9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keselamatan Pasien (Patient

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keselamatan Pasien (Patient Safety)
2.1.1
Pengertian
Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu sistem
dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi:
assessment risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan
risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan
tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko.
Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yang disebabkan
oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan
tindakan yang seharusnya dilakukan (Depkes RI, 2006).
2.1.2
Tujuan
Menurut Depkes RI (2006) tujuan dari pelaksaan patient safety rumah sakit
adalah:
a. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit.
b. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.
c. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit.
d. Terlaksananya
program-program
pencegahan
pengulangan kejadian tidak diharapkan.
9
sehingga
tidak
terjadi
10
2.1.3
Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit
Keselamatan pasien merupakan masalah yang perlu ditangani segera di
rumah sakit di Indonesia maka diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit
yang merupakan acuan bagi rumah sakit di Indonesia untuk melaksanakan
kegiatannya (Depkes RI, 2009). Standar keselamatan pasien rumah sakit yang
disusun ini mengacu pada ”Hospital Patient Safety Standards” yang dikeluarkan
oleh Joint Commision on Accreditation of Health Organizations,
yang
disesuaikan dengan situasi dan kondisi perumahsakitan di Indonesia.
Menurut World Health Organization tahun 2009 Standar keselamatan
pasien tersebut terdiri dari tujuh standar yaitu :
a. Hak pasien.
b. Mendidik pasien dan keluarga.
c. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan.
d. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi
dan program peningkatan keselamatan pasien.
e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien.
f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien.
g. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.
Untuk mencapai ke tujuh standar di atas dengan melakukan ’Tujuh
Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit” yang terdiri dari:
a. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien.
b. Pimpin dan dukung staf.
c. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko.
11
d. Kembangkan sistem pelaporan.
e. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien.
f. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien.
g. Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien.
WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tahun 2007 resmi
menerbitkan “Nine Life Saving Patient Safety Solutions” (Sembilan Solusi
Keselamatan Pasien Rumah Sakit). Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
(KKPRS) mendorong rumah sakit di Indonesia untuk menerapkan “Sembilan
Solusi Keselamatan Pasien Rumah Sakit”, langsung atau bertahap, sesuai dengan
kemampuan dan kondisi rumah sakit masing-masing yaitu :
a. Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip
Nama obat rupa dan ucapan mirip (NORUM) yang membingungkan staf
pelaksana adalah salah satu penyebab yang paling sering dalam kesalahan obat
(medication error) dan ini merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia.
Dengan puluhan ribu obat yang ada saat ini di pasar, maka sangat signifikan
potensi terjadinya kesalahan akibat bingung terhadap nama merek atau generik
serta kemasan. Solusi NORUM ditekankan pada penggunaan protokol untuk
pengurangan risiko dan memastikan terbacanya resep, label, atau penggunaan
perintah yang dicetak lebih dulu, maupun pembuatan resep secara elektronik.
b. Pastikan identifikasi pasien
Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi pasien
secara benar sering mengarah kepada kesalahan pengobatan, transfusi maupun
pemeriksaan; pelaksanaan prosedur yang keliru orang; penyerahan bayi kepada
12
bukan keluarganya. Rekomendasi ditekankan pada metode untuk verifikasi
terhadap identitas pasien, termasuk keterlibatan pasien dalam proses ini;
standardisasi dalam metode identifikasi di semua rumah sakit dalam suatu sistem
layanan kesehatan; dan partisipasi pasien dalam konfirmasi ini; serta penggunaan
protokol untuk membedakan identifikasi pasien dengan nama yang sama.
c. Komunikasi secara benar saat serah terima / pengoperan pasien
Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan pasien
antara unit-unit pelayanan dan di dalam serta antar tim pelayanan, bisa
mengakibatkan terputusnya kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak tepat
dan potensial dapat mengakibatkan cedera terhadap pasien. Rekomendasi
ditujukan untuk memperbaiki pola serah terima pasien termasuk penggunaan
protokol untuk mengkomunikasikan informasi yang bersifat kritis, memberikan
kesempatan bagi para praktisi untuk bertanya dan menyampaikan pertanyaanpertanyaan pada saat serah terima dan melibatkan para pasien serta keluarga
dalam proses serah terima.
d. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar
Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah. Kasuskasus dengan pelaksanaan prosedur yang keliru atau pembedahan sisi tubuh yang
salah sebagian besar adalah akibat dan miskomunikasi dan tidak adanya informasi
atau informasinya tidak benar. Faktor yang paling banyak kontribusinya terhadap
kesalahan-kesalahan macam ini adalah tidak ada atau kurangnya proses pra-bedah
yang distandardisasi. Rekomendasinya adalah untuk mencegah jenis-jenis
kekeliruan yang tergantung pada pelaksanaan proses verifikasi prapembedahan,
13
pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah oleh petugas yang akan
melaksanakan prosedur dan adanya tim yang terlibat dalam prosedur “time out”
sesaat sebelum memulai prosedur untuk mengkonfirmasikan identitas pasien,
prosedur dan sisi yang akan dibedah.
e. Kendalikan cairan elektrolit pekat (concentrated)
Semua obat-obatan, vaksin dan media kontras memiliki profil risiko cairan
elektrolit pekat yang digunakan untuk injeksi khususnya adalah berbahaya.
