KEWENANGAN NOTARIS DALAM STATUS TERSANGKA MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI PEJABAT UMUM MEMBUAT AKTA OTENTIK TESIS Oleh EDI NATASARI SEMBIRING 077011016/MKn SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Edi Natasari Sembiring : Kewenangan Notaris Dalam Status Umum Membuat Akta Otentik, 2009 Tersangka Menjalankan Tugas Sebagai Pejabat KEWENANGAN NOTARIS DALAM STATUS TERSANGKA MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI PEJABAT UMUM MEMBUAT AKTA OTENTIK TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu SyaratUntuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Oleh EDI NATASARI SEMBIRING 077011016/MKn SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Judul Tesis Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi : KEWENANGAN NOTARIS DALAM STATUS TERSANGKA MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI PEJABAT UMUM MEMBUAT AKTA OTENTIK : Edi Natasari Sembiring : 077011016 : Kenotariatan Menyetujui Komisi Pembimbing (Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, Mhum) Ketua (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, Mhum) Anggota (Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn) Anggota Ketua Program Studi Direktur (Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa,B.MSc) Tanggal lulus : Telah diuji pada Tanggal : PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Prof. Dr. Runtung Sitepu. SH. M.Hum Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi Azwar SH. CN. M.Hum 2. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn ABSTRAK Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan dan sebagainya, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial. Pada hakikatnya akta otentik memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada notaris. Namun notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta notaris telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi akta tersebut yang akan ditandatanganinya. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga jelas isi Akta Notaris tersebut serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundangundangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah suatu analisis data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain. Dari pendekatannya, penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Penyidikan terhadap notaris yang dilaporkan telah melakukan tindak pidana harus ada ijin tertulis terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Notaris. Ijin tersebut disampaikan oleh penyidik Polri kepada Majelis Pengawas Daerah Notaris yang tembusannya disampaikan kepada notaris yang bersangkutan. Notaris dalam status tersangka tetap berwenang untuk membuat akta. Dalam Undang-Undang nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, ketidak berwenangan notaris dalam membuat akta jika dia dalam status belum disumpah, cuti, diberhentikan sementara (diskors), dipecat dan pensiun. Notaris yang menjadi terdakwa dalam suatu kasus pidana diberhentikan sementara. Kewenangan untuk memberhentikan sementara ada pada Majelis Pengawas Pusat. Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah pemeriksaan proses peradilan. Terhadap notaris yang dikenakan penahanan sementara, maka notaris berhenti demi hukum dan tidak berwenang untuk menjalankan jabatannya termasuk dalam membuat akta otentik Kata Kunci : Kewenangan Notaris; Tersangka; Akta Otentik ABSTRACT The authentic act as powerful and most comprehensive proof instrument plays a very important role in each legal relationship of community’s life. In a variety of bussiness relationships, activity of banking sector, and so on, the requirement for written proof as authentic act increases progressively in parallel with an ever increasingly claim for law certainity in several economic and social relations. Essentially, the authentic act contains the formal truth consistent with what the parties inform to the notary. However, notary is under mandatory to include that what is contained in Notary Act has been understand and suitable to desire of parties. Thus, parties can determine independently the agreement or disagreement of act on which they will stamp their signature. Notary is a public official with authority to prepare the authentic act as long as the preparation of certain authentic act is not confined especially to another public official. Essentialy, the authentic act contains the formal truth according to what the parties inform to the notary. However, the notary is under mandatory to include that what is contained in the Notary Act has been duly understood and consistent to desire of parties, i.e., by reading it out clearly and providing the access of information, including the access of related statutes for parties who will sign the act. According to the problem and objective of the research, this is an analytical and descriptive research, i.e., an analysis of data based on the general law theory applied to explain a set of another data. Through the approach, this research uses a normative juridical approach. The investigation on notary reported of having committed the criminal should be preeced by a permit from Notary Supervising Assembly. The permit is conveyed by Police Investigator to Regional Notary Supervising Assembly the carbon copy of which is sent to the notary. The notary in suspected status remains to have the authority to prepare the act. In the Law 30/2004 regarding Title of Notary, the absence of notary authority will occur for preparation of act if she/he is in status of unannoited by pledge, leave, suspended, fire out, or retired. The notary as suspect in a criminal matter should be suspended. The authority of suspending lies at hand of Central Supervisory Assembly. This is determined to facilitate the examination of court process. For a notary whom a suspension is imposed, the notary is retired for sake the law and void of authority to perform his/her capacity including to prepare the authentic act. Keywords : Authority of notary; Suspect; Authentic Act KATA PENGANTAR Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang berkat rahmat dan hidayah-Nya akhirnya Penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul "KEWENANGAN NOTARIS DALAM STATUS TERSANGKA MENJALANICAN TUGAS SEBAGAI PEJABAT UMUM MEMBUAT AKTA OTENTIK". Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril, masukan dan saran, sehingga tesis ini dapat diselesaiakan tepat pada waktunya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak/Ibu Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu. SH. M.Hum, Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar SH. CN, M.Hum, Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKN atas kesediaannya membantu dalam memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini sehingga diperoleh hasil yang maksimal. Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Ibu Hj. Chairani Bustami, SH, SpN, MKN yang telah banyak memberikan masukan-masukan terhadap penyempurnaan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil dan sampai pada ujian tertutup, sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih jelas dan terarah. Selanjutnya Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&h, SP.A(K), SELAKU Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B.M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan para Wakil Direktris seluruh Staf atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan 3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 5. Para Staf Administrasi Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 6. Rekan-rekan mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas sumatera Utara yang telah banyak membantu dalam memberikan saran dalam penulisan tesis 7. Secara tulus ucapan terima kasih yang tak terhingga, Penulis sampaikan kepada Ayah, Bunda dan mertua, serta isteri tercinta Siti Syarifah, SH, SpN, Anakku tersayang Amartya Syuwari Nata Br. Sembiring Pelawi yang dengan penuh kesabaran dan kasih sayang kepada Penulis disertai doa dan dukungannya sehingga Penulis dapat menyelesaikan kuliah S2 (Strata dua) dan khususnya dalam penulisan tesis ini. Begitu juga kepada Abang, Kakak serta Adik-adikku yang kusayangi yang penuh perhatian selalu memberikan dorongan kepada penulis. Penulis banyak menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari kekurangan dan kelemahan, baik dari sudut isi maupun dari eara pengajuannya. Oleh karena itu saran dan masukan yang membangun sangat dibutuhkan demi kesempurnaan tesisi ini. Semoga allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Amin Medan, Juli 2009 Penulis, EDI NATASARI SEMBIRING DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. Indentitas Pribadi Nama : Edi Natasari Sembiring Tempat/Tgl Lahir : Kayu Aro Jambi, 05 Desember 1966 Jenis Kelamin : Laki-Laki Agama : Islam Kebangsaan : Indonesia Nama Isteri : Siti Syarifah, SH, SpN Nama Anak : Amartya Syuwari Nata Br. Sembiring Pelawi Status : Kawin II. Orang Tua Ayah : Drs. K. Sembiring Ibu : Hj. Rukyah Br. Ginting Alamat : Jl. Ampera XI No. 2 Glugur Darat, Medan III. Riwayat Pendidikan SD : 1974-1980 SMP : 1980-1983 SMA : 1983-1986 UNIVERSITAS : 1986-1993 DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ............................................................................................................. i ABSTRACT ............................................................................................................ ii KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... vi DAFTAR ISI .......................................................................................................... vii BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1 A. Latar Belakang ................................................................................. 1 B. Perumusan Masalah ......................................................................... 14 C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 14 D. Manfaat Penelitian ........................................................................... 15 E. Keaslian Penelitian .......................................................................... 16 F. Kerangka Teori dan Konsepsi ......................................................... 17 1. Kerangka Teori ............................................................................ 17 2. Konsepsi ...................................................................................... 29 G. Metode Penelitian ............................................................................ 31 BAB II PENYIDIKAN TERHADAP NOTARIS YANG TELAH MELAKUKAN TINDAK PIDANA .................................................. 34 A. Tinjauan Umum Tentang Notaris …………………………………. 1. Sejarah Notaris Di Indonesia ..................................................... 2. Notaris Diangkat Dan Diberhentikan Oleh Menteri ................... 3. Notaris Tidak Menerima Gaji Atau Pensiun ............................... 34 34 37 37 B. Akta Notaris Sebagai Dasar Perbuatan Tindak Pidana .................... 37 C. Penyelewengan Yang Dapat Dilakukan Notaris .............................. 46 1. Penyelewengan Prosedural .......................................................... 46 2. Penyelewengan pidana ................................................................ 47 D. Prosedur Penyidikan Terhadap Notaris yang Dilaporkan Telah Melakukan Tindak Pidana .............................................................. 47 BAB III KEWENANGAN NOTARIS SEBAGAI TERSANGKA DALAM MENJALANKAN TUGAS JABATANNYA .................................. 60 A. Kewenangan Notaris Sebagai Pejabat Umum ................................. 1. Notaris Sebagai Pejabat Umum .................................................... 2. Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta Otentik ................ 3. Wewenang Dan Larangan Terhadap Notaris ................................ 60 60 73 78 B. Kewenangan Notaris Menjalankan Tugas Jabatan Dengan Status Sebagai Tersangka ........................................................................... 82 C. Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Umum Yang Dijatuhi Sanksi ....................................................................... 84 BAB IV PEMBERHENTIAN SEMENTARA TERHADAP NOTARIS SEBAGAI TERSANGKA TINDAK PIDANA ............................... 98 A. Pengawasan dan Penjatuhan Sanksi Terhadap Notaris Menurut UUJN ............................................................................... 98 B. Pemberhentian Sementara Notaris yang Menjadi Terdakwa Selama Proses Peradilan ................................................................. 107 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 116 1. Kesimpulan ...................................................................................... 116 2. Saran ................................................................................................ 117 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 119 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menjamin adanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Adanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum ini dapat dilihat dalam lalu lintas hukum kehidupan masyarakat yang memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. Landasan filosofis dibentuknya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris adalah terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Melalui akta yang dibuatnya, notaris harus dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat pengguna jasa notaris. Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris dapat menjadi bukti otentik dalam memberikan perlindungan hukum kepada para pihak manapun yang berkepentingan terhadap akta tersebut mengenai kepastian peristiwa atau perbuatan hukum itu dilakukan. Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan dan sebagainya, kebutuhan akan 1 pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial. Melalui akta otentik ditentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum dan sekaligus diharapkan dapat menghindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, namun dalam proses penyelesaian sengketa tersebut akta otentik merupakan alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh yang memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat. Pada hakikatnya akta otentik memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada notaris. Namun notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta notaris telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi akta tersebut yang akan ditandatanganinya. 1 Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara 1 Lihat Penjelasan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris membacakannya sehingga jelas isi Akta Notaris tersebut serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Pengertian pejabat umum yang diemban oleh notaris bukan berarti notaris adalah pegawai negeri dimana pegawai yang merupakan bagian dari suatu korps pegawai yang tersusun, dengan hubungan kerja yang hirarkis, yang digaji oleh pemerintah; seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yaitu “Notaris adalah pejabat pemerintah tanpa diberi gaji oleh pemerintah, notaris dipensiunkan oleh pemerintah tanpa mendapat uang pensiun dari pemerintah. Pejabat umum yang dimaksud disini adalah pejabat yang dimaksudkan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dari bunyi Pasal 1 angka 1 UUJN, maka sangat jelas dikatakan bahwa notaris adalah satusatunya pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik. Di luar notaris sebagai pejabat umum masih dikenal lagi pejabat-pejabat lain yang juga tugasnya membuat alat bukti yang bersifat otentik, seperti Pejabat Kantor Catatan Sipil, Pejabat Kantor Lelang Negara, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Kepala Kantor Urusan Agama, Panitera di Pengadilan yang bertugas membuat exploit atau pemberitahuan dari Juru Sita, dan lain sebagainya. Bentuk atau corak notaris dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok utama, yaitu: a) Notariat Functionnel, dalam mana wewenang-wewenang pemerintah didelegasikan (gedelegeerd), dan demikian diduga mempunyai kebenaran isinya, mempunyai kekuatan bukti formal dan mempunyai daya/kekuatan eksekusi. Di negara-negara yang menganut macam/bentuk notariat seperti ini terdapat pemisahan yang keras antara ”wettelijke” dan ”niet wettelijke,” ”werkzaamheden” yaitu pekerjaan-pekerjaan yang berdasarkan Undang-undang/hukum dan yang tidak/bukan dalam notariat. b) Notariat Profesionel, dalam kelompok ini walaupun pemerintah mengatur tentang organisasinya, tetapi akta-akta notaris itu tidak mempunyai akibat-akibat khusus tentang kebenarannya, kekuatan bukti, demikian pula kekuatan eksekutorialnya. 28 Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan sumpah/atau janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk, demikian juga halnya pemberhentian Notaris dilakukan oleh Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2004. Syarat-syarat untuk diangkat menjadi Notaris telah diatur dalam Pasal 3 UUJN sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. 28 Warga negara Indonesia; Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun ; Sehat jasmani dan rohani; Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; Komar Andasasmita, Notaris I, Sumur, Bandung, 1981, hal. 12 g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Akte yang dibuat di hadapan notaris merupakan bukti otentik bukti sempurna, dengan segala akibatnya. 2 Anthoni Giddens menyatakan, “Secara sosiologis notaris tidak hanya sebagai pejabat hukum yang terkungkung dalam aturan-aturan yuridis yang serba mengikat, melainkan juga sebagai individu yang hidup dalam masyarakat. Selain terikat pada tatanan sosial, juga memiliki kebebasan dalam membentuk dunianya sendiri lewat pemaknaan-pemaknaan yang bersifat subyektif”. 3 Jabatan dan profesi notaris sebagai produk hukum, sumbangsih dan peran sertanya semakin dibutuhkan untuk mengayomi masyarakat dan mendukung tegaknya supremasi hukum. Notaris tidak hanya bertugas membuat akta otentik semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, tetepi juga harus dapat berfungsi membentuk hukum karena perjanjian antara pihak berlaku sebagai produk hukum yang mengikat para pihak.4 2 A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hal 64 Aslan Noer, Pelurusan Kedudukan PPAT Dan Notaris Dalam Pembuatan Akta Tanah Berdasarkan UU No. 30 TH. 2004 Tentang Jabatan Notaris (Suatu telaah dari sudut pandang Hukum Perdata dan Hukum Tanah Nasional), Jurnal Renvoi, hal. 58 4 Notaris Harus Dapat Menjamin Kepastian Hukum, http://www.d-infokomjatim.go.id/news.php?id=39, dipublikasikan tanggal 13 Januari 2004, diakses tanggal 17 Januari 2009 3 R. Soegondo Notodisoerjo mengemukakan bahwa : “Untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang Advokat, meskipun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akta otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum, sebaliknya seorang Pegawai Catatan Sipil meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat akta kelahiran atau akta kematian. Demikian itu karena ia oleh Undangundang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu”.5 Menurut A. Kohar akta adalah tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti. Apabila sebuah akta dibuat di hadapan Notaris maka akta tersebut dikatakan sebagai akta notarial, atau otentik, atau akta Notaris. Suatu akta dikatakan otentik apabila dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Akta yang dibuat di hadapan Notaris merupakan akta otentik, sedang akta yang dibuat hanya di antara pihak-pihak yang berkepentingan itu namanya surat di bawah tangan. Akta-akta yang tidak disebutkan dalam undang-undang harus dengan akta otentik boleh saja dibuat di bawah tangan, hanya saja apabila menginginkan kekuatan pembuktiannya menjadi kuat maka harus dibuat dengan akta otentik. 6 Otensitas dari akta notaris bersumber dari Pasal 1 ayat (1) UUJN, yaitu notaris dijadikan sebagai pejabat umum, sehingga akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik. Akta yang dibuat oleh notaris mempunyai sifat otentik, bukan oleh karena undang-undang menerapkan demikian, tetapi karena akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum. Hal ini sebagaimana 5 R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia (Suatu Penjelasan), Cetakan Kedua, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 43 6 A. Kohar, ibid, hal. 3 dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata yang menyatakan: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya”. G.H.S Lumban Tobing mengemukakan: Akta yang dibuat oleh notaris dapat merupakan satu akta yang memuat “relaas” atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pembuat akta itu, yakni notaris sendiri, di dalam menjalankan jabatannya sebagai notaris. Akta yang dibuat sedemikian dan memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan dan yang dialaminya itu dinamakan akta yang dibuat “oleh” (door) notaris (sebagai pejabat umum). Akan tetapi akta notaris dapat juga berisikan suatu “cerita” dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain di hadapan notaris, artinya yang diterangkan atau diceritakan oleh pihak lain kepada notaris dalam menjalankannya jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang di hadapan notaris dan memberikan keterangan itu atau melakukan perbuatan itu di hadapan notaris, agar keterangan atau perbuatan itu dikonstatir oleh notaris di dalam suatu akta otentik. Akta sedemikian dinamakan akta yang dibuat “dihadapan” (ten overstaan) notaris. 7 Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa ada 2 golongan akta notaris, yakni: 8 1. akta yang dibuat “oleh” (door) notaris atau yang dinamakan “akta relaas” atau “akta pejabat” (ambtelijke akten); Contoh: antara lain: pernyataan keputusan rapat pemegang saham dalam perseroan terbatas, akta pencatatan budel. 2. akta yang dibuat “di hadapan” (ten overstan) notaris atau yang dinamakan “akta partij (partij-akten). Contoh, akta yang memuat perjanjian hibah, jual beli (tidak termasuk penjualan di muka umum atau lelang), wasiat, kuasa. 7 G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1999), hal. 51. Ibid., hal. 51,52. 8 Sebagai pejabat umum Notaris dituntut untuk bertanggungjawab terhadap akta yang telah dibuatnya. Apabila akta yang dibuat ternyata di belakang hari mengandung sengketa maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan notaris atau kesalahan para pihak tidak mau jujur dalam memberikan keterangannya terhadap notaris; ataukah adanya kesepakatan yang telah dibuat antara notaris dengan salah satu pihak yang menghadap. Jika akta yang diterbitkan notaris mengandung cacat hukum yang terjadi karena kesalahan notaris baik karena kelalaiannya maupun karena kesengajaan notaris itu sendiri maka notaris memberikan pertanggungjawaban. Akta otentik sebagai produk Notaris yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Akta Notaris tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkrit, individual, dan final, dan akta merupakan formulasi keinginan atau kehendak para pihak yang dituangkan dalam akta Notaris yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris dan bukan kehendak Notaris. 9 Akta notaris yang mana akibat kelalaian Notaris dalam pembuatannya sehingga mengakibatkan akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut menjadi batal demi hukum, dapat 9 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 15 menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris yang membuat akta tersebut. 10 Akhir-akhir ini banyak notaris yang dipanggil ke kantor polisi, baik dalam kapasitasnya sebagai saksi atau diindikasikan menjadi tersangka, maupun yang sudah berstatus sebagai tahanan POLRI. 11 Jumlah kasus tindak pidana yang melibatkan notaris, sejak tahun 2005 sampai 2007 di Direktorat Reskrim dan satuan wilayah di jajaran Poldasu, sebanyak 153 kasus. Dimana 10 (sepuluh) orang Notaris sebagai tersangka dan sebanyak 143 orang Notaris jadi saksi. 12 Dalam pelaksanaan pemanggilan dan pemeriksaan notaris/PPAT telah ada suatu kesepakatan antara POLRI dengan Ikatan Notaris Indonesia yang tertuang dalam Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris Indonesia yaitu No. Pol:B/1056/V/2006 dan Nomor: 01/MOU/PP-INI/V/2006 Tanggal 9 Mei 2006, Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah No.Pol: B/1055/V/2006 dan Nomor: 05/PP- IPPAT/V/2006 Tanggal 9 Mei 2006 tentang Pembinaan Dan Peningkatan Profesionalisme Di Bidang Penegakan Hukum. Notaris yang melanggar hukum dalam melaksanakan jabatannya baik disengaja maupun karena kelalaian kini tidak bisa tenang lagi. Pihak-pihak yang merasa dirugikan dapat membuat pengaduan ke pihak Majelis Pengawas Notaris dan 10 Lihat Pasal 84 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Muchlis Patahna, ”Apa Akar Masalahnya Banyak Notaris Tersandung Kasus”, Renvoi, Nomor 1.37. IV, Juni 2006, hal. 14 12 Waspada Online, Notaris Terlibat 153 Kasus Tindak Pidana, http://www.waspada.co.id/ index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=6025, dipublikasikan tanggal 27 Oktober 2007, diakses tanggal 17 Januari 2009 11 Kepolisian. Apabila Notaris mengabaikan tugas jabatannya dan keluhuran dari martabatnya dan melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku maka Majelis Pengawas dapat bertindak tegas mengenakan sanksi. Bahkan dapat memberikan rekomendasi kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mencabut izin operasionalnya. Kepada Notaris yang bersangkutan tidak tertutup kemungkinan untuk dituntut ke pengadilan, baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata. Sebagai bukti dari pernyataan tersebut di atas ada beberapa kasus yang dikemukakan antara lain : 1. Notaris ARM SH. yang divonis Pengadilan Negeri Medan dengan hukuman dua tahun penjara karena telah membuat akta palsu. 13 2. Notaris Sop Sib yang di mana terjadi pembatalan akta oleh Pengadilan Negeri Medan dan dikuatkan dengan keputusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara dengan menyatakan akta tersebut melakukan perbuatan melawan hukum. 14 Adapun pasal-pasal tindak pidana yang sering muncul dalam pelaksanaan tugas notaris yaitu Pasal 263 KUHP jo Pasal 264 ayat (1) KUHP tentang pemalsuan surat. Dalam pasal 263 KUHP tersebut ada dua macam pemalsuan surat yaitu : 15 13 Harian Analisa Medan Tanggal 20 Februari 2009. hal 6. Rikha Anggraini Dewi, Tinjauan Yuridis Pemberian Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris yang Melakukan Pelanggaran Oleh Majelis Pengawas Notaris setelah Keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004,Tesis Magister Kenotariatan Pascasarjana 2009, hal 69. 15 Soegeng Santosa, Doddy Radjasa Waluyo, Zulkifli Harahap, Aspek Pidana Dalam Pelaksanaan Tugas Notaris, Renvoi No. 22. Maret.th 02/2005, hlm 30 14 1. Membuat surat palsu (valscheelijkop maakt) yaitu perbuatan membuat surat yang isinya bukan semestinya atau isinya tidak benar. Dalam hal ini dibuat suatu surat yang isinya tidak benar namun suratnya sendiri asli atau sering disebut aspal (asli tapi palsu) karena tidak ada sesuatu yang dirubah, ditambah ataupun dikurangi. 2. Memalsukan surat (vervalscht) yaitu memalsukan surat-surat dengan cara merubah, menambah, mengurangi atau menghapus sebagian tulisan yang ada dalam suatu surat. Jadi suratnya sudah ada tetapi surat itu kemudian dilakukan perubahan sehingga bunyi dan maksudnya berbeda dari aslinya. Sedangkan Pasal 264 KUHP hanyalah merupakan pemberatan dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 263 KUHP. Banyaknya notaris yang kena kasus hukum itu harus dibenahi oleh lembaga yang mengangkatnya. Misalnya jumlah notaris yang sudah tidak sesuai dengan permintaan pasar, tetapi akibat jumlah notaris yang terus bertambah yang berdampak persaingan yang kurang sehat sehingga terjadi perebutan klien (pasar) yang mengakibatkan notaris mengenyampingkan ketentuan-ketentuan perundangan dan etika profesi. 16 Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik, dalam melaksanakan tugasnya tidak hanya dapat dihukum atau dituntut secara pidana saja. Tetapi juga dapat digugat ke pengadilan negeri dengan berdasarkan aktanya. Dalam hal gugatan perdata ini, notaris hanya sebagai pihak yang turut tergugat bukan sebagai pihak tergugat. Namun terhadap akta yang dibuat oleh notaris dapat 16 Muchlis Patahna, Loc cit. dimintakan pembatalannya oleh pihak yang dirugikan. Pembatalan akta tersebut harus berdasarkan suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam hal ganti kerugian materiil yang timbul akibat suatu akta notaris, notaris tidak dapat digugat untuk mengganti kerugian yang timbul ataupun di ikut sertakan dengan mewajibkan tanggung renteng terhadap kerugian salah satu pihak. Ada 3 (tiga) hal pokok berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Jabatan Notaris yaitu: pengawasan, perlindungan, dan organisasi Notaris. 17 Dalam rangka pengawasan terhadap Notaris, sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, bahwa pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri dengan membentuk Majelis Pengawas Notaris. Majelis Pengawas Notaris anggotanya berjumlah 9 (sembilan) orang yang terdiri dari unsur pemerintah, organisasi Notaris dan ahli/akademisi dengan anggota masing-masing sebanyak 3 (tiga) orang. 18 Dalam rangka melakukan tugas pengawasan, Menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris ditingkat Pusat, Propinsi dan tingkat Kabupaten/Kota. Selama ini telah dilakukan pembentukan Majelis Pengawas Pusat Notaris, Majelis Pengawas Wilayah Notaris di setiap Propinsi dan sebagian telah dibentuk Majelis Pengawas Daerah Notaris di setiap Kabupaten/Kota. ”Kendala utama Pengawasan terhadap notaris adalah belum terbentuknya seluruh Majelis Pengawas Daerah sebagai ujung 17 Hasbullah, Notaris dan Jaminan Kepastian Hukum, http://www.depkumham.go.id/ templates.html. diakses tanggal 17 Januari 2009 18 Lihat Pasal 67 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tombak pengawasan dan juga dari beberapa unsur selaku Anggota Majelis tidak bersedia menjadi anggota Majelis Pengawas Daerah”. 19 Dalam memberikan perlindungan hukum kepada notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan profesinya di bidang pelayanan jasa hukum kepada masyarakat, sebagaimana disebutkan dalam butir konsideran menimbang huruf c, bahwa notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan, demi tercapainya kepastian hukum. 20 MPW/MPD kepada notaris bisa merupakan penetapan bahwa notaris tersebut hanya Perlindungan hukum yang diberikan oleh ditetapkan sebagai saksi atas akta yang dibuatnya apabila akta tersebut di kemudian hari digugat oleh pihak lain yang menuduh notaris telah melakukan penipuan. Hal seperti ini dapat dihindari notaris dengan cara mengkopi segala surat-surat yang berhubungan dengan pembuatan akta dan menjahitkannya pada akta tersebut karena notaris hanya membuat akta berdasarkan keterangan dari para penghadap dan surat-surat lain yang mendukung dalam pembuatan akta tersebut. Dengan demikian notaris dapat menghindarkan diri sebagai tersangka ataupun turut membantu terciptanya akta yang palsu atau tidak benar 19 20 Hasbullah, Loc cit Ibid., hal. 14. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang dirumuskan tiga permasalahan sebagai berikut. 1. Bagaimana prosedur untuk melakukan penyidikan terhadap notaris yang dilaporkan telah melakukan perbuatan pidana? 2. Bagaimana kewenangan Notaris yang telah ditetapkan sebagai tersangka pelaku tindak pidana menjalankan tugas jabatannya membuat akta otentik? 3. Bagaimana prosedur untuk menetapkan pemberhentian sementara terhadap Notaris yang telah ditetapkan sebagai tersangka pelaku tindak pidana? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui prosedur penyidikan terhadap notaris yang dilaporkan telah melakukan perbuatan pidana. 2. Untuk mengetahui kewenangan notaris yang telah ditetapkan sebagai tersangka pelaku tindak pidana. 3. Untuk mengetahui prosedur pemberhentian sementara terhadap notaris yang terlibat dalam tindak pidana. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis. a. Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi sumbang saran dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum kenotariatan khususnya pengawasan terhadap Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik. b. Secara Praktis Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1. Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan bagi pemerintah yang dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris untuk mengawasi Notaris dalam menjalankan jabatan dan tugasnya sehingga sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. 2. Notaris Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan yang bermanfaat bagi Notaris untuk mengkoreksi diri atas berbagai kekurangan yang dilakukan selama ini sehingga dalam pembuatan akta Notaris pada masa-masa mendatang lebih berhati-hati, cermat dan teliti serta jujur dan bertanggung jawab 3. Mahasiswa Kenotariatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan yang bermanfaat bagi mahasiswa kenotariatan yang nantinya akan memangku jabatan sebagai seorang Notaris agar di dalam menjalankan tugas dan jabatannya lebih bertanggung jawab dan jujur serta memegang teguh pada peraturan yang berlaku. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya Universitas Sumatera Utara. Penelitian dengan judul “KEWENANGAN NOTARIS DALAM STATUS TERSANGKA MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI PEJABAT UMUM MEMBUAT AKTA OTENTIK”, belum pernah ditemukan judul atau penelitian terhadap permasalahan tersebut di atas, penelitian ini adalah asli, untuk itu penulis dapat mempertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Namun demikian terdapat penelitian yang berjudul Perbandingan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam Melakukan Pengawasan Setelah Keluarnya Undang-undang Nomor 30. tahun 2004 oleh T. Muzakkar Nim : 067011095 dan tesis denagn judul Pengawasan Terhadap Notaris Dan Tugas Jabatannya Guna Menjamin Perlindungan Hukum Bagi Kepentingan Umum oleh Mohandas Sheriwidya Nim : 067011056. Tinjauan Yuridis Pemberian Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Yang Melakukan Pelanggaran Oleh Majelis Pengawas Notaris Setelah Keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004. Oleh Rikha Anggraini Dewi Nim : 067011124. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis. 21 Menurut Soerjono Soekanto bahwa kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.22 Menurut Burhan Ashshofa suatu teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan antar konsep. 23 Menurut Snelbecker yang mendefenisikan teori sebagai seperangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat diamati dan fungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati. 24 Nama “notariat” berasal dari kata “notarius”. Dalam buku-buku hukum dan tulisan-tulisan Romawi klasik ditemukan bahwa nama atau title “notarius” menandakan suatu golongan orang-orang yang telah melakukan suatu bentuk pekerjaan tulis-menulis.. Akan tetapi, yang dinamakan “notarius” dahulu 21 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : penerbit Mandar Maju, 1994), hal. 22 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Rineka Cipta, 1996), 80 hal. 19. 23 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Rineka Cipta, 1996) hal. 19. Snelbecker, dikutip dalam Lexy J. Moleong, Metodologi, Penelitian Kualitatif, (Bandung : Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, 1990). 24 tidak sama dengan notaris yang dikenal sekarang, hanya namanya saja yang sama 25 . Arti dari nama “notarius” secara lambat laun berubah dari arti semula. Sejarah dari lembaga notariat dimulai pada abad ke-11 atau ke-12 di daerah pusat perdagangan di Italia Utara yang dinamakan “Latijnse notariaat” 26 . Mula-mula lembaga notariat ini dibawa dari Italia ke Perancis. Dari Perancis inilah pada permulaan abad ke-19 lembaga notariat sebagaimana yang dikenal sekarang telah meluas ke negara-negara sekelilingnya yaitu di seluruh daratan Eropa dan negara Spanyol bahkan sampai ke negara-negara Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Notaris mulai masuk ke Indonesia pada permulaan abad ke-17, dengan adanya Oost Indische Compagnie, yaitu gabungan perusahaan-perusahaan dagang Belanda untuk perdagangan di Hindia Timur yang lebih dikenal dengan nama V.O.C (Vereeningde Oost Indische Compagnie) dengan Gubernur Jenderalnya yang bernama Jan Pieterszoon Coen, telah mengangkat Melchior Kerchem sebagai Notaris pertama di Jakarta pada tanggal 27 Agustus 1620 27 . Setelah pengangkatan Melchior Kerchem sebagai Notaris, jumlah notaris terus bertambah, walaupun lambat disesuaikan menurut kebutuhan pada waktu itu 28 . Dalam tahun 1650 di Batavia diangkat 2 orang notaris, pada tahun 1654 jumlah notaris di Batavia ditambah menjadi 3 orang dan kemudian dalam tahun 1751 jumlah itu menjadi 5 orang 29 . Notariat di Indonesia dibawa oleh orang-orang Belanda dari Nederland, sedangkan 25 G.H.S. Lumban Tobing, op.cit, hal. 5 G.H.S. Lumban Tobing Ibid, hal. 3 27 Komar Andasasmita, Notaris Selayang Pandang, (Bandung : Alumni , 1983), hal. 1 28 G.H.S L.Tobing,, ibid, hal 17 29 Ibid., hal. 18 26 bangsa Belanda dan negara Eropa Barat lainnya telah mencontoh dari negara/bangsa kuno seperti Mesir dan Yunani 30 . Sejak masuknya notariat di Indonesia sampai tahun 1822, diatur dengan dua reglement yaitu dari tahun 1625 dan tahun 1765. Pada tahun 1822 (Staatsblad Nomor 11) dikeluarkan Instructie Voor de Notarissen in Indonesia yang terdiri dari 34 pasal 31 . Pada tahun 1860 pemerintah Belanda melakukan penyesuaian peraturan mengenai jabatan notaris di Indonesia dengan peraturan yang berlaku di negeri Belanda, maka diundangkan peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement) staatsblad 1860 Nomor 3 yang diundangkan tanggal 26 Januari 1860 dan mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Juli 1860, Peraturan Jabatan Notaris tersebut terdiri dari 63 pasal. Pasal-pasal yang terdapat dalam Peraturan Jabatan Notaris tersebut adalah copie dari pasal-pasal dalam Notariswet yang berlaku di Negara Belanda 32 . Usaha dari pemerintah dengan Ikatan Profesi Notaris dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membuat undang-undang nasional mengenai peraturan jabatan notaris untuk menggantikan peraturan perundang-undangan peninggalam zaman kolonial Hindia Belanda membuahkan hasil. Akhirnya setelah menunggu dan berjuang lebih dari tiga dasa warsa, Rancangan Undang-undang Jabatan Notaris disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) di gedung 30 Andasasmita., Loc. Cit Ibid., hal. 18 32 Ibid., hal 21 31 DPR/MPR pada tanggal 14 September 2004 33 . Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris mulai berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu tanggal 6 Oktober 2004 terdiri dari 13 bab dengan 92 pasal merupakan perwujudan unifikasi hukum dibidang kenotariatan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris mengatur secara rinci tentang Jabatan umum yang dijabat oleh notaris, sehingga diharapkan bahwa akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris mampu menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Fungsi dan peran Notaris dalam gerak pembangunan Nasional yang semakin kompleks dewasa ini tentunya makin luas dan makin berkembang, sebab kelancaran dan kepastian hukum tentunya tidak terlepas dari pelayanan dan produk hukum tentunya tidak terlepas dari pelayanan jasa yang diberikan oleh Notaris, oleh karena itu pelayanan jasa yang diberikan oleh Notaris harus benar-benar memiliki nilai dan bobot yang dapat diandalkan 34 . Menurut Ismail Saleh yang dikutip oleh Liliana Tedjasaputra, ada 4 (empat) hal yang harus diperhatikan para notaris yaitu : 1. Dalam menjalankan tugas profesinya, seorang notaris harus mempunyai integritas moral yang mantap. Dalam hal ini, segalapertimbangan moral harus melandasi pelaksanaan tugas profesinya. Walaupun akan memperoleh imbalan jasa yang tinggi, namun sesuatu yang bertentangan dengan moral yang baik harus dihindarkan. 2. Seorang notaris harus jujur, tidak hanya pada kliennya, juga pada dirinya sendiri. Ia harus mengetahui akan batas-batas kemampuannya, tidak memberi janji-janji sekadar untuk menyenangkan kliennya, atau agar si klien tetap mau memakai 33 Abdul Basyit, “Undang-Undang Jabatan Notaris Pembaharuan Bidang Kenotariatan”, Media Notariat, Edisi September-Oktober 2004, hal. 6. 34 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), hal. 33 jasanya. Kesemuanya itu merupakan suatu ukuran tersendiri tentang kadar kejujuran intelektual seorang notaris. 3. Seorang notaris harus menyadari akan batas-batas kewenangannya. Ia harus menaati ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku tentang seberapa jauh ia dapat bertindak dan apa yang boleh serta apa yang tidak boleh dilakukan. Adalah bertentangan dengan perilaku professional apabila seorang notaris ternyata berdomisili dan bertempat tinggal tidak di tempat kedudukannya sebagai notaris. Atau memasang papan dan mempunyai kantor di tempat kedudukannya, tetapi tempat tinggalnya di lain tempat. Seorang notaris juga dilarang untuk menjalankan jabatannya di luar daerah jabatannya. Apabila ketentuan tersebut dilanggar, maka akta yang bersangkutan akan kehilangan daya autentiknya. 4. Sekalipun keahlian seseorang dapat dimanfaatkan sebagai upaya yang lugas untuk mendapatkan uang, namun dalam melaksanakan tugas profesinya ia tidak semata-mata didorong oleh pertimbangan uang. Seorang notaris yang Pancasilais harus tetap berpegang teguh kepada rasa keadilan yang hakiki, tidak terpengaruh oleh jumlah uang, dan tidak semata-mata hanya menciptakan alat bukti formal mengejar adanya kepastian hukum, tapi mengabaikan rasa keadilan.35 Sejak berlaku Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, melahirkan perkembangan hukum yang berkaitan langsung dengan dunia kenotariatan saat ini yaitu : 36 1. 2. Perluasan kewenangan Notaris yaitu kewenangan yang dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (2) butir f dan g Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yakni kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan serta kewenangan untuk membuat akta risalah lelang. Serta perluasan wilayah kewenangan (yurisdiksi), berdasarkan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yakni Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi, dengan tempat kedudukan di kabupaten/kota. Pelaksanaan Sumpah Jabatan Notaris. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia berdasarkan Surat Nomor : M.UM. 01.06-139 tanggal 08 Nopember 2004 telah melimpahkan kewenangan untuk melaksanakan Sumpah Jabatan Notaris kepada Kepala Kantor Wilayah Departement Hukum dan Hak Asasi Manusia. 35 Liliana Tedjasaputra, Etika Profesi dan Profesi Hukum, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hal. 86 36 “Notaris dalam Memberikan Pelayanan Kepada Masyarakat Senantiasa Berpedoman Kepada Kode Etik Profesi”, http://majalah.dekumham.do.id/article.php, diakses12 April 2009 3. 4. 5. Notaris dibolehkan menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata, sesuai dengan ketentuan pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Masalah Pengawasan Notaris. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sesuai kewenangannya berdasarkan Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris membentuk Majelis Pengawas Notaris. Mengamanatkan agar notaris berhimpun dalam satu wadah organisasi notaris sesuai dengan pasal 82 ayat (1) undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Pasal 2 undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan. Persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Notaris yaitu : 37 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Warga Negara Indonesia Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun Sehat jasmani dan rohani Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan, dan Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan notaris. Adanya persyaratan untuk terlebih dahulu menjalani masa magang sebelum seseorang dapat diangkat sebagai Notaris adalah sangat penting. Selama masa magang itulah sebenarnya seorang Notaris dapat memperoleh keterampilan, pengetahuan praktis dan teoritis yang sangat dibutuhkan kelak di dalam menjalankan 37 Lihat Pasal 3 Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 jabatannya sebagai Notaris, sehingga dapat membentuk Notaris yang baik dan trampil 38 . Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris harus mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya dihadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia berdasarkan Surat Nomor : M. UM. 01. 06-139 tanggal 08 Nopember 2004 telah melimpahkan kewenangan untuk melaksanakan Sumpah Jabatan Notaris yang sebelumnya dilakukan di hadapan Pengadilan Negeri atau di hadapan Kepala Daerah, sejak 08 Nopember 2004 sumpah Jabatan Notaris dilaksanakan dihadapan Kepala Kantor Wilayah Departemen hukum dan Hak Asasi Manusia. Bunyi sumpah/janji diatur dalam pasal 4 undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Merupakan suatu asas hukum publik bahwa sebelum menjalankan jabatannya dengan sah, seorang pejabat umum termasuk Notaris harus terlebih dulu mengangkat sumpah/janji. Selama hal tersebut belum dilakukan, maka jabatan itu tidak dapat dijalankan dengan sah 39 . Ketentuan dalam pasal 5 dan 6 Undang-undang nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris harus mengucapkan sumpah/janji jabatannya yaitu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatannya sebagai Notaris, jika lewat dari jangka waktu tersebut, maka keputusan pengangkatannya sebagai Notaris dapat dibatalkan oleh menteri. 38 39 G.H.S. L. Tobing, Op. Cit, hal.110 Ibid, hal 114. Notaris yang telah diangkat dengan Surat Keputusan Pengangkatannya, tetapi belum mengangkat sumpah, tidak dapat menjalankan jabatannya secara sah. Melalui pengangkatannya itu, seseorang telah menjadi Notaris, tetapi sebelum mengangkat sumpah, Notaris tersebut tidak berwenang untuk membuat suatu akta yang mempunyai kekuatan otentik. Apabila seseorang telah diangkat sebagai notaris, tapi belum mengangkat sumpah/janji dan telah membuat suatu akta, maka akta yang dibuatnya hanya mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan. Akta dibawah tangan adalah surat yang sengaja dibuat oleh orang-orang, oleh pihak-pihak sendiri, tanpa bantuan seorang pejabat umum, untuk dijadikan alat bukti 40 . Hal tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 1869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : Suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacad dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukn sebagai akta otentik namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawh tangan jika ia ditandatangani oleh para pihak. Otensitas dari akta notaris bersumber dari Pasal 1 ayat (1) UUJN, yaitu notaris dijadikan sebagai pejabat umum, sehingga akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik. Akta yang dibuat oleh notaris mempunyai sifat otentik, bukan oleh karena undang-undang menerapkan demikian, tetapi karena akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata yang menyatakan: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat 40 A. Kohar , ibid, hal. 24. oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya”. G.H.S Lumban Tobing mengemukakan: “Akta yang dibuat oleh notaris dapat merupakan satu akta yang memuat “relaas” atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pembuat akta itu, yakni notaris sendiri, di dalam menjalankan jabatannya sebagai notaris. Akta yang dibuat sedemikian dan memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan dan yang dialaminya itu dinamakan akta yang dibuat “oleh” (door) notaris (sebagai pejabat umum). Akan tetapi akta notaris dapat juga berisikan suatu “cerita” dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain di hadapan notaris, artinya yang diterangkan atau diceritakan oleh pihak lain kepada notaris dalam menjalankannya jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang di hadapan notaris dan memberikan keterangan itu atau melakukan perbuatan itu di hadapan notaris, agar keterangan atau perbuatan itu dikonstatir oleh notaris di dalam suatu akta otentik. Akta sedemikian dinamakan akta yang dibuat “dihadapan” (ten overstaan) notaris.” 