TESIS HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN INTERFERON GAMA (IFN-γ) SERUM PADA PEKERJA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU I GEDE YASA ASMARA NIM: 0914048205 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 1 HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN INTERFERON GAMA (IFN-γ) SERUM PADA PEKERJA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana I GEDE YASA ASMARA NIM: 0914048205 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 4 PEBRUARI 2014 Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. dr. Ida Bagus Ngurah Rai, SpP (K) NIP 195311201980121001 dr. I Made Bagiada, SpPD-KP NIP 195601251986011001 Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana, Prof. Dr.dr.Wimpie Pangkahila, Sp.And. FAACS NIP 194612131971071001 Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS (K) NIP 195902151985102001 Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 4 Pebruari 2014 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No.: 0200/UN14.4/HK/2014, Tanggal 27 Januari 2014 Ketua : Prof. DR. dr. Ida Bagus Ngurah Rai, SpP (K) Anggota : 1. dr. I Made Bagiada, SpPD-KP 2. Prof. DR. dr. N. Adiputra, M.OH 3. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, PhD 4. DR. dr. Ida Sri Iswari, SpMK, M.Kes UCAPAN TERIMA KASIH Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya, tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini ijinkanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. DR. dr. Ida Bagus Ngurah Rai, SpP (K), pembimbing utama yang telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada dr. I Made Bagiada, SpPD-KP, pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. DR. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana yang dijabat Prof. DR. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) serta Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Prof. DR. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And. FAACS atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis pula penulis mengucapkan terima kasih pada Prof. DR. dr. Putu Astawa, M.Kes, SpOT (K) Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Magister. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Ida Bagus Suta, SpP; dr. Dewa Made Artika, SpP; dr. Putu Andrika, SpPD-KIC; dr. Gde Ketut Sajinadiyasa, SpPD; dr. IGNB Artana, SpPD, staf Divisi Paru, Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah atas masukan, bimbingan, dorongan, dan bantuannya dalam penyusunan tesis ini. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis, yaitu Prof. DR. dr. N. Adiputra, M.OH; Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, PhD; DR. dr. Ida Sri Iswari, SpMK, M.Kes, yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada CV. Mertanadi, baik kepada Ibu Direktur beserta seluruh jajaran dan karyawannya yang telah memberikan ijin sekaligus kesempatan untuk melakukan penelitian di perusahaan tersebut. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing penulis, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga penulis ucapkan terima kasih kepada Ayah dan Ibu yang telah mengasuh dan membesarkan penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada istri dr. Ni Made Ayu Suria Mariati, SpAn, putri pertama Putu Delinda Asmara dan putri kedua Kadek Delvina Asmara atas segala dukungan moril dan materiil kepada penulis sehingga berhasil menyelesaikan tesis ini dengan baik. Seluruh Keluarga Besar Residen Interna juga disampaikan ucapan terima kasih atas kerjasama yang baik selama ini. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini. Denpasar, Januari 2014 Penulis ABSTRAK HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN INTERFERON GAMA (IFN-γ) SERUM PADA PEKERJA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU Debu merupakan salah satu sumber gangguan kesehatan akibat lingkungan kerja. Pajanan debu kayu telah lama dikaitkan dengan berbagai gangguan paru seperti rinitis alergika, bronkitis kronis, asma kerja, penurunan fungsi paru dan penyakit fibrosis paru. Suatu meta-analisis menunjukkan bahwa pajanan debu kayu memiliki risiko 1,9 kali untuk terjadinya fibrosis paru. Pajanan debu kayu ditandai dengan kelebihan sitokin profibrotik dan penurunan kadar IFN-γ diduga oleh karena debu kayu yang merupakan benda asing dalam tubuh akan mengaktivasi makrofag dan selanjutnya mengganggu keseimbangan antara aktivasi sitokin Th1 dan Th2. Sitokin Th2 akan dirangsang sedangkan sitokin Th1 yaitu IFN-γ akan dihambat. Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali yang dilakukan dari bulan Mei sampai Oktober 2013 untuk mengetahui hubungan antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum. Pajanan debu kayu dihitung dengan mengukur kadar debu terhirup menggunakan Personal Dust Sampler. Kadar IFN-γ serum diukur dengan teknik ELISA. Untuk mengetahui korelasi antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum digunakan uji korelasi Pearson. Untuk mengetahui perbedaan kadar pajanan debu kayu dan kadar IFN-γ serum pada pekerja yang bekerja di bagian yang berbeda digunakan uji one-way Anova. Nilai p < 0,05 dikatakan signifikan. Didapatkan 60 pekerja sebagai sampel yang terbagi sama rata dalam 4 bagian yaitu penggergajian, perakitan, pengamplasan dan administrasi. Rerata usia pekerja 40,6 tahun, masa kerja 15,7 tahun dan IMT 21,8 kg/m2. Sepertiga jumlah pekerja merokok dengan rerata 11,9 packyear dan 66,7% selalu menggunakan alat pelindung diri. Secara umum, rerata pajanan debu kayu di perusahaan X adalah 81,7 mg/m3/tahun dan rerata kadar IFN-γ serum pekerja 6,7 pg/ml. Didapatkan korelasi negatif yang signifikan antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum (r = 0,324; p= 0,011). Terdapat perbedaan rerata pajanan debu kayu yang bermakna antara tiap-tiap bagian dan perbedaan IFN-γ serum yang bermakna antara bagian administrasi dengan tiga bagian lainnya (p < 0,05). Penelitian ini menunjukkan bahwa jelas terdapat hubungan negatif di antara pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali yaitu, semakin tinggi pajanan debu kayu maka semakin rendah IFN-γ serum. Kata kunci: pajanan debu kayu, interferon gama serum ABSTRACT NEGATIVE RELATIONSHIP BETWEEN WOOD DUST EXPOSURE AND SERUM INTERFERON GAMMA (IFN-γ) IN WORKERS OF WOOD PROCESSING INDUSTRY Dust as one of health problem sources due to working environment. Exposure to wood dust has long been associated with a variety of pulmonary disorders such as allergic rhinitis, chronic bronchitis, occupational asthma, decreased lung function and pulmonary fibrosis. A meta-analysis showed that exposure to wood dust had 1,9 times risk for the occurrence of pulmonary fibrosis. Exposure to wood dust is characterized by excess of profibrotic cytokines and decreased levels of IFN-γ serum. Wood dust which is recognised as a foreign object by the body could activates macrophages and further disrupt the balance between Th1 and Th2 cytokine activation. Th2 cytokines are stimulated whereas Th1 cytokine IFN-γ are inhibited. This research was a cross-sectional study in workers of wood processing industry Company X, Badung, Bali carried out from May to October 2013 in order to determine the relationship between wood dust exposure and IFN-γ serum. Wood dust exposure is calculated by measuring the levels of respirable dust using Personal Dust Sampler. Interferon-γ serum levels were measured by ELISA. The correlation between wood dust exposure and IFN-γ serum was analysed using Pearson correlation test. In order to determine the difference in the levels of wood dust exposure and IFN-γ serum levels in workers who work in different sections, one-way ANOVA test was used. p value < 0,05 was considered significant. There were 60 workers recruited as sample which were subdivided in equal number into 4 sections namely sawing, assembly, sanding and administration. The mean age was 40,6 years, mean job tenure of 15,7 years and mean BMI of 21,8 kg/m2. One third of the workers smoke around 11,9 packyear cigarettes and 66,7% reported always use masker. In general, the mean level of wood dust exposure in Company X was 81,7 mg/m3/year and the mean level of IFN-γ serum was 6,7 pg/ml. There was a significant negative correlation between wood dust exposure and IFN-γ serum (r = -0,324, p = 0,011). There were significant differences in wood dust exposure between each section and IFN-γ serum between the administration and other sections (p < 0,05). This study clearly showed that there is a negative relationship in workers of wood processing industry Company X, Badung, Bali i.e. the higher the wood dust exposure, the lower the level of IFN-γ serum. Keywords: wood dust exposure, serum interferon gamma RINGKASAN HUBUNGAN NEGATIF ANTARA PAJANAN DEBU KAYU DAN INTERFERON GAMA (IFN-γ) SERUM PADA PEKERJA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU Debu merupakan salah satu sumber gangguan kesehatan akibat lingkungan kerja. Interaksi faktor agen, inang, dan lingkungan mempengaruhi timbulnya gangguan paru akibat debu kayu. Faktor agen (debu kayu) meliputi ukuran partikel, bentuk dan konsentrasi. Faktor inang (pekerja) meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, mekanisme pertahanan paru dan status imunologis serta kebiasaan merokok. Faktor lingkungan yaitu jenis pabrik, lamanya pajanan, penggunaan alat pelindung diri (APD) dan lain sebagainya. Pajanan debu kayu telah lama dikaitkan dengan berbagai gangguan paru seperti rinitis alergika, bronkitis kronis, asma kerja, penurunan fungsi paru dan penyakit fibrosis paru. Suatu meta-analisis menunjukkan bahwa pajanan debu kayu memiliki risiko 1,9 kali untuk terjadinya fibrosis paru. Studi pada binatang menunjukkan bahwa pajanan debu kayu berulang terhadap paru menimbulkan proses inflamasi yang diikuti dengan aktivasi sitokin proinflamasi dan kemokin. Interferon gama (IFN-γ) adalah sitokin endogen yang memiliki multifungsi baik sebagai anti-fibrotik, antiinfektif, anti-proliperatif atau imunomodulator. Kadar IFN-γ secara teori dipengaruhi oleh umur, status gizi, kebiasaan merokok, penyakit tuberkulosis, diabetes, dan keganasan. Pajanan debu kayu ditandai dengan kelebihan sitokin pro-fibrotik dan penurunan kadar IFN-γ diduga oleh karena debu kayu yang merupakan benda asing oleh tubuh akan mengaktivasi makrofag dan selanjutnya mengganggu keseimbangan antara aktivasi sitokin Th1 dan Th2. Sitokin Th2 akan dirangsang sedangkan sitokin Th1 yaitu IFN-γ akan dihambat. Perusahaan X merupakan industri pengolahan kayu terbesar di Bali yang terletak di Desa Lukluk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Perusahaan X didirikan dalam rangka mendukung penyerapan tenaga kerja informal dengan total 150 karyawan yang terbagi menjadi 30 staf dan 120 pekerja. Perusahaan X mengolah kayu yang masih kasar menjadi mebel siap pakai dan furniture yang sudah jadi. Kayu yang digunakan sebagai bahan produksi di Perusahaan X adalah Merbau dan Bangkirai yang merupakan jenis kayu keras (hardwoods). Sebagian besar pekerja terpajan dengan debu kayu karena tidak semua pekerja menggunakan masker. Penelitian ini merupakan studi observasional dengan metode potong lintang analitik pada pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali yang dilakukan dari bulan Mei sampai Oktober 2013 untuk mengetahui hubungan antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum. Sekitar 60 pekerja digunakan sebagai sampel dengan teknik cluster purposif random sampling, untuk selanjutnya masuk dalam salah satu dari 4 bagian yaitu penggergajian, perakitan, pengamplasan dan administrasi. Kriteria inklusi meliputi umur 18-60 tahun, telah bekerja di satu bagian minimal 10 tahun dan setuju mengikuti penelitian dengan menandatangani inform concent. Kriteria eksklusi meliputi pekerja dengan riwayat penyakit tuberkulosis, kencing manis atau keganasan dan riwayat penyakit ini didapatkan secara subjektif hanya dengan melakukan wawancara terhadap pekerja dan pekerja yang bekerja di bagian VI (pengecatan dan finishing). Pajanan debu kayu dihitung dengan mengukur kadar debu terhirup menggunakan Personal Dust Sampler. Dosis pajanan merupakan perkalian antara kadar debu terhirup dan lama bekerja/lama pajanan. Kadar IFN-γ serum diukur dengan teknik ELISA. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif. Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Untuk mengetahui korelasi antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum digunakan uji korelasi Pearson. Untuk mengetahui perbedaan kadar pajanan debu kayu dan kadar IFN-γ serum pada pekerja yang bekerja di bagian yang berbeda digunakan uji one-way Anova. Nilai p < 0,05 dikatakan signifikan. Didapatkan 60 pekerja sebagai sampel yang terbagi sama rata dalam 4 bagian yaitu penggergajian, perakitan, pengamplasan dan administrasi. Hasilnya menunjukkan sebagian besar subjek penelitian berjenis kelamin laki-laki (53,3%) dan bekerja pada bagian perakitan. Pekerja perempuan sebagian besar bekerja di bagian pengamplasan. Rerata usia pekerja 40,6 tahun, masa kerja 15,7 tahun dan IMT 21,8 kg/m2. Sepertiga jumlah pekerja merokok dengan rerata 11,9 packyear dan proporsi yang hampir berimbang pada tiap bagian kecuali tidak ada pekerja pada bagian pengamplasan yang merokok. Untuk status gizi, terlihat bahwa 60% subjek penelitian dengan status gizi normal, 31,7% pekerja dengan berat badan berlebih dan 8,3% dengan status gizi kurang. Mengenai penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), 66,7% pekerja selalu menggunakan APD bila sedang bekerja, 11,7% pekerja sering, 16,7% pekerja jarang, dan 5% pekerja tidak pernah menggunakan APD. Secara umum, rerata pajanan debu kayu di Perusahaan X 81,7 mg/m3/tahun dan rerata kadar IFN-γ serum pekerja 6,7 pg/ml. Uji normalitas semua data menunjukkan sebaran yang normal, kecuali data penggunaan APD dan IFN-γ serum. Transformasi data kemudian dilakukan terhadap dua data tersebut dan didapatkan sebaran data IFN-γ serum yang normal. Terdapat korelasi negatif yang signifikan antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum (r = -0,324; p= 0,011). Terdapat perbedaan rerata pajanan debu kayu yang bermakna antara tiap-tiap bagian (p < 0,05) dan perbedaan IFN-γ serum yang bermakna antara bagian administrasi dengan tiga bagian lainnya (p < 0,05). Penelitian ini menunjukkan bahwa jelas terdapat hubungan negatif di antara pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali yaitu, semakin tinggi pajanan debu kayu maka semakin rendah IFN-γ serum. DAFTAR ISI Halaman PRASYARAT GELAR……………………………………………………ii LEMBAR PERSETUJUAN………………………………….……………iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI….……………………………………iv UCAPAN TERIMA KASIH………………………………………………v ABSTRAK…………………………………………………….…………...vii ABSTRACT……………………………………………………………......viii RINGKASAN……………………………………………………………...ix DAFTAR ISI………………………………………………………………xi DAFTAR TABEL………………………………………………………… xiv DAFTAR GAMBAR……………………………………………………… xv DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA…………………………………xvi DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….xix BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….... 1 1.1 Latar Belakang ………………………………………………….. 1 1.2 Rumusan Masalah……………………………………………….. 5 1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………... 6 1.4 Manfaat Penelitian………………………………………………. 6 1.4.1 Manfaat Akademik…………………………………………. 6 1.4.2 Manfaat Klinik Praktis……………………………………… 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA……………………………………………... 7 2.1 Debu Kayu dan Industri Pengolahan Kayu……………………… 7 2.1.1 Debu Kayu………………………………………………….. 7 2.1.2 Cara Pengukuran Debu……………………………………… 9 2.1.3 Nilai Ambang Batas Debu di Udara………………………… 10 2.1.4 Jenis Kayu dan Industri Pengolahan Kayu...………………... 11 2.2 Mekanisme Pajanan Debu Kayu dan Efeknya terhadap Paru…… 15 2.3 Interferon Gama…………………………………………………. 20 2.3.1 Peran Interferon Gama dalam Fungsi Paru…………………. 20 2.3.2 Efek Pajanan Debu Kayu terhadap Kadar Interferon Gama.. 24 2.3.3 Peran Interferon Gama dalam Fibrosis Paru……………….. 26 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN……………………………………………………. 29 3.1 Kerangka Berpikir………………………………………………... 29 3.2 Konsep Penelitian..……………………………………………... 30 3.3 Hipotesis Penelitian……………………………………………… 31 BAB IV METODE PENELITIAN……………………………………….. 32 4.1 Rancangan Penelitian……………………………………………. 32 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………………. 32 4.3 Subjek dan Sampel………………………………………………. 32 4.3.1 Populasi…………………………………………………….. 32 4.3.2 Kriteria Subjek……………………………………………… 32 4.3.3 Besaran Sampel…………………………………………….. 33 4.4 Variabel………………………………………………………….. 33 4.4.1 Identifikasi Variabel………………………………………… 33 4.4.2 Klasifikasi Variabel………………………………………… 33 4.4.3 Definisi Operasional Variabel……………………………… 34 4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian…………………………………. 36 4.6 Prosedur Penelitian………………………………………………. 36 4.7 Analisis Data…………………………………………………….. 39 BAB V HASIL PENELITIAN…………………………………………..... 42 BAB VI PEMBAHASAN…………………………...…………………..... 56 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN…………………………………..... 