BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peningkatan kecepatan disolusi merupakan salah satu masalah pokok dalam
pengembangan produksi di industri farmasi untuk obat yang kelarutannya sangat
kecil. Obat yang memiliki kecepatan disolusi yang rendah menjadikan kecepatan
disolusinya sebagai langkah penentu dalam proses absorbsinya (Kaplan, 1973).
Dengan meningkatkan kecepatan disolusi suatu bahan obat, maka kecepatan
absorbsinya akan meningkat. Sudah banyak peneliti yang membuktikan adanya
korelasi antara kecepatan disolusi dengan kecepatan absorbsi untuk obat yang
memiliki sifat demikian (Shargel dkk, 2007).
Obat-obat oral yang memiliki tujuan sistemik harus dapat diabsorbsi dalam
saluran pencernaan, kemudian baru melewati efek lintas pertama kemudian masuk
dalam sirkulasi sistemik tubuh. Sebelum dapat diabsorbsi, obat-obat oral harus
dapat terdisolusi dengan baik dalam cairan saluran pencernaan, terutama untuk
obat-obat dalam bentuk partikel padat (Soemardi, 1999).
Obat-obat yang memiliki karakter disolusi yang kurang baik seringkali
menjadi masalah tersendiri dan berpengaruh langsung pada jumlah kadar obat yang
sampai di dalam sirkulasi sistemik. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri dalam
perkembangan obat, terutama obat-obat yang diharapkan dapat bereaksi dalam
waktu singkat. Permasalahan ini dapat diatasi salah satunya dengan pembentukan
1
2
dispersi padat dengan menambah bahan pembawa yang mudah larut dalam air.
Nifedipin merupakan obat anti-angina vasolidator, termasuk di golongan
penghambat kanal kalsium, dan berkhasiat sebagai obat antihipertensi (tekanan
darah tinggi) dan anti angina. Nifedipin berbentuk serbuk kristalin berwarna
kuning, memiliki titik lebur pada 172oC-174oC. Nifedipin memiliki karakter yang
praktis tidak larut dalam air, sukar larut dalam etanol, larut dalam aseton dan
kloroform. Nifedipin memiliki koefisien partisi 2,2, yang menandakan
permeabilitasnya cukup baik (Moffat dkk., 2011).
Dispersi padat hadir sebagai salah satu metode alternatif untuk
meningkatkan kecepatan disolusi terutama untuk obat yang sukar larut dalam air.
Metode dispersi padat pertama kali dikerjakan oleh Sekiguchi dan Obi. Metode
dispersi padat waktu itu dikerjakan dengan cara membentuk campuran eutektik
antara bahan obat dengan bahan pembawa yang sesuai dan memiliki sifat mudah
menguap. Kemudiaan diikuti dengan penguapan bahan pembawa secara cepat
(Chiou dan Riegelman, 1971).
Untuk tujuan di atas, pada penelitian ini dilakukan percobaan untuk
mengetahui karakter fisik dari nifedipin khususnya pada kecepatan disolusinya
setelah dimodifikasi partikelnya dengan menggunakan metode dispersi padat.
Dispersi padat nifedipin dibuat dengan menggunakan metode kopresipitasi. Hasil
dispersi padat kemudian dibuat dalam bentuk pellet untuk selanjutnya diuji
kecepatan disolusinya.
Disolusi intrinsik merupakan salah satu teknik uji disolusi in vitro yang
digunakan khususnya pada pengembangan zat aktif pada tahap preformulasi. Hal
3
ini disebabkan disolusi intrinsik hanya membutuhkan jumlah sampel yang sedikit.
Selain itu, dari hasil uji disolusi, diharapkan dapat memberi gambaran kepada
peneliti mengenai masalah apa yang mungkin muncul pada pengembangan zat aktif
tersebut (Issa dan Ferraz, 2011).
Hasil uji disolusi kemudian diungkapkan dengan melakukan plotting
hubungan bobot solid terlarut persatuan luas terhadap fungsi waktu dan hubungan
𝑀∞
𝑙𝑛 (𝑀∞−𝑀) dari persamaan Kitazawa terhadap fungsi waktu. Plotting kurva ini
didasarkan pada persamaan yang diturunkan dari persamaan Noyes-Whitney.
Melalui kedua kurva ini, akan didapatkan harga slope yaitu tetapan kecepatan
disolusi intrinsik (G) dan tetapan kecepatan disolusi k dari persamaan Kitazawa.
Dengan membandingkan harga G dan harga k maka akan didapatkan informasi
apakah sistem dispersi padat nifedipin-PVP K-30 dapat meningkatkan kecepatan
disolusi atau tidak.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
pengembangan dan pengaplikasian pembuatan dispersi padat khususnya pada obatobat yang memiliki karakter disolusi yang buruk. Sekaligus dapat memberikan
sumbangsih bagi kemajuan ilmu pengetahuan di bidang teknologi kefarmasian dan
peningkatan aspek klinis dari nifedipin.
4
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah pembentukan dispersi padat nifedipin dan polovinil pirolidon K-30
dengan metode kopresipitasi dapat meningkatkan kecepatan disolusi dari
nifedipin murni?
2. Apakah peningkatan konsentrasi polivinil pirolidon K-30 dalam dispersi padat
nifedipin-polivinil pirolidon K-30 dapat meningkatkan kecepatan disolusi
dispersi padat nifedipin-polivinil pirolidon K-30?
C.
