STATUS DAN PERANAN PEREMPUAN DALAM AJARAN GEREJA KATOLIK (sebuah analisis perspektif gender) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th. I) Oleh: CHAERUNNISA NIM: 103032127684 JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2008 M STATUS DAN PERANAN PEREMPUAN DALAM AJARAN GEREJA KATOLIK (sebuah analisis perspektif gender) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th. I) Oleh: CHAERUNNISA NIM: 103032127684 Di Bawah Bimbingan Dra. Ida Rosyidah, MA NIP. 150 243 267 JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2008 M KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Mengawali segala hal dan paling awal dari segala ucapan adalah pengungkapan kasih dan rasa syukur yang mendalam ke hadirat Ilahi Rabb al-Izzati yang telah melimpahkan rahmat, karunia, taufik, serta kesehatan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa kita panjatkan kepada junjungan nabi kita Muhammad SAW yang telah mengangkat derajat kita dari alam kegelapan dan kejahiliyahan menuju alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti sekarang ini. Berkat perjuangan panjang beliau juga sampai saat ini kita masih bisa berkelana dalam ilmu pengetahuan sambil merasakan manisnya iman dan nikmatnya Islam. Sebagaimana mestinya, bagi setiap mahasiswa yang akan menyelesaikan perkuliahan dan mendapat gelar sarjana pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah diharuskan untuk menyusun sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis mengangkat tema dalam skripsi ini adalah; Status dan Peranan Perempuan dalam Ajaran Gereja Katolik (sebuah analisis perspektif gender). Dalam perjalanan panjang menyusun sebuah skripsi, penulis banyak menemukan kendala, hambatan, dan rintangan, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Namun berkat usaha dan do’a yang penulis panjatkan, akhirnya penulis dapat merampungkan sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi walaupun penulis menyadari akan ketidaksempurnaan dalam penyusunan skripsi ini. Dalam menyusun skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak maka penulis berucap rasa terima kasih yang setulus-tulusnya kepada: 1. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat 2. Ibu. Dra. Ida Rosyidah, MA, selaku Ketua Program Studi Perbandingan Agama sekaligus pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi penulis. 3. Bapak Maulana, MA, selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Agama yang telah meluangkan banyak waktu dan pikirannya untuk membantu penulis dalam hal Akademis. 4. Para Dosen dan staf pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. 5. Penulis juga banyak mengucapkan terima kasih kepada segenap pengurus Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kepada Perpustakaan Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Perpustakaan STF DRIYARKARA, Perpustakaan UNIKA ATMA JAYA, Perpumda DKI JAKARTA, Yayasan Jurnal Perempuan, dan Pengurus dari Kapal Perempuan. 6. Selain itu, tak lupa penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ayahanda dan Ibunda yang sangat penulis kagumi dan hormati, H. Abd. Rokib (alm) dan Hj. Dumyati, karena cinta kasih, dan kesabarannya. Mudahmudahan Allah memberikan tempat yang istimewa buat kalian di Surga Amien. Yang tercinta kakak dan adik serta keponakanku sekeluarga yang senantiasa memberikan motivasi dan menyemangati penulis ketika merasa pesimis dalam meyelesaikan skripsi ini yang selalu mengatakan “kapan lulus”. 7. Buat Umi dan Aba terima kasih atas rasa sayang dan kasih yang diberikan selayaknya orang tuaku sendiri. Mudah-mudahan Allah membalas segala kebaikan kalian selama ini yang telah merawat dan menyayangi aku dari kecil. 8. Buat para aktivis perempuan khususnya mba’Budhis Utami, mba’Endang, mba’Yuli, dan mba’Ulfa teruskan perjuangan kalian aku sangat bangga telah mengenal kalian. Terima kasih juga untuk kesusteran khususnya suster Yanti yang telah bersedia memberikan banyak informasi mengenai skripsi penulis dan pinjaman buku-bukunya. 9. Terima Kasih juga buat teman-teman seperjuangan di Perbandingan Agama dan Fakultas Ushuluddin Angkatan 2003, khususnya buat friend’s aku Anul, Maya, Teh Lany yang telah bersama-sama dalam kuliah dan kumpul-kumpul di kosan. Thank’s for all. Kalian sahabat terbaik aku di kampus UIN Syarif Hidayatullah. Buat semua temen-teman yang tidak sempat penulis sebutkan namanya satupersatu, terima kasih atas segala bantuan baik moril maupun materil semoga menjadi catatan baik di sisi Allah SWT dan mendapat balasan yang setimpal, AMIEN. Jakarta, 22 september 2008 Penulis DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii KATA PENGANTAR................................................................................. iii DAFTAR ISI ............................................................................................... iv BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................... 5 C. Metode Pembahasan dan Tehnik Penulisan.................................. 5 D. Sistematika Penulisan.................................................................. 6 BAB II. KAJIAN TEORI ........................................................................... 9 A. Pengertian Status dan Peran dalam Pendekatan Sosiologis ............ 9 B. Pengertian Gender (teori nature dan teori nurture)......................... 12 b.1. Indikator Ketidakadilan Gender ................................... 15 a. Marginalisasi ........................................................... 15 b. Penempatan Perempuan Pada Subordinasi ............... 17 c. Stereotipe................................................................. 18 d. Kekerasan ................................................................ 19 e. Beban Kerja (double burden) ................................... 20 b.2. Berbagai Pendekatan dalam Teori Gender .................... 21 a. Teori Psikoanalisis/Identifikasi ................................ 21 b. Teori Fungsionalis Struktural................................... 22 c. Teori Konflik ........................................................... 24 d. Teori Sosio-Biologis ................................................ 26 C. Teori-teori Feminisme .................................................................. 27 a. Feminisme Liberal ...................................................... 27 b. Feminisme Marxis-Sosialis......................................... 29 c. Feminisme Radikal .................................................... 30 BAB III. SEKILAS TENTANG AGAMA KATOLIK A. Sejarah Agama Katolik ................................................................ B. Pergerakan Perempuan dalam Agama Katolik di Barat ................ C. Pergerakan Perempuan dalam Agama Katolik di Indonesia........... 33 BAB IV. STATUS DAN PERAN PEREMPUAN DALAM AGAMA KATOLIK DALAM PERDEBATAN............................................................. 38 A.Kesetaraan Gender dalam Perspektif Gereja Katolik ...................... 38 a.1. Kesetaraan Dalam Penciptaan a.2. Kesetaraan Dalam Pengabdian Terhadap Tuhan dan Rasul a.3. Kesetaraan Dalam Perwujudan Tuhan B. Ketidaksetaraan Gender Dalam Agama Katolik C.Status dan Peranan Perempuan dalam Agama Katolik.................... 44 b.1.Status dan Peran Perempuan Dalam Kehidupan Keluarga b.2. Status dan Peran Perempuan Dalam Kehidupan Publik b.3. Status dan Peran Perempuan Dalam Kehidupan SoSial keagamaan D. Peran Teologi Feminis Katolik dalam Mensosialisasikan Ide tentang Status dan Peran Perempuan dalam Perspektif Gender (sebuah analisis) ...... 66 BAB V. PENUTUP...................................................................................... 71 Kesimpulan ....................................................................................... 71 DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berawal dari Gerakan hak asasi semua warga (Civil Right Movement) pada tahun tujuh puluhan di Amerika dimana seluruh lapisan masyarakat menuntut persamaan hak antar manusia dalam seluruh aspek kehidupan. Disinilah muncul teolog feminis sebagai satu gerakan yang mengkritik dan menuntut kedudukan perempuan dalam agama dan Gereja. Hal ini disebabkan karena adanya ketidakadilan sebagai wanita dari tradisi sosial-budaya yang telah diciptakan dan dipertahankan oleh manusia itu sendiri untuk memperbudak sebagian sesama manusia khususnya perempuan. Setelah muncul semangat persamaan hak dan status dalam gereja bagi perempuan, sebenarnya kesadaran feminis dalam teologi kristen dimulai oleh seorang perempuan Mexico bernama Sorror Guana de la Cruz yang menulis teologinya, 1 membaca tulisannya para uskup gereja marah dan membakar tulisannya bahkan membunuh perempuan itu,2 namun catatan kecilnya berhasil diselamatkan dan ditemukan hingga catatannya berkembang menjadi pencarian kebenaran otentik oleh 1 2 Penulis tidak menemukan tahun atau abad berapa beliau menulis teologinya. Nunuk, p. Murniati, Getar-getar Gender Perempuan Indonesia dalam perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga, vol.I (Magelang: Yayasan Indonesia Tera, 2004), h. 36 para teolog feminis sekarang. Perempuan selama ini dianggap sebagai penggoda, pembuat dosa, dan dianggap sebagai sumber dosa didunia, hal ini berdasarkan pada tradisi gereja Katolik yang berkiblat pada kitab suci dan kitab suci perjanjian baru sangat dipengaruhi oleh tradisi Yahudi dimana secara teologis sangat bersifat patriakhal. Bahwa kitab suci dianalisa secara kritis karena naskah ini menggunakan simbol dan gagasan patrialkal seperti sapaan Allah sebagai Bapa.3 Bila melihat Bible, peran utama perempuan adalah sebagai ibu yang melahirkan anak.4 Konsep ini kemudian dilestarikan dalam tradisi gereja oleh para pemimpin-pemimpin gereja, seperti Agustinus.5 Salah satu gagasannya adalah tentang etika seks. Agustinus memandang perempuan hanya sebagai pendamping laki-laki. Pada waktu perempuan terpisah dari laki-laki karena dosa, maka perempuan tidak dapat mewujudkan citra Allah, kalau pun bisa itu karena dibawah pimpinan laki-laki (hal ini menentukan perkembangan teolog tentang Allah Tritunggal Agustinus; Bapa, Putra, dan Roh Kudus) semua beridentitas lakilaki, refleksi teologi Agustinus amat sangat bersifat Patriarkhi. Namun gereja Katolik mempunyai tradisi lain yaitu mengadakan refleksi iman untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Dalam Konsili vatikan II di tahun 1960, Paus Yohanes XXIII mengumumkan bahwa gereja Katolik semakin terbuka. Ruang untuk berdebat tentang isu-isu perempuan mulai terbuka 3 A. Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja (Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarata:1994), h. 365 4 Lembaga Alkitab Indonesia, Perjanjian Baru: 2002,Kitab Ulangan 26:5 5 Bapak Gereja Latin Terbesar antara tahun 354-430 8 yang dikhususkan pada ketidakadilan gender.6 Dari keterbukaan ini lah, masalah gender dalam agama diperhatikan, usaha gereja Katolik untuk mengangkat perempuan adalah memunculkan tafsiran-tafsiran yang menunjukkan bahwa bunda Maria berperan aktif dalam pewartaan kasih Allah. Maria dijadikan gambaran Rasul dan sebagai perempuan beriman.7 Gereja mengangkat Maria, ibu Yesus memasukkannya pada tradisi Katolik. Dogma Maria berkembang menjadi Mariologi dan banyak orang memuji padanya, banyak berkat do’a terkabul atas perantaraan Maria, hingga teologi ini mempunyai dua pokok pembahasan yaitu; jalan penembusan dan Maria sebagai mediator dari semua rahmat.8 Perempuan dipandang rendah karena kegiatannya terikat dengan siklus haid sehingga kegiatan mereka selalu mengulang-ulang hal yang sama. Bahkan, peristiwa melahirkan dipandang sebagai kecelakaan yang menyebabkan perempuan tidak dapat bekerja. Penyebab utama dari semua ketidakadilan itu adalah doktrin dosa asal (legend of the fall), yaitu kisah dramatis kejatuhan manusia pertama yaitu Adam dan Hawa. Kejatuhan ini disebabkan oleh pelanggaran yang mereka buat terhadap larangan Tuhan. Pelanggaran pertama kali dilakukan oleh perempuan Hawa yang tergoda Iblis untuk memetik buah “pengetahuan yang baik dan yang buruk”. Pelanggaran Hawa yang pertama ini sebagai penyebab timbulnya perbedaan laki-laki dan perempuan dengan 6 Nunuk, p. Murniati, Getar-getar Gender Perempuan Indonesia dalam perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga, vol.I, h. 33 7 8 Lembaga Alkitab Indonesia, Perjanjian Baru, Lihat Gal 4:4, Uk 1:46, Luk 1:26-28 Nunuk, p. Murniati, Getar-getar Gender Perempuan Indonesia dalam perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga, vol.I, h. 38 9 meletakkan perempuan pada posisi yang inferior. Perbedaan itu selanjutnya berlaku dalam tata peribadatan dan perilaku sehari-hari. Adapun pengertian Gender yang dimaksud disini berasal dari bahasa Inggris yang padanan katanya tidak ada dalam kamus Indonesia. Dalam Webstre’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”. Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultiral yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Gender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non biologis.9 Mengenai teori-teori gender, dalam buku Argumen Kesetaraan Gender karangan DR.Nasaruddin Umar terdapat beberapa teori yaitu; Teori Psikoanalisis/ Identifikasi, diperkenalkan oleh Sigmund Freud; Teori Fungsionalis Struktural yang diperkenalkan oleh Hillary M. Lips dan S.A. Shield. Lebih condong ke persoalan sosiologis sedangkan fungsionalis lebih condong ke persoalan psikologis; dan yang ketiga Teori Konflik yang banyak mendapat pengaruh 9 33 Dr. Nasaruddin Umar, MA., Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, h. 10 dengan teori Marx didalamnya.10 Perbedaan Gender tidak disebabkan oleh faktor biologis melainkan karena perbedaan kelas yang berkuasa antara proletar dan borjuis. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar dalam pembahasan skripsi ini tidak terlalu melebar, maka penulis hanya membatasi pembahasan pada sekitar Status dan Peran Perempuan dalam Ajaran Agama Katolik. Maka perumusan yang muncul untuk mengangkat tema skripsi ini adalah: 1. Bagaimana status dan peran perempuan dalam agama Katolik serta analisis praksis dalam kehidupan sehari-hari ? 