Dengan ATP Atasi Kemiskinan

advertisement
Teknologi Pertanian
Dengan ATP Atasi Kemiskinan
Kompas : Rabu, 15 Oktober 2008 | 01:26 WIB
Yuni Ikawati
Kembali ke kampung halaman untuk menghindari konflik di daerah transmigrasi, para eks
transmigran asal Jawa Barat menghadapi ancaman lain, yakni kemelaratan. Menjadi warga
terpinggirkan di daerah asalnya, mereka ditempatkan di kawasan perbukitan yang terisolasi,
kurang subur, dan rawan longsor di Cianjur Selatan.
Untuk melepaskan mereka dari jerat kemiskinan, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten
Cianjur menjalin kerja sama dengan Kementerian Negara Riset dan Teknologi memperkenalkan
sistem pertanian terpadu berbasis teknologi tepat guna.
Cita-cita para transmigran mencari kehidupan lebih baik di tanah seberang telah tercapai ketika
mereka berhasil menjadi petani sukses dan beranak-pinak. Namun, nasib baik rupanya tidak
lama berpihak pada warga transmigran di Nanggroe Aceh Darussalam, Lampung, Kalimantan
Barat, dan Maluku.
Konflik berdarah di daerah- daerah pada pasca-reformasi mendorong mereka—termasuk para
transmigran dari Jawa Barat—berangsur-angsur kembali ke desa asalya, mulai tahun 1997.
Namun, di kampung halaman, mereka kembali ke titik nol, ibarat putaran roda pedati, kini
mereka di titik terbawah. Mereka berjumlah 3.000 kepala keluarga, menjadi warga kelas bawah
di lahan marginal.
Dengan lahan seluas 8.000 meter persegi yang diberikan kepada tiap kepala keluarga di desa
Koleberes, Kecamatan Cikadu, mestinya mereka sudah dapat bangkit dari keterpurukan.
Namun, ternyata lahan yang ada —seluas 25 hektar—tidak tergolong subur. ”Padahal pada
masa Pemerintahan Hindia Belanda, daerah itu merupakan bagian dari sentra perkebunan teh
di Jawa Barat, yang terbesar di Asia,” ungkap Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto
Kadiman dalam kunjungan kerjanya ke daerah relokasi, 7-8 Oktober 2008. Daerah itu kemudian
dijadikan agrotechno park (ATP).
Ketidaksuburan kawasan perbukitan itu dibuktikan dengan hasil penelitian Sutardjo, Kepala
Bidang Tanaman Perkebunan dan Kehutanan Pusat Teknologi Pertanian Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT). Penelitiannya menyebutkan, kadar karbon organik pada
tanah di Koleberes di bawah 1 persen. Padahal untuk lahan pertanian minimal 3 persen.
Unsur hara dalam tanah akan terbawa dalam tanaman yang dipanen. Tanpa pemberian unsur
hara dari bahan organik, antara lain pupuk kompos, kesuburan tanah akan terus menurun.
Rehabilitasi lahan di daerah itu, menurut Sutardjo, dapat dilakukan dengan memberikan limbah
serbuk gergaji. Bahan organik dapat kembali menyuburkan tanah karena kemampuannya
menyerap air dua kali dari bobotnya. Jumlah limbah penggergajian di daerah itu tak sebanding
dengan luas tanah.
Beberapa waktu lalu, pakar pertanian terpadu mantan peneliti BPPT, Achsin, menjelaskan,
untuk skala kecil penyuburan tanah juga dapat dilakukan dengan memberikan kotoran sapi atau
ternak pemamah biak lainnya. Pada skala besar, penyuburan tanah dapat memakai legium
cover crop atau tanaman perintis, seperti lamtoro sebagai tegakan dan gamal tanaman yang
merambat. Keduanya dapat menyerap nitrogen untuk ditambatkan pada tanah.
”Bulan Oktober merupakan saat tepat untuk menanam tanaman perintis. Sehingga pada akhir
musim hujan mendatang, di bulan Maret-April, tanaman itu sudah subur,” ujar Achsin yang
merintis pembangunan ATP Palembang. Tanaman perintis itu lalu diintegrasikan dengan jenis
kambing kacang yang tahan terhadap HCN (asam sianida) yang ada di daunnya.
