BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Argumentasi a. Pengertian Argumentasi Argumentasi adalah pemberian alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau gagasan (Depdiknas, 2008). Argumentasi yaitu pendapat seseorang tentang pemikirannya yang melalui fakta yang mampu untuk mempengaruhi, penggunaan fakta ini untuk meyakinkan orang lain tentang kebenaran atas pemikirannya. Berargumentasi membutuhkan kemampuan untuk berpikir tentang pokok bahasan yang ilmiah dengan menyampaikan dan mendiskusikan pemikirannya secara tertulis maupun lisan (Seda Saracaloglu, Aktamis, & Delioglu, 2011). Proses menyusun argumen dan berargumentasi merupakan proses inti dari berpikir kritis. Siswa mampu menguji kebenaran dari suatu pendapat untuk mendebat, mengevaluasi pendapat, menaikkan kualitas argumen dengan menambahkan fakta-fakta yang mendukung, dan menambahkan contoh realita. Argumentasi merupakan kemampuan yang penting karena dalam berargumentasi siswa menyusun sikap untuk setuju atau tidak setuju dengan pendapat orang lain (Lin, 2013). Sikap ilmiah merupakan komponen yang penting dalam berargumentasi (Erduran S. , 2007). Argumen digunakan untuk memberitahu orang lain dan meyakinkan mereka tentang kebenaran. Argumen disusun oleh perseorangan yang diperoleh dari proses berpikir terhadap suatu kejadian. Berkelompok mampu memicu penyusunan argumen yang lebih bervariasi. Berlatih berargumen secara berkelompok merupakan cara yang penting untuk menyusun keterampilan dasar kemampuan argumentasi dari masing-masing siswa. Siswa mengkomunikasikan pendapat mereka kemudian memberikan alasan atau argumentasi atas penjelasan mereka supaya lebih kuat dan ilmiah. Siswa mengevaluasi penjelasan mereka dengan penjelasan lain, 7 8 terutama yang merefleksikan dengan konsep ilmiah (Osman, Chuo Hiong, & Vebrianto, 2013). Berdasarkan definisi dari beberapa peneliti tentang argumentasi, maka dapat disimpulkan bahwa argumentasi adalah usaha untuk meyakinkan bahwa pernyataan, pendapat, sikap, atau keyakinan, dengan didukung oleh fakta-fakta sehingga bernilai benar. Argumentasi memiliki tujuan untuk mempengaruhi untuk mendukung pernyataan, pendapat, dan sikap yang diajukan. Pendapat, keyakinan, dan sikap pembicara bisa dianggap benar ketika didukung dengan argumentasi yang kuat dan pendengar memberikan dukungan. Clark, Sampson, Winberger, & Erkens (2007) menjabarkan struktur argumentasi yang disusun oleh Toulmin bahwa argumentasi memiliki struktur dimana struktur tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda. Toulmin membagi struktur argumentasi menjadi enam bagian yaitu: claims (assertions about what exists or what values people hold), data (statements that are used as evidence to support the claim), warrants (statements that explain the relationship of the data to the claim), qualifiers (special conditions under which the claim holds true), backings (underlying assumptions), and rebuttals (statements that contradict either the data, warrants, or backings of an argument). Claim (klaim) merupakan penyataan atau keputusan yang dipegang oleh orang yang berargumen, data (data) Fakta yang mendukung penyataan, warrant (penjamin) merupakan penjelasan tentang hubungan data dengan pernyataan, qualifiers (kualifikasi) merupakan kondisi tertentu pernyataan bernilai benar, backing (pendukung) adalah asumsi dasar untuk mendukung penjamin, rebuttals (sanggahan) merupakan pernyataan yang menyanggah data, penjelasan hubungan data dengan pernyataan. Erduran, Simon, & Osborne (2004) mengembangkan kerangka kerja untuk mengidentifikasi kualitas argumentasi berdasarkan model argumentasi Toulmin. Kualitas argumentasi berdasarkan kerangka kerja analisis yaitu sebagai berikut: Analytical framework classified students argument at Level 1 (claim versus a counter-claim or a claim versus a claim), Level 2 (claims with 9 either data, warrants, or backings, but no rebuttals), Level 3 (series of claims or counter-claims with either data, warrants, or backings with the occasional weak rebuttal), Level 4 (claim or claims and counterclaims with a clearly identifiable rebuttal), and finally Level 5 (extended argument with more than one rebuttal). Kutipan di atas mengandung arti bahwa kerangka kerja analisis dari Erduran, Simon, & Osborne (2004) mengklasifikasikan Level argumentasi siswa sebagai berikut: Level 1 (klaim berlawanan dengan klaim tandingan atau klaim berlawanan dengan klaim), Level 2 (klaim disertai dengan data, penjamin, atau pendukung, tetapi tidak mengandung sanggahan), Level 3 (Serangkaian klaim atau tandingan klaim disertai dengan data, penjamin, atau pendukung dengan sanggahan yang lemah), Level 4 (klaim dan klaim tandingan yang disertai dengan sanggahan yang dapat diidentifikasi dengan jelas), dan terakhir Level 5 (argumen yang lebih luas dengan lebih dari satu sanggahan). b. Hubungan Kemampuan Argumentasi dengan Belajar Biologi Pembelajaran biologi merupakan salah satu bagian dari sains (Efendi, 2013). Argumen dan berlatih berargumen merupakan aktivitas inti dari seorang yang bergerak di bidang sains, termasuk pendidikan sains (Osman, Chuo Hiong, & Vebrianto, 2013). Argumentasi merupakan salah satu bagian dari pembelajaran sains yang dapat ditingkatkan dan diperkuat di dalam proses pembelajaran sains di kelas (Simon, Erduran, & Osborne, 2006). Biologi mempelajari fakta atau temuan atas permasalahan yang menimbulkan pertanyaan yang harus dirumuskan jawaban atau solusinya menggunakan metode ilmiah. Permasalahan biologi semakin kompleks sehingga memerlukan solusi kritis untuk menyelesaikan masalah tersebut. Penentuan jawaban terbaik atas masalah tersebut maka diperlukan solusi yang disertai dengan argumentasi. Argumentasi tersebut harus berdasarkan pada fakta dan pemikiran yang kritis. Erduran & Jiménez-Aleixandre (2007) berpendapat bahwa argumentasi merupakan bagian yang integral dari sains, sehingga argumentasi seharusnya terintegrasi juga dengan pendidikan sains. 10 Kemampuan argumentasi merupakan komponen yang penting untuk ketercapaian tujuan pembelajaran biologi SMA pada Kurikulum 2013. Permendikbud Nomor 54 tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan mengharuskan siswa agar memiliki keterampilan berpikir. Keterampilan argumentasi merupakan salah satu keterampilan berpikir (Siswanto, Kaniawati, & Suhandi, 2014). Permendikbud no. 69 tahun 2013 menjelaskan bahwa perlu ada penyempurnaan pola pikir dari pembelajaran pasif menjadi pembelajaran kritis. Kurikulum 2013 juga menekankan pada pengembangan sikap, pengetahuan dan keterampilan yang bertujuan agar pembelajaran dapat membangun kemampuan berpikir kritis siswa. kemampuan bepikir tingkat tinggi diperlukan siswa untuk menyelesaikan permasalahan dan untuk melatihkan kemampuan berpikir tingkat tinggi diperlukan kemampuan untuk berargumentasi secara ilmiah (Aisyah, 2015). c. Teori Belajar yang Melandasi Kemampuan Argumentasi Menurut Ausubel bahwa kemampuan meakukan komunikasi tentang hubungan antara konsep satu dengan konsep lainnya merupakan ciri belajar bermakna. Terbentuknya belajar bermakna pada siswa adalah tuntutan dunia pendidikan dewasa ini. Selanjutnya Ausubel menyatakan bahwa pengembangan konsep berlangsung paling baik, bila unsur-unsur paling umum (paling inklusif) dari suatu konsep diperkenalkan lebih dahulu, dan kemudian baru diberikan hal-hal yang lebih rinci (dari umum ke khusus). Belajar bermakna akan terjadi, jika konsep satu dijelaskan hubungannya dengan konsep lainnya. Menurutnya, belajar bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi atau konsep baru pada konsep-konsep yang re1evan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Selain itu, belajar bermakna bukan hanya memperoleh pegetahuansemata,tetapi juga dapat menggali kandungan nilai-nilai dari prinsip-prinsip atau teori bahan ajarnya yang dapat diterapkan sebagai sumber nilai bagi kehidupan manusia seharihari (Dahar, 2011). Berdasarkan pendapat ini menunjukkan bahwa berargumentasi merupakan proses belajar bermakna. Berargumentasi 11 membutuhkan kemampuan berpikir kritis untuk menghubungkan berbagai macam konsep, pengalaman, dan fakta untuk memperkuat jawaban. 