2. Serta Bagaimana status dan peran perempuan dalam ajaran agama Katolik menurut perspektif gender ? C. Metode Pembahasan dan Tehnik Penulisan Untuk mengkaji permasalahan ini, penulis melakukan penelitian kepustakaan (Library Research) dengan mengumpulkan bahan-bahan dan data melalui sumber ilmiah seperti buku-buku, ensiklopedi, artikel, majalah, diktat, dan data-data tertulis lainnya. Studi kepustakaan ini penulis tempuh mengingat banyaknya bahan tentang permasalahan-permasalahan yang menarik dalam status dan peran wanita Kristen Katolik yang berkaitan dengan kajian dan penulisan skripsi ini. 10 h.45 Dr. Nasaruddin Umar, MA., Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, 11 Dalam metode pembahasan penulis menggunakan metode analisis deskriftif tentang status dan peran perempuan dalam ajaran agama Katolik melalui buku-buku yang ditulis oleh penganut ajaran agama Katolik, agar penulis dapat memahami betul dengan materi pembahasan yang penulis inginkan.Hal ini diambil sebagai langkah awal yang sangat penting guna penelitian dan telaah selanjutnya. Adapun mengenai tehnik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan acuan pada buku pedoman yang dikeluarkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi, dan Disertasi (Jakarta: IAIN Jakarta Press 2003). D. Sistematika Penulisan Guna memudahkan penulisan skripsi ini, maka pembahasan ini dibagi dalam beberapa bab dengan perincian sebagai berikut: BAB I: Pendahuluan; meliputi Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Metode Pembahasan dan Tehnik Penulisan, serta Sistematika Penulisan. BAB II: Kajian Teori; meliputi Pengertian Status dan Peran dalam pendekatan Sosiologis, Pengertian Gender yang meliputi; Indikator Ketidakadilan Gender (a. marginalisasi, b. penempatan perempuan pada subordinasi, c. stereotipe, d. kekerasan, dan e. beban kerja (double burden)). Berbagai Pendekatan dalam Teori Gender (a. teori psikoanalisis/identifikasi, b. teori fungsionalis structural, c. teori konflik, dan d. teori sosio-biologis), Teori-teori Feminisme yang 12 meliputi; (a. feminisme liberal, b. feminisme marxis-sosialis, dan c. feminisme radikal). BAB III: Sekilas Tentang Agama Katolik; meliputi; Sejarah Katolik, Pergerakan Perempuan dalam Agama Katolik di Barat, dan Pergerakan Perempuan Katolik di Indonesia. BAB IV: Status dan Peran Perempuan dalam Agama Katolik Dalam Perdebatan; meliputi; Kesetaraan Gender dalam Perspektif Gereja Katolik (kesetaraan dalam penciptaan, kesetaraan dalam pengabdian terhadap tuhan dan rasul, dan kesetaraan dalam perwujudan tuhan), Ketidaksetaraan Gender Dalam Agama Katolik, Status dan Peranan Perempuan dalam Agama Katolik yang meliputi; (a. status dan peran perempuan dalam kehidupan keluarga, b. status dan peran perempuan dalam kehidupan publik dan c. status dan peran perempuan dalam kehidupan social keagamaan), dan Peran Teologi Feminis Katolik dalam Mensosialisasikan Ide tentang Status dan Peran Perempuan dalam Perspektif Gender (sebuah analisis). BAB V: Penutup; meliputi Kesimpulan penulis dan sebagai akhir dari keseluruhan tulisan ini penulis cantumkan daftar kepustakaan yang penulis pakai sebagai rujukan dalam penulisan skripsi ini 13 BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Status dan Peranan dalam Teori-teori Sosiologi Di dalam pergaulan hidup seseorang senantiasa berhubungan dengan pihak lain, biasanya setiap individu mempunyai kumpulan peranan tertentu. Pentingnya peranan menjadi jelas dengan definisi bahwa peranan adalah petunjuk kelakuan yang diatur menurut norma-norma yang berlaku.11 Maka hubungan sosial yang ada dalam masyarakat merupakan hubungan antara peranan individu yang berasal dari pola-pola pergaulan setempat. Pentingnya peranan ada tiga macam, mengatur cara pergaulan, mengendalikan anggota masyarakat dalam proses menyesuaikan diri dengan norma-norma yang pantas dan meramalkan perbuatan dari orang lain dan peranan diri sendiri pada masa depan. Status dan peranan merupakan satu kata yang saling berkaitan satu sama lain. Status mempunyai arti keadaan atau kedudukan seseorang atau suatu wadah bagi hak dan kewajiban serta posisi dari suatu hirarki dalam hubungannya dengan masyarakat sekitarnya.12 Jadi status adalah suatu posisi atau jabatan yang dimiliki seseorang untuk menunjukkan eksisitensinya, sehingga kiprah dan tindakannya selalu dikaitkan dengan kedudukan yang dimilikinya. Seseorang yang berstatus berarti orang yang 11 Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993),h. 318 12 Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, h.422 8 9 berkedudukan. Baik dalam keluarga, lingkungan masyarakat, ataupun agama. Status itu sendiri erat sekali hubungannya dengan hak dan kewajiban tersebut yang merupakan konsekuensi dari status itu sendiri.13 Sementara peranan adalah ikut terlibat dalam persoalan-persoalan atau kegiatan dalam komunitas sosial yang ada pada lingkungan sekitarnya berdasarkan kapasitas yang dimiliki.14 Dalam kamus bahasa Indonesia, peranan bermakna seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh yang berkedudukan dalam masyarakat. Peranan juga mempunyai arti melibatkan diri dalam perjuangan untuk mendapatkan status atau kedudukan tertentu.15 Tentunya dengan mengerjakan tugas yang harus dilaksanakan. Status dan peranan tidak hanya terbatas pada persoalan jenis kelamin, kedudukan, dan ras seseorang tetapi juga pada kedudukan hirarki seseorang. Para sosiolog lebih suka menggunakan istilah posisi dari pada status. Kedudukan (status) juga bisa diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial yang berhubungan dengan orang lain dalam suatu kelompok sosial yang lebih besar lagi. Dalam buku M. Amin Nurdin yang berjudul mengerti sosiologi, status berarti posisi sosial seseorang pada kedudukan tertentu yang mendapat pengakuan sosial.16 Kedudukan dapat dibagi menjadi dua macam:17 13 Dr. M. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi: pengantar untuk memahami konsep-konsep dasar (Jakarta: UIN Jakarta Press, cet.I, 2006), h.46 14 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 1987), h.221 15 Zain Badudu, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996) 16 Dr. M. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi: pengantar untuk memahami konsep-konsep dasar, h.46 17 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 222 33 10 I. Ascribed Status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan rohaniah dan kemampuan. Dengan kata lain, suatu kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran atau yang diterima di luar kehendak dirinya, tidak ada kesempatan menerima atau menolak, dan tidak ada kesempatan memilih untuk status yang dianggapnya lebih baik. Misalnya seorang anak lahir dari bangsa India maka ia termasuk dalam keluarga India karena ayahnya keturunan India.18 II. Achieved Status, yaitu kedudukan yang dicapai seseorang dengan melakukan usaha-usaha yang disengaja dan status itu menjadi ukuran kemampuan dan pilihan hidup dirinya. Kedudukan ini tidak didasari oleh kelahiran tetapi bersifat terbuka dan mempunyai kemampuan untuk mengejar dan mencapai tujuannya.19 Ada satu macam kedudukan lagi yaitu assigned status yang artinya kedudukan yang diberikan, memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang berjasa, yang telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Biasanya kedudukan tersebut diberikan kepada seseorang yang telah lama menduduki suatu jabatan.20 Sedangkan peranan (role) merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan. Status dan peranan 18 Paul.B.Horton dan Chester.L.Hunt, Sociology, h. 118 19 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar ,h. 224 20 David Berry, Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995),h. 99 33 11 merupakan satu kata yang tidak dapat dipisahkan, tidak ada peranan tanpa status atau status tanpa peranan. Suatu peranan paling tidak mencakup 3 hal; pertama, peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Kedua, peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. Ketiga, perenan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.21Bila individu mencapai kedudukan tertentu maka mereka merasa bahwa kedudukan menimbulkan harapan tertentu dari orang-orang disekitarnya. Dalam peranan seseorang diharapkan menjalankan segala kewajiban yang berhubungan dengan peranan yang dipegangnya. Jadi peranan adalah seperangkat harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu B. Pengertian Gender Kata gender berasal dari bahasa Inggris “Gender” yang padanan katanya tidak ada di kamus Indonesia. Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.22 21 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar , h.223 22 Untuk mengetahui perbedaan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional, akan digunakan beberapa contoh sifat sebagai berikut: 33 12 Menurut bahasa, gender juga dapat diartikan kelompok kata yang mempunyai sifat maskulin, feminin, atau tidak keduanya, netral.23 Beberapa contoh perbedaan yang menonjol pada laki-laki dan perempuan ditunjukkan dalam table berikut:24 NO Perbedaan yang menonjol Laki-laki Perempuan dalam hal: 1. Peran sosial Lebih maskulin Lebih feminim Publik Domestik Kepala Ibu rumah tangga keluarga Pencari nafkah tambahan Pencari nafkah utama 2. Perilaku/Sikap 3. Mentalitas Tegas Lemah lembut Rasional Emosional agresif Sabar, kasih sayang, teliti Gagah Peduli Jantan Lemah Berkuasa, Mengutamakankecantikan cerdas 23 Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengantar Kajian Gender (Jakarta:2003), h. 54 24 Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengantar Kajian Gender , h.61 33 13 Gender diartikan sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Gender biasanya digunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan. Kenyataan biologis yang membedakan dua jenis kelamin ini telah melahirkan dua teori besar yaitu teori nature dan teori nurture.25 Teori nature menganggap perbedaan peranan laki-laki dan perempuan bersifat kodrati (nature). Anatomi biologi laki-laki yang berbeda dengan perempuan menjadi faktor utama dalam penentuan peran sosial kedua jenis kelamin ini. Laki-laki memerankan peran utama di dalam masyarakat karena dianggap lebih potensial, lebih kuat, dan lebih produktif. Organ reproduksi dinilai membatasi ruang gerak perempuan seperti hamil, melahirkan, dan menyusui sementara laki-laki tidak mempunyai fungsi reproduksi tersebut. Teori nurture beranggapan bahwa perbedaan relasi gender laki-laki dan perempuan tidak ditentukan oleh faktor biologis melainkan konstruksi masyarakat. Menurut penganut faham nurture, sesungguhnya bukanlah kehendak Tuhan dan tidak juga sebagai produk determinasi biologis melainkan sebagai produk konstruksi sosial (sosial construction). Banyak nilai-nilai bias gender yang terjadi di dalam masyarakat dianggap disebabkan oleh faktor biologis tetapi sesungguhnya tidak lain adalah konstruksi budaya. Dalam kaitannya dengan jenis kelamin, masih terjadi perdebatan tentang perbedaan psikologis antara perempuan dan laki-laki. Penganut teori nature yang ekstrem beranggapan bahwa perbedaan psikologis antara dua insan tersebut 25 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, h. xxi 33 14 disebabkan perbedaan biologis saja. Sedangkan pengikut teori nurture beranggapan, perbedaan psikologis antara perempuan dan laki-laki disebabkan oleh proses belajar dari lingkungan.26 Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan lakilaki dan perempuan dari segi sosial-budaya. gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya. Penggunaan istilah gender dalam arti tersebut sebenarnya belum terlalu lama. Menurut Showalter wacana gender mulai ramai di awal tahun 1977, ketika sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi menggantinya dengan wacana gender (gender discourse).27 1. Indikator ketidakadilan gender. Adanya ketidakadilan gender menurut Mansour Fakih disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:28 a. Marginalisasi Manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan dan sejauh yang kita ketahui, bahwa kaum laki-laki menentukan pola masyarakat dan kaum perempuan dinomorduakan. Ada saat kekuasaan laki-laki tampak menonjol dan ada pula saat laki-laki menjadi lembut namun kekuasaannya senantiasa terasa. Dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan pada umumnya dibenarkan oleh paham kodrat. Menurut paham ini, kodrat laki- 26 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, h.xxi 27 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, h.34 28 Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996), h. 13 33 laki adalah kuat, pemberani, rasional, produktif, menghasilkan kekayaan, dan menciptakan budaya. Sedangkan kodrat perempuan adalah lemah lembut penakut, perasa, reproduktif, dan meneruskan keterampilan lama dan suka dipimpin. Dengan demikian, kaum laki-laki bertugas dalam masyarakat luas sementara kaum perempuan bertugas di rumah dan sekitarnya. Kodrat ini merupakan naluri sesuai dengan penerapan Ilahi.29 Proses marginalisasi mengakibatkan kemiskinan, yang tidak hanya menimpa laki-laki tapi juga perempuan yang disebabkan oleh bencana alam, penggusuran, dan proses eksploitasi.30 Namun ada satu bentuk kemiskinan yang mengatasnamakan gender dalam hal ini yang dirugikan adalah perempuan, misalnya dalam kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi, dan kebiasaan bahkan ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, apabila terjadi perceraian dari pihak wanita maka wanitalah yang harus membayar. Marginalisasi perempuan tidak saja terjadi ditempat pekerjaan, juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat, kebudayaan, bahkan Negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumahtangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga baik laki-laki maupun perempuan. Marginalisasi juga terdapat dalam tarsiran agama dan adat istiadat. Misalnya banyak diantara suku-suku di Indonesia yang tidak memberikan 29 Marie Claire Barth, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu: pengantar teologi feminis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), h.3 30 Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, h.14 33 16 hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan hak waris sedangkan tafsiran agama juga memberi hak waris setengah pada perempuan dari pada laki-laki yang mendapatkan hak waris penuh. Pandangan ini dibenarkan oleh filsafat klasik baik di Barat maupun di Timur. Demikian Aristoteles menulis: Alangkah layak dan tepat bahwa tubuh dipimpin oleh jiwa dan perasaan oleh pemikiran yang berakal; 31 seandainya keduanya sejajar bahkan jika tatanannya terbalik maka pasti akan menimbulkan kecelakaan. Menyangkut kelamin pun laki-laki lebih tinggi secara naluri dan perempuan lebih rendah; laki-laki memerintah dan perempuan diperintah. Demikian pula dengan filsafat Tionghoa, Yang (maskulin) dihubungkan dengan dunia atas dan Yin (feminin) dengan dunia bawah. Dengan demikian laki-laki memerintah perempuan dan tatanan ini ditekankan dalam ajaran Konghucu. b. Penempatan Perempuan Pada Subordinasi. Dalil bahwa manusia sejati adalah laki-laki menyebabkan munculnya kecenderungan untuk menilai perempuan dari sudut pandang laki-laki dengan menekankan kekurangan-kekurangannya dibandingkan dengan laki-laki. Akibatnya hanya laki-laki saja yang dianggap