BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hasil Penelitian Sebelumnya Industri pariwisata memiliki karakteristik saling tergantung satu sama lain (interdependence), yang terbagi dalam tiga jenis yaitu: (1) Hospitality Industry (Food and Beverage, and Accommodation); (2) Travel (Retail and Wholeseller; Operator); dan (3) Visitor Services (Attraction; Event; and Tourism Agencies) (Stokes 2003). Dalam kaitan ini, terdapat banyak laporan atau hasil kajian ilmiah berupa tesis dan disertasi yang menyangkut kepariwisataan Bali, baik kajian yang diorientasikan untuk pengembangan pariwisata Bali berkelanjutan, kajian tentang persepsi wisatawan terhadap objek atau atraksi wisata, maupun kajian tentang citra positif pariwisata Bali. Suradnya (2005) menulis karya ilmiah berjudul “Analisis Faktor-Faktor Daya Tarik Wisata Bali dan Implikasinya terhadap Perencanaan Pariwisata Daerah Bali”. Penelitiannya (survey) melibatkan 505 orang responden wisatawan dalam tahun kunjungan 2005. Dengan menggunakan teknik analisis faktor (factor analysis), berhasil diidentifikasikan 8 faktor daya tarik bagi wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Bali, yakni : (1) harga-harga produk wisata yang wajar, (2) budaya dalam berbagai bentuk manifestasinya, (3) pantai dengan segala daya tariknya, (4) kenyamanan berwisata, (5) kesempatan luas untuk relaksasi, (6) citra (image) atau nama besar Bali, (7) keindahan alam, dan (8) keramahan penduduk setempat. 23 24 Aryaningsih (2009) menulis tesis berjudul “Strategi Komunikasi Public Relation Dalam Mempertahankan Citra Pariwisata Bali Pada Hotel-Hotel di Kawasan Pariwisata Nusa Dua”. Kajian tesis ini berhasil mengungkap bahwa citra positif pariwisata Bali ditentukan oleh 19 faktor meliputi: keamanan, kebersihan, kesenian, budaya, kebijakan pemerintah, sinergi, keramahtamahan (masyarakat lokal), gaya hidup masyarakat lokal, pemandangan alam, infrastruktur, tata ruang, transportasi, promosi, migas, sumber daya manusia, cuaca, sosial politik, ekonomi, dan telekomunikasi. Selanjutnya, Putra (2009) menulis tesis berjudul “Persepsi Wisatawan Terhadap Pelayanan Hotel Melati di kawasan Ubud, kabupaten Gianyar”. Kajian tersebut yang menerapkan analisis pelayanan (servqual), analisis kepentingan kinerja (importance-performance analysis), dan pendekatan kemampuan mendasar (competence-based) menemukan bahwa rata-rata wisatawan terpuaskan atas pelayanan yang diberikan oleh hotel melati di kawasan Ubud. Seluruh kajian ilmiah di atas secara umum telah berhasil mengungkapkan kaitan antara wisatawan dan upaya menjaga citra positif dan keberlangsungan pariwisata Bali. Selain itu, terdapat beberapa kajian tesis dan disertasi terbatas yang menyangkut manajemen usaha jasa pariwisata dan sektor perhotelan di Bali (lihat Tabel 2.1). 25 Tabel 2.1 Judul Artikel dan Hasil Kajiannya Judul Artikel Pengkaji (tahun) Pengaruh Struktur Organisasi, Suaedi (2005) Budaya Organisasi, Kepemimpinan, Aliansi Strategis Terhadap Inovasi Organisasi dan Kinerja Organisasi Hotel Bintang Tiga di Jawa Timur Pengaruh Pelatihan Kerja Dan Rispati et al. Motivasi Terhadap Kinerja (2013) Karyawan (Studi Kasus pada Karyawan Hotel Grasia Semarang) Pengaruh Budaya Organisasi, Gaya Kepemimpinan, dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Pada Hotel Jimbaran Puri Bali Peran Pemberdayaan Sumber Daya Manusia dalam Peningkatan kinerja organisasi melalui Perubahan dan Resiliensi Organisasi (Studi Pada Industri Perhotelan di Jawa Timur) Sumber: Kajian Pustaka Arimbawa dan Dewi (2013) Triatmanto et al. (2010) Hasil Struktur organisasi berpengaruh langsung positif signifikan terhadap inovasi organisasi dan kinerja organisasi. Pelatihan dengan kinerja karyawan hotel di Semarang. Penelitian yang dilaksanakan di Hotel Grasia Semarang ini menunjukkan bahwa pelatihan kerja mempunyai pengaruh paling besar terhadap kinerja karyawan yaitu 10,1 persen jika dibandingkan dengan motivasi yang hanya sebesar 5 persen. Secara bersama-sama pelatihan kerja dan motivasi mempunyai pengaruh terhadap kinerja karyawan sebesar 13,3 persen. Sebagian besar (92,4%) kinerja karyawan, dipengaruhi oleh budaya organisasi, gaya kepemimpinan, dan motivasi kerja Adanya hubungan yang positif antara pemberdayaan sumber daya manusia dan kinerja organisasi. Kinerja hotel dipengaruhi oleh pemberdayaan sumber daya manusia, yaitu adanya pertisipasi dalam mencapai tujuan, komitmen, otoritas dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan 26 Tabel 2.1 menunjukkan beberapa kajian ilmiah terkait manajemen usaha perhotelan. Beberapa studi yang terkait dengan pengembangan manajemen usaha perhotelan telah dilakukan, terutama yang menyangkut pemberdayaan SDM, motivasi kerja, dan kinerja perusahaan. Pertama, kajian Suaedi (2005) tentang struktur organisasi, inovasi dan kinerja organisasi. Disimpulkan bahwa struktur organisasi berpengaruh langsung positif signifikan terhadap inovasi organisasi dan kinerja organisasi. Struktur organisasi pada hotel bintang tiga di Jawa Timur lebih menunjukkan struktur yang organis, yaitu struktur yang rendah spesialisasi, rendah formalisasi, rentang kendali yang longgar, desentralisasi, adanya tim silang fungsional, dan distribusi informasi yang merata mampu mendorong berkembangnya dinamika dalam lingkungan kerja, semangat kerja, dan produktivitas kerja. Salah satu yang terdapat dalam struktur yang organisasi adalah adanya tim lintas fungsional. Tim ini mampu membangun spirit dan membangun sinerji untuk menghasilkan karya yang lebih baik, karena bisa mewujudkan interaksi untuk saling belajar dengan bagian-bagian struktur yang lain dalam rangka memperkaya nilai-nilai baru yang lebih holistik. Dengan demikian, semuanya itu mampu memberi kontribusi yang besar pada kinerja organisasi. Kedua, penelitian Rispati et al. (2013) mengkaji kaitan antara pelatihan dan kinerja karyawan hotel di Semarang. Penelitian yang dilaksanakan di Hotel Grasia Semarang ini menunjukkan bahwa pelatihan kerja mempunyai pengaruh paling besar terhadap kinerja karyawan yaitu 10,1% dibandingkan dengan motivasi yang hanya sebesar 5%. Secara bersama-sama, pelatihan kerja dan 27 motivasi mempunyai pengaruh terhadap kinerja karyawan sebesar 13,3%. Saran yang bisa diberikan adalah bahwa pihak manajemen HRD Hotel Grasia Semarang perlu memperhatikan segala hal yang berkaitan dengan pelatihan kerja, baik itu instruktur, materi maupun jadwal, agar pelatihan yang diterapkan menjadi lebih tepat sasaran dan menjadi lebih maksimal. Perusahaan perlu meningkatkan motivasi kerja karyawan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pemberian insentif yang lebih besar dan peningkatan kenyamanan fasilitas seperti toilet dan kantin yang diperuntukkan bagi karyawan. Ketiga, penelitian Arimbawa dan Dewi (2013) yang melibatkan 64 sampel di hotel Jimbaran Puri Bali. Kajian evaluatif tentang kinerja karyawan hotel ini menunjukkan bahwa 92,4% kinerja karyawan hotel Jimbaran Puri Bali dipengaruhi oleh budaya organisasi, gaya kepemimpinan, dan motivasi kerja. Keempat, kajian Triatmanto et al. (2010) menggambarkan adanya hubungan yang positif antara pemberdayaan sumber daya manusia dan kinerja organisasi. Dari kajian yang dilakukan di 34 hotel berbintang di Jawa Timur ini, disimpulkan bahwa kinerja hotel dipengaruhi oleh pemberdayaan sumber daya manusia, yaitu adanya partisipasi dalam mencapai tujuan, komitmen, otoritas, dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan. Publikasi hasil penelitian pertama sampai keempat di atas (Tabel 2.1) secara makro memiliki kesamaaan tema dengan kajian disertasi ini, yakni mengkaji masalah manajemen sektor usaha perhotelan yang menyangkut pemberdayaan SDM, motivasi kerja, dan kinerja organisasi. Akan tetapi, lokasi penelitian, cakupan sampel penelitian, indikator variabel, hipotesis penelitian 28 pendekatan yang diterapkan, serta fokus masalah yang diangkat dalam beberapa penelitian tersebut berbeda dengan kajian disertasi ini. Khusus untuk kajian Triatmanto et al. (2010), terdapat kemiripan dengan penelitian disertasi ini, khususnya yang menyangkut hubungan antara pemberdayaan sumber daya manusia dengan kinerja organisasi. Apabila kajian Triatmanto et al. (2010) dilakukan di Jawa Timur dengan sampel terbatas (34 hotel berbintang), maka kajian disertasi ini dilaksanakan di Bali dengan sampel yang lebih luas, yakni 195 hotel berbintang serta fokus pada masalah penelitian yang lebih kompleks, yakni hubungan antara pemberdayaan SDM, motivasi pekerja, dan perubahan organisasi dengan kinerja organisasi usaha perhotelan di Bali. Dengan demikian, penelitian disertasi ini merupakan kajian komprehensif tentang manajemen usaha jasa perhotelan di Bali, khususnya hubungan antara pemberdayaan SDM, motivasi pekerja, perubahan organisasi dengan kinerja organisasi. 