BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan nilai

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan nilai-nilai yang menyangkut pembentukan moral peserta didik
belum diterapkan secara maksimal. Pendidikan di sekolah lebih mengedepankan
peningkatan akademik pada ranah kognitif dibandingkan dengan ranah afektif.
Akibatnya penurunan moral di kalangan peserta didik menjadi wabah yang
semakin memprihatinkan. Hal ini akan berpengaruh pada perilaku peserta didik
karena moral menjadi landasan bagi seseorang yang tercermin dalam perbuatan
sehari-hari.
Moral merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia
yang beradap. Moral juga berarti ajaran baik dan buruk perbuatan dan kelakuan
(akhlak). Moralisasi berarti uraian (pandangan, ajaran) tentang perbuatan dan
kelakuan yang baik dan buruk. Moralisasi berarti uraian (pandangan, ajaran)
tentang perbuatan dan kelakuan yang baik. Demoralisasi berarti kerusakan moral
(Rismawaty, 2008: 67).
Salah satu penyebab kerusakan moral adalah arus globalisasi yang sudah
melanda negara-negara di berbagai belahan dunia. Globalisasi merupakan
gelombang budaya yang bersifat mundial. Gelombang itu akan melanda cara
berpikir, makan, berpakaian dan tingkah laku manusia, terutama generasi muda.
Krisis identitas bangsa telah terjadi dan hampir tidak mungkin dielakkan (Tilaar
H.A.R, 2009: 158). Fenomena ambiguiti muncul karena masuknya nilai-nilai
budaya luar yang juga memunculkan perilaku dan sikap paradoksal, perilaku yang
1
2
seolah mampu memutus hubungan antara dunia ideal dengan dunia real (Sairin,
2002: 179).
Selain itu perkembangan teknologi dan komunikasi yang semakin canggih
juga berpengaruh terhadap kerusakan moral generasi penerus bangsa terutama di
kalangan remaja. Telah banyak diekspos di media masa, bahwa penggunaan
perangkat
Teknologi
kontraproduktif
Informasi
(TI)
yang berlebihan
akan berdampak
bagi kegiatan belajar remaja di sekolah. Bahkan dari segi
psikologis, keterlibatan remaja dalam penggunaan internet yang berlebihan juga
ditengarai akan menimbulkan pengaruh negatif. Terutama ketika remaja
memanfaatkan internet untuk menelurusi informasi-informasi yang seharusnya
bukan untuk kepentingan dan sesuai dengan usia mereka (Narwoko dan Bagong,
2004: 417).
Berbagai masalah yang terkait dengan penurunan moral telah ada dan akan
selalu ada. Masalah moral tidak begitu saja lenyap. Ada kalanya perhatian orang
dipusatkan pada masalah yang bersumber pada etika dan moral. Ilmu-ilmu sosial
sering digunakan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang terkait
dengan etika dan moral. Moralitas dianggap sebagai sejumlah keyakinan yang ada
pada masyarakat yang sedang ditelaah. Ada juga yang mengartikannya sebagai
sejumlah kecenderungan pribadi. Tahun-tahun belakangan ini telah tumbuh
kesadaran akan adanya masalah-masalah moral yang khas, dan adanya kebutuhan
manusia atas berbagai jawaban terhadap masalah etis (Held, 1989: 8).
Dampak nyata dari penurunan moral bangsa ini dapat dilihat dari krisis
kepemimpinan yang dialami bangsa Indonesia selama berpuluh-puluh tahun.
3
Kondisi diperparah dengan adanya perilaku korupsi, tawuran, gaya hidup
hedonisme, cepat putus asa, egoisme, kurang percaya diri, penyalahgunaan
narkotika dan kebiasaan mencontek atau plagiarisme di kalangan pelajar
merupakan contoh-contoh perilaku masyarakat yang tengah merebak dewasa ini.
Fenomena-fenomena ini merupakan gambaran yang tidak sejalan dengan harapan
dari hasil-hasil pendidikan. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) seperti itu
menyebabkan tingkat daya saing bangsa Indonesia dalam tataran dunia tergolong
rendah. Hasil penelitian yang termuat dalam The Global Competitivenes Report
2011-2012 yang dibuat oleh Wordl Economic Forum (WEF) menempatkan posisi
daya saing Indonesia di kawasan ASEAN berada pada posisi keempat di bawah
Singapura, Malaysia, dan Thailand (Supardi, 2013: 113).
