ADAPTASI PETANI JAWA DI KALIMANTAN SELATAN (STUDI KASUS DESA KOLAM-KANAN) I. PENDAHULUAN Pertanian hingga sekarang ini masih merupakan mata pencaharian utama bagi masyarakat Indonesia. Sekalipun di berbagai daerah ekosistem wilayahnya ada yang sudah berubah menjadi daerah pemukiman dan perindustrian, tetapi pertanian masih tetap merupakan andalan utama bagi kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, meskipun Indonesia memasuki era industrialisasi, tetapi kemampuan pertanian yang tangguh masih akan terus diperlukan untuk mendukung industrialisasi tersebut. Hal ini berarti bahwa peranan pembangunan pertanian pada tahun-tahun mendatang masih terus dibutuhkan. Berdasarkan tujuan pembangunan nasional jangka panjang, dalam pembangunan sektor industri terus mengalami perturnbuhan yang cepat. Keadaan ini tidak saja menyebabkan perluasan kawasan industri, sehingga pembangunan industri telah menimbulkan berbagai dampak yang tidak di inginkan, antara lain berkurangnya lahan pertanian di Jawa. Selain itu, dewasa ini kian pesatnya proses alih fungsi (konversi) lahan pertanian subur menjadi lahan untuk kepentingan non-pertanian (industri dan pemukiman). Hal ini mendorong sebagian petani Jawa melakukan migrasi ke daerah-daerah lain di luar Jawa khususnya di daerah Kalimantan Selatan. Petani Jawa di Kalimantan Selatan harus beradaptasi dengan kondisi geografis setempat agar dapat bertahan hidup (survive). Penyesuaian diri terhadap lingkungan alam biasanya terwujud dalam berbagai pola pertanian yang mereka miliki. Dengan demikian, para petani di Kalimantan Selatan khususnya petani Jawa yang tinggal di desa Kolam-Kanan harus beradaptasi dan berjuang keras untuk menghadapi kondisi geografis setempat. Sejumlah penelitian mengenai adaptasi petani di propinsi Kalimantan Selatan telah banyak dilakukan, seperti penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Prof. DR. H. Wahyu, M.S (2001) dalam memperoleh gelar Doktor dengan 1 judul Kemampuan Adaptasi Petani Dalam Sistem Usaha Tani Sawah Pasang Surut dan Sawah Irigasi di Kalimantan Selatan. Selain itu penelitian yang sama juga dilakukan oleh Abdoelah (1990) tentang adaptasi yang dilakukan oleh para transmigran dengan latar belakang budaya yang berbeda. Proses penelitian mengenai adaptasi petani Jawa ini akan dideskripsikan melalui proses adaptasi petani transmigran di daerah pasang surut di Desa Kolam Kanan, propinsi Kalimantan Selatan. Dimana pola pertanian yang diterapkan berbeda dengan pola pertanian yang biasa dilakukan di daerah Jawa. Di daerah Kolam Kanan ini, para transmigran dituntut dapat beradaptasi dengan kondisi geografis setempat. Hal tersebut secara langsung juga berpengaruh terhadap aspek kehidupan, terutama dalam aspek ekonomi masyarakatnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola umum stategi adaptasi yang dilakukan oleh para petani transmigran dalam melakukan usahanya agar dapat bertahan hidup (survive) dalam keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan lingkungan yang sebelumnya. Adapun bentukbentuk adaptasi yang dimaksud meliputi strategi di bidang pertanian, strategi di bidang pangan, dan strategi di bidang reproduksi. Penelitian ini tidak membicarakan semua aspek kehidupan dan aktivitas ekonomi petani, tetapi hanya membicarakan variabel yang erat hubungannya dengan kelangsungan ekonomi dan proses adaptasi di daerah baru, sehingga dapat diketahui pola adaptasi petani Jawa di Desa Kolam-Kanan. Dari studi pendahuluan di lapangan pada kenyataannya bahwa petani Jawa di Desa Kolam-Kanan sudah mampu melakukan adaptasi dengan polapola pertanian yang ada di Desa Kolam-Kanan. Hal ini dapat terlihat dari kemampuan petani Jawa dalam mengolah lahan pasang surut yang jauh berbeda dengan lahan pertanian di Jawa yang, pada umumnya menggunakan sistem irigasi. Oleh karena itu penelitian ini panting dilakukan untuk mengetahui strategi adaptasi petani Jawa di Kalimantan Selatan khususnya di Desa Kolam-Kanan. Sebaliknya jika tidak dilakukan penelitian maka tidak akan 2 diketahui mengenai inovasi dan strategi-strategi adaptasi yang dilakukan petani Jawa untuk dapat bertahan hidup. Jika demikian maka tidak teridentifikasi mengenai permasalahan yang dihadapi petani Jawa di Desa Kolam-Kanan. II. LANDASAN TEORI A. Petani Masyarakat petani merupakan terjemahan dari peasant society (Redfield, 1985 dalam Wahyu, 2001). Dalam konteks historis, masyarakat petani menurut Sanderson (1993:97) pertama muncul kira-kira 5000-6000 tahun yang lalu di Mesir dan Mesopotamia dan agak berkembang sedikit di Cina dan India. Masyarakat petani belum lama terdapat dibanyak bagian dunia. Sejak masyarakat petani muncul untuk pertama kalinya sampai sekarang, mayoritas manusia hidup secara agraris., Sejauh menyangkut cara hidup, masyarakat sekarang ini telah