2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Informasi Teskey yang dikutip oleh Pendit (1992) membedakan antara data, informasi, dan pengetahuan seperti berikut ini : a. Data adalah hasil dari observasi langsung terhadap suatu kejadian atau suatu keadaan; ia merupakan entitas (entity) yang dilengkapi dengan nilai tertentu. Entitas ini merupakan perlambangan yang mewakili objek atau konsep dalam dunia nyata. Misalnya, “temperatur” merupakan perlambangan dari suatu keadaan tertentu dalam alam semesta. Sebuah data tentang temperatur, misalnya adalah “air mendidih pada temperatur 100 derajat celcius”. Data ini bisa disimpan dalam bentuk lebih kongkrit, misalnya dalam bentuk tertulis, grafis, elektronik, dan sebagainya. b. Informasi adalah kumpulan data yang terstruktur untuk memperlihatkan adanya hubungan-hubungan entitas di atas. Jadi, misalnya “air mendidih pada temperatur 100 derajat; bakteri kolera mati pada lingkungan bertemperatur 100 derajat; maka “sebelum minum, masaklah air sampai mendidih, agar terhindar dari kolera”, adalah satu informasi yang direkayasa otak manusia ketika ia menemukan data tentang temperatur air dan tentang bakteri kolera. c. Pengetahuan adalah model yang digunakan manusia untuk memahami dunia, dan yang dapat diubah-ubah oleh informasi yang diterima pikiran manusia. Misalnya, pengetahuan manusia tentang kolera selama ini telah diisi (dan diubah-ubah) sepanjang jaman oleh berbagai informasi tentang penyakit itu dan cara pencegahannya. Dalam dunia ilmu pengetahuan dan ilmu informasi, terjadi perubahan dalam cara memandang informasi, yaitu paradigma kognitif dan paradigma fisik. Dalam paradigma kognitif, informasi dipandang sebagai sesuatu yang subjektif, individual dan tidak dapat disentuh, yang terjadi melalui proses konstruksi dalam diri manusia. Kunci utama pada paradigma kognitif adalah individu pemakai. Dalam hal ini, informasi merupakan sesuatu yang diciptakan (constructed or created) oleh individu pemakai (Ellis, 1992). Paradigma fisik memandang informasi sebagai suatu obyek, berada di luar manusia dan dapat disentuh misalnya dalam bentuk buku, majalah, tesis dan bahan pustaka lainnya. Paradigma fisik memfokuskan diri pada bentuk-bentuk nyata dalam suatu sistem informasi. Informasi juga dikolaborasikan dalam kaitannya dengan fungsinya. Beberapa fungsi informasi adalah mengurangi ketidakpastian, khususnya sebagai masukan perencanaan untuk pemecahan masalah, pembuatan keputusan, dan peningkatan pengetahuan. Pada konsep ini informasi berfungsi untuk menjelaskan suatu tugas dan mencapai tujuan (Dervin, 1992). Dalam upaya memahami istilah informasi, beberapa ahli merumuskan pengertian antara lain menurut Fabiosoff yang dikutip oleh Kaniki (1992) bahwa informasi merupakan sesuatu yang mengurangi ketidakpastian. McFadden (1999) dan Davis (1999) yang dikutip oleh Kadir (2003) mendefinisikan informasi sebagai data yang telah diproses sedemikian rupa sehingga meningkatkan pengetahuan seseorang yang menggunakan data tersebut. Senada dengan itu, Porat (1977) yang dikutip oleh Kurniadi (2004) mendefinisikan informasi sebagai data yang diorganisir dan dikomunikasikan. Kemudian Kaniki (1992) merumuskan informasi sebagai ide, fakta, karya imajinatif pikiran, data yang berpotensi untuk pengambilan keputusan, pemecahan masalah serta jawaban atas pertanyaan yang dapat mengurangi ketidakpastian. Definisi di atas lebih melihat informasi sebagai produk, benda kongkrit yang berada di luar individu (eksternal). Pada paradigma fisik ini, komunikasi yang terjadi dipandang sebagai proses transfer informasi dari pihak yang lebih mengerti kepada pihak yang kurang mengerti. Informasi tersebut bersifat objektif. Menurut Lien (1996), informasi obyektif yaitu bagian dari dunia informasi yang diperlukan untuk suksesnya pencapaian tujuan pencari informasi, tidak peduli apakah pencari informasi menyadarinya atau tidak. Banyak penelitian komunikasi yang menggunakan paradigma fisik. Misalnya, penelitian tentang respon petani terhadap informasi pada media cetak atau elektronik, respon petani terhadap informasi yang disampaikan penyuluh. Ada juga penelitian yang memandang informasi dari sudut pandang pengamat (peneliti). Informasi dalam penelitiannya diartikan sebagai informasi yang objektif. Penelitian Wijayanti (2003) tentang kebutuhan informasi petani tanaman hias menampilkan informasi dari sudut pandang peneliti (observer). Informasi yang dikaji adalah informasi objektif, yaitu informasi yang secara ideal harus dimanfaatkan oleh petani, dipandang dari perspektif peneliti. Peneliti mengartikan informasi sebagai data atau produk yang sudah tersedia di luar individu petani. Penggalian kebutuhan informasi petani dilakukan dengan menyebar kuisioner kepada100 orang responden. Analisis data dilakukan secara kuantitatif, dengan 8 mengukur tingkat kebutuhan informasi dengan memberi skor pada setiap informasi. Misalnya, 1 = tidak dibutuhkan; 2 = agak dibutuhkan; 3 = dibutuhkan; 4 = sangat dibutuhkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan informasi petani tanaman hias meliputi : informasi teknologi, permodalan, tempat usaha, saprodi, dan pasar. Secara umum tingkat kelima kebutuhan petani akan informasi tersebut berada dalam kategori tinggi. Wiener mengartikan informasi sebagai sebuah sarana untuk mencapai efektivitas dalam hidup, dan kita bersandar padanya untuk memperoleh efektivitas tersebut. Kemudian Miller mendefinisikan informasi sebagai sebuah kebutuhan, kebutuhan yang hadir pada saat kita dihadapkan pada suatu pilihan. Semakin banyak pilihan yang hadir sebagai alternatif, semakin kuat pula kebutuhan kita akan informasi. Definisi lainnya adalah dari Shannon, informasi adalah sesuatu yang membuat pengetahuan kita berubah, yang secara logis mensahkan perubahan, memperkuat atau menemukan hubungan yang ada pada pengetahuan yang kita miliki (Kurniawan 2002). Mengamati definisi-definisi di atas, informasi dipandang lebih berperan