Seorang pakar sosiologi Indonesia, Selo Sumardjan mengatakan bahwa
korupsi merupakan bagian sisi gelap mental bangsa Indonesia. Pendapatnya
relevan dengan keadaan yang ada saat ini mengingat begitu meluasnya praktikpraktik korupsi di Indonesia. Korupsi menjadi budaya yang terbangun dengan rapi
dan sistematis serta sulit untuk dihilangkan. Budaya korupsi telah memporakporandakan Indonesia. Pelaku korupsi merampas uang negara yang sebenarnya
bisa digunakan untuk mengatasi kemiskinan, biaya pendidikan, biaya kesehatan
dan kesejahteraan, dan lain sebagainya. Meskipun Indonesia telah mengalami
pergantian presiden berkali-kali dan telah dibentuk tim pemberantasan korupsi,
tetapi kenyataannya tindak pidana korupsi tetap berkurang dan tidak berkurang.
Pelakunya seakan tidak memiliki rasa malu lagi. Bahkan pejabat elite politik yang
4
seharusnya menjadi panutan malah tergiur melakukan praktik korupsi (Mulkhan,
2003: 33).
Semua keterangan di atas menunjukkan bahwa moral para pemimpin
bangsa seakan berada pada titik nol. Mereka yang seharusnya menjadi teladan dan
harapan besar bagi rakyat justru melakukan tindakan-tindakan amoral yang tidak
pantas. Kebijakan-kebijakan yang mereka ambil tidak menguntungkan rakyat
kalangan bawah. Sebaliknya, kebijakan itu menguntungkan dirinya sendiri dan
golongan elit tertentu. Wakil-wakil rakyat telah melupakan amanah besar yang
berada pada pundak mereka. Hal ini berimbas pada kondisi sosial, ekonomi,
politik, dan pendidikan di negeri ini.
Kepemimpinan para petinggi negeri ini menunjukkan penurunan dari
waktu ke waktu. Beberapa dekade ini jarang sekali muncul pemimpin yang benarbenar bertanggung jawab dan rela berkorban demi kemajuan bangsa. Fenomena
yang kita alami saat ini justru memperlihatkan bahwa para pemimpin itu
melakukan banyak kesalahan, meninggalkan banyak amanah mereka begitu saja,
tidak konsekuen dengan janji-janjinya, dengan bangga melakukan tindak pidana
korupsi, tidak disiplin, dan mementingkan kepentingan pribadi serta golongan.
Sosok-sosok pemimpin teladan seperti Sultan Hasanudin, Sultan Agung, Pangeran
Diponegoro,Kihajar Dewantara, Sukarno, Jenderal Sudirman, dan lain-lain seakan
telah menghilang.
Bangsa ini membutuhkan para pemimpin-pemimpin kharismatik seperti
masa silam berabad-abad yang telah lalu untuk menjadikan bangsa Indonesia
maju. Para pemimpin kharismatik diharapkan mampu mengubah keadaan
5
Indonesia yang sedang terpuruk menuju harapan baru yang lebih baik, ikut
bersaing dalam kancah internasional, dan disegani oleh negara-negara di berbagai
belahan dunia. Pemimpin kharismatik biasanya memiliki ambisi yang besar untuk
membawa bangsanya mencapai puncak kejayaan. Mereka merupakan sosok
panutan bagi rakyat dan para bawahan mereka. Kesetiaan mereka kepada negara
sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi karena kebanyakan para pemimpin teladan
memiliki jiwa ksatria yang telah terpatri dalam hati mereka.
Berdasarkan uraian permasalahan tentang penurunan moral bangsa ini dan
keterkaitannya dengan krisis kepemimpinan, maka permasalahan tersebut dapat
dicari jalan keluarnya. Salah satu caranya ialah dengan menerapkan pendekatan
dan metode pembelajaran nilai dan moral kepada peserta didik. Sejalan dengan
pendapat tersebut Sjarkawi (2006) mengatakan bahwa jika pertimbangan moral
menjadi penentu tingkah laku moral, maka pembiasaan atau pelatihan tingkah
laku moral berdasarkan pertimbangan kognitif harus dilatihkan pada peserta didik,
agar aspek pertimbangan kognitif menjadi lebih dominan di dalam bertingkah
laku moral. Pendidikan intelektual lewat pendidikan formal yang melibatkan
peserta didik ikut berpikir aktif dalam menghadapi persoalan-persoalan moral
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari menjadi salah satu kemungkinan untuk
pembiasaan peserta didik.