mengalami perubahan akibat perkembangan industrialisasi. Sebagai perbandingan, petani dahulu menggunakan alat-alat seperti bajak dengan memanfaatkan tenaga hewan sedang kini para petani telah menggunakan teknologi seperti traktor. Di Indonesia kehidupan masyarakat petani terpolarisasi diberbagai tempat seperti di sawah, tegalan, ladang dan sebagainya. Perbedaan ekologi pertanian tersebut akan menghasilkan pola pertanian yang berbeda. Sebagai contoh pertanian di ladang, petani menanami lahan dengan cara "dua ladang" atau "tiga ladang". Pada petani yang menanami lahan dengan cara "dua ladang", mereka bekerja pada satu ladang selama satu tahun sambil membiarkan ladang yang satunya kosong, kemudian pada tahun berikutnya akan membalikkan proses yang sama. Berbeda dengan para petani yang menggunakan "tiga ladang", satu ladang ditanami buah-buahan, ladang yang lain ditanami sayur-sayuran, sementara ladang ketiga dibiarkan kosong pada saat yang sama. 3 Tahun berikutnya tanah yang dibiarkan kosong tadi akan ditanami, begitulah selanjutnya. Secara alamiah dengan menggilirkan bibit dan ladang, dan hal ini merupakan usaha para petani untuk menjaga kesuburan tanah setinggi mungkin. Berbeda dengan pertanian di sawah mereka menanami padi atau palawija secara berkesinambungan (Wahyu, 2001). Redfield (Wahyu, 2001:26) melukiskan bahwa "petani di masa lalu itu mempunyai sikap yang intim dan hormat terhadap tanah serta pekerjaan pertanian adalah baik". Tentang sikap yang intim dan menghormati tanah ini dimaksudkan bahwa para petani tetap menjalankan pertanian meskipun secara ekonomis kadang-kadang tidak menguntungkan. Sebaliknya pekerjaan diluar pertanian seperti perdagangan tidak pernah menjadi sesuatu yang begitu penting dan sungguh-sungguh seperti pertanian. Hal ini adalah suatu yang begitu jelas bagi petani bahwa tanah adalah sebagai tempat petani bekerja. Pekerjaan di atas tanah adalah sebagai keharusan ini memperlihatkan bahwa petani benar-benar menekankankan pekerjaan di tanah untuk membangun suatu kehidupan yang bermartabat bukan hanya sekedar mati-matian mencari sesuap nasi. Selanjutnya Redfield (Wahyu, 2001), selain melihat sikap petani terhadap tanah juga terhadap kerja, ia menyatakan bahwa "cara hidup yang terhormat bagi petani adalah bekerja keras". Para petani umumnya menanamkan daya tahan dan bekerja keras kepada anak-anaknya atau kaum muda. Bekerja keras ini telah menjadi tradisi yang berkembang luas dilingkungan petani. Di samping itu orientasi petani dimasa lalu lebih sederhana. Mereka tidak memamerkan seleranya atau menampakkan emosinya. Jadi nilai-nilai kesederhanaan adalah sikap-sikap yang dipilih para petani. Pandangan Wolf (1983:19) "Petani di masa lalu umumnya hanya menyediakan bagi kebutuhan keluarganya sendiri atau untuk menunaikan kewajiban-kewajiban keluarga dan bukan untuk dipertukarkan dengan tujuan memperoleh keuntungan. Dari sudut pandangan ini sistem pertanian yang 4 demikian itu disebut "subsistence" yaitu sistem pertanian dimana tujuan, dari petani adalah untuk memenuhi keperluan hidupnya beserta keluarganya. Menurut Scott (1981:7) petani subsistence ini menganut prinsip safety first yaitu dahulukan selamat. Artinya petani yang bercocok tanam itu berusaha menghindari kegagalan yang menghancurkan kehidupannya dan bukan berusaha memperoleh keuntungan besar dengan mengambil resiko. Tingkah laku itu oleh Scott disebut risk-averse yaitu mereka meminimumkan kemungkinan subyektif dari kerugian maksimum. Menurut Mubyarto, (1994: 22) bahwa "Hasil produksi pertanian pada umumnya untuk keperluan sendiri sedangkan sarana produksi semuanya dicukupi dari dalam keluarga sendiri, perdagangan hampir tidak ada". Dalam istilah ekonomi pertanian usaha ini dinamakan usaha tani subsistence. Sementara Wolf (1983: 2) menyebutnya peasent (petani pedesaan), mereka mengelola usaha taninya untuk keperluan sendiri, bukan untuk bisnis. B. Adaptasi Menurut Sahlins (Wahyu, 2001), adaptasi merupakan suatu proses dimana individu berusaha untuk memaksimalkan kesempatan hidupnya. Sementara Barnet (Wahyu, 2001) mengatakan bahwa adaptasi merupakan suatu proses saling hubungan antara manusia dengan lingkungan fisik, bahwa individu tersebut berusaha untuk meyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan tantangan lingkungan fisik. Cara pandang demikian sebenarnya sejak lama telah digunakan oleh Steward yang disebut Ekologi Budaya. Steward (1955:65) menjelaskan ada hubungan timbal balik antara lingkungan fisik dan kebudayaan. Dasar teori Steward ini telah ditindak lanjuti oleh studi Geertz dari etnik Jawa. Teori Geertz (1976:10) menegaskan bahwa, "sifat adaptasi suatu komunitas tergantung pada perjuangan keras atau kecerdikan mereka untuk mengalahkan lingkungan alam". Proses adaptasi yang digambarkan oleh Steward dapat