1 TINJAUAN ANALISA SEMIOTIK SERTA PERSEPSI

advertisement
Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Vol. 2 Nomor 4 Desember Tahun 2015
TINJAUAN ANALISA SEMIOTIK SERTA PERSEPSI MASYARAKAT SURAKARTA
AKAN PILKADA SURAKARTA 2015-2020
Agung Wibiyanto, S.S, M.M.Par
Politeknik Indonusa Surakarta
[email protected]
ABSTRAK
Pemilihan Umum untuk memilih wakil kepala daerah secara serentak dilaksanakan di
seluruh penjuru Indonesia, tidak terkecuali wilayah kota Surakarta. Dalam pemilihan umum kepala
daerah di Surakarta diikuti oleh dua pasangan calon walikota dan wakil walikota yang telah
ditetapkan oleh KPU yakni FX Hadi Rudyatmo- Achmad Purnomo dengan Anung Indro SusantoMuhammad Fajri. Hal ini juga tidak bisa dilepaskan dari motor penggerak kedua pasangan calon
walikota dan wakil walikota yakni partai partai pendukung kedua belah pihak. Untuk pasangan FX
Hadi Rudyatmo- Achmad Purnomo didukung mutlak oleh PDIP, Nasdem, PKB, Hanura dan juga
Golkar versi munas Ancol, sedangkan dari pasangan Anung- Fajri didukung oleh Koalisi Solo
Bersama yang dimotori PKS, Golkar versi munas Bali, Gerindra, Demokrat, PPP, PAN dan PBB.
Melihat konteks tersebut, baik dari pasangan Rudy-Purnomo maupun Anung-Fajri
berlomba lomba mencoba menarik simpati pemilih masyarakat Surakarta baik dari bahasa iklan,
symbol, model spanduk. Dari tulisan penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif, di
mana membahas tentang analisa semiotika untuk membedah model iklan, symbol maupun bahasa
yang digunakan. Hasil dari analisa semiotika tersebut juga mempengaruhi persepsi masyarakat
terhadap image pilkada yang telah diselenggarakan. Walaupun demikian dari ragam model bahasa
iklan yang digunakan oleh masing masing kandidat calon walikota nampaknya tidak banyak
mengubah image dominasi foto penggunaan bahasa hiperbolik yang menggugah dengan janji yang
tinggi disinyalir merupakan gambaran narsisistik politik.
Kata Kunci : Pilkada Surakarta, Analisa Semiotik, Image Persepsi Masyarakat
Muhammad Fajri didukung oleh koalisi besar
yang dinamakan Koalisi Bersama Solo yang
terdiri dari PAN, Golkar versi Bali, PPP,
Gerindra, PBB, PKS.
Kedua
pasangan
calon
walikota
Surakarta ini berusaha sedemikian mungkin
untuk menarik minat pemilih pada masyarakat
Surakarta, kedua kandidat baik RudyPurnomo
maupun
AnungFajri
menyampaikan
pesan
pesan
untuk
melambangkan identitas mereka. Hal ini
banyak ditemukan dalam poster, baju yang
dikenakan, visi misi mereka dalam debat
terbuka, dan masih banyak hal lainnya yang
pantas dijadikan faktor dalam mendongkrak
suara mereka di kota Surakarta. Pada proses
pemilihan umum yang dilaksanakan pada
tanggal 9 Desember 2015, perolehan suara
sementara telah menempatkan pasangan
Rudy-Purnomo sebagai pemenang atas rival
mereka, Anung-Fajri dengan perolehan suara
60, 39%. Pada perhitungan cepat tersebut,
secara mengejutkan pasangan Anung-Fajri
I.
PENDAHULIAN
Pemilihan umum Kepala Daerah yang
hampir dilaksanakan secara serentak di
seluruh penjuru Indonesia telah dilaksanakan
dengan baik pada tanggal 9 Desember 2015
kemarin. Tak terkecuali kota Surakarta yang
juga telah melaksanakan pemilihan umum
untuk menentukan kandidat walikota yang
akan memimpin kota mulai dari 2015-2020.
Dari pemilihan umum kepala daerah di
Surakarta yang disahkan oleh KPU telah
menetapkan kedua calon walikota beserta
wakilnya yakni FX Hadi Rudyatmo- Dr. H
Ahmad Purnomo yang bersaing dengan
pasangan Drs Anung Indro Susanto, MMMuhammad Fajri. Perlu diketahui bahwa
masing masing pasangan juga didukung mesin
politik di belakangnya seperti FX Hadi
Rudyatmo- Dr. H. Ahmad Purnomo didukung
secara mutlak oleh PDIP yang berkoalisi
dengan Nasdem, Golkar Versi Ancol, Hanura
dan juga PKB. Sementara itu pesaingnya,
yakni Drs Anung Indro Susanto, MM1
Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Vol. 2 Nomor 4 Desember Tahun 2015
memperoleh suara
sebanyak 39,61%,
sehingga dapat dikatakan mematahkan
“mitos” pasangan Rudy-Purnomo dalam masa
kampanye yang memunginkan menyapu
bersih suara pemilih di Surakarta dengan
target 90%. Selain itu juga, pasangan AnungFajri juga memberikan perlawanan sengit di
setiap masing masing kecamatan di Surakarta
walaupun notabene wilayah Surakarta
menjadi “lumbung suara kandang banteng”.