Esensi pendidikan nilai (budi pekerti ataupun moral) bertujuan untuk
membentuk pribadi anak agar menjadi manusia yang cerdas secara spiritual,
cerdas secara emosional dan sosial, cerdas secara intelektual, cerdas secara
kinestesis, baik dan bermoral, menjadi warga negara dan warga masyarakat yang
6
baik dan bertanggung jawab. Pendidikan nilai di Indonesia tentu saja tidak
terlepas dari dari nilai-nilai luhur yang bersumber pada budaya Indonesia
sebagaimana terangkum dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Para
pakar pendidikan nilai sepakat bahwa dewasa ini yang amat perlu disempurnakan
adalah pendekatan dan metode pembelajaran nilai oleh para pendidik, agar nilainilai tidak saja dipahami, tetapi juga diamalkan dalam kehidupan konkret seharihari (Adisusilo, 2014: 132).
Nilai-nilai luhur yang diterapkan dalam pembelajaran ini bersumber pada
Serat Tripama yang ditulis oleh almarhum Mangkunegara IV yang saat itu
menjabat sebagai raja Mangkunegaran yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran
Adipati Arya Mangkunegara yang keempat. Nama mudanya R. M. H
Gondokusumo, anaknya pangeran Hadiwijoyo I dari permaisuri yaitu anak ke-7.
Lahir di kota Solo malam Minggu Legi tanggal 8 Sapar tahun Jimakir 1739. Pada
saat masih bayi sudah diangkat menjadi anak oleh nenek dari ibu yaitu K.G.P
Adipati Arya MN (Mangkunegara) yang kedua (Supardi, 1961).
Terdapat tiga tokoh dalam Serat Tripama yang dijadikan sebagai teladan
utama. Tokoh-tokoh tersebut antara lain: Patih Suwanda, Adipati Karna, dan
Kumbakarna. Kepribadian agung yang mereka miliki sepatutnya dicontoh dan
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka memiliki jiwa
kepemimpinan yang kuat dan kharismatik sehingga dipuji oleh bawahan mereka.
Ketiga tokoh tersebut memiliki tanggung jawab yang besar untuk tetap
mempertahankan eksistensi negara mereka dari rongrongan bangsa asing.
Kepemimpinan mereka dapat menginspirasi generasi penerus bangsa agar paham
7
bagaimana bersikap dan bertindak sebagai pemimpin yang berbakti kepada negara
tumpah darahnya, setia kepada janji yang telah diembannya, bertanggung jawab,
dan rela berkorban demi keutuhan ibu pertiwi.
Salah satu contoh sikap kepemimpinan yang patut dicontoh oleh siapa saja
adalah kepemimpinan dan pengabdian agung yang dilakukan oleh Patih Suwanda
untuk negara dan Raja Arjunawijaya di Maespati. Patih Suwanda berhasil
menyemangati para bawahannya agar tetap berani maju di medan perang meski
lawannya adalah bala tentara raja Dasamuka. Lawan yang tangguh menjadikan
nyali para prajurit dari kerajaan Maespati mengendur. Saat keadaan genting
seperti itu dengan gagah perwira Patih Suwondo mengobarkan api keberanian dan
semangat tempur luar biasa untuk mempertahankan negaranya dari serangan
orang asing.
Kesetiaan Patih Suwanda kepada negara tidak hanya sebatas itu saja.
Ketika memenangkan sebuah pertempuran, maka hasil rampasan perang akan
diserahkan semua kepada raja. Patih Suwanda tidak mengambil untung atau
mengkorupsi hasil jerih payah saat perang. Patih Suwanda tidak hanyut dalam
kesenangan duniawi, tidak hidup dengan paham matrealistis, tetapi rela berkorban
sepenuh hati untuk negaranya. Hal tersebut dibuktikan dengan pengorbanan
nyawa yang dia persembahkan untuk negaranya. Sifat-sifat Patih Suwanda yang
terkenal yaitu guna, kaya, dan purun.
Nilai-nilai luhur dari Serat Tripama jika dilihat dari sudut kepemimpinan
tiga tokoh yang menjadi tauladan utama memberi peluang bagi bangsa ini untuk
memperbaiki jiwa kepemimpinan generasi penerus bangsa. Keterangan tentang
8
perjuangan dan sifat-sifat luhur yang dimiliki Patih Suwanda telah memberi
gambaran nyata perbedaan kepemimpinannya dengan pemimpin bangsa saat ini.
