PENGAMATAN PERUBAHAN NILAI pH TANAH 10 (SEPULUH

advertisement
PENGAMATAN PERUBAHAN NILAI pH TANAH 10 (SEPULUH) BULAN
SETELAH PENGAPURAN DOLOMIT
Oleh :
SULAIMAN
NIM. 100500039
PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN
JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA
SAMARINDA
2013
PENGAMATAN PERUBAHAN NILAI pH TANAH 10 (SEPULUH) BULAN
SETELAH PENGAPURAN DOLOMIT
Oleh :
SULAIMAN
NIM. 100500039
Karya Ilmiah Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Sebutan Ahli Madya Pada Program Diploma III
Politeknik Pertanian Negeri Samarinda
PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN
JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA
SAMARINDA
2013
PENGAMATAN PERUBAHAN NILAI pH TANAH 10 (SEPULUH) BULAN
SETELAH PENGAPURAN DOLOMIT
Oleh :
SULAIMAN
NIM. 100500039
Karya Ilmiah Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Sebutan Ahli Madya
Pada Program Diploma III Politeknik Pertanian Negeri Samarinda
PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN
JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA
SAMARINDA
2013
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Karya Ilmiah
: Pengamatan Perubahan Nilai pH Tanah 10 (sepuluh)
Bulan Setelah Pengapuran Dolomit
Nama
: Sulaiman
NIM
: 100500039
Program Studi
: Manajemen Hutan
Jurusan
: Manajemen Pertanian
Pembimbing
Ir. Noorhamsyah, MP
NIP.19640523 199703 1 001
Penguji I,
Penguji II,
Ir. Gunanto
NIP.19570905 198703 1 001
Menyetujui
Ketua Program Studi Manajemen Hutan
Ir. M. Fadjeri, MP
NIP. 19610812 198803 1 003
Elisa Herawati, S. Hut, MP
NIP. 19710305 199512 2 001
Mengesahkan
Ketua Jurusan Manajemen Pertanian
Ir. Hasanudin, MP
NIP.19630805 198903 1 005
ABSTRAK
SULAIMAN. Pengamatan Perubahan Nilai pH Tanah 10 (sepuluh) Bulan Setelah
Pengapuran Dolomit (di bawah bimbingan Noorhamsyah).
Penelitian ini bertujuan untuk menjajaki bagaimana perubahan nilai pH tanah
10 (sepuluh) bulan setelah dilakukan pengapuran dengan dosis sesuai anjuran
Lingga (1992), di atas anjuran dan di bawah anjuran Lingga (1992).
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi
kepada pelaksana atau pengelola lahan pertanian mengenai jangka waktu yang
tepat untuk melakukan tindakan pengapuran kembali.
Penelitian dilaksanakan di Hutan Sekunder Politeknik Pertanian Negeri
Samarinda dimulai dari 06 November 2012 sampai dengan 01 Januari 2013. Plot
penelitian dilakukan pada plot peneliti pendahulu (Marzumah, 2012). Ukuran plot
2 x 1 meter. Pemberian kapur dolomit telah dilakukan oleh peneliti pendahulu 10
bulan yang lalu dengan dosis 0,5 Kg/ m2, 0,908 Kg/ m2, dan 2,0 Kg/ m2. Peneliti
hanya melakukan analisa pH, Ca dan Mg setelah 10 (sepuluh) bulan dilakukan
pengapuran oleh peneliti pendahulu. Plot penelitian sebanyak 3 (tiga) plot yaitu
masing-masing 1 (satu) plot untuk dosis dolomit 0,5 Kg/ m2, 0,908 Kg/ m2, dan
2,0 Kg/ m 2. Sampel tanah dianalisa setiap 2 minggu sekali selama 2 (dua) bulan.
Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pemberian kapur dolomit baik dengan
dosis di bawah standar Lingga (1992) atau dosis dolomit 0,5 Kg/m 2 pada
pengukuran ke-1 sampai dengan pengukuran ke-4, mencapai nilai pH netral, lalu
mengalami penurunan pada pengukuran ke-5, sedangkan untuk dosis sesuai
standar Lingga (1992) atau dosis dolomit 0,908 Kg telah mencapai pH netral
pada 2 (dua) bulan setelah dikapur dolomit dan masih dapat mempertahankan
nilai pH tanah yang netral sampai dengan 10 (sepuluh) bulan kemudian, bahkan
menunjukkan angka 7 pada pengukuran ke-1 sampai dengan pengukuran ke-4,
selanjutnya sedikit menurun pada pengukuran ke-5, demikian halnya untuk dosis
standar Lingga (1992) atau dosis dolomit 2,0 Kg/m 2 menunjukkan nilai pH tanah
yang netral sejak 2 (dua) bulan setelah diberi kapur dolomit dan bertahan sampai
dengan 10 (sepuluh) bulan setelah diberi kapur dolomit dan bertahan mulai dari
pengukuran ke-1 sampai dengan pengukuran ke-3 memiliki nilai pH yang stabil
mencapai pH netral, tetapi pada pengukuran ke4 dan ke-5 nilai pH berubah
menjadi agak alkalis.
Setelah 10 (sepuluh) bulan dilakukan pengapuran dengan dolomit,
kandungan Ca mengalami penurunan sedangkan Mg mengalami kenaikan.
Kata kunci: Kapur Dolomit, Hutan Sekunder, pH, Ca, dan Mg.
RIWAYAT HIDUP
Sulaiman, lahir pada tanggal 10 Juni 1991, di Desa Atap,
Kecamatan Sembakung, Kabupaten Nunukan Provinsi
Kalimantan Timur. Merupakan anak ke 4 (empat) dari 4
(bersaudara) dari pasangan Bapak Moh. Idris dan Ibu
Nurjannah.
Memulai pendidikan pada tahun 1998 di Sekolah Dasar
Negeri 006 Desa Atap Kecamatan Sembakung lulus pada tahun 2004. Pada
tahun yang sama melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 01
Sembakung, lulus pada tahun 2007. Kemudian melanjutkan lagi ke Sekolah
Menengah Kejuruan Negeri 01 Nunukan dan lulus pada tahun 2010.
Tahun 2010 melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri di Samarinda, yaitu
Politeknik Pertanian Negeri Samarinda dan mengambil Jurusan Manajemen
Pertanian Program Studi Manajemen Hutan.
Pada tanggal 06 Maret sampai 06 Mei 2013 mengikuti kegiatan Praktek
Kerja Lapang (PKL) di PT. Swakarsa Sinarsentosa Kec. Muara Wahau Kab.
Kutai Tiimur.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala, Yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang, yang menguasai seluruh alam jagat raya, yang telah
melimpahkan rahmat-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah
ini tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Karya ilmiah ini disusun berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan di Hutan Sekunder Politeknik Pertanian Negeri
Samarinda dari bulan November 2012 sampai dengan bulan Januari 2013,
sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas akhir di Politeknik
Pertanian Negeri Samarinda dan mendapat sebutan Ahli Madya.
Penyelesaian karya ilmiah ini banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Ir. Noorhamsyah, MP selaku dosen Pembimbing karya Ilmiah.
2. Bapak Ir. Hasanudin, MP selaku Ketua Jurusan Manajemen Pertanian.
3. Bapak Ir. M. Fadjeri, MP selaku Ketua Program Studi Manajemen Hutan.
4. Seluruh staf pengajar Program Studi Manajemen Hutan Politeknik Pertanian
Negeri Samarinda.
5. Staf Administrasi dan Pranata Laboratorium Pendidikan (PLP) Program Studi
Manajemen Hutan.
6. Bapak dan Mama tercinta serta kakak yang memberikan doa, materi dan
motivasi.
