KONSEP HARGA POKOK BERKELANJUTAN 1 SUSTAINABILITY COSTING CONCEPT Alimuddin [email protected] Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk untuk merumuskan konsep harga pokok produksi berkelanjutan. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode content analysis. Penelitian ini dilakukan dengan menggali Al-Quran dan As-Sunnah dan aplikasinya pada beberapa perusahaan di beberapa kabupaten dan kota yang di Indonesia yang dikelola dengan menggunakan label Islam. Dari hasil penelitian diperoleh makna keseimbangan dalam berproduksi, yaitu keseimbangan pada diri sendiri, lingkungan, dan sosial kemasyarakatan. Konsep harga pokok berkelanjutan adalah meliputi seluruh biaya produksi konvensional ditambah biaya untuk melestarikan/menjaga lingkungan dan biaya sosial kemasyarakatan. Dengan penerapan konsep harga pokok berkelanjutan akan tercipta keseimbangan hidup, hidup akan nyaman dan aman, keberlanjutan usaha, dan keberlanjutan kehidupan. Kata kunci: lingkungan, sosial, keseimbangan, harga pokok keberlanjutan Penyusunan harga pokok produk yang selama ini di kenal dalam akuntansi biaya konvensional masih sebatas pada biaya yang terserap untuk menghasilkan produk. Harga pokok produk dimaknai sebagai seluruh beban yang terjadi mulai dari mendapatkan bahan, mengolah hingga selesainya suatu produk di produksi (Garrison, et al., 2015:41) Konsep penentuan harga pokok seperti tersebut di atas sifatnya egois (Alimuddin, et al. 2014) karena hanya mempertimbangkan beban atau biaya yang terserap saja kedalam produk. Sementara akibat negatif yang ditimbulkan dari proses produksi seperti limbah yang dihasilkan yang mengganggu keberlangsungan kehidupan umat manusia dan mahluk lainnya belum mendapat perhatian dalam menyusun konsep harga pokok produk tersebut. Bahkan, dalam pandangan kapitalisme, biaya untuk memperbaiki lingkungan dan sosial yang 1 Dipresentasikan pada Conference Islamic Perspective on Economics and Business Development (I-EBD) 2016, Universitasd Internasional Semen Indonesia (UISI), Gresik, 20-21 Juli 2016. 2 rusak akibat menghasilkan produk bukan menjadi tanggungjawab produsen tetapi menjadi tanggungjawab pemerintah sebagai konsekuensi perusahaan sudah membayar pajak. Di dalam Islam, setiap umat manusia dituntut untuk berlaku adil, baik berlaku adil pada diri sendiri maupun pada lingkungan dan orang lain. Keadilan dalam memenuhi kebutuhan diri sendiri merupakan dasar untuk berlaku adil dan ihsan pada orang atau mahluk lainnya. Itulah sebabnya, setiap orang atau perusahaan dilarang untuk merusak lingkungan dan sosial setelah Allah swt memperbaikinya 2. Ini tidak berarti Islam melarang umatnya untuk berproduksi. Pada dasarnya aktivitas produksi sangat dianjurkan dalam agama Islam karena melalui aktivitas produksi akan bisa tercipta kesejahteraan dan menjalankan perintah untuk memakmurkan dunia ini3. Namun demikian, aktivitas produksi diharapkan tidak merusak lingkungan dan mengganggu kehidupan masyarakat masyarakat dimana perusahaan beroperasi. Akan tetapi jika proses produksi tersebut belum bisa menekan kerusakan lingkungan dan sosial maka produsen diharuskan memperbaiki atau melestarikan lingkungan dimana perusahaan beroperasi. Konsekuensinya akan terjadi pengeluaran biaya lingkungan dan sosial dan bagaimana memperlakukannya? Berkaitan dengan hal tersebut maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep harga pokok produksi yang bisa menjamin kelangsungan hidup umat manusia dan mahluk lainnya?. Dengan demikian tujuan penelitian ini adalah menyusun konsep penetapan harga pokok produksi yang berkelanjutan. Metode dan Objek Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah content analysis. Sedangkan objek penelitian adalah mengkaji al-Qur’an dan as-Sunnah untuk menemukan makna nilai keadilan dalam Islam, khususnya yang bisa dikaitkan dengan harga pokok produk yang bisa menciptakan kehidupan yang berkelanjutan. Untuk mengetahui implementasinya di lapangan maka dilakukan 2 3 QS. An-Nahl: 90 QS. Hud [11]: 61. 3 penelitian pada perusahaan yang dimilki atau dikelola pengusaha Muslim di beberapa kota di Indonesia. Hasil dan Pembahasan Hasil Dalam pandangan Islam, keadilan Ilahi diabadikan dalam Wahyu (alQuran) dan Hikmah Ilahi (Sunnah) yang dikomunikasikan Nabi Muhammad Saw kepada umatnya. Prinsip-prinsip dan asal usul keadilan yang berasal dari Wahyu dan Hikmah Ilahi itu dianggap mutlak/sempurna dan tidak dapat diganggu gugat, Nilai Keadilan dalam Berbisnis Keadilan sebagai salah satu nilai universal yang dijunjung tinggi dan menjadi dambaan dan harapan umat manusia kapan pun dan dimana pun mereka berada. Dalam pandangan Islam, adil merupakan norma paling utama dalam seluruh aspek perekonomian (Qardhawi, 2000: 182-3) yang berarti setiap transaksi yang dilakukan secara adil terhadap semua pihak. Bahkan, adil adalah salah satu asma Allah. Allah swt menciptakan alam semesta (makrokosmos) ini dalam tatanan keadilan (QS. Ar-Rahman [55]: 7); manusia (mikrokosmos) juga diciptakan secara adil (QS. al-Infithar [82]: 7); dan menugaskan manusia sebagai khalifah juga untuk menegakkan keadilan di muka bumi (QS. Shaad [38]: 26). Sehingga keadilan bukan hanya milik manusia tetapi juga milik mahluk Allah lainnya yang ada di muka bumi ini. Dalam kaitannya dengan bisnis, keadilan bukan hanya kebutuhan dari salah satu pihak dalam jual-beli tetapi yang lebih hakiki adalah dambaan setiap orang, baik penjual maupun pembeli. Hal tersebut dapat di lihat dari firman Allah, “. . . Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa …” (QS. alMaaidah [5]: 8). Sedangkan ketaqwaan menjadi pembeda kemuliaan di sisi Allah swt (QS. al-Hujuraat [49]: 13). Kebalikan dari keadilan adalah zalim, yaitu sifat yang dilarang Allah pada diri-Nya dan pada setiap diri umat manusia, sebagaimana firman-Nya: “wahai hamba-hamba-Ku, Aku melarang kezaliman pada diri-Ku dan Aku haramkan juga antara kamu, maka janganlah kamu saling menzalimi”. Dengan demikian, Islam menuntut hak dan kewajiban seseorang seimbang dan tidak lebih besar atau 4 lebih kecil dibandingkan hak dan kewajiban orang lain. Peraturan bisnis samasama bisa diterapkan ke semua orang. Tidak ada orang yang bisa mengambil hak milik orang lain dengan cara yang tidak benar, termasuk mengambil hak generasi yang akan dating. Bahkan Allah sendiri yang Maha Kuasa tidak menzalimi mahluknya, termasuk manusia sedikitpun tetapi manusialah yang berbuat zalim pada diri mereka sendirinya (QS. Yunus [10]: 44). Oleh karena itu di dalam jual beli, Islam melarang bai’ul gharar 4 karena ketidaktahuan terhadap kondisi suatu produk yang bisa merugikan salah satu pihak. Setiap penjual atau pembeli harus mengetahui informasi berkaitan dengan produk yang diperdagangkan sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Rahman (1995: 142) mengemukakan bahwa prinsip utama berjualan adalah penegakan nilai keadilan. Ini mengandung dua maksud, pertama, kekayaan harus disebar kepada masyarakat dan tidak terpusat pada beberapa orang saja. Kedua, faktor-faktor produksi yang bersumber dari kekayaan nasional harus dibagi secara adil. Penyebaran kekayaan kepada masyarakat tidak dimaksudkan untuk membagi rata setiap hasil yang diperoleh tetapi memberi kesempatan yang sama kepada setiap anggota masyarakat, terlepas dari struktur sosial, kepercayaan, suku, dan warna kulit. Dengan cara inilah mereka dapat bebas mencari kekayaan sesuai kemampuannya tanpa ada batasan hukum dan sosial. Jadi tujuan utamanya adalah memberikan kesempatan yang sama pada semua orang dalam bidang ekonomi, tanpa memperhatikan status sosial mereka. Dengan demikian, Islam melarang sistem monopoli karena disamping alasan tersebut di atas, juga karena dia hanya mementingkan egoisme pribadi tanpa menghiraukan bahaya yang menimpa masyarakat. Di samping itu, Islam tidak mengizinkan tumbuhnya kekayaan yang melampaui batas tertentu dan berusaha menjaga agar tetap dalam batas-batas yang wajar dengan cara membelanjakannya demi kesejahteraan masyarakat. Sistem produksi harus mampu meningkatkan martabat manusia dan persaudaraan. Untuk mewujudkannya, Chapra (1999: 47) mengemukakan (1) kontribusi manajemen dan tenaga kerja pada keluaran mendapat imbalan yang pantas; (2) mengurangi konflik dan meningkatkan kerja sama di antara mereka; 4 Penjualan produk yang tidak jelas rupa dan sifatnya. 5 (3) meminimalkan kerja yang monoton dan membosankan; (4) memaksimalkan peluang kerja dan usaha mandiri; dan (5) mengurangi konsentrasi kekayaan dan kekuasaan. Walaupun setiap orang mendapatkan kesempatan yang adil untuk berusaha, tetapi tidak berarti mereka seenaknya memproduksi barang tanpa batas. Melainkan mereka harus berusaha dalam bingkai norma, etika, dan moral Islam. Norma Islam dalam perdagangan adalah melarang pengedaran barangbarang haram dan tidak baik 5 karena akan merusak kesehatan diri manusia (fisik, akal, dan jiwa) dan lingkungannya sehingga semakin jauh dari Sang Penciptanya. Sedangkan etika Islam dalam berusaha adalah tidak ada usaha yang saling mematikan di antara setiap perusahaan atau pelaku usaha. Dan tidak mengambil keuntungan yang berlebih dari setiap harga jual yang ditetapkan merupakan aspek moral dalam Islam. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Gymnastiar dalam Alimuddin (2011) memiliki pendapat tersendiri dalam berbisnis, yaitu adil, transparan, dan saling menguntungkan. Kiat adil menyebabkan tidak ada pihak yang teraniaya dan tak ada yang sakit hati. Sementara transparan tidak ada yang berburuk sangka karena transparan merupakan bukti kejujuran yang sangat penting dalam bisnis. Dan kiat saling menguntungkan akan menciptakan semua pihak akan bahagia. Keseimbangan dalam Berproduksi Rahman (1995: 211), mengemukakan bahwa Al-Quran mempergunakan konsep produksi dalam arti yang sangat luas. Al-Quran sangat menekankan pemahaman produk yang diproduksi. Produk tersebut harus berhubungan dengan kebutuhan manusia dan bertujuan untuk memuaskan kebutuhan manusia dan bukan untuk menghasilkan produk mewah. Jika produk yang dihasilkan tidak dapat memenuhi kebutuhan manusia maka tenaga kerja yang digunakan dianggap tidak produktif. Ajaran Islam memberikan lapangan kerja yang seluas-luasnya kepada manusia untuk mendapatkan kekayaan dengan tidak lupa mengingat kepada pencipta-Nya. Dengan kata lain, Islam berusaha untuk mengurangi sifat 5 Termasuk dalam kelompok ini adalah khamar dalam arti luas, mencakup minumam keras, narkoba dan sejenisnya; produk yang mengancam kesehatan manusia; media informasi yang menyampaikan berita ghibah, mengadu domba, membuka aib orang, dan lain sebagainya; dan produk yang dihasilkan oleh musuh Allah. 