Pembelajaran sejarah yang disisipi pendekatan nilai dalam Serat Tripama untuk
meningkatkan jiwa kepemimpinan pada siswa diharapkan mampu diaplikasikan
secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai-nilai dalam Serat Tripama ini ternyata memiliki beberapa nilai yang
terkandung dalam pendidikan karakter. Nilai-nilai yang terkandung dalam nilainilai karakter antaralain: (1) religius; (2) jujur; (3) toleransi; (4) disiplin; (5) kerja
keras; (6) kreatif; (7) mandiri; (8) demokrasi; (9) rasa ingin tahu; (10) semangat
kebangsaan; (11) cinta tanah air; (12) menghargai prestasi; (13) bersahabat; (14)
cinta damai; (15) gemar membaca; (16) peduli lingkungan; (17) peduli sosial; dan
(18) tanggung jawab (Samani dan Hariyanto, 2012: 52).
Beberapa dari 18 nilai karakter yang ada, telah dimiliki oleh para tokoh
pemimpin dalam Serat Tripama. Baik Suwanda, Kumbakarna, maupun Adipati
Karna, semuanya memiliki karakter yang bertanggung jawab, cinta tanah air, dan
semangat kebangsaan. Selain itu sifat unggul Patih Suwanda yaitu guna, yang
berarti ahli pandai dan terampil menunjukkan bahwa Patih Suwanda tidak hanya
mementingkan kekuatan fisik. Ia juga membekali diri dengan berbagai ilmu dan
keterampilan (Hendri, 2008: 3).
Agar nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Serat Tripama bisa diserap
oleh peserta didik diperlukan model pembelajaran yang cocok untuk diterapkan
dalam proses pembelajaran sejarah. Model
pembelajaran
adalah
suatu
perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam
9
merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran territorial. Model
pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan,
termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan
pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas (Arends dalam
Trianto, 2013: 51).
Penelitian ini menggunakan model pembelajaran kooperatif dengan tipe
jigsaw dimana peserta didik di dalam kelas akan dibagi dalam beberapa
kelompok. Setelah itu akan ditambahkan materi tentang nilai-nilai luhur dalam
Serat Tripama yang telah diselaraskan dengan standar kompetensi dan kompetensi
dasar yang telah diambil. Langkah selanjutnya akan dilakukan simulasi
kepemimpinan diakhir pertemuan pembelajaran.
Simulasi kepemimpinan diharapkan akan menambah semangat dan
wawasan peserta didik untuk memahami tata cara menjadi pemimpin yang baik.
Tatacara melakukan simulasi kepemimpinan adalah sebagai berikut: a) guru
membagi siswa dalam dua kelompok besar, b) masing-masing kelompok
memberikan tiga orang perwakilan ke depan untuk melakukan tugas, c) guru
menyiapkan peralatan simulasi kepemimpinan berupa dua buah dadu, satu lembar
permainan simulasi kepemimpinan dengan angka-angka, dua buah lonceng, dua
buah boneka mini, kartu-kartu pertanyaan seputar kepemimpinan, lembar jawab,
konsekuensi untuk jawaban yang salah, dan bentuk apresiasi untuk kelompok
pemenang, d) setiap anggota kelompok boleh membantu menguatkan argumen
dari perwakilan kelompoknya, dan e) setiap anggota kelompok boleh menyanggah
argumen dari kelompok lawan.
10
Begitulah sedikit gambaran rancangan penelitian yang diterapkan
dilapangan. Model pembelajaran sejarah yang inovatif disertai pendekatan nilai
untuk mengatasi degradasi moral yang sedang dihadapi bangsa ini dan simulasi
kepemimpinan diharapkan mampu menjadi sedikit pencerahan atas masalahmasalah yang telah diuraikan di atas. Terutama permasalahan menyangkut krisis
kepemimpinan yang dari hari ke hari semakin memprihatinkan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka maslah dalam penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. a. Bagaimanakah pembelajaran sejarah saat ini yang dilakukan di SMA N
3 Magelang?
b. Bagaimanakah kebutuhan terhadap model pembelajaran sejarah di
SMA N 3 Magelang?
c. Bagaimanakah jiwa kepemimpinan siswa saat ini di SMA N 3
Magelang?
2. Bagaimanakah desain model pengembangan
pembelajaran sejarah
berbasis nilai-nilai Serat Tripama yang diterapkan untuk siswa SMA N 3
Magelang?
3. Bagaimanakah efektivitas pengembangan model pembelajaran sejarah
berbasis nilai-nilai Serat Tripama di SMA N 3 Magelang?
