NUR AZIZAH-FUH

advertisement
MAHAR DALAM PERSPEKTIF HADIS
Skripsi ini Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Salah Satu Persyaratan Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh :
Nur Azizah
107034002303
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1433 H/ 2011M
i
MAHAR DALAM PERSPEKTIF HADIS
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh :
Nur Azizah
107034002303
Di Bawah Bimbingan
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M.
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul MAHAR DALAM PERSPEKTIF HADIS telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 19 Desember 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Program
Studi Tafsir-Hadis.
Jakarta, 11 Januari 2012
iii
ABSTRAK
Mahar atau maskawin juga dapat disebut shadaqah adalah merupakan kewajiban
suami terhadap istri sebagai pembuka faraj bagi suami dan juga sebagai pemberian yang
dapat menyenangkan istri. Syarat minimal maskawin adalah sebuah cincin besi. Pendapat
lain kadar mahar dikiaskan maskawin boleh berupa hafalan ayat-ayat Al-Qur‟an yang
diberikan kepada isteri sesudah menikah sehingga mahar tersebut boleh hutang,
maksudnya mahar tidak terbilang sesuai kemampuan dan sebaliknya maskawin itu harus
disegerakan.
Mengenai hukum mahar adalah wajib bagi suami bahkan ada yang menyatakan
sebagai rukun perkawinan. Secara tekstual bahwa semua yang disebutkan dalam matan
hadis dapat dijadikan sebagai mahar bahkan sesuatu yang tidak berbentuk materi berupa
keahlian menghapal Al-Qur‟an boleh dijadikan mahar.
i
KATA PENGANTAR
‫بسم اهلل الرحمن الرحيم‬
Alhamdulillâh, segala puja dan puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah
SWT. Tuhan semesta alam, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dengan
ridho dan kekuatan-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Mahar Dalam Perspektif Hadis. Semoga salawat serta salam selalu tercurahkan
kepada Nabi Muhammad Saw. Nabi akhir zaman.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan, rintangan dan hambatan
yang dialami oleh penulis. Namun, dengan niat, keteguhan hati dan motivasi yang
membumbung tinggi serta dorongan dan bantuan dari berbagai pihak maka
kesulitan tersebut serasa lenyap dibakar semangat, sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak
terdapat kekurangan, baik itu dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk
pemahaman yang tertuang didalamnya, karena keterbasan ilmu yang dimiliki
penulis. Bila dibandingkan dengan skripsi yang lain, skripsi ini hanyalah sebuah
lilin dari sekian banyak kilauan lampu yang bercahaya. Walaupun demikian,
setidaknya dapat memberikan cahaya bagi yang ada disekitarnya. Bila
dibandingkan dengan ilmu Allah maka skripsi bagaikan setitik debu dari seluruh
debu yang ada di alam semesta.
Dengan rasa syukur dan dengan kerendahan hati, penulis haturkan ucapan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan segala
rasa hormat, penulis ucapkan terima kepada :
ii
1. Prof. DR. Komaruddin Hidayat, MA, selaku Rektor Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat.
3. Dr. Bustamin, M. Si, selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis sekaligus sebagai
pembimbing penulis. Terima kasih atas bimbingan dan arahan yang telah
diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Untuk Bapak Muslim terima kasih atas jasa-jasanya. Semoga Allah SWT
memberikan balasan, rahmat, dan maghfirah-Nya
5. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah memberikan
ilmu dan pengetahuan kepada penulis, semoga ilmu yang telah diberikan
dapat bermanfaat.
6. Kedua orangtuaku, ibunda Asni dan ayahanda Yusuf Talen. Amat, yang
telah merawat dan membesarkan penulis dengan kasih dan sayangnya.
Ucapan terima kasih penulis kepada keduanya tak kunjung henti-hentinya
terucap atas segala doa dan harapan baiknya, selalu memotivasi penulis
untuk maju
7. Nita Zahra., kakakku bersama keluarga yang sudi membangunkanku dari
lena kemalasan
8. Pegawai perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan
Utama UIN, dan Perpustakaan Iman Jama, yang telah sudi kiranya
melayani dan membantu penulis dalam melengkapi buku-buku rujukan
yang dibutuhkan.
iii
9. Teman-teman angkatan 2007, khususnya untuk mahasiswa kelas TH A,
Rizza Kurniatillah (Acil) ,Sofia Rosdanila, Dian Kusnadi, dan lainnya yang
tak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan kenangan manis
yang tak dapat untuk dilupakan bagi penulis. Semoga kita dapat menjadi
orang-orang yang sukses dan beruntung, baik di dunia maupun di akherat
kelak. Amien.
10. Kepada Hadi Yono (Buy) yang telah banyak membantu dan memberikan
dorongan, khususnya sport sampai akhir mengikuti tahap demi tahap dalam
proses penyelesaian skripsi ini
11. Serta kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah memberikan balasan yang
setimpal atas segala bantuannya.
Tentunya masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Akhirnya penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin.
Jakarta, 11 Januari 2012
Nur Azizah
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ....................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ...................................................................................
ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................
v
TRANSLITERASI ........................................................................................
vii
BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ......................................
6
C. Tujuan Penelitian ....................................................................
6
D. Kajian Pustaka .........................................................................
7
E. Metodologi Penelitian .............................................................
9
F. Sistematika Penulisan ..............................................................
10
BAB II MAHAR DAN PERMASALAHANNYA ....................................
11
A. Pengertian Mahar .....................................................................
11
B. Dasar Hukum Mahar ...............................................................
14
1. Al- Qur‟an ............................................................................
15
2. As-Sunnah ............................................................................
19
C. Syarat Sahnya Mahar ................................................................
22
D. Mahar Adalah Hak si Perempuan Bukan Hak Walinya ..........
25
E. Pelaksanaan Pemberian Mahar .................................................
26
F. Hikmah Mahar .........................................................................
30
v
BAB III HADIS- HADIS MENGENAI MAHAR .......................................
32
A. Teks Hadis dan Terjemahannya ..............................................
32
B. Asbabul Wurud ........................................................................
37
C. Bentuk Mahar ..........................................................................
38
D. Macam-Macam Mahar dalam Hadis .......................................
40
BAB IV ANALISA KANDUNGAN HADIS-HADIS MAHAR ................
43
A. Mahar Menurut Ulama Secara Umum .....................................
43
B. Analisa .....................................................................................
52
BAB V PENUTUP .....................................................................................
61
A. Kesimpulan ..............................................................................
61
B. Saran-Saran ..............................................................................
61
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
63
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab
‫ا‬
‫ب‬
‫ت‬
‫ث‬
‫ج‬
‫ح‬
‫خ‬
‫د‬
‫ذ‬
‫ز‬
‫ش‬
‫ض‬
‫ش‬
‫ص‬
‫ض‬
‫ط‬
‫ظ‬
Huruf Latin
‫ع‬
‫غ‬
‫ف‬
‫ق‬
‫ك‬
‫ل‬
‫م‬
‫ن‬
‫و‬
‫ﻫ‬
‫ء‬
ٌ
„
gh
f
q
k
l
m
n
w
h
`
y
Keterangan
tidak dilambangkan
be
te
te dan es
je
h dengan garis dibawah
k dan h
de
de dan zet
er
zet
es
es dan ye
es dengan garis di bawah
de dengan garis di bawah
te dengan garis di bawah
zet dengan garis di bawah
koma terbalik di atas hadap
kanan
ge dan ha
ef
ki
ka
el
em
en
we
ha
apostrof
ye
b
t
ts
j
h
kh
d
dz
r
z
s
sy
s
d
t
z
vii
Vokal Tunggal
Fathah
Kasrah
Dammah
Vokal Panjang
:a
:i
:u
:â
:û
:î
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong, dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
‫ﹷ‬
a
fathah
‫ﹻ‬
‫ﹹ‬
i
u
kasrah
dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ٌ‫ﺃ‬
‫ﺃو‬
ai
au
a dan i
a dan u
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
viii
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
‫ﺃﺃ‬
â
a dengan topi di atas
î
I dengan topi di atas
û
u dengan topi di atas
‫ﺇي‬
ْ‫ﺃ و‬
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara bahasa Arab dilambangkan
dengan
‫ال‬, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah
maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan addîwân.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (
), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal
ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ‫الضسوزة‬tidak
dituliskan ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 dibawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/
(lihat contoh 3). Contoh:
ix
Nomor
1
2
3
Kata Arab
‫طسَقة‬
‫الجامعة اإلسالمُة‬
‫وحدةالىجىد‬
Alih Aksara
tarîqah
al-jâmi'ah al-islâmiyyah
wahdat al-wujûd
Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, namun
dalam alih aksara huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa
Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama
tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri
didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf
awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû
Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berhubungan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan, meskipun
akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad alPalimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî. Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr alDîn al-Rânîrî.
Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‟l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah.
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadis adalah referensi kedua dalam ajaran Islam setelah al-Qur‟an.
Hadis yang dijadikan sebagai sumber kedua dalam Islam sering kali
dipergunakan untuk memecahkan persoalan yang muncul dalam berbagai
aspek kehidupan, oleh karena itu Hadis Nabi SAW memiliki fungsi penting
dalam kaitannya dengan Al-Qur‟an, yaitu sebagai penjelas dan penjabar AlQur‟an dalam segala masalah termasuk pernikahan.1
Pernikahan merupakan salah satu dari sunah Rasul, ia diartikan sebagai
sebuah ikatan dan perjanjian antara suami isteri yang mengharuskan masingmasing pihak mentaati semua kewajibannya, demi memenuhi hak pihak lain.
Ketika Allah SWT mewajibkan suami menyerahkan mahar kepada isteri, agar
suami menghayati kemuliaan dan kehormatan isteri, maka Allah SWT
memerintahkannya agar mahar diberikan sebagai pemberian atau hibah yang
bersifat suka rela.2
Pernikahan memerlukan materi, namun itu bukanlah segala-galanya,
karena agungnya pernikahan tidak bisa dibandingkan dengan materi.
Janganlah hanya karena materi, menjadi penghalang bagi saudara kita untuk
meraih kebaikan dengan menikah. Yang jelas ia adalah seorang calon suami
yang taat beragama, dan mampu menghidupi keluarganya kelak. Sebab
1
Hasbi As-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998),
Cet. Ke-8, h. 179
2
M. Ali al-Syabuni, Al-Jawadj al-Islami al-Mubakkir, Penerjemah: M. Nurdin, Kawinlah
Selagi Muda: Cara Sehat Menjaga Kesucian Diri, ( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), Cet.
Ke-I, h. 83
1
pernikahan bertujuan menyelamatkan manusia dari prilaku yang keji (zina),
dan mengembangkan keturunan yang menegangakan tauhid di atas muka
bumi ini.
Pernikahan merupakan suatu kontrak sosial antar seseorang laki-laki
dan perempuan untuk hidup bersama tanpa di batasi oleh waktu tertentu.
Dalam Islam, pemberian maskawin merupakan kewajiban yang harus dibayar
oleh seorang laki-laki yang menyatakan kesediaannya untuk menjadi suami
dari seorang perempuan.
Mahar merupakan hak murni perempuan yang disyariat‟kan untuk
memberikan kepada perempuan sebagai ungkapan keinginan pria terhadap
perempuan tersebut, dan sebagai salah satu tanda kecintaan dan kasih sayang
calon suami kepada calon istri, dan suatu pemberian wajib sebagai bentuk
penghargaan calon suami kepada calon istri yang dilamar, serta sebagai
simbol untuk memuliakan, menghormati dan membahagiakan perempuan
yang akan menjadi istrinya3 Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur‟an
surah an-Nisa‟ (4) ayat 4:
              