Pentingnya Penelitian Diusulkan
1. Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini dapat membuktikan bahwa sistem dispersi padat dapat
meningkatkan kecepatan disolusi nifedipin. Melalui dispersi padat, kecepatan
disolusi nifedipin akan meningkatkan efektifitas nifedipin sebagai sediaan oral.
2. Bagi Peneliti
Melalui penelitian ini, peneliti dapat menerapkan teori dalam kenyataan
penelitan dengan mengaplikasikan sistem dispersi padat pada nifedipin. Selain
itu penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat meraih gelar strata satu
bagi peneliti.
3. Bagi Masyarakat
Sistem dispersi padat yang diaplikasikan pada bentuk sediaan nifedipin akan
sangat membantu masyarakat yang akan mengkonsumsi nifedipin. Hal ini
dikarenakan dengan profil disolusi yang lebih baik, akan meningkatkan
efektifitas penggunaan bentuk sediaan nifedipin.
5
D.
Tujuan Penelitian
1. Membuktikan bahwa pembentukan dispersi padat nifedipin-polivinil pirolidon
K-30 dengan metode kopresipitasi dapat meningkatkan kecepatan disolusi
nifedipin secara signifikan bila dibandingkan dengan kecepatan disolusi
nifedipin murni.
2. Membuktikan bahwa peningkatan konsentrasi polivinil pirolidon K-30 dalam
dispersi padat nifedipin-polivinil pirolidon K-30 akan meningkatkan kecepatan
disolusi dispersi padat nifedipin-polivinil pirolidon K-30.
E.
1.
Tinjauan Pustaka
Disolusi Obat
Pada umumnya produk obat mengalami absorbsi sistemik melalui suatu
rangkaian proses liberasi, disolusi dan absorbsi. Secara skematis proses tersebut
ditunjukan pada gambar 1.
Tablet
disintegrasi
Granul
k1
k2
disolusi
deagregasi
disolusi
Partikel Halus
k3
disolusi
Obat larut dalam cairan tubuh
Ka
absorbsi
Obat di dalam darah, cairan
tubuh lain, dan jaringan
Gambar 1. Skema disintegrasi dan disolusi (Wagner, 1971).
6
Obat dalam bentuk tablet ketika digunakan secara per oral akan masuk ke
dalam saluran pencernaan dan mengalami kontak dengan medium. Tablet
kemudian akan terdisintegrasi menjadi granul-granul. Granul-granul ini kemudian
akan terdeagregasi menjadi partikel halus. Tablet, granul, dan partikel halus
masing-masing akan terdisolusi dengan kecepatan tertentu. Di sini dinyatakan
dalam k1, k2, dan k3. Dalam hal ini k1<<k2<<k3 karena perbedaan luas permukaan
efektifnya.
Setelah terdisolusi, obat akan berada dalam bentuk larutan yang terdisolusi
dalam cairan tubuh (di dalam saluran pencernaan). Kemudian obat akan terabsorpsi
dengan tetapan kecepatan absorpsi (Ka). Apabila ka>>>k1+k2+k3, maka kecepatan
disolusi obat tersebut menjadi langkah penentu dalam proses absorpsinya (Gibaldi
dan Feldman, 1970).
Mekanisme masuknya obat ke dalam saluran sistemik adalah melalui
mekanisme difusi pasif. Mekanisme difusi pasif memiliki karakteristik dimana
kecepatan absorpsi sebanding dengam gradien kadar yang ada. Apabila obat yang
berada di dalam tubuh kita dapat mencapai sirkulasi sistemik dengan cepat, maka
otomatis kadar obat dalam sirkulasi sistemik akan cepat mencapai jendela terapi
dan efek obat akan semakin cepat tercapai. Kecepatan absorpsi obat juga turut
berperan pada efektifitas obat dalam mencapai efek yang diinginkan. Apabila suatu
obat memiliki kecepatan eliminasi yang tinggi, bahkan lebih tinggi daripada
kecepatan absorpsinya, maka akan mengakibatkan kadar obat dalam darah tidak
dapat mencapai kadar optimum. Selain itu, apabila kadar obat tidak dapat mencapai
7
KEM, maka obat tersebut tidak akan memberikan efek seperti yang kita kehendaki
(Shargel dkk, 2007).
Karakter kecepatan disolusi dari suatu active pharmaceutical ingredient
(API) dari suatu bentuk sediaan sangat tergantung dari kelarutannya (Ali, 2005).
Hampir 40% dari API dan new chemical entity (NCE) memiliki kelarutan dalam air
yang buruk dan mengakibatkan kecepatan disolusi bentuk sediaan yang buruk.
Kondisi ini mengakibatkan waktu absorpsi yang dibutuhkan oleh bahan obat
menjadi lebih lama (Kavitha dkk, 2011). Mengacu pada data tersebut, kecepatan
disolusi yang buruk merupakan masalah yang umum dihadapi dalam formulasi
bentuk sediaan. Berbagai strategi telah dilakukan oleh banyak peneliti untuk
mengatasi masalah ini, seperti: sintesis bentuk garam, pengecilan ukuran partikel,
kompleksasi, dispersi padat, spray dry, dan mikroenkapsulasi (Kumar dkk, 2010).
Uji disolusi biasanya dilaksanakan di industri farmasi. Pelaksanaan uji
disolusi, disesuaikan dengan tujuan uji itu sendiri. Tujuan pertama dari uji disolusi
adalah untuk optimasi formula. Uji ini dilakukan di bagian Riset dan
Pengembangan dan bertujuan untuk memperoleh suatu formula obat yang paling
baik. Tujuan lainnya adalah untuk kontrol rutin setelah fabrikasi. Uji ini dilakukan
di bagian Kontrol Kualitas dan bertujuan untuk jaminan kesamaan kualitas produksi
antar bets dan jaminan kualitas ketersediaan farmasetis secara in-vivo (Fudholi,
2013).