71 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 72 LAMPIRAN……………...………………………………………………… 78 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 5.1 Karakteristik subjek penelitian……………………………..…… 43 Tabel 5.2 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin dan bagian...........44 Tabel 5.3 Distribusi frekuensi berdasarkan status gizi dan bagian................ 45 Tabel 5.4 Distribusi frekuensi berdasarkan merokok dan bagian.................. 45 Tabel 5.5 Distribusi frekuensi berdasarkan penggunaan APD dan bagian....46 Tabel 5.6 Kadar debu terhirup di Perusahaan X berdasarkan bagian............ 47 Tabel 5.7 Koefisien korelasi antara pajanan debu kayu dengan IFN-γ serum..............................................................................................48 Tabel 5.8 Koefisien korelasi antara umur dengan IFN-γ serum.................... 49 Tabel 5.9 Koefisien korelasi antara status nutrisi dengan IFN-γ serum........ 50 Tabel 5.10 Koefisien korelasi antara kebiasaan merokok dengan IFN-γ serum........................................................................................... 51 Tabel 5.11 Koefisien korelasi antara penggunaan APD dengan IFN-γ serum............................................................................................52 Tabel 5.12 Hasil analisis one-way Anova Pajanan debu kayu di Perusahaan X...............................................................................53 Tabel 5.13 Hasil analisis Post-hoc LSD Pajanan debu kayu di Perusahaan X...............................................................................53 Tabel 5.14 Hasil analisis one-way Anova IFN-γ serum di Perusahaan X....54 Tabel 5.15 Hasil analisis Post-hoc LSD IFN-γ serum di Perusahaan X.......55 Tabel 6.1 Perbedaan karakteristik kayu keras dan kayu lunak......................60 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Jalur masuknya debu kayu sampai ke dalam paru…………… 20 Gambar 2.2 Mekanisme kerja IFN-γ di dalam sel...........................................23 Gambar 2.3 Keseimbangan Th1 dan Th2 dalam patogenesis terjadinya fibrosis paru.................................................................................26 Gambar 3.1 Kerangka Berpikir Penelitian…………………………………. 30 Gambar 3.2 Konsep Penelitian………….…………………………………. 30 Gambar 4.1 Alur Penelitian………………………..………………………. 39 Gambar 5.1 Diagram korelasi antara pajanan debu kayu dengan IFN-γ serum .………………………………………………………. 48 Gambar 5.2 Diagram korelasi antara umur dengan IFN-γ serum .………… 49 Gambar 5.3 Diagram korelasi antara status nutrisi dengan IFN-γ serum .… 50 Gambar 5.4 Diagram korelasi antara kebiasaan merokok dengan IFN-γ serum … ………………………………………………………51 Gambar 5.5 Diagram korelasi antara penggunaan APD dengan IFN-γ serum .………………………………………………………... 52 Gambar 6.1 Mekanisme asap rokok menimbulkan penyakit pada saluran nafas…………………………………………………………. 66 DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA α tingkat kemaknaan µm mikrometer APC Antigen Presenting Cell APD Alat Pelindung Diri ATS American Thoracic Society CD Cluster of Differentiation ELISA Enzim Linked Immunosorbent Assay FEV1 Force Expiratory Volume in 1 second HVAS High Volume Air Sampler Hg Merkuri IARC The International Agency for Research on Cancer IFN-α Interferon alfa IFN-β Interferon beta IFN-e Interferon eta IFN-δ Interferon delta IFN-γ Interferon gamma IFN-γ1b Interferon Gamma 1 beta IFN-k Interferon kappa IFN-o Interferon omega IFN-t Interferon teta IL Interleukin IMT Indeks Massa Tubuh IRF-1 IFN-γ regulatory factor-1 IU International Unit kDa kilo Dalton LVAS Low Volume Air Sampler mg miligram ml mililiter mm milimeter m3 meter kubik My88 Myeloid differentiation factor 88 NAB Nilai Ambang Batas NADPH Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate NK Natural Killer NOS Nitrit Oksida Sintetase Pb Timbal PDGF Platelet Derived Growth Factor PDS Personal Dust Sampler PM10 Particulate Matter dengan diameter <10 mikron PM2,5 Particulate Matter dengan diameter < 2,5 mikron RNI Reactive Nitrogen Intermediate SGPT Serum Glutamic Piruvic Transaminase SiO2 Silikon Dioksida SiO3 Silikon Trioksida SPM Suspended Particulate Matter SPSS Statistical Packages for Social Sciences TGF-β Tumor Growth Factor beta Th1 T helper 1 Th2 T helper 2 TNF-α Tumor Necrosis Factor alfa TSP Total Suspended Particulate WHO World Health Organisation DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Persetujuan setelah penjelasan……………………………….. 78 Lampiran 2 Formulir persetujuan tertulis………………….………………. 80 Lampiran 3 Prosedur pemeriksaan Interferon gama serum………………... 81 Lampiran 4 Formulir pengumpulan data…………………………………... 84 Lampiran 5 Data sheet SPSS……………..……………………………….. 85 Lampiran 6 Output analisis data SPSS...…………………………………... 87 Lampiran 7 Surat Keterangan Laik Etik (ethical clearance)..…………….. 104 Lampiran 8 Surat Ijin Penelitian……….…………………………………. 105 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Debu merupakan salah satu sumber gangguan kesehatan akibat lingkungan kerja yang tidak dapat diabaikan. Tempat kerja yang prosesnya mengeluarkan debu, dapat menyebabkan pengurangan kenyamanan kerja, gangguan penglihatan, gangguan fungsi faal paru bahkan kelainan patologis yang ireversibel. Kayu merupakan sumber daya alam yang sangat penting yang bersumber dari hutan. Sepertiga wilayah daratan di dunia terdiri dari hutan tanaman industri. Industri pengolahan kayu merupakan salah satu jenis industri yang menghasilkan debu kayu dalam jumlah besar yang berpotensi menimbulkan berbagai gangguan kesehatan khususnya kelainan fungsi paru baik yang bersifat sementara maupun permanen (Kauppinen dkk., 2006). Debu adalah partikel padat yang dapat dihasilkan oleh manusia dan alam melalui proses pemecahan suatu bahan seperti grinding (penggerendaan), blasting (penghancuran), drilling (pengeboran), dan puverizing (peledakan). Partikel debu melayang adalah suatu kumpulan senyawa dalam bentuk padatan yang tersebar di udara dengan diameter sangat kecil 1-500 mikron sedangkan debu yang membahayakan kesehatan umumnya berdiameter 0,1-10 mikron (Syahriany, 2002; Kauppinen dkk., 2006). Debu kayu dapat dihasilkan melalui proses mekanik seperti penggergajian, penyerutan dan penghalusan (pengamplasan). Debu kayu di udara dapat terhirup dan mengendap dalam organ pernapasan tergantung dari diameter dan bentuk partikel melalui mekanisme antara lain sedimentasi, impaksi, inersial dan difusi. Departemen Tenaga Kerja telah menetapkan bahwa untuk debu kayu, nilai ambang batas di udara lingkungan kerja adalah 1 mg/m3. Nilai ambang batas menunjukkan kadar suatu zat yang menimbulkan reaksi fisiologis manusia (ATS, 1996; Khumaidah, 2009). Badung merupakan salah satu kabupaten di Bali yang memiliki sentra industri pengolahan kayu dan penghasil mebel. Banyak tenaga kerja yang terserap dari industri ini baik dalam industri formal dan informal. Mereka merupakan kelompok risiko tinggi terkena gangguan fungsi paru. Perusahaan X merupakan industri pengolahan kayu terbesar di Bali yang terletak di Desa Lukluk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Perusahaan X didirikan dalam rangka mendukung penyerapan tenaga kerja informal dengan total 150 karyawan yang terbagi menjadi 30 staf dan 120 pekerja. Bahan baku yang diperlukan sebagian besar berasal dari jenis kayu keras seperti kayu merbau dan bangkirai. Perusahaan X mengolah kayu yang masih kasar menjadi mebel siap pakai dan furniture yang sudah jadi. Sebagian besar pekerja terpajan dengan debu kayu karena tidak semua pekerja menggunakan masker. Walaupun perusahaan mewajibkan semua pekerja untuk memakai masker yang dibuat perusahaan sendiri (terbuat dari kain katun), tidak semua pekerja mau menggunakannya dengan alasan sulit bernafas dan alasan lain. Melihat dampak yang ditimbulkan dari pajanan debu kayu cukup besar maka perlu suatu penanganan yang tepat akan hal ini. Interaksi faktor agen, inang dan lingkungan mempengaruhi timbulnya gangguan paru akibat debu kayu. Faktor agen (debu kayu) meliputi ukuran partikel, bentuk dan konsentrasi. Faktor inang (pekerja) meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, mekanisme pertahanan paru dan status imunologis serta kebiasaan merokok. Faktor lingkungan yaitu jenis pabrik, lamanya pajanan, penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dan lain sebagainya (Yulaekah, 2007). Pajanan debu kayu telah lama dikaitkan dengan berbagai gangguan paru seperti rinitis alergika, bronkitis kronis, asma kerja, penurunan fungsi paru dan penyakit fibrosis paru (Baran & Teul, 2007; Jacobsen dkk., 2010a). The International Agency for Research on Cancer (IARC) mengklasifikasikan debu kayu sebagai karsinogen kelas I pada manusia (WHO, 1995). Respon inflamasi dan imunologi yang terjadi akibat pajanan debu kayu belum begitu jelas. Suatu meta-analisis menunjukkan bahwa pajanan debu kayu memiliki risiko 1,9 kali untuk terjadinya fibrosis paru (Baumgartner dkk., 2000; Taskar & Coultas, 2006). Studi binatang menunjukkan bahwa pajanan debu kayu berulang terhadap paru menimbulkan proses inflamasi yang diikuti dengan aktivasi sitokin proinflamasi dan kemokin (Maatta dkk., 2006). Penelitian yang dilakukan terhadap pekerja industri permebelan kayu di Kabupaten Jepara menunjukkan bahwa prevalensi gangguan fungsi paru sebesar 43,2% dari seluruh populasi pekerja perusahaan tersebut. Terdapat perbedaan prevalensi gangguan fungsi paru antara karyawan yang bekerja pada lingkungan yang kadar debu yang rendah dan kadar debu yang tinggi (Khumaidah, 2009). Penelitian lain menunjukkan bahwa pekerja yang terpapar debu kayu secara kontinyu terjadi penurunan kemampuan kerja pada usia 15-25 tahun, keluhan batuk produktif dan penurunan Force Expiratory Volume 1 second (FEV 1) pada usia 25-35 tahun, terjadi sesak dan hipoksemia pada usia 45-55 tahun, dan akhirnya gagal jantung kanan, kegagalan pernapasan dan kematian pada usia 55-65 tahun (Meo, 2006; Triatmo dkk., 2006). Respon imun terhadap debu kayu meliputi pengenalan (recognition), pengerahan (recruitment), penghancuran (removal) dan perbaikan (repair). Partikel debu yang masuk ke dalam paru awalnya akan diinternalisasi oleh sel dendritik (makrofag, neutrofil, limfosit dan sel natural killer (NK). Proses recognition ini akan meningkatkan molekul adhesi lokal dan merangsang proses recruitment sel radang lain. Sel dendritik juga akan mempresentasikan antigen debu kayu tersebut kepada sel T sehingga sel T menjadi aktif. Tahap selanjutnya adalah removal dan repair yang ditandai dengan aktivasi sel T menjadi sel T spesifik yaitu Th1 dan Th2. Produk utama sitokin Th1 adalah interferon gama (IFN-γ) yang akan meningkatkan imunitas seluler, menghancurkan antigen, menurunkan proliferasi fibroblast, angiogenesis dan ekspresi Tumor Growth Factor beta (TGF-β). Produk sitokin Th2 seperti IL-4 dan IL-13 akan merangsang imunitas humoral, merangsang produksi antibodi, merangsang fibroblast, pembentukan kolagen dan fibrosis. Pajanan debu kayu menyebabkan aktivitas sitokin Th1 menurun tetapi sitokin Th2 meningkat (Hubbard, 2001; Sharma dkk., 2003). Interferon gama adalah sitokin endogen yang memiliki multifungsi baik sebagai anti-fibrotik, anti-infektif, anti-proliperatif atau imunomodulator. Kadar IFN-γ di dalam serum dapat diperiksa dengan metode Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dengan kadar normal 0,145-168 pg/ml, rata-rata 10,4 pg/ml dan standar deviasi ± 40 pg/ml. Kadar IFN-γ secara teori dipengaruhi oleh umur, status gizi, kebiasaan merokok, penyakit tuberkulosis, diabetes dan keganasan (Gardner & Murasco, 2002; Modestou dkk., 2010; Zaidi & Merlino, 2011). Saat ini masih sedikit hasil penelitian mengenai hubungan antara pajanan debu kayu dengan IFN-γ. Pajanan debu kayu ditandai dengan kelebihan sitokin profibrotik dan penurunan kadar IFN-γ (Raghu dkk., 2004). Debu kayu yang merupakan benda asing oleh tubuh akan mengaktivasi makrofag dan selanjutnya mengganggu keseimbangan antara aktivasi sitokin Th1 dan Th2. Sitokin Th2 akan dirangsang sedangkan sitokin Th1 yaitu IFN-γ akan dihambat (Elias dkk., 1990; Lesur dkk., 1994; Maatta dkk., 2006). IFN-γ dikatakan mampu menurunkan produksi kolagen tipe 1 dan 3 yang banyak terdapat di dalam paru (Elias dkk., 1990; Narayanan dkk.,1992). Hal tersebut di atas yang mendasari pengembangan IFN-γ sebagai salah satu terapi penyakit fibrosis paru. IFN-γ mampu menghambat proliferasi fibroblas, sintesis kolagen dan deposisi serta ekspresi sitokin profibrotik. Suatu metaanalisis menunjukkan bahwa terapi IFN-γ1b dapat menurunkan angka kematian pada penyakit fibsosis paru (Davis dkk., 2000; Chen dkk., 2001; Bajwa dkk., 2005; Chung, 2006). Pada penelitian ini dilakukan studi potong lintang pada pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali untuk mengetahui hubungan antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum. Bila benar terdapat hubungan antara tingginya pajanan debu kayu dengan rendahnya kadar IFN-γ serum maka usaha pencegahan dampak buruk debu kayu terhadap paru pekerja industri pengolahan kayu menjadi sangat penting. 1.2 Rumusan masalah Apakah terdapat hubungan negatif antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum pada pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali? 1.3 Tujuan penelitian Untuk mengetahui adanya hubungan negatif antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum pada pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali. 1.4 Manfaat penelitian 1.4.1 Manfaat akademik Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang hasilnya dapat dipakai sebagai data dasar dan juga dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita mengenai pengaruh pajanan debu kayu terhadap IFN-γ serum pada pekerja industri pengolahan kayu. 1.4.2 Manfaat klinik praktis a. Memberikan informasi dan menambah pengetahuan serta masukan tentang efek pajanan debu kayu terhadap IFN-γ serum kepada pengusaha dan pekerja Perusahaan X, Badung, Bali. b. Pengendalian dini pencemaran udara di lingkungan kerja industri pengolahan kayu untuk mencegah dampak kesehatan yang merugikan kalangan pekerja. c. Memberikan manfaat bagi program kesehatan sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut pada industri pengolahan kayu di tempat lain. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Debu Kayu dan Industri Pengolahan Kayu Industri pengolahan kayu merupakan industri yang pertumbuhannya sangat pesat di Indonesia. Industri tersebut mampu menyerap tenaga kerja dan menghasilkan devisa negara. Di lain pihak, industri tersebut berpotensi menimbulkan kontaminasi udara di tempat kerja berupa debu kayu. Partikel adalah pencemar udara yang dapat berada bersama-sama dengan bahan atau bentuk pencemar lainnya. Sumber pencemaran partikel dapat berasal dari peristiwa alami dan dapat juga berasal dari aktivitas manusia. Sumber pencemaran partikel akibat aktivitas manusia sebagian besar berasal dari pembakaran batubara, proses industri, kebakaran hutan dan gas buangan alat transportasi (Huff, 2001; Triatmo dkk., 2006). 2.1.1 Debu Kayu Debu ialah partikel-partikel kecil yang dihasilkan oleh proses alami atau mekanis. Debu adalah zat padat berukuran 0,1-10 mikron yang dapat dihasilkan oleh manusia atau alam dan merupakan hasil dari proses pemecahan suatu bahan. Sifat debu meliputi pengendapan, permukaan basah, penggumpalan, listrik statis dan sifat optis. Partikel debu dapat dibagi atas 3 jenis, yaitu debu organik (debu kapas, debu daun-daunan, debu kayu), debu mineral (merupakan senyawa kompleks: SiO2, SiO3, dan arang batu) dan debu metal (debu yang mengandung unsur logam: Pb, Hg, Cd, Arsen, dll). Partikel debu dipengaruhi oleh daya tarik bumi sehingga cenderung untuk mengendap di permukaan bumi (Depkes RI, 1996; Wardhana, 2001). Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada saluran pernapasan. Dari hasil penelitian ukuran tersebut dapat mencapai target organ sebagai berikut (Depkes RI, 1996): 1. 5-10 mikron, akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian atas. 2. 3-5 mikron, akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian tengah. 3. 1-3 mikron, sampai di permukaan alveoli. 4. 0,5-1 mikron, hinggap di permukaan alveoli/selaput lendir sehingga dapat menyebabkan fibrosis pada paru-paru. 5. 0,1-0,5 mikron, melayang di permukaan alveoli. Berdasarkan lamanya partikel tersuspensi di udara dan rentang ukurannya, partikel dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu dust fall (setteable particulate) yang berbentuk lebih besar dari 10 µm dan Suspended Particulate Matter (SPM) yang ukurannya lebih kecil dari 10 µm. Kategori lain adalah partikel padat Total Suspended Particulate (TSP) dengan diameter maksimum sekitar 45 mikron, Particulate Matter-10 (PM10) dengan diameter kurang dari 10 mikron dan PM2,5 dengan diameter kurang dari 2,5 mikron. Partikel-partikel tersebut diyakini oleh para pakar lingkungan dan kesehatan masyarakat sebagai pemicu timbulnya infeksi saluran pernapasan, karena partikel padat PM10 dan PM2,5 dapat mengendap pada saluran pernapasan daerah bronki dan alveoli, sedang TSP tidak dapat terhirup ke dalam paru, tetapi hanya sampai pada bagian saluran pernapasan atas (Wardhana, 2001). 