BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seorang ahli filsafat

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seorang ahli filsafat Yunani bernama Aristoteles (384-322 SM) pernah
mengatakan bahwa manusia itu adalah “zoon Politicon” atau mahluk yang selalu
hidup bermasyarakat. Seseorang yang hidup menyendiri di luar masyarakat, tidak
dapat disebut manusia lagi, kalau bukan hewan, ia adalah Dewa.1
Henslin menguraikan bahwa masyarakat pada mulanya berukulan kecil
dan tidak membutuhkan sistem politik yang besar. Masyarakat seperti ini
beroperasi bagaikan suatu keluarga besar. Ketika surflus berkembang dan
masyarakat menjadi lebih besar, berkembanglah kota diperkirakan sekitar 3500
tahun SM2 dan kemudian berkembang menjadi negara kota (polis) seperti di
zaman Yunani kuno kemudian berkembang lagi menjadi negara.
Negara merupakan lanjutan dari keinginan manusia hendak bergaul antara
seorang dengan orang lainnya dalam rangka menyempurnakan segala kebutuhan
hidupnya. Semakin luas pergaulan manusia dan semakin banyak kebutuhannya,
maka bertambah besar kebutuhannya kepada suatu organisasi negara yang akan
melindungi dan memelihara keselamatan hidupnya.3 Pertumbuhan negara tersebut
hingga mencari bentuk yang sempurna. Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
1
Samidjo, 2002. Ilmu Negara. Bandung: Armico. Hal.27
Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana. Hal 102
3
Samidjo, op. cit.
2
Universitas Sumatera Utara
negara adalah suatu organisasi yang hidup yang harus mengalami segala peristiwa
yang menjadi pengalamannya tiap-tiap benda yang hidup.4
Di satu sisi, negara dapat dilihat sebagai organisasi melalui mana aparat
kolektif mengejar tujuan tertentu dan secara efektif merealisasikannya dengan
sedikit banyak menggunakan sumber negara yang tersedia dalam hubungannya
dengan setting social (kapasitas negara). Di sisi lain, negara dapat dilihat secara
lebih makroskopis sebagai konfigurasi dari organisasi dan tindakan yang
memengaruhi arti dan metode politik dari semua kelompok dan kelas dalam
masyarakat5(otonomi negara).
Kemudian masyarakat yang sudah teratur itu meningkat lagi suatu tangga
kesempurnaan, yaitu anggota-anggota masyarakat yang menundukkan dirinya
bersama-sama dengan permufakatan terlebih dahulu atau tidak, kepada suatu
pemerintahan yang kekuasaannya dipegang oleh seorang kepala negara yang
mereka akui bersama-sama, dengan mempunyai pola batas-batas tertentu.6
Kepala negara dalam hal ini merupakan pemerintah yang berperan dalam
melakukan kegiatan-kegiatan politik dalam suatu negara. Pemerintah menentukan
berbagai kebijakan yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan masyarakat atau
negara, memperkirakan arah perkembangan masyarakat masa mendatang dan
mempersiapkan langkah-langkah kebijakan untuk menyongsong perkembangan
masyarakat serta mengelola dan mengarahkan masyarakat kepada tujuan yang
telah ditetapkan. Oleh karena itu, pemerintah merupakan aktor yang menjalankan
4
Ibid. Hal.28
Damsar. Op. cit. Hal 100
6
Samidjo. Op. cit. Hal.28
5
Universitas Sumatera Utara
roda pemerintahan yakni menjalankan segala kegiatan yang berkaitan erat dengan
tugas dan kewenangan negara.7
Klasifikasi dari berbagai bentuk-bentuk pemerintahan telah menjadi salah
satu prinsip yang paling mendasar yang terkait dengan masalah analisis politik
dalam kehidupan politik umumnya dan dalam proses politik khususnya. Dalam
proses politik tersebut, kiranya kita dapat menelusuri ke belakang terutama pada
era abad 4 SM pada saat Aristoteles (384-223) SM yang pertama kali berusaha
untuk menggambarkan regime politik yakni dengan menggunakan istilah
demokrasi, oligarki dan tirani. Kemudian berlanjut pada abad 18-an, berkembang
dan diklasifikasikannya regime politik tersebut ke dalam bentuk monarcy, atau
republic atau sebagai otokrasi atau sebagai rezim konstitusional. Selanjutnya pada
abad 29-an, menunjukkan perbedaan yang sangat tajam dibandingkan dengan era
sebelumnya yakni pertentangan dan konflik di dalam bangunan peta politik
internasional antara demokrasi, autoriterianisme dan totalitarisme. Dan dalam
perkembangan yang lebih modern, adalah ketika jatuhnya rezim komunisme Uni
Soviet (US) tahun 1989 serta kebangkitan negara-negara Asia Timur dalam
bidang ekonomi dan politik kemudian disusul dengan kebangkitan politik negaranegara Islam.8
Rezim dalam pengertian ilmiahnya sebagaimana yang dirumuskan oleh
Krosner, rezim lebih dikaitkan dengan kaidah-kaidah, prinsip-prinsip, normanorma, aturan-aturan dan prosedur dalam pengambilan keputusan yang dianut
7
8
Anthonius P Sitepu, Teori-Teori Politik. Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012, Hal. 148.
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
oleh penguasa negara. Oleh karena itu, istilah rezim dalam konteks ini adalah
sebagai bentuk sistem pemerintahan atau kekuasaan dalam pemerintahan,
cenderung diartikan dengan individu atau kelompok individu yang berkuasa di
dalam negara.9
Individu ataupun kelompok individu yang berkuasa dalam suatu negara ini
sering disebut elit politik. Elit politik ini merupakan orang-orang yang berhasil
yang mampu menduduki jabatan-jabatan tinggi dan dalam lapisan masyarakat.
Elit politik terdorong untuk memainkan peranan aktif dalam politik sebagaimana
menurut para teoritisi politik karena ada dorongan kemanusiaan yang tidak
terhindarkan atau diabaikan untuk meraih kekuasaan. Politik bagi mereka
merupakan permainan kekuasaan dan karena para individu menerima keharusan
untuk melakukan sosialisasi serta penanaman nilai guna menemukan ekspresi bagi
pencapaian kekuasaan tersebut.10
Mengkaji elite politik, selalu menarik perhatian karena mengingat kajian
yang demikian memiliki keterkaitan dengan konstruksi sosial dan pemahaman
terhadap sistem politik siapa yang memerintah dan siapa yang seharusnya
memerintah. Oleh karena itu pembicaraan tentang elite mengundang perhatian
terhadap masalah-masalah penguasa negara yang dalam hal ini kepala negara
maupun kepala pemerintahan.
Mosca percaya dengan teori pergantian elite seperti halnya dengan
Vilfredo pareto maka dengan demikian yang membedakan karakteristik elite
9
Budi Suryadi, Sosiologi Politik: Sejarah, Defenisi dan Perkembangan konsep,
Yogyakarta, 2007, Hal. 83.
