Sosial Pro391
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
vinsi dan Kabupaten, UPT
dan UPTD, TKSA, SSK, PSK,
PSM, dan Relawan
c. LKSA
1) Melakukan penjangkauan
kasus
2) Melakukan case conference
termasuk family conference
dan community conference
3) Membuat rencana pelayanan
4) Melakukan pendampingan
psikososial
5) Melakukan home visit (untuk menyiapkan keluarga
dan lingkungan sosial)
6) Melakukan tracing, reunifikasi dan reintegrasi
7) Melakukan
pencatatan,
monitoring dan evaluasi
Sasaran: ABH, Keluarga dan
Masyarakat
Pelaksana:
Kementerian
sosial, Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten, UPT
dan UPTD, TKSA, SSK, PSK,
PSM, Relawan serta Orsos/
NGO
7. Tahap setelah Menjalani Putusan
Pengadilan
a. Pekerja social melakukan home
visit, tracing keluarga untuk memastikan hubungan, dukungan
dan penerimaan keluarga
b. Mengupayakan anak tetap dalam asuhan keluarga
c. Asessmen kebutuhan layanan
lanjutan ABH (akses layanan
pendidikan, vocational training)
d. Memastikan kondisi fisik, psikis dan lingkungan social anak
untuk proses reunifikasi dan
reintegrasi dalam menghilangkan stigma keluarga dan
masyarakat, menghilangkan
trauma anak terhadap proses
392
peradilan formal
e. Bagi ABH yang tidak diketahui keberadaan orang tuanya
diupayakan untuk tetap dalam
pengasuhan kerabat maupun
alternatif pengasuhan lainnya
seperti penempatan pengasuhan dan perawatan yang bersifat sementara bagi ABH dalam
PSMP dan RPSA milik Kementerian Sosial
Sasaran: ABH, Keluarga, Masyarakat dan Lingkungan Sosial
Pelaksana: Kementerian sosial,
Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten, UPT dan UPTD, TKSA,
SSK, PSK, PSM, Relawan serta
Orsos/NGO
B. PERAN KEMENTERIAN HUKUM
DAN HAK ASASI MANUSIA
1. Tahap Anak di Masyarakat
a. Pencegahan Umum
Penyuluhan hukum
Sasaran: Masyarakat
Pelaksana: Provinsi: Kanwil (cq
Div. Pelayanan Hukum)
b. Pencegahan Khusus Konseling
dan Pendampingan Kasus
Sasaran: Masyarakat
Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten Kota: Bapas
c. Musyawarah Konseling dan
Pendampingan Kasus
Sasaran: Masyarakat
Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten/Kota: Bapas
d. Pemantauan/Binjut Penerimaan Laporan Masyarakat dan
Pembimbingan
Sasaran: Masyarakat
Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten/Kota: Bapas
2. Tahap Proses di Kepolisian
Tahap
penerimaan-pengaduan
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
3.
4.
5.
6.
ABH di Kepolisian
Tahap Penyelidikan dan Penyidikan
1) Menerima Laporan
2) Membuat Litmas
3) Berkoordinasi dengan pihak
lain sehubungan dengan pengumpulan data laporan litmas
4) Berupaya melakukan diversi
Sasaran: ABH
Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten/Kota: Bapas
Tahap Pasca Putusan Diversi
Melakukan pengawasan dan melakukan pembimbingan
Sasaran: ABH
Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten/Kota: Bapas
Tahap Proses Penuntutan
Melakukan pengawasan dan Pembimbingan
Sasaran: ABH
Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten/Kota: Rutan /Lapas
Tahap Proses Persidangan
a. Mempersiapkan keluarga ABH
dalam menghadapi persidangan
b. ABH tetap melanjutkan pendidikan (koordinasi dengan pihak sekolah atau Diknas)
c. ABH mendapatkan perawatan
kesehatan
d. Mendampingi ABH saat diperiksa JPU
e. Pendampingan
psikososial
ABH dalam menghadapi persidangan
Sasaran: ABH
Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten/Kota: Rutan/Lapas, Bapas
Tahap Penempatan Tahanan
Anak
Ditempatkan pada Lapas Anak dan
Ditempatkan di blok khusus anak
Sasaran: ABH
Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten/Kota: Rutan/Lapas, Bapas
7. Tahap Pasca Putusan
a. Kembali ke Orang Tua
1) Melakukan Kunjungan rumah dan assessment dalam
rangka pengawasan bimbingan
2) Melakukan
pengawasan
dan bimbingan
Sasaran: ABH
Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten/Kota: Bapas
b. Pidana Bersyarat
1) Melakukan Kunjungan rumah dan assessment dalam
rangka pengawasan bimbingan
2) Melakukan
pengawasan
dan bimbingan
Sasaran: ABH
Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten/Kota: Bapas
c. Rutan/Lapas
1) Memperhatikan gizi ABH
sesuai dengan aturan yang
berlaku
2) Melakukan Pembinaan
3) Memfasilitasi pihak lain
yang berkepentingan dengan ABH
4) Mendorong terbentuknya
program PKBM
5) Pro-aktif
menghubungi
Puskesmas untuk kepentingan kesehatan anak
6) Peningkatan kegiatan keagamaan bagi ABH
7) Penyelenggaraan pesantren bagi ABH
8) Mengusulkan remisi
9) Memproses ABH untuk dapat diusulkan menjalani
program CB, CMK, CMB,
dan PB
393
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Sasaran: ABH
Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten Kota: Rutan/Lapas
8. Tahap Setelah Menjalani Putusan Pengadilan
a. Melaksanakan
pengawasan
dan pembimbingan terhadap
ABH
b. Membuat evaluasi hasil bimbingan
c. Melakukan pengakhiran bimbingan
d. Melakukan after care bagi ABH
yang memerlukan bantuan BAPAS
Sasaran: ABH
Pelaksana: Provinsi dan Kabupaten/Kota: Bapas
C. PERAN KEMENTERIAN AGAMA
1. Tahap Anak di Masyarakat (Preventif dan Pemantauan/Binjut)
a. Pencegahan Khusus
Sebagai penyusun, pengembang,
dan pelaksana kebijakan, program,
dan kegiatan pencegahan serta
perlindungan sosial bagi ABH baik
di sekolah, madrasah, pesantren,
diniyah, majelis ta’lim, dan TPQ Sebagai penyusun, pengembang, dan
pelaksana kebijakan, program, dan
kegiatan pencegahan serta perlindungan bagi ABH baik di institusi pendidikan, institusi keagamaan,
maupun kelompok atau organisasi
masyarakat.
Sasaran: ABH, Masyarakat, Keluarga dan lembaga-lembaga sosial
keagamaan
Pelaksana:
1) Pusat: Ditjen Pendidikan Islam,
Cq. Ditpdpontren, Dit Penais, Dit
Pais, Dit Madrasah
2) Provinsi: Kepala Kantor Wilyah
Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid Pekapontren, Kabid Penais, Ka394
bid Madrasah
3) Kabupaten/Kota: Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II
Cq. Kasi Pekapontren, Kasi Penais,
Kasi Madrasah.
4) Kecamatan: Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan beserta
jajarannya: Pengawas Pendidikan
Islam, Penyuluh agama, Guru-guru
Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai.
5) Kelurahan: Majelis Taklim/
Pengajian-pengajian di Mushollah
dan lain-lain
b. Pencegahan Umum
Sebagai penyusun, pengembang,
dan pelaksana kebijakan, program,
dan kegiatan pencegahan serta
perlindungan sosial bagi ABH baik
di sekolah, madrasah, pesantren,
diniyah, majelis ta’lim, dan TPQ Sebagai penyusun, pengembang, dan
pelaksana kebijakan, program, dan
kegiatan pencegahan serta perlindungan bagi ABH baik di institusi
pendidikan, institusi keagamaan,
maupun kelompok atau organisasi
masyarakat.
c. Musyawarah
Sebagai inisiator, pelopor, peserta,
atau penasehat pelaksanaan musyawarah dalam rangka pencegahan dan perlindungan ABH baik, madrasah, pesantren, diniyah, majelis
ta’lim, dan TPQ.
Sasaran: ABH, Masyarakat, Keluarga dan lembaga-lemabaga sosial
keagamaan.
Pelaksana:
1) Pusat:
Ditjen
Pendidikan
Islam,Cq. Ditpdpontren, Dit Penais,
Dit Pais, Dit Madrasah
2) Provinsi: Kepala Kantor Wilyah
Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid Pekapontren, Kabid Penais, Kabid.
3) Kabupaten/Kota: Kepala Kan
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
tor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II
Cq. Kasi Pekapontren, Kasi Penais,
Kasi Madrasah.
4) Kecamatan: Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan beserta
jajarannya: Pengawas Pendidikan
Islam, Penyuluh agama, Guru-guru
Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai.
5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian-pengajian di Mushollah dll.
d. Pemantauan/Binjut
Sebagai Pemantau dan evaluator
upaya pembinaan, pencegahan dan
perlindungan ABH baik di sekolah, madrasah, pesantren, diniyah,
majelis ta’lim, dan TPQ. Sebagai
pemantau dan evaluator upaya
pembinaan, pencegahan dan perlindungan ABH baik di keluarga,
masyarakat, institusi sosial kemasyarakatan, institusi sosial keagamaan
Sasaran: ABH, Masyarakat, keluarga dan lembaga-lembaga sosial,
keagamaan.
Pelaksana:
1) Pusat:
Ditjen
Pendidikan
Islam,Cq. Ditpdpontren, Dit Penais,
Dit Pais, Dit Madrasah
2) Provinsi: Kepala Kantor Wilyah
Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid Pekapontren, Kabid Penais, Kabid.
3) Kabupaten/Kota: Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II
Cq. Kasi Pekapontren, Kasi Penais,
Kasi Madrasah.
4) Kecamatan: Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan beserta
jajarannya: Pengawas Pendidikan
Islam, Penyuluh agama, Guru-guru
Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai.
5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian di Mushollah dan
lain-lan.
2. Tahap Anak di Kepolisian
a. Tahap penerimaan laporan pengaduan ABH ke Kepolisian.
b. Proses Penyelidikan dan penyidikan.
Sasaran: Anak Berhadapan Dengan
Hukum (ABH) Masyarakat, Keluarga dan lembaga-lemabaga sosial
keagamaan.
Pelaksana:
1) Pusat: Ditjen Pendidikan Islam,
Cq. Ditpdpontren, Dit Penais, Dit
Pais, Dit Madrasah.
2) Provinsi: Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid
Pekapontren, Kabid Penais, Kabid
Madrasah.
3) Kabupaten/Kota: Kantor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II Cq.
Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi
Madrasah.
4) Kecamatan: Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan Beserta
jajarannya: Pengawas Pendidikan
Islam, Penyuluh agama, Guru-guru
Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai.
5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian-pengajian di Mushollah dll.
3. Tahap Pasca Putusan Diversi
Sebagai pendamping, penasehat
agama, dan pembimbing mental
spiritual kepada ABH agar sabar,
ikhlas dan tetap semangat dalam
menjalani putusan
Sasaran: ABH, Masyarakat, Keluarga dan lembaga-lembaga sosial
keagamaan.
Pelaksana:
1) Pusat:
Ditjen
Pendidikan
Islam,Cq. Ditpdpontren, Dit Penais,
Dit Pais, Dit Madrasah.
2) Provinsi: Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid
Pekapontren, Kabid Penais, Kabid
Madrasah.
395
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
3) Kabupaten/Kota: Kantor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II Cq.
Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi
Madrasah.
4) Kecamatan: Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Beserta jajarannya: Pengawas Pendidikan
Islam, Penyuluh agama, Guru-guru
Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai.
5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian-pengajian di Mushollah dll.
4. Tahap Proses Penuntutan
Pelaksana:
1) Pusat:
Ditjen
Pendidikan
Islam,Cq. Ditpdpontren, Dit Penais,
Dit Pais, Dit Madrasah.
2) Provinsi: Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid
Pekapontren, Kabid Penais, Kabid
Madrasah. 3) Kabupaten/Kota: Kantor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II Cq.
Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi
Madrasah.
4) Kecamatan: Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan Beserta
jajarannya: Pengawas Pendidikan
Islam, Penyuluh agama, Guru-guru
Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai.
5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian-pengajian di Mushollah dll.
5. Tahap Proses Persidangan
Pelaksana:
1) Pusat:
Ditjen
Pendidikan
Islam,Cq. Ditpdpontren, Dit Penais,
Dit Pais, Dit Madrasah.
2) Provinsi: Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid
Pekapontren, Kabid Penais, Kabid
Madrasah.
3) Kabupaten/Kota: Kantor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II Cq.
Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi
Madrasah.
396
4) Kecamatan: Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan Beserta
jajarannya: Pengawas Pendidikan
Islam, Penyuluh agama, Guru-guru
Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai.
5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian-pengajian di Mushollah dll
6. Tahap Penempatan Tahanan
Anak
a. Sebagai pendamping, penasehat agama, dan pembimbing
mental spiritual kepada ABH
agar sabar, ikhlas dan tetap semangat dalam menjalani putusan;
b. Sebagai fasilitator kepada petugas LAPAS/ rutan agar menempatkan ABH pada ruangan,
kelompok sesuai dengan tingkat usia, prilaku keagamaa dan
mental spiritual;
Sasaran: ABH, Masyarakat, Keluarga dan lembaga lembaga sosial keagamaan.
Pelaksana:
1) Pusat:
Ditjen
Pendidikan
Islam,Cq. Ditpdpontren, Dit Penais,
Dit Pais, Dit Madrasah.
2) Provinsi: Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid
Pekapontren, Kabid Penais, Kabid
Madrasah.
3) Kabupaten/Kota: Kantor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II Cq.
Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi
Madrasah.
4) Kecamatan: Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan Beserta
jajarannya: Pengawas Pendidikan
Islam, Penyuluh agama, Guru-guru
Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai.
5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian-pengajian di Mushollah dll.
7. Tahap Pasca Putusan dan Menja-
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
lani Putusan
a. Kembali ke Orang Tua
Sebagai pendamping, penasehat
agama, dan pembimbing mental
spiritual kepada ABH agar sabar,
ikhlas dan tetap semangat setelah dikembalikan kepada keluarga
sehingga dapat menjalani kehidupan keagamaan sebagaimana biasa
dan lebih beriman, bertaqwa dan
berakhlakul karimah.
Sasaran: ABH, Masyarakat, Keluarga dan lembaga lembaga sosial keagamaan
Pelaksana:
1) Pusat:
Ditjen
Pendidikan
Islam,Cq. Ditpdpontren, Dit Penais,
Dit Pais, Dit Madrasah.
2) Provinsi: Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid
Pekapontren, Kabid Penais, Kabid
Madrasah.
3) Kabupaten/Kota: Kantor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II Cq.
Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi
Madrasah.
4) Kecamatan: Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan Beserta
jajarannya: Pengawas Pendidikan
Islam, Penyuluh agama, Guru-guru
Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai.
5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian-pengajian di Mushollah dll.
b. Pidana Bersyarat
1) Sebagai pendamping, penasehat agama, dan pembimbing
mental spiritual kepada ABH
agar sabar, ikhlas dan tetap
semangat dalam menjalani putusan bersyarat sehingga dapat
menjalani kehidupan keagamaan sebagaimana biasa dan
lebih beriman, bertaqwa dan
berakhlakul karimah;
2) Sebagai fasilitator, informator
dan komunikator kepada lingkungan masyarakat agar berperan aktif dalam upaya rehabilitasi social terhadap ABH.
Sasaran: ABH, Masyarakat, Keluarga dan lembaga lembaga sosial keagamaan
Pelaksana:
1) Pusat:
Ditjen
Pendidikan
Islam,Cq. Ditpdpontren, Dit Penais,
Dit Pais, Dit Madrasah.
2) Provinsi: Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid
Pekapontren, Kabid Penais, Kabid
Madrasah.
3) Kabupaten/Kota: Kantor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II Cq.
Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi
Madrasah.
4) Kecamatan: Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan Beserta
jajarannya: Pengawas Pendidikan
Islam, Penyuluh agama, Guru-guru
Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai.
5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian-pengajian di Mushollah dll.
c. LKSA
1) Sebagai pendamping, penasehat agama, dan pembimbing
mental spiritual kepada ABH
agar sabar, ikhlas dan tetap
semangat di LKSA sehingga dapat menjalani kehidupan keagamaan sebagaimana biasa dan
lebih beriman, bertaqwa dan
berakhlakul karimah;
2) Sebagai fasilitator, informator
dan komunikator kepada LKSA
agar berperan aktif dalam
upaya rehabilitasi sosial terhadap ABH.
Sasaran: ABH, Masyarakat, Keluarga dan lembaga lembaga sosial keagamaan
Pelaksana: 397
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
1) Pusat: Ditjen Pendidikan Islam,
Cq. Ditpdpontren, Dit Penais, Dit
Pais, Dit Madrasah.
2) Provinsi : Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid
Pekapontren, Kabid Penais, Kabid
Madrasah.
3) Kabupaten/Kota: Kantor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II Cq.
Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi
Madrasah.
4) Kecamatan: Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan Beserta
jajarannya: Pengawas Pendidikan
Islam, Penyuluh agama, Guru-guru
Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai.
5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian-pengajian di Mushollah dll.
d. Lembaga Pemasyarakatan
1) Sebagai pendamping, penasehat agama, dan pembimbing
mental spiritual kepada ABH
agar sabar, ikhlas dan tetap semangat di Lapas sehingga dapat menjalani kehidupan keagamaan sebagaimana biasa dan
lebih beriman, bertaqwa dan
berakhlakul karimah;
2) Sebagai fasilitator, informator
dan komunikator kepada Lapas agar berperan aktif dalam
upaya rehabilitasi sosial terhadap ABH.
Sasaran: ABH, Masyarakat, Keluarga dan lembaga lembaga sosial keagamaan.
Pelaksana:
1) Pusat:
Ditjen
Pendidikan
Islam,Cq. Ditpdpontren, Dit Penais,
Dit Pais, Dit Madrasah.
2) Provinsi : Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid
Pekapontren, Kabid Penais, Kabid
Madrasah.
3) Kabupaten/Kota: Kantor Ke398
menag Kabupaten Kota Dt. II Cq.
Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi
Madrasah.
4) Kecamatan: Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan Beserta
jajarannya: Pengawas Pendidikan
Islam, Penyuluh agama, Guru-guru
Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai.
5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian-pengajian di Mushollah dll.