6 individualistik dan sifat tamak dengan memberinya kesempatan yang tidak terbatas untuk melakukan aktivitas-aktivitas produksi secara adil dan merata. Namun demikian, produk yang dihasilkan tidak dimaksudkan untuk memenuhi keinginan manusia yang tak terbatas sehingga dianggap turut membantu terciptanya pola hidup konsumtif. Seorang pengusaha muslim, tidak saja dituntut untuk menghasilkan produk untuk kebutuhan umat manusia tetapi juga dilakukan secara etis dengan tidak merusak lingkungannya. Berusaha dengan mengabaikan dan bahkan merusak lingkungan akan berdampak pada eksistensi berusaha dan rusaknya tatanan sosial di sekitar tempat usaha. Berusaha pun menjadi tidak nyaman karena ekosistem menjadi rusak dan masyarakat merasa terganggu, yang ujungujungnya akan menciptakan ketidakefisienan dalam berusaha dan menimbulkan kemudharatan. Untuk menjamin setiap usaha memelihara lingkungannya dalam bingkai yang Islami maka setiap produsen harus menyadari pentingnya menjaga lingkungan, bukan hanya disekitarnya tetapi juga di tempat lain. Keadilan harus dikembangkan di dalam berproduksi melalui pelestarian lingkungan yang dinikmati oleh semua orang. Berkaitan dengan hal ini, sampah yang dihasilkan oleh Katering Ummu Mujahidin relatif banyak dan secara ekonomi jangka pendek bisa saja mereka buang di belakang kedainya yang mengalir sungai dan tidak perlu mengeluarkan uang retribusi, tetapi Bu Arnah mengambil kebijakan untuk tetap mengumpulkannya dan diambil oleh tukang sampah. Dengan cara ini biaya operasional akan bertambah. Tetapi bagi Bu Arnah, itu tidak menjadi masalah asalkan tidak membuat pencemaran dan mengganggu orang lain. Dari penjelasan tersebut di atas, secara kontekstual produk yang dihasilkan harus halal dan baik sehingga bermanfaat bagi umat manusia dan tidak merusak lingkungan serta memperhatikan aspek sosial kemasyarakatan. Produk yang halal adalah produk tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, yaitu daging babi, khamar, daging bangkai, darah, dll 6. Sementara produk yang baik merupakan produk yang secara konteks tidak berbahaya terhadap kehidupan umat manusia. Di dalam memproduksi barang atau jasa apapun membutuhkan usaha manajemen terpadu antara sumber daya manusis, sumber daya keuangan, dan 6 QS. Al-Baqarah [2]:173 7 sumber daya teknologi. Pemanfaatan sumber daya yang langka tersebut harus bisa mencerminkan sejumlah karekteristik agar bisa dikatakan hahal, efisien dan adil. Menurut Chapra (2000: 41-2) beberapa karakteristik yang diperlukan dalam proses produksi tersebut, diantaranya: produk yang dihasilkan untuk memenuhi hajat hidup manusia. sistem ini harus mampu memotivasi baik kepada manajemen maupun karyawan agar mereka mengerahkan kemampuan mental dan fisik terbaiknya sehingga dapat menghasilkan produk yang halal dan baik, memaksimalkan produktivitas dan meningkatkan efisiensi serta mencegah kemubaziran. Peningkatan efisiensi bukan hanya untuk menekan beban individu tetapi juga beban sosial baik pada generasi sekarang maupun pada generasi yang akan datang. Kedua, sistem produksi harus menjunjung tinggi martabat manusia dan persaudaraan melalui sistem imbalan (penggajian/pengupahan) yang adil kepada manajer dan pekerja; meningkatkan kerja sama diantara mereka dan menghindari konflik dalam berhubungan; mengurangi tingkat kejemuan kerja; serta mengurangi konsentrasi kekayaan dan pendapatan. Walaupun Islam memberi kebebasan kepada seseorang untuk memperoleh kehidupan dan memiliki harta kekayaan tetapi ia harus berinisiatif untuk mengambil langkah agar sumber produksi yang langka dan cukup untuk memenuhi kebutuhan umat manusia tetapi tidak digunakan dengan sewenangwenang. Islam sangat menentang pemborosan dan kikir tetapi menjunjung tinggi prinsip efisiensi dalam setiap aktivitas manusia termasuk dalam berproduksi (QS. al-A’raaf [7]: 31 dan al-Israa’ [17]: 26-7). Pembahasan Keseimbangan Hidup Ajaran Islam memegang prinsip keseimbangan di dalam segala sesuatu dan menjadikan konsep keseimbangan sebagai karakteristik utama bagi umatnya (Qardhawi, 2006: 45). Islam menerapkan keseimbangan positif di dalam segala aspek, baik dalam aspek ideologi maupun praktis, materi maupun moril. Ia menyeimbangkan antara wahyu Tuhan dengan akal manusia, antara akal dengan hati, antara dunia dengan akhirat, antara fisik dan roh, serta antara hak dan kewajiban. Pada sisi lain, Islam menegakkan keseimbangan antara individu dengan masyarakat tetapi tidak memberikan hak dan kebebasan kepada individu 8 maupun masyarakat untuk berlaku sombong dan tidak memperhatikan kemaslahatan sehingga dapat menyebabkan kerusakan dan kehancuran. Hak dan kewenangan yang diberikan bukan untuk dimanfaatkan dengan sewenangwenang tanpa batas tetapi sesuai dengan ketentuan-Nya. Dalam pandangan Qardhawi (2006: 47), sesungguhnya manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka sehingga tidak seorang pun yang boleh menghina dan menempatkan orang lain sebagai Tuhan, kecuali Allah. Kebebasan yang sebenarnya adalah buah dari tauhiid yang sebenar-benarnya tauhiid, dan buah dari pemaknaan kalimat la ilaha illa Allah. Oleh karena itu, setiap manusia mempunyai hak untuk hidup. Apabila ada manusia yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya maka kewajiban manusia lainnya yang mampu untuk membantunya sebagai tanda kekhalifaanya dengan mengemban amanah al-Haliim (penyantun) baik melalui bantuan langsung berupa zakat, infaq, sedekah, wakaf, maupun memberi kesempatan untuk berusaha sesuai kemampuannya karena kejahatan yang paling bahaya di muka bumi adalah pengangguran (HR Baihaqi). Melalui cara ini akan tercipta keseimbangan dan pemerataan yang berkesinambungan yang bermuara pada suatu negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun qhafur – negeri yang baik, aman, dan sentosa buat semua penduduknya serta Tuhan melimpahkan anugerah-Nya (QS. as-Saba’ [34]: 15). Dan bukan menjadi masyarakat yang egois, yang hanya memetingkan dirinya, tidak mau membantu sesamanya, dan tidak mau bersyukur seperti kaum Saba yang tidak mau dikunjungi negerinya oleh masyarakat dari negara lain karena takut akan berkurang kesejahteraannya dan tidak mau kenikmatan yang selama ini dirasakan terbagi ke masyarakat lain (Shihab, 2007, Volume 11: 367). Dengan ucapan dan sikap seperti itu, mereka pada hakikatnya telah menganiaya diri mereka sendiri. Dan sebagai balasan atas keegoisan dan kedurhakaan