10
Anthonius P Sitepu, Op. cit. Hal 81-82
IRCiSoD,
Universitas Sumatera Utara
adalah kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik “sekali kelas
yang memerintah tersebut kehilangan akan kecakapannya dan orang-orang diluar
kelas tersebut menunjukkan kelas yang lebih baik maka terdapat segala
kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh
kelas penguasa yang baru. Gaetano mosca percaya bahwa pada sejenis hukum
yang mengatakan bahwa dalam elite yang berkuasa, tidak lagi mampu
memberikan layanan-layanan yang diperlukan oleh massa, atau layanan yang
diberikannya dianggap tidak lagi memiliki nilai, atau muncul agama yang baru,
atau terjadi perubahan-perubahan pada kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam
masyarakat maka perubahan-perubahan adalah sesuatu yang tidak dapat
dihindarkan. Gaetano Mosca tidak saja mengajukan alasan-alasan sosiologis. Ia
menunjukkan kaitan perubahan di dalam lingkungan masyarakat dengan sifat-sifat
individu. Rumusan kepentingan dan cita-cita baru yang menimbulkan persoalanpersoalan baru misalnya akan semakin mempercepat pergantian elite.11
Oleh sebab itu, berbagai upaya dilakukan oleh elite yang berkuasa untuk
mempertahankan kekuasaannya lewat konsistensi dalam menjalankan kontrol
politik dan mempertahankan kecakapannya. Salah satu upaya yang dapat kita lihat
yaitu elite politik dalam hal ini pemimpin dalam suatu negara menunjukkan sosok
kharisma dalam dirinya. Menurut Weber, jika para pengikut mendefinisikan
pemimpin mereka sebagai
seseorang yang berkharisma, maka ia cenderung
sebagai pemimpin kharismatik terlepas dari benar-tidaknya ia memiliki ciri yang
11
Ibid. Hal 85
Universitas Sumatera Utara
menonjol. Yang krusial dalam proses ini adalah ketika seorang pemimpin
dipisahkan dari orang biasa dan diperlakukan seolah-olah ia memiliki kekuatan
atau kualitas supranatural, supermanusia atau sekurang-kurangnya kekuatan tidak
lazim yang tidak dimiliki oleh orang biasa. Kharisma lebih sebagai konstruksi
ketimbang realitas di dalam dirinya. 12
Menurut Weber, kharisma terjadi saat terdapat sebuah krisis sosial,
seorang pemimpin muncul dengan sebuah visi radikal yang menawarkan sebuah
solusi untuk krisis itu, pemimpin menarik pengikut yang percaya pada visi itu,
mereka mengalami beberapa keberhasilan yang membuat visi itu terlihat dapat
dicapai, dan para pengikut dapat mempercayai bahwa pemimpin itu sebagai orang
yang luar biasa. Pemimpin seperti ini terlihat memiliki kelebihan- kelebihan
secara personal seperti intelektualitas, keberanian, pengorbanan dan kepiawaian
sehingga bisa menyatukan masyarakat untuk keluar dari berbagai persoalan yang
melilit. Seorang yang berkharisma merupakan orang yang menciptakan suatu
perubahan eksistensial.
12
Kharisma adalah kata dalam bahasa Yunani yang berarti “berkat yang terinspirasi secara agung
atau dengan bahasa lain yakni anugerah”, atau dalam bahasa Kristen yakni rahmat (grace), seperti
kemampuan untuk melakukan keajaiban atau memprediksikan peristiwa masa depan, sehingga
melahirkan suatu perubahan yang radikal. Konsep kharismatik (charismatic) atau kharisma
(charisma) menurut Weber lebih ditekankan kepada kemampuan pemimpin yang memiliki
kekuatan luar biasa dan mistis. Menurutnya, ada lima faktor yang muncul bersamaan dengan
kekuasaan yang kharismatik, yaitu : Adanya seseorang yang memiliki bakat yang luar biasa,
adanya krisis sosial, adanya sejumlah ide yang radikal untuk memecahkan krisis tersebut, adanya
sejumlah pengikut yang percaya bahwa seseorang itu memiliki kemampuan luar biasa yang
bersifat transendental dan supranatural, serta adanya bukti yang berulang bahwa apa yang
dilakukan itu mengalami kesuksesan. Lihat, Betti R. Scharf, Kajian Sosiologi Agama, terj.
Machnun Husein, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1995, hlm. 206.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu hal penting yang patut untuk diulas yakni
persoalan
kepemimpinan kharismatik (charismatic leadership) yang merupakan cenderung
terhadap konsep politik. Hal ini penting mengingat peran dunia politik merupakan
suatu aturan permainan yang bermain dalam ranah kekuasan dan hal itu cukup
menjadi hal yang kompetitif dalam masyarakat ketika sudah menyangkut
persoalan kekuasaan. Kepemimpinan kharismatik menjadi salah satu faktor
khusus yang perlu dipertimbangkan dalam suatu pemetaan akan seorang
pemimpin yang nantinya akan memiliki legalitas-otoritas untuk menentukan suatu
kebijakan.13
Tipe kepemimpinan kharismatik dapat diartikan sebagai kemampuan
menggunakan
keistimewaan
atau
kelebihan
sifat
kepribadian
dalam
mempengaruhi pikiran, perasaan dan tingkah laku orang lain, sehingga dalam
suasana batin mengagumi dan mengagungkan pemimpin bersedia berbuat sesuatu
yang dikehendaki oleh pemimpin. Pemimpin disini dipandang istimewa karena
sifat-sifat kepribadiannya yang mengagumkan dan berwibawa. Dalam kepribadian
itu pemimpin diterima dan dipercayai sebagai orang yang dihormati, disegani,
dipatuhi dan ditaati secara rela dan ikhlas. Kepemimpinan kharismatik
menginginkan anggota organisasi sebagai pengikutnya untuk mengadopsi
pandangan pemimpin tanpa atau dengan sedikit mungkin perubahan.14
Fenomena akan diikutinya pemimpin oleh anggota kelompoknya bukanlah
sesuatu yang baru saja terjadi. Sebagai seorang pemimpin tentu besar keinginan
13
Ibid. Hal 207
Hurin In Lia Amalia Qori, Kepemimpinan Karismatik Versus Kepemimpinan Transformasional.
Analisa, Vol. 1, No. 2 (Agustus 2013). hal 72.
14
Universitas Sumatera Utara
untuk diikuti oleh pengikutnya bahkan dijadikan inspirasi. Inilah yang juga
membuat para pemimpin ataupun calon pemimpin berlomba-lomba memperbaiki
karakteristik
dirinya
untuk
memiliki
kelebihan
menginspirasi
anggota
kelompoknya dalam berpikir, berbicara bahkan bertingkah laku. Kemampuan
untuk menginspirasi anggotanya itulah yang sering disebut sebagai kemampuan
sakti yang dinamakan kharisma oleh beberapa tokoh.15
Hal-hal yang telah disebut diatas sebagai indikator dikatakan pemimpin
karismatik juga telah dipraktekkan di Indonesia. Sejak Indonesia merdeka,
presiden-presiden Indonesia memiliki sisi kharismatiknya masing-masing hingga
saat ini. Seperti Presiden Soekarno, adalah bapak proklamator, seorang orator
ulung yang bisa membangkitkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia. Beliau
memiliki gaya kepemimpinan yang sangat populis, bertempramen meledak-ledak,
tidak jarang lembut dan menyukai keindahan. Gaya kepemimpinan yang
diterapkan oleh Ir. Soekarno berorientasi pada moral dan etika ideologi yang
mendasari negara atau partai, sehingga sangat konsisten dan sangat fanatik, cocok
diterapkan pada era tersebut. Sifat kepemimpinan yang juga menonjol dan Ir.
Soekarno adalah percaya diri yang kuat, penuh daya tarik, penuh inisiatif dan
inovatif serta kaya akan ide dan gagasan baru. Sehingga pada puncak
kepemimpinannya, pernah menjadi panutan dan sumber inspirasi pergerakan
kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia dan Afrika serta pergerakan melepas
ketergantungan dari negara-negara Barat (Amerika dan Eropa). Ir. Soekarno
15
Dikutip dari tesis Alyanti Fransisca, Model komunikasi Kharismatik Presiden-Presiden
Indonesia. Universitas Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 1
Universitas Sumatera Utara
adalah pemimpin yang kharismatik, memiliki semangat pantang menyerah dan
rela berkorban demi persatuan dan kesatuan serta kemerdekaan bangsanya.
Demikian juga dengan gaya kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan
gabungan dari gaya kepemimpinan proaktif-ekstraktif dengan adaptif-antisipatif,
yaitu gaya kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat
tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta mempunyai visi yang jauh
ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian.