2. Brainstorming a. Pengertian Brainstorming Paulus dan Brown (2007) berpendapat brainstorming merupakan suatu kelompok dimana anggotanya menyampaikan pendapat terhadap suatu isu atau permasalahan. Brainstorming merupakan teknik yang populer diterapkan di dalam proses pembelajaran dan cenderung tidak sistematis. Menurut AlMutairi (2015) brainstorming merupakan cara yang sangat penting untuk menumbuhkan kreativitas dan penyelesaian masalah. Brainstorming memiliki makna yaitu menggunakan pikiran untuk aktif menyelesaikan masalah dan fase brainstorming merupakan kesempatan untuk menyusun solusi yang kreatif dalam menyelesaikan masalah. b. Kelebihan dan Kekurangan Brainstorming Al-Khatib (2012) menjelaskan bahwa brainstorming strategi untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi, proses berpikir, dan membuat keputusan dengan berbagai sudut pandang dan pendapat. Siswa dilatih untuk aktif menyampaikan informasi, pengalaman, dan pendapat. Semua ide baru yang dikemukakan oleh siswa diterima untuk memperkaya solusi dalam penyelesaian masalah. AlMutairi (2015) menyatakan bahwa brainstorming mengkombinasikan suasana natural dan pendekatan informal untuk menyelesaikan masalah dengan pola berpikir lateral. Kombinasi tersebut mampu mengoptimalkan siswa untuk berpikir dan mengeluarkan ide. Ide tersebut bisa berupa ide yang orisinil, solusi kreatif untuk masalah yang mampu memunculkan ide yang lain. kegiatan tersebut mampu membantu siswa untuk berpikir kreatif. c. Langkah-langkah Brainstorming Langkah-langkah brainstorming menurut AlMutairi (2015) adalah sebagai berikut: (1) prepare the group; (2) present the problem; dan (3) guide the discussion. Pada fase prepare the group, guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok secara heterogen. setiap kelompok ada siswa 12 yang bertugas mencatat ide yang muncul dari setiap fase pembelajaran. Guru disarankan membuat icebreaking pada setiap fase pembelajaran untuk mengurangi rasa jenuh pada siswa. Pada fase present the problem, siswa mendefinisikan permasalahan yang akan diselesaikan dan menyusun pola penyelesaian masalah secara jelas. siswa menyusun pendapat mereka tentang permasalahan dan menyampaikan pendapat mereka serta memberikan kesempatan siswa lain untuk memberikan masukan. Pada fase guide the discussion, guru berperan memandu diskusi siswa. Diskusi siswa akan membantu siswa untuk menyusun pendapat dan pendapat tersebut mampu memunculkan pendapat baru. pembentukan pendapat baru merupakan merupakan aspek yang berharga dari fase brainstorming secara berkelompok. setiap siswa didorong untuk turut serta dalam setiap proses pembelajaran dan membangun ide, termasuk siswa yang tidak aktif dan mengarahkan siswa untuk mengkritisi ide dari siswa lain. diskusi siswa diharapkan mampu menghasilkan ide yang berbeda-beda dan memperinci ide dari setiap siswa. d. Hubungan Brainstorming dengan Belajar Biologi Pembelajaran biologi merupakan salah satu bagian dari sains (Efendi, 2013). Biologi mempelajari fakta atau temuan atas permasalahan yang menimbulkan pertanyaan yang harus dirumuskan jawaban atau solusinya menggunakan metode ilmiah. Permasalahan biologi semakin kompleks sehingga memerlukan solusi kritis untuk menyelesaikan masalah tersebut. Brainstorming akan membantu siswa untuk mendefinisikan permasalahan yang ditemui siswa untuk menyusun konsep biologi dan menyusun pola penyelesaian masalah secara jelas. setiap siswa didorong untuk turut serta dalam setiap proses pembelajaran dan membangun ide, termasuk siswa yang tidak aktif dan mengarahkan siswa untuk mengkritisi ide dari siswa lain. Menurut Vygotsky bahwa interaksi antar siswa sangat bermanfaat untuk menginternalisasi konsep yang sulit dan permasalahan yang ditemukan dalam proses pembelajaran dalam belajar sains, termasuk biologi. Adanya peluang untuk menyampaikan ide, mendengarkan ide-ide 13 orang lain, dan merefleksikan ide sendiri pada ide-ide orang lain sekaligus suatu bentuk pengalaman pemberdayaan siswa. Suasana belajar dan rasa kebersamaan yang tumbuh dan berkembang di antara sesama anggota kelompok memungkinkan siswa untuk mengerti dan memahami materi pelajaran biologi dengan lebih baik (Dahar, 2011). Teori tersebut sejalan dengan pendapat Sanjaya (2012) bahwa pengetahuan sebaiknya diperoleh dari kerjasama dengan orang lain, antar teman, antar kelompok; yang sudah tahu memberi tahu pada yang belum tahu, yang pernah memiliki pengalaman membagi pengalamannya pada orang lain. e. Teori Belajar yang Melandasi Brainstorming Teori Vygotsky menunjukkan bahwa siswa yang belajar secara bersama-sama mempunyai keterampilan lebih baik dibanding siswa yang belajar sendiri. Kegiatan bekerja sama dalam kelompok menjadikan siswa akan melewati Zone of Proximal Development, yaitu masa dimana siswa lebih optimal dalam menerima informasi ketika bekerjasama. Siswa menerima lebih banyak ide dan informasi dari orang lain yang dijadikan sebagai pengalaman belajar. Ide penting lain yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah Scaffolding. Scaffolding berarti memberikan sejumlah besar bantuan kepada sorang anak selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah anak dapat melakukannya. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan, masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh ataupun yang lain yang memungkinkan siswa tumbuh mandiri. Ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan, yaitu: (1) suasana kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar-siswa, sehingga siswa dapat bekerjasam dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif; (2) pendekatan Vygotsky dalam pengajaran menekankan Scaffolding dengan siswa semakin lama semakin bertanggung jawab saat proses pembelajaran secara mandiri (Dahar, 2011). 14 Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan berbeda. Perbedaan pertumbuhan siswa hal tersebut dilihat dari bagaimana siswa dalam mengemukakan pendapatnya. Menurut Piaget, pertukaran gagasan-gagasan tidak dapat dihindari untuk perkembangan penalaran. Oleh karena itu guru harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari individu-individu ke dalam bentuk kelompok-kelompok kecil siswa daripada aktivitas dalam bentuk klasikal, mengutamakan peran siswa untuk saling berinteraksi (Dahar, 2011). 