HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU

advertisement
TESIS
HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU
KAYU DAN INTERFERON GAMA (IFN-γ) SERUM
PADA PEKERJA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU
I GEDE YASA ASMARA
NIM: 0914048205
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
1
HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU
KAYU DAN INTERFERON GAMA (IFN-γ) SERUM
PADA PEKERJA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
I GEDE YASA ASMARA
NIM: 0914048205
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 4 PEBRUARI 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. dr. Ida Bagus Ngurah Rai, SpP (K)
NIP 195311201980121001
dr. I Made Bagiada, SpPD-KP
NIP 195601251986011001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik
Direktur
Program Pascasarjana
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Universitas Udayana,
Prof. Dr.dr.Wimpie Pangkahila, Sp.And. FAACS
NIP 194612131971071001
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS (K)
NIP 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 4 Pebruari 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No.: 0200/UN14.4/HK/2014, Tanggal 27 Januari 2014
Ketua
: Prof. DR. dr. Ida Bagus Ngurah Rai, SpP (K)
Anggota :
1. dr. I Made Bagiada, SpPD-KP
2. Prof. DR. dr. N. Adiputra, M.OH
3. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, PhD
4. DR. dr. Ida Sri Iswari, SpMK, M.Kes
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke
hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
karunia-Nya, tesis ini dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini ijinkanlah penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Prof. DR. dr. Ida Bagus Ngurah Rai, SpP (K),
pembimbing utama yang telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan
saran dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula
penulis sampaikan kepada dr. I Made Bagiada, SpPD-KP, pembimbing II yang
dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran
kepada penulis.
Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana
Prof. DR. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan
Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukan
kepada Direktur Program Pascasarjana yang dijabat Prof. DR. dr. A.A. Raka
Sudewi, Sp.S (K) serta Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Prof. DR. dr.
Wimpie Pangkahila, Sp.And. FAACS atas kesempatan yang diberikan kepada
penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana
Universitas Udayana. Tidak lupa penulis pula penulis mengucapkan terima kasih
pada Prof. DR. dr. Putu Astawa, M.Kes, SpOT (K) Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti
pendidikan Program Magister. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Ida Bagus Suta, SpP; dr. Dewa
Made Artika, SpP; dr. Putu Andrika, SpPD-KIC; dr. Gde Ketut Sajinadiyasa,
SpPD; dr. IGNB Artana, SpPD, staf Divisi Paru, Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam FK Unud/RSUP Sanglah atas masukan, bimbingan, dorongan, dan
bantuannya dalam penyusunan tesis ini. Ungkapan terima kasih penulis
sampaikan pula kepada para penguji tesis, yaitu Prof. DR. dr. N. Adiputra, M.OH;
Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, PhD; DR. dr. Ida Sri Iswari, SpMK, M.Kes,
yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini
dapat terwujud seperti ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada CV.
Mertanadi, baik kepada Ibu Direktur beserta seluruh jajaran dan karyawannya
yang telah memberikan ijin sekaligus kesempatan untuk melakukan penelitian di
perusahaan tersebut.
Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih
yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah
membimbing penulis, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga
penulis ucapkan terima kasih kepada Ayah dan Ibu yang telah mengasuh dan
membesarkan penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada istri dr. Ni
Made Ayu Suria Mariati, SpAn, putri pertama Putu Delinda Asmara dan putri
kedua Kadek Delvina Asmara atas segala dukungan moril dan materiil kepada
penulis sehingga berhasil menyelesaikan tesis ini dengan baik. Seluruh Keluarga
Besar Residen Interna juga disampaikan ucapan terima kasih atas kerjasama yang
baik selama ini.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu
melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan
dan penyelesaian tesis ini.
Denpasar, Januari 2014
Penulis
ABSTRAK
HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN
INTERFERON GAMA (IFN-γ) SERUM PADA PEKERJA
INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU
Debu merupakan salah satu sumber gangguan kesehatan akibat lingkungan
kerja. Pajanan debu kayu telah lama dikaitkan dengan berbagai gangguan paru
seperti rinitis alergika, bronkitis kronis, asma kerja, penurunan fungsi paru dan
penyakit fibrosis paru. Suatu meta-analisis menunjukkan bahwa pajanan debu
kayu memiliki risiko 1,9 kali untuk terjadinya fibrosis paru. Pajanan debu kayu
ditandai dengan kelebihan sitokin profibrotik dan penurunan kadar IFN-γ diduga
oleh karena debu kayu yang merupakan benda asing dalam tubuh akan
mengaktivasi makrofag dan selanjutnya mengganggu keseimbangan antara
aktivasi sitokin Th1 dan Th2. Sitokin Th2 akan dirangsang sedangkan sitokin Th1
yaitu IFN-γ akan dihambat.
Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pekerja industri
pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali yang dilakukan dari bulan Mei
sampai Oktober 2013 untuk mengetahui hubungan antara pajanan debu kayu dan
IFN-γ serum. Pajanan debu kayu dihitung dengan mengukur kadar debu terhirup
menggunakan Personal Dust Sampler. Kadar IFN-γ serum diukur dengan teknik
ELISA. Untuk mengetahui korelasi antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum
digunakan uji korelasi Pearson. Untuk mengetahui perbedaan kadar pajanan debu
kayu dan kadar IFN-γ serum pada pekerja yang bekerja di bagian yang berbeda
digunakan uji one-way Anova. Nilai p < 0,05 dikatakan signifikan.
Didapatkan 60 pekerja sebagai sampel yang terbagi sama rata dalam 4
bagian yaitu penggergajian, perakitan, pengamplasan dan administrasi. Rerata usia
pekerja 40,6 tahun, masa kerja 15,7 tahun dan IMT 21,8 kg/m2. Sepertiga jumlah
pekerja merokok dengan rerata 11,9 packyear dan 66,7% selalu menggunakan alat
pelindung diri. Secara umum, rerata pajanan debu kayu di perusahaan X adalah
81,7 mg/m3/tahun dan rerata kadar IFN-γ serum pekerja 6,7 pg/ml. Didapatkan
korelasi negatif yang signifikan antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum (r = 0,324; p= 0,011). Terdapat perbedaan rerata pajanan debu kayu yang bermakna
antara tiap-tiap bagian dan perbedaan IFN-γ serum yang bermakna antara bagian
administrasi dengan tiga bagian lainnya (p < 0,05).
Penelitian ini menunjukkan bahwa jelas terdapat hubungan negatif di
antara pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali yaitu,
semakin tinggi pajanan debu kayu maka semakin rendah IFN-γ serum.
Kata kunci: pajanan debu kayu, interferon gama serum
ABSTRACT
NEGATIVE RELATIONSHIP BETWEEN WOOD DUST EXPOSURE
AND SERUM INTERFERON GAMMA (IFN-γ) IN WORKERS OF
WOOD PROCESSING INDUSTRY
Dust as one of health problem sources due to working environment.
Exposure to wood dust has long been associated with a variety of pulmonary
disorders such as allergic rhinitis, chronic bronchitis, occupational asthma,
decreased lung function and pulmonary fibrosis. A meta-analysis showed that
exposure to wood dust had 1,9 times risk for the occurrence of pulmonary
fibrosis. Exposure to wood dust is characterized by excess of profibrotic cytokines
and decreased levels of IFN-γ serum. Wood dust which is recognised as a foreign
object by the body could activates macrophages and further disrupt the balance
between Th1 and Th2 cytokine activation. Th2 cytokines are stimulated whereas
Th1 cytokine IFN-γ are inhibited.
This research was a cross-sectional study in workers of wood processing
industry Company X, Badung, Bali carried out from May to October 2013 in
order to determine the relationship between wood dust exposure and IFN-γ serum.
Wood dust exposure is calculated by measuring the levels of respirable dust using
Personal Dust Sampler. Interferon-γ serum levels were measured by ELISA. The
correlation between wood dust exposure and IFN-γ serum was analysed using
Pearson correlation test. In order to determine the difference in the levels of wood
dust exposure and IFN-γ serum levels in workers who work in different sections,
one-way ANOVA test was used. p value < 0,05 was considered significant.
There were 60 workers recruited as sample which were subdivided in
equal number into 4 sections namely sawing, assembly, sanding and
administration. The mean age was 40,6 years, mean job tenure of 15,7 years and
mean BMI of 21,8 kg/m2. One third of the workers smoke around 11,9 packyear
cigarettes and 66,7% reported always use masker. In general, the mean level of
wood dust exposure in Company X was 81,7 mg/m3/year and the mean level of
IFN-γ serum was 6,7 pg/ml. There was a significant negative correlation between
wood dust exposure and IFN-γ serum (r = -0,324, p = 0,011). There were
significant differences in wood dust exposure between each section and IFN-γ
serum between the administration and other sections (p < 0,05).
This study clearly showed that there is a negative relationship in workers
of wood processing industry Company X, Badung, Bali i.e. the higher the wood
dust exposure, the lower the level of IFN-γ serum.
Keywords: wood dust exposure, serum interferon gamma
RINGKASAN
HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN
INTERFERON GAMA (IFN-γ) SERUM PADA PEKERJA
INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU
Debu merupakan salah satu sumber gangguan kesehatan akibat lingkungan
kerja. Interaksi faktor agen, inang, dan lingkungan mempengaruhi timbulnya
gangguan paru akibat debu kayu. Faktor agen (debu kayu) meliputi ukuran
partikel, bentuk dan konsentrasi. Faktor inang (pekerja) meliputi umur, jenis
kelamin, status gizi, mekanisme pertahanan paru dan status imunologis serta
kebiasaan merokok. Faktor lingkungan yaitu jenis pabrik, lamanya pajanan,
penggunaan alat pelindung diri (APD) dan lain sebagainya. Pajanan debu kayu
telah lama dikaitkan dengan berbagai gangguan paru seperti rinitis alergika,
bronkitis kronis, asma kerja, penurunan fungsi paru dan penyakit fibrosis paru.
Suatu meta-analisis menunjukkan bahwa pajanan debu kayu memiliki risiko 1,9
kali untuk terjadinya fibrosis paru. Studi pada binatang menunjukkan bahwa
pajanan debu kayu berulang terhadap paru menimbulkan proses inflamasi yang
diikuti dengan aktivasi sitokin proinflamasi dan kemokin. Interferon gama (IFN-γ)
adalah sitokin endogen yang memiliki multifungsi baik sebagai anti-fibrotik, antiinfektif, anti-proliperatif atau imunomodulator. Kadar IFN-γ secara teori
dipengaruhi oleh umur, status gizi, kebiasaan merokok, penyakit tuberkulosis,
diabetes, dan keganasan. Pajanan debu kayu ditandai dengan kelebihan sitokin
pro-fibrotik dan penurunan kadar IFN-γ diduga oleh karena debu kayu yang
merupakan benda asing oleh tubuh akan mengaktivasi makrofag dan selanjutnya
mengganggu keseimbangan antara aktivasi sitokin Th1 dan Th2. Sitokin Th2 akan
dirangsang sedangkan sitokin Th1 yaitu IFN-γ akan dihambat.
Perusahaan X merupakan industri pengolahan kayu terbesar di Bali yang
terletak di Desa Lukluk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Perusahaan X
didirikan dalam rangka mendukung penyerapan tenaga kerja informal dengan total
150 karyawan yang terbagi menjadi 30 staf dan 120 pekerja. Perusahaan X
mengolah kayu yang masih kasar menjadi mebel siap pakai dan furniture yang
sudah jadi. Kayu yang digunakan sebagai bahan produksi di Perusahaan X adalah
Merbau dan Bangkirai yang merupakan jenis kayu keras (hardwoods). Sebagian
besar pekerja terpajan dengan debu kayu karena tidak semua pekerja
menggunakan masker.
Penelitian ini merupakan studi observasional dengan metode potong
lintang analitik pada pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung,
Bali yang dilakukan dari bulan Mei sampai Oktober 2013 untuk mengetahui
hubungan antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum. Sekitar 60 pekerja
digunakan sebagai sampel dengan teknik cluster purposif random sampling, untuk
selanjutnya masuk dalam salah satu dari 4 bagian yaitu penggergajian, perakitan,
pengamplasan dan administrasi. Kriteria inklusi meliputi umur 18-60 tahun, telah
bekerja di satu bagian minimal 10 tahun dan setuju mengikuti penelitian dengan
menandatangani inform concent. Kriteria eksklusi meliputi pekerja dengan
riwayat penyakit tuberkulosis, kencing manis atau keganasan dan riwayat
penyakit ini didapatkan secara subjektif hanya dengan melakukan wawancara
terhadap pekerja dan pekerja yang bekerja di bagian VI (pengecatan dan
finishing). Pajanan debu kayu dihitung dengan mengukur kadar debu terhirup
menggunakan Personal Dust Sampler. Dosis pajanan merupakan perkalian antara
kadar debu terhirup dan lama bekerja/lama pajanan. Kadar IFN-γ serum diukur
dengan teknik ELISA. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif. Uji
normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Untuk mengetahui korelasi
antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum digunakan uji korelasi Pearson. Untuk
mengetahui perbedaan kadar pajanan debu kayu dan kadar IFN-γ serum pada
pekerja yang bekerja di bagian yang berbeda digunakan uji one-way Anova. Nilai
p < 0,05 dikatakan signifikan.
Didapatkan 60 pekerja sebagai sampel yang terbagi sama rata dalam 4
bagian yaitu penggergajian, perakitan, pengamplasan dan administrasi. Hasilnya
menunjukkan sebagian besar subjek penelitian berjenis kelamin laki-laki (53,3%)
dan bekerja pada bagian perakitan. Pekerja perempuan sebagian besar bekerja di
bagian pengamplasan. Rerata usia pekerja 40,6 tahun, masa kerja 15,7 tahun dan
IMT 21,8 kg/m2. Sepertiga jumlah pekerja merokok dengan rerata 11,9 packyear
dan proporsi yang hampir berimbang pada tiap bagian kecuali tidak ada pekerja
pada bagian pengamplasan yang merokok. Untuk status gizi, terlihat bahwa 60%
subjek penelitian dengan status gizi normal, 31,7% pekerja dengan berat badan
berlebih dan 8,3% dengan status gizi kurang. Mengenai penggunaan Alat
Pelindung Diri (APD), 66,7% pekerja selalu menggunakan APD bila sedang
bekerja, 11,7% pekerja sering, 16,7% pekerja jarang, dan 5% pekerja tidak pernah
menggunakan APD.
Secara umum, rerata pajanan debu kayu di Perusahaan X 81,7
mg/m3/tahun dan rerata kadar IFN-γ serum pekerja 6,7 pg/ml. Uji normalitas
semua data menunjukkan sebaran yang normal, kecuali data penggunaan APD dan
IFN-γ serum. Transformasi data kemudian dilakukan terhadap dua data tersebut
dan didapatkan sebaran data IFN-γ serum yang normal. Terdapat korelasi negatif
yang signifikan antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum (r = -0,324; p= 0,011).
Terdapat perbedaan rerata pajanan debu kayu yang bermakna antara tiap-tiap
bagian (p < 0,05) dan perbedaan IFN-γ serum yang bermakna antara bagian
administrasi dengan tiga bagian lainnya (p < 0,05). Penelitian ini menunjukkan
bahwa jelas terdapat hubungan negatif di antara pekerja industri pengolahan kayu
Perusahaan X, Badung, Bali yaitu, semakin tinggi pajanan debu kayu maka
semakin rendah IFN-γ serum.
DAFTAR ISI
Halaman
PRASYARAT GELAR……………………………………………………ii
LEMBAR PERSETUJUAN………………………………….……………iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI….……………………………………iv
UCAPAN TERIMA KASIH………………………………………………v
ABSTRAK…………………………………………………….…………...vii
ABSTRACT……………………………………………………………......viii
RINGKASAN……………………………………………………………...ix
DAFTAR ISI………………………………………………………………xi
DAFTAR TABEL………………………………………………………… xiv
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………… xv
DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA…………………………………xvi
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….xix
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….... 1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………….. 1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………….. 5
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………... 6
1.4 Manfaat Penelitian………………………………………………. 6
1.4.1 Manfaat Akademik…………………………………………. 6
1.4.2 Manfaat Klinik Praktis……………………………………… 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA……………………………………………... 7
2.1 Debu Kayu dan Industri Pengolahan Kayu……………………… 7
2.1.1 Debu Kayu………………………………………………….. 7
2.1.2 Cara Pengukuran Debu……………………………………… 9
2.1.3 Nilai Ambang Batas Debu di Udara………………………… 10
2.1.4 Jenis Kayu dan Industri Pengolahan Kayu...………………... 11
2.2 Mekanisme Pajanan Debu Kayu dan Efeknya terhadap Paru…… 15
2.3 Interferon Gama…………………………………………………. 20
2.3.1 Peran Interferon Gama dalam Fungsi Paru…………………. 20
2.3.2 Efek Pajanan Debu Kayu terhadap Kadar Interferon Gama.. 24
2.3.3 Peran Interferon Gama dalam Fibrosis Paru……………….. 26
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN……………………………………………………. 29
3.1 Kerangka Berpikir………………………………………………... 29
3.2 Konsep Penelitian..……………………………………………... 30
3.3 Hipotesis Penelitian……………………………………………… 31
BAB IV METODE PENELITIAN……………………………………….. 32
4.1 Rancangan Penelitian……………………………………………. 32
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………………. 32
4.3 Subjek dan Sampel………………………………………………. 32
4.3.1 Populasi…………………………………………………….. 32
4.3.2 Kriteria Subjek……………………………………………… 32
4.3.3 Besaran Sampel…………………………………………….. 33
4.4 Variabel………………………………………………………….. 33
4.4.1 Identifikasi Variabel………………………………………… 33
4.4.2 Klasifikasi Variabel………………………………………… 33
4.4.3 Definisi Operasional Variabel……………………………… 34
4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian…………………………………. 36
4.6 Prosedur Penelitian………………………………………………. 36
4.7 Analisis Data…………………………………………………….. 39
BAB V HASIL PENELITIAN…………………………………………..... 42
BAB VI PEMBAHASAN…………………………...…………………..... 56
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN…………………………………..... 71
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 72
LAMPIRAN……………...………………………………………………… 78
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 5.1 Karakteristik subjek penelitian……………………………..…… 43
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin dan bagian...........44
Tabel 5.3 Distribusi frekuensi berdasarkan status gizi dan bagian................ 45
Tabel 5.4 Distribusi frekuensi berdasarkan merokok dan bagian.................. 45
Tabel 5.5 Distribusi frekuensi berdasarkan penggunaan APD dan bagian....46
Tabel 5.6 Kadar debu terhirup di Perusahaan X berdasarkan bagian............ 47
Tabel 5.7 Koefisien korelasi antara pajanan debu kayu dengan IFN-γ
serum..............................................................................................48
Tabel 5.8 Koefisien korelasi antara umur dengan IFN-γ serum.................... 49
Tabel 5.9 Koefisien korelasi antara status nutrisi dengan IFN-γ serum........ 50
Tabel 5.10 Koefisien korelasi antara kebiasaan merokok dengan IFN-γ
serum........................................................................................... 51
Tabel 5.11 Koefisien korelasi antara penggunaan APD dengan IFN-γ
serum............................................................................................52
Tabel 5.12 Hasil analisis one-way Anova Pajanan debu kayu di
Perusahaan X...............................................................................53
Tabel 5.13 Hasil analisis Post-hoc LSD Pajanan debu kayu di
Perusahaan X...............................................................................53
Tabel 5.14 Hasil analisis one-way Anova IFN-γ serum di Perusahaan X....54
Tabel 5.15 Hasil analisis Post-hoc LSD IFN-γ serum di Perusahaan X.......55
Tabel 6.1 Perbedaan karakteristik kayu keras dan kayu lunak......................60
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Jalur masuknya debu kayu sampai ke dalam paru…………… 20
Gambar 2.2 Mekanisme kerja IFN-γ di dalam sel...........................................23
Gambar 2.3 Keseimbangan Th1 dan Th2 dalam patogenesis terjadinya
fibrosis paru.................................................................................26
Gambar 3.1 Kerangka Berpikir Penelitian…………………………………. 30
Gambar 3.2 Konsep Penelitian………….…………………………………. 30
Gambar 4.1 Alur Penelitian………………………..………………………. 39
Gambar 5.1 Diagram korelasi antara pajanan debu kayu dengan IFN-γ
serum .………………………………………………………. 48
Gambar 5.2 Diagram korelasi antara umur dengan IFN-γ serum .………… 49
Gambar 5.3 Diagram korelasi antara status nutrisi dengan IFN-γ serum .… 50
Gambar 5.4 Diagram korelasi antara kebiasaan merokok dengan IFN-γ
serum … ………………………………………………………51
Gambar 5.5 Diagram korelasi antara penggunaan APD dengan IFN-γ
serum .………………………………………………………... 52
Gambar 6.1 Mekanisme asap rokok menimbulkan penyakit pada saluran
nafas…………………………………………………………. 66
DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA
α
tingkat kemaknaan
µm
mikrometer
APC
Antigen Presenting Cell
APD
Alat Pelindung Diri
ATS
American Thoracic Society
CD
Cluster of Differentiation
ELISA
Enzim Linked Immunosorbent Assay
FEV1
Force Expiratory Volume in 1 second
HVAS
High Volume Air Sampler
Hg
Merkuri
IARC
The International Agency for Research on Cancer
IFN-α
Interferon alfa
IFN-β
Interferon beta
IFN-e
Interferon eta
IFN-δ
Interferon delta
IFN-γ
Interferon gamma
IFN-γ1b
Interferon Gamma 1 beta
IFN-k
Interferon kappa
IFN-o
Interferon omega
IFN-t
Interferon teta
IL
Interleukin
IMT
Indeks Massa Tubuh
IRF-1
IFN-γ regulatory factor-1
IU
International Unit
kDa
kilo Dalton
LVAS
Low Volume Air Sampler
mg
miligram
ml
mililiter
mm
milimeter
m3
meter kubik
My88
Myeloid differentiation factor 88
NAB
Nilai Ambang Batas
NADPH
Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate
NK
Natural Killer
NOS
Nitrit Oksida Sintetase
Pb
Timbal
PDGF
Platelet Derived Growth Factor
PDS
Personal Dust Sampler
PM10
Particulate Matter dengan diameter <10 mikron
PM2,5
Particulate Matter dengan diameter < 2,5 mikron
RNI
Reactive Nitrogen Intermediate
SGPT
Serum Glutamic Piruvic Transaminase
SiO2
Silikon Dioksida
SiO3
Silikon Trioksida
SPM
Suspended Particulate Matter
SPSS
Statistical Packages for Social Sciences
TGF-β
Tumor Growth Factor beta
Th1
T helper 1
Th2
T helper 2
TNF-α
Tumor Necrosis Factor alfa
TSP
Total Suspended Particulate
WHO
World Health Organisation
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Persetujuan setelah penjelasan……………………………….. 78
Lampiran 2 Formulir persetujuan tertulis………………….………………. 80
Lampiran 3 Prosedur pemeriksaan Interferon gama serum………………... 81
Lampiran 4 Formulir pengumpulan data…………………………………... 84
Lampiran 5 Data sheet SPSS……………..……………………………….. 85
Lampiran 6 Output analisis data SPSS...…………………………………... 87
Lampiran 7 Surat Keterangan Laik Etik (ethical clearance)..…………….. 104
Lampiran 8 Surat Ijin Penelitian……….…………………………………. 105
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Debu merupakan salah satu sumber gangguan kesehatan akibat lingkungan
kerja yang tidak dapat diabaikan. Tempat kerja yang prosesnya mengeluarkan
debu, dapat menyebabkan pengurangan kenyamanan kerja, gangguan penglihatan,
gangguan fungsi faal paru bahkan kelainan patologis yang ireversibel.
