BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Menurut Saul M. Katz

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Pembangunan
Menurut Saul M. Katz pembangunan adalah usaha perubahan dari suatu
keadaan dari tingkat kondisi kemasyarakatan tertentu ke dalam suatu keadaan dan
kondisi kemasyarakatan yang lebih baik di bidang sosial sebagaimana diinginkan.1
Sedangkan Slamet Riyadi menyatakan bahwa pembangunan adalah suatu
proses dinamis yang meliputi berbagai kegiatan yang direncanakan dan terarah
dengan melibatkan peran-serta masyarakat banyak sebagai kekuatan pembaharuan
untuk menimbulkan perubahan-perubahan sosial/struktur sosial yang mendasar
maupun pertumbuhan ekonomi yang dipercepat tetapi terkendalikan dalam ruang
lingkup keadilan sosial demi kemajuan dan kualitas hidup dan meningkatkan harkat
dan martabat manusiawi.2
Pembangunan itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses sosial yang
bersifat integral dan menyeluruh baik berupa pertumbuhan ekonomi maupun maupun
perubahan sosial demi terwujudnya masyarakat yang lebih makmur. Dalam
prakteknya proses pembangunan itu berlangsung melalui siklus produksi untuk
mencapai suatu konsumsi dan pemanfaatan segala macam sumber dan modal, seperti
1
Dalam Slamet Ryadi. 1981. Pembangunan Dasar-Dasar Dan Pengertiannya. Surabaya : Usaha Nasional. hlm 16
2
Ibid, Hlm 17
sumber alam, sumber daya kemampuan manusia, sumber keuangan, permodalan dan
peralatan yang terus menerus diperlukan dan perlu ditingkatkan. Dalam mencapai
tujuan dari sasaran pembangunan ini dapat timbul efek samping berupa produkproduk bekas dan lainnya yang bersifat merusak atau mencemarkan lingkungan,
sehingga secara langsung atau tidak langsung membahayakan terciptanya tujuan
pokok pembangunan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.3
Beberapa pengamat pembangunan mendefinisikan bahwa pembangunan itu
mengandung makna “pertumbuhan” dan “perubahan”. Namun demikian, pelaksanaan
pembangunan menjadi kurang seperti yang diharapkan bila hasil pembangunan itu
tidak mampu membawa angka pertumbuhan yang relatif tinggi dan juga tidak mampu
membawa angka pertumbuhan kondisi sosial-ekonomi di masyarakat ke tingkat yang
lebih baik. Dalam banyak kenyataan, gagalnya pembangunan itu di sebabkan karena
perencanaan yang kurang baik. Hal ini umumnya disebabkan karena : (a) Kelirunya
menerjemahkan strategi yang telah disepakati; sehingga ekses pembangunan menjadi
lebih terasa, (b) Kurangnya kemampuan melakukan atau merancang perencanaan
yang disebabkan karena terbatas sumber daya manusia (SDM) yang ada, (c)
Kurangnya dana yang tersedia sehingga pelaksanaan dari perencanaan yang baik
menjadi tersendat-sendat, (d) Kurang baiknya dukungan yang terpadu (integrated
planning) yang melibatkan berbagai pihak menjadi tidak jalan karena lemahnya
administrasi
3
dan
koordinasi,
(e)
Kurangnya
kesinambungan
I. Supardi. 1983. Lingkungan Hidup Dan Kelestariannya. Bandung : Alumni. Hlm 64
(sustainable)
perencanaan.4 Oleh karena itu pelaksanaan pembangunan yang tidak di dasarkan pada
perencanaan yang baik akan menimbulkan ekses yang tidak diharapkan. Dalam hal
ini setiap kegiatan pembangunan selalu membawa dampak; apakah itu dampak positif
maupun dampak negatif. Dalam hal-hal tertentu beberapa peneliti mengukur dampak
kegiatan pembangunan ini bukan saja pada dampak sosial ekonomi ; tetapi juga
dampaknya terhadap aspek demografi dan budaya. Karena dampak kegiatan
pembangunan itu muncul karena ada pihak yang di untungkan (gainers) dan pihak
yang di rugikan (lossers);5
Dewasa ini kegiatan pembangunan semakin berkembang pesat. Hal ini
tentunya membutuhkan faktor pendukung pembangunan, demikian halnya dengan
penyediaan tanah sebagai modal utama dalam pembangunan. Namun berkaitan
dengan keadaan itu ketersediaan tanah-tanah sebagai wadah untuk membangun
sangat terbatas. Akibatnya, hal tersebut bisa saja berdampak pada alih fungsi lahan.