sebagai sebuah komponen daripada sebuah produk dalam suatu perubahan. Sebagai komponen, informasi akan menempatkan dirinya di tengah-tengah proses informasi berada dalam posisi penggerak yang mendorong terjadinya perubahan. Termasuk di sini bahwa informasi menjadi komponen perubahan dalam kehidupan petani gurem pada lahan sawah tadah hujan. Menurut Krikelas (1983) informasi adalah suatu rangsangan yang menciptakan ketidakpastian, membuat seseorang sadar akan kebutuhan dan menciptakan suatu perubahan dalam tingkat atas derajat tertentu. Sementara itu menurut Pannen (1996) informasi adalah jawaban yang memberikan individu jalan keluar dari permasalahan. Selanjutnya menurut Mangindaam dkk (1993) dalam Hasyim (1999) informasi merupakan alat untuk membantu seseorang mengatasi situasi problematik sehingga seseorang dapat kembali meneruskan perjalanan kognitifnya. Sedangkan menurut Dervin (1992) informasi adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada saat seseorang berada dalam situasi problematika. Definisi informasi tersebut mengartikan informasi sebagai sebuah jawaban yang diperlukan individu di saat mengalami situasi bermasalah dalam melintasi ruang dan waktu. Informasi pada definisi di sini dipandang dalam paradigma kognitif yaitu sebagai sesuatu yang diciptakan dalam pikiran individu dan berada 9 di dalam individu (internal). Sehingga informasi tersebut bersifat subjektif, yaitu bagian dari dunia informasi yang menurut si pencari informasi berguna baginya, ada dalam status aktif yang menggerakkan proses berpikir si pemakai informasi. Era paradigma pembangunan saat ini (empowerment : pemberdayaan) menuntut lembaga pelayanan informasi (misalnya : lembaga penyuluhan, pusat informasi pedesaan) dapat melayani kebutuhan informasi petani. Pada paradigma ini, informasi harus digali dari perspektif petani bukan perspektif agen pembangunan atau peneliti. Informasi yang dihasilkan pun benar-benar berasal dari petani, bukan informasi yang sudah ditentukan oleh pihak luar. Ada proses ’dialog’ antara petani dengan agen pembangunan atau peneliti. Komunikasi yang ada diartikan sebagai proses pertukaran informasi antar pelaku komunikasi. Sebaiknya pendekatan yang dipakai tidak lagi berorientasi pada peneliti atau sumber melainkan berorientasi kepada pemakai (petani). Untuk itu, penelitian ini mencoba membantu lembaga-lembaga tersebut memperoleh masukan tentang kebutuhan dan perilaku pencarian informasi petani gurem pada lahan sawah tadah hujan di daerahnya. Penelitian ini akan berorientasi kepada pemakai (petani). Menurut Pannen (1996), asumsi dasar yang melandasi penelitian-penelitian berorientasi kepada pemakai adalah : a. Informasi adalah sesuatu alat berharga dan berguna bagi individu dalam usahanya untuk bertahan hidup. Informasi berguna dan berharga karena dapat mengurangi ketidakpastian yang dihadapi. Jika individu bergerak dalam suatu ruang dan waktu, maka informasi mampu menjelaskan dan memprediksi realitas dalam ruang dan waktu tersebut, sehingga individu dapat terus bergerak dengan efektif. b. Adanya ’universal truth’ tentang pemakai. Jika pemakai mempunyai atribut sama, maka ia akan membutuhkan dan menggunakan informasi yang sama, dan nilai informasi tersebut, juga akan sama bagi setiap pemakai. Dokter akan memerlukan informasi yang sama dimanapun ia berada dan dalam situasi apapun. Jika seseorang dokter memerlukan informasi x dan informasi yang sama diberikan kepada dokter-dokter lain, maka informasi x tersebut akan sama (obyektif). c. Perbedaan antar pemakai, dan antara pemakai dengan sistem informasi merupakan tujuan penelitian. 10 Dari beberapa definisi informasi di atas, informasi dalam penelitian ini adalah informasi yang dipandang dari paradigma kognitif, yaitu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul di saat petani gurem berada dalam situasi bermasalah, yang mengurangi ketidakpastian, diciptakan petani gurem dalam pikirannya, bersifat subjektif, berguna dan berharga dalam usaha petani gurem untuk memenuhi kebutuhan dasar yaitu bekerja baik menjalankan usahatani maupun pekerjaan lain. Pendekatan kognitif mempunyai nuansa yang berbeda dengan pendekatan yang lainnya. Pendekatan kognitif menekankan bahwa individu (petani) yang bergerak melintasi ruang dan waktu, kemudian mengalami kesenjangan, akan berusaha menjembatani kesenjangan tersebut. Dalam usahanya tersebut, individu selalu menggunakan dan menciptakan informasi. Individu juga mempunyai kebebasan untuk menciptakan informasi tersebut dari segala sesuatu yang ada di lingkungannya. Pendekatan kognitif berfokus pada bagaimana seseorang menciptakan ’sense’, pada pemanfaatan informasi pada situasi yang unik. Walaupun demikian, pendekatan kognitif tidak dimaksudkan untuk menggantikan pendekatan lainnya. Lebih tepat jika dikatakan bahwa pendekatan kognitif adalah untuk melengkapi pendekatan lainnya. Sehingga penelitian ini akan melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya. 2.2 Kebutuhan Informasi Nicholas (2000) menjelaskan bahwa kebutuhan informasi muncul ketika seseorang berkeinginan memenuhi satu atau lebih dari tiga kebutuhan dasar manusia, yaitu kebutuhan fisiologis (makan, tempat tinggal, dan lainnya); kebutuhan psikologis (kekuasaan, rasa aman); dan kebutuhan kognitif (pendidikan, perencanaan). Meskipun bukan merupakan kebutuhan primer, kebutuhan informasi merupakan hal yang penting karena keberhasilan seseorang dalam memenuhi salah satu atau semua kebutuhan dasar dipengaruhi oleh pemenuhan kebutuhan informasi. Menurut Dictionary for Library and Information yang disusun oleh Reitz (2004), kebutuhan informasi adalah kesenjangan dalam pengetahuan seseorang yang dialami pada tingkat kesadaran tertentu sebagai ”pertanyaan” yang timbul untuk mendapatkan jawaban. Krikelas (1983) mengartikan kebutuhan informasi sebagai pengakuan seseorang atas adanya ketidakpastian dalam dirinya. Rasa ketidakpastian ini mendorong seseorang untuk mencari informasi. Sedangkan 