Kotoran ternak ini ditebar untuk menambah kesuburan. ”Akan lebih subur kalau ditambah jenis
rizobium atau mikoriza penyubur,” tambahnya.
Pada lahan yang ditanami lamtoro dan gamal per hektarnya bisa memelihara 50 ekor induk
kambing kacang, yang dalam dua tahun dapat beranak enam ekor. Menurut Achsin yang kini
tengah merintis pendirian Muara Enim Practical University, menjelang kemarau kambing dapat
dijual karena cadangan pangannya terbatas.
Pada sistem pertanian terpadu di ATP Koleberes diternakkan domba garut di samping sapi dan
ayam, urai Ophirtus Sumule, Ketua Tim dari KNRT.
Dalam kunjungannya, Kusmayanto Kadiman menyerahkan bantuan kepada petani andalan
Partidjo, eks transmigran Lampung, berupa lahan 8.000 meter persegi (untuk ditanami rumput
gajah, jagung, kopi, dan kina), 2 sapi, 3 kambing, dan 50 ayam. ”Dengan modal itu, ia akan
menjadi model bagi petani lain dalam menerapkan sistem pertanian terpadu,” ujarnya.
Dengan tanaman dan ternak itu, petani dapat memperoleh kecukupan sumber untuk pakan
ternak, pupuk, dan memberikan mereka penghasilan dalam skala harian, mingguan, bulanan,
hingga tahunan.
Melalui ATP Koleberes, Kementerian Negara Riset dan Teknologi akan terus memberikan
supervisi dan fasilitasi teknologi hingga masyarakat sekitar menjadi mandiri mengelola potensi
sumber daya alamnya. Ini diperkirakan dapat terwujud pada 2011. ATP Koleberes diharapkan
menjadi rujukan bagi kabupaten lain di Jawa Barat.
Perkebunan kina
Pembangunan ATP Koleberes Cianjur dirintis oleh Pemda Jabar sejak tahun 2005. Hingga
tahun ini, pembangunan ATP telah melibatkan KNRT, Kadin Jabar, Balitbangda Jabar, Dinas
Pendidikan Jabar, Unpad, dan Depdiknas.
Kawasan ATP seluas 25 hektar ini terdiri dari kebun kina 6 ha, jagung 4 ha, jahe 5,75 ha, dan
sisanya untuk hijauan makanan ternak, kopi, dan pisang. Juga terbangun kadang ternak,
gedung pascapanen/prosessing: pengering hybrid (6 ton per hari), ruang prosesing hasil panen,
dan gudang serta warung informasi teknologi, serta ruang pendidikan dan pelatihan.
ATP Koleberes Cianjur akan dikembangkan untuk perkebunan kina—kini masih impor 5.000 ton
per tahun. Produksi kulit kina di dalam negeri sendiri hanya sekitar 1.800 ton per tahun.
Permintaan kulit kina oleh industri nasional tinggi karena kegunaannya beragam, yaitu untuk
bahan baku farmasi, minuman ringan, kosmetik, penyamakan kulit, dan biopestisida.
Menurut Sutardjo, Indonesia memiliki jenis tanaman kina yang tinggi kandungan kinina
sulfatnya, yaitu zat yang digunakan untuk membuat pil kina, di atas 14 persen—dua kali lipat
dari kina di negara lain.
Penanaman tanaman perkebunan yang berjangka tahunan berfungsi untuk mengikat tanah
sehingga mencegah longsor, erosi, dan sebagai penahan air untuk memperbaiki sistem
hidrologis wilayah perbukitan itu. ”Pemilihan lokasi Koleberes Cikadu didasarkan hasil studi
Badan Penelitian Pengembangan Daerah Jawa Barat yang merekomendasikan pengembangan
kina di kawasan ini,” jelas Ophirtus Sumule, Kepala Bidang Pengembangan Sistem Jaringan
Produksi KNRT.
Download