2.2 Landasan Teori Secara umum, penelitian disertasi ini mengangkat topik manajemen usaha jasa perhotelan di Bali. Sesuai dengan topik penelitian, maka beberapa landasan teori yang digunakan adalah teori model pemberdayaan Khan (1997) dan Noe et al. (2004), teori motivasi kerja “Three Needs Theory” dari David McClelland (Gibson et al., 1996), teori perubahan organisasi (Kotter, 1997 dan Robbins, 2003) dan teori kinerja organisasi (Baron dan Greenberg, 1995). 29 2.2.1 Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia memiliki peran yang sangat sentral dalam sebuah organisaisi. Tujuan perusahaan akan dapat tercapai apabila perusahaan memiliki manajemen sumber daya manusia yang profesional. Sumber daya manusia harus dikelola dengan baik dan merupakan bagian dari tugas para manajer untuk menghadapi tantangan dan mencapai kesuksesan organisasi saat ini dan di masa mendatang (Rachmawati, 2008; Nawawi, 2011; Rowley dan Jackson, 2012; Kadarisman, 2012). Keyakinan akan pentingnya sumber daya manusia dalam mencapai efektivitas dan efisiensi perusahaan sangat tergantung pada kemampuan perusahaan dalam mengelola sumber daya manusia yang ada dan harus ada. Dimilikinya sumber daya manusia dapat menjadi salah satu cara untuk dapat memenangi kompetisi. Inovasi perusahaan juga ditentukan oleh potensi sumber daya manusia yang dimiliki; mereka dapat berinovasi bagi perusahaan yang juga dipengaruhi oleh motivasi dan moral kerja sumber daya manusianya (Rachmawati, 2008, Nawawi, 2011, Kadarisman, 2012). Dalam pengembangan suatu organisasi, manajemen sumber daya manusia menyangkut pemberdayaan sumber daya manusia. Pemberdayaan sumber daya manusia didefinisikan sebagai suatu konsep yang mengacu pada usaha menumbuhkan keinginan pada seseorang untuk mengaktualisasikan diri, meningkatkan karir serta secara kejiwaan (psikologis) mereka mempunyai keyakinan yang kuat yang membuat yang bersangkutan lebih berdaya (Morgan dan Bookman, 1988). Pemberdayaan memerlukan perluasan peran, wewenang, 30 dan kekuasaan kewenangan pekerja dalam mengupayakan keberhasilan perusahaannya (Stewart, 2007, Kadarisman, 2012). Pemberdayaan adalah salah satu strategi untuk memperbaiki sumber daya manusia dengan pemberian tanggung jawab dan kewenangan terhadap mereka yang nantinya diharapkan dapat memungkinkan mereka mencapai prestasi kerja yang lebih tinggi. Menurut Cook dan Steve (yang dialihbahasakan oleh Sedarmayanti, 2001), “Empowerment (pelimpahan wewenang) akan memberikan filosofi praktis serta sarana perubahan untuk membantu memperbaiki, baik terhadap kepuasan pelanggan maupun karyawan, dan dengan demikian juga dapat membantu memperbaiki keefektifan organisasi. Pemberdayaan merupakan hubungan antarpersonal yang berkelanjutan untuk membangun kepercayaan antara karyawan dan manajemen” (Suwatno dan Priansa, 2011). Menurut Clutterbuck dan Kernaghan 2003 (dalam Makmur, 2008), pemberdayaan sumber daya manusia telah menjadi hal yang penting dalam memajukan organisasi akhir-akhir ini karena alasan berikut ini. 1) Kecepatan perubahan yang semakin tinggi, turbulensi lingkungan, cepatnya respon persaingan, dan akselerasi permintaan-permintaan pelanggan menuntut kecepatan dan fleksibilitas tanggapan yang sudah tidak cocok lagi dengan cara kerja organisasi dengan modal kontrol dan komando gaya lama. 2) Organisasi tinggi sedang berubah dengan cara perampingan, pemangkasan, struktur dan desentralisasi . 31 3) Organisasi menuntut kerja yang lebih lintas-fungsi (cross-functional), kerja sama lebih terpadu antara bidang, dan integrasi yang lebih baik dalam proses. Kerja sama seperti itu bisa dicapai lewat pemberdayaan sumber daya manusia. 4) Pemberdayaan memungkinkan bakat manajerial untuk lebih bisa difokuskan pada tantangan-tantangan eksternal dan bukan pada problem solving internal. 5) Pemberdayaan bisa mengungkapkan sumber-sumber bakat manajerial yang dulunya tidak dikenali dengan menciptakan situasi dan kondisi di mana bakat bisa tumbuh subur. 6) Staf tidak lagi disiapkan untuk menerima sistem kontrol dan komando yang sudah usang. Pemberdayaan membantu menghilangkan kondisi yang menyebabkan ketidakberdayaan sambil meningkatkan self-efficacy, yaitu perasaan dalam diri seseorang bahwa dia mampu menyelesaikan pekerjaan apa saja yang diberikan kepadanya (Newstrom & Davis, 1997). Sebagai suatu proses, pemberdayaan dilakukan agar orang menjadi lebih berdaya atau lebih berkemampuan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dengan cara memberikan kepercayaan dan kewenangan sehingga menimbulkan rasa tanggung jawab (Wibowo, 2006). Dalam proses perubahan paradigma manajemen, di mana paradigma ini menjadi dasar munculnya prinsip-prinsip bisnis fundamental yang dapat membawa perusahaan menjadi pemenang dalam persaingan dan menjadi perusahaan yang sehat (Alwi, 2001), maka pemberdayaan sumber daya manusia 32 merupakan faktor kunci dalam proses peningkatan kontribusi karyawan terhadap organisasi. Pemberdayaan SDM diperlukan agar organisasi mampu berkembang sesuai dengan tuntutan kemajuan. Oleh karena itu, organisasi harus mempunyai proses atau model yang jelas dalam memberdayakan karyawannya. Khan (1997) menawarkan sebuah model pemberdayaan yang dapat dikembangkan dalam sebuah organisasi untuk menjamin keberhasilan pemberdayaan dalam organisasi (lihat Gambar 2.1). Desire Trust Confident Communication Accountability Credibility Gambar 2.1: Model Pemberdayaan SDM Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.1, proses pemberdayaan sumber daya manusia dalam suatu organisasi dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama, adanya pendelegasian wewenang (desire) dan pekerjaan kepada staf/karyawan dengan cara: (a) pekerja diberi kesempatan untuk mengidentifikasi permasalahan yang sedang berkembang, (b) memperkecil directive personality dan memperluas keterlibatan pekerja, (c) mendorong terciptanya perspektif baru dan memikirkan strategi kerja, dan (d) menggambarkan keahlian tim dan melatih karyawan untuk mengawasi pekerjaannya sendiri (self control). 33 Kedua, membangun kepercayaan (trust) antara manajemen dan karyawan. Hal-hal yang termasuk dalam trust antara lain: (a) memberi kesempatan pada karyawan untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, (b) menyediakan waktu dan sumber daya yang mencukupi bagi karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan, (c) menyediakan pelatihan yang mencukupi bagi kebutuhan kerja, dan (d) menghargai perbedaan pandangan dan menghargai kesuksesan yang diraih karyawan, dan (e) menyediakan akses informasi yang cukup. Ketiga, membangun rasa percaya diri (confident) karyawan dengan menghargai kemampuan yang dimiliki oleh karyawan. Hal yang termasuk tindakan yang dapat menimbulkan confident antara lain: (a) mendelegasikan tugas yang penting kepada karyawan, (b) menggali ide dan saran dari karyawan, (c) memperluas tugas dan membangun jaringan antardepartemen, (d) menyediakan jadwal job instruction dan mendorong penyelesaian yang baik. Kempat, menjaga kredibilitas (credibility) dengan penghargaan dan mengembangkan lingkungan kerja yang mendorong kompetisi yang sehat sehingga tercipta organisasi yang memiliki performance yang tinggi. Hal yang termasuk credibility antara lain: (a) memandang karyawan sebagai partner strategis, 34 (b) peningkatan target di semua bagian pekerjaan, (c) memperkenalkan inisiatif individu untuk melakukan perubahan melalui partisipasi, dan (d) membantu menyelesaikan perbedaan-perbedaan dalam penentuan tujuan dan prioritas. Kelima, adanya pertanggung jawaban (accountability) karyawan atas wewenang yang diberikan. Hal yang termasuk dalam accountability antara lain: (a) menggunakan jalur training dalam mengevaluasi kinerja karyawan, (b) memberikan tugas yang jelas dan ukuran yang jelas, (c) melibatkan karyawan dalam penentuan standar dan ukuran, (d) memberikan bantuan kepada karyawan dalam penyelesaian beban kerja, dan (e) memberikan kesempatan untuk menyampaikan saran dan umpan balik kepada manajemen. Keenam, adanya komunikasi (communication) yang terbuka untuk menciptakan suasana saling memahami antara karyawan dan manajemen. Keterbukaan ini dapat diwujudkan dengan adanya kritik dan saran terhadap hasil dan prestasi yang dilakukan oleh karyawan. Hal yang termasuk dalam communication antara lain: (a) menetapkan kebijakan open communication, (b) menyediakan waktu untuk mendapatkan informasi dan mendiskusikan permasalahan secara terbuka, dan (c) menciptakan kesempatan untuk cross training. 