Artinya:
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. 4
Ayat di atas menjelaskan, bahwa hendaklah kalian memberikan mahar
kepada wanita yang akan kalian nikahi sebagai satu pemberian yang bersifat
3
Syeikh Shalih bin Ghanim, al-Sadlan, Seputar Pernikahan, (Jakarta: Darul Haq, 2002),
cet. I, h. 27
4
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya,(Semarang: Toha Putra,1989),
h. 115
2
suka rela. Dan kalau mereka memberikan kembali sebagian dari maharnya
kepadamu, maka kalian boleh mengembilnya, tanpa kalian menanggung dosa
karenannya. Jadi, mahar disini harus ada dalam suatu pernikahan. Tujuan
pemberiannya adalah untuk melanggengkan dan memperkuat ikatan tali cinta
kasih
pasangan
suami
istri
serta
membantu
meringankan
biaya
penyelenggaraan pernikahan.5
Dalam Ensiklopedi Islam Al-Kamil, mahar merupakan hak bagi
perempuan dan kewajiaban suami untuk membayarnya, sebagai penghalal atas
kehormatannya. Dan menjadikan menjadikan mahar sebagai kewajiban bagi
suami untuk menghormati perempuan dengan memberikan mahar tersebut.
Sebagai perintah atas eksitensi perempuan, syiar bagi kedudukannya dan
sebagai ganti atas sksual dengannya. Serta untuk menyenangkan hatinya dan
kerelaan atas tanggung jawab laki-laki (suami) kepadanya.6
Sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa mahar dalam perkawinan
tidak termasuk dalam rukum dan bukan syarat sahnya aqad nikah karena
menghilangkan mahar dengan sengaja tidak mempengaruhi batalnya
perkawinan.7 Pendapat Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur
penganutnya dengan berbagai aturan di semua aspek, termasuk aspek mahar
dalam perkawinan. Ketika membicarakan masalah perkawinan, banyak hal
yang harus diperhatikan antara lain adalah mahar, karena salah satu hubungan
Islam yang timbul dari sebab perkawinan adalah kewajiabn calon suami untuk
mengeluarkan sejumlah kekayaan kepada isterinya yang disebut mahar.
5
M. Ali al-Syabuni, Al- Jawadj al-Islami al-Mubakkir, h. 87-88
Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tawaijiri, Ensiklopedia Al-Kamil, penyunting,
team Darus Sunnah, Cet. 4, Jakarta, 2008, h. 1005-1006
7
Yusuf Hamid Al-Amin, Muqashid Al-A‟mmah Al-Syari‟ah Al-Islami, Khurtum: Dar AlSudaniyah, t.t, h. 427
6
3
Jadi, mahar yang dimaksud ialah merupakan syariat Islam yang
diwajibkan bagi pemuda yang hendak menikahi seorang wanita, Sebagai
pernyataan kasih sayang dan tanggung jawab suami atas kesejahteraan
keluarganya.8 Mahar juga berfungsi sebagai tanda ketulusan niat dari calon
suami untuk membina suatu kehidupan berumah tangga bersama calon
istrinya.9
Pada kenyataannya, terutama pada kalangan masyarakat awam
sebagian masih banyak yang belum mengerti hakikat dari pemberian
maskawin. Mereka beranggapan maskawin atau mahar hanyalah pelengkap
sebuah ritual akad nikah semata, kendati mereka menganggap hal ini wajib
atau harus diadakan.
Dengan demikian, tak sedikit orang membedakan antara maskawin
atau mahar dengan bawaan (gawan, istilah jawa). Jika maskawin diberikan
oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan yang akan di nikahinya,
maka gawan juga diberikan sebagaimana halnya maskawin, tetapi sudah
menjadi kebiasaan atau tradisi bahwa gawan bisa kembali atau selayaknya,
jika dikemudian hari terpaksa harus berpisah atau bercerai.
Dari dua jenis pemberian ini menjadikan mahar seolah tidak begitu
penting, karena mahar ini menjadi hak penuh istri, yang tidak ada harapan
untuk diambil kembali oleh laki-laki yang menikahinya. Sehingga dengan
adanya pemahaman seperti ini, tak jarang mahar diberikan hanya bentuk dan
rupa sedikit saja dari harta yang ia punya, sebagai kebiasaan yang perlu
8
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan
Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), cet Ke-I, h. 219
9
Syamsuddin Muhammad bin Abi Abbas, Nihyah Al-Muhtaj, (Mesir: Musthafa Al-Baby
Al-Halaby, 1938), Juz 6 h. 238
4
dikritisi, mayoritas mereka menjadikan seperangkat peralatan shalat bagi
perempuan untuk menjadi mahar, semestinya untuk gawan, ia lebih besar dari
mahar, misalnya emas 10 gram.
Hal ini yang harus diluruskan untuk lebih bisa menjadikan arti sebuah
pernikahan yang bertanggungjawab bisa tercapai, jadi bukan sekedar kontrak
sosial tanpa makna, karena hakikat pernikahan adalah untuk bisa hidup
bersama sebagai satu kesatuan yang utuh, yang di dalamnya harus saling
melengkapi, saling memberi dan menerima.
Mahar disini sangatlah penting, karena mahar bisa menjadikan
keluarga berceraiberainya sebuah pernikahan. Memberikan mahar juga harus
adil, agar keluarga tidak hancur berantakan, sebagaimana sabda Nabi
Muhammad saw dalam hadisnya:
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan
kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad telah menceritakan kepadaku Yazid
bin Abdullah bin Usamah bin Mahdi. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah
menceritakan kepadaku Muhammad bin Abi Umar Al-Makki sedangkan
lafazhnyadari dia, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz Abdurrahman
bahwa dia berkata; Saya pernah bertanya kepada „Aisyah, shallallahu „alaihi
wasallam; Berapakah maskawin Rasulallah shallallahu „alaihi wasalam? Dia
menjawab; mahar beliau terhadap para istrinya adalah dua belas uqiyah dan
satu nasy.Tahukah kamu, berapakah satu nasy itu?Abu Salamah berkata; Saya
menjawab; Tidak. „Aisyah berkata ; setengah uqiyah, jumlahnya sama dengan
lima ratus dirham. Demikianlah maskawin Rasulallah shallallahu „alaihi
5
wasallam untuk masing-masing istri beliau.10
Persoalan maskawin atau mahar jauh berbeda dengan keadaan atau
tradisi yang berlaku di luar ajaran Islam.Mahar dalam Islam merupakan
pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan dalam
perkawinan.Kemudian mahar menjadi milik mempelai itu sendiri, bukan milik
siapa pun selain istri. Islam telah mengangkat derajat perempuan, karena
mahar itu diberikan sebagai tanda penghormatan kepada kaum hawa.11
Keadaan dan kondisi tersebut menurut hemat penulis sangatlah
menarik untuk diangkat kepermukaan dalam bentuk tulisan atas pertimbangan
dan alasan diatas mengilhami penulis untuk menyusun skripsi ini dengan
judul:“Mahar Dalam Perspektif Hadis”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini penulis menjelaskan penelitian terhadap kajian
tentang tinjauan hukum Islam tentang mahar.
2. Perumusan Masalah
Bagaimana pemahaman masyarakat tentang pelaksanaan mahar yang
disyariatkan agama Muslim?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Subjek aktivitas yang ditulis oleh seseorang pasti memiliki tujuan
tersendiri, demikian juga halnya dalam pembahasan judul ini di mana penulis
mempunyai tujuan yang tertentu pula. Berdasarkan uraian di atas, penulisan
10
Muslim ibn al-Hajaj Abu al-Husain al- Naisyabūri al-Qusyairi, Shahih Muslim, Tahqiq:
Muhammad Fuad‟ Abd al-Bâqi, (Birut: Dar Ihya al-Turast al-„Arabi, tth.), hadis no. 2555.
11
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Terj. Moh. Thalib), Jilid 7, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1996),
Cet 12, h. 52.
6
ini bertujuan untuk:
1. Memotret dan mengkaji permasalahan yang timbul dalam kehidupan
masyarakat.
2. Untuk memperoleh pemahaman pribadi yang lebih mendalam tentang
mahar dalam hadis.
3. Dapat memiliki kegunaan yang bersifat teoritis dan praktis.
4. Menciptakan kehidupan harmonis dalam rumah tangga, di samping itu
juga dapat menambah khazanah kepustakaan, khususnya hadis mengenai
mahar.
5. Akhirnya yang tak kalah pentingnya, penelitian ini juga memiliki tujuan
formal, yaitu untuk memenuhi sebagian persyaratan guna meraih gelar
kesarjanaan SI dalam bidang Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
D. Kajian Pustaka
Dalam penelusuran pustaka, penulis menemukan adanya kajian sebagai
berikut:
1. Transformasi Pemahaman Masyarakat Tentang Mahar dalam Adat Jambi.
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2010.Oleh: Al- Faroby NIM 106044201455.Skripsi ini memaparkan
tentang pemahaman masyarakat Jambi terhadap perubahan bentuk mahar
dalam tradisinya. Transformasi yang terjadi di masyarakat Jambi
dilakukan dengan pendekatan adat mereka. Akan tetapi, skripsi ini tidak
menjelaskan secara detail
mengapa sebagian besar masyarakat Jambi
masih enggan mempraktekkan mahar sesuai dengan anjuran hadis Nabi
Muhammad SAW.
7
2. Mahar Suami Meninggal Qobla Al-Dukhul (Analisis Terhadap Perbedaan
Mazhab & Kompilasi Hukum Islam di Indonesia). Skripsi Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Oleh: Surina
Mohammad Napiah. NIM 107044103853.
Skripsi ini memaparkan
tentang pandangan para ulama fiqh dengan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia. Akan tetapi, pada skripsi ini lebih banyak mengupas maharnya
suami yang meninggal sebelum bersetubuh bukan fokus pada hadis Nabi
Muhammad saw yang memberikan pedoman tentang mahar tersebut
secara luas.
3. Kadar Suami Meninggal Sebelum Dukhul (Analisis Terhadap Pemikiran
Mazhab Maliki). Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah
Jakarta, 2010. Oleh: Juwariyah. NIM 107044103855.
Skripsi ini memaparkan tentang kadarnya suami meninggal sebelum
dukhulatas pandangan ulama mazhab Maliki saja. Akan tetapi, pada skripsi
ini fokus mengupas pendapat ulama Maliki tentang kadar maharnya suami
yang meninggal sebelum bersetubuh bukan fokus pada hadis Nabi
Muhammad saw yang memberikan pedoman tentang mahar tersebut
secara luas.
4. Telaah Atas Hadis Anjuran Memberi Kemudahan dalam Memberi Mahar.
Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2003 Oleh:Iin Rif’aini. NIM 199034016676. Skripsi ini memaparkan
tentang anjuran dalam memberikan kemudahan mahar. Skripsi ini fokus
pada hadis yang membahas memberi kemudahan tentang mahar tersebut.
Akan tetapi, pada skripsi ini fokus mengupas pendapat ulama Maliki
8
tentang kadar maharnya suami yang meninggal sebelum bersetubuh bukan
fokus pada hadis Nabi Muhammad saw yang memberikan pedoman
tentang mahar tersebut secara luas.
Dari keempat skripsi di atas, penulis masih menemukan ruang untuk
membahas tentang mahar dalam perspektif hadis yang banyak memberikan
alternatif tentang mahar yang akan diberikan suami kepada calon istrinya.
E. Metodologi Penelitian
Dalam pengumpulan data, sering digunakan dua macam penelitian,
yaitu penelitian kepustakaan (Library research) dan penelitian lapangan (Field
Research). Untuk permasalah tersebut di atas, metode yang penulis gunakan
adalah metode penelitian kepustakaan (Library Research), artinya data-data
berasal dari sumber-sumber kepustakaan baik berupa buku-buku, jurnal,
ensklopedia dan sebagainya, yang termasuk dalam data primer, seperti kitabkitab hadis, kitab rijal al-Hadis maupun skunder, seperti buku-buku yang
berkaitan dengan permasalahan yang di kaji dalam skripsi ini. Hal ini
dimaksudkan untuk mendapatkan informasi secara lengkap serta untuk
menentukan kesimpulan yang akan diambil sebagai langkah penting.
F. Sistematika Penulisan
Dengan melihat tujuan untuk membuat dan mempertahankan karya ilmiah yang
sistematis serta memudahkan dan enak untuk dibaca, kajian ini disusun dengan
sistematika penulisan sebagai berikut:
9
Bab I, Pendahuluan. Didalamnya bab ini berisi uraian tentang Latar Belakang
Masalah, Pembatasan dan Perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
Kajian Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan
Bab II, Mahar dan Permasalahannya. Berisi
pemahaman
tentang
pengertian
mahar, macam dan syarat-syaratnya, Eksistensi Mahar Dalam Perkawinan yang
mengupas tentang Pengertian Mahar dan Dasar Hukumnya, Syarat Sah Mahar,
Pelaksanaan Pemberian Mahar, dan Hikmah Mahar
Bab III, Hadis- hadis mengenai mahar yang berkenaan dengan mahar, diikuti teks
dan terjemahannya, asbabul wurud, Bentuk Mahar, Macam-macam Mahar dalam
Hadis
Bab IV , Pembahasan ini penulis mengupas tentang Mahar Menurut Ulama Secara
Umum disertai Analis
Bab V, Penutup. Berisi kesimpulan, usul dan saran. Kesimpulan merupakan poinpoin penting hasil penelitian yang sekaligus merupakan jawaban terhadap
masalah.
10
BAB II
MAHAR DAN PERMASALAHANNYA
A. Pengertian Mahar
Secara etimologi mahar adalah masdar dari kata
‫ مهس‬-‫ َمهس‬-‫ مهس‬yang
berarti maskawin.12Mahar yang dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan
sebutan maskawin, dalam Al-Qur‟an disebut dengan beberapa istilah, yaitu:
1. Ujr, jamak dari kata ajrum, yang artinya ganjaran atau hadiah, terdapat
dalam Al-Qur‟an
              
            
             
    
Artinya:
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu)
sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang
demikian(yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan
untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di
antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna),
sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar
itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
              
          
12
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), Cet.
Ke-I, h. 431
13
An-Nisa Ayat 24
11
          
        
Artinya:
Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik.makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu
halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang
menjaga kehormatan, diantara wanita-wanita yang beriman dan wanitawanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia
di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.
2. Saduqat, jamak dari kata Saduqah,yang artinya pemberian yang tulis,
terdapat dalam Al-Qur‟an surat an-Nisa: 4
              
Artinya:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan.Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya.
Dan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi SAW yang selalu
membeikan mahar kepada istri-istri beliau saat menikah15
3. Faridah, yang artinya sesuatu yang di wajibkan atau suatu bagian yang
ditetapkan, terdapat dalam al-Qur‟an surat al-baqarah: 236.16
14
15
Qs. Al- Maidah: 5
Saleh al-Fauzan, Al-Mulakhkhasul Fiqhi, (Jakarta: Gema Insani, 2006), Cet ke-I, h.
672
16
Humaidi Tatapangarsa, Hak dan Kewajiab Suami Istri Menurut Islam, (Jakarta:
Kalam Mulia, 1993), Cet ke-I, h. 12
12
              
           
Artinya:
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka
dan sebelum kamu menentukan maharnya.dan hendaklah kamu berikan
suatu pemberian kepada mereka. orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula),
Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan
ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
Berdasarkan keterangan yang terdapat dalam Al-Qur‟an, dapat
dirumuskan bahwa mahar itu ialah suatu pemberian wajib dari suami kepada
istri sebagai hadiah yang tulus berkenaan dengan pernikahan antar keduanya,
yang sudah ditetapkan melalui al-Qur‟an, as-Sunah dan I‟jma,17 diberlakukan
dalam praktik dan suadah dikenal di kalangan khusus maupun umum dari
putra-putra muslim, sehingga mahar termasuk sesuatu yang sudah diketahui
pasti sebagai ajaran agama.
Pemberian mahar adalah salah satu yang disyariatkan oleh ajaran
agama Islam. Sebagaimana lamaran, maka mahar pun diberikan oleh pihak
laki-laki kepada pihak perempuan, pihak laki-lakilah yang datang ke wanita
untuk meminangnya dan mengungkapkan rasa cintanya, serta untuk
menegaskan ketulusan, dan menarik perhatiannya, maka laki-laki perlu
memberikan sesuatu sebagai bukti ketulusan hati, inilah yang dikenal dengan
sebutan mahar.
17
Humaidi Tatapangsara, h. 13
13
Nihlah yang berasal dari rumpun kata an-Nahl mempunyai arti yang
sama dengan mahar, dalam Tafsir Al-Azhar dimaknai sebagai lebah. Lebah
diibaratkan sebagai seorang laki-laki yang mencari harta yang halal, laksana
seekor lebah mencari kembang, yang kelak akan menjadi madu (manisan
lebah),‟ dari hasil jerih payah itulah, yang nantinya akan di berikan kepada
calon istri sebagi pertanda ketulusan.18
Mahar bukan hanya sejumlah uang, harta dan barang-barang lainnya,
sebagaimana lahirnya, tetapi mahar adalah suatu pertanda kebenaran dan
kesungguhan cinta seorang laki-laki, kerena itulah mahar juga dinamakan
dengan shidaq (kebenaran). Wanita tidak menjual dirinya dengan mahar,
tetapi dengan sarana ini ia dapat mengetahui ketulusan hati seorang laki-laki,
yang mampu menciptakan sebuah sarana yang sesuai bagi wanita agara wanita
tersebut dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Inilah salah satu
falsafah mahar.19
Jadi makna mahar dalam sebuah pernikahan, lebih dekat kepada
syariat agama dalam rangka menjaga kemuliaan peristiwa nan suci, pemberian
mahar merupakan ungkapan tanggung jawab kepada Allah SWT sebagai AsySyari‟ (pembuat aturan), dan kepada wanita yang akan dinikahi, sebagai teman
hidup dalam meniti kehidupan rumah tangga.20
B. Dasar Hukum Mahar
18
Hamka, Tafsir sl-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1982), Cet. Ke I, Juz III, h
260
19
Ibrahim Amini, kiat Memilih Jodoh: Menurut al-Qur‟an dan Sunnah, Penerjemah:
Muhammad Taqi, (Jakarta: Lentera, 1994), Cet. Ke-I, h. 157
20
M. Fandzil Adhim, Kupinang Kau dengan Hamdallah, (Yogyakarta ,Mitra
Pustaka, 1998), Cet. Ke-4, h. 195
14
Para ulama Fiqh‟ telah menyepakati bahwa hukum memberi mahar
atau maskawin itu adalah wajib. Hal ini berdasarkan pada dalil-dalil sebagai
berikut:
1. Al-Qur’an
Dalam surat An-Nisa‟ ayat 4 di sebutkan:
              