Seperti halnya di Kelurahan Oluhuta Kecamatan Kabila, lahan yang semula
merupakan lahan pertanian telah menjadi area pembangunan kanal sebagai bentuk
antisipasi pemerintah terhadap bencana banjir yang sering menggenangi Kota
Gorontalo. Akan tetapi sampai dengan saat ini pembangunan tersebut belum
terlaksana dengan baik karena masih ada penolakan dari masyarakat. Masyarakat
menilai bahwa apa yang dilakukan Pemerintah Provinsi Gorontalo sangat merugikan
4
Soekartawi. 1994. Pembangunan Pertanian. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Hlm 139
5
Ibid Hlm 141
kepentingannya, artinya masyarakat menganggap harga yang ditetapkan oleh
Pemerintah Provinsi Gorontalo sangat rendah berdasarkan harga NJOP (Nilai Jual
Objek Pajak) dimana lokasi tanah itu berada yang pada akhirnya apabila mereka
menerima, maka justru masyarakat pemilik tanah tidak akan mendapatkan tanah
dengan harga yang sama diterimanya apalagi dibawahnya. Justru mereka
diperhadapkan pada harga yang jauh lebih tinggi. Hal ini terjadi karena kurangnya
perencanaan
yang
baik
dari
Pemerintah
Provinsi
Gorontalo,
termasuk
mensosialisasikan rencana-rencana yang akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi
Gorontalo sehingga pelaksanaan pembangunan tersebut menjadi tersendat-sendat.
Memperhatikan hal tersebut maka sesungguhnya kejadian ini merupakan
suatu kebijakan pemerintah yang kurang tepat dan tidak memperhatikan secara
sungguh-sungguh kepentingan masyarakat.
2.2
Lingkup Alih Fungsi Lahan
2.2.1 Lingkup Dan Struktur Agraria
Menurut Sitorus, lingkup agraria terdiri dari lingkup obyek agraria dan
lingkup subyek agraria. Lebih lanjut Sitorus dkk mengemukakan beberapa sumber
agraria dengan merujuk pada pasal 1 (ayat 2, 4, 5, 6) Undang-Undang Pokok Agraria
tahun 1960 perihal jenis-jenis sumber agraria adalah sebagai berikut6 :
6
Dalam Martua Sihaloho, et, al. 2010. Reforma Agraria Dan Revitalisasi Pertanian Di Indonesia. Jurnal Sodality. Vol.4, No.1
Hlm 149
a.
Tanah atau permukaan bumi. Jenis sumber agraria ini adalah modal alami utama
dalam kegiatan pertanian dan peternakan. Petani memerlukan tanah untuk lahan
usaha tani. Sementara peternak memerlukan tanah untuk padang rumput.
b.
Perairan. Jenis sumber agraria ini adalah modal alami utama dalam kegiatan
perikanan; baik perikanan sungai maupun perikanan danau dan laut. Pada
dasarnya perairan merupakan arena penangkapan ikan bagi komunitas nelayan.
Hutan. Inti pengertian „hutan‟ disini adalah kesatuan flora dan fauna yang hidup
dalam suatu wilayah di luar kategori tanah pertanian. Jenis sumber agraria ini
secara historis adalah modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitaskomunitas perhutanan.
c.
Bahan tambang. Jenis sumber agraria ini meliputi ragam bahan tambang/mineral
yang terkandung di dalam „tubuh bumi‟ seperti minyak, gas, emas, bijih besi,
timah, intan, batu-batu mulia, fosfat, pasir, batu, dan lain-lain.
d.
Udara. Jenis sumber agraria ini tidak saja merujuk pada “ruang diatas bumi dan
air” tetapi juga materi “udara” (CO2) itu sendiri. Arti penting materi udara
sebagai sumber agraria baru semakin terasa belakangan ini, setelah polusi asap
mesin atau kebakaran hutan mengganggu kenyamanan, keamanan, dan kesehatan
manusia.
Lingkup obyek agraria mencakup unsur tanah, air, udara beserta kekayaan
alami yang melekat padanya, yang dikelola orang melalui kegiatan-kegiatan ekonomi
seperti pertanian, perikanan, perhutanan, dan pertambangan. Sedangkan pihak-pihak
yang mengakses obyek agraria adalah : Komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit
rumah tangga), Pemerintah (sebagai representasi negara), dan Swasta. Ketiga pihak
ini merupakan pemanfaat sumber-sumber agraria, yang memiliki ikatan dengan
sumber-sumber
agraria
tersebut
melalui
institusi
penguasaan/pemilikan.
