STATUS DAN PERANAN PEREMPUAN DALAM AJARAN GEREJA

advertisement
STATUS DAN PERANAN PEREMPUAN
DALAM AJARAN GEREJA KATOLIK
(sebuah analisis perspektif gender)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th. I)
Oleh:
CHAERUNNISA
NIM: 103032127684
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/2008 M
STATUS DAN PERANAN PEREMPUAN
DALAM AJARAN GEREJA KATOLIK
(sebuah analisis perspektif gender)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th. I)
Oleh:
CHAERUNNISA
NIM: 103032127684
Di Bawah Bimbingan
Dra. Ida Rosyidah, MA
NIP. 150 243 267
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/2008 M
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Mengawali segala hal dan paling awal dari segala ucapan adalah
pengungkapan kasih dan rasa syukur yang mendalam ke hadirat Ilahi Rabb al-Izzati
yang telah melimpahkan rahmat, karunia, taufik, serta kesehatan dan kekuatan
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam tak lupa kita panjatkan kepada junjungan nabi kita
Muhammad SAW yang telah mengangkat derajat kita dari alam kegelapan dan
kejahiliyahan menuju alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi
seperti sekarang ini. Berkat perjuangan panjang beliau juga sampai saat ini kita masih
bisa berkelana dalam ilmu pengetahuan sambil merasakan manisnya iman dan
nikmatnya Islam.
Sebagaimana mestinya, bagi setiap mahasiswa yang akan menyelesaikan
perkuliahan dan mendapat gelar sarjana pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah diharuskan untuk menyusun sebuah
karya ilmiah dalam bentuk skripsi. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis
mengangkat tema dalam skripsi ini adalah; Status dan Peranan Perempuan dalam
Ajaran Gereja Katolik (sebuah analisis perspektif gender).
Dalam perjalanan panjang menyusun sebuah skripsi, penulis banyak
menemukan kendala, hambatan, dan rintangan, baik yang bersifat internal maupun
eksternal. Namun berkat usaha dan do’a yang penulis panjatkan, akhirnya penulis
dapat merampungkan sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi walaupun penulis
menyadari akan ketidaksempurnaan dalam penyusunan skripsi ini.
Dalam menyusun skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak maka penulis berucap rasa terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:
1. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
2. Ibu. Dra. Ida Rosyidah, MA, selaku Ketua Program Studi Perbandingan
Agama sekaligus pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi penulis.
3. Bapak Maulana, MA, selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Agama
yang telah meluangkan banyak waktu dan pikirannya untuk membantu
penulis dalam hal Akademis.
4. Para Dosen dan staf pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
5. Penulis juga banyak mengucapkan terima kasih kepada segenap pengurus
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kepada Perpustakaan
Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Perpustakaan STF DRIYARKARA,
Perpustakaan UNIKA ATMA JAYA, Perpumda DKI JAKARTA, Yayasan
Jurnal Perempuan, dan Pengurus dari Kapal Perempuan.
6. Selain itu, tak lupa penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada
Ayahanda dan Ibunda yang sangat penulis kagumi dan hormati, H. Abd.
Rokib (alm) dan Hj. Dumyati, karena cinta kasih, dan kesabarannya. Mudahmudahan Allah memberikan tempat yang istimewa buat kalian di Surga
Amien. Yang tercinta kakak dan adik serta keponakanku sekeluarga yang
senantiasa memberikan motivasi dan menyemangati penulis ketika merasa
pesimis dalam meyelesaikan skripsi ini yang selalu mengatakan “kapan
lulus”.
7. Buat Umi dan Aba terima kasih atas rasa sayang dan kasih yang diberikan
selayaknya orang tuaku sendiri. Mudah-mudahan Allah membalas segala
kebaikan kalian selama ini yang telah merawat dan menyayangi aku dari
kecil.
8. Buat para aktivis perempuan khususnya mba’Budhis Utami, mba’Endang,
mba’Yuli, dan mba’Ulfa teruskan perjuangan kalian aku sangat bangga telah
mengenal kalian. Terima kasih juga untuk kesusteran khususnya suster Yanti
yang telah bersedia memberikan banyak informasi mengenai skripsi penulis
dan pinjaman buku-bukunya.
9. Terima Kasih juga buat teman-teman seperjuangan di Perbandingan Agama
dan Fakultas Ushuluddin Angkatan 2003, khususnya buat friend’s aku Anul,
Maya, Teh Lany yang telah bersama-sama dalam kuliah dan kumpul-kumpul
di kosan. Thank’s for all. Kalian sahabat terbaik aku di kampus UIN Syarif
Hidayatullah.
Buat semua temen-teman yang tidak sempat penulis sebutkan namanya satupersatu, terima kasih atas segala bantuan baik moril maupun materil semoga menjadi
catatan baik di sisi Allah SWT dan mendapat balasan yang setimpal, AMIEN.
Jakarta, 22 september 2008
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
KATA PENGANTAR................................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................... 5
C. Metode Pembahasan dan Tehnik Penulisan.................................. 5
D. Sistematika Penulisan.................................................................. 6
BAB II. KAJIAN TEORI ........................................................................... 9
A. Pengertian Status dan Peran dalam Pendekatan Sosiologis ............ 9
B. Pengertian Gender (teori nature dan teori nurture)......................... 12
b.1. Indikator Ketidakadilan Gender ................................... 15
a. Marginalisasi ........................................................... 15
b. Penempatan Perempuan Pada Subordinasi ............... 17
c. Stereotipe................................................................. 18
d. Kekerasan ................................................................ 19
e. Beban Kerja (double burden) ................................... 20
b.2. Berbagai Pendekatan dalam Teori Gender .................... 21
a. Teori Psikoanalisis/Identifikasi ................................ 21
b. Teori Fungsionalis Struktural................................... 22
c. Teori Konflik ........................................................... 24
d. Teori Sosio-Biologis ................................................ 26
C. Teori-teori Feminisme .................................................................. 27
a. Feminisme Liberal ...................................................... 27
b. Feminisme Marxis-Sosialis......................................... 29
c. Feminisme Radikal .................................................... 30
BAB III. SEKILAS TENTANG AGAMA KATOLIK
A. Sejarah Agama Katolik ................................................................
B. Pergerakan Perempuan dalam Agama Katolik di Barat ................
C. Pergerakan Perempuan dalam Agama Katolik di Indonesia........... 33
BAB IV. STATUS DAN PERAN PEREMPUAN DALAM AGAMA KATOLIK
DALAM PERDEBATAN............................................................. 38
A.Kesetaraan Gender dalam Perspektif Gereja Katolik ...................... 38
a.1. Kesetaraan Dalam Penciptaan
a.2. Kesetaraan Dalam Pengabdian Terhadap Tuhan
dan Rasul
a.3. Kesetaraan Dalam Perwujudan Tuhan
B. Ketidaksetaraan Gender Dalam Agama Katolik
C.Status dan Peranan Perempuan dalam Agama Katolik.................... 44
b.1.Status dan Peran Perempuan Dalam Kehidupan Keluarga
b.2. Status dan Peran Perempuan Dalam Kehidupan Publik
b.3. Status dan Peran Perempuan Dalam Kehidupan
SoSial keagamaan
D. Peran Teologi Feminis Katolik dalam Mensosialisasikan Ide tentang Status
dan Peran Perempuan dalam Perspektif Gender (sebuah analisis) ...... 66
BAB V. PENUTUP...................................................................................... 71
Kesimpulan ....................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berawal dari Gerakan hak asasi semua warga (Civil Right Movement) pada
tahun tujuh puluhan di Amerika dimana seluruh lapisan masyarakat menuntut
persamaan hak antar manusia dalam seluruh aspek kehidupan. Disinilah muncul
teolog feminis sebagai satu gerakan yang mengkritik dan menuntut kedudukan
perempuan dalam agama dan Gereja. Hal ini disebabkan karena adanya ketidakadilan
sebagai wanita dari tradisi sosial-budaya yang telah diciptakan dan dipertahankan
oleh manusia itu sendiri untuk memperbudak sebagian sesama manusia khususnya
perempuan.
Setelah muncul semangat persamaan hak dan status dalam gereja bagi
perempuan, sebenarnya kesadaran feminis dalam teologi kristen dimulai oleh seorang
perempuan Mexico bernama Sorror Guana de la Cruz yang menulis teologinya, 1
membaca tulisannya para uskup gereja marah dan membakar tulisannya bahkan
membunuh perempuan itu,2 namun catatan kecilnya berhasil diselamatkan dan
ditemukan hingga catatannya berkembang menjadi pencarian kebenaran otentik oleh
1
2
Penulis tidak menemukan tahun atau abad berapa beliau menulis teologinya.
Nunuk, p. Murniati, Getar-getar Gender Perempuan Indonesia dalam perspektif Agama,
Budaya, dan Keluarga, vol.I (Magelang: Yayasan Indonesia Tera, 2004), h. 36
para teolog feminis sekarang.
Perempuan selama ini dianggap sebagai penggoda, pembuat dosa, dan
dianggap sebagai sumber dosa didunia, hal ini berdasarkan pada tradisi gereja
Katolik yang berkiblat pada kitab suci dan kitab suci perjanjian baru sangat
dipengaruhi oleh tradisi Yahudi dimana secara teologis sangat bersifat patriakhal.
Bahwa kitab suci dianalisa secara kritis karena naskah ini menggunakan simbol
dan gagasan patrialkal seperti sapaan Allah sebagai Bapa.3
Bila melihat Bible, peran utama perempuan adalah sebagai ibu yang
melahirkan anak.4 Konsep ini kemudian dilestarikan dalam tradisi gereja oleh para
pemimpin-pemimpin gereja, seperti Agustinus.5 Salah satu gagasannya adalah
tentang etika seks. Agustinus memandang perempuan hanya sebagai pendamping
laki-laki. Pada waktu perempuan terpisah dari laki-laki karena dosa, maka
perempuan tidak dapat mewujudkan citra Allah, kalau pun bisa itu karena
dibawah pimpinan laki-laki (hal ini menentukan perkembangan teolog tentang
Allah Tritunggal Agustinus; Bapa, Putra, dan Roh Kudus) semua beridentitas lakilaki, refleksi teologi Agustinus amat sangat bersifat Patriarkhi.
Namun gereja Katolik mempunyai tradisi lain yaitu mengadakan refleksi
iman untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Dalam Konsili vatikan
II di tahun 1960, Paus Yohanes XXIII mengumumkan bahwa gereja Katolik
semakin terbuka. Ruang untuk berdebat tentang isu-isu perempuan mulai terbuka
3
A. Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja (Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarata:1994), h. 365
4
Lembaga Alkitab Indonesia, Perjanjian Baru: 2002,Kitab Ulangan 26:5
5
Bapak Gereja Latin Terbesar antara tahun 354-430
8
yang dikhususkan pada ketidakadilan gender.6 Dari keterbukaan ini lah, masalah
gender dalam agama diperhatikan, usaha gereja Katolik untuk mengangkat
perempuan adalah memunculkan tafsiran-tafsiran yang menunjukkan bahwa
bunda Maria berperan aktif dalam pewartaan kasih Allah. Maria dijadikan
gambaran Rasul dan sebagai perempuan beriman.7
Gereja mengangkat Maria, ibu Yesus memasukkannya pada tradisi
Katolik. Dogma Maria berkembang menjadi Mariologi dan banyak orang memuji
padanya, banyak berkat do’a terkabul atas perantaraan Maria, hingga teologi ini
mempunyai dua pokok pembahasan yaitu; jalan penembusan dan Maria sebagai
mediator dari semua rahmat.8
Perempuan dipandang rendah karena kegiatannya terikat dengan siklus
haid sehingga kegiatan mereka selalu mengulang-ulang hal yang sama. Bahkan,
peristiwa melahirkan dipandang sebagai kecelakaan yang menyebabkan
perempuan tidak dapat bekerja. Penyebab utama dari semua ketidakadilan itu
adalah doktrin dosa asal (legend of the fall), yaitu kisah dramatis kejatuhan
manusia pertama yaitu Adam dan Hawa. Kejatuhan ini disebabkan oleh
pelanggaran yang mereka buat terhadap larangan Tuhan. Pelanggaran pertama
kali dilakukan oleh perempuan Hawa yang tergoda Iblis untuk memetik buah
“pengetahuan yang baik dan yang buruk”. Pelanggaran Hawa yang pertama ini
sebagai penyebab timbulnya perbedaan laki-laki dan perempuan dengan
6
Nunuk, p. Murniati, Getar-getar Gender Perempuan Indonesia dalam perspektif
Agama, Budaya, dan Keluarga, vol.I, h. 33
7
8
Lembaga Alkitab Indonesia, Perjanjian Baru, Lihat Gal 4:4, Uk 1:46, Luk 1:26-28
Nunuk, p. Murniati, Getar-getar Gender Perempuan Indonesia dalam perspektif Agama,
Budaya, dan Keluarga, vol.I, h. 38
9
meletakkan perempuan pada posisi yang inferior. Perbedaan itu selanjutnya
berlaku dalam tata peribadatan dan perilaku sehari-hari.
Adapun pengertian Gender yang dimaksud disini berasal dari bahasa
Inggris yang padanan katanya tidak ada dalam kamus Indonesia. Dalam Webstre’s
New World Dictionary, gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”. Di dalam
Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep
kultiral yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas,
dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang
dalam masyarakat. Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Dari berbagai definisi
diatas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan
untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial
budaya. Gender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut
non biologis.9
Mengenai teori-teori gender, dalam buku Argumen Kesetaraan Gender
karangan DR.Nasaruddin Umar terdapat beberapa teori yaitu; Teori Psikoanalisis/
Identifikasi, diperkenalkan oleh Sigmund Freud; Teori Fungsionalis Struktural
yang diperkenalkan oleh Hillary M. Lips dan S.A. Shield. Lebih condong ke
persoalan sosiologis sedangkan fungsionalis lebih condong ke persoalan
psikologis; dan yang ketiga Teori Konflik yang banyak mendapat pengaruh
9
33
Dr. Nasaruddin Umar, MA., Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, h.
10
dengan teori Marx didalamnya.10 Perbedaan Gender tidak disebabkan oleh faktor
biologis melainkan karena perbedaan kelas yang berkuasa antara proletar dan
borjuis.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar dalam pembahasan skripsi ini tidak terlalu melebar, maka penulis
hanya membatasi pembahasan pada sekitar Status dan Peran Perempuan dalam
Ajaran Agama Katolik. Maka perumusan yang muncul untuk mengangkat tema
skripsi ini adalah:
1. Bagaimana status dan peran perempuan dalam agama Katolik serta analisis
praksis dalam kehidupan sehari-hari ?
2. Serta Bagaimana status dan peran perempuan dalam ajaran agama Katolik
menurut perspektif gender ?
C. Metode Pembahasan dan Tehnik Penulisan
Untuk mengkaji permasalahan ini, penulis melakukan penelitian
kepustakaan (Library Research) dengan mengumpulkan bahan-bahan dan data
melalui sumber ilmiah seperti buku-buku, ensiklopedi, artikel, majalah, diktat, dan
data-data tertulis lainnya. Studi kepustakaan ini penulis tempuh mengingat
banyaknya bahan tentang permasalahan-permasalahan yang menarik dalam status
dan peran wanita Kristen Katolik yang berkaitan dengan kajian dan penulisan
skripsi ini.
10
h.45
Dr. Nasaruddin Umar, MA., Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II,
11
Dalam metode pembahasan penulis menggunakan metode analisis
deskriftif tentang status dan peran perempuan dalam ajaran agama Katolik melalui
buku-buku yang ditulis oleh penganut ajaran agama Katolik, agar penulis dapat
memahami betul dengan materi pembahasan yang penulis inginkan.Hal ini
diambil sebagai langkah awal yang sangat penting guna penelitian dan telaah
selanjutnya.
Adapun mengenai tehnik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan
acuan pada buku pedoman yang dikeluarkan oleh UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi, dan Disertasi (Jakarta: IAIN Jakarta Press
2003).
D. Sistematika Penulisan
Guna memudahkan penulisan skripsi ini, maka pembahasan ini dibagi
dalam beberapa bab dengan perincian sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan; meliputi Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan
Perumusan Masalah, Metode Pembahasan dan Tehnik Penulisan, serta
Sistematika Penulisan.
BAB II: Kajian Teori; meliputi Pengertian Status dan Peran dalam pendekatan
Sosiologis, Pengertian Gender yang meliputi; Indikator Ketidakadilan
Gender (a. marginalisasi, b. penempatan perempuan pada subordinasi,
c. stereotipe, d. kekerasan, dan e. beban kerja (double burden)).
