APLIKASI KAPUR TERHADAP PENINGKATAN - BPPBAP

advertisement
209
Aplikasi kapur terhadap peningkatan produktivitas ... (Andi Sahrijanna)
APLIKASI KAPUR TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TANAH SULFAT MASAM
UNTUK GELONDONGAN NENER BANDENG
Andi Sahrijanna dan Brata Pantjara
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau
Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan
E-mail: litkan [email protected]
ABSTRAK
Kemasaman tanah dan toksisitas yang tinggi pada tanah sulfat masam (TSM) sering menyebabkan kendala
dalam budidaya. Untuk itu, dalam pemanfaatan tambak tersebut memerlukan upaya untuk meningkatkan
produktivitas tanahnya melalui pengapuran dan aplikasi pupuk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
aplikasi kapur pada TSM dan pemanfaatannya untuk produksi gelondongan nener bandeng. Penelitian
dilakukan di laboratorium basah, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros. Sampel TSM diambil dari
Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Peningkatan produktivitas tanah meliputi pembalikan tanah dasar, pengeringan,
perendaman dan pembilasan dalam bak dan dilanjutkan dengan aplikasi kapur dan pemupukan. Perlakuan pada
penelitian ini adalah A. Aplikasi dolomit dan pupuk; B. Aplikasi kalsit dan pupuk; dan C. tanpa kapur dan
pupuk, masing-masing perlakuan dengan 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa reklamasi tanah
yang diaplikasi kapur dan pupuk pada TSM dapat meningkatkan kualitas tanah yang lebih baik dibandingkan
tanpa aplikasi kapur. Demikian pula, pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan sintasan gelondongan
bandeng. Namun demikian dalam uji statistik menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05). Pada penelitian
ini aplikasi dolomit dan pupuk pada perlakuan A menghasilkan pertumbuhan berat rata-rata( 0,25 g/ind.)
dan sintasan (71,98%) yang lebih baik dibanding perlakuan B dan C.
KEYWORDS:
kapur, tanah sulfat masam, nener, bandeng
PENDAHULUAN
Salah satu potensi tambak marjinal adalah tanah sulfat masam (TSM), yang luasnya mencapai 6,7
juta ha. TSM banyak dijumpai pada daerah-daerah pesisir dan zona intertidal yaitu kawasan yang
dipengaruhi pasang surut dan merupakan kawasan yang potensial untuk perkembangan budidaya
tambak. Namun, banyak masalah yang sering dihadapi dalam usaha pertambakan di TSM terutama
kemasaman tanah yang disebabkan oleh kandungan senyawa pirit , besi, aluminium yang tinggi dan
kandungan logam lainnya seperti mangan serta sulfat yang tinggi (Dent & Ponds,1995).
Salah satu upaya memperbaiki kualitas tanah sulfat masam banyak adalah reklamasi tanah
(Poernomo, 1983). Proses reklamasi tanah sulfat masam yang meliputi pengolahan tanah, pengeringan,
perendaman dan pembilasan dapat mengurangi senyawa toksik. Sejauh ini, reklamasi tanah di tambak
TSM telah terbukti mampu mengurangi senyawa toksik. Selain melakukan reklamasi tanah, pemberian
kapur pada TSM sangat penting dan mutlak diperlukan untuk meningkatkan pH tanah. Berbagai
jenis kapur yang beredar di pasaran seperti kapur tohor, dolomit, kalsit dan jenis kapur lainnya
sering digunakan di tambak untuk menaikkan pH tanah pada TSM (Pantjara et al., 2002). Namun
jenis kapur tersebut, masing-masing mempunyai daya netralisir yang tidak sama.
Tidak semua tambak TSM dapat digunakan untuk budidaya udang, hal ini tergantung pada kondisi
tambaknya terutama kemasaman dan senyawa toksik lainnya (Singh & Poernomo, 1984). Pada tambak
yang demikian sering terjadi kegagalan panen terutama udang dan banyak pembudidaya yang rugi
dan meninggalkan tambaknya sehingga menjadi lahan terlantar. Untuk itu, diperlukan upaya
meningkatkan produktivitas tambak tersebut dengan memilih komoditas alternatif seperti bandeng.
