BAB II NILAI-NILAI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI A. Nilai 1. Pengertian Nilai Nilai adalah prinsip-prinsip sosial, tujuan-tujuan, atau standar yang dipakai atau diterima oleh individu, kelas, masyarakat, dan lain-lain. Drijarkara mengungkapkan bahwa nilai merupakan hakikat sesuatu yang menyebabkan hal itu pantas dikerjakan oleh manusia. Nilai erat kaitannya dengan kebaikan, kendati keduanya memang tidak sama meningat bahwa sesuatu yang baik tidak selalu bernilai tinggi bagi seseorang atau sebaliknya.1 Dalam sebuah laporan yang ditulis oleh A Club of Rome, nilai digunakan untuk mewakili gagasan atau makna yang abstrak dan terukur dengan jelas. Nilai yang abstrak dan sulit diukur itu antaralain keadilan, kejujuran, kebebasan, kedamaian dan persamaan. Dikemukakan pula, sistem nilai merupakan sekelompok nilai yang saling berkaitan satu dengan lainnya dalam sebuah sistem yang saling menguatkan dan tidak terpisahkan. Nilai-nilai itu bersumber dari agama maupun dari tradisi humanistik. Karena itu, perlu dibedakan secara tegas antara nilai sebagai kata benda abstrak dengan cara perolehan nilai sebagai kata kerja dalam beberapa hal sebenarnya telah 1 Agus Zaenul Fitri, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai & Etika Di Sekolah (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 87. 26 ada kesepakatan umum secara etis mengenai pengertian nilai, walaupun terdapat perbedaan dalam memandang etika perilaku. Definisi nilai sering dirumuskan dalam konsep yang berbeda-beda. Seperti dinyatakan Kurt Baier, seorang sosiolog menafsirkan nilai dari sudut pandangnya sendiri tentang keinginan, kebutuhan, kesenangan, seseorang sampai pada sanksi dan tekanan dari masyarakat. Seorang psikolog menafsirkan nilai sebagai suatu kecenderungan perilaku yang berawal dari gejala-gejala psikologis, seperti hastrat, motif, sikap, kebutuhan, dan keyakinan yang dimiliki secara individual sampai pada waktu tingkah lakunya yang unik.2 Pengertian nilai menurut Milton Roceach dan Ames Bank dalam Kartawisastra adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan, di mana seseorang harus bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan, dimiliki dan dipercayai. Pengertian ini berarti bahwa nilai itu merupakan sifat yang melekat pada sesuatu yang telah berhubungan dengan subjek (manusia pemberi nilai). Sementara itu, pengertian nilai menurut Fraenkel dalam Kartawisastra adalah standar tingkah laku, keindahan, keadilan, kebenaran, dan efisiensi yang mengingkat manusia dan sepatutnya dijalankan dan dipertahankan. Pengertian ini menunjukkan bahwa 2 Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Bandung: Alfabeta, 2011), hlm. 8. 27 hubungan antara subjek dengan objek memiliki arti yang penting dalam kehidupan subjek. Sidi Gazalba mengartikan nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, dan ideal. Nilai bukan benda konkret, bukan fakta, tidak hanya sekadar soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, yang disenangi dan tidak senangi. Nilai itu terletak antara hubungan subjek penilai dengan objek. Berdasarkan pengertian di atas, bisa digaris bawahi bahwa nilai merupakan esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Esensi itu sendiri belum berarti sebelum dibutuhkan manusia, tetapi bukan berarti adanya esensi itu karena adanya manusia yang membutuhkan. Hanya saja kebermaknaan esensi tersebut semakin meningkat sesuai dengan peningkatan daya tangkap dan permaknaan manusia itu sendiri. Hakikat kehidupan sosial kemasyarakatan adalah untuk perdamaian. Perdamaian hidup merupakan esensi kehidupan manusia. Esensi tidak akan hilang walaupun semakin tinggi selama manusia mampu memberikan makna perdamaian itu.3 2. Macam-Macam Nilai Menurut Noeng Muhadjir, nilai dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, yang menyebabkan terdapat bermacam-macam nilai, antara lain: 3 Mawardi Lubis, Evaluasi Pendidikan Nilai (Yogyyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 16-18. 28 1) Dilihat dari kemampuan jiwa manusia, nilai dapat dibedakan menjadi dua kelompok: (a) nilai yang statis, seperti kognisi, emosi, konasi, dan psikomotor, dan (b) nilai/kemampuan yang dinamik, seperti motif, berafiliasi, motif berkuasa, dan motif berprestasi. 2) Berdasarkan pendekatan budaya manusia, nilai hidup dapat dibagi ke dalam tujuh kategori: (a) nilai ilmu pengetahuan (b) nilai ekonomi, (c) nilai keindahan, (d) nilai politik, (e) nilai kegamaan, (f) nilai kekeluargaan, dan (g) nilai kejasmanian. 3) Nilai bila dilihat dari sumbernya terdapat 2 jenis: (a) nilai Ilahiyah, (b) nilai insaniah. Nilai Ilahiyah adalah nilai yang bersumber dari agama (wahyu Allah), sedangkan nilai insaniyah adalah nilai yang diciptakan oleh manusia atas dasar kriteria yang diciptakan oleh manusia pula. 4) Dilihat dari segi ruang lingkup dan keberlakuannya, nilai dapat dibagi menjadi nilai-nilai universal dan nilai-nilai lokal. Tidak semua nilai-nilai agama itu universal, demikian pula ada nilai-nilai insaniyah yang bersifat universal. Dari segi keberlakuan masanya, nilai dapat dibagi menjadi (a) nilai-nilai abadi, (b) nilai pasang surut, dan (c) nilai temporal. 5) Ditinjau dari segi hakikatnya, nilai dapat dibagi menjadi: (a) nilai hakiki (root values) dan (b) nilai instrumental. Nilai-nilai yang 29 hakiki itu bersifat universal dan abadi, sedangkan nilai-nilai instrumental dapat bersifat lokal, pasang surut dan temporal.4 3. Proses Pembentukan Nilai Menurut Krathwohl, proses pembentukan nilai pada anak dapat dikelompokkan dalam 5 tahap, yakni: 1) Tahap receiving (menyimak). Pada tahap ini seseorang secara aktif dan sensitif menerima stimulus dan menghadapi fenomenafenomena, sedia menerima secara aktif; dan selektif dalam memilih fenomena. Pada tahap ini nilai belum terbentuk melainkan baru menerima adanya nilai-nilai yang berada di luar dirinya dan mencari nilai-nilai itu untuk dipilih mana yang paling menarik bagi dirinya. 2) Tahap responding (menanggapi). Pada tahap ini, seseorang sudah mulai bersedia menerima dab menanggapi secara aktif stimulus dalam bentuk respons yang nyata. Dalam tahap ini ada tiga tingkatan yakni tahap compliance (manut); wilingness to respond (sedia menanggapi) dan satisfaction in response (puas dalam menanggapi). Pada tahap ini seseorang sudah mulai aktif menanggapi nilai-nilai yang berkembang di luar dan meresponsnya. 3) Tahap valuing (memberi nilai). Kalau pada tahap pertama dan kedua lebih banyak masih bersifat aktivitas fisik biologis dalam 4 Ibid., hlm. 18-19. 