7. Indriani Fransiska Dewi, Dedi Rahmat, Benyamin, Sayid Hamzah Hairid,
Moh. Adzri, Yasir Arafat, dan rekan-rekan lainnya mahasiswa Angkatan 2010
yang telah membantu selama penelitian dan membantu dalam penyelesaian
karya ilmiah.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan karya ilmiah ini masih
banyak
terdapat
kekurangan-kekurangan,
sehingga
penulis
sangat
mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan karya ilmiah ini. Namun
demikian penulis berharap agar karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.
Amin.
Sulaiman
Kampus Sei Keledang,
Pebruari 2013
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................
i
DAFTAR ISI..............................................................................................
ii
DAFTAR TABEL......................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
iv
DAFTAR LAM PIRAN...............................................................................
v
I.
PENDAHULUAN ...............................................................................
1
II.
TINJAUAN PUSTAKA......................................................................
A. Pengertian Tanah.........................................................................
B. Pembentukan Tanah....................................................................
C. Fungsi Tanah...............................................................................
D. Kimia Tanah.................................................................................
E. Kebutuhan Hara Tanaman……………………………………….....
F. pH Tanah...……………………………………………………………
G. Pentingnya pH Tanah………………………………………………..
H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi pH Tanah…………………….
I. Pengapuran Tanah...………………………………………………...
3
3
4
7
8
9
10
11
12
12
III. METODE PENELITIAN .....................................................................
A. Tempat dan Waktu Penelitian.......................................................
B. Alat dan Bahan............................................................................
C. Prosedur Kerja.............................................................................
D. Analisa Data................................................................................
20
20
20
21
22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................
A. Hasil.............................................................................................
B. Pembahasan................................................................................
23
23
24
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................
A. Kesimpulan..................................................................................
B. Saran...........................................................................................
28
28
28
DAFTAR PUSTAKA................................................................................
LAMPIRAN...............................................................................................
30
31
DAFTAR TABEL
Nomor
Tubuh Utama
Halaman
1.
Hasil Analisa pH Tanah Menggunakan Pelarut H2O (pH
H2O) dengan Dosis yang Berbeda........................................
23
Hasil Analisa Perkembangan Kandungan Kalsium (Ca)
Sampel Tanah dengan Berbagai Dosis Dolomit...................
24
Hasil Analisa Perkembangan Kandungan Magnesium (Mg)
Sampel Tanah dengan Berbagai Dosis Dolomit...................
25
2.
3.
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Lampiran
Halaman
1.
Kegiatan Perapihan Plot Penelitian......................................
36
2.
Pengambilan Sampel Komposit pada Plot Penelitian yang
Sudah dirapihkan..................................................................
36
3.
Pencampuran Sampel Komposit..........................................
36
4.
Pengambilan Sampel Komposit Untuk di Bawa Ke
Laboratorium.........................................................................
36
Kegiatan Penumbukan Sampel Komposit di
Laboratorium.........................................................................
37
Kegiatan Penyaringan Sampel Komposit di
Laboratorium.........................................................................
37
Kegiatan Penimbangan Sampel Komposit di
Laboratorium.........................................................................
37
Kegiatan Analisa pH dengan Menggunakan Alat
Handsprayer.........................................................................
38
9.
Kegiatan Mengguncang menggunakan Alat Shaker............
39
10.
Mengukur pH Tanah dengan Menggunakan pH Meter........
39
5.
6.
7.
8.
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1.
Kriteria Sifat Kimia Tanah Berdasarkan Lembaga Penelitian Tanah
33
Bogor 1990……………………………………………………………….
2.
Kondisi Keadaan Hujan Selama Penelitian........................................
34
1
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam rangka usaha meningkatkan produktivitas tanah sering dijumpai
berbagai kendala, khususnya masalah kesuburan tanahnya, dimana permasalahan
kemasaman tanah dan rendahnya unsur hara cukup menonjol. Dalam keadaan
demikian maka pertumbuhan dan perkembangan tanaman menjadi terbatas. Kondisi
demikian sering dijumpai pada jenis tanah ultisol (Anonim, 1973).
Tanah Ultisol merupakan jenis tanah yang mendominasi di Kalimantan dengan
luas 10,9 juta hektar dan mempunyai potensi untuk pengembangan lahan pertanian
mengingat berkurangnya lahan pertanian yang subur (Hakim, dkk. 1986).
Anonim (1973), mengemukakan bahwa salah satu sifat tanah ultisol yang
membatasi pertumbuhan tanaman adalah kandungan Al yang tinggi dan bersifat
racun bagi tanaman, di mana Al berkorelasi dengan reaksi tanah. Selanjutnya
dijelaskan bahwa, kondisi tanah di Kalimantan Timur umumnya adalah bersifat
masam, kandungan N dan P cukup rendah, kapasitas tukar kation rendah serta
kandungan besi, Alumunium beserta oksidanya cukup tinggi. Berdasarkan kondisi
demikian maka dalam pengelolaan tanah diperlukan usaha yang tepat dan sebaikbaiknya agar produktivitas tanah dapat dijaga sehingga tanaman dapat meningkat
pertumbuhannya.
Usaha yang dapat dilakukan antara lain adalah melakukan tindakan
pengapuran. Pengapuran secara umum adalah pemberian bahan-bahan kapur
dengan maksud untuk menaikkan pH tanah yang bereaksi asam menjadi mendekati
netral dengan nilai pH sekitar 6,5-7 (Soegiman, 1982 dalam Rismunandar, 1984).
2
Pengapuran juga dimaksudkan untuk menurunkan kejenuhan Al yang tinggi
sehingga
keracunan
akar
tanaman
dapat
ditekan.
Hardjowigeno
(1987)
mengemukakan bahwa untuk meningkatkan produktivitas tanah ultisol dapat
dilakukan dengan cara pengapuran.
Marzumah (2012) telah melakukan penelitian tentang pengapuran dolomit
dengan dosis yang berbeda (sesuai anjuran Lingga (1992) dan dosis rekayasa)
pada hutan sekunder kampus Politeknik Pertanian Negeri Samarinda. Telah
dilaporkan, bahwa pemberian dolomit memberikan pengaruh perbaikan nilai pH
tanah yang positif dari minggu ke minggu. Pertanyaan muncul ketika seminar
dilaksanakan, yaitu kapan pH tanah tersebut menjadi masam kembali jika dibiarkan
atau tanpa perlakuan apapun.
Berdasarkan gambaran di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang perubahan nilai pH tanah pada hutan sekunder Politeknik Pertanian Negeri
Samarinda setelah pemberian kapur dolomit dan dibiarkan.
Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjajaki bagaimana
perubahan nilai pH tanah hutan sekunder setelah dilakukan kegiatan pengapuran
dengan dosis sesuai anjuran Lingga (1992) dan dosis rekayasa (di atas anjuran dan
di bawah anjuran Lingga (1992).
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi
kepada pelaksana/pengelola lahan pertanian mengenai jangka waktu yang tepat
untuk melakukan tindakan pengapuran kembali, yaitu ketika tanah telah kembali
menunjukkan kemasamannya atau sebelum diberi kapur dolomit.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tanah
Banyak batasan (definisi) yang dibuat orang tentang tanah. Adakalanya
definisi itu singkat saja, namun adapula yang cukup panjang (Hakim, dkk.1986).
Schoeder (1972) dalam Hakim, dkk. (1986), mendefinisikan tanah sebagai
suatu sistem tiga fase yang mengandung air, udara, bahan-bahan mineral dan
organik serta jasad-jasad hidup, yang karena pengaruh berbagai faktor lingkungan
terhadap permukaan bumi dan kurun waktu, membentuk berbagai hasil perubahan
yang memiliki ciri-ciri morfologi yang khas, sehingga berperan sebagai tempat
tumbuh bermacam-macam tanaman.
