MAHAR DALAM PERSPEKTIF HADIS Skripsi ini Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) Oleh : Nur Azizah 107034002303 PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1433 H/ 2011M i MAHAR DALAM PERSPEKTIF HADIS Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) Oleh : Nur Azizah 107034002303 Di Bawah Bimbingan PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M. ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul MAHAR DALAM PERSPEKTIF HADIS telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 19 Desember 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Program Studi Tafsir-Hadis. Jakarta, 11 Januari 2012 iii ABSTRAK Mahar atau maskawin juga dapat disebut shadaqah adalah merupakan kewajiban suami terhadap istri sebagai pembuka faraj bagi suami dan juga sebagai pemberian yang dapat menyenangkan istri. Syarat minimal maskawin adalah sebuah cincin besi. Pendapat lain kadar mahar dikiaskan maskawin boleh berupa hafalan ayat-ayat Al-Qur‟an yang diberikan kepada isteri sesudah menikah sehingga mahar tersebut boleh hutang, maksudnya mahar tidak terbilang sesuai kemampuan dan sebaliknya maskawin itu harus disegerakan. Mengenai hukum mahar adalah wajib bagi suami bahkan ada yang menyatakan sebagai rukun perkawinan. Secara tekstual bahwa semua yang disebutkan dalam matan hadis dapat dijadikan sebagai mahar bahkan sesuatu yang tidak berbentuk materi berupa keahlian menghapal Al-Qur‟an boleh dijadikan mahar. i KATA PENGANTAR بسم اهلل الرحمن الرحيم Alhamdulillâh, segala puja dan puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT. Tuhan semesta alam, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dengan ridho dan kekuatan-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Mahar Dalam Perspektif Hadis. Semoga salawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Nabi akhir zaman. Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan, rintangan dan hambatan yang dialami oleh penulis. Namun, dengan niat, keteguhan hati dan motivasi yang membumbung tinggi serta dorongan dan bantuan dari berbagai pihak maka kesulitan tersebut serasa lenyap dibakar semangat, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, baik itu dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk pemahaman yang tertuang didalamnya, karena keterbasan ilmu yang dimiliki penulis. Bila dibandingkan dengan skripsi yang lain, skripsi ini hanyalah sebuah lilin dari sekian banyak kilauan lampu yang bercahaya. Walaupun demikian, setidaknya dapat memberikan cahaya bagi yang ada disekitarnya. Bila dibandingkan dengan ilmu Allah maka skripsi bagaikan setitik debu dari seluruh debu yang ada di alam semesta. Dengan rasa syukur dan dengan kerendahan hati, penulis haturkan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan segala rasa hormat, penulis ucapkan terima kepada : ii 1. Prof. DR. Komaruddin Hidayat, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. 3. Dr. Bustamin, M. Si, selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis sekaligus sebagai pembimbing penulis. Terima kasih atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Untuk Bapak Muslim terima kasih atas jasa-jasanya. Semoga Allah SWT memberikan balasan, rahmat, dan maghfirah-Nya 5. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis, semoga ilmu yang telah diberikan dapat bermanfaat. 6. Kedua orangtuaku, ibunda Asni dan ayahanda Yusuf Talen. Amat, yang telah merawat dan membesarkan penulis dengan kasih dan sayangnya. Ucapan terima kasih penulis kepada keduanya tak kunjung henti-hentinya terucap atas segala doa dan harapan baiknya, selalu memotivasi penulis untuk maju 7. Nita Zahra., kakakku bersama keluarga yang sudi membangunkanku dari lena kemalasan 8. Pegawai perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Utama UIN, dan Perpustakaan Iman Jama, yang telah sudi kiranya melayani dan membantu penulis dalam melengkapi buku-buku rujukan yang dibutuhkan. iii 9. Teman-teman angkatan 2007, khususnya untuk mahasiswa kelas TH A, Rizza Kurniatillah (Acil) ,Sofia Rosdanila, Dian Kusnadi, dan lainnya yang tak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan kenangan manis yang tak dapat untuk dilupakan bagi penulis. Semoga kita dapat menjadi orang-orang yang sukses dan beruntung, baik di dunia maupun di akherat kelak. Amien. 10. Kepada Hadi Yono (Buy) yang telah banyak membantu dan memberikan dorongan, khususnya sport sampai akhir mengikuti tahap demi tahap dalam proses penyelesaian skripsi ini 11. Serta kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah memberikan balasan yang setimpal atas segala bantuannya. Tentunya masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin. Jakarta, 11 Januari 2012 Nur Azizah iv DAFTAR ISI ABSTRAK .................................................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................................... ii DAFTAR ISI .................................................................................................. v TRANSLITERASI ........................................................................................ vii BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1 B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ...................................... 6 C. Tujuan Penelitian .................................................................... 6 D. Kajian Pustaka ......................................................................... 7 E. Metodologi Penelitian ............................................................. 9 F. Sistematika Penulisan .............................................................. 10 BAB II MAHAR DAN PERMASALAHANNYA .................................... 11 A. Pengertian Mahar ..................................................................... 11 B. Dasar Hukum Mahar ............................................................... 14 1. Al- Qur‟an ............................................................................ 15 2. As-Sunnah ............................................................................ 19 C. Syarat Sahnya Mahar ................................................................ 22 D. Mahar Adalah Hak si Perempuan Bukan Hak Walinya .......... 25 E. Pelaksanaan Pemberian Mahar ................................................. 26 F. Hikmah Mahar ......................................................................... 30 v BAB III HADIS- HADIS MENGENAI MAHAR ....................................... 32 A. Teks Hadis dan Terjemahannya .............................................. 32 B. Asbabul Wurud ........................................................................ 37 C. Bentuk Mahar .......................................................................... 38 D. Macam-Macam Mahar dalam Hadis ....................................... 40 BAB IV ANALISA KANDUNGAN HADIS-HADIS MAHAR ................ 43 A. Mahar Menurut Ulama Secara Umum ..................................... 43 B. Analisa ..................................................................................... 52 BAB V PENUTUP ..................................................................................... 61 A. Kesimpulan .............................................................................. 61 B. Saran-Saran .............................................................................. 61 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 63 vi PEDOMAN TRANSLITERASI A. Padanan Aksara Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin: Huruf Arab ا ب ت ث ج ح خ د ذ ز ش ض ش ص ض ط ظ Huruf Latin ع غ ف ق ك ل م ن و ﻫ ء ٌ „ gh f q k l m n w h ` y Keterangan tidak dilambangkan be te te dan es je h dengan garis dibawah k dan h de de dan zet er zet es es dan ye es dengan garis di bawah de dengan garis di bawah te dengan garis di bawah zet dengan garis di bawah koma terbalik di atas hadap kanan ge dan ha ef ki ka el em en we ha apostrof ye b t ts j h kh d dz r z s sy s d t z vii Vokal Tunggal Fathah Kasrah Dammah Vokal Panjang :a :i :u :â :û :î B. Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong, dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ﹷ a fathah ﹻ ﹹ i u kasrah dammah Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ٌﺃ ﺃو ai au a dan i a dan u C. Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu: viii Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ﺃﺃ â a dengan topi di atas î I dengan topi di atas û u dengan topi di atas ﺇي ْﺃ و Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara bahasa Arab dilambangkan dengan ال, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan addîwân. Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضسوزةtidak dituliskan ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya. Ta Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 dibawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). Contoh: ix Nomor 1 2 3 Kata Arab طسَقة الجامعة اإلسالمُة وحدةالىجىد Alih Aksara tarîqah al-jâmi'ah al-islâmiyyah wahdat al-wujûd Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, namun dalam alih aksara huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi). Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya. Berhubungan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan, meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad alPalimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî. Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr alDîn al-Rânîrî. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata kerja (fi‟l), kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis secara terpisah. x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hadis adalah referensi kedua dalam ajaran Islam setelah al-Qur‟an. Hadis yang dijadikan sebagai sumber kedua dalam Islam sering kali dipergunakan untuk memecahkan persoalan yang muncul dalam berbagai aspek kehidupan, oleh karena itu Hadis Nabi SAW memiliki fungsi penting dalam kaitannya dengan Al-Qur‟an, yaitu sebagai penjelas dan penjabar AlQur‟an dalam segala masalah termasuk pernikahan.1 Pernikahan merupakan salah satu dari sunah Rasul, ia diartikan sebagai sebuah ikatan dan perjanjian antara suami isteri yang mengharuskan masingmasing pihak mentaati semua kewajibannya, demi memenuhi hak pihak lain. Ketika Allah SWT mewajibkan suami menyerahkan mahar kepada isteri, agar suami menghayati kemuliaan dan kehormatan isteri, maka Allah SWT memerintahkannya agar mahar diberikan sebagai pemberian atau hibah yang bersifat suka rela.2 Pernikahan memerlukan materi, namun itu bukanlah segala-galanya, karena agungnya pernikahan tidak bisa dibandingkan dengan materi. Janganlah hanya karena materi, menjadi penghalang bagi saudara kita untuk meraih kebaikan dengan menikah. Yang jelas ia adalah seorang calon suami yang taat beragama, dan mampu menghidupi keluarganya kelak. Sebab 1 Hasbi As-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), Cet. Ke-8, h. 179 2 M. Ali al-Syabuni, Al-Jawadj al-Islami al-Mubakkir, Penerjemah: M. Nurdin, Kawinlah Selagi Muda: Cara Sehat Menjaga Kesucian Diri, ( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), Cet. Ke-I, h. 83 1 pernikahan bertujuan menyelamatkan manusia dari prilaku yang keji (zina), dan mengembangkan keturunan yang menegangakan tauhid di atas muka bumi ini. Pernikahan merupakan suatu kontrak sosial antar seseorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama tanpa di batasi oleh waktu tertentu. Dalam Islam, pemberian maskawin merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh seorang laki-laki yang menyatakan kesediaannya untuk menjadi suami dari seorang perempuan. Mahar merupakan hak murni perempuan yang disyariat‟kan untuk memberikan kepada perempuan sebagai ungkapan keinginan pria terhadap perempuan tersebut, dan sebagai salah satu tanda kecintaan dan kasih sayang calon suami kepada calon istri, dan suatu pemberian wajib sebagai bentuk penghargaan calon suami kepada calon istri yang dilamar, serta sebagai simbol untuk memuliakan, menghormati dan membahagiakan perempuan yang akan menjadi istrinya3 Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur‟an surah an-Nisa‟ (4) ayat 4: Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. 