2.
Teori Disolusi
Kecepatan disolusi bisa didefinisikan sebagai kecepatan melarut suatu obat
dari sediaan farmasi, granul, atau partikel halus sebagai hasil terdisintegrasinya
8
bentuk sediaan farmasi obat tersebut setelah terjadi kontak fisik dengan pelarut
(Carstensen, 1974).
Noyes dan Whitney telah merumuskan suatu persamaan yang dapat
menyatakan hubungan antara kecepatan disolusi dengan kadar obat dalam
persamaan (1) (Wagner, 1971):
𝑑𝐢
𝑑𝑑
= π‘˜(𝐢𝑠 − 𝐢𝑏).............................................................................(1)
dimana dC/dt adalah kecepatan disolusi suatu bahan obat, k adalah tetapan
kecepatan disolusi, Cs adalah kelarutan jenuh obat dalam medium, sedangkan Cb
adalah kadar obat terlarut dalam medium pelarut pada waktu tertentu (t). Dari
persamaan Noyes-Whitney di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang
paling berperan dalam menentukan kecepatan disolusi suatu obat adalah kelarutan
bahan obat tersebut dalam medium disolusi.
Terdapat tiga macam teori disolusi. Teori ini adalah teori film, teori
pembaharuan permukaan, dan teori kecepatan solvatasi terbatas (Carstensen, 1974).
Pada ketiga teori di atas, ada dua faktor yang dapat dikembangkan dalam
memformulasikan suatu obat supaya dapat memperbaiki karakter disolusinya.
Kedua faktor ini adalah luas permukaan efektif obat dan kelarutan bahan obat.
Meningkatkan luas permukaan efektif obat dan meningkatkan kelarutan bahan obat
dapat memperbaiki karakter disolusi obat tersebut.
Ada beberapa metode yang dapat kita lakukan dalam hal meningkatkan luas
permukaan efektif bahan obat. Beberapa metode ini adalah pengecilan ukuran
partikel bahan obat, pemberian surfaktan untuk mempercepat pembasahan (Finholt,
1974), dan pembentukan dispersi padat (Goldberg dkk, 1965).
9
Luas permuakaan efektif berbanding langsung dan proporsional dengan
kecepatan disolusi. Luas permukaan efektif dapat ditingkatkan dengan menurunkan
ukuran partikel dari obat atau dengan mengoptimasi karakteristik pembasahan.
Reduksi ukuran partikel, pembentukan garam, kompleksasi, dan solubilisasi obat
dalam solven juga berguna untuk meningkatkan disolusi, akan tetapi ada beberapa
batasan untuk teknik-teknik di atas. Penggunaan obat dalam keadaan perut penuh
(setelah makan) juga bisa menjadi salah satu pilihan untuk meningkatkan kecepatan
disolusi dengan meningkatkan waktu yg dibutuhkan untuk disolusi itu sendiri (Patil
dkk, 2011).
3.
Disolusi Intrinsik
Disolusi intrinsik merupakan salah satu cara pengungkapan data uji disolusi
yang digunakan untuk menguji kecepatan disolusi zat aktif murni atau
pengembangan dari zat aktif murni. Karena hanya dibutuhkan jumlah yang sedikit,
sangat memungkinkan untuk melakukan penghitungan disolusi intrinsik dan
memprediksi problem disolusi yang mungkin terjadi (Issa dan Ferraz, 2011).
Kecepatan disolusi intrinsik didefinisikan sebagai kecepatan disolusi zat
aktif murni persatuan luas permukaan kontak. Dengan mengetahui kecepatan
disolusi intrinsik, kita dapat mengetahui secara lebih dalam mengenai bagaimana
kecepatan disolusi suatu obat dalam kondisi fisiologis (Hadžiabdić dkk, 2013).
Kecepatan disolusi intrinsik dapat diperoleh dengan menggunakan
peralatan tertentu yang telah didesain sedemikian rupa (disesuaikan dengan kondisi
fisiologis yang diinginkan). Bahan obat dikempa hingga berbentuk pellet, lalu
dimasukan ke dalam die. Selanjutnya pellet obat dicelupkan ke dalam larutan
10
medium dengan luas area kontak yang konstan. Nilai kecepatan disolusi intrinsik
dinyatakan dalam mg cm-2 s-1 (Anonim, 2009; Viegas dkk, 2001)..
4.
Dispersi Padat
Metode dispersi padat pertama kali dikerjakan oleh Sekiguchi dan Obi.
Metode ini memiliki tujuan untuk meningkatkan kecepatan disolusi dan absorpsi
suatu obat yang sukar larut dalam air. Metode dispersi padat waktu itu dikerjakan
dengan cara membentuk campuran eutektik antara bahan obat dengan bahan
pembawa yang sesuai dan memiliki sifat mudah menguap. Kemudiaan diikuti
dengan penguapan bahan pembawa secara cepat (Chiou dan Riegelman, 1971).
Dispersi padat merupakan suatu campuran dari satu atau lebih bahan obat
dalam suatu bahan pembawa yang inert atau berupa matriks padat. Dalam
perkembangannya, metode pembuatan dispersi padat dapat dibagi-bagi menjadi
beberapa metode, yaitu dilakukan dengan metode peleburan, metode pelarutan,
metode pelarutan-peleburan, serta metode campuran fisik (Chiou dan Riegelman,
1971).