mereka, akhirnya Allah menurunkan siksaannya dengan menghancurkan mereka sehancur-hancurnya sehingga mereka terpencar kemana-mana (QS. as-Saba’ [34]: 18 – 19). Akibatnya, kenikmatan yang dirasakan selama ini, bukan lagi dipertahankan tetapi malah menghilang dan bahkan kerusakan yang menghinggapinya. Demikian juga halnya, seorang pengusaha, bukan hanya memperhatikan perkembangan usahanya, tetapi juga memperhatikan perkembangan masyarakat 9 dan lingkungan alam di sekitarnya. Mencari keuntungan materi adalah perbuatan yang baik sepanjang dalam bingkai etika dan moral agama, tetapi mencari keuntungan dengan cara menzalimi sesama adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah swt. Keuntungan yang baik adalah keuntungan yang memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan penjual dengan kemampuan pembeli secara umum. Dengan cara ini, perusahaan dan masyarakat akan bersatu padu menikmati kehidupan ini. Al-Qaradawi (2000) menjelaskan bahwa tidak diperbolehkan jika generasi yang satu memonopoli kemakmuran yang didapatkan dari alam dan ciptaan Tuhan dengan mengorbankan generasi masa depan. Prinsip Islam ini memiliki hubungan yang erat dengan konsep pengembangan berkesinambungan (sustainable development). Keindahan Tuhan harus dicerminkan lewat tindakan sosial, termasuk dalam bentuk rasa hormat terhadap lingkungan (Al-Qaradawi, 2000; Bagader dkk., 2005). Keseimbangan dalam Pemenuhan Kebutuhan Islam melarang umatnya berbuat tidak adil dalam mencari harta terhadap orang lain tetapi mendukung penggunaan semua cara yang adil dan jujur dalam mendapatkan harta kekayaan (Rahman, 1995, jilid I: 75). Hak individu untuk memiliki harta dan memanfaatkannya untuk kemaslahatan diri dan lingkungannya. Bahkan Kamla et al. (2006) mengungkapkan, Islam melarang pengejaran terhadap laba sampai berlebihan dan perilaku mencari laba yang menimbulkan kerugian atau bahaya bagi orang lain. Mendapatkan laba yang besar tetapi membiarkan kondisi kerja yang tidak sehat, upah yang tidak adil, menjual produk yang membahayakan umat, menimbulkan penyakit, merusak lingkungan, dan merusak tata nilai lokal yang tidak bertentangan dengan norma agama merupakan perbuatan yang egois dan materialis. Fazlun Khalid, seorang ekolog Muslim mengemukakan: Sikap memuaskan hawa nafsu kita telah menyebabkan kita berkompetisi satu sama lain sebagai pengomsumsi, sebagai individu, dan sebagai negara, menyedot sumber daya bumi dengan kecepatan yang terusmenerus bertambah dan menghasilkan limbah dalam level yang tidak bisa didaur ulang oleh bumi. Dengan demikian, kita berkontribusi pada percepatan kerusakan pada habitat dan kehidupan orang-orang yang lemah. Kita merusak keseimbangan canggih alam. Kita membantai spesies-spesies lain hingga punah. Kita merampok hak generasi-generasi mendatang. Kita 10 telah sedemikian terperangkap dalam pemuasan diri, hingga kita tidak menyadarinya (Asmal dan Asmal, 2000). Dalam mencari penghidupan, pengusaha muslim senantiasa menjunjung tinggi keseimbangan antara kebutuhannya dengan kebutuhan karyawan dan masyarakat sekitarnya, antara kebutuhan organisasi dengan kebutuhan masyarakat disekitarnya, antara efisiensi dengan pemeliharaan lingkungan, dan antara sifat egoistik dan materialistik dengan altruistik. Dan bukan menjadikannya sebagai mutually exclusive, bahkan mereka hidup berdampingan meraih keberhasilan bersama. Dalam pandangan Islam, kepemilikan individual sangat dijunjung tinggi karena selain sesuai dengan naluri alamiah manusia, juga merupakan syarat mutlak bagi pemurnian diri atau perkembangan kepribadian manusia. Meskipun Islam membolehkan kepemilikan pribadi dalam batas-batas yang alami dan wajar tetapi tidak menghendaki adanya kesenjangan yang lebar antara yang kaya dengan yang miskin. Islam sangat melarang umatnya hidup bermewah- mewahan sementara sebagian yang lain hidup dengan kekurangan dan kelaparan. Itulah sebabnya sehingga dibutuhkan zakat, infak, dan sedekah (ZIS) guna menjamin pemerataan ekonomi, khususnya kepada mereka yang kurang mampu dan mensucikan harta muzakki (yang membayar ZIS). Dengan demikian, ZIS akan menyeimbangkan sifat egoistik dengan sifat altruistik, mengembangkan nilai emansipatoris untuk membebaskan manusia dari ketertindasan ekonomi, sosial, intelektual, dan pembebasan alam dari eksploitasi manusia (Triyuwono, 2006: 349). Perbedaan kekayaan tidak boleh melampaui batas-batas yang alamiah dan masuk akal sehingga memunculkan hidup bermewah-mewahan. Perbedaan ini akan menimbulkan kebencian dan permusuhan yang membawa pada suatu konflik kekerasan di antara berbagai lapisan masyarakat yang pada akhirnya akan menghancurkan fondasi kehidupan7 Tetapi tidak berarti Islam memaksakan umatnya untuk membagikan harta orang kaya kepada orang miskin agar di peroleh pemerataan ekonomi. Keadilan ekonomi dalam pandangan Islam adalah adanya keadilan bagi semua orang untuk mencari kekayaan dan tidak dibatasi oleh kasta-kasta, warna kulit, agama, suku bangsa, dan lain sebagainya (Afzalurrahman, 1982: 93). 