Kayu merupakan sumber daya alam yang sangat penting yang bersumber
dari hutan. Sepertiga wilayah daratan di dunia terdiri dari hutan tanaman industri.
Industri pengolahan kayu merupakan salah satu jenis industri yang menghasilkan
debu kayu dalam jumlah besar yang berpotensi menimbulkan berbagai gangguan
kesehatan khususnya kelainan fungsi paru baik yang bersifat sementara maupun
permanen (Kauppinen dkk., 2006).
Debu adalah partikel padat yang dapat dihasilkan oleh manusia dan alam
melalui proses pemecahan suatu bahan seperti grinding (penggerendaan), blasting
(penghancuran), drilling (pengeboran), dan puverizing (peledakan). Partikel debu
melayang adalah suatu kumpulan senyawa dalam bentuk padatan yang tersebar di
udara dengan diameter sangat kecil 1-500 mikron sedangkan debu yang
membahayakan kesehatan umumnya berdiameter 0,1-10 mikron (Syahriany,
2002; Kauppinen dkk., 2006).
Debu kayu dapat dihasilkan melalui proses mekanik seperti penggergajian,
penyerutan dan penghalusan (pengamplasan). Debu kayu di udara dapat terhirup
dan mengendap dalam organ pernapasan tergantung dari diameter dan bentuk
partikel melalui mekanisme antara lain sedimentasi, impaksi, inersial dan difusi.
Departemen Tenaga Kerja telah menetapkan bahwa untuk debu kayu, nilai
ambang batas di udara lingkungan kerja adalah 1 mg/m3. Nilai ambang batas
menunjukkan kadar suatu zat yang menimbulkan reaksi fisiologis manusia (ATS,
1996; Khumaidah, 2009).
Badung merupakan salah satu kabupaten di Bali yang memiliki sentra
industri pengolahan kayu dan penghasil mebel. Banyak tenaga kerja yang terserap
dari industri ini baik dalam industri formal dan informal. Mereka merupakan
kelompok risiko tinggi terkena gangguan fungsi paru. Perusahaan X merupakan
industri pengolahan kayu terbesar di Bali yang terletak di Desa Lukluk,
Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Perusahaan X didirikan dalam rangka
mendukung penyerapan tenaga kerja informal dengan total 150 karyawan yang
terbagi menjadi 30 staf dan 120 pekerja. Bahan baku yang diperlukan sebagian
besar berasal dari jenis kayu keras seperti kayu merbau dan bangkirai. Perusahaan
X mengolah kayu yang masih kasar menjadi mebel siap pakai dan furniture yang
sudah jadi. Sebagian besar pekerja terpajan dengan debu kayu karena tidak semua
pekerja menggunakan masker. Walaupun perusahaan mewajibkan semua pekerja
untuk memakai masker yang dibuat perusahaan sendiri (terbuat dari kain katun),
tidak semua pekerja mau menggunakannya dengan alasan sulit bernafas dan
alasan lain. Melihat dampak yang ditimbulkan dari pajanan debu kayu cukup
besar maka perlu suatu penanganan yang tepat akan hal ini.
Interaksi faktor agen, inang dan lingkungan mempengaruhi timbulnya
gangguan paru akibat debu kayu. Faktor agen (debu kayu) meliputi ukuran
partikel, bentuk dan konsentrasi. Faktor inang (pekerja) meliputi umur, jenis
kelamin, status gizi, mekanisme pertahanan paru dan status imunologis serta
kebiasaan merokok. Faktor lingkungan yaitu jenis pabrik, lamanya pajanan,
penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dan lain sebagainya (Yulaekah, 2007).
Pajanan debu kayu telah lama dikaitkan dengan berbagai gangguan paru
seperti rinitis alergika, bronkitis kronis, asma kerja, penurunan fungsi paru dan
penyakit fibrosis paru (Baran & Teul, 2007; Jacobsen dkk., 2010a). The
International Agency for Research on Cancer (IARC) mengklasifikasikan debu
kayu sebagai karsinogen kelas I pada manusia (WHO, 1995). Respon inflamasi
dan imunologi yang terjadi akibat pajanan debu kayu belum begitu jelas. Suatu
meta-analisis menunjukkan bahwa pajanan debu kayu memiliki risiko 1,9 kali
untuk terjadinya fibrosis paru (Baumgartner dkk., 2000; Taskar & Coultas, 2006).
Studi binatang menunjukkan bahwa pajanan debu kayu berulang terhadap paru
menimbulkan proses inflamasi yang diikuti dengan aktivasi sitokin proinflamasi
dan kemokin (Maatta dkk., 2006).
Penelitian yang dilakukan terhadap pekerja industri permebelan kayu di
Kabupaten Jepara menunjukkan bahwa prevalensi gangguan fungsi paru sebesar
43,2% dari seluruh populasi pekerja perusahaan tersebut. Terdapat perbedaan
prevalensi gangguan fungsi paru antara karyawan yang bekerja pada lingkungan
yang kadar debu yang rendah dan kadar debu yang tinggi (Khumaidah, 2009).
Penelitian lain menunjukkan bahwa pekerja yang terpapar debu kayu
secara kontinyu terjadi penurunan kemampuan kerja pada usia 15-25 tahun,
keluhan batuk produktif dan penurunan Force Expiratory Volume 1 second
(FEV 1) pada usia 25-35 tahun, terjadi sesak dan hipoksemia pada usia 45-55
tahun, dan akhirnya gagal jantung kanan, kegagalan pernapasan dan kematian
pada usia 55-65 tahun (Meo, 2006; Triatmo dkk., 2006).
Respon imun terhadap debu kayu meliputi pengenalan (recognition),
pengerahan (recruitment), penghancuran (removal) dan perbaikan (repair).
Partikel debu yang masuk ke dalam paru awalnya akan diinternalisasi oleh sel
dendritik (makrofag, neutrofil, limfosit dan sel natural killer (NK). Proses
recognition ini akan meningkatkan molekul adhesi lokal dan merangsang proses
recruitment sel radang lain. Sel dendritik juga akan mempresentasikan antigen
debu kayu tersebut kepada sel T sehingga sel T menjadi aktif. Tahap selanjutnya
adalah removal dan repair yang ditandai dengan aktivasi sel T menjadi sel T
spesifik yaitu Th1 dan Th2. Produk utama sitokin Th1 adalah interferon gama
(IFN-γ) yang akan meningkatkan imunitas seluler, menghancurkan antigen,
menurunkan proliferasi fibroblast, angiogenesis dan ekspresi Tumor Growth
Factor beta (TGF-β). Produk sitokin Th2 seperti IL-4 dan IL-13 akan merangsang
imunitas humoral, merangsang produksi antibodi, merangsang fibroblast,
pembentukan kolagen dan fibrosis. Pajanan debu kayu menyebabkan aktivitas
sitokin Th1 menurun tetapi sitokin Th2 meningkat (Hubbard, 2001; Sharma dkk.,
2003).
Interferon gama adalah sitokin endogen yang memiliki multifungsi baik
sebagai anti-fibrotik, anti-infektif, anti-proliperatif atau imunomodulator. Kadar
IFN-γ di dalam serum dapat diperiksa dengan metode Enzym Linked
Immunosorbent Assay (ELISA) dengan kadar normal 0,145-168 pg/ml, rata-rata
10,4 pg/ml dan standar deviasi ± 40 pg/ml. Kadar IFN-γ secara teori dipengaruhi
oleh umur, status gizi, kebiasaan merokok, penyakit tuberkulosis, diabetes dan
keganasan (Gardner & Murasco, 2002; Modestou dkk., 2010; Zaidi & Merlino,
2011). Saat ini masih sedikit hasil penelitian mengenai hubungan antara pajanan
debu kayu dengan IFN-γ. Pajanan debu kayu ditandai dengan kelebihan sitokin
profibrotik dan penurunan kadar IFN-γ (Raghu dkk., 2004). Debu kayu yang
merupakan benda asing oleh tubuh akan mengaktivasi makrofag dan selanjutnya
mengganggu keseimbangan antara aktivasi sitokin Th1 dan Th2. Sitokin Th2 akan
dirangsang sedangkan sitokin Th1 yaitu IFN-γ akan dihambat (Elias dkk., 1990;
Lesur dkk., 1994; Maatta dkk., 2006). IFN-γ dikatakan mampu menurunkan
produksi kolagen tipe 1 dan 3 yang banyak terdapat di dalam paru (Elias dkk.,
1990; Narayanan dkk.,1992). Hal tersebut di atas yang mendasari pengembangan
IFN-γ sebagai salah satu terapi penyakit fibrosis paru. IFN-γ mampu menghambat
proliferasi fibroblas, sintesis kolagen dan deposisi serta ekspresi sitokin
profibrotik. Suatu metaanalisis menunjukkan bahwa terapi IFN-γ1b dapat
menurunkan angka kematian pada penyakit fibsosis paru (Davis dkk., 2000; Chen
dkk., 2001; Bajwa dkk., 2005; Chung, 2006).
Pada penelitian ini dilakukan studi potong lintang pada pekerja industri
pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali untuk mengetahui hubungan antara
pajanan debu kayu dan IFN-γ serum. Bila benar terdapat hubungan antara
tingginya pajanan debu kayu dengan rendahnya kadar IFN-γ serum maka usaha
pencegahan dampak buruk debu kayu terhadap paru pekerja industri pengolahan
kayu menjadi sangat penting.
1.2 Rumusan masalah
Apakah terdapat hubungan negatif antara pajanan debu kayu dan IFN-γ
serum pada pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali?
1.3 Tujuan penelitian
Untuk mengetahui adanya hubungan negatif antara pajanan debu kayu dan
IFN-γ serum pada pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali.
1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Manfaat akademik
Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang hasilnya dapat dipakai
sebagai data dasar dan juga dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita
mengenai pengaruh pajanan debu kayu terhadap IFN-γ serum pada pekerja
industri pengolahan kayu.
1.4.2 Manfaat klinik praktis
a. Memberikan informasi dan menambah pengetahuan serta masukan tentang
efek pajanan debu kayu terhadap IFN-γ serum kepada pengusaha dan
pekerja Perusahaan X, Badung, Bali.
b. Pengendalian dini pencemaran udara di lingkungan kerja industri
pengolahan kayu untuk mencegah dampak kesehatan yang merugikan
kalangan pekerja.
c. Memberikan manfaat bagi program kesehatan sebagai dasar untuk
penelitian lebih lanjut pada industri pengolahan kayu di tempat lain.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Debu Kayu dan Industri Pengolahan Kayu
Industri pengolahan kayu merupakan industri yang pertumbuhannya
sangat pesat di Indonesia. Industri tersebut mampu menyerap tenaga kerja dan
menghasilkan devisa negara. Di lain pihak, industri tersebut berpotensi
menimbulkan kontaminasi udara di tempat kerja berupa debu kayu. Partikel
adalah pencemar udara yang dapat berada bersama-sama dengan bahan atau
bentuk pencemar lainnya. Sumber pencemaran partikel dapat berasal dari
peristiwa alami dan dapat juga berasal dari aktivitas manusia. Sumber pencemaran
partikel akibat aktivitas manusia sebagian besar berasal dari pembakaran batubara,
proses industri, kebakaran hutan dan gas buangan alat transportasi (Huff, 2001;
Triatmo dkk., 2006).
2.1.1
Debu Kayu
Debu ialah partikel-partikel kecil yang dihasilkan oleh proses alami atau
mekanis. Debu adalah zat padat berukuran 0,1-10 mikron yang dapat dihasilkan
oleh manusia atau alam dan merupakan hasil dari proses pemecahan suatu bahan.
Sifat debu meliputi pengendapan, permukaan basah, penggumpalan, listrik statis
dan sifat optis. Partikel debu dapat dibagi atas 3 jenis, yaitu debu organik (debu
kapas, debu daun-daunan, debu kayu), debu mineral (merupakan senyawa
kompleks: SiO2, SiO3, dan arang batu) dan debu metal (debu yang mengandung
unsur logam: Pb, Hg, Cd, Arsen, dll). Partikel debu dipengaruhi oleh daya tarik
bumi sehingga cenderung untuk mengendap di permukaan bumi (Depkes RI,
1996; Wardhana, 2001).
Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada saluran
pernapasan. Dari hasil penelitian ukuran tersebut dapat mencapai target organ
sebagai berikut (Depkes RI, 1996):
1. 5-10 mikron, akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian atas.
2. 3-5 mikron, akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian tengah.
3. 1-3 mikron, sampai di permukaan alveoli.
4. 0,5-1 mikron, hinggap di permukaan alveoli/selaput lendir sehingga
dapat menyebabkan fibrosis pada paru-paru.
5. 0,1-0,5 mikron, melayang di permukaan alveoli.
Berdasarkan lamanya partikel tersuspensi di udara dan rentang ukurannya,
partikel dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu dust fall (setteable particulate)
yang berbentuk lebih besar dari 10 µm dan Suspended Particulate Matter (SPM)
yang ukurannya lebih kecil dari 10 µm. Kategori lain adalah partikel padat Total
Suspended Particulate (TSP) dengan diameter maksimum sekitar 45 mikron,
Particulate Matter-10 (PM10) dengan diameter kurang dari 10 mikron dan PM2,5
dengan diameter kurang dari 2,5 mikron. Partikel-partikel tersebut diyakini oleh
para pakar lingkungan dan kesehatan masyarakat sebagai pemicu timbulnya
infeksi saluran pernapasan, karena partikel padat PM10 dan PM2,5 dapat
mengendap pada saluran pernapasan daerah bronki dan alveoli, sedang TSP tidak
dapat terhirup ke dalam paru, tetapi hanya sampai pada bagian saluran pernapasan
atas (Wardhana, 2001).
2.1.2 Cara Pengukuran Debu
Kuantitas pajanan terhadap debu kayu didefinisikan menjadi beberapa
istilah yaitu kadar debu total (total dust), kadar debu yang terhirup (respirable
dust) dan kadar debu dosis kumulatif. Total dust dihitung dengan dengan
menggunakan pengumpul debu pasif. Debu total ini kurang berpengaruh terhadap
kesehatan karena ukuran debunya tidak spesifik. Respirable dust adalah partikel
debu dengan diameter aerodinamik rata-rata 4 mikron (0-10 mikron) yang
ditangkap oleh filter nylon cyclone diameter 10 mm dengan kecepatan 1,7
liter/menit. Sedangkan kadar debu dosis kumulatif adalah perkalian antara
respirable dust dengan lama pajanan. Ada 3 cara pengukuran kadar debu di udara
yang semuanya mempunyai metode yang sama. Metode yang digunakan
gravimetri yaitu dengan melewatkan udara dalam volume tertentu melalui serat
glass/glass fiber/kertas saring (Lange, 2008).
a. High Volume Air Sampler (HVAS)
Cara ini dikembangkan sejak tahun 1948 menggunakan filter
berbentuk segi empat seukuran kertas A4 yang mempunyai porositas 0,30,45 µm. Prosedur kerja alat ini adalah udara ambien dihisap dengan
pompa hisap berkecepatan 1000-1500 lpm. Partikel debu dengan diameter
0,1 sampai 100 mikron akan masuk bersamaan aliran udara dan
terkumpul pada permukaan saringan serat gelas. Metode ini dapat
digunakan untuk mengambil contoh udara selama 24 jam. Pengukuran
metoda ini untuk penentuan sebagai Total Suspended Particulate (TSP).
b. Low Volume Air Sampler (LVAS)
Cara ini menggunakan filter berbentuk lingkaran (bulat) dengan
porositas 0,3-0,45 µm.
Prosedur kerja alat ini adalah udara ambien
dihisap dengan pompa hisap berkecepatan 10-30 lpm untuk penangkapan
Suspensi Particulate Matter (SPM). Dengan mengetahui berat kertas
saring sebelum dan sesudah pengukuran maka berat debu dapat dihitung.
c. Personal Dust Sampler (PDS)
Personal Dust Sampler adalah suatu alat yang biasa digunakan
untuk menentukan banyaknya Respirable Dust di udara atau debu yang
dapat lolos melalui filter bulu hidung manusia selama bernafas.
