BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seorang ahli filsafat Yunani bernama Aristoteles (384-322 SM) pernah mengatakan bahwa manusia itu adalah “zoon Politicon” atau mahluk yang selalu hidup bermasyarakat. Seseorang yang hidup menyendiri di luar masyarakat, tidak dapat disebut manusia lagi, kalau bukan hewan, ia adalah Dewa.1 Henslin menguraikan bahwa masyarakat pada mulanya berukulan kecil dan tidak membutuhkan sistem politik yang besar. Masyarakat seperti ini beroperasi bagaikan suatu keluarga besar. Ketika surflus berkembang dan masyarakat menjadi lebih besar, berkembanglah kota diperkirakan sekitar 3500 tahun SM2 dan kemudian berkembang menjadi negara kota (polis) seperti di zaman Yunani kuno kemudian berkembang lagi menjadi negara. Negara merupakan lanjutan dari keinginan manusia hendak bergaul antara seorang dengan orang lainnya dalam rangka menyempurnakan segala kebutuhan hidupnya. Semakin luas pergaulan manusia dan semakin banyak kebutuhannya, maka bertambah besar kebutuhannya kepada suatu organisasi negara yang akan melindungi dan memelihara keselamatan hidupnya.3 Pertumbuhan negara tersebut hingga mencari bentuk yang sempurna. Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa 1 Samidjo, 2002. Ilmu Negara. Bandung: Armico. Hal.27 Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana. Hal 102 3 Samidjo, op. cit. 2 Universitas Sumatera Utara negara adalah suatu organisasi yang hidup yang harus mengalami segala peristiwa yang menjadi pengalamannya tiap-tiap benda yang hidup.4 Di satu sisi, negara dapat dilihat sebagai organisasi melalui mana aparat kolektif mengejar tujuan tertentu dan secara efektif merealisasikannya dengan sedikit banyak menggunakan sumber negara yang tersedia dalam hubungannya dengan setting social (kapasitas negara). Di sisi lain, negara dapat dilihat secara lebih makroskopis sebagai konfigurasi dari organisasi dan tindakan yang memengaruhi arti dan metode politik dari semua kelompok dan kelas dalam masyarakat5(otonomi negara). Kemudian masyarakat yang sudah teratur itu meningkat lagi suatu tangga kesempurnaan, yaitu anggota-anggota masyarakat yang menundukkan dirinya bersama-sama dengan permufakatan terlebih dahulu atau tidak, kepada suatu pemerintahan yang kekuasaannya dipegang oleh seorang kepala negara yang mereka akui bersama-sama, dengan mempunyai pola batas-batas tertentu.6 Kepala negara dalam hal ini merupakan pemerintah yang berperan dalam melakukan kegiatan-kegiatan politik dalam suatu negara. Pemerintah menentukan berbagai kebijakan yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan masyarakat atau negara, memperkirakan arah perkembangan masyarakat masa mendatang dan mempersiapkan langkah-langkah kebijakan untuk menyongsong perkembangan masyarakat serta mengelola dan mengarahkan masyarakat kepada tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, pemerintah merupakan aktor yang menjalankan 4 Ibid. Hal.28 Damsar. Op. cit. Hal 100 6 Samidjo. Op. cit. Hal.28 5 Universitas Sumatera Utara roda pemerintahan yakni menjalankan segala kegiatan yang berkaitan erat dengan tugas dan kewenangan negara.7 Klasifikasi dari berbagai bentuk-bentuk pemerintahan telah menjadi salah satu prinsip yang paling mendasar yang terkait dengan masalah analisis politik dalam kehidupan politik umumnya dan dalam proses politik khususnya. Dalam proses politik tersebut, kiranya kita dapat menelusuri ke belakang terutama pada era abad 4 SM pada saat Aristoteles (384-223) SM yang pertama kali berusaha untuk menggambarkan regime politik yakni dengan menggunakan istilah demokrasi, oligarki dan tirani. Kemudian berlanjut pada abad 18-an, berkembang dan diklasifikasikannya regime politik tersebut ke dalam bentuk monarcy, atau republic atau sebagai otokrasi atau sebagai rezim konstitusional. Selanjutnya pada abad 29-an, menunjukkan perbedaan yang sangat tajam dibandingkan dengan era sebelumnya yakni pertentangan dan konflik di dalam bangunan peta politik internasional antara demokrasi, autoriterianisme dan totalitarisme. Dan dalam perkembangan yang lebih modern, adalah ketika jatuhnya rezim komunisme Uni Soviet (US) tahun 1989 serta kebangkitan negara-negara Asia Timur dalam bidang ekonomi dan politik kemudian disusul dengan kebangkitan politik negaranegara Islam.8 Rezim dalam pengertian ilmiahnya sebagaimana yang dirumuskan oleh Krosner, rezim lebih dikaitkan dengan kaidah-kaidah, prinsip-prinsip, normanorma, aturan-aturan dan prosedur dalam pengambilan keputusan yang dianut 7 8 Anthonius P Sitepu, Teori-Teori Politik. Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012, Hal. 148. Ibid. Universitas Sumatera Utara oleh penguasa negara. Oleh karena itu, istilah rezim dalam konteks ini adalah sebagai bentuk sistem pemerintahan atau kekuasaan dalam pemerintahan, cenderung diartikan dengan individu atau kelompok individu yang berkuasa di dalam negara.9 Individu ataupun kelompok individu yang berkuasa dalam suatu negara ini sering disebut elit politik. Elit politik ini merupakan orang-orang yang berhasil yang mampu menduduki jabatan-jabatan tinggi dan dalam lapisan masyarakat. Elit politik terdorong untuk memainkan peranan aktif dalam politik sebagaimana menurut para teoritisi politik karena ada dorongan kemanusiaan yang tidak terhindarkan atau diabaikan untuk meraih kekuasaan. Politik bagi mereka merupakan permainan kekuasaan dan karena para individu menerima keharusan untuk melakukan sosialisasi serta penanaman nilai guna menemukan ekspresi bagi pencapaian kekuasaan tersebut.10 Mengkaji elite politik, selalu menarik perhatian karena mengingat kajian yang demikian memiliki keterkaitan dengan konstruksi sosial dan pemahaman terhadap sistem politik siapa yang memerintah dan siapa yang seharusnya memerintah. Oleh karena itu pembicaraan tentang elite mengundang perhatian terhadap masalah-masalah penguasa negara yang dalam hal ini kepala negara maupun kepala pemerintahan. Mosca percaya dengan teori pergantian elite seperti halnya dengan Vilfredo pareto maka dengan demikian yang membedakan karakteristik elite 9 Budi Suryadi, Sosiologi Politik: Sejarah, Defenisi dan Perkembangan konsep, Yogyakarta, 2007, Hal. 83. 