terjadi di dalam struktur masyarakat manapun juga. Dengan teori Steward di atas maka 5 permasalahan umum di sawah pasang surut dan sawah irigasi dapat diatasi secara baik asal saja perintah-perintah yang menimbulkan permasalahan dapat teratasi. Caranya para petani di sawah pasang surut dan sawah irigasi ini harus lincah, gesit, mudah bergerak dan berjuang keras. Karena itu, faktor tradisi, motivasi, karsa dan kemampuan dasar petani merupakan bagian dari kebudayaan dikaji lebih mendalam. Menurut Garna (Wahyu, 2001), "Tradisi itu terintegrasi dalam kehidupan masyarakat, tidak mudah menyisihkannya, malah cenderung berlanjut terus yang diperkaya oleh unsur-unsur budaya luar". Senada dengan itu hasil penelitian Collier (Wahyu, 2001) menemukan bahwa "proyek transmigrasi Purwosari Kalimantan Selatan yang disponsori oleh pemerintah sukses karena transmigran menanam kelapa dan padi mengikuti sistem pertanian tradisional orang Banjar". Seperti halnya faktor produksi, inovasi pun merupakan motivasi yang sangat penting dalam mengantarkan petani beradaptasi dengan kondisi lingkungannya. Menurut Me Clelland (Wahyu, 2001) "motivasi sebagai, faktor penentu keberhasilan seseorang". Soewardi (1999:173) mengatakan "orang yang mempunyai motivasi yang tinggi, selalu ditandai oleh daya juang yang kuat dan berdasarkan jerih payah". Sementara, Denni (1997:7) mengatakan "seseorang yang mempunyai motivasi yang tinggi mempunyai gairah hidup dan memiliki energi yang amat berlimpah dan kuat". Semakna dengan pengertian di atas, Soewardi (1999:165) mengatakan "seseorang yang mempunyai keinginan keras selalu ditandai oleh bekerja keras atau pantang menyerah". Dengan karsa kuat inilah semua kelemahan dan budaya santai dapat diatasi dan dengan karsa kuat ini pula petani dapat mengelola kondisi lingkungannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa sifat adaptasi tidak sepenuhnya ditentukan oleh kesamaan kebudayaan, melainkan tergantung pada perjuangan keras dan kecerdikan manusianya sendiri menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Penyesuaian diri dengan lingkungannya mempunyai nilai untuk kelangsungan hidup. Makin besar kemampuan adaptasi, makin besar pula kelangsungan hidupnya. 6 III. HASIL PENELITIAN A. Identiflikasi Umum dan Lingkungan Desa Kolam-Kanan adalah salah satu desa yang terletak di kecamatan Barambai, kabupaten Barito Kuala, propinsi Kalimantan Selatan. Desa Kolam-Kanan berjarak ± 7 km dari ibu kota kabupaten dan berjarak ± 55 km dari kota Banjarmasin. Untuk mencapai desa Kolam-Kanan dapat ditempuh dengan sepeda motor dan taksi angkutan kota (angkot). Luas wilayah Desa Kolam-Kanan yaitu ± 27 km2. Dengan jumlah Rukun Tetangga (RT) 12 dan Rukun Warga (RW) 3. Desa Kolam-Kanan berbatasan dengan Desa Karya Tani di sebelah utara, Desa Sungai Raya di sebelah timur, Desa Barambai Muara disebelah selatan, dan Desa Kolam-Kiri Dalam di sebelah Barat. Jumlah penduduk Desa Kolam-Kanan menurut data pada tahun 2004 sebanyak 1.334 jiwa. Terdiri dari 688 laki-laki dan 646 perempuan. Mata pencaharian utama penduduk transmigrasi Desa Kolam-Kanan adalah bertani. Ada pula yang beternak, dengan rincian ternak sapi 22 orang, ternak kambing 10 orang, ternak ayam 300 orang, ternak kerbau 4 orang, ternak, dan ternak itik 15 orang. Mayoritas agama yang dianut adalah Islam dan beberapa yang menganut agama kristen. Terdapat fasilitas pendidikan yaitu Sekolah Dasar Negeri Barambai, fasilitas kesehatan yaitu Puskesmas Pembantu, dan fasilitas beribadah yaitu mesjid. Pola pemukiman penduduk mengikuti alur jalan dan sungai-sungai kecil serta terdapat gang-gang dengan kondisi jalan sebagian dari batu bata dan sebagian lagi masih berupa jalan tanah. Rumah-rumah penduduk yang ada di Kolam-Kanan menunjukkan tingkat status sosial meraka. Sebagian Rumah penduduk terbuat dari kayu beratap sirap, genteng, dan seng. Fasilitas MCK (Mandi, Cuci, Kakus), dilakukan di parit-parit yang ada di depan rumah. Sedangkan kakus, telah banyak dimiliki di rumah masing-masing, hanya sebagian kecil saja yang masih menggunakan jamban. Proyek transmigrasi ini khususnya transmigran asal Jawa dimulai pada tahun 1971. Ini merupakan transmigrasi gelombang kedua, sedangkan gelombang pertama dimulai tahun 1970 yaitu khusus untuk trasmigran dari 7 Bali. Selanjutnya gelombang ketiga tahun 1973 transmigran dari Jawa. Mereka ditempatkan di Desa Barambai yang bersebelahan dengan desa Kolam-Kanan. Petani transmigran yang ada di Desa Kolam Kanan ini pada umumnya berasal dari pulau Jawa, yaitu dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Transmigran dari Jawa Tengah berasal dari Tegal, Purwodadi, Grobokan, Bondowoso, Cilacap, Semarang, dan lain-lain. Transmigran yang berasal dari Jawa Timur berasal dari daerah Jember, Jombang, Probolinggo dan lain-lain. Pada awalnya