3. Discovery Learning a. Pengertian Discovery Learning Discovery learning merupakan model pembelajaran yang mengembangkan kemampuan berpikir siswa karena melibatkan siswa untuk belajar aktif dan menyusun konsep secara mandiri (Baroodya, Purpurab, & Reidd, 2015). Discovery learning merupakan model pembelajaran yang tidak menyediakan langkah-langkah untuk mencapai tujuan pembelajaran kepada siswa namun memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan konsep secara mandiri dibantu sumber belajar yang tersedia (Alfieri, Brooks, & Tenenbaum, 2011). Menurut Hamdani (2011) pembelajaran berbasis penemuan (discovery) siswa diarahkan untuk mengasimilasikan suatu konsep atau suatu prinsip. Adapun proses asimilasi siswa melalui proses mengamati, menjelaskan, mengelompokkan, membuat kesimpulan dll. Penggunaan discovery dalam batas-batas tertentu baik untuk kelas rendah. Menurut Osman, Chuo Hiong, & Vebrianto (2013) teori konstruktivistik merupakan dasar penyangga yang mendukung berbagai pendekatan dalam proses pembelajaran biologi, terutama ketika siswa ingin menyatukan konsep baru dan konsep lama ketika menemukan pengetahuan baru. Mereka mengasimilasi dan mengakomodasi pengetahuan secara berkelanjutan. Mereka memerlukan merefleksikan pengetahuan dan 15 pengalaman dengan baik. Proses penemuan dan penyelidikan memberikan kesempatan kepada siswa untuk untuk mengeksplorasi dan memahami pemahaman secara mandiri. Pembelajaran berbasis penemuan memerlukan koordinasi antara pengetahuan dan keterampilan secara secara bersamasama. Aktivitas menemukan dan menyelidiki terdapat pada permasalahan yang nyata. Proses tersebut membutuhkan kemampuan siswa untuk menyusun pengetahuannya sendiri melalui kegiatan hand on dan mind on. Discovery learning adalah model pembelajaran berbasis kontruktivistik, membimbing siswa untuk berpikir sepanjang proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Aktivitas siswa juga membantu meningkatkan kualitas pembelajaran supaya bermakna seperti praktikum, diskusi, dan pengamatan secara bebas. Pembelajaran bermakna juga meningkatkan aktivitas kognitif seperti memilih data, menyusun data, dan mengintegrasikan data dengan pengetahuan sebelumnya (Mayer, 2004). Balim (2009) menyatakan bahwa discovery learning merupakan salah satu model pembelajaran yang bersumber pada fenomena yang terjadi secara alami. Siswa akan belajar ketika proses pembelajaran mampu memunculkan rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu akan mengarahkan siswa untuk belajar dan menemukan pengetahuan. Discovery learning merupakan model pembelajaran yang mendorong siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran berdasarkan aktivitas dan observasi yang penting untuk mencapai pembelajaran bermakna dan pembelajaran sepanjang masa. b. Discovery Learning dalam Pembelajaran Biologi Pembelajaran biologi merupakan salah satu bagian dari sains (Efendi, 2013). Discovery learning dalam pembelajaran sains mampu membangun kemampuan pemahaman siswa karena memfasilitasi siswa untuk berusaha memahami fenomena yang terjadi menggunakan kemampuan kognitif, metakognitif, psikomotor, dan afektif. Discovery learning membutuhkan siswa untuk mengambil contoh fenomena untuk dipelajari dari kehidupan sehari-hari, menyusun hipotesis, menguji hipotesis seperti ilmuwan untuk mencapai tingkatan kognitif yang lebih tinggi. 16 c. Karakteristik Discovery Learning Balim (2009) menyatakan bahwa discovery learning diawali dari ketidaktahuan menjadi keingintahuan dari siswa, sehingga di dalam discovery learning siswa menyusun ilmu pengetahuan atau konsep berdasarkan pengetahuan baru dan data yang dikumpulkan oleh siswa dalam kegiatan eksplorasi. Proses memunculkan rasa ingin tahu pada siswa dan mengarahkan untuk menyelidiki fenomena yang terjadi dari sudut pandang lain akan membantu siswa untuk memperbaiki miskonsepsi. siswa akan mendapatkan rangsangan untuk berpendapat dan berargumentasi dari apa yang dia lakukan, rasakan, bagikan dan apa yang dirasakan, dilakukan oleh teman-temannya selama proses pembelajaran. model pembelajaran discovery learning memfasilitasi siswa untuk belajar senyaman mungkin tanpa ada tekanan sehingga siswa mampu mengekspesikan apa yang dirasakannya. Ketika siswa melakukan penelitian mereka menggunakan berbagai macam kemampuan penyelidikan, seperti bertanya, memunculkan hipotesis, merencanakan eksperimen untuk menguji hipotesis, menganalisis data, menarik kesimpulan dari data, menyusun kesimpulan, menyampaikan hasil dan menulis laporan penelitian. Guru secara rutin mengingatkan siswa untuk berefleksi, berkolaborasi, bertanya kepada mereka sendiri, menentukan kesimpulan mereka sendiri. Discovery learning mengarahkan siswa untuk berefleksi, berpikir, mencoba, dan bereksplorasi. Siswa akan lebih yakin terhadap suatu ilmu pengetahuan atau konsep ketika siswa menemukan ilmu atau konsep tersebut secara mandiri (Osman, Chuo Hiong, & Vebrianto, 2013). d. Sintaks Discovery Learning Discovery learning merupakan tahap pembentukan konsep meliputi analisis, generasi hipotesis, pengujian, evaluasi, dan proses perencanaan regulatif, verifikasi dan pemantauan (Kuhn, Black, Keselman, dan Kaplan dalam Veermans, 2003). Tahap-tahap Discovery Learning menurut Veermans (2003) meliputi 5 sintaks yaitu: (1) orientation; (2) hypothesis 17 generation; (3) hypothesis testing; (4) conclusion; dan (5) regulation. Sintaks orientation merupakan proses belajar membangun gambaran awal dari ranah pembelajaran dan lingkungan pembelajaran. kegiatan yang dilakukan pada tahap orientasi meliputi memahami latar belakang, mengeksplorasi ranah pembelajaran, mengidentifikasi variabel ranah pembelajaran, menghubungkan pengetahuan tentang ranah pembelajaran dengan pokok permasalahan yang dimiliki. Hasil dari tahap orientasi bisa digunakan untuk tahap lain. Sintaks hypothesis generation merupakan tahap penyusunan hipotesis dari ranah pembelajaran oleh siswa. Hipotesis adalah penyataan hubungan dua atau beberapa variabel input dan output yang menunjukkan gagasan tentang hubungan antar fenomena. Hipotesis diperoleh dari hasil eksplorasi ranah pembelajaran dan hipotesis lain hasil analogi. Sintaks hypothesis testing merupakan tahap membuktikan kebenaran dari hipotesis. Pembuktian dilakukan oleh siswa secara mandiri. Siswa menyusun rancangan percobaan, melakukan percobaan, mengumpulkan data yang dihasilkan dari percobaan, dan menafsirkan hasil percobaan. Sintaks conclusion tahap penyusunan kesimpulan berdasarkan hasil penemuan. Siswa menyimpulkan apakah hasil eksperimen yang dilakukan sesuai dengan hipotesis yang telah disusun atau terjadi perbedaan antara hasil eksperimen dengan hipotesis. Selanjutnya siswa mengidentifikasi perbedaan antara bukti (hasil eksperimen) dan prediksi (hipotesis). Sintaks regulation meliputi planning, monitoring, dan evaluation. Planning meliputi penyusunan tujuan dan penyusunan langkah kerja untuk mencapai tujuan. Monitoring merupakan proses kontrol untuk menjaga langkah yang dilakukan sesuai dengan rencana. Evaluation merupakan proses penilaian terhadap