2.1.2 Cara Pengukuran Debu Kuantitas pajanan terhadap debu kayu didefinisikan menjadi beberapa istilah yaitu kadar debu total (total dust), kadar debu yang terhirup (respirable dust) dan kadar debu dosis kumulatif. Total dust dihitung dengan dengan menggunakan pengumpul debu pasif. Debu total ini kurang berpengaruh terhadap kesehatan karena ukuran debunya tidak spesifik. Respirable dust adalah partikel debu dengan diameter aerodinamik rata-rata 4 mikron (0-10 mikron) yang ditangkap oleh filter nylon cyclone diameter 10 mm dengan kecepatan 1,7 liter/menit. Sedangkan kadar debu dosis kumulatif adalah perkalian antara respirable dust dengan lama pajanan. Ada 3 cara pengukuran kadar debu di udara yang semuanya mempunyai metode yang sama. Metode yang digunakan gravimetri yaitu dengan melewatkan udara dalam volume tertentu melalui serat glass/glass fiber/kertas saring (Lange, 2008). a. High Volume Air Sampler (HVAS) Cara ini dikembangkan sejak tahun 1948 menggunakan filter berbentuk segi empat seukuran kertas A4 yang mempunyai porositas 0,30,45 µm. Prosedur kerja alat ini adalah udara ambien dihisap dengan pompa hisap berkecepatan 1000-1500 lpm. Partikel debu dengan diameter 0,1 sampai 100 mikron akan masuk bersamaan aliran udara dan terkumpul pada permukaan saringan serat gelas. Metode ini dapat digunakan untuk mengambil contoh udara selama 24 jam. Pengukuran metoda ini untuk penentuan sebagai Total Suspended Particulate (TSP). b. Low Volume Air Sampler (LVAS) Cara ini menggunakan filter berbentuk lingkaran (bulat) dengan porositas 0,3-0,45 µm. Prosedur kerja alat ini adalah udara ambien dihisap dengan pompa hisap berkecepatan 10-30 lpm untuk penangkapan Suspensi Particulate Matter (SPM). Dengan mengetahui berat kertas saring sebelum dan sesudah pengukuran maka berat debu dapat dihitung. c. Personal Dust Sampler (PDS) Personal Dust Sampler adalah suatu alat yang biasa digunakan untuk menentukan banyaknya Respirable Dust di udara atau debu yang dapat lolos melalui filter bulu hidung manusia selama bernafas. Metodenya adalah gravimetri atau melewatkan udara melalui kertas saring dengan cara mengatur flow rate. Untuk rate 2 liter/menit dapat menangkap partikel debu yang ukurannya lebih kecil dari 10 mikron. Alat ini biasanya digunakan pada lingkungan kerja dan dipasangkan pada pinggang tenaga kerja. Alatnya berukuran kecil. 2.1.3 Nilai Ambang Batas (NAB) Debu Kayu di Udara Nilai Ambang Batas adalah parameter yang banyak digunakan untuk mengukur keadaan udara di dalam lingkungan kerja. Nilai Ambang batas adalah konsentrasi dari zat, uap dan gas dalam udara yang dapat dihirup dalam 8 jam sehari atau 40 jam seminggu yang hampir semua tenaga kerja dapat terpajan berulang kali sehari-hari dalam melakukan pekerjaan tanpa gangguan kesehatan yang berarti. Nilai Ambang Batas hanya merupakan alat atau pedoman yang mengikat untuk diperhatikan dari segi kesehatan dan keselamatan kerja. Namun bila NAB sudah diterapkan, bukan berarti para pekerja tersebut terbebas dari semua resiko yang mungkin timbul di lingkungan kerja. Nilai ambang batas kualitas udara di lingkungan kerja khususnya kadar debu kayu keras pada industri pengolahan kayu berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 01/MENNAKER/1997 adalah 1 mg/m3 (Menteri Tenaga Kerja, 1997). Partikel debu selain memiliki dampak terhadap kesehatan juga dapat menyebabkan gangguan sebagai berikut: a. Gangguan aestetik dan fisik seperti terganggunya pemandangan dan pelunturan warna bangunan dan pengotoran b. Merusak kehidupan tumbuhan yang terjadi akibat adanya penutupan pori pori tumbuhan sehingga mengganggu jalannya fotosintesis c. Merubah iklim global regional maupun internasional d. Menganggu perhubungan/penerbangan yang akhirnya menganggu kegiatan sosial ekonomi di masyarakat 2.1.4 Jenis Kayu dan Industri Pengolahan Kayu Terdapat begitu banyak jenis kayu yang diolah menjadi bahan industri maupun bahan bakar. Walaupun tiap jenis kayu tersebut memiliki karakteristik tertentu, kayu dibagi menjadi dua kelompok besar secara botani yaitu gymnosperms atau kayu lunak (softwoods) dan angiosperms atau kayu keras (hardwoods). Perbedaan utama kedua jenis kayu tersebut adalah struktur benih dan anatomi batangnya. Namun bagian batang dari ke dua jenis kayu tersebut memiliki pembagian yang sama yaitu bagian pinggir dan bagian tengah. Bagian pinggir banyak terdapat sel-sel yang aktif mensintesis dan menyimpan bahan metabolik sekunder. Sedangkan bagian tengah terdiri dari sel yang kurang aktif secara metabolik dan bertugas hanya sebagai tempat menyimpan ekstrak kayu dalam jangka waktu yang panjang. Bagian tengah ini yang bertanggung jawab terhadap daya tahan dan stabilitas kayu, menentukan kualitas kayu serta lebih dihargai secara ekonomi. Sekitar dua pertiga kayu di dunia yang digunakan sebagai bahan industri adalah jenis kayu lunak (Lange, 2008). Kayu merbau dan bangkirai yang paling sering digunakan oleh Perusahaan X termasuk ke dalam jenis kayu keras (hardwoods). Merbau dan Bangkirai adalah nama sejenis pohon penghasil kayu keras berkualitas tinggi. Kayu ini memiliki tekstur kayu yang kasar dan merata, dengan arah serat yang kebanyakan lurus. Kayu yang telah diolah memiliki permukaan yang licin dan mengkilap indah. Kayu ini memiliki penyusutan yang sangat rendah, sehingga tidak mudah menimbulkan cacat apabila dikeringkan, memiliki daya tahan terhadap jamur pelapuk kayu, rayap kayu kering dan penggerek laut sehingga acap digunakan pula dalam pekerjaan konstruksi perairan. Kayu keras jenis ini terutama dimanfaatkan dalam konstruksi berat seperti balok-balok, tiang dan bantalan, di bangunan rumah maupun jembatan. Oleh karena kekuatan, keawetan dan penampilannya yang menarik, sekarang kayu merbau dan bangkirai juga dimanfaatkan secara luas untuk pembuatan kusen, pintu dan jendela, lantai parket (parquet flooring), papan-papan dan panel, mebel, badan truk, ukiran dan lain-lain. Secara umum jenis kayu keras lebih berpotensi menimbulkan kelainan ireversibel pada paru berupa fibrosis paru dibandingkan dengan kayu lunak. Beberapa jenis kayu dapat menimbulkan reaksi inflamasi yang kemudian berakibat pada pembentukan jaringan fibrosis. Mekanisme inflamasi yang diinduksi oleh debu kayu ini coba dipelajari dengan media kultur sel. Kayu beech, oak, birch, teak, pine dan spruce mampu menginduksi reaksi inflamasi yang berakibat cedera sel dan fibrosis. Kayu pine dan birch juga mampu menginduksi pembentukan ROS oleh sel makrofag, yang selanjutnya berujung pada kematian sel dan fibrosis. Berbeda dengan pine dan birch, kayu beech tidak menginduksi peningkatan produksi ROS (Maatta dkk., 2006). Secara umum industri pengolahan kayu mengolah kayu gelondongan menjadi kayu bahan bangunan sampai mebel siap jadi. Terdapat beberapa bagian pada setiap industri pengolahan kayu yang berimplikasi pada kadar debu kayu yang berbeda yang dihasilkan oleh masing-masing bagian. Ada 6 bagian utama di dalam produksi kayu di Perusahaan X, Badung yaitu: 1. Bagian I yaitu penggergajian kayu Bahan baku kayu tersedia dalam bentuk kayu gelondong, sehingga masih perlu mengalami penggergajian agar ukurannya menjadi lebih kecil seperti balok dan papan. Pada umumnya, pembuatan balok dan papan dikerjakan dengan menggunakan gergaji secara mekanis. 2. Bagian II yaitu pengelompokan dan penyimpanan bahan baku Pada bagian ini dilakukan penyiapan bahan baku pertama, menyiapkan papan dan balok kayu yang sudah digergaji dan dipotong menurut ukuran komponen untuk diproses menjadi mebel. 3. Bagian III yaitu perakitan dan pembentukan Komponen mebel yang sudah jadi, dipasang dan dihubungkan satu sama lain sama lain hingga membentuk mebel sesuai pesanan. Pemasangan ini dilakukan dengan menggunakan peralatan manual maupun mekanik serta lem untuk merekatkan hubungan antar komponen. 4. Bagian IV yang terdiri atas: a. Bagian Log Yard, yaitu bagian penerimaan, penyimpanan dan pendistribusian bahan baku mebel yang sudah dirakit tapi belum di finishing. b. Bagian Kill Dry, yaitu bagian pengeringan mebel dari kadar air kurang lebih dari 60% menjadi kadar air < 14%. 5. Bagian V yaitu pengamplasan, yang terdiri dari: a. Bagian pengamplasan kasar, yaitu bagian yang memperhalus mebel dengan amplas yang kasar. Proses ini menghasilkan debu yang kasar. b. Bagian pengamplasan halus, yaitu bagian yang melakukan penghalusan mebel yang sudah dihaluskan dengan amplas kasar yang kemudian dihaluskan dengan amplas halus. Bagian ini juga menghasilkan debu halus. 6. Bagian VI yaitu Furniture Component Pada bagian ini dilakukan proses pengecatan dan finishing dari komponen furniture yang telah jadi. Secara umum bagian II dan IV tidak menghasilkan kadar debu yang berbahaya karena tidak menghasilkan limbah debu. Sedangkan bagian I, III, V dan VI menghasilkan limbah berupa debu yang berasal dari proses penggergajian, pemotongan, pengamplasan kasar dan halus, pengecatan dan finishing. 2.2 Mekanisme Pajanan Debu Kayu dan Efeknya terhadap Paru Paru merupakan salah satu organ sistem respirasi yang berfungsi sebagai tempat penampungan udara, sekaligus merupakan tempat berlangsungnya pengikatan oksigen oleh hemoglobin. Interaksi udara dengan paru berlangsung setiap saat, oleh karena itu kualitas yang terinhalasi sangat berpengaruh terhadap faal paru. Udara dalam keadaan tercemar, partikel polutan terinhalasi dan sebagian akan masuk ke dalam paru. Selanjutnya, sebagian partikel akan mengendap di alveoli. Adanya pengendapan partikel dalam alveoli, ada kemungkinan fungsi paru akan mengalami penurunan. Adanya debu di alveolus akan menyebabkan terjadinya statis partikel debu dan dapat menyebabkan kerusakan dinding alveolus, selanjutnya merupakan salah satu faktor predisposisi gangguan fungsi paru baik reversibel maupun ireversibel (Antarudin, 2000). Partikel debu dapat masuk ke dalam tubuh melalui berbagai rute yaitu Inhalasi adalah jalan yang paling signifikan dimana substansi yang berbahaya masuk dalam tubuh melalui pernapasan dan dapat menyebabkan penyakit baik akut maupun kronis. Absorpsi adalah pajanan debu masuk ke dalam tubuh melalui absorpsi kulit di mana dapat menyebabkan perubahan ringan maupun kerusakan serius pada kulit. Ingesti adalah jalan masuk yang melalui saluran pencernaan. Faktor yang dapat berpengaruh pada inhasi bahan pencemar ke dalam paru adalah faktor komponen fisik, faktor komponen kimiawi dan faktor penderita itu sendiri. Aspek komponen fisik yang pertama adalah keadaan dari bahan yang diinhalasi (gas, debu, uap). Ukuran dan bentuk akan berpengaruh dalam proses penimbunan di paru, demikian pula kelarutan dan nilai higroskopinya. Komponen kimia yang berpengaruh antara lain kecenderungan untuk bereaksi dengan jaringan di sekitar dan tingkat keasamannya (dapat merusak silia dan sistem enzim). Faktor manusia sangat perlu diperhatikan terutama yang berkaitan dengan sistem pertahanan paru, baik secara anatomis maupun fisiologis, lamanya pajanan dan kerentanan individu (Kauppinen dkk., 2006). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pengendapan partikel debu di paru antara lain jenis debu, ukuran partikel debu, konsentrasi partikel dan lama pajanan, pertahanan tubuh (Yunus, 2000). a. Jenis debu. Jenis debu terkait daya larut sifat kimianya. Adanya perbedaan daya larut dan sifat kimiawi ini, maka kemampuan mengendapnya juga akan berbeda pula. Demikian juga tingkat kerusakan yang ditimbulkannya juga akan berbeda pula. Terdapat dua partikel debu menjadi dua yaitu debu organik dan anorganik. b. Ukuran Partikel Tidak semua partikel dalam udara yang terinhalasi akan mencapai paru. Partikel yang berukuran besar pada umumnya telah tersaring di hidung. Partikel dengan diameter 0,5-6μm yang disebut partikel terhisap yang dapat mencapai alveoli, mengendap disana dan menyebabkan terjadinya pneumokoniosis. c. Konsentrasi pertikel debu dan lama pajanan Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama pajanan berlangsung, jumlah partikel yang mengendap di paru juga semakin banyak. Setiap inhalasi 500 partikel per millimeter kubik udara, maka setiap alveoli paling sedikit menerima 1 partikel dan apabila konsentrasi mencapai 1000 partikel per millimeter kubik, maka 10% dari jumlah tersebut akan tertimbun di paru. Konsentrasi yang melebihi 5000 partikel per millimeter kubik sering dihubungkan dengan terjadinya pneumokoniosis. Pneumokoniosis akibat debu akan timbul setelah penderita mengalami kontak lama dengan debu. Jarang ditemui kelainan bila pajanan kurang dari 10 tahun. Dengan demikian lama pajanan mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian gangguan fungsi paru. d. Pertahanan tubuh terhadap paparan partikel debu yang terinhalasi Beberapa orang yang mengalami pajanan debu yang sama baik jenis maupun ukuran partikel, konsentrasi maupun lamanya pajanan berlangsung, tidak selalu menunjukkan akibat yang sama. Sebagian ada yang mengalami gangguan paru berat, namun ada yang ringan bahkan mungkin ada yang tidak mengalami gangguan sama sekali. Hal ini diperkirakan berhubungan dengan perbedaan kemampuan sistem pertahanan tubuh terhadap pajanan partikel debu terinhalasi. Sistem pertahanan paru dan saluran nafas melalui beberapa cara yaitu: a. Secara mekanik yaitu pertahanan yang dilakukan dengan menyaring partikel yang ikut terinhalasi bersama udara dan masuk saluran pernafasan. Penyaringan berlangsung di hidung, nasofaring dan saluran nafas bagian bawah yaitu bronkus dan bronkiolus. Di hidung penyaringan dilakukan oleh bulu-bulu silia yang terdapat di lubang hidung, sedangkan di bronkus dilakukan reseptor yang terdapat pada otot polos dapat berkonstraksi apabila ada iritasi. Apabila rangsangan yang terjadi berlebihan, maka tubuh akan memberikan reaksi berupa bersin atau batuk yang dapat mengeluarkan benda asing termasuk partikel debu dari saluran nafas bagian atas maupun bronkus. b. Secara kimia yaitu cairan dan silia dalam saluran nafas secara fisik dapat memindahkan partikel yang melekat di saluran nafas, dengan gerakan silia yang mucociliary escalator ke laring. Cairan tersebut bersifat detoksikasi dan bakterisid. Pada paru bagian perifer terjadi ekskresi cairan secara terus menerus dan perlahan-lahan dari bronkus ke alveoli melalui limfatik. Selanjutnya makrofag alveolar menfagosit partikel yang ada di permukaan alveoli. c. Secara imunitas yaitu melalui proses biokimiawi yaitu humoral dan seluler. Ketiga sistem tersebut saling berkait dan berkoordinasi dengan baik sehingga partikel yang terinhalasi disaring berdasarkan pengendapan kemudian terjadi mekanisme perpindahan partikel. Mekanisme pengendapan partikel debu di paru berlangsung dengan cara (Yulaekah, 2007): a. Gravitation yaitu sedimentasi partikel yang masuk saluran napas karena gaya gravitasi. b. Impaction yaitu terbentur dan jatuhnya partikel di percabangan bronkus dan brokiolus. c. Brown difusion yaitu mengendapnya partikel dengan diameter lebih besar dari dua micron yang disebabkan oleh terjadinya gerakan keliling (gerakan Brown) dari partikel oleh energi kinetik. d. Elektrostatic yaitu pengendapan akibat mukus, yang merupakan konduktor yang baik secara elektrostatik. e. Interception yaitu pengendapan yang berhubungan dengan sifat fisik partikel berupa ukuran panjang/besar partikel hal ini penting untuk mengetahui di mana terjadi pengendapan. Begitu masuk ke dalam saluran nafas, partikel debu kayu awalnya akan dibawa oleh sistem tranport mukosilier hidung ke bagian posterior kemudian ke nasofaring. Kecepatan rata-rata transport ini 5 mm/menit sehingga total waktu yang dibutuhkan sekitar 20 menit. Partikel debu kayu yang berada di bagian anterior hidung relatif mudah dikeluarkan dengan mekanisme bersin, usap atau tiup. Partikel yang sangat kecil (<0,1 mikron) dan larut akan mudah diabsorpsi, dimetabolisme oleh epitel saluran nafas atau ditranslokasi ke dalam pembuluh darah. Pada daerah trakeobronkial, debu kayu akan dikeluarkan oleh mekanisme mukosilier ke arah faring lalu ditelan ke saluran cerna. Kecepatan pengeluaran ini semakin ke distal semakin lambat. Kecepatan transport rata-rata di trakea 4,3-5,7 mm/menit sedangkan di brokus 0,2-1,3 mm/menit. Selanjutnya, partikel debu yang masuk ke dalam alveoli akan difagositosis oleh makrofag baru maksimal 24 jam setelah terdeposisi. Makrofag yang telah dipenuhi partikel debu akan bermigrasi ke bagian distal lapisan mukus untuk dikeluarkan oleh sistem mukosilier atau bertranslokasi ke dalam saluran limfe dan darah untuk bersirkulasi. Bila jumlah partikel debu kayu begitu banyak terdeposisi, maka makrofag mengalami overload, terjadi akumulasi partikel debu kayu pada bagian interstisial dan tercetuslah proses inflamasi (Lange, 2008). Pembentukan dan destruksi makrofag yang terus-menerus berperan penting pada pembentukan jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan tersebut. Fibrosis terjadi pada parenkim paru, yaitu pada dinding alveoli dan jaringan ikat