Definisi ini juga bisa berkembang sesuai dengan bidang masing-masing.
Bagi seorang geologi, tanah adalah sebagian lapisan bumi yang teratas yang
berbentuk dari batu-batuan yang mengalami proses pelapukan. Bagi seorang ahli
pemetaan, tanah adalah sebagian hasil alam tiga dimensi yang teratur, tersusun
secara teratur dalam lapisan-lapisan tertentu dan terdiri dari batuan-batuan baik
yang telah lapuk maupun belum lapuk dan bahan-bahan organik. Bagi seorang ahli
pertanian, tanah adalah lapisan atas bumi yang terdiri dari bahan-bahan padat, air,
udara, dan jasad-jasad hidup yang secara sama-sama, yang merupakan medium
pertumbuhan untuk tanaman. Dari segi ini berarti bahwa tanah dipandang sebagai
alat produksi untuk menghasilkan tanaman yang diperlukan untuk manusia maupun
ternak dan bahan mentah untuk keperluan industri (Soedijanto, 1977).
4
Mula-mula pertama orang menganggap tanah sebagai alat produksi
pertanian, sehingga definisinya menyatakan tanah sebagai “medium alam bagi
tumbuhnya vegetasi yang terdapat di permukaan bumi” atau bentuk organik yang
ditumbuhi tumbuhan, baik tetap maupun sementara.
Menurut Soedijanto (1986), tanah diartikan sebagai suatu formasi organis
dan anorganis yang diwarnai oleh humus dan dihasilkan dari faktor-faktor
pembentukan tanah (ganesa tanah).
Bremmer (1958) dalam Soedijanto (1986), memberikan definisi bahwa
tanah adalah bagian permukaan kulit yang dijadikan oleh pelapukan kimia dan fisika
dan kegiatan berbagai tumbuhan dan hewan.
Suatu definisi yang sangat berbeda dikemukakan oleh seorang ahli bernama
Stebutt (1990) dalam Soedijanto (1986), di mana definisi tersebut mencakup
semua sifat tanah yang sangat komplek.
Mengingat luasnya pengertian tanah, Darmawijaya (1990), mendefinisikan
tanah adalah akumulasi tubuh alam bebas, menduduki sebagian besar permukaan
planet bumi yang mampu menumbuhkan tanaman dan memiliki sifat sebagai akibat
pengaruh iklim dan jasad hidup yang bertindak sebagai bahan induk dalam keadaan
relief tertentu selama jangka waktu tertentu pula.
B. Pembentukan Tanah
Apabila kita menggali lubang pada tanah, maka kalau kita perhatikan dengan
teliti pada masing-masing sisi lubang tersebut akan terlihat lapisan-lapisan tanah
yang mempunyai sifat berbeda-beda. Lapisan tersebut terbentuk karena dua hal
yaitu:
5
1. Pengendapan yang berulang-ulang oleh pengendapan air.
Apabila air genangan tersebut masih mengalir dengan kecepatan tinggi maka
hanya butiran-butiran kasar seperti pasir, kerikil yang dapat diendapkan. Bila air
yang menggenang tidak mengalir lagi maka butiran-butiran halus seperti liat atau
debu mulai diendapkan. Tanah-tanah dengan endapan berlapis-lapis ini umumnya
ditemukan di sekitar sungai di daerah-daerah dataran banjir atau teras.
2. Proses pembentukan tanah
Proses pembentukan tanah dimulai dari proses pelapukan batuan induk
menjadi bahan induk tanah, pembentukan struktur tanah, pemindahan bahan-bahan
tanah dari bagian atas ke bagian bawah dan sebagai proses lain yang dapat
menghasilkan horizon-horizon tanah. Horizon tanah adalah lapisan-lapisan tanah
yang berbentuk karena hasil dari proses pembentukan tanah. Proses pembentukan
horizon-horizon tersebut akan menghasilkan benda alam baru yang disebut tanah
(Hardjowigeno, 1987).
Menurut Darmawijaya (1990), syarat utama terbentuknya tanah ada dua
yaitu:
1) Tersedianya bahan asal
2) Adanya faktor yang mempengaruhi bahan asal
Bahan asal tanah dalam istilah ilmu tanah dinamakan bahan induk yang
berwujud batu-batuan, mineral-mineral dan zat organik.
a. Iklim
b. Kehidupan
c. Bahan induk
6
d. Topografi dan
e. Waktu
Dari semua faktor di atas yang terbesar pengaruhnya adalah iklim. Iklim
menentukan waktu yang terjadi sebagai contoh, suhu dan curah hujan berpengaruh
besar pada kecepatan kimia dan fisika, yaitu proses yang mempengaruhi
perkembangan profil. Karena itu jika diberi cukup kesempatan, pengaruh iklim
akhirnya menguasai gambaran pembentukan tanah (Buckman dan Brady, 1982).
Lamanya waktu yang diperlukan untuk pembentukan tanah berbeda-beda.
Tanah yang berkembang dari batuan yang keras memerlukan waktu yang lebih lama
untuk pembentukan tanah dibandingkan dengan bahan yang berasal dari bahan
induk yang lunak dan lepas. Dari bahan induk vulkanik lepas seperti abu gunung
berapi, dalam waktu kurang dari 100 tahun telah terbentuk tanah muda. Tanah
dewasa dapat terbentuk alur waktu 1.000-10.000 tahun seperti halnya tanah
spodosol di Alaska yang berkembang dari bahan induk berpasir (100 tahun) dan
tanah molisol di Amerika serikat yang berkembang dari bahan induk berlempung
lepas (10.000 tahun). Tanah yang berasal dari abu gunung Krakatau letusan tahun
1883, membentuk horizon setebal 25 cm selama 100 tahun (1883-1983). Di tempattempat yang terjadi erosi ketebalan horizon A hanya mencapai 5 cm atau kurang
(Hardjowigeno, 1993).
C. Fungsi Tanah
Sebagai alat produksi tanah, tanah mempunyai empat peranan yang penting:
a. Sebagai tempat penegak tanaman.
b. Sebagai gudang air bagi tanaman.
7
c. Menyediakan udara bagi pernapasan akar tanaman.
d. Merupakan gudang unsur hara tanaman.
Kalau kita mengambil segumpal tanah dan mengamatinya dengan seksama,
terlihat bahwa tanah terdiri dari: bahan padat, air, rongga udara dan jasad-jasad
hidup. Bahan padat dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bahan organik dan
anorganik. Bahan organik adalah bagian tumbuh-tumbuhan mati, jasad-jasad hidup
yang mati serta humus. Bahan organik adalah pecahan batuan dan garam-garam
mineral.
Bahan dari tanah yang terdiri dari butiran-butiran yang berbeda ukurannya
seperti kerikil, pasir, debu, dan tanah liat bersama dengan bahan organik tanah
terdapat dalam susunan tertentu. Susunan ini membentuk rongga yang terisi air dan
sisa udara, keduanya sangat penting bagi tanaman.
Liat dan humus adalah kedua komponen tanah yang aktif, memegang
peranan penting sebagai gudang penyimpanan dan mengatur pelepasan unsur hara
tanaman.
Peranan tanah ini tidak mungkin dapat dijalankan tanpa adanya jasad-jasad
hidup yang membantu melancarkan fungsi tanah tersebut. Biasanya makin subur
tanah, makin tinggi populasi, dan makin beranekaragam jasad hidup di dalam tanah
ini. Jasad hidup ini dapat menyusun bahan organik baru melepaskan unsur hara dan
memperbaiki peredaran udara dalam tanah dengan membuat tanah menjadi
gembur.
