POLEMIK PUBLIK CUTI 6 BULAN: TINJAUAN FILOSOFIS, YURIDIS DAN SOSIOLOGIS PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 49 TAHUN 2016 TENTANG AIR SUSU EKSLUSIF COPYRIGHT 2016 HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG UNDANG DILARANG MENGUBAH, MENGUTIP, MEMPERJUALBELIKAN ISI DOKUMEN INI TANPA SEIZIN DARI JARINGAN SURVEY INISIATIF RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF Page |1 RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF Page |2 TINJAUAN FILOSOFIS, YURIDIS DAN SOSIOLOGIS PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 49 TAHUN 2016 TENTANG AIR SUSU EKSLUSIF LATAR BELAKANG Kehadiran Peraturan Gubernur Aceh Nomor 49 Tahun 2016 tentang Air Susu Ekslusif (Pergub ASI) menuai kontroversi di kalangan masyarakat Aceh. Gelombang pro dan kontra timbul terkait dengan adanya ketentuan dalam pergub tersebut yang mengatur cuti hamil melahirkan bagi PNS dan tenaga honor yang berbeda dari ketentuan yang berlaku secara nasional. Dalam Pasal 28 Ayat (3) disebutkan bahwa Pemerintah wajib memberikan cuti melahirkan selama 6 (enam) bulan setelah waktu melahirkan untuk masa pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif. Serta bagi suami diberikan cuti hamil selama 7 (tujuh) hari sebelum melahirkan (ayat 4) . Sedangkan untuk cuti melahirkan, suami diberikan cuti 7 (tujuh) hari setelah melahirkan (ayat 5). Sedangkan untuk pekerja atau buruh, ditentukan oleh perusahaan atau melalui perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan atau dengan serikat pekerja. Poin cuti inilah yang kemudian menimbulkan reaksi beragam di kalangan masyarakat. bukan pada poin pemberian ASI Ekslusif. Waktu cuti selama 6 bulan tersebut dianggap terlalu lama sehingga dapat membuat pns tidak produktif dan bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi (PP Nomor 24 Tahun 1976 tentang cuti PNS). Di lain pihak mereka yang mendukung kehadiran Pergub ini, menyatakan waktu enam bulan sebagaimana diatur dalam pergub itu sudah sangat efektif bagi proses pemulihan ibu dan tumbuh kembang bayi. Oleh pihak ini, Pergub ASI dinilai visioner dan menjadi cerminan bahwa Gubernur Aceh Zaini Abdullah perhatian terhadap kebutuhan kaum hawa serta generasi Aceh di masa depan. Dukungan terhadap cuti melahirkan itu umumnya disuarakan kalangan aktivis yang bergerak di bidang isu gender dan perempuan. RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF Page |3 Melihat polemik yang terjadi saat ini, Jaringan Suvei Inisiatif berinisiatif untuk mengkaji secara lebih mendalam terhadap Peraturan Gubernur Aceh Nomor 49 Tahun 2016 tentang Air Susu Ekslusif ditinjau dari persepektif Filosofis, yuridis dan sosiologis. Diharapkan dengan adanya Kajian ini dapat memberikan masukan dan tawaran jalan tengah baik bagi kubu pro dan kontra terhadap Pergub ASI tersebut. kiranya semua pihak pasti setuju pentingnya mempersiapkan generasi emas bagi Aceh di masa depan, dengan mendukung pemberian ASI ekslusif serta gizi yang cukup bagi ibu menyusui. tinggal yang menjadi problematika kini adalah mengenai langkah serta cara yang ditempuh dalam menjalankan program tersebut. TUJUAN PENULISAN 1. Mengetahui landasan filosofis pembentukan Pergub ASI dalam Menetapkan cuti 6 bulan bagi PNS dan Tenaga Kontrak di Aceh 2. Mengetahui dalam hal yuridis sejauhmana yuridiksi/kewenangan Pemerintah Aceh dalam Menetapkan cuti 6 bulan bagi PNS dan Tenaga Kontrak di Aceh 3. Mengetahui dampak sosiologis dari Penerapan cuti 6 bulan bagi PNS dan Tenaga Kontrak di Aceh METODOLOGI PENULISAN Riset ini merupakan penelitian hukum dengan basis kajian peraturan perundang undangan. Riset ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dan kajian hukum normatif. Tipe penelitian dalam tulisan ini bersifat deskriptif. Penelitian ini menggunakan jenis data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari hasil analisa peraturan perundangan, kajian bahan pustaka, serta informasi narasumber. Sebagai bagian dari penelitian hukum, data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF Page |4 1. Data primer Data primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari : UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara; Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1976 tentang Cuti PNS; Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Ekslusif; Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan perempuan; Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kesehatan; Peraturan Gubernur Aceh Nomor 49 Tahun 2016 tentang ASI Ekslusif. 2. Data sekunder Data sekunder digunakan dalam rangka mendukung serta memperkuat analisis dan pembahasan dari temuan bahan hukum primer. Jenis bahan hukum sekunder berhubungan dengan objek analisis primer. Misalnya pendapat ahli maupun sumber referensi yang diperoleh dari internet yang berkaitan dengan penelitian ini. Mengingat spesifikasi penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, maka dokumen yang ditekankan untuk dikaji dan di cari lebih dalam adalah bahan hukum perundangundangan. Informasi narasumber menjadi bagian dari data sekunder yang digunakan untuk melengkapi analisis data primer. RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF Page |5 ALUR PENULISAN OBJEK KAJIAN PENGUMPULAN DATA Peraturan Gubernur Aceh Nomor 49 tentang ASI Ekslusif (Peraturan Perundang undangan, Bahan Kepustakaan) TINJAUAN FILOSOFIS, YURIDIS DAN SOSIOLOGIS PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 49 TAHUN 2016 TENTANG AIR SUSU EKSLUSIF RISET SELESAI ANALISIS & PEMBAHASAN RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF Page |6 BAB I TINJAUAN FILOSOFIS Dasar filosofis merupakan landasan filsafat atau pandangan yang menjadi dasar citacita sewaktu menuangkan suatu kebijakan ke dalam peraturan perundang-undangan. Dasar filosofis sangat penting untuk menghindari pertentangan peraturan perundang-undangan yang disusun dengan nilai-nilai yang hakiki dan luhur ditengah-tengah masyarakat, misalnya nilai etika, adat, agama dan lainnya. Dengan demikian dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan pada hakikatnya tidak boleh dilakukan secara pragmatis dengan langsung menuju pada penyusunan pasal per pasal tanpa kajian atau penelitian yang mendalam terlebih dahulu. Peraturan perundangan-undangan