30 menerima dan menanggapi nilai, maka pada tahap ini seseorang sudah mampu menangkap stimulus itu atas dasar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan mulai mampu menyusun persepsi tentang objek. Dalam hal ini terdiri dari tiga tahap, yakni percaya terhadap nilai yang ia terima; merasa terikat dengan nilai yang dipercayai (dipilihnya) itu; dan memiliki keterkaitan batin (commitment) untuk memperjuangkan nilai-nilai yang diterima dan diyakini itu. 4) Tahap mengorganisasikan nilai (organization), yaitu satu tahap yang lebih kompleks dari tahap ketiga di atas. Seseorang mulai mengatur sistem nilai yang ia terima dari luar untuk diorganisasikan (ditata) dalam dirinya sehingga sistem nilai itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam dirinya. Pada tahap ini ada dua tahap organisasi nilai, yakni mengkonsepsikan nilai dalam dirinya; dan mengorganisasikan sistem nilai dalam dirinya yakni cara hidup dan tata perilakunya sudah didasarkan atas nilainilai yang diyakininya. 5) Tahap karakterisasi nilai (characterization), yang ditandai dengan ketidakpuasan seseorang untuk mengorganisasir sistem nilai yang diyakininya dalam hidupnya secara mapan, ajek dan konsisten sehingga tidak dapat dipisahkan lagi dengan pribadinya. Tahap ini dikelompokkan dalam dua tahap. Tahap menerapkan sistem nilai 31 dan tahap karakterisasi, yakni tahap mempribadikan sistem nilai tersebut. Tahap-tahap proses pembentukan nilai dari Krathwohl itu lebih banyak ditentukan dari arah mana dan bagaimana seseorang menerima nilai-nilai dari luar kemudian meninternalisasikan nilainilai tersebut dalam dirinya.5 B. Pendidikan 1. Pengertian Pendidikan Pendidikan adalah proses untuk memberikan manusia berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri. Jadi, banyak hal yang dibicarakan ketika kita membicarakan pendidikan. Aspek-aspek yang biasanya paling dipertimbangkan antara lain: a. Penyadaran b. Pencerahan c. Pemberdayaan d. Perubahan perilaku Berbagai teori dan konsep pendidikan memberikan arti yang berbeda tentang konsep tersebut. Mereka mendiskusikan apa dan bagaimana tindakan yang paling efektif mengubah manusia agar terberdayakan, tercerahkan, tersadarkan, dan menjadikan manusia sebagaimana mestinya 5 Ibid., hlm. 19-21. 32 manusia. Pada titik yang terakhir, kita akan menemui berbagai macam pandangan filsafat tentang manusia. Karenanya, pendidikan berkaitan dengan bagaimana manusia dipandang. Dalam hal ini, pandangan ilmiah tentang manusia memiliki implikasi terhadap pendidikan. Ini merupakan wilayah studi antropologi pendidikan. Antropologi sendiri merupakan ilmu tentang asal usul, perkembangan, karakteristik jenis (spesies) manusia atau studi tentang manusia. Juga banyak aspek lain yang harus kita pahami untuk memahami makna pendidikan. Arti pendidikan itu sendiri juga menimbulkan berbagai macam pandangan, termasuk bagaimana pendidikan harus diselenggarakan dan metode seperti apa yang harus dipakai.6 Ivan Illich berpendapat bahwa suatu sistem pendidikan yang baik harus mempunyai tiga tujuan, yaitu: a. Memberikan kesempatan pada semua orang agar bebas dan mudah memperoleh sumber belajar pada setiap saat. b. Memungkinkan semua orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dapat dengan mudah melakukannya, demikian pula bagi yang ingin mendapatkannya. c. Menjamin tersedianya masukan umum yang berkenaan dengan pendidikan.7 6 Nurani Soyomukti, Teori-Teori Pendidikan Tradisional, (Neo) Liberal, Marxis-Sosialis, Postmodern (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 27-28. 7 Ibid., hlm. 32. 33 2. Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan adalah seperangkat hasil pendidikan yang dicapai oleh peserta didik setelah diselenggarakan kegiatan pendidikan. Seluruh kegiatan pendidikan, yakni bimbingan pengajaran atau latihan, diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan itu. Dalam konteks ini tujuan pendidikan merupakan komponen dari sistem pendidikan yang menempati kedudukan dan fungsi sentral. Itu sebabnya setiap tenaga pendidikan perlu memahami dengan baik tujuan pendidikan.8 Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Bab II Pasal 2, dengan tegas dinyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan nasional sebagai ultimate goals, yang harus dicapai bangsa indonesia, ternyata memiliki perhatian yang luar biasa pada moral. Pembentukan watak atau peradaban yang menjadi kata kunci dalam tujuan itu, sepenuhnya merupakan tujuan dan ikon moral yang begitu luar biasa.9 8 Moh. Suardi, Pengantar Pendidikan Teori dan Aplikasi (Jakarta: Indeks, 2012), hlm. 6. 9 Mursidin, Moral Sumber Pendidikan Sebuah Sekolah/Madrasah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 53. 34 Formula Pendidikan Budi Pekerti di Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan manusia yang tak pernah bisa ditinggalkan. Sebagai sebuah proses, ada dua asumsi yang berbeda mengenai pendidikan dalam kehidupan manusia. Pertama, ia bisa dianggap sebagai sebuah proses yang terjadi secara tidak disengaja atau berjalan secara alamiah. Dalam hal ini, pendidikan bukanlah proses yang diorganisasi secara teratur, terencana, dan menggunakan metode-metode yang dipelajari serta berdasarkan aturanaturan yang telah disepakati mekanisme penyelenggaraannya oleh suatu komunitas masyarakat (negara), melainkan lebih merupakan bagian dari kehidupan yang memamng telah berjalan sejak manusia itu ada. Pengertian ini merujuk pada fakta bahwa pada dasarnya manusia secara alamiah merupakan makhluk yang belajar dari peristiwa alam dan gejalagejala kehidupan yang ada untuk mengembangkan kehidupannya.10 Pemahaman ini membawa kita untuk lebih mudah memahami tujuantujuan pendidikanyang melampaui makna proses-prosesnya universalnya. Misalnya, secara umum orang memahami bahwa tujuan pendidikan adalah mengarahkan manusia agar berdaya, berpengetahuan, cerdas, serta memiliki wawasan dan keterampilan agar siap menghadapi kehidupan dengan potensi-potensinya yang telah diasah dalam proses pendidikan. Misalnya, kita sering memahami bahwa proses pendidikan itu berkaitan dengan kegiatan yang terdiri dari proses dan tujuan berikut. 10 Fatchul Mu’in, Pendidikan Karakter Konstruksi Teoretik & Praktik (Jogjakata: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 287-288. 35 1. Proses pemberdayaan (empowerment), yaitu ketika pendidikan adalah proses kegiatan yang membuat manusia menjadi lebih berdaya menghadapi keadaan, dari situasi yang lemah menjadi kuat dengan dilengkapi dengan proses pemberian wawasan dan keterampilan agar hal itu membuatnya berdaya. 