transmigran yang datang ke daerah ini berjumlah 50 KK (Kepala Keluarga). Para petani transmigran Jawa setiap KK mendapatkan tanah sebanyak 2 ha. Dengan rincian, 13/4 ha lahan pertanian dan ¼ ha pekarangan rumah. Selain itu petani transmigran juga mendapatkan 1 unit rumah beserta perabotan rumah tangga seperti piring, cangkir, panci, sendok dan lain-lain. Pada tahun-tahun awal mulai bertani, para transmigran memproduksi padi rata-rata 200 kaleng per hektar. Hal tersebut berlangsung selama ± 27 tahun. Tetapi produksi tersebut berbeda antara petani yang satu dengan yang lainnya, tergantung bagaimana keuletan petani tersebut mengelola sawahnya. Produksi padi sempat mendapat kendala serius. Dimana pada tahun 1998 terjadi kebakaran besar yang menghanguskan areal persawahan, hingga mempengaruhi tingkat kesuburan tanah, terutama meningkatnya kadar keasaman tanah, sehingga areal persawahan sulit ditanami padi dan sawah tidak dapat berproduksi secara maksimal untuk beberapa tahun, dan menyebabkan paceklik. Daerah Kolam-Kanan termasuk tipologi sawah pasang surut, maka kualitas tanah semakin lama semakin menurun jika tidak diolah dengan baik dan benar. Keadaan ini merupakan faktor utama yang menyebabkan perpindahan para transmigran Jawa ke daerah lain, seperti daerah Pelaihari, Binuang, Sebamban, Balikpapan, dan Kalimantan Tengah. Bahkan ada yang kembali pulang ke daerah asal di Jawa. Setelah ± 5 tahun pasca kebakaran, produksi sawah berangsur-angsur kembali normal. Walaupun tidak semaksimal pads awal bertani, tetapi 8 setidaknya hasil panen mampu mencukupi kebutuhan sandang dan pangan para transmigran. Para transmigran yang masih bertahan di Desa KolamKanan telah berupaya menciptakan Strategi adaptasi untuk bisa bertahan hidup dengan mengolah sawah yang diselingi tanaman lain, bahkan ada yang alih profesi menjadi tukang bangunan, petugas kebersihan kota, dan buruh. Adapun para transmigran yang masih dapat bertahan di daerah ini hanya sebanyak 45 kepala keluarga dan bahkan telah mempunyai anak yang telah berkeluarga sehingga hal tesebut mempengaruhi jumlah penduduk daerah tersebut. Secara ekonomi, kehidupan para transmigran dalam beberapa tahun ini dapat dikatakan meningkat dari pada beberapa tahun setelah kebakaran, hal ini dapat dilihat dari hasil pertanian yang mereka peroleh yaitu sekitar 200-300 kaleng per hektar, dibandingkan pada saat pasca kebakaran yaitu sekitar 5 kaleng per hektar. B. Strategi Adaptasi Petani Transmigran di Daerah Kolam-Kanan 1. Strategi di Bidang Pertanian a. Pembukaan Areal Sawah Para transmigran datang ke daerah Kolam-Kanan tersebut pada tahun 1971 dengan mengikuti gelombang ke-2, mereka mendapat bagian masing-masing 2 hektar tanah yang terdiri dari rumah yaitu 1/4 hektar dan sisanya berupa lahan pertanian. Sebelum pengolahan sawah dilakukan oleh para petani, pemerintah setempat telah melakukan sosialisasi mengenai sistem pengolahan tanah di Kolam-Kanan selain dari mencontoh cara petani Banjar dalam mengelola tanah. Dari hal tersebut, dapat terlihat adanya hubungan baik antara petani Jawa dengan petani Banjar di mana mereka dapat Baling bertukar pikiran mengenai pengelolaan sawah. Dalam pembukaan sawah baru, ada beberapa hal yang dilakukan oleh para petani Jawa yaitu pembersihan lahan, penyemaian benih, penanaman benih, pengaturan air dan pembersihan rumput. Pada tahap pembersihan lahan, mereka menggunakan tajak dan traktor untuk membersihkan lahan persawahan dari rumput. Tajak 9 merupakan salah satu alat tebas yang berbentuk seperti parang yang menyerupai bulan sabit. Pekerjaan membersihkan lahan ini dikerjakan sendiri dan dibantu oleh anggota keluarga yang lain, namun ada pula yang mempekerjakan orang lain untuk membersihkan lahan pertanian tersebut, yang dibayar dengan sejumlah uang ataupun dengan keperluan rumah tangga seperti beras, gula dan bahan pangan lainnya. Sebagian besar petani Jawa menggunakan tajak untuk membersihkan rumput seperti halnya para petani Banjar, sedangkan traktor hanya sebagian dari petani Jawa yang menggunakan, yaitu bagi mereka yang mempunyai lahan pertanian cukup luas dan mempunyai tingkat ekonomi yang lebih. Para petani Jawa juga beranggapan bahwa dengan menggunakan tajak, tanah yang diolah lebih baik dari pada menggunakan traktor karena rumput-rumput yang selesai ditebas akan dibiarkan membusuk di atas tanah dan ini akan bermanfaat bagi kesuburan tanah. Menurut Bapak Sujono (67 tahun) salah satu petani transmigran di Desa Kolam-Kanan, "Menggunakan tajak akan lebih baik dari pada traktor karena rumput akan tumbuh lebih lama karena rumput dibiarkan membusuk di atas tanah dan biji dari rumput tersebut mengalami penghambatan pertumbuhan yang disebabkan oleh daun-daun yang menumpuk. Sedangkan jika menggunakan traktor, biji akan tertinggal di tanah dan menyebabkan