Susunan gizi tanaman sebagian ditentukan oleh kesuburan tanah, sehingga
makin baik tanah, maka semakin tinggi susunan gizi tanaman dan dengan demikian
8
juga makin sehat manusia serta ternak yang memakan hasil tanaman ini (Tjwan,
1965).
D. Kimia Tanah
Komponen kimia tanah berperan terbesar dalam menentukan sifat dan ciri
tanah umumnya dan kesuburan tanah pada khususnya. Uraian kimia tanah dalam
hal ini bertujuan untuk menjelaskan reaksi-reaksi kimia yang menyangkut masalahmasalah ketersediaan unsur hara bagi tanaman. Untuk mencapai tujuan tersebut,
maka pembicaraan kita akan dibatasi pada hal-hal yang berkaitan erat dengan
masalah penyerapan dan pertukaran kation, sifat sanggaan tanah, reaksi tanah
serta pengelolaannya (Hakim, dkk. 1986).
Unsur-unsur kimia dalam tanah yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman
hanya sebagian saja. Unsur-unsur kimia yang diperlukan itu lazim disebut unsur
hara. Biasanya jumlah unsur hara dalam tanah yang tersedia bagi pertumbuhan
tanaman adalah terbatas. Ada kalanya banyak terdapat dalam tanah akan tetapi
tidak dapat diambil oleh akar dan juga tidak semua unsur kimia yang terdapat dalam
tanah diperlukan tanaman (Tjwan, 1965).
E. Kebutuhan Hara Tanaman
Tanaman
dengan
menggunakan
tenaga
matahari
dapat
mengubah
karbondioksida dari udara dan air tanah menjadi zat gula. Hal ini berlangsung pada
proses fotosintesa yaitu suatu proses yang terjadi dalam butiran-butiran hijau
tanaman dan berjalan sebagai berikut:
9
6 CO2+12H2O_____6(CH2O) + 6O2+6H2O Karbondioksida air tenaga matahari gula
oksigen air (Meller, 1983).
Tanaman tidak hidup hanya dari karbondioksida dan air saja, di samping itu
untuk pertumbuhannya diperlukan juga unsur hara yang diambil oleh akar dari
tanaman dari tanah. Unsur hara ini meskipun jumlahnya dalam tubuh tanaman
hanya sedikit, 2 – 10 % dari berat tanaman, akan tetapi peranannya ragam dan
penting sekali.
Untuk pertumbuhan yang sehat, tiap tanaman memerlukan paling sedikit 18
unsur hara esensial yaitu oksigen (O), Karbon (C), Hidrogen (H), Pospor (P),
Belerang (S), Kalium (K), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Besi (Fe), Mangan (Mn),
Seng (Zn), Tembaga (Cu), Molibdenum (Mo), Boron (B), Clor (CI), Cobal (Co) dan
Silisium (Si) (Tisdale dan Nelson,1956).
Unsur-unsur esensial ini harus cukup jumlahnya di dalam tanah. Bila
jumlahnya kurang atau dalam keadaan tidak dapat diambil oleh akar tanaman, maka
tanaman tumbuh merana dan lama kelamaan bisa menyebabkan kematian bagi
tanaman itu sendiri.
F. pH Tanah
Menurut Tjwan (1965), pH tanah adalah salah satu ukuran aktivitas ion
Hidrogen dalam larutan air tanah dan dipakai sebagai ukuran bagi kemasaman
tanah. Harga pH adalah logaritma dari harga kebalikan konsentrasi ion Hidrogen
dinyatakan dalam rumus berikut :
pH =log [H+] atau – log [H+]
10
Bila konsentrasi H+= HO, maka dikatakan pH tanah beraksi netral dan
dinyatakan sebagai pH = 7,0. Bila konsentrasi H+ lebih besar, dinyatakan tanah
bereaksi masam, tanah ini kaya akan ion Hidrogen dengan pH-nya lebih rendah dari
7,0. Bila konsentrasi OH- lebih tinggi dari ion H+, dikatakan tanah tersebut bereaksi
alkalis dengan harga pH-nya diatas 7,0. Kebanyakan tanah, harga pH-nya berkisar
antara pH 4,0 – 10,0.
Reaksi tanah (pH tanah) dikatakan juga sebagai suatu parameter petunjuk
keaktifan ion H+ dalam suatu larutan yang berkeseimbangan dengan OH- tidak
terdisosiasi dari senyawa-senyawa yang larut dan tidak larut yang ada di dalam
sistem (Purwowidodo, 1989).
Dalam pedon terdapat kepekatan ion-ion Hidrogen (H+) dan ion-ion Hidroksil
(OH-). Jadi pH tanah dapat dikatakan sebagai kepekatan tanah akan ion Hidrogen
dan ion Hidroksil. Jika ion H+ lebih besar konsentrasinya dari pada ion OH- maka
tanah tersebut masam dan jika ion H+ lebih kecil dari ion OH- maka tanah tersebut
basa, sedangkan jika jumlah ion H+ dan ion OH- seimbang maka tanah itu netral
(Suryatna, 1982).
Menurut Soedijanto, dkk. (1984), sumber utama ion H ialah humus dan liat,
dalam air tanah berdisosiasi membentuk ion-ion Hidrogen (H+) dan Hidroksida (OH-)
sebagai berikut:
H2O _ H++ OH
Rismunandar (1984), mengungkapkan bahwa derajat kemasaman maupun
kebasaan dikenal berdasarkan urutan skalanya sebagai berikut:
•
pH 10 – 9 berarti sangat basa/alkalis
11
•
pH = 8 berarti alkalis
•
pH = 7 berarti netral
•
pH = 6 berarti sedikit masam
•
pH = 5 berarti masam sedang
•
pH = 4 berarti masam benar
•
pH = 3 berarti sangat masam
G. Pentingnya pH Tanah
a.
Menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap oleh tanaman. Pada
umumnya unsur hara mudah diserap akar tanaman pada pH tanah sekitar
netral, karena pada pH tersebut kebanyakan unsur hara mudah larut dalam air.
b.
Menunjukkan adanya kemungkinan unsur-unsur beracun. Pada tanah yang
masam, unsur mikro mudah larut, sehingga pada tanah yang tersebut
ditemukan unsur mikro yang jumlahnya terlalu banyak. Unsur mikro adalah
unsur hara yang diperlukan tanaman dalam jumlah yang sangat kecil. Sehingga
menjadi racun kalau terdapat jumlah yang terlalu besar. Unsur mikro dalam jenis
ini antara lain yaitu: Fe, Mn, Zn, Cu dan Co.
c. Mempengaruhi perkembangan mikroorganisme
•
bakteri berkembang baik pada pH 5,5 atau lebih.
•
Jamur dapat berkembang dengan baik pada segala tingkat kemasaman
tanah, pada pH lebih dari 5,5 jamur harus bersaing dengan bakteri.
•
Bakteri pengikat Nitrogen dari udara dan bakteri nitirifikasi hanya dapat
berkembang dengan baik pada pH lebih dari 5,5.
12
H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi pH Tanah
Menurut Buckman dan Brady (1982) dalam Hamzah (1982), nilai pH tanah
sebenarnya dipengaruhi oleh sifat dan ciri tanah yang komplit sekali, namun yang
paling menonjol antara lain:
a. Kejenuhan Basa
b. Sifat Koloid
c. Macam Kation yang diserap
Untuk tanah yang terlalu masam dapat dinaikkan pH-nya dengan
menambahkan kapur ke dalam tanah, sedangkan pH tanah yang terlalu alkalis dapat
diturunkan pH-nya dengan penambahan belerang.