10 Anthonius P Sitepu, Op. cit. Hal 81-82 IRCiSoD, Universitas Sumatera Utara adalah kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik “sekali kelas yang memerintah tersebut kehilangan akan kecakapannya dan orang-orang diluar kelas tersebut menunjukkan kelas yang lebih baik maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh kelas penguasa yang baru. Gaetano mosca percaya bahwa pada sejenis hukum yang mengatakan bahwa dalam elite yang berkuasa, tidak lagi mampu memberikan layanan-layanan yang diperlukan oleh massa, atau layanan yang diberikannya dianggap tidak lagi memiliki nilai, atau muncul agama yang baru, atau terjadi perubahan-perubahan pada kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat maka perubahan-perubahan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Gaetano Mosca tidak saja mengajukan alasan-alasan sosiologis. Ia menunjukkan kaitan perubahan di dalam lingkungan masyarakat dengan sifat-sifat individu. Rumusan kepentingan dan cita-cita baru yang menimbulkan persoalanpersoalan baru misalnya akan semakin mempercepat pergantian elite.11 Oleh sebab itu, berbagai upaya dilakukan oleh elite yang berkuasa untuk mempertahankan kekuasaannya lewat konsistensi dalam menjalankan kontrol politik dan mempertahankan kecakapannya. Salah satu upaya yang dapat kita lihat yaitu elite politik dalam hal ini pemimpin dalam suatu negara menunjukkan sosok kharisma dalam dirinya. Menurut Weber, jika para pengikut mendefinisikan pemimpin mereka sebagai seseorang yang berkharisma, maka ia cenderung sebagai pemimpin kharismatik terlepas dari benar-tidaknya ia memiliki ciri yang 11 Ibid. Hal 85 Universitas Sumatera Utara menonjol. Yang krusial dalam proses ini adalah ketika seorang pemimpin dipisahkan dari orang biasa dan diperlakukan seolah-olah ia memiliki kekuatan atau kualitas supranatural, supermanusia atau sekurang-kurangnya kekuatan tidak lazim yang tidak dimiliki oleh orang biasa. Kharisma lebih sebagai konstruksi ketimbang realitas di dalam dirinya. 12 Menurut Weber, kharisma terjadi saat terdapat sebuah krisis sosial, seorang pemimpin muncul dengan sebuah visi radikal yang menawarkan sebuah solusi untuk krisis itu, pemimpin menarik pengikut yang percaya pada visi itu, mereka mengalami beberapa keberhasilan yang membuat visi itu terlihat dapat dicapai, dan para pengikut dapat mempercayai bahwa pemimpin itu sebagai orang yang luar biasa. Pemimpin seperti ini terlihat memiliki kelebihan- kelebihan secara personal seperti intelektualitas, keberanian, pengorbanan dan kepiawaian sehingga bisa menyatukan masyarakat untuk keluar dari berbagai persoalan yang melilit. Seorang yang berkharisma merupakan orang yang menciptakan suatu perubahan eksistensial. 12 Kharisma adalah kata dalam bahasa Yunani yang berarti “berkat yang terinspirasi secara agung atau dengan bahasa lain yakni anugerah”, atau dalam bahasa Kristen yakni rahmat (grace), seperti kemampuan untuk melakukan keajaiban atau memprediksikan peristiwa masa depan, sehingga melahirkan suatu perubahan yang radikal. Konsep kharismatik (charismatic) atau kharisma (charisma) menurut Weber lebih ditekankan kepada kemampuan pemimpin yang memiliki kekuatan luar biasa dan mistis. Menurutnya, ada lima faktor yang muncul bersamaan dengan kekuasaan yang kharismatik, yaitu : Adanya seseorang yang memiliki bakat yang luar biasa, adanya krisis sosial, adanya sejumlah ide yang radikal untuk memecahkan krisis tersebut, adanya sejumlah pengikut yang percaya bahwa seseorang itu memiliki kemampuan luar biasa yang bersifat transendental dan supranatural, serta adanya bukti yang berulang bahwa apa yang dilakukan itu mengalami kesuksesan. Lihat, Betti R. Scharf, Kajian Sosiologi Agama, terj. Machnun Husein, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1995, hlm. 206. Universitas Sumatera Utara Salah satu hal penting yang patut untuk diulas yakni persoalan kepemimpinan kharismatik (charismatic leadership) yang merupakan cenderung terhadap konsep politik. Hal ini penting mengingat peran dunia politik merupakan suatu aturan permainan yang bermain dalam ranah kekuasan dan hal itu cukup menjadi hal yang kompetitif dalam masyarakat ketika sudah menyangkut persoalan kekuasaan. Kepemimpinan kharismatik menjadi salah satu faktor khusus yang perlu dipertimbangkan dalam suatu pemetaan akan seorang pemimpin yang nantinya akan memiliki legalitas-otoritas untuk menentukan suatu kebijakan.13 Tipe kepemimpinan kharismatik dapat diartikan sebagai kemampuan menggunakan keistimewaan atau kelebihan sifat kepribadian dalam mempengaruhi pikiran, perasaan dan tingkah laku orang lain, sehingga dalam suasana batin mengagumi dan mengagungkan pemimpin bersedia berbuat sesuatu yang dikehendaki oleh pemimpin. Pemimpin disini dipandang istimewa karena sifat-sifat kepribadiannya yang mengagumkan dan berwibawa. Dalam kepribadian itu pemimpin diterima dan dipercayai sebagai orang yang dihormati, disegani, dipatuhi dan ditaati secara rela dan ikhlas. Kepemimpinan kharismatik menginginkan anggota organisasi sebagai pengikutnya untuk mengadopsi pandangan pemimpin tanpa atau dengan sedikit mungkin perubahan.14 Fenomena akan diikutinya pemimpin oleh anggota kelompoknya bukanlah sesuatu yang baru saja terjadi. Sebagai seorang pemimpin tentu besar keinginan 13 Ibid. Hal 207 Hurin In Lia Amalia Qori, Kepemimpinan Karismatik Versus Kepemimpinan Transformasional. Analisa, Vol. 1, No. 2 (Agustus 2013). hal 72. 14 Universitas Sumatera Utara untuk diikuti oleh pengikutnya bahkan dijadikan inspirasi. Inilah yang juga membuat para pemimpin ataupun calon pemimpin berlomba-lomba memperbaiki karakteristik dirinya untuk memiliki kelebihan menginspirasi anggota kelompoknya dalam berpikir, berbicara bahkan bertingkah laku. Kemampuan untuk menginspirasi anggotanya itulah yang sering disebut sebagai kemampuan sakti yang dinamakan kharisma oleh beberapa tokoh.15 Hal-hal yang telah disebut diatas sebagai indikator dikatakan pemimpin karismatik juga telah dipraktekkan di Indonesia. Sejak Indonesia merdeka, presiden-presiden Indonesia memiliki sisi kharismatiknya masing-masing hingga saat ini. Seperti Presiden Soekarno, adalah bapak proklamator, seorang orator ulung yang bisa membangkitkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia. Beliau memiliki gaya kepemimpinan yang sangat populis, bertempramen meledak-ledak, tidak jarang lembut dan menyukai keindahan. Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Ir. Soekarno berorientasi pada moral dan etika ideologi yang mendasari negara atau partai, sehingga sangat konsisten dan sangat fanatik, cocok diterapkan pada era tersebut. Sifat kepemimpinan yang juga menonjol dan Ir. Soekarno adalah percaya diri yang kuat, penuh daya tarik, penuh inisiatif dan inovatif serta kaya akan ide dan gagasan baru. Sehingga pada puncak kepemimpinannya, pernah menjadi panutan dan sumber inspirasi pergerakan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia dan Afrika serta pergerakan melepas ketergantungan dari negara-negara Barat (Amerika dan Eropa). Ir. Soekarno 15 Dikutip dari tesis Alyanti Fransisca, Model komunikasi Kharismatik Presiden-Presiden Indonesia. Universitas Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 1 Universitas Sumatera Utara adalah pemimpin yang kharismatik, memiliki semangat pantang menyerah dan rela berkorban demi persatuan dan kesatuan serta kemerdekaan bangsanya. Demikian juga dengan gaya kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan proaktif-ekstraktif dengan adaptif-antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta mempunyai visi yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian. Presiden Soeharto juga cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang lebih reaktif dibanding proaktif. Ia lebih sering memberikan tanggapan atau respon terhadap pernyataan orang lain dibanding