Demikian pula dengan teknologi budidayanya yang lebih efektif bila lama budidaya lebih singkat,
misalnya dengan budidaya penggelondongan atau pentokolan. Penggelondongan bandeng di tambak
TSM merupakan salah satu solusi dalam pemanfaatan tambak TSM yang tidak produktif menjadi
lebih produktif (Pantjara et al., 2002). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh reklamasi
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
210
dan aplikasi berbagai kapur untuk peningkatan produktivitas tanah pada tambak TSM terhadap
penggelondongan bandeng (Chanos-chanos Forskal). Diharapkan dapat memberikan informasi dalam
upaya perbaikan kualitas tanah sulfat masam untuk peningkatan produktifitas tanah dan produksi
tokolan ikan bandeng.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di laboratorium basah, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Tanah
tambak percobaan diambil dari tambak yang tergolong TSM di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan,
sebelum digunakan sampel tanah dicampur pada alas plastik dan dikomposit hingga homogen dan
selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah, masing-masing dengan ketebalan 30 cm. Wadah yang
digunakan berupa bak kayu ukuran 1x1x1 m2 yang dilapisi plastik
Peningkatan produktivitas tanah dilakukan melalui pembalikan tanah dasar, pengeringan,
perendaman dan pembilasan, kemudian dilanjutkan dengan aplikasi kapur dan pemupukan. Sebagai
perlakuan adalah penggunaan jenis kapur, yaitu (A) kapur dolomit (CaMg(CO3)2, (B) kapur pertanian
(CaCO3), dan (C) tanpa kapur, masing-masing dengan 3 ulangan. Dosis kapur masing-masing adalah
2 ton/ha atau setara dengan 350 g/wadah. Pemupukan dilakukan setelah 3 hari tanah TSM tersebut
diaplikasi kapur. Pupuk yang digunakan adalah urea dan TSP, masing-masing diberikan dengan
perbandingan 1 : 2 yaitu Urea sebanyak 1 g/wadah dan TSP 2 g/wadah. Tahapan selanjutnya adalah
pengisian air tambak salinitas 20 ppt dan diisikan sampai kedalaman 10 cm dan setelah 3 hari
berikutnya dilakukan penambahan air secara bertahap dari 20 cm hingga 50-60 cm.
Hewan uji yang digunakan adalah nener bandeng dengan berat rata-rata 0,05 g/ekor, Padat
penebaran nener bandeng adalah 750.000 ekor/ha atau setara dengan 75 ekor/wadah. Penelitian ini
berlangsung selama 30 hari. Sintasan dan pertumbuhan berat dan panjang mutlak nener
bandengdiukur setiap 2 minggu yang mengacu pada Effendi (1979).
Pengamatan kualitas tanah meliputi parameter pHF (pH tanah yang diukur langsung dengan alat
pH meter yang menggambarkan pH aktual), pHFOX (pH tanah yang diukur dengan menambah H2O2
pada sampel yang menggambarkan pH potensial), bahan organik total, PO42-, Al3+, Fe2+. Kualitas air
meliputi pH, suhu, salinitas, oksigen, bahan organic total, amoniak, nitrit, nitrat, PO42-, Fe2+, SO4.
Analisis kualitas tanah dan kualitas air mengacu pada (APHA,2005; Boyd, 1990, 1995; Melville, 1993).
Sedangkan pengukuran terhadap hewan uji meliputi pertambahan bobot akhir dan sintasan (Effendi,
1979; Zonneveld et al., 1991). Untuk mengetahui adanya pengaruh perlakuan terhadap peubah
yang diamati, data dianalisis secara sidik ragam dengan menggunakan program SPSS . Bila terdapat
pengaruh yang nyata, analisis dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT).
HASIL DAN BAHASAN
Kualitas Tanah
Data kualitas tanah pada setiap unit percobaan ditampilkan pada Tabel 1. Dari data tersebut
menunjukkan bahwa nilai rataan pH F mengalami kenaikan dan pH Fox menurun setelah reklamasi,
sedangkan nilai pH F juga mengalami kenaikan pada perlakuan B. Kenaikan pH F perlakuan pada
perlakuan A meningkat dari 4,62 menjadi 6,89 dan nilai pH Fox menurun dari 2,45 menjadi 1,72,
sedangkan pada perlakuan B, pHF meningkat dari 4,62 menjadi 6,84 dan pHFox menurun dari 2,45
menjadi 1,46. Kenaikan nilai pHF dan turunnya nilai pHFox disebabkan oleh terjadinya oksidasi dan
aplikasi kapur pada tanah sulfat masam yang menyebabkan ketersediaan unsur-unsur Fe2+ dan Al3+
dalam tanah.