hasil, langkah yang diambil pada setiap tahapan, dan menghubungkan keduanya dengan tujuan. e. Kelebihan dan Kekurangan Discovery Learning Discovery learning mampu meningkatkan kualitas pembelajaran karena siswa mendapatkan proses pembelajaran yang bermakna karena siswa membuka kembali pemahaman yang sudah dimiliki dan mengkaitkan 18 dengan fenomena atau permasalahan untuk membentuk pemahaman baru, siswa dilatih berpikir secara sistematis dan logis melalui tahap penyusunan variabel dan melakukan eksperimen, siswa dilatih menyusun kesimpulan berdasarkan tahapan yang sudah dilalui siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran, dan siswa dilatih untuk belajar mengevaluasi proses pembelajaran yang sudah dilakukan. Penerapan pembelajaran berbasis penemuan mampu membangun kemampuan siswa dalam aspek kemandirian, rasa ingin tahu, kreatif, adaptif, manajemen, kemauan mengambil resiko, berpikir tingkat tinggi, dan mengemukakan pendapat. Siswa berperan sebagai pembelajar yang mandiri dan guru berperan sebagai fasilitator (Osman, Chuo Hiong, & Vebrianto, 2013). Veerman (2003) menyatakan bahwa tahapan dalam discovery learning terlihat sulit oleh siswa. Siswa mengalami permasalahan pada satu atau lebih tahapan discovery learning. Kelemahan pembelajaran berbasis discovery menurut Hamdani (2011) yaitu siswa harus memiliki kesiapan dan kematangan mental, apabila kelas terlalu besar penggunaan discovery kurang berhasil. 4. Discovery Learning Disertai Brainstorming a. Integrasi Discovery Learning Disertai Brainstorming Discovery learning yang terdiri dari 5 sintaks yaitu: (1) orientation; (2) hypothesis generation; (3) hypothesis testing; (4) conclusion; dan (5) regulation (Veermans, 2003) diintegrasikan fase brainstorming disetiap sintaksnya yang terdiri dari: (1) prepare the group; (2) present the problem; dan (3) guide the discussion (AlMutairi, 2015). Pengintegrasian tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas argumentasi siswa. Brainstorming mampu mendorong siswa untuk mengajukan pendapatnya secara optimal sehingga terjadi kuantitas argumentasi. Kualitas argumentasi yang diajukan oleh siswa diperkuat dengan data-data yang diperoleh dari sintaks discovery learning. Ketika siswa sudah terbiasa berargumentasi maka kemampuan argumentasi siswa bisa meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitas. 19 b. Hubungan Discovery Pembelajaran Biologi Learning dan Brainstorming dengan Pembelajaran biologi merupakan salah satu bagian dari sains (Efendi, 2013). Biologi mempelajari fakta atau temuan atas permasalahan yang menimbulkan pertanyaan yang harus dirumuskan jawaban atau solusinya menggunakan metode ilmiah. Permasalahan biologi semakin kompleks sehingga memerlukan solusi kritis untuk menyelesaikan masalah tersebut. Discovery learning adalah model pembelajaran berbasis kontruktivistik, membimbing siswa untuk berpikir sepanjang proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran (Mayer, 2004). AlKhatib (2012) menjelaskan bahwa brainstorming strategi untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi, proses berpikir, dan membuat keputusan dengan berbagai sudut pandang dan pendapat. Penerapan discovery Learning disertai brainstorming dalam proses pembelajaran biologi memungkinkan terjadinya interaksi yang intens diantara anggota kelompok. karena setiap mereka akan melakukan diskusi, saling membagi pengetahuan, pemahaman dan kemampuan serta saling mengoreksi untuk memperoleh konsep biologi. Siswa dilatih memperoleh berbagai informasi yang dibutuhkannya untuk melengkapi dan memperkaya pengetahuan yang dimiliki dari berbagai sumber untuk memperkuat pendapatnya berupa argumentasi, sedangkan guru cukup membimbing siswa supaya memperoleh konsep biologi yang tepat melalui sintaks discovery learning dan aktif mencurahkan pendapat atau pengalaman melalui brainstorming. Menurut Riyanto (2009) siswa akan mengalami perkembangan kepribadian, perkembangan sosiemosional, perkembangan kognitif, dan perkembangan bahasa. Siswa menyusun konsep melalui tiga tahapan yaitu: (1) Asimilasi, merupakan proses penyatuan informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa; (2) Akomodasi, merupakan tahap penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru; (3) Equilibrasi, merupakan mekanisme penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. 20 c. Teori Belajar yang Melandasi Discovery Learning dan Brainstorming Teori konstruktivisme menyatakan bahwa siswa menyusun ilmu pengetahuan dan memperoleh pemahaman atas ilmu pengetahuan tersebut melalui pengalaman sendiri melalui proses aktif yang berlaku dalam otak. Siswa memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalaman, dan perspektif yang dipakai dalam menginterprestasikan (Mufidah, 2014). Lawson menyarankan dalam proses pembelajaran sains menurut model kontruktivistik betapa pentingnya peranan bahasa dalam bentuk argumentasi (Dahar, 2011). Sistem pembelajaran berbasis konstruktivistik berarti siswa memulai dengan masalah yang kompleks untuk dipecahkan kemudian siswa dengan bimbingan guru mampu menemukan konsep. Sistem pembelajaran berbasis konstruktivistik mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri, mengembangkan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri jawabannya. Siswa didorong untuk memberikan informasi, pandangan, dan pendapat. Peran guru dalam proses pembelajaran berbasis konstrutivistik yaitu mendorong siswa terlibat dalam dialog, memberikan tanggapan, dan berdiskusi (Riyanto, 2009). Bruner memaparkan bahwa siswa hendaknya aktif mencari konsep dan prinsip ilmu pengetahuan melalui pengalaman dan bereksperimen. Belajar penemuan memberikan manfaat kepada siswa seperti: (1) pengetahuan itu bertahan lama dalam ingatan; (2) konsep dan prinsip yang diperoleh lebih mudah diterapkan pada situasi baru; dan (3) mampu meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan berpikir secara bebas. Tujuan pembelajaran berbasis penemuan bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan saja. Tujuan belajar sebenarnya adalah untuk memperoleh pengetahuan dengan suatu cara yang dapat melatih intelektual para siswa serta merangsang keingintahuan mereka dan memotivasi kemampuan mereka. Guru tidak begitu mengendalikan proses belajar mengajar. Untuk membelajarkan sains kita sebaiknya membuat anak-anak berpikir secara matematis bagi dirinya sendiri untuk memperoleh pengetahuan. Mengetahui 21 merupakan suatu proses, bukan suatu produk (Dahar, 2011). Menurut Bruner belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung bersamaan yaitu memperoleh informasi baru, transformasi informasi menjadi konsep, dan evaluasi pengetahuan (Riyanto, 2009). Menurut Piaget untuk mengembangkan kemampuan kognitif siswa diperlukan pengembangan metode pembelajaran untuk merangsang kemampuan berpikir siswa serta melakukan penilaian proses dan hasil belajar peserta didik. Perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh cara melihat lingkungan, sebagaimana berikut: (1) Tahap enaktif, pada tahap ini peserta didik melakukan berbagai aktivitas supaya mengetahui fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya Siswa melakukan observasi dan mendapatkan pengalaman secara langsung dalam menemukan fakta; (2) Tahap ikonik, pada tahap ini peserta didik melihat fakta dan ilmu pengetahuan melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal; (3) Tahap simbolik, peserta didik mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika serta komunikasi dilakukan dengan pertolongan sistem symbol (Komsiyah, 2012). Menurut Ausubel pembelajaran yang dialami siswa harus bermakna, ilmu pengetahuan yang dipelajari diasimilasikan dengan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya (Komsiyah, 2012). Belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Dahar, 2011). Pembelajaran di sekolah sebaiknya memperhatikan perhatian kepada cara berpikir atau proses mental anak, dan tidak sekedar kepada hasilnya. Di samping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak untuk mencapai jawaban tersebut. Guru juga dituntut untuk menyiapkan berbagai rencana pembelajaran yang memungkinkan siswa berproses dengan fisik atau kemampuan psikomotor mereka (Riyanto, 2009). 