I. Pengapuran Tanah
Pengapuran yang dimaksud untuk menaikkan pH tanah dilaksanakan
dengan cara memberikan senyawa Kalsium (Ca) ke dalam tanah. Dengan
dilaksanakan pengapuran, diharapkan pH tanahnya yang semula asam akan
berubah menjadi lebih tinggi sampai mendekati netral.
Menurut Hamzah (1982), yang dimaksud dengan kapur adalah setiap bahan
yang mengandung Kalsium dan Magnesium yang dapat diberikan kepada tanah
guna menaikkan pH tanah.
Hardjowigeno (1987), mengemukakan bahwa pemberian kapur berguna
untuk:
1. Menaikan pH tanah
2. Menambah unsur-unsur Ca dan Mg
13
3. Menambahkan ketersediaan unsur P dan Mo
4. Mengurangi keracunan Fe, Mn, dan Al
5. Memperbaiki kehidupan mikroorganisme dan memperbaiki pembentukan bintilbintil akar.
Menurut Buckman dan Brady (1982), pengapuran berpengaruh terhadap
tanah dalam tiga hal:
1. Pengaruh Fisik
Pada tanah selalu ada kecenderungan bagi butiran halus bergabung terlalu
rapat, keadaan demikian menghambat gerakan air dan udara di dalam tanah, karena
itu diperlukan perbutiran. Pengaruh kapur terhadap gaya biotik sangat besar
terutama yang mempengaruhi pelapukan bahan organik dan pembentukan humus.
2. Pengaruh Kimia
Pengaruh pengapuran pada tanah menyebabkan:
1). Konsentrasi ion-ion H+ akan turun
2). Kelarutan Besi, Alumunium dan Mangan akan turun
3). Ketersediaan Pospor dan Molibdenum akan bertambah
4). Kalsium dan Magnesium yang dapat tertukar akan meningkat
5). Presentase Kejenuhan Basa akan meningkat
6). Ketersediaan Kalsium dapat meningkatkan atau pun menurun tergantung
pada keadaan.
3. Pengaruh Biologi
Menurut Supardi (1975), pengapuran pada tanah dapat merangsang
kegiatan organisme tanah sehingga akan meningkatkan bahan organik. Nitrogen
14
dalam tanah membantu mengurangi hasil perombakan bahan organik yang bersifat
racun.
Menurut Lingga (1992), untuk menetralkan tanah diperlukan dolomit dengan
jumlah sebagai berikut :
Tabel 1. Jumlah Dolomit yang Diperlukan Untuk Menetralkan pHTanah
pH Tanah
Jumlah Dolomit (Ton/ Ha)
4,0
10,74
4,1
9,76
4,2
9,28
4,3
8,83
4,4
8,34
4,5
7,87
4,6
7,39
4,7
6,91
4,8
6,45
4,9
5,98
5,0
5,44
5,1
5,02
5,2
4,54
5,3
4,08
5,4
3,60
5,5
3,12
5,6
2,65
5,7
2,17
5,8
1,69
5,9
1,23
6,0
0,25
15
Bahan pengapur yang sering digunakan dewasa ini bermacam-macam,
bahan yang dimaksud adalah: batu kapur (kalsium-karbonat,CaCO3),
Kapur bakar (CaO) atau kapur mati Ca(OH)2). Selain itu dapat pula digunakan
bahan pengapuran yang berupa senyawa kalium dan lainnya seperti fosfat
(Ca)H2PO4)2), Kalsium-Sulfat (CaSO4) dan bahan kulit kerang (oyter shells).
Di Indonesia bahan pengapur yang banyak digunakan adalah tepung batu
kapur, yang dikenal dengan sebutan batu kapur pertanian (Setyamidjaja, 1986).
Hakim, dkk. (1986) mengungkapkan bahwa bahan pengapuran terdiri dari
beberapa macam yaitu:
a. Kapur Karbonat
Kapur ini diperoleh dengan menggiling
batu kapur kalsit (CaCO3) atau
dolomit (CaMg(Co3)2) hingga kehalusan tertentu. Reaksinya relatif lambat,
karenanya dapat bermanfaat dalam waktu yang relatif lama dan bahan ini banyak
dipakai sebagai kapur pertanian.
b. Kapur oksida
Kapur ini diperoleh dengan membakar batu kapur kalsit dan dolomit,
sehingga diperoleh kapur bakar atau kapur sirih (CaO atau MgO). Kemurnian kapur
ini berkisar antara 85–95% dan reaksinya jauh lebih cepat bila dibandingkan dengan
kapur giling
sehingga tidak tahan lama dalam tanah. Proses pembakaran batu
kapur ini dapat dilukiskan sebagai berikut:
CaCO3+ panas ______ CaO +Co2
CaMg(CO2)2 + panas _________ CaO + MgO + 2 Co2
16
c. Kapur Hidroksida
Bahan ini dikenal sebagai kapur tembok dan diperoleh dengan menambah
air pada batu kapur yang sudah dibakar. Reaksi berikut merupakan pembentukan
kapur tembok:
CaO +MgO + 2H2O________ Ca(OH)2 + Mg (OH)2
Kemurnian bahan ini sekitar 95% dan reaksinya dalam tanah juga cepat.
d. Senyawa Kalsium lainnya
Senyawa Kalsium Khlorida (CaCl2) dan Kalsium Sulfat ( CaSO4) ternyata
tidak dapat digunakan untuk tujuan pengapuran. Biasanya bahan ini digunakan
untuk tujuan menambah unsur Ca sebagai hara tanaman dan tidak untuk mengubah
pH tanah.
Hardjowigeno (1987) menambahkan bahwa bahan pengapur terdiri dari 4
macam:
1. Kapur Kasit (CaCo3)
Terdiri dari batu kapur kalsit yang ditumbuk (digiling) sampai kehalusan
tertentu.
2. Kapur Dolomit (CaMg(CO3)2)
Terdiri batu kapur dolomit yang ditumbuk (digiling) sampai kehalusan tertentu
3. Kapur Bakar, Qaick Line (CaO)
Merupakan batu kapur yang dibakar sehingga terbentuk CaO
CaCo3 + panas __________________ Ca (OH)2 + panas
dibakar
kapur hidrat
17
Untuk memperoleh hasil yang baik dalam menggunakan bahan pengapuran
hendaknya diusahakan agar bahan yang digunakan dapat segera tampak
pengaruhnya pada tanah. Untuk maksud tersebut, kapur yang digunakan harus
memiliki ukuran yang halus (Setyamidjaja, 1986).
Cara pengapuran dengan bahan pengapuran pada lahan pertanian pada
umumnya menggunakan dua cara yaitu:
a. Cara disebar
Sebulan sebelum dilaksanakan penanaman, bahan pengapur diberikan
dengan jalan disebar merata di permukaan tanah. Pada pengolahan tanah terakhir
kapur diaduk agar masuk ke dalam lapisan tanah.
Cara pemberian kapur dengan disebar biasanya dilaksanakan pada
penanaman kedelai, dengan menggunakan dosis 2 – 4 ton kapur mati per hektar.
b. Cara disemprotkan
Menurut Suryatna (1976) pemberian Kalsium dapat meningkatkan hasil
nyata pada lahan-lahan yang miskin Kalsium. Pada tanaman kacang tanah,
berkualitas tinggi.
Cukup tersedianya Ca di dalam tanah akan memberikan pertumbuhan
vegetatif yang baik, pertumbuhan polong yang optimal, putih dan bersih penuh.
Kalsium dapat langsung dihisap oleh polong yang sedang berkembang dan untuk
pertumbuhan biji.