2. Proses pencerahan (englightment) dan penyadaran (conscientization), yaitu ketika pendidikan merupakan proses mencerahkan manusia melalui dibukanya wawasan dengan pengetahuan, dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak sadar menjadi sadar, akan (potensi) dirinya dan lingkungannya. 3. Proses memberikan motivasi dan inspirasi, yaitu suatu upaya agar para peseta didik tergerak untuk bangkit dan berperan bukan hanya sekadar karena arahan dan paksaan, melainkan karena diinspirasi oleh apa yang dilihatnya yang memicu semangat dari dalam diri dan sesuai dengan bakat kemampuannya. 4. Proses mengubah perilaku, yaitu bahwa pendidikan memberikan nilai-nilai yang ideal yang diharapkan mengatur perilaku peserta didik. Anak-anak yang perilakunya menyeimpang dan tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat diharapkan akan berubah sesuai dengan nilai-nilai sosial yang baik dan sekaligus perilaku tersebut mendukung perkembangan kepribadian yang dibutuhkan untuk memainkan peran dari ilmu dan nilai yang diperolehnya. 36 Akan tetapi, situasi nyata yang sering kita jumpai adalah proses dan output pendidikan tidak sesuai dengan cita-cita indah semacam itu. Misalnya, kita justru melihat bahwa pendidikan ternyata justru menghasilkan manusia-manusia yang kehilangan potensi dirinya, manusia yang serakah dan merusak, dan manusia-manusia yang justru mengisi sistem yang mengarahkannya menuju tatanan yang malah tidak memanusiakan manusia.11 3. Fungsi Pendidikan Fungsi pendidikan adalah menghilangkan penderitaan rakyat dari kebodohan dan ketertinggalan. Diasumsikan bahwa orang yang berpendidikan akan terhindar dari kebodohan dan kemiskinan, karena dengan modal ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya melalui proses pendidikan, orang akan mampu mengatasi berbagai problema kehidupan yang hadapinya. Kemampuan dan keterampilan yang dimiliki seseorang tentu sesuai dengan tingkat pendidikan yang diikutinya. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka diasumsikan semakin tinggi pengetahuan, keterampilan, dan kemampuannya. Hal ini menggambarkan bahwa fungsi pendidikan dapat meningkatkan kesejahteraan, karena orang yang berpendidikan dapat terhindar dari kebodohan maupun kemiskinan. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa fungsi pendidikan adalah membimbing anak ke 11 Ibid., hlm. 289-291. 37 arah tujuan yang kita nilai tinggi. Pendidikan yang baik adalah usaha yang berhasil membawa semua anak didik ke tujuan itu. Apa yang diajarkan hendaknya dipahami sepenuhnya oleh semua anak. UUPS No. 20 tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan pada akhirnya harus berupaya mewujudkan masyarakat yang ditandai adanya keluhuran budi dalam diri individu, keadilan dalam negara, dan kehidupan yang lebih bahagia dan saleh dari setiap individunya..12 4. Kegunaan dan Manfaat Pendidikan Menurut Syaiful Sagala, bahwa pendidikan merupakan proses mental yang harus dianggap sebagai fungsi atau aktivitas organisme dalam penyesuaian dengan lingkungannya. Prosesnya adalah proses biologis dan merupakan dasar psikologis untuk pragmatisme dan instrumentalisme dalam filsafat, yakni pengertian yang menyatakan bahwa fungsi organisme menentukan strukturnya dan bukan sebaliknya. Dalam bidang pendidikan, fungsionalisme ini menurut Poerbakawatja dan Harahap adalah usaha untuk menentukan struktur pendidikan atas dasar fungsi-fungsi hidup di masa sekarang dan masa depan. Fungsi itu dikenal sebagai kebutuhan-kebutuhan dan tugas-tugas perkembangan dan disimpulkan ke dalam dua sumber, yaitu: (1) 12 Moh. Suardi, Op. Cit., hlm. 7-8. 38 pengalaman si anak plus konsepsi tentang peranannya di dalam hidupnya; dan (2) kebudayaan, yakni fungsi pendidikan adalah menghilangkan segala sumber penderitaan rakyat dari kebodohan dan ketertinggalan. Diasumsikan bahwa orang yang berpendidikan akan terhindar dari kebodohan dan kemiskinan, karena dengan modal ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya melalui proses pendidikan orang mampu mengatasi berbagai problema kehidupan yang dihadapinya. Kemampuan dan keterampilan yang dimiliki seseorang tentu sesuai dengan tingkat pendidikan yang diikutinya. Semakin tinggi pendidikan seseorang, diasumsikan semakin tinggi pula pengetahuan, keterampilan, dan kemampuannya. Hal ini menggambarkan bahwa fungsi pendidikan dapat meningkatkan kesejahteraan, karena orang berpendidikandapat terhindar dari kebodohan dan kemiskinan. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa fungsi pendidikan adalah membimbing anak ke tujuan yang kita nilai tinggi. Pendidikan yang baik adalah usaha yang berhasil membawa semua anak didik ke tujuannya masing-masing. Apa yang diajarkan hendaknya dipahami sepenuhnya oleh semua anak. UUSPN No. 20 tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan pada akhirnya harus ditinjau pada upaya mewujudkan masyarakat yang ditandai adanya keluhuran budi dalam diri 39 individu, keadilan dalam negara, dan kehidupan yang lebih bahagia dan saleh dari setiap individunya. Menurut Oemar Hamalik, fungsi dan kegunaan pendidikan adalah menyiapkan peserta didik.”Menyiapkan” diartikan bahwa peserta didik pada hakikatnya belum siap, tetapi perlu disiapkan dan sedang menyiapkan dirinya sendiri. Hal ini menunjuk pada proses yang berlangsung sebelum peserta didik itu siap ke kancah kehidupan yang nyata. Penyiapan ini dikaitkan dengan kedudukan peserta didik sebagai calon warga yang baik, warga bangsa dan pembentuk keluarga baru, serta mengemban tugas dan pekerjaan kelak di kemudian hari. Strategi pelaksanaan pendidikan dilakukan dalam bentuk kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan. Bimbingan pada hakikatnya adalah pemberian bantuan, arahan, motivasi, nasihat dan penyuluhan agar siswa mampu mengatasi, memecahkan masalah, dan menanggulangi kesulitan sendiri. Pengajaran adalah bentuk kegiatan dimana terjalin hubungan antara pendidik (khususnya guru atau pengajar) dan peserta didik untuk mengembangkan perilaku sesuai dengan tujuan pendidikan. Pelatihan prinsipnya adalah sama dengan pengajaran, khususnya untuk mengembangkan keterampilan tertentu. Produk yang ingin dihasilkan oleh proses pendidikan adalah berupaya lulusan yang memiliki kemampuan melaksanakan peranan-peranannya untuk masa yang akan datang. Peranan itu bertalian dengan kegiatan pembangunan di masyarakat. 