4 Ayat di atas menjelaskan, bahwa hendaklah kalian memberikan mahar kepada wanita yang akan kalian nikahi sebagai satu pemberian yang bersifat 3 Syeikh Shalih bin Ghanim, al-Sadlan, Seputar Pernikahan, (Jakarta: Darul Haq, 2002), cet. I, h. 27 4 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya,(Semarang: Toha Putra,1989), h. 115 2 suka rela. Dan kalau mereka memberikan kembali sebagian dari maharnya kepadamu, maka kalian boleh mengembilnya, tanpa kalian menanggung dosa karenannya. Jadi, mahar disini harus ada dalam suatu pernikahan. Tujuan pemberiannya adalah untuk melanggengkan dan memperkuat ikatan tali cinta kasih pasangan suami istri serta membantu meringankan biaya penyelenggaraan pernikahan.5 Dalam Ensiklopedi Islam Al-Kamil, mahar merupakan hak bagi perempuan dan kewajiaban suami untuk membayarnya, sebagai penghalal atas kehormatannya. Dan menjadikan menjadikan mahar sebagai kewajiban bagi suami untuk menghormati perempuan dengan memberikan mahar tersebut. Sebagai perintah atas eksitensi perempuan, syiar bagi kedudukannya dan sebagai ganti atas sksual dengannya. Serta untuk menyenangkan hatinya dan kerelaan atas tanggung jawab laki-laki (suami) kepadanya.6 Sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa mahar dalam perkawinan tidak termasuk dalam rukum dan bukan syarat sahnya aqad nikah karena menghilangkan mahar dengan sengaja tidak mempengaruhi batalnya perkawinan.7 Pendapat Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur penganutnya dengan berbagai aturan di semua aspek, termasuk aspek mahar dalam perkawinan. Ketika membicarakan masalah perkawinan, banyak hal yang harus diperhatikan antara lain adalah mahar, karena salah satu hubungan Islam yang timbul dari sebab perkawinan adalah kewajiabn calon suami untuk mengeluarkan sejumlah kekayaan kepada isterinya yang disebut mahar. 5 M. Ali al-Syabuni, Al- Jawadj al-Islami al-Mubakkir, h. 87-88 Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tawaijiri, Ensiklopedia Al-Kamil, penyunting, team Darus Sunnah, Cet. 4, Jakarta, 2008, h. 1005-1006 7 Yusuf Hamid Al-Amin, Muqashid Al-A‟mmah Al-Syari‟ah Al-Islami, Khurtum: Dar AlSudaniyah, t.t, h. 427 6 3 Jadi, mahar yang dimaksud ialah merupakan syariat Islam yang diwajibkan bagi pemuda yang hendak menikahi seorang wanita, Sebagai pernyataan kasih sayang dan tanggung jawab suami atas kesejahteraan keluarganya.8 Mahar juga berfungsi sebagai tanda ketulusan niat dari calon suami untuk membina suatu kehidupan berumah tangga bersama calon istrinya.9 Pada kenyataannya, terutama pada kalangan masyarakat awam sebagian masih banyak yang belum mengerti hakikat dari pemberian maskawin. Mereka beranggapan maskawin atau mahar hanyalah pelengkap sebuah ritual akad nikah semata, kendati mereka menganggap hal ini wajib atau harus diadakan. Dengan demikian, tak sedikit orang membedakan antara maskawin atau mahar dengan bawaan (gawan, istilah jawa). Jika maskawin diberikan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan yang akan di nikahinya, maka gawan juga diberikan sebagaimana halnya maskawin, tetapi sudah menjadi kebiasaan atau tradisi bahwa gawan bisa kembali atau selayaknya, jika dikemudian hari terpaksa harus berpisah atau bercerai. Dari dua jenis pemberian ini menjadikan mahar seolah tidak begitu penting, karena mahar ini menjadi hak penuh istri, yang tidak ada harapan untuk diambil kembali oleh laki-laki yang menikahinya. Sehingga dengan adanya pemahaman seperti ini, tak jarang mahar diberikan hanya bentuk dan rupa sedikit saja dari harta yang ia punya, sebagai kebiasaan yang perlu 8 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), cet Ke-I, h. 219 9 Syamsuddin Muhammad bin Abi Abbas, Nihyah Al-Muhtaj, (Mesir: Musthafa Al-Baby Al-Halaby, 1938), Juz 6 h. 238 4 dikritisi, mayoritas mereka menjadikan seperangkat peralatan shalat bagi perempuan untuk menjadi mahar, semestinya untuk gawan, ia lebih besar dari mahar, misalnya emas 10 gram. Hal ini yang harus diluruskan untuk lebih bisa menjadikan arti sebuah pernikahan yang bertanggungjawab bisa tercapai, jadi bukan sekedar kontrak sosial tanpa makna, karena hakikat pernikahan adalah untuk bisa hidup bersama sebagai satu kesatuan yang utuh, yang di dalamnya harus saling melengkapi, saling memberi dan menerima. Mahar disini sangatlah penting, karena mahar bisa menjadikan keluarga berceraiberainya sebuah pernikahan. Memberikan mahar juga harus adil, agar keluarga tidak hancur berantakan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw dalam hadisnya: Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad telah menceritakan kepadaku Yazid bin Abdullah bin Usamah bin Mahdi. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abi Umar Al-Makki sedangkan lafazhnyadari dia, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz Abdurrahman bahwa dia berkata; Saya pernah bertanya kepada „Aisyah, shallallahu „alaihi wasallam; Berapakah maskawin Rasulallah shallallahu „alaihi wasalam? Dia menjawab; mahar beliau terhadap para istrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy.Tahukah kamu, berapakah satu nasy itu?Abu Salamah berkata; Saya menjawab; Tidak. „Aisyah berkata ; setengah uqiyah, jumlahnya sama dengan lima ratus dirham. Demikianlah maskawin Rasulallah shallallahu „alaihi 5 wasallam untuk masing-masing istri beliau.10 Persoalan maskawin atau mahar jauh berbeda dengan keadaan atau tradisi yang berlaku di luar ajaran Islam.Mahar dalam Islam merupakan pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan dalam perkawinan.Kemudian mahar menjadi milik mempelai itu sendiri, bukan milik siapa pun selain istri. Islam telah mengangkat derajat perempuan, karena mahar itu diberikan sebagai tanda penghormatan kepada kaum hawa.11 Keadaan dan kondisi tersebut menurut hemat penulis sangatlah menarik untuk diangkat kepermukaan dalam bentuk tulisan atas pertimbangan dan alasan diatas mengilhami penulis untuk menyusun skripsi ini dengan judul:“Mahar Dalam Perspektif Hadis” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini penulis menjelaskan penelitian terhadap kajian tentang tinjauan hukum Islam tentang mahar. 2. Perumusan Masalah Bagaimana pemahaman masyarakat tentang pelaksanaan mahar yang disyariatkan agama Muslim? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Subjek aktivitas yang ditulis oleh seseorang pasti memiliki tujuan tersendiri, demikian juga halnya dalam pembahasan judul ini di mana penulis mempunyai tujuan yang tertentu pula. Berdasarkan uraian di atas, penulisan 10 Muslim ibn al-Hajaj Abu al-Husain al- Naisyabūri al-Qusyairi, Shahih Muslim, Tahqiq: Muhammad Fuad‟ Abd al-Bâqi, (Birut: Dar Ihya al-Turast al-„Arabi, tth.), hadis no. 2555. 11 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Terj. Moh. Thalib), Jilid 7, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1996), Cet 12, h. 52. 6 ini bertujuan untuk: 1. Memotret dan mengkaji permasalahan yang timbul dalam kehidupan masyarakat. 2. Untuk memperoleh pemahaman pribadi yang lebih mendalam tentang mahar dalam hadis. 3. Dapat memiliki kegunaan yang bersifat teoritis dan praktis. 4. Menciptakan kehidupan harmonis dalam rumah tangga, di samping itu juga dapat menambah khazanah kepustakaan, khususnya hadis mengenai mahar. 5. Akhirnya yang tak kalah pentingnya, penelitian ini juga memiliki tujuan formal, yaitu untuk memenuhi sebagian persyaratan guna meraih gelar kesarjanaan SI dalam bidang Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. D. Kajian Pustaka Dalam penelusuran pustaka, penulis menemukan adanya kajian sebagai berikut: 1. Transformasi Pemahaman Masyarakat Tentang Mahar dalam Adat Jambi. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.Oleh: Al- Faroby NIM 106044201455.Skripsi ini memaparkan tentang pemahaman masyarakat Jambi terhadap perubahan bentuk mahar dalam tradisinya. Transformasi yang terjadi di masyarakat Jambi dilakukan dengan pendekatan adat mereka. Akan tetapi, skripsi ini tidak menjelaskan secara detail mengapa sebagian besar masyarakat Jambi masih enggan mempraktekkan mahar sesuai dengan anjuran hadis Nabi Muhammad SAW. 7 2. Mahar Suami Meninggal Qobla Al-Dukhul (Analisis Terhadap Perbedaan Mazhab & Kompilasi Hukum Islam di Indonesia). Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Oleh: Surina Mohammad Napiah. NIM 107044103853. Skripsi ini memaparkan tentang pandangan para ulama fiqh dengan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Akan tetapi, pada skripsi ini lebih banyak mengupas maharnya suami yang meninggal sebelum bersetubuh bukan fokus pada hadis Nabi Muhammad saw yang memberikan pedoman tentang mahar tersebut secara luas. 3. Kadar Suami Meninggal Sebelum Dukhul (Analisis Terhadap Pemikiran Mazhab Maliki). Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Oleh: Juwariyah. NIM 107044103855. Skripsi ini memaparkan tentang kadarnya suami meninggal sebelum dukhulatas pandangan ulama mazhab Maliki saja. Akan tetapi, pada skripsi ini fokus mengupas pendapat ulama Maliki tentang kadar maharnya suami yang meninggal sebelum bersetubuh bukan fokus pada hadis Nabi Muhammad saw yang memberikan pedoman tentang mahar tersebut secara luas. 4. Telaah Atas Hadis Anjuran Memberi Kemudahan dalam Memberi Mahar. Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003 Oleh:Iin Rif’aini. NIM 199034016676. Skripsi ini memaparkan tentang anjuran dalam memberikan kemudahan mahar. Skripsi ini fokus pada hadis yang membahas memberi kemudahan tentang mahar tersebut. Akan tetapi, pada skripsi ini fokus mengupas pendapat ulama Maliki 8 tentang kadar maharnya suami yang meninggal sebelum bersetubuh bukan fokus pada hadis Nabi Muhammad saw yang memberikan pedoman tentang mahar tersebut secara luas. Dari keempat skripsi di atas, penulis masih menemukan ruang untuk membahas tentang mahar dalam perspektif hadis yang banyak memberikan alternatif tentang mahar yang akan diberikan suami kepada calon istrinya. E. Metodologi Penelitian Dalam pengumpulan data, sering digunakan dua macam penelitian, yaitu penelitian kepustakaan (Library research) dan penelitian lapangan (Field Research). Untuk permasalah tersebut di atas, metode yang penulis gunakan adalah metode penelitian kepustakaan (Library Research), artinya data-data berasal dari sumber-sumber kepustakaan baik berupa buku-buku, jurnal, ensklopedia dan sebagainya, yang termasuk dalam data primer, seperti kitabkitab hadis, kitab rijal al-Hadis maupun skunder, seperti buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang di kaji dalam skripsi ini. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi secara lengkap serta untuk menentukan kesimpulan yang akan diambil sebagai langkah penting. F. Sistematika Penulisan Dengan melihat tujuan untuk membuat dan mempertahankan karya ilmiah yang sistematis serta memudahkan dan enak untuk dibaca, kajian ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut: 9 Bab I, Pendahuluan. Didalamnya bab ini berisi uraian tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, Kajian Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan Bab II, Mahar dan Permasalahannya. Berisi pemahaman tentang pengertian mahar, macam dan syarat-syaratnya, Eksistensi Mahar Dalam Perkawinan yang mengupas tentang Pengertian Mahar dan Dasar Hukumnya, Syarat Sah Mahar, Pelaksanaan Pemberian Mahar, dan Hikmah Mahar Bab III, Hadis- hadis mengenai mahar yang berkenaan dengan mahar, diikuti teks dan terjemahannya, asbabul wurud, Bentuk Mahar, Macam-macam Mahar dalam Hadis Bab IV , Pembahasan ini penulis mengupas tentang Mahar Menurut Ulama Secara Umum disertai Analis Bab V, Penutup. Berisi kesimpulan, usul dan saran. Kesimpulan merupakan poinpoin penting hasil penelitian yang sekaligus merupakan jawaban terhadap masalah. 