Metodenya adalah gravimetri atau melewatkan udara melalui kertas
saring dengan cara mengatur flow rate. Untuk rate 2 liter/menit dapat
menangkap partikel debu yang ukurannya lebih kecil dari 10 mikron.
Alat ini biasanya digunakan pada lingkungan kerja dan dipasangkan pada
pinggang tenaga kerja. Alatnya berukuran kecil.
2.1.3
Nilai Ambang Batas (NAB) Debu Kayu di Udara
Nilai Ambang Batas adalah parameter yang banyak digunakan untuk
mengukur keadaan udara di dalam lingkungan kerja. Nilai Ambang batas adalah
konsentrasi dari zat, uap dan gas dalam udara yang dapat dihirup dalam 8 jam
sehari atau 40 jam seminggu yang hampir semua tenaga kerja dapat terpajan
berulang kali sehari-hari dalam melakukan pekerjaan tanpa gangguan kesehatan
yang berarti. Nilai Ambang Batas hanya merupakan alat atau pedoman yang
mengikat untuk diperhatikan dari segi kesehatan dan keselamatan kerja. Namun
bila NAB sudah diterapkan, bukan berarti para pekerja tersebut terbebas dari
semua resiko yang mungkin timbul di lingkungan kerja. Nilai ambang batas
kualitas udara di lingkungan kerja khususnya kadar debu kayu keras pada industri
pengolahan kayu berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No.
01/MENNAKER/1997 adalah 1 mg/m3 (Menteri Tenaga Kerja, 1997).
Partikel debu selain memiliki dampak terhadap kesehatan juga dapat
menyebabkan gangguan sebagai berikut:
a. Gangguan aestetik dan fisik seperti terganggunya pemandangan dan
pelunturan warna bangunan dan pengotoran
b. Merusak kehidupan tumbuhan yang terjadi akibat adanya penutupan pori pori
tumbuhan sehingga mengganggu jalannya fotosintesis
c. Merubah iklim global regional maupun internasional
d. Menganggu perhubungan/penerbangan yang akhirnya menganggu kegiatan
sosial ekonomi di masyarakat
2.1.4 Jenis Kayu dan Industri Pengolahan Kayu
Terdapat begitu banyak jenis kayu yang diolah menjadi bahan industri
maupun bahan bakar. Walaupun tiap jenis kayu tersebut memiliki karakteristik
tertentu, kayu dibagi menjadi dua kelompok besar secara botani yaitu
gymnosperms atau kayu lunak (softwoods) dan angiosperms atau kayu keras
(hardwoods). Perbedaan utama kedua jenis kayu tersebut adalah struktur benih
dan anatomi batangnya. Namun bagian batang dari ke dua jenis kayu tersebut
memiliki pembagian yang sama yaitu bagian pinggir dan bagian tengah. Bagian
pinggir banyak terdapat sel-sel yang aktif mensintesis dan menyimpan bahan
metabolik sekunder. Sedangkan bagian tengah terdiri dari sel yang kurang aktif
secara metabolik dan bertugas hanya sebagai tempat menyimpan ekstrak kayu
dalam jangka waktu yang panjang. Bagian tengah ini yang bertanggung jawab
terhadap daya tahan dan stabilitas kayu, menentukan kualitas kayu serta lebih
dihargai secara ekonomi. Sekitar dua pertiga kayu di dunia yang digunakan
sebagai bahan industri adalah jenis kayu lunak (Lange, 2008). Kayu merbau dan
bangkirai yang paling sering digunakan oleh Perusahaan X termasuk ke dalam
jenis kayu keras (hardwoods).
Merbau dan Bangkirai adalah nama sejenis pohon penghasil kayu keras
berkualitas tinggi. Kayu ini memiliki tekstur kayu yang kasar dan merata, dengan
arah serat yang kebanyakan lurus. Kayu yang telah diolah memiliki permukaan
yang licin dan mengkilap indah. Kayu ini memiliki penyusutan yang sangat
rendah, sehingga tidak mudah menimbulkan cacat apabila dikeringkan, memiliki
daya tahan terhadap jamur pelapuk kayu, rayap kayu kering dan penggerek laut
sehingga acap digunakan pula dalam pekerjaan konstruksi perairan. Kayu keras
jenis ini terutama dimanfaatkan dalam konstruksi berat seperti balok-balok, tiang
dan bantalan, di bangunan rumah maupun jembatan. Oleh karena kekuatan,
keawetan dan penampilannya yang menarik, sekarang kayu merbau dan bangkirai
juga dimanfaatkan secara luas untuk pembuatan kusen, pintu dan jendela, lantai
parket (parquet flooring), papan-papan dan panel, mebel, badan truk, ukiran dan
lain-lain.
Secara umum jenis kayu keras lebih berpotensi menimbulkan kelainan
ireversibel pada paru berupa fibrosis paru dibandingkan dengan kayu lunak.
Beberapa jenis kayu dapat menimbulkan reaksi inflamasi yang kemudian
berakibat pada pembentukan jaringan fibrosis. Mekanisme inflamasi yang
diinduksi oleh debu kayu ini coba dipelajari dengan media kultur sel. Kayu beech,
oak, birch, teak, pine dan spruce mampu menginduksi reaksi inflamasi yang
berakibat cedera sel dan fibrosis. Kayu pine dan birch juga mampu menginduksi
pembentukan ROS oleh sel makrofag, yang selanjutnya berujung pada kematian
sel dan fibrosis. Berbeda dengan pine dan birch, kayu beech tidak menginduksi
peningkatan produksi ROS (Maatta dkk., 2006).
Secara umum industri pengolahan kayu mengolah kayu gelondongan
menjadi kayu bahan bangunan sampai mebel siap jadi. Terdapat beberapa bagian
pada setiap industri pengolahan kayu yang berimplikasi pada kadar debu kayu
yang berbeda yang dihasilkan oleh masing-masing bagian. Ada 6 bagian utama di
dalam produksi kayu di Perusahaan X, Badung yaitu:
1. Bagian I yaitu penggergajian kayu
Bahan baku kayu tersedia dalam bentuk kayu gelondong, sehingga masih
perlu mengalami penggergajian agar ukurannya menjadi lebih kecil seperti balok
dan papan. Pada umumnya, pembuatan balok dan papan dikerjakan dengan
menggunakan gergaji secara mekanis.
2. Bagian II yaitu pengelompokan dan penyimpanan bahan baku
Pada bagian ini dilakukan penyiapan bahan baku pertama, menyiapkan
papan dan balok kayu yang sudah digergaji dan dipotong menurut ukuran
komponen untuk diproses menjadi mebel.
3. Bagian III yaitu perakitan dan pembentukan
Komponen mebel yang sudah jadi, dipasang dan dihubungkan satu sama
lain sama lain hingga membentuk mebel sesuai pesanan. Pemasangan ini
dilakukan dengan menggunakan peralatan manual maupun mekanik serta lem
untuk merekatkan hubungan antar komponen.
4. Bagian IV yang terdiri atas:
a. Bagian Log
Yard,
yaitu
bagian
penerimaan,
penyimpanan
dan
pendistribusian bahan baku mebel yang sudah dirakit tapi belum di
finishing.
b. Bagian Kill Dry, yaitu bagian pengeringan mebel dari kadar air kurang
lebih dari 60% menjadi kadar air < 14%.
5. Bagian V yaitu pengamplasan, yang terdiri dari:
a. Bagian pengamplasan kasar, yaitu bagian yang memperhalus mebel
dengan amplas yang kasar. Proses ini menghasilkan debu yang kasar.
b. Bagian pengamplasan halus, yaitu bagian yang melakukan penghalusan
mebel yang sudah dihaluskan dengan amplas kasar yang kemudian
dihaluskan dengan amplas halus. Bagian ini juga menghasilkan debu
halus.
6. Bagian VI yaitu Furniture Component
Pada bagian ini dilakukan proses pengecatan dan finishing dari komponen
furniture yang telah jadi.
Secara umum bagian II dan IV tidak menghasilkan kadar debu yang
berbahaya karena tidak menghasilkan limbah debu. Sedangkan bagian I, III, V
dan VI menghasilkan limbah berupa debu yang berasal dari proses penggergajian,
pemotongan, pengamplasan kasar dan halus, pengecatan dan finishing.
2.2 Mekanisme Pajanan Debu Kayu dan Efeknya terhadap Paru
Paru merupakan salah satu organ sistem respirasi yang berfungsi sebagai
tempat penampungan udara, sekaligus merupakan tempat berlangsungnya
pengikatan oksigen oleh hemoglobin. Interaksi udara dengan paru berlangsung
setiap saat, oleh karena itu kualitas yang terinhalasi sangat berpengaruh terhadap
faal paru. Udara dalam keadaan tercemar, partikel polutan terinhalasi dan
sebagian akan masuk ke dalam paru. Selanjutnya, sebagian partikel akan
mengendap di alveoli. Adanya pengendapan partikel dalam alveoli, ada
kemungkinan fungsi paru akan mengalami penurunan. Adanya debu di alveolus
akan menyebabkan terjadinya statis partikel debu dan dapat menyebabkan
kerusakan dinding alveolus, selanjutnya merupakan salah satu faktor predisposisi
gangguan fungsi paru baik reversibel maupun ireversibel (Antarudin, 2000).
Partikel debu dapat masuk ke dalam tubuh melalui berbagai rute yaitu
Inhalasi adalah jalan yang paling signifikan dimana substansi yang berbahaya
masuk dalam tubuh melalui pernapasan dan dapat menyebabkan penyakit baik
akut maupun kronis. Absorpsi adalah pajanan debu masuk ke dalam tubuh melalui
absorpsi kulit di mana dapat menyebabkan perubahan ringan maupun kerusakan
serius pada kulit. Ingesti adalah jalan masuk yang melalui saluran pencernaan.
Faktor yang dapat berpengaruh pada inhasi bahan pencemar ke dalam paru
adalah faktor komponen fisik, faktor komponen kimiawi dan faktor penderita itu
sendiri. Aspek komponen fisik yang pertama adalah keadaan dari bahan yang
diinhalasi (gas, debu, uap). Ukuran dan bentuk akan berpengaruh dalam proses
penimbunan di paru, demikian pula kelarutan dan nilai higroskopinya. Komponen
kimia yang berpengaruh antara lain kecenderungan untuk bereaksi dengan
jaringan di sekitar dan tingkat keasamannya (dapat merusak silia dan sistem
enzim). Faktor manusia sangat perlu diperhatikan terutama yang berkaitan dengan
sistem pertahanan paru, baik secara anatomis maupun fisiologis, lamanya pajanan
dan kerentanan individu (Kauppinen dkk., 2006).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pengendapan
partikel debu di paru antara lain jenis debu, ukuran partikel debu, konsentrasi
partikel dan lama pajanan, pertahanan tubuh (Yunus, 2000).
a.
Jenis debu.
Jenis debu terkait daya larut sifat kimianya. Adanya perbedaan daya larut dan
sifat kimiawi ini, maka kemampuan mengendapnya juga akan berbeda pula.
Demikian juga tingkat kerusakan yang ditimbulkannya juga akan berbeda
pula. Terdapat dua partikel debu menjadi dua yaitu debu organik dan
anorganik.
b.
Ukuran Partikel
Tidak semua partikel dalam udara yang terinhalasi akan mencapai paru.
Partikel yang berukuran besar pada umumnya telah tersaring di hidung.
Partikel dengan diameter 0,5-6μm yang disebut partikel terhisap yang dapat
mencapai
alveoli,
mengendap
disana
dan
menyebabkan
terjadinya
pneumokoniosis.
c.
Konsentrasi pertikel debu dan lama pajanan
Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama
pajanan berlangsung, jumlah partikel yang mengendap di paru juga semakin
banyak. Setiap inhalasi 500 partikel per millimeter kubik udara, maka setiap
alveoli paling sedikit menerima 1 partikel dan apabila konsentrasi mencapai
1000 partikel per millimeter kubik, maka 10% dari jumlah tersebut akan
tertimbun di paru. Konsentrasi yang melebihi 5000 partikel per millimeter
kubik
sering
dihubungkan
dengan
terjadinya
pneumokoniosis.
Pneumokoniosis akibat debu akan timbul setelah penderita mengalami kontak
lama dengan debu. Jarang ditemui kelainan bila pajanan kurang dari 10 tahun.
Dengan demikian lama pajanan mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian
gangguan fungsi paru.
d.
Pertahanan tubuh terhadap paparan partikel debu yang terinhalasi
Beberapa orang yang mengalami pajanan debu yang sama baik jenis maupun
ukuran partikel, konsentrasi maupun lamanya pajanan berlangsung, tidak
selalu menunjukkan akibat yang sama. Sebagian ada yang mengalami
gangguan paru berat, namun ada yang ringan bahkan mungkin ada yang tidak
mengalami gangguan sama sekali. Hal ini diperkirakan berhubungan dengan
perbedaan kemampuan sistem pertahanan tubuh terhadap pajanan partikel
debu terinhalasi. Sistem pertahanan paru dan saluran nafas melalui beberapa
cara yaitu:
a. Secara mekanik yaitu pertahanan yang dilakukan dengan menyaring
partikel yang ikut terinhalasi bersama udara dan masuk saluran pernafasan.
Penyaringan berlangsung di hidung, nasofaring dan saluran nafas bagian
bawah yaitu bronkus dan bronkiolus. Di hidung penyaringan dilakukan
oleh bulu-bulu silia yang terdapat di lubang hidung, sedangkan di bronkus
dilakukan reseptor yang terdapat pada otot polos dapat berkonstraksi
apabila ada iritasi. Apabila rangsangan yang terjadi berlebihan, maka
tubuh akan memberikan reaksi berupa bersin atau batuk yang dapat
mengeluarkan benda asing termasuk partikel debu dari saluran nafas
bagian atas maupun bronkus.
b. Secara kimia yaitu cairan dan silia dalam saluran nafas secara fisik dapat
memindahkan partikel yang melekat di saluran nafas, dengan gerakan silia
yang mucociliary escalator ke laring. Cairan tersebut bersifat detoksikasi
dan bakterisid. Pada paru bagian perifer terjadi ekskresi cairan secara terus
menerus dan perlahan-lahan dari bronkus ke alveoli melalui limfatik.
Selanjutnya makrofag alveolar menfagosit partikel yang ada di permukaan
alveoli.
c. Secara imunitas yaitu melalui proses biokimiawi yaitu humoral dan
seluler. Ketiga sistem tersebut saling berkait dan berkoordinasi dengan
baik sehingga partikel yang terinhalasi disaring berdasarkan pengendapan
kemudian terjadi mekanisme perpindahan partikel.
Mekanisme pengendapan partikel debu di paru berlangsung dengan cara
(Yulaekah, 2007):
a. Gravitation yaitu sedimentasi partikel yang masuk saluran napas karena gaya
gravitasi.
b. Impaction yaitu terbentur dan jatuhnya partikel di percabangan bronkus dan
brokiolus.
c. Brown difusion yaitu mengendapnya partikel dengan diameter lebih besar dari
dua micron yang disebabkan oleh terjadinya gerakan keliling (gerakan Brown)
dari partikel oleh energi kinetik.
d. Elektrostatic yaitu pengendapan akibat mukus, yang merupakan konduktor
yang baik secara elektrostatik.
e. Interception yaitu pengendapan yang berhubungan dengan sifat fisik partikel
berupa ukuran panjang/besar partikel hal ini penting untuk mengetahui di mana
terjadi pengendapan.
Begitu masuk ke dalam saluran nafas, partikel debu kayu awalnya akan
dibawa oleh sistem tranport mukosilier hidung ke bagian posterior kemudian ke
nasofaring. Kecepatan rata-rata transport ini 5 mm/menit sehingga total waktu
yang dibutuhkan sekitar 20 menit. Partikel debu kayu yang berada di bagian
anterior hidung relatif mudah dikeluarkan dengan mekanisme bersin, usap atau
tiup. Partikel yang sangat kecil (<0,1 mikron) dan larut akan mudah diabsorpsi,
dimetabolisme oleh epitel saluran nafas atau ditranslokasi ke dalam pembuluh
darah.
Pada daerah trakeobronkial, debu kayu akan dikeluarkan oleh mekanisme
mukosilier ke arah faring lalu ditelan ke saluran cerna. Kecepatan pengeluaran ini
semakin ke distal semakin lambat. Kecepatan transport rata-rata di trakea 4,3-5,7
mm/menit sedangkan di brokus 0,2-1,3 mm/menit. Selanjutnya, partikel debu
yang masuk ke dalam alveoli akan difagositosis oleh makrofag baru maksimal 24
jam setelah terdeposisi. Makrofag yang telah dipenuhi partikel debu akan
bermigrasi ke bagian distal lapisan mukus untuk dikeluarkan oleh sistem
mukosilier atau bertranslokasi ke dalam saluran limfe dan darah untuk
bersirkulasi. Bila jumlah partikel debu kayu begitu banyak terdeposisi, maka
makrofag mengalami overload, terjadi akumulasi partikel debu kayu pada bagian
interstisial dan tercetuslah proses inflamasi (Lange, 2008). Pembentukan dan
destruksi makrofag yang terus-menerus berperan penting pada pembentukan
jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan tersebut. Fibrosis
terjadi pada parenkim paru, yaitu pada dinding alveoli dan jaringan ikat
interstisial. Akibat fibrosis paru akan terjadi penurunan elastisitas jaringan paru
(pengerasan jaringan paru) dan menimbulkan gangguan pengembangan paru. Bila
pengerasan alveoli mencapai 10% akan terjadi penurunan elastisitas paru
menyebabkan kapasitas vital paru akan menurun dan dapat mengakibatkan
berkurangnya suplai oksigen ke dalam jaringan otak, jantung dan bagian-bagian
tubuh lainnya (Michaels, 1967; Jacobsen dkk., 2010b).
Gambar 2.1. Jalur masuknya debu kayu sampai ke dalam paru (Lange, 2008)
2.3. Interferon Gama
2.3.1 Peran Interferon Gama dalam Fungsi Paru
Respon imun terhadap patogen atau benda asing yang masuk ke dalam
paru dibagi menjadi imunitas alamiah dan imunitas didapat. Imunitas alamiah
tidak spesifik dan bereaksi cepat terhadap benda asing yang meliputi fagositosis
makrofag alveoler dan stimulasi produksi sitokin proinflamasi. Sitokin dan
kemokin
yang
dihasilkan
menyebabkan
vasodilatasi
dan
peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, peningkatan aliran darah, panas, pembengkakan
jaringan, ekspresi dari molekul adhesi dan perekrutan neutrofil pada tempat yang
mengalami inflamasi. Benda asing yang tidak mampu diatasi oleh imunitas
alamiah akan mencetuskan timbulnya imunitas didapat. Sel dendritik, neutrofil
dan makrofag yang mampu memfagositois benda asing dan kemudian
mempresentasikan antigennya kepada sel T yang bersirkulasi disebut dengan
Antigen Presenting Cells (APC). Proses ini yang pertama kali muncul pada proses
terbentuknya imunitas didapat. Presentasi antigen oleh APC akan mengaktivasi
sel T menjadi sel T efektor selanjutnya juga sel B menjadi sel plasma yang
menghasilkan antibodi. Imunitas didapat jauh lebih spesifik, memiliki memori dan
lebih kuat. Sel T efektor ada dalam dua bentuk yaitu sel T CD4 dan sel T CD8, di
mana sel T CD4 dikelompokan lagi menjadi sel Th1 dan sel Th2. Aktivitas sel T
efektor diperantari oleh sitokin yang diproduksinya. Sitokin adalah protein dengan
berat molekul kecil 8-40 kDa yang meregulasi respon penjamu terhadap infeksi,
inflamasi, trauma dan benda asing. Sitokin yang utama dalam respon imun antara
lain IL-1, IL-6 dan TNF-α yang dihasilkan makrofag, IFN-γ yang dihasilkan Th1
dan TGF-β yang dihasilkan Th2. Sel Th1 memproduksi sitokin IFN-γ, membantu
makrofag dalam menghancurkan benda asing sedangkan sel Th2 memproduksi
IL-4, IL-5 dan TGF-β yang membantu sel plasma dalam memproduksi antibodi.