22 5. Sistem Kekebalan Tubuh a. Sistem Kekebalan (Imunitas) Ketika ada mikroorganisme seperti bakteri atau virus masuk ke dalam tubuh, tubuh akan menolak dan menghancurkannya jika tubuh dalam kondisi normal. Tubuh memiliki sistem imun berlapis untuk menghadapi gangguan dari luar yang dapat menyebabkan penyakit (Pratiwi, Maryati, Srikini, & Suharno, 2006). Sel-sel dalam sistem imun menghasilkan antibodi yang akan mengenali antigen dari benda asing atau mikroorganisme patogen (Purnomo, Sudjino, Trijoko, & Hadisusanto, 2009). 1) Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh Mikroba untuk dapat menginfeksi bagian organ yang lebih dalam terlebih dahulu harus berhasil menembus penghalang luar yaitu kulit dan membran mukosa. Apabila sudah berhasil melewati pertahanan pertama maka harus menghadapi pertahanan kedua yaitu fagositosis dan protein antimikroba. Berdasarkan cara mempertahankan diri dari penyakit, imunitas dibedakan menjadi dua, yaitu imunitas nonspesifik dan imunitas spesifik. Adapun berdasarkan cara memperolehnya dibedakan menjadi kekebalan aktif dan kekebalan pasif. 2) Imunitas Nonspesifik Pertahanan tubuh terhadap serangan (infeksi) oleh mikroorganisme telah dilakukan sejak dari permukaan luar tubuh yaitu kulit dan pada permukaan organ-organ dalam. Tubuh dapat melindungi diri tanpa harus terlebih dulu mengenali atau menentukan identitas organisme penyerang pada pertahanan pertama dan pertahanan kedua. a) Pertahanan Pertama Pertahanan pertama merupakan pertahanan yang terdapat di permukaan organ tubuh. Pertahanan pertama terdiri dari kulit, membran mukosa, dan cairan sekresinya. Setiap organ tubuh seperti paru-paru, lambung, ginjal, mempunyai kulit dan membran mukosa sebagai pembatas mekanis agar mikroba tidak masuk ke dalam 23 organ tersebut. Setiap kulit dan membran mukosa pada organ-organ tubuh memiliki cara tersendiri untuk melindungi diri dari kuman penyakit. Kulit terdapat kelenjar minyak yang mengandung bahan kimia yaitu lisozim dan dapat melemahkan bahkan membunuh bakteri di kulit. pH kulit bersifat asam (pH berkisar 3-5), sehingga menghambat pertumbuhan bakteri. Saliva pada mulut mengandung lisosom yang mampu membunuh bakteri. Di dalam perut, mikroorganisme yang masih hidup juga dimatikan dengan adanya asam-asam. Di dalam usus terdapat enzim-enzim pencernaan yang juga dapat membunuh mikroorganisme yang merugikan. Pada trakea terdapat sel-sel bersilia yang dapat menyapu lendir serta partikel-partikel berbahaya yang terselip di antara kerongkongan agar dapat keluar bersama air ludah (Purnomo, Sudjino, Trijoko, & Hadisusanto, 2009) b) Pertahanan Kedua Pertahanan kedua terdiri dari reaksi peradangan yang diikuti oleh aktivitas sel Fagosit dan protein pelindung anti mikroba. (1) Reaksi Peradangan Mikroorganisme yang telah berhasil melewati pertahanan di bagian permukaan organ dapat menginfeksi sel-sel dalam organ. Tubuh akan melakukan perlindungan dan pertahanan dengan memberi tanda secara kimiawi yaitu dengan cara sel terinfeksi mengeluarkan senyawa kimia histamin dan prostaglandin. Senyawa kimia ini akan menyebabkan pelebaran pada pembuluh darah di daerah yang terinfeksi. Hal ini akan menaikkan aliran darah ke daerah yang terkena infeksi. Akibatnya daerah terinfeksi menjadi berwarna kemerahan dan terasa lebih hangat. Mekanisme sistem pertahanan tubuh dapat dijelaskan sebagai berikut. 24 (a) Jaringan mengalami luka, kemudian mengeluarkan tanda berupa senyawa kimia yaitu histamin dan senyawa kimia lainnya. (b) Terjadi pelebaran pembuluh darah (vasodilatasi) yang menyebabkan bertambahnya aliran darah, menaikkan permeabilitas pembuluh darah. Selanjutnya terjadi perpindahan sel-sel fagosit. (c) Sel-sel fagosit (makrofag dan neutrofil) memakan patogen. Bakteri yang sudah berada di dalam makrofag kemudian dihancurkan dengan enzim lisosom. Makrofag juga bertugas untuk mengatasi infeksi virus dan partikel debu yang berada di dalam paru-paru. Setelah infeksi tertanggulangi, beberapa neutrofil akhirnya mati seiring dengan matinya jaringan sel dan bakteri. Setelah ini sel-sel yang masih hidup membentuk nanah. Terbentuknya nanah merupakan indikator bahwa infeksi telah sembuh. Jadi reaksi inflamatori merupakan sinyal adanya bahaya dan sebagai perintah agar sel darah putih memakan bakteri yang menginfeksi tubuh. Selain sel monosit yang berubah menjadi makrofag juga terdapat sel neutrofil yang akan membunuh bakteri (mikroorganisme asing lainnya). (2) Fagositosis Fagositosis adalah mekanisme pertahanan yang dilakukan oleh sel-sel fagosit dengan cara mencerna mikrobia/partikel asing. Sel fagosit terdiri dari dua jenis, yaitu fagosit mononuklear dan fagosit polimorfonuklear. Contoh fagosit mononuklear adalah monosit (di dalam darah) dan jika bermigrasi ke jaringan akan berperan sebagai makrofag. Contoh fagosit polimorfonuklear adalah granulosit, yaitu neutrofil, eosinofil, basofil, dan cell mast (mastosit). Sel-sel fagosit akan bekerja 25 sama setelah memperoleh sinyal kimiawi dari jaringan yang terinfeksi patogen. Berikut ini adalah proses fagositosis: (a) Pengenalan (recognition), mikrobia atau partikel asing terdeteksi oleh sel-sel fagosit. (b) Pergerakan (chemotaxis), pergerakan sel fagosit menuju patogen yang telah terdeteksi. Pergerakan sel fagosit dipacu oleh zat yang dihasilkan oleh patogen. (c) Perlekatan (adhesion), partikel melekat dengan reseptor pada membran sel fagosit. (d) Penelanan (ingestion), membran sel fagosit menyelubungi seluruh permukaan patogen dan menelannya ke dalam sitoplasma yang terletak dalam fagosom. (e) Pencernaan (digestion), lisosom yang berisi enzim-enzim bergabung dengan fagosom membentuk fagolisosom dan mencerna seluruh permukaan patogen hingga hancur. Setelah infeksi hilang, sel fagosit akan mati bersama dengan sel tubuh dan patogen. Hal ini ditandai dengan terbentuknya nanah. (f) Pengeluaran (releasing), produk sisa patogen yang tidak dicerna akan dikeluarkan oleh sel fagosit. (3) Protein Pelindung Anti Mikroba Jenis protein ini mampu menghasilkan respons kekebalan, di antaranya adalah komplemen. Komplemen ini dapat melekat pada bakteri penginfeksi. Setelah itu, komplemen menyerang membran bakteri dengan membentuk lubang pada dinding sel dan membran plasmanya. Hal ini menyebabkan ion-ion Ca+ keluar dari sel bakteri, sedangkan cairan serta garam-garam dari luar sel bakteri akan masuk ke dalam tubuh bakteri. Masuknya cairan dan garam ini menyebabkan sel bakteri hancur. 