11 menurut Kuhlthau (1991) yang dikutip oleh Kurniadi (2004) mengatakan kebutuhan informasi menjadi akibat munculnya kesenjangan pengetahuan yang ada dalam diri seseorang dengan kebutuhan informasi yang diperlukan. Senada dengan hal tersebut, Belkin yang dikutip oleh Dervin dan Nilan (1986) mendefinisikan kebutuhan informasi sebagai suatu kondisi dan situasi yang muncul ketika dalam diri seseorang terjadi kekosongan. Dalam kondisi seperti ini seseorang tidak mempunyai cukup pengetahuan dan konsepsi yang sesuai atau cocok untuk melakukan pekerjaan, penyelesaian masalah atau pemecahan ketidakpastian. Wersig yang dikutip oleh Pendit (1992) memunculkan teori bahwa kebutuhan informasi dipicu oleh apa yang dinamakan sebagai a problematic situation. Ini merupakan situasi yang terjadi dalam diri manusia yang dirasakan tidak memadai oleh yang bersangkutan untuk mencapai tujuan tertentu dalam hidupnya. Hal yang dimaksud dengan situasi problematik dalam penelitian ini adalah situasi pada saat petani merasakan kekurangan informasi dalam rangka melaksanakan kegiatan usahatani dan usaha lain dalam rangka tujuan subsistensinya. Menurut Line (1969) yang dikutip oleh Nicholas (2000) bahwa kebutuhan informasi tampak ketika disadari terdapat informasi yang dibutuhkan oleh seseorang. Belkin (1989) yang dikutip oleh Nicholas (2000) menjelaskan bahwa kebutuhan informasi tumbuh ketika seseorang menyadari adanya kesenjangan antara pengetahuan dengan keinginan untuk memecahkan masalah. Sementara itu menurut Nicholas (2000) bahwa kebutuhan informasi adalah perlu agar seseorang dapat bekerja secara efektif, efisien, nyaman dan bahagia. Hampir semua orang tidak menyadari kebutuhan akan informasi setiap saat sampai mereka mengalami masalah atau kesulitan atau di bawah tekanan. Kebutuhan emosional dan kognitif pada kondisi ini harus dipenuhi atau sebagian dapat dipenuhi dengan memperoleh dan menggunakan informasi. Akar permasalahan dari perilaku pencarian informasi adalah konsep kebutuhan informasi. Sebenarnya kebutuhan tersebut merupakan pengalaman subjektif yang hanya ada di benak orang yang memerlukannya, yang karenanya tidak dapat diketahui secara langsung oleh seseorang. Pengalaman akan kebutuhan ini hanya dapat ditemukan melalui proses deduksi dari perilaku atau melalui laporan dari orang yang melakukannya. Dalam rangka memenuhi 12 kebutuhan-kebutuhan tersebut, orang memerlukan informasi (Wilson dan Christina 1996). Selanjutnya model yang diperkenalkan Wilson ini berdasarkan pada dua proposisi. Pertama adalah bahwa kebutuhan informasi bukanlah kebutuhan utama atau primer tetapi merupakan kebutuhan sekunder yang timbul karena keinginan untuk memenuhi kebutuhan primer atau kebutuhan dasarnya. Proposisi kedua adalah bahwa dalam usahanya menemukan informasi untuk memuaskan kebutuhannya, pencari informasi menghadapi kendala (barriers). Kebutuhan informasi terdiri dari tiga macam. Pertama, kebutuhan informasi yang tidak disadari (dormand needs atau unrecognised needs). Kebutuhan ini dialami oleh mereka yang seringkali tidak mengetahui informasi apa yang mereka butuhkan. Mereka tidak meyadari ada kesenjangan informasi. Mereka juga tidak mengetahui bahwa informasi baru memberikan sesuatu tentang apa yang telah mereka ketahui. Mereka akan menyadari ada kebutuhan informasi tertentu jika mengalami masalah tertentu. Misalnya, seseorang tidak mengetahui jika ia menderita suatu penyakit. Pengecekan kesehatan memberikan kesadaran kepadanya untuk menjalani terapi kesehatan (berobat). Informasi tentang pengobatan adalah informasi yang tidak disadari sebelum ia mengetahui tentang gangguan kesehatannya. Kedua, kebutuhan informasi yang tidak diekspresikan (unexpressed needs). Kebutuhan ini dialami oleh mereka yang sadar membutuhkan informasi tertentu, tetapi tidak dapat atau tidak mau melakukan sesuatu untuk memenuhinya. Ketiga, kebutuhan informasi yang diekspresikan (expresed needs), yaitu kebutuhan yang disadari dan diupayakan dipenuhi oleh mereka yang sadar akan kesenjangan antara pengetahuan dan keinginan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (Nicholas 2000). Jika kita mengidentifikasi kebutuhan informasi, maka perlu diperhatikan halhal berikut :(1) kebutuhan informasi adalah konsep yang relatif; (2) kebutuhan informasi berubah setiap saat; (3) kebutuhan informasi berbeda-beda dari satu orang dengan orang lain; (4) kebutuhan informasi tergantung dari lingkungan dimana orang tersebut berada; (5) mengukur kebutuhan informasi adalah hal yang sulit; (6) kebutuhan informasi sering sekali diperlukan dalam waktu yang cepat; (7) kebutuhan informasi sering berubah setelah menerima beberapa informasi (Chowdhury 2004). Nicholas (2000) menguraikan banyak faktor yang mempengaruhi kebutuhan informasi, yaitu (1) jenis pekerjaan; (2) latar belakang budaya atau 13 bangsa; (3) kepribadian; (4) tingkat kesadaran informasi/ pelatihan; (5) jenis kelamin; (6) usia; (7) ketersediaan waktu individu, (8) akses yaitu sejauhmana menelusur informasi secara internal atau eksternal; (9) sumberdaya atau keuangan; (10) informasi yang berlebihan. Kaniki (1992) menyampaikan bahwa kebutuhan informasi bervariasi tergantung dari pengguna (user), waktu, tujuan, tempat, alternatif yang tersedia dan sebagainya. Beberapa penelitian telah mengawali perilaku pencarian informasi sebagian kelompok pada usaha untuk mengidentifikasi dan memprediksi kebutuhan informasinya. Salah satu ahli yang telah melakukan penelitian tentang kebutuhan informasi adalah Brenda Dervin dengan pendekatan sense making yang amat terkenal itu. Sebagai sebuah pendekatan penelitian, sense-making dikembangkan oleh Dervin dan kolega-koleganya lebih dari 36 tahun yang lalu (sekitar tahun 1972). Sense-making adalah satu dari sekian pendekatan penelitian yang banyak diterapkan dalam ilmu komunikasi sekaligus dapat diterapkan dalam ilmu perpustakaan dan informasi. Sense-making sudah dipakai untuk mendapatkan deskripsi yang jelas tentang