Berbagai
Pendekatan
dalam
Teori
Gender
(a.
teori
psikoanalisis/identifikasi, b. teori fungsionalis structural, c. teori
konflik, dan d. teori sosio-biologis), Teori-teori Feminisme yang
12
meliputi; (a. feminisme liberal, b. feminisme marxis-sosialis, dan c.
feminisme radikal).
BAB III: Sekilas Tentang Agama Katolik; meliputi; Sejarah Katolik, Pergerakan
Perempuan dalam Agama Katolik di Barat, dan Pergerakan Perempuan
Katolik di Indonesia.
BAB IV: Status dan Peran Perempuan dalam Agama Katolik Dalam Perdebatan;
meliputi; Kesetaraan Gender dalam Perspektif Gereja Katolik
(kesetaraan dalam penciptaan, kesetaraan dalam pengabdian terhadap
tuhan
dan
rasul,
dan
kesetaraan
dalam
perwujudan
tuhan),
Ketidaksetaraan Gender Dalam Agama Katolik, Status dan Peranan
Perempuan dalam Agama Katolik yang meliputi; (a. status dan peran
perempuan dalam kehidupan keluarga, b. status dan peran perempuan
dalam kehidupan publik dan c. status dan peran perempuan dalam
kehidupan social keagamaan), dan
Peran Teologi Feminis Katolik
dalam Mensosialisasikan Ide tentang Status dan Peran Perempuan
dalam Perspektif Gender (sebuah analisis).
BAB V: Penutup; meliputi Kesimpulan penulis dan sebagai akhir dari keseluruhan
tulisan ini penulis cantumkan daftar kepustakaan yang penulis pakai
sebagai rujukan dalam penulisan skripsi ini
13
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Status dan Peranan dalam Teori-teori Sosiologi
Di dalam pergaulan hidup seseorang senantiasa berhubungan dengan pihak
lain, biasanya setiap individu mempunyai kumpulan peranan tertentu. Pentingnya
peranan menjadi jelas dengan definisi bahwa peranan adalah petunjuk kelakuan
yang diatur menurut norma-norma yang berlaku.11 Maka hubungan sosial yang
ada dalam masyarakat merupakan hubungan antara peranan individu yang berasal
dari pola-pola pergaulan setempat.
Pentingnya peranan ada tiga macam, mengatur cara pergaulan,
mengendalikan anggota masyarakat dalam proses menyesuaikan diri dengan
norma-norma yang pantas dan meramalkan perbuatan dari orang lain dan peranan
diri sendiri pada masa depan.
Status dan peranan merupakan satu kata yang saling berkaitan satu sama
lain. Status mempunyai arti keadaan atau kedudukan seseorang atau suatu wadah
bagi hak dan kewajiban serta posisi dari suatu hirarki dalam hubungannya dengan
masyarakat sekitarnya.12
Jadi status adalah suatu posisi atau jabatan yang dimiliki seseorang untuk
menunjukkan eksisitensinya, sehingga kiprah dan tindakannya selalu dikaitkan
dengan kedudukan yang dimilikinya. Seseorang yang berstatus berarti orang yang
11
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993),h. 318
12
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, h.422
8
9
berkedudukan. Baik dalam keluarga, lingkungan masyarakat, ataupun agama.
Status itu sendiri erat sekali hubungannya dengan hak dan kewajiban tersebut
yang merupakan konsekuensi dari status itu sendiri.13
Sementara peranan adalah ikut terlibat dalam persoalan-persoalan atau
kegiatan dalam komunitas sosial yang ada pada lingkungan sekitarnya
berdasarkan kapasitas yang dimiliki.14 Dalam kamus bahasa Indonesia, peranan
bermakna seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh yang berkedudukan
dalam masyarakat. Peranan juga mempunyai arti melibatkan diri dalam
perjuangan untuk mendapatkan status atau kedudukan tertentu.15 Tentunya dengan
mengerjakan tugas yang harus dilaksanakan. Status dan peranan tidak hanya
terbatas pada persoalan jenis kelamin, kedudukan, dan ras seseorang tetapi juga
pada kedudukan hirarki seseorang. Para sosiolog lebih suka menggunakan istilah
posisi dari pada status.
Kedudukan (status) juga bisa diartikan sebagai tempat atau posisi
seseorang dalam suatu kelompok sosial yang berhubungan dengan orang lain
dalam suatu kelompok sosial yang lebih besar lagi. Dalam buku M. Amin Nurdin
yang berjudul mengerti sosiologi, status berarti posisi sosial seseorang pada
kedudukan tertentu yang mendapat pengakuan sosial.16 Kedudukan dapat dibagi
menjadi dua macam:17
13
Dr. M. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi: pengantar untuk memahami
konsep-konsep dasar (Jakarta: UIN Jakarta Press, cet.I, 2006), h.46
14
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 1987), h.221
15
Zain Badudu, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996)
16
Dr. M. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi: pengantar untuk memahami
konsep-konsep dasar, h.46
17
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 222
33
10
I. Ascribed Status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa
memperhatikan perbedaan rohaniah dan kemampuan. Dengan kata lain, suatu
kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran atau yang diterima di luar
kehendak dirinya, tidak ada kesempatan menerima atau menolak, dan tidak
ada kesempatan memilih untuk status yang dianggapnya lebih baik. Misalnya
seorang anak lahir dari bangsa India maka ia termasuk dalam keluarga India
karena ayahnya keturunan India.18
II. Achieved Status, yaitu kedudukan yang dicapai seseorang dengan
melakukan usaha-usaha yang disengaja dan status itu menjadi ukuran
kemampuan dan pilihan hidup dirinya. Kedudukan ini tidak didasari oleh
kelahiran tetapi bersifat terbuka dan mempunyai kemampuan untuk mengejar
dan mencapai tujuannya.19
Ada satu macam kedudukan lagi yaitu assigned status yang artinya
kedudukan yang diberikan, memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada
seseorang yang berjasa, yang telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi
kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Biasanya kedudukan tersebut diberikan
kepada seseorang yang telah lama menduduki suatu jabatan.20
Sedangkan peranan (role) merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan
(status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan. Status dan peranan
18
Paul.B.Horton dan Chester.L.Hunt, Sociology, h. 118
19
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar ,h. 224
20
David Berry, Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1995),h. 99
33
11
merupakan satu kata yang tidak dapat dipisahkan, tidak ada peranan tanpa status
atau status tanpa peranan. Suatu peranan paling tidak mencakup 3 hal; pertama,
peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat. Kedua, peranan adalah suatu konsep perihal apa
yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. Ketiga,
perenan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur
sosial masyarakat.21Bila individu mencapai kedudukan tertentu maka mereka
merasa bahwa kedudukan menimbulkan harapan tertentu dari orang-orang
disekitarnya. Dalam peranan seseorang diharapkan menjalankan segala kewajiban
yang berhubungan dengan peranan yang dipegangnya. Jadi peranan adalah
seperangkat harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan
sosial tertentu
B. Pengertian Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris “Gender” yang padanan katanya
tidak ada di kamus Indonesia. Dalam Webster’s New World Dictionary, gender
diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat
dari segi nilai dan tingkah laku. Di dalam Women’s Studies Encyclopedia
dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat
pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.22
21
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar , h.223
22
Untuk mengetahui perbedaan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional,
akan digunakan beberapa contoh sifat sebagai berikut:
33
12
Menurut bahasa, gender juga dapat diartikan kelompok kata yang mempunyai
sifat maskulin, feminin, atau tidak keduanya, netral.23
Beberapa contoh perbedaan yang menonjol pada laki-laki dan perempuan
ditunjukkan dalam table berikut:24
NO Perbedaan yang menonjol Laki-laki
Perempuan
dalam hal:
1.
Peran sosial
Lebih maskulin
Lebih feminim
Publik
Domestik
Kepala
Ibu rumah tangga
keluarga
Pencari nafkah tambahan
Pencari nafkah
utama
2.
Perilaku/Sikap
3.
Mentalitas
Tegas
Lemah lembut
Rasional
Emosional
agresif
Sabar, kasih sayang, teliti
Gagah
Peduli
Jantan
Lemah
Berkuasa,
Mengutamakankecantikan
cerdas
23
Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengantar Kajian Gender
(Jakarta:2003), h. 54
24
Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengantar Kajian Gender , h.61
33
13
Gender diartikan sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap
perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Gender biasanya digunakan
untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan
perempuan. Kenyataan biologis yang membedakan dua jenis kelamin ini telah
melahirkan dua teori besar yaitu teori nature dan teori nurture.25
Teori nature menganggap perbedaan peranan laki-laki dan perempuan
bersifat kodrati (nature). Anatomi biologi laki-laki yang berbeda dengan
perempuan menjadi faktor utama dalam penentuan peran sosial kedua jenis
kelamin ini. Laki-laki memerankan peran utama di dalam masyarakat karena
dianggap lebih potensial, lebih kuat, dan lebih produktif. Organ reproduksi dinilai
membatasi ruang gerak perempuan seperti hamil, melahirkan, dan menyusui
sementara laki-laki tidak mempunyai fungsi reproduksi tersebut.
Teori nurture beranggapan bahwa perbedaan relasi gender laki-laki dan
perempuan tidak ditentukan oleh faktor biologis melainkan konstruksi
masyarakat. Menurut penganut faham nurture, sesungguhnya bukanlah kehendak
Tuhan dan tidak juga sebagai produk determinasi biologis melainkan sebagai
produk konstruksi sosial (sosial construction). Banyak nilai-nilai bias gender yang
terjadi di dalam masyarakat dianggap disebabkan oleh faktor biologis tetapi
sesungguhnya tidak lain adalah konstruksi budaya.
Dalam kaitannya dengan jenis kelamin, masih terjadi perdebatan tentang
perbedaan psikologis antara perempuan dan laki-laki. Penganut teori nature yang
ekstrem beranggapan bahwa perbedaan psikologis antara dua insan tersebut
25
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, h. xxi
33
14
disebabkan perbedaan biologis saja. Sedangkan pengikut teori nurture
beranggapan, perbedaan psikologis antara perempuan dan laki-laki disebabkan
oleh proses belajar dari lingkungan.26
Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan lakilaki dan perempuan dari segi sosial-budaya. gender lebih banyak berkonsentrasi
kepada aspek sosial, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya.
Penggunaan istilah gender dalam arti tersebut sebenarnya belum terlalu lama.
Menurut Showalter wacana gender mulai ramai di awal tahun 1977, ketika
sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal
atau sexist, tetapi menggantinya dengan wacana gender (gender discourse).27
1. Indikator ketidakadilan gender.
Adanya ketidakadilan gender menurut Mansour Fakih disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain:28
a. Marginalisasi
Manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan dan sejauh yang kita
ketahui, bahwa kaum laki-laki menentukan pola masyarakat dan kaum
perempuan dinomorduakan. Ada saat kekuasaan laki-laki tampak
menonjol dan ada pula saat laki-laki menjadi lembut namun kekuasaannya
senantiasa terasa. Dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan pada
umumnya dibenarkan oleh paham kodrat. Menurut paham ini, kodrat laki-
26
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, h.xxi
27
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, h.34
28
Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 1996), h. 13
33
laki adalah kuat, pemberani, rasional, produktif, menghasilkan kekayaan,
dan menciptakan budaya. Sedangkan kodrat perempuan adalah lemah
lembut penakut, perasa, reproduktif, dan meneruskan keterampilan lama
dan suka dipimpin. Dengan demikian, kaum laki-laki bertugas dalam
masyarakat luas sementara kaum perempuan bertugas di rumah dan
sekitarnya. Kodrat ini merupakan naluri sesuai dengan penerapan Ilahi.29
Proses marginalisasi mengakibatkan kemiskinan, yang tidak hanya
menimpa laki-laki tapi juga perempuan yang disebabkan oleh bencana
alam, penggusuran, dan proses eksploitasi.30 Namun ada satu bentuk
kemiskinan yang mengatasnamakan gender dalam hal ini yang dirugikan
adalah perempuan, misalnya dalam kebijakan pemerintah, keyakinan,
tafsiran
agama,
keyakinan
tradisi,
dan
kebiasaan
bahkan
ilmu
pengetahuan. Sebagai contoh, apabila terjadi perceraian dari pihak wanita
maka wanitalah yang harus membayar.
Marginalisasi perempuan tidak saja terjadi ditempat pekerjaan, juga terjadi
dalam
rumah
tangga,
masyarakat,
kebudayaan,
bahkan
Negara.
Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumahtangga
dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga baik laki-laki maupun
perempuan.
Marginalisasi juga terdapat dalam tarsiran agama dan adat istiadat.
Misalnya banyak diantara suku-suku di Indonesia yang tidak memberikan
29
Marie Claire Barth, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu: pengantar teologi feminis
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), h.3
30
Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, h.14
33
16
hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan hak waris sedangkan
tafsiran agama juga memberi hak waris setengah pada perempuan dari
pada laki-laki yang mendapatkan hak waris penuh.
Pandangan ini dibenarkan oleh filsafat klasik baik di Barat maupun di
Timur. Demikian Aristoteles menulis: Alangkah layak dan tepat bahwa tubuh
dipimpin oleh jiwa dan perasaan oleh pemikiran yang berakal; 31 seandainya
keduanya sejajar bahkan jika tatanannya terbalik maka pasti akan menimbulkan
kecelakaan. Menyangkut kelamin pun laki-laki lebih tinggi secara naluri dan
perempuan lebih rendah; laki-laki memerintah dan perempuan diperintah.
Demikian pula dengan filsafat Tionghoa, Yang (maskulin) dihubungkan dengan
dunia atas dan Yin (feminin) dengan dunia bawah. Dengan demikian laki-laki
memerintah perempuan dan tatanan ini ditekankan dalam ajaran Konghucu.
b. Penempatan Perempuan Pada Subordinasi.
Dalil bahwa manusia sejati adalah laki-laki menyebabkan munculnya
kecenderungan untuk menilai perempuan dari sudut pandang laki-laki dengan
menekankan
kekurangan-kekurangannya
dibandingkan
dengan
laki-laki.
Akibatnya hanya laki-laki saja yang dianggap sebagai manusia sejati sementara
perempuan hanyalah pelengkap.32
Dalam pandangannya tentang gender, perempuan mengalami subordinasi.
Perempuan dianggap irrasional atau mudah marah, sehingga perempuan tidak bias
untuk memimpin yang mengakibatkan perempuan ditempatkan pada posisi yang
31
Marie Claire Barth, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu: pengantar teologi feminis,
32
Marie Claire Barth, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu: pengantar teologi feminis,
h.4
h.6
33
17
tidak penting. Subordinasi gender terjadi dalam segala bentuk yang berbeda dari
tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu.
Misalnya pada perempuan Jawa, mereka tidak boleh bersekolah sampai
tinggi-tinggi karena ada anggapan bahwa perempuan seharusnya berada didapur
untuk mengurusi segala keperluan rumah tangga tidak perlu bekerja di luar rumah.
Istri yang hendak tugas belajar ke luar negeri harus seizin suami, dan apabila
keuangan keluarga kurang memadai maka yang menjadi prioritas untuk
bersekolah adalah anak laki-laki. Praktek seperti itu sesungguhnya berangkat dari
kesadaran gender yang tidak adil.
c. Stereotipe.
Stereotipe dapat diartikan sebagai suatu pelebelan atau penandaan
terhadap suatu kelompok tertentu. Stereotipe itu sangat merugikan dan tidak
jarang banyak menimbulkan ketidakadilan. Stereotipe juga banyak diberikan
kepada suku bangsa tertentu, misalnya pada Yahudi di Barat, dan Cina di Asia
yang telah merugikan suku bangasa tersebut.
Stereotipe yang terjadi atas pandangan mengenai gender yaitu perbedaan
atas jenis kelamin tertentu. Pada umumnya terjadi pada perempuan melalui
penandaan atau pelebelan yang dilekatkan kepada mereka. Misalnya anggapan
bahwa perempuan suka bersolek dalam rangka memancing perhatian lawan
jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan
dengan stereotipe semacam ini.
Kasus pemerkosaan yang banyak terjadi pada perempuan maka
perempuanlah yang dinggap menjadi peyebabnya. Stereotipe terhadap kaum
33
18
perempuan terjadi dimana-mana. Banyak peraturan pemerintah, aturan agama,
budaya, dan kebiasaan masyarakat yang berkembang berdasarkan stereotipe
semacam ini.
d. Kekerasan.