Presiden
Soeharto juga cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang lebih
reaktif dibanding proaktif. Ia lebih sering memberikan tanggapan atau respon
terhadap pernyataan orang lain dibanding menunjukkan gagasan/pemikirannya
sendiri. Soeharto digambarkan sebagai pemimpin yang memiliki fleksibilitas
dalam melaksanakan tugas dan fungsi kepemimpinannya. Presiden Soeharto
cenderung menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang lebih sering memberikan
perhatian sangat umum terhadap lingkup pembangunan nasional. Presiden
Soeharto digambarkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, yang menerapkan
gaya kepemimpinan koersif, yang selalu menginginkan agar perintah dan
instruksinya dipatuhi orang lain dengan segera. Presiden Soeharto adalah seorang
pemimpin yang sederhana, tidak suka menonjolkan diri di hadapan orang lain.
Ketika berbicara dengan orang lain atau menyampaikan pesan-pesan kepada
bawahan atau orang-orang yang dipimpinnya dalam berbagai organisasi, ia tidak
suka menunjukkan keberhasilan atau jasa-jasa yang dimilikinya.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian Presiden B.J. Habibie merupakan orang yang cerdas tapi terlalu
lugu dalam politik. kepemimpinan Presiden Habibie adalah gaya kepemimpinan
dedikatif-fasilitatif, merupakan sendi dan kepemimpinan demokratik. sangat
terbuka dalam berbicara, akrab dalam bergaul, sangat detail, gaya komunikasinya
penuh spontanitas, meletup-letup, cepat bereaksi, tanpa mau memikirkan
resikonya, ia cenderung bertindak atau mengambil keputusan secara cepat.
Kemudian Presiden Abdurahman Wahid merupakan seorang kiai yang
sangat liberal dalam pemikirannya, penuh dengan ide, sangat tidak disiplin, dan
berkepemimpinan ala LSM. Gaya kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid
adalah gaya
kepemimpinan responsif-akomodatif,
yang berusaha
untuk
mengagregasikan semua kepentingan yang beraneka ragam yang diharapkan dapat
dijadikan menjadi satu kesepakatan atau keputusan yang memiliki keabsahan.
Kemudian
Presiden
Megawati
Soekarno
Putri,
seorang
yang
berpenampilan tenang dan tampak kurang acuh dalam menghadapi persoalan.
Gaya kepemimpinan Presiden Megawati yang anti kekerasan, cukup demokratis,
tampak agak formal, santun dalam setiap penampilan dan apik berbusana.
Demikian juga Presiden Susilo Bambang Yudoyono sebagai pemimpin yang
mampu mengambil keputusan kapanpun, di manapun, dan dalam kondisi apapun,
Sosok yang demokratis, menghargai perbedaan pendapat. Penampilannya yang
berwibawa dan pemikirannya yang rasional serta visioner ke depan. 16
16
http://www.kompasiana.com/hennysovya/mengenal-gaya-kepemimpinan-presiden-di
indonesia_552c5c1c6ea834f7738b4571
Universitas Sumatera Utara
Dari keenam presiden yang telah penulis sebutkan diatas memiliki gaya
kepemimpinan yang bervariasi dan berbeda satu sama lain. Namun setiap presiden
tersebut tetap dikategorikan sebagai elit politik dengan figur yang santun,
berwibawa, kuat dan tegas sebagaimana pemimpin pada umumnya yang telah
didefenisikan
sebelumnya.
Dengan
demikian,
tampaknya
selama
ini
kepemimpinan di Indonesia masih didominasi oleh kepemimpinan yang berfigur
santun, berwibawa, kuat dan tegas, sangat jarang terdapat kepemimpinan yang
mampu menunjukkan figur yang berbeda dari yang sebelumnya.
Seperti dalam jajak pendapat yang dilakukan Kompas tahun 2013,
menunjukkan
bahwa
kepercayaan
publik
pada
penyelenggaraan
negara
mengalami penurunan. Publik cenderung tidak puas pada kepemimpinan di negara
ini. Publik akhirnya mengharapkan gaya kepemimpinan yang baru. Jajak Pendapat
Kompas melakukan penonjolan pada kondisi masyarakat yang mengalami krisis
orientasi kepemimpinan. Teks ini juga menjelaskan bahwa saat ini publik tengah
berada dalam kondisi krisis orientasi akan hadirnya pemimpin yang diidamkan. 17
Uniknya, Kemunculan Jokowi membawa fenomena baru dalam kancah
kepemimpinan politik di Indonesia. Kebaruan dari sosok gubernur DKI tahun
2012 yang paling menonjol adalah gaya Jokowi blusukan (berjalan-jalan
ditempat-tempat sempit) ke kampung-kampung padat penduduk di Jakarta.
Jokowi dengan senang hati menemui warganya guna mengetahui secara langsung
17
Ignatius Eggi Reza Putra / Mario Antonius Birowo. Konstruksi Pemimpin Nasional Dalam Surat
Kabar Harian Kompas (Analisis Framing Laporan Jajak Pendapat KOMPAS dengan Topik
Kepemimpinan Nasional Periode 2009-2012), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta 2013, Hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
permasalahan yang dihadapi masyarakat Jakarta. Dengan mata telanjang, orang
dapat melihat betapa Jokowi menjalin komunikasi dengan warganya tanpa jarak.
Pengawalan minimum bagi Jokowi menjadikan dirinya lebih leluasa menyapa
warganya, sebaliknya warga masyarakat juga leluasa untuk menyampaikan
berbagai aspirasinya secara langsung kepada gubernurnya. Jokowi mendatangi
kampung-kampung, mendatangi ke tempat permasalahan untuk menyelesaikan
masalah. Terbukti Jokowi datang beberapa kali di tempat yang pernah
dikunjunginya, tujuannya satu yaitu memastikan apa yang dijanjikan atau
disepakati sebagai hasil dari kunjungan awal benar-benar ada tindak lanjut atau
ada hasilnya.
18
Gaya kepemimpinan Jokowi menjadi referensi karena terbukti
kekuasaan yang dimilikinya berorientasi pelayanan kepada masyarakat. Jokowi
dengan lihai membangun komunikasi politik untuk terus meningkatkan partisipasi
dan dukungan politik bagi keberhasilannya menjadi memimpin.19 Kemunculan
Jokowi telah membawa wacana dan referensi baru dalam khasanah kepemimpinan
politik di Indonesia. Di tengah maraknya pencitraan elite politik sebagai figur
yang santun, berwibawa, kuat dan tegas, kemunculan Jokowi membuat berbeda.
Jokowi muncul dengan sikap low profil, jujur, dan dekat dengan warga
masyarakat.20
Selama ini dikatakan bahwa kepemimpinan di Indonesia masih didominasi
oleh kepemimpinan yang memiliki figur berwibawa, kuat dan tegas sehingga hal
18
M. Yusuf, A.R, Fenomena Kepemimpinan politik Jokowi. GaneÇ Swara Vol. 7 No. 1(Maret
2013). Universitas Mataram, Hal. 26.
19
Ibid
20
Ibid
Universitas Sumatera Utara
ini membangun wacana dalam masyarakat bahwa pemimpin itu harus memiliki
figur seperti yang telah disebutkan diatas. Namun kehadiran Jokowi dengan
sikapnya yang low profil, jujur, dan dekat dengan warga masyarakat mampu
mengubah opini masyarakat bahwa ternyata pemimpin tidak selamanya harus
bersikap kuat, berwibawa dan mewah. Penulis melihat bahwa Jokowi mencoba
untuk mendekonstruksikan wanaca yang telah ada sebelumnya.
Hal ini semakin menarik ketika dalam Pemilihan Presiden 2014 Jokowi
memiliki gaya kampanye yang berbeda dari kebanyakan kampanye elit politik.
