BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Hakikat Nilai Agama dan Moral 2.1.1 Pengertian Nilai Nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun persaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang khusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterkaitan maupun perilaku. Namun, akan berbeda jika nilai itu dikaitkan dengan agama, karena nilai sangat erat kaitannya dengan perilaku dan sifat-sifat manusia, sehingga sulit ditentukan batasannya dan keabstrakannya itu. Dalam kamus bahasa Indonesia, nilai adalah sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Sedangkan menurut Muda (2006 : 387) bahwa nilai adalah sifat-sifat yang penting bagi kemanusiaan. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan suatu konsep yang mengandung tata aturan yang dinyatakan benar oleh masyarakat karena mengandung sifat kemanusiaan yang pada gilirannya merupakan persaan umum, identitas umum yang oeh karenanya menjadi syariat umum dan akan tercermin dalam tingkah laku manusia. 2.1.2 Hakekat Agama Dalam bahasa Arab, agama berasal dari kata ad-din yang artinya sejumlah aturan yang disyariatkan Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya yang menyembah kepada-Nya, baik aturan-aturan yang menyangkut kehidupan duniawi dan yang berkenaan dengan ukhrowi. Menurut Harun Nasution (dalam Nata 2010: 9) kata agama tersusun atas dua kata kata a = tidak dan gam = pergi, jadi agama artinya tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun-temurun. Sedangkan menurut Muda (2006: 18) agama adalah prinsip kepercayaan kepada tuhan dengan aturan-aturan syarat-syarat tertentu. 8 1 Dari berbagai pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa nilai agama islam adalah sejumlah tata aturan yang menjadi pedoman manusia agar dalam setiap tingkah lakunya sesuai dengan ajaran agama Islam sehingga dalam kehidupannya dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan lahir dan batin dunia dan akhirat. 1. Sumber Nilai Agama Nilai-nilai agama merupakan bagian dari nilai material yang terwujud dalam kenyataan pengalaman rohani dan jasmani. Nilai-nilai agama (religi) merupakan tingkatan integritas kepribadian yang mencapai tingkat budi (insan kamil). Nilai-nilai agama sifatnya mutlak kebenarannya, universal dan suci. Kebenaran dan kebaikan agama mengatasi rasio, perasaan, keinginan, nafsu-nafsu manusiawi dan mampu melampaui subjektifitas golongan, ras, bangsa dan stratifikasi sosial. Islam merupakan ajaran yang dapat membina pribadi muslim seutuhnya dalam wujud sifatsifat iman, taqwa, jujur, adil, sabar. Cerdas, disiplin, tenggang rasa, bijaksana dan tanggung jawab. Agama bertujuan membentuk pribadi yang cakap untuk hidup dalam masyarakat di kehidupan dunia yang merupakan jembatan menuju akhirat. Agama mengandung nilai-nilai rohani yang merupakan kebutuhan pokok kehidupan manusia, bahkan kebutuhan fitrahnya karena tanpa landasan spiritual yaitu agama manusia tidak akan mampu mewujudkan keseimbangan antara dua kekuatan yang bertentangan yaitu kebaikan dan kejahatan. Nilai-nilai agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan sosial, bahkan tanpa nilai tersebut manusia akan turun ketingkat kehidupan hewan yang amat rendah karena agama mengandung unsur kuratif terhadap penyakit sosial. Menurut Arifin (1987: 121) Nilai itu bersumber berlaku dalam pranata kehidupan manusia dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu; a). Nilai ilahi, yaitu nilai yang berasal dari Tuhan melalui para nabi dan rasul-Nya, yang berbentuk taqwa, iman, adil, yang diabadikan dalam wahyu ilahi. Nilai-nilai ilahi selamanya tidak mengalami perubahan. Karena nilai-nilai ilahi fundamental dan mengandung kemutlakan bagi kehidupan manusia selaku pribadi dan selaku anggota masyarakat, serta