interstisial. Akibat fibrosis paru akan terjadi penurunan elastisitas jaringan paru (pengerasan jaringan paru) dan menimbulkan gangguan pengembangan paru. Bila pengerasan alveoli mencapai 10% akan terjadi penurunan elastisitas paru menyebabkan kapasitas vital paru akan menurun dan dapat mengakibatkan berkurangnya suplai oksigen ke dalam jaringan otak, jantung dan bagian-bagian tubuh lainnya (Michaels, 1967; Jacobsen dkk., 2010b). Gambar 2.1. Jalur masuknya debu kayu sampai ke dalam paru (Lange, 2008) 2.3. Interferon Gama 2.3.1 Peran Interferon Gama dalam Fungsi Paru Respon imun terhadap patogen atau benda asing yang masuk ke dalam paru dibagi menjadi imunitas alamiah dan imunitas didapat. Imunitas alamiah tidak spesifik dan bereaksi cepat terhadap benda asing yang meliputi fagositosis makrofag alveoler dan stimulasi produksi sitokin proinflamasi. Sitokin dan kemokin yang dihasilkan menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, peningkatan aliran darah, panas, pembengkakan jaringan, ekspresi dari molekul adhesi dan perekrutan neutrofil pada tempat yang mengalami inflamasi. Benda asing yang tidak mampu diatasi oleh imunitas alamiah akan mencetuskan timbulnya imunitas didapat. Sel dendritik, neutrofil dan makrofag yang mampu memfagositois benda asing dan kemudian mempresentasikan antigennya kepada sel T yang bersirkulasi disebut dengan Antigen Presenting Cells (APC). Proses ini yang pertama kali muncul pada proses terbentuknya imunitas didapat. Presentasi antigen oleh APC akan mengaktivasi sel T menjadi sel T efektor selanjutnya juga sel B menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi. Imunitas didapat jauh lebih spesifik, memiliki memori dan lebih kuat. Sel T efektor ada dalam dua bentuk yaitu sel T CD4 dan sel T CD8, di mana sel T CD4 dikelompokan lagi menjadi sel Th1 dan sel Th2. Aktivitas sel T efektor diperantari oleh sitokin yang diproduksinya. Sitokin adalah protein dengan berat molekul kecil 8-40 kDa yang meregulasi respon penjamu terhadap infeksi, inflamasi, trauma dan benda asing. Sitokin yang utama dalam respon imun antara lain IL-1, IL-6 dan TNF-α yang dihasilkan makrofag, IFN-γ yang dihasilkan Th1 dan TGF-β yang dihasilkan Th2. Sel Th1 memproduksi sitokin IFN-γ, membantu makrofag dalam menghancurkan benda asing sedangkan sel Th2 memproduksi IL-4, IL-5 dan TGF-β yang membantu sel plasma dalam memproduksi antibodi. Dalam hal pembentukan jaringan fibrosis pada paru, IFN-γ memiliki peran sentral. Jaringan fibrosis diakibatkan oleh aktivitas proliferasi fibroblast dan pembentukan kolagen serta matriks jaringan ikat. Sitokin Th1 IFN-γ bersifat menghambat pembentukan kolagen sedangkan sitokin Th2 bersifat merangsang pembentukan kolagen dan jaringan fibrosis (Maatta dkk., 2006). Pada tahun 1957, Isaacs dan Lindenmann menemukan suatu zat yang dapat melindungi suatu sel dari infeksi virus yang kemudian mereka namakan Interferon (IFN). IFN merupakan suatu protein yang disekresikan oleh sel akibat dari berbagai macam stimuli. IFN adalah sitokin pertama yang ditemukan dan diteliti lebih dalam sehingga kita bisa mengetahui fungsi, jalur produksi, struktur dan evolusi dari sitokin kelas II lainnya. Pada umumnya terdapat dua jenis IFN yaitu tipe I dan tipe II serta sitokin mirip IFN. IFN tipe I terdiri dari tujuh kelas yaitu IFN-α, IFN-β, IFN-e, IFN-k, IFN-o, IFN-d dan IFN-t. Sedangkan IFN tipe II hanya terdiri dari satu kelas yaitu IFN-γ. IFN-α, IFN-β, IFN-e, IFN-k, IFN-o, IL28A, IL-28B dan IL-29 ditemukan pada manusia sedangkan IFN-d, IFN-t dan limitin tidak (Petska dkk., 2004; Schroder dkk., 2004; Platanias, 2005). Interferon gama adalah sitokin pro-inflamasi yang disekresikan oleh sel Th1 CD-4 yang berfungsi meningkatkan aktivitas makrofag dalam mengeradikasi antigen/benda asing. IFN-γ bekerja dengan mengaktifkan dan memperkuat efek RNI dan NOS-2 (Boehm dkk., 1997). Beberapa studi genetik menunjukkan bahwa adanya defek genetik gen penyandi IFN-γ atau reseptornya berakibat meningkatnya kerentanan individu tersebut terhadap infeksi bakteri. Suatu studi yang menggunakan terapi antibodi monoklonal anti-interferon gama pada sekelompok mencit menunjukkan hasil infeksi TB berat pada kelompok mencit tersebut (Reljic, 2007). Ada beberapa mekanisme bagaimana IFN-γ dapat meningkatkan fungsi makrofag. Pertama, IFN-γ dapat berikatan dengan Myeloid differentiation factor 88 (MyD88) kemudian mengaktivasi IFN-γ regulatory factor-1 (IRF-1) yang selanjutnya meningkatkan pinositosis, fagositosis dan penghancuran partikel benda asing. Kedua, IRF-1 mampu meningkatkan ekspresi iNOS dan enzim NADPH yang diperlukan dalam fagositosis oksidasi. Ketiga, IRF-1 bisa mengaktivasi TNF-α via faktor nukleus kappa beta. Sinergi antara sitokin TNF-α dan IFN-γ sangat diperlukan dalam aktivasi makrofag. Terakhir, IFN-γ mampu menginduksi ekspresi dari IL-12 oleh makrofag dan monosit sehingga menimbulkan umpan balik positif ke arah respon Th1. Dalam kenyataannya mekanisme IFN-γ dalam meningkatkan aktivitas makrofag memerlukan kombinasi beberapa mekanisme di atas secara simultan (Reljic, 2007) Gambar 2.2. Mekanisme kerja IFN-γ di dalam sel (Medestou, 2010) 2.3.2 Efek Pajanan Debu Kayu terhadap Kadar Interferon Gama Pajanan debu kayu secara terus menerus menyebabkan cedera epitel alveoli yang kontinyu, aktivasi fibroblast dengan penumpukan matriks protein yang berlebihan, serta terbentuknya jaringan parut dan fibrosis (Brody dkk., 1993). Patogenesis dari fibrosis paru belum diketahui secara pasti, tetapi faktor lingkungan seperti debu kayu telah dibuktikan pengaruhnya terhadap timbulnya fibrosis paru pada suatu studi meta-analisis dengan risiko relatif 1,9 kali (Taskar & Coultas, 2006). Inhalasi debu kayu dalam jangka waktu tertentu dan berulangulang akan menyebabkan cedera sel epitel alveoli. Cedera sel ini akan mengaktivasi reaksi inflamasi, respon abnormal perbaikan jaringan yang rusak dan remodeling jaringan interstisial alveoli. Respon inflamasi alamiah meliputi aktivasi sitokin pro-inflamasi dan aktivasi sel limfosit T. Aktivasi limfosit T akan berakibat diferensiasi ke arah Th1 dengan produksi sitokin IFN-γ dan ke arah Th2 dengan produksi sitokin TGF-β (King dkk., 2000; Sharma dkk., 2003). Pada prinsipnya terdapat ketidakseimbangan antara sitokin Th1 interferon gama dan sitokin Th2 pada patogenesis terjadinya fibrosis paru. Fibrosis paru diakibatkan oleh produksi kolagen oleh sel fibroblas yang teraktivasi. Proses fibrosis ini dirangsang oleh sitokin Th2 akan tetapi ditekan oleh sitokin IFN-γ. Respon imunologi yang terjadi pada fibrosis paru lebih cenderung kepada sitokin Th2 seperti IL-4 dan IL-13, eosinofil dan sel mast. Studi pada tikus menunjukkan fibrosis paru terjadi bila sitokin Th1 menurun (Meyer, 2003; Taskar & Coultas, 2006). Pajanan debu kayu akan menyebabkan penurunan kadar IFN-γ sehingga mempermudah terjadinya fibrosis paru. Peran inflamasi dominan pada fase awal fibrosis dan dikatakan kurang begitu penting dalam terjadinya fibrosis paru. Ketika terjadi cedera epitel, mikrovaskuler akan rusak sehingga komposisi plasma seperti fibronektin dan komponen koagulasi lain akan berusaha untuk menyediakan matriks ekstraseluler demi keberlangsungan perbaikan jaringan. Tetapi adanya ketidakseimbangan antara proses koagulasi dan fibrinolisis akan menghambat reepitelisasi luka dan perbaikan arsitektur paru. Hal ini dibuktikan dengan studi binatang yang menunjukkan adanya gangguan fibrinolisis pada gangguan penyembuhan cedera (Fernandez, 2006; Barnes, 2008). Berdasarkan atas pentingnya peran fibroblas atau miofibroblas dalam deposisi matriks yang berlebihan, gangguan arsitektur paru dan gangguan pertukaran gas, maka diperlukan agen seperti IFN-γ yang dapat memodulasi fungsi fibroblas dan menghambat deposisi matriks tersebut. Sehingga progresivitas penyakit fibrosis paru nantinya dapat dihambat. IFN-γ adalah interferon tipe 2 dan sitokin Th1 yang memiliki efek menghambat produksi growth factor profibrotic, ekspresi gen kolagen. Sitokin ini memegang peranan yang penting juga dalam pembentukan granuloma dan telah disetujui untuk terapi osteopetrosis dan penyakit granuloma kronik (Zhou dkk., 1999; Fruchter, 2004; Nathan dkk., 2004) Gambar 2.3. Keseimbangan Th1 dan Th2 dalam patogenesis terjadinya fibrosis paru (Wynn, 2004) 2.3.3 Peran Interferon Gama dalam Fibrosis Paru Saat ini banyak perhatian ditujukan pada penggunaan IFN-γ sebagai terapi penyakit fibrosis paru. Dasar pemikirannya adalah properti IFN-γ dalam menghambat proliferasi fibroblast, sintesis dan deposisi kolagen serta ekspresi dari sitokin pro-fibrotik. Secara histologis penyakit fibrosis paru ditandai oleh spektrum dari paru yang normal sampai honey-combing tahap lanjut. Gambaran ini sesuai dengan hipotesis proses cedera berulang yang berakhir dengan fibrosis. Proliferasi fibroblas yang terjadi diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara sitokin Th1 dan Th2 (Nathan dkk., 2004). IFN-γ adalah sitokin utama yang diproduksi oleh sel T dan sel NK yang memiliki efek antiviral, anti proliferasi, imunomodulasi dan antifibrotik. Selama bertahun-tahun IFN-γ telah lama dikenal sebagai sitokin proinflamasi, kadang dikaitkan dengan patogenesis inflamasi dan autoimun. Tetapi saat ini telah banyak bukti yang mendukung efek anti-inflamasi IFN-γ melalui rangsangannya terhadap Interleukin 1 receptor antagonist (IL-1Ra) atau IL-18 binding protein (IL-18BP). IFN-γ berefek langsung terhadap sintesis kolagen, menghambat kolagenase dan menghambat TGF-β. IFN-γ juga memiliki peran perbaikan jaringan dan remodeling. Terjadinya fibrosis paru tidak selalu melalui inflamasi, sehingga terapi dengan anti inflamasi seringkali tidak memberikan respon yang baik (Borg & Isenberg, 2007; Bouros & Tzouvelekis, 2009). Terapi dengan IFN-γ ditoleransi dengan baik. Efek samping yang mungkin muncul antara lain flu-like syndrome, mialgia, demam, penurunan berat badan, peningkatan SGPT dan nyeri di tempat suntikan (Dauber dkk., 2004; O’Connor, 2004). Studi uji klinik terandomisasi yang melibatkan 18 pasien dengan fibrosis paru menunjukkan adanya perbaikan parameter fisiologis yang lebih baik pada pasien yang mendapatkan IFN-γ1b dan prednisolon dibandingkan dengan prednisolon dan plasebo. Studi lain dengan jumlah sampel yang lebih besar ternyata gagal menunjukkan efek yang lebih baik dari terapi IFN-γ1b. Justru, terdapat efek yang berpotensi merugikan. Memang masih terdapat kontroversi mengenai efektivitas penggunaan IFN-γ sebagai terapi fibrosis paru. Suatu metaanalisis membuktikan bahwa terapi fibrosis paru dengan IFN-γ1b menurunkan angka kematian (Bajwa dkk., 2005). Penyakit fibrosis paru merupakan penyakit paru interstitial yang memiliki angka kematian yang tinggi. Separuh jumlah pasien akan meninggal dalam 4-5 tahun dan hanya sekitar 20% yang bertahan setelah 10 tahun. Terapi fibrosis paru selama ini dengan kortikosteroid dan imunosupresan tidak banyak membawa perubahan dalam hal progresivitas penyakit. IFN-γ memiliki efek yang modulasi respon inflamasi dan anti fibrotik. Efek hambatan IFN-γ bersifat tergantung dosis dan tidak hanya pada sintesis kolagen tetapi juga sitokin fibrogenik TGF-β (Cayon dkk., 2010). Untuk dapat aktif, IFN-γ harus mencapai sel target, berikatan dengan reseptor spesifik dan mengaktivasi jalur sinyal transduksi untuk menimbulkan respon seluler. IFN-γ merupakan protein yang sangat pleiotrofik sehingga dosis, cara, jalur dan waktu pemberiannya harus didesain dengan cermat untuk menghindari efek samping bahkan toksisitas (Reljic, 2007). Sejumlah studi pada binatang jelas menunjukkan efek positif dari pemberian IFN-γ pada fibrosis paru. Mekanisme fibrosis paru yang diinduksi oleh partikel debu disebabkan oleh interaksi makrofag dengan fibroblas. Studi binatang menunjukkan bahwa makrofag memproduksi platelet-derived growth factor (PDGF) yang merangsang proliferasi dan kemotaksis fibroblast. IFN-γ yang dihasilkan oleh sel T menghambat PDGF ini (Brody dkk., 1993; Segel dkk., 2003). Efek debu kayu yang lama dan berulang berpotensi menimbulkan kerusakan paru yang reversibel maupun ireversibel seperti fibrosis paru. Peran IFN-γ sebagai terapi dengan meningkatkan kadarnya didalam serum mungkin dapat menurunkan proses inflamasi dan fibrosis yang diperantarai oleh sitokin Th2. Sehingga efek buruk dari debu kayu dapat dicegah (Nathan dkk., 2004). BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Proses perbaikan cedera yang normal akan mengembalikan histologi dan fungsi jaringan kembali normal. Akan tetapi, pajanan debu kayu pada individu yang suseptibel akan berpotensi menimbulkan keadaan abnormal seperti gangguan obstruksi dan fibrosis paru. Pajanan debu kayu dalam jangka waktu tertentu dan berulang-ulang akan menyebabkan cedera sel epitel alveoli. Cedera sel epitel alveoli akan mengaktivasi reaksi inflamasi sehingga mengakibatkan limfosit T yang tidak aktif menjadi limfosit T aktif dan berdiferensiasi. Proses aktivasi dan diferensiasi limfosit T bisa ke arah Th1 (IFNγ) dan ke arah Th2. Aktivitas Th1 mampu menekan aktivitas Th2 begitu juga sebaliknya. Pajanan debu kayu berakibat pada ketidakseimbangan antara respon inflamasi Th1 dan Th2 dimana produksi sitokin Th1 (IFN-γ) akan menurun dan aktivitas sitokin Th2 akan meningkat. Prinsip ketidakseimbangan antara sitokin Th1 IFN-γ dan sitokin Th2 ini pula yang mendasari patogenesis terjadinya fibrosis paru. Pajanan debu kayu memiliki hubungan negatif dengan kadar IFN-γ serum sehingga mempermudah terjadinya fibrosis paru seperti yang terlihat pada Gambar 3.1. Gambar 3.1. Kerangka berpikir penelitian 3.2 Konsep Penelitian Gambar 3.2. Konsep penelitian 3.3 Hipotesis Penelitian Terdapat hubungan negatif antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum pada pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan studi observasional dengan rancangan potong lintang analitik. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Perusahaan X, Badung, Bali pada bulan Mei Oktober 2013. 4.3 Subjek dan Sampel 4.3.1 Populasi Populasi target penelitian adalah semua pekerja industri pengolahan kayu. Populasi terjangkau penelitian adalah semua pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali selama periode penelitian dilakukan. 4.3.2 Kriteria Subjek Subjek tersebut harus memenuhi kriteria pemilihan sebagai berikut: 4.3.2.1 Kriteria inklusi: a. Pekerja industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali. b. Usia 18-60 tahun. c. Telah bekerja di Perusahaan X, Badung, Bali selama minimal 10 tahun. d. Setuju mengikuti penelitian setelah menandatangani informed consent. 4.3.2.2 Kriteria eksklusi: a. Pekerja dengan riwayat penyakit tuberkulosis, kencing manis atau keganasan. Riwayat penyakit ini didapatkan secara subjektif hanya dengan melakukan wawancara terhadap pekerja Perusahaan X, Badung, Bali. b. Pekerja yang bekerja di bagian VI (pengecatan dan finishing) saat dilakukan pengambilan sampel 4.3.3 Besaran Sampel Perkiraan jumlah sampel yang digunakan dengan menggunakan rumus untuk koefisien korelasi berikut (Sopiyudin, 2010): 2 Rumus Z Z n 3 0 . 5 ln ( 1 r ) /( 1 r ) (1) n = jumlah sampel minimal Zα = kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5% (1.64) Zβ = kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 10% (1,28) r = korelasi minimal yang dianggap bermakna (0,4) Dengan demikian didapatkan besar sampel adalah : n = 50,51 ~ 51 n = 51 + (10% x 51) = 56,1 ~ 60 Dengan demikian besar sampel adalah 60 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah cluster purposif random sampling. 4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Identifikasi Variabel Variabel penelitian yang diukur adalah pajanan debu kayu dan IFN-γ serum. 4.4.2 Klasifikasi Variabel 1. Variabel bebas : pajanan debu kayu 2. Variabel tergantung : IFN-γ serum 3. Variabel perancu : umur, status gizi, kebiasaan merokok dan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) 4.4.3 Definisi Operasional Variabel Adapun definisi operasional penelitian adalah sebagai berikut: 1. Pajanan debu kayu adalah dosis kumulatif debu kayu yang dihirup oleh pekerja Perusahaan X, Badung yang merupakan hasil perkalian antara kadar debu terhirup (respirable dust) rata-rata dan masa kerja masingmasing pekerja. Kadar debu terhirup diukur dengan alat Personal Dust Sampler merk SKC Model 224-PCXR-8 yang diletakan setinggi hidung pekerja di 5 titik di sekitar lingkungan pekerja Perusahaan X, Badung. Satuannya mg/m3. Sedangkan masa kerja ditentukan dengan wawancara dan melihat data pekerja bersangkutan yang tersimpan dalam arsip Perusahaan X dan dihitung dengan mengalikan 285 hari kerja dalam setahun dan berapa tahun pekerja tersebut telah bekerja pada satu bagian. Satuan dosis kumulatif pajanan debu kayu adalah mg/m3/th (Bohadana dkk., 2000; Yulaekah, 2007). 2. Interferon-γ serum adalah sitokin utama dari Th1 yang kadarnya di dalam serum/darah pekerja Perusahaan X, Badung, Bali dapat diukur menggunakan metode ELISA dengan hIFN-γ ELISA high sensitivity. IFNγ memiliki nilai normal 0,145-168 pg/ml, rata-rata 10,4 pg/ml dan standar deviasi ± 40 pg/ml. Kadar IFN-γ dikatakan rendah bila nilainya di bawah rerata normal. Satuannya adalah pg/ml (Bender MedSystems). 