sebagai manusia sejati sementara perempuan hanyalah pelengkap.32 Dalam pandangannya tentang gender, perempuan mengalami subordinasi. Perempuan dianggap irrasional atau mudah marah, sehingga perempuan tidak bias untuk memimpin yang mengakibatkan perempuan ditempatkan pada posisi yang 31 Marie Claire Barth, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu: pengantar teologi feminis, 32 Marie Claire Barth, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu: pengantar teologi feminis, h.4 h.6 33 17 tidak penting. Subordinasi gender terjadi dalam segala bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Misalnya pada perempuan Jawa, mereka tidak boleh bersekolah sampai tinggi-tinggi karena ada anggapan bahwa perempuan seharusnya berada didapur untuk mengurusi segala keperluan rumah tangga tidak perlu bekerja di luar rumah. Istri yang hendak tugas belajar ke luar negeri harus seizin suami, dan apabila keuangan keluarga kurang memadai maka yang menjadi prioritas untuk bersekolah adalah anak laki-laki. Praktek seperti itu sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil. c. Stereotipe. Stereotipe dapat diartikan sebagai suatu pelebelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Stereotipe itu sangat merugikan dan tidak jarang banyak menimbulkan ketidakadilan. Stereotipe juga banyak diberikan kepada suku bangsa tertentu, misalnya pada Yahudi di Barat, dan Cina di Asia yang telah merugikan suku bangasa tersebut. Stereotipe yang terjadi atas pandangan mengenai gender yaitu perbedaan atas jenis kelamin tertentu. Pada umumnya terjadi pada perempuan melalui penandaan atau pelebelan yang dilekatkan kepada mereka. Misalnya anggapan bahwa perempuan suka bersolek dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe semacam ini. Kasus pemerkosaan yang banyak terjadi pada perempuan maka perempuanlah yang dinggap menjadi peyebabnya. Stereotipe terhadap kaum 33 18 perempuan terjadi dimana-mana. Banyak peraturan pemerintah, aturan agama, budaya, dan kebiasaan masyarakat yang berkembang berdasarkan stereotipe semacam ini. d. Kekerasan. Kekerasan atau violence adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap manusia biasanya berasal dari berbagai sumber, salah satunya yang disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin. Bentuk kekerasan yang terjadi dalam masyarakat diantaranya; 1. Pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. 2. Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga termasuk penyiksaan terhadap anak-anak. 3. Bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ kelamin. Misalnya penyunatan terhadap anak perempuan. 4. Kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitusi). Seorang pelacur dianggap rendah oleh masyarakat tetapi tempat pusat kegiatan mereka selalu ramai dikunjungi orang. 5. Kekerasan dalam bentuk pornografi. Pelecehan terhadap kaum perempuan dimana tubuh perempuan dijadikan obyek demi keuntungan seseorang. 6. Kekerasan dalam bentuk sterilisasi Keluarga Berencana. Perempuan dipaksa untuk mengontrol pertumbuhan penduduk padahal persoalannya 33 19 tidak saja pada perempuan tetapi berasal dari kaum laki-laki juga. Sterilisasi membahayakan bagi perempuan baik fisik maupun jiwa mereka. 7. Kekerasan dalam bentuk yang terselubung (Molestation). Kekerasan dengan cara memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Biasanya terjadi di tempat pekerjaan ataupun di tempat umum seperti di dalam bus.33 e. Beban Ganda (double burden). Pada dasarnya kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, sehingga dianggap tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga. Segala pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab perempuan. Perbedaan gender juga berakibat pada beban kerja yang dipikul oleh kaum perempuan. Masyarakat memandang bahwa semua pekerjaan domestik sebagai jenis pekerjaan perempuan dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan pekerjaan yang dianggap sebagai jenis pekerjaan laki-laki, dan dikategorikan sebagai bukan produktif sehingga tidak diperhitungkan dalam statistic ekonomi Negara. Bagi golongan kelas menengah dan orang kaya beban kerja domestik dalam rumah tangga selalu dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga “domestic workers”. Mereka telah menjadi korban bias gender di masyarakat. Rumah tangga juga menjadi tempat kritis dalam mensosialisasikan ketidakadilan gender. 33 Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, h.17 33 20 Yang paling akhir dan sulit dirubah adalah ketidakadilan gender tersebut telah mengakar didalam keyakinan dan menjadi ideologi kaum perempuan maupun laki-laki. 2. Berbagai Pendekatan Dalam Teori Gender. Untuk lebih membahas persoalan mengenai persamaan dan perbedaan peran gender dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain; 1. Teori Psikoanalisis/Identifikasi Tokoh utama dari teori ini adalah Sigmund Freud antara tahun 1856-1939. Teori ini menjelaskan bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Menurut Freud, kepribadian seseorang tersusun atas tiga tingkatan yaitu Id, Ego, dan Superego.34 Pertama Id, yang berarti pembawaan sifat fisik-biologis seseorang sejak lahir termasuk nafsu seksual, dan insting yang selalu cenderung agresif, diluar sistem rasional dan senantiasa mencari kesenangan dan kepuasan biologis. Kedua Ego, yang berarti menjinakkan keinginan agresif dari id. Ego senantiasa mengatur hubungan antara antara keinginan subjektif individual dengan tuntutan objektif realitas sosial. Dengan kata lain, ego merupakan suara hati yang menuntut seseorang untuk memilih mana yangbterbaik untuk dirinya, penyeimbang antara keinginan dengan realitas yang ada. Ketiga Superego, yang berarti aspek moral dalam kepribadian seseorang, superego berupaya untuk mewujudkan kesempurnaan dalam hidup seseorang, ia bukan sekedar mencari kepuasan dan kesenangan hidup tetapi ia juga meingatkan ego agar selalu menjalankan 34 Dr. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, h. 46 33 fungsinya mengontrol id. Individu yang normal menurut Freud, adalah ketika ketiga struktur tersebut bekerja secara proporsional. Kalau satu diantaranya lebih dominan maka pribadi yang bersangkutan mengalami masalah. Jika struktur id lebih menonjol maka diri yang bersangkutan cenderung hedonistis. Sebaliknya, jika superego lebih menonjol maka yang bersangkutan sulit mengalami perkembangan, karena selalu dibayangi rasa takut dan lebih banyak berhadapan dengan dirinya sendiri.35 II. Teori Fungsionalis Struktural Tokoh utama teori ini belum diketahui tetapi teorinya menjelaskan bahwa suatu masyarakat terdiri dari beberapa bagian yang saling mempengaruhi, mencari unsur-unsur yang mendasar, serta mengidentifikasi fungsinya dari setiap unsur kemudian menerangkan kepada masyarakat fungi unsur-unsur tersebut.36 Beberapa ahli berbicara tentang teori ini, seperti Hillary M. Lips dan S.A. Shield mereka membedakan antara teori fungsionalis dengan teori strukturalis. Menurut mereka fungsionalis lebih condong kepada persoalan psikologis sedangkan strukturalis lebih condong kepada sosiologis. Para penganut teori ini berpendapat bahwa teori struktural-fungsional tetap relevan diterapkan dalam masyarakat modern. Talcott Parsons dan Bales, dua tokoh yang sering dikaitkan dengan teori structural fungsional, mereka menilai bahwa pembagian peran secara seksual adalah sesuatu yang wajar. Teori fungsionalisme berupaya menjelaskan bagaimana sistem itu senantiasa berfungsi 35 36 Dr. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, h.50 Dra. Mufidah Ch., Paradigma Gender (Malang: Bayu Media Publishing, 2004), h.140 33 22 untuk mewujudkan keseimbangan di dalam suatu masyarakat. Keseimbangan itu dapat terwujud bila tradisi peran gender senantiasa mengacu pada posisi semula. Dengan kata lain kerancuan peran gender menjadi unsur penting dalam suatu perceraian.37 Berbicara mengenai gender, penganut aliran fungsionalis-struktural berpendapat bahwa pembagian peran dan fungsi masing-masing antara laki-laki dan perempuan secara adil untuk mewujudkan keharmonisan dua jenis kelamin yang berbeda. Ilmuwan yang berjasa mengembangkan teori ini adalah August Comte (1798-1857). Menurut Comte, altruisme38 yang melekat pada perempuan jauh lebih tinggi dari pada intelektual dan egoisme yang dimiliki laki-laki. Ia melihat fenomena ini dari sosok Bunda Maria. Para sosiolog ternama seperti William F. Ogburn ia mengembangkan teori structural-fungsional dalam keluarga pada abad ke-20. Ia mengatakan keragaman peran dan fungsi dalam struktur keluarga, bermuara pada satu tujuan yang sama. Misalnya ayah berperan sebagai kepala keluarga dan berfungsi pencari nafkah sedangkan ibu sebagai manajer rumah tangga, dan berfungsi mengatur dan melaksanakan tugas-tugas kerumahtanggaan. Anak laki-laki mengikuti peran yang dekat dengan ayah sedangkan anak perempuan mencontoh aktivitas sosial ibu.39 Menurut teori Struktural-Fungsional pembagian peran seperti sangatlah penting agar semua stuktur dalam keluarga berfungsi menurut peran yang 37 Margareth M. Poloma, Sosiologi Kontemporer. Cet.4 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), h.168 38 39 orang yang menyediakan diri untuk menolong orang lain tanpa mementingkan diri. Robert M.Z.Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern. (Jakarta: PT Gramedia, 1988), h. 76 33 23 diembannya. Penyimpangan fungsi yang terjadi dalam struktur keluarga akan mengakibatkan kekacauan dalam rumah tangga. III.Teori Konflik Tokoh utama dari teori konflik40 adalah Friedrich Engels. Teori ini banyak mendapat pengaruh dari teori marx yang beranggapan bahwa dalam susunan suatu masyarakat terdapat bebarapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan. Siapa yang memiliki dan menguasai sumber-sumber produksi dan distribusi merekalah yang memiliki peluang untuk memainkan peran utama di dalamnya. Friedrich Engels mengemukakan suatu gagasan menarik bahwa perbedaan dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan, tidak disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan dari kelas yang berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga. Hubungan suami-istri tidak ubahnya dengan hubungan proletar dan borjuis, hamba dan tuan, pemeras dan yang diperas. Dengan kata lain ketimpangan peran gender dalam masyarakat bukan karena faktor biologis atau pemberian Tuhan (divine creation), tetapi konstruksi masyarakat (sosial construction). Menurut Marxisme dalam kapitalisme, penindasan perempuan diperlukan karena mendatangkan keuntungan. Pertama, eksploitasi perempuan di dalam rumahtangga akan membuat buruh laki-laki di pabrik lebih produktif. Kedua, perempuan juga berperan dalam 40 reproduksi buruh murah, sehingga Konflik tidak hanya terjadi karena perjuangan kelas dan ketegangan antara pemilik dan pekerja, tetapi juga disebabkan oleh beberapa factor lain, termasuk ketegangan orang tua dan anak, suami dengan istri, senior dengan yunior, laki-laki dan perempuan, dan sebagainya. 33 24 memungkinkan harga tenaga kerja lebih murah. Murahnya upah tenaga kerja menguntungkan kapitalisme. Ketiga, masuknya buruh perempuan sebagai buruh dengan upah lebih rendah menciptakan buruh cadangan. Melimpahnya buruh cadangan memperkuat posisi tawar-menawar para pemilik modal (kapitalis) dan mengancam solidaritas kaum buruh. Kesemuanya ini akan mempercepat akumulasi kapital bagi kapitalis.41 Tokoh yang mengembangkan teori-konflik salah satunya adalah Ralf Dahrendorf. Tetapi terdapat sedikit perbedaan antara Marx dan Dahrendorf. Marx meyakini bahwa sumber konflik adalah kepemilikan tetapi menurut Dahrendorf sumber konflik adalah perbedaan kekuasaan. Menurut Dahrendorf, teori konflik yang dikembangkan dalam dunia ekonomi-publik memunculkan borjuis proletar. Oleh feminis Marxis model analisis ini ditarik dalam kehidupan rumah tangga. Suami dipandang sebagai kelompok borjuis sadangkan istri wakil dari kelompok proletar (buruh). Kepemilikan pribadi dan penguasaan suami atas istri dikenal sebagai pemilik sumber daya yang melegalkan budaya patriarkhi sedangkan istri tidak mempunyai posisi setara dengan suami yang berdampak pada ketidakadilan dalam keluarga.42 Menurut para feminis, beban istri berlipat mulai dari hamil, melahirkan, menyusui, dan mengasuh anak. Sedangkan secara ekonomi, istri tidak mempunyai akses yang sama dengan suami. Dengan demikian, satu-satunya cara untuk mewujudkan kesetaraan gender harus melalui perlawanan kelas. 41 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, h. 61 42 Margareth M. Poloma, Sosiologi Kontemporer. Cet.4 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), h.170 33 25 IV. Teori Sosio-Biologis Teori ini dikembangkan oleh Pierre van den Berghe, Lionel Tiger dan Robin Fox dan intinya bahwa semua pengaturan peran jenis kelamin tercermin dari biogram dasar yang diwarisi manusia modern dari nenek moyang primat dan hominid43 mereka. Intensitas keunggulan laki-laki tidak saja ditentukan oleh faktor biologis tetapi elaborasi kebudayaan atas biogram manusia. Teori ini disebut bio-sosial karena melibatkan faktor biologis dan sosial dalam menjelaskan relasi gender. Biologi manusia adalah suatu komponen yang penting dalam perilaku yang berbeda antara jenis-jenis kelamin.44 Faktor biologis dan sosial menyebabkan laki-laki lebih unggul dari perempuan. Fungsi reproduksi perempuan dianggap sebagai faktor penghambat untuk mengimbangi kekuatan dan peran laki-laki. C. Teori-teori Feminisme Untuk mengkaji persoalan tentang perbedaan laki-laki dan perempuan menurut pandangan para feminis, ada beberapa pandangan yang dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu: I. Feminisme Liberal Tokoh utama yang membawa aliran ini antara lain Margareth Fuller (1810-1850), Harriet Martineau (1802-1876), Anglina Grimke (1792-1873), dan 43 Manusia dari sejenis Homo sapiens. Mereka biasa dianggap sebagai salah satu spesies yang dapat bertahan hidupdalam genus Homo. Manusia biasanya menggunakan daya penggerak dua kaki yang sempurna. 44 Dr. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, h.68 33 26 Susan Anthony (1820-1906).45 Mereka meinginkan agar semua manusia baik laki-laki maupun perempuan hidup berdampingan, serasi, dan seimbang agar tidak terjadi penindasan antara satu dengan yang lain. Perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. 