40 Pendidikan adalah proses untuk mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungan, dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang memungkinkan berfungsi secara adekuit dalam kehidupan masyarakat. Pengajaran bertugas mengarahkan proses perubahan itu dapat tercapai seperti yang diinginkan. Pada dasarnya pertumbuhan dan perkembangan peserta didik bergantung pada dua unsur yang mempengaruhi, yakni bakat yang dimiliki oleh peserta didik sejak lahir, dan lingkungan yang mempengaruhi hingga bakat itu tumbuh dan berkembang. Kendatipun dua unsur tersebut sama pentingnya, namun ada kemungkinan pertumbuhan dan perkembangan itu disebabkan oleh bakat saja atau pengaruh lingkungan saja.13 5. Jenis-Jenis Pendidikan Banyak pendapat para ahli tentang jenis-jenis pendidikan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan sudut pandangan seperti yang dikemukakan oleh suwarno: 1. Menurut tujuannya: a. Pendidikan Pancasila; b. Pendidikan Islam; c. Pendidikan Hindu; d. Pendidikan Katolik. 2. Menurut lembaga pendidikan: a. Pendidikan keluarga; b. Pendidikan sekolah; c. Pendidikan masyarakat. 13 Ibid., hlm. 20-22. 41 3. Menurut aspek pendidikan: a. Pendidikan intelektual; b. Kecerdasan; c. Pendidikan moral; kesusilaan; d. Pendidikan estetis (keindahan); e. Pendidikan agama; f. Pendidikan sosial; g. Pendidikan kewarganegaraan (patriotik): h. Pendidikan jasmani; i. Pendidikan keterampilan (skill). 4. Menurut keadaan perkembangan peserta didik: a. Pendidikan prenatal; b. Pendidikan bayi; c. Pendidikan anak; d. Pendidikan anak sekolah; e. Pendidikan pamuda: f. Pendidikan orang dewasa. 5. Menurut metode yang digunakan: a. Pendidikan liberal; b. Pendidikan otoriter; c. Pendidikan demokratis.. Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa jenis pendidikan dapat diuraikan dengan rinci menurut masalahnya. Dan jenis-jenis di atas dapat dijadikan dasar untuk membahas tentang jenis-jenis pendidikan dan dipadukan dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Klasifikasi ini penting mengingat jenis dan jenjang pendidikan akan berbeda-beda menurut falsafah dan tujuan yang hendak dicapainya. Dalam UU No. 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah, pada BAB V Pasal 6 dinyatakan tentang jenis pendidikan dan pengajaran, yakni: 1. Menurut jenisnya, pendidikan dan pengajaran dibagi atas: a. Pendidikan dan pengajaran taman kanak-kanak. b. Pendidikan dan pengajaran rendah. c. Pendidikan dan pengajaran menengah. 42 d. Pendidikan dan pengajaran tinggi. 2. Pendidikan dan pengajaran luar biasa diberikan dengan khusus untuk mereka yang memerlukan. Pada pasal 7 dijelaskan tentang maksud dilaksanakan jenis-jenis pendidikan itu. Pengajaran dan pendidikan taman kanak-kanak dimaksudkan untuk menentukan pertumbuhan jasmani dan rohani anakanak sebelum masuk ke sekolah rendah. Pendidikan dan pengajaran rendah bertujuan mengembangkan bakat anak didik serta memberikan dasar-dasar pengetahuan, kecakapan, dan ketangkasan baik lahir maupun batin. Pendidikan dan pengajaran menengah sudah membedakan antara pendidikan umum dan vak. Selain melanjutkan ke pendidikan tinggi, pendidikan dan pengajaran jenis ini juga mengembangkan kemampuan atau kesanggupan anak untuk bermasyarakat. Pendidikan dan pengajaran jenis ini mendidik tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja, serta mempersiapkan anak didik pada pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi dimaksudkan untuk memberi kesempatan kerja kepada pelajar agar menjadi orang yang dapat memberi pimpinan kepada masyarakat dan dapat memelihara kemajuan ilmu dalam masyarakat. Kemajuan masyarakat, perkembangan Iptek yang semakin cepat, serta semakin menguatnya era globalisasi akan mempengaruhi peran lingkungan dalam pendidikan. Di samping itu terjadinya pergeseran 43 peran seperti telah tampak pada keluarga modern. Keluarga modern dituntut pula meningkatkan mutu perannya.14 C. Pengertian Pendidikan Budi Pekerti Pengertian budi pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas mengandung beberap pengertian antara lain : (a) adat istiadat, (b) sopan santun, (c) perilaku. Namun, pengertian budi pekerti secara hakiki adalah perilaku. Sementara itu menurut draft kurikulum berbasis kompetensi (2001), budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui norma agama, norma hukum, tata krama dan sopan santun, norma budaya dan adat istiadat masyarakat. Budi pekerti akan mengidentifikasi perilaku positif yang diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaaan, dan kepribadian peserta didik. Budi pekerti berinduk pada etika atau filsafat moral. Secara etimologis kata etika sangat dekat dengan moral. Etika berasal dari bahasa Yunani ethos (jamak: ta etha) yang berarti adat kebiasaan. Adapun Moral berasal dari bahasa latin mos (jamak: mores) yang juga mengandung arti adat kebiasaan. Etika ialah studi tentang cara penerapan hal yang baik bagi hidup manusia, yang menurut Solomon mencakup dua aspek, yaitu: 14 Ibid., hlm. 8-9. 44 1) Disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya; 2) Nilai-nilai hidup nyata dan hukum tingkah laku manusia yang menopang nilai-nilai tersebut. Sementara itu, Bertens mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari adat kebiasaan, termasuk di dalamnya moral yang mengandung nilai dan norma yang menjadi pegangan hidup seseorang atau sekelompok orang bagi pengaturan tingkah lakunya. Dalam kaitannya budi pekerti, etika membahasanya sebagai kesadaran seseorang untuk membuat pertimbangan moral yang rasional mengenai kewajiban memutuskan pilihan yang terbaik dalam menghadapi masalah nyata. Keputusan yang diambil seseorang wajib dapat dipertanggungjawabkan secara moral terhadap diri dan lingkungannya.15 Konsep utama budi pekerti sehingga dapat dikemukakan batasan pengertian masing-masing dilihat dari 3 (tiga) pendekatan utama, yaitu sebagai berikut. 1. Pendekatan Etika (Filsafat Moral) Budi pekerti adalah watak atau tabiat khusus seseorang untuk berbuat sopan dan menghargai pihak lain yang tercermin dalam perilaku dan kehidupannya. Sedangkan watak itu merupakan keseluruhan dorongan, sikap, keputusan, kebiasaan, dan nilai 15 Nurul Zuriah, Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 17-18. 45 moral seseorang yang baik, yang dicakup dalam satu istilah sebagai kebajikan. 2. Pendekatan Psikologi Budi pekerti mengandung watak moral yang baku dan melibatkan keputusan berdasarkan nilai-nilai hidup. Watak seseorang dapat dilihat pada perilakunya yang diatur oleh uasaha dan kehendak berdasarkan hati nurani sebagai pengendali bagi penyesuaian diri dalam hidup masyarakat. 