3. Perusahaan X adalah sebuah perusahaan dengan 150 karyawan yang bergerak dalam bidang industri pengolahan kayu (mengolah kayu gelondongan menjadi kayu bahan bangunan dan mebel jadi), yang terletak di Desa Lukluk, Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung, Bali. 4. Usia adalah usia pekerja Perusahaan X, Badung pada saat sampel penelitian diambil. Umur pekerja ditentukan dengan wawancara dan melihat bukti identitas pekerja yang masih berlaku. Satuannya adalah tahun. 5. Status gizi adalah keadaan status nutrisi pekerja Perusahaan X, Badung yang ditentukan berdasarkan indeks massa tubuhnya. Indeks massa tubuh (IMT) adalah hasil perhitungan berat badan dalam kg dibagi kuadrat dari tinggi badan dalam meter. Satuannya adalah kg/m2. Status gizi dikelompokkan menjadi 3 yaitu normal bila IMT 18,5-22,9 kg/m2, kurang (malnutrisi) bila IMT < 18,5 kg/m2, berat badan berlebih bila IMT > 23 kg/m2 (WHO, 2004). 6. Kebiasaan merokok adalah aktivitas yang dilakukan pekerja Perusahaan X, Badung dalam menghirup asap rokok dengan menggunakan pipa atau rokok. Aktivitas merokok dalam penelitian ini tidak membedakan bahan pembungkus rokok, bahan baku, isi rokok, proses pembuatan rokok dan penggunaan filter dalam rokok. Kebiasaan merokok dinyatakan dalam packyears yaitu jumlah bungkus rokok yang dihisap dalam satu hari (1 bungkus = 20 batang) dikalikan lamanya merokok dalam tahun (Haris dkk., 2012) 7. Penggunaan APD adalah kebiasaan pekerja Perusahaan X, Badung dalam menggunakan masker penutup hidung dan mulut sebagai pelindung diri dari debu kayu sewaktu yang bersangkutan bekerja dalam satu tahun terakhir. Masker yang dimaksud adalah masker yang dibuat oleh perusahaan X sendiri dan terbuat dari kain. Penggunaan APD akan dikelompokkan menjadi empat derajat secara semikuantitatif yaitu tidak pernah, jarang, sering dan selalu. Pengelompokan dilakukan dengan dasar wawancara. Tidak pernah bila pekerja mengaku tidak pernah menggunakan masker selama bekerja. Jarang bila pekerja menggunakan masker terus menerus selama bekerja < 3 hari kerja seminggu. Sering bila pekerja menggunakan masker terus menerus > 3 hari kerja seminggu. Selalu bila pekerja selalu menggunakan masker selama bekerja setiap hari. 4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian Bahan dan Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Kuesioner khusus untuk mengetahui identitas, karakteristik pekerja, dan pemeriksaan fisik secara objektif. 2. Pengukuran kadar debu terhirup dengan alat Personal Dust Sampler merk SKC Model 224-PCXR-8 3. Timbangan berat badan 4. Alat ukur sentimeter untuk mengukur tinggi badan 5. Set human IFN-γ ELISA untuk mengukur kadar IFNγ serum Bahan yang digunakan adalah darah penderita sebanyak 5cc untuk pemeriksaan IFN-γ serum. Pemeriksaan IFN-γ serum dilakukan di Laboratorium Prodia Denpasar. 4.6 Prosedur Penelitian 1. Permohonan ethical clearance approval kepada Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah Denpasar. 2. Permohohan ijin kepada UPT. Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Bali yang ditembuskan kepada Direktur Perusahaan X, Badung sebagai tempat dilaksanakannya penelitian. 3. Permohonan peminjaman alat Personal Dust Sampler kepada UPT. Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Bali. 4. Semua pekerja di Perusahaan X, Badung, Bali yang memenuhi kritera inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi dimasukkan sebagai subjek penelitian. 5. Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik Cluster Purposif Random Sampling. Awalnya, populasi terjangkau dibagi menjadi 4 kelompok (penggergajian, perakitan, pengamplasan, dan administrasi), selanjutnya pemilihan sampel dilakukan secara random dan jumlahnya sama rata 15 orang di masing-masing bagian. 6. Sampel tersebut diberikan penjelasan lengkap mengenai prosedur dan tujuan penelitian ini dan diminta kesediaannya untuk bekerja sama dengan menandatangani informed consent. 7. Sampel kemudian menjalani wawancara dan mengisi kuesioner yang telah disiapkan tentang karakteristik responden dan data objektif yang berkaitan dengan penelitian serta pemeriksaan fisik. 8. Pengukuran kadar debu terhirup di Perusahaan X, Badung dengan menggunakan alat Personal Dust Sampler merk SKC Model 224-PCXR-8. Pengambilan sampel debu dilakukan di lima titik sekitar lingkungan pekerja di masing-masing bagian. Pengukuran debu dilakukan selama jam kerja (1 jam terus menerus) dan diletakan setinggi hidung rata-rata pekerja. Cara pengukuran dengan Personal Dust Sampler: a. Alat dikalibrasi dengan kecepatan hisapan 1 – 1,9 l/menit. b. Pasang filter pada filter holder dengan bagian kasar diletakkan di sebelah depan/atas. c. Alat pekerja diletakkan/pasang dengan posisi setinggi hidung. d. Pengambilan sampel dilakukan sesuai waktu yang diinginkan. e. Setelah selesai melakukan sampling, filter diambil menggunakan pinset dan dimasukkan ke dalam filter Analisis: a. Filter hasil pengukuran dimasukkan, baik sampel uji maupun blangko ke dalam desikator selama 24 jam. b. Filter ditimbang menggunakan timbangan analitik sampai diperoleh bobot tetap. c. Hasil penimbangan filter dihitung dengan rumus sebagai berikut: (B-A) + (B’-A’) Kadar debu (mg/m3) = -------------------------------------(m3) volume udara sampling (2) A = berat filter uji sebelum sampling B = berat filter uji sesudah sampling A’ = berat filter blangko sebelum sampling B’ = berat filter blangko sesudah sampling Volume udara sampel (m3): Laju alir udara X waktu sampling 9. Pengambilan sampel darah dan pengukuran kadar IFN-γ serum pekerja di bagian I, III, V dan administrasi dilakukan oleh peneliti bekerjasama dengan Tim Prodia Denpasar sesuai dengan teknik dan prosedur yang biasa dilakukan. 10. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan metode statistik yang sesuai. Semua pekerja di Perusahaan X, Badung Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi Wawancara, mengisi kuesioner dan pemeriksaan fisik Pengukuran debu terhirup di bagian I, III, V dan administrasi Pengukuran kadar IFN gamma serum pekerja di bagian I, III, V dan administrasi Analisis Data Hasil penelitian Gambar 4.1 Alur penelitian 4.7 Analisis Data Langkah langkah pengolahan data terhadap data yang telah terkumpul adalah sebagai berikut: 4.7.1 Editing Tahapan ini meneliti kembali kelengkapan pengisian, kejelasan tulisan jawaban, kesesuaian, keajegan dan keseragaman satu sama lainnya. 4.7.2 Koding Pada langkah ini peneliti mengklasifikasikan jawaban menurut macamnya dengan cara memberikan tanda pada masing-masing jawaban dengan kode tertentu. 4.7.3 Entry Dengan memberikan skor pada pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut variabel bebas dan terikat. 4.7.4 Tabulasi Melakukan pengelompokan data sesuai dengan tujuan penelitian yang kemudian dimasukkan ke dalam tabel. Setiap pernyataan diberikan nilai yang hasilnya dijumlahkan dan diberikan kategori sesuai dengan jumlah pernyataan dalam kuesioner. Selanjutnya analisis data dilakukan sesuai dengan tujuan dan skala variabel yang diteliti. Analisis statistik dengan menggunakan komputer program SPSS meliputi: a. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif penelitian ini meliputi penyajian hasil secara deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi, mean, standar deviasi, nilai maksimum dan nilai minimum. b. Uji Normalitas Data Uji normalitas data dilakukan terhadap semua data dengan skala interval dan rasio dengan uji statistik Kolmogorov-Smirnov. Bila hasil yang didapatkan tidak signifikan, nilai p > 0,05, maka data dikatakan berdistribusi normal. c. Analisis Bivariat Tujuan analisis bivariat dalam penelitian ini adalah mengetahui adanya hubungan negatif antara pajanan debu kayu dan kadar IFN-γ serum pada pekerja Perusahaan X, Badung, Bali. Untuk mencari kemaknaan variabel bebas dan terikat dilakukan analisis korelasi Pearson (bila x dan y normal) atau Spearman (bila x dan y tidak normal) dengan tingkat kemaknaan α <0,05 yang menyatakan ada hubungan dan α ≥ 0,05 yang menyatakan tidak ada hubungan. Untuk mengetahui adanya perbedaan rerata pajanan debu kayu dan rerata kadar IFN-γ serum antar kelompok (lebih dari dua kelompok), maka dilakukan uji one-way Anova dengan tingkat kemaknaan α menyatakan ada perbedaan dan α <0,05 yang ≥ 0,05 yang menyatakan tidak ada perbedaan. d. Analisis Multivariat Untuk mengendalikan variabel perancu (umur, status gizi, kebiasaan merokok dan penggunaan APD) terhadap hubungan pajanan debu kayu dengan IFN-γ serum pekerja Perusahaan X, Badung, dilakukan dengan cara analisis korelasi berganda. BAB V HASIL PENELITIAN Variabel yang diperiksa pada penelitian ini adalah pajanan debu kayu, IFN-γ serum, usia, status nutrisi, kebiasaan merokok dan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD). Sebelum melakukan analisis data maka dilakukan uji Kolmogorov - Smirnov (KS) untuk mengetahui distribusi data, apakah data mempunyai distribusi normal atau tidak normal. Variabel penelitian yang berdistribusi normal akan disajikan dalam bentuk nilai rata - rata {mean ± simpang baku (SB)}, dan bila variabel tidak berdistribusi normal maka akan disajikan dalam nilai median, nilai minimal dan nilai maksimal. Variabel penelitian yang mempunyai distribusi normal akan dilakukan uji statistik parametrik dan data yang tidak mempunyai distribusi normal akan dilakukan uji statistik non parametrik. 5.1 Karakteristik subjek penelitian Penelitian ini mengikutsertakan 60 subjek penelitian, yang terdiri dari 32 orang laki-laki (53,3%) dan 28 orang perempuan (46,7%). Subjek penelitian mempunyai rentang usia 30-56 tahun, lama bekerja 10-28 tahun, berat badan 4383 kg, tinggi badan 1,48-1,83 meter, status nutrisi (IMT 17,1-28,8 kg/m2), pajanan debu kayu 34,5-190,1 mg/m3/tahun dan kadar IFN-γ serum 3,93-21,05 pg/ml. Dari total 60 pekerja yang digunakan sebagai subjek penelitian, didapatkan bahwa 30% pekerja memiliki kebiasaan merokok, rerata lama merokok 19,3 tahun dan rerata jumlah rokok 11,9 packyear. Sebelum dilakukan uji statistik untuk mengetahui hubungan antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum, maka dilakukan uji normalitas dengan tes Kolmogorov - Smirnov (KS). Dari uji normalitas didapatkan sebaran data umur, status nutrisi, kebiasaan merokok dan pajanan debu kayu berdistribusi normal namun sebaran data penggunaan APD dan kadar IFN-γ serum tidak berdistribusi normal. Setelah dilakukan transformasi data terhadap penggunaan APD dan kadar IFN-γ serum terlihat bahwa data penggunaan APD tetap tidak normal sedangkan sebaran data IFN-γ serum kemudian berdistribusi normal (Tabel 5.1.). Tabel 5.1. Karakteristik subjek penelitian (n=60) Variabel Rerata± SD Uji K-S Usia (tahun) 40,6±5,92 p = 0,51 Masa kerja (tahun) 15,7±4,46 p = 0,05 Berat badan (kg) 60,0±9,38 p = 0,56 Tinggi badan (m) 1,66±0,08 p = 0,93 Indeks massa tubuh (kg/m2) 21,8±2,48 p = 0,62 Lama merokok (tahun) 19,3±6,56 p = 0,96 Jumlah rokok (packyear) 11,9±5,52 p = 0,86 Pajanan debu kayu (mg/m3/th) 81,7±38,72 p = 0,10 Interferon gama serum (pg/ml) 6,7±2,45 p = 0,05* Keterangan : *distribusi data normal setelah dilakukan transformasi data Sampel dikelompokan berdasarkan bagian tempatnya bekerja yaitu penggergajian, perakitan, pengamplasan dan administrasi. Pemilihan sampel dalam penelitian ini adalah cluster purposif random sampling sehingga didapatkan masing-masing 15 sampel pada tiap bagian. Tabel 5.2. Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin dan bagian tempat bekerja Jenis Kelamin, n (%) Bagian Total (n) Laki Perempuan Penggergajian 8 (25,0) 7 (25,0) 15 Perakitan 14 (43,8) 1 (3,6) 15 Pengamplasan 2 (6,2) 13 (46,4) 15 Administrasi 8 (25,0) 7 (25,0) 15 32 (100) 28 (100) 60 Total Tabel 5.2. di atas menunjukkan bahwa hampir semua pekerja dengan jenis kelamin laki-laki berada pada bagian perakitan sedangkan sebagian besar pekerja di bagian pengamplasan berjenis kelamin perempuan. Proporsi pekerja berdasarkan jenis kelamin yang relatif berimbang terlihat pada bagian penggergajian dan administrasi. Pada Tabel 5.3. di bawah terlihat bahwa 60% pekerja dengan status gizi normal dan gambaran dominasi itu terdapat pada semua bagian. Urutan kedua terbanyak adalah pekerja dengan berat badan berlebih (31,7%). Hanya ada 5 pekerja dengan status gizi kurang yaitu 3 orang pada bagian perakitan dan 2 orang pada bagian administrasi. Tabel 5.3. Distribusi frekuensi berdasarkan status gizi dan bagian tempat bekerja Status Gizi, n (%) Bagian Total (n) Kurang Normal BB lebih Penggergajian 0 (0,0) 10 (27,8) 5 (26,3) 15 Perakitan 3 (60,0) 8 (22,2) 4 (21,1) 15 Pengamplasan 0 (0,0) 8 (22,2) 7 (36,8) 15 Administrasi 2 (40,0) 10 (27,8) 3 (15,8) 15 5 (100) 36 (100) 19 (100) 60 Total Tabel 5.4. Distribusi frekuensi berdasarkan kebiasaan merokok dan bagian tempat bekerja Merokok, n (%) Bagian Total (n) Ya Tidak Penggergajian 7 (38,9) 8 (19,0) 15 Perakitan 6 (33,3) 9 (21,4) 15 Pengamplasan 0 (0,0) 15 (35,8) 15 Administrasi 5 (27,8) 10 (23,8) 15 18 (100) 42 (100) 60 Total Pada Tabel 5.4. di atas terlihat bahwa secara keseluruhan terdapat 30% pekerja merokok. Proporsi pekerja perokok hampir sama pada bagian penggergajian, perakitan dan administrasi. Tidak ada pekerja yang merokok pada bagian pengamplasan. Tabel 5.5. di bawah menunjukkan bahwa 66,7% pekerja selalu menggunakan APD pada waktu bekerja. Gambaran ini terlihat pada bagian penggergajian, perakitan dan pengamplasan. Tingkat penggunaan APD terendah terdapat pada bagian administrasi dan pada bagian ini juga terdapat 3 pekerja yang tidak pernah menggunakan APD. Tabel 5.5. Distribusi frekuensi berdasarkan penggunaan APD dan bagian tempat bekerja Penggunaan APD (n) Bagian Total (n) Tidak Jarang Sering Selalu pernah Penggergajian 0 4 1 10 15 Perakitan 0 1 1 13 15 Pengamplasan 0 2 2 11 15 Administrasi 3 3 3 6 15 3 10 7 40 60 Total Ringkasnya didapatkan bahwa sebagian besar subjek penelitian berjenis kelamin laki-laki (53,3%) dan bekerja pada bagian perakitan. Untuk status gizi, terlihat bahwa 60% subjek penelitian dengan status gizi normal, 31,7% pekerja dengan berat badan berlebih dan 8,3% dengan status gizi kurang. Sepertiga dari total jumlah pekerja memiliki kebiasaan merokok, dengan proporsi yang hampir berimbang pada tiap bagian kecuali tidak ada pekerja pada bagian pengamplasan yang merokok. Mengenai penggunaan APD, 66,7% pekerja selalu menggunakan APD bila sedang bekerja, 11,7% pekerja sering, 16,7% pekerja jarang, dan 5% pekerja tidak pernah menggunakan APD. Tabel 5.6. Kadar debu terhirup di Perusahaan X berdasarkan bagian tempat bekerja Rerata (mg/m3) SD (mg/m3) Penggergajian 0,013 0,0081 Perakitan 0,021 0,0064 Pengamplasan 0,029 0,0323 Administrasi 0,011 0,0036 Total 0,019 0,0173 Bagian Tabel 5.6. di atas menunjukkan bahwa rerata kadar debu terhirup di Perusahaan X sebesar 0,019 mg/m3. Kadar debu terhirup tertinggi terdapat pada bagian pengamplasan dan terendah pada bagian administrasi. Untuk mendapatkan data pajanan debu kayu maka kadar debu terhirup harus dikalikan lama hari kerja dalam setahun dan berapa tahun pekerja tersebut telah bekerja. 5.2 Korelasi antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum Oleh karena uji normalitas pajanan debu kayu dan IFN-γ serum ditemukan distribusi data yang normal, maka dilakukan uji korelasi dengan tes Pearson. Pada penelitian ini didapat nilai koefisien korelasi antara pajanan debu kayu dengan kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,324; p = 0,011. Tabel 5.7. Koefisien korelasi antara pajanan debu kayu dengan IFN-γ serum Correlations Pajanan debu kayu Pajanan debu kayu Pearson Correlation 1 Sig. (2-tailed) N 60 IFN-γ serum Pearson Correlation -,324* Sig. (2-tailed) ,011 N 60 *.Correlation is significant at the 0,05 level (2-tailed) IFN-γ serum -,324* ,011 60 1 60 Observed Linear ( r ) = -0,324; p = 0,011 Interferon gama serum (pg/ml) 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 Pajanan Debu Kayu Gambar 5.1. Diagram korelasi antara pajanan debu kayu dengan IFN-γ serum 5.3 Korelasi antara umur dan IFN-γ serum Oleh karena uji normalitas umur dan IFN-γ serum ditemukan distribusi data yang normal, maka dilakukan uji korelasi dengan tes Pearson. Pada penelitian ini didapat nilai koefisien korelasi antara umur dengan kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,096; p = 0,468. Tabel 5.8. Koefisien korelasi antara umur dengan IFN-γ serum Correlations Umur 1 Umur IFN-γ serum -,096* ,468 60 1 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N 60 IFN-γ serum Pearson Correlation -,096* Sig. (2-tailed) ,468 N 60 *.Correlation is significant at the 0,05 level (2-tailed) 60 ( r ) = -0,096; p = 0,468 20.00 Interferon gama serum (pg/ml) Observed Linear 15.00 10.00 5.00 30 35 40 45 50 55 60 Umur (tahun) Gambar 5.2. Diagram korelasi antara umur dengan IFN-γ serum 5.4 Korelasi antara status nutrisi dengan IFN-γ serum Oleh karena uji normalitas status nutrisi (IMT) dan IFN-γ serum ditemukan distribusi data yang normal, maka dilakukan uji korelasi dengan tes Pearson. Pada penelitian ini didapat nilai koefisien korelasi antara status nutrisi dengan kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,031; p = 0,814. Tabel 5.9. Koefisien korelasi antara status nutrisi dengan IFN-γ serum Correlations Status nutrisi IFN-γ serum Status nutrisi Pearson Correlation 1 -,031* Sig. (2-tailed) ,814 N 60 60 IFN-γ serum Pearson Correlation -,031* 1 Sig. (2-tailed) ,814 N 60 60 *.Correlation is significant at the 0,05 level (2-tailed) ( r ) = -0,031; p = 0,814 20.00 Interferon gama serum (pg/ml) Observed Linear 15.00 10.00 5.00 17.50 20.00 22.50 25.00 27.50 30.00 IMT (Kg/m2) Gambar 5.3. Diagram korelasi antara status nutrisi dengan IFN-γ serum 5.5 Korelasi antara kebiasaan merokok dengan IFN-γ serum Oleh karena uji normalitas kebiasaan merokok dan IFN-γ serum ditemukan distribusi data yang normal, maka dilakukan uji korelasi dengan tes Pearson. Pada penelitian ini didapat nilai koefisien korelasi antara kebiasaan merokok dengan kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,263; p = 0,291. Tabel 5.10. Koefisien korelasi antara kebiasaan merokok dengan IFN-γ serum Correlations Merokok 1 Merokok IFN-γ serum -,263* ,291 60 1 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N 60 IFN-γ serum Pearson Correlation -,263* Sig. (2-tailed) ,291 N 60 *.Correlation is significant at the 0,05 level (2-tailed) 60 ( r ) = -0,263; p = 0,291 20.00 Interferon gama serum (pg/ml) Observed Linear 15.00 10.00 5.