46 Para feminis liberal meskipun menuntut persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan tetapi mereka menolak persamaan secara menyeluruh terutama dalam hal fungsi reproduksi, aliran ini masih tetap memandang perlu adanya perbedaan antara laki-laki dengan perempuan. Kelompok ini membenarkan bahwa perempuan harus bekerja bersama laki-laki, perempuan juga harus dilibatkan dalam semua peran termasuk bekerja diluar rumah tidak saja domestik tapi juga publik. Dengan demikian tidak ada lagi jenis kelamin yang lebih dominan. Bagi kalangan feminisme liberal, mereka mengharapkan sebuah Negara untuk melindungi kebebasan sipil, misalnya saja hak kepemilikan sipil, hak memilih, hak kebebasan untuk berbicara, kebebasan untuk beragama, dan kebebasan untuk bernegara. Feminis liberal menerangkan bahwa keadilan gender menuntut kita untuk membuat aturan permainan yang adil dan memastikan tidak satu pun dari semua kebaikan bagi masyarakat dirugikan secara sistematis, keadilan gender tidak 45 Dr. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, h.64 46 Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought (pengantar paling komprehensif kepada arus utama pemikiran feminis, cet.II, Jalasutra, Yogyakarta:1998), h.2 33 27 menuntut kita untuk memberikan argumen yang kalah ataupun yang menang.47 Feminis liberal mendapat pengaruh dari pemikiran Harriet Taylor dalam karyanya yang berjudul The Enfranchisement dan John Stuart Mill dalam karyanya yang berjudul The Subjection of Women (1869). Mill dalam teorinya membela hak pilih terhadap perempuan, hak perempuan sama dengan hak anakanak mereka; persamaan dihadapan hukum, dan hak bagi perempuan menikah untuk mengontrol dan mengelola kekayaan mereka sendiri.48 Perjuangan yang dilakukan oleh feminisme liberal adalah membebaskan perempuan dari penindasan peranan gender, yaitu peranan yang diberikan kepada perempuan karena berdasarkan jenis kelaminnya.49 Sedangkan agenda dari kaum feminisme liberal adalah memperjuangkan hak-hak perempuan di bidang politik, pendidikan, kerja, dan ini ditempuh melalui jalur hukum dengan memperbaharui sistem yang ada. Agar perempuan teremansipasi dan terbebaskan dari keterkungkungan sosial, kalangan feminisme juga menganjurkan untuk mempraktekkan androgini di dalam diri perempuan dan laki-laki. II. Feminisme Marxis-Sosialis Aliran ini mulai berkembang pesat di Jerman dan di Rusia yang dipelopori oleh Clara Zetkin (1857-1933) dan Rosa Luxemburg (1871-1919).50 Para feminis meinginkan agar struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dihilangkan, perbedaan peran antara laki-laki dan 47 Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought (pengantar paling komprehensif kepada arus utama pemikiran feminis, cet.II, h.3 48 Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengantar Kajian Gender, h.96 Gadis, Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003),h. 99 50 Dr. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, h.65 49 33 28 perempuan lebih disebabkan oleh factor budaya alam. Aliran ini juga menolak anggapan tradisional yang mengatakan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan karena factor biologis dan latar belakang sejarah. Feminis Marxis-sosialis beranggapan bahwa untuk mencapai kebebasan sejati dalam masyarakat ditentukan berdasarkan kelas. Semua aturan sosial dalam masyarakat yang lebih besar menguntungkan laki-laki dari pada perempuan. Feminis marxis berpendapat bahwa ketertinggalan perempuan bukan disebabkan oleh tindakan individu secara sengaja, tetapi akibat dari struktur sosial, politik, dan ekonomi, yang erat kaitannya dengan sistem kapitalisme. Menurut mereka, tidak mungkin perempuan dapat memperoleh kesempatan yang sama seperti lakilaki jika mereka masih tetap hidup dalam masyarakat berkelas.51 Hampir sama dengan teori konflik, kelompok ini menganggap bahwa posisi inferior perempuan berkaitan dengan struktur dan keluarga dalam masyarakat kapitalis. Istri mempunyai ketergantungan lebih tinggi pada suami dari pada sebaliknya. Perempuan senantiasa mencemaskan keamanan ekonominya karenanya mereka memberikan dukungan kekuasaan kepada suaminya. Bedanya dengan teori konflik, teori ini tidak terlalu menekankan factor kepemilikan harta pribadi seperti halnya dalam teori konflik tetapi teori ini lebih menyoroti factor seksualitas dan gender dalam kerangka dasar ideologinya. III. Feminisme Radikal Aliran ini muncul di permulaan abad ke-19 dengan mengangkat isu besar yaitu menggugat semua lembaga patriarki yang dinilai merugikan perempuan dan 51 Dr. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, h.66 33 29 jelas-jelas menguntungkan laki-laki. Pergerakan feminisme radikal juga memfokuskan diri pada akar permasalahan mengenai ketertindasan perempuan. Mereka melihat bahwa walaupun sudah reformasi sistem melalui jalur hukum sudah diupayakan oleh kalangan feminis liberal, tetapi tetap saja perempuan masih tertindas. Kaum feminis radikal mencurigai akan adanya pemisahan antara ranah publik dan ranah privat yang menyebabkan perempuan mengalami ketertindasan karena mereka menganggap perempuan hanya di ranah privat (domestik) bukan publik. Kaum feminis radikal tidak hanya menuntut persamaan hak antara lakilaki dan perempuan, mereka juga menuntut persamaan seks dalam arti kepuasan seksual yang bisa diperoleh dari sesama perempuan sehingga mentolerir praktek lesbian.52 Persamaan secara total pada akhirnya akan menempatkan dan merugikan perempuan itu sendiri, laki-laki yang tanpa beban organ reproduksi secara umum akan sulit diimbangi oleh perempuan. Feminis radikal lebih ekstrim dari feminis liberal. Mereka beranggapan bahwa sistem patriarki ditandai dengan kuasa, dominasi, hirarki, dan kompetisi. Sistem patriarki harus dibentuk ulang, dicabut dari akar dan cabang-cabangnya guna memberikan jalan bagi pembebasan perempuan lewat lembaga sosial dan kultural terutama keluarga, gereja, dan akademis. Feminis radikal dibagi menjadi dua aliran, yaitu; a) Feminis radikal-libertarian, yang beranggapan bahwa feminis radikal berfokus pada seks, gender, dan reproduksi. Mereka lebih cenderung 52 Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought (pengantar paling komprehensif kepada arus utama pemikiran feminis, cet.II, h.4 33 30 pada androgini yang melegalkan semua jenis hubungan seks seperti; heteroseksual, lesbian, dsb, dan memandang teknologi pembantu reproduksi merupakan hal yang mutlak bagi perempuan. Mereka juga beranggapan bahwa setiap perempuan harus didorong untuk bereksperimen secara seksual dengan dirinya sendiri, dengan perempuan lain, dan juga dengan laki-laki. Ia harus merasa bebas untuk mengikuti apapun hasrat dirinya itu. Mereka mengklaim bahwa menjadi ibu biologis memeras perempuan baik secara fisik maupun psikologis.53 Menurut mereka, perempuan harus bebas untuk menggunakan teknologi lama pengendali reproduksi, dan juga teknologi baru pembantu reproduksi sesuai dengan keinginannya. Hal tersebut untuk mencegah atau menghentikan kehamilan yang tidak diinginkan atau sebaliknya untuk memungkinkan mereka memilki anak ketika mereka menginginkannya (sebelum atau sesuadah menopause), cara mereka menginginkannya (dalam rahim sendiri atau dalam rahim perempuan lain), dan dengan siapa mereka meinginkannya. b) Feminis radikal-kultural, mereka menolak androgini yang mereka anggap sebagai sesuatu yang berbahaya bagi perempuan. Para feminis radikal kultural tidak setuju jika pornografi, prostitusi, pelecehan seksual, perkosaan, kekerasan terhadap perempuan, laki-laki mengendalikan seksualitas perempuan untuk kenikmatan laki-laki. 53 Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought (pengantar paling komprehensif kepada arus utama pemikiran feminis, cet.II, h.5 33 31 Untuk menjadi bebas perempuan harus melepaskan diri dari pembatasan heteroseksual dengan menciptakan seksualitas perempuan yang eksklusif melalui selibat, lesbianisme, sendiri atau bersama dengan perempuan lain, seorang perempuan dapat menemukan kenikmatan seksual yang sesungguhnya. 54 Mereka mengklaim bahwa menjadi ibu biologis merupakan sumber kekuatan paripurna perempuan. Perempuan yang menentukan apakah suatu spesies akan hidup berlanjut atau tidak. Perempuan harus melindungi dan memberikan kekuatan hidup karena tanpa itu laki-laki tidak akan menghargai perempuan dan semakin tidak melihat manfaat perempuan seperti yang ada sekarang. Perjuangan feminis radikal adalah memperjuangkan isu-isu kesehatan. Kalangan feminis radikal berupaya mempelopori argumentasi aborsi dan penggunaan alat kontrasepsi yang aman. “hak untuk memilih” adalah slogan yang dilontarkan untuk iso aborsi.55 Hak bagi setiap perempuan untuk menentukan apakah ia ingin mempunyai anak atau tidak. Salah usaha yang ingin disadarkan oleh kalangan feminis radikal adalah tubuh perempuan adalah milik perempuan. Menurut mereka, keputusan tersebut berada di tangan perempuan yang memiliki badannya sendiri, dan bukannya di tangan dokter, hakim atau rohaniawan. Apabila kita berfikir tentang watak perempuan dalam diri Allah, pusat perhatian tidak hanya pada segi-segi melahirkan, mengasuh, dan berbelas kasih 54 Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought (pengantar paling komprehensif kepada arus utama pemikiran feminis, cet.II, h.6 55 Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, h. 101 33 32 tetapi juga pada daya kekuatan yang menciptakan dan menyelamatkan. Hal ini mungkin sesuai dengan beberapa refleksi dewasa ini tentang roh sebagai watak perempuan dalam diri Allah. Hal ini juga berkaitan dengan gagasan tentang roh sebagai yang imanen (intim) bila dibandingkan dengan Bapa sebagai yang transenden. Peranan roh dalam penjelmaan kuasa Allah yang meliputi Maria, kerapkali dilihat bersifat laki-laki. Berkenaan dengan Yesus, bagi perempuan yang menderita mengidentifikasikan Yesus sebagai yang menderita dan melihat penderitaan dan ketertindasan mereka banyak mempunyai nilai penebusan dalam persatuan dengan penderitaan Yesus. Beberapa orang memusatkan perhatian pada ketuhanan Yesus yang menaklukkan setiap bentuk dominasi, termasuk dominasi laki-laki. Beberapa orang lagi melihat sifat-sifat seperti asih-asuh dan belas kasih dalam hidup dan mukjizat-mukjizat Yesus. Dan beberapa orang yang lain lagi menggunakan bahasa yang lebih bersifat simbolis untuk melihat Yesus sebagai ibu atau terkasih. 33 BAB III SEKILAS TENTANG AGAMA KATOLIK A. Sejarah Katolik Dalam Perjanjian Lama Allah memilih dan membentuk umatNya yang baru dengan perantaraan Kristus yang berarti yang diurapi; Almasih. Kerajaan Allah sudah datang dan ada diantara manusia dalam pribadi Jesus dan hari penyelesaiannya hanya diketahui Bapa di surga (Mk 2:19; 13:9). Maka Gereja merupakan sarananya dimana saja sampai akhir zaman. Perjamuannya untuk mengenang wafat Jesus dari semua orang itu harus diulangi dalam persaudaraan diantara muridNya sampai ia datang kembali (Lk 16:19; 1Kor 11:24). Perjamuan itu adalah Ekaristi yang merupakan pangkal tolak dan sekaligus puncak segala kegiatan Gereja (G:11).56 Gereja tumbuh dari pewartaan Injil dan pembaptisan. Gereja berakar dihidup, pewartaan dan peristiwa-peristiwa Paskah; yaitu wafat-kebangkitan Jesus-serta pangaturan Roh Kudus. Jadi pada Perjanjian Lama, Gereja adalah sarana untuk membangun kerajaan Allah untuk mengumpulkan semua orang dari segala pemjuru dunia. Dalam Perjanjian Baru menggambarkan Gereja seperti tumbuh pada waktu itu, yang bersatu dalam pembaptisan dengan pengakuan iman yang sama, dalam perayaan Ekaristi dan agape dan dalam pimpinan yang dilantik Para Rasul (IKor 11:17,14:40;Ef;4:5). 56 A. Heuken SJ, Ensiklopedia Gereja I (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1994),h. 341 33 68 Di Perjanjian Baru ini, Gereja tidak hanya disebut dengan kata ekklesia, melainkan dengan sebutan lain yang sebagian diambil dari Perjanjian Lama yaitu umat Allah (1Ptr 2:10), orang-orang yang beriman, orang-orang kudus, rumah Allah kawanan domba, tubuh Kristus (1Kor 6:15). Bahasa gambaran yang kaya isinya dan sulit mengungkapkan segala segi bahasa teologis yang jelas. 57 Dari semua pernyataan diatas tentang Gereja, maka dapat dikatakan bahwa Gereja adalah Katolik, karena Gereja mewartakan Injil Kristus dan terbuka bagi segala bangsa dan kebudayaan ciri Katolik ini melarang umat membeda-bedakan orang menurut jenis (Gal 3:28), kelas social atau kebangsaan. Jesus tidak menolak perempuan pendosa yang mencuci kakiNya, karena ia datang untuk menyelamatkan orang berdosa (Lk 7:37), maka Gereja pun tidak boleh menolak mereka (kaum perempuan) dari keanggotaannya. Pengertian Gereja58 dalam kata bahasa Indonesia berasal dari kata Portugis igreja, juga berasal dari kata Yunani ekklesia yaitu mereka yang dipanggil; kaum golongan kyriake; yang dimiliki Tuhan. Pada Sinode istimewa uskup-uskup sedunia pada tahun 1985, diadakan refleksi atas pandangan Konsili Vatikan II (1962-1965) tentang Gereja. Sinode itu menekankan kembali hakikat Gereja sebagai misterium dan communion supaya dimensi rohani Gereja semakin jelas. Pandangan berat sebelah yang memandang Gereja terutama dari segi hierarki atau sebagai kenyataan sosiologis semata-mata 57 A. Heuken SJ, Ensiklopedia Gereja I,h. 342 58 Kata Gereja sama asal-usulnya seperti kata kerk dalam bahasa Belanda, dan kirche dalam bahasa Portugis. Kata Gereja digunakan baik untuk gedung-gedung ibadat maupun untuk umat-umat Kristen. 68 69 (sebagai perfect society) ditolak.59 B. Pergerakan Perempuan dalam Agama Katolik di Barat Gerakan perempuan sudah muncul sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke20. gerakan yang sudah dimulai sejak abad itu menuntut persamaan hak antara lakilaki dan perempuan dan Negara harus melindungi dan menjamin persamaan hak itu secara normal.60 pada pertengahan abad ke-20 muncul beberapa gerakan kenabian, yakni teologi pembebasan yang memihak pada kaum miskin yang ditindas oleh tatanan ekonomi moderen, teologi feminis yang berusaha memikirkan kembali teologi melalui sudut pandang perempuan yang tertekan dan ekoteologi yang memikirkan pemeliharaan dunia ciptaan Allah. Ketiga aliran ini melawan dosa struktural, yaitu tatanan yang menindas dan memiskinkan golongan tertentu. patriarkhi ditantang karena meremehkan kaum perempuan, menggunakan alam sebagai sumber kekayaan bagi manusia yang bermodal dan berilmu. Karena itu membahayakan kelangsungan hidup generasi mendatang dan memusnahkan jenis makhluk hidup. Ketiga aliran itu saling terkait.61 Teologi pembebasan berpijak pada kenyataan bahwa Allah memihak pada orang-orang yang tertindas dan yang dikesampingkan. Ia membebaskan sekelompok 59 DOKPEN KWI, Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: dokpen KWI, 1993),h. 350 Nunuk p. Murniati, Getar-getar Gender Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga, vol.I (Magelang: Yayasan Indonesia Tera, 2004),h. xxviii 60 61 Marie Claire Barth, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu: pengantar teologi feminis,h. 19 69 70 pekerja paksa dari “rumah perbudakan di Mesir”, menjadikan mereka umt-Nya, serta mengikat perjanjian dengan mereka dan memberikan hokum kemerdekaan untuk mengatur hidup bermasyarakat mereka. Teologi feminis mencari pembebasan dan patriarkat dan menuju hubungan baru. Artinya pihak yang tadi berkuasa melepaskan tuntutan dan kesombongannya, lalu membuka diri pada pihak yang lemah. Dengan demikian dikembangkan suatu persekutuan baru diantara mitra yang sederajat sebagai sesama makhluk Allah dan saudara Yesus. Ada tiga cara menganalisis kitab suci yang ditawarkan oleh teolog perempuan Katrine Doob Sakenfeld: a) Menganalisis kitab suci yang meremehkan perempuan, b) Menganalisis kitab suci secara keseluruhan dan membahas pandangan kitab suci yang patriarkis, c) Menganalisis perikopa tentang peranan perempuan dalam kitab suci yang hidup dalam kebudayaan patriarkhi. 