35 Menurut Cook dan Macaulay (dalam Suwatno dan Priansa, 2011), strategi dalam pemberdayaan sumber daya manusia didasarkan atas delapan buah langkah menuju keberhasilan sebagai berikut ini. Pertama, pemberdayaan (empowerment) yang dilakukan dengan mengacu pada visi dan misi organisasi. Kedua, upaya pemberdayaan sumber daya manusia perlu dilakukan dengan strategi dan langkah-langkah yang dapat direalisasikan. Visi dan misi organisasi yang telah ditetapkan perlu diterjemahkan ke dalam strategi dan langkah yang riil sehingga setiap staf atau karyawan dapat menjalankannya sesuai dengan peran dan tanggung jawab mereka di perusahaan. Ketiga, proses pemberdayaan sumber daya manusia perlu dilakukan dengan mengembangkan sistem komunikasi yang dialogis dan efektif. Segenap unsur di dalam organisasi, termasuk pihak karyawan selalu dilibatkan secara aktif untuk kemajuan perusahaan. Keempat, upaya pemberdayaan yang berhasil memerlukan perubahan struktur organisasi. Perubahan struktur organisasi ini dilakuan agar setiap individu dalam organisasi dapat terlibat dalam pengambilan keputusan untuk kemajuan perusahaan. Kelima, pemberdayaan sumber daya manusia membutuhkan dukungan kerja tim yang kompak. Dengan kerja tim yang kompak, maka pengembangan organisasi bisa dilakukan secara lebih dinamis. Keenam, pemberdayaan dilakukan dengan mendorong pengembangan pribadi, yakni memberikan bantuan dan dorongan untuk membangun rasa percaya 36 diri dari staf/karyawan. Dengan rasa percaya diri yang kuat, maka setiap karyawan akan lebih mandiri dan memiliki keputusan sendiri demi kemajuan perusahaan. Ketujuh, memberikan layanan yang terfokus kepada pelanggan. Hasil akhir empowerment adalah berupa naiknya tingkat jasa layanan kepada pelanggan, sehingga karyawan yang berada di garis depan dan karyawan yang berhubungan dengan pelanggan internal harus didorong untuk bertanggung jawab untuk memuaskan pelanggan mereka. Kedelapan, mengukur tingkat perkembangan organisasi. Organisasi perlu menentukan ukuran keberhasilan dan mengupayakan agar ukuran ini dapat dipahami oleh setiap orang dengan membuat atau menentukan cara agar keberhasilan individu dapat dikenali. Beberapa teori dan konsep pemberdayaan di atas, dijadikan acuan dalam perumusan indikator pemberdayaan sumber daya manusia. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Noe et al. (dalam Rokhman, 2002), pemberdayaan sumber daya manusia yang diterapkan dalam penelitian ini meliputi enam indikator sebagai berikut. 1) Keterlibatan staf/karyawan, yakni memberi kesempatan kepada karyawan untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan. Keterlibatan karyawan adalah dalam ikut menentukan standar dan ukuran dalam perusahaan sehingga diharapkan mereka ikut terlibat dalam menentukan keberhasilan perusahaan. 2) Pendelegasian tugas yang penting kepada bawahan. Staf/karyawan perlu dilibatkan dan diberi kesempatan dalam pemecahan suatu permasalahan perusahaan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kredibilitas mereka 37 terhadap tanggung jawab dan wewenang yang dibebankan kepadanya. Selain itu, pendelegasian dilakukan untuk memberi kesempatan kepada karyawan dalam merencanakan, mengimplementasikan dan mengevaluasi implementasi rencana kerja yang menjadi tanggung jawabnya. 3) Memberikan penghargaan kepada staf/karyawan yang berprestasi. Perusahaan perlu memberikan penghargaan atas kemampuan, keahlian, dan prestasi kerja yang dicapai oleh karyawannya. 4) Memberikan pengakuan atas eksistensi staf/karyawannya. Perusahaan perlu mengakui otoritas karyawannya, agar mereka dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. 5) Menciptakan sistem komunikasi yang terbuka sehingga tercipta rasa saling memahami antara karyawan dan manajemen. Keterbukaan ini dapat diwujudkan dengan adanya kritik dan saran terhadap hasil dan prestasi yang dicapai oleh karyawan. 6) Menjaga kredibilitas organisasi dengan pemberian penghargaan dan mengembangkan lingkungan kerja yang mendorong kompetisi yang sehat sehingga tercipta organisasi yang memiliki performance yang tinggi. Dengan mengakui bahwa staf/karyawan merupakan partner perusahaan yang strategis, maka kredibilitas dan kinerja organisasi bisa ditingkatkan. 2.2.2 Motivasi Sumber Daya Manusia Motivasi dapat didefinisikan sebagai kekuatan batin yang mendorong individu untuk mencapai tujuan pribadi dan organisasi (Lindner, 1998). Para psikolog dan ekonom telah lama mempelajari perubahan apa yang bisa 38 mengakibatkan perbaikan abadi dalam kualitas kerja dan kepuasan karyawan. Mereka mencoba untuk menjelaskan apa yang memotivasi orang untuk mencapai keberhasilan tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk perusahaan mereka juga (Sunil, 2007). Sebagian orang melupakan keuntungan finansial dari pekerjaan yang memberikan mereka kesenangan pribadi dan perasaan yang baik tentang apa yang mereka lakukan. Kremer at al. (2003) mengidentifikasi motivasi kerja sebagai membangun sesuatu dengan kondisi dan proses yang menyenangkan, besaran dan upaya pemeliharaan dari pekerjaan seseorang. Definisi itu adalah karakteristik apa yang akan dilakukan dari perspektif perilaku organisasi. Secara keseluruhan, tampaknya jelas bagi peneliti bahwa motivasi lebih merupakan istilah relatif yang dapat didefinisikan dalam banyak cara yang berbeda tergantung pada konteks situasi (Sunil, 2007). Karyawan yang termotivasi akan lebih produktif dan kreatif. Agar efektif, manajer perlu memahami apa yang memotivasi karyawan dalam konteks peran yang mereka lakukan. Dari sekian banyak fungsi yang dimiliki oleh pimpinan perusahaan, motivasi dan komunikasi dengan karyawan adalah salah satu yang penting dan kompleks. Bahkan, berbagai faktor yang memotivasi karyawan berubah sepanjang waktu. Jadi, bagi manajer, membuat karyawan mereka termotivasi adalah hal penting untuk mencapai tujuan bisnis (Sunil, 2007). Dengan membiarkan karyawan untuk menunjukkan inisiatif, hal itu sering menyebabkan mereka ke posisi kepemimpinan yang akan memungkinkan mereka untuk tumbuh dan berkembang. Jika karyawan sangat termotivasi, hal itu 39 dapat membawa mereka kepada kemampuan yang efektif yang akan memberikan dampak besar pada suksesnya produktivitas kerja (Grant, 2010). Selain unsur perubahan organisasi, faktor motivasi kerja juga perlu dimasukkan dalam upaya mengoptimalkan peran pemberdayaan sumber daya manusia terhadap peningkatan organisasi. Motivasi didefinisikan sebagai kekuatan pendorong yang menyebabkan orang menjadi bergerak (Mescon, 1999). Motivasi disebut sebagai usaha untuk mengatur individu ke dalam tindakan untuk tujuan tertentu yang membuat seorang individu untuk mengambil tindakan yang didasari oleh pikiran mereka, keyakinan, dan kebutuhannya (Mescon, 1999). Pinder (1998) menjelaskan motivasi sebagai "seperangkat kekuatan enerjik yang berasal baik di dalam maupun di luar makhluk individu, untuk memulai perilaku yang berhubungan dengan pekerjaan, dan untuk menentukan bentuk, arah, intensitas, dan durasi". Motivasi memiliki dua karakteristik penting sebagai bentuk energi yang mengarahkan dan menentukan perilaku manusia. Pertama, motivasi merupakan suatu bentuk energi yang mengarahkan orang untuk berperilaku dengan cara tertentu. Kedua, motivasi yang efektif cenderung ke arah tujuan. Titik umum dalam definisi ini adalah bahwa motivasi mempengaruhi perilaku individu dan mendorong individu untuk mengambil tindakan untuk tujuan akhir tertentu. Hasil penelitian Simsek et al. (1994) berbeda dengan hasil penelitian Brahmasari dan Suprayetno (2008) yang menunjukkan bahwa motivasi kerja tidak secara signifikan berhubungan dengan kinerja perusahaan. Dengan demikian, beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya hasil penelitian yang tidak 40 konsisten, sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan sehingga akan diperoleh hasil yang konsisten. Penelitian ini akan menggunakan dasar penelitian sebelumnya untuk mengetahui pengaruh variabel motivasi terhadap kinerja organisasi. Guralnik (1979) menyebutkan bahwa motif adalah suatu perangsang dari dalam, suatu gerak hati dan sebagainya yang menyebabkan seseorang melakukan sesuatu. Selanjutnya, Hasibuan (2003) mengemukakan ”Motif adalah suatu perangsang keinginan (want) dan daya penggerak kemauan bekerja seseorang”. Motif terkadang didefinisikan sebagai kebutuhan (needs), pengendali (driver) dalam diri seseorang. Mangkunegara (2006) mendefinisikan ”Motif sebagai suatu dorongan kebutuhan dalam diri pegawai yang perlu dipenuhi agar pegawai tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya”. Terry & Rue (2008) mengemukakan bahwa motivasi adalah keinginan dalam diri seorang individu yang mendorong ia untuk bertindak. Selanjutnya, Koontz (1997) mengemukakan bahwa motivasi menunjukkan dorongan dan usaha untuk memenuhi/memuaskan suatu kebutuhan atau untuk mencapai suatu tujuan. Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti dorongan atau daya penggerak. Motivasi ini hanya diberikan kepada manusia, khususnya kepada para bawahan atau pengikut. Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya mendorong gairah kerja bawahan, agar mereka mau bekerja keras dengan memberikan semua kemampuan dan keterampilannya untuk mewujudkan tujuan perusahaan (Hasibuan, 2003). 41 Greenberg dan Baron (1995) mendefinisikan motivasi kerja sebagai suatu proses yang mendorong, mengarahkan, dan memelihara perilaku manusia ke arah pencapaian suatu tujuan”. Motivasi kerja didefinisikan sebagai kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja”. Dari definisi yang disampaikan oleh beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan motif adalah suatu perangsang atau daya pendorong yang ada dalam diri seseorang yang perlu dipenuhi agar orang tersebut dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Di lain pihak, motivasi adalah daya pendorong yang menimbulkan kemauan dan kerelaan dalam diri individu yang dapat menggerakkan dan mengarahkan perilaku. Lebih lanjut, motivasi kerja adalah proses mendorong, mengarahkan perilaku manusia yang berhubungan dengan lingkungan kerja untuk mencapai tujuan. Menurut Hasibuan (2003), motivasi memiliki sebelas tujuan, yaitu: (1) mendorong gairah dan semangat kerja karyawan; (2) meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan; (3) meningkatkan produktivitas kerja karyawan; (4) mempertahankan loyalitas dan kestabilan karyawan perusahaan; (5) meningkatkan kedisiplinan dan menurunkan tingkat absensi karyawan; (6) mengefektifkan pengadaan karyawan; (7) menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik; (8) meningkatkan kreativitas dan partisipasi karyawan; (9) meningkatkan tingkat kesejahteraan karyawan; 42 (10) mempertinggi rasa tanggung jawab terhadap tugas-tugasnya; dan (11) meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku. Pemberian motivasi sangat penting dilakukan, karena pemimpin atau manajer memerlukan kerjasama yang baik dengan bawahannya untuk melaksanakan tugas-tugas organisasi dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Pentingnya pemberian motivasi kepada bawahan adalah agar mereka tetap mau dan bersedia melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan keahlian atau keterampilan yang mereka miliki. Upaya peningkatan motivasi karyawan akan berhasil jika dilakukan dengan teknik yang tepat. Dalam kaitan ini, Usman (2010) menyodorkan enam teknik dalam memotivasi kinerja karyawan, yaitu dengan cara: (1) berpikiran positif, (2) menciptakan perubahan yang kuat, (3) membangun harga diri, (4) memantapkan pelaksanaan, (5) membangkitkan orang lemah menjadi kuat, dan (6) menghilangkan sikap suka menunda pekerjaan. Enam teknik memotivasi karyawan di atas harus dikuasai oleh para pemimpin organisasi. Setiap pemimpin dituntut untuk mampu memotivasi bawahannya agar mau bekerjasama mencapai tujuan organisasi. Secara empiris, perilaku setiap individu akan berbeda. Untuk itu, kebutuhan motivasi tergantung pada kebutuhan dari masing-masing individu tersebut. Seperti yang disampaikan oleh Gibson (1996) ”Kebutuhan adalah kekurangan yang dialami individu pada 43 suatu waktu tertentu. Kekurangan tersebut dapat bersifat fisik seperti kebutuhan akan makanan, psikologis seperti kebutuhan untuk beraktualisasi diri, atau sosiologis seperti kebutuhan untuk interaksi sosial”. Selanjutnya, Mangkunegara (2006) menyampaikan bahwa terdapat dua teknik dalam memotivasi kerja karyawan yaitu pemenuhan kebutuhan karyawan dan komunikasi persuasif. (1) Teknik pemenuhan kebutuhan karyawan berarti bahwa pemenuhan kebutuhan karyawan merupakan fundamen yang mendasari perilaku kerja. (2) Teknik komunikasi persuasif merupakan salah satu teknik memotivasi kerja karyawan yang dilakukan dengan cara mempengaruhi karyawan secara ekstralogis. Teknik ini dirumuskan dengan istilah ”AIDDAS” yaitu Attention (perhatian), Interest (minat), Desire (hasrat), Decision (keputusan), Action (aksi atau tindakan), dan Satisfaction (kepuasan). Dalam kaitan ini, para pemimpin organisasi harus memperhatikan karyawannya terkait pentingnya tujuan dari suatu pekerjaan agar timbul minat pada diri karyawan yang bersangkutan dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Bilamana telah timbul minat, maka hasrat karyawan akan menjadi kuat untuk mengambil keputusan dan melakukan tindakan kerja dalam mencapai tujuan yang diharapkan oleh pemimpin. Dengan demikian, karyawan akan bekerja dengan motivasi tinggi dan merasa puas terhadap hasil kerjanya. Menurut Winardi (2004), motivasi berkaitan dengan ”Bagaimana cara merangsang sekelompok orang yang masing-masing memiliki kebutuhan yang khas dan kepribadian unik untuk bekerjasama menuju pencapaian sasaran-sasaran 44 organisasi”. Model hierarki kebutuhan merupakan teori Maslow yang menganggap bahwa kebutuhan orang bergantung kepada apa yang telah mereka miliki. Dalam pengertian, suatu kebutuhan yang telah terpenuhi bukan faktor motivator. Kebutuhan manusia, tersusun dalam suatu hierarki kepentingan, yaitu fisiologis, keamanan, rasa memiliki, penghargaan, dan aktualisasi diri. Perilaku individu dalam proses pemenuhan kebutuhannya akan didominasi dan ditentukan oleh jenis kebutuhan yang belum terpenuhi. Perilaku pada dasarnya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan. Kebutuhan yang telah terpenuhi akan berkurang dalam kekuatannya dan biasanya tidak memotivasi individu tersebut untuk mencari tujuan guna memenuhinya. Menurut Maslow, kebutuhan manusia dalam organisasi terdiri dari lima macam kebutuhan sebagai berikut. (1) Kebutuhan fisik (physical needs). Kebutuhan ini berkaitan dengan kebutuhan yang harus dipenuhi untuk dapat mempertahankan diri sebagai makhluk hidup, seperti kebutuhan untuk makanan, minuman, pakaian, seks, dan lain-lain. Karena ini merupakan kebutuhan biologis, maka kebutuhan ini akan didahulukan pemenuhannya oleh manusia, di mana bila ini belum terpenuhi atau belum terpuaskan, maka individu tidak akan tergerak untuk memenuhi kebutuhan lain yang lebih tinggi. (2) Kebutuhan rasa aman (safety needs). Kebutuhan ini berkaitan dengan kebutuhan rasa aman dari ancaman-ancaman dari luar yang mungkin terjadi seperti keamanan dari ancaman orang lain, ancaman alam, atau ancaman bahwa suatu saat tidak dapat bekerja karena faktor usia atau 45 faktor lainnya. Kebutuhan ini muncul setelah kebutuhan pertama terpenuhi. (3) Kebutuhan sosial (social needs). Kebutuhan ini berkaitan dengan keinginan untuk menjadi bagian dari orang lain, dicintai orang lain, dan mencintai orang lain. Kebutuhan ini muncul setelah kebutuhan tingkat pertama dan kedua terpenuhi. (4) Kebutuhan pengakuan (esteem needs). Kebutuhan yang berkaitan tidak hanya menjadi bagian dari orang lain (masyarakat), tetapi lebih jauh dari itu, yaitu diakui/dihormati/dihargai oleh orang lain karena kemampuannya atau kekuatannya. Kebutuhan ini ditandai dengan keinginan untuk mengembangkan diri, meningkatkan kemandirian, dan kebebasan. (5) Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs). Kebutuhan yang berhubungan dengan aktualisasi/penyaluran diri dalam arti kemampuan/minat/potensi diri dalam bentuk nyata dalam kehidupannya merupakan kebutuhan tingkat tertinggi dari teori Maslow. Hal ini ditandai oleh hasrat individu untuk menjadi orang yang sesuai dengan keinginannya. Pada umumnya, perilaku individu pada waktu tertentu ditentukan oleh kebutuhan mereka yang paling kuat. Oleh karena itu, para pemimpin organisasi perlu memiliki pengertian mengenai kebutuhan-kebutuhan yang dibutuhkan karyawannya. Dalam kaitan ini, Clayton Alderfer (1969) dengan teori ERG (Existence, Relatedness and Growth) menyatakan terdapat tiga kelompok 46 kebutuhan manusia. Teori tiga kelompok kebutuhan manusia atau ERG dapat didiskripsikan sebagai berikut. (1) Existence, yakni kebutuhan untuk mempertahankan keberadaan seseorang dalam hidupnya. Bila dikaitkan dengan penggolongan kebutuhan dari Maslow, ini berkaitan dengan kebutuhan fisik dan keamanan. (2) Relatedness, yakni kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain. Bila dikaitkan dengan penggolongan kebutuhan dari Maslow, ini meliputi kebutuhan sosial dan pengakuan. (3) Growth, yakni kebutuhan pengembangan diri yang identik dengan kebutuhan self-actualization yang dikemukakan oleh Maslow. Teori ERG secara konseptual memiliki kesamaan dengan Teori Hierarki Maslow, yaitu ”Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow, ”Relatedness” senada dengan hierarki ketiga dan keempat menurut konsep Maslow, dan ”Growth” mengandung makna yang sama dengan self actualization menurut Maslow (Siagian, 2002). Menurut Gibson et al. (1996), terdapat sejumlah perbedaan antara teori ERG dan teori Maslow, yaitu pada bagaimana orang bergerak pada kelompokkelompok kebutuhan yang berbeda. Maslow menyatakan bahwa kebutuhan yang belum terpenuhi lebih banyak berperan dan bahwa tingkat kebutuhan selanjutnya yang lebih tinggi tidak didorong hingga kebutuhan yang predominan tersebut terpuaskan. Maka, seseorang akan meningkat pada hierarki kebutuhan yang lebih tinggi hanya bila kebutuhan tingkat rendahnya terpuaskan. Sebagai kebalikannya, teori ERG menyatakan bahwa sebagai tambahan kepada proses peningkatan 47 kepuasan yang diajukan Maslow, proses penurunan frustasi juga terjadi. Jika seseorang terus menerus frustasi dalam mencoba memuaskan kebutuhan pertumbuhan, kebutuhan keterkaitan muncul kembali sebagai kekuatan motivasi yang utama, yang mengakibatkan individu mengarahkan kembali upaya-upaya untuk memuaskan kebutuhan tingkat yang lebih rendah. Serupa dengan teori ERG, terdapat Three Needs Theory dari David McCelland (1973). Three Needs Theory merupakan teori yang menyatakan bahwa individu akan terdorong atau termotivasi melakukan sesuatu untuk memuaskan kebutuhannya. Menurut McCelland, ketika seseorang ingin memenuhi kebutuhannya, maka motivasinya akan semakin kuat yang diwujudkan dalam bentuk tingkah laku yang mengarah pada upaya pemuasan kebutuhan tersebut. Three Needs Theory dari David McClelland (dalam Gibson et al., 1996) dapat dideskripsikan sebagai berikut. (1) Kebutuhan berprestasi (need for achievement), yaitu keinginan untuk melakukan sesuatu yang lebih baik jika dibandingkan dengan yang sebelumnya. (2) Kebutuhan afiliasi (need for affiliation), yaitu kebutuhan untuk disukai, mengembangkan atau memelihara persahabatan dengan orang lain. (3) Kebutuhan untuk berkuasa (need for power), yaitu kebutuhan untuk lebih kuat, lebih berpengaruh terhadap orang lain. Saydam (2005) mengemukakan bahwa ”Kebutuhan berprestasi (need for achievement) merupakan kebutuhan untuk berhasil dalam setiap kegiatan”. Kebutuhan untuk berprestasi tersebut merupakan motivasi individu tersebut untuk 48 bersedia bekerja keras dan berkreativitas dalam pekerjaannya. Untuk memberi motivasi kepada pegawai yang memiliki kebutuhan untuk berkuasa tinggi, seorang pemimpin harus dapat menciptakan suasana dan berupaya sering memberi tanggung jawab serta memberi kesempatan yang ada untuk maju dan berkembang. Di lain pihak, kebutuhan afiliasi adalah suatu kebutuhan untuk menyenangkan dan berusaha menghindari konflik dengan pihak lain. Berdasarkan penjelasan konsep-konsep teori motivasi tersebut, maka penelitian ini mengacu pada teori motivasi dari David McClelland yaitu Three Needs Theory, yang terdiri atas kebutuhan akan prestasi, kebutuhan akan afiliasi, dan kebutuhan akan kekuasaan. Three Needs Theory akan diterapkan untuk mengkaji masalah motivasi kerja karyawan hotel berbintang di Bali. Dalam melaksanakan tugas, karyawan hotel dimotivasi oleh kebutuhan mereka untuk berprestasi, berhubungan, dan bekerjasama dengan sesamanya secara harmonis (afiliasi), serta motivasi mereka dalam memperoleh posisi jabatan tertentu (kekuasaan) di perusahaannya. 2.2.3 Perubahan Organisasi Sesuai dengan tantangan globalisasi, suatu organisasi/perusahaan dapat bertahan bilamana mampu melakukan perubahan, termasuk perubahan organisasi usaha perhotelan di Bali. Setiap perubahan lingkungan yang terjadi harus dicermati karena keefektifan suatu organisasi bergantung pada sejauh mana organisasi dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Pada dasarnya, semua perubahan yang dilakukan mengarah pada peningkatan efektivitas organisasi dengan tujuan mengupayakan perbaikan kemampuan organisasi dalam 49 menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan serta perubahan perilaku anggota organisasi (Kotter 1997; Anderson et al., 2001). Perubahan organisasi pada dasarnya adalah pengembangan organisasi. Menurut Tyagi (2000), pengembangan organisasi merupakan usaha yang terencana, sistematis, terorganisasi dan kolaboratif di mana prinsip pengetahuan tentang perilaku dan teori organisasi diaplikasikan dengan maksud meningkatkan kualitas kehidupan yang tercermin dalam meningkatkanya kesehatan dan vitalitas organisasi, meningkatkan individu dan anggota kelompok dalam kompetisi dan harga diri, serta semakin baiknya masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini, pengembangan organisasi merupakan proses perbaikan yang berkesinambungan. Perubahan organisasi dilakukan dengan cara menyesuaikan diri pada kecepatan perubahan yang sedang terjadi di eksternal organisasi (Kotter, 2002). Palmer dan Dunford (2008) mengidentifikasi empat pendekatan terhadap karakteristik perubahan organisasi. Pertama, perubahan organisasi ditandai oleh adanya mind-set dominan diganti dengan mind-set baru yang diusulkan. Misalnya, pandangan yang semula terfokus pada teknologi digeser menjadi sistem perspektif disain. Kedua, perubahan organisasi terjadi ketika ada penolakan untuk melakukan perubahan yang mana hal tersebut bisa mendominasi resistensi untuk berubah. Seharusnya perubahan organisasi dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi riil organisasi tanpa harus tergantung pada situasi di luar perusahaan. Ketiga, perubahan organisasi seharusnya dikaitkan dengan konteks, waktu, proses, serta hubungan antara perubahan dan kinerja. Keempat, perubahan organisasi diidentifikasi berdasarkan asumsi epistemologi dan ontologinya. Dalam kaitan ini, 50 organisasi dipandang sebagai suatu proses, terfokus pada struktural dari entitas, atau proses mengorganisasi. Perubahan organisasi dilakukan agar dapat keluar dari situasi krisis. Menurut Kasali (2007), organisasi yang berupaya keluar dari situasi krisis memerlukan energi yang besar, pemimpin tim yang kuat, serta cara berpikir yang baru. Kesempatan terbaik dalam melakukan perubahan bukanlah pada saat memasuki masa-masa sulit. Perubahan yang terbaik justru seharusnya dilakukan pada saat perusahaan mengalami kejayaan. Karena pada masa itulah sebenarnya perusahaan memiliki rasa percaya diri yang besar, memiliki uang yang cukup, serta sumber daya manusia yang tangguh (Kasali, 2007). Secara umum, terdapat tiga tipe perubahan organisasi, yaitu developmental change, transitional change dan transformational change (Anderson et al., 2001). Pertama, Developmental change mencerminkan perubahan keterampilan, metode, standar kinerja, atau kondisi yang telah ada yang tidak mampu mengukur kebutuhan organisasi pada saat ini dan mendatang. Terdapat dua asumsi dalam developmental change, yaitu (1) sumber daya manusia mampu memperbaiki kondisi organisasi, dan (2) sumber daya manusia tersebut akan menjadi lebih baik bila diberi pengertian tentang perlunya perubahan, sumber daya, motivasi, dan pelatihan yang tepat. Developmental change dapat diterapkan untuk individu, kelompok, atau seluruh organisasi demi proses perbaikan organisasi. Kedua, transitional change, merupakan respon pada pergeseran yang signifikan pada kekuatan lingkungan atau kebutuhan pasar agar bisa sukses. 51 Transitional change dimulai ketika pemimpin mengetahui bahwa suatu masalah telah terjadi dan diperlukan perubahan dalam operasi atau penciptaan layanan yang lebih baik terhadap permintaan (konsumen) saat ini dan yang akan datang. Strategi dalam pengelolaan transitional change antara lain dapat berupa komunikasi dalam menjalankan perubahan, keterlibatan sumber daya manusia dalam mendesain dan mengimplementasikan rencana perubahan, dan pengawasan terhadap implementasi perubahan, serta kepastian bahwa karyawan bekerja pada kondisi yang baru. Strategi mengelola transitional change dapat berbentuk komunikasi yang baik untuk menjalankan program perubahan, rencana perubahan yang jelas, keterlibatan pekerja dalam merencanakan dan melaksanakan perubahan, dan kontrol dalam pelaksanaan perubahan tersebut (Wibowo, 2006). Menurut Anderson (2001), transitional change bisa dilakukan dalam bentuk: (1) reorganisasi, (2) merjer atau konsolidasi sederhana, (3) membebaskan diri dari kepentingan tertentu, (4) mengembangkan pemasaran dan penerapan teknologi yang tidak memerlukan perubahan besar dalam pola pikir atau perilaku, dan (5) menciptakan produk baru, jasa, sistem, proses, kebijakan, atau prosedur baru. Ketiga, transformational change adalah pergeseran secara radikal dari satu keadaan ke keadaan lainnya. Pergeseran tersebut antara lain pergeseran budaya, perilaku, dan pola pikir agar bisa mencapai sukses dan berkelanjutan sepanjang waktu. Transformasi memerlukan kepedulian sumber daya manusia yang secara lengkap mengubah cara organisasi dan orangnya dalam melihat dunia, pelanggaran, pekerjaan, dan dirinya (Wibowo, 2006). 