3. Pendekatan Pendidikan Pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran di sekolah yang bertujuan mengembangkan watak atau tabiat siswa dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, dan kerja sama.16 Selanjutnya dalam Taksonomi Bloom, pendidikan budi pekerti menekankan ranah afektif (perasaan dan sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional) dan ranah skill/psikomotorik (keterampilan, terampil mengolah data, mengemukakan pendapat, dan kerja sama). Menurut Jarolimek untuk menghindari kerancuan pendidikan budi pekerti dengan jenis pendidikan afektif, pendidikan nilai, pendidikan moral, dan pendidikan karakter maka perlu dikemukakan pengertian masing-masing sebagai berikut. 16 Ibid., hlm. 18. 46 a. Pendidikan Afektif Pendidikan ini berusaha mengembangkan aspek emosi atau perasaan yang umumnya terdapat dalam pendidikan humaniora dan seni, namun juga dihubungkan dengan sistem nilai-nilai hidup, sikap, dan keyakinan untuk mengembangkan moral dan watak seseorang. b. Pendidikan Nilai-Nilai Pengembangan pribadi siswa tentang pola keyakinan yang terdapat dalam sistem keyakinan suatu masyarakat tentang hal yang baik yang harus dilakukan dan hal buruk yang harus dihindari. Dalam nilai-nilai ini terdapat pembakuan tentang hal baik dan hal buruk serta pengaturan perilaku. Nilai-nilai hidup dalam masyarakat sangat banyak jumlahnya sehingga pendidikan berusaha membantu untuk mengenali, memilih, dan menetapkan nilai-nilai tertentu sehingga dapat digunakan sebagai landasan pengambilan keputusan untuk berperilaku secara konsisten dan menjadi kebiasaan dalam hidup bermasyarakat. c. Pendidikan Moral Berusaha untuk mengembangkan pola perilaku seseorang sesuai dengan kehendak masyarakatnya. Kehendak ini berwujud moralitas atau kesusilaan yang berisi nilai-nilai dan kehidupan yang berada dalam masyarakat. Karena menyangkut dua aspek inilah, yaitu (a) nilai-nilai, dan (b) kehidupan nyata, maka pendidikan moral lebih 47 banyak membahas masalah dilema (seperti makan buah simalakama) yang berguna untuk mengambil keputusan moral yang terbaik bagi diri dan masyarakatnya. d. Pendidikan Karakter Sering disamakan dengan pendidikan budi pekerti. Seseorang dapat dikatakan berkarakter atau berwatak jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya. e. Pendidikan Budi Pekerti Pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran di sekolah yang bertujuan mengembangkan watak atau tabiat siswa dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya/melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, dan kerja sama yang menekankan ranah afektif (perasaan dan sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional) dan ranah skill/psikomotorik (keterampilan, terampil mengolah data, mengemukakan pendapat, dan kerja sama). Sementara itu, pengertian pendidikan budi pekerti menurut draft kurikulum bebasis kompetensi dapat ditinjau secara konsepsional dan operasional.17 17 Ibid., hlm. 19-20. 48 a. Pengertian Pendidikan Budi Pekerti secara konsepsional Pengertian budi pekerti secara konsepsional mencakup hal-hal sebagai berikut. 1) Usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya sekarang dan masa yang akan datang. 2) Upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan dan perilaku peserta didik agar mereka mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi, seimbang (lahir batin, material spiritual, dan individual sosial). 3) Upaya pendidikan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi seutuhnya yang berbudi pekerti luhur melalui kegiatan bimbingan, pembiasaan, pengajaran dan latihan serta keteladanan. b. Pengertian Pendidikan Budi Pekerti secara Operasional Pendidikan budi pekerti secara operasional adalah upaya untuk membekali peserta didik melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan selama pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai bekal masa depannya, agar memiliki hati nurani yang bersih, berperangi baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan sesama makhluk. 49 Dengan demikian, terbentuklah pribadi seutuhnya yang tercermin pada perilaku berupa ucapan, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan, kerja dan hasil karya berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa.18 D. Visi dan Misi Pendidikan Budi Pekerti Visi pendidikan budi pekerti dalam konteks ini adalah kemampuan untuk memandang arah pendidikan budi pekerti ke depan dengan berpijak pada permasalahan saat ini untuk disusun perencanaan secara bijak. Sementara itu menurut Buku I Pedoman Umum dan Nilai Budi Pekerti untuk Pendidikan Dasar dan Menengah, visi pendidikan budi pekerti adalah mewujudkan pendidikan budi pekerti sebagai bentuk pendidikan nilai, moral, etika yang berfungsi menumbuh kembangkan individu warga negara Indonesia yang berakhlak mulai dalam pikir, sikap, dan perbauatannya sehari-hari, yang secara kurikuler benar-benar menjiwai dan memaknai semua mata pelajaran yang relevan serta sistem sosialkultural dunia pendidikan sehingga dari dalam diri setiap lulusan setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan terpancar akhlak mulia. Adapun misi adalah harapan pendidikan budi pekerti untuk mencapai tujuan pembelajaran. Berdasarakan pemahaman ini, menurut Cahyoto antara visi dan misi merupakan kesatuan yang berurutan langkahnya. Lebih lanjut misi pendidikan budi pekerti adalah sebagai berikut. 18 Ibid., hlm. 20. 50 1. Membantu siswa memahami kecenderungan masyarakat yang terbuka dalam era globalisasi, tuntunan kualitas dalama segala bidang, dan kehidupan yang demokratis dengan tetap berlandaskan norma budi pekerti warga negara Indonesia. 2. Membantu siswa memahami disiplin ilmu yang berperan mengembangkan budi pekerti sehingga diperoleh wawasan keilmuan yang berguna untuk mengembangkan penggunaan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. 3. Membantu siswa memahami arti demokrasi dengan cara belajar dalam suasana demokratis bagi upaya mewujudkan masyarakat yang lebih demokratis. Bertolak dari visi yang ada dalam pendidikan budi pekerti menurut Buku I Pedoman Umum dan Nilai Budi Pekerti untuk Pendidikan Dasar dan Menengah maka misi pendidikan budi pekerti adalah sebagai berikut. 1. Mengoptimalkan substansi dan praktis mata pelajaran yang relevan, khususnya Pendidikan Agama, serta mata pelajaran lainnya yang relevan sebagai wahana pendidikan budi pekerti sehingga para peserta didik bukan hanya cerdas secara rasional, tetapi juga cerdas secara emosional, sosial, dan spiritual. 2. Mewujudkan tatanan dan iklim sosial budaya dunia pendidikan yang sengaja dikembangkan sebagai lingkungan pendidikan yang memancarakan akhlak/moral luhur sebagai wahana bagi siswa, tenaga kependidikan, dan manajer pendidikan untuk membangun 51 interaksi edukatif dan budaya sekolah yang juga memancarakan akhlak mulia. 