Kandungan Fe2+ pada perlakuan A pada awal penelitian sebesar 2.308,7 mg/L dan setelah reklamasi
dan aplikasi dolomit mencapai 1.435,7 mg/L, perlakuan B menjadi 1.444,16 mg/L, dan untuk perlakuan
C menjadi 2.393,36 mg/L. Pada perlakuan C tidak diaplikasi kapur namun hasil analisis tanah terjadi
penurunan kandungan Fe 2+. Demikian pula dengan kandungan aluminium terjadi penurunan
konsentrasi pada perlakuan A dan B, masing-masing dari 1.086,85 mg/L menurun menjadi 962,2
mg/L dan 1.022 mg/L, Sedangkan pada perlakuan C lebih stabil. Menurut Mustafa et al. (1994) dan
Poernomo (1983), bahwa menurunnya Fe2+ dan Al3+ disebabkan karena pengaruh reklamasi yang
211
Aplikasi kapur terhadap peningkatan produktivitas ... (Andi Sahrijanna)
Tabel 1. Analisis kualitas tanah sebelum dan setelah reklamasi dan aplikasi kapur
Perlakuan
A
Parameter
pHF
pHFOX
Bahan Organik (%)
PO4 (mg/L)
AL3 +( mg/L)
Fe2+ (mg/L)
B
pHF
pHFOX
Bahan Organik (%)
PO4 (mg/L)
AL3 +( mg/L)
Fe2+ (mg/L)
C
pHF
pHFOX
Bahan Organik (%)
PO4 (mg/L)
AL3+ (mg/L)
Fe2+ (mg/L)
Sebelum Reklamasi
Setelah reklamasi
4,62
2,45
4,46
0,55
1.086,85
2.308,70
6,89
1,72
10,76
0,61
962,2
1.435,70
4,62
2,45
4,46
0,55
1.086,85
2.308,70
6,84
1,46
13,87
0,64
1.022,06
1.444,16
4,62
2,45
4,46
0,55
1.086,85
2.308,70
4,9
1,8
10,69
0,29
1.090,34
2.393,36
Keterangan : A. kapur dolomit (CaMg(CO3)2 , B, kapur pertanian (CaCO3) dan C. tanpa kapur
prosesnya melalui pembilasan, perendaman dan pengeringan dan dilanjutkan dengan pengapuran
dapat mengurangi unsur toksit dalam tanah. Lebih lanjut menurut Poernomo (1988) dan Brinkman
& Singh (1982), bahwa pengeringan tanah dapat mempercepat oksidasi dan hasil oksidasinya
diharapkan larut dalam air saat perendaman dan terbuang saat pembilasan.
Kandungan bahan organik tanah yang didapatkan selama penelitian memperlihatkan terjadinya
kenaikan pada semua perlakuan. Pada perlakuan A, bahan organik tanah didapatkan dari 4,46% menjadi
10,76% dan perlakuan B dari 4,46% menjadi 13,87%, sedangkan kenaikan bahan organik terjadi pada
perlakuan C dari 4,46% menjadi 10,69%. Berdasarkan nilai rataan parameter kualitas tanah di atas,
dapat dijelaskan bahwa pada saat perbaikan tanah sulfat terjadi perubahan kualitas tanah sesuai
dengan perlakuan yang dicobakan. Pada perlakuan A, diperoleh nilai parameter kualitas tanah yang
lebih baik, disusul perlakuan B dan C, hal ini disebabkan adanya aplikasi pengapuran mampu
memberikan nilai pH tanah yang tinggi. Adanya penambahan Ca dan Mg dari dolomit tersebut dapat
menurunkan senyawa-senyawa yang beracun, mempercepat proses penguraian bahan organik oleh
mikroba tanah. Menurut Singh dan Poernomo (1984), reaksi biologi yang dapat menurunkan nilai
pH adalah oksidasi sulfat, nitrifikasi, oksidasi karbon organik. Sedangkan Dent & Ponds (1995),
mengemukakan bahwa proses pemasaman tanah dapat terjadi karena adanya oksidasi oleh udara
dan aktivitas bakteri, terutama pada kondisi lingkungan yang cukup lembab. Pada pH 6 atau lebih,
proses reduksi nitrat oleh besi tidak dapat berlangsung karena terjadi pembentukan fero hidroksida
tak larut (Poernomo, 1987)
Kualitas Air
Salah satu aspek yang berpengaruh pada nener bandeng untuk tumbuh dan hidup adalah kualitas
air. Kemasaman tanah pada tambak TSM diduga berkontribusi besar dalam menurunkan kualitas air
terutama kemasan air (Tabel 2).