rumput baru tumbuh dengan cepat". Adapun tahap selanjutnya adalah penyemaian benih padi di sawah. Biasanya benih yang digunakan jenis siam adus (siam unus). Benih ini dipilih karena cocok dengan jenis tanah yang akan ditanami serta mudah dalam penanganannya. Dari petani sendiri, sejauh ini tidak ada keinginan untuk mengganti jenis bibit yang dipakai dengan jenis bibit lainnya, walaupun jenis tersebut hanya dapat dipanen setahun sekali. Selain alasan di atas, terdapat ketakutan tersendiri dari para petani jika menggunakan bibit lain, seperti gagal panen, serangan hama tikus jika panen tidak serempak, dan minimnya pengetahuan para petani 10 transmigran terhadap penggunaan bibit selain siam adus. Langkah pertama dalam tahap penyemaian benih adalah benih dibersihkan serta dipilah antara benih yang baik dan berpotensi unggul dengan yang tidak. Kedua, bibit yang telah dibersihkan dan dipilah kemudian dimasukkan dalam lubang yang dibuat dengan tugal (tongkat kayu panjang yang runcing). Dalam satu lubang terdapat berpuluh-puluh benih. Benih tersebut akan tumbuh menjadi wiwitan dalam jangka waktu ± 1,5 bulan untuk dapat di tanam di areal persawahan yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah wiwitan siap, biasanya terdapat sebuah ritual sebelum menanam wiwitan di areal persawahan, ritual tersebut dinamakan Co' Bakal. Adapun lingkup ritual ini hanya diikuti oleh keluarga inti Baja dan ritual ini hanya dilaksanakan oleh sebagian kecil dari para petani transmigran di Desa Kolam-Kanan. Ritual Co' Bakal ini berisi pemanjatan do'a-do'a selamat dan sesajen yang diletakkan di pojok areal persawahan. Adapun isi dari sesajen Co' Bakal tersebut adalah kembang kenanga, bumbu dapur (seperti bawang, merica, ketumbar, dan lain-lain), nyiur yang sudah diparut, nasi ketan, telur ayam, dan gula merah, yang dibungkus dengan daun pisang membentuk mangkuk. Tujuan dari ritual Co' Bakal ini adalah untuk meminta ijin kepada para leluhur terdahulu sebagai pemilik tanah yang akan ditanami. Di mana terdapat keyakinan supaya padi yang ditanam akan babarkat, yang artinya jika segala sesuatunya dimulai dengan kebaikan maka hasil yang diperoleh akan baik pula. Selanjutnya, setelah wiwitan ditanam, kemudian masuk dalam tahapan pemeliharaan. Dimulai dari pemberian pupuk dengan jenis urea dan TSP yang dicampur dengan kapur untuk menetralisir kadar keasaman tanah. Pemberian pupuk dan kapur dilakukan 2 (dua) kali hingga padi siap dipanen. Tidak hanya padi yang ditanam di areal persawahan, para petani juga menanam tanaman palawija dan sayur-sayuran seperti terong, cabe 11 rawit, singkong, kacang tanah, keladi, pisang, jagung dan jeruk. Dengan memanfaatkan galangan sawah sebagai tempat menanam tanaman palawija tersebut. Hasil dari tanaman sampingan itu ada yang dijual dan untuk konsumsi sendiri. Selain itu para petani transmigran juga beternak, kebanyakan dari mereka memelihara binatang ternak seperti ayam dan sapi. Walau kecil-kecilan, tetapi dari pemeliharaan ternak tersebut dapat menambah penghasilan dari para petani. Dalam hal ini ternak tersebut oleh para petani untuk dikonsumsi sendiri dan sebagian dijual di pasar. Tidak sedikit ditemui lahan persawahan berubah fungsi menjadi lahan perkebunan. seperti perkebunan jeruk dan rambutan. Dimana kedua tanaman ini menjadi pilihan bagi para petani transmigran selain mengolah sawah. Adapun yang menjadi alasan mengubah persawahan menjadi perkebunan, adalah karena menurunnya tingkat kesuburan dan tingginya kadar keasaman tanah pasta kebakaran. Dimana pada saat itu para petani transmigran masih belum dapat mengutusi permasalahan tersebut, sehingga mereka berinisiatif mengolah areal persawahan yang pada awalnya diperuntukkan bagi tanaman padi menjadi lahan perkebunan jeruk dan rambutan. Hal tersebut dimaksudkan agar mereka dapat bertahan hidup dan lahan tidak kosong. 2. Strategi di Bidang Pangan a. Strategi Petani Jawa Memasuki Musim Panen Setiap proses pertanian, baik pertanian dengan panen satu kali setahun, pertanian dengan dua kali panen setahun atau pertanian dengan tiga kali panen setahun seperti pertanian di pulau Jawa tentunya selalu menanti musim panen. Pertanian di Desa Kolam-Kanan umumnya musim panen selalu jatuh pada bulan Agustus atau Nopember. Pada saat panen petani biasanya melibatkan seluruh anggota keluarganya yang dianggap mampu untuk membantu memanen padi. 12 Tetapi jika tenaga kerja terbatas maka mereka mencari tenaga kerja orang lain. Ini memperlihatkan bahwa petani Jawa memiliki rasa alturism (rasa berbakti) antara anggota keluarganya. Selain itu pada musim panen petani Jawa juga melibatkan orang lain sehingga dapat membantu pendapatan mereka. Pada saat memasuki musim panen, umumnya banyak anggota masyarakat baik yang berasal dari desa Kolam-Kanan sendiri maupun masyarakat