Hubungan Karakteristik Anggota Masyarakat

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Partisipasi
Pengertian partisipasi menurut Cohen dan Uphoff (1977) mengacu pada
pengertian partisipasi sebagai keterlibatan aktif masyarakat mulai dari tahap proses
pengambilan keputusan tentang rencana kegiatan, tahap pelaksanaan kegiatan, tahap
menikmati hasil dan tahap evaluasi pelaksanaan kegiatan. Dengan demikian, jenis
partisipasi
yang
diharapkan
mencakup
(1)
partisipasi
dalam
pengambilan
keputusan/perencanaan, (2) partisipasi dalam pelaksanaan, (3) partisipasi dalam evaluasi
dan (4) partisipasi dalam menikmati hasil.
Partisipasi dalam tahap pengambilan keputusan/perencanaan dibedakan menjadi
tiga kegiatan, yaitu : (1) pada saat penentuan keputusan awal mengenai proyek dengan
memperhatikan keperluan dan prioritas proyek atau kegiatan apa yang akan dikerjakan,
(2) ikut serta secara terus menerus dalam setiap proses pengambilan keputusan, (3) ikut
serta dalam merumuskan keputusan mengenai rencana kerja.
Partisipasi dalam tahap pelaksanaan dibedakan alam tiga kegiatan, yaitu : (1)
sumbangan sumberdaya yang berupa sumbangan tenaga dengan ikut bekerja dalam
program, sumbangan materi atau pemberian informasi, (2) terlibat dalam kegiatan
administrasi dan koordinasi, (3) ikut serta sebagai peserta
dari program yang
dilaksanakan. Partisipasi dalam tahap evaluasi merupakan tahap yang penting bagi para
pengambil keputusan untuk memperoleh masukan mengenai pelaksanaan program.
Partisipasi dalam tahap menikmati hasil mencakup : (1) keuntungan materiil
berupa meningkatnya pendapatan dan konsumsi, baik dalam bentuk jumlah maupun
distribusi yang merata, (2) keuntungan sosial antara lain meningkatnya pendidikan dan
terberantasnya buta huruf, (3) keuntungan perorangan antara lain berupa kemantapan
status sosial seseorang serta meningkatnya kekuasaan politik.
Yadaf (1980) mengemukakan bahwa secara umum partisipasi
masyarakat
merupakan keikutsertaan seseorang dalam suatu aktivitas. Tingkat keikutsertaan ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sebagian faktor ini terdapat pada diri warga dan
sebagian lagi datang dari lingkungannya, Yadaf juga mengemukakan bahwa masyarakat
berpartisipasi dalam pembangunan dengan sukarela dan kemauan sendiri tanpa paksaan.
Muhadjir (1982) partisipasi dapat dilihat dari dua segi yaitu segi kualitatif dan segi
kuantitatif. Segi kuantitatif dapat dilihat dari partisipasi seseorang dalam hal frekuensi
8
keikutsertaannya dalam kegiatan, sedangkan segi kualitatif dapat dilihat dari tingkat dan
derajatnya.
Muhadjir (1982) mengemukakan bahwa berdasarkan derajatnya, dapat dibedakan
menja di : (1) berpartisipasi tanpa mengenal ide obyek partisipasi (diperintahkan untuk
ikut), (2) berpartisipasi karena telah mengenal ide baru tersebut dan adanya daya tarik dari
obyek dan minat dari subyek itu sendiri, (3) berpartisipasi karena telah meyakini bahwa
ide tersebut memang baik, (4) berpartisipasi karena telah melihat lebih mendetail tentang
alternatif pelaksanaan atau implementasi ide-ide tersebut, (5) berpartisipasi karena
langsung dapat memanfaatkan ide dan usaha tersebut untuk dirinya, keluarga dan
masyarakatnya.
Slamet (2003) menyatakan bahwa partisipasi diartikan sebagai ikut sertanya
masyarakat dalam pembangunan, bukan hanya partisipasi dalam menyumbangkan input
tetapi termasuk ikut memanfaatkan dan menikmati hasil pembangunan. Slamet (2003)
membagi partisipasi dalam 5 jenis yaitu (1) ikut memberi input, menerima imbalan atas
input dan ikut menikmati hasil, (2) ikut memberi input dan menikmati hasil, (3) ikut
memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil secara langsung, (4)
menikmati/memanfaatkan hasil tanpa ikut memberi input, (5) memberi input tanpa
menerima imbalan dan tidak menerima hasil. Tanpa partisipasi masyarakat dalam
memanfaatkan hasil berarti pula bahwa masyarakat tidak naik tingkat hidupnya atau
kesejahteraannya.
Selanjutnya Slamet (2003) mengemukakan bahwa kemanfaatan pembangunan
dapat bersifat dekat atau jauh dalam arti jarak, waktu maupun persepsi masyarakat.
Persepsi jauh terhadap pemanfaatan pembangunan mengindikasikan bahwa masyarakat
tidak segera atau dalam jangka pendek memperoleh manfaat. Tentu saja kondisi seperti
ini akan membawa masyarakat menjadi tidak responsif untuk ikut serta dalam
pembangunan. Syarat-syarat yang diperlukan agar masyarakat dapat berpartisipasi adalah
adanya kesempatan, kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan dan kemauan untuk
berpartisipasi. Dengan kata lain, bahwa kondisi yang kondusif untuk terjadinya partisipasi
harus tercipta terlebih dahulu.
Partisipasi juga dapat dibedakan menjadi : (1) partisipasi dalam pelaksanaan
usaha, (2) partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan (3) partisipasi dalam
perencanaan program.
Yadaf (1980), berpendapat bahwa partisipasi seseorang dapat dilihat melalui 4
unsur yaitu : (1) Partisipasi dalam pengambilan keputusan, (2) partisipasi dalam
9
pelaksanaan pembangunan atau kegiatan, (3) partisipasi dalam monitoring dan evaluasi
program-program pembangunan (4) partisipasi dalam membagi-bagi keuntungan atau
hasil pembangunan.
Nilvises (1997) dalam Perhutani (1999) membagi partisipasi ke dalam 6 katego ri
yaitu :
1.
Bukan partisipasi, yaitu masyarakat dipaksa terlibat dalam suatu kegiatan
pengelolaan hutan, pemegang hak pengusahaan hutan sengaja mengingkari hak-hak
yang melekat pada masyarakat lokal, atau jika masyarakat menolak dilibatkan, maka
dapat dilibatkan dengan hukum.
2.
Partisipasi tingkat paling rendah, yaitu masyarakat terlibat karena memperoleh
insentif atau penghargaan sebagai upah atau kemewahan sosial tertentu (misalnya
mengijinkan masyarakat berobat di klinik perusahaan, menyekolahkan anak-anak
dan lain -lain).
3.
Partisipasi tingkat rendah, yaitu keterlibatan masyarakat karena pihak perusahaan
menggunakan propaganda, iklan, kampanye, rapat, radio atau televisi.
4.
Partisipasi tingkat sedang, yaitu masyarakat diminta menghadiri pertemuanpertemuan atau temu wicara, yang menggali pandangan-pandangan terhadap suatu
masalah atau kebutuhan masyarakat. Perusahaan akan melakukan analisis,
merumuskan solusi dan rekomendasi hasil temu wicara.
5.
Partisipasi tingkat tinggi, yaitu masyarakat berkesempatan mengungkapkan
pendapat dan aspirasinya dan dilanjutkan dengan pengamb ilan keputusan dalam
mengatasi masalah-masalah tersebut dan apa langkah-langkah terbaik yang harus
diambil mereka, dilakukan dengan mengajukan usulan-usulan kegiatan yang lebih
rinci.