Artinya:
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya”.21
Dilihat dilalah dari ayat di atas bahwa Allah Swt telah
memerintahkan, pada suami-suami untuk membayar mahar pada istrinya.
Kerena perintah tersebut tidak disertai dengan qarinah yang menunjukkan
kepada hukum sunat atau mubah, maka ia menghendaki kepada makna
wajib. Jadi mahar wajib bagi suami untuk dberikan kepada istrinya, karena
tidak ada qarniah yang menyimpang dari makna wajib kepada makna yang
lain.
Dari segi lain, nihlah dalam ayat di atas juga bermakna AlFaridhah Al-Wajibah (ketentuan yang wajib). Dengan begitu, makna ayat
adalah: “Dan berikanlah kepada wanita (istri-mu) mahar sebagai sebuah
ketentuan yang wajib”.
Pemberian tersebut juga sebagai tanda eratnya hubungan dan cinta
yang mendalam, disamping jalinan yang seharusnya menaungi rumah
21
Departemen Agama RI, 1989
15
tangga yang mereka bina. Namun demikian, seandainya istri merasa suka
atau rela memberikan kepada suaminya sesuatu dari maharnya tanpa
merasa dirugikan dan tanpa unsur paksaan atau tipuan, maka suami boleh
mengambil atau meggunakan pemberian itu dengan senang hati dan tidak
ada dosa bagi suami untuk mengambil serta menerimannya.
Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa Islam sangat memperhatikan
dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberikan hak
kepadanya, di antaranya kedudukan seorang wanita dengan memberikan
hak kepadanya, di antaranya yaitu hak untuk menerima maskawin. Mahar
hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita
lainnya atau siapa saja, meskipun sangat dekat hubung dengannya. Orang
lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, bahkan oleh
suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan istri sendiri.
Di kalangan masyarakat, telah menjadi suatu tradisi yang
dijalankan secara turun menurun yaitu, bahwa mereka tidak cukup hanya
dengan pemberian makhar saja tetapi diberengi pula dengan anekaragam
hantaran (hadiah) lainnya, baik berupa makanan, pakaian, peralatan rumah
tangga dan lain-lain sebagai penghargaan dari calon suami kepada calon
istri tercinta yang bakal mendampingi hidupnya.
Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nisa‟ ayat 20:
             
   
16
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain22,
sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta
yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya
barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan
jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata.
Firman-Nya lagi dalam surat An-Nisa ayat 21
          
.
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu
telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.
Dalam ayat di atas disebutkan, bahwa mahar ini wajib diberikan
kepada istri sebagaimana dinyatakan sendiri oleh kata “mahar”.Ia
merupakan jalan yang menjadikan istri senang hatinya dan ridha menerima
kekuasaan suaminya kepada dirinya, seperti firman Allah SWT seperti
berikut:
               
            
                
 
22
Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri
yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun
meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.
17
“Artinya
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki23 (Allah telah menetapkan hukum itu)
sebagai ketetapan-Nya atas kamu.dan Dihalalkan bagi kamu selain yang
demikian24(yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini
bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri)
di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna),
sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar
itu25. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Al-istimta‟ dalam ayat di atas artinya bersenang-senang dan Al-ita‟
mencangkup pengertian memberikan dan mengharuskan. Sedang Al-ujur
bisa diartikan dengan mahar26
Mahar dinamakan dengan ajr (upah), karena ia merupakan upah atau
imbalan dari kesediaan berenang-senang. Manfaat dan kesenangan yang
diperoleh seorang laki-laki dari seorang wanita (istrinya) ketika melakukan
hubungan suami istri yang disahkan melalui jalur pernikahan dan
memberikannya dalam bentuk mahar.
Jihad dilalah dari ayat ini sangat jelas, yaitu ketika Allah SWT
berfirman: Perintah di sini cukup tegas menunjukkan
kepada hukum wajib, sebab tidak ada sekali qarinah yang memalingkan
kepada makna lain seperti mubah atau sunat
23
Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan
bersama-samanya.
24
Ialah: Selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam surat An Nisaa' ayat
23 dan 24.
25
Ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang
telah ditetapkan
26
Syamsuddin Muhammad bin Abi Abbas, Nihayah Al-Muhtaj,(Mesir: Mushthafa
Al-Baby Al-Halaby, 1938), Juz 6 h. 238.
18
Dari ayat tersebut, jelaslah bahwa Allah SWT mengatakan, wanita
maupun di antara wanita-wanita yang dihalalkan bagi kalian (kaum lakilaki) untuk kalian nikahi, maka berikanlah imbalannya, yaitu maskawin
yang telah kalian wajibkan sebagai imbalan dari kenikmatan yang kalian
rasakan itu.
Hikmah yang terkandung di dalamnya adalah, bahwa ketika Allah
SWT memberikan kepada kaum laki-laki hak untuk mengatur wanita, hak
untuk memimpin rumah yang mereka tempati, dan hak menggauli istrinya.
Sebagai konsekuensinya, Allah SWT mewajibkan kepada laki-laki untuk
memberikan hak istrinya sebagai bentuk balasan atau penghargaan yang
akan menyenangkan dirinya dan menjamin terwujudnya keadilan antara
istri dan suami.
Mahar itu wajib dibayar suami kepada istrinya. Namun setelah
pasti ketentuan pembayarannya, tidak tertutup kemungkinan bagi
pasangan suami istri yang saling cinta-mencintai, ridha-meridhai menjadi
patri mesra dalam sebuah rumah tangga untuk meghadiahkan kembali
mahar itu kepada suaminya, demi kepentingan dan kesenangan bersama
karena harta telah menjadi harta istri.27
Hal ini dapat kita melihat contoh yang diberikan oleh Khadijah
selama masa perkawinannya dengan Nabi Muhammad SAW lima belas
tahun sebelum ia menjadi Rasulallah SAW. Mahar Khadijah dibayar
penuh oleh Nabi Muhammad SAW. setelah maskawin tersebut menjadi
27
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Jilid 2, h. 144
19
miliknya dan telah bergabung dengan harta yang lain, demi cinta kepada
Rasulallah SAW dan untuk membantu perjuangannya, bukan hanya jiwa
dan raganya saja yang diserahkan kepada suaminya, bahkan hartanya pun
turut diserahkan semua. Sehingga pembelanjaan Rasulallah SAW dalam
melakukan penyebaran Islam di zaman perjuangan pertama tersebut,
sebagian besar adalah harta Khadijah. Demikianlah suri telada yang patut
diikuti dari kehidupan perkawinan Khadijah dengan Rasulallah SAW dari
sisi mahar.
2. As-Sunnah
Terdapat banyak hadis Rasulallah SAW sebagai dalil yang menyatakan
bahwa mahar adalah suatu kewajiban yang harus dipikul setiap calon
suami yang akan menikahi calon isterinya. Di antaranya ialah:
20
Artinya:
“Dari Sahl bin Sa‟idi, sesungguhnya Rasulallah SAW kedatangan tamu
seorang wanita yang mengatakan: “Ya Rasulallah, sesungguhnya aku
serahkan diriku kepadamu”. Lalu wanita itu berdiri cukup lama sekali.
Kemudian tampil seorang laki-laki dan berkata: “Ya Rasulallah SAW
nikahlah aku dengannya jika memang engkau tidak ada minat kepadanya”.
Rasulallah SAW lalu bertanya: Apakah kamu mempunyai sesuatu yang
bisa diberikan sebagai maskawin kepadanya?” Lali-laki itu menjawab:
“Saya tidak membpuyai apa-apa kecuali kain sarung yang saya pakai ini”.
Nabi berkata lagi: “Jika sarung tersebut engkau berikan kepdanya, maka
engkau akan duduk dengan tidak mengenakan kain sarung lagi. Kerena itu
carilah yang lain”. Lalu ia mencari tidak mendapatkan sesuatu. Nabi
bersabda lagi kepadanya: “Carilah meskipun hanya sebentuk cincin dari
besi”. Lelaki itu pun mencoba menyarinya namun tidak mendapatkan apaapa. Lalu rasulallah SAW bertanya lagi kepada laki-laki tadi: “Apakah
kamu hafal sedikit saja dari ayat-ayat Al-Qur‟an”, Lelaki tadi menjawab:
“Tentu saja, aku hafal surah ini dan surah ini”. Ada beberapa surat yang ia
sebutkan. lalu Rasulallah SAW bersabda kepadanya: “Kalau begitu aku
nikahkan kamu dengannya dengan maskawin surat Al-Qur‟an yang kamu
hafal”. (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).
Wajah dilalah dari hadis ini adalah perintah Rasulalah SAW sendiri
pada laki-laki tersebut untuk mencari seuatu yang dapat dijadikan mahar.
Perintah itu menunjukkan kepada wajib Nabi SAW tetap menyuruhnya
untuk mencari sampai beberapa kali, sampai beliau mengatakan: Meskipun
sebentuk cincin dari besi”. Dalam hadis tersebut, pertama Nabi SAW
menyuruh mencari sesuatau untuk dijadikan mahar.Kata “sesuatu” pada
dasarnya mencangkup segala sesuatu yang baik bernilai atau yang tidak
bernilai. Namun ketika Rasulallah SAW mengatakan “meskipun sebentar
cincin dari besi” dapatlah dipahami bahwa yang di maksud dengan
28
Abu Isa Muhammad, Sunan At-Tirmidzi, (Muhammad Jamil Al-A‟thar), (BeirutLebanon: Dar Al-Fikr) Juz2, h. 360-361.
21
“sesuatu” sebagai mahar dalam hadis di atad adalah sesuatu yang bernilai.
Maka tidak bisa dijadikan mahar yang tidak bernilai seperti sebiji padi.29
Berdasarkan hadis di atas dan juga hadis-hadis yang lain, jelaslah
bahwa mahar adalah seuatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh calon
suami yang akan menikahi calon istrinya. Oleh karena itu tidak mungkin
diadakan persetujuan untuk meniadakannya. Namun masih perlu dikaji
apakah mahar merupakn salah satu rukun atau syarat sahnya nikah.Jumhur
ulama tetap berpendirian bahwa mahar tidak bisa dikatakan sebagi rukun
nikah atau syarat sahnya nikah, tetapi hanya sebagai konsekuensi logis dari
pelaksanaan „aqad nikah.
Jelaslah mahar adalah wajib, ia boleh berupa barang (harta
kekayaan) dan boleh juga berupa jasa atau manfaat. Jika berupa barang,
disyaratkan haruslah barang tersebut berupa sesuatu yang berupa sesuatu
yang mempunyai nilai atau harga, halal lagi suci. Sedangkan kalau berupa
jasa atau mahar haruslah berupa jasa atau manfaat dalam arti yang baik.30
3. Ijma’
Para Ulama sepakat (ijma‟) bahwa mahar itu wajib hukumnya
dalam pernikahan dan mahar juga merupakan bagian dari syarat-syaratnya
nikah, yang harus dipikul oleh setiap calon suami terhadap calon istrinya.31
C. Syarat Sahnya Mahar
Mahar yang diberikan oleh seorang laki-laki (suami) terdapat seorang
29
Abu Isa Muhammad, Sunan At-Tirmidzi,., h. 362
Abu Isa Muhammad, Sunan At-Tirmidzi, h. 363
31
Syamsuddin Muhammad bin Abi Abbas., h. 328.
30
22
calon istri adalah suatu kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan atau di
hilangkan, bahkan tidak dapat pula kurang dari syarat-syarat yang telah
ditentukannnya. Para fuqaha dalam hal ini menetapkan bahwa syarat-syarat
mahar tersebut adalah:
1. Benda halal yang suci
Suatu benda yang akan dijadikan mahar harus terhindar dari unsurunsur haram, karena itu mahar harus boleh dimiliki atau diperjual belikan
atau dimanfaatkan. Dalam kitab Al-Fiqhu „ala Mazahib Al-Arba‟ah
disebutkan:
Artinya:
Bahwa keadaan suci, sah dimanfaatkan dengannya, maka tidak sah mahar
dengan minuman keras, babi, darah dan bangkai karena yang demikian itu
tidak ada harganya menurut pendapat syariat Islam.
Tidak dibenarkan benda-benda yang disebut di atas seperti minuman
keras, babi, darah dan bangkai sesuai menurut penjelasan Al-Qur‟an surat
Al-Maidah ayat 3, yang berbunyi:
          
Artinya:
“Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah daging babi, dan sesuatu
(binatang) yang disembelih atas nama selain Allah SWT
Dari pengertian ayat di atas dan hubungannya dengan kutipan yang
mengharamkannya mahar dengan benda yang tidak bermanfaat dalam
Islam, Maka dapat diambil perhatian bahwa segala benda yang haram
32
Abdurrahman Al-Jaziriy, Al-Fiqh „ala Mazahib Al-Arba‟ah, (Mesir: Al-Tijiriya,
1996), Jilid 4, h. 97.
23
untuk dipergunakan atau dimanfaatkan haram pula dijadikan mahar.
2. Benda Yang Berharga
Disamping tidak bolehkannya mahar beda-benda yang telah
diharamkan dalam Islam, mahar juga tidak dibenarkan dengan bendabenda atau sesuatau yang tidak ada harganya, seumpama sampah, biji
buah-buahan, buah-buahan yang busuk dan sebagainya. Hal ini dijelaskan
dalam kitab Al-Fiqhu „ala Mazahib Al-Arba‟ah sebagai berikut :
Artinya:
Mahar adalah sesuatu harta benda yang mempunyai harga, maka tidak sah
mahar dengan harganya murah yang tidak mempunyaiharga seperti biji
gandum.
Dari kutipan diatas dapat dipahami bahwasannya mahar tidak
dibenarkan dengan sesuatu benda yang tidak ada harga atau nilai,
meskipun benda tersebut halal. Karena dengan demikian itu terlalu
mempermudah, seharusnya mahar tersebut hendaklah yang dipandang
baik, sebagaimana menurut pemahaman yang dapat diambil dari surat AlBaqarah ayat 267 yang berbunyi:
       