10 BAB II MAHAR DAN PERMASALAHANNYA A. Pengertian Mahar Secara etimologi mahar adalah masdar dari kata مهس- َمهس- مهسyang berarti maskawin.12Mahar yang dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan sebutan maskawin, dalam Al-Qur‟an disebut dengan beberapa istilah, yaitu: 1. Ujr, jamak dari kata ajrum, yang artinya ganjaran atau hadiah, terdapat dalam Al-Qur‟an Artinya: Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian(yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 12 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), Cet. Ke-I, h. 431 13 An-Nisa Ayat 24 11 Artinya: Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik.makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan, diantara wanita-wanita yang beriman dan wanitawanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi. 2. Saduqat, jamak dari kata Saduqah,yang artinya pemberian yang tulis, terdapat dalam Al-Qur‟an surat an-Nisa: 4 Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. Dan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi SAW yang selalu membeikan mahar kepada istri-istri beliau saat menikah15 3. Faridah, yang artinya sesuatu yang di wajibkan atau suatu bagian yang ditetapkan, terdapat dalam al-Qur‟an surat al-baqarah: 236.16 14 15 Qs. Al- Maidah: 5 Saleh al-Fauzan, Al-Mulakhkhasul Fiqhi, (Jakarta: Gema Insani, 2006), Cet ke-I, h. 672 16 Humaidi Tatapangarsa, Hak dan Kewajiab Suami Istri Menurut Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1993), Cet ke-I, h. 12 12 Artinya: Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.dan hendaklah kamu berikan suatu pemberian kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. Berdasarkan keterangan yang terdapat dalam Al-Qur‟an, dapat dirumuskan bahwa mahar itu ialah suatu pemberian wajib dari suami kepada istri sebagai hadiah yang tulus berkenaan dengan pernikahan antar keduanya, yang sudah ditetapkan melalui al-Qur‟an, as-Sunah dan I‟jma,17 diberlakukan dalam praktik dan suadah dikenal di kalangan khusus maupun umum dari putra-putra muslim, sehingga mahar termasuk sesuatu yang sudah diketahui pasti sebagai ajaran agama. Pemberian mahar adalah salah satu yang disyariatkan oleh ajaran agama Islam. Sebagaimana lamaran, maka mahar pun diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, pihak laki-lakilah yang datang ke wanita untuk meminangnya dan mengungkapkan rasa cintanya, serta untuk menegaskan ketulusan, dan menarik perhatiannya, maka laki-laki perlu memberikan sesuatu sebagai bukti ketulusan hati, inilah yang dikenal dengan sebutan mahar. 17 Humaidi Tatapangsara, h. 13 13 Nihlah yang berasal dari rumpun kata an-Nahl mempunyai arti yang sama dengan mahar, dalam Tafsir Al-Azhar dimaknai sebagai lebah. Lebah diibaratkan sebagai seorang laki-laki yang mencari harta yang halal, laksana seekor lebah mencari kembang, yang kelak akan menjadi madu (manisan lebah),‟ dari hasil jerih payah itulah, yang nantinya akan di berikan kepada calon istri sebagi pertanda ketulusan.18 Mahar bukan hanya sejumlah uang, harta dan barang-barang lainnya, sebagaimana lahirnya, tetapi mahar adalah suatu pertanda kebenaran dan kesungguhan cinta seorang laki-laki, kerena itulah mahar juga dinamakan dengan shidaq (kebenaran). Wanita tidak menjual dirinya dengan mahar, tetapi dengan sarana ini ia dapat mengetahui ketulusan hati seorang laki-laki, yang mampu menciptakan sebuah sarana yang sesuai bagi wanita agara wanita tersebut dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Inilah salah satu falsafah mahar.19 Jadi makna mahar dalam sebuah pernikahan, lebih dekat kepada syariat agama dalam rangka menjaga kemuliaan peristiwa nan suci, pemberian mahar merupakan ungkapan tanggung jawab kepada Allah SWT sebagai AsySyari‟ (pembuat aturan), dan kepada wanita yang akan dinikahi, sebagai teman hidup dalam meniti kehidupan rumah tangga.20 B. Dasar Hukum Mahar 18 Hamka, Tafsir sl-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1982), Cet. Ke I, Juz III, h 260 19 Ibrahim Amini, kiat Memilih Jodoh: Menurut al-Qur‟an dan Sunnah, Penerjemah: Muhammad Taqi, (Jakarta: Lentera, 1994), Cet. Ke-I, h. 157 20 M. Fandzil Adhim, Kupinang Kau dengan Hamdallah, (Yogyakarta ,Mitra Pustaka, 1998), Cet. Ke-4, h. 195 14 Para ulama Fiqh‟ telah menyepakati bahwa hukum memberi mahar atau maskawin itu adalah wajib. Hal ini berdasarkan pada dalil-dalil sebagai berikut: 1. Al-Qur’an Dalam surat An-Nisa‟ ayat 4 di sebutkan: Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.21 Dilihat dilalah dari ayat di atas bahwa Allah Swt telah memerintahkan, pada suami-suami untuk membayar mahar pada istrinya. Kerena perintah tersebut tidak disertai dengan qarinah yang menunjukkan kepada hukum sunat atau mubah, maka ia menghendaki kepada makna wajib. Jadi mahar wajib bagi suami untuk dberikan kepada istrinya, karena tidak ada qarniah yang menyimpang dari makna wajib kepada makna yang lain. Dari segi lain, nihlah dalam ayat di atas juga bermakna AlFaridhah Al-Wajibah (ketentuan yang wajib). Dengan begitu, makna ayat adalah: “Dan berikanlah kepada wanita (istri-mu) mahar sebagai sebuah ketentuan yang wajib”. Pemberian tersebut juga sebagai tanda eratnya hubungan dan cinta yang mendalam, disamping jalinan yang seharusnya menaungi rumah 21 Departemen Agama RI, 1989 15 tangga yang mereka bina. Namun demikian, seandainya istri merasa suka atau rela memberikan kepada suaminya sesuatu dari maharnya tanpa merasa dirugikan dan tanpa unsur paksaan atau tipuan, maka suami boleh mengambil atau meggunakan pemberian itu dengan senang hati dan tidak ada dosa bagi suami untuk mengambil serta menerimannya. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberikan hak kepadanya, di antaranya kedudukan seorang wanita dengan memberikan hak kepadanya, di antaranya yaitu hak untuk menerima maskawin. Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapa saja, meskipun sangat dekat hubung dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, bahkan oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan istri sendiri. Di kalangan masyarakat, telah menjadi suatu tradisi yang dijalankan secara turun menurun yaitu, bahwa mereka tidak cukup hanya dengan pemberian makhar saja tetapi diberengi pula dengan anekaragam hantaran (hadiah) lainnya, baik berupa makanan, pakaian, peralatan rumah tangga dan lain-lain sebagai penghargaan dari calon suami kepada calon istri tercinta yang bakal mendampingi hidupnya. Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nisa‟ ayat 20: 16 “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain22, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata. Firman-Nya lagi dalam surat An-Nisa ayat 21 . “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. Dalam ayat di atas disebutkan, bahwa mahar ini wajib diberikan kepada istri sebagaimana dinyatakan sendiri oleh kata “mahar”.Ia merupakan jalan yang menjadikan istri senang hatinya dan ridha menerima kekuasaan suaminya kepada dirinya, seperti firman Allah SWT seperti berikut: 22 Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan. 17 “Artinya Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki23 (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian24(yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu25. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Al-istimta‟ dalam ayat di atas artinya bersenang-senang dan Al-ita‟ mencangkup pengertian memberikan dan mengharuskan. Sedang Al-ujur bisa diartikan dengan mahar26 Mahar dinamakan dengan ajr (upah), karena ia merupakan upah atau imbalan dari kesediaan berenang-senang. Manfaat dan kesenangan yang diperoleh seorang laki-laki dari seorang wanita (istrinya) ketika melakukan hubungan suami istri yang disahkan melalui jalur pernikahan dan memberikannya dalam bentuk mahar. Jihad dilalah dari ayat ini sangat jelas, yaitu ketika Allah SWT berfirman: Perintah di sini cukup tegas menunjukkan kepada hukum wajib, sebab tidak ada sekali qarinah yang memalingkan kepada makna lain seperti mubah atau sunat 23 Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya. 24 Ialah: Selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam surat An Nisaa' ayat 23 dan 24. 25 Ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang telah ditetapkan 26 Syamsuddin Muhammad bin Abi Abbas, Nihayah Al-Muhtaj,(Mesir: Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, 1938), Juz 6 h. 238. 18 Dari ayat tersebut, jelaslah bahwa Allah SWT mengatakan, wanita maupun di antara wanita-wanita yang dihalalkan bagi kalian (kaum lakilaki) untuk kalian nikahi, maka berikanlah imbalannya, yaitu maskawin yang telah kalian wajibkan sebagai imbalan dari kenikmatan yang kalian rasakan itu. Hikmah yang terkandung di dalamnya adalah, bahwa ketika Allah SWT memberikan kepada kaum laki-laki hak untuk mengatur wanita, hak untuk memimpin rumah yang mereka tempati, dan hak menggauli istrinya. Sebagai konsekuensinya, Allah SWT mewajibkan kepada laki-laki untuk memberikan hak istrinya sebagai bentuk balasan atau penghargaan yang akan menyenangkan dirinya dan menjamin terwujudnya keadilan antara istri dan suami. Mahar itu wajib dibayar suami kepada istrinya. Namun setelah pasti ketentuan pembayarannya, tidak tertutup kemungkinan bagi pasangan suami istri yang saling cinta-mencintai, ridha-meridhai menjadi patri mesra dalam sebuah rumah tangga untuk meghadiahkan kembali mahar itu kepada suaminya, demi kepentingan dan kesenangan bersama karena harta telah menjadi harta istri.27 Hal ini dapat kita melihat contoh yang diberikan oleh Khadijah selama masa perkawinannya dengan Nabi Muhammad SAW lima belas tahun sebelum ia menjadi Rasulallah SAW. Mahar Khadijah dibayar penuh oleh Nabi Muhammad SAW. setelah maskawin tersebut menjadi 27 Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Jilid 2, h. 144 19 miliknya dan telah bergabung dengan harta yang lain, demi cinta kepada Rasulallah SAW dan untuk membantu perjuangannya, bukan hanya jiwa dan raganya saja yang diserahkan kepada suaminya, bahkan hartanya pun turut diserahkan semua. Sehingga pembelanjaan Rasulallah SAW dalam melakukan penyebaran Islam di zaman perjuangan pertama tersebut, sebagian besar adalah harta Khadijah. Demikianlah suri telada yang patut diikuti dari kehidupan perkawinan Khadijah dengan Rasulallah SAW dari sisi mahar. 2. As-Sunnah Terdapat banyak hadis Rasulallah SAW sebagai dalil yang menyatakan bahwa mahar adalah suatu kewajiban yang harus dipikul setiap calon suami yang akan menikahi calon isterinya. Di antaranya ialah: 20 Artinya: “Dari Sahl bin Sa‟idi, sesungguhnya Rasulallah SAW kedatangan tamu seorang wanita yang mengatakan: “Ya Rasulallah, sesungguhnya aku serahkan diriku kepadamu”. Lalu wanita itu berdiri cukup lama sekali. Kemudian tampil seorang laki-laki dan berkata: “Ya Rasulallah SAW nikahlah aku dengannya jika memang engkau tidak ada minat kepadanya”. Rasulallah SAW lalu bertanya: Apakah kamu mempunyai sesuatu yang bisa diberikan sebagai maskawin kepadanya?” Lali-laki itu menjawab: “Saya tidak membpuyai apa-apa kecuali kain sarung yang saya pakai ini”. Nabi berkata lagi: “Jika sarung tersebut engkau berikan kepdanya, maka engkau akan duduk dengan tidak mengenakan kain sarung lagi. Kerena itu carilah yang lain”. Lalu ia mencari tidak mendapatkan sesuatu. Nabi bersabda lagi kepadanya: “Carilah meskipun hanya sebentuk cincin dari besi”. Lelaki itu pun mencoba menyarinya namun tidak mendapatkan apaapa. Lalu rasulallah SAW bertanya lagi kepada laki-laki tadi: “Apakah kamu hafal sedikit saja dari ayat-ayat Al-Qur‟an”, Lelaki tadi menjawab: “Tentu saja, aku hafal surah ini dan surah ini”. Ada beberapa surat yang ia sebutkan. lalu Rasulallah SAW bersabda kepadanya: “Kalau begitu aku nikahkan kamu dengannya dengan maskawin surat Al-Qur‟an yang kamu hafal”. (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi). Wajah dilalah dari hadis ini adalah perintah Rasulalah SAW sendiri pada laki-laki tersebut untuk mencari seuatu yang dapat dijadikan mahar. Perintah itu menunjukkan kepada wajib Nabi SAW tetap menyuruhnya untuk mencari sampai beberapa kali, sampai beliau mengatakan: Meskipun sebentuk cincin dari besi”. Dalam hadis tersebut, pertama Nabi SAW menyuruh mencari sesuatau untuk dijadikan mahar.Kata “sesuatu” pada dasarnya mencangkup segala sesuatu yang baik bernilai atau yang tidak bernilai. Namun ketika Rasulallah SAW mengatakan “meskipun sebentar cincin dari besi” dapatlah dipahami bahwa yang di maksud dengan 28 Abu Isa Muhammad, Sunan At-Tirmidzi, (Muhammad Jamil Al-A‟thar), (BeirutLebanon: Dar Al-Fikr) Juz2, h. 360-361. 