Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Vol. 2 Nomor 4 Desember Tahun 2015 TINJAUAN ANALISA SEMIOTIK SERTA PERSEPSI MASYARAKAT SURAKARTA AKAN PILKADA SURAKARTA 2015-2020 Agung Wibiyanto, S.S, M.M.Par Politeknik Indonusa Surakarta [email protected] ABSTRAK Pemilihan Umum untuk memilih wakil kepala daerah secara serentak dilaksanakan di seluruh penjuru Indonesia, tidak terkecuali wilayah kota Surakarta. Dalam pemilihan umum kepala daerah di Surakarta diikuti oleh dua pasangan calon walikota dan wakil walikota yang telah ditetapkan oleh KPU yakni FX Hadi Rudyatmo- Achmad Purnomo dengan Anung Indro SusantoMuhammad Fajri. Hal ini juga tidak bisa dilepaskan dari motor penggerak kedua pasangan calon walikota dan wakil walikota yakni partai partai pendukung kedua belah pihak. Untuk pasangan FX Hadi Rudyatmo- Achmad Purnomo didukung mutlak oleh PDIP, Nasdem, PKB, Hanura dan juga Golkar versi munas Ancol, sedangkan dari pasangan Anung- Fajri didukung oleh Koalisi Solo Bersama yang dimotori PKS, Golkar versi munas Bali, Gerindra, Demokrat, PPP, PAN dan PBB. Melihat konteks tersebut, baik dari pasangan Rudy-Purnomo maupun Anung-Fajri berlomba lomba mencoba menarik simpati pemilih masyarakat Surakarta baik dari bahasa iklan, symbol, model spanduk. Dari tulisan penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif, di mana membahas tentang analisa semiotika untuk membedah model iklan, symbol maupun bahasa yang digunakan. Hasil dari analisa semiotika tersebut juga mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap image pilkada yang telah diselenggarakan. Walaupun demikian dari ragam model bahasa iklan yang digunakan oleh masing masing kandidat calon walikota nampaknya tidak banyak mengubah image dominasi foto penggunaan bahasa hiperbolik yang menggugah dengan janji yang tinggi disinyalir merupakan gambaran narsisistik politik. Kata Kunci : Pilkada Surakarta, Analisa Semiotik, Image Persepsi Masyarakat Muhammad Fajri didukung oleh koalisi besar yang dinamakan Koalisi Bersama Solo yang terdiri dari PAN, Golkar versi Bali, PPP, Gerindra, PBB, PKS. Kedua pasangan calon walikota Surakarta ini berusaha sedemikian mungkin untuk menarik minat pemilih pada masyarakat Surakarta, kedua kandidat baik RudyPurnomo maupun AnungFajri menyampaikan pesan pesan untuk melambangkan identitas mereka. Hal ini banyak ditemukan dalam poster, baju yang dikenakan, visi misi mereka dalam debat terbuka, dan masih banyak hal lainnya yang pantas dijadikan faktor dalam mendongkrak suara mereka di kota Surakarta. Pada proses pemilihan umum yang dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2015, perolehan suara sementara telah menempatkan pasangan Rudy-Purnomo sebagai pemenang atas rival mereka, Anung-Fajri dengan perolehan suara 60, 39%. Pada perhitungan cepat tersebut, secara mengejutkan pasangan Anung-Fajri I. PENDAHULIAN Pemilihan umum Kepala Daerah yang hampir dilaksanakan secara serentak di seluruh penjuru Indonesia telah dilaksanakan dengan baik pada tanggal 9 Desember 2015 kemarin. Tak terkecuali kota Surakarta yang juga telah melaksanakan pemilihan umum untuk menentukan kandidat walikota yang akan memimpin kota mulai dari 2015-2020. Dari pemilihan umum kepala daerah di Surakarta yang disahkan oleh KPU telah menetapkan kedua calon walikota beserta wakilnya yakni FX Hadi Rudyatmo- Dr. H Ahmad Purnomo yang bersaing dengan pasangan Drs Anung Indro Susanto, MMMuhammad Fajri. Perlu diketahui bahwa masing masing pasangan juga didukung mesin politik di belakangnya seperti FX Hadi Rudyatmo- Dr. H. Ahmad Purnomo didukung secara mutlak oleh PDIP yang berkoalisi dengan Nasdem, Golkar Versi Ancol, Hanura dan juga PKB. Sementara itu pesaingnya, yakni Drs Anung Indro Susanto, MM1 Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Vol. 2 Nomor 4 Desember Tahun 2015 memperoleh suara sebanyak 39,61%, sehingga dapat dikatakan mematahkan “mitos” pasangan Rudy-Purnomo dalam masa kampanye yang memunginkan menyapu bersih suara pemilih di Surakarta dengan target 90%. Selain itu juga, pasangan AnungFajri juga memberikan perlawanan sengit di setiap masing masing kecamatan di Surakarta walaupun notabene wilayah Surakarta menjadi “lumbung suara kandang banteng”. Dalam penulisan jurnal ini berusaha menyoroti kecenderungan personalisasi politik lewat bahasa pengiklanan, di mana dalam