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah SWT)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik”
33
Abdurrahman Al-Jaziriy, Al-Fiqh „ala Mazahib Al-Arba‟ah., h. 98.
Al-Baqarah 267
34
24
Hal ini juga dapat dilihat hadis Nabi SAW:
Artinya:
Dari Abi Salamah bin Abdurrahman berkata: Saya bertanya kepada
Aisyah Istri Rasulallah SAW, berapa mas kawin Rasulallah SAW ?
Aisyah Menjawab: mas kawin kepada istri-istrinya adalah dua belas
uqiyah dan nash. Aisyah bertanya: tahukah engkau akan nash itu? Saya
menjawab : tidak tahu. Aisyah berkata: setengah uqiyah, maka yang
demikian itu lima ratus dirham . Inilah maskawin Rasulallah bagi istriistrinya (H.R. Muslim)
Hadis di atas menunjukan benda yang berharga seperti mata uang,
karena itu (mata uang) dapat dijadikan mahar. Hal seperti ini terdapat
dalam masyarakat sekarang, di mana pihak pengantin pria menyerahkan
sejumlah uang kepada pihak pengantin wanita pada saat „aqad nikah
sebagai maskawin.
3. Benda Yang di Miliki
Disamping mahar tersebut sesuatu (benda) yang halal dan berharga, mahar
juga harus benda yang dimiliki oleh seseorang dan dapat diserah kepada
pengantin perempuan tersebut, dengan demikian mahar tidak boleh seperti
35
Imam Nawawy, Shahih Muslim Bi Syarhi Al-Nawawy, (Mesir Al-Mathba‟ah AlMisriyah Wa Maktabuha), Juz 3, h.585
25
burung yang terbang di udara atau ikan yang di laut yang belum dimiliki.
Hal ini juga di jelaskan dalam kitab Al-Fiqhu IslamiyWa Adillatuhu
sebagai berikut:
Artinya:
“Bahwa benar mahar itu terhindar dari tipuan, maka tidak boleh mahar itu
seorang hamba sahaya yang lari (hamba sahaya tersebut tidak ada di depan
mata) unta yang sesat (unta yang tidak ada di depan mata) atau sesuatu
yang serupa keduanya.
Kutipan diatas menunjukkan tidak sah dijadikan mahar benda yang
bukan miliknya, seperti barang titipan orang kepadanya dan tidak sah juga
menjadikan mahar kalau tidak sanggup menyerahkannya, seperti miliknya
yang telah dirampas orang dan tidak sangup mengambilnya kembali.
D. Mahar Adalah Hak Si Perempuan Bukan Hak Walinya
Mahar atau mas kawin dalam ajaran Islam merupakan hak calon
mempelai wanita dan bukan hak wali. Oleh karena itu, besar kecilnya mahar
ditentukan oleh wanita bukan oleh walinya. Namun, tidak mengapa apabila si
wanita tersebut berunding dengan walinya untuk menentukan berapa besarnya
mas kawin. Meski demikian, keputusan terakhir tetap di tangan si wanita.
Apabila si wanita menentukan jumlah mahar terntentu kemudian si wali juga
menentukan jumlah tertentu, maka yang diambil adalah ucapan si wanita.
Oleh karena mahar adalah hak si wanita, maka si wali ataupun yang lainnya
36
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqih Islamiy Wa Adillatuhu, (Beirut-Lebanon: Dar Al-Fikr),
Juz 7, h. 259
26
tidak boleh mengambil seluruh atau sebagian jumlah mahar tersebut tanpa ada
izin dari si wanita. Oleh karena itu, ulama Syafi'iyyah dan Hambali
berpendapat bahwa seorang suami tidak boleh membayar mahar kecuali
kepada isterinya atau kepada orang yang diwakilkan oleh isterinya. 37
E. Pelaksanaan Pemberian Mahar
Berikut ini ada beberapa kondisi di mana apabila kondisi ini terjadi, maka
si suami boleh tidak membayar sisa maharnya atau semua maharnya, bahkan
boleh meminta sebagian atau seluruh mahar yang telah diberikannya. Kondisikondisi dimaksud adalah:
1. Apabila si isteri meminta untuk bercerai dari si suaminya sebelum
keduanya melakukanhubungan badan.
Misalnya, apabila si isteri masuk Islam sementara suaminya masih
non muslim dan keduanya belum melakukan hubungan badan, maka
menurut Syafi'iyyah dan Hanabilah, si suami boleh tidak membayar
mahar. Atau si isteri meminta dicerai lantaran suaminya impotent atau ada
penyakit menular yang tidak bisa disembuhkan, atau karena si suaminya
ternyata adalah saudara sesusu wanita tersebut dan keduanya belum
melakukan hubungan badan, maka si suami tidak mesti membayar mahar
kepada si wanita tadi. Bahkan menurut ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah,
mereka tidak mengkhususkan perceraian itu harus datang dari pihak isteri.
Menurut mereka baik permintaan cerai itu datangnya dari pihak suami
ataupun isteri selama belum hubungan badan, maka hal demikian tidak
mengharuskan membayar Mahar Musamma atau Mahar Mitsil. Namun,
37
Qs. An-Nisa: 4
27
hemat penulis, yang lebih rajih adalah pendapat Syafi'iyyah dan Hanabilah
yang mensyaratkan bahwa perceraian tersebut datang dari pihak isteri
bukan dari pihak suami.
2. Apabila terjadi khulu' baik si isteri tersebut telah disetubuhi ataupun
belum.
Khulu' adalah permintaan cerai dari pihak isteri. Khulu berbeda
dengan talak. Apabila talak berupa permohonan cerai dari pihak laki-laki,
maka Khulu' perceraian akan tetapi datangnya daripihak isteri. Misalnya,
apabila si suaminya sangat kikir, atau impotent atau tidak pernah shalat
wajib, suka berjudi, mabuk dan lainnya, maka si isteri boleh meminta agar
si suami menceraikannya dengan catatan si isteri harus membayar 'iwad,
berupa sejumlah uang yang kira-kira cukup untuk dijadikan maskawin
baik besar maupun kecil untuk pembahasan lebih lanjut seputar Khulu' ini,
akan dibahas dalam makalah khusus.'Iwad atau uang ganti dalam Khulu'
tidak mesti sama dengan jumlah mas kawin yangditerimanya. Ia boleh
membayar berapa saja selama hal itu layak dijadikan mas kawin. Dalam
prakteknya Khulu' ini terjadi seperti ini: Si wanita meminta suaminya agar
menceraikannya karenasi isteri merasa tidak kuat dengan kelakuan si
suaminya yang sering mabuk-mabuk dan tidakpernah shalat. Lalu si
suaminya setuju. Kedua suami isteri tersebut lalu pergi ke pengadilan, dan
didepan pengadilan si suami mengatakan: "Saya telah mengkhulu' kamu
dengan uang ganti sebesar500 ribu rupiah, misalnya". Setelah itu, si isteri
memberikan uang sebesar 500 ribu rupiah sebagai iwad dari khulu
tersebut. Apabila shigat khulu telah diucapkan, maka ia dipandang telah
28
bercerai.
Dalam peraturan perkawinan yang berlaku untuk ummat Islam di
Indonesia, yaitu Kompilasi Hukum Islam, khulu ini diistilahkan dengan
Cerai Gugat. Cerai gugat adalah perceraian atas permohonan si isteri
dengan syarat si isteri harus membayarkan ganti rugi ('iwad) baik dengan
mengembalikan mas kawin yang pernah diterimanya dahulu maupun
berapa saja jumlahnya menurut kesepakatan dengan suaminya. Sedangkan
perceraian atas keinginan si suami disebut dengan Cerai Talak.
Apabila, si isteri meminta khulu kepada suaminya, baik si isteri
tersebut telah disetubuhi maupun belum, maka si suami tidak
berkewajiban membayar mas kawin. Sisa mas kawin yang belum
dibayarnya dapat dijadikan iwad khulu oleh si isteri sehingga dengan
demikian hutang sisa maskawin si laki-laki tersebut menjadi lunas, gugur
dan jatuh. Apabila mahar dari si suaminya sudah dibayar penuh, lalu si
isteri berkehendak untuk khulu, maka sebaiknya ia mengembalikan mas
kawin suaminya itu. Apabila si isteri tidak mempunyai cukup uang untuk
mengembalikan maskawin yang dahulu diterimanya, maka ia boleh
dengan jumlah yang lebih kecil, selama ada kerelaan dan keridhaan antara
kedua belah pihak.
3. Ibra' (tanazul) dari semua mahar baik sebelum dukhul maupun
setelah dukhul.
Ibra' secara bahasa berarti bebas atau berlepas. Sedangkan secara
29
istilah, Ibra' mempunyai beberapa bentuk dan istilah. Di antaranya, Ibra'
terjadi apabila seorang bapak berkata kepadasuami anak perempuannya:
"Talaklah anak saya dan kamubebas dari mahar kamu yang belumkamu
bayar", lalu si suami mentalaknya, maka ia bebas (bari') dari mas kawin
tersebut. Praktek seperti ini disebut dengan Ibra'. Oleh karena itu, apabila
seorang isteri atau walinya meminta sisuami untuk mentalaknya atau
mengkhulu'nya dengan catatan apabila ia melakukannya makamaharnya
akan gugur dan tidak mesti dibayar, lalu si suami tersebut melakukannya
(menceraikannya), baik ia telah mendukhulnya maupun belum, maka
mahar si suami jatuh dan tidak mesti dibayar.
4. Si isteri menghibahkan atau membebaskan si suami dari pembayaran
mahar.
Apabila seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita dengan
mahar dibayar setengahnya dan setengahnya lagi di bayar setelah menikah,
atau maharnya belum dibayar samasekali (hutang), lalu setelah menikah si
isteri menghadiahkan atau menghibahkan atau membebaskan maskawin
tersebut karena, misalnya, merasa kasihan kepada suaminya, dan si
suaminya menerima pembebasan mahar tersebut, maka kewajiban mahar
bagi si suami menjadi gugur. Si suami tidak harus membayar mahar.
Dengan catatan si isteri menghibahkannya itu dalam keadaan normal,
sehat, dewasa, tidak dipaksa dan betul-betul berdasarkan keinginannya
sendiri.
F. Hikmah Mahar
Salah satu usaha islam ialah memperhatikan dan menghargai
kedudukan wanita, yang memberinya hak untuk memegang urusannya, seperti
30
hak menerima hak mahar mengurusnya. Suami wajib memberi mahar kepada
istrinya bukan kepada ayahnya
Pensyari‟atan mahar dalam perkawinan mengandung arti yang sangat
mendalam, antara lain: sebagai penghormatan terhadap yang dicintai,
mengikat jalinan kasih sayang kepada istri serta mempererat hubungan antara
keduannya, bukan pula dianggap pemberian atau ganti rugi. Pemberian mahar
merupakan salah satu jalan yang dapat menjadikan istri berhati senang dan
ridha menerima kekuasaan suami tehadap dirinya.
Pemberian mahar itu kepada istri bukanlah harga dari wanita itu, dan
bukan pula sebagai pembelian wanita itu dari orang tuannya, akan tetapi
pensyari‟atan mahar tersebut merupakan salah satu syarat yang dapat
menghalalkan hubungan suami istri antara keduanya, yaitu hubungan timbal
balik dengan senang hati dan penuh kasih sayang dengan melakukan status
kepimpinan dalam rumah tangga secara tepat lagi ialah bertanggung jawab.
Dengan adanya kewajiban memberi mahar kepada istri terentanglah
tanggng jawab yang besar dari suami untuk memberikan mahar di dalam
kehidupan rumah tangga secara layak.
Adapun hikmah mahar menurut penulis adalah sebagai berikut:
1. Sebagai suatu motivasi dan tanggung jawab moral bagi setiap laki-laki
yang ingin melangsung perkawinan.
2. Sebagai suatu kebebasan dari larangan hukum yang mutlaq kepada yang
membenarkan di dalam perkawinan.
3. Sebagai suatu bukti balasan penyerahan diri terhadap suami dari pihak
31
istri, sehingga terwujud rasa kebersamaan dengan pengertian yang sangat
luas.
4. Terjalinnya hubungan kasih sayang yang pantas dikenang oleh kedua
belah pihak (suami-istri)
5. Sebagai penetapan status dan martabat wanita yang sudah
dijunjung
tinggi.
Demikianlah hikmah disyariatkannya mahar sehingga wanita tidak
dizalimi serta mendorong terciptanya keluarga-keluarga Islami dengan
mematuhi syariat agama.
32
BAB III
HADIS-HADIS MENGENAI MAHAR
A. Teks Hadis dan Terjemahannya
Dalam bab ini hadis-hadis mengenai mahar akan dibahas. Seluruh hadis
dari kitab-kitab asli yang memeuat hadis-hadis sahih, seperti al-jami‟ al-sahih
al-Bukhari, al-jami‟ al-sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa‟I Sunan
Ibnu Majah, Musnad Imam Ahmad dan lain- lain. Di antara hadis-hadis
tersebut adalah:
Artinya:
Dari Ibnu „Abbas, dia berkata: Ketika „Ali ra menikah dengan Fatimah ra putri
dari Rasulallah SAW, beliau berkata kepada „Ali ra, “Berilah sesuatu (sebagai
mahar) kepadanya.” Dia menjawab, “saya tidak punya apa-apa. “ Beliau
bertanya. “Mana baju besi hutamiyahmu? “ Dia menjawab, “Dia ada padaku.
Beliau bersabda, “Berikanlah dia padanya.”
38
(HR. Nasa‟i ) Lihat, Abu Abdullah al-Rahman Ibn Syu‟aib al-Nasa‟I, Sunan anNasa‟I, Kitab an-Nikah,
, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Cet. ke-I, Jilid III, h.
123
33
Artinya:
Dari Abu Salamah Ibn „Abdur Rahman ra sesungguhnya dia berkata: “Saya
bertanya kepada „Aisyah istri Nabi SAW: Berapa banyak maskawin yang
diberikan Rasulallah SAW? „Aisyah menjawab: Maskawin yang beliau
berikan kepada istri-istrinya ialah dua belas setengah uqiyah”. Ketika dianya
oleh „Aisyah berapa itu kira-kira, aku menjawab lima ratus dirham. Inilah
maskawin yang diberikan oleh Rasulallah SAW kepada istri-istrinya”.
Artinya:
Dari Sabit dari anas ra berkata: Ketika Abu Talhah melamar Ummu Sulaim,
maka jawab Ummu Sulaim: “Demi Allah, wahai Abu Talhah tidaklah pantas
jika lamarmu ditolak, akan tetapi kamu seorang kafir sedangkan aku wanita
muslim, maka tidak dihalalkan bagiku menikah denganmu, tetapi jika kamu
bersedia masuk Islam, maka itulah maskawinku dan aku tidak meminta yang
lain darimu.” Oleh sebab itu Abu Talhah masuk Islam dan Islamnya itulah
sebagai maskawinnya untuk Ummu Sulaim. Kata Sabit: Sama sekali aku
benlum pernah mendengar wanita yang maskawinnya lebih mulia dari pada
maskawin Ummu Sulaim, yaitu masuk Islam. Maka Talhah menikah
dengannya dan ia sempat memberi anak baginya.
39
(HR. Muslim), Abu Husain Muslim Ibn Hajjaj al-Qusyairi, Al-Jami‟ al-Sahih
Muslim Kitab an-Nikah, ‫باب ورب الىظس ﺇلً وجه المسﺃة ومُفُها لمه بسَد تصوجه‬, (Beirut: Dar al- Fikr,
1993), Cet. Ke-I, Juz V, h. 229. Juga terdapat di Sunan Abu Daud, Kitab an-Nikah, ‫باب الصداق‬,
Juz III, hadis no. 2105, h. 199, dan Sunan Ibnu Majah, Kitab an-Nikah, ‫باب سداق الىساء‬, Juz I,
hadis no. 1886, h. 592
40
(HR. Nasa‟i),, h. 124
34
Artinya:
Dari „Urwah dari Ummu Habibah, sesungguhnya Rasulallah SAW telah
mengawininya sedang ia berada di Habasyah yang dinikahkan oleh Najasyi
(Raja Habasyah), dan ia memberi mahar empat ribu dirham serta memberi
perbekalan dari dirinya, ia mengirimnya bersama Syurahbil Ibn Hasanah dan
Rasulullah SAW tidak mengirim apapun kepadanya, sedang mahar untuk istriistrinya (yang lain) adalah empat ratus dirham
Artinya:
Dari „Aisyah bahwa Nabi SAW bersabda SAW bersabda: “Sesungguhnya
perkawinan yang paling besar berkahnya adalah yang paling murah maharnya”
41
(HR. Nasa‟i), Lihat, Ibid., h. 118. Juga terdapat pada Musnad Imam Ahmad Ibn
Hanbal, Kitab an-Nikah, Jilid VI, h. 467, dan Sunan Abu Daud, kitab an-Nikah,
,
Jilid II, hadis no. 2107, 2108, h. 200
42
(HR. Ahmad Ibn Hanbal), Abu Abdullah Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Imam
Ahmad Ibn Hanbal, Kitab an-Nikah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Cet, ke-I, jilid III, h. 39
35
Artinya:
Dari Abi „Ajfa ia berkata: Aku pernah mendengar „Umar Berkata: Janganlah
kamu berlebih-lebihan dalam memberi mahar kepada wanita, karena wanita
apabila ia seorang yang mulia di dunia atau orang yang terpelihara di akhirat,
maka orang yang paling utama (dalam menghormati wanita) di antara kamu
adalah Rasulallah SAW. Padahal berapakah Rasulallah SAW memberikan
mahar kepada istri-istrinya, tidaklah seorangpun istrinya yang memberi mahar
lebih dari 12 uqiyah
43
(HR. Nasa‟i), Lihat, Ibid., 117/118. Juga terdapat pada Sunan Ibnu Majah, Kitab
an-Nikah, ‫باب صداق الىساء‬, Jilid I, hadis no. 1887, h. 592
36
Artinya:
Dari Sahl Sa‟ad as-Sa‟idi, dia berkata Seorang perempuan suatu hari datang
kepada Rasulallah SAW dan berkata: “Ya Rasulallah SAW, aku datang untuk
menyerahkan diriku kepada Anda.” Sejenak Rasulallah SAW memperhatikan
perempuan itu dengan teliti. Kemudian Beliau mengangguk-nganggukan
keplanya. Lama sekali Rasulallah SAW tidak memutuskan apa-apa
terhadapnya, perempuan itu lalu duduk. Sesaat kemudian datang salah seorang
sahabat beliau dan berkata: “Ya Rasulallah SAW, seandainya Anda tidak
berkenan padanya, kawinkan saja aku padanya.” Rasulallah SAW bertanya
“Apakah kamu punya sesuatu?” Sahabat itu menjawab:”Tidak ya Rasulallah
SAW.” Beliau bersabda: Kalau begitu pulanglah kamu kepada keluargamu.
Lihat apakah kamu nanti akan bisa menemukan sesuatu. Maka pulanglah
sahabat itu, kemudian kembali lagi dan berkata: “Tidak, aku tidak menemukan
apa-apa.” Raulallah SAW masih mensaknya: “Kamu pulanglah lagi kepada
keluargamu, carilah sesuatu walaupun itu hanya berupa cincin dari besi.”
Untuk kedua kalinya sahabat itu pulang, lalu kembali lagi lalu bekata:” Tidak
ya Rasulallah SAW, aku tidak menemukan sesuatu pun sekalipun itu hanya
cincin dari besi. Cuma aku punya kain sarung ini. Aku akan berikan
seprohnya.” Rasulallah SAW bertanya: Lantas apa yang bisa kamu lakukan
terhadap kain sarungmu ini? Jika kamu memakainya, maka wanita itu tidak
bisa berbuat apa-apa. Demikaianlah juga bila ia dipakai olehnya, maka kamu
juga tidak bisa berbuat apa-apa. Sejenak sahabat itu hanya duduk cukup lama
sekali. Setelah itu dia bangkit berdiri. Tiba-tiba saja pandangan matanya
tertunduk pada Rasulallah SAW yang memandang sedang memperhatikannya.
Dia lalu pergi. Namun sasaat kemudian Rasulallah SAW bertanya: Apakah
kamu tahu tentang al-Qur‟an ? Sahabat itu menjawab: Ya. Ada beberapa surat.
Rasulallah SAW bertanya: Kamu dapat membacanya di luar kepala? Sahabat
itu menjawab: Ya Rasulallah SAW bersabda: Jika begitu pergilah. Wanita itu
menjadi istrinya dengan maskawin hapalan al-Qur‟an yang kamu punyai.
B. Asbabul Wurud
Dalam kitab Al-Bayan-Ta‟rif Fi Asbabul Wurud al-Hadis asy-Syarif,
mengatakan bahwa sebab turunnya hadis tersebut, sebagaimana yang
44
(HR. Bukhari), Lihat, Abu „Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim alBukhari, Al-Jami‟ al-Sahih al-Bukhari, Kitab an-Nikah,. ‫ شوجىا‬:.‫م‬.‫ لقىل الىٍ ص‬.ً‫باب السلطان ول‬
.‫مها بما معل مه القسآن‬, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), Cet. ke-I, jilid III, H. 164. Juga terdapat pada
Sahih Muslim, Kitab an-Nikah, ‫باب ورب الىظس ﺇلً وجه المسﺃة ومُفُها لمه بسَد تصوجه‬, Juz V, hadis no.
1425, h. 228
37
tercantum dalam bab sebelumnya adalah mengenai kisah tentang mahar, yang
hadisnya berbunyi:
“Maskawin yang lebih baik ialah yang paling mudah”
Periwayat:
Al-Baihaqi dari „Uqbah Ibn „Amr, menurut al-Hakim hadis ini sahih
memenuhi persyaratan Bukhari dan Muslim diakui oleh adz-Zahabi.
Diriwayatkan dari „Uqbah, bahwa Rasulallah SAW telah bertanya
kepada seorang laki-laki, “apakah kau rela menikahi si dia? Jawabnya: Ya,
kemudian Rasulallah SAW bertanya kepada si wanita: apa kau suka? Ya,
Akhirnya menikahlah mereka tanpa mahar, Lalu orang tersebut ikut serta
dalam perang khaibar dan ia memesankan pada saat menjelang kematiannya
antara wanita yang di kawininya mengambil anak panahnya sebagi pemberian
(mahar). Lalu wanita tersebut mengambilnya dan menjualnya seharga seratus
dirham, kemudian Rasulallah SAW bersabda: Maskawin yang lebih baik ialah
yang paling mudah, sedangkan maskawin paling sedikit dapat memberikan
kesaksian dan diharapkan berkahnya, oleh sebab itu „Umar Ibn Khatab telah
melarang maskawin yang berlebih-lebihan, lalu katanya: Rasulallah SAW dan
juga putri-putrinya menikah dengan maskawin yang tidak lebih dari 12
uqiyah.45
C. Bentuk Mahar
Pada umumnya mahar dalam bentuk uang atau barang berharga
45
Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi ad-Damsyiqi, Asbabul Wurud: Latar Belakang
Histaris Tibulnya Hadis-hadis Rasul,(Jakarta: Kalam Mulia, 1997), Cet. ke-2, Jilid II, h. 337
38
lainnya, namun Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa melakukan
sesuatu. Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam al-Qur‟an dan
demikian hadis Nabi SAW.46
Contoh dalam hadis Nabi adalah menjadikan mengajarkan al-Qur‟an
sebagai mahar sebagaiman terdapat dalam hadis dari Sahl bin Sa‟adi‟ dalam
bentuk munttafaq „alaih, ujung dari hadis panjang yang dikutip di atas:
Artinya:
Nabi berkata: “Apakah kamu memiliki hafalan ayat-ayat al-Qur‟an?” ia
menjawab: “ya. Surat ini, sambil menghitungnya?”. Nabi berkata: “Kamu hafal
surat-surat itu di luar kepala? “dia menjawab: “ya”. Nabi berkata: “pergilah,
saya kawinkan engkau dengan perempuan itu dengan mahar mengajarkan alQur‟an
Contoh lain adalah Nabi sendiri waktu menikahi Sofiyah yang waktu itu
masih berstatus hamba dengan maharnya memerdekakan Sofiya tersebut.
Kemudian ia menjadi Ummu al-Mukminin. Hal ini terdapat dalam hadis
dari Anas ra. Yang muttafaq‟ alaih ucapan Anas:
Artinya:
Qutaibah bin Said dari Hamad dari Sabiq dan Syu‟eb Bahwa sesungguhnya
Nabi Muhammad SAW. telah memerdekakan Sofiyah dan menjadikan
kemerdekaan itu sebagai maharnya (waktu kemudian mengawininya)
46
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 100
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Mukhtashar Sahih Muslim, (Jakarta:Pustaka
Azzam, 2003), Cet. Ke-I h. 572
48
Maktabah Syamila, Al-Bukhari: Sahih Bukhari, (Mesir, Al-Misykat), h. 1956,
Maktabh Syamila, Al-Muslim: Sahih Muslim, Mesir,Al-Misykat), h.146
47
39
Mengenai besar mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu
tidak batas tertinggi. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang batas
terendahnya. Imam Sayafi‟I, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari
kalangan tabi‟in berendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya.
Segala sesuatu yang dapat menjadikan harga bagi sesuatu yang lain dapat
dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari
kalangan pengikut Imam Malik. Sebagian Fuqaha yang lain berpendapat
bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya
mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau
perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas
dan perak.49
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah
sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang
mengetakan empat puluh dirham.
Pangkal silang pendapat ini, kata Ibnu Rusyd, ada dua hal, yaitu:
1. Ketidakjelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah
satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima
ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dan jual-beli dan
kedudukannya sebagai ibdah yang sudah ada ketentuannya. Demikian itu
karena ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu laki-laki dapat memiliki
jasa wanita untuk selamanya. Maka perkawinan itu mirip dengan
pertukaran. Tetapi ditinjau dari segi adanya larangan mengedakan
persetujuan untuk meniadakan mahar, maka mahar itu mirip dengan
49
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Fi Nihayah al-Muqtashid, (Beirut, Dar al-Fikr),
Juz 2, h. 386
40
ibadah.
2. Adanya pertentangan anatar qiyas yang menghendaki adanya pembatasan
mahar dengan mafhum hadis yang tidak menghendaki adanya pembatasan.
Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan adalah seperti pernikahan itu
ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuannya.
Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi SAW, “carilah walaupun hanya
cincin dari besi”, merupakan dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan
terendahnya. Karena jika memang ada batas terendahnya tentu beliau
menjelaskannya.50
Akan
tetapi,
mereka
berpendapat
tentang
batas
minimalnya. Syafi‟i. Hambali dan Imamiyah berpendapat bahwa tidak ada
batas minimal mahar.
D. Macam-macam Mahar dalam Hadis
1. Mahar al-Musamma, yaitu mahar yang disebutkan di dalam akad atau
selepas akad dengan keredhaan kedua pihak. Sama ada mahar itu
disepakati dengan jelas di dalam akad atau ditetapkan bagi isteri selepas
akad dengan keredhaan atau ditetapkan mahar itu oleh hakim.
Hal ini di tegaskan dalam surat al-Baqarah ayat 237:
             