kebutuhan berdasarkan persepsi pemakai dalam berbagai kasus, seperti informasi kebutuhan informasi pasien kanker, kebutuhan informasi pemakai perpustakaan, kebutuhan informasi peneliti, dan kebutuhan informasi pemakai komputer. Selain itu, pendekatan ini dapat digunakan untuk menggambarkan kendala dan bantuan yang diinginkan dalam mencari informasi (Dervin, 1992). Sebagai metode, sense-making digunakan untuk menelaah kebutuhan, pencarian, penggunaan informasi dari sudut persepsi individu pemakai. Sensemaking mempunyai beberapa kelebihan, antara lain : a. Metode ini memberikan kesempatan untuk dapat mengungkap kebutuhan dan pencarian informasi seseorang sesuai yang ada dalam sense (pikiran) seseorang. b. Metode ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan sistem pelayanan informasi yang sesuai dengan sense (pikiran) pengguna yang sebenarnya (Dervin dan Nilan 1986; Pannen 1996) Premis dasar metode sense-making (Dervin dan Nilan 1986; Pannen 1996) adalah : a. Individu pemakai harus diperlakukan sebagai individu yang unik (individuality) 14 b. Setiap individu pemakai bergerak melintasi ruang dan waktu yang unik (situationality) c. Informasi adalah sesuatu yang dapat membantu individu untuk make sense terhadap situasinya (utility of information) d. Ada pola umum yang dapat disimpulkan tentang persepsi orang terhadap situasi yang dialaminya. Penelitian kebutuhan informasi banyak diteliti oleh ilmuwan ilmu informasi dan perpustakaan. Kurniadi (2004) dan Budiyanto (2000) meneliti kebutuhan dan perilaku pencarian informasi peneliti bidang ilmu sosial dan kemanusiaan. Handajani (2004) meneliti kebutuhan informasi pejabat fungsional di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara. Wijayanti (2000) dan Hasyim (1999)meneliti kebutuhan dan perilaku pencaria informasi staf pengajar (dosen). Suryantini (2000) meneliti tentang kebutuhan informasi penyuluh pertanian di Kabupaten Bogor. Desain penelitian yang digunakan adala survei yang bersifat deskripsi korelasional, dengan mengambil sejumlah 60 orang dari 189 orang penyuluh pertanian secara acak sebagai responden. Data penelitian disajikan dalam tabel distribusi frekuensi. Kebutuhan informasi dalam penelitian ini didefinisikan sebagai kesenjangan (gap) antara pengetahuan yang dimiliki petani gurem dengan keinginan untuk menyelesaikan masalah dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar yaitu saat bekerja baik menjalankan usahatani maupun pekerjaan lain, sebagai sebuah pertanyaan yang memerlukan jawaban dan menimbulkan ketidakpastian. 2.3 Perilaku Pencarian Informasi Alasan kebutuhan di atas menyebabkan petani melakukan tindakan untuk mencari informasi. Tindakan inilah yang menyebabkan adanya perilaku pencarian informasi. Perilaku adalah aspek yang dapat menggambarkan ”mengapa” hingga ”bagaimana” dan ”untuk apa” sesuatu dilakukan manusia (Wersig, diacu dalam Kurniadi 2004). Perilaku pencarian informasi dimulai dari adanya kesenjangan dalam diri pencari informasi, yaitu antara pengetahuan yang dimiliki dengan kebutuhan informasi yang diperlukan. Kesenjangan ini dirumuskan dalam bentuk Anomalous State of Knowledge atau disingkat ASK (Belkin dan Vickery 1985, diacu dalam Kurniadi 2004). 15 Perilaku pencarian informasi (information seeking behavior) merupakan upaya menemukan informasi dengan tujuan tertentu sebagai akibat dari adanya kebutuhan untuk memenuhi tujuan tertentu (Wilson 2000). Menurut Pannen (1996), perilaku pencarian informasi merupakan perilaku seseorang yang selalu terus bergerak berdasarkan lintas waktu dan ruang, mencari informasi untuk menjawab segala tantangan yang dihadapi, menentukan fakta, memecahkan masalah, menjawab pertanyaan dan memahami suatu masalah. Perilaku pencarian informasi dimulai dari adanya kesenjangan dalam diri pencari informasi, yaitu antara pengetahuan yang dimiliki dengan kebutuhan informasi yang diperlukan. Sedangkan menurut Krikelas (1983), perilaku pencarian informasi adalah kegiatan seseorang yang dilakukan untuk mendapatkan informasi. Manusia akan menunjukkan perilaku pencarian informasi untuk memenuhi kebutuhannya. Perilaku pencarian informasi dimulai ketika seseorang merasa bahwa pengetahuan yang dimilikinya saat itu kurang dari pengetahuan yang dibutuhkannya. Untuk memenuhi kebutuhannya tersebut seseorang mencari informasi dengan menggunakan berbagai sumber informasi. Sejak seseorang merasa membutuhkan informasi, pada saat itu sebenarnya pencari informasi telah menunjukkan perilakunya. Perilaku merupakan salah satu dari perwujudan sikap, baik yang nampak maupun tersembunyi. Perilaku pencarian informasi dapat dilihat melalui pemilihan sumber informasi. Sumber informasi terdiri dari sumber informasi internal dan sumber eksternal. Sumber internal dapat berupa memori catatan pribadi, hasil pengamatan. Sedangkan sumber eksternal adalah berupa sumber informasi yang didapat dengan cara hubungan langsung dengan sumber informasi terekam, tertulis, atau manusia lain (Krikelas 1983, diacu dalam Kurniadi 2004). Dalam memilih sumber informasi, beberapa hal yang sering dijadikan pertimbangan, antara lain : ketersediaan sumber informasi, kemudahan sumber informasi diperoleh, kemudahan sumber informasi digunakan, dan biaya pemanfaatan sumber informasi (Hasyim 1999). Salah satu tujuan penelitian Iskandar (1999) yaitu mengetahui sumber informasi teknologi yang digunakan oleh petani kentang di Kecamatan Pengalengan Dati II Bandung. Dalam penelitiannya, Iskandar menggunakan pendekatan positivistik dengan metode survei dengan menyebarkan kuisioner kepada 90 responden petani kentang yang dipilih secara acak. Salah satu hasil 16 temuannya yaitu sumber informasi teknologi yang digunakan oleh petani kentang meliputi teman sesama petani, tengkulak, petani maju, penyuluh pertanian, pengurus koperasi. Purnaningsih (1999) meneliti tentang pemanfaatan sumber informasi usahatani sayuran oleh petani. Pendekatan yang digunakan yaitu positivistik dengan menetapkan beberapa hipotesis untuk diuji secara korelasional. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar respoden di Desa Cipendawa memilih teman sebagai sumber informasi, sedangkan di Desa Sukatani memilih orang tua/kerabat dan teman sebagai sumber informasi. Responden di Desa Sukatani tidak memilih penyuluh dan pemasok barang sebagai sumber informasi. Ma’mir (2001) juga meneliti perilaku petani sayuran dalam pemanfaatan sumber informasi. Desain penelitian adalah survei terhadap 100 orang petani sayuran. Data dianalisis secara kuantitatif dan beberapa hipotesis yang ditetapkan diuji secara korelasional. Temuan penelitian ini antara lain tingkat pemanfaatan sumber informasi agribisnis tanaman sayuran yang paling tinggi, baik prosentase jumlah petani dan intensitas keterdedahan informasi tanaman sayuran maupun pemanfaatan informasi adalah melalui saluran interpersonal disusul kemudian media elektronik dan media cetak. Penelitian perilaku komunikasi dan penggunaan sumber informasi juga diteliti oleh Yusmasari (2003). Salah satu tujuan penelitiannya yaitu mengetahui perilaku komunikasi masyarakat sekitar kawasan Mangrove yaitu di Desa Pematang Pasir Kecamatan Ketapang Lampung Selatan berkaitan dengan informasi manfaat dan pelestarian mangrove. Ia melakukan teknik wawancara terstruktur, menyebar kuisioner, dan menguji korelasi antar vaiabel dengan menetapkan 74 orang petambak sebagai responden. Hasil penelitian menunjukkan masyarakat di lokasi penelitian terdedah dengan sumber informasi interpersonal, media cetak, dan media elektronik. Dalam hasilnya, penelitian tersebut juga menyebutkan ada tiga kelompok masyarakat yaitu 1) masyarakat dengan keterdedahan tinggi terhadap sumber informasi yaitu yang mencari dan menerima informasi, 2) keterdedahan sedang yaitu yang hanya menerima informasi, dan 3) keterdedahan rendah yaitu yang tidak keduanya baik mencari maupun menerima informasi. Kifli (2002) meneliti tentang perilaku komunikasi petani padi. Salah satu tujuan penelitiannya yaitu menguraikan perilaku komunikasi petani padi di Desa Kalibuaya Kecamatan Tegalsari Kabupaten Karawang dalam penerapan 17 usahatani tanaman pangan. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan uji korelasional. Salah satu hasil temuan menunjukkan sebagian besar (88,7 persen) responden menggunakan Petugas Penyuluh Lapang (PPL) sebagai sumber utama informasi. Penelitian Sudradjat (1998) ”senada” dengan penelitian Kifli (2002). Penelitiannya berjudul Perilaku Pemanfaatan Saluran Komunikasi dalam Penerapan Teknologi PHT di Kalangan Petani Kabupaten Sukabumi. Salah satu tujuan penelitian adalah mengetahui sejauhmana pemanfaatan saluran komunikasi melalui SLPHT di Kabupaten Sukabumi. Desain penelitian yang digunakan adalah survei terhadap 150 orang petani peserta SLPHT dan 90 orang pemandu (PHP, PPL, Petandu). Penelitian ini juga menguji hipotesishipotesis yang bersifat korelasional. Penelitian perilaku komunikasi juga banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti jaringan komunikasi seperti penelitian Ellyta (2006), Hanafi (2002), dan Indraningsih (2002). Secara garis besar tujuan penelitian ketiga penelitian tersebut yaitu mengetahui keragaan jaringan komunikasi (perilaku komunikasi menemui sumber informasi berkaitan dengan masalah pertanian. Ketiga penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan menetapkan hipotesishipotesis untuk diuji secara korelasional. Marquis dan Allen (1989), mendefinisikan penggunaan informasi (information use) sebagai perilaku. Data dikoleksi dengan berbagai perilaku seperti bertanya pada seseorang, mengamati kejadian, melihat dokumendokumen. Dengan kata lain penggunaan informasi adalah perilaku pencarian informasi yang memandu penggunaan informasi dalam rangka memenuhi kebutuhan seseorang. Terdapat beberapa pola perilaku pencarian informasi. Di antaranya adalah pola yang ditemukan olah Carol Collier Kuhlthau. Kuhlthau (2004a;2004b) menjelaskan bahwa ada tujuh kegiatan dalam model Proses Penelusuran Informasi (Information Search Process / ISP), yaitu ; (1) inisiasi (initiation) adalah merenungkan penentuan tugas, masalah, atau proyek kemudian mengidentifikasi pertanyaan atau masalah yang akan ditelusuri jawabannya: ketidakpastian; (2) seleksi (selection) yaitu menyeleksi topik tertentu, masalah atau jawaban terhadap suatu pertanyaan:optimisme; (3) eksplorasi (exploration) adalah menghadapi perasaan yang tidak konsisten dan tidak nyaman terhadap suatu gagasan dan informasi:kebingungan;(4) formulasi (formulation) yaitu 18 menentukan suatu fokus perspektif terhadap informasi yang dihadapi:kejelasan; (5) koleksi (collection) adalah mengumpulkan dan mendokumentasikan informasi yang telah ditetapkan:keyakinan; (6) presentasi (presentation) yaitu menghubungkan dan memperluas perspektif fokus untuk mempresentasikan kepada khalayak apa yang telah dipelajari:memuaskan atau mengecewakan. Sementara itu model perilaku pencarian informasi yang dikembangkan oleh Ellis, Cox, dan Hall (1993), yaitu : (1) memulai (starting) : dilakukan oleh pengguna yang mulai mencari informasi, misalnya menanyakan kepada sejawat yang lebih ahli dalam hal informasi tersebut; (2) merangkaikan (chaining) : mengikuti mata rantai atau mengaitkan daftar literatur yang ada pada rujukan inti, meliputi mengaitkan ke belakang (backward chaining) dan mengaitkan ke depan (forward chaining); (3) menelusur (browsing) : menelusur secara tidak langsung atau semi terstruktur karena telah mengarah pada bidang yang diminati ; (4) membeda-bedakan (differentiating): kegiatan membedakan sumber informasi untuk menyaring informasi berdasarkan sifat kualitas rujukan, secara selektif mengidentifikasi sumber informasi yang relevan; (5) mengawasi (monitoring): memantau perkembangan yang terjadi terutama dalam bidang yang diminati dengan cara mengikuti sumber secara teratur; (6) menyarikan (extracting): menyaring informasi dari sumber informasi relevan; (7) memverifikasi (verifying): melakukan pengecekan atau penilaian apakah informasi yang didapat telah sesuai dengan yang diinginkan (pengecekan akurasi informasi); (8) menyelesaikan (ending): mengakhiri pencarian informasi. Sedangkan model perilaku pencarian informasi yang lain diperkenalkan oleh Wilson dan Christina (1996) yang disebut dengan a model of information seeking behaviour. Model ini menekankan pada dua proposisi yaitu :(1) kebutuhan informasi bukan merupakan kebutuhan utama atau primer namun merupakan kebutuhan sekunder yang timbul karena keinginan untuk memenuhi kebutuhan primer atau dasarnya; (2) dalam usaha menemukan informasi untuk memuaskan kebutuhannya, pencari informasi menghadapi kendala (barriers). Kemudian Wilson dan Christina (1996) menyebutkan kendala sebagai variabel penghalang (intervening variables). Kendala tersebut adalah : kendala dari dalam individu (diri environmental sendiri), hubungan (lingkungan). interpersonal Kendala individu (antara individu), dan merupakan faktor yang menghambat pencarian informasi yang berasal dari dalam diri pencari informasi, misalnya faktor sifat, pendidikan, dan status sosial ekonomi. Kendala 19 interpersonal timbul ketika individu berinteraksi dengan individu lain saat melakukan pencarian informasi. Sedangkan kendala lingkungan berasal dari lingkungan sekitar individu pencari informasi, misalnya fasilitas yang membatasi akses informasi, alur pencarian informasi yang rumit, waktu yang lama dalam mengakses informasi, situasi politik ekonomi, kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Pada Gambar 1 terlihat model perilaku pencarian informasi menurut Wilson (1981;1996) . KONTEKS KEBUTUHAN INFORMASI PERILAKU PENCARIAN INFORMASI KENDALA LINGKUNGAN PERAN SOSIAL Starting Chaining Browsing Differentiating Monitoring Extracting Verifying Ending INDIVIDU Kebutuhan fisiologis, afektif, kognitif (Ellis,Cox,and Hall) lingkungan personal interpersonal Gambar 1 Model Perilaku Pencarian Informasi (Wilson dan Christina 1996) Penelitian tentang perilaku pencarian informasi juga telah dikembangkan oleh Dervin dengan pendekatan sense-making sejak 1972. Sense-making adalah salah satu konsep dan metode yang dapat digunakan untuk merancang dan mengevaluasi pelayanan jasa perpustakaan, dokumentasi, dan informasi berdasarkan pendekatan kognitif. Pendekatan kognitif merupakan pendekatan yang berlandaskan pada paradigma konstruktivisme. Kunci utama pendekatan kognitif adalah individu pemakai. Dalam pendekatan kognitif, informasi adalah sesuatu yang diciptakan oleh individu pemakai (Dervin 1992). Menurut Dervin (1992), pendekatan kognitif mempunyai karakteristik (1) Berfokus pada pemakai sebagai orang yang selalu mencipta dan aktif, (2) Berorientasi pada situasi yang unik dari setiap individu pemakai, (3) Holistik memandang Mementingkan kesenjangan segala proses (gap), sesuatu kognisi (permasalahan) pemakai kebutuhan, dan dari dalam berbagai segi, mendefinisikan penggunaan (4) situasi, informasi, (5) 20 Mempertimbangkan pola umum yang terlihat dari beragam situasi yang unik dari individu, (6) Bersifat lebih kualitatif. Dalam pengertian umum, sense-making diartikan sebagai perilaku internal maupun eksternal yang memungkinkan individu mengkonstruksi dan merancang perjalanannya melintasi ruang dan waktu. Sense-making secara konseptual merupakan seperangkat metode yang digunakan untuk mengkaji proses penciptaan sense oleh individu-individu dalam perjalanan melintasi ruang dan waktu. Perilaku penciptaan sense adalah perilaku komunikasi yang dapat berlangsung pada semua tataran komunikasi (intrapersonal, interpersonal, komunikasi massa, komunikasi antar budaya dan sosial). Perilaku pencarian dan penggunaan informasi (information seeking and use behaviour) adalah inti dari sense-making (Dervin, 1983). Adapun beberapa asumsi dalam metode sense-making, antara lain : a. Pada kenyataannya, sesuatu itu tidaklah lengkap tetapi lebih dipenuhi dengan ketidaklengkapan atau ketidakberlanjutan (kesenjangan). b. Kondisi ketidakberlanjutan tersebut karena sesuatu pada dasarnya tidak berhubungan. Pada dasarnya, sesuatu itu selalu berubah. Situasi pada titik ruang dan waktu tertentu adalah unik bagi yang mengalaminya. c. Proses komunikasi diartikan sebagai pertukaran informasi antar pelaku komunikasi, dan bukan sebagai transfer informasi dari orang yang lebih tahu kepada orang yang belum tahu. d. Penggunaan informasi dan sistem informasi oleh seseorang (human information use) dipelajari dari perspektif yang diteliti (actor), bukan dari perspektif peneliti. e. Penggunaan informasi dan sistem informasi oleh seseorang harus dikonseptualisasikan sebagai perilaku; pengambilan langkah-langkah yang diambil seseorang untuk meng’konstruk’ sense yang sesuai dunia mereka. f. Penggunaan informasi oleh seseorang dikonseptualisasikan sebagai proses yang dinamis. g. Informasi bukanlah sesuatu yang bebas melainkan merupakan hasil dari pengamatan manusia. h. Informasi merupakan hal yang subjektif. i. Pencarian dan penggunaan informasi dipandang sebagai aktivitas seseorang mengkonstruksi sense (Dervin, 1992). 