Kekuatan alat bukti keterangan saksi yang memiliki hubungan

advertisement
Kekuatan alat bukti keterangan saksi yang memiliki hubungan darah
dengan terdakwa dalam tindak pidana pencurian
Dalam keluarga
(studi kasus di pengadilan negeri surakarta)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
Grace Suliestiowati
NIM : E .0004174
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2008
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI YANG MEMILIKI
HUBUNGAN DARAH DENGAN TERDAKWA DALAM TINDAK
PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA
(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)
Disusun oleh :
GRACE SULIESTIOWATI
NIM : E 0004174
Disetujui untuk Dipertahankan
Dosen Pembimbing
EDY HERDYANTO, S.H.,M.H.
NIP. 131 472 194
ii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI YANG MEMILIKI
HUBUNGAN DARAH DENGAN TERDAKWA DALAM TINDAK PIDANA
PENCURIAN DALAM KELUARGA
(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta )
Disusun oleh :
GRACE SULIESTIOWATI
NIM : E 0004174
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
pada :
Hari
: Selasa
Tanggal
: 29 April 2008
TIM PENGUJI
1Bambang Santoso, S.H.,M.Hum.
:
...........................................
:
...........................................
:
...........................................
Ketua
2.Kristiyadi, S.H.,M.Hum.
Sekretaris
3.Edy Heryanto, S.H.,M.H.
Anggota
:
Mengetahui :
Dekan
( Moh. Jamin, S.H., M.Hum. )
NIP. 131 570 154
iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Sesungguhnya Allah SWT tidak akan merubah keadaan suatu kaum, kecuali jika mereka
mengubah keadaan diri mereka sendiri”
(QS. Ar Ra’du : 11)
“.....Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan, beberapa derajat.....”
(Q.S. Al Mujaadillah:11)
“Cara pandang dan sikap mental yang positif akan menciptakan jauh lebih banyak keajaiban
ketimbang obat-obatan manapun ”
(Patricia Neal)
Penulisan Hukum ini kupersembahkan kepada :
©
Ayah dan Ibuku, yang selalu memberikan doa dan
kasih sayang
©
Kakak-kakakku, Mas Eko & Mas Sonny yang
sudah jadi teladan dan pemberi semangat buat aku
©
Almameterku yang tercinta
iv
ABSTRAK
Grace Suliestiowati, E 0004174, KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN
SAKSI YANG MEMILIKI HUBUNGAN DARAH DENGAN TERDAKWA
DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA (Studi kasus
di Pengadilan Negeri Surakarta). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.2008
Penelitian ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai kekuatan alat
bukti keterangan saksi yang memiliki hubungan darah terhadap terdakwa dan
hambatan-hambatan dalam proses pembuktian di sidang pengadilan terhadap kasus
pencurian dalam keluarga. Kekuatan pembuktian alat bukti keterangan saksi dalam
proses pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap kasus pencurian dalam keluarga
adalah merupakan alat bukti yang sah dan dapat merupakan alat bukti yang tidak
sah: apa saja yang menjadi hambatan dalam sidang pemeriksaan kasus tindak pidana
pencurian dalam keluarga yang menggunakan saksi yang memiliki hubungan darah
terhadap terdakwa.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu penelitian yang
menggambarkan keadaan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta
yang tampak. Dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder
diperoleh dengan jalan studi kepustakaan. Data sekunder yang dipakai meliputi
bahan hukum primer yaitu berupa Undang-Undang Dasar 1945, Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; bahan hukum
sekunder yaitu buku-buku referensi dan putusan Pengadilan Negeri, khususnya
mengenai kasus pencurian dalam keluarga; dan bahan hukum primer yaitu data yang
diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan dengan mengadakan wawancara
dengan hakim yang menangani perkara tindak pidana pencurian dalam keluarga di
Pengadilan Negeri Surakarta. Setelah data teridentifikasi secara sistematis kemudian
dianalisis dengan analisis kualitatif dengan model interaktif
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterangan saksi yang memiliki hubungan
darah terhadap terdakwa tindak pidana pencurian dalam keluraga apabila diberikan
di bawah sumpah yang dilakukan atas kehendak mereka dan kehendaknya itu
disetujui secara tegas oleh penuntut umum dan terdakwa, memiliki nilai sebagai alat
bukti yang sah, namun apabila jaksa penuntut umum dan terdakwa tidak menyetujui
mereka sebagai saksi dengan disumpah maka bagi saksi yang memiliki hubungan
darah terhadap terdakwa tindak pidana pencurian dalam keluarga dapat memberikan
keterangan tanpa sumpah, nilai keterangan tidak merupakan alat bukti yang sah dan
nilai pembuktian yang melekat pada keterangan tersebut dapat dipakai sebagai
petunjuk. Mengenai hambatan pada proses pemeriksaan alat bukti keterangan saksi
yang dapat terjadi pada kasus tindak pidana pencurian dalam keluarga adalah apabila
tidak terpenuhinya batas minimum pembuktian yaitu minimal terdapat 2 alat bukti
yang sah yang menunjukkan bahwa terdakwa memang bersalah adalah pada saat
keterangan saksi diberikan tanpa sumpah, keterangan tersebut menjadi alat bukti
petunjuk, dan apabila tidak ada alat bukti sah lainnya selain keterangan terdakwa,
kemudian terdakwa menyatakan tidak bersalah, maka tidak terpenuhi batas minimum
pembuktian sehingga terdakwa dapat dinyatakan tidak bersalah dan diputus bebas.
v
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
atas limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan
hukum
KETERANGAN
DENGAN
yang
SAKSI
TERDAKWA
berjudul
YANG
:
“KEKUATAN
MEMILIKI
DALAM
TINDAK
ALAT
BUKTI
HUBUNGAN
DARAH
PIDANA
PENCURIAN
DALAM KELUARGA” (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta).
Penulisan hukum ini membahas tentang kekuatan pembuktian keterangan
saksi yang memiliki hubungan darah terhadap terdakwa dan hambatan dalam
proses pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap kasus pencurian dalam
keluarga, khususnya pada kasus pencurian dalam keluarga yang telah diputus oleh
Pengadilan Negeri Surakarta.
Pencurian merupakan salah satu tindak pidana. Tidak menutup
kemungkinan tindak pidana ini dilakukan dalam lingkungan keluarga, dan untuk
melanjutkan lewat jalur hukum maka dibutuhkan adanya pengaduan. Setelah
adanya pengaduan maka tindak pidana ini bisa diperiksa di pengadilan. Salah satu
hal yang akan diperiksa adalah keterangan saksi yang memiliki hubungan darah.
Seperti pada kasus yang dibahas pada penulisan hukum ini yaitu mengenai
kekuatan alat bukti keterangan saksi yang memiliki hubungan darah terhadap
terdakwa tindak pidana pencurian dalam keluarga beserta hambatannya.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini tidak akan terwujud tanpa
adanya bantuan, motivasi dan bimbingan dari berbagai pihak, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Moh. Jamin, S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Skripsi serta
Ketua Bagian Hukum Acara di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah sabar dalam membimbing saya.
vi
3. Bapak Moch. Najib. I, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
selalu memberikan nasehat dan masukan kepada penulis.
4. Bapak dan Ibu dosen beserta segenap karyawan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
5. Ketua Pengadilan Negeri Surakarta yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk melakukan penelitian di kantor Pengadilan Negeri
Surakarta.
6. Bapak Simanjuntak, Bapak Ari, Bapak Tarto, Bapak Isnu yang telah
membantu saya dalam mengumpulkan dan bapak ibu lainnya yang telah
membantu penulis saat penelitian di kantor Pengadilan Negeri Surakarta
7. Bapak Widyo Harno,S.H selaku pegawai rumah tahanan yang telah memberi
inspirasi bagi saya untuk menemukan judul skripsi.
8. Keluarga besarku di Bogor, Jakarta, Medan dan Pontianak.
9. Shinta, Dita, Ika, Ayu, Damayanti, teman-temanku di Bogor .
10. Ulfa Septiana yang sudah jadi alasan untuk aku kuliah di Universitas Sebelas
Maret, terima kasih temanku,karena kamu aku punya kesempatan dan alasan
bisa kuliah di Universitas Sebelas Maret.
11. Andina, Nurul, Heri, Zuhratul Aini, Dustin, Muhammad, Ika Ariani Kartini,
yang tidak pernah sungkan memberikan bantuan bagi saya
12. Teman-temanku satu bimbingan Akademik
13. Bapak&Ibu Kost Wisma Putri Nita; Wismoner’s : Mbak Herlin, Erin, Arina,
Era, Seha, Grace, Yau, Atiek, Uty, Peny, Like, Ria, dll
14. Seluruh teman – teman program strata satu reguler Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta Angkatan 2004 yang telah memberikan
bantuan dan saran dalam pembuatan dan penyusunan skripsi ini.
15. Seluruh pihak yang telah membantu dalam kelancaran penyusunan skripsi ini.
Demikian mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulis sendiri, kalangan akademis,
praktisi serta masyarakat umum.
Surakarta, April 2008
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..............................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ........................................................
iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN..............................................
iv
ABSTRAK .......................................................................................................
v
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
xi
BAB I
PENDAHULUAN .........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah...........................................................
1
B. Perumusan Masalah .................................................................
3
C. Tujuan Penelitian .....................................................................
3
D. Manfaat Penelitian ...................................................................
4
E. Metode Penelitian ....................................................................
5
F. Sistematika Penulisan Hukum .................................................
9
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................
10
A. Kerangka Teori ........................................................................
10
1. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian ...............................
10
a. Pengertian Pembuktian ................................................
10
b. Sistem Pembuktian.......................................................
11
1) Beberapa Sistem Pembuktian.................................
11
2) Sistem Pembuktian yang Dianut KUHAP .............
13
BAB II
2. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti dan Kekuatan
Pembuktian.........................................................................
14
a. Keterangan Saksi..........................................................
15
b. Keterangan Ahli ...........................................................
16
c. Surat .............................................................................
18
d. Petunjuk .......................................................................
19
viii
e. Keterangan Terdakwa ..................................................
20
3. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencurian
dalam Keluarga ..................................................................
22
a. Pengertian Tindak Pidana ............................................
22
b. Pengertian Tindak Pidana Pencurian ...........................
23
c. Pengertian Tindak Pidana Pencurian dalam Keluarga.
24
d. Tindak Pidana Pencurian dalam Keluarga sebagai
Delik Aduan .................................................................
25
B. Kerangka Pemikiran.................................................................... 33
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 35
A. Kekuatan Alat Bukti Keterangan Saksi yang memiliki
Hubungan Darah Dengan Terdakwa Dalam Tindak Pidana
Pencurian Dalam Keluarga ..................................................................... 35
1. Kasus Posisi ...................................................................................... 35
2. Dakwaan............................................................................................ 36
3. Keterangan Saksi............................................................................... 37
4. Petunjuk ............................................................................................ 41
5. Keterangan Terdakwa ....................................................................... 42
6. Tuntutan ............................................................................................ 43
7. Pertimbangan Hakim......................................................................... 43
8. Putusan Hakim .................................................................................. 46
9. Pembahasan....................................................................................... 47
B. Hambatan dalam Pembuktian Dengan Menggunakan Alat
Bukti Keterangan Saksi yang Memiliki Hubungan Darah
Dengan Terdakwa Dalam Tindak Pidana Pencurian Dalam
Keluarga .................................................................................................. 53
BAB IV. PENUTUP ........................................................................................... 57
A. Simpulan ................................................................................................. 57
B. Saran........................................................................................................ 58
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Bagan Metode Analisis Interaktif ......................................... 8
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran.............................................................. 33
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I.
Surat Ijin Penelitian
Lampiran II
Surat Keterangan Penelitian
Lampiran III Putusan Pengadilan No.169/ Pid.B/ 2007/ PN.SKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian penegasan Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai negara hukum, Indonesia
menempatkan warga negara dalam kedudukan yang sama dalam hukum
sebagaimana ditegaskan pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yaitu yang
berbunyi : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya”.
Adapun ciri-ciri dari negara hukum menurut Nico Ngani antara lain
meliputi :
1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung
persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan
kebudayaan.
2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh
sesuatu kekuasaan atau kekuasaan apapun juga.
3. Legalitas dalam arti dan segala bentuknya (Nico Ngani, 1984 : 1).
Berdasarkan ciri-ciri negara hukum seperti yang dituliskan di atas,
Indonesia sebagai negara hukum mempunyai salah satu ciri yang penting
yaitu adanya peradilan yang bebas. Untuk melaksanakan peradilan yang
bebas, Negara Indonesia telah mewujudkannya dengan diaturnya proses
xi
peradilan pidana dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan
tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan
suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan
dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana
telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan
(Moch. Faisal Salam, 2001 : 1).
Hukum acara pidana mengatur cara-cara yang harus ditempuh untuk
menegakkan atau menciptakan ketertiban di dalam masyarakat. Hal ini wajib
diterapkan dalam masyarakat agar tecapai suatu masyarakat yang tertib, aman,
1
dan tenteram.
Mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran
materiil diterapkan pada sidang pemeriksaan perkara pidana di pengadilan
yaitu pada tahap pembuktian. Pada tahap ini merupakan tahap yang penting
dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan. Dikatakan penting karena
pada tahap ini dapat ditentukan apakah terdakwa benar-benar bersalah atau
tidak. Pembuktian dilakukan dengan mendatangkan alat-alat bukti yang telah
ditentukan oleh undang-undang. Dengan begitu dapat membantu hakim dalam
menjatuhkan putusan.
Dalam pembuktian perkara pidana akan ditentukan oleh adanya alat
bukti.Perihal alat-alat bukti yang sah yang ditentukan oleh undang-undang,
Pasal 184 KUHAP menyebutkan sebagai berikut :
(1) Alat bukti yang sah ialah :
a.
keterangan saksi;
b.
keterangan ahli;
xii
c.
surat;
d.
petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
(2)
Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Dalam pemeriksaan perkara pidana di persidangan diwajibkan
menggunakan minimal dua alat bukti. Salah satu alat bukti yang dapat
digunakan dalam proses pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan
adalah keterangan saksi. Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling
utama. Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Menurut pasal 168
KUHAP terdapat beberapa kekecualian untuk menjadi saksi, antara lain:
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa;
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai
derajat ketiga;
c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersamasama sebagai terdakwa
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka penulis tertarik untuk
mengetahui lebih dalam mengenai hambatan dan kekuatan pembuktian
keterangan saksi yang memiliki hubungan darah terhadap terdakwa dalam
proses pemeriksaan perkara pidana pencurian dalam keluarga di sidang
pengadilan, khususnya di Pengadilan Negeri Surakarta. Dengan demikian
penulis mengadakan penelitian hukum dengan judul “KEKUATAN ALAT
BUKTI
KETERANGAN SAKSI YANG MEMILIKI HUBUNGAN
DARAH
DENGAN
TERDAKWA
DALAM
TINDAK
PIDANA
PENCURIAN DALAM KELUARGA” (Studi Kasus di Pengadilan Negeri
Surakarta)
xiii
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas maka dapat
dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kekuatan alat bukti keterangan saksi yang memiliki
hubungan darah dengan terdakwa dalam tindak pidana pencurian
dalam keluarga?
2. Apa saja yang menjadi hambatan dalam pembuktian dengan
mengunakan alat bukti keterangan saksi yang memiliki hubungan
darah dengan terdakwa dalam tindak pidana pencurian dalam
keluarga?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian adalah suatu yang hendak dicapai dalam suatu
penelitian sebagai suatu penyelesaian atas masalah yang dihadapi (tujuan
obyektif),
maupun dalam hal untuk memenuhi kebutuhan perorangan
(tujuan subjektif). Dalam penelitian ini tujuan yang ingin dicapai oleh
penulis adalah:
1. Tujuan objektif
a. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan pembuktian dari alat bukti
keterangan saksi yang memiliki hubungan darah terhadap tindak
pidana pencurian dalam keluarga.
b. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja dalam pembuktian
dengan menggunakan alt bukti keterangan saksi yang memiliki
hubungan darah terhadap terdakwa tindak pidana pencurian dalam
keluarga.
2. Tujuan subjektif
xiv
a. Untuk memenuhi persyaratan akademis yang diwajibkan guna
meraih gelar sarjana di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk menambah pengetahuan, pemahaman dan wawasan penulis
dalam bidang Ilmu Hukum Acara Pidana, khususnya mengenai
kekuatan alat bukti yang memiliki hubungan darah terhadap
terdakwa tindak pidana pencurian dalam keluarga.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum
pada umumnya, di bidang Hukum Acara Pidana pada khususnya
mengenai alat bukti keterangan saksi yang memiliki hubungan darah
terhadap terdakwa tindak pidana pencurian dalam keluarga.
b. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat sebagai tambahan informasi
sekaligus menambah literatur di perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Manfaat Praktis
a. Dengan diadakan penelitian hukum ini menjadi sarana penambah
wawasan dan meningkatkan pengetahuan penulis di bidang hukum.
b. Memberi masukan sekaligus membantu para pihak yang tertarik
ataupun terkait dengan masalah yang diteliti oleh penulis.
E.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
xv
Penelitian ini termasuk pada penelitian hukum empiris, yaitu suatu
penelitian yang berusaha mengidentifikasikan hukum yang terdapat dalam
masyarakat dengan maksud untuk mengetahui gejala-gejala lainnya
(Soerjono Soekanto:1986:52). Dalam Penulisan hukum ini penulis
melakukan
penelitian
terhadap
law
in
action
atau
hukum
operasionalisasinya.
2. Sifat Penelitian
Penelitian merupakan penelitian deskriptif. Adapun pengertian
penelitian deskriptif, yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki
dengan menggambar atau melukiskan keadaan obyek penelitian pada saat
sekarang, berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya
(Hadari Nawawi, 1996:74)
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini bersifat kualitatif
yaitu pendekatan dengan mendasarkan pada data yang diberikan oleh
responden secara lisan atau tertulis,dan juga perilaku yang nyata diteliti,
dipelajari sebagai suatu yang utuh, menggunakan data verbal dan
kualifikasi bersifat teoritis diolah dan ditarik kesimpulan dengan metode
berfikir induktif.
4
Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memilih lokasi di :
Pengadilan Negeri Surakarta, yang beralamat di Jalan Brigadir Jenderal
Slamet Riyadi Nomor. 290 Surakarta.
xvi
5
Jenis Data Penelitian
Data dibedakan menjadi dua yaitu: data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dari penelitian perilaku masyarakat. Data sekunder
mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian
yang berwujud laporan, buku-buku harian, dan seterusnya (Soerjono
Soekanto, 1986:12)
6
Sumber Data
Berdasarkan jenis data, ditentukan pula sumber data, sumber data
yang digunakan adalah:
a. Sumber data primer
Merupakan
sumber
data
yang
terkait
langsung
dengan
permasalahan yang diteliti. Dalam hal ini yang menjadi sumber data
primer adalah pejabat atau pegawai Pengadilan Negeri Surakarta. Data
tentang penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara dengan hakim
yang menangani perkara tersebut, sehingga diharapkan agar hasil yang
diperoleh merupakan hal obyektif dan sesuai dengan obyek yang
diteliti
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder yaitu sumber data yang secara tidak
langsung memberikan keterangan dan bersifat melengkapi sumber data
primer. Yang menjadi sumber data sekunder adalah buku-buku ilmiah,
peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, dan sumbersumber lain yang mendukung penelitian.
7
Teknik Pengumpulan Data
xvii
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam
penelitian ini adalah:
a. Studi kepustakaan
Pada metode ini, Penulis menggunakan teknik pengumpulan data
dengan cara mempelajari buku-buku literatur, peraturan-peraturan
hukum, surat kabar dan lain-lain yang ada hubungannya dengan
penelitian ini.
b. Wawancara
Penulis
langsung ke lapangan untuk memperoleh data primer
dengan cara mengadakan wawancara langsung dengan hakim
Pengadilan Negeri Surakarta yang pernah memeriksa dan memutus
perkara tindak pidana pencurian dalam keluarga.
8
Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data
dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan
tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja yang disarankan oleh data
(Lexy J.Moleong, 1994: 103).
Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif model
interaktif. Pengertian dari model interaktif adalah bahwa data yang telah
terkumpul akan dianalisis melalui tiga tahap, yaitu : mereduksi data,
menyajikan data kemudian menarik kesimpulan. Selanjutnya dilakukan
proses siklus antara tahap-tahap tersebut, sehingga data yang terkumpul
berhubungan satu dengan yang lainnya secara sistematis (H.B.
Sutopo,1991 : 13).
Untuk memperjelas dapat dilihat skema di bawah ini
Pengumpulan data
xviii
Reduksi data
Penyajian data
Penarikan
kesimpulan
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
- Reduksi Data
Merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian kepada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang
muncul dari catatan tertulis di lapangan.
- Penyajian Data
Sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan
penarikan kesimpulan dan penarikan data.
- Penarikan Kesimpulan
Pengumpulan data dan dari data tersebut ditarik kesimpulan, mulamula belum jelas, meningkat menjadi lebih rinci dan mengarah pada
pokok.
F.
Sistematika Penulisan Hukum
BAB I
: PENDAHULUAN
xix
Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian , manfaat penelitian
dan metode penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai kerangka teori dan kerangka
pemikiran. Dalam kerangka teori diuraikan tentang tinjauan umum
tentang pembuktian, tinjauan umum tentang alat bukti dan kekuatan
pembuktian, tinjauan umum tentang tindak pidana, tinjauan umum
tentang tindak pidana pencurian, tinjauan umum tentang tindak
pidana pencurian dalam keluarga
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini memuat hasil penelitian dan pembahasan tentang
kekuatan alat bukti keterangan saksi yang memiliki hubungan darah
dengan terdakwa dan hambatan-hambatan yang dapat terjadi pada
pembuktian yang menggunakan alat bukti keterangan saksi yang
memiliki hubungan darah dengan terdakwa tindak pidana pencurian
dalam keluarga.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini memuat mengenai kesimpulan dan saran yang terkait
dengan permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
xx
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka teori
1.
Tinjauan Umum Tentang Pembuktian
a. Pengertian Pembuktian
Pembuktian berasal dari kata dasar bukti. Menurut Kamus
Bahasa Indonesia, arti bukti adalah sesuatu yang menyatakan
kebenaran suatu peristiwa; keterangan nyata; tanda; hal yang menjadi
tanda perbuatan jahat. Sedangkan pembuktian memilki arti proses,
cara, perbuatan membuktikan; usaha menunjukkan benar atau
salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan ( Balai Pustaka,
2001:172).
Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian
dalam perkara perdata. Hukum acara pidana itu bertujuan mencari
kebenaran sejati atau yang sesungguhnya, hakimnya bersifat aktif,
hakim berkewajiban untuk mendapatkan bukti yang cukup untuk
membuktikan tuduhan kepada tertuduh (www.kdp.or.id).
Definisi pembuktian menurut M. Yahya Harahap, adalah
ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang
cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan
ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undangundang yang boleh dipergunakan hakim untuk
membuktikan
kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh
sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa (M.
Yahya Harahap, 2002: 273).
xxi
b. Sistem Pembuktian
1) Beberapa sistem pembuktian
Tujuan pembuktian menurut M.Yahya Harahap adalah
untuk
mengetahui
bagaimana
cara
meletakkan
hasil
pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa. Hasil dan
kekuatan pembuktian yang dianggap cukup memadai untuk
membuktikan kesalahan terdakwa didapat melalui beberapa
sistem pembuktian antara lain (M. Yahya Harahap, 2002: 277280):
a) Conviction-in Time
Sistem pembuktian conviction-in time menentukan
salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan
oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang
menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana
hakim menarik dan menyimpulkan kayakinannya, tidak
menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh
diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang
diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil
pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan
langsung
menarik
keyakinan
pengakuan terdakwa.
b)
Conviction-Raisonee
xxii
dari
keterangan
atau
Dalam sistem inipun dikatakan keyakinan hakim tetap
memegang peranan penting dalam menentukan salah
tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian
ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem
pembuktian conviction-in time peran keyakinan hakim
leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction-raisonee,
keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan
yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan
alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas
kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam
sistem conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau
alasan-alasan, dan reasoning itu harus reasonable, yakni
berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim
harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benarbenar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar
keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk
akal.
c) Pembuktian menurut Undang-Undang Positif
Pembuktian menurut undang-undang secara positif
merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan
sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in
time.
Pembuktian menurut undang-undang secara positif,
keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam
membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim
dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah
atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada
prinsip
pembuktian
dengan
alat-alat
bukti
yang
ditentukan dengan undang-undang. Untuk membuktikan
salah atau tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan
xxiii
kepada alat-alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi
syarat-syarat
dan
ketentuan
pembuktian
menurut
undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan
terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim.
Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan
terdakwa, bukan menjadi masalah. Pokoknya, apabila
sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi
menanyakan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa.
Dalam sistem ini, hakim seolah-olah “robot pelaksana”
undang-undang yang tak memiliki hati nurani. Hati
nuraninya tidak ikut hadir dalam menetukan salah atau
tidaknya terdakwa.
d)
Pembuktian
Menurut
Undang-Undang
Secara
Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel)
Sistem pembuktian menurut undang-undang
secara
negatif
merupakan
teori
antara
sistem
pembuktian menurut undang-undang secara positif
dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau
conviction-in time.
Sistem pembuktian menurut undang-undang
secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua
sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem.
Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian
menurut
undang-undang
secara
negatif
menggabungkan ke dalam dirinya secara terpadu
sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem
pembuktian menurut undang-undang secara positif.
Dari hasil penggabungan kedua sistem dan yang
saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu sistem
xxiv
pembuktian menurut undang-undang secara negatif.
Rumusannya berbunyi : salah tidaknya seorang
terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang
didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang.