Pionir dalam bidang dispersi padat adalah Sekiguchi dan Obi, dimana kedua
peneliti ini menggunakan metode peleburan atau dalam istilah asing disebut sebagai
melt/fusion method. Metode ini dikerjakan dengan memanaskan campuran fisik dari
obat dan bahan pembawa secara langsung hingga terjadi. Campuran yang terlebur
ini kemudian disolidifikasi menggunakan penangas es. Massa yang telah dingin
kemudian diiris dan diayak. Produk-produk yang telah diadministrasikan terbukti
meningkatkan absorpsi obat. Hingga kini, masih banyak sekali variasi-variasi yang
dikembangkan untuk memperbaiki metode ini (Parikh, 2005).
11
Tachibana dan Nakamura memperkenalkan konsep preparasi dispersi padat
dengan menggunakan metode pelarutan. Metode yang diusulkan meliputi pelarutan
obat dan bahan pembawa di dalam suatu solven dan diikuti evaporasi dari solven
tersebut dalam kondisi vakum. Dispersi padat yang dihasilkan dari metode ini
secara umum disebut sebagai koevaporat (coevaporates) (Parikh, 2005).
Metode pelarutan termasuk dalam salah satu metode pembuatan sistem
dispersi padat telah umum dilakukan. Pada metode ini, dekomposisi termal
(penguapan, oksidasi, dan degradasi zat aktif) bahan obat dan bahan pembawa dapat
dicegah karena metode ini menggunakan pelarut organik dengan temperatur
penguapan yang relatif rendah. Akan tetapi, metode ini juga memiliki beberapa
kelemahan yaitu kemungkinan pelarut memengaruhi stabilitas kimia bahan obat,
sulit untuk menguapkan pelarut secara sempurna, pemilihan pelarut yang sesuai dan
adanya kemungkinan pelarut memengaruhi stabilitas bahan obat (Fudholi, 2013).
Metode peleburan-pelarutan merupakan metode campuran/gabungan dari
metode peleburan dan metode pelarutan. Bahan obat dilarutkan dalam pelarut
organik yang sesuai dan digabungkan secara langsung dalam bahan pembawa yang
telah dileburkan. Kemudian pelarut organik tersebut dievaporasi (Parikh, 2005).
Setidaknya sudah ada tiga macam teknik pembuatan dispersi padat yang
telah sukses digunakan dalam produksi komersil. Metode-metode ini adalah metode
melt extrusion, yang dapat digunakan pada obat-obat dengan titil leleh yang tidak
terlalu tinggi, spray drying, yang berguna untuk obat-obat yang larut setidaknya
pada satu solven yang mudah menguap, dan kopresipitasi, yang berguna untuk obat
12
dengan titik leleh yang tinggi dan memiliki solubilitas yang rendah pada solven
organik yang umum (Huang dan Dai, 2014).
Kesuksesan dari suatu sistem dispersi padat ditentukan dari kemampuannya
untuk terdisolusi setelah administrasi secara per oral. Untuk dispersi padat, obat
harus terdisolusi bersamaan dengan matriks polimer untuk menghasilkan sebuah
campuran supersaturasi. Keadaan supersaturasi harus bisa dipertahankan cukup
lama supaya proses absorpsi obat bisa berjalan (Huang dan Dai, 2014).
Ketika suatu sistem dispersi padat drug loading-nya rendah, obat dan
polimer dalam sistem dispersi padat dapat terdisolusi secara cepat. Setelah itu, obat
dapat diabsorpsi secara kontinyu dan mengalami presipitasi karena kehadiran
polimer dan komponen endogen seperti empedu, fosfolipid, dan mucin. Berbagai
macam bentuk struktur bisa terbentuk, seperti obat bebas atau obat terdapat di
dalam empedu/misel fosfolipid, nanoprecipitate amorf, atau nanocrystal yang
distabilkan oleh polimer. Bentuk-bentuk nanopartikel tersebut memiliki kelarutan
yang tinggi. Dengan pemilihan polimer yang tepat, konsentrasi obat bebas bisa
dibuat dengan menyesuaikan kelarutannya (Friesen dkk, 2008).
Sistem dispersi padat menghasilkan suatu larutan obat pada kondisi
supersaturasi ketika ada di dalam lingkungan cair pada jalur gastrointestinal. Obat
pada kondisi ini memiliki tendensi untuk terpresipitasi secara cepat sebelum
diabsorbsi dan mengakibatkan bioavailabilitasnya rendah. Banyak macam polimer
yang telah diteliti untuk memperpanjang kondisi supersaturasi dan menghambat
presipitasi obat. Untungnya, polimer yang biasanya digunakan dalam formulasi
dispersi padat juga dapat digunakan untuk menghambat presipitasi obat, khususnya
13
derivat selulosa seperti hidroksipropilmetilselulosa (HPMC) dan polimer vinil
seperti polivinil pirolidon (PVP). (Huang dan Dai, 2014)
Interaksi antara polimer dan bahan obat kemungkinan disebabkan karena
formasi ikatan hidrogen dan/atau interaksi hidrofobik (Huang dan Dai, 2014).
Selain itu, dalam penelitian sebelumnya telah ditunjukkan bahwa semakin tinggi
lipofilisitas suatu polimer akan meningkatkan pula kekutan interaksi antara polimer
dan bahan obat. Tetapi, ada suatu batasan dimana lipofilisitas polimer tidak lagi
berpengaruh pada interaksi antara polimer dan bahan obat (Ilevbare dkk, 2012).