Dalam penulisan jurnal ini berusaha
menyoroti
kecenderungan
personalisasi
politik lewat bahasa pengiklanan, di mana
dalam konteks komunikasi politik, bahasa
iklan kandidat menunjukkan sebuah usaha
untuk kepada kandidat dan mesin partai
politiknya. Walaupun demikian figur politik
atau kandidat menjadi lebih penting daripada
partai politik dan ideologi tidak lagi diikuti
guna menentukan sikap politik pemilih.
Gejala ini dianggap merupakan konsekuensi
logis dari modernisasi kampanye politik. Bagi
publik, figur dianggap sebagai representasi
gagasan atau ideologi, sementara partai politik
tidak lagi menjadi institusi yang penting untuk
menyalurkan pilihan politik. Dengan kata lain,
perhatian publik tertuju pada diskusi tentang
“siapa”, bukan “apa” dan “bagaimana”
platform politik yang diusung oleh kandidat
maupun partai politik. Jadi dapat dirumuskan
permasalahan pada jurnal ini yakni “
bagaimana tinjauan analisa semiotik baik
dalam iklan serta model pakaian masing
masing kandidat calon walikota Surakarta
sebagai langkah mencitrakan personal?”. Jika
dilihat dari manfaat serta tujuan dari penulisan
jurnal ini dapat diproyeksikan kepada
masyarakat, partai politik dan lembaga
pendidikan lainnya yakni :
1. Pada masyarakat umum, dapat dijadikan
referensi pemahaman arahan dan acuan
dalam menganalisa kandidat walikota
Surakarta 2015 sesuai dengan pilihannya
masing masing
2. Bagi partai politik dapat memberikan
kontribusi dalam menyusun strategi
komunikasi politik dalam pencitraan yang
tepat untuk mendapatkan suara dari
kalangan masyarakat
3. Bagi dunia pendidikan, dapat memberikan
wacana keilmuan bagi para peneliti
selanjutnya yang mempunyai minat yang
sama terhadap komunikasi politik dalam
pembentukan citra sebagai penilaian
tersendiri bagi masyarakat luas.
II. KAJIAN PUSTAKA
Dalam menjelaskan literatur serta teori
yang digunakan untuk penulisan jurnal ini,
penulis menggunakan 3 macam pendekatan.
Pendekatan pertama yakni pendekatan
komunikasi politik, di mana merujuk dari
pendapat McNair (dalam Canggara, 2009:39)
bahwa dalam penerapan komunikasi politik
sangat erat kaitannya dengan pencitraan. Hal
ini mengacu pada Parpol atau seorang
kandidat melakukan komunikasi politik akan
menimbulkan citra
yang memberikan
penilaian dari masyarakat. Penilaian tersebut
dapat berupa nilai yang positif ataupun negatif
tergantung pelaksanaan komunikasi politik
yang dilakukan. Di dalam komunikasi politik
memiliki beberapa strategi yang dilakukan.
Ada lima pola dasar dalam melaksanakan
strategi komunikasi politik, namun peneliti
menggunakan 3 pola dasar yaitu :
a. Bagaimana memberikan informasi kepada
masyarakat apa yang terjadi disekitarnya.
b. Bagaimana menyediakan diri untuk
menampung masalah-masalah politik yang
berupa aspirasi masyarakat sehingga dapat
menjadi wacana dalam membentuk opini
publik dan dapat menyelesaikan opini
tersebut.
c. Dalam masyarakat yang demokratis, media
politik berfungsi sebagai saluran advokasi
yang bisa membantu agar kebijakan dan
program-program lembaga politik dapat
disalurkan kepada media massa.
Pendekatan yang kedua yakni pencitraan
politik, di mana Gunter Scweiger dan
Michaela
dalam
Nimmo
(2006),
mengemukakan citra merupakan gambaran
menyeluruh yang ada dikepala pemilih
mengenai
kandidat
maupun program.
Pengambilan keputusan tidak selamanya
dipengaruhi oleh pengetahuan pemilih tentang
program partai maupun oleh informasiinformasi yang membangun brand politik,
tetapi proses itu bisa jadi dipengaruhi kuat
oleh
impression
(keterkesanan)
dan
nonrational evaluation criteria (criteria yang
tidak rasional yang dipakai pemilih dalam
mengevaluasi para kandidat/Parpol) (dalam
Haryati, 2013:22-23).
Image politik disini yang dimaksud
bahwa Citra yang dibangun berupa sifat baik
atau buruk selalu diberitakan sesuai dengan
fakta yang ada di kepala pemilih mengenai
kandidat, program maupun dipengaruhi kuat
2
Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Vol. 2 Nomor 4 Desember Tahun 2015
oleh keterkesanan dan kriteria calon kandidat
yang dipakai pemilih dalam mengevaluasi
para kandidat/Parpol. Citra yang dibentuk
melalui komunikasi politik yang dilakukan
akan
mempengaruhi
khalayak
dalam
mempersepsikan
pandangan
seseorang
terhadap tokoh pemimpin. Tidak hanya dalam
level induvidu saja, kekuatan komunikasi
politiknya dalam membentuk citra seorang
pemimpin juga dapat mempengaruhi satu
wilayah kepemimpinan dari pemimpin
tersebut.