yang dibentuk tanpa pengkajian teoritis dan sosiologis yang mendalam akan cenderung mewakili kepentingan-kepentingan pihak berwenang pembentuk peraturan sehingga ketika diterapkan ke masyarakat yang terjadi adalah penolakan-penolakan. Masyarakat merasa tidak memiliki (tidak ada sense of belonging) atas suatu peraturan perundang-undangan akibat proses pembentukannya tidak partisipatif dengan mengikutkan dan meminta pendapat mereka. Dalam Bab ini akan dibahas mengenai Tinjauan Filosofis Pergub ASI dilihat dari batang tubuh pergub Asi di bagian pertimbangan yang menjadi dasar filosofis dibentuknya Pergub ASI Ekslusif. RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF Page |7 Untuk mengkaji tinjauan filosofis dari Pergub ASI, idealnya dapat dilihat dari naskah akademik sebagai bahan dan landasan bagi pembentukan Pergub ini. Namun proses perancangan Pergub ASI tanpa didahului oleh naskah akademik yang sejatinya merupakan komponen penting dalam proses penyusunan produk hukum. pembuatan naskah akademik itu penting agar jelas tujuan membuat produk hukum dimaksud. Naskah akademik akan membantu si pembuat peraturan itu untuk menemukan logika akademikya. Sehingga jelas mengapa suatu masalah diatur demikian. Selain itu urgensitas Naskah akademik dikarenakan detail dari rumusan tidak mungkin dituangkan dalam pasal. Pasal hanya berisi norma hukum dengan bahasa yang ringkas dan padat. Penjelasan dan maksud kata demi kata dalam pasal bisa ditelusuri dalam naskah akademik dan hasil-hasil pembahasan (memorie van toelichting). Penyusunan Naskah Akademik dalam proses pembentukan peraturan perundangundangan di Indonesia masih bersifat fakultatif (bukan keharusan). Sehingga tidak jarang masih banyak ditemukan produk hukum, terutama di tingkat lokal, yang tidak menyertakan naskah akademik sebagai komposisi utama penyusunan produk hukum. Pergub ASI ini adalah salah satu contohnya. Terlepas dari absennya naskah akademik tersebut, setidaknya tinjauan filosofis dari Pergub ASI ini hemat kami dapat dilihat dari Poin menimbang. Sehingga fokus kajian dari tinjauan filosofis dari penulisan ini adalah mengkaji poin-poin menimbang dari Pergub Aceh Nomor 49/2016 tentang ASI Ekslusif. 1. Landasan Syariat Islam dan PP 32 Tahun 2012 Pada poin pertimbangan huruf a Pergub ASI, disebutkan : bahwa pemberian Air susu Ibu merupakan bagian dari pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dan sesuai dengan PP Nomor 32 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Esklusif, bahwa setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI Ekslusif kepada bayi yang dilahirkannya. Dari poin huruf a tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa landasan filosofis yang utama dari pembentukan pergub ini ASI ekslusif adalah sebagai bagian dari implementasi pelaksanaan syariat Islam di Aceh. selain itu didukung dengan PP Nomor 32/2012 yang juga menganjurkan (tidak diwajibkan, sehingga digunakan kata “harus”) agar setiap ibu memberikan ASI Ekslusif kepada bayi yang dilahirkannya. RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF Page |8 Berkaitan dengan syariat Islam, perlu dilihat pandangan Islam mengenai soal menyusui tersebut. Perlu diketahui bahwa dalam mencari hukum suatu perkara dalam Islam, maka yang paling utama dijadikan rujukan adalah Al-Qur’an. baru setelah tidak ditemukan dasarnya dalam Al-Qur’an maka selanjutnya mencari dalam hadis Nabi, terutama dalam Kitab 9 Hadis yang masyhur. Dan bila juga tak ditemukan maka selanjutnya didasarkan pada pendapat jumhur ulama dan Qiyas. Dalam Alquran disebutkan, masa menyusui dalam ajaran Islam adalah dua tahun. Firman Allah SWT, "Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan," (QS al-Baqarah [2]: 233). Namun tak ada salahnya jika si ibu tak sampai dua tahun dalam menyusui bayinya. Menyusui sampai bayi berumur dua tahun hanyalah sebatas anjuran, bukan kewajiban. Ini diterangkan dalam penghujung ayat tersebut, "Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya." (QS al-Baqarah [2]: 233). Dari dua ayat tersebut, mayoritas ulama menyimpulkan bahwa dua tahun adalah jangka waktu yang ditentukan Allah untuk menyusui. Seperti pendapat Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat tersebut. Walau ayat ini berbentuk khabar (informasi) namun ada unsur perintah yang harus dilaksanakan umat Islam. "Ini merupakan petunjuk dari Allah SWT kepada para ibu agar mereka menyusui anak-anaknya dengan pemberian ASI yang sempurna selama dua tahun," terang Ibnu Katsir. Pandangan Ibnu Abbas, masa dua tahun untuk menyusui hanya diperuntukkan bagi bayi yang lahir prematur, seperti enam bulan masa kandungan. Sementara, jika lahir dalam usia kandungan lebih dari enam bulan, jangka waktu untuk menyusui otomatis berkurang dari dua tahun. Ibnu Abbas berdalil dengan Alquran surat al-Ahqaf [46] ayat 15, "Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan."Dalam ayat ini disebutkan, masa mengandung dan menyusui totalnya selama 30 bulan. Jika dua tahun (24 bulan) dihabiskan untuk menyusui, maka sisanya hanya enam bulan untuk masa mengandung. Jika masa mengandung sampai 9 bulan, maka otomatis masa menyusui menjadi 22 bulan. Pemberian ASI selama dua tahun bukan tanpa alasan. RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF Page |9 Hal ini sebagai bukti, bahwa ajaran Islam sangat memperhatikan asupan nutrisi yang diberikan kepada bayi. Dunia kedokteran membuktikan, ASI yang diberikan selama dua tahun terbukti menjadikan bayi lebih sehat. Dari uraian ayat Quran dan pandangan jumhur ulama diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam Islam sangat mengajurkan dan mengutamakan masa menyusui selama dua tahun. Hal tersebut dikarenakan Menyusui selama dua tahun disebut sebagai bentuk maksimalnya perhatian orang tua kepada bayinya. "Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun." (QS Luqman [31]: 14). Sehingga apabila Pergub ASI konsisten, kaffah dan tidak parsial dalam menjadikan ketentuan syara sebagai landasan filosofis dari kehadiran pergub ini, maka selayaknya ketentuan maksimal (2 tahun) tersebut idealnya yang diadopsi. Sebagaimana Pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) yang menetapkan pemberian ASI selama 2 tahun sebagai bagian dari Hak Asasi Anak yang wajib dipenuhi oleh semua ibu. Di negara berasaskan Syariat Islam itu, Bagi ibu yang tidak memberikan ASI dikenakan sanksi kecuali ada alasan lain yang membenarkan seorang ibu tidak menyusui (seperti alasan medis). Sedangkan anjuran menyusui selama 6 bulan tidak dapat ditemukan keutamaanya dalam pandangan Islam baik dari Al-Quran, Hadist maupun pendapat jumhur ulama. 