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 Merokok (packyear) Gambar 5.4. Diagram korelasi antara kebiasaan merokok dengan IFN-γ serum 5.6 Korelasi antara penggunaan APD dengan IFN-γ serum Oleh karena penggunaan APD merupakan data ordinal dan IFN-γ serum adalah data numerik, maka analisis uji korelasi yang tepat adalah dengan tes Spearman. Pada penelitian ini didapat nilai koefisien korelasi antara penggunaan APD dengan kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,091; p = 0,487. Tabel 5.11. Koefisien korelasi antara penggunaaan APD dengan IFN-γ serum Correlations APD Spearman’s rho APD Correlation Coef. Sig. N Correlation Coef. Sig N IFN-γ serum . 1.000 . 60 -.091** 0,487 60 IFN-γ serum - .091** 0,487 60 1.000 60 ** correlation is significant at the 0,01 level. ( r ) = -0,091; p = 0,487 20.00 Interferon gama serum (pg/ml) Observed Linear 15.00 10.00 5.00 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 Penggunaan APD Gambar 5.5. Diagram korelasi antara penggunaan APD dengan IFN-γ serum 5.7 Analisis one-way Anova pajanan debu kayu pada keempat bagian di Perusahaan X Untuk mengetahui adanya perbedaan pajanan debu kayu antara pekerja pada masing-masing bagian di Perusahaan X, maka dilakukan analisis one-way Anova. Bagian tersebut meliputi penggergajian, perakitan, pengamplasan, dan administrasi. Syarat dilakukannya analisis one-way Anova adalah distribusi data pada tiap bagian harus normal dan varians data juga harus sama. Tabel 5.12. Hasil analisis one-way Anova Pajanan debu kayu di Perusahaan X Bagian n Rerata±SD (mg/m3/th) p Penggergajian 15 54,83±15,92 <0,001 Perakitan 15 83,79±22,16 Pengamplasan 15 132,24±32,76 Administrasi 15 55,80±55,80 60 81,87±38,72 Total Tabel 5.13. Hasil analisis Post-hoc LSD Pajanan debu kayu di Perusahaan X Bagian vs Bagian Penggergajian Perakitan Pengamplasan Administrasi Perakitan Penggergajian Pengamplasan Administrasi Pengamplasan Penggergajian Perakitan Administrasi Administrasi Penggergajian Perakitan Pengamplasan IK95% Perbedaan rerata Minimum Maksimum -28,956 -77,406 -0,969 28.956 -48,450 27,987 77,406 48,450 76,437 0,969 -27,987 -76,437 -45,6624 -94,1124 -17,6754 12,2496 -65,1564 11,2806 60,6996 31,7436 59,7306 -15,7374 -44,6934 -93,1434 -12,2496 -60,6996 15,7374 45,6624 -31,7436 44,6934 94,1124 65,1564 93,1434 17,6754 -11,2806 -59,7306 p 0,001 <0,001 0,908 0,001 <0,001 0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0,908 0,001 <0,001 Pada uji normalitas, data pada semua bagian berdistribusi normal. Pada uji varians, diperoleh nilai p = 0,057. Karena p > 0,05 maka dapat diambil kesimpulan bahwa varians data adalah sama. Dari analisis one-way Anova, diperoleh nilai p < 0,001 yang artinya paling tidak terdapat perbedaan pajanan debu kayu yang bermakna antara minimal dua bagian tempat bekerja. Pada Tabel 5.12. di atas terlihat bahwa pajanan tertinggi terdapat pada bagian pengamplasan, diikuti dengan bagian perakitan, administrasi dan penggergajian. Setelah dilakukan analisis uji one-way Anova yang dilanjutkan dengan post-hoc LSD (Tabel 5.13.), didapatkan perbedaan pajanan debu kayu yang bermakna antar bagian bila p < 0,05. 5.8 Analisis one-way Anova IFN-γ serum pada keempat bagian di Perusahaan X Untuk mengetahui adanya perbedaan kadar IFN-γ serum antara pekerja pada masing-masing bagian di Perusahaan X, maka dilakukan analisis one-way Anova. Bagian tersebut meliputi penggergajian, perakitan, pengamplasan dan administrasi. Syarat dilakukannya analisis one-way Anova adalah distribusi data pada tiap bagian harus normal dan varians data juga harus sama. Awalnya distribusi data IFN-γ serum pada masing-masing bagian tidak normal, kemudian sebaran data berdistribusi normal setelah dilakukan transformasi data. Tabel 5.14. Hasil analisis one-way Anova IFN-γ serum di Perusahaan X Bagian n Rerata±SD (pg/ml) p Penggergajian 15 6,25±1,64 0,001 Perakitan 15 6,20±1,44 Pengamplasan 15 5,72±0,56 Administrasi 15 8,69±3,80 60 6,72±2,45 Total Tabel 5.15. Hasil analisis Post-hoc LSD IFN-γ serum di Perusahaan X Bagian vs Bagian Penggergajian Perakitan Pengamplasan Administrasi Perakitan Penggergajian Pengamplasan Administrasi Pengamplasan Penggergajian Perakitan Administrasi Administrasi Penggergajian Perakitan Pengamplasan IK95% Perbedaan rerata Minimum Maksimum 0,00142 0,02852 -0,12832 -0,00142 0,02710 -0,12974 -0,02852 -0,02710 -0,15684 0,12832 0,12974 0,15694 -0,0756 -0,0485 -0,2053 -0,0784 -0,0499 -0,2068 -0,1055 -0,1041 -0,2339 0,0513 0,0527 0,0798 0,0784 0,1055 -0,0513 0,0756 0,1041 -0,0527 0,0485 0,0499 -0,0798 0,2053 0,2068 0,2339 p 0,971 0,461 0,002 0,971 0,484 0,001 0,461 0,484 0,000 0,002 0,001 0,000 Pada uji varians, diperoleh nilai p = 0,088. Karena p > 0,05 maka dapat diambil kesimpulan bahwa varians data adalah sama. Dari analisis one-way Anova, diperoleh nilai p < 0,001 yang artinya paling tidak terdapat perbedaan IFN-γ serum yang bermakna antara minimal dua bagian tempat bekerja. Pada Tabel 5.14. di atas terlihat bahwa IFN-γ serum tertinggi terdapat pada bagian administrasi, diikuti dengan bagian penggergajian, perakitan dan pengamplasan. Setelah dilakukan analisis uji one-way Anova yang dilanjutkan dengan post-hoc LSD (Tabel 5.15.), didapatkan perbedaan IFN-γ serum yang bermakna antara bagian administrasi dengan tiga bagian lainnya (p < 0,05). Sedangkan tidak didapatkan perbedaan bermakna kadar IFN-γ serum antara bagian penggergajian, perakitan dan pengamplasan. BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik subjek penelitian Industri pengolahan kayu perusahaan X memiliki lebih dari seratus pekerja yang terbagi dalam 7 bagian utama yaitu penggergajian, penyimpanan, perakitan, pengeringan, pengamplasan, finishing dan administrasi. Penelitian ini dilakukan hanya pada tiga bagian utama yang memang terpajan oleh debu kayu yaitu bagian penggergajian, perakitan dan pengamplasan serta bagian administrasi yang relatif tidak terpajan debu kayu. Penelitian ini mengikutsertakan 60 subjek penelitian. Sebagian besar pekerja berjenis kelamin laki-laki (53,3%) dan bekerja pada bagian perakitan. Bagian pengamplasan didominasi oleh pekerja wanita sedangkan bagian penggergajian dan administasi memiliki proporsi jenis kelamin yang relatif seimbang. Subjek penelitian mempunyai rentang usia 30-56 tahun dan lama bekerja 10-28 tahun. Khumaidah (2009) melaporkan bahwa pekerja pengolahan kayu biasanya berumur 20-40 tahun dimana 75% di antaranya berumur 30-40 tahun. Sebanyak 86,4% dilaporkan sudah bekerja selama 5-10 tahun. Triatmo dkk. (2006) melaporkan 54,5% pekerja mebel di Jepara berumur 11-20 tahun dan rerata masa kerja 10,8 tahun. Syahriany (2002) menyatakan bahwa terdapat bahaya kadar debu yang melewati NAB (> 3 mg/m3) terhadap gangguan paru bagi pekerja industri pembuatan tablet yang bekerja selama 8 jam/hari atau 40 jam/minggu. Setiap inhalasi 500 partikel/ml, minimal 1 partikel debu diterima oleh alveoli. Status gizi secara umum mempengaruhi tingkat imunitas seseorang baik seluler maupun humoral. Penelitian ini menunjukkan bahwa 60% subjek penelitian dengan status gizi normal, 31,7% pekerja dengan berat badan berlebih dan 8,3% dengan status gizi kurang. Hal ini sejalan dengan penelitian Khumaidah (2009) yang melaporkan bahwa 81,8% pekerja di bagian amplas industri pengolahan kayu di Jepara memiliki status gizi baik. Sedangkan penelitian lain melaporkan rerata IMT pekerja industri mebel di Jepara yaitu 23,2 kg/m2 dan 60% pekerja memiliki status gizi baik (Triatmo dkk., 2006) Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi baik jalan nafas maupun parenkim paru. Perubahan jalan nafas besar berupa hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus. Perubahan struktur jalan nafas kecil bervariasi dari inflamasi ringan sampai penyempitan dan obstruksi jalan nafas karena proses inflamasi, hiperplasi sel goblet dan penumpukan sekret intraluminer (Antarudin, 2000). Penelitian ini menunjukkan bahwa 30% pekerja merokok dan sebagian besar berjenis kelamin laki-laki. Proporsi ini lebih tinggi dari penelitian Khumaidah (2009) yang menunjukkan bahwa hanya 11,4% pekerja merokok, sedangkan Triatmo dkk. (2006) melaporkan 80% pekerja tidak merokok. Antarudin (2000) melaporkan tidak dijumpai satupun pekerja perempuan yang merokok mungkin karena di area penelitiannya, Aceh, masih tabu melihat perempuan yang merokok. Walaupun asap rokok merupakan penyebab penyakit saluran nafas kronis terbanyak, bronkitis kronis dan emfisema juga dijumpai pada 5-6% usia lanjut yang tidak pernah merokok di Amerika serikat. Hal ini karena timbulnya penyakit saluran nafas kronik selain disebabkan oleh rokok, juga oleh polusi udara, terpapar lingkungan berasap dan faktor genetik (Antarudin, 2000). Work Safe Western Australia (2000) menyatakan pengendalian debu dengan memakai APD seperti masker, baju kerja dan sarung tangan sangat penting untuk meningkatkan produktivitas kerja dan sekaligus melindungi pekerja terpajan dengan debu. Lembaga pemerintah seperti Badan POM, Departemen Kesehatan dan Departemen Tenaga Kerja harus secara aktif dan benar-benar melakukan pemantauan terhadap lingkungan kerja, pengusaha dan para pekerja. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan kesehatan rutin dan pencatatan keadaan lingkungan kerja serta membuat laporan hasil evaluasi yang benar kepada perusahaan sehingga perusahaan mengetahui kekurangannya dan dapat memperbaikinya. Selain itu penyuluhan tentang kesehatan serta pendidikan dan latihan juga baik diberikan pada pengusaha dan para karyawan. Hal ini penting untuk menghindarkan penyakit akibat kerja, menambah wawasan dan pengetahuan terutama di bidang kesehatan serta meningkatkan keterampilan dalam melakukan pekerjaan sehari-hari (Syahriany, 2002). Penelitian ini mendapatkan bahwa tingkat penggunaan APD pada pekerja industri pengolahan kayu baik yaitu 66,7% pekerja selalu menggunakan APD bila sedang bekerja, 11,7% pekerja sering, 16,7% pekerja jarang, dan 5% pekerja tidak pernah menggunakan APD. Hal ini bersesuaian dengan penelitian lain dimana 86,4% pekerja pengamplasan dan 76,4% pekerja mebel menggunakan APD sewaktu bekerja (Triatmo dkk., 2006; Khumaidah, 2009). 6.2 Pajanan debu kayu Nilai ambang batas (NAB) adalah standar faktor-faktor lingkungan kerja yang dianjurkan ditempat kerja agar tenaga kerja masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan penyakit gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Kegunaan NAB ini sebagai rekomendasi pada praktek higiene perusahaan dalam melakukan penatalaksanaan lingkungan kerja sebagai upaya untuk mencegah dampaknya terhadap kesehatan. Untuk debu kayu keras telah ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja (1997) dalam surat edaran menteri tenaga kerja tentang NAB debu kayu di udara lingkungan kerja adalah sebesar 1 mg/m3. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran kadar debu kayu pada keempat bagian di Perusahaan X. Pengukuran kadar debu terhirup dilakukan dengan alat Personal Dust Sampler merk SKC Model 224-PCXR-8 yang diletakan setinggi hidung pekerja di 5 titik pada tiap bagian. Nilai rerata kadar debu terhirup di Perusahaan X adalah 0,019 mg/m3 masih lebih rendah dari NAB debu kayu di udara lingkungan kerja yang dipersyaratkan peraturan pemerintah. Selanjutnya dilakukan analisis one-way Anova dan diperoleh nilai p < 0,001 yang artinya paling tidak terdapat perbedaan pajanan debu kayu yang bermakna antara minimal dua bagian tempat bekerja. Pada Tabel 5.12. terlihat bahwa pajanan tertinggi terdapat pada bagian pengamplasan, diikuti dengan bagian perakitan, administrasi dan penggergajian. Setelah dilakukan analisis uji one-way Anova yang dilanjutkan dengan post-hoc LSD (Tabel 5.13.), didapatkan perbedaan pajanan debu kayu yang bermakna antar bagian (p < 0,05). Bagian pengamplasan memang paling banyak menghasilkan debu dengan ukuran kecil dan dapat masuk ke saluran nafas bawah, sedangkan bagian administrasi yang bekerja dalam kantor relatif tidak terpajan dengan lingkungan debu kayu (Yulaekah, 2007). Penelitian pada pekerja mebel di Jepara menunjukkan kadar debu terhirup juga lebih rendah dari NAB dengan hasil sebagai berikut, di bagian sending I (13,845 µg/m3), sending II (11,972 µg/m3), bagian mill II (12,640 µg/m3), dan bagian final finishing (11,316 µg/m3) (Triatmo dkk., 2006). Kadar debu terhirup di Perusahaan X masih lebih rendah dari NAB mungkin disebabkan oleh kegiatan pengamplasan yang menghasilkan debu dengan ukuran lebih kecil terletak tidak pada setiap bagian produksi (Triatmo dkk., 2006). Berdasarkan observasi peneliti, beberapa bagian seperti penggergajian dan perakitan tidak ditutupi oleh dinding yang mengelilingi bagian produksi sehingga memungkinkan perubahan arah angin yang membawa debu yang berterbangan sehingga tidak tertangkap oleh alat Personal Dust Sampler. Adanya pengaruh cara debu itu dihasilkan, kelembaban udara, kecepatan angin dan faktor-faktor fisika lain yang tidak diperhitungkan pada penelitian ini mungkin dapat mempengaruhi rendahnya kadar pajanan debu kayu (Lange, 2008). Hal ini merupakan kelemahan penelitian dan dapat digunakan sebagai bahan untuk penelitian yang akan datang. Kayu yang biasa digunakan oleh Perusahaan X dalam produksinya adalah kayu Merbau dan Bangkirai. Kedua kayu ini termasuk ke dalam jenis kayu keras (hardwoods). Kayu ini memiliki tekstur kayu yang kasar dan merata, dengan arah serat yang kebanyakan lurus. Kayu yang telah diolah memiliki permukaan yang licin dan mengkilap indah. Kayu ini memiliki penyusutan yang sangat rendah, sehingga tidak mudah menimbulkan cacat apabila dikeringkan, memiliki daya tahan terhadap jamur pelapuk kayu, rayap kayu kering dan penggerek laut sehingga sering digunakan dalam pekerjaan konstruksi perairan. Kayu keras jenis ini terutama dimanfaatkan dalam konstruksi berat seperti balok-balok, tiang dan bantalan, bangunan rumah maupun jembatan. Tabel 6.1. Perbedaan karakteristik kayu keras dan kayu lunak (Lange, 2008) Karakteristik Kayu Keras Kayu Lunak Panjang (1,4-4,4mm) Pendek (0,2-2,4mm) Tipe sel 1 jenis (trakeid) bervariasi Selulose ~40-50% ~40-50% Polipose ~15-30% ~25-35% Lignin ~25-35% ~20-30% Komponen ekstrak ~10% 1-10% Non-polar Tinggi Rendah Polar Rendah Tinggi Fiber Kayu keras dan kayu lunak memiliki perbedaan karakterisitik bahan yang terkandung di dalamnya seperti yang terlihat pada Tabel 6.1. Semua komponen bahan tersebut mampu menimbulkan reaksi di dalam tubuh. Secara umum jenis kayu keras lebih berpotensi menimbulkan kelainan ireversibel pada paru berupa fibrosis paru dibandingkan dengan kayu lunak. Beberapa jenis kayu dapat menimbulkan reaksi inflamasi yang kemudian berakibat pada pembentukan jaringan fibrosis. Mekanisme inflamasi yang diinduksi oleh debu kayu ini coba dipelajari pada media kultur sel. Kayu beech, oak, birch, teak, pine dan spruce mampu menginduksi reaksi inflamasi yang berakibat cedera sel dan fibrosis. Kayu pine dan birch juga mampu menginduksi pembentukan ROS oleh sel makrofag, yang selanjutnya berujung pada kematian sel dan fibrosis. Berbeda dengan pine dan birch, kayu beech tidak menginduksi peningkatan produksi ROS (Maatta dkk., 2006). 