              
        
Artinya:
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan
mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka
bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika
50
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Fi Nihyah al-Muqtashid, juz 2, h. 386
41
isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang
ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan
janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.
2. Mahar al-Mistil.51 Dalam menentukan mahar jenis ini terdapat perbedaan
pendapat di kalangan pakar fiqih. Ulama madzhab Hanafi mengemukakan
bahwa mahar tersebut adalah sejumlah mahar yang sama nilainya dengan
mahar yang diterima oleh perempuan yang menikah dari pihak ayahnya
(seperti adik/ kakak perempuan dan keponakan perempuan ayah). Karena
itu, setiap daerah mempunyai ketentuan mahar yang sudah pasti, maka
ukuran yang diambil adalah kebiasaan yang berlaku dalam perkawinan
keluarga ayah wanita tersebut. Ulama madzhab Hanbali menyatakan
bahwa mahar al-Mistil
itu adalah sejumlah mahar yang berlaku bagi
keluarga wanita tersebut dari pihak ayah dan ibu (seperti adik/ kakak
perembuan ayah/ ibu). Hal ini didasarkan pada sebuah hadis yang
diriwayatkan Ahmad bin Hanbal. Ulama Madzhab Maliki dan Syafi‟I
menyatakan bahwa mahar al-mistil itu dikembalikan kepada kebiasaan
yang berlaku dlaam keluarga tersebut ketika melangsungkan perkawinan
seorang wanita.
3. Mahar sir dimaksudkan mahar yang tidak diucapkan pada akad nikah,
namun telah disepakati jumlahnya sebelum akad nikah dilangsungkan.52
51
Mahar ini adalah mahar yang berlaku menurut kebiasaan yang berlaku dengan
dasar QS. 4:24, yang berbunyi: “Dan istri-istrimu yang telah kamu nikmati itu, berilah
mereka mahar. Hal senada, yaitu di qiayaskan dengan ijma para ulama yang menyatakan
bahwa perempuan yang sudah dicampuri karena syubhat, tetap berhak mendapatkan mahar
mistily. Lihat: Muhammad Ali as-Sabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam Juz I (Cet. II; DamsyiqSuriyah: Maktat al-Gazali, 1977 M/ 1397, h. 379
52
Syamsuddin Aby „Abdillah Muhammad bin Aby Bakar al-Ma‟ruf biibni Qayyim
al-Jauziyyah, I‟laam al-Muwaqq‟in „an al‟-Alamiin, Juz III (Beirut: al-Maktabat al„Ashriyyat, 1987 M/ 1307 H), h.100
42
Adapun mahar al-musamma wajib dibayarkan suami sesuai dengan
jumlah yang disepakati dalam akad. Mengenai mahar al-mistil, ulama
menyatakan bahwa kewajiban membayar mahar tersebut muncul dalam
keadaan-keadaan:
1. Apabila suami dan istri sepakat untuk tidak memakai mahar dalam
perkawinan
2. Apabila dalam perkawinan tidak disebutkan jumlah dan jenis mahar oleh
suami
3. Benda yang disajikan mahar tidak bernilai harta dalam Islam, miaslnya:
minuman keras, narkoba, dan babi.
Jadi mahar yang sah adalah mahar yang dapat dibayar secara tunai ketika
akad dan dapat ditunda pembayarannya. Selain itu, ada beberapa hal
menjadikan gugurnya mahar, yaitu:
4. Terjadi perpisahan antara suami dan istri selain dengan talak sebelum
terjadi hubungan seksual
5. Terjadi khuluk sebelum dan sesudah hubungan seksual dang anti ruginya
adalah mahar
6. Istri menghibahkan mahar seluruhnya kepada suami, dengan syarat si istri
intelek dalam hal hukum syara‟.53
53
Alhamdani, Risalah al-Nikah, (Pekalongan: Raja Murah, 1980),h. 20-21
43
BAB IV
ANALISA KANDUNGAN HADIS-HADIS MAHAR
G. Mahar Menurut Pendapat Ulama Secara Umum
Mahar disebutkan dalam Al-Qur‟an:
              