2. Alasan kesehatan Pada poin pertimbangan huruf b Pergub ASI, disebutkan : bahwa 80% (delapan puluh persen) perkembangan otak anak dimulai sejak dalam kandungan sampai usia 3 (tiga) tahun (periode emas). sehingga diperlukan pemberian ASI ekslusif selama 6 (enam) bulan dan diteruskan sampai anak berusia 2 (dua) tahun sehingga setiap ibu berkewajiban memberikan ASI kepada anaknya. Dalam poin b tersebut, alasan utama diberikannya ASI ekslusif selama 6 bulan adalah dalam rangka menjaga kesehatan perkembangan otak anak. Sehingga disinilah logika cuti 6 bulan diterapkan. Namun disatu sisi jangka waktu pemberian ASI ekslusif ini diteruskan sampai anak berusia 2 tahun, namun disisi lain pergub ini RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF P a g e | 10 hanya mengatur cuti selama 6 bulan. Apabila pemberian ASI ekslusif adalah wajib 6 bulan cuti dan ditambah hingga anak berusia 2 tahun, maka ada defisit cuti yang harusnya diberikan kepada ibu menyusui yaitu 18 bulan. Selain itu di dalam pertimbangannya tersebut pemerintah Aceh juga menambahkan frasa “setiap ibu berkewajiban memberikan ASI kepada anaknya”. Frasa wajib tersebut dapat menimbulkan dampak hukum. Secara logika hukum apabila ada suatu aturan yang diwajibkan bagi subjek hukum dan dilanggar maka akan ada sanksi yang menanti. Sehingga seharusnya frasa ini dapat ditinjau lebih jauh penggunaanya. Tidak setiap ibu dapat memberikan ASI baik karena alasan medis maupun karena alasan khusus. 3. Advokasi dan sosialisasi Program ASI ekslusif Pada poin pertimbangan huruf d Pergub ASI, disebutkan : bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 4 PP Nomor 33 tahun 2012 tentang pemberian ASI Ekslusif, Pemerintah Aceh dalam program pemberian ASI ekslusif bertanggung jawab melaksanakan advokasi dan sosialisasi program pemberian ASI ekslusif dalam skala provinsi serta membina, monitoring dan mengevaluasi dan mengawasi pelaksanaan dan pencapaian program pemberian ASI Ekslusif di Faskes, Satuan pendidikan kesehatan, tempat kerja, tempat sarana umum, dan kegiatan di masyarakat dalam skala provinsi Dalam PP tersebut disebutkan tanggung jawab Pemerintah baik Provinsi maupun Kabupaten/kota di Indonesia terkait program ASI ekslusif. Yaitu melaksanakan advokasi, sosialisasi membina, monitoring, mengevaluasi dan mengawasi pelaksaaan dan pencapaian program ASI ekslusif di instansi pemerintahan, fasilitas pelayanan kesehatan dan kegiatan masyarakat umum. Benar bahwa pemerintah provinsi diberikan tanggung jawab untuk advokasi dan sosialisasi program ASI dalam PP tersebut. namun dalam PP 32/2012 itu tidak ada pengaturan cuti bagi pns atau tenaga kontrak dalam rangka mensukseskan program ASI Ekslusif. PP tersebut memang memberikan kewenangan untuk berkreatifitas bagi pemerintahan Provinsi dalam rangka mensukseskan program ASI dalam skala provinsi. Dengan catatan, tentunya kreatifitas tersebut dilakukan tanpa berbenturan dengan peraturan lain yang berlaku di Indonesia. Berkaca dari PP 32/2012, bahwa mekanisme cuti ternyata bukanlah satu satunya langkah yang dapat RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF P a g e | 11 ditempuh agar program ASI ekslusif terselenggara dengan baik. Justru Poin penting dalam PP 32/2012 adalah penyediaan fasilitas khusus bagi ibu menyusui (tempat memerah ASI) baik di tempat kerja, instansi pemerintahan, fasilitas kesehatan dan sarana umum sebagai indikator keberhasilan program pemberian ASI ekslusif. Penyediaan sarana dan prasana tempat memerah asi tersebut selayaknya dilakukan Pemerintah Aceh tiga tahun lalu, setahun setelah PP 32/2012 berlaku. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 41 PP 32/2012 : Pada saat Peraturan Pemerintahan mulai berlaku, Pengurus Tempat Kerja dan/atau penyelenggara tempat sarana umum, wajib menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lama 1 (satu) tahun 4. Cuti hamil dan cuti melahirkan dalam Qanun 6 Tahun 2009 Pada poin pertimbangan huruf e Pergub ASI, disebutkan : bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 13 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota serta lembaga lainnya wajib memberikan cuti hamil dan cuti melahirkan bagi para pekerja perempuan dan suami dari pekerja perempuan. Pada Pasal 13 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2009 diatas memang memberikan kewenangan bagi Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/kota untuk memberikan cuti bagi wanita hamil dan melahirkan. Namun dalam pasal yang mengatur cuti tersebut hemat kami harus dibaca secara utuh meliputi ayat berikutnya dari pasal tersebut. di ayat (2) disebutkan : Cuti hamil bagi pekerja perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan 20 (dua puluh) hari sebelum waktu melahirkan. Kemudian pada ayat (3) Cuti melahirkan bagi pekerja perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan 90 (sembilan puluh) hari setelah waktu melahirkan. dalam Qanun 6/2009 tidak disebutkan cuti bagi perempuan hamil 6 bulan sebagaimana tertuang dalam Pergub ASI. Justru Qanun 6/2009 selaras dengan regulasi yang lebih tinggi yaitu PP Nomor 24/1979 tentang cuti. Dimana diatur bahwa cuti sebelum melahirkan adalah 20 hari dan cuti melahirkan maksimal diberikan 90 hari setelah waktu melahirkan. apabila ditinjau dari dimensi kemanusiaan, ketentuan ini dinilai dapat menguatkan Ikatan Kasih sayang dan nilai emosional antara ibu dan anak. Dimensi ini diyakini Merupakan hal yang paling dasar (azasi) sebagai pemenuhan hak Anak dan Ibu. RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF P a g e | 12 BAB II TINJAUAN YURIDIS Landasan/ dasar yuridis ialah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum (rechtsgrond) bagi pembuatan peraturan perundang-undangan. Dasar yuridis ini terdiri dari dasar yuridis dari segi formil dan dasar yuris dari segi materiil. Dasar yuridis dari segi formil adalah landasan yang berasal dari peraturan perundang-undangan