Dalam
hal pembentukan jaringan fibrosis pada paru, IFN-γ memiliki peran
sentral. Jaringan fibrosis diakibatkan oleh aktivitas proliferasi fibroblast dan
pembentukan kolagen serta matriks jaringan ikat. Sitokin Th1 IFN-γ bersifat
menghambat pembentukan kolagen sedangkan sitokin Th2 bersifat merangsang
pembentukan kolagen dan jaringan fibrosis (Maatta dkk., 2006).
Pada tahun 1957, Isaacs dan Lindenmann menemukan suatu zat yang
dapat melindungi suatu sel dari infeksi virus yang kemudian mereka namakan
Interferon (IFN). IFN merupakan suatu protein yang disekresikan oleh sel akibat
dari berbagai macam stimuli. IFN adalah sitokin pertama yang ditemukan dan
diteliti lebih dalam sehingga kita bisa mengetahui fungsi, jalur produksi, struktur
dan evolusi dari sitokin kelas II lainnya. Pada umumnya terdapat dua jenis IFN
yaitu tipe I dan tipe II serta sitokin mirip IFN. IFN tipe I terdiri dari tujuh kelas
yaitu IFN-α, IFN-β, IFN-e, IFN-k, IFN-o, IFN-d dan IFN-t. Sedangkan IFN tipe II
hanya terdiri dari satu kelas yaitu IFN-γ. IFN-α, IFN-β, IFN-e, IFN-k, IFN-o, IL28A, IL-28B dan IL-29 ditemukan pada manusia sedangkan IFN-d, IFN-t dan
limitin tidak (Petska dkk., 2004; Schroder dkk., 2004; Platanias, 2005).
Interferon gama adalah sitokin pro-inflamasi yang disekresikan oleh sel
Th1 CD-4 yang berfungsi meningkatkan aktivitas makrofag dalam mengeradikasi
antigen/benda asing. IFN-γ bekerja dengan mengaktifkan dan memperkuat efek
RNI dan NOS-2 (Boehm dkk., 1997). Beberapa studi genetik menunjukkan bahwa
adanya defek genetik gen penyandi IFN-γ atau reseptornya berakibat
meningkatnya kerentanan individu tersebut terhadap infeksi bakteri. Suatu studi
yang menggunakan terapi antibodi monoklonal anti-interferon gama pada
sekelompok mencit menunjukkan hasil infeksi TB berat pada kelompok mencit
tersebut (Reljic, 2007).
Ada beberapa mekanisme bagaimana IFN-γ dapat meningkatkan fungsi
makrofag. Pertama, IFN-γ dapat berikatan dengan Myeloid differentiation factor
88 (MyD88) kemudian mengaktivasi IFN-γ regulatory factor-1 (IRF-1) yang
selanjutnya meningkatkan pinositosis, fagositosis dan penghancuran partikel
benda asing. Kedua, IRF-1 mampu meningkatkan ekspresi iNOS dan enzim
NADPH yang diperlukan dalam fagositosis oksidasi. Ketiga, IRF-1 bisa
mengaktivasi TNF-α via faktor nukleus kappa beta. Sinergi antara sitokin TNF-α
dan IFN-γ sangat diperlukan dalam aktivasi makrofag. Terakhir, IFN-γ mampu
menginduksi ekspresi dari IL-12 oleh makrofag dan monosit sehingga
menimbulkan umpan balik positif ke arah respon Th1. Dalam kenyataannya
mekanisme IFN-γ dalam meningkatkan aktivitas makrofag memerlukan
kombinasi beberapa mekanisme di atas secara simultan (Reljic, 2007)
Gambar 2.2. Mekanisme kerja IFN-γ di dalam sel (Medestou, 2010)
2.3.2 Efek Pajanan Debu Kayu terhadap Kadar Interferon Gama
Pajanan debu kayu secara terus menerus menyebabkan cedera epitel
alveoli yang kontinyu, aktivasi fibroblast dengan penumpukan matriks protein
yang berlebihan, serta terbentuknya jaringan parut dan fibrosis (Brody dkk.,
1993). Patogenesis dari fibrosis paru belum diketahui secara pasti, tetapi faktor
lingkungan seperti debu kayu telah dibuktikan pengaruhnya terhadap timbulnya
fibrosis paru pada suatu studi meta-analisis dengan risiko relatif 1,9 kali (Taskar
& Coultas, 2006). Inhalasi debu kayu dalam jangka waktu tertentu dan berulangulang akan menyebabkan cedera sel epitel alveoli. Cedera sel ini akan
mengaktivasi reaksi inflamasi, respon abnormal perbaikan jaringan yang rusak
dan remodeling jaringan interstisial alveoli. Respon inflamasi alamiah meliputi
aktivasi sitokin pro-inflamasi dan aktivasi sel limfosit T. Aktivasi limfosit T akan
berakibat diferensiasi ke arah Th1 dengan produksi sitokin IFN-γ dan ke arah Th2
dengan produksi sitokin TGF-β (King dkk., 2000; Sharma dkk., 2003).
Pada prinsipnya terdapat ketidakseimbangan antara sitokin Th1 interferon
gama dan sitokin Th2 pada patogenesis terjadinya fibrosis paru. Fibrosis paru
diakibatkan oleh produksi kolagen oleh sel fibroblas yang teraktivasi. Proses
fibrosis ini dirangsang oleh sitokin Th2 akan tetapi ditekan oleh sitokin IFN-γ.
Respon imunologi yang terjadi pada fibrosis paru lebih cenderung kepada sitokin
Th2 seperti IL-4 dan IL-13, eosinofil dan sel mast. Studi pada tikus menunjukkan
fibrosis paru terjadi bila sitokin Th1 menurun (Meyer, 2003; Taskar & Coultas,
2006). Pajanan debu kayu akan menyebabkan penurunan kadar IFN-γ sehingga
mempermudah terjadinya fibrosis paru. Peran inflamasi dominan pada fase awal
fibrosis dan dikatakan kurang begitu penting dalam terjadinya fibrosis paru.
Ketika terjadi cedera epitel, mikrovaskuler akan rusak sehingga komposisi plasma
seperti fibronektin dan komponen koagulasi lain akan berusaha untuk
menyediakan matriks ekstraseluler demi keberlangsungan perbaikan jaringan.
Tetapi adanya ketidakseimbangan antara proses koagulasi dan fibrinolisis akan
menghambat reepitelisasi luka dan perbaikan arsitektur paru. Hal ini dibuktikan
dengan studi binatang yang menunjukkan adanya gangguan fibrinolisis pada
gangguan penyembuhan cedera (Fernandez, 2006; Barnes, 2008).
Berdasarkan atas pentingnya peran fibroblas atau miofibroblas dalam
deposisi matriks yang berlebihan, gangguan arsitektur paru dan gangguan
pertukaran gas, maka diperlukan agen seperti IFN-γ yang dapat memodulasi
fungsi fibroblas dan menghambat deposisi matriks tersebut.
Sehingga
progresivitas penyakit fibrosis paru nantinya dapat dihambat. IFN-γ adalah
interferon tipe 2 dan sitokin Th1 yang memiliki efek menghambat produksi
growth factor profibrotic, ekspresi gen kolagen. Sitokin ini memegang peranan
yang penting juga dalam pembentukan granuloma dan telah disetujui untuk terapi
osteopetrosis dan penyakit granuloma kronik (Zhou dkk., 1999; Fruchter, 2004;
Nathan dkk., 2004)
Gambar 2.3. Keseimbangan Th1 dan Th2 dalam patogenesis terjadinya fibrosis
paru (Wynn, 2004)
2.3.3 Peran Interferon Gama dalam Fibrosis Paru
Saat ini banyak perhatian ditujukan pada penggunaan IFN-γ sebagai terapi
penyakit fibrosis paru. Dasar pemikirannya adalah properti IFN-γ dalam
menghambat proliferasi fibroblast, sintesis dan deposisi kolagen serta ekspresi
dari sitokin pro-fibrotik. Secara histologis penyakit fibrosis paru ditandai oleh
spektrum dari paru yang normal sampai honey-combing tahap lanjut. Gambaran
ini sesuai dengan hipotesis proses cedera berulang yang berakhir dengan fibrosis.
Proliferasi fibroblas yang terjadi diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara
sitokin Th1 dan Th2 (Nathan dkk., 2004). IFN-γ adalah sitokin utama yang
diproduksi oleh sel T dan sel NK yang memiliki efek antiviral, anti proliferasi,
imunomodulasi dan antifibrotik. Selama bertahun-tahun IFN-γ telah lama dikenal
sebagai sitokin proinflamasi, kadang dikaitkan dengan patogenesis inflamasi dan
autoimun. Tetapi saat ini telah banyak bukti yang mendukung efek anti-inflamasi
IFN-γ melalui rangsangannya terhadap Interleukin 1 receptor antagonist (IL-1Ra)
atau IL-18 binding protein (IL-18BP). IFN-γ berefek langsung terhadap sintesis
kolagen, menghambat kolagenase dan menghambat TGF-β. IFN-γ juga memiliki
peran perbaikan jaringan dan remodeling. Terjadinya fibrosis paru tidak selalu
melalui inflamasi, sehingga terapi dengan anti inflamasi seringkali tidak
memberikan respon yang baik (Borg & Isenberg, 2007; Bouros & Tzouvelekis,
2009).
Terapi dengan IFN-γ ditoleransi dengan baik. Efek samping yang mungkin
muncul antara lain flu-like syndrome, mialgia, demam, penurunan berat badan,
peningkatan SGPT dan nyeri di tempat suntikan (Dauber dkk., 2004; O’Connor,
2004). Studi uji klinik terandomisasi yang melibatkan 18 pasien dengan fibrosis
paru menunjukkan adanya perbaikan parameter fisiologis yang lebih baik pada
pasien yang mendapatkan IFN-γ1b dan prednisolon dibandingkan dengan
prednisolon dan plasebo. Studi lain dengan jumlah sampel yang lebih besar
ternyata gagal menunjukkan efek yang lebih baik dari terapi IFN-γ1b. Justru,
terdapat efek yang berpotensi merugikan. Memang masih terdapat kontroversi
mengenai efektivitas penggunaan IFN-γ sebagai terapi fibrosis paru. Suatu metaanalisis membuktikan bahwa terapi fibrosis paru dengan IFN-γ1b menurunkan
angka kematian (Bajwa dkk., 2005). Penyakit fibrosis paru merupakan penyakit
paru interstitial yang memiliki angka kematian yang tinggi. Separuh jumlah
pasien akan meninggal dalam 4-5 tahun dan hanya sekitar 20% yang bertahan
setelah 10 tahun. Terapi fibrosis paru selama ini dengan kortikosteroid dan
imunosupresan tidak banyak membawa perubahan dalam hal progresivitas
penyakit. IFN-γ memiliki efek yang modulasi respon inflamasi dan anti fibrotik.
Efek hambatan IFN-γ bersifat tergantung dosis dan tidak hanya pada sintesis
kolagen tetapi juga sitokin fibrogenik TGF-β (Cayon dkk., 2010).
Untuk dapat aktif, IFN-γ harus mencapai sel target, berikatan dengan
reseptor spesifik dan mengaktivasi jalur sinyal transduksi untuk menimbulkan
respon seluler. IFN-γ merupakan protein yang sangat pleiotrofik sehingga dosis,
cara, jalur dan waktu pemberiannya harus didesain dengan cermat untuk
menghindari efek samping bahkan toksisitas (Reljic, 2007). Sejumlah studi pada
binatang jelas menunjukkan efek positif dari pemberian IFN-γ pada fibrosis paru.
Mekanisme fibrosis paru yang diinduksi oleh partikel debu disebabkan oleh
interaksi makrofag dengan fibroblas. Studi binatang menunjukkan bahwa
makrofag memproduksi platelet-derived growth factor (PDGF) yang merangsang
proliferasi dan kemotaksis fibroblast. IFN-γ yang dihasilkan oleh sel T
menghambat PDGF ini (Brody dkk., 1993; Segel dkk., 2003).
Efek debu kayu yang lama dan berulang berpotensi menimbulkan
kerusakan paru yang reversibel maupun ireversibel seperti fibrosis paru. Peran
IFN-γ sebagai terapi dengan meningkatkan kadarnya didalam serum mungkin
dapat menurunkan proses inflamasi dan fibrosis yang diperantarai oleh sitokin
Th2. Sehingga efek buruk dari debu kayu dapat dicegah (Nathan dkk., 2004).
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN
HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Proses perbaikan cedera yang normal akan mengembalikan histologi dan
fungsi jaringan kembali normal. Akan tetapi, pajanan debu kayu pada individu
yang suseptibel akan berpotensi menimbulkan keadaan abnormal seperti
gangguan obstruksi dan fibrosis paru. Pajanan debu kayu dalam jangka waktu
tertentu dan berulang-ulang akan menyebabkan cedera sel epitel alveoli.
Cedera sel epitel alveoli akan mengaktivasi reaksi inflamasi sehingga
mengakibatkan limfosit T yang tidak aktif menjadi limfosit T aktif dan
berdiferensiasi. Proses aktivasi dan diferensiasi limfosit T bisa ke arah Th1 (IFNγ) dan ke arah Th2. Aktivitas Th1 mampu menekan aktivitas Th2 begitu juga
sebaliknya.
Pajanan debu kayu berakibat pada ketidakseimbangan antara respon
inflamasi Th1 dan Th2 dimana produksi sitokin Th1 (IFN-γ) akan menurun dan
aktivitas sitokin Th2 akan meningkat. Prinsip ketidakseimbangan antara sitokin
Th1 IFN-γ dan sitokin Th2 ini pula yang mendasari patogenesis terjadinya fibrosis
paru. Pajanan debu kayu memiliki hubungan negatif dengan kadar IFN-γ serum
sehingga mempermudah terjadinya fibrosis paru seperti yang terlihat pada
Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Kerangka berpikir penelitian
3.2 Konsep Penelitian
Gambar 3.2. Konsep penelitian
3.3 Hipotesis Penelitian
Terdapat hubungan negatif antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum
pada pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi observasional dengan rancangan potong
lintang analitik.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Perusahaan X, Badung, Bali pada bulan Mei Oktober 2013.
4.3 Subjek dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi target penelitian adalah semua pekerja industri pengolahan kayu.
Populasi terjangkau penelitian adalah semua pekerja industri pengolahan kayu
Perusahaan X, Badung, Bali selama periode penelitian dilakukan.
4.3.2 Kriteria Subjek
Subjek tersebut harus memenuhi kriteria pemilihan sebagai berikut:
4.3.2.1 Kriteria inklusi:
a. Pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali.
b. Usia 18-60 tahun.
c. Telah bekerja di Perusahaan X, Badung, Bali selama minimal 10 tahun.
d. Setuju mengikuti penelitian setelah menandatangani informed consent.
4.3.2.2 Kriteria eksklusi:
a. Pekerja dengan riwayat penyakit tuberkulosis, kencing manis atau
keganasan. Riwayat penyakit ini didapatkan secara subjektif hanya
dengan melakukan wawancara terhadap pekerja Perusahaan X, Badung,
Bali.
b. Pekerja yang bekerja di bagian VI (pengecatan dan finishing) saat
dilakukan pengambilan sampel
4.3.3 Besaran Sampel
Perkiraan jumlah sampel yang digunakan dengan menggunakan rumus
untuk koefisien korelasi berikut (Sopiyudin, 2010):
2
Rumus


Z  Z
n 
 3
0
.
5
ln

(
1

r
)
/(
1

r
)



(1)
n
= jumlah sampel minimal
Zα
= kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5% (1.64)
Zβ
= kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 10% (1,28)
r
= korelasi minimal yang dianggap bermakna (0,4)
Dengan demikian didapatkan besar sampel adalah :
n = 50,51 ~ 51
n = 51 + (10% x 51) = 56,1 ~ 60
Dengan demikian besar sampel adalah 60 orang. Teknik pengambilan sampel
yang digunakan pada penelitian ini adalah cluster purposif random sampling.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Identifikasi Variabel
Variabel penelitian yang diukur adalah pajanan debu kayu dan IFN-γ
serum.
4.4.2 Klasifikasi Variabel
1. Variabel bebas
: pajanan debu kayu
2. Variabel tergantung
: IFN-γ serum
3. Variabel perancu
: umur, status gizi, kebiasaan merokok dan
penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
4.4.3 Definisi Operasional Variabel
Adapun definisi operasional penelitian adalah sebagai berikut:
1. Pajanan debu kayu adalah dosis kumulatif debu kayu yang dihirup oleh
pekerja Perusahaan X, Badung yang merupakan hasil perkalian antara
kadar debu terhirup (respirable dust) rata-rata dan masa kerja masingmasing pekerja. Kadar debu terhirup diukur dengan alat Personal Dust
Sampler merk SKC Model 224-PCXR-8 yang diletakan setinggi hidung
pekerja di 5 titik di sekitar lingkungan pekerja Perusahaan X, Badung.
Satuannya mg/m3. Sedangkan masa kerja ditentukan dengan wawancara
dan melihat data pekerja bersangkutan yang tersimpan dalam arsip
Perusahaan X dan dihitung dengan mengalikan 285 hari kerja dalam
setahun dan berapa tahun pekerja tersebut telah bekerja pada satu bagian.
Satuan dosis kumulatif pajanan debu kayu adalah mg/m3/th (Bohadana
dkk., 2000; Yulaekah, 2007).
2. Interferon-γ serum adalah sitokin utama dari Th1 yang kadarnya di dalam
serum/darah pekerja Perusahaan X, Badung,
Bali dapat diukur
menggunakan metode ELISA dengan hIFN-γ ELISA high sensitivity. IFNγ memiliki nilai normal 0,145-168 pg/ml, rata-rata 10,4 pg/ml dan standar
deviasi ± 40 pg/ml. Kadar IFN-γ dikatakan rendah bila nilainya di bawah
rerata normal. Satuannya adalah pg/ml (Bender MedSystems).
3. Perusahaan X adalah sebuah perusahaan dengan 150 karyawan yang
bergerak dalam bidang industri pengolahan kayu (mengolah kayu
gelondongan menjadi kayu bahan bangunan dan mebel jadi), yang terletak
di Desa Lukluk, Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung, Bali.
4. Usia adalah usia pekerja Perusahaan X, Badung pada saat sampel
penelitian diambil. Umur pekerja ditentukan dengan wawancara dan
melihat bukti identitas pekerja yang masih berlaku. Satuannya adalah
tahun.
5. Status gizi adalah keadaan status nutrisi pekerja Perusahaan X, Badung
yang ditentukan berdasarkan indeks massa tubuhnya. Indeks massa tubuh
(IMT) adalah hasil perhitungan berat badan dalam kg dibagi kuadrat dari
tinggi badan dalam meter. Satuannya adalah kg/m2. Status gizi
dikelompokkan menjadi 3 yaitu normal bila IMT 18,5-22,9 kg/m2, kurang
(malnutrisi) bila IMT < 18,5 kg/m2, berat badan berlebih bila IMT > 23
kg/m2 (WHO, 2004).
6. Kebiasaan merokok adalah aktivitas yang dilakukan pekerja Perusahaan X,
Badung dalam menghirup asap rokok dengan menggunakan pipa atau
rokok. Aktivitas merokok dalam penelitian ini tidak membedakan bahan
pembungkus rokok, bahan baku, isi rokok, proses pembuatan rokok dan
penggunaan filter dalam rokok. Kebiasaan merokok dinyatakan dalam
packyears yaitu jumlah bungkus rokok yang dihisap dalam satu hari (1
bungkus = 20 batang) dikalikan lamanya merokok dalam tahun (Haris
dkk., 2012)
7. Penggunaan APD adalah kebiasaan pekerja Perusahaan X, Badung dalam
menggunakan masker penutup hidung dan mulut sebagai pelindung diri
dari debu kayu sewaktu yang bersangkutan bekerja dalam satu tahun
terakhir. Masker yang dimaksud adalah masker yang dibuat oleh
perusahaan X sendiri dan terbuat dari kain. Penggunaan APD akan
dikelompokkan menjadi empat derajat secara semikuantitatif yaitu tidak
pernah, jarang, sering dan selalu. Pengelompokan dilakukan dengan dasar
wawancara.