21 Pendekatan yang digunakan oleh sense making adalah konstruktivisme. Untuk itu, maka penelitian tidak didasarkan pada definisi komunikasi secara tradisional, yaitu komunikasi diartikan sebagai transfer informasi dari orang yang ahli ke yang kurang ahli. Oleh karena pendekatan tradisional tidak memfokuskan pada perilaku ”mengkonstruksi” tetapi lebih kepada penggunaan sumber informasi pada pekerjaan dan jaringan. Di sisi lain, sense making memfokuskan pada bagaimana seseorang menggunakan pengamatan yang lain sebaik pengamatan sendiri untuk mengkonstruksi dan menggunakannya untuk memandu perilaku (Dervin, 1992). Ada tiga peubah dalam metode sense making, yaitu : situasi (situation), kesenjangan (gap), dan penggunaan informasi (use). Situasi adalah konteks ruang dan waktu pada saat sense (pikiran) seseorang dikonstruksi. Kesenjangan sering diterjemahkan sebagai kebutuhan informasi atau secara operasional adalah pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada saat seseorang melintasi ruang dan waktu. Sementara itu uses menunjuk pada kondisi seseorang menciptakan sense (pikiran) baru. Uses juga diartikan sebagai information use, yaitu tindakan-tindakan fisik maupun mental yang dilakukan seseorang ketika seseorang menggabungkan informasi yang ditemukannya dengan pengetahuan dasar yang sudah ia miliki sebelumnya. Dengan kata lain, penggunaan informasi adalah perilaku pencarian informasi yang memandu penggunaan informasi dalam rangka memenuhi kebutuhan seseorang. Use juga sering diartikan sebagai manfaat atau nilai informasi. Pada Gambar 2 terlihat model pendekatan sense making dari Brenda Dervin, dan Gambar 3 memperlihatkan Metafor sensemaking dari Brenda Dervin. SITUATION GAP USES Gambar 2 Segitiga Sense Making (Dervin, 1992) 22 Gambar 3 Metafor Sense Making (Dervin 1992, diacu dalam Pannen 1996) Menurut teori sense making, pada saat melintasi ruang dan waktu, seseorang menghadapi situasi bermasalah. Situasi problematik ini terjadi karena adanya kesenjangan. Kesenjangan adalah pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada saat seseorang berada dalam situasi problematik. Kesenjangan inilah yang disebut dengan kebutuhan informasi. Kebutuhan informasi mendorong seseorang melakukan pencarian informasi sehingga kebutuhan informasinya dapat terpenuhi dan seseorang dapat melanjutkan perjalanan melintasi ruang dan waktu. Pencarian informasi yang dimaksud adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut (Dervin 1992). Strategi pencarian informasi dapat dibedakan menjadi strategi yang berkaitan dengan diri sendiri dan strategi yang berkaitan dengan orang lain (Mangindaan dkk 1993, diacu dalam Hasyim 1999). Strategi yang berkaitan dengan diri sendiri adalah strategi yang banyak mengandalkan pada kemampuan diri sendiri dalam upaya mendapatkan informasi, misalnya : membaca dan belajar, berusaha sendiri, serta bertanya kepada diri sendiri. Strategi yang berkaitan dengan orang lain adalah strategi yang melibatkan orang lain dalam upaya mendapatkan informasi, misalnya bertanya kepada teman dan bertanya kepada otoritas. Sementara itu, strategi pencarian informasi dapat pula dibedakan menjadi strategi yang berkaitan dengan benda dan strategi yang berkaitan dengan lembaga. Strategi yang berkaitan dengan benda adalah 23 strategi yang memanfaatkan benda dalam upaya mendapatkan informasi, misalnya membaca koran/buku/brosur, melihat katalog, mencari pada koleksi pribadi, dan merawak di pangkalan data. Strategi yang berkaitan lembaga adalah strategi yang memanfaatkan lembaga dalam upaya mendapatkan informasi, misalnya ke toko buku, perpustakaan atau lembaga informasi lainnya (Suwanto 1997, diacu dalam Hasyim 1999). Dalam upaya mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan tersebut, menurut Dervin (1983) dapat digunakan kategori 5W + 1H (who, what, when, where, why, dan how). Pertanyaan dapat disebut berkategori who manakala pertanyaan berkenaan dengan orang, what manakala pertanyaan berkenaan dengan benda, when manakala pertanyaan berkenaan dengan waktu, where manakala pertanyaan berkenaan dengan tempat, why manakala pertanyaan berkenaan dengan alasan, dan how manakala pertanyaan berkenaan dengan cara/prosedur/ketrampilan. Di samping dapat dikagorikan berdasarkan kategori 5W + 1H tersebut, pertanyaan dapat pula dikategorikan berdasarkan fokus pertanyaannya (entity focus). Dari beberapa pendapat para ahli di atas, penelitian ini mengartikan perilaku pencarian informasi sebagai perilaku atau strategi seseorang (petani) dalam upaya mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul di saat berada dalam situasi problematik, upaya pemenuhan kebutuhan informasi untuk mengurangi kesenjangan, ketidakpastian, dan menambah pengetahuan dalam dirinya pada upaya memenuhi kebutuhan dasar yaitu bekerja di usahatani dan luar usahatani. Model perilaku pencarian informasi pada penelitian ini mencoba menggabungkan model perilaku pencarian informasi dari Ellis et al, pendekatan sense-making dari Brenda Dervin, dan Tom D Wilson. 2.4 Kendala dalam Pencarian Informasi Hampir dapat dipastikan bahwa setiap orang akan mengalami suatu kendala dalam pencarian informasi. Kendala tersebut disebabkan oleh faktor internal dan atau faktor eksternal. Bagi setiap orang tingkat berat atau ringan kendala tersebut berbeda-beda. Segala tindakan manusia didasarkan pada suatu keadaan yang dipengaruhi oleh lingkungan, pengetahuan, situasi dan tujuan yang ada pada diri manusia (Wersig, diacu dalam Pendit 1992). Wilson dan Christina (1996) mengatakan bahwa dalam pencarian informasi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, petani akan menemui kendala. Kendala 24 tersebut dapat dikategorikan menjadi kendala dari dalam individu (diri sendiri), hubungan interpersonal (antara individu), dan environmental (lingkungan). Kendala individu merupakan faktor yang menghambat pencarian informasi yang berasal dari dalam diri pencari informasi, misalnya faktor sifat, pendidikan, dan status sosial ekonomi. Kendala interpersonal timbul ketika individu berinteraksi dengan individu lain saat melakukan pencarian informasi. Sedangkan kendala lingkungan berasal dari lingkungan sekitar individu pencari informasi, misalnya fasilitas yang membatasi akses informasi, alur pencarian informasi yang rumit, waktu yang lama dalam mengakses informasi, situasi politik ekonomi, kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Kendala dalam pencarian informasi pada penelitian ini adalah kendalakendala baik dari dalam maupun luar diri petani gurem, yang ditemui ketika individu petani gurem tersebut melakukan usaha pencarian informasi yang akan dimanfaatkan untuk menyelesaikan permasalahan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. 