Kecepatan disolusi suatu obat yang meningkat karena sistem dispersi padat
terjadi melalui 2 mekanisme, yaitu mekanisme penarikan (dragging mechanism)
dan mekanisme pembasahan (wetting mechanism). Polimer bahan pembawa yang
lebih mudah larut dalam medium akan berinteraksi dengan bahan obat dan
mengelilingi bahan obat dalam medium. Setelah sistem kontak dengan medium,
polimer bahan pembawa akan terlarut secara cepat dengan membawa serta
(menarik) bahan obat. Peristiwa inilah yang disebut sebagai mekanisme penarikan.
Selain mekanisme ini,ada pula kemungkinan terjadinya mekanisme pembasahan.
Mekanisme pembasahan terjadi setelah interaksi terjadi antara bahan obat dan
polimer bahan pembawa. Senyawa hasil interaksi tersebut akan membentuk suatu
ikatan hidrogen dan/atau ikatan van der Waals dengan medium dalam larutan yang
menyebabkan senyawa tersebut melarut di dalam medium (Moechtar, 1992).
Mekanisme penarikan dan mekanisme pembasahan bisa terjadi secara
tunggal dan/atau sinergis tergantung pada interaksi yang terjadi antara polimer
bahan pembawa dan bahan obat. Contohnya pada PVP yang mengandung 2 unsur
14
yang dapat mengadakan ikatan hidrogen (Nitrogen dan Oksigen) dan 3 unsur yang
dapat mengadakan ikatan van der Waals (C3, C4, dan C5). Hal ini memungkinkan
terjadinya mekanisme penarikan dan mekanisme pembasahan yang bekerja
sinergis. Contoh lain pada PEG yang hanya memiliki 1 unsur yang dapat
mengadakan ikatan hidrogen (oksigen) dan tidak memiliki unsur yang dapat
menyebabkan ikatan van der Waals. Hal ini mengakibatkan mekanisme
pembasahan tidak dapat terjadi secara maksimal (Moechtar, 1992).
5.
Kopresipitasi
Kopresipitasi termasuk salah satu metode pembuatan sistem dispersi zat
padat di dalam zat padat. Suatu dispersi bahan obat dengan bahan pembawa yang
dapat dibuat dengan cara pelelehan pada titik leburnya atau dilarutkan dengan
pelarut yang cocok, dapat pula dibuat dengan metode pelarutan-pelelehan (Ritschel,
1976).
Pada metode pelelehan biasa, digunakan bahan pembawa derifat selulosa,
manitol, atau campuran manitol dengan karbohidrat lain (Ritchel, 1976). Metode
pelarutan yang menghasilkan kopresipitat dilakukan dengan melarutkan bahan obat
dengan bahan pembawa pada pelarut yang cocok, kemudian pelarutnya diuapkan.
Bila hal ini tidak mungkin/sukar dilakukan dapat ditambahkan zat lain sehingga
terjadi pembentukan kristal yang merupakan dispersi padat molekuler antara bahan
obat dengan bahan pembawa. Padatan yang diperoleh bila belum dalam bentuk
serbuk halus perlu digerus dan diayak terlebih dahulu (Fudholi, 2013).
Pembentukan kopresipitat telah banyak diteliti, antara lain: kopresipitasi
reserpin-PVP (Stupak dan Bates, 1972); digitoksin-PVP (Stupak dan Bates, 1972);
15
dan sulfatiazol-PVP (Simonelli dkk, 1969). Dari hasil penelitian-penelitian tersebut
ternyata pembentukan kopresipitat dapat meningkatkan kecepatan disolusi obat
yang sukar larut dalam air.
6.
Nifedipin
Gambar 2. Struktur kimia nifedipin (Moffat dkk, 2011)
Nifedipin mengandung tidak kurang 98,0% dan tidak lebih dari 102,0%
C17H18N2O6 dihitung dalam keadaan kering. Nifedipin mempunyai nama kimia,
1,4-dihidro-2,6-dimetil-4-(O-nitrofenil)-3,5-piridin
karboksilat.
Nifedipin
mempunyai berat molekul 346,3 (Anonim, 1995). Nifedipin berupa serbuk
berwarna kuning, tidak berbau, tidak berasa, dan tidak higroskopis. Titik leleh
nifedipin antara 171-175oC (Sweetman, 2009).
Nifedipin merupakan obat yang sukar larut dalam air (5,6 µg/mL pada pH
7) (Ali, 1989), disolusi obat dari fase kristalin stabil dilaporkan merupakan langkah
yang paling lambat dalam absorpsi obat dan menyebabkan bioavailabilitas yang
rendah (Benita dkk, 1990). Ditambah lagi, nifedipin juga memiliki kecepatan
klirens yang tinggi. Hal ini menyebabkan bentuk sediaan nifedipin konvensional
per oral harus diadministrasikan tiga kali sehari, yang menyebabkan fluktuasi kadar
obat dalam darah yang signifikan dan efek samping obat yang lebih tinggi. Oleh
16
karena itu, pengembangan bentuk sediaan nifedipin dalam bentuk lepas terkontrol
sangat dibutuhkan untuk mereduksi efek samping dan meningkatkan kepatuhan
pasien dan kenyamanan pasien dalam mengkonsumsi nifedipin (Huang dkk, 2006).