konteks komunikasi politik, bahasa iklan kandidat menunjukkan sebuah usaha untuk kepada kandidat dan mesin partai politiknya. Walaupun demikian figur politik atau kandidat menjadi lebih penting daripada partai politik dan ideologi tidak lagi diikuti guna menentukan sikap politik pemilih. Gejala ini dianggap merupakan konsekuensi logis dari modernisasi kampanye politik. Bagi publik, figur dianggap sebagai representasi gagasan atau ideologi, sementara partai politik tidak lagi menjadi institusi yang penting untuk menyalurkan pilihan politik. Dengan kata lain, perhatian publik tertuju pada diskusi tentang “siapa”, bukan “apa” dan “bagaimana” platform politik yang diusung oleh kandidat maupun partai politik. Jadi dapat dirumuskan permasalahan pada jurnal ini yakni “ bagaimana tinjauan analisa semiotik baik dalam iklan serta model pakaian masing masing kandidat calon walikota Surakarta sebagai langkah mencitrakan personal?”. Jika dilihat dari manfaat serta tujuan dari penulisan jurnal ini dapat diproyeksikan kepada masyarakat, partai politik dan lembaga pendidikan lainnya yakni : 1. Pada masyarakat umum, dapat dijadikan referensi pemahaman arahan dan acuan dalam menganalisa kandidat walikota Surakarta 2015 sesuai dengan pilihannya masing masing 2. Bagi partai politik dapat memberikan kontribusi dalam menyusun strategi komunikasi politik dalam pencitraan yang tepat untuk mendapatkan suara dari kalangan masyarakat 3. Bagi dunia pendidikan, dapat memberikan wacana keilmuan bagi para peneliti selanjutnya yang mempunyai minat yang sama terhadap komunikasi politik dalam pembentukan citra sebagai penilaian tersendiri bagi masyarakat luas. II. KAJIAN PUSTAKA Dalam menjelaskan literatur serta teori yang digunakan untuk penulisan jurnal ini, penulis menggunakan 3 macam pendekatan. Pendekatan pertama yakni pendekatan komunikasi politik, di mana merujuk dari pendapat McNair (dalam Canggara, 2009:39) bahwa dalam penerapan komunikasi politik sangat erat kaitannya dengan pencitraan. Hal ini mengacu pada Parpol atau seorang kandidat melakukan komunikasi politik akan menimbulkan citra yang memberikan penilaian dari masyarakat. Penilaian tersebut dapat berupa nilai yang positif ataupun negatif tergantung pelaksanaan komunikasi politik yang dilakukan. Di dalam komunikasi politik memiliki beberapa strategi yang dilakukan. Ada lima pola dasar dalam melaksanakan strategi komunikasi politik, namun peneliti menggunakan 3 pola dasar yaitu : a. Bagaimana memberikan informasi kepada masyarakat apa yang terjadi disekitarnya. b. Bagaimana menyediakan diri untuk menampung masalah-masalah politik yang berupa aspirasi masyarakat sehingga dapat menjadi wacana dalam membentuk opini publik dan dapat menyelesaikan opini tersebut. c. Dalam masyarakat yang demokratis, media politik berfungsi sebagai saluran advokasi yang bisa membantu agar kebijakan dan program-program lembaga politik dapat disalurkan kepada media massa. Pendekatan yang kedua yakni pencitraan politik, di mana Gunter Scweiger dan Michaela dalam Nimmo (2006), mengemukakan citra merupakan gambaran menyeluruh yang ada dikepala pemilih mengenai kandidat maupun program. Pengambilan keputusan tidak selamanya dipengaruhi oleh pengetahuan pemilih tentang program partai maupun oleh informasiinformasi yang membangun brand politik, tetapi proses itu bisa jadi dipengaruhi kuat oleh impression (keterkesanan) dan nonrational evaluation criteria (criteria yang tidak rasional yang dipakai pemilih dalam mengevaluasi para kandidat/Parpol) (dalam Haryati, 2013:22-23). Image politik disini yang dimaksud bahwa Citra yang dibangun berupa sifat baik atau buruk selalu diberitakan sesuai dengan fakta yang ada di kepala pemilih mengenai kandidat, program maupun dipengaruhi kuat 2 Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Vol. 2 Nomor 4 Desember Tahun 2015 oleh keterkesanan dan kriteria calon kandidat yang dipakai pemilih dalam mengevaluasi para kandidat/Parpol. Citra yang dibentuk melalui komunikasi politik yang dilakukan akan mempengaruhi khalayak dalam mempersepsikan pandangan seseorang terhadap tokoh pemimpin. Tidak hanya dalam level induvidu saja, kekuatan komunikasi politiknya dalam membentuk citra seorang pemimpin juga dapat mempengaruhi satu wilayah kepemimpinan dari pemimpin tersebut. Pendekatan ketiga yang dipakai ialah pendekatan analisis