dari desa lainnya yang menawarkan jasa untuk memanen padi. Pekerjaan mereka ini umumnya disebut maambil upah (bekerja di sawah dengan mengharapkan upah). Standar upah untuk pekerja upahan tergantung pada kesepakatan antara pemilik sawah dengan paambil upahan. Ada yang membayar sistem harian dan ada pula yang membayar dengan sistem borongan. Sistem harian biasanya ±Rp 25.000,00 perhari. Sedangkan untuk sistem borongan biasanya ±Rp. 50.000,00 perorang. Hasil panen yang mereka dapatkan pada saat kondisi tanah subur biasanya sekitar 300 kaleng per 2 ha sawah. Hasil panen sebagian digunakan untuk membayar hutang pupuk pada saat proses penanaman dan sebagian lagi digunakan untuk konsumsi keluarga. Hasil yang digunakan untuk konsumsi biasanya sudah mereka perkirakan untuk konsumsi satu tahun, umumnya 1/3 dari hasil panen atau 100 kaleng. Jenis padi yang dipanen berupa siam adus (siam unus). padi jenis ini di pilih karena mutunya paling baik dan cocok dengan kondisi tanah di desa Kolam-Kanan. Selain itu.jenis ini tergolong mahal karena rasanya yang enak dan lembut dibandingkan dengan jenis lainnya. Untuk sate blek (sekitar empat liter) beras jenis siam unus ini biasanya dihargai sebesar Rp. 35.000,-. Oleh karena itu banyak para petani Jawa di Desa Kolam-Kanan menanam padi jenis ini. Pada saat musim panen padi jenis slam adus ini menjadi konsumsi utama bagi petani Jawa di desa Kolam-Kanan. Untuk 13 lauknya sendiri biasanya mereka dapatkan dengan membelinya di pasar dan ada juga yang membeli dari pedagang keliling. Untuk sayurannya mereka biasanya mengambil dari kebun sendiri yang terletak di samping dan pekarangan rumah atau di galangan-galangan sawah, hanya sayur-sayur tertentu saja yang mereka beli dari pedagang keliling karena tidak ditanam sendiri di kebun mereka. Dari hasil temuan di alas, dapat dilihat bahwa para petani Jawa mampu memenuhi kebutuhan subsistem dengan cara mereka sendiri. Ini membuktikan bahwa mereka telah mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru di Desa Kolam-Kanan walaupun kondisi lingkungannya berbeda dengan di daerah asal pulau Jawa. b. Strategi Petani Jawa Menghadapi Musim paceklik Musim paceklik merupakan masa yang sulit bagi petani, biasanya musim ini jatuh pada bulan november-pebruari. Pada saat musim tersebut persediaan padi mulai menipis dan aktivitas pertanian tidak ada atau sering disebut disebut musim diam. Petani Jawa biasanya mencari alternatif pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Adapun pekerjaan yang mereka geluti selam musim diam yaitu membuka hutan di kota Marabahan untuk dijadikan lahan pertanian. Selama musim paceklik ada sebagian petani yang mulai kehabisan persediaan pangan. Oleh karena itu mereka membeli beras jenis lain yang lebih rendah mutunya dibanding beras unus untuk konsumsi sehari-hari. Ada pula sebagian lagi petani yang membeli atau berhutang kepada tetangga yang masih memiliki persediaan. Petani Jawa di desa Kolam-Kanan tergolong petani yang makmur karena pada saat musim paceklik pun tidak ada masyarakat yang menkonsumsi nasi tiwul atau nasi aking seperti yang terjadi pada petani di pulau Jawa. Pada musim paceklik petani transmigran Jawa masih mengkonsumsi beras, akan tetapi beras yang dikonsumsi 14 adalah beras yang kualitasnya lebih rendah dibanding betas siam unus seperti beras Bulog dan beras IR. Pada tahun 1998, di desa Kolam-kanan terjadi kebakaran yang memusnahkan lahan pertanian penduduk, yang menyebabkan penurunan kualitas tanah pertanian. Menurut Pa Tarsan, peristiwa kebakaran tersebut berimbas pada tingkat hasil pertanian yang beberapa tahun mengalami penurunan secara drastis. Tidak hanya itu, hal tersebut juga berpengaruh pada pola makan masyarakatnya, seperti banyaknya masyarakat yang kekurangan pangan sehingga mereka mengkonsumsi tiwul (makanan yang terbuat dari ubi yang dikeringkan kemudian dihaluskan dan dimasak). c. Strategi Petani Dalam Belanja dan Pengeluaran Pada dasarnya petani Jawa di daerah Kolam-Kanan tersebut mempunyai sifat konsumtif yang rendah, hal ini dapat terlihat dari pola makan yang sederhana dan perabot rumah tangga yang tidak terlalu mewah. Mereka lebih suka hidup sederhana dengan kebutuhan pangan yang tercukupi. Para petani Jawa di Kolam-kanan ini lebih suka menginvestasikan hasil pertaniannya dalam bentuk modal dan biaya pendidikan anak-anaknya. Seperti anggapan Bapak Punari (38 tahun) "Duit hasil pertanian lebih baik digunakan untuk pendidikan anak dari pada membeli barang-barang perabotan rumah tangga, karena pendidikan penting untuk masa depan anak-anak". Untuk sekolah sendiri, SD berada di desa kolam kanan sedangkan tingkat SMP dan SMA berada di kota Marabahan tapi walaupun jarak cukup jauh, kenyataannya mereka masih memiliki motivasi yang tinggi untuk bersekolah. I lal ini berarti, para