Nifedipin merupakan senyawa yang sensitif terhadap cahaya. Nifedipin
akan segera berubah menjadi turunan nitrosofenil piridin jika terpapar sinar
matahari atau sinar artifisial pada panjang gelombang tertentu. Studi degradasi
lerutan nifedipin dalam metilen klorida yang terpapar sinar pada panjang
gelombang UV 366 nm dan sinar tampak menghasilkan senyawa 2,6-dimetil-3,5dikarbometoksi-4-(2’-nitrosofenil)-piridin. Dalam isopropil alkohol, metilen
klorida, serta karbon tetraklorida, hasil degradasi nifedipin memberikan fluoresensi
pada panjang gelombang 425 nm (Shim dkk, 1988). Untuk mencegah degradasi
nifedipin, maka serbuk nifedipin harus dikemas dalam wadah tertutup rapat dan
terlindung dari cahaya (Anonim, 1995).
Nifedipin merupakan obat golongan dihidropiridin sebagai penghambat
kanal kalsium yang sering digunakan sebagai terapi hipertensi dan angina.
Mekanisme kerja nifedipin adalah menghambat masuknya ion Ca2+ sehingga
menghambat terjadinya kontraksi pada otot jantung dan otot polos vaskuler.
Nifedipin akan menimbulkan vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah,
sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Untuk pengobatan jangka panjang pada
angina stabil dan kronik, sering digunakan antagonis kalsium sebagai obat pilihan
pertama (Sweetman, 2009).
Bioavailabilitas sediaan nifedipin oral adalah 40-60% dari dosis yang
diberikan. Sebanyak 92-98% dari dosis yang diberikan berikatan dengan protein
17
plasma. Nifedipin memiliki waktu paruh relatif pendek yakni 2-5 jam, volume
distribusi 0,8 L/kg dan kliren plasma 7 mL/menit/kg. Nifedipin diabsorpsi dengan
cepat secara hampir sempura (90%) dalam lambung (Moffat dkk, 2011).
7.
Polivinil Pirolidon
Gambar 3. Struktur kimia PVP (Rowe dkk, 2009)
Polivinil Pirolidon, dengan nama kimia 1-etenil-2-pirolidon homopolimer
dan mempunyai rumus molekul (C6H9NO)n, merupakan serbuk halus, berwarna
putih sampai putih krem, tidak berbau, bersifat higroskopis. Beberapa kegunaan
PVP dalam formulasi farmasetik adalah sebagai pensuspensi dan pengikat tablet,
baik sebagai pengikat kering (serbuk) atau sebagai pengikat dalam granulasi basah
(larutan); agen peningkat viskositas pada beberapa sediaan topikal, suspensi
maupun larutan oral. PVP juga dapat meningkatkan kelarutan obat-obat yang suka
larut dalam air (Rowe dkk, 2009).
Spesifikasi PVP adalah sebagai berikut: pH 3,0-7,0 (5% b/v dalam air),
kandungan nirogen 11,2-12,3%, kerapatan 1,17-1,18 g/cm3, bulk density 0,31 g/cm3
untuk PVP K-30 tapped density 0,40 g/cm3 untuk PVP K-30, dan pada suhu 150oC
padatan mulai melunak. PVP larut dalam asam,kloroform, etanol, keton, metanol,
dan air. Praktis tidak larut dalam eter, hidrokarbon, dan minyak mineral. PVP akan
18
menjadi lebih gelap pada pemanasan di atas suhu 150oC dan dapat menurunkan
kelarutannya dalam air (Rowe dkk, 2009).
PVP, adalah suatu polimer hidrofilik dari n-vinyl pyrrolidone (povidon)
yang umum digunakan sebagai bahan pembawa (carrier) dalam sistem dispersi
padat. PVP memiliki berbagai jenis bobot molekul yang mempengaruhi
viskositasnya. Secara umum, yang digunakan sebagai bahan pembawa dalam
formulasi dispersi padat adalah dari PVP K-12 (bobot molekulnya 2400 Da) hingga
PVP K-90 (bobot molekulnya 100kDa). PVP K-90 memiliki viskositas yang sangat
tinggi dalam berbagai jenis solven, sehingga sulit digunakan untuk formulasi
dispersi padat. Dalam pemilihan PVP pada nilai bobot molekul tertentu harus
berhati-hat, karena pada PVP dengan nilai K yang sama pun dapat memiliki
distribusi bobot molekuler yang berbeda dan end group dari PVP juga berbeda. Hal
ini akan mempengaruhi prosedur manufakturnya (Raith dkk, 2002). PVP K-30
sendiri memiliki bobot molekul 50.000 Da (Rowe dkk, 2009).
Penanganan PVP, terkait dengan kondisi penyimpanan dan pemrosesan
dalam pembuatan dispersi padat perlu diperhatikan. Hal ini karena sifat PVP yang
higroskopis. Sifat higroskopis ini dipengaruhi oleh bobot molekul PVP (harga K).
Misalnya pada PVP K-12 yang mmiliki bobot molekul kecil dapat menyerap
lembab sebanyak bobot molekulnya dalam kelembaban tinggi (Paudel dkk, 2013).
Obat-obat dengan sifat disolusi yang buruk telah banyak yang sukses
diformulasikan sebagai dispersi padat dengan fisik yang stabil dengan PVP dan
PVP-VA. Obat-obat ini juga menunjukan sifat fisikokimia, kecepatan disolusi in
vitro maupun in vivo yang baik (Paudel dkk, 2013).
19
8.