2) Sistem pembuktian yang dianut KUHAP
Salah satu pasal dalam KUHAP yang berkaitan dengan
pembuktian adalah Pasal 183 KUHAP. Bunyi Pasal 183
KUHAP adalah hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah
melakukannya.
Kemudian
dalam
penjelasan
disebutkan ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya
kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang.
Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP pembuat undang-undang
telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang
paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia
ialah sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif, demi tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian
hukum. Karena dalam sistem pembuktian ini, terpadu kesatuan
penggabungan antara sistem conviction in-time dengan sistem
pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief
wettelijk stelsef) (M. Yahya Harahap, 2002 : 280).
2. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian
Pengertian alat bukti adalah suatu hal (barang atau non barang)
yang ditentukan oleh Undang-Undang yang dapat dipergunakan untuk
xxv
memperkuat dakwaan, tuntutan atau gugatan (Bambang Waluyo,
1996:3).
Selanjutnya mengenai alat bukti yang sah menurut undang-undang
ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP sebagai berikut:
(1)
Alat bukti yang sah ialah :
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
(2)
Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Pasal 184 ayat (1) KUHAP seperti yang telah disebutkan di
atas telah menentukan batasan alat bukti yang sah menurut undangundang. Di luar alat bukti yang telah disebutkan oleh undang-undang
tersebut tidak boleh dipergunakan untuk membuktikan kesalahan
terdakwa. Hakim, penuntut umum, serta terdakwa atau penasihat
hukumnya hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti seperti
yang telah disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Mereka tidak
dapat dengan leluasa menentukan atau menggunakan alat bukti lain
selain yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP karena alatalat bukti yang telah ditentukan tersebut telah dibenarkan mempunyai
kekuatan pembuktian. Pembuktian dengan menggunakan alat bukti di
luar macam alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1)
KUHAP, tidak mempunyai nilai dan kekuatan pembuktian yang
mengikat.
Selanjutnya akan diuraikan kekuatan pembuktian dari
masing-masing alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 ayat (1)
KUHAP
1
(M. Yahya Harahap, 2002: 286-333)
Keterangan Saksi
xxvi
Pengertian keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27
KUHAP, keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam
perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia
alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.
Sedangkan pengertian saksi juga dijelaskan dalam KUHAP yaitu
pada Pasal 1 angka 26. Isi dari Pasal 1 angka 26 KUHAP yaitu
saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri,dan ia alami
sendiri.
Seseorang yang akan menjadi saksi, terlebih dahulu harus
memenuhi syarat-syarat menjadi saksi. Pada umumnya semua
orang dapat menjadi saksi. Kekecualian menjadi saksi tercantum
dalam Pasal 168 KUHAP(Andi Hamzah, 1996 : 268) :
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau
ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa;
b. Saudara dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa
sampai derajat ketiga;
c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa (Andi Hamzah, 1996 : 268).
Mengenai sampai sejauh mana kekuatan pembuktian
keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, maupun nilai
kekuatan pembuktian keterangan saksi dapat diikuti penjelasan
berikut.
Berikut akan dijelaskan tentang kekuatan pembuktian
keterangan saksi. Keterangan saksi yang diberikan dalam sidang
pengadilan, dapat dikelompokkan pada dua jenis :
xxvii
a) Mempunyai kekuatan pembuktian bebas.
Kalau begitu pada alat bukti kesaksian tidak melekat sifat
pembuktian yang sempurna (volledig- bewijskrachf). Tegasnya,
alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai
nilai kekuatan pembuktian bebas. Oleh karena itu, alat bukti
kesaksian sebagai alat bukti yang sah, tidak mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna dan juga tidak memiliki
kekuatan pembuktian yang menentukan. Atau dengan singkat
dapat dikatakan, Alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang
sah adalah bersifat bebas dan tidak sempuma dan tidak
menentukan atau mengikat.
b) Nilai
kekuatan
pembuktiannya tergantung
pada penilaian
hakim.
Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas
yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang
sempurna dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat
hakim. Hakim bebas untuk menilai kesempumaan dan
kebenarannya. Tergantung pada penilaian hakim untuk
menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan
bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi.
Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat
pada
keterangan
itu,
dan
dapat
menerima
atau
menyingkirkannya (M. Yahya Harahap, 2002 : 294).
2
Keterangan Ahli
Pengertian keterangan ahli menurut Pasal 1 angka 28
KUHAP, keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh
seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan. Pada Pasal 186 KUHAP juga disebutkan
xxviii
bahwa keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di
sidang pengadilan.
Pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak mempunyat
nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan.
Dengan demikian nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama
halnya dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat
bukti keterangan saksi. Oleh karena itu, nilai kekuatan pembuktian
yang melekat pada alat bukti keterangan ahli:
a) Mempunyai kekuatan pembuktian yang “bebas” atau “vrij
bewijskracht”
Di dalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian
yang sempurna dan menetukan. Terserah pada penilaian hakim.
Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak
ada keharusan bagi hakim untuk mesti menerima kebenaran
keterangan
ahli
mempergunakan
dimaksud.
wewenang
Namun,
kebebasan
Hakim
dalam
dalam
penilaian
pembuktian, harus benar-benar bertanggung jawab, atas
landasan moral demi terwujudnya kebenaran sejati dan demi
tegaknya hukum serta kepastian hukum.
b) Di samping itu, sesuai dengan prinsip minimum pembuktian
yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang
berdiri sendiri saja tanpa didukung oleh salah satu alat bukti
yang lain, tidak cukup dan tidak memadai membuktikan
kesalahan terdakwa.
Apalagi
jika Pasal
183 KUHAP
dihubungkan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP,
yang menegaskan, seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini juga berlaku
untuk alat bukti keterangan ahli. Bahwa keterangan seorang
xxix
ahli saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus
disertai dengan alat bukti lain (M. Yahya Harahap, 2002 : 304).
3
Surat
Alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP. Bunyi dari
Pasal 187 KUHAP adalah surat sebagaimana tersebut pada Pasal
184 ayat (1) huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau
dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum
yang berwenang atau
yang dibuat di
hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai
dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal
yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan diperuntukkkan bagi pembuktian sesuatu hal
atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti
surat, dapat ditinjau dari segi teori serta menghubungkannya
dengan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam KUHAP.
a) Ditinjau dari segi formal
Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut
pada Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti yang
xxx
sempurna. Sebab bentuk surat-surat yang disebut di dalamnya
dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan
peraturan perundang-undangan. Dengan dipenuhinya ketentuan
formal dalam pembuatannya serta dibuat dan berisi keterangan
resmi dari seorang pejabat yang berwenang, dan pembuatan
serta keterangan yang terkandung dalam surat dibuat atas
sumpah jabatan maka ditinjau dari segi formal alat bukti surat
seperti yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat
bukti yang bernilai sempurna. Oleh karena itu, alat bukti surat
resmi mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna.
b) Ditinjau dari segi materiil
Dari sudut materiil, semua bentuk alat bukti surat yang
disebut dalam Pasal 187 KUHAP, bukan alat bukti yang
mempunyai kekuatan mengikat. Pada diri alat bukti surat itu
tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai
kekuatan pembuktian alat bukti surat, sama halnya dengan nilai
kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti
keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai kekuatan
pembuktian yang bersifat bebas. Tanpa mengurangi sifat
kesempurnaan formal alat bukti surat yang disebut pada Pasal
187 huruf a, b, dan c KUHAP sifat kesempurnaan formal
tersebut tidak dengan sendirinya mengandung nilai kekuatan
pembuktian yang mengikat. Hakim bebas untuk menilai
kekuatan pembuktiannya.
mempergunakan
Hakim
dapat
atau menyingkirkannya (M. Yahya
Harahap, 2002 : 310).
4
Petunjuk
Pasal dalam KUHAP yang berkaitan dengan alat bukti
petunjuk adalah Pasal 188 KUHAP. Dalam Pasal 188 ayat (1)
xxxi
KUHAP dijelaskan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian
atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu
dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya. Ayat (2) menyebutkan bahwa petunjuk hanya dapat
diperoleh dari keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa. Pada
ayat (3) juga dituliskan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian
dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh
hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan
pemeriksaan
dengan
penuh
kecermatan
dan
keseksamaan
berdasarkan hati nuraninya.
Peringatan yang digariskan dalam Pasal 188 ayat (3)
KUHAP, merupakan ajakan kepada hakim, agar sedapat mungkin
lebih baik menghindari penggunaan alat bukti petunjuk dalam
penilaian pembuktian kesalahan terdakwa. Hanya dalam keadaan
yang sangat penting dan mendesak sekali alat bukti ini
dipergunakan (M. Yahya Harahap, 2002: 312).
Sebagaimana yang sudah diuraikan mengenai kekuatan
pembuktian keterangan saksi, keterangan ahli dan alat bukti surat,
hanya mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang bebas.
Maksudnya adalah :
a) hakim terikat atas kebenaran persesuian yang diwujudkan oleh
petunjuk, oleh karena itu, hakim bebas menilainya dan
mempergunakannya scbagai upaya pembuktian,
b) petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri
membuktikan kesalahan terdakwa, dia tetap terikat kepada
prinsip batas minimum pembuktian. Oleh karena itu, agar
petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup,
harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti
yang lain.
xxxii
5
Keterangan Terdakwa
Keterangan
terdakwa
merupakan
alat
bukti
yang
urutannya paling terakhir di antara alat-alat bukti lain yang
disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. Pasal dalam KUHAP yang
berkaitan dengan keterangan terdakwa adalah Pasal 189 KUHAP.
Bunyi dari Pasal 189 KUHAP tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di
sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui
sendiri atau alami sendiri.
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat
digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang,
asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya
sendiri.
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang
lain.
Nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan atau
pengakuan terdakwa adalah sebagai berikut:
a) Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas
Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada
alat bukti keterangan terdakwa. Dia bebas untuk menilai
kebenaran yang terkandung di dalamnya. Hakim dapat
menerima atau menyingkirkannya sebagai alat bukti dengan
jalan mengemukakan alasan-alasannya. Jangan hendaknya
penolakan akan kebenaran keterangan terdakwa tanpa alasan
yang didukung oleh argumentasi yang tidak proporsional dan
xxxiii
akomodatif. Demikian juga sebaliknya, seandainya hakim
hendak menjadikan alat bukti keterangan terdakwa sebagai
salah satu landasan pembuktian kesalahan terdakwa, harus
dilengkapi
dengan
alasan
yang
argumentatif
dengan
menghubungkannya dengan alat bukti yang lain.
b) Harus memenuhi batas minimum pembuktian
Yang harus diperhatikan hakim yakni ketentuan yang
dirumuskan pada Pasal 189 ayat (4) KUHAP, yang
menentukan : “keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan
alat bukti yang lain”. Dari ketentuan ini jelas dapat disimak
keharusan mencukupkan alat bukti keterangan terdakwa
dengan sekurang-kurangnya satu lagi alat bukti yang lain,
baru mempunyai nilai pembuktian yang cukup. Penegasan
Pasal 189 ayat (4) KUHAP, sejalan dengan dan
mempertegas asas batas minimum pembuktian yang diatur
dalam Pasal 183 KUHAP. Seperti yang sudah berulangulang dijelaskan, asas batas minimum pembuktian telah
menegaskan, tidak seorang terdakwa pun dapat dijatuhi
pidana kecuali jika kesalahan yang didakwakan kepadanya
telah dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah.
c) Hal inipun sudah berulang kali dibicarakan. Sekalipun
kesalahan terdakwa telah terbukti sesuai dengan asas batas
minimum pembuktian, masih harus lagi dibarengi dengan
keyakinan hakim, bahwa memang terdakwa yang bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Asas keyakinan hakim harus melekat pada putusan yang
xxxiv
diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut
Pasal 183 KUHAP adalah : “pembuktian menurut undangundang secara negatif. Artinya di samping dipenuhi batas
minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah maka
dalam pembuktian yang cukup tersebut harus dibarengi
dengan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya (M.
Yahya Harahap, 2002 : 332).
3
Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencurian dalam Keluarga
a. Pengertian Tindak Pidana
Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan
straafbaarfeit untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak
pidana di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tanpa
memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya
dimaksud
dengan
perkataan
straafbaarfeit
tersebut
(P.A.F.
Lamintang,1997:181)
Perkataan feit di dalam bahasa Belanda berarti sebagian
dari suatu kenyataan atau een gedeelte van de werkelijkheid, sedang
straafbaar berarti dapat dihukum, hingga secara harafiah perkataan
straafbaarfeit itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu
kenyataan yang dapat dihukum yang sudah barang tentu tidak tepat,
oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu
sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan,
perbuatan ataupun tindakan (P.A.F.Lamintang, 1997: 8).
Moeljatno mengatakan, perbuatan pidana adalah perbuatan
yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana
barangsiapa
yang
melanggar
larangan
tersebut.
Lebih
lanjut
menjelaskan mengenai perbuatan pidana ini menurut ujudnya atau
xxxv
sifatnya, perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang melawan hukum.
