A24 15 AGUSTUS 2010 PRIMA MULIA (TEMPO) DJIWA MARGONO DOKTER DIRIGEN ANGKLUNG ejenak, dr Djiwa Margono melupakan 15-30 pasien yang datang tiap hari ke kliniknya di Bandung. Di pentas Summa Cum Laude International Youth Music Festival, yang berlangsung selama 4-6 Juli lalu di Wina, Austria, ia berdiri memimpin Keluarga Paduan Angklung SMA 3 Bandung di depan sekitar 2.000 penonton di Golden Hall Wiener Musikverein itu. Setelah memainkan lagu wajib Symphony No. 1 in B flat major, op. 38, 3rd movement Scherzo (molto vivace) karya Robert Schumann, orkestra membawakan repertoar Palladio Mov 1 Allegretto karya Karl Jenkins. Medley beberapa lagu dalam album Badai Pasti Berlalu menjadi sajian penutup. “Saya belum pernah merasakan ketegangan seperti saat itu sejak pertama kali menjadi dirigen tahun 2003,” katanya ketika ditemui pekan lalu. Di kompetisi musik klasik bagi anak-anak muda berbakat seantero dunia itu, Keluarga Paduan Angklung SMA 3 (KPA3) Bandung diganjar penghargaan khusus.“Ini sebuah pengakuan dari akademisi dan praktisi musik klasik atas kompetensi yang dimiliki angklung,” S ujar lajang kelahiran Bandung, 5 November 1984, itu. Padahal awalnya mereka diragukan, bahkan nyaris ditolak untuk ikut kompetisi. Pasalnya, dewan juri merasa tak punya kompetensi menilai angklung. Lewat korespondensi beberapa kali dengan panitia, mereka akhirnya diizinkan ikut dan masuk kategori symphony orchestra. “Mereka tidak dapat memberikan gelar juara kompetisi untuk orkes simfoni, yang sebenarnya kami harapkan, karena memang teramat sulit untuk mengadu secara langsung orkes angklung dengan orkes simfoni,”ujarnya. Djiwa sudah lebih lama bergaul dengan angklung dan para pemainnya yang beranggotakan siswa-siswi SMA 3 Bandung ketimbang berpraktek dokter. Alumnus sekolah tersebut mulai berkenalan dengan angklung sejak duduk di kelas II pada 2000. Setelah lulus dan kuliah, ia berkonsentrasi menjadi dirigen dan pelatih, termasuk juga di kelompok musik Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. “Penampilan besar pertama saya sebagai dirigen adalah pada Konser Orkestrasi Angklung IV tahun 2003,”kata lulusan Fakultas Kedok- teran Universitas Padjadjaran 2009 itu. Sejak itu, ia dipercaya sebagai dirigen orkes angklung yang berdiri pada 4 Oktober 1980 itu. Di berbagai kesempatan, termasuk muhibah dua tahunan kelompok itu untuk mengikuti berbagai festival lagu-lagu rakyat di Eropa, Djiwa menjadi dirigennya. Di pentas, sulung dari tiga bersaudara itu harus pula memperhatikan jumlah, konsentrasi, mood, serta kemampuan fisik dan musik para pemain paduan angklung.Telinganya pun harus memastikan alat musik bernada pas dan tidak rusak. Bahkan ia juga harus menyusun para pemain menyesuaikan dengan ukuran panggung, kebutuhan tata suara, sampai urusan kostum dan tata rias pemain. Selain itu, kelompok musik angklung seperti KPA3 ini perlu memodifikasi partitur agar terlihat sederhana dan mudah dipahami awam. Begitu pun partitur musik klasik, yang umumnya ditulis secara khusus untuk alat musik berentang nada lebih luas. Sedangkan tiap angklung hanya dapat memainkan satu nada. Untuk meluaskan rentang nada, Djiwa kerap menambahkan instrumen tambahan, misalnya dou- ble bass, accompaniment, xylophone, timpani, cymbal, dan bass drum. “Perlu ada adaptasi pada komposisi aslinya agar, saat dimainkan oleh paduan angklung, in- terpretasinya akan tidak jauh berbeda,”kata penyuka buku dan perjalanan itu. Pengetahuan musiknya ia dapatkan dari pelajaran sekolah, buku, dan pengalaman melatih paduan angklung. “Yang paling berpengaruh adalah yang saya dapatkan dari guru pelajaran seni musik saya di SMA, saat itu beliau memberikan beberapa dasar musik, terutama harmoni,”kata pria yang hanya bisa memainkan angklung itu. Anak pasangan Eno Tati Susilawati dan Samsoel Maarif tersebut mengaku kepincut oleh angklung lantaran sensasi bunyinya. Sepulang dari lawatan panjang angklung sebulan lebih di sejumlah negara Eropa sejak Juni lalu, kini ia sibuk memenuhi undangan dan menuntaskan berbagai pekerjaan yang ditinggalkan. Termasuk membuka ruang praktek dokternya di Klinik YASMA 3 dan beberapa klinik lainnya di Bandung. Puluhan pasiennya kerap datang dengan penyakit umum, seperti demam, sakit kepala, sakit perut, batuk pilek, dan sesekali korban kecelakaan. Djiwa berharap bisa membuat angklung sejajar dengan alat musik yang memiliki standar, seperti halnya alat musik Barat yang digunakan dalam orkes simfoni.“Alat musik seperti biola atau piano bukanlah alat musik modern, tetapi memiliki standar yang diakui seluruh dunia,”ujarnya. Ia bercita-cita angklung dapat diterima oleh seluruh masyarakat dunia, tidak hanya diapresiasi sebagai hasil kebudayaan dari Indonesia, tetapi dapat dimengerti serta dihargai setinggi-tingginya. Saat banyak orang berteriak-teriak agar UNESCO mengakui angklung sebagai alat musik bambu dari Indonesia, Djiwa dan puluhan siswa SMA 3 telah membuktikan kelas angklung di dunia musik internasional. ● ANWAR SISWADI BIODATA Nama Tempat dan tanggal lahir Orang tua Status dalam keluarga Pekerjaan : Djiwa Margono : Bandung, 5 November 1984 : Eno Tati Susilawati dan Samsoel Maarif : sulung dari tiga bersaudara : dokter umum PENDIDIKAN : ● SMA Negeri 3 Bandung (2001) ● Sarjana Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung (2009) PEMENTASAN : ● Konser Orkestrasi Angklung IV (2003) ● Muhibah “Expand Sound of Angklung” ke Eropa; ● Mengikuti 22nd International CIOPP Folklore Festival Folk Art di Kota Ma- ribor, Slovenia ● Mengikuti International Folk Festival di Ciudad Real dan International Folk of Extremadura di Badajoz, Spanyol ● Mengikuti 4th Summa Cum Laude International Youth Music Festival di Wina, Austria PRESTASI : ● Juara Festival Paduan Angklung ITB berturut-turut (2003-2009) ● Penghargaan Khusus Summa Cum Laude International Youth Music Fes- tival Wina, Austria (2010)