6.
Partisipasi tingkat ideal, yaitu anggota masyarakat setempat menjadi aktor utama
dalam pembuatan keputusan mulai perencanaan, operasional, pengendalian dan
monitoring suatu program. Pihak perusahaan hanya mendukung dan menyetujui
keputusan masyarakat.
Dorongan
dan
ra ngsangan
untuk
berpartisipasi
mencakup
faktor-faktor
kesempatan, kemauan, kemampuan dan bimbingan. Implikasinya adalah bila masyarakat
diberikan kesempatan, ditingkatkan kemampuannya dengan cara memberikan peluang
untuk mendapatkan lebih banyak pengalaman dan dimotivasi kemauannya untuk
berpartisipasi maka intensitas partisipasinya alam pembangunan akan meningkat.
10
Kesempatan ini dapat diberikan pada waktu pelaksanaan, pengambilan keputusan,
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, penilaian dan distribusi hasil.
Mitchell (1997) dalam Soemardjo (2005) mengemukakan beberapa elemen yang
merupakan kriteria kesuksesan dan keefektifan partisipasi dalam bentuk kemitraan yaitu :
(1) tercapainya kecocokan antara pihak yang terlibat berupa penghargaan dan
kepercayaan, (2) terwujudnya keuntungan untuk semua pihak, (3) berkembangnya
keseimbangan perwalian dan kekuasaan yang dapat disepakati oleh seluruh pihak yang
terlibat, (4) berkembangnya komunikasi yang efektif, baik dalam kelompok maupun luar
kelompok, (5) kemampuan beradaptasi terhadap ketidakpastian dan perubahan, (6) tingkat
integritas kesabaran dan keajegan semua pihak yang terlibat.
Partisipasi Masyakat dalam Pelestarian Hutan
Dalam rangka memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi hutan, pendekatan
utama yang harus dilakukan adalah pendekatan masyarakat (Community Based
Development), karena shared holder yang berinteraksi langsung dan setiap hari adalah
masyarakat
sekitar
hutan
sehingga
harus
menjadi
perhatian
utama.
Dalam
pelaksanaannya, partisipasi masyarakat dalam mengelola hutan berdasar azas kelestarian
sangat diperlukan.
Suhaeri (1994) mengemukakan hasil penelitian di kawasan Taman Nasional
Gunung Halimun, bahwa dalam pemanfaatan hutan oleh masyarakat pada umumnya
dilandasi oleh adat istiadat masyarakat kasepuhan (masyarakat yang tinggal di kawasan
hutan) dan tampak sudah mengakar, sehingga kelembagaan formal hanya mampu
mengendalikan sebagian kecil sumber saling ketergantungan antara masyarakat dengan
kawasan hutan dengan kata lain peran masyarakat dalam pengambilan keputusan dalam
pengelolaan hutan sangat menentukan.
Damayanti (2003) dalam hasil penelitiannya, ditinjau dari partisipasinya,
masyarakat di sekitar hutan dapat digolongkan menjadi 2 yaitu kelompok masyarakat
yang berpartisipasi dalam program pengelolaan dan kelompok masyarakat yang tidak
berpartisipasi dalam program pengelolaan. Kelompok masyarakat yang berpartisipasi
dalam program pegelolaan juga terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang
berpartisipasi langsung (misalnya petani agroforestry, penyadap kopal) dan kelompok
yang secara tidak langsung (masyarakat yang mengikuti program home industry ataupun
program lain, yang basis kegiatannya di desa).
11
Peran petani agroforestry
adalah menanam jenis -jenis tumbuhan pertanian
(palawija) dan tumbuhan lain yang diperlukan di bawah tegakan dan menjaga pohon
induk dari pencurian dan kebakaran hutan. Selain itu, mereka berperan juga dalam
program home industry sebagai penyuplai bahan baku dan dalam program ekoturisme,
sebagai interpreter di lahan agroforestry atau di areal penyadapan kopal.
Peran kelompok masyarakat yang berpartisipasi di desa, dalam program home
industry atau ekoturisme adalah memproduksi produk-produk dari tumbuhan obat, seperti
minuman instan, teh, jamu, juga produk makanan ringan dari hasil bumi masyarakat
sekitar hutan seperti manisan pala. Dalam program ekoturisme, mereka berperan sebagai
interpreter dalam pembuatan masing-masing produk juga memasarkan produk-produk
kepada para pengunjung.
Kelompok masyarakat yang tidak berpartisipasi dalam program pengelolaan
memiliki peran secara tidak langsung dalam pengelolaan, yaitu sebagai pengunjung, agen
penyebar informasi, pemanfaat tidak langsung dari keberadaan hutan. Salah satu kunci
keberhasilan suatu program pengelolaan adalah penyebaran informasi dan masyarakat
adalah penyebar informasi yang sangat cepat dan murah.
Peran umum masyarakat dari semua kelompok adalah bekerja bersama pengelola
dalam pengamanan kawasan. Pelanggaran yang terjadi di dalam maupun di batas -batas
hutan akan dapat dideteksi dan ditangani dengan cepat dengan adanya kerjasama
masyarakat.
Banyak penelitian lain menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal dan hidup
dalam kawasan hutan dan sekitar hutan adalah shared holder utama dalam pengelolaan
hutan. Oleh karenanya mereka perlu ditingkatkan keberdayaannya dan ditempatkan
sebagai subyek dalam pembangunan hutan yang berbasiskan kelestarian (Sustained yield
principle based on community development)
Karakteristik Masyarakat :
Karakteristik Individual dan karakteristik sosial ekonomi
Ginting (1999) menyatakan bahwa karakteristik pribadi (individual) pemimpin
merupakan sesuatu yang memang sudah demikian adanya, dengan kata lain sukar untuk
mengubah atau meningkatkan kualitasnya kecuali melatih atau mengembangkan refleksi
dari beberapa karakteristik pribadi. Refleksi pendidikan (yang relatif tinggi) dapat
berwujud minat permanen untuk selalu memberi informasi, termasuk informasi
12
pembangunan sehingga pengetahuannya terus bertambah, berwawasan luas dan toleran
terhadap pendapat orang lain dan sejenisnya.
Jahi (1981) mengemukakan bahwa dengan mengetahui karakteristik para pelajar
dalam menyusun rencana pelajaran akan berguna bagi penentuan pada tingkat mana
pelajaran itu akan dmulai dan pendekatan-pendekatan mengajar apa yang digunakan.
Slamet (1978) berpendapat bahwa perbedaan-perbedaan individuil yang mempengaruhi
cepat lambatnya proses adopsi adalah : (1) umur, (2) pendidikan, (3) status sosial, (4)
Kekosmopolitan, (5) keberanian mengambil resiko, (6) sikap terhadap perubahan, (7)
motivasi berkarya, (8) aspirasi, (9) fatalisme dan (10) diagnotisme.
Berdasarkan konsep yang dikemukakan Slamet (1978), karakteristik pribadi
masyarakat/warga belajar yang akan diteliti, antara lain :
1. Umur
De Cecco (1968) mengemukakan bahwa umur warga belajar akan berpengaruh
pada kematangannya, baik kematangan fisik maupun kematangan emosional, yang sangat
menentukan kesiapan belajar. Dahama dan Bhatnagar (1980) menjelaskan pula bahwa
umur warga belajar berkaitan dengan efisiensi dan kapasitas belajar seseorang yang tidak
merata menurut perkembangan umurnya, dimana kapasitas belajar meningkat sampai usia
dewasa kemudian menurun sehubungan dengan bertambahnya umur. Ginting (1999)
mengemukakan bahwa makin tinggi usia seorang maka makin matang dalam mengambil
keputusan.