semiotika pada sebuah iklan, di mana dalam hal ini iklan dari masing masing kandidat calon walikota Surakarta. Dikemukakan bahwa dalam menganalisis hal ini dibutuhkan sebuah analisis yang dirasa cukup memadai yakni semiotika. Dalam analisis semiotika mengungkapkan ilmu yang mempelajari tentang tanda. Hal ini dapat diamati pada pernyataan Saussure tentang pemahaman semiotika yakni “ A science that studies the life of signs within society is conceivable. It would be part of social psychology and consequently of general psychology. I shall call it semiology (from Greek semeion “sign”). Semiology would show what constitutes signs, what laws govern them ( Saussure dalam Danesi, 2004 :3). Dari pernyataan yang telah disampaikan oleh Saussure ini jelas disebutkan bahwa semiotika ialah ilmu yang menganalisis kehidupan tanda tanda di tengah masyarakat. Tujuan dari semiotika ialah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda beserta kaidah kaidah yang mengaturnya. Semiotika dijelaskan Danesi bertujuan untuk menjawab pertanyaan apakah makna dari “X”. X ini dapat berupa segala sesuatu baik berupa kata atau gerak gerik tubuh (gesture) hingga pada keseluruhan komposisi musik atau film. “Besaran” dari x dapat bervariasi, namun pertanyaan mendasarnya tetap sama. Berbicara tentang tanda, akan lebih baik jika juga melihat tanda dalam pandangan karya Littlejohn. Tanda menurut pandangan Langer merupakan sebuah stimulus yang memberikan sinyal kehadiran tentang sesuatu yang lain (Littlejohn, 2005 :101). Littlejohn menyebutkan seorang filsuf yakni Susanne Langer untuk memberikan konsep tentang simbol tersebut. Berdasarkan pemaparan Langer, symbolism adalah pokok kajian utama dalam filsafat sebab symbolism merupakan dasar bagi seluruh pengetahuan manusia dan pemahaman manusia. Simbol, menurut Langer ialah “sebuah instrumen” dalam pemikiran, sedangan meaning bagi Langer dilihat sebagai hubungan yang kompleks diantara simbol, objek dan person. Maka daripada itu, meaning terdiri dari aspek logis dan psikologis, sehingga semiotika sangat dirasa penting karena dapat memberikan pemahaman tentang apa yang tengah terjadi dalam sebuah pesan. Hal ini sangat jelas, di mana dalam sebuah pesan terdapat bagian bagian yang secara gamblang terorganisir dan juga terstruktur. Pawito dalam pandangannya memaparkan tidak jauh berbeda dengan para ahli yang lain di dalam penelitian komunikasi kualitatif. Pandangan Pawito menyebutkan bahwa analisis semiotika merupakan sebuah cara atau metode dalam menganalisis dan memberikan makna makna terhadap lambang lambang yang terdapat suatu paket lambang lambang pesan (Pawito, 2007 : 155). Dalam mengungkapkan pandangannya, Pawito secara lebih lanjut menyebutkan bahwa teks yang dimaksud dalam kajian semiotika ialah segala bentuk sistem serta lambang (signs) baik yang terdapat dalam media massa (seperti dalam paket tayangan televisi, karikatur media cetak, film, sandiwara radio, dan berbagai bentuk iklan maupun yang ada di luar media massa seperti lukisan, patung, candi, monumen, fashion show dan menu masakan pada suatu food festival). Dengan demikian yang menjadi fokus kajian dari semiotika ialah pemaknaan pada lambang lambang pada teks. Roland Barthes juga memaparkan pandangannya, di mana Barthes berpendapat bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi asumsi dari suatu masyarakat dalam waktu tertentu. Jadi dengan demikian, nampak kajian wilayah yang disoroti Barthes ialah peran pembaca (the reader). Maka secara tidak langsung, konotasi dalam pandangan Barthes meskipun merupakan sifat asli tanda membutuhkan keefektifan pembaca supaya dapat berfungsi. Dalam melakukan kajiannya, Barthes telah memaparkan ulasan tentang sistem pemaknaan yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Hal ini bisa dilihat dari kajian sastra yang merupakan penggunaan terjelas dalam sistem pemaknaan dan sistem ini yang disebut oleh Barthes 3 Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Vol. 2 Nomor 4 Desember Tahun 2015 dengan sebutan konotatif. Sebutan konotatif dalam pandangan Barthes di dalam karyanya yakni Mythologies memang secara tegas dibedakan dengan konteks denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Melihat ketiga pendekatan tersebut, baik dari pendekatan komunikasi politik, pendekatan pencitraan politik serta pendekatan