Kekerasan atau violence adalah serangan atau invasi terhadap fisik
maupun mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap manusia biasanya
berasal dari berbagai sumber, salah satunya yang disebabkan oleh perbedaan jenis
kelamin.
Bentuk kekerasan yang terjadi dalam masyarakat diantaranya;
1. Pemerkosaan
terhadap
perempuan,
termasuk
pemerkosaan
dalam
perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk
mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan.
2. Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga
termasuk penyiksaan terhadap anak-anak.
3. Bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ kelamin. Misalnya
penyunatan terhadap anak perempuan.
4. Kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitusi). Seorang pelacur dianggap
rendah oleh masyarakat tetapi tempat pusat kegiatan mereka selalu ramai
dikunjungi orang.
5. Kekerasan dalam bentuk pornografi. Pelecehan terhadap kaum perempuan
dimana tubuh perempuan dijadikan obyek demi keuntungan seseorang.
6. Kekerasan dalam bentuk sterilisasi Keluarga Berencana. Perempuan
dipaksa untuk mengontrol pertumbuhan penduduk padahal persoalannya
33
19
tidak saja pada perempuan tetapi berasal dari kaum laki-laki juga.
Sterilisasi membahayakan bagi perempuan baik fisik maupun jiwa mereka.
7. Kekerasan dalam bentuk yang terselubung (Molestation). Kekerasan
dengan cara memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh
perempuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si
pemilik tubuh. Biasanya terjadi di tempat pekerjaan ataupun di tempat
umum seperti di dalam bus.33
e. Beban Ganda (double burden).
Pada dasarnya kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin,
sehingga dianggap tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga. Segala
pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab perempuan.
Perbedaan gender juga berakibat pada beban kerja yang dipikul oleh kaum
perempuan. Masyarakat memandang bahwa semua pekerjaan domestik sebagai
jenis pekerjaan perempuan dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan
dengan pekerjaan yang dianggap sebagai jenis pekerjaan laki-laki, dan
dikategorikan sebagai bukan produktif sehingga tidak diperhitungkan dalam
statistic ekonomi Negara.
Bagi golongan kelas menengah dan orang kaya beban kerja domestik
dalam rumah tangga selalu dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga
“domestic workers”. Mereka telah menjadi korban bias gender di masyarakat.
Rumah tangga juga menjadi tempat kritis dalam mensosialisasikan ketidakadilan
gender.
33
Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, h.17
33
20
Yang paling akhir dan sulit dirubah adalah ketidakadilan gender tersebut
telah mengakar didalam keyakinan dan menjadi ideologi kaum perempuan
maupun laki-laki.
2. Berbagai Pendekatan Dalam Teori Gender.
Untuk lebih membahas persoalan mengenai persamaan dan perbedaan
peran gender dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain;
1. Teori Psikoanalisis/Identifikasi
Tokoh utama dari teori ini adalah Sigmund Freud antara tahun 1856-1939.
Teori ini menjelaskan bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan
sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Menurut Freud,
kepribadian seseorang tersusun atas tiga tingkatan yaitu Id, Ego, dan Superego.34
Pertama Id, yang berarti pembawaan sifat fisik-biologis seseorang sejak
lahir termasuk nafsu seksual, dan insting yang selalu cenderung agresif, diluar
sistem rasional dan senantiasa mencari kesenangan dan kepuasan biologis. Kedua
Ego, yang berarti menjinakkan keinginan agresif dari id. Ego senantiasa mengatur
hubungan antara antara keinginan subjektif individual dengan tuntutan objektif
realitas sosial. Dengan kata lain, ego merupakan suara hati yang menuntut
seseorang untuk memilih mana yangbterbaik untuk dirinya, penyeimbang antara
keinginan dengan realitas yang ada. Ketiga Superego, yang berarti aspek moral
dalam
kepribadian
seseorang,
superego
berupaya
untuk
mewujudkan
kesempurnaan dalam hidup seseorang, ia bukan sekedar mencari kepuasan dan
kesenangan hidup tetapi ia juga meingatkan ego agar selalu menjalankan
34
Dr. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, h. 46
33
fungsinya mengontrol id.
Individu yang normal menurut Freud, adalah ketika ketiga struktur
tersebut bekerja secara proporsional. Kalau satu diantaranya lebih dominan maka
pribadi yang bersangkutan mengalami masalah. Jika struktur id lebih menonjol
maka diri yang bersangkutan cenderung hedonistis. Sebaliknya, jika superego
lebih menonjol maka yang bersangkutan sulit mengalami perkembangan, karena
selalu dibayangi rasa takut dan lebih banyak berhadapan dengan dirinya sendiri.35
II. Teori Fungsionalis Struktural
Tokoh utama teori ini belum diketahui tetapi teorinya menjelaskan bahwa
suatu masyarakat terdiri dari beberapa bagian yang saling mempengaruhi, mencari
unsur-unsur yang mendasar, serta mengidentifikasi fungsinya dari setiap unsur
kemudian menerangkan kepada masyarakat fungi unsur-unsur tersebut.36
Beberapa ahli berbicara tentang teori ini, seperti Hillary M. Lips dan S.A.
Shield mereka membedakan antara teori fungsionalis dengan teori strukturalis.
Menurut mereka fungsionalis lebih condong kepada persoalan psikologis
sedangkan strukturalis lebih condong kepada sosiologis.
Para penganut teori ini berpendapat bahwa teori struktural-fungsional tetap
relevan diterapkan dalam masyarakat modern. Talcott Parsons dan Bales, dua
tokoh yang sering dikaitkan dengan teori structural fungsional, mereka menilai
bahwa pembagian peran secara seksual adalah sesuatu yang wajar. Teori
fungsionalisme berupaya menjelaskan bagaimana sistem itu senantiasa berfungsi
35
36
Dr. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, h.50
Dra. Mufidah Ch., Paradigma Gender (Malang: Bayu Media Publishing, 2004), h.140
33
22
untuk mewujudkan keseimbangan di dalam suatu masyarakat. Keseimbangan itu
dapat terwujud bila tradisi peran gender senantiasa mengacu pada posisi semula.
Dengan kata lain kerancuan peran gender menjadi unsur penting dalam suatu
perceraian.37
Berbicara mengenai gender, penganut aliran fungsionalis-struktural
berpendapat bahwa pembagian peran dan fungsi masing-masing antara laki-laki
dan perempuan secara adil untuk mewujudkan keharmonisan dua jenis kelamin
yang berbeda. Ilmuwan yang berjasa mengembangkan teori ini adalah August
Comte (1798-1857). Menurut Comte, altruisme38 yang melekat pada perempuan
jauh lebih tinggi dari pada intelektual dan egoisme yang dimiliki laki-laki. Ia
melihat fenomena ini dari sosok Bunda Maria.
Para sosiolog ternama seperti William F. Ogburn ia mengembangkan teori
structural-fungsional dalam keluarga pada abad ke-20. Ia mengatakan keragaman
peran dan fungsi dalam struktur keluarga, bermuara pada satu tujuan yang sama.
Misalnya ayah berperan sebagai kepala keluarga dan berfungsi pencari nafkah
sedangkan ibu sebagai manajer rumah tangga, dan berfungsi mengatur dan
melaksanakan tugas-tugas kerumahtanggaan. Anak laki-laki mengikuti peran yang
dekat dengan ayah sedangkan anak perempuan mencontoh aktivitas sosial ibu.39
Menurut teori Struktural-Fungsional pembagian peran seperti sangatlah
penting agar semua stuktur dalam keluarga berfungsi menurut peran yang
37
Margareth M. Poloma, Sosiologi Kontemporer. Cet.4 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1994), h.168
38
39
orang yang menyediakan diri untuk menolong orang lain tanpa mementingkan diri.
Robert M.Z.Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern. (Jakarta: PT Gramedia, 1988),
h. 76
33
23
diembannya. Penyimpangan fungsi yang terjadi dalam struktur keluarga akan
mengakibatkan kekacauan dalam rumah tangga.
III.Teori Konflik
Tokoh utama dari teori konflik40 adalah Friedrich Engels. Teori ini banyak
mendapat pengaruh dari teori marx yang beranggapan bahwa dalam susunan suatu
masyarakat terdapat bebarapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan
kekuasaan. Siapa yang memiliki dan menguasai sumber-sumber produksi dan
distribusi merekalah yang memiliki peluang untuk memainkan peran utama di
dalamnya.
Friedrich Engels mengemukakan suatu gagasan menarik bahwa perbedaan
dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan, tidak disebabkan oleh
perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan dari kelas yang
berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga.
Hubungan suami-istri tidak ubahnya dengan hubungan proletar dan borjuis,
hamba dan tuan, pemeras dan yang diperas. Dengan kata lain ketimpangan peran
gender dalam masyarakat bukan karena faktor biologis atau pemberian Tuhan
(divine creation), tetapi konstruksi masyarakat (sosial construction).
Menurut Marxisme dalam kapitalisme, penindasan perempuan diperlukan
karena mendatangkan keuntungan. Pertama, eksploitasi perempuan di dalam
rumahtangga akan membuat buruh laki-laki di pabrik lebih produktif. Kedua,
perempuan
juga
berperan
dalam
40
reproduksi
buruh
murah,
sehingga
Konflik tidak hanya terjadi karena perjuangan kelas dan ketegangan antara pemilik dan
pekerja, tetapi juga disebabkan oleh beberapa factor lain, termasuk ketegangan orang tua dan anak,
suami dengan istri, senior dengan yunior, laki-laki dan perempuan, dan sebagainya.
33
24
memungkinkan harga tenaga kerja lebih murah. Murahnya upah tenaga kerja
menguntungkan kapitalisme. Ketiga, masuknya buruh perempuan sebagai buruh
dengan upah lebih rendah menciptakan buruh cadangan. Melimpahnya buruh
cadangan memperkuat posisi tawar-menawar para pemilik modal (kapitalis) dan
mengancam solidaritas kaum buruh. Kesemuanya ini akan mempercepat
akumulasi kapital bagi kapitalis.41
Tokoh yang mengembangkan teori-konflik salah satunya adalah Ralf
Dahrendorf. Tetapi terdapat sedikit perbedaan antara Marx dan Dahrendorf. Marx
meyakini bahwa sumber konflik adalah kepemilikan tetapi menurut Dahrendorf
sumber konflik adalah perbedaan kekuasaan.
Menurut Dahrendorf, teori konflik yang dikembangkan dalam dunia
ekonomi-publik memunculkan borjuis proletar. Oleh feminis Marxis model
analisis ini ditarik dalam kehidupan rumah tangga. Suami dipandang sebagai
kelompok borjuis sadangkan istri wakil dari kelompok proletar (buruh).
Kepemilikan pribadi dan penguasaan suami atas istri dikenal sebagai pemilik
sumber daya yang melegalkan budaya patriarkhi sedangkan istri tidak mempunyai
posisi setara dengan suami yang berdampak pada ketidakadilan dalam keluarga.42
Menurut para feminis, beban istri berlipat mulai dari hamil, melahirkan,
menyusui, dan mengasuh anak. Sedangkan secara ekonomi, istri tidak mempunyai
akses yang sama dengan suami. Dengan demikian, satu-satunya cara untuk
mewujudkan kesetaraan gender harus melalui perlawanan kelas.
41
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, h. 61
42
Margareth M. Poloma, Sosiologi Kontemporer. Cet.4 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1994), h.170
33
25
IV. Teori Sosio-Biologis
Teori ini dikembangkan oleh Pierre van den Berghe, Lionel Tiger dan
Robin Fox dan intinya bahwa semua pengaturan peran jenis kelamin tercermin
dari biogram dasar yang diwarisi manusia modern dari nenek moyang primat dan
hominid43 mereka. Intensitas keunggulan laki-laki tidak saja ditentukan oleh
faktor biologis tetapi elaborasi kebudayaan atas biogram manusia. Teori ini
disebut bio-sosial karena melibatkan faktor biologis dan sosial dalam menjelaskan
relasi gender. Biologi manusia adalah suatu komponen yang penting dalam
perilaku yang berbeda antara jenis-jenis kelamin.44 Faktor biologis dan sosial
menyebabkan laki-laki lebih unggul dari perempuan. Fungsi reproduksi
perempuan dianggap sebagai faktor penghambat untuk mengimbangi kekuatan
dan peran laki-laki.
C. Teori-teori Feminisme
Untuk mengkaji persoalan tentang perbedaan laki-laki dan perempuan
menurut pandangan para feminis, ada beberapa pandangan yang dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
I. Feminisme Liberal
Tokoh utama yang membawa aliran ini antara lain Margareth Fuller
(1810-1850), Harriet Martineau (1802-1876), Anglina Grimke (1792-1873), dan
43
Manusia dari sejenis Homo sapiens. Mereka biasa dianggap sebagai salah satu spesies
yang dapat bertahan hidupdalam genus Homo. Manusia biasanya menggunakan daya penggerak
dua kaki yang sempurna.
44
Dr. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, h.68
33
26
Susan Anthony (1820-1906).45
Mereka meinginkan agar semua manusia baik laki-laki maupun
perempuan hidup berdampingan, serasi, dan seimbang agar tidak terjadi
penindasan antara satu dengan yang lain. Perempuan mempunyai hak yang sama
dengan laki-laki. 46
Para feminis liberal meskipun menuntut persamaan hak antara laki-laki
dengan perempuan tetapi mereka menolak persamaan secara menyeluruh terutama
dalam hal fungsi reproduksi, aliran ini masih tetap memandang perlu adanya
perbedaan antara laki-laki dengan perempuan.
Kelompok ini membenarkan bahwa perempuan harus bekerja bersama
laki-laki, perempuan juga harus dilibatkan dalam semua peran termasuk bekerja
diluar rumah tidak saja domestik tapi juga publik. Dengan demikian tidak ada lagi
jenis kelamin yang lebih dominan. Bagi kalangan feminisme liberal, mereka
mengharapkan sebuah Negara untuk melindungi kebebasan sipil, misalnya saja
hak kepemilikan sipil, hak memilih, hak kebebasan untuk berbicara, kebebasan
untuk beragama, dan kebebasan untuk bernegara.
Feminis liberal menerangkan bahwa keadilan gender menuntut kita untuk
membuat aturan permainan yang adil dan memastikan tidak satu pun dari semua
kebaikan bagi masyarakat dirugikan secara sistematis, keadilan gender tidak
45
Dr. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, h.64
46
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought (pengantar paling komprehensif kepada arus
utama pemikiran feminis, cet.II, Jalasutra, Yogyakarta:1998), h.2
33
27
menuntut kita untuk memberikan argumen yang kalah ataupun yang menang.47
Feminis liberal mendapat pengaruh dari pemikiran Harriet Taylor dalam
karyanya yang berjudul The Enfranchisement dan John Stuart Mill dalam
karyanya yang berjudul The Subjection of Women (1869). Mill dalam teorinya
membela hak pilih terhadap perempuan, hak perempuan sama dengan hak anakanak mereka; persamaan dihadapan hukum, dan hak bagi perempuan menikah
untuk mengontrol dan mengelola kekayaan mereka sendiri.48
Perjuangan yang dilakukan oleh feminisme liberal adalah membebaskan
perempuan dari penindasan peranan gender, yaitu peranan yang diberikan kepada
perempuan karena berdasarkan jenis kelaminnya.49 Sedangkan agenda dari kaum
feminisme liberal adalah memperjuangkan hak-hak perempuan di bidang politik,
pendidikan, kerja, dan ini ditempuh melalui jalur hukum dengan memperbaharui
sistem yang ada. Agar perempuan teremansipasi dan terbebaskan dari
keterkungkungan
sosial,
kalangan feminisme
juga
menganjurkan untuk
mempraktekkan androgini di dalam diri perempuan dan laki-laki.
II. Feminisme Marxis-Sosialis
Aliran ini mulai berkembang pesat di Jerman dan di Rusia yang dipelopori
oleh Clara Zetkin (1857-1933) dan Rosa Luxemburg (1871-1919).50
Para feminis meinginkan agar struktur kelas dalam masyarakat
berdasarkan jenis kelamin dihilangkan, perbedaan peran antara laki-laki dan
47
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought (pengantar paling komprehensif kepada arus
utama pemikiran feminis, cet.II, h.3
48
Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengantar Kajian Gender, h.96
Gadis, Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,
2003),h. 99
50
Dr. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, h.65
49
33
28
perempuan lebih disebabkan oleh factor budaya alam. Aliran ini juga menolak
anggapan tradisional yang mengatakan bahwa perbedaan antara laki-laki dan
perempuan karena factor biologis dan latar belakang sejarah.