3. Memanfaatkan media masaa dan lingkungan masyarakat secara selektif dan adaptif guna mendukung keseluruhan upaya penumbuhan dan pengembangan nilai-nilai budi pekerti luhur baik yang melalui mata pelajaran yang relevan maupun yang melalui pengembangan budaya pendidikan di sekolah.19 E. Tujuan dan Sasaran Pendidikan Budi Pekerti 1. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti Dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional, pendidikan budi pekerti yang terintegrasi dalam sejumlah mata pelajaran yang relevan dan tatanan serta iklim kehidupan sosial-kultural dunia persekolahan secara umum bertujuan untuk memfasilitasi siswa agar mampu menggunakan pengetahuan, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai, mengembangkan keterampilan sosial yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya akhlak mulia dalam diri siswa serta mewujudkannya dalam perilaku sehari-hari, dalam berbagai konteks sosial budaya yang berbhineka sepanjang hayat. Selanjutnya esensi tujuan tersebut perlu dijabarkan dalam pengembangan pembelajaran (instruksional) dan sumber belajar setiap mata pelajaran yang relevan dengan tujuan agar siswa mampu 19 Ibid., hlm. 63-54. 52 menggunakan pengetahuan, nilai, keterampilan mata pelajaran itu sebagai wahana yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya serta terwujudnya sikap dan perilaku siswa yang konsisten dan koheren dengan konsepsi akhlak mulia yang dipersyaratkan bagi manusia Indonesia seutuhnya. Selain itu, tujuan tersebut secara instrumental manajerial perlu dijabarkan dalam rangka membangun tatanan dan iklim sosial-budaya dunia persekolahan yang berwawasan dan memancarkan akhlak mulia sehingga lingkungan dan budaya sekolah menjadi teladan atau model pendidikan budi pekerti. Tujuan yang berbunyi “siswa memahami norma-norma kerja sama dalam hidup bermasyarakat” menjadi pegangan guru untuk melakukan penilaian hasil belajar mengenai derajat pencapaian makna kerja sama dalam diri siswa. Tujuan pelajaran di sini mencakup dua aspek, yaitu hasil belajar yang diharapkan dari siswa dan kemampuan siswa untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Jarolimek & Foster ada beberapa cara untuk merumuskan tujuan, antara lain adalah pencapaian tujuan yang umum dan khusus. Cara ini melahirkan tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus yang keduanya menekankan pada tujuan perilaku.20 Tujuan pembelajaran khusus bersifat spesifik, nyata, dan dapat diukur pencapaiannya untuk mengetahui kualitas belajar dan pembelajaran. Penggunaan istilah tujuan pembelajaran “perilaku” 20 Ibid., hlm. 64-65. 53 menimbulkan kesan seakan-akan didasarkan paham behaviorism (paham atau aliran perilaku) yang menekankan aspek perilaku yang dapat diamati, sementara banyak aspek pembelajaran perilaku siswa yang tidak dapat diamati. Untuk itulah muncul paham humanisme yang lebih mantap menggunakan istilah tujuan pembelajaran afektif atau non behavioral sehingga pembelajaran juga mencakup aspek perasaan dan sikap yang tidak dapat diamati. Rumusan tujuan pembelajaran afektif yang dianut aliran non behavioral isinya bersifat umum dan mengutamakan rumusan yang menekankan harapan apa yang dipelajari oleh siswa. Contoh rumusannya adalah sebagai berikut. 1. Siswa mempelajari makna sopan santun yang dianut oleh masyarakat. 2. Siswa mempelajari masyarakat sebagai lingkungan hidup yang diatur oleh norma. 3. Siswa memperoleh pengetahuan tentang peran pimpinan masyarakat dalam menegakkan kejujuran. 4. Siswa mengembangkan kemampuannya untuk menentukan jenis norma bagi perilaku yang berbudi pekerti luhur. 5. Siswa menghargai norma kehidupan bermasyarakat bagi penciptaan kerja sama. Berbeda dengan aliran tersebut yang mengandung kualitas pembelajaran maka aliran tujuan pembelajaran perilaku menekankan pada tujuan khusus yang hakikinya menghendaki kejelasan pencapaian 54 hasil belajar. Sedapat mungkin pencapaian hasil belajar mampu mengungkapkan bagaimana cara mencapainya dan sampai seberapa jauh derajat pencapaiannya. Alasannya ialah masa belajar di sekolah sangat singkat dan memerlukan evaluasi segera. Pengembangan lebih lanjut terhadap tujuan pembelajaran perilaku dilakukan oleh Bloom yang menetapkan taksonomi tujuan menjadi klasifikasi tujuan dari sistem pendidikan yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ranah kognitif mengandung enam tahapan untuk pencapaiannya, masing-masing adalah pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Pengembangan ranah afektif dilakukan oleh Krathwohl, Bloom, dan Masia yang menyatakan bahwa tujuan pembelajaran afektif menekankan pada perasaan, emosi, atau tingkat penerimaan terhadap objek. Tujuan pembelajaran afektif berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang dihadapi, yaitu berjenjang dari hal yang sederhana ke hal yang sulit, namun secara konsisten menyangkut kualitas watak dan hati nurani. Jenjang afektif terdiri dari lima tahap dari yang mudah ke sulit, yaitu penerimaan, tanggapan, penilaian, pengaturan, dan perwatakan dengan nilai-nilai yang kompleks.21 Pembelajaran ranah afektif menurut Joice & Weil dinyatakan sebagai nurturant effects atau efek pengiring, sedangkan Jarolimek menggunakan istilah indirect teaching strategy atau strategi pengajaran 21 Ibid., hlm. 65-66. 55 secara tidak langsung karena isi atau materi pelajaran ranah afektif menyangkut keyakinan dan pembenaran yang berasal dari indoktrinasi, dongeng, dan ajaran hidup yang baik. Sementara itu, Williams mengemukakan hubungan antara ranah kognitif dengan afektif sesuai jenjang pengembangan masing-masing ranah. Dari kondisi di atas, maka tampaklah bahwa proses berpikir tidak dapat berlangsung tanpa proses feelings (perasaan). Keduanya tidak dapat dipisahkan sehingga makin baik perasaan siswa tentang objek tertentu, makin besar keingin tahuan untuk mendalami lebih lanjut objek tersebut. Sebagai timbal baliknya siswa yang makin menguasai suatu bidang pengetahuan, makin baik pula dalam menghargai dan menilai bidang tersebut. Hal ini juga berlaku bagi pembahasan budi pekerti yang mengandung ajaran, nasihat, keyakinan, dan kebajikan. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka tujuan pendidikan budi pekerti adalah sebagai berikut. 1. Siswa memahami nilai-nilai budi pekerti di lingkungan keluarga, lokal, nasional, dan internasional melalui adat istiadat, hukum, undang-undang, dan tatanan antarbangsa. 2. Siswa mampu mengembangkan watak atau tabiatnya secara konsisten dalam mengambil keputusan budi pekerti ditengahtengah rumitnya kehidupan bermasyarakat saat ini. 56 3. Siswa mampu menghadapi masalah nyata dalam masyarakat secara rasional bagi pengambilan keputusan yang terbaik setelah melakukan pertimbangan sesuai dengan norma budi pekerti. 