Tidak
pernah
bila
pekerja
mengaku
tidak
pernah
menggunakan masker selama bekerja. Jarang bila pekerja menggunakan
masker terus menerus selama bekerja < 3 hari kerja seminggu. Sering bila
pekerja menggunakan masker terus menerus > 3 hari kerja seminggu.
Selalu bila pekerja selalu menggunakan masker selama bekerja setiap hari.
4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian
Bahan dan Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Kuesioner khusus untuk mengetahui identitas, karakteristik pekerja, dan
pemeriksaan fisik secara objektif.
2. Pengukuran kadar debu terhirup dengan alat Personal Dust Sampler merk
SKC Model 224-PCXR-8
3. Timbangan berat badan
4. Alat ukur sentimeter untuk mengukur tinggi badan
5. Set human IFN-γ ELISA untuk mengukur kadar IFNγ serum
Bahan yang digunakan adalah darah penderita sebanyak 5cc untuk
pemeriksaan IFN-γ serum. Pemeriksaan IFN-γ serum dilakukan di Laboratorium
Prodia Denpasar.
4.6 Prosedur Penelitian
1. Permohonan ethical clearance approval kepada Komisi Etik Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah Denpasar.
2. Permohohan ijin kepada UPT. Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja,
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Bali yang ditembuskan
kepada Direktur Perusahaan X, Badung sebagai tempat dilaksanakannya
penelitian.
3. Permohonan peminjaman alat Personal Dust Sampler kepada UPT. Balai
Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Provinsi Bali.
4. Semua pekerja di Perusahaan X, Badung, Bali yang memenuhi kritera
inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi dimasukkan sebagai subjek
penelitian.
5. Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik Cluster Purposif Random
Sampling. Awalnya, populasi terjangkau dibagi menjadi 4 kelompok
(penggergajian, perakitan, pengamplasan, dan administrasi), selanjutnya
pemilihan sampel dilakukan secara random dan jumlahnya sama rata 15
orang di masing-masing bagian.
6. Sampel tersebut diberikan penjelasan lengkap mengenai prosedur dan
tujuan penelitian ini dan diminta kesediaannya untuk bekerja sama dengan
menandatangani informed consent.
7. Sampel kemudian menjalani wawancara dan mengisi kuesioner yang telah
disiapkan tentang karakteristik responden dan data objektif yang berkaitan
dengan penelitian serta pemeriksaan fisik.
8. Pengukuran kadar debu terhirup di Perusahaan X, Badung dengan
menggunakan alat Personal Dust Sampler merk SKC Model 224-PCXR-8.
Pengambilan sampel debu dilakukan di lima titik sekitar lingkungan
pekerja di masing-masing bagian. Pengukuran debu dilakukan selama jam
kerja (1 jam terus menerus) dan diletakan setinggi hidung rata-rata pekerja.
Cara pengukuran dengan Personal Dust Sampler:
a. Alat dikalibrasi dengan kecepatan hisapan 1 – 1,9 l/menit.
b. Pasang filter pada filter holder dengan bagian kasar diletakkan di
sebelah depan/atas.
c. Alat pekerja diletakkan/pasang dengan posisi setinggi hidung.
d. Pengambilan sampel dilakukan sesuai waktu yang diinginkan.
e. Setelah selesai melakukan sampling, filter diambil menggunakan
pinset dan dimasukkan ke dalam filter
Analisis:
a. Filter hasil pengukuran dimasukkan, baik sampel uji maupun blangko
ke dalam desikator selama 24 jam.
b. Filter ditimbang menggunakan timbangan analitik sampai diperoleh
bobot tetap.
c. Hasil penimbangan filter dihitung dengan rumus sebagai berikut:
(B-A) + (B’-A’)
Kadar debu (mg/m3) = -------------------------------------(m3) volume udara sampling
(2)
A = berat filter uji sebelum sampling
B = berat filter uji sesudah sampling
A’ = berat filter blangko sebelum sampling
B’ = berat filter blangko sesudah sampling
Volume udara sampel (m3): Laju alir udara X waktu sampling
9. Pengambilan sampel darah dan pengukuran kadar IFN-γ serum pekerja di
bagian I, III, V dan administrasi dilakukan oleh peneliti bekerjasama dengan
Tim Prodia Denpasar sesuai dengan teknik dan prosedur yang biasa dilakukan.
10. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan metode statistik yang sesuai.
Semua pekerja di Perusahaan X, Badung
Kriteria Inklusi
Kriteria Eksklusi
Wawancara, mengisi kuesioner dan pemeriksaan fisik
Pengukuran debu terhirup di bagian I, III, V dan administrasi
Pengukuran kadar IFN gamma serum pekerja di bagian I, III, V dan administrasi
Analisis Data
Hasil penelitian
Gambar 4.1 Alur penelitian
4.7 Analisis Data
Langkah langkah pengolahan data terhadap data yang telah terkumpul
adalah sebagai berikut:
4.7.1
Editing
Tahapan ini meneliti kembali kelengkapan pengisian, kejelasan tulisan
jawaban, kesesuaian, keajegan dan keseragaman satu sama lainnya.
4.7.2 Koding
Pada langkah ini peneliti mengklasifikasikan jawaban menurut macamnya
dengan cara memberikan tanda pada masing-masing jawaban dengan kode
tertentu.
4.7.3 Entry
Dengan memberikan skor pada pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut
variabel bebas dan terikat.
4.7.4 Tabulasi
Melakukan pengelompokan data sesuai dengan tujuan penelitian yang
kemudian dimasukkan ke dalam tabel. Setiap pernyataan diberikan nilai yang
hasilnya dijumlahkan dan diberikan kategori sesuai dengan jumlah pernyataan
dalam kuesioner.
Selanjutnya analisis data dilakukan sesuai dengan tujuan dan skala
variabel yang diteliti. Analisis statistik dengan menggunakan komputer program
SPSS meliputi:
a. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif penelitian ini meliputi penyajian hasil secara
deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi, mean, standar
deviasi, nilai maksimum dan nilai minimum.
b. Uji Normalitas Data
Uji normalitas data dilakukan terhadap semua data dengan skala
interval dan rasio dengan uji statistik Kolmogorov-Smirnov. Bila hasil yang
didapatkan tidak signifikan, nilai p > 0,05, maka data dikatakan berdistribusi
normal.
c. Analisis Bivariat
Tujuan analisis bivariat dalam penelitian ini adalah mengetahui adanya
hubungan negatif antara pajanan debu kayu dan kadar IFN-γ serum pada
pekerja Perusahaan X, Badung, Bali. Untuk mencari kemaknaan variabel
bebas dan terikat dilakukan analisis korelasi Pearson (bila x dan y normal)
atau Spearman (bila x dan y tidak normal) dengan tingkat kemaknaan α <0,05
yang menyatakan ada hubungan dan α ≥ 0,05 yang menyatakan tidak ada
hubungan.
Untuk mengetahui adanya perbedaan rerata pajanan debu kayu dan
rerata kadar IFN-γ serum antar kelompok (lebih dari dua kelompok), maka
dilakukan uji one-way Anova dengan tingkat kemaknaan α
menyatakan ada perbedaan dan
α
<0,05 yang
≥ 0,05 yang menyatakan tidak ada
perbedaan.
d. Analisis Multivariat
Untuk mengendalikan variabel perancu (umur, status gizi, kebiasaan
merokok dan penggunaan APD) terhadap hubungan pajanan debu kayu
dengan IFN-γ serum pekerja Perusahaan X, Badung, dilakukan dengan cara
analisis korelasi berganda.
BAB V
HASIL PENELITIAN
Variabel yang diperiksa pada penelitian ini adalah pajanan debu kayu,
IFN-γ serum, usia, status nutrisi, kebiasaan merokok dan penggunaan Alat
Pelindung Diri (APD). Sebelum melakukan analisis data maka dilakukan uji
Kolmogorov - Smirnov (KS) untuk mengetahui distribusi data, apakah data
mempunyai distribusi normal atau tidak normal. Variabel penelitian yang
berdistribusi normal akan disajikan dalam bentuk nilai rata - rata {mean ±
simpang baku (SB)}, dan bila variabel tidak berdistribusi normal maka akan
disajikan dalam nilai median, nilai minimal dan nilai maksimal. Variabel
penelitian yang mempunyai distribusi normal akan dilakukan uji statistik
parametrik dan data yang tidak mempunyai distribusi normal akan dilakukan uji
statistik non parametrik.
5.1 Karakteristik subjek penelitian
Penelitian ini mengikutsertakan 60 subjek penelitian, yang terdiri dari 32
orang laki-laki (53,3%) dan 28 orang perempuan (46,7%). Subjek penelitian
mempunyai rentang usia 30-56 tahun, lama bekerja 10-28 tahun, berat badan 4383 kg, tinggi badan 1,48-1,83 meter, status nutrisi (IMT 17,1-28,8 kg/m2), pajanan
debu kayu 34,5-190,1 mg/m3/tahun dan kadar IFN-γ serum 3,93-21,05 pg/ml.
Dari total 60 pekerja yang digunakan sebagai subjek penelitian, didapatkan bahwa
30% pekerja memiliki kebiasaan merokok, rerata lama merokok 19,3 tahun dan
rerata jumlah rokok 11,9 packyear.
Sebelum dilakukan uji statistik untuk mengetahui hubungan antara pajanan
debu kayu dan IFN-γ serum, maka dilakukan uji normalitas dengan tes
Kolmogorov - Smirnov (KS). Dari uji normalitas didapatkan sebaran data umur,
status nutrisi, kebiasaan merokok dan pajanan debu kayu berdistribusi normal
namun sebaran data penggunaan APD dan kadar IFN-γ serum tidak berdistribusi
normal. Setelah dilakukan transformasi data terhadap penggunaan APD dan kadar
IFN-γ serum terlihat bahwa data penggunaan APD tetap tidak normal sedangkan
sebaran data IFN-γ serum kemudian berdistribusi normal (Tabel 5.1.).
Tabel 5.1. Karakteristik subjek penelitian (n=60)
Variabel
Rerata± SD
Uji K-S
Usia (tahun)
40,6±5,92
p = 0,51
Masa kerja (tahun)
15,7±4,46
p = 0,05
Berat badan (kg)
60,0±9,38
p = 0,56
Tinggi badan (m)
1,66±0,08
p = 0,93
Indeks massa tubuh (kg/m2)
21,8±2,48
p = 0,62
Lama merokok (tahun)
19,3±6,56
p = 0,96
Jumlah rokok (packyear)
11,9±5,52
p = 0,86
Pajanan debu kayu (mg/m3/th)
81,7±38,72
p = 0,10
Interferon gama serum (pg/ml)
6,7±2,45
p = 0,05*
Keterangan : *distribusi data normal setelah dilakukan transformasi data
Sampel dikelompokan berdasarkan bagian tempatnya bekerja yaitu
penggergajian, perakitan, pengamplasan dan administrasi. Pemilihan sampel
dalam penelitian ini adalah cluster purposif random sampling sehingga
didapatkan masing-masing 15 sampel pada tiap bagian.
Tabel 5.2.
Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin dan bagian tempat bekerja
Jenis Kelamin, n (%)
Bagian
Total (n)
Laki
Perempuan
Penggergajian
8 (25,0)
7 (25,0)
15
Perakitan
14 (43,8)
1 (3,6)
15
Pengamplasan
2 (6,2)
13 (46,4)
15
Administrasi
8 (25,0)
7 (25,0)
15
32 (100)
28 (100)
60
Total
Tabel 5.2. di atas menunjukkan bahwa hampir semua pekerja dengan jenis
kelamin laki-laki berada pada bagian perakitan sedangkan sebagian besar pekerja
di bagian pengamplasan berjenis kelamin perempuan. Proporsi pekerja
berdasarkan jenis kelamin yang relatif berimbang terlihat pada bagian
penggergajian dan administrasi.
Pada Tabel 5.3. di bawah terlihat bahwa 60% pekerja dengan status gizi
normal dan gambaran dominasi itu terdapat pada semua bagian. Urutan kedua
terbanyak adalah pekerja dengan berat badan berlebih (31,7%). Hanya ada 5
pekerja dengan status gizi kurang yaitu 3 orang pada bagian perakitan dan 2 orang
pada bagian administrasi.
Tabel 5.3. Distribusi frekuensi berdasarkan status gizi dan bagian tempat bekerja
Status Gizi, n (%)
Bagian
Total (n)
Kurang
Normal
BB lebih
Penggergajian
0 (0,0)
10 (27,8)
5 (26,3)
15
Perakitan
3 (60,0)
8 (22,2)
4 (21,1)
15
Pengamplasan
0 (0,0)
8 (22,2)
7 (36,8)
15
Administrasi
2 (40,0)
10 (27,8)
3 (15,8)
15
5 (100)
36 (100)
19 (100)
60
Total
Tabel 5.4.
Distribusi frekuensi berdasarkan kebiasaan merokok dan bagian tempat bekerja
Merokok, n (%)
Bagian
Total (n)
Ya
Tidak
Penggergajian
7 (38,9)
8 (19,0)
15
Perakitan
6 (33,3)
9 (21,4)
15
Pengamplasan
0 (0,0)
15 (35,8)
15
Administrasi
5 (27,8)
10 (23,8)
15
18 (100)
42 (100)
60
Total
Pada Tabel 5.4. di atas terlihat bahwa secara keseluruhan terdapat 30%
pekerja merokok. Proporsi pekerja perokok hampir sama pada bagian
penggergajian, perakitan dan administrasi. Tidak ada pekerja yang merokok pada
bagian pengamplasan.
Tabel 5.5. di bawah menunjukkan bahwa 66,7% pekerja selalu
menggunakan APD pada waktu bekerja. Gambaran ini terlihat pada bagian
penggergajian, perakitan dan pengamplasan. Tingkat penggunaan APD terendah
terdapat pada bagian administrasi dan pada bagian ini juga terdapat 3 pekerja yang
tidak pernah menggunakan APD.
Tabel 5.5.
Distribusi frekuensi berdasarkan penggunaan APD dan bagian tempat bekerja
Penggunaan APD (n)
Bagian
Total (n)
Tidak
Jarang
Sering
Selalu
pernah
Penggergajian
0
4
1
10
15
Perakitan
0
1
1
13
15
Pengamplasan
0
2
2
11
15
Administrasi
3
3
3
6
15
3
10
7
40
60
Total
Ringkasnya didapatkan bahwa sebagian besar subjek penelitian berjenis
kelamin laki-laki (53,3%) dan bekerja pada bagian perakitan. Untuk status gizi,
terlihat bahwa 60% subjek penelitian dengan status gizi normal, 31,7% pekerja
dengan berat badan berlebih dan 8,3% dengan status gizi kurang. Sepertiga dari
total jumlah pekerja memiliki kebiasaan merokok, dengan proporsi yang hampir
berimbang pada tiap bagian kecuali tidak ada pekerja pada bagian pengamplasan
yang merokok. Mengenai penggunaan APD, 66,7% pekerja selalu menggunakan
APD bila sedang bekerja, 11,7% pekerja sering, 16,7% pekerja jarang, dan 5%
pekerja tidak pernah menggunakan APD.
Tabel 5.6.
Kadar debu terhirup di Perusahaan X berdasarkan bagian tempat bekerja
Rerata (mg/m3)
SD (mg/m3)
Penggergajian
0,013
0,0081
Perakitan
0,021
0,0064
Pengamplasan
0,029
0,0323
Administrasi
0,011
0,0036
Total
0,019
0,0173
Bagian
Tabel 5.6. di atas menunjukkan bahwa rerata kadar debu terhirup di
Perusahaan X sebesar 0,019 mg/m3. Kadar debu terhirup tertinggi terdapat pada
bagian pengamplasan dan terendah pada bagian administrasi. Untuk mendapatkan
data pajanan debu kayu maka kadar debu terhirup harus dikalikan lama hari kerja
dalam setahun dan berapa tahun pekerja tersebut telah bekerja.
5.2 Korelasi antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum
Oleh karena uji normalitas pajanan debu kayu dan IFN-γ serum ditemukan
distribusi data yang normal, maka dilakukan uji korelasi dengan tes Pearson. Pada
penelitian ini didapat nilai koefisien korelasi antara pajanan debu kayu dengan
kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,324; p = 0,011.
Tabel 5.7. Koefisien korelasi antara pajanan debu kayu dengan IFN-γ serum
Correlations
Pajanan debu kayu
Pajanan debu kayu Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed)
N
60
IFN-γ serum
Pearson Correlation
-,324*
Sig. (2-tailed)
,011
N
60
*.Correlation is significant at the 0,05 level (2-tailed)
IFN-γ serum
-,324*
,011
60
1
60
Observed
Linear
( r ) = -0,324; p = 0,011
Interferon gama serum (pg/ml)
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
50.00
100.00
150.00
200.00
Pajanan Debu Kayu
Gambar 5.1. Diagram korelasi antara pajanan debu kayu dengan IFN-γ serum
5.3 Korelasi antara umur dan IFN-γ serum
Oleh karena uji normalitas umur dan IFN-γ serum ditemukan distribusi
data yang normal, maka dilakukan uji korelasi dengan tes Pearson. Pada penelitian
ini didapat nilai koefisien korelasi antara umur dengan kadar IFN-γ serum adalah
(r) = -0,096; p = 0,468.
Tabel 5.8. Koefisien korelasi antara umur dengan IFN-γ serum
Correlations
Umur
1
Umur
IFN-γ serum
-,096*
,468
60
1
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
60
IFN-γ serum Pearson Correlation
-,096*
Sig. (2-tailed)
,468
N
60
*.Correlation is significant at the 0,05 level (2-tailed)
60
( r ) = -0,096; p = 0,468
20.00
Interferon gama serum (pg/ml)
Observed
Linear
15.00
10.00
5.00
30
35
40
45
50
55
60
Umur (tahun)
Gambar 5.2. Diagram korelasi antara umur dengan IFN-γ serum
5.4 Korelasi antara status nutrisi dengan IFN-γ serum
Oleh karena uji normalitas status nutrisi (IMT) dan IFN-γ serum ditemukan
distribusi data yang normal, maka dilakukan uji korelasi dengan tes Pearson. Pada
penelitian ini didapat nilai koefisien korelasi antara status nutrisi dengan kadar
IFN-γ serum adalah (r) = -0,031; p = 0,814.
Tabel 5.9. Koefisien korelasi antara status nutrisi dengan IFN-γ serum
Correlations
Status nutrisi
IFN-γ serum
Status nutrisi Pearson Correlation
1
-,031*
Sig. (2-tailed)
,814
N
60
60
IFN-γ serum Pearson Correlation
-,031*
1
Sig. (2-tailed)
,814
N
60
60
*.Correlation is significant at the 0,05 level (2-tailed)
( r ) = -0,031; p = 0,814
20.00
Interferon gama serum (pg/ml)
Observed
Linear
15.00
10.00
5.00
17.50
20.00
22.50
25.00
27.50
30.00
IMT (Kg/m2)
Gambar 5.3. Diagram korelasi antara status nutrisi dengan IFN-γ serum
5.5 Korelasi antara kebiasaan merokok dengan IFN-γ serum
Oleh karena uji normalitas kebiasaan merokok dan IFN-γ serum
ditemukan distribusi data yang normal, maka dilakukan uji korelasi dengan tes
Pearson. Pada penelitian ini didapat nilai koefisien korelasi antara kebiasaan
merokok dengan kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,263; p = 0,291.