52 Menurut Stewart (2007), proses implementasi perubahan bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan proses. Dalam proses perubahan itu, perlu dipertimbangkan dampak perubahan terhadap organisasi dan sumber daya, sistem dan pengendalian, serta perilaku orang akibat perubahan yang terjadi dalam organisasi. Terdapat dua faktor yang mendorong terjadinya perubahan, yaitu faktor eksternal seperti perubahan teknologi dan semakin terintegrasinya ekonomi internasional serta faktor internal organisasi yang mencakup dua hal pokok. (1) Perubahan perangkat keras organisasi (hard system tools) atau yang biasa disebut dengan perubahan struktural, yang meliputi perubahan strategi, stuktur organisasi, dan sistem. (2) Perubahan perangkat lunak organisasi (soft system tools) atau perubahan kultural, yang meliputi perubahan perilaku manusia dalam organisasi, kebijakan sumber daya manusia, dan budaya organisasi. Setiap perubahan tidak bisa hanya memilih salah satu aspek struktural atau kultural saja sebagai variabel yang harus diubah, tetapi kedua aspek tersebut harus dikelola secara bersama-sama agar hasilnya optimal (Sobirin, 2005). Menurut Kotter (1997), terdapat beberapa jenis perubahan organisasi, yaitu: (a) restrukturisasi (restructuration), (b) rekayasa ulang (reengineering), (c) penyusunan strategi kembali (turn around), (d) akuisisi (acquisition), (e) perampingan (downsizing), (f) program-program berkualitas (quality programs), dan (g) pembaharuan kultur organisasi (organizational culture’s renewal). Pertama, restrukturisasi organisasi biasanya dilakukan ketika struktur organisasi yang ada dianggap tidak memadai lagi (dalam arti, tidak efektif dan efisien) untuk mencapai sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan organisasi. Hal ini 53 dilakukan dengan cara: (a) unifikasi atau penggabungan beberapa unit kerja atau deorganisasi, dan (b) penghapusan satuan organisasi, revitalisasi, yakni memberdayakan organisasi atau rekayasa ulang perubahan pada sistem-sistem kerja organisasi, misalnya sistem produksi, sistem pasokan input, sistem pemasaran, sistem komunikasi, dan lain-lain dengan tujuan untuk membangun keterkaitan yang lebih efektif dan efisien di antara sistem- sistem tersebut (Kotter, 1997). Restrukturisasi organisasi dilakukan agar masing-masing bagian dari struktur organisasi tersebut dapat berfungsi secara optimal. Dalam kaitan ini, Robbins (2003) membagi enam unsur dalam pembentukan suatu struktur organisasi, yaitu: (1) spesialisasi atau pembagian tenaga kerja, yakni suatu alur penyelesaian pekerjaan menjadi sejumlah langkah penyelesaian yang diselesaikan dengan kualifikasi tertentu; (2) departementalisasi, yakni bagian-bagian dari struktur organisasi yang didasarkan pada kesamaan kelompok pekerjaan maupun berdasarkan teritori agar tugas dapat dikoordinasikan; (3) rantai komando, yakni alur perintah dan kewenangan berkaitan dengan tanggung jawab dari tingkatantingkatan dalam suatu organisasi; (4) rentang kendali, menentukan banyaknya tingkatan dan manajer yang harus dimiliki oleh suatu organisasi; (5) sentralisasi dan desentralisasi, yakni suatu cara pengambilan keputusan berdasarkan kewenangan manajerial, dan (6) formalisasi, yakni suatu tingkatan pekerjaan dalam suatu organisasi yang dibakukan berdasarkan aturan. Perubahan organisasi juga bisa dilakukan dalam bentuk akuisisi atau merjer, yakni pengambilalihan suatu perusahaan oleh perusahaan lain. Pada 54 umumnya, bisnis yang dikelola oleh perusahaan yang diakuisisi itu diintegrasikan kepada perusahaan yang mengakuisisi. Hal ini memerlukan perubahan organisasi, baik pada sisi perusahaan yang diakuisisi maupun perusahaan yang mengakuisisi. Bentuk lain akuisisi adalah merjer, yakni penggabungan dua perusahaan (biasanya bergerak pada bisnis yang sama) untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan tertentu. Perampingan organisasi adalah upaya-upaya mengurangi ukuran organisasi sedemikian rupa sehingga dapat lebih efisien. Ini bisa dilakukan dengan menutup unit-unit yang dianggap tidak esensial atau tidak menguntungkan (Kotter, 1997). Perubahan organisasi dengan mengembangkan program-program kualitas biasanya dilakukan untuk memperbaiki mutu produk atau jasa yang dihasilkan oleh suatu organisasi. Selanjutnya, perubahan/pembaharuan kultur organisasi merupakan upaya-upaya untuk mengubah nilai-nilai dan norma-norma di dalam organisasi. Ini dilakukan ketika budaya organisasi dipandang sudah tidak cocok lagi dengan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran organisasi sehingga perlu dikembangkan suatu budaya baru (Kotter, 1997). Dalam proses perubahan organisasi, energi yang keluar dari proses ketidakpuasan harus disalurkan melalui tujuan yang jelas. Dalam kaitan ini, manajer puncak bertugas menciptakan filosofi, mendefinisikan strategi, dan mendefinisikan proses manajemen untuk menjadi kompetitif. Seorang top manager harus mampu menjalankan model manajemen organisasi baru yang meliputi hal berikut ini. (1) Organisasi berdasarkan komitmen (“commitment based”organization); organisasi komitmen mendorong individu untuk mengambil 55 risiko dan inisiatif dan menjadi pemimpin. Ini dikarakteristikkan dengan tingkatan tinggi dari kreativitas dan energi pengusaha difokuskan pada pemberian produk terbaik kepada pelanggan dengan biaya termurah. (2) Struktur organisasi adalah desentralisasi atau menciptakan otonomi, serta melakukan penyusutan grup-grup staf organisasi melalui eliminasi atau reorganisasi menjadi unit-unit bisnis. (3) Integrasi lintas fungsi dalam melayani pelanggan dan alokasi pertanggungjawaban yang lebih jelas. (4) Manajemen partisipatif, bawahan mengharapkan seorang pemimpin yang melibatkan mereka dan pihak-pihak lain yang relevan dalam pembuatan keputusan. (5) Team work, yang terdiri atas beberapa orang dengan keahlian dan ketrampilan yang saling melengkapi untuk secara bersama-sama mencapai visi organisasi (Ambarwati, 2003). Perubahan organisasi diperlukan agar bagian-bagian dalam struktur organisasi dapat saling berkoordinasi dan bekerjasama untuk mencapai tujuan organisasi. Secara jelas, cara pekerjaan dalam organisasi untuk mencapai pengendalian dan koordinasi memberikan pengaruh penting dalam mencapai efektifitas organisasi (Mintzberg, 1991). Sebagian dari jenis perubahan organisasi menurut beberapa ahli di atas, terjadi dalam organisasi usaha perhotelan di Bali. Secara umum, perubahan organisasi perhotelan di Bali sesuai dengan Robbins (2003) yang menyatakan bahwa perubahan organisasi meliputi empat indikator yaitu: (1) perubahan struktur organisasi, (2) perubahan strategi organisasi, (3) perubahan manajemen sumber daya manusia, dan (4) penerapan teknologi pendukung perubahan organisasi. 56 Agar bisnis sektor jasa akomodasi perhotelan di Bali tetap eksis dan dapat mengikuti perkembangan pasar, maka sesuai dengan kebutuhan masing-masing hotel, struktur organisasinya mengalami penyesuaian, termasuk strategi pemasarannya. Selain itu, manajemen sumber daya manusia usaha perhotelan di Bali juga terus dikembangkan, serta dilakukan penerapan teknologi informasi dan komunikasi terkini, termasuk layanan pemasaran melalui e-commerce. 2.2.4 Kinerja Organisasi Pada hakikatnya, kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan, serta waktu (Hasibuan, 2003:6). Kinerja merupakan hasil kerja yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Setidaknya, terdapat tiga faktor utama yang berpengaruh pada kinerja, yaitu individu (kemampuan bekerja), usaha kerja (keinginan untuk bekerja), dan dukungan kerjanya (kesempatan untuk bekerja). Cash dan Fischer (1987) mengemukakan bahwa kinerja sering disebut dengan performance atau result yang diartikan dengan apa yang telah dihasilkan oleh individu karyawan. Kinerja karyawan dipengaruhi oleh kinerja organisasi (organizational performance) itu sendiri yang meliputi pengembangan kerja (organizational development), rencana kompensasi (compensation plan), sistem komunikasi (communication system), gaya manajerial (managerial style), struktur kerja (organization structure), dan kebijakan dan prosedur (policies and procedures). 