4. Siswa mampu menggunakan pengalaman budi pekerti yang baik bagi pembentukan kesadaran dan pola perilaku yang berguna dan bertanggung jawab atas tindakannya. 2. Sasaran Pendidikan Budi Pekerti Pendidikan budi pekerti mempunyai sasaran kepribadian siswa, khususnya unsur karakter atau watak yang mengandung hati nurani (conscience) sebagai kesadaran diri (consciouness) untuk berbuat kebajikan (virtue).22 F. Scope Nilai dan Sifat-Sifat Budi Pekerti 1. Scope Nilai Budi Pekerti Menurut pendapat Cahyoto, ruang lingkup atau scope pembahasan nilai budi pekerti yang bersumberkan pada etika atau filsafat moral menekankan unsur utama kepribadian, yaitu kesadaran dan berperannya hati nurani dan kebajikan bagi kehidupan yang baik berdasarkan sistem dan hukum nilai-nilai moral masyarakat. Hati nurani (ada yang menyebutnya kata hati, suara hati, dan suara batin) adalah kesadaran untuk mengendalikan atau mengarahkan perilaku seseorang dalam halhal yang baik dan menghindari tindakan yang buruk. Kebajikan atau 22 Ibid., hlm. 66-67. 57 kebaikan merupakan watak unggulan yang berguna dan menyenangkan bagi diri sendiri dan orang lain sesuai dengan pesan moral. Dengan demikian, terdapat hubungannya antara budi pekerti dengan nilai-nilai moral dan norma hidup yang unsur-unsurnya merupakan ruang lingkup pembahasan budi pekerti. Unsur-unsur budi pekerti antara lain sebagai berikut. hati nurani kesopanan keberanian kebajikan kerapian bersahabat kejujuran keikhlasan kesetiaan dapat dipercaya kebijakan kehormatan disiplin pengendalian diri keadilan Mengingat budi pekerti merupakan etika praktis atau terapan yang bersumber kepada masyarakat (kesusilaan atau moralitas, agama, hukum, dan adat istiadat setempat), maka konsep budi pekerti menjadi lebih luas lagi dengan menyerap aspek budi pekerti dari lingkungan yang makin meluas (environmental development approach). Dari lingkungan yang makin meluas inilah budi pekerti mengandung nilai moral lokal (aturan keluarga, kerabat, dan tatanan lingkungan setempat, nasional (tatanan demokrasi, loyalitas, nasionalisme, undang-undang, hukum, hak asasi manusia, dan lain-lain), dan internasional (hukum internasional, hubungan, dan kerja sama antarbangsa, perdamaian, keamanan) dan masih banyak konsep lain yang menjadi norma dan berlaku bagi kesejahteraan lingkungan. Pendidikan budi pekerti yang khusus berkaitan 58 dengan pendidikan agama dipelajari tersendiri oleh siswa melalui pendidikan agama. Sedangkan nilai-nilai budi pekerti menurut Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Budi Pekerti kelas I-VI Buram, ke 6, Puskur Depdiknas, adalah sebagai berikut. Nilai-nilai budi pekerti di bawah ini merupakan uraian berbagai perilaku dasar dan sikap yang diharapkan dimiliki peserta didik sebagai dasar pembentukan pribadinya.23 Nilai Budi Pekerti Deskripsi 1. Meyakini adanya Tuhan 1. Sikap dan perilaku yang Yang Maha Esa dan selalu mencerminkan keyakinan dan mentaati ajaran-Nya kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2. Mentaati ajaran agama 2. Sikap dan perilaku yang mencerminkan kepatuhan, tidak ingkar, dan taat menjalankan perintah dan menghindari larangan agama. 3. Memiliki dan 3. Sikap dan perilaku yang mengembangkan sikap mencerminkan toleransi dan toleransi penghargaan terhadap pendapat, gagasan, tingkah laku orang lain, baik yang sependapat maupun yang tidak sependapat dengan dirinya. 4. Memiliki rasa menghargai 4. Sikap dan perilaku yang diri sendiri mencerminkan penghargaan seseorang terhadap dirinya sendiri dengan memahami kelebihan dan kekurangan dirinya. 5. Tumbuhnya disiplin diri 5. Sikap dan perilaku sebagai cerminan dari ketaatan, kepatuhan, ketertiban, kesetiaan, ketelitian, dan 23 Ibid., hlm. 67-68. 59 6. Mengembangkan kerja dan belajar etos 7. Memiliki rasa tanggung jawab 8. Memiliki rasa keterbukaan 9. Mampu diri mengendalikan 10. Mampu berpikir positif 11. Mengembangkan potensi diri 12. Menumbuhkan cinta dan kasih sayang 60 keteraturan perilaku seseorang terhadap norma dan aturan yang berlaku. 6. Sikap dan perilaku sebagai cerminan dari semangat, kecintaan, kedisiplinan, kepatuhan atau loyalitas, dan penerimaan terhadap kemajuan hasil kerja atau belajar. 7. Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya ia lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial), negara, dan Tuhan Yang Maha Esa. 8. Sikap dan perilaku seseorang yang mencerminkan adanya keterus terangan terhadap apa yang dipikirkan, diinginkan, diketahui, dan kesediaan menerima saran serta kritik dari orang lain. 9. Kemampuan seseorang untuk dapat mengatur dirinya sendiri berkenaan dengan kemampuan, nafsu, ambisi, keinginan, dalam memenuhi rasa kepuasan dan kebutuhan hidupnya. 10. Sikap dan perilaku seseorang untuk dapat berpikir jernih, tidak buruk sangka, mendahulukan sisi positif dari suatu masalah. 11. Sikap dan perilaku seseorang untuk dapat membuat keputusan sesuai dengan kemampuannya mengenal bakat, minat, dan prestasi serta sadar akan keunikan dirinya sehingga dapat mewujudkan potensi diri yang sebenarnya. 12. Sikap dan perilaku seseorang yang mencerminkan adanya unsur memberi perhatian, perlindungan, penghormatan, tanggung jawab, dan pengorbanan terhadap orang yang dicintai dan dikasihi. 13. Memiliki kebersamaan 13. Sikap dan perilaku seseorang dan gotong royong yang mencerminkan adanya kesadaran dan kemauan untuk bersama-sama, saling membantu, dan saling memberi tanpa pamrih. 14. Memiliki rasa kesetia 14. Sikap dan perilaku yang kawanan mencerminkan kepedulian kepada orang lain, keteguhan hati, rasa setia kawan, dan rasa cinta terhadap orang lain dan kelompoknya. 15. Saling menghormati 15. Sikap dan perilaku untuk menghargai dalam hubungan antarindividu dan kelompok berdasarkan norma dan tata cara yang berlaku. 16. Memiliki tata krama dan 16. Sikap dan perilaku sopan sopan santun santun dalam bertindak dan bertutur kata terhadap orang tanpa menyinggung atau menyakiti serta menghargai tata cara yang berlaku sesuai dengan norma, budaya, dan adat istiadat. 17. Memiliki rasa malu 17. Sikap dan perilaku yang menunjukkan tidak enak hati, hina, rendah karena berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan hati, norma, dan aturan. 18. Menumbuhkan kejujuran 18. Sikap dan perilaku untuk bertindak dengan sesungguhnya dan apa adanya, tidak berbohong, tidak berbuat-buat, tidak ditambah dan tidak dikurangi, serta tidak menyembunyikan kejujuran. 