Rekomendasinya adalah membuat standardisasi dari dosis, unit ukuran, istilah dan
pencegahan atas campur aduk / bingung tentang cairan elektrolit pekat yang
spesifik.
f. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan
Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi / pengalihan.
Rekonsiliasi (penuntasan perbedaan) medikasi adalah suatu proses yang didesain
untuk mencegah salah obat (medication errors) pada titik-titik transisi pasien.
Rekomendasinya adalah menciptakan suatu daftar yang paling lengkap dan akurat
dan seluruh medikasi yang sedang diterima pasien juga disebut sebagai “home
medication list”.
g. Hindari salah kateter dan salah sambung slang (tube)
Slang, kateter dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain
sedemikian rupa agar mencegah kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak
Diharapkan) yang bisa menyebabkan cedera atas pasien melalui penyambungan
spuit dan slang yang salah, serta memberikan medikasi atau cairan melalui jalur
14
yang keliru. Rekomendasinya adalah menganjurkan perlunya perhatian atas
medikasi secara detail / rinci bila sedang mengenjakan pemberian medikasi serta
pemberian makan (misalnya slang yang benar).
h. Gunakan alat injeksi sekali pakai
Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran dan HIV, HBV,
dan HCV yang diakibatkan oleh pakai ulang (reuse) dari jarum suntik.
Rekomendasinya adalah penlunya melarang pakai ulang jarum di fasilitas layanan
kesehatan, pelatihan periodik para petugas di lembaga-lembaga layanan kesehatan
khususnya tentang prinsip-prinsip pengendalian infeksi, edukasi terhadap pasien
dan keluarga mereka mengenai penularan infeksi melalui darah dan praktek jarum
sekali pakai yang aman.
i. Tingkatkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk pencegahan infeksi
nosokomial
Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh
dunia menderita infeksi yang diperoleh di rumah sakit-rumah sakit. Kebersihan
tangan yang efektif adalah ukuran preventif yang pimer untuk menghindarkan
masalah ini. Rekomendasinya adalah mendorong implementasi penggunaan cairan
“alcohol-based hand-rubs” tersedia pada titik-titik pelayan tersedianya sumber air
pada semua kran, pendidikan staf mengenai teknik kebarsihan tangan yang benar
mengingatkan penggunaan tangan bersih di tempat kerja dan pengukuran
kepatuhan penerapan kebersihan tangan melalui pemantauan / observasi dan
teknik-teknik yang lain.
15
2.2 Cuci Tangan
2.2.1
Pengertian Cuci Tangan
Menurut Depkes (2007) mencuci tangan adalah proses yang secara
mekanis melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan dengan menggunakan
sabun dan air. Sementara itu menurut Perry & Potter (2005), mencuci tangan
merupakan teknik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan pengontrolan
infeksi. Mencuci tangan adalah teknik yang sangat mendasar dalam mencegah
dan mengendalikan infeksi, dengan mencuci tangan dapat menghilangkan
sebagian besar mikroorganisme yang ada di kulit (Hidayat, 2005).
Cuci tangan harus dilakukan dengan baik dan benar sebelum dan sesudah
melakukan tindakan perawatan walaupun memakai sarung tangan atau alat
pelindung lain. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi
mikroorganisme yang ada di tangan sehingga penyebaran penyakit dapat di
kurangi dan lingkungan terjaga dari infeksi. Tangan harus dicuci sebelum dan
sesudah memakai sarung tangan. Cuci tangan tidak dapat digantikan oleh
pemakaian sarung tangan.
2.2.2
Tujuan Cuci Tangan
Adapun tujuan dilakukannya cuci tangan yaitu (Susiati, 2008) :
a. Mengangkat mikroorganisme yang ada di tangan.
b. Mencegah infeksi silang (cross infection).
c. Menjaga kondisi steril.
d. Melindungi diri dan pasien dari infeksi.
e. Memberikan perasaan segar dan bersih.
16
2.2.3
Keuntungan Mencuci Tangan
Menurut Puruhito (dalam Susiati, 2008), cuci tangan akan memberikan
keuntungan sebagai berikut:
a. Dapat mengurangi infeksi nosokomial.
b. Jumlah kuman yang terbasmi lebih banyak sehingga tangan lebih bersih
dibandingkan dengan tidak mencuci tangan.
c. Dari segi praktis, ternyata lebih murah dari pada tidak mencuci tangan
sehingga tidak dapat menyebabkan infeksi nosokomial.