2. Pendidikan Formal dan Non Formal
De Cecco (1968) juga mengemukakan bahwa kesiapan seseorang belajar
ditentukan oleh kematangannya dan pendidikan yang diperolehnya. Latar belakang
pendidikan perlu dipertimbangkan dalam rangka penentuan titik berat dan teknik -teknik
serta jalur penyampaian materi.
3.
Tingkat Penghasilan
Muhadjir (1982) menjelaskan bahwa kesempatan memperoleh pendidikan akan
cenderung jatuh pada golongan yang kemampuan ekonominya tidak minimal, sehingga
warga yang mempunyai pendapatan rendah memperoleh kesempatan terbatas dalam
mengikuti pendidikan
4. Asal Daerah
Triandis (1972) dalam Warnaen (2001) mengemukakan bahwa salah satu faktor
lingkungan yang sangat penting yang mempengaruhi tingkah laku manusia adalah apa
yang disebut kultur atau kebudayaan. Triandis menarik kesimpulan bahwa sejarah hidup
13
manusia terpenting adalah akomodasi terhadap pola standar yang secara tradisional dianut
oleh lingkungan sosialnya. Sejak individu dilahirkan, kebiasaan lingkungan membentuk
pengalaman-pengalaman hidup dan tingkah laku. Adat dan tingkah laku manusia dalam
lingkungannya menjadi kebiasaan, kepercayaaannya, dan yang tabu bagi lingkungan juga
tabu baginya. Dari konsep tersebut, asal daerah akan berimplikasi pada persepsi tentang
nilai aturan, dan norma kelompok serta peran yang merupakan aspek-aspek kultur
subyektif (cara khas suatu golongan kebudayaan memandang lingkungan sosialnya). Pada
umumnya, interaksi akan membentuk kesamaan norma dan sikap, serta kesamaan kultur
subyektif.
5. Pengalaman Memimpin
Ginting (1999) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa pemimpin yang
telah lama memimpin akan lebih mampu mengidentifikasi sifat dan kebutuhan pengikut,
lebih dapat memahami masalah yang dialami warga.
Berdasarkan konsep ini pula, maka pengalaman yang lebih lama akan berpengaruh
pada kematangan dalam mengambil keputusan (bagi warganya).
Kemudian karakteristik tentang sistem nilai yang dianut responden, mengacu pada
Soekanto (1982) bahwa sistem nilai mencakup konsepsi abstrak tentang apa yang
dianggap baik dan dianggap buruk, terdiri dari hakekat mengenai hidup, karya, waktu,
lingkungan alam dan lingkungan sosial.
Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi pengikut yang
menyangkut penggunaan kekuasaan dan diterimanya pemimpin oleh para pengikut.
Kemampuan mempengaruhi berkaitan dengan pemuasan kebutuhan para pengikut
(Gibson dkk, 1993).
Menurut Slamet (2005) bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi
perilaku orang banyak. Pandangan lain menyatakan bahwa kepemimpinan adalah sebagai
kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain. Perilaku diartikan secara luas karena
perilaku dipengaruhi oleh sikap mental. Sikap mental ini dipengaruhi oleh faktor lain,
pengetahuannya, ketrampilannya dan sikapnya. Selanjutnya dikemukakan bahwa
pemimpin adalah individu dalam kelompok yang bertugas mengarahkan dan atau
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan kelompok (stimulasi, motivasi, mempengaruhi
antar-personal).
14
Aspek-aspek
penting
kepemimpinan, antara
lain : (1) tipe/gaya
kepemimpinan, (2) jenis -jenis pemimpin, (3) hal-hal yang harus dilakukan pemimpin.
Setiap kelompok sosial pasti memiliki pola tingkah laku yang sesuai dengan tipe
kepemimpinan yang mengaturnya. Tipe/gaya kepemimpinan dikelompokkan menjadi dua
kutub, yaitu : (1). Otoriter, dan (2). Demokratis (Slamet, 2005) yang dapat digambarkan
sebagai berikut :
Otokratik
Otoriter
Orientasi tugas
Inisiatif
Penyuluhan
Demokratik
Keseimbangan
Permisif
Orientasi kelompok
Kontinum
OTORITER
Bijaksana
Partisipasi
DEMOKRATIS
Gambar 2. Dua kutub gaya kepemimpinan
1.
Otoriter : Semua keputusan atau pendapat terpusat pada satu orang dan tidak
melibatkan orang lain. Menurut Syamsu dkk. (1990) bahwa tipe otoriter adalah tipe
kepemimpinan yang berpusat pada pekerjaan tanpa menghiraukan kepentingan
anggota kelompok. Keputusan senantiasa berada ditangan pemimpin, anggota
kelompok cenderung dijadikan sebagai alat untuk mengeksploitir tujuan kelompok
semata.
2.
Demokratis :
merupakan kebalikan dari otoriter. Berorientasi pada hubungan
pemimpin dan anggota, selalu ingin mengetahui keinginan anggo ta dan pendapat
anggota. Syamsu dkk. (1990) mengemukakan bahwa tipe demokratis merupakan pola
kepemimpinan yang sama mementingkan tercapainya tujuan kelompok seoptimal
mungkin dengan mengikutsertakan seluruh partisipasi anggota, daya dan segenap
kemampuan yang dimilikinya sehingga kelompok merupakan tanggung jawab
bersama. Ciri utamanya adalah pendistribusian wewenang dan tanggung jawab pada
sejumlah anggota, tanpa mengurangi partisipasi dan tanggung jawab terhadap
kelompok secara keseluruhan. Kepemimpinan yang demokratik ini membantu
adanya interaksi dalam kelompok, membantu kelompok membuat keputusan dan
membantu kelompok mencapai tujuan-tujuannya.
Slamet (2005) mengemukakan bahwa ada tiga faktor utama yang perlu
diperhatikan
dalam
mempelajari
situasi suatu kelompok, yaitu (1) struktur tugas,
15
(2) kekuatan kedudukan yang dimiliki oleh pemimpin, dan (3) hubungan antara pemimpin
dengan anggota, dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Struktur tugas (task structure) adalah sifat-sifat dari tugas kelompok yang mencakup
ketetapan/konkrit keputusan, kejelasan tujuan, cara pencapaian tujuan, dan
kespesifikan solusi. Struktur tugas ini secara kontinum dari struktur tugas yang jelas
sampai dengan struktur tugas tidak jelas.
2. Kekuatan kedudukan yang dimiliki oleh pemimpin adalah derajat dari suatu
kedudukan yang memungkinkan pemimpin mendapatkan pengakuan dari anggota
kelompoknya serta mau menerima dan mematuhi pengarahan dari pemimpinnya.
Kekuatan kedudukan pemimpin ini berkisar dari kuat ke lemah dan sebaliknya.
3. Hubungan anggota dengan pemimpin adalah derajat kualitas emosi hubungan anggota
dengan pemimpinnya meliputi keakraban, rasa sayang, rasa hormat, rasa kepercayaan
dan lain -lain, yang secara umum dapat dikategorikan baik hingga jelek.
Gaya kepemimpinan yang otoriter (berorientasi pada tugas) digunakan apabila
situasi sangat menguntungkan atau situasi sangat tidak menguntungkan bagi pemimpin,
dan menggunakan gaya demokratis (orientasi pada hubungan) apabila situasi
menguntungkan atau kurang menguntungkan (sedang-sedang saja keuntungannya) bagi
pemimpin.
Slamet (2005) mengemukakan bahwa kelompok yang bermusuhan dan tidak
bermotivasi memerlukan kepemimpinan yang kuat. Kelompok besar cenderung akan
berorientasi pada tugas dan kelompok kecil akan cenderung berorientasi pada hubungan.