7 QS. al-Israa’ [17]: 16 dan at-Takatsur [102]: 1-8 11 Bagaimana pun Islam tidak mendukung ketidakmerataan tetapi juga tidak mengajarkan pemerataan kekayaan. Bagi Islam, ketidakmerataan kekayaan bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan hubungan manusia dengan Penciptanya dan hubungan manusia dengan manusia lainnya sehingga terjadi keseimbangan. Orang yang kekurangan akan belajar untuk bersabar, toleran, dan puas hati. Sementara orang yang berada dapat mengembangkan potensi baiknya dengan berkorban untuk kebajikan sehingga akan tercipta hubungan yang saling membutuhkan. Dengan demikian semua akan mendapat berkah dan kebahagiaan dari ketidakmerataan ini. Penerapan konsep keseimbangan ekonomi untuk mencari penghidupan yang layak telah diterapkan pada beberapa perusahaan tersebut di atas. Setiap pencari kerja (pengusaha) diberi peluang untuk memenuhi kebutuhannya tanpa harus diberi kekayaan atau belas kasihan, mempekerjakan orang yang kekurangan fisik, mental, dan pikiran tanpa sedikit pun perusahaan ini takut akan rendahnya kinerja mereka bahkan dianggap sebagai pemacu dalam bekerja. Demikian juga halnya dengan memberi tempat berusaha bagi pengusaha kecil dan mikro di sekitar kopontren Daarut Tauhiid tanpa sedikit pun takut akan turunnya omzet penjualannya. Pembina kopontren ini sangat yakin, bahwa rezeki sudah ditentukan oleh Allah swt, “manusia tinggal melaluinya sesuai dengan tuntunannya agar bisa menjalankan tugasnya sebagai khalifah. Dengan rezeki yang diperolehnya, moga-moga mereka bisa meningkatkan pengabdiannya dengan lebih meningkatkan pengabdiannya kepada Allah swt”. Berdasarkan penjelasan dan analisis tersebut di atas, maka konsep keseimbangan berusaha adalah pemenuhan kebutuhan dunia, baik untuk diri sendiri pengusaha, maupun untuk mitra bisnis, kebutuhan hidup umat manusia di dalam beraktivitas tetapi mereka juga harus bisa memenuhi kebutuhan akhiratnya. Kebutuhan yang terakhir ini dimaksudkan untuk investasi akhirat yang akan bisa dinikmati di kehidupan yang kekal. Dengan demikian tercipta keseimbangan hidup antara kehidupan dunia (profane) dengan kehidupan akhirat, serta menjalin hubungan yang berkelanjutan dengan generasi yang akan datang dan menjalin hubungan yang lebih harmonis dengan masyarakat sekitarnya. 12 Keadilan kepada Lingkungan Qardhawi (2000b) menyatakan bahwa krisis lingkungan yang kita hadapi sekarang adalah disebabkan karena manusia tidak lagi menyadari kepentingan bersama dari segala yang ada di alam semesta dan kesalingterkaitan antara semuanya itu. Selama manusia tidak menyadari bahwa semua mahluk memiliki hak yang sama untuk hidup di alam semesta dalam keseimbangan, maka tindakan-tindakan manusia akan menimbulkan kerusakan. Konsumerisme, obsesi akan laba (tanpa moralitas) telah membuat bangsa yang satu menghancurkan bangsa yang lain dan diri sendiri sehingga memunculkan sikap “tidak tahu berterima kasih terhadap ciptaan Allah” dan terhadap karunia Allah yang menyeimbangkan alam semesta (Al-Qaradawi, 2000b; Christie, 2004; dan Kamla et al., 2006). Bahkan Manzoor (2003), memandang bahwa krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini adalah manifestasi yang paling menyolok dari peradaban Barat, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah memberikan sumbangan yang besar untuk bisa merusak diri kita sendiri. Sementara Qardhawi (2000b) memandang perlindungan, penjagaan dan perawatan terhadap lingkungan bukanlah sebuah konsep baru dan juga bukan konsep Barat, melainkan hal semacam itu berakar secara mendalam di semua bidang dari ajaran dan budaya Islam 8 . Selanjutnya, Qaradawi (2000b) menjelaskan bahwa tidak diperbolehkan jika generasi yang satu memonopoli kemakmuran yang didapatkan dari alam dan ciptaan Tuhan dengan mengorbankan generasi masa depan. Prinsip Islam ini memiliki hubungan yang erat dengan konsep pembangunan berkesinambungan (sustainable development) (Asmal dan Asmal, 2007). Dalam kaitan ini, Pak H. Thohir yang telah berusaha mengumpulkan buangan plastik dan besi dari perusahaan dan rumah tangga dengan motivasi kuat untuk membersihkan sampah dan memberi kenyamanan hidup kepada masyarakat. Menurutnya: Saya mulai terpanggil berusaha mengumpul plastik dan besi-besi karena melihat banyaknya kotoran yang berserakan yang bisa membahayakan orang. Mulanya kegiatanku ini hanya membantu masyarakat terbebas dari sampah plastik dan besi tetapi ternyata membawa berkah, sampah-sampah yang tadinya saya kumpul ternyata ada pembelinya dan alhamdulillah sampai sekarang saya masih tetap berusaha mengumpulkan sampah plastik dan besi meskipun saya menjadi pengumpul dari para pencari sampah tersebut. 8 QS. al-Maa’idah [5]: 32) 13 Memperhatikan masyarakat di sekitar perusahaan tidaklah cukup tanpa memberi perhatian yang sama terhadap lingkungan di mana perusahaan beroperasi. Lingkungan perlu mendapat perhatian yang serius karena dengan beroperasinya perusahaan tersebut akan menyebabkan lingkungan terganggu, pengrusakan, menimbulkan kecemburuan sosial akibat tidak tertampungnya semua tenaga kerja yang ada disekitar perusahaan, dan kemaslahatan umat secara keseluruhan. Oleh karena itu, perusahaan perlu berlaku adil dengan mengeluarkan sejumlah dana untuk memperbaiki lingkungan alam tersebut agar bisa berfungsi seperti sebelum adanya perusahaan beroperasi. Jika tidak mampu menyamainya, minimal mendekatinya. Pada umumnya, biaya untuk memperbaiki lingkungan akibat pengoperasian perusahaan antara lain meliputi: - Prevention and environmental management, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk mencegah dan mengelola limbah untuk menghindari kerusakan lingkungan. - Waste and emission treatment, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk memelihara, memperbaiki, mengganti kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh limbah perusahaan. - Material purchase value of non-product merupakan biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan yang bukan hasil produksi dalam rangka pencegahan dan pengurangan dampak limbah dari bahan baku produksi. - Processing cost of non-product output ialah biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk pengolahan bahan yang bukan hasil produk. - Environmental revenue merupakan penghematan biaya atau penambahan penghasilan perusahaan sebagai akibat dari pengelolaan lingkungan. - Potensially