2.2.4
Macam-macam Cuci Tangan dan Cara Cuci Tangan
Cuci tangan dalam bidang medis dibedakan menjadi beberapa tipe
menurut Depkes RI. (2007) dengan acuan WHO 2007, yaitu cuci tangan biasa
dengan menggunakan sabun dan air mengalir, cuci tangan dengan Handrub
berbasis alkohol, cuci tangan secara aseptik Fuerbringer, yang dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Teknik mencuci tangan biasa
Teknik mencuci tangan biasa adalah membersihkan tangan dengan sabun
dan air bersih yang mengalir atau yang disiramkan, biasanya digunakan sebelum
dan sesudah melakukan tindakan yang tidak mempunyai risiko penularan
penyakit. Peralatan yang dibutuhkan untuk mencuci tangan biasa adalah setiap
wastafel dilengkapi dengan peralatan cuci tangan sesuai standar rumah sakit
(misalnya kran air bertangkai panjang untuk mengalirkan air bersih, tempat
sampah injak tertutup yang dilapisi kantung sampah medis atau kantung plastik
berwarna kuning untuk sampah yang terkontaminasi atau terinfeksi), alat
17
pengering seperti tisu (Towel Tissue), sarung tangan (gloves), sabun cair atau
cairan pembersih tangan yang berfungsi sebagai antiseptik, serta di bawah
wastafel terdapat alas kaki dari bahan handuk.
Prosedur kerja cara mencuci tangan biasa adalah sebagai berikut:
1) Siapkan peralatan :
a) Wastafel dengan air mengalir.
b) Sabun cair secukupnya.
c) Towel tissue secukupnya.
2) Lepaskan cincin dan atau gelang serta jam tangan sebelum mencuci tangan.
3) Basahi kedua tangan dengan air mengalir sampai pergelangan tangan.
4) Beri sabun cair dan lakukan dengan 6 langkah seperti berikut :
a) Ratakan sabun cair dengan kedua telapak tangan.
b) Gosok punggung tangan dan sela-sela jari tangan kiri dengan tangan
kanan dan lakukan pula sebaliknya.
c) Gosok kedua telapak dan sela-sela jari.
d) Kemudian jari-jari dalam pada kedua tangan saling mengunci.
e) Lanjutkan gosok ibu jari kiri berputar dlam genggaman tangan kanan dan
lakukan sebaliknya.
f)
Gosokkan ujung jari dengan memutar di telapak tangan kiri dan
sebaliknya.
5) Bilas kedua tangan dengan air mengalir.
6) Keringkan tangan dengan towel tissue sampai benar-benar kering.
7) Gunakan towel tissue yang telah dipakai untuk menutup kran.
8) Buang towel tissue pada tempat sampah non infeksius.
18
(Sumber : Depkes RI, 2007)
Gambar 1. Cara Mencuci Tangan dengan Sabun
b. Cuci tangan dengan handrub berbasis alkohol
Pembersih tangan yang menggunakan alkohol sangat banyak mengurangi
jumlah kuman di kulit, kerjanya cepat dan lebih sedikit menyebabkan iritasi
(gatal-gatal) dibandingkan dengan berkali-kali memakai air dan sabun. Pembersih
tangan berdasar alkohol tidak berhasil baik jika kulit tampak nyata kotornya
karena pembersih itu tidak melunturkan dan membasuh kotoran seperti dilakukan
oleh sabun dan air.
19
Langkah-langkah penting dalam menjaga kesehatan tangan dengan
menggunakan pembersih tangan berbasis alkohol adalah:
1) Siapkan larutan hand rub berbasis alkohol secukupnya.
2) Lepaskan cincin dan atau gelang serta jam tangan sebelum mencuci tangan.
3) Tuangkan larutan hand rub berbasis alkohol ke telapak tangan secukupnya
dan lakukan dengan 6 langkah, seperti berikut :
a) Ratakan larutan alkohol dengan kedua telapak tangan.
b) Gosok punggung tangan dan sela-sela jari tangan kiri dengan tangan kanan
dan lakukan pula sebaliknya.
c) Gosok kedua telapak dan sela-sela jari.
d) Kemudian jari-jari dalam pada kedua tangan saling mengunci.
e) Lanjutkan gosok ibu jari kiri berputar dlam genggaman tangan kanan dan
lakukan sebaliknya.
f) Gosokkan ujung jari dengan memutar di telapak tangan kiri dan
sebaliknya.
g) Keringkan tangan selama 20-30 detik dengan diangin-anginkan sampai
benar-benar kering.
20
(Sumber : Depkes RI, 2007)
Gambar 2. Cara Mencuci Tangan dengan Hand Rub Berbasis Alkohol
c. Teknik mencuci tangan secara aseptik Fuerbringer
Teknik mencuci tangan steril adalah mencuci tangan secara aseptik
Fuerbringer, khususnya bila akan membantu tindakan pembedahan atau operasi.
Peralatan yang dibutuhkan untuk mencuci tangan steril adalah menyediakan bak
cuci tangan dengan pedal kaki atau pengontrol lutut, sabun antimikrobial (non-
21
iritasi, spektrum luas, kerja cepat), sikat scrub bedah dengan pembersih kuku dari
plastik, masker kertas dan topi atau penutup kepala, handuk steril, pakaian di
ruang scrub dan pelindung mata, penutup sepatu.