Ditambah lagi Prabowo sebagai lawan Jokowi di pentas politik menunjukkan gaya
kampanye yang sangat bertolak belakang. Keduanya memiliki positioning yang
berbeda satu satu sama lain.21 Jokowi menunjukkan bahwa dirinya memiliki latar
belakang anak tukang kayu, penampilannya yang sederhana, berpakaian kotakkotak yang notabene motif dominan sarung (pakaian rakyat), tanpa protokoler,
blusukan ke tempat becek, sehingga mendapatkan positioning atau tercitra tak
jauh beda dengan rakyat kebanyakan. Sedangkan Prabowo dengan latar
belakangnya sebagai tentara, mantan danjen kopassus dan panglima kostrad,
dengan penampilan berwibawa, berpakaian safari saku empat ala mode pejuang
zaman revolusi, gaya bicara orator berintonasi tinggi, retorika berapi-api, badan
21
Positioning diartikan sebagai sebuah strategi dalam ilmu marketing untuk menciptakan
perbedaan,manfaat dan keuntungan yang membuat konsumen selalu ingat dengan suatu produk.
Konsep positioning inilah yang dalam politik digunakan untuk membangun citra, dengan demikian
politik pencitraan merupakan upaya untuk membangun kepercayaan konsumen terhadap sebuah
pribadi politik. Lihat di Veronika, Ina, Pemasaran Politik Legislatif Pertahanan Dalam
Memenangkan Pemilu Anggota DPDR Kota Kupang. NTT, 2010 Hal. 7, yang dalam konteks
pilpres adalah capres yaitu Jokowi atau Prabowo. Pada hakekatnya, positioning adalah
menanamkan persepsi, identitas, kepribadian capres dalam benak pemilih.
Universitas Sumatera Utara
tegap gagah perwira, merupakan upaya agar terbangun persepsi sebagai sosok
pahlawan, satria, penyelamat negara.
Berdasarkan positioning kedua calon presiden yang kontradiksi diatas dan
juga Jokowi yang muncul sebagai pemimpin yang memiliki figur yang berbeda
dari wacana yang telah terbangun selama ini, maka penulis tertarik untuk
menganalisis aktivitas politik Jokowi selama masa kampanye pada pemilihan
presiden 2014.
1.2 Perumusan Masalah
Tingginya persaingan politik dalam pemilihan presiden 2014 menjadikan
kegiatan kampanye menjadi kegiatan sangat penting untuk kandidat calon
presiden. Berbagai strategi dalam politik digunakan untuk membangun citra,
dengan demikian politik pencitraan merupakan upaya untuk membangun
kepercayaan konsumen terhadap sebuah pribadi politik. Dua calon presiden
Jokowi dan Prabowo menunjukkan kepribadian yang sangat berbeda. Jokowi
dalam kampanyenya menunjukkan strategi unik yang belum pernah digunakan
dalam kampanye di Indonesia. Strategi unik ini ternyata mampu dalam
membongkar wacana sosok pemimpin di Indonesia dalam hal kepribadian
pemimpin yang tegas, mewah, berwibawa. Sehingga menarik untuk meneliti
aktivitas politik Jokowi selama masa kampanye pemilihan presiden 2014 dengan
menggunakan metode analisis wacana. Dengan begitu, pertanyaan penelitian
dalam masalah ini adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Apa yang ingin ditunjukkan Jokowi melalui aktivitas politiknya selama
masa kampanye pada pemilihan presiden 2014?
2. Wacana apa yang ingin ditunjukkan oleh Jokowi melalui aktivitas
politiknya?
3. Bagaimana dekonstruksi wacana yang ditunjukkan Jokowi melalui
aktivitas politiknya di masa kampanye pemilihan presiden 2014?
1.3 Pembatasan Masalah
Untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian dengan tujuan
agar dapat menghasilkan uraian yang sistematis, diperlukan adanya pembatasan
masalah. Oleh karena itu, penelitian ini hanya sebatas menganalisis kegiatan
Jokowi pada masa kampanye menjelang pemilihan presiden 2014 dari analisis
semiotika, wacana dalam perspektif Foucault dan dari dekonstruksi Jacques
Derrida.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut
:
1. Untuk mengetahui apa yang ingin ditunjukkan oleh Jokowi melalui
aktivitas politiknya selama masa kampanye pada pemilihan presiden 2014.
Kita dapat melihat bagaimana Jokowi membangun wacana dalam aktivitas
politiknya dengan mengetahui apa yang ingin ditunjukkan oleh Jokowi
dari aktivitas politik tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk mengetahui wacana apa yang ingin ditunjukkan oleh Jokowi
melalui aktivitas politiknya.
3. Untuk mengetahui bagaimana dekonstruksi wacana yang ditunjukkan
Jokowi melalui aktivitas politiknya di masa kampanye pemilihan presiden
2014
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik kepada
penulis maupun kepada penulis maupun kepada orang lain yang membacanya,
terlebih lagi untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Adapun yang menjadi
manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat menambah khasanah ilmu
pengetahuan dan menjadi sebuah kajian ilmiah di bidang ilmu politik
khususnya dalam komunikasi politik tentang dekonstruksi wacana Jokowi
dalam kampanye politik menjelang pemilihan presiden 2014.
2.
Secara akademis, penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tidak
hanya bagi peneliti, tetapi juga bagi akademisi lainnya di berbagai
tingkatan pendidikan.
1.6 Kerangka Teori
Sebagai penelitian yang baik dan benar, landasan teori merupakan suatu
yang sangat penting dalam penulisan karya ilmiah. Fungsi dari teori ini sebagai
suatu landasan berpikir dalam menganalisis sebuah fenomena yang sedang diteliti.
Dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1.6.1 Semiotika
Semiotika atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu
yang sama. Istilah ini berasal dari kata Yunani semeion yang berarti „tanda‟ atau
„sign‟dalam bahasa Inggris itu adalah
ilmu yang mempelajari sistem tanda
seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. 22
Secara sederhana semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Semiotika
mempelajari tentang sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.23
Dalam pengertian yang hampir sama disebutkan bahwa semiotika adalah
studi tentang bagaimana bentuk-bentuk simbolik diinterpretasikan. Kajian ilmiah
mengenai pembentukan makna.24 Secara substansial, semiotika adalah kajian yang
berfokus dengan dunia simbol. Alasannya seluruh isi media massa pada dasarnya
adalah bahasa (verbal), sementara itu bahasa merupakan dunia simbolik.25
Semiotika modern mempunyai dua bapak, yaitu yang satu Charles Sanders
Pierce (1857-1914), yang lain Ferdinand De Saussure (1857-1913). Tugas utama
peneliti semiotik adalah mengamati (observasi) terhadap fenomena-gejala di
sekelilingnya melalui berbagai “tanda” yang dilihatnya. Tanda sebenarnya
representasi dari gejala yang memiliki sejumlah kriteria seperti : Nama (sebutan),
peran, fungsi, tujuan, keinginan. Tanda tersebut berada pada kehidupan manusia.
22
www.wikipedia.com, artikel diakses pada 09 Maret 2010.
Kriyantono Rachmat, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Kencana Predana Madia Group, Jakarta
2006, Hal. 261-162.
24
Lull James, Media, Komunikasi, Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, (Terj) A. Setiawan
Abdi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997, hal. 232.
25
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2009, Hal. 81.
23
Universitas Sumatera Utara
Dan menjadi sistem tanda yang digunakannya sebagai pengatur kehidupannya.
Oleh karenanya tanda-tanda itu (yang berada pada sistem tanda) sangatlah akrab
dan bahkan melekat pada kehidupan manusia yang penuh makna (meaningful
action) seperti teraktualisasi pada bahasa, religi, seni sejarah, ilmu pengetahuan.