petani Jawa di Desa Kolam-Kanan tersebut mempunyai orientasi ke depan mengenai pendidikan untuk meningkatkan status keluarganya. Untuk modal, mereka lebih mengutamakan ke pupuk karena 15 pupuk merupakan bagian yang paling penting dalam usaha pertaniannya, bahkan mereka meminjam banyak pupuk pada salah seorang petani yang menyalurkan pupuk dan pada saat panen, pupuk yang telah dipinjam akan dibayar dalam bentuk uang. lbu-ibu mempunyai peranan penting dalam mengatur pengeluaran dan belanja sehari-hari. biasanya mereka pergi ke pasar yang berada di Kolam-kiri yaitu pada hari minggu dan ini dilakukan setiap satu minggu sekali (stranggul market). Barang-barang yang dibeli berupa keperluan rumah tangga seperti garam, gula, bawang, minyak goreng dan keperluan lainnya yang dianggap penting. Selain itu, jika para ibu-ibu tersebut kehabisan barang maka mereka akan menitip pada tetangga yang secara kebetulan pergi ke Marabahan. Di Desa Kolam-kanan ini tidak banyak terdapat warung atau kios,karena masyarakatnya tidak terlalu suka jajan ke warung, mereka lebih suka membuat sendiri di rumah dibanding kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Banjar yaitu belanja di warung sebelum melakukan aktivitas di sawah. Masyarkat Jawa di desa Kolam kanan ini beranggapan bahwa jika mereka berbelanja di luar rumah maka hal itu hanya untuk pemborosan raja padahal masih banyak kepentingan lain yang lebih utama. 3. Strategi Reproduksi Masyarakat petani Jawa di desa Kolam-Kanan pada umumnya telah hidup berumah tangga cukup lama dan telah memberi keturunan dua generasi, di antara mereka ada yang telah memiliki anak dan cucu (reproduksi). Adapun mayoritas tipe dari bentuk keluarga masyarakat petani Jawa di Desa Kolam-Kanan ini adalah keluarga batik, seperti keluarga Ibu Rohani dan keluarga Bapak lyak, yang hanya memiliki anak 2-4 orang saja. Namun ada pula bentuk keluarga luas, seperti keluarga Mbah Ndoyo. Mbah Ndoyo adalah salah satu tetuha (tokoh 16 masyarakat) di wilayah transmigran ini. la termasuk orang tua yang memiliki banyak anak, yaitu 12 orang dengan tambahan cucu. Dalam hal memilih pasangan, beberapa di antara generasi kedua memilih bentuk perkawinan eksogami. sebagian besar mereka menikah dengan laki-laki yang berasal dari suku Banjar. Perkenalan mereka biasanya terjadi di tempat-tempat kerja di wilayah Kota Banjarmasin seperti di pabrik-pabrik atau di sektor jasa lainnya. Perkawinan dengan perbedaan latar kultural inilah tampaknya yang menyebabkan adanya perbedaan orientasi dalam menyikapi kehidupan anak-anak mereka. Terdapat perbedaan dalam hal reproduksi antara generasi tua dan generasi muda. Generasi tua rata-rata memiliki banyak anak, sedang generasi muda cenderung memiliki anak yang sedikit. Menurut para generasi tua, dulu mereka tidak mengenal program KB (Keluarga Berencana). Sedangkan pada generasi muda yang jumlah anaknya sedikit, mereka telah mengenal program KB (Keluarga Berencana). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat reproduksi pada generasi tua lebih tinggi dari pada generasi muda. Para petani Jawa di desa Kolam-Kanan ternyata mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan, terlebih pada pendidikan anak-anak mereka. Hal tersebut terlihat dari anak-anak mereka yang bersekolah sampai jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas). Bahkan ada beberapa yang menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang Perguruan Tinggi, hal itu biasanya berlaku bagi keluarga yang mampu. Namun, sebagian dari mereka ada yang tidak menyekolahkan anak mereka sampai tingkat SMA dan hanya sampai tingkat SD (Sekolah Dasar) saja, hal tersebut disebabkan oleh faktor keterbatasan biaya. Bagi mereka anak adalah investasi untuk kehidupan kelak, dimana mereka berharap jika anak sudah besar maka is dapat membantu pekerjaan orang tua terutama dalam hal pertanian. Anak-anak yang masih sekolah biasanya turut membantu pekerjaan orang tuanya bertani setelah pulang dari sekolah. Hal tersebut dimaksudkan agar kelak anak 17 tahu dan mengerti tata Cara bertani. Biasanya anak-anak yang membantu orang tuanya bertani adalah anak-anak usia SMP (Sekolah Menengah Pertama). Namun anggapan ini hanya berlaku bagi sebagian orang. Bagi keluarga yang merupakan hasil perkawinan campuran dengan penduduk Banjar maka anggapan ini sudah mulai hilang. Anak-anak mereka hampir tidak ada yang dilibatkan dalam pekerjaan pertanian. setelah lulus dari sekolah, kebanyakan dari mereka bekerja di perusahaan-perusahaan atau hidup merantau seperti menjadi pelayan warung nasi goreng di Banjarmasin. Jika sudah berhenti bekerja dan kemudian menikah, maka mereka akan kembali lagi ke Desa KolamKanan. Pada akhirnya anak-anak tersebut juga hidup bertani seperti orangtua mereka. Kehidupan para transmigran Jawa tidak hanya