Perbuatan yang merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan
dengan atau menghambat akan terlaksananya tatanan dalam pergaulan
masyarakat yang dianggap baik dan adil (Moeljatno dalam Martiman
Prodjohamidjojo,1997:16).
Selanjutnya Roeslan Saleh mengatakan bahwa perbuatan
pidana adalah perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai
perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan (Roeslan Saleh
dalam Martiman Prodjohamidjojo,1997:17).
b. Pengertian Tindak Pidana Pencurian
Pencurian diambil dari kata curi. Menurut kamus besar
Bahasa Indonesia kata curi memiliki arti mengambil milik orang lain
tanpa ijin atau tidak sah, biasanya dengan sembunyi-sembunyi.
Sedangkan pencurian sendiri memiliki arti proses, cara perbuatan
mencuri ( Balai Pustaka, 2001: 225).
Tindak pidana pencurian pun diatur di dalam pasal 362
KUHP yang menyatakan: ”Barang siapa mengambil barang sesuatu,
yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan
maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena
pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda
paling banyak enam puluh rupiah”.
Selanjutnya unsur-unsur dari pasal 362 KUHP adalah sebagai
berikut:
1. Unsur barang siapa
2. Unsur mengambil barang sesuatu
3. Unsur yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain
4. Unsur dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum
xxxvi
c. Pengertian Tindak Pidana Pencurian dalam Keluarga
Pengertian pencurian telah dijabarkan diatas. Selanjutnya adalah
pengertian keluarga. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, keluarga
memiliki arti:
- ibu dan bapak beserta anak-anaknya, seisi rumah;
- Orang seisi rumah yang menjadi tanggungan;
- Sanak saudara; kaum kerabat;
- Satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat (Balai
Pustaka, 2001: 536)
Mengenai pencurian dalam keluarga juga diatur dalam pasal 367
KUHP yang berbunyi:
(1) Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab
ini adalah suami (istri) dari orang yang terkena kejahatan dan tidak
terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan, maka
terhadap pembuat atau pembantu itu, tidak mungkin diadakan
tuntutan pidana.
(2) Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan tempat tidur
atau terpisah harta kekayaan atau jika dia keluarga sedarah atau
semenda, baik dalam garis lurus, kedua, maka terhadap dua orang
itu hanya mungkin diadakan penuntutan jika ada pengaduan yang
terkena kejahatan.
(3) Jika menurut lembaga matriakhal, kekuasaan bapak dilakukan oleh
orang lain dari pada bapak kandungnya, maka aturan tersebut ayat
di atas, berlaku juga berlaku bagi orang itu.
d. Tindak Pidana Pencurian dalam Keluarga sebagai Delik Aduan
Pengaduan (klacht) adalah suatu pernyataan tegas (lisan atau
tertulis atau dituliskan) dari seseorang yang berhak (mengadu) yang
xxxvii
disampaikan kepada pejabat penyelidik atau pejabat penyidik (kepolisian
R.I.) tentang telah diperbuatnya suatu tindak pidana( in casu kejahatan
aduan) oleh seseorang dengan disertai permintaan agar dilakukan
pemeriksaan untuk selanjutnya dilakukan penuntutan ke pengadilan yang
berwenang (Adami Chazawi, 2002: 201).
Selanjutnya mengenai dua unsur esensial pengaduan yaitu :
a. Pernyataan tentang telah diperbuatnya tindak pidana oleh seseorang,
dan disertai
b. Permintaan untuk diadakan pemeriksaan (penyidikan) untuk dilakukan
penuntutan pidana ke sidang pengadilan (Adami Chazawi, 2002 :201)
Selanjutnya pembentuk undang-undang (KUHP) menetapkan
pengaduan sebagai syarat untuk dapat dituntut pidana terhadap si pembuat
kejahatan aduan. Dalam hal kejahatan aduan pentingnya bagi yang berhak
mengadu atau yang kepentingan hukumnya dilanggar apabila perkara itu
dituntut pidana adalah lebih besar daripada pentingnya bagi negara apabila
perkara itu dilakukan penuntutan pidana. Dalam hal kejahatan aduan,
terdapat dua kepentingan yang saling bertentangan, yaitu disatu pihak
perlunya hukum ditegakkan, artinya penting bagi negara untuk dilakukan
penuntutan, dan dilain pihak bagi korban ada kepentingan agar perkara
kejahatan aduan untuk tidak dilakukan penuntutan seperti pembuatnya ada
hubungan keluarga, atau kepentingan hukum yang dilanggar adalah
bersifat pribadi (misalnya zina atau penghinaan). Dalam hal ini
kepentingan korban untuk tidak dilakukan penuntutan pidana lebih
diutamakan daripada kepentingan negara dalam hal menegakkan hukum.
Sehingga peranan korban menjadi sangat dominan (diutamakan) dalam hal
negara untuk melakukan penuntutan pidana (Adami Chazawi, 2002:202203)
Menilik dari sifatnya, kejahatan atau delik aduan dapat dibedakan
antara kejahatan aduan mutlak (absolut) dan kejahatan aduan relatif
xxxviii
(nisbi). Kejahatan aduan absolut adalah kejahatan yang pada dasarnya
adalah berupa kejahatan aduan artinya untuk segala hal dan atau kejadian
diperlukan
syarat
pengaduan
untuk
dapatnya
negara
melakukan
penuntutan mengenai perkara itu. Sedangkan kejahatan aduan relatif, ialah
kejahatan yang pada dasarnya bukan berupa kejahatan aduan, melainkan
hanya dalam hal-hal atau keadaan tertentu saja kejahatan itu menjadi
kejahatan aduan. Hanya karena adanya unsur-unsur tertentu saja, syarat
pengaduan untuk melakukan penuntutan diperlukan. Sedangkan dalam
keadaan biasa artinya tanpa adanya unsur tertentu, syarat pengaduan tidak
diperlukan untuk melakukan penuntutan. Salah satunya, pencurian dalam
segala bentuknya (362- 365) pada dasarnya bukan kejahatan aduan, akan
tetapi dengan adanya unsur dalam kalangan keluarga atau kejahatan itu
dilakukan dalam kalangan keluarga, maka menjadi kejahatan aduan (
relatif)
(Adami Chazawi,2002:204)
Berikut ini adalah isi dari pasal 362 sampai 367 tentang pencurian :
Pasal 362
Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan
hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama
lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.
Pasal 363
(1)
Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
Ke-1.pencurian ternak;
Ke-2.pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan banjir, gempa
bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal
terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan
atau bahaya perang;
xxxix
Ke-3.pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh
orang yang adanya disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki
oleh yang berhak;
Ke-4 pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu;
Ke-5 pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan,
atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan, dengan
merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai anak
kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
(2)
Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan salah
satu
tersebut ke-4 dan 5, maka dikenakan pidana penjara paling
lama sembilan
tahun.
Pasal 364
Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 ke-4,
begitupun
perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 ke-4,
begitupun perbuatan yang
diterangkan dalam pasal 363 ke-5,
apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah
atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak
lebih dari dua puluh lima rupiah, dikenai, karena pencurian ringan, pidana
penjara
paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam
puluh rupiah.
(Lihat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.16 Tahun 1960
dan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.18 Tahun
1960).
Pasal 365
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian
yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiap atau
xl
mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk
memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk
tetap menguasai barang yang dicurinya.
(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun :
Ke-1.jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah
atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau
dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;
Ke-2.Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu;
Ke-3.Jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan merusak
atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu
atau pakaian jabatan palsu;
Ke-4.Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
(3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
(4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan
mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau
lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah satu hal yang
diterangkan dalam no.1 dan 3.
Pasal 366
Dalam pemidanaan karena salah satu perbuatan yang diterangkan dalam
pasal 365 dapat dijatuhkan pencabutan hak tersebut dalam pasal 35 no.1-4
Pasal 367
(1) Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini
adalah suami (istri) dari orang yang terkena kejahatan, dan tidak
terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan, maka
terhadap pembuat atau pembantu itu, tidak mungkin diadakan tuntutan
pidana.
xli
(2) Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah harta kekayaan, atau jika dia
keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus, mauoun garis
menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin
diadakan penuntutan, jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.
(3) Jika menurut lembaga matriarkhal, kekuasaan bapak dilakukan oleh
orang lain dari pada bapak kandungnya,maka aturan tersebut ayat di
atas, berlaku juga bagi orang lain.
Selanjutnya menurut Modderman, ada alasan khusus, dijadikannya
kejahatan-kejahatan tertentu yang menjadi kejahatan aduan relatif
bilamana dilakukan dalam kalangan keluarga, yaitu:
a. Alasan susila, yaitu untuk mencegah pemerintah menghadapkan
orang-orang satu terhadap yang lain yang masih ada hubungan yang
sangat erat dan dalam sidang pengadilan;
b. Alasan materiil (stoffelijk), yaitu pada kenyataannya di dalam suatu
keluarga antara pasangan suami dan istri ada semacam condominium
(Utrecht dalam Adami Chazawi, 2002: 205).
Dalam hal pengaduan, orang yang berhak mengajukan pengaduan
adalah orang yang terkena kejahatan (korban). Namun dalam pasal 72
ayat 1 KUHP apabila korban kejahatan itu:
a. Masih anak-anak yang kriterianya ialah umur belum 16 (enam belas
tahun) dan belum dewasa, (perkawinan menyebabkan kedewasaan
walaupun umurnya belum 16 tahun); atau
b. Korban berada di bawah pengampuan selain karena sifat boros, maka
yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam perkara
perdata. Wakilnya yang sah dalam perkara perdata dalam hal
kebelumdewasaan adalah walinya (voogd) yaitu orang tua kandung
(ayahnya), jika ayahnya tiada, maka ibunya yang menjadi wali, jika
ayah ibu tiada ialah siapa yang menurut hukum yang berlaku bagi
anak itu (BW atau adat) menurut cara tertentu menjadi wali. Dalam
hukum adat bisa pamannya, kakak dan lain-lain orang yang menurut
hukum menjadi wali dari anak itu.
xlii
Jika tidak ada wakil sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal
72 ayat (1) KUHP, atau wakilnya itu sendiri adalah si pembuat yang
harus diadukan, maka orang yang berhak mengajukan pengaduan itu
adalah:
a. Wali Pengawas (tooziende voogd,366 jo 370 BW); atau
b. Pengampu Pengawas (tooziende curator, pasal 449 BW); atau
c. Majelis yang menjadi Wali Pengawas atau menjadi Pengampu
Pengawas; atau juga
d. Istrinya, atau
e. Salah satu dari keluarga sedarah dalam garis lurus, atau jika itu tidak
ada maka pengaduan dilakukan oleh
f. Salah satu dari keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai
derajat ketiga (pasal 72 ayat 2)(Adami Chazawi ,2002:206)
Selanjutnya mengenai persoalan apabila korban yang berhak
mengadu meninggal dunia, hal ini telah diatur dalam pasal 73 KUHP
yang menyatakan bahwa “Jika yang terkena kejahatan meninggal dunia
didalam tenggang waktu yang ditentukan dalam pasal berikut maka
tanpa memperpanjang tenggang itu, penuntutan dilakukan atas
pengaduan orang tuanya, anaknya, istrinya, atau suaminya yang masih
hidup kecuali kalau ternyata bahwa yang meninggal itu tidak
menghendaki penuntutan”.
Dari pasal diatas, orang yang terlanggar kepentingan hukumnya
oleh kejahatan aduan, meskipun kemudian meninggal dunia, maka hak
mengajukan pengaduan tetap berlangsung selama tenggang waktu hak
mengadu masih ada
(masih berlangsung) sesuai dengan pasal 74
KUHP. Hak pengaduan itu beralih pada para ahli warisnya sebagaimana
disebutkan secara limitatif dalam pasal 73 KUHP. Hak pengaduan oleh
ahli waris dari korban kejahatan aduan yang dimaksud oleh pasal 73
xliii
KUHP tidak berlaku dalam hal kejahatan aduan perzinaan (pasal 284
ayat 3 KUHP).
Tenggang waktu hak mengajukan pengaduan yang dimaksud pasal
73 KUHP ialah dalam waktu 6 (enam) bulan sejak orang yang berhak
mengadu mengetahui adanya kejahatan aduan, jika ia bertempat tinggal
di Indonesia, atau dalam waktu 9 (sembilan) bulan apabila dia bertempat
tinggal di luar Indonesia. Mengenai tenggang waktu 6 (enam) dan 9
(sembilan) bulan disini dikecualikan dalam hal kejahatan aduan pasal
293 ayat (3) KUHP ialah kejahatan pembujukan terhadap orang belum
dewasa yang baik tingkah lakunya untuk berbuat cabul atau membiarkan
diri untuk dilakukan perbuatan cabul, yang tenggang waktu hak
mengadu adalah 9(sembilan) bulan dan 12 (dua belas) bulan.