tidak berkencenderungan untuk berubah mengikuti selera hawa nafsu manusia dan berubah-ubah sesuai dengan tuntutan perubahan sosial, dan tuntutan individual. b). Nilai Insani, yaitu nilai yang tumbuh atas kesepakatan manusia serta hidup dan berkembang dari peradaban manusia, dan nilai bersifat dinamis. Sedangkan keberlakuan dan kebenarannya bersifat relatif (nisbi) yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Dari berbagai sumber nilai keagamaan tersebut, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa setiap tingkah laku manusia haruslah mengandung nilai-nilai agama Islam yang pada dasarnya bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah yang harus senantiasa dicerminkan oleh setiap manusia dalam tingkah lakunya di kehidupan sehari-harinya dari hal-hal kecil sampai yang besar sehingga ia akan menjadi manusia yang berperilakuutama dan berbudi mulia. 2. Penanaman Nilai Agama Dan Moral Menurut Suyadi (2010: 125-131) Penanaman nilai-nilai agama pada anak adalah menulis diatas lembaran kertas berlapis tembaga dengan tinta emas tersebut, sehingga anak dapat menerima rasa beragama sesuai dengan tahap perkembangannya. Beberapa hal yang harus dipahami dalam perkembangan nilai-nila-nilai moral dan keagamaan pada anak yaitu sebagai berikut: a. Makna Agama Bagi Anak Perlu ditekankan bahwa rasa beragama berbeda dengan pengetahuan tentang agama, baik orang dewasa maupun anak-anak. Apa perbedaannya? Pengetahuan agama adalah konfirmasi tentang agama yang bersumber dari kitab suci, sedangkan rasa beragama adalah buah dari pengetahuan terhadap agama tersebut. b. Asal Muasal Munculnya Rasa Beragama Pada Anak Usia Dini Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, munculnya agama dalam diri anak berawal dari mengenal tuhan melalui kata-kata. Memang, pada awalnya anak bersikap acuh tak acuh terhadap kata tuhan tersebut. Namun, seiring dengan perkembangan otaknya, kemudian didukung oleh fungsi mata yang mulai mampu menatap ekspresi kepatuhan orang dewasa kepada tuhan, anak mulai gelisah dan dan ragu-ragu. Kegeliisahan tersebut disebabkan anak-anak belum mempunyai pengalaman empiris mengenai tuhan sama sekali, sedangkan ia sendiri sering menyaksikan ekspresi kepatuhan orang-orang dewasa kepada tuhan. c. Tahap-tahap Perkembangan Moral Kegamaan Pada Anak Usia Dini Telah banyak psikolog yang mencoba melakukan penelitian untuk menkaji perkembangan keagamaan (religiutas) pada anak. Akan tetapi, semuanya kandas di tengah jalan dan terhenti pada perkembangan fisik-motorik, kognitif, bahasa, dan sosial-emosional. Walaupun demikian, mereka tidak aharapan. Dana, sebatas mereka mampu, mereka menggunakan pendekatannya masing-masing dalam meneliti perkembangan keagamaan pada anak. salah satu psikolog yang menggunakan metode ini adalah Piaget. Ia mengkaji perkembangan keagamaan pada anak dengan pendekatan moral-kognitif. 2.1.3 Hakekat Moral Moral berasal dari kata latin mores berarti tatacara, kebiasaan dan adat. Menurut Muda 2006: 378) bahwa moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai akhlak, akhlak dan budi pekerti, atau kondisi mental yang mempengaruhi seseorang menjadi tetap bersemangat, berani, disiplin dan sebagainya. Aspek perkembangan moral menurut Isjoni (2011: 113) meliputi: 1) mengenal aturan, 2) mengenal sopan santun, 3) salah dan benar, 4) baik dan buruk. Istilah moral selalu terkait dengan kebiasaaan, aturan, atau tatacara suatu masyarakat tertentu, ermasuk pula dalam moral adalah aturan-aturan atau nilai-nilal agama yang dipegang masyarakat setempat. Sebagaimana pendapat Mansur (dalam Mursid, 2010: 48) bahwa pendidikan anak usia dini merupakan suatu proses pembinaan tumbuh kembang anak usia lahir hingga enam tahun secara menyeluruh, yangn mencakup aspek fisik dan non