Tanda terdapat dimana-mana: kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat,
lampu merah lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur
film, bangunan dan nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda.
Dalam pandangan Saussure, makna sebuah tanda sangat dipengaruhi oleh
tanda yang lain. Semiotika berusaha menggali hakikat sistem tanda yang beranjak
keluar kaidah tata bahasa dan sintaksis dan mengatur arti teks yang rumit,
tersembunyi, dan bergantung pada kebudayaan. Hal ini kemudian menimbulkan
perhatian pada makna tambahan (connotative) dan arti penunjukan (denotative)
kaitan dan kesan yang ditimbulkan dan diungkapkan melalui penggunaan dan
kombinasi tanda. Pelaksanaan hal itu dilakukan dengan mengakui adanya mitos
yang telah ada dan sekumpulan gagasan yang bernilai yang berasal dari
kebudayaan dan disampaikan melalui komunikasi.
Pada dasar penjelajahan semiotik sebagai sebuah kajian ke dalam berbagai
cabang keilmuan, dimungkinkan karena adanya kecenderungan untuk memandang
sebagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa
dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotik,
bila seluruh praktek sosial dapat dianggap sebagai tanda-tanda. Hal ini
dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Ada seorang pengikut Saussure, Roland Barthes, membuat sebuah model
sistematis dalam menganalisis makna dari tanda-tanda. Fokus perhatian Barthes
lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikansi dua tahap (two order of
signification).26
1.6.1.1 Konsep Semiotika Roland Barthes
Salah satu cara yang digunakan para pakar untuk membahas lingkup
makna yang lebih besar adalah dengan membedakan makna denotatif dengan
makna konotatif. Two Order of Signification (signifikasi dua tahap atau dua
tatanan pertandaan) Barthes terdiri dari Firt order of signification yaitu denotasi,
dan second order of signification yaitu konotasi. Tatanan yang pertama mencakup
penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna
denotasi.27
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara
tanda dan rujukan pada realitas yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan
pasti. Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan
antar penanda dan petanda, yang didalamnya beroperasi makna yang bersifat
implisit dan tersembunyi. 28
26
Ibid. Hal 127
M Anthonius Birowo. Metode Penelitian Komunikasi:Teori dan aplikasi, Hal 57
28
Christomi Tommy, Semiotika Budaya, UI, Depok, 2004, hal. 94.
27
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Peta Tanda Roland Barthes :
1. Signifier (Penanda)
2. Signified (petanda)
3. Denotative Sign (tanda denotatif)
4. Connotative signifier (Penanda
konotatif)
5. Connotative signified (Petanda
konotatif)
6. Connotative sign (tanda konotatif)
Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi ada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur
material: hanya jika anda mengenal tanda “sign”, barulah konotasi seperti harga
diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin.29
Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang berarti bagi
penyempurnan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dan tatanan
denotatif. Konotasi dan denotasi sering dijelaskan dalam istilah tingkatan
representasi atau tingkatan nama. Secara ringkas, denotasi dan konotasi dapat
dijelaskan sebagai berikut.30
a. Denotasi adalah interaksi antara signifier dan signified dalam sign, dan
antar sign dengan referent (objek) dalam realitas eksternal.
29
30
Alex Sobur. Op. cit. Hal 69
M. Antonius Birowo. Op. cit. Hal 57
Universitas Sumatera Utara
b. Konotasi adalah interaksi yang muncul ketika sign bertemu dengan
perasaan atau emosi pembaca atau pengguna dan nilai-nilai budaya
mereka. Makna menjadi subjektif atau intersubjektif. Tanda lebih terbuka
dalam penafsirannya pada konotasi daripada denotasi.
Secara sederhana, denotasi dijelaskan sebagai kata yang tidak mengandung
makna atau perasaan-perasaan tambahan. Maknanya disebut makna denotatif.
Makna denotatif memiliki beberapa istilah lain seperti makna denotasional, makna
referensial, makna konseptual, atau makna ideasional. Sedangkan konotasi adalah
kata yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu
disamping makna dasar yang umum. Konotasi atau makna konotatif disebut juga
makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif.31
Denotasi dan konotasi tidak bisa dilihat secara terpisah atau berdiri sendiri.
Sebuah tanda yang kita lihat pasti atau suatu denotasi. Makna denotasi adalah apa
yang kelihatan pada gambar, dengan kata lain dengan sendirinya memunculkan
denotasi. Denotasi dengan sendirinya akan menjadi konotasi dan untuk
selanjutnya konotasi justru menjadi denotasi ketika konotasi tersebut sudah umum
digunakan dan dipahami bersama sebagai makna yang kaku.
31
AS Haris Sumanrdiria, Bahasa Jurnalistik: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, Simbiosa
Rekatama Media, Bandung, 2006, Hal. 27-28.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Signifikasi Dua tahap Barthes
Melalui gambar ini Barthes, seperti dikutip Fiske menjelaskan: signifikasi
tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah
tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebgai denotasi, yaitu
makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes
untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi
yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta
nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau
paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain denotasi adalah apa yang
digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana
menggambarkannya.
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja
melalui mitos (Myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau
memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan
produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi.
Universitas Sumatera Utara
1.6.2 Wacana dalam Perspektif Foucault
Tokoh analisis wacana kritis yang memberi banyak perhatian secara khas
adalah Michael Foucault (1926-1984), seorang filosof kekuasaan berkebangsaan
Prancis.32 Salah satu yang menarik dari konsep Foucault adalah tesisnya mengenai
hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Foucault mendefinisikan kuasa
agak berbeda dengan beberapa ahli lain. Kuasa menurut Foucault tidak dimiliki
tetapi dipraktikkan dalam ruang lingkup dimana banyak posisi yang secara
strategis berkaitan satu sama lain. Bagi Foucault, kekuasaan selalu terakulasikan
lewat
pengetahuan
Penyelenggaraan
dan
pengetahuan
kekuasaannya,
menurut
selalu
mempunyai
Foucault,
selalu
efek
kuasa.
memproduksi
pengetahuan sebagai basis dari kekuasaannya. Kekuasaan memprodusir
pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada
pengetahuan tanpa kuasa dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan.
Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat
pengetahuan dan wacana tertentu.
33
Wacana tertentu menghasilkan kebenaran
dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran disini
dikatakan oleh Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit,
bukan juga sebuah konsep yang abstrak. Akan tetapi, ia diproduksi, setiap
kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui
mana
khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut.
32
D. Jupriono, Yudhi Hari Wibowo, & Linusia Marsih, Teks Berita Konflik Pekerja PT Freeport
Indonesia: Analisis Wacana Kritis Foucault. Parafrase. Vol.3 No. 1 (Februari), Hal 55.
33
George Junus Aditjondro, Pengetahuan-Pengetahuan Lokal yang Tertindas, jurnal kalam,
1994, Hal. 59.
Universitas Sumatera Utara
Disini, setiap kekuasaan selalu berpotensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu
yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan.
Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama
melalui normalisasi dan regulasi. Publik tidak dikontrol lewat kekuasaan yang
sifatnya fisik, tetapi dikontrol, diatur, dan disiplinkan lewat wacana. Kekuasaan
dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial, dimana
memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku sebagai baik atau buruk,
sebagai bentuk pengendalian perilaku. Jadi khalayak ditundukkan bukan dengan
cara kontrol yang bersifat langsung dan fisik, tetapi dengan wacana dan
mekanisme, berupa prosedur, aturan, tata cara, dan sebagainya. 34
Melalui wacana, hubungan antara kekuasaan di satu sisi dengan
pengetahuan di sisi yang lain terjadi. Foucoult mengatakan bahwa hubungan
antara simbol dan yang di simbolkan itu bukan hanya referensial, melainkan juga
produktif dan kreatif. Simbol yang dihasilkan wacana itu antara lain melalui
bahasa, moralitas, hukum, dan lainnya, yang tidak hanya mengacu pada sesuatu,
melainkan turut menghasilkan perilaku, nilai-nilai dan ideologi. Kehidupan bukan
diatur lewat serangkaian represi, melainkan melalui kekuatannya memberikan
defenisi dan melakukan regulasi. Berbagai regulasi itu diantaranya yang
menentukan kita, memilah, mengklasifikasikan, dan menggolongkan mana yang
benar dan mana yang salah, mana yang harus dilakukan dan mana yang harus
dihindari, mana yang sah mana yang tidak. Hubungan kita dengan realitas diatur
34
Ibid. Hal 67-68
Universitas Sumatera Utara
melalui berbagai wacana, yang menentukan bagaimana seharusnya dan sebaiknya
kita bertindak, membentuk kepercayaan-kepercayaan, konsep, dan ide-ide yang
kita anut. Melalui wacana, individu bukan hanya didefenisikan tetapi juga
dibentuk, dikontrol, dan di disiplinkan.35
Menurut Foucault, pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam
batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif tersebut: wacana
dicirikan oleh batasan bidang dari objek, defenisi dari perspektif yang paling
dipercaya dan dipandang benar. Persepsi kita tentang suatu objek dibentuk dengan
dibatasi oleh praktek diskursif: dibatasi oleh pandangan yang mendefenisikan
sesuatu bahwa yang ini benar dan yang lain tidak. Wacana tertentu membatasi
pandangan khalayak, mengarahkan pada jalan pikiran tertentu dan menghayati itu
sebagai sesuatu yang benar. Wacana membatasi pandangan kita, mengeluarkan
sesuatu yang berbeda dalam batas-batas yang telah ditentukan. Ketika aturan dari
wacana dibentuk, pernyataan kemudian disesuaikan dengan garis yang telah
ditentukan. Disini pernyataan yang diterima dimasukkan dan mengeluarkan
pandangan yang tak diterima tentang suatu objek. Objek bisa jadi tidak berubah,
tetapi struktur diskursif yang dibuat membuat objek menjadi berubah.36
Menurut Michel Foucault, ciri utama wacana ialah kemampuannya untuk
menjadi suatu himpunan wacana yang berfungsi membentuk dan melestarikan
hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam suatu masyarakat
biasanya terdapat berbagai macam wacana yang berbeda satu sama lain, namun
35
36
Ibid. Hal 71-72
Ibid. Hal 73-74
Universitas Sumatera Utara
kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga wacana tersebut
menjadi dominan, sedangkan wacana lainnya akan “terpinggirkan”(marginalized)
atau “terpendam”(submerged). 37
Ada dua konsekuensi dari wacana dominan tersebut. Pertama, wacana
dominan memberikan arahan bagaimana suatu objek harus dibaca dan dipahami.
Pandangan yang lebih luas menjadi terhalang, karena ia membarikan pilihan yang
tersedia dan siap pakai. Pandangan dibatasi hanya dalam batas-batas struktur
diskursif tersebut, tidak dengan yang lain. Kedua, struktur diskursif yang tercipta
atas suatu objek tidaklah berarti kebenaran. Batas-batas yang tercipta tersebut
bukan hanya membatasi pandangan kita, tetapi juga menyebabkan wacana lain
yang tidak dominan menjadi terpinggirkan.38
Proses terpinggirkannya wacana dalam proses pemberitaan ini membawa
beberapa implikasi. Pertama, khalayak tidak diberi
kesempatan untuk
mendapatkan informasi yang beragam dari berbagai sudut mengenai suatu
peristiwa. Disini tidak harus dikatakan bahwa wacana yang terpinggirkan adalah
wacana yang benar mengenai suatu peristiwa, tetapi karena tidak banyak ragam
perspektif dari suatu wacana maka dimensi peristiwa tidak lengkap. Kedua, bisa
jadi peminggiran wacana menunjukkan praktek ideologi. 39
37
Ibid. hal 76-77
Ibid. hal 77
39
Ibid. hal 84
38
Universitas Sumatera Utara
1.6.3 Dekonstruksi
Dekonstruksi dikenalkan oleh Jacques Derrida dalam bukunya On
Grammatology, Writing and Différance, dan Dissemination. Dekonstruksi dalam
sastra digunakan untuk menunjukkan pertentangan-pertentangan dalam teks yang
sengaja atau tidak sengaja disembunyikan atau disamarkan, berdasarkan
padamodel atau metode filosofis guna menunjukkan ketidaksesuaian logika yang
secara eksplisit maupun implisit terdapat dalam suatu teks. Metode dekonstruksi
ini pada awalnya diterapkan oleh Derrida terhadap teori lingustik struktural
Ferdinand de Saussure, hal tersebut ditunjukkan oleh Derrida melalui dikotomi
yang dilakukan oleh Ferdinand de Saussure antara bahasa lisan dan tulisan.
Derrida menunjukkan bahwa terdapat kontradiksi-kontradiksi dalam teori
Ferdinand de Sasussure. Dalam tataran eskplisitnya teori Saussure lebih
mengutamakan bahasa lisan, tapi secara implisit teori Saussure mendasarkan diri
pada bahasa tulis sebagai teorinya.
Pemikiran Derrida tidak terlepas dari pengaruh Heidegger, namun
demikian Derrida tidak serta merta melanjutkan pemikiran Heidegger secara
mentah-mentah, melainkan dengan cara mengkritik dan melanjutkan serta
mendirikan pemikirannya sendiri. Satu produk pemikiran Heidegger yang diambil
oleh Derrida adalah mengenai konsep “kehadiran”. Kehadiran dalam bahasa
Derrida adalah “metafisika”. Kehadiran itu akan tampak bila dilihat melalui tanda
karena tanda dalam metafisis memberikan sesuatu yang tidak hadir. Tanda sendiri
akhirnya merujuk pada objek itu sendiri sebagai yang hadir. Tanda berfungsi
Universitas Sumatera Utara
sebagai pengganti yang untuk sementara menunda hadirnya objek itu sendiri.
Kehadiran itu diwujudkan melalui tuturan dan tulisan, dalam tanda-tanda itu.
Kata-kata dapat menunjukkan sesuatu yang lain, begitu juga teks, teks juga
berhubungan dengan teks-teks yang lain.
Derrida pun membuat suatu pemikiran tanda sebagai trace atau jejak. Jejak
itu hanya menunjukkan ke sesuatu yang lain, jejak justru mendahului objeknya.
Berdasarkan hal ini “kehadiran” merupakan sesuatu yang diturunkan dari jejakjejaknya, bukan sesuatu yang murni lagi. Bila jejak itu terhapus, maka
“kehadiran” itu akan lenyap juga.
Kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term
tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna
tunggal. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme, yaitu kecenderungan
untuk mengacu kepada suatu “metafisika” atau “kehadiran” tertentu, suatu
kehadiran objek absolut tertentu. Dengan adanya dekonstruksi, Derrida ingin
membuat kita kritis terhadap teks.
Terdapat beberapa pandangan para ahli mengenai pengertian dekonstruksi.
Kristeva menjelaskan bawa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat
destruktif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai
strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi
semua pernyataan kultural, sebab keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks
yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi,
kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi dengan demikian tidak
Universitas Sumatera Utara
terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan,
melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan
hakikat wacana. 40
Umar Junus memandang dekonstruksi sebagai perspektif baru dalam
penelitian sastra. Dekonstruksi memberikan dorongan untuk menemukan segala
sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian, dan memungkinkan untuk
melakukan penjelajahan intelektual dengan apa saja, tanpa terikat dengan satu
aturan yang dianggap telah berlaku universal. Sedangkan menurut Al-Fayyadl
dekonstruksi adalah terstimoni terbuka kepada mereka yang kalah, mereka yang
terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Maka sebuah dekonstruksi
adalah gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri.41
Dalam pembacaan dekonstruktif, kita diajak untuk tidak mencari makna
yang
sebenarnya
dari
teks,
melainkan
hanya
ingin
mencari
ketidakutuhan/kegagalan suatu teks yang berupaya menutup diri dengan makna
yang terkandung di dalamnya, artinya hanya ingin menumbangkan susunan
hierarki yang menstrukturkan teks.42 Dengan kata lain bahwa dekonstruksi
mengajak pembaca untuk menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang
turut membangun teks, tidak ada dominasi makna dalam sebuah teks, makna tidak
berhenti dalam satu titik melainkan terus bergerak. seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa suatu yang dominan bukan merupakan suatu kebenaran
40
Julia Kristeva, Desire in Language a Semiotic Approach to Literature and Art. Oxford: Basil
Blackwell. 1980
41
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, LKiS, Yogyakarta, 2015, hal. 232.
42
Christoper Norris, Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Terjemahan Inyiak
Ridwan Muzir, Ar-Ruzz media, Yogyakarta, 2009, Hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
tunggal, artinya bahwa makna tidak berhenti pada satu titik saja, melainkan terus
bergerak secara terus-menerus. Berdasarkan hal itu, dekonstruksi pada dasarnya
tidak memberikan satu pusat yang baru, melainkan hanya berusaha mencari celahcelah secara terus menerus.
Dekonstruksi secara garis besar bisa disimpulkan sebagai cara untuk
membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita
selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita.
Dekonstruksi bisa dikatakan sebagai sebuah metode pembacaan teks, dengan
dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan
anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual
artinya bahwa anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna tunggal.
Anggapan tersebut hadir sebagai trace (jejak) yang bisa dirunut pembentukannya
dalam sejarah.
1.6.4 Kampanye
Istilah kampanye sebenarnya diambil dari istilah militer, yaitu serangkaian
kegiatan dalam upaya menghancurkan kekuatan dan mental musuh. Sementara itu
menurut Rogers dan Storey seperti yang dikutip oleh Antar Venus dalam bukunya
Manajemen Kampanye menjelaskan bahwa kampanye adalah ”Serangkaian
tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu
pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun
waktu tertentu”.43 Hal ini berarti bahwa kampanye adalah alat komunikasi bagi
43
Antar Venus, Manajemen Kampanye, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2004, Hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
kandidat calon presiden yang digunakan untuk mempengaruhi masyarakat agar
mau berpartisipasi dalam pemilu melalui pemberian suara.
Merujuk pada definisi di atas, maka setiap aktivitas kampanye setidaknya
harus mengandung empat hal yaitu :
1. Tindakan kampanye yang ditujukan untuk menciptakan efek atau
dampak tertentu
2. Jumlah khalayak sasaran yang besar
3. Biasanya dilakukan dalam kurun waktu tertentu
4. Melaui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisir
Kampanye itu sendiri oleh Sumarno didefinisikan sebagai :
”Alat komunikasi politik yang dapat menggerakkan masyarakat untuk
turut berpartisipasi dalam bidang politik kenegaraan melalui hak suaranya
yang diberikan kepada seorang calon atau beberapa anggota kelompok
partai yang mereka percayai”.44
Sejalan dengan pendapat sumarno di atas, Anwar Arifin menyatakan
bahwa :
“Kampanye politik adalah bentuk komunikasi politik yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang atau sekelompok organisasi politik
dalam waktu tertentu untuk memperoleh dukungan politik dari rakyat.
Pada umumnya, kampanye politik diatur dengan peraturan sendiri, yaitu
44
Sumarno A.P, Dimensi-dimensi Komunikasi Politik, PT Cipta Aditya, Bandung, 1987, Hal. 108.
Universitas Sumatera Utara
waktu, tata caranya, pengawasan dan sanksi-sanksi jika terjadi
pelanggaran kampanye”.45
Berkaitan dengan pemilihan umum, maka kampanye yang dilakukan
adalah kampanye politik. Menurut Arnold Steinberg :
”Dalam kehidupan politik, kampanye dimaksudkan sebagai suatu usaha
terkelola, terorganisir untuk mengikhtiarkan orang yang dicalonkan,
dipilih, atau dipilih kembali dalam suatu jabatan resmi. Definisi ini tidak
mencakup kampanye politik untuk memperoleh suatu kedudukan di sektor
swasta. Dengan kata lain, kampanye politik modern adalah cara yang
digunakan para warga negara demokratis untuk menentukan siapa yang
akan memerintah mereka”.46
Pengertian-pengertian diatas menekankan bahwa tujuan dari kampanye
adalah untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang tersebut mau
mendukungnya dalam pemilu. Lebih jauh lagi kampanye bertujuan untuk
membentuk tingkah laku kolektif masyarakat sehingga tujuan memenangkan
pemilu dapat lebih mudah terwujud.
Secara ideal kampanye merupakan kegiatan untuk mempengaruhi para
pemilih antara lain dengan melakukan propaganda, menampilkan kandidat yang
berkualitas, dan menawarkan isu yang memikat masyarakat. Kampanye bila
dilakukan dalam suatu pemilihan umum yang dapat menjamin terjadinya
kompetisi yang sehat diantara kontestan yang bertarung serta penyelenggara yang
45
46
Anwar Arifin, Komunikasi Politik, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, Hal. 83.
Arnold Steinberg, kampanye politik dalam praktek, Intermasa, Jakarta, 1981, Hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
tidak memihak, merupakan ajang yang sangat penting untuk melakukan
pendidikan politik rakyat.
Melalui kampanye akan diperoleh debat dan wacana untuk membicarakan
isu-isu nasional yang penting bagi masyarakat itu sendiri, baik yang menyangkut
hal –hal mendasar seperti eksistensi dan survival bangsa yang bersangkutan dalam
percaturan dunia yang lebih luas (inetrnasional) maupun isu-isu yang lebih
pragmatis, seperti upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Menurut Rogers dan Storey seperti dikutip oleh Antar Venus menjelaskan
bahwa kampanye adalah ” Serangkaian tindakan komunikasi yang terencana
dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang
dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu”.
47
Hal ini berarti
bahwa kampanye adalah alat komunikasi bagi kandidat yang digunakan untuk
mempengaruhi masyarakat agar mau berpartisipasi dalam pemilu/pemilukada
melalui pemberian suara. Kampanye ini dilakukan oleh suatu pasangan kandidat
yang bersaing dengan pasangan lain untuk memperebutkan suara calon pemilih.
Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Riswandha Imawan yang menyatakan
bahwa :
”Kampanye bertujuan untuk mempengaruhi orang lain untuk memberikan
dukungannya (dalam bentuk memberikan suara) dalam suatu pemilu.
Kampanye berusaha untuk membentuk tingkah laku kolektif agar
47
Venus, Op. cit. Hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat lebih mudah digerakkan untuk mencapai suatu tujuan
(memenangkan pemilu)”.48
Pernyataan-pernyataan diatas jelas menyebutkan bahwa kampanye
bertujuan untuk mempengaruhi orang lain agar mau mendukungnya dalam suatu
pemilu. Wujud dari dukungan tersebut adalah dengan memberikan suaranya untuk
kandidat yang bersangkutan pada waktu pemungutan suara. Sehingga pada
hakekatnya kampanye politik bertujuan untuk mengajak masyarakat yang berhak
memilih ikut dalam pemilihan.