Menurut Kartono (1993), terdapat sepuluh sifat pemimpin yang merupakan
karakteristik sosial yang harus dimiliki pemimpin, yaitu (1) kekuatan, (2) stabilitas emosi,
(3) pengetahuan tentang relasi insani, (4) kejujuran, (5) obyektif, (6) dorongan pribadi, (7)
ketrampilan berkomunikasi, (8) kemampuan mengajar, (9) ketrampilan sosial dan (10)
kecakapan teknis atau kecakapan manajerial.
Pemimpin Nonformal dan Pemimpin Formal
Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia sebagai makhluk sosial membentuk
kelompok-kelompok
interaksi sosial.
(masyarakat) dengan melakukan interaksi yang disebut dengan
Interaksi ini dapat berjalan dengan baik apabila seseorang sebagai
anggota masyarakat menyadari posisi/statusnya, peran serta fungsinya serta
mampu
menempatkan diri dalam interaksi dengan orang lain. Bentuk interaksi sosial yang
16
berjalan dengan baik dan harmonis antara lain ditandai dengan adanya kepekaan dan
kepedulian para pelaku sosial serta solidaritas pada kalangan anggota masyarakat
bersangkutan. Disamping itu, masing-masing anggota masyarakat menyadari dengan baik
atas perannya sesuai statusnya, baik yang bersifat “given” maupun “achieve” dan
berkaitan langsung dengan kesadaran kewajiban-kewajiban dan hak-haknya (syah dan
tidak syah) (Popenoe, 1989). Masyarakat manusia sebagai sistem sosial, setiap
anggotanya mempunyai fungsi tertentu yang menyebabkan masyarakat tersebut “exist”,
dinamik dan hidup. Fungsi setiap orang yang berada di dalam sistem sosial terkait dengan
orang lain karena kebutuhannya yang bersifat biologikal, psikologikal/emosional dan
sosiologikal.
Dalam kelompok masyarakat
sebagai sistem sosial,
untuk mengelola dan
mengatur posisi/status, peran serta fungsi anggota kelompok, masyarakat ini memerlukan
pemimpin untuk menggerakan dalam mencapai tujuannya.
Dalam masyarakat terdapat banyak kelompok formal dan non formal. Kelompok
nonformal, mempunyai struktur yang nonformal pula. Bahkan kadang-kadang kelompok
tersebut tidak jelas nama dan pemimpinnya. Gaya kepemimpinan kelompok nonformal
ditentukan oleh situasi kelompok. Situasi berubah, gaya kepemimpinan juga berubah.
Kepemimpinan kelompok nonformal tidak statis, tetapi fleksibel yang mengalir seperti air
mengikuti situasi permukaan yang dihadapi.
Ciri-ciri dasar kelompok non formal yaitu keanggotaan dalam kelompok bersifat
sukarela (masuk dan keluar kelompok tanpa larangan, tanpa harus mendaftarkan diri dan
melewati prosedur), tanpa ada aturan-aturan yang mengikat.
Fungsi kelompok adalah menerima atau menolak kepemimpinan seseorang
meskipun secara tidak formal. Pemimpin dalam kelompok non formal ini harus mampu
mencari hikmah dari ekspresi kelompoknya.
Kepemimpinan berdasarkan defisinisinya terdapat lima pola pendefinisian (1)
pemimpin didefinisikan sebagai seorang yang menjadi fokus
dalam tingkah laku
kelompok, (2) pemimpin adalah orang yang memiliki kemampuan memimpin kelompok
untuk mencapai tujuan, (3) pemimpin sebagai orang yang mampu mendemonstrasikan
pengaruhnya atas sintalitas kelompok, dan (5) pemimpin adalah seorang yang berusaha
atau terikat dengan perilaku kepemimpinan (Yusuf, 1982). Lima pola pendefinisian
tersebut menunjukkan bahwa pemimpin
merupakan anggota kelompok yang lebih
mampu mempengaruhi aktivitas kelompoknya.
17
Pemimpin dari kelompok formal disebut dengan pemimpin formal, sedangkan
pemimpin dari kelompok non formal sebagaimana dijelaskan di atas, disebut pemimpin
non formal.
Kartono (1993) mengemukakan pemimpin formal adalah orang yang ditunjuk
organisasi/lembaga sebagai pemimpin, berdasarkan keputusan dan pengangkatan resmi
untuk memangku suatu jabatan dalam suatu struktur organisasi dengan segala hak dan
kewajiban berkaitan dengannya untuk mencapai tujuan organisasi. Ciri-ciri pemimpin
formal adalah : (1) berstatus sebagai pemimpin formal selama jabatan tertentu, atas dasar
legalitas formal oleh penunjukkan pihak yang berwenang, (2) sebelum pengangkatannya,
pemimpin harus memenuhi beberapa persyaratan formal terlebih dahulu, (3) diberi
dukungan oleh organisasi formal untuk menjalankan tugas kewajibannya sehingga selalu
memiliki atasan, (4) mendapatkan balas jasa materiil dan non materiil tertentu, serta
penghasilan sampingan lainnya, (5) bisa mencapai promosi atau kenaikan pangkat formal,
(6) apabila melakukan kesalahan akan mendapatkan sangsi atau hukuman, (7) selama
menjabat kepemimpinan diberi kekuasaan dan wewenang.
Pemimpin non formal adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk
mempengaruhi pengikut yang menyangkut penggunaan kekuasaan dan diterimanya
pemimpin oleh para pengikut. Kemampuan mempengaruhi berkaitan dengan pemuasan
kebutuhan para pengikut (Gibson, dkk 1993). Mereka adalah seorang pribadi yang
memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya dalam bidang tertentu, sehingga ia mampu
mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktifitas demi pencapaian satu
atau beberapa tujuan (Kartono, 1993). Seora ng pemimpin harus dapat memprakarsai
tingkah laku sosial anggotanya dengan cara mengatur, mengorganisasikan dan mengontrol
usaha anggotanya, baik melalui prestise, kekuasaan maupun posisi.
Pemimpin yang merupakan figur sentral dalam kelompok, harus bergerak lebih
awal, berjalan di depan, mengambil langkah pertama, berbuat paling dulu atau
mempelopori,
mengarahkan
pikiran-pendapat-tindakan
orang
lain,
membimbing,
menuntun, menggerakkan pengikut melalui pengaruhnya. Kemampuan mempengaruhi
dapat bersumber dari kharisma, kelebihan dalam kepribadian, kelebihan pengetahuan dan
kemampuan dalam hal-hal tertentu, kepemilikan berbagai sumber yang secara langsung
berhubungan dengan atau diperlukan oleh kelompok.
Pada kelompok sosial alamiah seperti keluarga, marga, suku dan sejenisnya, yang
banyak terdapat di daerah pedesaan, hubungan atasan bawahan yang dapat memberi
peluang penerapan otoritas, perkembangannya terdapat dalam bentuk sistem status dan
18
peranan. Berdasarkan sejumlah ciri tertentu, struktur kekuasaan dalam kelompok seperti
ini, berkembang secara alamiah dan selanjutnya dilanggengkan melalui tradisi.