Pendekatan ketiga yang dipakai ialah
pendekatan analisis semiotika pada sebuah
iklan, di mana dalam hal ini iklan dari masing
masing kandidat calon walikota Surakarta.
Dikemukakan bahwa dalam menganalisis hal
ini dibutuhkan sebuah analisis yang dirasa
cukup memadai yakni semiotika. Dalam
analisis semiotika mengungkapkan ilmu yang
mempelajari tentang tanda. Hal ini dapat
diamati pada pernyataan Saussure tentang
pemahaman semiotika yakni “ A science that
studies the life of signs within society is
conceivable. It would be part of social
psychology and consequently of general
psychology. I shall call it semiology (from
Greek semeion “sign”). Semiology would
show what constitutes signs, what laws
govern them ( Saussure dalam Danesi, 2004
:3).
Dari pernyataan yang telah disampaikan
oleh Saussure ini jelas disebutkan bahwa
semiotika ialah ilmu yang menganalisis
kehidupan tanda tanda di tengah masyarakat.
Tujuan
dari
semiotika
ialah
untuk
menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda
beserta kaidah kaidah yang mengaturnya.
Semiotika dijelaskan Danesi bertujuan untuk
menjawab pertanyaan apakah makna dari “X”.
X ini dapat berupa segala sesuatu baik berupa
kata atau gerak gerik tubuh (gesture) hingga
pada keseluruhan komposisi musik atau film.
“Besaran” dari x dapat bervariasi, namun
pertanyaan mendasarnya tetap sama.
Berbicara tentang tanda, akan lebih baik
jika juga melihat tanda dalam pandangan
karya Littlejohn. Tanda menurut pandangan
Langer merupakan sebuah stimulus yang
memberikan sinyal kehadiran tentang sesuatu
yang lain (Littlejohn, 2005 :101). Littlejohn
menyebutkan seorang filsuf yakni Susanne
Langer untuk memberikan konsep tentang
simbol tersebut. Berdasarkan pemaparan
Langer, symbolism adalah pokok kajian
utama dalam filsafat sebab symbolism
merupakan dasar bagi seluruh pengetahuan
manusia dan pemahaman manusia. Simbol,
menurut Langer ialah “sebuah instrumen”
dalam pemikiran, sedangan meaning bagi
Langer dilihat sebagai hubungan yang
kompleks diantara simbol, objek dan person.
Maka daripada itu, meaning terdiri dari aspek
logis dan psikologis, sehingga semiotika
sangat dirasa penting karena dapat
memberikan pemahaman tentang apa yang
tengah terjadi dalam sebuah pesan. Hal ini
sangat jelas, di mana dalam sebuah pesan
terdapat bagian bagian yang secara gamblang
terorganisir dan juga terstruktur.
Pawito
dalam
pandangannya
memaparkan tidak jauh berbeda dengan para
ahli yang lain di dalam penelitian komunikasi
kualitatif. Pandangan Pawito menyebutkan
bahwa analisis semiotika merupakan sebuah
cara atau metode dalam menganalisis dan
memberikan makna makna terhadap lambang
lambang yang terdapat suatu paket lambang
lambang pesan (Pawito, 2007 : 155). Dalam
mengungkapkan pandangannya, Pawito secara
lebih lanjut menyebutkan bahwa teks yang
dimaksud dalam kajian semiotika ialah segala
bentuk sistem serta lambang (signs) baik yang
terdapat dalam media massa (seperti dalam
paket tayangan televisi, karikatur media cetak,
film, sandiwara radio, dan berbagai bentuk
iklan maupun yang ada di luar media massa
seperti lukisan, patung, candi, monumen,
fashion show dan menu masakan pada suatu
food festival). Dengan demikian yang menjadi
fokus kajian dari semiotika ialah pemaknaan
pada lambang lambang pada teks.
Roland Barthes juga memaparkan
pandangannya, di mana Barthes berpendapat
bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda
yang mencerminkan asumsi asumsi dari suatu
masyarakat dalam waktu tertentu. Jadi dengan
demikian, nampak kajian wilayah yang
disoroti Barthes ialah peran pembaca (the
reader). Maka secara tidak langsung, konotasi
dalam
pandangan
Barthes
meskipun
merupakan sifat asli tanda membutuhkan
keefektifan pembaca supaya dapat berfungsi.
Dalam melakukan kajiannya, Barthes telah
memaparkan
ulasan
tentang
sistem
pemaknaan yang dibangun di atas sistem lain
yang telah ada sebelumnya. Hal ini bisa
dilihat dari kajian sastra yang merupakan
penggunaan terjelas dalam sistem pemaknaan
dan sistem ini yang disebut oleh Barthes
3
Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Vol. 2 Nomor 4 Desember Tahun 2015
dengan sebutan konotatif. Sebutan konotatif
dalam pandangan Barthes di dalam karyanya
yakni Mythologies memang secara tegas
dibedakan dengan konteks denotatif atau
sistem pemaknaan tataran pertama.