18
Cara yang terbaik untuk memberikan Ca pada polong yang sedang
berkembang adalah dengan menyemprotkan tepung gipsun halus (CaSO4. 2H2O)
sebanyak 300 – 500 kg/ha kepada tanaman kacang tanah. Gipsun akan jatuh di
sekitar daerah pembentukan polong dan Ca akan tersedia pada saat yang
dibutuhkan (Setyamidjaja, 1986).
19
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di hutan sekunder Politeknik Pertanian Negeri
Samarinda, sedangkan waktu penelitian dimulai 06 November 2012 sampai dengan
01 Januari 2013, meliputi studi literatur, orientasi lapangan, persiapan penelitian,
perapihan plot penelitian, pengambilan sampel tanah untuk analisa pH tanah, Ca
dan Mg dan penulisan karya ilmiah.
B. Bahan dan Peralatan Penelitian
1. Bahan penelitian yang digunakan adalah sampel tanah dari plot penelitian
pendahulu yang telah diberi perlakuan kapur dolomit pada bulan Januari 2012.
2. Alat penelitian
Alat penelitian yang digunakan di lapangan meliputi:
1. Cangkul, untuk memperbaiki plot penelitian.
2. Ember, untuk tempat mengaduk sampel komposit.
3. Meteran, untuk mengukur ulang plot penelitian.
4. Plastik tebal, untuk penomoran ulang plot penelitian.
5. Tali rapia, untuk meluruskan kembali batas plot penelitian.
6. Plastik gula, untuk tempat sampel tanah komposit yang akan diuji di
laboratorium.
Sedangkan alat yang digunakan di laboratorium meliputi:
1. Seperangkat alat yang digunakan untuk analisa pH.
2. Seperangkat alat yang digunakan untuk analisa Ca, dan Mg.
20
C. Prosedur Kerja
1. Studi literatur
Mengumpulkan beberapa referensi peneliti pendahulu dan referensi lainnya yang
terkait dengan topik penelitian yang dilakukan.
2. Persiapan penelitian
Meliputi kegiatan orientasi lokasi penelitian, menyiapkan alat dan bahan
penelitian serta membersihkan plot yang akan digunakan untuk penelitian.
3. Perbaikan plot penelitian
Kegiatan ini meliputi:
- perbaikan batas plot, yaitu memasang tali rapia pada keempat patok di sudut
plot penelitian dengan ukuran 2 x 1 meter sebanyak 3 plot.
- membersihkan permukaan plot penelitian dari serasah seperti daun, ranting
ataupun cabang dari pohon sekitar plot penelitian.
4. Pengambilan sampel tanah komposit
Pengambilan sampel tanah komposit dilakukan secara periodik setiap 2 minggu
sekali selama 2 (dua) bulan atau 5 (lima) kali dan setiap sampel komposit
diwakili oleh 5 titik sampel pewakil, yaitu 4 titik di bagian sudut plot dan satu titik
pada tengah garis diagonal plot .
21
Adapun tata letak masing-masing plot adalah seperti gambar berikut ini:
C
B
5 Meter
3 Meter
D
Keterangan:
B= Plot untuk dosis dolomit di bawah standar Lingga (1992)
C= Plot untuk dosis dolomit sesuai standar Lingga (1992)
D= Plot untuk dosis dolomit di atas standar Lingga (1992)
5. Analisa di laboratorium
Perubahan pH tanah, kandungan Ca dan Mg dari sampel komposit dilakukan
analisa di Laboratorium Tanah dan Air Politeknik Pertanian Negeri Samarinda,
sebanyak 5 (lima) kali setiap 2 minggu sekali.
D. Analisa Data
Hasil analisa laboratorium terhadap perubahan pH tanah, kandungan Ca,
dan Mg dianalisa secara deskriptif dengan cara menyampaikan hubungan antara
perubahan pH tanah dan kandungan Ca, serta Mg satu sama lain.
22
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Pada plot penelitian, baik pada plot B, plot C dan plot D di sekitarnya terdapat
penutupan lahan berupa pohon karet, pohon durian, pohon aren, rotan dan semak
belukar.
Berdasarkan hasil analisa sampel tanah di Laboratorium Tanah, Air dan Udara
Politeknik Pertanian Negeri Samarinda tentang perubahan pH tanah 10 (sepuluh)
bulan setelah dilakukan pengapuran dolomit ditampilkan pada pada Tabel 1. berikut:
Tabel 1. Hasil Analisa pH Tanah Menggunakan Pelarut H2O (pH H2O) dengan
Dosis yang Berbeda.
Plot
Dosis
Dolomit
(Kg/m2)
pH
Tanah
Awal
1
2
3
4
5
B
0,5
5,66
6,55
6,47
6,45
6,36
4,80
C
0,908
6,57
7,14
7,23
7,44
7,47
6,57
D
2,0
6,63
7,28
7,31
7,41
7,66
7,81
Pengukuran pH Ke…
Keterangan: - pH tanah awal adalah nilai pH akhir dari
peneliti pendahulu
(Marzumah, 2012).
- 0,5 Kg adalah Dosis di bawah Standar Lingga (1992).
- 0,908 Kg adalah sesuai Dosis Standar Lingga (1992).
- 2,0 Kg adalah Dosis di atas Standar Lingga (1992).
- Pengukuran pH dilakukan setiap 2 minggu sekali.
23
Sedangkan hasil analisa di laboratorium tentang kandungan Kalsium seperti
pada Tabel 2. Berikut:
Tabel 2. Hasil Analisa Perubahan Kandungan Kalsium Sampel Tanah dengan
Berbagai Dosis Dolomit.
Plot
Dosis
Kandungan
Dolomit
Ca Awal
Pengukuran Ca Ke…
Rata-rata
1
2
3
4
5
(kg)
(me/100 g)
B
0,5
13,14870
0,52
0,35
0,59
0,58
0,51
0,51
C
0,908
14,65170
0,59
0,53
0,49
0,68
0,55
0,568
D
2,0
17,78942
0,46
0,43
0,38
0,58
0,45
0,46
Hasil analisa di laboratorium tentang kandungan Magnesium ditampilkan
pada Tabel 3. Berikut:
Tabel 3. Hasil Analisa Perubahan Kandungan Magnesium Sampel Tanah dengan
berbagai Dosis Dolomit.
Plot
Dosis
Kandungan
Dolomit
Mg Awal
Pengukuran Mg Ke…
Rata-rata
1
2
3
4
5
(kg)
(me/100 g)
B
0,5
2,233
3,64
10,00
3,64
4,35
5,26
5,378
C
0,908
2,21180
3,85
3,85
6,25
5,26
6,06
5,054
D
2,0
2,437
5,88
5,88
7,69
6,25
7,69
6,678
B. Pembahasan
Pada Tabel 1. di atas menunjukkan bahwa, 2 (dua) bulan setelah
dilakukannya pengamatan dengan pengapuran dolomit, ternyata untuk dosis dolomit
di bawah standar Lingga (1992) atau dosis 0,5 kg per m2 belum mencapai pH
netral. Perlakuan dosis dolomit di bawah standar Lingga (1992) ini baru mencapai
24
pH netral delapan (8) bulan setelah pengapuran dolomit oleh peneliti pendahulu
atau pada pengukuran ke-1 oleh peneliti, dan pH netral ini
relatif stabil sampai
dengan pengukuran ke-4 atau 9 bulan 2 minggu setelah pengapuran dolomit, lalu
mengalami penurunan pada pengukuran ke-5 atau sepuluh (10) bulan setelah
pengapuran dolomit. Untuk dosis sesuai standar Lingga (1992) atau dosis 0,908 kg
per m2 telah mencapai pH netral pada 2 (dua) bulan setelah pengapuran dolomit dan
masih dapat mempertahankan nilai pH tanah yang netral sampai dengan 10
(sepuluh) bulan kemudian, bahkan menunjukkan angka yang lebih meyakinkan yaitu
mencapai angka 7 pada pengukuran ke-1 sampai dengan pengukuran ke-4,
selanjutnya sedikit menurun pada pengukuran ke-5. Demikian halnya untuk dosis di
atas standar Lingga (1992) atau dosis 2 kg per m2 menunjukkan kecenderungan
yang sama dengan yang diperlihatkan oleh dosis sesuai standar Lingga (1992) yaitu
memiliki nilai pH tanah yang netral sejak 2 (dua) bulan setelah pengapuran dolomit,
dan bertahan sampai dengan 10 (sepuluh) bulan setelah pengapuran dolomit, yaitu
mulai pengukuran ke-1 sampai dengan pengukuran ke-5 memiliki nilai pH tanah
yang stabil mencapai pH netral.