26 3) Imunitas Spesifik Imunitas spesifik diperlukan untuk melawan antigen tertentu. Antigen merupakan substansi berupa protein dan polisakarida yang mampu merangsang munculnya sistem kekebalan tubuh (antibodi). Imunitas spesifik dapat diperoleh melalui pembentukan antibodi. Antibodi merupakan senyawa kimia yang dihasilkan oleh sel darah putih. Semua kuman penyakit memiliki zat kimia pada permukaannya yang disebut antigen. Antigen sebenarnya terbentuk atas protein. Tubuh akan merespon ketika tubuh mendapatkan penyakit dengan cara membuat antibodi. Sistem pertahanan tubuh spesifik merupakan pertahanan ketiga yang terdiri atas beberapa komponen, yaitu: a) Limfosit (1) Limfosit B (Sel B) Proses pembentukan dan pematangan sel B terjadi di sumsum tulang. Sel B berperan dalam pembentukan kekebalan humoral dengan membentuk antibodi. (2) Limfosit T (Sel T) Proses pembentukan sel T terjadi di sumsum tulang, sedangkan proses pematangannya terjadi di kelenjar timus. Sel T berperan dalam pembentukan kekebalan seluler, yaitu dengan cara menyerang sel penghasil antigen secara langsung. Sel T juga membantu produksi antibodi oleh sel B plasma. b) Antibodi (Immunoglobulin/Ig) Antibodi akan dibentuk saat ada antigen yang masuk ke dalam tubuh. Antigen adalah senyawa protein yang ada pada patogen sel asing atau sel kanker. Antibodi disebut juga immunoglobulin atau serum protein globulin, karena berfungsi untuk melindungi tubuh melalui proses kekebalan (immune). Antibodi merupakan senyawa protein yang berfungsi melawan antigen dengan cara mengikatnya, untuk selanjutnya ditangkap dan dihancurkan oleh makrofag. Suatu antibodi bekerja secara spesifik untuk antigen tertentu. Karena jenis 27 antigen pada setiap kuman penyakit bersifat spesifik, maka diperlukan antibodi yang berbeda untuk jenis kuman yang berbeda. Oleh karena itu, diperlukan berbagai jenis antibodi untuk melindungi tubuh dari berbagai kuman penyakit. Antibodi tersusun dari dua rantai polipeptida yang identik, yaitu dua rantai ringan dan dua rantai berat. Keempat rantai tersebut dihubungkan satu sama lain oleh ikatan disulfida dan bentuk molekulnya seperti huruf Y. Setiap lengan dari molekul tersebut memiliki tempat pengikatan antigen. Antibodi dibedakan menjadi lima tipe seperti pada tabel 2.1. Tabel 2.1. Tipe dan Karakteristik Antibodi No. Tipe Antibodi 1. IgM 2. IgG 3. IgA 4. IgD 5. IgE Karakteristik Pertama kali dilepaskan ke aliran darah pada saat terjadi infeksi yang pertama kali (respons kekebalan primer) Paling banyak terdapat dalam darah dan diproduksi saat terjadi infeksi kedua (respons kekebalan sekunder). Mengalir melalui plasenta dan memberi kekebalan pasif dari ibu kepada janin. Ditemukan dalam air mata, air ludah, keringat, dan membran mukosa. Berfungsi mencegah infeksi pada permukaan epitelium. Terdapat dalam kolostrum yang berfungsi untuk mencegah kematian bayi akibat infeksi saluran pencernaan Ditemukan pada permukaan limfosit B sebagai reseptor dan berfungsi merangsang pembentukan antibodi oleh sel B plasma. Ditemukan terikat pada basofil dalam sirkulasi darah dan cell mast (mastosit) di dalam jaringan yang berfungsi memengaruhi sel untuk melepaskan histamin dan terlibat dalam reaksi alergi. 4) Cara Mendapatkan Antibodi Berdasarkan cara mendapatkan imun atau kekebalan, dikenal dua macam kekebalan, yaitu kekebalan aktif dan pasif. 28 a) Kekebalan Aktif Kekebalan aktif terjadi jika seseorang kebal terhadap suatu penyakit setelah diberikan vaksinasi dengan suatu bibit penyakit. Jika kekebalan itu diperoleh setelah orang mengalami sakit karena infeksi suatu kuman penyakit maka disebut kekebalan aktif alami. Vaksin mengandung bibit penyakit yang telah mati atau dinonaktifkan, dimana pada bibit penyakit tersebut masih mempunyai antigen yang kemudian akan direspon oleh sistem imun dengan cara membentuk antibodi (Pratiwi, Maryati, Srikini, & Suharno, 2006). Secara garis besar, vaksin dikelompokkan menjadi 4 jenis yaitu: (1) Vaksin Bacille Calmette-Guerin (BCG), polio jenis sabin, dan campak. Vaksin ini terbuat dari mikroorganisme yang telah dilemahkan (2) Vaksin pertusis dan polio jenis salk. Vaksin ini berasal dari mikroorganisme yang telah dimatikan. (3) Vaksin tetanus toksoid dan difteri. Vaksin ini berasal dari toksin (racun) mikrooganisme yang telah dilemahkan/ diencerkan konsentrasinya. (4) Vaksin hepatitis B. Vaksin ini terbuat dari protein mikroorganisme. Sel B dan sel T (sel limfosit) ikut berperan dalam menghasilkan antibodi. Sel B (B limfosit) membentuk sistem imunitas humoral, yaitu imunitas dengan cara membentuk antibodi yang berada di darah dan limfa. Sel B berfungsi secara spesifik mengenali antigen asing serta berperan membentuk kekebalan terhadap infeksi bakteri, seperti Streptococcus, Meningococcus, virus campak, dan Poliomeilitis. Antibodi ini kemudian melekat pada antigen dan melumpuhkannya (Purnomo, Sudjino, Trijoko, & Hadisusanto, 2009). Limfosit B diproduksi dan dewasa di dalam sumsum tulang, namun aktif menjalankan peran sebagai imunitas bila sudah 29 meninggalkan sumsum tulang (Rachmawati, Urifah, & Wijayati, 2009). Sel T (T limfosit) membentuk sistem imunitas terhadap infeksi bakteri, virus, jamur, sel kanker, serta timbulnya alergi. Sel T mengalami pematangan di glandula timus, berdiferensiasi dan bekerja secara fagositosis (Rachmawati, Urifah, & Wijayati, 2009). Namun T limfosit tidak menghasilkan antibodi. T limfosit secara langsung dapat menyerang sel penghasil antigen (Purnomo, Sudjino, Trijoko, & Hadisusanto, 2009) Sel B maupun sel T dilengkapi dengan reseptor antigen di dalam plasma membrannya. Reseptor antigen pada sel B merupakan rangkaian membran molekul antibodi yang spesifik untuk antigen tertentu. Reseptor antigen dari sel T berbeda dari antibodi, namun reseptor sel T mengenali antigennya secara spesifik. Spesifikasi dan banyaknya macam dari sistem imun tergantung reseptor pada setiap sel B dan sel T yang memungkinkan limfosit mengidentifikasi dan merespon antigen. Saat antigen berikatan dengan reseptor yang spesifik pada permukaan limfosit, limfosit akan aktif untuk berdeferensiasi dan terbagi menaikkan populasi dari sel efektor. Sel ini secara nyata melindungi tubuh dalam respon imun. Sel B diaktifkan oleh ikatan antigen yang akan meningkatkan sel efektor yang disebut dengan sel plasma dalam sistem humoral. Sel ini mensekresi antibodi untuk membantu mengurangi antigen. b) Kekebalan Pasif Setiap antigen memiliki permukaan molekul yang unik dan dapat menstimulasi pembentukan berbagai tipe antibodi. Sistem imun dapat merespon berjuta-juta jenis dari mikroorganisme atau benda asing. Bayi dapat memperoleh kekebalan (antibodi) dari ibunya pada saat masih berada di dalam kandungan, sehingga bayi 30 tersebut memiliki sistem kekebalan terhadap penyakit seperti kekebalan yang dimiliki ibunya. Kekebalan pasif setelah lahir yaitu jika bayi terhindar dari penyakit setelah dilakukan suntikan dengan serum yang mengandung antibodi, misanya ATS (Anti Tetanus Serum). Sistem kekebalan tubuh yang diperoleh bayi sebelum lahir belum bisa beroperasi secara penuh, tetapi tubuh masih bergantung pada sistem kekebalan pada ibunya. Imunitas pasif hanya berlangsung beberapa hari atau beberapa minggu saja (Purnomo, Sudjino, Trijoko, & Hadisusanto, 2009). 