analisis analisis semiotik dapat untuk menjawab rumusan permasalahan yang dikemukakan dari analisa tinjauan bahasa iklan pada pilkada Surakarta dalam mencitrakan diri untuk masing masing kandidat calon walikota Surakarta. b. Studi Kepustakaan : Studi kepustakaan adalah melakukan pengumpulan data dengan membaca dan mempelajari beberapa literatur,materi-materi,laporan hasil penelitian, jurnal-jurnal, dan sebagainya yang memiliki relevansi dengan masalah penelitian .Supaya hasil wawancara dapat terekam dengan baik dan peneliti memiliki bukti telah melakukan wawancara kepada informan atau sumber data. Dari sumber sumber data tersebut, maka hasil dari sumber data yang diolah dengan teknik pengolahan data akan menghasilkan sebuah laporan penelitian tentang analisa tinjauan pengemasan bahasa iklan pilkada walikota Surakarta dalam mencitrakan diri dari masing masing kandidat. III. METODE PENELITIAN Dalam penulisan jurnal ini menggunakan metode penelitian kualitatif, di mana sifat dalam penelitian ini deskriptif analisis yang telah diarahkan untuk menggambarkan dan menganalisa fakta dengan argumen yang tepat. Walaupun di sisi lain penelitian ini tidak merumuskan hipotesis mengingat penelitian ini bersifat induktif atau didasarkan pada pemahaman lapangan atau konteks yang ada. Dalam menguraikan penelitian ini menggunakan dua data yang bersifat primer dan juga sekunder. Jenis dan sumber data yang didapat dari penelitian ini masing masing terdiri dari dua data yakni a. Data primer, di mana sumber data yang didapatkan berasal dari masing masing tim pemenangan kedua calon walikota baik dari Tim Pemenangan Rudy-Purnomo maupun Anung-Fajri dengan menggunakan teknik wawancara langsung dari masing masing narasumber tim pemenangan. b. Data Sekunder, di mana data ini berfungsi sebagai pelengkap yang sumbernya tidak langsung memberikan data kepada peneliti. Data sekunder yang didapatkan peneliti meliputi sumber literatur seperti buku, website internet, jurnal yang menyangkut tentang penelitian ini. Dilihat dari teknik dan alat pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik : a. Wawancara : seperti yang sudah dikemukakan di atas bahwa wawancara merupakan alat pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya baik dari narasumber dari kedua Tim pemenangan calon kandidat walikota Surakarta maupun pendapat dari masyarakat tentang kedua calon kandidat walikota Surakarta. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam mengulas penelitian ini telah ada beberapa penelitian sebelumnya yang menjelaskan iklan komunikasi politik khususnya dari kajian semiotika. Dari beberapa penelitian yang ada seperti Andria Saptyasari yang menjelaskan tentang power dari bahasa verbal dan non verbal dalam iklan presiden 2004. Contoh lainnya yakni Ansor yang menjelaskan peran iklan politik pencitraan dan dampaknya pada pilkada di kabupaten Sleman dan penelitian dari Eva Leiliyanti tentang Representation and Symbolic Politics in Indonesia: Billboard Advertising in the 2009 Legislative Assembly Elections. Melalui penelitian penelitian yang sudah ada tersebut, di mana dalam masing masing kajian iklan telah menekankan hal yang cukup berbeda. Pada penelitian Andria telah menekankan pada aspek kekuatan bahasa yang digunakan dalam iklan politik, sementara itu dari peneliti lainnya yakni Ansor menekankan pada peran pencitraan kandidat dan juga dampak iklan. Lain lagi dengan Leiliyanti yang menjelaskan pada penekanan tentang representasi dan simbol politik pada pemilihan anggota legislatif 2009. Untuk penelitian ini akan memberikan penekanan tersendiri, di mana fokus analisis pada iklan politik dari masing masing kandidat berkaitan cukup erat dengan personalisasi kandidat. Seperti yang diketahui bahwa wilayah Surakarta merupakan lumbung suara bagi basis PDIP di Jawa Tengah sejak masa orde baru dan telah beberapa kali dalam pemilu, suara PDIP dominan di Surakarta. Dalam penelitian ini mengulas 2 pokok 4 Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Vol. 2 Nomor 4 Desember Tahun 2015 pikiran dalam iklan politik yakni makna semiotik iklan serta model pakaian masing masing kandidat calon walikota dan analisa hasil persepsi akan citra pilkada Surakarta 1. Model makna semiotik iklan masing masing kandidat dan desain pakaian masing masing kandidat a. Pasangan FX Hadi Rudyatmo- Achmad Purnomo