menunjukkan gagasan/pemikirannya sendiri. Soeharto digambarkan sebagai pemimpin yang memiliki fleksibilitas dalam melaksanakan tugas dan fungsi kepemimpinannya. Presiden Soeharto cenderung menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang lebih sering memberikan perhatian sangat umum terhadap lingkup pembangunan nasional. Presiden Soeharto digambarkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, yang menerapkan gaya kepemimpinan koersif, yang selalu menginginkan agar perintah dan instruksinya dipatuhi orang lain dengan segera. Presiden Soeharto adalah seorang pemimpin yang sederhana, tidak suka menonjolkan diri di hadapan orang lain. Ketika berbicara dengan orang lain atau menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan atau orang-orang yang dipimpinnya dalam berbagai organisasi, ia tidak suka menunjukkan keberhasilan atau jasa-jasa yang dimilikinya. Universitas Sumatera Utara Kemudian Presiden B.J. Habibie merupakan orang yang cerdas tapi terlalu lugu dalam politik. kepemimpinan Presiden Habibie adalah gaya kepemimpinan dedikatif-fasilitatif, merupakan sendi dan kepemimpinan demokratik. sangat terbuka dalam berbicara, akrab dalam bergaul, sangat detail, gaya komunikasinya penuh spontanitas, meletup-letup, cepat bereaksi, tanpa mau memikirkan resikonya, ia cenderung bertindak atau mengambil keputusan secara cepat. Kemudian Presiden Abdurahman Wahid merupakan seorang kiai yang sangat liberal dalam pemikirannya, penuh dengan ide, sangat tidak disiplin, dan berkepemimpinan ala LSM. Gaya kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid adalah gaya kepemimpinan responsif-akomodatif, yang berusaha untuk mengagregasikan semua kepentingan yang beraneka ragam yang diharapkan dapat dijadikan menjadi satu kesepakatan atau keputusan yang memiliki keabsahan. Kemudian Presiden Megawati Soekarno Putri, seorang yang berpenampilan tenang dan tampak kurang acuh dalam menghadapi persoalan. Gaya kepemimpinan Presiden Megawati yang anti kekerasan, cukup demokratis, tampak agak formal, santun dalam setiap penampilan dan apik berbusana. Demikian juga Presiden Susilo Bambang Yudoyono sebagai pemimpin yang mampu mengambil keputusan kapanpun, di manapun, dan dalam kondisi apapun, Sosok yang demokratis, menghargai perbedaan pendapat. Penampilannya yang berwibawa dan pemikirannya yang rasional serta visioner ke depan. 16 16 http://www.kompasiana.com/hennysovya/mengenal-gaya-kepemimpinan-presiden-di indonesia_552c5c1c6ea834f7738b4571 Universitas Sumatera Utara Dari keenam presiden yang telah penulis sebutkan diatas memiliki gaya kepemimpinan yang bervariasi dan berbeda satu sama lain. Namun setiap presiden tersebut tetap dikategorikan sebagai elit politik dengan figur yang santun, berwibawa, kuat dan tegas sebagaimana pemimpin pada umumnya yang telah didefenisikan sebelumnya. Dengan demikian, tampaknya selama ini kepemimpinan di Indonesia masih didominasi oleh kepemimpinan yang berfigur santun, berwibawa, kuat dan tegas, sangat jarang terdapat kepemimpinan yang mampu menunjukkan figur yang berbeda dari yang sebelumnya. Seperti dalam jajak pendapat yang dilakukan Kompas tahun 2013, menunjukkan bahwa kepercayaan publik pada penyelenggaraan negara mengalami penurunan. Publik cenderung tidak puas pada kepemimpinan di negara ini. Publik akhirnya mengharapkan gaya kepemimpinan yang baru. Jajak Pendapat Kompas melakukan penonjolan pada kondisi masyarakat yang mengalami krisis orientasi kepemimpinan. Teks ini juga menjelaskan bahwa saat ini publik tengah berada dalam kondisi krisis orientasi akan hadirnya pemimpin yang diidamkan. 17 Uniknya, Kemunculan Jokowi membawa fenomena baru dalam kancah kepemimpinan politik di Indonesia. Kebaruan dari sosok gubernur DKI tahun 2012 yang paling menonjol adalah gaya Jokowi blusukan (berjalan-jalan ditempat-tempat sempit) ke kampung-kampung padat penduduk di Jakarta. Jokowi dengan senang hati menemui warganya guna mengetahui secara langsung 17 Ignatius Eggi Reza Putra / Mario Antonius Birowo. Konstruksi Pemimpin Nasional Dalam Surat Kabar Harian Kompas (Analisis Framing Laporan Jajak Pendapat KOMPAS dengan Topik Kepemimpinan Nasional Periode 2009-2012), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta 2013, Hal. 5. Universitas Sumatera Utara permasalahan yang dihadapi masyarakat Jakarta. Dengan mata telanjang, orang dapat melihat betapa Jokowi menjalin komunikasi dengan warganya tanpa jarak. Pengawalan minimum bagi Jokowi menjadikan dirinya lebih leluasa menyapa warganya, sebaliknya warga masyarakat juga leluasa untuk menyampaikan berbagai aspirasinya secara langsung kepada gubernurnya. Jokowi mendatangi kampung-kampung, mendatangi ke tempat permasalahan untuk menyelesaikan masalah. Terbukti Jokowi datang beberapa kali di tempat yang pernah dikunjunginya, tujuannya satu yaitu memastikan apa yang dijanjikan atau disepakati sebagai hasil dari kunjungan awal benar-benar ada tindak lanjut atau ada hasilnya. 18 Gaya kepemimpinan Jokowi menjadi referensi karena terbukti kekuasaan yang dimilikinya berorientasi pelayanan kepada masyarakat. Jokowi dengan lihai membangun komunikasi politik untuk terus meningkatkan partisipasi dan dukungan politik bagi keberhasilannya menjadi memimpin.19 Kemunculan Jokowi telah membawa wacana dan referensi baru dalam khasanah kepemimpinan politik di Indonesia. Di tengah maraknya pencitraan elite politik sebagai figur yang santun, berwibawa, kuat dan tegas, kemunculan Jokowi membuat berbeda. Jokowi muncul dengan sikap low profil, jujur, dan dekat dengan warga masyarakat.20 Selama ini dikatakan bahwa kepemimpinan di Indonesia masih didominasi oleh kepemimpinan yang memiliki figur berwibawa, kuat dan tegas sehingga hal 18 M. Yusuf, A.R, Fenomena Kepemimpinan politik Jokowi. GaneÇ Swara Vol. 7 No. 1(Maret 2013). Universitas Mataram, Hal. 26. 19 Ibid 20 Ibid Universitas Sumatera Utara ini membangun wacana dalam masyarakat bahwa pemimpin itu harus memiliki figur seperti yang telah disebutkan diatas. Namun kehadiran Jokowi dengan sikapnya yang low profil, jujur, dan dekat dengan warga masyarakat mampu mengubah opini masyarakat bahwa ternyata pemimpin tidak selamanya harus bersikap kuat, berwibawa dan mewah. Penulis melihat bahwa Jokowi mencoba untuk mendekonstruksikan wanaca yang telah ada sebelumnya. Hal ini semakin menarik ketika dalam Pemilihan Presiden 2014 Jokowi memiliki gaya kampanye yang berbeda dari kebanyakan kampanye elit politik. Ditambah lagi Prabowo sebagai lawan Jokowi di pentas politik menunjukkan gaya kampanye yang sangat bertolak belakang. Keduanya memiliki positioning yang berbeda satu satu sama lain.21 Jokowi menunjukkan bahwa dirinya memiliki latar belakang anak tukang kayu, penampilannya yang sederhana, berpakaian kotakkotak yang notabene motif dominan sarung (pakaian rakyat), tanpa protokoler, blusukan ke tempat becek, sehingga mendapatkan positioning atau tercitra tak jauh beda dengan rakyat kebanyakan. Sedangkan Prabowo dengan latar belakangnya sebagai tentara, mantan