41 Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa ada 2 golongan akta notaris, yakni: 42 1. akta yang dibuat “oleh” (door) notaris atau yang dinamakan “akta relaas” atau “akta pejabat” (ambtelijke akten); Contoh: antara lain: pernyataan keputusan rapat pemegang saham dalam perseroan terbatas, akta pencatatan budel. 2. akta yang dibuat “di hadapan” (ten overstan) notaris atau yang dinamakan “akta partij (partij-akten). Contoh, akta yang memuat perjanjian hibah, jual beli (tidak termasuk penjualan di muka umum atau lelang), wasiat, kuasa. Pemberhentian Notaris dilakukan oleh Menteri. Dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris pemberhentian Notaris diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 14. Pemberhentian itu berupa, pemberhentian dengan 41 G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1999, hal. 51. 42 Ibid., hal. 51,52. hormat, pemberhentian sementara, dan pemberhentian dengan tidak hormat. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena : a. b. c. d. meninggal dunia telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun permintaan sendiri Tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan Notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun, atau e. merangkap jabatan sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. Pemberhentian dengan hormat diberikan karena Notaris telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang sampai dengan umur 67 (enam puluh tujuh) tahun, dengan mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan. Hal ini merupakan perkembangan yang baru karena dalam Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement) Staatsblad 1860 Nomor 3 yang diundangkan pada tanggal 26 Januari 1860 ketentuan ini tidak diatur. Dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena : a. b. c. d. dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang, berada dibawah pengampuan melakukan perbuatan tercela melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan. Sebelum pemberhentian sementara ini dilakukan, Notaris diberikan kesempatan untuk membela diri dihadapan Majelis Pengawas secara berjenjang mulai dari Majelis Pengawas Daerah (MPD), Majelis Pengawas Wilayah (MPW) sampai ke Majelis Pengawas Pusat (MPP). Pemberhentian sementara notaris dilakukan karena melakukan perbuatan tercela dan melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan. Pemberhentian sementara ini berlaku paling lama 6 (enam) bulan. Notaris yang diberhentikan sementara karena dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang dan karena berada di bawah pengampuan dapat diangkat kembali menjadi Notaris oleh Menteri setelah dipulihkan haknya. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa Notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri atas usulan dari Majelis Pengawas Pusat apabila : a. b. c. d. dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berada di bawah pengampuan secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris, atau melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan. Dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dinyatakan bahwa Notaris diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri karena dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht) karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Yang dimaksud dengan melakukan perbuatan tercela adalah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat yaitu norma agama, norma kesusilaan dan norma adat. Notaris yang diberhentikan sementara karena dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang dan karena berada di bawah pengampunan dapat diangkat kembali menjadi Notaris oleh Menteri setelah dipulihkan haknya. Akta notaris sebagai produk pejabat publik, maka penilaian terhadap akta notaris harus dilakukan dengan asas praduga sah (vermoeden vanrechtmatigeheid) atau presumption iustae causa. 43 Asas ini dapat dipergunakan untuk menilai akta notaris, yaitu dimana akta notaris tersebut harus dianggap sah sampai ada pihak yang menyatakan akta tersebut tidak sah. Untuk menyatakan atau menilai akta tersebut tidak sah harus dengan gugatan ke pengadilan umum. Selama dan sepanjang gugatan berjalan sampai dengan ada keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht), maka akta notaris tetap mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut. 44 Dalam gugatan untuk menyatakan akta notaris tersebut tidak sah, maka harus dibuktikan ketidak absahan dari aspek lahiriah, formal dan materilnya akta notaris. Jika tidak dapat dibuktikan maka akta yang bersangkutan tetap sah mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut. Asas ini telah diakui dalam UUJN, tersebut dalam Penjelasan Bagian Umum bahwa: Akta Notaris sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam Akta Notaris harus diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal sebaliknya secara memuaskan di hadapan persidangan pengadilan45 43 Philipus M. Hadjon, Pemerintah Menurut Hukum (Wet-en Rechtmatig Bestuur), Cetakan Pertama, (Surabaya: Yuridika, 1993), hlm. 5 44 Habib Adjie, Sanksi Perdata..., op. cit., hlm. 79-80. 45 Ibid., hal. 80. Dengan menerapkan asas praduga sah untuk akta notaris, maka ketentuan yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN yang menegaskan jika notaris melanggar (tidak melakukan) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 dan pasal 52, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan tidak diperlukan lagi, maka kebatalan akta notaris hanya berupa dapat dibatalkan (vernietigbaar) atau batal demi hukum (van rechtoewege nietig). Notaris merupakan suatu pekerjaan yang memiliki keahlian khusus yang menuntut pengetahuan luas, serta tanggung jawab yang berat untuk melayani kepentingan umum dan inti tugas notaris adalah mengatur secara tertulis dan otentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak yang secara mufakat meminta jasa notaris. 2. Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional. 46 46 3. Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998), hal. Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum 47 , guna menghindari perbedaan penafsiran dari istilah yang dipakai, selain itu juga dipergunakan sebagai pegangan dalam proses penelitian ini. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan yaitu : 1. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang jabatan Notaris nomor 30 tahun 2004. 2. Menteri adalah yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan. 3. Majelis pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap notaris. 4. Sanksi adalah merupakan alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang digunakan oleh penguasa sebagai reaksi terhadap ketidak patuhan pada norma hukum administrasi. 5. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh undang-undang jabatan Notaris nomor 30 tahun 2004. 47 Burhan Ashshofa, op.cit., hal 28. 6. Penyidik adalah penyidik negara dari insitusi Kepolisian Negara Republik Indonesia. G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah suatu analisis data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain. 48 Dilihat dari pendekatannya, penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. 49 Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundangundangan yang berlaku. 2. Sumber Data Untuk mendapatkan data yang akurat dan relavan maka pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (Library Research) yaitu pengumpulan data dengan menelaah bahan kepustakaan yang meliputi : 48 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 38 49 Roni Hantijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, (Semarang, Ghalia Indonesia, 1998), Hal. 11 a. Bahan hukum primer yaitu Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bertujuan untuk memperoleh ketentuan yuridis tentang masalah yang akan dibahas. b. Bahan Hukum sekunder antara lain yaitu buku-buku tentang notaris dan bukubuku (literatur) yang berhubungan dengan permasalahan dan penelitian ini. 3. Cara Pengumpulan Data a. Cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan penelitian kepustakaan yaitu berkaitan dengan objek penelitian dan peraturan perundang-undangan. b. Wawancara dengan informan yaitu 1. Majelis Pengawas Wilayah Notaris 1 orang 2. Majelis Pengawas Daerah Notaris 1 orang 3. Notaris 5 orang 4. Kepolisian Daerah Sumatera Utara 1 orang (Kepala Satuan Tindak Pidana Umum) 5. Ketua Ikatan Notaris Indonesia 1 orang 6. Kejaksaan Negeri Medan 2 orang (Jaksa Penuntut Umum) Tujuannya untuk memperoleh informasi dan data pendukung tentang masalah yang akan dibahas. 4. Analisis Data Pengolahan Data dilakukan dengan cara menganalisis data secara kualitatif, yaitu dengan cara meneliti kewenangan dan pemberhentian sementara Notaris dalam status sebagai tersangka dan terdakwa selama proses peradilan, kemudian analisis ini diuraikan secara sistematis sehingga menjawab keseluruhan permasalahan dengan demikian hasil penelitian bersifat evaluatif-analisis, kemudian dikonstruksikan dalam suatu kesimpulan. BAB II PENYIDIKAN TERHADAP NOTARIS YANG TELAH MELAKUKAN TINDAK PIDANA A. Tinjauan Umum Tentang Notaris 1. Sejarah Notaris Di Indonesia Pada zaman Romawi dahulu telah dikenal seorang penulis yang tugasnya antara lain membuatkan surat-surat bagi mereka yang tidak dapat menulis. Surat-surat yang disusunnya tidak mempunyai kekuatan hukum yang khusus, penulis-penulis itu terdiri dari orang-orang yang bebas dan kadang-kadang budak-budak belian. Orang menyebut mereka notarii. Disamping itu terdapat pula orang-orang yang diserahi membuat akta dan mereka disebut tabelliones atau tabelarii, mereka tugasnya hampir mirip dengan di Indonesia yang disebut pelaksana perkara (zaakwaarnemer)”. 50 Pada abad ke-11 atau ke-12 selanjutnya notaris mulai berkembang di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa pada zaman itu di Italia Utara. Daerah ini selanjutnya dikenal sebagai tempat asal notariat yang dinamakan Latijnse Notariaat yang tanda-tandanya tercermin dalam diri notaris yang diangkat oleh penguasa umum untuk kepentingan masyarakat umum dan menerima uang jasanya karena kemampuannya yang memiliki keahlian untuk mempergunakan tulisan cepat di dalam menjalankan pekerjaan mereka. 51 50 R.Soesanto, Tugas Kewajiban dan Hak-Hak Notaris, (Wakil Notaris Sementara), (Jakarta: Pradnya Paramita,1982),hal 11 51 G.H.S. Lumban Tobing, opcit, hlm 3 34 Setelah mengalami perkembangan secara khusus tabeliones ini kemudian dipersamakan dengan Zaakwaarnemer daripada notaris sekarang, mereka mulai diatur dari suatu Konstitusi pada tahun 537 oleh Kaisar Justianus, yang menempatkan mereka di bawah pengawasan pengadilan, tetapi tidak berwenang membuat akta dan surat yang sifatnya otentik, surat mana sama halnya dengan ketetapan dari badan peradilan. Selanjutnya tabularii adalah golongan orang-orang yang menguasai teknik menulis dan memberikan bantuan kepada masyarakat dalam pembuatan akta-akta. Sementara kalangan notarii adalah orang-orang yang khusus diangkat untuk membantu penulisan dikalangan istana, lambat laun masyarakat dapat mempergunakan jasa mereka karena mempergunakan jasa mereka karena mempergunakan notarii dipandang lebih terhormat daripada tabularii. Akhirnya pada masa Karel de Grote tabelarii dan notarii, menggabungkan diri dalam satu badan yang dinamakan Collegium. Mereka akhirnya dipandang sebagai para pejabat yang satu-satunya membuat akta-akta baik di dalam maupun di luar pengadilan walaupun jenis-jenis akta itu selanjutnya dapat berupa akta otentik ataupun akta di bawah tangan. Dari Italia Utara ini berkembang sampai ke Perancis untuk kemudian ke Negeri Belanda. Notaris yang dikenal saat ini di Indonesia telah ada mulai dari abad ke-17 dengan beradanya Oost Ind.Compagnie di Indonesia,pada tanggal 27 Agustus 1620 yaitu beberap bulan setelah dijadikannya Jakarta sebagai ibukota (tanggal 4 Maret 1621), Melchior Kerchem, sekertaris dari College van Schepenen di Jakarta, diangkat notaris pertama di Indonesia. Adalah sangat menarik perhatian cara pengangkatan notaris pada waktu itu, oleh karena berbeda dengan pengangkatan notaris sekarang ini, di dalam akta pengangkatan Melchior Kerchem sebagai notris sekaligus secara singkat dimuat suatu instruksi yang menguraikan bidang pekerjaan dan wewenangnya, yakni untuk menjalankan tugas jabatannya di kota Jakarta untuk kepentingan publik. Kepadanya ditugaskan untuk menjalankan pekerjaannya, dengan kewajibkan untuk mendaftarkan semua dokumen dan akta yang dibuatnya, sesuai dengan bunyinya instruksi itu, sejak pengangkatan Melchior Kerchem, jumlah notris semakin bertambah jumlahnya. Lima tahun kemudian, yakni pada tanggal 16 Juni 1625, setelah jabatan notaris public dipisahkan dari jabatan Secretarius van de gerechte dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 12 Nopember 1620, maka dikeluarkanlah instruksi pertama untuk para notaris di Indonesia, yang hanya berisikan 10 pasal, diantaranya ketentuan bahwa para notaris terlebih dahulu diuji dan diambil sumpahnya. Baru dalam tahun 1860 pemerintah Belanda pada waktu itu menganggap telah tiba waktunya untuk sedapat mungkin menyesuaikan peraturanperaturan mengenai jabatan notaris di Indonesia dengan yang berlaku di negeri Belanda dan karenanya sebagai pengganti dari peraturan-peraturan yang lama diundangkanlah Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement) yang dikenal sekarang ini pada tanggal 1 Juli 1860 (stb.No 3) mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1860, sebagai peletak dasar yang kuat bagi pelembagaan notaris di Indonesia. 2. Notaris Diangkat dan Diberhentikan Oleh Menteri Pasal 2 UUJN menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri, dalam hal ini menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UUJN). Notaris meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) dari yang mengangkatnya, pemerintah. Dengan demikian Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya: 52 a. Bersifat mandiri (autonomous); b. Tidak memihak siapapun (impartial); c. Tidak tergantung kepada siapa pun (independent), yang berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain. 3. Notaris Tidak menerima gaji atau pensiun Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu. B. Akta Notaris Sebagai Dasar Perbuatan Tindak Pidana Dalam UUJN diatur bahwa ketika Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka Notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi, berupa sanksi perdata, administrasi, dan Kode Etik Jabatan Notaris. Sanksi52 Habid Adjie, Sanksi Perdata…op. cit., hal. 36. sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa, baik dalam PJN maupun sekarang dalam UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris, yang tidak mengatur adanya sanksi pidana terhadap Notaris. Dalam praktik ditemukan kenyataan bahwa suatu tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan notaris sebenarnya dapat dijatuhi sanksi administrasi atau perdata atau kode etik jabatan Notaris, tapi kemudian ditarik atau dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh notaris. Pengkualifikasian tersebut berkaitan dengan aspek-aspek seperti: 53 a. b. c. d. e. f. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun, dan waktu menghadap; Pihak (siapa-orang) yang menghadap Notaris; Tanda tangan yang menghadap; Salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta; Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta; dan Minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi salinan akta dikeluarkan. Aspek-aspek tersebut jika terbukti dilanggar oleh Notaris, maka kepada Notaris yang bersangkutan dapat dijatuhi sanksi perdata atau administratif, atau aspek-aspek tersebut merupakan batasan-batasan yang jika dapat dibuktikan dapat dijadikan dasar untuk menjatuhkan sanksi administratif dan sanksi perdata terhadap notaris. Namun ternyata di sisi yang lain batasan-batasan seperti itu ditempuh atau diselesaikan secara pidana atau dijadikan dasar untuk memidanakan notaris yaitu dengan dasar notaris telah membuat surat palsu atau memalsukan akta dengan kualifikasi sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh notaris. 53 Ibid., hal. 120-121. Batasan-batasan yang dijadikan dasar untuk memidanakan notaris merupakan aspek formal dari akta Notaris. Jika Notaris terbukti melakukan pelanggaran dari aspek formal dapat dijatuhi sanksi perdata atau sanksi administrasi tergantung pada jenis pelanggarannya atau sanksi Kode Etik Jabatan Notaris. Dalam ruang lingkup tugas pelaksanaan jabatan Notaris yaitu membuat alat bukti yang dinginkan oleh para pihak untuk suatu tindakan hukum tertentu, dan alat bukti tersebut berada dalam tataran Hukum Perdata, dan bahwa notaris membuat akta karena ada permintaan dari para pihak yang menghadap. Tanpa ada permintaan dari para pihak, notaris tidak akan membuat akta apapun, dan notaris membuatkan akta yang dimaksud berdasarkan alat bukti atau keterangan atau penyataan para pihak yang dinyatakan atau diterangkan atau diperlihatkan kepada atau dihadapan notaris. Selanjutnya, notaris membingkainya secara lahiriah, formil dan materil dalam bentuk akta notaris dengan tetap berpijak pada aturan hukum atau tatacara atau prosedur pembuatan akta dan aturan hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum yang bersangkutan yang dituangkan dalam akta. Peran notaris dalam hal ini juga untuk memberikan nasihat hukum yang sesuai dengan permasalahan yang ada. Apapun nasihat hukum yang diberikan kepada para pihak dan kemudian dituangkan ke dalam akta yang bersangkutan tetap sebagai keinginan atau keterangan para pihak yang bersangkutan, tidak dan bukan sebagai keterangan atau pernyataan Notaris. 54 54 Habid Adjie, op. cit., hal. 121. Memidanakan Notaris berdasarkan aspek-aspek tersebut tanpa melakukan penelitian atau pembuktian yang mendalam dengan mencari unsur kesalahan atau kesengajaan dari notaris merupakan suatu tindakan tanpa dasar hukum yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya: 55 1. Notaris dituduh dengan kualifikasi membuat secara palsu atau memalsukan sepucuk surat yang seolah-olah surat tersebut adalah surat yang asli dan tidak dipalsukan (Pasal 263 ayat (1) KUHP), 56 melakukan pemalsuan surat, dan pemalsuan tersebut telah dilakukan di dalam akta-akta otentik (Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP), 57 mencantumkan suatu keterangan palsu di dalam suatu akta otentik (Pasal 266 ayat (1) KUHP). 58 Kewenangan Notaris yaitu membuat akta, bukan membuat surat, dengan demikian harus dibedakan antara surat dan akta. Surat berarti surat pada umumnya yang dibuat untuk dipergunakan sebagai alat bukti atau untuk tujuan tertentu sesuai dengan keinginan atau maksud pembuatnya, yang tidak terikat pada aturan tertentu, dan akta (akta otentik) dibuat dengan maksud sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, dibuat di hadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya dan terikat pada bentuk yang sudah ditentukan. Dengan demikian pengertian surat 55 Ibid., hal. 121-122. Pasal 263 ayat (1) KUHP: Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti suatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam bila pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun. 57 Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP: Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, bila dilakukan terhadap akta-akta otentik. 58 Pasal 266 ayat (1) KUHP: Barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangan itu sesuai dengan kebenarannya, diancam, bila pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun 56 dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP tidak mutatis mutandis sebagai akta otentik, sehingga tidak tepat jika akta Notaris diberikan perlakuan sebagai suatu-surat pada umumnya. 2. Keterangan atau pernyataan dan keinginan para pihak/penghdap yang diutarakan dihadapan notaris merupakan bahan dasar bagi notaris untuk membuatkan akta sesuai keinginan para pihak yang menghadap notaris. Tanpa adanya keterangan atau pernyataan dan keinginan dari para pihak, notaris tidak mungkin untuk membuat akta. Kalaupun ada pernyataan atau keterangan yang diduga palsu dicantumkan dimasukkan ke dalam akta otentik, tidak menyebabkan akta tersebut palsu. Contohnya, ke dalam akta otentik dimasukkan keterangan berdasarkan surat nikah yang diperlihatkan kepada notaris atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari pengamatan secara fisik asli. Jika ternyata terbukti surat nikah atau KTP tersebut palsu, tidak berarti notaris memasukkan atau mencantumkan keterangan palsu ke dalam akta notaris. Secara materil kepalsuan atas hal tersebut merupakan tanggungjawab para pihak yang bersangkutan. Jika selama ini, karena hal-hal seperti tersebut di atas telah menempatkan notaris dalam posisi sebagai terpidana, menunjukkan ada pihak-pihak yang tidak mengerti apa dan bagaimana serta kedudukan notaris dalam sistem hukum nasional. Menempatkan notaris sebagai terpidana (sebelum jadi terpidana sebagai tersangka dan terdakwa) atau memidanakan notaris menunjukkan bahwa pihak-pihak lain di luar notaris, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan atau praktisi hukum lainnya menunjukkan kekurang pahaman terhadap dunia notaris. 59 Penjatuhan hukuman pidana terhadap notaris tidak serta merta akta yang bersangkutan menjadi batal demi hukum. Suatu hal yang tidak tepat secara hukum jika ada putusan pengadilan pidana dengan amar putusan membatalkan akta notaris dengan alasan notaris terbukti melakukan suatu tindak pidana pemalsuan. Dengan demikian untuk menempatkan Notaris sebagai terpidana, atas akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris yang bersangkutan, maka tindakan hukum yang harus dilakukan adalah membatalkan akta yang bersangkutan melalui gugatan perdata. Dalam penjatuhan sanksi tersebut di atas perlu dikaitkan dengan sasaran, sifat dan prosedur sanksi-sanksi tersebut. Penjatuhan sanksi perdata, administratif, dan pidana mempunyai sasaran, sifat, dan prosedur yang berbeda. Sanksi administratif dan sanksi perdata dengan sasaran yaitu perbuatan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, dan sanksi pidana dengan sasaran, yaitu pelaku (orang) yang melakukan tindakan hukum tersebut. ”Sanksi administratif dan sanksi perdata bersifat reparatoir atau korektif, artinya untuk memperbaiki suatu keadaan agar tidak dilakukan lagi oleh yang bersangkutan ataupun oleh Notaris yang lain. Regresif berarti segala sesuatunya dikembalikan kepada suatu keadaan-ketika sebelum terjadinya pelanggaran. Dalam aturan hukum tertentu, di samping dijatuhi sanksi administratif, juga dapat dijatuhi sanksi pidana (secara kumulatif) yang bersifat condemnatoir (punitif) atau menghukum, dalam kaitan ini UUJN tidak mengatur sanksi pidana untuk Notaris yang melanggar UUJN. Jika terjadi hal seperti itu maka terhadap Notaris tunduk kepada tindak pidana umum”. 60 59 60 Habib Adjie, op. cit., hal. 122-123. Ibid., hal. 123-124. Prosedur penjatuhan sanksi administratif dilakukan secara langsung oleh instansi yang diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi tersebut, dan sanksi perdata berdasarkan pada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap yang amar putusannya menghukum Notaris untuk membayar biaya, ganti rugi, dan bunga kepada penggugat, dan prosedur sanksi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang amar putusannya menghukum Notaris untuk menjalani pidana tertentu. Penjatuhan sanksi administratif dan sanksi perdata ditujukan sebagai koreksi atau reparatif dan regresi atas perbuatan Notaris. Aspek-aspek formal akta Notaris dapat saja dijadikan dasar atau batasan untuk memidanakan Notaris, sepanjang aspek-aspek formal tersebut terbukti secara sengaja bahwa akta yang dibuat di hadapan dan oleh Notaris tersebut untuk dijadikan suatu alat melakukan suatu tindak pidana terhadap pembuatan akta pihak atau akta relaas. Di samping itu, Notaris secara sadar, sengaja untuk secara bersama-sama dengan para pihak yang bersangkutan (penghadap) melakukan atau membantu atau menyuruh penghadap untuk melakukan suatu tindakan hukum yang diketahuinya sebagai tindakan yang melanggar hukum. Jika hal ini dilakukan, selain merugikan Notaris, para pihak, dan pada akhirnya orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, diberi sebutan sebagai orang yang senantiasa melanggar hukum. Aspek lainnya yang perlu untuk dijadikan batasan dalam hal pelanggaran oleh Notaris harus diukur berdasarkan UUJN, artinya apakah perbuatan yang dilakukan oleh Notaris melanggar pasal-pasal tertentu dalam UUJN, karena ada kemungkinan menurut UUJN bahwa akta yang bersangkutan telah sesuai dengan UUJN, tetapi menurut pihak penyidik perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana. Dengan demikian sebelum melakukan penyidikan lebih lanjut, lebih baik meminta pendapat mereka yang mengetahui dengan pasti mengenai hal tersebut, yaitu dari organisasi jabatan Notaris. Dengan demikian pemidanaan terhadap Notaris dapat saja dilakukan dengan batasan, jika: 61 1) Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat di hadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana; 2) Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh Notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN; dan 3) Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris. Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris dapat dilakukan sepanjang batasanbatasan sebagaimana tersebut di atas dilanggar, artinya di samping memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHP. Jika tindakan Notaris memenuhi rumusan suatu tindak pidana, tapi jika ternyata berdasarkan UUJN dan menurut penilaian dari Majelis Pengawas Notaris bukan suatu pelanggaran, maka Notaris yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena ukuran untuk menilai sebuah akta harus didasarkan pada UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris. 61 Ibid., hal. 124-125. Jika ternyata akta yang dibuat oleh Notaris terbukti melanggar batasanbatasan tersebut atau memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UUJN, maka Notaris diwajibkan memberikan ganti rugi, biaya, dan bunga kepada para pihak yang menderita kerugian. Selain itu, Notaris dapat dijatuhi sanksi perdata dengan cara menggugat Notaris yang bersangkutan ke pengadilan. Sanksi administrasi dijatuhkan terhadap Notaris karena terjadi pelanggaran terhadap segala kewajiban dan pelaksanaan tugas jabatan Notaris yang dikategorikan sebagai suatu pelanggaran yang dapat dijatuhi sanksi administrasi dan sanksi kode etik. Terjadinya pemidanaan terhadap Notaris berdasarkan akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris sebagai keluaran dari pelaksanaan tugas jabatan atau kewenangan Notaris, tanpa memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan tata cara pembuatan akta dan hanya berdasarkan KUHP saja, menunjukkan telah terjadinya kesalahpahaman atau penafsiran terhadap kedudukan Notaris dan akta Notaris sebagai alat bukti dalam Hukum Perdata. Sanksi pidana merupakan ultimum remedium, yaitu upaya terakhir, apabila sanksi atau upaya-upaya pada cabang hukum lainnya tidak mempan atau dianggap tidak mempan. Oleh karena itu penggunaannya harus dibatasi. Apabila masih ada jalan lain, janganlah menggunakan hukum pidana. 62 62 Sudarto, Hukum Pidana I, Badan Penyediaan Bahan-bahan Kuliah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1987/1988, hal. 13. C. Penyelewengan Yang Dapat Dilakukan Oleh Notaris 1. Penyelewengan Prosedural Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari dalam pembuatan akta, notaris dituntut untuk lebih berhati-hati. Dalam prosedur pembuatan akta notaris, notaris diwajibkan memeriksa identitas penghadap seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga yang masih berlaku atau apabila tidak mempunyai KTP sebagai bukti identitas diri, notaris dapat meminta identitas lain seperti Surat Izin Mengemudi (SIM), Kartu Pelajar. Bagi warga negara asing sebagai ganti dari identitas seperti KTP dan SIM, kepada penghadap dapat dimintakan Pasport. Setelah seluruh persyaratan tersebut dilengkapi oleh penghadap maka barulah kemudian akta dapat dibuat oleh notaris. Dalam hal pemenuhan prosedur tersebut ada juga notaris yang melakukan penyimpangan. Meskipun telah diketahui bahwa identitas tersebut tidak sesuai dengan penghadap namun akta notaris tetap dibuat oleh notaris yang bersangkutan. 2. Penyelewengan Pidana Selain penyelewengan prosedural, notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya dapat juga melakukan penyelewengan pidana. Penyelewengan pidana ini antara lain : a. Pemalsuan Akta Dalam hal ini dimana seorang notaris ikut terlibat dengan keinginan penghadap untuk memberikan keuntungan sepihak kepada penghadap. Notaris berkolusi dengan penghadap dalam hal pembuatan akta. Pemalsuan akta ini dapat berupa pemalsuan tanda tangan oleh penghadap yang diketahui oleh notaris bersangkutan. b. Pemalsuan Keterangan Sebelum melakuakan pembuatan akta, notaris juga terlebih dahulu meminta keterangan dari penghadap. Keterangan penghadap inilah yang nantinya akan dituangkan oleh notaris ke dalam akta. Dalam hal mengambil keterangan dari penghadap notaris juga dapat terlibat ikut serta dalam pemalsuan keterangan ini. Notaris berkolusi dengan penghadap dalam hal pemuatan keterangan palsu yang akan dibuat di dalam akta otentik. D. Prosedur Penyidikan Terhadap Notaris yang Dilaporkan Telah Melakukan Tindak Pidana Pemeriksaan atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris harus dilakukan pemeriksaan yang holistik-integral dengan melihat aspek lahiriah, formal dan materil akta Notaris, serta pelaksanaan tugas jabatan Notaris sesuai wewenang Notaris, di samping berpijak pada aturan hukum yang mengatur tindakan pelanggaran yang dilakukan Notaris. Juga perlu dipadukan dengan realitas praktik Notaris. Dalam kaitan ini, menurut Meijers diperlukan adanya kesalahan besar (hardschuldrecht) untuk perbuatan yang berkaitan dengan pekerjaan di bidang ilmu pengetahuan (wetenschappelijke arbeiders) seperti notaris. 63 Notaris bukan tukang membuat akta atau orang yang mempunyai pekerjaan membuat akta, tapi notaris dalam menjalankan tugas jabatannya didasari atau dilengkapi berbagai ilmu pengetahuan hukum dan ilmu-ilmu lainnya yang harus dikuasai secara terintegrasi oleh notaris. Akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris mempunyai kedudukan sebagai alat bukti, dengan demikian notaris harus mempunyai capital intellectual yang baik dalam menjalankan tugas jabatannya. Pemeriksaan terhadap notaris kurang memadai jika dilakukan oleh mereka yang belum mendalami dunia notaris, artinya mereka yang akan memeriksa notaris harus dapat membuktikan kesalahan besar yang dilakukan notaris secara intelektual, dalam hal ini kekuatan logika (hukum) yang diperlukan dalam memeriksa notaris, bukan logika kekuatan ataupun kekuasaan yang diperlukan dalam memeriksa notaris. Dalam pemeriksaan terhadap seorang notaris yang dilaporkan telah melakukan perbuatan tindak pidana diatur di dalam UUJN Pasal 66. Namun hal pemanggilan tersebut lebih rinci lagi diatur di dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 TAHUN 2007 Tentang Pengambilan Minuta Akta Dan Pemanggilan Notaris. Prosedur pemanggilan 63 Herlien Budiono, "Pertanggung jawaban Notaris Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 (Dilema Notaris di antara Negara Masyarakat, dan Pasar),” Renvoi No.4.28.III, 3 September 2005, hal. 37. tersebut diatur dalam BAB IV mengenai Syarat Dan Tata Cara Pemanggilan Notaris Pasal 14 yang mengatakan : (1) Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan dapat memanggil Notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tembusannya disampaikan kepada Notaris. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat alasan pemanggilan Notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa. Terhadap pemanggilan Notaris tersebut tidak semena-mena langsung ditanggapi oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD). MPD akan mempelajari terlebih dahulu pemanggilan tersebut dan melakukan pemeriksaan terhadap Notaris yang bersangkutan. Apabila dalam pemeriksaan ada ditemukan indikasi bahwa Notaris tersebut melakukan penyimpangan prosedur pembuatan akta dari Kode Etik maka MPD baru memberikan ijin ataupun persetujuan kepada kepolisian terhadap pemanggilan tersebut. Namun apabila dalam pemeriksaan Notaris tersebut MPD tidak menemukan adanya indikasi pelanggaran tindak pidana maka MPD mempunyai kewenangan untuk tidak memberikan persetujuan terhadap pemanggilan tersebut. Persetujuan dari MPD akan diberikan melalui surat resmi atau secara tertulis.64 Dalam Pasal 15 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia tersebut dikatakan bahwa Majelis Pengawas Daerah akan memberikan persetujuan pemanggilan Notaris apabila ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam 64 Wawancara dengan Notaris Suprayetno, SH, MKn pada tanggal 5 Maret 2009 penyimpanan notaris atau belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana. Adapun tindak pidana yang berkaitan dengan jabatan notaris yang diatur di dalam beberapa pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seperti : 1. Pemalsuan surat pada Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pidana penjara paling lama enam tahun. Notaris IG memalsukan surat tanda bukti setoran BPHTB. 2. Pemalsuan surat yang dilakukan pada akta otentik pada Pasal 264 Kitab UndangUndang Hukum Pidana, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. Notaris SS di Medan. 3. Pemberian keterangan palsu dalam suatu akta otentik pada Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Notaris TPS di Deli Serdang mebuat keterangan palsu. 4. Membuka rahasia pada Pasal 322 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah. Tahapan proses pemeriksaaan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, yakni : 1. Pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaaan yang dilakukan untuk pertama kalinya oleh polisi baik sebgai penyelidik maupun penyidik, apabila ada dugaan hukum pidana dilanggar, terdiri dari: a. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang. b. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang; c. Penangkapan adalah suatu tindakan dari penyidik, berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan. Peintah penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan tindak pidana berdsarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHP) bukti permulaan berarti bukti-bukti awal sebagai dasar untuk menduga adanya tindak pidana; d. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya. Alasan untuk melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa menurut Pasal 21 (1) KUHP adalah : 1) Tersangka atau Terdakwa dikahwatirkan melarikan diri; 2) Tersangka atau Terdakwa dikhawatirkan akan menghilangkan barang bukti; dan merusak atau 3) Tersangka atau Terdakwa dikahwatirkan akan melakukan lagi tindak pidana; Jenis-jenis penahanan, yakni : a. b. c. Penahanan Rumah Tahanan Negara ; Penahanan Rumah; Penahanan Kota ; e. Penggeledahan adalah tindakan penyidik memeriksa suatu tempat tertutup atau badan seseorang, untuk mendapatkan bukti-bukti yang berhubungan dengan suatu tindak pidana; f. Penyitaan adalah suatu cara yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang untuk menguasai sementara waktu barang-barang baik yang merupakan milik terdakwa atau tersangka ataupun bukan, tetapi berasal dari atau ada hubungannya dengan suatu tindak pidana dan berguna untuk pembuktian; g. Pemeriksaan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan perkara, maka penyidik dapat melakukan pemeriksaan saksi. Saksi yang diperiksa pada tingkat penyidikan memberikan keteranganya tanpa disumpah terlebih dahulu; 2. Pemeriksaan di sidang pengadilan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan apakah dugaan bahwa seseorang yang telah melakukan tindak pidana itu dapat dipidana atau tidak, terdiri dari; a. Pemeriksaan adalah berupa pemeriksaan alat-alat bukti dipersidangan yakni Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan terdakwa. b. Penuntutan adalah tindak Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwewenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh Hakim di Sidang Pengadilan; Segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan notaris yang menimbulkan permasalahan hukum pidana harus mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas Notaris. Untuk kelancaran proses penyidikan atau pemeriksaan terhadap notaris yang menjadi tersangka dan terdakwa, perlu kiranya polisi atau kejaksaan konsultasi terlebih dahulu dengan Majelis Pengawas Notaris. Sebelum memberikan persetujuan, maka Majelis Pengawas Notaris akan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap notaris tersebut dan bersamaan dengan itu Majelis Pengawas Notaris juga akan meminta keterangan dari Penyidik atau Penuntut Umum/Jaksa, mengapa sampai memanggil notaris sebagai saksi/terangka. Hasil pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris inilah yang akan menentukan relevansinya atau tidaknya notaris itu dipanggil oleh Polisi/ penyidik atau Jaksa/Penuntut Umum untuk diperiksa. Berdasarkan ketentuan Pasal 66UndangUndang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notris menyatakan bahwa : 1. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik dengan penuntut umum, atau hakim persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwewenang : a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. 2. Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan. Dalam nota Kesepahaman antara Ikatan Notris Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Tentang Pembinaan Dan Peningkatan Profesionalisme di Bidang Penegakan Hukum yang terdiri dari 3 BAB dan 6 pasal, di mana Bab I berisi tentang ketentuan umum berkaitan dengan tindakan hukum seseorang yang diduga terlibat dalam suatu tindak pidana. Bab II berkaitan dengan pemanggilan notaris berkaitan dengan pemeriksaan oleh penyidik kepada notaris serta tata cara penyitaan akta notaris. Bab III berkaitan dengan pembinaan dan penyuluhan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan profesionalisme dari notaris dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 2 Nota Kesepahaman antara Ikatan Notaris Indonesia dengan Kepolisian Republik Indonesia tersebut menyatakan bahwa: 65 1. 2. 3. 4. Tindakan pemanggilan terhadap Notaris harus dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh penyidik. Pemanggilan Notaris dilakukan setelah penyidik memperoleh persetujuan dari majelis Pengawas yang merupakan suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan. Surat pemangilan harus jelas mencantumkan alasan pemanggilan, status yang dipanggil (sebagai saksi atau tersangka), waktu dan tempat, serta pelaksanaannya tepat waktu. Surat pemanggilan diberikan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelumnya ataupun tenggang waktu 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat panggilan tersebut sebagaimana yang tercatat dalam penerimaan untuk 65 Nota kesepakatan antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris Indonesia No.Pol : B/1056/V/2006 dan Nomor: 01/MOU/PP-INI/V/2006 Tentang Pembinaan dan Peningkatan Profesionalisme di Bidang Penegakan Hukum. 5. 6. mempersiapkan bagi Notaris yang dipanggil guna mengumpulkan datadata/bahan-bahan yang diperlukan. Dengan adanya surat pemanggilan yang sah menurut hukum, maka Notaris wajib untuk memenuhi panggilan penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat (2) KUHAP. Apabila Notaris yang dipanggil dengan alasan sah menurut hukum tidak dapat memenuhi panggilan penyidik, maka penyidik dapat datang ke kantor/tempat kediaman Notaris yang dipanggil untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 113 KUHAP. Pasal 3 Nota Kesepakatan antara Ikatan Notaris Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa dalam hal tindakan penyidik untuk melakukan pemeriksaan Notaris yang berkaitan dengan suatu peristiwa pidana khususnya yang berkenaan dengan akta-akta yang dibuat, mengcu kepada Pasal 7 ayat (1), Pasal 116, Pasal 117 KUHP, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, dan petunjuk Mahkamah Agung Republik Indonesia NO.MA/Pemb/3425/86 tanggal 12 April 1986, antara lain sebagai berikut : a. Notaris yang akan diperiksa atau dimintai keterangan harus jelas kedudukan dan perannya, apakah sebagai saksi atau tersangka terhadap akta-akta yang dibuatnya dan/atau selaku pemegang protokol; b. Dalam kedudukan dan perannya sebagai saksi, maka pemeriksaan tidak perlu dilakukan penyumpahan kecuali cukup kuat alasan bahwa ia tidak dapat hadir dalam pemeriksaan disidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 116 ayat (1) KUHP; c. Notaris berhak mengetahui kesaksian apa yang diperlukan oleh Penyidik dan/atau tentang sangkaan apa yang dituduhkan kepadanya; d. Sedapat mungkin pemeriksaan dilakukan oleh penyidik kecuali terdapat alasan yang patut dan wajar, serta dapat dimengerti maka pemeriksaan dapat dilakukan oleh Penyidik Pembantu ; e. Pemeriksan dilakukan ditempat dan waktu sebagaimana tersebut dalam surat panggilan atau ditempat dan waktu yang telah disepakati antara penyidik dan Notaris yang dipanggil sesuai dengan alasan yang sah menurut UndangUndang. f. Notaris yang dipanggil sebagai saksi, wajib hadir dan memberi keterangan yang diperlukan tentang apa yang dilihat, diketahui, didengar dan dialami dalam obyek pemeriksaan (peristiwanya) secara benar dengan mengingat g. h. i. j. k. sumpah jabatan dan ketentuan-ketenuan Undang-Undang Jabatan Notaris serta perundang-undangan lain-nya. Dalam kaitanya dengan sumpah Jabatan Notaris (Pasal 4 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf e, dan Pasal 54 Undang-Undang Jabatan Notaris ) Notaris dapat meminta untuk dibebaskan dari kewajiban memberikan keterangan sebagai saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHP atau dapat menolak memberikan keterangan sebagaimana diatur di dalam Pasal 120 ayat (2) KUHP; Hak ingkar/tolak Notaris dapat dilepaskan demi kepentingan hukum atau kepentingan umum yang lebih tinggi nilainya dari kepentingan pribadi yang berkaitan dengan isi akta ataupun berdasarkan adanya peraturan umum yang memberikan pengecualian sebagaimana ditegskan dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf e dan Pasal 54 Undang-Undang Jabatan Notaris; Notaris yang disangka melakukan tindakan pidana berkenaan dengan akta yang dibuatnya, berhak mendapat bantuan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 54 KUHAP atau didampingi oleh pengurus INI berdasarkan surat penugasan; Pemeriksaan terhadap Notaris dilakukan tanpa adanya tekanan dan paksaan dari penyidik/petugas; Dalam hal Notaris yang diperiksa sebagai tersangka dan tidak terbukti adanya unsur-unsur pidana, maka penyidik wajib menerbitkan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3) dalam waktu secepat-cepatnya setelah pemeriksaan baik saksi, tersangka maupun alat bukti dinyatakn selesai; Pasal 4 Nota kesepahaman antara Ikatan Notaris Indonesia dengan Kepolisian Republik Indonesia menyatakan bahwa: 1. Tindakan Penyidik berupa penyitaan terhadap Akta Notaris dan/atau protokol yang ada dalam penyimpanan Notaris untuk membuktikan perkara pidananya dan/atau keterlibatan Notaris sebagai tersangka, maka Penyidik harus memperhatikan prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Undang- Undang Jabatan Notaris serta Petunjuk Mahkamah Agung RI No. MA/Pemb/3429/86 tanggal 12 April 1986; 2. Tata cara yang ditempuh dalam penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a. Penyidik mengajukan permohonan kepada Majelis Pengawas di tempat kedudukan Notaris yang bersangkutan berada; b. Surat permohonan tersebut menjelaskan secara rinci relevansi dan urgensinya untuk membuka rahasia suatu minuta akta Notaris, demi kelancaran kepentingan proses penyidikan suatu perkara pidana; c. Dalam mengajukan surat permmohonan kepada Majelis Pengawa, Notaris yang bersangkutan wajib diberi tembusan, dengan demikian Notaris dapat memberikan pertimbangan kepada Majelis Pengawas, baik diminta maupun tidak; d. Apabila terhadap persetujuan Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris diberikan, maka penyidik diberikan foto kopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, setelah disahkan oleh Notaris yang bersangkutan sesuai dengan aslinya, dan dibuat Berita Acara Penyerahan. e. Dalam hal diperlukan pemeriksaan laboratorium terhadap minuta akta dan/atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, maka atas ijin Majelis Pengawas Daerah Notaris maka Penyidik dapat membawa bundel minuta akta tersebut ke Laboratorium Forensik (Labfor) yang telah ditentukan. Dalam hal pemanggilan notaris oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai saksi, penyidik Polri harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Notaris. Penyidik akan menyurati terlebih dahulu Majelis Pengawas Notaris yang tembusannya diberikan kepada notaris bersangkutan. Dalam surat pemanggilan tersebut penyidik harus mencantumkan alasan pemanggilan notaris tersebut. Dalam tingkat penyidikan awal notaris yang dipanggil pada umumnya statusnya masih sebagai saksi. Pemanggilan terhadap notaris tersebut berkaitan dengan akta notaris yang dibuatnya. 66 66 Hasil wawancara dengan Kepala Satuan Tindak Pidana Umum Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Komisaris (Pol) Edison Sitepu, SH, M.Hum pada tanggal 24 Maret 2009 Pemanggilan notaris oleh penyidik Polri sebagai saksi dalam kapasitasnya sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik harus memerlukan ijin dari Majelis Pengawas Notaris namun apabila tindak kejahatan notaris tersebut tidak menyangkut jabatan maka kepolisian tidak perlu meminta ijin dari Majelis Pengawas Notaris. 67 Sebagai penuntut umum kejaksaan tidak perlu lagi meminta ijin kepada Majelis Pengawas Notaris dalam hal pemanggilan seorang notaris yang telah melakukan tindak pidana. Kejaksaan hanya menerima pelimpahan kasus dari kepolisian. Apabila berkas-berkas telah dilengkapi oleh polisi sebagai penyidik barulah kemudian berkas tersebut diberikan kepada pihak kejaksaan (berkas P 21). Dalam hal ini notaris sebagai tersangka telah menjadi status tahanan kejaksaan. Namun apabila notaris tersebut hanya sebagai saksi yang akan dimintai keterangannya oleh kejaksaan maka pihak kejaksaan akan meminta ijin terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Notaris. 68 Notaris adalah juga seorang pejabat umum. Pemanggilan terhadap seorang pejabat umum sebagai saksi tidak sama dengan pemanggilan terhadap masyarakat umum. Pemanggilan terhadap seorang pejabat memerlukan ijin ataupun harus sepengetahuan atasan ataupun lembaga. Demikian juga pemanggilan terhadap notaris sebagai seorang pejabat umum harus ada ijin dari Majelis Pengawas Notaris. Hal ini 67 Hasil wawancara dengan Kepala Satuan Tindak Pidana Umum Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Komisaris (Pol) Edison Sitepu, SH, M.Hum pada tanggal 24 Maret 2009 68 Hasil wawancara dengan Yos Gernold Tarigan,SH Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Medan pada tanggal 27 Februari 2009 sesuai dengan yang diamanatkan di dalam Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris nomor 30 Tahun 2004. 69 69 Hasil wawancara dengan Erlinawati,SH Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Medan, pada tanggal 27 Februari 2009 BAB III KEWENANGAN NOTARIS SEBAGAI TERSANGKA DALAM MENJALANKAN TUGAS JABATANNYA A. Kewenangan Notaris Sebagai Pejabat Umum 1. Notaris Sebagai Pejabat Umum Istilah Pejabat Umum 70 merupakan terjemahan dari istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 PJN 85 dan Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (BW). 71 Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan bahwa : 72 De notarissen zijn openbare ambtenaren, uitsluitend bevoegd, om authentieke akten op te maken wegens alle handelingen, overeenkomsten en beschikkingen, waarvan eene algemeene verordening gebiedt of de belanghebbenden verlangen, dat bij authentiek geschrift blijken zal, daarvan de dagtekenig te verzekeren, de akten in bewaring te houden en daarvan grossen, afschrif akten en uittreksels uit te geven; alles voorzoover het opmaken dier akten door ene algemene verordening niet ook aan andere ambtenaren of personen opgedragen of voorbehouden is. (Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan 70 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dengan Putusan nomor 009-014/PUU111/2005, tanggal 13 September 2005 mengistilahkan Pejabat Umum sebagai Public Official. 