57 Rendahnya kinerja organisasi berkaitan dengan perubahan organisasi. Hal ini berarti bahwa upaya peningkatan kinerja organisasi belum bisa dicapai walaupun telah dilakukan pemberdayaan karyawan. Peningkatan kinerja organisasi bisa dilakukan bilamana diikuti oleh kultur pemberdayaan sumber daya manusia. Pemberdayaan sumber daya manusia itu menyangkut pelibatan mereka dalam pengembangan organisasi, baik ketika dalam proses perencanaan, pelaksanaan sampai kepada proses evaluasinya. Selain itu, pemberdayaan sumber daya manusia juga harus bisa membangkitkan komitmen dan tanggung jawab mereka sesuai dengan tujuan organisasi (Clarke, 1994; Kasali, 2007; Rispati et al., 2013). Handoko (2003) mendefinisikan kinerja sebagai proses di mana organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawannya. Mangkunegara (2006) mengemukakan kinerja perusahaan sebagai hasil kerja yang secara kualitas dan kuantitas dapat dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Tika (2006) mendefinisikan bahwa kinerja perusahaan adalah fungsi dari hasil-hasil pekerjaan atau kegiatan yang ada dalam perusahaan, yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal organisasi dalam mencapai tujuan yang ditetapkan selama periode waktu tertentu. Robbins (2003) mengemukakan bahwa istilah lain dari kinerja adalah human output yang dapat diukur dari produktivitas, absensi, turnover, citizenship, dan satisfaction.Baron dan Greenberg (1995) mengemukakan bahwa kinerja pada individu juga disebut dengan job performance, work outcomes, task performance. Brahmasari (2004) menyatakan bahwa kinerja adalah pencapaian atas tujuan 58 organisasi yang dapat berbentuk output kuantitatif maupun kualitatif, kreativitas, fleksibilitas dapat diandalkan atau hal-hal lain yang diinginkan organisasi. Penekanan kinerja dapat bersifat jangka pendek maupun jangka panjang, juga dapat pada tingkatan individu, kelompok, ataupun organisasi. Tika (2006) menyampaikan bahwa ada 2 (dua) cara untuk mengukur kinerja perusahaan, yaitu dengan Metode UCLA (University of California Los Angeles) yang ditemukan oleh Alkin (1969) dan Metode Balanced Scorecard yang ditemukan oleh Kaplan dan Norton (1996). Metode UCLA membagi evaluasi kinerja perusahaan ke dalam 5 (lima) cara sebagai berikut ini. (1) System assessment, yaitu evaluasi yang memberikan informasi tentang keadaan atau posisi suatu sistem. Evaluasi dengan menggunakan model ini dapat menghasilkan antara lain informasi mengenai posisi terakhir dari seluruh elemen program penilaian kinerja yang tengah diselesaikan. (2) Program planning, yaitu evaluasi yang membantu penilaian aktivitas-aktivitas dalam program tertentu yang mungkin akan berhasil memenuhi kebutuhannya. (3) Program implementation, yaitu evaluasi yang menyiapkan informasi apakah program sudah diperkenalkan kepada kelompok tertentu yang tepat seperti yang direncanakan. (4) Program improvement, yaitu evaluasi yang memberikan informasi tentang bagaimana program berfungsi, bekerja, serta mengantisipasi masalah-masalah yang mungkin dapat mengganggu pelaksanaan kegiatan. (5) Program certification, yaitu evaluasi yang memberikan informasi mengenai nilai-nilai atau manfaat program. 59 Selanjutnya, metode Balanced Scorecard dipergunakan untuk mengukur kinerja seseorang atau kelompok/organisasi dengan menggunakan kartu untuk mencatat skor hasil-hasil kinerja. Balanced Scorecard merupakan ide untuk menyeimbangkan aspek keuangan dan non-keuangan serta aspek internal dan eksternal perusahaan. Melalui metode ini, lalu dilakukan pendekatan untuk mengukur kinerja perusahaan dengan mempertimbangkan empat perspektif, yaitu perspektif pelanggan, proses bisnis internal, proses belajar dan berkembang, serta keuangan (Kaplan, 1996; Luis, 2008). Perspektif pelanggan menggunakan ukuran berapa ”nilai” yang diberikan kepada pelanggan dilihat dari segi waktu, kualitas, performansi, dan layanan dan biaya pada perspektif bisnis internal dapat mengevaluasi ekspektasi yang diharapkan pelanggan dapat terpenuhi melalui perbaikan proses di internal organisasi tersebut. Di sini juga perusahaan dapat mengukur tingkat keahlian dan produktivitas karyawan, kualitas yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut, dan atau sistem informasi yang baik yang berjalan dalam organisasi (Kaplan, 1996). Menurut Mahsun (2006), sisi perspektif inovasi dan pembelajaran dari suatu organisasi dapat diukur melalui peningkatan dan inovasi yang berkelanjutan terhadap produk-produk yang dimiliki. Produk di sini tidak selamanya berupa barang, pelayanan dan hal-hal lain yang bersifat jasa pun adalah produk. Ukuran yang diberikan antara lain banyaknya produk-produk baru yang dihasilkan dan presentase keberhasilan penjualannya, tingkat penetrasi terhadap pasar baru, atau implementasi SCM (supply chain management), dan lainnya. Apabila target-target terpenuhi, maka efeknya akan mengimbas pada perspektif finansial juga. Finansial 60 ini termasuk mengukur pendapatan dan pengeluaran, lebih dalamnya lagi ROI (return of investment), tingkat penjualan, pertumbuhan market share, dan lainnya. Kinerja individu akan mempengaruhi kinerja organisasi/perusahaan. Kinerja perusahaan merupakan hasil kerja yang secara kualitas dan kuantitas dapat dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2006). Variabel kinerja perusahaan ini secara operasional diukur dengan menggunakan empat (4) indikator yang diadopsi dari Brahmasari (2004), yaitu: 1) kemampuan perusahaan dalam meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya manusia yang dimiliki, 2) kemampuan perusahaan dalam meningkatkan efisiensi penggunaan seluruh waktu yang dimiliki, 3) kemampuan perusahaan dalam beradaptasi terhadap perubahan, dan 4) kemampuan perusahaan dalam mencapai target yang telah ditetapkan. Tabel 2.2 menunjukkan beberapa hasil kajian pustaka yang menyangkut pemberdayaan SDM, motivasi kerja, perubahan organisasi, dan kinerja organisasi. 61 Tabel 2.2 Beberapa Teori/Konsep Hasil Kajian Pustaka Penemu Noe et al. (dalam Rokhman, 2002); Khan (1997); Suwatno dan Priansa (2011) Teori/konsep Pemberdayaan sumberdaya manusia Indikator (1) Keterlibatan tenaga kerja (2) Pendelegasian tugas kepada tenaga kerja (3) Penghargaan organisasi bagi pekerja berprestasi (4) Pengakuan atas eksistensi tenaga kerja (5) Komunikasi yang terbuka (6) Kredibilitas organisasi David McClelland (1973); Gibson et al. (1996); Saydam (2005), Zahera 2000 (dalam Usman, 2010) Motivasi kerja Kotter ( 1997); Robbins (2003) Perubahan organisasi (1) Kebutuhan akan prestasi (2) Kebutuhan akan afiliasi (3) Kebutuhan akan kekuasaaan (1) Perubahan struktur organisasi (2) Perubahan strategi organisasi (3) Perubahan manajemen sumber daya manusia (4) Penerapan teknologi pendukung perubahan organisasi Baron dan Greenberg (1995); Brahmasari (2004) Kinerja organisasi (5) Efisiensi penggunaan sumber daya manusia. (6) Efisiensi penggunaan waktu (7) Kemampuan beradaptasi terhadap perubahan (8) Kemampuan mencapai target perusahaan Sumber: Hasil Kajian Pustaka Dengan mempertimbangkan kondisi empiris pada industri perhotelan di Bali, maka setidaknya terdapat enam indikator pemberdayaan sumber daya manusia (Noe et al., dalam Rokhman, 2002). Keenam indikator pemberdayaan sumber daya manusia tersebut meliputi: keterlibatan tenaga kerja, pendelegasian 62 tugas kepada tenaga kerja, penghargaan organisasi bagi pekerja berprestasi, pengakuan atas eksistensi tenaga kerja, komunikasi yang terbuka, serta kredibilitas organisasi. Selanjutnya, untuk pengukuran motivasi kerja pekerja industri perhotelan di Bali, digunakan tiga indikator sesuai dengan teori motivasi David McClelland yaitu three needs theory, yaitu kebutuhan akan prestasi, kebutuhan akan affiliasi, dan kebutuhan akan kekuasaaan. Teori ini menyatakan bahwa individu dengan suatu kebutuhan yang kuat akan terdorong atau termotivasi untuk menggunakan tingkah laku yang sesuai guna memuaskan kebutuhan. Hasil penelitian Zahera 2000 (dalam Usman, (2010) menunjukkan bahwa dari hasil penelitian yang dilakukan, motivasi kerja berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Kinerja Organisasi dipengaruhi oleh perubahan organisasi. Menurut Robbins (2003), perubahan organisasi meliputi empat