Melihat ketiga pendekatan tersebut, baik
dari
pendekatan
komunikasi
politik,
pendekatan
pencitraan
politik
serta
pendekatan analisis analisis semiotik dapat
untuk menjawab rumusan permasalahan yang
dikemukakan dari analisa tinjauan bahasa
iklan pada pilkada Surakarta dalam
mencitrakan diri untuk masing masing
kandidat calon walikota Surakarta.
b. Studi Kepustakaan : Studi kepustakaan
adalah melakukan pengumpulan data dengan
membaca
dan
mempelajari
beberapa
literatur,materi-materi,laporan
hasil
penelitian, jurnal-jurnal, dan sebagainya yang
memiliki relevansi dengan masalah penelitian
.Supaya hasil wawancara dapat terekam
dengan baik dan peneliti memiliki bukti telah
melakukan wawancara kepada informan atau
sumber data.
Dari sumber sumber data tersebut,
maka hasil dari sumber data yang diolah
dengan teknik pengolahan data akan
menghasilkan sebuah laporan penelitian
tentang analisa tinjauan pengemasan bahasa
iklan pilkada walikota Surakarta dalam
mencitrakan diri dari masing masing kandidat.
III.
METODE PENELITIAN
Dalam
penulisan
jurnal
ini
menggunakan metode penelitian kualitatif, di
mana sifat dalam penelitian ini deskriptif
analisis yang telah diarahkan untuk
menggambarkan dan menganalisa fakta
dengan argumen yang tepat. Walaupun di sisi
lain penelitian ini tidak merumuskan hipotesis
mengingat penelitian ini bersifat induktif atau
didasarkan pada pemahaman lapangan atau
konteks yang ada. Dalam menguraikan
penelitian ini menggunakan dua data yang
bersifat primer dan juga sekunder. Jenis dan
sumber data yang didapat dari penelitian ini
masing masing terdiri dari dua data yakni
a. Data primer, di mana sumber data yang
didapatkan berasal dari masing masing tim
pemenangan kedua calon walikota baik dari
Tim Pemenangan Rudy-Purnomo maupun
Anung-Fajri dengan menggunakan teknik
wawancara langsung dari masing masing
narasumber tim pemenangan.
b. Data Sekunder, di mana data ini berfungsi
sebagai pelengkap yang sumbernya tidak
langsung memberikan data kepada peneliti.
Data sekunder yang didapatkan peneliti
meliputi sumber literatur seperti buku, website
internet, jurnal yang menyangkut tentang
penelitian ini.
Dilihat dari teknik dan alat pengumpulan data,
peneliti menggunakan teknik :
a. Wawancara : seperti yang sudah
dikemukakan di atas bahwa wawancara
merupakan
alat
pembuktian
terhadap
informasi atau keterangan yang diperoleh
sebelumnya baik dari narasumber dari kedua
Tim pemenangan calon kandidat walikota
Surakarta maupun pendapat dari masyarakat
tentang kedua calon kandidat walikota
Surakarta.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam mengulas penelitian ini telah ada
beberapa penelitian sebelumnya yang
menjelaskan iklan komunikasi politik
khususnya dari kajian semiotika. Dari
beberapa penelitian yang ada seperti Andria
Saptyasari yang menjelaskan tentang power
dari bahasa verbal dan non verbal dalam iklan
presiden 2004. Contoh lainnya yakni Ansor
yang menjelaskan peran iklan politik
pencitraan dan dampaknya pada pilkada di
kabupaten Sleman dan penelitian dari Eva
Leiliyanti tentang Representation and
Symbolic Politics in Indonesia: Billboard
Advertising in the 2009 Legislative Assembly
Elections. Melalui penelitian penelitian yang
sudah ada tersebut, di mana dalam masing
masing kajian iklan telah menekankan hal
yang cukup berbeda. Pada penelitian Andria
telah menekankan pada aspek kekuatan
bahasa yang digunakan dalam iklan politik,
sementara itu dari peneliti lainnya yakni
Ansor menekankan pada peran pencitraan
kandidat dan juga dampak iklan. Lain lagi
dengan Leiliyanti yang menjelaskan pada
penekanan tentang representasi dan simbol
politik pada pemilihan anggota legislatif 2009.
Untuk penelitian ini akan memberikan
penekanan tersendiri, di mana fokus analisis
pada iklan politik dari masing masing
kandidat berkaitan cukup erat dengan
personalisasi kandidat. Seperti yang diketahui
bahwa wilayah Surakarta merupakan lumbung
suara bagi basis PDIP di Jawa Tengah sejak
masa orde baru dan telah beberapa kali dalam
pemilu, suara PDIP dominan di Surakarta.
Dalam penelitian ini mengulas 2 pokok
4
Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Vol. 2 Nomor 4 Desember Tahun 2015
pikiran dalam iklan politik yakni makna
semiotik iklan serta model pakaian masing
masing kandidat calon walikota dan analisa
hasil persepsi akan citra pilkada Surakarta
1. Model makna semiotik iklan masing
masing kandidat dan desain pakaian masing
masing kandidat
a. Pasangan FX Hadi Rudyatmo- Achmad
Purnomo
Melihat kandidat yang diusung, pasangan
FX Hadi Rudyatmo-Achmad Purnomo, tidak
bisa dilepaskan dari sosok Rudy (FX Hadi
Rudyatmo) yang sebelumnya dikenal sebagai
wakil walikota Surakarta dari periode 20052009 dan 2009-2012. Dilihat dari track
recordnya, Rudy sebelumnya menjabat
sebagai ketua DPC PDIP Surakarta yang juga
telah dipilih dalam mendampingi Joko
Widodo untuk memimpin Surakarta sejak
2005, maka daripada itu kekuatan politik
PDIP memegang poros terpenting sebagai
kendaraan politik dalam mengusung kandidat
Rudy. Dalam mengiklankan politiknya,
konsep iklan dari PDIP tidak berbeda jauh
dari pemilu pemilu sebelumnya. Secara
umum, konsep iklan yang digunakan tersebut
memuat unsur background, foto, logo dan
tagline.