Prosedur kerja cara mencuci tangan steril adalah sebagai berikut:
1) Siapkan alat :
a) Cairan antiseptik (clhorexydine 4%).
b) Sikat steril dengan bulu yang lembut.
2) Tanggalkan cincin, jam tangan dan pastikan kuku tangan pendek.
3) Ambil sikat, basuh tangan dan lengan sampai siku (Lihat gambar A).
4) Sabuni tangan dan lengan sampai siku (lihat gambar B).
5) Pegang sikat dengan tangan kiri kemudian lakukan penyikatan tangan kanan
mulai dari ujung jari dilanjutkan sikat lengan atas sampai siku perhatikan
sela-sela jari (lihat gambar C dan D).
6) Sikat tangan kiri dengan langkah-langkah seperti tangan kanan.
7) Bilas tangan dan lengan bawah dengan air kran bersih yang mengalir dengan
jari-jari dan lengan mengarah ke atas (posisi jari tangan harus lebih tinggi dari
siku, lihat gambar E).
8) Arah bilasan dimulai dari ujung jari ke arah siku (satu arah tidak boleh bolak
balik).
9) Tutup kran dengan menggunakan siku kanan (lihat gambar F) atau kaki.
22
(Sumber : Depkes RI, 2007)
Gambar 3. Langkah mencuci tangan secara aseptik Fuerbringer
2.2.5
Five moments for hand hygiene
Pada tahun 2007, World Health Organitation (WHO) mencetuskan global
patient safety challenge dengan clean care is safe care, yaitu merumuskan inovasi
strategi penerapan hand hygiene untuk petugas kesehatan dengan my five moments
for hand hygiene. Adapun dilakukan dengan mencuci tangan:
a.
Sebelum kontak dengan pasien.
23
b.
Sebelum melakukan tindakan asepsis.
c.
Setelah terkena cairan tubuh pasien.
d.
Setelah kontak dengan pasien.
e.
Setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien.
Istilah dalam lima saat kebersihan tangan:
a.
Pasien : mengacu pada setiap bagian dari pasien, pakaian mereka, atau
peralatan medis yang terhubung ke pasien.
b.
Prosedur/Tindakan Aseptik : adalah tindakan perawatan untuk pasien di mana
risiko terjadinya masuknya pathogen langsung ke dalam tubuh pasien akibat
dari tindakan tersebut
c.
Risiko terpapar cairan tubuh pasien: setiap situasi dimana kontak dengan
cairan tubuh dapat terjadi. Kontak tersebut dapat menimbulkan risiko
kontaminasi baik petugas kesehatan atau lingkungan.
d.
Area pasien: termasuk pasien dan lingkungan sekitarnya pasien. asumsi
umumnya dibuat bahwa dalam zona pasien flora pasien cepat mencemari
seluruh zona pasien, dan zona pasien dibersihkan antara pasien. dalam zona
pasien ada 2 site penting, site bersih (misalnya jalur akses IV) yang perlu
dilindungi terhadap kolonisasi kuman, dan site cairan tubuh (misalnya DC)
yang berisiko mencemari tangan petugas kesehatan.
e.
Area fasilitas/tempat pelayanan kesehatan: merupakan daerah di luar dari
zona pasien. asumsi umumnya dibuat bahwa dalam zona kesehatan ada
organism transmisi asing dan berpotensi membahayakan semua pasien, dan
bahwa ini pathogen dengan hasil pasien infeksi eksogen.
24
(Sumber : Depkes RI, 2007)
Gambar 4. Lima Saat Mencuci Tangan
Momen 1: Sebelum kontak dengan pasien.
Tujuanya : Untuk melindungi pasien terhadap kemungkinan potensial mendapat
kuman pathogen dari tangan petugas kesehatan tersebut, Mencegah kolonisasi
kuman/mikroorganisme lingkungan rumah sakit terhadap pasien. petugas
kesehatan mungkin memiliki sejumlah organism di tangan mereka. Jika tidak
melakukan kebersihan tangan sebelum menyentuh pasien mikroorganisme ini
dapat ditransfer ke pasien
25
Kapan
Contoh
Sebelum menyentuh pasien dengan Berjabat
cara:
tangan, membantu pasien
untuk bergerak, menyentuh perangkat
medis terhubung ke pasien (Mis. IV
pompa,
IDC),
sekutu
kesehatan
intervensi
Sebelum kegiatan perawatan pribadi:
Mandi, membatu mengenakan pakaian,
menyisir rambut, memasang alat bantu
pribadi seperti kaca mata.
Sebelum observasi non-invasif
Memeriksa denyut nadi pasien, darah
tekanan,
saturasi
oksigen,
atau
temperature, auskultasi dada, palpasi
abdomen, memasang elektroda EKG.
Sebelum pemberian terapi non-invasif
Cardiotocography (CTG), memasang
masker oksigen atau nasal kanul, sling
fitting/kawat gigi, memasang alat bantu
kencing (termasuk kondom kateter).