hidden costs adalah biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk memproduksi suatu produk sebelum proses produksi (misalnya: biaya desain produk), biaya selama proses produksi (seperti biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, biaya overhead) dan backend environment cost (misalnya: lisensi mutu produk) - Contingent cost adalah biaya yang mungkin timbul dan mungkin terjadi dalam suatu perusahaan dan dibebankan pada contingent liabilities cost (Ex: biaya cadangan untuk kompensasi kecelakaan yang terjadi) 14 - Image and relationship adalah biaya yang dipengaruhi oleh persepsi manajemen, pelanggan, tenaga kerja, public dan lembaga pemerintah tentang kepatuhan terhadap undang-undang lingkungan dan bersifat subjektif, contoh: pelaporan biaya lingkungan secara sukarela oleh perusahaan. - Private cost merupakan biaya yang terjadi dalam suatu perusahaan yang berpengaruh langsung terhadap bottom line perusahaan - Societal cost menggambarkan dampak biaya lingkungan dan sosial dalam suau entitas dan merupakan biaya eksternal. Contoh adalah biaya yang dikeluarkan sebagai dampak pencemaran lingkungan. Keadilan kepada Umat Manusia Dalam kaitannya dengan keseimbangan kebutuhan dunia dan akhirat, maka seorang Muslim harus berusaha untuk memenuhi kedua jenis kebutuhan tersebut sebagai tanda pengabdiannya. Untuk memenuhi kebutuhan akhirat berupa pelaksanaan rukun Islam (zakat dan haji), setidaknya dia harus terlebih dahulu memenuhi kebutuhan pokoknya di dunia. Setelah itu, barulah berusaha untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan untuk bekal tambahan ke akhirat (infak, sedekah, dan qurban). Pada sisi lain, Islam menegakkan keseimbangan antara individu dengan masyarakat tetapi tidak memberikan hak dan kebebasan kepada individu maupun masyarakat untuk berlaku sombong dan tidak memperhatikan kemaslahatan yang dapat menyebabkan kerusakan dan kehancuran. Dalam pandangan Qardhawi (2006:47), sesungguhnya manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka sehingga tidak seorang pun yang boleh menghina dan menempatkan orang lain sebagai Tuhan, kecuali Allah. Oleh karena itu, setiap manusia mempunyai hak untuk hidup. Apabila ada manusia yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya maka kewajiban manusia lainnya yang mampu untuk membantunya sebagai tanda kekhalifaanya, baik melalui bantuan langsung berupa zakat, infaq, sedekah, maupun memberi kesempatan untuk berusaha sesuai kemampuannya. Melalui cara ini akan tercipta keseimbangan dan pemerataan yang berkesinambungan yang bermuara pada suatu negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun qhafur – negeri yang baik, aman, dan sentosa buat semua 15 penduduknya serta Tuhan melimpahkan anugerah-Nya 9 . Dan bukan menjadi masyarakat yang egois dan materialis, yang hanya mementingkan dirinya, tidak mau membantu sesamanya, dan tidak mau bersyukur seperti kaum Saba yang tidak mau berinteraksi dengan masyarakat dan negara lain karena takut akan berkurangnya kesejahteraan. Disamping itu, mereka tidak menginginkan kenikmatan yang selama ini dirasakan terbagi ke masyarakat lain (Shihab, 2006, Volume 11:367). Akibatnya, mereka mendapatkan balasan berupa kehancuran 10, dan hilangnya kenikmatan yang dirasakan selama ini. Demikian juga halnya, seorang pengusaha, bukan hanya memperhatikan perkembangan usahanya, tetapi juga perlu memperhatikan perkembangan masyarakat dan lingkungan alam di sekitarnya. Ibu Arnah Rahim, seorang pengusaha muslimah yang bergerak dalam bidang catering, sangat memperhatikan masyarakat sekitarnya sebagaimana dia kemukakan: Saya berusaha disini (Gowa) dengan harapan bisa membantu masyarakat disekitar saya untuk bekerja di usaha ini. Saya hanya meminta kepada mereka untuk bekerja sesuai kemampuannya tetapi harus jujur dan menjalankan ibadah. Kalau ada hasil yang kami peroleh, kami berusaha bagi bersama. Kami pun juga memperhatikan masyarakat yang tidak mampu disekitar kami untuk diberikan sedekah sesuai kemampuan kami. Harapan kami semoga usaha ini bisa bertahan dan berguna bagi masyarakat, khususnya masyakarakat di sekitar kami. Demikianlah seorang pengusaha Islam dalam mencari penghidupan yang tidak hanya mementingkan dirinya sendiri tetapi juga memperhatikan masyarakat di sekitarnya, khususnya mereka yang masih kekurangan. Dengan cara ini, perusahaan dan masyarakat akan bersatu padu menikmati kehidupan ini. Konsep Harga Pokok Berkelanjutan Kesinambungan kegiatan perusahaan akan sangat ditentukan oleh kemampuannya menjaga keseimbangan kebutuhan para stakeholders dan lingkungannya. Ketidakadilan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut akan menciptakan ketidakseimbangan dalam menjalankan aktivitas perusahaan yang bisa bermuara pada kegagalan perusahaan meraih cita-citanya atau visi dan misinya. Akibatnya, cepat atau lambat perusahaan tersebut tidak dapat melanjutkan aktivitas usahanya. 