Kepentingan-kepentingan tersebut mungkin serupa tetapi mungkin juga berbeda
antara satu dan lain subyek. Perbedaan kepentingan itu dapat menjadi sumber konflik
apabila dikenakan pada suatu sumber agraria yang sama. Tetapi juga dapat menjadi
sumber kerjasama apabila para subyek dapat merumuskan suatu kesepakatan perihal
tumpang tindih pemilikan/penguasaan pemanfaatan sumber agraria.
Memahami struktur agraria dengan aspek kehidupan masyarakat pedesaan
maka konsep struktur agraria tidak lepas dari pola penguasaan sumber agraria (tanah)
pola nafkah agraria, pola hubungan produksi agraria, distribusi asset agraria dan pola
formasi asset/kapital. Pola penguasaan lahan menggambarkan struktur akses subyek
agraria terhadap sumberdaya agraria. Pola penguasaan ini juga berhubungan dengan
bagaimana subyek-subyek agraria dalam memanfaatkan suberdaya agraria yang ada.7
2.2.2 Konversi Lahan
Menurut Utomo dkk, alih fungsi lahan atau lazim disebut dengan konversi
lahan sebagai perubahan penggunaan atau fungsi sebagian atau seluruh kawasan
lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang
7
Martua, Sihaloho, et, al. Ibid Hlm 150
membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan sendiri.
Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan,
disebabkan oleh faktor-faktor secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi
kebutuhan penduduk yang makin banyak jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan
mutu kehidupan yang lebih baik.8
Adapun faktor-faktor penggerak utama terhadap konversi lahan sebagai
berikut9 : (a) Konversi Gradual –Berpola Sporadis, pola konversi ini diakibatkan oleh
dua faktor penggerak utama yaitu lahan yang tidak/kurang produktif (bermanfaat
secara ekonomi) dan „keterdesakan ekonomi pelaku konversi. (b) Konversi
Sistematik berpola „enclave‟, konversi tanah berpola enclave yang dimaksud adalah
sehamparan tanah yang terkonversi secara serentak. (c) Konversi Lahan sebagai
Respon Atas Pertumbuhan Penduduk, konversi tidak dapat dihindari dalam suatu
wilayah tertentu karena lahan akan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat
tinggal. (d) Konversi yang disebabkan oleh Masalah Sosial, pola konversi yang
terjadi karena keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan adalah dua faktor
utama penggerak melakukan konversi lahan. (e) Konversi „Tanpa Beban‟, pola
konversi ini terkait dalam hal keinginan untuk berubah. Warga yang menjual
tanahnya dan sekaligus keluar dari sektor pertanian ke non pertanian. (f) Konversi
Adaptasi Agraris, pola konversi yang terjadi karena keinginan untuk meningkatkan
8
Dalam Misbahul Munir. Pengaruh Konversi Lahan Pertanian Terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Petani. Skripsi.
Bogor : Program Studi Komunikasi Dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hlm 18
9
Martua, Sihaloho, et, al. 2007. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. Jurnal Sodality. Vol.1, No.2 Hlm
262
hasil pertanian dan membeli tanah baru di tempat tertentu dan (g) Konversi Multi
Bentuk atau Tanpa pola, konversi yang di akibatkan berbagai faktor peruntukan
seperti pembangunan perkantoran, sekolah, perdagangan, dan lain sebagainya.
2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Konversi Lahan
Sihaloho menjelaskan mengenai faktor-faktor penyebab konversi lahan di
Kelurahan Mulyaharja, Bogor Jawa Barat sebagai berikut: (1) Faktor pertambahan
penduduk yang begitu cepat berimplikasi kepada permintaan terhadap lahan
pemukiman yang semakin meningkat, (2) Faktor ekonomi yang identik dengan
masalah kemiskinan. Masyarakat pedesaan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya melalui hasil penjualan kegiatan pertanian yang umumnya rendah, berusaha
mencari bentuk usaha lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Untuk
mendapatkan modal dalam melalui usahanya, petani pada umumnya menjual tanah
yang dimilikinya.10
2.2.4 Dampak Konversi Lahan
Konversi lahan sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Sihaloho
menjelaskan bahwa dampak konversi lahan dapat dilihat dari berbagai aspek yaitu:11
1.