Sebelum persiapan dan administrasi Obat oral, obat nebulizer/inhalasi
obat oral
Sebelum
perawatan
menyiapkan makanan
mulut
dan Menyuapi makanan pasien, menyikat
gigi atau gigi palsu.
Momen 2: Sebelum melakukan suatu prosedur/ tindakan aseptik.
Tujuan : untuk melindungi dari pathogen potensial (termasuk mereka sendiri)
masuk tubuh mereka selama prosedur, untuk mencegah infeksi endogen dan
eksogen pada pasien. petugas kesehatan mungkin memiliki sejumlah kuman di
tangan mereka atau mereka mendapat mikroorganisme dari kulit pasien, jika tidak
26
melakukan kebersihan tangan segera sebelum prosedur atau tindakan aseptik,
mikroorganisme ini dapat masuk ke dalam tubuh pasien.
Kapan
Contoh
Sebelum penyisipan sebuah jarum ke Mengecek kadar glukosa darah, AGD,
dalam kulit pasien, atau merupakan injeksi IM/SC/IV, mengambil sampel
tindakan pemasangan alat medis.
darah vena.
Sebelum persiapan dan pemberian obat Injeksi intra vena, memasukan makanan
yang diberikan melalui alat invasive perNGT , PEG Feed, NGT bayi,
medis atau persiapan lapangan steril
menyiapakan set alat troli rawat luka
Sebelum pemberian obat yang ada Member obat tetes mata, memasukan
kontak langsung dengan selaput lendir
obat supositoria, memasang IUD.
Sebelum memasang atau mencabut Tindakan
peralatan invasif medis
medis:
Trakeostomi,
ETT,
suction
jalan
Gudel,
nafas,
kateter urin, kolostomi/ileostomi, akses
sistem vascular, perangkat monitor
invasif, drain luka, NGT, aspirasi cairan
lambung.
Sebelum pemeriksaan, pengobatan dan Perawatan luka, perawatan luka bakar,
perawatan pasien di mana terjadi tindakan
pembedahan,
pemeriksaan
kontak dengan kulit tidak utuh atau Rectal Tuse, pemeriksaan dan tindakan
selaput lendir
invasif obstetri dan ginekologi.
Momen 3: Setelah risiko paparan cairan tubuh atau tindakan aseptik.
Tujuan : untuk melindingi diri petugas dan lingkungan kesehatan dari potensial
penularan pathogen dari pasien. untuk mencegah kolonisasi/ infeksi pada petugas
kesehatan, kontaminasi lingkungan te,pat pelayanan kesehatan dan transmisi
mikroorganisme dari area yang terkolonisasi ke area bersih pada pasien X. Setelah
menyentuh pasien, petugas kesehatan memiliki mikroorganisme pasien di tangan
27
mereka; mikroorganisme ini dapat ditularkan kepada pasien/permukaan
lingkungan yang disentuh oleh petugas kesehatan.
Kapan
Contoh
Semua tindakan yang dilakukan pada Seperti yang terlampir pada moment
moment kedua.
kedua.
Setelah setiap potensi tubuh paparan Kontak dengan urinal yang digunakan,
cairan:
kontak dengan sputum baik secara
langsung maupun secara tidak langsung
melalui cangkir atau tisue, kontak
dengan botol spesimen yang digunakan/
sampel patologi, membersihkan gigi
palsu, pembersihan tumpahan darah,
urine, tinja atau muntah dari lingkungan
pasien, setelah menyentuh bagian luar
urobag atau drain.
Kontak dengan salah satu dari berikut:
darah, air liur, lendir, sperma, air mata,
serumen, ASI, kolostrum, urin, feces,
muntahan,
cairan
pleura,
cairan
serebrospinal, cairan asites, lochea,
mekonium,
empedu,
pus,
sampel
sumsum
tulang,
tubuh
organik
misalnya sampel biopsi, sampel sel.
Momen 4: Setelah kontak dengan pasien.
Tujuan: untuk ,elindungi diri dan lingkungan kesehatan dari pathogen potensial
dari pasien, untuk mencegah kolonisasi atau infeksi pada petugas kesehatan dan
kontaminasi lingkungan tempat pelayanan kesehatan. Setelah menyentuh
28
pasien,petugas kesehatan memiliki microorganism atau kuman [asien di tangan
mereka , microorganism ini dapat ditularkan kepada pasien lain atau permukaan
lingkunagan melalui sentuhan dari tangan petugas kesehatan.
Kapan
Contoh
Setelah setiap momen 1 kecuali ada Lihat momen 1 dan momen 2
telah menjadi potensi paparan tubuh
cairan
Momen 5: Setelah kontak dengan area disekitar pasien.
Tujuan: untuk melindungi diri dan lingkungan kesehatan dari kemungkinan
transmisi kuman dari lingkungan pasien, untuk mencegah kolonisasi/ infeksi pada
petugas kesehatan dan kontaminasi dari lingkungan pelayanan kesehatan. Setelah
menyentuh lingkungan pasien tangan petugas kesehatan terkontaminasi/
terkolonisasi oleh mikroorganisme, mikroorganisme ini dapat ditularkan kepada
pasien permukaan yang disentuh oleh petugas kesehatan.