Sehubungan dengan ketentuan siapa yang berhak mengajukan
pengaduan dalam hal korban meninggal dunia, perlu diperhatikan
kejahatan aduan yang dirumuskan dalam pasal 320 KUHP dan 321
KUHP, di mana hak mengadu juga ada pada ahli warisnya, yakni pada
salah seorang keluarga sedarah maupun semenda dalam garis lurus atau
menyimpang sampai derajat kedua dari yang meninggal dunia, dan jika
karena lembaga matriarchal kekuasaan bapak, maka kejahatan juga dapat
dituntut atas pengaduan orang itu(pasal 320 jo pasal 321 KUHP). Hak
mengadu pada ahli waris menurut pasal 320 KUHP dan 321 KUHP
berbeda dengan hak mengadu dari pasal 73 KUHP. Perbedaannya ialah
hak mengadu menurut pasal 73 KUHP adalah hak mengadu yang
dialihkan, tetapi hak mengadu yang diatur dalam pasal 320 KUHP dan
321 KUHP adalah hak mengadu asli yang langsung diletakkan pada ahli
waris dari orang yang sudah meninggal, bukan yang dialihkan
sebagaimana pasal 73 KUHP.
Mengenai cara melakukan pengaduan diatur pasal 74 ayat (1)
KUHP menentukan bahwa “Pengaduan hanya boleh dilakukan dalam
waktu 6(enam) bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui
adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu
xliv
9 (sembilan) bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia”.
Perkecualian dari waktu enam dan sembilan bulan itu adalah 9
(sembilan) bulan untuk yang tinggal di Indonesia, atau 12 (dua belas)
bulan bagi yang tinggal di luar Indonesia bagi kejahatan dalam pasal 293
KUHP. Menurut Jonkers, jangka waktu sembilan dan dua belas ini
disesuaikan dengan jangka waktu kehamilan seorang perempuan (
Jonkers dalam Adami Chazawi, 2002) .
Berhubung dengan cara atau bentuknya pengaduan, ada dua
macam, yakni pengaduan lisan dan pengaduan dengan tulisan atau
tertulis, maka waktu pengajuan pengaduan itu ada perbedaan. Pada
pengaduan lisan, pengaduan itu telah terjadi pada saat diucapkan atau
dinyatakan secara lisan, apabila pengaduan diajukan secara tertulis,
maka pengaduan itu terjadi ialah pada waktu surat pengaduan itu
dikirim, dan bukan pada saat pengaduan itu diterima oleh Pejabat
Penyelidik atau Pejabat Penyidik yakni Kepolisian. Dalam praktik
selama ini, apabila pengadu datang ke Kantor Kepolisian untuk
mengajukan pengaduan lisan, kemudian oleh Pejabat Kepolisian yang
menerima pengaduan itu dibuat tanda penerimaan pengaduan (tertulis) di
mana didalamnya dimuat tanggal pengajuan pengaduan dan informasi
atau keterangan tentang terjadinya tindak pidana dan permintaan untuk
dilakukan pemeriksaan/penyidikan dan penuntutan pidana. Lalu pengadu
menandatanganinya,
berikut
juga
pejabat
Kepolisian
penerima
pengaduan itu. Dengan demikian pengaduan lisan itu pada dasarnya
telah menjadi pengaduan tertulis atau dituliskan. Waktu melakukan
pengaduan adalah pada hari dan tanggal pengajuan pengaduan yang
dituliskan
dalam
tanda
penerima
pengaduan
itu
(Adami
Chazawi,2002;208)
Bagi pengaduan oleh korban kejahatan yang masih dalam tenggang
waktu 6 (enam) atau 9 (sembilan) bulan kemudian menjadi berhak untuk
mengajukan pengaduan, maka pengaduan tersebut boleh dilakukan
dalam sisa tenggang waktu yang masih ada (pasal 74 ayat 2).
xlv
B. Kerangka Pemikiran
kerangka pemikiran digambarkan lewat bagan sebagai berikut:
Tindak Pidana Pencurian
dalam Keluarga
Hambatan
Alat
Pembuktian
Bukti Saksi yang
Alat
Bukti Saksi yang
Memiliki
Memiliki
Hubungan
Darah
Alat bukti
Terhadap
Terdakwa Tindak
Pidana
Kekuatan
Pencurian
dalam Keluarga
Hubungan
Darah
Terhadap
xlvi
Terdakwa Tindak
Pidana
Pencurian
dalam Keluarga
Kekuatan pembuktian
Putusan Hakim
Meningkatnya tindak kejahatan dalam masyarakat dirasa semakin
meresahkan. Hal ini bahkan bisa terjadi di dalam keluarga. Kejahatan dalam
keluarga hanya dapat diproses ke Pengadilan apabila ada aduan dari yang
dirugikan.
Setelah adanya aduan dari korban yang dirugikan maka perkara tersebut
dapat dilanjutkan untuk dilakukan pemeriksaan perkara dalam persidangan di
pengadilan. Salah satu hal yang penting dalam pemeriksaan perkara di
persidangan adalah pembuktian. KUHAP telah mengatur alat-alat bukti apa saja
yang bisa diajukan di persidangan. Salah satunya adalah keterangan saksi.
Terdapat ketentuan-ketentuan seseorang dapat menjadi saksi dan apakah
keterangannya itu dapat dipertimbangkan atau tidak oleh hakim. Selain itu dalam
xlvii
proses pembuktian juga akan dilihat bagaimana nilai dan kekuatan dari alat-alat
bukti yang diajukan serta apa saja yang menjadi hambatan dalam proses
pembuktian tersebut. Dari pemeriksaan alat-alat bukti ini, hakim memiliki
keyakinan untuk menjatuhkan putusan
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kekuatan Alat Bukti Keterangan Saksi Yang Memiliki Hubungan Darah
Dengan Terdakwa Dalam Tindak Pidana Pencurian Dalam Keluarga
Dalam pemeriksaan perkara tindak pidana ada beberapa hal yang harus
dikemukakan di dalam persidangan guna mengetahui duduk perkara sehingga
memudahkan hakim dalam menjatuhkan putusan antara lain:
1
Kasus Posisi
Tindak pidana pencurian dalam keluarga ini dilakukan oleh
terdakwa Joko Siyanto alias Anto (kakak kandung korban) terhadap
korban Endang Nur Yanti (adik kandung terdakwa)
Pencurian dalam keluarga ini terjadi pada hari Selasa tanggal 13
Februari 2007 sekitar jam 10.00 Wib di rumah terdakwa sekaligus rumah
korban tepatnya di Priyobadan Rt 01/ 4 kel. Sriwedari Kec.Laweyan
Surakarta. Pada hari itu Joko Siyanto melakukan pencurian dengan cara
masuk ke kamar Endang Nur Yanti yang tidak terkunci kemudian
mengambil uang sebesar Rp.1.100.000,00 berbungkus plastik yang
diletakkan di rak buku. Uang ini terdiri dari 10 lembar pecahan Rp
100.000,- dan 2 lembar pecahan Rp50.000,- yang didapat dari hasil
mengajar mengaji yang dilakukan Endang Nur Yanti guna membayar
kuliah di UMS. Uang yang telah dicuri oleh Joko Siyanto ini dipakai
untuk membeli barang-barang berupa sepasang sepatu merk Reebok,
xlviii
sepasang sandal merk Fila, satu buah kaos oblong merk Adidas, sepasang
kaos kaki merk Reebok, sebuah celana panjang merk Hurider dan sebuah
celana pendek merk Long Shi. Keesokan hari Endang Nur Yanti
mendapati dirinya kehilangan uang dan mengadukan hal ini kepada
ayahnya Muhammad Asmunir, kemudian ayahnya yang juga ayah
kandung Joko Siyanto menanyakan apakah benar Joko Siyanto telah
mengambil uang milik Endang Nur Yanti dan hal ini dakui oleh Joko
Siyanto. Selain ayah Joko Siyanto yang juga ayah Endang Nur Yanti, adik
kandung Endang Nur Yanti yaitu Muhammad Nursahid juga menanyakan
hal ini pada Joko Siyanto dan diakui oleh Joko Siyanto. Setelah
mengetahui hal ini maka Endang Nur Yanti
mengadukan perihal
pencurian ini ke Kapolsektabes Laweyan pada hari Rabu tanggal 14
Februari 2007.
Perbuatan terdakwa Joko Siyanto ini diatur dan diancam dengan
pidana dalam pasal 367 ayat (2) jo Pasal 362 KUHP dalam dakwaan
tunggal.
2 .Dakwaan
Terdakwa dengan identitas sebagai berikut:
Nama
: Joko Siyanto alias Anto
Tempat Lahir
: Surakarta
Umur/ Tgl Lahir
: 21 Tahun / 27 Juli 1985
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
xlix
Tempat Tinggal
: Priyobadan RT 01 RW 04 Kelurahan Sriwedari
Kecamatan Laweyan Surakarta
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Wiraswasta
Oleh Jaksa Penuntut Umum didakwa melakukan tindak pidana sebagai
berikut:
Bahwa Terdakwa Joko Siyanto alias Anto pada hari Selasa tanggal
13
Februari 2007 sekira pukul 10.00 Wib, atau setidaknya pada waktu
lain dalam
bulan Februari tahun 2007, atu setidak-tidaknya pada waktu
lain dalam tahun
2007 bertempat di kamar Endang Nuryanti yang
terletak didalam rumah di
Priyobadan Rt.01 / 04 kelurahan Sriwedari
kecamatan Laweyan Surakarta, atau
setidaknya pada suatu tempat yang
masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Surakarta, telah
mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya
atau
orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara
sebagian
kepunyaan
melawan hukum jika
dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan tempat tidur atau
terpisah
meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan, atau jika dia
keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis, maupun garis
menyimpang
derajat kedua, perbuatan dilakukan oleh terdakwa dengan
cara sebagai berikut:
¾ Awalnya terdakwa Joko Siyanto alias Anto memasuki kamar milik
Endang Nur Yanti yang merupakan adik kandung Terdakwa Joko
Siyanto
¾ Bahwa sesampainya di dalam kamar, terdakwa Joko Siyanto alias Anto
kemudian mengambil uang milik Endang Nur Yanti yang terletak
l
dalam tumpukan buku yang berada di rak buku, sebanyak lebih kurang
Rp.1.100.000,-( satu juta seratus ribu rupiah) yang seluruhnya milik
Endang Nur Yanti, atau setidak-tidaknya bukan milik terdakwa Joko
Siyanto alias Anto baik seluruhnya maupun sebagian ;
¾ Bahwa Terdakwa Joko Siyanto alias Anto tidak pernah meminta dam
mendapat izin dari Endang Nur Yanti untuk mengambil uang tersebut;
¾ Bahwa uang tersebut selanjutnya dipergunakan oleh terdakwa Joko
Siyanto alias Anto untuk membeli 1 (satu) pasang sepatu merk reebok,
1(satu) buah kaos oblong merk Adidas, 1 (satu) buah celana panjang
merk Hurider dan 1(satu) buah celana pendek merk Long Shi;
¾ Bahwa akibat perbuatan terdakwa Joko Siyanto alias Anto tersebut,
Endang Nur Yanti menderita kerugian sebesar Rp.1.100.000,-(satu juta
seratus rupiah) atau setidak-tidaknya lebih dari Rp.250,00 (dua ratus
lima puluh rupiah);
¾ Bahwa Endang Nur Yanti kemudian mengadukan perbuatan Terdakwa
Joko Siyanto alias Anto yang merupakan kakak kandungnya tersebut
ke kapolsektabes Laweyan pada tanggal 14 Februari 2007;
¾ Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
pasal 367 ayat (2) jo Pasal 362 KUHPidana
3
Keterangan Saksi-saksi
a. Keterangan
Saksi Endang Nur Yanti, dibawah sumpah
pada
pokoknya menerangkan sebagai berikut :
¾ Bahwa benar pada hari Rabu tanggal 14 Februari 2007 sekira
jam 17.30 Wib dirinya kehilangan uang miliknya yang
sebelumnya diletakkan didalam tumpukan buku di rak buku
kamar tidur saksi yang bertempat di dalam rumah di
Priyobadan Rt.01 Rw 04 buku kelurahan Sriwedari kecamatan
Laweyan Surakarta;
¾ Bahwa benar uang miliknya yang hilang tersebut sebanyak
Rp 1.100.000,- ( satu juta seratus ribu rupiah ) yang terdiri dari
li
pecahan Rp. 100.000,- (seratus ribu) sebanyak 10 (sepuluh)
lembar serta uang pecahan Rp.50.000,00 ( lima puluh ribu)
sebanyak 2 (dua) lembar;
¾ Bahwa benar kemudian dirinya mencurigai Terdakwa yang
merupakan kakak kandung saksi, sebab Terdakwa pernah
mengambil uang milik kakak saksi yang lain;
¾ Bahwa benar kemudian saksi mengadukan pada Bapak saksi
yang juga merupakan bapak terdakwa:
¾ Bahwa benar kemudian dirinya dan Bapak saksi. Yaitu
Muhammad Asmunir menanyakan pada terdakwa apakah telah
mengambil uang milik saksi yang kemudian dijawab Terdakwa
bahwa benar Terdakwa pada Hari Selasa tanggal 13 Februari
2007 atau sehari sebelumnya telah mengambil uang milik saksi
dan
akan
dikembalikan
lagi,
namun
Terdakwa
justru
membelanjakan uang milik saksi tersebut untuk membeli 1
(satu) pasang sepatu merk Reebok, 1 (satu) pasang sandal merk
Fila, 1 (satu) buah kaos oblong merk Adidas, 1 (satu) pasang
kaos kaki merk Reebok, 1( satu) buah celana panjang merk
Hurider dan 1 (satu) buah celana pendek merk Long Shi;
¾ Bahwa
benar
dirinya
mendapatkan
uang
sebanyak
Rp.1.100.000,00 (satu juta seratus ribu rupiah) tersebut dari
hasil mengajar mengaji dan rencananya akan dipergunakan
untuk membayar kuliah di UMS;
¾ Bahwa benar Terdakwa tidak pernah meminta dan mendapat
izin dari saksi sebelum mengambil uang milik saksi sebanyak
Rp.1.100.000,00 (satu juta seratus ribu rupiah);
¾ Bahwa benar kemudian dirinya mengadukan perbuatan
Terdakwa yang merupakan kakak kandungnya tersebut ke
Kapolsektabes Laweyan pada tanggal 14 Februari 2007 .