Artinya:
Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan.kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya
Mahar merupakan pemberian seorang suami kepada istrinya yang
dilakukan pada waktu akad nikah. Dikatakan yag pertam karena sesudah itu
akan timbul beberapa kewajiban materiil yang harus dilaksanakan oleh suami
selama masa perkawinan untuk kelangsungan hidup perkawinan itu. Dengan
pemberian mahar itu suami di persiapkan dan di biasakan untuk menghadapi
kewajiaban materil berikutnya.55
Dalam Islam, persoalan maskawin atau mahar jauh berbeda dengan
keadaan atau tradisi yang berlaku di luar ajaran Islam. Mahar dalam Islam
54
Qs: An-Nisa: 4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta, Prenada
Media, 2007), Cet. Ke-II, h. 87.
55
44
merupakan pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan
dalam perkawinan. Islam telah mengaangkat derajat kaum perempua,karena
mahar itu diberikan sebagai tanda penghormatan kepada kaum hawa.
Bilamana pernikahan itu berakhir dengan perceraian, maka perkawinan itu
tetap menjadi hak milik istri dan suami tidak berhak mengambil kembali
maharnya kecuali dalam kasus khulu (perceraian yang terjadi lantaran
permintaan dari pihak istri). Dalam hal ini istri yang minta cerai, hendaknya
mengembalikan semua mahar yang telah diberikan kepadanya. Dengan kata
lain, maskawin itu adalah sejumlah uang atau harta benda lainnya yang
dijanjikan suami kepada istrinya karena ikatan pernikahan
Namun yang menjadi permasalahan dalam Islam dikalangan pakar fikih
adalah batas minimal mahar, sehingga mereka berbeda pendapat yaitu:
Pendapat pertama: Menurut madzhab Hanafi batas minimal mahar
adalah 10 (sepuluh) dirham,56, dengan mengemukakkan dalil sebagi berikut.
1. Dari apa yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan al-Baihaqi dari Jabir
ibn Abdullah, bahwa Rasulallah SAW. bersabda:
Artinya:
Jangan menikahkan wanita kecuali sekufu‟ dan jangan mengawinkan
wanita kecuali oleh para walinya, dan tidak ada mahar yang kurang dari
56
Al-Kamal bin al-Hammam al-Hanafi, Fathur Qadir‟alal Hidayah Syarah Bidayatil
Mubtadi, (Mesir Mathabil al-Halabi, 1938), h. 435
57
Ahmad bin al-Husain bin „Ali Musa Abu Bakr al-Baihaqiy, Sunan al-Baihaqiy alKubray Juz VII (Mekkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, 1994), h.240
45
sepuluh dirham.
Dalil ini mendapat sanggahan dengan dinyatakan bahwa hadis di
atas dha‟if (lemah), sehingga tidak bisa dijadikan dasar hujjah, karena
dalam sanad hadis tersebut terdapat nama Mubasyar bin Ubai, dia adalah
dha‟if dari al-Hujjaj bin Arta‟ah, sementara dia adalah mudalis.
2. Dikeluarkan oleh al-Baihaqi melalui jalan Syuraik dari Daud al-Audy dari
Sya‟by dari Ali ra., ia berkata:
Artinya:
Serendah-rendahnya apa yang menghalalkan faraj adalah sepuluh dirham.
Hadis ini pun mendapat sanggahan dengan dinyatakan bahwa Daud alAudy adalah tsiqah(tidak dapat dipercaya).
3. Perlu adanya pembatasan mahar secara jelas sebagai bukti sucinya
kemaluan seorang perempuan, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam
Islam,
bahwa
batas
minimal
untuk
ditetapkan
dibolehkannya
melaksanakan hukuman potong tangan bagi pencuri adalah sepuluh
dirham, maka logikanya pada penghalalan (kemaluan) juga selayaknya
seniali sepuluh dirham.59
Pendapat kedua: Batas minimal mahar adalah tiga dirham atau
seperempat dinar, atau senilai kadar itu dari benda selain emas dan perak atau
suatu yang suci dan tidak mengandung najis, bermanfaat, berfaidah secara
syar‟i baik berupa modal, gandum atau lahan, tidak berupa suatau alat untuk
58
Ahmad bin Husain bin „Ali bin Musa Abu Bakr al-Baihaqiy, h. 241
Al-Kalwadzani al-Hanafi, Al- Hidayah bi Syarh Bidayatil Mubtadi, Jilid II. Cet. ke-
59
I, h. 36
46
permainan yang sia-sia dan benda tersebut mampu untuk diberikan kepada
istri serta diketahui ukuran, sifat dan waktunya. Pendapat ini adalah pendapat
Madzhab Maliki.60
Adapun surah an-Nisa‟ (4) ayat 25:
            