Melihat kandidat yang diusung, pasangan FX Hadi Rudyatmo-Achmad Purnomo, tidak bisa dilepaskan dari sosok Rudy (FX Hadi Rudyatmo) yang sebelumnya dikenal sebagai wakil walikota Surakarta dari periode 20052009 dan 2009-2012. Dilihat dari track recordnya, Rudy sebelumnya menjabat sebagai ketua DPC PDIP Surakarta yang juga telah dipilih dalam mendampingi Joko Widodo untuk memimpin Surakarta sejak 2005, maka daripada itu kekuatan politik PDIP memegang poros terpenting sebagai kendaraan politik dalam mengusung kandidat Rudy. Dalam mengiklankan politiknya, konsep iklan dari PDIP tidak berbeda jauh dari pemilu pemilu sebelumnya. Secara umum, konsep iklan yang digunakan tersebut memuat unsur background, foto, logo dan tagline. Background yang digunakan berwarna merah, di mana warna merah merupakan ciri khas warna dari PDIP yang identik dengan berani, bersemangat serta agresif. Analisa dari warna merah ini bersifat menaklukkan, dominan serta ekspansif dalam hidup. Dari beberapa contoh pemilu pemilu yang lalu baik pilkada maupun dalam memilih calon legislatif, contoh iklan dari PDIP cukup mudah untuk dikenali, di mana terdapat logo PDIP, foto calon yang diusung PDIP, foto presiden RI pertama yakni Soekarno, Megawati serta Puan Maharani, tagline calon kandidat disertai periode pencalonan. Iklan politik PDIP pada level denotasi ini Iklan politik PDIP pada level denotasi menunjukkan penggunaan warna dasar merah sebagai warna dasar PDIP. Warna merah melambangkan gagah berani dan ksatria. Dalam kaitannya dengan kepentingan partai, warna dasar merah melambangkan berani mengambil resiko dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran untuk rakyat. Selanjutnya terdapat logo PDIP yakni kepala banteng dengan moncong putih. Banteng dengan tanduk yang kekar melambangkan kekuatan rakyat dan selalu memperjuangkan kepentingan rakyat. Mata merah dengan pandangan tajam melambangkan selalu waspada terhadap ancaman dalam berjuang. Moncong putih melambangkan dapat dipercaya dan berkomitmen dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Lingkaran melambangkan tekad yang bulat dan perjuangan yang terus-menerus tanpa terputus. Selanjutnya masih terdapat pula ikon Soekarno dalam mengusung konsep Trisakti, di mana dalam konsep Trisakti, Soekarno menegaskan bahwa Indonesia harus : 1. berdaulat secara politik 2. berdikari secara ekonomi 3. berkepribadian secara sosial budaya Maka daripada itu banyak dari iklan iklan politik dari PDIP baik dalam pemilihan umum ataupun daerah, para calon kandidat ingin mencitrakan dirinya sebagai penganut ideologi Soekarno. Soekarno dipilih karena Ketua Umum PDIP, Megawati, adalah putri Soekarno. Megawati diyakini dapat meneruskan pemikiran Soekarno melalui partai yang ia pimpin. Selanjutnya estafet ideologi Trisakti Soekarno ini diturunkan kepada putri Megawati yakni Puan Maharani. Karena alasan inilah, maka foto Soekarno, Megawati dan Puan Maharani muncul di setiap iklan calon calon kandidat baik pada pilkada maupun pemilihan legislatif. Oleh PDIP sendiri, Soekarno masih dianggap memiliki daya magnet yang kuat untuk menyatukan bangsa Indonesia sebab Soekarno diyakini sebagai Bapak Pendiri Bangsa. Model iklan yang lazim dari PDIP ini nampaknya sudah ditinggalkan oleh pasangan FX Hadi Rudyatmo- Achmad Purnomo yang sudah bermain terbuka keluar dari model iklan iklan lama. Seperti yang diketahui baik dari baliho, spanduk maupun website kandidat ini “ sengaja tidak memakai foto Ir Soekarno, Megawati bahkan Puan”, walaupun demikian pesan iklan politik dari kandidat ini masih menonjolkan kesan keberpihakan pada “wong cilik” seperti halnya apa yang menjadi trand mark PDIP partainya wong cilik. Hal ini terlihat dari kostum yang mereka tampilkan yakni baju daerah lurik pakaian lurik lengkap beserta caping sebagai penutup kepala. Caping merupakan topi yang berasal dari bambu yang biasanya digunakan oleh para petani untuk menggarap lahan pertanian mereka. Tidak hanya itu saja, mereka datang ke kantor KPUD dengan mengayuh sepeda Onthel kuno. Dari pemaparan tersebut, sudah 5 Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Vol. 2 Nomor 4 Desember Tahun 2015 menunjukkan bahwa mereka ingin menarik simpati dari kalangan publik masyarakat Surakarta lewat kesederhanaan sebagai seorang rakyat biasa, seperti tagline partai politik pengusung mereka yakni