8. Tahap Setelah Menjalani Putusan Pengadilan
a. Sebagai pendamping, penasehat agama, dan pembimbing
mental spiritual kepada ABH
agar sabar, ikhlas dan tetap semangat di masyarakat sehingga dapat menjalani kehidupan
keagamaan sebagaimana biasa
dan lebih beriman, bertaqwa
dan berakhlakul karimah;
b. Sebagai fasilitator, informator dan komunikator kepada/
di masyarakat agar berperan
aktif dalam upaya rehabilitasi
sosial terhadap ABH;
Sasaran: ABH, Masyarakat, Keluarga dan lembaga lembaga sosial keagamaan
Pelaksana:
1) Pusat:
Ditjen
Pendidikan
Islam,Cq. Ditpdpontren, Dit Penais,
Dit Pais, Dit Madrasah.
2) Provinsi : Kantor Wilyah Kemenag RI Propinsi DT I, Cq. Kabid
Pekapontren, Kabid Penais, Kabid
Madrasah.
3) Kabupaten/Kota: Kantor Kemenag Kabupaten Kota Dt. II Cq.
Kasi Pekapontren, Kasi Penais, Kasi
Madrasah.
4) Kecamatan: Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan Beserta
jajarannya: Pengawas Pendidikan
Islam, Penyuluh agama, Guru-guru
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pendidikan Islam, Ustadz, Kyai.
5) Desa/kelurahan: Majelis Taklim/Pengajian-pengajian di Mushollah dll.
D. PERAN KEMENTERIAN
PENDIDIKAN NASIONAL
1. Tahap Anak di Masyarakat
a. Menyelenggarakan proses belajar mengajar di sekolah berupa intra dan ekstra kurikuler, terutama berkaitan dengan
pendidikan moral, etika dan
agama.
b. Penanganan gejala kenakalan
anak dengan pemberian konseling oleh guru-guru BP.
c. Pembinaan terhadap anakanak yang telah melakukan
kegiatan yang bertentangan
dengan hukum melalui penyelesaian kekeluargaan (ditangani secara interen)
2. Tahap Proses Peradilan Formal
(Kepolisian, Pasca Putusan Diversi, Penuntutan dan Persidangan)
a. Menugaskan guru pendamping
dari sekolah anak yang bermasalah untuk memenuhi hak
edukasi, terutama yang berkaitan dengan evaluasi belajar
yang harus diikuti anak ( ujian
kenaikan kelas, ujian semester,
atau ujian kelulusan)
b. Mendorong orang tua untuk
tetap memenuhi kebutuhankebutuhan pendidikan anak.
c. Memberikan buku modul mata
pelajaran yang harus tetap
diikuti anak.
3. Tahap Penempatan Tahanan
Anak
Mendorong ABH untuk ditempatkan di LAPAS anak yang di dalamnya menyelenggarakan pendidikan
(PLK) baik diselenggarakan sendiri
atau bekerja sama dengan sekolah
reguler/PLK.
4. Tahap Pasca Putusan dan Menjalani Putusan
a. Menyepakati MOU denga LAPAS
b. Memberikan fasilitas pendidikan berupa :
1) Bantuan dana subsidi untuk pendidikan
2) Bantuan alat keterampilan
hidup
3) Menugaskan guru dari
sekolah terkait untuk mengajar di tempat anak dibina
5. Tahap setelah Menjalani Putusan
Pengadilan
a. Membuat peraturan/kebijakan
untuk membuka sekolah yang
dapat menerima ABH di semua
sekolah sesuai dengan persyaratan yang berlaku.
b. Menyesuaikan semua hasil belajar ABH selama berada di instansi pembina ABH
c. Pendampingan belajar ABH
selama proses pengajaran di
sekolah
E. PERAN KEMENTERIAN
KESEHATAN
1. Tahap Sebelum Menjadi ABH
a. Penyuluhan tentang dampak
kekerasan terhadap anak baik
secara fisik, emosional, seksual
dan penelantaran termasuk
pada korban TPPO
b. Talkshow seminar dalam rangka Hari Anak dll.
Sasaran: Kelompok PKK, Guru
dan Orang tua murid di sekolah, di pondok pesantren,
“boarding house”, dll.
Pelaksana: Dinas Kesehatan
399
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Provinsi dan Kabupaten/Kota
2. Tahap Proses Peradilan
a. Pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, yaitu: pengobatan
melalui puskesmas dan Rumah
Sakit
b. Dukungan spesialistik: Psikiater, Psikolog (untuk konseling
dan terapi kejiwaan)
c. Dukungan medikolegal (visum
et repertum)
d. Sebagai saksi Ahli di persidangan
e. Menyediakan biaya pelayanan
kesehatan melalui Jamkesmas
sesuai ketentuan yang berlaku
Catatan: pelayanan kesehatan
yang diberikan di rutan, RPSA,
Shelter
3. Tahap Proses Menjalani Tindakan
a. Pelayanan kesehatan anak di
Lapas
b. Bekerja sama dengan klinik
Lapas, UUPA/PPT RS Bhayangkara/PPT RSUD di luar sistem
rujukan
4. Tahap Setelah Menjadi ABH/Pasca ABH menjalani Tindakan
a. Home visit oleh petugas puskesmas untuk memantau tanda
gangguan kejiwaan
b. Bekerja sama dengan tim Babinkamtibmas/UPPA/Klinik
di Lapas/urutan dalam Upaya
perlindungan anak (supporting)
F.
1.
a.
PERAN POLRI
Tahap Anak di Masyarakat
Pencegahan Umum
Melakukan bimbingan penyuluhan kepada masyarakat agar patuh
hukum (menghilangkan niat jahat
tumbuhkan niat baik)
Sasaran: Masyarakat umum dan
ABH
400
b.
c.
d.
2.
a.
Pelaksana: Kasat Binmas Polres, Kanit Binmas Polsek, Bhabinkamtibmas/ Petugas Polmas
Pencegahan Khusus
melakukan deteksi dini permasalahan dalam masyarakat (terutama
potensi gangguan yang dilakukan
oleh anak)
Sasaran: Komponen Masyarakat
dan ABH
Pelaksana: Kasat Binmas Polres, Kanit Binmas Polsek, Bhabinkamtibmas/ Petugas Polmas.
Musyawarah
Menjadi fasilitator pemecahan masalah dalam Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat untuk mencari
solusi terbaik terutama terhadap
anak di luar jalur hukum formal.
Sasaran: Masyarakat, Ormas, Tokoh agama, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, dan elemen masyarakat
Pelaksana: Kapolsek, Bhabinkamtibmas/Petugas Polmas, dan FKPM.
Pemantauan/Binjut
Melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap hasil solusi pemecahan masalah dengan melakukan
sambang.
Sasaran: Masyarakat, Ormas, Tokoh agama, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, dan elemen masyarakat
Pelaksana: Pejabat POLRI (seperti:
Kapolres, Kasat Binmas, Kapolsek,
dll)
Bhabinkamtibmas/Petugas
Polmas.
Tahap Proses di Kepolisian
Penerimaan laporan pengaduan
ABH di Kepolisian
1) Memberi perlindungan kepada
ABH dari tindakan kekerasan, diskriminasi dan intimidasi terhadap
dugaan pelaku tindak pidana (TP)
2) Pengalihan penyelesaian proses pidana ABH dari formal ke alternatif penyelesaian permasalah-
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
an anak di luar hukum formal.
3) Melibatkan Bapas untuk pendampingan psikososial secara dini
dalam rangka penelitian untuk pertimbangan upaya diversi dalam RJ.
4) Upaya diversi dan RJ terhadap
perkara ABH sebagai pelaku dengan pertimbangan hasil penelitian kemasyarakatan
Sasaran: ABH dan Keluarga
Pelaksana: KPPA Polda dan KPPA
Polres
b. Proses penyelidikan dan penyidikan
1) Dalam menanggapi kasus ABH
sebagai pelaku, penyidik mengedepankan azas kepentingan anak
sebagai landasan utama dalam
mengambil keputusan penanganan
terhadap perkara ABH.
2) Pemanggilan terhadap ABH
agar dilampirkan surat pengantar kepada orang tua/wali, supaya
menghadap anaknya kepada penyidik.
3) Penangkapan terhadap ABH
sebagai pelaku tindak pidana berat
dengan mempedomani ketentuan
penangkapan yang berlaku dengan
memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
4) pemeriksaan terhadap ABH
menggunakan metode wawancara
dalam suasana kekeluargaan, dengan meteri yang sudah disiapkan
untuk mendapat keterangan yang
diharapkan, didampingi penasehat
hukum, pendamping yang disetujui ABH dituangkan dalam BAP dan
ditandatangani apabila ABH telah
setuju.
5) Penahanan merupakan upaya
terakhir apabila diduga pelaku
tindak pidana berat dengan usia 8
tahun, bila terpaksa harus ditahan
agar dipisahkan dengan tahanan
3. 4.
5.
a.
b.
orang dewasa.
6) Meminta pertimbangan Balai
penelitian pemasyarakatan untuk
melaksanakan penelitian kemasyarakatan (Litmas) terhadap ABH.
7) Mengupayakan diversi dalam
RJ yaitu pengalihan bentuk penyelesaian, demi kepentingan terbaik
anak
Sasaran: ABH dan Keluarga
Pelaksana: Penyidik Polda di tingkat Provinsi dan Penyidik Polres di
tingkat Kabupaten/Kota
Tahap Pasca Putusan Diversi
Rehabilitasi, penyesuaian pengembalian prilaku anak menjadi situasi
kondusip dilingkungan masyarakat
Sasaran: ABH dan Keluarga
Pelaksana: Kanit Binmas Polsek,
Bhabinkamtibmas dan FKPM/Polmas, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Tokoh adat
Tahap Penempatan Tahanan
Anak (Kantor Polisi, Rutan, Rumah, Lembaga Layanan)
Penahanan merupakan upaya terakhir, bila terpaksa harus ditahan
agar dipisahkan dengan tahanan
orang dewasa
Sasaran: ABH dan Keluarga
Pelaksana: Penyidik Polres
Tahap Pasca Putusan dan Menjalani Putusan
Kembali ke Orang tua
Rehabilitasi penyesuaian pengembalian perilaku sehingga situasi
menjadi kondusif bagi ABH dan keluarga
Sasaran: ABH, Keluarga dan Lingkungan
Pelaksana: Kanit Binmas Polsek,
Bhabikamtibmas, FKPM/Polmas,
Tokoh agama, Tokoh masyarakat,
Tokoh adat
Pidana Bersyarat
1) Meminta pertimbangan Balai
401
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Litmas, mengupayakan diversi dalam RJ demi kepentingan terbaik
ABH
Sasaran: ABH, Keluarga dan Lingkungan
Pelaksana: Penyidik Polres, LKSA
2) Melakukan bimbingan dan penyuluhan agar memiliki daya tangkal dan cegah serta tidak menjadi
korban dan pelaku kejahatan
Sasaran: RPSA, PSMP, LPA, dll
Pelaksana: Kanit Binmas Polsek,
Bhabinkamtibmas, FKPM/Polmas,
Tokoh agama, Tokoh Masyarakat
dan Tokoh Adat.
4. Tahap setelah Menjalani Putusan
Pengadilan
Melakukan pembinaan dan rehabilitasi agar masyarakat mau menerima dan tidak kembali kepada
perbuatan yang melanggar hukum
Sasaran: ABH, Keluarga dan Lingkungan
Pelaksana: Kanit Binmas Polsek,
Bhabikamtibmas, FKPM/Polmas,
Tokoh agama, Tokoh masyarakat,
Tokoh adat
BAB IV
PENUTUP
Perjanjian Kerjasama (SOP) Pedoman
Kerja antar Lembaga/Kementerian dalam program Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Beradapan dengan Hukum, diharapkan menjadi acuan
bagi para pihak yang terlibat dalam penanganan ABH Khususnya kementerian
atau lembaga yang telah melakukan kesepakatan bersama dalam penanganan
ABH.
Masing-masing Lembaga/Kementerian
dapat memberikan pelayanan terbaiknya kepada ABH, sesuai dengan tugas
dan fungsi masing-masing dan keten402
tuan yang tercantum dalam Perjanjian
kerjasama ini.
Dengan adanya pedoman ini, diharapkan kinerja berbagai kementerian/
lembaga dalam memberikan pelayanan
serta perlindungan dan rehabilitasi semakin meningkat, dan memberikan
manfaat yang sebaik-baiknya bagi ABH,
keluarga, dan masyarakat.
GLOSARRY
•
•
•
•
Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
Anak Nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana; atau anak
yang melakukan perbuatan yang
dinyatakan terlarang bagi anak,
baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut
peraturan hukum lain yang hidup
dan berlaku dalam masyarakat
yang bersangkutan.
Anak yang berhadapan dengan
hukum adalah anak yang terpaksa
berkontak dengan sistem peradilan
pidana karena:
1. Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar
hukum, atau;
2. Telah menjadi korban akibat
perbuatan pelanggaran hukum
yang dilakukan orang/kelompok
orang/lembaga/negara terhadapnya atau;
3. Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran hukum.
Anak Pidana adalah Anak yang berdasarkan putusan Hakim menjalani
pidana di Lapas Anak paling lama
sampai berumur 18 (delapan belas)
tahun.
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
•
•
•
•
•
•
Anak Negara adalah anak yang berdasarkan putusan Hakim diserahkan pada Negara untuk dididik dan
ditempatkan di Lapas Anak paling
lama berumur 18 (delapan belas)
tahun.
Anak Sipil adalah anak yang atas
permintaan orang tua atau walinya
memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai umur 18 (delapan
belas) tahun.
Kesejahteraan Anak adalah suatu
tata kehidupan dan penghidupan
anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya
dengan wajar, baik secara rohani,
jasmani maupun sosial.
Perlindungan Anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi, secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pengadilan Anak dalah pelaksana
kekuasaan kehakiman yang berada
di lingkungan Peradilan Umum.
Restorative Justice adalah suatu proses diversi dimana semua pihak
yang terlibat dalam suatu tindak
pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, tentang bagaimana menangani akibat perbuatan
anak di masa yang akan datang.
Tindak pidana dilihat sebagai suatu
pelanggaran terhadap manusia dan
relasi antar manusia. Tindak pidana menciptakan suatu kewajiban
untuk membuat segala sesuatunya
menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat
dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan menen-
•
•
•
•
•
•
•
•
•
tramkan hati.
Diversi adalah pengalihan dari proses pidana formal sebagai alternatif
terbaik dalam penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum.
Diskresi adalah otoritas legal polisi untuk bertindak dalam kondisi
atau situasi tertentu berdasarkan
kebijaksanaan atau penilaian pribadi polisi.
Panti Sosial adalah unit pelaksana
teknis yang berada di bawah Departemen Sosial RI. yang bertugas
memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial.
Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan
penyidikan.
Unit Pelayanan Perempuan dan
Anak (UPPA) adalah suatu unit
yang berada pada fungsi reserse
kriminal umum untuk menangani
perempuan dan anak yang menjadi
pelaku maupun korban tindak pidana dari pelaporan hingga pemberkasan perkara.
Jaksa adalah pejabat yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini
untuk bertindak sebagai penuntut
umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Penuntut umum adalah jaksa yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan
dan melaksanakan penetapan hakim.
Hakim adalah pejabat peradilan
negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili.
Penasihat Hukum adalah seorang
yang memenuhi syarat yang diten403
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
•
•
•
•
•
tukan oleh atau berdasarkan undang-undang untuk memberi bantuan hukum.
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam
sidang pengadilan terbuka, yang
dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan
hukum dalam hal serta menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Penahanan adalah penempatan
tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau
penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
Keterangan anak adalah keterangan yang diberikan oleh seorang
anak tentang hal yang diperlukan
untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari suami
istri, atau suami istri dan anaknya,
atau ayah dan anaknya, atau ibu
dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau
bawah sampai dengan derajat ketiga.
Pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas pembimbing kemasyarakatan klien anak yang memberikan bimbingan dan perlindungan
terhadap anak melalui pembuatan
Penelitian Kemasyarakatan (litmas) dan membimbing, membantu,
mengawasi anak yang dijatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana denda, diserahkan kepada Negara untuk mengikuti latihan
kerja, atau anak yang memperoleh
404
•
•
•
•
•
pembebasan bersyarat.
Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pekerja Sosial adalah petugas Departemen Sosial yang bertugas
membimbing, membantu, dan
mengawasi Anak Nakal atau anak
yang berkonflik dengan hukum
yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada Departemen Sosial untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan
kerja.
Pekerjaan Sosial ialah semua keterampilan teknis yang dijadikan wahana bagi pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial.
Pekerja Sosial Sukarela adalah petugas dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mempunyai tugas advokasi terhadap anak nakal
atau anak yang berkonflik dengan
hukum.
Mediasi adalah diversi dalam bentuk perantaraan yang dilakukan
oleh Polisi untuk memfasilitasi pemenuhan kebutuhan korban dan
perlindungan terhadap anak sebagai pelaku, dalam upaya menyelesaikan persoalan yang timbul akibat perbuatan anak.
DIREKTORI
I. Identitas Lembaga
1. PSMP Handayani Jakarta
Jl. Panti Sosial PPA Bambu Apus, Cipayung, Jakarta Timur 13890
(021) 8445679
http://www.depsos.go.id
Email : Handayani_Jakarta@yahoo.
co.id
2. PSMP Antasena Magelang
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Jl. Raya Magelang Purworejo Km.
14 Salaman, Magelang, Jawa Tengah
Telp. 0293-335293
PSMP Paramita Mataram
Jl.Tgh.Saleh hambali No.339 Bengkel, Lombok Barat, Nusa Tenggara
Barat
Telp/Fax : (0370)636681,
Email [email protected].
PSMP Tuddopoli Makasar
Jl. Salodong Kel. Untia Kec. Biringkayana, Makasar
Telp. 0411-85549
PSMP Harapan Cileungsi
PSMP Andika Surabaya
PSMP Tengkuyuk Riau
Jl. Jend. Sudirman No. 239, Kota Pekanbaru
PSMP Dharmapala Palembang
Jl. Raya Kayu Agung Km. 32 Indralaya, Kab. Ogan Ilir, Sumatera Selatan
II. Profil Singkat Lembaga
A. PSMP
Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis
(UPT) di Lingkungan Kementerian Sosial yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur
Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial dan secara fungsional sehari-hari di
bawah binaan Direktur Kesejahteraan
Sosial Anak.
Tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi)
adalah memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat
preventif, kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan fisik,
mental, sosial dan pelatihan keterampilan, resosialisasi dan bimbingan lanjut
kepada anak yang berhadapan dengan
hukum agar mampu mandiri dan ber-
peran aktif dalam kehidupan masyarakat, melakukan pengkajian dan penyiapan standar pelayanan serta rujukan.
Tujuannya adalah (1) untuk memulihkan kondisi dan fungsi psikososial anak
berhadapan dengan hukum sehingga
dapat hidup, tumbuh dan berkembang secara wajar di masyarakat, serta
menjadi SDM yang berguna, produktif,
berkualitas, dan berakhlak mulia. (2)
menghilangkan label dan stigma negatif masyarakat yang menghambat tumbuh kembang anak berhadapan hukum
untuk berpartisipasi dalam masyarakat.
Dalam praktik penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi sosial, PSMP memiliki
mandat untuk memberikan pelayanan
kepada tiga pihak berikut yang menjadi
sasaran garapan yaitu :
1. Anak nakal
2. Orangtua anak nakal.
Sebagai lingkungan terdekat anak,
orangtua perlu dipersiapkan agar
mampu memberi daya dukung
positif bagi tumbuh kembangnya
potensi anak. Menghadapi permasalahan anak/remaja nakal, orangtua diharapkan dapat menciptakan
kondisi yang dapat menghindarkan
anak dari perilaku nakal. Untuk
mencapai hal itu maka PSMP melaksanakan kegiatan motivasi dan
konsultasi keluarga melalui home
visit secara berkala.
3. Masyarakat.
Lingkungan masyarakat berperan
penting dalam mencegah timbulnya permasalahan kenakalan anak/
remaja. Masyarakat memberikan
kesempatan kepada anak/remaja
nakal untuk mengaktualisasikan
diri. PSMP melakukan sosialisasi
kepada masyarakat (dunia usaha,
khususnya bengkel-bengkel skala
405
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
kecil dan menengah) di wilayah sekitarnya untuk dapat mengikutsertakan eks anak/remaja nakal dalam
mengikuti program magang dan
memberikan kesempatan kerja.
Untuk memperoleh pelayanan di PSMP
harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1. Laki-laki/Perempuan
2. Usia 10 s/d 18 tahun
3. Sehat fisik dan mental berdasarkan
Surat Keterangan Sehat dari Dokter
4. Sanggup mentaati dan mengikuti
program rehabilitasi
5. Surat Penyerahan dari orangtua/
wali/lembaga (Rujukan dari Permasyarakatan yaitu Bapas, Rutan,
Lapas serta dari Kepolisian)
6. Bila masih sekolah (kelas V SD s/d
kelas III SLTP), harus melampirkan
surat pindah dan raport (khusus
untuk SLB-E PSMP Handayani Jakarta)
7. Lulus Seleksi.
B. Unit Pelayanan Perempuan dan
Anak (UPPA)
1. Kedudukan.
a. Tingkat Mabes Polri
Unit Pelayanan Perempuan dan
Anak-anak (Unit PPA) berkedudukan di bawah Direktorat I/Keamanan dan Transnasional Bareskrim
Polri.
b. Tingkat Polda.
Unit Pelayanan Perempuan dan
Anak-anak (Unit PPA) berkedudukan di bawah Satuan Operasional
Dit Reskrim/Dit Reskrim Um Polda.
c. Tingkat Polres.
Unit Pelayanan Perempuan dan
Anak-anak (Unit PPA) berkedudukan di bawah Sat Reskrim Polres.
2. Tugas.
Unit PPA bertugas untuk mem406
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k. l.
berikan pelayanan dalam bentuk
perlindungan terhadap perempuan
dan anak yang menjadi korban kejahatan/kekerasan dan penegakan
hukum terhadap pelakunya.
Dalam pelaksanaan tugasnya unit
PPA menyelenggarakan :
Menerima
laporan/pengaduan
tentang tindak kejahatan/kekerasan terhadap perempuan dan
anak-anak yang meliputi: 1) Kekerasan secara umum. 2) Kekerasan
dalam rumah tangga. 3) Pelecehan
seksual. 4) Perdagangan orang. 5)
Penyelundupan manusia. 6) Kasuskasus yang melibatkan perempuan
dan anak, baik kejahatan maupun
kekerasan.
Membuat laporan Polisi.
Memberikan konseling.
Merujuk/mengirimkan korban ke
Pusat Pelayanan Terpadu ( PPT )
atau Rumah Sakit terdekat.
Melakukan penyidikan perkara,
termasuk permintaan Visum et Repertum.
Memberikan kepastian kepada pelapor, bahwa akan ada tindak lanjut
dari laporan/pengaduan.
Menjamin kerahasiaan informasi
yang diperoleh.
Menjamin keamanan dan keselamatan pelapor maupun korban.
Menyalurkan korban ke Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) atau Rumah
Aman, apabila diperlukan.
Mengadakan koordinasi/kerjasama dengan lintas fungsi/instansi,
pihak yang terkait.
Menginformasikan perkembangan
penyidikan kepada pelapor.
Membuat laporan kegiatan secara
berkala sesuai prosedur/hierarki.
3. Fungsi
a. Memberikan perlindungan terha-
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
b.
4.
a.
b.
c.
5. a.
b.
c.
d.
dap perempuan dan anak korban
kejahatan/kekerasan.
Melakukan penyidikan perkara terhadap perempuan dan anak pelaku
kejahatan/kekerasan.
Peranan.
Memberikan rasa aman kepada perempuan dan anak yang menjadi
korban kejahatan/kekerasan.
Mengungkap kasus kejahatan/kekerasan yang terkait dengan perempuan dan anak.
Membangun dan memelihara sinergi dengan fungsi/lembaga terkait dalam pelayanan perempuan
dan anak yang menjadi korban/
pelaku kejahatan/kekerasan.
Mekanisme pelaksanaan tugas.
Penerimaan laporan/pengaduan
dari masyarakat dalam masalah
perempuan dan anak-anak sebagai
korban/kejahatan/kekerasan, dilayani oleh Polwan awak Unit PPA,
kemudian dibawa ke Ruang Khusus
Unit PPA.
Penilaian terhadap keadaan korban
dan bila korban dalam keadaan kritis lakukan tindakan penyelamatan
dengan merujuk ke Unit PPT atau
Rumah Sakit terdekat serta permintaan pembuatan Visum et Repertum.
Pembuatan laporan Polisi oleh Polwan awak Unit PPA dan bila perlu
mendatangi TKP untuk mencari
dan mengumpulkan barang bukti.
Untuk kasus yang tidak memenuhi
unsur pidana, dilakukan upaya bantuan melalui konseling dan pendekatan psikologis atau kerjasama
dengan fungsi terkait di lingkungan Polri atau kerjasama dengan
instansi terkait/mitra kerja di luar
Polri (apabila diperlukan merujuk
korban ke PPT/Rumah Sakit, LBH,
Psikolog, LSM atau Instansi terkait
lainnya).
e. Bila kasus yang ditangani memenuhi unsur pidana, dilakukan penyidikan perkara, kerjasama dengan
Penyidik Polri lainnya di lingkungan Reskrim atau kerjasama dengan penegak hukum lainnya di
luar lingkungan Polri.
f. Diperlukan koordinasi yang harmonis antara awak Unit PPA dengan pengemban/pelaksana fungsi
pelayanan masyarakat dan penyidik/penegak hukum, baik di lingkungan Polri maupun di luar Polri.
6. Jaringan kerjasama.
a. Dalam pelaksanaan tugasnya, Unit
PPA melaksanakan kerjasama dengan fungsi/instansi/lembaga/mitra kerja antara lain:
1) Sentra Pelayanan Kepolisian
(SPK). 2) Unit Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) atau Rumah Sakit terdekat. 3) Psikolog. 4) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). 5) Rumah
Aman (Shelter). 6) Penyidik Polri
di lingkungan Bareskrim Polri/Dit
Reskrim Polda/Sat Reskrim Polres.
7) Penuntut Umum (Kejaksaan). 8)
Pengadilan/Kehakiman.
b. Kerjasama yang dilakukan
1) Dalam kedudukan yang setingkat/setara. 2) Bersifat saling membantu. 3) Proporsional (sesuai tugas/fungsi/peran masing-masing .
7. Hubungan Tata Cara Kerja.
a. Hubungan Unit PPA dengan SPK
1) Laporan masyarakat yang diterima oleh SPK dan menyangkut
lingkup tugas Unit PPA, diteruskan
oleh SPK ke Unit PPA.
2) Penomoran Laporan Polisi dilaksanakan oleh SPK dan Unit PPA
memberikan nomor agenda tersendiri.
3) Apabila diperlukan Tindakan
Pertama di Tempat Kejadian Per407
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
b.
c.
d.
e.
f.
kara (TPTKP), SPK melibatkan Unit
PPA.
Hubungan Unit PPA dengan Instalasi PPT/Rumah Sakit terdekat
1) Perempuan dan Anak korban
kejahatan/kekerasan yang memerlukan pelayanan medik/medikolegal/psikososial, dikirimkan oleh
Unit PPA ke Instalasi PPT/rumah
sakit terdekat.
2) Apabila Instalasi PPT/Rumah
Sakit melayani/menerima Perempuan dan Anak korban kejahatan/
kekerasan, diinformasikan kepada
Unit PPA.
Hubungan Unit PPA dengan Psikolog
1) Dalam memberikan konseling
kepada Perempuan dan Anak korban kejahatan/kekerasan, Unit PPA
melibatkan Psikolog.
2) Psikolog dapat juga diikut sertakan untuk pendampingan Perempuan dan Anak korban kejahatan/
kekerasan pada saat dilakukan pemeriksaan untuk kepentingan penyidikan perkara.
Hubungan Unit PPA dengan LSM
Dalam pemberian konseling kepada Perempuan dan Anak korban
kejahatan/kekerasan, Unit PPA
dapat mengikut sertakan LSM untuk membantu pembelaan hak-hak
korban kejahatan/kekerasan.
Hubungan Unit PPA dengan Rumah
Aman (Shelter)
Dalam penanganan Perempuan
dan Anak korban kejahatan/kekerasan yang memerlukan perawatan lebih lanjut (pengamanan/perlindungan), Unit PPA berkoordinasi
dengan Rumah Aman (Shelter) yang
berada dibawah Depatemen/Dinas
Sosial setempat.
Hubungan Unit PPA dengan Penyidik Polri.
408
Dalam penyidikan perkara terhadap Perempuan dan Anak pelaku
kejahatan/kekerasan,
penyidik
pada Unit PPA dapat melakukan
koordinasi/kerjasama dengan penyidik Polri lainnya, baik intern kesatuan tersebut maupun penyidik
pada satuan atas.
g. Hubungan Unit PPA dengan Penuntut Umum (Kejaksaan)
1) Unit PPA berkoordinasi dengan
Penuntut Umum (Kejaksaan) untuk
menangani kasus yang diajukannya
guna proses selanjutnya.
2) Unit PPA memonitor perkembangan kasus yang diajukan dan
memperbaiki berkas perkara (bila
diperlukan), untuk mendapatkan
P – 21.
h. Hubungan Unit PPA dengan Pengadilan
1) Unit PPA mengikuti/monitoring
pelaksanaan sidang pengadilan terhadap kasus kejahatan/kekerasan
oleh Perempuan dan Anak, yang
telah diajukan melalui Penuntut
Umum (Kejaksaan).
2) Unit PPA mencatat/mendata vonis pengadilan yang dijatuhkan kepada Perempuan dan Anak pelaku
kejahatan/kekerasan.
8. Tindak Pidana yang terkait dengan
Perempuan dan Anak
a. Kekerasan fisik.
1) Penganiayaan, pasal 352,353,
354, 355, 356 KUHP.
2) Pembunuhan, pasal 338, 340, 342
KUHP.
3) Aborsi, pasal 299, 347 KUHP.
4) Perdagangan wanita dan anak
296, 297 KUHP.
5) Penculikan, pasal 330, 331 KUHP.
6) Melarikan perempuan, pasal 332
KUHP.
b. Kekerasan Psikis.
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
1) Penghinaan, pasal 310, 311
KUHP.
2) Perbuatan tidak menyenangkan,
pasal 335 KUIHP.
3) Pengancaman, pasal 336 KUHP.
4) Pengemisan anak, pasal 301
KUHP.
c. Kekerasan / Pelecehan Seksual.
1) Melanggar kesusilaan di depan
umum, pasal 281, bis, KUHP.
2) Perzinahan, pasal 284 KUHP.
3) Pemerkosaan pasal 285 KUHP.
4) Persetubuhan, pasal 286, 287 (1),
288 (1) KUHP.
5) Perbuatan cabul, pasal 289, 290,
292, 293 (1), 294, 295 (1) KUHP.
6) Kasus kekerasan dan pelecehan
seksual terhadap anak sebagaimana diatur dalam pasal 77, 78, 79, 80,
81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90
UU No. 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan anak.
7) Kasus Susila yang menimpa
anak-anak (Sodomi oleh para pedhopilie).
d. Kejahatan vice (Prostitusi dan Perjudian) dan Pornografi.
1) Prostitusi dan Perjudian (vice)
2) Kasus-kasus pornografi baik di
media cetak maupun media elektronik.
3) Pornoaksi di tempat-tempat hiburan maupun ruang tertutup lainnya.
e. Penggunaan Tenaga Kerja Anak
dan Perempuan.
1) Penggunaan tenaga kerja anak
dan perempuan sebagaimana diatur dalam pasal 68, 69, 70, 71, 72,
73, 74, 75, 76 UU No. 13 Tahun 2003
sedangkan ketentuan pidananya
diatur dalam pasal 183, 185, 187 UU
No 13 Tahun 2003.
2) Kasus-kasus perburuhan (Tenaga Kerja Wanita / Tenaga Kerja
Indonesia) dan ketenagakerjaan
f.
g.
h.
i.
j.
(Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan TKI
di luar negeri).
Kekerasan dalam rumah tangga
(Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Perdagangan / Penyelundupan Manusia.
1) Kasus-kasus perdagangan orang
(eksploitasi secara ekonomi, seksual dan waktu serta tenaga).
2) Kasus perdagangan bayi (adopsi
illegal), penyelundupan manusia/
bayi.
3) Kasus-kasus yang menyangkut
masalah keimigrasian (UndangUndang Republik Indonesia Nomor
9 Tahun 1992).
Kasus-kasus terkait reproduksi perempuan (aborsi, perkosaan, cabul).
Tindak Pidana yang terkait dengan
Perempuan dan Anak sebagai pelaku
1) Tindak Pidana sebagaimana telah diuraikan pada sub-bab 14 butir
a sampai dengan h. 2) Kasus-kasus yang melibatkan
anak sebagai pelaku kejahatan
(Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak).
Kasus lainnya yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap harkat dan martabat Perempuan dan
Anak.
9. Sumber Daya Manusia.
Sumber Daya Manusia/personel
yang mengawaki Unit PPA diharapkan dapat memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Diutamakan Polwan (Perwira/Bin409
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
tara).
b. Telah mengikuti pelatihan awak
Unit RPK/PPA.
c. Berkualifikasi penyidik atau penyidik pembantu.
d. Mampu dan trampil membuat laporan Polisi.
e. Mengetahui dasar-dasar konseling.
f. Menghayati masalah kejahatan/kekerasan terhadap perempuan dan
anak.
g. Masa kerja di Polri minimal dua tahun.
h. Berpakaian rapi dan menarik.
i. Simpatik dan sabar.
j. Dapat memperlakukan korban kejahatan/kekerasan dengan penuh
empati.
k. Komunikatif dan profesional.
10. Sarana.
Sarana minimal yang harus tersedia di ruang Unit PPA antara lain:
a. Meja dan kursi kerja.
b. Meja dan kursi tamu.
c. Almari/rak arsip.
d. Komputer dan printer.
e. Tempat tidur.
f. Televisi.
g. Alat komunikasi (Telepon/HT/HP).
h. Jam dinding.
i. Air Conditioning (AC).
j. Faksimile.
k. Alat perekam.
l. Alat Tulis Kantor (ATK).
m. Bahan bacaan.
n. Kendaraan bermotor (R-4, R-2).
11. Prasarana.
a. Terdiri dari dua ruangan atau lebih, antara lain :
1) Ruang pelayanan pengaduan/laporan. 2) Ruang konseling.
3) Ruang penyidikan.
4) Ruang istirahat.
410
b. Persyaratan ruangan
1) Keberadaannya diketahui oleh
semua personel satuan setempat
dan didukung oleh Pimpinan.
2) Mudah dijangkau, dilihat dan ditemukan oleh masyarakat.
3) Nyaman dan terkesan kekeluargaan (tidak terkesan angker).
4) Cukup ventilasi dan penerangan.
5) Jauh dari keramaian dan kesibukan sehingga menjamin privacy.
6) Ruang pengaduan/pelayanan
dan konseling terpisah dengan
ruang penyidikan.
c. Diupayakan tersedia/berdekatan
dengan kamar mandi dan WC.
12. Administrasi umum.
Pelaksanaan kegiatan dan surat
menyurat sehari-hari berpedoman
kepada ketentuan yang berlaku di
lingkungan Polri.
13. Administrasi penyidikan.
a. Berpedoman kepada ketentuan administrasi penyidikan yang berlaku
di lingkungan Polri.
b. Administrasi penyidikan yang harus tersedia antara lain :
1) Register Kejahatan terhadap perempuan (P1).
2) Data Kejahatan terhadap perempuan (P2).
3) Data Kerawanan kejahatan terhadap perempuan (P3).
4) Data per bulan Kejahatan terhadap perempuan (P4).
5) Data Jenis Kejahatan terhadap
perempuan (P5).
6) Register Kejahatan terhadap
anak (A1).
7) Data Kejahatan terhadap anak
(A2).
8) Data Kerawanan kejahatan terhadap anak (A3).
9) Data per bulan Kejahatan terha-
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
dap anak (A4).
10) Data Jenis Kejahatan terhadap
anak (A5).
11) Data Imigran Gelap yang masuk
ke wilayah Indonesia (khusus) (Model: D)
12) Data Crime Total Kejahatan terhadap anak dan perempuan (Model: E ).
13) Data Kasus menonjol terhadap
perempuan dan anak (Model: F).