Pola penguasaan lahan. Pola penguasaan tanah dapat diketahui pertama dari
pemilikan lahan dan bagaimana tanah tersebut diakses oleh orang lain.
10
Martua, Sihaloho, et, al. ibid Hlm 261
11
Ibid
Penguasaan dapat dibagi menjadi dua yaitu pemilik sekaligus penggarap, pemilik
yang mempercayakan kepada penggarap. Pemilik penggarap umumnya
dilakukan oleh petani berlahan sempit karena ketergantungan ekonomi dan
kebutuhan akan rumah tangga maka pemilik sekaligus menggarap lahannya
dengan menggunakan tenaga kerja keluarga atau memanfaatkan tenaga buruh
tani. Kedua, pemilik yang mempercayakan kepada penggarap dengan sistem bagi
hasil merupakan pola yang khas terjadi.
2.
Pola penggunaan
tanah. Pola penggunaan tanah dapat dari bagaimana
masyarakat dan pihak-pihak lain memanfaatkan sumberdaya agraria tersebut.
Masyarakat memandang tanah sebagai bagian yang terpenting dalam
kehidupannya karena pemanfaatannya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
dasar.
3.
Pola hubungan agraria. Pola penggunaan tanah berkaitan dengan sarana dan
prasarana ditingkat kelurahan selain untuk pertanian dan perladangan masyarakat
4.
Pola nafkah agraria. Pola nafkah dikaji berdasarkan sistem mata pencaharian
masyarakat dari hasil-hasil produksi pertanian dibandingkan dengan hasil nonpertanian. Keterbatasan lahan dan keterdesakan ekonomi rumah tangga
menyebabkan pergeseran sumber mata pencaharian dari sektor pertanian ke
sektor non pertanian.
2.3
Konflik
Pada umumnya istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena
pertentangan dan pertikaian pribadi melalui dari konflik kelas sampai pada
pertentangan dan peperangan internasional.12
Karl Marx berpendapat bahwa bentuk-bentuk konflik yang terstruktur antara
berbagai individu dan kelompok muncul terutama melalui terbentuknya hubunganhubungan pribadi dalam produksi. 13 Sampai pada titik tertentu dalam evolusi
kehidupan sosial manusia, hubungan pribadi dalam produksi mulai menggantikan
pemilihan komunal atas kekuatan-kekuatan produksi. Dengan demikian masyarakat
terpecah menjadi kelas-kelas sosial berdasarkan kelompok-kelompok yang memiliki
dan mereka yang tidak memiliki kekuatan-kekuatan produksi dapat mensubordinasikan kelas sosial yang lain sekaligus memaksanya untuk bekerja memenuhi
kepentingannya.
Ralf Dahrendorf menggunakan teori perjuangan kelas Marsian untuk
membangun teori kelas dan pertentangan kelasnya dalam masyarakat industri
kontemporer. 14 Kelas tidak berarti pemilikan sarana-sarana produksi seperti yang
dilakukan oleh Marx tetapi lebih merupakan pemilikan kekuasaan yang mencakup
hak absah untuk menguasai orang lain. Perjuangan kelas dalam masyarakat modern
12
Irving M. Zeitlin. 1995. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hlm 156
13
Nasrullah Nazir. 2009. Teori-Teori Sosiologi. Bandung: Widya Padjajaran. Hlm 18
14
Ibid Hlm 24
baik dalam perekonomian kapitalis maupun komunis, dalam pemerintahan bebas dan
totaliter, berada di seputar pengendalian kekuasaan. Dahrendorf melihat kelompokkelompok pertentangan sebagai kelompok yang lahir dari kepentingan-kepentingan
bersama para individu yang mampu berorganisasi. Proses ini ditempuh melalui
perubahan semua kelompok menjadi kelompok kepentingan yang mampu memberi
dampak pada struktur. Lembaga-lembaga yang terbentuk sebagai hasil dari
kepentingan-kepentingan itu dan kemudian merupakan jembatan di atas mana
perubahan sosial itu terjadi. Berbagai usaha harus diarahkan untuk mengatur
petentangan sosial melalui institusionalisasi yang efektif daripada melalui penekanan
pertentangan itu.
