BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keselamatan Pasien (Patient Safety) 2.1.1 Pengertian Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi: assessment risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan (Depkes RI, 2006). 2.1.2 Tujuan Menurut Depkes RI (2006) tujuan dari pelaksaan patient safety rumah sakit adalah: a. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit. b. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat. c. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit. d. Terlaksananya program-program pencegahan pengulangan kejadian tidak diharapkan. 9 sehingga tidak terjadi 10 2.1.3 Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit Keselamatan pasien merupakan masalah yang perlu ditangani segera di rumah sakit di Indonesia maka diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit yang merupakan acuan bagi rumah sakit di Indonesia untuk melaksanakan kegiatannya (Depkes RI, 2009). Standar keselamatan pasien rumah sakit yang disusun ini mengacu pada ”Hospital Patient Safety Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health Organizations, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi perumahsakitan di Indonesia. Menurut World Health Organization tahun 2009 Standar keselamatan pasien tersebut terdiri dari tujuh standar yaitu : a. Hak pasien. b. Mendidik pasien dan keluarga. c. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan. d. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien. e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien. f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien. g. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien. Untuk mencapai ke tujuh standar di atas dengan melakukan ’Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit” yang terdiri dari: a. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien. b. Pimpin dan dukung staf. c. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko. 11 d. Kembangkan sistem pelaporan. e. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien. f. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien. g. Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien. WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tahun 2007 resmi menerbitkan “Nine Life Saving Patient Safety Solutions” (Sembilan Solusi Keselamatan Pasien Rumah Sakit). Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) mendorong rumah sakit di Indonesia untuk menerapkan “Sembilan Solusi Keselamatan Pasien Rumah Sakit”, langsung atau bertahap, sesuai dengan kemampuan dan kondisi rumah sakit masing-masing yaitu : a. Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip Nama obat rupa dan ucapan mirip (NORUM) yang membingungkan staf pelaksana adalah salah satu penyebab yang paling sering dalam kesalahan obat (medication error) dan ini merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia. Dengan puluhan ribu obat yang ada saat ini di pasar, maka sangat signifikan potensi terjadinya kesalahan akibat bingung terhadap nama merek atau generik serta kemasan. Solusi NORUM ditekankan pada penggunaan protokol untuk pengurangan risiko dan memastikan terbacanya resep, label, atau penggunaan perintah yang dicetak lebih dulu, maupun pembuatan resep secara elektronik. b. Pastikan identifikasi pasien Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi pasien secara benar sering mengarah kepada kesalahan pengobatan, transfusi maupun pemeriksaan; pelaksanaan prosedur yang keliru orang; penyerahan bayi kepada 12 bukan keluarganya. Rekomendasi ditekankan pada metode untuk verifikasi terhadap identitas pasien, termasuk keterlibatan pasien dalam proses ini; standardisasi dalam metode identifikasi di semua rumah sakit dalam suatu sistem layanan kesehatan; dan partisipasi pasien dalam konfirmasi ini; serta penggunaan protokol untuk membedakan identifikasi pasien dengan nama yang sama. c. Komunikasi secara benar saat serah terima / pengoperan pasien Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan pasien antara unit-unit pelayanan dan di dalam serta antar tim pelayanan, bisa mengakibatkan terputusnya kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak tepat dan potensial dapat mengakibatkan cedera terhadap pasien. Rekomendasi ditujukan untuk memperbaiki pola serah terima pasien termasuk penggunaan protokol untuk mengkomunikasikan informasi yang bersifat kritis, memberikan kesempatan bagi para praktisi untuk bertanya dan menyampaikan pertanyaanpertanyaan pada saat serah terima dan melibatkan para pasien serta keluarga dalam proses serah terima. d. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah. Kasuskasus dengan pelaksanaan prosedur yang keliru atau pembedahan sisi tubuh yang salah sebagian besar adalah akibat dan miskomunikasi dan tidak adanya informasi atau informasinya tidak benar. Faktor yang paling banyak kontribusinya terhadap kesalahan-kesalahan macam ini adalah tidak ada atau kurangnya proses pra-bedah yang distandardisasi. Rekomendasinya adalah untuk mencegah jenis-jenis kekeliruan yang tergantung pada pelaksanaan proses verifikasi prapembedahan, 13 pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah oleh petugas yang akan melaksanakan prosedur dan adanya tim yang terlibat dalam prosedur “time out” sesaat sebelum memulai prosedur untuk mengkonfirmasikan identitas pasien, prosedur dan sisi yang akan dibedah. e. Kendalikan cairan elektrolit pekat (concentrated) Semua obat-obatan, vaksin dan media kontras memiliki profil risiko cairan elektrolit pekat yang digunakan untuk injeksi khususnya adalah berbahaya. Rekomendasinya adalah membuat standardisasi dari dosis, unit ukuran, istilah dan pencegahan atas campur aduk / bingung tentang cairan elektrolit pekat yang spesifik. f. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi / pengalihan. Rekonsiliasi (penuntasan perbedaan) medikasi adalah suatu proses yang didesain untuk mencegah salah obat (medication errors) pada titik-titik transisi pasien. Rekomendasinya adalah menciptakan suatu daftar yang paling lengkap dan akurat dan seluruh medikasi yang sedang diterima pasien juga disebut sebagai “home medication list”. g. Hindari salah kateter dan salah sambung slang (tube) Slang, kateter dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain sedemikian rupa agar mencegah kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) yang bisa menyebabkan cedera atas pasien melalui penyambungan spuit dan slang yang salah, serta memberikan medikasi atau cairan melalui jalur 14 yang keliru. Rekomendasinya adalah menganjurkan perlunya perhatian atas medikasi secara detail / rinci bila sedang mengenjakan pemberian medikasi serta pemberian makan (misalnya slang yang benar). h. Gunakan alat injeksi sekali pakai Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran dan HIV, HBV, dan HCV yang diakibatkan oleh pakai ulang (reuse) dari jarum suntik. Rekomendasinya adalah penlunya melarang pakai ulang jarum di fasilitas layanan kesehatan, pelatihan periodik para petugas di lembaga-lembaga layanan kesehatan khususnya tentang prinsip-prinsip pengendalian infeksi, edukasi terhadap pasien dan keluarga mereka mengenai penularan infeksi melalui darah dan praktek jarum sekali pakai yang aman. i. Tingkatkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk pencegahan infeksi nosokomial Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia menderita infeksi yang diperoleh di rumah sakit-rumah sakit. Kebersihan tangan yang efektif adalah ukuran preventif yang pimer untuk menghindarkan masalah ini. Rekomendasinya adalah mendorong implementasi penggunaan cairan “alcohol-based hand-rubs” tersedia pada titik-titik pelayan tersedianya sumber air pada semua kran, pendidikan staf mengenai teknik kebarsihan tangan yang benar mengingatkan penggunaan tangan bersih di tempat kerja dan pengukuran kepatuhan penerapan kebersihan tangan melalui pemantauan / observasi dan teknik-teknik yang lain. 15 2.2 Cuci Tangan 2.2.1 Pengertian Cuci Tangan Menurut Depkes (2007) mencuci tangan adalah proses yang secara mekanis melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan dengan menggunakan sabun dan air. Sementara itu menurut Perry & Potter (2005), mencuci tangan merupakan teknik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan pengontrolan infeksi. Mencuci tangan adalah teknik yang sangat mendasar dalam mencegah dan mengendalikan infeksi, dengan mencuci tangan dapat menghilangkan sebagian besar mikroorganisme yang ada di kulit (Hidayat, 2005). Cuci tangan harus dilakukan dengan baik dan benar sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan walaupun memakai sarung tangan atau alat pelindung lain. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehingga penyebaran penyakit dapat di kurangi dan lingkungan terjaga dari infeksi. Tangan harus dicuci sebelum dan sesudah memakai sarung tangan. Cuci tangan tidak dapat digantikan oleh pemakaian sarung tangan. 