Background
yang
digunakan
berwarna merah, di mana warna merah
merupakan ciri khas warna dari PDIP yang
identik dengan berani, bersemangat serta
agresif. Analisa dari warna merah ini bersifat
menaklukkan, dominan serta ekspansif dalam
hidup.
Dari beberapa contoh pemilu pemilu
yang lalu baik pilkada maupun dalam memilih
calon legislatif, contoh iklan dari PDIP cukup
mudah untuk dikenali, di mana terdapat logo
PDIP, foto calon yang diusung PDIP, foto
presiden RI pertama yakni Soekarno,
Megawati serta Puan Maharani, tagline calon
kandidat disertai periode pencalonan. Iklan
politik PDIP pada level denotasi ini Iklan
politik PDIP pada level denotasi menunjukkan
penggunaan warna dasar merah sebagai warna
dasar PDIP. Warna merah melambangkan
gagah berani dan ksatria. Dalam kaitannya
dengan kepentingan partai, warna dasar merah
melambangkan berani mengambil resiko
dalam memperjuangkan keadilan dan
kebenaran untuk rakyat. Selanjutnya terdapat
logo PDIP yakni kepala banteng dengan
moncong putih. Banteng dengan tanduk yang
kekar melambangkan kekuatan rakyat dan
selalu memperjuangkan kepentingan rakyat.
Mata merah dengan pandangan tajam
melambangkan selalu waspada terhadap
ancaman dalam berjuang. Moncong putih
melambangkan
dapat
dipercaya
dan
berkomitmen
dalam
memperjuangkan
keadilan
dan
kebenaran.
Lingkaran
melambangkan tekad yang bulat dan
perjuangan yang terus-menerus
tanpa
terputus. Selanjutnya masih terdapat pula ikon
Soekarno dalam mengusung konsep Trisakti,
di mana dalam konsep Trisakti, Soekarno
menegaskan bahwa Indonesia harus :
1. berdaulat secara politik
2. berdikari secara ekonomi
3. berkepribadian secara sosial budaya
Maka daripada itu banyak dari iklan iklan
politik dari PDIP baik dalam pemilihan umum
ataupun daerah, para calon kandidat ingin
mencitrakan dirinya sebagai penganut
ideologi Soekarno. Soekarno dipilih karena
Ketua Umum PDIP, Megawati, adalah putri
Soekarno.
Megawati
diyakini
dapat
meneruskan pemikiran Soekarno melalui
partai yang ia pimpin. Selanjutnya estafet
ideologi Trisakti Soekarno ini diturunkan
kepada putri Megawati yakni Puan Maharani.
Karena alasan inilah, maka foto Soekarno,
Megawati dan Puan Maharani muncul di
setiap iklan calon calon kandidat baik pada
pilkada maupun pemilihan legislatif. Oleh
PDIP sendiri, Soekarno masih dianggap
memiliki daya magnet yang kuat untuk
menyatukan bangsa Indonesia sebab Soekarno
diyakini sebagai Bapak Pendiri Bangsa.
Model iklan yang lazim dari PDIP ini
nampaknya sudah ditinggalkan oleh pasangan
FX Hadi Rudyatmo- Achmad Purnomo yang
sudah bermain terbuka keluar dari model iklan
iklan lama. Seperti yang diketahui baik dari
baliho, spanduk maupun website kandidat ini
“ sengaja tidak memakai foto Ir Soekarno,
Megawati bahkan Puan”, walaupun demikian
pesan iklan politik dari kandidat ini masih
menonjolkan kesan keberpihakan pada “wong
cilik” seperti halnya apa yang menjadi trand
mark PDIP partainya wong cilik. Hal ini
terlihat dari kostum yang mereka tampilkan
yakni baju daerah lurik pakaian lurik lengkap
beserta caping sebagai penutup kepala.
Caping merupakan topi yang berasal dari
bambu yang biasanya digunakan oleh para
petani untuk menggarap lahan pertanian
mereka. Tidak hanya itu saja, mereka datang
ke kantor KPUD dengan mengayuh sepeda
Onthel kuno. Dari pemaparan tersebut, sudah
5
Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Vol. 2 Nomor 4 Desember Tahun 2015
menunjukkan bahwa mereka ingin menarik
simpati dari kalangan publik masyarakat
Surakarta lewat kesederhanaan sebagai
seorang rakyat biasa, seperti tagline partai
politik pengusung mereka yakni PDIP yang
bercitrakan wong cilik.
b. Pasangan Anung Indro SusantoMuhammad Fajri
Pasangan Anung Indro SusantoMuhammad Fajri dimunculkan oleh koalisi
solo bersama (KSB) yang terdiri dari beberapa
partai koalisi seperti PKS, PPP, Gerindra,
Demokrat, PBB dan Golkar versi munas Bali.