9 (QS. as-Saba’ [34]: 15) QS. as-Saba’ [34]: 18 – 19 10 16 Ketidakadilan bisa terjadi karena kuatnya perhatian hanya kepada pemilik perusahaan (principal) dan mengabaikan kepentingan stakeholders lainnya. Atau perhatian perusahaan hanya tertuju kepada kelompok tertentu, misalnya pemilik, karyawan, dan pemerintah tetapi mengabaikan kepentingan masyarakat disekitar tempat usaha dan lingkungan dimana perusahaan beroperasi. Keadilan pada diri sendiri dalam penentuan harga pokok produksi apabila semua biaya atau beban yang terserap atau yang terjadi untuk menghasilkan suatu produk diperhitungkan sebagai harga pokok produk. Beban tersebut meliputi beban atas bahan yang digunakan, beban tenaga kerja yang terlibat langsung atau tidak langsung di dalam mengolah bahan menjadi barang jadi, serta beban lainnya yang terjadi selama proses produksi. Beban bahan merupakan harga pokok semua bahan yang digunakan dalam proses produksi. Bahan tersebut meliputi bahan baku dan bahan pembantu. Pengadaan bahan tersebut harus menjunjung efisiensi tetapi tidak kikir di dalam pengadaan, penyimpanan, dan pemakaiannya. Pemborosan dan kikir adalah perbuatan yang bertentangan dengan prinsip kesinambungan. Sementara upah/gaji yang adil apabila memenuhi dua unsur utama, yaitu memenuhi kebutuhan karyawan dan profesionalisme karyawan. Kebutuhan karyawan merupakan kebutuhan hidup yang layak untuk hidup di dunia dan bekal di akhirat. Oleh karena itu, jenis kebutuhan karyawan meliputi kebutuhan untuk hidup dengan keluarga (diantaranya kebutuhan sandang, pangan, perumahan, transportasi, dan komunikasi), kebutuhan pendidikan untuk anakanak mereka, kebutuhan kesehatan karyawan dan keluarganya, kebutuhan beribadah (meliputi: kebutuhan untuk melaksanakan rukun Islam, yaitu haji, zakat, infaq, dan sadaqah) (Alimuddin, et al. 2014). Sedangkan profesionalisme karyawan merupakan salah satu komponen penentuan besarnya upah karyawan guna mendorong produktivitas dan efisiensi karyawan dalam melaksanakan aktivitasnya. Untuk beban produksi lainnya adalah beban yang terjadi selama proses produksi, selain kedua jenis biaya tersebut di atas. Beban tersebut meliputi beban depresiasi, beban pemeliharaan, beban listrik, dan lain sebagainya. Sementara keadilan pada lingkungan beranggapan bahwa akibat beroperasinya perusahaan akan terjadi pengrusakan lingkungan yang bisa menyebabkan terganggunya ekosistem dan terganggunya keberlangsungan 17 hidup umat manusia. Tidaklah pantas, sebuah perusahaan yang mengemban amanah dan memiliki tugas mulia untuk memakmurkan dunia (Estes, 1996) justru merusak lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, sudah selayaknya perusahaan mengembalikan kondisi lingkungan tersebut sebagaimana yang terjadi sebelum perusahaan beroperasi11. Semua biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki dan menjaga kesinambungan lingkungan dimana perusahaan beroperasi menjadi komponen harga pokok produk. Sejalan dengan hal tersebut, Usaha Srikandi yang dikelola Pak H. Thohir di Maros, Ibu Arnah yang mengelola usaha catering Mujahidin di Gowa serta industri pengolahan sari buah Pesantren Darul Istiqamah di Bulukumba yang senantiasa menyisihkan sebagian dananya untuk membiayai lingkungan dengan tujuan untuk tidak memberi beban kepada masyarakat setempat dan suasana lingkungan bisa seperti sebelum mereka berusaha. Di lain pihak, dengan beroperasinya perusahaan akan menimbulkan juga dampak negatif kepada msyarakat disekitarnya, khususnya kepada mereka yang tidak berhubungan dengan perusahaan. Oleh karena itu, keadilan kepada masyarakat disekitar perusahaan perlu juga dilakukan agar terjadi keharmonisan dengan penduduk disekitarnya. Beban dalam jumlah tertentu perlu dikeluarkan oleh perusahaan untuk menekan dampak sosial dari keberadaan perusahaan tersebut dan pada kahirnya akan tercipta kehidupan yang lebih harmonis. Biaya tersebut antara lain meliputi: biaya kesehatan, biaya pendidikan, biaya penerangan, biaya transportasi, dan lain sebagainya. Hal ini sejalan dengan perintah agama Islam bahwa apabila engkau memasak dan baunya tercium oleh tetanggamu maka perbanyaklah kuahnya, lalu berikan sebagian kepada tetanggamu agar dengan itu kamu memperoleh kebaikan (HR. Muslim). Dari hasil wawancara dan observasi pada beberapa perusahaan yang diteliti telah terlihat usaha untuk mengeluarkan sejumlah biaya untuk pembinaan masyarakat disekitarnya. Pak H. Thohir dan Ibu Arnah mempekerjakan masyarakat di sekitarnya dengan upah yang lebih tinggi dibandingkan usaha yang sama di sekitarnya dan bahkan menyedekahkan sebagian dari hasil usahanya. Sementara industri sari buah pondok pesantren Darul Istiqamah mempekerjakan sebagian santrinya dengan upah yang bersaing. Apabila ada 11 QS. An-Nahl [16]:90 18 hasilnya akan digunakan sebagian untuk membiayai kebutuhan santri yang tidak mampu dan tidak bekerja. Penambahan biaya pelestarian lingkungan pada harga pokok produk konvensional dimaksudkan untuk mengembalikan kondisi lingkungan atau mengurangi kerusakan lingkungan akibat keberadaan perusahaan. Biaya ini menjadi penambah biaya produksi karena akibat beroperasinya perusahaan menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan biaya ini harus ditanggung oleh pemakai produk bukan dari adanya keuntungan perusahaan. Sedangkan penambahan biaya sosial pada perhitungan harga pokok produk dimaksudkan untuk menghindari kecemburuan sosial akibat adanya sebagian penduduk disekitar perusahaan yang tidak mendapatkan pekerjaan. Biaya lingkungan dan sosial merupakan elemen harga pokok produk yang harus ditanggung oleh pengguna produk dan tidak perlu menunggu sampai perusahaan mendapatkan keuntungan kemudian mengeluarkan biaya tersebut. Berdasarkan konsep harga pokok berkelanjutan tersebut pada dasarnya mempertimbangkan kebutuhan diri sendiri pengusaha dan karyawan (harga pokok produk konvensional), kebutuhan lingkungan, dan kebutuhan masyarakat di sekitar perusahaan. Perhatian pada ketiga faktor tersebut akan menciptakan kesinambungan usaha di masa yang akan datang. Dengan demikian, konsep harga pokok berkesinambungan. Menikmati Kebahagian Hidup Melalui Penentuan Harga Pokok Produk Berkesinambungan a. Keseimbangan Konsep keadilan yang menyeimbangkan antara kebutuhan diri sendiri dengan kebutuhan lingkungan dan sosial kemasyarakatan akan tercipta melalui penerapan nilai keadilan di dalam perhitungan harga pokok produksi. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan kehidupan antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya dan lingkungannya. b. Hidup nyaman dan aman Hidup nyaman dan aman menjadi dambaan umat manusia. Penentuan harga pokok produk dengan memasukkan unsur biaya lingkungan dan biaya sosial kemasyarakatan menjadi sarana untuk mencapai dambaan tersebut. Pelestarian lingkungan seperti sebelum beroperasinya perusahaan akan menghasilkan lingkungan yang bersih dan nyaman, baik bagi kehidupan umat 19 manusia maupun habitat lainnya. Demikian juga pemberian santunan kepada masyarakat di sekitar perusahaan yang terkena dampak negatif dari keberadaan perusahaan dan untuk mencegah ketimpangan pengahasilan antara mereka yang bekerja dengan yang tidak mendapat kesempatan untuk bekerja pada perusahaan akan menciptakan kehidupan yang tenteram dan aman, sehingga tidak perlu terjadi kecemburuan sosial. c. Kesinambungan usaha Terjadinya lingkungan yang bersih dan nyaman serta kehidupan yang tenteram dan aman akan mendorong keberlangsungan usaha berlangsung. Para pekerja akan betah bekerja karena lingkungan usaha yang kondusif, baik dari segi kebersihan dan kenyamanan maupun keamanan. Akibatnya kesinambungan usaha akan terjamin. d. Kesinambungan kehidupan Pelestarian lingkungan akan menjamin kesinambungan kehidupan antara generasi sekarang dengan generasi yang akan datang. Dengan demikian, masyarakat atau perusahaan tidak lagi bertindak untuk menghabiskan sumber daya alam guna kemakmuran generasinya tetapi juga akan berusaha hanya untuk memenuhi kebutuhannya yang tidak berlebih-lebihan. Hal ini dilakukan untuk menjamin kehidupan generasi berikutnya. Akibatnya kehidupan di dunia ini akan semakin nyaman dan tidak menakutkan. 20 DAFTAR PUSTAKA -----------------------.2001. Al Q’uran dan Terjemahannya. Percetakan Al Qur’anul Karim Kepunyaan Raja Fadh. Madina Al-Munawwarah. -----------------------.2007. Hadist Sembilan Imam - Digital. Afzalurrahman. 1982. Muhammad sebagai Seorang Pedagang. Terjemahan Dewi Nurjulianti, dkk. 2000. Yayasan Swarna Bhumy. Jakarta. Alimuddin, Andi Kusumawati, Muhammad Ashari, dan Muhammad Irdam Feriansah. 2014. Production Costing Concept Based on Islamic Justice Value. IOS Journal of Business and Management. Vol. 16. Issue 7. Ver. III. Juli. Alimuddin. 2011. Konsep Harga Jual Mahlahah Berbasis Nilai-nilai Islam. Disertasi Program Doktor Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Malang. Asmal, Abdul Cader dan Mohammad Asmal. 2000. Perspektif Islam tentang Lingkungan dan Kependudukan. Dalam Chapman, Audrey R., Rodney L. Petersen, dan Barbara Simith Moran. Consumption, Population, and Sustainability: Perspective from Science and Religion. Diterjemahkan Basuki Dian dan Admiranto Gunawan. 2007. Bumi yang Terdesak: Perspektif Ilmu dan Agama Mengenai Konsumsi, Populasi, dan Keberlanjutan. PT. Mizan Pustaka. Bandung. Halaman 209-221. Bagader, Abu Bakar A. 1985. Islamisasi Ilmu-Ilmu Sosial. Dalam Abu Bakar A. Bagader. Islamisasi Ilmu-Ilmu Sosial. Terjemahan Muchtar Effendi Harahap, Eddi S. Hariyadhi, dan Lukman Hakiem. PLP2M. Yogyakarta. Chapra, M. Umer. 1999. Islam dan Tantangan Ekonomi; Islamisasi Ekonomi Kontemporer. Risalah Gusti. Surabaya. Christie, Nancy, Bruno Dyck, Janet Morrill, dan Ross Stewart. 2004. Escaping the Materialistic-Individualistic Iron Cage: A Weberian Agenda for Alternative Radical Accounting. The Fourth Asia Pacific Interdisciplinary Research in Accounting (Apira) 2004 Conference. Singapore. Chwastiak, Michele dan Joni J. Young. 2003. Silences in Annual Reports. Critical Perspectives on Accounting. Vol. 14. Halaman. 533-552. Estes, W. Ralph. 1996. Tyranny of the Bottom Line: Why Corporations Make Good People Do Bad Things. Diterjemahkan Nur Basuki Rachmanto. 2005. Tyranny of the Bottom Line: Mengapa Banyak Perusahaan Membuat Orang Baik Bertindak Buruk, Terjemahan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Garrison, H.Ray, Eric W. Noreen, Peter C. Brewer, Nam Sang Cheng, dan Katherine C.K. Yuen. 2015. Managerial Accounting. McGraw Hill. Singapore. 21 Kamla, Rania, Sonja Gallhofer, dan Jim Haslam. 2006. Islam, Nature and Accounting: Islamic Principles and the Notion of Accounting for the Environment. Accounting Forum. Vol. 30. Halaman 245–265. Khadduri, Majid. 1984. The Islamic Conception of Justice. Zoerni, H. Mochtar dan Joko S. Kahhar (Penerjemah). Teologi Keadilan, Perspektif Islam. Risalah Gusti. Surabaya. Manzoor, P.S. 2003. Environment and Values: an Islamic Perspective. http://www.islamonline.net/English/introducingislam/environment/topic12.s thml. Nash, James A. 2000. Menuju Kebangkitan dan Reformasi Kebajikan yang Subversif: Berhemat. Dalam Chapman, Audrey R., Rodney L. Petersen, dan Barbara Simith Moran. Consumption, Population, and Sustainability: Perspective from Science and Religion. Diterjemahkan Basuki Dian dan Admiranto Gunawan. 2007. Bumi yang Terdesak: Perspektif Ilmu dan Agama Mengenai Konsumsi, Populasi, dan Keberlanjutan. PT. Mizan Pustaka. Bandung. Halaman 222-252. Qardhawi, Yusuf. 2006. Islam dan Sekularisme. Pustaka Setia. Bandung. Qardhawi, Yusuf. 2000b. Sunnah Rasul: Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Gema Insani Press. Jakarta. Qardhawi, Yusuf. 2000a. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Gema Insani Press. Jakarta. Rahman, Afzalur. 1995. Doktrin Ekonomi Islam. Jilid I. PT Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta. Shihab, M. Quraish. 2006. Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian alQur’an. Volume 1 – 15. Lentera Hati. Jakarta. Triyuwono, Iwan. 2006. Perspektif, Metodologi, dan Teori Akuntansi Syariah, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.