danjen kopassus dan panglima kostrad, dengan penampilan berwibawa, berpakaian safari saku empat ala mode pejuang zaman revolusi, gaya bicara orator berintonasi tinggi, retorika berapi-api, badan 21 Positioning diartikan sebagai sebuah strategi dalam ilmu marketing untuk menciptakan perbedaan,manfaat dan keuntungan yang membuat konsumen selalu ingat dengan suatu produk. Konsep positioning inilah yang dalam politik digunakan untuk membangun citra, dengan demikian politik pencitraan merupakan upaya untuk membangun kepercayaan konsumen terhadap sebuah pribadi politik. Lihat di Veronika, Ina, Pemasaran Politik Legislatif Pertahanan Dalam Memenangkan Pemilu Anggota DPDR Kota Kupang. NTT, 2010 Hal. 7, yang dalam konteks pilpres adalah capres yaitu Jokowi atau Prabowo. Pada hakekatnya, positioning adalah menanamkan persepsi, identitas, kepribadian capres dalam benak pemilih. Universitas Sumatera Utara tegap gagah perwira, merupakan upaya agar terbangun persepsi sebagai sosok pahlawan, satria, penyelamat negara. Berdasarkan positioning kedua calon presiden yang kontradiksi diatas dan juga Jokowi yang muncul sebagai pemimpin yang memiliki figur yang berbeda dari wacana yang telah terbangun selama ini, maka penulis tertarik untuk menganalisis aktivitas politik Jokowi selama masa kampanye pada pemilihan presiden 2014. 1.2 Perumusan Masalah Tingginya persaingan politik dalam pemilihan presiden 2014 menjadikan kegiatan kampanye menjadi kegiatan sangat penting untuk kandidat calon presiden. Berbagai strategi dalam politik digunakan untuk membangun citra, dengan demikian politik pencitraan merupakan upaya untuk membangun kepercayaan konsumen terhadap sebuah pribadi politik. Dua calon presiden Jokowi dan Prabowo menunjukkan kepribadian yang sangat berbeda. Jokowi dalam kampanyenya menunjukkan strategi unik yang belum pernah digunakan dalam kampanye di Indonesia. Strategi unik ini ternyata mampu dalam membongkar wacana sosok pemimpin di Indonesia dalam hal kepribadian pemimpin yang tegas, mewah, berwibawa. Sehingga menarik untuk meneliti aktivitas politik Jokowi selama masa kampanye pemilihan presiden 2014 dengan menggunakan metode analisis wacana. Dengan begitu, pertanyaan penelitian dalam masalah ini adalah: Universitas Sumatera Utara 1. Apa yang ingin ditunjukkan Jokowi melalui aktivitas politiknya selama masa kampanye pada pemilihan presiden 2014? 2. Wacana apa yang ingin ditunjukkan oleh Jokowi melalui aktivitas politiknya? 3. Bagaimana dekonstruksi wacana yang ditunjukkan Jokowi melalui aktivitas politiknya di masa kampanye pemilihan presiden 2014? 1.3 Pembatasan Masalah Untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian dengan tujuan agar dapat menghasilkan uraian yang sistematis, diperlukan adanya pembatasan masalah. Oleh karena itu, penelitian ini hanya sebatas menganalisis kegiatan Jokowi pada masa kampanye menjelang pemilihan presiden 2014 dari analisis semiotika, wacana dalam perspektif Foucault dan dari dekonstruksi Jacques Derrida. 1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui apa yang ingin ditunjukkan oleh Jokowi melalui aktivitas politiknya selama masa kampanye pada pemilihan presiden 2014. Kita dapat melihat bagaimana Jokowi membangun wacana dalam aktivitas politiknya dengan mengetahui apa yang ingin ditunjukkan oleh Jokowi dari aktivitas politik tersebut. Universitas Sumatera Utara 2. Untuk mengetahui wacana apa yang ingin ditunjukkan oleh Jokowi melalui aktivitas politiknya. 3. Untuk mengetahui bagaimana dekonstruksi wacana yang ditunjukkan Jokowi melalui aktivitas politiknya di masa kampanye pemilihan presiden 2014 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik kepada penulis maupun kepada penulis maupun kepada orang lain yang membacanya, terlebih lagi untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Adapun yang menjadi manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan menjadi sebuah kajian ilmiah di bidang ilmu politik khususnya dalam komunikasi politik tentang dekonstruksi wacana Jokowi dalam kampanye politik menjelang pemilihan presiden 2014. 2. Secara akademis, penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tidak hanya bagi peneliti, tetapi juga bagi akademisi lainnya di berbagai tingkatan pendidikan. 1.6 Kerangka Teori Sebagai penelitian yang baik dan benar, landasan teori merupakan suatu yang sangat penting dalam penulisan karya ilmiah. Fungsi dari teori ini sebagai suatu landasan berpikir dalam menganalisis sebuah fenomena yang sedang diteliti. Dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara 1.6.1 Semiotika Semiotika atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah ini berasal dari kata Yunani semeion yang berarti „tanda‟ atau „sign‟dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. 22 Secara sederhana semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Semiotika mempelajari tentang sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.23 Dalam pengertian yang hampir sama disebutkan bahwa semiotika adalah studi tentang bagaimana bentuk-bentuk simbolik diinterpretasikan. Kajian ilmiah mengenai pembentukan makna.24 Secara substansial, semiotika adalah kajian yang berfokus dengan dunia simbol. Alasannya seluruh isi media massa pada dasarnya adalah bahasa (verbal), sementara itu bahasa merupakan dunia simbolik.25 Semiotika modern mempunyai dua bapak, yaitu yang satu Charles Sanders Pierce (1857-1914), yang lain Ferdinand De Saussure (1857-1913). Tugas utama peneliti semiotik adalah mengamati (observasi) terhadap fenomena-gejala di sekelilingnya melalui berbagai “tanda” yang dilihatnya. Tanda sebenarnya representasi dari gejala yang memiliki sejumlah kriteria seperti : Nama (sebutan), peran, fungsi, tujuan, keinginan. Tanda tersebut berada pada kehidupan manusia. 22 www.wikipedia.com, artikel diakses pada 09 Maret 2010. Kriyantono Rachmat, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Kencana Predana Madia Group, Jakarta 2006, Hal. 261-162. 24 Lull James, Media, Komunikasi, Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, (Terj) A. Setiawan Abdi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997, hal. 232. 25 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2009, Hal. 81. 