21 “sesuatu” sebagai mahar dalam hadis di atad adalah sesuatu yang bernilai. Maka tidak bisa dijadikan mahar yang tidak bernilai seperti sebiji padi.29 Berdasarkan hadis di atas dan juga hadis-hadis yang lain, jelaslah bahwa mahar adalah seuatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh calon suami yang akan menikahi calon istrinya. Oleh karena itu tidak mungkin diadakan persetujuan untuk meniadakannya. Namun masih perlu dikaji apakah mahar merupakn salah satu rukun atau syarat sahnya nikah.Jumhur ulama tetap berpendirian bahwa mahar tidak bisa dikatakan sebagi rukun nikah atau syarat sahnya nikah, tetapi hanya sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan „aqad nikah. Jelaslah mahar adalah wajib, ia boleh berupa barang (harta kekayaan) dan boleh juga berupa jasa atau manfaat. Jika berupa barang, disyaratkan haruslah barang tersebut berupa sesuatu yang berupa sesuatu yang mempunyai nilai atau harga, halal lagi suci. Sedangkan kalau berupa jasa atau mahar haruslah berupa jasa atau manfaat dalam arti yang baik.30 3. Ijma’ Para Ulama sepakat (ijma‟) bahwa mahar itu wajib hukumnya dalam pernikahan dan mahar juga merupakan bagian dari syarat-syaratnya nikah, yang harus dipikul oleh setiap calon suami terhadap calon istrinya.31 C. Syarat Sahnya Mahar Mahar yang diberikan oleh seorang laki-laki (suami) terdapat seorang 29 Abu Isa Muhammad, Sunan At-Tirmidzi,., h. 362 Abu Isa Muhammad, Sunan At-Tirmidzi, h. 363 31 Syamsuddin Muhammad bin Abi Abbas., h. 328. 30 22 calon istri adalah suatu kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan atau di hilangkan, bahkan tidak dapat pula kurang dari syarat-syarat yang telah ditentukannnya. Para fuqaha dalam hal ini menetapkan bahwa syarat-syarat mahar tersebut adalah: 1. Benda halal yang suci Suatu benda yang akan dijadikan mahar harus terhindar dari unsurunsur haram, karena itu mahar harus boleh dimiliki atau diperjual belikan atau dimanfaatkan. Dalam kitab Al-Fiqhu „ala Mazahib Al-Arba‟ah disebutkan: Artinya: Bahwa keadaan suci, sah dimanfaatkan dengannya, maka tidak sah mahar dengan minuman keras, babi, darah dan bangkai karena yang demikian itu tidak ada harganya menurut pendapat syariat Islam. Tidak dibenarkan benda-benda yang disebut di atas seperti minuman keras, babi, darah dan bangkai sesuai menurut penjelasan Al-Qur‟an surat Al-Maidah ayat 3, yang berbunyi: Artinya: “Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah daging babi, dan sesuatu (binatang) yang disembelih atas nama selain Allah SWT Dari pengertian ayat di atas dan hubungannya dengan kutipan yang mengharamkannya mahar dengan benda yang tidak bermanfaat dalam Islam, Maka dapat diambil perhatian bahwa segala benda yang haram 32 Abdurrahman Al-Jaziriy, Al-Fiqh „ala Mazahib Al-Arba‟ah, (Mesir: Al-Tijiriya, 1996), Jilid 4, h. 97. 23 untuk dipergunakan atau dimanfaatkan haram pula dijadikan mahar. 2. Benda Yang Berharga Disamping tidak bolehkannya mahar beda-benda yang telah diharamkan dalam Islam, mahar juga tidak dibenarkan dengan bendabenda atau sesuatau yang tidak ada harganya, seumpama sampah, biji buah-buahan, buah-buahan yang busuk dan sebagainya. Hal ini dijelaskan dalam kitab Al-Fiqhu „ala Mazahib Al-Arba‟ah sebagai berikut : Artinya: Mahar adalah sesuatu harta benda yang mempunyai harga, maka tidak sah mahar dengan harganya murah yang tidak mempunyaiharga seperti biji gandum. Dari kutipan diatas dapat dipahami bahwasannya mahar tidak dibenarkan dengan sesuatu benda yang tidak ada harga atau nilai, meskipun benda tersebut halal. Karena dengan demikian itu terlalu mempermudah, seharusnya mahar tersebut hendaklah yang dipandang baik, sebagaimana menurut pemahaman yang dapat diambil dari surat AlBaqarah ayat 267 yang berbunyi: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah SWT) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik” 33 Abdurrahman Al-Jaziriy, Al-Fiqh „ala Mazahib Al-Arba‟ah., h. 98. Al-Baqarah 267 34 24 Hal ini juga dapat dilihat hadis Nabi SAW: Artinya: Dari Abi Salamah bin Abdurrahman berkata: Saya bertanya kepada Aisyah Istri Rasulallah SAW, berapa mas kawin Rasulallah SAW ? Aisyah Menjawab: mas kawin kepada istri-istrinya adalah dua belas uqiyah dan nash. Aisyah bertanya: tahukah engkau akan nash itu? Saya menjawab : tidak tahu. Aisyah berkata: setengah uqiyah, maka yang demikian itu lima ratus dirham . Inilah maskawin Rasulallah bagi istriistrinya (H.R. Muslim) Hadis di atas menunjukan benda yang berharga seperti mata uang, karena itu (mata uang) dapat dijadikan mahar. Hal seperti ini terdapat dalam masyarakat sekarang, di mana pihak pengantin pria menyerahkan sejumlah uang kepada pihak pengantin wanita pada saat „aqad nikah sebagai maskawin. 3. Benda Yang di Miliki Disamping mahar tersebut sesuatu (benda) yang halal dan berharga, mahar juga harus benda yang dimiliki oleh seseorang dan dapat diserah kepada pengantin perempuan tersebut, dengan demikian mahar tidak boleh seperti 35 Imam Nawawy, Shahih Muslim Bi Syarhi Al-Nawawy, (Mesir Al-Mathba‟ah AlMisriyah Wa Maktabuha), Juz 3, h.585 25 burung yang terbang di udara atau ikan yang di laut yang belum dimiliki. Hal ini juga di jelaskan dalam kitab Al-Fiqhu IslamiyWa Adillatuhu sebagai berikut: Artinya: “Bahwa benar mahar itu terhindar dari tipuan, maka tidak boleh mahar itu seorang hamba sahaya yang lari (hamba sahaya tersebut tidak ada di depan mata) unta yang sesat (unta yang tidak ada di depan mata) atau sesuatu yang serupa keduanya. Kutipan diatas menunjukkan tidak sah dijadikan mahar benda yang bukan miliknya, seperti barang titipan orang kepadanya dan tidak sah juga menjadikan mahar kalau tidak sanggup menyerahkannya, seperti miliknya yang telah dirampas orang dan tidak sangup mengambilnya kembali. D. Mahar Adalah Hak Si Perempuan Bukan Hak Walinya Mahar atau mas kawin dalam ajaran Islam merupakan hak calon mempelai wanita dan bukan hak wali. Oleh karena itu, besar kecilnya mahar ditentukan oleh wanita bukan oleh walinya. Namun, tidak mengapa apabila si wanita tersebut berunding dengan walinya untuk menentukan berapa besarnya mas kawin. Meski demikian, keputusan terakhir tetap di tangan si wanita. Apabila si wanita menentukan jumlah mahar terntentu kemudian si wali juga menentukan jumlah tertentu, maka yang diambil adalah ucapan si wanita. Oleh karena mahar adalah hak si wanita, maka si wali ataupun yang lainnya 36 Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqih Islamiy Wa Adillatuhu, (Beirut-Lebanon: Dar Al-Fikr), Juz 7, h. 259 26 tidak boleh mengambil seluruh atau sebagian jumlah mahar tersebut tanpa ada izin dari si wanita. Oleh karena itu, ulama Syafi'iyyah dan Hambali berpendapat bahwa seorang suami tidak boleh membayar mahar kecuali kepada isterinya atau kepada orang yang diwakilkan oleh isterinya. 37 E. Pelaksanaan Pemberian Mahar Berikut ini ada beberapa kondisi di mana apabila kondisi ini terjadi, maka si suami boleh tidak membayar sisa maharnya atau semua maharnya, bahkan boleh meminta sebagian atau seluruh mahar yang telah diberikannya. Kondisikondisi dimaksud adalah: 1. Apabila si isteri meminta untuk bercerai dari si suaminya sebelum keduanya melakukanhubungan badan. Misalnya, apabila si isteri masuk Islam sementara suaminya masih non muslim dan keduanya belum melakukan hubungan badan, maka menurut Syafi'iyyah dan Hanabilah, si suami boleh tidak membayar mahar. Atau si isteri meminta dicerai lantaran suaminya impotent atau ada penyakit menular yang tidak bisa disembuhkan, atau karena si suaminya ternyata adalah saudara sesusu wanita tersebut dan keduanya belum melakukan hubungan badan, maka si suami tidak mesti membayar mahar kepada si wanita tadi. Bahkan menurut ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah, mereka tidak mengkhususkan perceraian itu harus datang dari pihak isteri. Menurut mereka baik permintaan cerai itu datangnya dari pihak suami ataupun isteri selama belum hubungan badan, maka hal demikian tidak mengharuskan membayar Mahar Musamma atau Mahar Mitsil. Namun, 37 Qs. An-Nisa: 4 27 hemat penulis, yang lebih rajih adalah pendapat Syafi'iyyah dan Hanabilah yang mensyaratkan bahwa perceraian tersebut datang dari pihak isteri bukan dari pihak suami. 2. Apabila terjadi khulu' baik si isteri tersebut telah disetubuhi ataupun belum. Khulu' adalah permintaan cerai dari pihak isteri. Khulu berbeda dengan talak. Apabila talak berupa permohonan cerai dari pihak laki-laki, maka Khulu' perceraian akan tetapi datangnya daripihak isteri. Misalnya, apabila si suaminya sangat kikir, atau impotent atau tidak pernah shalat wajib, suka berjudi, mabuk dan lainnya, maka si isteri boleh meminta agar si suami menceraikannya dengan catatan si isteri harus membayar 'iwad, berupa sejumlah uang yang kira-kira cukup untuk dijadikan maskawin baik besar maupun kecil untuk pembahasan lebih lanjut seputar Khulu' ini, akan dibahas dalam makalah khusus.'Iwad atau uang ganti dalam Khulu' tidak mesti sama dengan jumlah mas kawin yangditerimanya. Ia boleh membayar berapa saja selama hal itu layak dijadikan mas kawin. Dalam prakteknya Khulu' ini terjadi seperti ini: Si wanita meminta suaminya agar menceraikannya karenasi isteri merasa tidak kuat dengan kelakuan si suaminya yang sering mabuk-mabuk dan tidakpernah shalat. Lalu si suaminya setuju. Kedua suami isteri tersebut lalu pergi ke pengadilan, dan didepan pengadilan si suami mengatakan: "Saya telah mengkhulu' kamu dengan uang ganti sebesar500 ribu rupiah, misalnya". Setelah itu, si isteri memberikan uang sebesar 500 ribu rupiah sebagai iwad dari khulu tersebut. Apabila shigat khulu telah diucapkan, maka ia dipandang telah 28 bercerai. Dalam peraturan perkawinan yang berlaku untuk ummat Islam di Indonesia, yaitu Kompilasi Hukum Islam, khulu ini diistilahkan dengan Cerai Gugat. Cerai gugat adalah perceraian atas permohonan si isteri dengan syarat si isteri harus membayarkan ganti rugi ('iwad) baik dengan mengembalikan mas kawin yang pernah diterimanya dahulu maupun berapa saja jumlahnya menurut kesepakatan dengan suaminya. Sedangkan perceraian atas keinginan si suami disebut dengan Cerai Talak. Apabila, si isteri meminta khulu kepada suaminya, baik si isteri tersebut telah disetubuhi maupun belum, maka si suami tidak berkewajiban membayar mas kawin. Sisa mas kawin yang belum dibayarnya dapat dijadikan iwad khulu oleh si isteri sehingga dengan demikian hutang sisa maskawin si laki-laki tersebut menjadi lunas, gugur dan jatuh. Apabila mahar dari si suaminya sudah dibayar penuh, lalu si isteri berkehendak untuk khulu, maka sebaiknya ia mengembalikan mas kawin suaminya itu. Apabila si isteri tidak mempunyai cukup uang untuk mengembalikan maskawin yang dahulu diterimanya, maka ia boleh dengan jumlah yang lebih kecil, selama ada kerelaan dan keridhaan antara kedua belah pihak. 3. Ibra' (tanazul) dari semua mahar baik sebelum dukhul maupun setelah dukhul. Ibra' secara bahasa berarti bebas atau berlepas. Sedangkan secara 29 istilah, Ibra' mempunyai beberapa bentuk dan istilah. Di antaranya, Ibra' terjadi apabila seorang bapak berkata kepadasuami anak perempuannya: "Talaklah anak saya dan kamubebas dari mahar kamu yang belumkamu bayar", lalu si suami mentalaknya, maka ia bebas (bari') dari mas kawin tersebut. Praktek seperti ini disebut dengan Ibra'. Oleh karena itu, apabila seorang isteri atau walinya meminta sisuami untuk mentalaknya atau mengkhulu'nya dengan catatan apabila ia melakukannya makamaharnya akan gugur dan tidak mesti dibayar, lalu si suami tersebut melakukannya (menceraikannya), baik ia telah mendukhulnya maupun belum, maka mahar si suami jatuh dan tidak mesti dibayar. 4. Si isteri menghibahkan atau membebaskan si suami dari pembayaran mahar. Apabila seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita dengan mahar dibayar setengahnya dan setengahnya lagi di bayar setelah menikah, atau maharnya belum dibayar samasekali (hutang), lalu setelah menikah si isteri menghadiahkan atau menghibahkan atau membebaskan maskawin tersebut karena, misalnya, merasa kasihan kepada suaminya, dan si suaminya menerima pembebasan mahar tersebut, maka kewajiban mahar bagi si suami menjadi gugur. Si suami tidak harus membayar mahar. Dengan catatan si isteri menghibahkannya itu dalam keadaan normal, sehat, dewasa, tidak dipaksa dan betul-betul berdasarkan keinginannya sendiri. F. Hikmah Mahar Salah satu usaha islam ialah memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yang memberinya hak untuk memegang urusannya, seperti 30 hak menerima hak mahar mengurusnya. Suami wajib memberi mahar kepada istrinya bukan kepada ayahnya Pensyari‟atan mahar dalam perkawinan mengandung arti yang sangat mendalam, antara lain: sebagai penghormatan terhadap yang dicintai, mengikat jalinan kasih sayang kepada istri serta mempererat hubungan antara keduannya, bukan pula dianggap pemberian atau ganti rugi. Pemberian mahar merupakan salah satu jalan yang dapat menjadikan istri berhati senang dan ridha menerima kekuasaan suami tehadap dirinya. Pemberian mahar itu kepada istri bukanlah harga dari wanita itu, dan bukan pula sebagai pembelian wanita itu dari orang tuannya, akan tetapi pensyari‟atan mahar tersebut merupakan salah satu syarat yang dapat menghalalkan hubungan suami istri antara keduanya, yaitu hubungan timbal balik dengan senang hati dan penuh kasih sayang dengan melakukan status kepimpinan dalam rumah tangga secara tepat lagi ialah bertanggung jawab. Dengan adanya kewajiban memberi mahar kepada istri terentanglah tanggng jawab yang besar dari suami untuk memberikan mahar di dalam kehidupan rumah tangga secara layak. Adapun hikmah mahar menurut penulis adalah sebagai berikut: 1. Sebagai suatu motivasi dan tanggung jawab moral bagi setiap laki-laki yang ingin melangsung perkawinan. 