Tabel 5.10. Koefisien korelasi antara kebiasaan merokok dengan IFN-γ serum
Correlations
Merokok
1
Merokok
IFN-γ serum
-,263*
,291
60
1
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
60
IFN-γ serum Pearson Correlation
-,263*
Sig. (2-tailed)
,291
N
60
*.Correlation is significant at the 0,05 level (2-tailed)
60
( r ) = -0,263; p = 0,291
20.00
Interferon gama serum (pg/ml)
Observed
Linear
15.00
10.00
5.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
Merokok (packyear)
Gambar 5.4. Diagram korelasi antara kebiasaan merokok dengan IFN-γ serum
5.6 Korelasi antara penggunaan APD dengan IFN-γ serum
Oleh karena penggunaan APD merupakan data ordinal dan IFN-γ serum
adalah data numerik, maka analisis uji korelasi yang tepat adalah dengan tes
Spearman. Pada penelitian ini didapat nilai koefisien korelasi antara penggunaan
APD dengan kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,091; p = 0,487.
Tabel 5.11. Koefisien korelasi antara penggunaaan APD dengan IFN-γ serum
Correlations
APD
Spearman’s rho APD
Correlation Coef.
Sig.
N
Correlation Coef.
Sig
N
IFN-γ serum
.
1.000
.
60
-.091**
0,487
60
IFN-γ serum
- .091**
0,487
60
1.000
60
** correlation is significant at the 0,01 level.
( r ) = -0,091; p = 0,487
20.00
Interferon gama serum (pg/ml)
Observed
Linear
15.00
10.00
5.00
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
Penggunaan APD
Gambar 5.5. Diagram korelasi antara penggunaan APD dengan IFN-γ serum
5.7 Analisis one-way Anova pajanan debu kayu pada keempat bagian di
Perusahaan X
Untuk mengetahui adanya perbedaan pajanan debu kayu antara pekerja pada
masing-masing bagian di Perusahaan X, maka dilakukan analisis one-way Anova.
Bagian
tersebut
meliputi
penggergajian,
perakitan,
pengamplasan,
dan
administrasi. Syarat dilakukannya analisis one-way Anova adalah distribusi data
pada tiap bagian harus normal dan varians data juga harus sama.
Tabel 5.12. Hasil analisis one-way Anova Pajanan debu kayu di Perusahaan X
Bagian
n
Rerata±SD (mg/m3/th)
p
Penggergajian
15
54,83±15,92
<0,001
Perakitan
15
83,79±22,16
Pengamplasan
15
132,24±32,76
Administrasi
15
55,80±55,80
60
81,87±38,72
Total
Tabel 5.13. Hasil analisis Post-hoc LSD Pajanan debu kayu di Perusahaan X
Bagian vs Bagian
Penggergajian
Perakitan
Pengamplasan
Administrasi
Perakitan
Penggergajian
Pengamplasan
Administrasi
Pengamplasan Penggergajian
Perakitan
Administrasi
Administrasi
Penggergajian
Perakitan
Pengamplasan
IK95%
Perbedaan
rerata
Minimum Maksimum
-28,956
-77,406
-0,969
28.956
-48,450
27,987
77,406
48,450
76,437
0,969
-27,987
-76,437
-45,6624
-94,1124
-17,6754
12,2496
-65,1564
11,2806
60,6996
31,7436
59,7306
-15,7374
-44,6934
-93,1434
-12,2496
-60,6996
15,7374
45,6624
-31,7436
44,6934
94,1124
65,1564
93,1434
17,6754
-11,2806
-59,7306
p
0,001
<0,001
0,908
0,001
<0,001
0,001
<0,001
<0,001
<0,001
0,908
0,001
<0,001
Pada uji normalitas, data pada semua bagian berdistribusi normal. Pada uji
varians, diperoleh nilai p = 0,057. Karena p > 0,05 maka dapat diambil
kesimpulan bahwa varians data adalah sama. Dari analisis one-way Anova,
diperoleh nilai p < 0,001 yang artinya paling tidak terdapat perbedaan pajanan
debu kayu yang bermakna antara minimal dua bagian tempat bekerja. Pada Tabel
5.12. di atas terlihat bahwa pajanan tertinggi terdapat pada bagian pengamplasan,
diikuti dengan bagian perakitan, administrasi dan penggergajian. Setelah
dilakukan analisis uji one-way Anova yang dilanjutkan dengan post-hoc LSD
(Tabel 5.13.), didapatkan perbedaan pajanan debu kayu yang bermakna antar
bagian bila p < 0,05.
5.8 Analisis one-way Anova IFN-γ serum pada keempat bagian di
Perusahaan X
Untuk mengetahui adanya perbedaan kadar IFN-γ serum antara pekerja pada
masing-masing bagian di Perusahaan X, maka dilakukan analisis one-way Anova.
Bagian
tersebut
meliputi
penggergajian,
perakitan,
pengamplasan
dan
administrasi. Syarat dilakukannya analisis one-way Anova adalah distribusi data
pada tiap bagian harus normal dan varians data juga harus sama. Awalnya
distribusi data IFN-γ serum pada masing-masing bagian tidak normal, kemudian
sebaran data berdistribusi normal setelah dilakukan transformasi data.
Tabel 5.14. Hasil analisis one-way Anova IFN-γ serum di Perusahaan X
Bagian
n
Rerata±SD (pg/ml)
p
Penggergajian
15
6,25±1,64
0,001
Perakitan
15
6,20±1,44
Pengamplasan
15
5,72±0,56
Administrasi
15
8,69±3,80
60
6,72±2,45
Total
Tabel 5.15. Hasil analisis Post-hoc LSD IFN-γ serum di Perusahaan X
Bagian vs Bagian
Penggergajian
Perakitan
Pengamplasan
Administrasi
Perakitan
Penggergajian
Pengamplasan
Administrasi
Pengamplasan Penggergajian
Perakitan
Administrasi
Administrasi
Penggergajian
Perakitan
Pengamplasan
IK95%
Perbedaan
rerata
Minimum Maksimum
0,00142
0,02852
-0,12832
-0,00142
0,02710
-0,12974
-0,02852
-0,02710
-0,15684
0,12832
0,12974
0,15694
-0,0756
-0,0485
-0,2053
-0,0784
-0,0499
-0,2068
-0,1055
-0,1041
-0,2339
0,0513
0,0527
0,0798
0,0784
0,1055
-0,0513
0,0756
0,1041
-0,0527
0,0485
0,0499
-0,0798
0,2053
0,2068
0,2339
p
0,971
0,461
0,002
0,971
0,484
0,001
0,461
0,484
0,000
0,002
0,001
0,000
Pada uji varians, diperoleh nilai p = 0,088. Karena p > 0,05 maka dapat
diambil kesimpulan bahwa varians data adalah sama. Dari analisis one-way
Anova, diperoleh nilai p < 0,001 yang artinya paling tidak terdapat perbedaan
IFN-γ serum yang bermakna antara minimal dua bagian tempat bekerja. Pada
Tabel 5.14. di atas terlihat bahwa IFN-γ serum tertinggi terdapat pada bagian
administrasi, diikuti dengan bagian penggergajian, perakitan dan pengamplasan.
Setelah dilakukan analisis uji one-way Anova yang dilanjutkan dengan post-hoc
LSD (Tabel 5.15.), didapatkan perbedaan IFN-γ serum yang bermakna antara
bagian administrasi dengan tiga bagian lainnya (p < 0,05). Sedangkan tidak
didapatkan perbedaan bermakna kadar IFN-γ serum antara bagian penggergajian,
perakitan dan pengamplasan.
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik subjek penelitian
Industri pengolahan kayu perusahaan X memiliki lebih dari seratus pekerja
yang terbagi dalam 7 bagian utama yaitu penggergajian, penyimpanan, perakitan,
pengeringan, pengamplasan, finishing dan administrasi. Penelitian ini dilakukan
hanya pada tiga bagian utama yang memang terpajan oleh debu kayu yaitu bagian
penggergajian, perakitan dan pengamplasan serta bagian administrasi yang relatif
tidak terpajan debu kayu. Penelitian ini mengikutsertakan 60 subjek penelitian.
Sebagian besar pekerja berjenis kelamin laki-laki (53,3%) dan bekerja pada
bagian perakitan. Bagian pengamplasan didominasi oleh pekerja wanita
sedangkan bagian penggergajian dan administasi memiliki proporsi jenis kelamin
yang relatif seimbang. Subjek penelitian mempunyai rentang usia 30-56 tahun dan
lama bekerja 10-28 tahun. Khumaidah (2009) melaporkan bahwa pekerja
pengolahan kayu biasanya berumur 20-40 tahun dimana 75% di antaranya
berumur 30-40 tahun. Sebanyak 86,4% dilaporkan sudah bekerja selama 5-10
tahun. Triatmo dkk. (2006) melaporkan 54,5% pekerja mebel di Jepara berumur
11-20 tahun dan rerata masa kerja 10,8 tahun. Syahriany (2002) menyatakan
bahwa terdapat bahaya kadar debu yang melewati NAB (> 3 mg/m3) terhadap
gangguan paru bagi pekerja industri pembuatan tablet yang bekerja selama 8
jam/hari atau 40 jam/minggu. Setiap inhalasi 500 partikel/ml, minimal 1 partikel
debu diterima oleh alveoli.
Status gizi secara umum mempengaruhi tingkat imunitas seseorang baik
seluler maupun humoral. Penelitian ini menunjukkan bahwa 60% subjek
penelitian dengan status gizi normal, 31,7% pekerja dengan berat badan berlebih
dan 8,3% dengan status gizi kurang. Hal ini sejalan dengan penelitian Khumaidah
(2009) yang melaporkan bahwa 81,8% pekerja di bagian amplas industri
pengolahan kayu di Jepara memiliki status gizi baik. Sedangkan penelitian lain
melaporkan rerata IMT pekerja industri mebel di Jepara yaitu 23,2 kg/m2 dan
60% pekerja memiliki status gizi baik (Triatmo dkk., 2006)
Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi baik jalan
nafas maupun parenkim paru. Perubahan jalan nafas besar berupa hipertrofi dan
hiperplasia kelenjar mukus. Perubahan struktur jalan nafas kecil bervariasi dari
inflamasi ringan sampai penyempitan dan obstruksi jalan nafas karena proses
inflamasi, hiperplasi sel goblet dan penumpukan sekret intraluminer (Antarudin,
2000). Penelitian ini menunjukkan bahwa 30% pekerja merokok dan sebagian
besar berjenis kelamin laki-laki. Proporsi ini lebih tinggi dari penelitian
Khumaidah (2009) yang menunjukkan bahwa hanya 11,4% pekerja merokok,
sedangkan Triatmo dkk. (2006)
melaporkan 80% pekerja tidak merokok.
Antarudin (2000) melaporkan tidak dijumpai satupun pekerja perempuan yang
merokok mungkin karena di area penelitiannya, Aceh, masih tabu melihat
perempuan yang merokok. Walaupun asap rokok merupakan penyebab penyakit
saluran nafas kronis terbanyak, bronkitis kronis dan emfisema juga dijumpai pada
5-6% usia lanjut yang tidak pernah merokok di Amerika serikat. Hal ini karena
timbulnya penyakit saluran nafas kronik selain disebabkan oleh rokok, juga oleh
polusi udara, terpapar lingkungan berasap dan faktor genetik (Antarudin, 2000).
Work Safe Western Australia (2000) menyatakan pengendalian debu
dengan memakai APD seperti masker, baju kerja dan sarung tangan sangat
penting untuk meningkatkan produktivitas kerja dan sekaligus melindungi pekerja
terpajan dengan debu. Lembaga pemerintah seperti Badan POM, Departemen
Kesehatan dan Departemen Tenaga Kerja harus secara aktif dan benar-benar
melakukan pemantauan terhadap lingkungan kerja, pengusaha dan para pekerja.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan kesehatan rutin dan
pencatatan keadaan lingkungan kerja serta membuat laporan hasil evaluasi yang
benar kepada perusahaan sehingga perusahaan mengetahui kekurangannya dan
dapat memperbaikinya. Selain itu penyuluhan tentang kesehatan serta pendidikan
dan latihan juga baik diberikan pada pengusaha dan para karyawan. Hal ini
penting untuk menghindarkan penyakit akibat kerja, menambah wawasan dan
pengetahuan terutama di bidang kesehatan serta meningkatkan keterampilan
dalam melakukan pekerjaan sehari-hari (Syahriany, 2002). Penelitian ini
mendapatkan bahwa tingkat penggunaan APD pada pekerja industri pengolahan
kayu baik yaitu 66,7% pekerja selalu menggunakan APD bila sedang bekerja,
11,7% pekerja sering, 16,7% pekerja jarang, dan 5% pekerja tidak pernah
menggunakan APD. Hal ini bersesuaian dengan penelitian lain dimana 86,4%
pekerja pengamplasan dan 76,4% pekerja mebel menggunakan APD sewaktu
bekerja (Triatmo dkk., 2006; Khumaidah, 2009).
6.2 Pajanan debu kayu
Nilai ambang batas (NAB) adalah standar faktor-faktor lingkungan kerja
yang dianjurkan ditempat kerja agar tenaga kerja masih dapat menerimanya tanpa
mengakibatkan penyakit gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk
waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Kegunaan NAB ini
sebagai rekomendasi pada praktek higiene perusahaan dalam melakukan
penatalaksanaan lingkungan kerja sebagai upaya untuk mencegah dampaknya
terhadap kesehatan. Untuk debu kayu keras telah ditetapkan oleh Menteri Tenaga
Kerja (1997) dalam surat edaran menteri tenaga kerja tentang NAB debu kayu di
udara lingkungan kerja adalah sebesar 1 mg/m3.
Pada penelitian ini dilakukan pengukuran kadar debu kayu pada keempat
bagian di Perusahaan X. Pengukuran kadar debu terhirup dilakukan dengan alat
Personal Dust Sampler merk SKC Model 224-PCXR-8 yang diletakan setinggi
hidung pekerja di 5 titik pada tiap bagian. Nilai rerata kadar debu terhirup di
Perusahaan X adalah 0,019 mg/m3 masih lebih rendah dari NAB debu kayu di
udara lingkungan kerja yang dipersyaratkan peraturan pemerintah. Selanjutnya
dilakukan analisis one-way Anova dan diperoleh nilai p < 0,001 yang artinya
paling tidak terdapat perbedaan pajanan debu kayu yang bermakna antara minimal
dua bagian tempat bekerja. Pada Tabel 5.12. terlihat bahwa pajanan tertinggi
terdapat pada bagian pengamplasan, diikuti dengan bagian perakitan, administrasi
dan penggergajian. Setelah dilakukan analisis uji one-way Anova yang
dilanjutkan dengan post-hoc LSD (Tabel 5.13.), didapatkan perbedaan pajanan
debu kayu yang bermakna antar bagian (p < 0,05). Bagian pengamplasan memang
paling banyak menghasilkan debu dengan ukuran kecil dan dapat masuk ke
saluran nafas bawah, sedangkan bagian administrasi yang bekerja dalam kantor
relatif tidak terpajan dengan lingkungan debu kayu (Yulaekah, 2007). Penelitian
pada pekerja mebel di Jepara menunjukkan kadar debu terhirup juga lebih rendah
dari NAB dengan hasil sebagai berikut, di bagian sending I (13,845 µg/m3),
sending II (11,972 µg/m3), bagian mill II (12,640 µg/m3), dan bagian final
finishing (11,316 µg/m3) (Triatmo dkk., 2006).
Kadar debu terhirup di Perusahaan X masih lebih rendah dari NAB
mungkin disebabkan oleh kegiatan pengamplasan yang menghasilkan debu
dengan ukuran lebih kecil terletak tidak pada setiap bagian produksi (Triatmo
dkk.,
2006).
Berdasarkan
observasi
peneliti,
beberapa
bagian
seperti
penggergajian dan perakitan tidak ditutupi oleh dinding yang mengelilingi bagian
produksi sehingga memungkinkan perubahan arah angin yang membawa debu
yang berterbangan sehingga tidak tertangkap oleh alat Personal Dust Sampler.
Adanya pengaruh cara debu itu dihasilkan, kelembaban udara, kecepatan angin
dan faktor-faktor fisika lain yang tidak diperhitungkan pada penelitian ini
mungkin dapat mempengaruhi rendahnya kadar pajanan debu kayu (Lange, 2008).
Hal ini merupakan kelemahan penelitian dan dapat digunakan sebagai bahan
untuk penelitian yang akan datang.
Kayu yang biasa digunakan oleh Perusahaan X dalam produksinya adalah
kayu Merbau dan Bangkirai. Kedua kayu ini termasuk ke dalam jenis kayu keras
(hardwoods). Kayu ini memiliki tekstur kayu yang kasar dan merata, dengan arah
serat yang kebanyakan lurus. Kayu yang telah diolah memiliki permukaan yang
licin dan mengkilap indah. Kayu ini memiliki penyusutan yang sangat rendah,
sehingga tidak mudah menimbulkan cacat apabila dikeringkan, memiliki daya
tahan terhadap jamur pelapuk kayu, rayap kayu kering dan penggerek laut
sehingga sering digunakan dalam pekerjaan konstruksi perairan. Kayu keras jenis
ini terutama dimanfaatkan dalam konstruksi berat seperti balok-balok, tiang dan
bantalan, bangunan rumah maupun jembatan.
Tabel 6.1. Perbedaan karakteristik kayu keras dan kayu lunak (Lange, 2008)
Karakteristik
Kayu Keras
Kayu Lunak
Panjang (1,4-4,4mm)
Pendek (0,2-2,4mm)
Tipe sel
1 jenis (trakeid)
bervariasi
Selulose
~40-50%
~40-50%
Polipose
~15-30%
~25-35%
Lignin
~25-35%
~20-30%
Komponen ekstrak
~10%
1-10%
Non-polar
Tinggi
Rendah
Polar
Rendah
Tinggi
Fiber
Kayu keras dan kayu lunak memiliki perbedaan karakterisitik bahan yang
terkandung di dalamnya seperti yang terlihat pada Tabel 6.1. Semua komponen
bahan tersebut mampu menimbulkan reaksi di dalam tubuh. Secara umum jenis
kayu keras lebih berpotensi menimbulkan kelainan ireversibel pada paru berupa
fibrosis paru dibandingkan dengan kayu lunak. Beberapa jenis kayu dapat
menimbulkan reaksi inflamasi yang kemudian berakibat pada pembentukan
jaringan fibrosis. Mekanisme inflamasi yang diinduksi oleh debu kayu ini coba
dipelajari pada media kultur sel. Kayu beech, oak, birch, teak, pine dan spruce
mampu menginduksi reaksi inflamasi yang berakibat cedera sel dan fibrosis. Kayu
pine dan birch juga mampu menginduksi pembentukan ROS oleh sel makrofag,
yang selanjutnya berujung pada kematian sel dan fibrosis. Berbeda dengan pine
dan birch, kayu beech tidak menginduksi peningkatan produksi ROS (Maatta
dkk., 2006).
6.3 Interferon gama serum
IFN merupakan suatu protein yang disekresikan oleh sel akibat dari
berbagai macam stimuli (Petska dkk., 2004; Schroder dkk., 2004; Platanias,
2005). Interferon gama adalah sitokin pro-inflamasi yang disekresikan oleh sel
Th1 CD-4 yang berefek langsung terhadap sintesis kolagen, menghambat
kolagenase dan menghambat TGF-β. IFN-γ juga memiliki peran perbaikan
jaringan dan remodeling (Borg & Isenberg, 2007; Bouros & Tzouvelekis, 2009).
Ketika terjadi cedera epitel, mikrovaskuler akan rusak sehingga komposisi plasma
seperti fibronektin dan komponen koagulasi lain akan berusaha untuk
menyediakan matriks ekstraseluler demi keberlangsungan perbaikan jaringan
(Fernandez, 2006; Barnes, 2008). Dalam hal pembentukan jaringan fibrosis pada
paru, IFN-γ memiliki peran sentral. Jaringan fibrosis diakibatkan oleh aktivitas
proliferasi fibroblast dan pembentukan kolagen serta matriks jaringan ikat. Sitokin
Th1 IFN-γ bersifat menghambat pembentukan kolagen sedangkan sitokin Th2
bersifat merangsang pembentukan kolagen dan jaringan fibrosis (Maatta dkk.,
2006).