2.2.2 Tujuan Cuci Tangan Adapun tujuan dilakukannya cuci tangan yaitu (Susiati, 2008) : a. Mengangkat mikroorganisme yang ada di tangan. b. Mencegah infeksi silang (cross infection). c. Menjaga kondisi steril. d. Melindungi diri dan pasien dari infeksi. e. Memberikan perasaan segar dan bersih. 16 2.2.3 Keuntungan Mencuci Tangan Menurut Puruhito (dalam Susiati, 2008), cuci tangan akan memberikan keuntungan sebagai berikut: a. Dapat mengurangi infeksi nosokomial. b. Jumlah kuman yang terbasmi lebih banyak sehingga tangan lebih bersih dibandingkan dengan tidak mencuci tangan. c. Dari segi praktis, ternyata lebih murah dari pada tidak mencuci tangan sehingga tidak dapat menyebabkan infeksi nosokomial. 2.2.4 Macam-macam Cuci Tangan dan Cara Cuci Tangan Cuci tangan dalam bidang medis dibedakan menjadi beberapa tipe menurut Depkes RI. (2007) dengan acuan WHO 2007, yaitu cuci tangan biasa dengan menggunakan sabun dan air mengalir, cuci tangan dengan Handrub berbasis alkohol, cuci tangan secara aseptik Fuerbringer, yang dapat diuraikan sebagai berikut: a. Teknik mencuci tangan biasa Teknik mencuci tangan biasa adalah membersihkan tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir atau yang disiramkan, biasanya digunakan sebelum dan sesudah melakukan tindakan yang tidak mempunyai risiko penularan penyakit. Peralatan yang dibutuhkan untuk mencuci tangan biasa adalah setiap wastafel dilengkapi dengan peralatan cuci tangan sesuai standar rumah sakit (misalnya kran air bertangkai panjang untuk mengalirkan air bersih, tempat sampah injak tertutup yang dilapisi kantung sampah medis atau kantung plastik berwarna kuning untuk sampah yang terkontaminasi atau terinfeksi), alat 17 pengering seperti tisu (Towel Tissue), sarung tangan (gloves), sabun cair atau cairan pembersih tangan yang berfungsi sebagai antiseptik, serta di bawah wastafel terdapat alas kaki dari bahan handuk. Prosedur kerja cara mencuci tangan biasa adalah sebagai berikut: 1) Siapkan peralatan : a) Wastafel dengan air mengalir. b) Sabun cair secukupnya. c) Towel tissue secukupnya. 2) Lepaskan cincin dan atau gelang serta jam tangan sebelum mencuci tangan. 3) Basahi kedua tangan dengan air mengalir sampai pergelangan tangan. 4) Beri sabun cair dan lakukan dengan 6 langkah seperti berikut : a) Ratakan sabun cair dengan kedua telapak tangan. b) Gosok punggung tangan dan sela-sela jari tangan kiri dengan tangan kanan dan lakukan pula sebaliknya. c) Gosok kedua telapak dan sela-sela jari. d) Kemudian jari-jari dalam pada kedua tangan saling mengunci. e) Lanjutkan gosok ibu jari kiri berputar dlam genggaman tangan kanan dan lakukan sebaliknya. f) Gosokkan ujung jari dengan memutar di telapak tangan kiri dan sebaliknya. 5) Bilas kedua tangan dengan air mengalir. 6) Keringkan tangan dengan towel tissue sampai benar-benar kering. 7) Gunakan towel tissue yang telah dipakai untuk menutup kran. 8) Buang towel tissue pada tempat sampah non infeksius. 18 (Sumber : Depkes RI, 2007) Gambar 1. Cara Mencuci Tangan dengan Sabun b. Cuci tangan dengan handrub berbasis alkohol Pembersih tangan yang menggunakan alkohol sangat banyak mengurangi jumlah kuman di kulit, kerjanya cepat dan lebih sedikit menyebabkan iritasi (gatal-gatal) dibandingkan dengan berkali-kali memakai air dan sabun. Pembersih tangan berdasar alkohol tidak berhasil baik jika kulit tampak nyata kotornya karena pembersih itu tidak melunturkan dan membasuh kotoran seperti dilakukan oleh sabun dan air. 19 Langkah-langkah penting dalam menjaga kesehatan tangan dengan menggunakan pembersih tangan berbasis alkohol adalah: 1) Siapkan larutan hand rub berbasis alkohol secukupnya. 2) Lepaskan cincin dan atau gelang serta jam tangan sebelum mencuci tangan. 3) Tuangkan larutan hand rub berbasis alkohol ke telapak tangan secukupnya dan lakukan dengan 6 langkah, seperti berikut : a) Ratakan larutan alkohol dengan kedua telapak tangan. b) Gosok punggung tangan dan sela-sela jari tangan kiri dengan tangan kanan dan lakukan pula sebaliknya. c) Gosok kedua telapak dan sela-sela jari. d) Kemudian jari-jari dalam pada kedua tangan saling mengunci. e) Lanjutkan gosok ibu jari kiri berputar dlam genggaman tangan kanan dan lakukan sebaliknya. f) Gosokkan ujung jari dengan memutar di telapak tangan kiri dan sebaliknya. g) Keringkan tangan selama 20-30 detik dengan diangin-anginkan sampai benar-benar kering. 