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
212
Tabel 2. Rataan parameter kualitas air sebelum dan sesudah aplikasi prebaking
tanah sulfat masam
Parameter
Perlakuan
B
8,68±0,9
27,53±2,6
45,88±4,6
5,25±0,5
10,11±1,011
0,0784±0,0078
0,0060±0,0003
0,4335±0,0216
0,3746±0,0187
pH
Suhu (OC)
Salinitas (ppt)
DO (mg/L)
Bahan Organik Total (%)
Amoniak (mg/L)
Nitrit (mg/L)
Nitrat (mg/L)
PO42- (mg/L)
A
8,59±0,8
26,90±2,7
49,21±4,9
5,91±0,6
9,27±0,927
0,0249±0,0012
0,0237±0,0011
2,6596±0,1329
0,2806±0,0140
C
6,76±0,9
27,20±2,7
47,24±4,7
5,18±0,6
13,48±1,348
0,0796±0,0039
0,0160±0,0008
0,4487±0,0224
0,4212±0,0210
Fe2+ (mg/L)
SO42- (mg/L)
1,1847±0,0592 1,1160±0,0558 1,1312±0,0565
9,27±0,4635 10,11±0,9055 13,48±0,8740
Keterangan : A. kapur dolomit (CaMg(CO3)2 , B, kapur pertanian (CaCO3) dan C. tanpa kapur
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemasaman air pada masing-masing perlakuan berkisar
antara 6,76–8,68 dan masih berada pada kisaran pH yang toleran untuk pertumbuhan dan sintasan
nener bandeng. Dilaporkan oleh Usman et al. (1994), bahwa untuk tumbuh dan hidup dengan
normal, benih ikan bandeng memerlukan kisaran pH air 6,5–8,5.
Suhu yang baik mempengaruhi laju metabolism hewan akuatik. Menurut Usman et al. (1994),
ikan bandeng dapat tumbuh dan hidup dengan baik pada kisaran suhu 23,7 -33 oC. Rentang suhu
yang diperoleh selama percobaan berkisar antara 26,90–27,53 o C masih cukup mendukung
pertumbuhan nener bandeng.
Ikan bandeng bersifat eurihaline yang terhadap fluktuasi salinitas lingkungannya. Salinitas air
yang baik untuk kehidupan nener bandeng berkisar 20–30 ppt, dan di atas 40 ppt menyebabkan
pertumbuhan nener dapat terhambat (Pantjara et al., 2002). Bandeng dapat hidup dan tumbuh dengan
baik pada konsentrasi oksigen terlarut 3 mg/L. Hasil pengamatan selama penelitian didapatkan kisaran
oksigen terlarut 5,18 – 5,91 mg/L, dan masih layak bagi kehidupan nener bandeng.
Bahan organik terlarut berpengaruh terhadap kualitas media pemeliharaan ikan sehingga
mempengaruhi pertumbuhan dan sintasan ikan. Kisaran BOT yang telah didapatkan selama penelitian
berkisar antara 9,27–13,48 mg/L, dan kisaran ini masih cukup mendukung bagi kehidupan nener
bandeng. Diduga tingginya bahan organik dalam air media disebabkan dari tingginya kandungan
bahan organik tanah dan sumber air. Menurut Monoarfa, (2000), kandungan bahan organik tanah
yang lebih besar dari 3,6% termasuk tinggi, dan akan mempengaruhi bahan organik terlarut media
pada saat pencucian. Kandungan bahan organik yang berlebihan dapat membahayakan organisme
yang dibudidayakan, karena proses dekomposisi banyak membutuhkan oksigen dalam air (Boyd,
1990).