2. Sebagai suatu kebebasan dari larangan hukum yang mutlaq kepada yang membenarkan di dalam perkawinan. 3. Sebagai suatu bukti balasan penyerahan diri terhadap suami dari pihak 31 istri, sehingga terwujud rasa kebersamaan dengan pengertian yang sangat luas. 4. Terjalinnya hubungan kasih sayang yang pantas dikenang oleh kedua belah pihak (suami-istri) 5. Sebagai penetapan status dan martabat wanita yang sudah dijunjung tinggi. Demikianlah hikmah disyariatkannya mahar sehingga wanita tidak dizalimi serta mendorong terciptanya keluarga-keluarga Islami dengan mematuhi syariat agama. 32 BAB III HADIS-HADIS MENGENAI MAHAR A. Teks Hadis dan Terjemahannya Dalam bab ini hadis-hadis mengenai mahar akan dibahas. Seluruh hadis dari kitab-kitab asli yang memeuat hadis-hadis sahih, seperti al-jami‟ al-sahih al-Bukhari, al-jami‟ al-sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa‟I Sunan Ibnu Majah, Musnad Imam Ahmad dan lain- lain. Di antara hadis-hadis tersebut adalah: Artinya: Dari Ibnu „Abbas, dia berkata: Ketika „Ali ra menikah dengan Fatimah ra putri dari Rasulallah SAW, beliau berkata kepada „Ali ra, “Berilah sesuatu (sebagai mahar) kepadanya.” Dia menjawab, “saya tidak punya apa-apa. “ Beliau bertanya. “Mana baju besi hutamiyahmu? “ Dia menjawab, “Dia ada padaku. Beliau bersabda, “Berikanlah dia padanya.” 38 (HR. Nasa‟i ) Lihat, Abu Abdullah al-Rahman Ibn Syu‟aib al-Nasa‟I, Sunan anNasa‟I, Kitab an-Nikah, , (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Cet. ke-I, Jilid III, h. 123 33 Artinya: Dari Abu Salamah Ibn „Abdur Rahman ra sesungguhnya dia berkata: “Saya bertanya kepada „Aisyah istri Nabi SAW: Berapa banyak maskawin yang diberikan Rasulallah SAW? „Aisyah menjawab: Maskawin yang beliau berikan kepada istri-istrinya ialah dua belas setengah uqiyah”. Ketika dianya oleh „Aisyah berapa itu kira-kira, aku menjawab lima ratus dirham. Inilah maskawin yang diberikan oleh Rasulallah SAW kepada istri-istrinya”. Artinya: Dari Sabit dari anas ra berkata: Ketika Abu Talhah melamar Ummu Sulaim, maka jawab Ummu Sulaim: “Demi Allah, wahai Abu Talhah tidaklah pantas jika lamarmu ditolak, akan tetapi kamu seorang kafir sedangkan aku wanita muslim, maka tidak dihalalkan bagiku menikah denganmu, tetapi jika kamu bersedia masuk Islam, maka itulah maskawinku dan aku tidak meminta yang lain darimu.” Oleh sebab itu Abu Talhah masuk Islam dan Islamnya itulah sebagai maskawinnya untuk Ummu Sulaim. Kata Sabit: Sama sekali aku benlum pernah mendengar wanita yang maskawinnya lebih mulia dari pada maskawin Ummu Sulaim, yaitu masuk Islam. Maka Talhah menikah dengannya dan ia sempat memberi anak baginya. 39 (HR. Muslim), Abu Husain Muslim Ibn Hajjaj al-Qusyairi, Al-Jami‟ al-Sahih Muslim Kitab an-Nikah, باب ورب الىظس ﺇلً وجه المسﺃة ومُفُها لمه بسَد تصوجه, (Beirut: Dar al- Fikr, 1993), Cet. Ke-I, Juz V, h. 229. Juga terdapat di Sunan Abu Daud, Kitab an-Nikah, باب الصداق, Juz III, hadis no. 2105, h. 199, dan Sunan Ibnu Majah, Kitab an-Nikah, باب سداق الىساء, Juz I, hadis no. 1886, h. 592 40 (HR. Nasa‟i),, h. 124 34 Artinya: Dari „Urwah dari Ummu Habibah, sesungguhnya Rasulallah SAW telah mengawininya sedang ia berada di Habasyah yang dinikahkan oleh Najasyi (Raja Habasyah), dan ia memberi mahar empat ribu dirham serta memberi perbekalan dari dirinya, ia mengirimnya bersama Syurahbil Ibn Hasanah dan Rasulullah SAW tidak mengirim apapun kepadanya, sedang mahar untuk istriistrinya (yang lain) adalah empat ratus dirham Artinya: Dari „Aisyah bahwa Nabi SAW bersabda SAW bersabda: “Sesungguhnya perkawinan yang paling besar berkahnya adalah yang paling murah maharnya” 41 (HR. Nasa‟i), Lihat, Ibid., h. 118. Juga terdapat pada Musnad Imam Ahmad Ibn Hanbal, Kitab an-Nikah, Jilid VI, h. 467, dan Sunan Abu Daud, kitab an-Nikah, , Jilid II, hadis no. 2107, 2108, h. 200 42 (HR. Ahmad Ibn Hanbal), Abu Abdullah Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Imam Ahmad Ibn Hanbal, Kitab an-Nikah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Cet, ke-I, jilid III, h. 39 35 Artinya: Dari Abi „Ajfa ia berkata: Aku pernah mendengar „Umar Berkata: Janganlah kamu berlebih-lebihan dalam memberi mahar kepada wanita, karena wanita apabila ia seorang yang mulia di dunia atau orang yang terpelihara di akhirat, maka orang yang paling utama (dalam menghormati wanita) di antara kamu adalah Rasulallah SAW. Padahal berapakah Rasulallah SAW memberikan mahar kepada istri-istrinya, tidaklah seorangpun istrinya yang memberi mahar lebih dari 12 uqiyah 43 (HR. Nasa‟i), Lihat, Ibid., 117/118. Juga terdapat pada Sunan Ibnu Majah, Kitab an-Nikah, باب صداق الىساء, Jilid I, hadis no. 1887, h. 592 36 Artinya: Dari Sahl Sa‟ad as-Sa‟idi, dia berkata Seorang perempuan suatu hari datang kepada Rasulallah SAW dan berkata: “Ya Rasulallah SAW, aku datang untuk menyerahkan diriku kepada Anda.” Sejenak Rasulallah SAW memperhatikan perempuan itu dengan teliti. Kemudian Beliau mengangguk-nganggukan keplanya. Lama sekali Rasulallah SAW tidak memutuskan apa-apa terhadapnya, perempuan itu lalu duduk. Sesaat kemudian datang salah seorang sahabat beliau dan berkata: “Ya Rasulallah SAW, seandainya Anda tidak berkenan padanya, kawinkan saja aku padanya.” Rasulallah SAW bertanya “Apakah kamu punya sesuatu?” Sahabat itu menjawab:”Tidak ya Rasulallah SAW.” Beliau bersabda: Kalau begitu pulanglah kamu kepada keluargamu. Lihat apakah kamu nanti akan bisa menemukan sesuatu. Maka pulanglah sahabat itu, kemudian kembali lagi dan berkata: “Tidak, aku tidak menemukan apa-apa.” Raulallah SAW masih mensaknya: “Kamu pulanglah lagi kepada keluargamu, carilah sesuatu walaupun itu hanya berupa cincin dari besi.” Untuk kedua kalinya sahabat itu pulang, lalu kembali lagi lalu bekata:” Tidak ya Rasulallah SAW, aku tidak menemukan sesuatu pun sekalipun itu hanya cincin dari besi. Cuma aku punya kain sarung ini. Aku akan berikan seprohnya.” Rasulallah SAW bertanya: Lantas apa yang bisa kamu lakukan terhadap kain sarungmu ini? Jika kamu memakainya, maka wanita itu tidak bisa berbuat apa-apa. Demikaianlah juga bila ia dipakai olehnya, maka kamu juga tidak bisa berbuat apa-apa. Sejenak sahabat itu hanya duduk cukup lama sekali. Setelah itu dia bangkit berdiri. Tiba-tiba saja pandangan matanya tertunduk pada Rasulallah SAW yang memandang sedang memperhatikannya. Dia lalu pergi. Namun sasaat kemudian Rasulallah SAW bertanya: Apakah kamu tahu tentang al-Qur‟an ? Sahabat itu menjawab: Ya. Ada beberapa surat. Rasulallah SAW bertanya: Kamu dapat membacanya di luar kepala? Sahabat itu menjawab: Ya Rasulallah SAW bersabda: Jika begitu pergilah. Wanita itu menjadi istrinya dengan maskawin hapalan al-Qur‟an yang kamu punyai. B. Asbabul Wurud Dalam kitab Al-Bayan-Ta‟rif Fi Asbabul Wurud al-Hadis asy-Syarif, mengatakan bahwa sebab turunnya hadis tersebut, sebagaimana yang 44 (HR. Bukhari), Lihat, Abu „Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim alBukhari, Al-Jami‟ al-Sahih al-Bukhari, Kitab an-Nikah,. شوجىا:.م. لقىل الىٍ ص.ًباب السلطان ول .مها بما معل مه القسآن, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), Cet. ke-I, jilid III, H. 164. Juga terdapat pada Sahih Muslim, Kitab an-Nikah, باب ورب الىظس ﺇلً وجه المسﺃة ومُفُها لمه بسَد تصوجه, Juz V, hadis no. 1425, h. 228 37 tercantum dalam bab sebelumnya adalah mengenai kisah tentang mahar, yang hadisnya berbunyi: “Maskawin yang lebih baik ialah yang paling mudah” Periwayat: Al-Baihaqi dari „Uqbah Ibn „Amr, menurut al-Hakim hadis ini sahih memenuhi persyaratan Bukhari dan Muslim diakui oleh adz-Zahabi. Diriwayatkan dari „Uqbah, bahwa Rasulallah SAW telah bertanya kepada seorang laki-laki, “apakah kau rela menikahi si dia? Jawabnya: Ya, kemudian Rasulallah SAW bertanya kepada si wanita: apa kau suka? Ya, Akhirnya menikahlah mereka tanpa mahar, Lalu orang tersebut ikut serta dalam perang khaibar dan ia memesankan pada saat menjelang kematiannya antara wanita yang di kawininya mengambil anak panahnya sebagi pemberian (mahar). Lalu wanita tersebut mengambilnya dan menjualnya seharga seratus dirham, kemudian Rasulallah SAW bersabda: Maskawin yang lebih baik ialah yang paling mudah, sedangkan maskawin paling sedikit dapat memberikan kesaksian dan diharapkan berkahnya, oleh sebab itu „Umar Ibn Khatab telah melarang maskawin yang berlebih-lebihan, lalu katanya: Rasulallah SAW dan juga putri-putrinya menikah dengan maskawin yang tidak lebih dari 12 uqiyah.45 C. Bentuk Mahar Pada umumnya mahar dalam bentuk uang atau barang berharga 45 Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi ad-Damsyiqi, Asbabul Wurud: Latar Belakang Histaris Tibulnya Hadis-hadis Rasul,(Jakarta: Kalam Mulia, 1997), Cet. ke-2, Jilid II, h. 337 38 lainnya, namun Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam al-Qur‟an dan demikian hadis Nabi SAW.46 Contoh dalam hadis Nabi adalah menjadikan mengajarkan al-Qur‟an sebagai mahar sebagaiman terdapat dalam hadis dari Sahl bin Sa‟adi‟ dalam bentuk munttafaq „alaih, ujung dari hadis panjang yang dikutip di atas: Artinya: Nabi berkata: “Apakah kamu memiliki hafalan ayat-ayat al-Qur‟an?” ia menjawab: “ya. Surat ini, sambil menghitungnya?”. Nabi berkata: “Kamu hafal surat-surat itu di luar kepala? “dia menjawab: “ya”. Nabi berkata: “pergilah, saya kawinkan engkau dengan perempuan itu dengan mahar mengajarkan alQur‟an Contoh lain adalah Nabi sendiri waktu menikahi Sofiyah yang waktu itu masih berstatus hamba dengan maharnya memerdekakan Sofiya tersebut. Kemudian ia menjadi Ummu al-Mukminin. Hal ini terdapat dalam hadis dari Anas ra. Yang muttafaq‟ alaih ucapan Anas: Artinya: Qutaibah bin Said dari Hamad dari Sabiq dan Syu‟eb Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. telah memerdekakan Sofiyah dan menjadikan kemerdekaan itu sebagai maharnya (waktu kemudian mengawininya) 46 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 100 Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Mukhtashar Sahih Muslim, (Jakarta:Pustaka Azzam, 2003), Cet. Ke-I h. 572 48 Maktabah Syamila, Al-Bukhari: Sahih Bukhari, (Mesir, Al-Misykat), h. 1956, Maktabh Syamila, Al-Muslim: Sahih Muslim, Mesir,Al-Misykat), h.146 47 39 Mengenai besar mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak batas tertinggi. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang batas terendahnya. Imam Sayafi‟I, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi‟in berendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadikan harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik. Sebagian Fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas dan perak.49 Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengetakan empat puluh dirham. Pangkal silang pendapat ini, kata Ibnu Rusyd, ada dua hal, yaitu: 1. Ketidakjelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dan jual-beli dan kedudukannya sebagai ibdah yang sudah ada ketentuannya. Demikian itu karena ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu laki-laki dapat memiliki jasa wanita untuk selamanya. Maka perkawinan itu mirip dengan pertukaran. Tetapi ditinjau dari segi adanya larangan mengedakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka mahar itu mirip dengan 49 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Fi Nihayah al-Muqtashid, (Beirut, Dar al-Fikr), Juz 2, h. 386 40 ibadah. 2. Adanya pertentangan anatar qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar dengan mafhum hadis yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuannya. Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi SAW, “carilah walaupun hanya cincin dari besi”, merupakan dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendahnya. Karena jika memang ada batas terendahnya tentu beliau menjelaskannya.50 Akan tetapi, mereka berpendapat tentang batas minimalnya. Syafi‟i. Hambali dan Imamiyah berpendapat bahwa tidak ada batas minimal mahar. D. Macam-macam Mahar dalam Hadis 1. Mahar al-Musamma, yaitu mahar yang disebutkan di dalam akad atau selepas akad dengan keredhaan kedua pihak. Sama ada mahar itu disepakati dengan jelas di dalam akad atau ditetapkan bagi isteri selepas akad dengan keredhaan atau ditetapkan mahar itu oleh hakim. Hal ini di tegaskan dalam surat al-Baqarah ayat 237: Artinya: Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika 50 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Fi Nihyah al-Muqtashid, juz 2, h. 386 41 isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan. 2. Mahar al-Mistil.51 Dalam menentukan mahar jenis ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan pakar fiqih. Ulama madzhab Hanafi mengemukakan bahwa mahar tersebut adalah sejumlah mahar yang sama nilainya dengan mahar yang diterima oleh perempuan yang menikah dari pihak ayahnya (seperti adik/ kakak perempuan dan keponakan perempuan ayah). Karena itu, setiap daerah mempunyai ketentuan mahar yang sudah pasti, maka ukuran yang diambil adalah kebiasaan yang berlaku dalam perkawinan keluarga ayah wanita tersebut. Ulama madzhab Hanbali menyatakan bahwa mahar al-Mistil itu adalah sejumlah mahar yang berlaku bagi keluarga wanita tersebut dari pihak ayah dan ibu (seperti adik/ kakak perembuan ayah/ ibu). Hal ini didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal. Ulama Madzhab Maliki dan Syafi‟I menyatakan bahwa mahar al-mistil itu dikembalikan kepada kebiasaan yang berlaku dlaam keluarga tersebut ketika melangsungkan perkawinan seorang wanita. 3. Mahar sir dimaksudkan mahar yang tidak diucapkan pada akad nikah, namun telah disepakati jumlahnya sebelum akad nikah dilangsungkan.52 51 Mahar ini adalah mahar yang berlaku menurut kebiasaan yang berlaku dengan dasar QS. 4:24, yang berbunyi: “Dan istri-istrimu yang telah kamu nikmati itu, berilah mereka mahar. Hal senada, yaitu di qiayaskan dengan ijma para ulama yang menyatakan bahwa perempuan yang sudah dicampuri karena syubhat, tetap berhak mendapatkan mahar mistily. Lihat: Muhammad Ali as-Sabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam Juz I (Cet. II; DamsyiqSuriyah: Maktat al-Gazali, 1977 M/ 1397, h. 379 52 Syamsuddin Aby „Abdillah Muhammad bin Aby Bakar al-Ma‟ruf biibni Qayyim al-Jauziyyah, I‟laam al-Muwaqq‟in „an al‟-Alamiin, Juz III (Beirut: al-Maktabat al„Ashriyyat, 1987 M/ 1307 H), h.100 42 Adapun mahar al-musamma wajib dibayarkan suami sesuai dengan jumlah yang disepakati dalam akad. Mengenai mahar al-mistil, ulama menyatakan bahwa kewajiban membayar mahar tersebut muncul dalam keadaan-keadaan: 1. Apabila suami dan istri sepakat untuk tidak memakai mahar dalam perkawinan 2. Apabila dalam perkawinan tidak disebutkan jumlah dan jenis mahar oleh suami 3. Benda yang disajikan mahar tidak bernilai harta dalam Islam, miaslnya: minuman keras, narkoba, dan babi. Jadi mahar yang sah adalah mahar yang dapat dibayar secara tunai ketika akad dan dapat ditunda pembayarannya. Selain itu, ada beberapa hal menjadikan gugurnya mahar, yaitu: 4. Terjadi perpisahan antara suami dan istri selain dengan talak sebelum terjadi hubungan seksual 5. Terjadi khuluk sebelum dan sesudah hubungan seksual dang anti ruginya adalah mahar 6. Istri menghibahkan mahar seluruhnya kepada suami, dengan syarat si istri intelek dalam hal hukum syara‟.53 53 Alhamdani, Risalah al-Nikah, (Pekalongan: Raja Murah, 1980),h. 20-21 43 BAB IV ANALISA KANDUNGAN HADIS-HADIS MAHAR G. Mahar Menurut Pendapat Ulama Secara Umum Mahar disebutkan dalam Al-Qur‟an: Artinya: Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya Mahar merupakan pemberian seorang suami kepada istrinya yang dilakukan pada waktu akad nikah. Dikatakan yag pertam karena sesudah itu akan timbul beberapa kewajiban materiil yang harus dilaksanakan oleh suami selama masa perkawinan untuk kelangsungan hidup perkawinan itu. Dengan pemberian mahar itu suami di persiapkan dan di biasakan untuk menghadapi kewajiaban materil berikutnya.55 Dalam Islam, persoalan maskawin atau mahar jauh berbeda dengan keadaan atau tradisi yang berlaku di luar ajaran Islam. Mahar dalam Islam 54 Qs: An-Nisa: 4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta, Prenada Media, 2007), Cet. Ke-II, h. 87. 55 44 merupakan pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan dalam perkawinan. Islam telah mengaangkat derajat kaum perempua,karena mahar itu diberikan sebagai tanda penghormatan kepada kaum hawa. Bilamana pernikahan itu berakhir dengan perceraian, maka perkawinan itu tetap menjadi hak milik istri dan suami tidak berhak mengambil kembali maharnya kecuali dalam kasus khulu (perceraian yang terjadi lantaran permintaan dari pihak istri). Dalam hal ini istri yang minta cerai, hendaknya mengembalikan semua mahar yang telah diberikan kepadanya. Dengan kata lain, maskawin itu adalah sejumlah uang atau harta benda lainnya yang dijanjikan suami kepada istrinya karena ikatan pernikahan Namun yang menjadi permasalahan dalam Islam dikalangan pakar fikih adalah batas minimal mahar, sehingga mereka berbeda pendapat yaitu: Pendapat pertama: Menurut madzhab Hanafi batas minimal mahar adalah 10 (sepuluh) dirham,56, dengan mengemukakkan dalil sebagi berikut. 1. Dari apa yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan al-Baihaqi dari Jabir ibn Abdullah, bahwa Rasulallah SAW. bersabda: Artinya: Jangan menikahkan wanita kecuali sekufu‟ dan jangan mengawinkan wanita kecuali oleh para walinya, dan tidak ada mahar yang kurang dari 56 Al-Kamal bin al-Hammam al-Hanafi, Fathur Qadir‟alal Hidayah Syarah Bidayatil Mubtadi, (Mesir Mathabil al-Halabi, 1938), h. 435 57 Ahmad bin al-Husain bin „Ali Musa Abu Bakr al-Baihaqiy, Sunan al-Baihaqiy alKubray Juz VII (Mekkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, 1994), h.240 45 sepuluh dirham. Dalil ini mendapat sanggahan dengan dinyatakan bahwa hadis di atas dha‟if (lemah), sehingga tidak bisa dijadikan dasar hujjah, karena dalam sanad hadis tersebut terdapat nama Mubasyar bin Ubai, dia adalah dha‟if dari al-Hujjaj bin Arta‟ah, sementara dia adalah mudalis. 2. Dikeluarkan oleh al-Baihaqi melalui jalan Syuraik dari Daud al-Audy dari Sya‟by dari Ali ra., ia berkata: Artinya: Serendah-rendahnya apa yang menghalalkan faraj adalah sepuluh dirham. Hadis ini pun mendapat sanggahan dengan dinyatakan bahwa Daud alAudy adalah tsiqah(tidak dapat dipercaya). 3. Perlu adanya pembatasan mahar secara jelas sebagai bukti sucinya kemaluan seorang perempuan, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Islam, bahwa batas minimal untuk ditetapkan dibolehkannya melaksanakan hukuman potong tangan bagi pencuri adalah sepuluh dirham, maka logikanya pada penghalalan (kemaluan) juga selayaknya seniali sepuluh dirham.59 Pendapat kedua: Batas minimal mahar adalah tiga dirham atau seperempat dinar, atau senilai kadar itu dari benda selain emas dan perak atau suatu yang suci dan tidak mengandung najis, bermanfaat, berfaidah secara syar‟i baik berupa modal, gandum atau lahan, tidak berupa suatau alat untuk 58 Ahmad bin Husain bin „Ali bin Musa Abu Bakr al-Baihaqiy, h. 241 Al-Kalwadzani al-Hanafi, Al- Hidayah bi Syarh Bidayatil Mubtadi, Jilid II. Cet. ke- 59 I, h. 36 46 permainan yang sia-sia dan benda tersebut mampu untuk diberikan kepada istri serta diketahui ukuran, sifat dan waktunya. Pendapat ini adalah pendapat Madzhab Maliki.60 Adapun surah an-Nisa‟ (4) ayat 25: Artinya: Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.61 Segi pembuktian dalil secara normative, bahwa Allah SWT, ketika menghalalkan untuk menikahi budak-budak wanita mensyaratkan tidak cukup thaul (pembelanjaan), disini dapat diketahui bahwa tidak semua orang memiliki pembelanjaan, dan telah diketahui bahwa pembelanjaan dalam ayat ini adalah harta, dan sesuatu tidak dinamakan harta bila nilai sesuatu itu kurang dari tiga dirham, maka faraj (kemaluan) belum dihalalkan dengan mahar yang kurang nilainya dari tiga dirham.62 Pendapat disanggah, bahwa thaul (pembelanjaan) yang dimaksud ayat tersebut di atas tidak harus berupa harta saja bahkan lebih luas dari sebelumnya, karena yang dimaksud dalam thaul dalam ayat ini adalh kelebihan dan kelapangan yang bersifat immaterial atau material, karena terkadang seorang pria tidak dapat menikahi seorang perempuan yang merdeka, sedangkan pria memiliki harta yang dapat dijadikan mahar, 60 Ad-Dardir Abdul Barakat, Asy- Syarhush Shaqir „ala Aqrabil Musalik Lid Dardir, Jilid II (Mesir: Darul Ma‟rifah, 1992), h.28 61 Departemen Agama RI, Al-Qr‟an dan Terjemahnya, (Madinah Munawawarah, Mujamma‟ al-Haramain asy-Syarifain al-Malik Fahd li thiba‟at al-Mushhaf asy-Syarif), h. 121 62 Ibnu Rusydi al-Maliki, Al-Muqaddimat al-Mumahhidat, Jilid II (Mesir: Dar asSa‟adah), h. 357-358 47 sementara perempuan itu tidak mau menikahi dengan pria tersebut lantaran memiliki aib pada prilakunya Adanya hadis yang diriwayatkan oleh Anas, bahwa Nabi SAW melihat bekas warna kuning pada Abdurrahman bin Auf, maka beliau bertanya: “Apakah ini”? Ia menjawab: Aku menikahi seorang wanita dengan emas seukuran nawat (biji kurma)”, Beliau bersabda: Artinya: Semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu, lakukanlah walimah walaupun dengan seekor domba. Mereka berpendapat bahwa nawat menurut ulama Madinah sebesar sepermpat dinar.64 Bahwa hadis tersebut tidak bisa di jadikan hujjah untuk menetapakan batas minimal mahar sebesar seperempat dinar, sebab kadar sepermpat dinar dalam hadis di atas tidak menunjukkan batas minimal mahar, kecuali bila dalam hadis tersebut terdapat lafadz yang jelas sebagai ungkapan batas minimal mahar, sementara ungkapan semacam itu tidak dikemukakkan dalam hadis di atas. Pendapat ketiga: Mahar bisa berupa materi atau apa saja memiliki nilai material, selama benda itu bisa disetujui kedua pihak, yaitu sumi-istri. Pendapat ini adalah pendapat Madzhab Hambali, ibnu Wahab dan madzhab Maliki, Ishak bin Rahawai, Abu Tsaur, para ahli fikih Madinah dari golongan tabi‟in, al-Hasan al-Basri, at-Tsauri, al-Auzai dan Said bin al-Musayyab.65 63 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 3, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah), h. 253 64 Muhammad Asy-Syaukani bin Ali, Nailul Autsar, Jilid VI, h. 178 65 Mahyiddin Syarifuddin an-Nawawi, Al-Majmu‟ Syarth al-Mubazzab, Jilid. Xv (Kairo: al-Ashimah), h. 428 48 1. Hadis yang diriwayatkan oleh Asy Syafi‟i: Artinya: Kami diriwayatkan dari sebagian Sahabat Nabi SAW: Tidak ada mahar yang lebih sedikit dari sepuluh dirham. Segi pembuktian dali: bahwa Rasulullah SAW. dalam hadis ini memperbolehkan pria untuk memberikan cincin yang terbuat dari besi sebagai mahar sah dengan segala sesuatu yang disebut dengan harta.67 Pendapat tersebut tidak dapat diterima, karena Nabi SAW. hanya memerintakan pria untuk segera mendahulukan pemberian sesuatu kepada perempuan yang akan menjadi istrinya, dan itulah yang bisa difahami dari sabda Rasulullah SAW tersebut, jika Rasulullah SAW menghendaki bentuk mahar yang dapat mensahkan akad nikah, maka Raulullah saw cukup dengan menetapkan bahwa mahar dalam tangguannya, sehingga dibolehkan untuk melaksanakan akad nikah dan tidak perlu bagi Rasulullah SAW untuk meminta pria bergegas dalam mendapatkan seauatu. Dengan demikian, hadis ini menunjukkna bahwa Rasulullah SAW tidak menginginkan dengan ucapan itu seseuatu yang bisa mensahkan akad.68 Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Tirmidzi dari Abdullah bin Amir bin Rabi‟ah, yang mengatakan: 66 Muhammad bin Idris al-Syafi‟I Abu Abdillah, al-Umm. Juz V (Beirut: Dar alMa‟rifah), Cet. II h. 160 67 Ibnu Hazm azh-Zahiri, Al- Muhallah Syarh al-Muhalla, (Mesir: Dar al-Ittihad al„Arabi. 1387H)Jilid XI., h. 104-105 68 Abu Bakar al-Jashshash, Ahkamul Qur‟an, (Mesir: Syirkah Mathba‟ah wa Maktabah Abdurrahman Muhammad), Jilid III, h. 86 49 Artinya: Abdullah bin „Amir bin Rabi‟ah, dari bapaknya, bahwa ada seorang wanita dari Bani Fazarah yang menikah dengan mahar sepasang sandal. Rasulullah SAW bersabda: Apakah engkau merelakan diri dan hartamu dengan sepasang sandal? Wanita itu menjawab: Ya. Maka Rasulullah SAW, menikahkannya. 