20 (Sumber : Depkes RI, 2007) Gambar 2. Cara Mencuci Tangan dengan Hand Rub Berbasis Alkohol c. Teknik mencuci tangan secara aseptik Fuerbringer Teknik mencuci tangan steril adalah mencuci tangan secara aseptik Fuerbringer, khususnya bila akan membantu tindakan pembedahan atau operasi. Peralatan yang dibutuhkan untuk mencuci tangan steril adalah menyediakan bak cuci tangan dengan pedal kaki atau pengontrol lutut, sabun antimikrobial (non- 21 iritasi, spektrum luas, kerja cepat), sikat scrub bedah dengan pembersih kuku dari plastik, masker kertas dan topi atau penutup kepala, handuk steril, pakaian di ruang scrub dan pelindung mata, penutup sepatu. Prosedur kerja cara mencuci tangan steril adalah sebagai berikut: 1) Siapkan alat : a) Cairan antiseptik (clhorexydine 4%). b) Sikat steril dengan bulu yang lembut. 2) Tanggalkan cincin, jam tangan dan pastikan kuku tangan pendek. 3) Ambil sikat, basuh tangan dan lengan sampai siku (Lihat gambar A). 4) Sabuni tangan dan lengan sampai siku (lihat gambar B). 5) Pegang sikat dengan tangan kiri kemudian lakukan penyikatan tangan kanan mulai dari ujung jari dilanjutkan sikat lengan atas sampai siku perhatikan sela-sela jari (lihat gambar C dan D). 6) Sikat tangan kiri dengan langkah-langkah seperti tangan kanan. 7) Bilas tangan dan lengan bawah dengan air kran bersih yang mengalir dengan jari-jari dan lengan mengarah ke atas (posisi jari tangan harus lebih tinggi dari siku, lihat gambar E). 8) Arah bilasan dimulai dari ujung jari ke arah siku (satu arah tidak boleh bolak balik). 9) Tutup kran dengan menggunakan siku kanan (lihat gambar F) atau kaki. 22 (Sumber : Depkes RI, 2007) Gambar 3. Langkah mencuci tangan secara aseptik Fuerbringer 2.2.5 Five moments for hand hygiene Pada tahun 2007, World Health Organitation (WHO) mencetuskan global patient safety challenge dengan clean care is safe care, yaitu merumuskan inovasi strategi penerapan hand hygiene untuk petugas kesehatan dengan my five moments for hand hygiene. Adapun dilakukan dengan mencuci tangan: a. Sebelum kontak dengan pasien. 23 b. Sebelum melakukan tindakan asepsis. c. Setelah terkena cairan tubuh pasien. d. Setelah kontak dengan pasien. e. Setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien. Istilah dalam lima saat kebersihan tangan: a. Pasien : mengacu pada setiap bagian dari pasien, pakaian mereka, atau peralatan medis yang terhubung ke pasien. b. Prosedur/Tindakan Aseptik : adalah tindakan perawatan untuk pasien di mana risiko terjadinya masuknya pathogen langsung ke dalam tubuh pasien akibat dari tindakan tersebut c. Risiko terpapar cairan tubuh pasien: setiap situasi dimana kontak dengan cairan tubuh dapat terjadi. Kontak tersebut dapat menimbulkan risiko kontaminasi baik petugas kesehatan atau lingkungan. d. Area pasien: termasuk pasien dan lingkungan sekitarnya pasien. asumsi umumnya dibuat bahwa dalam zona pasien flora pasien cepat mencemari seluruh zona pasien, dan zona pasien dibersihkan antara pasien. dalam zona pasien ada 2 site penting, site bersih (misalnya jalur akses IV) yang perlu dilindungi terhadap kolonisasi kuman, dan site cairan tubuh (misalnya DC) yang berisiko mencemari tangan petugas kesehatan. e. Area fasilitas/tempat pelayanan kesehatan: merupakan daerah di luar dari zona pasien. asumsi umumnya dibuat bahwa dalam zona kesehatan ada organism transmisi asing dan berpotensi membahayakan semua pasien, dan bahwa ini pathogen dengan hasil pasien infeksi eksogen. 24 (Sumber : Depkes RI, 2007) Gambar 4. Lima Saat Mencuci Tangan Momen 1: Sebelum kontak dengan pasien. Tujuanya : Untuk melindungi pasien terhadap kemungkinan potensial mendapat kuman pathogen dari tangan petugas kesehatan tersebut, Mencegah kolonisasi kuman/mikroorganisme lingkungan rumah sakit terhadap pasien. petugas kesehatan mungkin memiliki sejumlah organism di tangan mereka. Jika tidak melakukan kebersihan tangan sebelum menyentuh pasien mikroorganisme ini dapat ditransfer ke pasien 25 Kapan Contoh Sebelum menyentuh pasien dengan Berjabat cara: tangan, membantu pasien untuk bergerak, menyentuh perangkat medis terhubung ke pasien (Mis. IV pompa, IDC), sekutu kesehatan intervensi Sebelum kegiatan perawatan pribadi: Mandi, membatu mengenakan pakaian, menyisir rambut, memasang alat bantu pribadi seperti kaca mata. Sebelum observasi non-invasif Memeriksa denyut nadi pasien, darah tekanan, saturasi oksigen, atau temperature, auskultasi dada, palpasi abdomen, memasang elektroda EKG. Sebelum pemberian terapi non-invasif Cardiotocography (CTG), memasang masker