Kapan
Sebelum
lingkungan
kontak
Contoh
langsung
pasien,
dengan Sekitar pasien yang meliputi: bed,
namun
melakukan kontak dengan pasien
tidak pengaman bed, linen, meja, catatan
bedside, loker samping tempat tidur,
TV, remote kontrol, sklar lampu,
barang-barang pribadi termasuk buku
alat bantu mobilisasi, kursi, tongkat,
kruk.
29
2.2.6
Perilaku cuci tangan tenaga kesehatan
Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang
mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain berjalan, berbicara, menangis,
tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Perilaku manusia
adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung
maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2007). Skinner
(Notoatmodjo, 2007), merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi
seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini
terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian
organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau
Stimulus – Organisme – Respon.
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku menurut
Notoatmodjo (2007) dapat dibedakan menjadi dua yaitu perilaku tertutup (covert
behavior) dan perilaku terbuka (overt behavior).
a.
Perilaku tertutup (covert behavior)
Merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung
atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih
terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang
terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat
diamati secara jelas oleh orang lain.
b.
Perilaku terbuka (overt behavior)
Merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata
atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk
30
tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh
orang lain.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh Musadad, et.al. (1993) ditulis
dalam CDK (Cermin Dunia Kedokteran) yaitu perilaku cuci tangan oleh tenaga
kesehatan baik dokter maupun perawat menunjukkan bahwa sebagian besar
petugas tersebut tidak melaksanakan cuci tangan. Hal ini terlihat pada waktu
petugas akan memeriksa pasien, baik saat pertama kali atau pergantian dari pasien
satu ke pasien lainnya. Mereka pada umumnya mencuci tangan setelah selesai
melakukan pemeriksaan pasien keseluruhannya. Kondisi seperti ini dapat memicu
terjadinya infeksi nosokomial yang dikenal dengan Healthcare Associated
Infections (HAIs) yang dapat terjadi melalui penularan dari pasien kepada
petugas, dari pasien ke pasien lain, dari pasien kepada pengunjung atau keluarga
maupun dari petugas kepada pasien (Depkes RI, 2009).
Salah satu tahap kewaspadaan standar yang efektif dalam pencegahan dan
pengendalian infeksi adalah hand hygiene (kebersihan tangan) karena kegagalan
dalam menjaga kebersihan tangan adalah penyebab utama infeksi nosokomial dan
mengakibatkan penyebaran mikroorganisme multiresisten di fasilitas pelayanan
kesehatan (Depkes. RI, 2009). Menjaga kebersihan tangan dengan cara mencuci
tangan menurut Linda (2004) adalah metode paling mudah, murah dan efektif
dalam pencegahan infeksi nosokomial dengan strategi yang telah tersedia, yaitu:
a. Mentaati praktek pencegahan infeksi yang diajurkan, terutama kebersihan dan
kesehatan tangan (cuci tangan) serta pemakaian sarung tangan.
31
b. Memperhatikan dengan seksama proses yang telah terbukti bermanfaat untuk
dekontaminasi dan pencucian peralatan dan benda lain yang kotor, diikuti
dengan sterilisasi atau disinfeksi tingkat tinggi.
c. Meningkatkan keamanan dalam ruang operasi dan area beresiko tinggi lainnya
di mana kecelakaan perlukaan yang sangat serius dan paparan pada agen
penyebab infeksi sering terjadi.
2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan cuci tangan perawat
Menurut Tohamik (2003) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kepatuhan perawat terhadap tindakan pencegahan infeksi (cuci tangan) adalah
faktor internal meliputi karakteristik individu (jenis kelamin, umur, jenis
pekerjaan, masa kerja, tingkat pendidikan), faktor psikososial (sikap terhadap
penyakit, ketegangan kerja, rasa takut dan persepsi terhadap resiko), faktor
pengetahuan, faktor motivasi dan kesadaran. Faktor eksternal meliputi faktor
organisasi manajemen, faktor fasilitas, faktor tempat tugas, dan faktor bahan cuci
tangan terhadap kulit.
Lankford, et.al (2003) mengatakan bahwa faktor yang berpengaruh pada
tindakan cuci tangan adalah tidak tersedianya tempat cuci tangan, waktu yang
digunakan untuk cuci tangan, kondisi pasien, efek bahan cuci tangan terhadap
kulit dan kurangnya pengetahuan terhadap standar. Sementara itu Tohamik (2003)
menemukan dalam penelitiannya bahwa kurang kesadaran perawat dan fasilitas
menyebabkan kurang patuhnya perawat untuk cuci tangan. Kepatuhan cuci tangan
juga dipengaruhi oleh tempat tugas.