fisik, dengan memberikan rangsangan bagi perkembangan jasmani dan rohani (moral dan spiritual) motorik, akal pikir, emosional dan sosial yang tepat agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Pada masa bayi anak belum mengenal perilaku moral atau perilaku yang sesuai atau tidak sesuai dengan kebiasaan orang-orang disekitamya. Semakin bertambah hari, bertambah pula usianya anak bertambah pula pengetahuan terhadap lingkungan sekitarya. Pengetahuannya tentang perilaku yang boleh atau tidak boleh atau perilaku yang sesuai dengan kebiasaan lingkungan sekitar dimengerti berdasar pendidikan dari orang dewasa disekitamya. Orang tua dan orang dewasa lain yang terlibat dalam pendidikan anak harus mengajarkan pada anak perilaku apa saja yang benar dan kurang sesuai dengan aturan atau kebiasaan setempat. Anak juga harus diberi kesempatan untuk turut ambil bagian dalam kegiatan kelompok sehingga anak dapat belajar berbagai perilaku yang sesuai dengan harapan kelompok dan perilaku yang tidak sesuai dengan harapan kelompok. 1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Moral Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan anak. Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama orang tua. Dia belajar untuk mengenal nilai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Menurut Yusuf (2006: 133-134) bahwa sikap orang tua perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral anak diantaranya sebagai berikut: a. Konsisten dalam mendidik anak Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakukan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orang tua pada suatu waktu, harus dilarang apabila dilakukan kembali pada waktu lain. b. Sikap orang tua terhadap keluarga Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu. Atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu proses peniruan (imitasi). c. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak. Termasuk disini panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religious (agamais), dengan cara membersihkan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak mengalami perkembangan moral yang baik. d. Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma Orangtua yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari perilaku berbohong atau tidak jujur. 2. Proses Perkembangan Moral a. Pendidikan langsung, yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar dan salah, atau baik dan buruk oleh orangtua, guru atau orang dewasa lainnya. Disamping itu, yang paling penting dalam pendidikan moral ini, adalah keteladanan dari orang tua, guru atau orang dewasa lainnya dalam melakukan nilai-nilai moral. b. Identifikasi. Yaitu dengan cara mengidentikasi atau meniru penampilan atau tingkah laku moral seseorang yang menjadi idolanya (seperti orangtua, guru, kiai, artis atau orang dewasa lainnya). c. Proses coba-coba (trial dan erorr), yaitu, dengan cara membangkitkan tingkah laku moral secara tiba-tiba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan terus dikembangkan, sementara tingkah laku yang mencatangkan hukuman atau celaan akan dihentikannya. 3. Fase Perkembangan Moral Menurut Hurlock (2000: 80-81) bila moralitas yang sesungguhnya harus mencapai perkembangan moral harus terjadi dalam fase yang jelas. Sebagai berikut: 1. Perkembangan perilaku moral. Anak dapat belajar untuk berprilaku sesuai dengan cara yang disetujui melalui coba-ralat melalui pendidikan langsung, atau melalui identifikasi. 2. Perkembangan konsep moral. Fase kedua ini perkembangan moral adalah fase belajar tentang konsep moral, atau prinsip-prinsip benar dan salah dalam bentuk abstrak dan verbal. Latihan dalam prinsip moral karenanya harus menunggu hingga anak telah mempunyai kemampuan mental untuk membuat generalisasi dan mentransfer prinsip tingkah laku dari situasi ke situasi yang lain. 2.1.4 Aspek-aspek Nilai, Agama dan Moral Dalam Permendiknas No. 58 disebutkan bahwa aspek-aspek yang termasuk dalam perkembangan nilai agama dan moral pada anak usia dini meliputi: 1. Mengenal Tuhan melalui agama yang dianutnya. 