oksigen atau nasal kanul, sling fitting/kawat gigi, memasang alat bantu kencing (termasuk kondom kateter). Sebelum persiapan dan administrasi Obat oral, obat nebulizer/inhalasi obat oral Sebelum perawatan menyiapkan makanan mulut dan Menyuapi makanan pasien, menyikat gigi atau gigi palsu. Momen 2: Sebelum melakukan suatu prosedur/ tindakan aseptik. Tujuan : untuk melindungi dari pathogen potensial (termasuk mereka sendiri) masuk tubuh mereka selama prosedur, untuk mencegah infeksi endogen dan eksogen pada pasien. petugas kesehatan mungkin memiliki sejumlah kuman di tangan mereka atau mereka mendapat mikroorganisme dari kulit pasien, jika tidak 26 melakukan kebersihan tangan segera sebelum prosedur atau tindakan aseptik, mikroorganisme ini dapat masuk ke dalam tubuh pasien. Kapan Contoh Sebelum penyisipan sebuah jarum ke Mengecek kadar glukosa darah, AGD, dalam kulit pasien, atau merupakan injeksi IM/SC/IV, mengambil sampel tindakan pemasangan alat medis. darah vena. Sebelum persiapan dan pemberian obat Injeksi intra vena, memasukan makanan yang diberikan melalui alat invasive perNGT , PEG Feed, NGT bayi, medis atau persiapan lapangan steril menyiapakan set alat troli rawat luka Sebelum pemberian obat yang ada Member obat tetes mata, memasukan kontak langsung dengan selaput lendir obat supositoria, memasang IUD. Sebelum memasang atau mencabut Tindakan peralatan invasif medis medis: Trakeostomi, ETT, suction jalan Gudel, nafas, kateter urin, kolostomi/ileostomi, akses sistem vascular, perangkat monitor invasif, drain luka, NGT, aspirasi cairan lambung. Sebelum pemeriksaan, pengobatan dan Perawatan luka, perawatan luka bakar, perawatan pasien di mana terjadi tindakan pembedahan, pemeriksaan kontak dengan kulit tidak utuh atau Rectal Tuse, pemeriksaan dan tindakan selaput lendir invasif obstetri dan ginekologi. Momen 3: Setelah risiko paparan cairan tubuh atau tindakan aseptik. Tujuan : untuk melindingi diri petugas dan lingkungan kesehatan dari potensial penularan pathogen dari pasien. untuk mencegah kolonisasi/ infeksi pada petugas kesehatan, kontaminasi lingkungan te,pat pelayanan kesehatan dan transmisi mikroorganisme dari area yang terkolonisasi ke area bersih pada pasien X. Setelah menyentuh pasien, petugas kesehatan memiliki mikroorganisme pasien di tangan 27 mereka; mikroorganisme ini dapat ditularkan kepada pasien/permukaan lingkungan yang disentuh oleh petugas kesehatan. Kapan Contoh Semua tindakan yang dilakukan pada Seperti yang terlampir pada moment moment kedua. kedua. Setelah setiap potensi tubuh paparan Kontak dengan urinal yang digunakan, cairan: kontak dengan sputum baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui cangkir atau tisue, kontak dengan botol spesimen yang digunakan/ sampel patologi, membersihkan gigi palsu, pembersihan tumpahan darah, urine, tinja atau muntah dari lingkungan pasien, setelah menyentuh bagian luar urobag atau drain. Kontak dengan salah satu dari berikut: darah, air liur, lendir, sperma, air mata, serumen, ASI, kolostrum, urin, feces, muntahan, cairan pleura, cairan serebrospinal, cairan asites, lochea, mekonium, empedu, pus, sampel sumsum tulang, tubuh organik misalnya sampel biopsi, sampel sel. Momen 4: Setelah kontak dengan pasien. Tujuan: untuk ,elindungi diri dan lingkungan kesehatan dari pathogen potensial dari pasien, untuk mencegah kolonisasi atau infeksi pada petugas kesehatan dan kontaminasi lingkungan tempat pelayanan kesehatan. Setelah menyentuh 28 pasien,petugas kesehatan memiliki microorganism atau kuman [asien di tangan mereka , microorganism ini dapat ditularkan kepada pasien lain atau permukaan lingkunagan melalui sentuhan dari tangan petugas kesehatan. Kapan Contoh Setelah setiap momen 1 kecuali ada Lihat momen 1 dan momen 2 telah menjadi potensi paparan tubuh cairan Momen 5: Setelah kontak dengan area disekitar pasien. Tujuan: untuk melindungi diri dan lingkungan kesehatan dari kemungkinan transmisi kuman dari lingkungan pasien, untuk mencegah kolonisasi/ infeksi pada petugas kesehatan dan kontaminasi dari lingkungan pelayanan kesehatan. Setelah menyentuh lingkungan pasien tangan petugas kesehatan terkontaminasi/ terkolonisasi oleh mikroorganisme, mikroorganisme ini dapat ditularkan kepada pasien permukaan yang disentuh oleh petugas kesehatan. Kapan Sebelum lingkungan kontak Contoh langsung pasien, dengan Sekitar pasien yang meliputi: bed, namun melakukan kontak dengan pasien tidak pengaman bed, linen, meja, catatan bedside, loker samping tempat tidur, TV, remote kontrol, sklar lampu, barang-barang pribadi termasuk buku alat bantu mobilisasi, kursi, tongkat, kruk. 29 2.2.6 Perilaku cuci tangan tenaga kesehatan Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2007). Skinner (Notoatmodjo, 2007), merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus – Organisme – Respon. Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku menurut Notoatmodjo (2007) dapat dibedakan menjadi dua yaitu perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku terbuka (overt behavior). a. Perilaku tertutup (covert behavior) Merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. b. Perilaku terbuka (overt behavior) Merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk 30 tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh Musadad, et.al. (1993) ditulis dalam CDK (Cermin Dunia Kedokteran) yaitu perilaku cuci tangan oleh tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat menunjukkan bahwa sebagian besar petugas tersebut tidak melaksanakan cuci tangan. Hal ini terlihat pada waktu petugas akan memeriksa pasien, baik saat pertama kali atau pergantian dari pasien satu ke pasien lainnya. Mereka pada umumnya mencuci tangan setelah selesai melakukan pemeriksaan pasien keseluruhannya. Kondisi seperti ini dapat memicu terjadinya infeksi nosokomial yang dikenal dengan Healthcare Associated Infections (HAIs) yang dapat terjadi melalui penularan dari pasien kepada petugas, dari pasien ke pasien lain, dari pasien kepada pengunjung atau keluarga maupun dari petugas kepada pasien (Depkes RI, 2009). Salah satu tahap kewaspadaan standar yang efektif dalam pencegahan dan pengendalian infeksi adalah hand hygiene (kebersihan tangan) karena kegagalan dalam menjaga kebersihan tangan adalah penyebab utama infeksi nosokomial dan mengakibatkan penyebaran mikroorganisme multiresisten di fasilitas pelayanan kesehatan (Depkes. RI, 2009). Menjaga kebersihan tangan dengan cara mencuci tangan menurut Linda (2004) adalah metode paling mudah, murah dan efektif dalam pencegahan infeksi nosokomial dengan strategi yang telah tersedia, yaitu: a. Mentaati praktek pencegahan infeksi yang diajurkan, terutama kebersihan dan kesehatan tangan (cuci tangan) serta pemakaian sarung tangan. 31 b. Memperhatikan dengan seksama proses yang telah terbukti bermanfaat untuk dekontaminasi dan pencucian peralatan dan benda lain yang kotor, diikuti dengan sterilisasi atau disinfeksi tingkat tinggi. c. Meningkatkan keamanan dalam ruang operasi dan area beresiko tinggi lainnya di mana kecelakaan perlukaan yang sangat serius dan paparan pada agen penyebab infeksi sering terjadi. 2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan cuci tangan perawat Menurut Tohamik (2003) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan perawat terhadap tindakan pencegahan infeksi (cuci tangan) adalah faktor internal meliputi karakteristik individu (jenis kelamin, umur, jenis pekerjaan, masa kerja, tingkat pendidikan), faktor psikososial (sikap terhadap penyakit, ketegangan kerja, rasa takut dan persepsi terhadap resiko), faktor pengetahuan, faktor motivasi dan kesadaran. Faktor eksternal meliputi faktor organisasi manajemen, faktor fasilitas, faktor tempat tugas, dan faktor bahan cuci tangan terhadap kulit. Lankford, et.al (2003) mengatakan bahwa faktor yang berpengaruh pada tindakan cuci tangan adalah tidak tersedianya tempat cuci tangan, waktu yang digunakan untuk cuci tangan, kondisi pasien, efek bahan cuci tangan terhadap kulit dan kurangnya pengetahuan terhadap standar. Sementara itu Tohamik (2003) menemukan dalam penelitiannya bahwa kurang kesadaran perawat dan fasilitas menyebabkan kurang patuhnya perawat untuk cuci tangan. Kepatuhan cuci tangan juga dipengaruhi oleh tempat tugas. 