PDIP yang bercitrakan wong cilik. b. Pasangan Anung Indro SusantoMuhammad Fajri Pasangan Anung Indro SusantoMuhammad Fajri dimunculkan oleh koalisi solo bersama (KSB) yang terdiri dari beberapa partai koalisi seperti PKS, PPP, Gerindra, Demokrat, PBB dan Golkar versi munas Bali. Gabungan partai politik ini sengaja bergabung untuk menandingi calon pasangan yang diusung oleh PDIP, mengingat Surakarta sebagai salah satu basis pendulang suara bagi PDIP baik dalam Pemilu legislatif maupun pilkada. Dilihat dari kandidat calon yang diusung oleh KSB yakni Anung Indro Susanto dengan wakilnya Muhammad Fajri, memang bisa dikatakan cukup berpengalaman dalam memahami kehidupan “wong cilik”. Hal ini ditunjukkan dari prestasi yang diukir oleh Anung sebagai birokrat, di mana saat menjabat sebagai kepala Bappeda kota Surakarta telah berhasil menyusun RUTRK ( Rencana Umum Tata Ruang Kota) dan penyusunan RPJPD ( Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah. Sementara itu wakilnya, Muhammad Fajri yang bekas anggota DPRD Surakarta dari fraksi PKS di tahun 1999 memang tergolong dekat dengan “ kelompok masyarakat kelas bawah” dengan beberapa paguyuban yang berhasil dibentuknya supaya masyarakat diharapkan ikut terlibat menjadi bagian dari penyelesaian masalah masalah kota dan tidak sekedar jadi penonton semata. Melihat track record pasangan ini, menjadikan iklan dalam mengusung brand mereka cukup menarik mengingat kandidat ini juga menyampaikan gagasan rancangan ke depan dalam memimpin kota Surakarta. Sesuai dengan brand mereka yakni Solo Kuncoro, Rakyat Mulyo, memang terbesit tiga rancangan besar yang dianalisis oleh pasangan kandidat ini yakni : 1. Permasalahan Kemacetan - solusi yang diharapkan, mereka mencoba merevitalisasi layanan Batik Trans diantaranya dengan menggratiskan ongkos tiket - mencoba merevitalisasi rel kereta api dalam kota menjadi rel kereta fly over sehingga tidak mengubah posisi tata ruang dan melestarikan wajah kota - pengelolaan kawasan dan penyediaan kantung kantung parkir baru sebagai solusi parkir yang memakai bagian jalan - melibatkan masyarakat Solo sebagai bagian dari solusi kemacetan dengan mendorong warga untuk memaksimalkan penggunaan transportasi umum yang bersifat massal. 2. Ketertiban - pembangunan taman taman baru dan memperbanyak Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang akan dimanfaatkan sebagai sarana interaksi warga - penataan PKL menjadi lebih baik, di mana meningkatkan kesejahteraan PKL tanpa mengorbankan kepentingan umum 3. Infrastruktur - revitalisasi taman jurug menjadi destinasi wisata kota yang lebih nyaman dan membanggakan - mengoptimalkan fungsi Solo Technopark sebagai sarana untuk meningkatkan kompetensi warga kota Solo dan juga mempersiapkan daya saing untuk kompetensi global serta sebagai destinasi wisata edukasi. - mendorong penyelesaian fungsi kawasan benteng Vastenburg serta kawasan Sriwedari Jika dilihat dari simbolisasi dari kandidat pasangan ini memang tidak ada dari satu pun dari simbolisasi partai politik pengusungnya. Namun jika kembali mengacu pada simbol, tentunya pasangan kandidat ini mempunyai ciri khas yakni berupa lambang “gunungan merah”. Mengacu pada arti simbolik gunungan hampir sama dengan gunungan yang ada dalam pewayangan, di mana gunungan berfungsi untuk membuka pentas lakon yang akan dibawakan. Melihat konteks ini, maka dalam simbolisasi “gunungan merah” mampu diartikan membuka nuansa baru untuk kota Surakarta supaya kota Surakarta lebih baik lagi sesuai dengan visi misi kandidat pasangan Solo Kuncoro Rakyat Mulyo, dalam membuka nuansa baru/ awal baru semestinya harus dilandasi dengan sikap ketegasan maupun keberanian sesuai dengan simbolisasi gunungan merah, di mana merah di sini mengungkapkan keberanian dan ketegasan. Tidak hanya berupa simbol saja, pasangan kandidat ini juga mempromosikan visi dan misinya melalui desain pakaian yang dikenakan, mulai di waktu mendaftarkan diri sebagai pasangan calon walikota dan wakil 6 Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Vol. 2 Nomor 4 Desember Tahun 2015 walikota, pasangan AnungFajri direncanakan oleh KSB yang mencoba menampilkan sosok yang diusungnya seperti perpaduan Pangeran Diponegoro dengan Alibasya Sentot Prawirodirdjo. Iring iringan mereka juga diikuti oleh para penari dan lantunan gamelan. Sesuai dengan visi misi