14) Data Aparat yang terlibat kejahatan terhadap anak dan perempuan (Model: G).
15) Data Jaringan kejahatan terhadap perempuan dan anak (Model:
H).
16) Data LSM yang berperan aktif
bekerjasama dengan Polri dalam
penanganan kejahatan terhadap
perempuan dan anak (Model: I).
17) Laporan Unit PPA.
Semua Administrasi yang menyangkut data Unit PPA dimasukkan dalam computerized filing and
recording.
14. Pelaporan.
a.��������������������������������
Pembuatan laporan Unit PPA sesuai ketentuan yang berlaku di lingkungan Polri.
b. Pembuatan laporan Unit PPA menjadi tanggung jawab Kanit PPA dan
Atasan Kanit PPA.
c. Laporan Unit PPA dikirimkan
sesuai prosedur/hierarki yang
berlaku di lingkungan Polri
dan tembusan dikirimkan kepada fungsi / lembaga terkait.
15. Pengawasan dan pengendalian.
a. Pengawasan
Pengawasan atas pelaksanaan tugas Unit PPA dilakukan oleh fungsi
yang mengemban tugas pengawasan:
b.
16.
a.
b.
c.
1) Di tingkat Mabes Polri oleh Itwasum Polri.
2) Di tingkat Polda dan Polres oleh
Itwasda Polda.
Pengendalian.
Pengendalian atas pelaksanaan tugas Unit PPA dilakukan oleh :
1) Kanit PPA.
2) Atasan Kanit PPA.
a) Di tingkat Mabes Polri oleh Direktur I/Keamanan dan Transnasional
Bareskrim Polri. b) Di tingkat Polda
oleh Kasat Opsnal Dit Reskrim/Dit
Reskrim Um Polda. c) Di tingkat
Polres oleh Kasat Reskrim Polres.
Anggaran
Dukungan anggaran untuk Unit
PPA dialokasikan pada Satuan Kerja (Satker), dimana Unit PPA tersebut berada.
Dukungan anggaran ideal untuk
Unit PPA antara lain :
1) Uang makan.
2) Alat Tulis Kantor.
3) Biaya koordinasi/kemitraaan.
4) Biaya konseling.
5) Biaya penyidikan perkara.
6) Bahan Bakar Minyak.
7) Biaya pemeliharaan kendaraan
bermotor.
8) Biaya pemeliharaan Alat khusus
Kepolisian.
Kebutuhan anggaran Unit PPA.
1) Didukung dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN).
2) Dikoordinasikan oleh Unit PPA
dengan fungsi perencanaan dan
Bendahara Satker masing-masing.
411
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2010
TENTANG PEDOMAN UMUM PENANGANAN ANAK
YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI NEGARA
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa setiap anak yang berhadapan dengan hukum berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak memperoleh pelayanan pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial sesuai
dengan kebutuhan fisik, mental,
dan spiritual;
b. bahwa Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak mengamanatkan bahwa anak
yang berhadapan dengan hukum
berhak mendapatkan perlindungan khusus dari Pemerintah dan
masyarakat;
c. bahwa pelaksanaan penanganan
anak yang berhadapan dengan hukum baik selama proses penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di Pengadilan belum optimal
dan masih diperlukan peningkatan
pelayanan secara terpadu demi kepentingan terbaik bagi anak;
d. bahwa untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum diperlukan dukungan kelembagaan dan
kerjasama dalam pemenuhan hak412
hak anak;
e. bahwa untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum secara
terpadu diperlukan suatu Pedoman
Umum tentang Penanganan Anak
yang Berhadapan dengan Hukum;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu menetapkan Peraturan
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia tentang Pedoman Umum Penanganan Anak
yang Berhadapan dengan Hukum;
Mengingat :
1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana;
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3668);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4235);
4. Undang-undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 49, Tambahan Lemba-
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
5.
6.
7.
8.
9.
ran Negara Republik Indonesia Nomor 4288);
Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4301);
Undang-undang Nomor 11 Tahun
2009 tentang Kesejahteraan Sosial
(Lembaran Negara Repubilk Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4967);
Undang-undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5063);
Peraturan Presiden Nomor 5 tahun
2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
Tahun 2010-2014;
Keputusan Presiden Nomor 84/P
Tahun 2009 tentang Pembentukan
dan Pengangkatan Menteri Negara
Kabinet Indonesia Bersatu II;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI
NEGARA PEMBERDAYAAN
PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN
ANAK REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PEDOMAN UMUM
PENANGANAN ANAK YANG
BERHADAPAN DENGAN HUKUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun.
2. Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak sebagai korban,
pelaku dan saksi.
3. Penegak hukum adalah Kepolisian,
Kejaksaan, dan Pengadilan.
4. Kementerian terkait adalah Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial, Kementerian
Kesehatan, Kementerian Pendidikan, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak.
5. Lembaga atau organisasi terkait
dengan bantuan hukum adalah
lembaga atau organisasi profesi yang peduli anak dan didirikan
berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
6. Lembaga terkait adalah lembaga
yang peduli terhadap perlindungan
anak terutama dalam penanganan
anak yang berhadapan dengan hukum.
Pasal 2
Dengan Peraturan Menteri ini disusun
Pedoman Umum Penanganan Anak
yang Berhadapan dengan Hukum sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan Menteri ini yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri.
Pasal 3
Pedoman Umum Penanganan Anak
yang Berhadapan dengan Hukum dimaksudkan untuk menjadi pedoman
atau acuan bagi penegak hukum, kementerian dan lembaga terkait, serta
lembaga atau organisasi terkait dengan
bantuan hukum yang peduli anak dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum.
Pasal 4
Pedoman Umum Penanganan Anak
yang Berhadapan dengan Hukum bertujuan untuk menyamakan persepsi
dan gerak langkah bagi penegak hu413
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
kum, kementerian dan lembaga terkait,
serta lembaga atau organisasi terkait
dengan bantuan hukum dalam penanganan anak berhadapan dengan hukum yang mengutamakan kepentingan
terbaik bagi anak.
Pasal 5
Pedoman Umum Penanganan Anak
yang Berhadapan dengan Hukum memuat tentang garis-garis besar penanganan anak yang berhadapan dengan
hukum yang meliputi mekanisme, prosedur, pelayanan, koordinasi, kerjasama, pemantauan, evaluasi, pelaporan
serta dalam penanganan anak yang
berhadapan dengan hukum.
Pasal 6
Pedoman Umum Penanganan Anak
yang Berhadapan dengan Hukum dapat
digunakan penegak hukum, kementerian dan lembaga terkait, serta lembaga
atau organisasi terkait dengan bantuan
hukum dalam menyusun standar operasional prosedur dan petunjuk teknis
masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
Dalam melaksanakan Pedoman Umum
Penanganan Anak yang Berhadapan
dengan Hukum, penegak hukum, kementerian dan lembaga terkait, serta
lembaga atau organisasi terkait dengan
bantuan hukum dapat melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan kerjasama berdasarkan hubungan fungsional demi kepentingan terbaik bagi
Pasal 8
Peraturan Menteri ini mulai berlaku
pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
414
Perempuan dan Perlindungan Anak ini
diundangkan dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Oktober 2010
MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN
PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN
ANAK REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
LINDA AMALIA SARI
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Oktober 2010
MENTERI HUKUM
DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
Ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2010 NOMOR 513
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI NEGARA
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2010
TENTANG PEDOMAN UMUM
PENANGANAN ANAK YANG
BERHADAPAN DENGAN HUKUM
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Anak sebagai tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan
bangsa, memiliki peran strategis dan
mempunyai ciri dan sifat khusus yang
menjamin kelangsungan eksistensi
bangsa dan negara pada masa depan.
Anak memiliki karakteristik yang spesifik dibandingkan dengan orang dewasa
dan merupakan salah satu kelompok
rentan yang haknya masih terabaikan,
oleh karena itu hak anak menjadi penting untuk diprioritaskan.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 pada
Pasal 28B Ayat (2) disebutkan bahwa
Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Peran strategis
anak sebagai penerus cita–cita perjuangan bangsa telah disadari oleh masyarakat internasional untuk melahirkan
sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk
manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Konvensi Hak Anak (Convention
on the Rights of the Child).
Ratifikasi terhadap Konvensi Hak Anak
ini ini dilakukan melalui Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan Convention on the Rights
of the Child (Konvensi Hak Anak). Selanjutnya, dalam rangka pelaksanaan
konvensi tersebut, pemerintah berinisiatif untuk menerbitkan beberapa
peraturan perundang-undangan untuk
perlindungan anak, diantaranya adalah
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban, Undang-undang Nomor
21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan
lainnya. Peraturan perundang-undangan tersebut diharapkan dapat menjadi
dasar pelaksanaan perlindungan anak,
terutama bagi anak yang berhadapan
dengan hukum.
Berdasarkan peraturan tersebut di atas,
setiap anak yang berhadapan dengan
hukum berhak untuk mendapat perlindungan, baik fisik, mental, spiritual
maupun sosial. Dalam melaksanakan
tugasnya aparat penegakan hukum dan
instansi/lembaga terkait perlu memperhatikan prinsip-prinsip Konvensi
Hak Anak dan Undang-undang Perlindungan Anak, yaitu prinsip non diskriminasi, kepentingan yang terbaik
bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, serta
penghargaan terhadap pendapat anak.
Dari berbagai kajian dan pemetaan tentang penanganan anak yang berhadapan dengan hukum masih ditemukan
pelaksanaan penanganan anak yang
berhadapan dengan hukum yang belum sepenuhnya sesuai dengan keten415
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
tuan peraturan perundang-undangan.
Hal ini disebabkan antara lain kurangnya sosialisasi peraturan perundangundangan, sehingga pemahaman dan
pelaksanaan penanganan anak yang
berhadapan dengan hukum masih bervariasi dan cenderung menggunakan
persepsi yang berbeda dan terbatasnya sarana prasarana penanganan anak
yang berhadapan dengan hukum.
Tingginya angka kejahatan yang dilakukan oleh anak dapat membawa dampak bagi semakin besarnya anak yang
masuk dalam proses peradilan pidana.
Dalam proses peradilan pidana, sebagian besar anak pelaku tindak pidana
menjalani penahanan di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) dan selanjutnya
divonis menjalani pidana di Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS). Jumlah LAPAS anak saat ini masih sangat kurang
jika dibandingkan dengan jumlah kasus
anak yang berhadapan dengan hukum,
akibatnya anak yang ditahan atau narapidana yang terpaksa harus tinggal
satu area dengan tahanan/narapidana
dewasa. Kondisi tersebut membawa implikasi buruk terhadap perkembangan
anak.
Untuk menghindari hal tersebut di atas
dan demi kepentingan terbaik bagi anak,
maka para penegak hukum seharusnya
melakukan upaya penyelesaian perkara
anak yang berhadapan dengan hukum
dengan pendekatan keadilan restoratif,
sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak Anak, The Beijing Rules, dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak.
Dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dengan pendekatan
keadilan restoratif, perlu ada koordinasi dan kerjasama antara aparat penegak
416
hukum (polisi, jaksa, hakim), advokat,
Petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS),
Petugas Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), Petugas Rumah Tahanan (RUTAN), Kementerian Sosial, Kementerian
Pendidikan Nasional, dan Kementerian
Kesehatan serta kementerian lainnya
yang terkait dalam penanganan anak
yang berhadapan dengan hukum. Koordinasi dan kerjasama tersebut selain
untuk penyamaan persepsi juga untuk
penyelarasan gerak langkah.
Terkait dengan penanganan anak yang
berhadapan dengan hukum telah ditandatangani Keputusan Bersama Tentang
Penanganan Anak yang Berhadapan
dengan Hukum oleh Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung
Republik Indonesia, Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Menteri
Hukum dan HAM Republik Indonesia,
Menteri Sosial Republik Indonesia, dan
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia pada tanggal 22 Desember
2009.
Sebagai tindak lanjut dari Keputusan
Bersama tersebut diperlukan Pedoman
Umum Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum, yang dapat digunakan sebagai acuan bagi aparat penegak hukum dan pihak terkait dalam
penanganan anak yang berhadapan
dengan hukum.
B. LANDASAN HUKUM
1. Pasal 28 B ayat (2), Pasal 28 H ayat
(2) Undang-undang Dasar Negara
RI Tahun 1945
2. Undang-undang Nomor 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak.
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana.
4. Undang-undang Nomor 12 Tahun
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
1995 tentang Pemasyarakatan.
5. Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak.
6. Undang-undang Nomor 5 Tahun
1998 tentang Pengesahan Convention against Torture and Other Cruel
in Human or Degrading Treatment
or Punishment, tanggal 28 September 1998. (Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan
Martabat Manusia).
7. Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia.
8. Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.
9. Undang-undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
10. Undang-undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban.
11. Undang-undang Nomor 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
12. Undang-undang Nomor 44 Tahun
2008 tentang Pornografi.
13. Undang-undang Nomor 11 tahun
2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
14. Keputusan Presiden Nomor 36
Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak.
15. Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun
1989 tentang Pembinaan Kesejahteraan Anak.
16. Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia,
Jaksa Agung Republik Indonesia,
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, Menteri Sosial Republik
Indonesia, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Republik Indonesia, Nomor:
17.
18.
19.
20.
21.
166 A/KMA/SKB/XII/2009, Nomor: 146A/A/JA/12/2009, Nomor
B/45/XII/2009, Nomor: M.HH-08
HM.03.02 Tahun 2009, Nomor: 10/
PRS-2/KPTS/2009; Nomor: 02/Men.
PP dan PA/XII/2009 Tentang Penanganan Anak yang Berhadapan
dengan Hukum.
Resolusi Majelis PBB No. 663C
(XXIV) Tahun 1957 tanggal 31 Juli
1957 dan Resolusi PBB No. 2076
(LXII) Tahun 1977 tanggal 13 Mei
1977 tentang Standar Minimum
Perlakuan terhadap Tahanan.
Resolusi Majelis PBB Nomor 40/33
tanggal 29 November 1985 tentang
Peraturan Standar Minimum PBB
mengenai Administrasi Peradilan
Anak (Beijing Rules).
Resolusi Majelis PBB Nomor 45/113
tanggal 14 Desember 1990 tentang
Perlindungan Anak yang Terampas
Kemerdekaannya (Havana Rules).
Resolusi Majelis PBB Nomor 45/112,
Tanggal 14 Desember 1990 Tentang
Pedoman PBB tentang Pencegahan
Tindak Pidana Anak (Riyadh Guidelines).
Resolusi Majelis Umum PBB Nomor
45/110 tanggal 14 Desember 1990
tentang Peraturan Standar Minimum PBB untuk Upaya Non Penahanan (Tokyo Rules).
C. PENGERTIAN
Dalam Pedoman Umum ini yang dimaksud dengan:
1. Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapanbelas) tahun
termasuk anak yang masih dalam
kandungan (Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).
2. Anak Didik Pemasyarakatan (ANDIKPAS).
a. Anak Pidana yaitu anak yang
417
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS
Anak paling lama sampai berumur 18 (delapanbelas) tahun.
b. Anak Negara yaitu anak yang
berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada negara
untuk dididik dan ditempatkan
di LAPAS Anak paling lama
sampai berumur 18 (delapan
belas) tahun.
c. Anak Sipil yaitu anak yang atas
permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan
pengadilan untuk dididik di
LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapanbelas)
tahun sesuai Pasal 1 Butir 8 Undang-undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan
3. Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak sebagai korban,
pelaku dan saksi.
4. Balai Pemasyarakatan adalah unit
pelaksana teknis pemasyarakatan
yang menangani pembinaan klien
pemasyarakatan yang terdiri dari
terpidana bersyarat (dewasa dan
anak), narapidana yang mendapat
pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, serta anak negara yang
mendapat pembebasan bersyarat
atau diserahkan kepada keluarga
asuh, anak negara yang mendapat
cuti menjelang bebas, dan anak negara yang oleh hakim diputus dikembalikan kepada orang tuanya.
5. Diskresi adalah wewenang yang diberikan kepada polisi berdasarkan
undang-undang untuk mengambil
keputusan dalam situasi tertentu menurut penilaiannya sendiri,
demi kepentingan umum, masih
dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar asas-asas
umum pemerintahan yang baik
418
(AUPB).
6. Hakim anak adalah hakim yang
penunjukkannya ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung atas usulan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan
melalui Ketua Pengadilan Tinggi
(Pasal 9 Undang-undang Nomor
3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak), yang telah berpengalaman
sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum
dan mempunyai minat, perhatian,
dedikasi dan memahami masalah
anak (Pasal 10 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).
7. Jaksa anak adalah penuntut umum
yang penunjukannya ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh Jaksa Agung (Pasal
53 Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 dan Surat Edaran Jaksa Agung
RI Nomor SE-002/J.A/4/1989).
8. Keadilan restoratif adalah suatu
penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga
mereka dan pihak lain yang terkait
dalam suatu tindak pidana untuk
secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana
tersebut dan implikasinya, dengan
menekankan pemulihan kembali
kepada keadaan semula.
9. Klien pemasyarakatan adalah seseorang yang berada dalam layanan,
pembimbingan, pengawasan dan
pendampingan pembimbing kemasyarakatan di dalam dan di luar
sistem peradilan pidana anak.
10. Lembaga Bantuan Hukum/Lembaga Masyarakat Anak adalah lembaga independen non pemerintah
yang peduli pada anak.
11. Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
12.
13.
14.
15.
adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan
anak didik pemasyarakatan.
Lembaga Pemasyarakatan Anak
(LAPAS Anak) Lembaga Pemasyarakatan anak adalah unit pelaksana pemasyarakatan yang menampung, merawat dan membina anak
negara.
Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial Anak adalah lembaga
yang melakukan upaya yang terarah, terpadu dan berkelanjutan
yang dilakukan oleh pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan kesejahteraan sosial anak, antara
lain melalui unit pelaksana teknis
(UPT), unit pelaksana teknis daerah
(UPTD), Komite Perlindungan dan
Rehabilitasi Sosial ABH, yang berbasis masyarakat dan mitra lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA)
lainnya.
Pedoman Umum Penanganan ABH
adalah pedoman yang dapat digunakan sebagai acuan bagi penegak
hukum, pemerintah, pemerintah
provinsi, kabupaten/kota, organisasi/lembaga/badan sosial kemasyarakatan, pengacara dan lembaga kemasyarakatan lainnya dalam
penanganan ABH.
Pekerja Sosial adalah seseorang
yang bekerja baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang
memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang
diperoleh melalui pendidikan,
pelatihan dan/atau pengalaman
praktek dalam pekerjaan sosial
untuk melaksanakan tugas-tugas
pelayanan dan penanganan sosial
(Undang-undang Nomor 11 tahun
2009 tentang Kesejahteraan Sosial).
16. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan
terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan dan cara pembinaan yang
merupakan sub-sistem dari sistem
pemidanaan dan sistem tata peradilan pidana.
17. Pembimbing kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian
kemasyarakatan, pembimbingan,
pengawasan dan pendampingan
terhadap klien pemasyarakatan di
dalam dan di luar proses peradilan
pidana.
18. Penanganan ABH adalah penanganan perkara ABH, baik melalui
jalur formal, maupun pembinaan alternatif, yang dilakukan oleh
berbagai instansi/lembaga terkait,
baik penegak hukum, pemerintah,
pemerintah provinsi, kabupaten/
kota maupun organisasi/lembaga/badan sosial kemasyarakatan,
pengacara serta lembaga kemasyarakatan lainnya dengan jejaring
secara sistematik, komprehensif,
berkesinambungan, dan terpadu.
19. Penyidik anak adalah penyidik
yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia atau pejabat
lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Pasal
41 Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak).
20. Rumah Tahanan Negara adalah
tempat tersangka atau terdakwa
ditahan selama proses penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan (Pasal 1 butir 2
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP).
21. Sistem Peradilan Pidana Terpadu
419
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
adalah sistem peradilan yang melibatkan pihak-pihak terkait (polisi,
jaksa, hakim dan pemasyarakatan)
yang merupakan suatu jaringan peradilan dengan menggunakan hukum pidana sebagai sarana utama,
baik materiil maupun formil.
22. Tahanan anak adalah anak yang ditahan dan sedang menjalani proses
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
23. Unit Pelayanan Perempuan dan
Anak adalah unit yang bertugas
memberikan pelayanan dalam
bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi
korban kejahatan dan penegakan
hukum terhadap pelakunya.
24. Wali ANDIKPAS adalah petugas LAPAS/RUTAN yang melakukan tugas
pendampingan, terhadap ANDIKPAS selama proses pembinaan di
LAPAS/RUTAN.
D. RUANG LINGKUP
Pedoman Umum Penanganan ABH ini
mengatur tentang penanganan anak
yang berhadapan dengan hukum sebagai pelaku, korban dan saksi tindak
pidana.
E. MAKSUD DAN TUJUAN
Penyusunan Pedoman Umum Penanganan ABH ini dimaksudkan sebagai
pedoman atau acuan bagi aparat penegak hukum, lembaga dan instansi
terkait dalam upaya memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum. Pedoman
Umum Penanganan ABH bertujuan untuk menyamakan persepsi dan gerak
langkah aparat penegak hukum dalam
penanganan ABH dengan pendekatan
keadilan restoratif untuk kepentingan
terbaik bagi anak.
F. SASARAN
420
1. Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan,
Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial, dan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak.
2. Kementerian/Lembaga
terkait
lainnya, seperti Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian
Kesehatan, serta lembaga/organisasi bantuan hukum.
3. Orang tua dari anak yang berhadapan dengan hukum.
4. Organisasi/lembaga/badan sosial
kemasyarakatan peduli anak.
BAB II
ARAH KEBIJAKAN
A. ARAH KEBIJAKAN
PERLINDUNGAN ANAK
Berdasarkan RPJMN tahun 2010-2014,
kebijakan peningkatan perlindungan
anak diarahkan pada:
1. peningkatan akses terhadap pelayanan yang berkualitas, peningkatan partisipasi anak dalam pembangunan, dan upaya menciptakan
lingkungan yang ramah anak dalam rangka mendukung tumbuh
kembang dan kelangsungan hidup
anak;
2. peningkatan perlindungan anak
dari kekerasan dan diskriminasi;
dan
3. peningkatan efektivitas kelembagaan perlindungan anak.
Dalam rangka mencapai arah kebijakan
tersebut, perlindungan anak dilaksanakan melalui tiga fokus prioritas.
1. Peningkatan kualitas tumbuh
kembang dan kelangsungan hidup
anak, antara lain melalui:
a. peningkatan aksesibilitas dan
kualitas program pengembangan anak usia dini;
b. peningkatan kualitas keseha-
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
tan anak; dan
c. peningkatan pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja.
2. Perlindungan anak dari segala bentuk tindak kekerasan dan diskriminasi, antara lain melalui:
a. peningkatan rehabilitasi dan
perlindungan sosial anak;
b. peningkatan perlindungan bagi pekerja anak; dan
c. penghapusan pekerja terburuk
anak; dan
d. peningkatan
perlindungan
bagi anak yang berhadapan
dengan hukum.
3. Peningkatan kapasitas kelembagaan perlindungan anak, antara lain
melalui:
a. penyusunan dan harmonisasi
peraturan perundang-undangan terkait perlindungan anak;
b. peningkatan kapasitas pelaksana perlindungan anak;
c. peningkatan penyediaan data
dan informasi perlindungan
anak; dan
d. peningkatan koordinasi dan
kemitraan antar pemangku kepentingan terkait pemenuhan
hak-hak anak, baik lokal, nasional maupun internasional.
B. ARAH KEBIJAKAN
PENANGANAN ABH
Dalam rangka melaksanakan penanganan ABH maka kebijakannya diarahkan
kepada penyelesaian perkara anak dengan pendekatan keadilan restoratif
yang dilakukan oleh berbagai instansi/
lembaga terkait, baik penegak hukum,
pemerintah, pemerintah provinsi, kabupaten/kota maupun organisasi/ lembaga/badan sosial kemasyarakatan, pengacara, dan lembaga kemasyarakatan
lainnya dengan jejaring secara sistematis, komprehensif, berkesinambungan
dan terpadu.
A. Prinsip keadilan restoratif
Dalam penyelesaian perkara anak dengan pendekatan keadilan restoratif,
perlu mengedepankan prinsip-prinsip
keadilan restoratif yaitu:
a. membuat pelanggar bertanggung
jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya;
b. memberikan kesempatan kepada
pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya disamping
mengatasi rasa bersalahnya secara
konstruktif;
c. melibatkan para korban, orangtua,
keluarga besar, sekolah, dan teman
sebaya;
d. menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah;
e. menetapkan hubungan langsung
dan nyata antara kesalahan dan reaksi sosial yang formal.
Penyelesaian perkara anak dengan pendekatan keadilan restoratif wajib memperhatikan:
a. kepentingan korban;
b. kesejahteraan dan tanggung jawab
anak;
c. penghindaran stigma negatif;
d. penghindaran pembalasan;
e. keharmonisan masyarakat; dan
f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
B. Prasyarat Pendekatan keadilan restoratif
a. Pelaku
1) Usia Pelaku Anak
Dalam penanganan perkara anak sebagai pelaku tindak pidana, hendaknya
selalu memperhatikan usia pelaku, semakin muda usia pelaku semakin pen421
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
ting untuk dilakukan penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif.
Usia pertanggungjawaban kriminal
anak di Indonesia adalah 8 (delapan) tahun (dalam Rancangan Kitab Undangundang Hukum Pidana dan Rancangan
Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak Usia pertanggungjawaban kriminal anak 12 tahun), artinya tidak ada
seorang anak pun yang berusia dibawah
8 (delapan) tahun yang dapat dimintakan pertanggungjawaban kriminal
karena melakukan kejahatan. Jika ada
anak di bawah 8 (delapan) tahun yang
melakukan kejahatan, diindikasikan
telah terjadi masalah yang sangat serius, walaupun sebenarnya anak tersebut tidak mengerti akibat dari tindakan
tersebut. Untuk penanganan perkara
seperti ini, penyelesaian melalui proses
peradilan tidak akan efektif, oleh karenanya perlu ditangani oleh lembaga
atau instansi yang kompeten dengan
cara merujuk pada lembaga pendidikan, jasa pelayanan sosial atau lembaga
masyarakat terkait.
Dalam suatu kondisi tertentu, anak
yang berusia antara 8 (delapan) sampai dengan 12 (duabelas) tahun dapat
diproses melalui hukum formal, tetapi
tidak bisa dikenakan penahanan atau
pemenjaraan. Untuk kelompok anak
yang berusia dibawah 12 (dua belas)
tahun ini, penanganan dengan pendekatan keadilan restoratif harus menjadi
prioritas pertama.
Anak yang berusia diatas 12 (duabelas)
tahun dapat diproses melalui proses
hukum formal, walupun demikian penanganan dengan pendekatan keadilan
restoratif harus menjadi prioritas pertama dan pemenjaraan adalah upaya
terakhir.
422
2) Pengakuan dan Penyesalan Pelaku
Penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif akan efektif jika anak
mengakui perbuatan dan menyesalinya. Pengakuan dan penyesalan anak
atas perbuatan tersebut tidak boleh
dipaksakan dengan ancaman atau bujukan atas imbalan (akan diselesaikan
dengan pendekatan keadilan restoratif). Penyelesaian dengan pendekatan
keadilan restoratif tidak dapat dipertimbangkan jika anak tidak mengakui
perbuatan dan tidak menyesalinya.
3) Kondisi Anak sebagai Pelaku dan Jumlah Tindak Pidana
yang Dilakukan Anak
Penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif harus memperhatikan
kondisi anak saat melakukan tindak
pidana. Apabila faktor pendorong anak
melakukan tindak pidana ada diluar
kendali anak dan/atau anak melakukan tindak pidana untuk pertama kali,
maka penyelesaian dengan pendekatan
keadilan restoratif dilakukan dengan
cara mediasi atau musyawarah keluarga, dengan melibatkan korban, pelaku
dan keluarganya menjadi prioritas utama.
b. Kategori Tindak Pidana
Perkara tindak pidana yang melibatkan
anak sebagai pelaku harus diupayakan
penyelesaiannya dengan pendekatan
keadilan restoratif. Pada saat melakukan penyelesaian perkara tindak pidana
yang dilakukan oleh anak, hendaknya
dipertimbangkan seriusitas perbuatan
tindak pidana dan jumlah tindak pidana yang telah dilakukan.
Kategori tindak pidana yang diancam
dengan sanksi pidana sampai dengan 1
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
(satu) tahun harus diprioritaskan untuk
dilakukan diskresi. Perkara tersebut tidak perlu diproses melalui hukum formal, cukup diberikan peringatan secara
lisan maupun tertulis.
Kategori tindak pidana yang diancam
dengan sanksi pidana lebih dari 1 (satu)
tahun dan sampai dengan 5 (lima)
tahun diprioritaskan untuk diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif, dengan cara mediasi atau musyawarah keluarga dengan melibatkan
korban, pelaku dan keluarganya.
Kategori tindak pidana yang diancam
dengan sanksi pidana lebih dari 5 (lima)
tahun, yang tidak mengakibatkan luka
berat dan hilangnya nyawa dapat diselesaikan dengan pendekatan keadilan
restoratif, dengan cara mediasi atau
musyawarah keluarga dengan melibatkan korban, pelaku dan keluarganya.
Anak yang baru pertama kali melakukan tindak pidana hendaknya diprioritaskan untuk diselesaikan dengan
pendekatan keadilan restoratif, dengan
cara mediasi atau musyawarah keluarga, dengan melibatkan korban, pelaku
dan keluarganya.
Walaupun demikian penyelesaian dengan pendekatan keadilan Restoratif
harus tetap dilakukan terhadap anak
yang sebelumnya pernah melakukan
tindak pidana, dengan mempertimbangkan kondisi korban, pelaku dan
keluarganya.
c. Korban
1) Dampak perbuatan terhadap
korban.
Setiap kejahatan akan berdampak berbeda bagi masing-masing korban. Kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana dapat berupa fisik, psikis,
materi dan sosial yang bisa berdampak
serius terhadap korban. Dengan demikian korban memerlukan respon yang
berbeda-beda pada tindak pidana yang
sama.
2) Persetujuan korban
Untuk kasus yang berdampak serius
terhadap korban, maka persetujuan
korban sangat diperlukan dalam penyelesaian perkara anak. Sedangkan,
untuk kasus yang tidak berdampak serius terhadap korban, tidak diperlukan
persetujuan korban dalam penyelesaian perkara anak.
3) Partisipasi dan pendapat korban
Dalam penanganan ABH dengan pendekatan keadilan restoratif sedapat
mungkin melibatkan korban dan/atau
keluarganya, dan mendengar, serta
mempertimbangkan pendapat/keinginan korban.
d. Dukungan Orang Tua/Wali dan
Keluarga
Dalam penanganan perkara anak pelaku tindak pidana dukungan dari orang
tua/wali dan keluarga sangat penting
agar pendekatan keadilan restoratif
dapat berhasil. Orang tua/wali atau keluarga anak tersebut perlu dilibatkan
secara aktif dalam penyelesaian perkara, program rehabilitasi, dan reintegrasi. Jika keluarga (orang tua/wali) tidak
diikutsertakan secara aktif, maka rencana penyelesaian dengan pendekatan
keadilan restoratif yang efektif akan
sulit untuk diimplementasikan.
Keluarga mungkin merasa malu atas
tindakan anak tersebut sehingga menutup-nutupi kesalahan anak. Jika
ada orang tua atau keluarga seperti
ini maka APH atau pihak terkait wajib
423
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
memberi pengertian kepada orang tua
atau keluarga tersebut tentang perlunya dukungan keluarga.
e. Jenis-jenis penanganan dengan
pendekatan keadilan restoratif.
1) Mediasi korban dengan pelaku
Tujuan mediasi adalah untuk menyelesaikan sengketa melalui proses perundingan guna memperoleh kesepakatan para pihak dengan, dibantu oleh
seorang atau lebih mediator. Sebagai
mediator adalah pihak netral yang
membantu para pihak mencari berbagai kemungkinan penyelesaian tanpa
menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian (Pasal
1 butir 6 dan butir 7 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 2008).
2) Musyawarah Keluarga
Musyawarah keluarga dimaksudkan
untuk menyelesaikan perkara anak
melalui musyawarah yang melibatkan
keluarga pelaku dan keluarga korban,
dengan difasilitasi oleh seorang fasilitator dari pihak yang netral agar memperoleh kesepakatan dari kedua belah
pihak. Dalam musyawarah keluarga,
perlu diperhatikan:
a) keterlibatan pihak-pihak terkait
yang meliputi korban, pelaku, keluarga dan orang-orang yang dekat
dengan anak;
b) pihak lain yang perlu dilibatkan
yaitu pihak yang mendukung korban dan pihak yang mendukung
pelaku;
c) hal-hal lain yang perlu diperhatikan antara lain memberikan informasi kepada para pihak mengenai
tempat, waktu dan mekanisme pertemuan.
424
3) Musyawarah Masyarakat
Musyawarah masyarakat dimaksudkan
untuk menyelesaikan perkara anak melalui musyawarah yang melibatkan keluarga pelaku, keluarga korban dan tokoh masyarakat/tokoh agama, dengan
difasilitasi oleh seorang fasilitator dari
pihak yang netral agar memperoleh kesepakatan dari kedua belah pihak.
Dalam musyawarah masyarakat, perlu
diperhatikan:
a) keterlibatan pihak-pihak terkait
meliputi korban, pelaku, keluarga
dan orang-orang yang dekat
dengan anak, tokoh masyarakat/
tokoh agama dan siapa saja yang
dirugikan oleh perbuatan tersebut;
b) pihak lain yang perlu dilibatkan
yaitu pihak yang mendukung korban dan pihak yang mendukung
pelaku.;
c) hal-hal lain yang perlu diperhatikan antara lain memberikan informasi kepada para pihak mengenai
tempat, waktu dan mekanisme pertemuan.
f. Mekanisme Penanganan dengan
Pendekatan keadilan restoratif
1) Penyidik, penuntut umum, dan
hakim dalam menyelesaikan
perkara anak dengan pendekatan keadilan restoratif harus
mempertimbangkan:
- kategori tindak pidana;
- umur anak;
- hasil penelitian kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan;
- kerugian yang ditimbulkan;
- tingkat perhatian masyarakat;
dan
- dukungan lingkungan keluarga
dan masyarakat.
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Tahapan dalam Musyawarah
Tahap Menggali informasi
(1) Informasi Pelaku
Fasilitator mengadakan pertemuan dengan pelaku dengan
melibatkan pihak terkait (keluarga dan orang-orang yang
dekat dengan pelaku, pembimbing kemasyarakatan BAPAS
dan pekerja sosial), tanpa melibatkan korban dan keluarga
korban.
- Penyambutan dan perkenalan.
- Fasilitator membacakan kronologi perkara dengan rinci.
- Pelaku diberikan kesempatan
untuk merespon kronologi
perkara tersebut, dan pelaku
dapat menerima atau menolak
bertanggung jawab atas perbuatan tersebut.
- Bila anak mengakui perbuatannya dan mau bertanggung
jawab, maka penyelesaian perkara bisa dilanjutkan dengan
musyawarah.
- Namun apabila anak tidak
mengakui perbuatannya, maka
musyawarah tidak bisa dilanjutkan dan kasus harus dikembalikan ke proses formal.
- Usaha harus dilakukan untuk
mendorong agar anak mengatakan apa sebenarnya yang telah terjadi.
(2) Informasi Korban
- Fasilitator mengadakan pertemuan dengan korban dengan
melibatkan pihak terkait (keluarga dan orang-orang yang
dekat dengan pelaku, pembimbing kemasyarakatan BAPAS
dan Pekerja Sosial), tanpa melibatkan pelaku dan keluarga
pelaku.
-
2)
a)
-
Korban diberi kesempatan bicara tentang apa yang telah
terjadi, bagaimana ia dirugikan, dan apa yang dianggap
perlu untuk dilakukan oleh
pelaku agar dapat mengganti
kesalahannya.
b) Pertimbangan keluarga
Keluarga masing-masing pihak diberi kesempatan untuk berunding
dan harus menjawab pertanyaan.
- Bagaimana anak dapat mengganti kesalahan dengan kebaikan bagi korban, keluarganya
dan masyarakat.
- Rencana apa yang anak dapat
lakukan bersama keluarganya
untuk mencegah pengulangan
perbuatan.
c) Negosiasi dan perjanjian
Fasilitator perlu untuk memeriksa
hal-hal sebagai berikut.
- Apakah rencana ini telah memenuhi kebutuhan korban?
- Apakah rencana ini telah memenuhi kebutuhan masyarakat?
- Apakah rencana ini telah realistis dan dapat dicapai?
- Apakah rencana ini dilakukan
dalam jangka waktu yang relevan?
- Apakah rencana ini dapat diukur?
- Apakah rencana ini layak dan
proporsional?
- Apakah rencana ini melindungi hak anak dan memajukan
perkembangan anak?
- Apakah rencana ini memprediksi antisipasi apa yang akan
dilakukan bila rencana ini
berhasil atau tidak berhasil?
Setelah memeriksa rencana tersebut di atas maka fasilitator mulai
425
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
melakukan perundingan dengan
melibatkan keluarga pelaku, keluarga korban (untuk musyawarah keluarga). Untuk musyawarah
masyarakat perlu juga melibatkan
tokoh masyarakat/tokoh agama.
Keputusan hasil musyawarah harus
mendapatkan persetujuan korban dan
keluarganya, serta persetujuan anak
sebagai pelaku dan keluarganya.
Hasil kesepakatan keadilan restoratif
dapat berupa:
a. perdamaian dengan atau tanpa
ganti kerugian;
b. penyerahan kembali kepada orang
tua/wali;
c. keikutsertaan dalam pendidikan
atau pelatihan ke lembaga pendidikan, lembaga penyelenggaraan
kesejahteraan sosial atau lembaga
kesejahteraan sosial; atau
d. pelayanan masyarakat.
Kesepakatan sebagaimana dimaksud di
atas dituangkan ke dalam suatu keputusan yang berlaku sejak dicapainya kesepakatan. Keputusan keadilan restoratif
dimasukkan dalam berkas perkara anak
yang wajib dipertimbangkan oleh jaksa
pada saat membuat tuntutan dan oleh
hakim pada saat membuat putusan.
Register perkara anak dengan penyelesaian pendekatan keadilan restoratif
pada kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
dan lembaga pemasyarakatan dibuat
secara khusus. Pengawasan atas proses
penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif dan pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan langsung pejabat yang
bertanggung jawab pada setiap tingkat
pemeriksaan. Selama proses keadilan
restoratif berlangsung dan setelah kea426
dilan restoratif dilaksanakan, pembimbing kemasyarakatan wajib melakukan
pembimbingan dan pengawasan.
Dalam hal kesepakatan keadilan restoratif tidak dilaksanakan dalam waktu
yang ditentukan dalam kesepakatan,
pembimbing kemasyarakatan segera melaporkan kepada pejabat yang
bertanggung jawab. Pejabat yang bertanggung jawab tersebut wajib menindaklanjuti laporan.
Anak yang keberadaan orang tua/
walinya tidak diketahui maka pengasuhannya menjadi tanggung jawab
kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang sosial
dan dinas/instansi sosial. Pengasuhan
tersebut dilaksanakan di lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial
yang direkomendasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang sosial dan dinas/instansi sosial.
BAB III
GARIS BESAR PENANGANAN ANAK
YANG BERHADAPAN HUKUM
A. KEPOLISIAN
Tugas dan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penanganan ABH sesuai dengan Pasal 8 Keputusan Bersama tentang Penanganan
ABH meliputi:
1. menyiapkan penyidik yang mempunyai minat, kemampuan, perhatian, dan dedikasi dan bersertifikasi dibidang anak pada Mabes Polri
dan jajaran kewilayahannya;
2. meningkatkan jumlah Unit Pelayanan Perempuan dan Anak/Unit
PPA di Mabes Polri dan jajaran
kewilayahannya;
3. menyediakan ruang pemeriksaan
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
4.
5.
6.
7.
khusus bagi anak di Mabes Polri
dan jajaran kewilayahannya;
melaksanakan pendidikan dan pelatihan tentang penanganan ABH;
menyusun
panduan/pedoman
standar tentang penanganan ABH
dengan pendekatan keadilan restoratif;
membentuk kelompok kerja penanganan ABH; dan
melakukan sosialisasi internal,
yang dalam pelaksanaannya dapat
bekerja sama dengan instansi terkait.
Pelaksanaan tugas dan kewenanganan
tersebut dilakukan secara terintegrasi
oleh Unit Pelaksana Teknis Kepolisian.
1. Penyidikan perkara anak dilakukan
oleh Penyidik anak.
2. Setiap Polsek/Polres/Polresta/Polwiltabes/Polda/Mabespolri wajib
mempunyai buku register khusus
perkara anak (pelaku/saksi/korban) dan membuat laporan berkala
sedikitnya 6 (enam) bulan sekali.
3. Setiap Polsek/Polres/Polresta/Polwiltabes/Polda/Mabespolri harus
memiliki Penyidik khusus yang menangani perkara anak, yang ditunjuk oleh Kepala kesatuan masingmasing.
4. Kepolisian mengutamakan penanganan perkara anak dengan memprioritaskan proses penyidikan.
5. Waktu pemeriksaan anak untuk
pembuatan BAP tidak lebih dari 4
(empat) jam sehari dan tidak dilakukan pada malam hari. Diusahakan untuk menghadirkan orangtua
anak, wali dan penasehat hukum.
Anak Sebagai Pelaku
1. Penyidik menerima pelaporan atau
pengaduan dari seseorang atau menemukan sendiri adanya tindak pi-
dana.
2. Setelah menerima pelaporan atau
menemukan sendiri, penyidik segera melakukan penyidikan untuk
mencari keterangan dan barang
bukti.
3. Dalam hal ditemukan cukup bukti
adanya tindak pidana, segera diterbitkan Surat Perintah Tugas dan
Surat Perintah Penyidikan.
4. Kepala Unit PPA menunjuk penyidik atau beberapa orang penyidik
yang disesuaikan dengan kasus dan
jenis kelamin anak.
5. Dalam melaksanakan penyidikan,
penyidik wajib memberitahukan
kepada BAPAS dan meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan. Apabila
perlu dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan,
ahli kesehatan jiwa, ahli agama,
atau petugas kemasyarakatan lainnya.
6. Sebelum dilakukan pemanggilan
kepada anak, sebagai pelaku tindak
pidana, penyidik wajib memeriksa
terlebih dahulu pelapor dan para
saksi termasuk konsultasi dengan
ahli.
7. Pemanggilan kepada anak sebagai
pelaku wajib mempertimbangkan
dampak psikologi atau dampak
lainnya.
8. Anak yang diduga sebagai pelaku
tindak pidana yang dipanggil atau
tertangkap tangan langsung dibawa ke ruang pelayanan khusus
pada Unit PPA.
9. Dalam hal polisi terpaksa melakukan penangkapan, tindakan tersebut harus dilakukan sebagai upaya
terakhir, dan jangka waktu penangkapan tidak lebih dari 1 x 12 jam.
10. Terhadap anak yang tertangkap
tangan, penyidik wajib membe427
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
ritahukan kepada keluarga, wali,
orang tua asuh, penasehat hukum,
advokat dan BAPAS dalam waktu 1
x 12 jam.
11. Pemeriksaan awal terhadap anak
wajib memperhatikan kondisi kesehatan dan kesiapan anak.
12. Pemeriksaan terhadap anak dapat
dilakukan apabila anak dalam kondisi kesehatan baik. Dalam hal anak
dalam kondisi tidak sehat, baik fisik maupun psikis, maka penyidik
wajib menunda pemeriksaan awal
terhadap anak.
13. Penyidik melakukan upaya pemulihan terhadap kondisi kesehatan
anak, jika perlu merujuk ke puskesmas, rumah sakit, pusat pelayanan
terpadu (PPT), pusat pelayanan terpadu perlindungan perempuan dan
anak (P2TP2A) dan psikolog.
14. Waktu pemeriksaan anak untuk
pembuatan BAP tidak lebih dari 4
(empat) jam sehari dan tidak dilakukan pada malam hari. Diusahakan untuk menghadirkan orangtua
anak, wali dan penasehat hukum.
15. Selama melakukan pemeriksaan,
penyidik wajib memeriksa anak dalam suasana kekeluargaan, dengan
pendekatan secara efektif, afektif/
kasih sayang dan simpatik.
16. Penahanan sebagai upaya terakhir,
dapat dilakukan terhadap anak
yang melakukan tindak pidana
yang diancam pidana 10 tahun atau
lebih.
17. Dalam proses penilaian terhadap
anak dan kasusnya, penyidik mengumpulkan informasi dalam suasana kekeluargaan.
18. Dalam melakukan penyidikan,
penyidik wajib segera meminta
pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan dalam
waktu 1 x 12 jam, dan apabila perlu
428
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
dapat meminta pertimbangan atau
saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya.
Penentuan identitas anak sebagai
pelaku, khususnya terkait dengan
umur anak, sedapat mungkin dibuktikan dengan akte kelahiran/
surat kenal lahir/surat keterangan
lainnya yang sah seperti ijazah,
buku rapor, kartu keluarga dan surat keterangan dari RT, RW dan kelurahan.
Penyidik wajib melakukan upaya
musyawarah dengan cara pendekatan keadilan restoratif dengan
melibatkan pembimbing kemasyarakatan dan para pihak terkait dalam waktu paling lama 30 hari sejak
diterimanya laporan.
Penyidik dapat melakukan proses
diskresi sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal anak sebagai pelaku ditahan, penyidik wajib melakukan
upaya musyawarah dengan cara
pendekatan keadilan restoratif paling lama 20 hari sejak penahanan.
Dalam hal dicapai kesepakatan
maka hasil kesepakatan tersebut
ditandatangani oleh penyidik,
pembimbing kemasyarakatan, pelaku, orang tua/wali, korban/orang
tua/wali, tokoh masyarakat, tokoh
agama dan guru.
Dalam hal tidak dicapai kesepakatan, proses hukum tetap dilanjutkan dan penyidik segera melimpahkan berkas perkara kepada
penuntut umum dengan melampirkan hasil kesepakatan.
Penyidik tidak melakukan penahanan terhadap anak yang belum berumur 12 tahun.
Dalam hal anak sudah dapat ber-
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
tanggung jawab secara pidana menurut undang-undang, penahanan
hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir dan demi keselamatan anak. Penyidik dapat menitipkan anak tersebut di lembaga
sosial/lembaga keagamaan/lembaga pendidikan atau di tempat yang
khusus dan layak untuk anak.
27. Penahanan sebagai upaya terakhir,
dapat dilakukan terhadap anak
yang melakukan tindak pidana
yang diancam pidana 10 tahun atau
lebih.
28. Apabila tidak ada alternatif lain
sehingga harus dilakukan penahanan, penyidik dapat melakukan
penahanan kota atau penahanan
rumah, atau tempat khusus untuk
anak di lingkungan RUTAN, cabang
RUTAN, atau di tempat tertentu
yang terpisah dari orang dewasa,
setelah mempertimbangkan hasil
penelitian kemasyarakatan.
29. Setiap Polsek, Polres dan Polda wajib mencatat data kasus ABH (pelaku, korban dan saksi) yang ditangani dalam catatan tersendiri pada
buku register dan membuat laporan secara berkala
Anak Sebagai Korban/Saksi
1. Penyidik menerima pelaporan dari
korban, orangtua/wali atau masyarakat.
2. Dalam hal penyidik menerima laporan dari masyarakat, maka penyidik segera menghubungi orang
tua/wali dan penasehat hukum
dalam waktu 1x12 jam, kecuali jika
mereka turut diduga sebagai pelaku.
3. Penyidik sesegera mungkin membawa anak sebagai korban ke
dokter atau petugas kesehatan untuk meminta visum et repertum.
4. Penyidik melakukan upaya pemulihan terhadap kondisi kesehatan
anak sebagai korban, jika perlu merujuk ke puskesmas, rumah Sakit,
Pusat Pelayanan Terpadu (PPT),
Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak
(P2TP2A) dan psikolog.
5. Pemeriksaan terhadap anak sebagai korban dapat dilakukan apabila
anak dalam kondisi kesehatan baik.
Dalam hal anak dalam kondisi tidak sehat baik fisik maupun psikis,
penyidik wajib menunda pemeriksaan terhadap anak.
6. Dalam menentukan anak sebagai
saksi, penyidik harus mempertimbangkan usia, daya intelektual,
dampak psikologi dan dampak lainnya, serta kadar pentingnya kesaksian tersebut.
7. Waktu pemeriksaan anak sebagai
korban/saksi untuk pembuatan
BAP tidak lebih dari 4 (empat) jam
sehari dan tidak dilakukan pada
malam hari. Diusahakan untuk
menghadirkan orangtua anak, wali
dan penasehat hukum.
8. Pada saat melakukan pemeriksaan
terhadap anak sebagai korban/saksi dilakukan di ruang khusus atau
tempat lainnya yang dirasa aman
dan nyaman.
9. Selama proses pemeriksaan, anak
sebagai korban/saksi berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
10. Penyidik dapat memanfaatkan hasil rekam medis dari puskesmas
atau tenaga kesehatan lainnya sebagai bahan penyidikan. Dokumendokumen hasil pemeriksaan dan
perawatan tersebut merupakan
bagian dari berkas dokumen anak
bersangkutan.
11. Dalam melindungi korban/saksi,
429
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
12.
13.
14.
15.
16.
penyidik dapat membuat permohonan penetapan perlindungan sementara kepada ketua pengadilan,
dan/atau mengajukan permohonan kepada Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK).
Penyidik harus memrioritaskan penanganan kasus anak sebagai korban, dengan segera melimpahkan
perkara ke penuntut umum.
Selama proses penyidikan, korban/
saksi berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus
yang melibatkan dirinya, berupa
pemberian salinan berita acara setiap tahap pemeriksaan.
Selama pemeriksaan korban/saksi,
penyidik tidak boleh mempertemukan korban/saksi dengan para
pelaku.
Selama melakukan pemeriksaan,
penyidik wajib memeriksa anak sebagai korban/saksi dalam suasana
kekeluargaan, dengan pendekatan
secara efektif, afektif/kasih sayang,
dan simpatik.
Selama proses penyidikan, penyidik wajib merahasiakan identitas
anak.
B. KEJAKSAAN
Tugas dan kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia dalam penanganan
ABH sesuai dengan Pasal 7 Keputusan
Bersama tentang Penanganan ABH meliputi:
1. melakukan penuntutan dengan
memperhatikan kepentingan terbaik bagi ABH;
2. menyiapkan Jaksa dan tenaga administrasi yang mempunyai minat,
kemampuan, perhatian dan dedikasi serta bersertifikasi di bidang
anak pada setiap kantor kejaksaan;
3. menyediakan ruang pemeriksaan
khusus bagi anak pada setiap kan430
tor kejaksaan;
4. mengadakan diskusi secara rutin
serta pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan;
5. menyusun panduan/pedoman, surat edaran tentang penanganan
ABH dengan pendekatan keadilan
restoratif;
6. membentuk kelompok kerja penanganan ABH;
7. melakukan sosialisasi internal; dan
8. mengefektifkan fungsi kepala kejaksaan tinggi dalam memberikan
bimbingan dan pengawasan terhadap jalannya penuntutan di dalam
daerah hukumnya.
Pelaksanaan tugas dan kewenanganan
tersebut dilakukan secara terintegrasi
oleh unit pelaksana teknis kejaksaan
sebagai berikut.
1. Setiap kejaksaan negeri, kejaksaan
tinggi dan kejaksaan agung wajib
mempunyai buku register khusus
perkara anak dan membuat laporan berkala sedikitnya 6 (enam) bulan sekali.
2. Jaksa Penuntut Umum (JPU) perkara anak dilakukan oleh Jaksa Anak.
3. Setiap Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Tinggi serta Kejaksaan Agung
harus memiliki JPU khusus yang
menangani perkara anak, yang ditunjuk oleh Kepala Kejaksaan masing-masing.
4. Kejaksaan mengutamakan penanganan perkara anak dengan memprioritaskan proses penuntutan.
5. Setelah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
(SPDP) segera diterbitkan Surat Perintah Penunjukan jaksa penuntut
umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan perkara (P-16).
6. Setiap kantor kejaksaan harus
mempunyai buku register khusus
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
perkara anak dan membuat laporan bulanan khusus perkara anak.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang
telah ditunjuk memperhatikan usia
tersangka dan memastikan kepada
penyidik dengan mencari buktibukti autentik seperti akte kelahiran atau surat kenal lahir, data di
sekolah, kelurahan, dan lain sebagainya.
Mengikuti secara aktif setiap perkembangan penyidikan dan mengintensifkan koordinasi, baik dengan penyidik maupun pihak yang
terkait, guna mewujudkan keterpaduan dalam upaya penyelesaian
perkara penanganan anak yang
berhadapan dengan hukum demi
kepentingan terbaik bagi anak.
Jaksa Penuntut Umum dapat meminta kepada penyidik untuk segera melakukan proses penyidikan
dan penyerahan berkas dengan
mengikutsertakan pembimbing kemasyarakatan (PK BAPAS).
Dalam hal penyerahan berkas tahap pertama, disamping meneliti
syarat formil dan materiil juga disarankan memeriksa hasil penelitian PK BAPAS.
Pada saat penerimaan tersangka
dan barang bukti tahap kedua, jaksa penuntut umum melakukan penerimaan dan penelitian tersangka
di ruang khusus bagi anak.
Rekomendasi PK BAPAS agar benar-benar diperhatikan oleh jaksa
peneliti dan dimanfaatkan dalam
penyelesaian perkara.
Setelah perkara dilimpahkan ke
kejaksaan, kepala kejaksaan menyelenggarakan musyawarah keadilan restoratif dengan melibatkan
pelaku, korban, orang tua/wali/
orangtua asuh pelaku dan korban,
penasehat hukum, pendamping
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
(sekolah), tokoh masyarakat/tokoh
agama, BAPAS dan kepolisian.
Dalam hal terjadi “kesepakatan keadilan restoratif”, hasil musyawarah keadilan restoratif dijadikan
sebagai dasar tuntutan JPU. Apabila tidak terjadi kesepakatan, JPU
dalam tuntutannya tetap dengan
pendekatan keadilan restotarif.
Dalam hal kesepakatan keadilan
restoratif berhasil, tembusan rumusan hasil kesepakatan keadilan
restoratif disampaikan ke Pengadilan.
Dalam melakukan penuntutan,
JPU apabila perlu dapat meminta
pertimbangan atau saran dari ahli
pendidikan, ahli kesehatan jiwa,
ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya.
Apabila tersangka melakukan tindak pidana dengan orang dewasa,
penuntutan terhadap masing-masing tersangka dilakukan secara
terpisah.
Dalam hal dilakukan penahanan
terhadap anak, JPU wajib mempertimbangkan bahwa penahanan
hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir dan anak ditempatkan di rumah tahanan khusus
anak.
Dalam melakukan pemeriksaan
anak sebagai korban/saksi di persidangan, JPU memperhatikan situasi dan kondisi korban/saksi.
JPU menghadirkan orang tua atau
wali yang dipercayai anak untuk
mendampingi anak saat memberikan keterangan di persidangan.
JPU membantu memfasilitasi aksesibilitas anak untuk mendapatkan
perlindungan dari LPSK.
Selama proses penuntutan, saksi
korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus
431
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
yang melibatkan dirinya.
23. Sesuai Petunjuk Teknis Jampidum
Nomor: B-532/E/l1/1995 tanggal 9
November 1995 tentang Penuntutan Terhadap Anak Dibawah Umur
dilakukan hal-hal sebagai berikut:
- Apabila terdakwa anak di bawah umur tersebut tidak ditahan, maka JPU mengajukan
tuntutan agar anak tersebut
dikembalikan kepada orang
tua/wali untuk dididik, dan
kalau orang tua/wali menolak
hendaknya dituntut untuk diserahkan kepada pemerintah
sebagai anak negara atau diserahkan kepada organisasi/suatu badan tertentu untuk mendapat pendidikan sebagaimana
mestinya tanpa pidana apapun
(Pasal 45 dan Pasal 46 KUHP).
- Dalam hal tersangka ditahan,
agar JPU menuntut pidana
penjara minimum sama dengan masa selama dalam tahanan.
- Dalam hal JPU memandang
perlu menuntut pidana penjara, agar memedomani Surat
Edaran Jaksa Agung RI Nomor
SE 001/JA/4/1995 tentang Pedoman Tuntutan Pidana.
24. JPU dalam membuat tuntutan wajib mempertimbangkan hasil penelitian kemasyarakatan dari BAPAS.
25. Pelaksanaan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dilakukan oleh jaksa,
berdasarkan Petikan/Salinan Putusan yang dikirim oleh Panitera (Pasal 226 ayat 2 dan Pasal 270 KUHAP,
Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 21 Tahun 1983, tanggal 18
Desember 1983).
26. Kebijakan upaya hukum terhadap
putusan hakim harus memperhati432
kan kepentingan terbaik bagi anak.
27. Jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan
pengadilan yang ditandatangani
oleh jaksa, kepala lembaga pemasyarakatan, dan terpidana, kepada
pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, BAPAS,
RUTAN dan Rumah Penyimpanan
Benda Sitaan Negara (Rupbasan).
C. PENGADILAN
Tugas dan kewenangan Mahkamah
Agung Republik Indonesia dalam penanganan ABH sesuai dengan Pasal 6
Keputusan Bersama tentang Penanganan ABH meliputi:
1. menyiapkan hakim dan panitera
yang mempunyai minat, kemampuan, perhatian dan dedikasi, yang
bersertifikasi di bidang anak pada
setiap pengadilan negeri;
2. menyiapkan fasilitas dan prasarana, ruang tunggu dan ruang sidang
yang ramah anak, serta ruang saksi
anak pada setiap pengadilan secara
bertahap;
3. mengadakan diskusi secara rutin
dan pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan;
4. menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung/Peraturan Mahkamah
Agung dan menyusun standar
operasional prosedur penanganan
anak yang berhadapan dengan hukum dengan pendekatan keadilan
restoratif;
5. membentuk kelompok kerja penanganan ABH;
6. melakukan sosialisasi internal; dan
7. mengefektifkan fungsi ketua pengadilan tinggi dalam memberikan
bimbingan dan pengawasan terhadap jalannya persidangan di dalam
daerah hukumnya.
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
Pelaksanakan tugas dan kewenangan
tersebut dilakukan secara terintegrasi
oleh Unit Pelaksana Teknis Pengadilan
sebagai berikut.
1. Hakim yang menyidang perkara
anak pelaku tindak Pidana dilakukan oleh Hakim anak.
2. Setiap pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung
wajib mempunyai buku register
khusus perkara anak (pelaku/saksi/korban) dan membuat laporan
berkala sedikitnya 6 (enam) bulan
sekali.
3. Setiap Pengadilan Negeri harus
memiliki hakim khusus yang menangani perkara anak, yang ditunjuk
oleh Ketua Mahkamah Agung melalui rekomendasi Ketua Pengadilan
Negeri masing-masing.
4. Setiap pengadilan harus memiliki
panitera khusus yang menangani
perkara pidana anak, yang ditunjuk
oleh Ketua Pengadilan.
5. Pengadilan mengutamakan sidang
khusus anak dengan mendahulukan jadwal waktu sidang.
6. Waktu pemeriksaan anak dalam
persidangan tidak lebih dari 1
(satu) jam sehari, dan diusahakan
untuk menghadirkan orang tua
anak, wali, dan penasehat hukum.
Anak Sebagai Pelaku
1. Selama menunggu proses persidangan, anak sebagai pelaku ditempatkan di ruang tunggu khusus
anak, dan disidangkan dalam ruang
sidang khusus anak.
2. Sidang anak wajib dihadiri oleh
orangtua/wali/orangtua asuh/keluarga, pembimbing kemasyarakatan dan penasehat hukum.
3. Sebelum sidang dibuka, hakim
memerintahkan agar PK menyampaikan laporan hasil penelitian
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
kemasyarakatan, dan menanyakan
pendapat serta kesimpulan tentang
kemungkinan untuk diupayakan
musyawarah dengan cara pendekatan keadilan restoratif.
Dalam hal hasil penelitian PK berpendapat bahwa dapat diupayakan
musyawarah dengan cara pendekatan keadilan restoratif, maka
hakim wajib melakukan upaya musyawarah di ruang mediasi.
Musyawarah dengan cara pendekatan keadilan restoratif dihadiri
oleh JPU, PK, pelaku, orang tua/
wali, penasehat hukum, korban/
orang tua/wali, tokoh masyarakat,
tokoh agama, dan/atau pihak lain
yang ditentukan oleh hakim.
Dalam hal dicapai kesepakatan
maka hasil kesepakatan tersebut
ditandatangani oleh pelaku, orang
tua/wali, korban/orang tua/wali,
pembimbing kemasyarakatan, tokoh masyarakat, dan/atau tokoh
agama.
Setelah proses musyawarah selesai, hakim membuka persidangan
di ruang sidang khusus anak dan
menyatakan sidang tertutup untuk
umum, dilanjutkan dengan proses
sidang penetapan hasil musyawarah.
Dalam hal musyawarah gagal, hakim melanjutkan proses penyelesaian dengan membuka persidangan
sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku.
Hakim memberikan kesempatan
kepada orang tua, wali atau orang
tua asuh untuk mengemukakan
segala hal ihwal yang bermanfaat
bagi anak.
Setelah mendengar keterangan
orang tua/wali pelaku anak, Hakim
meminta penjelasan dan pendapat
pembimbing kemasyarakatan ten433
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
tang segala hal ihwal yang bermanfaat bagi anak dan perkembangan
hasil musyawarah.
Dalam putusannya, hakim wajib
mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari PK dengan memperhatikan kepentingan
terbaik bagi anak. Jika dipandang
perlu dapat menghadirkan ahli tertentu, misalnya psikolog, psikiater,
dan lain sebagainya.
Dalam hal Hakim tidak mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan, mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Dalam hal hakim memutuskan
anak diserahkan kepada Kementerian Sosial atau Dinas Sosial
atau diwajibkan mengikuti latihan
kerja, maka dalam amar putusan
Hakim harus memuat tempat dan
waktu secara jelas.
Dalam hal hakim memutuskan anak
dikembalikan kepada orangtua,
maka dalam amar putusan hakim dapat memuat syarat tambahan berupa bimbingan dan pengawasan di bawah pembimbing
kemasyarakatan sampai dengan
anak berumur 18 tahun.
Petikan surat putusan pengadilan
diberikan kepada anak pelaku tindak pidana, atau penasehat hukum,
JPU, RUTAN/LAPAS, penyidik, Rumah Penyimpanan Benda Sitaan
(Rupbasan) dan BAPAS segera setelah putusan diucapkan.
Salinan surat putusan pengadilan
diberikan segera kepada penuntut
umum dan penyidik, RUTAN, LAPAS, dan BAPAS.
Ketua pengadilan menunjuk hakim
wasmat dari hakim anak.
Panitera pengadilan tingkat pertama melakukan pencatatan dalam
buku Register pengawasan dan
434
pengamatan, ditutup dan ditandatangani oleh panitera pada setiap
hari kerja, untuk diketahui dan ditandatangani juga oleh hakim wasmat.
19. Hakim wasmat melaksanakan tugas pengawasan dan pengamatan
terhadap pelaksanaan putusan
pengadilan, sekurang-kurangnya 3
(tiga) kali dalam setahun.
20. Laporan hakim wasmat disampaikan kepada Ketua Pengadilan dan
ditembuskan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
21. Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim wasmat dapat membicarakan dengan
kepala LAPAS tentang cara pembinaan narapidana tertentu.
Anak Sebagai Korban/Saksi
1. Selama menunggu proses persidangan, saksi dan/atau korban menunggu di ruang khusus.
2. Pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap saksi atau korban anak
dilakukan dengan memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi
anak dengan tidak memakai toga
atau pakaian dinas.
3. Pemeriksaan saksi dan korban dilakukan dalam sidang yang tertutup
untuk umum.
4. Selama proses pemeriksaan di depan sidang pengadilan, saksi dan/
atau korban berhak didampingi
oleh penasehat hukum dan/atau
pendamping lainnya.
5. Pemeriksaan saksi korban sedapat
mungkin di ruang terpisah dari
ruang sidang.
6. Dalam hal saksi atau korban tidak
dapat dihadirkan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, keterangan saksi dapat diberikan secara
jarak jauh melalui alat komunikasi
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
audio visual atau perekaman.
7. Selama proses pemeriksaan di depan sidang pengadilan, saksi korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus
yang melibatkan dirinya, dapat berupa pemberian salinan berita acara setiap tahap pemeriksaan.
8. Hakim dapat memeriksa keterangan Saksi dan/atau korban tanpa
kehadiran terdakwa.
9. Ketua pengadilan wajib mengeluarkan penetapan perlindungan
sementara terhadap korban anak
berdasarkan permohonan dari
korban, atau keluarga korban, dan
teman korban, kepolisian, relawan
pendamping, dan rohaniawan.
D. KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA
(BAPAS, LAPAS DAN RUTAN)
Pelaksanaan tugas dan kewenangan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dalam penanganan ABH sesuai dengan Pasal 9 Keputusan Bersama tentang penanganan
ABH meliputi:
1. menetapkan kebijakan, program
dan kegiatan perlindungan dan pemenuhan hak ABH di lingkungan
pemasyarakatan;
2. meningkatkan pelayanan litmas,
pembimbingan, dan pengawasan,
serta pendampingan ABH;
3. menyiapkan pembimbing kemasyarakatan (PK) pada BAPAS dan
petugas pemasyarakatan pada LAPAS dan RUTAN yang mempunyai
minat, kemampuan, perhatian dan
dedikasi dengan bersertifikasi di
bidang anak;
4. meningkatkan pelayanan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, dan pengawasan serta pendampingan terhadap anak yang diputus
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
dengan pidana pengawasan, pidana
bersyarat, anak yang dikembalikan
kepada orang tua, dan anak yang
memerlukan bimbingan lanjutan
(after care);
menyiapkan fasilitas dan prasarana
bagi pembinaan, pembimbingan,
dan perawatan anak;
menyiapkan ruang khusus bagi tahanan anak dan anak didik pemasyarakatan di RUTAN dan LAPAS;
menyediakan psikolog, tenaga pendidik, dan tenaga medis;
menyusun prosedur standar operasional penanganan ABH dengan
pendekatan keadilan restoratif;
meningkatkan peran serta masyarakat;
membentuk kelompok kerja penanganan ABH; dan
melakukan sosialisasi internal.
Untuk melaksanakan tugas dan kewenanganan tersebut dilakukan secara
terintegrasi oleh Unit Pelaksana Teknis
pemasyarakatan sebagai berikut.
1. Balai Pemasyarakatan (BAPAS)
a. Dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya sebagai pembimbing
kemasyarakatan (PK), BAPAS
wajib mengedepankan pendekatan keadilan restoratif dan
kepentingan terbaik bagi anak.
b. Segera setelah menerima permintaan penelitian kemasyarakatan dari penyidik, Kepala
BAPAS menerbitkan surat perintah melakukan penelitian
kemasyarakatan.
c. PK yang telah ditunjuk segera
melakukan penelitian kemasyarakatan dengan memastikan kepada penyidik, mencari
data, fakta dan bukti-bukti terkait lainnya.
d. Hasil penelitian kemasyara435
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
436
katan berupa rekomendasi
dengan mencantumkan alternatif tindakan/pidana yang jelas dan tegas dengan mempertimbangkan analisis data, fakta
dan bukti otentik lainnya, sesuai kebutuhan dan kepentingan terbaik bagi anak.
PK dapat merekomendasikan/
memfasilitasi ahli tertentu
(ahli biopsikososial dan spiritual, psikolog, kriminolog, ahli
pendidikan dan ahli kesehatan,
dan lain sebagainya) sesuai kebutuhan anak pada setiap tahap pemeriksaan.
Memfasilitasi penyelesaian kasus ABH sebelum masuk pada
proses penyidikan dengan koordinasi dengan Kementerian
Sosial dan pihak terkait.
PK mengajukan inisiatif dan
memfasilitasi proses mediasi
dengan penyidik, jaksa, hakim,
petugas LAPAS dan/atau RUTAN, orang tua/penanggung
jawab, pemerintah setempat,
dan tokoh masyarakat.
PK wajib mengikuti secara aktif
setiap perkembangan perkara anak dan mengintensifkan
koordinasi dengan penyidik
maupun pihak yang terkait untuk mewujudkan keterpaduan
dalam upaya penyelesaian penanganan perkara anak.
Setiap kantor BAPAS wajib
mempunyai buku register khusus anak, dan buku register lain
sesuai tugas dan fungsinya.
PK wajib mengikuti proses
penyerahan berkas perkara
dari penyidik kepada penuntut
umum.
Sebelum sidang dibuka, PK
menyampaikan laporan kepa-
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r. s.
da hakim hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak
yang bersangkutan.
PK mengikuti proses pemeriksaan persidangan di pengadilan secara aktif dan memberikan masukan dan penjelasan
kepada hakim tentang hasil
penelitian kemasyarakatan.
PK melakukan pendampingan
anak didalam dan di luar proses peradilan pidana.
Dalam menentukan rekomendasi penelitian kemasyarakatan, menentukan program
perlakuan (perawatan dan pelayanan, pembinaan, pembimbingan, pengawasan dan pendampingan) dan melakukan
evaluasi pelaksanaan program,
BAPAS wajib melakukan sidang
Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) sesuai ketentuan
perundang-undangan.
PK wajib melakukan asesmen
risiko dan kebutuhan anak
untuk menentukan program
perlakuan, pembimbingan dan
pengawasan terhadap ABH.
BAPAS wajib melakukan penerimaan ABH berdasarkan surat-surat yang sah, melakukan
pencatatan dan registrasi.
BAPAS melakukan pencatatan
data dasar ABH, dan pendokumentasian identitas dan lainlain sesuai kebutuhan.
PK BAPAS melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program perawatan dan
pelayanan, perlakuan, pembimbingan, dan pengawasan
terhadap ABH, di BAPAS, RUTAN dan LAPAS, serta membuat laporan berkala.
Dalam melaksanakan tugas
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
pelayanan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan,
BAPAS wajib mengembangkan
program berbasis masyarakat.
t. PK berkoordinasi dengan
pekerja sosial (Peksos) dan
pekerja sosial sukarela dalam
melaksanakan pembimbingan
ABH.
u. Dalam melaksanakan tugas
dan fungsinya BAPAS melakukan kerjasama dengan instansi
terkait, perguruan tinggi, dan
lembaga sosial kemasyarakatan.
2. Rumah Tahanan Negara (RUTAN).
a. Dalam melaksanakan tugas
dan fungsinya RUTAN wajib
mengedepankan kepentingan
terbaik bagi anak dan pendekatan keadilan restoratif.
b. Penyelenggaraan proses pelayanan dan perawatan tahanan
wajib dilaksanakan dengan
menjauhkan anak dari kekerasan dan diskriminasi.
c. Dalam menerima tahanan
anak RUTAN wajib meneliti
keabsahan surat perintah penahanan/penetapan penahanan dari pejabat yang secara
yuridis berwenang melakukan
penahanan disertai penelitian
kemasyarakatan dari BAPAS.
d. Setiap RUTAN wajib mempunyai buku register khusus anak
dan buku register lain sesuai
tugas dan fungsinya.
e. Setiap tahanan anak wajib diperiksa kesehatannya oleh
dokter atau tenaga medis lainnya. Dalam hal tidak ada dokter
atau tenaga medis lainnya, RUTAN wajib berkoordinasi dengan puskesmas/rumah sakit
setempat.
f. Setiap tahanan anak sedapat
mungkin ditempatkan di RUTAN terdekat dengan lingkungan tempat tinggalnya.
g. Dalam hal tidak terdapat RUTAN, penempatan atau perlakuan anak dapat dilakukan di
LAPAS, dan ditempatkan terpisahkan dari orang dewasa.
h. Sebelum menentukan program
pelayanan dan perawatan serta melakukan evaluasi, RUTAN
wajib mempertimbangkan penelitian kemasyarakatan, asesmen risiko, dan kebutuhan
anak melalui mekanisme Tim
Pengamat
Pemasyarakatan
(TPP) RUTAN sesuai ketentuan.
i. Selama dalam proses penahanan, anak diberi kesempatan
untuk melaksanakan aktifitas
kesehariannya secara wajar,
dan kesempatan yang cukup
untuk dikunjungi, serta berkomunikasi dengan orang tua
atau keluarganya dan/atau penasehat hukumnya.
j. RUTAN wajib:
- menyiapkan fasilitas dan
prasarana bagi pelayanan,
dan perawatan tahanan
anak;
- menyediakan ruang khusus
penyidikan dan/atau ruang
konsultasi bagi PK BAPAS
dan Advokat;
- menyediakan dan melaksanakan bimbingan dan bantuan hukum bagi tahanan
anak.
k. Dalam menyelenggarakan program pelayanan dan perawatan
tahanan, RUTAN berkoordinasi
dengan instansi yang secara
yuridis berhak menahan.
437
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
l. Untuk mendukung proses perawatan dan pelayanan tahanan, RUTAN wajib menyediakan tenaga profesional, sesuai
kebutuhan anak seperti tenaga
medis, paramedis, psikolog,
psikiater, paedagogi, pekerja
sosial, dan lainnya.
m. Apabila anak mempunyai hambatan yang berhubungan dengan fisik, psikis, mental dan
aspek sosialnya, maka proses
pelayanan dan perawatannya
dapat dialihkan dari RUTAN
ke rumah sakit, panti sosial
atau lembaga sosial kemasyarakatan lain yang memiliki kekhususan dalam penanganan
hambatan anak tersebut.
n. Dalam rangka melaksanakan
tugas dan fungsinya RUTAN
dapat mengadakan kerjasama
dengan instansi pemerintah
terkait, perguruan tinggi, badan/organisasi kemasyarakatan, keluarga dan perorangan.
o. Setiap anak melakukan pemeriksaan kesehatan secara periodik oleh dokter atau tenaga
medis lainnya.
p. Dalam hal ditemukan anak
yang sakit maka dilakukan perawatan/ pengobatan di rumah
sakit atau klinik LAPAS. Apabila tidak dapat ditangani oleh
rumah sakit atau klinik LAPAS
dapat dirujuk ke puskesmas
atau rumah sakit terdekat.
q. Demi hukum, RUTAN wajib
mengeluarkan tahanan setelah
selesai atau habis masa penahanannya.
3. Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS).
a. Dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya LAPAS wajib menge438
b.
c.
d.
e.
depankan kepentingan terbaik
bagi anak dan pendekatan keadilan restoratif.
Setiap anak didik pemasyarakatan (ANDIKPAS) yang dikirim ke LAPAS wajib disertai surat-surat yang sah dari pejabat
berwenang (salinan putusan/
petikan putusan pengadilan/
ekstrak vonis) dan penelitian
kemasyarakatan BAPAS.
LAPAS anak melakukan penerimaan ABH berdasarkan
surat-surat yang sah, dan wajib meneliti kembali keabsahan
surat-surat sebagai berikut.
- Surat Pengantar dari instansi lain asal ANDIKPAS.
- Surat Perintah Penahanan
dari instansi yang berwenang menahan.
- Surat Putusan Pengadilan
yang memutus perkaranya.
- Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan dan
Berita Acara Pelaksanaan
Putusan Pengadilan dari
Kejaksaan Negeri.
- Laporan Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) BAPAS.
- Surat-surat lain yang berkaitan dengan perkaranya.
Setiap LAPAS wajib mempunyai buku register khusus
anak, dan buku register lain sesuai tugas dan fungsinya.
Setiap LAPAS melakukan pencatatan dan registrasi terhadap
ANDIKPAS. Kegiatan pencatatan dan registrasi meliputi:
- memeriksa kembali keabsahan surat-surat dan
identitas klien;
- membuat berita acara serah terima klien;
- mencatat dalam buku re-
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
gister khusus anak;
- pengambilan foto;
- pengambilan sidik jari.
f. Setiap ANDIKPAS mendapat
pemeriksaan kesehatan oleh
dokter atau tenaga medis lain.
g. Dalam hal ditemukan anak
yang sakit maka dilakukan perawatan/pengobatan di rumah
sakit atau klinik LAPAS. Apabila tidak dapat ditangani oleh
rumah sakit atau klinik LAPAS
dapat dirujuk ke puskesmas
atau rumah sakit terdekat.
h. Setiap ANDIKPAS sedapat
mungkin ditempatkan di LAPAS anak terdekat dengan lingkungan tempat tinggalnya.
i. Dalam hal tidak terdapat LAPAS anak, penempatan atau
perlakuan anak dapat dilakukan di LAPAS dewasa atau pemuda dan ditempatkan terpisahkan dari orang dewasa.
j. Setiap ANDIKPAS wajib mengikuti masa admisi-orientasi paling lama satu bulan.
k. Penyelenggaraan proses perlakuan dan pendidikan ANDIKPAS dilakukan berdasarkan
proses dan tahap pembinaan
pemasyarakatan.
l. Pelaksanaan proses dan tahap
pembinaan ANDIKPAS meliputi tahap admisiorientasi dan
pembinaan pendahuluan, tahap pembinaan lanjutan, tahap
asimilasi dan tahap integrasi.
m. Untuk kepentingan program
perlakuan dan pendidikan serta untuk kepentingan terbaik
bagi anak, maka kepada setiap
ANDIKPAS dilakukan penelitian kemasyarakatan, asesmen
resiko, dan kebutuhan anak.
n. Proses penentuan program
o.
p.
q.
r. s.
t.
u.
perlakuan dan pembinaan ANDIKPAS dilakukan melalui mekanisme Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) LAPAS, sesuai
ketentuan.
Untuk kepentingan perlakuan,
pembinaan dan kepentingan
terbaik bagi anak, ANDIKPAS
dapat dipindahkan dari satu
LAPAS Anak ke LAPAS Anak
lainnya.
LAPAS wajib melaksanakan
pendidikan sembilan tahun.
Untuk mendukung proses perlakuan dan pembinaan ANDIKPAS, di setiap LAPAS wajib disediakan tenaga profesional,
seperti: Tenaga medis, paramedis, psikolog, psikiater, paedagog, pekerja sosial, dan lainnya.
Dalam rangka melaksanakan
tugas dan fungsinya, LAPAS
dapat mengadakan kerjasama
dengan keluarga, instansi pemerintah terkait, perguruan
tinggi, badan/organisasi kemasyarakatan, dan perorangan.
Untuk kepentingan terbaik
bagi anak, apabila ANDIKPAS
mempunyai hambatan yang
berhubungan dengan fisik, psikis, mental dan aspek sosialnya, maka proses perlakuannya dapat dialihkan dari LAPAS
anak ke panti sosial atau lembaga sosial kemasyarakatan
lain yang memiliki kekhususan
dalam penanganan hambatan
anak tersebut.
Penyelenggaraan perlakuan
ANDIKPAS didalam LAPAS harus dijauhkan dari kekerasan
dan diskriminasi.
Secara periodik terhadap AN439
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
v.
w.
x.
y.
DIKPAS dilakukan pemeriksaan kesehatan.
Untuk kepentingan perlakuan
ANDIKPAS, maka LAPAS menyediakan ruang khusus PK
BAPAS.
LAPAS wajib melakukan sidang TPP untuk menentukan
program perlakuan terhadap
ANDIKPAS dan melakukan evaluasi pelaksanaan program
perlakuan.
LAPAS berkewajiban memenuhi hak ANDIKPAS sesuai ketentuan perudangan.
LAPAS wajib mengeluarkan
ANDIKPAS setelah selesai menjalani pidana sesuai ketentuan.
E. KEMENTERIAN SOSIAL
Tugas dan kewenangan Kementerian
Sosial Republik Indonesia dalam penanganan ABH sesuai dengan Pasal 10 Keputusan Bersama tentang Penanganan
ABH meliputi:
1. menyiapkan pekerja sosial dalam
pelayanan masalah sosial ABH yang
mempunyai minat, kemampuan,
perhatian dan dedikasi dengan bersertifikasi diidang anak di tingkat
pusat sampai dengan tingkat daerah;
2. memfasilitasi penyediaan Panti Sosial Marsudi Putra, Rumah
Perlindungan Sosial Anak (RPSA)
dan pusat trauma bagi anak yang
berhadapan dengan hukum;
3. mendorong dan memperkuat peran keluarga, masyarakat, dan organisasi sosial atau lembaga masyarakat untuk peduli pada ABH;
4. mengembangkan panduan atau pedoman perlindungan dan rehabilitasi sosial ABH;
5. membentuk kelompok kerja penanganan ABH; dan
440
6. melakukan sosialisasi internal.
Untuk melaksanakan tugas dan kewenanganan tersebut dilakukan hal-hal
sebagai berikut.
1. Melaksanakan pendampingan psikososial bagi ABH didalam panti
sosial:
a. melaksanakan orientasi, konsultasi, motivasi dan seleksi;
b. melaksanakan asesmen dan
perumusan rencana pelayanan;
c. melaksanakan intervensi dan
manajemen kasus yang mencakup pendampingan sosial psikologis, peningkatan motivasi,
konseling, terapi psikososial,
dan perubahan perilaku, mencatat dan memantau perkembangan perilaku;
d. melaksanakan pembinaan, terminasi institusi, dan rujukan.
2. Melaksanakan penjangkauan, rehabilitasi sosial bagi ABH, memfasilitasi reintegrasi dan reunifikasi
ABH.
3. Melakukan asesmen motivasi terhadap ABH sebelum dilakukan rujukan ke panti.
4. Melaksanakan pendampingan dan
advokasi sosial bagi ABH dan lingkungannya.
5. Melaksanakan penyuluhan dan sosialisasi.
6. Melaksanakan fasilitasi penyelesaian kasus ABH sebelum masuk pada
proses penyidikan berkoordinasi
dengan BAPAS dan pihak terkait.
7. Melaksanakan koordinasi dan
kerjasama dengan PK dalam proses
penanganan kasus ABH.
8. Melaksanakan konsultasi, orientasi, peningkatan motivasi dan advokasi sosial dalam upaya mendorong
penyelesaian kasus ABH di luar
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
pengadilan dengan pihak terkait.
9. Memberikan motivasi dan pendampingan bagi ABH pada tahap
bimbingan awal masuk panti sosial.
10. Melaksanakan asesmen, motivasi,
konseling dan terapi psikososial
dan perubahan perilaku dengan
sistem penjangkauan.
11. Dalam hal tidak terdapat RUTAN,
panti dapat menerima rujukan atau
penitipan ABH dari instansi yang
secara yuridis berwenang melakukan penahanan dengan tanggung
jawab pada instansi penitip.
12. Dalam hal hakim memutuskan tindakan pembinaan/pelatihan kerja
di panti sosial, maka tanggung jawab fisik menjadi tanggung jawab
panti sosial.
F. KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN
PEREMPUAN DAN
PERLINDUNGAN ANAK
Tugas dan kewenangan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia dalam
penanganan ABH sesuai dengan Pasal
11 Keputusan Bersama tentang Penanganan ABH meliputi:
1. merumuskan kebijakan penanganan ABH;
2. melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan instansi/lembaga
terkait;
3. melakukan sosialisasi, advokasi,
dan fasilitasi;
4. mendorong peran serta masyarakat;
5. mengadakan pelatihan-pelatihan;
6. membentuk kelompok kerja penanganan ABH;
7. mengembangkan panduan atau pedoman, standard dan prosedur penanganan anak yang berhadapan
dengan hukum;
8. melakukan sosialisasi internal; dan
9. melakukan pemantauan, analisis,
evaluasi dan pelaporan.
Untuk melaksanakan tugas dan kewenanganan tersebut dilakukan hal-hal
sebagai berikut:
1. melaksanakan kajian atau pemetaan situasi dan kondisi ABH;
2. merumuskan kebijakan penanganan ABH;
3. melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan instansi/lembaga
terkait;
4. melakukan sosialisasi, advokasi
dan fasilitasi;
5. mendorong peran serta masyarakat;
6. mengadakan pelatihan-pelatihan
bagi aparat penegak hukum dengan pendekatan keadilan restoratif;
7. membentuk kelompok kerja penanganan ABH;
8. membentuk jejaring kerja aparat
penegak hukum di tingkat pusat
dan daerah;
9. mengembangkan sistem pelaporan
data ABH
G. KEMENTERIAN DAN LEMBAGA
TERKAIT LAINNYA
1. Bidang Pendidikan
a. Kementerian Pendidikan
Nasional
Tugas dan kewenangan Kementerian Pendidikan Nasional dalam
rangka menjamin ketersediaan layanan dan keberlangsungan pendidikan bagi ABH meliputi hal-hal
sebagai berikut:
1) memfasilitasi pengambilan kebijakan nasional di bidang penyediaan layanan pendidikan khusus
bagi ABH, baik pada jalur pendidikan formal maupun jalur pendidikan non formal;
2) memfasilitasi lahirnya kerja441
Melindungi Hak-hak Anak
Kompilasi Peraturan dan Kebijakan Terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
sama khusus dengan dengan Kementerian Hukum dan HAM untuk
memberikan layanan penyelenggaraan pendidikan khusus bagi ABH,
baik dalam RUTAN anak maupun
LAPAS anak;
3) menyediakan panduan umum
tentang penyelenggaraan layanan
pendidikan khusus bagi ABH, baik
pada jalur pendidikan formal maupun non formal;
4) memfasilitasi penyediaan bantuan biaya operasional untuk penyediaan layanan pendidikan khusus bagi ABH, baik selama di RUTAN
anak maupun di LAPAS anak;
5) memfasilitasi penyediaan dukungan sarana/prasarana pendidikan sesuai kebutuhan penyelenggaraan layanan pendidikan
bagi ABH yang dilangsungkan di
dalam LAPAS/RUTAN anak;
6) menambah fasilitasi pendidikan hukum dan hak asasi manusia
dalam ekstrakulikuler.
b. Dinas Pendidikan Daerah
(Provinsi dan Kabupaten/Kota)
Dinas pendidikan daerah (provinsi
dan kabupaten/kota) selaku pemegang otoritas kebijakan penyelenggaraan pendidikan di daerah,
sesuai dengan kewenangan dan
kapasitasnya, wajib mendukung
implementasi MoU Kementerian
Pendidikan Nasional dan Kementerian Hukum dan HAM (LAPAS anak
dan perempuan) di bidang penyelenggaraan layanan pendidikan
untuk ABH, baik yang berlangsung
di RUTAN anak atau LAPAS anak.
Dinas pendidikan bekerjasama dengan LAPAS dan RUTAN anak wajib berperan membantu menjamin
keberlangsungan pelayanan pendi442
dikan bagi ABH di wilayahnya. Fasilitasi dinas pendidikan setempat
meliputi:
1) penyediaan sarana/prasarana
pendidikan yang dibutuhkan LAPAS atau RUTAN anak dalam rangka menyediakan layanan pendidikan ABH;
2) penyediaan guru/tenaga pengajar yang kompeten atau memenuhi syarat sesuai kebutuhan pelaksanaan pembelajaran ABH baik
di dalam LAPAS maupun di RUTAN
anak;
3) penyediaan bahan ajar/belajar
bagi ABH baik di dalam maupun
diluar LAPAS atau RUTAN anak di
wilayahnya;
4) bekerjasama dengan LAPAS/
RUTAN anak, memfasilitasi penyelenggaraan setiap jenis evaluasi
pembelajaran ABH, baik yang dilaksanakan di luar maupun di dalam
LAPAS anak maupun RUTAN anak;
5) bekerjasama dengan LAPAS
atau RUTAN, orangtua, dan masyarakat memfasilitasi pengembalian
anak dalam satuan pendidikan reguler di luar LAPAS/RUTAN anak
setelah berakhirnya masa pelaksanaan tindakan yang dijalani ABH;
6) bekerjasama dengan LAPAS/
RUTAN anak memfasilitasi penyediaan tenaga pendamping, psikolog, pekerja sosial yang bertugas
memberikan pendampingan baik
selama ABH di RUTAN maupun
menjalani sanksi hukum/tindakan
di LAPAS;
7) mengupayakan dukungan penyediaan biaya penyelenggaraan
pendidikan bagi ABH, baik melalui
APBD provinsi dan kabupaten/kota
maupun APBN;
8) bekerjasama dengan orang tua,
LAPAS/RUTAN memberikan dam-
Peraturan/Keputusan Menteri dan yang sederajat terkait Anak Berhadapan dengan Hukum
pingan untuk pengembalian anak
dalam binaan keluarga pasca menjalani masa sanksi atau tindakan
ABH.
Tugas dan kewenangan dinas pendidikan daerah (provinsi dan kabupaten/
kota) dan/atau satuan pendidikan/
sekolah dalam penanganan ABH, meliputi hal-hal berikut.
Anak sebagai pelaku
1) Setelah mengetahui/menerima laporan bahwa ada anak didik yang
diduga menjadi pelaku tindak pidana, dinas pendidikan kabupaten/
kota segera berkoordinasi dengan
pihak keluarga, lembaga pendidikan atau orangtua yang bersangkutan.
2) Sekolah bersama keluarga ABH dan
dinas pendidikan kabupaten/ kota
segera berkoordinasi dengan pihak
berwenang, yang secara yuridis
melakukan penahanan, untuk memastikan kondisi/status anak.
3) Setelah mendapat kepastian tentang status sebagai ABH, dinas
pendidikan, sekolah, orangtua, dan
pihak berwenang, yang secara yuridis melakukan penahanan, harus
mengupayakan jalan keluar terbaik, agar keberlangsungan pendidikan anak dapat tetap berlangsung/tidak terhenti.
4) Dalam kondisi anak sudah ditetapkan sebagai tersangka dan harus menjalani penahanan di RUTAN anak maka dinas pendidikan/
sekolah, orang tua, dan kepolisian
harus berusaha memfasilitasi tetap
berlangsungnya pendidikan ABH,
baik dalam lingkungan RUTAN/
maupun di tempat sekolah asal.
5) ABH berstatus sebagai tersangka
dan ditahan di RUTAN anak atau di
kepolisian, diharapkan dinas pendidikan atau sekolah, orang tua,
dan kepolisian atau pihak RUTAN
harus tetap mengupayakan anak tidak kehilangan hak-haknya untuk
mengikuti setiap kegiatan pembelajaran, termasuk keikutsertaannya dalam evaluasi pembelajaran,
seperti ulangan harian, ulangan
semester, ujian akhir sekolah atau
ujian akhir nasional.
6) Dalam statusnya sebagai tahanan
di RUTAN atau kepolisian, semua
pihak baik dinas pendidikan/sekolah, orang tua, RUTAN atau kepolisian harus tetap menjamin agar
anak dapat melakukan kegiatan belajar di luar kelas setiap hari.
7) Dalam statusnya sebagai tahanan
di RUTAN atau kepolisian, semua
pihak baik dinas pendidikan/seko
Download