Tetapan Kecepatan Disolusi Intrinsik
Tetapan kecepatan disolusi intrinsik dihitung melalui hasil plotting antara
jumlah kumulatif dari komponen obat yang terdisolusi persatuan luas terhadap
fungsi waktu. Jumlah kumulatif dari komponen obat yang terdisolusi merupakan
hasil perhitungan dari kadar obat yang sudah terkoreksi dengan volume medium,
volume pengambilan, serta luas permukaan kontak. Hal ini dikarenakan ada bobot
sampel yang hilang dalam medium disolusi selama uji disolusi karena terambil
ketika dilakukan sampling (Viegas dkk, 2001)
Persamaan kecepatan disolusi intrinsik diturunkan dari persamaan NoyesWhitney. Bentuk sederhana dari persamaan kecepatan disolusi intrinsik adalah:
𝑀
𝑠
= 𝐺. 𝑑.............................................................................................(2)
dimana harga G adalah tetapan kecepatan disolusi intrinsik,
𝑀
𝑠
adalah bobot terlarut
persatuan luas pada saat waktu t. Bobot terlarut adalah bobot kumulatif terkoreksi
berdasarkan volume sampling dan volume medium total. Sedangkan t adalah waktu
sampling. Persamaan ini berlaku apabila uji disolusi berjalan dalam kondisi sink
sehingga Cs>>>C, dan luas permukaan kontak yang konstan (Fudholi, 2013).
Sehingga, apabila dilakukan plotting antara bobot terdisolusi persatuan luas
terhadap fungsi waktu, akan didapatkan persamaan garis lurus dengan slope sebagai
harga G. Harga G adalah tetapan kecepatan disolusi intrinsik (Fudholi, 2013).
20
9.
Tetapan Kecepatan Disolusi Kitazawa
Teori disolusi Kitazawa didasarkan pada beberapa kondisi sebagai berikut:
a.
Luas permukaan solid konstan.
b.
Volume medium cukup besar untuk menjaga uji penelitian dalam
kondisi sink.
c.
Kecepatan pelarutan proporsional dengan perbedaan konsentrasi
saturasi dari konsentrasi dalam larutan (Kitazawa dkk., 1975).
Dalam persamaannya dipakai C∞ yaitu konsentrasi total zat aktif larut dalam
medium atau w∞ yaitu bobot total zat aktif larut dalam medium. Persamaan
kecepatan disolusi Kitazawa adalah:
𝑀∞
ln (𝑀∞−𝑀) = π‘˜. 𝑑................................................................................(3)
dimana w adalah bobot zat aktif terlarut, t adalah fungsi waktu, dan k adalah tetapan
kecepatan disolusi Kitazawa (Kitazawa dkk., 1975).
F.
Landasan Teori
Agar suatu obat dapat diabsorpsi, pertama sekali obat tersebut harus dapat
terlarut dalam cairan dimana obat tersebut akan diabsorpsi. Hal ini terutama
berlaku bagi obat-obat yang memiliki bentuk sediaan padat seperti tablet dan kapsul
yang digunakan secara per oral. Setelah terdisolusi, obat tersebut akan terabsorpsi
dan masuk ke dalam saluran sistemik. Apabila kecepatan absorpsinya jauh lebih
besar dari kecepatan disolusinya, maka kecepatan disolusi obat tersebut menjadi
langkah penentu dalam proses absorpsinya.
21
Hampir 40% dari keseluruhan active pharmaceutical ingredient (API) dan
new chemical entity (NCE) memiliki karakter disolusi yang buruk. Hal ini
menunjukkan bahwa kecepatan disolusi yang buruk merupakan masalah yang
umum dihadapi dalam formulasi bentuk sediaan. Untuk itu, dilakukan berbagai
pendekatan untuk mengatasi masalah ini seperti: pengecilan ukuran partikel,
kompleksasi, dispersi padat, dan mikroenkapsulasi.
Dari teori disolusi yang telah dijelaskan di atas, didapatkan kesimpulan
bahwa ada dua faktor yang dapat dikembangkan dalam memformulasikan suatu
obat supaya dapat memperbaiki karakter disolusinya. Faktor ini adalah luas
permukaan efektif obat dan meningkatkan kelarutan bahan obat.
Kecepatan disolusi intrinsik digunakan untuk menganalisis kecepatan
disolusi zat aktif murni dan pengembangan dari zat aktif murni. Disolusi intrinsik
terutama berguna untuk mempreduksi problem disolusi yang mungkin terjadi
karena hanya dibutuhkan sampel yang sedikit.
Uji disolusi dilakukan secara luas untuk keperluan preformulasi pada
kandidat obat baru ataupun pengembangan obat yang sudah ada. Kecepatan disolusi
intrinsik didefinisikan sebagai kecepatan disolusi zat aktif murni persatuan luas
permukaan kontak. Dengan menggunakan data kecepatan disolusi intrinsik, dapat
diprediksi bagaimana kecepatan disolusi suatu obat dalam kondisi fisiologis.
Salah satu strategi untuk meningkatkan karakter disolusi obat adalah dengan
pembentukan dispersi padat. Dispersi padat merupakan suatu campuran dari satu
atau lebih bahan obat dalam suatu bahan pembawa yang inert atau berupa matriks
22
padat. Dalam perkembangannya, ada tiga metode pembuatan dispersi padat, yaitu:
metode peleburan, metode pelarutan, dan metode pelarutan-peleburan.
Karakter disolusi obat yang meningkat karena pembentukan dispersi padat
terjadi melalui dua mekanisme yaitu mekanisme penarikan dan mekanisme
pembasahan. Polimer bahan pembawa yang lebih mudah larut dalam medium akan
berinteraksi dengan bahan obat dan mengelilingi bahan obat dalam medium.