32 Menurut Saefudin, dkk. (2006), tingkat kepatuhan untuk melakukan KU (Kewaspadaan Universal), khususnya berkaitan dengan HIV / AIDS, dipengaruhi oleh faktor individu (jenis kelamin, jenis pekerjaan, profesi, lama kerja dan tingkat pendidikan), faktor psikososial (sikap terhadap HIV dan virus hepatitis B, ketegangan dalam suasana kerja, rasa takut dan persepsi terhadap resiko), dan faktor organisasi manajemen (adanya kesepakatan untuk membuat suasana lingkungan kerja yang aman, adanya dukungan dari rekan kerja dan adanya pelatihan). Beberapa ahli sebagaimana dikemukakan oleh Smet (dalam Niven, 2005), mengatakan bahwa kepatuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi kepatuhan dapat berupa tidak lain merupakan karakteristik perawat itu sendiri. Karakteristik perawat merupakan ciri-ciri pribadi yang dimiliki seseorang yang memiliki pekerjaan merawat klien sehat maupun sakit. Karakteristik perawat meliputi variabel demografi (umur, jenis kelamin, ras, suku bangsa dan tingkat pendidikan), kemampuan, persepsi dan motivasi. Menurut Smet (dalam Niven, 2005), variabel demografi berpengaruh terhadap kepatuhan. Sebagai contoh secara geografi penduduk Amerika lebih cenderung taat mengikuti anjuran atau peraturan di bidang kesehatan. Data demografi yang mempengaruhi ketaatan misalnya jenis kelamin wanita, ras kulit putih, orang tua dan anak-anak terbukti memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi. Latar belakang pendidikan juga akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam 33 melaksanakan etos kerja. Semakin tinggi pendidikan seseorang, kepatuhan dalam pelaksanaan aturan kerja akan semakin baik. Kemampuan adalah kapasitas seorang individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam pekerjaan yang pada hakekatnya terdiri dari kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Dimensi kecerdasan telah dijumpai sebagai peramal dari kinerja, kemampuan intelektual mempunyai peran yang besar dalam pekerjaan yang rumit, kemampuan fisik mempunyai makna yang penting untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan dan keterampilan (Muchlas, 2005). Setiap orang memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing dalam soal kemampuan kerja, maka wajar-wajar saja kalau ada perawat yang merasa mampu atau tidak mampu dalam melaksanakan tindakan sesuai dengan protap. Demikian juga dalam pelaksanaan protap mencuci tangan, perawat yang memiliki kemampuan melaksanakan, akan cenderung patuh untuk melaksanakan sesuai dengan yang telah digariskan dalam protap tersebut (Arikunto, 2002). Persepsi tentang protap akan diterima oleh penginderaan secara selektif, kemudian diberi makna secara selektif dan terakhir diingat secara selektif oleh masing-masing perawat. Dengan demikian muncul persepsi yang berbeda tentang protap tersebut, sehingga kepatuhan perawat didalam pelaksanaan protap tersebut juga akan berbeda (Niven, 2005). Motivasi adalah rangsangan, dorongan dan ataupun pembangkit tenaga yang dimilki seseorang atau sekelompok masyarakat yang mau berbuat dan bekerjasama secara optimal melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Niven, 2005). 34 Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi kepatuhan terdiri atas pola komunikasi, keyakinan / nilai-nilai yang diterima perawat, dan dukungan sosial. Pola komunikasi dengan profesi lain yang dilakukan oleh perawat akan mempengaruhi tingkat kepatuhannya dalam melaksanakan tindakan. Beberapa aspek dalam komunikasi ini yang berpengaruh pada kepatuhan perawat adalah ketidakpuasan terhadap hubungan emosional, ketidakpuasan terhadap pendelegasian maupun kolaborasi yang diberikan serta dukungan dalam pelaksanaan program pengobatan (Niven, 2005). Smet (Niven, 2005) mengatakan bahwa keyakinan-keyakinan tentang kesehatan atau perawatan dalam sistem pelayanan kesehatan mempengaruhi kepatuhan perawat dalam melaksanakan peran dan fungsinya. Sedangkan dukungan sosial menurut Smet (Niven, 2005) berpengaruh terhadap kepatuhan seseorang. Variabel-variabel sosial mempengaruhi kepatuhan perawat. Dukungan sosial memainkan peran terutama yang berasal dari komunitas internal perawat, petugas kesehatan lain, pasien maupun dukungan dari pimpinan atau manajer pelayanan kesehatan serta keperawatan. 2.3.1 a. Pengetahuan Pengertian Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui mengenai hal atau sesuatu pengetahuan dapat dilihat dari perilaku seseorang. Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, pengetahuan umumnya datang dari penginderaan, yaitu indera 35 pengliharan, pendengaran, penciuman, rasa, raba, sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoadmodjo, 2007). b. Tingkatan pengetahuan Pengetahuan atau kognitis adalah merupakan domain yang sangat berguna untuk terbentuknya tindakan seseorang pengetahuan yang mencakup di dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu: 1) Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai meningkatkan suatu materi yang tidak dipelajari sebelum termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, “tahu” ini adalah pengetahuan yang paling rendah, kata kerja yang digunakan antara lain: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan. 2) Memahami Suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. 