23 Universitas Sumatera Utara Dan menjadi sistem tanda yang digunakannya sebagai pengatur kehidupannya. Oleh karenanya tanda-tanda itu (yang berada pada sistem tanda) sangatlah akrab dan bahkan melekat pada kehidupan manusia yang penuh makna (meaningful action) seperti teraktualisasi pada bahasa, religi, seni sejarah, ilmu pengetahuan. Tanda terdapat dimana-mana: kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu merah lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan dan nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Dalam pandangan Saussure, makna sebuah tanda sangat dipengaruhi oleh tanda yang lain. Semiotika berusaha menggali hakikat sistem tanda yang beranjak keluar kaidah tata bahasa dan sintaksis dan mengatur arti teks yang rumit, tersembunyi, dan bergantung pada kebudayaan. Hal ini kemudian menimbulkan perhatian pada makna tambahan (connotative) dan arti penunjukan (denotative) kaitan dan kesan yang ditimbulkan dan diungkapkan melalui penggunaan dan kombinasi tanda. Pelaksanaan hal itu dilakukan dengan mengakui adanya mitos yang telah ada dan sekumpulan gagasan yang bernilai yang berasal dari kebudayaan dan disampaikan melalui komunikasi. Pada dasar penjelajahan semiotik sebagai sebuah kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan, dimungkinkan karena adanya kecenderungan untuk memandang sebagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotik, bila seluruh praktek sosial dapat dianggap sebagai tanda-tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri. Universitas Sumatera Utara Ada seorang pengikut Saussure, Roland Barthes, membuat sebuah model sistematis dalam menganalisis makna dari tanda-tanda. Fokus perhatian Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikansi dua tahap (two order of signification).26 1.6.1.1 Konsep Semiotika Roland Barthes Salah satu cara yang digunakan para pakar untuk membahas lingkup makna yang lebih besar adalah dengan membedakan makna denotatif dengan makna konotatif. Two Order of Signification (signifikasi dua tahap atau dua tatanan pertandaan) Barthes terdiri dari Firt order of signification yaitu denotasi, dan second order of signification yaitu konotasi. Tatanan yang pertama mencakup penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna denotasi.27 Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara tanda dan rujukan pada realitas yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antar penanda dan petanda, yang didalamnya beroperasi makna yang bersifat implisit dan tersembunyi. 28 26 Ibid. Hal 127 M Anthonius Birowo. Metode Penelitian Komunikasi:Teori dan aplikasi, Hal 57 28 Christomi Tommy, Semiotika Budaya, UI, Depok, 2004, hal. 94. 27 Universitas Sumatera Utara Tabel 1. Peta Tanda Roland Barthes : 1. Signifier (Penanda) 2. Signified (petanda) 3. Denotative Sign (tanda denotatif) 4. Connotative signifier (Penanda konotatif) 5. Connotative signified (Petanda konotatif) 6. Connotative sign (tanda konotatif) Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi ada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda “sign”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin.29 Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang berarti bagi penyempurnan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dan tatanan denotatif. Konotasi dan denotasi sering dijelaskan dalam istilah tingkatan representasi atau tingkatan nama. Secara ringkas, denotasi dan konotasi dapat dijelaskan sebagai berikut.30 a. Denotasi adalah interaksi antara signifier dan signified dalam sign, dan antar sign dengan referent (objek) dalam realitas eksternal. 29 30 Alex Sobur. Op. cit. Hal 69 M. Antonius Birowo. Op. cit. Hal 57 Universitas Sumatera Utara b. Konotasi adalah interaksi yang muncul ketika sign bertemu dengan perasaan atau emosi pembaca atau pengguna dan nilai-nilai budaya mereka. Makna menjadi subjektif atau intersubjektif. Tanda lebih terbuka dalam penafsirannya pada konotasi daripada denotasi. Secara sederhana, denotasi dijelaskan sebagai kata yang tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan. Maknanya disebut makna denotatif. Makna denotatif memiliki beberapa istilah lain seperti makna denotasional, makna referensial, makna konseptual, atau makna ideasional. Sedangkan konotasi adalah kata yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu disamping makna dasar yang umum. Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif.31 Denotasi dan konotasi tidak bisa dilihat secara terpisah atau berdiri sendiri. Sebuah tanda yang kita lihat pasti atau suatu denotasi. Makna denotasi adalah apa yang kelihatan pada gambar, dengan kata lain dengan sendirinya memunculkan denotasi. Denotasi dengan sendirinya akan menjadi konotasi dan untuk selanjutnya konotasi justru menjadi denotasi ketika konotasi tersebut sudah umum digunakan dan dipahami bersama sebagai makna yang kaku. 31 AS Haris Sumanrdiria, Bahasa Jurnalistik: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2006, Hal. 27-28. Universitas Sumatera Utara Gambar 1. Signifikasi Dua tahap Barthes Melalui gambar ini Barthes, seperti dikutip Fiske menjelaskan: signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebgai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (Myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Universitas Sumatera Utara 1.6.2 Wacana dalam Perspektif Foucault Tokoh analisis wacana kritis yang memberi banyak perhatian secara khas adalah Michael Foucault (1926-1984), seorang filosof kekuasaan berkebangsaan Prancis.32 Salah satu yang menarik dari konsep Foucault adalah tesisnya mengenai hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Foucault mendefinisikan kuasa agak berbeda dengan beberapa ahli lain. Kuasa menurut Foucault tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam ruang lingkup dimana banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain. Bagi Foucault, kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan Penyelenggaraan dan pengetahuan kekuasaannya, menurut selalu mempunyai Foucault, selalu efek kuasa. memproduksi pengetahuan sebagai basis dari kekuasaannya. Kekuasaan memprodusir pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. 33 Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran disini dikatakan oleh Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit, bukan juga sebuah konsep yang abstrak. Akan tetapi, ia diproduksi, setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. 32 D. Jupriono, Yudhi Hari Wibowo, & Linusia Marsih, Teks Berita Konflik Pekerja PT Freeport Indonesia: Analisis Wacana Kritis Foucault. Parafrase. Vol.3 No. 1 (Februari), Hal 55. 33 George Junus Aditjondro, Pengetahuan-Pengetahuan Lokal yang Tertindas, jurnal kalam, 1994, Hal. 59. Universitas Sumatera Utara Disini, setiap kekuasaan selalu berpotensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan. Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Publik tidak dikontrol lewat kekuasaan yang sifatnya fisik, tetapi dikontrol, diatur, dan disiplinkan lewat wacana. Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial, dimana memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku sebagai baik atau buruk, sebagai bentuk pengendalian perilaku. Jadi khalayak ditundukkan bukan dengan cara kontrol yang bersifat langsung dan fisik, tetapi dengan wacana dan mekanisme, berupa prosedur, aturan, tata cara, dan sebagainya. 