32
Menurut Saefudin, dkk. (2006), tingkat kepatuhan untuk melakukan KU
(Kewaspadaan Universal), khususnya berkaitan dengan HIV / AIDS, dipengaruhi
oleh faktor individu (jenis kelamin, jenis pekerjaan, profesi, lama kerja dan
tingkat pendidikan), faktor psikososial (sikap terhadap HIV dan virus hepatitis B,
ketegangan dalam suasana kerja, rasa takut dan persepsi terhadap resiko), dan
faktor organisasi manajemen (adanya kesepakatan untuk membuat suasana
lingkungan kerja yang aman, adanya dukungan dari rekan kerja dan adanya
pelatihan).
Beberapa ahli sebagaimana dikemukakan oleh Smet (dalam Niven, 2005),
mengatakan bahwa kepatuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi kepatuhan dapat berupa tidak lain
merupakan karakteristik perawat itu sendiri. Karakteristik perawat merupakan
ciri-ciri pribadi yang dimiliki seseorang yang memiliki pekerjaan merawat klien
sehat maupun sakit. Karakteristik perawat meliputi variabel demografi (umur,
jenis kelamin, ras, suku bangsa dan tingkat pendidikan), kemampuan, persepsi dan
motivasi.
Menurut Smet (dalam Niven, 2005), variabel demografi berpengaruh
terhadap kepatuhan. Sebagai contoh secara geografi penduduk Amerika lebih
cenderung taat mengikuti anjuran atau peraturan di bidang kesehatan. Data
demografi yang mempengaruhi ketaatan misalnya jenis kelamin wanita, ras kulit
putih, orang tua dan anak-anak terbukti memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi.
Latar belakang pendidikan juga akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam
33
melaksanakan etos kerja. Semakin tinggi pendidikan seseorang, kepatuhan dalam
pelaksanaan aturan kerja akan semakin baik.
Kemampuan adalah kapasitas seorang individu untuk mengerjakan
berbagai tugas dalam pekerjaan yang pada hakekatnya terdiri dari kemampuan
intelektual dan kemampuan fisik. Dimensi kecerdasan telah dijumpai sebagai
peramal dari kinerja, kemampuan intelektual mempunyai peran yang besar dalam
pekerjaan yang rumit, kemampuan fisik mempunyai makna yang penting untuk
melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan dan
keterampilan (Muchlas, 2005).
Setiap orang memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing dalam
soal kemampuan kerja, maka wajar-wajar saja kalau ada perawat yang merasa
mampu atau tidak mampu dalam melaksanakan tindakan sesuai dengan protap.
Demikian juga dalam pelaksanaan protap mencuci tangan, perawat yang memiliki
kemampuan melaksanakan, akan cenderung patuh untuk melaksanakan sesuai
dengan yang telah digariskan dalam protap tersebut (Arikunto, 2002).
Persepsi tentang protap akan diterima oleh penginderaan secara selektif,
kemudian diberi makna secara selektif dan terakhir diingat secara selektif oleh
masing-masing perawat. Dengan demikian muncul persepsi yang berbeda tentang
protap tersebut, sehingga kepatuhan perawat didalam pelaksanaan protap tersebut
juga akan berbeda (Niven, 2005). Motivasi adalah rangsangan, dorongan dan
ataupun pembangkit tenaga yang dimilki seseorang atau sekelompok masyarakat
yang mau berbuat dan bekerjasama secara optimal melaksanakan sesuatu yang
telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Niven, 2005).
34
Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi kepatuhan terdiri atas
pola komunikasi, keyakinan / nilai-nilai yang diterima perawat, dan dukungan
sosial. Pola komunikasi dengan profesi lain yang dilakukan oleh perawat akan
mempengaruhi tingkat kepatuhannya dalam melaksanakan tindakan. Beberapa
aspek dalam komunikasi ini yang berpengaruh pada kepatuhan perawat adalah
ketidakpuasan
terhadap
hubungan
emosional,
ketidakpuasan
terhadap
pendelegasian maupun kolaborasi yang diberikan serta dukungan dalam
pelaksanaan program pengobatan (Niven, 2005).
Smet (Niven, 2005) mengatakan bahwa keyakinan-keyakinan tentang
kesehatan atau perawatan dalam sistem pelayanan kesehatan mempengaruhi
kepatuhan perawat dalam melaksanakan peran dan fungsinya. Sedangkan
dukungan sosial menurut Smet (Niven, 2005) berpengaruh terhadap kepatuhan
seseorang. Variabel-variabel sosial mempengaruhi kepatuhan perawat. Dukungan
sosial memainkan peran terutama yang berasal dari komunitas internal perawat,
petugas kesehatan lain, pasien maupun dukungan dari pimpinan atau manajer
pelayanan kesehatan serta keperawatan.
2.3.1
a.
Pengetahuan
Pengertian
Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui mengenai hal atau sesuatu
pengetahuan dapat dilihat dari perilaku seseorang. Pengetahuan adalah hasil dari
tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek
tertentu, pengetahuan umumnya datang dari penginderaan, yaitu indera
35
pengliharan, pendengaran, penciuman, rasa, raba, sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoadmodjo, 2007).
b.