3) Aplikasi Suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang riil. 4) Analisis Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi. Ini 36 dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan dan mengelompokkan. 5) Sistesis Suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. 6) Evaluasi Suatu kemampuan untuk meletakkan penelitian, terhadap suatu materi atau objek pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi ingin diukur dari subjek penelitian atau responden ke dalam pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaian dengan tingkat tersebut di atas (Notoadmodjo, 2007). c. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : 1) Pengalaman Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain. Pengalaman yang sudah diperoleh dapat memperluas pengetahuan seseorang. 2) Tingkat Pendidikan Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang. Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat pendidikannya lebih rendah. 37 3) Keyakinan Biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Keyakinan ini bisa mempengaruhi pengetahuan seseorang, baik keyakinan itu sifatnya positif maupun negatif. 4) Fasilitas Fasilitas-fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang, misalnya radio, televisi, majalah dan buku. 5) Penghasilan Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan seseorang. Namun bila seseorang berpenghasilan cukup besar maka dia akan mampu untuk menyediakan atau membeli fasilitas-fasilitas sumber informasi. 6) Sosial Budaya Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu. 2.3.2 a. Sikap Pengertian sikap Sikap (attitude) merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat langsung ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. 38 Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2007). b. Komponen sikap Menurut Allport (dalam Notoatmodjo (2007), sikap mempunyai tiga komponen pokok, yaitu: 1) Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek, artinya bagaimana keyakinan, pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek. 2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek, artinya bagaimana penilaian (terkandung didalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap objek. 3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Ketiga komponen ini bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). c. Tingkatan sikap Seperti halnya pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai tingkatan (Notoatmodjo 2007), yakni: 1) Menerima (receiving) 2) Menanggapi (responding) 3) Menghargai (valuing) 4) Bertanggung jawab (responsible) 39 2.3.3 a. Motivasi Pengertian Sarwono (dalam Sunaryo, 2004) mengemukakan, motivasi menunjuk pada proses gerakan, termasuk situasi yang mendorong yang timbul dalam diri individu, tingkah laku yang ditimbulkan oleh situasi tersebut dan tujuan atau akhir daripada gerakan atau perbuatan. Terry (dalam Hasibuan, 2005) mengemukakan, motivasi adalah keinginan yang terdapat pada diri seseorang individu yang merangsangnya untuk melakukan tindakan-tindakan. b. Tujuan motivasi Hasibuan (2005) mengemukakan, tujuan motivasi adalah : 1) Meningkatkan moral dan kepuasan kerja perawat 2) Meningkatkan produktivitas kerja perawat 3) Meningkatkan kedisiplinan perawat 4) Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik 5) Mempertinggi rasa tanggung jawab perawat terhadap tugas-tugasnya 6) Meningkatkan loyalitas, kreativitas dan partisipasi perawat. c. Unsur-unsur motivasi Fitri (2009) mengemukakan, unsur-unsur motivasi meliputi ; 1) Unsur motivasi berasal dari dalam diri seseorang yaitu berupa keadaan yang tidak puas atau ketegangan psikologis ini bisa timbul oleh karena keinginankeinginan untuk memperoleh penghargaan, pengakuan, serta berbagai macam kebutuhan lainnya 40 2) Motivasi berasal dari luar yaitu tujuan yang ingin dicapai oleh seseorang, tujuan itu sendiri berada diluar diri seseorang itu namun mengarahkan tingkah laku orang itu untuk mencapainya. d. Fungsi motivasi Fungsi motivasi adalah mendorong timbulnya tingkah laku atau suatu perbuatan serta menyeleksinya, sebagai pengarah artinya mengarahkan perbuatan kepada pencapaian tujuan yang diinginkan, sebagai penggerak, ia berfungsi sebagai mesin bagi mobil, besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjaan.