1 ADAPTASI PETANI JAWA DI KALIMANTAN SELATAN (STUDI

advertisement
ADAPTASI PETANI JAWA DI KALIMANTAN SELATAN
(STUDI KASUS DESA KOLAM-KANAN)
I.
PENDAHULUAN
Pertanian hingga sekarang ini masih merupakan mata pencaharian
utama bagi masyarakat Indonesia. Sekalipun di berbagai daerah ekosistem
wilayahnya ada yang sudah berubah menjadi daerah pemukiman dan
perindustrian, tetapi pertanian masih tetap merupakan andalan utama bagi
kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, meskipun Indonesia memasuki era
industrialisasi, tetapi kemampuan pertanian yang tangguh masih akan terus
diperlukan untuk mendukung industrialisasi tersebut. Hal ini berarti bahwa
peranan pembangunan pertanian pada tahun-tahun mendatang masih terus
dibutuhkan.
Berdasarkan tujuan pembangunan nasional jangka panjang, dalam
pembangunan sektor industri terus mengalami perturnbuhan yang cepat.
Keadaan ini tidak saja menyebabkan perluasan kawasan industri, sehingga
pembangunan industri telah menimbulkan berbagai dampak yang tidak di
inginkan, antara lain berkurangnya lahan pertanian di Jawa. Selain itu,
dewasa ini kian pesatnya proses alih fungsi (konversi) lahan pertanian subur
menjadi lahan untuk kepentingan non-pertanian (industri dan pemukiman).
Hal ini mendorong sebagian petani Jawa melakukan migrasi ke daerah-daerah
lain di luar Jawa khususnya di daerah Kalimantan Selatan.
Petani Jawa di Kalimantan Selatan harus beradaptasi dengan kondisi
geografis setempat agar dapat bertahan hidup (survive). Penyesuaian diri
terhadap lingkungan alam biasanya terwujud dalam berbagai pola pertanian
yang mereka miliki. Dengan demikian, para petani di Kalimantan Selatan
khususnya petani Jawa yang tinggal di desa Kolam-Kanan harus beradaptasi
dan berjuang keras untuk menghadapi kondisi geografis setempat.
Sejumlah penelitian mengenai adaptasi petani di propinsi Kalimantan
Selatan telah banyak dilakukan, seperti penelitian ilmiah yang dilakukan oleh
Prof. DR. H. Wahyu, M.S (2001) dalam memperoleh gelar Doktor dengan
1
judul Kemampuan Adaptasi Petani Dalam Sistem Usaha Tani Sawah Pasang
Surut dan Sawah Irigasi di Kalimantan Selatan. Selain itu penelitian yang
sama juga dilakukan oleh Abdoelah (1990) tentang adaptasi yang dilakukan
oleh para transmigran dengan latar belakang budaya yang berbeda.
Proses
penelitian
mengenai
adaptasi
petani
Jawa
ini
akan
dideskripsikan melalui proses adaptasi petani transmigran di daerah pasang
surut di Desa Kolam Kanan, propinsi Kalimantan Selatan. Dimana pola
pertanian yang diterapkan berbeda dengan pola pertanian yang biasa
dilakukan di daerah Jawa. Di daerah Kolam Kanan ini, para transmigran
dituntut dapat beradaptasi dengan kondisi geografis setempat. Hal tersebut
secara langsung juga berpengaruh terhadap aspek kehidupan, terutama dalam
aspek ekonomi masyarakatnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola umum stategi
adaptasi yang dilakukan oleh para petani transmigran dalam melakukan
usahanya agar dapat bertahan hidup (survive) dalam keadaan lingkungan yang
berbeda dengan keadaan lingkungan yang sebelumnya. Adapun bentukbentuk adaptasi yang dimaksud meliputi strategi di bidang pertanian, strategi
di bidang pangan, dan strategi di bidang reproduksi. Penelitian ini tidak
membicarakan semua aspek kehidupan dan aktivitas ekonomi petani, tetapi
hanya membicarakan variabel yang erat hubungannya dengan kelangsungan
ekonomi dan proses adaptasi di daerah baru, sehingga dapat diketahui pola
adaptasi petani Jawa di Desa Kolam-Kanan.
Dari studi pendahuluan di lapangan pada kenyataannya bahwa petani
Jawa di Desa Kolam-Kanan sudah mampu melakukan adaptasi dengan polapola pertanian yang ada di Desa Kolam-Kanan. Hal ini dapat terlihat dari
kemampuan petani Jawa dalam mengolah lahan pasang surut yang jauh
berbeda dengan lahan pertanian di Jawa yang, pada umumnya menggunakan
sistem irigasi.
Oleh karena itu penelitian ini panting dilakukan untuk mengetahui
strategi adaptasi petani Jawa di Kalimantan Selatan khususnya di Desa
Kolam-Kanan. Sebaliknya jika tidak dilakukan penelitian maka tidak akan
2
diketahui mengenai inovasi dan strategi-strategi adaptasi yang dilakukan
petani Jawa untuk dapat bertahan hidup. Jika demikian maka tidak
teridentifikasi mengenai permasalahan yang dihadapi petani Jawa di Desa
Kolam-Kanan.
II. LANDASAN TEORI
A. Petani
Masyarakat petani merupakan terjemahan dari peasant society
(Redfield, 1985 dalam Wahyu, 2001). Dalam konteks historis, masyarakat
petani menurut Sanderson (1993:97) pertama muncul kira-kira 5000-6000
tahun yang lalu di Mesir dan Mesopotamia dan agak berkembang sedikit di
Cina dan India. Masyarakat petani belum lama terdapat dibanyak bagian
dunia. Sejak masyarakat petani muncul untuk pertama kalinya sampai
sekarang, mayoritas manusia hidup secara agraris.,
Sejauh menyangkut cara hidup, masyarakat sekarang ini telah
mengalami
perubahan
akibat
perkembangan
industrialisasi.
Sebagai
perbandingan, petani dahulu menggunakan alat-alat seperti bajak dengan
memanfaatkan tenaga hewan sedang kini para petani telah menggunakan
teknologi seperti traktor.
Di Indonesia kehidupan masyarakat petani terpolarisasi diberbagai
tempat seperti di sawah, tegalan, ladang dan sebagainya. Perbedaan ekologi
pertanian tersebut akan menghasilkan pola pertanian yang berbeda. Sebagai
contoh pertanian di ladang, petani menanami lahan dengan cara "dua ladang"
atau "tiga ladang". Pada petani yang menanami lahan dengan cara "dua
ladang", mereka bekerja pada satu ladang selama satu tahun sambil
membiarkan ladang yang satunya kosong, kemudian pada tahun berikutnya
akan membalikkan proses yang sama. Berbeda dengan para petani yang
menggunakan "tiga ladang", satu ladang ditanami buah-buahan, ladang yang
lain ditanami sayur-sayuran, sementara ladang ketiga dibiarkan kosong pada
saat yang sama.
3
Tahun berikutnya tanah yang dibiarkan kosong tadi akan ditanami,
begitulah selanjutnya. Secara alamiah dengan menggilirkan bibit dan ladang,
dan hal ini merupakan usaha para petani untuk menjaga kesuburan tanah
setinggi mungkin. Berbeda dengan pertanian di sawah mereka menanami padi
atau palawija secara berkesinambungan (Wahyu, 2001).
Redfield (Wahyu, 2001:26) melukiskan bahwa "petani di masa lalu itu
mempunyai sikap yang intim dan hormat terhadap tanah serta pekerjaan
pertanian adalah baik". Tentang sikap yang intim dan menghormati tanah ini
dimaksudkan bahwa para petani tetap menjalankan pertanian meskipun secara
ekonomis kadang-kadang tidak menguntungkan. Sebaliknya pekerjaan diluar
pertanian seperti perdagangan tidak pernah menjadi sesuatu yang begitu
penting dan sungguh-sungguh seperti pertanian. Hal ini adalah suatu yang
begitu jelas bagi petani bahwa tanah adalah sebagai tempat petani bekerja.
Pekerjaan di atas tanah adalah sebagai keharusan ini memperlihatkan bahwa
petani benar-benar menekankankan pekerjaan di tanah untuk membangun
suatu kehidupan yang bermartabat bukan hanya sekedar mati-matian mencari
sesuap nasi.
Selanjutnya Redfield (Wahyu, 2001), selain melihat sikap petani
terhadap tanah juga terhadap kerja, ia menyatakan bahwa "cara hidup yang
terhormat bagi petani adalah bekerja keras". Para petani umumnya
menanamkan daya tahan dan bekerja keras kepada anak-anaknya atau kaum
muda. Bekerja keras ini telah menjadi tradisi yang berkembang luas
dilingkungan petani. Di samping itu orientasi petani dimasa lalu lebih
sederhana. Mereka tidak memamerkan seleranya atau menampakkan
emosinya. Jadi nilai-nilai kesederhanaan adalah sikap-sikap yang dipilih para
petani.
Pandangan Wolf (1983:19) "Petani di masa lalu umumnya hanya
menyediakan bagi kebutuhan keluarganya sendiri atau untuk menunaikan
kewajiban-kewajiban keluarga dan bukan untuk dipertukarkan dengan tujuan
memperoleh keuntungan. Dari sudut pandangan ini sistem pertanian yang
4
demikian itu disebut "subsistence" yaitu sistem pertanian dimana tujuan, dari
petani adalah untuk memenuhi keperluan hidupnya beserta keluarganya.
Menurut Scott (1981:7) petani subsistence ini menganut prinsip safety
first yaitu dahulukan selamat. Artinya petani yang bercocok tanam itu
berusaha menghindari kegagalan yang menghancurkan kehidupannya dan
bukan berusaha memperoleh keuntungan besar dengan mengambil resiko.
Tingkah laku itu oleh Scott disebut risk-averse yaitu mereka meminimumkan
kemungkinan subyektif dari kerugian maksimum.
Menurut Mubyarto, (1994: 22) bahwa "Hasil produksi pertanian pada
umumnya untuk keperluan sendiri sedangkan sarana produksi semuanya
dicukupi dari dalam keluarga sendiri, perdagangan hampir tidak ada". Dalam
istilah ekonomi pertanian usaha ini dinamakan usaha tani subsistence.
Sementara Wolf (1983: 2) menyebutnya peasent (petani pedesaan), mereka
mengelola usaha taninya untuk keperluan sendiri, bukan untuk bisnis.
B. Adaptasi
Menurut Sahlins (Wahyu, 2001), adaptasi merupakan suatu proses
dimana individu berusaha untuk memaksimalkan kesempatan hidupnya.
Sementara Barnet (Wahyu, 2001) mengatakan bahwa adaptasi merupakan
suatu proses saling hubungan antara manusia dengan lingkungan fisik, bahwa
individu tersebut berusaha untuk meyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan
tantangan lingkungan fisik.
Cara pandang demikian sebenarnya sejak lama telah digunakan oleh
Steward yang disebut Ekologi Budaya. Steward (1955:65) menjelaskan ada
hubungan timbal balik antara lingkungan fisik dan kebudayaan. Dasar teori
Steward ini telah ditindak lanjuti oleh studi Geertz dari etnik Jawa. Teori
Geertz (1976:10) menegaskan bahwa, "sifat adaptasi suatu komunitas
tergantung pada perjuangan keras atau kecerdikan mereka untuk mengalahkan
lingkungan alam".
Proses adaptasi yang digambarkan oleh Steward dapat terjadi di dalam
struktur masyarakat manapun juga. Dengan teori Steward di atas maka
5
permasalahan umum di sawah pasang surut dan sawah irigasi dapat diatasi
secara baik asal saja perintah-perintah yang menimbulkan permasalahan dapat
teratasi. Caranya para petani di sawah pasang surut dan sawah irigasi ini harus
lincah, gesit, mudah bergerak dan berjuang keras. Karena itu, faktor tradisi,
motivasi, karsa dan kemampuan dasar petani merupakan bagian dari
kebudayaan dikaji lebih mendalam.
Menurut Garna (Wahyu, 2001), "Tradisi itu terintegrasi dalam
kehidupan masyarakat, tidak mudah menyisihkannya, malah cenderung
berlanjut terus yang diperkaya oleh unsur-unsur budaya luar". Senada dengan
itu hasil penelitian Collier (Wahyu, 2001) menemukan bahwa "proyek
transmigrasi Purwosari Kalimantan Selatan yang disponsori oleh pemerintah
sukses karena transmigran menanam kelapa dan padi mengikuti sistem
pertanian tradisional orang Banjar". Seperti halnya faktor produksi, inovasi
pun merupakan motivasi yang sangat penting dalam mengantarkan petani
beradaptasi dengan kondisi lingkungannya. Menurut Me Clelland (Wahyu,
2001) "motivasi sebagai, faktor penentu keberhasilan seseorang". Soewardi
(1999:173) mengatakan "orang yang mempunyai motivasi yang tinggi, selalu
ditandai oleh daya juang yang kuat dan berdasarkan jerih payah". Sementara,
Denni (1997:7) mengatakan "seseorang yang mempunyai motivasi yang tinggi
mempunyai gairah hidup dan memiliki energi yang amat berlimpah dan kuat".
Semakna dengan pengertian di atas, Soewardi (1999:165) mengatakan
"seseorang yang mempunyai keinginan keras selalu ditandai oleh bekerja
keras atau pantang menyerah". Dengan karsa kuat inilah semua kelemahan
dan budaya santai dapat diatasi dan dengan karsa kuat ini pula petani dapat
mengelola kondisi lingkungannya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sifat adaptasi tidak sepenuhnya
ditentukan oleh kesamaan kebudayaan, melainkan tergantung pada perjuangan
keras dan kecerdikan manusianya sendiri menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Penyesuaian diri dengan lingkungannya mempunyai nilai
untuk kelangsungan hidup. Makin besar kemampuan adaptasi, makin besar
pula kelangsungan hidupnya.
6
III. HASIL PENELITIAN
A. Identiflikasi Umum dan Lingkungan
Desa Kolam-Kanan adalah salah satu desa yang terletak di kecamatan
Barambai, kabupaten Barito Kuala, propinsi Kalimantan Selatan. Desa
Kolam-Kanan berjarak ± 7 km dari ibu kota kabupaten dan berjarak ± 55 km
dari kota Banjarmasin. Untuk mencapai desa Kolam-Kanan dapat ditempuh
dengan sepeda motor dan taksi angkutan kota (angkot). Luas wilayah Desa
Kolam-Kanan yaitu ± 27 km2. Dengan jumlah Rukun Tetangga (RT) 12 dan
Rukun Warga (RW) 3. Desa Kolam-Kanan berbatasan dengan Desa Karya
Tani di sebelah utara, Desa Sungai Raya di sebelah timur, Desa Barambai
Muara disebelah selatan, dan Desa Kolam-Kiri Dalam di sebelah Barat.
Jumlah penduduk Desa Kolam-Kanan menurut data pada tahun 2004
sebanyak 1.334 jiwa. Terdiri dari 688 laki-laki dan 646 perempuan. Mata
pencaharian utama penduduk transmigrasi Desa Kolam-Kanan adalah bertani.
Ada pula yang beternak, dengan rincian ternak sapi 22 orang, ternak kambing
10 orang, ternak ayam 300 orang, ternak kerbau 4 orang, ternak, dan ternak
itik 15 orang. Mayoritas agama yang dianut adalah Islam dan beberapa yang
menganut agama kristen. Terdapat fasilitas pendidikan yaitu Sekolah Dasar
Negeri Barambai, fasilitas kesehatan yaitu Puskesmas Pembantu, dan fasilitas
beribadah yaitu mesjid.
Pola pemukiman penduduk mengikuti alur jalan dan sungai-sungai
kecil serta terdapat gang-gang dengan kondisi jalan sebagian dari batu bata
dan sebagian lagi masih berupa jalan tanah. Rumah-rumah penduduk yang ada
di Kolam-Kanan menunjukkan tingkat status sosial meraka. Sebagian Rumah
penduduk terbuat dari kayu beratap sirap, genteng, dan seng. Fasilitas MCK
(Mandi, Cuci, Kakus), dilakukan di parit-parit yang ada di depan rumah.
Sedangkan kakus, telah banyak dimiliki di rumah masing-masing, hanya
sebagian kecil saja yang masih menggunakan jamban.
Proyek transmigrasi ini khususnya transmigran asal Jawa dimulai pada
tahun 1971. Ini merupakan transmigrasi gelombang kedua, sedangkan
gelombang pertama dimulai tahun 1970 yaitu khusus untuk trasmigran dari
7
Bali. Selanjutnya gelombang ketiga tahun 1973 transmigran dari Jawa.
Mereka ditempatkan di Desa Barambai yang bersebelahan dengan desa
Kolam-Kanan.
Petani transmigran yang ada di Desa Kolam Kanan ini pada umumnya
berasal dari pulau Jawa, yaitu dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Transmigran
dari Jawa Tengah berasal dari Tegal, Purwodadi, Grobokan, Bondowoso,
Cilacap, Semarang, dan lain-lain. Transmigran yang berasal dari Jawa Timur
berasal dari daerah Jember, Jombang, Probolinggo dan lain-lain. Pada awalnya
transmigran yang datang ke daerah ini berjumlah 50 KK (Kepala Keluarga).
Para petani transmigran Jawa setiap KK mendapatkan tanah sebanyak
2 ha. Dengan rincian, 13/4 ha lahan pertanian dan ¼ ha pekarangan rumah.
Selain itu petani transmigran juga mendapatkan 1 unit rumah beserta
perabotan rumah tangga seperti piring, cangkir, panci, sendok dan lain-lain.
Pada tahun-tahun awal mulai bertani, para transmigran memproduksi
padi rata-rata 200 kaleng per hektar. Hal tersebut berlangsung selama ± 27
tahun. Tetapi produksi tersebut berbeda antara petani yang satu dengan yang
lainnya, tergantung bagaimana keuletan petani tersebut mengelola sawahnya.
Produksi padi sempat mendapat kendala serius. Dimana pada tahun 1998
terjadi kebakaran besar yang menghanguskan areal persawahan, hingga
mempengaruhi tingkat kesuburan tanah, terutama meningkatnya kadar
keasaman tanah, sehingga areal persawahan sulit ditanami padi dan sawah
tidak dapat berproduksi secara maksimal untuk beberapa tahun, dan
menyebabkan paceklik.
Daerah Kolam-Kanan termasuk tipologi sawah pasang surut, maka
kualitas tanah semakin lama semakin menurun jika tidak diolah dengan baik
dan benar. Keadaan ini merupakan faktor utama yang menyebabkan
perpindahan para transmigran Jawa ke daerah lain, seperti daerah Pelaihari,
Binuang, Sebamban, Balikpapan, dan Kalimantan Tengah. Bahkan ada yang
kembali pulang ke daerah asal di Jawa.
Setelah ± 5 tahun pasca kebakaran, produksi sawah berangsur-angsur
kembali normal. Walaupun tidak semaksimal pads awal bertani, tetapi
8
setidaknya hasil panen mampu mencukupi kebutuhan sandang dan pangan
para transmigran. Para transmigran yang masih bertahan di Desa KolamKanan telah berupaya menciptakan Strategi adaptasi untuk bisa bertahan
hidup dengan mengolah sawah yang diselingi tanaman lain, bahkan ada yang
alih profesi menjadi tukang bangunan, petugas kebersihan kota, dan buruh.
Adapun para transmigran yang masih dapat bertahan di daerah ini
hanya sebanyak 45 kepala keluarga dan bahkan telah mempunyai anak yang
telah berkeluarga sehingga hal tesebut mempengaruhi jumlah penduduk
daerah tersebut. Secara ekonomi, kehidupan para transmigran dalam beberapa
tahun ini dapat dikatakan meningkat dari pada beberapa tahun setelah
kebakaran, hal ini dapat dilihat dari hasil pertanian yang mereka peroleh yaitu
sekitar 200-300 kaleng per hektar, dibandingkan pada saat pasca kebakaran
yaitu sekitar 5 kaleng per hektar.
B. Strategi Adaptasi Petani Transmigran di Daerah Kolam-Kanan
1. Strategi di Bidang Pertanian
a. Pembukaan Areal Sawah
Para transmigran datang ke daerah Kolam-Kanan tersebut pada tahun 1971
dengan mengikuti gelombang ke-2, mereka mendapat bagian masing-masing 2
hektar tanah yang terdiri dari rumah yaitu 1/4 hektar dan sisanya berupa lahan
pertanian. Sebelum pengolahan sawah dilakukan oleh para petani, pemerintah
setempat telah melakukan sosialisasi mengenai sistem pengolahan tanah di
Kolam-Kanan selain dari mencontoh cara petani Banjar dalam mengelola
tanah. Dari hal tersebut, dapat terlihat adanya hubungan baik antara
petani Jawa dengan petani Banjar di mana mereka dapat Baling bertukar
pikiran mengenai pengelolaan sawah.
Dalam
pembukaan
sawah
baru,
ada
beberapa
hal
yang
dilakukan oleh para petani Jawa yaitu pembersihan lahan, penyemaian
benih, penanaman benih, pengaturan air dan pembersihan rumput.
Pada tahap pembersihan lahan, mereka menggunakan tajak dan
traktor untuk membersihkan lahan persawahan dari rumput. Tajak
9
merupakan salah satu alat tebas yang berbentuk seperti parang yang
menyerupai bulan sabit. Pekerjaan membersihkan lahan ini dikerjakan
sendiri dan dibantu oleh anggota keluarga yang lain, namun ada pula
yang mempekerjakan orang lain untuk membersihkan lahan pertanian
tersebut, yang dibayar dengan sejumlah uang ataupun dengan keperluan
rumah tangga seperti beras, gula dan bahan pangan lainnya.
Sebagian
besar
petani
Jawa
menggunakan
tajak
untuk
membersihkan rumput seperti halnya para petani Banjar, sedangkan
traktor hanya sebagian dari petani Jawa yang menggunakan, yaitu
bagi mereka yang mempunyai lahan pertanian cukup luas dan
mempunyai tingkat ekonomi yang lebih. Para petani Jawa juga
beranggapan bahwa dengan menggunakan tajak, tanah yang diolah lebih
baik dari pada menggunakan traktor karena rumput-rumput yang selesai
ditebas akan dibiarkan membusuk di atas tanah dan ini akan bermanfaat
bagi kesuburan tanah. Menurut Bapak Sujono (67 tahun) salah satu
petani transmigran di Desa Kolam-Kanan, "Menggunakan tajak akan
lebih baik dari pada traktor karena rumput akan tumbuh lebih lama
karena rumput dibiarkan membusuk di atas tanah dan biji dari rumput
tersebut mengalami penghambatan pertumbuhan yang disebabkan oleh
daun-daun yang menumpuk. Sedangkan jika menggunakan traktor, biji
akan tertinggal di tanah dan menyebabkan rumput baru tumbuh dengan
cepat".
Adapun tahap selanjutnya adalah penyemaian benih padi di
sawah. Biasanya benih yang digunakan jenis siam adus (siam unus).
Benih ini dipilih karena cocok dengan jenis tanah yang akan ditanami serta
mudah dalam penanganannya. Dari petani sendiri, sejauh ini tidak ada
keinginan untuk mengganti jenis bibit yang dipakai dengan jenis bibit
lainnya, walaupun jenis tersebut hanya dapat dipanen setahun sekali.
Selain alasan di atas, terdapat ketakutan tersendiri dari para petani jika
menggunakan bibit lain, seperti gagal panen, serangan hama tikus jika
panen tidak serempak, dan minimnya pengetahuan para petani
10
transmigran terhadap penggunaan bibit selain siam adus.
Langkah pertama dalam tahap penyemaian benih adalah benih
dibersihkan serta dipilah antara benih yang baik dan berpotensi unggul
dengan yang tidak. Kedua, bibit yang telah dibersihkan dan dipilah
kemudian dimasukkan dalam lubang yang dibuat dengan tugal (tongkat
kayu panjang yang runcing). Dalam satu lubang terdapat berpuluh-puluh
benih. Benih tersebut akan tumbuh menjadi wiwitan dalam jangka waktu
± 1,5 bulan untuk dapat di tanam di areal persawahan yang telah disiapkan
sebelumnya.
Setelah wiwitan siap, biasanya terdapat sebuah ritual sebelum
menanam wiwitan di areal persawahan, ritual tersebut dinamakan Co'
Bakal. Adapun lingkup ritual ini hanya diikuti oleh keluarga inti Baja
dan ritual ini hanya dilaksanakan oleh sebagian kecil dari para petani
transmigran di Desa Kolam-Kanan. Ritual Co' Bakal ini berisi
pemanjatan do'a-do'a selamat dan sesajen yang diletakkan di pojok areal
persawahan. Adapun isi dari sesajen Co' Bakal tersebut adalah kembang
kenanga, bumbu dapur (seperti bawang, merica, ketumbar, dan lain-lain),
nyiur yang sudah diparut, nasi ketan, telur ayam, dan gula merah, yang
dibungkus dengan daun pisang membentuk mangkuk. Tujuan dari ritual
Co' Bakal ini adalah untuk meminta ijin kepada para leluhur terdahulu
sebagai pemilik tanah yang akan ditanami. Di mana terdapat keyakinan
supaya padi yang ditanam akan babarkat, yang artinya jika segala
sesuatunya dimulai dengan kebaikan maka hasil yang diperoleh akan
baik pula.
Selanjutnya, setelah wiwitan ditanam, kemudian masuk dalam
tahapan pemeliharaan. Dimulai dari pemberian pupuk dengan jenis urea
dan TSP yang dicampur dengan kapur untuk menetralisir kadar keasaman
tanah. Pemberian pupuk dan kapur dilakukan 2 (dua) kali hingga padi siap
dipanen.
Tidak hanya padi yang ditanam di areal persawahan, para petani
juga menanam tanaman palawija dan sayur-sayuran seperti terong, cabe
11
rawit, singkong, kacang tanah, keladi, pisang, jagung dan jeruk. Dengan
memanfaatkan galangan sawah sebagai tempat menanam tanaman
palawija tersebut. Hasil dari tanaman sampingan itu ada yang dijual dan
untuk konsumsi sendiri.
Selain itu para petani transmigran juga beternak, kebanyakan dari
mereka memelihara binatang ternak seperti ayam dan sapi. Walau
kecil-kecilan,
tetapi
dari
pemeliharaan
ternak
tersebut
dapat
menambah penghasilan dari para petani. Dalam hal ini ternak tersebut
oleh para petani untuk dikonsumsi sendiri dan sebagian dijual di pasar.
Tidak sedikit ditemui lahan persawahan berubah fungsi menjadi
lahan perkebunan. seperti perkebunan jeruk dan rambutan. Dimana kedua
tanaman ini menjadi pilihan bagi para petani transmigran selain
mengolah sawah. Adapun yang menjadi alasan mengubah persawahan
menjadi perkebunan, adalah karena menurunnya tingkat kesuburan dan
tingginya kadar keasaman tanah pasta kebakaran. Dimana pada saat itu
para petani transmigran masih belum dapat mengutusi permasalahan tersebut,
sehingga mereka berinisiatif mengolah areal persawahan yang pada
awalnya diperuntukkan bagi tanaman padi menjadi lahan perkebunan
jeruk dan rambutan. Hal tersebut dimaksudkan agar mereka dapat bertahan
hidup dan lahan tidak kosong.
2. Strategi di Bidang Pangan
a. Strategi Petani Jawa Memasuki Musim Panen
Setiap proses pertanian, baik pertanian dengan panen satu kali
setahun, pertanian dengan dua kali panen setahun atau pertanian dengan
tiga kali panen setahun seperti pertanian di pulau Jawa tentunya selalu
menanti musim panen. Pertanian di Desa Kolam-Kanan umumnya
musim panen selalu jatuh pada bulan Agustus atau Nopember.
Pada saat panen petani biasanya melibatkan seluruh anggota
keluarganya yang dianggap mampu untuk membantu memanen padi.
12
Tetapi jika tenaga kerja terbatas maka mereka mencari tenaga kerja orang
lain. Ini memperlihatkan bahwa petani Jawa memiliki rasa alturism
(rasa berbakti) antara anggota keluarganya. Selain itu pada musim
panen petani Jawa juga melibatkan orang lain sehingga dapat membantu
pendapatan mereka.
Pada saat memasuki musim panen, umumnya banyak anggota
masyarakat baik yang berasal dari desa Kolam-Kanan sendiri maupun
masyarakat dari desa lainnya yang menawarkan jasa untuk memanen
padi. Pekerjaan mereka ini umumnya disebut maambil upah (bekerja di
sawah dengan mengharapkan upah).
Standar
upah
untuk
pekerja
upahan
tergantung
pada
kesepakatan antara pemilik sawah dengan paambil upahan. Ada yang
membayar sistem harian dan ada pula yang membayar dengan sistem
borongan. Sistem harian biasanya ±Rp 25.000,00 perhari. Sedangkan
untuk sistem borongan biasanya ±Rp. 50.000,00 perorang.
Hasil panen yang mereka dapatkan pada saat kondisi tanah
subur biasanya sekitar 300 kaleng per 2 ha sawah. Hasil panen
sebagian digunakan untuk membayar hutang pupuk pada saat proses
penanaman dan sebagian lagi digunakan untuk konsumsi keluarga.
Hasil yang digunakan untuk konsumsi biasanya sudah mereka
perkirakan untuk konsumsi satu tahun, umumnya 1/3 dari hasil panen atau
100 kaleng.
Jenis padi yang dipanen berupa siam adus (siam unus). padi jenis
ini di pilih karena mutunya paling baik dan cocok dengan kondisi tanah
di desa Kolam-Kanan. Selain itu.jenis ini tergolong mahal karena
rasanya yang enak dan lembut dibandingkan dengan jenis lainnya.
Untuk sate blek (sekitar empat liter) beras jenis siam unus ini biasanya
dihargai sebesar Rp. 35.000,-. Oleh karena itu banyak para petani
Jawa di Desa Kolam-Kanan menanam padi jenis ini.
Pada saat musim panen padi jenis slam adus ini menjadi
konsumsi utama bagi petani Jawa di desa Kolam-Kanan. Untuk
13
lauknya sendiri biasanya mereka dapatkan dengan membelinya di
pasar dan ada juga yang membeli dari pedagang keliling. Untuk
sayurannya mereka biasanya mengambil dari kebun sendiri yang
terletak di samping dan pekarangan rumah atau di galangan-galangan
sawah, hanya sayur-sayur tertentu saja yang mereka beli dari pedagang
keliling karena tidak ditanam sendiri di kebun mereka.
Dari hasil temuan di alas, dapat dilihat bahwa para petani Jawa
mampu memenuhi kebutuhan subsistem dengan cara mereka sendiri.
Ini membuktikan bahwa mereka telah mampu beradaptasi dengan
lingkungan yang baru di Desa Kolam-Kanan walaupun kondisi
lingkungannya berbeda dengan di daerah asal pulau Jawa.
b. Strategi Petani Jawa Menghadapi Musim paceklik
Musim paceklik merupakan masa yang sulit bagi petani,
biasanya musim ini jatuh pada bulan november-pebruari. Pada saat
musim tersebut persediaan padi mulai menipis dan aktivitas pertanian
tidak ada atau sering disebut disebut musim diam. Petani Jawa biasanya
mencari
alternatif
pekerjaan
lain
untuk
memenuhi
kebutuhan
keluarganya. Adapun pekerjaan yang mereka geluti selam musim
diam yaitu membuka hutan di kota Marabahan untuk dijadikan lahan
pertanian.
Selama musim paceklik ada sebagian petani yang mulai
kehabisan persediaan pangan. Oleh karena itu mereka membeli beras
jenis lain yang lebih rendah mutunya dibanding beras unus untuk
konsumsi sehari-hari. Ada pula sebagian lagi petani yang membeli atau
berhutang kepada tetangga yang masih memiliki persediaan.
Petani Jawa di desa Kolam-Kanan tergolong petani yang
makmur karena pada saat musim paceklik pun tidak ada masyarakat
yang menkonsumsi nasi tiwul atau nasi aking seperti yang terjadi pada
petani di pulau Jawa. Pada musim paceklik petani transmigran Jawa
masih mengkonsumsi beras, akan tetapi beras yang dikonsumsi
14
adalah beras yang kualitasnya lebih rendah dibanding betas siam unus
seperti beras Bulog dan beras IR.
Pada tahun 1998, di desa Kolam-kanan terjadi kebakaran yang
memusnahkan
lahan
pertanian
penduduk,
yang
menyebabkan
penurunan kualitas tanah pertanian. Menurut Pa Tarsan, peristiwa
kebakaran tersebut berimbas pada tingkat hasil pertanian yang
beberapa tahun mengalami penurunan secara drastis. Tidak hanya itu,
hal tersebut juga berpengaruh pada pola makan masyarakatnya,
seperti banyaknya masyarakat yang kekurangan pangan sehingga
mereka mengkonsumsi tiwul (makanan yang terbuat dari ubi yang
dikeringkan kemudian dihaluskan dan dimasak).
c. Strategi Petani Dalam Belanja dan Pengeluaran
Pada dasarnya petani Jawa di daerah Kolam-Kanan tersebut
mempunyai sifat konsumtif yang rendah, hal ini dapat terlihat dari pola
makan yang sederhana dan perabot rumah tangga yang tidak terlalu
mewah. Mereka lebih suka hidup sederhana dengan kebutuhan pangan
yang tercukupi.
Para
petani
Jawa
di
Kolam-kanan
ini
lebih
suka
menginvestasikan hasil pertaniannya dalam bentuk modal dan biaya
pendidikan anak-anaknya. Seperti anggapan Bapak Punari (38 tahun)
"Duit hasil pertanian lebih baik digunakan untuk pendidikan anak dari
pada membeli barang-barang perabotan rumah tangga, karena pendidikan
penting untuk masa depan anak-anak". Untuk sekolah sendiri, SD
berada di desa kolam kanan sedangkan tingkat SMP dan SMA berada
di kota Marabahan tapi walaupun jarak cukup jauh, kenyataannya
mereka masih memiliki motivasi yang tinggi untuk bersekolah. I lal ini
berarti, para petani Jawa di Desa Kolam-Kanan tersebut mempunyai
orientasi ke depan mengenai pendidikan untuk meningkatkan status
keluarganya.
Untuk modal, mereka lebih mengutamakan ke pupuk karena
15
pupuk
merupakan
bagian
yang
paling
penting dalam usaha
pertaniannya, bahkan mereka meminjam banyak pupuk pada salah
seorang petani yang menyalurkan pupuk dan pada saat panen, pupuk
yang telah dipinjam akan dibayar dalam bentuk uang.
lbu-ibu
mempunyai
peranan
penting
dalam
mengatur
pengeluaran dan belanja sehari-hari. biasanya mereka pergi ke pasar
yang berada di Kolam-kiri yaitu pada hari minggu dan ini dilakukan
setiap satu minggu sekali (stranggul market). Barang-barang yang
dibeli berupa keperluan rumah tangga seperti garam, gula, bawang,
minyak goreng dan keperluan lainnya yang dianggap penting. Selain
itu, jika para ibu-ibu tersebut kehabisan barang maka mereka akan
menitip pada tetangga yang secara kebetulan pergi ke Marabahan.
Di Desa Kolam-kanan ini tidak banyak terdapat warung atau
kios,karena masyarakatnya tidak terlalu suka jajan ke warung, mereka
lebih suka membuat sendiri di rumah dibanding kebiasaan yang
dilakukan oleh masyarakat Banjar yaitu belanja di warung sebelum
melakukan aktivitas di sawah. Masyarkat Jawa di desa Kolam kanan
ini beranggapan bahwa jika mereka berbelanja di luar rumah maka
hal itu hanya untuk pemborosan raja padahal masih banyak kepentingan
lain yang lebih utama.
3. Strategi Reproduksi
Masyarakat petani Jawa di desa Kolam-Kanan pada umumnya telah
hidup berumah tangga cukup lama dan telah memberi keturunan dua
generasi, di antara mereka ada yang telah memiliki anak dan cucu
(reproduksi). Adapun mayoritas tipe dari bentuk keluarga masyarakat
petani Jawa di Desa Kolam-Kanan ini adalah keluarga batik, seperti
keluarga Ibu Rohani dan keluarga Bapak lyak, yang hanya memiliki
anak 2-4 orang saja. Namun ada pula bentuk keluarga luas, seperti
keluarga Mbah Ndoyo. Mbah Ndoyo adalah salah satu tetuha (tokoh
16
masyarakat) di wilayah transmigran ini. la termasuk orang tua yang
memiliki banyak anak, yaitu 12 orang dengan tambahan cucu.
Dalam hal memilih pasangan, beberapa di antara generasi kedua
memilih bentuk perkawinan eksogami. sebagian besar mereka menikah
dengan laki-laki yang berasal dari suku Banjar. Perkenalan mereka
biasanya terjadi di tempat-tempat kerja di wilayah Kota Banjarmasin
seperti di pabrik-pabrik atau di sektor jasa lainnya. Perkawinan dengan
perbedaan latar kultural inilah tampaknya yang menyebabkan adanya
perbedaan orientasi dalam menyikapi kehidupan anak-anak mereka.
Terdapat perbedaan dalam hal reproduksi antara generasi tua dan
generasi muda. Generasi tua rata-rata memiliki banyak anak, sedang
generasi muda cenderung memiliki anak yang sedikit. Menurut para
generasi tua, dulu mereka tidak mengenal program KB (Keluarga
Berencana). Sedangkan pada generasi muda yang jumlah anaknya
sedikit, mereka telah mengenal program KB (Keluarga Berencana). Hal
ini menunjukkan bahwa tingkat reproduksi pada generasi tua lebih tinggi
dari pada generasi muda.
Para petani Jawa di desa Kolam-Kanan ternyata mempunyai
kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan, terlebih pada pendidikan
anak-anak mereka. Hal tersebut terlihat dari anak-anak mereka yang
bersekolah sampai jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas). Bahkan ada
beberapa yang menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang Perguruan
Tinggi, hal itu biasanya berlaku bagi keluarga yang mampu. Namun,
sebagian dari mereka ada yang tidak menyekolahkan anak mereka sampai
tingkat SMA dan hanya sampai tingkat SD (Sekolah Dasar) saja, hal
tersebut disebabkan oleh faktor keterbatasan biaya.
Bagi mereka anak adalah investasi untuk kehidupan kelak, dimana
mereka berharap jika anak sudah besar maka is dapat membantu
pekerjaan orang tua terutama dalam hal pertanian. Anak-anak yang
masih sekolah biasanya turut membantu pekerjaan orang tuanya bertani
setelah pulang dari sekolah. Hal tersebut dimaksudkan agar kelak anak
17
tahu dan mengerti tata Cara bertani. Biasanya anak-anak yang membantu
orang tuanya bertani adalah anak-anak usia SMP (Sekolah Menengah
Pertama).
Namun anggapan ini hanya berlaku bagi sebagian orang. Bagi
keluarga
yang
merupakan
hasil
perkawinan
campuran
dengan
penduduk Banjar maka anggapan ini sudah mulai hilang. Anak-anak
mereka hampir tidak ada yang dilibatkan dalam pekerjaan pertanian.
setelah lulus dari sekolah, kebanyakan dari mereka bekerja di
perusahaan-perusahaan atau hidup merantau seperti menjadi pelayan
warung nasi goreng di Banjarmasin. Jika sudah berhenti bekerja dan
kemudian menikah, maka mereka akan kembali lagi ke Desa KolamKanan. Pada akhirnya anak-anak tersebut juga hidup bertani seperti
orangtua mereka.
Kehidupan para transmigran Jawa tidak hanya sebatas bertani saja,
mereka juga melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang bekerja
menjadi tukang sapu di kantor pemerintahan Marabahan (Pasukan
Kuning), seperti suami Rohani. Ada pula yang menjadi buruh bangunan
jika musim panen sudah selesai, dan mencari kayu galam untuk dibuat
kayu bakar dan kemudian dijual. Tidak hanya itu, ada juga yang berjualan
tahu, tempo dan sayur-sayuran di pasar. Berjualan lontong di Sekolah
seperti keluarga Rohani dan membuka warung seperti yang dilakukan lbu
lyah. Bahkan ada yang menjadi dukun beranak seperti Mbah Ndoyo. Hal
tersebut mereka lakukan untuk menambah pendapatan ekonomi keluarga.
Tanah sebanyak 2 hektar yang didapat para transmigran
umumnya tidak dibagi rata kepada, anak-anaknya. setiap anak tidak
harus mendapat warisan tanah secara merata. Karma dulunya tanah seluas
2 hektar tersebut banyak yang telah dijual. Tanah itu akan digarap
oleh orangtua mereka selama masih mampu, meskipun tidak maksimal
dikarenakan usia yang telah tua. Tanah itu biasanya digarap oleh anak
yang kehidupannya dianggap lebih sudah dari anak-anaknya yang lain.
Sedangkan anak-anak yang lainnya ada yang membeli tanah sendiri, dari
18
uang yang didapat saat bekerja di perusahaan atau lainnya. Sehingga
tidak ada pembagian tanah secara merata, terkecuali jika orangtua mereka
telah meninggal dunia, maka tanah akan dibagi secara adil kepada anakanak mereka.
19
KESIMPULAN DAN SARAN
1.
Kesimpulan
Para petani transmigran Jawa di Desa Kolam-Kanan 99%
berprofesi sebagai petani. Mereka di fasilitasi oleh pemerintah berupa
tanah seluas 2 ha, dengan rincian 175 m2 untuk lahan persawahan, dan
25 ml untuk mendirikan rumah. Sistem pertanian yang dipakai adalah
pertanian pasang-surut. Karena tingginya tingkat keasaman, tanah,
maka
para
petani
transmigran
Jawa
di
Desa
Kolam -Kanan
menggunakan kapur untuk mengurangi tingkat keasaman tanah. Jenis
padi yang ditanam adalah siam adus (siam onus). Selain padi, mereka
juga menanam tanaman palawija dan sayur-sayuran. Sebagian besar petani
transmigran di Kolam Kanan dapat dikategorikan sebagai petani
subsisten dengan prinsip "safety first" yaitu dahulukan selamat karena
mereka bercocok tanam lebih mengedepankan menghindari kegagalan
yang menghancurkan kehidupannya daripada memperoleh keuntungan
besar.
Dalam tingkat adaptasi, masyarakat petani Jawa transmigran di
Desa Kolam-Kanan termasuk tinggi. Hal terlihat jelas pada musim
paceklik, tidak ditemui kasus kekurangan bahan pangan. Mereka
memanage hasil panen seefisien mungkin, maka beras yang dipanen
cukup untuk memenuhi pangan selama satu tahun, maka beras tidak
dijual, sebaliknya jika hasil panen melebihi kebutuhan pangan untuk satu
tahun, maka kelebihan tersebut dijual.
Terdapat perbedaan tingkat reproduksi pada masyarakat petani
Jawa transmigran di Desa Kolam-Kanan, antara generasi tua dan generasi
muda. Dimana generasi tua memiliki banyak anak, sedang generasi
muda cenderung memiliki anak yang sedikit. Selain itu mereka juga
mulai mengorientasikan pekerjaan anak-anak mereka ke sektor-sektor
yang lebih variatif seperti bekerja di perusahaan atau di bidang jasa dan
perdagangan. Anggapan bahwa anak sebagai aset dan tenaga kerja
tambahan di sektor pertanian juga telah mulai menghilang seiring dengan
20
mulai terintegrasinya mereka ke dalam kebudayaan Banjar lewat perkawinan.
2.
Saran
Para petani Jawa transmigran di Desa Kolam-Kanan diharapkan
terus melakukan inovasi-inovasi dalam bidang pertanian. Hal ini
disarankan agar tingkat produksi pertanian meningkat, yang secara
otomatis akan meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.
21
DAFTAR PUSTAKA
Abdoellah, 1990. Budidaya Tanaman Padi. Yogyakarta: Kanisius.
Denni, Richard, 1997. Sukses Memotivasi, Jurus Jim Meninggalkan Prestasi.
Alih Bahasa Pius M. Sumaktoyo. Jakarta: PT. Gramedia.
Geertz, 1976. Ivolusi Pertanian, terjemahan S. Supomo. Jakarta: Bharata KA.
Mubyarto, 1994. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Sinai
Harapan.
Redfield, 1985. Masyarakat Petani dan Kebudayaan, terjemahan YIIS. Jakarta:
CV. Rajawali.
Sanderson, Staphen. K, 1993. Sosilogi Makro, terjemahan Farid Wajidi dan
S. Menno. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Scott, James. C, 1981. Moral Ekonomi Petani, terjemahan Hasan Basri. Jakarta:
PT. Gramedia.
Soewardi, Herman, 1999. Tiba Saatnya Islam Kembali Kaffah, Kuat dan
Bertihad, Suatu Kognisi Baru Tentang Islam. Bandung: Pasca Sarjana
UNPAD.
Steward, JH,1955. Theory of Culture Change. Urbana: University of Illionis
Press.
Wahyu, 2001. Disertasi, Kemampuan Adaptasi Petani dalam Sistem
Usahatani Sawah Pasting Surut dan Irigasi di Kalimantan Selatan.
Bandung: Pasca Sarjana UNPAD.
Wolf, Eric R, 1983. Petani Suatu Tinjauan Antropologis, terjemahan YIIS.
Jakarta: CV. Rajawali.
22
Download