2.5 Petani Gurem pada Lahan Marjinal Dari berbagai referensi dan literatur yang mengupas tentang kaum tani, diperoleh keterangan bahwa petani di negara kita dapat digolongkan ke dalam empat pengertian, yakni petani besar, petani kecil, petani gurem dan petani buruh/buruh tani. Petani besar umumnya menggambarkan tentang sosok petani yang umumnya memliki lahan sawah di atas satu hektar. Petani kecil menggambarkan jati diri petani yang memiliki lahan antara 0,5 – satu hektar. Petani gurem memiliki lahan antara 0,1 - 0,5 hektar, dan petani buruh adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki lahan sawah (Sastraatmadja 2009). Berdasar Sensus Pertanian Tahun 2003 banyaknya rumah tangga petani gurem (RTPG) meningkat cukup tajam yakni sekitar 9,4 juta RTPG menjadi 13,3 juta RTPG dalam periode 1993-2003. Sekitar tiga-per-empat dari jumlah RTPG berada di Pulau Jawa (Winoto dan Hermanto S 2007). Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak petani kecil yang menggantungkan hidupnya pada lahan yang sempit. Petani gurem di Indonesia secara umum memiliki karakteristik/ciri-ciri yang cenderung memiliki kesamaan dengan petani di Afrika Tropis maupun Afrika Tengah, antara lain : (1) termasuk petani miskin dan cenderung terpinggirkan; (2) bersifat konvensional/subsisten dan turun temurun; (3) tingkat pendidikannya 25 rendah dan sulit mengadopsi inovasi baru; (4) memilih keselamatan dan terlalu memperhitungkan resiko dari usaha taninya apabila menerapkan penggunaan sarana produksi lain yang tidak menjadi kebiasaannya (Karen 2008). Catatan panjang sejarah Indonesia, secara umum menunjukkan kondisi petani kita yang serba suram. Petani selalu digambarkan sebagai kelompok sosial yang lemah baik secara politik maupun ekonomi, tidak memiliki tanah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sebagai penyakap tidak memiliki posisi tawar di hadapan pemilik tanah, sebagai petani gurem yang miskin seringkali ditindas atau diintimidasi untuk melepaskan hak atas tanahnya, bahkan seringkali dipaksa untuk menanam komoditas tertentu sesuai kehendak penguasa, dan masih banyak lagi gambaran buruk lainnya (Husodo 2004). Dalam sebuah karyanya Scott (1981) The Moral Economy of the Peasant, digambarkan bahwa bagaimanapun sesungguhnya petani ibarat orang yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak yang kecil sekalipun sudah cukup menenggelamkannya. Menurutnya petani adalah golongan orang-orang pasif. Mengapa pasif? Karena petani paling khawatir terhadap perubahan. Dunia yang diangankan oleh petani adalah kestabilan. Kestabilan adalah kepastian. Secara dialektis Scott (1981) juga memberikan deskripsi bahwa persepsi moral merupakan dasar dari setiap tindakan petani dalam aktivitasnya. Secara moral petani tidak akan mengambil tindakan yang berbahaya, beresiko tinggi dan mengancam tingkat subsistensi mereka. kehidupan petani (peasant) adalah masyarakat yang harmoni dan stabil. Komunitas petani ini adalah suatu kelompok sosial yang memiliki kepentingan untuk menjaga kelangsungan keterikatan antar individunya. Kaum ekonomi moral memandang kemanan sebagai sesuatu yang paling penting mengingat bahwa petani miskin dan selalu dekat dengan garis bahaya, sehingga penurunan sedikit saja terhadap produksi dapat menimbulkan bencana besar bagi kelangsungan hidup rumahtangga mereka. Perhatian besar terhadap subsistensi dan keamanan ini dinamakan prinsip “dahulukan selamat” (“safety first”) yaitu para petani enggan mengambil resiko (averse to risk) dan lebih memusatkan diri pada usaha menghindarkan jatuhnya produksi, bukan kepada usaha memaksimumkan keuntungan- keuntungan harapan. Dalam pandangan ekonomi moral para petani itu anti pasar, lebih menyukai pemilikan harta bersama daripada pemilikan pribadi, dan tidak menyukai pembelian dan penjualan. 26 Di sisi lain, secara dialektis pula Popkin (1986) justru menunjukkan bahwa bukan soal moral yang paling menentukan setiap tindakan petani melainkan rasionalitas kerjanya. Dalam pandangan Popkin petani bukan tidak mau mengambil resiko dalam segala tindakannya. Persepsi petani kerap kali justru dipengaruhi oleh aspek-aspek spekulatif dan perhitungan untung rugi yang sangat cerdik. Antara Scott dan Popkin ada perbedaan cara pandang terhadap petani, namun tidak disebutkan bahwa petani tidak membutuhkan informasi. Petani sebagai manusia, seperti manusia lain, petani juga rasional, memiliki harapanharapan, keinginan-keinginan dan kemauan untuk hidup lebih baik. Petani juga memiliki naluri untuk memenuhi kebutuhan hidup terutama kebutuhan dasar (subsistensi) dan mempertahankan hidup. Untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut, petani melakukan usaha atau upaya-upaya seperti berusaha tani atau berusaha lain di luar pertanian. Dalam usaha tersebut petani akan mengalami situasi problematik dan ada kesenjangan antara pengetahuan yang dimiliki dengan harapan-harapan yang akan dicapai. Kesenjangan tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan jawaban, inilah yang disebut dengan kebutuhan informasi. Jadi, sebagai manusia, petani membutuhkan informasi untuk menggapai harapan-harapannya. Dalam pembangunan, petani sebagai aktor sosial sebaiknya tidak hanya dilihat sebagai objek pasif dari sebuah intervensi namun dianggap sebagai partisipan aktif yang memproses informasi dan ikut membentuk strategi dalam menghadapi berbagai aktor lokal dan institusi atau personel luar (Boot 1994, diacu dalam Hidayaturrahman 2000), sehingga ketika melihat kebijakan pemerintah (aras makro) yang berhubungan dengan petani sebagai pelaksana lapangan (aras mikro) tidak harus terbatas pada intervensi dari atas, model top down atau oleh pemerintah, agen-agen pembangunan tetapi harus juga melihat pada aras mikro dimana petani sebagai aktor. Hal ini disebabkan kelompokkelompok lokal secara aktif merumuskan dan berusaha mewujudkan program pembangunan hasil rencananya sendiri yang sering berbenturan dengan kepentingan otoritas sentral dan agen-agen pembangunan (Long dan Ploeg 1989, diacu dalam Hidayaturrahman 2000). 27