2. Hadis yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dari Jabir ra. Bahwa ia berkata Artinya: Dari Jabir bin „Abdillah berkata: “Pada zaman Rasulallah SAW, kami menikah dengan (mahar) berupa segenggam makanan. Mereka yang berpendapat bahwa mahar akan menjadi sah dengan apa yang disebut sesuatu, walaupun berupa sebiji gandum, ini merupakan pendapat Sahl bin Sa‟ad sebagaimana di sebutkan dalam hadis: 69 Ahmad Utsman, Atsar „Aqdiz Zawaj fisy-Syari‟ah al-Islamiyyah, (Universitas alImam, Idaratut Thiba‟ah wan Nusyr, 1981), Jilid I h,.132 70 Ali bin Umar Abu al-Hasan al-Daraqutniy al-Baghdadiy, Sunan al-Daraquthniy (Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1966), Juz III h. 243. 50 Artinya: Dari Sahl Sa‟ad bahwasannya seorang wanita menyerahkan dirinya kepada Nabi SAW,. Kemudian tampil seorang laki-laki dan barkata: Ya Rasulallah, Kawinlah saya dengan wanita ini. Maka Rasulullah bersabda apa yang ada disisimu? Laki-laki tersebut menjawab: “saya tidak memiliki sesuatu” Rasulullah bersabda: pergilah mencari sekalipun sebentuk cincin yang terbuat dari besi. Maka laki-laki tersebut pergi kemudian kembali, lalu berkata: “demi Allah saya tidak mendapatkan sesuatu, dan tidak memiliki cincin besi, akan tetapi inilah sarung saya dan baginya separuh. Sahal berkata: maka tidak ada baginya yang di kembalikan dengan sarungmu, jika kau memakianya maka dia tidak dapat apa-apa dan jika dia memakainya maka kaupun tidak memakai apa-apa. Maka laki-laki itupun duduk dalam waktu yang lama dan ketika dia berdiri Rasulullah SAW amelihatnya dan memanggilnya. Maka Rasulullah SAW berkata kepadanya: Apa yang ada padamu dari (hafalan) Al-Qur‟an? Dia menjawab: Saya menghafal surah begini dan surah begini hingga beberapa surah. maka Nabi SAW berkata: Saya menjadikannya milikmu (menikahkanmi) dengan hafalan Al-Qur‟an yang ada padamu. Dalam hadis tersebut Nabi SAW bersabda: “Carilah sesuatu” pria itu menjawab: “Aku tidak menemukan sesuatu apapun. Beliau bersabda: “Carilah (sesuatu), walau cincin yang terbuat dari besi” 71 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, h. 246 51 Dengan demikian, sabda Rasulullah SAW: “Carilah sesuatu, mencangkup makna segala sesuatu walaupun sesuatu itu berupa sebiji gandum.72 Pendapat keempat: Mahar bisa dengan apa yang mungkin disebut sesuatu, walaupun berupa suatu biji gandum, ini adalah pendapat Ibnu Hazm. Berdasarkan hadis Sahl bin Sa‟ad: “Carilah sesuatu, sekalipun cincin yang terbuat dari besi.”73 Cara berdalih semacam ini bisa disanggah disebabkan Nabi SAW setelah itu meneruskan sabdanya: “Carilah sesuatu walaupuncincin terbuat dari besi” Dalam hadis tersebut beliau menyebutkan sesuatu yang lebih tinggi nilainya, sebab cincin dari besi lebih berharga dari pada biji gandum.74 Pendapat kelima: Sesungguhnya mahar sah dengan sesuatu yang dimiliki nilai baik berupa nilai materi atau immateri.75 Artinya: 72 Ibnu Hazm azh-Zahiri, h.97, terdapat juga di Asy-Syaukani, Nailul Authar, Jilid, VI, p. 167. 73 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari Juz 3 74 Ibnu Hazm azh-Zahiri, h. 97. Terdapat juga di Asy-Syaukhani, h. 167 75 Sayikh Shalih bin Gahanim as-Sadlan, Fiqhuz Zawaj fi „Dhau‟il Kitab was Sunnah, diterjemahkan oelh Abu Ahmad Zaenal Abidin Syamsuddin, dengan judul “Seputar Pernikahan” Cet. I (Jakarta: Bulan Bintang 1983) h. 16 76 Ahmad bin Syua‟ib Abu Abdirrahman al-Nasa‟i, Sunan al-Nasa‟I, Juz VI, (Halb: Maktabah al-Mathbu‟at al-Islamiyah, 1986) Cet. II h. 114 52 Dari Anas berkata: Abu Thalhah melamar Ummu Sulaim maka dia berkata: Demi Allah, tidak ada (lelaki) yang sama sepertimu. Akan tetapi, kau adalah seorang yang kafir sedang saya ini seorang wanita musllimah, dan tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Jika kau muslim (masuk Islam), maka itu adalah maharku, dan saya tidak meminta kepadamu selain hal itu. Maka diapun (Abul Talhah) masuk Islam dan itu adalah maharnya. Mengkritisi kelima pendapat tersebut, maka menurut hemat penulis, bahwa pendapat yang kelima inilah yang peling benar, di tinjau dari segi landasan dan dalil, sebab pendapat ini memadukan seluruh dalil yang shalih, baik yang bersumber dari al-qur‟an maupun dari hadis, disamping itu pendapat ini juga sangat sesuai dengan maksud dan tujuan serta hikmah disyari‟atkannya mahar, karena pemberian mahar tidak hanya sekedar memberi ganti rugi berupa harta belaka, aka tetapi maksud daripada mahar yang lebih utama adalah symbol untuk mengungkapkan kasih sayang serta bukti akan benarnya niat untuk hidup bersama, maka mahar pada umumnya adalah berupa meteri atau immateri asal sang istri rela dan puas dengan mahar tersebut. H. Analisa Dari hadis-hadis di atas, penulis memperoleh gambaran tentang kesederhanaan. Dengan mahar yang sederhana dan ringan membawa keberuntungan bagi umat di antaranya umat terhindar dari kerusakan akhlak antara kaum laki-laki dan kaum perempuan akibat tidak bisa menikah karena mahar yang mahal, dengan mahar yang ringan umat terhindar dari banyaknya perawan tua dan jejaka yang tua sehingga memudahkan membentuk keluarga yang Islami. Setiap ajaran Islam yang disyariatkan, pasti didasarkan pada kemudahan, tidak memberatkan dan tidak pula, menyulitkan. Pernikahan 53 dilaksnakan tidak lain hanyalah untuk melaksanakan sunatullah dan melaksanakan perintah yang telah ditetapkan Allah SWT sejak zaman azali. Oleh karena itu unsur mempersulit yang berkaitan dengan urusan pembayaran mahar yang mahal adalah sesuatu yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam.77 Bukankah Allah SWT telah menegaskan dalam al-Qur‟an bahwa “Dan Allah SWT sekali-kali tidak menjadikan untukmu dalam agama Islam atau kesempitan.78 Dari pengertian di atas , maka segala pelaksanaan pernikahan harus dilaksanakan secara sederhana lagi ekonomis, termasuk dalam hal pembayaran mahar maupun biaya resepsi. Dalam hal ini Rasul SAW telah menegaskan: “Sesungguhnya pernikahan yang paling besar berkahnya adalah yang mudah dan sederhana pembiyayaannya. (HR. Ahmad) Bukti anjuran untuk memberikan mahar sederhana adalah dengan diperolehkannya memberikan cincin yang terbuat dari besi untuk dijadikan sebagi mahar, namun saat ini di mana kemampuan ekonomi yang makin baik untuk memperoleh cincin yang terbuat dari emas meskipun dengan kadar yang rendah dapat mudah diperoleh sehingga tujuan dari disyariatkannya mahar terealisasi. Daerah-daerah tertentu yang kemampuan ekonominya rendah atau minus seperti Negara miskin Ethiopia, dan daerah gunung kidul manusia mengalami kesulitan dari segi ekonomi, namun mereka tidak mengalami kesulitan dalam menjalankan syariat Islam tentang mahar karena masih relevan untuk diaktualisasikan dalam kehidupan. Dalam sebuah riwayat ditemukan tentang kisah seorang wanita 77 A. mudjab Mahalli, Menikahlah Engkau Menjadi Kaya: Kado Untuk Pasangan Muda, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), Cet. ke-I,h. 139-140 78 QS. Al-Hajj: (22) 78 54 fuzarah yang maneikah dengan mahar berupa sepasang terompah.Lalu Rasul SAW menanyai kerelaan wanita itu. “Apakah kamu mau menerima pernikahanmu dengan mahar sepasang terompah, ia menjawab: Ya, saya terima”. Kemudian Rasul SAW menyetujui pernikaha itu. (HR. Abu Daud &Tirmidzi)79 Sebagai bukti bahwa Rasulullah SAW menganjurkan agar mahar dibayat dengan sederhana, sesuai dengan kemampuan ekonomi seseorang adalah dengan diberikannya kesempatan kepada orang mikin untuk menikah dengan wanita yang dicintainya, sekalipun hanya dengan mahar sebuah ayat Al-Qur‟an. Hal ini akan meningkatkan minat untuk mempelajari Al-Qur‟an, memudahkan seseorang yang ingin menikah untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warohmah sehingga akan terbentuk umat beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Keimanan dan ketaqwaan umat akan terus meningkat karena minat belajar yang tinggi terhadap Al-Qur‟an dan mareka terhindar dari kekufuran. Pemberian mahar merupakan lambing yang nilainya tidak terletak pada besar kecilnya, melainkan terletak di dalam perasaan orang yang membiarkannya dan keinginannya untuk memuliakan teman hidupnya (istri). Dan orang yang dermawan adalah orang yang mau memberikan sebagian dari apa yang dimilikinya, oleh karena itu sama saja nilai spiritual sebentuk cincin besi yang diberikan oleh orang miskin dengan satu kereta emas atau perak yang di berikan oleh orang yang mampu Dengan demikian dalam memberikan mahar sangatlah relative, hal ini 79 M. Faudzil Adhim, Kupinang kau dengan Hamdallah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1998), Cet. ke-IV, h. 209-210 55 dapat ditunjukan dengan apa yang dilakukan Nabi SAW, beliau membolehkan seorang fakir membayar maskawin meskipun cincin dari besi, dan ketika sang fakir menanyakannya: Apakah kamu hafal ayat Al-Qur‟an: Ia menjawab: Iya saya hafal surat ini dan yang lainya, Rasul SAW bersabda: Telah ku nikahkan kamu berdua dengan mahar apa yang kau miliki dari AlQur‟an.80 Adapun mahar yang Nabi SAW berikan untuk istri dann putrinya tidak lebih dari 12 uqiyah dan satu nasy. Jika ukuran ini dihitung menurut standar internasional adalah 500 dirham, dengan rincian sebagia berikut: Spesifikasi uang dirham. Bentuk : Bulat bergambar ka‟bah Berat : 3 gram Diameter : 25 Milimeter Bahan : Perak murni 1 dirham : Rp. 50.000,-81 1 Uqiyah : 40 dirham ½ Uqiyah : 20 dirham 12,5 Uqiyah : 40 dirham dikalikan 12,5= 500 dirham82 500 dirham : 3 gram dikalikan 500= 1500 gram perak murni 500 dirham : Rp. 50.000,- dikalikan 500 = Rp. 25.000.000,- Jadi untuk berat keseluruhan dirham adalah 1500 gram perak murni, 80 Thariq Ismail Kakhiya, Perkawinan dalam Islam: Petunjuk Praktis Membina Keluarga Muslim, (Jakarta: Yasabuna, 1989), Cet. ke-I, h. 69 81 Majalah Wanita Ummi, Merawat Cinta dalam Nuansa Ibadah, no-12/XIII, (Jakarta: April-Juni, 2002), h. 28 82 Syekh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), Cet. keI, h. 67 56 sedangkan untuk kurs rupiah adalah Rp. 25.000.000,Spesifikasi uang dinar. Bentuk Berat : 4,25 gram Diameter : 23 milimeter Bahan : Emas 22 karat 1 dinar : 4,25 gram emas 22 karat 1 dinar : Rp. 400.000,-83 12,5 Uqiyah : 500 dirham 12,5 Uqiyah :62,5 keping dinar Jadi total berat emas 62,5 keping dinar = 4,25 gram dikali 62,5 = 265,625 : Bulat bergambar masjid Nabawi gram emas 22 karat Jadi total harga emas 1 gram = Rp. 400.000,- dibagi 4,25 gram = Rp. 94.117.64.706,- Jadi total harga emas 265,625 gram (6,25 keping dinar) = Rp. 94.117.64.706,- dikali 265,625 = Rp. 25.000.000,- Jadi untuk krus rupiahnya = Rp. 400.000,- dikali 62,5 = Rp. 25.000.000,Perlu diingat bahwa 500 dirham pada masa Nabi SAW nilainya besar dari pada nilai mata uang zaman sekarang, dikarenakan 500 dirham itu seharga dengan baju besi pada zaman Nabi SAW, yang merupakan senjata termahal apada saat itu.84Inilah mahar yang diberikan oleh „Ali ibn Abi Talib, 83 Majalah Wanita Ummi, h. 28 Para ulama hadis berbeda pendapat mengenai harga baju besi.Sebagian beasr dari mereka ada yang menyebutkan bahwa baju besi tersebut adalah 500 dirham, dan sebagian dari mereka ada yang beranggapan bahwa baju besi tersebut seharga 400 dirham. Ibrahim Amini, 84 57 untuk putrid Nabi SAW yang bernama Fatimah az-Zahra. Sejarah menceritakan bahwa „Ali ibn Abi Talib menjual baju besinya tersebut kepada Usman ibn Affan.hasil dari penjualan aju besi itu untuk membayar mahar kepada Fatimah Az-Zahra. „Ali ibn Abi Talib menyerahkan mahar melalui Nabi SAW, lalu Nabi SAW memberikan sebagian uang mahar untuk membeli wewangian, sebagian kepada Ummu Salamah untuk membeli makanan, sebagian lagi kepada tiga orang sahabat yaitu: Ammar, Abu Bakar, dan Bilal. Ketiga sahabat ini membelanjakan uang tersebut untuk membeli perlengkapan dan perabotan rumah tangga Fatimah Az-Zahra.85 Inilah mahar pernikahan Fatimah Az-Zahra yang penuh berkah, darinya lahir keturunan yang penuh berkah sampai hari ini. Dengan mahar yangsederhana pula biaya walimah di ambil, karena itu termasuk memurahkan mahar adalah memurahkan beban biaya lain dalam proses pernikahan. Kalaupun memurahkan mahar, maka ia termasuk dalam kategori memudahkan pernikahan, dan ini termasuk dalam sunah Rasul SAW. Adapun Sa‟id bin Al-Musayyab ra, seorang ulama besar madinah di kalangan tabi‟in yang patuh terhadap perintah Allah SWT dan mengikuti sunah Rasulullah SAW dalam memilih calon suami untuk putrinya tidak memandang dari segi materi dan kedudukan, tetapi beliau memandang dari segi akhlak dan agamanya, pilihannyajatuh kepada „Abdullah Ibn Abi Wada‟ah seorang yang alim tetapi miskin.86 Beliau menikahkan putrinya Ikhtiar az-Zauj, Kiat Memilih Jodoh: Menurut al-Qur‟an dan Sunnah, (Jkt: Lentera, 1994), Cet. ke-I, h. 162 85 M. Faudzil Adhim, Memasuki