Feminis Marxis-sosialis beranggapan bahwa untuk mencapai kebebasan
sejati dalam masyarakat ditentukan berdasarkan kelas. Semua aturan sosial dalam
masyarakat yang lebih besar menguntungkan laki-laki dari pada perempuan.
Feminis marxis berpendapat bahwa ketertinggalan perempuan bukan disebabkan
oleh tindakan individu secara sengaja, tetapi akibat dari struktur sosial, politik,
dan ekonomi, yang erat kaitannya dengan sistem kapitalisme. Menurut mereka,
tidak mungkin perempuan dapat memperoleh kesempatan yang sama seperti lakilaki jika mereka masih tetap hidup dalam masyarakat berkelas.51
Hampir sama dengan teori konflik, kelompok ini menganggap bahwa
posisi inferior perempuan berkaitan dengan struktur dan keluarga dalam
masyarakat kapitalis. Istri mempunyai ketergantungan lebih tinggi pada suami
dari pada sebaliknya. Perempuan senantiasa mencemaskan keamanan ekonominya
karenanya mereka memberikan dukungan kekuasaan kepada suaminya.
Bedanya dengan teori konflik, teori ini tidak terlalu menekankan factor
kepemilikan harta pribadi seperti halnya dalam teori konflik tetapi teori ini lebih
menyoroti factor seksualitas dan gender dalam kerangka dasar ideologinya.
III. Feminisme Radikal
Aliran ini muncul di permulaan abad ke-19 dengan mengangkat isu besar
yaitu menggugat semua lembaga patriarki yang dinilai merugikan perempuan dan
51
Dr. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II, h.66
33
29
jelas-jelas menguntungkan laki-laki. Pergerakan feminisme radikal juga
memfokuskan diri pada akar permasalahan mengenai ketertindasan perempuan.
Mereka melihat bahwa walaupun sudah reformasi sistem melalui jalur
hukum sudah diupayakan oleh kalangan feminis liberal, tetapi tetap saja
perempuan masih tertindas. Kaum feminis radikal mencurigai akan adanya
pemisahan antara ranah publik dan ranah privat yang menyebabkan perempuan
mengalami ketertindasan karena mereka menganggap perempuan hanya di ranah
privat (domestik) bukan publik.
Kaum feminis radikal tidak hanya menuntut persamaan hak antara lakilaki dan perempuan, mereka juga menuntut persamaan seks dalam arti kepuasan
seksual yang bisa diperoleh dari sesama perempuan sehingga mentolerir praktek
lesbian.52 Persamaan secara total pada akhirnya akan menempatkan dan
merugikan perempuan itu sendiri, laki-laki yang tanpa beban organ reproduksi
secara umum akan sulit diimbangi oleh perempuan.
Feminis radikal lebih ekstrim dari feminis liberal. Mereka beranggapan
bahwa sistem patriarki ditandai dengan kuasa, dominasi, hirarki, dan kompetisi.
Sistem patriarki harus dibentuk ulang, dicabut dari akar dan cabang-cabangnya
guna memberikan jalan bagi pembebasan perempuan lewat lembaga sosial dan
kultural terutama keluarga, gereja, dan akademis.
Feminis radikal dibagi menjadi dua aliran, yaitu;
a) Feminis radikal-libertarian, yang beranggapan bahwa feminis radikal
berfokus pada seks, gender, dan reproduksi. Mereka lebih cenderung
52
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought (pengantar paling komprehensif kepada arus
utama pemikiran feminis, cet.II, h.4
33
30
pada androgini yang melegalkan semua jenis hubungan seks seperti;
heteroseksual, lesbian, dsb, dan memandang teknologi pembantu
reproduksi merupakan hal yang mutlak bagi perempuan. Mereka juga
beranggapan
bahwa
setiap
perempuan harus didorong untuk
bereksperimen secara seksual dengan dirinya sendiri, dengan
perempuan lain, dan juga dengan laki-laki. Ia harus merasa bebas
untuk mengikuti apapun hasrat dirinya itu. Mereka mengklaim bahwa
menjadi ibu biologis memeras perempuan baik secara fisik maupun
psikologis.53
Menurut mereka, perempuan harus bebas untuk menggunakan
teknologi lama pengendali reproduksi, dan juga teknologi baru
pembantu reproduksi sesuai dengan keinginannya. Hal tersebut untuk
mencegah atau menghentikan kehamilan yang tidak diinginkan atau
sebaliknya untuk memungkinkan mereka memilki anak ketika mereka
menginginkannya (sebelum atau sesuadah menopause), cara mereka
menginginkannya (dalam rahim sendiri atau dalam rahim perempuan
lain), dan dengan siapa mereka meinginkannya.
b) Feminis radikal-kultural, mereka menolak androgini yang mereka
anggap sebagai sesuatu yang berbahaya bagi perempuan. Para feminis
radikal kultural tidak setuju jika pornografi, prostitusi, pelecehan
seksual,
perkosaan,
kekerasan
terhadap
perempuan,
laki-laki
mengendalikan seksualitas perempuan untuk kenikmatan laki-laki.
53
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought (pengantar paling komprehensif kepada arus
utama pemikiran feminis, cet.II, h.5
33
31
Untuk menjadi bebas perempuan harus melepaskan diri dari
pembatasan heteroseksual dengan menciptakan seksualitas perempuan
yang eksklusif melalui selibat, lesbianisme, sendiri atau bersama
dengan perempuan lain, seorang perempuan dapat menemukan
kenikmatan seksual yang sesungguhnya. 54
Mereka mengklaim bahwa menjadi ibu biologis merupakan sumber
kekuatan paripurna perempuan. Perempuan yang menentukan apakah
suatu spesies akan hidup berlanjut atau tidak. Perempuan harus
melindungi dan memberikan kekuatan hidup karena tanpa itu laki-laki
tidak akan menghargai perempuan dan semakin tidak melihat manfaat
perempuan seperti yang ada sekarang.
Perjuangan feminis radikal adalah memperjuangkan isu-isu kesehatan.
Kalangan feminis radikal berupaya mempelopori argumentasi aborsi dan
penggunaan alat kontrasepsi yang aman. “hak untuk memilih” adalah slogan yang
dilontarkan untuk iso aborsi.55 Hak bagi setiap perempuan untuk menentukan
apakah ia ingin mempunyai anak atau tidak. Salah usaha yang ingin disadarkan
oleh kalangan feminis radikal adalah tubuh perempuan adalah milik perempuan.
Menurut mereka, keputusan tersebut berada di tangan perempuan yang memiliki
badannya sendiri, dan bukannya di tangan dokter, hakim atau rohaniawan.
Apabila kita berfikir tentang watak perempuan dalam diri Allah, pusat
perhatian tidak hanya pada segi-segi melahirkan, mengasuh, dan berbelas kasih
54
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought (pengantar paling komprehensif kepada arus
utama pemikiran feminis, cet.II, h.6
55
Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, h. 101
33
32
tetapi juga pada daya kekuatan yang menciptakan dan menyelamatkan. Hal ini
mungkin sesuai dengan beberapa refleksi dewasa ini tentang roh sebagai watak
perempuan dalam diri Allah. Hal ini juga berkaitan dengan gagasan tentang roh
sebagai yang imanen (intim) bila dibandingkan dengan Bapa sebagai yang
transenden. Peranan roh dalam penjelmaan kuasa Allah yang meliputi Maria,
kerapkali dilihat bersifat laki-laki. Berkenaan dengan Yesus, bagi perempuan yang
menderita mengidentifikasikan Yesus sebagai yang menderita dan melihat
penderitaan dan ketertindasan mereka banyak mempunyai nilai penebusan dalam
persatuan dengan penderitaan Yesus. Beberapa orang memusatkan perhatian pada
ketuhanan Yesus yang menaklukkan setiap bentuk dominasi, termasuk dominasi
laki-laki. Beberapa orang lagi melihat sifat-sifat seperti asih-asuh dan belas kasih
dalam hidup dan mukjizat-mukjizat Yesus. Dan beberapa orang yang lain lagi
menggunakan bahasa yang lebih bersifat simbolis untuk melihat Yesus sebagai
ibu atau terkasih.
33
BAB III
SEKILAS TENTANG AGAMA KATOLIK
A. Sejarah Katolik
Dalam Perjanjian Lama Allah memilih dan membentuk umatNya yang
baru dengan perantaraan Kristus yang berarti yang diurapi; Almasih. Kerajaan
Allah sudah datang dan ada diantara manusia dalam pribadi Jesus dan hari
penyelesaiannya hanya diketahui Bapa di surga (Mk 2:19; 13:9). Maka Gereja
merupakan sarananya dimana saja sampai akhir zaman. Perjamuannya untuk
mengenang wafat Jesus dari semua orang itu harus diulangi dalam persaudaraan
diantara muridNya sampai ia datang kembali (Lk 16:19; 1Kor 11:24). Perjamuan
itu adalah Ekaristi yang merupakan pangkal tolak dan sekaligus puncak segala
kegiatan Gereja (G:11).56
Gereja tumbuh dari pewartaan Injil dan pembaptisan. Gereja berakar
dihidup, pewartaan dan peristiwa-peristiwa Paskah; yaitu wafat-kebangkitan
Jesus-serta pangaturan Roh Kudus. Jadi pada Perjanjian Lama, Gereja adalah
sarana untuk membangun kerajaan Allah untuk mengumpulkan semua orang dari
segala pemjuru dunia.
Dalam Perjanjian Baru menggambarkan Gereja seperti tumbuh pada waktu
itu, yang bersatu dalam pembaptisan dengan pengakuan iman yang sama, dalam
perayaan Ekaristi dan agape dan dalam pimpinan yang dilantik Para Rasul (IKor
11:17,14:40;Ef;4:5).
56
A. Heuken SJ, Ensiklopedia Gereja I (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1994),h.
341
33
68
Di Perjanjian Baru ini, Gereja tidak hanya disebut dengan kata ekklesia,
melainkan dengan sebutan lain yang sebagian diambil dari Perjanjian Lama yaitu
umat Allah (1Ptr 2:10), orang-orang yang beriman, orang-orang kudus, rumah Allah
kawanan domba, tubuh Kristus (1Kor 6:15). Bahasa gambaran yang kaya isinya dan
sulit mengungkapkan segala segi bahasa teologis yang jelas. 57
Dari semua pernyataan diatas tentang Gereja, maka dapat dikatakan bahwa
Gereja adalah Katolik, karena Gereja mewartakan Injil Kristus dan terbuka bagi
segala bangsa dan kebudayaan ciri Katolik ini melarang umat membeda-bedakan
orang menurut jenis (Gal 3:28), kelas social atau kebangsaan. Jesus tidak menolak
perempuan pendosa yang mencuci kakiNya, karena ia datang untuk menyelamatkan
orang berdosa (Lk 7:37), maka Gereja pun tidak boleh menolak mereka (kaum
perempuan) dari keanggotaannya.
Pengertian Gereja58 dalam kata bahasa Indonesia berasal dari kata Portugis
igreja, juga berasal dari kata Yunani ekklesia yaitu mereka yang dipanggil; kaum
golongan kyriake; yang dimiliki Tuhan.
Pada Sinode istimewa uskup-uskup sedunia pada tahun 1985, diadakan
refleksi atas pandangan Konsili Vatikan II (1962-1965) tentang Gereja. Sinode itu
menekankan kembali hakikat Gereja sebagai misterium dan communion supaya
dimensi rohani Gereja semakin jelas. Pandangan berat sebelah yang memandang
Gereja terutama dari segi hierarki atau sebagai kenyataan sosiologis semata-mata
57
A. Heuken SJ, Ensiklopedia Gereja I,h. 342
58
Kata Gereja sama asal-usulnya seperti kata kerk dalam bahasa Belanda, dan kirche dalam
bahasa Portugis. Kata Gereja digunakan baik untuk gedung-gedung ibadat maupun untuk umat-umat
Kristen.
68
69
(sebagai perfect society) ditolak.59
B. Pergerakan Perempuan dalam Agama Katolik di Barat
Gerakan perempuan sudah muncul sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke20. gerakan yang sudah dimulai sejak abad itu menuntut persamaan hak antara lakilaki dan perempuan dan Negara harus melindungi dan menjamin persamaan hak itu
secara normal.60
pada pertengahan abad ke-20 muncul beberapa gerakan kenabian, yakni
teologi pembebasan yang memihak pada kaum miskin yang ditindas oleh tatanan
ekonomi moderen, teologi feminis yang berusaha memikirkan kembali teologi
melalui sudut pandang perempuan yang tertekan dan ekoteologi yang memikirkan
pemeliharaan dunia ciptaan Allah. Ketiga aliran ini melawan dosa struktural, yaitu
tatanan yang menindas dan memiskinkan golongan tertentu. patriarkhi ditantang
karena meremehkan kaum perempuan, menggunakan alam sebagai sumber kekayaan
bagi manusia yang bermodal dan berilmu. Karena itu membahayakan kelangsungan
hidup generasi mendatang dan memusnahkan jenis makhluk hidup. Ketiga aliran itu
saling terkait.61
Teologi pembebasan berpijak pada kenyataan bahwa Allah memihak pada
orang-orang yang tertindas dan yang dikesampingkan. Ia membebaskan sekelompok
59
DOKPEN KWI, Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: dokpen KWI, 1993),h. 350
Nunuk p. Murniati, Getar-getar Gender Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama,
Budaya, dan Keluarga, vol.I (Magelang: Yayasan Indonesia Tera, 2004),h. xxviii
60
61
Marie Claire Barth, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu: pengantar teologi feminis,h. 19
69
70
pekerja paksa dari “rumah perbudakan di Mesir”, menjadikan mereka umt-Nya, serta
mengikat perjanjian dengan mereka dan memberikan hokum kemerdekaan untuk
mengatur hidup bermasyarakat mereka. Teologi feminis mencari pembebasan dan
patriarkat dan menuju hubungan baru. Artinya pihak yang tadi berkuasa melepaskan
tuntutan dan kesombongannya, lalu membuka diri pada pihak yang lemah. Dengan
demikian dikembangkan suatu persekutuan baru diantara mitra yang sederajat sebagai
sesama makhluk Allah dan saudara Yesus. Ada tiga cara menganalisis kitab suci yang
ditawarkan oleh teolog perempuan Katrine Doob Sakenfeld: a) Menganalisis kitab
suci yang meremehkan perempuan, b) Menganalisis kitab suci secara keseluruhan dan
membahas pandangan kitab suci yang patriarkis, c) Menganalisis perikopa tentang
peranan perempuan dalam kitab suci yang hidup dalam kebudayaan patriarkhi. 62
Sesudah paro pertama abad ke-20 sebagian besar aliran utama dalam Gereja
Protestan sudah mulai memutuskan untuk mendukung perempuan, bahkan banyak
gerakan perempuan muncul dari kalangan Gereja-gereja tersebut. Semenjak tahun 50an Gereja Protestan mulai menerima tahbisan perempuan. Menjelang akhir tahun 70an, hampirr semua aliran besar dalam Gereja Protestan telah menahbiskan pendeta,
imam, bahkan rabbi perempuan.
Dalam kurun waktu yang sama, Gereja Katolik melalui Paus Yohanes XXIII
mulai membuka jendela Vatikan dan memecah kebekuan didalamnya. Gereja merasa
perlu merumuskan hubungannya dengan dunia; Gereja perlu berkomunikasi dengan
62
Nunuk p.Murniati, Getar-getar Gender Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama,
Budaya, dan Keluarga, vol.I,h.13
70
71
dunia tempat dimana ia hidup. Ketika Konsili Vatikan perempuan telah siap dengan
aspirasi yang ingin disampaikannya. Perempuan-perempuan Eropa mempersenjatai
diri dengan argumen-argumen untuk mendobrak sidang di Vatikan. Di Amerika
perempuan menikmati kebebasannya untuk menyuarakan perhatian mereka atas
eksistensi perempuan dalam Konsili Vatikan II, khususnya mempertanyakan posisi
perempuan dalam Gereja Katolik melalui media massa. Dua tokoh perempuan yang
saat itu berpengaruh yaitu Margareth Mouley (Ketua Dewan Nasional Perempuan
Katolik) dan Rosemary Goldie (Sekretaris Eksekutif, Komite Tetap untuk kongres
Apostolat Awam Internasional) di Roma. Keduanya mengkritisi Gereja Katolik yang
gagal mengenali bahwa perempuan adalah kekuatan inti dalam komunitas awam yang
siap untuk menyumbang lebih banyak bagi Gereja, jika mereka diberi kesempatan.