Efek debu kayu yang lama dan berulang berpotensi menimbulkan
kerusakan paru yang reversibel maupun ireversibel seperti fibrosis paru. Pajanan
debu kayu akan menyebabkan ketidakseimbangan Th1 dan Th2, penurunan IFN-γ
dan peningkatan Th2 sehingga mempermudah terjadinya fibrosis paru. Peran IFNγ sebagai terapi dengan meningkatkan kadarnya di dalam serum mungkin dapat
menurunkan proses inflamasi dan fibrosis yang diperantarai oleh sitokin Th2.
Sehingga efek buruk dari debu kayu dapat dicegah (Nathan dkk., 2004).
Interferon-γ serum dapat diukur kadarnya dengan menggunakan metode
ELISA dengan hIFN-γ ELISA high sensitivity. IFN-γ memiliki nilai normal
0,145-168 pg/ml, rerata 10,4 pg/ml dan standar deviasi ± 40 pg/ml. Kadar IFN-γ
dikatakan rendah bila nilainya di bawah rerata normal. Pada penelitian ini, rerata
IFN-γ serum pekerja di Perusahaan X adalah 6,7±2,45 pg/ml. Analisis one-way
Anova memperoleh nilai p < 0,001 yang artinya paling tidak terdapat perbedaan
IFN-γ serum yang bermakna antara minimal dua bagian tempat bekerja. Pada
Tabel 5.14. terlihat bahwa IFN-γ serum tertinggi terdapat pada bagian
administrasi, diikuti dengan bagian penggergajian, perakitan dan pengamplasan.
Setelah dilakukan analisis uji one-way Anova yang dilanjutkan dengan post-hoc
LSD (Tabel 5.15.), didapatkan perbedaan IFN-γ serum yang bermakna antara
bagian administrasi dengan tiga bagian lainnya (p < 0,05) dan tidak didapatkan
perbedaan bermakna kadar IFN-γ serum antara bagian penggergajian, perakitan
dan pengamplasan (p > 0,05).
Kadar IFN-γ secara teori dipengaruhi oleh beberapa kondisi seperti umur,
status gizi, kebiasaan merokok, penyakit tuberkulosis, diabetes, dan keganasan
(Gardner & Murasco, 2002; Modestou dkk., 2010; Zaidi & Merlino, 2011). Umur
tua berkaitan dengan respon produksi IFN-γ yang menurun, terutama responnya
terhadap antigen virus seperti influenza (Gardner & Murasco, 2002). Suatu studi
menunjukkan bahwa kadar IFN-γ dipengaruhi oleh status gizi. Studi tersebut
menyebutkan terjadi peningkatan kadar IFN-γ serum pada populasi anak-anak
yang obes (Facifico dkk., 2006). Kebiasaan merokok memudahkan seseorang
untuk menderita infeksi virus pada saluran nafas. Hal ini disebabkan karena
kemampuan antivirus IFN-γ dihambat oleh komponen asap rokok (Modestou
dkk., 2010).
Peran sentral dari sitokin IFN-γ di dalam patogenesis infeksi tuberkulosis
dibuktikan dengan beberapa studi yang menunjukkan bahwa tikus dengan gen
IFN-γ yang sengaja dihilangkan, manusia dengan kelainan genetik defisiensi
sitokin tipe 1 (IL-12, IL-23 dan IFN-γ) dan individu yang memiliki autoantibodi
terhadap
IFN-γ
sangat
rentan
terhadap
infeksi mikobakteria
termasuk
Mikobakterium tuberkulosis (van Crevel dkk., 2002; North & Jung, 2004; Lin
dkk., 2008). Diabetes merupakan faktor risiko terjadinya penyakit fibrosis paru,
sedangkan kadar IFN-γ pada kondisi ini rendah (Enomoto dkk., 2003). Kondisi
imunodefisiensi pada penderita kanker juga dipengaruhi oleh adanya peran IFN-γ
sebagai antiproliperatif dan proapoptosis. Kondisi keganasan biasanya ditandai
oleh peningkatan aktivitas proinflamasi sitokin IFN-γ (Brandacher dkk., 2006).
6.4 Korelasi antara pajanan debu kayu dan Interferon gama serum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas
pajanan debu kayu dan variabel tergantung IFN-γ serum. Hubungan variabel
perancu seperti umur, status gizi, kebiasaan merokok dan penggunaan APD
dengan variabel tergantung juga ikut dianalisis korelasinya. Hasilnya, variabel
mana yang paling berhubungan dengan IFN-γ serum pekerja pada industri
pengolahan kayu dapat diketahui.
Penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
umur dengan IFN-γ serum. Nilai koefisien korelasi antara umur dengan kadar
IFN-γ
serum adalah (r) = -0,096; p = 0,468. Hal ini bertentangan dengan
penelitian Syahriany (2002) yaitu semakin bertambahnya umur seseorang,
kemampuan fungsi paru seperti volume ekspirasi paksa 1 menit (VEP1) berada
dalam besaran sistomatik yakni 1-1,5 liter dan kualitas paru dapat memburuk
dengan cepat.
Status gizi pada penelitian ini menggunakan IMT sebagai variabel numerik
sehingga dapat dikorelasikan dengan kadar IFN-γ serum. Nilai koefisien korelasi
antara status nutrisi dengan kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,031; p = 0,814.
Artinya, tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara status gizi dan IFN-γ
serum. Secara tidak langsung hal ini sejalan dengan penelitian Triatmo dkk.
(2006) bahwa pekerja dengan gizi baik maupun kurang baik pada saat penelitian
di PT AJP mempunyai risiko sama untuk terjadinya gangguan fungsi paru.
Asap rokok dapat menimbulkan kelainan atau penyakit pada berbagai
organ tubuh. Penelitian ini mendapatkan 30% pekerja dengan kebiasaaan merokok
dengan rerata lama merokok 19,3 tahun dan jumlah rokok 11,9 packyear. Pada uji
korelasi dengan uji Pearson untuk menilai hubungan antara merokok dengan IFNγ serum didapatkan nilai koefisien korelasi antara kebiasaan merokok dengan
kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,263; p = 0,291 yang artinya tidak didapatkan
hubungan bermakna. Antarudin (2000) melaporkan dalam suatu penelitian pada
pekerja kilang padi bahwa faal paru pekerja yang merokok lebih buruk daripada
pekerja yang tidak merokok. Jumlah rokok dalam penelitian tersebut dibedakan
menjadi tidak merokok, merokok < 20, 20-40 dan merokok > 40 packyear.
Kesimpulannya adalah makin banyak terpajan rokok maka makin berat derajat
obstruksinya. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Damayanti dkk. (2007) pada
penelitian pekerja semen yaitu tidak didapatkannya hubungan yang signifikan
antara kebiasaan merokok dan kelainan klinis serta faal fungsi paru. Aviandari
dkk. (2009) juga melakukan penelitian hubungan antara kebiasaan merokok dan
gangguan fungsi paru pada pekerja dermaga di Jakarta. Hasil yang didapatkan
adalah terdapat 60% pekerja perokok yang dikelompokan menjadi perokok
ringan, sedang dan berat. Faktor merokok tidak mempunyai hubungan yang
bermakna dengan gangguan fungsi paru.
Mekanisme asap rokok menimbulkan penyakit pada saluran pernafasan
dapat dilihat pada Gambar 6.1. Iritasi saluran napas oleh asap rokok dan bahan
toksik lain akan menimbulkan reaksi inflamasi saluran napas sehingga terjadi
deposit sel radang neutrofil maupun makrofag di tempat tersebut. Neutrofil akan
mengeluarkan elastase yang berlebihan mengakibatkan metaplasia sel epitel
sekretori dan hipertrofi kelenjar mukus. Elastase netrofil menghambat mucociliary
clearance. Asap rokok mampu menganggu pembersihan silier dan menyebabkan
retensi mukus dan toksin (Haris dkk., 2012). Walaupun tidak didapatkan
hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dan IFN-γ serum pada
pekerja di Perusahaan X, tidak berarti pekerja diperkenankan merokok karena
banyak efek buruk asap rokok yang secara teori memudahkan terjadinya
gangguan paru pekerja.
Gambar 6.1. Mekanisme asap rokok menimbulkan penyakit pada saluran nafas
(Haris dkk., 2012)
Pemakaian masker oleh pekerja industri yang udaranya banyak
mengandung debu merupakan upaya untuk mengurangi masuknya partikel debu
ke dalam saluran pernafasan. Penggunaan masker dapat melindungi pekerja dari
kemungkinan terjadinya gangguan pernafasan akibat terpajan udara dengan kadar
debu yang tinggi. Kebiasaan menggunakan masker yang baik merupakan cara
aman bagi pekerja yang berada di lingkungan kerja berdebu untuk melindungi
kesehatan (Khumaidah, 2009). Penelitian ini menunjukkan nilai koefisien korelasi
antara penggunaan APD dengan kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,091; p =
0,487, artinya bahwa tidak terdapat hubungan antara penggunaan APD dengan
IFN-γ serum. Damayanti dkk. (2007) melaporkan hasil serupa dimana tidak
didapatkan hubungan kebiasaan menggunakan masker dengan gambaran klinis
dan kelainan foto toraks akibat pajanan debu semen. Masker yang digunakan oleh
pekerja tidak terstandar karena terbuat dari bahan kain dan diproduksi oleh
perusahaan sendiri. Kemampuan masker ini tentu belum diketahui dalam
menurunkan pajanan debu kayu. Hal ini yang mungkin menyebabkan tidak
didapatkannya hubungan antara penggunaan APD dan IFN-γ serum.
Penelitian ini menunjukkan hubungan yang bermakna antara pajanan debu
kayu dan IFN-γ serum. Nilai koefisien korelasi antara pajanan debu kayu dengan
kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,324; p = 0,011. Variabel pajanan debu kayu
sangat berkaitan dengan konsentrasi debu yang terhisap dan lamanya pajanan
yang tentunya terkait erat dengan lama bekerja. Hal ini sesuai dengan penelitian
Triatmo dkk. (2006) yang dilakukan pada pekerja mebel yang menunjukkan ada
hubungan antara pajanan debu dengan gangguan fungsi paru dengan hasil p =
0,001 dan odd ratio 13,72. Artinya, pekerja yang terpajan debu dengan kadar
diatas NAB memiliki risiko untuk menimbulkan gangguan fungsi paru sebesar
13,7 kali lebih besar dibandingkan dengan pekerja yang terpajan debu dengan
kadar dibawah NAB.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aditama (1993) pada bagian
Pulmonologi Universitas Indonesia tentang situasi beberapa penyakit paru di
masyarakat menyatakan bahwa pada pekerja yang berada di lingkungan dengan
konsentrasi debu yang tinggi dalam waktu yang lama (> 10 tahun) memiliki risiko
lebih tinggi terkena penyakit obstruktif menahun. Masa kerja mempunyai
kecendrungan sebagai faktor risiko terjadinya obstruksi saluran pernafasan pada
pekerja industri yang berdebu sejak mulai mempunyai masa kerja 5 tahun. Masa
kerja menentukan lama pajanan seseorang terhadap faktor risiko yaitu debu kayu.
Semakin lama masa kerja seseorang kemungkinan besar orang tersebut
mempunyai risiko yang besar terkena penyakit paru (Khumaidah, 2009). Hasil
penelitian ini berbeda dengan penelitian Maatta dkk. (2006) yang menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna ekspresi mRNA sitokin Th1 (IFN-γ dan
IL-12) atau sitokin Th2 (IL-4, IL-5 dan IL-13) setelah dilakukan pajanan debu
kayu.
Gangguan fungsi paru yang disebabkan oleh adanya deposit debu dalam
jaringan paru disebut pneumokoniosis. Pneumokoniosis adalah akumulasi debu
dalam jaringan paru dan reaksi jaringan paru terhadap adanya akumulasi debu
tersebut. Bila pengerasan alveoli telah mencapai 10% akan terjadi penurunan
elastisitas paru yang menyebabkan kapasitas vital paru akan menurun dan dapat
mengakibatkan berkurangnya suplai oksigen ke dalam jaringan otak, jantung dan
bagian-bagian tubuh lainnya (Khumaidah, 2009).
Gangguan fungsi paru merupakan akibat yang paling ditakutkan dari
masalah penyakit akibat kerja di lingkungan kerja yang berdebu. Akibat debu
yang masuk dalam jaringan alveoli sangat tergantung dari solubilitas dan
reaktivitasnya. Tingginya reaktivitas suatu substansi yang dapat mencapai alveoli
dapat menyebabkan reaksi inflamasi yang akut dan edema paru. Pada reaksi
subakut dan kronis ditandai dengan pembentukan granuloma dan fibrosis
interstisial. Hampir semua debu yang mencapai alveoli akan diikat oleh makrofag,
dikeluarkan bersama sputum atau ditelan dan mencapai interstisial. Mekanisme
clearance alveoli sangat efisien dan efektif dalam mengeliminasi debu (Lange,
2008).
Debu yang masuk saluran nafas menyebabkan timbulnya reaksi
mekanisme pertahanan non-spesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport
mukosilier dan fagositosis oleh makrofag. Otot polos di sekitar jalan nafas dapat
terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini biasanya terjadi bila
kadar debu melebihi nilai ambang batas. Partikel debu yang masuk ke dalam
alveoli akan fokus dan berkumpul di bagian awal saluran limfe paru. Debu ini
akan difagositosis oleh makrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap makrofag
seperti silika bebas merangsang terbentuknya makrofag baru. Makrofag baru
menfagositosis silika bebas tadi sehingga terjadi autolisis, dan keadaan ini terjadi
berulang-ulang. Pembentukan dan destruksi makrofag yang terus menerus penting
pada pembentukan jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan
ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru yaitu pada dinding alveoli
dan jaringan interstiil. Akibat fibrosis paru akan menjadi kaku dan menimbulkan
gangguan pengembangan paru yaitu kelainan fungsi paru yang restriktif
(Khumaidah, 2009).
Untuk menghindarkan terjadinya gangguan fungsi paru, maka dalam
perusahaan perlu menerapkan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
yang meliputi ventilasi penyedotan, ventilasi umum, APD, pemeriksaan kesehatan
pra-karya, pemeriksaan kesehatan berkala dan pendidikan kesehatan. Penggunaan
ventilasi dan alat pengumpul debu yang tidak memadai, pemeriksaan yang tidak
teratur, dan pengaturan ventilasi yang kurang baik merupakan penyebab
timbulnya gangguan paru pekerja (Syahriany, 2002).
Alat pengumpul debu yang sudah lama dan pengawasan yang kurang baik
menyebabkan debu tidak terserap dengan baik. Debu yang timbul pada proses
produksi adalah debu halus yang dapat mengendap karena adanya gaya gravitasi
bumi dan menggumpal sehingga dapat menempel satu sama lainnya. Debu yang
berterbangan harus dilakukan penyedotan dengan dust collector. Dengan alat ini
udara disaring terlebih dahulu sebelum dialirkan kembali ke dalam ruangan yang
sama dengan menggunakan saringan yang berefektivitas tinggi. Selanjutnya debu
dialirkan melalui pipa cerobong exhaust fan yang dilengkapi dengan saringan
debu sehingga udara yang dibuang ke lingkungan sekitar pabrik diharapkan sudah
bersih dari debu (Syahriany, 2002). Berdasarkan observasi peneliti di lingkungan
sekitar industri pengolahan kayu Perusahaan X, nampak bahwa proses pengolahan
limbah debu tidak efektif karena dust collector hanya ada satu dan letaknya di
tengah perusahaan, tidak di setiap bagian produksi. Selain itu, penggunaan masker
yang tidak standar memungkinkan debu terhirup dapat menembus masuk ke
dalam saluran nafas sehingga menimbulkan kelainan di paru. Hal ini tentunya
menyebabkan pajanan debu kayu menjadi lebih tinggi terhadap pekerja setiap
harinya. Hal yang terpenting adalah manajemen K3 yang harus dilaksanakan oleh
pihak pemerintah dan perusahaan secara berkesinambungan untuk mencegah
timbulnya penyakit akibat kerja.
Beberapa kelemahan yang ada pada penelitian ini antara lain tidak
dilakukan pengambilan data pendidikan subjek penelitian dan kemungkinan
adanya reporting bias dari subjek penelitian. Penelitian ini menunjukkan tidak
adanya hubungan antara penggunaan APD dan kadar IFN-γ serum. Seperti kita
ketahui, penggunaan APD dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan subjek
penelitian. Tingkat pendidikan yang rendah berkaitan dengan penggunaan APD
yang rendah pula (Antarudin, 2000). Data pendidikan menjadi penting untuk
dicari dan dianalisis hubungannya dengan penggunaan APD pada penelitian ini.
Beberapa keadaan dan penyakit dapat mempengaruhi kadar IFN-γ serum
pekerja seperti yang telah tercantum pada kriteria eksklusi. Semua keadaan atau
penyakit tersebut hanya disingkirkan menggunakan anamnesis sehingga ada
kemungkinan subjek penelitian tidak memberikan keterangan yang sebenarnya.
Begitu juga dengan data penggunaan APD yang didasarkan pada pengakuan
pekerja. Hal ini disebut dengan reporting bias, sesuatu yang relatif sulit dikontrol
oleh peneliti dan menjadi salah satu kelemahan penelitian.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7. 1 Simpulan
Dari data hasil penelitian ini maka dapat diambil simpulan yaitu terdapat
hubungan negatif yang bermakna antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum
pekerja di Industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali.
7.2 Saran
Penelitian ini membuktikan bahwa telah terjadi gangguan dalam tubuh
berupa penurunan kadar IFN-γ serum yang berkaitan dengan peningkatan pajanan
debu kayu. Oleh karena itu, usaha pencegahan untuk menurunkan pajanan debu
kayu terhadap pekerja seperti modifikasi aspek ergonomi, penggunaan APD yang
terstandar dan program berhenti merokok tetap penting untuk dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, T.Y. 1993. Situasi beberapa penyakit paru di masyarakat. CDK; 84: 2830.
American Thoracic Society. 1996. Respiratory Protection Guidelines. Am J Respir
Crit Care Med; 154: 1153-1165.
Antarudin. 2000. “Pengaruh debu padi pada faal paru pekerja kilang padi yang
merokok dan tidak merokok” (tesis). Medan: Universitas Sumatra Utara.
Aviandari, G., Budiningsih, S., Ikhsan, M. 2009. Prevalensi gangguan obstruksi
paru dan faktor-faktor yang berhubungan pada pekerja dermaga dan Silo gandum
di PT X Jakarta. J Respir Indones; 29(2): 1-12.
Bajwa, E.K., Ayas, N.T., Schulzer, M., Mak, E., Ryu, J.H., Malhotra, A. 2005.
Interferon-γ1b therapy in Idiopathic pulmonary fibrosis: a metaanalysis. Chest;
128: 203-206.
Baran, S., Teul, I. 2007. Wood dust: an occupational hazard which increases the
risk of respiratory disease. J Physiol Pharmacol; 58: 43-50.
Barnes, P.J. 2008. A blood test for lung fibrosis? PLoS Med; 5: 528-529.
Baumgartner, K.B., Samet, J.M., Coultas, D.B., Stidley, C.A., Hunt, W.C., Colby,
T.V. 2000. Occupational and environmental risk factors for idiopathic pulmonary
fibrosis: a multicenter case-control study. Am J Epidemiol; 152: 307-315.
Bender MedSystems. Human IFN-γ serum ELISA product information and
manual. Viena.
Boehm, U., Klamp, T., Groot, M., Howard, J.C. 1997. Celullar responses to
Interferon gamma. Annu Rev Immunol; 15: 749-795.