C. Tujuan Penelitian
Berpijak dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan pembelajaran sejarah di SMA N 3 Kota Magelang.
11
2. Mendeskripsikan desain pengembangan
pembelajaran sejarah berbasis
nilai-nilai Serat Tripama yang diterapkan untuk siswa.
3. Mengetahui efektivitas pengembangan pembelajaran sejarah berbasis
nilai-nilai Serat Tripama.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian pengembangan ini perlu dilaksanakan, mengingat manfaatnya yang
besar, baik manfaat secara teoritis maupun praktis, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Pembelajaran
sejarah
berbasis
nilai-nilai
Serat
Tripama
untuk
menumbuhkan jiwa kepemimpinan siswa mencoba membuka arah baru agar
pembelajaran sejarah lebih bermakna dan lebih bermanfaat. Selain itu dapat
dijadikan solusi untuk membentuk karakter kepemimpinan pada siswa.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Guru
Model pembelajaran sejarah berbasis nilai-nilai Serat Tripama ini
diharapkan dapat menjadi solusi dan contoh dalam pembelajaran
sejarah di kelas. Guru dapat memanfaatkan naskah-naskah kuno dalam
pembelajaran sejarah untuk menanamkan nilai-nilai moral dan karakter
kepada siswa.
b. Bagi Siswa
Siswa diharapkan dapat memanfaatkan nilai-nilai Serat Tripama untuk
menumbuhkan
jiwa
kepemimpinan
di
dalam
dirinya.
Jiwa
12
kepemimpinan sangat penting dimiliki oleh setiap warga negara
dimana pun ia berada.
c. Bagi Peneliti
Sebagai salah satu arsip yang dapat digunakan untuk penelitian yang
relevan di masa yang akan datang.
E. Spesifikasi Produk
Penelitian pengembangan yang dilakukan menghasilkan produk berupa:
(a) panduan pelaksanaan model pembelajaran sejarah berbasis nilai-nilai Serat
Tripama; (b) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran; (c) Silabus pembelajaran.
F. Pentingnya Pengembangan
Model pembelajaran sejarah yang dapat menarik minat siswa untuk lebih
memaknai mata pelajaran sejarah yang kaya dengan nilai-nilai luhur budaya
bangsa masih perlu dikembangkan lagi. Terkait dengan hal tersebut,
pengembangan model pembelajaran sejarah berbasis nilai-nilai Serat Tripama
yang penuh dengan nilai-nilai kepemimpinan dari tiga tokoh teladan utama
dipandang sangat menarik dan strategis untuk diteliti dan dikembangkan. Model
pembelajaran tersebut membantu siswa untuk lebih memahami nilai-nilai yang
terkandung dalam Serat Tripama sekaligus membentuk jiwa kepemimpinan pada
diri siswa.
G. Asumsi dan Keterbatasan Pengembangan
Penelitian ini memiliki asumsi dan keterbatasan pengembangannya antara
lain:
13
1. Asumsi Model Pembelajaran Sejarah
a. Mata pelajaran sejarah wajib ditempuh oleh peserta didik sesuai
dengan struktur kurikulum SMA. Hal tersebut dimaksudkan untuk
tercapainya tujuan pendidikan nasional dan tujuan mata pelajaran ini
akan menunjang kompetensi kelulusan.
b. Pengembangan
model
pembelajaran
sejarah
dengan
mengkolaborasikan cooperative learning tipe jigsaw dan cooperative
learning tipe simulasi serta pendekatan nilai-nilai akan mempermudah
siswa untuk mencapai tujuan.
c. Model pembelajaran sejarah berbasis nilai-nilai Serat Tripama
bertujuan untuk meningkatkan keefektifan dan daya tarik pembelajaran
sekaligus menanamkan jiwa kepemimpinan pada diri siswa.
2. Keterbatasan Pengembangan
Ada beberapa keterbatasan pengembangan terhadap produk yang
dihasilkan dalam penelitian ini:
a. Penelitian pengembangan ini hanya menghasilkan model pembelajaran
sejarah berbasis dari Serat Tripama saja.
b. Model pembelajaran sejarah yang dikembangkan terbatas pada SMA N
3 Magelang kelas XI IPS 2 dan XI IPS 1 semester genap. Selanjutnya
model pembelajaran pada dasarnya bisa diterapkan di sekolah-sekolah
lain pada kelas XI tingkat Sekolah Menengah Atas dan Madrasah
Aliyah.
14
Download