yang diusungnya, pasangan Anung- Fajri mencoba menjelaskan program mereka. Anung menyampaikan visi Solo Kuncoro Rakyat Mulyo yang dijabarkan dalam delapan misi. Berbeda dengan Fajri menyampaikan orasi politik dengan menjelaskan simbol Diponegoro dan Alibasya Sentot Prawirdirdjo, di mana kedua tokoh ini dipilih oleh Fajri untuk menginspirasi masyarakat Surakarta akan teladan mereka dalam perjuangan menyejahterakan rakyat, mengentaskan kemiskinan dan keterpurukan. Model desain lainnya yakni pakaian bergaris garis kotak biru dengan campuran warna garis merah juga ditonjolkan dalam iklan politik mereka. Sebelumnya tren baju kotak kotak sudah menjadi alat promosi politik sejak masa pilkada di DKI Jakarta 2012, di mana dikenalkan dari pasangan Joko Widodo- Basuki Tjahtja Purnama. Baju kotak kotak sendiri sudah menjadi sebuah branding dan setidaknya sudah mempunyai merek. Analisanya, merek yang baik mempunyai daya tarik pasar yang kuat, lebih dipercaya, dan membuat pelanggan rela membayar lebih serta menghasilkan value creation yang tinggi dan cenderung mudah dimanfaatkan bila melakukan kesalahan. Untuk itu, merek sering disebut sebagai sebuah ekspresi kreatif untuk mengangkat sebuah keunggulan “A brand is a creative expression of value proposition ” (Kasali, 2013). Lebih jauh Kasali (2013) membagi branding ke dalam tiga kategori yaitu personal branding, corporate branding, dan product branding. Dengan demikian, branding bukan hanya untuk perusahaan atau produk saja, tetapi juga digunakan untuk pribadi seseorang (diri sendiri) yang disebut dengan personal branding (merek pribadi). Jika merek itu adalah nama, maka nama seseorang itu adalah personal branding (merek pribadi). Itulah sebabnya banyak pihak, misalnya, selebritis, politikus dan para pemimpin, baik pemimpin bisnis maupun pemimpin publik merancang dan menciptakan namanya dengan baik untuk membangun personal branding. Melihat konteks tersebut, dengan membangun personal branding, pasangan Anung-Fajri ingin menunjukkan bahwa desain model pakaian yang dikenakan menyiratkan nuansa muda. Hal ini memberikan arahan kesan yang akan disampaikan pada masyarakat Solo bahwa dengan nuansa muda dan bersemangat tentunya akan lebih optimal dalam memimpin kota Surakarta ke depan. 2. Analisa Hasil Persepsi akan Citra Pilkada Surakarta Sesuai dengan jadwal yang ditentukan KPU mengenai pilkada serentak di seluruh Indonesia, maka di tanggal 9 Desember 2015, pilkada juga diselenggarakan di Surakarta. Untuk itu, pilkada yang diselenggarakan akan membuktikan bagi kedua pasangan calon baik Rudy-Purnomo dan Anung-Fajri dalam memperebutkan suara terbanyak di masyarakat Surakarta. Dilihat dari analisa kubu PDIP selaku motor penggerak RudyPurnomo, di mana sejak masa kampanye, pasangan ini menargetkan perolehan suara minimal 70% mengingat selama ini Surakarta menjadi lumbung suara bagi PDIP baik dalam pemilu legislatif maupun pilpres. Hal ini juga menjadi didasarkan pada periode lalu saat pilkada 2010 untuk pasangan Jokowi-Rudy mampu meraih suara hingga 90,09 persen. Pada pilkada yang lalu, perolehan suara yang didapat oleh Rudy-Purnomo hanya memperoleh suara 60, 33 persen atau bisa dikatakan mempunyai selisih hanya sekitar 20 persen dari lawan kandidatnya Anung-Fajri. Melihat hal tersebut perolehan suara ini sangat dikatakan jauh dari ekspektasi apalagi Rudy juga merupakan incumbent walikota Surakarta. Perolehan suara di kandang banteng ini juga bisa dikatakan cukup rendah apabila dibandingkan dengan kandang banteng lainnya baik di Sukoharjo maupun Boyolali, di mana pasangan yang diusung oleh PDIP jauh mengungguli telak lawan lawannya. Bisa dikatakan bahwa kandang banteng di Surakarta khususnya pada kantong kantong suara PDIP di seluruh penjuru kota Surakarta mengalami kemerosotan. Memang dari beberapa analisis yang ada terdapat persepsi masyarakat mengenai citra Pilkada Surakarta antara lain : 1. Isu berbau SARA ( agama, ras, kelompok, golongan) 2. Anggapan bahwa Rudy bukan Jokowi/ motif tingkat kurang kepercayaan 7 Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Vol. 2 Nomor 4 Desember Tahun 2015 3. Adanya program program pemerintah kota yang masih belum terlaksana 4. Bagi kelompok pesaing RudyPurnomo, perolehan suara yang melebihi 30% di kandang banteng sungguh merupakan prestasi yang luar biasa dalam meningkatkan tensi