5) Cara Kerja Antibodi Cara kerja antibodi dalam mengikat antigen ada empat macam. Prinsipnya adalah terjadi pengikatan antigen oleh antibodi, yang selanjutnya antigen yang telah diikat antibodi akan dimakan oleh sel makrofag (Purnomo, Sudjino, Trijoko, & Hadisusanto, 2009) 6) Gangguan pada Kekebalan Tubuh a) Penyebab Penyakit Mikrobia yang menyebabkan penyakit disebut kuman penyakit (patogen). Mikrobia tersebut dapat berupa bakteria, jamur, maupun virus. Bakteri dan jamur sebagian bermanfaat bagi kehidupan manusia. Tetapi berbeda dengan virus, yang merupakan patogen memiliki sifat dapat menyebabkan penyakit. Sifat virus selalu hidup pada organisme hidup lain (sebagai parasit). Di dalam tubuh organisme lain, virus mampu berkembang biak secara capat dan dapat secara terus-menerus berubah membentuk strain baru yang tahan terhadap obat. Kuman dapat menyebabkan sakit dengan caracara sebagai berikut: Merusak jaringan, misalnya Tuberculosis merusak jaringan paru-paru; Mengeluarkan toksin, misalnya bakteri Salmonella yang menghasilkan racun pada makanan. Kuman penyakit dapat menular dari orang yang terinfeksi ke orang yang masih sehat. 31 (1) Penyakit AIDS AIDS merupakan sekumpulan penyakit sebagai dampak dari melemahnya sistem kekebalan tubuh. Kekebalan tubuh dapat melemah karena mendapat serangan dari HIV (Human Immunodeviciency Virus). Virus HIV mampu menyerang dan merusak sel darah putih sehingga kemampuan tubuh dalam memerangi kuman penyakit menjadi berkurang. Orang yang terinfeksi virus HIV tidak selalu dikatakan positif mengidap penyakit AIDS tetapi bisa saja hanya sebagai pembawa (karier). Setelah masa delapan tahun terinfeksi maka penderita HIV dapat menderita AIDS, dan mudah terserang penyakit jenis lainnya, seperti tuberculosis, kanker, melemahnya ingatan, dan kehilangan sistem koordinasi tubuh. (2) Alergi Alergi atau hipersensivitas adalah respons imun yang berlebihan terhadap senyawa yang masuk ke dalam tubuh. Senyawa tersebut dinamakan alergen. Alergen dapat berupa debu, serbuk sari, gigitan serangga, rambut kucing, dan jenis makanan tertentu, misalnya udang. Proses terjadinya alergi diawali dengan masuknya alergen ke dalam tubuh yang kemudian merangsang sel B plasma untuk menyekresikan antibod IgE. Alergen yang pertama kali masuk ke dalam tubuh tidak akan menimbulkan alergi, namun IgE yang terbentuk akan berikatan dengan mastosit. Mastosit kemudian melepaskan histamin yang berperan dalam proses inflamasi. Respons inflamasi ini mengakibatkan timbulnya gejala alergi seperti bersin, kulit terasa gatal, mata berair, hidung berlendir, dan kesulitan bernapas. Gejala alergi dapat dihentikan dengan pemberian antihistamin. 32 (3) Autoimunitas Autoimunitas merupakan gangguan pada sistem kekebalan tubuh saat antibodi yang diproduksi justru menyerang sel-sel tubuh sendiri karena tidak mampu membedakan sel tubuh sendiri dengan sel asing. Autoimunitas dapat disebabkan oleh gagalnya proses pematangan sel T di kelenjar timus. Autoimunitas menyebabkan beberapa kelainan, yaitu: (a) Diabetes mellitus Diabetes mellitus disebabkan oleh antibodi yang menyerang sel-sel beta di pankreas yang berfungsi menghasilkan hormon insulin. Hal ini mengakibatkan tubuh kekurangan hormon insulin sehingga kadar gula darah meningkat. (b) Myasthenia gravis Myasthenia gravis disebabkan oleh antibodi yang menyerang otot lurik sehingga otot lurik mengalami kerusakan. (c) Addison’s disease Addison’s disease disebabkan oleh antibodi yang menyerang kelenjar adrenal. Hal ini mengakibatkan berat badan menurun, kadar gula darah menurun, mudah lelah, dan pigmentasi kulit meningkat. (d) Lupus Lupus disebabkan oleh antibodi yang menyerang tubuh sendiri. Pada penderita lupus, antibodi menyerang tubuh dengan dua cara, yaitu: antibodi menyerang jaringan tubuh secara langsung. Misalnya, antibodi yang menyerang sel darah merah sehingga menyebabkan anemia; antibodi bergabung dengan antigen, sehingga membentuk ikatan yang dianamakan kompleks imun. Jika terjadi dalam jangka panjang, maka fungsi organ tubuh akan terganggu. 33 (e) Radang sendi (artritis reumatoid) Radang sendi merupakan penyakit autoimunitas yang menyebabkan peradangan dalam waktu lama pada sendi. Penyakit ini biasanya mengenai banyak sendi dan ditandai dengan radang pada membran sinovial dan struktur sendi, atrofi otot, serta penipisan tulang. b. Sistem Limfatik Sistem limfatik terdiri atas dua bagian penting, yaitu pembuluh limfa serta berbagai macam jaringan dan organ limfoid di seluruh tubuh. Pembuluh limfa berfungsi untuk mengangkut cairan kembali ke permukaan darah. Organ limfoid berfungsi sebagai tempat hidup sel fagositik dan limfosit yang berperan penting untuk melawan penyakit. Limfa adalah sebutan yang digunakan untuk cairan yang berada di dalam pembuluh limfa. Fungsi sistem limfa adalah sebagai berikut: mengambil kelebihan cairan dari jaringan dan mengembalikannya ke darah, mengabsorbsi lemak dan laktela di usus halus kemudian mengangkutnya ke darah, dan membantu pertahanan tubuh melawan penyakit. 1) Pembuluh limfa Pembuluh limfa merupakan bagian penting dalam sistem peredaran limfa. Peredaran limfa adalah peredaran darah terbuka. Limfa dari jaringan tubuh akan masuk ke kapiler limfa. Kapiler limfa akan bergabung dengan kapiler limfa yang lain membentuk pembuluh limfa. Pembuluh limfa akan terkumpul di pembuluh limfa dada. Limfa akhirnya akan kembali ke sistem peredaran darah. Aliran limfa dalam pembuluh limfa dipengaruhi oleh kontraksi otot rangka. Di sepanjang pembuluh limfa terdapat buku limfa (nodus limfa) yang berbentuk bulatan kecil. Semua cairan limfa yang berasal dari daerah kepala, leher, dada, paru-paru, jantung dan lengan kanan terkumpul dalam pembuluhpembuluh limfa dan bersatu menjadi pembuluh limfa kanan. Pembuluh limfa kanan bermuara di pembuluh baik (vena) di bawah tulang 34 selangka kanan. Cairan limfa yang berasal dari bagian selain bermuara di pembuluh limfa kanan akan bermuara pada pembuluh limfa dada yang bermuara di tulang selangka kiri. 2) Organ-organ Limfoid Organ limfoid mencakup sumsum merah, nodus limfa, limfa, timus, dan tonsil. Timus berfungsi untuk mengasilkan limfosit T. Organ limfoid lain berperan untuk mengumpulkan dan menghancurkan mikroorganisme penginfeksi lain di dalam jaringan limfoid. a) Sumsum merah Sumsum merah mencakup jaringan yang menghasilkan limfosit. Saat dilepaskan dari sumsum merah, sel- sel limfosit masih identik. Perkembangan selanjutnya apakah akan menjadi sel B atau sel T tergantung pada tempat pematangan. Sel B mengalami pematangan di sumsum merah, sedangkan sel T mengalami pematangan di timus. Kedua jenis limfosit tersebut bersirkulasi di seluruh tubuh dan limfa, kemudian terkonsentrasi dalam limfa, nodus limfa, dan jaringan limfatik. b) Nodus limfa Nodus