Bohadana, A.B., Massin, N., Wild, P., Toamain, J.P., Engel, S., Goutet, P. 2000.
Symptoms, airway responsiveness, and exposure to dust in beech and oak wood
workers. Occup Environ Med; 57(4): 268-273.
Borg, F.A.Y., Isenberg, D.A. 2007. Syndromes and complications of interferon
therapy. Curr Opin Rheumatol; 19: 61–66.
Bouros, D, Tzouvelekis, A. 2009. Interferon-gamma for the treatment of
idiopathic pulmonary fibrosis. Pneumon; 22: 16-17.
Brandacher, G.,Winkler, C.,Schroeeksnadel, K., Margreiter, R., Fuchs, D. 2006.
Antitumoral activity of Interferon-γ involved in impaired immune function in
cancer patients. Curr Drug Met; 7: 599-612.
Brody, A.R., Bonner, J.C., Badgett, A. 1993. Recombinant interferon gamma
reduces PDGF-induced lung fibroblast growth but stimulates PDGF production by
alveolar macrophages in vitro. Chest; 103: 1216-1217.
Cayon, I., Gonzales, L., Garcia, I., Rosas, C., Gassiot, C.,Garcia, E. 2010.
Gamma Interferon and prednisone decreasing-dose therapy in patients with
Idiopathic Pulmonary Fibrosis. Biotecnologia Aplicada; 27: 29-35.
Chen, E.S., Greenlee, B.M., Wills-Karp, M., Moller, D.R. 2001. Attenuation of
lung inflammation and fibrosis in Interferon gamma deficient mice after
intratracheal bleomycin. Am J Respir Cell Mol Biol; 24: 545-555.
Chung, K.F. 2006. Cytokines as Targets in Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. Current Drug Targets; 7: 675-681.
Damayanti, T., Yunus, F., Ikhsan, M., Sutjahyo, K. 2007. Hubungan penggunaan
masker dengan gambaran klinis, faal paru dan foto toraks pekerja terpajan debu
semen. Maj Kedokt Indon; 57(9): 289-299.
Dauber, J.H., Gibson, K.F., Kaminski, N. 2004. Interferon gamma-1b in
idiopathic pulmonary fibrosis. Am J Respir Crit Care Med; 170: 107-108.
Davis, G.S., Pfeiffer, L.M., Hemenway, D.R. 2000. Interferon gamma production
by spesific lung lymphocyte phenotypes in silicosis in mice. Am J Respir Cell Mol
Biol; 22: 491-501.
Depkes RI. 1996. Parameter pencemaran udara dan dampaknya terhadap
kesehatan. Sub proyek analisis dampak kesehatan lingkungan, Proyek kesehatan
lingkungan Bantuan UNDP INS/91/019, Jakarta.
Elias, J.A., Freundlich, B., Kern, J.A., Rosenbloom, J. 1990. Cytokine networks in
the regulation of inflammation and fibrosis in the lung. Chest; 97: 1439-1445.
Enomoto, T., Usuki, J., Azuma, A., Nakagawa, T., Kudoh, S. 2003. Diabetes
mellitus may increase risk for idiopathic pulmonary fibrosis. Chest; 123: 20072011.
Fernandez, O.A. 2006. Serum markers in idiopathic pulmonary fibrosis,
implications for prognosis. Arch Bronconeumol; 42: 377-379.
Fruchter, O. 2004. Interferon Gamma-1b for Pulmonary Fibrosis. N Engl J Med;
350: 1794-1797.
Gardner, E.M., Murasko, D.M. 2002. Age-related changes in type 1 and type 2
cytokine production in humans. Biogerontology; 3: 271-289.
Haris, A., Ikhsan, M., Rogayah, R. 2012. Asap rokok sebagai bahan pencemar
dalam ruangan. CDK; 39(1): 17-24.
Hubbard, R. 2001. Occupational dust exposure and the aetiology of cryptogenic
fibrosing alveolitis. Eur Respir J; 18: 119s-121s.
Huff, J. 2001. Sawmill chemicals and carcinogenesis. Environ Health Perspect;
109: 209-212.
Jacobsen, G., Schaumburg, I., Sigsgaard, T., Schlunssen, V. 2010a. Nonmalignant repiratory diseases and occupational to wood dust. Part I. Fresh wood
and mixed wood industry. Ann Agric Environ Med; 17: 15-28.
Jacobsen, G., Schaumburg, I., Sigsgaard, T., Schlunssen, V. 2010b. Nonmalignant repiratory diseases and occupational to wood dust. Part II. Dry wood
industry. Ann Agric Environ Med; 17: 29-44.
Kauppinen, T., Vincent, R., Liukkonen, T., Grzebyk, M., Kauppinen, A., Welling,
I. 2006. Occupational exposure to inhalable wood dust in the member states of the
European union. Ann Occup Hyg; 50: 549-561.
Khumaidah. 2009. “Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan
fungsi paru pada pekerja mebel PT Kota Jati Furnindo Desa Suwawal Kecamatan
Mlonggo Kabupaten Jepara” (tesis). Semarang: Universitas Diponegoro.
King, T.E., Costabel, U., Cordier, J.F., DoPico, G.A., Du Bois, R.M., Lynch, D.
2000. Idiopathic Pulmonary Fibrosis: Diagnosis and Treatment. ATS Guidelines.
Am J Respir Crit Care Med; 161: 646-664.
Lange, J.B. 2008. “Effects of wood dust: inflammation, genotoxicity and cancer”
(dissertation). Copenhagen: University of Copenhagen.
Lesur, O.J., Mancini, N.M., Humbert, J.C., Chabot, F., Polu, J. 1994. Interleukin6, Interferon-gamma and phospholipid levels in the alveolar lining fluid of human
lungs. Chest; 106: 407-413.
Lin, M.Y., Ottenhoff, T.H.M. 2008. Host-pathogen interactions in latent
mycobacterium tuberculosis infection: identification of new targets for
tuberculosis intervention. Endocrine, Met & Immune Dis-Drug Targets; 8: 15-29.
Maatta, J., Lehto, M., Leino, M., Tillander, S., Haapakoski, R., Majuri, M. 2006.
Mechanisms of Particle-Induced Pulmonary Inflammation in a Mouse Model:
Exposure to Wood Dust. Toxicol Sci; 93: 96-104.
Menteri Tenaga Kerja. 1997. Surat edaran No: SE 01/MEN/1997 tentang nilai
ambang batas faktor kimia di udara lingkungan kerja. Jakarta.
Meo, S.A. 2006. Lung function in Pakistani wood workers. Int J Environ Health
Research; 16: 193-203.
Meyer, K.C. 2003. Interferon gamma-1b therapy for idiopathic pulmonary
fibrosis: is the cart before the horse? Mayo Clin Proc; 78: 1073-1075.
Michaels, L. 1967. Lung changes in woodworkers. Canad Med Ass J; 96: 11501155.
Modestou, A.M., Manzel, L.J., El-Mahdy, S., Look, D.C. 2010. Inhibition of IFNγ-dependent antiviral airway epithelial defense by cigarette smoke. Respiratory
Research; 11: 64-82.
Narayanan, A.S., Whithey, J., Souza, A., Raghu, G. 1992. Effect of interferon
gamma on colagen syntesis by normal and fibrotic human lung fibroblasts. Chest;
101: 1326-1331.
National Health and Medical Research Council. 1997. Passive smoking and adult
respiratory disease: the health effects of passive smoking. viewed 7 January 2014.
Availabe from: URL: http://www.health.gov.au/nhmrc/advice/nhmrc/chap4/
index.htm.
Nathan, S.D., Barnett, S.D., Moran, B., Helman, D.L., Nicholson, K., Ahmad, S.
2004. Interferon gamma-1b as Therapy for Idiopathic Pulmonary Fibrosis.
Respiration; 71: 77-82.
North, R.J., Jung, Y. 2004. Immunity to tuberculosis. Annu Rev Immunol; 22:
599-623.
O’Connor, T.M. 2004. Interferon gamma toxicity in Idiopathic pulmonary
fibrosis. Am J Respir Crit Care Med; 169: 428.
Pacifico, L., Di-Renzo, L., Anania, C., Osborn, J.F., Ippoliti, F., Schiavo, E. 2006.
Increased T-helper interferon-γ secreting cells in obese children. Eur J Endocrin;
154: 691-697.
Pestka, S., Krause, C.D., Walter, M.R. 2004. Interferons, interferon-like
cytokines, and their receptors. Immunol Rev; 202: 8-32.
Platanias, L.C. 2005. Mechanism of type I and type II interferon signalling. Nat
Rev Immunol; 5: 375-386.
Raghu, G., Brown, K.K., Bradford, W.Z., Starko, K., Noble, P.W., Schwartz,
D.A. 2004. A placebo controlled trial of interferon gamma-1b in patients with
idiopathic pulmonary fibrosis. N Engl J Med; 350: 125-133.
Reljic, R. 2007. IFNγ-therapy of tuberculosis and related infections. J Interferon
& Cytokine Research; 27: 353-363.
Schroder, K., Hertzog, P.J., Ravasi, T., Hume, D.A. 2004. Interferon gamma: an
overview of signals, mechanisms and functions. J Leukoc Biol; 75: 163-189.
Segel, M.J., Izbicki, G., Cohen, P.Y., Or, R., Christensen, T.G., Wallach-Dayan,
S.B. 2003. Role of interferon gamma in the evolution of murine bleomycin lung
fibrosis. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol; 285: L1255-L1262.
Sharma, R., Guleria, R., Pande, J.N. 2003. Idiopathic Pulmonary Fibrosis Newer
Concept and Management Strategies. Indian J Chest Dis Allied Sci; 45: 31-49.
Sopiyudin, M. 2010. Besar sampel dan cara pengambilan sampel dalam
penelitian kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. p.76.
Syahriany, Y. 2002. “Hubungan kadar debu dan karakteristik pekerja dengan
gangguan paru pekerja pada unit produksi tablet industri farmasi X” (tesis).
Medan: Universitas Sumatra Utara.
Taskar, V.S., Coultas, D.B. 2006. Is idiopathic pulmonary fibrosis an
environmental disease? Proc Am Thorac Soc; 3: 293-298.
Triatmo, W., Adi, M.S., Hanani, Y. 2006. Paparan debu kayu dan gangguan
fungsi paru pada pekerja mebel. J Kesehat Lingkung Indones; 5: 69-75.
Van-Crevel, R., Ottenhoff T.H.M., van-Der-Meer, J.W.M. 2002. Innate immunity
to mycobacterium tuberculosis. Clin Microbiol Rev; 15(2): 294-309.
Wardhana, A.W. 2001. Dampak pencemaran lingkungan. Yogyakarta: ANDI.
WHO. 1995. IARC Monographs on the Evaluation of Carcinogenic Risks to
Humans: Wood dust and Formaldehyde.
WHO. 2004. Appropiate body-mass index for Asian populations and its
implications for policy and intervention strategies. Lancet; 363: 157-163.
Work Safe Western Australia. 2000. Controlling wood dust hazards at work.
viewed 7 January 2014. Available from: URL: http://www.commerce.wa.gov.au/
worksafe/Content/Safety_Topics/Hazardous_substances/Dust_and_fibres.html
Wynn, T.A. 2004. Fibrotic disease and the Th1/Th2 paradigm. Nat Rev Immunol;
4: 583-594.
Yulaekah, S. 2007. “Paparan debu terhirup dan gangguan fungsi paru pada
pekerja industri batu kapur” (tesis). Semarang: Univeristas Diponegoro.
Yunus, F. 2000. Dampak debu industri pada pekerja. CDK; 128: 5-34.
Zaidi, M.R., Merlino, G. 2011. The two faces of interferon gamma in cancer. Clin
Cancer Res; 17: 6118-6124.
Zhou, L.R., Zhou, J.H., Yang, J.C. 1999. Effects of cytokines induced by mineral
dust on lung fibroblasts in vitro. J Occup Health; 41: 144-148.
Lampiran 1.
PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN
Kami mengharapkan partisipasi Bapak/Ibu/Saudara/i dalam penelitian
ilmiah yang dilaksanakan oleh dr. I Gede Yasa Asmara, dokter residen Penyakit
Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar
Secara keseluruhan sebanyak 60 pasien, termasuk anda, akan berperan
serta. Bacalah informasi ini sebelum Bapak/Ibu/Saudara/i memutuskan apakah
anda akan turut berpartisipasi atau tidak. Janganlah ragu-ragu untuk bertanya bila
ada hal-hal yang belum dimengerti.
Penelitian ilmiah ini dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan antara
pajanan debu kayu dan Interferon gama serum pada pekerja industri pengolahan
kayu di perusahaan tempat Bapak/Ibu/Saudara/i bekerja.
Bila
Bapak/Ibu/Saudara/i ikut serta dalam penelitian ini, maka
Bapak/Ibu/Saudara/i akan menjalani wawancara, pemeriksaan fisik singkat, serta
pemeriksaan laboratorium dengan pengambilan sekitar 1 sendok teh darah dan
prosedur ini akan menimbulkan sedikit rasa sakit pada tempat pengambilan.
Keikutsertaan Bapak/Ibu/Saudara/i dalam penelitian ini adalah sukarela.
Hal ini tidak mempengaruhi hubungan dengan dokter, di mana Bapak/
Ibu/Saudara/i akan mendapatkan pelayanan yang sama baiknya.
Data-data yang dikumpulkan dalam penelitian ini akan disimpan di
komputer tanpa nama Bapak/Ibu/Saudara/i. Hanya dokter yang mengetahui data-
data yang berhubungan dengan Bapak/Ibu/Saudara/i. Hasil penelitian mungkin
akan dipublikasikan di majalah kesehatan tanpa ada identitas Bapak/
Ibu/Saudara/i. Peneliti dan/atau petugas yang ditunjuk dari lembaga pemerintahan
dan/atau karyawan perusahaan tanpa melanggar kerahasiaannya akan menjaga
riwayat kesehatan Bapak/Ibu/Saudara/i.
Penelitian ini hanya dapat dilaksanakan dengan seijin Bapak/Ibu/Saudara/i
dan bahwa dengan menandatangani informasi pasien ini, Bapak/Ibu/Saudara/i
telah mengerti dan memberi ijin tersebut. Selama penelitian berlangsung, saudara
tidak dikenakan biaya dan bila terjadi efek samping pada lokasi suntikan tempat
pengambilan bahan penelitian, hal tersebut menjadi tanggung jawab peneliti.
Apabila timbul pertanyaan mengenai penelitian, harap menghubungi dr. I Gede
Yasa Asmara dengan no telp 08123992275.
Lampiran 2.
FORMULIR PERSETUJUAN TERTULIS
Saya, (nama, huruf cetak) ........................................................................................
Telah membaca keterangan terlampir, dan telah berdiskusi mengenai penelitian ini
dengan dr. (nama, huruf cetak) ...................................................... dan mengerti
hal-hal yang menyangkut penelitian ini.
PEKERJA
Saya bersedia untuk ikut serta dalam penelitian
.............................
tanggal
PENELITI
....................................
tandatangan
Saya telah menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian
ini kepada pasien dengan nama tersebut di atas.
.........................
tanggal
....................................
tandatangan
Lampiran 3.
PROSEDUR PEMERIKSAAN INTERFERON GAMA SERUM
A. Metode:
hIFN-γ Immunoassay
B. Prinsip:
hIFN-γ Immunoassay adalah metode pemeriksaan IFN-γ serum dengan
prinsip competitive binding, menggunakan reagen yang dilapisi dengan
antibodi monoklonal terhadap sisi antigenik dari molekul IFN-γ. IFN-γ dari
serum pasien akan berkompetisi dengan konjugat IFN-γ yang ditambahkan,
untuk terikat pada antibodi monoklonal. Setelah inkubasi, konjugat IFN-γ
yang tidak terikat akan dilakukan pencucian, dilanjutkan dengan inkubasi
kedua dengan streptavidin-HRP dan pencucian kedua. Penambahan larutan
substrat akan menghasilkan warna baru yang akan berhenti setelah proses
inkubasi singkat. Intensitas warna yang terbentuk berhubungan secara
proporsional dengan konsentrasi IFN-γ pada pasien. Kurva standar kemudian
dibuat berdasarkan tujuh dilusi IFN-γ standar dan kadar IFN-γ sampel
kemudian dapat ditentukan.
C. Reagen:
1. Microtiter wells yang dilapisi dengan antibodi anti-IFN-γ monoklonal
2. Biotin-conjugate antibodi anti-IFN-γ monoklonal
3. Streptavidin-HRP
4. IFN-γ standar liofilisat
5. Washing dan Assay buffer konsentrasi 20x
6. Reagen amplifikasi, larutan substrat dan stop solution
D. Prosedur Kerja:
1. Semua reagen dan spesimen harus dibiarkan hingga mencapai temperatur
ruangan sebelum digunakan. Semua reagen harus dicampur tanpa
membentuk busa.
2. Dengan dimulainya pemeriksaan ini, semua langkah-langkah harus
dilengkapi tanpa terputus.
3. Gunakan tabung sekali pakai untuk tiap standar, kontrol dan sampel untuk
mencegah kontaminasi silang.
4. Tambahkan 100µL sample diluent pada tiap standard wells dan 50µL
sample diluent pada sample wells.
5. Tambahkan 50µL biotin conjugate pada semua wells.
6. Inkubasi selama 2 jam pada suhu kamar (18-25°C) atau pada wadah yang
berputar 100 rpm, lalu kosongkan dan cuci wells.
7. Tambahkan 100µL Streptavidin-HRP pada semua wells
8. Inkubasi selama 1 jam pada suhu kamar (18-25°C) atau pada wadah yang
berputar 100 rpm, lalu kosongkan dan cuci wells.
9. Tambahkan 100µL larutan amplifikasi 1 pada semua wells
10. Inkubasi selama 15 menit pada suhu kamar (18-25°C) atau pada wadah
yang berputar 100 rpm, lalu kosongkan dan cuci wells.
11. Tambahkan 100µL larutan amplifikasi 2 pada semua wells
12. Inkubasi selama 30 menit pada suhu kamar (18-25°C) atau pada wadah
yang berputar 100 rpm, lalu kosongkan dan cuci wells.
13. Tambahkan 100µL larutan larutan substrat TMB pada semua wells
14. Inkubasi selama 10 menit pada suhu kamar (18-25°C) atau pada wadah
yang berputar 100 rpm, lalu kosongkan dan cuci wells.
15. Tambahkan 100 uL larutan untuk menghentikan reaksi enzimatik yang
terjadi.
16. Tentukan daya serap dari tiap wells dengan alat pembaca (microtiter plate
reader).
E. Perhitungan Hasil :
Hitung daya serap rata-rata dari standar, kontrol dan sampel dari pasien.
Gunakan kertas grafik semi-logaritma untuk membentuk kurva standar
menggunakan daya serap rata-rata terhadap konsentrasi masing-masing, daya
serap pada sumbu vertikal (Y) dan konsentrasi pada sumbu horizontal (X).
Daya serap rata-rata untuk tiap sampel akan menentukan konsentrasi pada
kurva standar. Untuk menentukan konsentrasi IFN-γ sampel, cari rata-rata
daya serap pada sumbu Y, tarik garis horizontal ke arah kurva standar dan
cari perpotongannya. Selanjutnya tarik garis vertikal dari perpotongan ke
sumbu X dan baca berapa kadar IFN-γ sampel.
Lampiran 4.
FORMULIR PENGUMPULAN DATA
Jawablah pertanyaan dibawah ini atau coretlah yang tidak perlu
No Sampel
:
Nama
:
Jenis kelamin : L / P
Usia
:
Bagian
:
tahun
Tinggi badan :
cm
Berat Badan :
kg
IMT
:
kg/m2
Lama bekerja:
tahun
Merokok
: Ya / Tidak
Jml Rokok
:
packyears
Penggunaan APD: Tidak pernah / Jarang / Sering / Selalu
Nilai IFN-γ
:
pg/ml
Download