Pada umumnya pemimpin formal mempunyai masa jabatan terbatas atau dalam
suatu jangka waktu tertentu, sedangkan pemimpin non formal tidak menduduki suatu
tempat tertentu dalam struktur kemasyarakatan, tidak mempunyai nama jabatan serta tidak
dibebani tugas dan tanggungjawab yang jelas (Mangunhardjana, 1995). Kalaupun
pemimpin non formal dibebani tugas hanya karena ia memiliki kualifikasi tertentu, seperti
bidang agama, adat dan sebagainya. Pemimpin non formal adalah orang yang tidak
mendapatkan pengangkatan formal, namun karena memiliki kualitas unggul, maka dapat
mencapai kedudukan sebagai orang yang mampu mempengaruhi kondisi dan perilaku
suatu kelompok atau masyarakat (Soekanto, 1987). Pemimpin nonformal selalu menjadi
tempat bertanya atau meminta nasehat bagi anggota masyarakat yang dalam urusan
tertentu memiliki kemampuan untuk mempengaruhi masyarakat (Rogers dan Soemaker,
1986).
Selanjutnya menurut Slamet (2005), sifat pemimpin dalam kelompok nonformal
antara lain (1) Empati (empathy), (2) Anggota kelompok/bukan orang luar; dapat diterima
oleh kelompok, dan dia adalah milik kelompok, (3) Bijaksana (considerate); artinya perlu
pertimbangan, misalnya dalam membuat keputusan, banyak hal-hal yang perlu
dipertimbangkan. Pemimpin tidak melukai orang, menyakiti orang dalam pengambilan
keputusan, (4) Lincah (surgency) ; berfikir tidak terpaku pada sesuatu, banyak hal yang
dilakukan, dan banyak ide. Penggembira, semangat, suka berkomunikasi, dinamis, dan
ringan kaki (mudah diajak), (4) Beremosi stabil; tidak emosional dan bertemperamen
tenang, dapat diperkirakan dan punya suatu pola perilaku, (5) Berkeinginan memimpin;
karena bersifat sukarela maka seyogyanya memang orang itu memiliki keinginan untuk
memimpin atau menjadi pemimpin, (6) Kompeten (competence), misalnya berbicara jelas,
mudah dimengerti. Kemampuan mengendalikan orang dan kemampuan lain yang
berkaitan dengan tugas, tujuan, keperluan kelompok, (7) Cerdas (intelligence); mampu
berfikir, banyak akal (8) Konsisten dalam segala hal, mempunyai prinsip yang dapat
dipertanggungjawabkan, (9) Percaya diri (self-confidence); berfikir mantap, tidak mudah
berubah. (10) Mampu berbagi kepemimpinan (Capacity for sharing leadership ), tidak
cenderung otoriter, misalnya hal-hal yang diputuskan berasal dari banyak orang, mampu
membagi tugas dan membangun kepercayaan.
Pemimpin
nonformal
yang
mampu
mempengaruhi
penduduk
karena
kepemimpinannya, mendapat pengakuan dari masyarakat. Selain karena kharisma,
19
pemimpin seperti ini menguasai salah satu atau lebih dari bidang adat, agama dan
“pemerintahan” desa (khusus bagi pewaris leluhur yang mendirikan desa), disebut
pemimpin non formal tradisional. Kemampuan dan penguasaan dalam bidang-bidang
tersebut perlu dimiliki pemimpin masyarakat di lingkungan tertentu. Otoritas dari
pemimpin non formal tradisional didasarkan pada kewenangan tradisional.
Selain pemimpin nonformal tradisional, juga terdapat pemimpin non formal
kontemporer (modern) yaitu pemimpin yang muncul belakangan yang kewenangan
kepemimpinannya lebih mendasarkan pada pemilikan kualifikasi yang berhubungan erat
dengan kehidupan masa kini, seperti ilmu pengetahuan dan ketrampilan berusaha,
sehingga penghasilan mereka relatif lebih baik. Pemimpin modern lebih berorientasi masa
depan jika dibandingkan dengan pemimpin non formal tradisional yang lebih berorientasi
masa lalu sampai masa kini. Kemajuan atau perkembangan ilmu pengetahuan serta
teknologi, telah membuka kesempatan bagi orang desa untuk meningkatkan kegiatan
ekonomi, pendidikan dan mobilitas yang tidak hanya terbatas antara desa dengan kota,
akan tetapi juga desa dengan kota besar. Peningkatan keadaan ekonomi dan pendidikan
serta luasnya jangkauan perjalanan dan pengalaman seseorang, memungkinkan mereka
memiliki aset ekonomi serta informasi yang lebih banyak dari warga desa yang lain,
bahkan mungkin melebihi dari pemimpin nonformal tradisional. Karena itu mereka
menjadi tempat bertanya atau meminta saran dari warga, sehingga pada gilirannya mereka
mampu mempengaruhi, mengajak serta mengarahkan warga melakukan pembaruan.
Orang yang tergolong pemimpin non formal kontemporer (modern) antara lain
guru, tokoh pemuda, cendekia desa, pegawai/pensiunan, pedagang, pengusaha dan petani
yang berhasil, pengurus perkumpulan atau lembaga kemasyarakatan dan sebagainya, yang
secara nyata mampu menampilkan fungsi dan peran kepemimpinan.
Faktor-faktor yang penting untuk mengikat anggota-anggota kelompok non formal
adalah terciptanya hubungan yang baik. Oleh karena itu pemimpin harus mampu
menciptakan hubungan yang baik. Hubungan anggota-pemimpin sangat penting.
Beberapa hal penting yang terkait dengan hubungan anggota/pengikut dengan pemimpin
adalah sebagai berikut :
1.
Kebutuhan kepuasan indiv idu-individu harus dipadukan dengan tujuan-tujuan
kelompok (kalau tujuan kelompok lebih kuat, anggota harus berkorban). Tujuan
kelompok harus dapat dipadukan dengan tujuan individu.
2.
Antisipasi terhadap kepuasan
sangat penting. Pemimpin harus pandai-pand ai
membaca kepuasan anggota terhadap pemimpinnya.
20
3.
Motivasi anggota harus tinggi. Motivasi tergantung hubungannya dengan kelompok.
Apabila hubungan baik maka menciptakan suasana demokratis, terbuka, santai dan
bebas.
4.
Kematangan anggota harus merupakan prasyarat. Jika tidak ada kematangan mental
maka kehidupan kelompok dapat menjadi negatif. Ciri-ciri kematangan anggota
adalah selalu sadar : untuk menjadi anggota kelompok, apa yang diharapkan dari
kelompok, dan apa yang tidak sepantasnya untuk kelompok.
5.
Tekad mencapai tujuan harus baik. Pemimpin harus mampu mendorong dan
memotivasi anggota.
Spesifikasi kelompok nonformal yang lebih berhasil, dicirikan sebagai berikut :
1.
Pembagian peranan/tugas tidak ketat. Ada tetapi saling mengisi, tidak terpaku pada
orang tertentu.
2.
Cara kerja kelompok adalah nonformal. Artinya tidak terikat pada suatu cara
tertentu, yang penting tujuan tercapai.
3.
Kelompok harus dijaga tetap kecil. Artinya sampai berapa orang masih bisa dijaga.
4.
Kesukarelaan harus dipertahankan, misalnya dalam hal pembagian tugas, tidak mau
ikut/boleh menjadi anggota.
Banyak hasil penelitian menunjukkan betapa tidak baiknya jika pemimpin non
formal tidak diikutsertakan dalam pembangunan desa, dan pembangunan desa mengalami
hambatan-hambatan dan bahkan diruntuhkan, jika pemimpin non formal yang mempunyai
kharisma tidak diikutsertakan (Nasruddin, 1994; Muchtar, 1998; Ginting, 1999; Hanafi,
2002).
Peneliti-peneliti terdahulu telah mengamati bahwa kondisi ini dapat semakin
memburuk mengingat terjadinya perubahan-perubahan di pedesaan sebagai akibat
kemajuan. Pemimpin non formal dalam kaitannya dengan pembangunan desa masih
mempunyai tanggungjawab moril serta komitmen yang kuat terhadap kemajuan desanya.