Gabungan partai politik ini sengaja bergabung
untuk menandingi calon pasangan yang
diusung oleh PDIP, mengingat Surakarta
sebagai salah satu basis pendulang suara bagi
PDIP baik dalam Pemilu legislatif maupun
pilkada. Dilihat dari kandidat calon yang
diusung oleh KSB yakni Anung Indro Susanto
dengan wakilnya Muhammad Fajri, memang
bisa dikatakan cukup berpengalaman dalam
memahami kehidupan “wong cilik”. Hal ini
ditunjukkan dari prestasi yang diukir oleh
Anung sebagai birokrat, di mana saat
menjabat sebagai kepala Bappeda kota
Surakarta telah berhasil menyusun RUTRK (
Rencana Umum Tata Ruang Kota) dan
penyusunan RPJPD ( Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Daerah. Sementara itu
wakilnya, Muhammad Fajri yang bekas
anggota DPRD Surakarta dari fraksi PKS di
tahun 1999 memang tergolong dekat dengan “
kelompok masyarakat kelas bawah” dengan
beberapa
paguyuban
yang
berhasil
dibentuknya supaya masyarakat diharapkan
ikut terlibat menjadi bagian dari penyelesaian
masalah masalah kota dan tidak sekedar jadi
penonton semata.
Melihat track record pasangan ini,
menjadikan iklan dalam mengusung brand
mereka cukup menarik mengingat kandidat ini
juga menyampaikan gagasan rancangan ke
depan dalam memimpin kota Surakarta.
Sesuai dengan brand mereka yakni Solo
Kuncoro, Rakyat Mulyo, memang terbesit tiga
rancangan besar yang dianalisis oleh pasangan
kandidat ini yakni :
1. Permasalahan Kemacetan
- solusi yang diharapkan, mereka mencoba
merevitalisasi
layanan
Batik
Trans
diantaranya dengan menggratiskan ongkos
tiket
- mencoba merevitalisasi rel kereta api dalam
kota menjadi rel kereta fly over sehingga tidak
mengubah posisi tata ruang dan melestarikan
wajah kota
- pengelolaan kawasan dan penyediaan
kantung kantung parkir baru sebagai solusi
parkir yang memakai bagian jalan
- melibatkan masyarakat Solo sebagai bagian
dari solusi kemacetan dengan mendorong
warga untuk memaksimalkan penggunaan
transportasi umum yang bersifat massal.
2. Ketertiban
- pembangunan taman taman baru dan
memperbanyak Ruang Terbuka Hijau (RTH)
yang akan dimanfaatkan sebagai sarana
interaksi warga
- penataan PKL menjadi lebih baik, di mana
meningkatkan kesejahteraan PKL tanpa
mengorbankan kepentingan umum
3. Infrastruktur
- revitalisasi taman jurug menjadi destinasi
wisata kota yang lebih nyaman dan
membanggakan
- mengoptimalkan fungsi Solo Technopark
sebagai
sarana
untuk
meningkatkan
kompetensi warga kota Solo dan juga
mempersiapkan daya saing untuk kompetensi
global serta sebagai destinasi wisata edukasi.
- mendorong penyelesaian fungsi kawasan
benteng Vastenburg serta kawasan Sriwedari
Jika dilihat dari simbolisasi dari kandidat
pasangan ini memang tidak ada dari satu pun
dari simbolisasi partai politik pengusungnya.
Namun jika kembali mengacu pada simbol,
tentunya pasangan kandidat ini mempunyai
ciri khas yakni berupa lambang “gunungan
merah”. Mengacu pada arti simbolik
gunungan hampir sama dengan gunungan
yang ada dalam pewayangan, di mana
gunungan berfungsi untuk membuka pentas
lakon yang akan dibawakan. Melihat konteks
ini, maka dalam simbolisasi “gunungan
merah” mampu diartikan membuka nuansa
baru untuk kota Surakarta supaya kota
Surakarta lebih baik lagi sesuai dengan visi
misi kandidat pasangan Solo Kuncoro Rakyat
Mulyo, dalam membuka nuansa baru/ awal
baru semestinya harus dilandasi dengan sikap
ketegasan maupun keberanian sesuai dengan
simbolisasi gunungan merah, di mana merah
di sini mengungkapkan keberanian dan
ketegasan.
Tidak hanya berupa simbol saja,
pasangan kandidat ini juga mempromosikan
visi dan misinya melalui desain pakaian yang
dikenakan, mulai di waktu mendaftarkan diri
sebagai pasangan calon walikota dan wakil
6
Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Vol. 2 Nomor 4 Desember Tahun 2015
walikota,
pasangan
AnungFajri
direncanakan oleh KSB yang mencoba
menampilkan sosok yang diusungnya seperti
perpaduan Pangeran Diponegoro dengan
Alibasya Sentot Prawirodirdjo. Iring iringan
mereka juga diikuti oleh para penari dan
lantunan gamelan. Sesuai dengan visi misi
yang diusungnya, pasangan Anung- Fajri
mencoba menjelaskan program mereka.