62 Sesudah paro pertama abad ke-20 sebagian besar aliran utama dalam Gereja Protestan sudah mulai memutuskan untuk mendukung perempuan, bahkan banyak gerakan perempuan muncul dari kalangan Gereja-gereja tersebut. Semenjak tahun 50an Gereja Protestan mulai menerima tahbisan perempuan. Menjelang akhir tahun 70an, hampirr semua aliran besar dalam Gereja Protestan telah menahbiskan pendeta, imam, bahkan rabbi perempuan. Dalam kurun waktu yang sama, Gereja Katolik melalui Paus Yohanes XXIII mulai membuka jendela Vatikan dan memecah kebekuan didalamnya. Gereja merasa perlu merumuskan hubungannya dengan dunia; Gereja perlu berkomunikasi dengan 62 Nunuk p.Murniati, Getar-getar Gender Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga, vol.I,h.13 70 71 dunia tempat dimana ia hidup. Ketika Konsili Vatikan perempuan telah siap dengan aspirasi yang ingin disampaikannya. Perempuan-perempuan Eropa mempersenjatai diri dengan argumen-argumen untuk mendobrak sidang di Vatikan. Di Amerika perempuan menikmati kebebasannya untuk menyuarakan perhatian mereka atas eksistensi perempuan dalam Konsili Vatikan II, khususnya mempertanyakan posisi perempuan dalam Gereja Katolik melalui media massa. Dua tokoh perempuan yang saat itu berpengaruh yaitu Margareth Mouley (Ketua Dewan Nasional Perempuan Katolik) dan Rosemary Goldie (Sekretaris Eksekutif, Komite Tetap untuk kongres Apostolat Awam Internasional) di Roma. Keduanya mengkritisi Gereja Katolik yang gagal mengenali bahwa perempuan adalah kekuatan inti dalam komunitas awam yang siap untuk menyumbang lebih banyak bagi Gereja, jika mereka diberi kesempatan. Akibat tekanan yang semakin gencar dari para perempuan dan teolog yang berpikir progresif, akhirnya Kardinal Leo Suenens dari Malina, Brussel yang menjadi salah satu moderator konsili dan bersimpati dengan masalah ini membuat ‘tekanan’ untuk menghadirkan perempuan dalam konsili. Uskup Agung George Hakim dari Galilea juga mengungkap hal yang sama, mengkritisi Gereja yang telah membungkam perempuan serta memberi kesan bahwa perempuan tidak eksis. Uskup Agung George Hakim juga mengingatkan kemajuan yang dicapai Gereja sebagai hasil dedikasi dan pelayanan para perempuan. Gerakan perempuan Katolik semakin besar dengan dibentuknya berbagai organisasi yang independen baik pada tingkat regional maupun internasional, seperti; St. Joans Alliance (1911), The National Council of Catholic Women (1920), The 71 72 Women Ordination Conference (Amerika-1968), Australian Catholic Womens Movement (Australia), DLL.63 Salah satu pendiri dari organisasi ini adalah Anne Brennan. 64 Dia mempercayakan keyakinannya pada Katolik dengan terbukti menjadi Anggota Serikat Sosial Perempuan Katolik (St. Joan’s Alliance), pelajaran dan tulisannya yang dipublikasikan adalah pekerja perempuan sosial dan pengganti horizon. Dialah yang mendirikan komite anggota Serikat Kerja Sosial Perempuan Katolik pada tahun 1916. Dia menjabat presiden dari 1918-1920. Ia bergabung dengan cabang utama dari Persekutuan Internsional St. Joan’s, ia menjabat presiden di kantor tersebut dari tahun 1938-1945 dan berlanjut sampai 1948 kemudian ia meninggal di tahun 1962. Anna dengan keyakinannya yang penuh ingin memajukan perempuan Katolik pada bidang sosial karena menurutnya perempuan harus bisa bangkit dan tidak harus bekerja di dalam rumah (domestik).65 The National Council of Catholic Women (1920) merupakan dewan Nasional Perempuan Katolik yang terdiri dari lima ribu anggota yang disebut organisasi 63 Iswanti, Kodrat Yang Bergerak (gambar, peran, dan kedudukan perempuan dalam gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 2003), h.22 64 Anne Brennan merupakan anak ke-13 dari seorang ayah yang bernama Michael Brennan, ia seorang petani dan istrinya bernama Mary Nee Maher. Ia belajar ilmu kedokteran di universitas Melbourne pada tahun 1904 tapi ia tidak mendapat izin untuk melanjutkan karena ia gugup pada saat pebedahan. Dia memulai studinya lagi pada bidang hukum di tahun 1906, dan tamat pada 1909 di universitasnya ia menjadi anggota Princess Ida Club untuk pelajar perempuan. 65 Anna Teresa Brennan (1879-1962), Australian Dictionary of Biography, vol.7 (Cartlon: Melbourne University Press; 1979). Diakses tanggal 7 september 2008 72 73 perempuan Katolik di Nagara Kesatuan yang mewakili seratus dari seribu perempuan Katolik.66 Dewan Nasional Perempuan Katolik berusaha memberikan semangat kepada para anggotanya yang mayoritas perempuan, kekuatan, dan pendidikan spiritual kepada semua perempuan Katolik, kepemimpinan, dan pelayanan. Program dewan Nasional Katolik merespon nilai-nilai Injil yang dibutuhkan untuk perhimpunan dan Gereja didunia moderen. Australian Catholic Womens Movement (Australia) merupakan gerakan perempuan internasional dimana mereka menggambarkan spiritual dalam diri, kebudayaan, dan gerakan sosial dari perempuan di bawah agama Kristen dan komite untuk tujuan transformasi dunia sampai masyarakat keseluruhan untuk keadilan dan perdamaian. Didirikan di Sydney pada tahun 1937, awal kedatangannya pada tahun 1936 di Nazareth. Organisasi Internasional Perempuan Katolik dengan kantor pusat di Netherlands.67 Mereka mencari arti peranan dari perempuan katolik di Gereja. Pada pandangan Sally Kennedy, seorang penemu agama dan feminisme (Sydney 1985), ia menggabungkan kekuatan perasaan dari dalam diri perempuan di Gereja katolik dengan realitas perasaan perempuan yang kelihatan. Fokus utama dari konsep ini adalah mengkhususkan latihan kepemimpinan muda. Fokus pendidikan perempuan 66 http://student britanica.com/comptons/article-9312647/National-Council-of-CatholicWomen. Diakses tanggal 7 september 2008 67 Selly Kennedy, Faith and Feminism: catholic women’s struggles for self-expression (Sydney: Studies in the Christian Movement; 1985). Diakses tanggal 7 september 2008. http://www.sydney catholic.org.au/works/details.asp?ID=80 73 74 dan pengembangan diri, sosial, dan analisis kebudayaan serta pengaturan aksi terhadap kerja paksa di kalangan bawah (perempuan) yang berpusat di Sydney dan Melbourne. C. Pergerakan Perempuan dalam Agama Katolik di Indonesia Pada dasarnya setiap agama megajarkan bahwa manusia diciptakan sama derajatnya, baik laki-laki maupun perempuan. Kini muncul refleksi atas peran perempuan menurut iman Kristen. Para teolog perempuan mengkritisi dari sudut pembelokan antara yang Ilahi dan yang berangkat dari kebiasaan manusia. Teori ini hendak menjadi bekal untuk pembaruan praktis dalam kehidupan gereja dan inilah yang disebut teologi feminis. Teori ini tidak dibangun oleh kaum perempuan saja tetapi juga oleh kaum laki-laki yang tidak rela memahami perempuan sebagai objek kajian melainkan sebagai subjek sejarah yang sedang mencari jati dirinya sendiri dan tatanan yang ditentukan oleh laki-laki atau paling tidak sedang membebaskan dirinya. Dalam tradisi Kristen selalu terdapat dua aliran, yaitu pertama mementingkan segi kelembagaan, ia berwujud hierarkis dan konserfativ, kedua bersifat nabiah, kritis terhadap ketidakadilan dan penggunaan dan menghendaki hubungan yang adil dan benar, maka gereja senantiasa terlibat dalam usaha membela manusia yang tertindas.68 Gerakan Perempuan Katolik yang ada di Indonesia, antara lain; Jaringan Mitra Perempuan berusaha menciptakan keselamatan yang terwujud dalam relasi 68 Marie Claire Barth, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu: pengantar teologi feminis, h.11 74 75 perempuan dan laki-laki sebagai citra Allah yang setara dan bersama-sama bertanggung jawab memelihara keutuhan ciptaan-Nya. Misi antara lain; Menggali potensi dan spiritualitas perempuan Pengaruh utama perspektif jender di seluruh aspek kehidupan menggereja. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan yang mendukung dalam memahami jender dan permasalahannya.Studi dan kajian terhadap permasalahan jender.Advokasi kebijakankebijakan yang bias jender. Pendampingan dan pembelaan korban ketidakadilan jender, antara lain segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) didirikan pada tahun 1924. Salah satu gagasannya adalah cetusan iman Kristiani dalam melawan penjajahan Belanda. Perjuangannya antara lain; menuntut persamaan hak-hak perempuan dengan laki-laki, dan perjuangan membentuk masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur. Organisasi ini oleh para pendirinya dilahirkan sebagai organisasi perempuan bukan organisasi istri. Keanggotaannya perempuan Katolik yang mandiri, yang secara pribadi sadar erhadap tugas dan kewajibannya berdasarkan iman Kristiani. Organisasi ini adalah organisasi kemasyarakatan dengan tujuan sebagai berikut; Mengungkapkan iman dan cinta kasih Kristiani di dalam lingkungan dan masyarakat. Mengembangkan kualitas perempuan secara utuh. Mengembangkan peran ganda sebagai perempuan dalam keluarga, Gereja, dan masyarakat, dan meningkatkan peran sertanya dalam pembangunan Bangsa dan Negara. Organisasi tersebut memilki kegiatan ataupun fokus perhatian berbeda, namun memiliki satu kesamaan yaitu memperjuangkan keinginan perempuan sebagai anggota Gereja Katolik melalui berbagai cara seperti mengembangkan teologi 75 76 perempuan, mendorong perempuan untuk studi teologi, membuat berbagai kajian tentang perempuan dalam Gereja, membuat jaringan kerja sama atau relasi antar organisasi perempuan Katolik, melakukan pelayanan dan advokasi bagi perempuan, dan sebagainya.69 69 Iswanti, Kodrat Yang Bergerak (gambar, peran, dan kedudukan perempuan dalam gereja Katolik), h. 23 76 77 BAB IV STATUS DAN PERANAN PEREMPUAN DALAM AGAMA KATOLIK DALAM PERDEBATAN A. Kesetaraan Gender dalam Perspektif Gereja Katolik Kesederajatan perempuan dalam kehidupan dan masyarakat seperti dikehendaki Allah. Seperti yang dikatakan Jesus yang memunculkan semangat akan kesamaan manusia dihadapan Tuhan; yaitu “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu di Sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar (Matius 5:45). a.1. Kesetaraan Dalam Penciptaan Dalam kisah penciptaan kitab suci, pernyataan bahwa Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan menurut citra Allah, dan dengan demikian sama martabatnya ditemukan berdampingan dengan kisah lain yang melihat perempuan sebagai pembantu manusia (pria). Di satu sisi citra perempuan positif setara dengan laki-laki, identitasnya tidak dibatasi serta memilki hak, kekuatan dan kebebasan yang sama dengan laki-laki. Pesan St. Paulus yang mulai mengakui bahwa sebenarnya laki-laki dan perempuan setara dihadapan Allah, yaitu: Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan, 77 78 dan segala sesuatu berasal dari Allah.”(I Kor 11: 11-12)70 Konsep gender yang ideal dalam Perjanjian Lama mengenai penciptaan adalah kitab kejadian 1 dan 2 yaitu perempuan bersama dengan laki-laki adalah tujuan penciptaan Allah dan mahkota ciptaanNya. Perempuan dan laki-laki diciptakan untuk saling melengkapi. a.2. Kesetaraan Dalam Pengabdian Terhadap Tuhan dan Rasul Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, seperti dikutip dalam tulisan St. Paulus kepada umat: “karena kamu semua yang dibaptis dalam kristus, telah mengenakan kristus, tidak ada laki-laki dan perempuan.”71 Rasul Paulus tidak mengatakan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang ditempat lain dihitung sebagai rencana Allah, dihapus. Maksudnya ialah bahwa didalam kristus persaingan, permusuhan, dan kekerasan yang menodai relasi antara laki-laki dan perempuan dapat diatasi dan sudah diatasi. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan hadir dalam wahyu Alkitabiah sampai akhir. Peran perempuan tidak tergantikan dalam segala aspek kehidupan keluarga dan sosial yang meliputi relasi insani dan pemeliharaan orang lain.72Yesus melepaskan dan membebaskan semua kelompok masyarakat yang tertindas, dimana perempuan dan anak menjadi bagian dari kelompok yang dibebaskan Yesus (Lukas 4:18-20). Yesus menghormati cara-cara 70 Yuanita Prihindraningsih, Perempuan dalam Agama Katolik (Jakarta: Kapal Perempuan, 2000),th. 71 Lembaga Alkitab Indonesia, Perjanjian Baru: 2002, Galatia 3: 27-28 72 DOKPEN KWI, Kerja Sama Pria dan Perempuan dalam Gereja dan Dunia (surat kongregasi ajaran iman kepada para uskup Gereja Katolik) h.16 78 79 perempuan mengungkapkan syukur kepada Allah. Sikap Yesus ini ditentang oleh masyarakat karena pada waktu masyarakat tidak pernah menghargai perempuan (Lukas 15:8-10). Figur Maria telah dimasukkan oleh Para Bapa Konsili Vatikan II ke dalam bab terakhir konstitusi dogmatic mengenai Gereja. Dalam ajaran social Gereja juga sudah terdapat entri mengenai perempuan, antara lain; dalam pacem in terris (artikel 41); Paus Yohanes XXIII menunjukkan bahwa perempuan semakin sadar akan martabat mereka, mereka semakin melaksanakan hak dan kewajiban yang setara dengan lakilaki dalam keluarga maupun dalam hidup publik justru atas dasar kodrat mereka yang unggul. Gaudium et spes (artikel 61); menegaskan bahwa partnership terdalam lakilaki dan perempuan justru sebagai orang yang beriman. Ditegaskan lagi dalam Lumen gentium (artikel 32); bahwa dalam Kristus dan dalam Gereja tidak ada diskriminasi atas basis ras, rasionalitas, kondisi social atau seks. Pesan Paus Yohanes II juga terdapat dalam Christifideles laici (artikel 49); yaitu agar Gereja mengakui segala karunia laki-laki dan perempuan dalam hidup dan pengutusannya.73 Itulah beberapa entri tentang perempuan yang terdapat dalam ajaran sosial Gereja. Dari sudut pandang teologi, pantaslah ditelaah penekanan bahwa dalam penjelmaan sabda Allah mengambil kodrat manusia yang hendak diubah-Nya, dan bukan semata-mata seks laki-laki. Para teolog perempuan juga menunjukkan perananperanan penting yang dimainkan oleh para perempuan dalam kisah Yesus: Maria, ibu Yesus perempuan-perempuan kaya yang menyertai dan mendukung pelayanan Yesus 73 Iswanti, Kodrat Yang Bergerak (Yogyakarta: Kanisius, 2003),h.iii 79 80 dan fungsi kerasulan perempuan-perempuan seperti perempuan Samaria atau Maria dari Magdala yang menjadi saksi dan rasul pertama kebangkitan. a.3. Kesetaraan Dalam Permujudan Tuhan Perlakuan