pengembangan demokrasi Dilihat dari pandangan pertama yakni, SARA, memang dari latar belakang sosok Rudy memang bukan muslim, dan hal ini yang terus dipersoalkan mengingat mayoritas kota Surakarta ialah Muslim. Hal ini merupakan tamparan keras bagi kehidupan sosial bermasyarakat di Surakarta, di mana telah terkenal dengan sisi pluralismnya. Walaupun demikian masyarakat Surakarta sudah semakin cerdas dalam menganalisis isu SARA, anggapan Rudy bukan Jokowi atau bahkan program program pemerintah kota yang belum selesai ini, di mana hasilnya perolehan suara yang didapatkan oleh RudyPurnomo masih bisa dipercaya oleh masyarakat Surakarta dalam memimpin kota. Walaupun dalam segi iklan di masa kampanye baik dari masing masing kandidat calon walikota sudah cukup bagus namun masih saja terdapat penggunaan bahasa hiperbolik yang menggugah dengan janji yang tinggi dengan harapan yang pasti serta dominasi foto merupakan gambaran narsisistik. Narsistik yang dalam istilah psikologis adalah salah satu bentuk gangguan kepribadian yang memandang diri sendiri mereka secara berlebihan. Perilaku nartisitik bisa terlihat dari “penampakan gambar dan kata” yang seakan menggambarkan keadaan diri mereka sebagai orang yang berkepribadian tangguh, kuat dan mandiri. Akibat sifat narsis ini, berbagai tindakan, keputusan, dan strategi politik dapat membentuk “pendangkalan politik” dimana tokoh atau kader partai politik menggantungkan pilihan khalayak pada citra permukaan yang mereka tampilkan. Hal-hal yang bersifat subtansial (ide, gagasan, perjuangan, pengorbanan, dan sebagainya) digantikan oleh sesuatu yang bersifat sensasional (iklan politik, gambar, foto, baliho, dan sejenisnya). Manifestasi narsisme politik juga bisa diteropong lewat kampanye pemimpin-pemimpin partai yang menyuarakan ide, gagasan, dan pemikiran yang seolah-olah berpihak kepada rakyat.Mereka tampak memperjuangkan secara tulus aspirasi masyarakat. Padahal, apabila diamati secara seksama, kampanye mereka memiliki maksud dan tujuan yang tidak lain adalah menaikkan citra partai dan meraih dukungan rakyat di Pemilihan Umum. Di sinilah sejatinya ketulusan dan keikhlasan calon pemimpin-pemimpin rakyat dalam memperjuangkan kepentingan rakyat tersebut betul-betul diuji 5. Kesimpulan Pemilihan umum kepala daerah di seluruh wilayah di Indonesia juga diikuti di Surakarta. Untuk pemilihan umum kepala daerah di Surakarta diikuti oleh dua pasangan calon walikota yakni FX Hadi RudyatmoAchmad Purnomo dan Anung Indro SusantoMuhammad Fajri. Dalam memperebutkan suara pada masyarakat Surakarta, kedua calon walikota berusaha menampilkan diri melalui iklan untuk mencitrakan program program yang akan dikenalkan kepada masyarakat. Untuk menelaah model semiotik yang disampaikan oleh masing masing kandidat calon walikota baik Rudy-Purnomo maupun Anung-Fajri telah terlihat bagaimana dengan melalui desain pakaian, debat maupun bahasa spanduk iklan berusaha sedemikian mungkin untuk menarik minat calon pemilih masyarakat Surakarta yang akhirnya membentuk hasil citra Pilkada Surakarta. Walaupun demikian, terlepas dari beberapa bahasa dalam iklan yang sudah dikembangkan sedemikian rupa oleh masing masing kandidat nampaknya tidak banyak mengubah image dominasi foto penggunaan bahasa hiperbolik yang menggugah dengan janji yang tinggi disinyalir merupakan gambaran narsisistik politik. DAFTAR PUSTAKA Chiaravalle, Bill & Schenck, Barbara Findlay. (2007). Branding for Dummies. Canada: Wiley Publishing, Inc. Danesi, Marcel. (2004). Messages, Signs and Meanings: A Basic Textbook in Semiotics and Communication Theory. (3rd edition). Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc. Littlejohn, Stephen W. & Foss, Kate A. (2005). Theories of Human Communication. (8th ed.) Canada: Thomson Wadsworth. 8 Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Vol. 2 Nomor 4 Desember Tahun 2015 Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara. Pawito. (2012). Pemilihan Umum Legislatif 2009 dan Media Massa Jalan Menuju Peningkatan Kualitas Demokrasi. Surakarta: UNS Press. Shimp, Terence A. (2003). Periklanan Promosi Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu (Edisi Kelima). Jakarta: Penerbit Erlangga. Sobur, Alex. (2003). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Pikiran Rakyat (2015) Perolehan Suara Meleset : Petahana Solo Menang 9