Jika dihubungkan dengan usaha pelestarian hutan, pemimpin nonformal adalah
orang-orang yang mempunyai otoritas tertentu sehingga mereka mampu mempengaruhi
pengikut. Melalui pembinaan yang intensif, pemimpin nonformal dapat membangkitkan
minat dan kemauan pengikut untuk melaksanakan apa yang dianjurkan, khususnya dala m
menjaga dan melestarikan hutan dan ekosistemnya.
21
Penyuluhan
Menurut Van den Ban dan Hawkins (1998), bahwa penyuluhan (extension) dalam
bahasa Belanda berasal dari kata voorlichting yang artinya memberi penerangan untuk
menolong seseorang menemukan ja lannya. Bahasa Inggris dan Jerman mengistilahkan
sebagai pemberian saran atau beratung yang berarti seorang pakar dapat memberikan
petunjuk kepada seseorang tetapi seseorang tersebut yang berhak untuk menentukan
pilihannya. Indonesia mengikuti cara Belanda dengan menggunakan kata penyuluhan dan
Malaysia yang dipengaruhi bahasa Inggris menggunakan kata perkembangan. Beberapa
sebutan tersebut, masih ada kesamaan persepsi tentang penyuluhan dan salah satunya
adalah penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi
informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat
sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Menurut Mardikanto
(1992) bahwa
penyuluhan dapat dipahami sebagai sebuah proses.
Menurut Asngari (2004), bahwa penyuluhan pertanian adalah untuk merubah
perilaku (pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental) petani sehingga petani tahu, mau
dan mampu memanfaatkan dan menerapkan teknologi baru atau ide baru. Wujudnya
adalah mereka bertani lebih baik, berusahatani lebih baik untuk meningkatkan
pendapatannya dan selanjutnya diharapkan mereka hidup lebih baik, hidup lebih sejahtera
menuju masyarakat makmur. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa penyuluhan adalah
merupakan usaha membangunkan sehingga terjadi perubahan perilaku menuju hidup lebih
baik (sejahtera).
Menurut Mardikanto (1992), penyuluh pertanian adalah sistem pendidikan di luar
sekolah (non formal) yang diberikan kepada petani dan keluarganya dengan maksud agar
mereka mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraan
keluarganya sendiri atau bila dimungkinkan mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di sekelilingnya. Sedang Mardikanto (1992) menyatakan bahwa penyuluhan
pertanian merupakan sistem pendidikan non formal yang tidak sekedar memberikan
penerangan atau penjelasan, namun berupaya mengubah perilaku sasarannya agar
memiliki pengetahuan pertanian dan berusahatani yang luas, memiliki sikap progresif
untuk melakukan perubahan dan inovatif terhadap suatu informasi baru, serta terampil
melaksanakan berbagai kegiatan. Selanjutnya menurut Van den Ban dan Hawkins (1998),
penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi
22
secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa
membuat keputusan yang benar.
Dengan demikian penyuluhan pertanian mengandung pengertian sebagai sistem
pendidikan orang dewasa di luar sekolah untuk petani dan keluarganya dengan tujuan
mengubah perilaku (pengetahuan, sikap dan ketrampilan), sehingga usaha taninya lebih
baik, dan pada akhirnya membawa kehidupan dan masyarakat yang lebih baik dengan
falsafah “help people to help themselves” (membantu orang agar orang tersebut dapat
menolong dirinya sendiri)
Penyuluhan merupakan perubahan yang terencana. Dalam proses perubahan
tersebut tentunya terdapat hal-hal yang mendorong perubahan dan yang menghambat
perubahan. Lippit dkk (1953) mengemukakan bahwa penyuluhan merupakan perubahan
terencana.
Soekanto (1982) menyatakan faktor-faktor pendorong adanya proses perubahan
dalam rangka penyuluhan adalah : (1) kontak dengan kebudayaan
lain, (2) sistem
pendidikan yang maju, (3) sikap menghargai hasil karya seseorang dan adanya keinginan
untuk maju, (4) toleransi terhadap perbuatan-perbuatan menyimpang, (5) sistem lapisanlapisan masyarakat yang terbuka, (6) penduduk yang heterogen, dan (7) ketidakpuasan
masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu. Sedang faktor-faktor penghambat
perubahan (Soekanto, 1982) adalah : (1) kurangnya hubungan dengan masyarakat lain, (2)
perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat, (3) sikap masyarakat yang
tradisionalistis, (4) adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat
sekali, (5) rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan, dan (6)
prasangka terhadap hal-hal yang baru/asing.
Faktor-faktor penghambat dapat terjadi pada awal perjalanan perubahan, dapat
juga terjadi sebelum atau setelah perubahan. Perubahan berencana dapat terjadi karena
adanya agen pembaharu yang berperan membawa gagasan baru atau sebagai penggerak
perubahan.
Agen pembaharuan dapat memberikan advokasi atau mempromosikan
perubahan dengan menunjukan adanya kebutuhan nyata yang akan menjadikan adanya
kebutuhan perubahan. Sasaran perubahan adalah individu, kelompok, organisasi atau
dapat pula masyarakat.
Kartasapoetra (1994) metode penyuluhan adalah cara pendekatan dalam
penyuluhan yaitu perorangan, kelompok dan massal. Dari metode yang digunakan akan
menentukan keefektifan penyampaian inovasi penyuluhan. Penyuluhan yang dilakukan
dengan metode pendekatan masal menyampaikan para petani yang mengikuti ke tahap
23
kesadaran (menaruh perhatian dan mengetahui materi penyuluhan), akan tetapi belum
memahami secara mendalam. Penyuluhan yang dilakukan dengan metode pendekatan
kelompok
mulai
menarik
para
petani
ke
tahapan
minat,
tahapan
menilai/mempertimbangkan, bahkan mencobanya. Sedangkan penyuluhan yang dilakukan
dengan metode pendekatan perorangan akan menyampaikan petani ke tahap penerapan, ia
mulai menerapkan teknologi baru yang diajarkan dan dikembangkan.
Materi penyuluhan adalah ilmu dan teknologi yang disampaikan dalam
penyuluhan. Ilmu bersifat pengetahuan dan teknologi bersifat praktis, yang menjalankan
apa yang terkandung dalam ilmu tersebut (Kartasapoetra, 1994). Materi penyuluhan harus
sesuai dengan kebutuhan sasaran, sehingga petani akan tertarik dan terangsang untuk
mempraktekannya yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan usaha perbaikan produksi,
pendapatan dan tingkat kehidupannya. Agar materi dapat diterima, dimanfaatkan dan
diaplikasikan oleh petani, selain harus sesuai dengan kebutuhannya maka harus dengan :
(1) sesuai tingkat kemampuan petani, (2) mengena dengan perasaan, tidak bertentangan
dengan tata adat, kepercayaan dan pola pertanian yang biasa dilakukan, (3) memberi
keuntungan ekonomis, (4) mengesankan petani untuk melakukan perubahan berpikir, cara
kerja dan cara hidup, (5) praktis dan dapat dilaksanakan, (6) menggairahkan petani,
sehingga petani terbujuk untuk memperhatikan, menerima, mencoba dan menerapkan.
Peran seorang penyuluh sangat menentukan efektifitas kegiatan penyuluhan.
Menurut Boyle (1981) bahwa peran penyuluh adalah sebagai analisator, aktivator,
fasilitator dan motivator. Kemampuan penyuluh adalah ketrampilan penyuluh dalam
menjalankan tugas-tugasnya.
Dengan demikian, keberhasilan suatu penyuluhan sangat dipengaruhi oleh metode,
teknik dan materi penyuluhan yang digunakan serta peran penyuluhnya.