6.3 Interferon gama serum IFN merupakan suatu protein yang disekresikan oleh sel akibat dari berbagai macam stimuli (Petska dkk., 2004; Schroder dkk., 2004; Platanias, 2005). Interferon gama adalah sitokin pro-inflamasi yang disekresikan oleh sel Th1 CD-4 yang berefek langsung terhadap sintesis kolagen, menghambat kolagenase dan menghambat TGF-β. IFN-γ juga memiliki peran perbaikan jaringan dan remodeling (Borg & Isenberg, 2007; Bouros & Tzouvelekis, 2009). Ketika terjadi cedera epitel, mikrovaskuler akan rusak sehingga komposisi plasma seperti fibronektin dan komponen koagulasi lain akan berusaha untuk menyediakan matriks ekstraseluler demi keberlangsungan perbaikan jaringan (Fernandez, 2006; Barnes, 2008). Dalam hal pembentukan jaringan fibrosis pada paru, IFN-γ memiliki peran sentral. Jaringan fibrosis diakibatkan oleh aktivitas proliferasi fibroblast dan pembentukan kolagen serta matriks jaringan ikat. Sitokin Th1 IFN-γ bersifat menghambat pembentukan kolagen sedangkan sitokin Th2 bersifat merangsang pembentukan kolagen dan jaringan fibrosis (Maatta dkk., 2006). Efek debu kayu yang lama dan berulang berpotensi menimbulkan kerusakan paru yang reversibel maupun ireversibel seperti fibrosis paru. Pajanan debu kayu akan menyebabkan ketidakseimbangan Th1 dan Th2, penurunan IFN-γ dan peningkatan Th2 sehingga mempermudah terjadinya fibrosis paru. Peran IFNγ sebagai terapi dengan meningkatkan kadarnya di dalam serum mungkin dapat menurunkan proses inflamasi dan fibrosis yang diperantarai oleh sitokin Th2. Sehingga efek buruk dari debu kayu dapat dicegah (Nathan dkk., 2004). Interferon-γ serum dapat diukur kadarnya dengan menggunakan metode ELISA dengan hIFN-γ ELISA high sensitivity. IFN-γ memiliki nilai normal 0,145-168 pg/ml, rerata 10,4 pg/ml dan standar deviasi ± 40 pg/ml. Kadar IFN-γ dikatakan rendah bila nilainya di bawah rerata normal. Pada penelitian ini, rerata IFN-γ serum pekerja di Perusahaan X adalah 6,7±2,45 pg/ml. Analisis one-way Anova memperoleh nilai p < 0,001 yang artinya paling tidak terdapat perbedaan IFN-γ serum yang bermakna antara minimal dua bagian tempat bekerja. Pada Tabel 5.14. terlihat bahwa IFN-γ serum tertinggi terdapat pada bagian administrasi, diikuti dengan bagian penggergajian, perakitan dan pengamplasan. Setelah dilakukan analisis uji one-way Anova yang dilanjutkan dengan post-hoc LSD (Tabel 5.15.), didapatkan perbedaan IFN-γ serum yang bermakna antara bagian administrasi dengan tiga bagian lainnya (p < 0,05) dan tidak didapatkan perbedaan bermakna kadar IFN-γ serum antara bagian penggergajian, perakitan dan pengamplasan (p > 0,05). Kadar IFN-γ secara teori dipengaruhi oleh beberapa kondisi seperti umur, status gizi, kebiasaan merokok, penyakit tuberkulosis, diabetes, dan keganasan (Gardner & Murasco, 2002; Modestou dkk., 2010; Zaidi & Merlino, 2011). Umur tua berkaitan dengan respon produksi IFN-γ yang menurun, terutama responnya terhadap antigen virus seperti influenza (Gardner & Murasco, 2002). Suatu studi menunjukkan bahwa kadar IFN-γ dipengaruhi oleh status gizi. Studi tersebut menyebutkan terjadi peningkatan kadar IFN-γ serum pada populasi anak-anak yang obes (Facifico dkk., 2006). Kebiasaan merokok memudahkan seseorang untuk menderita infeksi virus pada saluran nafas. Hal ini disebabkan karena kemampuan antivirus IFN-γ dihambat oleh komponen asap rokok (Modestou dkk., 2010). Peran sentral dari sitokin IFN-γ di dalam patogenesis infeksi tuberkulosis dibuktikan dengan beberapa studi yang menunjukkan bahwa tikus dengan gen IFN-γ yang sengaja dihilangkan, manusia dengan kelainan genetik defisiensi sitokin tipe 1 (IL-12, IL-23 dan IFN-γ) dan individu yang memiliki autoantibodi terhadap IFN-γ sangat rentan terhadap infeksi mikobakteria termasuk Mikobakterium tuberkulosis (van Crevel dkk., 2002; North & Jung, 2004; Lin dkk., 2008). Diabetes merupakan faktor risiko terjadinya penyakit fibrosis paru, sedangkan kadar IFN-γ pada kondisi ini rendah (Enomoto dkk., 2003). Kondisi imunodefisiensi pada penderita kanker juga dipengaruhi oleh adanya peran IFN-γ sebagai antiproliperatif dan proapoptosis. Kondisi keganasan biasanya ditandai oleh peningkatan aktivitas proinflamasi sitokin IFN-γ (Brandacher dkk., 2006). 6.4 Korelasi antara pajanan debu kayu dan Interferon gama serum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas pajanan debu kayu dan variabel tergantung IFN-γ serum. Hubungan variabel perancu seperti umur, status gizi, kebiasaan merokok dan penggunaan APD dengan variabel tergantung juga ikut dianalisis korelasinya. Hasilnya, variabel mana yang paling berhubungan dengan IFN-γ serum pekerja pada industri pengolahan kayu dapat diketahui. Penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan IFN-γ serum. Nilai koefisien korelasi antara umur dengan kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,096; p = 0,468. Hal ini bertentangan dengan penelitian Syahriany (2002) yaitu semakin bertambahnya umur seseorang, kemampuan fungsi paru seperti volume ekspirasi paksa 1 menit (VEP1) berada dalam besaran sistomatik yakni 1-1,5 liter dan kualitas paru dapat memburuk dengan cepat. Status gizi pada penelitian ini menggunakan IMT sebagai variabel numerik sehingga dapat dikorelasikan dengan kadar IFN-γ serum. Nilai koefisien korelasi antara status nutrisi dengan kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,031; p = 0,814. Artinya, tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara status gizi dan IFN-γ serum. Secara tidak langsung hal ini sejalan dengan penelitian Triatmo dkk. (2006) bahwa pekerja dengan gizi baik maupun kurang baik pada saat penelitian di PT AJP mempunyai risiko sama untuk terjadinya gangguan fungsi paru. Asap rokok dapat menimbulkan kelainan atau penyakit pada berbagai organ tubuh. Penelitian ini mendapatkan 30% pekerja dengan kebiasaaan merokok dengan rerata lama merokok 19,3 tahun dan jumlah rokok 11,9 packyear. Pada uji korelasi dengan uji Pearson untuk menilai hubungan antara merokok dengan IFNγ serum didapatkan nilai koefisien korelasi antara kebiasaan merokok dengan kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,263; p = 0,291 yang artinya tidak didapatkan hubungan bermakna. Antarudin (2000) melaporkan dalam suatu penelitian pada pekerja kilang padi bahwa faal paru pekerja yang merokok lebih buruk daripada pekerja yang tidak merokok. Jumlah rokok dalam penelitian tersebut dibedakan menjadi tidak merokok, merokok < 20, 20-40 dan merokok > 40 packyear. Kesimpulannya adalah makin banyak terpajan rokok maka makin berat derajat obstruksinya. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Damayanti dkk. (2007) pada penelitian pekerja semen yaitu tidak didapatkannya hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dan kelainan klinis serta faal fungsi paru. Aviandari dkk. (2009) juga melakukan penelitian hubungan antara kebiasaan merokok dan gangguan fungsi paru pada pekerja dermaga di Jakarta. Hasil yang didapatkan adalah terdapat 60% pekerja perokok yang dikelompokan menjadi perokok ringan, sedang dan berat. Faktor merokok tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan gangguan fungsi paru. Mekanisme asap rokok menimbulkan penyakit pada saluran pernafasan dapat dilihat pada Gambar 6.1. Iritasi saluran napas oleh asap rokok dan bahan toksik lain akan menimbulkan reaksi inflamasi saluran napas sehingga terjadi deposit sel radang neutrofil maupun makrofag di tempat tersebut. Neutrofil akan mengeluarkan elastase yang berlebihan mengakibatkan metaplasia sel epitel sekretori dan hipertrofi kelenjar mukus. Elastase netrofil menghambat mucociliary clearance. Asap rokok mampu menganggu pembersihan silier dan menyebabkan retensi mukus dan toksin (Haris dkk., 2012). Walaupun tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dan IFN-γ serum pada pekerja di Perusahaan X, tidak berarti pekerja diperkenankan merokok karena banyak efek buruk asap rokok yang secara teori memudahkan terjadinya gangguan paru pekerja. Gambar 6.1. Mekanisme asap rokok menimbulkan penyakit pada saluran nafas (Haris dkk., 2012) Pemakaian masker oleh pekerja industri yang udaranya banyak mengandung debu merupakan upaya untuk mengurangi masuknya partikel debu ke dalam saluran pernafasan. Penggunaan masker dapat melindungi pekerja dari kemungkinan terjadinya gangguan pernafasan akibat terpajan udara dengan kadar debu yang tinggi. Kebiasaan menggunakan masker yang baik merupakan cara aman bagi pekerja yang berada di lingkungan kerja berdebu untuk melindungi kesehatan (Khumaidah, 2009). Penelitian ini menunjukkan nilai koefisien korelasi antara penggunaan APD dengan kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,091; p = 0,487, artinya bahwa tidak terdapat hubungan antara penggunaan APD dengan IFN-γ serum. Damayanti dkk. (2007) melaporkan hasil serupa dimana tidak didapatkan hubungan kebiasaan menggunakan masker dengan gambaran klinis dan kelainan foto toraks akibat pajanan debu semen. Masker yang digunakan oleh pekerja tidak terstandar karena terbuat dari bahan kain dan diproduksi oleh perusahaan sendiri. Kemampuan masker ini tentu belum diketahui dalam menurunkan pajanan debu kayu. Hal ini yang mungkin menyebabkan tidak didapatkannya hubungan antara penggunaan APD dan IFN-γ serum. Penelitian ini menunjukkan hubungan yang bermakna antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum. Nilai koefisien korelasi antara pajanan debu kayu dengan kadar IFN-γ serum adalah (r) = -0,324; p = 0,011. Variabel pajanan debu kayu sangat berkaitan dengan konsentrasi debu yang terhisap dan lamanya pajanan yang tentunya terkait erat dengan lama bekerja. Hal ini sesuai dengan penelitian Triatmo dkk. (2006) yang dilakukan pada pekerja mebel yang menunjukkan ada hubungan antara pajanan debu dengan gangguan fungsi paru dengan hasil p = 0,001 dan odd ratio 13,72. Artinya, pekerja yang terpajan debu dengan kadar diatas NAB memiliki risiko untuk menimbulkan gangguan fungsi paru sebesar 13,7 kali lebih besar dibandingkan dengan pekerja yang terpajan debu dengan kadar dibawah NAB. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aditama (1993) pada bagian Pulmonologi Universitas Indonesia tentang situasi beberapa penyakit paru di masyarakat menyatakan bahwa pada pekerja yang berada di lingkungan dengan konsentrasi debu yang tinggi dalam waktu yang lama (> 10 tahun) memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit obstruktif menahun. Masa kerja mempunyai kecendrungan sebagai faktor risiko terjadinya obstruksi saluran pernafasan pada pekerja industri yang berdebu sejak mulai mempunyai masa kerja 5 tahun. Masa kerja menentukan lama pajanan seseorang terhadap faktor risiko yaitu debu kayu. Semakin lama masa kerja seseorang kemungkinan besar orang tersebut mempunyai risiko yang besar terkena penyakit paru (Khumaidah, 2009). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Maatta dkk. (2006) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna ekspresi mRNA sitokin Th1 (IFN-γ dan IL-12) atau sitokin Th2 (IL-4, IL-5 dan IL-13) setelah dilakukan pajanan debu kayu. Gangguan fungsi paru yang disebabkan oleh adanya deposit debu dalam jaringan paru disebut pneumokoniosis. Pneumokoniosis adalah akumulasi debu dalam jaringan paru dan reaksi jaringan paru terhadap adanya akumulasi debu tersebut. Bila pengerasan alveoli telah mencapai 10% akan terjadi penurunan elastisitas paru yang menyebabkan kapasitas vital paru akan menurun dan dapat mengakibatkan berkurangnya suplai oksigen ke dalam jaringan otak, jantung dan bagian-bagian tubuh lainnya (Khumaidah, 2009). Gangguan fungsi paru merupakan akibat yang paling ditakutkan dari masalah penyakit akibat kerja di lingkungan kerja yang berdebu. Akibat debu yang masuk dalam jaringan alveoli sangat tergantung dari solubilitas dan reaktivitasnya. Tingginya reaktivitas suatu substansi yang dapat mencapai alveoli dapat menyebabkan reaksi inflamasi yang akut dan edema paru. Pada reaksi subakut dan kronis ditandai dengan pembentukan granuloma dan fibrosis interstisial. Hampir semua debu yang mencapai alveoli akan diikat oleh makrofag, dikeluarkan bersama sputum atau ditelan dan mencapai interstisial. Mekanisme clearance alveoli sangat efisien dan efektif dalam mengeliminasi debu (Lange, 2008). Debu yang masuk saluran nafas menyebabkan timbulnya reaksi mekanisme pertahanan non-spesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport mukosilier dan fagositosis oleh makrofag. Otot polos di sekitar jalan nafas dapat terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini biasanya terjadi bila kadar debu melebihi nilai ambang batas. Partikel debu yang masuk ke dalam alveoli akan fokus dan berkumpul di bagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh makrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap makrofag seperti silika bebas merangsang terbentuknya makrofag baru. Makrofag baru menfagositosis silika bebas tadi sehingga terjadi autolisis, dan keadaan ini terjadi berulang-ulang. Pembentukan dan destruksi makrofag yang terus menerus penting pada pembentukan jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru yaitu pada dinding alveoli dan jaringan interstiil. Akibat fibrosis paru akan menjadi kaku dan menimbulkan gangguan pengembangan paru yaitu kelainan fungsi paru yang restriktif (Khumaidah, 2009). Untuk menghindarkan terjadinya gangguan fungsi paru, maka dalam perusahaan perlu menerapkan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang meliputi ventilasi penyedotan, ventilasi umum, APD, pemeriksaan kesehatan pra-karya, pemeriksaan kesehatan berkala dan pendidikan kesehatan. Penggunaan ventilasi dan alat pengumpul debu yang tidak memadai, pemeriksaan yang tidak teratur, dan pengaturan ventilasi yang kurang baik merupakan penyebab timbulnya gangguan paru pekerja (Syahriany, 2002). Alat pengumpul debu yang sudah lama dan pengawasan yang kurang baik menyebabkan debu tidak terserap dengan baik. Debu yang timbul pada proses produksi adalah debu halus yang dapat mengendap karena adanya gaya gravitasi bumi dan menggumpal sehingga dapat menempel satu sama lainnya. Debu yang berterbangan harus dilakukan penyedotan dengan dust collector. Dengan alat ini udara disaring terlebih dahulu sebelum dialirkan kembali ke dalam ruangan yang sama dengan menggunakan saringan yang berefektivitas tinggi. Selanjutnya debu dialirkan melalui pipa cerobong exhaust fan yang dilengkapi dengan saringan debu sehingga udara yang dibuang ke lingkungan sekitar pabrik diharapkan sudah bersih dari debu (Syahriany, 2002). Berdasarkan observasi peneliti di lingkungan sekitar industri pengolahan kayu Perusahaan X, nampak bahwa proses pengolahan limbah debu tidak efektif karena dust collector hanya ada satu dan letaknya di tengah perusahaan, tidak di setiap bagian produksi. Selain itu, penggunaan masker yang tidak standar memungkinkan debu terhirup dapat menembus masuk ke dalam saluran nafas sehingga menimbulkan kelainan di paru. Hal ini tentunya menyebabkan pajanan debu kayu menjadi lebih tinggi terhadap pekerja setiap harinya. Hal yang terpenting adalah manajemen K3 yang harus dilaksanakan oleh pihak pemerintah dan perusahaan secara berkesinambungan untuk mencegah timbulnya penyakit akibat kerja. Beberapa kelemahan yang ada pada penelitian ini antara lain tidak dilakukan pengambilan data pendidikan subjek penelitian dan kemungkinan adanya reporting bias dari subjek penelitian. Penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan antara penggunaan APD dan kadar IFN-γ serum. Seperti kita ketahui, penggunaan APD dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan subjek penelitian. Tingkat pendidikan yang rendah berkaitan dengan penggunaan APD yang rendah pula (Antarudin, 2000). Data pendidikan menjadi penting untuk dicari dan dianalisis hubungannya dengan penggunaan APD pada penelitian ini. Beberapa keadaan dan penyakit dapat mempengaruhi kadar IFN-γ serum pekerja seperti yang telah tercantum pada kriteria eksklusi. Semua keadaan atau penyakit tersebut hanya disingkirkan menggunakan anamnesis sehingga ada kemungkinan subjek penelitian tidak memberikan keterangan yang sebenarnya. Begitu juga dengan data penggunaan APD yang didasarkan pada pengakuan pekerja. Hal ini disebut dengan reporting bias, sesuatu yang relatif sulit dikontrol oleh peneliti dan menjadi salah satu kelemahan penelitian. BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7. 1 Simpulan Dari data hasil penelitian ini maka dapat diambil simpulan yaitu terdapat hubungan negatif yang bermakna antara pajanan debu kayu dan IFN-γ serum pekerja di Industri pengolahan kayu Perusahaan X, Badung, Bali. 7.2 Saran Penelitian ini membuktikan bahwa telah terjadi gangguan dalam tubuh berupa penurunan kadar IFN-γ serum yang berkaitan dengan peningkatan pajanan debu kayu. Oleh karena itu, usaha pencegahan untuk menurunkan pajanan debu kayu terhadap pekerja seperti modifikasi aspek ergonomi, penggunaan APD yang terstandar dan program berhenti merokok tetap penting untuk dilakukan. DAFTAR PUSTAKA Aditama, T.Y. 1993. Situasi beberapa penyakit paru di masyarakat. CDK; 84: 2830. American Thoracic Society. 1996. Respiratory Protection Guidelines. Am J Respir Crit Care Med; 154: 1153-1165. Antarudin. 