limfa diselubungi oleh jaringan ikat longgar yang membagi nodus menjadi nodulus-nodulus. Tiap nodulus mengandung ruang- ruang (sinus) yang berisi limfosit dan makrofag. Saat cairan limfa melewati sinus maka makrofag akan memakan bakteri dan mikroorganisme lain yang terbawa. Jadi fungsi nodus limfa adalah menyaring mikroorganisme yang ada dalam limfa. Nodus limfa dapat bersifat tunggal maupun berkelompok. (1) Limpa Limpa adalah organ limfoid terbesar. Limpa memiliki dua fungsi utama, yaitu membuang antigen yang terdapat dalam darah serta menghancurkan sel darah merah yang sudah tua. 35 (2) Timus Timus adalah tempat di mana limfosit berkembang menjadi sel T. Timus merupakan satu-satunya organ limfoid yang tidak memerangi antigen secara langsung. (3) Tonsil Tonsil adalah organ limfoid yang paling sederhana. Tonsil berfungsi untuk melawan infeksi pada saluran pernafasan bagian atas dan faring. Tonsil pada manusia mencakup adenoid, tonsil saluran, palatin, dan lidah (Pratiwi, Maryati, Srikini, & Suharno, 2006) B. Kerangka Berpikir Hasil wawancara dengan guru dan siswa tentang proses pembelajaran di kelas XI MIA 2 SMA Negeri 1 Banyudono pada pada tanggal 24 November 2014 menunjukan bahwa metode pembelajaran yang sering dilakukan di kelas adalah ceramah. Data hasil observasi terhadap aktivitas siswa di kelas XI MIA 2 pada tanggal 27 November 2014 menunjukkan bahwa siswa cenderung pasif dalam proses pembelajaran, 4% siswa yang mengemukakan pendapat setelah ditunjuk guru, 0% siswa yang menanggapi pendapat temannya, 26% siswa yang memberikan pertanyaan kepada teman saat presentasi, 17% siswa mengemukakan pendapat atas pertanyaan teman saat presentasi. Data tersebut mengindikasikan bahwa kemampuan mengemukakan pendapat secara lisan siswa masih tergolong rendah. Tes tertulis berupa soal uraian yang diberikan kepada siswa kelas XI MIA 2 pada tanggal 9 April 2015. Hasil tes tertulis menunjukkan bahwa 100% mampu menjawab semua soal. Hasil observasi lanjutan proses pembelajaran di kelas tanggal 9 April 2015 menunjukkan bahwa 26% dari siswa telah mengemukakan pendapat saat proses pembelajaran. Hasil analisis terhadap pendapat siswa (mengacu pada Erduran, Simon, & Osborne, 2004) menunjukkan bahwa 5 jawaban siswa (83,33%) saat menjawab pertanyaan saat presentasi tergolong argumentasi lisan Level 1 dan 1 jawaban siswa 36 (16,67%) tergolong argumentasi lisan Level 2. Hasil analisis jawaban siswa pada tes tertulis menunjukkan bahwa 56 jawaban (60,87%) termasuk argumentasi tertulis Level 1 dan 33 jawaban (35,87%) termasuk argumentasi tertulis Level 2. Jawaban siswa belum ada yang mencapai argumentasi Level 3, argumentasi Level 4, dan argumentasi Level 5. Data empirik tersebut menunjukkan bahwa kualitas argumentasi siswa masih tergolong rendah. Kemampuan argumentasi menjadi salah satu kompetensi yang dibutuhkan oleh siswa Abad 21 karena argumentasi merupakan proses utama dari berpikir kritis. Siswa yang memiliki kemampuan argumentasi yang baik diindikasikan memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik. Argumentasi merupakan aktivitas utama dari pembelajaran sains. Karena dalam argumentasi terdapat proses penyusunan pengetahuan dan pemahaman dari proses evaluasi pada pembuktian teori sains. Discovery learning merupakan pembelajaran yang mengembangkan kemampuan berpikir siswa karena melibatkan siswa untuk belajar aktif dan menyusun konsep secara mandiri dari permasalahan yang ada serta dibantu sumber belajar yang tersedia. Discovery learning merupakan model pembelajaran yang berkebalikan dengan model pembelajaran konvensional. Proses pembelajaran dalam discovery learning terdiri dari lima sintaks yaitu: orientation, hypothesis generation, hypothesis testing, conclusion, dan regulation. Sintaks pertama hingga sintaks kelima dalam discovery learning mampu mendorong siswa untuk berargumentasi sehingga kualitas dan kuantitas argumentasi siswa meningkat. Fenomena yang terjadi pada kelima sintaks akan merangsang siswa untuk berpendapat dan berargumentasi dari apa yang siswa lakukan, bagikan, rasakan, dan dilakukan oleh siswa lain selama proses pembelajaran seperti praktikum, diskusi, dan pengamatan secara bebas. Penerapan brainstorming di dalam sintaks discovery learning membantu siswa untuk menyusun pendapat dan menyampaikan pendapat kepada siswa lain sehingga mampu merangsang siswa lain menghasilkan pendapat baru seoptimal mungkin. Berbagai macam pendapat siswa akan muncul dalam brainstorming, siswa akan berpikir untuk menentukan pendapat yang akan digunakan sebagai solusi 37 permasalahan. Siswa akan berargumentasi untuk mempertahankan pendapat yang telah dikemukakan. Berdasarkan uraian sebelumnya yang menunjukkan hubungan peningkatan kemampuan argumentasi melalui penerapan discovery learning disertai brainstorming dengan alur kerangka berpikir sebagaimana disajikan pada Gambar 2.1. C. Hipotesis Tindakan Hipotesis tindakan penelitian kelas yaitu: 1. Ada peningkatan kualitas argumentasi lisan melalui penerapan discovery learning disertai brainstorming pada siswa kelas XI MIA 2 SMA Negeri 1 Banyudono pada Tahun Pelajaran 2014/2015 2. Ada peningkatan kuantitas argumentasi lisan melalui penerapan discovery learning disertai brainstorming pada siswa kelas XI MIA 2 SMA Negeri 1 Banyudono pada Tahun Pelajaran 2014/2015 3. Ada peningkatan kualitas argumentasi tertulis melalui penerapan discovery learning disertai brainstorming pada siswa kelas XI MIA 2 SMA Negeri 1 Banyudono pada Tahun Pelajaran 2014/2015 4. Ada peningkatan kuantitas argumentasi tertulis melalui penerapan discovery learning disertai brainstorming pada siswa kelas XI MIA 2 SMA Negeri 1 Banyudono pada Tahun Pelajaran 2014/2015 38 Kemampuan argumentasi siswa rendah 26% siswa berpendapat saat proses pembelajaran; 83,33% Argumentasi lisan Level 1 dan 16,67 Argumentasi lisan Level 2 jawaban tes 60,87% argumentasi tertulis Level 1 dan 35,87% argumentasi tertulis Level 2 Guru jarang mengajak berdiskusi dengan siswa sehingga siswa jarang mencurahkan pendapatnya Kelebihan discovery learning - Sintaks discovery learning: (1) orientation; (2) hypothesis generation; (3) hypothesis testing; (4) conclusion; dan (5) regulation (Veermans, 2003) - Mendorong siswa menemukan konsep melalui pemecahan masalah dengan cara mengemukakan pendapat (Osman, Chuo Hiong, & Vebrianto, 2013) - Siswa yang memiliki kemampuan argumentasi yang baik diindikasikan memiliki kemampuan berpikir kritis tinggi sesuai tuntutan abad 21 - Berargumentasi merupakan aktivitas utama dari pembelajaran sains Proses pembelajaran di kelas belum melatihkan kemampuan argumentasi siswa Perlu model pembelajaran yang melatih siswa berargumentasi melalui curah pendapat Discovery learning Kelebihan brainstorming - Fase brainstorming: (1) prepare the group; (2) present the problem; dan (3) guide the discussion (AlMutairi, 2015). - Meningkatkan kemampuan berkomunikasi, proses berpikir, dan membuat keputusan dengan berbagai sudut pandang dan pendapat dengan cara siswa dilatih aktif untuk menyampaikan informasi, pengalaman, dan pendapat (Al-khatib, 2012) Brainstorming Argumentasi meningkat Lisan Tertulis Gambar 2.1. Kerangka Berpikir Penelitian