Yesus atas kaum perempuan, perempuan Samaria yang tertangkap berzinah, perempuan Kanaan, Maria dari Magdala, dan Marta serta Maria dari Betania. Menunjukkan bahwa sikapnya pada perempuan dan peranan perempuan dalam karya-Nya jauh lebih positif dan egaliter daripada yang dapat diberikan oleh kebudayaan pada zaman-Nya. Ada kesan bahwa para rasul dan pengarang Injil tidak cukup menghargai hal itu.74 Dikalangan umat Katolik khususnya, Maria juga dilihat sebagai model perempuan baru. Bagi perempuan lebih mudah mengidentifikasikan diri dengan Maria dari pada dengan Yesus. Dalam kesalehan umat biasa, umat kerap kali mengaitkan semua sifat keperempuanan pada Maria sebagai pemeliharaan, pengasuhan, dan belas kasih dan mereka enggan mengaitkan sifat itu pada Allah yang laki-laki. Maria mengilhami banyak perempuan, ibu yang merupakan teladan bahkan bahkan bagi Yesus ketika ia tumbuh menjadi dewasa. B. Ketidaksetaraan Gender Dalam Agama Katolik Gereja Katolik secara resmi mempertahankan struktur patrialkal baik secara praktis maupun teoritis. Ia hanya menahbiskan laki-laki sebagai imam, walaupun alasan teologisnya lemah. Pimpinan Gereja berada di tangan uskup dalam 74 Syukur Dr.N. Dister, Bapak dan Ibu sebagai Simbol Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 1983),h. 80 81 berhubungan Sri Paus sementara awam hanya dapat menjadi penasehat klerus. Perempuan yang bekerja di bidang pelayananan pastoral, pendidikan agama atau pengajaran di perguruan tinggi selau berada di bawah seorang “bapa”, demikian pun para biarawati. Klerus mengajar dengan penuh wibawa dan masih diberikan predikat yang bersifat eksklusif dan mutlak. Kebebasan para teolog untuk meneliti dan mengajar dengan mengangkat berbagai persoalan masyarakat yang majemuk tampaknya dibatasi. Dalam situasi seperti ini teolog feminis Katolik tampaknya dituntut untuk benar-benar bekerja dengan teliti. Teolog feminis tidak terikat pada konfesi. Gereja Protestan umumnya terbuka pada sumbangan perempuan tetapi tradisi patrialkalnya kelihatan masih kuat.75 Beberapa entri yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang masih bias gender antara lain; Seorang istri digolongkan bersama dengan rumah, hamba, dan ternak suaminya, sebagai harta milik yang tidak boleh diingini oleh orang lain (Ulangan 5:21; Keluaran 20:17). Sedang dalam Perjanjian Baru seorang istribukanlah milik suaminya, tetapi sebagai teman pewaris dari kasih karunia yaitu kehidupan (1Petrus 3:7). Di dalam Al-kitab juga terdapat contoh-contoh kepemimpinan perempuan seperti Deborah yang menjadi seorang Nabiah bagi umat Allah (Hakim 4:5); berbeda dengan perikop yang membatasi peranan perempuan dalam agama yaitu sebagai orang yang harus tunduk kepada kepemimpinan laki-laki bahkan perempuan 75 Marie Claire Barth, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu: pengantar teologi feminis, h.18 81 82 diperintahkan untuk berdia diri (1Kor 11:216; 14:34-35; 1 Tim 2:11-15).76 Isu-isu yang sering dipermasalahkan adalah tentang penciptaan Adam dan Hawa, dan kepemimpinan perempuan dalam agama. Misalnya para teolog feminis menolak bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Hal ini juga terjadi dalam agama Islam dengan adanya penolakan terhadap tafsir ayat-ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit mengatakan bahwa istri diciptakan dari diri suaminya. Beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadis mengatakan bahwa kaum perempuan dari dan untuk pria. Misalnya dua ayat Al-Qur’an:77 Begitu pula yang tertera dalam Al-kitab: “Dan tulang rusuk, yang telah Tuhan ambil dari laki-laki, dijadikannya seorang wanita, dan dibawanya ke laki-laki. Dan Adam berkata, ini adalah tulang dari belulang saya, dan daging dari daging saya: Dia akan disebut woman (wanita) karena dia dikeluarkan dari man (pria)”.78 Dari ayat-ayat tersebut dapat dilihat bahwa Adam diciptakan lebih dahulu, kemudian Hawa diciptakan dari diri Adam. Bagi para teolog feminis, pandangan seperti itu seolah-olah perempuan makhluk kedua dan ini harus ditolak. Dalam tradisi Kristen, pemakaian dogma secara anti perempuan berpuncak pada teologi Thomas Aquinas pada abad ke-18. Ia mengatakan seorang laki-laki dapat mencerminkan “gambar dan citra” Allah sedangkan perempuan secara fisik, moral, dan mental, inferior, dibandingkan dengan pria. Didasarkan pada pernyataan ini tidak mungkin 76 Pdt. Indriani Bone, Gender dan Agama (suatu perspektif kristiani), Jakarta: Kapal Perempuan, 2000,th 77 “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari seorang diri, dan darinya, Tuhan menciptakan istri-istrinya…..”, QS Al-Nisa (4): 1 78 Lembaga Alkitab Indonesia, Perjanjian Baru: 2002, Genesis 2: 22-23 82 83 seorang perempuan dapat menjadi pemimpin Gereja, apalagi menjadi imam, dan seorang perempuan tidal layak menjadi Kristus terhadap jama’at. Gereja Katolik mempunyai struktur hirarki kepemimpinan yang patriarkhis, kepemimpinan berada di tangan laki-laki. Berabad-abad model kepemimpinan ini turun-temurun diwariskan dari budaya nenek moyang Gereja, yakni budaya bangsa Yahudi. Budaya laki-laki berabad-abad hidup dan berakar dalam hidup orang Yahudi dan orang-orang Kristen pengikut Kristus perdana. Walaupun ada nabiah, tokoh imam, atau pemimpin perempuan sepert Sara, Rut, Ester, bahkan Ibu Maria, tetap kepemimpinan yang diwariskan bersifat patriarkat, yang memberikan peluang lebih banyak atau bahkan seluruhnya kepada kaum laki-laki. C. STATUS DAN PERANAN PEREMPUAN DALAM AGAMA KATOLIK Hubungan perempuan dan laki-laki harus dihayati dalam perdamaian dan kebahagiaan kasih yang tak terbagi. Kemajuan perempuan dalam masyarakat dan keluarga bukan untuk mengoreksi berbagai pandangan yang menganggap pria sebagai musuh yang harus dikalahkan. Hubungan laki-laki dan perempuan tidak dapat dicapai dengan oposisi penuh kecurigaan dan defensif. 79 b.1. Status dan Peran Perempuan dalam Kehidupan Keluarga Perempuan memainkan peran yang amat penting dalam kehidupan Gereja tidak hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi perempuan juga harus hadir dalam dunia kerja dan organisasi masyarakat, dan bahwa perempuan harus mempunyai akses 79 DOKPEN KWI, Kerja Sama Pria dan Perempuan dalam Gereja dan Dunia (surat kongregasi ajaran iman kepada para uskup Gereja KatoliK) h.19 83 84 kepada posisi tanggung jawab yang memungkinkannya mengilhami kebijakan bangsa yang tepat bagi masalah ekonomi dan sosial. Perempuan dengan sukarela membaktikan seluruh waktunya untuk kerja rumah tangga tanpa mendapat stigma dari masyarakat atau hukuman finansial jika mereka ingin melibatkan diri kedalam karya lain, mereka dapat melakukannya dengan jadwal kerja yang sesuai dan tidak terpaksa untuk memilih meninggalkan hidup keluarganya atau menahan stress bagi keseimbangan dan keserasian keluarganya.80 Seperti yang ditulis oleh Yohannes Paulus II: “akan menjadi kehormatan masyarakat bila memungkinkan ibu tanpa hambatan memutuskan dengan bebas, tanpa diskriminasi psikologis dan praksis, dan tanpa kerugian dibandingankan dengan teman-temannya membaktikan diri bagi perawatan dan pendidikan untuk anakanaknya sesuai dengan kebutuhan dan usianya.”81 Perempuan sebagai ibu panggilan perempuan dalam Al-kitab dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: panggilan perempuan sebagai ibu/istri yang sudah merupakan suatu ethos, panggilan perempuan karier, dan panggilan perempuan sebagai biarawati. 80 DOKPEN KWI, Kerja Sama Pria dan Perempuan dalam Gereja dan Dunia (surat kongregasi ajaran iman kepada para uskup Gereja Katolik, Jakarta: 2004), h.19 81 DOKPEN KWI, Kerja Sama Pria dan Perempuan dalam Gereja dan Dunia (surat kongregasi ajaran iman kepada para uskup Gereja Katolik) h.19 84 85 Perempuan pada bagian ini dapat disebut dengan panggilan perempuan sebagai ibu/istri yang bekerja dalam kehidupan domestik atau rumah tangga. Perempuan dikondisikan menjadi ibu atau istri. Hal ini tertera dalam kitab suci dan juga dalam ajaran sosial Gereja (Laborem Excercens). Biasanya perempuan memiliki kewajiban berbeda dengan laki-laki, dan tentu saja perempuan memiliki karakter sendiri. Perempuan memiliki sifat menghargai, melindungi, memperhatikan, dan memelihara. Ketiga hal ini tidak bertentangan dan saling melengkapi. Dengan demikian, perempuan dianugerahi untuk memelihara dan mengajar anak-anaknya dan sekaligus memiliki sikap yang sama kepada suami dan kepada semua orang. 82Dalam kehidupan domestik berupa keluarga diperlukan adanya saling kerja sama antara lakilaki dan perempuan dan saling melengkapi pekerjaan masing-masing untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera dalam membesarkan anak-anak. Peran ibu bersama dengan ayah merupakan suatu keistimewaan dari sang Pencipta kepada umat manusia, yakni untuk meneruskan kehidupan di lingkungan masyarakat dan Negara dan sebagai perempuan memenuhi panggilannya sebagai ibu dalam mengandung dan membesarkan anak.83 “Allah menciptakan manusia menurut gambaran-Nya; menurut gambaran-Nya ia menciptakan, sebagai laki-laki dan perempuan diciptakannya mereka”. 84 82 Dr. Edison R.L. Tambunan, o.carm, Perempuan menurut Pandangan Edith Stein (Malang: Dioma, 2003), h.27 83 DOKPEN KWI, Keluarga dan Hak-hak Asasi, (Jakarta: 2007),h.30 84 Lih. Kej 1:27 85 86 Dalam dokumen pokok gereja dibahas Surat Apostolik Mulieris Dignitatem (MD) yang dikeluarkan Paus Yohanes Paulus II. Dalam MD disebutkan bahwa ada dua keistimewaan bagi perempuan yang terletak pada aspek keperawanan dan dimensi keibuan seperti yang terjadi pada Perawan dari Nazareth (seorang perawan dan juga ibu). Bunda Maria menjadi sosok ideal dan sentral untuk mendefinisikan peran perempuan Katolik. Namun karakter yang ditonjolkan dari Maria hanya sebatas pada sifat keibuan (seseorang yang tulus, hangat, damai, dan saleh) dan menerima tugas “yang tidak mudah”, sebagai istri dan ibu. perhatian Gereja Katolik terhadap kehidupan kaum ibu tidak boleh diabaikan oleh gerakan perempuan. Karena dalam sejarahnya, Vatikan secara aktif dan cukup berhasil dalam usaha memperjuangkan hak para istri dan ibu yang sering diabaikan masyarakat dan negara. 85 Perempuan memiliki karakter keibuan yang ditunjukkan dengan sikap mendampingi dan berusaha berpartisipasi dalam banyak hal yang kecil maupun hal yang besar; sikap ini juga diekspresikan dalam kegembiraan walaupun hatinya sedang dalam penderitaan, dalam pekerjaan dan dalam berbagai masalah. Sifat keibuan ditandai dengan rasa simpatik dan empatik terhadap sesama, sifat keibuan ini sangat diperlukan kaum remaja untuk mengarahkan kematangan diri dan juga demi perkembangan anak-anak. Sosok Maria merupakan figur seorang ibu yang ideal. Alasannya karena pusat hidup Maria adalah bersama dengan anaknya; ia melahirkan Yesus, membesarkanNya, selalu mengikuti-Nya dalam jalan-Nya, dalam hal ini Maria memenuhi panggiln 85 www.google.com 86 87 Tuhan. Ia merelakan Yesus kembali ke tangan Tuhan karena beliau menyadari bahwa Yesus bukan miliknya sendiri melainkan ia menerimanya yang datang dari Tuhan. Maria diterima sebagai yang mengandung, melahirkan, mendidik, dan mendewasakan Yesus dengan segala kedewasaan personal, kecerdasan spiritual, dan kemantapan profetik, tidak boleh dicerabut dari relasinya dengan Sang Ibu. Bahkan, peranan Maria diakui sedemikian penting dan istimewa dalam karya dan sejarah keselamatan Allah (QS Maryam 19: 18-21). Dalam posisi itu, martabat perempuan telah diangkat tinggi, bukan saja sebagai "citra Allah", tetapi sebagai Bunda Penebus.86 Dalam sejarah perempuan dan agama, kita mengenal Bunda Theresa dari Calcuta. Dia merupakan simbol perempuan yang menjalin harmoni dengan agama dalam melawan kekerasan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Sebelum Bunda Theresa, di kalangan agama Katolik terdapat para santa yang merelakan hidup dan kekudusan mereka untuk membela iman (dan agama) berhadapan dengan kekerasan budaya, sosial, ekonomi, dan politik. Dan, agama (Katolik) menerima korban kekerasan itu bukan sebagai pesakitan yang harus dijauhi, melainkan sebagai mutiara, para santa. Dalam tradisi itulah perempuan mendapat posisi sederajat, tanpa subordinasi, kekerasan, marjinalisasi, maupun ketidakadilan dalam agama. Status Sebagai Anak Perempuan 86 www. google.com 87 88 Tingkah laku yang pantas dilingkungan gereja Katolik dipelajari oleh seorang anak kecil yang ikut ibunya ke gereja. Ayahnya hanya hadir pada waktu hari raya, seperti Natal atau Paskah. Karena sianak masih kecil dia diperbolehkan ikut ibunya di bagian wanita, walaupun ia seorang laki-laki. Ibunya sangat aktif terlibat dalam kegiatan gereja, seperti mengikuti paduan suara, kelompok pemahaman Al-kitab, dan sebagainya. Si anak tidak pernah melihat seorang laki-laki ikut serta dalam kegiatan tersebut karena segala aktivitas diselenggarakan oleh kaum perempuan, disini terlihat adanya dunia laki-laki dan perempuan dalam tubuh gereja. Dengan demikian bahwa gereja sebagai alat sosialisasi menjadikan seorang manusia menyadari bahwa Allah tidak hanya bersifat Bapa, tetapi juga bersifat Ibu atau feminin. Anak perempuan mendapatkan hak sama dengan anak laki-laki, baik itu dari segi pendidikan, bidang pekerjaan, dan lain-lain. b.2. Status dan Peran Perempuan dalam Kehidupan Publik Perempuan karier merupakan panggilan disamping sabagai istri atau ibu, perempuan yang memiliki kemampuan bisa melaksanakan kariernya asalkan ia mampu dan tidak melalaikan kewajibannya sebagai ibu atau istri bagi mereka yang sudah menikah. Tidak ada perempuan yang hanya perempuan dengan kata lain perempuan yang hanya mengerjakan pekerjaan domestic saja tetapi ia memiliki karakter individu dan kemampuan yang sama dengan laki-laki. Dari kemampuan yang dimiliki, perempuan memperoleh posisi yang secara professional seperti dalam 88 89 bidang seni, buruh, pengetahuan, tehnik, dan lain-lain. Tetapi kalau melihatr dari rasa keibuan perempuan hendaknya dapat mengembangkan diri dalam bidang kedokteran; seorang perawat, pendidik, guru , pekerja social, pemerintahan, pelayan, dan sebagainya.87 Dalam melaksanakan semua profesi diatas maka perempuan bisa bekerja lebih baik dari kaum laki-laki dan bisa juga menjadi profesi yang berlawanan dengan kodratnya sebagai perempuan, yaitu buruh pabrik, pegawai kantor, polisi, dan bekerja di laboratorium yang sangat dekat terhadap bahaya. Posisi seperti itu tidak mungkin dilaksanakan sendirian tapi harus ada orang yang bekerja dengannya, baik itu lakilaki maupun perempuan. Dengan demikian perempuan bisa memberikan dan mengembangkan segala kemampuan yang dimiliki sebagai perempuan yang akan memberikan kontribusi yang nyata terhadap orang lain seperti berkurangnya rasa perikemanusiaan dan rasa simpatik. Dengan kata lain, rasa simpatik yang ada pada diri perempuan mampu memberikan