2000. “Pengaruh debu padi pada faal paru pekerja kilang padi yang merokok dan tidak merokok” (tesis). Medan: Universitas Sumatra Utara. Aviandari, G., Budiningsih, S., Ikhsan, M. 2009. Prevalensi gangguan obstruksi paru dan faktor-faktor yang berhubungan pada pekerja dermaga dan Silo gandum di PT X Jakarta. J Respir Indones; 29(2): 1-12. Bajwa, E.K., Ayas, N.T., Schulzer, M., Mak, E., Ryu, J.H., Malhotra, A. 2005. Interferon-γ1b therapy in Idiopathic pulmonary fibrosis: a metaanalysis. Chest; 128: 203-206. Baran, S., Teul, I. 2007. Wood dust: an occupational hazard which increases the risk of respiratory disease. J Physiol Pharmacol; 58: 43-50. Barnes, P.J. 2008. A blood test for lung fibrosis? PLoS Med; 5: 528-529. Baumgartner, K.B., Samet, J.M., Coultas, D.B., Stidley, C.A., Hunt, W.C., Colby, T.V. 2000. Occupational and environmental risk factors for idiopathic pulmonary fibrosis: a multicenter case-control study. Am J Epidemiol; 152: 307-315. Bender MedSystems. Human IFN-γ serum ELISA product information and manual. Viena. Boehm, U., Klamp, T., Groot, M., Howard, J.C. 1997. Celullar responses to Interferon gamma. Annu Rev Immunol; 15: 749-795. Bohadana, A.B., Massin, N., Wild, P., Toamain, J.P., Engel, S., Goutet, P. 2000. Symptoms, airway responsiveness, and exposure to dust in beech and oak wood workers. Occup Environ Med; 57(4): 268-273. Borg, F.A.Y., Isenberg, D.A. 2007. Syndromes and complications of interferon therapy. Curr Opin Rheumatol; 19: 61–66. Bouros, D, Tzouvelekis, A. 2009. Interferon-gamma for the treatment of idiopathic pulmonary fibrosis. Pneumon; 22: 16-17. Brandacher, G.,Winkler, C.,Schroeeksnadel, K., Margreiter, R., Fuchs, D. 2006. Antitumoral activity of Interferon-γ involved in impaired immune function in cancer patients. Curr Drug Met; 7: 599-612. Brody, A.R., Bonner, J.C., Badgett, A. 1993. Recombinant interferon gamma reduces PDGF-induced lung fibroblast growth but stimulates PDGF production by alveolar macrophages in vitro. Chest; 103: 1216-1217. Cayon, I., Gonzales, L., Garcia, I., Rosas, C., Gassiot, C.,Garcia, E. 2010. Gamma Interferon and prednisone decreasing-dose therapy in patients with Idiopathic Pulmonary Fibrosis. Biotecnologia Aplicada; 27: 29-35. Chen, E.S., Greenlee, B.M., Wills-Karp, M., Moller, D.R. 2001. Attenuation of lung inflammation and fibrosis in Interferon gamma deficient mice after intratracheal bleomycin. Am J Respir Cell Mol Biol; 24: 545-555. Chung, K.F. 2006. Cytokines as Targets in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Current Drug Targets; 7: 675-681. Damayanti, T., Yunus, F., Ikhsan, M., Sutjahyo, K. 2007. Hubungan penggunaan masker dengan gambaran klinis, faal paru dan foto toraks pekerja terpajan debu semen. Maj Kedokt Indon; 57(9): 289-299. Dauber, J.H., Gibson, K.F., Kaminski, N. 2004. Interferon gamma-1b in idiopathic pulmonary fibrosis. Am J Respir Crit Care Med; 170: 107-108. Davis, G.S., Pfeiffer, L.M., Hemenway, D.R. 2000. Interferon gamma production by spesific lung lymphocyte phenotypes in silicosis in mice. Am J Respir Cell Mol Biol; 22: 491-501. Depkes RI. 1996. Parameter pencemaran udara dan dampaknya terhadap kesehatan. Sub proyek analisis dampak kesehatan lingkungan, Proyek kesehatan lingkungan Bantuan UNDP INS/91/019, Jakarta. Elias, J.A., Freundlich, B., Kern, J.A., Rosenbloom, J. 1990. Cytokine networks in the regulation of inflammation and fibrosis in the lung. Chest; 97: 1439-1445. Enomoto, T., Usuki, J., Azuma, A., Nakagawa, T., Kudoh, S. 2003. Diabetes mellitus may increase risk for idiopathic pulmonary fibrosis. Chest; 123: 20072011. Fernandez, O.A. 2006. Serum markers in idiopathic pulmonary fibrosis, implications for prognosis. Arch Bronconeumol; 42: 377-379. Fruchter, O. 2004. Interferon Gamma-1b for Pulmonary Fibrosis. N Engl J Med; 350: 1794-1797. Gardner, E.M., Murasko, D.M. 2002. Age-related changes in type 1 and type 2 cytokine production in humans. Biogerontology; 3: 271-289. Haris, A., Ikhsan, M., Rogayah, R. 2012. Asap rokok sebagai bahan pencemar dalam ruangan. CDK; 39(1): 17-24. Hubbard, R. 2001. Occupational dust exposure and the aetiology of cryptogenic fibrosing alveolitis. Eur Respir J; 18: 119s-121s. Huff, J. 2001. Sawmill chemicals and carcinogenesis. Environ Health Perspect; 109: 209-212. Jacobsen, G., Schaumburg, I., Sigsgaard, T., Schlunssen, V. 2010a. Nonmalignant repiratory diseases and occupational to wood dust. Part I. Fresh wood and mixed wood industry. Ann Agric Environ Med; 17: 15-28. Jacobsen, G., Schaumburg, I., Sigsgaard, T., Schlunssen, V. 2010b. Nonmalignant repiratory diseases and occupational to wood dust. Part II. Dry wood industry. Ann Agric Environ Med; 17: 29-44. Kauppinen, T., Vincent, R., Liukkonen, T., Grzebyk, M., Kauppinen, A., Welling, I. 2006. Occupational exposure to inhalable wood dust in the member states of the European union. Ann Occup Hyg; 50: 549-561. Khumaidah. 2009. “Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada pekerja mebel PT Kota Jati Furnindo Desa Suwawal Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara” (tesis). Semarang: Universitas Diponegoro. King, T.E., Costabel, U., Cordier, J.F., DoPico, G.A., Du Bois, R.M., Lynch, D. 2000. Idiopathic Pulmonary Fibrosis: Diagnosis and Treatment. ATS Guidelines. Am J Respir Crit Care Med; 161: 646-664. Lange, J.B. 2008. “Effects of wood dust: inflammation, genotoxicity and cancer” (dissertation). Copenhagen: University of Copenhagen. Lesur, O.J., Mancini, N.M., Humbert, J.C., Chabot, F., Polu, J. 1994. Interleukin6, Interferon-gamma and phospholipid levels in the alveolar lining fluid of human lungs. Chest; 106: 407-413. Lin, M.Y., Ottenhoff, T.H.M. 2008. Host-pathogen interactions in latent mycobacterium tuberculosis infection: identification of new targets for tuberculosis intervention. Endocrine, Met & Immune Dis-Drug Targets; 8: 15-29. Maatta, J., Lehto, M., Leino, M., Tillander, S., Haapakoski, R., Majuri, M. 2006. Mechanisms of Particle-Induced Pulmonary Inflammation in a Mouse Model: Exposure to Wood Dust. Toxicol Sci; 93: 96-104. Menteri Tenaga Kerja. 1997. Surat edaran No: SE 01/MEN/1997 tentang nilai ambang batas faktor kimia di udara lingkungan kerja. Jakarta. Meo, S.A. 2006. Lung function in Pakistani wood workers. Int J Environ Health Research; 16: 193-203. Meyer, K.C. 2003. Interferon gamma-1b therapy for idiopathic pulmonary fibrosis: is the cart before the horse? Mayo Clin Proc; 78: 1073-1075. Michaels, L. 1967. Lung changes in woodworkers. Canad Med Ass J; 96: 11501155. Modestou, A.M., Manzel, L.J., El-Mahdy, S., Look, D.C. 2010. Inhibition of IFNγ-dependent antiviral airway epithelial defense by cigarette smoke. Respiratory Research; 11: 64-82. Narayanan, A.S., Whithey, J., Souza, A., Raghu, G. 1992. Effect of interferon gamma on colagen syntesis by normal and fibrotic human lung fibroblasts. Chest; 101: 1326-1331. National Health and Medical Research Council. 1997. Passive smoking and adult respiratory disease: the health effects of passive smoking. viewed 7 January 2014. Availabe from: URL: http://www.health.gov.au/nhmrc/advice/nhmrc/chap4/ index.htm. Nathan, S.D., Barnett, S.D., Moran, B., Helman, D.L., Nicholson, K., Ahmad, S. 2004. Interferon gamma-1b as Therapy for Idiopathic Pulmonary Fibrosis. Respiration; 71: 77-82. North, R.J., Jung, Y. 2004. Immunity to tuberculosis. Annu Rev Immunol; 22: 599-623. O’Connor, T.M. 2004. Interferon gamma toxicity in Idiopathic pulmonary fibrosis. Am J Respir Crit Care Med; 169: 428. Pacifico, L., Di-Renzo, L., Anania, C., Osborn, J.F., Ippoliti, F., Schiavo, E. 2006. Increased T-helper interferon-γ secreting cells in obese children. Eur J Endocrin; 154: 691-697. Pestka, S., Krause, C.D., Walter, M.R. 2004. Interferons, interferon-like cytokines, and their receptors. Immunol Rev; 202: 8-32. Platanias, L.C. 2005. Mechanism of type I and type II interferon signalling. Nat Rev Immunol; 5: 375-386. Raghu, G., Brown, K.K., Bradford, W.Z., Starko, K., Noble, P.W., Schwartz, D.A. 2004. A placebo controlled trial of interferon gamma-1b in patients with idiopathic pulmonary fibrosis. N Engl J Med; 350: 125-133. Reljic, R. 2007. IFNγ-therapy of tuberculosis and related infections. J Interferon & Cytokine Research; 27: 353-363. Schroder, K., Hertzog, P.J., Ravasi, T., Hume, D.A. 2004. Interferon gamma: an overview of signals, mechanisms and functions. J Leukoc Biol; 75: 163-189. Segel, M.J., Izbicki, G., Cohen, P.Y., Or, R., Christensen, T.G., Wallach-Dayan, S.B. 2003. Role of interferon gamma in the evolution of murine bleomycin lung fibrosis. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol; 285: L1255-L1262. Sharma, R., Guleria, R., Pande, J.N. 2003. Idiopathic Pulmonary Fibrosis Newer Concept and Management Strategies. Indian J Chest Dis Allied Sci; 45: 31-49. Sopiyudin, M. 2010. Besar sampel dan cara pengambilan sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. p.76. Syahriany, Y. 2002. “Hubungan kadar debu dan karakteristik pekerja dengan gangguan paru pekerja pada unit produksi tablet industri farmasi X” (tesis). Medan: Universitas Sumatra Utara. Taskar, V.S., Coultas, D.B. 2006. Is idiopathic pulmonary fibrosis an environmental disease? Proc Am Thorac Soc; 3: 293-298. Triatmo, W., Adi, M.S., Hanani, Y. 2006. Paparan debu kayu dan gangguan fungsi paru pada pekerja mebel. J Kesehat Lingkung Indones; 5: 69-75. Van-Crevel, R., Ottenhoff T.H.M., van-Der-Meer, J.W.M. 2002. Innate immunity to mycobacterium tuberculosis. Clin Microbiol Rev; 15(2): 294-309. Wardhana, A.W. 2001. Dampak pencemaran lingkungan. Yogyakarta: ANDI. WHO. 1995. IARC Monographs on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans: Wood dust and Formaldehyde. WHO. 2004. Appropiate body-mass index for Asian populations and its implications for policy and intervention strategies. Lancet; 363: 157-163. Work Safe Western Australia. 2000. Controlling wood dust hazards at work. viewed 7 January 2014. Available from: URL: http://www.commerce.wa.gov.au/ worksafe/Content/Safety_Topics/Hazardous_substances/Dust_and_fibres.html Wynn, T.A. 2004. Fibrotic disease and the Th1/Th2 paradigm. Nat Rev Immunol; 4: 583-594. Yulaekah, S. 2007. “Paparan debu terhirup dan gangguan fungsi paru pada pekerja industri batu kapur” (tesis). Semarang: Univeristas Diponegoro. Yunus, F. 2000. Dampak debu industri pada pekerja. CDK; 128: 5-34. Zaidi, M.R., Merlino, G. 2011. The two faces of interferon gamma in cancer. Clin Cancer Res; 17: 6118-6124. Zhou, L.R., Zhou, J.H., Yang, J.C. 1999. Effects of cytokines induced by mineral dust on lung fibroblasts in vitro. J Occup Health; 41: 144-148. Lampiran 1. PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN Kami mengharapkan partisipasi Bapak/Ibu/Saudara/i dalam penelitian ilmiah yang dilaksanakan oleh dr. I Gede Yasa Asmara, dokter residen Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar Secara keseluruhan sebanyak 60 pasien, termasuk anda, akan berperan serta. Bacalah informasi ini sebelum Bapak/Ibu/Saudara/i memutuskan apakah anda akan turut berpartisipasi atau tidak. Janganlah ragu-ragu untuk bertanya bila ada hal-hal yang belum dimengerti. Penelitian ilmiah ini dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan antara pajanan debu kayu dan Interferon gama serum pada pekerja industri pengolahan kayu di perusahaan tempat Bapak/Ibu/Saudara/i bekerja. Bila Bapak/Ibu/Saudara/i ikut serta dalam penelitian ini, maka Bapak/Ibu/Saudara/i akan menjalani wawancara, pemeriksaan fisik singkat, serta pemeriksaan laboratorium dengan pengambilan sekitar 1 sendok teh darah dan prosedur ini akan menimbulkan sedikit rasa sakit pada tempat pengambilan. Keikutsertaan Bapak/Ibu/Saudara/i dalam penelitian ini adalah sukarela. Hal ini tidak mempengaruhi hubungan dengan dokter, di mana Bapak/ Ibu/Saudara/i akan mendapatkan pelayanan yang sama baiknya. Data-data yang dikumpulkan dalam penelitian ini akan disimpan di komputer tanpa nama Bapak/Ibu/Saudara/i. Hanya dokter yang mengetahui data- data yang berhubungan dengan Bapak/Ibu/Saudara/i. Hasil penelitian mungkin akan dipublikasikan di majalah kesehatan tanpa ada identitas Bapak/ Ibu/Saudara/i. Peneliti dan/atau petugas yang ditunjuk dari lembaga pemerintahan dan/atau karyawan perusahaan tanpa melanggar kerahasiaannya akan menjaga riwayat kesehatan Bapak/Ibu/Saudara/i. Penelitian ini hanya dapat dilaksanakan dengan seijin Bapak/Ibu/Saudara/i dan bahwa dengan menandatangani informasi pasien ini, Bapak/Ibu/Saudara/i telah mengerti dan memberi ijin tersebut. Selama penelitian berlangsung, saudara tidak dikenakan biaya dan bila terjadi efek samping pada lokasi suntikan tempat pengambilan bahan penelitian, hal tersebut menjadi tanggung jawab peneliti. Apabila timbul pertanyaan mengenai penelitian, harap menghubungi dr. I Gede Yasa Asmara dengan no telp 08123992275. Lampiran 2. FORMULIR PERSETUJUAN TERTULIS Saya, (nama, huruf cetak) ........................................................................................ Telah membaca keterangan terlampir, dan telah berdiskusi mengenai penelitian ini dengan dr. (nama, huruf cetak) ...................................................... dan mengerti hal-hal yang menyangkut penelitian ini. PEKERJA Saya bersedia untuk ikut serta dalam penelitian ............................. tanggal PENELITI .................................... tandatangan Saya telah menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian ini kepada pasien dengan nama tersebut di atas. ......................... tanggal .................................... tandatangan Lampiran 3. PROSEDUR PEMERIKSAAN INTERFERON GAMA SERUM A. Metode: hIFN-γ Immunoassay B. Prinsip: hIFN-γ Immunoassay adalah metode pemeriksaan IFN-γ serum dengan prinsip competitive binding, menggunakan reagen yang dilapisi dengan antibodi monoklonal terhadap sisi antigenik dari molekul IFN-γ. IFN-γ dari serum pasien akan berkompetisi dengan konjugat IFN-γ yang ditambahkan, untuk terikat pada antibodi monoklonal. Setelah inkubasi, konjugat IFN-γ yang tidak terikat akan dilakukan pencucian, dilanjutkan dengan inkubasi kedua dengan streptavidin-HRP dan pencucian kedua. Penambahan larutan substrat akan menghasilkan warna baru yang akan berhenti setelah proses inkubasi singkat. Intensitas warna yang terbentuk berhubungan secara proporsional dengan konsentrasi IFN-γ pada pasien. Kurva standar kemudian dibuat berdasarkan tujuh dilusi IFN-γ standar dan kadar IFN-γ sampel kemudian dapat ditentukan. C. Reagen: 1. Microtiter wells yang dilapisi dengan antibodi anti-IFN-γ monoklonal 2. Biotin-conjugate antibodi anti-IFN-γ monoklonal 3. Streptavidin-HRP 4. IFN-γ standar liofilisat 5. Washing dan Assay buffer konsentrasi 20x 6. Reagen amplifikasi, larutan substrat dan stop solution D. Prosedur Kerja: 1. Semua reagen dan spesimen harus dibiarkan hingga mencapai temperatur ruangan sebelum digunakan. Semua reagen harus dicampur tanpa membentuk busa. 2. Dengan dimulainya pemeriksaan ini, semua langkah-langkah harus dilengkapi tanpa terputus. 3. Gunakan tabung sekali pakai untuk tiap standar, kontrol dan sampel untuk mencegah kontaminasi silang. 4. Tambahkan 100µL sample diluent pada tiap standard wells dan 50µL sample diluent pada sample wells. 5. Tambahkan 50µL biotin conjugate pada semua wells. 6. Inkubasi selama 2 jam pada suhu kamar (18-25°C) atau pada wadah yang berputar 100 rpm, lalu kosongkan dan cuci wells. 7. Tambahkan 100µL Streptavidin-HRP pada semua wells 8. Inkubasi selama 1 jam pada suhu kamar (18-25°C) atau pada wadah yang berputar 100 rpm, lalu kosongkan dan cuci wells. 9. Tambahkan 100µL larutan amplifikasi 1 pada semua wells 10. Inkubasi selama 15 menit pada suhu kamar (18-25°C) atau pada wadah yang berputar 100 rpm, lalu kosongkan dan cuci wells. 11. Tambahkan 100µL larutan amplifikasi 2 pada semua wells 12. Inkubasi selama 30 menit pada suhu kamar (18-25°C) atau pada wadah yang berputar 100 rpm, lalu kosongkan dan cuci wells. 13. Tambahkan 100µL larutan larutan substrat TMB pada semua wells 14. Inkubasi selama 10 menit pada suhu kamar (18-25°C) atau pada wadah yang berputar 100 rpm, lalu kosongkan dan cuci wells. 15. Tambahkan 100 uL larutan untuk menghentikan reaksi enzimatik yang terjadi. 16. Tentukan daya serap dari tiap wells dengan alat pembaca (microtiter plate reader). E. Perhitungan Hasil : Hitung daya serap rata-rata dari standar, kontrol dan sampel dari pasien. Gunakan kertas grafik semi-logaritma untuk membentuk kurva standar menggunakan daya serap rata-rata terhadap konsentrasi masing-masing, daya serap pada sumbu vertikal (Y) dan konsentrasi pada sumbu horizontal (X). Daya serap rata-rata untuk tiap sampel akan menentukan konsentrasi pada kurva standar. Untuk menentukan konsentrasi IFN-γ sampel, cari rata-rata daya serap pada sumbu Y, tarik garis horizontal ke arah kurva standar dan cari perpotongannya. Selanjutnya tarik garis vertikal dari perpotongan ke sumbu X dan baca berapa kadar IFN-γ sampel. Lampiran 4. FORMULIR PENGUMPULAN DATA Jawablah pertanyaan dibawah ini atau coretlah yang tidak perlu No Sampel : Nama : Jenis kelamin : L / P Usia : Bagian : tahun Tinggi badan : cm Berat Badan : kg IMT : kg/m2 Lama bekerja: tahun Merokok : Ya / Tidak Jml Rokok : packyears Penggunaan APD: Tidak pernah / Jarang / Sering / Selalu Nilai IFN-γ : pg/ml