34 Melalui wacana, hubungan antara kekuasaan di satu sisi dengan pengetahuan di sisi yang lain terjadi. Foucoult mengatakan bahwa hubungan antara simbol dan yang di simbolkan itu bukan hanya referensial, melainkan juga produktif dan kreatif. Simbol yang dihasilkan wacana itu antara lain melalui bahasa, moralitas, hukum, dan lainnya, yang tidak hanya mengacu pada sesuatu, melainkan turut menghasilkan perilaku, nilai-nilai dan ideologi. Kehidupan bukan diatur lewat serangkaian represi, melainkan melalui kekuatannya memberikan defenisi dan melakukan regulasi. Berbagai regulasi itu diantaranya yang menentukan kita, memilah, mengklasifikasikan, dan menggolongkan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindari, mana yang sah mana yang tidak. Hubungan kita dengan realitas diatur 34 Ibid. Hal 67-68 Universitas Sumatera Utara melalui berbagai wacana, yang menentukan bagaimana seharusnya dan sebaiknya kita bertindak, membentuk kepercayaan-kepercayaan, konsep, dan ide-ide yang kita anut. Melalui wacana, individu bukan hanya didefenisikan tetapi juga dibentuk, dikontrol, dan di disiplinkan.35 Menurut Foucault, pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif tersebut: wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek, defenisi dari perspektif yang paling dipercaya dan dipandang benar. Persepsi kita tentang suatu objek dibentuk dengan dibatasi oleh praktek diskursif: dibatasi oleh pandangan yang mendefenisikan sesuatu bahwa yang ini benar dan yang lain tidak. Wacana tertentu membatasi pandangan khalayak, mengarahkan pada jalan pikiran tertentu dan menghayati itu sebagai sesuatu yang benar. Wacana membatasi pandangan kita, mengeluarkan sesuatu yang berbeda dalam batas-batas yang telah ditentukan. Ketika aturan dari wacana dibentuk, pernyataan kemudian disesuaikan dengan garis yang telah ditentukan. Disini pernyataan yang diterima dimasukkan dan mengeluarkan pandangan yang tak diterima tentang suatu objek. Objek bisa jadi tidak berubah, tetapi struktur diskursif yang dibuat membuat objek menjadi berubah.36 Menurut Michel Foucault, ciri utama wacana ialah kemampuannya untuk menjadi suatu himpunan wacana yang berfungsi membentuk dan melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam suatu masyarakat biasanya terdapat berbagai macam wacana yang berbeda satu sama lain, namun 35 36 Ibid. Hal 71-72 Ibid. Hal 73-74 Universitas Sumatera Utara kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga wacana tersebut menjadi dominan, sedangkan wacana lainnya akan “terpinggirkan”(marginalized) atau “terpendam”(submerged). 37 Ada dua konsekuensi dari wacana dominan tersebut. Pertama, wacana dominan memberikan arahan bagaimana suatu objek harus dibaca dan dipahami. Pandangan yang lebih luas menjadi terhalang, karena ia membarikan pilihan yang tersedia dan siap pakai. Pandangan dibatasi hanya dalam batas-batas struktur diskursif tersebut, tidak dengan yang lain. Kedua, struktur diskursif yang tercipta atas suatu objek tidaklah berarti kebenaran. Batas-batas yang tercipta tersebut bukan hanya membatasi pandangan kita, tetapi juga menyebabkan wacana lain yang tidak dominan menjadi terpinggirkan.38 Proses terpinggirkannya wacana dalam proses pemberitaan ini membawa beberapa implikasi. Pertama, khalayak tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi yang beragam dari berbagai sudut mengenai suatu peristiwa. Disini tidak harus dikatakan bahwa wacana yang terpinggirkan adalah wacana yang benar mengenai suatu peristiwa, tetapi karena tidak banyak ragam perspektif dari suatu wacana maka dimensi peristiwa tidak lengkap. Kedua, bisa jadi peminggiran wacana menunjukkan praktek ideologi. 39 37 Ibid. hal 76-77 Ibid. hal 77 39 Ibid. hal 84 38 Universitas Sumatera Utara 1.6.3 Dekonstruksi Dekonstruksi dikenalkan oleh Jacques Derrida dalam bukunya On Grammatology, Writing and Différance, dan Dissemination. Dekonstruksi dalam sastra digunakan untuk menunjukkan pertentangan-pertentangan dalam teks yang sengaja atau tidak sengaja disembunyikan atau disamarkan, berdasarkan padamodel atau metode filosofis guna menunjukkan ketidaksesuaian logika yang secara eksplisit maupun implisit terdapat dalam suatu teks. Metode dekonstruksi ini pada awalnya diterapkan oleh Derrida terhadap teori lingustik struktural Ferdinand de Saussure, hal tersebut ditunjukkan oleh Derrida melalui dikotomi yang dilakukan oleh Ferdinand de Saussure antara bahasa lisan dan tulisan. Derrida menunjukkan bahwa terdapat kontradiksi-kontradiksi dalam teori Ferdinand de Sasussure. Dalam tataran eskplisitnya teori Saussure lebih mengutamakan bahasa lisan, tapi secara implisit teori Saussure mendasarkan diri pada bahasa tulis sebagai teorinya. Pemikiran Derrida tidak terlepas dari pengaruh Heidegger, namun demikian Derrida tidak serta merta melanjutkan pemikiran Heidegger secara mentah-mentah, melainkan dengan cara mengkritik dan melanjutkan serta mendirikan pemikirannya sendiri. Satu produk pemikiran Heidegger yang diambil oleh Derrida adalah mengenai konsep “kehadiran”. Kehadiran dalam bahasa Derrida adalah “metafisika”. Kehadiran itu akan tampak bila dilihat melalui tanda karena tanda dalam metafisis memberikan sesuatu yang tidak hadir. Tanda sendiri akhirnya merujuk pada objek itu sendiri sebagai yang hadir. Tanda berfungsi Universitas Sumatera Utara sebagai pengganti yang untuk sementara menunda hadirnya objek itu sendiri. Kehadiran itu diwujudkan melalui tuturan dan tulisan, dalam tanda-tanda itu. Kata-kata dapat menunjukkan sesuatu yang lain, begitu juga teks, teks juga berhubungan dengan teks-teks yang lain. Derrida pun membuat suatu pemikiran tanda sebagai trace atau jejak. Jejak itu hanya menunjukkan ke sesuatu yang lain, jejak justru mendahului objeknya. Berdasarkan hal ini “kehadiran” merupakan sesuatu yang diturunkan dari jejakjejaknya, bukan sesuatu yang murni lagi. Bila jejak itu terhapus, maka “kehadiran” itu akan lenyap juga. Kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna tunggal. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme, yaitu kecenderungan untuk mengacu kepada suatu “metafisika” atau “kehadiran” tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan adanya dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis terhadap teks. Terdapat beberapa pandangan para ahli mengenai pengertian dekonstruksi. Kristeva menjelaskan bawa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural, sebab keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi dengan demikian tidak Universitas Sumatera Utara terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat wacana. 40 Umar Junus memandang dekonstruksi sebagai perspektif baru dalam penelitian sastra. Dekonstruksi memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian, dan memungkinkan untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan apa saja, tanpa terikat dengan satu aturan yang dianggap telah berlaku universal. Sedangkan menurut Al-Fayyadl dekonstruksi adalah terstimoni terbuka kepada mereka yang kalah, mereka yang terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Maka sebuah dekonstruksi adalah gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri.41 Dalam pembacaan dekonstruktif, kita diajak untuk tidak mencari makna yang sebenarnya dari teks, melainkan hanya ingin mencari ketidakutuhan/kegagalan suatu teks yang berupaya menutup diri dengan makna yang terkandung di dalamnya, artinya hanya ingin menumbangkan susunan hierarki yang menstrukturkan teks.42 Dengan kata lain bahwa dekonstruksi mengajak pembaca untuk menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks, tidak ada dominasi makna dalam sebuah teks, makna tidak berhenti dalam satu titik melainkan terus bergerak. seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa suatu yang dominan bukan merupakan suatu kebenaran 40 Julia Kristeva, Desire in Language a Semiotic Approach to Literature and Art. Oxford: Basil Blackwell. 