85 Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Art. 1 dalam Regelement op het Notaris Ambt in Indonesia (Ord. van Jan. 1860) 5.1860-3, diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh G.H.S. Lumban Tobing , op cit., hal.v. 71 Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 SW diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983. 72 G.H.S.LumbanTobing, op.cit., hal.31. 60 umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain). Pasal 1868 KUH Perdata menyebutkan : Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat). Pasal 1 angka (1) UUJN menyebutkan: Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Menurut Kamus Hukum 73 salah satu arti dari Ambtenaren adalah Pejabat. Dengan demikian Openbare 74 Ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian dengan kepentingan publik, sehingga tepat jika Openbare Ambtenaren diartikan sebagai Pejabat Publik. Khusus berkaitan dengan Openbare Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris. Aturan hukum sebagaimana tersebut di atas yang mengatur keberadaan Notaris tidak memberikan batasan atau definisi mengenai Pejabat Umum, karena sekarang ini yang diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum bukan hanya Notaris saja, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) juga diberi kualifkasi sebagai Pejabat Umum, Pejabat Lelang. Pemberian kualifikasi sebagai Pejabat Umum kepada pejabat lain 73 N. E. Algra, H.R.W. Gokkel dkk., dalam Habib Ajie, op cit., hal. 27. Saleh Adiwinata, A. Teloeki, H. Boerhanoeddin St. Batoeah, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, Binacipta, 1983, hal. 363, istilah Openbare diterjemahkan sebagai Umum. 74 selain Pejabat Umum, bertolak belakang dengan makna dari Pejabat Umum itu sendiri, karena seperti PPAT hanya membuat akta-akta tertentu saja yang berkaitan dengan pertanahan dengan jenis akta yang sudah ditentukan, dan Pejabat Lelang hanya untuk lelang saja. Pemberian kualifikasi Notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan dengan wewenang Notaris. Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN bahwa Notaris berwenang membuat akta otentik, sepanjang pembuatan akta-akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Pemberian wewenang 75 kepada pejabat atau instansi lain, seperti Kantor Catatan Sipil, tidak berarti memberikan kualifikasi sebagai Pejabat Umum tapi hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum saja ketika membuat akta-akta yang ditentukan oleh aturan hukum, dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti semula sebagai Pegawai Negeri. Misalnya akta-akta, yang dibuat oleh Kantor Catatan Sipil juga termasuk akta otentik. Kepala Kantor Catatan Sipil yang membuat dan menandatanganinya tetap berkedudukan sebagai Pegawai Negeri. Berdasarkan pengertian di atas, bahwa Notaris berwenang membuat akta sepanjang dikehendaki oleh para pihak atau menurut aturan hukum wajib dibuat dalam bentuk akta otentik. Pembuatan akta tersebut harus berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan prosedur pembuatan akta Notaris, sehingga Jabatan Notaris sebagai Pejabat Umum tidak perlu lagi diberi sebutan lain yang berkaitan dengan kewenangan Notaris: seperti Notaris sebagai Pembuat Akta Koperasi berdasarkan 75 Wawan Setiawan, op. cit., hal. 7. Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia nomor 98/KEP/ M.KUKM/IX/2004, tanggal 24 September 2004 tentang Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta Koperasi, kemudian Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) berdasarkan Pasal 37 ayat (3) dan (4) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Pemberian sebutan lain kepada Notaris seperti tersebut di atas telah mencederai makna Pejabat Umum. Seakan-akan Notaris akan rnempunyai kewenangan tertentu jika disebutkan dalam suatu aturan hukum dari instansi pemerintah. 76 Dalam penataan kelembagaan (hukum), khususnya untuk Notaris, cukup untuk Notaris dikategorikan sebagai Pejabat Umum (atau sebutan lain sebagaimana tersebut di bawah ini) saja dan tidak perlu menempelkan atau memberikan sebutan lain kepada Notaris. Jika suatu institusi ingin melibatkan Notaris dalam rangka pengesahan suatu dokumen atau Surat atau dalam pembuatan dokumen-dokumen hukum, cukup dengan petunjuk bahwa untuk hal-hal tertentu wajib dibuat dengan akta Notaris, contohnya: 1. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menegaskan bahwa perseroan terbatas didirikan dengan akta Notaris. 2. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menegaskan bahwa akta Jaminan Fidusia dibuat dengan akta Notaris. 76 Habib Adjie, "Penggerogotan Wewenang Notaris Sebagai Pejabat Umum", Renvoi. Nomor 04. Th. II, 3 September 2004, hlm. 32. 3. Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan menegaskan bahwa yayasan didirikan dengan akta Notaris. 4. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, menentukan bahwa pendirian partai politik harus dengan akta Notaris. Meskipun bukan sebagai badan hukum, namun Undang-Undang Partai Politik mengharuskan pendirian suatu partai politik harus berdasarkan suatu akta notaris. Selain itu, dalam BW untuk tindakan hukum tertentu diwajibkan dalam bentuk akta otentik, yaitu : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. Berbagai izin kawin, baik dari orang tua atau kakek/nenek (Pasal 71); Pencabutan pencegahan perkawinan (Pasal 70); Berbagai perjanjian kawin berikut perubahannya (Pasal 147, 148); Kuasa melangsungkan perkawinan (Pasal 79); Hibah berhubung dengan perkawinan dan penerimaannya (Pasal 176, 177); Pembagian harta perkawinan setelah adanya putusan pengadilan tentang pemisahan harta (Pasal 191); Pemulihan kembali harta campur yang telah dipisah (Pasal 196); Syarat-syarat untuk mengadakan perjanjian pisah meja dan ranjang (Pasal 237); Pengakuan anak luar kawin (Pasal 281); Pengangkatan wali (Pasal 355); Berbagai macam/jenis Surat wasiat, termasuk/diantaranya penyimpanan wasiat umum, wasiat pendirian yayasan, wasiat pemisahan dan pembagian harta peninggalan, fideicomis, pengangkatan pelaksana wasiat dan pengurus harta peninggalan dan pencabutannya (Bab Ketigabelas -Tentang Surat Wasiat); Berbagai akta pemisahan dan pembagian harta peninggalan/warisan (Bab Ketujuhbelas - Tentang Pemisahan Harta Peninggalan); Berbagai hibahan (Bab Kesepuluh - Tentang Hibah), dan Protes nonpembayaran/akseptasi (Pasal 132 dan 143 KUHD). Dengan demikian Pejabat Umum merupakan suatu jabatan yang disandang atau diberikan kepada mereka yang diberi wewenang oleh aturan hukum dalam pembuatan akta otentik. Notaris sebagai Pejabat Umum kepadanya diberikan kewenangan untuk membuat akta otentik. Oleh karena itu Notaris sudah pasti Pejabat Umum, tapi Pejabat Umum belum tentu Notaris, karena Pejabat Umum dapat disandang pula oleh Pejabat Pembuat AktaTanah (PPAT) atau Pejabat Lelang. Dalam Pasal 1 huruf a disebutkan bahwa "Notaris : de ambtenaar", Notaris tidak lagi disebut sebagai Openbaar Ambtenaar sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Wet op het Notarisambt yang lama (diundangkan tanggal Juli 1842, Stb. 20). Tidak dirumuskan lagi Notaris sebagai Openbaar Ambtenaar, sekarang ini tidak dipersoalkan apakah Notaris sebagai Pejabat Umum atau bukan, dan perlu diperhatikan bahwa istilah Openbaar Ambtenaar dalam konteks ini tidak bermakna umum, tetapi bermakna Publik. 77 Ambt pada dasarnya adalah jabatan publik. Dengan demikian Jabatan Notaris adalah Jabatan Publik tanpa perlu atribut Openbaar. 78 Penjelasan Pasal 1 huruf a tersebut di atas bahwa penggunaan istilah Notaris sebagai Openbaar Ambtenaar sebagai tautologie. 79 77 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hal. 80. 78 Ibid., hal. 80. 79 S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, Ichtiar Baru - Van Hoeve, Jakarta, 1990, hal.. 80, menyatakan tourologie adalah deretan atau urutan kata yang memiliki pengertian yang hampir lama. Jika ketentuan dalam Wet op het Notarisambt tersebut di atas dijadikan rujukan untuk memberikan pengertian yang sama terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1 UUJN yang menyebutkan Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN. Maka Pejabat Umum yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UUJN harus dibaca sebagai Pejabat Publik atau Notaris sebagai Pejabat Publik yang berwenang untuk membuat akta otentik sesuai Pasal 15 ayat (1) UUJN dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN dan untuk melayani kepentingan masyarakat. Menurut Habib Adjie: ”Notaris sebagai Pejabat Publik, dalam pengertian mempunyai wewenang dengan pengecualian. Dengan rnengkategorikan Notaris sebagai Pejabat Publik. Dalam hal ini Publik yang bermakna hukum, bukan Publik sebagai khalayak umum. Notaris sebagai Pejabat Publik tidak berarti sama dengan Pejabat Publik dalam bidang pemerintah yang dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, hal ini dapat dibedakan dari produk masingmasing Pejabat Publik tersebut. Notaris sebagai Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Akta tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual dan final. Serta tidak menimbulkan akibat hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata, karena akta merupakan formulasi keinginan atau kehendak (wilsvorming) para pihak yang dituangkan dalam akta Notaris yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris. Sengketa dalam bidang perdata diperiksa di pengadilan umum (negeri). Pejabat Publik dalam bidang pemerintahan produknya yaitu Surat Keputusan atau Ketetapan yang terikat dalam ketentuan Hukum Administrasi Negara yang memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis yang bersifat, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, dan Sengketa dalam Hukum Administrasi diperiksa di Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Notaris sebagai Pejabat Publik yang bukan Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara”.80 Berdasarkan uraian di atas, maka Notaris dalam kategori sebagai Pejabat Publik yang bukan Pejabat Tata Usaha Negara, dengan wewenang yang disebutkan dalam aturan hukum yang mengatur jabatan Notaris, sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 UUJN. Selanjutnya Habib Adjie mengemukakan: ”Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat, dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang telah merasa dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada Notaris. Oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya.” 81 Dengan demikian Notaris merupakan suatu jabatan yang mempunyai karateristik, yaitu : a. Sebagai Jabatan UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan Jabatan Notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan Notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN. 82 80 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 31-32. 81 Ibid., hal. 42. 82 Habib Adjie, "Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Sebagai Unifikasi Hukum Pengaturan Notaris", Renvoi, Nomor 28.Th. 111, 3 September 2005, hal. 38. Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara. 83 Menempatkan Notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap. b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus dilandasi aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang Notaris hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) UUJN. Menurut Pasal 15 ayat (1) bahwa wewenang Notaris adalah membuat akta, namun ada beberapa akta otentik yang merupakan wewenang Notaris dan juga menjadi wewenang pejabat atau intansi lain, yaitu : a. Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 BW); b. Akta berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik (Pasal 1227 BW); 84 83 Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2004, ha1. 15, dinyatakan. suatu lembaga yang dibuat atau diciptakan oleh negara, balk kewenangan atau materi muatannya tidak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, delegasi atau mandat melainkan berdasarkan wewenang yang timbul dari freis ermessen yang dilekatkan pada administrasi negara untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu yang dibenarkan oleh hukum (Beleidsreygel atau Policyrules). 84 Ketentuan Pasal 1227 BW tersebut terdapat dalam Buku II BW. Menurut Pasal 29 UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, ketentuan mengenai Hipotik dinyatakan tidak berlaku lagi. c. Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi (Pasal 1405 dan 1406 BW); d. Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan 218 WvK); e. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) (Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan); f. Membuat akta risalah lelang. 85 Pasal 15 ayat (3) UUJN merupakan wewenang yang akan ditentukan kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang kemudian (ius constituendum). Berkaitan dengan wewenang tersebut, jika Notaris melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, maka produk atau akta Notaris tersebut tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan (nonexecutable). Pihak atau mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan Notaris di luar wewenang tersebut, maka Notaris dapat digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri. Berdasarkan wewenang yang ada pada Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta Notaris, maka ada 2 (dua) pemahaman, yaitu : a. Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku. b. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, 86 sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti 85 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 338/KMK.01/2000, tanggal 18 Agustus 2000, dalam Pasal 7 ayat (3): Pejabat Lelang dibedakan dalam dua tingkat, yaitu: a) Pejabat Lelang Kelas I; dan b) Pejabat Lelang Kelas II. Selanjutnya dalam Pasal 8: (1) Pejabat Lelang Kelas I adalah pegawai BUPLN pada Kantor Lelang Negara yang diangkat untuk jabatan itu. (2) Pejabat Lelang Kelas II adalah orang-orang tertentu yang diangkat untuk jabatan, yang berasal dari: a) Notaris; b) Penilai; dan c) Pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) BUPLN diutamakan yang pernah menjadi Pejabat Lelang Kelas 1 yang berkedudukan di wilayah kerja tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Badan. lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta Notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari jabatan Notaris. 87 Dengan konstruksi pemahaman seperti di atas, maka ketentuan Pasal 50 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 88 dapat diterapkan kepada Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya. Sepanjang pelaksanaan tugas jabatan tersebut sesuai dengan tata cara yang sudah ditentukan dalam UUJN, hal ini sebagai perlindungan hukum terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya atau merupakan suatu bentuk imunitas terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sesuai aturan hukum yang berlaku. c. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah Pasal 2 UUJN menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah, dalam hal ini menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UUJN). Notaris meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) dari yang 86 M. Ali Boediarto, “Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad', Swa Justitia, Jakarta, 2005, hal. 150. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3199 K/Pdt/1994, tanggal 27 Oktober 1994, menegaskan bahwa akta otentik menurut ketentuan ex Pasal 165 HIR jo. 285 Rbg jo. 1868 BW merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak dan para ahli warisnya dan orang yang mendapat hak darinya. 87 MJ-A. van Mourik dalam Habib Adjie, Sanksi Perdata…op. cit., hal. 35. 88 Pasal 50 KUHP berbunyi: Tidaklah dapat dihukum, barang siapa melakukan sesuatu perbuatan untuk melaksanakan suatu peraturan perundang-undangan. mengangkatnya, pemerintah. Dengan demikian Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya: 89 a. Bersifat mandiri (autonomous); b. Tidak memihak siapapun (impartial); c. Tidak tergantung kepada siapa pun (independent), yang berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain. d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu. e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen hukum (akta) otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga Notaris mempunyai tanggungjawab untuk melayani masyarakat yang dapat menggugat secara perdata, menuntut biaya, ganti rugi, dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat. Notaris sebagai Pejabat Publik, dalam pengertian mempunyai wewenang dengan pengecualian. Dengan mengkategorikan Notaris sebagai Pejabat Publik. Dalam hal ini Publik yang bermakna hukum, bukan Publik sebagai khalayak umum. 89 Habid Adjie, Sanksi Perdata…op. cit., hal. 36. Notaris sebagai Pejabat Publik tidak berarti sama dengan Pejabat Publik dalam bidang pemerintah yang dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, hal ini dapat dibedakan dari produk masing-masing Pejabat Publik tersebut. Notaris sebagai Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Akta tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual dan final. Serta tidak menimbulkan akibat hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata, karena akta merupakan formulasi keinginan atau kehendak (wilsvorming) para pihak yang dituangkan dalam akta Notaris yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris. Sengketa dalam bidang perdata diperiksa di pengadilan umum (negeri). Pejabat Publik dalam bidang pemerintahan produknya yaitu Surat Keputusan atau Ketetapan yang terikat dalam ketentuan Hukum Administrasi Negara yang memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis yang bersifat, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, dan Sengketa dalam Hukum Administrasi diperiksa di Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Notaris sebagai Pejabat Publik yang bukan Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara. 90 90 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hal. 31-32. Berdasarkan uraian di atas, maka Notaris dalam kategori sebagai Pejabat Publik yang bukan Pejabat Tata Usaha Negara, dengan wewenang yang disebutkan dalam aturan hukum yang mengatur jabatan Notaris, sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 UUJN. Selanjutnya Habib Adjie mengemukakan: “Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat, dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang telah merasa dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada Notaris. Oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya”. 91 2. Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta Otentik Notaris adalah ahli hukum yang bekerja di bidang pribadi, misalnya penandatanganan kontrak, kepemilikan tanah, transaksi perdagangan, dan lain-lain. Mereka biasanya tidak berhak mendampingi klien di pengadilan. Di Indonesia terdapat organisasi Ikatan Notaris Indonesia yang diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman No.M.01/2003 Pasal 1 butir 13. Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, 91 Ibid., hal. 42. menyimpan akta grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan undang-undang. 92 Pengertian akta otentik dapat ditemukan dalam Pasal 1868 KUH Perdata yang menyebutkan: ”Akta otentik adalah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai yang berkuasa/pegawai umum untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”. Suatu akta dikatakan otentik apabila memenuhi syarat sebagai berikut: a. Akta yang dibuat oleh atau akta yang dibuat dihadapan pegawai umum yang ditunjuk oleh undang-undang. b. Bentuk akta ditentukan oleh undang-undang dan cara membuat akta menurut ketentuan yang ditetapkan undang-undang. c. Ditempat dimana pejabat yang berwenang membuat akta tersebut Akta otentik mempunyai arti yang lebih penting daripada sebagai alat bukti, bila terjadi sengketa maka akta otentik dapat digunakan sebagai pedoman bagi para pihak yang bersengketa. Notaris sebagai auksioner berwenang untuk melaksanakan lelang dan membuat risalah lelang. Ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari kewenangan notaris sebagai pejabat umum untuk membuat akta otentik. Peran notaris diperlukan di Indonesia karena dilatar belakangi oleh Pasal 1866 KUH Perdata yang menyatakan alat-alat bukti terdiri atas: 92 Lihat Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris 1. bukti tulisan; 2. bukti dengan saksi-saksi; 3. persangkaan-persangkaan; 4. pengakuan; 5. sumpah. Pembuktian tertinggi adalah bukti tulisan. Bukti tertulis ini dapat berupa akta otentik maupun akta di bawah tangan dan yang berwenang dan yang dapat membuat akta otentik adalah Notaris. Untuk itulah negara menyediakan lembaga yang bisa membuat akta otentik. Negara mendelegasikan tugas itu kepada notaris seperti tertera pada pasal 1868 KUH Perdata jo S. 1860/3 mengenai adanya Pejabat Umum, yaitu pejabat yang diangkat oleh negara untuk membantu masyarakat dalam pembuatan akta otentik. Dalam hal ini pejabat yang dimaksud adalah Notaris dan lambang yang digunakan sebagai cap para notaris adalah lambang negara. Notaris merupakan satusatunya kalangan swasta yang diperbolehkan menggunakan lambang tersebut. Notaris adalah Pejabat Umum, hal ini dapat juga dilihat di dalam pasal 1 angka 1 UUJN. Selain itu, Notaris juga diberikan wewenang lain, seperti: 1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. 2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar di dalam buku khusus. 3. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang membuat uraian sebagaimana ditulis dan digambearkan dalam surat yang bersangkutan. 4. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya 5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. 6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. 7. Membuat akta risalah lelang 93 93 Lihat pasal 15 ayat (2) Undang-Undang nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notris. Notaris sebagai pejabat publik yang berwenang untuk membuat akta otentik, mempunyai peran penting dalam kehidupan masyarakat. Banyak sektor kehidupan transaksi bisnis dari masyarakat yang memerlukan peran serta dari Notaris, bahkan beberapa ketentuan yang mengharuskan dibuat dengan Akta Notaris yang artinya jika tidak dibuat dengan Akta Notaris maka transaksi atau kegiatan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Untuk itu dalam rangka meningkatkan profesionalisme dari Notaris tersebut, kehadiran Undang-Undang nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang memberikan kewajiban dan wewenang kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang diteruskan kepada Majelis Pengawas Notaris untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris dalam melaksanakan pekerjaannya, merupakan suatu langkah positif, sehingga akhirnya aktifitas masyarakat yang berkaitan dengan Notaris berjalan dengan harmonis. Undang-Undang nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah diundangkan dan diberlakukan pada tanggal 6 Oktober 2004. Undang-undang ini menggantikan Peraturan Jabatan Notaris yang lama yang diatur dalam Staatsblaad 1860 nomor 3 yang merupakan Undang-Undang Jabatan Notaris produk Kolonial Hindia Belanda. Lahirnya UUJN sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004 yang menekankan perlunya dilakukan penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang sudah tidak sesuai lagi. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah mengatur pengertian dari notaris yaitu Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud undang-undang ini. Disinilah letak arti penting dari profesi notaris bahwa ia karena undang-undang diberi wewenang menciptakan alat pembuktian yang mutlak dalam pembuktian bahwa apa yang tersebut dalam akta otentik pada pokoknya dianggap benar. Hal ini sangat penting untuk mereka yang membutuhkan alat pembuktian untuk suatu keperluan, baik untuk pribadi maupun untuk kepentingan suatu usaha. Adapun akta-akta yang pembuatannya juga ditugaskan kepada pejabat lain atau oleh undang-undang dikecualikan pembuatannya kepadanya antara lain : 1. Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 KUH Perdata) 2. Berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotek (Pasal 1227 KUH Perdata). 3. Berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi (Pasal 1405 dan Pasal 1406 KUH Perdata). 4. Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan Pasal 218 KUHD). 5. Akta catatan sipil (Pasal 4 KUH Perdata). 94 94 R.Soegondo Notodisoerjo, (Jakarta:Rajawali, 1982), hlm 53 Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, Untuk pembuatan akta-akta yang dimaksud angka 1 sampai angka 4 Notaris berwenang membuatnya bersama-sama dengan pejabat lain (turut berwenang membuatnya) sedangkan yang disebut pada angka 5, Notaris tidak berwenang untuk membuatnya tetapi hanya oleh pegawai Kantor Catatan Sipil. 3. Wewenang Dan Larangan Terhadap Notaris Wewenang utama notaris adalah membuat akta otentik, tapi tidak semua pembuatan akta otentik menjadi wewenang notaris. Akta yang dibuat oleh pejabat lain, bukan merupakan wewenang notaris, seperti akta kelahiran, pernikahan, dan perceraian dibuat oleh pejabat selain notaris. Akta yang dibuat notaris tersebut hanya akan menjadi akta otentik, apabila notaris mempunyai wewenang yang meliputi empat hal, yaitu 95 : a. Notaris harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang dibuat itu; Tidak semua pejabat umum dapat membuat semua akta, akan tetapi seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta-akta tertentu, yakni yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa kewenangan notaris yaitu membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik. b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat; Notaris tidak berwenang untuk membuat akta untuk kepentingan setiap orang. Dalam Pasal 52 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa notaris tidak diperkenanakan tidak membuat akta untuk diri sendiri, isteri/suami, atau orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis lurus ke bawah dan/atau keatas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis kesamping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, mauppun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantara kuasa. 95 G.H.S L. Tobing, ibid, hal 49 Maksud dan tujuan dari ketetnuan ini ialah untuk mencegah terjadinya tindakan memihak dan penyalah gunaan jabatan. c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat; Bagi setiap notaris ditentukan daerah hukumnya (daerah jabatannya) dan hanya di dalam daerah yang ditentukan baginya itu iaberwenang untuk membuat akta otentik. Dalam Pasal 18 UUJN menyatakan bahwa notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten/kota. Wilayah jabatan notaris meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya. Akta yang dibuat diluar daerah jabatannya adalah tidak sah. d. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu; keadaan dimana notaris tidak erwenang (onbevoegd) untuk membuat akta otentik, yaitu : 96 1. sebelum notaris mengangkat sumpah (Pasal 7 UUJN); 2. selama notaris diberhentikan sementara (skorsing); 3. selama notaris cuti; 4. berdasarkan ketentuan Pasl 40 yat (2) huruf e tentang saksi akta dan Pasal 52 ayat (1) UUJN Pasal 15 ayat (2) UUJN menyatakan bahwa selain berwenang untuk membuat akta otentik, notaris berwenang pula : 1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftara dalam buku khusus; 2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; 3. Membuat copy dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang membuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; 4. Melakukan pengesahan kecocokan foto kopi dengan surat aslinya; 5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; 6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau 7. Membuat akta risalah lelang. Terdapat perluasan kewenangan notaris, yaitu kewenangan yang dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (2) butir f UUJN yakni kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. Kewenangan notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan menimbulkan kontroversi. PPAT tetap memiliki ruang lingkup 96 G.H.S.L Tobing, op cit, hal 140 jabatan yang berbeda dengan notaris, akta-akta yang bisa dibuat oleh notaris, adalah sebatas yang bukan menjadi kewenangannya PPAT. 97 Pada Pasal 15 ayat (2) huruf g UUJN yaitu wewenang notaris untuk membuat akta risalah lelang. Akta risalah lelang ini sebelum lahirnya UUJN menjadi kewenangan juru lelang dalam Badan Urusan Utang Piutang Dan Lelang Negara (BUPLN) berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960. Pasal 51 UUJN menyatakan bahwa notaris berwenang untuk membetulkan kesalahn tulis dan/atau kesalahn ketik yang terdapat pada minuta akta yang telah ditandatangani. Pembetulan tersebut dilakukan dengan membuat berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada minuta akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor akta berita acara pembetulan. Salinan akta berita acara tersebut wajib disampaikan kepada para pihak. Notaris dibolehkan menjalankan jabatan notaris dalam bentuk perserikatan perdata, sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) UUJN. Hal ini dimungkinkan dengan mengingat kondisi jumlah notaris saat yang sudah mencapai 7009 orang dan karenanya bentuk perserikatan perdata (maatschap) 98 dapat dipandang sebagai upaya efisiensi dan efektifitas kantor notaris dalam rangka mempercepat pelayanan jasa hukum kepada masyarakat dengan tetap menjaga kemandirian dan ketidakberpihakan 97 ”Wewenang Notaris Dan PPAT masih menyisakan Persoalan”,http://cms.sip.co.id/ hukumonline/berita.asp, diakses pada tanggal 13 Maret 2009 98 ”Notaris Dalam Memberika Pelayanan Kepada Masyarakat Senantiasa Berpedoman Kepada Kode Etik Profesi”, http://majalah.depkumham.go.id/article.php, diakses pada tanggal 13 Maret 2009 sehingga menjalankan jabatan dalam bentuk perserikatan perdata ini juga akan melahirkan dan mengembangkan spesialiasi bidang hukum tertentu. Dalam Pasal 17 UUJN mengatur tentang larangan notaris yang dimaksudkan untuk menjamin kepentingan dan memberi kepastian hukum kepada masyarakat yang memerlukan jasa notaris serta sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antara notris dalam menjalankan jabatannya. Adapun larangan tersebut adalah: a. menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya ; b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah; c. merangkap sebagai pegawai negeri; d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. merangkap jabatan sebagai advokad; f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta; g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah diluar wilayah jabatan notaris; h. menjadi Notaris Pengganti; atau i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau j. kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan notaris. Pasal 52 UUJN tentang Jabatan Notaris menyatakan : a. b. Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan/atau keatas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis kesamping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa. Kentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, apabila orang tersebut pada ayat (1) kecuali notaris sendiri, menjadi penghadap dalam penjualan dimuka umum, sepanjang penjualan itu dapat dilakukan dihadapan notaris, persewaan umum, atau pemborongan umum, atau menjadi anggota rapat yang risalahnya dibuat oleh notaris. c. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat akata hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagi akta dibawah tangan apabila akta itu ditandatangani oleh penghadap, tanpa mengurangi kewajiban Notaris yang membuat akta itu untuk membayar biaya, ganti rugi dan Bunga kepada yang bersangkutan. Pasal 53 PPJN menyatakan bahwa Akta Notaris tidak boleh memmuat penetapan atau ketentuan yang memberikan sesuatu hak dan/atau keuntungan bagi : a. b. c. Notaris, istri atau suami notaris ; Saksi, istri atau suami saksi; atau Orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris atau saksi, baik hubungan darah dalam garis lurus keatas atau kebawah tanpa pembatasan derajat maupun hubungan perkawinan sampai dengan derajat ketiga. B. Kewenangan Notaris Menjalankan Tugas Jabatan Dalam Status Sebagai Tersangka Notaris sebagai pejabat umum (Openbaar Ambtenaar) yang terpercaya yang akta-aktanya dapat menjadi alat bukti yang kuat apabila terjadi sengketa hukum di pengadilan. Seorang Notaris harus menjunjung tinggi harkat dan martabat profesinya sebagai jabatan kepercayaan serta melaksanakan tugasnya dengan tepat dan jujur, yang berarti bertindak menurut kebenaran sesuai dengan sumpah jabatan Notaris. Notaris juga manusia yang tidak luput dari kesalahan baik yang disengaja maupun karena kelalaiannya. Tidak ada seorang Notarispun yang kebal hukum. Penyimpangan-penyimpangan terhadap kewenangan dan kewajiban yang dilakukan Notaris, memungkinkan Notaris berurusan dengan pertanggungjawaban secara hukum (legal responsibillity) baik civil responsibility, administrative responsibility maupun criminal responsibiity. Notaris yang menjadi tersangka dalam suatu kasus pidana, yang secara hukum belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht) dianggap tidak cakap lagi untuk membuat akta, sebab akan menimbulkan kesan yang tidak baik di masyarakat terhadap profesi Notaris itu sendiri. 99 Meskipun belum ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, seorang Notaris dalam status tersangka untuk sementara tidak berwenang untuk membuat akta. Hal ini untuk memudahkan dalam proses peradilan dan juga sebagai wujud perlindungan terhadap klien Notaris tersebut pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. 100 Notaris yang dalam status tersangka, masih diperbolehkan membuat akta, sebab seseorang yang baru menjadi tersangka belum tentu bersalah dan kita juga harus menjunjung asas Presumption of Innocence yaitu asas praduga tidak bersalah dan asas praduga sah terhadap akta yang dibuat Notaris tersebut. Sebelum adanya putusan yang tetap dari suatu persidangan Notaris tersebut belum bersalah dan status notaris tersebut masih sebagai notaris aktif dan akta yang dibuatnya masih memiliki kekuatan hukum yang sah terhadap para pihak yang disebutkan di dalam akta tersebut. Seorang Notaris tidak mempunyai kewenagan dalam hal pembuatan akta apabila Notaris tersebut dalam status di skors, dipecat, pensiun. 101 99 Hasil wawancara dengan Notaris Fenti Iska, SH, pada 10 Maret tanggal 2009 Hasil wawancara dengan Notaris Agus Armainy, SH pada tanggal 3 Maret 2009, Pendapat tersebut diatas adalah merupakan pendapat pribadi 101 Hasil wawancara dengan Notaris Suprayetno, SH, MKn pada tanggal 5 Maret 2009 Pendapat tersebut sesuai dengan UUJN Pasal 8 ayat (1) huruf b, notaris berhenti dari jabtannya dengan hormat karena telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun (pensiun), Pasal 9 ayat (1) yang mengatur tentang pemberhentian sementara notaris (skorsing) dan Pasal 13 notaris diberhentikan dengan tidak hormat (dipecat) 100 Dalam UUJN mengenai kewenangan seorang Notaris yang statusnya sebagai tersangka tidak ada diatur. Dalam UUJN keadaan dimana seorang Notaris tidak berwenang (onbevoegd) dalam membuat akta otentik, yaitu : a. b. c. d. sebelum Notaris mengangkat sumpah/janji jabatan Notaris (Pasal 7 UUJN) selama Notaris diberhentikan semenatara (skorsing) selama Notaris cuti berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat (2) huruf e tentang saksi jo Pasal 52 ayat (1) UUJN Dalam hal seorang Notaris sebagai tersangka tidak menghalangi Notaris tersebut untuk membuat akta kecuali ada surat keputusan menteri untuk memberhentikannya. Jadi seorang Notaris tetap berwenang membuat akta kalau tidak sedang cuti dan tidak diberhentikan sebagai Notaris. 102 C. Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Umum Yang Dijatuhi Sanksi Akta Notaris merupakan salah satu hasil dari pelaksanaan tugas jabatan Notaris sesuai kewenangan yang diberikan kepada Notaris. Dalam penjatuhan sanksi terhadap Notaris, jika berupa sanksi perdata dikarenakan akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan akta Notaris batal demi hukum merupakan sanksi yang berkaitan dengan produk dari Notaris yang diajukan oleh pihak atau penghadap yang namanya tersebut dalam akta atau para ahli warisnya. Sanksi tersebut dijatuhkan karena Notaris melanggar ketentuan yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN. Sanksi administratif yang dijatuhkan oleh Majelis 102 2009 Hasil wawancara dengan Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN pada tanggal 15 April Pengawas karena Notaris melanggar ketentuan-ketentuan tertentu yang tersebut dalam Pasal 85 UUJN. Akta Notaris tidak dapat dinilai atau dinyatakan secara langsung secara sepihak mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau batal demi hukum oleh para pihak yang namanya tercatat dalam akta atau oleh orang lain yang berkepentingan dengan akta tersebut. Akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau batal demi hukum, karena melanggar ketentuan-ketentuan tertentu yang disebutkan dalam Pasal 84 UUJN. Penilaian akta seperti itu tidak dapat dilakukan oleh Majelis Pengawas, Notaris, atau para pihak yang namanya tersebut dalam akta atau pihak lain, tapi penilaian akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan batal demi hukum harus melalui prosedur gugatan ke pengadilan umum untuk membuktikan, apakah akta Notaris melanggar ketentuan-ketentuan dalam Pasal 84 UUJN atau tidak. Dengan demikian Majelis Pengawas tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan isi Pasal 84 UUJN. Para pihak atau penghadap yang menilai atau menganggap atau mengetahui bahwa akta Notaris telah melanggar ketentuan-ketentuan dalam Pasal 84 UUJN, maka para pihak yang memberikan penilaian seperti itu harus dapat membuktikannya melalui proses peradilan (gugatan) dan meminta penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga agar dapat membuktikan penilaiannya, dengan menunjukkan ketentuan atau pasal mana yang dilanggar oleh Notaris. Dalam Pasal 1865 KUH Perdata, secara tegas dinyatakan setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu. Atas gugatan ini, jika penggugat dapat membuktikan gugatannya dan pengadilan memutuskan akta yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau batal demi hukum, kemudian hakim membebankan ganti rugi kepada Notaris untuk membayar kepada penggugat. Dalam gugatan ini semua tingkat peradilan dapat ditempuh oleh Notaris, sampai ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Prosedur seperti tersebut harus dilakukan agar tidak terjadi penilaian sepihak atas suatu akta Notaris, karena akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, yang dapat dinilai dari aspek lahiriah, formal dan materil. Notaris dalam membuat akta atas permintaan para pihak berdasarkan pada tata cara atau prosedur dalam pembuatan akta Notaris. Ketika para penghadap menganggap ada yang tidak benar dari akta tersebut, dan menderita kerugian sebagai akibat langsung dari akta tersebut, maka pihak yang bersangkutan harus menggugat Notaris dan wajib membuktikan bahwa akta Notaris tidak memenuhi aspek lahiriah, formal dan material dan membuktikan kerugiannya. Dengan kata lain, penilaian akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau batal demi hukum tidak dari satu pihak saja, tapi harus dilakukan oleh atau melalui dan dibuktikan di pengadilan. Dalam hal pengadilan memutuskan suatu akta mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau batal demi hukum, maka atas putusan pengadilan tersebut Notaris dituntut biaya, ganti rugi, dan bunga. Sebaliknya, ternyata gugatan tersebut tidak terbukti atau ditolak, maka Notaris yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan kepada mereka atau pihak yang telah menggugatnya. Hal ini sebagai upaya untuk mempertahankan hak dan kewajiban Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, berkaitan dengan akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris. Selanjutnya Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat dapat menjatuhkan sanksi administratif terhadap Notaris sesuai kewenangannya. Baik sanksi teguran lisan dan teguran tertulis dari Majelis Pengawas Wilayah, dan sanksi pemberhentian sementara jabatannya oleh Majelis Pengawas Pusat. MPW hanya dapat menjatuhkan sanksi berupa sanksi berupa teguran lisan atau tertulis, dan sanksi seperti ini bersifat final (Pasal 73 ayat (1) huruf e dan ayat (2) UUJN). MPP hanya dapat menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara saja (Pasal 77 huruf c UUJN). Dengan demikian sanksi tersebut merupakan kewenangan MPW dan MPD. Sebagaimana telah diuraikan di atas, Majelis Pengawas Notaris dapat membentuk Majelis Pemeriksa dengan kewenangan untuk memeriksa menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau dari sesama Notaris. Dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, ditemukan pengaturan bahwa Majelis Pemeriksa Notaris (Wilayah dan Pusat) yang dibentuk oleh Majelis Pengawas Notaris (Wilayah dan Pusat), jika dalam melakukan pemeriksaan Notaris terbukti bahwa yang bersangkutan melanggar pelaksanaan tugas jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris, maka Majelis Pemeriksa Wilayah atau Pusat dapat menjatuhkan sanksi, berupa: teguran lisan dan teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat. Kewenangan untuk menjatuhkan sanksi tertentu hanya ada pada MPW berdasarkan UUJN, tapi disisi lain Majelis Pemeriksa (Wilayah dan Pusat) berwenang pula untuk menjatuhkan sanksi administratif sebagaimana tersebut di atas. Menurut Pasal 33 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, bahwa Notaris yang dijatuhi sanksi oleh Majelis Pemeriksa Wilayah dapat melakukan banding ke MPP. Putusan Majelis Pemeriksa Pusat adalah final dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, kecuali putusantentang pengusulan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri (Pasal 35 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10Tahun 2004). Putusan Majelis Pemeriksa Pusat tersebut dilaporkan kepada MPP untuk diteruskan kepada Menteri (Pasal 35 ayat (3) dan (4) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004). Pengaturan sanksi administratif ini terjadi disinkronisasi antara pengaturan sanksi administratif yang tercantum dalam UUJN dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, tersebut dari segi kewenangan. Menurut Pasal 73 ayat (1) huruf e dan ayat (2) UUJN, kewenangan MPW hanya dapat menjatuhkan sanksi teguran lisan dan teguran tertulis. Sanksi seperti ini final, artinya tidak ada upaya hukum lain, dan MPP hanya dapat menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian sementara dari jabatannya (Pasal 77 huruf c UUJN). Dengan demikian, kewenangan menjatuhkan sanksi seperti tersebut di atas hanya ada pada MPW dan MPP, tapi ternyata dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri itu disebutkan pula bahwa Majelis Pemeriksa (Wilayah dan Pusat) dari hasil pemeriksaanya dapat menjatuhkan sanksi berupa: teguran lisan dan teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat. Dengan demikian, Majelis Pemeriksa dapat menjatuhkan sanksi yang lebih luas dibandingkan dengan sanksi yang dapat dijatuhkan oleh MPW dan MPP kepada Notaris, sehingga ada dua instansi yang dapat menjatuhkan sanksi tehadap Notaris, yaitu MPW dan MPP atau majelis pemeriksa wilayah dan majelis pemeriksa pusat. Substansi peraturan menteri di atas tidak tepat untuk dilaksanakan karena mencampuradukkan kewenangan MPW dan Majelis Pemeriksa Wilayah serta Majelis Pemeriksa Pusat dalam menjatuhkan sanksi, sehingga yang tetap harus dijadikan pedoman adalah aturan hukum yang lebih tinggi yaitu UUJN. Instansi utama untuk menjatuhkan sanksi terhadap Notaris yaitu Majelis Pengawas Notaris, sedangkan Tim Pemeriksa dan Majelis Pemeriksa merupakan bagian internal yang dibuat oleh Majelis Pengawas dengan kewenangan tertentu yang tetap berada dalam kendali Majelis Pengawas. Oleh karena itu seharusnya Majelis Pemeriksa hanya berwenang untuk menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau dari sesama Notaris, melakukan pemeriksaan dan persidangan secara terbuka, dan jika menurut hasil pemeriksaan Majelis Pemeriksa terbukti bahwa Notaris yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran dalam pelaksanaan tugas jabatan Notaris, maka kemudian Majelis Pemeriksa melaporkannya kepada Majelis Pengawas, dan disertai dengan usulan untuk menjatuhkan sanksi-sanksi tertentu kepada Notaris yang bersangkutan. Sanksi yang dijatuhkan oleh Majelis Pengawas tersebut, Notaris diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan kepada Majelis Pengawas yang menjatuhkan sanksi kepadanya. Jika tidak puas dapat mengajukan banding kepada instansi Majelis Pengawas yang lebih tinggi. Gugatan ke pengadilan tata usaha negara pun dapat dilakukan jika putusan Majelis Pengawas tetap tidak memuaskan Notaris yang bersangkutan. Dalam tataran yang ideal, bahwa seharusnya semua jenjang Majelis Pengawas mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, dan sanksi pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat. Atas semua bentuk sanksi tersebut dapat diajukan keberatan kepada instansi yang menjatuhkan sanksi tersebut dan jika tidak puas dapat mengajukan banding kepada intansi yang lebih tinggi dalam hal ini MPW dan terus ke MPP. Jika semua prosedur ini sudah dipenuhi namun tetap tidak memuaskan Notaris yang bersangkutan, maka Notaris dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat putusan MPP. Dalam hal ini harus ditentukan bahwa selama pemeriksaan di pengadilan tata usaha negara berjalan, untuk sementara waktu Notaris tidak dapat menjalankan tugas jabatannya sebagai Notaris sampai ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Pengaturan sanksi yang dijatuhkan Majelis Pengawas Notaris tidak ada peluang untuk melakukan upaya hukum seperti tersebut di atas. Jika kesempatan seperti tidak diatur atau tidak ada, maka upaya hukum tersebut dapat ditempuh dengan gugatan langsung ke PengadilanTata Usaha Negara. 