Anung menyampaikan visi Solo Kuncoro
Rakyat Mulyo yang dijabarkan dalam delapan
misi. Berbeda dengan Fajri menyampaikan
orasi politik dengan menjelaskan simbol
Diponegoro dan Alibasya Sentot Prawirdirdjo,
di mana kedua tokoh ini dipilih oleh Fajri
untuk menginspirasi masyarakat Surakarta
akan teladan mereka dalam perjuangan
menyejahterakan
rakyat,
mengentaskan
kemiskinan dan keterpurukan.
Model desain lainnya yakni pakaian
bergaris garis kotak biru dengan campuran
warna garis merah juga ditonjolkan dalam
iklan politik mereka. Sebelumnya tren baju
kotak kotak sudah menjadi alat promosi
politik sejak masa pilkada di DKI Jakarta
2012, di mana dikenalkan dari pasangan Joko
Widodo- Basuki Tjahtja Purnama. Baju kotak
kotak sendiri sudah menjadi sebuah branding
dan setidaknya sudah mempunyai merek.
Analisanya, merek yang baik mempunyai
daya tarik pasar yang kuat, lebih dipercaya,
dan membuat pelanggan rela membayar lebih
serta menghasilkan value creation yang tinggi
dan cenderung mudah dimanfaatkan bila
melakukan kesalahan. Untuk itu, merek sering
disebut sebagai sebuah ekspresi kreatif untuk
mengangkat sebuah keunggulan “A brand is a
creative expression of value proposition ”
(Kasali, 2013). Lebih jauh Kasali (2013)
membagi branding ke dalam tiga kategori
yaitu personal branding, corporate branding,
dan product branding.
Dengan demikian, branding bukan hanya
untuk perusahaan atau produk saja, tetapi juga
digunakan untuk pribadi seseorang (diri
sendiri) yang disebut dengan personal
branding (merek pribadi). Jika merek itu
adalah nama, maka nama seseorang itu adalah
personal branding (merek pribadi). Itulah
sebabnya banyak pihak, misalnya, selebritis,
politikus dan para pemimpin, baik pemimpin
bisnis maupun pemimpin publik merancang
dan menciptakan namanya dengan baik untuk
membangun personal branding. Melihat
konteks tersebut, dengan membangun
personal branding, pasangan Anung-Fajri
ingin menunjukkan bahwa desain model
pakaian yang dikenakan menyiratkan nuansa
muda. Hal ini memberikan arahan kesan yang
akan disampaikan pada masyarakat Solo
bahwa dengan nuansa muda dan bersemangat
tentunya akan lebih optimal dalam memimpin
kota Surakarta ke depan.
2. Analisa Hasil Persepsi akan Citra Pilkada
Surakarta
Sesuai dengan jadwal yang ditentukan
KPU mengenai pilkada serentak di seluruh
Indonesia, maka di tanggal 9 Desember 2015,
pilkada juga diselenggarakan di Surakarta.
Untuk itu, pilkada yang diselenggarakan akan
membuktikan bagi kedua pasangan calon baik
Rudy-Purnomo dan Anung-Fajri dalam
memperebutkan
suara
terbanyak
di
masyarakat Surakarta. Dilihat dari analisa
kubu PDIP selaku motor penggerak RudyPurnomo, di mana sejak masa kampanye,
pasangan ini menargetkan perolehan suara
minimal 70% mengingat selama ini Surakarta
menjadi lumbung suara bagi PDIP baik dalam
pemilu legislatif maupun pilpres. Hal ini juga
menjadi didasarkan pada periode lalu saat
pilkada 2010 untuk pasangan Jokowi-Rudy
mampu meraih suara hingga 90,09 persen.
Pada pilkada yang lalu, perolehan
suara yang didapat oleh Rudy-Purnomo hanya
memperoleh suara 60, 33 persen atau bisa
dikatakan mempunyai selisih hanya sekitar 20
persen dari lawan kandidatnya Anung-Fajri.
Melihat hal tersebut perolehan suara ini sangat
dikatakan jauh dari ekspektasi apalagi Rudy
juga
merupakan
incumbent
walikota
Surakarta. Perolehan suara di kandang
banteng ini juga bisa dikatakan cukup rendah
apabila dibandingkan dengan kandang
banteng lainnya baik di Sukoharjo maupun
Boyolali, di mana pasangan yang diusung
oleh PDIP jauh mengungguli telak lawan
lawannya. Bisa dikatakan bahwa kandang
banteng di Surakarta khususnya pada kantong
kantong suara PDIP di seluruh penjuru kota
Surakarta mengalami kemerosotan. Memang
dari beberapa analisis yang ada terdapat
persepsi masyarakat mengenai citra Pilkada
Surakarta antara lain :
1. Isu berbau SARA ( agama, ras,
kelompok, golongan)
2. Anggapan bahwa Rudy bukan
Jokowi/
motif
tingkat
kurang
kepercayaan
7
Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Vol. 2 Nomor 4 Desember Tahun 2015
3. Adanya program program pemerintah
kota yang masih belum terlaksana
4. Bagi kelompok pesaing RudyPurnomo, perolehan suara yang
melebihi 30% di kandang banteng
sungguh merupakan prestasi yang luar
biasa dalam meningkatkan tensi
pengembangan demokrasi
Dilihat dari pandangan pertama yakni,
SARA, memang dari latar belakang sosok
Rudy memang bukan muslim, dan hal ini
yang terus dipersoalkan mengingat mayoritas
kota Surakarta ialah Muslim. Hal ini
merupakan tamparan keras bagi kehidupan
sosial bermasyarakat di Surakarta, di mana
telah terkenal dengan sisi pluralismnya.