  
Artinya:
Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh
mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.61
Segi pembuktian dalil secara normative, bahwa Allah SWT, ketika
menghalalkan untuk menikahi budak-budak wanita mensyaratkan tidak cukup
thaul (pembelanjaan), disini dapat diketahui bahwa tidak semua orang
memiliki pembelanjaan, dan telah diketahui bahwa pembelanjaan dalam ayat
ini adalah harta, dan sesuatu tidak dinamakan harta bila nilai sesuatu itu
kurang dari tiga dirham, maka faraj (kemaluan) belum dihalalkan dengan
mahar yang kurang nilainya dari tiga dirham.62
Pendapat disanggah, bahwa thaul (pembelanjaan) yang dimaksud ayat
tersebut di atas tidak harus berupa harta saja bahkan lebih luas dari
sebelumnya, karena yang dimaksud dalam thaul dalam ayat ini adalh
kelebihan dan kelapangan yang bersifat immaterial atau material, karena
terkadang seorang pria tidak dapat menikahi seorang perempuan yang
merdeka, sedangkan pria memiliki harta yang dapat dijadikan mahar,
60
Ad-Dardir Abdul Barakat, Asy- Syarhush Shaqir „ala Aqrabil Musalik Lid Dardir,
Jilid II (Mesir: Darul Ma‟rifah, 1992), h.28
61
Departemen Agama RI, Al-Qr‟an dan Terjemahnya, (Madinah Munawawarah,
Mujamma‟ al-Haramain asy-Syarifain al-Malik Fahd li thiba‟at al-Mushhaf asy-Syarif), h. 121
62
Ibnu Rusydi al-Maliki, Al-Muqaddimat al-Mumahhidat, Jilid II (Mesir: Dar asSa‟adah), h. 357-358
47
sementara perempuan itu tidak mau menikahi dengan pria tersebut lantaran
memiliki aib pada prilakunya
Adanya hadis yang diriwayatkan oleh Anas, bahwa Nabi SAW melihat
bekas warna kuning pada Abdurrahman bin Auf, maka beliau bertanya:
“Apakah ini”? Ia menjawab: Aku menikahi seorang wanita dengan emas
seukuran nawat (biji kurma)”, Beliau bersabda:
Artinya:
Semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu, lakukanlah walimah
walaupun dengan seekor domba.
Mereka berpendapat bahwa nawat menurut ulama Madinah sebesar
sepermpat dinar.64
Bahwa hadis tersebut tidak bisa di jadikan hujjah untuk menetapakan batas
minimal mahar sebesar seperempat dinar, sebab kadar sepermpat dinar dalam
hadis di atas tidak menunjukkan batas minimal mahar, kecuali bila dalam
hadis tersebut terdapat lafadz yang jelas sebagai ungkapan batas minimal
mahar, sementara ungkapan semacam itu tidak dikemukakkan dalam hadis di
atas.
Pendapat ketiga: Mahar bisa berupa materi atau apa saja memiliki nilai
material, selama benda itu bisa disetujui kedua pihak, yaitu sumi-istri.
Pendapat ini adalah pendapat Madzhab Hambali, ibnu Wahab dan madzhab
Maliki, Ishak bin Rahawai, Abu Tsaur, para ahli fikih Madinah dari golongan
tabi‟in, al-Hasan al-Basri, at-Tsauri, al-Auzai dan Said bin al-Musayyab.65
63
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 3,
(Beirut: Dar al-Ma‟rifah), h. 253
64
Muhammad Asy-Syaukani bin Ali, Nailul Autsar, Jilid VI, h. 178
65
Mahyiddin Syarifuddin an-Nawawi, Al-Majmu‟ Syarth al-Mubazzab, Jilid. Xv
(Kairo: al-Ashimah), h. 428
48
1. Hadis yang diriwayatkan oleh Asy Syafi‟i:
Artinya:
Kami diriwayatkan dari sebagian Sahabat Nabi SAW: Tidak ada mahar
yang lebih sedikit dari sepuluh dirham.
Segi pembuktian dali: bahwa Rasulullah SAW. dalam hadis ini
memperbolehkan pria untuk memberikan cincin yang terbuat dari besi
sebagai mahar sah dengan segala sesuatu yang disebut dengan harta.67
Pendapat tersebut tidak dapat diterima, karena Nabi SAW. hanya
memerintakan pria untuk segera mendahulukan pemberian sesuatu kepada
perempuan yang akan menjadi istrinya, dan itulah yang bisa difahami dari
sabda Rasulullah SAW tersebut, jika Rasulullah SAW menghendaki
bentuk mahar yang dapat mensahkan akad nikah, maka Raulullah saw
cukup dengan menetapkan bahwa mahar dalam tangguannya, sehingga
dibolehkan untuk melaksanakan akad nikah dan tidak perlu bagi
Rasulullah SAW untuk meminta pria bergegas dalam mendapatkan
seauatu. Dengan demikian, hadis ini menunjukkna bahwa Rasulullah SAW
tidak menginginkan dengan ucapan itu seseuatu yang bisa mensahkan
akad.68
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Tirmidzi dari
Abdullah bin Amir bin Rabi‟ah, yang mengatakan:
66
Muhammad bin Idris al-Syafi‟I Abu Abdillah, al-Umm. Juz V (Beirut: Dar alMa‟rifah), Cet. II h. 160
67
Ibnu Hazm azh-Zahiri, Al- Muhallah Syarh al-Muhalla, (Mesir: Dar al-Ittihad al„Arabi. 1387H)Jilid XI., h. 104-105
68
Abu Bakar al-Jashshash, Ahkamul Qur‟an, (Mesir: Syirkah Mathba‟ah wa
Maktabah Abdurrahman Muhammad), Jilid III, h. 86
49
Artinya:
Abdullah bin „Amir bin Rabi‟ah, dari bapaknya, bahwa ada seorang wanita
dari Bani Fazarah yang menikah dengan mahar sepasang sandal.
Rasulullah SAW bersabda: Apakah engkau merelakan diri dan hartamu
dengan sepasang sandal? Wanita itu menjawab: Ya. Maka Rasulullah
SAW, menikahkannya.
2. Hadis yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dari Jabir ra. Bahwa ia
berkata
Artinya:
Dari Jabir bin „Abdillah berkata: “Pada zaman Rasulallah SAW, kami
menikah dengan (mahar) berupa segenggam makanan.
Mereka yang berpendapat bahwa mahar akan menjadi sah dengan
apa yang disebut sesuatu, walaupun berupa sebiji gandum, ini merupakan
pendapat Sahl bin Sa‟ad sebagaimana di sebutkan dalam hadis:
69
Ahmad Utsman, Atsar „Aqdiz Zawaj fisy-Syari‟ah al-Islamiyyah, (Universitas alImam, Idaratut Thiba‟ah wan Nusyr, 1981), Jilid I h,.132
70
Ali bin Umar Abu al-Hasan al-Daraqutniy al-Baghdadiy, Sunan al-Daraquthniy
(Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1966), Juz III h. 243.
50
Artinya:
Dari Sahl Sa‟ad bahwasannya seorang wanita menyerahkan dirinya kepada
Nabi SAW,. Kemudian tampil seorang laki-laki dan barkata: Ya
Rasulallah, Kawinlah saya dengan wanita ini. Maka Rasulullah bersabda
apa yang ada disisimu? Laki-laki tersebut menjawab: “saya tidak memiliki
sesuatu” Rasulullah bersabda: pergilah mencari sekalipun sebentuk cincin
yang terbuat dari besi. Maka laki-laki tersebut pergi kemudian kembali,
lalu berkata: “demi Allah saya tidak mendapatkan sesuatu, dan tidak
memiliki cincin besi, akan tetapi inilah sarung saya dan baginya separuh.
Sahal berkata: maka tidak ada baginya yang di kembalikan dengan
sarungmu, jika kau memakianya maka dia tidak dapat apa-apa dan jika dia
memakainya maka kaupun tidak memakai apa-apa. Maka laki-laki itupun
duduk dalam waktu yang lama dan ketika dia berdiri Rasulullah SAW
amelihatnya dan memanggilnya. Maka Rasulullah SAW berkata
kepadanya: Apa yang ada padamu dari (hafalan) Al-Qur‟an? Dia
menjawab: Saya menghafal surah begini dan surah begini hingga beberapa
surah. maka Nabi SAW berkata: Saya menjadikannya milikmu
(menikahkanmi) dengan hafalan Al-Qur‟an yang ada padamu.
Dalam hadis tersebut Nabi SAW bersabda: “Carilah sesuatu” pria
itu menjawab: “Aku tidak menemukan sesuatu apapun. Beliau bersabda:
“Carilah (sesuatu), walau cincin yang terbuat dari besi”
71
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, h. 246
51
Dengan demikian, sabda Rasulullah SAW: “Carilah sesuatu,
mencangkup makna segala sesuatu walaupun sesuatu itu berupa sebiji
gandum.72
Pendapat keempat: Mahar bisa dengan apa yang mungkin disebut
sesuatu, walaupun berupa suatu biji gandum, ini adalah pendapat Ibnu
Hazm. Berdasarkan hadis Sahl bin Sa‟ad: “Carilah sesuatu, sekalipun
cincin yang terbuat dari besi.”73
Cara berdalih semacam ini bisa disanggah disebabkan Nabi SAW
setelah itu meneruskan sabdanya: “Carilah sesuatu walaupuncincin
terbuat dari besi” Dalam hadis tersebut beliau menyebutkan sesuatu yang
lebih tinggi nilainya, sebab cincin dari besi lebih berharga dari pada biji
gandum.74
Pendapat kelima: Sesungguhnya mahar sah dengan sesuatu yang
dimiliki nilai baik berupa nilai materi atau immateri.75
Artinya:
72
Ibnu Hazm azh-Zahiri, h.97, terdapat juga di Asy-Syaukani, Nailul Authar, Jilid,
VI, p. 167.
73
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari Juz 3
74
Ibnu Hazm azh-Zahiri, h. 97. Terdapat juga di Asy-Syaukhani, h. 167
75
Sayikh Shalih bin Gahanim as-Sadlan, Fiqhuz Zawaj fi „Dhau‟il Kitab was
Sunnah, diterjemahkan oelh Abu Ahmad Zaenal Abidin Syamsuddin, dengan judul “Seputar
Pernikahan” Cet. I (Jakarta: Bulan Bintang 1983) h. 16
76
Ahmad bin Syua‟ib Abu Abdirrahman al-Nasa‟i, Sunan al-Nasa‟I, Juz VI, (Halb:
Maktabah al-Mathbu‟at al-Islamiyah, 1986) Cet. II h. 114
52
Dari Anas berkata: Abu Thalhah melamar Ummu Sulaim maka dia
berkata: Demi Allah, tidak ada (lelaki) yang sama sepertimu. Akan tetapi,
kau adalah seorang yang kafir sedang saya ini seorang wanita musllimah,
dan tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Jika kau muslim (masuk
Islam), maka itu adalah maharku, dan saya tidak meminta kepadamu selain
hal itu. Maka diapun (Abul Talhah) masuk Islam dan itu adalah maharnya.
Mengkritisi kelima pendapat tersebut, maka menurut hemat
penulis, bahwa pendapat yang kelima inilah yang peling benar, di tinjau
dari segi landasan dan dalil, sebab pendapat ini memadukan seluruh dalil
yang shalih, baik yang bersumber dari al-qur‟an maupun dari hadis,
disamping itu pendapat ini juga sangat sesuai dengan maksud dan tujuan
serta hikmah disyari‟atkannya mahar, karena pemberian mahar tidak hanya
sekedar memberi ganti rugi berupa harta belaka, aka tetapi maksud
daripada mahar yang lebih utama adalah symbol untuk mengungkapkan
kasih sayang serta bukti akan benarnya niat untuk hidup bersama, maka
mahar pada umumnya adalah berupa meteri atau immateri asal sang istri
rela dan puas dengan mahar tersebut.
H. Analisa
Dari hadis-hadis di atas, penulis memperoleh gambaran tentang
kesederhanaan. Dengan mahar yang sederhana dan ringan membawa
keberuntungan bagi umat di antaranya umat terhindar dari kerusakan akhlak
antara kaum laki-laki dan kaum perempuan akibat tidak bisa menikah karena
mahar yang mahal, dengan mahar yang ringan umat terhindar dari banyaknya
perawan tua dan jejaka yang tua sehingga memudahkan membentuk keluarga
yang Islami.
Setiap ajaran Islam yang disyariatkan, pasti didasarkan pada
kemudahan, tidak memberatkan dan tidak pula, menyulitkan. Pernikahan
53
dilaksnakan tidak lain hanyalah untuk melaksanakan sunatullah dan
melaksanakan perintah yang telah ditetapkan Allah SWT sejak zaman azali.
Oleh karena itu unsur mempersulit yang berkaitan dengan urusan pembayaran
mahar yang mahal adalah sesuatu yang sangat bertentangan dengan ajaran
Islam.77 Bukankah Allah SWT telah menegaskan dalam al-Qur‟an bahwa
“Dan Allah SWT sekali-kali tidak menjadikan untukmu dalam agama Islam
atau kesempitan.78
Dari pengertian di atas , maka segala pelaksanaan pernikahan harus
dilaksanakan secara sederhana lagi ekonomis, termasuk dalam hal
pembayaran mahar maupun biaya resepsi. Dalam hal ini Rasul SAW telah
menegaskan: “Sesungguhnya pernikahan yang paling besar berkahnya adalah
yang mudah dan sederhana pembiyayaannya. (HR. Ahmad)
Bukti anjuran untuk memberikan mahar sederhana adalah dengan
diperolehkannya memberikan cincin yang terbuat dari besi untuk dijadikan
sebagi mahar, namun saat ini di mana kemampuan ekonomi yang makin baik
untuk memperoleh cincin yang terbuat dari emas meskipun dengan kadar
yang rendah dapat mudah diperoleh sehingga tujuan dari disyariatkannya
mahar terealisasi. Daerah-daerah tertentu yang kemampuan ekonominya
rendah atau minus seperti Negara miskin Ethiopia, dan daerah gunung kidul
manusia mengalami kesulitan dari segi ekonomi, namun mereka tidak
mengalami kesulitan dalam menjalankan syariat Islam tentang mahar karena
masih relevan untuk diaktualisasikan dalam kehidupan.
Dalam sebuah riwayat ditemukan tentang kisah seorang wanita
77
A. mudjab Mahalli, Menikahlah Engkau Menjadi Kaya: Kado Untuk Pasangan
Muda, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), Cet. ke-I,h. 139-140
78
QS. Al-Hajj: (22) 78
54
fuzarah yang maneikah dengan mahar berupa sepasang terompah.Lalu Rasul
SAW menanyai kerelaan wanita itu. “Apakah kamu mau menerima
pernikahanmu dengan mahar sepasang terompah, ia menjawab: Ya, saya
terima”. Kemudian Rasul SAW menyetujui pernikaha itu. (HR. Abu Daud
&Tirmidzi)79
Sebagai bukti bahwa Rasulullah SAW menganjurkan agar mahar
dibayat dengan sederhana, sesuai dengan kemampuan ekonomi seseorang
adalah dengan diberikannya kesempatan kepada orang mikin untuk menikah
dengan wanita yang dicintainya, sekalipun hanya dengan mahar sebuah ayat
Al-Qur‟an. Hal ini akan meningkatkan minat untuk mempelajari Al-Qur‟an,
memudahkan seseorang yang ingin menikah untuk membentuk keluarga
sakinah, mawaddah, warohmah sehingga akan terbentuk umat beriman dan
bertaqwa kepada Allah SWT. Keimanan dan ketaqwaan umat akan terus
meningkat karena minat belajar yang tinggi terhadap Al-Qur‟an dan mareka
terhindar dari kekufuran.
Pemberian mahar merupakan lambing yang nilainya tidak terletak
pada besar kecilnya, melainkan terletak di dalam perasaan orang yang
membiarkannya dan keinginannya untuk memuliakan teman hidupnya (istri).
Dan orang yang dermawan adalah orang yang mau memberikan sebagian dari
apa yang dimilikinya, oleh karena itu sama saja nilai spiritual sebentuk cincin
besi yang diberikan oleh orang miskin dengan satu kereta emas atau perak
yang di berikan oleh orang yang mampu
Dengan demikian dalam memberikan mahar sangatlah relative, hal ini
79
M. Faudzil Adhim, Kupinang kau dengan Hamdallah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,
1998), Cet. ke-IV, h. 209-210
55
dapat ditunjukan dengan apa yang dilakukan Nabi SAW, beliau
membolehkan seorang fakir membayar maskawin meskipun cincin dari besi,
dan ketika sang fakir menanyakannya: Apakah kamu hafal ayat Al-Qur‟an: Ia
menjawab: Iya saya hafal surat ini dan yang lainya, Rasul SAW bersabda:
Telah ku nikahkan kamu berdua dengan mahar apa yang kau miliki dari AlQur‟an.80
Adapun mahar yang Nabi SAW berikan untuk istri dann putrinya
tidak lebih dari 12 uqiyah dan satu nasy. Jika ukuran ini dihitung menurut
standar internasional adalah 500 dirham, dengan rincian sebagia berikut:
Spesifikasi uang dirham.
 Bentuk : Bulat bergambar ka‟bah
 Berat
: 3 gram
 Diameter
: 25 Milimeter
 Bahan : Perak murni
 1 dirham
: Rp. 50.000,-81
 1 Uqiyah
: 40 dirham
 ½ Uqiyah
: 20 dirham
 12,5 Uqiyah
: 40 dirham dikalikan 12,5= 500 dirham82
 500 dirham
: 3 gram dikalikan 500= 1500 gram perak murni
 500 dirham
: Rp. 50.000,- dikalikan 500 = Rp. 25.000.000,-
Jadi untuk berat keseluruhan dirham adalah 1500 gram perak murni,
80
Thariq Ismail Kakhiya, Perkawinan dalam Islam: Petunjuk Praktis Membina
Keluarga Muslim, (Jakarta: Yasabuna, 1989), Cet. ke-I, h. 69
81
Majalah Wanita Ummi, Merawat Cinta dalam Nuansa Ibadah, no-12/XIII,
(Jakarta: April-Juni, 2002), h. 28
82
Syekh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), Cet. keI, h. 67
56
sedangkan untuk kurs rupiah adalah Rp. 25.000.000,Spesifikasi uang dinar.

Bentuk

Berat
: 4,25 gram

Diameter
: 23 milimeter

Bahan
: Emas 22 karat

1 dinar
: 4,25 gram emas 22 karat

1 dinar
: Rp. 400.000,-83

12,5 Uqiyah
: 500 dirham

12,5 Uqiyah
:62,5 keping dinar

Jadi total berat emas 62,5 keping dinar = 4,25 gram dikali 62,5 = 265,625
: Bulat bergambar masjid Nabawi
gram emas 22 karat

Jadi total harga emas 1 gram = Rp. 400.000,- dibagi 4,25 gram = Rp.
94.117.64.706,-

Jadi total harga emas 265,625 gram (6,25 keping dinar) = Rp.
94.117.64.706,- dikali 265,625 = Rp. 25.000.000,-