Kandungan unsur Kalsium, 10 (sepuluh) bulan setelah dilakukan pengapuran
dolomit,
keseluruhan
plot
penelitian
(semua
dosis
dolomit)
menunjukkan
kecenderungan yang sama yaitu menurun drastis. Kandungan Kalsium (Ca)
awalnya pada plot dengan dosis di bawah standar Lingga (1992) 10 (sepuluh) bulan
setelah dilakukan pengapuran dolomit sebesar 13,14870 Me/100gr, jika dimasukkan
ke dalam sifat kimia tanah menurut LPT Bogor (1990) tergolong klasifikasi tinggi,
tetapi 10 (sepuluh) bulan setelah dilakukan pengapuran dolomit menjadi menurun
25
kandungannya dan tergolong sangat rendah. Dengan menggunakan dosis sesuai
standar Lingga (1992), 10 (sepuluh) bulan setelah dilakukan pegapuran dolomit,
pada awalnya sebesar 14,65170 Me/100gr, jika dimasukkan ke dalam sifat kimia
tanah menurut LPT Bogor (1990) tergolong klasifikasi tinggi, tetapi 10 (sepuluh)
bulan setelah dilakukan pengapuran dolomit menurun kandungannya dan tergolong
sangat rendah. Demikian juga untuk dosis di atas Lingga (1992), pada awalnya
kandungan Kalsium (Ca) nya sebesar 17,78942 Me/100gr. Jika dimasukkan ke
dalam sifat kimia tanah menurut LPT Bogor (1990) tergolong klasifikasi tinggi, tetapi
10 (sepuluh) bulan setelah dilakukan pengapuran dolomit menurun kandungannya
dan tergolong sangat rendah.
Berbeda dengan yang terjadi pada perubahan kandungan unsur Kalsium
(Ca), ternyata yang terjadi pada Magnesium (Mg) adalah sebaliknya yaitu 10
(sepuluh) bulan setelah dilakukan pengapuran dolomit mengalami penambahan
yang signifikan, Kandungan awal Magnesium (Mg) pada dosis di bawah standar
Lingga (1992) adalah sebesar 2,233 Me/100gr Jika dimasukkan ke dalam sifat kimia
tanah menurut LPT Bogor (1990) tergolong klasifikasi tinggi, tetapi 10 (sepuluh)
bulan setelah dilakukan pengapuran dolomit mengalami kenaikan kandungannya,
tetapi tidak merubah status atau klasifikasinya, yaitu tetap tinggi. Kandungan awal
Magnesium (Mg) pada dosis standar Lingga (1992) adalah sebesar 2,21180
Me/100gr. Jika dimasukkan ke dalam sifat kimia tanah menurut LPT Bogor (1990)
tergolong klasifikasi tinggi, tetapi 10 (sepuluh) bulan setelah dilakukan pengapuran
mengalami kenaikan kandungannya, tetapi tidak merubah status atau klasifikasinya,
yaitu tetap tinggi. Sedangkan kandungan awal Magnesium (Mg) pada dosis di atas
26
standar Lingga (1992) adalah sebesar 2,437 Me/100gr. Jika dimasukkan ke dalam
sifat kimia tanah menurut LPT Bogor (1990) tergolong klasifikasi tinggi, tetapi 10
(sepuluh) bulan setelah dilakukan pengapuran mengalami kenaikan kandungannya,
tetapi tidak merubah status atau klasifikasinya, yaitu tetap tinggi.
Dari rumus senyawa kimia dolomit (Ca Mg (CO3)2). menunjukkan
kandungan yang berimbang antara unsur Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg) pada
kapur dolomit. Perubahan kandungan antara unsur Kalsium dan Magnesium (Mg)
akibat dari faktor di luar kapur dolomit. Secara teoritis dapat diterangfkan bahwa
unsur Ca memang lebih mudah terikat dengan unsur lain di dalam tanah
dibandingkan dengan unsur Mg.
Kandungan Magnesium lebih besar dibandingkan dengan kandungan
Kalsium (Ca), diduga karena penambahan unsur Magnesium (Mg) di lahan
penelitian, secara alami bertambah dan sukar terikat dengan unsur lainnya, maka
secara kuantitas kandungannya semakin besar dibandingkan unsur Kalsium (Ca).
Ada kecenderungan semakin banyak dosis dolomit yang diberikan maka semakin
banyak pula kandungan Magnesium pada tanah, tetapi diduga ada pengaruh
penambahan Magnesium (Mg) secara alami yang mempengaruhi nilai Magnesium
(Mg) pada masing-masing plot penelitian.
27
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Dosis dolomit 2,0 Kg/m2 yang diberikan ke dalam tanah, sama cepatnya dengan
dosis dolomit 0,908 Kg/m2 untuk merubah nilai pH tanah mencapai netral, tetapi
untuk mempertahankan nilai pH tanah dalam keadaan netral lebih lama dengan
dosis 2,0 Kg/m2 dibandingkan dengan dosis dolomit 0,908 Kg/m2.
2. Dosis dolomit 0,5 Kg/m2 mencapai pH netral 12 bulan setelah dilakukan
pengapuran dolomit.
3. Dosis dolomit 0,908 Kg/m2 mencapai netral 2 bulan setelah dilakukan pengapuran
dolomit dan mengalami penurunan 12 bulan setelah pengapuran dolomit.
4. Dosis dolomit 2,0 Kg/m2 mencapai netral 2 bulan setelah dilakukan pengapuran
dolomit dan tetap stabil netral mulai dari pengukuran ke-1 sampai dengan
pengukuran ke-3, tetapi pada pengukuran ke4 dan ke-5 nilai pH berubah menjadi
agak alkalis.
B. Saran
1. Dosis dolomit yang efisien adalah yang menggunakan 0,908 Kg/m2, sehingga
disarankan untuk menerapkannya pada perbaikan nilai pH tanah.
2. Setelah melakukan tindakan pengapuran dengan dolomit, maka perlu dilakukan
pengapuran ulang setelah 10 – 12 bulan kemudian.
28
3. Penelitian lanjutan untuk mengetahui perkembangan lebih lanjut terhadap nilai pH
tanah pada plot penelitian perlu dilakukan agar memperoleh informasi yang lebih
komprehensif.
29
DAFTAR PUSTAKA
ANONIM, 1973. Dasar-dasar Bercocok Tanam I. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
ANONIM, 1990. Sifat-sifat Kimia Tanah. LPT Bogor.
BUCKMAN, H.O dan N.C BRADY. 1982. Ilmu Tanah. Bharata Karya Aksara.
Jakarta.
DARMAWIJAYA, M.I. 1990. Klasifikasi Tanah. Dasar Teori Bagi Penelitian Tanah
Dan Pelaksanaan Pertanian di Indonesia, Fakultas Pertanian Universitas
Gajah Mada.