Akibat tekanan yang semakin gencar dari para perempuan dan teolog yang
berpikir progresif, akhirnya Kardinal Leo Suenens dari Malina, Brussel yang menjadi
salah satu moderator konsili dan bersimpati dengan masalah ini membuat ‘tekanan’
untuk menghadirkan perempuan dalam konsili. Uskup Agung George Hakim dari
Galilea juga mengungkap hal yang sama, mengkritisi Gereja yang telah
membungkam perempuan serta memberi kesan bahwa perempuan tidak eksis. Uskup
Agung George Hakim juga mengingatkan kemajuan yang dicapai Gereja sebagai
hasil dedikasi dan pelayanan para perempuan.
Gerakan perempuan Katolik semakin besar dengan dibentuknya berbagai
organisasi yang independen baik pada tingkat regional maupun internasional, seperti;
St. Joans Alliance (1911), The National Council of Catholic Women (1920), The
71
72
Women Ordination Conference (Amerika-1968), Australian Catholic Womens
Movement (Australia), DLL.63
Salah satu pendiri dari organisasi ini adalah Anne Brennan. 64 Dia
mempercayakan keyakinannya pada Katolik dengan terbukti menjadi Anggota
Serikat Sosial Perempuan Katolik (St. Joan’s Alliance), pelajaran dan tulisannya yang
dipublikasikan adalah pekerja perempuan sosial dan pengganti horizon. Dialah yang
mendirikan komite anggota Serikat Kerja Sosial Perempuan Katolik pada tahun 1916.
Dia menjabat presiden dari 1918-1920. Ia bergabung dengan cabang utama dari
Persekutuan Internsional St. Joan’s, ia menjabat presiden di kantor tersebut dari tahun
1938-1945 dan berlanjut sampai 1948 kemudian ia meninggal di tahun 1962. Anna
dengan keyakinannya yang penuh ingin memajukan perempuan Katolik pada bidang
sosial karena menurutnya perempuan harus bisa bangkit dan tidak harus bekerja di
dalam rumah (domestik).65
The National Council of Catholic Women (1920) merupakan dewan Nasional
Perempuan Katolik yang terdiri dari lima ribu anggota yang disebut organisasi
63
Iswanti, Kodrat Yang Bergerak (gambar, peran, dan kedudukan perempuan dalam gereja
Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 2003), h.22
64
Anne Brennan merupakan anak ke-13 dari seorang ayah yang bernama Michael Brennan, ia
seorang petani dan istrinya bernama Mary Nee Maher. Ia belajar ilmu kedokteran di universitas
Melbourne pada tahun 1904 tapi ia tidak mendapat izin untuk melanjutkan karena ia gugup pada saat
pebedahan. Dia memulai studinya lagi pada bidang hukum di tahun 1906, dan tamat pada 1909 di
universitasnya ia menjadi anggota Princess Ida Club untuk pelajar perempuan.
65
Anna Teresa Brennan (1879-1962), Australian Dictionary of Biography, vol.7 (Cartlon:
Melbourne University Press; 1979). Diakses tanggal 7 september 2008
72
73
perempuan Katolik di Nagara Kesatuan yang mewakili seratus dari seribu perempuan
Katolik.66
Dewan Nasional Perempuan Katolik berusaha memberikan semangat kepada
para anggotanya yang mayoritas perempuan, kekuatan, dan pendidikan spiritual
kepada semua perempuan Katolik, kepemimpinan, dan pelayanan. Program dewan
Nasional Katolik merespon nilai-nilai Injil yang dibutuhkan untuk perhimpunan dan
Gereja didunia moderen.
Australian Catholic Womens Movement (Australia) merupakan gerakan
perempuan internasional dimana mereka menggambarkan spiritual dalam diri,
kebudayaan, dan gerakan sosial dari perempuan di bawah agama Kristen dan komite
untuk tujuan transformasi dunia sampai masyarakat keseluruhan untuk keadilan dan
perdamaian. Didirikan di Sydney pada tahun 1937, awal kedatangannya pada tahun
1936 di Nazareth. Organisasi Internasional Perempuan Katolik dengan kantor pusat di
Netherlands.67
Mereka mencari arti peranan dari perempuan katolik di Gereja. Pada
pandangan Sally Kennedy, seorang penemu agama dan feminisme (Sydney 1985), ia
menggabungkan kekuatan perasaan dari dalam diri perempuan di Gereja katolik
dengan realitas perasaan perempuan yang kelihatan. Fokus utama dari konsep ini
adalah mengkhususkan latihan kepemimpinan muda. Fokus pendidikan perempuan
66
http://student britanica.com/comptons/article-9312647/National-Council-of-CatholicWomen. Diakses tanggal 7 september 2008
67
Selly Kennedy, Faith and Feminism: catholic women’s struggles for self-expression
(Sydney: Studies in the Christian Movement; 1985). Diakses tanggal 7 september 2008.
http://www.sydney catholic.org.au/works/details.asp?ID=80
73
74
dan pengembangan diri, sosial, dan analisis kebudayaan serta pengaturan aksi
terhadap kerja paksa di kalangan bawah (perempuan) yang berpusat di Sydney dan
Melbourne.
C. Pergerakan Perempuan dalam Agama Katolik di Indonesia
Pada dasarnya setiap agama megajarkan bahwa manusia diciptakan sama
derajatnya, baik laki-laki maupun perempuan. Kini muncul refleksi atas peran
perempuan menurut iman Kristen. Para teolog perempuan mengkritisi dari sudut
pembelokan antara yang Ilahi dan yang berangkat dari kebiasaan manusia. Teori ini
hendak menjadi bekal untuk pembaruan praktis dalam kehidupan gereja dan inilah
yang disebut teologi feminis. Teori ini tidak dibangun oleh kaum perempuan saja
tetapi juga oleh kaum laki-laki yang tidak rela memahami perempuan sebagai objek
kajian melainkan sebagai subjek sejarah yang sedang mencari jati dirinya sendiri dan
tatanan yang ditentukan oleh laki-laki atau paling tidak sedang membebaskan dirinya.
Dalam tradisi Kristen selalu terdapat dua aliran, yaitu pertama mementingkan
segi kelembagaan, ia berwujud hierarkis dan konserfativ, kedua bersifat nabiah, kritis
terhadap ketidakadilan dan penggunaan dan menghendaki hubungan yang adil dan
benar, maka gereja senantiasa terlibat dalam usaha membela manusia yang
tertindas.68
Gerakan Perempuan Katolik yang ada di Indonesia, antara lain; Jaringan Mitra
Perempuan berusaha menciptakan keselamatan yang terwujud dalam relasi
68
Marie Claire Barth, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu: pengantar teologi feminis, h.11
74
75
perempuan dan laki-laki sebagai citra Allah yang setara dan bersama-sama
bertanggung jawab memelihara keutuhan ciptaan-Nya.
Misi antara lain; Menggali potensi dan spiritualitas perempuan Pengaruh
utama perspektif jender di seluruh aspek kehidupan menggereja. Penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan yang mendukung dalam memahami jender dan
permasalahannya.Studi dan kajian terhadap permasalahan jender.Advokasi kebijakankebijakan yang bias jender. Pendampingan dan pembelaan korban ketidakadilan
jender, antara lain segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) didirikan pada tahun 1924. Salah
satu gagasannya adalah cetusan iman Kristiani dalam melawan penjajahan Belanda.
Perjuangannya antara lain; menuntut persamaan hak-hak perempuan dengan laki-laki,
dan perjuangan membentuk masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur.
Organisasi ini oleh para pendirinya dilahirkan sebagai organisasi perempuan bukan
organisasi istri. Keanggotaannya perempuan Katolik yang mandiri, yang secara
pribadi sadar erhadap tugas dan kewajibannya berdasarkan iman Kristiani.
Organisasi ini adalah organisasi kemasyarakatan dengan tujuan sebagai
berikut; Mengungkapkan iman dan cinta kasih Kristiani di dalam lingkungan dan
masyarakat. Mengembangkan kualitas perempuan secara utuh. Mengembangkan
peran ganda sebagai perempuan dalam keluarga, Gereja, dan masyarakat, dan
meningkatkan peran sertanya dalam pembangunan Bangsa dan Negara.
Organisasi tersebut memilki kegiatan ataupun fokus perhatian berbeda, namun
memiliki satu kesamaan yaitu memperjuangkan keinginan perempuan sebagai
anggota Gereja Katolik melalui berbagai cara seperti mengembangkan teologi
75
76
perempuan, mendorong perempuan untuk studi teologi, membuat berbagai kajian
tentang perempuan dalam Gereja, membuat jaringan kerja sama atau relasi antar
organisasi perempuan Katolik, melakukan pelayanan dan advokasi bagi perempuan,
dan sebagainya.69
69
Iswanti, Kodrat Yang Bergerak (gambar, peran, dan kedudukan perempuan dalam gereja
Katolik), h. 23
76
77
BAB IV
STATUS DAN PERANAN PEREMPUAN DALAM AGAMA KATOLIK
DALAM PERDEBATAN
A. Kesetaraan Gender dalam Perspektif Gereja Katolik
Kesederajatan
perempuan
dalam
kehidupan
dan
masyarakat
seperti
dikehendaki Allah. Seperti yang dikatakan Jesus yang memunculkan semangat akan
kesamaan manusia dihadapan Tuhan; yaitu “Karena dengan demikianlah kamu
menjadi anak-anak Bapamu di Sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang
jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang
yang tidak benar (Matius 5:45).
a.1. Kesetaraan Dalam Penciptaan
Dalam kisah penciptaan kitab suci, pernyataan bahwa Allah menciptakan
manusia laki-laki dan perempuan menurut citra Allah, dan dengan demikian sama
martabatnya ditemukan berdampingan dengan kisah lain yang melihat perempuan
sebagai pembantu manusia (pria). Di satu sisi citra perempuan positif setara dengan
laki-laki, identitasnya tidak dibatasi serta memilki hak, kekuatan dan kebebasan yang
sama dengan laki-laki.
Pesan St. Paulus yang mulai mengakui bahwa sebenarnya laki-laki dan
perempuan setara dihadapan Allah, yaitu:
Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan
tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan
berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan,
77
78
dan segala sesuatu berasal dari Allah.”(I Kor 11: 11-12)70
Konsep gender yang ideal dalam Perjanjian Lama mengenai penciptaan
adalah kitab kejadian 1 dan 2 yaitu perempuan bersama dengan laki-laki adalah
tujuan penciptaan Allah dan mahkota ciptaanNya. Perempuan dan laki-laki diciptakan
untuk saling melengkapi.
a.2. Kesetaraan Dalam Pengabdian Terhadap Tuhan dan Rasul
Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, seperti dikutip dalam
tulisan St. Paulus kepada umat: “karena kamu semua yang dibaptis dalam kristus,
telah mengenakan kristus, tidak ada laki-laki dan perempuan.”71 Rasul Paulus tidak
mengatakan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang ditempat lain
dihitung sebagai rencana Allah, dihapus. Maksudnya ialah bahwa didalam kristus
persaingan, permusuhan, dan kekerasan yang menodai relasi antara laki-laki dan
perempuan dapat diatasi dan sudah diatasi. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan
hadir dalam wahyu Alkitabiah sampai akhir. Peran perempuan tidak tergantikan
dalam segala aspek kehidupan keluarga dan sosial yang meliputi relasi insani dan
pemeliharaan orang lain.72Yesus melepaskan dan membebaskan semua kelompok
masyarakat yang tertindas, dimana perempuan dan anak menjadi bagian dari
kelompok yang dibebaskan Yesus (Lukas 4:18-20). Yesus menghormati cara-cara
70
Yuanita Prihindraningsih, Perempuan dalam Agama Katolik (Jakarta: Kapal Perempuan,
2000),th.
71
Lembaga Alkitab Indonesia, Perjanjian Baru: 2002, Galatia 3: 27-28
72
DOKPEN KWI, Kerja Sama Pria dan Perempuan dalam Gereja dan Dunia (surat
kongregasi ajaran iman kepada para uskup Gereja Katolik) h.16
78
79
perempuan mengungkapkan syukur kepada Allah. Sikap Yesus ini ditentang oleh
masyarakat karena pada waktu masyarakat tidak pernah menghargai perempuan
(Lukas 15:8-10).
Figur Maria telah dimasukkan oleh Para Bapa Konsili Vatikan II ke dalam bab
terakhir konstitusi dogmatic mengenai Gereja. Dalam ajaran social Gereja juga sudah
terdapat entri mengenai perempuan, antara lain; dalam pacem in terris (artikel 41);
Paus Yohanes XXIII menunjukkan bahwa perempuan semakin sadar akan martabat
mereka, mereka semakin melaksanakan hak dan kewajiban yang setara dengan lakilaki dalam keluarga maupun dalam hidup publik justru atas dasar kodrat mereka yang
unggul. Gaudium et spes (artikel 61); menegaskan bahwa partnership terdalam lakilaki dan perempuan justru sebagai orang yang beriman. Ditegaskan lagi dalam Lumen
gentium (artikel 32); bahwa dalam Kristus dan dalam Gereja tidak ada diskriminasi
atas basis ras, rasionalitas, kondisi social atau seks. Pesan Paus Yohanes II juga
terdapat dalam Christifideles laici (artikel 49); yaitu agar Gereja mengakui segala
karunia laki-laki dan perempuan dalam hidup dan pengutusannya.73 Itulah beberapa
entri tentang perempuan yang terdapat dalam ajaran sosial Gereja.
Dari sudut pandang teologi, pantaslah ditelaah penekanan bahwa dalam
penjelmaan sabda Allah mengambil kodrat manusia yang hendak diubah-Nya, dan
bukan semata-mata seks laki-laki. Para teolog perempuan juga menunjukkan perananperanan penting yang dimainkan oleh para perempuan dalam kisah Yesus: Maria, ibu
Yesus perempuan-perempuan kaya yang menyertai dan mendukung pelayanan Yesus
73
Iswanti, Kodrat Yang Bergerak (Yogyakarta: Kanisius, 2003),h.iii
79
80
dan fungsi kerasulan perempuan-perempuan seperti perempuan Samaria atau Maria
dari Magdala yang menjadi saksi dan rasul pertama kebangkitan.
a.3. Kesetaraan Dalam Permujudan Tuhan
Perlakuan Yesus atas kaum perempuan, perempuan Samaria yang tertangkap
berzinah, perempuan Kanaan, Maria dari Magdala, dan Marta serta Maria dari
Betania. Menunjukkan bahwa sikapnya pada perempuan dan peranan perempuan
dalam karya-Nya jauh lebih positif dan egaliter daripada yang dapat diberikan oleh
kebudayaan pada zaman-Nya. Ada kesan bahwa para rasul dan pengarang Injil tidak
cukup menghargai hal itu.74
Dikalangan umat Katolik khususnya, Maria juga dilihat sebagai model
perempuan baru. Bagi perempuan lebih mudah mengidentifikasikan diri dengan
Maria dari pada dengan Yesus. Dalam kesalehan umat biasa, umat kerap kali
mengaitkan semua sifat keperempuanan pada Maria sebagai pemeliharaan,
pengasuhan, dan belas kasih dan mereka enggan mengaitkan sifat itu pada Allah yang
laki-laki. Maria mengilhami banyak perempuan, ibu yang merupakan teladan bahkan
bahkan bagi Yesus ketika ia tumbuh menjadi dewasa.
B. Ketidaksetaraan Gender Dalam Agama Katolik
Gereja Katolik secara resmi mempertahankan struktur patrialkal baik secara
praktis maupun teoritis. Ia hanya menahbiskan laki-laki sebagai imam, walaupun
alasan teologisnya lemah. Pimpinan Gereja berada di tangan uskup dalam
74
Syukur Dr.N. Dister, Bapak dan Ibu sebagai Simbol Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 1983),h.
80
81
berhubungan Sri Paus sementara awam hanya dapat menjadi penasehat klerus.