semangat kepada orang lain didalam pekerjaannya. Partisipasi kaum perempuan diberbagai profesi menjadi suatu berkat bagi perkumpulan, baik itu publik maupun pribadi. Figur Maria merupakan sosok bagi kaum perempuan karir, sebagai contoh perkawinan di Kana dimana Maria 87 Victor Situmorang, Kedudukan Wanita Di Mata Hukum (Jakarta: Bina Aksara,1991),h.80 89 90 mengamati, menemukan, dan melaksanakan apa yang menjadi kebutuhan orang lain tanpa meminta perhatian dan penghargaan.88 Kerja sama kaum laki-laki dan perempuan dalam profesi hidup dapat terjadi jika kedua belah pihak menyadari panggilan mereka dan mengambil kesimpulan untuk dilaksanakan. Sebagaimana sabda Tuhan: “Tuhan menciptakan umat manusia laki-laki dan perempuan dan menciptakan mereka menurut gambaranNya” (Kej. 1:27). Hanya dengan bekerja sama kaum laki-laki dan perempuan (merupakan panggilan perempuan karir) dapat menghasilkan buah untuk mendekati Tuhan. Hanya dengan cara ini perempuan menafsirkan hal-hal duniawi dan kehidupan Ilahi. Perempuan Dalam Dunia Politik Pada abad pertengahan sampai dengan permulaan abad ke-9 kaum perempuan di dunia tidak mendapat kedudukan, hak yang layak yang dilindungi oleh undangundang dan hukum. Dimana kaum perempuan disamakan dengan barang-barang yang hanya milik kaum laki-laki dan juga hanya sebagai pemuas nafsunya belaka. Pendidikan kaum perempuan hanya terbatas kepada hal-hal yang berhubungan dengan kerumah tanggan seperti mengurus rumah tangga, memasak, menjahit, dan mengasuh anak. Akan tetapi pada zaman modern sekarang ini, perempuan telah jauh melangkah ke depan, dimana kaum perempuan pada zaman modern ini telah mendapat kedudukan, dan hak yang layak sebagai umat manusia yang sama derajat dan martabatnya dengan kaum pria. 88 Dr. Edison R.L. Tambunan, o.carm, Perempuan menurut Pandangan Edith Stein, h.30 90 91 Kaum perempuan dalam dunia politik mempunyai hak pilih aktif dan pasif dalam pemilihan lembaga-lembaga. Kaum perempuan mendapat kesempatan yang sama dalam mendapatkan pekerjaan dimana saja sesuai dengan kemampuannya seperti halnya dengan kaum pria. Demikian pula dalam bidang politik, kesehatan, pendidikan, hukum, dan hak untuk bertindak dalam hukum serta dalam bidang ekonomi. Keikutsertaan perempuan dalam hukum dan pembangunan mutlak adanya tanpa mengurangi peranan perempuan menurut kodratnya sebagai pembina keluarga. Pada perempuan juga diberikan hak untuk memilih dalam semua pemilihan dan dapat dipilih umtuk pemilihan didalam badan-badan yang dipilih oleh hukum, hak memilih untuk semua referendum (pemungutan suara) yang terbuka bagi umum, dan hak untuk menduduki jabatan resmi dan melakukan semua tugas resmi. Hak yang demikian harus dijamin oleh hukum.89 c.3. Status dan Peran Perempuan Dalam Kehidupan Sosial Keagamaan Sejak masa penciptaan manusia, laki-laki dan perempuan berbeda dan akan tetap demikian seterusnya. Bila ditempatkan dalam misteri paskah kristus, mereka tidak lagi melihat perbedaan sebagai sumber perselisihan untuk diatasi dengan penyangkalan atau penghapusan, melainkan lebih kepada kemungkinan kerja sama yang harus ditumbuhkembangkan dengan hormat agar timbul hubungan timbal balik dalam perbedaan itu Dalam pandangan yang seperti itu, orang mengerti bahwa tahbisan imam hanya bagi kaum pria saja tetapi itu semua tidak menghambat akses perempuan ke 89 Victor Situmorang, Kedudukan Wanita Di Mata Hukum ,h.81 91 92 jantung kehidupan kristiani. Perempuan dipanggil menjadi teladan yang unik dan saksi bagi semua orang kristiani, bagaimana ia bertanggung jawab dalam kasih untuk mencintai sesama.90 Dalam Alkitab mengatakan bahwa perempuan tidak boleh ditahbiskan sebagai pendeta. Perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan jema’at dan tidak diizinkan mengajar atau memerintah laki-laki (Kor 14:34; Tim 2:12). Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiknya mereka harus menanyakan suaminya di rumah, sebab tidak sopan bagi perempuan dalam pertemuan jema’at. Dalam Konsili Vatikan II terdapat entri yang menjelaskan tentang perempuan yang didalamnya tertulis: “Saatnya akan datang, dan nyatanya sudah datang, dimana panggilan kaum wanita diakui kepenuhannya; saat dimana kaum wanita di dalam dunia ini memperoleh pengaruh, hasil, dan kuasa yang tak pernah dicapainya hingga saat ini”.91 Itulah sebabnya pada saat ini dimana bangsa manusia tengah mengalami transformasi yang begitu mendalam, kaum wanita dengan semangat Injil dapat berbuat banyak untuk menolong manusia agar tidak jatuh. Pernyataan ini merupakan pernyataan yang cukup keras menyangkut partisipasi perempuan dalam jama’ah Gereja. Pernyataan bahwa gambar dan citra Allah bukan ditujukan untuk laki-laki saja tetapi semua manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah agar mereka saling menghormati dan menghargai sebagai 90 DOKPEN KWI, Kerja Sama Pria dan Perempuan dalam Gereja dan Dunia (surat kongregasi ajaran iman kepada para uskup Gereja Katolik), h.23 91 DOKPEN KWI, Mulieris Dignitatem (martabat kaum perempuan Jakarta: 1994),h. 9 92 93 pelayan Kristus yang sepadan, juga perempuan tetap dipanggil Allah sebagai imam dan pendeta. Relasi subordinat perempuan telah menempatkan kaum laki-laki sebagai pemimpin. Dalam kenyataan hidup, kondisi menghasilkan berbagai macam ketidakadilan gender seperti streotipe, beban ganda perempuan, marginalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan. Ketidakadilan ini berlanjut dengan penindasan dan kekerasan karena posisi ordinat bermuatan kekerasan. 92 Relasi subordinat pun selalu bermuatan sama yaitu kekuasaan. Dimana relasi antar manusia tidak lagi menunjukkan relasi yang setara dihadapan Allah, tetapi ada kelompok yang memposisikan dirinya sebagai kelompok yang berkuasa atas kelompok lainnya. Kekuatan yang berasal dari Allah bukan untuk memelihara rahmat tetapi menjadi kutukan karena ingin menguasai sesama.93 Pandangan Thomas Aquinas mengatakan bahwa segala urusan spiritualitas atau kehidupan beragama, laki-laki lebih baik dibantu oleh laki-laki dari pada perempuan. Perempuan masih dipandang sebagai penggoda, sebagaimana keyakinan akan turunnya Adam ke bumi. Pandangan seperti itu sangat berpengaruh terhadap dasar pandangan atas posisi Maria ibunda Yesus, yang dimuliakan melalui dogmadogma yang bias gender. Keberadaan Maria dipertentangkan dengan kejatuhan Eva ke dalam godaan. Eva dan Maria dilihat dari sudut pandang kaum laki-laki, dengan 92 A.Nunuk.p. Murniati, Getar-getar Gender Perempuan Indonesia dalam perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga, vol.I, h. xxiii 93 A. Nunuk.p. Murniati, Getar-getar Gender Perempuan Indonesia dalam perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga, vol.I, h. xxiii 93 94 satu sisi sebagai perempuan penggoda (Eva), dan disisi lain sebagai ibu (Maria). Perempuan digunakan sebagai simbol perempuan yang feminin, penuh kasih sayang dan sebagai pelayan cinta.94 Posisi dan kepemimpinan perempuan juga mempengaruhi jema’at-jema’at di Asia kecil hal ini disebabkan posisi keagamaan dan pengaruh sosial kaum perempuan di kawasan tersebut. Bahkan dibawah kepemimpinan Romawi sekalipun sangat menonjol pada bidang politik, sosial, dan keagamaan negeri tersebut. Yesus dalam susunan hirarkhi patriarkhat tidak mutlak dalam tradisinya. Hal ini dapat dilihat dari pemanggilan Yesus terhadap kaum perempuan untuk masuk dalam kelompok murid-murid-Nya, dan ia menunjukkan bahwa hirarkhi patriarkat tidak mempengaruhi Dia. Selain itu Yesus tidak mempersyaratkan akan selibat sebagai salah satu syarat yang mutlak bagi kemuridannya. 95 Gereja dalam paradigma Yudais-Kristiani sudah dapat disebut demokratis dalam arti yang sesungguhnya; suatu komunitas yang berada dalam kebebasan, kesetaraan serta persaudaraan. Berdasarkan pada paradigma yang demokratis ini gereja dalam komunitas Yudais-Kristiani bukan institusi kekuasaan tidak juga merupakan sesuatu inkusisi96 agung, melainkan sebuah komunitas yang anggotaanggotanya bebas, tidak ada perbedaan ras, kelas, kasta, serta pelayanan tetapi suatu 94 A. Nunuk.p. Murniati, Getar-getar Gender Perempuan Indonesia dalam perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga, vol.I, h. xxv 95 A. Heuken, Ensiklopedi Gereja II, (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1992),h. 102 Inkuisisi adalah suatu pengadilan yang dibentuk oleh gereja untuk menyelidiki pernyataan iman para anggotanya sesuai dengan ajaran gereja 96 94 95 komunitas yang memiliki prinsip dasar kesetaraan dimana semua orang adalah saudara satu terhadap yang lain. Kehidupan Sosial Perempuan mampu melaksanakan berbagai kegiatan asalkan mereka mampu dan tidak melalaikan kewajibannya sebagai ibu/istri (bagi yang menikah). Partisipasi perempuan dalam berbagai profesi merupakan suatu berkat bagi perkumpulan baik itu pribadi maupun publik. Para perempuan dalam hal ini, mereka menjalankan program katekesekatekese di paroki-paroki, mereka juga mengajar teologi di universitas-universitas, sekolah tinggi, seminari-seminari, dan mereka juga dipercaya memberikan bimbingan rohani. Pada tahun 1994, sesudah kongregasi untuk ibadat pada akhirnya memutuskan bahwa perempuan dapat membantu Misa sebagai putri altar. Para perempuan juga banyak yang berperan sebagai administrator di paroki-paroki yang tidak mempunyai imam yang menetap. Peran mereka juga meliputi tugas pastoral.97 Fakta yang banyak diketahui tentang perempuan dalam kehidupan sosial yaitu; bahwa perempuan bertindak sebagai pelayan (Rm 16:1); sebagai tuan rumah untuk berkumpulnya umat lokal (Kol 4:15); sebagai suami yang berkeliling dan istri menjadi rekan sekerja/penginjil (Rm 16:3-5; 1Kor 16:19); menjalankan peran profetis 97 Thomas. P. Rausch, Katolisisme (teologi bagi kaum awam) h. 350 95 96 dalam kumpulan umat (1Kor 11:5); atau para perempuan juga sangat menonjol dikalangan para rasul (Rm 16:7).98 Dalam surat kepada jema’at Gal Santo Paulus memproklamasikan kemerdekaan bagi umat manusia dengan rumusan yang besar: “Dalam hal ini tak ada orang Yahudi atau Yunani, tak ada hamba atau orang merdeka, tak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu dalam Kristus Yesus”.99 Di dalam gereja perempuan termasuk biarawati diberi kompensasi yang adil atas pekerjaan mereka. Gereja juga mendukung dan memberikan kesempatan kepada perempuan yang memungkinkan mereka belajar teologi seperti beasiswa, fasilitas pengasuhan anak bagi mahasiswi yang memiliki anak, pemberian kursus-kursus paruh waktu dengan jadwal yang disesuaikan dengan kondisi perempuan serta mudah di jangkau.100 Teologi perempuan juga sudah mulai diperkenalkan di seminariseminari dan pusat-pusat pendidikan bagi para calon imam Dari buku kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja tahun 1891-1991dari Rerum Novarum sampai kontesimus Annus, ditemukan beberapa entry mengenai perempuan, antara lain:101 98 Thomas. P. Rausch, Katolisisme (teologi bagi kaum awam) h. 348 99 Perjanjian Baru, Lembaga Al-kitab Indonesia, lih. Gal 3:28 100 Iswanti, Kodrat Yang Bergerak (gambar, peran, dan kedudukan perempuan dalam gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 2003), h.31 101 Iswanti, Kodrat Yang Bergerak (gambar, peran, dan kedudukan perempuan dalam gereja Katolik) h.27 96 97 • Perempuan dan Kerja (Rerum Novarum 43; Laborem Exercens 19,4; Centesimus Annus 7,1; 33,4) • Undang-undang bagi kaum perempuan (Ogtogesima Adveniens 13,2) • Peranan Perempuan (Quadragesimo Anno 71, Ogtogesima Adveniens 13,2) • Perempuan dan keluarga (Sollicitudo Rei Sicialis 25)102 Fakta ini menunjukkan bahwa semakin besarnya perhatian gereja Katolik pada masalah perempuan khususnya ditingkat lokal yang langsung hidup berdampingan dengan situasi dan kondisi nyata terhadap perempuan. Semakin banyak perempuan yang berfikir kritis dan maju, yang terlibat sedemikian luas di luar Gereja Katolik dan dapat diandalkan, tetapi ketika harus berhadapan dengan system hirarkhi gereja Katolik yang patriarkhis, perempuan harus surut ke belakang kembali kepada warga kelas dua. Di dunia barat mulai ada tuntutan agar perempuan diijinkan menjadi imam atau pastor, tetapi ditolak oleh ptmpinan tertinggi demi nilai sejarah Gereja Katolik. Tuntutan perempuan menjadi imam memang hampir mustahil terjadi di Indonesia, apalagi jawa yang sangat kental budaya patriarkhi. Tetapi bila direnungkan, perempuan yang menuntut itu bukan semata-mata demi ambisi atau nafsu untuk bekuasa, tuntutan itu lebih merupakan ajakan refleksi bagi gereja terhadap nilai-nilai yang lebih luhur mengenai kesetaraan disamping nilai-nilai patriarki yang dipegang erat-erat seperti harta yang harus dipertahankan. Bukankah dalam sabda Yesus “Kerajaan Allah ada padamu, didalam 102 Ibid, h.27 97 98 mulutmu dan di dalam hatimu”, dapat dipastikan bahwa yang dimaksud bukan hanya mulut dan hati kaum laki-laki tapi juga perempuan.103 Perempuan juga harus berkarya disegala bidang pekerjaan merupakan hak mutlak yang melekat pada diri perempuan sejak ia diciptakan. Apabila dalam kenyataannya hak tersebut belum diperoleh kaum perempuan, maka perempuan sendirilah orang yang paling bisa memperjuangkan dan mengembalikan hak-haknya itu. Perempuan harus mengubah posisi dari tidak berperan menjadi berperan, dari lemah menjadi kuat, dan dari tidak mampu menjadi mampu. Jadi perempuan sendiri yang harus meningkatkan kualitas dan membuktikan bahwa dirinya mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki sesuai dengan panggilan Allah. Dengan begitu, apabila perempuan ingin maju dan berperan, ia tidak perlu menunggu apalagi menuntut diberikan kesempatan dan kedudukan bagi dirinya. 104]rulch]fcs1 ]ag0!!]par!Perempuan tidak perlu minta pengakuan dari pihak lain, khususnya lakilaki, karena pengakuan terhadap eksistensi perempuan akan datang dengan sendirinya seiring dengan peran perempuan yang nyata ditengah gereja dan masyarakat. Pengakuan kepada perempuan akan diberikan dengan sendirinya apabila perempuan bisa membuktikan kualitas diri. Dalam hal ini perempuan tertantang untuk berkompetisi secara positif dengan laki-laki. Kompetisi ini bukan untuk mengalahkan 103 Dr. J. B. Banawiratma SJ, Gender dalam Gereja Katolik (Jakarta: Seri Forum LPPS no. 38, 1997), h. 4 104 Retnowati, Perempuan-perempuan dalam Al-kitab (peran, partisipasi, dan perjuangannya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004)- i.30 98 99 atau merendahkan pihak lain, namun lebih pada tantangan upaya peningkatan kualitas. Dengan diterapkannya “Dasawarsa Oikumenis Gereja-gereja dalam Solidaritas dengan Perempuan” oleh Dewan Gereja-gereja se-Dunia, gereja-gereja dipanggil untuk menguji kembali struktur gereja dan mengusahakan keseimbangan dalam arti memberi peranan penuh dari seluruh anggotanya tanpa terkecuali. Masalah perempuan sudah waktunya diperhatikan secara serius. Masalah perempuan mulai diangkat dan peningkatan SDM khususnya perempuan mulai diperhatikan.105 Sebagai gambar Allah, perempuan diciptakan sempurna. Sama baiknya dengan laki-laki. Perempuan mempunyai hak dan kesempatan yang sama. Gereja dipanggil untuk memberdayakan kemampuan dan keahlian perempuan agar semakin hari perempuan semakin berkualitas. D. PERANAN TEOLOGI FEMINIS DALAM MENSOSIALISASIKAN IDE TENTANG STATUS DAN PERANAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF GENDER Masalah hierarki merupakan masalah yang serius yang dihadapi para feminis dalam gereja Katolik sampai sekarang perdebatan mengenai masalah tersebut belum berhenti. Masalah tersebut tidak hanya merupakan masalah perempuan tetapi laki-laki pun banyak yang menaruh simpati dengan mulai memeriksa kembali dokumendokumen Konsili Vatikan II mengenai teori, etis maupun prakteknya. 