2. Meniru gerakan beribadah. 3. Mengucapkan doa sebelum dan/atau sesudah melakukan sesuatu. 4. Mengenal perilaku baik/sopan dan buruk. 5. Membiasakan diri berperilaku baik. 6. Mengucapkan salam dan membalas salam. 2.2 Pengertian Pembiasaan Dalam upaya mencapai suatu tujuan pembelajaran yang efektif dan efisien, guru atau pendidik harus bisa memilih dan menggunakan metode yang tepat guna dalam melaksanakan kegiatan pembelajarannya. Metode adalah suatu cara yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan. Hardini dan Puspitasari (2012: 13) berpendapat bahwa metode pembelajaran merupakan cara-cara yang ditempuh guru untuk menciptakan situasi pengajaran yang menyenangkan dan mendukung bagi kelancaran proses belajar dan tercapainya prestasi belajar anak yang memuaskan. Lebih lanjut Djamarah dan Zain (2010:76) menyatakan bahwa metode adalah suatu cara yang memiliki nilai strategis dalam kegiatan belajar mengajar, nilai strategisnya adalah metode dapat mempengaruhi jalannya kegiatan belajar mengajar. Secara etimologi, pembiasaan berasal dari kata “biasa”. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, “biasa” berarti 1) Lazim atau umum, 2) Seperti sedia kala, 3) Sudah merupakan hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dengan adanya prefiks “pe” dan sufiks “an” menunjukkan arti proses. Sehingga pembiasaan dapat diartikan dengan proses membuat sesuatu/seseorang menjadi terbiasa. Menurut Arief (2002: 110) bahwa dalam kaitannya dengan metode pengajaran pendidikan agama Islam, dapat dikatakan bahwa pembiasaan adalah sebuah cara yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak didik berfikir, bersikap, bertindak sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Metode Pembiasaan merupakan kegiatan yang dilakukan secara teratur dan berkesinambungan untuk melatih anak agar memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu, yang umumnya berhubungan dengan pengembangan kepribadian anak seperti emosi, disiplin, budi pekerti, kemandirian, penyesuaian diri, hidup bermasyarakat, dan lain sebagainya. Pembiasaan menurut Aqib (2009: 28) merupakan upaya yang dilakukan untuk mengembangkan perilaku anak, yang meliputi perilaku keagamaan, sosial, emosional dan kemandirian. Pembiasaan merupakan proses penanaman kebiasaan. Sedangkan menurut Drajat (2005: 73) kebiasaan adalah pola untuk melakukan tanggapan terhadap situasi tertentu yang dipelajari oleh seorang individu dan yang dilakukan secara berulang-ulang untuk hal yang sama. Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Pembiasaan sebenarnya berintikan pengalaman, yang dibiasakan itu adalah sesuatu yang diamalkan. Metode pembiasaan juga tergambar dalam Al-Qur’an dalam penjabaran materi pendidikan melalui kebiasaan yang dilakukan secara bertahap. Dalam hal ini termasuk merubah kebiasaan–kebiasaan yang negatif. Kebiasaan ditempatkan oleh manusia sebagai sesuatu yang istimewa. Ia banyak sekali menghemat kekuatan manusia, karena sudah menjadi kebiasaan yang sudah melekat dan spontan, agar kekuatan itu dapat dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan dalam berbagai bidang pekerjaan, berproduksi dan aktivitas lainnya. Dalam kaitan pembentukan tingkah laku melalui pembiasaan yang dilakukan secara terus menerus dalam kehidupan anak sehari-hari dimaksudkan untuk mempersiapkan anak sedini mungkin untuk mengembangkan sikap dan perilaku yang didasari nilai pancasila dan agama. Menurut Moeslichatoen (2004: 8) bahwa cara