Atas keterangan Saksi tersebut, terdakwa membenarkannya
lii
b. Keterangan Saksi Muhammad Asmunir, dibawah sumpah pada
pokoknya menerangkan sebagai berikut :
¾ Bahwa benar pada hari Rabu tanggal 14 Februari 2007 sekira
jam 17.30 Wib dirinya diberitahu oleh anaknya yang bernama
Endang Nur Yanti bahwa dirinya kehilangan uang miliknya
yang sebelumnya diletakkan didalam tumpukan buku di rak
buku kamar tidur saksi sebanyak Rp.1.100.000,00 (satu juta
seratus ribu rupiah) yang terdiri dari pecahan Rp.100.000,00
(seratus ribu rupiah) sebanyak 10 (sepuluh) lembar serta uang
pecahan Rp.50.000,00(lima puluh ribu) sebanyak 2 (dua)
lembar;
¾ Bahwa benar kemudian Endang Nur Yanti mencurigai
Terdakwa yang merupakan kakak kandung Endang Nur Yanti,
sebab Terdakwa pernah mengambil uang milik kakak Endang
Nur Yanti yang lain;
¾ Bahwa benar kemudian dirinya dan Endang Nur Yanti
menanyakan pada terdakwa apakah telah mengambil uang
milik Endang Nur Yanti yang kemudian dijawab Terdakwa
bahwa benar Terdakwa pada Hari Selasa tanggal 13 Februari
2007 atau sehari sebelumnya telah mengambil uang milik
Endang Nur Yanti bertempat di dalam kamar milik adiknya
tersebut dalam rumah di Priyobadan Rt.01 Rw.04 Kelurahan
Sriwedari
Kecamatan
Laweyan
Surakarta
dan
akan
dikembalikan lagi, namun Terdakwa justru membelanjakan
uang milik Endang Nur Yanti tersebut untuk membeli 1 (satu)
pasang sepatu merk Reebok, 1( satu) pasang sandal merk Fila,
1(satu) buah kaos oblong merk Adidas, 1 (satu) pasang kaos
kaki merk Reebok, 1( satu) buah celana panjang merk Hurider
dan 1 (satu) buah celana pendek merk Long Shi;
¾ Bahwa benar Endang Nur Yanti mendapatkan uang sebanyak
Rp.1.100.000,00 (satu juta seratus ribu rupiah) tersebut dari
liii
hasil mengajar mengaji dan rencananya akan dipergunakan
untuk membayar kuliah di UMS;
¾ Bahwa benar Terdakwa tidak pernah meminta dan mendapat
izin dari Endang Nur Yanti sebelum mengambil uang milik
Endang Nur Yanti sebanyak Rp.1.100.000,00 (satu juta seratus
ribu rupiah);
¾ Bahwa benar kemudian Endang Nur Yanti mengadukan
perbuatan Terdakwa yang merupakan kakak kandungnya
tersebut ke Kapolsektabes Laweyan pada tanggal 14 Februari
2007.
Atas keterangan saksi tersebut, Terdakwa membenarkannya.
c. Keterangan Saksi Muhammad Nursahid, dibawah sumpah pada
pokoknya
menerangkan sebagai berikut:
¾ Bahwa benar pada hari dan tanggal lupa tapi masih dalam
bulan Februari 2007 sekira dirinya diberitahu oleh Bapak saksi
yang bernama Muhamad Asmunir bahwa Terdakwa yang
merupakan kakak kandung Endang Nur Yanti telah mengambil
uang milik Endang Nur Yanti sebanyak Rp.1.100.000,00( satu
juta seratus ribu rupiah) yang diletakkan dalam tumpukan buku
kamar Endang Nur Yanti yang bertempat di dalam rumah di
Priyobadan Rt.01 Rw.04 Kelurahan Sriwedari Kecamatan
Laweyan Surakarta;
¾ Bahwa benar kemudian dirinya menanyakan pada terdakwa
yang juga merupakan adik kandung saksi apakah telah
mengambil uang milik Endang Nur Yanti yang kemudian
dijawab terdakwa bahwa benar Terdakwa telah mengambil
uang milik Endang Nur Yanti dan akan dikembalikan lagi,
namun Terdakwa justru membelanjakan uang milik Endang
Nur Yanti tersebut untuk membeli 1 (satu) pasang sepatu merk
Reebok, 1( satu) pasang sandal merk Fila, 1(satu) buah kaos
liv
oblong merk adidas, 1 (satu) pasang kaos kaki merk Reebok,
1(satu) buah celana panjang merk Hurider dan 1(satu) buah
celana pendek merk Long Shi;
¾ Bahwa benar Endang Nur Yanti mendapatkan uang sebanyak
Rp1.100.000,00 (satu juta seratus ribu rupiah) tersebut dari
hasil mengajar mengaji dan rencananya akan dipergunakan
untuk membayar kuliah di UMS;
¾ Bahwa benar Terdakwa tidak pernah meminta dan mendapat
izin dari Endang Nur Yanti sebelum mengambil uang milik
Endang Nur Yanti sebanyak Rp1.100.000,00(satu juta seratus
ribu rupiah);
¾ Bahwa benar kemudian Endang Nur Yanti mengadukan
perbuatan Terdakwa yang merupakan kakak kandungnya
tersebut ke Kapolsektabes Laweyan pada tanggal 14 Februari
2007
Atas keterangan Saksi tersebut, terdakwa membenarkannya.
4
Petunjuk
Sebagaimana bunyi pasal 188 KUHAP adalah perbuatan, kejadian
atau keadaan yang karena persesuainnya, baik antara yang satu dengan
yang lainnya maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi sutu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Memperhatikan bunyi pasal 188 KUHAP tersebut, jika dikaitkan dengan
fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan antara keterangan para
saksi, alat bukti lain dan pengakuan Terdakwa dimuka persidangan,
dimana satu dengan yang lainnya saling bersesuaian, jelas menunjukkan
telah terjadi suatu tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh
Terdakwa Joko Siyanto alias Anto, pada hari Selasa tanggal 13 Februari
2007 sekitar pukul 10.00 WIB, bertempat di dalam rumah di Priyobadan
Rt.01 Rw04 Kelurahan Sriwedari Kecamatan Laweyan Surakarta tanpa
lv
seizin pemiliknya telah mengambil uang sebanyak Rp.1.100.000,00( satu
juta seratus ribu rupiah) milik Endang Nur Yanti yang merupakan adik
kandung terdakwa tanpa seizin pemiliknya, kemudian uang tersebut
dipergunakan untuk membeli 1(satu) pasang sepatu merk Reebok,1(satu)
pasang sandal merk Fila, 1 (satu) buah kaos oblong merk Adidas, 1
(satu) pasang kaos kaki merk Reebok, 1 (satu) buah celana panjang merk
Hurider dan 1(satu) buah celana pendek merk Long Shi, yang kemudian
perbuatan terdakwa tersebut diadukan pada Kapolsektabes Laweyan oleh
Endang Nur Yanti.
5
Keterangan Terdakwa
Joko Siyanto alias Anto pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut:
¾ Bahwa benar pada Hari Selasa tanggal 13 Februari 2007 sekira jam
10.00 Wib dirinya mengambil uang milik Endang Nur Yanti yang
merupakan adik kandungnya yang diletakkan didalam tumpukan
buku di rak buku kamar tidur Endang Nur Yanti yang bertempat di
dalam rumah di Priyobadan Rt.01 Rw.04 Kelurahan Sriwedari
Kecamatan Laweyan Surakarta;
¾ Bahwa benar uang tersebut sebanyak Rp.1.100.000,00 (satu juta
seratus ribu rupiah) yang terdiri dari pecahan Rp.100.000,00 (seratus
ribu) sebanyak 10 (sepuluh) lembar serta uang pecahan Rp.50.000,00
(lima puluh ribu) sebanyak 2 (dua) lembar;
¾ Bahwa benar dirinya sebelumnya berjanji akan mengembalikan uang
tersebut pada Endang Nur Yanti namun justru membelanjakan uang
milik saksi tersebut untuk membeli 1 (satu) pasang sepatu merk
Reebok, 1 (satu) pasang sandal merk Fila, 1 (satu) buah kaos oblong
merk Adidas, 1(satu) pasang kaos kaki merk Reebok, 1 (satu) buah
celana panjang merk Hurider dan 1(satu)buah celana pendek merk
Long Shi;
lvi
¾ Bahwa benar dirinya mengetahui Endang Nur Yanti mendapatkan
uang sebanyak Rp.1.100.000,00 (satu juta seratus ribu rupiah)
tersebut dari hasil mengajar mengaji dan rencananya akan
dipergunakan untuk membayar kuliah;
¾ Bahwa benar dirinya tidak pernah meminta dan mendapat izin dari
Endang Nur Yanti yang merupakan adik kandungnya tersebut ke
Kapolsektabes Laweyan pada tanggal 14 Februari 2007
6
Tuntutan
Berdasarkan dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut
Umum, maka tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum
kepada terdakwa Joko Sriyanto adalah sebagai berikut :
¾ Menyatakan terdakwa : Joko Siyanto alias Anto bersalah
melakukan tindak pidana : Pencurian dalam lingkup keluarga
sebagaimana diatur dalam Pasal : 367 ayat (2) jo Pasal 362 KUHP
dalam dakwaan tunggal; 30 April 2007
¾ Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa : Joko Siyanto alias Anto
dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dipotong tahanan
dengan perintah terdakwa tetap ditahan;
¾ Menyatakan barang bukti berupa :
§
1 (satu) pasang sepatu merk Reebok
§
1 (satu) pasang sandal merk Fila
§
1 (satu) buah kaos oblong merk Adidas
§
1 (satu) pasang kaos kaki merk Hurider dan
§
1 (satu) buah celana pendek merk Long Shi
§
Dikembalikan kepada saksi korban Endang Nur Yanti
¾ Menetapkan supaya terpidana dibebani biaya perkara sebesar
Rp.1.000,-
lvii
7
Pertimbangan Hakim
Dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara tindak
pidana pencurian dalam keluarga adalah sebagai berikut :
¾ Menimbang bahwa atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum tersebut,
terdakwa mengajukan pembelaan secara lisan yang pada pokoknya
mohon keringanan hukuman, dengan alasan :
¾ Terdakwa menyesali perbuatannya
¾ Berjanji tidak akan melakukan hal tersebut lagi
¾ Menimbang bahwa atas pembelaan terdakwa tersebut Jaksa
Penuntut Umum menyatakan tetap pada tuntutannya;
¾ Menimbang bahwa atas pembelaan terdakwa diajukan dalam
persidangan di Pengadilan Negeri Surakarta dengan dakwaan
sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum tanggal 30 April
2007 Nomor : PDM- 101 / SKRTA / Ep-1 / 04 / 2007 yang pada
pokoknya sebagaimana berikut :
¾ Bahwa ia terdakwa Joko Siyanto alias Anto pada hari Selasa
tanggal 13 Februari 2007 sekira pukul 10.00 WIB
bertempat di Priyobadan RT.01 RW.04 Kelurahan Sriwedari,
Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta telah melakukan tindak
pidana pencurian uang milik Endang Nur Yanti sebesar
Rp.1.100.000,- yang disimpan dalam selembar
plastik
yang
diletakkan di antara tumpukan buku milik saksi korban.
¾ Menimbang bahwa untuk membuktikan dakwaannya dalam
persidangan Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan barang bukti
berupa :
¾ 1 (satu) pasang sepatu merk Reebok, 1 (satu) pasang sandal merk
Fila.
lviii
¾ 1 (satu) buah kaos oblong merk Adidas, 1(satu) pasang kaos kaki
merk Harider dan 1 (satu) buah celana pendek merk Long Shi.