Perempuan yang bekerja di bidang pelayananan pastoral, pendidikan agama atau
pengajaran di perguruan tinggi selau berada di bawah seorang “bapa”, demikian pun
para biarawati. Klerus mengajar dengan penuh wibawa dan masih diberikan predikat
yang bersifat eksklusif dan mutlak. Kebebasan para teolog untuk meneliti dan
mengajar dengan mengangkat berbagai persoalan masyarakat yang majemuk
tampaknya dibatasi. Dalam situasi seperti ini teolog feminis Katolik tampaknya
dituntut untuk benar-benar bekerja dengan teliti. Teolog feminis tidak terikat pada
konfesi. Gereja Protestan umumnya terbuka pada sumbangan perempuan tetapi tradisi
patrialkalnya kelihatan masih kuat.75
Beberapa entri yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang masih bias gender
antara lain; Seorang istri digolongkan bersama dengan rumah, hamba, dan ternak
suaminya, sebagai harta milik yang tidak boleh diingini oleh orang lain (Ulangan
5:21; Keluaran 20:17). Sedang dalam Perjanjian Baru seorang istribukanlah milik
suaminya, tetapi sebagai teman pewaris dari kasih karunia yaitu kehidupan (1Petrus
3:7). Di dalam Al-kitab juga terdapat contoh-contoh kepemimpinan perempuan
seperti Deborah yang menjadi seorang Nabiah bagi umat Allah (Hakim 4:5); berbeda
dengan perikop yang membatasi peranan perempuan dalam agama yaitu sebagai
orang yang harus tunduk kepada kepemimpinan laki-laki bahkan perempuan
75
Marie Claire Barth, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu: pengantar teologi feminis, h.18
81
82
diperintahkan untuk berdia diri (1Kor 11:216; 14:34-35; 1 Tim 2:11-15).76
Isu-isu yang sering dipermasalahkan adalah tentang penciptaan Adam dan
Hawa, dan kepemimpinan perempuan dalam agama. Misalnya para teolog feminis
menolak bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Hal ini juga terjadi dalam
agama Islam dengan adanya penolakan terhadap tafsir ayat-ayat Al-Qur’an yang
secara eksplisit mengatakan bahwa istri diciptakan dari diri suaminya. Beberapa ayat
Al-Qur’an dan Hadis mengatakan bahwa kaum perempuan dari dan untuk pria.
Misalnya dua ayat Al-Qur’an:77 Begitu pula yang tertera dalam Al-kitab:
“Dan tulang rusuk, yang telah Tuhan ambil dari laki-laki, dijadikannya
seorang wanita, dan dibawanya ke laki-laki. Dan Adam berkata, ini adalah
tulang dari belulang saya, dan daging dari daging saya: Dia akan disebut
woman (wanita) karena dia dikeluarkan dari man (pria)”.78
Dari ayat-ayat tersebut dapat dilihat bahwa Adam diciptakan lebih dahulu,
kemudian Hawa diciptakan dari diri Adam. Bagi para teolog feminis, pandangan
seperti itu seolah-olah perempuan makhluk kedua dan ini harus ditolak. Dalam tradisi
Kristen, pemakaian dogma secara anti perempuan berpuncak pada teologi Thomas
Aquinas pada abad ke-18. Ia mengatakan seorang laki-laki dapat mencerminkan
“gambar dan citra” Allah sedangkan perempuan secara fisik, moral, dan mental,
inferior, dibandingkan dengan pria. Didasarkan pada pernyataan ini tidak mungkin
76
Pdt. Indriani Bone, Gender dan Agama (suatu perspektif kristiani), Jakarta: Kapal
Perempuan, 2000,th
77
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari
seorang diri, dan darinya, Tuhan menciptakan istri-istrinya…..”, QS Al-Nisa (4): 1
78
Lembaga Alkitab Indonesia, Perjanjian Baru: 2002, Genesis 2: 22-23
82
83
seorang perempuan dapat menjadi pemimpin Gereja, apalagi menjadi imam, dan
seorang perempuan tidal layak menjadi Kristus terhadap jama’at.
Gereja Katolik mempunyai struktur hirarki kepemimpinan yang patriarkhis,
kepemimpinan berada di tangan laki-laki. Berabad-abad model kepemimpinan ini
turun-temurun diwariskan dari budaya nenek moyang Gereja, yakni budaya bangsa
Yahudi. Budaya laki-laki berabad-abad hidup dan berakar dalam hidup orang Yahudi
dan orang-orang Kristen pengikut Kristus perdana. Walaupun ada nabiah, tokoh
imam, atau pemimpin perempuan sepert Sara, Rut, Ester, bahkan Ibu Maria, tetap
kepemimpinan yang diwariskan bersifat patriarkat, yang memberikan peluang lebih
banyak atau bahkan seluruhnya kepada kaum laki-laki.
C. STATUS DAN PERANAN PEREMPUAN DALAM AGAMA KATOLIK
Hubungan perempuan dan laki-laki harus dihayati dalam perdamaian dan
kebahagiaan kasih yang tak terbagi. Kemajuan perempuan dalam masyarakat dan
keluarga bukan untuk mengoreksi berbagai pandangan yang menganggap pria sebagai
musuh yang harus dikalahkan. Hubungan laki-laki dan perempuan tidak dapat dicapai
dengan oposisi penuh kecurigaan dan defensif. 79
b.1. Status dan Peran Perempuan dalam Kehidupan Keluarga
Perempuan memainkan peran yang amat penting dalam kehidupan Gereja
tidak hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi perempuan juga harus hadir dalam dunia
kerja dan organisasi masyarakat, dan bahwa perempuan harus mempunyai akses
79
DOKPEN KWI, Kerja Sama Pria dan Perempuan dalam Gereja dan Dunia (surat
kongregasi ajaran iman kepada para uskup Gereja KatoliK) h.19
83
84
kepada posisi tanggung jawab yang memungkinkannya mengilhami kebijakan bangsa
yang tepat bagi masalah ekonomi dan sosial.
Perempuan dengan sukarela membaktikan seluruh waktunya untuk kerja
rumah tangga tanpa mendapat stigma dari masyarakat atau hukuman finansial jika
mereka ingin melibatkan diri kedalam karya lain, mereka dapat melakukannya
dengan jadwal kerja yang sesuai dan tidak terpaksa untuk memilih meninggalkan
hidup keluarganya atau menahan stress bagi keseimbangan dan keserasian
keluarganya.80
Seperti yang ditulis oleh Yohannes Paulus II: “akan menjadi kehormatan
masyarakat bila memungkinkan ibu tanpa hambatan memutuskan dengan bebas,
tanpa diskriminasi psikologis dan praksis, dan tanpa kerugian dibandingankan dengan
teman-temannya membaktikan diri bagi perawatan dan pendidikan untuk anakanaknya sesuai dengan kebutuhan dan usianya.”81
Perempuan sebagai ibu
panggilan perempuan dalam Al-kitab dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
panggilan perempuan sebagai ibu/istri yang sudah merupakan suatu ethos, panggilan
perempuan karier, dan panggilan perempuan sebagai biarawati.
80
DOKPEN KWI, Kerja Sama Pria dan Perempuan dalam Gereja dan Dunia (surat
kongregasi ajaran iman kepada para uskup Gereja Katolik, Jakarta: 2004), h.19
81
DOKPEN KWI, Kerja Sama Pria dan Perempuan dalam Gereja dan Dunia (surat
kongregasi ajaran iman kepada para uskup Gereja Katolik) h.19
84
85
Perempuan pada bagian ini dapat disebut dengan panggilan perempuan
sebagai ibu/istri yang bekerja dalam kehidupan domestik atau rumah tangga.
Perempuan dikondisikan menjadi ibu atau istri. Hal ini tertera dalam kitab suci dan
juga dalam ajaran sosial Gereja (Laborem Excercens). Biasanya perempuan memiliki
kewajiban berbeda dengan laki-laki, dan tentu saja perempuan memiliki karakter
sendiri. Perempuan memiliki sifat menghargai, melindungi, memperhatikan, dan
memelihara. Ketiga hal ini tidak bertentangan dan saling melengkapi. Dengan
demikian, perempuan dianugerahi untuk memelihara dan mengajar anak-anaknya dan
sekaligus memiliki sikap yang sama kepada suami dan kepada semua orang. 82Dalam
kehidupan domestik berupa keluarga diperlukan adanya saling kerja sama antara lakilaki dan perempuan dan saling melengkapi pekerjaan masing-masing untuk
mewujudkan kehidupan yang sejahtera dalam membesarkan anak-anak. Peran ibu
bersama dengan ayah merupakan suatu keistimewaan dari sang Pencipta kepada umat
manusia, yakni untuk meneruskan kehidupan di lingkungan masyarakat dan Negara
dan sebagai perempuan memenuhi panggilannya sebagai ibu dalam mengandung dan
membesarkan anak.83 “Allah menciptakan manusia menurut gambaran-Nya; menurut
gambaran-Nya ia menciptakan, sebagai laki-laki dan perempuan diciptakannya
mereka”. 84
82
Dr. Edison R.L. Tambunan, o.carm, Perempuan menurut Pandangan Edith Stein (Malang:
Dioma, 2003), h.27
83
DOKPEN KWI, Keluarga dan Hak-hak Asasi, (Jakarta: 2007),h.30
84
Lih. Kej 1:27
85
86
Dalam dokumen pokok gereja dibahas Surat Apostolik Mulieris Dignitatem
(MD) yang dikeluarkan Paus Yohanes Paulus II. Dalam MD disebutkan bahwa ada
dua keistimewaan bagi perempuan yang terletak pada aspek keperawanan dan
dimensi keibuan seperti yang terjadi pada Perawan dari Nazareth (seorang perawan
dan juga ibu). Bunda Maria menjadi sosok ideal dan sentral untuk mendefinisikan
peran perempuan Katolik. Namun karakter yang ditonjolkan dari Maria hanya sebatas
pada sifat keibuan (seseorang yang tulus, hangat, damai, dan saleh) dan menerima
tugas “yang tidak mudah”, sebagai istri dan ibu. perhatian Gereja Katolik terhadap
kehidupan kaum ibu tidak boleh diabaikan oleh gerakan perempuan. Karena dalam
sejarahnya, Vatikan secara aktif dan cukup berhasil dalam usaha memperjuangkan
hak para istri dan ibu yang sering diabaikan masyarakat dan negara. 85
Perempuan memiliki karakter keibuan yang ditunjukkan dengan sikap
mendampingi dan berusaha berpartisipasi dalam banyak hal yang kecil maupun hal
yang besar; sikap ini juga diekspresikan dalam kegembiraan walaupun hatinya sedang
dalam penderitaan, dalam pekerjaan dan dalam berbagai masalah. Sifat keibuan
ditandai dengan rasa simpatik dan empatik terhadap sesama, sifat keibuan ini sangat
diperlukan kaum remaja untuk mengarahkan kematangan diri dan juga demi
perkembangan anak-anak.
Sosok Maria merupakan figur seorang ibu yang ideal. Alasannya karena pusat
hidup Maria adalah bersama dengan anaknya; ia melahirkan Yesus, membesarkanNya, selalu mengikuti-Nya dalam jalan-Nya, dalam hal ini Maria memenuhi panggiln
85
www.google.com
86
87
Tuhan. Ia merelakan Yesus kembali ke tangan Tuhan karena beliau menyadari bahwa
Yesus bukan miliknya sendiri melainkan ia menerimanya yang datang dari Tuhan.
Maria diterima sebagai yang mengandung, melahirkan, mendidik, dan
mendewasakan Yesus dengan segala kedewasaan personal, kecerdasan spiritual, dan
kemantapan profetik, tidak boleh dicerabut dari relasinya dengan Sang Ibu. Bahkan,
peranan Maria diakui sedemikian penting dan istimewa dalam karya dan sejarah
keselamatan Allah (QS Maryam 19: 18-21). Dalam posisi itu, martabat perempuan
telah diangkat tinggi, bukan saja sebagai "citra Allah", tetapi sebagai Bunda
Penebus.86
Dalam sejarah perempuan dan agama, kita mengenal Bunda Theresa dari
Calcuta. Dia merupakan simbol perempuan yang menjalin harmoni dengan agama
dalam melawan kekerasan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Sebelum Bunda Theresa,
di kalangan agama Katolik terdapat para santa yang merelakan hidup dan kekudusan
mereka untuk membela iman (dan agama) berhadapan dengan kekerasan budaya,
sosial, ekonomi, dan politik. Dan, agama (Katolik) menerima korban kekerasan itu
bukan sebagai pesakitan yang harus dijauhi, melainkan sebagai mutiara, para santa.
Dalam tradisi itulah perempuan mendapat posisi sederajat, tanpa subordinasi,
kekerasan, marjinalisasi, maupun ketidakadilan dalam agama.
Status Sebagai Anak Perempuan
86
www. google.com
87
88
Tingkah laku yang pantas dilingkungan gereja Katolik dipelajari oleh seorang
anak kecil yang ikut ibunya ke gereja. Ayahnya hanya hadir pada waktu hari raya,
seperti Natal atau Paskah. Karena sianak masih kecil dia diperbolehkan ikut ibunya di
bagian wanita, walaupun ia seorang laki-laki. Ibunya sangat aktif terlibat dalam
kegiatan gereja, seperti mengikuti paduan suara, kelompok pemahaman Al-kitab, dan
sebagainya. Si anak tidak pernah melihat seorang laki-laki ikut serta dalam kegiatan
tersebut karena segala aktivitas diselenggarakan oleh kaum perempuan, disini terlihat
adanya dunia laki-laki dan perempuan dalam tubuh gereja. Dengan demikian bahwa
gereja sebagai alat sosialisasi menjadikan seorang manusia menyadari bahwa Allah
tidak hanya bersifat Bapa, tetapi juga bersifat Ibu atau feminin. Anak perempuan
mendapatkan hak sama dengan anak laki-laki, baik itu dari segi pendidikan, bidang
pekerjaan, dan lain-lain.
b.2. Status dan Peran Perempuan dalam Kehidupan Publik
Perempuan karier merupakan panggilan disamping sabagai istri atau ibu,
perempuan yang memiliki kemampuan bisa melaksanakan kariernya asalkan ia
mampu dan tidak melalaikan kewajibannya sebagai ibu atau istri bagi mereka yang
sudah menikah. Tidak ada perempuan yang hanya perempuan dengan kata lain
perempuan yang hanya mengerjakan pekerjaan domestic saja tetapi ia memiliki
karakter individu dan kemampuan yang sama dengan laki-laki. Dari kemampuan
yang dimiliki, perempuan memperoleh posisi yang secara professional seperti dalam
88
89
bidang seni, buruh, pengetahuan, tehnik, dan lain-lain. Tetapi kalau melihatr dari rasa
keibuan perempuan hendaknya dapat mengembangkan diri dalam bidang kedokteran;
seorang perawat, pendidik, guru , pekerja social, pemerintahan, pelayan, dan
sebagainya.87
Dalam melaksanakan semua profesi diatas maka perempuan bisa bekerja lebih
baik dari kaum laki-laki dan bisa juga menjadi profesi yang berlawanan dengan
kodratnya sebagai perempuan, yaitu buruh pabrik, pegawai kantor, polisi, dan bekerja
di laboratorium yang sangat dekat terhadap bahaya. Posisi seperti itu tidak mungkin
dilaksanakan sendirian tapi harus ada orang yang bekerja dengannya, baik itu lakilaki maupun perempuan. Dengan demikian perempuan bisa memberikan dan
mengembangkan segala kemampuan yang dimiliki sebagai perempuan yang akan
memberikan kontribusi yang nyata terhadap orang lain seperti berkurangnya rasa
perikemanusiaan dan rasa simpatik. Dengan kata lain, rasa simpatik yang ada pada
diri perempuan mampu memberikan semangat kepada orang lain didalam
pekerjaannya.
Partisipasi kaum perempuan diberbagai profesi menjadi suatu berkat bagi
perkumpulan, baik itu publik maupun pribadi. Figur Maria merupakan sosok bagi
kaum perempuan karir, sebagai contoh perkawinan di Kana dimana Maria
87
Victor Situmorang, Kedudukan Wanita Di Mata Hukum (Jakarta: Bina Aksara,1991),h.80
89
90
mengamati, menemukan, dan melaksanakan apa yang menjadi kebutuhan orang lain
tanpa meminta perhatian dan penghargaan.88
Kerja sama kaum laki-laki dan perempuan dalam profesi hidup dapat terjadi
jika kedua belah pihak menyadari panggilan mereka dan mengambil kesimpulan
untuk dilaksanakan. Sebagaimana sabda Tuhan: “Tuhan menciptakan umat manusia
laki-laki dan perempuan dan menciptakan mereka menurut gambaranNya” (Kej.
1:27). Hanya dengan bekerja sama kaum laki-laki dan perempuan (merupakan
panggilan perempuan karir) dapat menghasilkan buah untuk mendekati Tuhan. Hanya
dengan cara ini perempuan menafsirkan hal-hal duniawi dan kehidupan Ilahi.