pembiasaan yang dilakukan guru perlu ditekankan pada pengendalian diri. Kemampuan mengendalikan diri memungkinkan anak dapat memahami dan menghayati tingkah laku mana yang dapat diterima oleh masyarakat. Memungkinkan anak menyadari bahwa dirinya dapat mengembangkan tanggung jawab terhadap diri sendiri juga terhadap orang lain. Dalam memperkenalkan nilai agama dan moral pada anak, Hurlock (dalam Moeslichatoen, 2004: 8-9) dapat dilakukan dengan cara: 1) Mendorong anak bertingkah laku sesuai sesuai yang diharapkan dan menghilangkan tingkah aku yang yang tidak diharapkan. 2) Tingkah laku yang diharapkan apabila dilakukan anak akan memberikan konsekuensi yang menyenangkan, sedang tingkah laku yang tidak diharapkan akan menumbuhkan penyesalan pada diri anak. 3) Tingkah laku yang diharapkan apabila dibina secara terus menerus pada saatnya akan terjadi dengan sendirinya, atas prakarsa anak sendiri meskipun tidak ada pengawasan dari guru. 4) Anak perlu mendapat kesempatan untuk mengubah tingkah laku yang tidak diharapkan itu. Demikian halnya dengan cara mendidik anak. Untuk dapat membina agar anak mempunyai sifat-sifat terpuji, tidaklah mungkin dengan menggunakan penjelasan pengertian saja, akan tetapi perlu membiasakannya untuk melakukan hal-hal yang baik yang diharapkan nanti dia akan memiliki sifat itu, serta menjauhi sifat tercela. Kebiasaan dan latihan itulah yang membuat dia cenderung untuk melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Maka, semakin kecil umur anak, hendaknya semakin banyak latihan dan pembiasaan agama dilakukan pada anak. Dan semakin bertambah umur anak, maka hendaknya semakin bertambah pula penjelasan dan pengertian tentang agama itu diberikan sesuai dengan tingkat perkembangannya. Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa metode pembiasaan berarti cara untuk melakukan suatu tindakan dengan teratur dan telah terpikir secara baik-baik dan dilakukan secara berulangulang sehingga menjadi suatu kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan. 2.2.1 Bentuk-bentuk Pembiasaan Pembiasaan merupakan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dan dalam kehidupan sehari-hari anak sehingga menjadi kebiasaan yang baik. Pembiasaan ini meliputi aspek perkembangan moral dan nilai-nilai agama, pengembangan sosio emosional dan kemandirian. Dari program pengembangan moral dan nilai-nilai agama diharapkan dapat meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan yang maha Esa dan membantu terbinanya sikap anak yang baik. Menurut Isjoni (2010: 63) bahwa dengan pengembangan sosio emosional anak diharapkan dapat memiliki sikap membantu orang lain, dapat mengendalikan diri dan berinteraksi dengan lingkungannya. Adapun bentuk-bentuk pembiasaan pada anak menurut Aqib (2009: 58) dapat dilaksanakan dengan cara berikut: 1) Kegiatan rutin, adalah kegiatan yang dilakukan di sekolah setiap hari, misalnya berbaris, berdo’a sebelum dan sesudah melakukan kegiatan. 2) Kegiatan spontan adalah kegiatan yang dilakukan secara spontan, misalnya meminta tolong dengan baik, menawarkan bantuan dengan baik, dan menjenguk teman yang sakit. 3) Pemberian teladan adalah kegiatan yang dilakukan dengan member teladan/contoh yang baik kepada anak, misalnya memungut sampah di lingkungan sekolah dan sopan dalam bertutur kata. 3) Kegiatan terprogram adalah kegiatan yang deprogram dalam kegiatan pembelajaran (program semester, SKM, dan SKH) , misalnya makan bersama dan menjaga kebersihan lingkungan sekolah. 2.2.2 Langkah-langkah Pelaksanaan Pembiasaan Kebiasaan baik yang dibentuk dan dikembangkan melalui proses pendidikan yang baik, misalnya kebiasaan dalam berkomunikasi , pengaturan dan penggunaan waktu secara tepat, bersikap baik dan tepat, memilih permainan dan menggunakan saran dengan tepat. Anak perlu dibiasakan sejak dini untuk mengatur dan menggunakan waktu secara tepat, agar kelak bisa menjadi orang disiplin dan bertanggung jawab. Pembiasaan sebaiknya ditanamkan dari hal-hal kecil dan yang mudah dilakukan oleh anak usia dini. Misalnya mengatur waktu antara menonton TV dengan bermain, belajar, istirahat dan kegiatan-kegiatan yang lainnya. Apabila kebiasaan ini sudah dimiliki oleh anak , maka anak sendiri akan menyesuaikan berbagai tindakannya sehingga tidak saling merugikan atau menghambat. Agar pembiasaan dapat segera tercapai dan hasilnya baik, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Mulailah pembiasaan itu sebelum terlambat, jadi sebelum anak itu mempunyai kebiasaan lain yang berlawanan dengan hal-hal yang akan dibiasakan. 2. Pembiasaan hendaknya dilakukan secara terus menerus (berulangulang) dijalankan secara teratur sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang otomatis. Tapi juga butuh pengawasan dari orang tua, keluarga maupun pendidik. 3. Pendidikan hendaklah konsekuen, bersikap tegas dan tetap teguh terhadap pendiriannya yang telah diambil. Jangan member kesempatan anak untuk melanggar pembiasaan yang telah ditetapkan. 4. Pembiasaan yang mula-mulanya mekanistis harus semakin menjadi pembiasaan yang disertai kata hati anak itu sendiri. Kebiasaan lain perlu dipupuk dan dibentuk adalah berkomunikasi dengan anggota keluarga, misalnya mendiskusikan hal-hal yang mereka saksikan di lingkungan. Kebiasaan berkomunikasi dan berdiskusi akan memupuk kemampuan anak dalam berinteraksi sosial dan pengembangan diri. Surya (2001: 5) Dalam hal ini orang tua mempunyai peran yang sangat besar dan penting terutama melalui metode pembiasaan dan keteladanan. Sedangkan upaya untuk memelihara kebiasaan yang baik menurut Sudharto dan Izzaty (2007: 11-12) dilakukan dengan cara: 1. Melatihkan hingga benar-benar paham dan bisa melakukan tanpa kesulitan. Sesuatu hal yang baru tentu tidak mudah dilakukan semua anak, maka pembiasaan bagi mereka perlu dilakukan sampai anak dapat melakukan. Pendidik perlu membimbing dan mengarahkan agar anak-anak mampu melakukan 2. Mengingatkan anak yang lupa melakukan. Anak-anak perlu diingatkan dengan ramah jika lupa atau dengan sengaja tidak melakukan kebiasaan positif yang telah diajarkan tapi jangan sampai mempermalukan anak. Teguran sebaiknya dilakukan secara pribadi. 3. Apresiasi pada masing-masing anak secara pribadi. Pemberian apresiasi dapat membuat anak senang, tetapi harus hati-hati agar tidak menimbulkan kecemburuan pada anak yang lain. 4. Hindarkan mencela pada anak. Guru merupakan profesi yang professional, maka seluruh perilaku dalam mendidik anak diupayakan agar menguntungkan bagi perkembangan anak dengan tidak mencela anak, walau terdapat kesalahan atau kekurangan padanya. 2.2.3 Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembiasaan Pembiasaan merupakan metode yang tepat diterapkan pada pendidikan anak usia dini, mengingat pada masa anak-anak mudah diberi pengaruh dan mudah mengikuti apa yang diajarkan padanya. Namun demikian, dalam setiap metode pembelajaran dalam pendidikan, tentu terdapat kelebihan dan kekurangan. Sama halnya dengan metode pembiasaan terdapat kelebihan dan kekurangan. Menurut Arief (2002: 115-116) kelebihan dan kekurangan metode pembiasaan adalah sebagai berikut: 1. Kelebihan Kelebihan metode pembiasaan adalah: 1) Dapat menghemat waktu dan tenaga dengan baik 2) Pembiasaan tidak hanya berkaitan dengan aspek lahiriah saja tetapi juga berhubungan dengan aspek batiniah. 