lain untuk memberi kewenangan (bevoegdheid) bagi suatu instansi membuat aturan tertentu. Sedangkan dasar yuridis dari segi materiil yaitu dasar hukum untuk mengatur permasalahan (objek) yang akan diatur. Dengan demikian dasar yuridis ini sangat penting untuk memberikan pijakan pengaturan suatu peraturan perundang-undangan agar tidak terjadi konflik hukum atau pertentangan hukum dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. BAB ini membahas pandangan hukum yang pro maupun kontra terhadap pergub ASI, juga melakukan analisis peraturan perundangan terkait untuk mengetahui sejauhmana kewenangan dan legalitas Pemerintah Aceh dalam menerapkan kebijakan cuti 6 bulan RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF P a g e | 13 Bila diklasifikasikan, maka terdapat dua pandangan hukum yang dominan dalam menyikapi menyikapi diterbitkannya Pergub ASI. Pandangan pertama, menyatakan bahwa Pergub Asi bertentangan dengan regulasi yang lebih tinggi. Secara hukum pemerintah Aceh dinilai tidak memiilki kewenangan serta legalitas dalam menentapkan cuti melebihi ketentuan yang diatur secara nasional. Pandangan kedua, menyatakan bahwa pemerintah Aceh dapat menetapkan cuti 6 bulan karena Aceh dianggap memiliki kekhususan dalam mengatur rumah tangganya sendiri (self government). asas lex specialist digunakan sebagai pamungkas bagi pihak yang kontra terhadap kebijakan ini. PANDANGAN HUKUM KONTRA /PENOLAKAN TERHADAP KEBIJAKAN CUTI 6 BULAN Pandangan hukum yang menolak kehadiran Pergub ASI ini dapat dilihat dari pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyebut aturan yang baru ditandatangani pada 12 Agustus 2016 itu tak boleh bertentangan dengan aturan di atasnya. "'UU-nya kan tidak begitu dan tentu peraturan di bawah tidak boleh bertentangan dengan UU," kata JK di JI Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (31/8/2016). 1 Pandangan senada yang menilai pergub ASI bertabrakan dengan aturan diatasnya,Kepala Kantor Regional VIII BKN Aceh Makmur Ibrahim mengatakan, pihaknya akan melakukan telaah dan mengkaji kembali Pergub Nomor 49 Tahun 2016 Tentang Pemberian Asi Eksklusif atau yang lebih populer dengan Pergub Cuti Bersalin itu. Menurut Makmur, pergub yang diterbitkan Gubernur Aceh Zaini Abdullah itu melebihi kewenangan yang diatur dalam PP 24 Tahun 1976 yang mengatur cuti bagi wanita hamil dan melahirkan maksimal 3 bulan2 Pakar Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Mawardi Ismail mengatakan, pengaturan cuti bersalin dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh Nomor 49 Tahun 2016 Tentang Pemberian ASI Ekslusif, bukanlah kewenangan gubernur Aceh. Karena, regulasi ini bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu, Peraturan http://news.detik.com/berita/3287736/jk-sebut-pergub-aceh-yang-atur-cuti-bersalin-6-bulan-bertentangandengan-uu?utm_source=News&utm_medium=Msite&utm_campaign=ShareFacebook 2 https://www.modusaceh.co/news/bkn-aceh-pergub-cuti-bersalin-melebihi-kewenangan-pp/index.htmla 1 RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF P a g e | 14 Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1976 Tentang Cuti bagi PNS, dan Pasal 118 UndangUndang Pemerintah Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006. 3 Menurut Mawardi, kebijakan cuti bersalin ini adalah kebijakan pemerintah pusat secara nasional, hal tersebut dapat dilihat dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1976 tentang Cuti bagi PNS, yang juga sejalan dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Di sana dijelaskan bahwa, tentang hak PNS seperti mendapatkan gaji dan cuti, lalu kemudian dalam pasal 24 disebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai hak PNS diatur dengan PP. jadi bukan diatur dengan peraturan gubernur.Selain itu, jelas Mawardi, Pergub tentang cuti bersalin selain bertentangan dengan regulasi yang lebih tinggi juga bertentangan dengan Pasal 118 UU Pemerintahan Aceh, di sana dijelaskan PNS adalah satu kesatuan manajemen pegawai negeri sipil secara nasional, yang manajemennya meliputi, menetapkan formasi pengadaan, penganggkatan, pemberhentian, pemindahan, penetapan pensiun, gaji tunjangan, hak dan kewajiban PNS. Menurut Mawardi, dari konsideran yang tercatat dalam pergub tersebut, sesungguhnya pergub ini bertujuan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian ASI Ekslusif. Dimana dalam PP tersebut diatur, setiap ibu harus memberikan ASI ekslusif dan pemerintah harus memberikan dukungan untuk itu. Adapun bentuk dukungan yang disebutkan dalam PP itu, kata Mawardi, terdapat dalam Pasal 30, di mana pengurus tempat kerja dan penyelengara tempat umum harus mendukung pemberian ASI ekslusif ini. menurut Mawardi, yang diinginkan oleh PP ini adalah kewajiban penyedian sarana dan prasarana untuk pemberian ASI ekslusif, yang juga pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Tatacara Penyediaan Fasilitas Khusus Ibu Menysui. bukan memberi cuti melebihi kewenanangan, melainkan menyediakan sarana dan prasarana dalam memberikan ASI ekslusif. 4 https://www.modusaceh.co/news/mawardi-ismail-cuti-bagi-pns-bersalin-bukan-kewenangan-gubernuraceh/index.html 4 https://www.modusaceh.co/news/pergub-cuti-bersalin-berpotensi-jadi-bahan-tertawaan/index.html 3 RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF P a g e | 15 Pandangan yang menilai pergub ASI batal demi hukum, datang dari Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Abulyatama (Unaya) Aceh, Wira Admadinata menilai, Pergub Cuti Bersalin, batal demi hukum. Karena, regulasi tersebut melanggarkan kewenangan hukum yang lebih tinggi yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1976 Tentang Cuti PNS.5 Menurut Wira, hukum yang lebih rendah tidak bisa mengatur objek yang berbeda dari hukum yang lebih tinggi dalam suatu masalah yang sejenis, karena itu tidak dibenarkan dalam hukum. Wira yang juga Dekan Fakultas Hukum Unaya itu menjelaskan, meski Aceh diberikan kekhususan oleh Pemerintah Pusat, namun Aceh tidak boleh semena-mena. Harus dilihat sampai sejauh mana otoritas atau kewenangan Aceh dalam masalah kepegawaian.Dalam konteks otonomi khusus, yang bisa diatur dengan qanun dalam masalah kepegawaian apabila itu menyangkut pegawai Aceh dan anggaran APBA. Namun, tetap tidak melanggar aturan yang lebih tinggi, baik itu Peraturan Pemerintah (PP) atau Undang-undang (UU).Maka dengan lahirnya Pergub ini, Wira menilai, terjadi mismanagement dalam pengelolaan pemerintahan. Seharusnya, kata Wira, pemerintah yang baik harus tertib hukum dan tertib administrasi, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan jika produk regulasi yang dibuat karena dilatar belakangi oleh kepentingan politik. PANDANGAN HUKUM PRO/MENDUKUNG TERHADAP KEBIJAKAN CUTI 6 BULAN Dilain pihak, tidak sedikit Juga yang setuju dengan kebijakan cuti 6 bulan bagi ibu hamil dan melahirkan itu. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, pada prinsipnya, peraturan daerah yang tidak melanggar kewenangan pusat diperbolehkan. Daerah juga mempunyai kewenangan sendiri dalam menentukan aturan. "Aceh itu kan otonomi khusus dengan dasar syariah Islam. Sepanjang tidak mencakup enam kewenangan pusat, terserah daerah. Kalau DPRD-nya setuju dan dibuat perda, ya enggak ada masalah," ucap Tjahjo di JIExpo, Jakarta, Selasa 30 Agustus 2016 malam. Hanya saja, 5 https://www.modusaceh.co/news/wira-admadinata-pergub-cuti-bersalin-batal-demi-hukum/index.html RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF P a g e | 16 politikus PDI Perjuangan itu tidak bisa menjamin aturan ini akan diterapkan kepada seluruh PNS di Indonesia. Sebab, banyak pertimbangan dalam melaksanakan aturan itu.6 Pakar Hukum Universitas Syiah Kuala M Jafar mengatakan, Peraturan Gubernur (Pergub) mengenai cuti hamil dan melahirkan bagi pegawai negeri sipil (PNS) selama enam bulan, apabila mengacu pada peraturan lebih tinggi tidak menjadi masalah apabila kewenangannya melebihi dari peraturan pemerintah.7 Menurutnya ada dua prinsip yang harus dilihat dalam pergub tersebut, yakni peraturan yang lebih tinggi akan mengalahkan peraturan yang lebih rendah, peraturan yang khusus mengalahkan peraturan yang umum, serta peraturan yang baru mengalahkan peraturan yang lama.Jakfar menjelaskan, apabila pergub ini merupakan penjabaran dari peraturan yang lebih tinggi menyangkut asi ekslusif dan menyangkut kewenangan Aceh dalam bidang kepegawaian, itu tidak jadi persoalan. Jadi itu yang perlu dikaji lebih lanjut adalah landasan hukum dari pergub ini. Karena UUPA ini merupakan peraturan yang baru, itu bisa menyampingkan peraturan yang lama," PP itu sudah sangat lama. Jadi kalau ada perintah UUPA atau penjabaran dari ketentuan UUPA tidak ada persoalan dengan PP. Karena Aceh daerah khusus (lex specialis). Bahkan kalau UUPA bertentangan dengan undang-undang sekali pun, tetap UUPA yang berlaku. Apalagi dengan PP," ungkapnya Jakfar juga mengungkapkan, UUPA merupakan sesuatu yang bersifat masih umum, sehingga untuk menjelaskan itu akan diatur dalam pergub. "Kalau ada hak dan kewajiban dalam UUPA, itu sudah termasuk mengatur masuk kerja, jam kerja, gaji, cuti dan sebagainya. Kalau merupakan penjabaran dari UUPA tidak masalah bertentangan dengan peraturan lain," jelas staf ahli Gubenur Zaini Abdullah itu sebagaimana yang dilandisir modus co. 6 bulan/index.html http://www.ajnn.net/news/mendagri-persilakan-aceh-terapkan-aturan-cuti-melahirkan-6- http://www.ajnn.net/news/pergub-cuti-hamil-ini-penjelasan-pakar-hukumunsyiah/index.html?1470488345000 7 RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF P a g e | 17 KEWENANGAN DAN LEGALITAS PEMERINTAH ACEH DALAM MENETAPKAN KEBIJAKAN CUTI 6 BULAN Pernyataan Mendagri Tjahjo Kumolo yang mempersilahkan Aceh menerapkan cuti 6 bulan menjadi angin segar bagi pihak yang pro terhadap kebijakan cuti 6 bulan. Namun pada dasarnya pernyataan mendagri ini harus dilihat dalam kerangka pernyataan politis dari seorang pejabat publik. Ini dikarenakan bahasa mendagri yang masih mengambang dan bersayap menimbulkan multi tafsir terhadap dukungan pusat terhadap Pergub ASI. Mendagri menyatakan bahwa pada prinsipnya, peraturan daerah yang tidak melanggar kewenangan pusat diperbolehkan. Namun jelas bahwa pengaturan cuti PNS hingga kini masih merupakan domain pusat. Menyangkut dengan kewenangan pemerintah Aceh untuk memberlakukan aturan yang berbeda dari PP 24/1976 melalui kebijakan cuti 6 bulan bagi PNS dan tenaga kontrak di lingkup pemerintah Aceh, perlu dilihat dasar hukum lain yang kiranya memberikan kewenangan bagi pemerintah Aceh untuk menerapkan kebijakan tersebut. Dalam ayat 118 UUPA diatur mengenai aspek pengaturan manajemen kepegawaian Aceh. pada ayat (1) disebutkan bahwa Pegawai Negeri Sipil di Aceh merupakan satu kesatuan manajemen Pegawai Negeri Sipil secara nasional. Lalu pada ayat (2) Manajemen Pegawai Negeri Sipil di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, kedudukan hukum, pengembangan kompetensi, dan pengendalian jumlah. Ayat (3) Pengelolaan manajemen pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diserahkan pelaksanaannya kepada Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota. Ketentuan pada pasal 118 tersebut haruslah dilihat secara utuh. pada ayat (1) secara tegas dinyatakan dalam UUPA bahwa PNS Aceh merupakan satu kesatuan manajemen PNS secara nasional. Sifat manajemen satu atap ini mengharuskan Aceh tunduk dan mengikuti ketentuan peraturan perundangan yang berlaku secara nasional alam rangka pembinaan dan manajemen kepegawaian. Terkecuali di pasal ini disebutkan bahwa sistem kepegawaian Aceh tersendiri dan merupakan bagian terpisah dari manajemen kepegawaian secara nasional. Maka Pemerintah Aceh memiliki kewenangan untuk RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF P a g e | 18 membuat regulasi yang mengatur aspek kepegawaian di Aceh dalam rangka menjalankan pemerintahan sendiri (self government). mengenai kata2 " dapat diserahkan" Pasal 118 ayat (3) UU No.11/2006, kata "dapat diserahkan", secara hukum bermakna boleh diserahkan, boleh tidak, tetapi sampai sekarang pengelolaan manajemen kepegawaian oleh nasional kepada Aceh belum diserahkan. Ketentuan cuti bersalin bagi PNS berlaku secara nasional dan hingga kini masih menggunakan PP Nomor 24 Tahun 1976, yang diatur pada pasal 19 disebutkan pada ayat (1) : Untuk persalinan anaknya yang pertama, kedua, dan ketiga, Pegawai Negeri Sipil wanita berhak atas cuti bersalin. Ayat (2) Untuk persalinan anaknya yang keempat dan seterusnya, kepada Pegawai Negeri Sipil wanita diberikan cuti diluar tanggungan Negara. Kemudian ayat (3) diatur Lamanya cuti-cuti bersalin tersebut dalam ayat (1) dan (2) adalah 1 (satu) bulan sebelum dan 2 (dua) bulan sesudah persalinan. Hemat kami apabila memang pemerintah Aceh tetap bersikukuh menjalankan kebijakan cuti 6 bulan tersebut, secara hukum hal tersebut hanya bisa dilakukan bagi tenaga kontrak /honorer (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja/PPPK) . Hal ini demikian dapat dilakukan karena tenaga kontrak/honorer tersebut tidak terikat dengan aturan cuti sebagaimana pp 24/1976 karena mereka tidaklah berstatus sebagai PNS. Selain itu manajemen tenaga kontrak/honorer berbeda dengan manajemen PNS. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 107 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN.) bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai manajemen PPPK diatur dalam PP tersendiri. Sedangkan hingga kini Peraturan Pemerintah yang mengatur manajemen tenaga kontrak/honorer tersebut belum ada. Sehingga klausul hubungan hukum antara pegawai tidak tetap dan Pemerintah Aceh adalah murni hubungan keperdataan. Jadi, layaknya seperti hubungan hukum melakukan pekerjaan atas dasar kemitraan (partnership) didasarkan pada asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 jo Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Meski demikian hak, kewajiban dan tanggung jawab PPPK tersebut diatur dalam UU ASN. Hanya saja mengenai hak cuti bagi pegawai kontrak belumlah ada regulasi khusus yang mengatur. Sehingga dengan demikian pemerintah Aceh dapat saja membuat regulasi khusus bagi tenaga kontrak/honorer tersebut. RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF P a g e | 19 namun dari segi hukum hal demikian tidak dapat dilakukan serta merta bagi PNS karena ada regulasi lebih tinggi yang membatasi hal tersebut. Mengenai argumentasi bahwa kewenangan pemerintah Aceh dalam penetapan cuti adalah termasuk ranah kekhususan (lex specialist). Namun asas lex specialist sejatinya adalah penjabaran dari aturan umum ke aturan khusus. Andaikata ada pasal di UUPA yang mengatur kewenangan cuti PNS merupakan kewenangan preogratif pemerintah Aceh, maka barulah Pemerintah Aceh dapat menjabarkan aturan tersebut ke dalam instrumen hukum pelaksana seperti Qanun atau pergub. dalam UU ASN, Bab XV, Pasal 132 diatur mengenai ketentuan manajemen ASN harus memperhatikan kekhususan daerah tertentu : kebijakan dan manajement ASN yang diatur dalam UU ini dilaksanakan dgn memperhatikan kekhususan daerah terentu dan warga negara berkebutuhan khusus. Penjelasan Pasal Ini: yg dimaksud dgn daerah tertentu misalnya: daerah yg memiliki otonomi khusus, daerah perbatasan, daerah konflik, daerah terpencil, dan daetah istimewa.Namun poin memperhatikan kekhususan tersebut tentunya kekhususan suatu daerah harus memperhatikan hukum yang lebih tinggi. Dengan kata lain, apabila Pemerintah Aceh ingin memiliki kewenangan tersendiri dalam hal pengaturan manajemen kepegawaian, maka secara hukum terdapat dua solusi : Pertama , melakukan revisi/perubahan UUPA di senayan dalam rangka memperluas kewenangan Aceh dalam hal pengaturan manajemen kepegawaian. Meski manajemen kepegawaian Aceh terintegrasi dengan manajemen pusat. Namun UUPA dapat memperluas kewenangan pemerintah Aceh untuk menyelenggarakan pengelolaan kepawaian berbasis kearifan lokal dan nilai nilai keislamanan, dengan terlebih dahulu melakukan penyempurnaan terhadap pasal pasal terkait dalam UUPA. Kedua, melakukan pendekatan atau lobi ke pemerintah pusat agar segera menyerahkan pengelolaan manajemen kepegawaian secara penuh kepada Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (3) UU No.11/2006. Pengelolaan manajemen ini kemudian dituangkan dalam PP tersendiri yang mengatur tentang kewenangan pengelolaan kepegawaian oleh Pemerintah Aceh, dimana termasuk aturan cuti 6 bulan di dalamnya. RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF P a g e | 20 BAB III TINJAUAN SOSIOLOGI Tinjauan sosiologis mengkaji realitas masyarakat yang meliputi kebutuhan hukum masyarakat, aspek sosial ekonomidan nilai-nilai yang hidup dan berkembang (rasa keadilan masyarakat). Tujuan kajian sosiologis ini adalah untuk melihat efek dari Pergub ASI ini di masyarakat dan dalam kehidupan. BAB ini akan menguraikan pandangan masyarakat terhadap kebijakan cuti 6 bulan yang tertuang dalam Pergub ASI, juga membahas key problem dalam rangka menemukan akar permasalahan problematika ibu menyusui di Aceh sehingga dapat diketahui landasan sosiologis akan kebutuhan Pergub ASI. Ketentuan cuti 6 bulan diberlakukan dalam rangka Pemberian ASI Eksklusif yang diyakini akan mewujudkan Lahirnya Generasi Emas bagi Aceh yaitu generasi yang cerdas, sehat dan kuat serta Bertaqwa. Ditinjau dari persepektif ini, maka memang pemberian kesempatan cuti tersebut memiliki niat mulia agar anak dan ibu dapat terbangun hubungan emosional antara ibu dan bayi. RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF P a g e | 21 Berdasarkan informasi dari beberapa narasumber, diantaranya menyambut baik adanya ketentuan cuti 6 bulan bagi ibu hamil dan melahirkan. namun meski demikian sebagian besar narasumber menyatakan tidak akan mengambil ketentuan cuti 6 bulan tersebut. alasan yang dikemukakan beragam. Diantaranya karena dengan mengambil cuti 6 bulan PNS tidak mendapatkan tunjangan selain gaji, seperti tunjangan prestasi kerja (TPK), uang makan dan tunjangan jabatan bagi yang memiliki posisi di instansi. “ kalau kami sepertinya tidak akan mengambil cuti 6 bulan tersebut. karena cukup dengan 3 bulan saja sebenarnya dari segi pendapatan kami sudah banyak berkurang. Terlebih bagi perempuan pasca melahirkan otomatis pengeluaran bertambah dengan kehadiran si buah hati.sedang pendapatan malah menurun karena minus TPK dan honorarium lainnya” keluh salah seorang ibu muda yang bekerja di salah satu instansi pemerintah Aceh yang minta dirahasiakan identitasnya. Narasumber lain, mengatakan bahwa ketentuan cuti 6 bulan tersebut selain berpengaruh terhadap pendapatan, juga berpengaruh terhadap beban kerja serta penilaian kinerja PNS yang mengambil cuti tersebut. “ pengalaman di dinas kami, ada bendahara yang tahun lalu mengambil cuti melahirkan 3 bulan. Namun ketika selesai cuti pekerjaan menjadi menumpuk. Karena