Perempuan Dalam Dunia Politik
Pada abad pertengahan sampai dengan permulaan abad ke-9 kaum perempuan
di dunia tidak mendapat kedudukan, hak yang layak yang dilindungi oleh undangundang dan hukum. Dimana kaum perempuan disamakan dengan barang-barang yang
hanya milik kaum laki-laki dan juga hanya sebagai pemuas nafsunya belaka.
Pendidikan kaum perempuan hanya terbatas kepada hal-hal yang berhubungan
dengan kerumah tanggan seperti mengurus rumah tangga, memasak, menjahit, dan
mengasuh anak. Akan tetapi pada zaman modern sekarang ini, perempuan telah jauh
melangkah ke depan, dimana kaum perempuan pada zaman modern ini telah
mendapat kedudukan, dan hak yang layak sebagai umat manusia yang sama derajat
dan martabatnya dengan kaum pria.
88
Dr. Edison R.L. Tambunan, o.carm, Perempuan menurut Pandangan Edith Stein, h.30
90
91
Kaum perempuan dalam dunia politik mempunyai hak pilih aktif dan pasif
dalam pemilihan lembaga-lembaga. Kaum perempuan mendapat kesempatan yang
sama dalam mendapatkan pekerjaan dimana saja sesuai dengan kemampuannya
seperti halnya dengan kaum pria. Demikian pula dalam bidang politik, kesehatan,
pendidikan, hukum, dan hak untuk bertindak dalam hukum serta dalam bidang
ekonomi. Keikutsertaan perempuan dalam hukum dan pembangunan mutlak adanya
tanpa mengurangi peranan perempuan menurut kodratnya sebagai pembina keluarga.
Pada perempuan juga diberikan hak untuk memilih dalam semua pemilihan
dan dapat dipilih umtuk pemilihan didalam badan-badan yang dipilih oleh hukum,
hak memilih untuk semua referendum (pemungutan suara) yang terbuka bagi umum,
dan hak untuk menduduki jabatan resmi dan melakukan semua tugas resmi. Hak yang
demikian harus dijamin oleh hukum.89
c.3. Status dan Peran Perempuan Dalam Kehidupan Sosial Keagamaan
Sejak masa penciptaan manusia, laki-laki dan perempuan berbeda dan akan
tetap demikian seterusnya. Bila ditempatkan dalam misteri paskah kristus, mereka
tidak lagi melihat perbedaan sebagai sumber perselisihan untuk diatasi dengan
penyangkalan atau penghapusan, melainkan lebih kepada kemungkinan kerja sama
yang harus ditumbuhkembangkan dengan hormat agar timbul hubungan timbal balik
dalam perbedaan itu
Dalam pandangan yang seperti itu, orang mengerti bahwa tahbisan imam
hanya bagi kaum pria saja tetapi itu semua tidak menghambat akses perempuan ke
89
Victor Situmorang, Kedudukan Wanita Di Mata Hukum ,h.81
91
92
jantung kehidupan kristiani. Perempuan dipanggil menjadi teladan yang unik dan
saksi bagi semua orang kristiani, bagaimana ia bertanggung jawab dalam kasih untuk
mencintai sesama.90
Dalam Alkitab mengatakan bahwa perempuan tidak boleh ditahbiskan sebagai
pendeta. Perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan jema’at dan
tidak diizinkan mengajar atau memerintah laki-laki (Kor 14:34; Tim 2:12). Jika
mereka ingin mengetahui sesuatu, baiknya mereka harus menanyakan suaminya di
rumah, sebab tidak sopan bagi perempuan dalam pertemuan jema’at. Dalam Konsili
Vatikan II terdapat entri yang menjelaskan tentang perempuan yang didalamnya
tertulis: “Saatnya akan datang, dan nyatanya sudah datang, dimana panggilan kaum
wanita diakui kepenuhannya; saat dimana kaum wanita di dalam dunia ini
memperoleh pengaruh, hasil, dan kuasa yang tak pernah dicapainya hingga saat
ini”.91 Itulah sebabnya pada saat ini dimana bangsa manusia tengah mengalami
transformasi yang begitu mendalam, kaum wanita dengan semangat Injil dapat
berbuat banyak untuk menolong manusia agar tidak jatuh.
Pernyataan ini merupakan pernyataan yang cukup keras menyangkut
partisipasi perempuan dalam jama’ah Gereja. Pernyataan bahwa gambar dan citra
Allah bukan ditujukan untuk laki-laki saja tetapi semua manusia diciptakan menurut
gambar dan rupa Allah agar mereka saling menghormati dan menghargai sebagai
90
DOKPEN KWI, Kerja Sama Pria dan Perempuan dalam Gereja dan Dunia (surat
kongregasi ajaran iman kepada para uskup Gereja Katolik), h.23
91
DOKPEN KWI, Mulieris Dignitatem (martabat kaum perempuan Jakarta: 1994),h. 9
92
93
pelayan Kristus yang sepadan, juga perempuan tetap dipanggil Allah sebagai imam
dan pendeta.
Relasi subordinat perempuan telah menempatkan kaum laki-laki sebagai
pemimpin. Dalam kenyataan hidup, kondisi menghasilkan berbagai macam
ketidakadilan gender seperti streotipe, beban ganda perempuan, marginalisasi, dan
kekerasan terhadap perempuan. Ketidakadilan ini berlanjut dengan penindasan dan
kekerasan karena posisi ordinat bermuatan kekerasan. 92
Relasi subordinat pun selalu bermuatan sama yaitu kekuasaan. Dimana relasi
antar manusia tidak lagi menunjukkan relasi yang setara dihadapan Allah, tetapi ada
kelompok yang memposisikan dirinya sebagai kelompok yang berkuasa atas
kelompok lainnya. Kekuatan yang berasal dari Allah bukan untuk memelihara rahmat
tetapi menjadi kutukan karena ingin menguasai sesama.93
Pandangan Thomas Aquinas mengatakan bahwa segala urusan spiritualitas
atau kehidupan beragama, laki-laki lebih baik dibantu oleh laki-laki dari pada
perempuan. Perempuan masih dipandang sebagai penggoda, sebagaimana keyakinan
akan turunnya Adam ke bumi. Pandangan seperti itu sangat berpengaruh terhadap
dasar pandangan atas posisi Maria ibunda Yesus, yang dimuliakan melalui dogmadogma yang bias gender. Keberadaan Maria dipertentangkan dengan kejatuhan Eva
ke dalam godaan. Eva dan Maria dilihat dari sudut pandang kaum laki-laki, dengan
92
A.Nunuk.p. Murniati, Getar-getar Gender Perempuan Indonesia dalam perspektif Agama,
Budaya, dan Keluarga, vol.I, h. xxiii
93
A. Nunuk.p. Murniati, Getar-getar Gender Perempuan Indonesia dalam perspektif Agama,
Budaya, dan Keluarga, vol.I, h. xxiii
93
94
satu sisi sebagai perempuan penggoda (Eva), dan disisi lain sebagai ibu (Maria).
Perempuan digunakan sebagai simbol perempuan yang feminin, penuh kasih sayang
dan sebagai pelayan cinta.94
Posisi dan kepemimpinan perempuan juga mempengaruhi jema’at-jema’at di
Asia kecil hal ini disebabkan posisi keagamaan dan pengaruh sosial kaum perempuan
di kawasan tersebut. Bahkan dibawah kepemimpinan Romawi sekalipun sangat
menonjol pada bidang politik, sosial, dan keagamaan negeri tersebut.
Yesus dalam susunan hirarkhi patriarkhat tidak mutlak dalam tradisinya. Hal
ini dapat dilihat dari pemanggilan Yesus terhadap kaum perempuan untuk masuk
dalam kelompok murid-murid-Nya, dan ia menunjukkan bahwa hirarkhi patriarkat
tidak mempengaruhi Dia. Selain itu Yesus tidak mempersyaratkan akan selibat
sebagai salah satu syarat yang mutlak bagi kemuridannya. 95
Gereja dalam paradigma Yudais-Kristiani sudah dapat disebut demokratis
dalam arti yang sesungguhnya; suatu komunitas yang berada dalam kebebasan,
kesetaraan serta persaudaraan. Berdasarkan pada paradigma yang demokratis ini
gereja dalam komunitas Yudais-Kristiani bukan institusi kekuasaan tidak juga
merupakan sesuatu inkusisi96 agung, melainkan sebuah komunitas yang anggotaanggotanya bebas, tidak ada perbedaan ras, kelas, kasta, serta pelayanan tetapi suatu
94
A. Nunuk.p. Murniati, Getar-getar Gender Perempuan Indonesia dalam perspektif Agama,
Budaya, dan Keluarga, vol.I, h. xxv
95
A. Heuken, Ensiklopedi Gereja II, (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1992),h. 102
Inkuisisi adalah suatu pengadilan yang dibentuk oleh gereja untuk menyelidiki pernyataan
iman para anggotanya sesuai dengan ajaran gereja
96
94
95
komunitas yang memiliki prinsip dasar kesetaraan dimana semua orang adalah
saudara satu terhadap yang lain.
Kehidupan Sosial
Perempuan mampu melaksanakan berbagai kegiatan asalkan mereka mampu
dan tidak melalaikan kewajibannya sebagai ibu/istri (bagi yang menikah). Partisipasi
perempuan dalam berbagai profesi merupakan suatu berkat bagi perkumpulan baik itu
pribadi maupun publik.
Para perempuan dalam hal ini, mereka menjalankan program katekesekatekese di paroki-paroki, mereka juga mengajar teologi di universitas-universitas,
sekolah tinggi, seminari-seminari, dan mereka juga dipercaya memberikan bimbingan
rohani. Pada tahun 1994, sesudah kongregasi untuk ibadat pada akhirnya
memutuskan bahwa perempuan dapat membantu Misa sebagai putri altar. Para
perempuan juga banyak yang berperan sebagai administrator di paroki-paroki yang
tidak mempunyai imam yang menetap. Peran mereka juga meliputi tugas pastoral.97
Fakta yang banyak diketahui tentang perempuan dalam kehidupan sosial
yaitu; bahwa perempuan bertindak sebagai pelayan (Rm 16:1); sebagai tuan rumah
untuk berkumpulnya umat lokal (Kol 4:15); sebagai suami yang berkeliling dan istri
menjadi rekan sekerja/penginjil (Rm 16:3-5; 1Kor 16:19); menjalankan peran profetis
97
Thomas. P. Rausch, Katolisisme (teologi bagi kaum awam) h. 350
95
96
dalam kumpulan umat (1Kor 11:5); atau para perempuan juga sangat menonjol
dikalangan para rasul (Rm 16:7).98
Dalam surat kepada jema’at Gal Santo Paulus memproklamasikan
kemerdekaan bagi umat manusia dengan rumusan yang besar:
“Dalam hal ini tak ada orang Yahudi atau Yunani, tak ada hamba atau orang
merdeka, tak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu dalam
Kristus Yesus”.99
Di dalam gereja perempuan termasuk biarawati diberi kompensasi yang adil
atas pekerjaan mereka. Gereja juga mendukung dan memberikan kesempatan kepada
perempuan yang memungkinkan mereka belajar teologi seperti beasiswa, fasilitas
pengasuhan anak bagi mahasiswi yang memiliki anak, pemberian kursus-kursus
paruh waktu dengan jadwal yang disesuaikan dengan kondisi perempuan serta mudah
di jangkau.100 Teologi perempuan juga sudah mulai diperkenalkan di seminariseminari dan pusat-pusat pendidikan bagi para calon imam
Dari buku kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja tahun 1891-1991dari
Rerum Novarum sampai kontesimus Annus, ditemukan beberapa entry mengenai
perempuan, antara lain:101
98
Thomas. P. Rausch, Katolisisme (teologi bagi kaum awam) h. 348
99
Perjanjian Baru, Lembaga Al-kitab Indonesia, lih. Gal 3:28
100
Iswanti, Kodrat Yang Bergerak (gambar, peran, dan kedudukan perempuan dalam gereja
Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 2003), h.31
101
Iswanti, Kodrat Yang Bergerak (gambar, peran, dan kedudukan perempuan dalam gereja
Katolik) h.27
96
97
•
Perempuan dan Kerja (Rerum Novarum 43; Laborem Exercens 19,4;
Centesimus Annus 7,1; 33,4)
•
Undang-undang bagi kaum perempuan (Ogtogesima Adveniens 13,2)
•
Peranan Perempuan (Quadragesimo Anno 71, Ogtogesima Adveniens 13,2)
•
Perempuan dan keluarga (Sollicitudo Rei Sicialis 25)102
Fakta ini menunjukkan bahwa semakin besarnya perhatian gereja Katolik
pada masalah perempuan khususnya ditingkat lokal yang langsung hidup
berdampingan dengan situasi dan kondisi nyata terhadap perempuan.
Semakin banyak perempuan yang berfikir kritis dan maju, yang terlibat
sedemikian luas di luar Gereja Katolik dan dapat diandalkan, tetapi ketika harus
berhadapan dengan system hirarkhi gereja Katolik yang patriarkhis, perempuan harus
surut ke belakang kembali kepada warga kelas dua. Di dunia barat mulai ada tuntutan
agar perempuan diijinkan menjadi imam atau pastor, tetapi ditolak oleh ptmpinan
tertinggi demi nilai sejarah Gereja Katolik. Tuntutan perempuan menjadi imam
memang hampir mustahil terjadi di Indonesia, apalagi jawa yang sangat kental
budaya patriarkhi. Tetapi bila direnungkan, perempuan yang menuntut itu bukan
semata-mata demi ambisi atau nafsu untuk bekuasa, tuntutan itu lebih merupakan
ajakan refleksi bagi gereja terhadap nilai-nilai yang lebih luhur mengenai kesetaraan
disamping nilai-nilai patriarki yang dipegang erat-erat seperti harta yang harus
dipertahankan. Bukankah dalam sabda Yesus “Kerajaan Allah ada padamu, didalam
102
Ibid, h.27
97
98
mulutmu dan di dalam hatimu”, dapat dipastikan bahwa yang dimaksud bukan hanya
mulut dan hati kaum laki-laki tapi juga perempuan.103
Perempuan juga harus berkarya disegala bidang pekerjaan merupakan hak
mutlak yang melekat pada diri perempuan sejak ia diciptakan. Apabila dalam
kenyataannya hak tersebut belum diperoleh kaum perempuan, maka perempuan
sendirilah orang yang paling bisa memperjuangkan dan mengembalikan hak-haknya
itu. Perempuan harus mengubah posisi dari tidak berperan menjadi berperan, dari
lemah menjadi kuat, dan dari tidak mampu menjadi mampu. Jadi perempuan sendiri
yang harus meningkatkan kualitas dan membuktikan bahwa dirinya mempunyai hak
dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki sesuai dengan panggilan Allah.
Dengan begitu, apabila perempuan ingin maju dan berperan, ia tidak perlu menunggu
apalagi menuntut diberikan kesempatan dan kedudukan bagi dirinya. 104]rulch]fcs1
]ag0!!]par!Perempuan tidak perlu minta pengakuan dari pihak lain, khususnya lakilaki, karena pengakuan terhadap eksistensi perempuan akan datang dengan sendirinya
seiring dengan peran perempuan yang nyata ditengah gereja dan masyarakat.
Pengakuan kepada perempuan akan diberikan dengan sendirinya apabila perempuan
bisa membuktikan kualitas diri. Dalam hal ini perempuan tertantang untuk
berkompetisi secara positif dengan laki-laki. Kompetisi ini bukan untuk mengalahkan
103
Dr. J. B. Banawiratma SJ, Gender dalam Gereja Katolik (Jakarta: Seri Forum LPPS no. 38,
1997), h. 4
104
Retnowati, Perempuan-perempuan dalam Al-kitab (peran, partisipasi, dan perjuangannya,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004)- i.30
98
99
atau merendahkan pihak lain, namun lebih pada tantangan upaya peningkatan
kualitas.
Dengan
diterapkannya
“Dasawarsa
Oikumenis
Gereja-gereja
dalam
Solidaritas dengan Perempuan” oleh Dewan Gereja-gereja se-Dunia, gereja-gereja
dipanggil untuk menguji kembali struktur gereja dan mengusahakan keseimbangan
dalam arti memberi peranan penuh dari seluruh anggotanya tanpa terkecuali. Masalah
perempuan sudah waktunya diperhatikan secara serius. Masalah perempuan mulai
diangkat dan peningkatan SDM khususnya perempuan mulai diperhatikan.105
Sebagai gambar Allah, perempuan diciptakan sempurna. Sama baiknya
dengan laki-laki. Perempuan mempunyai hak dan kesempatan yang sama. Gereja
dipanggil untuk memberdayakan kemampuan dan keahlian perempuan agar semakin
hari perempuan semakin berkualitas.