Setelah sistem kontak dengan medium, polimer bahan pembawa akan terlarut
secara cepat dengan membawa serta (menarik) bahan obat. Peristiwa inilah yang
disebut sebagai mekanisme penarikan. Selain mekanisme ini,ada pula kemungkinan
terjadinya mekanisme pembasahan. Mekanisme pembasahan terjadi setelah
interaksi terjadi antara bahan obat dan polimer bahan pembawa. Senyawa hasil
interaksi tersebut akan membentuk suatu ikatan hidrogen dan/atau ikatan van der
Waals dengan medium dalam larutan yang menyebabkan senyawa tersebut melarut
di dalam medium. Mekanisme penarikan dan mekanisme pembasahan dapat terjadi
secara tunggal dan/atau sinergis, tergantung pada bahan pembawa dan bahan obat
dalam sistem dispersi padat tersebut.
Salah satu metode pembuatan dispersi padat yang cukup sederhana adalah
dengan menggunakan metode kopresipitasi. Metode kopresipitasi dapat dilakukan
dengan cara melarutkan bahan obat dengan bahan pembawa pada pelarut yang
sesuai, kemudian pelarutnya diuapkan. Bila hal ini sukar dilakukan, dapat
ditambahkan bahan lain supaya terjadi pembentukan kristal. Padatan yang
diperoleh kemudian digerus dan diayak hingga didapatkan serbuk halus. Cara
lainnya adalah dengan melelehkan bahan obat dengan bahan pembawanya pada
23
titik leburnya. Setelah itu dapat didinginkan kembali sehingga didapatkan padatan,
Padatan yang didapat kemudian digerus dan diayak hingga didapatkan serbuk yang
halus.
Nifedipin merupakan obat yang memiliki karakter disolusi yang buruk.
Selain itu, disolusi nifedipin dari fase kristalin stabil dilaporkan merupakan langkah
yang paling lambat dalam absorpsi dan menyebabkan bioavailabilitas yang rendah.
Ditambah lagi, nifedipin memiliki kecepatan klirens yang tinggi. Hal ini
menyebabkan
bentuk
sediaan
konvensional
nifedipin
per
oral
perlu
diadministrasikan tiga kali sehari, yang menyebabkan fluktuasi kadar obat dalam
darah dan efek samping obat yang lebih tinggi.
Berbagai jenis polimer telah banyak digunakan sebagai bahan pembawa
dalam formulasi sistem dispersi padat dengan berbagai metode. Salah satu polimer
yang umum digunakan adalah polivinil pirolidon. Polivinil pirolidon atau PVP
adalah suatu polimer hidrofilik dari n-vinyl pyrrolidone (povidon) yang umum
digunakan sebagai bahan pembawa (carrier) dalam sistem dispersi padat. PVP
sendiri memiliki berbagai jenis bobot molekul yang mempengaruhi viskositasnya.
Secara umum, yang digunakan sebagai bahan pembawa dalam formulasi dispersi
padat adalah dari PVP K-12 (bobot molekulnya 2400 Da) hingga PVP K-90 (bobot
molekulnya 100kDa). Semakin tinggi harga K, maka viskositas PVP akan semakin
tinggi dalam berbagai jenis solven. Viskositas yang terlalu tinggi akan menyulitkan
formulasi dispersi padat. Selain itu, harga K yang terlalu kecil akan meningkatkan
sifat higroskopisnya. Hal ini perlu diperhatikan terutama untuk menentukan kondisi
penyimpanan dan pemrosesan dalam formulasi dispersi padat.
24
Obat-obat yang karakter disolusi yang buruk telah banyak yang sukses
diformulasikan sebagai dispersi padat dengan fisik yang stabil dengan PVP K-30
dengan berbagai metode. Obat-obat ini juga menunjukan sifat fisikokimia,
kecepatan disolusi in vitro maupun in vivo yang baik. Sehingga, dapat disimpulkan
bahwa PVP K-30 merupakan salah satu bahan pembawa terbaik yang digunakan
dalam formulasi dispersi padat.
G.
Hipotesis
1. Dispersi padat nifedipin dengan bahan pembawa polivinil pirolidon K-30
dengan metode kopresipitasi akan memiliki kecepatan disolusi yang berbeda
signifikan jika dibandingkan dengan kecepatan disolusi nifedipin murni
2. Peningkatan konsentrasi polivinil pirolidon dalam dispersi padat nifedipinpolivinil pirolidon K-30 akan meningkatkan kecepatan disolusi dispersi padat
nifedipin-polivinil pirolidon K-30.
H.
Rencana Penelitian
Penelitian ini bisa dibagi dalam beberapa tahap, yaitu:
1. Pembuatan dispersi padat nifedipin-PVP K-30.
2. Pembuatan kurva baku nifedipin.
3. Uji disolusi dispersi padat nifedipin-polivinil pirolidon K-30.
4. Analisis data dengan melihat tetapan kecepatan disolusi intrinsik dan
tetapan kecepatan disolusi k masing-masing campuran dispersi padat
dan nifedipin murni.
25
I.
Konsep Penelitian
Penimbangan bahan
Nifedipin
murni
Nifedipin 90%
b/b-PVP K-30
10% b/b
Nifedipin 75%
b/b-PVP K-30
25% b/b
Pembentukan Dispersi
Padat
Pembentukan Pellet
Uji Disolusi
Analisis Data
Kesimpulan
Gambar 4. Konsep penelitian
Nifedipin 60%
b/b-PVP K-30
40% b/b
Download