Jadi untuk krus rupiahnya = Rp. 400.000,- dikali 62,5 = Rp. 25.000.000,Perlu diingat bahwa 500 dirham pada masa Nabi SAW nilainya besar
dari pada nilai mata uang zaman sekarang, dikarenakan 500 dirham itu
seharga dengan baju besi pada zaman Nabi SAW, yang merupakan senjata
termahal apada saat itu.84Inilah mahar yang diberikan oleh „Ali ibn Abi Talib,
83
Majalah Wanita Ummi, h. 28
Para ulama hadis berbeda pendapat mengenai harga baju besi.Sebagian beasr dari
mereka ada yang menyebutkan bahwa baju besi tersebut adalah 500 dirham, dan sebagian dari
mereka ada yang beranggapan bahwa baju besi tersebut seharga 400 dirham. Ibrahim Amini,
84
57
untuk putrid Nabi SAW yang bernama Fatimah az-Zahra.
Sejarah menceritakan bahwa „Ali ibn Abi Talib menjual baju besinya
tersebut kepada Usman ibn Affan.hasil dari penjualan aju besi itu untuk
membayar mahar kepada Fatimah Az-Zahra. „Ali ibn Abi Talib menyerahkan
mahar melalui Nabi SAW, lalu Nabi SAW memberikan sebagian uang mahar
untuk membeli wewangian, sebagian kepada Ummu Salamah untuk membeli
makanan, sebagian lagi kepada tiga orang sahabat yaitu: Ammar, Abu Bakar,
dan Bilal. Ketiga sahabat ini membelanjakan uang tersebut untuk membeli
perlengkapan dan perabotan rumah tangga Fatimah Az-Zahra.85
Inilah mahar pernikahan Fatimah Az-Zahra yang penuh berkah,
darinya lahir keturunan yang penuh berkah sampai hari ini. Dengan mahar
yangsederhana pula biaya walimah di ambil, karena itu termasuk memurahkan
mahar adalah memurahkan beban biaya lain dalam proses pernikahan.
Kalaupun memurahkan mahar, maka ia termasuk dalam kategori memudahkan
pernikahan, dan ini termasuk dalam sunah Rasul SAW.
Adapun Sa‟id bin Al-Musayyab ra, seorang ulama besar madinah di
kalangan tabi‟in yang patuh terhadap perintah Allah SWT dan mengikuti
sunah Rasulullah SAW dalam memilih calon suami untuk putrinya tidak
memandang dari segi materi dan kedudukan, tetapi beliau memandang dari
segi akhlak dan agamanya, pilihannyajatuh kepada „Abdullah Ibn Abi
Wada‟ah seorang yang alim tetapi miskin.86 Beliau menikahkan putrinya
Ikhtiar az-Zauj, Kiat Memilih Jodoh: Menurut al-Qur‟an dan Sunnah, (Jkt: Lentera, 1994),
Cet. ke-I, h. 162
85
M. Faudzil Adhim, Memasuki Pernikahan Agung, Yogyakarta: Mitra Pustaka,
1999), Cet. ke-II, h. 28
86
Abdullah Nasikh Ulwan, Rintangan-rintangan Pernikahan dan Pemecahannya,
Penerjemah: Moh. Nurhakim, (Jakarta: Studio Press, 1997), Cet ke-I, h. 56
58
dengan Abdullah Ibn Abi Wada‟ah dengan mahar dua dirham, yang nilainya
sangat ringan bagi ukuran seorang bangsawan. Tetapi tidak ada seorang
sahabat pun yang menegurnya, bahkan para sahabat menganggapnya sebagai
perbuatan luhur dan kemurahan hati.Begitu pula dengan „Abdur Rahman Ibn
Auf yang menikah dengan mahar sebanyak lima dirham, dan pernikahan ini
disetujui oleh Nabi SAW87 yang kedua pemberian mahar ini sangat jauh jika
dibandingkan dengan mahar yang Nabi SAW berikan kepada isri dan putrinya.
Pernah ada seorang laki-laki bertanya kepada Hasan ra, tentang criteria
laki-laki yang pantas untuk dinikahkan dengan anak gadisnya.Hasan ra
menjawab, nikahlah anak gadismu dengan laki-laki yang beragama. Jika
mencintai anak gadismu, ia akan memuliakannya, tetapi jika ia membencinya,
ia tidak akan malecehkannya.88
Berdasarkan pada sebuah hadis di atas yang mengungkapkan tentang
pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Ummu Habibah, yang pada
mulanya Ummu Habibah merupakan istri dari Ubaidillah ibn Jahsy, namun
beliau meninggal dunia di Habasyah. Kemudian raja Najasyi menikahkan
Ummu Habibah dengan Nabi SAW dan memberikan mahar sebesar 4000
dirham, yakni dengan 400 dinar. Mahar yang Nabi SAW berikan ini
menunjukan akan mahalnya mahar. Namun hal ini bukanlah pedoman bagi
umatnya untuk bermahal-mahalan dalam mahar, karena mahar tersebut adalah
pemberian dari raja Nadjasyi, sebagai ungkapan rasa hormat raja Najasyi
kepada Nabi Muhammad SAW.
87
Muhammad. Thalib, 40 Petunjuk Menuju Perkawinan Islami, (Bandung: Irsyad
Baitus Salam, 1995), Cet. Ke-I, h. 101
88
Ahmad Faiz, Citra Keluarga Islam (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1992), Cet.
ke-IV, h. 152
59
Nabi SAW tidak memandang mahar itu sebagai sesuatu yang dan
besar, sebab bagi ukuran seorang raja tersebut relatif tidak memberatkan.
Tetapi lain halnya dengan hadis di bawah ini:
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: pernah ada seorang laki-laki yang datang
kepada Rasulullah SAW dan berkata: Seungguhnya aku telah mengawini
seorang perempuan dari Anshar, kemudian Nabi SAW bertanya kepadanya:
Apakah engkau pernah melihatnya, sebab para mata orang-orang Anshar itu
ada sesuatu: Ia menjawab: Aku telah melihatnya. Nabi SAW bertanya lagi:
Dengan mahar berapa engkau mengawininya: Ia menjawab empat uqiyah,
kemudian Nabi SAW bersabda kepadnya, emapat uqiyah? Seolah-olah engkau
memahat perak dari luasnya gunung ini, akau tidak memiliki sesuatu yang
sekiranya bisa kuberikan kepadamu, tetapi aku akan mengiringimu dalam satu
kelompok orang (utusan) yang barang kali engkau dapat memperoleh bantuan
dari padanya. Ia berkata: Lalu Nabi SAW mengutus sekelompok orang ke
Bani Abs di mana Nabi SAW mengutus laki-laki itu bersama mereka
Hadis ini merupakan ungkapan dari besarnya mahar yang diberikan oleh
seorang fakir. Padahal Rasul SAW menghendaki agar mahar yang diberikan
kepada wanita yang akan dinikahi sederhana saja , sesuai dengan kemampuan
ekonominya.
89
(HR. Muslim), Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi, Al-Jami‟ al- Sahih
Muslim, Kitab an-Nikah,
, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993),
Cet. ke-I, Juz V, h. 226-227
60
Shalih Ibn Ghanim yang mengutip ungkapan Ibnu al-Qayyim berpendapat
bahwa bermahal-mahalan dalam perakara mahar dalam suatu pernikahan
adalah makruh hukumnya, sebab dengan mahalnya mahar membuktikan
bahwa mahar itu sedikit berkahnya dan menyulitkan.90
Dalam memberikan mahar tidak harus senilai dengan mahar yang
diberikan Nabi SAW untuk istri dan putrinya, hendaklah dalam memberikan
mahar disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan yang berlaku di tengahtengah masyarakat. Hadis-hadis ini hanyalah sebagai gambaran mengenai
kesederhanaan dalam memberikan mahar, karena berkebih-lebihan dalam
memberikan mahar adalah makruh,91 jika hal ini memberatkan pihak laki-laki
Penulis kemudian menyimpulkan bahwa yang menjadi tolek ukur mahar
adalah besarnya nilai dan manfaat yang tinggi serta kondisi yang ada pada saat
itu, bukan besar kecilnya materi yang di berikan, sehingga dalam waktu
pelaksanaannya dapat berjalan lancar dan mendapatkan kemudahan, karena
kemudahan seringkali mendatangkan kebaikan, dan setiap kebaikan sering
kali mendatangkan manfaatan dan keberkahan.
90
Shalih bin Ahmad al-Ghazali, Ensklopedia Pengantin, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2001), Cet. ke-I, h. 85
91
Salih Ibn Ahmad al-Ghazali, h. 84
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai bab terakhir dalam pembahasan skripsi ini, penulis akan
memberikan Kesimpulan dari hasil analisa di bawah sebagai berikut:
Mahar adalah masalah yang dilematis, dimana diperlukan pemahaman
antara dua keluarga yang hendak menikahkan putra dan putrinya, oleh karena itu
dengan adanya pemahaman mengenai hadis-hadis tentang mahar dapat
membantu terbentuknya sebuah masyarakat yang lebih Islami.
Mahar adalah suatu pemberian wajib bagi calon suami Kepada calon
istri yang telah disyariatkan dalam ajaran Islam. Berkaitan dengan hal itu
Rasulullah SAW mengajarkan untuk meringankan dan memudahkan dalam
urusan mahar, serta tidak berlomba-lomba dalam hal mahar. Setiap Ketidak
wajaran dan berlebihan dalam mahar adalah makhruh hukumnya, berlebihlebihan dalam mahar akan menyebabkan sedikitnya pernikahan yang terjadi dan
menimbulkan permusuhan, sedangkan mahar yang terlalu sedikit akan
menyebabkan wanita tidak mempunyai harga diri dan bias disalahgunakan oleh
sebagian laki-laki, oleh karena itu sebaik-baik jalan adalah bersikap imbang dan
memperhatikan keadaan ekonomi keluarga serta status sosialnya
B. Saran-saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan dalam kaitannya
dengan pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi para pemuda dan pemudi yang hendak melangsungkan pernikahan,
62
janganlah ukuran mahar dijadikan sebagai patokan dalam sebuah
pernikahan.
2. Hendaklah hadis-hadis mengenai mahar lebih disosialisasikan Kepada
umat muslim, sehingga sendi-sendi pernikahan secara Islami terbangun.
3. Hendaklah bagi orang tua dalam menikahkan putrinya tidak memandang
dari segi materi, pangkat dan jabatan saja, tetapi hendaklah melihat dari
segi akhlaknya.
4. Bagipara orang tua yang hendak menikahkan putrinya, sebaiknya
memberikan Kelonggaran dan Kemudahan dalam hal yang berkaitan
dengan urusan mahar.
63
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Barakat, Ad-DardirSyarhushShaqir „alaAqrabilMusalik Lid Dardir, Jilid II
(Mesir: DarulMa‟rifah, 1992)
Abi Abbas, bin Syamsuddin Muhammad Nihyah Al-Muhtaj (Mesir: Musthafa AlBaby Al-Halaby, 1938) Juz 6
Abu Abdillah, Muhammad bin Idris al-Syafi‟I (Beirut: Dar al-Ma‟rifah) Cet. II
Adhim, M. FandzilKupinangKaudenganHamdallah, (Yogyakarta ,MitraPustaka,
1998), Cet. Ke-4
……., KupinangkaudenganHamdallah, (Yogyakarta: MitraPustaka, 1998)
Ahmad IbnHanbal, Abu Abdullah Musnad Imam Ahmad IbnHanbal, Kitab anNikah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Cet, ke-I
Albani,
Muhammad
NashiruddinMukhtasharSahih
Muslim,
(Jakarta:PustakaAzzam, 2003), Cet. Ke-I
Alhamdani, Risalah al-Nikah, (Pekalongan: Raja Murah, 1980)
Amin, Yusuf Hamid, Muqashid Al-A‟mmah Al-Syari‟ah Al-Islami, Khurtum(Dar
Al-Sudaniyah, t.t)
Amini, Ibrahim kiatMemilihJodoh: Menurut al-Qur‟an danSunnah, (Jakarta:
Lentera, 1994), Cet. Ke-I
Ayyub, SyekhHasanFiqihKeluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), Cet. ke-I
Baghdadiy, Ali bin Umar Abu al-Hasan al-DaraqutniySunan alDaraquthniy(Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1966) Juz III
Baihaqiy, Ahmad bin al-Husain bin „Ali Musa Abu Sunan al-Baihaqiy alKubray(Mekkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, 1994) Juz 3
Bukhari, Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim, ,Al-Jami‟ al-Sahih alBukhari, Kitab an-Nikah (Beirut: Dar al-Fikr, 1993) Cet. ke-I
……., ,Al-Jami‟ al-Sahih al-Bukhari, Kitab an-Nikah., Beirut: Dar al-Ma‟rifah.
Daly,
PeunohHukumPerkawinan
Islam,
suatuStudiPerbandingandalamKalanganAhlus-Sunnahdan Negara-negara
Islam, Jakarta: BulanBintang), CetKe-I
Damsyiqi,
IbnuHamzah
al-Husaini
alAsbabulWurud:
LatarBelakangHistarisTibulnyaHadis-hadisRasul,(Jakarta: KalamMulia,
1997), Cet. ke-2
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya,1989.
Faiz, Ahmad Citra Keluarga Islam (Jakarta: SerambiIlmuSemesta, 1992), Cet. keIV
Fauzan, SalehAl-MulakhkhasulFiqhi, (Jakarta: GemaInsani, 2006),
CetKe-I
Ghazali, Shalih bin Ahmad EnsklopediaPengantin, (Jakarta: PustakaAzzam,
2001), Cet. ke-I
Hamka, Tafsirsl-Azhar, (Jakarta: PustakaPanjimas. 1982), Cet. Ke I
Hanafi,
Al-Kamal
bin
HammamFathurQadir‟alalHidayahSyarahBidayatilMubtadi,
64
al-
(MesirMathabil al-Halabi, 1938)
Hanafi, Al-KalwadzaniAl- Hidayah bi SyarhBidayatilMubtadiJilid II. Cet. ke-I
Jashshash, Abu BakarAhkamul Qur‟an (Mesir: SyirkahMathba‟ahwaMaktabah
Abdurrahman Muhammad) Jilid III
Jauziyyah, SyamsuddinAby „Abdillah Muhammad bin AbyBakar alMa‟rufbiibniQayyim, I‟laam al-Muwaqq‟in „an al‟-Alamiin, Beirut: alMaktabat al-„Ashriyyat, 1987)
Jaziriy, Abdurrahman ,Al-Fiqh „alaMazahib Al-Arba‟ah, (Mesir: Al-Tijiriya,
1996), Jilid 4
Kakhiya,
Thariq
Ismail
Perkawinandalam
Islam:
PetunjukPraktisMembinaKeluarga Muslim, (Jakarta: Yasabuna, 1989),
Cet. ke-I
Mahalli, A. mudjabKadoUntukPasanganMuda, (Yogyakarta: MitraPustaka,
2001), Cet. ke-I
Muhammad, Abu Isa, (Muhammad Jamil Al-A‟thar), (Beirut-Lebanon: Dar AlFikr) Juz2
Maliki, IbnuRusydiAl-Muqaddimat al-Mumahhidat, Jilid II (Mesir: Dar asSa‟adah)
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2001),
Cet- Ke 1
Muhammad , bin Abi Abbas Syamsuddin,( Mesir: Mushthafa Al-Baby Al-Halaby,
1938), Juz 6
Naisyabūri, Muslim ibn al-Hajaj Abu al-Husain al-Qusyairi (Birut: Dar Ihya alTurast al-„Arabi, tth.), hadis no. 2555
Nasa‟i, Abu Abdullah al-RahmanIbnSyu‟aib,Sunan an-Nasa‟IKitab anNikah(Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Cet. ke-I
Nasa‟i, Ahmad bin Syua‟ib Abu AbdirrahmanSunan al-Nasa‟I, Halb: Maktabah
al-Mathbu‟at al-Islamiyah, 1986) Cet-Ke 2
Nawawi, MahyiddinSyarifuddinAl-Majmu‟ Syarth al-Mubazzab(Kairo: alAshimah) Jilid. Xv (Kairo: al-Ashimah), h. 428
Nawawi Imam, Shahih Muslim Bi Syarhi Al-Nawawy, (Mesir Al-Mathba‟ah AlMisriyahWaMaktabuha), Juz 3
QardhawiYusuf Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: GemaInsani Press, 2001),
Cet. Ke-I
Qusyairi, Abu Husain Muslim IbnHajjajAl-Jami‟ al-Sahih Muslim Kitab anNikah(Beirut: Dar al- Fikr, 1993), Cet. Ke-I, Juz V
Rusyd, IbnuBidayah al-Mujtahid Fi Nihayah al-Muqtashid, (Beirut, Dar al-Fikr),
Juz 2
Sabiq, SayyidFiqihSunnah(Bandung: Al-Ma‟arif, 1996), CetKe-12
65
Sadlan, SayikhShalih bin GahanimSeputarPernikahan(Jakarta: BulanBintang
1983) Cetke- I
SiddiqiHasbiSejarahdanPengantarImuHadis, (Jakarta: BulanBintang, 1998), Cet
Ke-8
Syabuni As-, Muhammad Ali, Al-Jawadj al-Islami al-Mubakkir,Penerjemah: M.
Nurdin, KawinlahSelagiMuda: Cara SehatMenjagaKesucianDiri, (
Jakarta: SerambiIlmuSemesta, 2000), CetKe-1
Syarifuddin, Amir HukumPerkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta, Prenada
Media, 2007), Cet. Ke-2
……., Garis-GarisBesarFiqh, (Jakarta: Kencana, 2003)
Tawaijiri Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah, Ensiklopedia Al-Kamil(Jakarta:
Darus- Sunnah, 2008
Tatapangarsa, HumaidiHakdanKewajiabSuamiIstriMenurut Islam, (Jakarta:
KalamMulia, 1993), CetKe-I
Thalib, Muhammad
40 PetunjukMenujuPerkawinanIslami, (Bandung:
IrsyadBaitus Salam, 1995), Cet. Ke-I
Ulwan, Abdullah NasikhRintangan-rintanganPernikahandanPemecahannya,
Penerjemah: Moh. Nurhakim, (Jakarta: Studio Press, 1997), Cetke-I
Ummi, MajalahWanitaMerawatCintadalamNuansaIbadah, no-12/XIII, (Jakarta:
April-Juni, 2002)
Utsman, Ahmad Atsar „AqdizZawajfisy-Syari‟ah al-Islamiyyah(Universitas alImam, IdaratutThiba‟ah wan Nusyr, 1981) Jilid I
Yunus, Mahmud Kamus Arab Indonesia (Jakarta: HidakaryaAgung, 1989), Cet.
Ke-I
Zahiri, IbnuHazmAl- MuhallahSyarh al-Muhalla, (Mesir: Dar al-Ittihad al-„Arabi.
1387H) Jilid XI.
Zauj, Ibrahim Amini, IkhtiarKiatMemilihJodoh: Menurut al-Qur‟an danSunnah,
(Jkt: Lentera, 1994), Cet. ke-I
ZuhailyWahbah, Al-FiqihIslamiyWaAdillatuhu, (Beirut-Lebanon: Dar Al-Fikr),
Juz 7
66
Download