103 Selanjutnya, Majelis Pengawas Daerah (MPD) mempunyai kewenangan khusus yang tidak dipunyai oleh MPW dan MPP, yaitu sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 66 UUJN, bahwa MPD berwenang untuk memeriksa Notaris sehubungan dengan permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk mengambil fotokopi minuta atau Surat-Surat lainnya yang dilekatkan pada minuta atau dalam protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, juga pemanggilan Notaris yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau dalarn protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Hasil akhir pemeriksaan MPD yang dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan, berisi dapat memberikan persetujuan atau menolak permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim. Dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Hukum Dan HAM Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 Tentang Pengambilan Minuta Akta Dan Pemanggilan Notaris, ditegaskan bahwa Majelis Pengawas Daerah (MPD) wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan, dan apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terlampaui tidak ada surat keputusan MPD 103 Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1996 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) menegaskan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang memeriksa sengketa tatas usaha negara, setelah sernua upaya hukum (berupa keberatan administrasi dan banding) telah ditempuh. tentang persetujuan atau menolak permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, maka Majelis Pengawas Daerah dianggap menyetujui untuk dilakukan pemeriksaan terhadap notaris yang bersangkutan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim tersebut. Notaris mendapat perlindungan yang proporsional ketika menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, salah satunya berdasarkan ketentuan atau mekanismeimplementasi Pasal 66 UUJN yang dilakukan MPD. Pada sisi lain juga berharap ada proses yang adil, transparan, beretika, dan ilmiah ketika MPD memeriksa Notaris atas permohonan pihak lain (kepolisian, kejaksaan, pengadilan). Namun hal tersebut sangat sulit untuk dilaksanakan karena para anggota MPD yang terdiri unsur-unsur yang berbeda, yaitu 3 (tiga) orang Notaris, 3 (tiga) orang akademisi, dan 3 (tiga) orang birokrat (Pasal 67 ayat (3) UUJN, yang berangkat dari latar belakang yang berbeda, sehingga dapat terjadi persepsi yang berbeda ketika memeriksa Notaris. Dalam pemeriksaan MPD tidak bisa membedakan antara Notaris sebagai objek dan akta sebagai objek. Jika MPD menempatkan Notaris sebagai objek, maka MPD berarti akan memeriksa tindakan atau perbuatan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, yang pada akhirnya akan menggiring Notaris pada kualifikasi turut serta atau membantu terjadinya suatu tindak pidana. Sudah tentu tindakan seperti ini tidak dapat dibenarkan, karena suatu hal yang sangat menyimpang bagi Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya untuk turut serta atau membantu melakukan atau menyarankan dalam akta untuk terjadinya suatu tindak pidana dengan para pihak/ penghadap. Dalam kaitan ini, tidak ada aturan hukum yang membenarkan MPD mengambil tindakan dan kesimpulan yang dapat mengkualifikasikan Notaris turut serta atau membantu melakukan suatu tindak pidana bersama-sama para pihak/ penghadap, MPD bukan instansi pemutus untuk menentukan Notaris dalam kualifikasi seperti itu. MPD harus menempatkan akta Notaris sebagai objek, karena Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berkaitan untuk membuat dokumen hukum, berupa akta sebagai alas bukti tertulis yang berada dalam ruang lingkup hukum perdata, sehingga menempatkan akta sebagai objek harus dinilai berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan pembuatan akta. Jika terbukti ada pelanggaran, maka akan dikenai sanksi sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 84 dan 85 UUJN. Dengan demikian bukan wewenang MPD jika dalam melakukan tugasnya mencari unsur-unsur (pidana) untuk menggiring Notaris dengan kualifikasi turut serta atau membantu melakukan suatu tindakan atau perbuatan pidana. Batasan MPD dalam melakukan pemeriksaan yaitu dengan objeknya akta Notaris, maka batasan MPD dalam melakukan pemeriksaan akan berkisar pada: 104 a. Kekuatan pembuktian lahiriah akta Notaris. Dalam memeriksa aspek lahiriah dari akta Notaris, maka MPD harus dapat membuktikan otensitas akta Notaris tersebut. MPD harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek lahiriah dari akta Notaris. Jika MPD tidak mampu untuk membuktikannya, maka akta tersebut harus dilihat "apa adanya" bukan dilihat "ada apa" 104 Habid Adjie, op. cit, hal. 157-158. b. Kekuatan pembuktian formal akta Notaris. Dalam hal ini MPD harus dapat membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan, dan didengar oleh Notaris, juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan/disampaikan di hadapan Notaris. Dengan kata lain MPD tetap harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika MPD tidak mampu untuk membuktikannya, maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun termasuk oleh MPD sendiri. c. Kekuatan pembuktian materil akta Notaris. Dalam kaitan ini MPD harus dapat membuktikan, bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta (akta pejabat), atau para pihak yang telah benar berkata (di hadapan Notaris) menjadi tidak berkata benar, MPD harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil dari akta Notaris. Jika MPD tidak mampu untuk membuktikannya maka akta tersebut benar adanya. Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kesempurnaan akta Notaris sebagai alat bukti. Sehingga siapapun (hakim, jaksa, kepolisian, bahkan Notaris dan MPD sendiri) terikat untuk menerima akta Notaris apa adanya Tidak dapat menafsirkan lain atau menambahkan/meminta alat bukti lain untuk menunjang akta Notaris, sebab undang-undang menunjuk Notaris sebagai Pejabat Umum untuk membuat akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna jika ternyata tanpa dasar hukum yang jelas mengenyampingkan akta Notaris sebagai alat bukti yang sempurna. Keputusan MPD atas dasar Surat Keputusan yang dibuat oleh MPD untuk meloloskan Notaris diperiksa oleh pihak penyidik, kejaksaan, atau di pengadilan, sebagai implementasi Pasal 66 UUJN, tidak ada kemungkinan untuk mengajukan keberatan untuk dilakukan pemeriksaan ke instansi majelis yang lebih tinggi, seperti ke Majelis Pemeriksa Wilayah (MPW) atau ke Majelis Pemeriksa Pusat (MPP), karena mekanisme seperti itu, khusus untuk pelaksanaan Pasal 66 UUJN tidak ditentukan atau tidak ada upaya hukum keberatan atau banding. Meskipun demikian, jika Notaris diloloskan oleh MPD, maka Notaris yang bersangkutan dapat mengajukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan objek gugatan yaitu Surat MPD yang meloloskan Notaris tersebut, hal ini akan menjadi sengketa tata usaha negara. Itu dapat dilakukan karena MPD berkedudukan sebagai badan atau Jabatan Tata Usaha Negara (TUN) dan telah mengeluarkan suatu keputusan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara. 105 Hasil akhir dari pemeriksaan yang dilakukan oleh MPD berupa Surat Keputusan (yang merupakan suatu penetapan tertulis). Surat Keputusan tersebut bersifat konkrit, individual, final, dan menimbulkan akibat hukum. Konkrit artinya objek yang diputuskan bukan suatu hal yang abstrak, tapi dalam hal ini objeknya yaitu akta tertentu yang diperiksa oleh MPD yang dibuat oleh Notaris bersangkutan. Individual artinya keputusan tidak ditujukan kepada umum atau kepada semua orang, 105 Van der Wel dalam Philipus M. Hadjon, dkk., op cit., hlm. 141, menjelakan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara memiliki berbagai macam karakter: 1. De rechtsvastellende beschikkingen, yaitu suatu keputusan yang menyatakan bahwa hukumnya demikian; 2. De constitutieve beschikkingen, yang terdiri dari: Belastende beschikkingen, yaitu keputusan yang memberi beban; dan Begunstigende beschikingen, yaitu keputusan yang menguntungkan. 3. De afwijzende beschikkingen (keputusan penolakan). tapi kepada nama Notaris yang bersangkutan. Final artinya sudah definitif, yang tidak memerlukan persetujuan dari pihak lain atau insitusi atasannya, sehingga hal ini dapat menimbulkan akibat hukum tertentu bagi Notaris yang bersangkutan. Ketentuan semacam ini hanya berlaku untuk Surat Keputusan MPD sebagai penerapan dari Pasal 66 UUJN. Dengan demikian tindakan MPD yang memutuskan meloloskan Notaris untuk diperiksa oleh pihak lain sebagai pelaksanaan Pasal 66 UUJN, jika tidak memuaskan bagi Notaris atau berkeberatan dengan alasan yang diketahui oleh Notaris sendiri, maka Notaris yang bersangkutan dapat menggugat MPD ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Surat Keputusan MPD tersebut merupakan objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara. 106 Adanya gugatan tersebut, Notaris tidak perlu (dulu) untuk memenuhi keputusan MPD tersebut 107 sampai ada keputusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dari Pengadilan Tata Usaha Negara atau dari Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara jika dalam tahap banding dan putusan Mahkamah Agung jika Kasasi. 106 Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) PERATUN dan Perubahannya, menegaskan orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi. Alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan gugatan tersebut adalah: (a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (b) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. 107 Pengajuan gugatan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 67 ayat (1) PERATUN, bahwa penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang inernperoleh kekuatan hukum tetap. Hal tersebut dapat dilakukan sebagai upaya perlindungan hukum untuk para Notaris, dan konsekuensi kedudukan MPD seperti itu. Dengan demikian bukan suatu hal yang tidak mungkin, jika MPD tidak mampu menempatkan diri dalam menjalankan tugasnya dengan baik sesuai aturan hukum yang berlaku. Maka suatu saat MPD akan banjir gugatan ke PTUN dari para Notaris yang menempatkan MPD sebagai tergugat (secara institusional). Perlindungan hukum yang disebutkan di atas mempunyai batasan-batasan tertentu, yaitu hanya berlaku ketika Notaris menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan wewenang Notaris dan tidak berlaku jika tindakan Notaris tidak dalam menjalankan tugas jabatannya atau tidak sesuai dengan wewenang Notaris. Contohnya seorang Notaris dalam kapasitasnya sebagai pribadi atau sebagai pengusaha (terlepas dari tugas jabatannya sebagai Notaris) yang dalam melakukan usahanya tersebut mempergunakan atribut Notarisnya. Tindakan Notaris seperti itu dapat dikategorikan sebagai melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris (Pasal 12 huruf c UUJN). Jika ternyata yang bersangkutan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukum pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih (Pasal 13 UUJN), maka hal tersebut dapat dijadikan dasar oleh Majelis Pengawas Pusat Notaris untuk mengusulkan kepada Menteri agar Notaris yang bersangkutan diberhentikan dengan tidak hormat sebagai Notaris. Dengan demikian, UUJN memberikan perlindungan hukum bagi Notaris sepanjang menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan wewenang Notaris dan tidak berlaku jika Notaris melakukan suatu tindakan tidak dalam menjalankan tugas jabatannya selaku Notaris atau di luar wewenang Notaris. BAB IV PEMBERHENTIAN SEMENTARA TERHADAP NOTARIS SEBAGAI TERSANGKA TINDAK PIDANA C. Pengawasan dan Penjatuhan Sanksi Terhadap Notaris Menurut UUJN Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menegaskan yang dimaksud dengan pengawasan adalah kegiatan yang bersifat preventif 108 dan kuratif 109 termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris. Pengawasan yang dilakukan oleh Majelis tidak hanya pelaksanaan tugas jabatan Notaris agar sesuai dengan ketentuan UUJN, tapi juga Kode Etik Notaris dan tindak-tanduk atau perilaku kehidupan Notaris yang dapat mencederai keluhuran martabat jabatan Notaris. Dalam pengawasan Majelis Pengawas (Pasal 67 ayat (5) UUJN), hal ini menunjukkan sangat luas ruang lingkup pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas. Pengawasan terhadap pelaksanan tugas jabatan Notaris dengan ukuran yang pasti pada UUJN dengan maksud agar semua ketentuan UUJN yang mengatur pelaksanaan tugas jabatan Notaris dipatuhi oleh Notaris, dan jika terjadi pelanggaran, 108 Pengawasan preventif bertujuan mencegah terjadinya kesalahan dan penyimpangan (pada suatu perbuatan tata usaha negara). H.M. Laica Marzuki, “Penggunaan Upaya Administratif dalam Sengketa Tata Usaha Negara”, Hukum dan Pembangunan, No. 2, Tahun XXII, April 1992, hal. 171. 109 Usaha kuratif atau rehabilitatif yakni menyembuhkan atau memperbaiki fungsi sosial atau dapat mencegah agar yang bersangkutan mampu mengatasi masalah-masalah sosial yang dihadapi dan mampu mengembangkan dirinya. Suwantji Sisworahardjo, Tugas Pekerja Sosial Dalam Pembinaan Terpidana Dan Narapidana Di Luar Dan Di Dalam Lembaga Pemasyarakatan, Makalah disampikan pada Seminar Nasional Pemasyarakatan Terpidana II, tanggal 8 – 9 Nopember 1993, Jakarta, Fakultas Hukum UI, hal. 3. 98 maka Majelis Pengawas dapat menjatuhkan sanksi kepada Notaris yang bersangkutan. Majelis Pengawas juga diberi wewenang untuk menyelenggarakan sidang adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris (Pasal 70 huruf a UUJN). Pemberian wewenang seperti itu telah memberikan wewenang yang sangat besar kepada Majelis Pengawas. Bahwa Kode Etik Notaris merupakan pengaturan yang berlaku untuk anggota organisasi Notaris, jika terjadi pelanggaran atas Kode Etik Notaris tersebut, maka organisasi Notaris melalui Dewan Kehormatan Notaris (Daerah, Wilayah, dan Pusat) berkewajiban untuk memeriksa Notaris dan menyelenggarakan sidang pemeriksaan atas pelanggaran tersebut. Jika terbukti, Dewan Kehormatan Notaris dapat memberikan sanksi atas keanggotaan yang bersangkutan pada organisasi jabatan Notaris. Adanya pemberian wewenang seperti itu kepada Majelis Pengawas Notaris, merupakan suatu bentuk pengambilalihan wewenang dari Dewan Kehormatan Notaris. Pelanggaran atas Kode Etik Notaris harus diperiksa oleh Dewan Kehormatan Notaris sendiri tidak perlu diberikan kepada Majelis Pengawas, sehingga jika Majelis Pengawas menerima laporan telah terjadi pelanggaran Kode Etik Notaris, sangat tepat jika laporan seperti diteruskan kepada Dewan Kehormatan Notaris, untuk diperiksa dan diberikan sanksi oleh Dewan Kehormatan Notaris atau dalam hal ini Majelis Pengawas harus memilah dan memilih laporan yang menjadi kewenanganya dan laporan yang menjadi kewenangan Dewan Kehormatan Notaris. Kehormatan organisasi Notaris, salah satunya yaitu dapat mengontrol perilaku para anggotanya sendiri dan memberikan sanksi kepada yang terbukti melanggar. Pengawasan berupa tindak-tanduk atau perilaku Notaris tidak mudah Untuk diberi batasan. Pasal 9 ayat (1) huruf c UUJN menegaskan salah satu alasan Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya, yaitu melakukan perbuatan tercela. Penjelasan pasal tersebut memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan tercela adalah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat. Dalam Pasal 12 huruf c UUJN menegaskan, salah satu alasan Notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat karena melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris. Penjelasan pasal tersebut memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat, misalnya berjudi, mabuk, menyalahgunakan narkoba, dan berzina. Perilaku atau tindak-tanduk Notaris yang berada dalam ruang lingkup pengawasan Majelis Pengawas di luar pengawasan tugas pelaksanaan tugas jabatan Notaris, dengan batasan: 1. Melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat. 2. Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris 110 misalnya berjudi, mabuk, menyalahgunakan narkoba, dan berzina. 110 G.H.S.Lumbang Tobing, op. cit., hal. 310 memberikan beberapa contoh perbuatan yang bertentangan dengan keluhuran dan martabat jabatan Notaris: 1. Mengadakan persaingan yang tidak jujur di antara sesama Notaris (oneerlijke concurentie); 2. Mengadakan kerjasama dengan cara yang tidak diperkenankan dengan orang-orang perantara (misalnya dengan memberikan kepada perantara sebagian dari honorarium yang diterimanya); 3. Menetapkan honorarium yang lebih rendah dari yang berlaku umum di kalangan para Notaris (setempat), dengan maksud untuk menarik kepadanya klien-klien dari Notaris lain atau untuk memperluas jumlah klien, dengan merugikan yang lain. Contoh lainnya seperti: Selanjutnya dalam Pasal 70 huruf b UUJN dan Pasal 16 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menentukan bahwa MPD berwenang melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu. Majelis atau Tim Pemeriksa dengan tugas seperti ini hanya ada pada MPD saja, yang merupakan tugas pemeriksaan rutin atau setiap waktu yang diperlukan, dan langsung dilakukan di kantor Notaris yang bersangkutan. Tim Pemeriksa ini sifatnya insidentil (untuk pemeriksaan tahunan atau sewaktu-waktu) saja, dibentuk oleh Majelis Pengawas Daerah jika diperlukan. Pemeriksaan yang dilakukan Tim Pemeriksa meliputi pemeriksan: 111 1. Kantor Notaris (alamat dan kondisi fisik kantor); 2. Surat pengangkatan sebagai Notaris; Berita Acara sumpah jabatan Notaris; Surat keterangan izin cuti Notaris; dan Sertifikat cuti Notaris; 3. Protokol Notaris yang terdiri dari: a. Minuta akta; b. Buku daftar akta atau repertorium; c. Buku khusus untuk mendaftarkan surat di bawah tangan yang disahkan tanda tanganya dan surat di bawah tangan yang dibukukan; d. Buku daftar nama penghadap atau Mapper dari daftar akta dan daftar surat di bawah tangan yang disahkan; e. Buku daftar protes; f. Buku daftar wasiat; dan g. Buku daftar lain yang harus disimpan oleh Notaris berdasarkan ketentuan perundang-undangan. 4. Keadaan arsip; 5. Keadaan penyimpanan akta (penjilidan dan keamanannya); 1. Memberikan penilaian atau menyatakan salah atas akta yang dibuat Notaris lain di hadapan para kliennya; 2. Memberikan berkas milik kliennya, karena tidak jadi (batal) membuat akta kepadanya. 111 Bab IV Tugas Tim Pemeriksa, Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10.Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris 6. Laporan bulanan pengiriman salinan yang disahkan dari daftarakta, daftar surat di bawah tangan yang disahkan, dan daftar Surat di bawah tangan yang dibukukan; 7. Uji petik terhadap akta; 8. Penyerahan protokol berumur 25 tahun atau lebih; 9. Jumlah pegawai yang terdiri atas: Sarjana dan Nonsarjana. 10. Sarana kantor,antara lain: komputer, meja, lemari, kursi tamu, mesin ketik, filling cabinet, dan pesawat telepon/faksimili/internet. 11. Penilaian pemeriksaan; dan 12. Waktu dan tanggal pemeriksaan. Pasal 20 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menentukan bahwa pemeriksaan terhadap Notaris dilakukan juga oleh Majelis Pemeriksa (Daerah, Wilayah dan Pusat), yang sifatnya insidentil saja, dengan kewenangan memeriksa menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau dari sesama Notaris (Pasal 20 ayat (2). Untuk kepentingan tertentu Majelis Pengawas membentuk Tim Pemeriksa dan Majelis Pemeriksa (Daerah, Wilayah, dan Pusat). Dengan demikian ada 3 (tiga) institusi dengan tugas melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris dengan kewenangan masing-masing, yaitu: 1. Majelis Pengawas (Daerah, Wilayah, dan Pusat); dengan kewenangan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris dan tindak tanduk atau perilaku kehidupan Notaris. 2. Tim Pemeriksa; dengan kewenangan melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu. 3. Majelis Pemeriksa (Daerah,Wilayah dan Pusat),dengan kewenangan untuk memeriksa menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau dari sesama Notaris. Pengaturan pengawasan dan pemeriksaan seperti itu memperpanjang rantai pengawasan dan pemeriksaan dengan keharusan Majelis Pengawas untuk membentuk Tim Pemeriksa dan Majelis Pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan tertentu, maka lebih baik jika yang melakukan pengawasan dan pemeriksan Notaris yaitu Majelis Pengawas saja dengan segala kewenangan yang ada menurut UUJN dan Peraturan Menteri tersebut. Selanjutnya wewenang Majelis Pengawas Notaris menjatuhkan sanksi, sebagaimana diatur dalam UUJN. Penjelasan Pasal 84 UUJN menegaskan bahwa sanksi yang berlaku untuk Notaris, juga berlaku untuk Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris. Kemudian mengenai sanksi disebutkan dalam Pasal 85 UUJN tetapi dalam pasal tersebut tidak disebutkan pemberlakuan sanksi sebagaimana dalam Pasal 84 UUJN, sehingga dapat ditafsirkan ketentuan Pasal 85 UUJN hanya berlaku untuk Notaris saja. Seharusnya ketentuan Pasal 85 UUJN berlaku juga untuk Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus dan Pejabat Sementara Notaris. 112 112 Habid Adjie, op. cit., hal. 149. Dengan pengaturan seperti itu ada pengaturan sanksi yang tidak disebutkan dalam UUJN tapi ternyata diatur atau disebutkan juga dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10.Tahun Tahun 2004, yaitu: 113 1. Mengenai wewenang MPW untuk menjatuhkan sanksi, dalam Pasal 73 ayat (1) huruf e UUJN, bahwa MPW berwenang untuk menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan dan teguran secara tertulis tapi dalam Keputusan Menteri angka 2 butir 1 menentukan bahwa MPW juga berwenang untuk menjatuhkan (seluruh) sanksi sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 85 UUJN. Adanya pembedaan pengaturan sanksi menunjukkan adanya inkonsistensi dalam pengaturan sanksi, seharusnya yang dijadikan pedoman yaitu ketentuan Pasal 73 ayat (1) huruf a UUJN tersebut, artinya MPW tidak berwenang selain dari menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan dan teguran secara tertulis. 2. Mengenai wewenang MPP, yaitu mengenai penjatuhan sanksi dalam Pasal 84 UUJN. Dalam angka 3 butir 1 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10.Tahun 2004 bahwa MPP mempunyai kewenangan untuk melaksanakan sanksi yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN. Pasal 84 UUJN merupakan sanksi perdata, yang dalam pelaksanaannya tidak memerlukan (perantara) MPP untuk melaksanakannya dan MPP bukan lembaga eksekusi sanksi perdata. Pelaksanaan sanksi tersebut tidak serta merta berlaku, tapi harus ada proses pembuktian yang dilaksanakan di pengadilan umum, dan 113 Ibid., hal. 149. ada putusan dari pengadilan melalui gugatan, bahwa akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta batal demi hukum. Keputusan Menteri yang menentukan MPP berwenang untuk melaksanakan Pasal 84 UUJN telah menyimpang dari esensi suatu sanksi perdata. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M. 39-PW.07.10. Tahun 2004 seperti itu tidak perlu untuk dilaksanakan. Pada dasarnya tidak semua Majelis Pengawas mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi. Majelis Pengawas Daerah (MPD) tidak mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan sanksi apapun. Meskipun MPD mempunyai wewenang untuk menerima laporan dari masyarakat dan dari Notaris lainnya dan menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris, tetapi tidak diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi apapun. Dalam hal ini, MPD hanya berwenang untuk melaporkan hasil sidang dan pemeriksaannya kepada MPW dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris (Pasal 71 huruf e UUJN). MPW hanya dapat menjatuhkan sanksi berupa sanksi berupa teguran lisan atau tertulis, dan sanksi seperti ini bersifat final. Di samping itu mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa pemberhentian sementara dari jabatan Notaris selama 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan, atau pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan Notaris. Sanksi dari MPW berupa teguran lisan dan teguran tertulis yang bersifat final tidak dapat dikategorikan sebagai sanksi, tapi merupakan tahap awal dari aspek prosedur paksaan nyata untuk kemudian dijatuhi. sanksi yang lain, seperti pemberhentian sementara dari jabatannya. Dalam Pasal 77 huruf c UUJN menentukan bahwa MPP berwenang menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara. Sanksi seperti ini merupakan masa mununggu dalam jangka waktu tertentu sebelum dijatuhkan sanksi yang lain, seperti sanksi pemberhentian tidak hormat dari jabatan Notaris atau pemberhentian dengan hormat dari jabatan Notaris. Sanksi-sanksi yang lainnya MPP hanya berwenang untuk mengusulkan: a. Pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya kepada Menteri (Pasal 77 huruf d UUJN); b. Pemberian sanksi berupa pemberhentian tidak hormat dari jabatannya dengan alasan tertentu (Pasal 12 UUJN). Dengan demikian pengaturan sanksi yang terdapat dalam Pasal 85 UUJN, sanksi berupa teguran lisan dan teguran tertulis hanya dapat dijatuhkan oleh MPW dan sanksi pemberhentian sementara dari jabatan Notaris hanya dapat dilakukan oleh MPP, sedangkan sanksi berupa pemberhentian tidak hormat dari jabatan Notaris serta pemberhentian dengan hormat dari jabatan Notaris hanya dapat dilakukan oleh Menteri atas usulan dari MPP. B. Pemberhentian Sementara Notaris Yang Menjadi Terdakwa Selama Proses Peradilan Kasus Notaris yang menjadi tersangka dan terdakwa sudah tidak asing lagi, karena hal itu hampir sering terjadi di semua daerah. Selama kasus tersebut tidak terlalu besar dan dalam skala yang kecil tentu saja tidak akan menimbulkan persoalan. Sepanjang masih bisa ditolerir, maka Majelis Pengawas Notaris juga akan memberikan toleransi kepada Notaris yang bermasalah tersebut. Namun kalau sudah kronis maka Majelis Pengawas Notaris akan bertindak tegas. Majelis pengawas Notaris pada prinsipnya sebagai pembina dan berusaha mendampingi notaris yang bermasalah tersebut. Jika terjadi kesalahan dalam pembuatan akta tidak menutup kemungkinan Notaris akan berhadapan dengan pihak yang berwjib. Kebanyakan mereka dipanggil untuk dijadikan sebagai saksi, meski ada yang berlanjut menjadi tersangka dan tidak tertutup kemungkinannya sebagai terdakwa. Dalam menghadapi panggilan pihak yang berwajib yaitu kepolisian, notaris yang bersangkutan harus bersikap profesional dan tidak perlu ada kekhawatiran sepanjang tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal pembuatan aktanya. Notaris juga manusia yang dapat melakukan kesalahan-kesalahan yang bersifat pribadi maupun yang menyangkut profesionalitasnya. Dalam hal Notaris melakukan kesalahan yang mengarah pada tindak pidana, maka tidak tertutup kemungkinan Notaris tersebut dapat ditetapkan menjadi tersangka dan terdakwa bahkan lebih jauh lagi fakta-fakta hukum di muka persidangan telah membuktikan adanya tindak pidana yang dilakukan Notaris, maka terhadapnya dapat dijatuhkan pidana penjara yang kesemuanya ini dapat diikuti dengan tindakan penahanan terhadap diri Notaris. Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim, dengan ijin Majelis Pengawas Notaris berhak melakukan penyitaan terhadap protokol notaris. Dalam kaitannya antara protokol notaris dengan halangan notaris menjalankan jabatannya seperti penahanan notaris, maka tidak boleh ada kevakuman hukum dalam hal penyimpanan protokol notaris, karena akan merugikan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap protokol notaris tersebut. Halangan-halangan notaris dalam menjalankan jabatannya disebabkan karena sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran hukum yang dilakukannya, mencakup pemberhentian sementara 3 sampai dengan 6 bulan, maka protokolnya diserahkan kepada notaris lain yang ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah. Terhadap notaris yang diberhentikan dengan tidak hormat karena pelanggaran pelaksanaan Jabatan Kode Etik Notaris, serta pemberhentian dengan tidak hormat dalam hal notaris telah dijatuhkan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana dan hukum penjara 5 tahun atau lebih, maka protokolnya diserahkan kepada notaris lain yang ditunjuk Menteri atas usulan Majelis Pengawasan Pusat. 114 114 Hasil wawancara dengan Notaris Maret 2009 Robin Hudson Sitanggang, SH, Spn pada tanggal 31 Dalam Pasal 63 Undang- Undang nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa Penyerahan Protokol yang diberhentikan sementara dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari dengan pembuatan berita acara penyerahan Protokol Notaris yang ditandatangani oleh yang menyerahkan dan yang menerima Protokol Notaris. Notaris yang diberhentikan sementara, maka penyerahan Protokol Notaris dilakukan oleh Notaris kepada Notaris lain yang ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah jika pemberhentian sementara lebih dari 3 (tiga) bulan. Terhadap Notaris yang diberhentikan dengan tidak hormat, penyerahan Protokol Notaris dilakukan oleh Notaris kepada Notaris lain yang ditunjuk oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Daerah. Pasal 80 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa selama Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya, Majelis Pengawas Pusat mengusulkan seorang pejabat sementara Notaris kepada Menteri. Menteri menunjuk Notaris yang akan menerima Protokol Notaris dari Notaris dari Notaris yang diberhentikan sementara. Pasal 14 ayat 3 dan 4 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M. 02 . PR . 08 . 10 Tahun 2004 Tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris menyatakan bahwa kewenangan Majelis Pengawas Daerah yang bersifat administratif yang memerlukan keputusan rapat adalah memberikan persetujuan atas permintaan penyidikan, penuntu umum, atau hakim untuk proses peradilan. Majelis Pengawas adalah institusi yang dibentuk atas perintah undang-undang dan bertindak untuk dan atas nama menteri. Pemanggilan Notaris sabagai tersangka, sebelum persetujuan pemeriksaan diberikan, Majelis Pengawas Daerah terlebih dahulu mendengarkan keterangan dari Notaris yang bersangkutan dengan kehormatan profesi, dan penyidik atau penuntut umum 115 . Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris tidak mengatur mengenai Notaris yang menjadi terdakwa apakah diberhentikan sementara dari jabatannya. Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris hanya menyatakan bahwa Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya, karena: a. b. c. d. dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang; berada di bawah pengampuan; melakukan perbuatan tercela; melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan. Dalam Staablad 1860 Nomor 3 Tentang Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia pada pasal 51 menyatakan bahwa: “Notaris yang terhadapnya dikeluarkan surat perintah penahanan sementara, dengan sendirinya menurut hukum telah dipecat dari jabatannya, sampai ia dibebaskan kembali. Notaris yang terhadapnya diperkenankan diadakan suatu perkara tanpa perintah penagkapan atau penahanan, yang pembebasannya diperintahkan setelah adanya perkara atau terhadapnya sesuai dengan Pasal 177 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sedang berjalan perkara, oleh Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya tempat kedudukan Notaris terletak, dapat dipecat dari menjalankan jabatannya, hingga perkara itu memperoleh keputusan tetap. Notaris yang terhadapnya suatu keputusan berisi hukuman kurungan atau hukuman penjara telah memperoleh kekuatan tetap, selama waktu ia menjalani hukuman itu dengan sendirinya menurut hukuman ia dipecat dari menjalankan jabatannya. Notaris yang dinyatakan berada dalam keadaan pailit atau memperoleh penangguhan pembayaran, dapat atas usul dari 115 Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Keputusan Majelis Pengawas Pusat Notaris Departemen Hukum Dan Hak Azasi Manusia Tentang Pemberian atau Penolakan Persetujuan Pemanggilan Notaris Oleh Penyelidik, Penuntut Umum, atau Hakim, Kep.MPPN Nomor: CMPPN.03.10-15 Tahun 2005 badan yang mengucapkan pernyataan dalam keadaan pailit atau yang memberikan penangguhan pembayaran itu, oleh Menteri Kehakiman dipecat dari menjalankan jabatannya itu selama masa kepailitan atau penangguhan pembayaran itu. Notaris yang dijatuhi hukuman kurungan atau hukuman penjara, dapat atas usul dari Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya Notaris bertempat kedudukan, mengangkat seorang pengganti”. Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris tidak mengatur bagaimana kedudukan hukum Notaris dengan status sebgai tersangka yang dikenakan penahanan dalam tingkat penyidikan, penuntutan, proses pemeriksaan oleh Majelis Hakim dan belum ada putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam menghadapi peristiwa hukum demikian yaitu penahanan terhadap notaris dan tidak ada pengaturannya dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, tidak boleh dibiarkan adanya kekosongan hukum ini. Pemecahannya harus dilakukan melalui pendekatan ilmu hukum dengan cara menggunakan metodologi penafsiran secara historis atau menghubungkan dengan Staablad 1860 Nomor 3 Tentang Perturan Jabatan Notaris di Indonesia yang berlaku sebelum Undang-undang nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris diundangkan dan dinyatakan berlaku. Menurut Pasal 51 Staablad 1860 Nomor 3 Tentang Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia, menegaskan bahwa notaris yang terhadapnya dikenakan penahanan sementara, maka dengan sendirinya (demi hukum) berhenti dari jabatannya sampai notaris tersebut dibebaskan kembali. Dalam kaitannya dengan penerapan Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris harus ditafsirkan bahwa jika notaris dikenakan penahanan sementara, maka notaris berhenti demi hukum dan tidak berwenang menjalankan jabatannya termasuk membuat akta otentik. Notaris yang menjadi terdakwa dalam suatu kasus pidana tidak ditahan atau sebaiknya diberhentikan sementara. Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah pemeriksaan proses peradilan dan untuk menghindari hal-hal yang tidak baik yang dapat berdampak terhadap akta dan klien dari notaris yang memperoleh status sebagai terdakwa. 116 Sejak dinyatakan sebagai terdakwa, notaris tersebut diberhentikan sementara, sampai ada putusan yang tetap. Jika sudah diputus di Pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap, dan Notaris tersebut dihukum, dari hukuman tersebut Majelis Pengawas Notaris dapat langsung memberhentikan tanpa dimintakan lagi Majelis Pengawas Notaris memeriksanya. Putusan dari pengadilan tersebut dapat menjadi dasar bagi Majelis Pengawas Notaris untuk menjatuhkan sanksi. 117 Apabila seorang notaris terbukti bersalah melakukan tindak pidana, maka Majelis Pengawas Notaris akan mengusulkan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk mencabut ijin operasionalnya. Sanksi yang diberikan kepada notaris yang nakal tersebut bukan saja yang melakukan tindak pidana berat, karena bila dihukum percobaan pun yang bersangkutan akan ditindak tegas, yakni pencabutan ijin. Pemberhentian Notaris bukan saja yang melanggar hukum, tetapi bisa juga akibat melakukan perbuatan tercela lainnya, seperti melanggar norma agama, norma 116 Hasil wawancara dengan Notaris Siti Syarifah, SH, Spn pada tanggal 12 Maret 2009 Hasil wawancara dengan Notaris Teguh Perdana Sulaiman, SH, CN pada tanggal 10 Maret 117 2009 kesusilaan dan norma adat, kesemuanya itu akan merendahkan kehormatan dan martabat jabatan notaris. 118 Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan jabatannya, seharusnya memang diberikan perlindungan khususnya dari organisasi profesinya, sebab: 1. untuk menjaga keluhuran harkat dan martabat jabatannya termasuk ketika memberikan kesaksian dan berproses dalam pemeriksaan dan persidangan. merahasiakan akta dan keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta. menjaga minuta atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris. 2. 3. Dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No: M. 02. PR. 08. 10 Tahun 2004 Tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris mengenal dua macam sidang yakni; 1. Sidang Pemeriksaan 2. Sidang Pengambilan Keputusan Sidang-sidang yang dilaksanakan tidak ada bedanya dengan tata cara atau proses persidangan dalam Peradilan Umum. Persidangan Majelis Pengawas Notaris adalah Peradilan Semu yang tidak termasuk dalam kekuasaan kehakiman. Sidangsidang tersebut, ditingkat daerah dilaksanakan oleh Majelis Pemeriksa Daerah yang dibentuk oleh Majelis Pengawas Daerah, ditingkat wilayah dilaksanakan oleh Majelis Pemeriksa Wilayah yang dibentuk oleh Majelis Pengawas Wilayah dan ditingkat 118 Hasil wawancara dengan Notaris Alwine Rosdiana Pakpahan, SH, CN pada tanggal 9 April 2009 pusat (upaya banding) dilaksanakan oleh Majelis Pemeriksa Pusat yang dibentuk oleh Majelis Pengawas Pusat, denga prosesnya sebagai berikut: 119 a. Majelis Pemeriksa Daerah hanya berwenang menyelenggarakan Sidang Pemeriksan yang tertutup untuk umum, dan dalam sidang ini didengar keterangan dari pelapor dan notaris yang menjadi terlapor, memeriksa bukti-bukti yang diajukan pelapor dan terlapor, kemudian hasil pemeriksaan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), yang wajib disampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah. Jadi Majelis Pemeriksa Daerah hanya berwenang memeriksa fakta-fakta hukum yang diajukan oleh pihak-pihak (terlapor dan pelapor) yang dituangkan dalam BAP, tanpa adanya kewenangan untuk memberikan penilaian pembuktian terhadap fakta-fakta hukum dan juga tanpa kewenangan untuk menjatuhkan sanksi. b. Majelis Pemeriksa Wilayah berwenang meneyelenggarakan Sidang Pemeriksaan yang tertutup untuk umum dan Sidang Pengambilan Keputusan yang terbuka untuk umum. Dalam Sidang Pemeriksaan yang tertutup untuk umum, Majelis Pemeriksa Wilayah berwenang mendengarkan keterangan terlapor dan pelapor serta memberikan kesempatan bagi notaris untuk menggunakan haknya membela diri. Jadi Majelis Pemeriksa Wilayah dalam sidang pemeriksaan tidak lagi berwenang untuk memeriksa bukti-bukti (fakta-fakta hukum), tapi hanya memberikan penilaian pembuktian terhadap fakta-fakta hukum yang dituangkan dalam BAP yang disampaikan oleh Majelis Pemeriksa Daerah, kecuali belum terbentuk Majelis Pengawas Daerah, serta dalam Sidang Pengambilan Keputusan yang terbuka untuk umum, menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan atau penilaian pembuktian terhadap fakta-fakta hukum yang dituangkan dalam BAP yang disampaikan oleh Majelis Pemeriksa Daerah, kecuali belum terbentuk Majelis Pengawas Daerah, serta dalam Sidang Pengambilan Keputusan yang terbuka untuk umum, menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan atau teguran tertulis yang sifatnya final dan usul pemberhentian sementara 3 s/d 6 bulan atau usulan pemberhentian dengan tidak hormat kepada Majelis Pengawas Pusat. c. Majelis Pemeriksa Pusat wajib menyelenggarakan Sidang Pemeriksaan dan Sidang Pengambilan Keputusan yang terbuka untuk umum, untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas permohonan Banding dan Memori Banding yang diajukan oleh pembanding kepada Majelis Pusat. Permohonan banding dapat diajukan terhadap Putusan Majelis Pemeriksa Wilayah yang memuat sanksi usul pemberhentian sementara dan usul pemberhentian dengan tidak hormat. Permohonan banding dinyatakan tidak dapat diterima jika memori banding tidak disampaikan dalam jangka wktu 14 hari kalender sejak banding dinyatakan. Dalam Sidang Pemeriksaan yang terbuka untuk umum, Majelis Pemeriksa Pusat berwenang mendengar keterangan Terbanding dan Pembanding serta pembelaan 119 Hasil wawancara dengan Agus Armainy, SH, Spn pada tanggal 16 Maret 2009 diri Notaris dalam rangka untuk memeriksa dan membuktikan apakah dalil-dalil Pembanding dalam memori bandingnya beralasan atau tidak beralasan, tanpa ada lagi pengajuan bukti-bukti oleh pihak, mengingat paling lambat dalam jangka waktu 30 hari kalender sejak berkas diterima Majelis Pengawas Pusat telah mengambil putusan dan Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Junto Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M. 02 . PR . 08 . 10 Tahun 2004 Tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengwas Notaris hanya memberi wewenang bagi Majelis Pemeriksa Daerah untuk memeriksa bukti-bukti. Bentuk perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah (Majelis Pengawas Notaris) terhadap masyarakat umum (klien) dari notaris yang memperoleh status sebagai tersangka dan terdakwa, yakni: 120 1. 2. 3. Masyarakat diberikan kesempatan untuk melaporkan notaris yang bermasalah tersebut, baik ke Pengadilan dan juga Majelis Pengawas Notaris melalui Majelis Pengawas Daerah dengan dibuatkan Berita Acaranya. Majelis Pengawas Notaris sebagai sebagai pengawas notaris yang mengawasi notaris dalam menjalankan jabatannya, sedangkan perilaku notaris di luar pelaksanaan jabatannya dan disiplin organisasi dilakukan secara intern oleh Dewan Kehormatan Notaris. Terhadap Notaris dilakukan pemeriksaan rutin minimal 1 kali dalam setahun dan pemeriksaan pada waktu-waktu yang dianggap perlu, hal ini dilakukan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan serta menghindari terjadinya kesalahan kelalaian, keteledoran dan dan kecerobohan dari notaris, juga untuk memeriksa dugaan pelanggaran yang dilakukan notaris tersebut. Notaris yang dipanggil oleh penyidik baik sebagai saksi, tersangka dan terdakwa serta pengambilan minuta aktanya harus denga izin dari Majelis Pengawas Daerah. 120 Wawancara dengan Notaris Suprayetno, SH, MKn pada tanggal 5 Maret 2009 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Penyidikan terhadap notaris yang dilaporkan telah melakukan tindak pidana harus ada ijin tertulis terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Notaris. Ijin tersebut disampaikan oleh penyidik Polri kepada Majelis Pengawas Daerah Notaris yang tembusannya disampaikan kepada notaris yang bersangkutan. Surat pemanggilan tersebut harus mencantumkan alasan pemanggilan tersebut. Majelis Pengawas Daerah Notaris sebelum memberikan ijin akan memanggil terlebih dahulu notaris yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. 2. Notaris dalam status tersangka tetap berwenang untuk membuat akta. Dalam Undang-Undang nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, ketidak berwenangan notaris dalam membuat akta jika dia dalam status belum disumpah, cuti, diberhentikan sementara (diskors), dipecat dan pensiun. Notaris sebagai tersangka belum tentu bersalah dan harus menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah (Presumption of Innocence). Salah atau tidak seorang ditetapkan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Tergantung dari masyarakat masih mau menggunakan jasa notaris yang dalam status sebagai tersangka atau tidak. 116 3. Notaris yang menjadi terdakwa dalam suatu kasus pidana diberhentikan sementara. Kewenangan untuk memberhentikan sementara ada pada Majelis Pengawas Pusat. Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah pemeriksaan proses peradilan. Terhadap notaris yang dikenakan penahanan sementara, maka notaris berhenti demi hukum dan tidak berwenang untuk menjalankan jabatannya termasuk dalam membuat akta otentik. Dalam Pasal 63 jo Pasal 80 Undang-Undang nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa dalam jangka waktu 30 hari Protokol notaris yang diberhentikan sementara diserahkan kepada notaris lain yang ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah. Menteri menunjuk notaris lain sebagai seorang pejabat sementara notaris yang akan menerima protokol notaris dari notaris yang diberhentikan sementara tersebut atas usulan dari Majelis Pengawas Pusat Notaris, sampai masa pemberhentian sementara ersebut berakhir. B. Saran 1. Pemanggilan terhadap notaris sebagai saksi/tersangka oleh penyidik Polri sebaiknya diatur di dalam suatu undang-undang tersendiri, yang lebih terperinci dan lebih tegas. Pelangaran yang dilakukan oleh notaris lebih tegas disebutkan di dalam suatu undang-undang tidak lagi dikaitkan dengan kode etik. Kode etik hanya bersifat suatu aturan yang mengatur mengenai etika profesi notaris. 2. Pengaturan mengenai sanksi pidana harus diatur secara tegas dalam UndangUndang nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, untuk mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan baik bersifat pribadi maupun yang menyangkut profeionalitas dari notaris. Undang-Undang nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris harus mengatur mengenai kewenangan dan pemberhentian sementara notaris dalam status sebagai tersangka dan terdakwa, sebab jumlah notaris yang terlalu banyak, sehingga tidak bisa dihindari munculnya pelangaranpelanggaran dalam pembuatan akta. 2. Untuk menjaga dan mengembalikan harkat dan martabat lembaga notariat Majelis Pengawas Notaris harus bertindak tegas dalam melakukan pengawasan baik preventif maupun represif untuk mencegah terjadinya penyimpangan- penyimpangan terhadap kewenangan dan kewajiban yang dilakukan oleh notaris, serta pengenaan sanksi yang berat terhadap notaris yang melakukan pelanggaran. DAFTAR PUSTAKA I. Buku Andasasmita, Komar. Notaris Selayang Pandang. Bandung : Alumni, 1999. Adam, Muhammad, 1985, Asal Usul Sejarah Notaris. Sinar Baru, Bandung. Ali, Faried, H.M. Filsafat Adminitrasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2004. Adjie, Habib, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama , Bandung Ansori Sabuan, Syarifuddin Pettanase, dan Ruben Achmad. Hukum Acara Pidana. Bandung : Angkasa, 1990. Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1994. Kohar, A. Notaris Dalam Praktek Hukum. Bandung : Alumni, 1983. ________ Notaris Berkomunikasi. Bandung : Alumni,1984. Lubis, Suhrawardi K. Etika Profesi Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, 1993. Lumbang Tobing, G.H.S. Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga : Jakarta. 1992 Mamudji, Sri dan Hang Rahardjo, 2004, “Teknik Menyusun Karya Tulis Ilmiah”. Jakarta, Pra Cetak Mamudji, Sri et al, 2005, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia Muhammad, Abdulkadir, 1997, Etika Profesi Hukum. Bandung, Citra Aditya Bakti M. Hadjon, Philipus dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Notodisoerjo, R. Soegondo, 1993, Hukum Notariat Di Indonesia, Suatu Penjelasan. Jakarta : RajaGrafindo Persada 119 Prints, Darwin, 1989, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Jakarta, Djambatan Siregar, Bismar. Hukum Acara Pidana. Jakarat : Binacita 1983. Subekti. R. Hukum Pembuktian. Jakarta : Pradnya Paramitha, 2001. Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat, Serba Serbi Praktek Notaris Buku I. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve Tanusubroto, S.1983, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana. Bandung, Amico Lumban Tobing, G.H. S. 1999, Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta, Erlangga Wojowasito, S, 1990, Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta, Ichtiar Baru - Van Hoeve, Jakarta, II. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris, Undang-Undang Nomor 30 Tahum 2004, TLN No. 4432. Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209. Undang-Undang Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 LN No. 137 Tahun 2002, TLN No. 4250. Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 LN No. 134 Tahun 2001, TLN No. 4150. Staablad 1860 Nomor 3 Tentang Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek). Edisi Revisi. Diterjemahkan oleh Subekti dan Tjitorosudibio. Jakarta : Pradnya Paramitha, 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Wet book van strafrecht). Diterjemahkan oleh Andi Hamzah. Jakarta : Rineka Cipta, 2000. Departement Hukum dan Hak Asasi Manusia. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : M. 02. PR. 08. 10 Tahun 2004. Departement Hukum dan Hak Asasi Manusia. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas, Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor. M. 39-PW. 07. 10 Tahun 2004. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Keputusan Majelis Pengawas Pusat Notaris Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Tentang Pemberian atau Penolakan Persetujuan Pemanggilan Notaris Oleh Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim. Kep. MPPN Nomor : C-MPPN. 03. 10-15 Tahun 2005. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Negara Republik Indonesia. Surat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Tentang Penunjuk Pejabat Pelaksana sumpah Jabatan Notaris. Surat Nomor : M. UM. 01. 06139. Nota Kesepakatan antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris Indonesia No. Pol : B / 1056/V/2006 Nomor : 01/MOU/PPINI/V/2006 Tentang Pembinaan dan Peningkatan Profesionalisme di Bidang Penegakan Hukum. III. ARTIKEL : Basyit, Abdul. “Undang-Undang Jabatan Notaris Pembaharuan Kenotariatan”. Media Notariat, Edisi September-Oktober 2004 Bidang Edianto, Pratomo. “Sidang Pertama MPP Babakan Baru Nptariat Indoneisa.” Renvoi Nomor : 8. 32. III (3 Januari 2006) Facruddin, Irfan. “Kedudukan Notaris dan Akta-Aktanya Dalam Sengketa Tata Usaha Negara.” Varia Peradilan 111, (Desember 1994) Herlien Boediono, "Pertanggung jawaban Notaris Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 (Dilema Notaris di antara Negara Masyarakat, dan Pasar),” Renvoi No.4.28.III, 3 September 2005 Muchlis Patahna, ”Apa Akar Masalahnya Banyak Notaris Tersandung Kasus”, Renvoi, Nomor 1.37. IV, Juni 2006 Setiawan. “Kekuatan Hukum Akta Notaris Sebagai Alat Bukti.” Varia Peradilan 48, (September 1989) Soedijono. “Pengawasan Notaris Dalam Praktek.” Varia Peradilan 38, (November 1998) Soetrisno. “Pertanggung Jawab Profesi (Profesional Liability) ditinjau dari Hukum Perdata.” Varia Peradilan 143, (Agustus 1997) : 142. Suharjono. “Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum.” Varia Peradilan 123, (Desember 1995) Widjaja, Djedjen. “Pengawasan Terhadap Notaris.” Varia Peradilan 15 (Desember 1986) Rikha Anggraini Dewi, 2009, Tinjauan Yuridis Pemberian Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris yang Melakukan Pelanggaran Oleh Majelis Pengawas Notaris setelah Keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004,Tesis Magister Kenotariatan Pascasarjana H.M. Laica Marzuki, “Penggunaan Upaya Administratif dalam Sengketa Tata Usaha Negara”, Hukum dan Pembangunan, No. 2, Tahun XXII, April 1992, Suwantji Sisworahardjo, Tugas Pekerja Sosial Dalam Pembinaan Terpidana Dan Narapidana Di Luar Dan Di Dalam Lembaga Pemasyarakatan, Jakarta, Makalah Seminar Nasional Pemasyarakatan Terpidana II, IV. INTERNET : Heryanto. “Notaris Antara Profesi dan Jabatan.” http://ww.pontianak.com/berita/index.asp?berita, diakses 3 Desember 2008 “Notaris dalam Memberikan Pelayanan Kepada Masyarakat Senantiasa Berpedoman kepada Kode Etik Profesi.” http://majalah.depkumham.go.id/article.php, diakses 3 Desember 2008 Hasbullah, Notaris dan Jaminan Kepastian Hukum, http://www.depkumham.go.id/ templates.html. diakses tanggal 17 Januari 2009