105 Dr. J. B. Banawiratma SJ, Gender dalam Gereja Katolik, h. 7 99 100 Para feminis sendiri sebenarnya menolak hierarki tetapi bukan berarti peniadaan institusi yang menjalankan fungsi dengan memberikan kebebasan kepada laki-laki dan perempuan sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Masalah inilah yang hendak diperjuangkan oleh para perempuan feminis. Para perempuan menginginkan hak yang sama dengan laki-laki dalam membuat keputusan dan kebijakan dalam mengakses kepemimpinan, mengakses kontrol kekuasaan.106 Yang menjadi akar permasalahan bersumber dari pernyataan Paus Yohanes Paulus II mengenai penahbisan perempuan, ia menegaskan bahwa gereja tidak memiliki otoritas untuk menahbiskan perempuan menjadi imam, pengajaran ini didasarkan pada tradisi Gereja yang tidak dapat diubah. Argumen yang dipakai Vatikan untuk menolak penahbisan perempuan sangat jelas. Pertama, berdasarkan kelaki-lakian Yesus; Kedua Yesus hanya memilih dua belas laki-laki menjadi muridnya; Ketiga warisan tradisi yang tidak bisa diubah.107 Gerakan feminisme dalam Gereja berupaya ingin menbangun persaudaraan yang sederajat, laki-laki dan perempuan dalam persekutuan berdasarkan Injil Yesus Kristus. Hal ini dapat dijalankan pada kelompok yang paling kecil yaitu keluarga, kelompok-kelompok basis sampai kelompok yang lebih luas dalam lingkup paroki dan seterusnya. 106 Iswanti, Kodrat Yang Bergerak (gambar, peran, dan kedudukan perempuan dalam gereja Katolik) h.167 107 Iswanti, Kodrat Yang Bergerak (gambar, peran, dan kedudukan perempuan dalam gereja Katolik), h.168 100 101 Gelombang pertama gerakan feminis ditandai dengan kampanye kaum perempuan untuk menuntut hak suara. Gerakan feminis gelombang kedua (akhir tahun 60 an dan awal tahun 70an) memunculkan gerakan maupun analisis yang lebih mendasar mengenai status sosial dan politis kaum perempuan. Dari awal munculnya tampak bahwa feminisme merupakan gerakan pembebasan perempuan dari dominasi kekuasaan sesuai dengan penafsiran dan pilihan konkret mereka. Feminis sebagai sebuah gerakan pembebasan dan makin tegas tampil sebagai sebuah gerakan pembebasan dengan bermacam-macam perjuangan yang berpangkal pada analisis dan situasi hidup nyata. Feminis melontarkan kritik yang sangat mendasar terhadap domonasi patriarki yang didukung oleh ideologi gender dan meresapi seluruh bidang kehidupan. Patriarki merupakan kekuasaan bapak (kaum laki-laki) yang mendominasi, mensubordinasikan dan mendislriminasikan kaum perempuan. Dalam segala bidang kehidupan kaum laki-laki menjadi pusat dan kaum perempuan dimarginalkan. Dominasi kekuasaan itu didukung oleh ideologi gender yaitu pola relasi dan perempuan sebagai hasil proses budaya yang kemudian dibakukan. Misalnya, tugas kaum perempuan adalah pekerjaan-pekerjaan rumah tangga wajar kalau kaum perempuan tidak ikut serta dalam proses pengambilan keputusan baik dalam kelarga maupun dalam masyarakat. Patriarki merupakan dominasi laki-laki atas perempuan, atas badannya, seksualitasnya, pekerjaannya, perannya, statusnya baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. 101 102 Dalam perubahan budaya sekarang ini kita mendapat kesempatan untuk mengakui dan menerima kesalahan gereja karena tidak memberikan sumbangan bagi pembebasan kaum perempuan, melainkan melestarikan subordinasi dan dominasi terhadap kaum perempuan dalam banyak bentuk, misalnya peminggiran dan kekerasan terhadap perempuan. Gereja mendapat kesempatan untuk bertobat dan berbalik arah. Hal-hal yang harus dilakukan antara lain: 1) Mengakui dosa sexism, dominasi, subordinasi, dan diskriminasi. 2) Menghilangkan penindasan dan subordinasi terhadap perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan, lembaga-lembaga, dan paguyuban-paguyuban. 3) Memikirkan kembali pandangan iman (teologi) terutama mengenai Yesus Kristus dan mengenai Gereja. 4) Mengembangkan program-program pastoral untuk mengurangi atau menghapus penderitaan dari para korban diskriminasi, subordinasi dan dominasi, serta memajukan perkembangan kemanusiaan sepenuhnya. 108 Pada simposium mengenai “mengenai situasi konflik, budaya, dan pengalaman Kristiani”, yang diselenggarakan oleh Missionswissenschaftliches Institute di Aachen, Jerman. Salah satu kelompok kerja mengenai feminisme membawakan hasil percakapan sebagai berikut: Yesus yang dulu hidup di tanah Yahudi merupakan simbol dan kehadirat Allah. Sebagai seorang manusia Yesus terbatas pada cirri-ciri kemanusiaan. Dia dilahirkan sebagai laki-laki, hidup dalam budaya Yahudi, termasuk dalam ras Semit. Setelah 108 Dr. J. B. Banawiratma SJ, Gender dalam Gereja Katolik h. 8 102 103 kebangkitan dari kematian di kayu salib (melalui anugerah dan karya Roh) simbol dan kehadirat Allah, tidak lagi terbatas pada jenis kelamin laki-laki melainkan juga pada perempuan, pada semua budaya, dan semua ras.109Maka dari itu kelaki-lakian Yesus tidak dapat dijadikan argumen untuk menentukan keikutsertaan kaum perempuan dalam partisipasi yang semakin penuh dalam Gereja murid-murid Yesus. Begitu pula mengenai budaya dan ras.110 Secara khusus, teologi feminis menanggapi masalah kemiskinan dalam kaitannya dengan ketimpangan jender, diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan. Arus dasar yang diperjuangkan adalah membela perempuan yang ditindas, membongkar patriarki dalam masyarakat, agama, dan keluarga dengan segala ketidakadilan yang menyertainya. Pada titik inilah agama memperjuangkan martabat perempuan dalam mengalami kekerasan dan ketertindasan bersama para teolog feminis.111 Usaha-usaha yang dilakukan oleh para feminis yaitu mempromosikan dan mencari cara memperjuangkan keadilan gender yang lebih tepat atau memperhitungkan dampak atau efek samping dari setiap agenda perjuangan. Dalam teologi feminis, pengalaman perempuan menjadi titik tolak bagi pemikiran dan aksi 109 Lihat Ephesus 1:10; Gal 3:28 110 Dr. J. B. Banawiratma SJ, Gender dalam Gereja Katolik h. 11 111 Retnowati, Perempuan-perempuan dalam Al-kitab (peran, partisipasi, dan perjuangannya), h.40 103 104 teologi (teologi dari bawah).112 Agenda yang besar bukan hanya jadi pekerjaan para perempuan feminis ataupun yang memperjuangkan keadilan yang tidak diskriminatif tetapi merupakan usaha bersama antara perempuan dan laki-laki juga semua komponen yang ada di dalam komunitas Gereja. 112 Wawancara pribadi penulis dengan suster Yulia (aktivis perempuan Katolik), dikediaman perkumpulan para suster/kesusteran Jl. kelapa gading v cililitan Jakarta Selatan, tanggal 18 agustus 2008 pukul 14.30 104 105 BAB V PENUTUP Kesimpulan Dari pembahasan skripsi yang berjudul Status dan Peranan Perempuan Dalam ajaran Gereja Katolik, penulis dapat menarik kesimpulan yaitu: Bahwa status dan Peranan perempuan dalam ajaran Katolik dibagi menjadi 3 bagian antara lain; Status dan peranan perempuan dalam kehidupan domestik mencakup statusnya sebagai ibu rumah tangga, sebagai istri, dan sebagai anak perempuan. Perempuan memainkan peran yang amat penting dalam kehidupan selain sebagai istri yang selalu mengurus kehidupan rumah tangga tetapi perempuan juga aktif dalam kegiatan organisasi masyarakat tanpa melupakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai istri dan tanggung jawabnya. Perempuan menyadari akan panggilannya sebagai istri karena itu sudah merupakan panggilan Al-kitab. Perhatian Gereja Katolik terhadap perempuan sangat baik terbukti bahwa Vatikan sangat aktif dan cukup berhasil dalam memperjuangkan hak para istri dan ibu yang sering diabaikan oleh masyarakat dan Negara. Status dan peranan perempuan dalam kehidupan publik mencakup perannya sebagai perempuan karier. Perempuan memperoleh posisi yang sederajat dengan lakilaki dalam semua bidang; seperti seni, buruh, pengetahuan, tehnik, dll. Perempuan dan laki-laki akan menjadi mitra sejajar apabila mereka mampu bekerja sama dengan 105 baik dalam semua bidang pekerjaan yang mampu memberikan semangat kepada orang lain didalam pekerjaannya. Kerja sama akan terwujud jika kedua belah pihak menyadari akan panggilan mereka (sebagai perempuan karier) untuk mendekati Tuhan. Sebagaimana sabda Allah untuk mereka: Tuhan menciptakan umat manusia laki-laki dan perempuan dan menciptakan mereka menurut gambaranNya. Status dan peranan perempuan dalam kehidupan sosial keagamaan mencakup statusnya sebagai pelayan, pengajar teologi, pemberi kehidupan rohani, dsb. Perempuan Katolik telah banyak ambil bagian dalam urusan keagamaan, mereka mendapat tempat mengajar di universitas-universitas Katolik, menjalankan program katekese-katekese di paroki, mereka juga mendapat kesempatan memberikan bimbingan rohani seperti yang dilakukan para pastoral. Dengan kata lain, perempuan Katolik saat ini mulai menunjukkan kiprahnya dalam kemajuan agama Katolik. Gereja Katolik berupaya membangun persaudaraan antar umat manusia tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan Injil Yesus Kristus. Sudah seharusnyalah Gereja Katolik mulai memperhitungkan akan kehadiran perempuan sebagai mitra sejajar dan tidak menjadikan mereka sebagai mekhluk nomor dua yang harus berdiam diri dan hanya mengurus urusan domestik semata. Saran-saran Penulis ingin mengajukan beberapa saran antara lain: 1. Hendaknya para teolog feminis meneruskan perjuangan para penggagas terdahulu, agar ketidakadilan gender yang merugikan perempuan dapat berkurang atau bahkan dihilangkan dari kehidupan dan itu merupakan tugas bagi kita semua yang peduli terhadap ketidakadilan khususnya bagi perempuan agar menciptakan kehidupan yang harmonis dan penuh dengan kebersamaan. 2. Gereja hendaknya memberi tempat bagi keragaman yang dimiliki umat dalam gereja. Gereja memberikan perhatian terhadap harkat dan martabat semua manusia dalam tempat yang semestinya agar menciptakan suatu komunitas gereja yang harmonis dan lebih demokratis. 3. Bagi semua lapisan masyarakat, janganlah memperluas jurang perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kita semua sama merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang diberi pengetahuan yang sama agar dapat saling mengisi dan menghargai satu sama lain. 4. Penulis sangat mengharapkan adanya penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan status dan peranan perempuan Katolik dari segi yang berbeda sebab pembahasan mengenai masalah tersebut sangat menarik untuk dibahas selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia: 2002 Banawiratma, Feminisme Berhadapan dengan Kekuasaan, Kapitalisme, dan Agama, Seri Forum LPPS nomor 38, Jakarta:1997 Borrowdale, Anne, Tugas Rangkap Wanita mengubah Sikap Orang Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997 Dister, Syukur Dr. N., Bapak dan Ibu sebagai Simbol Allah, Yogyakarta: Kanisius, 1983 Fakih, Mansour Dr., Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996 Fiorenza, Elizabeth Schussler, Untuk Mengenang Perempuan Itu, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995 Frommel, dan Marie Claire Barth, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu (Pengantar Teologi Feminis), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003 Heuken SJ, A., Ensiklopedi Gereja I, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1994 ----------------, Ensiklopedi Gereja II, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1994 Horton, Paul B., dan Chester.L.Hunt, Sociology, Co-Singapore: Mc Graw Hill-Book, 1984 Ihromi T.O., dan Maria Ulfah Subadio, Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, Yogyakarta: 1986 Iswanti, Kodrat yang Bergerak, Yogyakarta: Kanisius, 2003 Murniati, Nunuk P., Getar-getar Gender Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga, Vol. I Magelang: Yayasan Indonesia Tera, 2004 ---------------------, Getar-getar Gender Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga, Vol. II Magelang: Yayasan Indonesia Tera, 2004 Nigosian S. A., World Faiths, New York: St Martin Press, 1990 Nurdin, MA, Amin, et.all, Mengerti Sosiologi: pengantar untuk memahami konsepkonsep dasar, cet.I, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006 Rausch, Thomas P., Katolisisme (teologi bagi kaum awam), Yogyakarta: Kanisius, 2001 Retnowati, Perempuan-perempuan dalam Al-kitab (peran, perjuangannya), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004 partisipasi, dan Robert, R.L.Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta: PT Gramedia, 1988 Ruether, Radford Rosemary, Perempuan dan Tafsir Kitab Suci, Kanisius dan BPK: 1998 Sharma, Arvind, Today’s Woman In World Religion, New York: State University of New York Press, 1994 Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 1987 Tinambunan, Dr. Edison R.L., Perempuan menurut Pandangan Edith Stein, Malang: Dioma, 2003 Training Gender dalam Agama-agama, Kapal Perempuan, Banyuwangi, 15-23 maret 2002 Umar, Dr. Nasaruddin , Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, Jakarta: Paramadina, 2001 Putnam Tong, Rosemarie, Feminist Thought (pengantar paling komprehensif kepada arus utama pemikiran feminis), cet.II, Yogyakarta: Jalasutra, 1998 Prihindraningsih, Yuanita, Perempuan dalam Agama Katolik (seri pergulatan perempuan dalam beragama), Jakarta: Kapal Perempuan, 2000 Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengantar Kajian Gender, Jakarta:2003 DOKUMEN-DOKUMEN DOKPEN KWI, Mulieris Dignatatem (martabat kaum wanita), Jakarta: dokpen KWI, 1994 ------------------, Keluarga dan Hak-hak Asasi, Jakarta: dokpen KWI, 2007 ------------------, Familiaris Consortio (keluarga), Jakarta: dokpen KWI, 1993 ------------------, Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: dokpen KWI, 1993 ------------------, Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 (dari Rerum Novarum sampai Centesimus Annus), Jakarta: dokpen KWI, 1999 -------------------, Kerja Sama Pria dan Wanita dalam Gereja dan Dunia (surat kongregasi ajaran iman kepada para uskup gereja Katolik), Jakarta: dokpen KWI, 2004