3) Pembiasaan dalam sejarah tercatat sebagai metode yang paling berhasil dalam pembentukan kepribadian anak. 2. Kekurangan Kekurangan pada penerapan metode ini adalah membutuhkan tenaga pendidik yang benar-benar dapat dijadikan sebagai contoh teladan di dalam menanamkan suatu nilai kepada anak didik. Oleh karena itu pendidik yang dibutuhkan dalam mengaplikasikan pendekatan ini adalah dibutuhkannya pendidik pilihan yang benarbenar mampu menyelaraskan antara perkataan dengan perbuatan. Sehingga tidak ada kesan bahwa pendidik hanya mampu memberikan nilai saja tetapi tidak mampu mengamalkan nilai yang disampaikannya kepada anak didik. 2.3 Upaya Meningkatkan Kemampuan Mengenal Nilai Agama dan Moral Melalui Pembiasaan Anak-anak belum mampu berpikir abstrak, karena perkembangan pemikiran logis baru mulai pada umur tujuh tahun. Mereka berpikir terkait dengan apa yang dapat dijangkaunya dengan panca inderanya, karena itu cara mereka berpikir dikatakan inderawi. Di antara panca indera yang paling besar pengaruhnya dan lebih lama tinggal di otak adalah penglihatan, kemudian pendengaran, sedangkan sisanya sentuhan, penciuman, dan pencicipan. Anak yang dibesarkan oleh kedua orang tuanya yang taat beribadah dan sayang kepada anak-anaknya, akan menyerap nilai-nilai agama dari orang tuanya. Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa anak-anak pada usia dini datang ke sekolah dengan pengalamannya masing-masing, sesuai dengan keadaan orang tuanya. ada yang pertumbuhan kepribadiannya sarat dengan nilai-nilai agama, ada yang sebaliknya. Seorang pendidik yang sadar akan selalu berusaha mencari metode yang lebih efektif dan mencari pedoman-pedoman pendidikan yang berengaruh dalam upaya mempersiapkan anak secara mental, moral, saintifikal, spiritual, dan sosial sehingga anak tersebut mampu meraih puncak kesempurnaan, kedewasaan, dan kematangan berfikir. Metode pembelajaran adalah cara yang dilakukan guru untuk membelajarkan anak agar mencapai kompetesi yang ditetapkan. Adapun beberapa upaya dalam meningkatkan mengenal nilai-nilai agama islam melalui mengucap syair pada anak, sebagai berikut. a. Pembiasaan, yang dimaksud pembiasaan adalah segi praktek nyata dalam proses pembentukan dan persiapannya. Periode anak ini hendaknya lebih banyak mendapatkan pengajaran dan pembiasaan ketimbang pada usia dan periode lainnya. Suatu kesulitan bagi para pendidik (bapak-ibu dan para guru) dengan menekankan anak sejak dini untuk melakukan kebaikan. Untuk membiasakan timbulnya sifat-sifat terpuji tidaklah mungkin dengan adanya penjelasan saja tentang pengertian, tetapi perlu pembiasaan untuk melakukan yang baik yang diharapkan nantinya dapat mempunyai sifat-sifat itu, dan menjauhi sifat-sifat tercela. Kebiasaan-kebiasaan dan latihan itulah yang membuat kecenderungan untuk melakukan yang baik dan menjauhi yang tidak baik. Oleh karena itu, pembiasaan sangat cocok pada masa anak-anak. b. Keteladanan, yang dimaksud dengan keteladanan di sini adalah seseorang yang memberikan suatu contoh yang baik, akhlak yang tangguh, memahami jiwa agama yang benar, disamping itu kemampuannya mengikuti perkembangan zaman. c. Hiwar (dialog), yaitu hubungan percakapan antara seorang anak dengan orang tuanya. Ini merupakan suatu keharusan bagi orang tua atau pendidik terhadap anakanaknya sebab dengan hal ini akan terjadi percakapan yang dinamis, lebih mudah dipahami, lebih berkesan, dan orang tua atau pendidik sendiri sejauh mana tingkat perkembangan pemikiran dan sikap yang dimiliki anaknya. Banyak hal sebenarnya yang bisa didialogkan antara orang tua dan pendidik pada anak-anaknya dan dari situlah orang tua dan pendidik bisa mengarahkan anak-anaknya. Oleh karena itu, kemampuan berdialog mutlak harus ada pada setiap orang tua dan pendidik. Selain ketiga cara yang dilalakukan guru dalam upaya mengajarkan kepada anak tentang nilai-nilai agama dan moral upaya lain yang ingin capai adalah guru atau pendidik. 