Amoniak di dalam air terdiri dari dua bentuk yaitu ion amonium (NH 4) dan amoniak (NH3), yang
dihasilkan dari proses perombakan bahan organik. Bila proses perombakan tidak berjalan lancar
akan membahayakan organisme budidaya. Kisaran amoniak yang ditemukan selama penelitian berkisar
antara 0,0249–0,0796 mg/L, dan kisaraan ini masih cukup baik untuk kehidupan ikan bandeng. Hal
ini sejalan dengan pendapat (Usman et al., 1994), bahwa konsentrasi amoniak yang aman bagi
kehidupan ikan adalah di bawah 0,1 mg/L.
Nitrit berasal dari hasil perombakan NH4+ oleh balteri aerob dan seterusnya menjadi nitrat di
dalam proses nitrifikasi (Waite, 1984). Kandungan nitrit air media pemeliharaan yang didapatkan
selama penelitian berkisar 0,0060–0,0237 mg/L, dan masih cukup layak untuk pertumbuhan nener
213
Aplikasi kapur terhadap peningkatan produktivitas ... (Andi Sahrijanna)
bandeng. Menurut Boyd (1990), kehidupan ikan tidak akan terganggu bila konsentrasi NH 3-N < 0,1
mg/L.
Kandungan nitrat dan fosfor merupakan salah satu indikator kesuburan perairan (Anggoro, 1984).
Kesuburan media pemeliharaan nener bandeng setelah aplikasi kapur pada tanah sulfat masam adalah
0,4335–2,6596 mg/L untuk nitrat dan 0,2806–0,4212 mg/L untuk fosfor, dimana keduanya masih
menunjukkan bahwa media pemeliharaan masih cukup baik bagi pertumbuhan fitoplankton yang
merupakan makanan alami nener bandeng. Dilaporkan Usman et al. (1994), bahwa kisaran untuk
menopang kehidupan dan pertumbuhan bandeng adalah 0,090–1,900 mg/L untuk fosfor dan 0,900–
3,500 mg/L untuk nitrat.
Pertumbuhan dan Sintasan
Hasil pengamatan pengaruh perbaikan tanah tambak sulfat masam terhadap pertumbuhan berat
dan sintasan nener bandeng selama penelitian terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pertumbuhan bobot nener dan sintasan bandeng
Perlakuan
A.
B.
C.
Kisaran
Rata-rata±sd
Kisaran
Rata-rata±sd
Kisaran
Rata-rata±sd
Bobot Awal
Bobot Akhir
SR
(g/ekor)
(g/ekor)
(%)
0,02 - 0,06
0.05±0,046
0,02 - 0,06
0.05±0,046
0,2 - 0,06
0.05±0,047
0,15 – 0,25
0,25a ±0,050
0,17 – 0,21
0,24a ±0,030
0,15 – 0,22
0,24a ±0,035
64,65-81,81
71,98b±12,69
67,06±71,76
70,19b±2,17
28,24±58,82
46,67a ±16,21
A. kapur dolomit (CaMg(CO3)2 , B, kapur pertanian (CaCO3) dan C. tanpa kapur
Angka dengan subskrip yang sama pada setiap kolom menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)
Demikian pula dengan sintasan pada perlakuan A mencapai 71,98% disusul perlakuan B yang
mencapai 70,19% dan terendah pada perlakuan C yaitu 46,67%. Dengan perbaikan tanah melalui
reklamasi dan aplikasi kapur pada TSM menunjukkan bahwa pertumbuhan berat nener bandeng
pada semua perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05). Bobot tertinggi dicapai pada perlakuan A yaitu
0,25 g/ind. Sedangkan B dan C masing-masing adalah 0,24 g/ind.
Tingginya sintasan pada perlakuan A dan B dalam penelitian ini disebabkan selain pengaruh dari
reklamasi juga aplikasi kapur pada TSM menambah unsur Ca2+ yang dapat mengikat unsur Fe2+ dan
Al3+ sebagai sumber kemasaman tanah sehingga kemasaman tanah dapat dikurangi. Sedangkan
perlakuan C yang tidak ditambah dolomite menyebabkan pH rendah sehingga menyebabkan nener
bandeng stres dan akhirnya mati. Namun demikian, Pada perlakuan A yaitu dengan menggunakan
kapur dolomit tanah selain mendapatkan unsur Ca2+ juga Mg2+ yang sangat dibutuhkan pertumbuhan
kelekap yang selanjutnya dimanfaatkan nener bandeng dalam proses metabolisme untuk
pertumbuhannya (Busacker et al., 1990; Jobling, 1994).