Walaupun demikian masyarakat Surakarta
sudah semakin cerdas dalam menganalisis isu
SARA, anggapan Rudy bukan Jokowi atau
bahkan program program pemerintah kota
yang belum selesai ini, di mana hasilnya
perolehan suara yang didapatkan oleh RudyPurnomo masih bisa dipercaya oleh
masyarakat Surakarta dalam memimpin kota.
Walaupun dalam segi iklan di masa
kampanye baik dari masing masing kandidat
calon walikota sudah cukup bagus namun
masih saja terdapat penggunaan bahasa
hiperbolik yang menggugah dengan janji yang
tinggi dengan harapan yang pasti serta
dominasi
foto
merupakan
gambaran
narsisistik. Narsistik yang dalam istilah
psikologis adalah salah satu bentuk gangguan
kepribadian yang memandang diri sendiri
mereka secara berlebihan. Perilaku nartisitik
bisa terlihat dari “penampakan gambar dan
kata” yang seakan menggambarkan keadaan
diri
mereka
sebagai
orang
yang
berkepribadian tangguh, kuat dan mandiri.
Akibat sifat narsis ini, berbagai tindakan,
keputusan, dan strategi politik dapat
membentuk “pendangkalan politik” dimana
tokoh
atau
kader
partai
politik
menggantungkan pilihan khalayak pada citra
permukaan yang mereka tampilkan. Hal-hal
yang bersifat subtansial (ide, gagasan,
perjuangan, pengorbanan, dan sebagainya)
digantikan oleh sesuatu yang bersifat
sensasional (iklan politik, gambar, foto,
baliho, dan sejenisnya). Manifestasi narsisme
politik juga bisa diteropong lewat kampanye
pemimpin-pemimpin
partai
yang
menyuarakan ide, gagasan, dan pemikiran
yang
seolah-olah
berpihak
kepada
rakyat.Mereka
tampak memperjuangkan
secara tulus aspirasi masyarakat. Padahal,
apabila diamati secara seksama, kampanye
mereka memiliki maksud dan tujuan yang
tidak lain adalah menaikkan citra partai dan
meraih dukungan rakyat di Pemilihan Umum.
Di sinilah sejatinya ketulusan dan keikhlasan
calon pemimpin-pemimpin rakyat dalam
memperjuangkan kepentingan rakyat tersebut
betul-betul diuji
5. Kesimpulan
Pemilihan umum kepala daerah di
seluruh wilayah di Indonesia juga diikuti di
Surakarta. Untuk pemilihan umum kepala
daerah di Surakarta diikuti oleh dua pasangan
calon walikota yakni FX Hadi RudyatmoAchmad Purnomo dan Anung Indro SusantoMuhammad Fajri. Dalam memperebutkan
suara pada masyarakat Surakarta, kedua calon
walikota berusaha menampilkan diri melalui
iklan untuk mencitrakan program program
yang akan dikenalkan kepada masyarakat.
Untuk menelaah model semiotik yang
disampaikan oleh masing masing kandidat
calon walikota baik Rudy-Purnomo maupun
Anung-Fajri telah terlihat bagaimana dengan
melalui desain pakaian, debat maupun bahasa
spanduk iklan berusaha sedemikian mungkin
untuk menarik minat calon pemilih
masyarakat
Surakarta
yang
akhirnya
membentuk hasil citra Pilkada Surakarta.
Walaupun demikian, terlepas dari beberapa
bahasa dalam iklan yang sudah dikembangkan
sedemikian rupa oleh masing masing kandidat
nampaknya tidak banyak mengubah image
dominasi foto penggunaan bahasa hiperbolik
yang menggugah dengan janji yang tinggi
disinyalir merupakan gambaran narsisistik
politik.
DAFTAR PUSTAKA
Chiaravalle, Bill & Schenck, Barbara Findlay.
(2007). Branding for Dummies. Canada:
Wiley Publishing, Inc.
Danesi, Marcel. (2004). Messages, Signs and
Meanings: A Basic Textbook in
Semiotics and Communication Theory.
(3rd edition). Toronto: Canadian
Scholars’ Press Inc.
Littlejohn, Stephen W. & Foss, Kate A.
(2005).
Theories
of
Human
Communication. (8th ed.) Canada:
Thomson Wadsworth.
8
Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Vol. 2 Nomor 4 Desember Tahun 2015
Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi
Kualitatif. Yogyakarta: PT LKIS Pelangi
Aksara.
Pawito. (2012). Pemilihan Umum Legislatif
2009 dan Media Massa Jalan Menuju
Peningkatan
Kualitas
Demokrasi.
Surakarta: UNS Press.
Shimp, Terence A. (2003). Periklanan
Promosi Aspek Tambahan Komunikasi
Pemasaran Terpadu (Edisi Kelima).
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sobur, Alex. (2003). Semiotika Komunikasi.
Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Pikiran Rakyat (2015) Perolehan Suara
Meleset : Petahana Solo Menang
9
Download