¾ Menimbang bahwa berdasarkan bukti-bukti yang diajukan dalam
persidangan serta didukung adanya keterangan saksi-saksi dibawah
sumpah dan mendengarkan keterangan terdakwa maka dapatlah
ditemukan adanya fakta-fakta, sebagai berikut:
¾ Bahwa perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan
meyakinkan
maka
terdakwa
haruslah
dinyatakan
bersalah;
¾ Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut, Pengadilan
akan membuktikan, apakah perbuatan terdakwa memenuhi unsurunsur dalam pasal sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut
Umum;
¾ Menimbang bahwa terdakwa telah melanggar pasal 367 (2) KUHP
yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
5. Unsur barang siapa
6. Unsur mengambil barang sesuatu
7. Unsur yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain
8. Unsur dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum
9. Unsur jika dia keluarga sedarah atau semenda baik dalam garis
lurus maupun menyimpang derajat kedua;
¾ Menimbang bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi yang
didukung dengan adanya barang bukti serta pengakuan terdakwa ,
maka ternyata bahwa : perbuatan terdakwa telah memenuhi unsurunsur dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, maka kepada
terdakwa harus dinyatakan telah terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam
dalam pasal: 367 ayat (2) jo pasal 362 KUHP.
¾ Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di
atas, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa apa yang
lix
didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa, telah
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa haruslah
dinyatakan bersalah;
¾ Menimbang bahwa dalam persidangan tidak ditemukan adanya halhal yang dapat membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum baik
karena alasan pembenar maupun alasan pemaaf, oleh karenya
terdakwa haruslah dijatuhi hukuman;
¾ Menimbang bahwa karena terdakwa dinyatakan bersalah dan
dijatuhi hukuman maka kepadanya harus pula dibebani untuk
membayar biaya perkara;
¾ Menimbang bahwa karena terdakwa telah ditahan, maka putusan
yang dijatuhkan akan dikurangi dengan masa tahanan yang telah
dijalani terdakwa dalam tahanan sebelum perkaranya diputus dan
berkekuatan hukum tetap;
¾ Menimbang bahwa dalam perkara ini telah diajukan barang bukti,
maka harus dinyatakan dalam putusan ini, dan untuk itu akan
dinyatakan dalam amar putusan;
¾ Menimbang
bahwa
sebelum
Majelis
Hakim
menjatuhkan
putusannya, perlu mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan
dan yang meringankan;
Yang memberatkan:
§
Perbuatan terdakwa mengakibatkan kerugian bagi saksi korban
§
Terdakwa sudah menikmati hasil perbuatannya;
Yang meringankan:
§
8
Terdakwa mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya
Putusan Hakim
Setelah mendengarkan kesaksian dari saksi-saksi dan
terdakwa di persidangan dan fakta-fakta yang terungkap dalam
lx
persidangan dan juga atas tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum yang
menuntut berdasarkan pasal 367 (2) KUHP maka Majelis Hakim
memutus perkara tindak pidana pidana pencurian dalam keluarga
sebagai berikut :
¾ Menyatakan terdakwa Joko Siyanto alias Anto telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: Pencurian
dalam lingkup keluarga;
¾ Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Joko Siyanto alias Anto
oleh karenanya dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan
¾ Menetapkan bahwa lamanya terdakwa berada dalam tahanan
sebelum perkaranya diputus dan berkekuatan hukum tetap
dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan
¾ Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp.1.000,¾ Memerintahkan : mengembalikan barang bukti berupa:
¾ 1(satu) pasang sepatu merk Reebok, 1 (satu) pasang sandal merk
Fila, 1(satu) kaos oblong merk Adidas, 1 (satu) pasang kaos kaki
merk Reebok, 1(satu) buah celana pendek merk Long Shi;
¾ Menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan
9
Pembahasan
Berdasarkan isi putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor
169/Pid/13/2007/PN.Ska,
maka
sampailah
penulis
mengadakan
pembahasan mengenai kekuatan alat bukti keterangan saksi yang
memiliki hubungan darah dengan terdakwa dalam tindak pidana
lxi
pencurian dalam keluarga sesuai dengan ketentuan KUHAP yang
menegaskan bahwa hakimlah yang menilai alat bukti yang diajukan
kepadanya. KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian
berdasarkan Undang-undang negatif, seperti dalam Pasal 183 KUHAP
yaitu : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang,
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang melakukannya”. Dalam kasus ini terdapat
3 alat bukti yang sah yaitu:
a. keterangan saksi
keterangan saksi yang terdiri dari 3 orang saksi yaitu saksi
Endang Nur Yanti, saksi Muhammad Asmunir dan saksi
Muhammad Nursahid, alat
b. alat bukti petunjuk
petunjuk
berupa
fakta-fakta
yang
terungkap
dalam
persidangan antara keterangan para saksi, alat bukti lain dan
pengakuan Terdakwa dimuka persidangan, dimana satu dengan
yang lainnya saling bersesuaian, jelas menunjukkan telah terjadi
suatu tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh Terdakwa Joko
Siyanto alias Anto, pada hari Selasa tanggal 13 Februari 2007
c. pengakuan terdakwa
pengakuan terdakwa yitu pengakuan dari terdakwa Joko
Siyanto yang mengakui perbuatannya mencuri barang milik
Endang Nur Yanti berupa uang sebesar Rp. 1.100.000,00
Pembuktian harus didasarkan kepada Undang-undang, yaitu alat
bukti yang sah, yaitu yang tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai
dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.
Hal tersebut juga terdapat dalam ketentuan Pasal 294 ayat (1) HIR
yang berbunyi : “Tiada seorang pun boleh dikenakan pidana, selain
jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa
lxii
benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orangorang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu”.
Dalam perkara ini hakim menjatuhkan putusan menurut keyakinannya
dengan menggunakan 3 alat bukti yang sah yaitu keterangan saksi,
petunjuk dan pengakuan terdakwa
Salah satu alat bukti yang sah di dalam persidangan adalah
keterangan saksi, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti
yang paling utama dalam perkara pidana. Hampir semua pembuktian
perkara pidana tidak luput dari keterangan saksi. Sekurang-kurangnya
di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu
diperlukan pembuktian dengan alat
bukti keterangan saksi
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “ The degree
of evidance “ keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian
mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan
beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi.
Salah satunya adalah mengucapkan sumpah atau janji. Hal ini diatur
dalam pasal 160 ayat (3) KUHAP. Menurut ketentuan pasal 160 ayat
(3)KUHAP sebelum saksi memberi keterangan, wajib mengucapkan
sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji :
a. Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing,
b. Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan
keterangan yang sebenarnya-benarnya dan tiada lain daripada yang
sebenarnya.
Dalam kasus tindak pidana pencurian dalam keluarga, para saksi
yang memiliki hubungan darah dengan terdakwa mengucapkan
sumpah sebelum memberikan keterangannya menurut Agama Islam
Ditinjau dari segi nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi
yang diberikan dalam pengadilan terdapat keterangan saksi yang tidak
disumpah. Salah satunya adalah karena hubungan kekeluargaan.
Seorang saksi yang mempunyai pertalian keluarga tertentu dengan
terdakwa tidak dapat memberi keterangan dengan sumpah kecuali
lxiii
mereka menghendaki, dan kehendaknya itu disetujui secara tegas oleh
penuntut umum atau terdakwa. Jadi seandainya penuntut umum atau
terdakwa tidak menyetujui mereka sebagai saksi dengan disumpah,
pasal 169 ayat (2) KUHAP memberi kemungkinan bagi mereka untuk
diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah. Namun,
undang-undang tidak menyebut secara tegas nilai kekuatan pembuktian
yang melekat pada keterangan seperti ini. Dan untuk mengetahui nilai
keterangan mereka yang tergolong pada pasal 168 KUHAP, harus
kembali melihat pada pasal 161 ayat (2) KUHAP dan Pasal 185 ayat
(7) KUHAP:
Pasal 185 ayat (7) KUHAP:
a. Keterangan mereka tidak dapat dinilai sebagai alat bukti,
b.Tetapi dapat dipergunakan menguatkan keyakinan hakim
c. Atau dapat bernilai dan dipergunakan sebagai tambahan menguatkan
alat
bukti yang sah lainnya sepanjang keterangan tersebut
mempunyai
persesuaian dengan alat bukti yang sah lainnya itu,
dan alat bukti yang sah
itu
telah
memenuhi
batas
minimum
pembuktian.
Nilai keterangan dari saksi yang tidak disumpah bukan merupakan
alat bukti yang sah, penjelasan pasal 171 KUHAP telah menentukan
nilai pembuktian yang melekat pada keterangan itu, dapat dipakai
sebagai petunjuk
Sifat dan nilai kekuatan pembuktian dari keterangan saksi tanpa
sumpah bertitik tolak pada pasal 185 ayat (7) KUHAP tanpa
mengurangi ketentuan lain yang diatur dalam pasal 161 ayat (2)
KUHAP maupun pasal 169 ayat (2) KUHAP dan penjelasan pasal
171KUHAP. Secara umum dapat disimpulkan :
a. Semua keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah dinilai bukan
merupakan alat bukti yang sah. Walaupun keterangan yang diberikan
lxiv
tanpa sumpah itu saling beresuaian dengan yang lain, sifatnya tetap
bukan merupakan alat bukti.
b.Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian,
Setiap keterangan tanpa sumpah pada umumnya tidak mempunyai
nilai kekuatan pembuktian. Sifatnya saja pun bukan alat bukti yang
sah, dengan sendirinya tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
c. Akan tetapi dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang
sah.
Sekalipun keterangan tanpa sumpah bukan merupakan alat
bukti yang sah, dan juga tidak memiliki kekuatan pembuktian, pada
umumnya keterangan itu dapat dipergunakan sebagai tambahan
menyempurnakan kekuatan pembuktian alat bukti yang sah:
1) Dapat menguatkan keyakinan hakim seperti yang disebut pada
Pasal 16 ayat (2) KUHAP,
2) Dapat dipakai sebagai petunjuk seperti yang disebut dalam
penjelasan pasal 171 KUHAP (M. Yahya Harahap, 2002: 293)
Selanjutnya untuk mempergunakan keterangan tanpa sumpah baik
sebagai tambahan alat bukti yang sah maupun untuk menguatkan
keyakinan hakim atau sebagai petunjuk, harus dibarengi dengan syarat
:
a. Harus lebih dulu telah ada alat bukti yang sah,
Misalnya telah ada alat bukti keterangan saksi, alat bukti
keterangan
ahli, alat bukti surat atau keterangan terdakwa
b. Alat bukti yang sah itu memenuhi batas minimum pembuktian
yakni telah ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,
c. Kemudian antara keterangan tanpa sumpah itu dengan alat bukti
yang sah, terdapat saling persesuaian (M. Yahya Harahap,
2002:293)
lxv
Bagi hakim, hakim tidak terikat menggunakan keterangan saksi
tanpa sumpah, tergantung kapada pendapat penilaian hakim, dalam
arti:
a. Hakim
bebas
untuk
mempergunakannya.
Hakim
dapat
mempergunakannya namun sebaliknya dapat menyampingkannya.
b. Hakim tidak terikat untuk menilainya. Hakim dapat menilai dan
dapat mempergunakannya sebagai tambahan dalam pembuktian
atau untuk menguatkan keyakinan juga sebagai petunjuk. Dengan
kata lain, tidak ada kewajiban harus menilainya .
Berdasarkan uraian diatas saksi yang memiliki hubungan darah
dengan terdakwa juga dapat memberikan keterangan dengan sumpah
apabila mereka menghendaki, dan kehendaknya itu disetujui secara
tegas oleh penuntut umum atau terdakwa. Dengan demikian maka
keterangan saksi tersebut tergolong pada keterangan saksi yang
disumpah. Dalam perkara tindak pidana pencurian dalam keluarga,
para saksi yang memiliki hubungan darah dengan terdakwa
menghendaki memberikan keterangan dengan sumpah dengan kata lain
para saksi telah mendapat persetujuan dari jaksa penuntut umum dan
terdakwa untuk mengucap sumpah. Keterangan saksi yang disumpah,
menjadi alat bukti yang sah bukan hanya karena ada unsur sumpah saja
namun juga harus memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan
oleh undang-undang yang antara lain:
a. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji bahwa ia akan
menerangkan yang sebenarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya
,
b. Keterangan yang diberikan harus tentang peristiwa pidana yang
saksi dengar sendiri, lihat sendiri atau alami sendiri dengan
menyebut
secara
jelas
darimana
sumber
pengetahuannya.
Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang berupa ulangan
dari cerita orang lain, tidak mempunyai nilai keterangan sebagai
lxvi
bukti. Demikian pula halnya pendapat atau rekaan yang saksi
peroleh dari hasil pemikiran sendiri tidak bisa digunakan sebagai
keterangan yang bernilai sebagai alat bukti,
c. Keterangan saksi harus dinyatakan di muka persidangan.