1.6.5 Teori Elite
Pengaruh elite memiliki cakupan yang cukup luas dan dapat dilihat dari
berbagai perspektif. Istilah elite juga dikupas dalam sosiologi, dimana elite
menunjukkan suatu kelompok yang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam
pemerintahan, politik, ekonomi, dan agama. Jadi yang disebut elite adalah orang
yang mempunyai stratifikasi di atas rakyat jelata dan mempunyai kedudukan
memimpin, memberi pengaruh, menuntun dan mengatur masyarakat.49
Ketika dilekatkan pada otoritas dan kekuasaan, maka elite
mempunyai dua tipe, yaitu elite yang memrintah secara formal dan elite yang
tidak memerintah secara formal. Selain itu, kata elite juga diartikan sebagai orangorang yang menentukan dalam pemerintahan, misalnya unit-unit militer atau
tingkatan bangsawan.
48
49
Riswandha Imawan, Membedah Politik Orde baru, Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 1996, Hal. 143.
Robert Van Niel, Munculnya elit modern Indonesia, Pustaka Jaya, Jakarta, 1984, Hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
Gaetano Mosca dan Vilfredo Pareto membagi stratifikasi elite menjadi 3
kategori, yaitu elite yang memerintah (Governing elite), elite yang tidak
memerintah (non-Government elite), dan massa umum (non eliet).Kajian ini
membagi dua kategori elite yaitu:50
1. Elite politik lokal merupakan seseorang yng menduduki jabatanjabatan politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih
melalui pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang
demokratis ditingkat lokal. Mereka menduduki jabatan politik tinggi
ditingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan politik.
2. Elite non politik lokal adalah seseorang yang menduduki jabatanjabatan strategis yang mempunyai pengaruh untuk memerintah orang
dalam lingkup masyarakat.
Kaum elite memiliki kekuasaan besar dalam suatu kelompok atau
masyarakat dan mampu memperoleh bagian terbesar dari suatu sistem kekuasaan.
Kaum elite adalah kelompok kekuasaan yang paling tinggi dalam suatu sistem
politik sehingga mampu menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuannya.
Kaum elite juga sering memgang peranan penting di negara berkembang.
Sedangkan menurut Heater Sutherland para pejabat pribumi atau elite lokal pada
masa penjajahan merupakan suatu kelas penguasa yang ditakuti dan dikagumi,
tetapi mereka itu merupakan wakil-wakil bawahan dari kekuasaan asing.51
50
51
Duverger Maurice, Sosiologi Politik, Rajawali Press, Jakarta, 1982, Hal. 178.
Heater Sutherlang, Terbentuknya Sebuah Elit Birokrasi, Sinar Harapan, Jakarta, 1983 Hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
Dalam menganalisa kedudukan elite dalam masyarakat, elemen yang perlu
diperhatikan adalah konsep kekuasaan. Hal ini didasari bahwa elite dan kekuasaan
merupakan dua variabel yang tidak dapat dipisahkan, karena elite merupakan
sekelompok orang yang memiliki sumber-sumber untuk mencapai kekuasaan.
Kekuasaan merupakan salah satu unsur terbentuknya elite. “Elite politik adalah
sekelompok orang yang memiliki kekuasaan politik”.52 Teori elite dibangun atas
pandangan atau persepsi bahwa keberadaan elite baik elit politik maupun elite
agama tidak dapat dielakkan dari aspek-aspek kehidupan modern yang serba
kompleks.
Secara umum, elite merupakan kelompok orang yang menempati
kedudukan-kedudukan tinggi. Dimana dalam arti yang lebih khusus, elite juga
ditunjuk oleh sekelompok yang terkemuka dalm bidang-bidang tertentu dan
khususnya kelompok kecil yang memegang pemerintah serta lingkungan dimana
kekuasaan itu diambil. Dengan demikian, konsep tentang elite cenderung
menekankan kepada elite politik dengan merujuk pada pembagian kekuasaan
antara elite yang berkuasa dan elite yang tidak berkuasa yang mengarah pada
kepentingan yang berbeda.
Elite merupakan individu-individu yang memiliki keistimewaan dalam
pemahaman, pemaparan dan pengalaman mengenai sistem kekuasaan. Selain itu,
pengakuan masyarakat terhadap elite politik sebgai suatu minoritas yang memiliki
status sosial dalam setiap peran dan fungsinya ditengah-tengah masyarakat.
52
Mas‟ud Mochtar, dkk, Perbandingan Sistem Politik., Gajah Mada University Press, Yogyakarta,
2001, Hal. 77.
Universitas Sumatera Utara
Sehingga dengan adanya keistimewaan inilah kemudian elit politik menjadi faktor
penentu yang berperan dalam mendorong dan mempengaruhi partisipasi politik
masyarakat.
Dari pendapat yang dikemukakan dapat disimpulkan bahwa elite meliputi
semua pemegang kekuasaan dalam suatu bangunan politik. Dalam masyarakat
terdapat dua kategori elite, yaitu elite yang memerintah dan elite yang tidak
memerintah atau yang tidak berhubungan dengan pelaksanaan kekuasaan.
1.7 Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian deskriptif. Adapun metode penelitian deskriptif merupakan
suatu cara yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada berdasarkan
fakta dan data-data yang ada.53 Penelitian ini memberikan gambaran yang lebih
detail mengenai suatu gejala atau fenomena. Hal tersebut yang kemudian
mendasari penelitian untuk menggunakan metode ini dalam menganalisis
dekonstruksi wacana dalam kegiatan masa kampanye Jokowi menjelang
pemilihan presiden 2014.
1.7.1 Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
penelitian kualitatif. Jenis penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian
53
Bambang Prasetyo, dkk, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Aplikasi, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2005, Hal. 42.
Universitas Sumatera Utara
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari
orang-orang dan perilaku yang diamati.54
1.7.2 Teknik Pengumpulan Data
Dalam sebuah penelitian, data merupakan acuan yang akan dikaji dan
dianalisis sebagai objek yang ingin dikupas ataupun diolah sehingga menjadi
sebuah informasi yang lebih bersifat akademis. Maka teknik pengumpulan data
dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sekunder atau datadata kepustakaan. Bahan-bahan yang diambil untuk penelitian ini berasal dari
buku, tulisan-tulisan maupun artikel dari jurnal, makalah, internet yang berkaitan
dengan penelitian ini.
1.7.3 Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan teknik analisa kualitatif. Penelitian ini akan bersifat deskriptif
dengan tujuan memberikan gambaran dan maksud mengenai situasi dan kejadian
yang di tunjukkan melalui beberapa video yang telah peneliti ditentukan.
Kemudian akan mengolah data video yang didapat dan dianalisis, serta akan
dieksplorasi lebih dalam dan akan memunculkan sebuah kesimpulan yang akan
menjelaskan dan menjawab masalah yang diteliti.
1.8 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terbagi kedalam beberapa bab
yang ditujukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih rinci mengenai
54
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, Hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
permasalahan yang diteliti. Adapun pembagian dalam sistematika penulisan
penelitian ini adalah sebagai berikut.
BAB I
: PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisi tentang latar belakang masalah, perumusan
masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II
: PROFIL JOKOWI
Pada bab ini akan diuraikan tentang profil Jokowi.
BAB III
:ANALISIS
KEGIATAN
JOKOWI
PADA
MASA
KAMPANYE MENJELANG PEMILIHAN PRESIDEN 2014
MELALUI PENDEKATAN SEMIOTIKA, WACANA DALAM
PERSPEKTIF FOUCAULT DAN DEKONSTRUKSI.
Pada bab ini akan menggambarkan bagaimana dekonstruksi dari
wacana yang terbangun di Indonesia mengenai sosok pemimpin
yang akan ditunjukkan melalui kegiatan Jokowi pada masa
kampanye menjelang pemilihan presiden 2014.
BAB IV
: PENUTUP
Bab ini berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan yang
diperoleh dari hasil analisis data dan memberikan saran atas hasil
penelitian yang telah diperoleh.
Universitas Sumatera Utara
Download