61 Berdasarkan uraian di atas, maka perilaku minimal yang dapat dikembangkan untuk jenjang SD/MI ialah sebagai berikut. a. Taat kepada ajaran agama. b. Memiliki toleransi. c. Tumbuhnya disiplin diri. d. Memiliki rasa menghargai diri sendiri. e. Memiliki rasa tanggung jawab. f. Tumbuhnya potensi diri. g. Tumbuhnya cinta dan kasih sayang. h. Memiliki kebersamaan dan gotong royong. i. Memiliki rasa kesetiakawanan. j. Memiliki sikap saling menghormati. k. Memiliki tata krama dan sopan santun. l. Tumbuhnya kejujuran.24 Kemudian perilaku minimal yang dapat dikembangkan untuk jenjang SMP/MTs ialah sebagai berikut. a. Meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. b. Taat kepada ajaran agama. c. Memiliki toleransi. d. Memiliki rasa mengahragai diri sendiri. e. Tumbuhnya disiplin diri. f. Berkembanya etos kerja atau belajar. 24 Ibid., hlm. 70. 62 g. Memiliki rasa tanggung jawab. h. Memiliki rasa keterbukaan. i. Mampu mengendalikan diri. j. Mampu berpikir positif. k. Tumbuhnya potensi diri. l. Tumbuhnya cinta dan kasih sayang. m. Memiliki kebersamaan dan gotong royong. n. Memiliki kesetiakawanan. o. Memiliki sikap saling menghormati. p. Memiliki tata krama dan sopan santun. q. Memiliki rasa malu. r. Tumbuhnya kejujuran. Selanjutnya perilaku minimal yang dapat dikembangkan untuk jenjang SMU/MA/SMK ialah sebagai berikut. a. Meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. b. Taat kepada ajaran agama. c. Memiliki toleransi. d. Memiliki rasa menghargai diri sendiri. e. Tumbuhnya disiplin diri. f. Berkembangnya etos kerja atau belajar. g. Memiliki rasa tanggung jawab. h. Memiliki rasa keterbukaan. i. Mampu mengendalikan diri. 63 j. Mampu berpikir positif. k. Tumbuhnya potensi diri. l. Tumbuhnya cinta dan kasih sayang. m. Memiliki kebersamaan dan gotong royong. n. Memiliki kesetiakawanan. o. Memiliki sikap saling menghormati. p. Memiliki tata krama dan sopan santun. q. Memiliki rasa malu. r. Tumbuhnya kejujuran.25 2. Sifat-Sifat Budi Pekerti Sifat-sifat budi pekerti sebagai unsur sifat kepribadian dapat dilihat pada perilaku seseorang sebagai perwujudannya. Menurut Cahyoto dari hasil pengamatan terhadap perilaku yang berbudi pekerti luhur, dapat dikemukakan adanya sifat-sifat budi pekerti, antara lain sebagai berikut. 1. Budi pekerti seseorang cenderung untuk mengutamakan kebajikan sesuai dengan hati nuraninya. 2. Budi pekerti mengalami perkembangan seiring dengan bertambahnya usia (perkembangan budi pekerti cukup lambat). Makin dewasa seseorang, makin kuat watak yang terbentuk sehingga perilakunya akan menampakkan kadar atau mutu budi pekerti yang cenderung menghayati norma masyarakatnya. 25 Ibid., 71. 64 3. Budi pekerti yang terbentuk cenderung mewujudkan bersatunya pikiran dan ucapan dalam kehidupan sehari-hari dalam arti terdapat kesejajaran antara pikiran, ucapan, dan perilaku. 4. Budi pekerti akan menampilkan diri berdasarkan dorongan (motivate) dan kehendak (wiil) untuk berbuat sesuatu yang berguna dengan tujuan memenuhi kepentingan diri sendiri dan orang lain berdasarkan pertimbangan moral. 5. Budi pekerti tidak dapat diajarkan langsung kepada seseorang atau siswa karena kedudukannya sebagai dampak pengiring (nurturant effects) bagi mata pelajaran lainnya. 6. Pembelajaran budi pekerti di sekolah lebih merupakan latihan bagi siswa untuk meningkatkan kualitas (mutu) budi pekertinya sehingga siswa terbiasa dan mampu menghadapi masalah moral di masyarakat pada dewasa nanti. Dalam praktiknya, sifat-sifat perilaku yang berbudi pekerti luhur memerlukan observasi atau pengamatan terhadap perilaku seseorang dalam waktu yang lama dan terus-menerus, karena sifat-sifat budi pekerti tidak dapat ditebak dalam waktu yang singkat.26 26 Ibid., hlm. 72. 65 G. Kegunaan atau Fungsi Pendidikan Budi Pekerti Menurut Cahyoto kegunaan pendidikan budi pekerti antara lain sebaga berikut. 1. Siswa memahami susunan pendidikan budi pekerti dalam lingkup etika bagi pengembangan dirinya dalam bidang ilmu pengetahuan. 2. Siswa memiliki landasan budi pekerti luhur bagi pola perilaku seharihari yang didasari hak dan kewajiban sebagai warga negara. 3. Siswa dapat mencari dan memperoleh informasi tentang budi pekerti, mengolahnya dan mengambil keputusan dalam menghadapi masalah nyata di masyarakat. 4. Siswa dapat berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain untuk mengembangkan nilai moral. Sementara itu, menurut Draf Kurikulum Berbasis Kompetensi fungsi atau kegunaan pendidikan budi pekerti bagi peserta didik ialah sebagai berikut. a. Pengembangan, yaitu untuk meningkatkan perilaku yang baik bagi peserta didik yang telah tertanam dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. b. Penyaluran, yaitu untuk membantu peserta didik yang memiliki bakat tertentu agar dapat berkembang dan bermanfaat secara optimal sesuai dengan budaya sosial. c. Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan, dan kelemahan peserta didik dalam perilaku sehari-hari. 66 d. Pencegahan, yaitu mencegah perilaku negatif yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa. e. Pembersih, yaitu untuk membersihkan diri dari penyakit hati seperti sombong, egois, iri, dengki, dan ria agar anak didik tumbuh dan berkembang sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa. f. Penyaring (filter), yaitu untuk menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budi pekerti.27 H. Pendidikan Budi Pekerti dan Pembangunan Moral Bangsa Menurut Azyumardi Azra, merebaknya tuntunan dan gagasan tentang pentingnya pendidikan budi pekerti di lingkungan persekolahan, haruslah diakui berkaitan erat dengan semakin berkembangnya pandangan dalam masyarakat luas bahwa pendidikan nasional dalam berbagai jenjang, khususnya jenjang mengah dan tinggi, telah gagal dalam membentuk peserta didik yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik. Lebih jauh lagi, banyak peserta didik sering dinilai tidak hanya kurang memiliki kesantunan baik di sekolah, di rumah, dan lingkungan masyarakat, tetapi juga sering terlibat dalam tindak kekerasan massal seperti tawuran dan sebagainya. Pandangan simplistis menganggap bahwa kemerosotan akhlak, moral, dan etika peserta didik disebabkan gagalnya pendidikan agama di sekolah, harus diakui, dalm batas tertentu, sejak dari jumlah jam yang sangat minim, materi pendidikan agama ynang terlalu teoretis, sampai pada pendekatan pendidikan 27 Ibid., hlm. 104-105. 67 agama yang cenderung bertumpu pada aspek kognisi daripada aspek afeksi dan psikomotorik peserta didik. Berhadapan dengan berbagai kendala constraints, dan masalah-masalah seperti ini, pendidikan agama tidak atau kurang fungsional dalam membentuk akhlak, moral, dan bahkan kepribadian peserta didik.28 28 Ibid., hlm. 111-112. 68