KESIMPULAN
1.
2.
Pengapuran dan pemupukan meningkatkan produktivitas tanah dan air.
Pertumbuhan nener bandeng terbaik diperoleh pada perlakuan dolomit dengan bobot mutlak
0,25 g/ekor dan sintasan 71,98%.
DAFTAR ACUAN
Anggoro,S., 1984. Pengaruh salinitas terhadap kuantitas dan kualitas makanan alami serta produksi
biomassa nener bandeng di Jawa Barat dan Jawa Tengah, Bulletin Penelitian Perikanan (5) : 95 –
116 hal.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
214
APHA (American Public Health Association). 2005. Standard Methods for Examination of Water and
Waste-water. 20th edition. APHA, AWWA, WEF, Washington, 1,085 pp.
Boyd, C. E. 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Alabama Agricultural Experiment Station,
Auburn University, Alabama, Birmingham Publishing Co USA., 482 pp.
________. 1995. Bottom soils sediment and pond soil aquaculture. Chapman & Hall. Auburn University Alabama. 347 pp.
Brinkman, R. dan V.P. Singh, 1982. Rapid reclamation of fish ponds in acid sulfate soils. In proceedings of internasional symposium on acid sulfate soils.Netherlands. 318-330 pp.
Busacker, G.P., I.R. Adelman dan E.D. Goolish, 1990. Growth. In Screach, C.B. dan P.B. Moyle (Eds).
Methods for Fish Biology. American Fisheries society. Bethesda,
Maryland.
Dent, D.L and L. J. Ponds. 1995. A world perspective on acid sulphate soil. Geoderma 67: 263-276.
Effendi, M.I., 1990. Metode Biologi Perikanan. Cetakan ke-1. Yayasan Dwi Sri. Bogor. Hal. 126.
Jobling, M., 1994. Bionenergetic : Feed Intake and energy partitioning. hal 1-44.
Dalam J.C. Rankin dan F.B. Jensen,: Fish Echopysiology. Chapman and Hall. London-Madras.
Melville, M. D. 1993. Soil laboratory manual. School of Geography, University of New South Wales,
Sydney. 74 p.
Monoarfa, W.M., M.N. Nessa., A. Hanafi dan M.N. Jalaluddin. 2000. Faktor-faktor dominan yang
berpengaruh terhadap akumulasi bahan organik pada tambak udang intensif. Jurnal Lingkungan
dan Pembangunan 20 (1):43-51.
Mustafa, A., A. Hanafi dan B. Pantjara,1994. Pengaruh reklamasi terhadap kualitas tanah dan air tambak
tanah gambut. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai.10 (2) : 104-106
Pantjara B, E. A. Hendradjat, Suprapto, dan H. Usman. 2002. Penggelondongan bandeng, Chanos
chanos Forskal dengan padat penebaran yang berbeda di tambak tanah sulfat masam. Prosiding
Seminar Regional Pengkajian Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi.
Poernomo, A, 1983. Reclamation of Brackishwater Fish Ponds Built on Acid Sulfate Soils. Tesis. University of The Philippines. Visayas. 248 hal.
____________, 1987. Paket Teknologi Perbaikan Tanah Masam di Tambak. Jurnal Litbang Pertanian,4(4)
: 100-103 hal.
____________, 1988. Pembuatan Tambak di Indonesia. Seri Pengembangan No. 7. Balai Penelitian
Perikanan Budidaya Pantai. Maros.
Singh, V.P. dan A.T. Poernomo, 1984. Acid Sulfate Soils and Their Management for Brackishwater
Fishponds. In Advences in Milkfish Biology and Culture. Aquacultur Departement of seafdec,
Tigbauan, Philippines. 121-132 pp.
Usman, A. Mustafa, A. Hanafi dan B. Pantjara, 1994. Padat Penebaran Optimal Pendederan Bandeng
Chanos-chanos dalam Hapa di Tambak Tanah Gambut. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai. Balitkanta,
Maros. Volume 10(2) : 5-11 hal.
Waite, T.D., 1984. Principles of Water Quality. Water Resources and Water Quality Management. An
International Series of Books. Academic Press. Inc. Orlando, Florida. 289 p.
Zonneveld, N., E.A. Huisman dan J.H Boon, 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta. Hal 31.
Download