Kelembagaan
Kelembagaan adalah suatu sistem yang mengatur hubungan orang dengan orang
terhadap sesuatu. Terdapat dua jenis pengertian kelembagaan yaitu kelembagaan sebagai
peraturan dan kelembagaan sebagai organisasi (Nort, 1976).
Lebih lanjut Soekanto (1982) menyatakan bahwa kelembagaan adalah kumpulan
norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan pokok dalam kehidupan
masyarakat. Kelembagaan merupakan inovasi manusia untuk mengatur atau mengontrol
24
interdependensi antar manusia terhadap sesuatu, kondisi atau situasi melalui hak
pemilikan, batas wilayah kewenangan dan aturan yang mewakili (Pakpahan, 1989).
Dari uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa kelembagaan adalah kumpulan
adat istiadat, aturan yang ditetapkan dan telah disetujui oleh individu maupun masyarakat.
Tujuan kelembagaan adalah untuk mengurangi derajat ketidakpastian, karena hak
seseorang mendapat pengakuan dari orang lain.
Kelembagaan masyarakat mempunyai peran yang menonjol dalam mengatur
hubungan antara organisasi. Agar kelembagaan dapat melaksanakan fungsinya, maka
diperlukan reinforcement dalam bentuk sangsi atau insentif yang memberikan rangsangan
kepada masyarakat untuk berperilaku sebagaimana diharapkan. Sistem kelembagaan
dicirikan oleh : hak pemilikan, batas wilayah kewenangan dan aturan yang mewakili.
Suhaeri (1994) menyatakan bahwa secara keseluruhan bahwa perilaku masyarakat
yang melakukan interaksi dengan kawasan hutan dilandasi oleh kelembagaan formal
maupun non formal. Kelembagaan non formal berupa adat istiadat yang tumbuh dan
berkembang di kalangan masyarakat tersebut, sedangkan kelembagaan formal adalah
pedoman/peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah berkaitan dengan pengelolaan
kawasan hutan.
Pengelolaan Hutan secara Lestari
Hutan adalah salah satu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran
rakyat, keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara
lestari dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional serta
bertanggungjawab. Pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia,
harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya serta
tata nilai masyarakat berdasarkan norma hukum nasional.
Undang-undang RI Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, menyebutkan bahwa
penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan,
kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan :
1.
Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran proporsional.
2.
Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung
dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan
ekonomi yang seimbang dan lestari.
3.
Meningkatkan daya dukung aliran sungai.
25
4.
Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan
masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga
mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan perubahan
eksternal
5.
Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Menurut MacKinnon, dkk. (1993), pengelolaan adalah pelaksanaan sesungguhnya
dari kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan kawasan dilindungi. Hal ini tidaklah
terjadi secara spontan, melainkan perlu dirancang secara sadar dan dilaksanakan agar
memberi manfaat untuk mencapai tujuan penetapan kawasan. Arief (2001) menyatakan
bahwa pengelolaan merupakan suatu usaha yang di dalamnya meliputi beberapa aspek,
seperti perencanaan, organisasi pelaksanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi yang
setiap fungsi saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan.
Munggoro
(2001)
mendefisikan
pengelolaan
sumberdaya
hutan
sebagai
serangkaian tujuan, kegiatan dan hasil yang bertumpu pada usaha mempertahankan atau
meningkatkan integritas ekosistem buatan dan kesejahteraan rakyat baik
sekarang
maupun di masa datang. Sedangkan Manan (1997) menyatakan bahwa pengelolaan atau
manajemen hutan adalah penetapan metode bisnis dan prinsip -prinsip teknis kehutanan
dalam pengurusan suatu hutan. Seni, ketrampilan dan pengetahuan kehutanan akan
mencapai arti sepenuhnya bila diterapkan sec ara terpadu dalam mengelola suatu hutan.
Pengelolaan hutan merupakan inti dari kehutanan. Lebih lanjut, Manan (1997)
menyatakan bahwa pengelolaan hutan lestari adalah bentuk pengelolaan hutan yang
memiliki sifat hasil yang lestari, yang ditunjukkan oleh : (1) terjaminnya keberlangsungan
fungsi produksi sumberdaya hutan berupa kayu dan non kayu, (2) terjaminnya
keberlangsungan fungsi ekologis hutan, dan (3) terjaminnya fungsi sosial ekonomi budaya
bagi masyarakat lokal. Adapun pelestarian pemanfaatan dapat diartikan sebagai
mengkonsumsi bunga sedangkan modal tetap utuh. Dalam kaitannya dengan sumberdaya
hutan, berarti hasil kayu, hasil non kayu atau hasil hutan ikutan dan kegunaan lainnya,
misalnya pengatur tata air, habitat satwa liar, rekreasi di alam terbuka, sumber plasma
nutfah, penghasil obat-obatan dan perlindungan lingkungan lainnya. Secara sederhana,
dijabarkan agar pemanenan sama dengan riap (pertumbuhan hasil produksi).
Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) telah menyusun standar sertifikasi pengelolaan
hutan lestari bersama masyarakat (PHBML) yang dituangkan dalam standar LEI 5000-3.
Menurut LEI, 2000, kelestarian hutan yang dikelola dengan PHBML mendasarkan
26
kelestarian fungsi produksi, dengan dimensi kriteria kelestarian meliputi kelestarian
fungsi produksi, fungsi ekologi dan fungsi sosial, yang secara rinci sebagai berikut :
1. Kelestarian Fungsi Produksi :
a. Kelestarian sumberdaya
§ Lokasi PHBM sesuai dengan peruntukan lahan
§ Status dan batas lahan jelas
§ Perubahan luas penutupan lahan
§ Manajemen pemeliharaan hutan
§ Sistem silvikultur sesuai daya dukung hutan
b. Kelestarian hasil
§ Penataan areal pengelolaan hutan
§ Kepastian adanya potensi produksi untuk dipanen lestari
§ Pengaturan hasil
§ Efisiensi pemanfaatan hutan
§ Keabsyahan lacak balak dalam hutan
§ Prasarana pengelolaan hutan
§ Pengaturan manfaat hasil
c. Kelestarian usaha
§ Kesehatan usaha
§ Kemampuan akses pasar
§ Sistem Informasi Manajemen (SIM)
§ Tersedia tenaga trampil
§ Investasi dan reinvestasi untuk pengelolaan hutan
§ Kontribusi terhadap peningkatan kondisi sosial dan ekonomi setempat
2. Kelestarian fungsi ekologi
a.
Stabilitas ekosistem
§ Tersedianya aturan kelola produksi yang meminimisasi gangguan terhadap
integrasi lingkungan
§ Proporsi luas kawasan dilindungi yang sudah tertata baik terhadap keseluruhan
kawasan yang seharusnya dilindungi dan sudah ditata batas di lapangan
§ Dampak kegiatan kelola produksi terhadap ekosistem (tanah, air, struktur dan
komposisi hutan) dan intensitasnya terdokumentasi
§ Adanya rencana kelola lingkungan dan efektifitas kegiatan
b. Sintasan (survival) spesies langka/endemik/dilindungi
27
3. Kelestarian fungsi sosial
a.
Kejelasan sistem tenurial lahan dan hutan komunitas
§ Status lahan/areal tidak dalam proses konflik dengan warga anggota
komunitasnya maupun pihak lain
§ Kejelasan batas -batas areal dengan pihak lain
§ Fungsi kawasan menurut kepentingan komunitas/publik secara jelas diakui
sebagai kawasan hutan tetap
§ Digunakan tata cara atau mekanisme penyelesaian sengketa yang demokratis
dan adil terhadap pertentangan klaim atas hutan yang sama
§ Pelaku pengelola PHBM benar-benar warga komunitas, baik dijalankan sendiri
atau bermitra
b.