indikator, yaitu: perubahan struktur organisasi, perubahan strategi organisasi, perubahan manajemen sumber daya manusia, dan penerapan teknologi pendukung perubahan organisasi. Selanjutnya, variabel kinerja organisasi/perusahaan secara operasional diukur dengan menggunakan empat indikator yang diadopsi dari Brahmasari (2004), yaitu: efisiensi penggunaan sumber daya manusia, efisiensi penggunaan waktu, kemampuan beradaptasi terhadap perubahan, dan kemampuan perusahaan dalam mencapai target perusahaan yang telah ditetapkan, yakni tingkat penjualan kamar hotel (Lihat Tabel 2.2). BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Dinamika manajemen organisasi / sektor pariwisata di Bali secara umum terkait dengan era globalisasi dewasa ini. Globalisasi adalah era persaingan bebas yang menuntut organisasi bertindak serba cepat dan rasional dan memerlukan peran berbagai komponen seperti sumber daya manusia, teknologi, dan perangkat hukum sehinggu tujuan organisasi dapat dicapai. Dalam mengantisipasi tantangan globalisasi, organisasi manajemen sektor usaha jasa pariwisata juga terus berkembang dinamis. Manajemen perusahaan, khususnya usaha perhotelan perlu mengambil langkah antisipatif agar tetap eksis dan mampu mengembangkan kinerjanya. Penelitian desertasi ini terfokus kepada upaya mengkaji kinerja organisasi usaha perhotelan di Bali (lihat Gambar 3.1). Penelitian ini mencakup empat variabel, yaitu variabel pemberdayaan SDM, motivasi kerja, perubahan organisasi, dan kinerja organisasi. Ke-empat variabel penelitian ini selanjutnya dirumuskan menjadi tiga permasalahan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimanakah pengaruh pemberdayaan sumber daya manusia terhadap motivasi kerja pekerja, perubahan organisasi, dan kinerja organisasi usaha perhotelan di Bali? 2. Bagaimanakah pengaruh motivasi kerja terhadap perubahan organisasi dan kinerja organisasi usaha perhotelan di Bali? 63 64 3. Bagaimanakah pengaruh perubahan organisasi terhadap kinerja organisasi usaha perhotelan di Bali? Peningkatan Kinerja Organisasi Usaha Jasa Perhotelan di Bali Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaruh pemberdayaan sumber daya manusia terhadap motivasi kerja pekerja, perubahan organisasi, dan kinerja organisasi usaha perhotelan di Bali? 2. Bagaimanakah pengaruh motivasi kerja terhadap perubahan organisasi, dan kinerja organisasi usaha perhotelan di Bali? 3. Bagaimanakah pengaruh perubahan organisasi terhadap kinerja organisasi usaha perhotelan di Bali? Konsep/Teori Pemberdayaan SDM Motivasi Kerja Perubahan Organisasi Kinerja Organisasi Analisis Data Structural Equation Modeling (SEM) Triangulasi (Wawancara mendalam, FGD) Hasil Penelitian H1: Pemberdayaan sumber daya manusia berpengaruh positif dan signifikan terhadap motivasi kerja pekerja usaha perhotelan di Bali. H2: Pemberdayaan sumber daya manusia berpengaruh positif dan signifikan terhadap perubahan organisasi usaha perhotelan di Bali. H3: Pemberdayaan sumber daya manusia berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja organisasi usaha perhotelan di Bali. H4: Motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap perubahan organisasi usaha perhotelan di Bali. H5: Motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja organisasi usaha perhotelan di Bali. Konseptual Gambar 3.2: Kerangka H6: Perubahan organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel kinerja organisasi usaha perhotelan di Bali. Rekomendasi Kebijakan Gambar 3.1 Kerangka Berpikir 65 Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3.1, permasalahan penelitian dikaji dengan menerapkan empat teori, yaitu teori pemberdayaan SDM, teori motivasi kerja, teori perubahan organisasi, dan teori kinerja organisasi. Dilakukan teknik analisis multivariate dengan model persamaan struktur atau Structural Equation Modeling (SEM) dan teknik triangulasi. Hasil analisis data kemudian diinterpretasikan dan disimpulkan serta diberikan saran (rekomendasi) untuk peningkatan kinerja organisasi sektor usaha jasa pariwisata di Bali. 3.2 Kerangka Konseptual Globalisasi telah menimbulkan persaingan yang semakin ketat termasuk dalam bidang pariwisata. Dengan demikian, hotel sebagai salah satu komponen pariwisata dituntut untuk dapat memenangi persaingan ini. Persaingan dalam dunia perhotelan menuntut setiap manajer hotel untuk melakukan inovasi untuk memenangi persaingan. Berbagai strategi dilakukan; salah satunya adalah mengintegrasikan berbagai elemen yang terkait dengan usaha bisnis pariwisata khususnya dunia perhotelan. Beberapa peneliti menggambarkan persaingan dalam dunia perhotelan antara lain Barros (2005) yang menyatakan bahwa daya saing suatu negara berasal dari kinerja perusahaan, yang tentunya termasuk industri hotel. Pertumbuhan ekonomi masyarakat menstimulasi kinerja hotel, yang pada gilirannya hotel dapat memberikan kontribusi pada pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Industri perhotelan mendapat manfaat dari pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sebuah destinasi serta kemajuan masyarakatnya, seperti adanya gedung 66 perkantoran, swalayan dan fasilitas hiburan yang menarik bagi wisatawan dan pebisnis dan membantu meningkatkan hunian hotel. Berbagai riset yang dilakukan menggambarkan pentingnya riset dalam dunia perhotelan antara lain Philips (1999) menyatakan bahwa sebuah kerangka kerja dianggap yang paling komprehensif, yang menghubungkan tiga wilayah penting dari perencanaan strategis: formulasi, implementasi, dan evaluasi. Cara tradisional untuk mengukur kinerja hotel yang hanya dari perspektif keuangan saja tidak mampu menyuguhkan kinerja sebenarnya dari industri hotel. Kerangka kerja ini dirancang untuk menggabungkan kedua faktor ekonomi dan faktor organisasi yang spesifik dan perubahan dalam lingkungan eksternal. Menurut Fitzgerald et al. (1991); Neely et al. (1995); Brignall & Ballantine (1996); Philips (1999); Brown & Dev (2000); tema sentral dari kerangka kerja ini adalah: masukan, keluaran, proses, pasar, orientasi strategis, dan karakteristik lingkungan yang terkait dengan hasil. Selain itu, evaluasi kinerja sebuah hotel melibatkan analisis dari ketiga kategori faktor, yang meliputi karakteristik fisik, pasar, dan faktor-faktor yang dapat dikontrol (misalnya, gaji) oleh general manager hotel (Philips, 1999; Baros, 2005). Penelitian ini menggambarkan pentingnya elemen sumber daya manusia yang harus diberdayakan untuk dapat memenangi persaingan. Di pihak lain, motivasi merupakan elemen penting yang harus dipahami untuk mencapai kinerja hotel. Elemen lain yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi adalah adanya perubahan pada struktur organisasi yang mendukung inovasi organisasi (Robbins, 2003; Suaedi, 2005). Dengan demikian, penelitian ini mencoba untuk 67 mengintegrasikan berbagai elemen yang berpengaruh terhadap kinerja industri perhotelan di Bali sehingga industri perhotelan tidak hanya memenangi persaingan di tingkat nasional, tetapi juga dalam dunia internasional. Penelitian yang terkait dengan pengelolaan sektor jasa perhotelan di Bali ini meliputi empat variabel penelitian, yaitu: pemberdayaan SDM, motivasi kerja, dan perubahan organisasi sebagai variabel pengaruh, serta kinerja organisasi sebagai variabel terpengaruh. Hubungan antarvariabel dapat dilihat pada kerangka konseptual pada Gambar 3.2. Pemberdayaan SDM (X1) H3 H2 H1 H6 Perubahan Organisasi (X3) Kinerja Organisasi (Y1) H4 Motivasi Kerja (X2) H5 Gambar 3.2 Kerangka Konseptual 3.3 Hipotesis Kinerja organisasi usaha jasa sektor perhotelan terkait dengan berbagai variabel, yaitu variabel pemberdayaan sumber daya manusia (SDM), variabel motivasi kerja, dan variabel perubahan organisasi. Berdasarkan persepsi 68 responden terhadap variabel penelitian, maka dalam penelitian ini terdapat enam hipotesis yang diajukan. H1: Pemberdayaan sumber daya manusia berpengaruh positif dan signifikan terhadap motivasi kerja pekerja usaha perhotelan di Bali. H2: Pemberdayaan sumber daya manusia berpengaruh positif dan signifikan terhadap perubahan organisasi usaha perhotelan di Bali. H3: Pemberdayaan sumber daya manusia berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja organisasi usaha perhotelan di Bali. H4: Motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap perubahan organisasi usaha perhotelan di Bali. H5: Motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja organisasi usaha perhotelan di Bali. H6: Perubahan organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel kinerja organisasi usaha perhotelan di Bali.