1980 41 Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, LKiS, Yogyakarta, 2015, hal. 232. 42 Christoper Norris, Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir, Ar-Ruzz media, Yogyakarta, 2009, Hal. 13. Universitas Sumatera Utara tunggal, artinya bahwa makna tidak berhenti pada satu titik saja, melainkan terus bergerak secara terus-menerus. Berdasarkan hal itu, dekonstruksi pada dasarnya tidak memberikan satu pusat yang baru, melainkan hanya berusaha mencari celahcelah secara terus menerus. Dekonstruksi secara garis besar bisa disimpulkan sebagai cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita. Dekonstruksi bisa dikatakan sebagai sebuah metode pembacaan teks, dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual artinya bahwa anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna tunggal. Anggapan tersebut hadir sebagai trace (jejak) yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah. 1.6.4 Kampanye Istilah kampanye sebenarnya diambil dari istilah militer, yaitu serangkaian kegiatan dalam upaya menghancurkan kekuatan dan mental musuh. Sementara itu menurut Rogers dan Storey seperti yang dikutip oleh Antar Venus dalam bukunya Manajemen Kampanye menjelaskan bahwa kampanye adalah ”Serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu”.43 Hal ini berarti bahwa kampanye adalah alat komunikasi bagi 43 Antar Venus, Manajemen Kampanye, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2004, Hal. 7. Universitas Sumatera Utara kandidat calon presiden yang digunakan untuk mempengaruhi masyarakat agar mau berpartisipasi dalam pemilu melalui pemberian suara. Merujuk pada definisi di atas, maka setiap aktivitas kampanye setidaknya harus mengandung empat hal yaitu : 1. Tindakan kampanye yang ditujukan untuk menciptakan efek atau dampak tertentu 2. Jumlah khalayak sasaran yang besar 3. Biasanya dilakukan dalam kurun waktu tertentu 4. Melaui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisir Kampanye itu sendiri oleh Sumarno didefinisikan sebagai : ”Alat komunikasi politik yang dapat menggerakkan masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam bidang politik kenegaraan melalui hak suaranya yang diberikan kepada seorang calon atau beberapa anggota kelompok partai yang mereka percayai”.44 Sejalan dengan pendapat sumarno di atas, Anwar Arifin menyatakan bahwa : “Kampanye politik adalah bentuk komunikasi politik yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang atau sekelompok organisasi politik dalam waktu tertentu untuk memperoleh dukungan politik dari rakyat. Pada umumnya, kampanye politik diatur dengan peraturan sendiri, yaitu 44 Sumarno A.P, Dimensi-dimensi Komunikasi Politik, PT Cipta Aditya, Bandung, 1987, Hal. 108. Universitas Sumatera Utara waktu, tata caranya, pengawasan dan sanksi-sanksi jika terjadi pelanggaran kampanye”.45 Berkaitan dengan pemilihan umum, maka kampanye yang dilakukan adalah kampanye politik. Menurut Arnold Steinberg : ”Dalam kehidupan politik, kampanye dimaksudkan sebagai suatu usaha terkelola, terorganisir untuk mengikhtiarkan orang yang dicalonkan, dipilih, atau dipilih kembali dalam suatu jabatan resmi. Definisi ini tidak mencakup kampanye politik untuk memperoleh suatu kedudukan di sektor swasta. Dengan kata lain, kampanye politik modern adalah cara yang digunakan para warga negara demokratis untuk menentukan siapa yang akan memerintah mereka”.46 Pengertian-pengertian diatas menekankan bahwa tujuan dari kampanye adalah untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang tersebut mau mendukungnya dalam pemilu. Lebih jauh lagi kampanye bertujuan untuk membentuk tingkah laku kolektif masyarakat sehingga tujuan memenangkan pemilu dapat lebih mudah terwujud. Secara ideal kampanye merupakan kegiatan untuk mempengaruhi para pemilih antara lain dengan melakukan propaganda, menampilkan kandidat yang berkualitas, dan menawarkan isu yang memikat masyarakat. Kampanye bila dilakukan dalam suatu pemilihan umum yang dapat menjamin terjadinya kompetisi yang sehat diantara kontestan yang bertarung serta penyelenggara yang 45 46 Anwar Arifin, Komunikasi Politik, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, Hal. 83. Arnold Steinberg, kampanye politik dalam praktek, Intermasa, Jakarta, 1981, Hal. 21. Universitas Sumatera Utara tidak memihak, merupakan ajang yang sangat penting untuk melakukan pendidikan politik rakyat. Melalui kampanye akan diperoleh debat dan wacana untuk membicarakan isu-isu nasional yang penting bagi masyarakat itu sendiri, baik yang menyangkut hal –hal mendasar seperti eksistensi dan survival bangsa yang bersangkutan dalam percaturan dunia yang lebih luas (inetrnasional) maupun isu-isu yang lebih pragmatis, seperti upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Menurut Rogers dan Storey seperti dikutip oleh Antar Venus menjelaskan bahwa kampanye adalah ” Serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu”. 47 Hal ini berarti bahwa kampanye adalah alat komunikasi bagi kandidat yang digunakan untuk mempengaruhi masyarakat agar mau berpartisipasi dalam pemilu/pemilukada melalui pemberian suara. Kampanye ini dilakukan oleh suatu pasangan kandidat yang bersaing dengan pasangan lain untuk memperebutkan suara calon pemilih. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Riswandha Imawan yang menyatakan bahwa : ”Kampanye bertujuan untuk mempengaruhi orang lain untuk memberikan dukungannya (dalam bentuk memberikan suara) dalam suatu pemilu. Kampanye berusaha untuk membentuk tingkah laku kolektif agar 47 Venus, Op. cit. Hal. 7. Universitas Sumatera Utara masyarakat lebih mudah digerakkan untuk mencapai suatu tujuan (memenangkan pemilu)”.48 Pernyataan-pernyataan diatas jelas menyebutkan bahwa kampanye bertujuan untuk mempengaruhi orang lain agar mau mendukungnya dalam suatu pemilu. Wujud dari dukungan tersebut adalah dengan memberikan suaranya untuk kandidat yang bersangkutan pada waktu pemungutan suara. Sehingga pada hakekatnya kampanye politik bertujuan untuk mengajak masyarakat yang berhak memilih ikut dalam pemilihan. 1.6.5 Teori Elite Pengaruh elite memiliki cakupan yang cukup luas dan dapat dilihat dari berbagai perspektif. Istilah elite juga dikupas dalam sosiologi, dimana elite menunjukkan suatu kelompok yang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan, politik, ekonomi, dan agama. Jadi yang disebut elite adalah orang yang mempunyai stratifikasi di atas rakyat jelata dan mempunyai kedudukan memimpin, memberi pengaruh, menuntun dan mengatur masyarakat.49 Ketika dilekatkan pada otoritas dan kekuasaan, maka elite mempunyai dua tipe, yaitu elite yang memrintah secara formal dan elite yang tidak memerintah secara formal. Selain itu, kata elite juga diartikan sebagai orangorang yang menentukan dalam pemerintahan, misalnya unit-unit militer atau tingkatan bangsawan. 