Tingkatan pengetahuan
Pengetahuan atau kognitis adalah merupakan domain yang sangat berguna
untuk terbentuknya tindakan seseorang pengetahuan yang mencakup di dalam
domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu:
1) Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai meningkatkan suatu materi yang tidak dipelajari
sebelum termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, “tahu” ini adalah pengetahuan
yang paling rendah, kata kerja yang digunakan antara lain: menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan.
2) Memahami
Suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan
dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
3) Aplikasi
Suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi yang riil.
4) Analisis
Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam
komponen-komponen tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi. Ini
36
dapat
dilihat
dari
penggunaan
kata
kerja,
dapat
menggambarkan,
membedakan, memisahkan dan mengelompokkan.
5) Sistesis
Suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di
dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6) Evaluasi
Suatu kemampuan untuk meletakkan penelitian, terhadap suatu materi atau
objek pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menanyakan tentang isi materi ingin diukur dari subjek penelitian
atau responden ke dalam pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur
dapat kita sesuaian dengan tingkat tersebut di atas (Notoadmodjo, 2007).
c.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu :
1) Pengalaman
Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun pengalaman
orang lain. Pengalaman yang sudah diperoleh dapat memperluas pengetahuan
seseorang.
2) Tingkat Pendidikan
Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang. Secara
umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai
pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat
pendidikannya lebih rendah.
37
3) Keyakinan
Biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun dan tanpa adanya
pembuktian terlebih dahulu. Keyakinan ini bisa mempengaruhi pengetahuan
seseorang, baik keyakinan itu sifatnya positif maupun negatif.
4) Fasilitas
Fasilitas-fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi
pengetahuan seseorang, misalnya radio, televisi, majalah dan buku.
5) Penghasilan
Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan seseorang.
Namun bila seseorang berpenghasilan cukup besar maka dia akan mampu
untuk menyediakan atau membeli fasilitas-fasilitas sumber informasi.
6) Sosial Budaya
Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi
pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu.
2.3.2
a.
Sikap
Pengertian sikap
Sikap (attitude) merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat
langsung dilihat, tetapi hanya dapat langsung ditafsirkan terlebih dahulu dari
perilaku yang tertutup. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan
tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap masih merupakan
reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka.
38
Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu
sebagai penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2007).
b.
Komponen sikap
Menurut Allport (dalam Notoatmodjo (2007), sikap mempunyai tiga
komponen pokok, yaitu:
1) Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek, artinya
bagaimana keyakinan, pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek.
2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek, artinya bagaimana
penilaian (terkandung didalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap
objek.
3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah
merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka.
Ketiga komponen ini bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total
attitude).
c.
Tingkatan sikap
Seperti halnya pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai tingkatan
(Notoatmodjo 2007), yakni:
1) Menerima (receiving)
2) Menanggapi (responding)
3) Menghargai (valuing)
4) Bertanggung jawab (responsible)
39
2.3.3
a.
Motivasi
Pengertian
Sarwono (dalam Sunaryo, 2004) mengemukakan, motivasi menunjuk pada
proses gerakan, termasuk situasi yang mendorong yang timbul dalam diri
individu, tingkah laku yang ditimbulkan oleh situasi tersebut dan tujuan atau
akhir daripada gerakan atau perbuatan. Terry (dalam Hasibuan, 2005)
mengemukakan, motivasi adalah keinginan yang terdapat pada diri seseorang
individu yang merangsangnya untuk melakukan tindakan-tindakan.
b.
Tujuan motivasi
Hasibuan (2005) mengemukakan, tujuan motivasi adalah :
1) Meningkatkan moral dan kepuasan kerja perawat
2) Meningkatkan produktivitas kerja perawat
3) Meningkatkan kedisiplinan perawat
4) Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik
5) Mempertinggi rasa tanggung jawab perawat terhadap tugas-tugasnya
6) Meningkatkan loyalitas, kreativitas dan partisipasi perawat.
c.
Unsur-unsur motivasi
Fitri (2009) mengemukakan, unsur-unsur motivasi meliputi ;
1) Unsur motivasi berasal dari dalam diri seseorang yaitu berupa keadaan yang
tidak puas atau ketegangan psikologis ini bisa timbul oleh karena keinginankeinginan untuk memperoleh penghargaan, pengakuan, serta berbagai macam
kebutuhan lainnya
40
2) Motivasi berasal dari luar yaitu tujuan yang ingin dicapai oleh seseorang,
tujuan itu sendiri berada diluar diri seseorang itu namun mengarahkan tingkah
laku orang itu untuk mencapainya.
d.
Fungsi motivasi
Fungsi motivasi adalah mendorong timbulnya tingkah laku atau suatu
perbuatan serta menyeleksinya, sebagai pengarah artinya mengarahkan perbuatan
kepada pencapaian tujuan yang diinginkan, sebagai penggerak, ia berfungsi
sebagai mesin bagi mobil, besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat atau
lambatnya suatu pekerjaan.
Download