HAKIM, N. DKK. 1986. Dasar-dasar ilmu Tanah. Penerbit Universitas Lampung.
HAMZAH, Z. 1982. Ilmu Tanah Hutan. Diktat Kuliah Fakultas Kehutanan Unmul,
Samarinda.
HARDJOWIGENO, S. 1987. Ilmu Tanah. Penerbit PT. Mediatama Sarana Perkasa
Jakarta.
HARDJOWIGENO, S. 1993. Klasifikasi dan Pedogenesia. Akedemik Pressindo.
Jakarta.
HARTININGSIH, 2009. Struktur Komunitas Pohon Pada Tipe Lahan yang Dominan
di Desa Lubuk Beringin, Kabupaten Bungo, Jambi. Skripsi Sarjana Biologi.
ITB, Bandung.
LINGGA, P. 1992. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penerbit PT. Penebar Swadaya
Anggota IKAPI. Jakarta.
MARZUMAH, 2012. Studi Tentang Pemberian Kapur Dolomit Dengan Dosis
Berbeda Di Hutan Sekunder POLTANESA. Karya Ilmiah Diploma III.
MELLER, E, C. 1983. Plant Physiologi. Mac Grow Hill CO, N.
PURWOWIDODO, 1989. Ganesa Tanah; Batuan Pembentukan Tanah. Penerbit CV.
Rajawali. Jakarta.
RISMUNANDAR, 1984. Tanah Seluk Beluknya Bagi Pertanian. Penerbit Sinar Baru
Bandung.
SETYAMIDJAJA, D. 1986. Pupuk dan Pemupukan. Penerbit CV. Simple Anggota
IKAPI. Jakarta.
30
SOEDIJANTO, 1977. Bercocok Tanam Jilid I. Penerbit CV. Yasa Guna Jakarta.
SOEDIJANTO, 1984. Bercocok Tanam Jilid II. Penerbit CV. Yasa Guna Jakarta.
SOEDIJANTO, 1986. Bercocok Tanam Jilid III. Penerbit CV. Yasa Guna Jakarta.
SUPARDI, 1975. Sifat dan Ciri Tanah. Proyek Peningkatan/Pengembangan
Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor.
SURYATNA, 1982. Analisa Tanah, Air dan Jaringan Tanaman. Penerbit Rineka
Cipta.
TISDALE, S. L dan W.L NELSON, 1956. Soil Fertility and Fertilization. The Mac
Milan Co, N. Y.
TJWAN, K. B. 1965. Pengantar Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor.
LAMPIRAN
32
Lampiran 1. Kriteria Sifat Kimia Tanah Berdasarkan Lembaga Penelitian
Tanah Bogor (1990)
Keterangan
Nilai
Sangat
Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat
Tinggi
Bahan
Organik N
(%)
<1
1-2
2-3
3-5
>5
N
(%)
<0,1
P 2O5
ppm
<100
K2
ppm
<100
Ca
Mg
K
Na
Kejenuhan
Basa
Kejenuhan
Al
Pori makro
Pori mikro
Air tersedia
me/100g
me/100g
me/100g
me/100g
<2,0
<0,4
<0,1
<0,1
(%)
<20
21-35
36-50
50-70
>70
(%)
<5
6-20
21-30
31-60
>60
(%)
(%)
l/m3
pH
-
<5
<5
<60
<4,5
(sangat
masam)
5-10
5-10
60-120
4,5-5,5
(masam
)
(%)
1
1-2
2,01-3
3,01-5
>5
(%)
1
1-2
2,01-3
3,01-5
>5
-
5
6
5-10
6-16
11-15
17-24
16-25
25-40
>25
>40
Bahan
Oraganik
Total
Bahan
Organik C
C/N
KTK
0,51-0,7
5
250-100 1000-20
100-200
0
00
800-160
100-200 200-800
0
2-5
6-10
11-20
0,4-1,0
1,2-2,0
2,1-8,0
0,1-0,3
0,4-0,7
0,8-1,0
0,1-0,3
0,4-0,5
0,6-1,0
0,1-0,2
0,21-0,5
11-15
>15
11-15
16-20
121-180 181-240
5,6-6,5
6,6-7,5
(agak
(netral)
masam)
>0,75
>2000
>1600
>20
>8,0
>1,0
>1,0
>20
>240
76-80
(agak
alkalis)
Lampiran 2. Kondisi Keadaan Hujan Selama Penelitian.
No
(1)
1
Tanggal
(2)
06-11-2012
Keadaan Hujan
(3)
Hujan
2
07-11-2012
Tidak Hujan
3
08-11-2012
Hujan
4
09-11-2012
Hujan
5
10-11-2012
Tidak Hujan
6
11-11-2012
Hujan
7
12-11-2012
Hujan
8
13-11-2012
Hujan
9
14-11-2012
Tidak Hujan
10
15-11-2012
Hujan
11
16-11-2012
Tidak Hujan
12
17-11-2012
Tidak Hujan
13
18-11-2012
Hujan
14
19-11-2012
Hujan
15
20-11-2012
Hujan
16
21-11-2012
Tidak Hujan
17
22-11-2012
Tidak Hujan
18
23-11-2012
Hujan
19
24-11-2012
Hujan
20
25-11-2012
Hujan
21
26-11-2012
Tidak Hujan
22
27-11-2012
Hujan
23
28-11-2012
Hujan
24
29-11-2012
Tidak Hujan
25
30-11-2012
Hujan
26
01-12-2012
Tidak Hujan
27
02-12-2012
Hujan
28
03-12-2012
Tidak Hujan
34
Sambungan
(1)
29
(2)
04-12-2012
(3)
Tidak Hujan
30
05-12-2012
Hujan
31
06-12-2012
Hujan
32
07-12-2012
Hujan
33
08-12-2012
Tidak Hujan
34
09-12-2012
Hujan
35
10-12-2012
Hujan
36
11-12-2012
Tidak Hujan
37
12-12-2012
Tidak Hujan
38
13-12-2012
Hujan
39
14-12-2012
Hujan
40
15-12-2012
Tidak Hujan
41
16-12-2012
Tidak Hujan
42
17-12-2012
Hujan
43
18-12-2012
Tidak Hujan
44
19-12-2012
Tidak Hujan
45
20-12-2012
Tidak Hujan
46
21-12-2012
Tidak Hujan
47
22-12-2012
Hujan
48
23-12-2012
Hujan
49
24-12-2012
Tidak Hujan
50
25-12-2012
Hujan
51
26-12-2012
Tidak Hujan
52
27-12-2012
Hujan
53
28-12-2012
Hujan
54
30-12-2012
Tidak Hujan
55
31-12-2012
Hujan
56
01-01-2013
Tidak Hujan
33
Lampiran 3.
Gbr 1. Kegiatan perapihan plot penelitian. Gbr 2. Pengambilan sampel komposit
pada plot penelitian yang sudah
dirapihkan.
Gbr 3. Pencampuran sampel komposit.
Gbr 4. Pengambilan sampel komposit
untuk di bawah ke Laboratorium.
34
Gbr 5. Kegiatan penumbukan sampel
komposit di Laboratorium.
Gbr 6. Kegiatan penyaringan sampel
komposit di Laboratorium.
Gbr 7. Kegiatan penimbangan sampel
komposit di Laboratorium.
Gbr 8. Kegiatan Analisa pH
Dengan menggunakan alat
pH meter.
35
Gbr 9. Kegiatan mengguncang mengguna Gbr 10. Mengukur pH Tanah dengan
Kan alat Shaker.
gunakan pH meter.
Download