Berikutnya Dahrendorf mengemukakan teori konfliknya melalui pembahasan
tentang wewenang dan posisi yang merupakan fakta sosial. 15 Ia berpendapat bahwa
distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata akan jadi faktor yang
menentukan konflik secara sosial sistematis. Perbedaan wewenang adalah suatu tanda
dari adanya berbagai posisi dalam masyarakat. Perbedaan posisi serta perbedaan
wewenang di antara individu dalam masyarakat itulah yang harus menjadi perhatian
utama para sosiolog. Struktur yang sebenarnya dari konflik-konflik harus
diperhatikan di dalam susunan peranan sosial yang dibantu oleh harapan-harapan
terhadap kemungkinan mendapatkan dominasi. Tugas utama menganalisis konflik
adalah mengidentifikasi sebagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.
15
Ibid
Kekuasaan dan wewenang menurut Dahrendorf senantiasa menempatkan
individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur. Karena wewenang
itu adalah sah, maka setiap individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang ada,
akan terkena sanksi.16 Dengan demikian masyarakat disebut oleh Dahrendorf sebagai
persekutuan yang terkoordinasi secara paksa. Kekuasaan itu selalu memisahkan
dengan tegas antara penguasa dan yang dikuasai, maka akibatnya dalam masyarakat
selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan. Masing-masing golongan
dipersatukan oleh ikatan kepentingan nyata yang bertentangan secara substansial dan
secara langsung di antara golongan-golongan itu. Pertentangan itu terjadi dalam
situasi golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan status quo sedangkan
golongan yang dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan-perubahan.
Pertentangan kepentingan ini selalu ada setiap waktu dan dalam setiap struktur.
Karena itu kekuasaan yang sah selalu berada dalam keadaan terancam bahaya dari
golongan yang anti status quo. Kepentingan yang terdapat dalam satu golongan
tertentu selalu dinilai obyektif oleh golongan yang bersangkutan dan selalu
berdempetan dengan posisi individu yang termasuk ke dalam golongan itu. Seorang
individu akan bersikap dan bertindak sesuai dengan cara-cara yang berlaku dan yang
diharapkan oleh golongannya. Dalam situasi konflik seorang individu akan
menyesuaikan diri dengan peranan yang diharapkan oleh golongan itu yang oleh
Dahrendorf disebut sebagai peranan laten. Selanjutnya, ia membedakan golongan
yang terlibat konflik itu atas dua tipe, yaitu kelompok semu (quasi group) dan
16
Ibid Hlm 25
kelompok kepentingan (interest group). Kelompok semu merupakan kumpulan dari
para pemegang kekuasaan atau jabatan yang disertai kepentingan tertentu yang lama
terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan. Sedangkan kelompok kedua
yakni kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok banyak yang lebih luas.
Kelompok kepentingan ini memiliki struktur, organisasi, program, tujuan,
serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan ini yang menjadi sumber nyata
timbulnya konflik dalam masyarakat; kemudian terdapat mata rantai antara konflik
dan perubahan sosial, konflik ini memimpin ke arah perubahan dan pembangunan.
Dalam situasi konflik, golongan ini akan terlihat melakukan tindakan-tindakan untuk
mengadakan perubahan dalam struktur sosial.
Dahrendorf
adalah
pendukung
utama
pendirian
bahwa
masyarakat
mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus) dan oleh karena itu teori sosiologis
harus dipecah ke dalam dua bagian, teori konflik dan teori konsensus. 17 Para teoritisi
konsensus harus dipecah ke dalam dua bagian, teori konflik dan teori konsensus. Para
teoritisi konsensus harus mengkaji nilai integrasi di dalam masyarakat, dan teoritisi
konflik harus mengkaji konflik-konflik kepentingan dan paksaan yang menjaga
kesatuan masyarakat di dalam menghadapi tekanan-tekanan itu. Dahrendorf
menyadari bahwa masyarakat tidak bisa ada tanpa konflik dan konsensus, keduanya
merupakan prasyarat satu sama lain. Oleh karena itu, tidak akan ada konflik jika tidak
ada konsensus yang mendahuluinya.
17
Winda Adeputi Johar. 2012. Teori Sosiologi : Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar. Hlm 450
Meskipun ada hubungan antara konsensus dan konflik, Dahrendorf tidak
optimis akan kemungkinan untuk mengembangkan suatu teori sosiologis tunggal
yang mencakup kedua proses itu : “Tampaknya setidaknya dapat dibayangkan bahwa
penyatuan teori tidak mungkin hingga titik yang telah membingungkan para pemikir
sejak permulaan Barat”.
Download