1) Nilai keimanan; Yang tertanam kokoh dalam jiwa anak akan memberikan warna dan corak dalam kehdupan mereka sehari-hari, dikarenakan adanya pengakuan dalam dirinya tentang kekuatan yang menguasai dan melindunginya, yaitu Allah. Pengakuan ini diharapkan mampu mendorong anak untuk berbuat sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. 2) Berkata yang baik dan sopan; hal ini dilakukan agar anak terbiasa mengucap atau berkata kepada orang lain dengan kata yang baik dan dapat memberikan salam kepada siapa saja ia bertemu. Mengucap salam diajarkan kepada anak semenjak anak dilahirkan sampai menginjak umur dewasa. 2.3 Kajian Penelitian yang Relevan Sebelum melakukan penelitian ini, peneliti telah menelusuri beberapa hasil penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini diantaranya adalah: 1. Pertama, Skripsi saudari Ainun Ni’mah (3104298) lulusan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo jurusan PAI Tahun 2009, yang berjudul “Implementasi Metode Pembiasaan Pada Pendidikan Agama Islam Di SDIT Harapan Bunda Pedurungan Semarang. Berdasarkan penelitian tersebut, menunjukkan bahwa dalam implementasi metode pembiasaan pada pendidikan agama Islam dinilai sangatlah tepat karena dalam implementasi metode pembiasaan anak dilatih dan dibiasakan untuk berfikir dan bersikap sesuai dengan ajaran agama Islam serta mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam dengan baik dan benar. 2. Skripsi yang berjudul “Implementasi Metode Pembiasaan Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Di Tk Aisiyah Kradenan3 Trucuk Klaten” oleh Sri Wahyuni (073111415) Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo jurusan PAI lulus Tahun 2009. Dari penelitian tersebut hasilnya adalah bahwa penerapan metode pembiasaan dalam pembelajaran agama Islam di TK Aisiyah Kradenan 3 Trucuk –Klaten dilakukan melalui tahap perencanaan dengan menyiapkan program satuan kegiatan harian, kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan, dengan melaksanakan proses pembelajaran yang berorientasi pada pembiasaan anak yang dilakukan dengan berbagai cara baik disesuaikan arah pembiasaan yang telah dirancang, selanjutnya merupakan model pembiasaan dengan membiasakan kebersihan dengan memeriksa pakaian, kuku dan tubuh mereka, membiasakan untuk membaca Al Qur’an, menghafal surat-surat pendek, membiasakan membaca do’a-do’a harian dalam kehidupan sehari-hari, pada setiap proses pembelajaran, membiasakan menutup kegiatan belajar mengajar dengan do’a bersama dan saling bersalaman. Dengan demikian maka sangatlah tepat ketika metode pembiasaan dijadikan sebagai metode yang diterapkan bagi anak usia dini, dalam hal ini adalah peserta didik dari TK Aisiyah Kradenan 3 Trucuk- Klaten. Penelitian ini dengan penelitian sebelumnya mengandung persamaan yaitu menggunakan metode pembiasaan sebagai alternative dalam memperkenalkan pendidikan agama Islam, termasuk menanamkan nilai agama dan moral pada anak usia dini. Sedangkan perbedaan terletak pada lokasi penelitian. 2.4 Hipotesis Tindakan Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah: “Jika kegiatan pembiasaan dilakukan dalam pembelajaran maka kemampuan anak dalam mengenal nilai agama dan moral Islam di Kelompok Bermain Idhata Desa Titidu Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara dapat ditingkatkan. 2.5 Indikator Kinerja Berdasarkan hipotesis tindakan di atas, maka yang dijadikan indikator kinerja dalam penelitian ini adalah terjadi peningkatan kemampuan mengenal nilai agama dan moral yakni senantiasa mengucap dan menjawab salam dari 6 orang anak atau persentase 40% menjadi 14 orang anak atau persentase 93.33% dari jumlah anak seluruhnya 15 orang setelah dibelajarkan nilai agama dan moral melalui pembiasaan pada Kelompok Bermain Idhata Desa Titidu Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.