memang harus diakui ada posisi yang memang tidak bisa dikerjakan oleh orang lain karena beragam faktor. Walhasil bendahara kami sempat stress pasca melahirkan. cuti 3 bulan saja sudah ditelepon atasan kapan masuk. Bayangkan kalau 6 bulan” ungkap salah seorang PNS wanita di lingkup pemerintah Aceh. Kemudian ada juga pendapat yang menyatakan bahwa ketentuan cuti 6 bulan tersebut dapat menyebabkan menurunnya produktifitas dari SKPA. Sebagaimana penuturan seorang PNS pria di salah satu instansi Pemerintah Aceh “ ketentuan cuti tersebut juga berlaku bagi tenaga kontrak/honorer. Hal ini jelas akan menganggu kinerja dan produktivitas SKPA. Alasan menggunakan tenaga kontrak ini jelas karena dinas kekurangan tenaga terutama berkaitan dengan pekerjaan pekerjaan teknis dan administratif. Bayangkan apabila ada tenaga kontrak yang sangat dibutuhkan tenaganya kemudian ramai ramai cuti hamil. Bagaimana dengan produktifiktas SKPA tersebut dalam mengejar target dan capaian. Disisi lain. tidak ada alokasi dana dari Pemerintah Aceh sendiri apabila tenaga kontrak cuti hamil maka posisinya bisa digantikan dengan merekrut tenaga kontrak lain dalam rangka menjalankan tugas tertentu” ujar nya. RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF P a g e | 22 Ketentuan cuti hamil 6 bulan tersebut dinilai juga kelak dapat menimbulkan reaksi kecemburan sosial dari perempuan yang bekerja di sektor swasta di Aceh. sebagaimana penuturan Nanda, salah seorang karyawati perusahaan pembiayaan di Banda Aceh “ wah enak sekali PNS bisa cuti hamil selama 6 bulan. Kalau kami jangan kan 6 bulan. Sebulan saja sudah syukur sebenarnya. Itupun sebentar bentar dipanggil bos karena ada tugas yang harus dikerjakan. Harusnya dalam Pergub itu juga diatur secara tegas bahwa sektor swasta juga wajib 6 bulan kerja. buka melimpahkan kewenangan itu pada perusahaan. Secara logika bisnis. Perusahaan jelas tidak mau rugi dengan memberikan cuti 6 bulan bagi karyawatinya. Jadi aturan itu seperti macan ompong. Tidak memiliki taring untuk memaksa pengusaha. Jadinya kalau begini anak anak kami tidak akan mendapatkan gizi dan perhatian yang cukup selayaknya PNS yang bisa cuti 6 bulan ” curhat nanda. Berkaca dari informasi yang diperoleh dari narasumber di lapangan. Maka pergub ini meski memiliki niat dan tujuan mulia, namun disinyalir dapat menimbulkan dampak sosial yang tidak sedikit. diantaranya kesenjangan sosial yang makin melebar antara sektor pemerintahan dan swasta di Aceh, potensi merosotnya kinerja SKPA serta menimbulkan pengaruh bagi pendapatan PNS yaitu hilangnya TPK, honorarium dan tunjangan lainnya. Selain itu pengaruh lain adalah kepada penilaian hasil kinerja PNS diperkirakan tidak maksimal ekses dari lamanya PNS cuti hingga 6 bulan. KEBIJAKAN PUBLIK BERBASIS DATA DAN FAKTA Sebuah kebijakan publik pada hakikanyat adalah respon untuk menjawab situasi atau kebutuhan yang berkaitan dengan kepentingan publik. Situasi dan kebutuhan ini bisa dilihat sebagai problem kunci yang menjadi dasar dan alasan kenapa kebijakan itu dibutuhkan. Jadi sebuah kebijakan publik harus beranjak dari prinsip evidence-based, berbasis data dan fakta. Sementara data dan fakta lahir dari proses verifikasi yang kita sebut dengan kajian atau penelitian. Artinya sebelum dirumuskan argumentasi yang menjadi basis kebijakan terlebih dulu harus scientifical and empirical verified and proven. terkait dengan kebijakan cuti hamil-melahirkan selama 6 bulan, perlu merumuskan key problem polemik terkait dengan kebijakan cuti hamil-melahirkan selama 6 bulan tersebut. pertanyaan utamanya adalah apa key problemnya sehingga kebijakan ini dibutuhkan? Sudah pernahkah dibuat kajian terhadap permasalahan ini? RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF P a g e | 23 Pertanyaan ini menjadi penting untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak bergerak dari asumsi-asumsi dangkal yang belum tentu valid dan jelas basis ilmiahnya. Beberapa pihak mengaitkan kebijakan ini dengan fenomena stunting (anak bertubuh pendek). Lalu juga ada justifikasi soal waktu dimana durasi 6 bulan dipercaya sebagai ukuran waktu Si Ibu bisa memberi ASI secara maksimal kepada bayinya. Untuk itu perlu dilakukan uji valiitas kedua argumentasi ini dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Semisal, adakah korelasi antara stunting dengan asupan ASI? Jika ada seberapa signifikan? lalu apakah ini menjadi satu-satunya faktor, atau ada faktor lain, seperti faktor genetik atau nutrisi non ASI misalnya. Lalu soal waktu, idealnya perlu dilakukan terlebih dahulu evaluasi terkait durasi cuti selama 3 bulan yang selama ini diterapkan secara nasional. Kemudian perlu dilakukan wawancara terhadap pihak pekerja perempuan yang bekerja di intansi pemerintahan ini. apakah ada testimoni yang berisi komplain dari para ibu-ibu PNS dan tenaga kontrak yang bekerja di birokrasi pemerintah di Aceh atas durasi cuti 3 bulan selama ini? apakah pernah ada aspirasi mereka untuk meminta tambah durasi cuti selama 6 bulan? Persepsi dan aspirasi dari mereka ini sangat penting karena merekalah stakeholder yang paling berkepentingan dengan kebijakan ini. Jika kita selisik dari fakta sehari-hari sesungguhnya dalam konteks Aceh, besaran asupan ASI eksklusif dan durasi waktu ibu menyusui tampak tidak menjadi permasalahan serius yang kemudian harus melahirkan kebijakan baru berupa penambahan aturan cuti hamil-melahirkan. argumentasi yang memperkuat kesimpulan ini sekaligus menepis signifikansi kebijakan yang dituangkan dalam qanun Aceh no 49 tahun 2016 ini setidaknya terdapat dua faktor Pertama , adalah terkait jam kerja di lingkungan birokrasi pemerintahan di Aceh dan kedua, terkait dengan penghasilan dan kondisi ekonomi PNS dan tenaga kontrak. Dalam rentang kerja 8,5 jam sehari kurang lebih, dari 08.00 – 16.45, PNS memilki waktu istirahat selala satu jam 12.30.01.30 yang sering dimanfaatkan oleh PNS di Aceh dengan makan siang di rumah. Nah PNS yang menyusui bisa memanfaatkan dan menyiasati waktu istirahat ini dengan menyusui bayinya dirumah. Sementara di luar jam istirahat, berkat teknologi mereka juga bisa memompa ASI-nya dan menyimpannya di lemari es sehingga sewaktu-waktu bisa disusui dengan dot ketiak si baya membutuhkan, tentu dengan RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF P a g e | 24 dihangatkan terlebih dahulu. Fakta inilah yang selama ini berlangsung tanpa pernah ada laporan menimbulkan masalah serius si bayi kekurangan asupan ASI. Pada sudut pandang yang lain, jika aturan 6 bulan cuti hamil-melahirkan ini berlaku, maka dari wawancara narasumber ditemukan potensi menimbulkan masalah ekonomi bagi PNS. Rata-rata PNS sudah terikat dengan kredit konsumtif sehingga gaji mereka bahkan banyak yang lebih dari setengah, harus dipotong setiap bulan dalam rangka pelunasan kredit. Dalam kondisi seperti demikian tentu mereka sangat berharap pada TPK sebagai bahan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jika aturan Gubernur Zaini ini berlaku maka bagi PNS otomatis hanya menerima gaji pokok yang sebagiannya terpotong untuk membanyak kredit, tanpa TPK. Lebih buruk adalah tenaga kontrak yang bahkan tidak menerima renumerasi dalam bentuk apapun karena statusnya yang honorer dimana honornya dibayar berdasarkan kehadiran dan kinerja. cuti 6 bulan dengan penghasilan yang minim bahkan nihil, dalam kondisi ekonomi Aceh yang belumlah mapan, berpotensi membebani PNS-PNS yang hamil dan menyusui. Tanpa penghasilan stabil tentu menimbulkan tanda tanya bagaimana mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama asupan nutrisi untuk merangsang produksi ASI yang dibutuhkan si bayi, sementera uang untuk membeli semua kebutuhan itu mereka tidak punya. Karena alasan ini banyak PNS, termasuk tenaga kontrak justru tidak mau berlamalama cuti di rumah. Dan sejauh ini, dari hasil wawancara narasumber dan pengamatan dilapangan, mereka bisa menyesuaikan dan menyiasati waktu untuk tetap dapat memberi asupan ASI sesuai kebutuhan nutrisi bayi tanpa banyak menimbulkan persoalan. Oleh karena itu komparasi dengan beberapa negara yang menerapkan cuti hamilmelahirkan 6 bulan, bahkan lebih, untuk memperkuat argumentasi penerapan kebijakan cuti 6 bulan, maka perlu juga dilihat bahwa tidak selamanya permbandingan ini dapat diterapkan apple to apple dengan negara lain. ini karena karasteristik dimasing masing wilayah tidaklah simetris disebabkan perbedaan kondisi sosial budaya dan ekonomi masing-masing wilayah. RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF P a g e | 25 KESIMPULAN 1. Ditinjau dari perspektif filosofis, pertimbangan Pergub ASI berlandaskan ketentuan Syariat Islam. Namun secara syara Islam mengutamakan dan menganjurkan agar bayi disusui hingga dua tahun bukan 6 bulan sebagaimana diatur dalam Pergub tersebut. selain itu berdasarkan analisa dari beragam regulasi lain yang mengatur tentang pemberian ASI ekslusif, penekan bukan pada cuti namun pada penyediaan fasilitas khusus bagi ibu menyusui seperti tempat memerah ASI di instansi pemerintahan, fasiltas pelayanan kesehatan dan tempat sarana Umum oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. 2. Ditinjau dari persepektif yuridis, ketentuan yang mengatur cuti 6 bulan bagi PNS dan tenaga kontrak/honor di lingkup pemerintah Aceh berpotensi bersebarangan dengan regulasi lain yang lebih tinggi yang mengatur ketentuan cuti seperti PP Nomor 24 tahun 1976. Juga bertentangan dengan Qanun nomor 6/2009 tentang pemberdayaan perempuan anak yang mengatur cuti hamil dan melahirkan bagi perempuan adalah 3 bulan. Oleh karena itu perlu kiranya dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan aturan terkait yang lebih tinggi. 3. Ditinjau dari perspektif sosiologis, ketentuan cuti 6 bulan memberikan dampak sosial berupa kecemburan sosial antara pegawai swasta dan pegawai negeri di Aceh. ketentuan tersebut juga dinilai akan memberikan dampak berupa menunnya kinerja dan produktifitas SKPA. Selain itu ketentuan cuti 6 bulan tersebut dapat berpengaruh pada penerimaan pendapatan PNS, beban kerja dan peniliaian kinerja. Dari segi kultur ibu menyusui di Aceh, besaran asupan ASI eksklusif dan durasi waktu ibu menyusui tampak tidak menjadi permasalahan serius yang kemudian harus melahirkan kebijakan baru berupa penambahan aturan cuti hamil-melahirkan. RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF P a g e | 26 REKOMENDASI JSI 1. Pada dasarnya kebijakan Pemberian ASI ekslusif memiliki tujuan mulia dan merupakan terobosan dalam perspektif kebijakan publik, terutama yang berkaitan dengan aspek hak hak perempuan khususnya ibu hamil dan menyusui. Dengan demikian keberadaan Pergub ini hendaknya ditindak lanjuti pula dengan sarana fasilitas bagi ibu hamil dan menyusui. 2. Pemerintah Aceh perlu meninjau kembali pasal pasal yang mengatur cuti 6 bulan sebagaimana diatur dalam Pergub ASI, untuk diselaraskan/harmonisasi dengan peraturan yang lebih tinggi yang mengatur ketentuan cuti hamil/melahirkan. 3. melakukan pendekatan atau lobi ke pemerintah pusat agar segera menyerahkan pengelolaan manajemen kepegawaian secara penuh kepada Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (3) UU No.11/2006. 4. Merekomendasikan kepada Pemerintah Pusat untuk menerapkan kebijakan cuti 6 bulan bagi ibu hamil/melahirkan yang berstatus sebagai PNS, Tenaga Kontrak/Honorer untuk diberlakukan secara nasional. Dengan demikian akan ada regulasi secara nasional yang mengikat dan mengatur ketentuan cuti 6 bulan sehingga Pergub ASI tidak akan bertentangan dengan peraturan diatasnya RISE T P US TA KA JA RINGA N SURVEI INISIA TIF P a g e | 27 DAFTAR PUSTAKA PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara; Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1976 tentang Cuti PNS; Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Ekslusif; Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan perempuan; Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kesehatan; Peraturan Gubernur Aceh Nomor 49 Tahun 2016 tentang ASI Ekslusif. INTERNET http://news.detik.com/berita/3287736/jk-sebut-pergub-aceh-yang-atur-cutibersalin-6-bulan-bertentangan-dengan uu?utm_source=News&utm https://www.modusaceh.co/news/bkn-aceh-pergub-cuti-bersalin-melebihikewenangan-pp/index.htmla https://www.modusaceh.co/news/mawardi-ismail-cuti-bagi-pns-bersalin-bukankewenangan-gubernur-aceh/index.html https://www.modusaceh.co/news/pergub-cuti-bersalin-berpotensi-jadi-bahantertawaan/index.html https://www.modusaceh.co/news/wira-admadinata-pergub-cuti-bersalin-bataldemi-hukum/index.html