D.
PERANAN TEOLOGI FEMINIS DALAM MENSOSIALISASIKAN IDE
TENTANG
STATUS
DAN
PERANAN
PEREMPUAN
DALAM
PERSPEKTIF GENDER
Masalah hierarki merupakan masalah yang serius yang dihadapi para feminis
dalam gereja Katolik sampai sekarang perdebatan mengenai masalah tersebut belum
berhenti. Masalah tersebut tidak hanya merupakan masalah perempuan tetapi laki-laki
pun banyak yang menaruh simpati dengan mulai memeriksa kembali dokumendokumen Konsili Vatikan II mengenai teori, etis maupun prakteknya.
105
Dr. J. B. Banawiratma SJ, Gender dalam Gereja Katolik, h. 7
99
100
Para feminis sendiri sebenarnya menolak hierarki tetapi bukan berarti
peniadaan institusi yang menjalankan fungsi dengan memberikan kebebasan kepada
laki-laki dan perempuan sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Masalah inilah
yang hendak diperjuangkan oleh para perempuan feminis. Para perempuan
menginginkan hak yang sama dengan laki-laki dalam membuat keputusan dan
kebijakan dalam mengakses kepemimpinan, mengakses kontrol kekuasaan.106
Yang menjadi akar permasalahan bersumber dari pernyataan Paus Yohanes
Paulus II mengenai penahbisan perempuan, ia menegaskan bahwa gereja tidak
memiliki otoritas untuk menahbiskan perempuan menjadi imam, pengajaran ini
didasarkan pada tradisi Gereja yang tidak dapat diubah. Argumen yang dipakai
Vatikan untuk menolak penahbisan perempuan sangat jelas. Pertama, berdasarkan
kelaki-lakian Yesus; Kedua Yesus hanya memilih dua belas laki-laki menjadi
muridnya; Ketiga warisan tradisi yang tidak bisa diubah.107
Gerakan feminisme dalam Gereja berupaya ingin menbangun persaudaraan
yang sederajat, laki-laki dan perempuan dalam persekutuan berdasarkan Injil Yesus
Kristus. Hal ini dapat dijalankan pada kelompok yang paling kecil yaitu keluarga,
kelompok-kelompok basis sampai kelompok yang lebih luas dalam lingkup paroki
dan seterusnya.
106
Iswanti, Kodrat Yang Bergerak (gambar, peran, dan kedudukan perempuan dalam gereja
Katolik) h.167
107
Iswanti, Kodrat Yang Bergerak (gambar, peran, dan kedudukan perempuan dalam gereja
Katolik), h.168
100
101
Gelombang pertama gerakan feminis ditandai dengan kampanye kaum
perempuan untuk menuntut hak suara. Gerakan feminis gelombang kedua (akhir
tahun 60 an dan awal tahun 70an) memunculkan gerakan maupun analisis yang lebih
mendasar mengenai status sosial dan politis kaum perempuan.
Dari awal munculnya tampak bahwa feminisme merupakan gerakan
pembebasan perempuan dari dominasi kekuasaan sesuai dengan penafsiran dan
pilihan konkret mereka. Feminis sebagai sebuah gerakan pembebasan dan makin
tegas tampil sebagai sebuah gerakan pembebasan dengan bermacam-macam
perjuangan yang berpangkal pada analisis dan situasi hidup nyata. Feminis
melontarkan kritik yang sangat mendasar terhadap domonasi patriarki yang didukung
oleh ideologi gender dan meresapi seluruh bidang kehidupan.
Patriarki merupakan kekuasaan bapak (kaum laki-laki) yang mendominasi,
mensubordinasikan dan mendislriminasikan kaum perempuan. Dalam segala bidang
kehidupan kaum laki-laki menjadi pusat dan kaum perempuan dimarginalkan.
Dominasi kekuasaan itu didukung oleh ideologi gender yaitu pola relasi dan
perempuan sebagai hasil proses budaya yang kemudian dibakukan. Misalnya, tugas
kaum perempuan adalah pekerjaan-pekerjaan rumah tangga wajar kalau kaum
perempuan tidak ikut serta dalam proses pengambilan keputusan baik dalam kelarga
maupun dalam masyarakat. Patriarki merupakan dominasi laki-laki atas perempuan,
atas badannya, seksualitasnya, pekerjaannya, perannya, statusnya baik dalam
keluarga maupun dalam masyarakat.
101
102
Dalam perubahan budaya sekarang ini kita mendapat kesempatan untuk
mengakui dan menerima kesalahan gereja karena tidak memberikan sumbangan bagi
pembebasan kaum perempuan, melainkan melestarikan subordinasi dan dominasi
terhadap kaum perempuan dalam banyak bentuk, misalnya peminggiran dan
kekerasan terhadap perempuan. Gereja mendapat kesempatan untuk bertobat dan
berbalik arah. Hal-hal yang harus dilakukan antara lain:
1) Mengakui dosa sexism, dominasi, subordinasi, dan diskriminasi.
2) Menghilangkan penindasan dan subordinasi terhadap perempuan dalam
pekerjaan-pekerjaan, lembaga-lembaga, dan paguyuban-paguyuban.
3) Memikirkan kembali pandangan iman (teologi) terutama mengenai Yesus
Kristus dan mengenai Gereja.
4) Mengembangkan
program-program
pastoral
untuk
mengurangi
atau
menghapus penderitaan dari para korban diskriminasi, subordinasi dan
dominasi, serta memajukan perkembangan kemanusiaan sepenuhnya. 108
Pada simposium mengenai “mengenai situasi konflik, budaya, dan
pengalaman Kristiani”, yang diselenggarakan oleh Missionswissenschaftliches
Institute di Aachen, Jerman. Salah satu kelompok kerja mengenai feminisme
membawakan hasil percakapan sebagai berikut:
Yesus yang dulu hidup di tanah Yahudi merupakan simbol dan kehadirat Allah.
Sebagai seorang manusia Yesus terbatas pada cirri-ciri kemanusiaan. Dia dilahirkan
sebagai laki-laki, hidup dalam budaya Yahudi, termasuk dalam ras Semit. Setelah
108
Dr. J. B. Banawiratma SJ, Gender dalam Gereja Katolik h. 8
102
103
kebangkitan dari kematian di kayu salib (melalui anugerah dan karya Roh) simbol
dan kehadirat Allah, tidak lagi terbatas pada jenis kelamin laki-laki melainkan juga
pada perempuan, pada semua budaya, dan semua ras.109Maka dari itu kelaki-lakian
Yesus tidak dapat dijadikan argumen untuk menentukan keikutsertaan kaum
perempuan dalam partisipasi yang semakin penuh dalam Gereja murid-murid Yesus.
Begitu pula mengenai budaya dan ras.110
Secara khusus, teologi feminis menanggapi masalah kemiskinan dalam
kaitannya dengan ketimpangan jender, diskriminasi dan penindasan terhadap
perempuan. Arus dasar yang diperjuangkan adalah membela perempuan yang
ditindas, membongkar patriarki dalam masyarakat, agama, dan keluarga dengan
segala ketidakadilan yang menyertainya. Pada titik inilah agama memperjuangkan
martabat perempuan dalam mengalami kekerasan dan ketertindasan bersama para
teolog feminis.111
Usaha-usaha yang dilakukan oleh para feminis yaitu mempromosikan dan
mencari
cara
memperjuangkan
keadilan
gender
yang
lebih
tepat
atau
memperhitungkan dampak atau efek samping dari setiap agenda perjuangan. Dalam
teologi feminis, pengalaman perempuan menjadi titik tolak bagi pemikiran dan aksi
109
Lihat Ephesus 1:10; Gal 3:28
110
Dr. J. B. Banawiratma SJ, Gender dalam Gereja Katolik h. 11
111
Retnowati, Perempuan-perempuan dalam Al-kitab (peran, partisipasi, dan perjuangannya),
h.40
103
104
teologi (teologi dari bawah).112 Agenda yang besar bukan hanya jadi pekerjaan para
perempuan feminis ataupun yang memperjuangkan keadilan yang tidak diskriminatif
tetapi merupakan usaha bersama antara perempuan dan laki-laki juga semua
komponen yang ada di dalam komunitas Gereja.
112
Wawancara pribadi penulis dengan suster Yulia (aktivis perempuan Katolik), dikediaman
perkumpulan para suster/kesusteran Jl. kelapa gading v cililitan Jakarta Selatan, tanggal 18 agustus
2008 pukul 14.30
104
105
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan skripsi yang berjudul Status dan Peranan Perempuan Dalam
ajaran Gereja Katolik, penulis dapat menarik kesimpulan yaitu:
Bahwa status dan Peranan perempuan dalam ajaran Katolik dibagi menjadi 3 bagian
antara lain;
Status dan peranan perempuan dalam kehidupan domestik mencakup
statusnya sebagai ibu rumah tangga, sebagai istri, dan sebagai anak perempuan.
Perempuan memainkan peran yang amat penting dalam kehidupan selain sebagai istri
yang selalu mengurus kehidupan rumah tangga tetapi perempuan juga aktif dalam
kegiatan organisasi masyarakat tanpa melupakan tugas dan tanggung jawabnya
sebagai istri dan tanggung jawabnya. Perempuan menyadari akan panggilannya
sebagai istri karena itu sudah merupakan panggilan Al-kitab. Perhatian Gereja
Katolik terhadap perempuan sangat baik terbukti bahwa Vatikan sangat aktif dan
cukup berhasil dalam memperjuangkan hak para istri dan ibu yang sering diabaikan
oleh masyarakat dan Negara.
Status dan peranan perempuan dalam kehidupan publik mencakup perannya
sebagai perempuan karier. Perempuan memperoleh posisi yang sederajat dengan lakilaki dalam semua bidang; seperti seni, buruh, pengetahuan, tehnik, dll. Perempuan
dan laki-laki akan menjadi mitra sejajar apabila mereka mampu bekerja sama dengan
105
baik dalam semua bidang pekerjaan yang mampu memberikan semangat kepada
orang lain didalam pekerjaannya. Kerja sama akan terwujud jika kedua belah pihak
menyadari akan panggilan mereka (sebagai perempuan karier) untuk mendekati
Tuhan. Sebagaimana sabda Allah untuk mereka: Tuhan menciptakan umat manusia
laki-laki dan perempuan dan menciptakan mereka menurut gambaranNya.
Status dan peranan perempuan dalam kehidupan sosial keagamaan mencakup
statusnya sebagai pelayan, pengajar teologi, pemberi kehidupan rohani, dsb.
Perempuan Katolik telah banyak ambil bagian dalam urusan keagamaan, mereka
mendapat tempat mengajar di universitas-universitas Katolik, menjalankan program
katekese-katekese di paroki, mereka juga mendapat kesempatan memberikan
bimbingan rohani seperti yang dilakukan para pastoral. Dengan kata lain, perempuan
Katolik saat ini mulai menunjukkan kiprahnya dalam kemajuan agama Katolik.
Gereja Katolik berupaya membangun persaudaraan antar umat manusia tanpa
membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan Injil Yesus Kristus.
Sudah seharusnyalah Gereja Katolik mulai memperhitungkan akan kehadiran
perempuan sebagai mitra sejajar dan tidak menjadikan mereka sebagai mekhluk
nomor dua yang harus berdiam diri dan hanya mengurus urusan domestik semata.
Saran-saran
Penulis ingin mengajukan beberapa saran antara lain:
1. Hendaknya para teolog feminis meneruskan perjuangan para penggagas
terdahulu, agar ketidakadilan gender yang merugikan perempuan dapat
berkurang atau bahkan dihilangkan dari kehidupan dan itu merupakan tugas
bagi kita semua yang peduli terhadap ketidakadilan khususnya bagi
perempuan agar menciptakan kehidupan yang harmonis dan penuh dengan
kebersamaan.
2. Gereja hendaknya memberi tempat bagi keragaman yang dimiliki umat dalam
gereja. Gereja memberikan perhatian terhadap harkat dan martabat semua
manusia dalam tempat yang semestinya agar menciptakan suatu komunitas
gereja yang harmonis dan lebih demokratis.
3. Bagi semua lapisan masyarakat, janganlah memperluas jurang perbedaan
antara laki-laki dan perempuan. Kita semua sama merupakan makhluk ciptaan
Tuhan yang diberi pengetahuan yang sama agar dapat saling mengisi dan
menghargai satu sama lain.
4. Penulis
sangat
mengharapkan
adanya
penelitian
selanjutnya
yang
berhubungan dengan status dan peranan perempuan Katolik dari segi yang
berbeda sebab pembahasan mengenai masalah tersebut sangat menarik untuk
dibahas selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia: 2002
Banawiratma, Feminisme Berhadapan dengan Kekuasaan, Kapitalisme, dan Agama,
Seri Forum LPPS nomor 38, Jakarta:1997
Borrowdale, Anne, Tugas Rangkap Wanita mengubah Sikap Orang Kristen, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1997
Dister, Syukur Dr. N., Bapak dan Ibu sebagai Simbol Allah, Yogyakarta: Kanisius,
1983
Fakih, Mansour Dr., Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996
Fiorenza, Elizabeth Schussler, Untuk Mengenang Perempuan Itu, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1995
Frommel, dan Marie Claire Barth, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu (Pengantar
Teologi Feminis), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003
Heuken SJ, A., Ensiklopedi Gereja I, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1994
----------------, Ensiklopedi Gereja II, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1994
Horton, Paul B., dan Chester.L.Hunt, Sociology, Co-Singapore: Mc Graw Hill-Book,
1984
Ihromi T.O., dan Maria Ulfah Subadio, Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia,
Yogyakarta: 1986
Iswanti, Kodrat yang Bergerak, Yogyakarta: Kanisius, 2003
Murniati, Nunuk P., Getar-getar Gender Perempuan Indonesia dalam Perspektif
Agama, Budaya, dan Keluarga, Vol. I Magelang: Yayasan Indonesia Tera,
2004
---------------------, Getar-getar Gender Perempuan Indonesia dalam Perspektif
Agama, Budaya, dan Keluarga, Vol. II Magelang: Yayasan Indonesia Tera,
2004
Nigosian S. A., World Faiths, New York: St Martin Press, 1990
Nurdin, MA, Amin, et.all, Mengerti Sosiologi: pengantar untuk memahami konsepkonsep dasar, cet.I, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006
Rausch, Thomas P., Katolisisme (teologi bagi kaum awam), Yogyakarta: Kanisius,
2001
Retnowati, Perempuan-perempuan dalam Al-kitab (peran,
perjuangannya), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004
partisipasi,
dan
Robert, R.L.Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta: PT Gramedia,
1988
Ruether, Radford Rosemary, Perempuan dan Tafsir Kitab Suci, Kanisius dan BPK:
1998
Sharma, Arvind, Today’s Woman In World Religion, New York: State University of
New York Press, 1994
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 1987
Tinambunan, Dr. Edison R.L., Perempuan menurut Pandangan Edith Stein, Malang:
Dioma, 2003
Training Gender dalam Agama-agama, Kapal Perempuan, Banyuwangi, 15-23 maret
2002
Umar, Dr. Nasaruddin , Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, cet.II,
Jakarta: Paramadina, 2001
Putnam Tong, Rosemarie, Feminist Thought (pengantar paling komprehensif kepada
arus utama pemikiran feminis), cet.II, Yogyakarta: Jalasutra, 1998
Prihindraningsih, Yuanita, Perempuan dalam Agama Katolik (seri pergulatan
perempuan dalam beragama), Jakarta: Kapal Perempuan, 2000
Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengantar Kajian Gender,
Jakarta:2003
DOKUMEN-DOKUMEN
DOKPEN KWI, Mulieris Dignatatem (martabat kaum wanita), Jakarta: dokpen KWI,
1994
------------------, Keluarga dan Hak-hak Asasi, Jakarta: dokpen KWI, 2007
------------------, Familiaris Consortio (keluarga), Jakarta: dokpen KWI, 1993
------------------, Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: dokpen KWI, 1993
------------------, Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 (dari Rerum Novarum
sampai Centesimus Annus), Jakarta: dokpen KWI, 1999
-------------------, Kerja Sama Pria dan Wanita dalam Gereja dan Dunia (surat
kongregasi ajaran iman kepada para uskup gereja Katolik), Jakarta: dokpen
KWI, 2004
Download