48 49 Riswandha Imawan, Membedah Politik Orde baru, Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 1996, Hal. 143. Robert Van Niel, Munculnya elit modern Indonesia, Pustaka Jaya, Jakarta, 1984, Hal. 30. Universitas Sumatera Utara Gaetano Mosca dan Vilfredo Pareto membagi stratifikasi elite menjadi 3 kategori, yaitu elite yang memerintah (Governing elite), elite yang tidak memerintah (non-Government elite), dan massa umum (non eliet).Kajian ini membagi dua kategori elite yaitu:50 1. Elite politik lokal merupakan seseorang yng menduduki jabatanjabatan politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis ditingkat lokal. Mereka menduduki jabatan politik tinggi ditingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan politik. 2. Elite non politik lokal adalah seseorang yang menduduki jabatanjabatan strategis yang mempunyai pengaruh untuk memerintah orang dalam lingkup masyarakat. Kaum elite memiliki kekuasaan besar dalam suatu kelompok atau masyarakat dan mampu memperoleh bagian terbesar dari suatu sistem kekuasaan. Kaum elite adalah kelompok kekuasaan yang paling tinggi dalam suatu sistem politik sehingga mampu menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuannya. Kaum elite juga sering memgang peranan penting di negara berkembang. Sedangkan menurut Heater Sutherland para pejabat pribumi atau elite lokal pada masa penjajahan merupakan suatu kelas penguasa yang ditakuti dan dikagumi, tetapi mereka itu merupakan wakil-wakil bawahan dari kekuasaan asing.51 50 51 Duverger Maurice, Sosiologi Politik, Rajawali Press, Jakarta, 1982, Hal. 178. Heater Sutherlang, Terbentuknya Sebuah Elit Birokrasi, Sinar Harapan, Jakarta, 1983 Hal. 25. Universitas Sumatera Utara Dalam menganalisa kedudukan elite dalam masyarakat, elemen yang perlu diperhatikan adalah konsep kekuasaan. Hal ini didasari bahwa elite dan kekuasaan merupakan dua variabel yang tidak dapat dipisahkan, karena elite merupakan sekelompok orang yang memiliki sumber-sumber untuk mencapai kekuasaan. Kekuasaan merupakan salah satu unsur terbentuknya elite. “Elite politik adalah sekelompok orang yang memiliki kekuasaan politik”.52 Teori elite dibangun atas pandangan atau persepsi bahwa keberadaan elite baik elit politik maupun elite agama tidak dapat dielakkan dari aspek-aspek kehidupan modern yang serba kompleks. Secara umum, elite merupakan kelompok orang yang menempati kedudukan-kedudukan tinggi. Dimana dalam arti yang lebih khusus, elite juga ditunjuk oleh sekelompok yang terkemuka dalm bidang-bidang tertentu dan khususnya kelompok kecil yang memegang pemerintah serta lingkungan dimana kekuasaan itu diambil. Dengan demikian, konsep tentang elite cenderung menekankan kepada elite politik dengan merujuk pada pembagian kekuasaan antara elite yang berkuasa dan elite yang tidak berkuasa yang mengarah pada kepentingan yang berbeda. Elite merupakan individu-individu yang memiliki keistimewaan dalam pemahaman, pemaparan dan pengalaman mengenai sistem kekuasaan. Selain itu, pengakuan masyarakat terhadap elite politik sebgai suatu minoritas yang memiliki status sosial dalam setiap peran dan fungsinya ditengah-tengah masyarakat. 52 Mas‟ud Mochtar, dkk, Perbandingan Sistem Politik., Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2001, Hal. 77. Universitas Sumatera Utara Sehingga dengan adanya keistimewaan inilah kemudian elit politik menjadi faktor penentu yang berperan dalam mendorong dan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat. Dari pendapat yang dikemukakan dapat disimpulkan bahwa elite meliputi semua pemegang kekuasaan dalam suatu bangunan politik. Dalam masyarakat terdapat dua kategori elite, yaitu elite yang memerintah dan elite yang tidak memerintah atau yang tidak berhubungan dengan pelaksanaan kekuasaan. 1.7 Metode Penelitian Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Adapun metode penelitian deskriptif merupakan suatu cara yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada berdasarkan fakta dan data-data yang ada.53 Penelitian ini memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena. Hal tersebut yang kemudian mendasari penelitian untuk menggunakan metode ini dalam menganalisis dekonstruksi wacana dalam kegiatan masa kampanye Jokowi menjelang pemilihan presiden 2014. 1.7.1 Jenis Penelitian Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif. Jenis penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian 53 Bambang Prasetyo, dkk, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Aplikasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, Hal. 42. Universitas Sumatera Utara yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.54 1.7.2 Teknik Pengumpulan Data Dalam sebuah penelitian, data merupakan acuan yang akan dikaji dan dianalisis sebagai objek yang ingin dikupas ataupun diolah sehingga menjadi sebuah informasi yang lebih bersifat akademis. Maka teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sekunder atau datadata kepustakaan. Bahan-bahan yang diambil untuk penelitian ini berasal dari buku, tulisan-tulisan maupun artikel dari jurnal, makalah, internet yang berkaitan dengan penelitian ini. 1.7.3 Teknik Analisa Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik analisa kualitatif. Penelitian ini akan bersifat deskriptif dengan tujuan memberikan gambaran dan maksud mengenai situasi dan kejadian yang di tunjukkan melalui beberapa video yang telah peneliti ditentukan. Kemudian akan mengolah data video yang didapat dan dianalisis, serta akan dieksplorasi lebih dalam dan akan memunculkan sebuah kesimpulan yang akan menjelaskan dan menjawab masalah yang diteliti. 1.8 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini terbagi kedalam beberapa bab yang ditujukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih rinci mengenai 54 Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, Hal. 5. Universitas Sumatera Utara permasalahan yang diteliti. Adapun pembagian dalam sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut. BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : PROFIL JOKOWI Pada bab ini akan diuraikan tentang profil Jokowi. BAB III :ANALISIS KEGIATAN JOKOWI PADA MASA KAMPANYE MENJELANG PEMILIHAN PRESIDEN 2014 MELALUI PENDEKATAN SEMIOTIKA, WACANA DALAM PERSPEKTIF FOUCAULT DAN DEKONSTRUKSI. Pada bab ini akan menggambarkan bagaimana dekonstruksi dari wacana yang terbangun di Indonesia mengenai sosok pemimpin yang akan ditunjukkan melalui kegiatan Jokowi pada masa kampanye menjelang pemilihan presiden 2014. BAB IV : PENUTUP Bab ini berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis data dan memberikan saran atas hasil penelitian yang telah diperoleh. Universitas Sumatera Utara