Terjaminnya ketahanan dan pengembangan ekonomi komunitas
§ Sumber-sumber ekonomi komunitas minimal tetap mampu mendukung
kelangsungan hidup komunitas secara lintas generasi
§ Penerapan teknik-teknik produksi minimal tetap mempertahankan tingkat
penyerapan tenaga kerja yang ada, baik laki-laki maupun perempuan
§ Kegiatan
pengelolaan
hutan
maupun
pasca
panen
sejauh
mungkin
dikembangkan di dalam wilayah komunitas dan menggunakan tenaga kerja
komunitas
c.
Terbangunnya pola hubungan sosial yang simetris dalam proses produksi
§ Pola hubungan sosial yang terbangun antara berbagai pihak dalam pengelolaan
hutan merupakan hubungan sosial relatif sejajar
§ Pembagian
kewenangan
jelas
dan
demokratis
dalam
organisasi
penyelenggaraan PHBM
d.
Keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas
§ Ada kompensasi atas kerugian yang diderita komunitas secara keseluruhan
akibat pengelolaan hutan oleh kelompok dan disepakati seluruh warga
komunitas
§ Seluruh warga komunitas dan publik terbuka terlibat dalam penyelenggaraan
PHBM
§ Ada mekanisme pertangungjawaban publik dari kelompok pengelola terhadap
komunitas dan/atau publik.
28
Fungsi hutan terkait dengan pihak-pihak yang berkepentingan
seperti pada gambar 3.
diilustrasikan
Berbagai kepentingan, tumpang tindih kebutuhan ini merupakan
potensi konflik.
BUMN :
Perum Perhutani,
Inhutani
PEMDA
LSM
MASYARAKAT DESA HUTAN :
Posisi Sentral
HUTAN
Fungsi :
Ekonomi ~ Produksi
Ekologi ~ Konservasi
Sosial Ekonomi Budaya
DEPARTEMEN
KEHUTANAN
PENGUSAHA/
INVESTOR
SWASTA :
Perguruan Tinggi
Undang-undang No 41/1999 tentang Kehutanan
Undang -undang No 5/1990 tentang Konservasi SDAH dan Ekosistemnya
Undang -undang No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang -undang No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah No 25/2000 tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi
sebagai Daerah Otonom
Gambar 3. Kawasan Hutan dengan Berbagai Pihak yang Berkepentingan (shared
holder)
Pardosi (2005) dalam disertasinya menyatakan bahwa kawasan hutan yang
kondusif (lestari) dicirikan dengan : (1) kualitas air : air sungai bersih dan sehat untuk
diminum dan tidak tercemar; (2) Debit air tetap : tersedia air sesuai dengan kebutuhan
serta tidak meluap pada musim hujan dan kering pada musim kemarau, (3) tidak terjadi
banjir, (4) hasil hutan tetap atau meningkat seperti madu, rotan, kayu bakar; (5) Jenis dan
jumlah kayu kebutuhan masyarakat tetap atau meningkat, seperti jeunjing, meranti, pinus
dan kayu-kayu dipterocarpaceae lain; (6) tidak ada lahan tidur, gundul, ilalang dan pakis
dengan luasan yang besar; (7) kegiatan berladang tetap bisa dilaksanakan pada saat
sekarang dan kemungkinan pada saat mendatang untuk kepentingan anak cucu.
Dinyatakan pula bahwa pengelolaan perladangan (yang merupakan kawasan hutan) akan
29
lebih baik bila nilai-nilai indigenous kenowledge (kearifan lokal) dan belief system (nilainilai kepercayaan) yang dimiliki dipelihara dengan baik.
Program Pelestarian Hutan :
Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
Menurut Asngari (2004) bahwa program merupakan pernyataan tertulis, yaitu
pernyataan mengenai (1) Situasi wilayah, (2) Masalah yang dihadapi (3) Tujuan yang
ingin dicapai sesuai dengan situasi wilayah dan masalah yang dihadapi. (4) Cara
mencapai tujuan, yakni merupakan suatu perencanaan kerja yang berisi pertanyaanpertanyaan tentang 5 W + 1 H atau tentang : (a) apa yang dilakukan, (b) siapa yang
melakukan, (c) kapan dilakukan, (d) bagaimana cara melakukan, (e) di mana dilakukan,
dan (f) mengapa dilakukan.
Terdistribusikannya aneka manfaat sumberdaya hutan untuk seluruh masyarakat
dengan titik berat pada masyarakat sekitar hutan secara berkelanjutan adalah pendekatan
pengelolaan hutan secara lestari. Alokasi manfaat tersebut dapat dilakukan melalui upaya
perbaikan akses oleh masyarakat terhadap sumberdaya hutan, pelibatan masyarakat dalam
kegiatan kehutanan sebagai shared holder serta pemberdayaan masyarakat untuk
menangkap peluang usaha di bidang kehuta nan, melalui berbagai kerjasama seperti
program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
Menurut Perum Perhutani (2001), Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
(PHBM) adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh Perum
Perhutani dan masyarakat desa atau masyarakat desa dengan pihak yang berkepentingan
dengan jiwa berbagi sehingga kepentingan bersama untuk mencapai kelestarian fungsi
hutan baik aspek ekologi, ekonomi maupun sosial.
Perusahaan Umum Perhutani (Perum Perhutani) yaitu perusahaan yang mengelola
kawasan hutan di
wilayah hutan di Pulau Jawa dan Kalimantan Timur. Satuan
pengelolaan terdiri atas Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH), Bagian Kesatuan
Pemangkuan Hutan (BKPH) dan Resort Pemangkuan Hutan (RPH) sebagai satuan
pengelolaan terkecil.
PHBM bertujuan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan
memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara profesional, yaitu :
1.
Meningkatkan tanggungjawab masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan
terhadap pengelolaan hutan
30
2.
Meningkatkan peran perusahaan, masyarakat desa hutan dan pihak yang
berkepentingan terhadap pengelolaan hutan
3.
Menyelaraskan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan kepentingan
pembangunan wilayah sesuai kondisi dan sosial dinamika masyarakat desa hutan
4.
Meningkatkan mutu sumberdaya hutan sesuai dengan karakteristik wilayah
5.
Meningkatkan pendapatan perusahaan, masyarakat desa hutan serta pihak yang
berkepentingan secara simultan.
Dalam penelitian ini, pengamatan dan analisis dilakukan di wilayah pengelolaan
hutan BKPH Parung Panjang (Bogor) dimana program PHBM yang dilaksanakan berupa
kerjasama pengelolaan
hutan dengan sistem bagi hasil kayu yaitu (1) penjarangan I,
(2) penjarangan II, (3) penjarangan III dan (4) hasil kayu akhir daur.
Dalam program PHBM, proses kegiatan
perencanaan
meliputi (1) sosialis asi,
(2) dialog, (3) pembentukan kelembagaan, dan (4) perjanjian kerjasama.
Perum
Perhutani menilai
keberhasilan
program PHBM dengan indikator :
(1) menurunnya gangguan kelestarian hutan, terutama karena pencurian hasil hutan,
(2) meningkatnya prosen tumbuh dan kualitas tanaman, (3) membaiknya komposisi kelas
hutan, (4) membaiknya neraca sumberdaya, (5) menurunnya masyarakat desa hutan yang
miskin, (6) berkembangnya usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan masyarakat
desa hutan dengan memanfaatkan sumberdaya hutan yang tersedia, (7) meningkatnya
kemandirian kelompok pada PHBM, (8) meningkatnya pendapatan keluarga miskin
masyarakat desa hutan.
Download