sebatas bertani saja, mereka juga melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang bekerja menjadi tukang sapu di kantor pemerintahan Marabahan (Pasukan Kuning), seperti suami Rohani. Ada pula yang menjadi buruh bangunan jika musim panen sudah selesai, dan mencari kayu galam untuk dibuat kayu bakar dan kemudian dijual. Tidak hanya itu, ada juga yang berjualan tahu, tempo dan sayur-sayuran di pasar. Berjualan lontong di Sekolah seperti keluarga Rohani dan membuka warung seperti yang dilakukan lbu lyah. Bahkan ada yang menjadi dukun beranak seperti Mbah Ndoyo. Hal tersebut mereka lakukan untuk menambah pendapatan ekonomi keluarga. Tanah sebanyak 2 hektar yang didapat para transmigran umumnya tidak dibagi rata kepada, anak-anaknya. setiap anak tidak harus mendapat warisan tanah secara merata. Karma dulunya tanah seluas 2 hektar tersebut banyak yang telah dijual. Tanah itu akan digarap oleh orangtua mereka selama masih mampu, meskipun tidak maksimal dikarenakan usia yang telah tua. Tanah itu biasanya digarap oleh anak yang kehidupannya dianggap lebih sudah dari anak-anaknya yang lain. Sedangkan anak-anak yang lainnya ada yang membeli tanah sendiri, dari 18 uang yang didapat saat bekerja di perusahaan atau lainnya. Sehingga tidak ada pembagian tanah secara merata, terkecuali jika orangtua mereka telah meninggal dunia, maka tanah akan dibagi secara adil kepada anakanak mereka. 19 KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Para petani transmigran Jawa di Desa Kolam-Kanan 99% berprofesi sebagai petani. Mereka di fasilitasi oleh pemerintah berupa tanah seluas 2 ha, dengan rincian 175 m2 untuk lahan persawahan, dan 25 ml untuk mendirikan rumah. Sistem pertanian yang dipakai adalah pertanian pasang-surut. Karena tingginya tingkat keasaman, tanah, maka para petani transmigran Jawa di Desa Kolam -Kanan menggunakan kapur untuk mengurangi tingkat keasaman tanah. Jenis padi yang ditanam adalah siam adus (siam onus). Selain padi, mereka juga menanam tanaman palawija dan sayur-sayuran. Sebagian besar petani transmigran di Kolam Kanan dapat dikategorikan sebagai petani subsisten dengan prinsip "safety first" yaitu dahulukan selamat karena mereka bercocok tanam lebih mengedepankan menghindari kegagalan yang menghancurkan kehidupannya daripada memperoleh keuntungan besar. Dalam tingkat adaptasi, masyarakat petani Jawa transmigran di Desa Kolam-Kanan termasuk tinggi. Hal terlihat jelas pada musim paceklik, tidak ditemui kasus kekurangan bahan pangan. Mereka memanage hasil panen seefisien mungkin, maka beras yang dipanen cukup untuk memenuhi pangan selama satu tahun, maka beras tidak dijual, sebaliknya jika hasil panen melebihi kebutuhan pangan untuk satu tahun, maka kelebihan tersebut dijual. Terdapat perbedaan tingkat reproduksi pada masyarakat petani Jawa transmigran di Desa Kolam-Kanan, antara generasi tua dan generasi muda. Dimana generasi tua memiliki banyak anak, sedang generasi muda cenderung memiliki anak yang sedikit. Selain itu mereka juga mulai mengorientasikan pekerjaan anak-anak mereka ke sektor-sektor yang lebih variatif seperti bekerja di perusahaan atau di bidang jasa dan perdagangan. Anggapan bahwa anak sebagai aset dan tenaga kerja tambahan di sektor pertanian juga telah mulai menghilang seiring dengan 20 mulai terintegrasinya mereka ke dalam kebudayaan Banjar lewat perkawinan. 2. Saran Para petani Jawa transmigran di Desa Kolam-Kanan diharapkan terus melakukan inovasi-inovasi dalam bidang pertanian. Hal ini disarankan agar tingkat produksi pertanian meningkat, yang secara otomatis akan meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. 21 DAFTAR PUSTAKA Abdoellah, 1990. Budidaya Tanaman Padi. Yogyakarta: Kanisius. Denni, Richard, 1997. Sukses Memotivasi, Jurus Jim Meninggalkan Prestasi. Alih Bahasa Pius M. Sumaktoyo. Jakarta: PT. Gramedia. Geertz, 1976. Ivolusi Pertanian, terjemahan S. Supomo. Jakarta: Bharata KA. Mubyarto, 1994. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Sinai Harapan. Redfield, 1985. Masyarakat Petani dan Kebudayaan, terjemahan YIIS. Jakarta: CV. Rajawali. Sanderson, Staphen. K, 1993. Sosilogi Makro, terjemahan Farid Wajidi dan S. Menno. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Scott, James. C, 1981. Moral Ekonomi Petani, terjemahan Hasan Basri. Jakarta: PT. Gramedia. Soewardi, Herman, 1999. Tiba Saatnya Islam Kembali Kaffah, Kuat dan Bertihad, Suatu Kognisi Baru Tentang Islam. Bandung: Pasca Sarjana UNPAD. Steward, JH,1955. Theory of Culture Change. Urbana: University of Illionis Press. Wahyu, 2001. Disertasi, Kemampuan Adaptasi Petani dalam Sistem Usahatani Sawah Pasting Surut dan Irigasi di Kalimantan Selatan. Bandung: Pasca Sarjana UNPAD. Wolf, Eric R, 1983. Petani Suatu Tinjauan Antropologis, terjemahan YIIS. Jakarta: CV. Rajawali. 22