Pernikahan Agung, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999), Cet. ke-II, h. 28 86 Abdullah Nasikh Ulwan, Rintangan-rintangan Pernikahan dan Pemecahannya, Penerjemah: Moh. Nurhakim, (Jakarta: Studio Press, 1997), Cet ke-I, h. 56 58 dengan Abdullah Ibn Abi Wada‟ah dengan mahar dua dirham, yang nilainya sangat ringan bagi ukuran seorang bangsawan. Tetapi tidak ada seorang sahabat pun yang menegurnya, bahkan para sahabat menganggapnya sebagai perbuatan luhur dan kemurahan hati.Begitu pula dengan „Abdur Rahman Ibn Auf yang menikah dengan mahar sebanyak lima dirham, dan pernikahan ini disetujui oleh Nabi SAW87 yang kedua pemberian mahar ini sangat jauh jika dibandingkan dengan mahar yang Nabi SAW berikan kepada isri dan putrinya. Pernah ada seorang laki-laki bertanya kepada Hasan ra, tentang criteria laki-laki yang pantas untuk dinikahkan dengan anak gadisnya.Hasan ra menjawab, nikahlah anak gadismu dengan laki-laki yang beragama. Jika mencintai anak gadismu, ia akan memuliakannya, tetapi jika ia membencinya, ia tidak akan malecehkannya.88 Berdasarkan pada sebuah hadis di atas yang mengungkapkan tentang pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Ummu Habibah, yang pada mulanya Ummu Habibah merupakan istri dari Ubaidillah ibn Jahsy, namun beliau meninggal dunia di Habasyah. Kemudian raja Najasyi menikahkan Ummu Habibah dengan Nabi SAW dan memberikan mahar sebesar 4000 dirham, yakni dengan 400 dinar. Mahar yang Nabi SAW berikan ini menunjukan akan mahalnya mahar. Namun hal ini bukanlah pedoman bagi umatnya untuk bermahal-mahalan dalam mahar, karena mahar tersebut adalah pemberian dari raja Nadjasyi, sebagai ungkapan rasa hormat raja Najasyi kepada Nabi Muhammad SAW. 87 Muhammad. Thalib, 40 Petunjuk Menuju Perkawinan Islami, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1995), Cet. Ke-I, h. 101 88 Ahmad Faiz, Citra Keluarga Islam (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1992), Cet. ke-IV, h. 152 59 Nabi SAW tidak memandang mahar itu sebagai sesuatu yang dan besar, sebab bagi ukuran seorang raja tersebut relatif tidak memberatkan. Tetapi lain halnya dengan hadis di bawah ini: Artinya: Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: pernah ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: Seungguhnya aku telah mengawini seorang perempuan dari Anshar, kemudian Nabi SAW bertanya kepadanya: Apakah engkau pernah melihatnya, sebab para mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu: Ia menjawab: Aku telah melihatnya. Nabi SAW bertanya lagi: Dengan mahar berapa engkau mengawininya: Ia menjawab empat uqiyah, kemudian Nabi SAW bersabda kepadnya, emapat uqiyah? Seolah-olah engkau memahat perak dari luasnya gunung ini, akau tidak memiliki sesuatu yang sekiranya bisa kuberikan kepadamu, tetapi aku akan mengiringimu dalam satu kelompok orang (utusan) yang barang kali engkau dapat memperoleh bantuan dari padanya. Ia berkata: Lalu Nabi SAW mengutus sekelompok orang ke Bani Abs di mana Nabi SAW mengutus laki-laki itu bersama mereka Hadis ini merupakan ungkapan dari besarnya mahar yang diberikan oleh seorang fakir. Padahal Rasul SAW menghendaki agar mahar yang diberikan kepada wanita yang akan dinikahi sederhana saja , sesuai dengan kemampuan ekonominya. 89 (HR. Muslim), Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi, Al-Jami‟ al- Sahih Muslim, Kitab an-Nikah, , (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), Cet. ke-I, Juz V, h. 226-227 60 Shalih Ibn Ghanim yang mengutip ungkapan Ibnu al-Qayyim berpendapat bahwa bermahal-mahalan dalam perakara mahar dalam suatu pernikahan adalah makruh hukumnya, sebab dengan mahalnya mahar membuktikan bahwa mahar itu sedikit berkahnya dan menyulitkan.90 Dalam memberikan mahar tidak harus senilai dengan mahar yang diberikan Nabi SAW untuk istri dan putrinya, hendaklah dalam memberikan mahar disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan yang berlaku di tengahtengah masyarakat. Hadis-hadis ini hanyalah sebagai gambaran mengenai kesederhanaan dalam memberikan mahar, karena berkebih-lebihan dalam memberikan mahar adalah makruh,91 jika hal ini memberatkan pihak laki-laki Penulis kemudian menyimpulkan bahwa yang menjadi tolek ukur mahar adalah besarnya nilai dan manfaat yang tinggi serta kondisi yang ada pada saat itu, bukan besar kecilnya materi yang di berikan, sehingga dalam waktu pelaksanaannya dapat berjalan lancar dan mendapatkan kemudahan, karena kemudahan seringkali mendatangkan kebaikan, dan setiap kebaikan sering kali mendatangkan manfaatan dan keberkahan. 90 Shalih bin Ahmad al-Ghazali, Ensklopedia Pengantin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), Cet. ke-I, h. 85 91 Salih Ibn Ahmad al-Ghazali, h. 84 61 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagai bab terakhir dalam pembahasan skripsi ini, penulis akan memberikan Kesimpulan dari hasil analisa di bawah sebagai berikut: Mahar adalah masalah yang dilematis, dimana diperlukan pemahaman antara dua keluarga yang hendak menikahkan putra dan putrinya, oleh karena itu dengan adanya pemahaman mengenai hadis-hadis tentang mahar dapat membantu terbentuknya sebuah masyarakat yang lebih Islami. Mahar adalah suatu pemberian wajib bagi calon suami Kepada calon istri yang telah disyariatkan dalam ajaran Islam. Berkaitan dengan hal itu Rasulullah SAW mengajarkan untuk meringankan dan memudahkan dalam urusan mahar, serta tidak berlomba-lomba dalam hal mahar. Setiap Ketidak wajaran dan berlebihan dalam mahar adalah makhruh hukumnya, berlebihlebihan dalam mahar akan menyebabkan sedikitnya pernikahan yang terjadi dan menimbulkan permusuhan, sedangkan mahar yang terlalu sedikit akan menyebabkan wanita tidak mempunyai harga diri dan bias disalahgunakan oleh sebagian laki-laki, oleh karena itu sebaik-baik jalan adalah bersikap imbang dan memperhatikan keadaan ekonomi keluarga serta status sosialnya B. Saran-saran Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan dalam kaitannya dengan pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi para pemuda dan pemudi yang hendak melangsungkan pernikahan, 62 janganlah ukuran mahar dijadikan sebagai patokan dalam sebuah pernikahan. 2. Hendaklah hadis-hadis mengenai mahar lebih disosialisasikan Kepada umat muslim, sehingga sendi-sendi pernikahan secara Islami terbangun. 3. Hendaklah bagi orang tua dalam menikahkan putrinya tidak memandang dari segi materi, pangkat dan jabatan saja, tetapi hendaklah melihat dari segi akhlaknya. 4. Bagipara orang tua yang hendak menikahkan putrinya, sebaiknya memberikan Kelonggaran dan Kemudahan dalam hal yang berkaitan dengan urusan mahar. 63 DAFTAR PUSTAKA Abdul Barakat, Ad-DardirSyarhushShaqir „alaAqrabilMusalik Lid Dardir, Jilid II (Mesir: DarulMa‟rifah, 1992) Abi Abbas, bin Syamsuddin Muhammad Nihyah Al-Muhtaj (Mesir: Musthafa AlBaby Al-Halaby, 1938) Juz 6 Abu Abdillah, Muhammad bin Idris al-Syafi‟I (Beirut: Dar al-Ma‟rifah) Cet. II Adhim, M. FandzilKupinangKaudenganHamdallah, (Yogyakarta ,MitraPustaka, 1998), Cet. Ke-4 ……., KupinangkaudenganHamdallah, (Yogyakarta: MitraPustaka, 1998) Ahmad IbnHanbal, Abu Abdullah Musnad Imam Ahmad IbnHanbal, Kitab anNikah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Cet, ke-I Albani, Muhammad NashiruddinMukhtasharSahih Muslim, (Jakarta:PustakaAzzam, 2003), Cet. Ke-I Alhamdani, Risalah al-Nikah, (Pekalongan: Raja Murah, 1980) Amin, Yusuf Hamid, Muqashid Al-A‟mmah Al-Syari‟ah Al-Islami, Khurtum(Dar Al-Sudaniyah, t.t) Amini, Ibrahim kiatMemilihJodoh: Menurut al-Qur‟an danSunnah, (Jakarta: Lentera, 1994), Cet. Ke-I Ayyub, SyekhHasanFiqihKeluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), Cet. ke-I Baghdadiy, Ali bin Umar Abu al-Hasan al-DaraqutniySunan alDaraquthniy(Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1966) Juz III Baihaqiy, Ahmad bin al-Husain bin „Ali Musa Abu Sunan al-Baihaqiy alKubray(Mekkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, 1994) Juz 3 Bukhari, Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim, ,Al-Jami‟ al-Sahih alBukhari, Kitab an-Nikah (Beirut: Dar al-Fikr, 1993) Cet. ke-I ……., ,Al-Jami‟ al-Sahih al-Bukhari, Kitab an-Nikah., Beirut: Dar al-Ma‟rifah. Daly, PeunohHukumPerkawinan Islam, suatuStudiPerbandingandalamKalanganAhlus-Sunnahdan Negara-negara Islam, Jakarta: BulanBintang), CetKe-I Damsyiqi, IbnuHamzah al-Husaini alAsbabulWurud: LatarBelakangHistarisTibulnyaHadis-hadisRasul,(Jakarta: KalamMulia, 1997), Cet. ke-2 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya,1989. Faiz, Ahmad Citra Keluarga Islam (Jakarta: SerambiIlmuSemesta, 1992), Cet. keIV Fauzan, SalehAl-MulakhkhasulFiqhi, (Jakarta: GemaInsani, 2006), CetKe-I Ghazali, Shalih bin Ahmad EnsklopediaPengantin, (Jakarta: PustakaAzzam, 2001), Cet. ke-I Hamka, Tafsirsl-Azhar, (Jakarta: PustakaPanjimas. 1982), Cet. Ke I Hanafi, Al-Kamal bin HammamFathurQadir‟alalHidayahSyarahBidayatilMubtadi, 64 al- (MesirMathabil al-Halabi, 1938) Hanafi, Al-KalwadzaniAl- Hidayah bi SyarhBidayatilMubtadiJilid II. Cet. ke-I Jashshash, Abu BakarAhkamul Qur‟an (Mesir: SyirkahMathba‟ahwaMaktabah Abdurrahman Muhammad) Jilid III Jauziyyah, SyamsuddinAby „Abdillah Muhammad bin AbyBakar alMa‟rufbiibniQayyim, I‟laam al-Muwaqq‟in „an al‟-Alamiin, Beirut: alMaktabat al-„Ashriyyat, 1987) Jaziriy, Abdurrahman ,Al-Fiqh „alaMazahib Al-Arba‟ah, (Mesir: Al-Tijiriya, 1996), Jilid 4 Kakhiya, Thariq Ismail Perkawinandalam Islam: PetunjukPraktisMembinaKeluarga Muslim, (Jakarta: Yasabuna, 1989), Cet. ke-I Mahalli, A. mudjabKadoUntukPasanganMuda, (Yogyakarta: MitraPustaka, 2001), Cet. ke-I Muhammad, Abu Isa, (Muhammad Jamil Al-A‟thar), (Beirut-Lebanon: Dar AlFikr) Juz2 Maliki, IbnuRusydiAl-Muqaddimat al-Mumahhidat, Jilid II (Mesir: Dar asSa‟adah) Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2001), Cet- Ke 1 Muhammad , bin Abi Abbas Syamsuddin,( Mesir: Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, 1938), Juz 6 Naisyabūri, Muslim ibn al-Hajaj Abu al-Husain al-Qusyairi (Birut: Dar Ihya alTurast al-„Arabi, tth.), hadis no. 2555 Nasa‟i, Abu Abdullah al-RahmanIbnSyu‟aib,Sunan an-Nasa‟IKitab anNikah(Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Cet. ke-I Nasa‟i, Ahmad bin Syua‟ib Abu AbdirrahmanSunan al-Nasa‟I, Halb: Maktabah al-Mathbu‟at al-Islamiyah, 1986) Cet-Ke 2 Nawawi, MahyiddinSyarifuddinAl-Majmu‟ Syarth al-Mubazzab(Kairo: alAshimah) Jilid. Xv (Kairo: al-Ashimah), h. 428 Nawawi Imam, Shahih Muslim Bi Syarhi Al-Nawawy, (Mesir Al-Mathba‟ah AlMisriyahWaMaktabuha), Juz 3 QardhawiYusuf Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: GemaInsani Press, 2001), Cet. Ke-I Qusyairi, Abu Husain Muslim IbnHajjajAl-Jami‟ al-Sahih Muslim Kitab anNikah(Beirut: Dar al- Fikr, 1993), Cet. Ke-I, Juz V Rusyd, IbnuBidayah al-Mujtahid Fi Nihayah al-Muqtashid, (Beirut, Dar al-Fikr), Juz 2 Sabiq, SayyidFiqihSunnah(Bandung: Al-Ma‟arif, 1996), CetKe-12 65 Sadlan, SayikhShalih bin GahanimSeputarPernikahan(Jakarta: BulanBintang 1983) Cetke- I SiddiqiHasbiSejarahdanPengantarImuHadis, (Jakarta: BulanBintang, 1998), Cet Ke-8 Syabuni As-, Muhammad Ali, Al-Jawadj al-Islami al-Mubakkir,Penerjemah: M. Nurdin, KawinlahSelagiMuda: Cara SehatMenjagaKesucianDiri, ( Jakarta: SerambiIlmuSemesta, 2000), CetKe-1 Syarifuddin, Amir HukumPerkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta, Prenada Media, 2007), Cet. Ke-2 ……., Garis-GarisBesarFiqh, (Jakarta: Kencana, 2003) Tawaijiri Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah, Ensiklopedia Al-Kamil(Jakarta: Darus- Sunnah, 2008 Tatapangarsa, HumaidiHakdanKewajiabSuamiIstriMenurut Islam, (Jakarta: KalamMulia, 1993), CetKe-I Thalib, Muhammad 40 PetunjukMenujuPerkawinanIslami, (Bandung: IrsyadBaitus Salam, 1995), Cet. Ke-I Ulwan, Abdullah NasikhRintangan-rintanganPernikahandanPemecahannya, Penerjemah: Moh. Nurhakim, (Jakarta: Studio Press, 1997), Cetke-I Ummi, MajalahWanitaMerawatCintadalamNuansaIbadah, no-12/XIII, (Jakarta: April-Juni, 2002) Utsman, Ahmad Atsar „AqdizZawajfisy-Syari‟ah al-Islamiyyah(Universitas alImam, IdaratutThiba‟ah wan Nusyr, 1981) Jilid I Yunus, Mahmud Kamus Arab Indonesia (Jakarta: HidakaryaAgung, 1989), Cet. Ke-I Zahiri, IbnuHazmAl- MuhallahSyarh al-Muhalla, (Mesir: Dar al-Ittihad al-„Arabi. 1387H) Jilid XI. Zauj, Ibrahim Amini, IkhtiarKiatMemilihJodoh: Menurut al-Qur‟an danSunnah, (Jkt: Lentera, 1994), Cet. ke-I ZuhailyWahbah, Al-FiqihIslamiyWaAdillatuhu, (Beirut-Lebanon: Dar Al-Fikr), Juz 7 66