Pernyataan keterangan saksi di luar persidangan tidak mempunyai
nilai sebagai alat bukti yang sah,
d. Keterangan yang hanya berasal dari satu orang saksi saja bukan
merupakan alat bukti yang sah, karena itu harus terpenuhi batas
minimum pembuktian yang diatur dalam pasal 183 KUHAP
Dalam perkara tindak pidana pencurian dalam keluarga, para saksi
yang memiliki hubungan darah dengan terdakwa telah mengucapkan
sumpah sebelum memberikan keterangan, para saksi terutama saksi
korban yaitu Endang Nur Yanti yang merupakan adik terdakwa,
beserta saksi-saksi lainnya yaitu Muhammad Nursahid (kakak
terdakwa) dan Muhammad Asmunir (ayah terdakwa) memberikan
keterangan yang mereka dengar, lihat dan alami sendiri bukan hasil
rekaan, pemikiran ataupun pendapat dari orang lain. Keterangan yang
mereka berikan adalah di muka
persidangan pengadilan, dan
keterangan yang diberikan bukan hanya dari satu orang saksi
melainkan dari tiga orang saksi, sehingga merupakan alat bukti yang
sah.
Mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian keterangan saksi
sebagai alat bukti yang sah beserta nilai kekuatan pembuktian
keterangan saksi, berikut penjelasannya :
a. Mempunyai kekuatan pembuktian bebas
Pada alat bukti kesaksian tidak melekat sifat pembuktian yang
sempurna (volledig bewijkracht), dan juga tidak melekat di
dalamnya
sifat
kekuatan
pembuktian
yang
mengikat
dan
menentukan (beslissende bewijkracht). Tegasnya alat bukti
kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai nilai kekuatan
lxvii
pembuktian bebas. Oleh karena itu, alat bukti kesaksian sebagai
alat bukti yang sah, tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna dan juga tidak memiliki kekuatan pembuktian yang
menentukan. Dapat dikatakan bukti kesaksian sebagai alat bukti
yang sah adalah bersifat bebas dan tidak sempurna, tidak
menentukan atau tidak mengikat.
b. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim
Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang
tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan
tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas
untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya. Tergantung pada
penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak
ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap
keterangan saksi. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran
yang melekat pada keterangan itu, dapat menerima atau
menyingkirkannya.
Dalam perkara tindak pidana pencurian dalam keluarga, keterangan
saksi yang memiliki hubungan dengan terdakwa diberikan dibawah
sumpah dan hakim bebas menilai kesempurnaan dan kebenaran
keterangan saksi, dapat menerima atau menyingkirkannya
Berdasarkan
uraian
diatas
mengenai
kekuatan
pembuktian
keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah maka dapat disimpulkan :
a. Keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah tidak mempunyai
nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim.
Hakim mempunyai kebebasan untuk menilai keterangan saksi.
b. Keterangan saksi sebagai alat bukti yang mempunyai nilai
kekuatan pembuktian yang bebas, masih dapat dilumpuhkan oleh
terdakwa dengan alat bukti yang lain seperti saksi a decharge (saksi
lxviii
yang menguntungkan terdakwa) maupun dengan keterangan ahli
atau alibi .
Dalam perkara tindak pidana pencurian dalam keluarga, Hakim
memiliki
kebebasan untuk menilai keterangan saksi
B. Hambatan Dalam Pembuktian Dengan Mengunakan Keterangan Saksi
Yang Memiliki Hubungan Darah Dengan Terdakwa Dalam Tindak
Pidana Pencurian Dalam Keluarga
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan hakim yang
menangani perkara 169/Pid/13/2007 PN Ska hambatan-hambatan yang dapat
terjadi dalam pembuktian keterangan saksi yang memiliki hubungan darah
dengan terdakwa tindak pidana pencurian dalam keluarga adalah apabila asas
minimum pembuktian tidak terpenuhi. Asas minimum pembuktian adalah
suatu prinsip yang mengatur batas yang harus dipenuhi untuk membuktikan
kesalahan terdakwa. Lebih jelasnya asas minimum pembuktian ialah suatu
prinsip yang harus dipedomani dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti
untuk membuktikan kesalahan terdakwa
Selanjutnya Prinsip minimum pembuktian yang dianggap cukup
menurut sistem pembuktian yang diatur dalam pasal 183 KUHAP:
1
Sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah, atau paling minimum
kesalahan terdakwa harus dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah
2
Dengan
demikian
tidak
dibenarkan
dan
dianggap
tidak
cukup
membuktikan kesalahan terdakwa, jika hanya dengan satu alat bukti saja.
Pasal 183 tidak membenarkan pembuktian kesalahan terdakwa dengan
satu alat bukti yang berdiri sendiri.
Pada saat pemeriksaan alat- alat bukti pada tindak pidana pencurian
dalam keluarga, keterangan saksi yang memiliki hubungan darah dengan
terdakwa tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti yang sah, namun dapat
dipakai sebagai petunjuk Petunjuk merupakan salah satu alat bukti yang sah.
lxix
Menurut pasal 188 ayat(1) KUHAP “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian,
atau keadaan karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain
maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
tindak pidana dan siapa pelakunya.”. Cara memperoleh alat bukti petunjuk
secara limitatif ditentukan dalam pasal 188 ayat (2 KUHAP yaitu :
1
Keterangan saksi;
2
Surat;
3
Keterangan terdakwa
Selanjutnya masih dibutuhkan setidaknya satu alat bukti lagi guna
memenuhi prinsip minimum pembuktian. Dalam kasus ini keterangan
terdakwa merupakan alat bukti yang sah. Menurut pasal 189 ayat (1)
KUHAP” Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang
pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau
alami sendiri”. Jika dijabarkan pengertian keterangan terdakwa sebagai alat
bukti yaitu:
1
Hal-hal yang terdakwa sampaikan atau jelaskan di sidang pengadilan,
2
Hal-hal yang disampaikan atau dijelaskan adalah mengenai perbuatan
yang terdakwa lakukan atau hal yang ia ketahui atau yang berhubungan
dengan apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang
sedang diperiksa.
Dilanjutkan dengan Asas penilaian keterangan terdakwa (M. Yahya
Harahap, 2002: 320-321):
1
Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan
Supaya keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang
sah, keterangan itu harus dinyatakan di sidang pengadilan, baik pernyataan
berupa penjelasan yang diutarakan sendiri oleh terdakwa maupun
pernyataan yang berupa penjelasan atau jawaban terdakwa atas pertanyaan
yang diajukan kepadanya oleh ketua sidang, hakim anggota, penuntut
umum atau penasihat hukum. Adapun yang harus dinilai, bukan hanya
lxx
keterangan yang berisi pernyataan pengakuan belaka, tapi termasuk
penjelasan pengingkaran yang dikemukakannya.
2
Tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami
sendiri. Sebagai asas kedua, supaya keterangan terdakwa dapat dinilai
sebagai alat bukti, keterangan itu merupakan pernyataan atau penjelasan :
a. Tentang perbuatan yang dilakukan terdakwa
Dari ketentuan ini, Hakim jangan sampai keliru memasukkan
keterangan terdakwa yang berupa pernyataan mengenai perbuatan
yang dilakukan oleh orang lain. Pernyataan perbuatan yang dapat
dinilai sebagai alat bukti ialah penjelasan tentang perbuatan yang
dilakukan terdakwa sendiri.
b. Tentang apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa
Disini undang-undang membuat garis pembatasan antara yang
diketahui terdakwa sehubungan dengan peristiwa pidana dengan
pengetahuan yang bersifat pendapat sendiri. Yang dimaksud dalam
ketentuan ini mengenai yang diketahui sendiri oleh terdakwa, bukan
pengetahuan yang bersifat pendapat maupun rekaan yang terdakwa
peroleh dari hasil pemikiran . Arti yang terdakwa ketahui sendiri tiada
lain daripada pengetahuan sehubungan dengan peristiwa pidana yang
didakwakan kepadanya.
c. Apa yang dialami sendiri oleh terdakwa
Pernyataan terdakwa tentang apa yang dialami, baru mempunyai
nilai sebagai alat bukti jika pernyataan pengalaman itu mengenai
pengalamannya sendiri. Tapi yang dialami sendiri inipun bukan
sembarang pengalaman. Apa yang terdakwa alami sendiri harus berupa
pengalaman yang langsung berhubungan dengan peristiwa pidana yang
bersangkutan.
d. Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya
sendiri
lxxi
Apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan dalam
kedudukannya sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai
alat bukti terhadap dirinya sendiri.
Pada saat terdakwa menyatakan dirinya tidak bersalah maka prinsip
minimum pembuktian yang mewajibkan minimal terdapat 2 alat bukti yang
sah yang membuktikan kesalahan terdakwa tidak terpenuhi. Sehingga
terdakwa dapat dinyatakan tidak bersalah kemudian diputus bebas meskipun
terdakwa memang melakukan tindak pidana.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Adapun yang menjadi simpulan dan yang berkenaan dengan permasalahan
yang diangkat, yaitu:
1
Kekuatan alat bukti keterangan saksi yang memiliki hubungan darah
dengan terdakwa dalam tindak pidana pencurian dalam keluarga adalah
bukan merupakan alat bukti yang sah apabila keterangan tersebut
diberikan tanpa sumpah.
Dalam
perkara
tindak
pidana
pencurian
dalam
keluarga
no
169/Pid/13/2007 PN Ska, saksi yang memiliki hubungan darah dengan
terdakwa dapat memberikan keterangan di bawah sumpah karena mereka
menghendaki dan kehendaknya itu disetujui secara tegas oleh Jaksa
Penuntut Umum dan Terdakwa sehingga keterangan mereka menjadi alat
bukti yang sah. Pada perkara tindak pidana pencurian dalam keluarga,
saksi yang memiliki hubungan darah memberikan keterangan dengan
sumpah. Nilai dan kekuatan alat bukti keterangan saksi adalah tidak
mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat
sehingga hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya.
lxxii
2
Hambatan dalam pembuktian yang menggunakan keterangan saksi yang
memiliki hubungan darah dengan terdakwa dalam tindak pidana
pencurian dalam keluarga menurut hasil wawancara adalah ketika batas
minimum pembuktian tidak terpenuhi maka terdakwa dapat diputus
bebas. Hal ini dapat terjadi ketika saksi yang memiliki hubungan darah
dengan terdakwa memberikan keterangan tanpa sumpah maka nilai
keterangannya bukan merupakan alat bukti yang sah dan nilai
pembuktian yang melekat pada keterangan itu dapat dipakai sebagai alat
bukti yang sah lainnya yaitu petunjuk. Alat bukti sah selanjutnya adalah
keterangan terdakwa, jika alat bukti yang ada hanya dua yaitu petunjuk
dan keterangan terdakwa, kemudian terdakwa memberikan keterangan
bahwa dia tidak bersalah, maka tidak terpenuhi asas minimum
pembuktian yang berprinsip untuk membuktikan kesalahan terdakwa
harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dengan kata
lain tidak dibenarkan atau dianggap cukup membuktikan kesalahan
terdakwa hanya dengan satu alat bukti. Sehingga terdakwa dapat
dinyatakan tidak bersalah dan diputus bebas.
B. Saran :
Setelah melakukan penelitian mengenai tinjauan yuridis tentang kekuatan
alat bukti keterangan saksi yang memiliki hubungan darah terhadap terdakwa
tindak pidana pencurian dalam keluarga, maka peneliti mengemukakan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Pembuat undang-undang harus lebih jeli lagi dalam membuat aturan, agar
pengaturan mengenai alat bukti yang sah, khususnya mengenai nilai dan
kekuatan pembuktian keterangan saksi yang memiliki hubungan darah
terhadap terdakwa tindak pidana pencurian dalam keluarga lebih pasti.
2. Kejahatan pencurian dalam keluarga merupakan urusan internal dalam
keluarga, apabila masih memungkinkan untuk diselesaikan secara
kekeluargaan, akan lebih baik hasilnya, ketimbang kejahatan ini diadukan
ke polisi yang pada akhirnya diselesaikan lewat jalur hukum di pengadilan.
lxxiii
DAFTAR PUSTAKA
Dari Buku
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana bagian dua Dasar Peniadaan,
Pemberatan dan Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan, Perbarengan
dan Ajaran Kausalitas. Jakarta: Raja Grafindo
Andi Hamzah. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sapta Artha Jaya
Bambang Waluyo. 1991. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta : Sinar
Grafika
Handari Nawawi. 1993. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.
Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Komentar Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) Buku Pedoman Mahasiswa dan Praktisi.
Bandung : Mandar Maju
H.B. Sutopo. 1999. Pengantar Metodologi Penelitian Kualitatif Bagian II.
Surakarta : UNS Press
Martiman Prodjohamidjojo. 1997. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana
Indonesia Dua. Jakarta: Pradnya Paramita
P. A. F. Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung:Citra
Aditya bakti.
Lexy J. Moleong. 1994. Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda Karya
Moch. Faisal Salam. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek.
Jakarta : Mandar Maju
lxxiv
M. Yahya Harahap. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali. Jakarta : Sinar Grafika
Nico Ngani. 1984. Mengenal Hukum Acara Pidana Bagian Umum dan
Penyidikan. Yogyakarta : Liberty
Rofikah dan Sabar Slamet. 1999. Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana.
Surakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Universitas Sebelas Maret
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas
Indonesia Press
Dari Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dari Internet
www.kdp.or.id. Artikel...........(18 November 2007 pukul 19.30)
lxxv
lxxvi
lxxvii
Download